Pustaka Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Pustaka Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya PUSTAKA JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA Diterbitkan oleh: Yayasan Guna Widya Fakultas Sastra Unud KEBANGKITAN UMAX HINDU DIDESA SENDURO KABUPATEN LUMAJANG I Ketut Cede Harsana UPT. MKU UNUD Abastract: Hindu renaissance at Senduro village is a very interesting phenomena to examine because there lias happened an intensive social interaction between the hindu people from Java, particularly those from Senduro village, Lumajang Regency, and the hindu people from Bali. Before the hindus of Senduro received any influence from those from Bali, the ancestors of the Lumajang people embraced a belief called Jowo Sanyoto, a certain sect within Hinduism. This hinduistic Jowo Sanyoto was developing well until the break of the Communist G 30 S/ PKI coup de'tat, and when the New Order Regime was in power it was suggested that the people in Lumajang embrace the existing religion around Lumajang area. However, because they were strongly under pressure of the followers of non hindu religion as well as of the government bureaucracy, two of the prominent folowers of the Jowo Sunyoto converted themselves into followers of Hindu Religion following the religious teaching introduced by two Balinese figures who happened to occupy civil officer positions at Lumajang. Many obstacles were faced by the hindus of Lumajang which, however, did not at all affect their determinitation to practice the teaching of Hindu Religion. Keywords: Hinduism,development, and Lumajang 1. Pendahuluan Kebangkitan agama sesungguhnya bukan saja terjadi pada agama Hindu, melainkan juga terjadi pada agama-agama lain. Dalam sejarah perkembangan agama-agama besar di dunia dapat diketahui bahwa agama-agama besar tersebut mengalami kebangkitan karena dianggap menyimpang dari ajaran aslinya (kitab- kitab suci mereka) akibat pengaruh perkembangan masyarakat pendukungnya. Misalnya, kebangkitan agama Kristen pada abad ke-16 telah melahirkan perpecahan pada agama Kristen sehingga menjadi agama Kristen Katolik dan agama Kristen Protestan (Sou'yb, 1983: 51-53; Smith, 1985: 22-24) dan masing- masing pecahan ini terpecah-pecah lagi menjadi beberapa sekte. Demikian juga dengan agama Islam, khususnya di Jawa mengalami kebangkitan yang melahirkan dua kubu yang saling bertentangan, yaitu: agama islam tradisional yang diwakili Nahdatul Ulama (NU) dan agama Islam Modern yang diwakili oleh Muhammadyah. Selanjutnya, antara kedua aliran agama ini sering timbul perbedaan pendapat bahkarrberlanjut ke dalam konflik politik, baik sebelum kemerdekaan maupun sesqdah kemerdekaan (Geertz, 1977:19-23; Nasikum, 1984: 101—102; Noer, 1979f2001-203). Gejala yang sama terjadi pula pada agama Hindu di Pulau Jawa. Dalam hal ini kebangkitan agama Hindu ditandai dengan munculnya pusat-pusat "olah kebatinan Hindu" sesuai dengan hakikat budaya Jawa, yang kemudian mereka menyebutnya dengan aliran kebatinan. Aliran kebatinan tersebut sebagai bagian dari budaya nenek moyangnya yang disebut "agama Jawi". Agama Jawi atau 209 PUSTAKA Volume VIII, NO. 2 Agustus 2008 Kejawen adalah suatu kompleks keyakinan yang di dalamnya mengandung suatu konsep Hindu-Budha. Konsep ini cenderung ke arah mistik dan bercampur menjadi satu sehingga diakui sebagai agama Islam. Varian yang lain, meskipun tidak bebas dari unsur Hindu-Budha, tetapi lebih dekat dengan dogma-dogma ajaran Islam yang disebut agama Islam Santri. Varian agama Kejawen ini kelihatannya lebih dominan berkembang di daerah-daerah Negarigung di JawaTengah (sekarang Daerah Keresidenan Surakarta dan daerah istimewa Yogyakafta). Selanjutnya, varian agama Islam Santri lebih dominan di daerah Banyumas dan daerah pesisir Surabaya, daerah pantai utara Jawa, serta daerah- daerah pedesaan di lembah Sungai Solo dan Sungai Bejantas. Namun tidak ada daerah khusus yang membatasi daerah tempat tinggal para penganut dari kedua varian tersebut (Koentjaraninggrat, 1994: 310-313). Kebangkitan umat Hindu di Jawa khususnya di daerah Lumajang membuktikan bahwa perkembangan agama Hindu sebagai warisan Majapahit (wong Majapahit) yang dahulu nenek moyang mereka dari Majapahit dan melarikan diri ke Tengger, kemudian menurunkan anak cucunya, termasuk di Desa Senduro Kabupaten Lumajang. Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu Bali ke daerah Lumajang, leluhur masyarakat Lumajang memeluk suatu aliran kepercayaan, yakni aliran kepercayaan Jowo Sanyoto. Aliran ini merupakan aliran kepercayaan Hindu Majapahit. Aliran kepercayaan Hindu-Majapahit ini merupakan aliran kepercayaan yang berorientasi pada kepercayaan Hindu-Jawa yang sering disebut Kejawen. Aliran kepercayaan ifli berkembang hingga meletusnya pemberontakan G-30.S/PKI disusul dengan peraturan pemerintah Orde Bam yang menyarankan agar setiap warga di daerah Lumajang memeluk agama yang ada di sekitar daerah Lumajang. Pada saat itu, tokoh-tokoh aliran Hindu Jowo Sanyoto merasa tidak cocok dengan agama yang ada di Lumajang. Pada tahun 1969 ada dua orang pejabat yang berasal dari Bali. Mereka bertugas sebagai pegawai negeri sipil. Dari hasil pembicaraan dengan para tokoh aliran kepercayaan mereka merasa bahwa ada kecocokan dengan praktik agama Hindu yang dijalankan kedua putra Bali itu. Mulai saat itu terjadilah pergeseran dari praktik aliran Hindu Jowo Sanyoto ke praktik agama Hindu., Mereka yang merasa mewarisi tradisi kebudayaan Hindu di Jawa dan meminta kepada kedua pejabat yang berasal dari Bali tersebut untuk mengenalkan dasar-dasar agama Hindu (tatwa, susila dan upacard). Akhirnya, terjadilah penyebaran agama Hindu yang disesuaikan dengan model Jawa dengan tetap mempertahankan dasar kepercayaan mereka menurut leluhumya, disertai dengan bimbingan mengenal dasar-dasar agama Hindu. Selain memperkenalkan hari raya keagamaan, kedua putra Bali tersebut juga memberi petunjuk cara-cara melakukan persembahyangan (wawancara dengan Djumadi, tanggal 13 Juni 2003). Sebagaimana diketahui bahwa kebangkitan Agama Hindu di daerah Lumajang dapat dilihat pada tahun 1974 yakni dari peri ode melebumya kepercayaan Hindu Jowo Sanyoto yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di Jawa dengan kedua masyarakat Bali yang ada di daerah Lumajang. Kebangkitan ini tidak hanya pada masyarakat di Desa Senduro yang semula berjumlah 30 KK, tetapi juga meluas ke Desa-Desa lain, seperti: Desa Aryosari, Wonoayu, Wonocempoko, Kandangan, Kandang Tepus, Bedayu, Bedayu Talang, Ribumo, 210 Kebangkitan Umat Hindu Didesa Senduro Kabupaten Lumajang I Ketut Cede Harsana Sari Kemuning, sampai ke Desa Pandan Sari. Masuknya agama Hindu di daerah Lumajang tidak berjalan mulus karena adanya hambatan yang datangnya dari warga non-Hindu. Hambatan tersebut antara lain yakni pada awal dekade 1970-an ada rumah umat Hindu hampir roboh didorong umat lain, pada waktu itu umat Hindu sedang melakukan pesantian. Pada tahun 1974 pemah pula terjadi yakni ada umat Hindu saat meninggal tidak diijinkan mengubur di kuburan umum, akhimya mereka mengubur di pekarangan rumah. Tantangan berat masuknya Hindu di daerah Lumajang juga tidak menyurutkan tekad umat di Senduro, bahkan masyarakat di sana bertekad memiliki tempat ibadah. Selama ini umat Hindu di daerah Lumajang hanya bersembahyang dari rumah ke rumah secara bergiliran, sampai akhirnya dibangun Sanggar Pamujon pada tahun 1976 ( Lihat Lampiran 4, foto Nomer 1). Sanggar Pamujon ini merupakan "warisan" aliran kepercayaan Hindu Jowo Sanyoto yang kemudian diadaftasikan dengan agama Hindu dan berfungsi sebagai tempat persembahyangan, pertemuan, dan dharma wacana. Sanggar dibangun berdasarkan iuran umat sedesa. Luas bangunan hanya 8x4 meter, bahan bangunan masih sangat murah ketika itu. Sanggar Pamujon dipakai sebagai tempat persembahyangan setiap Tilem/purnama, hari