Quick viewing(Text Mode)

Hifdz Al-Nafs Dalam Al-Qur'an : Studi Dalam Tafsir Ibn 'Âsyûr

Hifdz Al-Nafs Dalam Al-Qur'an : Studi Dalam Tafsir Ibn 'Âsyûr

HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-QUR’AN : STUDI DALAM TAFSIR IBN ‘ÂSYÛR

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh Eva Muzdalifah 11140340000255

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/ 2019 M

i

の ZИじヽ AFS DAL劇 AL口QUR'AN:STUDI DALAM TAFSIR IBN`ASYUR

Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

01ch

Eva ⅣIuzdalifah ll140340000255

1071983031010

FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAPI NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 144011/2019 ⅣI PENGESAⅡAN PANITIA UЛ 臨N

Skripsi beゴ udul“ 朋″ αJ=Ⅳ″b dalam al…Qur'an:studi dalam TafsI Ibn`Asゴ、r ``telah dttikan dalam sidaIIlg mllnaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas lslam NegeH SyarifHidayamlah Jakarta pada 14 A〔 孵tus 2019。 Skripsi ini dherima sebagai satu syarat memperolch gelar sttana agama(s.AD padaPrOgraln lhu d― Qur'all dan Taお士.

Jakarta,14 Agustus 2019 Sidang Munaqasyah

Dekan/ Sekretaris Sidang Ketua Merangkap Anggota

ι Kusmana,Ph.D.MA Fahrizal ,Lc.MIRKH NIP.1965042419950310001 NIP.198208162015031004

Anggota:

Kusmana,Ph D、 PIA . NIP 19650424 199503 1 0001 NI]P.196009081989031

NIP.195 SURAT PERNYATAAN

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nalna :Eva ⅣIuzdalifall NIM :11140340000255 Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hifdz al-Nafs dalam al-Qur'an: Studi dalam Tafsir Ibn 'Asyflr adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusurumnya. Adapun kutrpan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi. Saya bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku jika ternyata skripsi ini sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini dibuat unhrk dipergunakan seperlunya

Jakarta,10 Juli 2019

Eva Muzdalifall

V ABSTRAK

Eva Muzdalifah Hifdz al-Nafs dalam al-Qur’an: Studi dalam Tafsir Ibn ‘Âsyûr

Keilmuan tafsir jauh berkembang pesat dalam khazanah keilmuan dunia. Ragam pendekatannya pun semakin melebar, Ibn „Âsyûr seorang ahli pakar tafsir kontemporer sekaligus pakar maqâsid al-syarî’ah berusaha menafsirkan al-Qur‟an dengan menggunkan pendekatan tafsir maqâsidi. Tafsir maqâsidi adalah sebagai salah bentuk penafsiran yang dilakukan dengan cara menggali makna yang tersirat dalam lafaz-lafaz al-Qur‟an dengan mempertimbangkan tujuan yang terkandung di dalamnya. Dalam Skripsi yang berjudul “ Hifdz al-Nafs dalam al-Qur‟an: Studi dalam Tafsir Ibn „Âsyûr” ini, penulis berusaha untuk mencari relevansi penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs dalam kitab tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr terhadap maqâsid al-syarî’ah. Di dalam tafsirnya, Ibn „Âsyûr menafsirkan ayat-ayat tersebut melalui analisis teks, sehingga dapat diambil nilai-nilai universalnya sebagai tujuan hukum. Ibn „Âsyûr sebagai penerus al-Syâtibî tidak membatasi maqâsid al-syarî’ah pada tataran ushûl al- khamsah saja, namun juga prinsip fitrah (al-fitrah), toleransi (al-samâhah), maslahat (al-maslahah), kesetaraan (al-musâwah), kebebasan (al-hurrîyah). Dalam menafsirkan ayat-ayat hifdz al-nafs dengan tinjauan maqâsid al- Syarî’ah, prinsip-prinsip yang dipegang dan menjadi landasan berfikir Ibn „Âsyûr adalah tujuan umum syarî‟at, yaitu untuk mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Ayat-ayat hifdz al-nafs yang ia tafsirkan terdapat relevansi penafsiran dengan tafsir maqâsidi Ibn „Âsyûr ialah memelihara pesan universal ayat-ayat al- qur‟ân, menghasilkan makna alqurân yang mendalam, menghadirkan kehendak syarî‟at, bukan kehendak manusia, menjelaskan ayat-ayat muhkam mutasyâbih dan menjelaskan ayat-ayat mujmal-mubayyan.

Kata Kunci : Maqâsid al-Syarî’ah, Ibn ‘Âsyûr, ayat-ayat hifdz al-nafs

v

KATA PENGANTAR

بسم اهلل الرحمه الرحيم

Alhamdulilah atas segala rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Saw, semoga kita mendapat syafaat Rasulullah di hari kiamat nanti. Alhamdulilah dengan izin , skripsi ini bisa diselesaikan dengan judul “Hifdz al- Nafs dalam al-Qur‟an : Studi dalam tafsir Ibn ‟Âsyûr “. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Agama Islam program stratasatu (S1) jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama proses studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga penulisan skripsi ini, banyak kesulitan yang dialami penulis dalam penyusunan skripsi ini dan penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak akan berjalan dengan lancar tanpa keterlibatan dari beberapa pihak yang memberikan kontribusi, baik itu berupa bantuan, motivasi, material, dan spiritual. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Hj Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Yusuf Rahman M.A selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu kelancaran administrasi dan birokrasi. 3. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag, dan bapak Fahrizal, selaku ketua jurusan dan sekretaris jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak membantu penulis dalam proses perkuliahan dan administrasi. 4. Bapak Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi penulis yang telah bersedia meluangkan waktu dan kesabarannya dalam memberikan bimbingan dan arahan-arahan dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Dosen penasihat akademik, walid Dr. Ahsin Sakho Muhammad, banyak memberikan bantuan dan masukan kepada penulis selama studi di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak memberikan ilmunya kepada penulis.

vi

7. Pimpinan dan staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakan fakultas Ushuluddin, perpustakaan Jama‟ Lebak Bulus yang telah memberikan bantuan kepada penulis untuk mengumpulkan dan melengkapi data-data pada skripsi penulis. 8. Kedua orang tua penulis, Ibunda tercinta Ibu Sukriyah dan Bapak Rifa‟i, kedua adikku Salsabila dan Fadia yang telah banyak memberikan motivasi dan do‟a kepada penulis baik dari segi materi maupun jiwa sehingga bisa menyelesaikan skripsi. 9. Para kiyai dan guru yang telah mendidik penulis agar menjadi orang yang bermanfaat dan berakhlak baik. Terimakasih kepada segenap keluarga besar PP. Dar al-Tauhid Arjawinangun, khususnya abah K.H. Abdurahman Ibnu Ubaidilah Syatori selaku pengasuh PP. dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon. Yang telah memperkenalkan kepada saya dasar-dasar ilmu-ilmu Islam kepada saya. 10. Sahabat-sahabatku Lailatul Fajriyah, Karlinah, Suci Khasanah, Ulfiyaul Khoiroh, Teman-teman kosan Dwi Nurul Aini, Faizah Mahda, Riri Anggraini, Rizkiyatun Khozaitunah, Mega Hasiya, Siti Lutfiyah, Firokhmatillah, ka Ilda, dan mba ria. Teman-teman KKN “PENTAS” yang selalu memotivasi penulis. Sedulur-sedulur keluarga persatuan Mahasiswa dan Alumni Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon( PERMADA) khususnya ka Atmanegara yang selalu memberikan motivasi dan dorongan, masukan serta kritikan kepada penulis. 11. yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis. Teman seperjuangan IQTAF 2014 khususnya TH G semoga kalian semua selalu menebarkan kebaikan dan memberikan semangat satu lainnya. Akhirnya, penulis berharap agar apa yang telah ditulis dapat bermanfaat bagi semua kalangan pada umumnya dan dapat memperluas khazanah.

Jakarta, 10 Juli 2019

Penulis

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Penulisan skripsi ini berpedoman pada transliterasi dari Keputusan SK Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017.

Dalam skripsi, tesis, dan disertasi bidang keagamaan (baca: Islam), alih aksara atau transliterasi, adalah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk menjaga konsistensi, aturan yang berkaitan dengan alih aksara ini penting diberikan.

Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan dipahami, tidak saja oleh mahasiswa yang akan menulis tugas akhir, melainkan juga oleh dosen, khususnya dosen pembimbing dan dosen penguji, agar terjadi saling kontrol dalam penerapan dan konsistensinya.

Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara, antara lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi Paramadina. Umumnya, kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara tersebut meniscayakan digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font Transliterasi, Times New Roman, atau Times New .

Untuk memudahkan penerapan alih aksara dalam penulis tugas akhir, pedoman alih aksara ini disusun dengan tidak mengikuti ketentuan salah satu versi di atas, melainkan dengan mengkombinasikan dan memodifikasi beberapa ciri hurufnya. Kendati demikian, alih aksara versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini disusun dengan logika yang sama.

1. Padanan Aksara Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

- Tidak Dilambangkan

b Be

t Te

ts te dan es

viii

J Je

ẖ h dengan garis di bawah kh ka dan ha d De dz de dan zet r Er z Zet s Es sy es dan ye s es dengan garis di bawah

ḏ de dengan garis di bawah

ṯ te dengan garis di bawah

ẕ zet dengan garis di bawah

ʻ koma terbalik di atas hadap kanan gh ge dan ha f Ef q Ki k Ka l El m Em n En

ix

w We

h Ha

ˋ Apostrof

y Ye

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

Vocal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Keterangan Latin A Fatẖ ah

I Kasrah

U Ḏammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Ai a dan i

Au a dan u

x

3. Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

 a dengan topi di atas -ا

Î i dengan topi di atas ى

Û u dengan topi di atas -و

4. Kata Sandang Kata sandang yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf qomariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-diwân, bukan ad-diwân 5. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( ّ ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setalah kata sandang -tidak ditulis “ad الضّرووة yang diikuti oleh hurf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata darûrah” melainkan “al-ḏ arūrah”, demikian seterusnya.

6. Ta Marbûṯ ah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta matbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1 Ṯ arîqah

xi

2 Al-jâmi‟ah al- islâmiyah

3 Waẖ dat al-wujûd

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan permulaan kalimt, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hamîd Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (Italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alihaksaranya. Demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisana nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya, ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî

8. Cara Penulisan Kata Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat- kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas: Kata Arab Alih Aksara

dzahaba al-ustâdzu ذَهَبَ األُسْتَاذُ

tsabata al-ajru ثَبَتَ ألَجْرُ

xii

al-ẖ arakah al-„asriyyah اَلْحَرَكَةُ العَصْرِّيَة

asyhadu an lâ ilâha illâ شْهَدُ أنْ الإله إالّ اهلل Allâh

Maulânâ Malik al-Sâlih مَوْالَوَا مَلِكَ الصَالِحِ

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka. Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak pelru dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd, Mohamad Roem, bukan Muẖ ammad Rûm, Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Raẖ mân.

xiii

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ...... ……………i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... …………...ii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...... …………...iii LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ...... …………...iv ABSTARAK ...... …………...v KATA PENGANTAR ...... …………..vii DAFTAR ISI ...... …………...ix PEDOMAN TRANSLITERASI ...... …………...xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... ……………1 B. Identifikasi Masalah ...... ……………5 C. Batasan Masalah ...... ……………6 D. Perumusan Masalah ...... ……………6 E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ...... ……………6 F. Tinjauan kajian terdahulu ...... ……………7 G. Metode Penelitian ...... …………...10 H. Sistematika Penulisan ...... …………...11 BAB II KONSEP PENDEKATAN MAQÂSID SYARÎ’A DAN TAFSIR MAQÂSID IBN ÂSYÛR A. Maqâsid al-Syarî‟ah...... …………....13 1. Pengertian……………………………………………………13 2. Sejarah Perkembangan Maqâsid al-Syarî‟ah………………...15 3. Urgensi Maqâsid al-Syarî‟ah………………………………....21 B. Tafsir Maqâsidi………………………………………………....25 1. Pengertian……………………………………………………25 2. Sejarah Perkembangan Tafsir Maqâsidi……………………..28 3. Urgensi Tafsir Maqâsidi……………………………………..35 C. Hifdz al-Nafs ...... ……………40 1. Pengertian……………………………………………………40 2. Hifdz al-Nafs dalam al-Qur‟an………………………………42 D. Penafsiran ayat-ayat Hifdz al-Nafs ...... ……………46 1. Tafsir Klasik…………………………………………………46 xiv

1.1. Tafsir At-Thabâri………………………………………..46 1.2. Tafsir Ibn Katsir………………………………………...48 1.3. Tafsir al-Buruswi………………………………………..49 2. Tafsir Modern………………………………………………..50 2.1. Tafsir Al-Maraghi……………………………………….51 2.2. Tafsir Fi Zilali Qur‟an…………………………………..53 2.3. Tafsir Al-Misbah………………………………………..54 BAB III IBN ‘ÂSYÛR: BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN A. Latar Belakang Sosiokultural ...... ……………57 1. Riwayat Hidup……………………………………………….58 2. Pendidikan, dan Karir Intelektual……………………………60 B. Karya Dan Pemikiran…………………………………………...62 1. Karya-Karya………………………………………………….63 2. Pemikiran Maqâsid Syarî‟ah Ibn „Âsyûr…………………….64 2.1. Maqâsid al-Syarî‟ah al-„Âmmah………………………..64 2.2. Maqâsid al-Syarî‟ah al-Khassah………………………...73 C. Tafsir Ibn „Âsyûr Dan Tafsir Maqâsidi………………………..79 1. Latar Belakang Penulisan Tafsir Tahrîr wa al-Tanwîr ……...79 2. Karakteristik Tafsir ………………………………………….80 3. Metode Penafsiran…………………………………………....81 4. Sumber Penafsiran……………………………………………82 5. Kontribusi Tafsir Ibn „Âsyûr dalam Pengembangan Tafsir…..84 BAB IV TAFSIR AYAT-AYAT HIFDZ AL-NAFS PERSPE TIF IBN ‘ÂSYÛR DAN RELEVANSINYA TERHADAP TAFSIR MAQÂSIDI

A. Tafsir QS. al-Isra 31 ...... …………....87 B. Tafsir QS. al-Isra 33 ...... …………....90 C. Tafsir QS. al-Maidah 32……………………………………….92 D. Tafsir QS. al-An‟am 151………………………………………95 E. Relevansi Penafsiran Pendekatan Tafsir Maqâsidi……………98 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...... …………...105 B. Saran ...... …………...106 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….107

xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Al-Qur‟an merupakan bacaan umat Islam, Allah SWT yang tidak ada keraguan di dalamnya1, dokumen dan petunjuk bagi manusia serta berbagai julukan lainnya. Kendati pun demikian, al-Qur‟an bukanlah seâbuah risalah mengenai Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Eksistensi Tuhan benar-benar bersifat fungsional, dia adalah pencipta serta pemelihara alam semesta dan manusia, terutama sekali dialah yang memberi petunjuk kepada manusia nanti, baik secara individual maupun secara kolektif, dengan keadilan yang penuh belas-kasih.2 Di samping menelurkan beberapa prinsip kebaikan, al-Qur‟an juga membicarakan permasalahan terkait konsep yang agung yakni menjaga jiwa. Istilah tersebut belakangan dalam perspektif Maqâsid al-Syarî’ah disebut dengan hifz al-nafs. Meski pun al-Qur‟an sudah menggariskan prinsip menjaga jiwa (hifz al-nafs), pada tataran realitasnya telah terjadi berbagai kasus yang justru bertentangan dengan asas hifz al-nafs. Sebagaimana yang terekam dalam QS. al-Baqarah [1]: 94 : ِ ِ ِ َِّ ِ ِ ِ ِ ِِ قُ ْل إ ْن َكانَ ْت لَ ُك ُم الَّداُر اآلخَرةُ عنَْد اللو َخال َصةً م ْن دُون النَّا ِس فَ تََمنَّ ُوا الَْمْو َت إ ْن ُكنْتُ ْم َصادق َني

Artinya: Katakanlah "Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, Maka inginilah kematian(mu), jika kamu memang benar. Ayat selanjutnya menegaskan kembali:

ِ ِ ِ ِ ِ ِِ وَلَنْ ي َتَمَنَّ وْهُ أَبًَدا ِبَا قََّدمَ ْت أَيْديه مْ وَالَّلوُ عَليمٌ بالظَّالمني َ

1 Muhammad Abdul „Adzim al-Zarqaniy, Manahilul ‘, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), jilid 1 2 Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-qur’an, (Bandung: Pustaka, 1996), h. 9

1 2

Artinya: dan sekali-kali mereka tidak akan menginginkan kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka (sendiri), dan Allah Maha mengetahui siapa orang-orang yang aniaya. ayat di atas menjelaskan tentang kematian. Perbedaanya, ayat yang pertama berbicara perihal orang yang menghendaki kematian tanpa sebab yang jelas. Kemudian ayat selanjutnya menegaskan ayat dengan memberi gambaran kematian itu disebabkan karena perbuatan manusia itu sendiri. Menurut Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya menjelaskan keinginan adalah sesuatu yang terpendam di dalam hati. Karena itu, perintah berkeinginan di atas harus dipahami dalam arti lakukan hal-hal yang menunjukan secara pasti bahwa mereka ingin. Ayat ini dapat juga menunjukan bahwa jangankan berbuat atau mengucapkan sesuatu yang menunjukan keinginan mereka untuk mati, menghadirkan kematian dalam benak mereka serta membayangkannya pun tidak mereka inginkan. 3 lan, yang dipakai ayat ini digunakan untuk menafikan sesuatu )لن( Kata untuk selama-lamanya. Allah yang mengetahui isi hati semua makhluk dan )لن( menyelami pikirannya masing-masing, menyampaikan secara pasti bahwa lan, yakni sekali-kali mereka tidak akan menginginkan kematian itu selama- selamanya. Memang, semua orang ingin hidup lama, tetapi ada yang bersedia mengorbankan jiwanya untuk meraih sesuatu yang luhur di akhirat kelak. Sikap mereka yang ingin hidup selama mungkin itu, disebabkan karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka sendiri, maksudnya adalah apa yang mereka lakukan selama ini tidak menjadikan mereka wajar mendapat ganjaran pahala atau terhindar dari siksa, apalagi Allah maha mengetahui orang-orang yang berlaku aniaya. Bahkan tidak aka nada di antara mereka yang menginginkan kematian itu, disebabkan karena perbuatan-perbuatan buruk mereka yang menjadikan mereka takut mati.4 Jika kembali kepada kitab tafsir, penafsiran al-Qur‟an telah berkembang sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Dalam buku yang ditulis Abdul Mustaqim yang berjudul “dinamika Sejarah al-Qur‟an”. Periode tafsir

3 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah pesan,kesan dan keserasian al-Qur’an, (Ciputat: Lentera Hati,2000), jilid 1, h.270 4 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah pesan,kesan dan keserasian al-Qur’an, (Ciputat: Lentera Hati,2000), jilid 1, h. 271

3

dibagi menjadi tiga bagian, yakni mazhab tafsir abad klasik (Abad I-II H/6-7 M), periode pertengahan (Abad III-IX H/ 9-15 M), dan periode modern- kontemporer (Abad XII-XIV/ 18-21 M). Dapat disimpulkan dari buku yang ditulis Abdul Mustaqim tersebut, tafsir Ibn Âsyûr termasuk kitab tafsir modern-kontemporer mengingat munculnya kitab ini adalah di penghujung abad ke-20. Pemikiran Ibn „Âsyûr dalam tafsirnya merupakan sumbangsih besar dalam ranah keilmuan, khususnya dalam bidang tafsir.dinamika penafsiran terus berlanjut.5 Pada era sekarang ini, di samping sumbangsih para ulama dalam menafsirkan al-Qur‟an, muncul wacana penafsiran secara tekstual- kontekstual.6 Hal ini bisa diidentifikasi karena beberapa sebab di antaranya adalah masih banyak orang yang mengadopsi ayat al-Qur‟an secara tekstual- literal. Sehingga, implikasinya bagi sebagian umat Islam ialah melakukan aksi-aksi yang menurutnya memiliki landasan teks al-Qur‟an yang sejatinya hal tersebut bertentangan dengan prinsip menjaga jiwa yang terkandung dalam al-Qur‟an itu sendiri.7 Contoh riil dalam masalah ini seperti aksi terorisme, hukuman mati bagi pengguna narkoba, dan kasus pembunuhan orang tua terhadap anaknya karena takut miskin.8 Kitab karangan Ibn „Âsyûr dengan pendekatan Maqâsidi telah menarik perhatian akademis muda yang ingin menarik benang merah dari tujuan syari‟at yang diterapkan dalam Islam, sebagaimana diketahui bahwa semua hukum yang Allah turunkan dan Allah perintahkan semata-mata memiliki tujuan masing-masing. Ibn „Âsyûr adalah seorang pakar Maqâsid Syari’ah penerus Al-Syâtibî, seorang bapak maqâsid syari’ah. Ibn „Âsyûr juga seorang mufassir yang dikenal dengan karyanya al-Tahrîr Wa al-Tanwîr, dan dengan

5 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an,(Yogyakarta: Adab Press, 2014), h. 1- 10 6Salah satu cendekiawan kontemporer yang membicarakan hal ini ialah Abdullah Saeed. Lihat Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan) 2016. 7 Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. QS. Al-Maidah [5]: 32. 8QS. Al-Isra [17]:31 Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.

4

latar belakang keilmuan tersebut, tak heran jika kitab tafsirnya memiliki pendekatan maqâsid syari’ah. Dalam sejarahnya tafsir ini adalah sesuatu yang relatif baru, terutama dalam posisinya sebagai pendekatan dalam tafsir. Hal ini berangkat dari kaidah di kalangan penganut tafsir kontemporer al-ibrah bi maqâsidi al- syari‟ah. Kaidah ini berusaha mencoba mencari sintesa kreatif ketika menafsirkan teks dengan berpegang teguh pada tujuan disyariatkannya sebuah doktrin. Oleh karena itu, ayat-ayat al-Qur‟an harus difahami dari sisi pesan moral atau maqâsid syari’ahnya.9 Problem urgen dalam penafsiran berkutat dalam dua kaidah dasar, yakni al-ibrah bi ‘umûmi al-lafzi lâ bi khusûsi al-sababi (ketetapan makna didasarkan pada universalitas keumuman teks, bukan pada kekhususan sebab), yakni metode tafsir yang berorientasi tekstual, bertumpu pada kerangka berpikir verbal-tekstual, serta penjelasannya yang mengandalkan nalar bayâni (teks) yang menyesuaikan dengan kaidah-kaidah normatif kebahasaan. Kedua, kaidah al-‘ibrah bi khusûsi al-sababi lâ bi ‘umûmi al-lafzi ( ketetapan makna didasarkan pada kekhususan sebab, bukan pada keumuman (teks), dikenal dengan metode tafsir kontekstual yang didasarkan pada kerangka piker yang berkembang dalam metode sosial kontemporer. Walaupun pembahasan maqâsid al-syari’ah telah banyak dibahas oleh ulama, namun jarang sekali yang mencoba melakukan pembahasan bagaimana sesungguhnya al-Qur‟an berbicara tentang tujuan-tujuan umum (al-maqâsid al-‘amah). Menurut Ahmad al-Raisuni, mengutip pendapat Abd al-Karim Hamidi, Tujuan-tujuan al-Qur‟an adalah: ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ أَماَ الَْمَقاص ُد اَلَْعاَمةُ فَه َي تلْ َك اْألَ ْغَرا ُض اْلعُلْيَا اَ ْْلَاصلَةُ م ْن ََمْ ُمْوَعة أَ ْح َكام الُْقْرأَن “ Maqâsid ‘ammâh adalah tujuan-tujuan luhur yang diperoleh dari sekumpulan hukum-hukum al-Qur‟ân”10 Kajian maqâsid al-Qurân sendiri, belum menjadi disiplin ilmu di kalangan para ulama klasik maupun kontemporer. Walau demikian, term istilah maqâsid al-Qurân terdapat bertebaran dijumpai di dalam karya-karya

9 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta 2010), h. 64 10 .A.Halil Thahir, “ Maqasidi Rekontruksi hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah “(Yogyakarta:LKIS Pelangi Aksara 2015), h. 20

5

karangan ulama. Beberapa nama yang dapat diidentifikasi sebagai ulama di bidang maqâsid antara lain,al-Tirmidzi (w.320 H/932 M.), al-Qaffal al-Kabir (w. 365 H/976 M.), al-„Amiri al-Failasuf (w. 381 H/991 M.), al-Juwaini (w.478 H/1185 M.), al-Ghazali (w. 505 H/1111 M.), al-Tufi (w.716 H/1318 M), al-Shatibi (w.790 H/1388 M.), Ibn „Âsyûr (w.1393 H/1972 M.) dan „Alal al-Fasi (w.1394 H/1974 M.).11 Tokoh terakhir di atas yang penulis akan kaji adalah Ibn „Âsyûr. Sepintas Ibn „Âsyûr merupakan tokoh ulama ahli tafsir sekaligus ulama yang memiliki keahlian dalam bidang lain yaitu bidang maqâsid al-Syarî’ah. Dengan melihat posisi dia yang memiliki dua keahlian tersebut, pada gilirannya penulis tertarik untuk mengkaji kasus yang terjadi pada realitas dengan menyesuaikan beberapa ayat terkait hifz al-nafs. Kajian itu dibangun dengan cara meneliti penafsirannya dalam kitab al-Tahrîr Wa al-Tanwîr. Instrument yang akan dipaparkan adalah dengan melihat kembali ke teks al- Qur‟an dan mencari relevansinya dengan realitas sekarang, penulis ingin menyesuaikan hal tersebut dengan meninjau kembali penafsiran maqâsid perspektif Ibn „Âsyûr. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji skripsi dengan judul: HIFDZ AL-NAFS DALAM AL-QUR’AN: STUDI DALAM TAFSIR IBN ‘ÂSYÛR.

B. Permasalahan Penelitian 1. Identifikasi Permasalahan

Dari uraian yang sudah disebutkan pada latar belakang masalah, dapat diidentifikasi beberapa masalah yang muncul sebagaimana berikut:

a. Penafsiran Ibn „Âsyûr tentang ayat-ayat hifdz al-nafs dalam kitab tafsir al- Tahrîr Wa al-Tanwîr. b. Latar belakang yang mendorong Ibn „Âsyûr menggunakan pendekatan tafsir maqâsidi terhadap penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs dalam kitab tafsir al- Tahrîr Wa al-Tanwîr. c. Metode dan corak penafsiran Ibn „Âsyûr terhadap penafsiran ayat- ayat hifdz al-nafs dalam kitab al-Tahrîr Wa al-Tanwîr.

11 A.Halil Thahir,“Ijtihad Maqâsidi Rekontruksi hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah. h. 29

6 d. Prinsip-prinsip dan kaidah tafsir maqâsidi Ibn „Âsyûr terhadap penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs. e. Relevansi penafsiran Ibn „Âsyûr dengan pendekatan maqâsid al-syari’ah terhadap penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs. 2. Perumusan Masalah Pemaparan singkat mengenai latar belakang masalah yang telah disebutkan, perlu dilakukan perumusan terhadap masalah yang akan menjadi fokus pembahasan penelitian. Rumusan masalah yang hendak diangkat adalah: 1) Bagaimana penafsiran Ibn „Âsyûr tentang ayat-ayat hifdz al-nafs dalam kitab al-Tahrîr Wa al-Tanwîr ?s 2) Bagaimana relevansi penafsiran Ibn „Âsyûr dengan pendekatan maqâsid al- syari’ah terhadap penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs ? 3. Pembatasan Masalah Kajian pemahaman terhadap ayat-ayat hifdz al-nafs penulis membatasi analisis pada empat ayat al-Qur‟an dalam tiga surat yaitu Q.S al-Isra 17 :31, 33,Q.S al-Maidah 5: 32, dan Q.S al-An‟am 6:151. Ayat yang dipilih penulis ini karena merupakan hasil dari analisis awal terhadap pencarian kata dasar al- Qatlu dalam al-Qur‟an dan keempat ayat tersebut memberikan penekanan terhadap penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs dalam kitab tafsir al-Tahrîr Wa al- Tanwîr. Selanjutnya untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan yang akan diteliti pada masalah di atas, kiranya perlu dikemukakan batasan masalah, pembahasan akan dibatasi pada poin ke 1. Penafsiran Ibn „Âsyûr tentang ayat- ayat hifdz al-nafs dalam kitab al-Tahrîr Wa al-Tanwîr. 2. Prinsip-prinsip dan kaidah tafsir maqâsidi Ibn „Âsyûr terhadap Penafsiran ayat-ayat hifdz al-Nafs. 3. Relevansi penafsiran Ibn „Asyûr dengan pendekatan maqâsid al-Syari‟ah terhadap penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

Melihat dari berbagai masalah yang telah disebutkan di atas,maka dapat dijelaskan tujuan penulisan skripsi ini diantaranya yaitu:

7

a) Mendeskripsikan bagaimana penafsiran Ibn „Âsyûr tentang ayat-ayat hifdz al- nafs dalam kitab al-Tahrîr Wa al-Tanwîr. b) Mendeskripsikan bagaimana relevansi penafsiran Ibn „Âsyûr dengan pendekatan maqâsid al-syari’ah terhadap penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs.

2. Manfaat

Sebagai peneliti, penulis mengharapkan tujuan atas tulisannya untuk bisa bermanfaat untuk semua orang. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini diantaranya:

Kegunaan penelitian ini di harapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan Islam, khususnya dalam bidang studi ilmu tafsir al-Qur‟an yang memiliki karakteristik maqâsid al-syari’ah. Adapaun di bidang akademik, penelitian ini sebagai salah satu syarat memperoleh gelar kesarjanaan strata satu bagi penulis di Fakultas Ushuluddin, Studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta.

D. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai ayat-ayat tentang hifz al-nafs banyak dijelaskan dalam berbagai tulisan-tulisan dan karya-karya, baik secara ringkas maupun detail. Begitupun penelitian yang telah dilakukan juga memiliki perbedaan yang mendasar, seperti beberapa tinjauan pustaka sebagai berikut: Dalam penelitian yang dilakukan oleh Moh. Husni Mubarok pada tahun 2017 du UIN Sunan Ampel mengenai Nilai-nilai al-Qur’an dalam Pancasila; pendekatan tafsir maqasidi atas Pancasila sila pertama dan kedua. dalam skripsinya ia menjelaskan pendekatan tafsir maqasidi dengan mencantumkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sila pertama dan kedua yang mana Pancasila menurutnya meiliki kaitan erat dengan Islam, khususnya dalam tafsir pendekatan maqasidi ini.12 Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nilda Hayati pada tahun 2014, di UIN Sunan Kalijaga yang berjudul Tafsir maqasidi

12 Moh. Husni Mubarok, “ Nilai-nilai al-Qur‟an dalam Pancasila; pendekatan tafsir maqasidi atas Pancasila sila pertama dan kedua” skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel, 2017.

8

(Telaah atas penasiran Taha Jabir Al-Alwani terhadap ayat-ayat Riddah). Dalam skrispi ini menjelaskan bagaimana Taha Jabir Alwani menafsirkan ayat-ayat riddah dengan pendekatan maqasid al-shari’ah. Beliau tidak membatasi maqasid al-shari’ah pada usul al-khamsah saja, namun beliau punya tiga tingkatan maqasidu al-shari’ah, diantaranya; tingkatan pertama berupa nilai universal yang terdiri dari tauhid dan „umran, yang kedua, nilai keadilan, kebebasan, dan egalitarianisme kemudian tingkatan ketiga adalah usul al-khamsah yang terdiri dari hifz din, hifz al-‘aql, hifz al-nafs, hifz al-nasl, dan hifz al-mal. Skripsi ini bersifat tematik yang membahas seputar ayat-ayat riddah.13 Pada penelitian selanjutnya adalah penelitian yang ditulis oleh Azmil Mufidah pada tahun 2013, di UIN Sunan Kalijaga berjudul tafsir maqâsid (pendekatan maqasid al-Shari’ah Tahir Ibn Asyûr dan Aplikasinya dalam tafsir al-Tahwîr wa al-Tanwîr). Dalam skripsi ini menjelaskan bagaimana metodologi pendekatan maqâsid al-Shari’ah yang digunakan Ibnu „Âsyûr dalam menafsirkan al-Qur‟an. Skripsi ini lebih memfokuskan pembahasan pada aspek maqâsid al-syari’ah yang diterapkan oleh Ibn „Âsyûr dalam menafsirkan al-Qur‟an. Ia memberikan kesimpulan bahwa dengan pendekatan maqâsid al-syari‘ah Ibn „Âsyûr berarti segala hukum yang disyariatkan oleh Allah mengandung tujuan dan hikmah. Selain itu, pendekatan ini memberikan pengetahuan baru tentang metodologi pendekatan dalam penafsiran al-Qur‟an, sehingga dapat diambil nilai-nilai universalnya sebagai solusi produk tafsir yang selama ini tampak ideologis. Akhirnya, tujuan al-Qur‟an sebagai kitab petunjuk dan problem solver dapat diaplikasikan.14 Pada skripsinya Faridatus Sa‟adah yang berjdul “Tafsir maqâsidi (Kajian kitab Ahkam al-Qur’an karya Abu Bakar Ibn al-‘Arabi)”. Dalam skripsi ini yang sama menjelaskan tafsir maqâsidi meskipun dalam kitab yang

13 Nilda Hayati, “ Tafsir Maqasidi ( Telaah atas penafsiran Taha Jabir Al-Alwani terhadap ayat-ayat Riddah),” Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014. 14 Azmil Mufidah,” Tafsir Maqasidi (Pendekatan Maqasid al-Syari’ah Tahir Ibn ‘Asyur dan aplikasinya dalam tafsir al-Tahrir wa al- Tanwir)” Skripsi Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.

9

berbeda dengan kajian penulis. Namun, sedikit banyak telah menginspirasi pemahaman tentang tafsir maqâsidi.15 Abdul Halim dalam skripsinya yang berjudul “ Epistimologi tafsir Ibn ‘Âsyûr dalam kitab tafsir al-Tahrîr Wa al-Tanwîr” Skripsi ini lebih konsen kepada epistemologi yang digunakan Ibn „Âsyûr dalam kitab al-Tahrîr Wa al- Tanwîr. Sehingga menyimpulkan bahwa kitab tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, Ibn „Âsyûr juga sangat menjaga konsistensi metodologinya dalam menyusun karya tafsirnya.16 Mani‟‟Abd Halim Mahmud dalam kitabnya Manhaj al-Mufassirrin , yang dialih bahasakan oleh Faisal Saleh dan Syahdianor “ Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode para Ahli Tafsir” membahas biografi singkat Ibn „Âsyûr, sekilas tentang kitab tafsirnya dan contoh penafsirannya.17 Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Anas yang berjudul “Studi Komparatif Maqâsid Al-Qur’ân Abû Hâmid Muhammad Ibn Muhammad Al- Ghazâli dan Rasyîd Rida” yang sama menjelaskan tafsir maqâsid, baik itu maqâsid al-Qur’an maupun maqâsid al-syari’ah, meskipun dalam tokoh maqâsidnya itu berbeda dengan kajian penulis. Namun sedikit banyak telah membantu memberikan pemahaman banyak tentang tafsir maqâsid. 18 Jurnal karya Dr. Kusmana dengan judul “ Paradigma al-Qur’an: Model Analisis Tafsir Maqâsidi dalam Pemikiran Kuntowijaya. Pada jurnal ini menjelaskan perkembangan kajian maqâsid. Dan pula tulisan yang didasarkan studi kepustakaan ini menemukan bahwa corak tafsirnya dapat dikelompokkan ke dalam semangat Tafsir Maqâsidi Ilmi dengan kecenderungan untuk mengkontruksi ilmu pengetahuan inspirasi input qur‟ani.19

15 Faridatus Sa‟adah, “ Tafsir Maqasidi (Kajian Kitab Ahkam al-Qur’an Karya Abu Bakar Ibn al-„Arabi)”, Skripsi Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2012. 16 Abdul Halim, “ Epistemologi Tafsir Ibnu ‘Asyur dalam Kitab Tafsir al-Tahrir wa al- Tanwir,” Skripsi Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogtakarta, 2011.

17 Mani‟ „Abd Halim Mahmud, “Metodologi Tafsir : Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir” terj. Faisal Saleh dan Syahdianor (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 313. 18 Muhammad Annas, “Studi Komparatif Maqâsid al-Qur’an Abû Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazâli dan Rasyîd Ridâ”, Skripsi Fakultas Ushuluddin Studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2018. 19 Kusmana, “Paradigma al-Qur’an: Model Analisis Tafsir Maqâsidi dalam Pemikiran Kuntowijaya” Vol.11 No.2(Desember 2015): h. 220 239

10

Secara teoritis, dari literatur yang telah disebutkan di atas sangat membantu penelitian penulis tentang maqâsid al-syari’ah. Namun secara praktis, menurut penulis, penelitian tersebut belum menyangkut secara detail bagaimana bentuk pendekatan maqâsid al-syari’ah jika diterapkan dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an, khususnya dalam kitab al-Tahrîr Wa al- Tanwîr. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis bermaksud untuk memaparkan bagaimana metodologi pendekatan maqâsid al-syari’ah serta aplikasinya dalam penafsiran al-Qur‟an.

