TRADISI PELESTARIAN HUTAN MASYARAKAT ADAT TAU TAA VANA DI TOJO UNA-UNA TENGAH (The Forest Conservation Tradition of Indigenous People of Tau Taa Vana in Tojo Una-Una )* M. Alie Humaedi Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Widya Graha Lantai 6/9 Jalan Gatot Subroto 10 Jakarta 12190; e-mail: [email protected] *Diterima : 7 Februari 2012; Disetujui : 21 Agustus 2013

Bismark; Kuntadi; Wayan; Hesti ABSTRACT Forests, as an important part of biodiversity is known to have the value of direct benefits, indirect benefits value, and non-use value, which is not simply interpreted as commercial use only. The last value includes the value of civilization heritage, cultural and environmental existence and its people. This study aims to uncover the values and philosophy of life inherent in the social and culture system that gave birth to the tradition of environmental preservation from of Tau Taa Vana in Tojo Una-una, Central Sulawesi. The results showed that forest conservation is closely linked with their view of the sick, and their illnesses healing practices. Forests are not only oriented towards the fulfillment of the necessities of life, but the forest also is an expression of the balance of God, nature and human, and keep the existence of life, especially in bakum valia and mobolong medical practice who use medicinal plants and healing rituals. Forest, besides perceived as a source of disease, also as the center of healing sickness and disease. Keywords: Indigeneous people, Tau Taa Vana, the practice of medicine tradition, bakum valia, mobolong

ABSTRAK Hutan, sebagai bagian terpenting biodiversitas dikenal memiliki nilai manfaat langsung, nilai manfaat tidak langsung, dan nilai lain yang tidak sekedar diartikan secara komersial. Nilai terakhir ini mencakup nilai warisan peradaban, budaya dan eksistensi lingkungan dan masyarakatnya. Penelitian ini bertujuan mengungkap nilai dan pandangan hidup yang melekat pada sistem sosial dan budaya yang melahirkan tradisi pelestarian lingkungan masyarakat adat Tau Taa Vana, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelestarian hutan berkait erat dengan pandangan masyarakat terhadap sakit, penyakit beserta praktik penyembuhannya. Eksistensi hutan tidak hanya diorientasikan sebagai pemenuh kebutuhan hidup, tetapi juga merupakan ekspresi keseimbangan. Tuhanalam dan manusia. Termasuk di dalamnya praktik pengobatan bakum valia dan mobolong yang memanfaatkan tanaman obat dari hutan. Selain dipersepsikan sebagai sumber penyakit, hutan juga sebagai pusat penyembuh sakit dan penyakit. Kata kunci: Masyarakat adat, Tau Taa Vana, praktik tradisi pengobatan, bakum valia, mobolong

I. PENDAHULUAN syarakat dan negara. Hutan dapat dimak- nai dengan dua sudut pandang, yaitu fisik Indonesia memiliki hutan tropis yang dan non-fisik. Secara fisik, di mana di da- luas. Kementerian Kehutanan (2012) me- lamnya ada tumbuhan dan satwa, diarti- nyebutkan luas penutupan lahan dalam kan sebagai penjaga keseimbangan alam dan luar kawasan hutan berdasarkan citra dan pemenuh kebutuhan makhluk hidup. satelit LANDSAT7ETM+ 2009/2010 Sementara dalam makna non-fisik yang mencapai 99,6 juta ha atau 53,0% luas mengandung nilai-nilai kosmologis, hu- daratan Indonesia. Jumlah ini akan terus tan dimengerti sebagai pusat-pusat keku- berkurang karena laju deforestasi hutan atan, baik Yang Suci atau-pun Yang Ja- mencapai 610.375,92 ha per tahun (2011) hat, dan keduanya saling menunjukkan dan tercatat sebagai deforestasi terbesar eksistensinya. Dua sudut pandang ini sa- ketiga di dunia (WWF, tanpa tahun). Lu- ngat melekat dalam kehidupan masyara- asan hutan yang terus berkurang mem- kat Indonesia, khususnya mereka yang buktikan adanya sesuatu yang keliru, baik tinggal di dalam atau sekitar hutan (Lom- dalam manajemen pengelolaan hutan bard, 2005). ataupun tradisi pelestarian di tingkat ma-

91

Vol. 11 No. 1, April 2014 : 91-111

Hutan sebagai suatu ekosistem telah value) berupa nilai warisan peradaban, membentuk orientasi atau cara pandang budaya, dan eksistensi lingkungan dan masyarakat dalam aktivitas kehidupan masyarakatnya. Permasalahan yang mun- mereka, termasuk praktik pengobatan ter- cul, seringkali istilah sumberdaya diinter- hadap orang sakit serta pencegahan dan pretasikan dan diasosiasikan kepada aset penanganan penyakit. Selain berperan da- produktif yang bisa menghasilkan nilai lam pemenuhan kebutuhan ekonomi, hu- tambah ekonomis saja. Sementara biodi- tan pun secara alamiah telah menjadi pu- versitas yang merujuk seluruh aspek sis- sat gravitasi dari tradisi kebudayaan ma- tem kehidupan, meliputi sosial, dimensi nusia, baik tradisi kebudayaan tentang ekologi dan lingkungan, sistem penge- siklus kehidupannya maupun tradisi ke- tahuan adat, etika, dan hubungan antar budayaan yang berhubungan dengan pe- berbagai aspek, meskipun diakui manfa- lestarian hutan tempat di mana mereka atnya tetapi sering diabaikan karena di- tinggal. Kebudayaan tersebut berupa ke- anggap tidak menghasilkan (Hidayat et giatan pelestarian keanekaragaman hayati al., 2006). (biodiversitas) yang dikemas dalam mitos Kawasan hutan dengan biodiversitas leluhur, sehingga membuat posisi hutan yang dikelola masyarakat adat di antara- sama sakralnya dengan leluhur mereka nya adalah kawasan hutan di Pedalaman sendiri (Atkinson, 1958; Dumatubun, Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, tepat- 2002). nya di wilayah Dataran Tinggi Bulang, Keyakinan masyarakat adat tentang Daerah Aliran Sungai Bongka. Kawasan hutan dan pelestariannya sangat berbeda hutan ini tidak semata diartikan tempat dengan mereka yang hanya melihat bah- kekayaan keragaman hayati tumbuhan wa isu mengenai hutan dan pelestarian berada, tetapi juga tercakup kekayaan dan keanekaragaman hayati selalu dihadap- keragaman tradisi kebudayaan masyara- kan pada soal pembangunan ekonomi se- kat pengelolanya. Tau Taa Vana (Humae- mata. Bahkan, pelestarian biodiversitas di, 2012), atau juga disebut ilmuwan Ba- seringkali dianggap sebagai “beban” dan rat dengan Tau Taa Wana (Atkinson, hutan dipandang sebagai “aset ekonomi” 1989), adalah masyarakat adat yang daripada sebagai aset kehidupan antar ge- menghuni dan melestarikan hutan di ben- nerasi yang harus tetap lestari, sehingga tangan alam dari garis Pegunungan Ka- pengelolaan hutan dilaksanakan oleh lunde Lumut di Dataran Tinggi Bulang pengusaha dengan izin usaha pemanfaat- Tojo Una-Una sampai wilayah Cagar an hasil hutan. Harus diakui, selain nilai Alam Morowali. Mereka secara turun-te- ekonomi yang terkandung dalam kera- murun hidup dan menetap di sana, bah- gaman hayati, ada nilai lain yang tidak kan kepercayaan leluhur dan pandangan kalah pentingnya, yaitu manfaat ling- terhadap dunianya selalu terkait erat de- kungan dan nilai budaya, sebagai bagian ngan hutan. Pada setiap perilaku kehidup- tidak terpisahkan dari pemikiran pemba- annya, mereka tidak bisa melepaskan diri ngunan berkelanjutan (sustainable deve- dari tiga nilai hutan di atas. Selain mem- lopment). fungsikan hutan sebagai ruang pemenuh Vermeulen & Koziell (2002) menyata- kebutuhan hidup, mereka juga memanfa- kan, ada tiga klasifikasi nilai biodiver- atkan kekayaan potensi biodiversitas de- sitas, yaitu (i) nilai manfaat langsung (di- ngan mengurai tanaman obat menjadi sa- rect use value) berupa keuntungan pro- lah satu bahan terpenting dalam praktik duktif dan konsumtif sebagai nilai eko- pengobatan. nomi; (ii) nilai manfaat tidak langsung Tujuan penelitian adalah menganalisis (non-direct use value) berupa manfaat bentuk pengelolaan hutan masyarakat lingkungan; dan (iii) nilai yang tidak da- adat Tau Taa Vana yang memiliki dam- pat digunakan secara komersial (non-use pak terhadap pelestarian keragaman 92

Tradisi Pelestarian Hutan Masyarakat Adat…(M.A. Humaedi) hayati. Penelitian difokuskan kepada akti- permukiman (lipu) yang menjadi lokasi vitas praktik pengobatan di masyarakat, penelitian, yaitu Vatutana, Lengkasa, Ra- baik melalui pengobatan harian yang ber- tuvoli, Salaki, Mpoa, dan Sabado (Gam- basiskan tumbuhan (bakum valia) mau- bar 1). Secara umum wilayah ini terletak pun pengobatan berbasiskan ritual suci pada ketinggian 600-1.000 meter dari (mobolong) dari para pengobat (tau va- permukaan laut. Tipe iklim wilayahnya lia). tropis, pada siang hari sangat panas dan malam hari sangat dingin. Dengan iklim seperti ini, penyakit malaria menjadi an- II. BAHAN DAN METODE caman terbesar masyarakat Tau Taa Va- na. Beberapa wilayah, seperti Ratuvoli A. Waktu dan Lokasi Penelitian dan Sabado, memiliki kemiringan yang Penelitian dilakukan melalui dua ta- cukup tajam, antara 45-75% persen. Se- hap. Tahap pertama dikhususkan pada mentara lipu lain terletak di wilayah datar persoalan tradisi dan penerapan hukum yang dipenuhi oleh padang ilalang luas adat dari masyarakat adat Tau Taa Vana. dan tumbuhan hutan (Humaedi, 2011). Tahap kedua difokuskan pada penelusur- Pemilihan atas enam lokasi yang sama an sejarah dan filosofi praktik pengobatan karakternya didasarkan pada empat krite- (bakum valia dan mobolong) masyarakat ria. Pertama, lipu-lipu ini berada jauh di adat Tau Taa Vana yang berbasiskan pa- pedalaman hutan, di mana orientasi dan da tumbuhan hutan. kebutuhan hidup masyarakat sepenuhnya Tahap 1 dilakukan pada tahun 2008- tergantung pada sumberdaya hutan, baik 2009 dan tahap 2 pada tahun 2010-2012 untuk konsumsi, pemukiman, maupun dengan waktu penelitian lapangan setiap pengobatan (Humaedi, 2012); kedua, me- tahun selama dua bulan. Lokasi peneliti- miliki koleksi diversitas yang beragam an adalah pemukiman (lipu) masyarakat dan terpelihara dengan aturan adat yang adat Tau Taa Vana yang berada di hutan tegas (Camang, 2002). Sistem sosial dan pedalaman Kabupaten Tojo Una-Una dan sistem religi telah terbangun dengan baik daerah perbatasan Kabupaten Morowali sebagai perpaduan dari realitas sosial ke- di Sulawesi Tengah. Lokasinya berada manusiaan dan aktivitas ekologi; ketiga, sekitar 167 km dari ibukota kabupaten ke adanya para tau valia (pengobat) senior arah selatan. dan yang dianggap sakti yang menjadi Mempertimbangkan karakter tradisi tempat tujuan bagi orang-orang Tau Taa pelestarian hutan dalam hubungannya de- Vana yang akan berobat atau belajar ngan praktik pengobatan, maka ada enam