raya Nyepi, Saraswati, dan sebagainya. Selain sebagai tempat persembahyangan, Sanggar Pamujon juga sebagai tempat pesamuan setiap pekan sampai sekarang. Sanggar Pamujon ini sebagian dikelola oleh perorangan di pekarangan rumahnya dengan biaya swadaya. Sejak dibangunnya Pura Mandaragiri Semeru Agung pada tahun 1980-an atas prakarsa masyarakat Hindu-Jawa dan dibantu oleh masyarakat Hindu Bali suasana keagamaan mulai membaik. Warga non-Hindu di seputar Pura Mandaragiri Semeru Agung mau menerima keberadaan umat Hindu karena dengan dibangunnya. pura tersebut umat non-Hindu diuntungkah secara ekonom keuntungan yang dirasakan oleh umat non-Hindu secara ekonomi yaitu dengan kedatangan Hindu dari luar Pulau Jawa, terutama dari Bali ke daerah Lumajang dengan mengadakan persembahyangan. Para mengunjung ini tentunya memerlukan tempat peristirahatan atau penginapan. Dengan demikian umat Non-hindu mendapatkan rejeki dengan membuka tempat penginapan. Dengan berdirinya Pura di Kabupaten Lumajang, sekarang terwujudlah cita-cita umat Hindu di kabu memiliki tempat pemujaan dan persembahyangan, Pura Mandaragiri Agung. Bahkan, kalau dibandingkan dengan pura-pura yang berada pura tersebut merupakan yang termegah. Di samping itu, sejak dibangunnya Mandaragiri Semeru Agung umat Hindu di Kabupaten Lumjanag Kecamatan Senduro dan sekitarnya pada hari-hari besar dan hari suci keagamaan, seperti hari raya Galungan dan Kuningan, hari raya Nyepi, hari Saraswati Puja, Siwaratri, tidak lagi melakukan persembahyangan dan pemujaai rumah tangga (sanggar pemujon), tetapi sudah di tempat persembahyangan umum, yakni Pura Mandaragiri Semeru Agung 211 PUSTAKA Volume VIII, NO. 2 Agustus 2008 2. Pembahasan 2.1 Faktor Pendukung Faktor ini berasal dari keinginan masyarakat Hindu di Lumajang serta dorongan umat Hindu dari Bali. Kondisi ini memungkinkan terjadinya suatu era kebangkitan. Berdasarkan hasil wawancara kepada para pemeluk umat hindu era bermukim di
Recommended publications
  • Pangestu) in Indonesia
    AL ALBAB: Volume 9 Number 2 December 2020 https://doi.org/10.24260/alalbab.v9i2.1477 THE INGENIOUS CITIZENSHIP OF THE PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU) IN INDONESIA Laela Fitriani Sahronie Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Universitas Gadjah Mada Email: [email protected] ABSTRACT This paper examines the practice of ingenious citizenship of an Indonesian spiri- tual group called Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu), between their politics of religion (agama) and belief (kepercayaan). With the passing of the Constitution- al Court Decision No. 97, 2017, the Indonesian government recognizes belief as another form of religious expression besides religion. Therefore, spiritual groups that are unable to be accommodated by religious or belief institutions have had difficulty accessing organizational rights, as they are considered ‘abject’ citizens. Even so, Pangestu has emerged as a spiritual group considered ‘abject citizens’ in the eyes of the state that has managed to survive. This paper will focus on two main questions: 1) How does the Indonesian government regulate citizens through the definition of religion and belief? 2) How does Pangestu respond to limited space for spiritual organizations between the recognition of religion and belief, by practicing ingenious citizenship? With these two formulations, this pa- per shows the relationship between the Indonesian government as an institution of control, and the spiritual organization of Pangestu as ingenious citizens. There will also be elaboration on strategies and unique tactics practiced by Pangestu to cope with the limited space given by the government. Keywords: Paguyuban Ngesti Tunggal, politics of religion, governmentality, abject, ingenious citizenship INTRODUCTION Religion in Indonesia has been used as a tool of political control since the colonial period.
