GERAKAN MILLENARIAN KAIIN BAPA KAYAH: PROTES SOSIAL PETANI TANGERANG 1924

Tesis

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Humaniora (M.Hum)

Ilyas NIM: 2112022100006

PROGRAM MAGISTER SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016 M/1437 H

ii

iii

ABSTRAKSI

Peristiwa protes sosial petani Tangerang pada tahun 1924, yang dipimpin oleh seorang Dalang Wayang bernama Kaiin Bapa Kayah, yang juga pernah mengalami kehidupan sebagai petani miskin – dalam kacamata kolonial dianggap sebagai letupan-letupan kecil di tingkat lokal Karesidenan Batavia. Ki Dalang sebagai sosok utama dari pergerakan tersebut, dalam perspektif pemerintah kolonial adalah tokoh pemberontak yang mengganggu stabilitas. Sebaliknya bagi petani Tangerang, Kaiin Bapa Kayah menjadi tokoh panutan yang dipenuhi karisma yang memberikan mereka obat penawar kerinduan zaman lampau sebelum tanah-tanah dikuasai oleh pemerintah Hindia-Belanda dan sekutu Tionghoanya, situasi yang berubah membuat petani-petani tidak dapat menguasai bahkan mendapatkan hak mereka sebagai kaum pribumi yang mewarisi sumber daya alam dari nenek moyangnya. Para petani dan penduduk pribumi dibebani oleh berbagai macam pajak dan kewajiban bekerja menurut aturan para pendatang asing yang mengekspoitasi tanah dan tenaga mereka semata-mata untuk kepentingan perdagangan yang bahkan mereka tidak dapat menikmati keuntungan atas transaksi bisnis yang dilakukan oleh tuan tanah mereka. Kehidupan sehari-hari mereka sudah disibukkan oleh pekerjaan paksa yang dilakukan atas perintah para tuan tanah maupun pemerintah kolonial. Sehingga tidak sedikit pun waktu luang mereka bisa digunakan untuk mencari pekerjaan sampingan dan menjalani kehidupan budayanya. Situasi ini membuat kaum pribumi terdeprivasi (terampas) hak dan kewajiban mereka di tanah airnya sendiri. Rasa frustasi dan putus asa terkumpul dalam diri dan hati mereka tanpa ada ruang gerak untuk melawan penindasan ini. Dalam keadaan demikian mereka merindukan seorang tokoh besar yang berani dan menjanjikan perubahan besar dalam kehidupan, apalagi kepercayaan masyarakat tradisional di pulau Jawa meyakini ramalan akan kedatangan tokoh Ratu Adil Sang Juru Selamat. Tradisi tertulis ramalan Jayabaya sangat populer tersiar di tengah- tengah masyarakat. Keyakinan ini membawa dampak pada kepercayaan dan ketaatan kaum pribumi kepada tokoh-tokoh yang memiliki sumber kewahyuan untuk menjemput impian millenarian. Karena itu, tokoh semacam Kaiin Bapa Kayah turut memakai simbol-simbol millenarianisme dan mesianisme untuk meyakinkan masyakat petani agar berada di belakangnya dalam gerakan revolusionernya.

iv

Pergerakan Millenarian Kaiin Bapa Kaya, sebagaimana gerakan sosial dan gerakan keagamaan lainnya, terjadi dalam ruang dan waktu yang sangat singkat, setelah sang pemimpin wafat atau dibunuh oleh penguasa kolonial, praktis tidak berkelanjutan. Peristiwa ini memang kecil, karena terletak di lokasi yang terbatas, Tangerang. Namun daya kejutnya, membuat pemerintah kolonial terganggu aktifitasnya dan bahkan cerita tentang perlawanan petani dan rakyat kecil di Tangerang ini terpublikasikan melalui jurnal internasional. Pergerakan ini bila dilihat dari akar masalahnya adalah adanya kesenjangan kaum pribumi dengan para pendatang asing (terutama Belanda dan Tionghoa). Sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh asing yang jumlah warganya sedikit dibandingkan penduduk pribumi. Praktek-praktek hukum yang diterapkan oleh pemerintah kolonial masih mendiskriminasi kaum pribumi. Kerja paksa juga diterapkan oleh penguasa kolonial. Semua sebab-sebab ini, bersatu padu dalam rasa ketidakpuasan kaum petani pribumi yang diwujudkan oleh protes sosial yang dipimpin oleh seorang Dalang yang dianggap sebagai tokoh yang tercerahkan untuk merealisasikan rasa keadilan.

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt, yang telah memberikan kepada umat manusia berbagai macam nikmat, sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini dan selalu tegar selama menjalani hari-hari di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sholawat teriring salam semoga tercurahkan ke haribaan junjungan kita Nabi Muhammad saw, Sang Revolusioner peradaban manusia, dari peradaban Jahiliyah menuju peradaban yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Dalam penulisan tesis ini banyak hal yang dapat dijadikan pelajaran bagi penulis. Untuk memahami sesuatu kita tidak bisa serampangan menilainya, melainkan harus mengetahui seluk-beluk, memperhatikan, dan menelaah melalui ilmu pengetahuan. Penulis sangat menyadari bahwa ternyata ilmu yang dikuasai hanyalah setetes bahkan lebih kecil dari itu, dari luasnya lautan ilmu Allah yang sangat luas, Namun akhirnya dengan susah payah penulis dapat mengakhiri penulisan tesis ini dengan baik dan lancar. Tersusunnya tesis ini adalah karena karunia Tuhan yang tak ternilai harganya, ditambah dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora. 2. Bapak Dr. Abdullah, M.Ag, selaku Ketua Program Magister dan Dr. M. Adib Misbachul Islam, M.Hum, sebagai sekretaris Program Magister Fakultas Adab dan Humaniora. 3. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Adab dan Humaniora, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah. 4. Bapak Prof. Dr. M. Dien Madjid, MA, Pembimbing Tesis I, yang di sela-sela kesibukannya beliau bersedia membimbing penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis. 5. Bapak Dr. H Abd. Chair, MA, selaku Pembimbing Tesis II, yang memberikan masukan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis. 6. Segenap Pimpinan dan Staff Perpustakaan Nasional Republik (PNRI), khususnya kepada Peneliti Senior, Drs. H. Sanwani, yang telah memberikan arahan tentang manuskrip dan khazanah filologinya. 7. Pimpinan dan staff Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), yang memberikan petunjuk tentang arsip kolonial tentang Tangerang.

vi

8. Seluruh Pimpinan dan staff Perpustakaan Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI) 9. Bapak Ichsan (Alm.) dan Ummi Iyum tersayang yang telah memberikan motivasi bagi penulis untuk dapat membuktikan bahwa penulis mampu menjalani hari-hari di kampus, serta dukungan keduanya baik moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik. 10. Isteriku Leli Eryani dan Anak-anakku (Sultana Awliya Yumna dan Nuri Salsabila), serta Kakak-kakakku Imas dan Iyan, Adik-adikku Saiful Novi dan Ismawati Fajrin, canda tawa mereka memberikan hiburan dan ketenangan batin yang tiada tara. 11. Bapak Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, MAg selaku Wakil Kordinator Kopertais Wilayah I DKI Jakarta dan Mantan Dekan Fakultas Adab dan Humaniora. 12. Bapak Dr. Syahrul A’dam, M.Ag (Mantan Ketua) dan Dr. H. Kamarusdiana, MH (Ketua), yang banyak menasehati penulis selama karir penulis di Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Aqidah Al- Hasyimiyyah Jakarta 13. Seluruh Civitas Akademika Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah Jakarta (Bapak. A. Misbakhun Najakhi, Ibu Ummu Habibah, Bapak A. Syaiful, Arham Saputra, Midih dan kawan-kawan) 14. Keluarga besar Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah Jakarta. 15. Teman-teman seperjuang kuliah di Program Magister Fakultas Adab dan Humaniora (Bambang Permadi, A. Ghazali, Cecep Supriatna, Wahyu Hidayat, Nova Rizqiawati, Kaslir, Johan Wahyudi, Tendi, Eva, Teteh Yuyun, Uda Akmal, Ilman, Tatam, Latifah Sun’iyyah, Ani, dkk)

Semoga apa-apa yang telah mereka berikan dapat bermanfaat dan akhirnya hanya kepada Allah swt penulis kembalikan semuanya, semoga kita semua dalam Inayah dan hidayah Allah swt. Amin.

Ciledug, 22 April 2016

Ilyas

vii

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL i PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ii LEMBAR PENGESAHAN iii ABSTRAKSI iv KATA PENGANTAR vi DAFTAR ISI viii TRANSLITERASI x

BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang Masalah …….....……………………..…… 1 B. Identifikasi Masalah ...... 7 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………... 8 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………….……………..... 9 E. Kerangka Teori Sejarah Lokal dan Gerakan Sosial ...... 9 F. Tinjauan Penelitian Terdahulu ...... 11 G. Metode Penelitian …………….………………………….... 14 H. Sistematika Penulisan …………………………………...... 15 BAB II MILLENARIANISME DALAM SEJARAH INDONESIA 17 A. Kepercayaan terhadap Mesianisme dan Millenarianisme ..... 17 B. Doktrin Mahdisme, Eskatologi Islam, dan Perang Sabil ...... 22 C. Konsep Ratuadilisme dalam Ramalan Jayabaya ...... 25 D. Kandungan Millenarian dalam Hikayat Muhammad 30 Hanafiyah ...... E. Kandungan Millenarian dalam Kisah Pewayangan Arjuna .. 38

viii

BAB III SITUASI SOSIAL-POLITIK SEBELUM PERGERAKAN 43 A. Toponimi dan Letak Geografis Tangerang ……….…...…... 43 B. Tangerang sebagai Tanah Partikelir ……………………...... 48 C. Struktur Sosial Masyarakat ...... …………...... 52 D. Keadaan Ekonomi Masyarakat ...... 57 E. Kebijakan Pemerintah Kolonial terhadap Masyarakat 61 Tangerang ...... BAB IV KONSEPSI MILLENARIAN DALAM PERGERAKAN 67 TANGERANG 1924 A. Kaiin Bapa Kayah: Dalang Wayang dan Pergerakan ...... 67 B. Ekspektasi Mesianik dalam Kepercayaan Masyarakat ...... 70 C. Visi Millenarian dalam Pergerakan ...... 74 D. Unsur Islam dalam Pergerakan Kaiin Bapa Kayah ...... 80 BAB V PERGERAKAN MILLENARIAN TANGERANG 1924 87 SEBAGAI PROTES SOSIAL A. Proses-proses Pergerakan ...... 87 B. Faktor Kepemimpinan Kaiin Bapa Kayah ...... 92 C. Mobilisasi Pergerakan ...... 94 D. Ideologi Pergerakan ...... 98 E. Analisis Pergerakan ...... 102 BAB VI PENUTUP 109 A. Kesimpulan ...... ………………………………………….. 109 B. Saran ...... …………………………………………….. 111

DAFTAR PUSTAKA 113 LAMPIRAN 121

ix

TRANSLITERASI

Huruf Arab Nama Huruf Huruf Latin

alif a

ba b

ta t

ta marbutah t atau h

tsa ts

jim j

ha h

ca c

kha kh

dal d

dzal dz

ra r

zai z

sin s

syin sy

shad sh

x

dhad dh

tho th

zho zh

‘ain ‘a

ghain gh

nga ng ڠ

fa f atau p

pa p

qaf q

kaf k ga g ڬ lam l

mim m

nun n

wau w, u, dan o

va v ۏ

ha bulat h

ya y, i, dan e

nya ny ڽ

xi

hamzah -

alif dengan hamzah di atas a, u

alif dengan hamzah di bawah i

ya dengan hamzah di atas -

lam alif La

Catatan:

 Adapun untuk kata sambung yang menggunakan huruf alim dan lam ( ‎ ‎), baik qamariyah maupun syamsiyyah, transliterasinya tidak dibedakan, serta‎ penulisannya‎ menggunakan‎ tanda‎strip‎(-),‎misalnya:‎ Al-Qur'an.

xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan berbagai kebijakan terkait dengan tanah jajahannya, di antaranya: Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diprakarsai oleh Gubernur Jenderal van den Bosch (1830-1833) yang berakhir pada tahun 1870, kemudian dilanjutkan dengan Sistem Liberal dari tahun 1870 sampai 1900, dan terakhir Sistem Etis yang berlaku dari tahun 1900 sampai tahun 1942.1 Kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap kaum tani apa pun nama dan bentuknya, tetap saja tidak mengangkat harkat dan martabat masyarakat pedesaan yang sangat bergantung pada aset pertanian mereka, sebaliknya tenaga dan tanah mereka menjadi ladang subur eksploitasi politik-ekonomi pemerintah dan kroni-kroninya. Penguasa VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie atau disebut Kompeni Belanda)2, pemerintah kolonial Belanda dan Inggris memberlakukan tanah-tanah di bumi jajahannya sebagai hadiah kepada orang-orang yang berjasa terhadap kepentingan mereka. Tanah-tanah ini juga dijual kepada pengusaha dan birokrat kolonial, sehingga mereka berhak mengelolanya secara utuh. Umumnya orang yang diberi hadiah atau membeli tanah adalah orang-orang asing, terutama dari etnis Tionghoa. Para pemilik tanah atau tuan tanah tersebut juga diberi hak keistimewaan untuk mengelola tanah sekaligus penduduk yang bermukim di wilayah tersebut, sehingga muncullah istilah „Tanah Partikelir‟. Para petani yang telah lama bermukim di wilayah tanah partikelir diperlakukan tidak adil, tenaga dan tanah mereka hanya dimanfaatkan untuk kepentingan para tuan tanah, karena itu muncul ketidakpuasan mereka terhadap penindasan ini. Sebelum abad ke-20 perjuangan melawan penjajah di Indonesia masih dilakukan secara sendiri-sendiri, terutama

1 Suhartono W. Pranoto, Jawa: (Bandit-bandit Pedesaan) Studi Historis 1850-1942, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), Cet. Ke-1, h. 2 2 Penjelasan Peter H. Van Der Brug tentang VOC adalah sebuah perusahaan dagang Belanda, didirikan untuk melakukan perdagangan di wilayah-wilayah yang disebut “indie”. Ketika VOC didirikan pada tahun 1602, Staten-General memberikan kewenangan lebih kepada VOC untuk berperang, berunding, membangun benteng, menjalankan otoritas sipil, yudisial, dan militer di koloni- koloni Asia. Lihat Peter H. van der Brug, Batavia yang Tidak Sehat dan Kemerosotan VOC pada Abad Kedelapan Belas, dalam Kees Grijns dan Peter J.M. Nas, (Peny.), Jakarta Batavia Esai Sosio-Kultural, (Jakarta: Banana dan KITLV, 2000), h. 47-48

1 2 daerah pedesaan yang didominasi oleh kaum tani. Perlawanan para petani dilakukan secara radikal3 terhadap pemerintah kolonial dan sekutunya. Mereka menganggap kedua kelompok inilah yang paling bertanggung jawab atas perubahan sosial di pedesaan yang semakin menghimpit kehidupan dan lahan-lahan ekonomi yang mereka miliki sebelumnya, Kata „perubahan sosial‟ menjadi mantra mujarab dari perlawanan kaum tani dan kelompok rakyat miskin lainnya untuk mengembalikan situasi kepada alam kebebasan dan kemandirian bangsa sendiri. Cita-cita ini diwujudkan dengan mengadakan gerakan sebagai protes sosial dan diperkuat oleh nilai-nilai keagamaan. Islam menjadi agama mayoritas kaum tani, mereka memegang erat ajaran dan nilai-nilai keislaman sebagai pedoman kehidupannya, karena itu sifat agama melekat pada aksi protes terhadap kebijakan pemerintah „kafir‟ yang berkuasa. Masyarakat pribumi umumnya marah terhadap perubahan sosial, karena perubahan itu telah menggeser nilai-nilai agama plus perubahan kehidupan mereka yang semakin susah. Sehingga gerakan-gerakan keagamaan berjuang dengan cara revolusioner, karena bertujuan untuk mengadakan perubahan secara mutlak dan radikal.4 Tanah partikelir Tangerang yang menjadi lokus kajian penelitian tesis ini, tak luput pula dari pergerakan-pergerakan keagamaan. Ekspresi kekecewaan kaum tani di Tangerang memicu terjadinya gerakan perlawanan yang lebih besar pada tahun 1924. Pemantiknya adalah persoalan kesenjangan penduduk pribumi yang telah lama menetap dan memiliki tanah dengan kaum pendatang, khususnya etnis Tionghoa5 yang bekerjasama dengan pemerintah untuk mengeksploitasi bumi mereka yang sebelumnya berorientasi pada tanaman tradisional (traditional crops)

3 Sartono mengartikan „radikal‟ sebagai gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang mempunyai hak- hak istimewa dan yang sedang berkuasa. Dapat dimengerti bahwa radikalisme menjadi suatu bagian dari gerakan Ratu Adil yang bersifat revolusioner. Sedangkan pengikut dari gerakan-gerakan sosial yang radikal seperti itu terbatas pada strata sosial rendahan, kaum yang tertindas atau orang-orang yang kurang mampu. Lihat Sartono Kartodirdjo, Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and Development, dalam Claire Holt (ed), Culture and Politics in Indonesia, (London: Cornell University Press, 1977), Cet. Ke-2, h. 73-4. 4 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, (ed.), Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), Jilid IV, Edisi Pemutakhiran, Cet. Ke-1, h. 426 5 Daerah Tangerang terbagi dalam sejumlah tanah partikelir, 30 persen dikuasai kongsi Tionghoa, 30 persen dimiliki perorangan dari etnis Tionghoa, dan 40 persen dimiliki kaum pribumi. Lihat Yayasan Untuk Indonesia, Ensiklopedi Jakarta, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 2005), Buku III, h. 265 3 berubah menjadi tanaman komersial (commercial crops) secara besar- besaran dan memaksa kaum tani menjadi semacam mesin-mesin penggerak roda perekonomian kaum penjajah dan kroninya. Selain faktor kesenjangan kehidupan antara pribumi dan pendatang asing, pemicu lainnya adalah adanya berbagai macam pajak dan kerja paksa kepada kaum tani, sebagaimana ditulis dalam buku Sejarah Nasional IV: “Agitasi kaum petani yang timbul di tanah partikelir (particuliere landerijen) sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan suatu gejala historis dari masyarakat petani pribumi. Pada umumnya hampir semua perlawanan atau kerusuhan yang terjadi di tanah partikelir merupakan akibat dari adanya tuntutan pajak dan kerja rodi (herendiensten) yang tidak adil terhadap kaum petani di daerah itu.”6

Perubahan sosial di pedesaaan turut mengubah tatanan nilai dan perekonomian para petani. Sehingga mereka membandingkan kehidupan masa lampau, dengan kehidupan baru mereka yang membuat posisi mereka kian tersudut dan mengalami deprivasi.7 Untuk kasus yang dialami petani Tangerang ini, termasuk dalam kategori deprivasi harta benda yang berjamaah, karena tanah sebagai sumber penghasilan mereka sebelumnya telah terampas oleh pendatang asing yang bersekutu dengan kaum penjajah – yang mengeksploitasi bumi, jiwa dan raga kaum tani. Untuk mengatasi masalah deprivasi yang dialami para petani, mereka tidak mampu melawan secara fisik, akhirnya mereka hanya berlindung dalam kepercayaan tradisional. Salah satu sumber pengetahuan kaum pribumi dalam menghadapi persoalan hidup mereka adalah kepercayaan akan datang suatu zaman kemakmuran di masa mendatang di bawah panji sang juru selamat. Faktor deprivasi dan millenarian menurut Michael Adas, tak akan berwujud pada aksi protes tanpa adanya tokoh “kenabian” yang mempunyai legitimasi wahyu untuk mempersatukan impian mereka.8 Senada dengan Adas, Sartono Kartodirdjo juga menyebut:

6 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, (ed.), op.cit, h. 400 7 Deprivasi menurut David F. Aberle dikelompokkan menjadi empat, yaitu: deprivasi terkait dengan harta benda, status, tingkah laku, dan kelayakan. Selanjutnya deprivasi tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni: personal (pribadi) dan kelompok (kesukuan) atau kategori. Lihat Aberle, David, Catatan Mengenai Teori Deprivasi-Relatif Sehubungan Dengan Gerakan Millenarian dan Gerakan Cult Lainnya, dalam Sylvia L. Thrupp, (ed), Millenial Dreams in Action: Studies in Revolutionary Relegions Movements, (New York: Schocken Books, 1970), (terj), Gebrakan Kaum Mahdi, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), h. 354-355 8 Michel Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order, (The University of North Carolina Press, 1979), (terj), Ratu

4 “Unsur pokok dari gerakan keagamaan adalah seorang pemimpin keagamaan yang merupakan seorang prophet, atau guru, atau dukun, atau tukang sihir atau utusan mesias. Pemimpin-pemimpin ini mengaku diilhami oleh wahyu.”9 Optimisme masa depan yang dijanjikan pencetus pergerakan menambah harapan millenarian (millenarian expectation) kaum tani akan perubahan itu. Di sinilah mitos kedatangan Ratu Adil yang dinantikan, mereka berharap munculnya tokoh karismatik yang akan membawa ke zaman sempurna. Di tanah Jawa dan umumnya hampir di seluruh Nusantara, sangat populer sekali kepercayaan akan datangnya Ratu Adil (Sang Juru Selamat), meskipun dengan varian dan nama yang berbeda. Tradisi tentang tokoh pembebas tersebut muncul dalam sumber-sumber tertulis yang meramalkan kedatangan juru selamat tersebut. Informasi mesianistik Jawa terdapat dalam Ramalan Jayabaya, dan sekaligus sebagai sumber referensi para tokoh pejuang, kaum pergerakan, pemimpin rakyat untuk memompa semangat juang para pengikutnya demi mencapai harapan yang dicita- citakan bersama.10 Selain tradisi millenarian, masyarakat petani juga memegang teguh pada agama yang mereka anut, tak heran gerakan petani Tangerang juga terkait dengan kepercayaan agama mereka. Gerakan keagamaan menurut Sartono Kartodirjo, juga dikenal dengan beberapa istilah, yakni: “Gerakan juru selamat (mesianisme), Ratu Adil (millenarianisme), pribumi (nativisme), kenabian (prophetisme), penghidupan kembali (revitalisasi), menghidupkan kembali (revivalisme).”11 Gerakan yang bersifat keagamaan ini banyak dilaporkan oleh para pejabat kolonial kepada atasannya, karena berangkat dari prasangka kesukuan dan islamofobia, mereka menggambarkan peristiwa yang berskala lokal ini sebagai pemberontakan, huru-hara, dan mengganggu stabilitas keamanan. Karena itu menurut Sartono, penggambaran peristiwa ini menjadi keliru karena menganggap gerakan keagamaan bersifat politis dan revolusioner.12 Begitu pula dengan reportase pejabat kolonial tentang gerakan protes yang dipimpin Kaiin Bapak Kayah, dalam pandangan Kern apa yang dicatat aparat birokratis pemerintah yang hanya melihat melalui

Adil: Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press, 1988), h. 204 9 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta, Sinar Harapan, 1984), cet. Ke-1, h. 13 10 Andjar Any, Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita, dan Sabdopalon, (Semarang: Aneka Ilmu, 1989), h. 1 11 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 10 12 Ibid 5 kacamata kolonial sebagai pengacau keamanan dan ditambah lagi dengan embel-embel gerakan Ratu Adil sangatlah tidak adil, di sudut lain penyebab atau akar masalah dari protes ini, seperti kesenjangan antara penduduk pribumi dan pendatang, pertentangan kaum tani dengan pemilik modal, serta adanya pajak dan eksploitasi tenaga dan tanah mereka hanya dipandang sebelah mata. Dalam tesis ini, pembahasan diarahkan kepada gerakan agama yang bersifat millenarian. Millenarianisme atau kadang disebut milenarisme adalah pandangan oleh kelompok atau gerakan keagamaan, sosial, atau politik tentang suatu transformasi besar dalam masyarakat dan setelah itu segala sesuatu akan berubah ke arah yang positif. Sedangkan millenialisme adalah suatu bentuk millenarianisme spesifik berdasarkan suatu siklus seribu tahunan, dan ini khususnya sangat penting di lingkungan agama kristen.13 Sebaliknya dalam pandangan Islam, menurut Marshall G.S Hodgson, “Berbeda dalam millenialisme Islam, zaman sempurna itu biasanya tidak dikatakan untuk masa seribu tahun.”14 Gerakan millenarian Kaiin Bapa Kayah, yang juga berprofesi sebagai Dalang Wayang, mengacu pada sumber-sumber tradisi yang tersiar di zaman itu. Pengetahuan masyarakat banyak diperoleh dari mulut ke mulut atau mendengar langsung dari tokoh pengantar shohibul hikayat atau dalang yang menceritakan tentang pahlawan-pahlawan heroik dalam tradisi lokal maupun tokoh-tokoh Islam dalam kisah-kisah impor. Kegiatan mendengarkan cerita atau membaca kisah tertulis adalah bagian dari hiburan masyarakat ketika itu. Adapun si pembawa kisah turut juga menyampaikan pesan-pesan khusus di tengah-tengah cerita sebagai suatu pelajaran bagi para pendengarnya. Karena itu pengajaran moral dan agama banyak dituturkan melalui kisah dalam bentuk prosa atau puisi- pantun sebagai salah satu alat untuk menyiarkan pesan tersebut. Khazanah sastra yang terkait dengan hal ini, masih tersimpan sebagai warisan budaya leluhur yang tak ternilai. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia banyak mengoleksi budaya tertulis manuskrip warisan nenek moyang kita dari seluruh Nusantara, di antara manuskrip yang berbicara mengenai mesianisme Islam adalah naskah yang berjudul tentang Hikayat Muhammad Hanafiyah, dimana isinya mengenai cerita keturunan dan keluarga Nabi Muhammad. Salah satu keyakinan tentang kedatangan Imam Mahdi di

13 Isd-10-wb-23572-pelatihan-k3.com/id3/indonesia-belajar- 2609/Milenarianisme_1718 56_isd-10-wb-23572-pelatihan-k3.html, diakses pada tanggal 10 Agustus 2015, Pukul 11: 55 WIB 14 Marshall G.S Hodgson, Sebuah Catatan tentang Millenium dalam Islam, dalam Sylvia L. Thrupp, op.cit, h. 367 6 penghujung zaman dalam naskah ini dikaitkan dengan tokoh pahlawan Islam, yang juga masih kerabat Nabi, yaitu Muhammad Hanafiyah. Kisah- kisah heroiknya menginspirasi para penggerak revolusi untuk membebaskan kaum pribumi dari ketertindasan dan untuk mewujudkan zaman yang sempurna. Ada juga naskah tentang Ramalan Jayabaya, yang menjadi rujukan tentang kedatangan Ratu Adil, si Juru Selamat yang dijanjikan. Ramalan- ramalan ini menjadi penyemangat para petani dan kaum papa (miskin) untuk bergerak melawan keterasingan mereka di tanah airnya sendiri. Semangat perlawanan itu, semata-mata ingin mengembalikan masa lampau nan indah, yang telah terenggut oleh para pendatang asing yang menguasai tanah dan berbuat semena-mena terhadap mereka. Popularitas Ramalan Jayabaya, nampaknya menjadi perhatian serius dari pemerintah kolonial, apalagi banyak munculnya aksi-aksi protes, perlawanan, dan pemberontakan kaum pribumi diilhami dan termotivasi dari Ramalan yang menjanjikan kedatangan seorang pahlawan karismatik yang akan membawa mereka kepada zaman adil, makmur dan sejahtera. Sebagai langkah preventif penguasa Belanda memerintahkan studi terhadap Ramalan Jayabaya tersebut, seperti Stuart Abraham B. Cohen,15 yang menulis tentang tokoh Ratu Adil bernama Eroe Tjakra. Dan Jacob A.B Wiselius,16 dengan judul “Djaja Baja, Zijn Leven en Profetieen” (Jayabaya, Hayat dan Ramalannya). Namun penelitian yang dilakukan sarjana Barat tersebut belum menemukan “mustika” yang terkandung dalam ramalan, karena apa yang mereka kaji masih terbatas pada apa yang tersurat saja bukan pendalaman kajian yang tersirat, hal ini menurut Andjar Any, “Background history yang berlainan akan membuahkan hasil yang berlainan pula”.17 Kisah pewayangan turut juga menginspirasi pergerakan Kaiin Bapa Kayah di Tangerang, cerita dalam dunia pedalangan khususnya tema para Pandawa banyak sekali termaktub dalam manuskrip-manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Nasional. Kisah para Pandawa disadur dari kebudayaan India yang sudah bercampur dengan tradisi Islam, sehingga nilai-nilai yang terkandung juga mengalami asimilasi kebudayaan. Hampir semua dalang pasti mampu membawakan kisah-kisah para Pandawa, karena itu Kaiin Bapa Kayah yang juga berprofesi sebagai dalang sangat menguasai dan paham tentang falsafah dari tokoh-tokoh pewayangan ini.

15 Stuart Abraham B. Cohen, “Eroe Tjakra”, Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde (BKI), No.19, 1872, h. 285-88 16 Jacob A.B Wiselius, “Djaja Baja, Zijn Leven en Profetieen”, Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde (BKI), No. 19, 1872, h. 172-217 17 Andjar Any, op.cit, h. 1 7 Salah satu kisah pewayangan yang terekam dalam sumber tertulis adalah karya Muhammad Bakir Syafi‟an bin Usman Fadhli dari Pecenongan (Jakarta)18, yang berjudul Hikayat Asal Mulanya Wayang yaitu Turun Temurunnya Pandawa. Dalam kolofon naskah tersebut, disebutkan kisah tersebut selesai ditulis pada 6 Agustus 1890.19 Adapun salah satu tokoh utama Pandawa di antaranya adalah Arjuna, dimana tokoh ini menginspirasi Kaiin Bapa Kayah dalam Protes Sosialnya, bahkan ia menjuluki dirinya dengan nama “Arjuna” sebagai penguat dari pergerakan millenariannya.

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti mengidentifikasi permasalahannya adalah sebagai berikut: 1. Masyarakat pribumi di Tangerang, secara kuantitas mengungguli kelompok masyarakat pendatang asing (Tionghoa, Arab, dan Eropa). Namun faktanya secara kualitas, dalam kehidupan ekonomi dan politik, mereka tertinggal jauh. 2. Masyarakat pribumi, mayoritas berprofesi sebagai petani penggarap. Kehadiran mereka di Tangerang mewarisi orang tuanya secara turun temurun, tetapi tidak dalam hal kepemilikan tanah. Kebijakan pemerintah dalam status tanah partikelir, mengakibatkan petani pribumi tidak bisa menjadi tuan di tanahnya sendiri. 3. Kesenjangan ekonomi, status sosial, dan hak politik – mewarnai kehidupan masyarakat asli Tangerang berhadap-hadapan dengan orang- orang asing yang merajai dalam segala bidang. 4. Keadaan hidup kaum pribumi yang semakin menghimpit mereka, mengakibatkan terjadinya frustasi. Cara-cara tradisional, dianggap sebagai jalan keluar untuk mereka dapat lewati. Kepercayaan tradisional, meyakini kepada kedatangan sosok pembebas (Ratu Adil atau sejenisnya), yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik di masa depan.

18 Muhammad Bakir Syafi‟an adalah salah satu tokoh yang berprofesi sebagai penulis hikayat dan karya-karya prosa lainnya. Naskah-naskah tersebut diperjualbelikan dan juga disewakan untuk dibaca oleh para penyewa. Beliau berdomisili di Kampung Langgar Tinggi, Pecenongan. 19 Naskah tersebut tersimpan dalam katalog Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan Nomor Panggil ML. 241, terdapat pula informasi dalam katalog tentang riwayat kisah yang disampaikan oleh seorang dalang dari Kampung Pejagalan kepada penulis di Pecenongan. Lihat Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, Bunga Rampai Sastra Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, 2002), h. 13 8 5. Umumnya tokoh gerakan millenarian, berprofesi sebagai agamawan (kyai, ustadz, atau ahli kebatinan). Dalam peristiwa Tangerang 1924, yang menjadi lokomotif pergerakan justru berbeda dengan tokoh-tokoh meanstream dalam gerakan tersebut. Justru pencetus protes sosial di Tangerang tersebut memiliki latar belakang sebagai Dalang Wayang.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dalam penelitian ini agar tidak melebar terlalu jauh, maka peneliti membatasi fokus kajiannya dengan hanya menampilkan tempat peristiwa berlangsung dan daerah-daerah yang menjadi penyokong utama gerakan Kaiin Bapa Kayah. Bila ditinjau dari peristiwa ini daerah geografisnya hanya meliputi daerah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang, tetapi secara kebudayaan juga dipengaruhi oleh Melayu-Betawi (Jakarta). Meskipun dalam pengertian moderen, wilayah Tangerang dan Jakarta berada pada provinsi yang berbeda.20 Selain pembatasan geografis peristiwa, penulis juga membatasi permasalahan sekitar pengharapan millenarian (millenarian expectation) petani Tangerang studi kasus Peristiwa Tangerang yang terjadi pada tahun 1924, yang dipimpin oleh Kaiin Bapa Kayah untuk melakukan protes sosial terhadap penindasan (zulm) pemerintah kolonial Belanda dan sekutunya (tuan tanah Tionghoa dan pejabat birokratik pribumi). Memperhatikan permasalahan yang ada cukup kompleks, maka dalam melakukan penulisan ini perlu adanya perumusan yang lebih rinci sehingga pembahasannya lebih terarah. Perumusan yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Apa faktor pendorong Kaiin Bapa Kayah untuk melakukan protes sosial? 2. Apakah konsep millenarian yang digunakan oleh Kaiin Bapa Kayah untuk melakukan protes sosial? 3. Bagaimana impian millenarian Kaiin Bapa Kayah mempengaruhi masyarakat petani Tangerang untuk mengikuti pergerakan?

20 Taufik Abdullah menegaskan dalam pembatasan yang bersifat geografis dan administratif perlu diperhatikan, “Dari sudut geografis maka kita berhadapan dengan soal- soal ekologis, sedang secara administratif kita akan menghadapi kemungkinan selalu berubahnya „perbatasan‟ itu sebagai akibat peralihan pertimbangan politik.” Lihat Taufik Abdullah (ed.), Sejarah Lokal di Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 1979), h. 321 9 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian tentang pergerakan millenarian Kaiin Bapa Kayah sebagai protes sosial kaum tani Tangerang, bertujuan untuk: 1. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendorong terjadinya protes sosial petani Tangerang. 2. Memahami konsep millenarian yang digunakan Kaiin Bapa Kayah untuk melakukan gerakan protes. 3. Mengetahui apakah gerakan Kaiin Bapa Kayah terkait juga dengan paham ratuadilisme (mesianisme) yang berkembang di Indonesia saat itu.

Sedangkan kegunaan penelitian tesis ini adalah: 1. Menambah khazanah keilmuan bagi pembaca, teoritisi, mahasiswa dan tokoh masyarakat, dalam pengembangan studi sejarah khususnya tentang pergolakan-pergolakan yang diwarnai dengan unsur-unsur mesianistik dan juga sebagai acuan untuk menghadapi kondisi sosio- ekonomi dan politik bangsa yang sedang mengalami cobaan (zaman Kaliyuga dalam istilah mitos ramalan Jayabaya) untuk dapat kita hadapi dengan usaha-usaha yang lebih rasional dan moderen. 2. Sebagai bahan kajian kepustakaan (library research) dan studi lanjutan bagi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. 3. Berguna bagi pemerintah daerah khususnya Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang untuk mengetahui sejarah lokal dan tokoh pahlawannya, serta menghargai jasa-jasa mereka. 4. Menjadi landasan pengambilan kebijakan pemerintah khususnya yang terkait dengan konflik agraria, gerakan millenarian, dan mesianisme.

E. Kerangka Teori Sejarah Lokal dan Gerakan Sosial Objek kajian penelitian tesis ini adalah Peristiwa Tangerang 1924 yang dipimpin oleh seorang dalang, Kaiin Bapa Kayah, yang merupakan bagian dari sejarah mikro, dan masuk dalam ranah sejarah lokal, di mana tercakup di dalamnya kesatuan wilayah berdasarkan unsur geografis atau etnis-kultural di lokasi peristiwa, melampaui batas wilayah administratif zaman moderen. Ruang lingkup sejarah lokal yang kecil yang terjadi di suatu wilayah desa atau bahkan lebih kecil dari itu, membuat orang mengkerdilkan peristiwa sejarah dalam tingkat ini. Karena itu, menurut

10 Sartono Kartodirdjo perlulah sejarah lokal diberi pemahaman kepada khalayak tentang unsur pemaknaannya yang dapat juga berpengaruh secara lebih luas dalam skala nasional, dengan demikian sejarah lokal yang bersifat mikro dapat terhubung dengan konteks makro.21 Pengertian Sejarah Lokal menurut Taufik Abdullah bukanlah sejarah daerah atau regional, karena itu istilah “lokal” dianggap lebih netral. “Pengertian kata lokal tidak berbelit-belit, hanyalah „tempat, ruang‟. Jadi „sejarah lokal‟ hanyalah berarti sejarah dari suatu „tempat‟, suatu „locality‟ yang batasannya ditentukan oleh „perjanjian‟ yang diajukan penulis sejarah.”22 Pembatasan geografis dalam sejarah lokal bisa suatu tempat tinggal suku bangsa yang dalam pengertian terkini sudah berbeda daerah administratifnya atau bahkan menyempit hanya dalam lingkup satu desa saja. Hal ini diutarakan oleh Taufik Abdullah dengan mengutip pernyataan H.P.R. Finberg dan V.H.T. Skipp “Sebagai kisah di kelampauan dari kelompok atau kelompok-kelompok masyarakat yang berada pada „daerah geografis‟ yang terbatas.”23 Dalam hal tersebut di atas, maka pendekatan linguistik pada penelitian sejarah untuk mengungkap bahasa dan budaya suku bangsa yang mendiami suatu geografi tertentu menjadi suatu keharusan. Sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo, “Analisa penggunaan bahasa di lapangan perlu dirunut penggunaannya secara empiris dalam kajian mengenai sejarah pemakaian bahasa melalui koran, majalah, penerbitan, bahkan manuskrip.”24 Karena itu, peneliti juga menggunakan jasa dari penelitiannya Multamia R.M.T Lauder, tentang Pemetaan dan Distribusi Bahasa-bahasa di Tangerang,25 untuk menemukan latar budaya dan pemahaman gerakan millenarian Kaiin Bapa Kayah dalam protes sosialnya di Tangerang pada tahun 1924. Pergerakan yang dilakukan oleh Kaiin Bapa Kayah, dalam beberapa kategori dapat digolongkan sebagai gerakan sosial, meski pun teori mengenai gerakan sosial baru muncul belakangan. Berikut ini adalah definisi-defenisi gerakan sosial yang dikutip oleh Ihsan Ali Fauzi:

21 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 74 22 Taufik Abdullah (ed.), Sejarah Lokal di Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 1979), h. 11-12. Lebih lanjut lihat H.P.R. Finberg dan V.H.T. Skipp, Local History: Objective and Pursuit, (Newtown Abbot: David Charles, 1973), h. 14-15 23 Ibid 24 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1994), Cet. Ke-1, h. 122 25 Multamia R.M.T. Lauder, Pemetaan dan Distribusi Bahasa-bahasa di Tangerang, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993) 11 pendapat Michael Useem, adalaha “Tindakan kolektif terorganisasi, yang dimaksudkan untuk mengadakan perubahan sosial.”26

“... John McCarthy dan Mayer Zald melangkah lebih rinci, dengan mendefinisikan gerakan sosial sebagai “upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan di dalam distribusi hal-hal apa pun yang bernilai secara sosial”. Sedangkan Charles Tilly menambahkan corak perseteruan (contentious) atau perlawanan di dalam interaksi antara gerakan sosial dan lawan-lawannya...“Soal pendefinisian ini, saya lebih cenderung mengikuti David Meyer dan Sidney Tarrow, dalam karya mereka Social Movement Society (1998). Keduanya memasukkan semua ciri yang sudah disebutkan di atas dan mengajukan sebuah definisi yang lebih inklusif tentang gerakan sosial, yakni: “Tantangan-tantangan bersama, yang didasarkan atas tujuan dan solidaritas bersama, dalaminteraksi yang berkelanjutan dengan kelompok elite, saingan atau musuh, dan pemegang otoritas”27

Teori Gerakan Sosial, digunakan dalam analisis aktivisme Islam di Indonesia dan dunia Islam pada umumnya muncul dari kekhawatiran Barat terhadap bahaya kebangkitan Islam. Kacamata Orientalis digunakan sebagai investigasi terhadap tradisi, budaya, dan sifat agama kaum pribumi – yang mengancam kekuasaan politik dan ekonomi di negara koloninya.28 Peminjaman teori ini, digunakan untuk dapat memahami, aspek di balik gerakan millenarian yang dilakukan oleh Kaiin Bapa Kayah pada peristiwa Tangerang 1924.

F. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian tentang Perlawanan Petani Tangerang yang dipimpin oleh Kaiin Bapa Kayah, pernah menjadi pembahasan skripsi yang ditulis

26 Ihsan Ali Fauzi, Sintesis Saling Menguntungkan: Hilangnya “Orang Luar” dan “Orang Dalam”, dalam Quintan Wiktorowicz, (ed.), Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama Republik Indonesia, 2007), h. 2 27 Quintan Wiktorowicz, (ed.), Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama Republik Indonesia, 2007), h. 4 28 Charles Kurzman, Teori Gerakan Sosial dan Studi-studi Islam, dalam Quintan Wiktorowicz, (ed.), Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama Republik Indonesia, 2007), h. 363-374 12 oleh Mukhlishah, mahasiswi jurusan Sejarah dan Peradaban Islam (angkatan tahun 2000), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditulis pada tahun 2005. Adapun judul tulisannya adalah “Peranan Kaiin Bapak Kayah dalam Gerakan Sosial Petani Tangerang terhadap Dominasi Cina Tahun 1924”.29 Skripsi tersebut menggambarkan latar belakang Kaiin Bapak Kayah untuk melakukan perlawanan terhadap dominasi etnis Tionghoa, yang terangkum dalam bab III.30 Kemudian pada bab IV digambarkan peristiwa meletusnya pemberontakan yang dilakukan oleh Kaiin Bapa Kayah di wilayah Tangerang pada tahun 1924.31 Apa yang diteliti oleh Mukhlishah, hanya fokus pada peristiwa perlawanan petani Tangerang terhadap dominasi etnis Tionghoa, tidak menyentuh aspek millenarian dari pergerakan ini. Namun begitu, peneliti banyak mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk ditelusuri lebih lanjut, khususnya tentang peristiwa Tangerang 1924 yang dipimpin oleh Kaiin Bapa Kayah. Penelitian kedua, terkait tentang gerakan sosial Kaiin Bapa Kayah di tanah Partikelir Tangerang, pernah termuat dalam sub-bab IV buku “Sejarah Kabupaten Tengerang”, yang ditulis oleh M. Dien Majid, Nana Suryana, dan Darmiati.32 Di dalam buku ini terungkap motif-motif para penggerak perlawanan petani Tangerang, adalah karena kecemburuan sosial kaum pribumi dengan para pendatang asing (khususnya etnis Tionghoa), tuan tanah, pegawai pemerintah kolonial, dan pemerintah kolonial Belanda – yang telah membatasi ruang gerak kaum pribumi dalam pemanfaatan sumber-sumber ekonomi di tanah airnya sendiri. Selain faktor tersebut, dua hal lain yang menyebabkan perlawanan ini mendapat tempat di kalangan petani adalah karena tersiarnya kepercayaan tentang Ratu Adil yang akan menyelamatkan umat manusia dari keterpurukan dan kesengsaraan. Kemudian faktor munculnya gerakan moderen, yang ditandai dengan dibukanya organisasi Sarekat Islam di Tengerang yang memberikan pengaruh pada tingkat akar rumput, karena kesamaan perjuangan dengan kehidupan aktual para petani dan kaum pribumi. Tulisan ketiga muncul lebih dahulu dari pada penelitian di atas, yakni apa yang pernah diangkat oleh Didi Suryadi dalam Seminar Nasional Sejarah ke-3 tahun 1981. Didi menulis tema perlawanan Petani pimpinan Kaiin Bapa Kayah dengan judul “Pemberontakan Petani di Tangerang, 1924”. Semua hasil penelitian dalam Seminar tersebut sudah dikumpulkan

29 Mukhlishah, Peranan Kaiin Bapak Kayah dalam Gerakan Sosial Petani Tangerang terhadap Dominasi Cina tahun 1924, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2005) 30 Ibid, h. 40-66 31 Ibid, h. 67-97 32 M. Dien Majid, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Syaikh Yusuf, 1992), h. 79-91 13 oleh Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjadi sebuah buku yang diterbitkan pada tahun 1982. Hasil penelitian Didi Suryadi, mengungkap sisi lain keterkaitan pergerakan dengan latar belakang sosial ekonomi dan pengaruh organisasi Sarekat Islam.33 Selain itu dibahas pula profil tokoh utama dan para pengikut pergerakan, serta rencana aksi protes34 yang dideskripsikan tanpa menampilkan secara gamblang unsur millenarian dalam gerakan pimpinan Bapak Dalang Kaiin, bahkan dalam kesimpulan tulisannya, Suryadi mengutip pernyataan R.A Kern, bahwa pemberontakan ini bermotif ekonomi dan politik sebagai faktor yang dominan untuk menggerakan para Petani, yang tidak menjadi tuan di tanahnya sendiri, untuk melakukan aksi protes. Didi Suryadi juga memberi benang merah bahwa pemberontakan petani Tangerang, mendapat pengaruh juga dari organisasi Sarekat Islam yang telah membuka perwakilannya di Afdeling Tangerang pada tahun 1915, sehingga organisasi ini menanamkan benih-benih nativisme.35 Tulisan Didi ini turut mengilhami penelitian lebih lanjut tentang konsepsi millenarian dan mesianisme yang berkembang saat itu, yang juga menginspirasi gerakan Kaiin Bapa Kayah. Adapun penelitan keempat, yang terkait dengan gerakan millenarianisme, peneliti mendapatkan informasi dari Sartono Kartodirjo dalam bukunya yang berjudul Ratu Adil.36 Di sini, Sartono mengelompokkan pemberontakan Petani Tangerang yang dikomandoi Kaiin Bapa Kayah sebagai gerakan keagamaan yang bersifat mesianistis. Namun, sayangnya apa yang ditulis oleh Guru Besar Sejarah Universitas Gadjah Mada tersebut, tidak banyak mendeskripsikan secara utuh peristiwa Tangerang 1924, hanya sekelumit informasi dari beberapa kisah yang digambarkan, dan kasus yang ditampilkan tidak spesifik merujuk kepada peristiwa Tangerang saja,37 di dalam buku tersebut Kartodirjo juga memberikan uraian global tentang tiga contoh lain, sejarah perlawanan kaum pribumi yang memakai simbol Ratu Adil sebagai tokoh mesianistis untuk melakukan pergerakan.38

33 Didi Suryadi, Pemberontakan Petani di Tangerang, 1924, dalam kumpulan artikel Seminar Sejarah Nasional III, Seksi Sejarah Perlawanan terhadap Belanda 2, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional, 1982), h. 58-60 34 Didi Suryadi, Ibid, h. 60-66 35 Didi Suryadi, Ibid, h. 66-67 36 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit 37 Ibid, h. 25-27 38 Peristiwa pertama tentang Gerakan Nyi Aciah (1870-1871) di Sumedang (Priangan) seorang yang diyakini dapat menyembuhkan bermacam penyakit dan memberikan harapan millenarian akan datangnya Kerajaan Sunda. Kedua, Gerakan Kobra (Jumadilkubra) yang terjadi di daerah Pekalongan dan Banyumas pada tahun 1871, 14 Berdasarkan tinjauan penelitian di atas, maka peneliti ingin mengisi kekosongan dari para peneliti sebelumnya tentang Gerakan Kaiin Bapa Kayah dalam Peristiwa yang terjadi pada tahun 1924. Aspek millenarianisme dari gerakan Kaiin Bapa Kayah, belum secara fokus dibahas para peneliti tersebut. Selain faktor ekonomi, politik, dan sosial – mitos Ratu Adil inilah menjadi faktor dari beberapa penyebab bersatunya masyarakat untuk melawan atas ketidakadilan dan kelaliman tuan tanah dan penguasa kolonial.

G. Metode Penelitian Dalam pelaksanaan penelitian perlu ditentukan objek penelitiannya, adapun objek kajian tesis ini adalah Gerakan Millenarian Kaiin Bapa Kayah yang membangkitkan protes sosial Petani Tangerang pada tahun 1924. Dan metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode penelitian sejarah39 dengan pendekatan multidimensional40. Adapun langkah-langkah penelitian sejarah yang dilakukan adalah sebagai berikut: pertama, heuristik (bahasa Yunani, heuristiken), yaitu menemukan atau mengumpulkan sumber.41 Sumber penulisan tesis ini diperoleh dari arsip kolonial Belanda abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan manuskrip koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) yang terkait dengan millenarianisme atau mahdisme sebagai sumber primer. Sedangkan data sekunder diperoleh dari buku terbitan, majalah, surat kabar yang terdapat pada perpustakaan umum maupun pribadi, serta sumber internet yang relevan. Kedua, Kritik Sumber, semua data yang terkumpul sebagai sumber penelitian tersebut selanjutnya dikritik baik dari sudut pandang interen maupun eksteren. Kritik interen dilakukan agar sumber yang didapatkan

dengan tokoh utama yang bernama Achmad Ngisa yang pengikutnya juga dari pelbagai lapisan penduduk, termasuk para pegawai negeri dan para bangsawan. Ketiga, peristiwa yang dipimpin oleh Jasmani di Kediri, seorang lulusan pesantren yang pernah bermukim di rumah seorang guru keramat yang bernama Amat Mukiar yang mengaku bakal menjadi Panembahan (Bupati) dan anak didiknya menjadi Ratu Adil Igama di sebuah kerajaan Sultan Adil yang akan berdiri pada akhir tahun Jawa, di Birowo, Kewedanan Lodoyo. Lihat Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Ibid, h. 19-27 39 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 1995), h. 89-122 40 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993) 41 M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2014), Cet. Ke-1, h. 219 15 memenuhi kelayakan dan kredibel. Sumber dianggap mampu mengungkapkan kebenaran suatu peristiwa, apabila memenuhi kemampuan meliputi kompetensi, kedekatan, atau kehadiran sumber dalam peristiwa sejarah.42 Sedangkan kritik eksteren adalah tahapan dimana sumber diuji keabsahan dan autentifitasnya. Kritik terhadap keaslian atau salinan sumber yang diketemukan menjadi sebuah keharusan dalam penelitian sejarah, karena dengan langkah ini setidaknya peneliti dipandu untuk berhati-hati terhadap orisinalitas sumber sejarah. Langkah penelitian setelah kritik, yaitu Interpretasi, dimana kegiatan ini dilakukan setelah fakta-fakta disusun. Menurut M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, “fakta-fakta sejarah yang berhasil dikumpulkan belum banyak bercerita. Fakta-fakta tersebut harus disusun dan digabungkan satu sama lain sehingga membentuk cerita peristiwa sejarah”. Selanjutnya yang keempat, yaitu Historiografi (penulisan sejarah). Dalam metode penelitian sejarah, historiografi adalah langkah terakhir dalam penelitian sejarah. Dudung Abdurrahman yang dikutip oleh M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, “Penulisan sejarah (historiografi) merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan.”43

H. Sistematika Penulisan Dalam pembahasan tentang pergerakan millenarianisme Kaiin Bapa Kayah, penulis membagi tiga faktor tersampaikannya ide-ide revolusi Kaiin Bapa Kayah kepada para pengikutnya untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme bangsa penjajah. Pertama, faktor ideologi yang mempengaruhi aksi perlawanan ini, melalui doktrin keagamaan (mahdisme) dan tradisi lokal (ramalan Jayabaya) yang menjanjikan kedatangan kemajuan (kertayuga) setelah melewati beberapa krisis (kaliyuga) ditandai dengan kedatangan sang pembebas Ratu Adil dan juga referensi lokal (hikayat Muhammad Hanafiyah dan Hikayat Arjuna dalam kisah pewayangan) yang menginspirasi pergerakan. Pembahasan ini penulis tuangkan dalam bab II. Kedua, faktor keadaan ekonomi, sosial, dan politik, yang secara khusus dibahas dalam bab III. Ketiga, faktor internal, yakni faktor yang mempengaruhi perlawanan masyarakat terhadap kolonialisme bangsa penjajah, melalui dalam diri atau pribadi sang tokoh pembebas (Kaiin Bapa Kayah) yang mengasosiasikan dirinya dengan

42 M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, Ibid, h. 223-224 43 M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, Ibid, h. 230-231 16 tokoh mesianistis dan turun wahyu kepadanya untuk melakukan aksi perlawanan, proses pergerakan, mobilisasi, dan praktik ideologi pergerakan. Pembahasan lebih lanjut penulis tuangkan ke dalam bab IV dan bab V. Untuk memudahkan penulisan tesis ini, maka penulis membagi atas lima bab dengan sistematika sebagai berikut: BAB I : Bab ini adalah Pendahuluan terdiri dari; Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori Sejarah Lokal dan Gerakan Sosial, Tinjauan Penelitian Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB III : Bab ini membahas tentang Millenarianisme dalam Sejarah Indonesia meliputi; pertama Kepercayaan terhadap Mesianisme dan Millenarianisme. Kedua, Doktrin Mahdisme, Eskatologi Islam, dan Perang Sabil. Ketiga, Konsep Ratuadilisme dalam Ramalan Jayabaya. Keempat, Kandungan Millenarian dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah. Kelima, Kandungan Millenarian dalam Kisah Pewayangan Arjuna. BAB III : Bab ini membahas Situasi Sosial Politik Sebelum Pergerakan yang mencakup di dalamnya; Toponimi dan Letak Geografis Tangerang, Tangerang sebagai Tanah Partikelir, Struktur Sosial Masyarakat, Keadaan Ekonomi Masyarakat dan Kebijakan Pemerintah Kolonial terhadap Masyarakat Tangerang. BAB IV : Bab ini membahas Konsepsi Millenarian dalam Pergerakan Tangerang 1924, yang meliputi pembahasan; Kaiin Bapa Kayah: Dalang Wayang dan Pergerakan, Ekspektasi Mesianik dalam Kepercayaan Masyarakat, Visi Millenarian dalam Pergerakan, Unsur Islam dalam Pergerakan Kaiin Bapa Kayah. BAB V : Bab ini membahas Pergerakan Millenarian Tangerang 1924 sebagai Protes Sosial, dengan pokok pembahasan; Proses- proses Pergerakan, Faktor Kepemimpinan Kaiin Bapa Kayah, Mobilisasi Pergerakan, Ideologi Pergerakan, dan Analisis Pergerakan. BAB VI : Bab ini adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

Penulis mencantumkan daftar pustaka dan lampiran-lampiran sebagai bahan pendukung penulisan tesis berdasarkan data dan fakta yang akurat. BAB II MILLENARIANISME DALAM SEJARAH INDONESIA

Bila kita mendalami sejarah lokal di suatu daerah, tentunya mendalami kehidupan budaya dan pengetahuan mereka yang menjadi jiwa zaman pada waktu itu perlu dipahami. Tangerang adalah suatu daerah otonom di era moderen, tapi berbeda di zaman lampau, bila merujuk kepada alam geografisnya, maka diketahuilah sebelum berdiri menjadi daerah kabupaten dan kota, Tangerang berada dalam pengaruh beberapa kerajaan dan suku bangsa. Keberadaan pengaruh budaya dan kepercayaan luar, terutama Betawi, Jawa dan Sunda mendominasi alam kehidupan masyarakat Tangerang. Dalam hal ini penulis ingin menarik garis kepercayaan masyarakat lokal kepada sebuah mitos millenarian, dimana referensi kebudayaannya bersumber dari keyakinan pada Ramalan Jayabaya, seorang Raja Jawa yang mempunyai keahlian melihat masa depan dengan perwujudan kehadiran seorang tokoh pembebas Ratu Adil sebagai penantian akan terlepasnya kesulitan dan kesangsaraan rakyat Jawa. Sedangkan bila dilihat jumlah penganut Islam di wilayah Tangerang, merupakan yang terbesar dan menjadi mayoritas agama yang dianut oleh penduduk asli maupun pendatang. Maka referensi atas kepercayaan tokoh millenarian dalam Islam bersumber kepada kepercayaan Mahdisme, dimana tokoh Imam Mahdi menjadi sentrum atas simbol pembebasan dari keterenggutan masyarakat, kehinaan duniawi yang menyengsarakan mereka. Atas dasar inilah, maka di bawah ini penulis perlu menjelaskan referensi lokal dan agama Islam yang memengaruhi keyakinan tradisional masyarakat Tangerang dan mampu menggerakkan perlawanan.

A. Kepercayaan terhadap Mesianisme dan Millenarianisme Kepercayaan tentang kedatangan Mesiah (juru selamat), muncul sebelum periode kedatangan agama Nasrani yang dibawa oleh Nabi Isa AS, artinya mesianisme sebagai keyakinan sudah dianut oleh kaum Yahudi, hal ini berdasarkan pada sebuah ajaran dalam kitab Perjanjian Lama yang meramalkan kedatangan juru selamat untuk mengembalikan situasi mapan sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi Daud AS saat memimpin kerajaannya, adapun tokoh yang dinantikan itu muncul dari garis keturunan Nabi Daud. Dalam suatu redaksi Perjanjian Lama yang berbeda, diyakini pula Mesiah lahir ke dunia ini melalui keajaiban seorang perempuan suci yang tak bersuami, bernama Maryam. Anak yang dilahirkan Maryam

17 18 tersebut, diberi nama Isa. Banyak orang yang menaruh harapan kepada Isa, ketika diangkat menjadi nabi dalam usia 30 tahun, untuk menjadi penyelamat kaum mereka.1 Menurut HM Rasyidi (Mantan Menteri Agama) dalam Majalah Prisma, keyakinan tentang Al-Masih (dalam bahasa Arab), Mesiah (bahasa Ibrani) yang berasal dari kata “Mashiah”, sama artinya dengan “Christos” (dalam istilah Latin) – yakni bermakna orang yang diusapi dengan minyak kasturi. Artinya manusia pilihan yang dimuliakan atau juru selamat.2 Senada dengan itu, buku berjudul The Messianic Legacy, juga memberikan garis lurus tentang pengertian Mesias:3

“...‟Mesias‟ kurang lebih berarti „yang diurapi‟ (sic: diurapi dengan minyak, sebagai manusia pilihan). Dengan kata lain, ia mengacu pada raja yang sudah sewajarnya dikuduskan dan raja kudus yang mendapatkan dukungan. Setiap Raja Israel dipandang sebagai Mesias. Istilah itu sudah biasa diterapkan pada Daud dan pengganti Daud, mulai dari Raja Salomo dan seterusnya. „Setiap Raja Yahudi dari Keluarga Raja Daud dikenal sebagai Mesias, atau Kristus, dan cara yang biasa untuk memaksudkannya sebagai Imam Kepala adalah „Mesias Imam‟...”

Namun demikian, terdapat perbedaan pemahaman di antara cendikiawan Kristen sendiri. Awalnya kebanyakan memahami status Mesias, sebagai tokoh nonpolitik (bukan pemimpin kerajaan), pribadi yang menjadi panutan dalam dunia spiritual Kristen, sebaliknya lebih jauh dari itu, yakni memandang otoritas duniawi hanya bersifat sementara, kerajaan yang bukan dunia merupakan tujuan akhirnya.4 Klaim tersebut dipatahkan oleh pendapat lain, sebagaimana dikutip dari Michael Baigent dan kawan-kawan:5

“... Dewasa ini hanya segelintir sejarawan bidang itu akan memperdebatkan bahwa Mesias yang dinantikan dalam era Yesus adalah sepenuhnya tokoh politik, yang berniat melepaskan orang Israel dari Belenggu penjajahan Roma. Yudaisme pada saat itu tidak mengakui perbedaan antara agama dan politik. Sampai pada tahap bahwa raja yang benar itu diberikan mandat sekaligus dikukuhkan oleh Allah, maka aktivitas politiknya terselubung dalam lingkaran cahayanya yang religius...”

1 Rasyidi, “Imam Mahdi dan Harapan akan Keadilan”, Prisma, Januari 1977, No. I. Tahun VI, h. 45 2 Rasyidi, Ibid, h. 45 3 Michael Baigent et.al., (Terj.), The Messianic Legacy: Warisan Abadi Seorang Mesias, (Jakarta: Ramala Books, 20017), Cet. Ke-1, h. 49 4 Ibid, h. 51 5 Ibid, h. 52 19 Kedatangan Nabi Isa AS di hari akhir untuk menaklukkan Dajjal dalam mahdisme6 dan eskatologi Islam, juga dikenal sebagai pengetahuan tersendiri. Tetapi itu bukan doktrin utama, eskatologi Islam lebih memandangnya sebagai keyakinan akan adanya hari kiamat, sesuai dengan rukun Iman dalam ideologi Islam. Gerakan mesianisme di Jawa, umumnya juga bersifat millenarian. Tokoh juru selamat (mesiah) dalam hal ini juga dikaitkan dengan unsur millenarian (millenium) atau abad keemasan. Untuk mewujudkan harapan millenarian, maka kemunculan Sang Juru Selamat, yang akan menjadi penguasa adil, pembawa perdamaian dan kemakmuran sandang dan pangan menjadi prasyarat kemajuan zaman yang dinantikan tersebut. Salah satu kepercayaan mesianisme Jawa adalah merujuk kepada datangnya Ratu Adil, Raja Kebenaran yang akan membebaskan orang dari penyakit, kelaparan, dan setiap kejahatan. Kedatangannya akan didahului oleh bencana-bencana alam, penurunan martabat, kemelaratan dan penderitaan.7 Konsep Millenarianisme dikonstruksi dari kepercayaan kaum Nasrani, yang meyakini adanya tokoh pembaharu dalam siklus seribu tahunan8 – dalam hal ini Isa dianggap representasi Al-Masih atau Juru Selamat yang dijanjikan dalam Perjanjian Lama. Sedangkan dalam pandangan Islam, sebagaimana dikatakan Marshall G.S Hodgson, “Berbeda dalam millenialisme Islam, zaman sempurna itu biasanya tidak dikatakan untuk masa seribu tahun.”9 Sehingga pemahaman tentang siklus tahun tertentu akan muncul tokoh pembebas atau pembaharu dalam Islam tidak begitu populer, karena dalam Islam menurut Azyumardi Azra lebih menampilkan upaya melahirkan pembaharuan dalam masyarakat melalui usaha umatnya sendiri, bukan dengan jalan pasif sambil menunggu campur tangan eskatologis.10 Tokoh Islam yang memainkan peranan pembaharu dengan pendekatan millenarianisme yang diistilahkan Mujaddid Alfi Tsani atau

6 Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauzi sebagaimana dikutip oleh Muhammad Isa Dawud: “Isa adalah al-Mahdi paling agung (yang turun ke dunia) antara masa hidup Rasulullah saw dan Hari Kiamat.” Lihat Muhammad Isa Dawud, Al-Mahdi al-Muntazhar ‘ala al-Abwab: Qahir al-Masih al-Dajjal (terj), Menyongsong Imam Mahdi Sang Penakluk Dajjal, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), cet. Ke-3, h. 29 7 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), cet. Ke-1, h. 57 8 Millenarianisme yang dimaksud dikaitkan dengan makna Millenium, yang definisinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Masa atau jangka waktu seribu tahun”. Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), Cet. Ke-1, Edisi Ke-4, h. 914 9 Marshall G.S Hodgson, Sebuah Catatan tentang Millenium dalam Islam, dalam Sylvia L. Thrupp, op.cit, h. 367 10 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2013), h. 149 20 Millenium Kedua, adalah seorang ulama India, bernama Ahmad al-Sirhindi (971-1034 H/1564-1624 M). Sebagaimana dikutip dari Azyumardi Azra:

“Al-Sirhindi menyatakan, zamannya dipenuhi kegelapan, Seribu tahun setelah kematian Nabi Muhammad, Islam mengalami kemunduran; pada saat yang sama, kekafiran dan bid’ah menguasai kaum Muslim. Dia percaya bahwa dirinya adalah ulama yang memiliki pengetahuan sempurna, yang mampu menjalankan fungsi laksana Nabi yang gigih memperbarui dan membangkitkan kembali Islam. Friedmann menunjukkan bahwa spekulasi- spekulasi eskatologis menjadi latar belakang dari pandangan Sirhindi di zamannya. Namun eskstologinya tidak mengantisipasi waktu akhir dunia ini, melainkan justru mencegah proses kemunduran yang berada pada titik nadir dengan sarana tajdid (pembaruan). Dengan mengaitkan pentingnya tajdid dengan masa seribu tahun, dia akhirnya mengikuti konsep milenarianisme”11

Karena dianggap meresahkan pemahaman umat Islam pada kurun abad 16-17, beberapa ulama par excellent membuat fatwa sekaligus menentang konsep millenarian Al-Sirhindi tersebut. Sebagaimana dikemukakan Azra dalam Jaringan Ulama:12 1. Muhammad bin „Abd al-Rasul al-Barzanji, yang memberikan penjelasan paham Al-Sirhindi yang bersifat millenarian, karyanya yang pertama diberi judul Qadh al-Zand wa Qadh fii Radd Jahaalaat Ahl al-Sirhindi, selesai pada 15 Rajab 1093 H/20 Juli 1682 M. Dan buku keduanya ditulis setelah dua tahun dari karyanya yang pertama, yakni pada 7 Muharram 1095 H/26 Desember 1683 M, tulisannya diberi judul al-Naasyiraat al- Naajirah li al-Firqaat al-Faajirat. 2. Hasan al-„Ajami, yang menerangkan gagasannya dalam sebuah kitab berjudul al-‘Ashhaab al-Hind li ‘Istishaal Kufriyaat Ahmad al-Sirhindi. 3. Diriwayatkan Ibrahim Al-Kurani juga turut meramaikan pergulatan intelektual terkait masalah pemikiran Ahmad al-Sirhindi setelah berdiskusi panjang dengan salah seorang pengikut Sirhindi, „Adam Baanuri (w. 1053 H/1643 M). Sayangnya tidak ada informasi yang ditampilkan oleh Azra, apa judul tulisan tersebut.

Dalam tradisi lokal, beberapa ramalan tentang millenarianisme menunjukkan suatu Abad Keemasan yang mengatakan bahwa semua ketidakadilan akan diakhiri dan keharmonisan akan dipulihkan. Gerakan yang bersifat Millenarian meyakini bahwa pergolakan sebagai bentuk upaya balas dendam dan mengubah peranan-peranan di masa status quo,

11 Ibid, h. 150 12 Ibid h. 149-150 21 mengggeser kelompok yang berkuasa (dari Belanda) kepada negara dan masyarakat tradisional yang akan kembali berjaya.13 Dunia yang diidamkan itu, sebagaimana dikatakan oleh Sartono digambarkan sebagai berikut: “Jika zamannya nanti, tak akan ada lagi pertentangan, ketidakadilan, dan penderitaan; rakyat akan bebas dari pembayaran pajak yang memberatkan, dari wajib menjalankan kerja bakti. Tak akan ada penyakit dan pencuri; sandang pangan akan melimpah; setiap orang memiliki rumah, orang akan hidup tentram dan damai.”14 Harapan millenarian dalam kebudayaan Jawa, diwujudkan oleh tokoh- tokoh pemuka masyarakat seperti guru ilmu, kiai, atau orang suci yang pada umumnya memiliki karismatika (tokoh prophetic). Mereka inilah yang mewujudkan agenda dan keinginan rakyat kecil, karena tokoh profetik merupakan penerus dari tradisi millenarian yang kepercayaannya sudah tertanam di masa lampau. Tokoh millenarian, menarik ideologi agama dalam pergerakannya melalui ritual selamatan, upacara-upacara agama-mistik lainnya, membagi-bagikan jimat, melakukan puasa, dan lain sebagainya – untuk mempercepat terjadinya millenium yang dijanjikan tersebut.15 Para pengikut memiliki hubungan guru-murid, semakin mempererat pergerakan millenarian ini, menurut Aswab Mahasin dan Daniel Dhakidae, “Gerakan kebatinan yang semula bersifat melunak, berubah menjadi gerakan mesianis yang tak sabar menunggu perubahan datang dengan sendirinya.”16 Kepercayaan millenium sudah berurat berakar, bahkan sebelum kaum pribumi terdampak oleh penjajahan dan eksploitasi kaum pendatang asing. Sebagaimana ditulis oleh Cohen Stuart bahwa di masa lampau, ada seorang tokoh millenarian yang bernama Erucakra.17 Selanjutnya nama Erucakra dikultuskan menjadi penegas bagi tokoh-tokoh pejuang untuk menggaransi gerakan-gerakan perlawanan mereka untuk mewujudkan millenium yang diharapkan. Sehingga para pejabat kolonial selalu berhati-hati untuk mengawasi tokoh-tokoh yang menggunakan nama julukan Erucakra, sekaligus menutup ruang gerak mereka agar tidak menyulut rakyat kebanyakan.18 Perlawanan-perlawanan yang bersifat millenarian memiliki potensi kecenderungan pada gerakan radikal, karena misinya adalah melakukan restorasi terhadap status quo secara total dan menyeluruh. Hal ini

13 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 55 14 Ibid, h. 14-15 15 Ibid, h. 14 16 Aswab Mahasin dan Daniel Dhakidae, “Gerakan Messianis dan Aspirasi Petani: Sebuah Pengantar”, Prisma, edisi 1 Januari 1977, Tahun VI, h. 7 17 Stuart Abraham B. Cohen, “Eroe Tjakra”, Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde (BKI), No.19, 1872, h. 285-88 18 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 15 22 menunjukkan bahwa penggunaan ide-ide millenaristis itulah yang memberikan alat kepada rakyat untuk menyatakan perlawanannya.19 Keyakinan millenium terkandung di dalamnya unsur-unsur keakhiratan (eskatologis) yang merupakan faktor yang mempercepat gerakan millenarian. Menurut Begawan Sejarah, Sartono Kartodirdjo: “Peralihan dari situasi yang ada ke millenium dibayangkan berlangsung secara radikal dan revolusioner. Orang-orang yang percaya dan mengharapkan dapat selamat dari bencana alam dianjurkan supaya mematuhi petunjuk-petunjuk pemimpin dalam melakukan kegiatan pemberontakan. Di sini kita berjumpa dengan unsur pokok dalam gerakan millenarian, yaitu munculnya mesias atau utusannya.”20

B. Doktrin Mahdisme, Eskatologi Islam, dan Perang Sabil Kepercayaan terhadap Mahdisme mencuat sejak masa Rasulullah saw, hal ini dibuktikan dengan adanya hadits yang membicarakan tentang kedatangan tokoh Imam Mahdi, sebagaimana percakapan beberapa tokoh: Emami, Fahimi, dan Hosyyar yang dikutip oleh Ibrahim Amini. Hosyyar mengungkapkan adanya hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas‟ud: “ Dunia tidak akan berakhir sampai seorang lelaki dari keluargaku (ahl al- bayt), yang disebut al-Mahdi, bangkit untuk mengurus umatku.”21 Pendapat yang hampir senada dikemukakan oleh Emami, menurutnya doktrin Mahdisme ada sebagian yang menyebut populer pada paruh kedua abad pertama Hijriyah atau abad ketujuh Masehi, di pihak lain mengatakan Mahdisme mencuat di masa Nabi. Bahkan sekolompok lain menegaskan secara terang-terangan bahwa Muhammad Ali Al-Hanafiyyah adalah Al-Mahdi yang dinantikan, mereka juga percaya ibn Hanafiyyah belum wafat, masih hidup di Gunung Radhwah dan suatu saat akan muncul kembali untuk menumpas angkara murka.22 Dalam eskatologi Islam, dipercayai akan datangnya kiamat, yakni masa penghancuran besar alam jagat raya ini, sebelum terjadinya masa pengakhiran tersebut, muncullah tokoh Imam Mahdi menjadi penyelamat umat manusia dan kehadirannya sangat dinantikan untuk menaklukkan Dajjal.

19 Ibid, h. 29 20 Ibid, h. 15-16 21 Ibrahim Amini, Al-Imam al-Mahdi: The Just Leader of Humanity, (terj) Imam Mahdi Penerus Kepemimpinan Ilahi Studi Komprehensif dari Jalur Sunnah dan Syi’ah tentang Eksistensi Imam Mahdi, (Jakarta: Islamic Center Jakarta, 2002) cet. Ke-1, h. 3 22 Ibid, h. 3 23 Program universal al-Mahdi sebagai reformer sedunia–meminjam istilah Saleh Asyabibi Nahdi,23 bertujuan agar manusia, yang terikat pada materialisme yang ekstrem dan mengabaikan perintah-perintah samawi, kembali mentaati perintah Ilahi yang bersandar pada tujuan-tujuan moral dan spritual. Program ini dimaksudkan untuk memecahkan kebuntuan yang menghadang manusia dengan mengeratkan ikatan-ikatan yang terputus untuk menghilangkan berbagai akar konflik di masyarakat, dan dapat mempersatukan manusia di bawah panji tauhid (keesaan Tuhan), ketundukan universal, serta penghambaan hanya kepada-Nya. Program seperti itu, jika diterapkan akan mengakhiri tirani dan kelaliman serta menebarkan benih- benih perdamaian melalui keadilan ke seluruh dunia.24 Menurut nubuwah (ramalan) Nabi Muhammad saw, Imam Mahdi akan muncul nanti untuk tampil memimpin dunia. Beliau akan memenuhi bumi ini dengan kebenaran dan keadilan sebagaimana bumi ini telah diliputi sebelumnya oleh kezaliman dan kesesatan. Mahdisme dalam pengertian historisnya, selalu hanya dianggap sebagai protes politik, sebenarnya gerakan ini merupakan protes sosial juga, walaupun biasanya memiliki kaitan pada pendasaran atas claim politik.25 Wacana Mahdisme sering dimanfaatkan orang yang ingin mencari keuntungan politik, mereka menghasut rakyat untuk melakukan pemberontakan di bawah pimpinan Mahdi palsu. Seperti klaim Mukhtar terhadap Muhammad Ali Al-Hanafiyyah, yang diakuinya sebagai Mahdi yang dinantikan, ia sendiri mengaku dipercaya oleh Sang Mahdi sebagai wazir dan wakilnya. Dalam skenario itu Mukhtar, mengatakan bahwa Muhammad Ali Al-Hanafiyyah dikirim oleh Tuhan untuk menuntut balas atas kematian keturunan Ali bin Abi Thalib dan melancarkan suatu

23 Saleh A Nahdi, Imam Mahdi atau Ratu Adil, (Jakarta: PT. Arista Brahmatyasa, 1992), h. 1-20 24 Abu Na‟im meriwayatkan hadis yang dikutip oleh Muhammad Isa Dawud, diriwayatkan dari Hudzaifah r.a bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sekiranya usia dunia tinggal sehari, maka Allah akan mengutus seorang laki-laki yang namanya sama dengan namaku dan akhlaknya sama dengan akhlakku. Ia bergelar Abu „Abdillah, yang dibai‟at oleh manusia, baik dari kalangan atas maupun bawah, dengannya Allah menghendaki kejayaan agama (-Nya), dan melakukan berbagai pembebasan ke berbagai penjuru dunia, sehingga tidak ada lagi penduduk bumi yang tidak mengatakan Laa Ilaaha Illa Allah” (H.R. Abu Na‟im). Lihat Muhammad Isa Dawud, Al-Mahdi al-Muntazhar ‘ala al-Abwab: Qahir al- Masih al-Dajjal (terj), Menyongsong Imam Mahdi Sang Penakluk Dajjal, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), cet. Ke-3, h. 77, Baca juga Ibrahim Amini, Op.cit, h. 19. 25 Misalnya Mahdisme yang digagas Ibn Tumart (wafat 1130 M) pendiri imperium Muwahhidun (Almohads) yang menguasai hampir seluruh Afrika Utara dan Spanyol Selatan dari tahun 1130-1269, dimulai dari sebab sosial yang antara lain berupa mengendurnya penguasaan hukum agama (syari’at) dalam kehidupan di masa akhir pemerintahan dinasti Murabitun (Almoravids) di kawasan tersebut. baca Abdurrahman Wahid, “Mahdiisme dan Protes Sosial”, Prisma, edisi 1 Januari 1977, Tahun VI, h. 66 24 pemberontakan terbuka terhadap penguasa tiran Bani Umayyah yang telah mengakibatkan terjadinya krisis.26 Tradisi Mahdisme yang sudah berkembang sejak berabad-abad yang lalu, juga masuk ke dalam mesianisme Jawa, hal itu terlihat dengan jelas dalam beberapa aliran gerakan agama di Jawa. Mesianisme Islam yang masuk ke dalam mesianisme Jawa itu umumnya tercermin dalam bentuk eskatologinya. Tradisi Mahdisme menyebutkan akan terjadinya hari akhir (kiamat) yang didahului dengan kehancuran alam semesta. Penderitaan dan penindasan akan diakhiri oleh kedatangan Imam Mahdi sebagai juru selamat, pembawa ketentraman dan raja dari kerajaan yang terakhir. Kerajaan itu akan dihancurkan oleh Dajjal, syaitan yang kemudian akan dikalahkan oleh Nabi Isa. Dengan demikian keadilan akan dibangun kembali.27 Pengharapan datangnya juru selamat itu dalam versi Jawanya disebut Ratu Adil. Kepercayaan mesianistis Islam ini bercampur dengan mesianisme Jawa, yang sebagian besar terdapat dalam tradisi tertulis ramalan jayabaya.28 Doktrin Mahdisme dan Eskatologi Islam di atas tidaklah lengkap bila belum ada perintah perang. Ide tentang perang suci digelorakan kepada rakyat untuk mendorong perlawanan kepada penguasa kafir yang telah merusak tatanan agama yang mereka anut. Gagasan perang sabil mengundang militansi para penganut Islam agar terpanggil bergerak demi tercapainya keadaan agama sebagaimana ada sebelum kelompok kafir menguasai bumi pertiwi yang telah merusak keadaan sosial menjadi buruk.29 Dalam doktrin Islam, seorang yang meninggal dalam peperangan sabilullah, maka dianggap mati syahid, dan ruhnya akan disucikan di alam kubur nanti. Hal ini pula yang melecut semangat juang para petani dan rakyat untuk melawan kesewenangan penguasa asing dan sekutunya. Konsepsi Perang Sabil masuk pula dalam gerakan-gerakan Ratu Adil, meskipun konsepnya datang dari referensi yang berbeda, tetapi istilah-istilah Islam yang menyerap tersebut berhasil menggerakkan para penganut Islam baik yang taat maupun abangan bersatu padu melawan penindasan. Tokoh pemersatu perlawanan adalah pemimpin-pemimpin keagamaan yang berkontribusi besar kepada perkembangan keyakinan perang sabil. Hal ini

26 Ibrahim Amini, op.cit, h. 150-151 27 Sartono Kartodirdjo, “Tjatatan tentang Segi-segi Messianistis dalam Sedjarah Indonesia” dalam Lembaran Sedjarah, (Seksi Penelitian Djurusan Sedjarah Fakultas Sastra dan Kebudajaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta), Edisi Juni, No. 7, Tahun 1971. Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed), Sejarah Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 1977), h. 312 28 Lihat Soesilo, Sekilas tentang Ajaran Kejawen sebagai Pedoman Hidup, (Surabaya: CV Medayu Agung, 2000), cet. Ke-1, h. 214 29 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, cet. Ke-1, h. 17 25 diamini oleh Sartono Kartodirdjo dalam penelitiannya, yang menyebut bahwa:

“... Di tangan mereka gagasan perang sabil menjadi sepucuk senjata ampuh di dalam menentang Belanda, karena gagasan itu merupakan suatu himbauan kuat kepada semua kaum muslimin bersatu di dalam mempertahankan agama mereka. Bahkan secara relatif keterikatan kaum abangan kepada Islam telah cukup, jika diberi pengenal permusuhan Jawa- Belanda dengan antagonisme antara muslim dan kafir melalui gagasan Perang Suci, untuk membuat banyak dari mereka berada di belakang kiai. Sesuai dengan itu, kegairahan keagamaan bagi jihad tidak terpisahkan dari kebencian yang penuh kekerasan terhadap penguasa-penguasa asing dan terhadap priayi-priayi pegawai negeri, yang dikatakan telah mencemarkan kehormatan agama mereka dengan jalan bekerja sama dengan kaum kafir.”30

Akhirnya dapatlah diambil kesimpulan, dalam gerakan sosial keagamaan sikap antagonisme kaum pribumi terhadap orang-orang asing yang merusak tatanan agama dan kehidupan sosial mereka diwarnai oleh pola-pola gerakan yang membawa misi suci keislaman, yaitu Perang Suci demi menjaga marwah agama Islam dari penistaan oleh pemeluk-pemeluk agama lainnya. Doktrin Perang Sabil meningkatkan sentimen rakyat terhadap penguasa kafir, sekaligus menebar benih-benih gerakan-gerakan keagamaan menjadi radikal dan revolusioner.31

C. Konsep Ratuadilisme dalam Ramalan Jayabaya Terdapat beberapa versi tentang ramalan Ratu Adil, konsep mesianisme Jawa ini, tersimpan dalam sumber lisan maupun tulisan seperti: Pralambang Jayabaya, Jangka Jayabaya, Serat Jayabaya, Jangka Jayabaya Catursabda, dan lain sebagainya. Dari semua variasi tulisan tersebut, terdapat kesamaan dalam tema, yang membahas ramalan akan datangnya Sang Juru Selamat, Ratu Adil.32 Ramalan ini bersumber dari Raja Jayabaya, seorang yang pernah berkuasa di Kerajaan Kediri kurun waktu tahun 1135-1157 M.33 Raja Jayabaya adalah seorang pemimpin yang memiliki visi pada penguatan sektor perdagangan sebagai fundamental perekonomian negara,

30 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Ibid, h. 62-63 31 Ibid, h. 17 32 Sartono Kartodirdjo, “Tjatatan tentang Segi-segi Messianistis dalam Sedjarah Indonesia” dalam Lembaran Sedjarah, (Seksi Penelitian Djurusan Sedjarah Fakultas Sastra dan Kebudajaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta), Edisi Juni, No. 7, Tahun 1971, h. 8. Dan lihat pula Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif, (Jakarta: PT Gramedia, 1982), h. 175 33 Bernard H.M Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), Cet. Ke-5, h. 55 26 para saudagar asing dari berbagai negara turut bertransaksi di pusat-pusat perdagangan, mereka membawa maupun membeli barang dagangan.34 Kondisi ini memperlihatkan stabilitas keamanan dan kesejahteraan bagi rakyat Kediri, karena itu Sang Raja mampu meluangkan waktu untuk memperhatikan kebudayaan lokal yang menjadi identitas suatu negara. Di masanya banyak cendikiawan yang diberikan kebebasan berekspresi, bahkan kegiatan penggubahan dan penerjemahan karya-karya asing sangat diperhatikan oleh negara. Di antara pakar yang terkenal adalah Empu Sedah dan Empu Panuluh.35 Kedua tokoh ini diperintahkan langsung oleh Jayabaya untuk menyalin dan menyadur kitab Baratayuda dengan pendekatan budaya dan bahasa sehari-hari, kitab ini sendiri bersumber dari buku Mahabarata yang versi aslinya berbahasa India.36 Karya kedua Empu tersebut terbilang hebat, Mahabarata versi Jawa itu, dibuatnya seakan-akan terjadi di tanah Jawa. Di dalamnya terlukis peristiwa-peristiwa penting dengan disesuaikan keadaan yang terjadi di sekelilingnya, serta dalam suasana adat dan alam pikiran Jawa pada masa itu. Karya itu diberi surya sengkala (tahun) “Sanga Kuda Sudda Candrama” (tahun 1079 Saka atau tahun 1157 Masehi). Karya lain yang dihasilkan Jayabaya adalah serat Arjuna Wiwaha dan Serat Sutasoma.37 Kitab Kakawin Baratayuda menurut Negara Kertagama sebagaimana dikutip oleh Andjar Any: “Adalah memang suatu ungkapan sejarah yang menceriterakan perang antara Kediri dengan Jenggala. Bahkan merupakan apologie atau pembelaan Jayabaya terhadap perbuatannya yang telah membunuh Prabu HEMABUPATI (sic) yang masih terhitung saudara tuanya.”38 Berikut ini adalah tafsiran kisah Baratayuda yang dikutip dari buku yang berjudul Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita dan Sabdo Palon: “... Sang Prabu Jayabaya mengidentikan dirinya dengan Sang Arjuna (yang dalam pedalangan dianggap juga sebagai titisan Wisnu yang terbelah jadi dua. Belahan yang lain pada Sri Kresna). Sang Arjuna (Jayabaya) waktu akan menghancurkan musuh juga ragu-ragu. Sebenarnya tidak sampai hati. Hanya setelah diBENARkan (sic) oleh Kresna bahwa perbuatannya tersebut untuk menumpas keangkaramurkaan maka barulah Arjuna (Jayabaya) bertindak.

