POTENSI Trichoderma spp. ASAL AKAR KOPI DALAM MENEKAN PERKEMBANGAN sp. PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA

DIDIANA YANUARITA MOLEBILA P4100215301

PROGRAM MAGISTER ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

i POTENSI Trichoderma spp. ASAL AKAR KOPI DALAM MENEKAN PERKEMBANGAN Colletotrichum sp. PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA

TESIS Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi Ilmu Hama Dan Penyakit Tumbuhan

Disusun dan Diajukan oleh :

DIDIANA YANUARITA MOLEBILA Nomor Pokok : P4100215301

PROGRAM MAGISTER ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017 TESIS POTENSI Trichoderma spp. ASAL AKAR KOPI DALAM MENEKAN PERKEMBANGAN Colletotrichum sp. PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA

Disusun dan diajukan oleh :

DIDIANA YANUARITA MOLEBILA Nomor Pokok : P4100215301

Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis

pada tanggal 28 November 2017

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui,

Komisi Penasehat

Prof. Dr. Ir. Ade Rosmana, DEA Dr. Ir. Untung Surapaty T, M.Sc Ketua Anggota

Ketua Program Studi Magister Dekan Fakultas Pertanian Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Universitas Hasanuddin,

Prof. Dr. Ir. Nur Amin, Dipl. Ing. Agr Prof. Dr. Ir. Sumbangan Baja,M.Phill PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Didiana Yanuarita Molebila

NIM : P4100215301

Program Studi : Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan

Menyatakan dengan sebenar – benarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar–benar merupakan hasil karya saya sendiri dan bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini adalah hasil karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, November 2017

Yang menyatakan

Didiana Y. Molebila ABSTRAK

DIDIANA YANUARITA MOLEBILA. Potensi Trichoderma spp. Asal Akar Kopi Dalam Menekan Perkembangan Colletotrichum sp. Penyebab Penyakit Antraknosa (dibimbing oleh : Ade Rosmana dan Untung Surapaty T.)

Penelitian bertujuan untuk mengetahui potensi cendawan Trichoderma spp. asal akar kopi dengan menguji efektifitasnya dalam mengendalikan Colletotrichum sp. secara invitro. Penelitian ini menggunakan metode pengujian antagonis secara invitro, pengujian endofitisme, dan pengujian persentase daun kopi terserang Colletotrichum sp. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan. Data dianalisis menggunakan anova dan uji lanjut Duncan taraf uji 5% dengan bantuan program SPSS 16.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat empat morfospesies Trichoderma yang diisolasi dari akar kopi dan uji antagonisme menunjukkan bahwa perlakuan Trichoderma morfospesies 3 (C-T3) memiliki rata-rata persentase penghambatan terhadap Colletotrichum sp. pada 5 HSI sebesar 70,17%, diikuti oleh Trichoderma morfospesies 2 (C- T2) dengan nilai 65,83% dan Trichoderma morfospesies 1 (C-T1) dengan nilai 63,31%, dan ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan Trichoderma asperellum 9(CTa) dengan nilai 74,50%, sedangkan berbeda nyata dengan perlakuan Trichoderma morfospesies 4 (CT-4) memiliki rata-rata persentase penghambatan terendah dengan nilai 43,35% dan kontrol (0,00%). Sementara itu, pada pengujian persentase daun kopi terserang Colletotrichum sp. menunjukkan bahwa perlakuan CT-1, CT-2 dan CT-3 memiliki rata-rata persentase daun terserang terendah yaitu 36,67%; 40,67% dan 40,83% tidak berbeda nyata dengan CTa dengan nilai 30,42%, dan berbeda nyata dengan perlakuan CT-4 memiliki persentase daun terserang tertinggi dengan nilai 51,25% dan kontrol 55,83%. Trichoderma spp. dalam pengujian dapat direisolasi kembali dari bagian tanaman kopi masing-masing perlakuan. Trichoderma morfospesies 2 (T- 2) asal akar kopi dan T. asperellum berpotensi sebagai agens hayati dalam mengendalikan Colletotrichum sp.. Kata Kunci : Endofit, Akar Kopi, Agens Hayati, Trichoderma spp.

i ABSTRACT

DIDIANA YANUARITA MOLEBILA. The Potential of Trichoderma spp. the Origin of Coffee Roots in Suppressing the Development of Colletotrichum sp., the Causes of Anthracnose Disease (Guided by Ade Rosmana and Untung Surapaty T.) This study aimed to determine the potential of Trichoderma spp. from coffee roots by testing their effectiveness in controlling Colletotrichum sp. in invitro. The method used in the research was invitro antagonistic test, endofitism testing, and the testing of the percentage of leaves attacked by Colletotrichum sp. The experiment design used was the Completely Randomized Design (CRD) with 6 experimental treatments and 4 replications. The data obtained were analyzed using ANOVA and Duncan Advanced test level of 5% using SPSS 16.0 program. The results of the antagonism test indicated that Trichoderma morphospecies 3 (CT-3) treatment had the mean percentage of inhibition at 5 day after inoculation (DAI) reached 70,17%, followed by Trichoderma morphospecies 2 (CT-2) of 65.83%, and Trichoderma morphospecies 1 (CT-1) with the value of 63.31%, which showed an insignificant difference from the treatment using Trichoderma asperellum (CTa) with the value of 74.50%, but it was significantly different with Trichoderma morphospecies 4 (CT-4) with had the mean percentage of the lowest inhibition with the value of 43.35%, and the treatment without Trichoderma (CT0) showed 0,00%. Meanwhile, the testing of the percentage of the coffee leaves attacked by Colletotrichum sp., the coffee leaves treated with CT-1, CT-2, and CT-3 had the mean percentage of the lowest attacked leaves with the values of 36.67%; 40.67% and 40.83% respectively, which showed an insignificant difference from the treatment with CTa with the value of 30,42%. Trichoderma spp. in testing could be reisolated back from the coffee plants in each treatment, the Trichoderma morphospecies 2 (CT-2) as the origin of the coffee roots and the T. asperellum had the potential to become a biological agent in controlling Colletotrichum sp.

Keywords: Endophyte, Coffee roots, Biological Agent, Trichoderma spp.

ii KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkaan atas karunia Allah SWT atas rahmat dan hikmat sehingga Penulis dapat menyelesaikan thesis yang berjudul

“Potensi Trichoderma spp. Asal Akar Kopi Dalam Menekan

Perkembangan Colletotrichum sp. Penyebab Penyakit Antraknosa”.

Dalam penyusunan tesis ini, Penulis banyak mendapat saran, arahan, bantuan, perhatian, baik selama menempuh pendidikan, penulisan maupun dalam kelancaran penelitian.

Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Ade Rosmana, DEA selaku Ketua Komisi

Penasehat Tesis dan Bapak Dr. Ir. Untung Surapati, T., M.Sc selaku

Sekretaris Komisi Penasehat Tesis yang telah banyak meluangkan

waktu, pikiran, serta memberikan banyak masukan, arahan, dan

bimbingan kepada Penulis.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. Silvia Syam, M.S; Bapak Prof. Dr. Ir. La Daha; dan Ibu

Prof. Dr. Ir. Nurariaty Agus,MS selaku Tim Penguji yang telah

meluangkan waktu, pikiran, serta memberikan banyak masukan dan

arahan bagi penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.

3. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) selaku penyedia dana

pendidikan, dan penyedia dana penelitian sehingga Penulis dapat

menempuh pendidikan di Program Pascasarjana di Universitas

Hasanuddin Makassar. 4. Bapak Permenas Lamma Koly, SE selaku pimpinan Yayasan Tribuana

Kalabahi dan Bapak Rektor Universitas Tribuana Kalabahi yang telah

memberi surat rekomendasi dan ijin kepada Penulis untuk melanjutkan

Pendidikan S2.

5. Bapak dan Ibu Dosen Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Hama dan

Penyakit Tumbuhan Universitas Hasanuddin yang telah berkenan

berbagi ilmu pengetahuan selama Penulis melanjutkan pendidikan di

Universitas Hasanuddin.

6. Pemerintah Kabupaten Alor, dalam hal ini Badan Kesbangpol Kab.

Alor serta Dinas Pertanian dan Perkebunan Kab. Alor yang telah

memberikan ijin pengambilan sampel penelitian pada lahan

perkebunan kopi di Alor.

7. Bapak Kammarudin dan Bapak Ardan selaku Laboran, Ibu Rahmatia,

Ibu Nirwana dan Ibu Asriyani selaku Staf Administrasi yang selalu

membantu penulis selama melanjutkan studi di Universitas

Hasanuddin.

8. Orang-orang tercinta : Ayahanda Condrat Y. Molebila (Alm) dan

Ibunda Petronela Molebila-Sekoni; suami tersayang Imanuel M. Y.

Ouw dan seluruh keluarga yang selalu memberi motivasi dan

dukungan bagi penulis baik berupa moril maupun materil.

9. Rekan-rekan seangkatan program magister IHPT yaitu kakak

Fatmawati, kakak Rahma, Ramlah, Rianingsih, dan sahabat tersayang

iv Lestari Lakalet,SH., Noerfitriyani,M.Si., dan Nur Hardina, M.Si yang selalu berbagi dalam suka dan duka bersama penulis selama melanjutkan studi.

Sebagai manusia yang tidak luput dari kekhilafan, Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran senantiasa Penulis harapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Namun, dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang ada, harapan penulis semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Makassar, November 2017

Penulis,

v DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

ABSTRAK i

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Tujuan dan Kegunaan 4

1.3. Rumusan Masalah 4

1.4. Hipotesis 4

1.5. Kerangka Pikir 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Antraknosa 6

2.1.1. Deskripsi Penyakit 6

2.1.2. Penyebab Penyakit 9

2.1.3. Pengaruh Lingkungan Terhadap Penyebaran 15 Penyakit

2.1.4. Pengendalian 17 2.2. Cendawan Endofit 20

2.2.1. Deskripsi 20

2.2.2. Potensi Cendawan Endofit 21

2.2.3. Metabolit Cendawan Endofit 25

2.2.4. Trichoderma spp. 27

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 30

3.2. Pelaksanaan Penelitian 30

3.2.1. Pengambilan Sampel Penelitian 30

3.2.2. Pembuatan Media Tumbuh 30

3.2.3. Isolasi Cendawan Trichoderma spp. 32

3.2.4. Isolasi Colletotrichum spp. 32

3.2.5. Pengujian Antagonisme Cendawan Trichoderma 34 terhadap Colletotrichum sp.

3.2.6. Uji Endofitisme Cendawan Trichoderma spp. pada 36 Bibit Kopi

3.2.7. Persentase Daun Kopi Terserang cendawan 37 Colletotrichum sp.

3.3. Analisis Data 40

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil 41

4.1.1. Isolasi Cendawan Trichoderma spp. 41

4.1.2. Pengujian Antagonis Trichoderma terhadap 43 Colletotrichum sp.

vii 4.1.3. Pengujian Endofitisme Cendawan Trichoderma spp. 45 pada Bibit Kopi

4.1.4. Persentase Daun Kopi Terserang cendawan 46 Colletotrichum sp.

4.2. Pembahasan 47

BAB V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan 59

5.2. Saran 60

DAFTAR PUSTAKA 61

LAMPIRAN 70

viii DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Karakteristik Maskroskopis Cendawan Trichoderma spp. 41 pada media PDA. 2. Karakteristik mikroskopis spesies Trichoderma spp. 43 berdasarkan bentuk konidiofor, fialid, konidia, hifa dan klamidiospora. 3. Rata-rata Persentase Daya Hambat Trichoderma spp. 44 terhadap Colletotrichum sp. secara In-Vitro (%). 4. Persentase Kolonisasi cendawan Trichoderma spp. 45 dalam jaringan tanaman kopi (%). 5. Rata-rata Persentase Daun Terserang Colletotrichum sp. 46 (%). 6 Persentase Kolonisasi Trichoderma spp. dalam jaringan 47 daun kopi dengan rata-rata persentase daun terserang terendah.

DAFTAR TABEL

No. Lampiran Halaman

1. Perkembangan Diameter Koloni Cendawan Trichoderma 70 spp. selama 7 HSI pada media PDA 2. Persentase Penghambatan Colletotrichum sp. oleh 71 Trichoderma spp. secara invitro pada hari ke 3 (%). 3. Persentase Penghambatan Colletotrichum sp. oleh 72 Trichoderma spp. secara invitro pada hari ke 5 (%). 4. Rata-rata Persentase Daun Kopi Terserang 73 Colletotrichum sp. (%).

ix DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Kerangka Pikir Penelitian 5 2. Gejala pada buah kopi hijau dan daun kopi 7 3. Gejala pada buah cabai merah 9 4. subsp kahawae. (A-B) Apresoria, 10 (C) Konidia, (D-F) pada kultur media PDA 10 hari pertumbuhan 5. Colletotrichum gloeosporioides nampak atas dan bawah 13 pada media tumbuh PDA selama 10 hari 6. Gejala infeksi C. acutatum pada jaringan tanaman Almond. 15 (A) Bunga; (B) Pucuk; (C) Daun; (D-F) Buah. 7. Colletotrichum acutatum., (A-B) Konidiomata, (C-I) 15 Konidiofor, (J-Q) Apresoria, (R-S) Konidia 8. Variasi warna dan morfologi koloni cendawan Trichoderma 29 spp pada media tumbuh PDA. Urutan berdasarkan baris atas : T. cremeum (Strain AN 392); T. longipile (AN 414); T. viride (AN 253)., berdasarkan baris bawah : T. harzianum (AN 261); T. atroviride (AN 287); dan T. citrinoviride (AN 262) 9. Morfologi mikroskopis Trichoderma spp. 29 10. Colletotrichum sp., (a). Gejala antraknosa pada buah cabai 34 merah besar., (b). Pertumbuhan pada media kultur PDA., (c). Apresoria., (d). Konidia 11. Model inokulasi patogen dan antagonis pada media 36 tumbuh 12. Grafik rata-rata pertumbuhan koloni Trichoderma spp 42 selama 7 hari.

x DAFTAR GAMBAR

No. Lampiran Halaman

1. a. Karakteristik morfologi Cendawan Trichoderma mf 1 (T-1) 74 b. Karakteristik morfologi Cendawan Trichoderma mf 2 (T-2) 75 c. Karakteristik morfologi Cendawan Trichoderma mf 3 (T-3) 76 d. Karakteristik morfologi Cendawan Trichoderma mf 4 (T-4) 77 e. Karakteristik morfologi Cendawan Trichoderma 78 asperellum 2 a. Model Pengujian Persentase Penghambatan 79 Colletotrichum sp. oleh Trichoderma mf 1 dan Trichoderma mf 2. secara invitro.

b. Model Pengujian Persentase Penghambatan 80 Colletotrichum sp. oleh Trichoderma mf 3 dan Trichoderma mf 4. secara invitro

c. Model Pengujian Persentase Penghambatan 81 Colletotrichum sp. oleh Trichoderma asperellum dan kontrol secara invitro.

3. Pengujian Endofitisme Trichoderma spp. (Reisolasi) 82 4. Model Pengujian Persentase Daun Kopi terserang 83 Colletotrichum sp pada 9 HSI.

xi I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Antraknosa kopi merupakan salah satu penyakit yang mengganggu

pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Keberadaan penyakit ini

dapat menyebabkan kehilangan hasil yang berarti yaitu dengan

menurunnya produksi dan produktivitas tanaman. Penyakit antraknosa

disebabkan oleh kelompok cendawan Colletotrichum, tersebar luas di

dunia, diantaranya Colletotrichum kahawae pada tanaman kopi di bagian

barat Kenya (Rutherford and Phiri, 2006), dan Colletotrichum coffeanum

di Australia (Cooke et al, 2009).

Patogen tersebut menjadi patogen karantina karena memiliki

tingkat resiko tinggi dan sulit untuk dikendalikan. Di Indonesia, cendawan

Colletotrichum gloeosporioides dilaporkan sebagai penyebab penyakit

antraknosa pada beberapa tanaman perkebunan, seperti kakao (Harahap

dkk, 2013), jambu mete (Simamora dan Mudita, 2015), dan kopi (Syahnen

dkk, 2013). Gejala serangan patogen ini sering juga dikenal dengan istilah

mati pucuk atau mati ujung pada tanaman kakao, jambu mete dan kopi.