    [Show full text]
  • Konsep Ibadah Dalam Hindu
    Konsep Ibadah Dalam Hindu Oleh: abu bakar Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim Riau abstract Dalam agama Hindu mempunyai lima keyakinan pokok yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Orang-orang Hindu, sangat berpegang teguh dengan konsep dalam agamanya yakni, meyakini adanya Tuhan (Dewa), adanya jiwa setiap makhluk, mempercayai hukum sebab akibat, mempercayai proses kelahiran dan kematian, keyakinan tertinggi adalah tujuan akhir manusia, dimana manusia mencapai Moksa. Key words: Ibadah, Keyakinan dan Hindu A. Pendahuluan Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang, merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan dan uraian singkat tentang prose perkembangannya. Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami. Banyak para ahli bidang agama dan ilmu lainnya yang telah mendalami tentang agama Hindu sehingga muncul bermacam-macam penafsiran dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahlil untuk menetapkan kapan agama Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi penyebarannya belum banyak dimengerti. Penampilan agama Hindu yang memberikan kebebasan cukup tinggi dalam melaksanakan upacaranya mengakibatkan banyak para ahli yang menulis tentang agama ini tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada dalam agama hindu. Sebagai contoh: “Masih banyak para ahli menuliskan agama Hindu adalah agam yang Polytheistis. Dan segala macam lagi penilaian yang sangat tidak mengenakkan, serta merugikan agama Hindu”. Disamping itu dikalangan umat Hindu sendiripun masih banyak pemahaman-pemahaman yang kurang tepat atas ajaran agama yang dipahami dan diamalkan.
    [Show full text]
  • Jailangkung: Indonesian Spirit-Basket Divination
    Singapore Management University Institutional Knowledge at Singapore Management University Research Collection School of Social Sciences School of Social Sciences 9-2018 Jailangkung: Indonesian spirit-basket divination Margaret CHAN Singapore Management University, [email protected] DOI: https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199935420.013.69 Follow this and additional works at: https://ink.library.smu.edu.sg/soss_research Part of the Asian Studies Commons, and the Religion Commons Citation CHAN, Margaret. (2018). Jailangkung: Indonesian spirit-basket divination. In Oxford Handbook of Religion Online (pp. 1-28). New York: Oxford University Press. Available at: https://ink.library.smu.edu.sg/soss_research/2834 This Book Chapter is brought to you for free and open access by the School of Social Sciences at Institutional Knowledge at Singapore Management University. It has been accepted for inclusion in Research Collection School of Social Sciences by an authorized administrator of Institutional Knowledge at Singapore Management University. For more information, please email [email protected]. Jailangkung: Indonesian Spirit-Basket Divination Oxford Handbooks Online Jailangkung: Indonesian Spirit-Basket Divination Margaret Chan Subject: Religion, Ritual and Performance Online Publication Date: Sep 2018 DOI: 10.1093/oxfordhb/9780199935420.013.69 Abstract and Keywords Chinese spirit-basket divination, which dates to the fifth century, would have been lost to the world had it not been reincarnated as Indonesian jailangkung. The term is the homophonic rendition of the Chinese cai lan gong [菜篮公, vegetable basket deity] and unambiguously links the Indonesian practice with the Chinese. Contemporary Chinese divinatory methods have replaced the clumsy basket planchette with the handier triforked branch or a pen held in the medium’s hand, but a spirit basket still features in jailangkung and remains the key element in involutions of the prototype.