Lipu Vananga Bulang (Vatutana dan Lengkasa) Dataran Tinggi Bulang, Tojo Una-una (Vananga Bulang village [Vatutana & Lengkasa] Plateau of Bulang, Tojo Una- una)

Lipu Ratuvoli, Tojo Una-una Ratuvoli village, Tojo Una-Una regency)

Lipu Mpoa, Dataran Tinggi Bulang Tojo Una-Una (Mpoa village, Plateau of Bulang, Tojo Una-una) Lipu Salaki: Perbatasan Tojo Una-una & Morowali (Salaki village: Border Tojo Una-una & Morowali) Lipu Sabado, Kabupaten Morowali (Sabado village, )

Gambar (Figure) 1. Permukiman Tau Taa Vana (Tau Taa Vana settlement location)

Sumber (Source): Departemen Pariwisata, Peta Sulawesi Tengah, 2008 (Department of Tourism, Central

Sulawesi map, 2008)

93

Vol. 11 No. 1, April 2014 : 91-111

pengobatan. Lipu-lipu ini secara kosmo- Geertz (Kleden, 1986). Deskripsi tebal logis dianggap sebagai titik tengah dari adalah formulasi ke arah deskripsi yang kepercayaan watomoana, tongkutua, dan mendalam, sehingga gambaran yang di- kaju marangkaa yang melahirkan banyak berikan lebih berarti, bukan sekadar data tetua adat dan tau valia (Humaedi, yang ditumpuk. Etnografi bercirikan ke- 2011). Keempat, berdasarkan uji unsur lengkapan data, namun pembahasan ter- karbon dan hara dalam tanah enam lipu hadap informasi budaya menurut per- ini relatif baik dan terjaga, sehingga spektif dari orang yang diteliti juga menghasilkan spesies tumbuhan obat mengandalkan akal sehat. Deskripsi tebal yang unik dan langka (Astutik, 2013). ini juga menuntut penggunaan paradigma sejarah annales, suatu pendekatan yang B. Bahan dan Alat Penelitian lebih mengutamakan aspek sejarah lisan, Bahan penelitian adalah tradisi kebu- sedangkan teks digunakan sebatas mem- dayaan masyarakat Tau Taa Vana dalam bantu informasi tuturan yang diberikan. pemanfaatan hasil hutan untuk pengobat- Melalui etnografi yang thick description an dan perilaku pelestarian hutan. Dalam ini persoalan sistem makna, sistem sosial, dunia pengobatan, masyarakat Tau Taa dan interpretasi terhadap praktik budaya Vana membaginya dengan dua praktik, dan mekanisme internal dan kultural pe- yaitu praktik pengobatan harian (bakum lestarian hutan dari masyarakat Tau Taa valia) dan ritual pengobatan (mobolong). Vana dapat ditelusuri secara mendalam. Definisi kerja dari praktik pengobatan ke- Aspek etnografi kebudayaan diperlu- lompok etnik di Indonesia sendiri secara kan tidak sekadar memberikan catatan umum adalah praktik penyembuhan rasa tentang perilaku dan praktik hidup indi- sakit dan pencegahan atau pemberantasan vidu di masyarakat, tetapi juga mencari penyakit melalui pemanfaatan dan peng- dan mengungkap genealogi dari suatu olahan obat yang diperoleh langsung dari atau beberapa aktivitas dan tradisi yang alam di lingkungan sekitar (Agoes & Ja- dianggap penting dalam kehidupan ma- cob, 1984). Peramuan dan rekayasa atas syarakat kelompok etnik. Menurut Sprad- bahan alami itu dilakukan secara sederha- ley (1979), etnografi harus menyangkut na atas dasar pengalaman dan pengguna- hakikat kebudayaan, yaitu sebagai penge- an turun-temurun dalam praktik peng- tahuan yang diperoleh, yang digunakan obatan tradisional (Undang-Undang No- orang untuk menginterpretasikan peng- mor 6 Tahun 1963). alaman dan melahirkan tingkah laku Alat (instrumen) penelitian yang dibu- sosial. Itulah sebabnya etnografi akan tuhkan untuk melihat tradisi kebudayaan mengungkap seluruh tingkah laku sosial masyarakat terdiri dari pedoman wawan- budaya melalui deskripsi yang holistik, cara, pedoman observasi, dan panduan termasuk dalam soal pelestarian dan pe- diskusi (mogombo). Kegiatan penelitian manfaatan hutan untuk pengobatan. direkam menggunakan perekam audio 2. Teknik Pengumpulan Data (tape recorder dan perekam digital), pe- rekam visual (video, kamera, sketsa), alat Data diperoleh melalui studi lapangan catat, dan logbook. etnografis dan penelusuran pustaka. Di dalam studi lapangan dilakukan observasi C. Metode Penelitian partisipatif melalui hidup bersama selama dua bulan pada setiap tahunnya, doku- 1. Pendekatan mentasi visual, dan penarikan sampel Penelitian dilakukan menggunakan tumbuhan berdasarkan pengetahuan ke- metode etnografi melalui pendekatan ke- lompok etnik. Pada kegiatan itu dilaku- budayaan secara deskripsi tebal (thick kan wawancara mendalam dengan 32 description) yang dikenalkan Clifford orang informan yang terdiri dari pengobat 94

Tradisi Pelestarian Hutan Masyarakat Adat…(M.A. Humaedi)

(tau valia), ketua adat (tetua ada), dewan etnik dan lebih dari 100 sub etnik dengan adat (tua boros), ketua kampung (tetua ragam bahasa dan budaya (Direktorat Se- lipu), dan pengurus hutan dan perladang- jarah dan Nilai Tradisional, 1992). Mere- an (woro-ntana) di berbagai kampung (li- ka menempati wilayah di sepanjang pesi- pu) sekitar kawasan hutan Dataran Bu- sir Parigi Moutong sampai Banggai, dan lang. Wawancara spontan pun dilakukan garis pedalaman Morowali sampai Am- terhadap 80 orang dari anggota masyara- pana. Secara umum, sebagian besar ma- kat. Selain itu, juga dilakukan diskusi ke- sih memiliki karakteristik dan pandangan lompok dalam format focused group dis- hidup sebagai masyarakat adat. Salah sa- cussion (FGD) atau dalam bahasa lokal tu kelompok adat itu adalah Tau Taa Va- disebut mogombo sebanyak enam kali na yang masih dikategorikan sebagai ko- yang rata-rata setiap pertemuan dihadiri munitas adat terpencil (KAT) dalam 10 orang peserta yang dipilih berdasarkan ukuran Program Pemberdayaan Komuni- pengetahuannya. Diskusi ini dimanfaat- tas Adat Terpencil (Pekat) Departemen kan untuk mengurai sejarah pengobatan Sosial. dan manfaat tanaman obat, seperti target Berdasarkan data Pekat 2008 (Depar- kegiatan participatory ethnobotanical temen Sosial, 2010), disebutkan bahwa appraisal (PEA) dalam penelitian etno- ada 10 kelompok etnik yang masih botani. menggunakan pola hidup berpindah. Data ini kurang akurat, karena memasukkan 3. Analisis Data etnik Tolare dan Raranggonao sebagai Data yang terkumpul melalui wawan- kelompok etnik tersendiri, padahal Tolare cara, observasi, FGD dan survei kemu- hanyalah sebutan orang luar untuk dian dikategorikan, dianalisis, dan ditaf- “menghina” kelompok Da’a dan Ledo. sirkan dengan fakta yang terjadi di ma- Demikian juga Raranggonao adalah se- syarakat. Data harus ditafsirkan oleh fak- butan lain untuk kelompok Ledo berdasar ta, sehingga berujung pada titik akhir wilayah pemukiman. Artinya, tanpa me- bahwa suatu nilai atau praktik kebuda- nyebut Tolare dan Raranggonao, Sula- yaan tertentu adalah hasil repetisi yang wesi Tengah dihuni secara resmi oleh 13 terus-menerus terjadi; bukan suatu peris- kelompok etnik, yaitu Kahumamaon, tiwa spontan yang tidak memiliki tujuan Loinang, Sea-sea, Wana (Tau Taa Vana), bersama di luar dari sistem sosial budaya Rampi, Ledo, Da’a, Ado, Lauje, Tandau/ yang dijalani masyarakat. Seluruh anali- Tajio, Kori, Pandau, dan Dondo (Atkin- sis dan interpretasi data ditulis secara son, 1989). Selain itu, harus diakui masih komprehensif berdasarkan temanya. Ana- banyak kelompok etnik yang tidak atau lisis data ditekankan pada soal kedalaman belum teridentifikasi seperti Unde, Inde, data. Hal ini dimaksudkan sebagai lang- Tara, dan Rai. Hal ini dikarenakan per- kah menghasilkan analisis dan kesimpul- sebarannya sangat sedikit dan menempati an yang benar-benar berkesesuaian de- wilayah pedalaman di hutan lebat Sula- ngan logika dan karakter rasional dan wesi Tengah. kosmologis masyarakat adat Tau Taa Va- Dari 13 masyarakat adat itu, suku Tau na tentang tradisi pelestarian hutan dan Taa Vana adalah salah satu kelompok praktik pengobatan. yang masih berada dan menghuni wila- yah pedalaman hutan Sulawesi Tengah. Berdasarkan cara kehidupannya, Tau Taa III. HASIL DAN PEMBAHASAN Vana dapat dikategorikan sebagai KAT. A. Masyarakat Adat Tau Taa Vana Ciri-ciri KAT adalah terdapatnya keta- Provinsi Sulawesi Tengah memiliki hanan sosial budaya dalam soal keper- keragaman kelompok etnik terpencil cayaan, pandangan hidup, pengobatan, yang cukup tinggi, yaitu 13 kelompok sistem-struktur sosial khususnya kepe- 95