Selain pada tanaman perkebunan, Colletotrichum spp. juga

menyebabkan penyakit antraknosa pada cabai di Indonesia yang

diketahui adalah C. capsici, C. gloeosporioides dan C. acutatum (AVRDC,

2009). Keberadaan keseragaman patogen penyebab antraknosa ini

menunjukkan bahwa C. gloeosporioides merupakan cendawan dengan 1 penyebaran yang luas dan memiliki banyak inang. Menurut Dikman

(1993), Colletotrichum spp. merupakan cendawan yang memiliki banyak inang atau polifag dan bersifat kosmopolitan. Oleh karena itu, penyebaran cendawan ini dapat terjadi dengan cepat melalui angin, percikan air dan mobilitas manusia, serta dapat bertahan pada inang alternatif lainnya.

Keberadaan penyakit antraknosa dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 75%, bahkan sampai 80% jika tidak ada pengendalian yang memadai (Rutherford and Phiri, 2006; Cooke et al, 2009). Meskipun aplikasi fungisida dapat menekan perkembangan penyakit ini dan memberikan hasil yang cukup memuaskan, namun apabila terjadi serangan berat maka kerugian dapat mencapai hingga 30% (Rutherford and Phiri, 2006). Hingga saat ini, umumnya tindakan pengendalian yang dilakukan antara lain penggunaan tanaman resisten, pemangkasan dan kimiawi (Ferreira and Boley, 1991). Sejauh ini dengan cara di atas belum optimal dalam menekan perkembangan patogen. Oleh karena itu, memungkinkan untuk pemilihan mikroorganisme endofit antagonis sebagai agens pengendali biologi dalam pengelolaan penyakit antraknosa.

Banyak penelitian yang membuktikan bahwa potensi mikroorganisme endofit non patogen sangat baik dalam menekan perkembangan penyakit pada beberapa tanaman. Trichoderma spp. merupakan salah satu cendawan yang berasosiasi dengan tanaman

2 sebagai endofit non patogen yang dikenal memiliki potensi daya hambat baik terhadap cendawan patogen, diantaranya Trichoderma sp. yang diisolasi dari akar kopi berpotensi sebagai antagonis terhadap Fusarium spp. penyebab penyakit layu kopi/tracheomycosis. Taufiq (2012) melaporkan bahwa beberapa isolat Trichoderma spp. yang diisolasi dari rizosfer, tanah dan jaringan tanaman vanili dapat menghambat pertumbuhan patogen penyakit busuk pucuk vanili yang disebabkan oleh

Phytophthora capsici secara invitro berkisar antara 44,5-73,5%, dengan 6 isolat Trichoderma spp mampu menekan perkembangan penyakit busuk pucuk vanili berkisar 66,67- 68,00%. Hasil penelitian Hakkar dkk (2014), menunjukkan bahwa Trichoderma asperellum ART-4 asal tanaman kakao dilaporkan berpotensi sebagai agens pengendali biologi Phytopthora palmivora penyebab busuk buah kakao di lapangan. Disamping itu,

Nur’Aini, dkk (2013) melaporkan bahwa T. harzianum dan T. koningii dapat menghambat perkembangan C. gloeospoiroides hingga 83% secara invitro.

Berdasarkan latar belakang tersebut diketahui hingga saat ini belum ada laporan mengenai penggunaan cendawan endofit Trichoderma spp. asal akar tanaman kopi yang berpotensi menekan perkembangan cendawan Colletotrichum sp. penyebab penyakit antraknosa. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang Potensi Trichoderma spp. dan

3 dalam penelitian digunakan Trichoderma asal akar kopi dalam menekan

perkembangan Colletotrichum sp. penyebab penyakit antraknosa.

1.2. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi cendawan Trichoderma spp. asal akar kopi dalam mengendalikan

Colletotrichum sp. secara invitro.

Kegunaannya adalah untuk menekan perkembangan

Colletotrichum sp. sebagai upaya pengendalian penyakit antraknosa sehingga dapat mengurangi penggunaan fungisida sintetik.

1.3. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah penelitian yaitu :

1. Berapa jenis cendawan Trichoderma sp. yang diperoleh dari akar

kopi?

2. Apakah cendawan tersebut merupakan endofit pada jaringan tanaman

kopi?

3. Bagaimana potensi cendawan Trichoderma sp. tersebut sebagai

agens hayati dalam menekan perkembangan Colletotrichum sp.

secara invitro?

1.4. Hipotesis

1. Diduga terdapat minimal satu jenis cendawan Trichoderma sp. pada

akar kopi.

4 2. Diduga cendawan tersebut merupakan endofit pada jaringan tanaman

kopi.

3. Diduga cendawan Trichoderma sp. tersebut berpotensi sebagai agens

hayati dalam menekan perkembangan Colletotrichum sp. secara

invitro.

1.5. Kerangka Pikir

Penyakit Antraknosa Kehilangan Hasil Colletotrichum sp

Pengendalian Hayati Diisolasi dari buah cabai yang bergejala Isolasi dari Cendawan Endofit jaringan Akar (Trichoderma spp.) tanaman kopi sehat.

Pengujian

Uji ketahanan daun Uji Antagonis Uji Endofitisme pada kopi terhadap secara invitro bibit kopi Colletotrichum sp.

Diperoleh informasi mengenai potensi cendawan Trichoderma spp. asal akar kopi dalam mengendalikan Colletotrichum sp.

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

5 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Antraknosa

2.1.1. Deskripsi Penyakit

Penyakit antraknosa tersebar di seluruh dunia. Selain dikenal

dengan nama antraknosa, penyakit ini juga dikenal dengan istilah mati

pucuk atau mati ujung (Simamora dan Mudita, 2015). Selain itu disebut

juga dengan istilah penyakit patek (Anonim, 2016).

Penyakit ini menyerang pada hampir semua bagian tanaman,

mulai dari ranting, cabang, buah dan daun. Fase tanaman yang

diserang juga mulai dari fase perkecambahan, fase vegetatif sampai

fase generatif. Serangan pada fase perkecambahan menyebabkan

tanaman gagal berkecambah, sedangkan pada fase vegetatif, tanaman

menjadi kering dan pada fase generatif menyebabkan buah membusuk

dan kering sehingga gagal panen. Tanaman yang menjadi inang

penyakit antraknosa yaitu cabai, tomat, paprika, semangka, mentimun,

pepaya, kopi, kakao, jambu mete, dan buncis (Anonim, 2016).

Pada kopi dikenal juga dengan penyakit buah kopi (Coffee Berry

Diseases) yang disingkat dengan istilah CBD (Rutherford and Phiri,

2006; Sudarma, 2015). Penyakit ini memiliki gejala yang khas. Gejala

khas pada buah kopi adalah perkembangan penyakitnya kecil, lesion

basah berair pada buah muda, apabila serangan berat maka buah

menjadi warna coklat kehitaman atau hitam dan melorot tajam. Bercak meluas menutupi seluruh buah dalam waktu kurang lebih seminggu, dan umumnya menjadi busuk. Pada umumnya gejala ini dikenal dengan istilah “antraknose” pada buah kopi. Ciri khas penyakit ini adalah buah muda jatuh dari cabang apabila ada penyakit. Gejala juga nampak pada tangkai buah muda menyebabkan buah muda jatuh sebelum adanya gejala pada buah (Sudarma, 2015).

Buah sakit berwarna warna coklat terang pada hingga coklat gelap, dan adanya bercak melorot pada buah kopi. Pada kondisi cuaca sangat basah, penyakit ini juga berkembang pada tangkai buah berupa bercak coklat. Patogen ini juga dapat menyerang hipokotil bibit kopi arabika (Sudarma, 2015).

Gambar 2. Gejala pada buah kopi hijau dan daun kopi (Sumber : www.citelighter.com) Selain pada buah kopi, penyakit antraknosa juga ditemukan pada tanaman cabai. Umumnya gejala yang nampak pada buah cabai berupa bercak coklat kehitaman pada permukaan buah, kemudian menjadi busuk lunak. Pada bagian tengah bercak kumpulan titik hitam yang merupakan kelompok seta dan konidium. Serangan yang berat menyebabkan seluruh buah keriput dan mengering. Warna kulit buah

7 seperti jerami padi. Keadaan cuaca panas dan lembab mempercepat perkembangan penyakit.

Penyakit antraknosa juga diketahui ada pada tanaman kakao.

Gejala pada daun kakao berupa terbentuknya bintik-bintik nekrosis berwarna coklat dan lama-kelamaan berkembang menjadi bercak berlubang dengan “halo” atau lingkaran berwarna kuning pada sekeliling jaringan yang sakit, dan akhirnya menyebabkan jaringan mati yang melekuk (antraknos). Pada serangan berat, daun akan mengalami kerontokan atau gugur sehingga bibit akan menjadi gundul

(Aisyah, 2015).

Keberadaan penyakit antraknosa pada tanaman cabai di

Indonesia tersebar di beberapa daerah yaitu di pulau Sumatera, Jawa,

Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Gejala serangan awal berupa bercak coklat kehitaman pada permukaan buah, kemudian menjadi busuk lunak. Pada bagian tengah bercak kumpulan titik hitam yang merupakan kelompok seta dan konidium. Serangan yang berat menyebabkan seluruh buah keriput dan mengering. Warna kulit buah seperti jerami padi. Keadaan cuaca panas dan lembab mempercepat perkembangan penyakit (Anonim, 2016).

8 Gambar 3. Gejala pada buah cabai merah (Sumber : http://belajartani.com.)

2.1.2. Penyebab Penyakit

Antraknosa disebabkan oleh kelompok cendawan

Colletotrichum spp, antara lain Colletotrichum kahawae (umumnya dikenal dengan Colletotrichum coffeanum) (Cooke at al, 2009), C. gloeosporioides (Pinem dan Siahaan, 2013., Martinez et al, 2009.,

Simamora dan Mudita, 2015), C. acutatum (Martinez et al, 2009),

Colletotrichum capsici (AVRDC, 2009).

Umumnya Colletotrichum spp. yang tumbuh pada media PDA memiliki bentuk miselium berbulu, tipis sampai tebal, sedikit rata, dan moderat. Warna koloni bervariasi dari warna putih krem dengan massa spora berwarna oranye sampai coklat gelap, ada juga berwarna putih keabu-abuan terang, hijau keputih-putihan sampai oranye, terang sampai hijau gelap dan warna hijau gelap dibalik cawan petri. Warna koloni tergantung jenis spesiesnya (Zakaria and Bailey, 2000).

Ketika patogen diisolasi dari buah yang sakit dan ditumbuhkan pada media tumbuh buatan (2% malt agar, MA) pada suhu 250 C, 9 koloni C. kahawae tampak fluccose padat, berwarna abu-abu sampai abu-abu olive gelap kehijauan pada cawan petri yang dibalik. Apabila di sub biakan lagi maka tampak koloni yang bervariasi yaitu sering lebih pucat atau kecoklatan.

Stuktur mikroskopik berupa spora (konidia) yang dihasilkan dari hifa sederhana, dengan tanpa pembentukan konidiomata acervular, konidia adalah uniseluler, lurus, silinder, mengelilingi (obtuse) pada ujung dengan ukuran 12,4-19x4,0 µm. Apresoria berwarna pucat sampai coklat sedang, melingkar atau lurus tidak beraturan, dengan ukuran 8,0-9,5x5,5-6,5 µm, sering menjadi lengkap (Sudarma, 2015).

Gambar 4. Colletotrichum kahawae subsp kahawae. (A-B) Apresoria, (C) Konidia, (D-F) pada kultur media PDA 10 hari pertumbuhan (Sumber : Weir et al, 2012). Berdasarkan klasifikasi secara ilmiah, C. kahawae merupakan kelompok Filum , klas , Ordo

Glomerellales, famili dan Genus Colletotrichum.

Cendawan ini mereproduksi secara seksual dan aseksual. Spora aseksual (konidia) disimpan dalam acervuli. Patogen ini dapat menginfeksi tanaman selama setiap tahap dari bunga ke buah . Buah 10 kering seperti mumi, ranting kulit kayu, dan cabang mati dianggap sumber inokulum primer untuk penyakit ini. Perkecambahan konidia dapat terjadi 24 jam setelah konidia masuk ke dalam jaringan dari tanaman inang. Kemudian terjadi pemanjangan tabung infeksi, dimana bagian apikal kemudian berdiferensiasi menjadi sebuah appresorium.

Hifa infeksi yang timbul dari appresoria kemudian menusuk masuk jaringan buah, menyebabkan nekrosis jaringan yang dengan membentuk acervuli baru. Banyak buah jatuh sebelum waktunya, tetapi buah yang tetap melekat berfungsi sebagai sumber inokulum sekunder. Kebanyakan konidia disebarkan oleh curah hujan. Ada tahap seksual, tetapi tidak berperan dalam penyebaran antraknosa

(Anonim, 2016).

Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc merupakan cendawan patogen antraknosa pada tanaman kopi, kakao, jambue mete dan cabai di Indonesia. Patogen ini dapat bertahan pada ranting- ranting sakit di pohon atau pada daun-daun sakit di pohon atau di permukaan tanah. Pada cuaca lembab dan berkabut patogen membentuk spora (konidium). Spora keluar dari aservulus seperti massa lendir berwarna merah jambu, dan spora tersebut disebarkan oleh percikan air hujan dan oleh serangga. Infeksi pada buah dapat terjadi melalui inti sel pada buah yang matang dan pori-pori pada buah yang masih hijau. C. gloeosporioides memiliki miselium dengan jumlah

11 agak banyak, hifa bersepta tipis, mula-mula terang kemudian gelap.

Konidiofor pendek, tidak bercabang, tidak bersepta dengan ukuran 7-8 x 3-4 µm (Syahnen dkk, 2013).

Menurut Aisyah (2015), C. gleosporioides (Penz.) Sacc. mempunyai miselium dengan jumlahnya agak banyak, hifa bersepta tipis, awalnya koloni berwarna terang kemudian menjadi gelap.

Cendawan ini umumnya memiliki konidia hialin, bersel satu, berukuran

9-24 x 3-6 µm, tidak bersekat, jorong memanjang, terbentuk pada ujung konidiofor yang sederhana.

Pada daun muda, cendawan C. gleosporioides (Penz.) Sacc. menghasilkan konidium jamur yang berwarna merah jambu hingga menjadi cokelat gelap. Pada saat berkecambah konidium yang bersel satu tadi membentuk sekat. Pembuluh kecambah membentuk apresorium sebelum mengadakan infeksi. Diantara konidiofor biasanya terdapat rambut – rambut (seta) yang kaku dan berwarna coklat tua. cendawan ini menghasilkan konidia dalam jumlah banyak. Konidia terbentuk pada permukaan bercak pada daun terinfeksi, dan konidia tersebut mudah lepas bila ditiup angin atau terkena percikan air hujan.

Konidia sangat ringan dan dapat menyebar serta terbawa angin sampai ratusan kilometer sehingga penyakit mampu tersebar luas dalam waktu yang singkat. Konidia mungkin juga deisebarkan oleh serangga. Di Sumatera Utara diduga bahwa infeksi pada semai kakao

12 di pembibitan berasal dari kebun karet yang ada di dekatnya yang sedang terserang penyakit gugur daun Colletorichum (Aisyah, 2015).

Gambar 5. Colletotrichum gloeosporioides nampak atas dan bawah pada media tumbuh PDA selama 10 hari (Weir et al, 2012)

Colletotrichum acutantum merupakan spesies yang pertama kali dilaporkan paling dominan di Indonesia (AVRDC, 2009). Spesies ini lebih virulen dibandingkan dengan C. gloeosporioides dan C. capsici

(Mongkolporn et al, 2010). Colletotrichum acutatum menginfeksi sebagian besar tanaman, yaitu akar, daun, bunga, ranting, dan buah, menyebabkan penyakit seperti busuk akar, busuk mahkota, defoliasi, hawar bunga, dan busuk buah. Secara morfologis Colletotrichum acutatum sangat mirip dengan C. gloeosporioides. Namun, kedua spesies ini telah berhasil dipisahkan berdasarkan sejumlah karakteristik termasuk kultur morfologi, bentuk dan ukuran konidium, dan kisaran inang (Wharton and Diéguez-Uribeondo, 2004).

