Sunda (Sejarah, Budaya, Dan Politik)
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Sejarah, Budaya, dan Politik Reiza Dienaputra SUNDA Sejarah, Budaya, dan Politik Reiza D. Dienaputra Hak CiptaãReiza D. Dienaputra Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Sastra Unpad Press Jl. Raya Bandung-Sumedang KM.21, JATINANGOR 45363 JAWA BARAT Tlp/Faks: (022) 779 6482 Penyunting: Dani R. Hasanudin Desain Sampul: Andry Wuri Dian Bramagita Tata letak: Andry Wuri Dian Bramagita Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Cetakan pertama, Juli 2011 Katalog Dalam Terbitan (KDT) Reiza D. Dienaputra SUNDA: Sejarah, Budaya, dan Politik Sastra Unpad Press, 2011 200 hlm; 14 ´ 21 cm. ISBN : ... I. Judul II. Reiza D. Dienaputra Daftar Isi Kata Pengantar v Prakata ix Bagian Satu: Sunda dan Sejarah 11 ‐ Mengenal dan Memaknai Sejarah Sunda 13 ‐ Mengenal Jawa Barat: Suatu Kilas Balik Sejarah 35 ‐ Bandung 1906 ‐ 1970: Studi Tentang Perkembangan Ekonomi Kota 49 ‐ Makna Strategis Peristiwa Bojongkokosan 9 Desember 1945 67 ‐ Revitalisasi Nilai‐Nilai Kejuangan Peristiwa Bandung Lautan Api 81 ‐ Memaknai Hijrah Siliwangi 95 Bagian Dua: Sunda dan Budaya 103 ‐ Kebudayaan Sunda: Antara Mitos dan Realitas 105 ‐ Bahasa Sunda dalam Arus Globalisasi: Tinjauan Historis Prospektif 115 ‐ Profil Sejarah Kawasan Ekosistem Halimun: Sebuah Pengantar Diskusi 123 ‐ Kebudayaan Daerah di Jawa Barat: Suatu Tinjauan Historis Prospektif 133 Bagian Tiga: Sunda dan Politik 151 ‐ Pergumulan Kekuasaan Orang Sunda dalam Perspektif Demokrasi 153 ‐ Tatar Sunda dalam Panggung Politik: Sebuah Ikhtisar Sejarah 163 ‐ Transformasi Sistem Politik di Cianjur: Dari Tradisional ke Modern 173 Epilog 197 Kata Pengantar Sejarah merupakan ilmu pengetahuan yang sangat menarik. Dari sejarah, kita dapat mempelajari apa saja yang terjadi pada masa lampau sehingga kita dapat memperoleh pelajaran (ibroh), baik hal‐hal yang bersifat buruk maupun yang bersifat baik. Orang bijak mengatakan, “kita harus belajar dari sejarah”, sedangkan George Santayana, filsuf besar dari Spanyol mengatakan, “Mereka yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk untuk mengulanginya”. Kalau Nicky Astria di dalam lagunya, Panggung Sandiwara, mengatakan bahwa “Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya selalu berulang ...”, dari sudut kesejarahan, makna penting yang diperoleh adalah bahwa berbagai pengulangan cerita tersebut karena hakekat atau ciri dasar manusia tidak pernah berubah. Faktor‐faktor yang mempengaruhi kejatuhan suatu rezim di suatu negara, bisa jadi merupakan pengulangan dari prilaku yang sama, yang dilakukan oleh raja‐raja berabad‐abad yang lampau. Artinya, walaupun setiap peristiwa sejarah selalu bersifat “unik”, namun latar belakang peristiwanya sendiri bisa jadi mengandung prinsip‐ prinsip dasar yang sama sehingga kalau peristiwa itu tidak ingin terjadi lagi (persitiwa jelek) atau ingin terjadi (peristiwa bagus), kita bisa melakukan upaya‐upaya pengendalian untuk yang jelek dan upaya‐upaya antisipasi dan pencapaian untuk hal yang bagus. Kalaulah hal tersebut bisa dilakukan, maka sinyalemen George Wilhelm Friedrich Hegel, seorang filsuf dari Jerman, yang mengemukakan, “Inilah yang diajarkan oleh sejarah