BAB IV HASIL PENELITIAN

A. MASUKNYA KATOLIK DI NUSANTARA Agama Katolik adalah salah satu agama resmi yang diakui oleh pemerintah dari enam agama resmi yang ada. Berbicara tentang agama satu ini tidak terlepas dari pastur, susunan gereja beserta kepengurusannya. Ketiga hal tersebut adalah hal yang sangat vital dalam tubuh tiap-tiap paroki/gereja dalam agama katolik tersebut. Agama katolik sendiri hadir di tanah air dengan membawa Susunan hirarki. Agama katolik masuk dan diajarkan oleh kaum-kaum misionaris yang kebanyakan berasal dari belanda. Misionari-misionari tersebut hadir dengan rombongan masing-masing. Rombongan-rombongan tersebut terbentuk dalam suatu kelompok-kelompok yang disebut ordo/konggregasi/tarekat. Ordo/konggregasi/tarekat yang dimaksud adalah suatu perkumpulan rahib/guru yang dipercayai untuk mewartakan Kerajaan Allah. Siapapun yang ingin menjadi rahib/guru pewarta Kerajaan Allah mereka harus terdidik dan terlatih dengan menempuh pendidikan yang tidak singkat (Wawancara Romo Surya). Sebelum diajarkan oleh kaum-kaum missionaris Belanda, Katolik masuk ke Nusantara tepatnya abad 16 oleh Pater Fransiskus Xaverius, seorang sekretaris organisasi Kerahiban Yesuit (SJ) yang dipimpin oleh Santo Ignatius Loyola sekaligus juga seorang sahabat dari Santo Fransiskus Xaverius. Tahun 1539 raja Juan III dari Portugal meminta penyertaan tahta suci untuk Portugal, sebenarnya Ignatius Loyola menugaskan Pater S. Rodriguez dan Pater N. Bobadilla namun kedunaya jatuh sakit. “Pues sus! Heme aquil”(baiklah aku siap) begitulah jawaban Fransiskus setelah mendapat tugas dari sahabat sekaligus pemimpinnya Ignatius Loyola (Heuken,SJ ;2009; 15). Dalam tugasnya kali ini Fransiskus Xaverius menuju daerah koloni Portugis yang berada di Hindia (Heuken, 2009; 16-17). Tahun 1545 Fransiskus berlayar ke Malaka. Tanggal 14 Februari 1546, Fransiskus mendarat di pantai Hatiwi Ambon. Tahun 1534 Fransiskus berkarya di pulau Moro, Maluku. Pulau Moro terkenal akan keganasan penduduknya yang

15

menurut Fransiskus dalam surat yang ditulis olehnya diceritakan bahwa masyarakatnya gemar menipu dan suka membunuh (perang), ini menjadi tantangan tersendiri bagi Fransiskus untuk menobatkan orang-orang dan bersyar tentang agama Katolik. Fransiskus kembali ke Malaka pada tahun 1547. Fransiskus meninggal pada tahun 1553, tercatat sebagai seorang Yesuit pertama yang berkarya di nusantara bagian timur tepatnya Kepulauan Maluku. Selama di bumi nusantara Santo Fransiskus Xaverius dapat mengkristenkan beberapa kampung di Kepulauan Maluku. Fransiskus juga mewariskan surat-surat yang dituliskan selama ia berkarya dimanapun tempatnya. Surat karya Fransiskus ini berguna karena dapat dinikmati oleh ilmu pendidikan terutama bidang sejarah khususnya sejarah gereja hingga seterusnya. Semangat Fransiskus tidak berhenti setelah dia mati saja, namun dilanjutkan oleh penerus-penerusnya. Penerus- penerus Fransisikus Xaverius di Maluku ada yang diterima namun ada juga yang ditolak secara frontal bahkan dibunuh, seperti halnya Pater Afonso de Castro, SJ. Pater Afonso dibunuh ditengah laut oleh lima orang lokal yang memegangi kedua tangan dan kakinya. Masing-masing membawa senjata tajam untuk menusuknya. Setelah mati jenazahnya dibuang ke laut (Heuken, 2009; 18-26). Memasuki abad 17, gerakan Yesuit ini datang ke Nusantara seiring dengan kedatangan VOC di Hindia. Sebenarnya VOC sendiri melarang secara tegas adanya kaum imam Katolik untuk masuk dan berkarya di wilayah kekuasaannya. Bahkan ada sebuah peraturan jika ada imam Katolik yang menyebarkan agama di wilayah kekuasaan VOC maka akan mendapat hukuman mati. Peraturan ini dilakukan karena saat itu agama Protestan di dalam tubuh VOC sangat kuat. Kristen Protestan saat itu menjadi agama utama di Belanda. Protestan menolak katolik karena masih trauma dengan abad gelap yang telah berlangsung. Namun dalam penerapanya, beberapa pejabat VOC tidak memperlakukan larangan ini dengan tegas (Kurris, 1992: 4). Pada tahun 1800an penyebaran agama Katolik di Nusantara kembali secara resmi, setelah dilarang oleh VOC. Hal yang melatarbelakangi kembalinya penyebaran agama Katolik secara resmi ini adalah ditunjuknya Lodewijk atau Louis Napoleon oleh kakaknya sendiri Napoleon Bonaparte untuk menjadi raja

16

Belanda pada tahun 1806. Lodewijk sendiri memeluk agama Katolik (Kurris, 1992: 4-5). Penyebar agama Katolik seringnya dimulai oleh Sarikat Jesus, begitu pula ketika penyebaran secara resmi ini dimulai di Nusantara. Ketika itu rombongan SJ berlabuh di Batavia (Jakarta). Rombongan Yesuit pertama yang melakukan misi di kawasan Hindia Belanda secara terbuka. Martinus van den Elsen beserta Joannes Baptista Palinckx mendarat di Batavia yang sebenarnya hanya untuk singgah sementara. Rombongan Yesuit ini singgah di Batavia untuk menyesuaikan keadaan fisik terhadap keadaan iklim yang berbeda antara Eropa dan Hindia Belanda, bisa dikatakan sebagai aklimatisasi. Batavia kala itu menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda di Nusantara. Setelah satu bulan di Batavia, kemudian mereka menuju Surabaya untuk berkarya di paroki Surabaya. Surabaya menjadi sebuah daerah misi dengan berbagai masalah mulai dengan semangat iman yang kurang karena dari seribuan umat di Surabaya hanya sekitar 100 orang yang datang ikut misa kudus pada hari minggu, masalah lain adalah perkawinan umat yang tidak sesuai aturan Katolik. Pastur van den Elsen mencurahkan tenaga untuk mengumpulkan domba-domba yang hilang sedangkan Pastur J.B. Palinckx melakukan perjalanan dinas (Heuken, 2009:52-53.) Pada pertengahan abad 19 di Jawa Timur atau tepatnya tahun 1859 ketika van den Elsen datang, kota-kota yang memiliki paroki hanya ada tiga yaitu di kota Surabaya, Madiun dan Malang dengan stasi-stasi yang harus dikunjungi oleh pastur-pastur paroki ini sampai ke Banyuwangi di paling timur dan yang paling utara adalah Banjarmasin. Pater Palinckx lah yang paling senang menulis tentang perjalanan dan tantangan dalam kunjungan misi ke stasi-stasi yang berada jauh dari Surabaya ini (Heuken, 2009:54). Tahun dimana kedatangan van den Elsen dan J.B Palinckx ini juga sama dengan pembentukan paroki baru di Madiun yang sebelumnya merupakan bagian dari paroki Ambarawa. Umat paroki Surabaya, Malang serta Madiun bersama semua stasi di Jawa Timur, yang didirikan dan digembalakan oleh para pastor Jesuit sejak 1859, diserahkan satu per satu sampai tahun 1923 kepada para Imam Lazaris (CM) atau Karmelit (Ocarm) (Heuken, 2009:56).

17

Memasuki akhir 1800an di Batavia dibentuk suatu Vikaris Apostolik. Vikaris Apostolik Batavia pertama ini dipimpin oleh seorang pastur Belanda W.J. Staal, SJ pada tahun 1893 (Heuken, 2009:124). Tahun 1900 mayoritas terbesar orang Katolik di Pulau Jawa adalah orang- orang Eropa atau Eurasia. Di Batavia orang-orang Katolik pribumi dan China cuma berjumlah 159 jiwa, sementara ada 6895 orang Katolik Eropa. Jumlah ini menjadi 1859 versus 15803 jiwa untuk tahun 1941. Ini berarti kurang dari 10% orang Katolik di Batavia yang keturunan Cina dan pribumi Indonesia (Steenbrink, 2006: 591). Ketika tahun 1800an sampai memasuki tahun 1900 awal belum ada seorang pastur yang berasal dari orang pribumi. Pastur-pastur saat itu masih berasal dari orang-orang Belanda. Adapun pastur pertama pribumi nantinya sering disebut dengan sebutan romo. Baik romo ataupun pastur maknanya sama yaitu bapak/bapa. Imam Indonesia Pertama adalah Romo Fransiskus Xaverius Satiman SJ yang ditahbiiskan pada tanggal 15 Agustus 1926 (Kantor Wali Gereja, 1974: 878). Agama Katolik sendiri masuk ke Jawa Tengah lebih dikenal diajarkan oleh seorang misionaris bernama Romo Fransiscus van Lith, SJ walaupun pada tahun 1859 Pater Palinckx pernah singgah di Jawa Tengah (Kantor Wali Gereja, 1974: 844). Pada tahun 1896, sebelum berkarya di Muntilan Romo Fransiskus van Lith sempat berkarya di paroki Ambarawa. Romo van Lith juga belajar bahasa Jawa dan Ambarawa menjadi tempat belajar bahasa Jawa selain di Muntilan. Romo van Lith ini juga sukses menyesuaikan Katolik dengan kebudayaan Jawa sehingga mudah diterima masyarakat Jawa. Pada tahun 1896, saat itu masih merupakan bagian dari paroki Ambarawa karena saat itu Salatiga memiliki jumlah umat yang masih sedikit (Supervisi KAS, 2012: 1). Setelah menetap di Muntilan Romo van Lith tetap mengunjungi Ambarawa (Kantor Wali Gereja, 1974: 848). Sebenarnya, Pastur van Lith tidak sendirian dalam karyanya di Jawa Tengah. Selain Pastur van Lith ada juga Pastur Hoevenars. Kedua romo Belanda ini dikenal dengan sistim kerja yang berbeda. Pastur Hoevenars belum setengah