    [Show full text]
  • Aliran Kepercayaan & Kebatinan
    ALIRAN KEPERCAYAAN & KEBATINAN: Membaca Tradisi dan Budaya Sinkretis Masyarakat Jawa Oleh : Jarman Arroisi Dosen Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UNIDA Universitas Darussalam Gontor Ponorogo Email: [email protected] Abstrak Tradisi dan budaya sinkretis dalam masyarakat Jawa merupakan khazanah warisan lama agama asli Indonesia (animesme dan dinamesme) dan agama Hindu yang kemudian menyatu dengan nilai-nilai ke-Islaman. Menyatunya beberapa nilai tersebut, bukanlah berlangsung secara tiba- tiba, melainkan adanya unsure kesengajaan yang dilakukan oleh para da‟i untuk memasukkan nilai-nilai ke-Islaman, kedalam agama asli Jawa itu. Pada saat itu, para da‟i enggan menolak secara tegas tradisi dan budaya local dan juga tidak percaya diri untuk menyebarkan ajaran Islam yang asli secara langsung. Para da‟i lebih memilih jalan damai ketimbang harus bersikeras melawan arus tradisi dan budaya yang ada. Hasilanya, tidak dipungkiri, bahwa dengan kelenturan sikap tersebut, terbukti Islam secara cepat tersebar keseluruh pelosok tanah Jawa dan Indonesia secara umum. Namun yang perlu dicatat adalah Islam yang dikenalkan dan masuk ke Indonesia dan lebih khusus ke masyarakat Jawa saat itu hingga sekarang ini, merupakan Islam yang memiliki kepribadian ganda. Kendati masyarakat Jawa telah beragama Islam dan menjalankan syariatnya, akan tetapi pada saat yang sama mereka juga tidak mampu meninggalkan kebiasaan lamanya, seperti selamatan yang diwariskan oleh agama Hindu, bahkan mereka tetap semangat menguri-uri tradisi dan budaya lamanya itu hingga saat ini. Sinkretisme, akhirnya tak dapat dihindari, bahkan masih tetap berjalan sampai saat ini. Yang lebih memprihatinkan lagi, ada sebagian mereka yang dengan sengaja memprakarsai dan menghidupkan kembali tradisi sinkretis itu, dengan dalih menggali potensi tradisi dan budaya bumi pertiwi untuk meningkatkan nilai wisata religi, meskipun sesungguhnya nilai komersialnya jauh lebih tingi.
    [Show full text]
  • Kawistara, Vol. 2, No. 2, 17 Agustus 2012: 121-139
    Kawistara, Vol. 2, No. 2, 17 Agustus 2012: 121-139 INTRODUCTION In the Indonesian context, some would A mid-sixteenth century law text mindlessly say that “agama” refers to the from Java was labeled The agama. In their six “official” religions of Islam, Catholicism, study, M.C. Hoadley and M.B. Hooker Protestantism, Hinduism, Buddhism and refer to “agama” as “traditional learning Confucianism and in the same breath (overgelevered leer) which could apply consider “agama” to be the equivalent in equally to any law book”, drawing particularly meaning to “religion” in general. Although upon Hindu law following J. C. G. Jonker’s we may be able to analyze “agama” in argument (Hoadley and Hooker, 1981: 57- terms of other concepts, such as Judaism or 58). In this regard, “agama” is generally communism, the use of “agama” implies understood as a body of prescriptions. The that all Indonesians acknowledge and accept meaning of “agama” shifted and there was its official meaning, whether they belong to already a binary relationship between the these six formalized religions or not. Such a concepts of “agama” and “adat”: “agama” circumstance cries out for an explanation. here refers to a ‘unified’ Javanese Court legal In the past, to say that something was prescription as opposed to the diverse “adat” “agama” was not there simply to be found; of local peripheries. This reasonable first crack the word “agama” does not occur in all would soon give way to the triadic sphere ethnic societies in Indonesia. There is barely of “agama”, “adat” and “kepercayaan” a vocabulary available in great numbers of discussed later.
    [Show full text]
  • Plagiarism Checker X Originality Report Similarity Found: 7%
    Plagiarism Checker X Originality Report Similarity Found: 7% Date: Sunday, April 26, 2020 Statistics: 4606 words Plagiarized / 65308 Total words Remarks: Low Plagiarism Detected - Your Document needs Optional Improvement. ------------------------------------------------------------------------------------------- VEDANTA & METODE PEMAHAMAN FILSAFAT HINDU Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Penerbit PÀRAMITA Surabaya VEDANTA & METODE PEMAHAMAN FILSAFAT HINDU Oleh: Ni Kadek Surpi Aryadharma Katalog Dalam Terbitan (KDT) Surabaya: Pàramita, 2019 xvi+288 hal ; 155 mm x 235 mm ISBN: 978-602-204-699-8 Penerbit & Percetakan : “PÀRAMITA” Email: info@penerbitparamita. com http://www. penerbitparamita. com Jl. Menanggal III No. 32Telp. (031) 8295555, 8295500 Surabaya 60234 Fax : (031) 8295555 Pemasaran “PÀRAMITA” Jl. Letda Made Putra 16BTelp. (0361) 226445, 8424209 DenpasarFax : (0361) 226445 Cetakan 2019 Penerjemah : Ni Kadek Surpi Aryadharma Layout : Agung Surya Cover : Hasan VEDANTA & METODE PEMAHAMAN FILSAFAT HINDU VEDANTA & METODE PEMAHAMAN FILSAFAT HINDU v KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT HINDU Jln.