Vol. 11 No. 1, April 2014 : 91-111 mimpinan, sistem mata pencarian, norma terbukanya akses ekonomi konsumsi dan sanksi adat, serta pernikahan. Dalam yang masuk ke wilayahnya, kehidupan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 ten- masyarakat Tau Taa Vana semakin ma- tang Kehutanan disebutkan bahwa ciri suk ke pedalaman hutan (Humaedi, masyarakat adat yang umumnya dikrite- 2010). Akses itu berasal dari usaha per- riakan oleh Depsos sebagai KAT adalah: tambangan nikel dan emas serta perbu- i) masyarakat masih dalam bentuk pagu- ruan hasil hutan di sekitar wilayah Tau yuban; ii) ada kelembagaan dalam bentuk Taa Vana. Hal itu telah mendorong ma- perangkat penguasa adat; iii) ada wilayah syarakat Tau Taa Vana untuk menghin- adat yang jelas; iv) ada pranata dan pe- dari kontak langsung dengan keseluruhan rangkat hukum, khususnya peradilan adat aktivitas ekonomi para pendatang. Di hu- yang masih ditaati; dan v) masih meng- tan itu, mereka mendirikan kampung ke- adakan pungutan hasil hutan di wilayah cil atau biasa disebut opot (setingkat du- hutan sekitar untuk memenuhi kebutuhan sun) dan lipu (setingkat desa dengan jum- hidup. lah penduduk yang terbatas) yang terdiri Secara faktual, Tau Taa Vana adalah dari keluarga batih atau keluarga sedikit komunitas pemilik dan penghuni hutan luasnya. Nama lipu itu, misalnya lipu Va- yang menyebar dari bagian timur laut nanga Bulang (terdiri dari opot Vatutana Cagar Alam Morowali, Kabupaten Moro- dan Lengkasa), lipu Ratuvoli, Sabado, wali, sampai bagian barat Pegunungan Tablenga, dan lainnya, semuanya berada Batui, Kabupaten Banggai, dan Pegu- di kawasan hutan Dataran Tinggi Bulang nungan Balingara, Kabupaten Tojo Una- Tojo Una-Una dan berbatasan dengan Una (Bappeda Kabupaten Tojo Una-Una, Morowali. Banyak versi untuk jumlah 2007). Mereka mendiami kawasan hutan populasi Tau Taa Vana di setiap lipu se- ulayat yang luasnya mencapai 125.000 ha bagai akibat penetapan indikator “mereka (Camang, 2002). Luasan hutan ulayat ini yang telah diberdayakan” dan “belum di- adalah jumlah setelah pemerintah menge- berdayakan.” Menurut Departemen Sosi- luarkan Keputusan Menteri Kehutanan al, ada 1.161 KK telah tersentuh program No. 37/Kpts-VII/ 1986 tanggal 6 Novem- pemberdayaan KAT, dan selebihnya ber 1986 yang menetapkan kawasan Ca- 2.268 KK belum tersentuh (Pusat Infor- gar Alam Morowali seluas 225.000 ha, di masi KAT, 2001). Sementara menurut mana Hutan Ulayat Tau Taa Vana yang Yayasan Merah Putih (YMP, 2007) jum- berbatasan dengan Morowali diambil un- lah orang Tau Taa di kawasan tersebut tuk kepentingan cagar alam tersebut. mencapai jumlah 4.100 KK. Jumlah kese- Jumlah 125.000 ha itu belum dikurangi luruhan orang Tau Taa Vana yang tersen- oleh pemberian HPH seluas 10.000 ha tuh program pemberdayaan KAT berkisar dari Departemen Kehutanan kepada PT antara 13.968-17.460 jiwa, sementara BBR (Bina Balantak Raya) dan proyek yang belum tersentuh program KAT ber- transmigrasi Dataran Bulang tahap perta- kisar antara 9.072-11.340 jiwa. Perkiraan ma oleh Departemen Transmigrasi seluas jumlah penduduk Masyarakat Adat Tau 3.747 ha pada tahun 1994 (Departemen Taa Vana sulit ditentukan, karena per- Sosial, 2003). Luas definitif hutan ulayat sebarannya yang berada di kawasan hutan ini 111.253 ha, tetapi seringkali luasan itu terpencil. hanya disebut 100.000 ha oleh LSM pen- Pemukiman orang Tau Taa Vana dampingnya, yaitu Yayasan Merah Putih umumnya terbagi dua kategori. Beberapa (YMP, 2007). lipu sudah bersifat menetap seperti pada Setelah tiga proyek tersebut, terlebih Gambar 2 (pemukiman orang Tau Taa ketika adanya tekanan dari masyarakat Vana di Dataran Tinggi Bulang), meski- transmigran dengan beberapa kasus pe- pun perladangannya masih menggunakan nyerobotan hak hutan ulayat dan semakin sistem rotasi dan berpindah sementara 96

Tradisi Pelestarian Hutan Masyarakat Adat…(M.A. Humaedi) waktu dalam jarak wilayah yang dekat. Tau Taa Vana memiliki identitas ko- Sementara ada pula masyarakat yang ber- munal yang cukup dikenal oleh suku lain. ada di satuan mukim lain yang masih Kelompok suku lain lebih mengenal ma- mempraktekkan cara berladang dengan syarakat adat ini dengan sebutan to Wana sistem rotasi atau berpindah dalam inten- atau Wana, yang berarti “orang dalam hu- sitas waktu yang cepat. Rotasi ini dilaku- tan.” Kata ini berasal dari bahasa Mori. kan dengan pertimbangan untuk meng- Menurut Atkinson (1989), masyarakat ikuti sistem iklim dan kesuburan tanah, Tau Taa Wana telah lama menempati wi- atau karena masih kuatnya pandangan hi- layah di kawasan timur Sulawesi Tengah, dup mengenai kematian. jauh sebelum masa sejarah dimulai. Bila ada salah satu atau lebih anggota Anehnya, kata wana sendiri tidak dikenal satuan mukim meninggal dengan penye- dalam kosa kata bahasa masyarakat Taa. bab yang tidak jelas, maka lokasi dan Kalau wana digunakan sebagai kata un- masyarakat harus dipindahkan ke lokasi tuk merujuk dan memaknai hutan, maka lain atau bergabung dengan satuan mu- Masyarakat Adat Tau Taa sendiri memi- kim lainnya. Secara umum, kehidupan liki kata khusus untuk hutan, yaitu pe- mereka tergantung sepenuhnya kepada ngale. Inilah salah satu keanehannya, ka- hasil hutan, seperti rotan, getah damar, ta wana yang berarti hutan berasal dari karet, kayu, madu, dan hewan buruan kosa kata Sanskrit. Sebaliknya, orang Tau (anoa, rusa, babi, ayam), yang dijual ke Taa Vana seperti di atas menyebut hutan transmigran. Sementara hasil ladang de- dengan kosakata pengale atau totos. Pe- ngan tiga sistem: i) nahvu, ladang di te- neliti tidak dapat menelusuri mengapa ka- ngah hutan, untuk tanaman keras dan pa- ta wana, sebagai bahasa di luar komuni- di tua; ii) totos, ladang musiman di ping- tasnya, yang diambil untuk menunjuk giran hutan, untuk tanaman padi, jagung, identitas etnik ini. Bagi to Wana sendiri, dan ubi; dan iii) tou, ladang di pekarang- kata wana lebih merujuk kepada nama an, untuk tanaman pisang, ubi, sayur, dan sebuah tempat yang tinggi dekat tongku tanaman obat, semuanya diarahkan untuk tu’a (gunung tua) di dalam wilayah adat menjaga stabilitas pangan harian dan pen- mereka. dukung kesehatan.

Gambar (Figure) 2. Permukiman Tau Taa Vana di Dataran Tinggi Bulang (Tau Taa Vana settlement in

Bulang Highlands)

97

Kata setempat yang tepat untuk me- kekerabatan keluarga batih untuk pengua- nunjukkan bahwa mereka tinggal di hutan saan terhadap lahan barunya itu. dan dataran tinggi adalah kata vana yang berarti padang luas di dataran tinggi yang B. Mitos Leluhur dalam Tradisi Peles- dikelilingi hutan (mogombo, Oktober tarian Hutan 2011). Artinya, kata vana harus dilekat- Sebagai masyarakat adat yang tinggal kan sebagai nama dari identitas Masyara- di pedalaman hutan, mitos tanah leluhur kat Tau Taa Vana. Bila kata ini yang di- dan manusia pertama tidak akan pernah pegang, istilah yang digunakan Atkinson lepas dari orientasi mereka tentang hutan. (1989), Tau Taa Wana, dianulir kebera- Kedua mitos ini yang menjadi dasar pan- daannya. Apalagi dalam beberapa wa- dangan dan perilaku hidup masyarakat wancara, orang Tau Taa Vana lebih suka Tau Taa Vana lintas generasi. Pada setiap menyebut diri sebagai orang Taa, bukan kesempatan, penyebutan kaju marang- orang Wana. Kata ini muncul dalam ba- ka’a sebagai tanah leluhur dan mitos wa- nyak kegiatan dan saat memaknai diri da- tomaana “kayu beranak” sebagai proses lam siklus kehidupannya. Tau Taa Vana kelahiran manusia pertama seringkali ter- lebih suka mengidentifikasi diri sebagai dengar pada ritual yang dilakukan. Dua Tau Taa atau orang Taa, sesuai bahasa- kata ini tidak sembarang disebutkan, dan nya, bahasa Taa. Bahasa Taa, menurut menjadi hak khusus dari para ketua adat, Grimes (1996) adalah salah satu sub di- ketua satuan mukim, dan pengobat (Apa alek Pamona. Jodo, ketua adat Mpoa, komunikasi pri- Orang yang menggunakan bahasa Taa badi 23 Agustus 2010). Dalam soal tanah harus dibedakan dalam dua kelompok. mula, meskipun orang Tau Taa Vana se- Pertama, Tau Taa Vana yang bermukim karang menyebar di kawasan Tojo Una- di hutan dan pegunungan. Kelompok per- Una dan Morowali, namun ada dugaan tama ini, salah satunya mendiami kawas- kuat bahwa leluhurnya berasal dari ka- an Vananga Bulang dan wilayah sekitar wasan hutan di bagian selatan-tenggara yang menjadi area penelitian ini. Kedua, Pulau Sulawesi atau bagian barat daya Topo Taa, kelompok yang bermukim di atau barat laut Malili. Selanjutnya, mela- pesisir, khususnya Tojo, Bongka, Ampa- lui fase persebaran dan migrasi gelom- na Tete, Toili, Utara, dan Bung- bang kedua pada masa prasejarah yang ku Tengah. Kelompok pengguna bahasa diakibatkan adanya peperangan suku dan Taa terakhir ini tidak dapat dikategorikan pencarian lahan baru untuk kebutuhan pa- sebagai KAT, karena telah mengalami ngan, akhirnya sekarang berada di wila- perubahan sistem nilai, pandangan hidup, yah sub DAS Bongka, seperti Vananga dan struktur sosial, juga telah banyak Bulang dan Ratuvoli (Direktorat Sejarah mendapatkan sentuhan dan akses pemba- dan Nilai Tradisional, 1992). Pertanyaan- ngunan (Camang, 2002). Persebaran ko- nya, mengapa wilayah tenggara Pulau munitas pertama, Tau Taa Vana yang Sulawesi yang diduga kuat sebagai tanah bermukim di hutan itu hanya berada di asal orang Tau Taa Vana? Untuk mem- wilayah yang bersifat terbatas, karena perkuat dugaan dan menjawab pertanya- orang Taa lebih suka memilih berada atau an itu, penelusuran terhadap kesamaan ci- menetap di pedalaman hutan. Mereka ri fisik, kebudayaan material, dan dialek akan berusaha membuka kawasan hutan bahasa yang melekat dan dipakai mereka (pengale) sebagai tempat tinggal (pasolli) pada saat kemudian dengan “Orang yang berkembang menjadi opot (dusun) Tenggara” adalah bagian terpenting pe- dan lipu (kampung), serta membuka ke- nentuan identitasnya. Dalam arti ini, ta- bun tahunan (nahvu) dan kebun musiman nah tenggara memiliki hubungan sinergis (totos). Mereka menggunakan sistem dengan identitas Tau Taa Vana. “Tanah Tenggara” adalah suatu enclave tempat 98

