SAGU, September 2017 Vol. 16 No. 2 : 17-25 ISSN 1412-4424

RASIO TEPUNG SAGU DAN IKAN MOTAN (Thynnichthys polylepis) TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK

[RATIO OF SAGO AND MOTAN FISH (Thynnichthys polylepis) ON THE CHARACTERISTIC OF CRACKERS]

GUSLIKO NURMAN*, USMAN PATO DAN YELMIRA ZALFIATRI

Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Riau, Kode Pos 28293, Pekanbaru.

ABSTRACT Fish crackers are one of processed poducts with the fish as the main ingredient with addition of or starch. This purpose of this study was to get the best ratio between sago starch and motan fish. This research used a Complete Randomized Design Experiment with five treatments and three replications. The treatments were were the ratio of sago starch : motan fish 90:10 (K1), 80:20 (K2), 70:30 (K3), 60:40 (K4), 50:50 (K5). The data obtained were statistically analyzed using Analysis of Variance (ANOVA) and Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) at 5% level. The parameters observed were swelling power, moisture, ash, and protein contents as well as sensory test. Ratio of sago starch and motan fish significantly affected moisture, ash and protein contents, colour, taste, aroma, crispiness, and acceptance by panelist. The best treatment of crackers from this research was K4 which had swelling power 21.57%, moisture content 11.90%, ash 0.97%, and protein 22.00%. The result of descriptive test assessment, crackers had no brown colour (2.42), flavor fish crackers (3.70), taste fish (3.72), and texture crispiness (2.57). Overall assessment hedonic test of crackers was preferred by the panelists.

Key words: crackers, sago starch, motan fish.

ABSTRAK Kerupuk ikan merupakan salah satu produk olahan yang mana ikan sebagai bahan utama dengan tambahan tepung atau pati. Penelitian ini untuk bertujuan mendapatkan rasio terbaik antara tepung sagu dan ikan motan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Eksperimen Lengkap dengan lima perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuannya adalah perbandingan tepung sagu: ikan motan 90:10 (K1), 80:20 (K2), 70:30 (K3), 60:40 (K4), 50:50 (K5). Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan Analisis Varians (ANOVA) dan Duncan Multiple Range Test (DNMRT) baru pada tingkat 5%. Parameter yang diamati adalah daya kembang, kadar air, kadar abu, kadar protein serta uji sensori. Rasio tepung sagu dan ikan motan berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar abu, kadar protein, daya kembang, warna, rasa, aroma, kerenyahaan, dan penerimaan panelis keseluruhan. Perlakuan terbaik dari penelitian ini adalah perlakuan K4 yang memiliki daya kembang sebesar 21,57%, kadar air 11,90%, kadar abu 0,97%, dan kadar protein 22,00%. Hasil uji deskriptif menunjukkan kerupuk tidak berwarna coklat (2,42), beraroma ikan (3,70), berasa ikan (3,72) bertekstur agak renyah (2,57) serta disukai oleh panelis.

Kata Kunci: Kerupuk, Pati sagu, Ikan Motan.

* Korespondensi penulis: Email: [email protected]

Sagu 16 (2): 2017 17 GUSLIKO NURMAN, USMAN PATO DAN YELMIRA ZALFIATRI

PENDAHULUAN ikan motan juga memiliki kandungan protein, Sagu merupakan tanaman asli dari lemak, dan energi yang cukup tinggi masing- Indonesia. Sagu berasal dari sekitar Danau masing yaitu 27,00 g, 3,00 g, dan 176,00 kkal Sentani, Kabupaten Jayapura, . Areal sagu (Riyanto, 2013). Ikan motan masih memliki nilai di Indonesia merupakan areal sagu terbesar di ekonomis rendah karena masih belum banyak dunia, yaitu sekitar 1,128 juta Ha atau 51,3% dari dilakukan diversifikasi pangan. Masyarakat Riau 2,201 juta Ha areal sagu dunia. Salah satu hanya mengolah ikan motan untuk digoreng dan provinsi penghasil sagu terbesar di Indonesia disalai. Oleh karena itu, perlu dilakukan adalah provinsi Riau. Luas area tanaman sagu diversifikasi terhadap ikan motan salah satunya sebanyak 83.256 Ha dengan produksi pati sagu dengan cara memanfaatkannya dalam sebesar 126,145 ton pada tahun 2013 (Balai pembuatan kerupuk. Berdasarkan uraian di atas, Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, maka telah dilakukan penelitian dengan judul 2008). Potensi yang besar ini belum Rasio tepung sagu dan ikan motan dimanfaatkan dengan baik. (Thynnichthys polylepis) terhadap karakteristik Beberapa penelitian telah dilakukan kerupuk. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk tentang pembuatan kerupuk dari sagu. Syahrial memperoleh rasio antara tepung sagu dan ikan (2015) telah melakukan penelitian dengan motan terhadap karakteristik dan organoleptik memanfaatkan tepung sagu dan tepung tempe. kerupuk sagu. Perlakuan terbaik yang dihasilkan adalah formulasi tepung sagu 80% dan tepung tempe BAHAN DAN METODE 20%, yang menghasilkan kadar air 7,60%, kadar Bahan dan Alat protein 5,92%, kadar abu 1,37%, serta daya Bahan utama yang digunakan dalam kembang 41,24%. Ikan merupakan salah satu penelitian ini adalah pati sagu yang diperoleh di bahan alternatif yang dapat ditambahkan dalam Pasar Pagi Panam dan ikan motan pembuatan kerupuk untuk menambah nilai (Thynnichthys polylepis) yang berasal dari gizinya. Penambahan ikan motan selain untuk Danau PLTA Koto Panjang. Bahan tambahan menambah nilai gizi pada kerupuk sagu juga yang digunakan bawang putih, gula, garam, daun bertujuan untuk memberikan warna yang pisang, minyak goreng, dan bahan pengembang menarik pada kerupuk sagu yang dihasilkan. yang dibeli di Pasar Pagi Panam. Bahan-bahan Umumnya konsumen lebih memilih kerupuk kimia yang digunakan untuk analisis mutu dengan warna yang menarik atau warna khas kerupuk yaitu K2SO4 10%, H2SO4 1,2%, NaOH dari bahan baku pembuatan kerupuk. 3,25%, NaOH 4 N,H2SO4 25%, KI 20%,