34 Mengenai sentra perdagangan dan komoditas yang diperjualbelikan lihat Andjar Any, Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita dan Sabdo Palon, (Semarang: Penerbit Aneka Ilmu, 1989), h. 40-1 35 Ibid, h. 38-39 36 Bernard H.M Vlekke, op.cit, h. 55 37 Makna lain dari “Sanga Kuda Sudda Candrama” adalah “Beliau (Prabu Jayabaya) yang berkuda putih mempunyai hati yang bersih seperti bulan”. Andjar Any, op.cit, h. 38-40 38 Ibid, h. 39 27 Bahkan Sang Prabu Jayabaya inipun juga mengidentikkan dirinya dengan titisan Wisnu ke 10 (sic) yaitu sebagai Kalkiwathara yang digambarkan sebagai seorang Satriya yang mengendarai kuda putih dengan pedang menyala di tangannya guna mengadili orang jahat”39

Pada masa Mataram Surakarta kitab Baratayuda, disalin ke dalam bahasa Jawa berbentuk tembang oleh pujangga keraton Surakarta Ki Yosodipuro I (kakek Raden Ngabehi Ronggowarsito, seorang pujangga Keraton yang juga memiliki kemampuan melihat masa depan).40 Dalam kitab ini ramalan-ramalan kedatangan Ratu Adil dihubungkan dengan Sang Prabu Jayabaya. Kepercayaan-kepercayaan akan ramalan itu disebabkan prestasi- prestasi besar yang pernah dilakukan Jayabaya, kesaktian, dan kelihaiannya menerawang kejadian yang akan datang. Kesaktian raja Jayabaya diabadikan pada Ramalan Jayabaya Musarar sebagaimana dikutip dari Andjar Any: 41 2. Milane sinungan sakti, Bathara Wisnu punika, Anatis ana ing kene, Ing Sang Prabu Jayabaya, Nalikane mangkana, Pan jumeneng Ratu Agung, Abala para Narendra,

Artinya: Beliau sakti sebab titisan Batara Wisnu. Waktu itu Sang Prabu menjadi raja agung, pasukannya adalah para raja-raja.

Hampir tiap orang Jawa tahu dan percaya pada „ramalan Jayabaya‟, yang diceritakan secara turun-temurun ketika Belanda masih berkuasa. Raja Jayabaya berkuasa pada tahun 800 di daerah Daha dan Kediri. Pengetahuan astrologinya, didapatkan setelah ia berguru dengan Pandita Maulana Ali Samsyudin, sehingga ia sanggup berkomunikasi secara vertikal dengan para dewa, karena kemampuannya itu, ia menyampaikan kepada penduduk Jawa mengenai peristiwa-peristiwa penting yang akan terjadi di masa depan. 42

39 Ibid, h. 39 40 Andjar Any, Ibid, h. 39 dan Soesilo, op.cit, h. 133 41 Andjar Any, op.cit, h. 53 dan h. 65 42 Sartono Kartodirdjo, “Tjatatan tentang Segi-segi Messianistis dalam Sedjarah Indonesia” dalam Lembaran Sedjarah, op.cit, h. 9 28 Ramalan ini lama kelamaan menjadi sistem kepercayaan masyarakat Jawa tradisional. Kepercayaan masyarakat Indonesia pada sosok pembebas Ratu Adil, sudah menyejarah seiring dengan adanya umat manusia ratusan tahun yang lampau, dan muncul hampir di seluruh wilayah Nusantara. Hanya saja ekspresinya mengalami keragaman bentuk, menurut Mohammad Iskandar (Sejarawan Universitas Indonesia) yang dikutip oleh Muhammad Subarkah:

“Di setiap wilayah (terutama di Jawa Raya–Red) hampir semua punya sosok Ratu Adil meski berbeda-beda ekspresinya. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur selalu yang menjadi aktor itu adalah sosok yang berasal dari kalangan priayi atau bangsawan. Tapi kalau wilayah Jawa Barat, terutama wilayah Priangan, , dan Bogor, dari kalangan petani sendiri. Perbedaan ini terjadi karena struktur masyarakatnya memang berbeda.”43

Konsep ratuadilisme sering diterapkan dalam pergerakan sosial untuk bangkit melawan ketertindasan masyarakat, terutama kaum pribumi yang menghadapi eksploitasi kaum penjajah dan kroninya.44 Namun terdapat pula bukti yang meyakinkan, pemerintah kolonial juga memakai stigma Ratu Adil bagi kalangan pemberontak dan kaum-kaum yang berserikat, berkumpul atau sekedar meluapkan ekspresi ibadahnya di keramaian – dianggap sebagai pembangkang dan musuh pemerintah kolonial.

Lebih lanjut, Iskandar menyatakan:

“Ini tampak jelas bila melihat kemunculan sosok Ratu Adil yang begitu marak pada abad ke-19. Saat itu, suasana „Islamofobia‟ sudah muncul secara kuat. Setiap ada orang yang berkumpul di masjid langsung dituduh akan berontak. Setiap kali muncul pemimpin Islam yang karismatik, maka dengan gampang dia disebut Ratu Adil. Ini terlihat jelas bila mengacu pemberitaan di koran, birokrasi, bahkan ruang parlemen di Belanda yang saat itu ada...”45

Gerakan perlawanan yang kerap muncul pada abad ke-19 atau tahun 1800an, hampir diwarnai oleh corak Ratu Adil. Hal ini sebagai konsekuensi perubahan sosial yang berlaku, dimana investasi asing yang dimotori oleh Kongsi Dagang Belanda (VOC) di masa sebelumnya maupun pemerintah kolonial Belanda telah merusak tatanan masyarakat. Himpitan ekonomi yang

43 Muhammad Subarkah, “Di Bawah Bayang Ratu Adil”, Republika, Senin 2 Juni 2014, h. 27 44 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 39 45 Muhammad Subarkah, op.cit, h. 27 29 dialami masyarakat lokal menjadi bom waktu yang meledak di saat ada tokoh pemberani yang mampu menjanjikan kebebasan mereka. Sartono Kartodirdjo menyebut, kepercayaan kaum tani terhadap Ratu Adil sudah berlangsung lama sekaligus memiliki potensi perlawanan terhadap budaya tradisional mereka, berikut kutipan dari Sartono:

“Kepercayaan-kepercayaan Ratu Adil yang telah berakar sejak lama telah dimanfaatkan para pemegang kekuasaan yang mapan, khususnya pada tingkat setempat. Karena identitas budaya kaum tani terikat secara tak terpisahkan dengan agama mereka, maka mereka akan cenderung mempertahankan rasa identitas tersebut dalam hal-hal keagamaan apabila diancam oleh nilai-nilai, gagasan-gagasan dan praktek-praktek asing. Para pemimpin agama tradisional , mengendalikan lambang-lambang identitas dan harapan, jadi secara khusus ditempatkan dengan baik, bukan hanya untuk mempertahankan kesetiaan para pengikut mereka yang terdiri dari kalangan kaum tani, melainkan juga untuk menggerakkan mereka ke dalam perlawanan aktif dan bahkan untuk mengilhami pemberontakan bersenjata...”46

Ekspresi Ratu Adil dalam perlawanan masyarakat terhadap kesewenangan kaum pendatang asing yang dipelopori oleh Belanda menurut Mohammad Iskandar diakibatkan oleh penyakit sosial yang muncul, berdampak pada situasi keresahan dimana-mana. Perubahan yang terjadi menggeser budaya lama masyarakat, dan kehidupan mereka menjadi miskin. Kaum tani sebagai kelompok yang terdampak dari perubahan ini, merindukan akan masa lampau yang harmonis, apalagi diletupkan oleh suatu keyakinan bahwa kesulitan ini akan kembali berubah dengan kehadiran tokoh yang adil dan membawa mereka kepada kebaikan hidup. Dan kepercayaan Ratu Adil adalah pilihan ekspresi perlawanan mereka kaum tani untuk mewujudkan datangnya sosok imajiner mengenai sebuah keadaan yang sejahtera.47 Pada mulanya, Ratu Adil adalah hanya “ide” – angan-angan, cita- cita akan masa depan yang lebih baik – tata tentrem kerta raharja dalam pandangan Jawanya, bukan sebuah “aksi”. Namun dalam perkembangan sejarah selanjutnya Ratu Adil sebagai “ide” atau “cita-cita” tersebut menjadi sebuah “gerakan aksi”, karena bersentuhan dengan sesuatu yang menyejarah. Ada dua faktor, yang menyebabkan Ratu Adil sebagai “ide” atau “cita-cita” tersebut, menjadi suatu “aksi” atau “gerakan”. Pertama, adanya pemimpin suci atau kenabian (prophet), pemimpin inilah yang kemudian merumuskan “ideologi” gerakan millenial atau cita-cita hidup masa depan sebagai “faktor

46 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 40 47 Muhammad Subarkah, op.cit, h. 28 30 kunci”. Kedua, kepercayaan pada magico-mysticism, persambungan dengan nenek moyang, roh-roh leluhur, atau keadiluhungan masa lalunya.48 Ramalan Jayabaya dalam berbagai versinya, terkandung di dalamnya unsur campuran kebudayaan, ciri keislaman yang menonjol dalam ramalan ini adalah kemiripannya dengan eskatologi Islam, bahwa dunia ini akan berakhir (kiamat). Sartono Kartodirdjo menegaskan misalnya dalam isi ramalan Serat Jayabaya:

“... Bahwa pada tahun 2100 akan terjadi kiamat kubra (kiamat besar) yang ditandai oleh suatu peperangan besar yang dimulai oleh serangan Jamajuja (Ya’juj-Ma’juj) terhadap Arab. Imam Mahdi kemudian akan bangkit dan dibantu Umarmaya dan Muhammad Hanafiyyah untuk mengalahkan para penyerobot besar. Menurut versi lain yang sama dengan ramalan-ramalan Jayabaya, Achiring Djaman, adalah Dabatul Arli yang akhirnya akan menundukkan Jamajuja.”49

D. Kandungan Millenarian dalam Hikayat Muhammad Ali Al- Hanafiyyah Menurut Liaw Yock Fang, sastra Islam yang berkembang di Nusantara terbagai ke dalam lima bagian, yaitu: cerita Al-Quran, cerita Nabi Muhammad, cerita sahabat Nabi Muhammad, cerita pahlawan Islam, dan sastra kitab.50 Riwayat tentang kepahlawanan Islam yang sangat populer di Nusantara, di antaranya adalah hikayat berjudul Muhammad Ali Al- Hanafiyyah, seorang anak Sayyidina Ali bin Abi Thalib dengan putri Hanafiyyah, yang digadang-gadang sebagai juru selamat Islam atau yang dikenal dengan istilah Imam Mahdi. Muhammad Ali Al-Hanafiyyah, atau dikenal dengan nama Muhammad Hanafiyyah selalu dikaitkan dengan tokoh Imam Mahdi yang dinantikan setelah masa kegaiban, terminologi mahdi berasal dari sebuah hadits Nabi dalam kitab Bihar al-Anwar, jilid ke-51, sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Amini: “Al-Qaim berasal dari keturunanku. Namanya sama dengan namaku, julukannya sama dengan julukanku. Ciri-cirinya sama dengan ciri-ciriku. Dia akan mengajak manusia kepada sunahku dan Kitab Allah. Barang siapa menaatinya berarti menaatiku, dan sebaliknya, mereka yang berpaling darinya berarti berpaling dariku. Barang siapa menolak keberadaannya

48 Soesilo, op.cit, h. 214-5 49 Sartono Kartodirdjo, Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and Development dalam Claire, Holt (ed), Culture & politics in Indonesia, (New York: Ithaca, 1972), h. 96-7. Lebih lanjut baca Ramalan Jayabaya Musarar dalam lampiran. 50 Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011), Edisi I, h. 238 31 selama kegaibannya berarti mendustai Aku. Barang siapa yang membenarkan eksistensinya berarti membenarkan keberadaanku. Kalau mereka diminta untuk memalsukan apa-apa yang telah kukatakan tentang al- Mahdi dan dengan demikian menyesatkan umatku, aku akan mengadukan mereka kepada Allah.”51

Popularitas Hikayat Muhammad Hanafiyyah di Nusantara dengan berbagai versi membawa pengaruh kepada kepercayaan mesianisme (mahdisme) itu sendiri. Begitu pula warna kepercayaan millenarian Kaiin Bapa Kayah, bukanlah suatu kebetulan belaka. Sebelum berprofesi sebagai Dalang, Kaiin pernah bekerja dan menetap di daerah Batavia (Jakarta sekarang), sekaligus pencarian dan pendalaman ilmu pengetahuan agama. Bila merujuk pada katalogus Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, maka akan ditemukan sembilan versi Hikayat Muhammad Hanafiyyah, sebagaimana pernah diteliti oleh Kinanti Putri Utami,52 berikut ini adalah deskripsi singkat dan nomor panggil naskah tersebut: 1. BR 211; Halaman satu dan dua kondisinya rusak, dan sedikit yang terbaca, terdapat informasi waktu dan tempat penyelesaian naskah dalam kolofon, yakni di Krukut pada tahun 1243 H, ada tulisan pensil di sebelahnya yang menyebutkan angka tahun masehinya “1827”, kemungkinan tulisan ini dilakukan oleh peneliti (hal ini tampak dari kejelasan warna pensil yang mencolok). Ukuran naskah tersebut adalah 30 x 18 cm, sedangkan ukuran kertasnya sendiri 29 x 17,8 dengan pias kanan 2,5 cm, pias kiri 1,7 cm, pias atas 2,5 cm, dan pias bawah 2,9 cm. Kemudian naskah ini berjumlah 337 halaman dan setiap halaman mempunyai 21 baris. Isi naskah berkisar tentang riwayat kehidupan cucu Nabi Hasan, Husan, dan Muhammad Ali Al-Hanafiyyah (anak dari Ali bin Abi Thalib dengan istri selain Fathimah binti Muhammad).53 2. CS 157; merujuk informasi dalam data katalog Perpustakaan Nasional terdiri atas: 286 halaman; ukuran kertas berteks 19 x 31 cm; ukuran sampul 20 x 31,5 cm; ukuran blok teks 17,5 X 21,5 cm; terdapat 25 baris untuk setiap halamannya. Naskah kurang baik, sebagaian kertas sudah rusak sehingga tulisannya tidak dapat dibaca. Menggunakan tinta coklat tua dan untuk kata-kata tertentu menggunakan tinta hitam. Penjilidan masih baik, dan dijilid dengan karton berlapis sampul coklat. Naskah berbentuk Prosa. Kertas impor tipis dengan cap Singa dalam lingkaran:

51 Ibrahim Amini, op.cit, h. 5-6 52 Kinanti Putri Utami, Perbandingan Naskah-naskah Hikayat Muhammad Hanafiyyah, Makalah Mata Kuliah Kritik Teks, (Depok: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2008) 53 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah, Nomor Panggil: BR 211 32 Concordia. Awal teks berbunyi: “Alamat ini surat yang empunya hikayat Enci' topo yang duduk di dalam daerah Kampung Majru Gogo Johor akan adanya. Syahdan maka adalah dikasi beritahu kepada baba-baba atawa tuan-tuan sekalian yang suka membaca ini Hikayat Muhammad Hanafiyyah jangan bikin kotor dan lagi saya minta 1 malam 15 sen karena saya turunkan saya suruh jikalau suda kelar dari saya pun wang sewa bole baca saja saya kasi akan adanya dan jikalau hilang dia punya harga seringgit tiada bole kurang lagi akan adanya.”. Akhir teksnya: “Tamat kalam kepada 15 hari bulan Rowah kepada hari Isnaini jam pukul 5 sore dan seba lagi kepada baba-baba dan tuan-tuan sekalian yang suka baca ini Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah barangkali ada yang labi atawa ada yang kurang ma'lum la saja sebab hamba baru belajar menulis dan seba lagi hamba hendak kasi beritahu siapa-siapa yang suka hendak baca saya minta sewa 1 malam sepuluh sen karena dia punya mustur hamba sewa jikalau suda abis dari hamba punya ongkos bole hamba kasi peri dewa saja demikian adanya citranya tahun 1865.” Diawali dengan kisah Fatimah dari Syiria, yang datang ke Mekah untuk mencari calon suami yang memiliki cahaya pada kepalanya. Tetapi ia tidak dapat menemukan pria tersebut. Selanjutnya diceritakan tentang kehidupan Nabi Muhammad bersama para pengikutnya. Disebutkan pula tentang kelahiran Hasan-Husen, dan Muhammad Hanafiyyah, yaitu putra Ali dengan istri lain. Dalam peperangan melawan raja Janid; Muhammad Hanafiyyah melarikan diri ke dalam gua, karena dikepung oleh tentara Janid.54 3. ML 184; naskah ini memiliki ukuran 25 x 20 cm, setiap lembar halamannya terdiri dari 15 baris tulisan, semua halaman berjumlah 85. Pada naskah tersebut tidak diketahui nama penyalin atau pemilik naskahnya. Terdapat informasi diselesaikan penulisannya pada tahun 1191 H, pada sisinya terdapat tulisan pensil 1777, mungkin maksudnya tahun hijriyah setara dengan tahun masehi tersebut, kemungkinan coretan pensil ini, buah tangan dari seorang peneliti di era kontemporer ini, hal ini terlihat jelas corak pensilnya cukup jelas. Kalimat pada bagian akhir dari halaman (84-85), menyiratkan tentang waktu penyelesaian tulisan, “Sehari bulan Rajab kepada malam Senin dan kepada jam pukul empat ketika baram.” Selain waktu, ada juga informasi tentang tempat atau lokasi ditulisnya naskah dalam kolofon yang memiliki bingkai dengan iluminasi sederhana, “Dalam bidara dusun kampung Martadah.”.55 Dalam detail katalog Perpustakaan Nasional disebutkan juga deskripsi fisiknya

54 http://opac.pnri.go.id/DetaliListOpac.aspx?pDataItem=CS+157&pType=CallNumber& pLembarkerja=12, diakses pada 31 Desember 2015 Pukul 15: 15 WIB 55 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, Nomor Panggil: ML 184, h. 84-85 33 berjumlah 165 halaman (beda dengan wujud aslinya berjumlah 85 halaman) dan tersedia pula dokumen digital yang bisa diakses secara online. 4. ML 359; Dalam sampul depan wadah tempat naskah, terdapat tulisan “Naskah Rusak”, petugas perpustakaan nasional juga mengingatkan kepada penulis, agar berhati-hati terhadap naskah, beruntung saya diperkenankan melihat kondisinya secara langsung, karena tidak sembarang orang diizinkan melihat atau bahkan menyentuhnya. Kondisi fisik naskah memang memprihatinkan, tinta tulisannya sudah banyak yang pudar, kertas banyak yang sudah robek termakan usia, hanya sebagian kecil saja teks yang bisa terbaca. Ukuran naskah 30,3 x 20 cm, untuk setiap halamannya terdiri dari 17 baris tulisan, cover depannya sudah terlepas dari jilidan.56 Pada detail katalognya disebutkan deskripsi fisiknya lebih tebal dari naskah pertama di atas, yakni berjumlah 369 halaman dan terdapat keterangan naskahnya berbahasa Melayu dengan aksara Arab dan Jawa. 5. ML 446; Dalam detail katalog Perpustakaan Nasional terdapat keterangan tentang deskripsi fisiknya yang berjumlah 348 halaman; besar ukuran manuskrip 17 x 28 cm, ukuran blok teks 13,5 x 20 cm; setiap halamannya terdapat 17 baris kalimat. Judul terdapat di dalam teks pada halaman 346, “Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah”. Isi naskah berbentuk prosa, ditulis di atas kertas Eropa dengan cap kertas PRO PATRIA EIUSQUE LIBERTATE. Naskah masih dalam keadaan baik, kertasnya pada halaman pertama dan terakhir sudah kotor, serta bewarna coklat, tulisan jelas terbaca, ditulis dengan tinta hitam dan merah, jilidnya sudah kendor, dan tersedia dokumen digital yang dapat diakses secara online. Pada bagian awal teks berbunyi: “Bismillahi al-rahmani al-rahiim wa bihi nasta‟in billahi „ala, ini hikayat ceritera Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam jadi diperanakan bundanya Aminah dan peri mengatakan tatkala Muhammad itu mengambil upahan”. Di bagian akhir bertuliskan “Demikian lagi sahaya berpesan pada segala enci-enci dan tuan-tuan yang sudi membaca hikayat ini jangan apalah kiranya tengah membaca makan sirih dan mengudut rokok karena yang empunya surat ini terlalu apik cirinya. Demikianlah tamatlah hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah kepada malam khamis kepada bulan Jumadil akhir.” Naskah ini menceritakan tentang gugurnya Hasan Husen dan hilangnya Muhammad Ali Hanafiyyah di dalam sebuah gua. Muhammad Ali Hanafiyyah adalah putra Ali dengan istri lainnya. Kisah dimulai dengan diadakannya musyawarah oleh Muawiyah dengan para menteri di Madinah, untuk menikahkan putranya,

56 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Hikayat Muhammad Ali Hanafiah, Nomor Panggil: ML 359 34 Yazid dengan putri Jafar yang bernama Zainab. Tetapi Zainab lebih mencintai Husen dan menolak lamaran Yazid. Hal ini mengakibatkan Yazid menaruh dendam kepada Husen.57 6. W 69; pada data katalog Perpustakaan Nasional terdapat beberapa informasi tentang manuskrip ini. Halaman berjumlah 376; ukuran kertas dalam teksnya 30,5 x 19,5 cm; ukuran sampul 31,5 x 20 cm; ukuran blok teks 21 x 11,5 cm; tulisannya rata-rata 19 baris kalimat dalam setiap halamannya. Tulisan bisa terbaca walaupun ada kertasnya yang sudah lapuk, ditulis dalam tinta bewarna hitam dan merah. Naskahnya berbentuk prosa ditulis di atas kertas impor dengan cap Singa dalam lingkaran; CONCORDIA. Tersedia pula dokumen digital yang dapat diakses secara online. Awal teks berbunyi: “Bismillahi al-rahmani al-rahiim alhamdulillahi rabbil „alamin wa al-„aqaibatu lil muttaqiin wa al-shalatu wa al-salaamu „ala Rasuulillahi Shallallahu „alaihi wa Sallam wa ba‟du kemudian daripada itu terlalu amat persis gilang gemilang cemerlang rupanya tersuluh seperti manikam di dalam kandil ma‟lup ketergantung pada kolam”. Akhir teksnya: “Dan sebab itulah menjadi berhimpunlah segala pilu dan rawan itu setelah sudah maka segala saudaranya Baginda Muhammad Hanafiyyah pun masing-masing kembalilah ke tempatnya. Telah keesokan harinya itu maka segala saudaranya pun pergilah sembahyang ke dalam masjid kepada hari jum‟at. Jatta maka segala orang yang di dalam benua Madinah pun berhimpunlah sembahyang ke dalam masjid Baginda Rasulullah ...”. Naskah ini menceritakan tentang Muhammad Hanafiyyah, putra Baginda Ali dengan wanita lain. Diawali dengan kisah Fatimah dari Syiria. Ia pergi ke Makkah untuk mencari calon suami yang mempunyai cahaya pada dahinya, namun tidak dapat menemukannya. Selanjutnya dikisahkan tentang masa muda Nabi Muhammad, perkawinannya, sampai kepada kisah Baginda Ali. Dari perkawinannya dengan wanita lain, Ali mempunyai seorang putra bernama Muhammad Hanafiyyah. Akhirnya dalam peperangan melawan Yazid, Muhammad Hanafiyyah terkurung di dalam sebuah gua.58 7. W 70; bentuk lengkap dalam detail katalog Perpustakaan Nasional memuat informasi manuskrip. Banyak halaman berjumlah 368; ukuran kertas dalam teksnya 21,5 x 15,5 cm; ukuran sampul 22,5 x 16,5 cm; ukuran blok teks 15 x 10 cm; tiap halaman tulisannya rata-rata berjumlah 19 baris kalimat. Naskah dalam kondisi kurang baik, kertas bewarna

57 http://opac.pnri.go.id/DetaliListOpac.aspx?pDataItem=ML+446&pType=CallNumber &pLembarkerja=12, Diakses pada tangal 31 Desember 2015, Pukul 15: 10 WIB 58 http://opac.pnri.go.id/DetaliListOpac.aspx?pDataItem=W+69&pType=CallNumber&p Lembarkerja=12, diakses pada 31 Desember 2015 Pukul 15: 11 WIB 35 coklat dan lapuk akibat keasaman, serta berlubang-lubang akibat ngengat. Teks ditulis dalam tinta bewarna hitam yang sudah pudar kecoklatan dan merah. Sampul berbahan kertas marmer coklat dijilid dengan karton. Naskahnya berbentuk prosa ditulis di atas kertas folio. Awal teks berbunyi: “Alhamdulillahi rabbil „alamin wa al-„aqaibatu lil muttaqiin wa al-shalatu wa al-salaamu „ala Rasuulillahi Shallallahu „alaihi wa Sallam.” Akhir teksnya: “Berhimpunlah sembahyang ke dalam masjid Baginda Rasulullah Shallallahu „alaihi wa Sallam dan demikianlah adanya Wallahu A‟lamu bi Al-Shawab”. Ceritanya sangat berbelit-belit. Demikian pula bahasanya, tidak jelas perbedaan pemakaian; dari untuk daripada dan bemula untuk sebermula. Diceritakan tentang persahabatan M. Hanafiyyah dengan beberapa orang. Ia mendapat luka dalam peperangan, tetapi dengan keajaiban lukanya sembuh.59 8. W 71; informasi yang terdapat dalam katalog Perpustakaan Nasional yaitu: deskripsi fisik berjumlah 670 halaman; ukuran kertas dalam teksnya 32,5 x 20 cm; ukuran sampul 33 x 20,5 cm; ukuran blok teks 22,5 x 13 cm; tiap halaman terdapat 16 baris kalimat. Naskah berbentuk prosa di atas kertas impor tebal dengan cap Singa dalam lingkaran, PROPARTRIA EENDRAGT MAAKT. Keadaan naskah kurang baik, kertas agak lapuk pada halaman dua sudah tidak terbaca, penjilidan sudah lepas. Awal teks berbunyi: “Bismillahi al-rahmani al-rahiim wa bihi nasta‟in billahi, ini suatu cetra orang empunya cetra ini demikian bunyinya. Ada seorang- orang perempuan di benua Syam itu namanya. Adapun akan Fatimah Syam itu terlalu rupawan di dalam negeri Syam seorang pun tiada samanya.” Akhir teksnya: “Maka sebaqba itulah jadi berhimpunlah segala pilu rawan itu, setelah sudah maka Baginda Muhammad Hanafiyyah pun masing-masing kembali ke tempatnya. Telah keesokan harinya maka saudara Amirul Mu‟minin Muhammad Hanafiyyah dan segala laskarnya pun pergilah sembahyang ke masjid Baginda Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam pada hari itu hari jum‟at. Maka segala orang benua Madinah pun berhimpunlah pergi sembahyang ke masjid Baginda Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam”. Pada awalnya naskah ini menceritakan tentang Fatimah dari Syiria ia pergi ke Makkah untuk mencari calon suaminya yang memiliki cahaya di dahinya, namun tidak dapat menemukannya. Kemudian diceritakan masa muda nabi Muhammad, perkawinannya, hingga peperangan Lahad, dan masa pemerintahan baginda Ali. Akhirnya kisah tentang putra Ali dengan

59 http://opac.pnri.go.id/DetaliListOpac.aspx?pDataItem=W+70&pType=CallNumber&p Lembarkerja=12, diakses pada 31 Desember 2015 Pukul 15: 12 WIB 36 wanita lain bernama Muhammad Hanafiyyah, yang lari ke dalam gua karena dikepung oleh tentara Yazid.60 9. W 72; bila melihat pada data katalog Perpustakaan Nasional terdapat beberapa informasi tentang manuskrip ini, yaitu: jumlah halaman 266; ukuran kertas dalam teksnya 20,5 x 32 cm; ukuran sampul 20,5 x 33 cm; ukuran blok teks 14 x 26,5 cm; tulisannya terdiri dari 21 baris dalam setiap halamannya. Tulisan bisa terbaca, kertasnya agak kotor dan kecoklatan. Naskahnya berbentuk prosa ditulis di atas kertas dengan cap Singa dalam lingkaran; CONCORDIA. Tersedia pula dokumen digital yang dapat diakses secara online. Awal teks berbunyi: “Rasuulillahi Shallallahu „alaihi wa Sallam tatkala jadi diperanakkan bundanya Aminah. Dan peri mengatakan tatkala Muhammad jadi upahan segala peristiwa. Ada seorang perempuan di benua Syam namanya Fatimah Syam”. Akhir teksnya: “Maka Muhammad Hanafiyyah pun terkejutlah lalu rebah tiada sadarkan dirinya. Maka pintu kota itu pun tertutuplah datang sekarang ini. Tamat Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah dan akhir Hasan dan Husen tersalin pada 6 hari bulan Sya‟ban Al-Karam pada hari arba‟a pukul dualapan sanah 1281 di dalam rabu adanya. Kisah diawali dengan cerita Fatimah dari Syria, yang pergi ke Makkah untuk mencari calon suami yang mempunyai cahaya pada dahinya. Namun ia tidak menemukannya. Kemudian menceritakan tentang masa muda Nabi Muhammad, perkawinannya, peperangannya yang dilakukannya, dan lain-lain. Disebutkan pula tentang kematian Yazid yang terbunuh dalam peperangan melawan Muhammad Hanafiyyah. Namun tidak diceritakan kemenangan Muhammad Hanafiyyah dalam peperangan tersebut. Terdapat penenggalan, Riau 6 Sya‟ban 1281 H.61

Dari kesembilan manuskrip yang dikoleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia tersebut, terdapat dua naskah yang memiliki sisi kesamaan isi cerita, yaitu naskah yang memiliki kode katalog ML 446 dan ML 673 (W 69), keduanya secara fisik memiliki kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya, sehingga memudahkan dalam pengkajiannya.62 Diceritakan dalam naskah manuskrip dengan nomor panggil W 69, berjudul Hikayat Muhammad Hanafiyyah, bahwa Muhammad Hanafiyyah

60 http://opac.pnri.go.id/DetaliListOpac.aspx?pDataItem=W+71&pType=CallNumber&p Lembarkerja=12, diakses pada 31 Desember 2015 Pukul 15: 13 WIB 61 http://opac.pnri.go.id/DetaliListOpac.aspx?pDataItem=W+72&pType=CallNumber&p Lembarkerja=12, diakses pada 31 Desember 2015 Pukul 15: 14 WIB 62 Kinanti Putri Utami, Ibid, h. 48 37 turut berperang beserta dengan saudara-saudara dan ayahnya melawan pasukan Mu‟awiyah yang telah menzhalimi keluarganya: “... Maka Baginda Ali pun keluarlah ia ke Padang dengan anaknya tiga orang juga Amir Hasan dan Amir Husain dan Muhammad Hanafiyyah setelah itu maka Baginda Ali pun datang membawa suatu Thaabal (?) di atas kudanya maka Sabda Baginda Ali “Hai anakku yang tiga orang engkau seorang suatu penjuru dari pada pihak Maghrib maka kita berdiri mengucap shalawat akan Baginda Rasulullah maka Thaabal (?) itu kita masing-masing memukul dan palu karna lasykar jin dan peri sa‟uh (?) aku berjanji dengan dia bahwasannya ia datang kepada kita maka keempatnya anak beranak itu berdirilah kepada empat penjuru lasykar Mu‟awiyah dan gendang perang Thaabal (?) itupun dipukulnya serta mengucap shalawat dan saat juga maka tentara jin turuqlah (?) berpasu-pasukan seraya bertampak dengan bareng suaranya itu maka segala lasykar Mu‟awiyah pun terkejutlah lalu cerai berai tiyada berketahuan kesana kemari setelah siyang hari maka Mu‟awiyah pun melihat segala lasykar itu masing-masing bergulipan terhantar di bumi semuwanya mati maka Mu‟awiyah pun terkejut lalu ia lari kembali ke negerinya...”63

Eksistensi Muhammad Hanafiyyah memang sudah diramalkan oleh Rasulullah, kehadirannya adalah wujud dari perlawanan kepada kaum-kaum yang munafik dan merendahkan keturunan Nabi Muhammad saw: “... Pada suwatu hari adalah aku sanak dari pada baginda Rasulullah Shallalahu „Alaihi wa Sallam bersabda kepada aku mengatakan peri kematian Hasan dan Husain bahwasannya adalah akan datang menuntut darah kematian Hasan dan Husain dan adalah (?) harimu Rasulullah kepada masa itu Amir Hasan dan Amir Husain lagi kecil maka baginda Rasulullah pergilah ke rumah baginda Ali maka ujar Rasulullah kepada Puteri Hanafiyyah (sic: istri Ali selain Fatimah binti Muhammad) Hai Puteri Hanafiyyah apabila engkau dapat anak laki-laki maka engkau namakan Muhammad Hanafiyyah setelah itu maka dapatlah anak laki-laki maka dinamainya itu Muhammad Hanafiyyah Arkiin (sic: masuk pembahasan baru) maka adalah kepada suwatu hari baginda Ali pun membawa anaknya kepada baginda Rusulullah Shallalahu „Alaihi wa Sallam Ya Ali bahwa anakmu namakan Muhammad Hanafiyyah maka baginda pun mencium mukanya setelah didengar oleh Siti Fathimah maka sembahnya Ya Junjunganku mengapakah anak Puteri Hanafiyyah itu maka dinamakan oleh Junjunganku Muhammad Hanafiyyah maka sabda baginda Rasulullah Hai anakku adapun sebab aku namai kan dia Muhammad Hanafiyyah itu adalah kepada zaman masanya itu aku tiyada dan engkau pun tiyada dan Abu Bakar pun tiyada dan Umar pun tiyada dan Utsman pun tiyada dan Ali pun tiyada lagi pada masa itulah sahabatku yang bernama Khawarij itulah melakukan kehendaknya atas cucuku ini maka Amir Hasan ini dibunuhnya dengan racun dan dan Amir Husain itu dibunuhnya pada tanah padang Karbala itu maka pada masa itulah Muhammad Hanafiyyah akan menuntut peri kematian cucuku keduanya itu.”64

63 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Hikayat Muhammad Hanafiyyah, Nomor Panggil: W 69, h. 91 64 Ibid, h. 124-125 38 Sedangkan dalam versi L.F Brakel, Hikayat Muhammad Hanafiyyah di bagi menjadi dua bagian: bagian pertama berkisah tentang riwayat Nabi Muhammad saw beserta para sahabatnya, bagian kedua pembahasannya fokus kepada kisah perlawanan Muhammad Hanafiyyah terhadap Yazid bin Muawiyyah, penguasa yang telah meracuni Amir Hasan dan membunuh Amir Husain di Padang Karbala, hingga diceritakan ihwal kegaibannya yang tidak diketahui lagi.65 Kisah heroik Muhammad Hanafiyyah, yang dikaitkan dengan warna kepercaan mahdisme, nampaknya berbekas dan menginspirasi kaum pribumi di Nusantara untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan dan kekuasaan orang asing yang telah merenggut tradisi lokal mereka.

E. Kandungan Millenarian dalam Kisah Pewayangan Arjuna Arjuna adalah sosok penting dalam Pandawa Lima, rupanya yang menarik bagi kaum Hawa menjadi magnet tersendiri – ia juga dianggap sebagai orang yang sakti mandraguna, tiada bandingannya. Karena itu, Kaiin Bapak Kayah yang juga seorang Dalang, menjadikan kisah-kisah wayang Arjuna sebagai tokoh yang inspiratif, bahkan Ki Dalang juga memberi gelar dirinya dengan sebutan Arjuna. Legitimasi ini menjadi sebuah kekuatan dalam pergerakan Kaiin untuk merangkul Kaum Tani dan kelompok miskin lainnya. Maka tak heran bila Kaiin mengindentifikasikan dirinya dengan sosok fenomenal di dunia pewayangan, Sang Arjuna. Seorang Dalang Wayang, pasti menguasai dan hafal terhadap kisah- kisah Arjuna ini. Bapak Dalang Kaiin hidup di akhir abad ke-19 (1880-an) dan awal abad ke-20 (w. 1924), pada masa itu di tanah Betawi (Jakarta dan Tangerang) banyak tersebar cerita pewayangan Arjuna, hal ini berkat usaha para dalang yang melakukan pementasan (penyampaian secara lisan) dan juga melalui sumber tertulis, untuk yang belakangan ini banyak ditulis oleh Muhammad Bakir Syafi‟an bin Al-Fadhli yang berasal dari Kampung Langgar Tinggi, Pecenongan, Jakarta. Dalam penelitian tesis ini, peneliti juga memanfaatkan karya Muhammad Bakir, terutama manuskrip-manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Nasional. Dalam hal ini ada tiga judul, yaitu: (1). Hikayat Maharaja Garabak Jagat, dengan Nomor Panggil: ML 251. (2). Wayang Arjuna, Nomor Panggil: ML 244. Dan (3). Wayang Pandu, Nomor Panggil: ML 241. Asal-usul keluarga Arjuna secara lengkap diceritakan oleh Muhammad Bakir dalam karyanya yang berjudul Hikayat Asal Mulanya

65 L.F. Brakel, The Story of Muhammad Hanafiyyah a Medieval Muslim Romance, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1977) 39 Wayang yaitu Turun Temurunnya Pandawa66 atau dalam katalogus manuskrip Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan versi judul yang berbeda, yakni Wayang Pandu.67 Arjuna adalah tokoh legendaris dalam cerita-cerita pewayangan, parasnya yang menawan membuat para wanita tergila-gila padanya. Ketampanan wajah Arjuna meskipun sudah meninggal karena dipenggal kepalanya tetap saja dipuja-puji para wanita, hal ini sebagaimana diceritakan dalam kisah Wayang Arjuna berikut ini: “... Maka kata Tuan Puteri pada raja bahwa beta haraplah dengan sebetul-betulnya raja punya dermakan kepalanya Rajuna ini biarlah ditaru dibawa kaki tempat tidurnya supaya dibuat perhiasan karena kepalanya seperti laku orang hidup jikalau tiada bole sama-sama biarlah dua tiga hari pun sekalipun semalaman tuan puteri harap biarlah ditinggal di situ, maka sebab raja amat cinta kasih sayang dengan istrinya karena dipikir supaya putus harapnya jangan lagi-lagi disebut-sebut namanya, maka lalu disurunya tinggalkan semalaman, maka tatkala suda jau malam sekaliannya kembali pada tempat dan pada istananya masing-masing tetapi Sang Prabu Jenggala minta besok pagi-pagi mesti ditanam kepala itu dalam jumbeleng orang hukuman tetapi permintaan itu belon bole raja bilang ia atau tiada melainkan lagi ditimbang dan dipikir dahulu karena hari itu suda malam melainkan putusannya besok pagi, maka sekaliannya pulang pada istananya demikianlah adanya”68

Kesaktian Arjuna tiada bandingannya, diceritakan dalam Wayang Arjuna, tercatat beberapa kali kepalanya dipenggal, namun selalu dapat menyatu kembali dengan tubuhnya yang terpisah, bahkan ia bisa menggandakan wujudnya menjadi empat raga (Sukma Rupa, Sukma Jenis, Sukma Macam, dan Sukma Warna). “... Sekalian widadarin menjadi bingung seperti orang pingsan lakunya karena dilihat barang yang terpegang jadi terlepas dan yang tergenggam menjadi hilang karena heran sekonyong-konyong jari dan lengan tumit dan kaki melesat sana kemari maka seketika hilang tiada berketahuan maka sehilangnya anggota bangkai itu, maka datanglah akan empat orang laki-laki amat bagus rupanya dan sigap pakaiannya dan manis macamnya dan elok parasnya tiada bosan dipandang mata dan lemah lembut suaranya seperti segara madu jikalau mengeluarkan suara, jangankan perempuan tiada gila mabuk birahi, maka laki-laki keempat itu bersamakan rupanya tiada dibedahi sedikit jua pun dan pakaiannya sama

66 Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, Bunga Rampai Sastra Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, 2002), h. 13 67 Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Wayang Pandu, (Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 241 68 Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Wayang Arjuna, (Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 244, h. 43 40 dan tahi lalatnya sama dan hidung, mata, alis, kuping, suara dan kelakuan tiada dibedahnya seperti orang melihat bayang-bayang pada keempat kaca, bagus sama bagusnya dan manis sama manisnya sikap sama sikapnya maka seluru alam tiada berbanding lagi pada keempat laki-laki itu maka seorang namanya itu disebutnya Sukma Rupa, Sukma Jenis, Sukma Macam, Sukma Warna. Maka setelah keempat puluh widadarin memandang rupa laki-laki itu maka terlalu amat suka cita hatinya karena tiada bosan dipandang, maka sekalian widadarin menjadi mabok birahi tiada bertahan lagi hatinya serasa hendak menggigit bibirnya, sayang di tenga jalan belum sampai ruma, maka pada masa itu lalu diajaknyalah ole segala widadarin itu pulang ke dalam Suralaya...”69

Selain tampan dan sakti, Arjuna juga memiliki senjata pamungkas berupa Panah yang diberi nama Pasopati dan Keris yang bernama Pancaroba. Panah Pasopati adalah senjata nenek moyangnya, yang diwariskannya secara turun temurun, sebagaimana diceritakan dalam Wayang Pandu berikut ini: “... Setelah suda antara berapa hari selangnya maka kata Lurah Semar Ya Tuanku manakah anak pana itu baiklah Tuanku simpankannya karena anak pana itu bukan barang-barang kelak menjadi turun temurun menjadi seperti suatu pusaka buat anak cucu Tuanku sendiri seperti suatu azimat.”70 Arjuna mendapatkan senjata keris itu buah dari ganjaran Batara Narada, karena ia telah menyempurnakan tapanya yang lama di sebuah puncak gunung sebelum ia menghadapi perang Barata Yuda: “Alkisah pada zaman dahulu di jagat pewayangan tersebutlah Sang Arjuna tengah bertapa di puncak sebuah gunung ia bertapa memohon agar Dewata menambah kesaktiannya untuk menghadapi perang Barata Yuda sebuah perang besar untuk merebut kembali hak Pandawa atas Singgasana Astina ... Sang Arjuna jatuh tunggang langgang segera ia melompat bangun perlahan ia menghunus keris yang baru didapatnya cahaya kemilau terpencar dari pamor keris itu. Bagai kilat Arjuna kembali menerjang Satria itu menyambar-nyambar bagai elang saat kedua raksasa itu menyambar secara serentak melentinglah tubuh Arjuna ke belakang keris di tanganya menebas. Raungan dahsyat terdengar kedua raksasa itu membelalak tangan keduanya putus darah dari luka mereka mengucur bagai air terjun lalu lenyaplah raksasa kembar itu. Sang Arjuna berdiri termangu-mangu keris di tangannya masih berlumur darah para Punakawan berlari mendapatinya Semar amat cemas dengan keadaan Tuannya terdengarlah satu suara tanpa wujud.