Tradisi Pelestarian Hutan Masyarakat Adat…(M.A. Humaedi) kelompok suku besar Koro Toraja ber- gunungan Katurende dan Kadata, yang mukim. Artinya, Tau Taa Vana menjadi dianggap awal mitologi Kaju Paramba’a, satu sub suku Koro Toraja. kayu yang beranak. Tempat di mana keja- Dua penyebab yang dikemukakan, se- dian mitologi Kaju Paramba’a itu kemu- kelompok orang yang terdiri dari bebe- dian disebut Kaju Marangka. Dalam rapa keluarga besar dari sub suku Koro prakteknya, ada dua versi yang berkem- Toraja itu melakukan migrasi awal ke bang mengenai Kaju Marangka’a ini, utara dan timur. Menurut Tampubolon apakah ia sebagai tempat pertama dari (2006), mereka pada awalnya mengambil perhentian migrasi ataukah benar ia ada- rute dari muara sungai antara Kalaena lah tempat lahir leluhur Tau Taa Vana. dan Malili, menyusuri Sungai Kalaena Bisa jadi, Kaju Marangka adalah tempat dan terus menuju bagian utara melewati pertama dan tempat berhentinya proses barisan Pengunungan Tokolekaju, sampai migrasi dan persebaran masyarakat Tau di wilayah tenggara Danau . Tidak Taa Vana, karena ada sebutan lain untuk hanya berhenti di situ, leluhur masyarakat menunjuk suatu tempat dari tempat awal Tau Taa Vana bergerak terus ke timur mitologi Kaju Paramba’a itu dimulai, ya- laut menelusuri lereng Gunung Kadata itu Tana Ntatua. Di tempat ini asal perta- menuju Dataran Tinggi Walati (Lembah ma kali manusia Tau Taa Vana hadir di Masewa) yang dialiri Sungai La dan terus dunia. Dari versi yang berbeda itu dapat- bergerak menyusuri Sungai Kuse, akhir- lah dipetakan bahwa mitologi Kaju Pa- nya tiba di daerah hulu Sungai Bau. Dari ramba’a yang menggambarkan asal hulu Sungai Bau ini mereka bergerak ber- muasal manusia tetap benar adanya, per- migrasi dan melakukan persebaran ke ti- bedaannya hanya terletak pada tempat- mur, tepatnya DAS Bongka. Setiap men- nya, apakah di Kaju Marangka’a ataukah jumpai daerah yang dianggap subur, sa- di Tana Ntatua. lah satu di antara keluarganya akan di- Versi yang menjadikan Kaju Marang- tinggalkan untuk menetap. Mereka mela- ka tempat berhentinya proses migrasi se- kukannya dengan pertimbangan bahwa lanjutnya menyatakan sesampainya di ketika rombongan yang tersisa tidak lagi Kaju Marangka itu orang Tau Taa Vana menemui tanah subur mereka bisa kem- menyebar ke semua penjuru hutan dan bali bergabung dengan kerabat dekat mengelompok ke empat sub suku berda- yang ditinggalkan itu. Prinsip persebaran sar dialek bahasa yang digunakan: Bura- inilah yang memungkinkan orang Tau ngas, Kasiala, Posangke, dan Untunue. Taa Vana berada di jalur wilayah Pegu- Empat kelompok ini terpisah dan berdiri nungan Tokolekaju dan Kadata, yang ar- sendiri menjadi enclave suku masing-ma- tinya tersebar di wilayah Poso, Tentena, sing yang pada saat-saat tertentu mereka Morowali, Tojo Una-Una, dan Banggai. berperang antara satu dan lainnya. Penda- Bagi mereka, wilayah hutan di DAS pat ini dibantah dengan pernyataan bah- Bongka yang menjadi muara dari Sungai wa suku Tau Taa Vana, baik secara sub Bulang dan Mkasi adalah tempat paling suku ataupun keseluruhan, adalah berasal baik. Mereka beranggapan bahwa di tem- dari etnik Pamona. Apa yang disebut pat inilah leluhur mereka berasal. Mereka “orang tenggara” itulah nama lain suku adalah keturunan salah satu dari anak ha- Pamona. Saat itu di Pamona sedang sil perkawinan Ngga dan Mbakele, sepa- mengalami peperangan, sehingga banyak sang leluhur awalnya. Menemukan DAS keluarga yang memilih keluar dari wila- Bongka berarti kembali kepada takdirnya yah Tenggara. Namun, terlepas dari per- bahwa mereka harus berada di sini dan debatan soal apakah Tau Taa Vana itu sa- menjaga leluhurnya. Pijakan tanah perta- lah satu dari empat suku yang disebutkan ma di Bongka yang masih hutan rimba ataukah dari sub suku Pamona, perta- ini, terlebih di hulu Sungai Bongka di Pe- nyaan lebih mendasar adalah soal di ma- 99

Vol. 11 No. 1, April 2014 : 91-111 na Kaju Marangkaa itu. Pertanyaan ini Dua anak ini dikawinkan dan tujuh lebih penting, karena memposisikan Kaju anak dilahirkan: Jambalawa (perempu- Marangkaa sesuai tempatnya juga dapat an), Sansambalawa (laki-laki), Lapabisa menelisik lebih dalam di mana sebenar- (perempuan) Vuampuangka (laki-laki), nya asal mula mitologi Kaju Paramba’a Pini (perempuan), Animasa (laki-laki), itu. Mitologi ini penting, karena ada kait- dan Adimaniyu (perempuan). Dalam mi- an erat antara konsepsi mereka tentang tologi disebutkan Pini memilih tetap me- Tuhan, manusia, dan hutan yang kemudi- lajang sepanjang hidup di Kaju Marang- an akan berpengaruh pada pandangan dan ka sampai menjadi watumoana (kayu ber- perilaku hidup secara umum masyarakat anak). Tokoh Pini ini yang mampu mela- Tau Taa Vana, khususnya dalam pelesta- hirkan pandangan hidup dan penghargaan rian hutannya. Tau Taa Vana terhadap posisi perempuan Mitos tentang manusia dalam konsep di saat berikutnya. Melalui kepercayaan orang Tau Taa Vana adalah ciptaan Tu- Pini dan watomoana kedudukan Tau Taa han (Pue) dengan proses tertentu. Mereka perempuan sama kuatnya dengan laki-la- meyakini bahwa leluhur pertamanya, ki. Selain melahirkan dan membesarkan Tundantana, adalah titisan dari langit anak, juga memiliki hak pengolahan ke- yang diturunkan di Kaju Marangkaa. Se- bun sendiri berupa totos yang dibuka hu- lain Kaju Marangka, ada lima tempat uta- tannya oleh suami, untuk memenuhi ke- ma lain yang menjadi cikal bakal penye- butuhan perempuan, seperti peralatan da- baran manusia Tau Taa Vana, yaitu pur dan perhiasan. Sementara kebutuhan Tongkutua, Vatumoana, Salubiro, Kaju harian tetap ditanggung laki-laki. Posisi- Kelei, dan Sarambe. Empat tempat itu nya bahkan lebih terhormat dari laki-laki, berada di wilayah Cagar Alam Morowali karena leluhurnya perempuan, Ngga, di- dan satu tempat masuk dalam wilayah titiskan langsung oleh Tuhan dari langit. adat Lipu Mpoa di Dataran Tinggi Bu- Laki-laki berasal dari bumi, dari sebatang lang, yaitu Sarambe. Dalam keyakinan pohon; suatu ilustrasi yang berhubungan Tetua Adat Tau Taa Vana di kawasan dengan alat kelamin. sepanjang aliran Sungai Bulang, Sarambe Sementara proses menjadinya Pini ke itu dipercaya tempat makam leluhur ma- watomoana diyakini sebagai perintah un- syarakat Tau Taa Vana. Secara arkeolo- tuk menciptakan keadaan dan berperilaku gis, ada bukti bahwa gua kecil di Gunung baik terhadap hutan dan tanaman yang Sarambe itu adalah tempat pemakaman ada di dalamnya. Proses menjadi kayu leluhur Tau Taa Vana. Kelima tempat atau batu itulah yang dianggap orang Tau yang semuanya berada di hutan itu ba- Taa Vana sama langkahnya ketika mere- rangkali yang disebut Tana Ntatua, tanah ka hendak menebang pohon; tidak akan leluhur yang sangat disakralkan kebera- sembarangan dan dilakukan cepat. Wato- daannya. Melalui Tundantana itu, proses moana bisa mewujudkan diri dalam ben- menurunkan manusia Tau Taa Vana la- tuk pohon, dan bila tertebas, maka kesial- hir. Silsilah leluhur pertama dari seorang an dan kecelakaan akan selalu menimpa perempuan bernama Ngga yang diturun- mereka sepanjang hidup. Akhirnya mere- kan ke bumi oleh Pue (Tuhan) dan se- ka tidak sembarangan menebang pohon orang laki-laki bernama Mbakale yang dan membuka kawasan hutan. Selain me- menitis dari sebatang kayu besar, Kaju lalui izin adat dengan ketetapan adat yang Paramba’a, lahir ke bumi. Kedua indi- ketat, baik givu ada bayar (denda) atau vidu ini kawin dan melahirkan dua anak. sakumpuli (hukum pukul, bahkan pukul Anak pertama, Manyamrame, seorang pe- sampai mati) bagi perusak hutan, juga pe- rempuan, dan kedua bernama Manyang- lestarian hukum dilakukan dengan sistem kareo, seorang laki-laki. gulir balik dalam pengelolaan dan tata guna lahannya. Nahvu (kebun), totos 100

Tradisi Pelestarian Hutan Masyarakat Adat…(M.A. Humaedi)

