Pustaka Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
PUSTAKA JURNAL ILMU-ILMU BUDAYA Diterbitkan oleh: Yayasan Guna Widya Fakultas Sastra Unud KEBANGKITAN UMAX HINDU DIDESA SENDURO KABUPATEN LUMAJANG I Ketut Cede Harsana UPT. MKU UNUD Abastract: Hindu renaissance at Senduro village is a very interesting phenomena to examine because there lias happened an intensive social interaction between the hindu people from Java, particularly those from Senduro village, Lumajang Regency, and the hindu people from Bali. Before the hindus of Senduro received any influence from those from Bali, the ancestors of the Lumajang people embraced a belief called Jowo Sanyoto, a certain sect within Hinduism. This hinduistic Jowo Sanyoto was developing well until the break of the Communist G 30 S/ PKI coup de'tat, and when the New Order Regime was in power it was suggested that the people in Lumajang embrace the existing religion around Lumajang area. However, because they were strongly under pressure of the followers of non hindu religion as well as of the government bureaucracy, two of the prominent folowers of the Jowo Sunyoto converted themselves into followers of Hindu Religion following the religious teaching introduced by two Balinese figures who happened to occupy civil officer positions at Lumajang. Many obstacles were faced by the hindus of Lumajang which, however, did not at all affect their determinitation to practice the teaching of Hindu Religion. Keywords: Hinduism,development, and Lumajang 1. Pendahuluan Kebangkitan agama sesungguhnya bukan saja terjadi pada agama Hindu, melainkan juga terjadi pada agama-agama lain. Dalam sejarah perkembangan agama-agama besar di dunia dapat diketahui bahwa agama-agama besar tersebut mengalami kebangkitan karena dianggap menyimpang dari ajaran aslinya (kitab- kitab suci mereka) akibat pengaruh perkembangan masyarakat pendukungnya. Misalnya, kebangkitan agama Kristen pada abad ke-16 telah melahirkan perpecahan pada agama Kristen sehingga menjadi agama Kristen Katolik dan agama Kristen Protestan (Sou'yb, 1983: 51-53; Smith, 1985: 22-24) dan masing- masing pecahan ini terpecah-pecah lagi menjadi beberapa sekte. Demikian juga dengan agama Islam, khususnya di Jawa mengalami kebangkitan yang melahirkan dua kubu yang saling bertentangan, yaitu: agama islam tradisional yang diwakili Nahdatul Ulama (NU) dan agama Islam Modern yang diwakili oleh Muhammadyah. Selanjutnya, antara kedua aliran agama ini sering timbul perbedaan pendapat bahkarrberlanjut ke dalam konflik politik, baik sebelum kemerdekaan maupun sesqdah kemerdekaan (Geertz, 1977:19-23; Nasikum, 1984: 101—102; Noer, 1979f2001-203). Gejala yang sama terjadi pula pada agama Hindu di Pulau Jawa. Dalam hal ini kebangkitan agama Hindu ditandai dengan munculnya pusat-pusat "olah kebatinan Hindu" sesuai dengan hakikat budaya Jawa, yang kemudian mereka menyebutnya dengan aliran kebatinan. Aliran kebatinan tersebut sebagai bagian dari budaya nenek moyangnya yang disebut "agama Jawi". Agama Jawi atau 209 PUSTAKA Volume VIII, NO. 2 Agustus 2008 Kejawen adalah suatu kompleks keyakinan yang di dalamnya mengandung suatu konsep Hindu-Budha. Konsep ini cenderung ke arah mistik dan bercampur menjadi satu sehingga diakui sebagai agama Islam. Varian yang lain, meskipun tidak bebas dari unsur Hindu-Budha, tetapi lebih dekat dengan dogma-dogma ajaran Islam yang disebut agama Islam Santri. Varian agama Kejawen ini kelihatannya lebih dominan berkembang di daerah-daerah Negarigung di JawaTengah (sekarang Daerah Keresidenan Surakarta dan daerah istimewa Yogyakafta). Selanjutnya, varian agama Islam Santri lebih dominan di daerah Banyumas dan daerah pesisir Surabaya, daerah pantai utara Jawa, serta daerah- daerah pedesaan di lembah Sungai Solo dan Sungai Bejantas. Namun tidak ada daerah khusus yang membatasi daerah tempat tinggal para penganut dari kedua varian tersebut (Koentjaraninggrat, 1994: 310-313). Kebangkitan umat Hindu di Jawa khususnya di daerah Lumajang membuktikan bahwa perkembangan agama Hindu sebagai warisan Majapahit (wong Majapahit) yang dahulu nenek moyang mereka dari Majapahit dan melarikan diri ke Tengger, kemudian menurunkan anak cucunya, termasuk di Desa Senduro Kabupaten Lumajang. Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu Bali ke daerah Lumajang, leluhur masyarakat Lumajang memeluk suatu aliran kepercayaan, yakni aliran kepercayaan Jowo Sanyoto. Aliran ini merupakan aliran kepercayaan Hindu Majapahit. Aliran kepercayaan Hindu-Majapahit ini merupakan aliran kepercayaan yang berorientasi pada kepercayaan Hindu-Jawa yang sering disebut Kejawen. Aliran kepercayaan ifli berkembang hingga meletusnya pemberontakan G-30.S/PKI disusul dengan peraturan pemerintah Orde Bam yang menyarankan agar setiap warga di daerah Lumajang memeluk agama yang ada di sekitar daerah Lumajang. Pada saat itu, tokoh-tokoh aliran Hindu Jowo Sanyoto merasa tidak cocok dengan agama yang ada di Lumajang. Pada tahun 1969 ada dua orang pejabat yang berasal dari Bali. Mereka bertugas sebagai pegawai negeri sipil. Dari hasil pembicaraan dengan para tokoh aliran kepercayaan mereka merasa bahwa ada kecocokan dengan praktik agama Hindu yang dijalankan kedua putra Bali itu. Mulai saat itu terjadilah pergeseran dari praktik aliran Hindu Jowo Sanyoto ke praktik agama Hindu., Mereka yang merasa mewarisi tradisi kebudayaan Hindu di Jawa dan meminta kepada kedua pejabat yang berasal dari Bali tersebut untuk mengenalkan dasar-dasar agama Hindu (tatwa, susila dan upacard). Akhirnya, terjadilah penyebaran agama Hindu yang disesuaikan dengan model Jawa dengan tetap mempertahankan dasar kepercayaan mereka menurut leluhumya, disertai dengan bimbingan mengenal dasar-dasar agama Hindu. Selain memperkenalkan hari raya keagamaan, kedua putra Bali tersebut juga memberi petunjuk cara-cara melakukan persembahyangan (wawancara dengan Djumadi, tanggal 13 Juni 2003). Sebagaimana diketahui bahwa kebangkitan Agama Hindu di daerah Lumajang dapat dilihat pada tahun 1974 yakni dari peri ode melebumya kepercayaan Hindu Jowo Sanyoto yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di Jawa dengan kedua masyarakat Bali yang ada di daerah Lumajang. Kebangkitan ini tidak hanya pada masyarakat di Desa Senduro yang semula berjumlah 30 KK, tetapi juga meluas ke Desa-Desa lain, seperti: Desa Aryosari, Wonoayu, Wonocempoko, Kandangan, Kandang Tepus, Bedayu, Bedayu Talang, Ribumo, 210 Kebangkitan Umat Hindu Didesa Senduro Kabupaten Lumajang I Ketut Cede Harsana Sari Kemuning, sampai ke Desa Pandan Sari. Masuknya agama Hindu di daerah Lumajang tidak berjalan mulus karena adanya hambatan yang datangnya dari warga non-Hindu. Hambatan tersebut antara lain yakni pada awal dekade 1970-an ada rumah umat Hindu hampir roboh didorong umat lain, pada waktu itu umat Hindu sedang melakukan pesantian. Pada tahun 1974 pemah pula terjadi yakni ada umat Hindu saat meninggal tidak diijinkan mengubur di kuburan umum, akhimya mereka mengubur di pekarangan rumah. Tantangan berat masuknya Hindu di daerah Lumajang juga tidak menyurutkan tekad umat di Senduro, bahkan masyarakat di sana bertekad memiliki tempat ibadah. Selama ini umat Hindu di daerah Lumajang hanya bersembahyang dari rumah ke rumah secara bergiliran, sampai akhirnya dibangun Sanggar Pamujon pada tahun 1976 ( Lihat Lampiran 4, foto Nomer 1). Sanggar Pamujon ini merupakan "warisan" aliran kepercayaan Hindu Jowo Sanyoto yang kemudian diadaftasikan dengan agama Hindu dan berfungsi sebagai tempat persembahyangan, pertemuan, dan dharma wacana. Sanggar dibangun berdasarkan iuran umat sedesa. Luas bangunan hanya 8x4 meter, bahan bangunan masih sangat murah ketika itu. Sanggar Pamujon dipakai sebagai tempat persembahyangan setiap Tilem/purnama, hari raya Nyepi, Saraswati, dan sebagainya. Selain sebagai tempat persembahyangan, Sanggar Pamujon juga sebagai tempat pesamuan setiap pekan sampai sekarang. Sanggar Pamujon ini sebagian dikelola oleh perorangan di pekarangan rumahnya dengan biaya swadaya. Sejak dibangunnya Pura Mandaragiri Semeru Agung pada tahun 1980-an atas prakarsa masyarakat Hindu-Jawa dan dibantu oleh masyarakat Hindu Bali suasana keagamaan mulai membaik. Warga non-Hindu di seputar Pura Mandaragiri Semeru Agung mau menerima keberadaan umat Hindu karena dengan dibangunnya. pura tersebut umat non-Hindu diuntungkah secara ekonom keuntungan yang dirasakan oleh umat non-Hindu secara ekonomi yaitu dengan kedatangan Hindu dari luar Pulau Jawa, terutama dari Bali ke daerah Lumajang dengan mengadakan persembahyangan. Para mengunjung ini tentunya memerlukan tempat peristirahatan atau penginapan. Dengan demikian umat Non-hindu mendapatkan rejeki dengan membuka tempat penginapan. Dengan berdirinya Pura di Kabupaten Lumajang, sekarang terwujudlah cita-cita umat Hindu di kabu memiliki tempat pemujaan dan persembahyangan, Pura Mandaragiri Agung. Bahkan, kalau dibandingkan dengan pura-pura yang berada pura tersebut merupakan yang termegah. Di samping itu, sejak dibangunnya Mandaragiri Semeru Agung umat Hindu di Kabupaten Lumjanag Kecamatan Senduro dan sekitarnya pada hari-hari besar dan hari suci keagamaan, seperti hari raya Galungan dan Kuningan, hari raya Nyepi, hari Saraswati Puja, Siwaratri, tidak lagi melakukan persembahyangan dan pemujaai rumah tangga (sanggar pemujon), tetapi sudah di tempat persembahyangan umum, yakni Pura Mandaragiri Semeru Agung 211 PUSTAKA Volume VIII, NO. 2 Agustus 2008 2. Pembahasan 2.1 Faktor Pendukung Faktor ini berasal dari keinginan masyarakat Hindu di Lumajang serta dorongan umat Hindu dari Bali. Kondisi ini memungkinkan terjadinya suatu era kebangkitan. Berdasarkan hasil wawancara kepada para pemeluk umat hindu era bermukim di