Konidia berkecambah untuk membentuk appresoria pada permukaan tanaman, dari mana penetrasi hifa berkembang menjadi sel tumbuhan. Infeksi dapat terjadi melalui hampir semua permukaan 13 tanaman, namun untuk spesies herba yang sangat rentan seperti strowberi dengan iklim mikronya yang relatif lembab sering disukai.

Dalam kondisi yang sesuai, jamur dapat tumbuh dengan cepat di dalam tanaman dan menyebabkan gejala parah dengan sangat cepat, namun dalam keadaan lain, jamur dapat tetap berada di dalam jaringan inang dalam suatu periode, dalam beberapa kasus hanya akan terlihat setelah panen. Begitu jamur telah berkembang cukup di dalam tanaman, tubuh buah gelap diproduksi, menyebabkan gejala antraknosa yang khas. Konidia terbentuk secara bebas, dan biasanya terdispersi oleh percikan air. (Yang et al, 1992). Studi terbaru di

Australia menunjukkan bahwa C. acutatum menyebabkan kerugian 25-

50% pada tanaman seledri di Queensland (Wright & Heaton, 1991).

Koloni pada kultur media biasanya berwarna putih, pucat abu- abu atau pucat-oranye, terkadang menghasilkan pigmen keunguan yang kuat. Conidiomata biasanya kurang berkembang, dengan sedikit atau tanpa setae, terutama dalam kultur. Sel konusogen secara kasar berbentuk silindris, kadang-kadang berada dalam kelompok lemah, dan menghasilkan konidia berturut-turut dari lokus tunggal. Konidia berukuran 8-16 x 2,5-4 μm, fusiform, berdinding tipis, aseptate dan hyaline. Appressoria sedikit jumlahnya, berukuran 6,5-11 x 4,5-7,5 μm, clavate hingga melingkar dan terang sampai coklat tua (Gunnell and

Gubler, 1992).

14 Gambar 6. Gejala infeksi C. acutatum pada jaringan tanaman Almond. (A) Bunga; (B) Pucuk; (C) Daun; (D-F) Buah. (Sumber : Wharton and Diéguez-Uribeondo, 2004).

Gambar 7. Colletotrichum acutatum., (A-B) Konidiomata, (C-I) Konidiofor, (J-Q) Apresoria, (R-S) Konidia (Sumber : Damm et al, 2012)

2.1.3. Pengaruh lingkungan terhadap penyebaran penyakit

Cendawan patogen C. kahawae selalu ditemukan berasosiasi

dengan cendawan spesies lainnya dari Colletotrichum, seperti C.

15 gloeosporioides dan C. acutantum pada musim hujan. Masak penuh dari ranting kopi menunjukkan bahwa populasi C. kahawae paling tinggi dibandingkan dengan yang belum masak, hijau, lebih tua dan pada buah. Sehingga dapat menjadi sumber pertama inokulum yang berkembang pada awal musim pembungaan dan pada permulaan hujan. Apabila terdapat buah tanpa infeksi yang tersisa di pohon akan menjadi sumber infeksi pertama patogen. Tanaman yang padat di negara dengan pola hujan tinggi seperti Kenya, inokulum yang tersisa akan lebih tinggi (Sudarma, 2015).

Kondisi cuaca merupakan hal yang kritis dalam perkembangan penyakit pada buah kopi. Kelembaban yang cukup merupakan faktor penting dalam perkecambahan spora (konidia) yang dipencarkan oleh air, dengan kebutuhan air dan 100% kelembaban nisbi untuk proses perkecambahan. Suhu juga merupakan hal penting yang memegang peranan dalam perkembangan patogen C. Kahawae (Sudarma, 2015).

Suhu optimum untuk perkembangan penyakit ini adalah 22 oC (Cooke et al 2009). Untuk perkecambahan konidia dibutuhkan suhu berkisar

12 oC sampai dengan 30 oC. Jaringan tanaman inang mungkin diinfeksi dalam waktu lima jam setelah perkecambahan. Kondisi ideal perkembangan penyakit ini bervariasi pada ketinggian tempat berbeda- beda pada tiap negara (Sudarma, 2015).

16 Patogen ini dapat bertahan pada ranting-ranting sakit atau pada daun-daun sakit di pohon atau di permukaan tanah. Pada cuaca lembap atau berkabut patogen membentuk spora (konidium). Infeksi pada buah dapat terjadi melalui inti sel pada buah yang matang dan pori-pori pada buah yang masih hijau. Keadaan cuaca yang sangat lembab sangat cocok untuk pembentukan spora dan terjadinya infeksi.

Patogen tidak tumbuh pada kelembapan kurang dari 95 % (Syahnen dkk, 2013).

2.1.4. Pengendalian

Pengendalian antraknosa pada tanaman kopi secara

perkembangan teknologi belum banyak diketahui. Oleh karena itu,

pada umumnya dilakukan tindakan pengendalian yang diadopsi dari

tanaman perkebunan lainnya. Teknik pengendalian kultur teknis,

mekanis dan kimiawi masih banyak dikombinasi untuk mencegah

perkembangan penyakit antraknosa berdasarkan intensitas

penyakitnya (Sulistyowati dkk, 2003).

Menurut Sulistyiowati, dkk (2003), terdapat beberapa tindakan

pengendlian yang umumnya dilakukan yaitu :

1. Pemupukan

Tindakan pemupukan yang dilakukan berupa penambahan pupuk

yang disesuaikan dengan umur tanaman, kondisi tanah, dan cara

bercocok tanam. Selain pemupukan lewat tanah, khusus untuk

17 tujuan tertentu serangan berat pemupukan perlu ditambah lewat

daun. Pemupukan dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk

anorganik maupun pupuk organik (kompos). Pemupukan dengan

kompos selain dapat memberikan tambahan hara juga berfungsi

menetralisir suhu tanah. Kompos banyak mengandung air dan

menahan air agar tidak cepat menguap ke udara. Disamping itu

kompos dapat berfungsi sebagai bumper panas. Kompos dapat

mengurangi sinar matahari langsung yang mengenai permukaan

tanah, menaikkan suhu tanah dan menguapkan air tanah.

2. Naungan

Pemberian pohon penaung yang cukup disesuaikan dengan

kondisi tanaman dan kondisi lingkungan setempat. Misalnya untuk

tanaman kakao yang sudah menghasilkan di daerah bertipe curah

hujan C diberi naungan 25 persen (1:4) dengan jenis pohon

penaung lamtoro.

3. Sanitasi

Pemusnahan cabang/ranting terserang atau yang dicurigai telah

terinfeksi penyakit sangatlah penting. Sanitasi meliputi pemetikan

buah-buah busuk kemudian dibakar atau dipendam dalam tanah

4. Memperbaiki saluran pembuangan dan drainase, serta mengatur

jarak tanam.

18 Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi kelembapan di dalam

kebun. Kelembapan kebun yang tinggi karena genangan air dan

kandungan air tanah yang tinggi dapat membantu perkembangan

penyakit

5. Pengendalian secara hayati

Belum tersedia informasi mengenai pengendalian secara hayati

terhadap penyakit antraknosa pada kopi.

6. Pengendalian secara kimiawi

Penyemprotan fungisida guna mencegah terjadinya serangan

(preventif) yang dilaksanakan pada saat pembentukan daun-daun

baru (flush) setelah mencapai 10 % dengan daun pertama kira-kira

berumur satu minggu (panjang daun ±5 cm). Interval

penyemprotan 7 hari atau disesuaikan dengan munculnya daun-

daun baru. Fungisida yang digunakan adalah yang berbahan aktif

prokloras (SPORTAK) dengan konsentrasi 0,1% formulasi atau

fungisida berbahan aktif karbendazim (DEROSAL) dengan

konsentrasi 0,2% formulasi. Penyemprotan dimulai pada awal

musim hujan menggunakan alat knapsack sprayer atau mist

blower dengan volume 200-300 liter per ha. Menurut Semangun

(2000), pada waktu flush besar dilakukan 2 kali penyemprotan

fungisida sistemik, misalnya benomil, karbendazim, metil tiofanat,

miklobutanil, atau prokloraz dengan interval 10 hari. Pada waktu

19 flush lainnya dilakukan 3 kali penyemprotan dengan fungisida

kontak, antara lain mankozeb atau oksiklorida tembaga, dengan

interval 7 hari. Penyemprotan dapat dilakukan dengan mist blower

atau power sprayer, dengan memakai air 200 liter/ha.

7. Eradikasi

Tindakan eradikasi dilakukan untuk tanaman yang memiliki

intensitas penyakit berat dilakukan dengan pembongkaran

tanaman sakit atau pemangkasan dan pemusnahan bagian

tanaman yang terserang berat.

2.2.Cendawan Endofit

2.2.1. Deskripsi

Endofit adalah mikroorganisme yang hidup di dalam jaringan

tumbuhan tanpa menimbulkan gejala penyakit pada tanaman inangnya

(Strobel, 2003). Penggunaan istilah endofit berlaku untuk organisme

prokariotik dan eukariotik serta sering digunakan untuk organisme

yang menginfeksi secara internal, dimana jaringan inang yang

terinfeksi setidaknya tanpa gejala untuk sementara. Endofitik

mencakup kumpulan mikroorganisme dengan strategi hidup yang

berbeda yaitu mengikuti fase pertumbuhan endofit, tumbuh saprofit

pada jaringan yang mati atau gugur, mikroorganisme avirulen, tetapi

juga patogen laten dan patogen virulen pada tahap awal infeksi.

20 Interaksi parasit dapat bervariasi dari mutualistik sampai komensalistik pada patogen laten dan eksploitatif (Schulz dan Boyle, 2005).

Cendawan endofit merupakan kelompok mikroorganisme sangat beragam dan dapat berkembang dalam jaringan tanaman yang ada di atas tanah serta di bawah tanah, termasuk batang, daun, dan akar tanpa menimbulkan gejala (Kusari et al, 2012). Menurut

Maheswari (2006), Cendawan endofit adalah cendawan yang mampu hidup di dalam jaringan tanaman. Cendawan endofit terdapat di semua bagian tanaman, terutama di bagian daun. Pada jaringan tanaman sehat, cendawan endofit dapat berperan sebagai epifit, endofit, atau patogen laten. Cendawan endofit bersimbiosis mutualisme pada inangnya untuk mendapatkan nutrisi dari hasil metabolisme tanaman dan memproteksi tanaman dari herbivora, serangga, atau patogen, sedangkan tanaman mendapatkan derivat nutrisi dan senyawa aktif yang diperlukan selama hidupnya (Simarmata dkk, 2007).

2.2.2. Potensi cendawan endofit

Penelitian tentang endofit terus berkembang dari tahun ke tahun. Berbagai macam potensi endofit ditemukan untuk persoalan penyakit tanaman. Beberapa contoh penelitian endofit yang berpotensi sebagai antagonis patogen tanaman yaitu dilaporkan bahwa hasil penelitian menurut Hakkar dkk (2014), Trichoderma asperellum ART-4 asal tanaman kakao dilaporkan berpotensi sebagai agens pengendali

21 biologi Phytopthora palmivora penyebab busuk buah kakao, juga menekan perkembangan penyakit hawar daun Phytopthora pada bibit kakao (Azis dkk, 2013). Selain itu, Muslim dkk (2014) melaporkan bahwa Trichoderma sp dan Penicillium sp dapat menginduksi ketahanan tanaman cabai dan menekan perkembangan penyakit rebah kecambah pada tanaman cabai.

Hasil penelitian Melliawati dkk (2006) menunjukkan bahwa endofit dapat menghasilkan senyawa aktif yang berguna untuk melindungi serangan patogen tanaman, seperti Xanthomonas campestris, Pseudomonas solanacearum A.C Hayward, Colletroticum gloeosporioides (Penz.) Penz. & Sacc, dan F.oxysporum. Hasil analisis menunjukkan bahwa endofit ternyata mengandung senyawa aktif steroid yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba patogen.

Menurut penelitian Sucipto dkk (2015), eksplorasi cendawan endofit padi sawah diperoleh empat isolat cendawan endofit yang dapat menekan perkembangan penyakit blas dengan tingkat penekanan antara 30-70%. Selanjutnya, senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh Verticillium sp asal tanaman Rehmannia glutinosa memiliki aktivitas antifungal terhadap Pyricularia oryzae P-2b berdasarkan pengujian ekstrak kasar secara kimia dan bilogis (You et al, 2009).

22 Dilaporkan juga bahwa cendawan endofit Trichoderma spp. dapat meningkatkan ketahanan terinduksi tanaman kedelai terhadap penyakit layu Fusarium, memacu pertumbuhan tinggi tanaman kedelai.

Disamping itu cendawan saprofit T. harzianum dan T. hamtum memacu keluarnya bunga lebih awal, menambah polong isi dan bobot biji kering kedelai per tanaman (Sudantha, 2010). Disamping itu dilaporkan juga bahwa isolat Trichoderma spp yang diisolasi dari rizosfer, tanah dan jaringan tanaman vanili dapat menghambat pertumbuhan patogen penyakit busuk pucuk vanili yang disebabkan oleh Phytophthora capsici secara invitro berkisar antara 44,5-73,5%, dengan mampu menekan perkembangan penyakit busuk pucuk vanili secara invivo berkisar 66,67- 68,00% (Taufiq, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa cendawan endofit dapat juga memacu pertumbuhan tanaman inangnya.

Berbagai peneliti telah melaporkan bahwa perlindungan biji atau aplikasi suspensi spora Trichoderma viride pada tanah efektif menghambat infeksi Colletotrichum lindemuthianum pada benih buncis. Sebuah perlindungan lokal yang kuat terhadap antraknosa juga diperoleh ketika daun kacang rentan diperlakukan dengan Trichoderma harzianum dalam media cair. Mengolesi benih terinfeksi dengan kultur dari T. harzianum, T. viride, T. hamatum dan Gliocladium virens selama 15 menit dan pengeringan semalam sebelum menabur

23 patogen secara signifikan menghambat infeksi C. lindemuthianum dan peningkatan perkecambahan biji. Aktivitas antagonis utama bio-agen ini adalah melalui hambatan pertumbuhan mycellia, produksi metabolit beracun yang mudah menguap dan penghambatan spora (Bankole and Adebjano, 1996; Orifade 2000 dalam Mohammed, 2013). Menurut

Nurbailis dkk (2015), Trichoderma sp, Penicillium sp dan Aspergillus sp yang berasosiasi dengan rizosfer tanaman jahe mampu menghambat perkembangan Fusarium oxysporum f. sp. zingiberi penyebab penyakit busuk rimpang jahe.

Demikian halnya pada tanaman kopi diketahui beberapa endofit yang berperan sebagai antagonis penyakit pada kopi. Bakteri endofit asal tanaman kopi yaitu Klebsiella oxytoca - C939A32 dan

Ochrobactrum intermedium-C939A31 dapat menekan perkembangan populasi nematoda luka akar Pratylenchus coffeae secara invitro masing-masing adalah 66,7% dan 100% (Halimah dkk, 2016).

Trichoderma flagellatum yang diisolasi dari akar tanaman kopi berpotensi sebagai antagonis terhadap Fusarium spp penyebab penyakit layu kopi/tracheomycosis. Diketahui juga bahwa T. falgellatum berpotensi sebagai antagonis pada cendawan patogenik lainnya seperti Alternaria alternata, Botryotinia fuckeliana (anamorph:

Botrytis cinerea), and Sclerotinia sclerotiorum (Mulaw et al, 2013).

Menurut penelitian Vega et al (2006) bahwa Penicillium spp.

24 merupakan endofitik penghasil senyawa ochratoksin asal tanaman kopi yang diambil dari Colombia, Hawaii dan Maryland.

