PUSTAKA

JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA

Diterbitkan oleh: Yayasan Guna Widya Fakultas Sastra Unud

KEBANGKITAN UMAX HINDU DIDESA SENDURO KABUPATEN LUMAJANG I Ketut Cede Harsana UPT. MKU UNUD

Abastract: Hindu renaissance at Senduro village is a very interesting phenomena to examine because there lias happened an intensive social interaction between the hindu people from , particularly those from Senduro village, Lumajang Regency, and the hindu people from Bali. Before the of Senduro received any influence from those from Bali, the ancestors of the Lumajang people embraced a called Jowo Sanyoto, a certain sect within . This hinduistic Jowo Sanyoto was developing well until the break of the Communist G 30 S/ PKI coup de'tat, and when the New Order Regime was in power it was suggested that the people in Lumajang embrace the existing around Lumajang area. However, because they were strongly under pressure of the followers of non hindu religion as well as of the government bureaucracy, two of the prominent folowers of the Jowo Sunyoto converted themselves into followers of Hindu Religion following the religious teaching introduced by two Balinese figures who happened to occupy civil officer positions at Lumajang. Many obstacles were faced by the hindus of Lumajang which, however, did not at all affect their determinitation to practice the teaching of Hindu Religion. Keywords: Hinduism,development, and Lumajang

1. Pendahuluan Kebangkitan agama sesungguhnya bukan saja terjadi pada agama Hindu, melainkan juga terjadi pada agama-agama lain. Dalam sejarah perkembangan agama-agama besar di dunia dapat diketahui bahwa agama-agama besar tersebut mengalami kebangkitan karena dianggap menyimpang dari ajaran aslinya (kitab- kitab suci mereka) akibat pengaruh perkembangan masyarakat pendukungnya. Misalnya, kebangkitan agama Kristen pada abad ke-16 telah melahirkan perpecahan pada agama Kristen sehingga menjadi agama Kristen Katolik dan agama Kristen Protestan (Sou'yb, 1983: 51-53; Smith, 1985: 22-24) dan masing- masing pecahan ini terpecah-pecah lagi menjadi beberapa sekte. Demikian juga dengan agama , khususnya di Jawa mengalami kebangkitan yang melahirkan dua kubu yang saling bertentangan, yaitu: agama islam tradisional yang diwakili Nahdatul Ulama (NU) dan agama Islam Modern yang diwakili oleh Muhammadyah. Selanjutnya, antara kedua aliran agama ini sering timbul perbedaan pendapat bahkarrberlanjut ke dalam konflik politik, baik sebelum kemerdekaan maupun sesqdah kemerdekaan (Geertz, 1977:19-23; Nasikum, 1984: 101—102; Noer, 1979f2001-203). Gejala yang sama terjadi pula pada agama Hindu di Pulau Jawa. Dalam hal ini kebangkitan agama Hindu ditandai dengan munculnya pusat-pusat "olah kebatinan Hindu" sesuai dengan hakikat budaya Jawa, yang kemudian mereka menyebutnya dengan aliran kebatinan. Aliran kebatinan tersebut sebagai bagian dari budaya nenek moyangnya yang disebut "agama Jawi". Agama Jawi atau

209

PUSTAKA Volume VIII, NO. 2 Agustus 2008

Kejawen adalah suatu kompleks keyakinan yang di dalamnya mengandung suatu konsep Hindu-Budha. Konsep ini cenderung ke arah mistik dan bercampur menjadi satu sehingga diakui sebagai agama Islam. Varian yang lain, meskipun tidak bebas dari unsur Hindu-Budha, tetapi lebih dekat dengan dogma-dogma ajaran Islam yang disebut agama Islam . Varian agama Kejawen ini kelihatannya lebih dominan berkembang di daerah-daerah Negarigung di JawaTengah (sekarang Daerah Keresidenan Surakarta dan daerah istimewa Yogyakafta). Selanjutnya, varian agama Islam Santri lebih dominan di daerah Banyumas dan daerah pesisir Surabaya, daerah pantai utara Jawa, serta daerah- daerah pedesaan di lembah Sungai Solo dan Sungai Bejantas. Namun tidak ada daerah khusus yang membatasi daerah tempat tinggal para penganut dari kedua varian tersebut (Koentjaraninggrat, 1994: 310-313). Kebangkitan umat Hindu di Jawa khususnya di daerah Lumajang membuktikan bahwa perkembangan agama Hindu sebagai warisan Majapahit (wong Majapahit) yang dahulu nenek moyang mereka dari Majapahit dan melarikan diri ke Tengger, kemudian menurunkan anak cucunya, termasuk di Desa Senduro Kabupaten Lumajang. Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu Bali ke daerah Lumajang, leluhur masyarakat Lumajang memeluk suatu aliran kepercayaan, yakni aliran kepercayaan Jowo Sanyoto. Aliran ini merupakan aliran kepercayaan Hindu Majapahit. Aliran kepercayaan Hindu-Majapahit ini merupakan aliran kepercayaan yang berorientasi pada kepercayaan Hindu-Jawa yang sering disebut Kejawen. Aliran kepercayaan ifli berkembang hingga meletusnya pemberontakan G-30.S/PKI disusul dengan peraturan pemerintah Orde Bam yang menyarankan agar setiap warga di daerah Lumajang memeluk agama yang ada di sekitar daerah Lumajang. Pada saat itu, tokoh-tokoh aliran Hindu Jowo Sanyoto merasa tidak cocok dengan agama yang ada di Lumajang. Pada tahun 1969 ada dua orang pejabat yang berasal dari Bali. Mereka bertugas sebagai pegawai negeri sipil. Dari hasil pembicaraan dengan para tokoh aliran kepercayaan mereka merasa bahwa ada kecocokan dengan praktik agama Hindu yang dijalankan kedua putra Bali itu. Mulai saat itu terjadilah pergeseran dari praktik aliran Hindu Jowo Sanyoto ke praktik agama Hindu., Mereka yang merasa mewarisi tradisi kebudayaan Hindu di Jawa dan meminta kepada kedua pejabat yang berasal dari Bali tersebut untuk mengenalkan dasar-dasar agama Hindu (tatwa, susila dan upacard). Akhirnya, terjadilah penyebaran agama Hindu yang disesuaikan dengan model Jawa dengan tetap mempertahankan dasar kepercayaan mereka menurut leluhumya, disertai dengan bimbingan mengenal dasar-dasar agama Hindu. Selain memperkenalkan hari raya keagamaan, kedua putra Bali tersebut juga memberi petunjuk cara-cara melakukan persembahyangan (wawancara dengan Djumadi, tanggal 13 Juni 2003). Sebagaimana diketahui bahwa kebangkitan Agama Hindu di daerah Lumajang dapat dilihat pada tahun 1974 yakni dari peri ode melebumya kepercayaan Hindu Jowo Sanyoto yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di Jawa dengan kedua masyarakat Bali yang ada di daerah Lumajang. Kebangkitan ini tidak hanya pada masyarakat di Desa Senduro yang semula berjumlah 30 KK, tetapi juga meluas ke Desa-Desa lain, seperti: Desa Aryosari, Wonoayu, Wonocempoko, Kandangan, Kandang Tepus, Bedayu, Bedayu Talang, Ribumo,

