1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah

Maraknya kasus kejahatan di ini sudah sangat merajalela dimana-mana. Salah satu dari kejahatan tersebut adalah banyaknya kasus korupsi yang semakin menyebar seperti virus yang merusak moral masyarakat dan bangsa Indonesia. Sungguh disayangkan kasus korupsi yang terjadi sudah menjadi kebiasaan yang tak kunjung reda di negara ini.

Hal tersebut dapat dilihat di berbagai macam media, seperti di koran, TV, dan di berbagai macam media lainnya.

Masalah korupsi yang terjadi di Indonesia ini adalah korupsi birokrasi dan politik. Kepolisian, Parlemen, Peradilan, dan Partai Politik dipersepsikan korup oleh masyarakat. Pada skala 1-5 media mencapai 2,4, lembaga keagamaan; 2,7, lembaga masyarakat sipil; 2,8, militer; 3,1, jasa pendidikan;

3,2, jasa kesehatan; 3,3, pengusaha; 3,4, Pegawai Negri Sipil; 4,0, partai politik; 4,3, peradilan; 4,4, parlemen; 4,5 dan polisi mencapai 4,5. (Global

Corruption Barometer)

Masalah kasus korupsi ini semakin lama akan menghancurkan bangsa

Indonesia dan akan menyengsarakan kesejahteraan masyarakat Indonesia jika dibiarkan terus terjadi. Masyarakat pun sudah melihat sendiri banyaknya 2

koruptor yang tertangkap basah melakukan tindak korupsi antara lain adalah pejabat daerah, PNS, Mentri dan para petinggi lainnya.

Korupsi itu sendiri adalah kejahatan menyimpang yang paling membahayakan, karena korban dari korupsi ini adalah kebanyakan dari masyarakat kecil yang dirugikan, sehingga masih banyak rakyat Indonesia yang mengalami kemiskinan dan tidak mendapatkan layanan fasilitas yang memadai. Korupsi itu sendiri menurut KBBI adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang Negara (perusahan dsb) untuk kepentingan sendiri atau orang lain.

Definisi korupsi menurut Webster’s New Collegiate Dictionary korupsi merupakan dorongan untuk berbuat keliru karena suap atau sarana-sarana tidak sah atau tidak semestinya dan rusaknya kejujuran, keutamaan atau prinsip moral. Transparency International menyebutkan korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. (www.transparency.org)

Tertuang dalam peraturan perundang-undangan korupsi yang ada di

Indonesia definisi tindak pidana korupsi dijabarkan dalam tiga belas pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 yaitu setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, 3

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Dari penjelasan diatas, banyak beberapa contoh kasus korupsi yang terjadi, yang pertama yaitu dari kasus korupsi yang dilakukan oleh Ahmad

Jauhari yang melakukan proyek penggandaan Al-Quran tahun anggaran

2011 dan 2012 yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 27 miliar

(TEMPO.CO, /01/04/2015).

Kasus kedua kasus korupsi yang dilakukan anggota DPR, Iqbal Wibisono dari Partai Golkar yaitu kasus penyaluran dana bantuan sosial (Bansos) pada

Pemprov Jateng untuk daerah Wonosobo sebesar Rp 200 juta. Saat itu dia menjabat Sekretaris DPD Golkar Jateng (Liputan6.com, Jakarta/01/04/2015).

Kasus lain yang dilakukan anggota DPR dari PDIP yaitu Idham Samawi terkait dana hibah KONI untuk klub sepakbola Persiba Bantul sebesar Rp

12,5 juta. Kasus ini berawal dari laporan LPH tentang adanya dugaan penyimpangan dana hibah dan Bansos DPRD Yogyakarta 2012-

2013 sebesar Rp 181,5 miliar (Liputan6.com, Jakarta/01/04/2015) 4

Pada kasus yang serupa pada pegawai negeri sipil (PNS) yang menggunakan mobil dinas untuk kepentingan pribadi. Contohnya mobil dinas dipakai untuk mudik, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melarang Pegawai Negeri Sipil (PNS) mudik menggunakan mobil dinas, diapresiasi Pemprov DKI. Agar tidak ada pelanggaran terhadap aset negara untuk kepentingan pribadi tersebut (Jakarta, Sayangi.com/01/04/2015).

Parahnya kasus korupsi di suatu keluaga dilakukan oleh tiga tersangka

(kini terdakwa), DY (kini Sekda Lhokseumawe), RM (anak DY) dan AN (adik kandung DY). Dakwaan ketiganya dibacakan JPU di Pengadilan Tipikor

Banda karena mengajukan permohonan dana hibah pada Pemerintah

Aceh ingin membangun sport center dan kemudian terbongkar dana ini dipergunakan terdakwa untuk membayar hutang pribadinya. Diantaranya, Rp

100 juta untuk membayar uang pinjaman terdakwa DY kepada kepada drh.