E. Metodologi Penelitian Dalam setiap penelitian ilmiah, dituntut untuk menggunakan metode yang jelas. Metode ini merupakan cara atau aktifitas analisis yang dilakukan soleh seorang peneliti dalam meneliti objek penelitiannya. Sebagai panduan kepenulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku pedoman penulisan karya ilmiah yang sesuai dengan keputusan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta nomor 507 tahun 2018. Metode yang digunakan yaitu: a) Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan library research20(penelitian kepustakaan) yakni penelitian yang menggunakan sumber kepustakaan untuk memperoleh data penelitiannya. Dengan cara mencari dan meneliti ayat yang dimaksud, kemudian mengolahnya dengan menggunakan keilmuan tafsir. Dengan ini, dapat dikatakan bahwa penelitian ini bersifat kualitatif. b) Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi dua kategori. pertama, data primer yaitu kitab hasil karya Ibn „Âsyûr dalam bidang penafsiran al-Qur‟an (al-Tahrîr Wa al-Tanwîr) dan dalam bidang ushul al- (Maqâsid al-Syari’ah ). Kedua, data sekunder yaitu buku al-Maqâsid Untuk Pemula karya Jasser Auda yang dialihbahasakan oleh „ „Abdelmon‟im, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari’ah karya Jasser Auda, Fiqh Minoritas Fiqh Al- Aqlliyyât dan Evolusi Maqâsid al-Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan karya Dr. Ahmad Imam Mawardi, MA, Ijtihad Maqâsidi Rekontruksi Hukum Islam

20 Winarto Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiyah (Bandung:Tarsito,1998), hal. 256-261

11

Berbasis Interkoneksitas Maslahah karya Dr. A. Halil Thahir, MHI, dan karya-karya yang telah disebutkan pada bagian tinjauan pustaka. c) Teknik Analisis Data Untuk menganalisis data, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif- analitik. Langkah awal yang ditempuh adalah mengumpulkan data- data, baru kemudian dilakukan klasifikasi dan deskripsi. Metode ini diaplikasikan ke dalam beberapa langkah berikut: yaitu penelitian yang berusaha mendeskripsikan dengan jelas gambaran seputar maqâsid syari’ah yang menjadi landasan bagi tafsir maqâsid. Kemudian, penulis menggambarkan bagaimana latar belakang kehidupan Ibn „Âsyûr dan gambaran umum tentang kitab Tahrîr Wa al-Tanwîr. Dengan dilanjutkan mendeskripsikan dan menganalisis wujud bentuk penafsirannya yang menggunakan pendekatan maqâsidi dengan membatasi pada ayat-ayat Hifdz al-Nafs. Sehingga dihasilkan kesimpulan yang jelas tentang persoalan yang di teliti.

F. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan, penelitian ini akan disusun ke dalam lima bab:

Bab pertama merupakan pendahuluan dalam penelitian yang meliputi uraian tentang hal-hal pokok yang mendasari penelitian. Dalam pendahuluan tersebut terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, berisi pemaparan maqâsid syari’ah, tafsir maqâsidi, dan hifdz al-nafs, berupa pengertian singkat, sejarah perkembangannya, serta memaparkan tafsir ayat-ayat hifdz al-nafs.

Bab ketiga, membahas tentang Ibn „Âsyûr dan karya tafsirnya kitab Tahrîr Wa al-Tanwîr. Pembahasan tentang Ibn „Âsyûr meliputi sejarah singkat riwayat hidup, riwayat pendidikan, karir intelektual, karya-karya tafsirnya al- Tahrîr Wa al-Tanwîr meliputi deskripsi naskah tafsir, latar belakang penulisan, karakteristik, metode penafsiran, serta kontribusi tafsir Ibn „Âsyûr dalam pengembangan tafsir.

12

Bab keempat, memuat analisis komprehensif yang merupakan kelanjutan dari analisis yang telah dimuat pada bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini diuraikan permasalahan-permasalahan yang diangkat dengan mencantumkan beberapa ayat al-Qur‟an yang terkait dengan tema hifdz al- nafs. Langkah pertama yang dilakukan dalam bab ini adalah membahas dan mengurai pandangan ayat-ayat Hifdz al-Nafs tinjauan tafsir maqâsidî menurut Ibn „Âsyûr dengan merujuk pada penafsirannya yang termuat dalam kitab al- Tahrîr wa al-Tanwîr. Setelah itu, dikemukakan pula pandangan dan penafsiran lain yang dijadikan sebagai perbandingan ataupun perluasan cakupan pembahasan. Selanjutnya, langkah yang dilakukan adalah menjelaskan relevansi penafsiran ayat-ayat hifdz al-nafs dengan konsep maqâsid al- syari’ah menurut Ibn „Âsyûr.

Bab kelima, merupakan penutup dari pembahasan yang berupa kesimpulan dari seluruh hasil penelitian dan saran-saran yang diberikan kepada peneliti.

BAB II KONSEP PENDEKATAN MAQÂSID SYARÎ’AH DAN TAFSIR MAQÂSID IBN ÂSYÛR

Pada bab ini penulis akan menjabarkan beberapa pokok penjelasan mengenai konsep pendekatan maqâsid syari‟ah dan tafsir maqâsid secara umum, baik dalam bentuk, macam dan aturan-aturan. Penulis juga menghadirkan penafsiran-penafsiran baik penafsir klasik maupun modern terhadap term hifdz al-nafs dalam al-Qur‟an.

A. Maqâsid al-Syarî’ah 1. Pengertian Maqâsid al-Syarî’ah Ibn „Âsyûr dipandang sebagai tokoh pertama yang memberikan batasan istilah bagi maqâṣid al-syarî‟ah. Meskipun ia tidak mengemukakan batasan maqâṣid al-syarî‟ah sebagai satu kesatuan secara khusus dan lugas, tetapi dapat dipahami dari kategorisasi maqâṣid al-syarîʻah menjadi maqâṣid al-syarîʻah umum dan maqâṣid al-syarîʻah khusus yang disertai dengan batasan istilah untuk masing-masing kategori.

Secara etimologi, ِ ِ maqâsid al-syarî‟ah) merupakan istilah ) َمَقاص ُدُُال َشِريْ َعةُ gabungan dua kata: ِ (maqâsid) dan (al-syarî‟ah). Maqâsid adalah ال َشِريْ َعةُ َمَقاص ُدُ bentuk plural dari (maqsad), (qashd),1 ِ (maqsid) atau قُ ُصْودُ ُ َمْقص ُد ُ قَ َص ُدُ َمْق َصدُ

(qusûd) yang merupakan derivasi dari kata kerja (qasada yaqsudu) قَ َصَدُي َْق ُص ُدُ dengan beragam makna, seperti menuju suatu arah, tujuan, tengah-tengah, adil dan tidak melampaui batas,2 jalan lurus, tengah-tengah antara berlebih-lebihan dan kekurangan. Makna- makna tersebut dapat dijumpai dalam penggunaan kata qasada dan derivasinya dalam al-qur‟an. Ia bermakna mudah, lurus, dan

1 Imam Mawardi, fiqh minoritas fiqh al-Aqaliyyât dan evolusi Maqâsid al-Syarî‟ah dari konsep ke pendekatan, Yogyakarta: LKIS, h. 178 2 Imam Mawardi, fiqh minoritas fiqh al-Aqaliyyât dan evolusi Maqâsid al-Syarî‟ah dari konsep ke pendekatan, Yogyakarta: LKIS, h. 179

13

14

sedang-sedang saja seperti kalimat dalam surat al-Taubah ayat 42: لَْوَُكا َنُ pertengahan dan seimbang seperti kalimat dalam surat 35 , ِ ِ َعَرضاًُقَريْباًَُو َسَفًراُقَاصًدا fâthir) ayat 32: ِ ِ , dan dengan makna slurus seperti kalimat dalam) َومنْ ُه ْمُُمْقتَصٌدُ surat 16 (al-Nahl) ayat 9 : ِ ِ ِ ِ . Sementara itu, syarî‟ah َُوَعلَىُاهللُقَ ْص ُدُال َّسبيِْلَُومنْ َهاُجاَئُرُ yang secara etimologis bermakna jalan menuju mata air, dalam terminologi fiqh berarti hukum-hukum yang disyari‟atkan oleh Allah untuk hamba-Nya, baik yang ditetapkan melalui al-Qur‟an maupun Sunnah Nabi Muhammad yang berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan Nabi. Dalam definisi yang lebih singkat dan umum, al-Rasyûni menyatakan bahwa syarî‟ah bermakna sejumlah hukum „amaliyyah yang dibawa oleh agama Islam, baik yang berkaitan dengan konsepsi maupun legislasi hukum-nya.

Secara terminologis, makna maqâsid al-syarî‟ah berkembang dari makna yang paling sederhana sampai pada makna yang holistik. Di kalangan ulama klasik sebelum al-Syâtibî, belum ditemukan definisi yang konkretdan komprehensif tentang maqâsid al-syarî‟ah. Definisi mereka cenderung mengikuti makna bahasa dengan menyebutkan padanan-padanan makna-nya. Al-Bannânî memaknainya dengan hikmah hukum, al-Asnâwî mengartikannya dengan tujuan- tujuan hukum, al-Samarqandi menyamakannya dengan makna-makna hukum, sementara al-Ghazâlî, al-Âmidî, dan Ibn al-Hâjib mendefinisikannya dengan menggapai manfaat dan menolak mafsadat.

Sepeninggal al-Syâtibî, kajian maqâsid al-syarî‟ah menemui kebuntuan sekian lama, terpendam sekitar enam abad dalam kejumudan intelektual, sampai hadirnya Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr yang mengangkat kembali kajian maqâsid al-syarî‟ah sebagai disiplin keilmuan yang mandiri. Ibn „Âsyûr mengatakan bahwa semua hukum syarî‟ah tentu mengandung maksud dari syâr‟I, yakni hikmah, kemaslahatan, dan manfaat, dan bahwa tujuan umum syari‟at adalah menjaga keteraturan umat dan kelanggengan kemaslahatan hidup mereka. Ibn „Âsyûr mendefinisikan maqâsid al-syarî‟ah sebagai berikut: “Makna-makna dan hikmah-hikmah yang diperhatikan dan dipelihara oleh syâri‟ dalam setiap bentuk penentuan hukum-Nya. Hal ini tidak hanya berlaku pada jenis-jenis

15 hukum tertentu sehingga masuklah dalam cakupannya sebagai sifat, tujuan umum, dan makna syari‟ah yang terkandung dalam hukum serta masuk pula di dalamnya makna-makna hukum yang tidak diperlihatkan secara keseluruhan tetapi dijaga dalam banyak bentuk hukum”.

Definisi Ibn „Âsyûr ini sudah mulai masuk pada wilayah yang lebih konkrit dan oprasional. Sebagai penegasnya, dia juga menyatakan bahwa maqâsid al-syarî‟ah bisa saja bersifat umum yang meliputi keseluruhan syari‟at dan juga bisa bersifat khusus, seperti maqâsid al-syarî‟ah yang khusus dalam bab-bab mu‟amalah. Dalam konteks ini, maqâsid al-syarî‟ah diartikan sebagai kondisi-kondisi yang dikehendaki oleh syara‟untuk menjaga kemaslahatan umum dengan memberikan ketentuan hukum dalam perbuatan-perbuatan khusus mereka yang mengandung hikmah.

Terlepas dari perbedaan kata yang digunakan dalam mendefinisikan maqâsid al-syarî‟ah, para ulama ushûl sepakat bahwa maqâsid al-syarî‟ah adalah tujuan-tujuan akhir yang harus terealisasi dengan diaplikasikannya syari‟at.

2. Perkembangan Konsep Maqâsid al-Syarî’ah

Tidak banyak kitab atau buku yang mengungkap perkembangan maqâsid al-syarî‟ah secara utuh. Kebanyakan karya tentang maqâsid al-syarî‟ah adalah parsial dan terfokus pada kajian tokoh. Kalaupun kajiannya pada perkembangan maqâsid al-syarî‟ah secara umum, biasanya berhenti pada al-Syâtibî sebagai tokoh terakhirnya. Karena itulah perjalanan maqâsid al-syarî‟ah dari konsep nilai ke pendekatan tidak tergambar secara utuh sebagai suatu perkembangan yang berkelanjutan, karena perkembangannya sebagai pendekatan, baru menjadi gambaran yang lebih jelas pasca al-Syâtibî. Ahmad al-Rasyûnî menyediakan data kronologis tentang ulama yang terlibat dalam perkembangan maqâsid al-syarî‟ah sampai pada masa pasca al-Syâtibî, yakni sampai pada kemunculan Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr.

Al-Rasyûnî menyimpulkan bahwa sepanjang masa perkembangan ushûl fiqh, maqâsid al-syarî‟ah mengalami perkembangan besar melalui tiga tokoh sentral, yaitu Imam al-Haramayn Abû al-Ma‟âlî „Abd Allah al-Juwaynî (w.478

16

H), Abû Ishâq al-Syâtibî (w. 790 H), dan Muhammad al-Thâhir Ibn „Âsyûr (w. 1379 H/1973 M).3 Penyebutan tiga tokoh ini tentu tidak serta merta menghilangkan peran Abû Bakr al-Qaffâl al-Shâsî, al‟Âmiri, al-Ghazâlî, dan sebagainya yang memiliki andil besar mengawali dan mempertegas konsepsi maqâsid al-syarî‟ah. Namun, ketiga tokoh di atas menjadi tonggak dan era penting di mana maqâsid al-syarî‟ah betul-betul tampak mengalami pergesaran makna.

Setelah Turmudzî al-Hakîm, muncullah al-Qaffâl al-Kabîr yang memiliki nama asli Abû Bakr al-Qaffâl al-Shâsî (w. 365 H). Dia dianggap sebagai pengkaji maqâsid al-syarî‟ah pertama dengan kajian yang lengkap dari sisi cakupan syari‟atnya. Kitabnya yang berjudul mahâsin al-syarâ‟I fi furû‟ al-shâfi‟iyyah kitâb fi maqâsid al-syarî‟ah.4 Di halaman pertama manuskrip ini, al-Qaffâl menyatakan bahwa karyanya ini memang dimaksudkan sebagai jawaban bagi mereka yang mempertanyakan kebijakan dan keindahan syari‟ah Islam. Istilah yang digunakan memang mahâsin, tetapi inilah manuskrip tertua yang isinya adalah persis tentang maqâsid.

Perkembangan berikutnya adalah hadirnya Abû al-Hasan al-„Âmirî (w. 381 H/991 M) dalam kajian maqâsid al-syarî‟ah. Dia adalah seorang filosof dan ahli kalam, yang berbeda dengan pengkaji maqâsid al-syaî‟ah sebelumnya yang rata-rata hanya memiliki expertise (keahlian) dalam bidang fiqh. Dengan pendekatan filosofisnya, ia menyatakan dalam kitab perbandingan gamanya yang monumental, al-I‟lâm bi manâqib al-Islâm, bahwa dalam rangka membangun kehidupan individu dan sosial yang baik dipastikan adanya lima pilar yang harus ditegakkan, yang tanpanya kemaslahatan tidak akan pernah terealisasi. Lima hal itu adalah: mazjarah qatl al-nafs (sanksi hukum untuk pembunuhan jiwa), mazjarah akhdh al-mâl (sanksi hukum untuk pencurian harta), mazjarah hatk al- satr (sanksi hukum untuk membuka „aib), mazjarah thalb al-„irdh (sanksi hukum untuk perusakan atau pencelaan kehormatan), dan mazjarah khal‟ al-baydhah (sanksi hukum untuk pelepasan kehormatan dan ketulusan). Lima poin inilah yang menjadi cikal-bakal al-dharûriyât al-khams yang menjadi central points

3 Ahmad Rasyûni, “al-Bahts fi maqâsid al-Syarî‟ah”, h. 4-5 4 Imam Mawardi, fiqh minoritas fiqh al-Aqaliyyât dan evolusi Maqâsid al-Syarî‟ah dari konsep ke pendekatan, Yogyakarta: LKIS, h. 191

17 kajian maqâsid al-syarî‟ah stelahnya, seperti al-Juwaynî, al-Ghazâlî, dan sterusnya.

Imâm al-Haramyn „Abd al-Malik Al-Juwaynî, walaupun tidak pernah menulis kitab dengan tema khusus maqâsid al-syarî‟ah, adalah nama penting yang harus disebut ketika memperbincangkan maqâsid al-syarî‟ah. Dia adalah ulama generasi berikutnya yang telah memaparkan dasar-dasar maqâsid al- syarî‟ah dengan membagi kemaslahatan menjadi tiga tingkatan hierakis, yaitu dharûriyyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât. Karyanya yang monumental yang berkaitan dengan maqâsid al-syarî‟ah adalah al-Burhân fi Ushûl al-fiqh. Keberhasilan al-Juwaynî mendeskripsikan maqâsid al-syarî‟ah dengan pemaparan dasar-dasar maqâsid al-syarî‟ah telah mendorong al-Rasyûnî untuk menganggapnya sebagai pilar awal perkembangan maqâsid al-syarî‟ah sebagai disiplin keilmuan.

Kajian al-Juwaynî tentang maqâsid al-syarî‟ah menjadi novel impulse (pendorong baru) bagi ulama-ulama setelahnya untuk membahas dan mengembangkannya. Nama yang paling populer setelahnya adalah sang yang jenius, Abû Hâmid al-Ghazâlî, seorang ulama dengan keahlian multidisipliner. Nama-nama lainnya yang meramaikan kajian maqâsid al-syarî‟ah pasca al-Juwaynî adalah Ibn Rusyd, Abû Bakr Ibn „Arabî, Fakhr al-Dîn al-Râzî, Sayf al-Dîn al-Âmidî, „Izz al-dîn bin „Abd al-Salâm, Shihâb al-Dîn al-Qarâfi, Najm al-Dîn al-Thûfi, , dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah.

Al-Ghazâlî menjadi istimewa dalam kajian maqâsid al-syarî‟ah kaarena keberhasilannya menjabarkan aspek dharûriyyât menjadi al-dharûriyyât al- khams, yang tanpanya maslahah dinyatakan tidak ada. Dialah orang pertama yang memberikan nama al-dharûriyyât al-khams, menjelaskan secara memadai dan menyusunnya dengan urutan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta sebagai hal-hal yang dilindungi oleh Islam. Kitabnya yang berjudul al-mustasyfâ fi „ al-Ushûl menjelaskan tentang hal ini. Dengan penjelasannya yang lengkap mengenai konsepsi maslahah dan prinsip-prinsip teoritis hukum Islam, al- Ghazâlî dikukuhkan dalam sejarah ushûl al-fiqh sebagai peletak dasar ilmu ushul al-fiqh. Sementara itu, al-„Âmidî adalah orang pertama yang menguji susunan al- dharûriyyât al-khams di atas dan mengambil posisi berbeda dengan al-Ghazâlî

18

ketika ia menempatkan posisi “keturunan” sebelum “akal” seperti yang ditulis dalam kitab Al-Ihkâm Fi Ushûl al-Ahkâm. Selanjutnya, di kalangan para maqâsidiyyûn, nama „Izz al-Dîn bin „Abd al-Salâm menjadi populer dengan kitabnya Qawâid Al-Ahkâm fi Mashalih al-Anâm yang menjelaskan secara detail tentang mashâlih dan mafâsid, yang kemudian menjadi landasan konseptual kajian maqâsid al-syarî‟ah.

Kajian maqâsid al-syarî‟ah ini mengalami metamorfosis sempurna oleh hadirnya al-Syâtibî yang telah dikukuhkan oleh sejarah sebagai pendiri ilmu maqâsid al-syarî‟ah. Sampai saat ini, tak seorang pun yang membahas maqâsid al-syarî‟ah tanpa menyebut nama al-Syâtibî, sehingga seakan maqâsid al- syarî‟ah adalah identik dengan namanya.5 Dua kitabnya yang fenomenal adalah al- I‟tishâm dan al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî‟ah. Al-Muwâfaqât adalah kitab yang secara luas membahas tentang maqâsid al-syarî‟ah, tidak hanya menjabarkan definisi dan konsep nilai yang dibawanya, tetapi sampai pada kaidah-kaidah dasar yang harus dilalui dalam berfikir dengan dasar konsiderasi maqâsid al-syarî‟ah. Al-Syâtibî berhasil menampilkan wajah baru maqâsid al- syarî‟ah yang lebih dinamis dan aplikatif.

Menurut Jasser Auda,6 ada tiga hal yang telah disumbangkan oleh al- Syâtibî dalam mereformasi maqâsid al-syarî‟ah. Pertama, pergeseran maqâsid al-syarî‟ah dari unrestricted interest (kepentingan yang tidak terbatasi dengan jelas). Maqâsid al-syarî‟ah yang pada masa-masa sebelumnya dianggap sebagai bagian yang tidak jelas dan tidak diangap sebagai sesuatu yang fundamental dibantah oleh al-Syâtibî dengan pernyataannya bahwa justru maqâsid al-syarî‟ah merupakan landasan dasar agama, hukum, dan keimanan (ushûl al-Dîn, wa qawâid al-syarî‟ah wa kulliyah al-millah). Kedua, pergesaran dari wisdoms behind ruling (kebijakan atau hikmah di balik antara hukum) ke bases for the ruling (dasar bagi pengaturan hukum). Menurutnya, maqâsid al-syarî‟ah itu bersifat fundamental dan universal (kuliyyah) sehingga tidak bisa dikalahkan oleh juz‟iyyah (parsial). Padangan seperti ini berbeda dengan pandangan tradisional termasuk madzhab , yang diikuti oleh al-Syâtibî sendiri, yang menyatakan

5 Nama lengkapnya adalah al-Imâm Abû Ishâq Ibrâhîm bin Mûsâ bin Muhammad al-Lakhmî al-syâtibî al-Gharnâthî (w.790 H/1388 M), lihat Fiqh Minoritas, Dr. Ahmad Imam Mawardi, h.193 6 Jasser Auda, Maqâsid al-Syarî‟ah as Philosophy of Islamic Law System Approach, h. 20-21

19

bahwa bukti-bukti juz‟iyyat didahulukan dari pada bukti-bukti universal. Lebih jauh lagi, al-Syâtibî menjadikan ilmu maqâsid al-syarî‟ah sebagai syarat sahnya ijtihâd dalam segala level. Ketiga, pergesaran dari uncertainty (dzanniyyah) ke (qath‟iyyah). Baginya, proses induktif yang digunakan dalam aplikasi maqâsid al-syarî‟ah adalah valid dan bersifat qath‟i (pasti), sebuah kesimpulan yang menentang argumen yang mendasarkan pada filsafat Yunani yang menentang certainty metode induktif. 7

Dari pemaparan di atas jelas bahwa al-Syâtibî mulai menggeser maqâsid al-syarî‟ah sebagai konsep yang diam (tidak bergerak) menjadi sebuah landasan metodologis yang aktif dan dinamis. Maqâsid al-syarî‟ah tidak sekedar alat justifikasi, tetapi dijadikan juga landsan kerja ijtihad. Kaidah-kaidah maqâsid- nya disusun dengan baik dan komprehensif. Sayangnya, karya dasar manhaj maqâsidi ini tidak dilanjutkan dengan bahasan metodologi ushûl al-fiqh operasional aplikatifnya dalam kaitan maqâsid al-syarî‟ah dengan istinbâth hukum. Dalam bahasa Ibn „Âsyûr, kajian maqâsid al-syarî‟ah al-Syâtibî dinilai terlalu bertele-tele dan memiliki kesalahan sehingga tidak sampai pada bagaimana operasionalisasi maqâsid al-syarî‟ah tersebut dalam realitas problematika hukum.8

Dalam perkembangannya, muncul pilar ketiga dengan hadir-nya seorang sarjana bernama Muhammad al-Thâhir Ibn „Âsyûr (w. 1379 H/1973 M). Karyanya yang terkenal adalah Maqâsid al-Syarî‟ah al-Islamiyyah. Ibn „Âsyûr memang cemerlang dalam pemikirannya tentang maqâsid al-syarî‟ah secara khusus dan dalam bidang hukum Islam secara umum. Walaupun gagasan besarnya sama dengan al-Syâtibî, karena sebagaimna pengakuannya, ia memang berkehendak melanjutkan apa yang telah digagaskan Dan dikembangkan oleh al- Syâtibî, ada perkembangan baru yang dikemukakan dalam karya Ibn „Âsyûr, tepatnya tentang posisi keilmuan maqâsid al-syarî‟ah dalam kajian teori hukum Islam dan cara mengaplikasikannya dalam tataran praktik. Ibn „Âsyûr mampu menghadirkan contoh yang jelas aplikasi pendekatan maqâsid al-syarî‟ah dalam beberapa bidang kajian hukum Islam. Lebih dari itu, kalau kajian maqâsid al-

7 Imam Mawardi, fiqh minoritas fiqh al-Aqaliyyât dan evolusi Maqâsid al-Syarî‟ah dari konsep ke pendekatan, Yogyakarta: LKIS, h. 194 8 Ibn „Âsyûr, Maqâsid al-syarî‟ah al-Islamiyah, h. 174

20

syarî‟ah sebelumnya memiliki kecenderungan pembahasan secara umum (al- maqâsid al-„âmmah) atau parsial (juz‟iyyah), Ibn „Âsyûr mengambil jalan tengah dengan membahas keduanya, yaitu rinci tapi membahas keseluruhan aspek syari‟at. Sebagai contoh kajian rinci yang belum dilakukan oleh ulama sebelumnya adalah bagian ketiga dari kitab maqâsid al-syarî‟ah al-Islâmiyah. Di dalamnya ia membahas maqâsid al-Tasyrî‟ al-Khâshshah bi Anwâ‟ al- Mu‟âmalât bayna al-Nâs yang secara rinci membahas tentang maqâsid al- syarî‟ah di bidang hukum keluarga, hukum mu‟amalah yang berkaitan dengan pekerjaan badan, maqâsid al-syarî‟ah di bidang hukum ibadah sosial, maqâsid al-syarî‟ah di bidang peradilan dan persaksian, dan maqâsid al-syarî‟ah di bidang pidana.

Hal baru lainnya yang dilakukan oleh Ibn „Âsyûr adalah keberaniannya meletakan hurriyyah (kebebasan/ freedom yang berbasiskan al-musawâh atau egalitarianisme), fitrah (kesucian), samâhah (toleransi), al-haq (kebenaran dan keadilan) sebagai bagian dari aplikasi maqâsid al-syarî‟ah. Kebebasan berbicara, berpendapat, beragama, dan bertindak merupakan hak asasi manusia yang dilindungi. Pernyataan seperti ini tentu merupakan pengembangan dari al- dharûriyyât al-khams yang digagas oleh ulama sebelumnya. Pengembangan ini bukan hanya dari sisi tambahan kuantitas unsur maqâsid, melainkan juga dari sisi kualitas efek penetapan unsur-unsur maqâsid al-syarî‟ah itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan maqâsid al-syarî‟ah sebagai metode atau pendekatan dalam penetapan hukum Islam, menurut komentar al-Hasanî dan al- Mîsâwî, menyatakan bahwa karya Ibn „Âsyûr maqâsih al-syarî‟ah menjadi disiplin ilmu yang mandiri, menjadi disiplin yang lengkap secara konseptual, prinsip, dan metodologinya. Ibn „Âsyûr menyatakan bahwa ushûl al-fiqh yang ada perlu ditata ulang (rekontruksi) dan maqâsid al-syarî‟ah perlu mendapatkan perhatian serius karena ia memiliki posisi penting dalam perkembangan hukum Islam. Ibn „Âsyûr layak dijadikan sebagai pilar ketiga dari perkembangan maqâsid al-syarî‟ah, karena dialah yang menghidupkan kajian yang telah lama terhenti sejak masa al-Syâtibî.9 Sejak masa Ibn „Âsyûr ini, mulailah bertebaran

9 Muhammad Sa‟ad bin Ahmad Mas‟ûd al-Yûbî, Maqâsid al-syarî‟ah al-Islâmiyah wa „Alâqatuhâ bi al-Adillah al-syar‟iyyah (Beirut: Dâr al-Hijrah, 1998), h. 70

21

kajian-kajian maqâsid al-syarî‟ah yang lebih menekankan pada metodologi atau pendekatan daripada kumpulan konsep nilai.10

Pasca Ibn „Âsyûr hingga saat ini, maqâsid al-syarî‟ah menapaki jalan menuju puncak kejayan, dengan indikator utama dijadikannya maqâsid al- syarî‟ah sebagai rujukan dan dalil pokok dalam menjawab sebagaian besar persoalan kontemporer, terutama tentang hubungan Islam dengan modernitas, persoalan sosial, politik, dan ekonomi global, serta persoalan membangun global ethics (etika global) dalam upaya merealisasikan perdamaian dunia. Akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 menjadi saksi semakin meningkatnya perhatian ulama dan cendekiawan muslim terhadap maqâsid al-syarî‟ah.

3. Urgensi Maqâsid al-Syarî’ah Menurut Ibnu „Âsyûr kerja mujtahid dalam merumuskan hukum baik melalui istinbat hukum dari nas maupun istidlâl dengan dalil selain nas seperti kias, maṣlaḥah mursalah, dan sadd aż-żarî‟ah tidak lepas dari salah satu dari lima mekanisme berikut: menarik kesimpulan dari nas, meneliti kemungkinan hal-hal kontradiktif dengan nas-nas yang dipakai sebagai dalil, melakukan kias, merumuskan hukum kasus baru yang tidak punya rujukan kias, dan menerima apa adanya suatu hukum tanpa mengetahui hikmah dan maksudnya. Kelima mekanisme ijtihad tersebut tidak terpisah dari maqâṣid al-syarîʻah. Dalam proses istinbat hukum dari nas Alqurân maupun Sunnah mujtahid butuh memahami maqâṣid al-syarîʻah karena analisis semantik Usûl Fikih semata tidak memadai dan dapat menimbulkan interpretasi yang keliru. Kekeliruan tersebut merupakan suatu kelumrahan komunikasi, terlepas dari bahasa apa yang digunakan, karena tiga hal: pertama, sebagian besar kata dan farasa bersifat ambigu; kedua, perbedaan tingkat kemampuan, teknik dan gaya menyampaikan yang dimiliki oleh pembicara; ketiga: perbedaan tingkat kemampuan penerima dalam memahami dan mencerna informasi yang

10 Ibn „Âsyûr mengenalkan lima prinsip dasar sebagai landasan berpikir dengan pendekatan maqâsid: (1) manhaj tasyrî dengan cara mengubah sesuatu yang salah dan mengumumkan kesalahan tersebut serta menetapkan yang benar sehingga diketahui oleh manusia; (2) perlunya menganalisis akibat yang akan terjadi sebelum menetapkan hukum; (3) memperhatikan hal-hal yang didiamkan oleh syâri‟; (4) memperhatikan kebutuhan masyarakat; dan (5) mempertimbangkan kepentingan primer yang mendesak untuk direalisasikan. Prinsip dasar ini akan mengantarkan para fuqaha untuk tidak hanya focus pada teks, tetapi pada konteks kemaslahatan yang akan diwujudkan dengan penetapan suatu hukum. Lihat, Muhammad Salîm al-„Awwâ, Dawr al-Maqâsid fi al-Tasyrî „ât al-Mu‟asirah (London: Markaz Dirâsât Maqâsid al-syarî‟ah al-Islâmiyyah, 2006), h. 26-37

22

disampaikan. Oleh karena itu pembicara dan penerima suatu informasi harus memperhatikan hal hal-hal lain di luar makna literal seperti: gaya bahasa, konteks, dan penjelasan-penjelasan lain jika ada untuk mengeliminasi interpretasi selain yang dimaksud oleh pembicara meskipun secara kebahasaan dapat dibenarkan. Pada kenyataannya menerima informasi langsung dari sumbernya memberi pemahaman yang lebih baik daripada menerimanya melalui perantara pihak ketiga. Inilah sebabnya para ulama meneliti dan mengklasifikasikan latar belakang perkataan dan tindakan Rasulullah Saw, 11para tabi‟in dan para tabi‟ tabi‟in memperioritaskan ziarah ke Madinah untuk menggali informasi yang lebih kaya tentang latar belakang Sunnah Nabi Saw daripada sekedar riwayat yang telah mereka terima. Berikutnya sebelum menetapkan kesimpulan awal dari suatu nas sebagai hasil istinbat hukum, terlebih dahulu harus diteliti secara saksama kemungkinan adanya dalil lain yang kontradiktif dengan kesimpulan awal dari nas yang dikaji. Intensitas penelitian untuk membuktikan kesimpulan awal tidak bertentangan dengan dalil lain dipengaruhi oleh tingkat dugaan kesesuaian kesimpulan awal. dengan maqâṣid al-syarîʻah. Bilamana kesimpulan awal dipandang tidak bertentangan dengan maqâṣid al-syarîʻah yang telah dipahami sebelumnya maka penelitian yang dilakukan biasanya lebih longgar, sebaliknya upaya yang lebih intens menunjukkan keraguan yang lebih besar tentang keselarasan kesimpulan awal tersebut dengan maqâṣid al- syarîʻah. Pemahaman yang baik tentang maqâṣid al-syarîʻah khususnya yang berkaitan dengan masalah dan nas yang dikaji akan memberikan arahan yang jelas untuk melakukan penelitian adanya kemungkinan kontradiksi dengan dalil-dalil yang lain.12 Adapun dalam mekanisme kias pemahaman tentang maqâṣid al- syarîʻah dibutuhkan untuk menemukan ilat hukum yang ada nasnya agar dapat dijadikan sebagai maqîs„alaih. Ilat hukum itu sendiri berupa karakter definitif

11 Menurut Ibnu „Âsyûr, mengutip dan menyempurnakan pendapat Syihabuddin Al-Qarâfiy, setidaknya terdapat dua belas kemungkinan motif yang melatar belakangi perkataan atau perbuatan Rasulullah Saw, yaitu: tasyrî‟ atau penjelasan syariat, fatwa, vonis peradilan, kepemerintahan, saran, rekonsiliasi dua pihak bersengketa, bimbingan konsultasi, nasehat, sikap zuhud, motifasi pencapaian tertinggi, mendidik, dan dorongan alamiah. Ibn „Âsyûr menjelaskan pengaruh masing-masing motif terhadap hasil istinbâṭ dan implementasinya dengan memberikan contoh dan perbandingan satu dengan yang lainnya. (lihat: ʻÂsyûr, Maqâṣid, h. 207-230) 12 Ibn „Âsyûr, Maqâsid,h. 185-186

23 yang permanen dan relevan untuk dijadikan alasan penetapan suatu hukum.Kebutuhan mujtahid terhadap maqâṣid al-syarîʻah paling signifikan terlihat pada upaya menemukan hukum syariat untuk sesuatu yang sama sekali baru, tidak ada nas yang menerangkan hukumnya secara langsung maupun nas yang menerangkan hukum persoalan lain yang dapat dijadikan pijakan kias. Maqâṣid al-syarîʻah dalam situasi ini menjadi perangkat satu-satunya untuk menjaga kesinambungan hukum syariat dalam perkembangan zaman dan perubahan sosial yang dinamis. Implementasi istinbat hukum dengan landasan maqâṣid al-syarîʻah ini diaplikasikan dalam sejumlah metode yang berbeda-beda, seperti maṣlaḥah mursalah, istiḥsân, dan istiṣḥâb. Terakhir, dalam syariat yang bersifat ibadah ritual, mujtahid tetap tidak dapat menyampingkan keberadaan maqâṣid al- syarîʻah karena sifat ḥikmah atau kemahabijaksanaan Allah memustahilkan faal Allah sunyi dari hikmah dan tujuan tertentu. Hanya saja hikmah dan tujuan dimaksud tidak teridentifikasi secara spesifik oleh keterbatasan akal manusia. Oleh karena itu dalam hal ini harus diyakini bahwa ritual tersebut diperintahkan untuk suatu hikmah dan tujuan tertentu yang tidak mesti diketahui tetapi mesti dipatuhi. Ibn „Âsyûr menyebutnya sebagai maqâṣid ta‟abbudi.13 Menurut Yusuf Ahmad al-Badawi hanya sebagian kecil ulama Usûl Fiqh yang menjadikan paham maqâṣid al-syarîʻah sebagai syarat mujtahid. Tokoh-tokoh sebelum Ibn „Âsyûr antara lain ialah: Imam Al- Syâfi‟iy, al-Juwainî, al- Ghazâlî, Ibnu Abdis-Salâm, as-Subkî, dan Ibnu Taimiyyah.14 Sedangkan tokoh-tokoh kontemporer seperti: Abû Zahrah, Wahbah al-Zuhailî, adalah di antara yang sepaham dengan mereka. Meskipun demikian pendapat ini terlihat lebih kuat, karena maqâṣid al- syarîʻah secara praktik pada hakikatnya telah menjadi unsur penting dalam proses istinbat hukum semenjak era sahabat termasuk dalam menginterpretasikan hadis-hadis Rasulullah Saw. Imam Malik dalam al- Muwâṭa` meriwayatkan dalam al-Muwâṭa` perihal Abû Ḥużaifah yang mengadopsi Sâlim dan memperlakukannya seperti anak kandung. Ketika turun ayat kelima al-Aḥzâb, ud‟ûhum li-âbâ`ihim, istri Abû Ḥużaifah Sahlah

13 Ibn „Âsyûr, Maqâsid,h. 184 14 Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawi, Maqâṣid al-Syarîʻah ʻinda Ibn Taymiyyah (Riyâḍ: Dâr aṣ-Ṣumai‟iy lin-nasyr wat-tawzîʻ, 1430H/2009M) h. 102-104.

