Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 5 (1) 2020: 14-27 | E-ISSN: 2443-0110

Akar Historis Formalisasi Hukum Islam di Nusantara

Sarkowi,* Agus Susilo

Departemen Pendidikan Sejarah, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan-Persatuan Guru Republik Indonesia Lubuk Linggau Lubuk Linggau, Sumatera Selatan - Indonesia

*Alamat korespondensi: [email protected] DOI: https://doi.org/10.14710/jscl.v5i1.21697

Diterima/Received: 10 Januari 2019; Direvisi/Revised: 20 Oktober 2019; Disetujui/Accepted: 11 Februari 2020

Abstract

This study was focused on the historical roots of Islamic law’s formalization in Indonesia. It was started from the discourse of pros and cons on which took place since the Indonesian independence, to be exacted when nine committees of BPUPKI formulated the state principles. It was continued during the Liberal Democracy era of the Old Era, New Era until Reformation. The objective of this study was to construct the historical roots of Islamic law formalization using historical methods with the philosophical approach to the contextual analysis. The results of this study show that the historical roots were started from the success of the ulama and their role, until the establishment of Islamic empires, then Islamic law was legalized in the form of legislation by adopting legal books written by the scholars. There was strong legitimacy of the role of ulama, as well as the Sultan’s commitment to governing society through the judiciary and positions of qadhi, mufti and shaykh al-Islam which become the main pillars of the Islamic formalization practice in the sultanate government in Nusantara.

Keywords: Historical Roots; Formalization of Islamic Law; Nusantara.

Abstrak

Kajian ini menganalisis akar historis formalisasi hukum Islam di Nusantara yang diawali dengan pro dan kontra terhadap wacana formalisasi hukum Islam di Indonesia, sejak menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya pada saat perumusan dasar negara oleh Panitia Sembilan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), kemudian berlanjut pada masa Demokrasi Liberal era Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan konstruksi akar historis formalisasi hukum Islam di Nusantara. Metode sejarah dengan pendekatan falsafi model analisis kontekstual digunakan untuk menelaah dan menganalisis permasalahan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akar historis formalisasi hukum Islam di Nusantara berawal dari keberhasilan dakwah para ulama dan mubaligh, hingga pendirian kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, selanjutnya hukum Islam dilegislasi dalam bentuk perundang-undangan maupun dengan cara mengadopsi kitab hukum yang ditulis oleh para ulama. Penguatan legitimasi dan peran ulama, serta komitmen para sultan dalam sistem pemerintahan melalui lembaga peradilan dan jabatan qadhi, mufti, dan syaikh al-Islam menjadi penopang utama praktik formalisasi hukum Islam dalam pemerintahan kesultanan- kesultanan di Nusantara.

Kata Kunci: Akar Historis; Formalisasi Hukum Islam; Nusantara.

Pendahuluan historis telah dilaksanakan sejak masa Kesultanan Samudra Pasai pada abad ke-14. Hal ini setidaknya Seiring dengan perkembangan agama Islam di dapat dibuktikan dengan munculnya Sultan Malik Nusantara, muncul kekuatan politik Islam secara al-Shaleh, seorang sultan yang ahli dalam bidang konstitusional. Pelembagaan hukum Islam oleh fiqh mazhab as-Syafi’i. Dalam bidang pelaksanaan negara di Nusantara berdasar pada bukti-bukti hukum atau peradilan, sultan dibantu oleh seorang