Nuraini Maida, Rp 175 juta membayar utang istri terdakwa Yasmarita kepada

Faisal Matriadi terkait pembelian tanah di Blang Mangat

(Merdeka.com/01/04/2015).

Contoh kasus korupsi yang terakhir, seperti yang dapat kita ketahui, kasus korupsi yang sangat fenomenal dilakukan satu keluarga Ratu Atut dengan adiknya Tubagus Chaeri Wardana yang melakukan suap terhadap ketua MK Akil Mochtar (http://www.bbc.co.uk/01/04/2015). 5

Enam contoh kasus korupsi yang telah dipaparkan diatas sangatlah memprihatinkan, jika korupsi makin merajalela dan terus dibiarkan maka rusaklah bangsa Indonesia ini dan akan semakin menyengsarakan masyrakat kecil. Terlebih kasus korupsi ini akan merusak para penerus bangsa Indonesia yaitu para anak dan remaja yang seharusnya membangun negara Indonesia ini untuk lebih maju dan sejahtera.

Harapan yang ditujukan untuk penerus bangsa agar dapat memajukan kesejahteraan negara Indonesia ini juga perlu adanya dorongan dan dukungan dari keluarga terdekat selaku orang yang berperan penting dalam membentuk pribadi anak.

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Setia Untung Arimuladi juga mengatakan dalam workshop bertemakan ‘Peran Keluarga Dalam Mencegah

Tindak Pidana Korupsi’’, Selasa (28/10) di Kejati Riau. ‘’Orang yang paling bertanggung jawab dalam keluarga tentu kedua orangtua, ayah dan ibu.

Dalam konteks pendidikan antikorupsi, ini tanggung jawab penting dalam mendidik anak-anak dan keluarganya untuk terhindar dari korupsi”.(http://www.riaupos.co/56535/21/0602015)

Sehubungan merajalelanya kasus korupsi ini mendorong Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pencegahan dan tindakan antikorupsi yang tertera dalam Pasal 1 UU 30/2002, Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi yang didefinisikan sebagai serangkaian tindakan untuk 6

mencegah dan memberantas TPK melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan-penyidikan-penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan peran serta masyarakat.

Dari hasil penelitian kualitatif yang dilakukan KPK pada tahun 2012-2013 menemukan bahwa persepsi orangtua mengenai pendidikan antikorupsi itu sangat penting diberikan pada anak sejak dini karena keluarga (ayah dan ibu) memegang peranan penting dalam mendidik dan membentuk akhlak anak, namun banyak juga orangtua yang belum paham tentang pendidikan antikorupsi itu penting didalam keluarga, padahal mengenalkan prinsip kebaikan, kebenaran dan kesalehan hidup kepada anak juga menjadi tugas utama bagi orang tua. Orangtua juga hanya menganggap bahwa pendidikan agama sudah cukup ditanamkan pada anak, padahal jika orang tua mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan kejujuran pada anak sejak dini, maka saat anak tersebut mulai beranjak dewasa nilai-nilai tersebut akan terpatri dalam jiwa mereka. Dengan demikian keluarga turut andil dalam memberi warna budaya sebuah bangsa, termasuk di dalamnya adalah menciptakan budaya anti korupsi.

Selanjutnya KPK melakukan tindak pencegahan dengan memberikan intervensi di keluarga tepatnya di Kota Yogyakarta dengan membuat program

“Pembangunan Budaya Antikorupsi Berbasis Keluarga.” yang diadakannya sekolah relawan (SR) untuk para orangtua serta mahasiswa-mahasiswa yang 7

ikut berpartisipasi yang dilakukan di Kelurahan Prenggan Kecamatan

Kotagede Yogyakarta.

Alasan mengapa KPK membuat program pencegahan korupsi berbasis keluarga dikarenakan keluarga sebagai unit terkecil masyarakat, yang diharapkan menjadi inti gerakan sosial pemberantasan korupsi di Indonesia.

Keluarga dapat memengaruhi individu dan berperan signifikan membangun budaya antikorupsi, sehingga menjadi sandaran harapan, tuntutan, dan keinginan dari sistem sosial yang lebih besar.

Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Ukase dan Audu (2015), penelitian ini untuk mencoba menganalisis peran yang tak ternilai pada masyarakat sipil untuk memerangi korupsi dan penobatan demokrasi.

Pasukan masyarakat sipil Nigeria yang memiliki kinerja juga dieksplorasi dari waktu ke waktu yang menekankan kebutuhan untuk memperkuat dan membuat terobosan yang signifikan dalam memerangi korupsi dan penobatan demokrasi dan tata pemerintahan yang baik di republik keempat.