dan pengalaman: bahwa manusia dan pemerintahan tidak pernah belajar apapun dari sejarah atau prinsip‐prinsip yang didapat darinya”, atau menurut Winston Churchill negarawan dari Inggris Raya, “satu‐satunya hal yang kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita tidak benar‐benar belajar darinya”, tidak perlu terjadi. Dalam kaitan itu pula, menjadi sebuah ironi bila mengingat bahwa meskipun Presiden Soekarno di dalam pidato kenegaraannya yang terakhir pada tanggal 17 Agustus 1966, berkaitan dengan peringatan hari ulangtahun kemerdekaan Indonesia, mengatakan, “Djangan sekali‐kali meninggalkan sedjarah! Never Leave History! Djangan Meninggalkan Sedjarahmu jang sudah!”, bisa jadi kejatuhannyapun sebenarnya karena Presiden Seokarno juga tidak “belajar” dari sejarah. Walaupun sejarah begitu penting, namun apa yang saya rasakan ketika duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah, sejarah seringkali hanya terbatas pada penghafalan tahun demi tahun dan tokoh‐tokoh di balik peristiwa pada tahun‐tahun sejarah tersebut berlangsung. Setting sosial, ekonomi, politik yang menyebabkan peristiwa tersebut terjadi seringkali kurang dikemukakan. Sebagai seseorang yang tidak berkecimpung di dalam dunia sejarah, suatu saat saya terhenyak dengan obrolan anak sekolah dasar (kalau dilihat badannya mungkin murid kelas lima atau kelas enam) di dalam bis di Paris, tentang ulangan sejarah di kelasnya hari itu. Menurut sang anak, pertanyaan ulangan tersebut diantaranya, “faktor‐faktor sosial, ekonomi, politik apa yang menjadi pemicu meledaknya Revolusi Perancis?”. Kalaulah metode sejarah pada dasarnya menggunakan enam pertanyaan (5 W dan 1 H) yaitu what (apa), when (kapan), where (dimana), who (siapa), why(mengapa), danhow (bagaimana), pertanyaan tentangwhydanhow seringkali kurang tersentuh. Karena whydanhowtersebut kurang tersentuh, kita seringkali tidak mendapat “pelajaran” apapun dari persitiwa sejarah tersebut. Belum lagi kalau sejarah tersebut hanya bersifat parsial. Kalaulah setelah 13 tahun era reformasi dilalui, kemudian dilakukan survei kepada generasi muda yang tidak pernah mengalami masa orde baru, dan mayoritas jawabannya Orde Baru lebih baik dari Orde Reformasi, bisa jadi ada yang “kurang lengkap” di dalam menyampaikan fakta sejarah kepada generasi muda tersebut. Sebaliknya dari itu, pada masa Orde Baru, kita berhadapan dengan “pembelengguan” sejarah. Winston Churchill, yang juga mantan jurnalis dan seorang penulis memoar yang berpengaruh, pernah pula berkata “Sejarah akan baik padaku, karena aku akan menulisnya.” Pengertiannya, sejarah seringkali ditulis oleh sang “pemenang” dan para pemenang, seringkali lebih mampu untuk meninggalkan jejak sejarah dan juga melakukan pemelesetan fakta sejarah. Dalam kasus Orba lebih baik daripada Orde Reformasi, tanpa harus menempatkan diri sebagai “pemenang”, apalagi sekarang ini merupakan era keterbukaan informasi, maka segala fakta sejarah bisa disampaikan secara lebih terbuka. Masalah lain, catatan sejarah juga seringkali bersifat umum. Sehinggabackground dari berbagai peristiwa sejarah, sepertinya lolos dari perhatian. Untuk menutupi hal tersebut, alhamdulillah sekarang ini banyak “memoir”, biografi atau otobiografi yang ditulis. Berbagai peristiwa, dapat diketahui latarnya secara detail. Menarik untuk dikaji, bahwa diantara berbagai peristiwa, yang notabene pelaku sejarahnya masih hidup, ternyata tidak sinkron. Contohnya, kasus antara BJ Habibie dengan Prabowo pada saat awal reformasi. Pada tataran ini, istilah bahwa sejarah sangat tergantung (baca: kepentingan) kepada penulisnya bisa terjadi. 