2.2.3. Metabolit cendawan endofit

Cendawan endofit dapat melindungi tumbuhan inang dari serangan patogen dengan senyawa yang dikeluarkan oleh cendawan endofit. Senyawa yang dikeluarkan cendawan endofit berupa senyawa bioaktif berupa metabolit sekunder dan berperan dalam menghambat dan mengendalian pertumbuhan cendawan patogen. Tumbuhan inang menyediakan nutrisi yang dibutuhkan oleh mikroba endofit untuk melengkapi siklus hidupnya (Sunarminingsih, 2002).

Mekanisme cendawan endofit dalam melindungi tanaman terhadap serangan patogen meliputi: (1) penghambatan pertumbuhan patogen secara langsung melalui senyawa antibiotik dan enzim litik yang dihasilkan; (2) penghambatan secara tidak langsung melalui induksi ketahanan tanaman oleh cendawan endofit terhadap tanaman yang merangsang pembentukan metabolit sekunder seperti asam salisilat, asam jasmonat, dan etilen yang berfungsi dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen atau yang berfungsi sebagai antimikroba seperti fitoaleksin; (3) perangsangan pertumbuhan tanaman sehingga lebih tahan terhadap serangan patogen; (4) kolonisasi jaringan tanaman sehingga patogen sulit penetrasi; dan (5) hiperparasit (Gao et al, 2010).

25 Ketika cendawan endofit dapat berkembang dari tanaman yang terinfeksi cendawan patogen, ketahanan tanaman terhadap serangan patogen bisa dipicu oleh cendawan endofit. Pertahanan tanaman yang berhubungan dengan cendawan endofit meningkat melalui peningkatan ketahanan dan produksi metabolit sekunder (Gao et al,

2010).

Cendawan endofit menghasilkan metabolit sekunder yang diduga sebagai akibat koevolusi atau transfer genetik (genetic recombination) dari tanaman inangnya ke dalam mikroba endofit.

Apabila cendawan endofit yang diisolasi dari suatu tanaman dapat menghasilkan alkaloid atau metabolit sekunder sama dengan tanaman aslinya atau bahkan dalam jumlah yang lebih tinggi, namun hal ini jarang terjadi (Radji, 2005). Senyawa yang dihasilkan cendawan endofit umumnya berbeda dengan senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan inangnya (Strobel, 2003).

Mekanisme elisitor endofit menginduksi metabolit sekunder adalah mirip dengan stimulasi ketahanan tanaman. Kolonisasi cendawan endofit mensekresi enzim hidrolase dari sel tanaman untuk membatasi pertumbuhan cendawan, dengan demikian fragmen endofit bertindak sebagai elisitor, yang diproduksi dari hidrolisasi. Elisitor seperti lipopolisakarida, polisakarida dan glikoprotein akan

26 merangsang pertahanan tanaman dan metabolit sekunder tanaman yang akan menekan pertumbuhan patogen (Gao et al, 2010).

2.2.4. Trichoderma spp.

Secara taksonomi Trichoderma spp. diklasifikasikan sebagai

berikut : Kingdo : Fungi, Divisi : Amastigomycota, subdivisi :

Deuteromycotina, Kelas : Deuteromycetes, Famili : Moniliaceae,

Genus : Trichoderma, dan Spesies : Trichoderma spp. (Alexopoulus

dan Mims, 1979)

Umumnya Trichoderma merupakan cendawan yang berasosiasi

dengan tanaman, dan banyak ditemukan pada akar dan daun.

Trichoderma endofit daun membutuhkan nutrisi (protein) dilokasi

endofit itu berada (Alfizar dkk, 2013). Selain itu, Trichoderma juga

dapat berasosiasi sebagai saprofit yang hidup di dalam tanah

khususnya pada bahan organik, serasah dan kayu mati. Permukaan

akar tanaman, tunggul, sisa akar dan propagul cendawan lainnya

dapat menjadi tempat hidupnya cendawan ini. Daerah lembab menjadi

kondisi yang cocok bagi perkembangan dan pertumbuhan cendawan

Trichoderma, dan populasi akan menurun setelah beberapa waktu

yang lama pada kondisi tanah kering. Pada kondisi yang tidak

menguntungkan, cendawan ini akan membentuk klamidiospora

sebagai propagul untuk bertahan, dan akan berkembang biak lagi

apabila kondisi kembali normal. Cendawan ini menyukai tanah

27 masam dan peka terhadap sinar atau cahaya langsung, tetapi pembentukan spora cendawan biasa terjadi pada kondisi cahaya terang (Rismansyah, 2013).

Trichoderma merupakan mikroba yang menguntungkan, avirulen terhadap inang dan memiliki sifat antagonis terhadap cendawan patogen (Herman et al, 2004 dalam Alfizar dkk, 2013).

Mekanisme antagonis Trichoderma spp. dapat melalui mekanisme antibiosis, mikoparasitisme dan kompetisi. Mekanisme antibiosis dapat terjadi karena Trichoderma menghasilkan beberapa antibiotik seperti alametichin, Paracelsin, dan Tricotoxin yang dapat menghancurkan sel cendawan lainnya melalui pengrusakan terhadap permeabilitas dinding sel. Disamping itu, Trichoderma menghasilkan enzim kitinase dan laminarinase yang dapat menyebabkan lisis dinding sel cendawan lainnya (Rismansyah, 2013). Menurut Taufik (2010), Trichoderma sp. dapat menekan pertumbuhan patogen dengan cara melilit hifa patogen, mengeluarkan enzim ß 1,3 glukonase dan kitinase yang dapat menembus dinding sel inang. Pada mekanisme mikoparasitisme Trichoderma dengan menembus dinding sel cendawan lainnya dan memarasit sel cendawan tersebut melalui penyerapan unsur hara (makanan) serta menyebabkan cendawan tersebut mati. Disamping itu, pada mekanisme kompetisi,

Trichoderma memiliki kemampuan untuk memperebutkan tempat

28 hidup dan sumber makanan dalam tanah atau sekitar perakaran

tanaman (Rismansyah, 2013).

Gambar 8. Variasi warna dan morfologi koloni cendawan Trichoderma spp pada media tumbuh PDA. Urutan berdasarkan baris atas : T. cremeum (Strain AN 392); T. longipile (AN 414); T. viride (AN 253)., berdasarkan baris bawah : T. harzianum (AN 261); T. atroviride (AN 287); dan T. citrinoviride (AN 262) (Btaszczyk et al, 2014).

T. hamatum T. harzianum Gambar 9. Morfologi mikroskopis Trichoderma spp (Watanabe 2002)

29 III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai Oktober 2017 di Perkebunan kopi Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, kemudian dilanjutkan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian

Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan.

3.2. Pelaksanaan Penelitian

3.2.1. Pengambilan Sampel Penelitian

Sampel penelitian berupa akar tanaman kopi sehat diambil dari

lokasi perkebunan kopi di kabupaten Alor dengan ketinggian tempat :

864 dpl, dan Suhu/Kelembaban : 32,4oC-32,2oC / 76%-66%. Sampel

dipilih secara acak sebanyak 5 pohon. Masing-masing sampel akar

kopi diambil dan dimasukan dalam plastik sampel dan diberi label,

kemudian dibawa ke laboratorium untuk pengujian selanjutnya.

3.2.2. Pembuatan Medium Tumbuh

Untuk pengujian invitro menggunakan medium PDA sintetik.

Medium yang digunakan sebagai media perbanyakan dan isolasi

cendawan endofit adalah medium PDA yang dibuat dengan

menggunakan bahan dalam formula 1 liter air (1000 ml) adalah

Kentang 200 g, Dextrosa (gula pasir) 20 g, Agar-agar 15 g, dan

Chloramphenicol. Chloramphenicol digunakan untuk mencegah

tumbuhnya bakteri kontaminan. Cara membuatnya adalah kentang dikupas bersih, dicuci dengan air bersih dan dipotong kecil kira-kira 1

cm2. Kentang tersebut kemudian direbus dengan 1 liter aquadest steril

selama ± 15-20 menit atau sampai air rebusan berwarna kekuningan

(kentang menjadi lunak). Kamudian air hasil rebusan tersebut dituang

ke dalam Erlenmeyer 1000 ml yang sebelumnya telah terisi 20 g gula

pasir dan 15 g agar-agar dan diaduk hingga merata. Chloramphenicol

ditambahkan sebanyak 2 butir ke dalam campuran tersebut.

Selanjutnya tabung tersebut ditutup dengan kapas dan dilapisi dengan

alumanium foil dan disterilkan dalam autoclave selama kurang lebih

35-45 menit pada suhu 121 0C dengan tekanan 1 atm. Setelah

mencapai suhu ± 37 0C, PDA dituangkan pada cawan Petri untuk

dapat digunakan selanjutnya dalam inokulasi.

Medium yang digunakan untuk isolasi cendawan patogen adalah modifikasi medium semiselektif (Manandhar and Hartman,

1995; Davis, 2003 dalam Martínez-Bolaños et al, 2015). Medium semiselektif dibuat dengan menggunakan 10 g PDA sintetik dan 7,5 g agar-agar yang dicampur dalam 1 L air steril. Campuran bahan tersebut kemudian di autoclave selama kurang lebih 35-45 menit pada suhu 121 0C dengan tekanan 1 atm, kemudian didinginkan hingga 50

0C. Untuk menekan pertumbuhan bakteri kontaminan, ditambahkan 50 mg Chloramphenicol dan 200 mg Plantomycin. Sedangkan untuk

31 mencegah tumbuhnya cendawan lainnya selain Colletotrichum spp, ditambahkan 8 mg Antracol, 20 mg Ziplo dan 5 mg Fenarimol.

3.2.3. Isolasi Cendawan Trichoderma spp.

Cendawan Trichoderma spp. diisolasi dari bagian akar tanaman kopi yang telah diambil dari lapangan. Isolasi cendawan tersebut dilakukan dengan metode Moist chamber . Bagian tanaman sehat yang digunakan adalah akar kopi yang secara terpisah masing-masing dipotong kecil dengan ukuran kurang lebih 1 cm x 1cm dan disterilisasi permukaan dengan aquades steril, ethanol 95 %, NaOCl 0,5%, ethanol

95%, dan aquades steril masing-masing selama 1 sampai 2 menit.

Potongan akar tersebut, masing-masing dikering anginkan dan diletakan di atas cawan Petri secara terpisah yang telah dilapisi kertas saring steril basah. Lalu diinkubasikan pada suhu ruangan (25-27 0C) selama 7 hari (Dey et al, 2013). Setelah itu diamati dan apabila telah terjadi pertumbuhan cendawan, maka dilakukan isolasi permurnian biakan. Setiap koloni cendawan yang tumbuh dilakukan pemindahan pada medium PDA (tiga potongan per cawan) untuk memperoleh biakan murni. Semua cendawan yang telah dimurnikan, diidentifikasi dan dibuat kultur stok untuk uji lanjut.

3.2.4. Isolasi Colletotrichum sp.

Colletotrichum sp diisolasi dari buah cabai merah yang bergejala penyakit antraknosa. Hal ini dilakukan karena tidak

32 ditemukannya Colletotrichum pada buah kopi bergejala antraknosa yang diperoleh dari perkebunan kopi. Disamping itu, diketahui bahwa antraknosa pada tanaman kopi, tanaman kakao dan tanaman cabai disebabkan oleh patogen yang sama yaitu Colletotrichum gloeosporioides.

Bagian buah cabai yang bergejala tersebut disterilisasi permukaan dengan aquades steril, ethanol 95%, lalu dibilas dengan aquades steril masing-masing selama 30-60 detik. Potongan bagian buah tersebut dikering anginkan dengan diletakkan di atas cawan petri yang telah berisi tiga lapis kertas saring steril dan setelah kering dipindahkan pada cawan Petri berisi media semi selektif (tiga potongan per cawan) dan diikubasikan pada suhu ruangan (25-270C) selama 48 jam. Setelah itu diamati dan apabila telah terjadi pertumbuhan cendawan, maka dilakukan isolasi permurnian biakan. Miselium cendawan yang tumbuh diisolasi pada media tumbuh PDA baru dengan teknik spora tunggal untuk memperoleh biakan murni. Setelah diperoleh biakan murni maka dilanjutkan dengan identifikasi secara mikroskopik dengan mengamati warna koloni, bentuk koloni, bentuk spora, konidia dan konidiofor yang mengacu pada kunci identifikasi cendawan menurut Watanabe (2002), Weir et al (2012), Wharton and

Diéguez-Uribeondo (2004), dan Damm et al (2012). Cendawan

Colletotrichum sp. yang telah dimurnikan, kemudian diidentifikasi

33 memiliki kemiripan karakteristik dengan C. gloeosporioides, dan dibuat kultur stok untuk uji lanjut.

Gambar 10. Colletotrichum sp., (a). Gejala antraknosa pada buah cabai merah besar., (b). Pertumbuhan pada media kultur PDA., (c). Apresoria., (d). Konidia

3.2.5. Uji Antagonisme cendawan Trichoderma terhadap cendawan Colletotrichum

Hasil isolasi diperoleh empat isolat cendawan Trichoderma dari akar kopi. Dengan demikian pengujian antagonisme secara invitro dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan. Adapun perlakuannya adalah :

CT0 = Colletotrichum sp. tanpa cendawan Trichoderma sp. (kontrol negatif) CT-1 = Colletotrichum sp. + Trichoderma morfospesies 1 CT-2 = Colletotrichum sp. + Trichoderma morfospesies 2 CT-3 = Colletotrichum sp. + Trichoderma morfospesies 3

34 CT-4 = Colletotrichum sp. + Trichoderma morfospesies 4 CTa = Colletotrichum sp. + Trichoderma asperellum (isolat asal tanaman kakao hasil koleksi Prof. Ade Rosmana dkk.) sebagai kontrol positif.

Pengujian ini dilakukan untuk melihat mekanisme penghambatan cendawan Trichoderma terhadap cendawan

Colletotrichum sp. pada medium PDA Sintetik dengan metode biakan ganda (Taufiq, 2012; Nurbailis dkk, 2015). Biakan murni patogen dan cendawan endofit yang digunakan masing-masing berumur 7 hari, diambil menggunakan corkborrer dan diinokulasikan pada satu cawan petri yang berisi medium PDA Sintetik dengan arah yang berlawanan berjarak 3 cm antara kedua isolat (Gambar 11.). Setelah itu diinkubasikan pada suhu ruang selama 48 jam dan dilanjutkan dengan pengamatan.

Pengamatan pada pengujian antagonisme dilakukan pada saat biakan berumur 3 dan 5 hari setelah inokulasi. Pengamatan mekanisme penghambatan berupa pengamatan presentase penghambatan dengan mengukur luas koloni cendawan patogen, mekanisme kompetisi dilakukan dengan melihat perkembangan cendawan antagonis dan patogen dalam memenuhi cawan petri, dan mekanisme parasitasi dilakukan berdasarkan perkembangan hifa koloni cendawan antagonis yang mampu melewati dan menutupi koloni

35 cendawan patogen. Pengamatan dilakukan pada masing-masing perlakuan (Nurbailis dkk, 2015). Keterangan : C = Koloni cendawan Colletotrichum sp. C A A = Koloni cendawan antagonis

A R2 = Rata-rata Diameter koloni cendawan R2 3 cm A Colletotrichum sp. yang dikulturkan dengan cendawan Trichoderma sp.

Gambar. 11. Model inokulasi patogen dan antagonis pada media tumbuh

Presentase penghambatan cendawan dihitung dengan menggunakan rumus yang dipakai oleh Taufiq (2012) :

Dimana : (R1 – R2) P = Presentase penghambatan (%) P = X 100% R1 = Rata-rata Diameter koloni cendawan R1 Colletotrichum sp. kontrol (Tanpa Trichoderma sp.) R2 = Rata-rata Diameter koloni cendawan Colletotrichum sp. yang dikulturkan dengan cendawan Trichoderma sp.