69 Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Wayang Arjuna, Ibid, h. 88 70 Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Wayang Pandu, op.cit, h. 198 41 Cucuku sudah kau buktikan keampuhan keris itu ujar suara itu itulah keris Si Pancaroba ganjaran tapamu. Siapakah wahai engkau suara tanpa wujud tanya Arjuna. Akulah Patih Narada sahut suara itu kedua raksasa itu adalah jelmaanku sendiri.”71

Keris Pancaroba digunakan pula oleh Arjuna untuk melawan para Batara di negeri Suralaya yang menyembunyikan musuhnya, Prabu Jenggala, berikut kutipan ceritanya: 72

“Hatta tersebutlah Sang Rajuna itu mengikuti larinya Ki Jenggala itu barang di mana larinya dan perginya disusulnya maka pada tatkala Sang Prabu naik di Suralaya maka Sang Rajuna pun menyusul dari belakang setelah sampai di pintu Suralaya maka lalu ditahan dengan barisan batara- batara itu serta tiada diberinya masuk maka kata Sang Rajuna Hai Batara Indra maka mengapakah aku tiada diberi masuk karena aku lagi sedang mengusir perburuanku karena aku lihat larinya Prabu Jenggala kemari ia masuk maka aku hendak mengusir padanya maka mengapakah kamu melarangkan. Maka sahut Batara Indra Hai Rajuna suda aku dapat komisi tiada bole Rajuna masuk. Maka sahut Rajuna apakah sebabnya dan apakah salahnya bukankah aku hamba juga seperti kamu jikalau musim pepes barang kali aku membawa binatang patut juga kamu larangkan dan sekarang aku hendak masuk juga perkaranya dibelakang kali. Setelah Batara Indra menengar maka terlalu amat marahnya katanya hai Rajuna jangan kamu bantahan dan jangan kamu kepala besar dan kamu dihamba di alam Marcapada73 dan aku ada bilangan batara dan kamu ini bukan punya bilangan masuk di negeri ini dan aku ada lain dan kamu ada lain daripada aku dan janganlah kamu bantahan kelak aku bunu. Maka sahut Rajuna hai Batara coba-coba jikalau suda patah hujung kerisku Si Pancaroba dan jikalau suda patah bahu kanan kulawan kiriku baharulah aku menyerahkan diri.”

Di dalam Hikayat Maharaja Garabak Jagat, Keris Pancaroba pernah mengalami ketidakampuhan, sehingga Arjuna kabur menghilangkan wujudnya karena tersudut oleh musuhnya:

71 Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, op.cit, h. 175-178. Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Hikayat Maharaja Garabak Jagat, (Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 251 72 Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Wayang Arjuna, op.cit, h. 66-68. 73 Marcapada berarti; Alam Sekarang ini, alam dunia lihat Nur-Karim, et.al, Kumpulan Cerita Wayang Versi Pecenongan: Suntingan Teks, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2012), h. 352 42 “Maka bertarunglah Gerebeg Jagat dan Arjuna begitu sengit dan dahsyatnya petarungan hingga hutan dan kebun-kebun hancur terlanggar oleh mereka tampak Maharaja Gerebeg Jagat mulai terdesak. Maka Nala Guriang Nala dan Nala Anggalaya pun menerjanglah dikeroyok tiga orang Arjuna mulai keawalahan apalagi Nala Anggalaya berkelahi dengan sangat curangnya ia menggigit bahkan mencakar maka Sang Arjuna pun menghunus keris Si Pancaroba. Cantrik Marga Semirang melihat itu ia tahu tak ada yang mampu bertahan dari keris Si Pancaroba maka Ki Cantrik pun mengucapkan mantranya hilanglah kesaktian Si Pancaroba. Ha...ha...ha... apa yang kau lakukan gelak Gerebeg Jagat saat ia ditikam Arjuna ayo tikamlah sesukamu tak ada rasanya h a...ha...ha... He...he...he... aku juga mau Kang aku mau ditikam pisau dapur itu ujar Nala Anggalaya. Hi...hi...hi... aku mau pinjam pisau itu untuk memotong kuku Nala Guriang Nala menimpali. Murkalah Arjuna Nala Guriang Nala ditendangnya namun ia merunduk lalu menggigit jari kaki Arjuna saat itu Ki Cantrik mengucap mantranya sakit luar biasa dirasakan Arjuna saat Nala Guriang Nala melepas gigitannya kaki Arjuna sebagian menjadi batu. Terperanjat Arjuna melihat kakinya Gerebeg Jagat dan kedua adiknya tertawa terkikik-kikik saat Arjuna mencoba bergerak kaki batunya terasa amat berat maka menghilanglah Sang Arjuna.”74

Sekelumit cerita Arjuna di atas, berdasarkan pada naskah yang ditulis oleh Muhammad Bakir Syafi‟an pada tahun 1890-an, yang diadopsi dari cerita- cerita pewayangan yang disampaikan para Dalang di Batavia. Di saat yang bersamaan Kaiin muda juga hidup sezaman dengan beredarnya tulisan tersebut. Fakta beredarnya tulisan dan referensi cerita pewayangan dari para dalang, membuka kemungkinan inspirasi pergerakan Kaiin, merujuk kepada sumber cerita Arjuna yang sedang populer di tanah Betawi kala itu – di mana sosok Arjuna yang gagah berani, membela kaum tertindas, dan selalu memenangi peperangan, menjadi tokoh protagonis yang sangat dikagumi oleh masyarakat kebanyakan.

74 Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, op.cit, h. 192. Lihat juga Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Hikayat Maharaja Garabak Jagat, op.cit BAB III SITUASI SOSIAL-POLITIK SEBELUM PERGERAKAN

A. Toponimi dan Letak Geografis Tangerang Seperti yang telah dijelaskan pada bab satu dalam pembatasan masalah, bahwa lokasi penelitian ini berada di daerah Tangerang yang masuk dalam wilayah Keresidenan Batavia yang didirikan oleh J.P. Coen pada tahun 1619. Secara administratif, Karesidenan Batavia meliputi daerah: Batavia- Kota (pusat pemerintahan), Meester Cornelis (sekarang Jatinegara), Tangerang, Karawang, dan Buitenzorg (Bogor). Tangerang adalah daerah yang sangat strategis di wilayah barat Karesidenan Batavia, karena secara geografis menjadi daerah tapal batas yang menghubungkan dengan wilayah kesultanan Banten. Sebelum dikuasai VOC, Tangerang adalah daerah yang paling ujung timur dari Kesultanan Banten, setelah pengaruh Kesultanan dikurangi oleh Daendels, Tangerang tetap menjadi bagian terpenting dari Batavia, karena posisinya diapit oleh sungai Cisadane yang menjadi pusat ekonomi dan politik. Ada dua pendapat tentang muasal nama Tangerang, pendapat pertama mengacu pada bangunan benteng yang berada di tepi sungai Cisadane. Yang kedua berpendapat berasal dari sebuah tugu peringatan yang dibangun juga di dekat sungai Cisadane. Alasan pendapat pertama, yakni nama Tangerang diambil dari bahasa Sunda “Tengger” dan “Perang”. Tengger bermakna Tugu atau tempat peringatan sesuatu yang terbuat dari bambu, batu, atau bisa berbentuk benteng. Karena itu, Tangerang dahulu dikenal juga dengan nama Benteng, merujuk kepada bangunan benteng yang terbentang di sepanjang sungai Cisadane. Sedangkan kata Perang, berarti kejadian besar yang menghadapkan dua atau lebih kelompok yang saling bertikai untuk penyelesaian sengketa mereka dengan jalan pertempuran atau perang. Dua kata tersebut di atas, selanjutnya digabungkan menjadi satu dengan menghilangkan sebagian hurufnya dan mengganti huruf di lain pihak, sehingga menjadi Tanggerang atau dengan satu huruf „g‟ (Tangerang).1 Penamaan Tangerang yang dikaitkan dengan bangunan benteng yang berfungsi sebagai pertahanan dari musuh-musuh, nampaknya bukan terjadi saat jatuhnya Banten kepada penguasa VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) di Batavia yang membelah Tangerang menjadi dua, di sebelah

1 Edi S. Ekadjati, et.al, Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004), h. 39

43 44 barat sungai Cisadane masuk ke dalam wilayah Kesultanan Banten dan bagian yang kedua di sebelah timur sungai menjadi milik Kompeni Belanda. Ada dua argumentasi yang dapat dikemukakan; pertama, sungai Cisadane nampaknya menjadi batas wilayah yang memudahkan pembelahan wilayah ini menjadi dua, apalagi sungai ini besar dan dapat dilalui perahu- perahu yang membawa kebutuhan logistik dari dan ke wilayah hulu pedalaman. Lebarnya rata-rata 100 meter, kedalamannya mencapai 12,5 meter dan arusnya yang besar, mengakibatkan orang yang ingin menyebrang tidak bisa berenang apalagi tanpa ada alat bantu penyeberangan. Sehingga dimungkinkan pembuatan benteng pertahanan sebagai langkah preventif bagi penyusup-penyusup yang akan mengganggu stabilitas di kawasan Kesultanan Banten. Argumentasi kedua yang dapat mematahkan teori toponimi Tangerang dengan merujuk kepada peristiwa sengketa antara Kesultanan Banten dan Penguasa Kompeni Belanda, adalah pernyataan Tome Pires di dalam Suma Oriental, yang melakukan muhibah ke Nusantara kurun waktu 1500-an telah menyebutkan daerah-daerah yang pernah disinggahinya. Di antara kota pelabuhan yang disebutkannya adalah “Tamgara”, yang secara bunyi pelafalannya mirip dengan kata “Tangerang”. Adapun kalimat yang menyatakan demikian adalah sebagai berikut: “The fourth port is that of Tamgara. It is a port like the above. It has a goodly town and trade. It has a captain. It is a trading place like all the above mentioned. It has the things the other have”2 Pada buku Claude Guillot juga disebut sumber-sumber yang menyebut “Tangerang”, yaitu:

“... dalam buku Pires menyebut secara berurutan dari barat ke timur: Bantam, Pontang, Chegujde, Tamgara (Tangerang) dan Calapa; dan dalam buku Barros yang menyebut dari timur ke Barat: Xacatra por outre nome Caravam (Jakarta yang juga bernama Krawang), Tamgaram (Tangerang), Cheguide, Pondang (Pontang), dan Bintam (Banten). Serta dalam peta yang disisipkan oleh Lavanha dalam buku Barros (Decadas IV) dari barat ke timur: Bintam, Pondang, Cheguide, Tangaram dan Zenopate – pada kedua tepian sebuah sungai – Xacatra dan Caravam – pada kedua sisi satu sungai yang lain.”3

2 Armando Cortesao (ed.), The Suma Oriental of Tome Pires and The Book of Francisco Rodrigues, (Liechtenstein: Kraus Reprint Limited, 1967), Vol. I, h. 171 3 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), Cet. Ke-2, h. 43-44 45 Penjelasan Claude Guillot lebih lanjut tentang dua sungai yang dimaksud yakni: “... Tangerang dan „Zenopate‟. Nama tempat yang terakhir ini tidak lain adalah „Senopati‟, dan ini berarti bahwa pemimpin tentara Banten sering menetap di sungai Cisadane untuk menjaga perbatasan di sebelah timur. Hal ini dibenarkan oleh berbagai sumber sampai jatuhnya Banten di tangan Belanda tahun 1682.”4 Sedangkan pendapat kedua tentang penamaan Tangerang dengan merujuk kepada sebuah tugu adalah penelitian M. Dien Majid dan kawan- kawan, melalui sumber manuskrip5 yang dikutipnya, menyebutkan asal kata nama Tangerang diambil dari bahasa Sunda, „Tangeran' yang bermakna „tanda‟. Hal ini merujuk kepada sebuah tugu yang menjadi penanda batas daerah Kesultanan Banten dengan VOC. Kemudian kata „Tangeran' menjadi „Tangerang', karena mendapat pengaruh dari bahasa Makassar, yang tidak mengenal huruf mati dalam akhir kata.6 Tugu penanda ini dibangun oleh Pangeran Soegri, salah satu putera Sultan Ageng Tirtayasa (Penguasa Kesultanan Banten), terletak di Kampung Grendeng (jalan Otto Iskandardinata), bagian Barat Sungai Cisadane. Pada tugu tersebut terdapat prasasti tertulis berbahasa Jawa Kuno, aksen Banten, dengan aksara Arab.7 Adapun bunyi prasasti dalam tugu tersebut, sebagaimana dikutip dari buku Sejarah Kabupaten Tangerang, adalah sebagai berikut:

4 Claude Guillot, Ibid, h. 46 5 Manuskrip milik Subahat Suradinata, diambil dari catatan Parimbon Ke-Aria-an Tengeran, ditulis oleh Penghulu Landraad Haji Abdullah. 6 M. Dien Majid, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat Universitas Syaikh Yusuf Tangerang, 1992) h. 36-37 7 Ibid 46 Transliterasinya: Bismillah peget Ingkang Gusti Diningsun juput parenah kala saftu Ping katanggal safar taun wawu Rengsena perang neteg Nangeran Bungas wetan cipamugas kulon Cidurian Sakabeh Angraksa Sitingsun Parahyang-Titi/XXX

Artinya: Dengan nama Allah tetap yang Maha Kuasa Dari kami mengambil kesempatan pada hari sabtu Tanggal 5 Sapar tahun wawu Sesudah perang kita memencangkan tugu Untuk mempertahankan batas Timur Cipamugas (Cisadane) dan Barat yaitu Cidurian Semua menjaga tanah kaum Parahyang8

Adapun penduduk di wilayah Tangerang dan Jakarta menurut Thohirudin dalam Edi. S. Ekadjati, lebih populer menyebutnya dengan sebutan Benteng, hal ini merujuk pada benteng yang dibangun di sekitar sungai Cisadane, sedangkan nama Tangerang sendiri baru dikenal pada tahun 1712.9 Di era moderen ini, Tangerang terbagi dalam tiga wilayah administratif, yakni: Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan. Kesemua wilayah tersebut luasnya mencapai 128.223 Hektare.10 Wilayah Tangerang berbatasan langsung di sebelah timurnya dengan daerah Batavia (Jakarta bagian barat), di sebelah barat dengan Serang, selatan dengan Buitenzorg (Bogor), dan di utara bagian dari wilayah Tanjung Kait dan Untung Jawa (sungai Cisadane) yang bermuara ke Laut Jawa.11 Terdapat pula sungai-sungai penting yang berperan besar menjadi jalur distribusi dan lalu lintas di masa lampau dari hulu menuju hilir dan sebaliknya. “Kali” begitu orang Tangerang menyebutnya, menjadi pusat peradaban kota Tangerang. Di antara kali tersebut ialah: Cisadane, Cidurian, Cimanceuri, Pesanggrahan, dan Angke. Kali Cisadane menjadi yang terbesar

8 Ibid, h. 36-37 9 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 40 10 Multamia R.M.T. Lauder, Pemetaan dan Distribusi Bahasa-bahasa di Tangerang, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993), h. 10 11 D.G. Stibbe, Encyclopedie van Nederlandsch-West Indie, (1921), Jilid IV, h. 266 47 dan menjadi ikon dari Tangerang, kedudukan sungai ini menjadi amat penting karena menjadi batas wilayah yang membelah Kesultanan Banten dengan daerah kekuasaan Kompeni Belanda (VOC). Karena peran strategis sungai Cisadane sebagai perbatasan negara, di masa Sultan Ageng Tirtayasa memerintah Kesultanan Banten – pernah membuat proyek besar di bidang pertanian sekaligus membuat kebijakan “transmigrasi” ke tapal batas tersebut. Sebagaimana termuat dalam Dagh- Register dan Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie yang dikutip oleh Guillot, pada bulan September 1659, Kyai Arya Mangunjaya (pejabat menteri Kesultanan Banten) menginstruksikan kepada bawahannya untuk menanam seratus batang pohon kelapa muda di setiap daerah yang dipimpinnya, dekat sungai Ontong Jawa (Untung Jawa atau sungai Cisadane). Sultan juga membuat kebijakan mengisi daerah tersebut dengan sejumlah lima ribu orang laki-laki dan keluarganya untuk merawat perkebunan baru tersebut.12 Di masa Hindia Belanda, karena permintaan domestik dan dunia sangat meningkat, pemerintah juga membuat kebijakan penanaman kelapa yang dijadikan kopra. Konsentrasi perkebunan kelapa terpusat di daerah- daerah pesisir pantai, khususnya Tangerang bagian utara yang sangat cocok dengan jenis buah-buahan ini. Sebagaimana tercatat dalam Changing of Economy in Indonesia Jilid I, tahun 1975, yang berjudul “Indonesia‟s Export Crops 1816-1949”, yang dikutip oleh J.O „Malley, pada tahun 1920 di pulau Jawa hampir 10 ribu hektare tanah perkebunan ditanami pohon kelapa – yang terpusat di daerah Batavia, Semarang, dan Kediri.13 Selain kelapa, daerah utara Batavia juga merupakan tanah subur yang sangat cocok untuk persawahan. Berbeda dengan daerah selatan Batavia, yang dijadikan sentra perkebunan kopi, cokelat, kacang, buah-buahan, kayu dan lain-lain.14 Secara umum wilayah Tangerang beriklim panas dengan keadaan suhu rata-rata berkisar antara 27 hingga 30 derajat celcius.15 Khusus wilayah utara keadaan suhu panas dipengaruhi oleh Laut Jawa, sedangkan di selatan bisa mengalami cuaca yang relatif sejuk karena berbatasan dengan daerah Bogor yang masih memiliki hutan kota dan pepohonan yang rimbun.

12 Claude Guillot, op.cit, h. 156 13 J.O „Malley, “Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar”, h. 197-235, dalam Anne Both, et.al, Sejarah Ekonomi Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 222-223 14 D.G. Stibbe, op.cit, h. 354-359. Dan lihat Suhartono W. Pranoto, Jawa: (Bandit- bandit Pedesaan) Studi Historis 1850-1942, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), Cet. Ke-1, h. 31 15 Multamia R.M.T. Lauder, op.cit, h. 10 48

B. Tangerang sebagai Tanah Partikelir Status tanah di Tangerang pada masa Kesultanan Banten, mengikuti pola yang diatur oleh Sultan, seperti Tanah Negara, yaitu tanah milik Sultan yang diberikan kepada petani dengan kewajiban membayar pajak dan tenaga kerja. Tanah Negara tersebut terbagi lagi dalam beberapa jenis, yaitu tanah yang diberikan Sultan kepada keluarga raja dan birokrat, yang disebut tanah ganjaran, pusaka laden, atau pecaton. Pemberian tanah khusus kepada famili raja disebut kewargaan atau kanayakan. Sedangkan untuk birokrat kerajaan disebut tanah pangawulaan. Pemberian tanah oleh sultan merupakan kewenangan yang melekat kepada penguasa secara turun temurun, yang diberikan sebagai hadiah bagi orang-orang yang berjasa menurut Sultan.16 Pemegang tanah yang dijadikan sawah selanjutnya membuka sawah- sawah baru di tanah-tanah kosong di wilayah kesultanan, yang kemudian disebut Tanah Yasa. Semua tanah-tanah tersebut terdapat sumber penghasilan berupa pajak, sehingga semakin banyak lahan baru, maka banyaklah pendapatan yang diraih kesultanan.17 Status tanah setelah pudarnya kekuasaan Kesultanan Banten di Tangerang, sedikit mengalami perubahan. Bila di masa kesultanan tanah diberikan kepada keluarga Sultan dan Birokrat (kelompok kelas atas pribumi), maka di masa kekuasan VOC tanah diberikan atau dijual kepada kebanyakan orang asing (terutama orang Tionghoa). Status kepemilikan tanah di dua masa ini, tetap tidak berimbas kepada masyarakat rendahan seperti petani penggarap, mereka hanya menjadi objek eksploitasi para pemilik tanah saja. Di masa Kompeni Belanda (VOC, tahun 1602-1799), Tangerang menjadi Tanah Partikelir (particuliere landerijen). Status Tanah Partikelir muncul seiring dengan kebijakan memperjualbelikan tanah kepada pihak swasta, yang kemudian kebijakannya dilanjutkan pada masa kolonialisme Belanda melalui perwakilannya, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811). Dan diteruskan pada masa peralihan Kerajaan Inggris yang diwakili oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816) serta berkelanjutan hingga akhir masa penjajahan.18 Selain karena penjualan, tanah partikelir juga dimaksudkan sebagai hadiah bagi para pahlawan perang yang berjasa membantu kompeni dalam penaklukan Jayakarta dan mempertahankan dari invasi Banten, serta peperangan yang melibatkan pemerintah kolonial. Hal ini berlaku pula pada daerah-daerah di sekitar Batavia. Kebijakan ini diambil sebagai langkah

16 Suhartono W. Pranoto, op.cit, h. 37 17 Suhartono W. Pranoto, Ibid, h. 37 18 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), Edisi Pemutakhiran, h. 400 49 strategi politik untuk meramaikan kembali kota Batavia yang banyak ditinggalkan penghuninya pasca perang. Pemberlakuan ini dilakukan setelah satu tahun Kompeni Belanda berhasil menduduki Jayakarta (1620/1621) dari Pangeran Wijayakrama, yang sebelumnya juga menjadi penguasa vasal dari Kesultanan Banten.19 Sedangkan orang yang mendapatkan hadiah tanah karena melekat jabatannya di posisi-posisi pemerintahan, maka yang demikian tanahnya disebut sebagai tanah bengkok.20 Status tanah partikelir yang diperjualkan oleh VOC maupun pemerintah kolonial kepada perorangan atau swasta berbeda dengan tanah biasa seperti saat ini. Pihak yang membeli tanah partikelir tidak hanya mendapatkan sebidang tanah, tapi sekaligus mendapatkan hak-hak untuk membentuk polisi sebagai pengamanan daerah, dan juga berhak untuk menarik pajak dari petani. Dalam hal ini pemilik tanah yang kemudian menjadi tuan tanah (landheer) memiliki Hak Keistimewaan (Hak Pertuanan) atas tanah yang dimilikinya. Sehingga rakyat yang menggarap dan tinggal di wilayah tersebut tunduk kepada penguasa tanah partikelir.21 Penjualan tanah berlaku bagi orang asing khususnya Arab, Belanda, dan terutama Tionghoa, karena semakin luasnya kepemilikan tanah mereka, maka mereka menjadi tuan-tuan tanah yang menguasai tanah sekaligus manusia yang menghuninya. Menurut data Koloniaal Verslag tahun 1892, yang dikutip oleh Ekadjati, luas tanah sawah dan tegalan pada tahun 1891 di wilayah Afdeling Tangerang mencapai 118.736 bau atau setara 103.268 hektare (1 bau = 0,8 hektare) dengan rincian per distriknya adalah sebagai berikut:22 1. Distrik Tangerang luasnya mencapai 42.553 bau atau setara dengan 34.042, 4 hektare dengan rincian: sawah 26.878 bau (21.502, 4 hektare) dan tegalan 15.675 bau (12.540 hektare). 2. Distrik luas seluruhnya 53.030 bau dan jika dikonversikan ke satuan hektare menjadi 42.424 hektare, terdiri dari sawah berjumlah 23.212 bau (18.569, 6 hektare) dan tegalan 29.818 bau (23.854, 4 hektare).

19Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 96-97. Lihat juga M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2008), cet. Ke-2, h. 77-78 20 R.E. Elson, “Kemiskinan dan Kemakmuran Kaum Petani pada Masa Sistem Tanam Paksa di Pulau Jawa, dalam Anne Both, et.al, Sejarah Ekonomi Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 39 21 Y. Wartaya Winangun, SJ., Tanah Sumber Nilai Hidup, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), h. 28. Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), op.cit, h. 400-401 22 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 117-118 50 3. Distrik Mauk sawah 23.153 bau (18.522, 4 hektare) dan tegalan 10.349 bau (8.279, 2 hektare) total jumlah seluruhnya 26.801, 6 hektare.

Luas tanah partikelir di pulau Jawa terus berkembang, sebagaimana tercatat dalam buku Sejarah Nasional Indonesia, “Pada tahun 1915 di Jawa terdapat 582 tanah partikelir, yang meliputi luas tanah sekitar 1,3 juta bau (1.040.000 hektare) dan dengan penduduk sebanyak kurang lebih 1,8 (sich: juta) jiwa. Beberapa di antaranya ada yang merupakan daerah yang luas dengan penduduk 75.000 jiwa (bahkan ada yang meliputi 175.000 jiwa).”23 Alih-alih memerintah penduduk pribumi untuk mengisi kembali Jayakarta, sebenarnya Kompeni Belanda mempunyai niat lain yang terselubung. Kepentingannya yang kedua, yaitu jasa keamanan gratis karena para pemilik tanah berkewajiban menjaga keamanan wilayahnya dengan mempekerjakan para pendekar silat untuk menjadi centeng (semacam satpam di zaman sekarang). Sedangkan maksud yang ketiga adalah untuk menambah perbendaharaan kas kompeni dari hasil penyewaan tanah-tanah partikelir tersebut, di luar usaha perdagangan dan perkebunan yang dikelola Kompeni.24 Selanjutnya di masa Daendels dan Raffles, dibuat kebijakan penjualan tanah-tanah partikelir oleh pemerintah kolonial dengan maksud untuk mengisi kas negara yang tengah mengalami kebangkrutan.25 Ada dua macam nomenklatur tanah di Tangerang saat itu, yakni: tanah yang dimanfaatkan sebagai tempat usaha yang dinamai erfacht, dan tanah yang disebut landsdomein atau tanah negara. Peraturan soal tanah ini dibentuk untuk mengatur kepemilikan tanah perseorangan. Adapun tanah usaha (erfacht) di daerah Tangerang terdapat di Distrik Tangerang dan Distrik Mauk.26 Selanjutnya tanah di wilayah Tangerang dibagi menjadi beberapa persil (bidang atau bagian tanah), dimana setiap persilnya Kompeni jual kepada orang-orang kaya di Batavia yang berasal dari bangsa Eropa dan terutama bangsa Tionghoa, dengan demikian mereka menjadi tuan tanah di tanah partikelir Tangerang tersebut, yang memiliki wewenang untuk mengatur penanaman pada kebun-kebun, mengangkat para petani, menarik berbagai macam pajak dan menjaga keamanan setempat.27

23 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), op.cit, h. 402 24 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 96-97 25 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), op.cit, h. 401 26 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 97 27 Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 97 51 Dalam Regeering Almanak van Nederlandsch Indie, 1900-1931, yang dikutip pada buku Sejarah Kabupaten Tengerang, keadaan tanah partikelir di Tangerang antara tahun 1900-1901 sebagaimana tabel berikut:28

No Nama Persil Pemilik Luas Penduduk (bau) 1. Benteng Makasar Gouv. V. Ned. Indie 202 1.325 2. Pasar Tangerang dan Syarifa Mariam dan Abdul 422 1.296 Tangerang Barat Azis Effendi dkk 3. Babakan Utara PT Salim Balocel 120 120 4. Tangerang Timur A. Abdul Azis Effendi dkk 563 1.546 5. Cikokol M. van Delden 625 1.612 6. Panunggangan Louw Sek Hie 308 322 7. Priang Oey Hoey Tjay 1.735 2.735 8. Pakulonan Perkeb. Sch. Bergzicht 704 849 9. Pondok Jagung Ong Jum San 723 1.446 10. Lengkong Timur Lim Eng Gie dkk 687 1.171 11. Babakan Selatan Lim Eng Gie dkk 7 75 12. Lengkong Timur Ong Kim Tjong ? ? 13. Lengkong Barat The Tjoen Sik 2.266,25 4.073 14. Klapadua Tan Hok Kien 24 28 15. Cihuni Perkebunan Cihuni 2.818 4.035 16. Parungkuda Souw Siouw Kong dkk 1.479 3.808 Louw Soey 343 4.424 17. Kedaung Timur Maskapai Pertanian 1.678 ? Slapanjang Timur 259 3.711 18. Tanah Koja Perkebunan Batuceper ? 4.737 Sumber: Edi S. Ekadjati, et.al., Sejarah kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004)

Di masa kekuasaan Kerajaan Inggris (1811-1816), Raffles yang bertindak sebagai Gubernur Jenderal, dalam hal ini mewakili pemerintah kolonial, pada tahun 1811 sempat membuat pembaharuan pengaturan terhadap tanah. Raffles berpendapat bahwa tanah yang dikuasai oleh pemilik perorangan beserta kewajiban pajaknya dapat menguntungkan perbendaharaan negara. Karena itu diperlukan kepastian hukum terhadap pemilik perorangan. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Gubernur

28 Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 128 52 Jenderal Inggris tersebut sebagaimana mengutip Y. Wartaya Winangun,29 adalah sebagai berikut: 1. Menghapuskan segala penyerahan paksa hasil-hasil bumi dengan harga yang tidak pantas dan menghilangkan semua kerja rodi, dengan memberikan kebebasan penuh dalam penanaman dan perdagangan. 2. Pengawasan tertinggi dan langsung dilakukan pemerintah atas tanah-tanah dengan menarik pendapatan dan sewaan tanpa perantara bupati-bupati. 3. Menyewakan tanah-tanah yang diawasi pemerintah secara langsung berdasarkan kontrak-kontrak untuk waktu terbatas. Setelah berakhirnya penguasaan Inggris atas Indonesia, pemerintahan kolonial kembali direbut oleh Kerajaan Belanda. Sehingga otomatis kebijakan soal agraria mengalami perubahan kembali. Pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal van den Bosch (1830-1833), diberlakukanlah Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) dari tahun 1830 yang berakhir pada tahun 1870. Kebijakan ini berimbas terhadap kewajiban kepada tanaman komersial (commercial crops) yang laku di pasaran wajib ditanam oleh para petani penggarap di tanah partikelir. Sedangkan hasil dari perkebunan itu dibeli oleh pemerintah kolonial dengan harga yang sangat murah, sedangkan dalam pelaksanaan administrasinya pemerintah menggunakan tangan-tangan pribumi, dengan memanfaatkan sistem feodal yang masih berpengaruh untuk berjalannya misi Cultuurstelsel.30

C. Struktur Sosial Masyarakat Struktur sosial masyarakat Tangerang sebagaimana lapisan strata pada penduduk di daerah koloni yang lain. Bangsa asing menempati posisi teratas dalam derajat kasta, sedangkan kaum pribumi berada pada titik terendah dalam struktur tersebut. Sebagaimana disampaikan oleh Maman S. Mahayana dalam Seminar Nasional yang diadakan oleh Program Studi Pasca Sarjana Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, “Strata tertinggi dalam struktur sosial di tanah jajahan adalah bangsa Asing Eropa, selanjutnya berurutan, Asia Timur (Tiongkok), Asia Barat (Arab), Asia Selatan (India), kaum Ningrat Pribumi, pegawai pemerintah, dan terendah masyarakat pribumi.”31

29 Y. Wartaya Winangun, SJ., op.cit, h. 30 30 Y. Wartaya Winangun, SJ., Ibid, h. 30 31 Maman S. Mahayana, “Membangun Paradigma Integratif dan Kontekstual dalam Studi Keilmuan Humaniora di Program Pasca Sarjana” Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Program Studi Pasca Sarjana Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 12 September 2015. 53 Dalam Encyclopaedi van het Nederlandsch-Indie, data sensus penduduk di tahun 1905 yang dikutip oleh Edi. S. Ekadjati,32 seluruh penduduk Tangerang berjumlah 120.840 jiwa, dengan rincian sebagai berikut:

NO Suku Bangsa Jumlah Jiwa 1. Pribumi 107.900 2. Tionghoa 12.800 3. Eropa 120 4. Arab 20 Sumber: Edi S. Ekadjati, et.al., Sejarah kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004)

Dan mengalami peningkatan pada tahun 1917, berjumlah 414.500 jiwa, dengan rincian sebagai berikut: 33

NO Suku Bangsa Jumlah Jiwa 1. Pribumi 379.380 2. Tionghoa 35.000 3. Eropa 120 4. Arab 20 Sumber: Edi S. Ekadjati, et.al., Sejarah kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004)

Pendatang Tionghoa menempati posisi kedua dalam jumlah penduduk, bahkan sebagian di antara mereka berperan penting menjadi kelompok koloborator yang berfungsi sebagai perantara dalam sistem politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Di sisi lain, pemimpin feodal pribumi, ada juga yang menjadi kelompok koloborator – tetapi perannya masih kalah bila dibandingkan kelompok opurtunis dari etnis Tionghoa. Kehadiran sebagian kelompok Tionghoa yang menjadi sekutu dari pemerintah kolonial, dianggap sebagai balasan atas perlindungan aset bisnis mereka.34 Sikap oportunis ini, hanya dilakukan oleh oknum-oknum Tionghoa yang pragmatis, gambaran utuh watak tentang orang-orang Tionghoa pernah tercatat dalam laporan- laporan dan dokumen-dokumen, sebagaimana dikutip oleh Leonard Blusse:

32 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 113. Lihat juga D.G. Stibbe, op.cit, h. 265 33 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 113. Lihat juga D.G. Stibbe, op.cit, h. 265-266 34 Leonard Blusse, Persekutuan Aneh, Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC, (Yogyakarta: LkiS, 2004), Cet. Ke-1, h. 136-137 54 “Berbagai macam jenis informasi dari saksi-saksi semasa (sich: itu) sampai ke tangan kita melalui dokumen-dokumen tercetak dan surat-surat yang ditulis oleh pegawai Kompeni atau pimpinan gereja, dan laporan perjalanan oleh para pelaut dan penjelajah Eropa. Dalam semua catatan- catatan ini orang Cina Batavia pada dasarnya dilukiskan sebagai orang yang rata-rata rajin, tidak suka keributan dan kadang-kadang licik, dan orang- orang yang serba bisa (die overal een hand in hebben), sekaligus juga berwatak pemalu (Vreesachtig van aard) ...”35

Pendatang Asia lainnya yang bermukim di Tangerang adalah orang- orang Arab. Mereka menempati posisi keempat setelah penduduk dari Eropa yang berada pada urutan ketiga. Status agama Islam yang dianut oleh orang- orang Arab, memudahkan mereka beradaptasi dengan penduduk lokal. Namun keberadaan etnis Arab dalam sejarah, sering mengalami kerancuan – karena kelompok-kelompok pendatang yang beragama Islam dari Bengali dan lainnya juga disebut orang Arab. Keberadaan orang Arab di Nusantara sudah ada sejak sebelum agama Islam lahir, tetapi koloni Arab mulai tercatat resmi data statistiknya pada abad ke-19. Dan terus mengalami pertumbuhan jumlah penduduknya seiring dengan ditemukan mesin uap pada tahun 1870- an yang teknologinya dipakai kapal laut untuk berlayar dari Timur Jauh dan Arab ke Nusantara.36 Van den Berg pernah memuat hasil sensus tentang koloni-koloni Arab yang dilakukan pada tahun 1885 di Jawa dan Madura, dalam hal ini kami kutipkan sensus jumlah penduduk Arab di Karesidenan Batavia, yaitu:37 Kota Arab Lahir di Arab Arab Lahir di Nusantara Jumlah Pria Anak Pria Wanita Anak Batavia 457 19 189 224 550 1448 Mr. Cornelis 19 - 14 5 48 86 (Jatinegara) Buitenzorg 31 - 12 15 39 97 (Bogor) Tangerang 1 - 4 5 21 31 Sumber: L.W.C van den Berg, Orang Arab di Nusantara, (Depok: Komunitas Bambu, 2010)

Berbeda dengan hitungan statistik yang dilakukan oleh Inggris, sebagaimana dilakukan Belanda di atas. Dalam versi Inggris jumlah penduduk Arab seluruhnya disatukan, tidak dibedakan antara yang lahir di

35 Leonard Blusse, Ibid, h. 138 36 L.W.C van den Berg, Orang Arab di Nusantara, (Depok: Komunitas Bambu, 2010), h. 95-96 37 L.W.C van den Berg, Ibid, h. 96 55

Arab atau Nusantara. Van den Berg memberikan penjelasan mengenai angka- angka dalam tabel di atas, menjadi tiga uraian:38

1. Bahwa populasi Arab di kota-kota yang disebutkan mencakup juga orang Arab yang tinggal di daerah sekitarnya. 2. Bahwa perempuan pribumi yang kawin dengan orang Arab tidak termasuk di dalamnya. 3. Bahwa campuran Arab yang masuk hitungan hanya yang belum kehilangan kewarganegaraan.

Klasifikasi masyarakat desa di daerah Tangerang, berpedoman pada luasnya kepemilikan tanah. Orang yang paling banyak memiliki tanah, dialah yang tertinggi status sosialnya, sedangkan orang yang sedikit memiliki tanah dan tidak mempunyai tanah, prestise sosialnya lebih rendah. Sebagai konskuensinya, status ini juga melekat beberapa hak dan kewajibannya masing-masing, kelas sosial yang terendah dipenuhi target-target produksi pertanian, pajak dan kewajiban taat kepada pemilik status sosial yang tertinggi, selanjutnya para pemilik atau disebut tuan-tuan tanah juga berkewajiban terhadap pemenuhan-pemenuhan yang disepakati oleh pemerintah kolonial tertinggi.39 Stratifikasi masyarakat Tangerang setelah kelompok asing adalah kaum pribumi. Ada tiga suku bangsa yang mendiami daerah Tangerang, yakni: Pertama, Suku Sunda yang terbanyak jumlahnya hampir separuh wilayah Tangerang, mereka biasanya berdiam di wilayah Tiga Raksa, Balaraja, , Curug, , Pasar Kemis dan sebagian di daerah Serpong, Tangerang, Batu Ceper, Teluk Naga, Mauk, dan .40 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nana Suryana dan kawan-kawan, orang-orang Sunda datang ke Tangerang sekitar tahun 1630-an, setelah pengepungan kota Batavia oleh pasukan Kesultanan Mataram.41 Sebagian besar orang Sunda tersebut datang dari daerah Sumedang, dan juga sebagian lagi berasal dari wilayah Jasinga dan Lebak, ketiga wilayah ini di masa Kesultanan Banten berikutnya menjadi daerah otonom yang dinamakan dalam struktur pemerintahannya Kemaulanaan yang beribukota di Pasanggrahan.42

38 L.W.C van den Berg, Ibid, h. 99 39 Suhartono W. Pranoto, op.cit, h. 36 40 Multamia R.M.T. Lauder, op.cit, h. 15 41 Nana Suryana, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemda Tk. II Tangerang dan LPPM Universitas Syaikh Yusuf Tangerang, 1992), h. 22 42 Kemaulanaan ini dipimpin oleh Trio Tumenggeng yang berasal dari Sumedang, yaitu: Tumenggung Aria Yudanegara, Tumenggung Aria Wangsakara, dan Tumenggung Aria Santika. Ketiga tokoh pemimpin tersebut dikenal dengan sebutan Tiga Raksa, yang artinya tiga orang pemimpin. Untuk mengamankan wilayah Banten dari invasi Kompeni, 56

Kedua, Suku Melayu (berikutnya disebut Betawi) yang mencapai sepertiga daerah Tangerang, orang Melayu-Betawi banyak bermukim di daerah Ciputat, Ciledug, Batu Ceper, Tangerang, Teluk Naga, serta sebagian wilayah Serpong, , dan Mauk.43 Orang Melayu yang mendiami Tangerang disebut juga dengan suku “Betawi Ora”, mereka datang ke Tangerang untuk berhijrah dari Batavia, karena terdesak oleh dominasi orang asing, bahkan sampai-sampai mereka meninggalkan harta bendanya yang terampas oleh pendatang asing di Batavia.44 Orang Betawi masuk ke Tangerang diperkirakan terjadi pada tahun 1659 sejak dikuasainya Tangerang oleh VOC dan masuk ke wilayah Batavia. Ditambah lagi terjadinya banjir yang terus melanda daerah Batavia pada tahun 1680,45 semakin banyak penduduk pribumi Batavia bermigrasi ke daerah Tangerang yang secara geografis berada dekat dengan pusat kota Batavia di sebelah barat dan selatan. Yang ketiga, Suku Jawa, yang berjumlah hanya seperenam dari daerah Tangerang, mereka rata-rata mendiami wilayah , , serta sebagian kecil di Balaraja, Rajeg, dan Mauk.46 Orang Jawa ini adalah para pengikut Fatahillah dari Kesultanan Demak yang pernah menguasai Banten pada tahun 1526 dan sisa-sisa pasukan Kesultanan Mataram yang gagal merebut Batavia dari tangan VOC pada tahun 1628 dan 1629,47 sehingga prajurit Mataram yang berasal dari etnis Jawa dan Sunda kemudian menetap selamanya di daerah Tangerang. Selain ketiga suku besar di atas, terdapat juga suku lain, seperti Bugis, Aceh, Minang, Batak, Bali, dan Maluku yang jumlah penduduknya kecil dan rata-rata mereka hidup menyebar tidak di satu lokasi. Pada era kolonialisme, di Tangerang juga terdapat pemukim-pemukim dari bangsa asing Eropa maupun Tionghoa, meskipun jumlah mereka tidak sebesar suku-suku pribumi, tetapi eksistensi mereka dalam perekonomian dan politik sangat mendominasi. Setiap suku bangsa yang mendiami daerah Tangerang, turut serta pula kebudayaan dan kesenian masing-masing. Sebagaimana dicatat dalam

Tumenggung Aria Yudanegara membuat benteng pertahanan di tepi sungai Cisadane sebelah utara Cikokol dan Kedaung Barat. Sedangkan Tumenggung Aria Wangsakara turut membangun benteng di daerah Lengkong (sekarang disebut Lengkong Sumedang) yang berada di tepi suangai Cisadane sebelah barat sampai ke bendungan Sangego. Lihat Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 86-87 43 Multamia R.M.T. Lauder, op.cit, h. 15 44 Budiman, Folklore Betawi, (Jakarta: Dinas Pendidikan & Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, 1979, h. 17 45 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 108-109 46 Multamia R.M.T. Lauder, op.cit, h. 15 47 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 108 57 penelitian Multamia R.M.T. Lauder: “Masyarakat Sunda pada umumnya menggemari wayang golek, reog, calung, goong rancag, degung, dan kliningan. Masyarakat Jawa secara umum masih mennggemari wayang kulit, klenengan, dan orkes keroncong. Masyarakat Melayu lebih menggemari tanjidor, jipeng, topeng, dan ketimpring.”48 Secara budaya masyarakat Tangerang terpengaruh oleh budaya Melayu-Betawi. Sebagaimana contoh yang diungkap oleh Budiman: “Kesenian rakyat Tangerang keseniannya sama dengan kesenian rakyat Betawi, seperti kesenian lenong, gambang kromong, tari cokek dan sebagainya.49 Di samping itu suku Melayu di Tangerang juga mengenal Wayang Betawi, hal ini berdasarkan dari keahlian Ki Dalang Kaiin Bapa Kayah yang berasal dari suku Melayu Kampung Pangkalan, Teluk Naga.