18

tahun sudah mengajar, berkhotbah dan membabtis orang di dan Jogjakarta, sedangkan Pastur van Lith berusaha mati-matian mempelajari bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jawa (Kantor Wali Gereja, 1974: 847). Pastor van Lith adalah seorang yang mengusahakan Katolik dapat bercampur dengan kebudayaan Jawa. Dalam menterjemahkan doa Bapa Kami dan doa-doa lain, Pastor van Lith mempelajari berbagai kamus, paramasatera, terjemahan kitab suci, buku ngelmu dan sebagainya. Ia berbicara dengan orang-orang tani dan pamong praja. Lebih dari 30 kali ia pergi ke Yogya dan Solo menemui beberapa pangeran untuk memperdalam pengertiannya tentang cara orang Jawa menghadap pencipta langit dan bumi. Romo Hoevenar menganggap bahwa mempergunakan krama inggil dalam doa sama saja mempraktekan semangat budak belian. Sedangkan Romo van Lith mencapai kesimpulan bahwa kata-kata krama inggil sama sekali tidak meniadakan hubungan cinta kasih dan kepercayaan ayah dan anak (Kantor Wali Gereja, 1974: 852). Memasuki tahun 1900an perkembangan Katolik di Jawa Tengah semakin meningkat. Tokoh-tokoh Katolik mulai muncul. Pendidikan yang dilakukan oleh Romo van Lith, mulai menuai hasil. Murid Romo van Lith yang akhirnya menjadi tokoh bangsa adalah Romo Soegija yang kelak menjadi vikaris apostolik/uskup pertama yang berasal dari pribumi dan juga seorang tokoh politikus yaitu IJ Kasimo yang kelak membantu Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Selama menjadi Uskup Agung Semarang, nantinya Romo Soegija akan ikut andil dalam perkembangan paroki di Salatiga. Soegija lahir di Solo, pada tanggal 25 November 1896, anak kelima keluarga Karijasoedarmo yang seorang abdi dalem Kraton Surakarta. Atas anjuran Romo van Lith, Soegija masuk Muntilan dalam tahun 1909 dan pada malam Natal tahun itu Soegija dipermandikan dengan nama Albertus. 1910-1915 ia belajar di kweekschool, lantas menjadi guru di Muntilan juga. Sesudah satu tahun ia menyatakan keinginannya untuk menjadi imam dan mulai belajar bahasa latin dan lain-lain yang perlu bagi studi selanjutnya. Dalam tahun 1919 ia pergi ke Belanda dan sesudah satu tahun di kolese Ordo Salib Suci di Uden, ia masuk novisiat Serikat Yesus di Mariendaal pada malam 8 September 1920 bersama 21 teman

19

novis lainnya. Selesai novisiat dan studi filsafat, frater Soegija kembali ke Muntilan sebagai guru dan redaktur majalah Suara Tama. Tahun 1928 frater Soegija mulai belajar Teologia di Maastricht, dimana ia ditahbiskan imam pada tanggal 15 Agustus 1931, bersama Romo M. Reksaatmadja SJ (Kantor Wali Gereja, 1974: 886-887). Kasimo dilahirkan di Jogjakarta pada tanggal 10 April 1900, anak keempaat dari sebelas bersaudara dari pasangan Ronosentiko dan Dalikem (Soedarmanta, 2011: 1). Pada suatu hari sebelum liburan puasa tahun 1912 terjadi peristiwa yang mengubah seluruh hidup Kasimo masih duduk di kelas IV Sekolah Bumiputera kelas dua Gading. Hampir tamat, dan hampir meninggkalkan bangku sekolah. Seorang tuan Belanda datang berkunjung ke sekolah. Tuan itu berpakaian jas dan pantalon, serta mengenakan topi helm putih seperti yang dikenakan oleh tuan-tuan Belanda pada waktu itu. Namun, berbeda dengan tuan-tuan Belanda lainnya, tuan Belanda ini sangat halus tegur sapannya dan pandai sekali berbahasa Jawa. Ia mendekati anak-anak dan bertanya siapa di antara mereka yang tamat tahun itu. Adakah diantara mereka yang mau meneruskan sekolah di Muntilan? Tuan Belanda itu adalah Romo Fransiskus van Lith SJ, kepala sekolah guru di Muntilan. Saat itu jumlah murid memang masih sedikit sekali sehingga tidak jarang sekolah harus mencari murid untuk mengisi kelas-kelasnya. Romo van Lith setiap tahun keliling sekolah-sekolah di Yogyakarta, Surakarta, , dan Klaten untuk mencari murid bagi sekolahnya di Muntilan. Kasimo tertarik. Sadar kalau dirinya ingin maju, ia harus berani mengambil jalannya sendiri. Oleh karena itu, sekalipun pada waktu itu baru berusia 12 tahun, ia mengambil keputusan yang sangat berani untuk melanjutkan sekolah di Muntilan (Soedarmanta, 2011: 16). Perkembangan umat Katolik di Salatiga juga kian meningkat. Memasuki tahun 1900 umat Katolik di Salatiga sudah mencapai angka ratusan walaupun masih didominasi oleh orang Belanda. Umat Katolik di Salatiga saat itu masih menggunakan gudang senjata untuk dipakai beribadah sekaligus menjadi bangunan gereja sementara, barulah pada tahun 1928 dibangun gereja khusus untuk beribadah umat Katolik di Jalan Tuntang nomor 34, yang sekarang menjadi jalan Diponegoro dengan nomor yang sama. Pada tahun itu juga Salatiga yang

20

sudah memiliki gereja sendiri masih menjadi stasi di bawah naungan paroki Ambarawa. Stasi Salatiga dipimpin oleh pastur dari Belanda, yaitu pastur Volthenius de Man, SJ. dan pastur Mathysen, SJ. kedua pastur itu dari ordo SJ (Yesuit). Stasi yang memiliki pastur sendiri. Pada tahun 1939, stasi Salatiga yang tadinya merupakan bagian dari paroki Ambarawa menjadi paroki sendiri. Romo/pastur paroki pertama Salatiga adalah pastur TH. Teppema, SJ. Pengesahan Salatiga menjadi Suatu Paroki sendiri disahkan oleh vikaris apostolik/uskup saat itu yakni romo Soegija atau Mgr. seorang uskup pertama dari kalangan pribumi. Pastur Teppema menjabat sebagai pastur di Salatiga sejak tahun 1937-1942, lima tahun menjabat sebagai pastur di Salatiga namun hanya tiga tahun menjadi pastur paroki Salatiga yakni selama 1939-1942 karena dua tahun sebelumnya Salatiga masih berstatus sebagai stasi. Pada tahun 1939 pastur Teppema dibantu oleh pastur Jorna, SJ. Selama periode awal paroki Salatiga ini dibimbinng oleh dua pastur namun tetap ada pastur utama dan pastur pembantu seperti standar yang dipakai tiap-tiap paroki sampai sekarang bahkan sekarang pastur/romo pembantu di paroki masa kini tidak hanya satu, seperti halnya paroki Paulus Miki Salatiga saat ini dibimbing oleh pastur/romo yang berjumlah empat orang yakni Romo Agustinus Ariestyanto, MSF sebagai pastur paroki, Romo Albertus Magnus Tan Thiang Shing dan Romo Hubertus Adi Wicaksono. Banyaknya pastur/romo di paroki Salatiga ini disebabkan paroki Paulus Miki memiliki tiga stasi yang berada di Tuntang yaitu stasi Santo Pius dan stasi Ludovicus serta di Getasan terdapat stasi Santo Yusup. Dalam formasi pastur di awal terbentuknya paroki, Pastur Teppema lah yang menjadi pastur utama paroki. pastur Teppema adalah pastur Yesuit. Tercatat di dalam buku Supervisi Keuskupan Agung Semarang tahun 2012, paroki Paulus Miki Salatiga di gembalakan oleh romo Yesuit yang terakhir adalah romo Poesposoeparto yang berkarya di Paulus Miki Salatiga dimulai tahun 1952 hingga 1957 (Supervisi KAS, 2012: 5-6). B. MENGENAL YESUIT Yesuit adalah sapaan akrab dari SJ. SJ adalah (Societas Jesu). Yesuit didirikan oleh Ignasius Loyola. Serikat Jesus tidak bisa dipisahkan dari misi atau perutusan

21

untuk memaklumkan injil. Perutusan termasuk asal-usul dan inti spiritualitasnya. Pada masa Santo Ignasius dari Loyola arti misso lebih luas dari sekarang. Pertama-tama misi merupakan perutusan seseorang atau suatu kelompok demi kerasulan tertentu, yang diberikan oleh otoritas gerejani, yakni paus atau pater superior jenderal. Berkaitan dengan arti personal ini, missio menandakan pula usaha korporatif untuk mewartakan Kabar Gembira di daerah tertentu. Akar kedua pengertian ini adalah peziarahan rohani. Kelompok Jesuit pertama hendak berziarah ke Tanah Suci ‘untuk menolong jiwa-jiwa’, jadi bukan sebagai piknik rohani, melainkan sebagai usaha apostolis: berkelana seperti murid-murid yang diutus Jesus tanpa membawa bekal apapun. Ziarah Jesuit-Jesuit pertama ke Yerusalem dihalangi oleh situasi perang di Laut Tengah. Maka, mereka pergi ke Roma, supaya diutus oleh paus ke mana dan untuk tugas apa saja ‘demi kemuliaan Allah yang lebih besar dan demi keselamatan jiwa-jiwa’. Santo Ignasius sering menyebut diri peregrino (peziarah), kiasan bagi seorang manusia yang mencari tuhan dan kehendaknya. Prinsip dari Serikat Jesus adalah “Ad Maiorem Dei Gloriam”(demi lebih besarnya kemuliaan Allah) (Heuken, 2009: 11-12). Salah seorang Yesuit, yang sekarang diakui menjadi Santo yaitu Fransiskus Xaverius pernah ditugaskan untuk berkarya di wilayah Nusantara bagian timur. Fransiskus adalah sahabat Santo ignasius. Sesuai dengan tujuannya untuk mengemban misi tanpa bertanya dan menaati perintah paus, Fransiskus menaati misi yang diberikan oleh temannya Ignasius. Misi yang di jalankan Fransiskus ini adalah misi pertama dan sekaligus yang terakhir yang dijalankan oleh Fransiskus. Menjadi seorang Yesuit harus taat dan juga tidak melupakan komunitas/serikatnya. Walaupun Fransiskus jauh dari komunitasnya untuk menaati misi yang diberikan, namun Fransiskus tetap selalu mengingat komunitasnya. Konon Fransiskus selalu menyimpan tanda tangan semua teman- temannya saat di tanah misi. Selain itu, bukti nyata keromantisan Fransiskus terhadap komunitasnya adalah dengan rutinnya dia menuliskan surat tentang apa saja yang Fransiskus alami selama di tanah misinya. Surat-surat yang dituliskan oleh Fransiskus ini tentu sangat berguna bagi ilmu pendidikan kedepannya. Salah satu yang dapat menikmati surat-surat Fransiskus ini adalah ilmu Sejarah terutama