14 Sarkowi dan Agus Susilo (Akar Historis Formalisasi Hukum Islam di Nusantara) qadhi (hakim) dan para ulama dari mancanegara hukum Islam dalam pemerintahan. Bahkan (Sunanto, 2007: 136). Bahkan, ada yang terkadang hukuman yang dijatuhkan kepada berpendapat bahwa formalisasi hukum Islam oleh pelaku kejahatan tidak sebanding dengan tindakan negara sudah ada pada masa Kesultanan Perlak kejahatan yang dilakukannya, sehingga beberapa yang berdiri pada 1 Muharram 225 H atau 12 daerah mencoba melakukan legislasi hukum Islam November 839 M (Arifin, 2005: xxxvi). Jika dalam peraturan daerahnya, namun tetap saja demikian, hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pincang karena menjadi subordinat dari hukum atau formalisasi hukum Islam di Nusantara sudah negara yang lebih tinggi. Bahkan dari hasil berlangsung sejak kesultanan Islam pertama. penelitian Hidayat (2012) menemukan 56 anggota Kemunculan Kesultanan Darussalam, DPR RI memandang negatif terhadap Kesultanan Malaka dan beberapa kesultanan Islam pemberlakuan peraturan daerah syariah dengan di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku anggapan bertentangan Pancasila dan UUD 1945. merupakan kekuatan politik baru setelah masa Meskipun demikian, dalam ranah hukum keluarga, kemunduran Kesultanan Samudra Pasai dan sebagian hukum Islam sudah dikompilasi dan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511. ditransformasikan menjadi hukum positif Meskipun formalisasi hukum Islam memiliki (Hikmatullah, 2017). akar sejarah yang jelas, dalam perkembangan Wacana formalisasi hukum Islam secara berikutnya kekuasaan politik di Bumi Nusantara menyeluruh dalam bingkai negara atau hukum jatuh ke tangan kolonial Barat, terutama politik positif di Indonesia hingga saat ini masih imperialisme Belanda berikut produk hukum yang diperdebatkan antara pihak yang pro dan pihak ditanamkannya, turut mereduksi memori masya- yang kontra. Pihak yang pro berargumentasi bahwa rakat Indonesia terhadap formalisasi hukum Islam pemberlakuan hukum Islam dalam bernegara yang pernah ada sebelumnya. Bahkan keberadaan merupakan bentuk pengamalan keyakinan hukum Islam saat ini belum mendapat tempat beragama yang sudah mengakar kuat pada bangsa secara proporsional di dalam kehidupan bernegara. Indonesia dan amanah dari konstitusi, sementara Persoalan ini ditambah lagi dengan anggapan pihak yang kontra berargumentasi bahwa miring terhadap hukum pidana Islam yang pengamalan ajaran Islam sudah terakomodasi terkesan kejam dan membutuhkan upaya dalam hukum dan peraturan perundang-undangan reformasi. Bahkan ada yang menganggap perlunya yang berlaku, misalnya undang-undang reinterpretasi atas hukum perdata Islam, terlebih perkawinan, peradilan agama, kompilasi hukum hukum pidana Islam yang dituding tidak sejalan Islam, penyelenggraan ibadah haji, kompilasi dengan Hak Asasi Manusia (HAM) atau nilai-nilai hukum Islam, ekonomi syariah dan perda-perda kemanusiaan oleh kelompok yang berfaham syariah (Saidah, 2013). sekular dan liberal. Bahkan Yusdani (2006) Untuk menelaah kajian akar formalisasi menyimpulkan tuntutan formalisasi syariat atau hukum Islam di Nusantara, diketengahkan hukum Islam di berbagai negeri Islam termasuk beberapa hasil kajian penelitian terdahulu yang Indonesia belum memiliki konsep yang jelas. dijadikan sebagai pembanding dalam menelisik Selain itu, rumusan formalisasi hukum Islam dan menganalisis penelitian ini, antara lain: oleh kelompok yang kontra dianggap kejam, Hidayat (2012) menganjurkan pentingnya incompatible, dan ketinggalan zaman, namun mempertahankan kesinambungan syariat Islam sebagian umat muslim yang lainnya menghendaki dalam kerangka konstitusional di Indonesia; pemberlakuan kembali hukum Islam yang Nashir (2013) menggambarkan gerakan Islam dianggap pernah diterapkan pada masa kesultanan syariat sebagai bentuk pengulangan atau Islam di Nusantara. Kelompok umat Islam yang reproduksi ulang dari salafiyah ideologis yang menginginkan kembali hukum Islam ini, oleh sudah ada sejak masa lalu; Saidah (2013) Nashir (2013: 292-416) terdiri dari islamisasi jalur mendudukkan peluang dan tantangan aktualisasi- bawah dan islamisasi jalur atas. Sebagian kalangan kan hukum Islam di Indonesia; Yunus (2015) masyarakat menilai, tidak tercapainya keadilan dan mendeskripsikan penerapan syariat Islam terhadap kepastian hukum akibat mengabaikan hukum- peraturan daerah dalam sistem hukum nasional