Tidak jauh berbeda pada penelitian yang dilakukan Suciptaningsih (2014) bahwa dalam menerapkan antikorupsi juga harus dilakukan pada kalangan siswa terutama dalam membudayakan perilaku anti korupsi. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan bahwa dampak pelaksanaan pendidikan anti korupsi bagi siswa SD adalah meningkatnya prestasi siswa baik di kelas maupun di luar kelas, sebab siswa terbiasa untuk bersikap baik, diantaranya 8

jujur, disiplin, peduli, berani, bertanggung jawab dan lain sebagainya.

Kesimpulannya adalah bahwa pelaksanaan pendidikan antikorupsi harus diinternalisasikan kepada siswa sejak usia dini agar terbiasa melakukan tindakan yang anti korup. Diperlukan keteladanan dari berbagai pihak agar hasilnya maksimal.

KPK melakukan terobosan dalam memerangi korupsi juga melalui keluarga karena keluarga juga merupakan pendukung kekuatan potensial generasi mendatang yang akan mengambil alih kepemimpinan negeri ini, dalam rangka mengawali gerakan sosial pada tahun 2012-2013 Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia melakukan baseline study menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif untuk memetakan kondisi keluarga di Kota Yogyakarta dan Kota Solo dan persepsi mereka terhadap korupsi. Hasil baseline study ini kemudian dijadikan acuan dalam penyusunan konsep intervensi Program Pembangunan Budaya Antikorupsi.

Infografik hasil penelitian berbasis keluarga yang telah dilakukan KPK memperoleh hasil yang pertama ialah hanya ada sekitar 50% keluarga yang mengetahui fungsi sosialisasi dan fungsi afeksi, 37% fungsi identitas sosial.

Bahkan terkait dengan fungsi utama terkait fungsi sosialisasi, hanya ada 4% saja ayah – ibu dalam keluarga yang menganggap bahwa fungsi sosialisasi merupakan fungsi utama dalam keluarga. Hasil yang kedua dari seluruh responden (Ayah, Ibu, anak), hanya 4.5% (ayah, ibu dan anak sama – sama 9

tahu) mengetahui peran ayah dan ibu sebagai pendidik. Sebesar 45% responden mengatakan jika Ayah dan Ibu mengetahui peran penting Ayah dan Ibu sebagai pendidik namun anak hanya mengetahui peran Ibu sebagai pendidik. Mayoritas anak merasa bahwa hanya ibu yang berperan sebagai pendidik. Karena anak menganggap ayah berperan sebagai pencari nafkah.

Hal ini dikarenakan anak hanya merasa bahwa yang mendidik adalah ibunya karena anak memiliki hubungan emosional dan intensitas pertemuan yang tinggi dengan ibunya pada umumnya.

Hasil yang ketiga diperoleh nilai kejujuran merupakan nilai terbesar kedua yang diinternalisasi oleh orangtua (ayah dan ibu) terhadap anak. Hal ini terbukti dikonfirmasi kembali oleh anak. Meskipun demikian, dari sisi sinergi lebih dari 40% keluarga yang sama-sama tidak menerapkan nilai kejujuran untuk diinternalisasi. Hanya 4% keluarga yang sama-sama menerapkan nilai kejujuran untuk diinternalisasi. Ayah dan ibu di kota Solo menginternalisasi kejujuran sebagai nilai utama kemudian nilai sholeh/shalehah menjadi nilai kedua.

Hasil yang keempat kejujuran lebih dominan dimaknai dengan perkataan/lisan, belum sampai pada tindakan. Belum ada pemahaman mengenai hubungan antara ketidakjujuran dengan tindakan/perbuatan korupsi. Tidak bisa langsung dihubungkan. Anak berbuat tidak jujur karena takut dimarahi orangtua. 10

Pada hasil yang kelima kesuksesan dikaitkan dengan aspek materi; mandiri , berhasil dalam pendidikan, berhasil dalam cita. Masyarakat modern dan materialistis. Belum dikaitkan dengan nilai yang tertanam di diri anak dan lebih kepada output yang bersifat fisik. Kemudian hasil yang terakhir ialah

Masyarakat belum bisa membayangkan dengan jelas bagaimana gambaran negeri ini tanpa korupsi. Maka berdasarkan hasil kajian tersebut, KPK menyusun strategi intervensi Program Pembangunan Budaya Antikorupsi

Berbasis Keluarga.

Sasaran utama KPK melakukan intervensi pada keluarga ialah anak berusia 4-9 tahun, maka dengan diterapkan program “Pembangunan Budaya

Antikorupsi Berbasis Keluarga” oleh KPK untuk keluarga Kelurahan

Prenggan, diharapan intervensi yang dilakukan oleh KPK ini, khususnya orangtua dapat menerapakan nilai-nilai antikorupsi pada anak.

Pada penjelasan diatas yang terkait persepsi orangtua tentang pendidikan antikorupsi, bahwa orangtua sangat berperan penting dalam mendidik anak tentang pendidikan antikorupsi. Hal tersebut yang akan mengantisipasi anak dalam berperilaku tindak korupsi, maka KPK membuat program intervensi di keluarga khususnya orangtua guna menerapkan nilai-nilai antikorupsi pada anak.