22

sejarah gereja. Sebagai contoh dengan surat-surat Fransiskus ini Adolf Heuken sang pastor yang juga ahli Sejarah terutama Sejarah Jakarta ini dapat menulis buku “150 Tahun Serikat Jesus Berkarya di Indonesia”. .Yesuit adalah orang-orang yang menyelamatkan jiwa-jiwa. Setiap imam tugas utamnya adalah menggembalakan umat disuatu paroki, namun ada keistimewaan selain menggembalakan umat di paroki dalam hal ini visi Yesuit yang ingin menyelamtkan jiwa-jiwa melihat pendidikan sebagai hal utama sebagai pelayanannya. “Kami ingin menyelamatkan jiwamu agar menjadi orang yang lebih baik lagi, dengan jalan pendidikan” jelas Romo Surya. Maksud dari Romo Surya adalah Yesuit membantu orang untuk meningkatkan kualitas hidup dengan pendidikan, salah satu contonhya adalah orang yang tidak mampu sekolah (dalam hal biaya) diberikan beasiswa. “Dimana ada Yesuit disitu pasti ada sekolah” lanjut Romo Surya. Yesuit mempunyai beberapa lembaga pendidikan. Jika menemui nama lembaga pendidikan Kolese itu biasanya milik dari Yesuit namun tidak semua Kolese itu milik Yesuit. Tidak hanya dalam pendidikan saja keistimewaan Yesuit ini, tentu tidak melupakan dalam hal sosial Yesuit turut berkarya. Karya Yesuit dalam bidang sosial misalnya menemani dan merawat gelandangan di Pingit, Jogjakarta. Sebagai seorang penggembala tentu juga harus peduli didalam kehidupan sosial. Penulis juga bertanya mengenai proses menjadi seorang Yesuit kepada Romo Surya. Untuk masuk dalam serikat Yesuit, prosesnya yang pertama adalah ikut seminari terlebih dahulu. Seminari ini setingkat dengan SMA, bahkan untuk standar kelulusan seminari adalah ujian nasional yang diselengggarakan pemerintah. Ada sebuah perbedaan seminari dengan SMA biasa, perbedaan itu terletak pada tahun yang harus ditempuh. Jika SMA biasa membutuhkan waktu normal selama tiga tahun, untuk seminari membutuhkan waktu empat tahun. Satu tahun dalam seminari ini digunakan untuk postulat. Postulat ini adalah pendalaman materi tentang Katolik, pendalaman tentang Sejarah Gereja masuk dalam postulat ini. Adapun yang lulus SMA, ataupun telah lulus kuliah bahkan orang yang sudah bekerja ingin bergabung dengan serikat Yesuit ini diperbolehkan dengan hanya mengikuti masa postulat saja di Seminari ini.

23

Setelah lulus seminari, proses selanjutnya bagi calon Yesuit adalah masuk novisiat selama dua tahun. Novisiat ini dipergunakan untuk pendalaman imam calon-calon yang terpanggil. Saat di Novisiat ini, calon-calon imam Yesuit dididik untuk mempunyai hati yang baik, pengalaman doa selama 30 hari dengan tiap harinya berdoa selama lima jam, hal ini ditujukan agar para calon imam memiliki pengalaman doa untuk merasakan kehadiran Yesus dikehidupannya. Sesuatu yang menarik selama di Novisiat ini adalah uang saku para calon imam ditanggung oleh Novisiat dengan tiap bulannya masing-masing mendapat 15.000 rupiah. Dalam pendidikan keimanan di Novisiat ini juga ada prakteknya. Praktek yang pertama disebut Eksperimen Luar rumah (ELR) selama lima bulan, biasanya para calon imam ditempatkan untuk berkarya pada sebuah rumah sakit jiwa, panti jompo, panti asuhan anak keterbelakangan mental dsb. Setelah melewati ELR 1, para calon imam diharuskan untuk Pelegrinasi (ziarah). Ziarah dilakukan selama sembilan hari. Suatu yang menarik dalam ziarah tersebut adalah jarak yang ditentukan pihak serikat adalah kira-kira 500KM dengan uang saku sebanyak 8000 rupiah. Romo Surya bercerita bahwa dia kebagian tempat ziarah di Gua Maria Pohsarang yang beralamat di Pohsarang, Semen, Kediri. Perjalanan romo Surya dimulai dari Girisonta, kab.Semarang dan ternyata uang saku sebanyak 8000 rupiah tersebut hanya cukup untuk naik bus dari Girisonta sampai Magelang, selanjutnya jalan kaki menuju ke Kediri. Mereka yang mengikuti Pelegrinasi ini dipasang-pasangkan dengan orang yang saling tidak memiliki kecocokan, selama sembilan hari ini para calon imam tidak diperbolehkan untuk meminta uang jika mau meminta hanya meminta makan minum saja dan tidak boleh menginap di rumah orang Katolik. Setelah melakukan Pelegrinasi,para calon imam melakukan ELR 2. ELR 2 ini, para calon imam Yesuit dipekerjakan sebagai buruh dengan gaji normal. Tantangan dalam ELR 2 ini adalah apakah para calon imam akan tergoda memanfaatkan uang itu untuk keperluan pribadinya yang seharusnya untuk disetor kepada serikat. Selain itu, para calon imam dibuka hatinya untuk merasakan kehidupan kaum buruh. Secara umum pendidikan calon Yesuit ini ditujukan untuk membangun rasa empati terhadap orang lain.

24

Setelah lulus dari novisiat para calon imam mengucapkan janji kaul, kemudian para calon imam ini diwajibkan untuk kuliah filsafat selama empat tahun. Untuk standar kelulusan kuliah filasafat calon imam Yesuit harus menulis skripsi disertai dengan tes kompre. Kompre adalah tes apa saja yang telah dipelajari selama empat tahun dan itu harus dikuasai semua. Selanjutnya setelah lulus kuliah filsafat, para calon imam melakukam TOK (Tahun Orientasi Kerasulan) selama dua tahun untuk magang dalam institusi SJ. Dalam TOK ini para calon imam dididik untuk menjadi seorang pemimpin, dalam hal ini yang utama adalah ketegasannya. Setelah mengikuti TOK, harus belajar Theologi empat tahun atau kuliah Theologi. Selesai semua ditahbiskan dari mulai Novisiat sampai kuliah Theologi kurang lebih imam Yesuit membutuhkan waktu dua belas tahun. Namun, menurut Romo Surya, Yesuit yang sebenarnya adalah ketika dia meninggal. Seperti dalam sejarah singkat masuknya Katolik di Nusantara pada pembahasan paling atas bahwa Fransiskus Xaverius menerima dengan suka cita untuk menjalankan misinya di Nusantara walaupun sebenarnya Fransiskus sendiri tidak paham jalur yang ia tempuh dan bagaimana keadaan tujuannya. Fransiskus dengan taat menerima misi dari serikatnya tersebut dan percaya bahwa pertolongan Tuhan akan ada. Poin penting dalam paragraf ini adalah bahwa menjadi Yesuit harus taat. Yesuit juga harus menemukan Tuhan di dalam sesama dan alam. C. MENGENAL MSF Untuk membahas apa itu MSF, penulis berkesampatan menemui romo yang bertugas di Paroki Santo Paulus Miki yakni Romo Hubertus Adi Wicaksono, MSF. MSF adalah Missionaris Saccra Famiglia,dalam Bahasa Indonesia adalah Misionaris Keluarga Kudus. MSF didirikan oleh romo Jean Baptiste Berthier, MS yang berasal dari Perancis, pada tanggal 28 September 1895 di Grave (Belanda). Ordo Romo Jean Baptiste Berthier adalah Missionaris La Sallete (MS) yang melayani para peziarah yang berziarah digunung La Sallete yang mempunyai sebuah patung Bunda Maria yang sangat terkenal. Romo Berthier hanya sebuah pendiri MSF bukan merupakan anggota dari ordo tersebut, ini berbeda dengan

25

Ignatius Loyola yang merupakan pendiri sekaligus anggota dari SJ. Jika Yesuit mengenal kata serikat maka di MSF lebih dikenal kata konggregasi. Konggregasi MSF mulai masuk Indonesia pada tahun 1926 (Kalimantan) dan pada tahun 1932 (di Jawa-Semarang). MSF meneladani semangat atau spiritualitas keluarga kudus Nazareth. MSF juga mempunyai keistimewaan dalam bidang karya kerasulan seperti halnya SJ. Namun, jika SJ yang utama berkarya dalam hal Pendidikan dan sosial, MSF berkarya dalam hal promosi panggilan, pembinaan dan pendidikan imam religius dan juga pendampingan keluarga dalam parokial. MSF juga mempunyai proses untuk dapat bergabung dengan konggregasi. Proses pertama adalah postulat yang ditempuh selama satu tahun, sama seperti postulat SJ. Proses selanjutnya adalah mengikuti Novisiat selama satu tahun penuh. Selama masa novisiat ini para calon imam dipersiapkan untuk nantinya mampu menghayati hidup sebagai religius dan calon imam MSF. Menjelang masa berakhirnya, setiap calon imam diperbolehkan mengirimkan surat lamaran untuk mengikrakan kaul kebiaraan. Setelah lamaran itu dikabulkan para frater atau calon romo meneruskan pendidikan di Skolastikat (kuliah). Proses selanjutnya adalah Skolastikat. Para frater dididik kuliah S1 Filasafat dan Teologi selama empat tahun. Setelah lulus para frater ini akan mendapat gelar sarjana sastra (SS). Setelah lulus dari Skolastikat proses selanjutnya adalah masuk Tahun Orientasi Pastoral (TOP). Para frater akan ditempatkan dalam paroki-paroki MSF (dalam atau luar negri) yang akan ditentukan untuk melakukan pelatihan pastoral (magang). Masa TOP berlangsung selama satu atau dua tahun. Proses sesudah TOP, para frater kembali ke skolastikat untuk melanjutkan studi teologi selama dua tahun. Ada juga yang lanjut S2 bagi frater yang mampu untuk melanjutkan studi. Selanjutnya para frater boleh mengajukan kaul dan mengikrarkan kaul kekal untuk menjadi seorang imam.

26

D. GEREJA PAROKI PAULUS MIKI SALATIGA Gereja Santo Paulus Miki berlokasi di Salatiga, sebuah kota yang unik karena kota ini dikelilingi oleh Kabupaten Semarang. Sisi utara terdapat pemandangan yang menarik yaitu gunung Merbabu dan dibelakangnya adalah gunung Merapi. Salatiga merupakan daerah dengan udara yang relatif sejuk dibandingkan kota- kota disekitarnya. Salatiga memiliki banyak peninggalan bangunan Belanda contohnya adalah gedunng papak yang sekarang digunakan sebagai kantor walikota Salatiga dan sebuah rumah di Jl. Diponegoro yang sayang sekali sudah tidak terawat. Bangunan awal Gereja Paulus Miki Salatiga adalah bangunan yang dibuat oleh orang Belanda. Namun, kini sudah direnovasi hingga bangunan asli Gereja Paulus Miki tersebut kini sudah tidak ada. Paroki Salatiga berdiri pada tahun 1939, sebelumnya hanya stasi dari Paroki Santo Yusuf Ambarawa (Supervisi KAS, 2012: 1). Paroki paulus Miki Salatiga terletak di Jl. Diponegoro No.34 Salatiga. Posisinya ini cenderung strategis karena berada di jalan utama kota Salatiga. Letaknya berdekatan dengan Korem persis di sebelah timur gereja dan Kodim di sebelah barat gereja, hal ini membuat gereja terasa aman terhadap isu serangan teror yang pernah melanda negeri ini. Kedua komplek tentara ini juga sangat membantu jika sedang terselenggara misa besar seperti misa Natal dan Paskah, kedua wilayah ini dapat dimanfaatkan sebagai lahan parkir untuk umat yang menggunakan kendaraan. Bentuk bangunan gereja ini mulanya masih asli bergaya Belanda dengan bangunan utama di bagian timur dan pastoran berada di sebelah barat gereja utama. Pada akhir 1990an, bangunan gereja dirombak menjadi bangunan yang lebih besar untuk menampung jumlah umat yang semakin meningkat. Gaya bangunan lebih mengarah ke gaya moderen dengan sedikit sentuhan Jawa. Sentuhan Jawa ini terdapat dalam tulisan “Asma Dalem Kaluhurna” yang berada tepat diatas altar berbentuk melengkung. Setiap minggu digereja Paulus Miki dilaksankan ibadah ekaristi mingguan atau misa mingguan. Misa dilaksanakan pada hari Sabtu pukul 17.00 pada hari minggu