210

Kebangkitan Umat Hindu Didesa Senduro Kabupaten Lumajang I Ketut Cede Harsana

Sari Kemuning, sampai ke Desa Pandan Sari. Masuknya agama Hindu di daerah Lumajang tidak berjalan mulus karena adanya hambatan yang datangnya dari warga non-Hindu. Hambatan tersebut antara lain yakni pada awal dekade 1970-an ada rumah umat Hindu hampir roboh didorong umat lain, pada waktu itu umat Hindu sedang melakukan pesantian. Pada tahun 1974 pemah pula terjadi yakni ada umat Hindu saat meninggal tidak diijinkan mengubur di kuburan umum, akhimya mereka mengubur di pekarangan rumah. Tantangan berat masuknya Hindu di daerah Lumajang juga tidak menyurutkan tekad umat di Senduro, bahkan masyarakat di sana bertekad memiliki tempat ibadah. Selama ini umat Hindu di daerah Lumajang hanya bersembahyang dari rumah ke rumah secara bergiliran, sampai akhirnya dibangun Sanggar Pamujon pada tahun 1976 ( Lihat Lampiran 4, foto Nomer 1). Sanggar Pamujon ini merupakan "warisan" aliran kepercayaan Hindu Jowo Sanyoto yang kemudian diadaftasikan dengan agama Hindu dan berfungsi sebagai tempat persembahyangan, pertemuan, dan dharma wacana. Sanggar dibangun berdasarkan iuran umat sedesa. Luas bangunan hanya 8x4 meter, bahan bangunan masih sangat murah ketika itu. Sanggar Pamujon dipakai sebagai tempat persembahyangan setiap Tilem/purnama, hari raya Nyepi, , dan sebagainya. Selain sebagai tempat persembahyangan, Sanggar Pamujon juga sebagai tempat pesamuan setiap pekan sampai sekarang. Sanggar Pamujon ini sebagian dikelola oleh perorangan di pekarangan rumahnya dengan biaya swadaya. Sejak dibangunnya Pura Mandaragiri Semeru Agung pada tahun 1980-an atas prakarsa masyarakat Hindu-Jawa dan dibantu oleh masyarakat Hindu Bali suasana keagamaan mulai membaik. Warga non-Hindu di seputar Pura Mandaragiri Semeru Agung mau menerima keberadaan umat Hindu karena dengan dibangunnya.

pura tersebut umat non-Hindu diuntungkah secara ekonom keuntungan yang dirasakan oleh umat non-Hindu secara ekonomi yaitu dengan kedatangan Hindu dari luar Pulau Jawa, terutama dari Bali ke daerah Lumajang dengan mengadakan persembahyangan. Para mengunjung ini tentunya memerlukan tempat peristirahatan atau penginapan. Dengan demikian umat Non-hindu mendapatkan rejeki dengan membuka tempat penginapan. Dengan berdirinya Pura di Kabupaten Lumajang, sekarang terwujudlah cita-cita umat Hindu di kabu memiliki tempat pemujaan dan persembahyangan, Pura Mandaragiri Agung. Bahkan, kalau dibandingkan dengan pura-pura yang berada pura tersebut merupakan yang termegah. Di samping itu, sejak dibangunnya Mandaragiri Semeru Agung umat Hindu di Kabupaten Lumjanag Kecamatan Senduro dan sekitarnya pada hari-hari besar dan hari suci keagamaan, seperti hari raya Galungan dan Kuningan, hari raya Nyepi, hari Saraswati Puja, Siwaratri, tidak lagi melakukan persembahyangan dan pemujaai rumah tangga (sanggar pemujon), tetapi sudah di tempat persembahyangan umum, yakni Pura Mandaragiri Semeru Agung