Pemanfaatan ikan dalam pembuatan Na2S2O3 0,1 N, K2Cl2O7 0,1 N, larutan Luff kerupuk telah dilakukan Laiya (2013) yang Schoorll, HCl 3%, zat anti buih, alkohol 95%, memanfaatkan ikan gabus dalam pembuatan amilum 1%, dan akuades. kerupuk sagu. Formulasi terbaik yang diperoleh Alat yang digunakan untuk membuat adalah tepung sagu 30% dan ikan gabus 70%, kerupuk adalah blender, timbangan analitik, pisau, dimana diperoleh kadar air 5,175%, abu 5,185%, kompor, pengukus (dandang), talenan, ember, alat protein 5,205%, karbohidrat 88,625%, dan lemak untuk menggoreng, dan wadah plastik. Alat 1,02%. Selain ikan gabus, beberapa ikan yang yang digunakan untuk analisis yaitu oven, cawan umumnya dimanfaatkan dalam pembuatan porselin, timbangan analitik, tanur, gelas piala, kerupuk diantaranya yaitu ikan lele dan ikan gelas ukur, labu kjeldahl, pipet, labu destilasi, patin. desikator, botol jar, nampan, erlemeyer, jangka Ikan motan merupakan ikan khas daerah sorong, dan beberapa peralatan lainnya. Alat Riau. Ikan motan digemari oleh masyarakat yang digunakan untuk uji sensori yaitu booth, karena memiliki citarasa tinggi dengan rasa nampan, kertas label, piring penyajian, formulir daging yang lezat dan khas terutama setelah isian, alat tulis, dan kamera untuk dokumentasi. menjadi ikan olahan (Burnawi, 2011). Selain itu,

18 Sagu 16 (2): 2017 Rasio Tepung Sagu dan Ikan Motan

Metode Penelitian Pengukusan adonan Penelitian dilaksanakan secara Dodolan dikukus selama ± 1,5 jam eksperimen menggunakan Rancangan Acak sampai bagian dalam matang dan adonan Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan tiga berwarna bening serta teksturnya kenyal. Hasil kali ulangan. Perlakuan dalam penelitian ini yang diperoleh disebut dengan dodolan matang. adalah: K1 (rasio pati sagu : ikan motan 90 : 10),

