Bab Iv Hasil Penelitian
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB IV HASIL PENELITIAN A. MASUKNYA KATOLIK DI NUSANTARA Agama Katolik adalah salah satu agama resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia dari enam agama resmi yang ada. Berbicara tentang agama satu ini tidak terlepas dari pastur, susunan gereja beserta kepengurusannya. Ketiga hal tersebut adalah hal yang sangat vital dalam tubuh tiap-tiap paroki/gereja dalam agama katolik tersebut. Agama katolik sendiri hadir di tanah air dengan membawa Susunan hirarki. Agama katolik masuk dan diajarkan oleh kaum-kaum misionaris yang kebanyakan berasal dari belanda. Misionari-misionari tersebut hadir dengan rombongan masing-masing. Rombongan-rombongan tersebut terbentuk dalam suatu kelompok-kelompok yang disebut ordo/konggregasi/tarekat. Ordo/konggregasi/tarekat yang dimaksud adalah suatu perkumpulan rahib/guru yang dipercayai untuk mewartakan Kerajaan Allah. Siapapun yang ingin menjadi rahib/guru pewarta Kerajaan Allah mereka harus terdidik dan terlatih dengan menempuh pendidikan yang tidak singkat (Wawancara Romo Surya). Sebelum diajarkan oleh kaum-kaum missionaris Belanda, Katolik masuk ke Nusantara tepatnya abad 16 oleh Pater Fransiskus Xaverius, seorang sekretaris organisasi Kerahiban Yesuit (SJ) yang dipimpin oleh Santo Ignatius Loyola sekaligus juga seorang sahabat dari Santo Fransiskus Xaverius. Tahun 1539 raja Juan III dari Portugal meminta penyertaan tahta suci untuk Portugal, sebenarnya Ignatius Loyola menugaskan Pater S. Rodriguez dan Pater N. Bobadilla namun kedunaya jatuh sakit. “Pues sus! Heme aquil”(baiklah aku siap) begitulah jawaban Fransiskus setelah mendapat tugas dari sahabat sekaligus pemimpinnya Ignatius Loyola (Heuken,SJ ;2009; 15). Dalam tugasnya kali ini Fransiskus Xaverius menuju daerah koloni Portugis yang berada di Hindia (Heuken, 2009; 16-17). Tahun 1545 Fransiskus berlayar ke Malaka. Tanggal 14 Februari 1546, Fransiskus mendarat di pantai Hatiwi Ambon. Tahun 1534 Fransiskus berkarya di pulau Moro, Maluku. Pulau Moro terkenal akan keganasan penduduknya yang 15 menurut Fransiskus dalam surat yang ditulis olehnya diceritakan bahwa masyarakatnya gemar menipu dan suka membunuh (perang), ini menjadi tantangan tersendiri bagi Fransiskus untuk menobatkan orang-orang dan bersyar tentang agama Katolik. Fransiskus kembali ke Malaka pada tahun 1547. Fransiskus meninggal pada tahun 1553, tercatat sebagai seorang Yesuit pertama yang berkarya di nusantara bagian timur tepatnya Kepulauan Maluku. Selama di bumi nusantara Santo Fransiskus Xaverius dapat mengkristenkan beberapa kampung di Kepulauan Maluku. Fransiskus juga mewariskan surat-surat yang dituliskan selama ia berkarya dimanapun tempatnya. Surat karya Fransiskus ini berguna karena dapat dinikmati oleh ilmu pendidikan terutama bidang sejarah khususnya sejarah gereja hingga seterusnya. Semangat Fransiskus tidak berhenti setelah dia mati saja, namun dilanjutkan oleh penerus-penerusnya. Penerus- penerus Fransisikus Xaverius di Maluku ada yang diterima namun ada juga yang ditolak secara frontal bahkan dibunuh, seperti halnya Pater Afonso de Castro, SJ. Pater Afonso dibunuh ditengah laut oleh lima orang lokal yang memegangi kedua tangan dan