211

PUSTAKA Volume VIII, NO. 2 Agustus 2008

2. Pembahasan 2.1 Faktor Pendukung Faktor ini berasal dari keinginan masyarakat Hindu di Lumajang serta dorongan umat Hindu dari Bali. Kondisi ini memungkinkan terjadinya suatu era kebangkitan. Berdasarkan hasil wawancara kepada para pemeluk umat hindu era bermukim di Desa Senduro pada tanggal 9 Mei 2003, mereka menjelaskan bahwa kesadaran terhadap ajaran agama Hindu makin dirasakan sejak kedatangan dua orang pejabat Bali yang bertugas sebagai pegawai negeri sipil didaerah. Proses adaptasi antara kebudayaan Hindu Jowo Sanyoto dengan kebudayaan Hindu Bali memberikan dampak pada keterbukaan kebudayaan Hindu dalam lingkup peradaban modern dengan mengembangkan wawasan kemanusiaan yang luas. seiring dengan hal itu telah terjadi pula pergeseran nilai budaya yang menantang kelanjutan jati diri umat Hindu di Lumajang. Dibangunnya Pura Mandaragiri Semeru Agung di Desa Senduro membawa perubahan yang begitu besar pada sendi-sendi kebudayaan Hindu serta kehidupan beragama di daerah Lumajang. Perubahan yang cukup mendasarkan saja dirasakan oleh umat Hindu di Lumajang, tetapi juga dirasakan oleh umat Non- Hindu terutama umat yang berada di desa Senduro.

2.2 Kesadaran Terhadap Ajaran Agama Hindu Masyarakat Hindu merupakan bagian dari masyarakat dan dunia. Dalam perkembangannya umat Hindu mengalami banyak hal yang cukup memprihatinkan. Umat Hindu mengalami proses isolasi dari waktu ke waktu dan temyata hal ini berjalan terus Dalam makalah yang pernah disampaikan I GMPutera Astaman yang berjudul "Pemberdayaan Organisasi Keumatan Hindu dan Upaya Penggalangan SumberDaya Manusia dan Sumber Dana : Bagaimana Membangun Pusat Hindu dan Lembaga Artha dalam Mellenium III" mengatakan bahwa sudah sepatutnya umat Hindu di Indonesia memiliki acuan baru menyangkut visi, misi, dan strategi pembinaan umat sebagai proyeksi perjalanan umat Hindu menuju masyarakat Hindu masa depan. Perkembangan umat Hindu dalam beberapa dekade terakhir, pada awalnya hanya mengenal agama Hindu Bali, tetapi pada periode berikutnya sudah menyatakan diri dengan sebutan Hindu Dharma atau agama Hindu. Umat Hindu di Jawa yang populer dengan sebutan kejawen dengan tegas menyatakan diri sebagai Umat Hindu. Umat Hindu Jawa yang dulunya secara sembunyi-sembunyi dan tidak berani menyatakan diri sebagai umat Hindu akhirnya dengan tegas menyatakan diri sebagai pemeluk agama Hindu. Hal yang sama terjadi pula pada masyarakat Hindu di Desa Senduro, Kabupaten Lumajang. Kesadaran terhadap ajaran agama Hindu di Desa Senduro dapat dilihat ketika kelompok kepercayaan Hindu Jowo Sanyoto melebur menjadi agama Hindu. Hal ini disebabkan karena kesadaran yang sangat mendalam dari umat Hindu di Desa Senduro untuk mengikuti ajaran agama Hindu. Kesadaran terhadap ajaran agama Hindu di Desa tersebut diawali dengan kedatangan dua pejabat yang telah disebutkan di atas. Kedua orang Bali tersebut adalah I Wayan Nastra bertugas di Pengadilan Negeri Lumajang dan AA Gede Raka bertugas di Depatermen Perindustrian. Akhirnya,

212

Kebangkitan Umat Hindu Didesa Senduro Kabupaten Lumajang I Ketut Cede Harsana para sesepuh kebatinan Hindu Jowo Sanyoto salah satunya Mangku Mistok, mulai mendekati kedua orang Bali tersebut. Setelah melakukan pembicaraan, para tokoh Hindu Jowo Sanyoto merasa cocok dengan praktik-praktik keagamaan yang dijalankan oleh kedua orang Bali tersebut. Dengan kesadaran tinggi segala praktik ajaran agama Hindu yang di perkenalkan oleh kedua orang Bali tersebut, sepenuhnya dilaksanakan oleh masyarakat Hindu di Lumajang.

2.3 Faktor Penghambat Masyarakat pluralis sebagai akibat adanya kebangki tan agama pada hakikatnya merupakan suatu mozaik sosial yang terintegrasi ke dalam aneka faktor perekat sebagimana diuraikan di atas. Namun perbedaan yang mereka miliki tidak hilang, melainkan tetap bertahan sampai batas-batas perbedaan aspirasi. Perbedaan tersebut merupakan titik lemah yang bisa melahirkan konflik. Ibarat mata uang, integrasi dan konflik merupakan dua sisi atau dua wajah yang berbeda dari mata uang yang sama. Kedua wajah mata uang itu satu sama lainnya tidak dapat di pisahkan. Bahkan, seperti dikemukakan oleh Nasikum (1996: 207- 208)), masyarakat majemuk di satu sisi memang bisa tampak terintegrasi dengan baik, namun di sisi yang lain selalu ada peluang mereka terjangkiti oleh konflik. Bahkan konflik suatu bahaya yang kronis pada masyarakat yang bercorak pluralis dengan sistem keyakinan dan agama apalagi daya akses umat Hindu terbatas serta adanya sikap keraguan dari umat Hindu untuk bangkit.