K2 (rasio pati sagu : ikan motan 80 : 20), K3 Pendinginan dodolan

(rasio pati sagu : ikan motan 70 : 30), K4 (rasio Dodolan matang dibiarkan selama 24 pati sagu : ikan motan 60 : 40), dan K5 (rasio jam disuhu ruang sehingga mengeras dan pati sagu : ikan motan 50 : 50) mudah dipotong yang disebut dengan dodolan matang. Pelaksanaan Penelitian Pembuatan adonan ikan motan Pengirisan dan pengeringan kerupuk basah Ikan motan terlebih dahulu disiangi Dodolan matang keras diiris tipis (dibuang isi perut, sisik, dan insang), selanjutnya (ketebalan ±2 mm) dengan pisau sehingga ikan dicuci dengan air bersih, semua kotoran diperoleh kerupuk basah. Kerupuk basah yang masih melekat terutama di-bagian rongga diangin-anginkan dan dijemur selama 2 hari (pada perut dan sisa pembuluh darah dapat dibersihkan, kondisi cuaca cerah) sehingga kadar airnya 12% sebaiknya menggunakan air mengalir agar ikan dengan tanda mudahnya kerupuk dipatahkan. benar–benar bersih, lalu ikan difillet, kemudian dipisahkan daging dari duri-duri ikan dan kulit Penggorengan ikan, selanjutnya diblender hingga halus. Kerupuk mentah yang sudah kering digoreng di dalam minyak goreng panas dalam Pembuatan kerupuk sagu keadaan terendam pada suhu ± 120oC selama Penyiapan bahan 20 detik sambil dibalik-balik. Kemudian kerupuk Tepung sagu, bawang putih, garam, dan siap untuk dianalisis. soda ditimbang berdasarkan rasio masing- masing perlakuan, Kemudian berupa Analisis Data bawang putih dan garam dihaluskan. Selanjutnya Data yang diperoleh yaitu kadar air, bumbu yang telah dihaluskan dan soda kue kadar abu, kadar protein dan daya kembang serta dicampurkan dengan tepung sagu dan ikan uji sensori secara deskriptif terhadap warna, motan. aroma, rasa, kerenyahan serta penilaian Pembuatan biang kerupuk keseluruhan dianalisis secara statistik Tepung sagu yang telah ditimbang dengan menggunakan Analysis of Variance berdasarkan perlakuan, Kemudian tepung sagu (ANOVA). Jika F hitung lebih besar atau sama dilarutkan menggunakan air hangat sehingga dengan F tabel maka dilanjutkan dengan uji diperoleh larutan sagu. Larutan sagu dicampur Duncan’s Multiple New Range Test (DNMRT) dengan bumbu yang telah dihaluskan dan adonan pada taraf 5%. ikan motan. Campuran bahan diaduk hingga menjadi kental. Hasil pengadukan ini disebut HASIL DAN PEMBAHASAN biang kerupuk. Analisis Proksimat dan Daya Kembang Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa Pembuatan adonan penambahan ikan motan pada pembuatan Biang kerupuk dicampur sedikit demi kerupuk sagu berpengaruh nyata terhadap kadar sedikit dengan sisa tepung sagu sambil diulen air, kadar abu, kadar protein dan daya kembang. sehingga homogen dan tidak lengket di tangan. Rata-rata kadar gizi kerupuk yang dihasilkan Adonan dibentuk silinder (dodolan) dengan setelah diuji lanjut dengan DNMRT pada taraf panjang 20 cm dan diameter 4 cm. 5% dapat dilihat pada Tabel 1.

Sagu 16 (2): 2017 19 GUSLIKO NURMAN, USMAN PATO DAN YELMIRA ZALFIATRI

Tabel 1. Data analisis proksimat dan daya kembang kerupuk berbasis pati sagu dan ikan motan

Perlakuan Air (%) Abu (%) Protein (%) Daya Kembang (%) a a a e K1 9,19 0,81 10,57 38,08 b ab a d K2 10,57 0,85 11,37 29,58 bc bc b c K3 11,31 0,90 15,46 23,34 cd c c b K4 11,90 0,97 22,00 21,57 d d d a K5 12,29 1,16 26,86 12,38 Ket: Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DNMRT pada taraf 5%.

Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar air Kadar protein kerupuk yang dihasilkan kerupuk mentah yang dihasilkan pada penelitian pada penelitian ini berkisar antara 10,57-26,86%. ini berkisar antara 9,19-12,29%. Kadar air Kadar protein tertinggi terdapat pada perlakuan tertinggi terdapat pada perlakuan K5 (pati sagu K5 (pati sagu 50% : ikan motan 50%) dengan 50% : ikan motan 50%) yaitu sebesar 12,29% yaitu sebesar26,86%, sedangkan kadar protein yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan K4 terendah terdapat pada perlakuan K1 (pati sagu sebesar 11,90%. Sementara itu kadar air 90% : ikan motan 10%) sebesar 10,57%, yang terendah terdapat pada perlakuan K1 (pati sagu berbeda tidak nyata dengan kadar protein pada