3.2.6. Uji Endofitisme Cendawan Trichoderma spp. pada Bibit Kopi

Pengujian ini dengan menggunakan biakan murni cendawan

Trichoderma spp. yang diperoleh. Teknik inokulasi yang digunakan yaitu teknik penyiraman pada bibit kopi. Dipersiapkan suspensi

36 cendawan Trichoderma spp. dengan konsentrasi kerapatan spora : 106 spora/mL masing-masing sebanyak 200 mL. Masing-masing suspensi cendawan Trichoderma tersebut disiramkan pada tanah sekitar perakaran bibit kopi sesuai perlakuan dan tanahnya ditutupi dengan plastik penutup, kemudian diinkubasi selama ± 7 hari dan dilakukan reisolasi untuk pengamatan.

Reisolasi dilakukan dengan mengambil bagian tanaman kopi yaitu akar (2-3 cm dari permukaan tanah), batang kopi (1-5 cm dari permukaan tanah) pada 7 hari setelah inokulasi (HSI), 14 HSI dan 21

HSI. Kemudian disterilisasi permukaan dan ditumbuhkan pada media agar. Diinkubasikan selama ± 3 hari dan dilakukan pengamatan dengan menghitung persentase kolonisasi Trichoderma pada jaringan tanaman menggunakan rumus perhitungan persentase antara lain :

DimanaG ditmbu : P = Presentase Kolonisasi (%) A P = X 100% A = Jumlah jaringan tanaman yang B ditumbuhi cendawan Trichoderma. B = Jumlah jaringan tanaman yang ditanami pada media PDA.

3.2.7. Persentase Daun Kopi terserang cendawan Colletotrichum sp.

Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan metode yang dimodifikasi dari Chaelani (2011) dan Aziz dkk (2013). Bagian tanaman kopi yang digunakan adalah daun muda dari bibit kopi berumur ± 6 37 bulan. Pengujian ini dengan menggunakan biakan murni Trichoderma spp. dan biakan murni Colletotrichum sp. yang diperoleh. Teknik inokulasi yang digunakan yaitu teknik penyemprotan cendawan

Trichoderma dan penempelan isolat patogen pada daun muda kopi.

Dipersiapkan suspensi cendawan Trichoderma dengan konsentrasi kerapatan spora : 106 spora/mL masing-masing sebanyak 200 mL.

Masing-masing suspensi cendawan Trichoderma tersebut disemprotkan pada permukaan atas dan bawah daun tanaman kopi dan di atas tanah sesuai perlakuan dan ditutupi tanahnya dengan plastik penutup, kemudian diinkubasi selama ± 1 bulan. Selanjutnya, dipersiapkan cawan petri berisi kertas saring (watmen) basah. Daun muda diambil dari masing-masing perlakuan sebanyak 3 lembar daun muda dan diletakkan pada cawan petri tersebut masing-masing 1 helai daun. Cendawan patogen diambil dengan menggunakan corkborrer dan ditempelkan pada daun muda kopi tersebut dan diinkubasikan selama 3 hari kemudian dilakukan pengamatan. Proses ini dilakukan untuk masing-masing perlakuan.

Pengamatan dilakukan pada :

1. Presentase Daun Terserang

Pengamatan gejala penyakit pada daun kopi dilakukan sejak hari

pertama timbulnya gejala dengan interval waktu pengamatan 2

hari. Pengamatan lanjutan dilakukan selama 11 HSI. Pengamatan

38 dilakukan pada 3 daun muda tanaman kopi pada masing-masing perlakuan. Presentase daun terserang dihitung dengan menggunakan rumus (Zadoks dan Schein, 1979 dalam Herwidyarti dkk, 2013) sebagai berikut :

∑( ) = 100%

Keterangan:

I = Presentase daun terserang n = Jumlah daun terserang v = Nilai skoring daun terserang

N = Jumlah daun yang diamati

V = Nilai Skoring tertinggi yang digunakan Nilai skoring penyakit antraknosa didasarkan pada skala kerusakan daun tanaman yang terserang penyakit (dimodifikasi dari Taufiq,

2012). Nilai kategori serangan (skor) adalah sebagai berikut :

0 = Tidak ada nekrosis

1 = Persentase nekrosis > 0%, tetapi ≤ 10 %.

2 = Persentase nekrosis > 10 % tetapi ≤ 20 %.

3 = Persentase nekrosis > 20 %, tetapi ≤ 30 %.

4 = Persentase nekrosis > 30 %, tetapi ≤ 40 %.

5 = Persentase nekrosis > 40 %, tetapi ≤ 50 %.

39 6 = Persentase nekrosis > 50 %,

2. Keberadaan Trichoderma spp. pada daun kopi

Untuk mengetahui keberadaan Trichoderma spp. dalam jaringan

daun kopi, maka daun kopi diambil, dipotong, disterilisasi

permukaan dan ditumbuhkan pada media kultur. Setelah tumbuh

cendawan kemudian dimurnikan dan diidentifikasi dengan

menggunakan mikroskop dan menghitung persentase kolonisasi

cendawan pada jaringan daun kopi. Proses ini dilakukan untuk

masing-masing perlakuan. Pengamatan ini dilakukan setelah

pengamatan hari terakhir persentase daun terserang.

3.3. Analisis Data

Data uji antagonisme dan ketahanan daun kopi yang diperoleh

dianalisis dengan menggunakan Anova dan Uji Duncan taraf 5%

untuk mengetahui perbedaan perlakuan yang dicobakan, dengan

bantuan program SPSS versi 16.

40 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Isolasi Cendawan Trichoderma

Berdasarkan hasil isolasi cendawan endofit dari tanaman kopi

diperoleh empat speseis cendawan Trichoderma yang diisolasi dari

akar tanaman kopi asal Kabupaten Alor. Pengamatan morfologi koloni

cendawan Trichoderma tersebut di atas dibandingkan dengan isolat

cendawan Trichoderma asperellum koleksi Prof. Ade Rosmana dkk,

dan pengamatan mikroskopi isolat berumur 6 hari menunjukkan

perbedaan (Gambar Lampiran 1a sampai 1e.). Karakterisasi

morfologis secara makroskopis dapat dilihat melalui warna koloni dan

bentuk koloninya pada media kultur PDA (Tabel 1.).

Tabel 1. Karakteristik Maskroskopis Cendawan Trichoderma spp. pada media PDA.

Warna Koloni Isolat Tampak Bawah Bentuk Koloni Tampak Atas (A) (B) Hijau dan Putih Putih Bulat T-1 keabuan T-2 Hijau keabuan Putih abu Bulat T-3 Hijau kekuningan kehijauan Bulat T-4 Putih kehijauan Putih Bulat Ta Hijau Putih Bulat

Hasil pengamatan menunjukkan juga adanya perkembangan

koloni Trichoderma spp selama 7 hari pengamatan, dimana ke empat morfospesies Trichoderma dapat berkembang secara cepat memenuhi cawan petri bersamaan dengan T. asperellum (Lampiran Tabel 1.). T-3 dan Ta telah memenuhi cawan petri dengan rata-rata diameter 9 cm pada hari ketiga setelah inokulasi, sedangkan T-1, T-2 dan T-4 masing- masing memiliki rata-rata diameter koloni 7,4; 8,6 dan 6,45 cm

(Gambar 12.).

Perkembangan Koloni Trichoderma spp. (cm/hari) 10 9 8 7 6 T-1 5 T-2 4 T-3 3 2 T-4 Diameter Koloni (cm) 1 Ta 0 1 2 3 4 5 6 7 Waktu Pengamatan (hari ke...)

Gambar 12. Grafik rata-rata pertumbuhan koloni Trichoderma spp selama 7 hari.

Karakteristik mikroskopis berupa bentuk konidiofor, fialid dan konidia diidentifikasi menggunakan buku identifikasi Watanabe

(2002); Semuels dan Hebbar (2015). Keempat isolat yang diperoleh memiliki karakteristik mikroskopik yang tidak jauh berbeda dengan T. asperellum. Hal ini ditunjukkan dengan bentuk konidiofor yang tegak bercabang, fialid pendek dan tebal, bentuk konidia bulat dan oval, hifa berseta serta klamidiospora berbentuk elips atau agak bulat, namun 42 berbeda makrospesies dan memiliki kemiripan karakterisitk dengan

beberapa spesies Trichoderma antara lain T. hamatum, T. viridescens,

T. flagellatum dan T. viride (Tabel 2.; Gambar Lampiran 1a sampai 1e).

Tabel 2. Karakteristik mikroskopis spesies Trichoderma spp. berdasarkan bentuk konidiofor, fialid, konidia, hifa dan klamidiospora. Bentuk Mikroskopis Kemiripan Isolat Koni Spesies Konidiofor Fialid Hifa Klamidiospora dia Agak bulat Tegak Pendek, T. hamatum T-1 Oval Berseta pada tengah bercabang tebal hifa Tegak Pendek, Elips pada T. viridescens T-2 Bulat Berseta bercabang tebal ujung hifa

Agak bulat Tegak Pendek, T. flagellatum T-3 Oval Berseta pada tengah bercabang tebal. dan ujung hifa Pendek, Agak Tegak tebal, bulat/elips T. viride T-4 Oval Berseta bercabang melengkung pada tengah . dan ujing hifa Agak bulat Tegak Pendek, T. asperellum Ta Bulat Berseta pada ujung bercabang tebal hifa

4.1.2. Pengujian Antagonisme Trichoderma terhadap Colletotrchum sp.

Pengujian antagonis dilakukan dengan menggunakan

Colletotrichum sp. asal buah cabai sakit. Hal ini dikarenakan tidak

ditemukan Colletotrichum sp. pada buah kopi sakit yang diambil dari

lapangan. Penggunaan Colletotrichum asal buah cabai besar pada

pengujian ini karena terdapat kesamaan patogen penyebab penyakit

43 antraknosa pada cabai, kopi dan kakao yaitu Colletotrichum gloeosporioides.

Hasil pengujian dua kultur (Gambar Lampiran 2.) diketahui adanya perbedaan daya hambat Trichoderma spp. terhadap

Colletotrichum sp. secara In-Vitro. Hasil uji lanjut (Tabel Lampiran 2 dan 3.) menunjukkan bahwa perlakuan Trichoderma morfospesies 1

(CT-1), Trichoderma morfospesies 2 (CT-2) dan Trichoderma morfospesies 3 (CT-3) memiliki rata-rata presentase daya hambat yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan T. asperellum (CTa) dan berbeda nyata dengan perlakuan Trichoderma morfospesies 4 (CT-4) dan kontrol (CT0) (Tabel 3.).

Tabel 3. Rata-rata Persentase Daya Hambat Trichoderma spp. terhadap Colletotrichum sp. secara In-Vitro (%). Daya Hambat (%) pada hari ke... Perlakuan 3 5 CT-1 29.57 bc 63.31 c CT-2 34.46 cd 65.83 c CT-3 39.28 cd 70.17 cd CT-4 19.25 b 43.35 b CTa 45.18 d 74.50 d CTo 0.00 a 0.00 a Ket : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama berbeda tidak nyata pada taraf 5%.

44 4.1.3. Pengujian Endofitisme Cendawan Trichoderma pada Bibit Kopi.

Hasil pengujian endofitisme dengan reisolasi Trichoderma spp.

dari jaringan bibit kopi (Gambar Lampiran 3.) diketahui bahwa

Trichoderma yang awalnya diisolasi dari jaringan akar kopi, dapat

direisolasi dari jaringan akar dan batang bibit kopi masing-masing

perlakuan selama 7, 14 dan 21 hari setelah aplikasi (HSA) dengan

persentase 16,67 - 83,33 %. Demikian halnya juga pada cendawan T.

asperellum asal kakao. Hal ini menunjukkan bahwa Trichoderma

tersebut merupakan endofit pada bibit kopi (Tabel 4.).

Tabel 4. Persentase Kolonisasi cendawan Trichoderma spp. dalam jaringan tanaman kopi.

Persentase Kolonisasi Trichoderma dalam jaringan Minggu Isolat ...(%) ke... Cabang akar Akar utama Batang I T1 40,00 66,67 66,67 T2 60,00 50,00 50,00 T3 80,00 66,67 33,33 T4 40,00 50,00 0,00 Ta 60,00 66,67 33,33 II T1 16,67 66,67 60,00 T2 60,00 83,33 75,00 T3 0,00 66,67 60,00 T4 0,00 66,67 33,33 Ta 80,00 83,33 66,67 III T1 0,00 57,14 50,00 T2 57,14 75,00 71,43 T3 0,00 37,50 75,00 T4 0,00 60,00 33,33 Ta 71,43 80,00 50,00

45 4.1.4. Persentase Daun Kopi terserang Cendawan Colletotrichum sp.

Hasil uji lanjut (Tabel Lampiran 4.) menunjukkan bahwa daun

kopi dengan perlakuan Trichoderma morfospesies 1 (CT-1) memiliki

rata-rata persentase daun terserang terendah, diikuti oleh perlakuan

Trichoderma morfospesies 2 (CT-2) dan Trichoderma morfospesies 3

(CT-3) berbeda tidak nyata dengan CTa tetapi berbeda nyata dengan

CT-4 dan Kontrol (Tabel 5.).

Tabel 5. Rata-rata Persentase Daun Kopi Terserang Cendawan Colletotrichum sp. (%).

Rata-rata persentase Perlakuan daun kopi terserang (%) CT-1 36.67 ab CT-2 40.67 b CT-3 40.83 b CT-4 51.25 c CTa 30.42 a CT0 55.83 c Ket : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama berbeda tidak nyata taraf uji 5%.

Disamping itu, berdasarkan hasil rata-rata persentase daun terserang (Tabel 5.), maka dilakukan reisolasi cendawan endofit

Trichoderma spp pada daun tanaman kopi dengan masing-masing perlakuan, dan didapati adanya Trichoderma spp sebagai endofit pada daun kopi dengan rata-rata kolonisasi 40% - 100% (Tabel 6.).

46 Tabel 6. Persentase kolonisasi Trichoderma spp. dalam jaringan daun kopi dengan rata-rata persentase daun terserang terendah.

% Kolonisasi Trichoderma dalam jaringan Rata- Kode Perlakuan Total daun kopi rata Ulangan Ulangan 1 2 Ta 100 100 200 100 T-1 75 50 125 62,5 T-2 100 40 140 70 T-3 100 75 175 87,5 T-4 20 60 80 40

4.2. Pembahasan

4.2.1. Cendawan Trichoderma spp.

Trichoderma spp. merupakan kelompok cendawan yang selalu

berasisoasi dengan tanaman dan tanah. Cendawan ini jika berada

dalam jaringan tanaman maka disebut sebagai cendawan endofit. Hal

ini dikarenakan keberadaan Trichoderma dalam jaringan tanaman tidak

menyebabkan penyakit, bahkan dapat memberikan manfaat bagi

tanaman sebagai inangnya (Schulz dan Boyle 2005; Kusari et al.

2012). Menurut Simarmata dkk (2007), cendawan endofit bersimbiosis

mutualisme dengan inangnya untuk mendapatkan nutrisi dari inangnya

dan memberikan hasil metabolismenya ke tanaman inangnya sebagai

sumber ketahanan terinduksi terhadap hama dan patogen.

47 Trichoderma spp. umumnya banyak ditemukan sebagai endofit pada bagian akar dan daun tanaman, diantaranya pada perakaran tanaman kopi. Hal ini dikemukan juga oleh Mulaw et al (2010), bahwa terdapat keberagaman Trichoderma spp yang ditemukan sebagai endofit pada akar tanaman kopi ( arabica) di Ethiopia. Spesies cendawan ini beragam sesuai dengan kebutuhan nutrisi yang diperoleh dari tanaman inangnya. Senyawa nitrogen sebagai salah satu sumber daya nutrisi yang diperlukan dalam perkembangbiakan (Purnomo,

2010).