2.4 Lemahnya Akses Umat Hindu Keberadaan birokrat yang memeluk agama non-Hindu sangat terasa dampaknya bagi agama Hindu. Hal ini juga disebabkan karena umat Hindu sedikit sekali yang mempunyai jabatan di Pemerintahan. Misalnya, soal perkawinan yang dirasakan oleh umat Hindu di Lumajang, pemerintah memprioritaskan pemeluk agama yang mayoritas. Selain itu, pemerintah menyiapkan fasilitas yang berbeda dengan agama yang minoritas di Departermen Agama, misalnya Kantor Urusan Agama (KUA). Lembaga pemerintah ini hanya digunakan oleh umat beragama Islam. Kantor Urusan Agama ada di tiap-tiap kecamatan dengan petugas khusus (pegawai negeri). Dari satu segi hal ini sudah membedakan antara agama satu dengan yang lain. Di samping itu, umat Agama Islam perkawinannya dilakukan di Kantor Urusan Agama, sedangkan agama lainnya dilakukan oleh petugas khusus yaitu Pembantu Pegawai Pencatatan Perkawinan (P4). Petugas ini tidak berstatus pegawai negeri tetapi petugas yang ditunjuk oleh lembaga yang ada pada agamanya masing-masing. Ini merupakan satu kepincangan terhadap agama yang tergolong minoritas tennasuk agama Hindu di Lumajang. Selain itu persyaratan perkawinan lewat KUA relatif lebih sedikit dari pada yang dilakukan oleh Pembantu Pencatatan Perkawinan. Misalnya, perkawinan lewat KUA tanpa menggunakan persyaratan akta kelahiran, foto kopi KTP Tidak menggunakan akta kematian apabila salah satu atau ke dua orang tuanya meninggal. Sedangkan perkawinan lewat pembantu Pegawai Pencatatan Perkawinan seluruh persyarat tersebut harus dipenuhi. Hal ini dirasakan memberatkan umat Hindu. Akibat dari semua ini, cenderung umat Hindu untuk kawin lewat kantor Urusan Agama (KUA). Sebelum tahun 1982 atau sebelum terbitnya Surat Keputusan Bupati

213

PUSTAKA Volume VIII, NO. 2 Agustus 2008

Lumajang nomor 477/81/1982 tentang pengangkatan Pembantu Pegawai Pencatatan Perkawinan, umat Hindu merasakan dipersulit untuk melakukan perkawinan. Setelah adanya Pembantu Pegawai Pencatatan Perkawinan, umat Hindu mendapatkan kemudahan dalam melakukan perkawinan meskipun harus memenuhi peryaratan yang lebih banyak. Walaupun begitu, umat Hindu tetap saja cenderung untuk pindah dari agama Hindu ke agama yang lain. Untuk mengatasi hal tersebut PHDI Lumajang berusaha mengatasinya dengan, membuat Surat Kawin sendiri yang berwarna kuning yang dikenal dengan surat kuning. Kehadiran surat kuning itu dapat meredam gejolak umat Hindu, tetapi surat kuning ini nantinya banyak dipermasalahkan terutama di Jawa Timur dalam menerima bantuan berupa sarana agama. Untuk mengatasi permasalahan itu, pembina umat Hindu di daerah ini menentukan langkah-langkah antara lain sebagai berikut. a) Menjalin kerja sama antara PHDI dengan Bimas Hindu b) Mengirim para remaja tamatan STM, SMA, SMEA untuk mengikuti ujian PGA di Singaraja dan Denpasar, kemudian di Lumajang. Pada tahun 1978 berjumlah 9 orang dan sekarang sudah semuanya menjadi guru agama c) Mendirikan pura pada basis umat Hindu. d) Mengusulkan Pembantu Pegawai Pencatan Perkawinan kepada Gubernur untuk mengatasi kesulitan perkawinan. Sekarang setiap keeamatan sudah ada petugasnya dan dapat melaksanakan tugas dengan baik serta ditakuti oleh pe-merintah. e) Meningkatkan pembinaan umat f) Pengisian mimbar agama Hindu yang melibatkan semua unsur dengan sasa-ran anak-anak sekolah (centra), orang tua yang tidak berbasis sekolah berupa mimbar berbahasa Jawa, dan mimbar khusus di kalangan umat Hindu terpela-jar. Dalam bidang pendidikan, sebelum ada Dinas Hindu (1976), umat Hindu sangat sulit mendapatkan pelayanan dalam hal pendidikan agama di sekolah, sehingga sekolah menawarkan agar mengikuti pendidikan agama lain yang ada gurunya. Jenis ini merupakan tekanan psikologis. Meskipun demikian sampai sekarang guru-guru agama Hindu masih dirasakan sangat kurang karena setiap Sekolah Dasar maupun Sekolah Lanjutan tidak ada guru agama Hindu (wawancara Aryono, 20 Juni 2003). Permasalahan yang lain yang dihadapi oleh umat Hindu di Kabupaten Lumajang adalah adanya hambatan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam karier seperti sulitnya mendapatkan suatu jabatan karena lebih diutamakan bagi pegawai yang memeluk agama non-Hindu. Walaupun demikian, hubungan umat agama Hindu dengan agama yang lain dirasakan sangat sejuk, karena sampai saat ini belum ada permasalahan antara umat agama Hindu dengan umat agama lain. Situasi yang sejuk ini juga disampaikan oleh kepalaDesa Senduro, bahwa hubungan antara umat Hindu dengan umat agama lainnya tidak pernah ada permasalahan. Hal ini disebabkan karena umat agama lain, khususnya umat agama Islam merasakan bahwa agama Hindu merupakan asal mulanya, maka dari itu ada dorongan dari umat agama Islam untuk mengadakan hubungan yang sejuk dengan umat agama Hindu. (Wawancara, KepalaDesa Senduro, tanggal 13 Juni