(ladang), dan tou (pekarangan) dibuka kemanusiaannya. Aspek kosmologis, se- dan dikelola melalui sistem gulir balik, di perti adanya kekuatan jahat, itu mengurai mana mereka tidak akan membuka ka- kepada unsur alam dan ia mencari target wasan-kawasan baru di tengah hutan. Pe- kepada orang yang dianggap melanggar laksanaan tata guna lahan ini diawasi aturan keseimbangan antara manusia, langsung oleh para ketua adat di satuan alam, dan Tuhan. Kesederhanaan ini bu- mukimnya masing-masing dan tua boros kan berarti mereka tidak bisa memahami (dewan adat) secara komunal Masyarakat atau tidak memiliki pengetahuan mendi- Adat Tau Taa Vana di Dataran Tinggi agnosa suatu gejala sakit dan penyakit. Bulang. Inilah kearifan yang terus dijaga Dengan karakternya sendiri mereka akan untuk melestarikan hutan yang diakui se- berusaha mendiagnosa keduanya sebagai bagai hak ulayat mereka. bahan utama pertimbangan praktik peng- obatan. Orang Tau Taa Vana memang ke- C. Keselarasan Praktik Pengobatan sulitan saat diminta menyebutkan kata lo- dengan Pelestarian Hutan kal untuk pengertian penyakit. Mereka ti- dak bisa memberikan kata khusus tentang Selain soal pengelolaan hutan yang di- ”penyakit”, kecuali gejala tentang masuk atur tegas melalui hukum adat yang dida- atau terkenanya seseorang oleh suatu pe- sarkan pada mitos leluhur, tradisi pelesta- nyakit. Sebut saja penyakit yang berhu- rian hutan masyarakat Tau Taa Vana pun bungan dengan kepala akan disebut sa- terlahir dari keyakinan tentang sumber ponga, penyakit yang berhubungan de- dan sarana penyembuhan sakit dan pe- ngan pencernaan disebutnya mapolo, dan nyakit yang berbasiskan pada hutan. Bila penyakit yang disebabkan oleh kerasukan ia menjadi sumber penyakit sekaligus sa- atau guna-guna disebutnya donti. Dalam rana penyembuhan tentu dianggap pen- kosakata Tau Taa kata sakit sajalah yang ting dan dijaga semampunya. Konsepsi dikenal. Mereka menyebut sakit dengan sakit dan penyakit oleh komunitas sendiri kata peturu. Kata sakit ini juga berhu- sesungguhnya akan terkait erat dengan bungan dengan keseluruhan makna ten- pandangan umumnya. Konsepsi ini pen- tang perasaan tidak enak, tidak nyaman, ting sebagai pertimbangan usaha pe- tidak berfungsinya suatu organ, ada kesa- nyembuhannya. Bila konsepsi sakit dan lahan gerak yang dirasakan oleh tubuh. penyakit berhubungan dengan sesuatu Rasa ini bukan saja dirasakan pada satu yang fisik, maka usaha penyembuhan bagian tubuh yang sedang mengalami akan dilakukan dengan pendekatan fisik disfungsional, tetapi juga oleh seluruh tu- pula. Akan tetapi bila sakit dan penyakit buh. berhubungan dengan sesuatu yang batini- Sakit dan penyakit dipersepsikan ah, usaha penyembuhan pun mengguna- orang Tau Taa Vana sebagai bagian dari kan hal sama. Sakit dan penyakit lalu di- kehidupan. Bagaimana pun dampak bu- anggap tidak sekeadar diartikan rasa yang ruknya ia adalah sesuatu yang harus di- tidak nyaman pada tubuh seseorang. Ke- terima. Ia adalah bentuk nasihat, penebus, duanya bisa saja dihubungkan dengan bahkan kutukan dari perilaku yang tidak masuknya kekuatan jahat yang hendak menyeimbangkan antara kepentingan Tu- mengganggu diri dan membuatnya men- han (Pue), alam semesta, khususnya hu- jadi sosok yang rusak secara fisik dan tan (watomoana), dan manusia (tau). Di- batin. katakan demikian karena alam dan ma- Konsepsi sakit dan penyakit dari ma- nusia diciptakan Pue secara seimbang se- syarakat Tau Taa Vana menjadi unik, ka- jak awal penciptaannya. Manusia (tau) rena didasarkan pada kesederhanaan me- harus sadar bahwa diri bagian dari alam, mahami keduanya, dan juga dikaitkan de- dan alam pun di dalamnya berisi berbagai ngan aspek lingkungan sekitar, yaitu hu- anasir; tumbuhan, hewan, batu, roh yang tan dan nilai kosmologis di luar diri 101

Vol. 11 No. 1, April 2014 : 91-111 baik dan jahat pun harus sadar bahwa ma- penghargaan pada makna ruang kedua ini nusia adalah bagian tidak terpisahkan dari yang sering dianggap ketidakseimbangan dirinya. Hubungan tiga unsur itu dicer- yang membuahkan malapetaka berupa sa- minkan melalui mantra dan pembacaan kit dan penyakit serta peristiwa fisik lain katuntu (nasihat) (Apa Gona, 15 Juni semisal ”gunung pecah” dan banjir besar. 2010, komunikasi pribadi), sebagai beri- Dalam kepercayaan masyarakat Tau Taa kut: Vana ada tiga tongkutua yang menjaga Gantaru dua, gantaru semela, kehidupan mereka, dan semuanya memi- Pue bisi batu bisi kaju, polu tana polu air liki karakter hutannya. Bila ketiganya ti- poli manggama, pongko ma lela dak dijaga dan dibuat seimbang, maka pongkau baude duma, arambatu patida buta mata malapetaka seperti disebutkan akan da- semela tang. mae lela pungka laude dunia setang par setang, setang par nau naw Tongkutua pertama tananatua atau si batu dinding si batu silang, undi uendo uere biasa disebut Rapang Pue adalah gunung kajadian nye tertinggi yang berada di wilayah Karun- ila bi ibando peta katuandum pengale, linu jalane deng. Secara geografis, penyebutannya kaluar ing dunia menunjuk Kaju Marangkaa. Wilayah ini Yang dipertuan, maujud dua (Pue dan Pelogot), maujud lah dalam kesembuhan berdasarkan kepercayaan leluhur diyakini Pue menjadi batu, menjadi kayu, melekat dalam sebagai asal mula keturunan manusia per- tanah, mengalir dalam air tama (tau) di alam berupa kayu beranak Berkehendak berbuat seutuhnya, berkehendak (watomoana) terlahir. Rapang Pue seba- membuat sakit gai tempat watomoana ini berada di hu- Menyiksa bagi yang merusak, membuat mati, dan membutakan mata dari yang sembuh tan teramat sakral (pengale kapalli atau Membuatnya sakit sepanjang hidup di dunia pengale pue). Tidak satu orang boleh me- Karena setan terus menjadi setan, dan setan masukinya, apalagi menebang tumbuhan mengubah diri dalam berbagai bentuk yang ada di sana. Di hutan inilah puncak Di tebing batu, atau di batu tersandung, semuanya rapang pue berada dan mengarahkan agar saling hidup dan membuat kejadian membuat manusia berhati-hati di hutan dan seluruh manusia menyadari bahwa hidup- mencari jalan keluar dari tiap peristiwa dunia nya ada bersama Tuhan (Pue) dan alam semesta. Di puncak ini Pue menunjukkan Konsepsi keseimbangan yang diyakini kuasa ke manusia, bahwa melalui sebuah orang Tau Taa Vana adalah konsepsi ke- pohon ia mampu melahirkan atau men- beradaan dan berfungsinya tiga tongkutua ciptakan manusia. Bagaimana mungkin (gunung/dataran tinggi) yang terletak di manusia yang lemah itu mampu melawan bumi, dan lebih khusus di wilayah hutan kuasa Pue; bila sampai hal itu terjadi ulayat Tau Taa Vana. Tongkutua tidak se- orang Tau Taa yakin bahwa manusia itu mata dimaknai sebagai suatu tempat da- akan terkena sakit dan penyakit, selain lam arti fisik saja, yaitu gunung dan da- musibah lain. Sakit dan penyakit yang taran tinggi, seperti makna dan fungsi ob- diderita disebabkan penolakannya terha- yektifnya. Tetapi ruang dalam pengertian dap Pue atau akibat perilaku yang me- itu dimaknai juga sebagai the second ngecilkan peran Pue dalam mengatur nature, di mana penghayatan kesakralan alam dan kehidupan manusia. Puncak Ra- dari sesuatu yang Agung diyakini dan pang Pue bisa diartikan sebagai pusat ha- memberikan pengaruh kepada penghuni rapan dan pernyataan spiritual dari ritual ruang dan mereka yang tinggal di sekitar- kepercayaan halaik dan ritual pengobatan nya. Makna alam kedua dalam pengertian (mobolong) Tau Taa Vana. Levebre (Bourdieu, 1997) ini yang mem- Tongkutua kedua, orang Tau Taa me- buat konsepsi keseimbangan ruang tong- nyebutnya parang timbo, yakni suatu is- kutua juga menunjuk makna fungsi ritual tilah yang menunjukkan kualitas puncak dan penghargaan atasnya. Ketiadaan dataran yang lebih rendah. Puncak 102