kakinya. Masing-masing membawa senjata tajam untuk menusuknya. Setelah mati jenazahnya dibuang ke laut (Heuken, 2009; 18-26). Memasuki abad 17, gerakan Yesuit ini datang ke Nusantara seiring dengan kedatangan VOC di Hindia. Sebenarnya VOC sendiri melarang secara tegas adanya kaum imam Katolik untuk masuk dan berkarya di wilayah kekuasaannya. Bahkan ada sebuah peraturan jika ada imam Katolik yang menyebarkan agama di wilayah kekuasaan VOC maka akan mendapat hukuman mati. Peraturan ini dilakukan karena saat itu agama Protestan di dalam tubuh VOC sangat kuat. Kristen Protestan saat itu menjadi agama utama di Belanda. Protestan menolak katolik karena masih trauma dengan abad gelap yang telah berlangsung. Namun dalam penerapanya, beberapa pejabat VOC tidak memperlakukan larangan ini dengan tegas (Kurris, 1992: 4). Pada tahun 1800an penyebaran agama Katolik di Nusantara kembali secara resmi, setelah dilarang oleh VOC. Hal yang melatarbelakangi kembalinya penyebaran agama Katolik secara resmi ini adalah ditunjuknya Lodewijk atau Louis Napoleon oleh kakaknya sendiri Napoleon Bonaparte untuk menjadi raja 16 Belanda pada tahun 1806. Lodewijk sendiri memeluk agama Katolik (Kurris, 1992: 4-5). Penyebar agama Katolik seringnya dimulai oleh Sarikat Jesus, begitu pula ketika penyebaran secara resmi ini dimulai di Nusantara. Ketika itu rombongan SJ berlabuh di Batavia (Jakarta). Rombongan Yesuit pertama yang melakukan misi di kawasan Hindia Belanda secara terbuka. Martinus van den Elsen beserta Joannes Baptista Palinckx mendarat di Batavia yang sebenarnya hanya untuk singgah sementara. Rombongan Yesuit ini singgah di Batavia untuk menyesuaikan keadaan fisik terhadap keadaan iklim yang berbeda antara Eropa dan Hindia Belanda, bisa dikatakan sebagai aklimatisasi. Batavia kala itu menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda di Nusantara. Setelah satu bulan di Batavia, kemudian mereka menuju Surabaya untuk berkarya di paroki Surabaya. Surabaya menjadi sebuah daerah misi dengan berbagai masalah mulai dengan semangat iman yang kurang karena dari seribuan umat di Surabaya hanya sekitar 100 orang yang datang ikut misa kudus pada hari minggu, masalah lain adalah perkawinan umat yang tidak sesuai aturan Katolik. Pastur van den Elsen mencurahkan tenaga untuk mengumpulkan domba-domba yang hilang sedangkan Pastur J.B. Palinckx melakukan perjalanan dinas (Heuken, 2009:52-53.) Pada pertengahan abad 19 di Jawa Timur atau tepatnya tahun 1859 ketika van den Elsen datang, kota-kota yang memiliki paroki hanya ada tiga yaitu di kota Surabaya, Madiun dan Malang dengan stasi-stasi yang harus dikunjungi oleh pastur-pastur paroki ini sampai ke Banyuwangi di paling timur dan yang paling utara adalah Banjarmasin. Pater Palinckx lah yang paling senang menulis tentang perjalanan dan tantangan dalam kunjungan misi ke stasi-stasi yang berada jauh dari Surabaya ini (Heuken, 2009:54). Tahun dimana kedatangan van den Elsen dan J.B Palinckx ini juga sama dengan pembentukan paroki baru di Madiun yang sebelumnya merupakan bagian dari paroki Ambarawa. Umat paroki Surabaya, Malang serta Madiun bersama semua stasi di Jawa Timur, yang didirikan dan digembalakan oleh para pastor Jesuit sejak 1859, diserahkan satu per satu sampai tahun 1923 kepada para Imam Lazaris (CM) atau Karmelit (Ocarm) (Heuken, 2009:56). 