27

pukul 06.00; 08.00 dan pukul 17.00. Misa harian juga dilaksanakan setiap senin- sabtu pada pukul 05.30. Untuk saat ini memang di Salatiga tidak ada industri, pabrik-parik besar ataupun lapangan pekerjaan yang menyediakan lowongan pekerjaan bagi kaum pendatang bahkan tempat wisata di Salatiga sangat sedikit. Padahal jika memanfaatkan kondisi geografisnya Salatiga cukup berpotensi. Namun, di Salatiga terdapat universitas yang cukup menarik bagi kaum pelajar dari Sabang sampai Merauke yaitu Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). UKSW adalah sebuah kampus dengan landasan imam Kristen yang dibentuk karena andil gereja- gereja Kristen Protestan. Walaupun berlandaskan iman Kristen Protestan, namun UKSW sangat terbuka bagi semua pelajar yang memeluk agama apapun. Tak terkecuali bagi pelajar yang beragama Katolik, UKSW dapat dikatakan sebagai penyumbang umat Katolik yang cukup besar bagi gereja Santo Paulus Miki. Sumbangan umat dari UKSW hampir seluruhnya berasal dari mahasiswanya. Para mahasiswa sebagian besar akan mengikuti misa ekaristi pada hari Minggu pukul 17.00. Untuk menampung mahasiswa katolik ini dibentuklah sebuah organisasi. Organisasi Mahasiswa Katolik di dalam gereja Paulus Miki ini adalah KMKS. E. PERALIHAN PENGGEMBALAAN PAROKI PAULUS MIKI Pada sekitar tahun 1950an paroki Salatiga yang saat itu bernama Para Martir Jepang (Ss Japonentium) mempunyai perkembangan yang baik. Perkembangan paroki itu meliputi bentuk pertumbuhan umat yang cukup stabil dari tahun ke tahun dan juga bangunan gereja yang semakin bertambah kapasitas umat yang dapat ditampung didalamnya. Pertumbuhan umat ini tercatat didalam Supervisi KAS. Pertumbuhan yang cukup signifikan dimulai tahun 1953. Kemudian, pada pertengahan tahun 1960an ketika paroki digembalakan romo Sandiwan Brata jumlah umat yang dibabtis sangat banyak, yaitu kurang lebih 120 orang. Pada tahun-tahun tersebut romo Sandiwan berhasil membabtis ratusan orang dalam sekali periode baptisan. Pertumbuhan umat ini juga disebabkan karena faktor G30S/PKI yang saat itu terjadi karena banyak orang yang takut jika nantinya dituduh sebagai anggota PKI (Supervisi KAS, 2012: 2).

28

Penggembalaan Paroki Paulus Miki Salatiga tidak hanya dilakukan oleh imam SJ dan MSF saja, sempat juga oleh Romo Praja. Namun, Romo Praja yang berkarya di Paulus Miki Salatiga hanya sedikit dan dalam kurun waktu yang tidak lama. Tercatat hanya ada Romo Kiswana, Romo Dybyadarmadja, Romo Soemoadmadja dan Romo Sandiwan Brata. Karena penggembalaan Romo Praja yang sedikit dan dalam waktu yang tidak begitu lama ini maka penggembalaan di bawah Romo Praja kurang begitu dikenal oleh umat paroki Paulus Miki Salatiga. Romo Praja di Salatiga yang cukup dikenang sampai saat ini adalah Romo Sandiwan Brata. Semasa Romo Sandiwan memimpin paroki Salatiga beliau tidak hanya membabtis ratusan orang namun juga mencetak banyak guru katekis. Romo sandiwan dan romo Soemadmadja adalah Romo Praja yang berada di periode penggembalaan MSF karena masa baktinya setelah tahun 1957 sedangkan dua romo lainnya berada di dalam periode SJ (Supervisi KAS, 2012: 4). Kepemimpinan romo-romo SJ dimulai dari pastur Teppema hingga yang terakhir pastur Poesposoeparto pada tahun 1957 hampir semua romo yang bertugas di paroki Salatiga adalah romo Yesuit kecuali Romo Kiswana dan Romo Dybyadarmadja. Oleh karena itu masa ini bisa disebut dengan masa penggembalaan Yesuit di paroki Salatiga. Kemudian, Romo Poesposoeparto digantikan oleh Romo van Beek. Romo van Beek adalah Romo bertarekat MSF, jadi paroki Paulus Miki sudah tidak digembalakan lagi Romo Yesuit. Penggembalaan romo MSF dimulai dari Romo van Beek hingga sekarang dipimpin oleh Romo Albertus Agus Ariestyanto (Supervisi KAS: 2012: 7). Romo van Beek mulai memimpin penggembalaan Paroki Paulus Miki pada trimester akhir tahun 1957. Oleh karena itu pada tahun inilah peristiwa peralihan penggembalaan paroki Paulus Miki Salatiga dari SJ kepada MSF ini berlangsung. Berdasarkan dokumen dari Arsip Keuskupan Agung Semarang, jika dirunut dari dokumen bulan Juli sampai bulan Oktober peralihan penggembalaan terjadi pada bulan September. Karena akses sumber yang terbatas maka tanggal peristiwa tersebut tidak diketahui.

29

Dokumen pertama adalah dokumen yang dibuat pada tanggal 1 Juli 1957. Dokumen ini adalah surat yang ditulis pihak Keuskupan untuk kepala paroki saat itu yakni Romo Poesposoeparto, SJ.

“Kami berhasrat untuk menghidupkan kembali St. Elisabeth Stichting te Salatiga. Untuk itu kami minta dengan hormat paduka romo akan mentjari siapa-siapa jang dapat diangkat mendjadi pengurus Stichting tersebut. Bersama ini kami mengirimkan Statuten Stichting St. Elisabeth, jang menurut pendapat kami adalah statuten jang uniform bagi Stichting- Stichting St.Elisabeth, djadi juga untuk Stichting St. Elisabeth te Salatiga. Perlu kami beritakan bahwa sebagai beheerder jang terachir adalah Almarhum Paduka romo v. Ryekevorsel. Sebagai pernah kami beritahukan dahulu, Stichting St. Elisabeth te Salatiga ini telah ditundjuk akan menerima sebagian warisan seseorang jang telah meninggal dunia di Eropah. Dan karena surat pendirian beserta statuten jang terdjahit didalamnja sudah tidak ada lagi, para pengurus (jang akan diangkat itu) nanti akan menghadap dimuka notaris untuk memperoleh statuten yang baru. Semoga keterangan kami diatas ini tjukup mendjadi pedoman pandangan paduka romo dalam mentjari orang-orangnja, dan atas bantuan paduka romo kami menjampaikan banjak-banjak terimakasih.”

Surat bulan Juli berasal dari Yayasan Elisabeth yang akan menghidupkan kembali yayasan ini di Salatiga. Pihak yayasan meminta bantuan kepada romo Poespo untuk memilih orang yang mampu diberikan tugas untuk mengurus yayasan ini serta meminta izin kepada pihak paroki Salatiga itu sendiri. Kemudian, surat bulan Agustus ditulis dengan Bahasa Jawa yang ditujukan kepada seorang Romo Projo Paroki Paulus Miki yakni Romo Dibjadarmadja pada tanggal 22 Agustus 1957.

“Paring pandjenengan serat katitimangsa kaping: 16 Agustus 1957 sampun kula tampi. Menggah ingkang dados kawigatosipun sanget andadosaken nggununging manah kula. Keparengan kula andaraken malih, bilih prekawis mapanaken arta dateng vikariat, menika babar pindah sanes usul pikadjengan kula, ananging kersanipun rama kandjeng pribadi lan kados adat ingkang

30

sampun sasaged-saged kita ugi tansah nglaksanani menapa ingkang dados pamundutipun ngersa dalem. Ingkang menika, menawi pandjenengan lestantun mopo, dados ugi ateges boten kersa mbijantu usahanipun vikariat apostolik Semarang; dados namung ngudi dateng bebatenipun pijambak ingkang boten sepitan. Kados ingkang nate kula aturaken, kagunganipun rama tetep kagunganipun rama, dados boten wonten risieo-nipun babar pindah; suwantji-wantji kabetahaken ugi saged kapundut malih. Perlu kula aturaken , bilih sikep pandjengan ingkang kados mekaten menika sulaja sanget kalijan sikepipun para kantja presbyateratu, inggih menika, ingkang boten namung sami mapanaken artanipun pijambak dateng vikariat kemawon, nanging ugi malah saring sami migunakaken artanipun pijambak kangge parokinipun. Gandeng ingkang kula aturaken ing nginggil menika, wonten kersa rama paring kawigatosan awetawis, lan keparenga ugi kula njuwun paringing wangsulan pungkasan. Kedjawi menika kula njaosi priksa, bilih arta stipendia tumunten kakintun.”

Dokumen yang ditulis pada bulan Agustus ini adalah perihal uang stipendia. Menurut Kitab Hukum Kanonik Kanon 945-958, stipendia adalah sumbangan uang kepada imam atau yayasan amal, supaya Misa dipersembahkan demi ujud si pemohon doa. Uang tersebut bukanlah harga sebuah Misa namun untuk keperluan imam sehari-hari. Imam tidak diperbolehkan hanya mengejar stipendia saja, ada ketentuan batas stipendia dan jika stipendia melebihi batas yang ditentukan sisanya harus dikirm ke kas Keuskupan untuk keperluan sosial yang lain. Stipendia diurus langsung oleh romo paroki namun bukan romo kepala paroki melainkan romo pembantu paroki (Romo Adi). Dokumen berikutnya ditulis 6 September 1957, kepada pastor paroki Romo Poesposoeparta.

“Bersama ini kami kirimkan turunan dari surat kami tg. 1 Juli 1957, No. 463/B/I/24/’57 jang telah kami kirimkan Paduka. Kami sangat menantikan djawaban atas surat kami tsb. Atas perhatian Paduka Romo kami menjampaikan banjak-banjak terimakasih.”

Dokumen bulan September ini adalah surat singkat dan untuk menindaklanjuti surat sebelumnya yang dikirim pada bulan Juli. Surat bulan Juli kemungkinan

31

tidak dibalas oleh pastur paroki yaitu Romo Poespo. Surat dari Yayasan Elisabeth berlanjut pada bulan oktober yang berisi penunjukan oleh pihak yayasan untuk mengurus yayasan itu sendiri. Dalam penunjukan ini romo pimpinan paroki saat itu yang kini telah berganti Romo van Beek, MSF ikut ditunjuk sebagai pengurus. Dokumen pada bulan Oktober tersebut ditulis pada tanggal 29, isi dokumen tersebut seperti ini.

“Dengan ini kami mengirimkan lima surat pengangkatan masing- masing untuk paduka rama sendiri, dan empat orang lainja. Tentang surat pengangkatan bagi empat orang lainnja itu, kami kirimkan asli dan tembusanja, jang asli adalah untuk jang berkepentingan tembusannja adalah untuk disimpan didalam arsip Pasturan. Kemudian atas kesediaan paduka romo, kami mengutjapkan banjak terimakasih.”