214

Kebangkitan Umat Hindu Didesa Senduro Kabupaten Lumajang I Ketut Cede Harsana

2003). Meskipun adanya kesejukan hubungan antara umat agama Hindu dengan agama non-Hindu di Desa Senduro, tetapi dibalik kesejukan tersebut tetap masih ada percikan-percikan yang merupakan pengaruh ekstern dari umat non-Hindu antara lain sebagai berikut. 1) Dari umat-agama Katolik lewat pemberian kredit untuk membuat usaha kecil kepada umat Hindu, kemudian terus mendapatkan tuntunan dan misi dari Ge-reja. 2) Agama Islam melalui Kuliah Kerja Nyata (KKN) terutama mahasiswa lain, mendirikan langgar/masjid dekat pura atau kantong-kantong umat agama Hindu. Lambat laun pengaruh ini akan membawa dampak bagi perkembangan umat agama Hindu di Desa Senduro yaitu merosotnya pemeluk agama Hindu

2.5 Sikap Keragu-raguan dari Umat Hindu Dalam pengembangan agama, faktor interen merupakan faktor yang sangat penting karena bagaimanapun juga pengaruh yang datang dari luar tergantung dari kekuatan dari dalam sendiri. Dari hasil wawancara dengan beberapa informan menunjukkan bahwa faktor intern yang sangat mempengaruhi perkembangan agama Hindu di daerah Kabupaten Lumajang khususnya di Desa Senduro adalah sebagai berikut. 1) Rendahnya tingkat ekonomi sebagian besar umat Hindu, yang dampaknya pada pembangunan tempat ibadah selalu tersendat-sendat. 2) Kurangnya wawasan atau pengetahuan tentang tempat peribadahan atau pura baik secara bentuk maupun ornamennya. Sekarang ini tempat-tempat ibadah yang ada di kedua daerah tersebut gaya tradisi Hindu di Bali cukup menon-jol, meskipun dari satu sudut tertentu wama Hindu di Jawa sedikit yang tam-pak. Hal ini menandakan bahwa kuatnya pengaruh tradisi Hindu Bali di Jawa. Demikian juga sebaliknya lemahnya kemampuan umat Hindu di Jawa dalam hal merancang bentuk pura termasuk ornamennya. 3) Tradisi Hindu di Jawa mempunyai bentuk-bentuk sesaji dan digunakan dalam jenis-jenis upacara dalam agama Hindu. Tetapi kenyataan yang kita amati sek-arang, bentuk sesaji tradisi Hindu di Jawa tidak begitu tampak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tradisi Hindu di Bali yang secara tidak langsung disebarluas-kan oleh orang-orang Bali yang tinggal di daerah tersebut. Umat Hindu di Jawa merasa kikuk, canggung dan timbul sikap keragu-raguan karena tidak bisa me nyesuaikan diri sehingga merasa ketakutan untuk memeluk agama Hindu. Di samping itu, untuk melakukan persembahyangan harus membuat sesaji yang banyak dan banyak menghabiskan biaya, sehingga merasa tidak mungkin bakti mereka diterima oleh Sang Widhi. Parisada merupakan organisasi keagamaan Hindu khususnya yang berfungsi seperti majelis tertinggr agama Hindu. Dalam pelaksanaan tugasnya, Parisada belum dirasakan manfaatnya oleh umat Hindu secara luas. Malahan dibeberapa aspek kegiatan tertentu Parisada kurang memberikan keleluasaan pada kantong- kantong umat untuk melaksanakan kegiatan agama Hindui. Dampak dari semuanya ini secara kuantitas sangat dirasakan. Di samping itu dengan adanya