90% : ikan motan 10%) yaitu sebesar 9,19%. perlakuan K2 yaitu 11,37%. Perbedaan kadar Kadar air kerupuk sagu semakin meningkat protein pada kelima perlakuan kerupuk tersebut seiring dengan bertambahnya persentase ikan dipengaruhi oleh penambahan persentase ikan motan dan pati sagu semakin berkurang. Hal ini motan yang digunakan pada pembuatan kerupuk disebabkan, karena kandungan air yang dimiliki ikan motan. oleh daging ikan motan lebih besar daripada kadar Hasil penelitian menunjukkan bahwa air pati sagu. Penelitian Riyanto (2013), semakin banyak ikan motan dan semakin sedikit mendapatkan kandungan air dalam daging ikan pati sagu yang digunakan pada pembuatan motan berkisar 69,02-75,96%, sedangkan kadar kerupuk maka jumlah protein akan semakin air pati sagu menurut Jading dkk. (2011) sebesar meningkat pula. Kandungan protein pada ikan 13,69%. Sehingga semakin besar penambahan motan cukup tinggi. Hal inilah yang menyebabkan ikan motan, maka kadar air akan meningkat. kadar protein pada kerupuk sagu semakin Kadar abu kerupuk yang dihasilkan pada meningkat. Jading dkk. (2011) menyatakan penelitian ini berkisar antara 0,81-1,16%. Kadar bahwa kadar protein pati sagu yaitu sebesar abu tertinggi terdapat pada perlakuan K5 (pati 0,46% dan Riyanto (2013) menyatakan bahwa sagu 50% : ikan motan 50%) yaitu sebesar kadar protein ikan motan berkisar 27,00%. Oleh 1,16%, sedangkan kadar abu terendah terdapat sebab itu semakin banyak penambahan ikan pada perlakuan K1 (pati sagu 90% : ikan motan motan dalam pembuatan kerupuk sagu maka 10%) sebesar 0,81%, yang berbeda tidak nyata protein akan semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan kadar abu perlakuan K2 yaitu 0,85%. dengan penelitian Nendissa (2012) yang Semakin banyak penggunaan ikan motan dan menyatakan semakin banyak penambahan udang semakin sedikit pati sagu maka kadar abu pada pada pembuatan kerupuk sagu molat, kandungan kerupuk akan semakin meningkat. Hal ini protein kerupuk semakin meningkat. Tingginya disebabkan karena kadar abu ikan motan lebih kandungan protein udang yaitu sebesar 14,3% tinggi dari pada kadar abu pati sagu. Menurut (Pattinama, 2008) sedangkan kadar protein sagu Jading dkk. (2011) kadar abu pati sagu sebesar biasanya sangat rendah dari beberapa jenis sagu 0,20% dan Riyanto (2013) menyatakan bahwa yang sudah diteliti yaitu berkisar antara 0,19- kadar abu ikan motan yaitu sebesar 3%. Oleh 0,25% (Ahmad dkk., 1999). Kadar protein sebab itu, semakin banyak penggunaan daging kerupuk sagu dengan penambahan ikan motan ikan motan maka akan semakin tinggi pula kadar pada setiap perlakuan telah memenuhi standar abu dari kerupuk ikan motan. mutu kerupuk berdasarkan SNI 01-2713-1999

20 Sagu 16 (2): 2017 Rasio Tepung Sagu dan Ikan Motan yaitu minimal 5%. dengan baik. Kandungan amilopektin yang lebih Daya kembang kerupuk yang dihasilkan tinggi dari bahan akan memberikan pada penelitian ini berkisar antara 12,38-38,08%. kecenderungan pengembangan kerupuk yang Daya kembang tertinggi terdapat pada perlakuan lebih besar. Amilopektin berfungsi untuk

K1 (pati sagu 90% : ikan motan 10%) dengan pembentukan tekstur yang lebih ringan yang skor rata-rata 38,08%, sedangkan daya kembang berhubungan langsung dengan kemekaran terendah terdapat pada perlakuan K5 (pati sagu kerupuk (Lavlinesia, 1995). 50% : ikan motan 50%) dengan skor rata-rata 12,38%. Daya kembang erat kaitannya dengan 2. Penilaian Sensori kadar air, semakin sedikit kadar air maka daya Hasil penelitian uji sensori meliputi kembang kerupuk akan semakin besar. Semakin penilaian deskriptif terhadap warna, rasa, aroma, tinggi daya kembang pada kerupuk yang kernyahan dan penilaian hedonik dari kerupuk dihasilkan dapat disebabkan karena kerupuk yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 2. mengandung amilopektin yang cukup tinggi, dimana amilopektin berperan untuk meningkatkan Warna daya kembang kerupuk. Menurut Praptiningsih Rata-rata skor peniliaian sensori secara dkk. (2003), semakin banyak penambahan bahan deskiptif terhadap warna berkisar antara -2,25- bukan pati pada pembuatan kerupuk maka 3,62 (coklat hingga tidak coklat). Kerupuk sagu semakin kecil daya kembang kerupuk pada saat mentah umumnya berwarna kecoklatan, warna digoreng, dimana daya kembang kerupuk kerupuk ini dihasilkan oleh reaksi pencoklatan menentukan kerenyahan kerupuk, dengan sagu yaitu (reaksi maillard). Perbedaan warna semakin mengembangnya kerupuk maka kerupuk yang dihasilkan dapat pula disebabkan kerupuk semakin renyah. oleh rasio penggunaan ikan motan. Penambahan Terjadinya pengembangan pada kerupuk ikan motan menyebabkan warna kerupuk sagu disebabkan oleh terbentuknya rongga-rongga mentah berubah dari sangat coklat menjadi tidak udara pada kerupuk yang telah digoreng karena coklat. Hal ini disebabkan pengaruh dari sifat pengaruh suhu, sehingga menyebabkan air yang warna bahan pengikat yang digunakan yaitu terikat dalam gel menjadi uap. Hal ini sesuai tepung sagu yang mempunyai warna kecoklatan dengan pernyataan Mustofa dan Suyanto (2011) dan ikan motan memiliki daging berwarna putih. yang menyatakan bahwa pada kerupuk yang Berdasarkan hal tersebut semakin tinggi telah digoreng terjadi pembentukan rongga- konsentrasi daging ikan motan yang digunakan rongga udara yang disebabkan oleh suhu tinggi maka semakin mempengaruhi warna kerupuk sehingga air yang terikat dalam bahan menjadi yang dihasilkan. menguap dan kerupuk dapat mengembang