15 Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 5 (1) 2020: 14-27 | E-ISSN: 2443-0110

Indonesia; Usman (2014) menelaah konsep dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. pembinaan umat dan strategi pelaksanaan Islam di Arif (2011: 30) menyebutkan metode sejarah Aceh; Syamsuddin (2015) menggambarkan berhubungan dengan bagaimana mengetahui transformasi hukum Islam di Indonesia; Sirajuddin sejarah. Selanjutnya Kartodirjo (1993: 2) (2016) menjelaskan pergulatan politik hukum menjelaskan bahwa metode sejarah merupakan Islam di Indonesia; Kenedi (2017) mengungkap- bagian pokok dalam ilmu sejarah tidak hanya kan penerapan syariat Islam dalam lintasan sejarah menekankan menceritakan kejadian tetapi dan hukum positif di Indonesia, dan menganalisis bermaksud menerangkan kejadian itu dengan pengaruh teori recieptie Snouc Hurgronje mengkaji sebab-sebabnya, kondisi lingkungan, terhadap hukum Islam di Indonesia. Penulis juga konteks sosiokultural, serta analisis tentang faktor- mengetengahkan laporan Ibnu Batutah (1992) faktor kausal, kondisional, kontekstual, serta unsur- dalam karya Rihlah-nya dan Hikayat Raja-Raja unsur yang merupakan komponen dan eksponen Pasai untuk mendapatkan penafsiran baru. dari proses sejarah yang dikaji. Berbeda dari kajian-kajian terdahulu di atas Pelaksanaan metode sejarah menurut yang fokus pada pembahasan pengamalan dan Notosusanto melalui tahapan heuristik, kritik prospek pelaksanaan hukum Islam dalam konteks sumber, interpretasi dan penyajian atau Indonesia dengan kacamata perspektif hukum, historiografi (Sulasman, 2014: 75). Oleh sebab itu, kajian ini lebih khusus bertujuan untuk melakukan metode sejarah tidak sekadar menceritakan suatu konstruksi asal-usul formalisasi hukum Islam di peristiwa secara deskriptif, melainkan untuk Nusantara. Oleh sebab itu, penelitian ini berusaha mengetahui secara utuh dengan sudut pandang menyoroti bagaimana proses awal muncul dan prosedur yang telah ditetapkan oleh ilmu formalisasi hukum Islam di Nusantara, peran sejarah. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya ulama dalam formalisasi hukum Islam di menggambarkan dan mengeksplanasi akar historis Nusantara, dan praktik pelaksanaan hukum Islam formalisasi hukum Islam di Nusantara dengan yang dijalankan dalam kesultanan-kesultanan di teknik kritik analitik dengan pendekatan falsafi Nusantara. Untuk menganalisis permasalahan yang bersifat contextual analisys atas sumber- tersebut, penulis menggunakan metode sejarah sumber sejarah yang berasal dari jurnal, disertasi, dengan pendekatan falsafi model analisis buku, prosiding, dan majalah yang relevan untuk kontekstual untuk menggambarkan sosiohistoris mendapatkan kebaruan dari hasil kajian ini. pada zaman tersebut, sehingga kontribusi penelitian ini diharapkan sebagai kontribusi untuk Proses Awal Penerapan Hukum Islam di menemukan latar belakang historis, politik, dan Nusantara sosial keagamaan formalisasi hukum Islam yang dipandang sangat krusial dalam perjalanan sejarah Sejarah perkembangan hukum Islam dan bangsa. formalisasi hukum Islam di Nusantara tidak dapat dipisahkan dari sejarah masuknya Islam ke Metode Nusantara itu sendiri. Pembahasan hukum Islam sama tuanya dengan Islam sebagai sebuah agama, Penelitian ini menggunakan metode historis namun bicara tentang formalisasi hukum Islam di dengan pendekatan falsafi, yaitu model pendekatan Nusantara tidaklah sama tuanya dengan awal normatif yang didasarkan pada pemikiran hukum keberadaan Islam. Begitu juga ketika fikih, ulama, ilmuwan, dan tokoh tertentu. Data membicarakan formalisasi hukum Islam dalam diperoleh melalui penelusuran dan penelaahan pemerintahan tidak dapat dipisahkan dari ajaran terhadap referensi, jurnal, catatan-catatan, dan Islam itu sendiri. Menurut Joseph Sacht, tidak sumber-sumber kepustakaan yang relevan. mungkin dapat mempelajari Islam tanpa Menurut Gilbert (Abdurrahman, 2007: 53) mempelajari hukum Islam. Ini menunjukkan metode penelitian sejarah adalah seperangkat bahwa hukum Islam merupakan bagian dari aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpul- institusi agama yang tidak dimiliki oleh agama lain kan sumber-sumber sejarah secara efektif, (Nuruddin dan Tarigan, 2006: 2). Sementara menilainya secara kritis, dan mengajukan sintesis lembaga pengadilan merupakan peranti keras yang