215

PUSTAKA Volume VIII, NO. 2 Agustus 2008

"tekanan" dalam bidang-bidang seperti tersebut di atas, maka umat Hindu di Indonesia akan semakin berkurang. Dari sisi lain, karena rendahnya SDM dari masyarakat setempat (Jawa) maka kita mengalami kesulitan mencari tokoh masyarakat Jawa untuk didudukkan menjadi pengurus Parisada sehingga dalam susunan pengurus Parisada didominasi oleh orang-orang dari Bali. Sedangkan orang-orang pribumi hanya ada satu dua orang saja. Akan tetapi karena tingkat SDM-nya rendah maka kinerjanya semrawut, mereka itu belum tahu berorganisasi Peranan umat Hindu yang berasal dari Bali sangat kuat, sehingga dapat menimbulkan dampak positif dan negatif. Dari segi positifnya dapat membangkitkan atau menggugah umat Hindu di Jawa yang tadinya hampir punah. Segi negatifnya adalah dapat menghilangkan tradisi Hindu di daerah lain khususnya di Jawa. Dengan demikian interpensi umat Hindu yang berasal dari Bali terutama yang tinggal di Jawa sangat kuat. Hal ini dapat diamati dalam bidang tatwa/Ketuhanan, Susila dan juga upacara agama. Dalam bidang agama tampak jelas adanya pengaruh dari tradisi Hindu di Bali misalnya dalam pelaksanaan upacara-upacara khususnya upacara Dewa Yadnya dan butha Yadnya di daerah Lumajang. Mulai dari sesaji dan para pendetanya termasuk sarana lainnya seperti payung (songsong) semuanya berasal dari Bali. Demikian juga situasi relegiusnya dibentuk seperti situasi pelaksanaan upacara di Bali. Langkah ini juga merupakan suatu kesalahan yang sangat fatal, karena tidak berfungsinya komponen-tomponen agama Hindu yang ada di Jawa. Dengan kata lain "ora negwongke ewong" artinya tidak memanusiakan manusia atau menghargai manusia. Sedangkan jenis upacara lainnya seperti upacara Manusa Yadnya, dan Pitra Yadnya tidak dipengaruhi oleh tradisi Hindu di Bali. Hal ini disebabkan karena ketidak terlibatan umat Hindu .yang 'berasal dari Bali. Pada umumnya umat Hindu yang melaksanakan jenis upacara Manusa Yadnya dan Pitra Yailnya dilakukan di daerah asalnya sesuai dengan latar belakang budayanya. Aspek lain yang mempengaruhi umat Hindu di jawa adalah buku agama Hindu yang sangat kurang diterbitkan oleh pemerintah maupun swasta dan disusun oleh orang yang berasal dari Bali. Kalau tidak cermat keberadaan buku yang diterbitkan akan menambah bingungnya umat Hindu di Jawa khususnya di Kabupaten Lumajang. Misalnya, buku lentang Panca Yadnya lebih banyak menginformasikan tentang jenis-jenis upacara yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali, seperti upacara Ngaben. Upacara Ngaben dianggap suatu kewajiban yang harus dilakukan sebagai umat Hindu, padahal di daerah Jawa tidak ada upacara Ngaben, tetapi yang ada adalah upacara Nyewu atau nyekah. Ada hal penting dilupakan orang yaitu untuk melihat kemajemukan adalah dengan mengurangi sekecil mungkin generalisasi, sebaliknya mencari segi menonjol yang dapat menjadi penentu jati diri masyarakat, golongan atau kelompok. Salahnya kita menjadi masyarakat multi ras, multi etnik dan multi kebudayaan selama ini adalah memandang orang lain dengan menggeneralisasi dan mengkatagorikannya menurut label buatan sendiri, bukan menurut pengakuan diri yang bersangkutan. Jika disadarai oleh setiap indi vidu, pada hakikatnya setiap manusia mempuny ai cita-cita untuk dapat hidup damai dan sejahtera di dunia ini.

216

Kebangkitan Umat Hindu Didesa Senduro Kabupaten Lumajang I Ketut Cede Harsana

Demikian juga halnya masyarakat Hindu di Lumajang, untuk mewujudkan keinginan itu manusia tidak dapat mengusahakannya sendiri. Untuk mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan mutlak harus didukung dan dibina bersama manusia lain. Dengan kata lain untuk mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan umat manusia perlu adanya kerjasama antara manusia itu sendiri. Hal ini sesuai dengan kodrat manusia bahwa manusia adalah mahluk individu sekaligus sebagai mahluk sosial. Dalam kedudukan sebagai mahluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri, dan menyendiri tetapi harus hidup berkelompok. Adapun yang menyebabkan manusia selalu ingin hidup bermasyarakat antara lain, adalah dorongan yang terdapat dalam naluri nanusia, naluri tersebut sudah ada pada diri manusia sejak manusia dilahirkan, tanpa ada orang lain yang mengajarkannya. Dalam usaha untuk mendapatkan keperluan hidupnya manusia perlu mendapatkan bantuan orang lain. Hidup menyendiri akan menimbulkan kesulitan, setiap usaha akan berhasil bila dikerjakan bersama saling bahu membahu dan saling membantu. Berdampingan dengan kenyataan, manusia sebagai mahhluk sosial, terdapat pula kenyataan manusia sebagai mahluk pribadi. Tiap-tiap manusia mempunyai sifat, watak, kehendak dan kepentingannya masing-masing. Kehendak dan kepentingan tiap manusia jika sejalan dengan kehendak dan kepentingan orang sekitarnya, maka akan terjalin kerjasama dan hubungan yang harmonis, untuk mewujudkan kegiatan dan harapannya itu. Namun, kenyataanya tidak jarang kehendak dan keinginan serta kepentingan manusia yang satu dan lainnya itu bertabrakan, maka akibatnya akan terjadinya konflik di antara manusia. Koentjaraningrat (1993: 384) menyatakan bahwa, sumber konflik antarsuku bangsa atau golongan pada umumnya terjadi pada negara sedang berkembang seperti Indonesia, ada paling sedikit lima macam yaitu: (1) Konflik bisa terjadi kalau warga dari dua suku bangsa masing-masing bersaing dalam hal mendapatkan lapangan mata pencaharian hidup yang sama; 2) Konflik bisa terjadi, kalau warga dari satu suku bangsa memaksa unsur-unsur dari kebudayaannya kepada warga dari suku bangsa lain; 3) Konflik yang sama dasarnya, tetapi lebih fanatik dalam wujudnya, bisa terjadi kalau warga dari satu suku bangsa memaksakan konsep agamanya terhadap warga dari suku lain yang berbeda agamanya; 4) Konflik terang akan terjadi kalau satu suku bangsa berusaha mendominasi suatu suku bangsa lain secara politis; 5) Potensi konfliknya terpendam ada dalam hubungan antara suku bangsa yang telah bermusuhan secara . Berdasarkan hal tersebut di atas, rasa terpingggirkan yang dirasakan oleh Umat Hindu di Lumajang, disebabkan karena adanya umat non-Hindu ingin memaksakan kehendaknya melalui konsep-konsep agamanya kepada umat Hindu. Hal yang terpenting, kebudayaan yang telah diwarisi oleh umat Hindu yang merupakan warisan dari leluhur meraka yaitu Hindu Jowo Sanyoto, masih menjadi dilema bagi Umat non-Hindu. Secara hirarki umat Hindu di daerah Lumajang, ingin merasa aman dalam hidup dan kehidupannya di masyarakat dalam dalam arti, kepentingannya dalam melaksanakan iktivitas keagamaan tidak merasa terganggu. Konflik yang pernah terjadi antara umat Hindu dan umat non-Hindu sedapat mungkin harus dicegah, sebab dapat menganggu keseimbangan dan

217

PUSTAKA Volume VIII, NO. 2 Agustus 2008

tatanan kehidupan bermasyarakat du daerah Lumajang. Oleh karena itu Pembina umat sangatlah diperlukan.