Tabel 2. Data hasil penilaian deskriptif dan hedonik dari kerupuk berbasis sagu dan ikan motan

Penilaian SNI Perlakuan K1 K2 K3 K4 K5

Penilaian Deskriptif Warna 3,62c 3,47bc 2,97b 2,42a 2,22a Aroma 2,37a 2,97b 3,37c 3,70d 3,87d Rasa 2,47a 2,92b 3,22b 3,72c 3,97c Kerenyahan 3,47b 3,57b 2,97a 2,57a 2,67a Penilaian Hedonik Penilaian Keseluruhan 2,52a 2,96b 3,35c 3,83d 3,93d Ket: Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata menurut uji DNMRT pada taraf 5%

Sagu 16 (2): 2017 21 GUSLIKO NURMAN, USMAN PATO DAN YELMIRA ZALFIATRI

Rasa nyata dengan kerupuk K3, K4, dan K5. Rata-rata

Kerupuk pada perlakuan K1 berbeda skor peniliaian sensori secara deskiptif terhadap nyata dengan kerupuk pada perlakuan K2, K3, kerenyahan kerupuk yaitu 3,87-2,67 (renyah

K4, dan K5.. Rata-rata skor penilain secara hingga agak renyah). Kerenyahan kerupuk deskriptif terhadap rasa sekitar 2,47-4,52 (tidak berhubungan erat dengan daya kembang berasa ikan hingga sangat berasa ikan). kerupuk. Sedangkan daya kembang dapat Penerimaan panelis terhadap rasa kerupuk dipengaruhi oleh kandungan amilopektin yang mengalami peningkatan seiring berkurangnya terdapat pada bahan. Menurut Zulviani (1992), pati sagu dan bertambahnya konsentrasi daging kerupuk dengan kandungan amilopektin yang ikan motan. Hal ini diduga rasa gurih pada lebih tinggi akan memiliki pengembangan yang kerupuk disebabkan oleh kandungan protein yang tinggi, karena pada saat proses pemanasan akan terdapat pada kerupuk sehingga pada proses terjadi proses gelatinisasi dan akan terbentuk pengukusan, protein akan terhidrolisis menjadi struktur yang elastis dan kemudian dapat asam amino dan salah satu asam amino yaitu mengembang pada tahap penggorengan sehingga asam glutamat dapat menimbulkan rasa yang kerupuk dengan daya kembang yang tinggi akan gurih. memiliki kerenyahan yang tinggi.

Aroma Penilaian Hedonik Keseluruhan Tabel 2 menunjukkan bahwa penilaian Rata-rata skor penilaian keseluruhan deskriptif rata-rata skor penilaian sensori secara (hedonik) terhadap kerupuk yang dihasilkan deskriptif terhadap aroma berkisar antara 2,37- setelah diuji lanjut dengan menggunakan 3,87 (tidak beraroma ikan hingga beraroma ikan). DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel Seamkin banyak penggunaan ikan motan dan 2 yang menunjukkan bahwa rata-rata skor semakin sedikit tepung sagu maka aroma penilaian keseluruhan terhadap kelima perlakuan kerupuk sagu yang dihasilkan semakin beraroma kerupuk yang dihasilkan berkisar 3,83-3,93 (agak ikan. Hal ini diduga karena penambahan ikan suka hingga suka). Penerimaan keseluruhan motan yang digunakan mempengaruhi tingkat meliputi penilaian hasil keseluruhan terhadap kesukaan aroma pada kerupuk. warna, rasa, aroma, dan kerenyahan kerupuk. Hasil penelitian Suseno (2004), yang Hasil uji sensori hedonik mengenai penilaian berjudul penambahan daging ikan nilem keseluruhan kerupuk yang dihasilkan (Ostheochilus hasselti) pada pembuatan menunjukkan perlakuan yang lebih disukai oleh kerupuk yang disubstitusi dengan tepung tapioka panelis terdapat pada perlakuan K4 (pati sagu yaitu peningkatan aroma pada kerupuk yang 60% : ikan motan 40%) dan K5 (pati sagu 50% : dihasilkan berasal dari ikan yang digunakan. ikan motan 50%) dengan skor 3,83 dan 3,93.