16 Sarkowi dan Agus Susilo (Akar Historis Formalisasi Hukum Islam di Nusantara) konkret dan terlembaga dalam pelaksanaan pernikahannya dilangsungkan menurut ketentuan hukum-hukum Islam (Mukhlas, 2011: 3). hukum Islam. Keluarga yang tumbuh dari Tentunya keberadaan peradilan merupakan salah perkawinan ini mengatur hubungan antaranggota- satu pilar pelaksanaan hukum Islam dalam suatu anggota keluarganya dengan kaidah-kaidah hukum pemerintahan, sebab dalam Islam hukum Islam atau budaya lama yang telah disesuaikan berhubungan dengan perbuatan setiap mukallaf dengan nilai-nilai Islam. Kalau salah seorang yang wajib terikat dengan hukum Islam anggota keluarga itu meninggal dunia, harta (Hikmatullah, 2017). peninggalannya dibagi menurut hukum kewarisan Islam pertama kali masuk ke Indonesia, Islam (Ali, 2011: 233). meskipun masih dalam perdebatan, terjadi pada Pada fase ini tentunya hukum-hukum Islam abad pertama hijriah atau abad VII masehi (Rusdi, sudah diperkenalkan kepada seluruh anggota 2011: 39; Ali, 2011: 209; , 1981: 35). Pada keluarga maupun masyarakat yang telah menerima masa awal, hukum Islam belum dapat disebut Islam. Setiap individu muslim ditanamkan sebagai pranata dalam suatu sistem pemerintahan, keterikatan terhadap hukum-hukum Islam yang karena pada saat itu masih dilaksanakan secara menyangkut urusan ibadah, akhlak maupun individu atas dasar keimanan dan belum ada badan muamalah, namun pada fase ini diduga kuat juga legislasi atau pemberlakuan hukum Islam dalam telah diperkenalkan hukum-hukum yang berkaitan pemerintahan. Hukum Islam baru dalam taraf dengan uqubat (hukum berkaitan dengan pidana, pengenalan dan proses adaptasi dengan budaya sanksi dan pelanggaran) yang meliputi hukum setempat yang dilakukan oleh para ulama dan hudud, jinayat, takzir dan mukhalafat sebagai mubaligh sekaligus sebagai upaya penyebaran pemahaman tsaqofah (pengetahuan) Islam. Islam atau dakwah islamiyah. Tahap ini hukum Karena perkara ini berhubungan dengan persoalan Islam baru diperkenalkan kepada orang-orang atau kehidupan sehari-hari, walaupun baru dalam komunitas yang telah menerima Islam. Meskipun batasan yang bersifat normatif. Meskipun secara tahap ini hanya berupa pengajaran dan pembinaan, yuridis, norma dan regulasi yang mengikat untuk namun sangat menentukan perkembangan dalam melaksanakan hukum Islam dalam penyelesaian penerimaan hukum Islam pada tahap berikutnya, perkara belum ada, namun secara de facto praktik saat Islam menjelma menjadi kekuatan politik. penyelesaian suatu perkara berdasar peraturan Tahap ini merupakan proses kristalisasi