24

Binti Suhail menghadap Rasulullah Saw dan berkata, “Kami sudah menganggap Sâlim seperti anak sendiri; dia biasa masuk menemui saya ketika saya hanya mengenakan satu pakaian, dan kami hanya punya satu ruangan. Apa pendapat Anda tentang kondisinya [ini]? Maka Rasulullah Saw,

bersabda” ِ ِ ِ ِ [Susuilah dia lima kali susuan, maka dia menjadi أَْرضعيْوُ ََخْ َسَُر َضعاَتُ anak susuannya].”15 Maka Sâlim menjadi mahram karena susu yang diminumnya itu, Sahlah mempersepsikannya sebagai anak susuan. „Â`isyah raḍiyallâhu „anha berpendapat hadis ini berlaku umum bahkan mengamalkannya, oleh karena itu meminta orang-orang tertentu meminum susu saudarinya supaya dapat menjumpainya selayak mahram. Sedangkan istri-istri Rasulullah Saw yang lain berpandangan itu adalah rukhsah terbatas untuk Sahlah raḍiyallâhu „anha dalam interaksinya dengan Sâlim, tidak berlaku umum termasuk untuk mereka.16 Pendapat kedua tidak menyelisihi teks tetapi interpretasi lain yang didasari oleh paradigma yang berbeda terhadap latar belakang hadis, di mana sabda Rasulullah Saw dipahami maksudnya untuk memberikan solusi bagi keluarga ini, berupa rukhsah, mengingat pola asuh dan pergaulan keluarga Abû Ḥużaifah dengan Sâlim telah terbentuk secara permanen jauh sebelum tabanni diharamkan sehingga perubahan yang demikian sangat menyulitkan bagi mereka. Ini menunjukkan bahwa maqâṣid al-syarîʻah harus diperhatikan dengan saksama dalam melakukan istinbat hukum, oleh karenanya seorang mujtahid harus memahami dengan baik konsep dan mekanisme identifikasi maqâṣid al-syarîʻah. Demikian urgensinya fungsi maqâṣid al-syarîʻah dalam istinbat hukum, Ibnu „Âsyûr menyesalkan maqâṣid al-syarîʻah tersubordinasikan dalam pokok-pokok bahasan tertentu dalam Ushûl Fiqh semisal maṣlaḥah mursalah, qiyâs, istiḥsân. Pemahaman yang tepat dan menyeluruh tentang maqâṣid al-syarîʻah menurutnya adalah faktor terpenting untuk mencegah atau setidak mengurangi khilafiah Fikih yang tidak tertanggulangi oleh kaidah-kaidah semantik Ushûl Fiqh. Oleh karena itu ia mendorong pengkajian

15 Aḥmad Bin Muhammad Bin Hanbal Asy-Syaibâniy, Musnad al-Imâm Aḥmad Bin Hanbal, (t.t.p.: Mu`assasah ar-Risâlah, 1421H/2001M), j. XLII, h. 435, no. 25659: sanadnya ṣaḥīḥ 16 Malik bin Anas, al-Muwâṭṭa`, tahkik Muhammad Muṣṭafâ al-Aʻẓamiy (t.t.p.: Mu`assasah Zayid Bin Sulṭān Ālu Nahyān, 1425H/2004), j. IV, h. 874.

25

maqâṣid al-syarîʻah dijadikan pokok bahasan utama dalam pengkajian Ushûl Fiqh bahkan untuk dijadikan sebagai disiplin ilmu mandiri tanpa merusak bangunan Ushûl Fiqh yang telah ada. Terlepas dari wacana kodifikasi maqâṣid al-syarîʻah sebagai disiplin ilmu yang mandiri pandangan Ibn „Âsyûr tentang urgensi maqâṣid al-syarîʻah terlihat mendapat respon positif dengan semakin populernya pengkajian maqâṣid al-syarîʻah dan karya tulis di bidang ini. Urgensi maqâṣid al-syarîʻah menurut Ibn „Âsyûr terbatas pada kalangan fakih mujtahid, sedangkan mukalaf awam kapasitas mereka hanya sebatas menjalankan syariat tanpa harus mengetahui maqâṣid al-syarîʻah karena dia tidak mampu mengenal dan memfungsikan maqâṣid dengan baik, sehingga cukup besar kemungkinan ia keliru dan justru kemudian melakukan perbuatan yang bertentangan dengan maqâṣid itu sendiri. Al-Badawi menolak pandangan Ibn „Âsyûr ini kecuali jika mukalaf awam dimaksud dengan berbekal pengetahuan tentang maqâṣid al-syarîʻah diberi kebebasan melakukan istinbat hukum sendiri; tentu tidak demikian. Mengutip sejumlah sumber al-Badawi menyebutkan lima alasan mengapa orang awam, selain fakih mujtahid, juga perlu mengenal maqâṣid al-syarîʻah, yaitu: 1) Meningkatkan keimanan kepada Allah dan keyakinan terhadap akidah dan syariat Islam; 2) Membentengi diri dari pengaruh gazwul-fikri; 3) Meluruskan niat dan maksud agar sesuai dengan maqâṣid al-syarîʻah; 4) Optimalisasi penghambaan diri kepada Allah; 5) Bahan utama dalam menyiarkan atau mendakwahkan Islam.17

B. Tafsir Maqâsidi

1. Pengertian Tafsir Maqâsidi

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata tafsir bermakna: keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Alqurân agar mudah dipahami. 18Namun pada dasarnya kata tafsir tidak berakar dari bahasa Indonesia murni, tetapi dari bahasa Arab yang berarti al-idâhah (menerangkan) dan al-tabyin

17 Muzâbanah secara kebahasaan berarti penolakan; sedangkan secara peristilahan menurut jumhur ialah: jual beli barter kurma yang masih di pohonnya dengan kurma yang telah dipanen dengan menaksir takaran kurma yang masih di pohon tersebut. (lihat: Al-Mausûʻah al-Fiqhiyyah al- Kuwaitiyyah, j. IX, h. 139) 18 www.kbbi.web.id, diakses pada kamis 12 Maret 2019, pukul 12.10

26

(menjelaskan). Asal usul kata tafsir bisa berasal dari kata al-Fasr atau al- Tafsarah. Kata al-Fasr sendiri berarti bisa bermakna al-Kasyf (menyingkap) dan al-izhar (menampakkan). Sedangkan kata al-Tafsarah merupakan istilah untuk sesuatu yang diperiksa oleh seorang d-okter dari pasiennya.19

Sedangkan dalam kamus besar al Munawwir, dikatakan bahwa tafsir merupakan bentuk masdar “tafsirotun” dari fi„il fassara-yufassiru yang memiliki banyak arti, diantaranya: menerangkan, menjelaskan, memberi komentar, menerjemahkan atau mentakwilkan.20

Adapun secara terminologis, definisi tafsir sangat banyak. Menurut Quraish Shihab, pengertian yang ada paling sedikit memenuhi tiga unsur, yaitu penjelasan, maksud firman Allah, dan sesuai dengan kemampuan manusia. Ada konsekuensi yang lahir akibat unsur tersebut. Pertama, menafsirkan harus dilakukan dengan kesungguhan dan dilakukan terus-menerus. Kedua, menafsirkan berarti menyingkap kemuskilan teks Al-Qur‟an. Ketiga, kebenaran tafsir bersifat nisbi.21

Menurut Az-Zarkâsy, mendefinisikan tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, juga untuk menjelaskan makna-maknanya, mengungkap hukum-hukum dan hikmah-hikmah yang terkandung dalamnya didasari dengan ilmu bahasa, nahwu, tasrif, bayan, ushul fiqh, ilmu qira‟ath dan juga pengetahuan terhadap asbab al-nuzul dan nasikh wa al-mansukh.22 Sementara kata maqâsidi (maqâsidi) merupakan kata bentukan dari maqâsid yang memiliki tambahan yâ‟ nisbah yang bersandar padanya. Maqâsid merupakan bentuk jamak dari kata maqsad yang bermakna maksud, sasaran, prinsip, niat, tujuan, tujuan akhir.23

19 Ibn Manzûr, Lisân al-„Arab, ditahqiq oleh Amir Ahmad Haidar, cet. Ke-2, jilid V (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiah, 2009), 64-65. 20 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 1054. 21 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat Al-Qur‟an, cet. ke-2 (Tangerang: Lentera Hati, 2013., h. 10. 22 Badr al-Din Muhammad al-Zarkasyi, al-Burhan fî „Ulum al-Qur`an, juz ke-1 (Beirut: Dar al-Ma„rifah, 1957), h. 15 23 Jaser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqasid Syariah, terj. Rosidin dan Ali Abd Mun„im, (Bandung: Mizan, 2015), h.32

27

Sedangkan maqâsid menurut Ibn „Âsyûr dalam Jâsser Auda 24 berasal َم ْق َص د maqâsid), yang merupakan bentuk jamak kata) َم َقا ِص د dari Bahasa Arab (maqsad), yang bermakna maksud, sasaran, prinsip, niat, tujuan, tujuan akhir. Menurut sejumlah teoretikus hukum Islam, maqâsid adalah pernyataan alternatif untuk mashalih atau „kemaslahatan-kemaslahatan‟. Misalnya, „Abd Malik al-Juwainî (w.478H/1185 M), salah seorang kontributor paling awal terhadap teori maqâsid menggunakan istilah al-maqâsid menggunakan istilah al-maqâsid dan al-masâlih al-„âmmah (kemaslahatan-kemaslahatan umum) secara bergantian.25 Pada dasarnya, kata maqâsid sering disandingkan dengan kata al- syarî‟ah yang membentuk susunan maqâsid al-syarî‟ah. Namun dalam perkembangannya, kata maqâsid tidak jarang disandingkan dengan kata al- Qurân yang membentuk frase maqâsid al-Qurân. Frase ini menurut sebagian peneliti dianggap sebagai bentuk evolusi maqâsid, akibat beberapa keterbatasan cakupan maqâsid al-syarî‟ah sebagai frase lama yang tidak digali langsung secara holistik pada sumber pertama syariat.26 Sementara maqâsid Alqurân yang memuat seluruh teks Alqurân, memiliki cakupan wilayah maqâsid yang tidak hanya terbatas pada persoalan hukum fiqih saja, melainkan menyentuh apa saja yang dapat dikatakan sebagai perintah dan larangan tuhan, baik dalam tataran tingkah laku manusia maupun dalam akidah dan aspek-aspek lainnya dalam kehidupan manusia.27 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa maksud dari pada term maqâsid al-Qur‟an adalah tujuan-tujuan luhur yang diperoleh dari sekumpulan hukum-hukum al- Qur‟an.28 Dengan demikian al-tafsir al-maqâsidi merupakan tafsir alQurân yang berorientasi pada realisasi tujuan baik tujuan syariat (maqâsid al-syarî‟ah)

24 Jâsser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah, (bandung: Mizan Pustaka, 2015), h. 32 25 Jâsser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah, (bandung: Mizan Pustaka, 2015), h. 33

26 Munawir, Pandangan Dunia Al-Qur‟an; Telaah Terhadap PrinsipPrinsip Universal al- Qur‟an, Penelitian Individual, (Purwokerto: IAIN Purwokerto, 2015), h. 57 27 Halil Thahir, Ijtihad Maqâsidi; Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkonesitas Maslahah (Yogyakarta: LKiS, 2015), h.16

28 Abdul Karim Hamidi, Al Madkhal ila Maqâsid al-Qur‟an, (Riyadh: Maktabah ar Rusyd, 2007), h.21

28

secara khusus maupun tujuan Alqurân (maqâsid al-Qur‟an)29 secara umum dengan pola memperhatikan makna terdalam dari ayat-ayat al-Qur‟an dalam bentuk hikmah, sebab hukum, tujuan dan segala nilai yang bisa menjadi kemaslahatan bagi manusia dalam menjalani kehidupannya dan menyelesaikan problem-problem di setiap masa.

2. Sejarah Perkembangan Tafsir Maqâsidi

Dalam literatur klasik, disini penulis belum menemukan penjelasan yang pasti tentang siapa pertama kali berbicara tentang maqâsid al-Qur‟an dan kapan kajian itu dimulai secara ilmiah. Dari data yang penulis temukan pertama kali yang mengkaji maqâsid al-Qur‟an adalah al-Imâm al-Juwainî dalam kitab al-Burhân. Dalam kitab tersebut al-Juwainî (w. 478 H) mengemukakan bahwa tujuan al-Qur‟an ada lima, yaitu, al-darûriyât, al hâ jiyyât, al-tahsîniyyât, tatimmah mandhûbah,dan mukarramah. Kemudian ditemukan pembahasan Maqâsid al-Qur‟an di dalam buku Jawâhir al- Qur‟ân wa Duraruhû karya Abû Hâmid al-Ghazâli (w.505 H). Pada bab kedua dalam buku ini al-Ghazâlî memberi sub judul “Maqâsid”. Meskipun tidak ada keterangan yang manyatakan buku ini pertama membahas tentang Maqâsid al-Qur‟ân, namun setelah ditelusuri tidak ditemukan buku yang memuat tentang Maqâsid al-Qur‟ân sebelum buku al-Burhân al-Juwainî. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa yang pertama kali

29 Beberapa ulama kontemporer yang memiliki rumusan maqâsid alQur„an, diantaranya: Tahir Ibn Asyur mengusulkan. Maqâsid umum al-Qur‟an adalah mengajarkan dan memperbaiki akidah, mengajarkan nilai-nilai akhlak, menetapkan hukum syari‟at, mengatur dan menunjukan jalan kepada umat Islam (Siyasah al-), memberikan pelajaran dan hikmah dari kisah bangsa-bangsa terdahulu, pengajaran syari„at sesuai dengan perkembangan zaman, al-Targhib wa al-Tarhib, membuktikan kebenaran risalah Nabi Muhammad. Lihat. Tahir Ibn Asyur, Muqaddimah al Tahrir wa al Tanwir, vol 1, (Tunisia: Daar al-Tunusiyyah li al-nasyr, 1984), h.40-41. al-Ghazali menyimpulkan maqâsid al-Qur‟an terdiri dalam dua kategori,yaitu tujuan penting (muhimmah)dan tujuan penyempurna (mughniyah, mutimmah). Sedangkan tujuan pokok dalam al-Qur‟an mencakup tiga hal: pertama memperkenalkan Tuhan yang berhak untuk disembah (ta‟arif al-mad‟u ilayh), yaitu Allah swt.: kedua memperkenalkan jalan yang lurus (ta‟rif al-sirat al-mustaqim), yaitu syari‟at Islam;Ketiga, memperkenalkan kondisi manusia ketika bertemu dengan Allah (ta‟rif al-wusul ilayh), yaitu hari kiamat. Lihat Dr.A.Halil Thahir, MHI. Ijtihad Maqâsidi Rekontruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah, (Yogtakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara,2015)Cet 1,h.29. Sementara Ibn „Abd al-Salam merumuskan maqâsid al-Qur‟an terdiri dari pada satu kaidah, upaya untuk mewujudkan berbagai kemaslahatan berikut sebab-sebabnya serta menolak segala bentuk mafsadah(kerusakan)berikut sebab-sebabnya.Lihat Lihat Dr.A.Halil Thahir, MHI. Ijtihad Maqâsidi Rekontruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah, (Yogtakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara,2015)Cet 1, h. 30

29

berbicara tentang Maqâsid al-Qur‟ân atau paling tidak yang pertama membahas secara luas adalah al-Juwainî, dan kemudian dilanjutkan oleh al- Ghazâlî. Menurut al-Ghazâlî, rahasia, intisari dan maksud al-Qur‟an adalah menyeru hamba menuju Tuhan-Nya yang Maha Esa. 30 Dalam bidang ilmu Tafsir, Maqâsid al-Qur‟ân diperkenalkan untuk pertama kali oleh Fakhr al-Dîn al-Râzî (w. 606 H). Ia membahasnya dalam konteks kesatuan tujuan atau tema surah-surah al-Qur‟an (wihdah maudû‟iyyah li al-suwar). Menurut Quraish Shihab, prinsip kesatuan tujuan surah al-Qur‟an untuk pertama kali dimunculkan oleh Fakhr al-Dîn al-Râzî dalam tafsirnya, Tafsîr Mafâtih al-Ghaîb.31 Terkait dengan hal ini, seperti dikutip Quraish Shihab. Fakhr al-Dîn al-Râzî mengatakan siapa yang memperhatikan susunan ayat-ayat al-Qur‟an di dalam satu surah. Ia akan mengetahui bahwa di samping merupakan mukjizat dari aspek kefasihan lafal-lafal serta keluhuran kandungannya. Al-Qur‟an juga merupakan mukjizat dari aspek susunan dan urutan ayat-ayatnya. Setiap surah, menurutnya, mempunyai tujuan dan tema utama. Al-Tafsir al-maqâsid adalah wacana baru yang muncul dalam diskursus ilmu tafsir. Namun secara genealogi, sejarah perkembangannya dapat dilacak berdasarkan perkembangan ilmu maqâsid. Berdasarkan sejarah ide tentang maksud atau tujuan tertentu yang mendasari perintah Alquran dan Sunnah, sabagaimana yang dipriodesasikan oleh Jâser Auda bahwa sejarah tersebut dapat dilacak hingga masa sahabat Nabi.32 Sebagai contoh, salah

30 Jâser Auda, al-Maqâsid untuk pemula,Yogyakarta:Suka Press, 2013, h. 38-40 31 Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, Vol. 1, ( Jakarta: penerbit Lentera Hati, Cet, ke-2, 2004), xxiii. 32 Jâser Auda berusaha menyusun sejarah perkembangan ide maqâsid berdasarkan pada masa munculnya pemikiran tokoh tentang maqâsid. Dia mengklasifikasikan masa tersebut menjadi empat periodesiasi yaitu; pertama, periode pada masa sahabat, melalui ijtihad sahabat Nabi. kedua, periode permulaan muncul teori maqâsid (sebelum abad ke 5 H). ketiga, masa para imam penggagas teori maqâsid dalam balutan kajian ushul fikih (antara abad ke 5 H – 8 H),keempat, periode kontemporer. lihat Jaser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari‟ah,h. 41-60. Berbeda dengan Auda, Ahmad al-Raysuni membagi sejarah perkembangan maqâsid berdasarkan pada perkembangan dari makna satu konsep maqâsid ke konsep yang lain. Dia menghabiskan 3 tokoh sentral yang berpengaruh atas perkembangan konsep maqâsid, yaitu Imam al Haramain Abu al Ma„ali Abd Allah al Juwayni (w. 478), Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790) dan Muhammad al Tahir ibn Asyur (w. 1379 H / 1973 M). lihat Ahmad al Raysuni, Al Bahs fi Maqâsid al-syari‟ah, h.4-5, dalam Ahmad Imam Mawardi,

30

satu kasus yang populer adalah tentang shalat asar di Banī Quraizah‟. Dimana Nabi Saw mengirim sekelompok sahabat ke Banī Quraizah,33 dan memerintahkan mereka salat Asar di sana. Batas waktu salat Asar hampir habis sebelum para sahabat tersebut tiba di Banî Quraizah. Lalu, para sahabat terbagi menjadi dua pendapat yang berbeda: pendapat pertama bersikukuh salat Asar di tempat itu apa pun yang terjadi, sedangkan pendapat kedua, bersikukuh tetap berpegang pada intruksi nabi Saw, yaitu tidak melaksanakan salat Asar di perjalanan (sebelum waktu salat Asar habis). Alasan kelompok pertama untuk segera melaksanakan salat, karena mempertimbangankan maksud dan tujuan dari perintah Nabi agar supaya bergegas dalam perjalanan, bukan bermaksud menunda salat Asar. Sedangkan kelompok lain memahaminya secara lahir sebagaimana bunyi istruksi Nabi untuk melaksanakan shalat di tempat tujuan. Setelah kembali ke kota Madinah, para sahabat melaporkan cerita tersebut kepada Nabi, sedang Nabi meneguhkan kebenaran kedua pandangan para sahabatnya. Dalam kasus lain yang menunjukan penerapan pendekatan berbasis maqâsid terhadap perintah Nabi Saw, sebagaimana yang terjadi pada masa Khalifah „Umar bin Khattab ketika para sahabat memintanya untuk membagikan harta rampasan (ghanimah) yang diperoleh dari perang, dengan didasarkan pada ayat-ayat al-Qur‟an yang secara jelas membolehkan para tentara mujahid memperoleh ghanimah. Akan tetapi, Khalifah Umar menolak usulan para sahabat tersebut, dengan berpedoman pada ayat Alquran lainnya yang lebih umum yang menyatakan maksud Allah SWT untuk tidak menjadikan harta kekayaan hanya terbatas pada kalangan tertentu saja.34 Oleh karena itu, „Umar dan para pendukung pendapatnya memahami ayat

Fiqhi Minoritas; Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi Maqâsid al-syari‟ah dari Konsep ke Pendekatan (Yogyakarta: LKiS, 2010) h. 190 33 Sekitar tahun ke-7 H. Lokasinya beberapa mil dari Madinah. 34 Sebagaimana disebutkan dalam QS. Hasyr: 7, yang terjemahannya: Apa saja harta rampasan (fai„) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang- orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya‖.

31

khusus tentang ganimah dalam konteks maqâsid hukum khusus yaitu mengurangi kesenjangan ekonomi.35 Ijtihad pada kasus-kasus di atas, yang menceritakan pemahaman dan pengalaman maqâsid di era para sahabat, memiliki signifikansi penting . Signifikansinya adalah para sahabat tidak selalu menerapkan „dalalah lafal‟(dilâlah al-lafz) dalam istilah para pakar Ushûl Fikih, „dalalah lafal‟yaitu implikasi langsung dari suatu bunyi bahasa atau nas, akan tetapi para sahabat menerapkan implikasi praktis yang didasarkan pada „dalalah maksud (dilâlah al-maqsid). Implikasi tujuan ini memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar dalam memahami teks (lafz)dan meletakannya dalam konteks situasi dan kondisi.36 Setelah masa sahabat, teori dan konsepsi mengenai maqâsid mulai berkembang. Akan tetapi, meski perkembangannya belum terlalu signifikan dan belum menjadi subjek (topik) karya ilmiah tersendiri, hingga tiba masa para ahli ushûl fikh belakangan, yaitu antara abad ke-5 H sampai dengan abad ke-8 H. Meski demikian, selama ke-3 abad H pertama, gagasan tentang tujuan/ maksud, atau yang dikenal dengan istilah hikmah, „ilal, munasabât, atau ma‟ânî,, telah muncul di dalam berbagai metode berfikir yang digunakan oleh para imam klasik hukum Islam.37 Istilah-istilah yang menandai adanya pemikiran al-maqâsid ini muncul pada penerapan metode- metode fikih seperti kias, istihsân dan pertimbangan kemaslahatan. Dalam kurung waktu ke 5 H hingga 8 H, ide maqâsid mulai dibahas dalam beberapa karya ulama (baca: ushul al-fiqh), sekalipun pembahasannya belum begitu jelas dan terkesan dikesampingkan, akibat penolakan mazhab teologi atas peranan akal dalam memahami nash. Namun dalam kurun waktu ini, tepatnya dipenghujung abad ke delapan, ide maqâsid mengalami proses metamorfosis sempurna dengan hadirnya Abû Ishaq al-Syâtibî. Dalam kitab al-Muwafaqat, dia berhasil menampilkan wajah baru konsep maqâsid yang lebih dinamis dan aplikatif, termasuk penyusunan teori-teorinya secara

35 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah, (Bandung: Mizan Pustaka, 2015), h.41-42 36 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah, (Bandung: Mizan Pustaka, 2015), h.44 37 Jaser „Auda, Al-Maqâsid untuk pemula, penerjemah : „Ali „Abdoelmon‟im, (Yogyakarta: Suka press, 2013 h, 29-30

32

lengkap, sistematis dan jelas. Dengan demikian, ulama-ulama ushul kemudian sepakat menjadikannya sebagai bapak atau pendiri maqâsid al syarî‟ah. Beberapa ulama yang termasuk dalam periode ini sebelum disempurnakan oleh al-Syâtibî,38 diantaranya; Imam al-Haramain Abû al- Ma„âlî al-Juwainî (w. 478), meskipun dia tidak pernah menulis kitab yang spesifik membahas teori maqâsid, namun beliau berhasil dalam mendeskripsikan dasar-dasar teori maqâsid. Dalam kitab al-Burhân fî Ushûl al-Fiqh (Dalil-dalil Nyata dalam ushul fikih) dia menyebutkan adanya lima jenjang dalam maqâsid yaitu: al-darûrât (keniscayaan), al-hâjah al-„âmmah (kebutuhan publik), al-makrumât (perilaku moral), al-mandûbât (anjuran- anjuran) dan apa yang tidak dapat dicantumkan pada alasan khusus. 39 Upaya Imam al-Juwainî kemudian dilanjutkan oleh salah seorang muridnya, Abû Hâmid al-Ghazâlî (W.505 H/ 1111 M). Dia berhasil dalam mengelaborasi kajian maqâsid Imam al-Juwainî yaitu dengan menjabarkan konsep al-daruriyat yang diperkenalkan oleh gurunya menjadi al-darûriyyât al-khams dengan mengurutkannya menjadi; keniscayaan keimanan, jiwa, akal, keturunan, dan harta dengan menambahkan istilah al-hifz (pelestarian) pada keniscayaan itu. Dia memprioritaskan bahwa kebutuhan yang urutannya lebih tinggi (lebih dasar) harus memiliki prioritas atas kebutuhan yang memiliki nilai urutan yang lebih rendah apabila pertentangan dalam penerapan keduanya. 40 Selain dua tokoh diatas, beberapa tokoh lainnya yang memiliki kontribusi terhadap perkembangan teori maqâsid, diantaranya; al-„Izz Ibn „Abd al-Salâm (W. 660 H/1209 M) al-Izz menulis dua buku tentang maqâsid, dalam nuansa hikmah di balik hukum Islam, yaitu maqâsid al-salâh (maqâsid salat) dan maqâsid al-sawm (maqâsid puasa). Tetapi, kontribusi signifikannya terhadap perkembangan teori maqâsid dalam kitab Qawâ‟id al- Ahkâm fî Masâlih al-Anâm (kaidah-kaidah Hukum bagi Kemaslahatan Umat

38 Menurut Jâser „auda, al-Syâtibî telah mengembangkan teori maqâsid dalam tiga cara substansial berikut: Pertama, maqâsid yang semula sebagai bagian dari “Kemaslahatan Mursal”(al- masâlih al-mursalah) menjadi bagian dari dasar-dasar hukum Islam. Kedua, dari hikmah di balik hukum menjadi dasar bagi hukum. Ketiga, dari ketidakpastian (zanniyyah) menuju kepastian (qat‟iyyah). Lihat Jâser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah, H. 55 39 Jâser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah, (Bandung: Mizan Pustaka, 2015), h. 50 40 Jâser Auda, al-maqâsid untuk pemula, (Yogyakarta: SUKA –press , 2013), h. 40-41

33

Manusia) beliau telah menginvestigasi secara ekstensif tentang konsep maslahah (kemaslahatan) dan mafsadah (Kemudaratan) Secara ringkas menurut dia, kemaslahaan dalam suatu permasalahan tidak boleh disia-siakan sebagaimana kemafsadatan yang ada didalamnya juga tida boleh didekati walaupun dalam masalah tersebut tidak ada , nash dan yang khusus.41 Syihâb al-Dîn al-Qarâfî (w.684 H/1285 M) dalam kitab al-Furûq telah menulis tentang pembukaan sarana untuk meraih kemaslahatan (fath al- zarâ‟), bahwa apabila sarana yang mengarahkan pada tujuan haram harus ditutup, maka sarana yang mengarahkan pada tujuan halal seharusnya dibuka. 42 Terakhir ada Syams al-Dîn Ibn al-Qayyim (w. 748 H/1347 M) dengan metodologi yuridisnya berdasarkan hikmah‟ dan kesejahteraan manusia‟. Menurutnya, syarî‟ah didasarkan pada kebijaksanaan demi meraih keselamatan manusia di dunia dan di akhirat, dengan demikian syarî‟ah seluruhnya terkait dengan keadilan, kasih sayang, kebijaksanaan dan kebaikan. 43 Pasca kemunculan al-Syâtibî dengan karya monumnetalnya al- Muwafaqat, ide dan konsep maqâsid mengalami kebuntuan sekian lama, terpendam sekitar 6 abad dalam kejumudan intelektual, sampai hadirnya Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr yang menjadikan ilmu maqâsid sebagai disiplin ilmu yang mandiri, sekaligus menjadikan disiplin ilmu yang lengkap secara konseptual, prinsip dan metodologinya. 44 Bersamaan dengan itu,beberapa cendekiawan kontemporer lainnya berhasil melakukan perbaikan dan perluasan jangkauan mengingat berbagai wujud kritikan terhadap klasifikasi dan konsep maqâsid yang telah ada dan berkembang pada masa sebelumnya.45

41 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan Pustaka, 2015), h. 52 42 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan Pustaka, 2015), h. 53 43 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan Pustaka, 2015), h. 54 44 Dr. Ahmad Imam Mawardi, ” Fiqh Minoritas, fiqh al-Aqalliyyat dan evolusi Maqâsid al- Syari‟ah dari konsep ke pendekatan”(Yogyakarta: LKIS,2010 ), cet.1, h. 182 45 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan Pustaka, 2015), h. 37

34

Beberapa alasan perlunya dilakukan reformasi konsep maqâsid tradisional sebagaimana berikut: Pertama, jangkauan maqâsid tradisional meliputi seluruh hukum Islam, namun tidak memasukan maksud khusus dari suatu atau sekelompok nas/hukum yang meliputi topik fiqh tertentu. Kedua, Maqâsid tradisional lebih berkaitan dengan individu, dibandingkan keluarga, masyarakat, atau umat manusia. Ketiga, klasifikasi maqâsid tradisional tidak memasukan nilai-nilai yang paling umum seperti keadilan dan kebebasan. Keempat, Maqâsid tradisional didedukasi dari kajian „literatur fiqh‟, ketimbang sumber-sumber syariat (al-Qur‟an dan Sunnah). 46 Perbaikan pada ruang lingkup maqâsid diharapkan agar jangkauan orang yang diliputi oleh maqâsid dapat menjangkau wilayah yang lebih luas. Sehingga nantinya dari perluasan jangkauan ini akan merubah titik tekan dari kinerja maqâsid, dari titik tekan maqâsid lama sekedar protection (perlindungan) dan preservation (penjagaan), mengarah pada titik tekan maqâsid baru pada development (pengembangan) dan right (hak-hak).47 Demikian halnya perbaikan pada sumber induksi maqâsid diharapkan dapat menjadi amunisi terbaru dalam merespon tantangan zaman, dengan memposisikan maqâsid tidak hanya berfokus pada pemahaman atas ayat hukum yang sebagian besar digali dari literatur fiqh dalam mazhab-mazhab fiqh, tetapi meluas pada penggalian secara langsung pada keseluruhan teks- teks suci keislaman, yaitu al-Qur‟ân dan hadis Nabi SAW. Terlebih persoalan hukum hanya menempati sebagian dari ruang yang tersedia dalam Islam. Alqurân selain mengandung persoalan hukum, juga berisi penjelasan tentang hari akhir, etika, fenomena alam, kisah umat terdahulu dan penjelasan tentang sifat-sifat Allah.48 Berdasarkan dari perbaikan kedua aspek diatas, yaitu ruang lingkup dan sumber induksi, ulama kontemporer disamping berhasil merumuskan klasifikasi baru tentang maqâsid,49 juga telah menjadikan ilmu maqâsid

46 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan Pustaka, 2015), h. 36 47 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan Pustaka, 2015), h.56-57 48 Sutrisno, Paradigma Tafsir Maqâsidi, Jurnal Rausyan Fikr, Vol.13No.2 Desember 2012, h.336 49 pada era kontemporer, klasifikasi maqâsid terbagi menjadi tiga, yaitu; pertama, Maqâsîd umum (al-maqâsid al-„âmmah) maqâsid ini yang dapat ditelaah di seluruh bagian hukum Islam, seperti

35

sebagai salah satu media intelektual dan metodologi masa kini yang terpenting untuk reformasi Islami, karena maqâsid merupakan representasi sudut pandang masing-masing cendekiawan untuk mereformasi dan mengembangkan hukum Islam.50 Sebagai pendekatan metodologis, maqâsid kemudian menjadi trend baru yang diminati oleh banyak cendekiawan kontemporer, khususnya dalam bidang penafsiran Alqurân. Seperti Ibn Âsyûr, Qardhâwi, Muhammad al- Ghazâlî, Mahmud Syalthut, Rasyîd Ridhâ, dan lain sebagainya.Berbagai seminar dan kajian juga diselenggarakan di berbagai daerah, seperti seminar yang membahas tentang bagaimana Alqurân dan Hadis bisa ditafsir ulang dengan menggunakan realitas kontemporer sebagai pertimbangan dan upaya mempromosikan tujuan syariat yang berpihak pada kedamaian, keadilan dan kemajuan umat Islam. 51

3. Urgensi Tafsir Maqâsidi

Dalam menemukan titik urgensi tafsir yang berbasis maqâsid, hal itu dapat terlihat dari pengkajian urgensi antara tafsir dengan kajian maqâsid. Secara mendasar, kebutuhan akan tafsir Alqurân terasa sangat besar, mengingat tidak semua ayat Alqurân memiliki ungkapan yang bisa dipahami langsung oleh akal manusia. Diantaranya ada yang memiliki lafaz yang samar (mutashâbih) sehingga terbuka untuk beberapa kemungkinan penafsiran, ada yang memiliki kandungan yang bersifat global (mujmal) sehingga diperlukan perincian lanjutan untuk memahaminya. Terlebih dengan perbedaan dan perkembangan situasi dan kondisi pada era kontemporer ini, suatu keharusan bagi ulama tafsir untuk menafsirkan

keniscayaan dan kebutuhan tersebut seperti „keadilan‟ dan „kemudahan‟. kedua, maqâsid khusus (al- maqâsid al-khâssah): maqâsid ini dapat diobservasikan di seluruh isi „bab‟ hukum Islam tertentu, seperti kesejahteraan anak dalam hukum keluarga, perlindungan dari kejahatan dalam hukum criminal; dan perlindungan dari monopoli dalam hukum ekonomi. ketiga, maqâshid parsial (al-maqâsid al- juz‟iyyah); „maksud-maksud‟ di balik suatu nas atau hukum tertentu, seperti maksud mengungkapkan kebenaran, dalam mensyaratkan jumlah saksi tertentu dalam kasus hukum tertentu; maksud meringankan kesulitan, dalam membolehkan orang sakit untuk tidak berpuasa. Lihat di Jâser Auda h. 36-37 50 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan Pustaka, 2015), h. 40 51 Imam Mawardi, “ Fiqh Minoritas fiqh al-Aqalliyyât dan evolusi maqâsid al-syarî‟ah dari konsep ke pendekatan”, (Yogyakarta: LKIS, 2010), h. 202

36

Alqurân yang disesuaikan dengan realitas kehidupan masyarakat yang selalu dinamis, termasuk menawarkan metode baru dalam penafsiran Alqurân.52 Sedangkan titik urgensisitas kajian maqâsid dapat dilacak berdasarkan proses perkembangannya, mulai dari masa klasik hingga kontemporer yang telah menjadikan maqâshid sebagai satu metode berfikir dan beragama. Berawal dikalangan para imam mazhab, kajian yang memiliki nafas maqâsid sangat intens diterapkan dalam penggalian hukum Islam. Seperti, mazhab dengan metode istihsan, Maliki dengan maslahah al-mursalah dan Hanbilah dengan sad al-zara‟i,53 sementara dari kalangan Syafi„iyah lebih cenderung memiliki pandangan yang sama dengan pendukung mazhab Zahiriyyah yang memandang esensi syariat hanya beredar pada teks normatif; Alqurân, Hadits, Ijma„ dan dalam metode qiyas. 54 Selanjutnya periode pasca imam mazhab, diantarannya Imam al- Juwainî yang memandang kajian maqâsid sebagai prinsip-prinsip fundamental yang menjadi dasar pijakan bagi seluruh hukum Islam, sangat penting untuk diaplikasikan, karena tanpanya akan menyebabkan terjadinya benturan keras di kalangan ulama, bahkan mereka para fakih dan mazhab mazhab fikih yang tidak mengindahkan prinsip tersebut pada akhirnya akan lenyap di bumi.55 Imam Al-Ghazâlî sebagai murid al-Juwainî mengembangkan teori gurunya dengan menitiberatkan pada perlindungan (hifz) lima unsur pokok yang dikenal dengan ushûl al-khamsah, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, nasab dan harta sebagai prinsip fundamental. Hanya saja al-Ghazâlî masih terpengaruh oleh mazhab Syafi‟i yang tidak memperhitungkan maqâsid sebagai salah satu metode ijtihad yang sah, sehingga terkesan tidak profesional karena menolak memberikan hujjah atau legitimasi independen bagi maqâsid apa pun yang ia tawarkan.56 Selanjutnya ada tokoh Imam al-„Izz Ibn „Abd al-Salâm yang secara tegas menghubungkan validitas hukum dengan maqâsid-nya, ia mengatakan

52 Sutrisno, “Paradigma Tafsir Maqâsidî”, Rausyan Fikr, Vol.13, No.02(Desember,2017), h. 337-338 53 Abdullah bin Bahyyah, 'Alaqah Maqâsid al-syarî‟ah bi Ushûl al-Fiqh (London: al-Furqan Islamic Heritage Foundation, 2006), h.45 54 Abdullah bin Bahyyah, 'Alaqah Maqâsid al-syarî‟ah bi Ushûl al-Fiqh (London: al-Furqan Islamic Heritage Foundation, 2006), h. 44 55 Al-Juwayni dalam Jaser Auda, h.51 56 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syarî‟ah”, (Bandung: Mizan Pustaka, 2015), h. 51

37

bahwa setiap amal yang mengabaikan maqâsid-nya adalah batal. Barang siapa yang memperhatikan maqâsid syarî‟at, yaitu dalam upaya mendatangkan maslahah dan menolak mafsadat, ia akan memperoleh keyakinan dan pengetahuan yang mendalam bahwa maslahah tidak boleh diabaikan dan mafsadat tidak boleh didekati, kendatipun tidak ada ijmak, teks maupun qiyas yang khusus membahasnya.57 Imam Syihâb al-Dîn al- Qarâfî mengembangkan teori fath al-zarâ‟i dengan teori saddal-zarâ‟i, bahwa apabila saran yang mengarahkan pada tujuan halal seharusnya dibuka.58 Ibn Syams al-Dîn Ibn al-Qayyim di dalam kitabnya I‟lam al- Muwaqqi‟in „an Rabb al-„Alamin menyatakan bahwa seorang tidak akan mengetahui mana qiyas yang benar dan mana qiyas yang salah tanpa mengetahui rahasia-rahasia dan tujuan-tujuan syari„at.59 Urgensi maqâsid semakin terang dengan hadirnya Imam al-Syâtibî yang menjadikan pemahaman terhadap maqasid al-syarî‟ah sebagai syarat untuk berijtihad.60 Dalam artian, seseorang tidak mungkin mencapai derajat ijtihad jika tidak mengetahui maqâsid al-syarî‟ah secara sempurna dan menjadikannya sebagai metode penggalian dan penetapan hukum, termasuk penggalian terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang tidak ditemukan secara jelas dimensi kemaslahatannya dapat dianalisis melalui metode maqâsid tersebut.61 Hanya saja tawaran konsep maqâsid al-Syâtibî masih menyisahkan celah bagi generasi berikutnya untuk melakukan kritik dan perbaikan. Sebagaimana diketahui bahwa al-Syâtibî dalam membahas kemaslahatan, disamping masih bertumpu pada pemeliharaan lima unsur pokok setiap individu, juga hanya berkutat pada hiraki kekuatannya, yakni maslahah daruriyyat (mendesak, primer), maslahah hajiyyât (dibutuhkan, sekunder), dan maslahah tahsiniyyat (keindahan, tersier). Pengabaian aspek daruriyyat dapat merusak kehidupan manusia dunia dan akhirat secara keseluruhan.