Tradisi Pelestarian Hutan Masyarakat Adat…(M.A. Humaedi) parang timbo diyakini pengendali kese- menghormati hutan tetapi juga tata cara imbangan manusia, alam, dan Tuhan pa- yang menunjukkan penghormatan dan da aspek batin manusia. Aspek batin bisa pengabdian kepada kuasa Pue. Orang bi- berupa ketenangan, rasa nyaman, rasa ti- sa dengan mudah terkena sakit akibat ke- dak nyaman, rasa sakit, dan sebagainya. cerobohan diri, tetapi untuk menyembuh- Aspek batin ini bisa mewujud menjadi kan ia perlu tindakan lebih; dan dengan aspek fisik ketika rasa tidak nyaman itu cara demikian Pue mendorong bahwa berubah menjadi sakit dan penyakit yang manusia haruslah bersikap hati-hati atas berkepanjangan. Di parang timbo ini pe- segala apa yang dilakukan. ngale pomvalipu atau hutan larangan di- Tongkutua ketiga disebut satimbang. jaga betul. Hampir sebagian besarnya Puncak dataran tinggi ini bisa dikatakan adalah kawasan hutan lindung yang pe- paling rendah dibandingkan kedua yang lestarian dan perintah untuk penjagaan- lain, walaupun secara fisik hampir sama nya diatasnamakan melalui hukum adat. dengan parang timbo. Dataran tingginya Orang bisa saja masuk ke kawasan pa- membentang dari wilayah Mpoa sampai rang timbo sepanjang untuk mencari ta- Ratuvoli. Wilayah ini diyakini orang Tau naman obat, tetapi tidak diperkenankan Taa sebagai wilayah perjumpaan antara untuk mencari hasil hutan lain. Hal ini di- manusia dengan manusia, dan manusia sebabkan keyakinan bahwa hutan jenis dengan alam. Di tempat ini manusia dibo- ini merupakan sumber penyakit, karena lehkan untuk bertempat tinggal dan me- dikhususkan untuk membuang atau nyelenggarakan aktivitas reproduksi dan mengalihkan penyakit dalam ritual mobo- sosial-ekonomi. Hutan yang ada atau bia- long. sa disebut pengale lipu atau hutan pro- Penyakit yang dialihkan tau valia di duksi pun diperkenankan untuk dimasuki atas bisa dititipkan ke batu, kayu, pohon, dan dikelola, baik hasil hutan seperti ro- roh, se-tan, dan unsur lain yang ada di tan, damar, madu, dan hewan liar ataupun hutan itu. Bila seseorang yang memasuki digunakan untuk nahvu (kebun utama), hutan melakukan sesuatu yang salah ke- totos (kebun perempuan), yopo mangura pada benda yang dititipi penyakit, misal- (kebun gulir balik), dan tou (pekarangan). nya menendang, memukul, memotong, Tata aturan dari hubungan antara ma- dan membabat tanpa ritual kapongo, atau nusia dan manusia serta manusia dengan bahkan menyebut ”mereka” dengan kata alam sekitarnya diatur sedemikian rupa kasar dan mencela, maka orang itu diya- oleh hukum adat yang dibuat manusia te- kini akan terkena sakit dan penyakit, baik tapi tidak boleh melanggar prinsip dasar saat masih berada di hutan ataupun saat ia (katuntu) yang diarahkan Pue melalui telah keluar dari hutan. Selain sebagai mimpi tetua adat dan tau boros. Prinsip sumber penyakit, ia juga dimaknai pusat dasar itu, manusia adalah makhluk bagian pengurai atau penyembuh penyakit. Dika- dari alam, penghargaan, baik pada diri, takan demikian, karena tanaman endemik manusia lain, maupun kepada alam, kebe- yang memiliki fungsi obat diyakini ma- naran, dan keadilan. Prinsip ini menjadi syarakat Tau Taa berada di hutan la- dasar utama pembuatan hukum adat, baik rangan (pengale pomvalipu) ini. Tanaman hukum pukul (sakumpuli) ataupun hukum obat pengurai itu sengaja diletakkan Pue denda (givu ada bayar). Sekalipun pene- di sana sebagai media penyadar bahwa rapan sakumpuli dulu terasa kejam (mem- tiadalah mungkin Pue memberi sakit dan bunuh pelanggar) namun hukum ini ber- penyakit tanpa memberi penawarnya. Ia tumpu pada prinsip keadilan bagi korban sengaja diletakkan di sana untuk menun- yang teraniaya, baik fisik maupun psikis- jukkan bahwa mendapatkan penawar dari nya. Apalagi bila si korban adalah suami penyakit itu sangat sulit, penuh berbagai atau laki-laki yang menghidupi sekian ba- ikhtiar, dan tata cara yang tidak sekadar nyak anggota keluarga, maka bukan 103

Vol. 11 No. 1, April 2014 : 91-111 persoalan hilang nyawa saja, tetapi juga kepentingan Pue, manusia, dan hutan) persoalan hilangnya harapan hidup akibat menjadi penting untuk mengembalikan tidak ada lagi pencari nafkah. fungsi manusia sebagaimana mestinya. Pelanggaran terhadap hukum adat di Wujud kuasa Tuhan pun dimintakan un- atas selain diancam sanksi yang terdapat tuk membantu proses penyembuhan. dalam hukum itu, juga ada keyakinan Kenyataan ini menunjukkan bahwa bahwa pelanggarnya bisa terkena musi- orang Tau Taa sangat yakin dan percaya bah, baik musibah dalam arti bencana fi- bahwa tiga titik puncak dataran tinggi sik maupun sakit dan penyakit. Pelang- yang semuanya berada di hutan itu harus garan itu berarti adanya kesalahan saat dijaga demi kebaikan dan kesehatan ma- melakukan hubungan antara diri dengan nusia yang ada di sekitarnya. Penjagaan manusia lain, atau antara manusia dengan hutan tidak hanya dalam arti fisik saja, alam lingkungannya (Foster, 1969; Tu- seperti melindunginya dari illegal logg- manggor, 2008). Tidak hanya itu, pelang- ing, tetapi juga dalam arti batin di mana garan hukum adat berarti penganuliran kepercayaan dan perilaku manusia yang prinsip dasar dalam nasihat (katuntu) dari ada saat berhubungan baik dengan manu- yang ditetapkan Pue untuk kebaikan ma- sia lain atau dengan lingkungan sekitar nusia dan alam. Hal ini sama artinya bah- harus mengedepankan prinsip Pue. Penja- wa ia menantang Pue untuk menjadikan gaan ini yang membuahkan keseimbang- diri sebagai kuasa lain. Sakit dan penya- an hidup antara manusia, hutan, dan Tu- kit yang dialami individu pelanggar, bah- han, sebagaimana keseimbangan dan pe- kan imbasnya bisa saja ke kelompok ma- ran yang dibuktikan oleh rapang pue, ra- syarakat, diyakini orang Tau Taa Vana pang timbo, dan satimbang. sebagai buah penentangan itu. Dengan Hutan, bagi pengobat (tau valia) Tau demikian, pelaksanaan hukuman sakum- Taa Vana, selain menjadi sumber bahan puli dan givu adat bayar adalah salah sa- pengobatan di mana tanaman obat tum- tu penawar penderitaan sakit dan penya- buh subur, juga menjadi pusat kekuatan kit yang sifatnya mempertemukan kem- jahat bersembunyi, baik akibat dirinya te- bali prinsip Tuhan dan kepentingan ma- lah ada jauh sebelum manusia hadir atau nusia. Dalam komunikasi pribadi dengan akibat proses pengalihan kekuatan jahat Apa Ninjang, Ketua Adat Vananga Bu- yang dilakukan tau valia lain. Mereka ti- lang tanggal 9 Juni 2011, disebutkan se- dak mungkin membuang kekuatan jahat bab akibat sakit dan proses penyembuh- itu ke tengah komunitas (lipu) yang bisa annya. berakibat fatal, yaitu penyakit yang di- “Orang Tau Taa, khususnya para toa layo (orang buang bisa menyebar ke seluruh pendu- muda) kadang tidak percaya atas persoalan kesa- duk. Kekuatan jahat tidak bisa dibunuh lahan kecil seperti ini yang membuatnya sakit, atau dimatikan, karena ia ada seiring tum- tetapi yakinlah Pue akan menghukum kesalahan, buh-kembangnya alam dan menjadi sum- walaupun lepas dari hukum givu ada bayar yang kami tetapkan. Mata manusia boleh tidak meli- ber pengimbang dari keberadaan manu- hat, tetapi mata Pue akan selalu mengawasi dan sia, Tuhan, dan alam. Bila ia dimatikan tahu atas setiap gerak-gerik manusia. Ia berada di akan terjadi ketidakseimbangan yang bisa sekeliling kita, di pohon, di batu, di air, di tempat saja memunculkan dampak yang jauh le- tinggi, di tepi jurang, dan di mana pun adanya di bih buruk dari sekadar penyakit. Dampak te-ngah hutan sana. Karena itulah, hidup harus selalu berhati-hati atas apa yang dikerjakan.” itu berupa bencana komunal, misalnya gunung runtuh (longsor), air berlumpur Sementara itu, bakum valia (praktik (air terpolutan), dan hutan terbakar. Da- pengobatan yang berbasiskan pada pera- lam arti ini, kekuatan jahat sesungguhnya cikan tanaman obat dari hutan) dan mo- ikut mengontrol agar manusia jangan ber- bolong (ritual pengobatan untuk memper- buat sembarangan kepada lingkungan se- temukan atau menyelaraskan kembali kitar. Melalui kekuatan jahat ini manusia 104

Tradisi Pelestarian Hutan Masyarakat Adat…(M.A. Humaedi) diberi sugesti untuk takut memasuki ka- nya sekarang daripada seperti saat di se- wasan pedalaman hutan, dan dengan sen- kitar Sungai Muara Mkasi di mana aliran dirinya hutan itu akan terjaga kelestarian- air banyak berada di sana dan genangan nya dari tangan jahat manusia (David, air berada di sekitar pemukimannya. Saat 1977; McElroy & Townsend 1979). Soal itu, hampir 15 orang meninggal dalam ini tercermin dari satu kejadian antara pe- waktu dua tahun dengan gejala sakit ter- neliti dan orang Tau Taa di satuan mukim sebut. Walaupun mereka sudah diikhtiar- Salaki. kan melalui bakum valia, gejala kronis Saat itu, peneliti hendak mencoba sudah sampai ke titik jiwa (roh swarga), sumpit yang diberi anak sumpit yang di- sehingga kematian pun menjemputnya. olesi racun tumbuhan. Tiba-tiba seekor Menurut Apa Asan (26 Oktober 2011, kalajengking besar melintas di hadapan komunikasi pribadi), pengobat senior (tau kami. Peneliti mengambil inisiatif untuk valia boros) sekalipun tidak sanggup me- menyupitnya tapi langsung dilarang Apa nundukkan kekuatan jahat yang ada pada Keny. Ia menyatakan bahwa sepanjang ia nyamuk saat lipu-nya berada di sekitar tidak menggigit atau mengganggu kita Sungai Mkasi. Ada dua penyebab: Perta- yang ada dan sedang berdiri di sini ja- ma, Mkasi adalah wilayah gelap dan ang- ngan sekali-kali membunuhnya. Ia akan ker di mana ia menjadi tempat tinggal ke- menjadi setan yang amat berbahaya bagi kuatan jahat; kedua, saat itu tau valia dan kehidupan kita. masyarakat tidak pernah mendapatkan Kekuatan jahat di hutan bisa berupa mimpi soal tanaman obat yang menjadi sengatan racun dari hewan mematikan se- pengusir dari kekuatan jahatnya. Mereka perti ular dan kalajengking, serudukan hanya mengandalkan tiupan seperti yang babi dan anoa, penyakit menular dari he- dilakukan pada ritual mobolong. Tau bo- wan seperti kera, nyamuk, dan cacing. ros menyakini bahwa saat itu mereka ti- Sekian kekuatan jahat yang ditakuti orang dak lagi berhadapan dengan penyakit Tau Taa ataupun orang luar, nyamuk di- yang bisa diobati dengan bakum valia, te- anggap sumber kekuatan jahat yang cu- tapi dengan sakit yang berasal dari keku- kup membahayakan. Selain menyebab- atan yang sangat jahat, dan salah satu ca- kan beraneka macam penyakit, misalnya ranya adalah pengusiran roh melalui mo- malaria, cacingan, kaki besar (sebutan la- bolong. Setelah beberapa kali mobolong in penyakit kaki gajah), dan mata belek, dan mengalami kegagalan dengan sema- nyamuk juga dianggap sebagai biang hi- kin banyak orang yang sakit dan mening- langnya banyak orang dan kelompok li- gal, mereka pun memutuskan untuk pin- pu. Apa yang disebutkan terakhir ber- dah lipu ke tempat yang jauh dari air dan sangkut-paut dengan kebiasaan orang di atas perbukitan yang panas. Beberapa Tau Taa yang memilih membubarkan diri di antaranya yang saat itu sedang sakit atau berpindah ke lain tempat bila salah langsung sembuh, dan mereka yang kea- satu anggotanya ada yang meninggal se- daannya sudah parah, meninggal. Mulai cara tidak jelas. Umumnya, penyebab ke- saat itu lipu Sabado tidak lagi mau me- matian tidak jelas itu berasal dari nya- nempati wilayah yang dekat dengan alir- muk. Apa yang disebut tiga penyakit uta- an air besar (Humaedi, 2011). ma orang Tau Taa, yaitu saponga (pusing Mitos tentang kekuatan jahat dibangun luar biasa), peru kejang (kram perut), dan untuk menjaga hutan sakral (pengale pue) panas tinggi disertai menggigil, adalah dan hutan larangan (pengale pomvalipu) gejala malaria kronis yang banyak me- dari sentuhan orang asing dan juga orang nyebabkan orang Tau Taa meninggal. setempat. Selain juga kenyataan bahwa Bahkan, lipu Sabado, misalnya, lebih me- daerah sekitar hutan itu tidak cocok digu- milih pindah ke perbukitan yang jauh dari nakan untuk pemukiman khususnya bagi sumber ma-ta air seperti tempat tinggal- orang non-masyarakat adat Tau Taa 105