Ternyata dokumen surat dari Yayasan Elizabeth yang diserahkan kepada Romo van Beek ada yang lebih lama dari surat bertanggal 29 Oktober 1957 yakni pada tanggal 1 Oktober 1957. Dokumen yang ditulis pada tanggal 1 Oktober 1957 berisi pengangkatan Romo van Beek menjadi moderator Yayasan Elizabeth, inilah isi suratnya:

“Jang bertanda tangan dibawah ini, Mgr. Albertus Soegijapranata S.J., Vikariat Apostolik Semarang. Dengan ini mengangkat: Paduka Romo JOSEF VAN BEEK M.S.F. Terhitung mulai tanggal: 1 Oktober 1957 memegang djabatan Moderator dari DE ELISABETH-STICHTING TE SALATIGA.”

Dengan adanya dokumen tertanggal 1 Oktober 1957 diatas, menunjukan bahwa bulan Oktober 1957 penggembalaan Paroki Santo Paulus Miki sudah berada dibawah pimpinan romo-romo MSF. Ini membuktikan bahwa peralihan penggembalaan Paroki Santo Paulus Miki Salatiga berada pada bulan September 1957. Walapun tidak ada tanggal penarikan Romo Poespo dan tanggal pengutusan Romo van Beek di Paroki Salatiga. Namun, dokumen-dokumen ini cukup

32

membantu untuk mengetahui perubahan penggembalaan yang pernah terjadi di Paroki Santo Paulus Miki Salatiga. Ada empat surat penunjukan serupa yang berasal Yayasan Elisabeth. Keempat surat tersebut berlaku dan ditulis dengan tanggal yang sama. Keempat surat tersebut ditujukan kepada orang awam yang sebagai pengurus dari Yayasan ini. Keempat surat itu menunjuk Ketua, Bendahara, Panitera dan Anggota. Surat pengangkatan tersebut ada hubungannya dengan surat yang ditulis pada 29 Oktober 1957 diatas. Surat pada tanggal 29 Oktober 1957 sebenarnya adalah surat pemberitahuan tentang surat pengangkatan pada tanggal 1 Oktober 1957. Pergantian romo di paroki memiliki proses. Proses tersebut membutuhkan surat penugasan yang berasal dari tarekat atau ordo masing-masing romo yang bersangkutan. Perjanjian untuk menjadi kaul yang mengharuskan siap untuk ditempatkan dimana saja menyebabkan romo-romo harus siap dan menaati surat penugasan tersebut. Tarekat atau ordo memegang peranan penting dalam penugasan. Karena tarekat atau ordo ini bekerja diwilayah misi mereka masing- masing dan tarekat atau ordo ini betanggungjawab terhadap wilayah misi masing- masing. Wilayah misi mereka berbeda-beda namun tersebar di seluruh dunia. Sedangkan, tiap-tiap paroki masuk dalam salah satu tarekat atau ordo. Oleh karena itu, romo yang bertugas didalam paroki adalah romo yang ditugaskan oleh tarekat atau ordo masing-masing, kecuali imam Praja. Imam Praja ini adalah imam yang pertanggungjawabannya langsung kepada Uskup (Wawancara Romo Alis). Pergantian imam dalam paroki ini adalah tugas utama dari tarekat dan ordo. Tarekat ini mempunyai provinsialat yang sebagai pusatnya dalam sebuah wilayah tiap keuskupan. Sedangkan, keuskupan tidak banyak mengatur tentang pergantian romo dalam paroki. Tugas keuskupan hanyalah sebagai pengesah atau dimintai izin saja. Bahkan, sebenarnya hanya bersifat pemberitahuan saja karena kembali lagi pergantian romo ini adalah tugas dari tarekat atau ordo masing-masing (Wawancara Romo Surya). Pergantian romo juga sulit untuk ditebak. Sulit ditebak karena masa penugasan dalam paroki ini tidak ada periode pasti kapan romo harus berganti. Romo yang

33

bertugas dalam paroki bisa saja mempunyai periode yang panjang ataupun sangat pendek. Masa penugasan ini tergantung keputusan tarekat atau ordo masing- masing. Masa penugasan ini hanya diputuskan dan diketahui oleh tiap ordo dan Tuhan. Untuk imam Praja tunduk pada Keuskupan (Wawancara Romo Alis). Paragraf sebelumnya menjelaskan tentang proses pergantian romo tugas di paroki. Permasalahan utama dalam penulisan ini tentang peralihan penggembalaan romo dari SJ kepada MSF. Proses peralihan penggembalaan dalam paroki sama saja dengan pergantian romo setarekat hanya saja salah satu tarekat melakukan penarikan dan yang satu melakukan penugasan (Wawancara Romo Alis). Untuk menemukan detail penugasan dan penarikan yang dilakukan tiap tarekat dapat dilakukan di provinsialat baik SJ maupun MSF semuanya ada di Semarang, namun karena terbatasnya akses sumber membuat peristiwa peralihan penggembalaan Paroki Santo Paulus Miki tersebut tidak diketahui detail waktu peristiwanya. Dalam perubahan penggembalaan ini tidak banyak hal yang merubah gereja baik susunan kepengurusan, tatanan gereja tau bangunan gereja. Sejatinya, walaupun berbeda-beda tarekat tujuan dan tugas mereka semua sama yakni membina dan menggembalakan umat Katolik dimanapun. Perbedaan mereka adalah dalam karya-karya spesifik, misalnya Yesuit berkarya dalam pendidikan dan sosial, sedangkan MSF dalam bidang panggilan iman dan pembinaan keluarga (Wawancara Romo Alis). Pergantian penggembalaan di sebuah paroki tidak hanya terjadi di Salatiga saja. Sebagai contoh Paroki Hati Kudus yang berada di Bangkong, Semarang. Paroki ini awalnya digembalakan oleh Yesuit kemudian diserahkan kepada MSF pada tahun 1932. Perubahan penggembalaan di Paroki Hati Kudus ini diikuti dienstreizer (perjalanan dinas) dikota-kota Muria Raya yakni Kudus dan Pati. Kudus dan Pati dari awal terbentuk paroki sudah dipimpin oleh MSF. Namun, sebelum menjadi Paroki yang didirikan pada tahun 1911, kota Kudus sempat dimasuki oleh utusan Yesuit. Ketika tahun 1896 Andreas Manase yang berasal dari kudus dan teman-temannya sudah menjadi Katekis dan mengajarkan agama Katolik di Kudus. Walaupun setelah itu teman-teman Andreas Manase ditarik

34

untuk tidak mengajar agama lagi karena dianggap Romo van Lith tidak kompeten karena ada yang menghisap candu, melakukan kecurangan finansial dan poligami sehingga hanya menyisakan Andreas Manase. Keterangan tahun 1896 cukup untuk membuktikan bahwa ada kegiatan missionnaris Katolik (khusunya di Kudus) sebelum masuknya MSF yang ada di Indonesia setelah tahun 1900an (Steenbrink, 2006: 618). Yesuit berada di kawasan nusantara selama puluhan bahkan ratusan tahun, Lebih dari 150 tahun karya Yesuit di Indonesia. Dalam karyanya ini, Yesuit banyak mengalami kesulitan-kesulitan yang harus diselesaikan. Kesulitan yang dialami oleh Yesuit ini menjadi kesulitan Katolik Secara Umum. Misalnya; dilarang oleh VOC untuk berkarya akibat dari peristiwa abad gelap (perang salib), masa sulit penjajahan Jepang di Indonesia tahun 1942-1945 yang saat itu banyak anggota serikat dibunuh; salah satunya adalah Romo Damianus Hardjasuwanda SJ (Kantor Wali Gereja, 1974: 889). Memasuki dekade 50an atau setelah masa sulit penjajahan Jepang, wilayah misi Yesuit kian menyempit. Keadaan ini disebabkan karena Yesuit memasrahkan sebagian besar daerah-daerah misi ini kepada tarekat imam yang lain, tarekat bruder ataupun suster untuk dikaryakan dan digembalakan dengan baik. Sedangkan Yesuit sendiri terfokus di Jawa Tengah serta Keuskupan Agung Jakarta (wawancara romo Alis). Yesuit adalah perintis tanah missionaris. Yesuit seperti halnya pembuka lahan yang kemudian akan diolah disitulah Yesuit diibaratkan (Romo Surya). Menurut pak Widodo, Yesuit adalah garda terdepan agama Katolik. Yesuit akan selalu jaga mutu dengan anggotanya yang cenderung cendekiawan. Yesuit itu taat jadi harus selalu disiplin. Sebagai perintis tanah misi Yesuit juga mengalami berbagai masalah yang kemudian berkembang dan bisa menjadi alasan Yesuit untuk melepaskan tanah misi yang dirintisnya. Dalam karyanya di Indonesia, pastur-pastur Yesuit mengalami berbagai masalah selama berkarya di Indonesia, termasuk masalah bahasa yang saat itu masih memakai bahasa adat masing-masing. Setidaknya ada sepuluh poin masalah

35

yang dialami Yesuit, namun dalam penulisan ini akan diambil lima poin saja yang sesuai dengan tema peralihan konggregasi. Masalah mana yang dihadapi dan kebijakan mana yang ditempuh pada masa peralihan: 1. Semula pembesar Serikat Yesus kurang berperan, sehingga beberapa pater bahkan kurang mengetahui bahwa ada seorang superior misi. Secara praktis vikaris apostolik mengambilalih tugasnya. Pada decade-dekade pertama, penempatan pater-pater biasanya sesuai kehendak Mgr. Vrancken dan Claessens. Mereka ingin menempati sebanyak mungkin daerah dalam berlomba dengan zending. 2. Secara de facto tiga puluh tahun sesudah kedatangan pastur pertama, missionaris Yesuit melayani seluruh vikariat Batavia. Vikariat ini termasuk yang paling luas di seluruh dunia. Pembahasan di antara Yesuit tentang penyerahan sebagian besar wilayah dengan porsi umat pribumi paling banyak kepada konggregasi lain, menimbulkan pertanyaan seperti: daerah manakah dan/atau kerasulan manakah yang tetap ingin dikerjakan Serikat Yesus? Bersama-sama dengan imam ordo/serikat atau terpisah menurut daerah? Apakah pastoral di antara orang Katolik Eropa – yang sebagian besar terdapat di pulau Jawa – sebaiknya dipertahankan? Sebab, pastor-pastor ini digaji dan sebagian kegiatan mereka disubsidi pemerintah. Pater-pater ini sanggup menunjang saudara seserikat, yang tidak digaji. Apakah mungkin semua tenaga dikerahkan ke misi di antara orang pribumi saja? Apakah tenaga dan dana memadai? Rupanya tidak. 3. Waktu menjabat socius provinsialis Provinsi Belanda, P.F. Heynen mengadakan visitasi ke semua rumah (1874/75) dan merasa puas dengan semangat religius serta kerja. Para Jesuit, yang menjalankan pastoral di antara orang Eropa, memandang karya merekalah yang terpenting. Sedangkan pastur-patur yang berkarya di antara orang pribumi berpandangan sebaliknya: masa depan tergantung dari kerasulan mereka (Heuken, 2009: 111).