57 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan Pustaka, 2015), h. 52 58 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari‟ah”, (Bandung: Mizan Pustaka, 2015), h. 53 59 Ibn al-Qayyim, dalam Imam Mawardi. Fiqh Minoritas (Yogyakarta: LKiS, 2010), h.184 60 Al-Syatibi, dalam Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqâsid al-Syarî‟ah Menurut al-Syatibi, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), h. 129 61 Sutrisno, “Paradigma Tafsir Maqâsidî”, Rausyan Fikr, Vol.13, No.02(Desember,2017), h. 339-340

38

Tidak terwujudnya aspek hajiyyât tidak sampai merusak keberadaan lima unsur pokok, akan tetapi hanya membawa kepada kesulitan bagi manusia sebagai mukallaf dalam merealisasikannya. Sedangkan aspek tahsiniyyat yang terabaikan hanya membuat pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna.62 Oleh karena itu, pada masa kontemporer, dimensi kemaslahatan tidak hanya bersifat proteksi dan pelestarian tetapi lebih bersifat pengembangan dan pemuliaan, sebagaimana tidak hanya diarahkan pada kepentingan individu melainkan dapat menjangkau kepentingan manusia yang lebih luas, yaitu masyarakat, bangsa bahkan umat manusia. Seperti meliputi prinsip- prinsip utama yang lebih memiliki cakupan luas, misalnya keadilan, kebebasan berekspresi dan lain-lain.63 Kemaslahatan juga tidak cukup diukur berdasarkan hirarki kekuatannya, tetapi meniscayakan adanya upaya interkonseksitas dan keterkaitan antar maslahah.64 Dengan begitu dimensi kemaslahatan yang menjadi ruh dari maqâsid al-syarî‟ah semakin terlihat perannya setelah dilakukan berbagai perbaikan dan perluasan cakupan maqâsid, hingga akhirnya di era kontemporer ini, maqâsid telah berevolusi menjadi sebuah metode berfikir dan beragama. Salah satunya adalah metode yang dikembangkan ulama kontemporer dalam menafsirkan Alqurân dengan mempertimbangkan sisi maqâsid ayat, yang dikenal dengan al Tafsir al-Maqâsidî. Metode tafsir ini merupakan salah satu terobosan baru atas fenomena keterbatasan dan kekurang objektifan metode penafsiran yang telah ada. Suatu penafsiran dianggap memiliki keterbatasan bilamana diyakini bahwa apa pun yang dikemukakan oleh umat Islam awal tentang tafsir merupakan pembacaan yang paling sah dan otoritatif, sehingga segala hasil penafsiran mereka harus diikuti pada zaman modern tanpa memperhatikan kondisi yang telah berubah.65 Akibatnya, pemahaman yang muncul

62 Al-Syatibi, dalam Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqâsid al-Syarî‟ah Menurut al-Syatibi, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), h.72 63 Jâser Auda, “Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syarî‟ah”, (Bandung: Mizan Pustaka, 2015), h. 37 64 Halil Thahir, “Ijtihad Maqâsidî rekontruksi hukum Islam berbasis interkoneksitas maslahah”,(Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara,2015), h. 78 65 Abdullah Saeed, Paradigma, Prinsip dan Metode Penafsiran Kontekstualis atas al-Qur‟an, terj. Lien Iffah (Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata, 2015), h. 99

39

cenderung tekstualis-literalis dan memiliki fungsi yang terbatas pada proses kontekstualisasi. Sementara kontekstualiasi yang ditawarkan oleh para penafsir kontekstual dengan berusaha mempertimbangkan isu kemanusiaan dan titik kesejarahannya, meliputi sosial, politik dan budaya masyarakat, dianggap tidak dapat mempertanggung jawabkan secara objektif ketika terjadi pertentangan antara konteks manusia dengan teks syariat.66 Bahkan produk metode ini dinilai terlalu over subjektif, sehingga tak jarang mengantarkan pada sikap narsisistik bahwa pandangan subjektif manusia adalah pusat segala hal.Tanpa ada kontrol dan tolak ukur kebenaran, setiap kali paradigma seperti ini mengantarkan pada sikap arbitrer (sewenang-wenang) dalam menafsirkan Alqurân. Dengan demikian, usaha untuk menghadirkan metode dan cara pandang baru yang tidak hanya mengandalkan pemahaman umat Islam awal atas teks dengan ciri pendekatan linguistik yang ketat, begitupun tidak menjadikan perkembangan zaman dan pengalaman manusia sebagai tolak ukur yang final, adalah merupakan suatu kebutuhan sekaligus menjadi alternaif baru dalam menafsirkan Alqurân. Cara pandang maqâsidi yang menekankan pada pencarian makna terdalam ayat-ayat Alqurân dalam bentuk hikmah, sebab hukum, ketentuan hukum, dan segala aspek yang bisa mengantarkan pada pembentukan nilai mashlahat, serta menjadikan kehendak dan ketentuan syara„ bukan kehendak dan tujuan manusia sebagai patokan dan tolak ukuran kemaslahatan tersebut, dapat menjadi alternatif dalam merespon keterbatasan paradigma penafsiran yang ada. Model penafsiran ini berusaha memelihara pesan universal Alqurân, sehingga dapat lebih sesuai dengan tantangan dan tuntutan zaman (salihun li kulli zaman wa makan) dengan cara mengalihkan arah pandangan dengan melakukan pencarian pada maqâṣhid Alqurân yang universal.67 Nilai universal yang melekat pada maqâsid Alqurân merupakan nilai yang menjadikan Alqurân mampu berjalan seiring dengan semangat zaman yang melingkupinya, serta tidak mengenal batas teritorial dan sekat-sekat

66 Ahmad al-Raysuni, “Ijtihad antara Teks, Realitas dan Kemaslahatan Sosial”, terj. Ibnu Rusydi, (Jakarta: Erlangga, 2002), h.32 67 Syamsul Wathani, Konfigurasi Nalar Tafsir Al Maqâsidi; Pendekatan Sistem Interpretasi journal Suhuf, vol 9, No 2, Desember 2016. h.297

40

kemanusiaan. Dengan demikian, Alqurân sebagai kitab mampu menyentuh seluruh sendi kehidupan manusia, baik personal maupun kolektif, demikian halnya dengan penerapan hukum syariat, tak lekang oleh perubahan waktu dan tempat akibat penerapan nilai-nilai universal sebagai hasil terapan dari maqâsid alqurân.

C. Hifz al-Nafs

1. Pengertian

Hifz an-Nafs, yang secara literal bermakna menjaga jiwa, berasal dari

gabungan dua kata bahasa Arab, yaitu ِ yang artinya menjaga,68 dan النَّ ْف ُسُ حْف ُظُ yang maknanya jiwa/ruh.69 Sementara secara terminologi, makna hifz an-nafs adalah mencegah melakukan hal-hal buruk terhadap jiwa, dan memastikannya tetap hidup.70 Hifz an-Nafs merupakan salah satu dari tujuan diadakannya syariat Islam (maqâhsid al-syariah al-islamiyyah).71 Hal ini berlandaskan bahwa sejak empat belas abad yang lalu, Islam yang dibawah oleh Nabi Muhammad Saw memiliki visi yang agung, yaitu menghormati hak-hak asasi manusia secara komprehensif, dan yang paling utamanya adalah agama Islam sangat memperhatikan hak hidup manusia. Sehingga jiwa manusia dalam rangkaian tujuan syariat Allah tersebut – sangat dihormati dan dimuliakan.72 Dalam khazanah Islam, an-Nafs memiliki banyak pengertian, bisa berarti jiwa, nyawa, dan juga dapat bermakna pribadi. Potensi-potensi yang terdapat dalam nafs sendiri bersifat potensial, namun juga dapat teraktualkan jika manusia mengupayakannya. Dan, potensi-potensi tersebut dapat

68 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Bahasa Arab-Indonesia, (Ypgyakarta: Pustaka Progresif, 1996), h. 279 69 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Bahasa Arab-Indonesia, h. 1446. 70 Nuruddun Al-Mukhtar Al-Khadimi, Al-Munasabah Al-Syar‟iyyah wa Tatbiquha Al- Mu‟asirah, (Beirut: Dar , 2006), h. 77 71 Yusuf Ahman Muhammad Al-Badawi, Maqâsid Al-Syarî‟ah Inda Ibn Taimiyyah, (t.tp: Dar An-Nafais, t.th), h. 127 72 Rohidin, Buku Ajar Pengantar Hukum Islam: Dari Semenanjung Arabia hingga Indonesia, (Yogyakarta: Aksara Books, 2017), hal. 31-32

41

membentuk kepribadian, yang perkembangannya dapat dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal.73 Jaminan keselamatan jiwa (hifz an-Nafs) sendiri merupakan jaminan keselamatan atas hak hidup yang terhormat dan mulia bagi setiap manusia. Di mana termasuk dalam cakupan pengertian umum atas jaminan ini ialah jaminan keselamatan nyawa, anggota badan dan terjaminnya kehormatan kemanusiaan. Mengenai yang terakhir ini, meliputi keterbatasan memilih profesi, kebebasan untuk berfikir, mengeluarkan pendapat, kebebasan berbicara dan memilih tempat tinggal.74 Untuk dapat melestarikan jiwa, Islam mensyariatkan perkawinan untuk keberlangsungan jenis manusia. Dan untuk menjaga jiwa juga, Islam mensyariatkan hukuman qishas atau hukuman setimpal, diyat, denda, kafarat atau tebusan bagi orang-orang yang menganiaya jiwa.75 Rangkaian syariat Islam tersebut memberi penegasan bahwa menjaga jiwa merupakan perilaku mulia. Penjelasan di atas memberikan gambaran kepada umat manusia – khususnya umat Islam untuk memelihara jiwa diri dan orang lain dengan memperlakukannya secara baik sebagaimana Nabi Muhammad Saw telah mencontohkannya secara maksimal. Sebaliknya, umat Islam tidak ditolerir melakukan kejahatan kepada jiwa-jiwa manusia, apalagi sampai membunuhnya. Hal demikian juga sebagaimana apa yang dinyatakan oleh Abdul Qadir Jawaz, bahwa karena Islam mengajarkan untuk menjaga jiwa, maka Allah mengharamkan pembunuhan dan pertumpahan. Islam melarang pembunuhan secara tidak halal, dan hukuman membunuh jiwa adalah hukuman mati.76 Imam al-Ghazâlî, sebagaimana dikutip oleh Masdhar Farid Mas‟udi, juga menyatakan, bahwa hifz an-nafs yang merupakan salah satu dari prinsip al-Kulliyyat al-Maqâshid al-Khamsah, merupakan ketentuan dasar dalam agama Islam yang bermuara pada perlindungan hak-hak manusia. Dimana

73 Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 46 74 Muhammad Abu Zahra, Ushûl Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2010), h. 425 75 Miftahul Arifin, Ushûl Fiqh: Kaidah-Kaidah Penerapan Hukum Islam, (Surabaya: Citra Media, 1997), h. 250 76 Yazid Bin Abdul Qadir Jawwaz, Syarah Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah, (Depok: PT. Niaga Swadaya, 2016), h. 126

42

menurutnya, hukum apapun, jika berlandaskan pada tujuan untuk menjaga jiwa maka dipastikan benar dan merupakan hukum syariat Islam.77 Hifz an-Nafs, berdasarkan peringkat kepentingan dapat dibedakan menjadi tiga perangkat78, yaitu sebagai berikut: 1. Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyyat, seperti misalnya memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Yang, jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan mengakibatkan terancamnya jiwa manusia dari kelemahan, bahkan pada tingkat kematian. 2. Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat, seperti dibolehkannya berburu dan menikmati makanan lezat. Yang mana jika kebutuhan ini tidak terpenuhi sebenarnya tidak akan terjadi apapun, bahkan jika ada indikasi memaksakan, akan mempersulit hidupnya. 3. Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat, seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum. Hal demikian itu hanya bersifat kesopanan, dan sama sekali tidak akan mengancam jiwa manusia ataupun mempersulitnya.

2. Hifz al-Nafs dalam al-Qur‟an

Berkenaan dengan hifz an-nafs, Ibnu Taimiyyah memberikan dalil naqliyyah dalam Al- dan Al-Hadis yang mendukung agar umat manusia dapat memelihara jiwa. Ayat Al-Quran yang ia gunakan sebagai bukti bahwa memmelihara jiwa merupakan keharusan agama. QS. Al-Furqan: ayat 68 yang berbunyi:

َِّ َِّ ِ َِّ َّ َِّ ِ َوالذي َنََُلُيَْدعُوَنَُم َعُاللوُإََلًاُآ َخَرَُوََلُي َْقتُ لُوَنُالنَّ ْف َسُالِتُ َحَّرَمُاللوُُإَلُبا ْْلَِّقُ َوََلُي َْزنُوَنَُوَم ْنُ

ِ ُي َْفَع ْلُذَل َكُي َلْ َقُأَثَاًما.

Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah( membunuhnya )kecuali dengan( alasan )yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat( pembalasan )dosa( nya )

77 Masdar F. Masudi, Syarah Konstitusi: UUD 1945 dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Alvabet, 2010), h. 141 78 Sapiuddin Shidiq, Ushûl Fiqh, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2011), h. 228

43

Ayat Al-Qurân yang lain yang menjadi dalil untuk penjagaan jiwa yaitu :

QS. Al-Baqarah: 191

ِ ِ ِ ِ ِ ِ َواقْ تُ لُوُى ْمُ َحيْ ُثُثَقْفتُُموُى ْمَُوأَ ْخرُجوُى ْمُم ْنُ َحيْ ُثُأَ ْخَرُجوُك ْمَُوالْفتْ نَةُُأَ َشُّدُم َنُالَْقتِْلَُوََلُت َُقاتلُوُى ْمُ

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ُعنَْدُالَْم ْسجدُا ْْلََرامُ َحََّّتُي َُقاتلُوُك ْمُفيوُفَإ ْنُقَاتَ لُوُك ْمُفَاقْ تُ لُوُى ْمَُكَذل َكُ َجَزاءُُالْ َكافري َنُ

Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.

Sedangkan salah satu hadis yang ia kurip dari Sahih al-Bukhari yaitu berbunyi:

ِ ِ ِ ِ َّ ِ َم ْنُتَ َرَدىُم ْنُ َجبَِلُفَ َقتَ َلُن َْف َسوُُفَ ُهَوِفُنَارُ َجَهنَ َمُي َتَ َرَدىُ َخالًداُُُمَلًداُفيْ َهاُاَبًَدا

Barang siapa turun dari gunung dan kemudian ia membunuh dirinya maka akan masuk neraka jahannam, ia akan turun di neraka dalam keadaan langgesng dan selama-lamanya.79

QS. Al-Baqarah: 85

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ُُثَُّأَنْ تُ ْمَُىُؤَلءُتَ ْقتُ لُوَنُأَنْ ُف َس ُك ْمَُوُُتْرُجوَنُفَريًقاُمنْ ُك ْمُم ْنُديَارى ْمُتَظَاَىُروَنُ َعلَيْه ْمُباإلُْثَُوالْعُْدَوانَُوإ ْنُ ِ ِ ِ ِ ِ ِ يَأْتُوُك ْمُأُ َساَرىُت َُفادُوُى ْمَُوُىَوُُُمََّرمٌُ َعلَيْكُ ْمُإ ْخَرا ُجُه ْمُأَفَ تُ ْؤمنُوَنُببَ ْع ِضُالْكتَابَُوتَ ْكُفُروَنُببَ ْع ٍضُفََماُ َجَزاءُُ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ ِ ِ َم ْنُي َْفَعلُُذَل َكُمنْ ُك ْمُإَلُخْز ٌيُِفُا ْْلَيَاةُالُّدنْ يَاَُوي َْوَمُالْقيَاَمةُي َُرُّدوَنُإََلُأَ َشِّدُالَْعَذابَُُوَماُاللوُُبغَافٍلُ َع َّماُ

تَ ْعَملُُوَنُ

79 Ibnu Taymiyah, Maqâsid Al-Syarî‟ah, (t.tp: Dar An-Nafais, t.th), h. 64

44

“ kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, Padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah Balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”.

QS. Al-baqarah: 178

َِّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ يَاُأَي َُّهاُالذي َنُآَمنُواُُكت َبُ َعلَيْ ُك ُمُالْق َصا ُصُِفُالَْقتْ لَىُا ْْلُُّرُبا ْْلُِّرَُوالْعَبْ ُدُبالَْعبْدَُواألنْ ثَىُباألنْ ثَىُفََم ْنُعُف َيُ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ٍ ِ ِ ِ ِ لَوُُم ْنُأَخيوُ َش ْيءٌُفَاتِّ بَاعٌُبالَْمْعُروفَُوأََداءٌُإلَيْوُبإ ْح َسانُذَل َكَُُتْفي ٌفُم ْنَُربِّ ُك ْمَُوَرْْحَةٌُُفََمنُا ْعتََدىُب َْعَدُ ِ ِ ذَل َكُفَ لَوُُ َعَذا ٌبُأَلي ٌمُ.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih”.

Qishash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh Yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik.

45

QS. Al-Nisa: 74

َِّ ِ ِ ِ ِ ِ يَاُأَي َُّهاُالذي َنُآَمنُواَُلُتَأْ ُكلُواُأَْمَوالَ ُك ْمُب َيْ نَ ُك ْمُبالْبَاطِلُإَلُأَ ْنُتَ ُكوَنُِتَاَرةًُ َع ْنُتَ َرا ٍضُمنْ ُك ْمَُوَلُتَ ْقتُ لُواُ ِ َّ ِ ِ أَنْ ُف َس ُك ْمُإ َّنُاللوََُكا َنُب ُك ْمَُرحيًما.

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu,80 Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.

QS. Al-Nisa: 66

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َولَْوُأَنَّاَُكتَبْ نَاُ َعلَيْه ْمُأَنُاقْ تُ لُواُأَنْ ُف َس ُك ْمُأَوُا ْخُرُجواُم ْنُديَارُك ْمَُماُفَ َعلُوهُُإَلُقَليلٌُمنْ ُُه ْمَُولَْوُأَن َُّه ْمُفَ َعلُواَُماُ ِِ ِ يُوَعظُوَنُبوُلَ َكا َنُ َخيْ ًراََُلُْمَُوأَ َشَّدُتَ ثْبيتًا.

“dan Sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. dan Sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka),”

QS. Al-Baqarah: 72

ِ ِ َّ َوإ ْذُقَ تَ لْتُ ْمُن َْف ًساُفَاَّداَرأُُْْتُفيَهاَُواللوُُُُمِْرٌجَُماُُكنْتُ ْمُتَ ْكتُُموَنُ.

“ dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu. dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan”.

80 Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan. lihat QS. Al-Nisa ayat 29

46

D. Penafsiran Ayat-ayat Hifz al-Nafs 1. Tafsir Klasik Pada masa tafsir klasik, penafsiran al-Qur‟an telah melewati proses sejarah yang amat panjang yang dimulai sejak Nabi masih hidup. paradigm penafsiran klasik dibangun atas dasar penafsiran yang bersifat retrospektif, tekstual, dan al-„ibrah bi umum al lafzh la bi khusus al-sabab.81 Sehingga dalam perkembangan tafsir klasik tersebut menggunakan metode tafsir bi al- Ma‟tsur82 Seperti penafsiran Al-Qurtubî83 dalam tafsirnya tidak hanya membahas ayat hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur‟an, melainkan mengulas al-Qur‟an secara menyeluruh.

Selain tafsir al-Qurtûbî, ada juga tafsir lain yang juga tergolong kedalam tafsir klasik yaitu tafsir at-Thabari84. Penulis memilih al-Qurthubi karena tafsir ini tergolong tafsir klasik yang banyak menjadi rujukan untuk mengetahui hukum-hukum sosial di dalam kehidupan masyarakat dulu dan penulis menggunakan tafsir at-Thabari untuk melihat situasi dan kondisi masyarakat dulu dalam bentuk tafsir klasik.

1.1 Al-Bayan Karya Imam At-Tabari

QS. Al-Isra: 17/31

Ayat ini merupakan larangan Allah Swt kepada orang tua untuk membunuh anak-anak mereka. Hal itu menjadi bukti bahwa Allah Swt lebih mengasihi anak-anak mereka dari pada orang tuanya sendiri. Sebagaimana orang-orang jahiliah yang suka dengan membunuh anak-anak perempuan

81 Hadi Mutamam, Analisis Kritik atas Kontribusi Tafsir Kontemporer,Jurnal: Al-Fikr, Vol 7 nomor I tahun 2013, h. 154 82 Tafsir bi al-Ma‟tsur yaitu penafsiran yang dilakukan ayat dengan ayat, ayat dengan keterangan rosul, ayat dengan keterangan sahabat nabi atau juga penafsiran ayat dengan penafsiran para tabi‟in 83 Nama lengkap al-Qurtubi adalah al-Imâm Âbû „Abdillâh Muhammad bin Ahmad bin Abû Bakar Farh al-Ansârî al-Khazrajî al-Andalusi al-Qurtubî al-Mufassir. Lahir di Andalusia/Spanyol pada tahun 580 H/ 1148 M dan meninggal dunia di Mesir pada tahun 671 H di kota el-Meniya, di timur sungai Nil.(lihat: Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern, diterbitkan: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, h. 19) 84 Nama lengkap at-Thabari adalah Âbû Ja‟far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghâlib at-Thabari.(lihat: tafsir jami al-bayan an Ta‟wil ayi al-Qur‟an, Kairo: Dar as-Salam,2007) Dilahirkan di Amul, nama daerah di Thâbaristan pada 224 H/839 M.(lihat: Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern, diterbitkan: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah,h.1). Ia wafat pada usia 86 tahun yaitu pada tahun 310 H.(lihat: M.Hasbi Ash-Shiddiqy, Ilmu-ilmu al-Qur‟an, Jakarta: Bulan Bintang 1972, h.222.)

47

mereka dikaenakan takut akan memberikan beban lebih dalam hidupnya. Dalam ayat ini Allah mendahulukan rizki kepada anak-anak dari pada orang tuanya, sebagai bukti bahwa Allah lah sebagai pemberi kepastian rizki-rizki mereka.85

QS. Al-Isra: 17/33

Sementara ayat ke-33 ini merupakan larangan dari Allah untuk membunuh jiwa manusia. Karena membunuh satu jiwa manusia sama halnya dengan membunuh semua manusia dan sama dengan membuat kerusakan di alam dunia.86

QS. Al-Ma‟idah: 5/32 Ayat ini merupakan peringatan keras kepada Bani Israil yang telah melakukan pembunuhan secara keji kepada jiwa-jiwa manusia. Ayat tersebut juga merupakan peringatan kepada mereka untuk tidak melakukan kerusakan di buka bumi, dengan meneror Allah dan Rasul-Nya atau meneror di jalan- jalan. Menurut At-Tabari pemaknaan bahwa membunuh jiwa manusia seperti membunuh semua manusia ialah jikamana yang dibunuh adalah nabi atau orang-orang yang beriman. Hal itu sebab utusan-utusan Allah dan atau orang- orang yang beriman memiliki pengarus yang besar di tengah kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu siapa yang membunuh dalam bentuk demikian itu harus dibunuh juga sebagai balasan yang setimpal. Balasan qishas ini juga berlaku untuk orang-orang yang membuat kegaduhan di muka bumi.87

QS. Al-An‟am: 6/151 Setelah Allah menyuruh untuk berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua, Allah menyuruh untuk berbuat baik kepada anak-anak dan cucu. Perilaku membunuh anak sama dengan perilaku zaman jahiliyyah, di mana masyarakat membunuh anak-anak perempuannya dan menghinakan anak laki- laki yang enggan mau bekerja keras. Pemnbunuhan kepada anak-anak mereka

85 Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami‟ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, jilid 3, h. 316. 86 Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami‟ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, jilid 5, h. 242-244. 87 Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami‟ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, h. 761- 763.

48

dilatarbelakangi oleh takutnya tidak diberi rizki. Oleh itu dalam ayat ini Allah mengakhirinya dengan mengedepankan pemberian rizki kepada anak-anak dibandingkan dengan orang tuanya.88

1.2 Ibnu Katsir Karya Ibnu Katsir

QS. Al-Isra: 17/31

Menurut Ibnu Katsir, ayat tersebut di atas merupakan bukti kasih sayang Allah kepada anak manusia lebih besar dari pada kasih sayang seorang ibu kepada anak kandungnya, sehingga Allah melarang untuk membunuh manusia. Ayat tersebut turun karena pada masa jahiliyah ada orang yang enggan memberikan harta waris kepada anak perempuan karena takut miskin.89

QS. Al-Isra: 17/33

Sedangakan ayat ini maknanya bahwa Allah bermaksud melarang umat manusia untuk melakukan pembunuhan tanpa dasar yang dibenarkan oleh syari‟at Islam. Dengan mengutip hadis yang disebutkan dalam as-Sunan, ia menegaskan bahwa hilangnya dunia di sisi Allah lebih ringan dibandingkan dengan terbunuhnya seorang muslim.90

QS. Al-Ma‟idah: 5/32 Ayat ini turun ketika ada sekelompok orang dari „Ukl yang hendak berbaiat dengan Rasulullah untuk masuk Islam. Namun sesampainya di Madinah mereka sakit karena tidak cocok dengan kondisi cuaca di Madinah. Akhirnya Rasulullah bertanya kepada mereka, “mengapa kalian tidak pergi dengan penggembala unta, sehingga kalian bisa meminum air kencing dan susu untanya?”. Akhirnya sekelompok itu pergi bersama para penggembala unta. Mereka meminum air kencing dan air susu unta dan merekapun sembuh dari penyakitnya. Namun setelah sembuh, mereka malah membunuh penggembala unta yang telah menolongnya. Sekelompok orang itu kemudian

88 Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami‟ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, h. 651. 89 Ismail Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1419), jilid 5, h. 242-243. 90 Ismail Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, jilid 5, h. 244.

49

dihadapkan kepada Rasulullah, dan akhirnya ia memotong tangannya dan mencongkel matanya.91 Ayat ini merupakan larangan untuk membunuh sesama manusia tanpa sebab apapun yang dibenarkan oleh syariat, seperti qishas atau membuat kerusakan di muka bumi. Pembunuhan kepada seorang manusia diibaratkan seperti membunuh semua manusia, karena manusia satu sama lainnya memiliki kesamaan. Hal demikian itu pernah terjadi manakala sekelompok Bani Quraidah, Nadzih dan Qainuqa‟ membunuh orang-orang Aush dan Khazraj, dan kemudian mereka menebusnya dengan diyat.92

QS. Al-An‟am: 6/151 Ayat tersebut turun karena orang-orang jahiliyah terbiasa untuk membunuh anak-anak perempuannya dan sebagian anak laki-lakinya disebabkan takut akan kemiskinan. Padahal menurutnya, membunuh anak karena takut tidak bisa memberi makan adalah termasuk dosa besar. Ayat tersebut diakhiri dengan kalimat “nahnu narzukukum”, memberi penegasan bahwa Allah akan selalu memberikan rizki kepada orang tua yang mau untuk mengurus anak-anaknya.93

1.3 Ruh Al-Bayan Karya Al-Buruswi

QS. Al-Isra: 17/31

Sebagaimana para mufasir lainnya, Al-Buruswi menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan larangan Allah untuk membunuh anak-anak yang dilakukan oleh masyarakat Arab. Hal demikian itu merupakan dosa besar. Padahal rizki itu sudah ditanggung oleh Allah dan Allah pastikan untuk memenuhinya.94

QS. Al-Isra: 17/33

Sedangkan ayat ke 33 adalah larangan untuk membunuh jiwa manusia baik itu Islam, kafir dzimmi atau kafir mu‟ahad. Diperbolehkan membunuh

91 Ismail Ibn Umar Ibn Katis, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, jilid 2, h. 72. 92 Ismail Ibn Umar Ibn Katis, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, jilid 2, h. 72-73. 93 Ismail Ibn Umar Ibn Katis, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, jilid 3, h. 320.-321. 94 Ismail Haqqi Al-Buruswi, Tafsir Ruh Al-Bayan, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Islami, 1114), Jilid 5, h. 154.

50

jika hanya karena tiga hal, yaitu kafir setelah iman, melakuka zina setelah muhsan, dan membunuh orang yang bukan budak dengan secara sengaja. Membunuh jiwa tanpa tiga alasan tersebut merupakan dosa besar.95

QS. Al-Ma‟idah: 5/32 Menurut Al-Buruswi, ayat ini merupakan larangan untuk membunuh manusia. Ayat ini menjelaskan juga perihal penindakan tegas kepada pelaku pemunuhan, karena perilaku demikian merupakan perilaku yang amat buruk. Orang yang telah membunuh manusia sama saja dengan memperkosa keharaman darah, memunculkan kebiasaan pada orang lain untuk membunuh dan ujungnya menarik murka Allah untuk datang kepadanya. Oleh itu untuk melerai semua itu Allah datangkan Nabi yang membawa ayat-ayat Al-Quran guna menjelaskan secara jelas.96 QS. Al-An‟am: 6/151 Sebagaimana mufasir lainnya, Al-Buruswi menyatakan bahwa ayat ini merupakan larangan umat manusia untuk membunuh putra-putrinya dalam keadaan hidup-hidup yang dilatar belakangi karena habisnya uang belanja keluarga. Demikian itu sungguh telah merusak bangunan yang telah Allah bangun. Sama seperti halnya pohon yang telah ditanam dari kecil, namun ketika besar dan endak berbuah pohon itu dipotong dan dirobohkan. Hal itu merupakan dosa yang besar kepada ketetapan Allah Swt.97

2. Tafsir Modern

Kemunculan tafsir modern sedikit banyaknya bisa disebabkan karena adanya ketidakpuasan para mufasir modern terhadap karya mufasir sebelumnya. Dimana para mufasir modern telah beranggapan bahwa dalam karya tafsir yang ditulis pada masa periode awal dianggap sebelum menyentuh pada permasalahan umat secara keseluruhan. Jadi bisa disimpulkan bahwa

95 Ismail Haqqi Al-Buruswi, Tafsir Ruh Al-Bayan, Jilid 5, h. 155. 96 Ismail Haqqi Al-Buruswi, Tafsir Ruh Al-Bayan, jilid VI, h. 307-308. 97 Ismail Haqqi Al-Buruswi, Tafsir Ruh Al-Bayan, jilid VIII, h. 140.

51

perkembangan tafsir berikutnya adalah kritik atas tafsir atau penyempurnaan penafsiran sebelumnya.98

Salah satu perkembangan corak penafsiran modern adalah corak adab ijtima‟i dengan metode bi ra‟yi99 seperti tasir al-Marâghî dan tafsir al-Misbah. Seperti yang sudah disebutkan bahwa kedua tafsir diatas bercorak adabi ijtima‟i, demikian ini sangat cocok untuk digunakan penulis dalam penelitiannya yang menggunakan pendekatan sosial masyarakat.

2.1. Tafsir Al-Marâghî Karya Mustafa Al-Marâghî

QS. Al-Isra: 17/31

Ayat ini merupakan larangan Allah kepada umat Islam untuk mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka yang dilatarbelakangi karena takut melarat. Hal itu bermula dari pengalaman orang-orang jahiliyah yang sering membunuh dan mengubur anak perempuan mereka dikarenakan tidak mampu bekerja sebagaimana laki-laki yang mampu untuk merampas, merampok atau mendapatkan harta-harta dari para Kabilah tertentu. Atas demikian itu Allah menyatakan bahwa janganlah seseorang takut akan anaknya tidak diberikan rizki. Karena sumber rizki ada pada Kami, bukan pada kamu (orang tua). Karena takut tidak mendapatkan rizki adalah sama saja dengan berburuk sangka kepada Allah Swt. Disamping itu, membunuh adalah perbuatan yang dihitung sebagai dosa besar karena dua alasan, pertama karena memutus keturunan, dan kedua, karena melawan takdir Allah dalam bentuk menghilangkan pewujudan alam yang sudah Allah ciptakan.100

QS. Al-Isra: 17/33

Ayat ini merupakan larangan Allah untuk membunuh jiwa manusia dengan tanpa sebab apapun yang dibolehkan oleh syariat Islam, seperti

98 Tantri Setyo Ningrum, Wecana Istri Sebagai Pencari Nafkah Pemahaman Husein Muhammad Atas Penafsiran Q.S An- Nisa 4:34 Dan At-Thalaq 64:6-7(Skripsi), Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah, 2019, h. 42-43. 99 Tafsir bi ra‟yi yaitu tafsir yang di dalamnya menjelaskan maknanya atau maksudnya, mufassir hanya berpegang pada pemahamannya sendiri, pengambilan kesimpulan juga di dasarkan kepada logikanya sendiri. (lihat: Manna Khalil Qahthan, fi „ulûm al-Qur‟ân, Kairo: Maktabah Wahbah, h. 440) 100 Muhammad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Beirut: Dar At-Turats Al-Islami, t.th), jilid xiii, h. 75-76.