    [Show full text]
  • 1 Pengaruh Agama Dan Kepercayaan (Sekte)
    1 PENGARUH AGAMA DAN KEPERCAYAAN (SEKTE) TERHADAP POLA PIKIR MASYARAKAT, DALAM PENGUNGKAPAN SISTEM DESA TENGANAN Oleh: I Wayan Runa Dosen Fakultas Teknik Jurusan Teknik Arsitektur Unwar ABSTRAK Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui hubungan antara agama dan kepercayaan masyarakat dengan pembentukan sistem desa Tenganan Pagringsingan. Analisis data dilakukan secara deskriptif melalui “perbandingan” antara data sekunder dengan data primer (fisik dan non fisik). Dibandingkan dengan desa-desa lain, perbedaan yang terdapat pada kehidupan agama Hindu di desa Tenganan meliputi jenis upacara, waktu pelaksanaan upacara, jenis tarian, sistem penguburan mayat dan bentuk bangunan suci. Perbedaan itu dapat terjadi karena adanya berbagai aliran (kepercayaan) yang mempengaruhi pelaksanaan agama Hindu pada desa-desa di Bali. Faktor yang menimbulkan perbedaan adalah adanya kepercayaan kepada Dewa Indra sebagai Dewa perang, Dewa keindahan/tarian, Dewa hujan dan Dewa tertinggi atau terpopuler di antara Dewa-dewa Hindu yang lain. Kata kunci: Hindu dan Indra. I. LATARBELAKANG Bagi masyarakat Indonesia umumnya dan Bali khususnya, konsepsi alam pikiran prasejarah merupakan landasan yang kuat bagi perkembangan agama Hindu selanjutnya. Pada masa bercocok tanam mulai berkembang tradisi penghormatan kepada roh nenek moyang atau orang tua yang menjadi pemimpin. Juga telah berkembang kepercayaan bahwa kehidupan setelah meninggal akan berpengaruh terhadap kehidupan di dunia ini. Berdasarkan kepercayaan itu, maka orang yang meninggal diberikan perawatan yang baik disertai upacara penguburan dan diberi bekal kubur. Gunung dianggap merupakan tempat tinggal roh leluhur, hal ini terbukti dengan letak kepala sarkofagus selalu mengarah ke gunung yang terdekat. Untuk roh nenek moyang biasanya dibuatkan bangunan yang disebut menhir dan umumnya berdiri di atas bangunan teras piramida. Berdasarkan bukti-bukti arkeologi, perkembangan agama Hindu di Bali merupakan kelanjutan dari perkembangan agama Hindu di Kalimantan Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
    [Show full text]
  • Plagiarism Checker X Originality Report Similarity Found: 24%
    Plagiarism Checker X Originality Report Similarity Found: 24% Date: Rabu, Desember 30, 2019 Statistics: 25094 words Plagiarized / 6022 Total words Remarks: High Plagiarism Detected - Your Document needs Critical Improvement. ------------------------------------------------------------------------------------------- i MANUNGGALING KAWULA GUSTI DALAM SERAT WEDATAMA (SEBUAH KAJIAN THEOLOGI) Oleh : Dr. Drs. Marsono, M.Pd.H ii MANUNGGALING KAWULA GUSTI DALAM SERAT WEDATAMA (SEBUAH KAJIAN THEOLOGI) Penulis: Dr. Drs. Marsono, M.Pd.H Editor : Dr. I Ketut Sudarsana, S.Ag., M.Pd.H. PENERBIT : Jayapangus Press REDAKSI : Jl. Ratna No.51 Denpasar - BALI Telp. (0361) 226656 Fax. (0361) 226656 http://jayapanguspress.org Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN : 978-602-51483-1-6 iii KATA PENGANTAR Om Swastyastu Dengan rasa angayubagia kehadapan Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia dan rahmatNya, maka penyusunan buku yang berjudul “Manunggaling Kawula Gusti Dalam Serat Wedatama (Sebuah Kajian Theologi)” dapat terselesaikan dengan baik. Serat Wedatama mengandung nilai-nilai yang luhur sebagai tuntunan susila disamping sebagai tuntunan hidup, menjadikan karya sastra tersebut bertahan terus hingga saaat ini. Kehebatan bertahan sebuah karya sastra menunjukan hebatnya pengarang dibalik karya besar tersebut. Kajian theologi Serat Wedatama memberikan pemahaman dasar bahwa seorang manusia bisa memahami makna kehidupan ini, dan menjalani roda perputaran kehidupannya dengan penuh makna pula. Setiap detik yang berlalu dalam hidupnya, selalu bermakna, tidak ada kesia-siaan. Karena manusia dilahirkan kedunia ini, pasti dengan tujuan yang mulia pula, bukan sekedar iseng belaka. Kesadaran akan kelahiran berarti kesadaran akan tujuan hidup lahir kedunia. Tujuan hidup yang sesungguhnya akan dapat iv dicapai melalui implementasi nilai-nilai luhur. Nilai luhur itulah yang bias digunakan untuk menata kehidupan ini sehingga perubahan menuju penyeimbangan antara pemenuhan spiritual dan jasmani tercapai.