Konsentrasi daging ikan nilem yang ditambahkan Kerupuk K4 menghasilkan penilaian keseluruhan dapat menyebabkan aroma kerupuk mempunyai yang lebih disukai oleh panelis. Hal ini disebabkan aroma khas kerupuk ikan. Adanya aroma khas karena perlakuan K4 memiliki warna tidak coklat disebabkan oleh kandungan protein yang terurai setelah digoreng, beraroma ikan setelah digoreng, menjadi asam amino khususnya asam glutamat berasa ikan, dan agak renyah setelah digoreng. akan menimbulkan rasa dan aroma yang lezat, Sementara untuk kerupuk K5 daya suka panelis semakin banyak menggunakan ikan makan bau cendrung menurun hal ini disebabkan kerupuk ikan akan semakin tercium. Menurut Winarno K5 memiliki daya kembang relatif rendah yang (2008), aroma atau bau merupakan salah satu menyebabkan kerenyahan kerupuk menjadi cita rasa bahan makanan yang banyak berkurang. Kerenyahan kerupuk dipengaruhi menentukan kelezatan bahan makanan tersebut. oleh daya kembang kerupuk (Istanti, 2005). Dengan demikian selain faktor warna, aroma, Kerenyahaan dan rasa penerimaan keseluruhan kerupuk sangat

Kerupuk pada perlakuan K1 berbeda dipengaruhi oleh kerenyahan kerupuk yang tidak nyata dengan kerupuk K2 tetapi berbeda dihasilkan.

22 Sagu 16 (2): 2017 Rasio Tepung Sagu dan Ikan Motan

Rekapitulasi Hasil Analisis Perlakuan kerupuk. Kerupuk K4 memiliki kadar air 11,90%, Kerupuk Terpilih kadar abu 0,97%, kadar protein 22,00%. Hasil

Tabel 2 menunjukkan hasil analisis kimia uji deskriptif kerupuk K4 yaitu daya kembang kadar air kerupuk K1, K2, K3, dan K4 sudah setelah digoreng berkisar 21,57%, warna tidak memenuhi standar mutu kerupuk (SNI 01-2713- coklat, beraroma ikan, berasa ikan, dan agak

1999) yaitu maksimal 12% sedangkan K5 renyah. Uji hedonik untuk perlakuan terpilih K4 melebihi standarisasi mutu kerupuk. Kadar air adalah disukai oleh panelis secara keseluruhan. merupakan komponen penentu mutu suatu bahan, baik dari segi kesegaran maupun daya tahan Kesimpulan bahan tersebut. Kadar abu kerupuk dalam (SNI 1. Rasio penambahan ikan motan dan tepung 01-2713-1999) tidak dicantumkan kadar abu yang sagu pada pembuatan kerupuk sagu dianjurkan, tetapi ditetapkan kadar abu tanpa memberikan pengaruh nyata terhadap kadar garam yaitu 1%. air, kadar abu, kadar protein, daya kembang Kadar abu tanpa garam berkaitan dan deskriptif, dan penilaian keseluruhan dengan pencemaran produk oleh kotoran-kotoran (hedonik) dari kerupuk yang dihasilkan. seperti debu, pasir, dan batu serta sanitasi dalam 2. Perlakuan K4 merupakan perlakuan terpilih proses pengolahan kerupuk. Kadar abu kerupuk yang memiliki kadar air 11,90%, kadar protein

K1, K2, K3, dan K4 sudah memenuhi SNI 22,00%, yang telah memenuhi standar mutu

Sementara kadar abu pada perlakuan K5 melebih kerupuk (SNI 01-2713-1999), kadar abu standarisasi mutu kerupuk. 0,97%, dan daya kembang 21,57%. Penilaian

Kadar protein dalam penelitian ini telah keseluruhan kerupuk K4 disukai oleh panelis memenuhi standar mutu kerupuk (SNI 01-2713- dengan karakteristik kerupuk berwarna tidak

1999) yaitu minimal 5%. Kerupuk K1, K2, K3, coklat, beraroma kerupuk ikan, berasa ikan,