D. Keadaan Ekonomi Masyarakat Penduduk Tangerang terdiri dari golongan pribumi dan Timur Asing (terutama etnis Tionghoa) sebagian besar mengandalkan sawah dan kebun sebagai penghasilan sehari-hari mereka.50 Kondisi alam yang subur di wilayah-wilayah Karesidenan Banten dan Batavia ini menjadi keuntungan sendiri, terutama stok berasnya bisa menjadi bahan tukar terhadap dagangan lainnya. Terdapat beberapa jenis sawah di area ini, yakni ada yang masuk kategori sawah subur, sawah tadah hujan, sawah rawa, dan tegalan. Bagi daerah yang sedikit sumber airnya ternyata juga sangat subur dan dapat ditanami jenis tanaman kopi, lada, kanil, indigo, dan kelapa.51 Semua hasil pertanian ini, diperdagangkan melalui jalur sungai sebagai urat nadi lalu lintas dari pedalaman yang bermuara ke Laut Jawa, dan hal ini telah dilakukan bahkan jauh sebelum masa VOC berkuasa. Bagi daerah-daerah yang tidak bisa memungkinkan distribusi logistik melalui sungai, maka ditempuh melalui transportasi darat dengan menggunakan gerobak yang ditarik oleh kerbau (karena binatang ini sangat tahan terhadap kondisi alam tropis) maupun dengan tenaga manusia.52 Sedangkan distribusi barang di masa pemerintahan Belanda, lebih mudah dilakukan, karena dapat ditempuh melalui beberapa jalur, terutama setelah Gubernur Herman Willem Daendels membuat proyek besar jalan pos

48 Multamia R.M.T. Lauder, op.cit, h. 17 49 Budiman, op.cit, h. 18 50 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 116 51 Suhartono W. Pranoto, op.cit, h. 55-56 52 Suhartono W. Pranoto, Ibid, h. 57 58 dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) tahun 1808,53 dan juga pembangunan transportasi kereta api oleh penerus Gubernur Jenderal tersebut, dari Anyer ke Batavia pada tahun 1896, Anyer menuju Rangkasbitung di tahun 1900,54 serta Batavia juga terhubung dengan Cirebon pada tahun 1906.55 Selain bidang pertanian ada juga yang bekerja di sektor perdagangan dan industri kerajinan. Industri kerajinan yang dimiliki para penduduk Tangerang umumnya bergerak dalam sektor home industry (industri rumahan), yang membuat topi anyaman berbahan dasar bambu dan pandan. Kualitas topi anyaman dari Tangerang sangat baik, bahkan diekspor ke mancanegara. Ekspor topi anyaman dilakukan oleh para pedagang Tionghoa, terutama ke Eropa dan Amerika. Grafik penjualan topi anyaman Tangerang tercatat dalam Arsip Nasional yang dikutip dalam buku Sejarah Kabupaten Tangerang,56 sebagai berikut:

Tahun Jumlah Nilai Total Nilai Tiap Topi 1913 5.495.394 f 1.328.820 26 Sen 1917 2.573.033 f 668.983 26 Sen 1922 2.826.058 f 847.817 30 Sen 1928 4.947.104 f 2.044.889 41 Sen 1929 4.436.568 f 1.009.878 23 Sen 1930 2.935.745 f 445.165 16 Sen 1931 1.163.307 f 147.529 13 Sen Sumber: Edi S. Ekadjati, et.al., Sejarah kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004)

53 Pada saat proyek pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan, Kesultanan Banten mengalami kemunduran. Menurut Abdurrahman Wahid, ada dua faktor yang menyebabkan runtuhnya visi internasionalisasi Banten sebagai negara maritim yang kuat. Yang pertama faktor eksternal, yaitu adanya blokade laut yang dilakukan pihak Belanda dan Mataram yang menjadi sekutu Banten di bawah pimpinan Sultan Agung lebih beorientasi agraris daripada laut. Kedua karena faktor internal perseteruan antar kalangan elit kerajaan. Kedua faktor ini yang memudahkan tembusnya prajurit Belanda dari Batavia menusuk ke jantung kesultanan Banten, sehingga memudahkan realisasi proyek transportasi dan komunikasi yang menguntungkan bagi pihak Belanda. Lihat Abdurrahman Wahid, Membaca Sejarah Nusantara, (Yogyakarta: LkiS, 2010), cet. Ke-1, h. 36-37 54 Suhartono W. Pranoto, op.cit, h. 30 55 Ibid, h. 32 56 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 120 59

Topi anyaman khas dari Tangerang inilah, yang digunakan para petani untuk melakukan perlawanan terhadap tuan tanah dan penguasa kolonial.57 Simbol topi ini juga menjadi identitas kelompok pribumi yang bermaksud mengembalikan norma-norma tradisional yang telah berubah setelah kedatangan orang-orang asing.58 Mimpi-mimpi para petani digerakan setelah kemunculan tokoh karismatik, seorang petani yang juga berprofesi sebagai dalang yang bernama Kaiin Bapa Kayah. Selain menjadi identitas bagi perlawanan petani Tangerang, topi anyaman juga menjadi ikon dalam logo Kabupaten Tengerang yang melambangkan hasil kerajinan dan industri. Gambar topi anyaman juga berpadu dengan Benteng dan Sungai Cisadane pada simbol daerah yang berdiri sejak tanggal 27 Desember 1943. Karena status Tangerang menjadi daerah partikelir, maka orang-orang pribumi hanya menjadi petani penggarap sawah maupun ladang milik para tuan tanah. Selain bekerja sebagai penggarap, para petani juga dibebani membayar cuke (pajak) seperlima dari hasil panen, ditambah dengan sewa tanah tempat mereka bermukim, pekarangan, dan tegalan, serta kerja wajib (kompenian) untuk memilihara fasilitas umum. Jika para petani mengindahkan kompenian tersebut, bisa diganti dengan membayar denda dengan jumlah uang yang ditentukan, bila tidak membayar uang dan mangkir dari pekerjaan wajib tersebut, maka mereka terkena sanksi pidana oleh pengadilan.59 Para tuan tanah, kebanyakan berasal dari etnis Tionghoa, mereka dapat mewariskan tanah partikelir secara turun temurun, pemilik tanah biasanya disebut teko sedangkan tanahnya disebut “tanah teko”. Mereka memanfaatkan tenaga kaum pribumi sebagai buruh di sawah dan perkebunan miliknya, dahulu para petani penggarap itu disebut “bujang sawah”.60 Selain berprofesi sebagai tuan tanah, orang-orang Tionghoa ada juga yang bekerja pada sektor yang lebih rendah, mereka ini umumnya berasal dari kelompok Tionghoa golongan bawah. Mata pencaharian mereka yang berasal dari strata rendahan tersebut, di antaranya sebagai pedagang dengan

57 Ilyas, “Trend Topi Boni dalam Sejarah Perlawanan Petani Tangerang”, Tangsel Pos, Rabu, 10 Februari 2016. 58 Topi anyaman juga menjadi trend di masyarakat Tangerang kurun abad 18 dan 19. Hal ini juga digambarkan dalam cerita-cerita tertulis pada zaman itu. Misalnya cerita yang dikarang oleh H. Kommer tentang Tuan Tanah Perempuan Tionghoa, disebutkan Njonja Kong Hong Nio ketika sedang mengawasi perkebunannya memakai tudung (topi) bambu lengkap dengan atribut pistol dan senjata golok di pinggangnya. Lihat H. Kommer, Tjerita Njonja Kong Hong Nio: Satoe Toean Tanah di Babakan Afdeeling Tangerang, Betawi, (Batavia: 1900), h. 6 59 Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 116 60 Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 116-117 60 membuka warung kecil, peternak babi, tukang reparasi perahu, dan petani ladang yang menanam kacang-kacangan skala kecil.61 Leonard Blusse menyebutkan pula tentang kemampuan orang-orang Tionghoa berdasarkan pada dokumentasi sumber sejarah, “Dalam semua sumber bahan ini disebutkan, bahwa orang Cina menguasai bidang-bidang penting kegiatan ekonomi kota seperti perikanan, pengusahaan kayu, pekerjaan bangunan, pertanian, perkebunan, pemasaran, kerajinan, dan perdagangan dalam negeri (Sich: Nusantara) dan Cina.”62

Perekonomian Indonesia di zaman kolonial Belanda menurut Furnivall sebagaimana dikutip oleh Thee Kian-Wie, terbagi dalam lima masa, yakni:63

1. Zaman kekacauan dan ketidakmenentuan dari tahun 1800 sampai 1830. 2. Pemberlakuan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal van den Bosch dari tahun 1830 hingga 1870. 3. Sistem Liberal yang diberlakukan untuk menggantikan Sistem Tanam Paksa dari tahun 1870 sampai 1900. 4. Politik Etis sebagai pembaharuan dari kebijakan Liberal yang berlaku 1900-1930. 5. Zaman Malaise (kemunduran ekonomi di Eropa yang berpengaruh terhadap kondisi Hindia-Belanda), di masa akhir dari penjajahan Belanda yang terjadi dari tahun 1930 sampai 1940.

Dari lima masa tersebut, kebijakan ekonomi pemerintah kolonial tidak berpihak kepada masyarakat pribumi yang kebanyakan berprofesi sebagai petani. Kaum petani hanya dijadikan sapi perahan bagi kaum kapital pemerintah kolonial beserta kroni-kroninya, yang hanya mementingkan korporasinya. Petani yang notabene adalah penduduk pribumi tidak berdaya di tanah airnya sendiri. Regulasi untuk melindungi rakyat petani dari eksploitasi dan kecurangan para tuan tanah, sebenarnya sudah dilakukan pada masa Daendels dan Raffles. Kebijakan tentang larangan kepada tuan tanah untuk menerima sepersepuluh dari hasil tanah dan memberikan pekerjaan yang memberatkan petani sudah diberlakukan pemerintah kolonial, namun kebijakan ini hanya angin yang berlalu. Hukum berlaku hanya sebatas kertas, karena lemahnya

61 Ibid, h. 117 62 Leonard Blusse, op.cit, h. 138 63 Thee Kian-Wie, “Perekonomian Indonesia di Zaman Kolonial”, dalam Anne Both, et.al, Sejarah Ekonomi Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 11 61 kontrol pemerintah, akhirnya banyak tuan tanah yang mencederai peraturan- peraturan tersebut.64 Pelanggaran yang dilakukan tuan tanah, terkadang menjadi kerikil- kerikil yang mengganggu hubungan dengan para petani. Rasa frustasi dan kegelisahan membuat kerikil tersebut bisa membesar menjadi letupan-letupan protes dan perlawanan petani terhadap eksploitasi dan kezhaliman yang dilakukan para tuan tanah. Protes kaum tani diluapkan dalam berbagai macam ekspresi yang bisa dikategorikan dalam istilah oposisi, sebagaimana pendapat David Crumney yang dikutip oleh Suhartono, protes kaum tani dilakukan dalam bentuk tindakan kejahatan, perbanditan dan pemberontakan. Tindakan kejahatan adalah bentuk protes primitif yang bersifat kriminal, kategori kedua adalah protes dalam ekspresi perbanditan yang terbagi dalam dua jenis, yaitu: perbanditan yang murni kriminal dan perbanditan sosial sebagaimana dilakukan oleh tokoh legendaris Robin Hood. Selanjutnya protes dalam bentuk pemberontakan, dimana rakyat petani diorgansir oleh tokoh karismatik yang menyadarkan tentang hak-hak mereka yang sudah diganggu oleh kaum kapital.65

E. Kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Masyarakat Tangerang

Ketika kekuasan kompeni (VOC) mengalami kebangkrutan di penghujung abad ke-18 (31 Desember 1799), maka tampuk pemerintahan kolonial dialihtugaskan kepada Kerajaan Belanda, dengan memberikan kekuasaannya kepada perwakilannya yang dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal untuk menjalankan pemerintahan di Hindia Belanda. Adapun Gubernur Jenderal pertama yang diutus oleh Kerajaan Belanda adalah H.W. Daendels (1808-1811), yang berkedudukan di ibukota Hindia Belanda (Batavia).66 Dalam pelaksanaan pemerintahannya di pulau Jawa, Daendels membagi tiga wilayah administratif yang disebut prefecture (keresidenan), yang masing-masing dikepalai oleh seorang prefect (pejabat residen), adapun pembagian wilayah tersebut adalah:67

1. De stad Batavia, de Ommelanden en Jacatrasche Preanger- Regentschappen, (yang berarti Kota Batavia, sekitarnya dan wilayah

64 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), op.cit, h. 401-402 65 Suhartono W. Pranoto, op.cit, h. 6-7 66 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 98 67 Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 98-99 62 Jakarta-Priangan). Meliputi daerah; Tangerang, Karawang, Buitenzorg (nama Bogor di masa kolonial), Cianjur, Bandung, Sumedang, Parakan- Muncang, dengan jumlah penduduk 200 ribu orang. 2. Het Rijk van Chirebon en Cheribonsche Preanger-Regent-schappen, (Kesultanan Cirebon dan daerah Cirebon-Priangan), wilayah meliputi: Cirebon, Limbangan, Sukapura, dan Galuh, kesemua daerah ini memiliki penduduk berjumlah 350 ribu orang. 3. De Noord-Oostkust en den Oosthoek (Pesisir Utara Pulau Jawa bagian timur dan wilayah ujung Jawa Timur), yang memiliki penduduk lebih banyak sejumlah 1,6 juta.

Pembagian wilayah administratif tersebut, tampaknya tidak berimbas bagi wilayah Tangerang, karena hanya pucuk pimpinannya saja yang mengalami restrukturisasi, kekhasan Tangerang yang termasuk dalam Prefecture Batavia, adalah tidak adanya pejabat pribumi atau asing yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial menjadi perwakilannya di daerah, sebaliknya justru yang menguasai dan memerintah di Tangerang adalah para tuan tanah. Hal ini karena dampak dari penjualan dan penyewaan tanah yang dilakukan Daendels kepada pihak swasta.68 Di masa pemerintahan Inggris terjadi perubahan nomenklatur pemerintahan administratif, semula pemerintah Hindia-Belanda menyebut perwakilannya di daerah dengan nama Prefecture, diubah oleh Raffles menjadi Recidency (keresidenan) dan penyebutan pejabatnya secara otomatis mengalami pergeseran dari Prefect ke istilah baru Resident (residen). Dan menambahkan jabatan baru, untuk membantu tugas-tugas residen dibentuklah asisten residen.69 Sampai pertengahan abad ke-19, struktur pemerintahan bentukan Inggris di pulau Jawa masih dipertahankan oleh pemerintah kolonial Belanda – dimana susunan Residensi Batavia terdiri atas empat kwartieren, sebagai berikut:70 1. Noorder-kwartier, wilayah kota yang disebut Stad en Voorsteden terdiri atas empat distrik. 2. Oost Kwartier kwartier, atau jatinegara yang meliputi 30 tanah partikelir besar dan kecil. 3. Wester Kwartiern, atau Tangerang yang di dalamnya wilayahnya terdapat 57 tanah partikelir.

68Ibid, h. 99 69 Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 99 70 Mona Lohanda, Sejarah Pembesar mengatur Batavia, (Jakarta: Masup Jakarta, 20017), Cet. Ke-1, h. 174 63 4. Zuider-Kwartier, atau Meester Cornelis yang memiliki 100 tanah partikeler, terbagi atas tanah milik Eropa, Cina, sedangkan tanah yang tidak begitu luas kebanyakan adalah milik warga pribumi.

Jabatan-jabatan tertinggi semuanya dipegang oleh orang asing terutama bangsa Eropa dan Tionghoa, hal ini secara politis menandakan bahwa pemerintah kolonial ingin mempertahankan status quo terhadap penduduk pribumi. Sedangkan bangsa pribumi hanya didudukkan sebagai pejabat kelas rendah, terutama yang berkaitan dengan hukum umum dan agama. Posisi jabatan yang dipegang pribumi, yaitu: Jaksa Kepala (Hoofddjaksa) dan wakilnya (Adjunct Hoofddjaksa), sedangkan dalam posisi keagamaan ada jabatan sebagai Penghulu Besar (Hoofdpanghoeloe) dan wakilnya (Adjunct Hoofdpanghoeloe). Di distrik Tangerang sebagai kepala keamanan diangkatlah seorang kepala polisi (Hoofdschout) yang turut mengawasi daerah sebelah barat daya Batavia (het wester-kwartier), yang dijabat oleh J.F. Meijer. Semua jabatan ini diberlakukan pada tahun 1850.71 Bangsa asing yang memiliki penduduk yang terbesar seperti Arab dan Tionghoa, oleh pemerintah kolonial dibuatkan jabatan khusus dalam pengelolaan administrasi kependudukannya pada tahun 1850. Untuk masyarakat Tionghoa di wilayah Batavia dan sekitarnya dipimpin oleh seorang Tionghoa dengan jabatan yang disebut Mayor (Tan En Goan) yang juga mempunyai anak buah 3 orang yang berpangkat kapten (Kon Cun Kiat, Tan Kam Long, dan Lie Tiang Ko) dan 15 orang yang memiliki pangkat Letnan. Sedangkan pengaturan penduduk bagi kelompok Arab dipimpin oleh seorang Syaikh (seperti Said bin Salim Naum), serta bagi pendatang Bengali, dan orang Islam lainnya ditunjuk sebagai kepala, berpangkat Kapiten (misalnya Kapiten Bapa Saf).72 Pusat perwakilan pemerintah kolonial di Tangerang yang yang berkedudukan sekaligus sebagai pemerintahan Jakarta Barat yang membawahi kepala-kepala tiap distriknya yang dikenal dengan sebutan Demang, sedangkan di kota atau stad en Voorsteden mereka disebut komandan distrik (inlandsche kommandant), jabatan komandan yang dikaitkan dengan kelompok etnis ini dihapus pada tahun 1829.73 Untuk penanganan kasus hukum di wilayah, dibentuklah lembaga pengadilan yang disebut Landraad.74 Sedangkan tata kelola pemerintahan di Karesidenan Batavia secara administratif dibagi dalam tiga bagian, di antaranya sebagai berikut: Batavia

71 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 100-101 72 Ibid, h. 101 73 Mona Lohanda, op.cit, h. 177 74 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 101 64 Batavia Utara, Batavia Tenggara, dan Batavia Barat. Daerah yang meliputi di tiga wilayah tersebut adalah: 75 1. Batavia Utara, yang meliputi daerah pusata kota Batavia (Betawi). 2. Batavia Tenggara, menguasai daerah Meester Cornelis (sebutan bagi kota Jatinegara. 3. Batavia Barat, yang berpusat di Kota Tangerang.

Pusat kota Tangerang yang terletak di Batavia Barat, menegaskan sekali lagi sebagai unsur perwakilan dari pemerintah pusat dan diberi jabatan sebagai asisten residen. Tahun 1860-an nomenklatur afdeling, diperkenalkan oleh pemerintah Hinda Belanda, sebagai satuan jabatan di bawah residen. Dengan demikian Tangerang rangkap kedudukannya, sebagai ibukota distrik dan ibukota afdeling. Susunan afdeling di Keresedinan Batavia, secara lengkapnya sebagaimana di bawah ini:76 1. Afdeling Kota dan Sekitarnya, yang terdiri dari tujuh distrik dan 131 desa. 2. Afdeling Meester Cornelis (Jatinegera) yang memiliki empat distrik dan 693 desa. 3. Afdeling Tangerang, meliputi tiga distrik dan 540 desa. 4. Afdeling Buitenzorg (Bogor) yang terbagi dalam enam distrik dan 1.867 desa.

Secara lebih rincinya Afdeling Tangerang, ketiga distrik adalah sebagai berikut; distrik Tangerang Timur memiliki 208 desa, distrik Tangerang Selatan mempunyai 199 desa, dan distrik Tangerang Utara terdiri atas 133 desa. Keseluruhan Afdeling Tangerang luasnya sebesar 23.510 geografi mil persegi atau setara dengan seperlima dari luas wilayah karesidenan Batavia yang mencapai 117.900 geografi mil persegi.77 Dalam perkembangan berikutnya istilah arah mata angin yang disematkan kepada daerah distrik dirubah sesuai dengan nama kampungnya, yakni; Distrik Mauk yang semula Tangerang Utara dan Distrik Balaraja untuk menggantikan Tangerang Barat. Di tahun 1878 ada penambahan Distrik Curug, meskipun hanya berumur tiga tahun berjalan, karena di tahun 1881 Distrik Curug dilebur bergabung dengan Distrik Tangerang. Di akhir tahun 1880-an pimpinan distrik yang jabatannya disebut Demang diubah oleh pemerintah Hindia-Belanda menjadi Wedana. Tetapi daerah kekuasan Wedana, penduduk lebih mengenalnya dengan istilah distrik tinimbang

75 Ibid, h. 103 76 Ibid, h. 102 77 Edi S. Ekadjati, Ibid, h. 102 65 Kewedanan.78 Distrik di Tangerang disebutkan dalam Encyclopedie van Nederlandsch-West Indie berjumlah 365 desa atau kampung79 Perkembangan masih berlanjut, tahun 1880-an dan 1890-an terjadi perubahan kembali. Semula Afdeling Tangerang membawahi tiga distrik (Tangerang, Curug, dan Mauk), kemudian menjadi empat distrik (Tangerang, Balaraja, Curug, dan Mauk). Pada tahun 1903, sistem administrasi terjadi pergeseran arah, dari sentralisasi ke desentralisasi. Dan di tahun 1922, terjadi otonomi daerah.

78 Ibid, h. 103-104 79 D.G. Stibbe, op.cit, h. 266 66

BAB IV KONSEPSI MILLENARIAN DALAM PERGERAKAN TANGERANG 1924

A. Kaiin Bapa Kayah: Dalang Wayang dan Pergerakan

Pemimpin pergerakan petani Tangerang tahun 1924, dalam catatan dan laporan pemerintah kolonial, bernama Kaiin Bapa Kayah, nama belakangnya mengacu pada nama orang tuanya Kayah, sedangkan kata Bapa di tengahnya sama dengan istilah bin dalam budaya Arab yang artinya anak dari, sehingga ketiga kata tersebut disatukan menjadi identitas namanya yang khas. Menurut Alwi Shahab, Kaiin diperkirakan lahir pada tahun 1884 di Kampung Pangkalan, Teluknaga, Tangerang. Di masa kecilnya, Kaiin seperti kebanyakan anak sebayanya, bersikap pendiam dan taat kepada kedua orang tuanya, dan hal inilah yang menguatkan karakternya di kemudian hari. Pertumbuhan di masa kanak-kanak diisi dengan belajar mengaji kepada guru di kampungnya, dan di sela-sela itu Kaiin juga belajar main pukulan (silat).1 Dua keahlian dasar Kaiin kecil (mengaji dan main pukulan), sesuai dengan prinsip-prinsip dari suku Betawi. Sebagaimana dikatakan oleh Edy Sukardi di sebuah program acara Bens Radio yang dikutip oleh Abdul Chaer, orang Betawi memiliki tiga prinsip dalam hidupnya, yaitu: bisa mengaji Al- Qur‟an, bisa main pukulan atau beladiri, dan melaksanakan ibadah haji.2 Sebagaimana orang Islam kebanyakan, mengaji Al-Qur‟an sedari kecil sudah diajarkan ditambah juga dengan pengenalan aqidah dan materi-materi agama tingkat dasar, sedangkan prinsip beladiri digunakan hanya untuk keperluan pertahanan diri dari serangan orang lain, dengan perkataan lain silat digunakan untuk mempertahankan diri bukan menyerang atau menyakiti orang lain. Ketika Kaiin beranjak dewasa, ia mengalami kehidupan mandiri, bertempat tinggal di sebuah rumah yang didirikan di atas tanah pekarangan sewaan dari kakak kandungnya yang bernama Maiah. Secara reguler, saudara perempuannya itu membayar sewa tanah kongsi kepada penguasa tanah. Sedangkan Kaiin sendiri tidak pernah membayar uang kompenian secara teratur, meskipun demikian, Kaiin beruntung tidak sampai diusir oleh tuan tanahnya. Lie Kim Liong (penguasa tanah Maiah) dikenal sangat baik di

1 Alwi Shahab, “Pemberontakan Tangerang 1924”, Republika, Ahad 20 April 2008, h. A 11 2 Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehiudpan Orang Betawi, (Jakarta: Masup Jakarta, 2012), Cet. Ke-1, h. 6

67 68 Kampung Pangkalan, ia mendapatkan tanah berasal dari warisan ayahnya, Tuan Lie memang bersikap “masa bodoh” terhadap uang sewaan dari Maiah dan adiknya tersebut.3 Untuk mencukupi kehidupannya, Kaiin bekerja menjadi petani, menggarap sawah milik tuan tanah. Sebagai penyawah atau bujang sawah, ia mendapatkan upah harian, namun penghasilannya tersebut tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Sebagai bujang sawah, ia juga dibebani oleh kewajiban-kewajiban kepada tuan tanah untuk membagi hasil pertanian, membayar pajak, dan kerja-kerja di luar profesi utamanya. Keahlian Kaiin muda dalam main pukulan dan pribadinya yang alim, membuat ia mudah mendapatkan pekerjaan selain menjadi petani, ia ditunjuk oleh tuan tanah, pemilik perkebunan di Kampung Pangkalan, menjadi Mandor Pengawas Perkebunan. Tetapi pekerjaan tersebut, membuat ia gelisah dan tidak tenang, karena bertolak belakang dengan prinsip hidupnya yang telah ia pelajari dalam pengajian dan keahlian beladirinya. Profesi sebagai Mandor Pengawas Perkebunan, merupakan perpanjangan tangan para Tuan Tanah, karena itu ia melihat dan mengalami langsung perlakuan semena-mena dan pemerasan para tuan tanah terhadap kaum pribumi yang menjadi petani penggarap maupun orang-orang yang tinggal di tanah partikelir yang dikuasai oleh Penguasa Tanah asing tersebut.4 Selama tiga tahun Kaiin menjadi Mandor Pengawas Perkebunan, lama kelamaan timbul rasa ibanya terhadap orang-orang yang tertindas para tuan tanah, akhirnya ia mengundurkan diri dari pekerjaannya tersebut (terjadi di saat pertengahan tahun 1912). Pada awal tahun 1913, ia beralih profesi menjadi seorang opas (semacam polisi daerah) di kantor Asisten Wedana Teluknaga, tetapi itu pun tidak berlangsung lama sekitar tiga sampai empat bulan saja.5 Setelah itu, ia merantau ke berbagai daerah di wilayah timur dan selatan dari kampungnya (provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat saat ini), sebagaimana dikatakan oleh Alwi Shahab, “Dia mengembara ke berbagai tempat, seperti Batavia, Bekasi, Bogor, dan Karawang.”6

3 Didi Suryadi, Pemberontakan Petani di Tangerang, 1924, dalam kumpulan artikel Seminar Sejarah Nasional III, Seksi Sejarah Perlawanan terhadap Belanda 2, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional, 1982), h. 60 4 Alwi Shahab, loc.cit 5 Didi Suryadi, op.cit, h. 60. Bandingkan dengan Edi S. Ekadjati, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004), h. 133 6 Alwi Shahab, Loc.cit 69 Di Batavia, ia sempat menjadi opas pada kantor komisaris polisi, namun lagi-lagi hanya bertahan beberapa bulan saja.7 Profesinya ini kembali membuatnya tergugah atas ketidakadilan yang dilakukan pemerintah kolonial kepada para hamba wet (hamba hukum) dalam setiap penanganan kasus- kasus yang terjadi selalu bersikap diskriminatif terhadap kaum pribumi.8 Setelah beberapa tahun berkelana ke berbagai daerah, akhirnya Kaiin memutuskan pulang ke kampung halamannya di Pangkalan, Teluknaga. Banyak ilmu dan informasi yang ia dapatkan selama perantauannya. Di saat ia mengalami rasa penat, pada suatu malam, ia mencari hiburan dengan mendatangi pertunjukan Wayang Kulit Betawi yang sedang mentas di kampungnya. Sang Dalang yang membawakan lakon wayang tersebut sangat menghayati dan penonton pun dibawanya larut ke dalam suasana yang ia ceritakan. Keahlian Dalang dalam pementasan tersebut, menarik perhatian Kaiin, seketika itu di dalam hatinya ia bertekad untuk menjadi seorang Dalang Wayang Betawi.9 Hari-hari selanjutnya ia sibuk mencari dalang yang mau mengajarinya, pada suatu hari ia menemukan guru mendalang yang ia dambakan, ia belajar sambil menjadi asisten dalang kepada seorang Dalang Wayang yang berbangsa Tionghoa, asal daerah Mauk. Setelah lama ia menjadi asisten dalang, maka sang mentor menyatakan Kaiin lulus, dan berhak menunjukkan penampilannya secara mandiri ketika bertepatan ia sudah berusia setengah baya,10 Kaiin akhirnya dipercaya membawakan lakonnya sendiri. Bahkan kemampuannya melebihi sang mentor, ia menjadi dalang yang amat terkenal terutama di distrik Kebayoran (sekarang termasuk ke dalam wilayah Ciledug, Pondok Aren, Karang Tengah, dan Cipondoh) sebagai Dalang yang dikagumi banyak orang.11 Terdapat perbedaan pendapat tentang jenis wayang yang digeluti Kaiin Bapa Kayah, B. Dahm dan Alwi Shahab berpendapat, bahwa wayang kulitlah yang mengangkat Kaiin menjadi seorang Dalang profesional.12 Berbeda dengan keduanya, Didi Suryadi meyakini, bahwa dunia yang digeluti oleh Kaiin adalah Dalang Wayang Golek.13 Dalam hal ini, penulis mengambil jalan tengah, dengan menyepakati profesi Kaiin sebagai Dalang Wayang, tanpa memperdebatkan media wayangnya.

7 Didi Suryadi, op.cit, h. 60 8 Alwi Shahab, loc.cit 9 Ibid 10 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta, Sinar Harapan, 1984) cet. Ke-1, h.25 11 Didi Suryadi, op.cit, h. 61 12 Lihat B. Dahm, Sukarno and The Struggle for Indonesian Independence, (Ithaca and London: Cornel University Press, 1969), h. 1-20 dan Alwi Shahab, loc.cit 13 Didi Suryadi, op.cit, h. 61 70 Di tengah karirnya sebagai Dalang yang sedang menanjak, Kaiin akhirnya melepaskan masa lajang pada tahun 1922, ia menikahi seorang janda kaya nan cantik, peranakan Tionghoa, yang kemudian memeluk agama Islam. Wanita beruntung yang diperistri Kaiin tersebut bernama Tan Ceng Nio (Tan Tjeng Nio) atau dikenal juga dengan sebutan Nyonya Banten.14 Nyonya Tan tidaklah salah memilih suami, selain dikenal sebagai Dalang, Kaiin juga dikenal sebagai seorang jagoan ahli beladiri, sehingga kehadiran sang suami barunya tersebut dapat melindungi diri dan harta benda yang dimilikinya. Sebaliknya kehidupan ekonomi dari bapak Dalang menjadi stabil dan mapan, rumah serta perlengkapan wayang juga dibelikan oleh sang istri,15 keadaan ini tidak lantas menyurutkan sifat aktivismenya untuk membela kaum yang tertindas di bumi pertiwi.16 Kira-kira empat bulan hingga lima bulan dari pernikahan Kaiin Bapa Kayah dengan Tan Ceng Nio, Ki Dalang mulai kelihatan berubah sikapnya, menjadi hemat dalam berbicara dari sebelumnya; ia lebih menyibukkan dirinya dengan kegiatan latihan wayang di rumahnya, tidak hanya itu, aksi panggungnya juga dibatasi, pada tahun 1923, tercatat bapak Dalang hanya melakukan tiga kali pementasan saja.17 Perubahan sikap ini menandai awal perkembangan pemikirannya tentang suatu misi revolusi yang akan digagasnya kemudian.

B. Ekspektasi Mesianik dalam Kepercayaan Masyarakat Dalam kepercayaan masyarakat di pulau Jawa dikenal tradisi pengharapan terhadap tokoh pembebas, mesiah, yang dikenal dengan nama Ratu Adil. Sumber tertulis yang menyatakan peran revolusioner tokoh impian ini, berasal dari Ramalan Jayabaya18, sebuah karya sastra yang muncul di abad ke-12 dan berkembang luas secara lisan bahkan hingga saat ini. Ramalan Jayabaya di Indonesia terutama di Jawa menjadi kebudayaan yang sangat populer sejak sebelum zaman penjajahan Belanda. Kepercayaan

14 Edi S. Ekadjati, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004), h. 133 15 Didi Suryadi, op.cit, h. 61 16 Alwi Shahab, loc.cit 17 Didi Suryadi, op.cit, h. 61 18 Jayabaya derivasi dari dua kata, Jaya (Joyo) berarti menang dan Baya (Bojo atau Hubojo) yang artinya janji, maksudnya adalah kemenangan yang dijanjikan. Ada juga yang menafsirkan kata Bojo dengan bahaya, sehingga arti dari Jayabaya adalah dapat mengatasi bahaya. lihat kata pengatar buku Tjantrik Mataram, Ichtiarkanlah Terlaksananya Peranan Ramalan Djojobojo dalam Revolusi Kita, (Bandung: Masa Baru, 1948), cet. ke-3. Kota Kediri mangabadikan Kata “Djojo Ing Bojo” yang merujuk pada kata di atas menjadi semboyan daerahnya. 71 mesianik ini mencapai puncaknya, tatkala pemerintah kolonial mulai represif terhadap masyarakat pribumi. Karena penindasan yang dilakukan penjajah tersebut membuahkan kesengsaraan yang mengakibatkan mereka (orang tertindas ini) mencari pelarian pada pengharapan datangnya juru selamat (Ratu Adil). Dalam tradisi Ramalan Jayabaya dijanjikan kedatangan seorang Ratu Adil yang akan membebaskan rakyat Indonesia dari segala penindasan dan kesengsaraan. Itulah sebabnya ramalan tersebut sangat populer, menjadi perbincangan rakyat dari mulut ke mulut, kaum pergerakan, pemimpin rakyat, senantiasa menggunakan ramalan Jayabaya untuk mendorong semangat dan membangkitkan kepercayaan serta harapan.19 Konsep mesianisme Jawa dalam Ramalan Jayabaya merupakan konsep campuran yang berasal dari tradisi lokal, Doktrin Islam (Mahdisme), dan kebudayaan dalam kepercayaan Hindu-Budha.20 Konsep mesianisme Islam yang ada di Nusantara berasal dari doktrin mahdisme. Adapun unsur mahdisme tersebut berkembang melalui tulisan-tulisan atau hikayat-hikayat berkisah tentang pahlawan Islam, yang juga masih kerabat dari Nabi Muhammad, yaitu Muhammad Ali Hanafiyyah, seorang anak laki-laki Sahabat Ali bin Abi Thalib melalui istri yang lain dari bani Hanafiyyah. Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah ini, berkembang luas di masyarakat secara lisan, karena tidak semua orang mengenal huruf, kisah ini dibacakan oleh seorang pendongeng, penutur atau tokoh-tokoh yang mengerti, layaknya seorang dalang yang menyampaikan cerita melalui media wayang, bedanya penutur hikayat ini tidak menggunakan media dalam mengantarkan ceritanya.

19 Bung Karno seringkali mensitir ramalan jayabaya pada setiap pidatonya yang dibanjiri oleh jutaan rakyat, bahwa ramalan Jayabaya akan terwujud bila kita bertindak. Dari podium dengan suaranya yang lantang Bung Karno mejelaskan bahwa yang dimaksud dengan kedatangan Ratu Adil Herucokro bukanlah dalam bentuk fisik Ratu Adil melainkan hanya kiasan belaka. Akan datang masanya pemerintahan yang adil, yang jauh dari penindasan, penderitaan, kesengsaraan, tidak lain dan tidak bukan nanti kalau Indonesia ini sudah merdeka lanjut Bung Karno. Dengan kemerdekaan itu bangsa Indonesia yang terjajah, tertindas, terhina ini akan menjadi mulia dan menjadi tuan di negerinya sendiri. Mengenai ramalan Jayabaya yang menjadi kekuatan agitasi kaum pergerakan lihat Tjantrik Mataram, Ibid. Baca juga Andjar Any, Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita, dan Sabdapalon, (Semarang: Penerbit Aneka Ilmu, 1989), h. 1-3. Paparan yang lebih lengkap tentang ramalan Jayabaya lihat Jacob A.B Wiselius, “Djaja Baja, Zijn Leven en Profetieen”, Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde (BKI), No. 19, 1872, h. 172-217; Stuart Abraham B Cohen, “Eroe Tjakra”, Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde (BKI), No.19, 1872, h. 285-88. 20 Sartono Kartodirdjo, “Tjatatan tentang Segi-segi Messianistis dalam Sedjarah Indonesia” dalam Lembaran Sedjarah, (Seksi Penelitian Djurusan Sedjarah Fakultas Sastra dan Kebudajaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta), Edisi Juni, No. 7, Tahun 1971, h. 6 72 Kisah heroisme Muhammad Ali Hanafiyyah yang berperang melawan penguasa Yazid bin Muawiyyah, diabadikan dalam manuskrip-manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, yang masih dapat dibaca hingga saat ini. Karya sastra ini, turut mempengaruhi pola pemikiran masyarakat Indonesia kala itu yang mayoritas beragama Islam, yang juga mengalami perlakuan yang tidak manusiawi dari pemerintah kolonial dan sekutunya. Pengaruh doktrin mahdisme, terutama datang dari aliran Syiah, dan sedikit samar dalam tradisi Sunni. Meskipun mayoritas Islam yang berkembang di Nusantara beraliran Sunni, tetapi warna kepercayaan tentang Imam Mahdi Sang Juru Selamat, dapat tergambarkan dalam tradisi tulisan tentang Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah dimana Sang Tokoh Utama, Muhammad Ali Hanafiyyah, dianggap sebagai Mahdi yang berjuang untuk menegakkan kehormatan keluarga Rasulullah dan melawan penindasan penguasa yang lalim. Sultan Aceh menyemangati pasukannya untuk bertempur melawan Portugis yang telah menginvasi Malaka. Sebelum berangkat ke medan laga, Sultan memerintahkan pembacaan Hikayat ini, guna melecut semangat juang di jalan Allah. Selain melalui tradisi pembacaan dalam menghadapi peperangan, cerita tentang Mahdi yang juga masih kerabat Nabi ini, juga disampaikan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat Melayu Nusantara kala itu, sehingga keyakinan mahdisme ini terpatri dalam hati sanubari masyarakat, yang juga sambil berharap kedatangannya untuk membebaskan dari perilaku kolonial yang mengabaikan prinsip-prinsip keislaman. Persebaran doktrin mahdisme juga sampai ke bumi Batavia, setidaknya dari sembilan koleksi Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, ada satu yang disalin di daerah Krukut pada tahun 1243 H atau diperkirakan pada tahun 1822 M. Informasi tentang ketokohan Muhammad Ali Hanafiyyah yang dianggap sebagai figur Imam Mahdi yang dijanjikan datang untuk melawan angkara murka, menambah semangat juang masyarakat pribumi. Mereka meyakini figur-figur pilihan akan terlahir untuk memimpin pergerakan. Kaiin Bapa Kayah, seorang dalang yang juga menguasai hikayat atau cerita perjuangan dan dongeng tentunya memakai pengetahuan dasar pergerakan melalui sumber-sumber tulisan dan lisan tersebut. Dalam satu kesempatan, pengikut Ki Dalang juga meyakini bahwa tokoh panutannya itu adalah Mahdi yang dijanjikan dalam tradisi Islam, dan juga Ratu Adil menurut sumber lokal. Kesimpulan pengikutnya ini diambil dari tanda-tanda yang melekat dari pribadi Sang Pemimpin, sehingga mereka menilai sudah saatnya revolusi dilakukan di bawah komando calon Raja yang akan memberi harapan hidup di masa depan yang lebih baik.

73

Kepercayaan-kepercayaan terhadap kedatangan juru selamat (Imam Mahdi atau Ratu Adil) sudah berakar sejak lama, mitos ini dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh yang berseberangan dengan penguasa (oposan) untuk melakukan agitasi, propaganda dan pemberontakan menentang segala kemapanan, khususnya pada tingkat lokal. Selain kepercayaan mesianik, identitas budaya kaum tani juga melekat dengan agama, mereka cenderung akan mempertahankan rasa identitas tersebut dalam hal-hal keagamaan apabila mengancam nilai-nilai, gagasan- gagasan dan praktek-praktek yang mereka lakukan. Para pemimpin karismatik keagamaan mengendalikan dengan baik simbol-simbol, lambang- lambang, identitas dan harapan, untuk mempertahankan kesetiaan para pengikutnya sekaligus juga menggerakkan mereka ke dalam perlawanan untuk melakukan protes terhadap penguasa penindas dan lalim, bahkan gerakan-gerakan mesianistik yang bersifat agama ini cenderung bersifat radikal21, serta bertujuan untuk mengadakan perubahan secara mutlak dan revolusioner. Sifat agama dari gerakan-gerakan protes ratuadilisme ini dihasilkan oleh kenyataan bahwa masyarakat tradisional bereaksi terhadap perubahan sosial melalui jalan keagamaan, semata-mata karena perubahan itu berdampak buruk bagi identitas kehidupan mereka. Akibatnya Gerakan mesianistis selalu menunjukkan penolakan secara mutlak terhadap tata masyarakat yang telah ada, terutama sekali menolak secara mutlak orang- orang Eropa yang telah menguasai tanah airnya. Dalam hal ini, wibawa tradisional (karismatik) para pemimpin keagamaan sering merupakan suatu ancaman terpendam terhadap elite birokratik yang berkuasa.22 Cap tradisional yang diberikan dalam kewibawaan ini, karena Pertama, daya tahan hubungan kewibawaan tradisional lebih dihitung dalam dasa warsa ketimbang tahunan. Kedua, menyiratkan bahwa kepemimpinan

21 Sartono mengartikan „radikal‟ sebagai gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang mempunyai hak-hak istimewa dan yang sedang berkuasa. Dapat dimengerti bahwa radiakalisme menjadi suatu bagian dari gerakan Ratu Adil yang bersifat revolusioner. Sedangkan pengikut dari gerakan-gerakan sosial yang radikal seperti itu terbatas pada strata sosial rendahan, kaum yang tertindas atau orang-orang yang kurang mampu. Lihat Sartono Kartodirdjo, Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and Development,dalam Claire, Holt (ed), Culture & politics in Indonesia, (New York: Ithaca, 1972), h. 73-4 22 Ibid, Lihat Sartono Kartodirdjo, Sartono Kartodirdjo, Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and Development,dalam Claire, Holt (ed), Culture & politics in Indonesia, (New York: Ithaca, 1972), h. 307 74 agaknya lebih berpindah ke bahu mereka yang memiliki martabat warisan (inherited status) ketimbang martabat hasil pencapaian (achieved status).23

C. Visi Millenarian dalam Pergerakan Kaiin Bapa Kayah Visi millenarian seorang tokoh penggerak, messiah, atau kenabian adalah menjanjikan keselamatan bagi para pengikutnya, yang diutarakan melalui impian masa depan yang lebih sempurna, dipenuhi oleh keadilan, kesejahteraan dan kecukupan sandang dan pangan. Cita-cita ini menjadi alat propaganda yang meyakinkan masyarakat tradisional untuk mewujudkan impian bersama melalui aksi tindakan protes dan perlawanan kepada penguasa kolonial dan sekutu-sekutunya. Millenarianisme atau kepercayaan akan kedatangan millenium dalam kebudayaan Jawa umumnya dapat mendorong kemunculan tokoh-tokoh “messiah”, sehingga kepercayaan itu merupakan wujud dari mesianisme.24 Figur messiah biasanya muncul dari dalam diri seorang kyai, ustadz, guru ilmu kanuragan, dukun atau orang suci yang memiliki pesona karisma. Para elite keagamaan ini dapat mengutarakan keinginan millenial mereka kepada pengikut-pengikutnya, apalagi kalau mereka itu merupakan pewaris dari tradisi-tradisi lisan atau tertulis (millenarian).25 Ideologi millenium terkandung unsur-unsur keakhiratan, yang merupakan faktor pendorong gerakan millenarian. Peralihan dari situasi sebelumnya ke millenium, dibayangkan secara radikal dan revolusioner. Orang-orang yang percaya dan mengharapkan dapat keselamatan, dianjurkan

23 Karl. D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan Studi Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, Cet I, 1990, h. 203 24 Sartono Kartodirdjo, “Messianisme dan Futurisme”, Op.cit, h. 40. Lihat juga Sartono Kartodirdjo, Tjatatan tentang Segi-segi Messianistis dalam Sedjarah Indonesia dalam Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif, (Jakarta: PT Gramedia, 1982), h. 220-1 25 Gerakan mesianisme yang dilakukan para elite keagamaan ini, menurut Sartono Kartodirdjo bisa juga disebut sebagai gerakan keagamaan. Di mana Unsur pokok dari gerakan keagamaan itu, pertama adanya elite keagamaan yang merupakan seorang prophet, guru, dukun, tukang sihir, atau utusan Mesias. Pemimpin-pemimpin ini mengaku diilhami oleh wahyu. Kedua penolakannya terhadap situasi yang ada dan harapan akan datangnya millenium. Disamping hidupnya nilai-nilai tradisional, millenium biasanya mengidamkan suatu masyarakat yang ideal dan meromantiskan zaman yang akan datang sebagai zaman keemasan. Lihat Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Op.cit, h. 11 75 untuk mematuhi petunjuk-petunjuk atau petuah-petuah dari pemimpin revolusi untuk melakukan pergerakan.26 Dalam banyak hal, tokoh-tokoh kenabian (mesianik) menjadi begitu penting untuk memimpin perlawanan kultural terhadap penguasa penindas, karena para pemimpin tersebut adalah pusat protes dimana misi fundamental nabi-revolusioner adalah untuk menghancurkan komunitas para penindas (Qura Zalima), ketidakadilan, ketidaksetaraan dan tirani penguasa. Adapun denifisi Nabi yang dimaksud di sini menurut Michael Adas adalah:

“... Seorang yang percaya dan mampu meyakinkan orang lain bahwa ia mempunyai kontak khusus dengan kekuatan supernatural melalui mimpi- mimpi, ramalan dan wahyu-wahyu khusus. Para pengikut nabi itu diyakinkan bahwa ia memiliki kekuatan yang melebihi manusia biasa, yang sering ditunjukkan dalam kemampuan meramal atau menyembuhkan.”27

Teori wahyu dan revolusinya Ziaul Haque, menegaskan peryataan di atas, bahwa sebelum ide-ide millenarian ini disampaikan dan dibentuk menjadi ideologi yang mampu menggerakan suatu gerakan, terlebih dahulu pemimpin pergerakan mendapatkan wahyu untuk melakukan aksinya, sehingga mereka akan mendapatkan legitimasi yang kuat.28 Adapun menurut doktrin agama, rasion d’etre (alasan atau justifikasi atas adanya) wahyu dan misi revolusioner bertujuan; pertama untuk menyatakan kebenaran, kedua untuk berperang melawan kepalsuan (batil) dan penindasan (zulm) dan ketiga untuk membangun komunitas yang humanis, egaliter, kebaikan, dan keadilan.29 Pada gerakan Kaiin Bapak Kayah, sang pemimpin mempertebal keyakinan para pengikutnya dengan legitimasi silsilah keturunan dari Prabu Siliwangi, Sang Legenda Raja dari tanah Pasundan dan juga sebagai utusan Nabi untuk membangkitkan kejayaan kerajaan nenek moyangnya. Ernst Zboray dalam tulisannya berjudul Kaiin Bapa Kaiah Would be Sultan, pernah mengungkapkan proklamasi tokoh pergerakan tersebut sebagaimana disebut di bawah ini:

“A native of unusual height, armed with a keen-edged native sword, presented himself and made a confused speech, in which he declared he was a direct descendant of King Prahu Seli Wanai (sic: Prabu Siliwangi), and a messenger of the Prophet, ordered by Heaven to found a new

26 Ibid, h. 16 27 Michael Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order, The University of North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil : Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press, 1988), h. xvi 28 Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi (terj), Yogyakarta, LKiS, 2000, h. 9-32 29 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, Op.cit, h. 33 76 kingdom. He intended to set up his capital at Bege Gedeh, near Buitenzorg where the spirits of his fathers lived. He intended to set up He proposed to march thither with his followers in order to found. His Kingdom under their guardianship”30. Artinya: Seorang Pribumi yang memiliki tinggi tubuh di atas rata-rata, mempersenjatai diri dengan sebilah golok, yang berkata meragukan saat dia menyatakan diri sebagai keturunan langsung dari Prabu Siliwangi, seorang Utusan Nabi dari Surga untuk menemukan Kerajaan baru. Dia berhasrat mengawali hidup di Bege Gedeh (?), dekat Buitenzorg (Bogor) tempat dimana ayahnya hidup. Dia terus merapatkan barisan dengan pengikutnya untuk menemukan sebuah kerajaan di bawah kekuasaannya.