6 Dengan kerangka berfikir (pribadi), seperti di atas itulah, tadinya saya ingin “menimang” buku “Sunda: Sejarah, Budaya dan Politik” ini. Namun karena Sunda sendiri, memiliki cakupan yang sangat luas, baik dari rentang wilayah maupun rentang waktu, tentu saja akan sangat sulit untuk bisa ditulis secara komprehensif dalam halaman yang terbatas. Apalagi kalau ingin detail. Karena itu, saya menyadari untuk tidak bisa berharap mendapatkan fakta sejarah detail seperti halnya yang ditulis oleh Benda dengan bukunya “Bulan Sabit dan Matahari Terbit”. Melalui buku itu Benda menceritakan bahwa bulan sabit (baca: umat Islam), tidak akan bisa menjadi satelit dari matahari terbit (Jepang). Saya pun tidak bisa berharap seperti sedang “menikmati” perdebatan para anggota PPKI di dalam tesis Endang Saefudin Anshari (walaupun bukan tesis sejarah) yang berjudul “dari Piagam Jakarta ke Pembukaan Undang‐undang Dasar 45”. Namun demikian, buku ini bukan berarti tidak memiliki makna. Sebagai suatu “bunga rampai”, kita diajak untuk berkelana memahami “mozaik” Sunda dengan cakrawala yang sangat luas. Karena rentang waktu dan wilayah yang luas buku ini bukan pula merupakan puzzle, di mana antara satu dan yang lainnya bertautan (atau bisa ditautkan). Selain sebagai pelengkap dari buku‐buku yang sudah ada, buku ini bisa pula dianggap sebagai lawang sigotaka untuk pendetailan atau penulisan sejarah yang terkait dengannya. Selamat atas penerbitan bukunya. Insya Allah, akan menjadi bagian dari ilmu yang diamalkan, yang pahalanya akan terus mengalir sampai akhirat kelak. Amien. Bandung , Mei 2011 Rektor Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Ganjar Kurnia, D.E.A. 7 8 Prakata Menulis apapun seputar Sunda adalah sebuah pekerjaan yang tidak akan pernah habis dan akan selalu menarik untuk ditulis. Terlebih karya‐karya yang mengungkap tentang Sunda dapat dikatakan masih sangat terbatas. Oleh karena itu, ruang yang demikian luas tentang Sunda masih banyak menyisakan petak‐petak kosong untuk dikaji dan diungkap. Pergumulan penulis dengan berbagai permasalahan seputar Sunda, yang kemudian dipresentasikan dalam berbagai forum, baik seminar, diskusi,workshop, sarasehan pembinaan, kursus maupun konferensi internasional, akan lebih terasa nilai manfaatnya bila dapat disajikan pada khalayak yang lebih luas dalam bentuk sebuah buku. Penyajian kembali berbagai tulisan seputar Sunda ke khalayak yang lebih luas diharapkan dapat memperkaya informasi seputar Sunda yang masih sangat terbatas tadi. Tentu tidak semua tulisan yang pernah dipresentasikan dapat disajikan kembali dalam buku ini. Hanya tigabelas tulisan saja yang dipilih untuk disajikan kembali. Ketigabelas tulisan tersebut dibuat sepanjang tahun 2003 hingga 2009. Selanjutnya, untuk memudahkan pemahaman, tulisan‐tulisan tersebut diklasifikasikan dalam tiga bagian