    [Show full text]
  • Indonesia 2019 International Religious Freedom Report
    INDONESIA 2019 INTERNATIONAL RELIGIOUS FREEDOM REPORT Executive Summary The constitution guarantees freedom of religion and the right to worship according to one’s own beliefs but states citizens must accept restrictions established by law to protect the rights of others and, as noted in the constitution, to satisfy “just demands based upon considerations of morality, religious values, security, and public order in a democratic society.” Individuals continued to be detained and received prison sentences of up to five years for violations of blasphemy laws. One man was detained for reading the Quran disrespectfully in an online video. In Aceh Province, authorities continued to carry out public canings for sharia violations, such as selling alcohol, gambling, and extramarital affairs, including one Buddhist man who accepted caning in lieu of imprisonment. Some local governments imposed local laws and regulations restricting religious observance, such as local regulations banning Shia or Ahmadi Islamic practice. In August authorities took action against two Pentecostal churches, revoking a permit for one and stopping worship activities for another. The Jakarta Prosecutor’s Office continued to use a smartphone app called Smart Pakem allowing citizens to file heresy or blasphemy reports against groups with what the government considered unofficial or unorthodox religious practices. Religious groups outside the six government-recognized religions (Catholicism, Protestantism, Hinduism, Buddhism, Confucianism, and Islam, the latter widely interpreted by the government and society to mean Sunni Islam), again reported problems with identifying their religion on their national identification cards (KTPs), although a 2017 Constitutional Court ruling allows for such a listing. Adherents of indigenous faiths cannot enter their specific names, however, because there are too many.
    [Show full text]
  • Indonesia: East Java Native Religion Called Aliran Kepercayaan Or
    Home > Research > Responses to Information Requests RESPONSES TO INFORMATION REQUESTS (RIRs) New Search | About RIR's | Help 08 June 2004 IDN42665.E Indonesia: East Java native religion called Aliran Kepercayaan or Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, aka Pangistu; its status and treatment of its members by Muslim fundamentalists (2003-June 2004) Research Directorate, Immigration and Refugee Board, Ottawa According to the International Religious Freedom Report 2003 (IRFR 2003 ), while they make up less that 0.6 per cent of the population, a number of Indonesians in Java, Kalimantan, and Papua follow traditional faith practices commonly referred to as Aliran Kepercayaan (18 Dec. 2003, Sec. I). Moreover, the IRFR 2003 described Kepercayaan as an animistic meditation-based spiritual path, as opposed to a religion, many followers of which are also adherents of one of the five major faiths-Islam, Catholicism, Protestantism, Hinduism, and Buddhism- sanctioned by the Ministry of Religious Affairs (18 Dec. 2003, Sec. I). Nevertheless, while the government allows Kepercayaan followers to practice their faith, they are required to register their faith with the Department of National Education housed within the Ministry of Education (IRFR 2003 18 Dec. 2003, Sec. II). Muhamad Ali, an academic and author based at the Syarif Hidayatullah State Islamic University (UIN) in Jakarta, stated, in a November 2003 Jakarta Post news article, that in addition to the five official religions, the practice of Aliran Kepercayaan is also recognized by the national government (28 Nov. 2003). While Ali noted that a citizen's religious affiliation should be indicated on their National Identity Card (KTP), the author was unclear as to whether Kepercayaan followers would have their tradition-based religion officially recognized when applying for a KTP (Jakarta Post 28 Nov.