52 membunuh kafir setelah mereka beriman atau berbuat zina setelah . Dilarangnya membunuh jiwa manusia tanpa alasan yang dibenarkan syariat karena pembunuhan akan mengakibatkan kerusakan dan mendatangkan marabahaya pada masyarakat.101

QS. Al-Ma‟idah: 5/32 Ayat tersebut merupakan larangan pembunuhan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Qabil terhadap Habil. Kemudian, ayat tersebut menjadi landasan larangan membunuh kepada Bani Israil. Selain larangan pembunuhan, ayat tersebut juga menjelaskan akan larangan berbuat kerusakan di muka bumi yang menyebabkan kematian. Perilaku demikian itu sama saja dengan membunuh semua orang, karena dosanya yang sangat besar. Sementara itu barang siapa yang menyelamatkan nyawa manusia dari pembunuhan maka seakan ia telah menyelamatkan semua orang yang ada di muka bumi. Dilarangnya manusia untuk membunuh jiwa manusia yang lain adalah karena hak kemanusiaan. Jiwa manusia harus dihormati setinggi- tingginya karena merupakan ciptaan Allah.102

QS. Al-An‟am: 6/151 Menurut Al-Marâghi, ayat ini merupakan penjelasan terkait prinsip- prinsip agama Islam, yang mencakupi larangan musyrik, berbakti kepada orang tua, larangan untuk membunuh jiwa dan larangan untuk mengkonsumsi apa-apa yanng telah larang. Dalam penjelasan soal pembunuhan jiwa Allah mengutuk keras perbuatan tersebut. Dalam ayat ini adalah larangan pembunuhan seorang ayah kepada anaknya karena disebabkan takut tidak bisa memberikan nafkah kepada anak-anaknya itu. Demikian itu Allah jawab bahwa Ia akan menanggung semua rizki orang tua dan anak-anaknya. Menurut-Nya rizki tidaklah datang dari kamu, akan tetapi dari kami. Sehingga tidak perlu khawatir akan hal tersebut di atas. Pelarangan Allah untuk membunuh karena manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang harus

101 Muhammad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid xiii, h. 78-79. 102 Muhammad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid 4, h. 86-88.

53

dihormati. Karena sesungguhnya menjaga jiwa adalah bentuk kemanusiaan yang dilandasi oleh Al-Quran.103

2.2. Fi Zilal Al-Quran Karya Sayyid

QS. Al-Isra: 17/31

QS. Al-Isra ini merupakan larangan untuk membunuh anak yang disebabkan oleh ketakutan tidak dapat memebrikan rizki. Dalam ayat ini disebutkan “nahnu narzukuhum wa iyyakum..”, dengan mendahulukan menyebutkan kata ganti untuk anak-anak mereka, karena memang yang dihawatirkan adalah anak-anak, bukan orang tua, sebagaimana dalam QS. Al- An‟am yang menyebutkan kata gantu “kum” untuk orang tua dan mengakhirkan “hum” untuk anak-anak. Hal itu sebab yang dihawatirkan adalah kemiskinan menimpa kepada orang tua. Dalam pandangan Sayyid Qutub, munculnya peristiwa pembunuhan kepada anak-anak disebabkan karena buruknya ideologi yang dianut sehingga berakibat buruk kepada perilaku masyarakatnya.104

QS. Al-Isra: 17/33

Ayat ini memeberi penjelasan secara tegas bahwa membunuh adalah perbuatan dosa besar disebabkan yang dapat mamberi kehidupan adalah Allah. Oleh karena itu Allah melarang manusia untuk membunuh membunuh manusia lain, karena itu merupakan hak Allah dengan ketentuan-ketentuan syariat-Nya. Orang yang telah membunuh harus dihukum dengan pembunuhan kembali sebab dengan itu akan merasakan pembalasan yang setimpal atas apa yang telah diperbuatnya. Selanjutnya, dengan qishas, ada kehidupan masa depan, artinya dengan diberlakukanya qishas maka akan ada nyawa-nyawa yang terjaga dari pembunuhan karena ada efek jera dan pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukannya. Selain itu, dengan qishash juga dapat menjaga spiritual masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal serupa dan lebih

103 Muhammad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid 1, h. 278. 104 Sayyid Ibn Qutb Ibn Ibrahim Asyadzili, Tafsir Fi Zilal al-Quran, (Beirut: Dar AL-Syuruq, 1312), jilid 7, h. 252.

54

memperbaiki kehidupannya dalam berhubungan dengan Allah ataupun dengan manusia.105

QS. Al-Ma‟idah: 5/32 Dalam pandanagn Sayyid Qutb, ayat ini memberi maksud membunuh seorang muslim dengan disamakan seperti membunuh semua manusia, dan juga membuat kerusuhan di muka bumi, sebab dalam pada itu sesungguhnya telah menciderai kemanusiaan. Seorang muslim yang seharusnya diperlakukan damai, santun dan cinta namun dibunuh dengan tanpa sebab yang dibolehkan dalam Islam, seperti qishas. Menurutnya pula, hukum demikian hanya berlaku dalam dar al-islam (Negara Islam), dan tidak berlaku dalam dar al-harb (negara perang). Orang yang telah melakukan demikian itu maka juga harus dijatuhi hukum bunuh (qishas).106 QS. Al-An‟am: 6/151 Menurut Qutb, ayat ini merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada orang tua dan anak-anak. Allah lebih kasih sayang kepada mereka berdua, dibandingkankan dengan kasih sayang satu sama lain di antara mereka. Oleh itu, sudah seharusnya orang tua maupun anak untuk saling mencintai dan mengasihi, dan tidak boleh membunuhnya. Allah melarang pembunuhan dengan alasan takut kelaparan, karena sesungguhnya Allah memberi rizki pada orang tua ketika sudah masa tua dan kepada anak-anak saat masa kecil. Allah pula yang akan memberikan rizki pada saat mereka kelaparan.107

2.3. Al-Mishbah Karya Quraish Shihab

QS. Al-Isra: 17/31

Ayat ini menjelaskan akan kebiasaan masyarakat jahiliyah yang tidak henti-hentinya membunuh anak-anak mereka, baik perempuan (dan ini mayoritas) ataupun laki-laki, mereka dibunuh dalam keadaan hidup-hidup yang disebabkan karena tidak adanya rizki untuk menafskahi anak-anaknya. Penjelasan ini berbeda dengan penjelasan ayat Al-Quran yang mirip yaitu pada QS. Al-An‟am 151 , perbedaannya, jika dalam ayat ini disebutkan dhomir

105 Sayyid Ibn Qutb Ibn Ibrahim Asyadzili, Tafsir Fi Zilal al-Quran, jilid 7, h. 251-252. 106 Sayyid Ibn Qutb Ibn Ibrahim Asyadzili, Tafsir Fi Zilal al-Quran, jilid 3, h. 212-213. 107 Sayyid Ibn Qutb Ibn Ibrahim Asyadzili, Tafsir Fi Zilal al-Quran, jilid 4, h. 243.

55

“hum” untuk anak, yang mengindikasikan bahwa Allah sudah menanggung rizki anak-anak, sehingga para orang tua tak perlu khawatir akan anak- anaknya ketik adalam masa kekurangan. Sementara dalam QS. Al-An‟am disebutkan “kum” terlebih dahulu, yang menunjukkan kepada orang-tua, karena yang dimaksudkan lebih utama dalam ayat tersebut ialah bahwa Allah sudah memastikan rizki untuk orang tua.108

QS. Al-Isra: 17/33

Sementara ayat 33 merupakan peringatan Allah kepada semua manusia untuk tidak membunuh jiwa manusia dengan modus apapun kecuali ada alasan yang dibenarkan oleh syariat Islam. Tidak bolehnya manusia membunuh manusia berlaku baik membunuh jiwanya sendiri atau jiwa orang lain. Dalam Islam dibolehkan membunuh tapi dengan tiga syarat, pertama karena alasan qishas, kedua alasan untuk menghilangkan keburukan seperti telah melakukan zina, dan ketiga karena menjadi pelajaran agar keburukan si pelaku pembunuhan tidak ditiru oleh orang lain.109

QS. Al-Ma‟idah: 5/32 Menurut Quraish Shihab, ayat ini turun karena di masyarakat Bani Israil telah marak peristiwa pembunuhan yang disebabkan oleh alasan yang tidak berasaskan syariat Allah. Ayat tersebut memberi warning kepada Bani Israil untuk tidak lagi mengulang apa yang telah dilakukannya. Menurut Shihab, penggunaan kata “ajli” mengindikasikan akan adanya pembunuhan di masa yang akan datang manakala Allah tidak memperingati dan tidak menurunkan hukuman bagi pelaku pembunuhan. Apalagi apa yang sudah dilakukan Bani Israil ialah membunuh utusan-utusan Allah.110 Ayat ini menyatakan bahwa pembunuhan manusia sama halnya dengan membunuh semua manusia, ialah jika dipandang dalam kacamata sosiologi atau psikologi. Karena dalam kacamata keduanya, setiap manusia memiliki kemanusiaan yang sama. Ayat tersebut juga sekaligus meberi penegasan untuk

108 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Tangerang: Lentera Hati, 2003), jilid 7, h. 454-455. 109 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, jilid 7, h. 457-458. 110 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, jilid 6, h. 81.

56

memperlakukan semua orang dengan sama, dan melepas perbedaan apapun yang melatar belakangi seseorang, baik ras, suku, atau agama.111 QS. Al-An‟am: 6/151 Ayat ini merupakan panduan dari Allah Swt kepada manusia untuk memperhatikan beberapa hal, pertama dan yang paling utama adalah tidak mensekutukan Allah dengan suatu apapun. Kedua, tidak durhaka dengan orang tua karena mereka yang telah susah payah mengurus kita sejak kecil. Ketiga, larangan untuk membunuh anak-anak yang lahir dengan alasan takut kekurangan harta. Keempat, larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Dan kelima, larangan membunuh jiwa-jiwa yang Allah haramkan dalam syariat-Nya.

Menurut Quraish Shihab, larangan membunuh anak-anak yang baru lahir merupakan kesalahan besar, sebab beawal dari asumsi bahwa mereka sendirilah yang menjamin harta anak-anaknya, padahal penjamin sesungguhnya adalah Allah Swt, meskipun dengan syarat tetap berusaha untuk mendapatkan rizki yang halal.112

Sementara itu larangan membunuh jiwa-jiwa manusia bukanlah hal baru perihal larangan Allah Swt. Jiwa manusia terhormat di sisi Allah , sehingga tidak boleh tersentuh hingga mengakibatkan darahnya mengalir/tebunuh. Hal demikian itu merupakan dukungan terhadap Hak Asasi Manusia yang juga didukung oleh Al-Quran.113

111 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, jilid 6, h. 82. 112 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qura, jilid 6, h. 86. 113 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran , jilid 6, h. 343

BAB III IBN ‘ÂSYÛR: BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN

A. Latar Belakang Sosiokultural Tunisia, negara kelahiran Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyûr merupakan negara Arab Muslim di Afrika Utara, terletak di pesisir Laut Tengah berbatasan dengan Aljazair di sebelah barat, dan Libya di selatan dan timur. Di antara negara-negara yang terletak di gugusan Pegunungan Atlas, Tunisia termasuk yang paling timur dan terkecil. 40% wilayahnya berupa padang pasir sahara, sisanya tanah subur. 1 Lebih dari separo luasnya merupakan dataran rendah (200 meter di atas permukaan laut), dengan ketinggian rata-rata 300 meter di atas permukaan laut. Bandingkan dengan Maroko yang memiliki ketinggian ratarata 800 m, dan tetangganya Aljazair dengan ketinggian rata-rata 900 m.2 Tunisia memiliki letak strategis karena berada di pesisir Laut Mediterania yang menjadi titik temu tiga benua: Asia, Afrika, dan Eropa. Etnis pertama yang dikenal mendiami Tunisia ialah bangsa Barbar, diperkirakan telah mendiami pedalaman Afrika Utara semenjak zaman Batu Tua. Mereka diduga berasal dari Kaukasia Utara. Orang Punisia, sebutan untuk bangsa Venesia yang datang dari daerah pesisir Asia Kecil (sekarang Libanon) merupakan masyarakat sejarah pertama yang bermigrasi ke sana (1100 SM). Mereka membawa peradaban zaman logam yang lebih maju daripada peradaban Barbar yang saat itu masih berupa peradaban batu muda. Orang-orang Punisia itu membaur dengan masyarakat setempat membangun peradaban pesisir yang direpresentasikan oleh kerajaan Kortago (814-149 SM) di pesisir laut Tengah (Mediterania). Berikutnya orang-orang Romawi bermigrasi ke sana setelah menghancurkan Kortago pada tahun 146 SM. Mereka juga memasukkan orang- orang Negro.

1 http://id.wikipedia.org/wiki/Tunisia, diunduh tanggal 07 Maret 2018, pukul 16.11 2 Muhammad al-Hâdi al-Syarîf, Târîkh Tûnus: Mâ Yajibu an Tu‟raf „an Târîkh Tûnus min „Uṣûr mâ Qabla at-Târîkh ilâ al-Istiqlâl (t.t.p.: Dâr as-Sirâs li an-Nasyr, 1993, cet. 3) h. 9.

57

58

1. Riwayat Hidup Ibn ‘Âsyûr

Ibn „Âsyûr memiliki nama lengkap Muhammad al-Thâhîr Ibn Muhammad al-Thâhir Ibn „Âsyûr. Keturunan keluarga „Âsyûr yang terkenal di Tunis, karena memiliki posisi ilmiah dan jabatan di pemerintahan.

Ibn „Âsyûr lahir di kota al-Marasî pinggiran ibu kota Tunisia pada bulan Jumâd al-„ûlâ tahun 1296 H bertepan pada bulan September tahun1879 M, beliau lahir di rumah kakek yang berasaldari ibunya. Kakek Ibn „Âsyûr yang bersal dari ibunya adalah Muhammad al-„Azîz seorang perdana Menteri sedangkan kakek yang berasal dari Ayahnya seorang „Ulama‟, beliau berasal dari keluarga yang mempunyai akar kuat dalam „ilmu dan nasab bahkan keluarga membangsakan dengan ahl al-bait Nabi Muhammad.3

Keluaraga Ibn „Âsyûr berasal dari Andalusia kemudian pindah ke kota Sala di Maroko (Maghrib) setelah itu baru menetap di Tunisia. 4 Ibn „Âsyûr tumbuh dalam asuhan kakek (yang berasal dari ibunya) notabenya adalah seorang perdana menteri dan kedua orang tuanya, orang tuanya menginginkan kelak (Ibn „Âsyûr II) menjadi seperti kakeknya dalam keilmuan dan kepandaiannya (Ibn „Âsyûr I)5 untuk selalu menjaganya dan bersemangat agar kelak ia menjadi penggantinya baik dalam keilmuan, kekuasaan dan kedudukanya (sebagai perdana mentri).6

Ibn „Âsyûr mulai belajar alqur‟an sejak usia 6 tahun. Ia kemudian menghafal matan al-jurûmiyyah dan Bahasa Perancis. Baru pada usia 14 tahun,

3 Manî‟ „Abd al-Halîm Mahmûd, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, ,terj. Faisal Saleh Syahdianur, (Jakarta: PT. Karya Grafindo, 2006), 33. 4 Balqâsim al-Ghâly, Shaikh al-Jâmi ‟ al-A‟ẓam Muhammad aṭ-Ṭâhir Ibn „Âsyûr: Ḥayâtuh wa Âṡâruh. Beirut: Dâr Ibn Ḥazm‟, h. 35. 5 Balqâsim al-Ghâly, Shaikh al-Jâmi Shaikh al-Jâmi ‟ al-A‟ẓam Muhammad aṭ-Ṭâhir Ibn „Âsyûr: Ḥayâtuh wa Âṡâruh. Beirut: Dâr Ibn Ḥazm‟ ‟, 35. 6 Manî‟ „Abd al-Halîm Mahmûd, Metodologi Tafsir, 313

59

Ibn „Âsyûr tercatat sebagai murid pada Universitas Az-Zaitunah (1310 H/ 1893 M).7 Di sana ia belajar ilmu syariah (fiqh dan ushul fiqh), Bahasa Arab, Hadis, sejarah, dan lain-lain. Setelah belajar selama 7 tahun di Universitas Azzaitunnah Ibn „Âsyûr berhasil menempuh gelar sarjana, tepatnya pada tahun 1317 H/ 1899 M).

Sekian banyak ilmu yang didapat dari Universitas Azzaitunnah nampaknya belum memenuhi dahaganya dalam menuntut ilmu. Di waktu luangnya, Ibn „Âsyûr menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku tafsir, buku-buku al-Milal wa al-Nihal, menghafal hadis-hadis, syair-syair Arab dari masa pra-Islam hingga sesudahnya, membaca buku-buku sejarah, dan lain- lain.

Semua ilmu yang diperolehnya dari Az-zaitûnnah dan aktivitas keilmuannya telah ikut andil membentuk kepribadian dan intelektualitasnya yang tinggi. Di samping itu perhatian ayah dan kakeknya yang menanamkan akhlak mulia kepada Ibn „Âsyûr telah memberikan pengaruh pada pribadinya yang bersahaja sebagai seorang ulama di Tunis. Ibn „Âsyûr wafat pada 1393 H/ 1973 M.

2. Riwayat Pendidikan Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyûr tumbuh di tengah keluarga yang memiliki tradisi keilmuan yang baik; kakek dari pihak ayah adalah Hakim Agung sedangkan kakek dari pihak ibu Wazir Agung. Ia sudah hafal Alqurân dengan baik semenjak dini seperti layaknya anak-anak seusianya di masa itu, kemudian menghafal sejumlah matan ilmiah di kuttâb sebagai persiapan untuk menempuh pendidikan di Perguruan az-Zaitunah, seperti matan al-Âjurumiyah, matan Ibn „Âsyir dan lain sebagainya. Pada usia tujuh tahun (1886M) dia masuk perguruan Zaitūnah dan menempuh pendidikan dasar di sana selama tujuh tahun, kemudian melanjutkan ke jenjang senior di institusi yang sama.

7 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,(Ciputat: Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h.103-104

60

Ia memiliki semangat dan kesungguhan dalam belajar serta mendapatkan dukungan penuh serta arahan dari ayah dan kakek dari pihak ibu serta guru- gurunya. Ia terbiasa menerima mata kuliah yang diajarkan tidak begitu saja, tetapi menganalisis dengan kritis dan melakukan berbagai perbandingan. Mata kuliah yang diterimanya antara lain: Nahwu, Balagah, Lugah, Mantik, Ilmu Kalam, Fikih, Faraid, Usul Fikih, Hadis, Sirah, dan Tarikh. Ia menyelesaikan pendidikannya tujuh tahun kemudian (1317H/ 1899M). 3. Karir Intelektual Ibn „Âsyûr

Menelusuri jejak kehidupan intelektual seseorang dalam wilayah akademik merupakan aspek penting dalam kajian seorang tokoh sebelum melihat produk-produk akademik yang dihasilkannya, baik dalam bentuk buku, makalah- makalah, dan lain-lainnya.

Setelah 8 tahun mengenyam ilmu pengetahuan di Universitas Azzaitunnah, Ibn „Âsyûr diangkat sebagai guru pada tahun 1320 H/ 1903 M di al- Zaitunah. Karirnya terus meningkat dalam bidang pengajaran sehingga ia terpilih menjadi tenaga pengampu di sekolah Assodiqiah pada tahun 1321 H/ 1904 M. Berikutnya ia diangkat sebagai anggota di bidang akademis pada sekolah yang sama pada tahun 1326 H/ 1909 M. 8

Sebagai penghargaan atas kepakarannya dalam bidang ilmu-ilmu keislamaan dan Bahasa Arab tahun 1940, Ibn „Âsyûr diangkat sebagai salah seorang anggota lembaga Bahasa Arab di Cairo dan anggota koresponden lembaga ilmiah di Damaskus tahun 1955.

Dalam perjalanan karirnya Ibn „Âsyûr pernah menjabat sebagai ketua majlis Auqaf, dan sebagai qadhi pada tahun 1331 H/ 1913 M. Pada saat yang sama Ibn „Âsyûr juga terpilih sebagai mufti dari mazhab Maliki 1341 H/ 1933 M, suatu gelar yang bergengsi yang jarang bias dicapai orang lain.

8 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,(Ciputat: Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 104-105

61

4. Guru-Guru Ketinggian ilmu dan keluasan wawasan yang dianugerahkan Allah kepada Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyûr tidak lepas dari jasa dan pengaruh guruguru yang juga tokoh-tokoh penting dan berpengaruh pada masanya. Sosok yang lebih menonjol di antara mereka ialah: Muhammad al-Khiyâriy yang membimbingnya menghafal Alqurân, Ahmad Bin Badr al-Kâfiy guru tata bahasa Arab pertama yang mengajarnya. Selain mereka berdua ada: Muhammad al- „Azîz Bû‟atûr, Umar Bin Syaikh atau lebih dikenal dengan Sidi Umar, Sâlim Buḥâjib, Saleh al- Syarîf, dan Muhammad an-Nakhaliy. Muhammad al-„Azîz Bin Muhammad al-Ḥabîb Bin Muhammad aṭ-Ṭayyib Bin Muhammad Bin Muhammad Bû‟atûr (1825/1907M), kakek Bin „Âsyûr dari pihak ibu, juga alumnus Universitas Zaitûnah. Di antara guru Muhammad Bû‟atûr ialah Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyur yang memberikan perhatian dan bimbingan lebih karena bakat dan ketekunan yang dimilikinya. Predikatnya sebagai pembelajar istimewa menarik perhatian sejumlah pejabat pemerintah kemudian merekrutnya. Berbagai jabatan penting terutama di bidang kesekretariatan pernah dijabatnya, di antaranya menjadi kepercayaan Wazir Agung (Perdana Mentri) Khairuddin yang kemudian menjuknya menjadi Mentri Koordinator pada 1290 H. Terakhir menjadi Wazir Agung menggantikan Mustafa Bin Ismail. Ia memegang jabatan tersebut hingga meninggal dunia pada tahun 1325H/1907M. Ia adalah seorang sosok reformis meskipun berada pada masa dan rezim yang sedang terlibat krisis. Hal tersebut dapat dilihat dari sejumlah pembenahan yang dilakukannya, antara lain: pembenahan sistem pendidikan di Universitas Zaitûnah; mengasisteni Perdana Menteri Khairuddin mendirikan Sekolah Aṣ- Ṣâdiqiyah; mendirikan badan wakaf; pembenahan sistem peradilan syariat; dan lain-lain. Muhammad al-„Azîz Bû‟atûr mencurahkan perhatian besar terhadap cucunya, ia menulis sendiri sejumlah kitab di antaranya matan Ṡaḥîḥ Bukharî untuk dipelajari sang cucu. Umar Bin Syekh (1239H-1329H), lengkapnya Umar Bin Ahmad Bin Ali Bin Hasan Bin Ali Bin Qâsim, tetapi lebih sering dipanggil Ibnu Syekh atau Sidi Umar. Berguru kepada sejumlah ulama besar termasuk Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin

62

„Âsyûr senior. Ia mengajarkan sejumlah mata kuliah, tetapi yang paling dinanti ialah penjabaran kitab Mawâqif-nya „Aḍuddîn al-Îjiy, bahkan mata kuliah ini dipandang sebagai mata kuliah terpopuler Universitas Zaitûnah saat itu. Kuliahnya pernah dihadiri oleh Muhammad Abduh dan ia memujinya. Hanya saja dia tidak aktif menulis, kuliah-kuliahnya hanya dibukukan oleh mahasiswanya. Sâlim Bûḥâjib (1243-1343H/1827-1927M) seorang tokoh yang memiliki pengaruh luas di kalangan ulama dan politisi. Dikenal cerdas, teguh pendirian dan mudah diterima di mana saja, pernah terpilih menjadi anggota majelis agung (semacam lembaga negara semi parlemen), dan menjadi delegasi pemerintah ke Italia dan Prancis. Ia menjadi pendidik di Universitas Zaitûnah tidak kurang dari tiga puluh tahun, memiliki perhatian besar terhadap Biologi, dan dikagumi oleh Muhammad Abduh. Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyûr mempelajari kitab-kitab Sunnah darinya. Ia sangat menghormatinya, terutama karena membimbingnya secara khusus dalam pengkajian hadis baik dirâyah maupun riwayah dan secara konsisten mengoreksi karya tulisnya yang berkenaan dengan hadis. Dari gurunya ini pula Bin „Âsyûr banyak belajar tentang sistematika berpikir yang teliti, visioner, dan bercakrawala luas. Ṣâliḥ al-Syarîf adalah guru yang menginspirasi Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyûr untuk mendalami tafsir. Ia mengasuh mata kuliah Tafsir dan Akidah. Metode dan pendekatan yang digunakannya dalam mengupas kitab az- Zamakhsyari agaknya yang menginsipirasi Bin „Âsyûr untuk mendalami dan menulis tafsirnya. Ia termasuk guru yang pertama-tama mengajarnya di Universitas Zaitûnah. 5. Murid-Murid Menjadi pendidik senior yang mengabdi dalam jangka waktu yang panjang di Universitas Zaitûnah membuat Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyûr turut berjasa menghasilkan tokoh-tokoh penting di Tunisia dan Aljazair termasuk kalangan menteri dan penulis-penulis besar. Di antara mereka ialah: dua orang putranya sendiri, masing-masing Muhammad al-Fâḍil dan Abdul Malik, Muhammad al-Ḥabîb Bin al-Khaujah, dan Abdul Ḥamîd Bin Badîs, juga sejumlah cucu Ibn „Âsyûr sendiri menjadi profesor di Universitas Zaitûnah.

63

Muhammad al-Fâḍil (1909-1970M) ialah seorang pujangga, orator, tokoh pergerakan dan reformasi Tunisa, pengajar di Zaitûnah merangkap hakim, pernah menjabat sebagai dekan Fakultas Syariah dan Fakultas Usuludin, dan mufti negara. Sering memberi perkuliahan di Sorbone Prancis, Istambul, dan India. Aktif di berbagai seminar internasional dan muktamar studi ketimuran. Ia menghasilkan sejumlah karya tulis di berbagai bidang antara lain: ensiklopedi tokoh, sastra, dan pemikiran. Putra Ibn „Âsyûr yang lain, Abdul Malik, seorang pengawai umum tetapi aktif menulis makalah-makalah ilmiah di berbagai media massa, juga mengkodifikasi tulisan-tulisan ayahnya, Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin „Âsyûr, yang tersebar di berbagai media massa. Muhammad al-Ḥabîb Bin al-Khaujah (1922-2012), profesor-doktor di Zaitûnah, pernah jadi dekan di sana, mufti resmi pemerintah Tunisia, sekretaris umum Lembaga Fikih Islam. Juga penulis aktif dengan banyak karya tulis di bidang Ilmu Keislaman dan Bahasa Arab. Abdul Ḥamîd Bin Bâdîs (1889-1940) ulama besar mazhab Maliki dan tokoh pembaharu Aljazair, pendiri Jam‟îyah al-Ulamâ` al-Muslimîn al- Jazâ`îriyyîn (Persatuan Ulama Muslim Aljazair). Ia gigih menentang penjajahan dan upaya mem-Prancis-kan Aljazair. Gagasannya tentang perlawanan terhadap penjajahan tercermin dari ungkapannya, “kita perangi penjajahan dengan memerangi kebodohan” Ibn „Âsyûr adalah gurunya semasa menimba ilmu Zaitûnah, ia menjadi menjadi murid sekaligus lawan diskusi bagi Ibn „Âsyûr.

B. Karya dan Pemikiran 1. Karya-Karya Dengan latar belakang rasio cultural yang kuat, kecintaan terhadap ilmu, ketekunan dan keikhlasan, di samping komitmen pada pendidikan dan kewara‟annya semua memotivasi Ibn „Âsyûr untuk mengabdikan diri pada ilmu, menjadi pengajar, tokoh agama, waktunya dihabiskan untuk mengajar dan menulis buku. Dua buku yang fenomenal, yaitu tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr dan Maqâsid al-Syarî‟ah al-Islâmiyah menjadi rujukan utama bagi para mufassir.

64

Adapun karya-karya Ibn „Âsyû antara lain: a. Dalam bidang ilmu keislaman 1) Tafsîr al-Tahrîr Wa al-Tanwîr 2) Maqâsid al-Syarî‟ah al-Islâmiyah 3) Ushûl an- Nadzhâm al- Ijtimâ‟iy fi al-Islam 4) Alaîsa al-Subhu bi Qarîb 5) Uṣû al-Insyâ` wa al-Khiṭâbah 6) At-Tauḍîḥ wa at-Taṣḥîḥ fî Uṣhûl al-Fiqh 7) Ḥâsyiah „alâ at-Tanqîḥ lil Qarâf 8) Al-Waqfu wa Âṡâruh fî al-Islâm 9) Kasyfu al-Mugaṭṭâ min al-Ma‟ânî wa al-Alfâẓ al-Wâqi‟ah fî al-Muwaṭṭâ‟ 10) Ta‟âlîq „alâ al-Maṭûl wa Ḥâsyiah as-Sayâlakûtî b. Dalam bidang Bahasa dan sastra 1) Ushûl al-Insya Wa al-Khithâbah 2) Wajîz al-Balâghah 3) Syarah al-Muqaddimah al-Adabiyah li syarh al-Imâm al-Marzûqi Ali Diwân al-Hamashah li Abi Tamâm. 4) Sariqât al-Mutanabbi 5) Taḥqîq Fawâ`id al-„Iqyân li al-Fatḥ Bin Khâqân ma‟a Syarḥ Dîwân Ibn Zâkûr 6) Tarâjum li Ba‟ḍ al-A‟lâm 7) Taḥqîq Kitâb al-Iqtiṣâb li al-Baṭliyûsiy ma‟ Syarḥ Kitâb Adab al-Kâtib, 8) Taḥqîq Muqaddimah fî an-Naḥw li Khalif al-Aḥmar 9) Jam‟ wa Syarḥ Dîwân Suḥaim, Syarḥ Mu‟allaqât Imr al-Qays, 10) Taḥqîq li Syarḥ Ia juga aktif menyampaikan fatwa dan pemikiran pembaharuannya di berbagai media massa dan jurnal ilmiah. As-Sa‟âdah al-„Uẓmâ, az-Zaitûnah, Hudâ al-Islâm, Nûr al-Islâm, al-Hidâyah al-Islâmiyah, Majallah Mujammaʻ al-Lugah al- „Arabiyyah, Majallah al-Mujammaʻ al-„Ilmiy, al-Manâr, ar- Risâlah adalah namanama majalah ilmiah di mana Ibn „Âsyûr menjadi kontributor pentingnya. Sejumlah surat kabar juga rajin memuat artikel Ibnu

65

„Âsyûr, seperti: surat kabar az-Zahrah, an-Nahḍah, al-Wazîr, aṣ-Ṣabâḥ, al- Fajr.9

2. Pemikiran Maqâsid al-Syarî’ah Ibn ‘Âsyûr

Mayoritas sarjana maqâsid modern sepakat bahwa pendefinisian Maqâsid al- Syarî‟ah secara jelas dan komprehensif-protektif (jamî‟-mani‟) baru dilakukan di tangan sarjana maqâsid modern, yakni Ibn „Âsyûr. Berbeda dengan konsep maqâsid al-syarî‟ah yang dicetuskan oleh ulama sebelumnya seperti al-Ghazâlî dan al-Syâtibî, Ibn „Âsyûr menyebutkan poin-poin maqâsid al-syarî‟ah yang dikehendaki oleh syara‟ melalui pelaksanaan syariah Islam, serta membaginya menjadi dua kelompok penting, yakni maqâsid al-syarî‟ah „âmmah dan maqâsid al- syarî‟ah khâṣṣah. Berikut akan dibahas mengenai pemikiran maqâsid yang dimaksudkan.

2.1. Maqâsid al-Syarî‟ah al-„Âmmah Menurut Ibn „Âsyûr, yang dimaksud dengan maqâsid al-syarî‟ah al- „âmmah adalah sasaran dan tujuan syariat yang mencakup kepentingan dan kemaslahatan manusia secara umum, seperti melestarikan sebuah system yang bermanfaat, menjaga kemaslahatan, menghindari kerusakan, merealisasikan persamaan hak antar manusia, dan melaksanakan syariat sesuai aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah. Definisi Ibn „Âsyûr tersebut tampaknya bukan lagi definisi yang sifatnya normatif, tetapi sudah mulai masuk pada wilayah yang lebih konkrit dan operasional. Ia menegaskan bahwa maqâsid al-syarî‟ah memiliki dua sifat, yakni sifat umum yang meliputi keseluruhan syari‟ah dan sifat khusus seperti maqâsid al-syarî‟ah yang khusus dalam bab-bab fiqh, seperti hukum keluarga dan hukum mu‟amalah lainnya. Dalam konteks inilah maqâsid al- syarî‟ah dimaknai sebagai suatu kondisi-kondisi yang dikehendaki oleh shara‟ untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia atau untuk menjaga

9 Al-Gâliy, Syaikh al-Jâmi‟ al-A‟ẓam Muhammad al-Tâhir Ibn „Âsyûr: Ḥayûâtuh wa Âṡâruh. Beirût: Dâr Ibn Ḥazm, 1417H/1996M., h. 71

66

kemaslahatan umum dengan memberikan ketentuan hukum dalam perbuatan- perbuatan khusus yang mengandung hikmah.10 Gagasan tentang maqâsid al-syarî‟ah, sebagai sebuah nilai, prinsip, dan paradigma telah dikenal sejak permulaan Islam. Namun, secara konseptual, pemikiran tentang maqāṣid al-syarī‟ah baru terkonstruksi secara sistematis oleh al Syātibî (w. 790 H) melalui bukunya al-Muwâfaqât fî Uṣûl al-Syarî‟ah, yang berarti Harmonisasi Asas-Asas Syariat. Atas jasanya itulah al-Syâtibî digelari sebagai Bapak Perumus maqâṣid al-syarî‟ah Pertama. Melalui karyanya itu, al-Syâtibî mengembangkan teori al-maqâsid dengan melakukan tiga transformasi penting.11 Pertama, transformasi al-maqâsid dari sekadar al-masâliḥ al- mursalaḥ (maslahat-maslahat lepas) ke ushûl al-dîn wa qawâ‟id al-syarî‟ah wa kulliyât almillah (asas-asas agama, kaidah-kaidah syariat, dan pokok- pokok kepercayaan dalam agama Islam). Kedua, transformasi al-maqâsid dari „hikmah di balik aturan‟ kepada „dasar aturan‟. Berdasarkan pemahaman ini al-Syâtibî menarik kesimpulan bahwa aturan mana pun yang dibuat atas nama syariat tidak dapat melangkahi al-maqâsid. Lebih lanjut ia mengatakan, berdasarkan transformasi kedua ini, pengetahuan akan al-maqâsid adalah syarat utama bagi keahlian ijtihad pada segala tingkatan. Ketiga, transformasi al-maqâsid dari „ketidaktentuan‟ menuju „keyakinan‟; dari ẓanniy menuju qaṭ‟iy. Yakni keyakinan akan hasil proses induksi yang dilakukannya terhadap ayat-ayat Alqurân untuk menarik kesimpulan tentang al maqâsid. Sementara Ibn „Âsyûr, melalui bukunya Maqâsid al-Syarî‟ah al- Islâmiyyah, mengelaborasi al-maqâsid lebih holistik lagi dengan mengembangkan dan menyempurnakan konsep maqâsid al-syarî‟ah-nya al- Syâtibî. Bahkan, Ibn „Âsyûr telah mengindependensikan maqâsid al-syarî‟ah

10 Muhammad Thahir Ibn „Âsyûr, Maqâṣid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah, (Amman: Dar al-Nafais, 2001), h. 51 11Jâser„Audah,al-Maqâṣid untuk Pemula, penerjemah „Ali‟Abdelmon‟im,(Yogyakarta:SUKA- Press, 2013), h. 46-48

67

sebagai disiplin ilmu tersendiri. Karenanya, Ibnu „Âsyûr dijuluki “guru kedua” (al-mu‟allim al-ṡanī) setelah al-Syâtibî sebagai “guru pertama”. Pada bagian ini akan dibahas bagian-bagian dari maqāshid al- sharī‟ah al-„âmmah sebagai berikut: a. Fitrah Artinya bahwa ajaran Islam atau syariat Islam yang diturunkan oleh Allah untuk kemaslahatan manusia sesungguhnya sangat sesuai dengan karakter asas manusia itu sendiri. Begitu juga, dalam pandangan Ibn „Âsyûr, fitrah adalah sifat dasar manusia (al-khilqah) dalam artian sebuah sistem tertentu (al-niẓām) yang telah Allah swt tanamkan atau ciptakan pada setiap ciptaannya, baik bersifat lahiriah (yang terlihat) maupun batiniah (tidak terlihat). Ibn „Âsyûr menyebutkan dalam kitab at-Tahrîr Wa al-Tanwîr, ِ ِ َِّ ِ ٍ ِ َِّ ِ ِ ِ الْفطَْرةَ ى َي النَّظَامُ الذ ْي أَْوَجَدهُ اهللُ يف ُك ِّل ََمْلُْوق, َوالْفطَْرةُ الِت ََتُ ص ن َْوَع اْإلنْساَن ى َي ماَ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ َخلََقوُ اهللُ َعلَيْو َج َسًداَوَعْقالً, فََم ْش ُي اْإلنْساَن برْجلَيْو فطَْرةٌ َج َسديَّةٌ, َوُُمَاَولَتُوُ أَ ْن ي َتَ ن َاَوََ اَْأَ ْْيَا َ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ برْجلَيْو خالَ َف الْفطَْرة ا ْْلَ َسديَّة, َوا ْستنْتَا ُج الْ ُم َسبَّبَات م ْن أَ ْسبَاِبَاَ َوالنَّتَائ ِج م ْن ُمَقَّد َماِتَا فطَْرةٌ َعْقليَّةٌ, ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ َوُُمَاَولَةُ ا ْستنْتَاِج أَْمر م ْن َغْْي َسبَبو خالَ ُف الْفطَْرة الَْعْقليّة Fitrah ialah sistem yang diciptakan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang dikhususkan untuk spesies manusia ialah apa-apa yang seperti itulah Allah menciptakan manusia secara jasmani dan akli. Oleh karena itu, berjalan dengan kedua kaki adalah fitrah jasmani; upaya mengambil segala sesuatu dengan kaki menyimpang dari fitrah jasmani, menyimpulkan adanya faktor penyebab berdasarkan suatu sebab adalah fitrah akal, demikian juga dengan menarik kesimpulan berdasarkan premis tertentu. Sebaliknya menarik kesimpulan tanpa premis tertentu adalah bentuk menyimpang dari fitrah akal.12 Islam adalah agama fitrah karena prinsip-prinsip dasarnya tidak bertentangan dengan kodrat dasar jasmani, akli, dan rohani manusia.