Sartono Kartodirjo menegaskan kembali pernyataan Kaiin dalam sebuah aksi pentasnya pada sebuah walimah pernikahan keluarga Marin di Parung Kored (sekarang masuk wilayah Kecamatan Karang Tengah, Kota Tangerang), ia menampilkan lakon tokoh keturunan Prabu Siliwangi, bernama Panggiring Sari dan Suklawijaya. Di tengah-tengah pertunjukkan, Kaiin merasa tidak enak badan dan menjelaskan kepada para penonton bahwa kisah Suklawijaya adalah perjalanan hidup dirinya yang nyata, sekaligus memberitahukan kepada khalayak, ia sebenarnya adalah anak dari Prabu Siliwangi dan akan dinobatkan menggantikan ayahnya menjadi raja dengan gelar “Ratu Rabbul ‟Aalamiin” dan “Sang Hyang Tunggal”. Kaiin menandaskan pula bahwa ia telah mendapatkan wahyu setelah melakukan pengasingan diri selama tujuh belas tahun untuk mendirikan kerajaan dan mengajak kepada para hadirin dalam pertunjukan wayangnya untuk bersama- sama mengikuti pawai kemenangan menuju Gunung Salak, Bogor.31 Pernyataan Kaiin tersebut, diperlukan untuk mengkonstruksi dirinya sebagai tokoh yang memiliki wibawa dalam struktur sosial masyarakat tradisional. Wibawa yang bersifat tradisional inilah yang mengakibatkan ketundukan petani dan rakyat pada umumnya untuk mentaati perintah kawulanya, kepemimpinan model ini juga bersifat keagamaan, sehingga pemimpin tradisional dikenal pula sebagai tokoh panutan agama. Tokoh kewibawaan tradisional tak perlu mengancam, menawarkan imbalan benda atau yang bersifat lambang. Sekali kewibawaan tradisional ada, satu-satunya

30 Ernst Zboray, “Kaiin Bapa Kaiah Would be Sultan” dalam Majalah The Living Age, (Boston, USA, Saturday, 17 Mei 1924), h. 953 31 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 25. Bandingkan dengan Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), Edisi Pemutakhiran, h. 420-421 77

reaksi para klien terhadap perintah tokoh yang memiliki kewibawaan ini adalah mengabulkannya.32 Visi millenarian dari tokoh dan pengikut pergerakan adalah sarana pemersatu mereka untuk mewujudkan cita-cita bersama dengan jalan melakukan perlawanan yang juga dikuatkan melalui sarana dan pemikiran yang berkembang kala itu. Saluran pergerakan dengan jalan tradisionalistik, dalam sudut pandang penjajah dilihatnya sebagai perbuatan melawan hukum, kriminal, perbanditan, pemberontakan, sedangkan tokoh-tokoh pergerakan dianggapnya sebagai figur yang memelihara sikap-sikap irrasional, dukun, penyembuh penyakit, yang diliputi oleh dunia takhayul. Prasangka buruk pemerintah kolonial terhadap pergerakan dan tokohnya ini sangat menghina dan mendeskreditkan kaum pribumi yang memiliki sudut pandang keilmuan yang berbeda.33 Dalam perspektif yang lain, ketika masa penjajahan usai, justru tokoh-tokoh pergerakan yang melawan penjajah kolonial adalah pahlawan bagi bangsa ini. Tokoh-tokoh pergerakan memiliki visi millenarian yang memiliki daya tarik dan penguat kepemimpinannya, mereka menerima misi dan pesan dari agen-agen supernatural. Kaiin Bapa Kayah menjelang proklamasinya, selalu berziarah ke makam-makam keramat dan berguru kepada tokoh-tokoh spiritual, hingga pada akhirnya ia mendapatkan wahyunya untuk memulai revolusi dari petunjuk-petunjuk yang ia dapatkan. Legitimasi wahyu ini, seakan menjadi penegas bagi para pengikut pergerakan terhadap kepemimpinan Kaiin, sebagai orang suci yang menjadi mediator petunjuk cahaya ketuhanan yang memerintahkan berjihad melawan kebatilan. Selain wahyu sebagai visi millenial, Ki Dalang Kaiin, juga meyakinkan kepada loyalisnya bakal terjadi zaman baru, seluruh tanah-tanah kembali kepada kaum pribumi, orang-orang asing akan diusir karena sudah melampaui batas kontrak, pajak dan kerja-kerja paksa akan dihilangkan. Keyakinan atau ramalan-ramalan ini adalah upaya Kaiin sebagai alat pengungkapan kebencian terhadap penguasa kolonial dan para tuan tanah beserta kroni-kroninya yang telah menyingkirkan kehidupan tradisional mereka. Wahyu dan ramalan di atas, semakin diperkuat dengan visi millenial berikutnya, yakni legitimasi bahwa seorang Kaiin Bapa Kayah adalah

32 Kewibawaan tradisional menurut defenisi Karl. D. Jackson adalah penggunaan kekuasaan personalitas yang dihimpun melalui peranan masa lampau dan masa kini dari yang mempengaruhi sebagai penyedia, pelindung, pendidik, sumber nilai-nilai dan status unggul dari mereka yang punya hubungan ketergantungan yang mapan dengannya. Lihat Karl. D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan Studi Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, Cet I, 1990, h. 201 33 Michael Adas, op.cit, h. xxv 78 keturunan raja, dan bakal menjadi penguasa menggantikan nenek moyangnya. Penobatan dirinya sebagai Sultan (raja) dengan sederet gelarnya, seperti: “Ratu Rabbul ‟Aalamiin”, dan “Sang Hyang Tunggal”, menegaskan bahwa ia bukanlah orang sembarangan, tetapi orang suci yang dipercaya Tuhan sebagai wakilnya di dunia ini. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Michael Adas berikut ini:

“Sultan atau Sunan dianggap sebagai penghubung tunggal antara manusia dan alam, dan sebagai suatu yang sangat penting dalam memelihara keharmonisan antara alam surga dan alam teresterial. Ia bertanggung jawab atas kesuburan kerajaannya, kemakmuran rakyatnya, dan keteraturan serta ketenteraman yang sangat dinilai tinggi oleh orang Jawa. 34

Di bawah kepemimpinan Kaiin Bapa Kayah, protes sosial yang dilakukannya dianggap sebagai perang sabil (misi suci), yang ingin membangun kembali pemerintahan yang diperkuat oleh nilai-nilai keislaman. Hal ini bukan tanpa alasan, kehadiran pemerintah kolonial yang disokong oleh birokrat dan sekutunya, telah melululantahkan nilai-nilai keberagamaan mereka. Perang suci ini, bukan hanya untuk melindungi agama Islam itu sendiri, melainkan juga menjaga kelestarian nilai-nilai keislaman yang telah melekat dalam budaya masyarakat Tangerang. Setiap tokoh millenarian (mesianik), memiliki peran dalam dunia nonfisik, pembimbing spiritual, dan terkadang penyembuh segala penyakit. Reputasi ini dipercaya oleh pengikutnya sebagai kekuatan yang melekat pada figur pemimpin yang akan membebaskan mereka dari krisis identitas, kebudayaan, dan kehidupan. Keahlian ini pula, yang membuat Kaiin Bapa Kayah diliputi oleh dunia magis-religius, terutama ketika sebelum memulai pergerakan, ia memerintahkan pengikutnya menyimpan uang koin di dalam wadah bekas memandikan wayang dengan air suci yang sudah dibacakan zikir-zikir dan dicampur dengan bunga-bunga – setelah diinapkan selama waktu tertentu, koin tersebut diambil kembali untuk dijadikan jimat-jimat sebagai perisai diri dalam aksi pergerakan. Visi millenial yang khas dari Kaiin Bapa Kayah adalah identifikasi dirinya dengan tokoh pewayangan, “Prabu Arjuna”. Profesinya sebagai seorang dalang, sangat akrab sekali dengan cerita-cerita pewayangan, terutama peperangan yang dilakukan oleh Pandawa Lima, yang menginspirasi dirinya untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa lalim dan antek-anteknya.

34 Michael Adas, op.cit, h. 95 79 Tokoh Pandawa adalah anak-anak Pandu Dewanata, dari istrinya Kunti Nilabrata yang melahirkan; Yudisthira, Bima (Sena), dan Arjuna. Dan dari istri yang lain (Madri), mendapatkan si kembar Nakula dan Sadewa, 35 karena itu pula dalam cerita pewayangan yang ditulis oleh Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli36 pada tahun 1890, Madri diberi nama Dewi Gandawati.37 Kelima kakak-beradik ini merupakan tokoh protagonis, yang berperang melawan keluarga Kurawa, yaitu putera Dretarastra, saudara dari Pandu (ayah Pandawa Lima). Di antara anak-anak Pandu tersebut, Arjuna dikenal sebagai ahli strategi peperangan, dan ini dibuktikan dengan kemenangan melawan Kurawa di Kurukshetra. Keunggulan perang ini tidaklah mengherankan, karena Arjuna merupakan titisan dari Dewa Indra, Sang Dewa perang. Nama Arjuna sendiri berarti yang bersinar, yang bercahaya, selain gagah perkasa, ia juga dianugerahi dengan perawakan yang tampan. Karena itu, Ki Dalang Kaiin Bapa Kayah memproklamirkan dirinya sebagai Prabu Arjuna yang akan memimpin kerajaan baru dan mengalahkan pemerintah kolonial dan sekutunya di Tangerang. Perjuangan masyarakat petani Tangerang untuk mengakhiri kesewenangan Tuan Tanah yang disokong oleh pemerintah kolonial, meletup menjadi keberanian yang sungguh-sungguh demi masa depan yang cerah, mendapatkan bentuk aksinya ketika muncul tokoh mesianik di bawah panji- panji millenial Sang Pelopor, Kaiin Bapa Kayah, seorang Petani, Dalang, dan Pemimpin Suci yang telah mendapatkan wahyu untuk mengembalikan keadaan semula – semua tanah milik nenek moyang, kepemilikan Tuan Tanah hanyalah bersifat sementara, karena itu seorang pribumi berhak

35 https://id.wikipedia.org/wiki/Pandawa, diakses pada 11 Desember 2015, pukul 10:27 wib 36 Muhammad Bakir dikenal sebagai Sastrawan dari Betawi, bersama pamannya, Sapirin alias Guru Cit serta saudaranya Ahmad Insab, Ahmad Mujarrab, dan Ahmad Beramka adalah keluarga Fadhli yang memiliki taman bacaan dan juga berprofesi sebagai penulis dan penyewa buku, hal ini tergambar dalam setiap karangannya yang selalu mengingatkan uang sewa kepada pembaca. Muhammad Bakir aktif menyalin dan mengarang sejak tahun 1884 sampai tahun 1906. Ini artinya hidup sezaman dengan Kaiin Bapa Kayah, meski yang terakhir lahir lebih belakangan. Lihat Nur-Karim, et.al, Kumpulan Cerita Wayang Versi Pecenongan: Suntingan Teks, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2012), h. 7 37 Pada cerita Wayang Pandu, dikisahkan Raja Gandaradesa bertekuklutut kepada Pandu dan Abiyasa (ayahnya), seluruh rombongan diperkenankan memasuki istana dan diberi penghormatan untuk duduk di singgasana. Sebelum penyerahan diri tersebut, Gandaradesa membuat perjanjian untuk menyerahkan anak perempuannya, Puteri Gandawati untuk diperisteri oleh Pandu. Mendengar penyerahandiri Raja Gandaradesa, Arasoma pun akhirnya menghaturkan sujud sembah kepada Pandu, seraya mempersembahkan saudara perempuannya, Dewi Rukmani untuk dinikahi oleh Pandu Dewanata. Lihat Muhammad Bakir bin Syafi‟an bin Utsman bin Fadhli, Wayang Pandu, (Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 241, h. 278-279 80 menuntut pengembalian tanah tersebut. Semua visi millenial yang tersebut di atas, diramu oleh Sang Pemimpin perlawanan, guna meyakinkan para pihak untuk berada di barisan revolusinya. Keenam visi millenial yang tersebut di atas; wahyu, ramalan, legitimasi kepemimpinan, perang sabil, kekuatan magis sang pemimpin, dan identifikasi tokoh pewayangan Arjuna – memberikan keyakinan dan harapan kepada masyarakat Tangerang yang terdeprivasi (terampas) peran, ekonomi, dan kehidupan sosial mereka, dimana upaya-upaya perbaikan lainnya kelihatan sudah tertutup, sebagai referensi kebangkitan kembali untuk merebut semua warisan nenek moyang yang telah dikuasai oleh para penguasa asing tersebut.

D. Unsur Islam dalam Pergerakan Kaiin Bapa Kayah Islam adalah agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Tangerang, sejarah panjang masuknya Islam dimulai ketika para pendatang, terutama dari Timur Tengah menjalin kontak dengan bumi Nusantara. Ketika Tangerang masuk ke dalam wilayah Kesultanan Banten, maka kebijakan politiknya makin mempertebal keyakinan orang-orang Tangerang tentang keislaman dan memperbanyak penganutnya. Kebijakan transmigrasi oleh kesultanan ke wilayah Tangerang, memunculkan ribuan orang yang menetap dan akhirnya mengelola perkebunan – dengan sendirinya menambah banyaknya penganut Islam di pedalaman Tangerang. Pengaruh ajaran Islam dalam kepercayaan masyarakat, semakin menguatkan tradisi dan budaya hingga melekat dalam kehidupan mereka. Hal ini pula yang menjadi pendekatan Kaiin Bapa Kayah untuk melakukan pergerakan melawan penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan para tuan tanah dan pemerintah kolonial Belanda terhadap kehidupan alami masyarakat Tangerang, yang sudah tergoyahkan dan tercemari oleh budaya asing. Di bawah pimpinan Kaiin Bapa Kayah, yang profesi terakhirnya adalah sebagai seorang Dalang Wayang, pergerakan Tangerang 1924 ini juga sangat lekat dengan unsur keislaman. Di bawah ini akan dijabarkan beberapa pengaruh keislaman dan analisis singkat dalam pergerakannya.

1. Perihal penobatan gelar Ratu Rabbul ‘Aalamiin; memiliki makna filosofis sebagai perwakilan dari Tuhan di jagat semesta yang menjadi penguasa, pendidik, dan pemelihara. Kata Rabbul ‘Aalamiin, merujuk kepada Al-Qur‟an

81 a. Surat Al-Fatihah ayat 2;

                

Artinya: “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” b. Surat Al-An‟am ayat 45;

                                   

Artinya: “Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” c. Surat Al-Shaaffaat ayat 182;

                Artinya: “Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam.” d. Surat Ghaafir atau Al-Mu‟min ayat 65;

              

              

Artinya: “Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; Maka sembahlah dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”

Menurut M. Quraish Shihab kata Rabb, satu akar kata dari Tarbiyah, muncul pula istilah Rubuubiyah (kepemilikan atau pemeliharaan), tercakup di dalamnya pemberian rezeki, pengampunan dan kasih sayang; juga amarah, ancaman, siksaan dan sebagainya. Kata ‘Aalamiin adalah bentuk jamak dari ‘Aalam yang berarti ilmu atau tanda, bermakna menjadi sarana atau alat untuk mengetahui wujud sang Pencipta, dari kata ini berkembang menjadi alam raya atau segala sesuatu selain Allah. Sedangkan menurut ahli tafsir kata ini berarti kumpulan sejenis makhluk Allah yang hidup, baik hidup sempurna maupun terbatas. Ada alam malaikat, manusia, binatang, tumbuh- 82 tumbuhan.38 Hal ini mempertegas, bahwa Kaiin Bapa Kayah adalah pemimpin atau khalifah Allah yang menguasai semua alam, lahir dan batin. 2. Konsep eskatologis atau masa pengakhiran dunia; dalam rukun iman, yang merupakan doktrin utama ajaran Islam, seorang muslim wajib mempercayai akan terjadi masa pengakhiran (kiamat). Dalam agitasinya, Kaiin Bapa kayah, selalu mengajak kepada masyarakat untuk bergabung menjadi pengikut pergerakan, karena masa pengakhiran zaman akan segera terjadi, apabila masyarakat ingin mencari keselamatan, dianjurkan untuk bertaubat dan mengikuti ritual-ritual yang dipimpin oleh Ki Dalang. Doktrin mahdisme yang berkembang di Nusantara, khususnya di kota Batavia, tersiar kabar akan kedatangan tokoh penyelamat, bernama Imam Mahdi sebelum terjadinya kiamat dunia. Imam Mahdi bertugas menyelamatkan umat Islam dari kezhaliman dan kerusakan duniawi untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan yang lebih sempurna dan terlebih lagi penyelamatan manusia ketika masa penghacuran dunia (kiamat) tiba. Doktrin mahdisme digunakan sebagai alat propaganda tokoh-tokoh pergerakan, terutama unsur eskatologisnya, yakni suatu masa yang akan datang, dimana semua makhluk Allah di dunia ini akan dibinasakan. Karena itu, bagi umat Islam yang ingin diselamatkan dan mencapai kedamaian di masa pelepasan ruhnya dari alam dunia ini, maka diwajibkan untuk mengikuti ritual-ritual khusus yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin pilihan yang akan membimbing mereka dari kesulitan ini. Propaganda ini pula yang dilakukan oleh Kaiin Bapa Kayah, guna mempengaruhi masyarakat petani, agar bergabung bersama dirinya untuk melawan para tuan tanah dan pemerintah kolonial, terutama juga dalam rangka persiapan menghadapi masa akhir zaman yang akan melululantahkan segenap alam raya ini. 3. Memanjatkan doa kepada Sang Khaliq; berdoa sesungguhnya adalah anjuran Allah kepada umat Islam, agar dalam kehidupan dipenuhi keberkahan dan selalu berada dalam pertolongan-Nya. Adapun kata doa, berasal dari kata ista’aana, yang artinya memohon pertolongan Allah. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam ayat berikut ini:

38 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), cet. Ke-2, Volume I, h. 36-39 83

                                       Artinya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'. (Q.S. Al-Baqarah: 45)

Selain kata ista’aana, ada juga makna lainnya, yang diambil dari kata istighatsah.

                               

     Artinya: “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut". (Q.S. Al-Anfaal: 9)

           

                                 

         Artinya: “Dan orang yang Berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa Aku akan dibangkitkan, padahal sungguh Telah berlalu beberapa umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan: "Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar". lalu dia berkata: "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang- orang dahulu belaka". (Q.S. Al-Ahqaaf: 17)

Kata doa dari semua ayat di atas, adalah bukti janji Tuhan kepada makhluknya agar senantiasa melindungi umat-Nya, sepanjang ia meminta pertolongan kepada Allah. Hal ini tergambarkan dalam firman Allah dalam Surat Al-Anfaal ayat 9 di atas, Mengutip M. Quraish Shihab, sebab diturunkan ayat tersebut mengacu kepada peristiwa Perang Badr:

84

“Imam Muslim meriwayatkan melalui sahabat Nabi saw., Umar Ibnu al-Khaththab ra, bahwa pada hari Perang Badr, Rasul saw, melihat kepada kaum musyrikin yang berjumlah seribu orang sambil melihat sahabat-sahabat beliau – pasukan Islam – yang hanya sekitar tiga ratus dan belasan orang. Maka, Nabi saw, menghadap ke Kiblat sambil mengangkat kedua tangan beliau dan berdoa: „Ya Allah, penuhilah apa yang Engkau janjikan padaku, penuhilah apa yang Engkau janjikan padaku, Ya Allah, jika Engkau membinasakan kelompok umat Islam ini, Engkau tidak disembah lagi di bumi,‟ beliau berdoa sambil mengulurkan tangannya sehingga serbannya terjatuh dari bahunya. Abu Bakar ra, mendatangi beliau dan mengambil serban tersebut kemudian meletakkan di bahu beliau lalu berdiri di hadapannya dan berkata: „Cukuplah permohonanmu kepada Tuhanmu karena sesungguhnya Dia akan memenuhi janji-Nya untukmu.‟ Maka, turunlah ayat ingatlah ketika kamu bermohon dan seterusnya dan Allah pun mendukungnya dengan para malaikat.”39

Kekuatan doa ini pula yang digunakan oleh Kaiin Bapa Kayah untuk melakukan pergerakan, sebelum mencetuskan aksinya, Kaiin memerintahkan pengikutnya untuk melakukan ritual doa di rumahnya, agar pergerakan yang dilakukan mendapat pertolongan dan berkah Allah swt. 4. Tabaruk dengan berziarah kubur kepada para pendahulu; sebagaimana diketahui, sebelum mencetuskan aksi menuntut keadilan para tuan tanah dan aparat kolonial, sang pemimpin pergerakan, Kaiin Bapa Kayah selalu berziarah (mengunjungi) makam-makam keramat. Makam yang sering diziarahi, yakni: makam Pangerang Blongsong dan Nyi Mas Kuning di Mangga Dua (Batavia), serta makam Raden Bagong di Parung Kored, Karang Tengah (Kota Tangerang). Ketiga makam ini dianggap memiliki karomah (kemuliaan), karena sebagai orang yang di masa hidupnya berjasa bagi masyarakat dan terkenal memiliki ilmu hikmah (kebijaksanaan) dan kedigdayaan. Meskipun ketiga tokoh ini sudah lebih dahulu meninggal, namun karomahnya masih dirasakan oleh Kaiin dan pengikutnya, karena itu mengunjungi makamnya, berdoa kepada Allah dengan berwasilah kepada para pendahulu tersebut, dan meminta keberkahan kepada Allah melalui perantaraan orang alim yang sudah meninggal – adalah perbuatan baik menurut Kaiin untuk meminta restu dan memperkuat pergerakannya. Perbuatan meminta keberkahan kepada Allah melalui perantaraan orang shalih yang telah meninggal di makamnya, menurut pendapat

39 M. Quraish Shihab, Ibid, Volume IV, h. 474-475 85 Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, dengan mengutip pernyataan putra Imam Ahmad bin Hanbal (Abdullah) sebagai berikut: “... Ia bertanya kepada ayahnya tentang orang yang menyentuh dan mencium mimbar Nabi saw, atau makam beliau untuk mencari keberkahan. Imam Ahmad menjawab, „Tak ada yang salah mengenai hal itu.‟ Abdullah juga bertanya kepada Imam Ahmad tentang orang yang menyentuh dan mencium mimbar Nabi saw, untuk mendapatkan keberkahan, dan yang berbuat serupa terhadap makam Nabi saw., atau sesuatu yang seperti itu, dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Imam Ahmad menjawab, „Tak ada yang salah mengenai hal itu.‟”40

Disebutkan pula oleh Syekh Kabbani, bahwa dahulu di masa pemerintahan Umar bin Khaththab, pernah terjadi kemarau yang berakibat kekeringan dimana-mana. Kemudian dalam suatu riwayat, Bilal ibn Al-Harits, mendatangi makam Rasulullah saw, seraya mengatakan, “Ya Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah demi umatmu.” Dalam riwayat lain, puteri beliau, Siti Aisyah pernah memerintahkan kepada seseorang, agar membuka atap makam Nabi Muhammad, ketika terjadi musim kering, maka hujan pun turun membasahi bumi.41 5. Menggunakan pakaian putih-putih dalam aksi pergerakan pada tanggal 10 Februari 1924; penggunaan simbol warna putih bermakna kesucian atau bersih, sehingga Kaiin Bapa Kayah meyakini bahwa pergerakannya ini dalam rangka menjaga kesucian ajaran Islam dan mendapat keberkahan Allah. Penggunaan pakaian putih ini, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah, Kitab 32 tentang Al-Libas (pakaian) pada Bab Al- Bayadh min Al-Tsiyaab (Pakaian Putih), pada Hadits Nomor 3566:42

40 Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Syafaat, Tawasul, dan Tabaruk, (Jakarta: Serambi, 2007), Cet. Ke-1, h. 163 41 Ibid 42 Al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad Ibnu Yazid Al-Qazuraini, (peny.), Sunan Ibnu Majah, (Kairo: Darul Hadits, 1998), cet. Ke-1, h. 261 86

Artinya: “Telah diceritakan kepada Kami dari Muhammad bin Al-Shabbah, memberitakan kepada kami dari „Abdullah bin Rajaa Al-Makki, dari Ibnu Khutsaim, dari Sa‟id bin Khubair, dari Ibnu „Abbas berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sebaik-baiknya pakaian kamu sekalian adalah pakaian putih, Maka pakailah pakaian putih, dan kafankalah mayat-mayat di antara kamu sekalian dengan pakaian putih.” (H.R: Ibnu Majah)

Dan Hadits nomor 3567:43

Artinya: “Telah diceritakan kepada Kami dari „Ali bin Muhammad diceritakan kepada kami dari Waki„, dari Sufyan, dari Habib bin Abi Tsabit, dari Maimun bin Abi Syabiib, dari Samurah bin Jundab berkata: Rasulullah saw bersabda: “Pakailah pakaian putih, karena sesungguhnya pakaian putih itu lebih suci dan lebih baik.” (H.R: Ibnu Majah)

Mengutip penjelasan „Abdul Baaqii dalam Sunan Ibnu Majah, Perkataan Khairu Tsiyaabakum al-Bayaadhu (Sebaik-baiknya pakaian kamu sekalian adalah pakaian putih), dikarenakan warna putih itu lebih jelas atau tampak apabila ada kotoran dari pada warna lainnya, sehingga memudahkan untuk membersihkannya, hal ini kemudian diperjelas pada hadits nomor 3567 melalui kalimat Innahaa Athyabu wa Athharu (karena sesungguhnya pakaian putih itu lebih suci dan lebih baik).44

43 Ibid 44 Al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad Ibnu Yazid Al-Qazuraini, (peny.), Ibid BAB V PERGERAKAN MILLENARIAN TANGERANG 1924 SEBAGAI PROTES SOSIAL

A. Proses-proses Pergerakan Proses perubahan dari kehidupan yang menyengsarakan, krisis moral dan keadaan politik yang tak berkeadilan menuju masa depan yang menjanjikan keadilan, tata masyarakat yang menjunjung tinggi keberagamaan, dan kehidupan ekonomi yang lebih mudah menjadi sebuah impian millenial bagi masyarakat dan petani Tangerang, sehingga mereka berani memutuskan melakukan pergerakan melawan para tuan tanah yang menjadi kelompok koloborator bagi pemerintah kolonial Belanda. Pada prinsipnya gerakan pemberontakan terjadi, karena adanya rasa ketidakpuasan rakyat terhadap tirani pengusa, yang telah menindas, memeras, dan berlaku semena-mena terhadap rakyat. Kebijakan penguasa dinilai hanya berpihak kepada golongan tertentu, sehingga supremasi civil dan hukum tidak bisa ditegakkan di negara yang dipimpin oleh penguasa seperti ini. Karena itu, banyak para pemimpin pemberontakan bermunculan dengan suatu misi suci untuk mengembalikan keadaan yang sudah tak terkendali ini, kepada keadaan harmonis yang pernah terjadi sebelumnya, sehingga terciptalah suatu zaman yang sempurna. Gerakan millenial Kaiin Bapa Kayah adalah salah satu dari perwujudan cita-cita menuju zaman sempurna. Sebelum tercetusnya aksi millenial ini, tentu ada api yang menyulutnya, berbagai sebab terakumulasikan menjadi sebuah perasaan untuk bangkit melawan penguasa tiran yang telah merusak keharmonisan. Para petani di tanah partikelir Tangerang – sama halnya dengan para petani di tanah partikelir lain – makin lama makin merasakan dan menyadari, bahwa mereka ditindas dan diperas oleh para tuan tanah asing (khususnya yang berasal dari Tiongkok). Cuke atau pajak dan berbagai kerja wajib sangat memberatkan para petani. Di antara kerja wajib tersebut adalah heerendiensten, yaitu kerja wajib kepada tuan tanah; kerigan (desadiensten) berupa perbaikan jalan, jembatan, pematang, dan lain-lain; dan gugur gunung, yaitu perbaikan infrastruktur desa yang rusak.1 Penindasan dan pemerasan tuan tanah kepada para petani penggarap tanah yang umumnya adalah kaum pribumi, diperkuat oleh keberadaan dan peran jawara. Jawara-jawara itu sengaja dipelihara oleh para tuan tanah.

1 Edi S. Ekadjati, et.al., Sejarah kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004), h. 129

87 88

Fungsi mereka menjaga dan melindungi tanah partikelir beserta tuan tanah sebagai pemiliknya. Dalam menjalankan tugasnya, mereka sering bersikap dan bertindak menekan dan menakut-nakuti petani penggarapnya agar mematuhi dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya serta tidak melakukan sesuatu yang bisa mengganggu keamanan, merusak tanah, mengancam hidup tuan tanah beserta keluarganya, dan mangkir atas kewajiban-kewajiban mereka. Tak segan jawara itu menindak petani penggarap dengan cara kekerasan fisik dan menyita harta benda yang dimilikinya.2 Oleh karena itu kondisi ekonomi dan kehidupan para petani jauh tidak seimbang dengan orang-orang Tionghoa. Para tuan tanah Tionghoa makin kaya, karena mereka terus menambah kepemilikan tanah partikelir. Sebaliknya, para petani hidup dalam suasana kekurangan. Kondisi itu terutama terjadi di kampung Pangkalan. Di daerah itu 60 persen luas tanah dikuasai oleh orang-orang Tionghoa, padahal mereka adalah penduduk minoritas. Mereka memiliki hak lebih banyak dari petani, sehingga kekuasaan mereka pun sangat besar.3 Pemicu lain dari protes sosial dan perlawanan adalah karena adanya pengaruh dari organisasi pergerakan nasional, Sarekat Islam, yang telah menancapkan ideologinya di Afdeling Tangerang Tangerang pada tahun 1913. Rasa kebangsaan dan kesadaran politik masyarakat Tangerang mulai terbangkitkan. Letupan pertama muncul tatkala terjadi pertikaian kaum pribumi kampung Tegalkunir dengan sekelompok Tionghoa Kebonwaru, yang diakibatkan oleh sengketa pribadi seseorang yang barasal dari anggota keluarga Gudel (penduduk asli) dengan Lim Utan (Lim Oetan/seorang pendatang dari Tiongkok). Kerusuhan rasial tersebut menyebabkan terjadinya disharmoni yang berkepanjangan di tanah partikelir Tangerang.4 Sebelum pergerakan, Kaiin Bapa Kayah sempat lama memikirkan tentang tanah-tanah di Tangerang, yang dikuasai oleh para tuan tanah asing, hingga pada suatu ketika, ia mendapatkan wahyu yang menyatakan bahwa tanah-tanah tersebut sudah berjalan dua puluh lima tahun masa kontraknya. Karena itu, menurut perintah mimpinya Bapa Dalang, kaum pribumi berhak mengusir para tuan tanah dari tanah pertanian dan perkebunan untuk

2 Ibid, h. 129-130 3 Hasil penyelidikan sebab-sebab dari peristiwa Tangerang pada tanggal 10 Februari 1924, dari Penasehat Urusan Bumiputra (R.A. Kern), 30 September 1924 dalam Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan-laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada Abad XX, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah, (Jakarta: ANRI, 1981), h. 79 dan lihat pula Suhartono W. Pranoto, Jawa: Bandit-bandit Pedesaan-Studi Historis 1850-1942, (Yogyakarta: Aditya, 1995), h. 139. Dalam Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 130-131 4 Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 132 89 dikembalikan kepada penduduk asli. Di tanah ini pula, Kaiin Bapa Kayah akan dinobatkan sebagai raja dengan nama Prabu Arjuna.5 Proses pergerakan dipersiapkan dengan matang dan penentuan waktunya berdasarkan wahyu Sang Pemimpin. Ketika sudah ada perintah wahyu tersebut, kaum tani Tangerang bergeraka melawan pemerintah kolonial, para tuan tanah dan sekutu pribuminya terjadi pada hari Minggu tanggal 10 Februari 1924. Secara matang tanggal tersebut dipilih, berdasarkan masukan dari gurunya, Sairin, yang juga bertepatan dengan tanggal 4 bulan Rajab dalam kalendar Hijriyah.6 Dan dalam kenyataannya, tanggal tersebut sesuai dengan arsip berita acara Assisten Wedana Teluknaga.

“Hamba Raden Toewoeh, Asisstent-Wedana Teloeknaga, menerangkan dengan sebenarnja, pada ini harie Minggoe ddo. 10 Februari 1924 kira djam ½ 8 pagi, hamba trima telefoon dari Kongsi tanah Pangkalan, menerangkan jang di Kongsi tanah Pangkalan soedah kedatengan beberapa orang maoe mengamoek, ...” 7

Gerakan perlawanan ini bertujuan untuk membebaskan penduduk dari tuan tanah-tuan tanah Tionghoa, yang akan diusir kembali ke negerinya. Oleh karena itu dapat dikatakan unsur utama gerakan ini adalah unsur nativistik, yang berusaha mengembalikan kepada sumber daya dan tatanan asli lokal.8 Unsur ini kemudian bercampur dengan visi millenarian yang juga melekat kepada kepercayaan tokoh pembebas (messiah atau Ratu Adil dalam keyakinan lokal). Pergerakan yang dipimpin oleh Sang Pembebas, Kaiin Bapa Kayah dimulai dari Kampung Pangkalan untuk menemui pemilik toko seorang Tionghoa, bernama Thio A. Pang alias Atang, dan menanyakan kepadanya tentang kontrak asing yang sudah habis. Kemudian perjalanan selanjutnya, mendatangi penguasa negeri, dan para Tuan Tanah, mereka semua juga diminta untuk segera meninggalkan tanah Pangkalan.9 Kejadian ini membuat

5 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), cet. Ke-1, h. 25 6 Ibid. Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), Edisi Pemutakhiran, h. 421 7 Berita acara dibuat oleh Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh) mengenai peristiwa Tangerang ttg. 10 Februari 1924, dalam Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan-laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada Abad XX, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah, (Jakarta: ANRI, 1981), h. 75 8 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 17-18 9 Didi Suryadi, Pemberontakan Petani di Tangerang, 1924, dalam kumpulan artikel Seminar Sejarah Nasional III, Seksi Sejarah Perlawanan terhadap Belanda 2, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional, 1982), h. 57 90 gaduh para pihak yang menjadi musuh Kaiin dan kawan-kawan, suasananya pun mencekam sebagaimana digambarkan oleh Assisten Wedana Teluknaga, Raden Toewoeh:

“.. hamba trima telefoon dari Kongsi tanah Pangkalan, menerangkan jang di Kongsi tanah Pangkalan soedah kedatengan beberapa orang maoe mengamoek, itoe waktoe djuga hamba oendjoe bertaoe dengan telefoon moehoen pertoeloengan pada Kandjeng Controleur Tangerang dan Toean Hoofdpolitie Opziener Tangerang serta Toean Wedana Mauk.”10

Untuk mengatasi luapan emosi rombongan Kaiin tersebut, terpaksa Assisten Wedana melakukan muslihat, ia memperlambat gerakan mereka dengan menyuruhnya duduk di dalam pendopo sambil menikmati teh,11 rokok dan suguhan lainnya sambil bercakap-cakap tentang maksud dan tujuan pergerakan mereka. Di sisi lain siasat itu dilakukan sambil menunggu bala bantuan tiba, setelah sebelumnya sudah mengubungi Controleur Tangerang, Hoofdpolitie Opziener Tangerang, dan Wedana Mauk melalui jaringan telepon. Dengan kemajuan teknologi,12 pemerintah kolonial memanfaatkan telepon untuk berkomunikasi dan berkordinasi dengan bawahan-bawahan mereka sampai di tingkat rendah. Hal ini, tidak diantisipasi oleh Kaiin dan pengikut-pengikutnya, kalau saja jalur komunikasi pejabat Asisten Wedana, Controleur Tangerang, Hoofdpolitie Opziener Tangerang, dan Wedana Mauk – diputus oleh kelompok pergerakan Bapa Dalang, maka mereka akan kesulitan, bahkan tidak dapat meminta bantuan pengiriman pasukan.