Dalam menerapkan intervensi ada tiga aspek yang harus dicapai oleh para orangtua untuk mengukur keberhasilan intervensi tersebut kepada anak, 11

apabila hanya satu aspek yang memenuhi syarat maka intervensi yang dilberikan oleh KPK dikatakan belum berhasil apabila dalam suatu keluarga belum mancapai tiga komponen.

Tiga komponen penting yang digunakan oleh tim KPK adalah menurut

Thomas Lickona (2012), yang meliputi moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral) dan moral action (perbuatan bermoral). Keberhasilan intervensi tersebut dapat tercapai apabila memenuhi tiga komponen tersebut, dimana anak akan berprilaku secara kontinu agar dapat mempengaruhi teman-teman sebayanya untuk berprilaku anti korupsi.

Peneliti menggunakan teori taksonomi bloom sebagai indikator pertanyaan dalam melihat persepsi hasil pendidikan antikorupsi pada anak sesuai dengan jurnal penelitian yang dilakukan oleh Ahmed, dkk (2011) bahwa sangat penting disediakan instruktur dengan dukungan dan fungsi dari alat pengembangan instrumen penilaian yang akan memfasilitasi mereka dalam menyusun pertanyaan yang tepat dengan tetap melihat jumlah waktu yang digunakan untuk berbagai kegiatan belajar yang terkait dengan CLO

(course learning outcome) tertentu atau domain kognitif. Sistem yang diusulkan di sini telah ditemukan untuk berguna bagi instruktur dalam mengembangkan dan menghasilkan taksonomi bloom formatif sesuai dan instrumen penilaian sumatif. 12

Peneliti mengambil tema yang merajuk pada persepsi dan menggunakan ranah dalam taksonomi bloom karena sangat menarik untuk dipakai yang menyangkut persepsi orangtua dalam memberikan pendidkan antikorupsi pada anak yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Pada masalah yang ada tidak sedikit orangtua yang berpersepsi bahwa pendidikan antikorupsi tidaklah penting, karena menurut mereka pendidikan agama sudah cukup untuk pendidikan anak seperti yang dikatakan dalam penelitian yang dilakukan oleh tim KPK hanya 4% keluarga yang menginternalisasi nilai kejujuran dan selebihnya tidak. Kemudian setelah KPK membentuk piloting project antikorupsi berbasis keluarga dan orangtua diberikan intervensi oleh

KPK, peneliti ingin mengetahui apa persepsi orangtua terhadap hasil pendidikan antikorupsi yang telah diberikan kepada anak.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Persepsi Orangtua Terhadap Hasil Pendidikan

Antikorupsi Yang Telah Diberikan Kepada Anak” yang telah mendapatkan intervensi tentang pembangunan budaya antikorupsi berbasis keluarga dari

KPK pada tahun 2012-2013.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang disajikan diatas, maka masalah yang ingin dijawab adalah untuk mengetahui persepsi orangtua terhadap hasil pendidikan antikorupsi yang telah diberikan kepada anak. 13

C. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sudah cukup banyak dilakukan, namun belum ada penelitian yang meneliti “Persepsi Orangtua

Terhadap Hasil Pendidikan Antikorupsi Yang Telah Diberikan Kepada Anak

Ditinjau Dari Taksonomi Bloom”. Berikut ini beberapa penelitian yang membuktikan hal masing-masing penelitian sebelumnya sebelumnya menunjukan adanya kesamaan dan perbedaan dengan penlitian yang dilakukan oleh peneliti : a. Penelitian yang dilakukan oleh Putranto (2014). Berjudul Konsep

Pendidikan Antikorupsi Untuk Anak SD Perspektif Pendidikan Agama

Islam. Penelitian ini merupakan penelitian kulaitatif, dengan objek material

penelitian kepustakaan dengan sumber primer penelitian yaitu modul

Pendidikan Nilai-nilai Antikorupsi Untuk Sekolah Dasar yang dirumuskan

oleh KPK bekerjasama dengan Kemendikbud. Pada penelitian ini sama-

sama menggunakan penelitian kualittatif dan meliputi pendidikan nilai-nilai

antikorupsi yang dilakukan oleh KPK, yang membedakan pada penelitian

adalah pada pelaksanaan dan sasaran subjek. b. Penelitian yang dilakukan oleh Nurkasanah (2013). Berjudul Nilai-nilai

Pendidikan Antikorupsi Dalam Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di