    [Show full text]
  • Humanisme Kejawèn
    Bab Empat Humanisme Kejawèn Ditinggalkannya budaya Jawa justru oleh sebagian besar masyarakat Jawa, seperti diuraikan dalam Bab Tiga, menim- bulkan pertanyaan apakah tidak ada potensi Jawa yang dapat dikembangkan untuk menangkal arus global? Apakah budaya Jawa akan hilang tergerus oleh pengaruh budaya dari luar? Bab Empat ini berusaha menguraikan potensi Jawa yang dapat dikembangkan, yaitu kejawèn dan humanisme kejawèn, untuk menangkal globalisasi yang merupakan “anak kandung” hu- manisme Barat. Secara hipotesis, kalau kejawèn dan humanisme kejawèn dapat dibangkitkan, menjadi pandangan hidup, maka manusia Jawa akan menemukan kembali jatidiri, memiliki kepercayaan diri terhadap budayanya sendiri, dan hal itu akan menjadi modal untuk menghadapi arus global. Sebagai sistem berpikir, kejawèn merupakan penjabaran tunggal (singularly elaborate), mengungkapkan kosmologi, mi- tologi, esensi konsep-konsep mistik, dan sejenisnya; sistem gagasan mengenai alam manusia dan masyarakat, mencakup etika-etika, kebiasaan-kebiasaan, dan gaya hidup, melingkupi pemaknaan alam semesta, interpretasi tentang kehidupan. Kejawèn dipahami sebagai pandangan hidup manusia Jawa, 91 Jawa Menyiasati Globalisasi implementasi kebudayaan Jawa yang juga disebut sebagai “agami jawi.” (Niels Mulder, 2005:16-17, Geertz, 2000). Kejawèn adalah segala naluri (tradisi atau perbuatan yang sudah lazim dijalankan) atau adat-istiadat leluhur Jawa yang tidak termasuk ajaran Islam. Penyebutan kejawèn itu bertujuan untuk melepaskan diri dari hukum Islam, namun tidak dima- sukkan ke dalam hukum agama Hindu-Buddha atau kepercaya- an animisme (Kamil Kartapradja, 1990:59). Bagi orang Jawa, hakikat kejawèn adalah kebatinan, yaitu mistisisme, atau secara literal adalah “ilmu tentang sesuatu yang berada di dalam batin.” Salah satu tradisi kejawèn yang berkaitan dengan keyakinan mengenai ketuhanan, peribadatan, keakhiratan, dan sejenisnya yang bersangkutan dengan akidah atau keimanan di luar Islam, disebut kebatinan.
    [Show full text]
  • Skripsi Perlindungan Aliran Kepercayaan Dalam
    IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PERLINDUNGAN ALIRAN KEPERCAYAAN DALAM ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 97/PUU-XIV/2016 ) Oleh : MEGAMENDUNG DANANG PRANSEFI NIM. 031211133114 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA 2019 SKRIPSI PERLINDUNGAN ALIRAN KEPERCAYAAN…. MEGAMENDUNG DANANG PRANSEFI IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PERLINDUNGAN ALIRAN KEPERCAYAAN…. MEGAMENDUNG DANANG PRANSEFI IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PERLINDUNGAN ALIRAN KEPERCAYAAN…. MEGAMENDUNG DANANG PRANSEFI IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA MOTTO “EVERYTHING GONNA BE ALL RIGHT” iv SKRIPSI PERLINDUNGAN ALIRAN KEPERCAYAAN…. MEGAMENDUNG DANANG PRANSEFI IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI PERLINDUNGAN ALIRAN KEPERCAYAAN…. MEGAMENDUNG DANANG PRANSEFI IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan masa perkuliahan dan menyelesaikan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Dengan segala syukur, penulis telah mendapatkan kesehatan, kekuatan, dan ketabahan dari yang Maha Kuasa sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Perlindungan Aliran Kepercayaan Dalam Administrasi Kependudukan (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016)”. Penulis menyadari bahwa, tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan
    [Show full text]