K4, dan K5 sudah memenuhi SNI kerupuk dan agak renyah. dengan skor rata-rata 10,57-26,86% dikarenakan kand- ungan protein yang terdapat pada ikan Saran motan cukup tinggi yaitu 27,00%. Daya kembang Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tidak dicantumkan dalam (SNI 01-2713-1999) untuk mengetahui daya simpan kerupuk mentah kerupuk, akan tetapi daya kembang merupakan dan kerupuk setelah digoreng, selain itu salah satu faktor mutu kerupuk yang penting penambahan sumber protein hewani lain karena menentukan penerimaan konsumen sehingga dapat menciptakan keanekaragaman (Muliawan, 1991). Daya kembang kerupuk kerupuk yang berbahan dasar sagu. setiap perlakuan mengalami penurunan tetapi masih bisa diterima oleh konsumen. DAFTAR PUSTAKA Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan penambahan ikan motan pada pembuatan Indonesia. 2008. Sagu Sebagai Sumber kerupuk sagu memberikan pengaruh nyata Energi Altenatif. terhadap penilaian keseluruhan kerupuk. Secara Adawiyah, D. R. dan Waysima. 2009. Evaluasi hedonik kerupuk pada perlakuan K1, K2, dan K3 Sensori Produk Pangan (Edisi 1). disukai pada tingkat yang sama yaitu “agak Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. suka”, kemudian untuk kerupuk K4 dan K5 Fakultas Teknologi Pertanian Institut “suka”. Sehingga dari penilaian keseluruhan Pertanian Bogor. Bogor. perlakuan K4 dan K5 dinyatakan sebagai Andrawulan, N., F. Kusnandar, dan D. Herawati. perlakuan terpilih. 2011. Analisis Pangan. Dian Rakyat. Perlakuan terpilih pada penelitian ini Jakarta. adalah K4 (pati sagu dan ikan motan 60% : 40%) Anggriawan, R. 2010. Pengaruh varietas ditetapkan sebagai kerupuk terpilih dengan jagung hibrida dan metode mempertimbangkan hasil analisis kimia, daya penggilingan terhadap variabel kimia, kembang kerupuk, dan penerimaan keseluruhan fisik dan fungsional tepung jagung

Sagu 16 (2): 2017 23 GUSLIKO NURMAN, USMAN PATO DAN YELMIRA ZALFIATRI

hibrida. Skripsi. Fakultas Pertanian. Lavlinesia. 1995. Kajian beberapa faktor Universitas Jenderal Soedirman. pengembangan volumetrik dan Alfons, J. B. dan S. Bustaman. 2005. Prospek kerenyahan kerupuk ikan. Tesis Pasca dan Arah Pengembangan Sagu di Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Maluku. Balai Pengkajian Teknologi Mahmud, M. K., Herman, N. A. Zulfianto, R. Pertanian Maluku. Ambon. R. Apriyanto, I. Ngadiarti, B. Hartati, Burnawi. 2011. Pengamatan Fekunditas Ikan Bernandus, dan Tinexcelly. 2009. Tabel Motan (thynnichthys polylepis) Hasil Komposisi Pangan Indonesia. PT. Tangkapan Nelayan dari Waduk Koto Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Panjang, Provinsi Riau. Teknisi Mandriali, B. 2016. Penambahan tepung daun Litkayasa pada Balai Riset Perikanan singkong dalam pembuatan kerupuk Perairan Umum, Mariana-. sagu. Skripsi. Fakultas Pertanian Dinas Perkebunan Provinsi Riau. 2014. Data Universitas Riau. Pekanbaru. Statistik Perkebunan Provinsi Riau. Molerman. 2014. Pengaruh penambahan Pemerintah Provinsi Riau Dinas bunga kecombrang terhadap daya Perkebunan. Pekanbaru. terima dan kandungan gizi kerupuk. Elyawati. 1997. Teknologi Pengolah an Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Kerupuk di PK Sumber Jaya. Laporan Riau. Pekanbaru. PL. FATETA. Institut Pertanian Bogor. Muchtadi. T. R. 2008. Teknologi Proses Bogor. Pengolahan Pangan. IPB-Press. Bogor. Istanti, I. 2005. Pengaruh Lama Penyimpanan Muliawan, D. 1991. Pengaruh berbagai tingk Terhadap Karakteristik Kerupuk at kadar air terhadap pengembangan Ikan Sapu-Sapu (Hyposarcus kerupuk sagu goreng. Skripsi. Fakultas Pardalis). Skripsi. Program Studi Hasil Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Mustar. 2013. Studi Pembuatan Abon Ikan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gabus (Ophiocephalus Striatus) Jading, A., E. Tethool, P. Payung, dan S. Gultom. sebagai Makanan Suplemen (Food 2011. Karakteristik fisikokimia pati Suplement). Skripsi. Fakultas Pertanian. sagu hasil pengeringan secara Universitas Hasanuddin. Makasar. fluidisasi menggunakan alat Mustofa, K. A. dan A. Suyanto. 2011. Kadar pengering Cross Flow Fluidized Bed kalsium, daya kembang, dan sifat bertenaga surya dan biomassa. Jurnal organoleptik kerupuk onggok Reaktor. Volume (13): 155- 164. singkong dengan variasi penambahan Kottelat, M., S. N. Kartikasari, A. J. Whitten, tepung cangkang rajungan (Portunus dan S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater pelagicus). Jurnal Pangan dan Gizi Fishes of WesternIndonesia and Universitas Muhammadiyah Semarang. Sulawesi. Ed. Dua bahasa. Periplus Semarang. Vol. 2 (3): 1-14 Editions Limited. Nendissa, S. J. 2012. Pemanfaatan tepung Koswara, S. 2009. Pengolahan Aneka sagu molat (Sagusrottb) dan udang Kerupuk. Ebook pangan.com sebagai bahan campuran pembuatan Kumalaningsih, S. 1986. Ilmu Gizi dan Pangan. kerupuk. Jurnal kologi dan sains. Vol 1: Faperta. UB. Malang. ISSN: 2337-5329. Laiya, N., R. M. Harmain dan N. Yusuf. 2011. Nurchotimah. 2002. Pemanfaatan Daging Formulasi kerupuk ikan gabus Tulang Leher Ayam sebagai Bahan (Channa striata) yang disubstitusi Baku Tambahan Kerupuk. IPB. Bogor. dengan tepung sagu. Jurnal Ilmu Nurhayati, A. 2007. Sifat kimia kerupuk Pertanian Universitas Negeri Gorontalo. goreng yang diberi penambahan Volume (2): 1-10. tepung daging sapi dan perubahan