3. Simpulan Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan, maka dalam penelitian ini perluS di tarik suatu kesimpulan. Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil temuang: dan pembahasan adalah sebagai berikut. 1) Bahwa penyebab terjadinya kebangkitan umat Hindu di desa Senduro ada dua,g yaitu adanya faktor pendukung dan adanyaffaktor penghambat. (1) Faktor pendukung yaitu adanya kesadaran yang cukup tinggi dikalangan kelompok Hindu Jowo Sanyoto untuk mempelajari ajaran agama Hindu. Kesadaran yang cukup tinggi dikalangan kelompok Hindu jowo sanyolo dalam mempelajari agama Hindu, dapat dilihat dari kebangkitan di bidang tatwa, bidang susila, dan di bidang upacara. Rasa terpinggirkan dikalangan kelompok Hindu Jowo Sanyoto juga menjadi salah satu faktor pendukung, yang menyebabkan kesadaran kelompok Hindu Jowo Sanyoto untuk mempelajari ajaran agama Hindu semakin meningkat. Rasa terpinggirkan dari kelompok Hindu Jowo Sanyoto sangat di-rasakan ketika kelompok Hindu Jowo Sanyoto dalam proses melebur menjadi agama Hindu. Tantangan yang begitu berat yang harus dihadapi umat Hindu di desa Senduro ketika terjadinya suatu konflik antara kelompok Hindu Jowo Sanyoto dengan kelompok non-Hindu. Walupun tantangan begitu besar yang dirasakan oleh kelompok Hindu Jowo Sanyoto, justru tidak menyurutkan tekad kelompok Hindu Jowo Sanyoto untuk memeluk agama Hindu. 2) Faktor penghambat yaitu lemahnya akses umat Hindu di Kabupaten Luma- jang. Umat Hindu sangat sedikit yang mempunyai jabatan di pemerintahan. Hal ini berpengaruh bagi umat Hindu di daerah Lumajang dalam mengurus surat-surat, seperti akte perkawinan, akte kelahiran, kartu tanda penduduk dan lain sebagainya. Faktor penghambat lain yaitu, sikap keragu-raguan dari umat Hindu di desa Senduro. Sikap keragu-raguan ini timbul disebabkan karena ren-dahnya tingkat ekonomi sebagaian umat Hindu di desa Senduro, yang dampak-nya pada pembangunan tempat ibadah yang selalu tersendat- sendat. Kurangnya wawasan atau pengetahuan tantang tempat peribadahan atau pura baik secara bentuk maupun ornamennya. Adanya sikap yang kurang mempertahankan jati diri dari kalangan umat Hindu di desa Senduro. 3) Kebangkitan umat Hindu di desa Senduro Kabupaten Lumajang berawal dari kebudayaan orang Jawa dan jati diri orang Jawa. Kebudayaan Jawa yang hidup di Kabupaten Lumajang merupakan peradaban orang Jawa yang bera-kar dari kebudayaan Hindu Majapahit yang disebut Gerakan Kebatinan Hindu Jowo Sanyoto. Simbol atau wujud kebudayaan lainnya dari kebudayaan umat Hindu di Lumajang seperti wujud upakara (banten) yang dinamakan gedang ayu pecok hakal. Gedang ayu pecok bakal ini dipergunakan pada saat upacara perkawinan, selamatan, dan upacara lainnya. Dampak lain dari kebangkitan umat Hindu di daerah Lumajang adalah aktivitas masyarakat berkaitan dengan agama Hindu semakin meluas.