36

4. Masalah peka adalah dana: di antara empat puluh pastur, pemerintah member gaji kelas pertama pada satu imam (vikaris apostolik). Dua puluh dua imam digaji untuk pastoral di antara orang Eropa menurut 2de klas (1890). Sepuluh pastur lagi (3e klas: fl. 175,- per bulan) diberi gaji untuk pekerjaan di antara orang Katolik pribumi (sejak 1896). Dana pemerintah ini memadai untuk mereka yang berkarya dalam pastoral di antara orang Eropa pada masa itu, tetapi tidak untuk semua misionaris. Jumlah pastur yang digaji sangat menurun waktu pulau-pulau di luar Jawa dilepaskan. Dana dari propaganda fide sama dengan uang yang dikumpulkan di Nusantara dan dikirim dari Batavia ke Roma sebagai St. Pieterspenning. Atas inisiatif P.F Heynen yang menjadi Provinsial di Belanda, Sint Claverbond didirikan (1889). Di samping mengumpulkan dana (yang besar), perkumpulan ini mengembangkan pula perhatian untuk misi dengan buku kecil Berichten uit Neederlandsch Oost-Indie yang atas desakan pembaca menjadi majalah berkala (1889-1920). (Sint Claverbond adalah majalah untuk mengetahui sejarah misi. Tetapi, karena tujuannya untuk memperoleh dana dari sidang pembaca, maka hal yang tidak menyenangkan tidak dimuat). Pengeluaran besar disebabkan oleh pembangunan Katedral Batavia (1891-1902), tenggelamnya kapal dengan uang tunai sebesar enam ribu gulden dan terutama – karena investasi dalam penerbitan koran Katolik Express (1891/92) serta Bataviaasch Handelsbald (1892- 1903) yang gagal. 5. Sebagian besar anggota Provinsi SJ Belanda berasal dari kalangan masyarakat menengah dan tinggi. Mereka masuk novisiat di Mariendaal, tempat beberapa Jesuit Indonesia sejak tahun 1915 memulai hidup religius mereka pula, yakni sampai novisiat dibuka di Yogyakarta (1922). Dalam juniorat pengetahuan bahasa Latin dan Yunani dimulai atau diperdalam. Sesudahnya studi filsafat ditekuni di Kolese Berchmans di Oudenbosch (dan kemudian di Nijmegen).

37

Sejak tahun 1909 semakin banyak frater Belanda dan bahkan novis ditugaskan di Indonesia, untuk belajar bahasa Jawa, mengenai misi dan membantu para pater, misalnya dengan memberikan pelajaran agama atau ikut mengurus asrama. Pastur van Rijckevorsel misalnya, bekerja sebagai frater di Muntilan selama lima tahun. Sesudahnya para frater belajar teologi di Maastricht. Adanya frater Jesuit muda di Indonesia memudahkan pemuda Jawa memikirkan panggilan menjadi imam. Sebab, para frater mengubah citra, bahwa seorang pastor selalu orang yang sudah berumur. Sejak 1911 dibuka seminari menengah di Muntilan, yang kemudian untuk sementara pindah ke Yogyakarta. Uang dikumpulkan oleh Liefdewerk Javabus, oleh Sint Petrus Liefdewerk (suatu lembaga kepausan) dan oleh perkumpulan Palopei Darma yang dimulai di Muntilan (1925). Mgr. Willekens memberitahukan kepada semua prefek dan vikaris apostolik, bahwa seminari tinggi di Yogyakarta terbuka bagi calon imam dari semua ordo di Indonesia. Monsinyur bekerja keras, supaya pendidikan imam dalam negeri dimungkinkan dan maju secepatnya, bahkan selama masa pendudukan Jepang. Pada tahun 1926 imam Indonesia pertama di tahbis; ddan pada masa Perang Pasifik pecah sudah terdapat tiga pulh imam (yang sebagian dididik di Flores juga). Penempatan Jesuit pribumi di Jakarta berlangsung perlahan-lahan setelah perang selesai. Selama perang, Pastur Soemarno SJ bertugas di Katedral dan ikut melayani umat di seluruh Jakarta. Setelah Perang Pasifik dan pengakuan Kedaulatan (1949), banyak frater dan pater muda tiba di Belanda. Tetapi karena alasan politis frater dan imam dari bangsa lain menggantikan para missionaris Belanda (sejak akhir 1950). Mereka datang dari Austria, Belgia, Jerman dan Swiss. Para Jesuit Belanda menggantikan para missionaris Prancis di Lebanon. Tetapi lima tahun sesudah Konsili

38

Vatikan II dan khususnya kebijakan Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara, hampir tiada missionaris baru. Pintu masuk ditutup. Untunglah imam dalam negeri semakin meningkat, sehingga dapat menggantikan para missionaris yang pulang atau meninggal termasuk mereka yang meninggalkan imamat (Heuken, 2009: 113- 115). Karya Jesuit di berbagai daerah di seluruh Nusantara sampai waktu misi di semua pulau di luar Jawa diserahkan kepada konggregasi lain. Bagaimana perkembangan dan keadaan Serikat Jesus setelah berkarya setengah abad di Indonesia. Kegiatan yang berpangkal tolak dari Jawa, meluas di berbagai stasi dari Larantuka sampai Medan, lalu menciut lagi, sehingga tinggal misi di pulau Jawa saja. Sudah dapat disimpulkan, bahwa pada pergantian abad timbul suatu krisis, yang menuntut mengambil kebijakan mendasar. Percobaan dicoba di berbagai tempat lalu menciut lagi, karena tak bisa diteruskan. Harus memilih, memutuskan dan melepaskan, lalu memusatkan tenaga bukan dari segi territorial saja namun juga dari segi kerja. Semula para Jesuit diundang oleh Mgr. Vrancken, supaya berkarya sebagai missionaris lapangan, bukan sebagai biarawan yang menjalankan kerasulan khas Serikat Jesus. Para Jesuit muda diutus tanpa ada persiapan. Mereka langsung di-drop di berbgai tempat tanpa mengetahui bahasa, tidak mengenal adat setempat dan harus menyesuaikan diri dengan iklim. Maka, orang yang sehat dan siap bekerja yang diutus (Heuken, 2009: 109). Dua medan kerja sangat berbeda: pastur umat Eropa digaji dengan baik dan perjalanan dinas dibiyai pemerintah. Maka, kebutuhan sehari-hari terjamin. Para misionaris sering mulai dari nol. Kadang seorang umat umat pun tiada. Tak ada sarana untuk mempelajari bahasa. Tidak ada subsidi pemerintah. Daftar kata dan gramatika belum disusun. Seringkali misionarislah orang pertama yang melakukan riset seperti itu (Heuken, 2009: 110).

F. PERALIHAN PENGGEMBALAAN YESUIT DI DAERAH LAIN

39

Jesuit telah ada dan berkarya di Indonesia selama ratusan tahun. Dalam waktu yang panjang ini, para Jesuit telah berkarya di berbagai daerah dari Sabang sampai Merauke. Kemudian karya Yesuit ini ditinggalkan dan diwariskan kepada konggregasi lain untuk dikaryakan di berbagai tempat tersebut, tidak hanya di Salatiga saja. Daerah yang dilepaskan oleh Yesuit ini adalah daerah yang berada di luar Jawa. Kemudian, Yesuit berkonsentrasi di Jawa walaupun beberapa daerah di Jawa juga diserahkan kepada konggregasi lain termasuk MSF. Pastur Jansen melakukan beberapa kunjungan sulit ke pedalaman, yang berhasil dengan baik. Tetapi, ia kehabisan tenaga menjadi sakit parah akibat iklim buruk di Atapupu, sehingga pindah ke Larantuka (1895). Tetapi, keadaan tidak membaik, sehingga terpaksa pulang ke Belanda dan tahun berikutnya meninggal (1896), waktu itu ia berumur 46 tahun. Pastur Mathijsen bertahan sampai seluruh umat Pulau Timor diserahkan kepada pater-pater Serikat Sabda Allah (SVD 1913) (Heuken, 2009: 71). Rupanya pada awal abad ke 20 para pembesar serikat Jesus agak kewalahan. Tiada rencana menyeluruh menyeluruh, sehingga tiada tenaga untuk mengembangkan umat di Sumatera. Pada tahun1912 lima pastur Jesuit meninggalkan Padang, Kuta Raja serta Tanjung Sakti dan menyerahkan umat sebesar 4200 orang beriman kepada pastu-pastur Kapusin (Heuken, 2009: 94). Dengan melepaskan seluruh daerah di luar Jawa (1920), tenaga Serikat Jesus ditarik ke Pulau Jawa dan sebagian besar ditempatkan di wilayah yang sekarang membentuk Keuskupan Agung Semarang. Sebab, umat ini mulai berkembang cepat dan beberapa lembaga pendidikan memerlukan tenaga (Heuken, 2009: 94). Karya Jesuit di berbagai daerah di seluruh Nusantara sampai waktu misi di semua pulau di luar Jawa diserahkan kepada konggregasi lain. Bagaimana perkembangan dan keadaan Serikat Jesus setelah berkarya setengah abad di Indonesia. Kegiatan yang berpangkal tolak dari Jawa, meluas di berbagai stasi dari Larantuka sampai Medan, lalu menciut lagi, sehingga tinggal misi di pulau Jawa saja. Sudah dapat disimpulkan, bahwa pada pergantian abad timbul suatu krisis, yang menuntut mengambil kebijakan mendasar.

40

Percobaan dicoba di berbagai tempat lalu menciut lagi, karena tak bias diteruskan. Harus memilih, memutuskan dan melepaskan, lalu memusatkan tenaga bukan dari segi territorial saja namun juga dari segi kerja. Semula para Jesuit diundang oleh Mgr. Vrancken, supaya berkarya sebagai missionaris lapangan, bukan sebagai biarawan yang menjalankan kerasulan khas Serikat Jesus. Para Jesuit muda diutus tanpa ada persiapan. Mereka langsung di-drop di berbgai tempat tanpa mengetahui bahasa, tidak mengenal adat setempat dan harus menyesuaikan diri dengan iklim. Maka, orang yang sehat dan siap bekerja yang diutus (Heuken, 2009: 109). Dua medan kerja sangat berbeda: pastur umat Eropa digaji dengan baik dan perjalanan dinas dibiyai pemerintah. Maka, kebutuhan sehari-hari terjamin. Para misionaris sering mulai dari nol. Kadang seorang umat umat pun tiada. Tak ada sarana untuk mempelajari bahasa. Tidak ada subsidi pemerintah. Daftar kata dan gramatika belum disusun. Seringkali misionarislah orang pertama yang melakukan riset seperti itu (Heuken, 2009: 110). Superior misi, Pastur Hellings dan Wenneker, menyadari, bahwa akibat karya Pastur van Lith, Jawa Tengah akan menjadi sangat penting untuk masa depan Gereja di Indonesia. Tetapi, menyediakan tenaga untuk karya ini berarti harus menutup stasi-stasi lain. Ini dianggap bukan penyelesaian yang baik. Pemecahan dilaksanakan oleh Mgr. Luypen SJ: mengalihkan semua stasi bersama umat di luar Jawa kepada konggregasi lain, yang mempunyai tenaga dalam jumlah yang memadai. Sebenarnya bukan jumlah umat, yang mendorong untuk melepaskan wilayah tersebut, tetapi jarak antara stasi satu dan lainnya terlampau jauh, terlebih kalau mengingat transportasi pada masa itu masih sangat lamban. Lalu, Serikat Jesus berkonsentrasi di Jawa (1904-1921). 1. 1904, Stasi Langur bersama seluruh Maluku dan Papua diserahkan kepada Misionaris Hati Kudus (MSC). 2. 1905, Stasi Singkawang dan Nanga-Sejiram, yang keduanya hanya dikunjungi dari Batavia (dengan seluruh Kalimantan dan Bangka) diserahkan pada Pastur-pastur Kapusin (OFMCap).