Hasil isolasi Trichoderma spp. dari akar kopi diperoleh empat isolat morfospesies Trichoderma dengan karakteristik morfologi yang berbeda (Tabel 1.). Secara makroskopis, perbedaan warna koloni terlihat jelas pada media kultur PDA yaitu warna koloni putih kehijauan, putih keabuan-hijau, hijau kekuningan, hijau dan hijau keabuan pada 3 hari sampai 5 hari setelah inokulasi (HSI). Warna hijau pada isolat menunjukkan warna spora/konidia dengan warna hifa putih dan bentuk koloni bulat. Menurut Semuels and Hebbar (2015), bahwa saat fase kematangan, sebagian besar spesies Trichoderma memiliki warna konidia hijau, dan sedikit saja jumlah spesies yang memiliki warna konidia putih. Terdapat juga corak warna lainnya sebagai ciri khas konidia Trichoderma sp. yaitu kuning kehijauan, coklat kehijauan sampai pada hijau gelap. Pertumbuhan Trichoderma spp. sangat cepat

48 pada media kultur PDA. Hal ini ditunjukkan dengan empat isolat morfospeseis Trichoderma tersebut berkembang dengan pesat pada dua hari dan tiga hari setelah inokulasi (HSI) bersamaan dengan T. asperellum (Ta) mencapai diameter 6,45 cm hingga 9 cm. Hal ini didukung oleh Alfizar dkk (2013), bahwa pertumbuhan koloni cendawan Trichoderma spp. cepat pada media kultur, dimana dapat mencapai diameter 5 – 6,6 cm pada hari ketiga setelah inokulasi.

Sementara itu, secara mikroskopis ke empat morfospesies tersebut memiliki hifa yang berseta dan konidiofor tegak bercabang.

Sedangkan tiga isolat memiliki bentuk fialid tebal dan pendek sama dengan Ta tetapi berbeda dengan T-4 yaitu pendek, tebal dan melengkung. Dismping itu, bentuk konidia T-2 sama dengan Ta yaitu bulat, berbeda dengan T-1, T-3 dan T-4 yaitu oval. Bentuk klamidiospora T-1 dan T-3 sama dengan Ta yaitu agak bulat dan terletak pada ujung hifa, berbeda dengan T-2 dan T-4 yaitu elips / agak bulat yang terletak pada ujung dan tengah hifa (Tabel 2.). Menurut

Barnett dan Hunter (1998), Trichoderma merupakan cendawan dengan konidiofor berbentuk hialin, kebanyakan bercabang, tidak semuanya tegak lurus, bentuk phialid tunggal atau berkelompok, memiliki bentuk konidia hialin, bersel satu, berbentuk seperti telur dan bertumpu membentuk tandan kecil. Umumnya dikenali dengan cendawan yang memiliki tipe pertumbuhan sangat cepat dan berwarna hijau sebagai

49 warna konidia atau stroma, bersifat saprofit pada tanah dan kayu. Ada juga dilaporkan sebagai endofit pada tanaman dan beberapa spesies dilaporkan sebagai parasit cendawan lainnya.

Berdasarkan hasil identifikasi karakterisitik morfologi empat morfospesies Trichoderma tersebut memiliki kemiripan dengan T. hamatum, T. viridescens, T. flagellatum, dan T. viride.

Trichoderma hamatum merupakan cendawan kosmopolitan dan umumnya ditemukan pada habitat tanah dan terkadang ditemukan sebagai endofit pada getah batang kakao. Pada media kultur PDA, T. hamatum menghasilkan bau khas dan tidak menghamburkan pigmen.

Pustul konidia membentuk cincin konsentris, tersusun rapat dengan diameter 0,5-1,5 mm dan berwarna putih keabuan. Konidia berwarna putih keabuan-hijau dengan struktur lembut dan bentuk koloni bulat.

Secara mikroskopis T. hamatum memiliki konidiofor tegak bercabang dengan fialid tebal dan pendek, bentuk konidia oval bersel satu, hifa berseta, klamidiospora berbentuk agak bulat yang terletak pada bagian tengah hifa (Semuels and Hebbar, 2015).

Trichoderma viridescens merupakan cendawan dengan penyebaran terbatas pada daerah beriklim sedang dan jarang ditemukan pada daerah tropikal. Umumnya habitat di tanah, batang/kayu dan kulit kayu (bentuk telemorf). Pada media kultur PDA,

T. viridescens menghasilkan bau khas seperti bau kelapa. Konidia

50 dihasilkan pada ujung hifa kemudian terlepas membentuk pustul dengan diameter 1 mm dan berwarna hijau pada umur 4 hari. Secara mikroskopis T. viridescens memiliki konidiofor tegak bercabang, bentuk fialid tebal dan pendek, hifa berseta, bentuk konidia bulat dengan klamidiospora berbentuk elips yang tereletak pada ujung hifa (Semuels and Hebbar, 2015).

Trichoderma flagellatum umumnya ditemukan sebagai endofit pada akar kopi. Cendawan ini ditemukan di Ethiopia dan biasanya ada pada daerah pertanaman kopi. Pada media kultur PDA, T. flagellatum dapat mencapai diameter 9 cm cawan petri selama 72 jam atau 3 hari pada suhu 350C. T. flagellatum menghasilkan pigment warna kuning dan tidak berbau khas. Konidia berwarna hijau keabuan yang berkumpul membentuk pustul dan lembut. Secara mikroskopis, konidiofor T. flagellatum terbentuk secara menyamping melilit hifa dengan fialid pendek dan tebal, bentuk konidia oval bersel satu, hifa berseta dan klamidiospora berbentuk agak bulat pada ujung dan tengah hifa serta terkadang berpasangan (Semuels and Hebbar,

2015).

Trichoderma viride adalah cendawan dengan daerah penyebaran pada daerah beriklim sedang bagian utara dan selatan, serta jarang dilaporkan berada pada daerah tropikal. Umumnya habitat pada tanah, kayu-kayuan dan kulit kayu. Pada media kultur PDA,

51 pustul T. viride terbentuk di tengah koloni, tampak menyebar dengan ciri tersendiri, hemisperikal dengan ukuran diameter 1-2 mm, seperti kumpulan kapas dan berwarna hijau. Secara mikroskopis, T. atroviride memiliki konidiofor tegak bercabang dengan fialid tebal, pendek dan melengkung. Bentuk kondia oval, hifa berseta, dan bentuk klamidiospora agak bulat terletak pada tengah dan ujung hifa (Semuels and Hebbar, 2015).

4.2.2. Pengujian Antagonisme Trichoderma terhadap Colletorichum sp.

Berdasarkan potensi Trichoderma spp. sebagai agens hayati atau antagonis cendawan patogen maka dilakukan pengujian antagonis Trichoderma spp. terhadap Colletotrichum sp. Dalam pengujian tersebut digunakan patogen penyebab antraknosa pada buah cabai besar yang diidentifikasi memiliki kemiripan karakteristik dengan Colletotrichum gloeosporioides (Weir et al, 2012). Hal ini dilakukan karena C. gloeosporioides juga merupakan patogen penyebab penyakit antraknosa pada kopi dan kakao (Syahnen dkk,

2013; Harahap dkk, 2013).

C. gloeosporioides dikenal sebagai salah satu spesies paling dominan di Indonesia (AVRDC, 2009) dan memiliki patogenesitas yang virulen dari C. capsici (Mongkolporn et al. 2010). Secara morfologis C. gloeosporioides sangat mirip dengan C. acutatum tetapi tetap memiliki

52 perbedaan karakteristik menurut kisaran inang, kultur morfologi, bentuk dan ukuran konidia (Wharton and Diéguez-Uribeondo, 2004).

Pengujian ini (Gambar Lampiran 2.) menunjukkan bahwa adanya mekanisme antagonis yang terjadi antara Trichoderma spp. terhadap Colletotrichum sp. Mekanisme antagonis yang nampak berupa mekanisme mikoparasit dan kompetisi, serta diduga menghasilkan antibiosis dalam menghambat pertumbuhan

Coletotrichum sp.. Hal ini terjadi dimana Trichoderma spp dengan cepat menguasai ruang media kultur dan menekan perkembangan

Colletorichum sp untuk mendapatkan nutrisi. Di samping itu, pertumbuhan cendawan Trichoderma pada perlakuan dapat melewati koloni cendawan Colletotrichum sp. sebagai ciri mekanisme mikoparasit.

Hasil uji lanjut pada taraf uji 5% (Tabel 3.) menunjukkan bahwa perlakuan tiga morfospesies Trichoderma yang diisolasi dari akar kopi memiliki rata-rata persentase penghambatan Colletotrichum sp. tertinggi pada 3 dan 5 HSI berturut-turut yaitu CT-3 (39,28% dan

70,17%), CT-2 (34,36% dan 65,83%), dan CT-1 (29,57% dan

63,31%). Hal ini berbeda tidak nyata dengan perlakuan CTa (45,18% dan 74,50%) dan berbeda nyata dengan perlakuan CT-4 (19,25% dan

43,35%) dan kontrol (0,00%).

53 Hal ini menunjukkan bahwa semua isolat morfospesies

Trichoderma yang diisolasi dari akar kopi berpotensi dalam menghambat pertumbuhan Colletotrichum sp.. Hal ini didukung oleh

Gusnawaty dkk (2014), bahwa Trichoderma spp asal Sulawesi

Tenggara dapat menghambat pertumbuhan Colletotrichum sp. dengan rata-rata persentase pernghambatan 65,07% - 77,69% dengan mekanisme kompetisi ruang, mikoparasit dan diduga menghasilkan antibiosis.

Selain itu, Trichoderma spp. diketahui bersifat antagonis terhadap Phytophthora palmivora secara invitro dengan nilai mencapai

82,7% (Umrah et al, 2009) dan menghambat pertumbuhan

Phytophthora capsici dengan nilai 44,5% - 73,5% (Taufiq, 2012).

Diketahui juga Trichoderma flagellatum yang diisolasi dari akar kopi berpotensi sebagai antagonis terhadap Fusarium spp penyebab penyakit layu kopi/tracheomycosis (Mulaw et al, 2013). Dengan demikian diketahui bahwa Trichoderma spp. merupakan mikroba yang menguntungkan, avirulen terhadap inang dan memiliki sifat antagonisme terhadap cendawan patogen (Herman et al, 2004 dalam

Alfizar dkk, 2013).

Rismansyah (2013), menjelaskan bahwa Trichoderma memiliki tiga tipe mekanisme antagonis yaitu mekanisme antibiosis, mikoparasit dan kompetisi. Mekanisme antibiosis dapat terjadi dengan

54 menghasilkan enzim dan senyawa antibiotik yang dapat menyebabkan lisis dan menghancurkan dinding sel cendawan lainnya antara lain

Alametichin, Paracelsin, Tricotoxin, enzim kitinase dan laminarinase.

Mekanisme mikoparasit terjadi dimana Trichoderma dapat menekan perkembangan cendawan lainnya dengan menghasilkan enzim β-1,3 glukonase dan kitinase yang mampu menembus dinding sel cendawan lainnya dan memarasit sel cendawan tersebut untuk memperoleh nutrisi, sehingga dapat menyebabkan cendawan tersebut mati.

Sedangkan mekanisme kompetisi terjadi karena Trichoderma spp dapat tumbuh dengan cepat dan memiliki kemampuan memperebutkan tempat hidup dan sumber makanan baik di tanah maupun bagian tanaman.

4.2.3. Pengujian Endofitisme Cendawan Trichoderma pada Bibit Kopi

Keberadaan cendawan Trichoderma spp. sebagai endofit dalam jaringan tanaman dibuktikan dengan reisolasi cendawan tersebut dari jaringan tanaman setelah aplikasi (Gambar Lampiran 3). Berdasarkan hasil reisolasi (Tabel 4) menunjukkan bahwa ke empat morfospesies cendawan Trichoderma asal akar kopi merupakan endofit pada bibit kopi. Cendawan Trichoderma tersebut dapat direisolasi dari jaringan akar dan batang bibit kopi pada selama 3 minggu setelah inokulasi dengan persentase kolonisasi mencapai 80%, dan dapat direisolasi dari jaringan daun kopi pada 5 MSI dengan persentase kolonisasi 55 40%-100% (Tabel 6.). Keberadaan Trichoderma dalam jaringan tanaman sebagai endofit pada pengujian ini dapat direisolasi dari jaringan batang 1-5 cm dari atas permukaan tanah pada 3 MSI. Hal demikian juga terjadi pada T. asperellum yang digunakan sebagai kontrol positif dalam pengujian ini. Namun, pada jaringan cabang perakaran tidak lagi ditemukan T-1, T-3, dan T-4 pada 2- 3 MSI. Hal ini dapat dikarenakan ketiga morfospesies Trichoderma tersebut telah berada pada jaringan akar utama atau tercuci terbawa air pada saat proses penyiraman bibit kopi. Perbedaan persentase kolonisasi dalam jaringan akar, batang, dan daun kopi menunjukkan bahwa Trichoderma menyebar secara tidak merata pada jaringan tanaman. Meskipun demikian, data ini menjelaskan bahwa empat morfospesies

Trichoderma tersebut merupakan endofit dan memiliki habitat di tanah serta daerah perakaran sama dengan cendawan T. asperellum.

Meskipun cendawan T. asperellum merupakan hasil isolat yang diperoleh dari jaringan tanaman kakao, tetapi Semuels dan Hebbar

(2015) mengelompokkan cendawan T. asperellum sebagai cendawan kosmopolitan dengan habitat di tanah, dimana cendawan ini dapat bersosiasi dengan perakaran tanaman. Hal ini memungkinkan untuk T. asperellum dapat berasosiasi juga dengan jaringan tanaman kopi.

Disamping itu, menurut Alfizar dkk (2013), bahwa Trichoderma spp. merupakan mikroba yang banyak ditemukan sebagai endofit di akar

56 dan daun dalam memperoleh nutrisi untuk pertumbuhannya. Selain itu,

Trichoderma juga ditemukan sebagai saprofit pada bahan organik, serasah dan kayu mati (Rismansyah, 2013).

4.2.4. Persentase Daun Kopi terserang Colletotrichum sp.

Hasil uji lanjut (Gambar Lampiran 4) menunjukkan bahwa adanya perbedaan nyata rata-rata persentase daun terserang pada masing-masing perlakuan yang dicobakan. Tabel 5. menjelaskan bahwa daun kopi dengan perlakuan Trichoderma morfospesies 1 (CT-

1) memiliki rata-rata persentase daun terserang dengan nilai 36,67%, diikuti oleh perlakuan Trichoderma morfospesies 2 (CT-2) dan

Trichoderma morfospesies 3 (CT-3) dengan nilai masing-masing

40,67% dan 40,83% yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan CTa

(30,42%) tetapi berbeda nyata dengan perlakuan CT0 (55,83%) dan T-

4 (51,25%). Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi Trichoderma spp ke dalam jaringan tanaman, secara tidak langsung dapat menginduksi ketahanan tanaman terhadap serangan patogen dengan menghasilkan metabolit sekunder. Hal ini juga dibuktikan dengan keberadaan cendawan Trichoderma spp yang ditemukan kembali pada jaringan daun kopi hasil reisolasi. Menurut Gao et al (2010), penghambatan secara tidak langsung melalui induksi ketahanan tanaman oleh cendawan endofit terhadap tanaman yang merangsang pembentukan metabolit sekunder seperti asam salisilat, asam jasmonat, dan etilen

57 yang berfungsi dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen atau yang berfungsi sebagai antimikroba seperti fitoaleksin, perangsangan pertumbuhan tanaman sehingga lebih tahan terhadap serangan patogen, dan kolonisasi jaringan tanaman sehingga patogen sulit penetrasi.

Penelitian Hakkar dkk (2014) menunjukkan bahwa aplikasi

Trichoderma asperellum ART-4 dengan konsentrasi 4 gL-1 dapat menekan laju insidensi penyakit Busuk Buah Phytophthora (BBP) dilapangan hingga 3,7% per minggu. Disamping itu, Trichoderma spp. dilaporkan dapat menekan perkembangan penyakit busuk pucuk vanili di pembibitan dengan rata-rata persentase daya hambat 66,67%-

68,00% (Taufiq, 2012). Proses penghambatan secara tidak langsung ini dapat terjadi melalui induksi ketahanan tanaman secara endofitik yang merangsang tanaman untuk menghasilkan senyawa metabolit sekunder sebagai sistem ketahanan tanaman terhadap serangan patogen (Gao et al, 2010).