218

Kebangkitan Umat Hindu Didesa Senduro Kabupaten Lumajang I Ketut Cede Harsana

Sebelum era kebangkitan, upacara maasi dilakukan secara sembunyi- sembunyi. Hal ini dilakukan untuk menghindari tekanan dari umit non- Hindu. Sedangkan setelah era kebangkitan, pelaksa-naan upacara mulai berani dilakukan secara perorangan. Hal ini menunjukan kebebasan umat Hindu untuk melakukan ibadah mulai tampak. Begitu pula pemahaman pada aspek upacara mulai terlihat. Sesaji umat Hindu di Lumajang sudah mulai berkembang seiring dengan terjadinya proses adaptasi dengan bentuk, sesaji umat Hindu dari Bali. Walaupun dari bentuk sesaji berkembang, namun fungsi sesaji tidak berubah. Fungsi sesaji tetap sebagai wujudrasa syukur umat Hindu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan makna sesaji justru memantapkan bakti umat Hindu kepada Tuhan Yang maha Esa. Pada era kebangkitan tidak sepenuhnya bentuk sesaji umat Hindu di desa Senduro berubah. Masih ada juga umat Hindu di Lumajang yang mempertahankan bentuk sesaji jawa. Begitu pula pada pakaian upa.cara, tidak sepenuhnya pakaian upacara mengalami perubahan. Walaupun dikalangan generasi muda sudah mulai mengikuti pakaian upacara adat Bali, namun dikalangan orang tua masih ada yang mempergunakan pakaian adat Jawa (Lumajang). Hal ini disebabkan pemantapan umat yang diberikan kepada umat Hindu di Jawa agar mempertahankan sebagai eksistensinya sebagai umat Hindu. Pemantapan pembinaan umat di desa Senduro meliputi arah pembinaan umat, sasaran pembinaan umat, pola pembinaan umat dan metode pembinaan umat. 4) Makna kebangkitan umat Hindu di desa Senduro, Kabupaten Lumajang terli-hat dari terjadinya perubahan nilai pada kehidupan masyarakat di desa Senduro, Kabupaten Lumajang. Perubahan nilai itu antara lain, perubahan nilai pen-getahuan, perubahan nilai pendidikan, perubahan nilai ekonomi dan perubahan nilai kepercayaan. Perubahan nilai pengetahuan antara lain umat Hindu di Senduro sudah mengenal cara-cara persembahyangan berdasarkan tuntunan aja-ran agama Hindu, serta cara-cara pembuatan banten, seperti halnya pembtigfsn canang sari yang secara perlahan-lahan sudah diterima oleh umat Hiri Lumajang sebagai salah satu sarana persembahyangan. Sedangkan nilai pendidikan pada umat Hindu di desa Senduro langkah-langkah yang lakukan adalah, buku agama Hindu terus dicetak dan diperbanyak, baik agama Hindu untuk anak-anak pada pendidikan dasar, untuk pendidikan men-egah dan untuk mahasiswa pada pendidikan tinggi. Selain itu, majalah agama Hindu juga diterbitkan, lontar- lontar terus diterjemahkan, agar umat Hindu di Senduro memiliki fasilitas belajar yang memadai. Makna penting dari kebangkitan Umat Hindu di desa Senduro adalah terjadinya perubahan nilai ekonomi. Dengan berdirinya Pura Mandaragiri Semeru agung di desa Senduro. Nilai ekonomi bukan saja bagi umat Hindu tetapi juga dirasakan oleh umat non-Hindu. Dengan kedatangan umat Hindu Bali untuk mengadakan persembahyangan ke Pura Mandragiri Semeru Agung secara tidak langsung umat Hindu maupun umat non- Hindu mendapatkan keuntungan secara ekonomi. Sarana persembahyangan berupa canang dan dupa merupakan niali jual yang cukup baik bagi umat Hindu di desa Senduro. Selain menjual sarana persembahyangan ada pula umat Hindu

219

PUSTAKA Volume VIII, NO. 2 Agustus 2008

yang menjual makanan dan minuman. Sedangkan umat non-Hindu yang lebih mampu menawarkan tempat penginapan serta rumah makan yang memadai. Sedangkan perubahan nilai kepercayaan pada umat Hindu di desa Senduro adalah umat Hindu Jawa khususnya umat Hindu di Lumajang wa- jib beragama Hindu Jawa. Maksudnya sekalipun umat Hindu Bali membawa suatu perubahan di bidang upacara keagamaan yang lebih banyak menohjolkan nuansa Bali, namun masyarakat Hindu di Lumajang tetap teguh pada kepercayaan yang dianut para leluhur umat Hindu Jowo Sanyoto. Makna yang tidak kalah penting dari kebangkitan umat Hindu di desa Senduro adalah sikap dan daya kritis umat. Umat Hindu di desa Senduro, tidak perlu sepenuhnya mengi-kuti cara beryadnya umat Hindu dari Bali. Sehingga kebudayaan masyarakat Hindu di Lumajang masih tetap bisa bertahan. Walaupun ada beberapa hal dari kebudayaan Hindu di Lumajang sudah mengalami proses adaptasi dengan kebudayaan Hindu Bali, namun diharapkan sendi-sendi Hindu Jawa tidaklah hilang sama sekali. Nilai keseimbangan merupakan makna yang tidak kalah penting dari kebangkitan Umat Hindu di Lumajang. Sebelum dibangmr Mandaragiri Semeru Agung umat Hindu di Lumajang selalu menjadi pelampiasan umat non-Hindu. Akan tetapi, hal tersebut pada saat set tidak terjadi lagi. Integrasi yang terjadi di desa Senduro pada saat it sebagai suatu proses dan hasil kehidupan sosial yang merupakan mewujudkan kebudayaan yang homogen.

Daftar Pustaka Geerzt, Clifford. 1991 a. Involusi Pertanian : Proses Perubahan Ekologidi Indonesia. Jakarta : Bharata.

_____ 1997b Penjajah dan Raja Perubahan Sosial dan .Moldernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia. (S. Supomo Penerjemah). 'Jakarta : PT Gramedia. ______1981. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. 1983. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius. Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka. Nasikum, 1992. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers. ______1984. Sistim Sosial Indonesia. Jakarta : CV. Rajawali. Noer, D.1979. Gerakan Modern Islam di Indonesia (Bur Rusuanto Penerjemah). Jakarta: Penerbit LP3ES. Putera Astaman, 1.G.M.2000. " Pemberdayaan Organisasi Keumatan Hindu dan Upaya Penggalangan Sumber Daya Manusia dan Sumber Dana : Bagaimana Membangun Pusat Hindu dan Lembaga Artha". Makalah ini disampaikan dalam Pesamuan Umat Hindu Indonesia. Denpasar Forum Pengadaan Dharma, The Grand Bali Beach Tanggal 17-18 Juni. Sou'yb, Joesef. 1983. Agama-agama Besar di Dunia. Jakarta : Pustaka Aihusna. Smit, Huston, 1985. Agama-agama Manusia. Safroedin Bahar (Penerjemah). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

220