24 Sagu 16 (2): 2017 Rasio Tepung Sagu dan Ikan Motan

bilangan TBA selama penyimpanan. Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1997. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Prosedur Analisis untuk Bahan Pertanian Bogor. Bogor. Makanan dan Pertanian. Liberty. Palungkun, R. dan A. Budiarti. 1995. Bawang Yogyakarta. Putih Dataran Rendah. Penebar Suseno, .H., P. Suptijah, dan D, S. Wahyuni. Swadaya. Jakarta. 2004. Pengaruh penambahan daging Pattinama, A. F., 2008. Studi perbandingan ikan nilem (Ostheochilus hasselti) pada tepung sagu dengan ulat sagu pembuatan simping sebagai makanan (Rhynchophourus ferrugineus) dalam cemilan. Buletin Teknologi Hasil pembuatan . Skripsi. Faperta- Perikanan Institut Pertanian Bogor. Unpatti, Ambon. Volume 7 No. 1 (44-55) Praptiningsih, Y., Tambrindan S. Djulaikah. 2003. Syahrial. 2015. Pemanfaatan tepung tempe Pengaruh proporsi tapioka tepung pada pembuatan kerupuk sagu. gandum dan lama perebusan dan sifat- Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas sifat kerupuk tahu. Skripsi. Fakultas Riau Teknologi Pertanian. Universitas Jember. Szczesniak, A. S. 2002. Texture is a sensory Jember. property. Journal Food Quality and Purba, A. dan H. Rusmarilin. 2004. Pedoman Preperence. Volume 13: 215-225. Praktikum Analisis Pangan dan Hasil Tababaka, R. 2004. Pemanfaatan tepung Pertanian. Departemen Teknologi tulang ikan patin sebagai tambahan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas kerupuk. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Sumatera Utara. Medan. Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Riyanto, S. 2013. Karakteristik mutu Bogor. presto ikan motan (Thynnichthys Warsa, A., A. S. Krismono, dan A. Nurfiarini. thynnoides) dengan lama pemasakan 2008. Sumber daya perikanan tangkap yang berbeda. Skripsi. Fakultas di Waduk Koto Panjang dan status Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas sosial budaya dan kelembagaan Riau masyarakat dalam pemanfaatan Saripudin, U. 2006. Rekayasa proses tepung sumber daya. Pusat Riset Perikanan sagu (Metroxylon sp.) dan beberapa Tangkap. Volume 2(3): 93-97. karakternya. Skripsi. Fakultas Teknologi Winarno, F. G.2008. Kimia Pangan dan Gizi. Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Setiawan,W. D, T. D. Sulistiyawati dan E. Zulviani. R. 1992. Pengaruh berbagai tingkat Suprayitno. 2013. Pemanfaatan residu suhu penggorengan terhadap pola daging ikan gabus (Ophiocephalus pengembangan kerupuk sagu goreng. striatus) Dalam pembuatan kerupuk Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut ikan beralbumin. Journal Universitas Pertanian Bogor. Bogor. Braw-ijaya. Volume 1 No. 1 (21-32). Shelly, N. E. T. 2008. Pertumbuhan Ikan Motan (Thynnichthys thynnoides Bleeker) di Rawa Banjiran Sungai Kampar Kiri, Riau. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sagu 16 (2): 2017 25