58 V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat

disimpulkan bahwa :

1. Terdapat empat cendawan Trichoderma yang diisolasi dari akar

tanaman kopi dengan karakteristik morfologi berbeda dan memiliki

kemiripan karakteristik dengan T. hamatum, T. viridescens, T.

flagellatum, dan T. viride.

2. Empat cendawan Trichoderma endofit akar kopi berpotensi dalam

menekan perkembangan Colletotrichum sp. penyebab penyakit

antraknosa, dan Trichoderma morfospesies 2 memiliki kemampuan

yang baik dalam menekan perkembangan Colletotrichum sp.

secara invitro dengan rata-rata persentase penghambatan 65,83%

dan invivo 40,67%. Hal ini berbeda tidak nyata dengan T.

asperellum dengan nilai masing-masing 74,50% dan 30,42%, serta

berbeda nyata dengan Trichoderma morfospesies 4 (43,35% dan

51,25%) dan kontrol (0,00% dan 55,83%).

3. Pengujian endofitisme menunjukkan bahwa 4 morfospesies

Trichoderma tersebut dapat direisolasi dan merupakan endofit pada

jaringan akar, batang dan daun kopi. 5.2. Saran Trichoderma asal akar kopi berpotensi sebagai agens

pengendali hayati terhadap Colletotrichum sp. Oleh karena itu, dapat

dilakukan penelitian lanjutan mengenai identifikasi secara molekuler

dan potensi lainnya dari Trichoderma tersebut.

60 DAFTAR PUSTAKA

Aisyah D. V., 2015. Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) pada Pembibitan tanaman Kakao (Theobroma cacao L.). Dikutip dari https://maulzxxx.wordpress.com/2015/01/25/. Diakses tanggal 14 November 2017.

Anonim, 2016. Colletotruchum kahawae. Dikutip dari https://en.wikipedia.org/wiki/Colletotrichum_kahawae. Diakses tanggal 4 Agustus 2016. Anonim, 2016. Penyakit Antraknosa pada cabai, penyebab, gejala dan cara pengendaliannya. Dikutip dari http://belajartani.com/penyakit- antraknosa-pada-cabai-penyebab-gejala-dan-cara-pengendaliannya/. Pada tanggal 6 oktober 2017. Agwanda C.O; P. Lashermes; P. Trouslot; M-Chr. Combes; and A. Charrier., 1997. Identification of RAPD markers for resistance to coffee berry disease, Colletotrìchuin kahawae, in arabica coffee.,J. Euphytica (97):241-248. Alfizar, Marlina dan F. Susanti., 2013. Kemampuan antagonis Trichoderma sp. Terhadap Beberapa Jamur Patogen In Vitro. J.Floratek (8): 45-51. Asian Vegetable Research and Development Center [AVRDC]. 2009. Development of Locally Adapted, Multiple Disease- Resistent and High Yielding Chili (Capsicum annuum) Cultivars for China, India, Indonesia, and Thailand Phase II. Taiwan (TW): AVRDC Publication.

Azis AI, Ade Rosmana dan Vien S Dewi., 2013. Pengendalian Penyakit Hawar Daun Phytophthora pada Bibit Kakao dengan Trichoderma asperellum. J Fitopatol Indones (1):15-20. DOI: 10.14692/jfi.9.1.15. Barnett H.L dan B.B Hunter.,1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi, Fourth Edition. The American Phytopathological Society. APS Press. USA. Błaszczyk L, Siwulski M, Sobieralski K, Lisiecka J, and Jędryczka M., 2014. Trichoderma spp. – application and prospects for use in organic farming and industry (Review)., Journal Of Plant Protection Research 54 (4):309-317. Cooke T, Denis Persley and Susan House., 2009. Deseases Of Fruit Crops in Australia. Publishing by CSIRO. Australia (Page 121-122). Damm U., P.F. Cannon, J.H.C. Woudenberg, and P.W. Crous., 2012. The Colletotrichum acutatum species complex.,Studies in Mycology 73: 37–113. Dey, P.,Maulik R., Santi M. Mandal, and Mrinal K. Maiti., 2013. Indentification of an Extracellular Antifungal Protein from the Endophytic Colletotrichum sp. DM06. Advanced Laboratory for Plant Genetic Engineering, Advanced Technology Development Centre, Indian Institut of Technology Kharagpur, Kharagpur 721302, India. Dharmaputra O.S, Lisdar I. Sudirman, dan M. Fitriani., 2015. Mikobiota pada Buah Cabai untuk Pengendalian Hayati Colletotrichum capsici. J Fitopatol Indones 11(5):150-158. DOI: 10.14692/jfi.11.5.150. Direktorat Jendral Perkebunan., 2016. Data Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Kopi menurut Propinsi di Indonesia tahun 2011-2015. Kementrian Pertanian Indonesia. Last Updated 13 Juli 2016. Dikutip dari http://www.pertanian.go.id/ap_pages/mod/datatp. Diakses tanggal 7 Desember 2016 Ferreira A. S. and Boley R. A., 1991., Colletotrichum coffeanum. University of Hawaii at Manoa. Dikutip dari http://www.extento.hawaii.edu/kbase/crop/type/c_coffe.htm. Diakses tanggal 4 Agustus 2016. Furtado, I. 1969. The effect of copper fungicides on the occurrence of the pathogenic for of Colletotrichum coffeanum. Trans. Brit. Mycol. Soc. 53:325-328. Gandul, 2010. Sejarah Kopi. http://sekilap.blog.com/ 2010/01/05/sejarah- kopi. Posted by Ajhi in Jan 05, 2010. Diakses 21 September 2016. Gao FK, Dai CC, Liu XZ. 2010. Mechanisms of fungal endophytes in plant protection against pathogens. Afr J Microbiol Res. 4(13):1346-1351. Gunnell, P.S.; Gubler, W.D. (1992) and morphology of Colletotrichum species pathogenic to strawberry. Mycologia (84):157- 165. Gusnawaty HS, M. Taufik dan Herman., 2014. Efektifitas Trichoderma Indigenus Sulawesi Tenggara sebagai Biofungisida terhadap Colletotrichum sp. secara Invitro. Jurnal Agroteknos 4(1):38-43.

62 Hakkar A.A; Ade Rosmana; dan M. D. Rahim., 2014. Pengendalian Penyakit Busuk Buah Phytophthora pada Kakao dengan Cendawan Endofit Trichoderma asperellum., J. Fitopatol Indones 10(5):139- 144.,DOI: 10.14692/jfi.10.5.139. Halimah D; Abdul Munif; dan Giyanto., 2016. Potensi Bakteri Endofit Ochrobactrum intermedium-C939A31, Klebsiella oxytoca-C939A32, Bacillus subtilis-I308A32 Asal Tanaman Kopi untuk Mengendalikan Nematoda Luka Akar Pratylenchus coffeae., J. Fitopatol Indones 12(2):62-68. DOI: 10.14692/jfi.12.2.62. Harahap TFH, L. Lubis, dan Hasanuddin., 2013. Efek Temperatur Terhadap Virulensi Jamur Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.Penyebab Penyakit Antraknosa Pada Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.). Jurnal Online Agroteknologi 2(1):411-420. Herliyana E N, Ratna Jamilah, Darmono Taniwiryono dan Muhammad Alam Firmansyah., 2013., Uji In-vitro Pengendalian Hayati oleh Trichoderma spp. terhadap Ganoderma yang Menyerang Sengon., Jurnal Silvikultur Tropika 4 (3):190-195. Herwidyarti, K.H., Suskandini Ratih dan Dad R. J. Sembodo., 2013. Keparahan Penyakit Antraknosa Pada Cabai (Capsicum annuum L) Dan Berbagai Jenis Gulma. J. Agrotek Tropika 1(1):102-106. Indrawanto C, Kamawati E, Munarso, Prastowo SJ, Rubijo B, Siswanto. 2010. Budidaya dan Pascapanen Kopi. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. International Coffee Organization., 2016. Total Production by all exporting countries (in thousand 60kg bags). Dikutip dari http://www.ico.org/prices/po-production.pdf. Diakses tanggal 21 September 2016. Jiaojiao S, Pongnak Wattanachai and Soytong Kasem, 2016. Antifungal activity of endophytic fungi from palm trees againts coffee anthracnose caused by Colletotrichum coffeanum. Journal of Agricultural Technology 12(3):527-539. Kim WK, Hyun Kyu Sang, Sung Kyoon Woo, Myung Soo Park, Narayan Chandra Paul and Seung Hun Yu., 2007. Six Species of Penicillium Associated with Blue Mold of Grape. Mycobiology 35(4):180-185. Published online 31 Des 2007.

63 https://doi.org/10.4489/MYCO.2007.35.4.180. Copyright © 2007 by The Korean Society of Mycology. Kusari S, Verma VC, Lamshoeft M, Spiteller M. 2012. An endophytic fungus from Azadirachta indicaa juss that produces azadirachtin. World J Microbiol Biotechnol. 28:1287-1294. Liza E. Y., Adrinal., dan J. Trisno., 2015. Keragaman Cendawan Rizosfer dan Potensinya sebagai Agens Antagonis Fusarium oxysporum Penyebab Penyakit Layu Tanaman Krisan., J. Fitopatol Indones 11(2):68-72., DOI:10.14692/jfi.11.2.68. Maheswari R. 2006. What is an endophytic fungus. Current Science 90:1309. Mahfud M. C., 2012. Teknologi dan strategi pengendalian penyakit karat daun untuk meningkatkan produksi kopi nasional., Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 5(1):44-57. Manandar J.B. and G.L. Hartman. 1995. Semiselective Medium for Colletotrichum gloeosporioides and Occurrence of Three Colletotrichum spp. on Pepper Plant. Plant Dis 79(4):376-379. ©1995 The American Phytopathological Society. Martínez,E,P, Juan C. Hío, Jairo A. Osorio, and María F. Torres., 2009. Identification of Colletotrichum species causing anthracnose on Tahiti lime, tree tomato and mango. Agronomia Colombiana 27(2):211-218.

Martínez-Bolaños, M., Daniel Téliz-Ortiz, Antonio Mora-Aguilera, Guadalupe Valdovinos-Ponce, Daniel Nieto-Ángel, Eliseo García- Pérez, Vladimir Sánchez-López., 2015. Anthracnose ( Colletotrichum gloeosporioides Penz.) of litchi fruit ( Litchi chinensis Soon.) in Oaxaca, México. Rev. mex. fitopatol 33(2). versión On-line ISSN 2007-8080 versión impresa ISSN 0185-3309. Dikutip dari http://www.scielo.org.mx/scielo. Diakses tanggal 5 Januari 2017.

Melliawati R, Widyaningrum DN, Djohan AC, Sukiman H. 2006. Pengkajian bakteri endofit penghasil senyawa bioaktif untuk proteksi tanaman. Pusat penelitian bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Biodiversitas 7:221-224. Mohammed A., 2013. An Overview of Distribution, Biology and the Management of Common Bean Anthracnose. J Plant Pathol Microb 4:193 doi:10.4172/2157-7471.1000193.

64 Mohamemd A dan A. Jambo., 2015. Importance and Characterization of Coffee Berry Disease (Colletotrichum kahawae) in Borena and Guji Zones, Southern Ethiopia., J.Plant Pathol Microb (6):302., http://dx.doi.org/10.4172/2157-7471.1000302. Mongkolporn O, Montri P, Supakaew T, Taylor, PWJ. 2010. Differential reactions on mature green and ripe chili fruit infected by three Colletotrichum spp. Plant Dis. 94:306–310. DOI: http://dx.doi. org/10.1094/PDIS-94-3-0306. Mulaw T. B., Chr.P. Kubicel., and I. S. Druzhinina., 2010. The Rhizozphere of in its native highland forests of Ethiopia provides a niche for a distinguished diversity of Trichoderma. Diversity 2:527-549. Mulaw T. B, I. S Druzhinina, Chr P Kubicel and L Atanasova., 2013. Novel Endophytic Trichoderma spp. Isolated from Healthy Coffea arabica Roots are Capable of Controlling Coffee Tracheomycosis., Diversity (5):750-766.doi:10.3390/d5040750. Muslim A, Syahri, H. Hamidson, Abdullah Salim., 2014., Trichoderma spp. dan Penicillium spp. dari Tanah Rizosfer Lahan Rawa Lebak dalam Menginduksi Ketahanan Tanaman Cabai Terhadap Serangan Penyakit Rebah Kecambah., J. Fitopatol Indones 10(1):31-36., DOI: 10.14692/jfi.10.1.31 Najiyati S, dan Danarti. 2012. Kopi, Budidaya dan Penanganan Lepas Panen. Jakarta(ID): PT. Penebar Swadaya. Nikolajeva V, Z. Petrina, Livija Vulfa, Laura Alksne, Daina Eze, Lelde Grantina, Talis Gaitnieks, and A. Lielpetere., 2012., Growth and Antagonism of Trichoderma spp. and Conifer Pathogen Heterobasidion annosum s.l. in Vitro at Different Temperatures., Advances in Microbiology 2: 295-302. http://dx.doi.org/10.4236/aim.2012.23035. Nur’Aini F., Sri-Sukamto., Dwi Wahyuni., R. G. Suhesti., dan Q. Ayunin., 2013. Penghambatan Pertumbuhan Colletotrichum gloeosporioides oleh Trichoderma harzianum, Trichoderma koningii, Bacillus subtilis dan Pseudomonas fluorescens. Pelita Perkebunan 29(1):44-52. Nurbailis; Winarto dan A. Panko., 2015. Penapisan Cendawan Antagonis Indigenos Rizosfer Jahe dan Uji Daya Hambatnya terhadap Fusarium oxysporum f. sp. Zingiberi., J. Fitopatol Indones 11(1):9- 13.,DOI: 10.14692/jfi.13.1.9. 65 Panggabean, E. 2011. Buku Pintar Kopi. Jakarta (ID): Agro Media Pustaka. [Kementan] Kementrian Pertanian. 2003. Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 421/Kpts/SR.120/8/2003 tentang Pelepasan Varietas Kopi Robusta Genotipe BP 436 sebagai Varietas/Genotipe Unggul. Jakarta (ID): IPB. Pakki, S dan A.H Talanca., 2007. Pengelolaan Penyakit Pasca Panen Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. Hal:351-363. Purnomo, H. 2010. Pengantar Pengendalian Hayati. C.V Andi Offset. Yogyakarta. Purves and Sadava., 2003. Life the science of biology 7th edition. Sinauer Associates Inc. New York. Radji M. 2005. Peranan bioteknologi dan mikroba endofit dalam pengembangan obat herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian 2(3):113-126. Rahardjo P. 2012. Panduan Budi Daya dan Pengolahan Kopi Arabika dan Robusta. Trias QD, editor. Jakarta(ID): Penerbar Swadaya. Riadi A. 2016. Morfologi Tanaman Kopi. Dikutip dari http://mykeahlian.blogspot.co.id/2016/02/morfologi-tanaman- kopi.html. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2016. Rismansyah E.A., 2013. Uji Antagonisme Trichoderma Dekomposer Kulit Buah Kakao terhadap Phytopthora palmivora. Pontianak, hal : 1-52. Rutherford, M.A. and Phiri, N., 2006. Pests and diseases of coffee in Eastern Africa: A Technical and advisory Manual. CAB International, Wallingford. Schulz BJE and Boyle CJC. 2005. The endophyte continuum. Mycol Res. 109:661-686. Semangun, H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. UGM Press. Yogyakarta. Semuels G. J and P. K. Hebbar., 2015. Trichoderma, Identification and Agricultural Application. The American Phytopathological Society, St. Paul, Minnesota, U.S.A. Silva HSA, JPL Tozzi, CFR Terrasan and W Bettiol., 2012. Endophytic microorganisms from coffee tissues as plant growth promoters and biocontrol agents of coffee leaf rust. Biological Control (63):62– 67.©2012 Elsevier Inc. All rights reserved. http://dx.doi.org/10.1016/j.biocontrol.2012.06.005.