SMA Negeri 1 Kasihan Bantul. Pada penelitian ini merupakan penelitian

kualitatif dengan mengambil latar SMA Negeri 1 Kasihan Bantul dengan

tujuan mendeskripsikan dan menganalisis nilai-nilai antikorupsi yang 14

terkandung dalam kurikulum PAI, bagaimana implementasinya dalam

pembelajaran di kelas, apa saja faktor pendukung dan penghambatnya

dan bagaimana bentuk evaluasi serta sejauh mana hasil yang dapat

dicapai dari upaya tersebut. Pada penelitian ini sama-sama menggunakan

penelitian kualittatif dan meliputi pendidikan nilai-nilai antikorupsi serta

apa yang sudah dicapai, yang membedakan pada penelitian adalah pada

pelaksanaan dan sasaran subjek.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan mengenai bagaimana persepsi orangtua tentang hasil pendidikan antikorupsi yang telah diberikan kepada anak.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Dari hasil penelitian ini dapat diterapkan dalam penelitian di bidang

ilmu psikologi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi yang cukup signifikan bagi upaya ilmu psikologi sosial,

terkait dengan persepsi orangtua terhadap hasil pendidikan

antikorupsi yang diberikan kepada anak.

2. Manfaat Praktis 15

Dengan diketahuinya persepsi orangtua terhadap pendidikan antikorupsi yang telah diberikan kepada anak diharapkan dapat bermanfaat untuk : a. Bagi Peneliti

Manfaat bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah pengetahuan

dan wawasan mengenai hasil intervensi KPK tentang program

pembangunan budaya antikorupsi berbasis keluarga. b. Bagi Orangtua

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

orangtua untuk lebih paham dalam menanamkan pendidikan

antikorupsi sejak dini pada anak. c. Bagi KPK

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada

KPK apakah pencegahan korupsi berbasis keluarga yang

diterapkan oleh KPK di Yogyakarta telah sesuai dengan tujuannya

atau tidak

F. Tinjauan Pustaka

1. Persepsi a. Pengertian Persepsi 16

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia persepsi adalah proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya

Persepsi dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu (Sobur, 2005).

Menurut Walgito (2003) persepsi adalah suatu proses yang didahului oleh penginderaan yaitu merupakan proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris.

Walgito (2007) juga menjelasakan dalam proses persepsi perlu adanya perhatian sebagai langkah persiapan dalam persepsi. Hal tersebut karena keadaan menunjukan bahwa individu tidak hanya dikenai oleh satu stimulus saja, tetapi individu dikenai berbagai macam stimulus yang ditimbulkan oleh keadaan sekitarnya. Namun tidak semua stimulus mendapat respon individu untuk dipersepsi. Stimulus mana yang akan dipersepsi atau mendapat respon dari individu tergantung pada perhatian individu yang bersangkutan.

Definisi menurut Robbin (2007) persepsi adalah suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indera mereka untuk memberikan makna terhadap lingkungannya. 17

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi itu sendiri menurut Robbin (2007) terdapat 3 faktor, yaitu :

1) Individu yang bersangkutan (pemersepsi) Apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan

interpretasi tentang apa yang dilihatnya itu, ia akan dipengaruhi

oleh karakterisitik individual yang dimilikinya seperti sikap, motif,

kepentingan, minat, pengalaman, pengetahuan dan harapannya.

2) Sasaran dari persepsi Sasaran dari persepsi dapat berupa orang, benda ataupun

peristiwa. Sifat-sifat itu biasanya berpengaruh terhadap persepsi

orang yang melihatnya. Persepsi terhadap sasaran bukan

merupakan sesuatu yangdilihat secara teori melainkan dalam

kaitannya dengan orang lain yang terlibat. Hal tersebut yang

menyebabkan seseorang cenderung mengelompokkan orang,

benda, ataupun peristiwa sejenis dan memisahkannya dari

kelompok lain yang tidak serupa.

3) Situasi Persepsi harus dilihat secara kontekstual yang berarti situasi

dimana persepsi timbul, harus mendapat perhatian. Situasi 18

merupakan faktor yang turut berperan dalam proses pembentukan

persepsi seseorang.

Pada penjelasan diatas, dapat disimpulkan persepsi adalah sebuah proses dimana indvidu mengatur dan mengintepretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka.

2. Antikorupsi

a. Pengertian Antikorupsi

Sebelum membahas tentang antikorupsi, adapun pengertian korupsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang Negara

(perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Disisi lain korupsi didefinisikan sebagai sebuah kejahatan keuangan, penyalahgunaan penggunaan uang untuk kepentingan pribadi atau orang tertentu.