12 Ibn „Âsyûr, Kitab Tahrîr Wa al-Tanwîr, j. XXI, h. 90

68

Prinsipprinsip dasar tersebut kemudian melahirkan kaidah-kaidah dan furuk- furuk hukum yang juga mudah diterima. Kefitrahan Islam membuatnya relatif terbuka untuk dibawa ke ranah diskusi ilmiah, dan secara objektif lebih mudah diterima. Allah swt berfirman,

                  

13      

Menafsirkan ayat ini Ibnu „Âsyûr mengemukakan bahwa kata fiṭrah adalah badal dari ḥanîfa yang memliki dua opsi ikrab: Pertama, ḥâl dari ḍamîr mustatir dalam fiil aqim, dan sebagai badal maka fiṭrata juga memliki fungsi yang sama. Dengan demikian ayat tersebut diartikan: maka hadapkanlah wajamu kepada agama Allah (Islam) dengan lurus dan dengan fitrah Allah yang Dia ciptakan manusia berdasarkan fitrah itu. Kedua, ḥâl dari al-dîn (Islam) dan fiṭrata dengan sendirinya juga menerangkan keadaan al-dîn, sehingga ayat tersebut diartikan: maka hadapkanlah wajamu kepada agama Allah (Islam) yang berada dalam keadaan lurus dan fitrah Allah yang Dia ciptakan manusia berdasarkan fitrah itu. Penafsiran kedua, menurut Ibnu „Âsyûr lebih tegas menunjukkan Islam sebagai agama fitrah.14 Demikian pun penafsiran pertama tidak keluar dari koridor Islam sebagai agama fitrah. Ayat ini memerintahkan supaya mukalaf menerima perintah agama dengan hati yang bersih sesuai fitrah agar ia dapat mengimani dan mematuhinya karena Islam itu bersifat fitrah.

Ibn „Âsyûr membagi fitrah ke dalam dua macam, yaitu “fiṭrah „aqliyyah” (akal jernih) dan “fiṭrah nafsiyyah”. Dengan fitrah yang pertama, manusia bisa merasakan adanya zat yang patut diimani serta menyadari urgensi

13 Q.S. ar-Rûm/30: 30. 14 Ibn „Âsyûr, Kitab Tahrîr Wa al-Tanwîr, j. XXI, h. 47

69

aturan atau syariat untuk mengatur kehidupan manusia.15 Sementara fitrah yang kedua adalah naluri dan keinginan yang diciptakan Allah kepada manusia untuk memenuhi keinginan-keinginan secara baik dan terarah. Contohnya, naluri atau fitrah ingin menikah, berinteraksi dengan sesama, dan sebagainya.16

b. Al-Samâhah (toleransi) Secara kebahasaan samâḥah adalah masdar fiil samuḥa- yasmaḥu samâḥah, yang berarti murah hati, suka berderma. Menurut Ibn „Âsyûr samâhah bermakna al-„adl atau al-tawassut (dalam bahasa hukum artinya posisi antara kesempitan dan kemudahan, moderat, atau seimbang). Ibn „Âsyûr menyatakan bahwa al-samâhah merupakan awal dari sifat-sifat syarî‟ah dan maqâsid terbesarnya.17Al-samâhah yang kemudian dimaknai secara terminologis oleh Ibn „Âsyûr sebagai “kemudahan yang terpuji atas sesuatu yang orang lain menganggap sulit”, disifati sebagai hal yang menghilangkan bahaya dan kerusakan. Dikatakan sebagai “kemudahan yang terpuji” karena dalam kemudahan yang dimaksud tidak mengandung unsur kemudharatan. Menurutnya, Allah memberi sifat kepada kaum muslimin sebagai “ummatan wasaṭan” karena kaum muslimin mempunyai kewajiban untuk selalu menegakkan syariah Islam, sedangkan di dalam syariah tersebut terkandung doktrin al-samâhah.18 Islam adalah agama samâḥah, syariatnya bersifat mudah, toleran, dan moderat. Syariat Islam bertujuan menjadikan pemeluknya menjadi pribadi dan umat yang berada pada dimensi pertengahan (moderat), Allah Swt berfirman,

dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu umat ِ ,َوَكَذ ل َك َجَعلْنَا ُك ْم أَُّمةً َو َسطًا

15 Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr, Maqâṣid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah (Amman: Dar al Nafais, 2001), h. 259

16 Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr, Maqâṣid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah, h. 261-262 17 Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr, Maqâṣid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah (Amman: Dar al-Nafais, 2001), h. 60 18 Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr, Maqâṣid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah (Amman: Dar al-Nafais, 2001), h. 61

70

yang pertengahan,19 tidak bertujuan untuk menimpakan kesulitan mukalaf, َوَما dan tidaklah Dia sekalikali menjadikan atas kamu ِ ِ , َجَع َل َعلَيْ ُك ْم ِف الِّديْ ِن م ْن َحَرِج dalam agama suatu kesempitan.20 Pengaturan dan pembatasan perilaku individual dan sosial oleh syariat tidak dimaksudkan untuk mengekang dan mempersulit gerak para mukalaf. Ibn „Âsyûr mengatakan bahwa hikmah adanya al-samâhah dalam syariah Islam adalah karena Allah menjadikan agama ini (Islam) sebagai agama fitrah. Dan fitrah mengantarkan manusia kepada sifat atau keadaan dimana jiwa manusia merasa mudah untuk menerima keadaan tersebut. Dan Allah menghendaki syariah Islam sebagai syariah yang mudah dilaksanakan oleh umat manusia. Karena adanya sifat al-samâhah dalam Islam menjadikan kecenderungan orang untuk menerima Islam dan syariahnya, karena sifat tersebut merupakan salah satu jalan untuk mewujudkan rahmat dan kasih sayang di alam semesta. Sehingga secara induktif, dapat diketahui bahwa al- samâhah dan kemudahan adalah bagian dari maqâsid agama.21 c. Al-Musâwah (kesetaraan) Islam memandang bahwa semua manusia dalam suatu wadah -persaudaraan global, dinyatakan dalam Alqurân “ ِ ِ َِّ” Orang إَّنَاالْ ُمْؤمنُ ْوَن إ ْخَوة ٌ orang beriman itu sungguh bersaudara”.22 Di antara substansi persaudaraan ialah kesetaraan dan persamaan hak masing-masing individu –dengan segala perbedaan yang ada di antara mereka –dengan memiliki hak-kewajiban yang sama terhadap syariat. Kesetaraan dimaksud harus dilandasi oleh fitrah sebagai karakter fundamental syariat Islam dan maqâṣid-nya. Kesetaraan dan persamaan yang sesuai fitrah, menuru Ibn „Âsyûr ialah kesetaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh individu meskipun memiliki berbagai

19 Q.S. al-Baqarah/02: 143. 20 Q.S. al-Ḥajj/22: 78. 21 Muhammad Thâhir Ibn „Âsyûr, Maqâṣid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah (Amman: Dar al-Nafais, 2001), h. 61

22 Q.S. al-Ḥujurāt/49: 10

71

perbedaan, sepanjang perbedaan dimaksud tidak mempengaruhi kontribusi masing-masing dalam upaya mewujudkan kemaslahatan kolektif. Dengan demikian kesetaraan dan persamaan hak dan kewajiban diberlakukan dalam hal-hal yang mana fitrah menghendaki adanya kesetaraan dan persamaan, sebaliknya dalam perkara kesetaraan dan perlakuan yang sama bertentangan dengan fitrah maka syariat tidak memaksakannya. Bagi Ibn „Âsyûr, al- musâwah sangat penting diterapkan terutama terhadap lima prinsip dasar yang menjadi tujuan syariat Islam (al-ḍarûriyyât al-khamsah), yaitu hifz al-dîn (menjaga agama), hifz al-nafs (menjaga jiwa), hifz al-„aql (menjaga akal), hifz al-nasl (menjaga keturunan), dan hifz al-mâl (menjaga harta). Dalam hal ini Ibn „Âsyûr berpijak pada firman Allah surah al-Nisa ayat 135: َِّ ِ ِ ِ ِ َِِّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ يَا أَي َها الذي َن آَمنُوا ُكونُوا قَ َّوام َي بالْق ْسط َُْهَدا َ للو َولَْو َعلَى أَنْ ُفس ُك ْم أَو الَْوالَديْ ِن َواَأقْ َرب َي إ ْن يَ ُك ْن َغنيًّا ِ َّ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ ِ ِ أَْو فَق ًْيا فَاللو ُ أَْوَل ِبَما فَال تَ تَّبعُوا اْْلََوى أَ ْن تَ ْعدلُوا َوإ ْن تَ لُْووا أَْو ت ُْعر ُضوا فَإ َّن اللو َ َكا َن ِبَا تَ ْعَملُوَن َخبْيًا

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.23

Dengan firman-Nya yang lain,

ِ ِ ِ ِ ِ َِّ ِ ال يَ ْستَوي منْ ُك ْم َم ْن أَنْ َف َق م ْن قَ بِْل الَْفتْ ِح َوقَاتَ َل أُولَئ َك أَ ْعظَ ُم َدَرَجةً م َن الذي َن أَنْ َفُقوا م ْن ب َْع ُد َوقَاتَ لُوا َوُكال ِ ِ َوَعَد اللَّوُ ا ْْلُ ْسََن َواللَّوُ ِبَا تَ ْعَملُوَن َخبْي ٌ.

tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukkan (Makkah) mereka lebih tinggi derajatnya dari orang-orang yang menafkahkan hartanya dan berperang setelah itu. Allah

23 Q.S. an-Nisâ`/04: 135.

72

menjanjikan kepada masing-masing mereka (imbalan) terbaik, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.24

Pada ayat pertama mukalaf diperintahkan dalam menegakkan keadilan dan memberi kesaksian untuk bertindak seadil-adilnya tidak membiarkan relasinya dengan para pihak dan keadaan para pihak yang bersengketa mempengaruhi keputusan atau kesaksiannya; siapapun adanya mereka, harus diperlakukan dengan cara yang sama.25

Adapun ayat kedua menerangkan perbedaan kedudukan di antara individu-individu umat berdasarkan nilai kontribusinya terhadap kemaslahatan umat.26

d. Hurriyah (kebebasan) Al-ḥurriyah (kebebasan) secara denotatif adalah antonim „ubūdiyah (perbudakan), dan secara konotatif digunakan sebagai lawan kata terbelenggu dan tercekal, yaitu hak bertindak sesuai hukum untuk diri sendiri seperti yang dikehendaki tanpa terhalang.27 Al-ḥurriyah dengan kedua maknanya, denotatif dan konotatif, menurut Ibnu „Âsyûr merupakan bagian dari Maqâṣid al- Syarîʻah al-„âmah sebagaimana dipahami dari analisis terhadap sejumlah hukum syariat. Al-ḥurriyah dengan makna denotatif sebagai Maqâṣid al-Syarîʻah dipahami dari berbagai hukum yang menunjukkan upaya intensif Islam mengentaskan perbudakan. Berbagai faktor perbudakan sebelum kedatangan Islam diharamkan dengan menyisakan orang kafir tertawan dalam perang sebagai satu-satunya faktor diperbudakkan, sebaliknya berbagai cara dijadikan sebagai jalan pemerdekaan budak, seperti: salah satu tempat penyaluran mal;28

24 Q.S. al-Ḥadîd/57: 10. 25 „Âsyûr, at-Taḥrîr, wa al-Tanwîr, j. V. h. 224-227. 26 Asyur, tahrir wa al-tanwir wa al-Tanwîr, j. XXVII, h. 376. 27 Pemakaian kata ḥurriyah dengan makna ini menurut Ibn „Âsyûr pertama kali oleh Arab keturunan pada awal abad ketiga belas hijriyah seiring terjadinya revolusi Prancis. („Âsyûr, Uṣhûl al- Niẓâm, h. 160). 28 Lihat Q.S. at-Taubah/09: 60.

73

Di samping itu dituntut perlakuan yang lebih manusiawi terhadap budak dan dilarang mempekerjakan mereka di luar kemampuan dan dengan cara yang dapat mencelakakan. Fenomena ini menunjukkan kehendak syariat untuk menghapuskan perbudakan secara persuasif bukan dengan mengharamkan secara spontan, guna menghindari mafsadat yang lebih besar daripada perbudakan itu sendiri, mengingat pada saat itu ketergantungan terhadap tenaga budak sangat tinggi bahkan dapat dikatakan telah menjadi kebutuhan pokok rumah tangga pada umumnya. Larangan yang diturunkan secara sekaligus akan menimbulkan gejolak sosial yang buruk dan berdampak luas. Adapun perbudakan yang tetap dilegalkan terbatas terhadap orang-orang kafir yang menjadi tawanan perang merupakan sanksi yang setimpal dengan upaya mereka memerangi agama Allah. Adapun al-ḥurriyah dengan makna konotatif, sejumlah fenomena hukum dalam syariat Islam menjadi indikator eksistensinya sebagai Maqâṣid al- Syarîʻah. Fenomena-fenomena dimaksud berkaitan erat dengan fundamental aspek keyakinan, perkataan, dan perbuatan dengan konklusi bahwa setiap individu di bawah naungan pemerintah Islam bebas beraktivitas melakukan segala sesuatu yang diizinkan secara syariat menurut ketentuan dan aturan syariat, tidak dibenarkan seseorang dibebani lebih dari itu. Kebebasan berkeyakinan ditunjukkan dengan mengecam dan membatalkan ajaran yang memaksakan suatu kepercayaan tanpa berusaha memahamkan, tanpa argumentasi dan dalil, sebaliknya memerintahkan untuk menyampaikan fakta dan argumentasi yang kuat dalam mendakwahkan akidah Islam; berdialog dengan cara yang baik dengan pihak-pihak yang menentang; berupaya membawa mereka kepada kebenaran dengan penuh hikmah, nasehat yang tulus, dan berdebat dengan cara terbaik jika diperlukan bukan dengan pemaksaan. Keanekaragaman mazhab Fikih menunjukkan pengakuan dan perlindungan Islam terhadap kebebasan berpendapat dan menyampaikan pendapat. Setiap individu, untuk keperluan pribadi, pada dasarnya bebas melakukan tindakan hukum yang diperkenankan syariat dengan atau tanpa memanfaatkan

74

sumber daya yang diperbolehkan, baik bersifat yang terbatas maupun yang bersinggungan dengan kepentingan individu lain selama tindakan dimaksud tidak merugikan kepentingan lain dimaksud. Dalam hal tindakan hukum individu berdampak terhadap kepentingan dan kebebasan individu lain maka syariat mengatur sedemikian rupa agar tidak ada pihak yang dirugikan. Legitimasi syariat terhadap tindakan hukum oleh mukalaf yang secara sadar melepaskan hak dan kepentingannya kepada pihak lain berupa sedekah, wakaf, hibah, hadiah, dan sebagainya merupakan bagian dari aturan dimaksud yang mengindikasikan kebebasan bertindak sebagai Maqâṣid Syarîʻah, sebagaimana diindikasikan juga oleh larangan melakukan perbuatan yang merugikan pihak lain baik individu maupun umum, disertai dengan sanksi yang setimpal dan kewajiban mengganti kerugian yang ditimbulkan dengan yang sepadan. Penjatuhan sanksi dan ganti rugi yang diwajibkan tersebut diatur oleh syariat agar tetap selaras dengan maqâṣid syarîʻah kebebasan bertindak individual melalui mekanisme peradilan dan menyerahkan kewenangan eksekusi kepada pemerintah yang sah, bukan kepada pihak yang dirugikan guna menghindari tindakan balas dendam dan melampaui batas. 2. 2.Maqâsid al- Syarî‟ah al-Khâssah Definisi maqâsid al-syârîah al-khâssah menurut Ibn „Âsyûr adalah: tujuan syariat yang khusus, yakni tentang muamalat, yang di dalamnya mengupas berbagai isu maqâsid al-syarî‟ah, misalnya maqâsid al-syarî‟ah hukum keluarga, maqâsid al-syarî‟ah penggunaan harta, maqâsid al-syarî‟ah hukum perundang-undangan dan kesaksian. Pada masing-masing kelompok hukum terdapat maqâṣid al-syarîʻah khusus yang menjadi acuan seluruh hukum parsial yang tercakup dalam masing-masing rumpun dimaksud. Inilah ruang lingkup pembahasan maqâṣid al-syarîʻah khusus ini. 1) Maqâṣid Syarîʻah Hukum Perkeluargaan Menurut Ibn „Âsyûr Maqâṣid Syarîʻah hukum-hukum kekeluargaan merujuk kepada empat maqâṣid utama, yaitu: mengukuhkan ikatan pernikahan, mengukuhkan ikatan nasab kekerabatan, mengukuhkan ikatan persemendaan, dan tata cara melepaskan ikatan-ikatan tersebut dalam situasi tertentu.

75 a) Mengukuhkan Ikatan Pernikahan Syariat Islam mengukukuhkan ikatan dan tata cara pernikahan sebagaimana diatur dalam syariat Islam menjadi satu-satunya tata cara pernikahan yang sah, serta membatalkan bentuk-bentuk pernikahan jahiliah lainnya. Dalam ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur pernikahan dimaksud, menurut Ibn „Âsyûr, terdapat dua substansi yang menjadi Maqâṣid Syarîʻah-nya, yaitu: Pertama: menunjukkan perbedaan antara esensi pernikahan, dan perbuatan zina, pelacuran. Dalam tata cara penyelenggaraan pernikahan itu sendiri setidaknya terdapat tiga ketentuan yang menunjukkan perbedaan pernikahan dengan perzinaan: Pertama, adanya nikah bagi wanita sebagai syarat sah akad nikah, menurut jumhur. Keterwakilan wanita oleh walinya dalam pelaksanaan ijab-kabul menunjukkan bahwa kecendrungan menerima si laki-laki sebagai pasangan hidup tidak semata motif pribadi tetapi diketahui dan didukung oleh wali dan kerabatnya; hal mana secara umum tidak dijumpai dalam perbuatan zina dan pelacuran. Kedua, Mahar yang disepakati sebagai salah satu syarat sah akad nikah yang telah dikenal dalam tradisi pernikahan sebelum kedatangan Islam. Mahar diberikan kepada wanita terhormat (bukan pelacur) sebagai bentuk penghormatan dan ungkapan kasih sayang suami kepadanya bukan kompensasi atas segala sesuatu yang diberikannya. karena mahar adalah hak istri bukan orang tua dan keluarganya. Ketiga, menyiarakan pernikahan minimal dengan dua orang saksi dalam akad nikah sebagai syarat sah, serta syariat walimah yang menurut jumhur sangat dianjurkan (sunnah mu`akkadah). Kedua, delegitimasi pembatasan masa berlaku. Klausul pemberlakuan masa berlaku untuk waktu tertentu tidak dibenarkan dalam akad nikah karena menyerupakannya dengan akad sewa-menyewa sehingga menghilangkan itikad baik suami istri untuk melanggengkan pernikahan yang menjadi fundamen sistem kekerabatan. b) Mengukuhkan Hubungan Nasab Hubungan nasab adalah ikatan paling dasar dalam hubungan kekerabatan. Ia menjadi motif dasar bagi seseorang untuk loyal dan berbakti

76

kepada kepada orang tua dan generasi di atasnya, dan di sisi lain bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan anak dan generasi di bawahnya. Kondisi yang demikian memungkinkan keharmonisan dan ketentraman berkeluarga berdiri pada pijakan bertumbuh yang kondusif. Sebaliknya jika keautentikan nasab diragukan maka kasih sayang dan ketentraman dalam keluarga terancam sirna, besar kemungkinan akan timbul konflik yang melibatkan sejumlah pihak hingga pengabaian hak-hak anak yang masih memiliki ketergantungan yang tinggi kepada orang tua. Dengan demikian aturan-aturan yang memberikan kepastian hukum tentang keautentikan hubungan nasab dalam suatu keluarga menjadi suatu kebutuhan yang fundamental. Salah satu maqâṣid Syarîʻah utama aturan-aturan hukum kekeluargaan dalam Syariat Islam ialah meneguhkan ikatan nasab dari hal-hal yang dapat menimbulkan praduga yang meragukan keautentikan nasab. Maqâṣid ini secara implisit dipahami dari sejumlah aturan dalam hukum kekeluargaan, di antaranya ialah: larangan poliandri;29 larangan laki-laki merdeka menikahi wanita budak kecuali dalam kondisi darurat;30 perbedaan hukum hubungan antara budak perempuan dengan majikan laki-laki dan majikan wanita dengan budak lakilakinya di mana laki-laki diperbolehkan menggauli budak perempuannya tetapi tidak demikian dengan wanita yang memiliki budak laki- laki; larangan bagi wanita meninggalkan rumah tanpa izin suami. Substansi dari ketentuan-ketentuan hukum dimaksud menurut Ibn „Âsyûr ialah mencegah hal-hal yang dapat menimbulkan praduga yang meragukan keabsahan nasab anak sang istri kepada suaminya. Maqâṣid Syarîʻah terpenting lainnya dari hukum-hukum kekeluargaan dalam syariat Islam ialah mengatur dan menetapkan tata cara pemutusan ikatan pernikahan, nasab, dan persemendaan bilamana masing-masing ikatan tersebut karena sebab tertentu tidak mendatangkan maslahat yang diharapkan,

29 Q.S. an-Nisâ`/04: 24. Ayat dimaksud menyampaikan larangan menikahi wanita muḥṣanah, yaitu yang telah terlindungi oleh pernikahannya dengan laki-laki lain. (lihat at-Taḥrīr, j. V, h. 5 30 Yaitu dalam kondisi dia tidak mampu membiayai dan menafkahi wanita merdeka, sementara itu dikawatirkan dia terjerumus kepada perbuatan zina. (Lihat Q.S. an-Nisā`/04: 25

77

sebaliknya menimbulkan mudarat yang lebih besar ketimbang mudarat jika masing-masing hubungan diputuskan. Syariat menetapkan sejumlah aturan untuk memutus dan mengakhiri ikatan hubungan-hubungan dimaksud sedemikian rupa agar mudarat yang timbul dalam proses tersebut dapat diminimalisir jika tidak dapat dihindari sama sekali. Oleh karna itu, pemutusan ikatan dimaksud disyariatkan untuk melakukan melalui perwakilan masing-masing pihak untuk mencari titik temu penyelesaian persoalan di antara mereka agar pemutusan hubungan dimaksud dapat dihindari.31 Ikatan pernikahan diakhiri dan terputus dengan cara talak oleh suami atau tuntutan khuluk oleh istri, hubungan nasab anak kepada ayahnya terputus dengan cara lian, sedangkan ikatan persemendaan terputus dengan sendirinya dengan terputusnya ikatan pernikahan. 2) Maqâṣid Syarîʻah dalam Hukum Tata Niaga Harta atau kekayaan menurut Ibn „Âsyûr ialah segala sesuatu yang secara langsung maupun tidak langsung dapat dimanfaatkan oleh individu, kelompok individu atau masyarakat umum untuk mewujudkan kemaslahatan pada berbagai waktu, keadaan, dan kebutuhan. Kekayaan umat dan individu- individunya bersumber berasal dari sumber tamalluk32 (kepemilikan), dan takassub33 (penghasilan). Ibn „Âsyûr mengemukakan lima Maqâṣid Syarîʻah khusus dalam perputaran kekayaan, yaitu: ar-rawāj, transparansi, perlindungan terhadap harta, kepastian hukum atas kepemilikan, dan berkeadilan.34 3) Maqâṣid Syarîʻah dalam Muamalat Ketenagakerjaan Kepemilikan modal kekayaan pada kenyataannya terbatas pada sejumlah individu masyarakat saja, tidak setiap individu memiliki harta yang cukup untuk dijadikan modal menghasilkan kekayaan berikutnya. Pada sisi lain individu-individu yang menguasai kekayaan yang berlimpah sebagai modal

31 Abdullah bin Abdurrahman bin Ṣâliḥ al-Bassâm, Tauḍîḥ al-Aḥkâm min Bulûg al Marrâm cet. 2 (Riyâḍ: Dâr al-Maimân, 1430H/2009M), j. V, h. 529. 32 ialah penguasaan terhadap sesuatu yang berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan secara langsung atau sebagai alat tukarnya, lihat, „Âsyûr, Maqâsid, h. 465 33 yaitu usaha untuk mendapatkan suatu pemenuh kebutuhan melalui pekerjaan fisik atau negosiasi dengan pihak lain,lihat, „Âsyûr, Maqâsid, h. 465 34 ʻÂsyûr, Maqâṣid, h. 464.

78

memiliki waktu dan kemampuan yang terbatas mendayagunakan hartanya itu secara produktif agar menghasilkan harta kekayaan baru. Ini diperbolehkan oleh syariat karena kebutuhan yang besar (ḥâjiyât) sebab kemasalahatannya tidak terbatas pada individu-individu tertentu tetapi juga bagi kemaslahatan umum. Relasi mutualisme antara kedua belah pihak menjadi fundamen pengayaan umat. Dalam syariat Islam dikenal sejumlah bentuk muamalah dengan prinsip seperti ini, antara lain: ijârah al-abdân,35 musâqâh,36 mugârasah,37 qirâḍ, 38 jaʻl atau jaʻâlah,39 dan muzâraʻah. 4) Maqâṣid Syarîʻah Hukum Tabarru‟ât Tabarru‟ât ialah pemberian suka rela yang didasari oleh semangat tolong menolong di antara individu-individu umat. Tabarru‟ât yang dimaksud oleh Ibn „Âsyûr , antara lain, berupa sedekah,40 hibah,41 „âriah, 42ḥabs atau wakaf, „umra, 43dan pemerdekakan budak.

35 Ijârah al-abdân ialah: akad untuk memperoleh manfaat tertentu yang dilaksanakan oleh musta`jar (orang yang disewa), seperti orang yang disewa untuk membangun atau memperbaki rumah. (Al- Qifâriy, Kasysyâf, h. 235.). 36 Musâqâh ialah: pemilik kebun kurma atau anggur menyerahkan kebunnya kepada pihak kedua agar merawat dan mengairinya dengan sistem bagi hasil. Menurut jumhur musāqah diperbolehkan berdasarkan Sunnah. Abu Hanifah berpendapat haram karena menurutnya bertentangan dengan qiyās atau kaidah dasar muamalah, dan bahwa yang dilakukan Nabi  sebagaimana diriwayatkan adalah dengan orang-orang Yahudi yang bisa jadi dalam perspektif memandang mereka sebagai budak atau tawanan. (ibid, h. 233; Abdullâḥ al-ʻAbâdiy, Syarḥ Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtaṣid: Syarḥ, wa Taḥqîq wa Takhrîj (t.t.p.: 1416H/1995M) j. III, h. 1849-1850.). 37 Mugârasah ialah: akad antara pemilik lahan pertanian dengan penggarap di mana penggarap berkewajiban menanami lahan pemilik dengan tanaman produktif dengan sistem bagi hasil. (lihat Al- Mausûʻah al-Fiqhiyyah, j. XXI, h. 173-174.). 38 Pemilik modal menyerahkan harta modalnya kepada pihak kedua untuk diperniagakan dengan kesepakatan keuntungannya dibagi antara mereka berdua. Qirâḍ diperbolehkan berdasarkan ijmak. (Al- Qifāriy, Kasysyāf, h. 231.). 39 Jaʻâlah (sayembara) ialah: menjanjikan imbalan tertentu untuk pekerjaan tertentu atau tidak tertentu yang memiliki kesulitan tertentu. Ini diperbolehkan berdasarkan nas Alqur`an dan Sunnah. (Al- Qifāriy, Kasysyâf, h. 238; az-Zuḥailiy, Fiqh, h. 3864.). 40 Sedekah ialah: pemberian yang diberikan tanpa imbalan dengan niat taqarrub kepada Allah oleh karena itu zakat disebut juga dalam Alqur`an ṣadaqah. Menurut Rāgib al-Aṣfahâniy jika wajib disebut zakat, jika suka rela disebut sedekah. (al-Mausûʻah al Fiqhiyyah, j. XXVI, h. 323; Al-Husain bin Maʻrûf bin al-Mufaḍḍal ar-Râgib al-Aṣfahâniy, Mufradât Alfâẓ al-Qur`ān (Damaskus: Dâr al-Qalam, t.t.) j. I, h. 575. 41 Hibah ialah: pemindahan kepemilikan atas harta tertentu atau tidak tertentu yang dapat diserahterimakan oleh seseorang yang diperkenankan melakukan tindakan hukum kepada orang lain pada saat masih hidup secara suka rela tanpa kompensasi. (al-Bassâm, Tauḍîḥ, j. V, h. 123; bandingkan dengan Sābiq, Fiqh, j. III, h. 281).

79

Menurut Ibnu „Âsyûr dalam syariat tabarru‟ût ada empat maqâṣid Syarîʻah khusus, yaitu: Intensifikasi Tabarru‟ât, sukarela, fleksibilitas, dan melindungi hak pihak lain yang terkait. 5) Maqâṣid Syarîʻah Khusus Sistem Peradilan dan Kesaksian Ibn „Âsyûr mengistemisasi pemikirannya tentang maqâṣid khusus sistem peradilan menurut syariat Islam dalam tiga bagian, yaitu: Maqâṣid Syarîʻah dalam lembaga peradilan,44 Maqâṣid Syarîʻah dalam jabatan qâḍî atau hakim, dan Maqâṣid Syarîʻah dalam persaksian. C. Tafsir Ibn ‘Âsyûr dan Tafsir Maqâsidi

1. Latar Belakang Penulisan Tafsir at-Tahrîr Wa al-Tanwîr

Ibn Âsyûr mulai menulis tafsir pada 1431 H/ 1923 M, setelah beliau naik jabatan dari qâdhi menjadi mufti. Tafsir 30 juz, ditulisnya dalam 15 jilid kitab, dalam waktu 39 tahun. Meskipun diselingi dengan penulisan karya-karya lain, buku maupun makalah, beliau tetap bersungguh-sungguh menyelesaikan penulisan tafsirnya. Selama penulisan tafsir, kondisi sosial politik Tunisia saat itu mengalami kesenjangan antara pemerintahan dan kaum ulama. Disaat pemerintahan dipimpin oleh seorang diktator, menggiring Syaikh Ibn Âsyûr melanjutkan perjuangannya dalam membela kebebasan pemikiran Islam di Tunisia. Ia menentang pemerintah dengan mengumpulkan kekuatan untuk menyampaikan pesan-pesan agama kepada pemerintah.45 Sementara gerakan reformasi dan pembaharuan yang

42 „Âriah ialah: membolehkan orang lain untuk memanfaatkan suatu benda bermanfaat yang dimiliki sedangkan bendanya tetap utuh, dikembalikan kepada pemilik setelah pemanfaatannya selesai. ʻÂriyah (meminjamkan) diperboleh berdasarkan nas Alqur`an dan Hadis serta ijmak ulama. „Āriyah dipandang memiliki nilai ibadah. (Al-Bassâm, Tauḍîḥ, j. IV, h. 645.) 43 ʻUmrā ialah: sejenis hibah tetapi pemberi hibah menyaratkan hibah berlaku hanya selama penerima masih hidup, setelah itu dikembalikan kepada pemiliknya. Ulama berbeda pendapat tentang keabsahannya karena adanya kontradiksi dalam memahami nas-nas yang berkaitan dengan „Umrā, Imam Malik termasuk yang membolehkannya berdasarkan hadis, “al-muslim „alâ syurûṭihim.” (Al-Bassām, Tauḍîḥ all-Aḥkâm, j. V, h. 136- 137; Sâbiq, Fiqh, j. III, h. 289; As-Sijistâniy, j. III, h. 332, no. 3596; at- Turmużi, Sunan, III, h.28, no. 1352.). 44 Menurut Ibnu „Âsyûr maqâṣid Syarîʻah keberadaan lembaga peradilan dalam syariat Islam ialah tersedianya perangkat unsur-unsur yang mendukung upaya menegakkan kebenaran dan menundukkan kebatilan baik yang nyata maupun yang terselubung, („Âsyûr, Maqâṣid, h.494) 45 Balqâsim al-Ghâly, Shaikh al-Jâmi‟ al-A‟ẓam Muhammad al-Tâhir ibn „Âsyûr: Ḥayâtuh wa Âṡâruh, (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1417H/1996M) 117

80 dipelopori Muhammad Abduh di Mesir (1849/1905), setelah merebak ke berbagai belahan negara Islam, tidak terkecuali Tunis. Ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh mulai mempengaruhi intelektual Tunis, tidak terkecuali Ibn Âsyûr.46 Saat itu Muhammad Abduh di Mesir, menghimbau agar umat Islam melakukan pembaharuan dalam bidang pendidikan. Himbauan ini nampaknya juga bergema di Tunis. Ibn Âsyûr merespon himbauan tersebut dan bergerak mereformasi pendidikan dan menyampaikannya di berbagai seminar. Tidak hanya itu, Ibn Âsyûr pun ikut terjun dalam gerakan reformasi yang terjadi. Hasilnya adalah dibangunya cabang-cabang Az-zaitûnah di berbagai kota di Tunis. Kualitas pendidikanpun ditingkatkan dengan menambahkan ilmu-ilmu selain ilmu syarî‟ah, seperti matematika, kimia, filsafat, sejarah dan Bahasa Inggris. Menelaah bagian pembukaan tafsir Ibn Âsyûr membuktikan bahwa Ibn Âsyûr memiliki cara tersendiri dalam menafsirkan al-Qur‟an. Dari sini bias ditelusuri jejak-jejak keterlibatan Ibn Âsyûr dalam gerakan reformasi di Tunis. Sejak awal penulisan tafsirnya,Ibn Âsyûr selalu menjaga komitmen untuk menjadikan penafsiranya sebagai sebuah kritik bukan taqlîd. Sisi pembaharuan Ibn Âsyûr dapat dicermati dan obsesinya menafsirkan al-Qur‟an dengan memunculkan hal-hal yang baru yang belum pernah ditulis dalam tafsir-tafsir sebelumnyaini dengan tujuan untuk menjadikan tafsirnya sebagai penengah dari tafsir-tafsir lainya. Menurut Ibn Âsyûr membatasi penafsiran pada tafsir bi al- ma‟tsur akan menelantarkan isi kandungan al-Qur‟an yang memang tidak akan pernah habis untuk dibahas.47 Menurut Ibn Âsyûr diantara sebab terbelakangnya ilmu tafsir, adalah kecenderungan yang berlebihan terhadap tafsir bil ma‟tsûr. Juga karena besarnya kecenderungan para ulama menulis hanya dengan penukilan, dengan alasan takut keliru dalam menafsirkan. Akibatnya orang menjadikan tafsir bi al-ma‟tsûr sebagai satu-satunya metode penafsiran. Pada akhirnya, tafsir yang hanya sekedar penukilan dari tafsir-tafsir sebelumnya, dapat membatasi pemahaman terhadap al-Qur‟an dan mempersempit maknanya. Contoh nyata dari pembaharuan Ibn Âsyûr bisa dilihat pada nama

46 Faizah Alisyibromalisi, Tela‟ah Tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr Karya Ibn Âsyûr, Jurnal, h. 3 47 Ibn Âsyûr, Tahrîr al-Tanwîr, jilid 1 h. 7

81

tafsirnya yang semula berjudul Tahrîr al-Ma‟nâ al-Sadîd wa Tanwîr al-„Âql al jadîd (Memilih Makna yang Tepat dan Mencerahkan Akal yang Barudari al- Qur‟an). Akan tetapi kemudian judul tafsirnya disingkat menjadi al-Tahrîr wa al- Tanwîr.