41

3. 1911, Stasi Padang, Medan, Kuta Raja dan Tanjung Sakti (dengan seluruh Sumatera) diambiloper pastur-pastur Kapusin. 4. 1913, Semua stasi di Nusa Tenggara diberikan kepada misionaris SVD; semula di Timor (1913) dan selama beberapa tahun berikutnya di Flores (1920). 5. 1919/20, Stasi Manado, Tomohon, Woloan dan Makassar dengan seluruh Sulawesi dialihkan kepada Misionaris Hati Kudus (MSC). Sebelum semua misionaris SJ ditarik ke Jawa (1922), sudah dilaksanakan pembicaraan tentang menerima tenaga tambahan untuk misi Jawa. Alasannya ganda: beberapa ordo/konggregasi minta berkarya di misi, dan Provinsi Serikat Jesus di Belanda tidak sanggup mengutus lebih banyak misionaris. Pendidikan imam Indonesia masih pada masa awalnya. Vikaris Apostolik Batavia dan pembesar Serikat Jesus cenderung tenaga baru bekerja dalam satu vikariat saja, sedangkan Roma (dan pimpinan ordo/konggregasi lain yang bersangkutan) ingin mendapat daerah ‘sendiri’ dengan mengadakan perfektur/vikariat baru. Maka, pemenggalan berlangsung terus. ‘Semangat’ berkonsentrasi di Jawa bertambah setelah menjadi nyata, bahwa di Jawa Tengah umat Katolik Jawa berkembang dengan baik. Namun, di Jawa Barat sampai tahun 1950-an pastoral di antara umat Belanda tetap dominan. ‘Semangat’ berpusat di Jawa sukar diubah setelah provinsi SJ cukup kuat untuk menerima paroki atau sekolah di luar Jawa. Rupannya, sulit meninggalkan karya yang sudah ada dan berkembang, supaya dapat melebarkan sayap ke luar Jawa, agar benar- benar menjadi Provinsi Indonesia. Di lain pihak dalam kedua ‘keuskupan Jesuit’, yakni Jakarta dan Semarang paling banyak ordo/konggregasi lain ikut bekerja. 1. 1923, Stasi-stasi di Jawa Timur diserahkan kepada pastur-pastur Karmelit (Ocarm) serta Lasaris (CM), walaupun sampai 1927/28 masih di dalam yuridiksi Vikariat Apostolik Batavia. 2. 1927, Beberapa stasi di Jawa Tengah dan Barat dialihkan kepada pastur-pastur Salib Suci (OSC) dan Misionaris Hati Kudus (MSC),

42

yang pada tahun 1932 membentuk Prefektur Apsotolik Bandung dan Purwokerto. Antara tahun 1903 dan 1922 dua puluh lima Jesuit ‘pulang’ ke Jawa. Sebagian besar sudah berusia lima puluh tahun keatas: dua Jesuit dari Kei, lima pastur dari Sumatera, dua pastur dan satu bruder dari Timor, serta tujuh pastur dan enam bruder dari Flores dan akhirnya enam pastur dari Minahasa dan Makassar. Hanya beberapa tahun sesudahnya stasi di Jawa Timur, Bandung, Cirebon di Jawa Barat dan Purwokerto di Jawa Tengah mulai dilepaskan oleh Jesuit juga. Di dalam daerah yang tinggal di Jawa Tengah dan Barat, beberapa paroki diserahkan kepada pastur Fransiskan (Kramat, Matraman, serta Kampung Sawah ‘untuk sementara’ dan kemudian Sukabumi) seta beberapa stasi di Jawa Tengah kepada Misionaris Keluarga Kudus (MSF). Uraian dalam bab tentang Keuskupan Agung Jakarta dan Semarang memperlihatkan, bahwa tenaga yang ‘pulang’ itu dengan cepat diserap oleh karya, yang semakin tambah banyak dalam daerah yang dipegang Serikat Jesus. Jumlah Jesuit yang berkarya dalam bidang non-paroki, semakin bertambah, khususnya dalam pendidikan umum dan calon imam (seminari). Gejala ini sesuai dengan perkembangan Gereja di Indonesia dan kerasulan khas Serikat. Selain tenaga baru dari serikat-serikat imam, banyak suster dan bruder mendukung serta mendorong perkembangan Gereja dalam Vikariat Batavia (Heuken, 2009: 115-116). Beberapa kali pimpinan misi Serikat Jesus di Indonesia menghadapi masalah yang sama: karena tenaga SJ kurang, maka ordo/konggregasi lain diminta supaya membantu. Bantuan ini langsung menimbulkan pertanyaan, apakah anggota ordo/konggregasi ini berkarya di dalam wilayah, yang dipimpin seorang vikaris apostolik dari Serikat Jesus atau di luar wilayah ini dan di bawah pimpinan seorang uskup dari konggregasi yang bersangkutan. Diskusi dalam kalangan Jesuit cukup hangat. Namun, setiap kali pandangan pro melepaskan daerah, yang pernah dikembangkan misionaris Jesuit dengan usaha dan pengorbanan besar, menang. Dengan demikian, tenaga Jesuit dapat dikerahkan dapat dikerahkan di Jawa Tengah, yang berkembang di Jawa Tengah, yang berkembang di luar dugaan

43

sejak Pastur van Lith menemukan cara yang berhasil di Muntilan (Heuken, 2009: 121). Sejak 1936, Mgr. Willekens memprakarsai pendidikan imam diosesan. Artinya, sudah tekad hendak melepaskan pastoral biasa kepada klerus diosesan. Perkembangan ini wajar dan sesuai cita-cita Serikat Jesus: membuka ladang atau karya baru dan pada waktu sudah ‘matang’ diserahkan kepada tenaga lain, supaya bebas untuk memulai karya (baru) yang dituntut zaman. Jangan terikat pada karya tertentu, kecuali karya khas Serikat Jesus yang jarang dilepaskan seperti pendidikan menengah dan akademis, termasuk pastoral mahasiswa, pendidikan calon imam dan khususnya karya sebagai pembibing rohani. Demikian pula dengan beberapa bidang lain, misalnya dengan kerasulan dalam media massa, dengan retret serta gereja non-paroki dalam kota besar dengan pelayanan khusus seperti Sakramen Pengakuan, khotbah, dan perayaan liturgi yang bermutu (Heuken, 2009: 121-122). Jawa Barat dan khususnya Batavia/Jakarta sampai akhir tahun 1950an belum memerlukan banyak tenaga misionaris. Sebab tiada misi. Sampai 1940 pastur- pastur Jesuit menggembala hanya dua dari lima paroki di Batavia. Sesudah 1966 Keuskupan Agung Jakarta menjadi ‘wilayah SJ’ dengan paling banyak pastor dari ordo/konggregasi lain, yang berkarya dalam bidang paroki maupun bukan paroki (Heuken, 2009: 121). Keuskupan Bandung juga mengalami hal yang serupa. Sebelumnya, keuskupan ini adalah bagian dari vikariat apostolik Jakarta yang dipimpin SJ. Barulah pada tahun 1927 tarekat OSC (Ordo Salib Suci) masuk kemudian setelah menjadi keuskupan sendiri dipimpin oleh OSC. Secara keselurahan, penggembalaan awal di Nusantara dilakukan oleh SJ. Tercatat pulau-pulau seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT dan daerah nusantara timur lainnya. Penggembalaan yesuit yang bersifat menyeluruh di nusantara ini berlangsung mulai masuknya bangsa barat hingga berkhirnya abad 19. Hingga masuknya missionaris lain pada abad 20 menjadikan Yesuit berbagi daerah misi dengan Tarekat lain, baik itu Tarekat Imam, Bruder ataupun Suster (Steenbrink, 2006: 597).

44

G. PENGGEMBALAAN YESUIT DAN MSF SELAIN SEBAGAI PEMIMPIN IBADAH UMAT KATOLIK SALATIGA Yesuit di Keuskupan Agung Semarang berbagi wilayah misi dengan tarekat- tarekat lain. Salah satu tarekat itu adalah MSF. Baik SJ maupun MSF mempunyai peran baik penting dalam keuskupan. Jika SJ berperan dalam dunia pendidikan dan sosial (terutama pendidikan) maka MSF berperan dalam bidang pembinaan keluarga dan bibit panggilan. Oleh karena itu dua tarekat ini sebenarnya dapat saling melengkapi untuk membangun umat yang baik dan berkualitas. Seminari Mertoyudan dan Bibit Panggilan Dari Salatiga Seminari Mertoyudan adalah seminari tingkat menengah setara SMA dengan durasi pendidikan selama empat tahun. Seminari menengah Mertoyudan mempunyai nama lengkap Seminari Menengah Petrus Canisius. Seminari ini beralamat Jalan Mayjend Bambang Soegeng nomor 15, Mertoyudan, Magelang. Lokasinya dipinggir jalan raya Magelang-Jogja, posisi yang sangat strategis. Seminari ini didirikan pada tahun 1912 oleh Romo van Lith. Sekarang, Seminari Mertoyudan dipimpin oleh Romo Alis Windu Prasetyo sebagai kepala sekolah. Pada awalnya seminari ini adalah milik Yesuit, namun sekarang diambil oleh keuskupan. Meski telah diambil alih oleh keuskupan, namun keuskupan tetap mempercayakan Yesuit sebagai pengelola seminari ini dibantu oleh beberapa Romo Praja. Memang, yang berkaitan dengan pendidikan akan sangat cocok jika romo Yesuit yang mengelola terlebih ini adalah pendidikan bagi calon romo yang otomatis dituntut untuk menghasilkan produk pendidikan yang baik. Pengeloalaan yang dilakukan oleh yesuit ini terbukti dengan prestasi seminari yang mendapat Akreditasi A plus dari pemerintah. Kata seminari berasal dari bahasa latin semen yang bermakna benih dan seminarium yang berarti tempat untuk mendidik benih-benih panggilan. Benih- benih panggilan ini nantinya diharapkan untuk menjadi seorang imam yang mapu menggembalakan umat digereja dengan baik (wawancara Romo Alis). Oleh karena itu anggapan atau mindset masyarakat tentang siswa yang masuk seminar adalah calon romo itu adalah benar. Siapa saja yang masuk seminari itu sudah dianggap mempunyai panggilan menjadi seorang imam/pastur, walaupun pada