Korupsi menurut hukum Indonesia UU No.31/1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa korupsi adalah tindakan memperkaya diri sendiri, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, memberi dan menjajnjikan sesuatu kepada pejabat atau hakim, berbuat curang, melakukan penggelapan dan menerima hadiah terkait tanggungjawab yang dijalani. 19

Dari penjelasan diatas maka antikorupsi artinya tidak setuju, tidak suka, dan idak senang terhadap korupsi. Karena perbuatan korupsi dalam kontek agama sama dengan fasad artinya perbuatan yang merusak tatanan kehidupan dan pelakunya dianggap telah melakukan dosa besar, dengan kata lain, antikorupsi merupakan sikap menentang terhadap adanya korupsi. (Suradi, 2014)

b. Prinsip-Prinsip Antikorupsi

Prinsip-prinsip antikorupsi pada dasarnya merupakan langkah- langkah antisipatif yang harus dilakukan agar laju pergerakan korupsi tidak menjalar dan dapat dibendung bahkan diberantas. Ada beberapa prinsip yang harus ditegakkan untuk mencegah terjadinya korupsi, yaitu :

1) Akuntabilitas

Prinsip akuntabilitas merupakan pilar penting dalam mencegah

terjadinya korupsi. Prinsip ini pada dasarnya dimaksudkan agar

segenap kebijakan dan langkah-langkah yang dijalankan sebuah

lembaga dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna. Agenda

yang harus ditempuh dalam akuntabilitas, yaitu pertama,

mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban. Kedua,

berkenaan dengan upaya evaluasi, apa dampak dan manfaat bagi

masyarakat atau pengguna (user). Baik dampak langsung maupun

manfaat jangka panjang dari sebuah proyek. 20

2) Transparansi

Transparansi merupakan prinsip yang mengharuskan semua

proses kebijakan dilakukan secara terbuka sehingga segala bentuk

penyimpangan dapat diketahui oleh publik. Transparansi menjadi

pintu masuk sekaligus kontrol bagi seluruh proses dinamika

struktur kelembagaan. Dalam konteks pemberantasan korupsi yang

melibatkan kekuasan dan keuangan, ada sektor-sektor yang

melibatkan kekuasan dan keuangan da nada juga sektor-sektor

yang mengharuskan keterlibatan masyarakat agar tidak terjebak

dalam lingkaran setan korupsi yang begitu akut dan

menyengsarakan masyarakat.

3) Kewajaran

Fairness (kewajaran) merupakan salah satu prinsip antikorupsi

yang mengedepankan kepatutan atau kewajaran. Prinsip fairness

sesungguhnya lebih ditujukan untuk mencegah terjadinya

manipulasi dalam penganggaran proyek pembangunan, baik dalam

bentuk mark up maupun ketidakwajaran kekuasaan lainnya.

Untuk menghidari pelanggaran terhadap prinsip fairness khususnya dalam proses penganggaran, diperlukan beberapa langkah sebagai berikut : 21

1) Komprehensif dan disiplin yang berarti mempertimbangkan

keseluruhan aspek, berkesinambungan, taat asas, prinsip

pembenaran, pengeluaran dan tidak melampui batas.

2) Fleksibilitas, yaitu adanya diskreasi tertentu dalam konteks efisiensi

dan efektivitas (prinsip tak tersangka, perubahan, pergeseran dan

desentralisasi manajamen).

3) Terprediksi, yaitu ketetapan dalam perencanaan atas dasar asas

value for money dan menghindari deficit dalam tahun anggaran

berjalan.

4) Kejujuran, yaitu adanya bias perkiraan penerimaan maupun

pengeluaran yang disengaja, yang berasal dari pertimbangan

teknis maupun politis.

5) Informatif, yakni system informasi pelaporan yang teratur dan

informative sebagai dasar penilaian kinerja, kejujuran dan proses

pengambilan keputusan.

c. Pendidikan Antikorupsi

Menurut Mohammad Nuh (dalam Nurdin, 2014) pelajaran pendidikan antikorupsi tidak akan menjadi mata pelajaran yang akan menambah beban anak didik. “Jadi, subsitansinya tidak begitu.

Pendidikan antikorupsi ini lebih seperti oksigen, dia bisa masuk, merasuk ke setiap mata pelajaran, ke setiap pokok bahasan dan mata pelajaran apa saja bisa comply dengan pendidikan korupsi.” 22

Tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan antikorupsi adalah sebagai berikut :

1) Untuk menanamkan semangat antikorupsi pada setiap anak

bangsa. Melalui pendidikan ini, diharapkan semangat antikorupsi

akan mengalir didalam darah setiap generasi dan tercemin dalam

pembuatan sehari-hari. Dengan demikian, pekerjaan membangun

bangsa yang terseok-seok karena adanya korupsi di masa depan

tidak akan terjadi lagi. Jika korupsi sudah diminimalisasi, setiap

pekerjaan membangun bangsa akan maksimal.

2) Menyadari bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya

tanggungjawab lembaga penegak hokum, seperti KPK, kepolisian

dan kejaksaan agung, melainkan menjadi tanggungjawab lembaga

pendidikan dan semua komponen anak bangsa. Berydevanda

(dalam Nuh, 2014).

3. Taksonomi Bloom

Taksonomi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu tassein yang berarti mengklasifikasi dan nomos yang berarti aturan.