“... oleh karena datengnja itoe orang2 pada hamba kasar dan maoe nganiaja pada hamba, serta hamba tida ada kekoeatan melawan, laloe hamba tjari akal soepaja djadi keselametan, lantas hamba bilang “tida maoe bela pada kafir” laloe itoe Kaiin ba Kaiah seboet pada hamba “Ama” (orang toewa) dan saja kasih taoe lagi djika maoe ngakoe orang toewa, soepaja doedoek doeloe dan djika ada oeroesan apa2 nanti sadja oeores serta hamba bri roepa2 nasehat soepaja djadi sabarnja, sembari orang-orang itoe hamba kasih sigaret dan itoe Kaiin ba Kaiah bersama temen2nja toeroet pada hamba poenja nasehat, serta masing2 hamba soeroeh doedoek di emper kantoran

10 Berita Acara Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh), dalam Arsip Nasional Republik Indonesia, op.cit, h. 75 11 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 27 12 Michael Adas mengatakan perkembangan ini terutama dihasilkan dari kemajuan dalam persenjataan, organisasi, komunikasi, logistik dan obat-obatan, yang berhubungan dengan proses industrialiasasi di Eropa sendiri. Lihat Michael Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order, The University of North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press, 1988), h. 306 91 dan Kaiin ba Kaiah hamba kasih doedoek di korsi dalem pendopo ka Asistenan, laloe Kaiin ba Kaiah kata pada hamba maoe pergi troes ke Betawi, maoe bikin habis kota Betawi, oleh karena hamba kwatir bikin roesoeh di dalam kampoeng-kempoeng, dan lagi hamba toenggoe pada dawoehnja Kandjeng Kontroleur Tangerang dan Padoeka Toean Wedana Mauk serta laen2 politie, lantas hamba tahan dengan dioge2 (wennen) jang tiada antara lama Kandjeng Kontroleur Tangerang dan Padoeka Toean Wedana Mauk rawoeh, maka Kaiin ba Kaiah diperiksa mengakoe nama Bagenda Ali serta kepengen diakoe dan maoe tjari orang2 toewa Noerdjaja dan soedah 3 hari blon makan nasi, serta mengakoe tida senang ati pada Toean Tanah karena Toean Tanah soedah djalan 2-3 tahoen soedah ambil padi tjoeke lima 3 iket.”13

Tepat pukul sebelas, pejabat Assistent Resident Batavia datang bersama pasukannya ke pendopo Assisten Wedana. Sebagaimana dikatakan oleh R. Toewoeh: “Maka kira pukul 11 dateng Kandjeng Toean Assistent- Resident Betawi bersama Marchoussee ...” Jam setengah tiga pejabat Controleur dan Komandan Detasemen Polisi Mauk dan beberapa polisi setempat datang ke Teluknaga. Mereka semua berdiskusi panjang tentang niatan pergerakan Bapa Dalang dan pengikutnya tersebut, dan akhirnya Kaiin Bapa Kayah bersama pengikutnya diperkenankan menuju Batavia tetapi dengan syarat perjalanan mereka dikawal aparat polisi kolonial.14 Walaupun dalam suasan pengawalan itu, pasukan Ki Dalang masih diperkenankan memegang senjatanya masing-masing.15 Siasat licik dilakukan aparat kolonial di tengah perjalanan, tepatnya di daerah Tanah Tinggi (Persimpangan jalan antara dekat pusat pemerintahan Kota Tangerang sekarang menuju jalan Daan Mogot arah Kalideres), Kaiin Bapa Kayah dijatuhkan oleh oleh seorang aparat kepolisian. Para pengikutnya yang melihat kejadian ini, sontak melawan para polisi tersebut, apalagi mereka merasa pemimpinnya telah dilecehkan oleh aparat kolonial. Terjadilah kontak fisik di antara mereka, sehingga rombongan Ki Dalang yang tidak bisa menandingi kekuatan amunisi aparat pun lumpuh, tercatat 19 orang meninggal di tempat kejadian perkara, dan 23 orang mengalami luka- luka, yang masih hidup akhirnya ditahan, karena dianggap sebagai perusuh dan pemberontak.16 Menurut Thahiruddin yang dikutip oleh Edi S. Ekadjati dan kawan- kawan, Kaiin Bapa Kayah dalam kontak fisik tersebut bukan termasuk yang ditahan, tetapi gugur di Tanah Tinggi, dan dimakamkan di taman pemakaman

13 Berita Acara Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh), op.cit, h. 75-76 14 Didi Suryadi, op.cit, h. 57 15 Berita Acara Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh), op.cit, h. 76 16 Didi Suryadi, op.cit, h. 57 92 yang terletak di Kampung Encle, Kelurahan Sukasari, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang.17

B. Faktor Kepemimpinan Kaiin Bapa Kayah

Masyarakat pribumi seutuhnya menyadari bahwa kemampuan logistik perang mereka masih belum dapat menandingi kekuatan amunisi pemerintah kolonial yang didukung oleh teknologi canggih dan termodern kala itu. Tetapi mereka meyakini semua kekuatan asing dapat terkalahkan, terlebih lagi masyarakat lokal yang lekat dengan kepercayaan magis religius, mempunyai keyakinan pada sosok suci yang diliputi oleh kewahyuan untuk membawa mereka kepada zaman baru yang menjanjikan. Dalam hal ini, tampilnya tokoh petani Pangkalan bernama Kaiin Bapa Kayah, membangkitkan motivasi dan mempercayainya sebagai pemimpin gerakan, bukan hanya karena pengalamannya sebagai petani, tetapi juga karena pengalaman dan pengetahuannya di luar profesi petani, yang menjangkaui tradisi pemikiran masyarakat lokal.18 Pemikirannya tentang penguasaan tuan tanah pada tanah-tanah di kampungnya, adalah sebuah bentuk ide penyadaran bahwa tanah Pangkalan tidak seharusnya dimiliki oleh orang asing, sebagai warisan leluhur, tanah itu harusnya bermanfaat buat kaum pribumi. Pada kenyataannya, Kaiin melihat kaum pribumi lebih miskin dibandingkan para penyerobot asing tersebut. Dalam intuisinya, Ki Dalang berpikir perlu melakukan tindakan pengusiran kepada tuan tanah Tionghoa yang telah bertindak semena-mena terhadap petani pribumi.19 Pemikiran Kaiin tersebut, diwujudkan dalam aksi millenialnya menentang penguasaan tanah oleh pihak-pihak asing. Meskipun cita-citanya tidak terwujud dalam waktu yang dekat, tetapi tindakan Kaiin merupakan sikap dari seorang pahlawan yang membela kaum tertindas, yang mengajak kepada semua elemen masyarakat untuk melawan semua penindasan dan merefleksikan kemandirian di atas kaki sendiri. Dengan mengangkat isu revolusi menuju suatu zaman sempurna, kepemimpinan Kaiin Bapa Kayah mendapat dukungan dari berbagai kalangan, yang merasa kehidupannya telah terganggu oleh represifitas penguasa kolonial dan sekutunya. Mereka menilai kehadiran penguasa asing dan sekutunya hanyalah membebani dan menyengsarakan rakyat kecil ditambah dengan gaya hidup mereka yang tidak lagi mengindahkan moralitas agama dan adat-istiadat yang mengakibatkan semakin terpuruknya negeri ini.

17 Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 137 18 Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 133 19 Edi S. Ekadjati, et.al., Ibid, h. 133 93 Mereka bersama-sama berjuang untuk sebuah kemerdekaan sebagai bangsa yang berdaulat tanpa tekanan dari pihak asing, sehingga hak dan kewajiban sebagai kaum pribumi untuk menegakkan moralitas dan membangun negaranya dapat terpenuhi. Kepemimpinan Ki Dalang dibuktikan dengan menyuarakan suara hati rakyat petani pribumi, kepada perwakilan pejabat berwenang, R. Toewoeh, selaku Asisten Wedana Teluknaga – sekaligus menjelaskan misi revolusinya, namun sebelumnya ia terlebih dahulu menemui Tuan Tanah Kampung Melayu, Him Po Lim dengan disertai oleh para pengikutnya. Sebagai juru bicara, Kaiin menegaskan kepada Him Po Lim, bahwa para Tuan Tanah sudah cukup kekuasaan, karena telah selesai masa kontraknya selama 25 tahun. Selanjutnya, Sang Pemimpin Pergerakan merobek buku catatan pajak yang ada di meja juru tulis kantor Kongsi Tanah Kampung Melayu.

“... Sepoelangnja hamba dari Kongsi Pangkalan dapet taoe dari kwasa Tanah Kampoeng Melajoe nama Him Po Lim jang se-blonnja itoe Kaiin ba Kaiah datang di ka Assistenan lebih doeloe soedah dateng di Kongsi Kampoeng Melajoe dengan Kaiin ba Kaiah kata pada kwasa tanah “soedah tjoekoep 25 taoen maoe doedoek disini,” lantas Kaiin ba Kaiah ambil boekoe cope tjatatan committeerd jang ada di atas medja kantoran djoeroetoelis kongsi troes itoe boekoe di robek2 sedatengnja hamba di roemah ka Assistenan, trima dari hamba poenja djoeroetoelis 1 toembak poenja orang2 itoe jang ketinggalan tida dibawa, lantas hamba beslag boeat boekti”20

Kejadian ini segera dilaporkan oleh Tjoetak Politie tanah Pangkalan, Mas Moehamad Moeso, ia menghadap kepada Assisten Wedana Teluknaga dan menceritakan kronologi peristiwa serangan sekelompok orang yang dipimpin oleh Kaiin Bapa Kayah terhadap dirinya dan tukang timbang di Kongsi Pangkalan, yang bernama Sahir. Dalam serangan itu Sahir terluka akibat sayatan senjata tajam, ketika ia sedang berkuda menuju Kongsi Bodjongrenged, di tengah perjalanan dicegat oleh rombongan tersebut.

“Maka tida antara lama dateng Tjoetak Politie tanah Pangkalan nama Mas Moehamad Moeso, kasih taoe jang betoel di Kongsi Pangkalan soedah kedatengan beberapa orang dengan bersendjata tadjem, jaitoe jang djadi kepalanja orang nama Kaiin ba Kaiah, tinggal di kampoeng Pangkalan tanjakan Patiah tanah Pangkalan, tapi Patiah tiada ada sebab lari dan Tjoetak Politie menerangkan poela jang ia soedah diboeroe oleh itoe orang-orang maoe dibatjok, serta tukang timbang pada Kongsi Pangkalan nama Sahir koetika naik koeda maoe pergi ke Kongsi Bodjongrenged soedah dibatjokin oleh itoe orang-orang hingga mendapat beberapa loeka pajah.”21

20 Berita Acara Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh), op.cit, h. 76 21 Ibid, h. 75 94 Raden Toewoeh bergegas mengecek laporan tersebut, dan melihat langsung kondisi Sahir yang sedang ditangani lukanya oleh dokter. Kemudian ia mencoba mencari barang bukti penganiayaan terhadap Sahir, di rumahnya Kaiin Bapa Kayah, namun tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.

“Sesoedahnja lantas hamba pergi ke Pangkalan periksa orang nama Sahir jang telah dibatjok oleh Kaiin ba Kaiah dan kedapet betoel Sahir soedah mendapat beberapa loeka di badannja serta itoe Sahir lagi di verband oleh Toean Dokter Tangerang lantas hamba pergi commissie di roemahnja Kaiin ba Kaiah tapi tida dapet barang jang djadi boekti dalam ini ”22 perkara...

Keyakinan para petani dan masyarakat Tangerang kepada kepemimpinan Kaiin Bapa Kayah merupakan faktor dasar penyebab terjadinya konflik antara orang pribumi dan Tionghoa di tanah partikelir. Apabila dikaji secara seksama, konflik yang kemudian mencapai puncaknya berupa pemberontakan petani terhadap tuan tanah, terjadi akibat beberapa faktor lain yang melingkupi kehidupan masyarakat yang telah mengalami deprivasi, yaitu: Pertama, pejabat pribumi yang seharusnya menjadi pangayom dan pelindung petani (rakyat), justru cenderung berperan sebagai pelindung dan pembela tuan tanah. Hal itu berarti para petani kehilangan saluran untuk menyampaikan aspirasi atau pengaduan nasib mereka.23 Kedua, kewajiban-kewajiban para petani terhadap tuan tanah dan besarnya kekuasaan tuan tanah, mengakibatkan pola kehidupan petani yang mengandung nilai-nilai tradisional masyarakat pribumi, seperti tradisi gotong-royong, tepa selira, dan lain-lain, menjadi luntur, bahkan hampir punah. Waktu dan tenaga para petani lebih banyak dikonsentrasikan untuk bekerja di tanah partikelir. Oleh karena itu, mereka tidak lagi dapat melakukan kegiatan sosial, sehingga mereka mengalami krisis identitas.24

C. Mobilisasi Pergerakan Karisma pemimpin pergerakan, kesaktian, dan visi millenariannya, meyakinkan untuk mendapatkan pendukung – peranan tokoh kenabian, seperti Kaiin Bapa Kayah memudahkan pula dalam mobilisasi kaum tani dan

22 Ibid, h. 76 23 Edi S. Ekadjati, op.cit, h. 131 24 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 140. Dan Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 131 95 masyarakat pribumi untuk berada di barisan perjuangan untuk menggapai cita-cita bersama, berdiri di atas kaki sendiri tanpa campur tangan orang- orang asing yang hanya mementingkan diri dan korporasinya. Sebagai seorang dalang, Kaiin Bapa Kayah, sangat mudah untuk mempengaruhi masyarakat, di Distrik Kebayoran, Bapa Dalang sering tampil membawakan lakon wayangnya, dan di tempat ini pula banyak loyalis pengikut pergerakan yang setia kepada kepemimpinannya. Dalam laporan R.A Kern, seorang Penasehat Urusan Bumi Putera (Pemerintah Hindia Belanda), menyebutkan setidaknya ada lima kelompok utama yang menjadi pengikut setia pergerakan di Tangerang pada tahun1924, berikut ini adalah grup pengikutnya:25 a. Grup Keluarga Kaiin, terdiri atas; 1) Kaiin Bapa Kajah. 2) Nyonya Banten, istri Kaiin. 3) Baba Entong, anak tiri Kaiin. b. Grup Merin, di antaranya; 1) Merin. 2) Rentjin, istri Merin. 3) Misad, anak Merin. 4) Miden, anak Merin. 5) Tongtjin, 6) Karim, 7) Ada, 8) Nawi, anaknya Ada c. Grup Siban, yaitu; 1) Siban Bapa Sambut 2) Minan Midi, 3) Saroen, 4) Midin bapa Mini, 5) Samin, 6) Sanan, 7) Kidin, 8) Madjoen, d. Grup Gemengde, ialah; 1) Kinoeng alias Ridjan. 2) Saen. 3) Sioen bapa Mindji. 4) Boei,

25 Hasil penyelidikan Penasehat Urusan Bumiputra (R.A. Kern), dalam Arsip Nasional Republik Indonesia, op.cit, h. 89-90. Bandingkan dengan Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 135 96 5) Enang. 6) Kasep. e. Grup Hadji Rioen, mereka adalah; 1) Hadji Rioen. 2) Mirin. 3) Adim. 4) Lioeng. 5) Koentan. 6) Meran. 7) Hadji Koen Adjari, anak Hadji Rioen. 8) Kliling. 9) Pidang. 10) Bodo. 11) Saijan. 12) Radi bapa Ramah

Dari kesemua tokoh pergerakan yang disebut di atas, terdapat tujuh figur penting dalam pergerakan millenarian tersebut, mereka semua memiliki latar belakang yang berbeda, di antaranya adalah sebagai berikut: a) Berprofesi sebagai Dalang Wayang; yaitu Kaiin Bapa Kayah, yang menjadi tokoh utama pergerakan. b) Tokoh Agama; Hadji Rioen (guru ngaji dan tarekat sekaligus pedagang) dari daerah Kalideres. c) Panglima Perang; Merin, anak Ki Reog (guru kebatinan Kaiin) dan juga cucu Raden Bagong (makamnya sering dikunjungi Kaiin di Kampung Parung Kored) d) Sebagai Patih; Enang, seorang petani asal Karang Tengah, yang juga menjadi guru kebatinan. e) Siban Bapa Sambut dari Pondok Aren, seorang Petani sukses dan makmur. f) Marin atau Mirin yang berasal dari Kampung Melayu, juga seorang petani. 26 g) Ibu Minah atau Minan dari Kampung Kelor, ia pula yang mengenalkan Kaiin kepada guru-guru kebatinan dan tempat-tempat ziarah.27

Mobilisasi semua unsur pengikut pergerakan selalu dikuatkan melalui konsolidasi internal. Para pengikut pergerakan sering mengadakan pertemuan di rumah Kaiin Bapa Kayah, guna melakukan ritual kebatinan dan

26 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), op.cit, h. 420 27 Tambahan dikutip dari Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 134 97 mendengar wejangan dari tuan rumah dan guru-guru yang lain. Suatu hari, Kaiin memberikan petuah di hadapan para pengikutnya dan menjelaskan bahwa wahyu telah sampai dalam dirinya, ia ditunjuk menjadi tokoh pilihan Tuhan yang keramat (orang suci) agar memimpin pergerakan dan ia juga telah dianugerahi gelar Sayidina Ali, Mirah Delima, dan Malaikat Maut. Bapa Dalang juga meramalkan tentang suatu masa yang dipenuhi kegelapan di muka bumi ini, karena itu ia menganjurkan kepada pengikut setianya agar berdiam diri di rumah ketika suatu saat terjadi ramalannya ini.28 Konsolidasi terakhir sebelum pergerakan terjadi, tepatnya di hari jum‟at (hari ini dianggap sebagai keramat dan dijuluki sebagai “Tuan daripada Hari-hari”), tanggal 8 Februari, sebanyak 40 orang pengikut Kaiin berkumpul di Kampung Pangkalan (rumah pemimpinnya), seperti biasa untuk mengadakan ritual kebatinan dan sekaligus kordinasi pergerakan. Jama‟ah pengajian malam jum‟at itu di rumah Kaiin Bapa Kayah, diwajibkan membawa uang satu gulden dan tujuh sen. Uang itu kemudian diletakkan pada sebuah wadah yang sudah berisi air suci dan terdapat bunga- bunga, yang ditaruh di depan Bapak Dalang yang sedang memimpin ritual. Air yang berbunga tersebut juga digunakan untuk membasuh wayang Sena (Bima), Arjuna, dan Semar – ketiganya adalah tokoh wayang keramat dalam pandangan Ki Dalang. Satu hari setelahnya, sabtu, uang-uang tujuh sen yang diletakkan di dalam air suci tersebut, telah mendapatkan pemberkatan dan selanjutnya dikembalikan kepada para pengikutnya untuk dijadikan jimat.29 Doktrin keagamaan (ritual kebatinan) yang dipakai oleh Kaiin, menandaskan bahwa ia juga termasuk dalam pemuka agama meskipun sehari-hari berprofesi sebagai dalang. Menurut Sartono, Ikatan-ikatan petani dengan para pemimpin keagamaan informal mempunyai kedalaman sosial yang sangat nyata, hubungan-hubungan erat yang dipelihara para pemimpin karismatik ini memberikan kemampuan mereka untuk memobilisasi para petani sebagai klien mereka untuk berorientasi ke desa dalam suatu corak kegiatan politik yang bersifat supradesa. Di dalam kebanyakan gerakan sosial, para petani aktif pada suatu pergolakan berskala kecil dan hanya terbatas pada wilayah mereka sendiri. Tetapi dalam beberapa hal, loyalitas yang lebih luas sangat dimungkinkan, terutama dalam hal inspirasi keagamaan, kelompok kaum tani setempat dapat diintegrasikan ke dalam gerakan politik yang berskala besar.30

28 Ibid, h. 27 29 Didi Suryadi, op.cit, h. 57 30 Sartono Kartodirdjo, Sartono Kartodirdjo, Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and Development,dalam Claire, Holt (ed), Culture & politics in Indonesia, (New York: Ithaca, 1972), h. 86-7 98

Kemampuan Kaiin Bapa Kayah dalam memobilisasi pengikut pergerakan, terakhir dilakukan dalam rencana aksinya, bersama rombongannya berjumlah + 34 orang lelaki dan 4 orang perempuan datang ke kantor Assisten Wedana Teluknaga, untuk menyampaikan aspirasi dan menjalankan misi suci untuk mengembalikan tanah-tanah kepada kaum pribumi. Mereka semua menggunakan seragam pakaian putih-putih (simbol gerakan bermakna kesucian) dengan memakai topi anyaman bambu khas Tangerang (simbol lokalitas budaya dan masyarakat pribumi) dan sebagian menggunakan ikat kepala putih (simbol perlawanan suci).

D. Ideologi Pergerakan Pemberontakan kenabian, perlawanan messiah, dan protes sosial pemimpin pergerakan selalu didahului oleh penyampaian visi millenial, tentang harapan idealistik, janji masa depan, dan tatanan yang berkeadilan. Kesemua visi ini termanifestasikan melalui ideologi pergerakan millenarian. Seorang pemimpin tradisional dianggap sebagai penjelmaan atau perwakilan Tuhan di muka bumi ini, mereka menerima wangsit atau wahyu memulai pergerakan, melawan penguasa, birokrat kolonial, dan kroni- kroninya untuk membebaskan para petani dan kaum pribumi yang tertindas. Pembangunan ideologi dan pengembangannya, bagi seorang Kaiin Bapa Kayah mutlak diperlukan, agar pergerakannya mendapat sambutan luas dari masyarakat pribumi. Dalam suasana kebatinan yang menggelisahkan, Kaiin mulai meragukan tindak tanduknya sebagai seorang dalang yang hanya pandai menceritakan kisah-kisah fiksinya. Ia mulai merenungkan bagaimana caranya, agar dapat membantu masyarakat yang tertindas, bangkit dan dapat menikmati hidupnya dalam suasana damai dan serba dicukupkan kondisi ekonominya. Kegalauannya dalam pikiran, menyita keseharian dirinya, sehingga ia membatasi penampakannya sebagai seorang dalang, hal ini merubah sikapnya menjadi lebih pendiam. Di balik sifat berubahnya, Kaiin memikirkan sesuatu yang membayanginya setiap hari. Dalam lamunan itu, ia berpikir tentang tanah-tanah di Kampung Pangkalan, yang telah dikuasai oleh orang-orang asing. Dalam sebuah pertemuan dengan para simpatisan pergerakannya, tepatnya terjadi di akhir bulan Desember pada tahun 1923, ia mengungkapkan perihal petunjuk (wahyu) dalam mimpinya, yang memberi 99 isyarat bahwa tanah-tanah di Tangerang adalah milik nenek moyangnya, Pangeran Mayor Blongsong dan Ibu Mas Kuning.31 Didi Suryadi menerjemahkan pernyataan Kaiin yang dikutip dari R.A Kern, yang terus menjadi renungan dalam alam pikirannya:

“Mengapa Cina (sic: Tionghoa) di sini menjadi kaya mempunyai sawah dan kebun? Kami yang keturunan dari nenek moyang tidak memiliki tanah, kami tetap miskin. Semua tanah adalah milik tuan tanah. Seorang yang ingin memiliki sebidang sawah atau kebun harus menyerahkan hasilnya kepada tuan tanah. Keadaan ini tidak dapat dibiarkan terus berlangsung. Suatu saat harus lenyap dan orang Cina (sic: Tionghoa) harus lenyap. Negeri ini adalah negeri kami dan harus kembali kepada kami; „Dari asal pulang ke asal‟. Kalimat yang terakhir ini sering dipikirkannya. Kami harus menuntut hak kami. Waktunya untuk itu akan datang. Kami akan mencari keadilan Tuan Tanah dan Tuan Besar di Bogor juga harus tahu bahwa kami „minta mulangkan hak kami kembali‟. Kami tidak akan mendapatkan hak kami dari Tuan Besar, kami harus menyampaikannya kepada Raja Belanda. Kami akan meminta petunjuk jalan buat berhubungan dengan Raja Belanda. Kami akan menyatakan bahwa kami punya tanah telah dirampas”32

Perenungannya tentang tanah-tanah yang telah dikuasai para tuan tanah asing tersebut, semakin mewujudkan ideologi millenariannya dan memantapkan jargon “Dari Asal Pulang ke Asal”, tetapi keyakinan millenial ini masih belum dapat menggerakkan aksinya, sehingga ia masih membutuhkan unsur-unsur lain melalui referensi alam kebudayaan tradisional. Berdasarkan pengalaman Kaiin ketika bekerja sebagai aparatur pemerintah kolonial, ia berpendapat bahwa untuk mengusir orang Tionghoa (yang telah merusak tantanan kehidupan lokal) harus meminta bantuan pejabat tinggi pemerintah, yaitu gubernur jenderal bahkan raja Belanda. Skenario kedua setelah itu, apabila para pemangku kepentingan tidak bersedia menerima aspirasinya, maka penduduk pribumi harus mengusir orang-orang Tionghoa secara paksa. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka ideologi millenarian yang digunakan pemimpin pergerakan perlu diimbangi dengan penguasaan ilmu kekebalan.33 Sejak tahun 1922, Kaiin Bapa Kayah yang tengah menanjak karirnya di dunia pewayangan, banyak melakukan ziarah-ziarah ke makam keramat, seperti makam Pangeran Blongsong dan Ibu Mas Kuning yang terletak di Mangga Dua, Batavia. Di saat kunjungannya ke daerah Mangga

31 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 25 32 Didi Suryadi, op.cit, h. 61 33 Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 134 100 Dua tersebut, ia bertemu dengan tokoh ilmu kawedukan dan ilmu kaslametan (ajaran tentang kesaktian atau kekebalan), yang bernama Sairin alias Tjongkok dari daerah Cawang, yang juga pernah membantu pergerakan Entong Gendut di Mesteer Cornelis (Jatinegara), ia juga bertemu dengan Hadji Rioen, seorang guru tarekat (tokoh spiritual). Dari pertemuan dan diskusi dengan kedua guru tersebut, maka Kaiin tertarik dengan keahlian tokoh tersebut dan bermaksud untuk belajar kepada mereka untuk mendapatkan ilmu kedigdayaan (kesaktian).34 Tempat ziarah kedua yang sering dikunjungi Kaiin adalah makam Raden Bagong, di kampung Parung Kored, Pondok Bahar (Kecamatan Karang Tengah, Kota Tangerang). Tujuan berziarahnya adalah untuk meminta doa restu kepada orang-orang suci yang telah wafat maupun yang masih hidup agar ia berhasil menjalankan misi pembangkitan kerajaan Pasundan dan mengembalikan tanah-tanah kepada para petani pribumi.35 Selain berziarah di Parung Kored, ia juga sambil berguru kepada Ki Reog, juru kunci makam sekaligus anak dari Raden Bagong. Di tempat ini pula, bapak Dalang juga sering melakukan diskusi dan saling bertukar informasi dengan Marin, cucu dari Raden Bagong tersebut. Guru spiritual lain dari Bapa Dalang adalah Kyai Muhammad Santri, yang berasal dari Giri Jaya di kaki Gunung Salak, Bogor. Kyai Santri adalah tokoh karismatik, yang menjadi sumber kekayaan ruhani umat dan banyak dimintai doanya oleh masyarakat dalam urusan duniawi dan akhirat.36 Setelah Kaiin berhasil menguasai ilmu kekebalan, ia merubah nama dan penampilan dirinya. Namanya ditambah dengan gelar “Mas” dan menolak disebut “Raden” sebagaimana trah darah biru lainnya. Ki Dalang kemudian selalu mengenakan pakaian “kebesaran”, serban dan kain sarung (sebagaimana dikenakan oleh tokoh keagamaan). Semua itu dimaksudkan untuk menguatkan wibawa dan menambah pengaruhnya di kalangan penduduk pribumi.37 Sepekan menjelang peristiwa, persiapan terus dilakukan Sang Penggerak, Kaiin Bapa Kayah secara intensif. Ia melakukan penguatan- penguatan spiritualitas, dengan melakukan kegiatan ziarah ke makam-makam keramat, dan berkunjung ke tempat pengasingannya di Giri Jaya, Gunung Salak, serta membagikan bermacam-macam jimat kepada para pengikutnya.38

34 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 25. Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.), op.cit, h. 420 35 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 25 36 Ibid 37 Didi Suryadi, op.cit, h. 62. Bandingkan dengan Edi S. Ekadjati, et.al., op.cit, h. 134. Ekadjati menyebutnya pakaian jawara bukan seperti yang dipaparkan oleh Didi Suryadi. 38 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, op.cit, h. 25-26 101 Perbuatan pemimpin pergerakan tersebut, pada era moderen dianggap sebagai perilaku takhayul, namun demikian bagi masyarakat tradisional kegiatan ini bagian dari tradisi yang diwariskan, sebagaimana dikatakan oleh Anwarudin Harapan (Mantan Dosen Fakultas Adab dan Humaniora), “Dan tiap bentuk ketakhayulan itu tidak timbul secara tiba-tiba melainkan tumbuh dari pengalaman, penghayatan serta pengamatan warga masyarakat sampai turun-temurun. Dan lahirnya unsur takhayul itu diungkapkan dengan cara khas menurut lingkungannya, baik dalam bentuk ungkapan lisan maupun dengan perbuatan yang lama-kelamaan menjadi tradisi masyarakat.”39 Selain ideologi tersebut di atas, Kaiin Bapa Kayah juga memakai doktrin-doktrin agama dalam pergerakannya. Dalam pernyataannya kepada pejabat kolonial ia memberitahukan bahwa niat kedatangan dengan pengikutnya adalah untuk sabilullah melawan kaum kafir, mencari keadilan, sekaligus menegaskan dirinya bukanlah seperti Bapak Dalang yang dulu, melainkan seorang raja yang bergelar “Prabu Rabul „Alamin”. Hal ini juga terangkum dalam Berita Acara yang dibuat oleh Raden Toewoeh:

“Waktoe hamba lagi ada di pendopo ka Assistenan jaitoe lagi trima rapportnja itoe Tjoetak Politie Pangkalan sekoetika itoe dateng di roemah ka Assistenan + 34 orang lelaki dan 4 orang perempoean berpakaian badjoe poetih tjelana poetih pake topi bamboe (boni) dengan bersendjata golok telendjang dan toembak kampak serta sebagian dari itoe orang-orang kepalanja ada jang diiket pake selempa poetih, di antara itoe orang-orang tjoema hamba kenal pada Kaiin ba Kaiah dalang wayang koelit tinggal di kampoeng Pangkalan, serta mereka itoe samperin pada hamba troes hamba deketin sesampenja di samping pendapa ka Assistenan sebelah lor, lantes hamba di lingkoeng oleh itoe orang-orang terseboet dengan golok2nja masing2 soedah di amangken pada hamba poenja badan, serta itoe Kaiin ba Kaiah (jang djadi kepala dari itoe orang2) kata pada hamba, bahwa ia mengakoe bernama Praboe Raboel Alamin, dan tanja lagi pada hamba “apa maoe bela pada orang2 kafir atawa tida. Sebab saja maoe sabilloelah serta maoe tjari keadilan dan maoe tjari bapa Noerdjaja dan boejoet Ireng...”40

Keberanian bapak Dalang Kaiin melawan pemerintah kolonial dan anteknya para tuan tanah, menurut Raden Toewoeh adalah karena dipengaruhi oleh doktrin sabilullah, bukan karena sakit hati akibat diambil cuke tanahnya – sebagaimana diketahui Kaiin tidak memiliki tanah, ia hanya menumpang di tanah sewaan kakaknya Maiah dan hidup di rumah istrinya yang kaya. Pengikut pergerakan pun hampir semua bukan berasal dari Kampung Pangkalan, melainkan dari daerah lain, jadi secara tidak langsung

39 Anwarudin Harapan, Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi, (Depok: Asosiasi Pelatih Pengembangan Masyarakat, 2006), h. 73 40 Berita acara dibuat oleh Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh), op.cit, h. 75-76 102 pergerakan ini tidak mewakili sikap para petani di Pangkalan. Hal ini ditulis dalam berita acara yang dibuat oleh Assisten Wedana Teluknaga, yakni:

“Maka hamba poenja pendapetan bahwa peroendjoekannja Kaiin ba Kaiah sakit ati pada Toean Tanah Pangkalan lantaran diambil tjoeke lima 3 itoe tida bisa djadi, sebab ia tida mempunjai sawah, melainkan penghidoepannja ngadalang wajang sadja, sedeng itoe orang2 jang ngikoet pada Kaiin ba Kaiah boekan pendoedoek kampoeng Pangkala tapi dari laen2 tempat, djadi pendapetan hamba itoe Kaiin ba Kaiah ada kepertjajaan pada elmoe kesabilan, maka seblonnja kedjadian ini perkara, hamba tida dapet taoe dan rapport dari Tjoetak Politie dan Mandor Politie Pangkalan.”41

Antusiasme keagamaan ini disalurkan oleh Bapa Dalang (yang menganggap dirinya sebagai pemimpin agama) ke dalam aksi politik perlawanan dengan menggunakan doktrin perang sabil (suci), yang menjanjikan penyelamatan dan mati terhormat sebagai martir (syahid) bila gugur dalam pertempuran melawan kaum kafir. 42 Ide-ide yang dikeluarkan tokoh-tokoh keagamaan karismatik (seperti seruan perang sabil) pada masyarakat Indonesia umumnya dianggap keramat, wahyu atau sakti. Pembawaan ini membuat orang-orang yang dikaruniai dengan wibawa (karisma) itu diliputi oleh alam kesucian (sacre). Kekuatan karisma dan wibawa yang mereka miliki itu bersifat revolusioner, sehingga menjadi ancaman serius, bagi pemerintah kolonial, para birokrat, dan kelompok status-quo, karena ada kecenderungan gerakan-gerakan keagamaan ini digunakan untuk melakukan oposisi-politik.43

E. Analisis Pergerakan Apa yang dilakukan oleh Kaiin Bapa Kayah dan pengikutnya ini, bukanlah pemberontakan serius yang dihadapi oleh pemerintah kolonial. Keikutsertaan orang-orang yang merasa tidak puas terhadap kebijakan dan perlakuan semena-mena aparat kolonial dan sekutunya – bergabung kepada pergerakan Kaiin Bapa Kayah (pemimpin millenarian) untuk mencari keselamatan dan kematangan hidup di masa depan, semuanya ini berangkat

41 Ibid, h. 76 42 Para pemimpin Islam, apakah haji atau kyai, biasanya telah menikmati prestise sosial yang tinggi di kalangan penduduk desa. Sebaliknya orang-orang kulit putih dan kaum priyai selalu dicap sebagai kafir, penuh dosa serta patut mengundang kemuakan pada umat. Lihat Sartono Kartodirdjo, Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and Development,Ibid, h. 88-90 43 Kartodirdjo, Sartono, Ratu Adil, op.cit, h. 33 103 dari niat untuk melawan ketidakadilan dan penindasan tersebut. Karena motivasi pergerakan yang begitu kuat, mereka tidak peduli dengan resiko sekecil apa pun, bahkan sampai mengorbankan darah dan nyawa mereka. Sayangnya, Semangat ini tidak diimbangi oleh perangkat komunikasi dan amunisi pertempuran yang dimiliki oleh pemerintah kolonial Belanda dan sekutunya, sehingga perlawanan ini hanya berumur singkat.44 Sebagaimana dikatakan oleh Michael Adas, “... Skala dan lamanya suatu gerakan sangat tergantung pada interaksi antara kemampuan para pemimpin pemberontak mengorganisasi dan mengarahkan pendukung mereka dengan keefektifan para kolonialis Eropa dalam menggunakan alat- alat penindasannya.”45 Kelompok pergerakan petani Tangerang di bawah komando seorang dalang karismatik, bernama Kaiin Bapa Kayah, bukanlah pemberontakan yang membahayakan pemerintah, mereka hanya melakukan protes sosial (demonstrasi) untuk melindungi diri sebagai kaum pribumi yang telah tergeser hak-hak hidupnya oleh orang-orang asing, tetapi perlakuan aparat kolonial dan sekutunya sangat berlebihan terhadap kelompok ini. Tampaknya pemerintah kolonial mengalami trauma dengan bibit-bibit pergerakan, yang sewaktu-waktu dapat membesar dan meluas seperti pernah terjadi dalam pergerakan Diponegoro, yang banyak menghabiskan tenaga dan biaya yang cukup besar. Sehingga kebijakan politik bumi hangus dilakukan untuk menindak dan mematikan benih-benih pemberontakan sedari awal, agar tak meluas dan membahayakan kepentingan kolonial di tanah-tanah partikelir yang telah menghasilkan pemasukan kas dari sektor pertanian dan perkebunan. Kebijakan penumpasan terhadap benih oposisi terhadap pemerintah kolonial Belanda, semata-mata dilakukan sebagai efek jera kepada orang- orang yang tidak sepaham dalam rangka pembungkaman suara terhadap kaum pribumi. Meskipun pergerakan Kaiin Bapa Kayah ini bersifat lokal dan terbatas pada wilayah tertentu di Tangerang, tetapi penjajah Belanda bersama sekutu tuan tanah, menganggap letupan-letupan ini sebagai potensi pengganggu kepentingan mereka.

44 Michael Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order, The University of North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press, 1988), h. 295 45 Michael Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order, The University of North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press, 1988), h. 296 104 Persiapan yang dilakukan para pengikut pergerakan bersama dengan pemimpinnya, tidak dilakukan dengan terorganisir dan profesional. Mereka hanya mempercayai kekuatan tradisional dan kepercayaannya kepada kekuatan magis, dari semua pengikut pergerakan, mereka juga tidak mempunyai pengalaman dan bekal pengetahuan perang yang memadai, meskipun sang pemimpin pergerakan pernah menjadi aparat kepolisian pemerintah kolonial. Merin adalah seorang Panglima Perang Pergerakan Kaiin Bapa Kayah, anak Ki Reog (guru kebatinan Kaiin), sekaligus cucu Raden Bagong (makamnya sering dikunjungi Kaiin di Kampung Parung Kored) – dianggap sebagai tokoh yang sakti dalam ilmu-ilmu kebatinan, tetapi ia tidak mempunyai pengalaman di medan pertempuran, apalagi menguasai strategi perang seperti Sentot Ali Basya, komandan perang Jawa, yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Michael Adas memuji kepiawaian Sentot dalam menerapkan taktik kick and run (serang-lari), sebagai salah satu strategi perang yang dihadapinya untuk menghadapi tentara Belanda yang gencar menyerang para pejuang dengan didukung oleh amunisi yang lebih canggih dan logistik yang tak terbatas.

“... Strategi serang-lari yang menghancurkan merupakan ciri komandan Diponegoro yang lebih kompeten, khususnya Sentot yang sangat muda dan pasukannya. Kemenangan demi kemenangan yang diperoleh melalui taktik ini sering mengagumkan, dan secara berulang-ulang mereka menghidupkan kembali semangat pemberontakan dalam tahap-tahap selanjutnya jika perlawanan melemah, yang mengikuti keberhasilan Belanda dalam perang konvensional.”46

Seandainya Kaiin menguasai teknik peperangan, ia tidak akan berani melawan di tempat terbuka, sebagaimana pangeran Diponegoro yang memimpin Perang Jawa hingga lima tahun. Diponegoro juga menggunakan strategi perang gerilya, dan menghindari bentrokan terbuka di daerah pemukiman atau perkotaan. Taktik perang gerilya menurut Adas, memang belum dapat mengantarkan para pemberontak pribumi kepada puncak kekuasaan yang hakiki. Strategi gerilya hanyalah salah satu aspek keberhasilan dari sebuah bentuk perlawanan. Kemenangan yang didapatkan para pemberontak, itu karena keberhasilannya dalam mengembangkan

46 Michael Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order, The University of North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press, 1988), h. 301 105 kekuatan militer setara dengan penjajah dan pengorganisasiannya secara moderen.47

Penggunaan seragam atau pakaian putih-putih dan topi anyaman bambu, secara tidak langsung memudahkan identifikasi pada kaum pergerakan, hal ini semakin memuluskan langkah tentara Belanda yang mengawal perjalanan mereka dari Kampung Pangkalan yang berniat menuju pusat kota Batavia. Baru sekitar 15 kilometer perjalanan, di daerah Tanah Tinggi (sekarang dekat kantor pemerintahan (Kota Tangerang)48, sekelompok pergerakan yang bermaksud menyampaikan aspirasi mereka kepada penguasa Belanda di Batavia – sudah dihentikan langkahnya, dengan persenjataan yang tidak sebanding, akhirnya mereka dapat dilumpuhkan, sang pemimpin pergerakan gugur di lokasi bentrokan, sedangkan pengikut pergerakan yang masih hidup dipenjarakan.

Penggunaan seragam ini, menjadi sebuah kesalahan langkah apabila menerapkan strategi gerilya. Dengan demikian, pengikut pergerakan tidak dapat membaur dengan masyarakat lainnya ketika dalam suasana terjepit. Masih menurut Michael Adas, selain keberhasilan menerapkan strategi peperangan, pasukan Diponegoro juga sulit diidentifikasi, karena mereka tidak memakai seragam khusus, sehingga pasukan Belanda tidak bisa mendeteksi keberadaan para pejuang sejak dini. Ketika tentara kolonial berupaya meredam kekuatan pasukan pemberontak di suatu pedesaan, pejuang pribumi lantas menyebar, beraktifitas selayaknya masyarakat biasa, tetapi bila balatentara penjajah berlalu, mereka kembali berkumpul dengan membawa senjata masing-masing.49

Gerakan protes sosial petani Tangerang yang dipimpin oleh Kaiin Bapa Kayah, memang berumur sangat singkat dan berakhir seketika itu dalam bentrokan fisik pada 10 Februari 1924, tetapi pengaruhnya dapat mewarnai perjuangan masyarakat pribumi setelahnya. Gerakan revolusi,

47 Michael Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order, The University of North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press, 1988), h. 303 48 Dari rute perjalanan kelompok pergerakan Kaiin Bapa Kayah, dari Kampung Pangkalan di Teluknaga (sekarang wilayah Kabupaten Tangerang) melalui daerah Tanah Tinggi (Kota Tangerang), nampaknya mereka berupaya menggunakan kereta api untuk menuju pusat kota Batavia. Hal ini tampak jelas bila kita datang ke daerah Tanah Tinggi, di sana terdapat jalur kereta api yang sudah ada sejak 1896 yang menghubungkan Anyer dan pusat kota Batavia. Dan sangat mungkin pula mereka berjalan kaki menuju kota Batavia yang masih berjarak + 22 kilometer dari Tanah Tinggi. 49 Michael Adas, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order, The University of North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil: Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press, 1988), h. 301 106 perlawanan kaum pribumi atau apa pun namanya yang terjadi di Tangerang, setelah peristiwa Tanah Tinggi, maka pergerakan lebih terorganisir, pola organisasi moderen juga sudah diterapkan, jejaring para pejuang sudah mulai luas dan bahkan berafiliasi dengan gerakan nasional yang semakin menjamur.

Sebagaimana diketahui Sarekat Islam telah membuka cabangnya di Afdeling Tangerang Tangerang pada tahun 1913 oleh Raden Gunawan, pimpinan SI Batavia yang berkunjung ke wilayah Tangerang. SI mulai menampakkan taringnya pada tahun 1920-an. Penjalaran ideologi Sarekat Islam ke tengah-tengah masyarakat Tangerang semakin massif, tatkala para kyai pesantren mulai bergabung di organisasi ini, tokoh yang paling populer adalah Kyai Haji Achmad Chairun yang pernah mengenyam pendidikan di pesantrennya Kyai Asnawi di Caringin, Banten. Kyai Chairun pernah melakukan perjalanan haji ke Haramayn sambil menuntut ilmu di sana, dan berguru kepada Kyai Tanahera, seorang tokoh Tarekat Hadiriyah, yang berasal dari Kampung Pasilihan (Balaraja, Tangerang).50

Selain Sarekat Islam, organisasi pergerakan nasional yang sudah hadir di Tangerang adalah Indische Social Democratische Veereniging (ISDV) yang diperkenalkan secara luas oleh Raden Hasan Djajadiningrat (tokoh ningrat dari Kesultanan Banten). Partai Komunis Indonesia (PKI), yang bermetamorfosa dari Sarekat Islam (merah) juga sudah menancapkan pengaruhnya di Tangerang, bahkan ketika terjadi Pemberontakan PKI di Banten pada 12 November hingga 5 Desember 1926, di Tangerang turut pula terjadi pada tanggal 12 November 1926. Pemberontakan PKI di Tangerang dipimpin oleh Muhammad Ali di daerah Cadas (Sepatan), yang juga menjadi basis massa Sarekat Islam, tercatat pula pengikut pergerakan ini berjumlah 500 orang (lebih banyak dari pada pengikut Kaiin Bapa Kayah, yang hanya berjumlah 40 orang). Ketika terjadi peristiwa tersebut, pemerintah kolonial hingga tanggal 24 November 1926, telah menangkap masyarakat di sekitar Sepatan sejumlah 344 orang.51

Perjuangan-perjuangan rakyat Tangerang pada kurun awal pergerakan nasional dilakukan secara sporadis dan tidak memiliki keahlian militer, baru pada masa Penjajahan Jepang, pelatihan militer mulai dilakukan di Tangerang. Pada bulan Januari 1943 didirikan pusat latihan para militer, yang menggembleng para pemuda Indonesia, pusat pelatihan ini dinamakan Tangerang Seinendojo. Pada generasi pertama Tangerang Seinendojo, telah

50 M. Dien Majid, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat Universitas Syaikh Yusuf Tangerang, 1992) h. 91 51 M. Dien Majid, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat Universitas Syaikh Yusuf Tangerang, 1992) h. 92 107 lulus tokoh-tokoh ternama di kemudian hari sebagai tokoh pahlawan Indonesia, seperti: Zulkifli Lubis, Kemal Idris, Daan Mogot, Yono Suwoyo, dan Supriyadi (yang dikenal sebagai perwira PETA). Pada generasi kedua juga muncul tokoh nasional A. Kosasih (pernah menjabat Gubernur Lemhanas) dan Umar Wira Hadikusumah (pernah menjadi Wakil Presiden RI), mereka semua mendapatkan pendidikan militer di Tangerang Seinendojo.52 Hal berbeda jikalau kita melihat pergerakan Kaiin Bapa Kayah di tahun sebelumnya, mereka tidak dibekali oleh perbekalan logistik militer yang memadai, senjata yang mereka bawa dalam pergerakan tersebut hanya perlengkapan bela diri secara tradisional yang hanya mampu digunakan saat para pejuang menghadapi musuh secara berhadap-hadapan. Senjata yang mereka bawa seperti: tombak, golok, keris, dan koin sebagai jimat tidak mampu menghadapi pistol dan senjata laras panjang yang dibawa oleh Tentara Belanda. Selain itu, pengikut Kaiin juga tidak dibekali oleh pengetahuan militer yang memadai, mereka hanya dilatih secara spiritual dengan melakukan ritual doa khusus, tidak dengan strategi peperangan ala militer. Dari kedua hal di atas, yakni: pengetahuan militer dan logistik perang, memang tidak dilakukan oleh pergerakan petani pimpinan Kaiin Bapa Kayah. Dari sini nampak jelas, bahwa sang pemimpin pergerakan tidak bermaksud mengadakan pemberontakan bersenjata, mereka hanya ingin menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah pusat kolonial di Batavia dan Buitenzorg, dan sekaligus menuntut keadilan atas hak milik tanah kaum pribumi di tanah partikelir Tangerang. Adapun senjata tradisional yang mereka bawa, hanya dipersiapkan sebagai pertahanan diri dari gangguan aparat kolonial yang menghambat perjuangan mereka. Sayangnya, pemerintah kolonial tidak mengindahkan tujuan dari pergerakan Kaiin ini, hingga terjadilah peristiwa nahas yang merenggut para pejuang Tangerang.