45

akhirnya ada yang gugur sebelum lulus dari seminari tersebut. Siswa yang gugur ini batal menjadi romo, disebut juga gagal dalam panggilan. Lokasi Mertoyudan yang tidak terlalu jauh dari kota Salatiga membuat calon panggilan banyak yang berasal dari Salatiga terkhusus Paroki Paulus Miki Salatiga. Dalam lima tahun terkahir, nama Paroki Santo Paulus Miki Salatiga tidak pernah hilang dari nama daftar peserta didik Seminari Mertoyudan. Pada tahun pelajaran 2012/2013 terdapat seorang peserta didik yang berasal dari Paroki Santo Paulus miki salatiga. Pada tahun pelajaran 2013/2014 bertambah empat siswa baru sehingga total peserta didik yang berasal dari Paroki Paulus Miki Menjadi lima orang. Pada tahun pelajaran 2014/2015 tidak ada siswa baru yang berasal dari Paroki Paulus Miki Salatiga, justru berkurang satu orang sehingga hanya tersisa empat orang. Jumlah empat orang ini masih cukup banyak. Pada tahun pelajaran 2015/2016 bertambah seorang peserta didik dan salah seorang peserta didik telah lulus dari seminari ini, sehingga jumlah peserta didik yang berasal dari Paroki Santo Paulus Miki tetap berjumlah empat orang. Pada tahun pelajaran 2016/2017, salah seorang peserta didik keluar dan hanya menyisakan tiga orang siswa dari Paroki Santo Paulus Miki Salatiga. Ketiga orang Siswa ini adalah seangkatan dan semuanya juga telah lulus dari Seminari Mertoyudan pada tahun ini. Jumlah peserta didik di Seminari Mertoyudan yang berasal dari Paroki Santo Paulus Miki Salatiga memang tidak mencapai angka puluhan, namun patut disyukuri, jumlah ini masih dirasa banyak. Mengingat, untuk sekarang, menjadi imam/romo/pastur bukanlah pilihan. Semakin banyak populasi manusia didunia saat ini justru panggilan untuk menjadi romo semakin berkurang. Siswa-siswa ini berani untuk menerima dan melanjutkan panggilan untuk menjadi imam gereja. Tantangan besar setelah menjadi romo adalah suatu yang membuat orang awam tidak mau untuk menjadi romo. Setelah menjadi romo nantinya harus siap ditempatkan dimanapun yang bisa saja jauh dari keluarga, saudara dan teman- temannya. Hal lain yang menyebabkan orang awam tidak mau untuk menjadi seorang pastur/romo adalah tantangan untuk mempertahankan keperawanan (tidak menikah). Sehingga jumlah tiga orang ini menjadi suatu prestasi yang membanggakan bagi Paroki Paulus Miki. Jumlah ini juga menjadi prestasi bagi

46

romo-romo paroki yang bertarekat MSF karena sesuai dengan karya kerasulan kedua yakni; karya di bidang promosi panggilan, pembinaan dan pendidikan imam religius. Dukungan yang lebih diharapkan dari pihak paroki agar Salatiga menjadi kota penghasil pastur-pastur yang baik bagi gereja dan masyarkat. Penulis sendiri saat ini tidak tahu apakah gereja sudah memberikan dukungan bagi benih-benih panggilan ataukah belum. Yayasan Kanisius di Salatiga Yayasan Kanisius merupakan lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan-pendidikan sekolah mulai dari TK sampai SMA/SMK. Kanisius didirikan tahun 1918 di Muntilan oleh Romo Fransiskus van Lith. Semenjak berdirinya, Yayasan Kanisius adalah Milik Vikaris Apostolik Batavtia, baru pada tahun 1940 diserahkan kepada Vikaris Apostolik Semarang yang dipimpin oleh Mgr. Albertus Soegijapranata. Yayasan Kanisius dipercayakan untuk dikelola oleh Serikat Jesus (SJ). Seirama dengan perkembangan Yayasan Kanisius berkembang pula gereja ke pelosok-pelosok wilayah Keuskupan Agung Semarang. Perkembangan ini seirama dengan keinginan van Lith yang ingin memberikan pendidikan bagi rakyat bumiputera. Pendidikan juga menjadi karya misi Serikat Yesus. Sekolah milik Yayasan Kanisius di Salatiga ada dua yaitu yang berlokasi di Gendongan dan satunya berlokasi di Kecamatan Sidorejo. Sekolah Kanisius yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah yang berlokasi di Kecamatan Sidorejo. Sekolah ini beralamat lengkap di Jl. Raden Patah, tepat dibelakang Gereja Santo Paulus Miki Salatiga. Sekolah ini disebut juga dengan Kanisius Cungkup, karena lokasinya dekat dengan desa Cungkup. Kanisius Cungkup ini mempunyai pendidikan dari mulai TK sampai SD. Penulis juga merupakan alumni TK dan SD Kanisius Cungkup Salatiga. Kepala sekolah saat ini dijabat oleh Yulius Ponirin. Komplek sekolah Kanisius Cungkup ini adalah sekolah tua yang telah berdiri pada tahun 1928. Berdirinya sekolah ini jauh sebelum Paulus Miki menjadi sebuah paroki (saat itu masih bagian dari stasi Ambarawa yang digembalakan SJ). Yulius Ponirin menjelaskan bahwa, Kanisius ini datang di Salatiga karena dibawa oleh romo-romo SJ. Namun, siapa romo yang mendirikan sekolah Kanisius ini di

47

Salatiga pak Ponirin juga belum mengetahui. Beliaupun sempat bertanya kepada pusat Yayasan di Semarang namun pihak yayasan juga belum bisa menjawab karena arsip-arsipnya masih terselip dan belum ditemukan. Walaupun begitu, ini sudah menjadi bukti nyata tentang pengaruh dan peran SJ untuk Paroki Santo Paulus Miki dan Masyarakat Salatiga dengan kabar gembira yang berbentuk pendidikan. Marriage Ecounter Penulis berkesampatan untuk bertemu dan mewawancarai salah satu anggota dan juga seorang pelopor adanya Marriage Ecounter di Salatiga beliau adalah Nugroho Noviyanto atau yang lebih akrab disapa pak Novi. Beliau berdomisili di Blotongan, Salatiga. Beliau juga adalah pemilik usaha Es Krim Sunduk (nama perusahan). Marriage Ecounter atau yang sering disebut ME adalah sebuah kategorial yang ada di Paroki Paulus Miki. Kategorial adalah sebuah kelompok-kelompok non organisasi yang terdapat di tiap-tiap paroki. Setiap paroki memiliki kategorial yang tidak harus sama dengan paroki-paroki lainnya. Paroki Santo Paulus Miki Salatiga sendiri memiliki 22 kategorial dan salah satunya adalah ME itu sendiri. Adapun contoh kategorial yang lain adalah Kharismatik, kelompok doa dan sebagainya. Kategorial bekerja di luar paroki namun kegiatan-kegiatan didalam kategorial ini dapat mendukung dan memperkaya kegiatan keimanan paroki. ME bukanlah sebuah organisasi namun adalah sebuah gerakan. ME terdapat di paroki- paroki, oleh karena itu agar ME dapat terhubung di tiap-tiap paroki maka ditunjuklah Kordis. Kordis akronim dari Koordinator Distrik. Dalam ME yang menjadi koordinator distrik adalah satu pasangan pasutri dan seorang pastur. Kordis bertugas mengkoordinasi tiap-tiap wilayah tertunjuk didalam lingkup keuskupan yang mirip seperti daerah karisidenan. Salatiga tergabung dalam distrik keuskupan 2. Anggota keuskupan 2 adalah Semarang, Salatiga, Ungaran, Jepara dan Kudus. Kordis keuskupan dua adalah romo Ariestyanto MSF dan pasutri Puji- Ita. Marriage Ecounter atau ME adalah sebuah kategorial yang bergerak didalam hubungan cinta kasih atau lebih rincinya adalah hubungan keluarga dalam hal ini

48

suami-istri. ME berkarya di luar paroki namun untuk memperkaya paroki. ME di Salatiga dibimbing oleh romo Adi, MSF. ME sendiri bertujuan untuk menyelesaikan masalah kepasutrian dari sisi gereja. Hal yang dimaksud dari sisi gereja adalah hukum pernikahan yang monogami dan tidak bisa cerai. Gerakan ME benar-benar membina pasutri-pasutri yang tergabung dengan mengundang mereka untuk mengikuti kegiatan semacam seminar pendampingan dengan nama Weekend ME. ME sendiri melihat banyaknya kasus dalam hubungan pasutri yang semakin lama hubungan itu semakin memudar. Hubungan yang memudar ini tentu saja disebabkan adanya masalah dalam keluarga yang dibina. Dalam hidup masalah itu selalu datang, tentu yang diperlukan adalah bagaimana sikap untuk menghadapi masalah-masalah tersebut. Masalah yang sering timbul dalam pernikahan utamanya ada tiga, yaitu; Ekonomi, Seksual dan pengaruh keluarga asal dari pasutri itu sendiri. Untuk itu ME dengan prinsip pernikahan dari sisi gereja (monogami dan tidak bisa cerai) ingin mencoba membantu menyelesaikan masalah dalam hubungan pasutri itu agar hubungan pasutri tersebut tidak terbawa kedalam masalah yang lebih dalam dan menyebabkan hubungan itu tercerai. Dampak yang lebih dalam dengan tercerainya pasutri tentu saja ke anak-anak pasutri itu sendiri. Hubungan suami-istri tidak boleh timpang. Ciri khas ME untuk membantu menyelesaikan masalah ini adalah penekanan dialog. Dialog yang dimaksud adalah dialog yang ditujukan untuk lebih mengenal kepribadian dengan perasaan. Kemudian, menekankan hati yang dibina dalam menghadapi keberlangsungan keluarga untuk mencari makna dan pentingnya berkeluarga sehingga pasutri yang dibina dapat mempertanggungjawabkan keputusannya untuk berkeluarga, bertanggung jawab kepada anak-anak mereka, bertanggung jawab kepada keluarga mereka masing-masing, bertanggung jawab kepada masyarakat dan juga bertanggung jawab kepada Tuhan.Walaupun ME ini adalah salah satu kategorial milik paroki namun pengajaran dalam ME bersifat umum. Oleh karena itu ME terbuka juga untuk umat non Katolik. Salah satu contoh anggota non Katolik adalah umat Kristen Protestan dari GKJ Purwodadi dan umat Muslim dari Surabaya.

49

ME adalah salah satu gerakan dalam kategorial yang cocok dengan cita-cita karya kerasulan konggregasi MSF. Cita-cita yang dimaksud adalah, Kerasulan Keluarga: karya di bidang pastoral pendampingan keluarga, baik parokial maupun kategorial. Pembinaan pasutri yang dilakukan dalam ME nyatanya mampu mewakili salah satu cita-cita yang dimiliki oleh konggregasi MSF dengan dukungan romo-romo MSF terhadap ME dan akhirnya terbentuk salah satu pasutri atau keluarga yang menjadi baik, tidak menutup kemungkinan akan terbentuk bibit-bibit panggilan menjadi biarawan atau imam dalam keluarga yang dibina di ME tersebut. Jika memang salah satu keluarga yang dibina tersebut memiliki bibit-bibit panggilan menjadi imam, maka secara otomatis cita-cita konggregasi MSF yang kedua yaitu: karya di bidang promosi panggilan, pembinaan dan pendidikan imam religius dapat tercapai.

50