Vol. 11 No. 1, April 2014 : 91-111

Vana, karena banyaknya wabah. Wabah dari sakit pusing kepala yang sangat (se- ini yang bisa diartikan salah satu kekuat- pongah). Hasil mimpi Bue Laki itu dapat an jahat di hutan dan selalu diyakini Ma- digabungkan dengan jenis tanaman lain syarakat Tau Taa Vana dalam tiap lang- yang berfungsi mirip dengannya atau kah kehidupan, walaupun tempat dari ke- mencampur dengan tanaman lain ketika kuatan jahat itu bisa beraneka macam se- suatu gejala penyakit datang bersamaan. suai keyakinan dan pengalaman di lipu- Bisa saja ia diminumkan bersamaan de- nya masing-masing. ngan nunang yang getah batangnya diya- Kekuatan jahat yang berada dekat de- kini dapat mengurangi panas dalam (Apa ngan aliran air yang kerap dianggap jahat Gona, 16 Juni 2011, komunikasi pribadi). oleh masyarakat adat adalah akibat per- Beberapa tanaman lain yang dianggap buatan menambang atau ”mengorek aurat masyarakat Tau Taa Vana memiliki kha- bumi” (Bennet, 1996). Di sana kekuatan siat penyembuhan sakit dan penyakit da- jahat itu berkembang dan mengancam ji- pat dilihat pada Lampiran 1. wa. Oleh karena itu, Apa Asan, sebagai Keterangan yang berasal dari mimpi di ketua adat dan merangkap tau valia lipu atas akan dicocokkan dengan akar filo- Sabado selalu mengikhtiarkan masyara- sofis munculnya penyakit yang diyakini kat untuk tetap meroso (kuat) menjaga di- orang Tau Taa Vana sebelumnya. Bah- ri dari perilaku jahat terhadap manusia kan, ada resep bakum valia yang ditutur- dan hutan, dan siap melakukan bakum va- kan atau telah menjadi katuntu (syair) ke- lia dan mobolong (Gambar 3) bagi mere- hidupan yang selalu dibacakan para orang ka yang merasakan ada sesuatu yang ti- tua, misalnya: dak nyaman pada dirinya. Semata, semata... no kuya kajo to meroso Lui lendir, buek meria... to ta turu.... Oho, oho, meroso, na ta mepojo..... Semata, semata (nama daun) bila dicampur kuya kajo akan membuat kuat Kayu lendir dan buek meria, akan membuat orang tidur Oh, oh, ayo kuatlah, jangan sakit

Hutan, bagaimana pun keadaannya,

akan selalu diyakini orang Tau Taa be-

nar-benar menjadi sumber penyakit bila

tidak hati-hati dalam memasuki, memper-

lakukan, dan melestarikannya, serta men-

jadi sumber pengobatan karena di sanalah Gambar (Figure) 3. Kegiatan bakum valia dan tanaman obat dengan berbagai fungsinya mobolong Tau Taa Vana (The healing practice of Tau Taa Vana: bakum valia and mobolong) menawarkan diri untuk dieksplorasi seba-

gai penawar rasa sakit dan penyembuh

berbagai penyakit. Hutan telah menun- Semua mimpi diri dan orang lain jukkan kepada kita tentang suatu filosofi yang berada di lipu ditanggapi secara ha- hidup bahwa kesederhanaan tidak selalu ti-hati, karena siapa tahu pada mimpi itu buruk, bahkan kesederhanaan akan ber- mereka ditawarkan tanaman hutan yang fungsi hebat bagi penemuan modern bila bisa digunakan sebagai wahana bakum ia didekati dengan hati dan bukan rasio valia dan mobolong pengusiran atau semata. Inilah contoh dari suatu konsepsi pengobatan dari pengaruh suatu kekuatan dan ikhtiar praktik pengobatan yang ber- jahat yang ada di tempatnya. Mimpi dari jalan bersama dengan tradisi pelestarian Bue Laki tentang tanaman sofu, semacam hutan atas nama kepentingan adat dan ke- tumbuhan daun salam, misalnya, akan di- percayaan leluhur. praktekkan betul untuk melindungi orang 106

Tradisi Pelestarian Hutan Masyarakat Adat…(M.A. Humaedi)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN B. Saran Kekayaan khazanah kebudayaan Indo- A. Kesimpulan nesia telah tercermin dari keyakinan, pan- Suatu praktik pengobatan tidak akan dangan, dan praktik hidup masyarakat pernah bisa dilepaskan dari aspek kebu- Tau Taa Vana di pedalaman Hutan Tojo dayaan fisik dan non-fisik masyarakat, Una-una yang mengenal tradisi pelestari- termasuk kaitan eratnya dengan hutan an hutan dan dihubungkan dengan praktik dan tradisi pelestariannya. Pengetahuan pengobatan sakit dan penyakit. Berdasar- tentang obat berarti adalah pengetahuan kan fakta dan kesimpulan di atas, maka atas kesadaran terdalam masyarakat. Ke- penelitian ini mendorong: (i) usaha untuk sadaran ini bisa berarti kesadaran kosmo- menjadikan temuan etnografi tentang pe- logis antara mereka dengan sesuatu yang ngetahuan dan praktik pengobatan beser- dianggap Yang Suci agar dapat berman- ta tradisi pelestarian hutan di dalamnya faat dalam mengusir unsur jahat yang tidak hanya menjadi pendamping dari do- mengendap di tubuh seseorang. Pengeta- kumen obat dan praktek pengobatan, te- huan dan keahlian dasar pengelolaan obat tapi menjadi bagian tidak terpisahkan dari dari bahan alami tumbuhan dan unsur la- penyusunan Pharmacopea Indonesiensis in yang berasal dari hutan dan lingkungan sebagaimana yang diikhtiarkan oleh Ke- material sekitar akan dilahirkan seiring menterian Kesehatan; (ii) upaya agar tra- berkembangnya naluri kemanusiaan. disi pelestarian hutan masyarakat adat Bagi masyarakat Tau Taa Vana yang Tau Taa Vana tetap terpelihara dan mendiami wilayah pedalaman hutan di li- mengusahakannya menjadi salah satu ba- pu (kampung hutan) Tojo Una-una, hutan sis pendidikan dan penyadaran bagi ma- akhirnya tidak saja dipandang sebagai syarakat Indonesia dalam program reha- ruang mengekspresikan kebutuhan eko- bilitasi dan konservasi hutan dan ling- nomi, tetapi juga wahana mengartikulasi- kungan hidup sebagaimana yang diama- kan kebutuhan sosial budaya, kesehatan, natkan kepada Kementerian Kehutanan; dan penyembuhan sakit dan penyakitnya. dan (iii) menjadikan temuan ini sebagai Erat kaitannya orientasi tentang hutan de- bagian dari sistem pengamanan aset ke- ngan praktik pengobatan, baik pengobat- budayaan nasional, baik dalam kebuda- an berbasiskan tanaman obat (bakum va- yaan fisik maupun kebudayaan non-fisik, lia) ataupun ritual pengobatan mobolong, khususnya pengetahuan dan kekayaan yaitu keyakinan bahwa hutan menjadi budaya yang melekat dalam praktek sumber penyakit sekaligus sarana pe- pengobatan kelompok etnik dan koleksi nyembuhan sakit dan penyakit. Keyakin- biodiversitasnya, agar tidak lagi dicuri an ini telah melahirkan ikhtiar dan tradisi atau diakui pihak lain, seperti yang dite- pelestarian hutan. Perspektif ini semakin tapkan dalam program prioritas nasional menguatkan tradisi pelestarian hutan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang didasarkan pada hukum adat givu dan kementerian terkait lainnya. adat bayar dan sakumpuli, serta mitos tentang leluhur awal, tanah muasal, dan konsep keseimbangan antara rapang pue, rapang timbo, dan satimbang (Tuhan, hu- tan, dan manusia) yang diyakini masyara- DAFTAR PUSTAKA kat adat Tau Taa Vana. Tradisi pelestari- an hutan berdasarkan mitos keseimbang- Agoes, A. & Jacob, T. (1984). Antropolo- an itulah yang harus terus-menerus dijaga gi kesehatan. Jakarta: EGC. dan dikembangkan sebagai wahana pe- Astutik, S. (2013). Koleksi flora hutan manfaatan nilai budaya biodiversitas dan Tojo Una-Una. Dalam M.A. Hu- upaya dari hutan. 107