Jadi Taksonomi berarti hierarkhi klasifikasi atas prinsip dasar atau aturan. Istilah ini kemudian digunakan oleh Benjamin Samuel Bloom, seorang psikolog bidang pendidikan yang melakukan penelitian dan pengembangan mengenai kemampuan berpikir dalam proses pembelajaran. 23

Sejarah taksonomi bloom bermula ketika awal tahun 1950-an, dalam Konferensi Asosiasi Psikolog Amerika, Bloom dan kawan- kawan mengemukakan bahwa dari evaluasi hasil belajar yang banyak disusun di sekolah, ternyata persentase terbanyak soal yang diajukan hanya meminta siswa untuk mengutarakan hapalan mereka.

Konferensi tersebut merupakan lanjutan dari konferensi yang dilakukan pada tahun 1948. Menurut Bloom, hapalan sebenarnya merupakan tingkat terendah dalam kemampuan berpikir (thinking behaviors). Masih banyak level lain yang lebih tinggi yang harus dicapai agar proses pembelajaran dapat menghasilkan siswa yang kompeten di bidangnya. Akhirnya pada tahun 1956, Bloom, Englehart,

Furst, Hill dan Krathwohl berhasil mengenalkan kerangka konsep kemampuan berpikir yang dinamakan Taxonomy Bloom.

Jadi, Taksonomi Bloom adalah struktur hierarkhi yang mengidentifikasikan skills mulai dari tingkat yang rendah hingga yang tinggi. Tentunya untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, level yang rendah harus dipenuhi lebih dulu. Dalam kerangka konsep ini, tujuan pendidikan ini oleh Bloom dibagi menjadi tiga domain/ranah kemampuan intelektual (intellectual behaviors) yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.

Konsep Taksonomi Bloom dikembangkan pada tahun 1956 oleh

Benjamin Bloom, seorang psikolog bidang pendidikan. Konsep ini 24

mengklasifikasikan tujuan pendidikan dalam tiga ranah/domain, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik yang dijelaskan sebagai berikut :

1) Domain kognitif meliputi tujuan yang berurusan dengan

pengingatan atau pengenalan pengetahuan, pengembangan

kemampuan intelektual dan keterampilan berpikir. Ini adalah

domain yang paling penting yang digunakan dalam pengembangan

tes. Domain ini sebagian besar bekerja dalam pengembangan

kurikulum yang sudah ada dan di mana definisi paling jelas dari

tujuan yang dapat ditemukan dan diutarakan sebagai deskripsi dari

perilaku siswa.

2) Domain afektif. Ini mencakup tujuan yang menggambarkan

perubahan minat, sikap, nilai-nilai, pengembangan apresiasi dan

penyesuaian yang memadai. Tujuan di domain ini tidak dinyatakan

sangat tepat dan pada kenyataannya, guru tidak muncul untuk

menjadi sangat jelas tentang pengalaman belajar yang sesuai

dengan tujuan ini. Sulit untuk menggambarkan perilaku yang tepat

untuk tujuan ini karena perasaan internal maupun terselubung dan

emosi yang signifikan untuk domain ini seperti manifestasi perilaku

terbuka. Kemudian, juga, prosedur pengujian kami untuk domain

afektif masih yang paling tahap primitif. Kami berharap untuk

menyelesaikan tugas tetapi tidak mampu memprediksi tanggal

publikasi. 25

3) Domain ketiga area-skill manipulatif atau motorik. Meskipun kami

mengakui keberadaan domain ini, kita menemukan begitu sedikit

dilakukan tentang hal itu di sekolah menengah atau perguruan

tinggi, bahwa kita tidak percaya pengembangan klasifikasi tujuan

tersebut akan sangat berguna saat ini. Kita akan menghargai

komentar mengenai hal ini dari guru dan pekerja pendidikan

lainnya yang secara khusus ingin domain ini dalam tujuan

pendidikan.

Bloom dkk. berpendapat taksonomi juga menggunakan perintah konsisten dengan penelitian temuan dan harus memberikan beberapa petunjuk tentang sifat teori yang dapat dikembangkan. ini adalah masalah yang sangat kompleks; dan meskipun memiliki, mungkin belum diselesaikan sepenuhnya memuaskan, itu adalah pendapat para penulis yang telah kita buat beberapa kemajuan menuju solusi.

Taksonomi sekarang terorganisir, yang berisi enam besar kelas, yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.

Pada tahun 1956, Bloom, Englehart, Furst, Hill dan Krathwohl

(dalam Dimyati, 2006) berhasil mengenalkan kerangka konsep kemampuan berpikir yang dinamakan Taxonomy Bloom. Jadi,

Taksonomi Bloom adalah struktur hierarkhi yang mengidentifikasikan skills mulai dari tingkat yang rendah hingga yang tinggi. Tentunya 26

untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, level yang rendah harus dipenuhi lebih dulu. Dalam kerangka konsep ini, tujuan pendidikan ini oleh Bloom dibagi menjadi tiga domain/ranah kemampuan intelektual

(intellectual behaviors) yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.