66 Simamora A.V dan I. W. Mudita., 2015. Jamur Mati Pucuk Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc., dikutip dari https://dokumen.tips/documents/opt-penting-4-colletotrichum- gloeosporioides.html . Diakses tanggal 3 Oktober 2017. Simarmata R, Lekatompessy S, Sukiman H. 2007. Isolasi mikroba endofitik dari tanaman obat sambung nyawa Gynura procumbens dan analisis potensinya sebagai antimikroba. Jurnal Penelitian Hayati 13:85-90. Singh, R., B.K. Singh, R.S. Upadhyay, R. Bharat, and Y. Su Lee., 2002. Biological control of fusarium wilt disease of pigeonpea. J. Plant Pathol. 18(5): 279-283. Soenartiningsih, Nurasiah Djaenuddin, dan M. Sujak Saenong., 2014. Efektivitas Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. sebagai Agen Biokontrol Hayati Penyakit Busuk Pelepah Daun pada Jagung., Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 33 (2):129-135. Sucipto I, Abdul Munif, Yadi Suryadi, dan Efi T. Tondok., 2015. Eksplorasi Cendawan Endofit asal padi Sawah sebagai Pengendali Penyakit Blas pada Padi Sawah. J Fitopatol Indones 11(6):211- 218.DOI:10.14692/jfi.11.6.211. Sudantha IM. 2010. Pengujian Beberapa Jenis Jamur Endofit Dan Saprofit Trichoderma spp. Terhadap Penyakit Layu Fusarium Pada Tanaman Kedelai. Agroteksos. 20(2-3):90-102. Sudarma I. M., 2015. Penyakit Tanaman Perkebunan : Kelapa, Kopi, Kakao, Panili, Cengkih, Tembakau, Karet, dan Jambu Mete., Penerbit Plantaxia., Yogyakarta:45-50. Suheri H, M. Isnaini, dan A.Rohyadi., 2014. Application of organic amendment and Trichoderma sp. to control basal Sclerotium rolfsii on peanut grown on partially degraded land., Journal Of Degraded Andmining Landsmanagement 1(3):131-136. DOI:10.15243/jdmlm.2014.013.131. Sulistyowati, E, Yohanes, D.J, Sri, S, Sukadar, W, Loso, W dan Nova, P. 2003. Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan Rakyat. Analisis Status Penelitian dan Pengembangan PHT Pada Tanaman Kakao. Bogor. Sunarminingsih R. 2002. Metabolit sekunder: Manfaat dan Perkembangannya dalam Dunia Farmasi. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada.

67 Strobel GA. 2003. Endophytes as sources of bioactive products. Microbes Infect. 5:535-544. Syahnen, Sry E. Br Pinem dan Ida R. T Uli Siahaan., 2013. Bahaya penyakit antraknosa (Colletotrichum gloesporioides) pada tanaman kopi dan pengendaliannya. Laboratorium Lapangan Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Medan (Artikel). Dikutip dari http://ditjenbun.pertanian.go.id/bbpptpmedan/berita-265-bahaya- penyakit-antraknosa-pada-kopi-.html. Diakses Tanggal 21 Desember 2016.

Taufik M. 2010. Efektivitas Agens Antagonis Trichoderma sp. Pada Berbagai Media Tumbuh Terhadap Penyakit Layu Tanaman Tomat dalam Prosiding Seminar Ilmiah Dan Pertemuan Tahunan PEI PFT XIX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan. 5 Nopember 2008. Taufiq E., 2012. Potensi Trichoderma spp. Dalam Menekan PerkembanganPenyakit Busuk Pucuk Vanili Di Pembibitan. Buletin RISTRI 3(1):49-56. Umrah, Tjandra Anggraeni, Rizkita Rachmi Esyanti, dan I Nyoman P. Aryantha., 2009., Antagonisitas dan Efektivitas Trichoderma sp dalam menekan perkembangan Phytophthora palmivora pada buah kakao., J. Agroland 16 (1) : 9 – 16. Vega EF; F Posada; SW Peterson; TJ Gianfagna, and F Chaves., 2006. Penicillium species endophytic in coffee plants and ochratoxin A production. Mycologia, 98(1):31–42. ©The Mycological Society of America, Lawrence, KS 66044-8897. Vega EF, A Simpkins, MC Aime, F Posada, SW Peterson, SA Rehner, F Infante, A Castillo and AE Arnold., 2010. Fungal endophyte diversity in coffee plants from Colombia, Hawai’i, Mexico and Puerto Rico., Fungal Ecology (3):122-138. ©2009 Elsevier Ltd and The British Mycological Society. All rights reserved.doi:10.1016/j.funeco.2009.07.002. Watanabe T., 2002. Pictorial Atlas Of Soil and Seed Fungi. “Morphologis of Cultured Fungi and Key to Species”. Second Edition. CRC PRESS LLC. New York, Washington, D.C. Weir B.S., P.R. Johnston, and U. Damm., 2012. The Colletotrichum gloeosporioides Spesies Complex. Studies in Mycology 73: 115–180.

68 Wharton Ph. S. and Javier Diéguez-Uribeondo. 2004. The biology of Colletotrichum acutatum. Anales del Jardín Botánico de Madrid 61(1): 3-22. Wright, D.G.; Heaton, J.B. (1991) Susceptibility of celery cultivars to leaf curl caused by Colletotrichum acutatum. Australasian 20, 155-156. Yang, X.-S.; Madden, L.V.; Reichard, D.L.; Wilson, L.L.; Ellis, M.A. (1992) Splash dispersal of Colletotrichum acutatum and Phytophthora cactorum from strawberry fruit by single drop impactions. Phytopathology (82):332-340. You F, Ting Han, Jing-zhong Wu, Bao-kang Huang, dan Lu-ping Qin., 2009. Antifungal secondary metabolites from endophytic Verticillium sp. Biochemical Systematics and Ecology 37:162–165. doi:10.1016/j.bse.2009.03.008. © 2009 Elsevier Ltd. All rights reserved. Diakses tanggal 2 Desember 2016. Zakaria, M and John A. Bailey., 2000. Morphology And Cultural Variation Among Colletotrichum Isolates Obtained From Tropical Forest Nurseries. Journal of Tropical Forest Science 12 (1): 1-20.

69 LAMPIRAN

Tabel Lampiran 1. Perkembangan Diameter Koloni Cendawan Trichoderma spp. selama 7 HSI Pada Media PDA.

Diameter Koloni (cm/hari) Isolat Total Rata2 1 2 3 4 5 6 7

T-1 2,5 5,85 7,4 9 9 9 9 51,75 7,39

T-2 1,15 7 8,6 9 9 9 9 52,75 7,54

T-3 2,2 7,8 9 9 9 9 9 55 7,86

T-4 1,6 4,5 6,45 8,9 9 9 9 48,45 6,92

Ta 2,5 7,95 9 9 9 9 9 55,45 7,92

70 Tabel Lampiran 2a. Persentase Penghambatan Colletotrichum sp. oleh Trichoderma spp. secara invitro pada hari ke 3 (%). Persentase Penghambatan Colletotrichum sp. (%) Total Ulangan CT-1 CT-2 CT-3 CT-4 CTa CT0 1 23,81 19,05 33,33 4,76 42,86 0,00 123,81 2 28,57 42,86 42,86 9,52 42,86 0,00 166,67 3 40,91 40,91 40,91 22,73 50,00 0,00 195,45 4 25,00 35,00 40,00 40,00 45,00 0,00 185,00 Total 118,29 137,81 157,10 77,01 180,71 0,00 670,93 Rata-rata 29,57 34,45 39,27 19,25 45,18 0,00 167,73

Tabel Lampiran 2b. Sidik Ragam Persentase Penghambatan Colletotrichum sp. oleh Trichoderma spp. secara invitro pada hari ke 3 (%). Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F-Tabel Keberagaman bebas kuadrat tengah F-Hit 0,05 0,01 (SK) (db) (JK) (KT)

Perlakuan 5 5307,36 1061,47 13,99 ** 2,77 4,25 Sisa/Galat 18 1366,12 75,90 Total 23 6673,48 Ket : * = Berbeda nyata pada taraf uji 5%; ** = Berbeda nyata pada taraf uji 1%; tn = berbeda tidak nyata

Tabel Lampiran 2c. Uji Duncan Persentase Penghambatan Colletotrichum sp. oleh Trichoderma spp. secara invitro pada hari ke 3 (%) Perlakuan Rerata (%) Notasi Rank CT-1 29.57 bc 3 CT-2 34.46 cd 4 CT-3 39.28 cd 5 CT-4 19.25 b 2 CTa 45.18 d 6 CT0 0.00 A 1 Ket : Angka-angka yang diikuti notasi sama berbeda tidak nyata pada taraf uji 5%. 71 Tabel Lampiran 3a. Persentase Penghambatan Colletotrichum sp. oleh Trichoderma spp. secara invitro pada hari ke 5 (%). Persentase Penghambatan Colletotrichum sp. (%) Ulangan CT-1 CT-2 CT-3 CT-4 CTa CT0 Total 1 60,00 57,50 70,00 42,50 75,00 0,00 305,00 2 61,54 69,23 69,23 33,33 71,79 0,00 305,13 3 68,29 68,29 70,73 39,02 75,61 0,00 321,95 4 63,41 68,29 70,73 58,54 75,61 0,00 336,59 Total 253,25 263,32 280,69 173,39 298,01 0,00 1268,66 Rata-rata 63,31 65,83 70,17 43,35 74,50 0,00 317,17

Tabel Lampiran 3b. Sidik Ragam Persentase Penghambatan Colletotrichum sp. oleh Trichoderma spp. secara invitro pada hari ke 5 (%). Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F-Tabel Keberagaman bebas kuadrat tengah F-Hit 0,05 0,01 (SK) (db) (JK) (KT)

Perlakuan 5 15721,12 3144,22 114,57 ** 2,77 4,25 Sisa/Galat 18 493,99 27,44 Total 23 16215,11 Ket : * = Berbeda nyata pada taraf uji 5%; ** = Berbeda nyata pada taraf uji 1%; tn = berbeda tidak nyata

Tabel Lampiran 3c. Uji Duncan Persentase Penghambatan Colletotrichum sp. oleh Trichoderma spp. secara invitro pada hari ke 5 (%). Perlakuan Rerata (%) Notasi Rank CT-1 63.31 c 3 CT-2 65.83 c 4 CT-3 70.17 cd 5 CT-4 43.35 b 2 CTa 74.50 d 6 CT0 0.00 a 1 Ket : Angka-angka yang diikuti notasi sama berbeda tidak nyata pada taraf uji 5%.

72 Tabel Lampiran 4a. Rata-rata Persentase Daun Kopi Terserang Colletotrichum sp.

Rata-rata Persentase Daun Kopi Terserang (%) Ulangan CT-1 CT-2 CT-3 CT-4 CTa CT0 Total 1 30,00 43,33 43,33 50,00 26,67 51,67 245,00 2 35,00 43,33 36,67 51,67 26,67 48,33 241,67 3 36,67 40,00 40,00 51,67 31,67 60,00 260,00 4 45,00 36,67 43,33 51,67 36,67 63,33 276,67 Total 146,67 163,33 163,33 205,00 121,67 223,33 1023,33 Rata-rata 36,67 40,83 40,83 51,25 30,42 55,83 255,83

Tabel Lampiran 4b. Sidik Ragam Rata-rata Persentase Daun Kopi Terserang Colletotrichum sp. (%). Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F-Tabel Keberagaman bebas kuadrat tengah F-Hit 0,05 0,01 (SK) (db) (JK) (KT)

Perlakuan 5 1759,26 351,85 16,00** 2,77 4,25 Sisa/Galat 18 395,83 21,99 Total 23 2155,09 Ket : * = Berbeda nyata pada taraf uji 5%; ** = Berbeda nyata pada taraf uji 1%; tn = berbeda tidak nyata

Tabel Lampiran 4c. Uji Duncan Rata-rata Persentase Daun Kopi Terserang Colletotrichum sp. (%). Perlakuan Rerata (%) Notasi Rank CT-1 36.67 ab 2 CT-2 40.67 b 3 CT-3 40.83 b 4 CT-4 51.25 c 5 CTa 30.42 a 1 CT0 55.83 c 6 Ket : Angka-angka yang diikuti notasi sama berbeda tidak nyata pada taraf uji 5%.

73 Struktur Makroskopis Kemiripan Karakteristik (Semuels dan Hebbar, Struktur Mikroskopis pada media PDA 2015) Trichoderma mf 1 (T-1) Trichoderma hamatum

Fialid Konidiofor Konidiofor

Tampak Atas Konidia

Hifa Fialid

Tampak Bawah Klamidiospor a Klamidiospora Klamidiospora Konidia Gambar Lampiran 1a. Karakteristik morfologi Cendawan Trichoderma mf 1 (T-1);

74 Struktur Makroskopis Kemiripan Karakteristik (Semuels dan Hebbar, Struktur Mikroskopis pada media PDA 2015) Trichoderma mf 2 (T-2) Trichoderma viridescens

Fialid Konidiofor

Konidiofor

Fialid

Tampak Atas Hifa Klamidiospora Konidia

Konidia Tampak Bawah Klamidiospora

Gambar Lampiran 1b. Karakteristik morfologi Cendawan Trichoderma mf 2 (T-2);

75 Struktur Makroskopis Kemiripan Karakteristik (Semuels dan Hebbar, Struktur Mikroskopis pada media PDA 2015) Trichoderma mf 3 (T-3) Trichoderma flagellatum Fialid Fialid

Konidiofor

Tampak Atas Konidia Hifa Konidiofor

Klamidiospora Konidia

Tampak Bawah Klamidiospora

Gambar Lampiran 1c. Karakteristik morfologi Cendawan Trichoderma mf 3 (T-3); 76 Struktur Makroskopis Kemiripan Karakteristik (Semuels dan Hebbar, Struktur Mikroskopis pada media PDA 2015) Trichoderma mf 4 (T-4) Fialid Trichoderma viride

Fialid

Konidiofor Konidiofor

Tampak Atas Konidia

Hifa Konidia

Tampak Bawah Klamidiospora

Gambar Lampiran 1d. Karakteristik morfologi Cendawan Trichoderma mf 4 (T-4); 77 Struktur Makroskopis Struktu Mikroskopis (Semuels dan Hebbar, Struktur Mikroskopis pada media PDA 2015) Trichoderma asperellum Trichoderma asperellum

Fialid

Konidiofor Fialid

Tampak Atas

Konidia

Hifa Konidiofor

Klamidiospora

Tampak Bawah Konidia

Gambar Lampiran 1e. Karakteristik morfologi Cendawan Trichoderma asperellum; Pengamatan hari ke 3 Pengamatan hari ke 5 Perlakuan Tampak Atas Tampak Bawah Tampak Atas Tampak Bawah

CT-1

CT-2

Gambar Lampiran 2a. Model Pengujian Persentase Penghambatan Colletotrichum sp. oleh Trichoderma mf 1 dan Trichoderma mf 2. secara invitro.

79 Pengamatan hari ke 3 Pengamatan hari ke 5 Perlakuan Tampak Atas Tampak Bawah Tampak Atas Tampak Bawah

CT-3

CT-4

Gambar Lampiran 2b. Model Pengujian Persentase Penghambatan Colletotrichum sp. oleh Trichoderma mf 3 dan Trichoderma mf 4. secara invitro.

80 Pengamatan hari ke 3 Pengamatan hari ke 5 Perlakuan Tampak Atas Tampak Bawah Tampak Atas Tampak Bawah

CTa

CT0

Gambar Lampiran 2c. Model Pengujian Persentase Penghambatan Colletotrichum sp. oleh Trichoderma asperellum dan kontrol secara invitro.

81 Bagian Tanaman Model Reisolasi Hasil Subkultur Isolat Awal Kopi

T1 T2

T3 T4

Akar Kopi Ta

Gambar Lampiran 3. Pengujian Endofitisme Trichoderma spp. (Reisolasi)

82 CT-1

CT-2

CT-3

CT-4

CTa

CT0

Gambar Lampiran 4. Model Pengujian Persentase Daun Kopi terserang Colletotrichum sp pada 9 HSI. 83 84