2. Karakteristik Tafsir

Diantara Karakteristik tafsir yang menonjol dari tafsir Ibn „Âsyûr adalah sebagai berikut:

a) Perhatian Ibn „Âsyûr terhadap Bahasa Arab Tafsir Ibn „Âsyûr bukan hanya dianggap sebagai buku tafsir, tetapi bisa dikatakan sebagai kitab kebahasaan. Karena menjadikan ilmu nahwu, shorof, balaghoh menjadi objek kajianya, sehingga bisa dijadikan sebagai pegangan. Bahkan balaghoh menjadi focus perhatiannya dalam tafsir ini. Ia berhasil mengeksploitasi Bahasa yang bertumpu pada syair-syair Arab baik pra maupun pasca Islam untuk memahami alqurân. Hal ini bisa kita saksikan alam penafsirannya dari sisi kebahasaan dimana Ibn‟Âsyûr sangat memperhatikan penjelasan makna kosa kata dari sisi nahwu, shorof, dan menyebutkan fungsi kata dari sisi makna dan balaghahnya.48 Ini dilakukannya karena obsesi Ibn‟Âsyûr adalah menjadikan kitab tafsirnya bukan sekedar berfungsi sebagai kitab tafsir, tapi juga sebagai rujukan kebahasaan. Menurut Ibn‟Âsyûr beliau telah memberikan kosa kata yang tidak di temukan dalam kamus manapun.49 b) Perhatian Ibn „Âsyûr Tentang Fiqh Dalam bidang fiqh Ibn‟Âsyûr menekankan pentingnya mengetahui ilmu maqâsid al-syarî‟ah sebagai sarana untuk mentarjih pendapat yang satu dari pendapat lainnya. Seorang ahli fiqh menurut Ibn‟Âsyûr harus membedakan antara berbagai posisi khitab apakah posisinya sebagai targhib atau tarkib tabsyir (kabar gembira) atau tazhkir (peringatan) meskipun semua dating dari nash-nash. Syarî‟ah ini tentu dalam rangka bertepatan mentarjih dan mengistinbath maqâsid syarî‟ah-nya.

48 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (Ciputat: Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 125 49 Ibn‟Âsyûr, Tafsir at-Tahrîr Wa al-Tanwîr, jil.I, h. 38 dari ayat 21 al-Baqarah.

82

Untuk menunjukan kepakarannya dalam bidang fiqh, Ibn „Âsyûr tidak pernah melewatkan komentar-komentar fiqh-nya pada ayat-ayat ahkam, meskipun secara ringkas tanpa bertele-tele, sesuai dengan pemaparan para fuqoha‟, sahabat dan tabi‟in baru kemudian beristibath. Misalnya tafsir surat al-Baqarah ayat 102 Ibn „Âsyûr menjelaskan bahwa Islam telah memberi peringatan يُ َع ِّل ُم ْو َن النَّا َس ال ِّس ْح َر dan mencela sihir. Hal ini bukan berkaitan dengan hakikat sihir tetapi peringatan terhadap rusaknya akidah dan hilangnya ikatan agama karena ilmu sihir. Para ulama Islam sendiri berbeda pendapat seputar keberadaan sihir dan peningkarannya, yaitu perbedaan yang diakibatkan oleh cara pandang setiap kelompok melihat macam-macam sihir. Kemudian Ibn‟ Âsyûr mengatakan bahwa tidak ada dalam pembicaraan mereka penjelasan tentang sihir yang mereka tetapkan keberadaannya. Masalah ini merupakan masalah furu‟iyah fiqh, tidak masuk dalam masalah ushuluddin. c) Perhatian Ibn „Âsyûr terhadap Qira‟at dalam tafsirnya Berkenaan dengan ilmu qira‟at berdasarkan pengamatan penulis Ibn „Âsyûr telah menunjukan perhatian yang sangat besar dalam bidang ini menurut pendapatnya ilmu qir‟at adalah ilmu yang agung, meskipun berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu, tapi tidak bisa dipisahkan dari ilmu tafsir, karena pengaruhnya yang besar terhadap penafsiran. Perbedaan bacaan menyebabkan perbedaan hasil istinbath hukum.50 Hal ini terbukti ketika menafsirkan ayat-ayat, ia banyak mengangkat berbagai qirâ‟ât yang terkait dengan bacaan ayat-ayat tersebut, dan seringkali menjelaskan sisi perbedaan diantara qirâ‟ât tersebut, baik dari sisi harakat, struktur kata, panjang pendeknya pengucapan huruf ketika dibaca, bahkan dampak hukum dari perbedaan qirâ‟ât tersebut. 51

3. Metode Penafsiran

Ibn „Âsyûr ini, menggunakan metode tahlîlî dengan kecenderungan tafsir bi al-ra‟y. Dikatakan menggunakan metode tahlîlî karena Ibn ‟Âsyûr dalam

50 Ibn „Âsyûr, Muqadimah Tafsir al-Tahrîr wa al-tanwîr. Jilid I h. 51 51 Ibn „Âsyûr, Muqadimah Tafsir al-Tahrîr wa al-tanwîr. Jilid I h. 55-61

83 menulis tafsirnya menguraikan ayat demi ayat sesuai dengan urutan yang tertera dalam mushaf. kemudian ia menjelaskan kata per kata dengan sangat detail mengenai makna kata, kedudukan, uslub bahasa Arabnya serta aspek-aspek lainnya yang sangat luas.

Dengan metode penulisan ini Ibn „Âsyûr menyoroti ayat-ayat al-Qur‟an dengan memaparkan segala makna dan aspek kebahasaan dan sastranya yang terkandung di dalam ayat yang di tafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat. Ibn „Âsyûr juga memperluas masalah- masalah penafsiran yang tidak disentuh oleh mufasir lainnya, baik dari sisi kebahasaan dan sastranya (balaghoh) maupun dari sisi kemukjizatannya.

Ibn „Âsyûr terkadang menafsirkan ayat dengan ayat, namun ia membatasi pengambilan riwayat-riwayat yang tidak memiliki bukti keshahihannya, apalagi jika penafsiran tidak bergantung pada riwayat tersebut.52

4. Sumber Penafsiran

Mengetahui sumber penafsiran sebuah karya tafsir sangat penting untuk mengetahui sejauh mana kapasitas riwayat atau naql dan kapasitas ra‟yi atau logika dalam tafsir tersebut. Dengan kata lain, apakah tafsir itu hasil penukilan dari tafsir Nabi, sahabatdan Tabi‟in (Tafsir bi al-Ma‟tsûr) atau hasil ijtihad Ibn Âsyûr seluruhnya ataukah hasil campuran (kolaborasi) dari tafsir bi al-Ma‟tsûr dan tafsir bi al-Ra‟yi.

a) Tafsir bi al-Ma‟tsûr sebagai sumber pesnafsiran Menurut Ibn Âsyûr, tafsir bi al-Ma‟tsûr adalah tafsir yang diperoleh dari penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, penafsiran al-Qur‟an dengan Sunnah Nabi atau perkataan sahabat seagai penjelasan dari mkasud Allah menurunkan kitab sucinya, atau penafsiran dengan perkataan tabi‟in, meskipun ulama berselisih paham seputar posisi tafsir tabi‟in apakah termasuk bi al-ma‟tsûr atau bi al-ra‟yi. Sedangkan al-Thabari yang membatasi tafsirnya sebagai tafsir bi al-ma‟tsûr memasukan tafsir tabi‟in sebagai tafsir bi al-ma‟tsûr.

52 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab tafsir Klasik-Modern,h. 122-123

84

Untuk tafsir yang berdasrkan al-Qur‟an, atau bias disebut menafsirkan al- Qur‟an dengan atas dasar al-Qur‟an itu sendiri, maka tingkat kebenarannya tidak diragukan bahkan harus diterima, karena tafsir al-Qur‟an dengan al-Qur‟an dianggap berasal dari Allah, yang mengetahui maksud diturunkannya al-Qur‟an dan yang mengetahui apa yang diturunkan. Sedangkan tafsir dengan Sunnah Nabi SAW adalah sebagai penjeâlasan Nabi SAW yang memang telah diperintahkan untuk menjelaskannya. Sebagaimana firman Allah sebagai berikut: ِ ِّ ِ ِ ِ ِ َّ َّ َوأَنْ َزلْنَا إلَيْ َك الذْكَر لتُبَ َِّي للنَّا ِس َما ن ُِّزََ إلَيْه ْم َولََعلُه ْم ي َتَ َفكُروَن Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada merekadan supaya mereka memikirkan”53 Sementara itu tafsir al-Qur‟an yang bersumber pada pendapat-pendapat para sahabat hukumnya marfu‟, jika terkait dengan asbab nuzûl. Ini sebagaimana dikatakan oleh al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak. Mengenai tafsir sahabat, imam al-Syâtibî berpendapat bahwa tafsir sahabat memiliki dua kelebihan: Pertama, Bahasa Arab mereka fasih. Mereka juga dianggap paling mengetahui dan memahami al-Qur‟an dan Sunnah. Jika ada penjelasan atau perbuatan sahabat yang menempati posisi sebagai penjelas al-Qur‟an, menurut al-Syâtibî, maka tafsir sahabat termasuk dalam tafsir bi al-ma‟tsûr. Kedua, sahabat adalah orang- orang yang terlibat langsung dalam berbagai peristiwa yang mengiringi turunnya wahyu dan menyaksikan sendiri turunnya wahyu. Sehingga para sahabat lebih memahami makna-makna ayat dari pada generasi-generasi sesudahnya. Untuk tafsir yang bersumber dari tabi‟in Imam Suyuti mempertanyakan, sejauh mana tafsir tabi‟in bisa menjadi hujjah yang dibenarkan dalam tafsir al- Qur‟an. Hal ini dijawab, jika riwayat-riwayat itu bersumber dari riwayat-riwayat shahîh, maka hukumnya maqbûl (bisa diterima). Jika hanya penafsiran dari sisi kebahasaan saja yang dijadikan parameter dari penafsiran, maka menurut al- Suyuti, hal ini juga dianggap maqbûl (bisa diterima).

53 QS. Al-Nahl (16):44

85

Menurut Ibn „Âsyûr, tafsir tabi‟in ditolak bila datang dari para pendusta, seperti riwayat isrâilliyât. Menyikapi tafsir yang demikian, menurut Ibn „Âsyûr, kita tidak perlu meyakininya ssecara mutlak dan tidak menolaknya secara mutlak pula. b) Tafsir bi al-Ra‟yi Sebagai Sumber Penafsir Yang dimaksud dengan tafsir bi al-Ra‟yi adalah menafsirkan al-qurân dengan cara berijtihad yang dilakukan oleh mufassir, yang memiliki pengetahuan tentang perkataan orang-orang Arab, yang mengetahui makna lafaz-lafaz al- qur‟ân dan syair-syair Arab jahiliah. Mereka juga harus mengetahui sabâb nuzul, mengetahui naskh Mansûkh dan perangkat ulum al-qur‟ân lainnya. Ibn „Âsyûr dalam muqaddimah dibawah tema sahnya tafsir tanpa bi al- ma‟tsur dan makna tafsir bi al-Ra‟yi, mengajak pembacanya untuk berdialog secara bersahajauntuk meyakinkan mereka bahwa berijtihad untuk menafsirkan ayat dibolehkan karena banyak tafsir al-qur‟ân yang sanadnya tidak sampai kepada rasul. Sebab kalau hal itu dilarang, tentu penafsiran menjadi sangat ringkas, hanya dalam beberapa lembar kertas saja. Sebab sebagaimana dikatakan oleh Imam Ghazâlî dan al-Qurthûbi bahwa tidak semua apa yang dihasilkan sahabat itu bersumber pada apa yang mereka dengar dari rasul. 4. Kontribusi Tafsir Ibn „Âsyûr dalam Pengembangan Tafsir Jika dilihat dari perkembangan tafsir di era kontemporer, karya tafsir Ibn ‟Âsyûr ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Dengan gayanya yang khas, tafsir ini telah menyumbangkan beberapa pemikiran yang cukup inovatif. Sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Mustaqim dalam karyanya Epistemologi Tafsir Kontemporer, bahwa paradigma tafsir kontemporer meniscayakan kritisisme, objektivitas, dan keterbukaan bahwa produk penafsiran itu tidaklah kebal dari kritik.54 Ada beberapa kontribusi yang disumbangkan Ibn ‟Âsyûr dalam karya tafsirnya. Di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, Ibn ‟Âsyûr membuat gradasi tafsir bi al-ra‟yi menjadi lima tingkatan. Yakni 1) penafsiran yang hanya terlintas di benak seseorang dan tidak disandarkan pada dalil-dalil bahasa Arab dan maqâsid al-syarî‟ah serta

54 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2010), 84.

86 aplikasinya. Penafsiran semacam ini menurut Ibn ‟Âsyûr merupakan penafsiran bi al-ra‟yi yang dilarang dalam hadis karena menafsirkan al-Qur‟an tanpa menggunakan dasar ilmu. Penafsiran seperti ini dianggap salah meskipun ia benar karena tidak berdasarkan ilmu. Misalnya ketika seorang penafsir menafsirkan alif lâm mîm dengan tafsiran ‚”Sesungguhnya Allah menurunkan Jibril kepada Nabi Muhammad dengan membawa al-Qur‟an”.55

2) Penafsiran yang tidak mendalam karena tidak merenungkan al-Qur‟an dengan sesungguhnya (an lâ yatadabbar al-Qur‟ân haqqa tadabburih). 3) Tafsir yang cenderung memihak pada mazhab atau kelompoknya. Dalam tafsir bentuk ini, seorang penafsir memalingkan makna al-Qur‟an dari makna yang sebenarnya. Dalam lain perkataan, bahwa orientasi penafsirannya ditujukan untuk mendukung dan memperkuat mazhab atau kelompoknya. 4) penafsiran dengan akal berdasarkan apa yang terkandung dalam kata-kata dalam alQur‟an. Dalam hal ini, penafsir beranggapan bahwa yang terdapat dalam kata di dalam al-Qur‟an adalah satu-satunya makna dan menghindari mena‟wilkan al-Qur‟an yang terlalu jauh, 5) menafsirkan al-Qur‟an dengan sangat hati-hati di dalam merenungkan dan mena‟wilkan al-Qur‟an. Kedua, Ibn „Âsyûr dinilai sebagai ulama yang objektif. Meskipun ia menganut mazhab Maliki, ia tetap menekankan budaya objektivitas dalam karyanya. Sebagaimana diungkap di awal bahwa salah satu ciri penafsiran kontemporer adalah penafsiran non-sektarian atau dengan kata lain seorang penafsir tidak boleh terjebak dalam kungkungan mazhab atau kelompok tertentu. Ibn „Âsyûr dalam pengembangan tafsir, bahwa seseorang penafsir sah-sah saja menganut suatu mazhab asalkan mengetahui dalil-dalil dari suatu hukum atau suatu pandangan dari mazhab yang dianutnya serta selalu melakukan crosceck ulang dan memilih pendapat yang paling benar berdasarkan dalil-dalil yang ada. Salah satu sikap objektif yang ditunjukkan oleh Ibn „Âsyûr dalam karya tafsirnya adalah ketika beliau men-tarjîh (mengunggulkan) mazhab yang berseberangan dengan mazhabnya sendiri. Contohnya adalah ketika beliau menjelas kata al-

55 Ibn „Âsyûr, Tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Vol. 1, 30.

87 maitah dalam Q.S. al-Baqarah (2):173 setelah menjelaskan keharaman memakai bangkai binatang, Ibn „Âsyûr masuk kepada penjelasan penggunaan kulit binatang. Ibn „Âsyûr menguraikan pendapat keempat Imam mazhab yakni , Syafi‟i, Hanafi dan Maliki. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa kulit bangkai binatang tidak bisa suci meskipun disamak (dibersihkan dengan bahan pekat seperti daun pohon ara). Imam Syafi‟i mengatakan bahwa kulit binatang bisa suci apabila dibersihkan (disamak) kecuali kulit babi dan anjing. Sedangkan Imam Abû Hanifah mengatakan bahwa kulit bangkai itu bisa suci asal dibersihkan (disamak) kecuali daging babi. Pendapat Imam Abu Hanifah ini disandarkan kepada sebuah hadis dari al-Zuhri sedangkan yang lain tidak ada sandaran hadisnya. Di akhir penjelasannya, Ibn „Ar mengatakan bahwa pendapat yang paling kuat dari keempat mazhab tersebut adalah pendapat Imam Abû Hanifah karena disandarkan kepada sebuah riwayat hadis. Sedangkan pendapat yang lain tidak ada dalil hadisnya, termasuk Imam Maliki yang notabene dianut oleh Ibn „Âsyûr. Dari penjelasan ini dapat dikatakan bahwa Ibnu „Asyur dengan karya tafsirnya memberikan andil yang cukup signifikan dalam hal objektifitas menafsirkan al-Qur‟an. Peneliti menangkap pesan bahwa untuk bersikap objektif, seorang mufassir tidak perlu meninggalkan mazhab yang dianutnya akan tetapi sikap objektif itu bisa dicapai dengan ilmu yang memadai serta tekad yang kuat untuk mengungkap kebenaran al-Qur‟an sebagaimana tercermin dari sikap Ibn „Âsyûr dalam tafsirnya. Ketiga, asumsi dasar Ibn „Âsyûr yang menyatakan bahwa tujuan al-Qur‟an diturunkan itu adalah untuk menciptakan kemaslahatan seluruh urusan umat manusia (li salâhi amr al-nâs kâffah). Secara rinci ia melanjutkan bahwa kemaslahatan umat manusia itu akan tercapai dengan tegaknya kemaslahatan personal (al-salâh al-fard), kemaslahatan sosial kemasyarakatan (al-salâh al- jamâ‟î) serta kemaslahatan peradaban (alalâh al-„umrani). Ketiga unsur kemaslahatan ini tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, sebuah karya tafsir haruslah menjadi sesuatu yang solutif bagi berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat manusia.

BAB IV

TAFSIR AYAT-AYAT HIFDZ AL-NAFS PERSPEKTIF IBN ‘ÂSYÛR DAN RELEVANSINYA TERHADAP TAFSIR MAQÂSIDI

A. Tafsir QS. al- Isra : 31 ِ ٍ ِ ِ ِ ِ 1 َوال تَ ْقتُ لُوا أَْوالَدُك ْم َخ ْشيَةَ إْمالق ََنْ ُن ن َْرُزق ُُه ْم َوإيَّا ُك ْم إ َّن قَ تْ لَُه ْم َكا َن خطْئًا َكب ًريا

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami lah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.

Ayat tersebut di atas dapat dimaknai secara jelas sebagai ayat yang mengandung makna penjagaan kepada jiwa (hifz an-nafs), yaitu makna larangan kepada orang tua untuk membunuh jiwa anak-anak mereka hanya karena persoalan keterbelakangan ekonomi. Dari sisi asbab an-nuzulnya, ayat tersebut turun sebagai teguran keras pada masa jahiliyah di mana penduduknya gemar membunuh anak-anak perempuan mereka karena ditakutkan seorang perempuan tidak mampu untuk bekerja, dan atau ketika orang tuanya sudah meninggal mereka akan terlantar karena tidak ada yang sanggup untuk mengurusinya.2

Jika ditelaah dengan pendekatan tafsir maqâsidi Ibn „Âsyûr, ayat di atas termasuk ke dalam maqâsid al-‘âmmah, sebab menjaga jiwa anak-anak dengan tidak membunuhnya dapat menjadi kemaslahatan bukan saja kepada keluarga, namun juga masyarakat secara umum. Hal itu sebab anak-anak merupakan generasi yang berpotensi menjadi penerus orang tuanya yang akan menjaga nama baik orang tua dan juga agamanya. Dengan tidak melakukan pembunuhan pula, juga dapat menjadi contoh bagi masyarakat yang lain untuk tidak melakukan perilaku yang dilarang oleh agama, yaitu melakukan pembunuhan kepada anak- anak perempuan yang diasumsikan tidak mampu untuk bekerja.

Larangan Allah untuk membunuh jiwa anak-anak perempuan merupakan kesalahan yang fatal. Sebagaimana disinggung dalam potongan ayat Alqurân di

1 al-Qur‟an, Surat al-Isra ayat 31 2 Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, (Beirut: Dar Al-Ma‟rifah, 1412), jilid 15, h. 57.

87

88 atas, yaitu kata “khit’an kabira: kesalahan yang besar”. Dalam konteks fitrah manusia, membunuh anak-anak secara nalar aqliyah tidak dibenarkan, sebab dengan melakukan demikian sama saja dengan mengingkari eksitensi Allah sebagai pemberi rizki kepada seluruh makhluk-Nya. Karena menurut Ibn „Ashur, Allah telah menggariskan rizki setiap hamba yang Ia ciptakan.3 Oleh karena itu membunuh anak-anak dengan alasan kesejahteraan ekonomi sama dengan mengingkari ketentuan Allah.

secara nalar nafsiyah, juga bertentangan, sebab melawan fitrah kemanusiaan yang membenarkan hal-hal yang positif dan mengesesampingkan hal-hal yang negatif. Baik secara lahiriah ataupun . Manusia tidak menginginkan pembunuhan. Karena perbuatan itu sesungguhnya tidak membawa kepada kemaslahatan baik bagi diri (dalam hal ini orang tua) ataupun masyarakat secara umum. Perilaku pembunuhan kepada anak-anak yang belum baligh menyalahi qadrat Tuhan.

Dalam posisi toleransi (as-samahah) membunuh jiwa anak-anak karena hanya alasan keterbelakangan ekonomi atau kekhawatiran terkait itu tidak diperbolehkan, karena jelas Allah mentoleransi makhluk-Nya yang tidak mampu dalam menjalankan apa-apa yang dibebankan kepada mereka. Allah memaklumi orang-orang yang perekonomiannya kurang, sehingga tidak perlu untuk membunuh anak-anak mereka. Oleh itu, dalam konteks masa sahabat dan atau kepemimpinan generasi setelahnya diadakanlah baitul mal yang salah satu fungsinya adalah menjaga jiwa-jiwa yang secara finansial terbelakang. Baitul mal hadir sebagai jawaban bagi manusia zaman modern untuk memaklumi diri dan keluarganya untuk menjaga jiwa keluarga merereka dari hal-hal yang membahayakan, seperti membunuhnya.

Agama Islam tidak membolehkan perbuatan menakuti kepada orang lain, bahkan kepada semua alam sekalipun. Oleh itu melalui toleransi yang merupakan basis bagi hifz an-nafs agama Islam mentoleransi siapapun yang enggan untuk memberikan kesejahteraan kepada anaknya secara lebih. Allah Swt pun melalui

3 Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 4, h. 124.

89 ayat Alqurân-Nya secara tegas mentolerir manusia untuk tidak melakukan pekerjaan yang tidak sanggup untuk dilakukannya (QS. AL-baqarah [2]: 286).

Semua manusia juga memiliki kedudukan yang sama di mata Allah bahkan di sisi hukum di dunia. Oleh itu dalam maqasid as-syariah dikedepankanlah lima prinsip penting, yang salah satunya adalah menjaga jiwa dari kerusakan atau pembunuhan yang di luar tuntutan syariat. Karena menurut „Âsyûr, pembunuhan yang dilakukan semena-mena terhadap jiwa-jiwa yang tidak melakukan pelanggaran syariat maka perilakunya itu dapat dipastikan hanya berasaskan nafsu.4 Prinsip kesetaraan (musawa) itu kemudian dibebankanlah kepada semua manusia di muka bumi untuk menjadi ciptaan-Nya dan juga menjadi khalifatullah fil ‘ardh (pemimpin di muka bumi). Manusia diberikan oleh Allah kebebasan untuk memilih yang terbaik, tidak terkecuali memilih untuk hidup dan memberi manfaat kepada banyak orang.

Salah satu prinsip maqâsid bagi Ibn „Âsyûr adalah adanya kebebasan dalam syariat. Dalam konteks ayat di atas pembunuhan kepada jiwa anak-anak tidak dibenarkan, selagi keberadaan jiwa anak-anak yang dimaksudkan tidaklah menentang aturan syariat Islam. Oleh itu semua manusia memiliki hak yang sama untuk hidup dan menjalankan aktivitas kehidupan di masyarakat, selagi tidak melawan aturan syariat dan hukum yang berlaku. Manusia diberikan oleh Allah kebebasan untuk memilih yang terbaik, tidak terkecuali memilih untuk hidup dan memberi manfaat kepada banyak orang.

Akhirnya, dapat dikatakan bahwa tujuan yang ingin dicapat dalam ayat al-Quran Al-Isra 31 ini kemaslahatan bersama, menjaga ciptaan Allah Swt, dan mengaktualkan syariat Islam secara benar yang dapat memberi kemaslahatan baik bagi orang tua, anak-anak dan juga masyarakat secara umum. Memberikan kesempatan hidup untuk semua manusia dan anak-anak dalam konteks ini adalah bentuk kemaslahatan menurut Ibn „Âsyûr. Sebab dengan begitu, syariat Islam akan terus lestari dan jiwa menjadi terjaga dengan baik.

4 Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 4, h. 122.

90

B. Tafsir QS. al-Isra : 17/33

َِّ َّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َوال تَ ْقتُ لُوا النَّ ْف َس الِت َحَّرَم اللهُ إال با ْْلَِّق َوَم ْن قُت َل َمظْلُوًما فَ َق ْد َجَعلْنَا لَوليِّه ُسلْط َانًا ف َال يُ ْسر ْف ِف الَْقتْل ِ إنَّهُ َكا َن َمنْ ُصوًرا.

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan)yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara lalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.

Ayat di atas juga merupakan larangan Allah kepada umat manusia untuk menjaga jiwa, yaitu larangan untuk membunuh jiwa manusia yang tidak dibenarkan secara syariat untuk dijatuhi hukum bunuh. Jiwa yang boleh dibunuh berdasarkan syariat ialah seperti orang yang keluar dari Islam setelah iman dan orang yang melakukan zina setelah ihsan.5 Secara tersirat dalam ayat tersebut dipahami bahwa pembunuhan jiwa seperti model demikian adalah bentuk kedzaliman. Ayat tersebut juga merupakan larangan kepada orang-orang jahiliyah untuk tidak membunuh anak-anak mereka karena hanya akan merugikan individu mereka dan juga merugikan banyak orang.6

Larangan untuk membunuh jiwa yang Allah haramkan dalam ayat ini juga merupakan bentuk maqâsid ‘âmmah, sebab efeknya bukan saja berhenti pada tataran individu, namun kemaslahatan bersama. Sebagaimana disebutkan oleh Ibn „Âsyûr dalam menjelaskan ayat tersebut, bahwa larangan itu muncul karena merupakan kemaslahatan Islam secara umum, bukan perseorangan. Dengan tidak sembarangan membunuh manusia yang tidak memiliki urusan dengan hukum maka akan melestarikan konsistensi Islam dan pemeluknya terkait hukum Islam. Ajaran agama akan terus lestari jika ditampilkan dengan kemaslahatan untuk

5 Muhammad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid xiii, h. 78-79. 6 Jalal Al-Din Al-Suyuthi, Ad-Dur Al-Mansur Fi Tafsir bi Al-Ma’tsur, (Qum: Maktabah Ayatullah Al-Mar‟asyi An-Najafi, 1440), jilid 3, h. 181.

91

banyak orang7 Oleh karena itu, Islam memberikan kemaslahatan melalui agamanya, kepada semua manusia.

Secara fitrah, larangan membunuh jiwa-jiwa manusia yang tidak memiliki kesalahan yang dibenarkan oleh syariat telah menyalahi kaidah aqliyah dan juga nafsiyah. Sebab secara nalar, membunuh manusia tak berdosa jelas bukan merupakan tuntutan syariat Islam, Allah telah menggariskan aturan demikian. Kiranya ayat di atas cukup terang melarang perilaku pembunuhan terhadap manusia-manusia yang tidak memiliki beban hukuman mati. Dan secara nafsiyyah manusia menolak untuk melakukan perilaku keji yang jelas-jelas bertentangan dengan nuraninya. Karena pada dasarnya nurani manusia selalu menuntun manusia itu untuk berbuat kebaikan dan melaksanakan hal-hal yang positif, serta menjauhi hal-hal negatif.8 Nurani yang hanya mengarahkan kepada perilaku-perilaku yang tidak memberikan kemalsahatan sesungguhnya bukan nurani itu sendiri, namun sekadar hawa nafsu.

Dalam prinsip maqâsid Ibn Âsyûr, pembunuhan terhadap manusia yang tidak dibenarkan syarîat Islam jelas melanggar ajaran tasammuh atau toleransi. Karena melakukan pembunuhan demikian menganggap diri sebagai manusia yang memiliki kekuatan hebat yang tidak peduli dengan aturan serta kekuatan Allah yang jauh lebih besar. Dalam kaitannya dengan ayat-ayat Allah, orang yang sombong hanya akan mendapatkan balasan siksa di neraka jahanam sebagai tempat yang paling buruk bagi semua manusia yang telah melanggar aturan Allah.9

Perilaku pembunuhan sebagaimana di atas juga mencederahi tatanan kesetaraan seluruh manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt dan sebagai mandat kekhalifahan di muka bumi. Karena dalam prinsip kesetaraan berbanding lurus dengan kemaslahatan untuk orang banyak. Setiap orang memiliki kesempatan hidup yang sebenarnya telah Allah berikan. Sedangkan pembunuhan

7 Muhammad Tahir Ibn „Ashur, Al-Maqasid Al-Syari’ah Al-Islamiyyah, (Mesir: Dar Al-Kitab Al-Mishri, 2010), h.151. 8 Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 4, h. 223. 9 Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 24, h. 248.

92

dengan tanpa sebab apapun jelas bertolak belakang dengan salah satu prinsip kenapa syariat Islam diturunkan, yaitu menjaga jiwa-jiwa manusia. 10

Perilaku membunuh jiwa yang tidak bersalah juga telah melanggar kebebasan sesama makhluk ciptaan-Nya. Sebab di mata Allah Swt, seluruh makhluk secara fisik memiliki pandangan yang sama di mata Allah dan hanya ketakwaan yang membedakannya. Selain itu, membunuh manusia-manusia yang tidak berdosa dan Allah haramkan juga merupakan pemicu orang lain untuk melakukan pelanggaran kejahatan membunuh. Karena prinsip dasar agama adalah tidak boleh melukai siapapun yang tidak memiliki latar belakang kesalahan yang mencederahi syariat Islam.

Dengan ayat ini, Ibn „Âsyûr memberikan penegasan sebagaimana ayat sebelumnya, bahwa menjaga jiwa adalah ajaran syariat Islam. Ayat ini menuntun manusia untuk melaksanakan keyakinan agama dengan cara-cara yang maslahat dan tidak mencederahi kemanusiaan, yaitu dengan cara menjaga setiap jiwa manusia yang tidak memiliki catatan kriminal di mata hukum Islam. Membunuh jiwa manusia tanpa sebab apapun sama halnya dengan membunuh syariat Islam yang dasarnya melarang manusia untuk melakukan pembunuhan kepada yang tidak berdosa. Pembunuhan kepada jiwa manusia hanya jika ia melakukan pembunuhan kepada orang lain dengan tujuan memberikan pelajaran bagi orang yang lainnya untuk tidak melakukan hal yang serupa.

C. Tafsir QS. al- Maidah: 5/32

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ٍ ِ ِ َّ م ْن أَ ْجِل ذَل َك َكتَبْ نَا َعلَى بَِن إ ْسَرائي َل أَنَّهُ َم ْن قَ تَ َل نَ ْف ًسا بغَْري ن َْفس أَْو فَ َساد ِف األْرض ف َ َكأََّنَا قَ تَ َل النَّا َس ِ َّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ََجيًعا َوَم ْن أَ ْحيَاَها فَ َكأََّنَا أَ ْحيَا النَّا َس ََجيًعا َولََق ْد َجاءَتْ ُه ْم ُرُسلُنَا بالْبَ يِّ نَات ُُثَّ إ َّن َكث ًريا منْ ُه ْم ب َْعَد ذَل َك ِف

األْر ِض لَُم ْسِرفُوَن

10 Yusuf Ahman Muhammad Al-Badawi, Maqasid Al-Syariah Inda Ibn Taimiyyah, (t.tp: Dar An-Nafais, t.th), h. 127.

93

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keteranga yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.

Ayat ini merupakan peringatan dari Allah kepada Bani Israil untuk menjaga jiwa-jiwa sesama mereka, yaitu dalam bentuk larangan untuk membunuh jiwa orang yang tidak melakukan pembunuhan atau tidak melakukan kerusakan di muka bumi. Larangan pembunuhan dalam ayat ini diadakan karena mambahayakan, yaitu akan meniadakan jiwa-jiwa yang tidak salah. Yang jika dibiarkan, maka perilaku demikian tidak menuntut kemungkinan akan berefek pada munculnya pembunuhan-pembunuhan lain berikutnya, yang berakhir pada hilangnya kehidupan banyak manusia di muka bumi. Bahkan dalam ayat tersebut pembunuhan demikian itu seperti membunuh seluruh manusia.

Dari sisi historisnya, ayat ini turun sebagai peringatan kepada Bani Israil yang selalu mengikuti hawa nafsunya dengan melakukan pembunuhan kepada jiwa-jiwa manusia di antar golongan mereka. Bani Israil melakukan pembunuhan terhadap jiwa manusia dan melakukan kerusakan di muka bumi dengan masif dan terus berkelanjutan. Padahal, jelas-jelas Allah telah melarang perbuatan-perbuatan keji membunuh dan merusak muka bumi sejak zaman Nabi Adam hingga Bani Israil dan hingga umat selanjutnya.11

Secara tegas, larangan membunuh dalam konteks ayat ini mengandung maqâsid al-Qurân dalam prinsip maqâsid Alqurân Tahir Ibn „Âsyûr, yaitu agar terjadi kemaslahatan bersama berupa tidak ada kematian yang tidak wajar yang terjadi di muka bumi, yaitu dengan cara tidak membuat pembunuhan kepada orang-orang yang enggan bersalah ataupun dengan cara membuat kerusakan di

11 Jalal Al-Din Al-Suyuthi, Ad-Dur Al-Mansur Fi Tafsir bi Al-Ma’tsur, (Qum: Maktabah Ayatullah Al-Mar‟asyi An-Najafi, 1440), jilid 3, h. 181.

94 muka bumi yang merupakan sarana publik. Selain itu, kemaslahatan juga agar tidak terjadi banyak hukuman pembunuhan, yang ditengarai oleh satu pembunuhan yang awal. Sebab dalam syariat, pembunuhan harus dibalas dengan pembunuhan. Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Maidah: 45:

Dari sisi fitrahnya, manusia siapapun enggan untuk melakukan membunuh jiwa yang tidak berdosa dan melakukan kerusakan di bumi. Sebab dua perilaku tersebut sudah pasti ditolak oleh syariat agama dan juga oleh jiwa kita sendiri. Karena jiwa siapapun pasti menolak untuk menyetujui pembunuhan kepada orang yang tidak bersalah dan atau membunuh orang yang tidak melakukan kekerasan di muka bumi. Jiwa manusia pada dasarnya selalu mengajak manusia kepada jalan yang positif. Dalam kaitannya dengan ini, Tâhir Ibn „Âsyûr mengaitkan dengan ayat lain yang menyatakan bahwa fitrah manusia akan selalu baik dan selalu mengikuti yang lurus.12

Prinsip yang juga penting dalam maqâsid al-Qurân Ibn „Âsyûr adalah samahah atau toleransi. Pada umumnya, toleransi dilakukan manakala ada dua pihak yang memiliki perbedaan pandangan atau tindakan.13 Maka dalam kasus ayat di atas, sebenarnya tanpa mengajukan prinsip toleransi yang memang menjadi gagasan maqâsid al-Qurân Ibn „Âsyûr, pembunuhan yang berlatarbelakang dari ketiadannya kesalahan merupakan perbuatan yang jelas-jelas melanggar aturan syariat jelas-jelas harus dijauhi. Apalagi dalam prinsip samahah identik dengan menjaga jiwa-jiwa manusia. Oleh itu ayat ini secara tegas sudah memberikan makna yang tersirat bahwa pembunuhan yang tidak berasaskan hukuman syariat merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama. Sebab perbuatan demikian jelas tidak dapat menjaga jiwa orang lain,yang padahal dalam agama jiwa manusia sangat mahal jika dibandingkan dengan apapun.14

Di samping itu, dalam prinsip musawa atau kesetaraan, semua manusia memiliki hak yang sama di mata Allah dan juga hak untuk hidup dengan tetap tunduk pada hukum-hukum yang berlaku. Oleh hal itu membunuh jiwa manusia yang tidak berdosa maka sama saja dengan membunuh hukum yang diberlakukan.

12 Muhammad Tahir Ibn „Âsyûr, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 22, h. 117. 13 Muhammad Tahir Ibn „Âsyûr, Al-Maqashid Al-Syari’ah Al-Islamiyyah, h. 99-100. 14 Muhammad Tahir Ibn „Âsyûr, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 5, h. 117.

95

Dalam konteks Bani Israil, pembunuhan yang dilakukan oleh sebagian mereka maka sama saja dengan pembunuhan yang dialamatkan kepada diri mereka. Sebagaimana menurut Tahir Ibn „Âsyûr, samahah adalah perilaku yang harus dikedepankan dalam keseharian manusia, karena itu berasaskan keadilan dan bertolak dari perilaku mendahulukan hawa nafsu.15

Selain itu, pembunuhan terhadap jiwa yang tidak memiliki urusan hukum dengan syariat Islam adalah menolak kebebasan (hurriyah). Sebab pembunuhan yang demikian jelas-jelas merupakan pelanggaran kebebasan manusia yang memiliki hak hidup di muka bumi Allah Swt. Perilaku pembunuhan kepada jiwa-jiwa yang Allah haramkan berarti membatasi ruang gerak manusia lain untuk menjalankan amanah kekhalifahan di muka bumi. Padahal, misi kekhalifahan sendiri merupakan cita-cita besar untuk membuat kemaslahatan banyak orang.16 Oleh itu hemat penulis, hurriyah adalah prinsip mendasar dalam beribadah dan muamalah selagi tidak melangar aturan syariat Islam, karena prinsip ini memberi dampak dorongan keikhlasan manusia dalam menjalankan amanah dari Allah Swt.