Tujuan ranah kognitif berhubungan dengan ingatan atau pengenalan terhadap pengetahuan dan informasi, serta pengembangan keterampilan intelektual menurut Jarolimek dan

Foster, 1981 (dalam Mudjiono, 2006). Taksonomi atau penggolongan tujuan ranah kognitif oleh Bloom, mengemukakan adanya 6 (enam) kelas/tingkat yakni :

1) Pengetahuan, merupakan tingkat terendah tujuan ranah kognitif

berupa pengenalan dan pengingatan kembali terhadap

pengetahuan tentang fakta, istilah dan prinsip-prinsip dalam bentuk

seperti mempelajari (Davies, 1986).

2) Pemahaman

Merupakan tingkat berikutnya dari tujuan ranah kognitif berupa

kemampuan memahami/mengerti tentang isi pelajaran yang

dipelajari tanpa perlu menghubungkannya dengan isi pelajaran

lainnya (Davies, 1986).

3) Penggunaan/penerapan 27

Merupakan kemampuan menggunakan generalisasi atau abstraktsi

lainnya yang sesuai dalam situasi konkret dan/atau situasi baru

(Davies, 1986)

4) Analisis

Merupakan kemampuan menjabarkan isi pelajaran ke bagian-

bagian yang menjadi unsur pokok.

5) Sintesis

Merupakan kemampuan menggabungkan unsur-unsur pokok ke

dalam struktur yang baru (Davies, 1986).

6) Evaluasi

Merupakan kemampuan menilai isi pelajaran untuk suatu maksud

atau tujuan tertentu (Davies, 1986).

Tujuan ranah afektif berhubungan dengan hierarki perhatian, sikap, penghargaan, nilai, perasaan dan emosi Davies, 1986; Jarolimek dan

Foster, 1981 (dalam Mudjiono, 2006). Krathwohl, Bloom dan Masia mengemukakan taksonomi tujuan ranah afektif sebagai berikut :

1) Menerima

Merupakan tingkat terendah tujuan ranah afektif berupa perhatian

terhadap simulasi secara pasif yang meningkat secara lebih aktif

(Davies, 1986).

2) Merespon 28

Merupakan kesempatan untuk menanggapi stimulant dan merasa

terikat serta secara aktif memperhatikan (Davies, 1986).

3) Menilai

Merupakan kemampuan menilai gejala atau kegiatan sehingga

dengan sengaja merespons lebih lanjut untuk mencari jalan

bagaimana dapat mengambil bagian atas apa yang terjadi (Davies,

1986).

4) Mengorganisasi

Merupakan kemampuan untuk membentuk suatu system nilai bagi

dirinya berdasarkan nilai-nilai yang dipercaya (Davies, 1986).

5) Karakterisasi

Merupakan kemampuan untuk mengkonseptualisasikan masing-

masing nilai pada waktu merespons, dengan jalan menidentifikasi

karakteristik nilai atau membuat pertimbangan-pertimbangan

(Davies, 1986).

Tujuan ranah psikomotorik meliputi gerakan dan koordinasi jasmani, keterampilan motorik dan kemampuan fisik. Ketrampilan ini dapat diasah jika sering melakukannya. Perkembangan tersebut daat diukur sudut kecepatan, ketepatan, jarak, cara/teknik pelaksanaan.

Ada tujuh kategori dalam ranah psikomotorik mulai dari tingkat yang sederhana hingga tingkat yang rumit yakni : 29

1) Persepi

Kemampuan menggunakan saraf sensori dalam

menginterpretasikan nya dalam memperkirakan sesuatu.

2) Kesiapan

Kemampuan untuk mempersiapkan diri, baik mental, fisik, dan

emosi, dalam menghadapi sesuatu.

3) Reaksi yang diarahkan

Kemampuan untuk memulai ketrampilan yang kompleks dengan

bantuan / bimbingan dengan meniru dan uji coba.

4) Reaksi natural (mekanisme)

Kemampuan untuk melakukan kegiatan pada tingkat ketrampilan

tahap yang lebih sulit. Melalui tahap ini diharapkan siswa akan

terbiasa melakukan tugas rutinnya.

5) Reaksi yang kompleks

Kemampuan untuk melakukan kemahirannya dalam melakukan

sesuatu, dimana hal ini terlihat dari kecepatan, ketepatan, efsiensi

dan efektivitasnya. Semua tindakan dilakukan secara spontan,

lancar, cepat, tanpa ragu.

6) Adaptasi

Kemampuan mengembangkan keahlian, dan memodifikasi pola

sesuai dengan yang dbutuhkan.

30

7) Kreativitas

Kemampuan untuk menciptakan pola baru yang sesuai dengan

kondisi/situasi tertentu dan juga kemampuan mengatasi masalah

dengan mengeksplorasi kreativitas diri

.