52 M. Dien Majid, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat Universitas Syaikh Yusuf Tangerang, 1992) h. 106 108

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada bab penutup ini, penulis memberikan catatan-catatan tentang pengharapan masyarakat terhadap juru selamat (ekspektasi mesianik) dan juga gerakan-gerakan millenarian yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Keadaan, kondisi, dan jiwa zaman dimana Kaiin Bapa Kayah masih hidup, masih diwarnai oleh kepercayaan tradisional dan mengakarnya tradisi ramalan Jayabaya mengenai kedatangan Ratu Adil yang akan membebaskan mereka dari penindasan, kezaliman, dan represifitas rezim yang berkuasa, serta terwujudnya impian masa depan yang sempurna – dimana tanah-tanah warisan nenek moyang akan kembali dimiliki para petani pribumi serta dihapuskan pajak dan kerja-kerja yang memberatkan mereka. Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari Gerakan Millenarian Kaiin Bapak Kayah di Tangerang pada tahun 1924 adalah sebagai berikut:

1. Terdapat beberapa faktor pendorong terjadinya protes sosial petani yang dipimpin oleh Kaiin Bapa Kayah di Tangerang pada tahun 1924; a. Protes para petani dan rakyat Tangerang sesungguhnya bersumber pada permasalahan distribusi ekonomi dan politik yang tidak seimbang. Di satu sisi ada kelompok yang mengalami kesulitan hidup (kebanyakan kaum pribumi), di lain pihak kebetulan saja orang-orang yang memiliki kuasa ekonomi di Tangerang adalah para Tuan Tanah yang mayoritas berbangsa Tionghoa. Hal ini menepis anggapan bahwa gerakan Kaiin Bapa Kayah dan para pengikutnya sebagai konflik yang berbau Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). b. Dari Peristiwa Tangerang 1924 ini, dapat dianalisa pula terdapat faktor deprivasi. Menurut teori Deprivasi-Relatif, munculnya perlawanan para petani dan masyarakat pribumi karena terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang terdeprivasi baik karena agama, tradisi, harta benda, dan status, mereka bersatu-padu melawan segala bentuk penindasan yang dilakukan para penguasa tiran kala itu, hal ini menurut David Aberle, diakibatkan karena ketidaksesuaian negatif antara harapan yang wajar dengan kenyataannya, sehingga terjadinya perampasan (deprivasi) atas hak-hak kaum pribumi. 2. Dari uraian pada bab-bab terdahulu, dapatlah terlihat konsep Millenarian Kaiin Bapa Kayah merujuk kepada sumber lokal maupun referensi impor;

109 110 a. Sumber lokal, yakni kepercayaan kaum pribumi terhadap budaya dan tradisi yang diwariskan secara turun temurun. 1) Para petani Tangerang dan pengikut pergerakan Kaiin Bapa Kayah, mereka hidup di alam tradisional, karena itu mereka sangat memegang adat dan sifat tradisionalistisnya, standar normatif kehidupan di masa itu adalah norma-norma adat dan tradisionalitas. Sehingga perubahan yang terjadi dan sistem moderen yang dibawa oleh orang asing akan mengancam nilai- nilai tradisional mereka. Kepercayaan kepada ramalan Jayabaya dan pengharapan millenarian Ratu Adil merupakan bagian dari nilai-nilai tradisionalitas. Kehadiran Ratu Adil sangat diharapkan untuk mempertahankan status-quo (kemapanan tradisi). 2) Ide ratuadilisme (mesianisme lokal) yang merujuk kepada tradisi lisan dan tulisan dari tokoh legendaris Jawa, raja Jayabaya, dalam perjalanan sejarah Indonesia menjadi perekat yang sangat efektif untuk mempersatukan kaum pribumi, khususnya kaum petani bergerak melawan ketidakadilan, penindasan, dan ekspolitasi yang dilakukan orang asing, pemerintah kolonial, dan sekutu pribuminya, yang telah melecehkan dan merusak nilai-nilai tradisional mereka.

b. Referensi impor, adalah kepercayaan kaum pribumi yang diadopsi dari kontak budaya dan keyakinan pendatang asing (terutama dari agama Islam, Hindu, dan Budha). 1) Kepercayaan Mahdisme (Imam Mahdi) dalam sumber asing terutama aliran syiah dan sedikit tersamar dalam tradisi sunni. Konsep mahdisme dalam Islam memperkuat tradisi ramalan lokal. Konsep ini meyakini kedatangan tokoh penyelamat sebelum terjadinya masa penghancuran zaman, hal ini mirip tradisi “Ratu Adil” yang akan menghalau Belanda dan menghapuskan penderitaan rakyat pribumi. Dari konsep mahdisme, terlihat sekali pengaruh eskatologi dalam kepercayaan Islam tentang masa penghancuran duniawi diadopsi oleh Kaiin Bapa Kayah guna meyakini para pengikutnya agar berada dalam barisan perjuangannya. 2) Selain itu dalam sumber Islam, Kaiin Bapa Kayah menegaskan kepada pengikutnya bahwa protes melawan kezhaliman para tuan tanah Tionghoa, pemerintah Belanda, dan kroninya merupakan jihad dan kematiannya dianggap sebagai martir (Syahid). 3) Pergerakan Kaiin Bapa Kayah dalam sejumlah arsip laporan pemerintah kolonial dan juga para pengamat dianggap sebagai

111 gerakan mesianistis. Hal ini sebagaimana disinggung oleh R. Toewoeh, Assisten Wedana Teluknaga dalam Berita Acara yang dibuatnya sebagai laporan kepada pemerintah kolonial dan Sartono Kartodirdjo dalam bukunya berjudul Ratu Adil. Kedua pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa pemakaian gelar seperti “Prabu Rabbul „Aalamiin”, “Sang Hyang Tunggal”, “Sayyidina Ali”, dan “Arjuna” adalah istilah-istilah dalam agama Islam dan Hindu-Budha, mengandung pengertian sebagai tokoh mesianik, sakral (suci), dekat dengan Sang Pecipta dan sosok karismatik yang memiliki ilmu lahiriyyah dan batiniyyah. Kaiin Bapa Kayah sebagai pemimpin pergerakan memakai legitimasi ini dari sumber-sumber keagamaan berharap kepada para petani dan masyarakat pribumi yang lekat dengan keyakinan agamanya agar mengikuti pergerakan mulia ini. 4) Sosok Arjuna yang diimpor dari kitab Mahabarata (kepercayaan India), mendapat tempat pula di dalam Perjuangan Kaiin, yang juga seorang Dalang, dimana profesi ini menjadikannya kagum kepada tokoh pewayangan yang satu ini, sehingga turut menginspirasi dirinya untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan dan kesewenangan yang dilakukan para tuan tanah dan aparat kolonial. 3. Impian millenarian Kaiin Bapa Kayah mempengaruhi petani di Tangerang untuk mengikuti gerakan perubahan; a. Pendekatan yang dilakukan oleh Kaiin Bapa Kayah bersifat tradisional. Dimana semua elemen masyarakat merasa berkewajiban menjaga tradisi dan agama yang mereka anut. Sehingga gerakan Kaiin untuk melawan perubahan yang terjadi dan menjanjikan zaman sempurna yang akan mengangkat harkat dan martabat semua penduduk dengan tatanan yang lebih adil kepada semua – mendapat tempat di hati masyarakat. b. Sokongan dari para pemuka agama, guru kebatinan, saudagar dan lain sebagainya. Menandakan bahwa pergerakan ini bukan semata-mata perlawanan kaum petani saja, tetapi juga keinginan kaum pribumi untuk bersatu padu mencapai zaman baru yang dicita-citakan. Hal ini melegitimasi pergerakan millenarian Kaiin Bapa Kayah, sehingga kelompok-kelompok yang terdeprivasi menyatu dalam visi millenarian dari pergerakan tersebut.

B. Saran Setelah melakukan penelitian ini, maka kami anggap perlu memberikan catatan sebagai saran kepada para pihak agar meneruskan

112 temuan-temuan dalam penelitian ini menjadi sebuah tindakan nyata dalam penentuan-penentuan kebijakan. Adapun masukan yang kami berikan sebagai saran adalah sebagai berikut: 1. Kepada pihak Fakultas Adab dan Humaniora, khususnya Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam baik di tingkat S1 maupun S2; agar mendukung penelitian sejarah dan memfasilitasi mahasiswa dalam melakukan studinya. Lebih kongkretnya, sesuai dengan visinya yang ingin mengedepankan kajian Islam Nusantara, maka sudah selayaknya kajian-kajian filologis, terutama lektur klasik Melayu untuk dikaji lebih lanjut, hal ini dilakukan sebagai penegas atau ciri khas dari kajian sejarah dengan institusi lainnya. 2. Kepada pemerintah daerah Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan; tokoh Kaiin Bapa Kayah adalah sosok pahlawan lokal yang layak diberi penghargaan, karena berkat perjuangannya nama Tangerang dahulu dikenal di dunia internasional. Karena itu, pemerintah daerah wajib menghargai jasa dan kontribusinya yang sudah jelas, misalnya nama Kaiin Bapa Kayah dijadikan nama jalan raya sebagaimana Tokoh Pahlawan lokal Kota Depok, Margonda. 3. Dalam menghadapi konflik agraria, pemerintah wajib mencarikan solusi alternatif yang jitu, sebelum merebak dan menjalar kepada persoalan SARA. Karena hal itu perlu dilihat secara matang sebab-sebab permasalahan bukan mengkaitkan dengan suku atau etnis tertentu.

Kemudian saran bagi peneliti lain, agar melanjutkan kajian pergerakan sosial-keagamaan melalui pendekatan multidimensional. Karena jika seorang memakai satu pendekatan, niscaya ada satu jarak yang terpisah dalam pengambilan kesimpulan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik (ed.), Sejarah Lokal di Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 1996), Cet. Ke-4 Aberle, David, Catatan Mengenai Teori Deprivasi-Relatif Sehubungan Dengan Gerakan Millenarian dan Gerakan Cult Lainnya, dalam Sylvia L. Thrupp, (ed), Millenial Dreams in Action: Studies in Revolutionary Relegions Movements, Schocken Books, New York, 1970, (terj), Gebrakan Kaum Mahdi, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), h. 352-362 Adas, Michael, Prophet of Rebellion Millenarian Protest Movements against the European Colonial Order, The University of North Carolina Press, 1979, (terj), Ratu Adil : Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme Eropa, (Jakarta: Rajawali Press, 1988) Amini, Ibrahim, Al-Imam al-Mahdi: The Just Leader of Humanity, (terj) Imam Mahdi Penerus Kepemimpinan Ilahi Studi Komprehensif dari Jalur Sunnah dan Syi’ah tentang Eksistensi Imam Mahdi, (Jakarta: Islamic Center Jakarta, 2002) cet. Ke-1 Any, Andjar, Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawarsita dan Sabdo Palon, (Semarang: Penerbit Aneka Ilmu, 1989) Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan-laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada Abad XX, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah, (Jakarta: ANRI, 1981) Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2013) Al-Qazuraini, Al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad Ibnu Yazid, (peny.), Sunan Ibnu Majah, (Kairo: Darul Hadits, 1998), cet. Ke-1 Baigent, Michael, et.al., (Terj.), The Messianic Legacy: Warisan Abadi Seorang Mesias, (Jakarta: Ramala Books, 20017), Cet. Ke-1 Berg, L.W.C van den, Orang Arab di Nusantara, (Depok: Komunitas Bambu, 2010) Blusse, Leonard, Persekutuan Aneh, Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC, (Yogyakarta: LkiS, 2004), Cet. Ke-1 Both, Anne, et.al, Sejarah Ekonomi Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988) Brakel, L.F., The Story of Muhammad Hanafiyyah a Medieval Muslim Romance, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1977)

113 114

Brug, Peter H. van der, Batavia yang Tidak Sehat dan Kemerosotan VOC pada Abad Kedelapan Belas, dalam Kees Grijns dan Peter J.M. Nas, (Peny.), Jakarta Batavia Esai Sosio-Kultural, (Jakarta: Banana dan KITLV, 2000) Budiman, Folklore Betawi, (Jakarta: Dinas Pendidikan & Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, 1979 Chaer, Abdul, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehiudpan Orang Betawi, (Jakarta: Masup Jakarta, 2012), Cet. Ke-1 Cortesao, Armando, (ed.), The Suma Oriental of Tome Pires and The Book of Francisco Rodrigues, (Liechtenstein: Kraus Reprint Limited, 1967), Vol. I Dawud, Muhammad Isa, Al-Mahdi al-Muntazhar ‘ala al-Abwab: Qahir al- Masih al-Dajjal (terj), Menyongsong Imam Mahdi Sang Penakluk Dajjal, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002) cet. Ke-3 Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, Bunga Rampai Sastra Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, 2002) Ekadjati, Edi S. et.al., Sejarah kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Tangerang, 2004) Fang, Liaw Yock, Sejarah Kesusastraan Melayu, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011), Edisi I Grijns, Kees, dan Peter J.M. Nas, (Peny.), Jakarta Batavia Esai Sosio- Kultural, (Jakarta: Banana dan KITLV, 2000) Guillot, Claude, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), Cet. Ke-2 Harapan, Anwarudin, Sejarah, Sastra, dan Budaya Betawi, (Depok: Asosiasi Pelatih Pengembangan Masyarakat, 2006) Hodgson, Marshall G.S., Sebuah Catatan tentang Millenium dalam Islam, dalam Sylvia L. Thrupp, (ed), Millenial Dreams in Action: Studies in Revolutionary Relegions Movements, (New York: Schocken Books, 1970), (terj), Gebrakan Kaum Mahdi, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984) Holt, Claire (ed), Culture & Politics in Indonesia, (New York: Ithaca, 1972) Jackson, Karl. D, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan Studi Kasus Darul Islam Jawa Barat, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,1990), Cet ke-1

115

Kartodirdjo, Sartono, Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and Development, dalam Claire, Holt (ed), Culture & politics in Indonesia, (New York: Ithaca, 1972) ______, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif, (Jakarta: PT Gramedia, 1982) ______, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993) ______, Ratu Adil, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), cet. Ke-1 Kommer, H., Tjerita Njonja Kong Hong Nio: Satoe Toean Tanah di Babakan Afdeeling Tangerang, Betawi, (Batavia: 1900) Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1994), Cet. Ke-1 ______, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 1995) Lauder, Multamia R.M.T., Pemetaan dan Distribusi Bahasa-bahasa di Tangerang, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993) Lohanda, Mona, Sejarah Pembesar mengatur Batavia, (Jakarta: Masup Jakarta, 20017), Cet. Ke-1 Madjid, M. Dien dan Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2014), Cet. Ke-1 Majid, M. Dien, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat Universitas Syaikh Yusuf Tangerang, 1992) Malley, J.O., “Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar”, h. 197-235, dalam Anne Both, et.al, Sejarah Ekonomi Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1988) Mataram, Tjantrik, Ichtiarkanlah terlaksananya Peranan Ramalan Djojobojo dalam Revolusi Kita, (Bandung: Masa Baru, 1948), cet. ke- 3 Mukhlishah, Peranan Kaiin Bapak Kayah dalam Gerakan Sosial Petani Tangerang terhadap Dominasi Cina Tahun 1924, (Jakarta: Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, 2005) Nahdi, Saleh A, Imam Mahdi atau Ratu Adil, (Jakarta: PT. Arista Brahmatyasa, 1992) Nur-Karim, et.al, Kumpulan Cerita Wayang Versi Pecenongan: Suntingan Teks, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2012) Pranoto, Suhartono W., Jawa: (Bandit-bandit Pedesaan) Studi Historis 1850-1942, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), Cet. Ke-1

116

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (ed.), Sejarah Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), Edisi Pemutakhiran Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2008), cet. Ke-2 Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al- Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), cet. Ke-2 Soesilo, Sekilas tentang Ajaran Kejawen sebagai Pedoman Hidup, (Surabaya: CV Medayu Agung, 2000), cet. Ke-1 Suryadi, Didi, Pemberontakan Petani di Tangerang, 1924, dalam kumpulan artikel Seminar Sejarah Nasional III, Seksi Sejarah Perlawanan terhadap Belanda 2, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional, 1982) Suryana, Nana, et.al., Sejarah Kabupaten Tangerang, (Tangerang: Pemda Tk. II Tangerang dan LPPM Universitas Syaikh Yusuf Tangerang, 1992) Thrupp, Sylvia L. (ed), Millenial Dreams in Action: Studies in Revolutionary Relegions Movements, (New York: Schocken Books, 1970), (terj), Gebrakan Kaum Mahdi, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984) Vlekke, Bernard H.M, Nusantara: Sejarah Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), Cet. Ke-5 Wahid, Abdurrahman, Membaca Sejarah Nusantara, (Yogyakarta: LkiS, 2010), cet. Ke-1 Wiktorowicz, Quintan., (ed.), Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama Republik Indonesia, 2007) Winangun, Y. Wartaya, Tanah Sumber Nilai Hidup, (Yogyakarta: Kanisius, 2004)

Manuskrip dan Arsip Muhammad Bakir bin Syafi’an bin Fadhli, Hikayat Maharaja Garabak Jagat, (Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 251 ______, Wayang Arjuna, (Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 244

117

______, Wayang Pandu, (Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 241 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah, Nomor Panggil: BR 211 ______, Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah, Nomor Panggil: ML 184 ______, Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah, Nomor Panggil: ML 359 ______, Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah, Nomor Panggil: ML 446 ______, Hikayat Muhammad Hanafiyyah, Nomor Panggil: W 69 ______, Syair Cerita Wayang, Nomor Panggil: ML 248 Berita acara dibuat oleh Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh) mengenai peristiwa Tangerang ttg. 10 Februari 1924, dalam Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan-laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada Abad XX, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah, (Jakarta: ANRI, 1981) Hasil penyelidikan sebab-sebab dari peristiwa Tangerang pada tanggal 10 Februari 1924, dari Penasehat Urusan Bumiputra (R.A. Kern), 30 September 1924 dalam Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan- laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada Abad XX, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah, (Jakarta: ANRI, 1981)

Ensiklopedi, Majalah, Surat Kabar dan Makalah Cohen, Stuart Abraham B., “Eroe Tjakra”, Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde (BKI), No.19, 1872, h. 285-88 Ilyas, “Trend Topi Boni dalam Sejarah Perlawanan Petani Tangerang”, Tangsel Pos, Rabu, 10 Februari 2016 Kartodirdjo, Sartono, Messianisme dan Futurisme, dalam majalah Prisma, No.1, Januari 1984, tahun XIII ______, “Tjatatan tentang Segi-segi Messianistis dalam Sedjarah Indonesia” dalam Lembaran Sedjarah, (Seksi Penelitian Djurusan Sedjarah Fakultas Sastra dan Kebudajaan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta), Edisi Juni, No. 7, Tahun 1971

118

Mahasin, Aswab dan Daniel Dhakidae, “Gerakan Messianis dan Aspirasi Petani: Sebuah Pengantar”, Prisma, edisi 1 Januari 1977, Tahun VI, h. 3-9 Rasyidi, “Imam Mahdi dan Harapan akan Keadilan”, Prisma, edisi 1 Januari 1977, Tahun VI, h. 45-7 Ricklefs, Merle Calvin dalam Agus Hidayat dan Syaiful Amin, “Menyibak Rahasia Mantra”, Tempo, edisi 22-28 September 2003, h. 72-3 Shahab, Alwi, “Pemberontakan Tangerang 1924”, Republika, Ahad 20 April 2008, h. A 11 Subarkah, Muhammad, “Di Bawah Bayang Ratu Adil”, Republika, Senin 2 Juni 2014, h. 27 ______, “Mitos Pemicu Gerakan Sosial”, Republika, Senin 2 Juni 2014, h. 28 Stibbe, D.G., Encyclopedie van Nederlandsch-West Indie, (1921), Jilid IV Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), Cet. Ke-1, Edisi Ke-4 Utami, Kinanti Putri, Perbandingan Naskah-naskah Hikayat Muhammad Hanafiyah, Makalah Mata Kuliah Kritik Teks, (Depok: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2008) Wahid, Abdurrahman, “Mahdiisme dan Protes Sosial”, Prisma, edisi 1 Januari 1977, Tahun VI, h. 63-70 Wiselius, Jacob A.B, “Djaja Baja, Zijn Leven en Profetieen”, Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde (BKI), No. 19, 1872, h. 172-217 Yayasan Untuk Indonesia, Ensiklopedi Jakarta, (Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 2005), Buku III

Sumber Gambar Ilustrasi Gambar oleh Riki Nurcholis Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Pembuat Topi-topi Pandan "Panama" (biasa disebut topi pandan), sumber foto: Dutch East Indies, 1931, Nomor Panggil: ALBUM 60A - 901.9 Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Pembuat topi-topi panama di Tangerang dekat Jakarta, sumber foto: Dutch East Indies, 1932, Nomor Panggil: ALBUM 60A - 903.10

119

Sumber Internet http://nu.or.id http://pelatihan-k3.com http://pnri.go.id http://wikipedia.co.id 120

Lampiran I

RAMALAN JAYABAYA MUSARAR1

ASMARANDANA 1. Kitab Musarar inganggit, Duk Sang Prabu Joyoboyo, Ing Kediri kedhatone, Rartu agagah prakosa, Tan ana kang malanga, Parang muka samya teluk, Pan sami ajrih sedaya, 2. Milane sinungan sakti, Bathara Wisnu punika, Anitis ana ing kene, Ing Sang Prabu Jayabaya, Nalikane mangkana, Pan jumeneng Ratu Agung, Abala para Narendra, 3. Wusnya mangkana winarni, Lami-lami apeputra, Jalu apekik putrane, Apanta sampun diwasa, Ingadekaken raja, Pagedongan tanahipun, Langkung arja kang nagara, 4. Maksihe bapa anenggih, Langkung suka ingkang rama, Sang Prabu Jayabayane, Duk samana cinarita, Pan arsa katamiyan,

1 Dikutip dari Any, Andjar, Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawarsita dan Sabdo Palon, (Semarang: Penerbit Aneka Ilmu, 1989), h. 53-65

121 122

Raja Pandita saking Rum, Nama Sultan Maolana, 5. Ngali Samsujen kang nami, Sapraptane sinambrama, Kalawan pangabektine, Kalangkung sinuba suba, Rehning tamiyan raja, Lan seje jinis puniku, Wenang lamun ngurmatana. 6. Wus lenggah atata sami, Nuli wau agandika, Jeng Sultan Ngali Samsujen, “ Heh Sang Prabu Jayabaya, Tatkalane ta iya, Apitutur ing sireku, Kandhane Kitab Musarar. 7. Prakara tingkahe nenggih, Kari ping telu lan para, Nuli cupet keprabone, Dene ta nuli sinelan, Liyane teka para,” Sang Prabu lajeng andeku, Wus wikan titah Bathara. 8. Lajeng angguru sayekti, Sang-a Prabu Jayabaya, Mring Sang raja panditane, Rasane Kitab Musarar, Wus tunumplak sadaya, Lan enget wewangenipun, Yen kantun nitis ping tiga. 9. Benjing pinernahken nenggih, Sang-a Prabu Jayabaya, Aneng sajroning tekene,

123

Ing guru Sang-a Pandita, Tinilar aneng Kakbah, Imam Supingi kang nggadhuh, Kinarya nginggahken kutbah. 10. Ecis wesi Udharati, Ing tembe ana molana, Pan cucu Rasul jatine, Alunga mring Tanah Jawa, Nggawa ecis punika, Kinarya dhuwung puniku, Dadi pundhen bekel Jawa. 11. Raja Pandita apamit, Musna saking palenggahan, Tan antara ing lamine, Pan wus jangkep ing sewulan, Kondure Sang Pandita, Kocapa wau Sang Prabu, Animbali ingkang putra. 12. Tan adangu nulya prapti, Apan ta lajeng binekta, Mring kang rama ing lampahe, Minggah dhateng ardi padhang, Kang putra lan keng rama, Sakpraptanira ing gunung, Minggah samdyaning arga. 13. Wonten ta ajar satunggil, Anama Ajar Subrata, Pan arsa methuk lampahe, Mring Sang Prabu Jayabaya, Ratu kang namur lampah, Tur titis Bathara Wisnu, Njalma Prabu Jayabaya. 14. Dadya Sang Jayabaya ji,

124

Waspada reh samar-samar, Kinawruhan sadurunge, Lakune jagad karana, Tindake raja-raja, Saturute laku putus, Kalawan gaib sasmita. 15. Yen Islama kadi nabi, Ri Sang aji Jayabaya, Cangkrameng ardi wus suwe, Apanggih lawan ki Ajar, Ajar ing gunung padhang, Awindon tapane guntur, Dadi barang kang cinipta. 16. Gupuh methuk ngacarani, Wus tata dennya alenggah, Ajar angundang endhange, Siji nyunggi kang rampadan, Isine warna-warna, Sapta warna kang sesuguh, Kawolu lawan ni endang. 17. Juwadah kehe satakir, Lan bawang putih satalam, Kembang melathi saconthong, Kalawan getih sapitrah, Lawan kunir sarimpang, Lawan kajar sawit iku, Kang saconthong kembang mojar. 18. Kawolu endang sawiji, Ki Ajar pan atur sembah, “Punika sugataningong, Katura dhateng paduka,” Sang Prabu Jayabaya, Awas denira andulu,

125

Sedhet anarik curiga. 19. Ginoco ki Ajar mati, Endhange tinuweg pejah, Dhuwung sinarungken age, Cantrike sami lumajar, Ajrih dateng sang nata, Sang Rajaputra gegetun, Mulat solahe kang rama. 20. Arsa matur putra ajrih, Lajeng kondur sekaliyan, Sapraptanira kedhaton, Pinarak lan ingkang putra, Sumiwi munggweng ngarsa, Angandika Sang-a Prabu, Jayabaya mring kang putra. 21. “Heh putraningsun ta kaki, Sira wruh solahing Ajar, Iya kang mati dening ngong, Adosa mring guruningwang, Jeng Sultan Maolana, Ngali Samsujen ta iku, Duk maksih sami nom-noman.

126

SINOM 1. Pan iku uwis winejang, Mring guru Pandita Ngali, Rasane kitab Musarar, Iya padha lawan mami, Nangging anggelak janji, Cupet lelakoning ratu, Iya ing tanah Jawa, Ingsung pan wus den wangeni, Kari loro kaping telune ta ingwang. 2. Yen wis anitis ping tiga, Nuli ana jaman maning, Liyane panggaweningwang, Apan uwus den wangeni, Mring pandita ing nguni, Tan kena gingsir ing besuk, Apan talinambangan, Dene Maolana Ngali, Jaman catur semune segara asat. 3. Mapan iku ing Jenggala, Lawan iya ing Kediri, Ing Singasari Ngurawan, Patang ratu iku maksih, Bubuhan ingsun kaki, Mapan ta durung kaliru, Negarane raharja, Rahayu kang bumi-bumi, Pan wus wenang anggempur kang dora cara. 4. Ing nalika satus warsa, Rusake negara kaki, Kang ratu patang negara, Nuli salin alam malih,

127

Ingsun nora nduweni, Nora kena milu-milu, Pan ingsun wus pinisah, Lan sedulur bapa kaki, Wus ginaib prenahe panggonan ingwang. 5. Ana sajroning kekarah, Ing tekene guru mami, Kang nama raja Pandita, Sultan Maolana Ngali, Samsujen iku kaki, Kawruhana ta ing mbesuk, Saturun turunira, Nuli ana jaman maning, Anderpati arane Kalawisesa. 6. Apan sira linambangan, Sumilir kang naga kentir, Semune liman pepeka, Pejajaran kang negari, Ilang tingkahing becik, Nagara kramane suwung, Miwah Yudanegara, Nora ana anglabeti, Tanpa adil satus taun nuli sirna. 7. Awit perang padha kadang, Dene pametune bumi, Wong cilik pajeke emas, Sawab ingsun den suguhi, Marang si Ajar dhingin, Kunir sarimpang ta ingsun, Nuli asalin jaman, Majapahit kang nagari, Iya iku Sang-a Prabu Brawijaya. 8. Jejuluke Sri Narendra,

128

Peparab Sang Rajapati, Dewanata alam ira, Ingaranan Anderpati, Samana apan nenggih, Lamine sedasa windu, Pametuning nagara, Wedala arupa picis, Sawab ingsung den sguhi mring si Ajar. 9. Juwadah satakir iya, Sima galak semu nenggih, Curiga kethul kang lambang, Sirna salin jaman maning, Tanah Gelagahwangi, Pan ing Demak kithanipun, Kono ana agama, Tetep ingkang amurwani, Ajejuluk Diyanti Kalangwisaya. 10. Swidak gangsal taun sirna, Pan jumeneng Ratu Adil, Para wali lan pandhita, Sadaya pan samya asih, Pametune wong cilik, Ingkang katur marang Ratu, Rupa picis lan uwang, Sawab ingsun den suguhi, Kembang mlathi mring ki Ajar gunung padang. 11. Kaselak kampuhe bedhah, Kekesahan durung kongsi, Iku lambange dyan sirna, Nuli ana jaman maning, Kalajangga kang nami, Tanah Pajang kuthanipun, Kukume telad Demak,

129

Tan tumurun marang siwi, Tigangdasa enem taun nuli sirna. 12. Semune lambang Cangkrama, Putung ingkang watang nenggih, Wong ndesa pajege sandhang, Picis ingsun den suguhi, Iya kajar sauwit, Marang si Ajar karuhun, Nuli asalin jaman, Ing Mataram kang nagari, Kalasakti Prabu Anyakrakusumo. 13. Kinalulutan ing bala, Kuwat prang ratune sugih, Keringan ing nungsa Jawa, Tur iku dadi gegenti, Ajar lan para wali, Ngulama lan para nujum, Miwah para pandhita, Kagelung dadi sawiji, Ratu dibya ambeg adil paramarta. 14. Sudibya apari krama, Alus sabaranging budi, Wong ciliki wadela reyal, Sawab ingsun den suguhi, Arupa bawang putih, Mring ki Ajar iku mau, Jejuluke negara, Ratune ingkang miwiti, Sarukalpa semune lintang sinipat. 15. Nuli kembang sempol tanpa, Modin sreban lambang nenggih, Panjenengan kapit papat, Ratune ingkang mekasi,

130

Apan dipun lambangi, Kalpa sru kanaka putung, Satus taun pan sirna, Wit mungsuh sekuthu sami, Nuli ana nakoda dhateng merdagang. 16. Iya aneng tanah Jawa, Angempek tanah sethithik, Lawas-lawas tumut aprang, Unggul sasolehe nenggih, Kedhep neng tanah Jawi, Wus ngalih jamanireku, Maksih turun Mataram, Jejuluke kang negari, Nyakrawati kedhatone tanah Pajang. 17. Ratu abala bacingah, Keringan ing nuswa Jawi, Kang miwiti dadi raja, Jejuluke Layon Keli, Semu satriya brangti, Iya nuli salin ratu, Jejuluke sang nata, Semune kenya musoni, Nora lawas nuli salin panjenengan. 18. Dene jejuluke nata; Lung gadung rara nglingkasi, Nuli salin gajah meta, Semune tengu lelaki, Sewidak warsa nuli, Ana dhawuhing bebendu, Kelem negaranira, Kuwur tataning negari, Duk semana pametune wong ing ndesa. 19. Dhuwit anggris lawan uwang,

131

Sawab ingsun den suguhi, Rupa getih mung sapitrah, Nuli retu kang nagari, Ilang barkating bumi, Tatane Parentah rusuh, Wong cilik kesrakatan, Tumpa-tumpa kang bilahi, Wus pinesthi nagri tan kena tinambak. 20. Bojode ingkang negara, Narendra pisah lan abdi, Prabupati sowang-sowang, Samana ngalih nagari, Jaman kutila genti, Kara murka ratunipun, Semana linambangan, Dene Maolana Ngali, Panji loro semune Pajang Mataram. 21. Nakoda melu wasesa, Kaduk bandha sugih wani, Sarjana sirep sadaya, Wong cilik kawelas asih, Mah omah bosah-basih, Katarajang marga agung, Panji loro dyan sirna, Nuli Rara ngangsu sami, Randha loro nututi pijer tetukar. 22. Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih, Lajengipun sinung lambang, Dene Maolana Ngali, Samsujen Sang-a Yogi, Tekane Sang Kala Bendu Ing Semarang Tembayat,

132

Poma den samya ngawruhi, Sasmitane lambang kang kocap punika. 23. Dene pajege wong ndesa, Akeh warninira sami, Lawan pajeg mundak-mundak, Yen panen datan maregi, Wuwuh suda ing bumi, Wong dursila saya ndarung, Akeh dadi durjana, Wong gedhe atine jail, Mundhak tahun mundhak bilaining praja. 24. Kukum lan yuda nagara, Pan nora na kang nglabeti, Salin-salin kang parentah, Aretu patraping adil, Kang bener-bener kontit, Kang bandhol-bandhol pan tulus, Kang lurus-lurus rampas, Setan mindha wahyu sami, Akeh lali mring Gusti miwah wong tuwa. 25. Ilang kawiranganingdyah, Sawab ingsun den suguhi, Mring ki Ajar Gunung Padang, Arupa endang sawiji, Samana den etangi, Jaman sewu pitung atus, Pitung puluh pan iya, Wiwit prang tan na ngaberi, Nuli ana lamate negara rengka. 26. Akeh ingkang gara-gara, Udan salah mangsa prapti, Akeh lindhu lan grahana, Dalajate salin-salin,

133

Pepati tanpa aji, Anutug ing jaman sewu, Wolong atus ta iya, Tanah Jawa pothar-pathir, Ratu Kara Murka Kuthila pan sirna. 27. Dene busuk nuli ana, Tekane kang Tunjung Putih, Semune pudhak kasungsang, Bumi Mekah dennya lair, Iku kang angratoni, Jagad kabeh ingkang mengku, Juluk Ratu Amisan, Sirep musibating bumi, Wong nakoda milu manjing ing samuwan, 28. Prabu tusing waliyulah, Kadhatone pan kekalih, Ing Mekah ingkang satunggal, Tanah Jawi kang sawiji, Prenahe iku kaki, Perak lan gunung Perahu, Sakulone tempuran, Balane samya jrih asih, Iya iku ratu rinenggeng sajagad. 29. Kono ana pangapura, Ajeg kukum lawan adil, Wong cilik pajege dinar, Sawab ingsun den suguhi, Iya kembang saruni, Mring ki Ajar iku mau, Ing nalika semana, Mulya jenenging narpati, Tur abagus eseme lir madu puspa.

134

DANDANGGULA 1. Langkung arja jamane narpati, Nora nana pan ingkang nanggulang, Wong desa iku wadale, Kang duwe pajeg sewu, Pan sinuda dening Narpati, Mung metu satus dinar, Mangkana winuwus, Jamanira pan pinetang, Apan sewu wolungatus anenggih, Ratune nuli sirna. 2. Ilang tekan kandhatone sami, Nuli rusak iya nungsa Jawa, Nora karuwan tatane, Pra nayaka sadarum, Miwah manca negara sami, Pada sowang-sowangan, Mangkana winuwus, Mangkana Allahu Tangala, Anjenengken Sang Ratu Asmarakingkin, Bagus maksih taruna, 3. Iku mulih jenenge Narpati, Wadya punggawa sujud sadaya, Tur padha rena prentahe, Kadhatone winuwus, Ing Kediri ingkang satunggil, Kang siji tanah Ngarab, Karta jamanipun, Duk semana pan pinetang, Apan sewu lwih sangang atus anenggih, Negaranira rengka. 4. Wus ndilalah kersaning Hyang Widhi, Ratu Peranggi anulya prapta,

135

Wadya tambuh wilangane, Prawirane kalangkung, Para ratu kalah ngajurit, Tan ana kang nanggulang, Tanah Jawa gempur, Wus jumeneng tanah Jawa, Ratu Prenggi ber budi kras anglangkungi, Tetep neng tanah Jawa. 5. Enengena Sang Nateng Parenggi, Prabu ing Rum ingkang ginupita, Lagya siniwi wadyane, Kya patih munggweng ngayun, Angandika Sri Narapati, “Heh patih ingsun myarsa, Tanah Jawa iku, Ing mangke ratune sirna, Iya perang klawan Ratu Parenggi, Tan ana kang nanggulang. 6. Iku patih mengkata tumuli, Anggawaa ta sabalanira, Poma tundungen den age, Yen nora lunga iku, Nora ingsun lilani mulih”, Ki Patih sigra budal, Saha balanipun, Ya ta prapta Tanah Jawa, Raja Prenggi tinundhung dening ki patih, Sirna sabalanira. 7. Nuli rena manahe wong cilik, Nora ana kang budi sangsaya, Sarwa murah tetukone, Tulus ingkang tinandur, Jamanira den jujuluki,

136

Gandrung-gandrung neng marga, Andulu wong gelung, Kekendon lukar kawratan, Keris parung dolen tukokena nuli, Campur bawur mring pasar. 8. Sampun tutug kalih ewu warsi, Sunya ngegana tanpa tumingal, Ya meh tekan dalajate, Yen kiamat puniku, Ja majuja tabatulihi, Anuli larang udan, Angin topan rawuh, Tumangkeb sabumi alam, Saking kidul wetan ingkang andatengi, Ambedol ponang arga.

137

Lampiran II

HIKAYAT MUHAMMAD ALI AL-HANAFIYYAH1

Nomor Panggil: W 69, h. 90

Nomor Panggil: W 69, h. 91

1 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah, Nomor Panggil: W 69

138

Nomor Panggil: W 69, h. 122

Nomor Panggil: W 69, h. 123

139

Nomor Panggil: W 69, h. 124

Nomor Panggil: W 69, h. 125

140

141

Lampiran III

WAYANG ARJUNA1

Nomor Panggil: ML 244, h. 42-43

Nomor Panggil: ML 244, h. 66-67

1 Muhammad Bakir bin Syafi’an bin Fadhli, Wayang Arjuna, (Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 244

142

Nomor Panggil: ML 244, h. 68-69

Nomor Panggil: ML 244, h. 80-81

143

Nomor Panggil: ML 244, h. 84-85

Nomor Panggil: ML 244, h. 88-89

144

145

Lampiran IV

WAYANG PANDU1

Nomor Panggil: ML 241, h. 194-195

Nomor Panggil: ML 241, h. 196-197

1 Muhammad Bakir bin Syafi’an bin Fadhli, Wayang Pandu, (Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2014), Nomor Panggil: ML 241

146

Nomor Panggil: ML 241, h. 198-199

147

Lampiran V

Berita Acara Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh)1

1 Berita acara dibuat oleh Asisten Wedana Teluknaga (R. Toewoeh) mengenai peristiwa Tangerang ttg. 10 Februari 1924, dalam Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan-laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada Abad XX, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah, (Jakarta: ANRI, 1981), h. 75-77

148

149

150

Lampiran VI

Hasil Penyelidikan Penasehat Urusan Bumiputra (R.A. Kern)1

1 Hasil penyelidikan sebab-sebab dari peristiwa Tangerang pada tanggal 10 Februari 1924, dari Penasehat Urusan Bumiputra (R.A. Kern), 30 September 1924 dalam Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan-laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada Abad XX, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah, (Jakarta: ANRI, 1981), h. 75-77

151

152

153

154

155

156

157

158

159

160

161

162

163

164

165

166

167

168

Lampiran VII

Foto Para Pekerja Pembuat Topi Anyaman Bambu di Tangerang (Sumber Foto: Majalah Dutch East Indies 1931 Repro Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)

Foto Pembuat Topi Anyaman Bambu di Tangerang (Sumber Foto: Majalah Dutch East Indies 1932 Repro Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)

169

Lampiran VIII

Foto Makam Raden Bagong, di Kampung Parung Kored, Pondok Bahar, Karang Tengah, Kota Tangerang (Dokumen Pribadi)

170

Lampiran IX

171

Lampiran X

172

173

Lampiran XI

Lokasi Peristiwa Tanah Tinggi 10 Februari 1924

Jalan Utama Tanah Tinggi, sekarang Jalan Jenderal Sudirman, tampak komplek Pemerintahan Kota Tangerang

Jalan Utama Tanah Tinggi, bagian atas dari arah Batu Ceper (Prapatan Jembatan Tanah Tinggi) menuju Prapatan Komplek Pemerintahan Kota Tangerang

174

Lampiran XII

Lokasi Peristiwa Tanah Tinggi 10 Februari 1924

Jalan Utama Tanah Tinggi, Pasar Induk Beras dekat Komplek Pemerintahan Kota Tangerang

Jalan Utama Tanah Tinggi, Pasar Induk Sayur-Mayur berseberangan dengan Pasar Induk Beras

175

Lampiran XIII

Lokasi Peristiwa Tanah Tinggi 10 Februari 1924

Jalan Utama Tanah Tinggi, jalan sebelah kiri menuju Pasar Tanah Tinggi dan Stasiun Kereta Tanah Tinggi. Sebelah kanan menuju Prapatan Komplek Pemerintahan Kota Tangerang

176

Lampiran XIV

Lokasi Peristiwa Tanah Tinggi 10 Februari 1924

Kereta dari arah barat (Anyer) menuju timur (Stasiun Tanah Tinggi)

Kereta dari arah timur (Stasiun Tanah Tinggi) menuju barat (Anyer)