Vol. 11 No. 1, April 2014 : 91-111

maedi, Ekspedisi menuju Tuhan II: Dokumentasi Sejarah dan Seni Tra- sakit dan penyakit dalam konsepsi disional. Masyarakat Tau Taa Vana (in Dumatubun, A.E. (2002). Kebudayaan, press). Yogyakarta: Valia Press. kesehatan orang Papua dalam per- Atkinson, D.T. (1958). Magic, myth, and spektif antropologi kesehatan. An- medicine. New York: Fawcett. tropologi Papua, 1(1), 2-15. Atkinson, J.M. (1989). Agama dan Suku Foster, G.M. (1969). Applied anthropo- Wana di Sulawesi Tengah. Dalam logy. Boston: Little Brow. M. Dove (Ed.), Peranan kebudaya- Grimes, B. (1996). Ethnologue Sulawesi, an tradisional Indonesia dalam mo- part of ethnologue. New York: dernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Summer Institute of Linguistic, Inc. Indonesia. Hidayat, H., Haba, J., & Siburian, R. Bappeda Kabupaten Tojo Una-Una. (2006). Politik ekologi: pengelolaan (2007). Profil Tojo Una-Una 2007. taman nasional era otda. Jakarta: : Gempita. Yayasan Obor Indonesia. Bennet, J.W. (1996). The ecological tran- Humaedi, M.A. (2010). Ketika garam te- sition: cultural anthropology and rasa tidak lagi gurih, mie dan emas human adaptation. New York: Per- dikejar: ketahanan budaya dalam gamon Press. gelombang modernitas pada masya- Bourdieu, P. (1997). The field of cultural rakat Tau Taa Wana di Dataran production: essays on art and lite- Tinggi Sulawesi Tengah. Dalam rature Pierre Bourdieu. Columbia: M.A. Humaedi (ed), Etnisitas dan Columbia University Press. pandangan hidup komunitas suku Camang, N. (2002). Tau Taa Wana Bu- bangsa di Indonesia. Jakarta: LIPI lang: bergerak untuk berdaya. Ja- Press. karta: Yayasan Merah Putih dan Humaedi, M.A. (2011). Ekspedisi menuju Regenskogsfondet Indonesia. Tuhan I: konsep sehat dan praktik David, L. (1977). Culture, diseases, and pengobatan Tau Taa Wana. Yogya- healing: studies in medical anthro- karta: Valia Press. pology. New York: Mc Millan Humaedi, M.A. (2012). Pengakuan hak- Publishing. hak kewarganegaraan Komunitas Departemen Pariwisata. (2008). Peta Pa- Adat Terpencil Tau Taa Vana di pe- riwisata Sulawesi Tengah. : dalaman hutan Tojo Una-Una Sula- Bappeda Propinsi Sulawesi Tengah. wesi Tengah. Jurnal Kajian IX(3), Departemen Sosial. (2003). Pengkajian 27-45. calon lokasi permukiman komunitas Humaedi, M.A. (2013). Ekspedisi menuju adat terpencil (KAT) Suku Wana di Tuhan II: sakit dan penyakit dalam lokasi Mpoa, Desa Bulan Jaya, Ke- konsepsi Masyarakat Tau Taa Vana camatan Ampana Tete, Kabupaten (in press). Yogyakarta: Valia Press. Poso, Provinsi Sulawesi Tengah Kementerian Kehutanan. (2012). Statistik (Hasil pengkajian). Palu: TIM kehutanan Indonesia. Jakarta: Ke- PCLP Dinas Kesejahteraan Sosial menterian Kehutanan. Sulawesi Tengah. Keputusan Menteri Kehutanan No. 37/ Departemen Sosial. (2010). Data prog- Kpts-VII/1986 tentang Pengesahan ram pemberdayaan komunitas adat Cagar Alam Morowali Sulawesi Te- terpencil (Pekat). Jakarta: Tim Pe- ngah. Jakarta: Sekretariat Jenderal. kat. Kleden, I. (1986). Thick description: Direktorat Sejarah dan Seni Tradisional. monografi kebudayaan. Jakarta: (1992). Seni budaya masyarakat di LP3ES. Sulawesi Tengah. Jakarta: Proyek 108

Tradisi Pelestarian Hutan Masyarakat Adat…(M.A. Humaedi)

Lombard, D. (2005). Nusa Jawa: silang Tumanggor, R. (2008). Sistem kepercaya- budaya. (W.P. Arifin, terj.). Forum an dan pengobatan tradisional Jakarta Paris, dan École française masyarakat Barus Sumatera Utara. d’Éxtrême-Orient. Jakarta: Grame- Jakarta: Gemilang. dia Pustaka Utama. Undang Undang No. 41 Tahun 1999 ten- McElroy, A. & Townsend, P.K. (1979). tang Kehutanan. Jakarta: Kemente- Medical anthropology in ecological rian Kehutanan. prespective. Massachusetts: Duxbu- Undang-Undang No. 6 Tahun 1963 ten- ry Press. tang Kefarmasian dan Pengawasan Pusat Informasi KAT. (2001). Pusat data Obat di Indo-nesia. pemberdayaan komunitas adat ter- pencil. Di-akses 11 November 2011 Vermeulen, S. & Koziell, I. (2002). Inte- dari http://www.katcenter. Info grating global and local biodiver- /detail_artikel.php?id_ar =60. sity values: a review of biodiversity Spradley, J.P. (1979). The ethnographic assessment. London: International interview. New York: Holt & Wins- Institute for Environment and Deve- ton. lopment. Tampubolon, M.H.R. (2006). Sanksi pi- WWF. (tanpa tahun). My baby tree. Diak- dana adat Masyarakat Adat Tau ses 4 Maret 2013 dari www.wwf.or Taa Wana dan kontribusinya dalam .id/cara_ anda_membantu/bertindak pembaharuan hukum pidana Indo- _sekarang. nesia. (Tesis). Fakultas Hukum Yayasan Merah Putih. (2007). Hutan da- Universitas Tadulako, Palu. lam pandangan Orang Wana. Silo VI(2), 6-14.

Lampiran (Appendix) 1. Etnobotani tumbuhan obat (Etnobotany of medicine plant) Spesimen tumbuhan obat (Specimens of medicinal plants) Informasi etnobotani dan manfaat obat No (Ethnobotany information and Nama lokal (Local names) Nama ilmiah (Scientific name) medicinal benefits) 109

Vol. 11 No. 1, April 2014 : 91-111

1. Puti mata Macaranga gigantean Bisul, tamekile (Ulcer, migraine) 2. Nepo Piper sp. Dikombinasikan dengan puti mata un- tuk obat bisul dan tamekile (With puti mata to ulcers and migraine) 3. Pantea Aglonema sp. Bakum valia dalam mobolong (Bakum valia in mobolong) 4. Lero Heritiera globosa Sakit perut (Stomach ache) 5. Lani Neonauclea sp. Bengkak dan kanker payudara (Swelling and breast cancer) 6. Pasara Coleusartropurpureus Penambah darah dalam pengobatan berak darah (Blood booster in the treatment of dysentery) 7. Tabang Cordiline stecta Menjaga kesehatan mata (Eye health) 8. Viantombu Poikilospermum subtriner- Obat batuk, penyakit dalam (Cough vium medicine, internal medicine) 9. Tambo apu Clausena evacata Aroma terapi (Aromatherapy) 10. Balera Elaeocarpus stipularis Obat diare, pemulih tenaga (Diarrhea medicine, energy recovery) 11. Buno Lansium domesticum Obat malaria (Malaria drug) 12. Salai Erigeron sumatransis Anti septik dan anti biotik (Anti-septic and anti-biotic) 13. Arat buya Athyrium javanicum Aroma terapi dan deodorant (Aroma- therapy and deodorant) 14. Kuya kojo Zingiber sp. Sekresi darah pasca melahirkan (Secretion of postpartum blood) 15. Banelio Hiptis rhomboidea Obat sakit perut, batuk, sakit gigi (Stomach ache, cough, sore teeth) 16. Tavo’o Costus speciosa Obat batuk, sakit togi, dan kiki (mata merah) (Cough, red eyes) 17. Luibia Celtis cinnamomea Obat sakit perut (Stomach ache) 18. Yoyoka Rubus molucanus Obat sakit perut (Stomach ache) 19. Kayu buya seng Peristrophe sp. Obat togi (Sore eyes) 20. Losong Embelia sp. Obat soontovu (campak) (Measles) 21. Kayu pulu kalen Cloronthus erectus Obat diare (Diarrhea medicine) 22. Damar babi Canarium sp. Obat luka dalam (Drug injuries) 23. Tivo Andropogon nardus Bakum valia -obat patah tulang (Drugs fracture) 24. Wanono Oriochnide sp. Obat sakit gigi, obat luka dalam (Sore teeth, drug injuries) 25. Nunsu Vicus sp. Obat luka, sariawan dan gusi berdarah (Cure wounds, sores and bleeding gums) 26. Bomba Maranta sp. Obat mata rabun (Myopic eye drug) 27. Boleng kinavi Syzygium sp. Bahan deodorant menghilangkan kile- kile (bau badan) (Deodorant) 28. Tatalo Homalomena sp. Obat sakit perut (Stomach ache) 29. Savile Carek bacans Obat sakit perut, sakit kepala, togi (Stomach ache, headache) 30. Nanasi Ananas comosus Obat batuk (Cough) 31. Labonu Ficas laevicarpa Obat luka baru (Open new wounds) 32. Lui Trema sp. Obat panas dalam dan batuk (Heart- burn medication and cough)

Lampiran (Appendix) 1. Lanjutan (Continued) Spesimen tumbuhan obat (Specimens of medicinal plants) Informasi etnobotani dan manfaat obat No (Ethnobotany information and Nama lokal (Local names) Nama ilmiah (Scientific name) medicinal benefits)

110

Tradisi Pelestarian Hutan Masyarakat Adat…(M.A. Humaedi)

33. Implomioso Malotus sp. Obat sariawan, bibir pecah-pecah, gusi berdarah dan luka dalam (Canker sores, chapped lips, bleeding gums and sores in) 34. Mulvira Debregeasea longifolia Batuk, panas dalam (Cough, sores in) 35 Mpana Elaeocarpus sp. Obat sakit togi dan kiki (Red eyes) 36. Putar Baringtona sp. Obat sakit perut dan berak darah (Stomach ache and dysentery) 37. Srikaya Anona muricata Obat sakit gigi (Sore teeth) 38. Patoncu Selaginella plana Obat jerawat dan luka memar (Acne medications and bruises) 39. Tempono Piper sp. Obat kudis (Cure scabies) 40. Kabila Cresentia kujt Obat kule (asam urat) (Uric acid) 41. Katumbara Lantana camara Obat luka baru dan pendarahan (Open new wounds and bleeding wounds) 42. Terempas Poaceae Obat luka baru (Open new wounds) 43. Susupi Bidens vilosa Obat proses khitan dan luka lama (Circumcision and old wounds) Catatan (Notes): Ilustrasi tumbuhan yang dipercaya masyarakat Tau Taa Vana memiliki manfaat metafisik dan/atau digunakan sebagai bahan obat/perlengkapan dalam ritual mobolong dicetak dengan huruf miring (italic font). Tabel koleksi etnobotani ini disusun oleh Khoirul Himmi Setiawan, Sri Astutik, M. Alie Humaedi, dan Rustandi (Humaedi, 2013). Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada dua orang peneliti dan satu identifikator yang telah memberikan informasi dan data mengenai etnobotani tumbuhan obatnya. Terimakasih juga disampaikan kepada Kementerian Riset dan Teknologi melalui Program Unggulan Riset Insentif Nasional untuk penelitian etnografi tiga tahun.

111