Akhirnya, ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa maqâsid al-Qurân yang terkandung dalam larangan pembunuhan jiwa manusia yang tidak berurusan dengan hukum adalah kemaslahatan supaya tidak terjadi banyak pembunuhan, baik dalam bentuk qisash atau dalam bentuk efek dari kebebasan pembunuhan tersebut yang bisa menular kepada orang lain untuk melakukan pembunuhan- pembunuhan yang serupa.

D. Tafsir QS. al- An’am: 151

ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ قُ ْل تَ َعالَْوا أَتْلُ َما َحَّرَم َربُّ ُك ْم َعلَيْ ُك ْم أَال تُ ْشرُكوا به َشيْئًا َوبالَْوالَديْ ِن إ ْح َسانًا َوال تَ ْقتُ لُ وا أَْوالَدُك ْم م ْن إْمالق ِ ِ ِ َِّ َّ ِ ِ ََنْ ُن ن َْرُزقُ ُك ْم َوإيَّا ُه ْم َوال تَ ْقَربُوا الَْفَواح َش َما ظََهَر منْ َها َوَما بَطََن َوال تَ ْقتُ لُوا النَّ ْف َس الِت َحَّرَم اللهُ إال با ْْلَِّق ِ ِِ ِ ذَل ُك ْم َو َّصا ُك ْم به لََعلَّ ُك ْم تَ ْعقلُوَن

15 Muhammad Tahir Ibn „Âsyûr, Al-Maqasid Al-Syari’ah Al-Islamiyyah, h. 99. 16 Muhammad Tahir Ibn „Âsyûr, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 1, h. 382.

96

Katakanlah:" Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak- anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).

Ayat ini pun merupakan larangan-larangan Allah kepada umat manusia, dari mulai larangan memperssekutukan-Nya, larangan tidak berbakti kepada orang tua, dan larangan untuk tidak menjaga jiwa anak-anak, dengan membunuhnya yang ditengarai oleh persoalan ekonomi. Ketiganya merupakan larangan-larangan yang menjadi fokus larangan Allah dalam satu ayat di atas. Artinya, bukan hanya larangan untuk mmebunuh jiwa-jiwa manusia. Sekiranya konteks ayat ini mirip dengan ayat-ayat sebelumnya yang menyangkut larangan untuk membunuh anak kecil perempuan yang tidak berdosa dan dilatarbelakangi oleh problem ekonomi.

Ayat ini turun manakala terdapat sebagian orang yang taat kepada tuhan mereka namun mereka masih menghalalkan apa-apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa-apa yang Allah anggap halal. Dari sebagian hal-hal tersebut adalah mereka menghalalkan pembunuhan terhadap anak-anak mereka dan juga membunuh orang-orang yang tidak salah secara syara’. Padahal jelas-jelas hal demikian diharamkan oleh Allah Swt.17 Ayat ini kembali mengcounter perilaku- perilaku pembunuhan yang terjadi pada saat ayat terebut turun.

Larangan membunuh baik kepada anak-anak ataupun orang lain secara umum yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam akan memberi damapak kemaslahatan yang bukan saja bagi individu tertentu akan tetapi kemaslahatan untuk banyak orang. Hal itu karena dengan tidak melakukan pembunuhan akan memberikan kemaslahatan untuk orang banyak, seperti akan terus lestarinya kehidupan di muka bumi dan ditaatinya hukum-hukum Allah, khususnya tentang

17 Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, jilid 8, h. 60.

97

hukum larangan membunuh. Sebab melakukan pembunuhan yang tidak karena hukum Allah, seperti melakukan qishas maka sama halnya dengan melanggar hukum Allah.

Hal tersebut di atas berkaitan dengan nalar aqliyah setiap manusia, yang jelas-jelas menolak tindakan pembunuhan yang tidak dibenarkan oleh syariat. Secara fitrah kejiwaan (fitrah nafsiyah), membunuh dengan model demikian di atas juga merupakan tindakan yang sama sekali bertentangan dengan jiwa manusia yang selalu menghendaki kebaikan. Apalagi hanya karena alasan enggan mampu ataupun takut tidak dapat mengurus atau memberikan kesejahteraan kepada anak- anak, hal demikian itu sama sekali tidak sejalan dengan fitrah manusia. Kekurangan harta tidak dapat dijadikan alasan untuk membunuh orang lain. Karena setiap manusia yang lahir Allah telah jamin rizkinya.18 Menurut Ibn „Âsyûr, perilaku membunuh anak-anak dengan alasan takut akan tidak bisa memberikan kesejahteraan hanyalah asumsi belaka yang tidak lain muncul dari hawa nafsu yang tak terkontrol dengan baik.19 Dari pernyataan Ibn „Âsyûr ini jelas bahwa Islam tidak membenarkan perilaku pembunuhan hanya karena masalah ekonomi yang menimpanya.

Dalam persoalan tersebut di atas, tentu saja Allah memberikan toleransi kepada orang tua yang tidak mampu memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Karena prinsip dari agama tidaklah membebani manusia dalam bentuk cobaan atau tindakan yang di luar kemampuan yang dimilikinya.20 Allah merupakan Dzat yang menjamin kesejahteraan setiap makhluk bukan saja manusia kapanpun dan di manapun.

Di samping itu, perilaku membunuh baik terhadap anak-anak ataupun orang lain yang tidak dibenarkan oleh syara; bertentangan dengan prinsip diadakannya agama (syarîat Islam) yang menuntut untuk menjaga jiwa-jiwa manusia, terlebih jiwa-jiwa yang tidak memiliki pelanggaran dengan syarîat

18 Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 7, h. 117. 19 Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 7, h. 118. 20 Artinya: Allah ال يُ َك ِّل ُف هَّللاُ َن ْفساً إِاله ُو ْس َعها َلها ما َك َسبَ ْت َو َع َل ْيها َما ا ْك َت َسبَ ت :Lihat Qs. Al-Baqarah: 286 tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

98

Islam. Sehingga menurut Ibn „Âsyûr, perilaku demikian itu hanyalah berdasar dari hawa nafsu, dan bukan sama sekali timbul dari tuntunan keimanan.21

Setiap manusia memiliki kebebasan untuk hidup di muka bumi dalam rangka mengemban amanah khalifah di muka bumi sejak nabi Adam hingga kapanpun.22 Oleh karena itu, menjaga jiwa dengan tidak membunuh anak-anak yang hanya dikarenakan urusan kesejahteraan, atau membunuh orang yang tidak memiliki catatan kriminal agama, adalah suatu keharusan. Karena dengan demikian syariat Islam telah dilakukan dengan sesuai ketentuan agama yang menjunjung tinggi jiwa-jiwa manusia yang tidak ada alasan untuk menghargai kebebasan hidupnya.

Ayat tersebut di atas jelas merupakan laranga melakukan pembunuhan kepada anak-anak dan orang yang tidak berdosa. Maqâsid Alqurân memberikan maksud bahwa ayat ini melarang melakukan pembunuhan yang tidak dibenarkan syariat Islam.

E. Relevansi Penafsiran Pendekatan Tafsir Maqâsidi

Dalam prinsip maqâsid syarî’ah, suatu hukum yang digali dari sumber- sumbernya harus memberikan kemaslahatan untuk kehidupan manusia. Makna terdalam dari sumber-sumber hukum Islam ialah kemaslahatan itu sendiri. Begitupun dalam prinsip tafsir maqâsidi Tahir Ibn „Âsyûr, ayat-ayat Alqurân yang ditelaah dengan menggunakan tafsir maqâsidi memiliki relevansi penafsiran yang universal yang mengacu kepada tujuan-tujuan didirikannya syarîat Islam. Yaitu sebagai berikut:

1. Memelihara Pesan Universal Alqurân Alqurân merupakan kalamullah yang mengandung makna yang sangat luas. Hingga Alqurân sendiri menegaskan bahwa jika lautan menjadi tinta untuk menuliskan apa yang dikandung oleh Alqurân maka niscaya air laut itu akan habis

21 Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 7, h. 118. 22 Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 33, h. 140.

99

sebelum ayat-ayat Alqurân itu dijelaskan.23 Pernyataan Alquran tersebut dibuktikan dengan kemucnulan ribuan kitab-kitab tafsir yang ditulis dalam rangka menjelaskan sekaligus mengurai apa-apa yang ingin dimaksudkan Allah melalui Alqurân. Disadari atau tidak, satu kitab tafsir dengan kitab tafsir yang lain memiliki penjelasan yang berbeda-beda dalam menjelaskan satu ayat Alqurân. Selain itu, masih banyak persoalan-persoalan yang belum tuntas bahkan tidak akan pernah tuntas dari persoalan yang ada dalam Alqurân. Penafsiran dengan menggunakan pendekatan maqâsid al-syarî’ah, yang kemudian dikenal dengan istilah tafsir maqâsidi, dihadirkan oleh para ulama termasuk Tahir Ibn „Âsyûr dalam rangka menemukan penafsiran yang holistik serta menghadirkan makna Alqurân kepada esensinya.24 Sebagaimana lima prinsip dalam maqâsid al-syarî’ah, yaitu hifz ad-din, hifz an-nafs, hifz aql, hifz nasl wal mal dan hifz ‘irdh, maka penafsiran dengan pendekatan tafsir maqâsidi juga menemukan muara yang sama, yaitu menghadirkan penafsiran yang dapat menjadi jembatan teraktualisasinya lima prinsip diadakannya syarîat Islam di atas. Jika melihat kembali pendefinisian makna tafsir yang dikemukakan oleh Nasruddin Baidhan, yang menyatakan bahwa tafsir adalah usaha menemukan makna yang dikandung Alqurân, baik dari sisi hukum dan hikmah yang ada di dalamnya25, maka pendekatan tafsir maqâsidi kiranya relevan dengan tujuan yang ingin dicapai dengan menafsiri kalam ilahi tersebut. Sebab tafsir maqâsidi berusaha menemukan makna yang universal dari ayat-ayat Alqurân yang relevan dengan tujuan-tujuan didirikannya syarîat Islam. Makna universal itu termasuk dalam empat ayat yang telah dibahas dalam sub bab sebelumnya. Yaitu sebagian darinya tidak dibolehkan membunuh anak-anak perempuan dengan alasan kekurangan rizki. Karena pada dasarnya rizki setiap individu hamba telah ditetapkan. Dan, Allah mentolerir hamba-Nya untuk tidak memaksakan memberikan kesejahteraan kepada anak-anak mereka, dengan mengalihkannya

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ :Lihat Qs. Al-Kahfi: 109 23 قُ ْل لَْو كا َن الْبَ ْحُر مدادا ً ل َكلمات َرِِّّب لَنَفَد الْبَ ْحُر قَ بْ َل أَْن تَ نَْفَد َكلما ُت َرِِّّب َو لَْو جئْنا ِِ ِِ ِبثْله َمَددا ً Katakanlah:" Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk( menulis )kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis( ditulis )kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu( pula ). 24 Halil Thahir, Ijtihad Maqâshidî rekontruksi hukum Islam berbasis interkoneksitas maslahah,(Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara,2015), h. 78 25 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 65.

100

kepada lembaga-lembaga pengelolah zakat untuk orang-orang yang tidak mampu. Dengan begitu, tujuan syarîat terpenuhi, yaitu terjaganya jiwa-jiwa manusia. Makna universal Alqurân yang dapat ditangkap dari pesan maqâsid Alqurân juga bermaksud bahwa Alqurân diturunkan untuk seluruh alam, bukan saja untuk umat Islam. Tafsir maqâsidi memberi relevansi pesan universal Alqurân dalam arti bahwa sasaran Alqurân bukan saja orang muslim, namun juga non muslim, bahkan tanpa mempertimbangkan ideologi, kepercayaan, suku dan ras.26 Alqurân diturunkan untuk memberikan rahmat untuk seluruh alam. 2. Menghasilkan Makna Alqurân yang Mendalam Ciri khas dalam tafsir maqâsidi adalah menemukan makna Alqurân yang mendalam untuk menghasilkan kemaslahatan untuk umat.27 Sebagaimana dinyatakan oleh Tahir Ibn „Âsyûr, bahwa dalam tafsir maqâsidi dengan mendialogkan antara teks-teks Alqurân dan maqâsid syarî’ah, ialah dalam rangka untuk mencapai sebuah interpretasi atas Alqurân yang mendalam, yang bukan saja berhenti kepada teks Alqurân, namun juga berlanjut kepada kontekstual untuk melahirkan kemaslahat untuk orang banyak.28 Dalam persoalan perintah untuk menjaga jiwa (hifz an-nafs) dengan merujuk ayat-ayat Alqurân yang secara sepintas melegalkan melakukan pembunuhan kepada jiwa-jiwa manusia, bahkan kepada manusia yang tidak berdosa, kedudukan tafsir maqâsidi patut dikedepankan. Dengan mengunakan tafsir maqâsidi, tujuan yang ingin dicapai melalui ayat-ayat Alqurân tentang menjaga jiwa akan digali secara mendalam sesuai dengan tujuan ditegakannya syarîat, yang salah satunya untu menjaga jiwa-jiwa manusia.29 Jika melihat pada latar belakang lahirnya tafsir maqâsidi, tafsir ini lahir dari pertentangan antara dua teori tentang apakah suatu ibrah diambil dari kekhususan lafaz dan bukan dari keumuman sebab/peristiwa, atau justru sebaliknya, yaitu suatu hukum diambil dari keumuman lazaf dan bukan dari kekhususan sebab. Dua konsep ini kemudian dicarikan tengah-tengahnya dengan melahirkan satu teori baru, yaitu bahwa ibrah tergantung kepada sejauh mana

26 Irwan Masduqi, Ketika Nonmuslim Membaca Alquran, (Bandung: Mizan, 2010), h. 34. 27 Jaser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqâsid Syari’ah, (Bandung: Mizan Pustaka, 2015), h. 37 28 Muhammad Tahir Ibn „Ashur, Al-Maqashid Al-Syari’ah Al-Islamiyyah, h. 40. 29 Muhammad Tahir Ibn „Ashur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jilid 1, h. 39-40.

101

maqâsid syariah yang diimplementasikan.30 Merujuk pada pertentanga dua hal di atas, para pakar maqâsid syarî’ah, seperti As-syâtibî dan Tahir Ibn Âsyûr mengagas tafsir maqâsidi untuk menemukan tafsir atas ayat Alqurân secara mendalam, yaitu dengan taori tafsir maqâsid Alqurân.31 Dari pernyataan As-Syâtibî dan „Âsyûr tersebut dapat ditangkap suatu pemahaman yang hemat penulis lebih penting, bahwa poin terpenting penafsiran yang mendalam ialah bukan berhenti kepada pendalaman makna kata atau pengembangan kalimat-kalimat Alqurân. Yang lebih penting dari itu bahwa penafsiran yang mendalam adalah penafsiran yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan kemaslahatan untuk seluruh umat manusia tanpa melihat perbedaan yang melatarbelakanginya. 3. Menghadirkan Kehendak Syariat, Bukan Kehendak Manusia Di era modern seperti sekarang, untuk menemukan pemaknaan atas Alqurân yang memberikan kemaslahatan melahirkan tafsir-tafsir kontemporer yang hanya berbasis hermeneutika Alqurân. Telah banyak tokoh-tokoh tafsir yang dikenal sebagai pakar hermeneutika tafsir Alqurân, baik dari Barat maupun dari Islam itu sendiri yang menafsirkan Alqurân terhenti kepada akal dan logika berfikirnya.32 Padahal Alqurân tidak mungkin dipahami hanya dengan akal semata, namun juga diperlukan seperangkat keimanan dan keyakinan terhadap wahyu Allah tersebut.33 Model pendekatan hermeneutika ini meskipun tujuannya untuk menemukan kemaslahatan untuk orang banyak, namun melahirkan problem tersendiri, yaitu karena hanya mengedepankan akal, dan lepas dari nash syarîat Islam.34 Hal ini yang kemudian juga melahirkan para tokoh Islam yang menolak metode tafsir Alqurân dengan menggunakan tafsir hermeneutika.35

30 Kusmana, Epistemologi Tafsir Maqasidi, Mutawatir , Vol. 6 No. 2 (Desember, 2016), h. 208. 31 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2015), h. 242. 32 Abdul Hadi. W.M, Hermeneutika Sastra Barat dan Timur, (Jakarta: Sadra Press, 2014), h. 67. 33 Hal ini serupa dengan kisah Nabi Nuh dan anaknya; Kan‟an, di mana 5000 tahun yang lalu ia enggan mau diajak ayahnya untuk naik ke Perahu, dengan alasan ia mampu untuk naik gunung untuk menghindari banjir bandang yang menimpa kaum Nabi Nuh As saat itu. Pada akhirnya Kan‟an tenggelam di dalam banjir, karena hanya mempertimbangkan akal, dan tidak mengikuti iman. 34 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, (Malang: UB Press, 2011), h. 60. 35 Abdul Hadi W.M, Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas, (Jakarta: Sadra Press, 2016), h. 194.

102

Selain dinilai sebagai tafsir yang hanya terhenti kepada akal dan lepas dari nash Alqurân, teori tafsir ini juga ditolak sebagian tokoh karena berasal dari dunia Barat yang dinilai tidak cocok untuk dijadikan sebagai metode memahami Alqurân. Islam dinilai telah memiliki kaidah-kaidah tafsir Alqurân dan ulum al- Qurân yang sudah disusun oleh para ulama tafsir untuk memahami ayat-ayat Alqurân. Pendekatan tafsir maqâsidi kiranya menjawab problem kontemporer yang mengharuskan hadirnya tafsir Alqurân yang kontekstual dan memberikan kemaslahatan kepada umat manusia. Tafsir maqâsidi tidak murni menggunakan akal, namun tetap dalam kerangka nash-nash agama dan syarîat Islam. Tafsir maqâsidi memberikan pemaknaan atas Alqurân tidak memurnikan akal untuk menghasilkan kemaslahatan umat melalui ayat-ayat Alqurân, tetapi tetap berpegang teguh kepada syarî‟at. Dalam kasus ayat-ayat penjagaan jiwa sebagaimana di atas dibahas misalnya, satu ayat Alqurân menjadi salah satu instrumen untuk memahami ayat Alqurân yang lainnya. Karena prinsip dalam maqâsid Alqurân ialah tetap menjaga nash syarîat dan pertimbangan akal untuk menemukan penafsiran yang universal- komprehensif. 4. Menjelaskan Ayat Muhkam dan Mutasyâbih Sebagaimana diketahui secara umum bahwa ayat-ayat Alqurân baik yang muhkam ataupun yang mutasyabih semuanya bersumber dari Allah Swt. Ayat- ayat muhkam adalah ayat Alqurân yang maknanya mudah dipahami, sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya, yang tidak semua orang dapat memahaminya. Oleh itulah para ulama melakukan pengkajian yang mendalam guna menemukan dan mengetahui rahasia dan hikmah dalam ayat-ayat mutasyâbih. Keberadaan ayat-ayat mutasyâbih merupakan rahmat dari Allah Swt bagi manusia yang kemampuannya lemah dan tidak dapat mengetahui segala sesuatu. Namun di samping itu, ayat-ayat mutasyabih ini juga merupakan ujian dan cobaan bagi manusia, apakah mereka percaya dengan apa yang disampaikan oleh Allah melalui ayat-ayatnya tersebut. Ayat-ayat demikian itu sebagai bukti kelemahan dan kebodohan manusia. Seberapa besar ilmunya, namun Allah Swt Yang mampu mengetahu segala sesuatu.36

36 Adul Hayy, Pengantar Ushul Fikh, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), h. 265.

103

Tafsir maqâsidi adalah salah satu pendekatan untuk memahami ayat-ayat muhkam dan mutasyâbih dengan berusaha menemukan titik maqâsid setiap ayat yang hendak ditafsirkan. Melalui pendekatan ini dapat diketahui maksud ayat dengan berpacu kepada tujuan-tujuan syarîat Islam yang hendak dicapai melalui ayat-ayat Alqurân. Setiap ayat Alqurân memiliki pemaknaan yang universal yang dipastikan memberikan kemaslahatan untuk umat manusia, tidak terkecuali ayat-ayat mutasyabihat. Dengan pendekatan tafsir maqâsidi pemaknaan atas Alqurân untuk menuju kepada makna tersebut dapat ditemukan, yaitu dengan berpacu kepada kemaslahatan-kemaslahatan untuk umat manusia secara luas. 5. Mengetahui Ayat Mujmal dan Mubayan Sebagaimana muhkam dan mutasyâbih, ayat-ayat Alqurân juga terdiri dari ayat-ayat yang mubayyan dan ayat-ayat yang mujmal. Ayat-ayat mubayyan adalah ayat yang dapat dipahami maknanya berdasarkan ayat-ayat setelah atau yang sebelumnya. Sementara ayat-ayat mujmal adalah ayat-ayat yang samar, yang untuk memahaminya perlu bantuan ayat-ayat yang lainnya.37 Untuk mengkaji dan menlaah ayat-ayat demikian diperlukan sebuah perangkat penafsiran yang relevan, untuk kemudian mendapatkan penafsiran yang dikehendaki suatu ayat. Salah satu misi tafsir maqâsidi adalah mengungkap makna ayat sesuai dengan kebutuhan dan konteks, untuk kemudian menawarkan sebuah kemaslahatan untuk orang banyak. Dalam konteks ayat-ayat mujmal, posisi tafsir maqâsidi kiranya cukup relevan untuk dijadikan satu pisau analisa untuk menelaah ayat-ayat mujmal, dan tentu saja ayat-ayat mubayyan untuk mengetahui penafsiran yang sesuai dengan apa yang ingin dikehehendaki Allah melalui ayat-ayat Alqurân-Nya. Dalam konteks ayat-ayat menjaga jiwa-jiwa manusia sebagaimana dijelaskan dalam sub bab sebelumnya, penafsiran dengan pendekatan tafsir maqâsidi dengan kaitannya dengan ayat-ayat mujmal menemukan korelasinya. Yaitu ketika menjelaskan QS. Al-Ma‟idah: 32: Dimana ayat di atas dapat dipahami sebagai hukuman bagi seseorang yang membunuh maka juga harus dibunuh dengan bersandar kepada ayat Alqurân yang lain, yaitu QS. Al-Ma‟idah: 45:

37 Nashr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Quran: Kritik Terhadap Ulumul Quran, (Yogyakarta: LkiS, 2002), h. 226.

104

ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َوَكتَبْ نَا َعلَيْه ْم فيَها أَن النَّ ْف َس بالنَّ ْفس َوالَْعَْْي بالَْعْْي َواألنْ َف باألنْف َواألذُ َن باألذُن َوال ِّس َّن بال ِّس ِّن َوا ْْلُُروَح ِ ِِ ِ َّ ِ َّ ِ ق َصا ٌص ف ََم ْن تَ َصَّد َق به فَ ُهَو َكَّفاَرةٌ لَهُ َوَم ْن ََلْ ََيْ ُك ْم ِبَا أَنْ َزَل اللهُ فَأُولَئ َك ُه ُم الظال ُموَن

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya. maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.

Relevansi tafsir maqâsidi, yaitu tafsir yang berpacu kepada tujuan-tujuan syarîat, dalam ayat ini berupa penjagaan jiwa-jiwa manusia, terealisasikan dalam menjelaskan QS. Al-Ma‟idah: 32 dengan bantuan ayat lain, dalam hal ini QS. Al- Ma‟idah: 45.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan, di antaranya:

1. Tafsir Maqâsidi sebagai salah satu bentuk penafsiran yang dilakukan dengan cara menggali makna yang tersirat dalam lafaz-lafaz al-Qur’an dengan mempertimbangkan tujuan yang terkandung di dalamnya. Menurut Ibn ‘Âsyûr maqâsid al-syarî’ah adalah yang hendak dinilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar yang melandasi hukum-hukum syarî’at yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, kemaslahatan yang hendak diwujudkan melalui hukum-hukum syariat tersebut, karakter-karakter yang mencirikan keunggulannya, serta aturan-aturan hukum untuk mewujudkan kemaslahatan dimaksud. Ibn ‘Âsyûr membagi maqâsid al-syarî’ah menjadi dua, yaitu maqâsid al-syarî’ah al-‘âmmah dan maqâsid al-syarî’ah al-khassah. Maqâsid al-Syarî’ah al-‘âmmah adalah nilai- nilai dan prinsip-prinsip dasar maslahat yang hendak diwujudkan melalui hukum- hukum syarî’at atau sifat-sifat khas yang mencerminkan keunggulan syarî’at Islam, tujuan umum, serta prinsip-prinsip yang dimiliki syarî’at Islam. Selanjutnya Ibn ‘Âsyûr membagi maqâsid al-syarî’ah al-‘âmmah menjadi lima bagian, yaitu: fitrah (al-fitrah), toleransi (al-Samâhah), maslahat (al-maslahah), kesetaraan (al-musâwah), dan kebebasan (al-Hurriyah). Sedangkan maqâsid al- syarî’ah al-khassah adalah ketentuan-ketentuan hukum yang disyarî’atkan untuk melindungi kemaslahatan umum serta hikmah atau tujuan-tujuan yang hendak diwujudkan melalui implementasi ketentuan-ketentuan hukum dimaksud. Batasan khusus dalam konteks ini ialah khusus pada rumpun-rumpun hukum muamalat yang terdiri atas enam kategori, yaitu: hukum kekeluargaan, hukum perniagaan, hukum ketenagakerjaan, hukum tabarruʻat, hukum peradilan dan kesaksian, serta hukum (sanksi) pidana. 2. Dalam menafsirkan ayat-ayat hifdz al-nafs dengan tinjauan maqâsid al-syarî’ah, prinsip-prinsip yang dipegang dan menjadi landasan berfikir Ibn ‘Âsyûr adalah

105

106

tujuan umum syarîat, yaitu untuk mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Ayat-ayat Hifdz al-Nafs yang ia tafsirkan terdapat relevansi dengan teori maqâsid al-syarî’ah yang ia bangun. Ayat-ayat hifdz al-nafs yang ia tafsirkan terdapat relevansi penafsiran dengan tafsir maqâsidi Ibn ‘Âsyûr ialah memelihara pesan universal ayat-ayat al-qur’ân, menghasilkan makna alqurân yang mendalam, menghadirkan kehendak syarî’at, bukan kehendak manusia, menjelaskan ayat-ayat muhkam mutasyâbih dan menjelaskan ayat-ayat mujmal- mubayyan. Dalam penafsirannya, Ibn ‘Âsyûr juga banyak memberikan contoh- contoh dan perumpamaan bagi orang-orang yang menjaga jiwanya.

B. Saran Kajian Alqurân dengan pendekatan tafsir maqâsidi merupakan kajian yang sangat urgen untuk terus dilakukan. Kajian yang dilakukan oleh penulis masuk dalam kategori pembahasan hukum syarî’at, yaitu menjaga jiwa-jiwa manusia. Kajian tafsir maqâsidi juga akan menjadi lebih menarik jika dikonteksualisasikan dalam persoalan humaniora, sosial-politik, ujaran kebencian di media, dan bullying. Tujuannya tentu saja menghadirkan tafsir Alqurân berbasis maqâsid al- syarî’ah yang sejalan dengan kemaslahatan banyak orang dalam persoalan- persoalan di atas yang mana akhir-akhir ini menjadi persoalan yang banyak didiskusikan dan dicarikan solusinya.

DAFTAR PUSTAKA

ʻAbâdiy, Abdullâḥ, al-. Syarḥ Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtaṣid: Syarḥ, wa Taḥqîq wa Takhrîj, 1416/1995. t.t.p.:

‘Âsyûr, Muhammad aṭ-Ṭâhir Bin, 1984, Tafsîr at-Taḥrîr wa at-Tanwîr, Tunis: ad-Dâr at- Tunusiyyâh lin-Nasyr.

______,2001Maqâṣid al-Syarî’ah al-Islâmiyah, cet. 2, tahkik Muhammad aṭ-Ṭâhir al Misâwiy. Jordania: Dâr an-Nafâ`is.

______.Uṣûl an-Niẓâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islâm. Tunisia: al-Syarikah at-Tûnusiyah, t.t.

Auda, Jâser, 2015, Membumikan Hukum Islam melalui Maqâsid Syarî’ah, terj. Rosidin dan Ali Abd Mun‘im. Bandung: Mizan.

______,2013, Al-Maqâsid Untuk Pemula terj.’Ali ‘Abdel mon’im. SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta.

Azizy, Jauhar, dan Faizah Ali Syibromalisi, 2012, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Arifin, Miftahul, 1997, Ushûl Fiqh: Kaidah-kaidah Penerapan Hukum Islam, Surabaya: Citra Media.

Badawi, Yusuf Ahman Muhammad, Maqâsid Syarî’ah ‘inda ibn Taymiyyah, 2009, Riyadh: Dâru al-Suma’I li al-Nashr wa al-tauzi’.

Bahiyyah, Abdullâh Ibn, 'Alaqah Maqâsid al-syarî’ah bi Ushûl al-Fiqh, 2006. London: al Furqan Islamic Heritage Foundation.

Bâqiy, Muhammad Fuâd ‘Abdul, al-Mu’jam al- Mufahras, Bandung: Diponegoro.

Bassâm, Abdullah Bin Abdurrahmân bin Ṣâiḥ, al-. Tauḍîḥ al-Aḥkâm min Bulûg al Marrâm, 1430/2009, cet. 2, Riyâḍ: Dâr al-Maimân.

107

108

Buruswi, Ismail Haqqi, Tafsir Rûh al-Bayan, 1114, Beirut: Dâr al-Kutub al-Islami.

Baidan, Nasruddin, 2005, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bakri, Asafri Jaya, Maqâsid Syarî’ah menurut Al- Syâtibî, 1996, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Fazlurahman, 1996, Tema Pokok al-Qur’an, Bandung: Pustaka.

______, 1984, Alih Bahasa Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka.

Ghâly, Balqâsim, Shaikh al-Jâmi’ al-A’ẓam Muhammad al-Tâhir ibn ‘Âsyûr: Ḥayâtuh wa Âṡâruh, 1417/1996. Beirût: Dâr Ibn Ḥazm.

Hadi, Abdul, 2014, Hermenutika Sastra Barat dan Timur, Jakarta: Sadra Press.

______, 2016, Hermenutika, Estetika, dan Religiusitas, Jakarta: Sadra Press.

Hamidi, Jazim, 2011, Hermenutika Hukum, Malang: UB Press.

Hamidi, Abdul Karim, al-Madkhal ila Maqâsid al-Qur’an,2007, Riyadh: Maktabah ar- Rusyd.

Hasbullah, Ali, Ushûl al-Tasyri’ al-Islami, 1971, Mesir: Dâr al-Ma’arif.

Hayy, Abdul, 2014, Pengantar Ushûl Fiqh, Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Jawwaz, Yazid Bin Abdul Qadir, 2016, Syarah Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah, Depok: PT. Niaga Swadaya.

Khadimi, Nuruddun al-Mukhtar, Al-Munasabah Al-Syar’iyyah wa Tatbiquha Al- Mu’asirah, 2006, Beirut: Dâr Ibn Hazm.

Katsir Ibn, Ismail Ibn Umar, Tafsir al-Qur’an, 1419, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah.

Mahmud, Mani’ Abd Halim, 2006, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para ahli Tafsir terj. Faisal Saleh dan Syahdianor, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

109

Marâghî, Muhammad Mustafa, Tafsir al-Marâghî, 1970, Beirut: Dâr At-Turats al-Islami.

Masudi, Masdar F, 2010, Syarah Konstitusi: UUD 1945 dalam Perspektif Islam, Jakarta: Alvabet.

Masduqi, Irwan, 2010, Ketika Nonmuslim Membaca al-Qur’an, Bandung: Mizan.

Manzur, Ibnu, Lisanul Arab, 1119, Kairo: Dâr al-Ma’ârif.

Mawardi, Ahmad Imam, 2010, Fiqhi Minoritas; Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi Maqâsid al-syarî’ah dari Konsep ke Pendekatan. Yogyakarta: LKIS.

Munawir, Ahmad Warson, 1997, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif.

Mustaqim, Abdul, 2010, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKIS.

______, 2016, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Studi Aliran-aliran Tafsir dari periode Klasik, Pertengahan hingga Modern-Kontemporer.Yogyakarta: Idea Press.

Mudzakir Yusuf, dan Abdul Mujib, 2003, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Qurtubî, al-Jâmi al-Ahkam al-Qur’an, 1988, Beirut: Dâr al-Fikr.

Raisuni, Ahmad, Nazhariyyat al-Maqâsid ‘Inda al-Imam al-Syâtibî, 1992, Libanon: al- Mussasah al-Jami’ah li Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tauzi’.

Rohidin, 2017, Buku Ajar Pengantar Hukum Islam: Dari Semenanjung Arabia hingga Indonesia, Yogyakarta: Aksara Books.

Safriadi, (2014), Maqâsid al-Syarî’ah Ibn Âsyûr , Aceh: Sefa Bumi Persada.

Saeed, Abdullah, 2015, Paradigma, Prinsip dan Metode Penafsiran Kontekstualis atas al- Qur’an, terj. Lien Iffah. Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata.

Shidiq, Sapiuddin, 2011, Ushûl Fiqh, Jakarta: Kharisma Putra Utama.

110

Shihab, Quraish, Tafsir al-Misbah :Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an ,2004, Tangerang: Lentera Hati.

______, 2015, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati.

Surakhmad, Winarto, 1998, Pengantar Penelitian Ilmiyah, Bandung: Tarsito.

Suyûtî, Jalâl al- Dîn, Ad-Dur al-Mansur Fi Tafsir bi al-Ma’tsur, 1440, Qum: Maktabah Ayatullah al-Mar’asyi an-Najafi.

Asyadzili, Sayyid Ibn Qutb Ibn Ibrahhim, Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, 1312, Beirut: Dâr al- Syuruq.

Thahir, Halil, 2015, Ijtihad Maqâsidi Rekontruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah,Yogyakarta: PT. Lkis Pelangi Aksara.

Taymiyah, Ibnu, Maqâsid al-Syarî’ah, Dâr an-Nafais.

Thaba’taba’I, Muhammad Husain, Tafsir Al-Mizan, 1417, Qum: Mu’assisah Linasyri al- Ilmi Fi Hauzah.

Thabari, Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir, Jami’al-Bayân fi Tafsir al-Qur’an, 1412, Beirut: Dâr al-Ma’rifah.

Zaid, Nashr Hamid Abu, 2002, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LKIS.

Zahra, Muhammad Abu, 2010, Ushûl Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus.

Zarqani, Muhammad Abdul ‘Adzim, Manahilul ‘irfan fî ulûmi Alqurân, 1988, Beirut: Dâr al-Fikr.

Zarkashî (al), Badr al-Dîn Muhammad, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz ke-1, 1957, Beirût: Dâr al-Ma‘rifah.

111

Referensi Jurnal dan Makalah:

Halim, Abdul (2011), Epistemologi Tafsir Ibnu ‘Âsyûr dalam kitab tafsir al-Tahrîr wa al- Tanwîr, Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Hayati, Nilda (2014), Tafsir Maqâsidî (Telaah atas penafsiran Taha Jâbîr al-Alwanî terhadap ayat-ayat Riddah),Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mubarok, Moh.Husni (2017), Nilai-nilai al-Qur’an dalam Pancasila; Pendekatan tafsir maqâsidî atas Pancasila sila pertama dan kedua, Skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya.

Mufidah, Azmil (2013), Tafsir Maqâsidî (Pendekataan Maqâsid al-Syarî’ah Tahîr Ibn Âsyûr dan aplikasinya dalam tafsir al-Tahrîr wa al-Tanwîr), Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Muhtamiroh, Siti (2013), Muhammad Thâhîr bin ‘Âsyûr dan Pemikirannya tentang Maqâsid al-Syarî’ah, Jurnal at-Taqaddum, UIN Walisongo Semarang, Vol. 5, No.2

Mutamam, Hadi (2013), Analisis Kritik Kontribusi Tafsir Kontemporer, Jurnal: al-Fikr, Vol.7, No.1

Ningrum, Tantri Setyo (2019), Wacana Istri Sebagai Pencari Nafkah Pemahaman Husein Muhammad Atas Penafsiran Q.S An-Nisa 4:34 dan At-Thalaq 64:6-7, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sa’adah, Faridatus (2012), Tafsir Maqâsidî (Kajian Kitab Ahkam al-Qur’an Karya Abû Bakar Ibn al-‘Arabi), Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sutrisno (2012), Paradigma Tafsir Maqâsidî, Jurnal Rausyan Fikr, Vol.13,No.2

Umayyah (2016), Tafsir Maqâsid Metode Alternatif dalam Penafsiran al-Qur’an, Jurnal Diya al-Afkar, Vol. 4. No.01

Wathani, Syamsul (2016), Konfigurasi Nalar Tafsir al-Maqâsidi; Pendekatan Sistem Intterpretasi, Jurnal Suhuf, Vol. 9, No. 2.