17 Memasuki akhir 1800an di Batavia dibentuk suatu Vikaris Apostolik. Vikaris Apostolik Batavia pertama ini dipimpin oleh seorang pastur Belanda W.J. Staal, SJ pada tahun 1893 (Heuken, 2009:124). Tahun 1900 mayoritas terbesar orang Katolik di Pulau Jawa adalah orang- orang Eropa atau Eurasia. Di Batavia orang-orang Katolik pribumi dan China cuma berjumlah 159 jiwa, sementara ada 6895 orang Katolik Eropa. Jumlah ini menjadi 1859 versus 15803 jiwa untuk tahun 1941. Ini berarti kurang dari 10% orang Katolik di Batavia yang keturunan Cina dan pribumi Indonesia (Steenbrink, 2006: 591). Ketika tahun 1800an sampai memasuki tahun 1900 awal belum ada seorang pastur yang berasal dari orang pribumi. Pastur-pastur saat itu masih berasal dari orang-orang Belanda. Adapun pastur pertama pribumi nantinya sering disebut dengan sebutan romo. Baik romo ataupun pastur maknanya sama yaitu bapak/bapa. Imam Indonesia Pertama adalah Romo Fransiskus Xaverius Satiman SJ yang ditahbiiskan pada tanggal 15 Agustus 1926 (Kantor Wali Gereja, 1974: 878). Agama Katolik sendiri masuk ke Jawa Tengah lebih dikenal diajarkan oleh seorang misionaris bernama Romo Fransiscus van Lith, SJ walaupun pada tahun 1859 Pater Palinckx pernah singgah di Jawa Tengah (Kantor Wali Gereja, 1974: 844). Pada tahun 1896, sebelum berkarya di Muntilan Romo Fransiskus van Lith sempat berkarya di paroki Ambarawa. Romo van Lith juga belajar bahasa Jawa dan Ambarawa menjadi tempat belajar bahasa Jawa selain di Muntilan. Romo van Lith ini juga sukses menyesuaikan Katolik dengan kebudayaan Jawa sehingga mudah diterima masyarakat Jawa. Pada tahun 1896, Salatiga saat itu masih merupakan bagian dari paroki Ambarawa karena saat itu Salatiga memiliki jumlah umat yang masih sedikit (Supervisi KAS, 2012: 1). Setelah menetap di Muntilan Romo van Lith tetap mengunjungi Ambarawa (Kantor Wali Gereja, 1974: 848). Sebenarnya, Pastur van Lith tidak sendirian dalam karyanya di Jawa Tengah. Selain Pastur van Lith ada juga Pastur Hoevenars. Kedua romo Belanda ini dikenal dengan sistim kerja yang berbeda. Pastur Hoevenars belum setengah 18 tahun sudah mengajar, berkhotbah dan membabtis orang di Semarang dan Jogjakarta, sedangkan Pastur van Lith berusaha mati-matian mempelajari bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jawa (Kantor Wali Gereja, 1974: 847). Pastor van Lith adalah seorang yang mengusahakan Katolik dapat bercampur dengan kebudayaan Jawa. Dalam menterjemahkan doa Bapa Kami dan doa-doa lain, Pastor van Lith mempelajari berbagai kamus, paramasatera, terjemahan kitab suci, buku ngelmu dan sebagainya. Ia berbicara dengan orang-orang tani dan pamong praja. Lebih dari 30 kali ia pergi ke Yogya dan Solo menemui beberapa pangeran untuk memperdalam pengertiannya tentang cara orang Jawa menghadap pencipta langit dan bumi. Romo Hoevenar menganggap bahwa mempergunakan krama inggil dalam doa sama saja mempraktekan semangat budak belian. Sedangkan Romo van Lith mencapai kesimpulan bahwa kata-kata krama inggil sama sekali tidak meniadakan hubungan cinta kasih dan kepercayaan ayah dan anak (Kantor Wali Gereja, 1974: 852). Memasuki tahun 1900an perkembangan Katolik di Jawa Tengah