norma- Islam sudah dirasakan oleh masyarakat muslim. norma Islam di tengah-tengah masyarakat secara Pada masa ini norma hukum Islam dan budaya bertahap. Pada masa awal ini secara perlahan-lahan masyarakat telah mulai menyatu sesuai kaidah Islam diterima oleh masyarakat dan menggeser Islam, sehingga kemudian menjadi falsafah hidup ajaran Hindu-Buddha dan istiadat yang di tengah masyarakat (Sirajuddin, 2016). dihasilkannya. Ajaran Islam secara berangsur- Melalui proses islamisasi dan kulturisasi angsur diterapkan dan dilaksanakan dalam hukum Islam terus berkembang sejalan dengan kehidupan sehari-hari, baik dibidang ibadah semakin meluasnya pengaruh agama Islam di mahdhah (habl min Allah), muamalah dan Nusantara (Sarkowi & Akip, 2019). Hukum Islam munakahat (Mukhlas, 2011: 119). pun menjadi bagian dari hukum adat yang Dalam proses islamisasi tahap awal ini berkembang di Nusantara berkat akulturasi dan dilakukan oleh para ulama, mubaligh dan asimilasi budaya Islam (dalam hal ini hukum pedagang, khususnya ulama dan pedagang asal dari Islam) dan budaya lokal. Islam mulai dianut oleh Timur Tengah. Pengenalan ajaran Islam kadang komunitas dalam suatu masyarakat yang teratur ditempuh melalui saluran perdagangan dan namun belum sampai pada bentuk masyarakat perkawinan. Pada tahapan ini meskipun dalam yang mempunyai pemerintahan Islam. Ketika itu skala kecil hukum Islam sudah mulai pula hukum Islam dilaksanakan oleh kelompok diperkenalkan, hal ini dapat dilihat dari kenyataan masyarakat tersebut. Jika terjadi persengketaan bahwa jika seorang mubaligh hendak menikahi biasanya dari pihak yang bersengketa itu seorang wanita pribumi, maka wanita tersebut mengangkat seorang muhakkam (pemutus harus diislamkan terlebih dahulu dan perkara) secara tahkim dari kalangan ulama atau

17 Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 5 (1) 2020: 14-27 | E-ISSN: 2443-0110 mullah di antara mereka yang dianggap memiliki peradilan untuk menegakkan hukum Islam adalah kemampuan dalam hukum Islam, dan ini fardhu kifayah (Noeh, 1986: 2). merupakan bentuk awal formalisasi hukum Islam Masifnya dakwah yang dilakukan oleh para secara sederhana yang pertama-tama diberlakukan ulama dan mubaligh serta semakin meluasnya di Nusantara yang biasanya dikenal dengan fase penerimaan Islam di tengah masyarakat, maka tahkim (Noeh, 1986: 2). berdirilah beberapa kekuasaan Islam di Nusantara. Hukum Islam pada saat itu masih tidak Institusi politik pemerintahan Islam pertama tertulis seperti halnya hukum adat. Artinya, tidak berdiri di Nusantara adalah Kesultanan Perlak tertulis dalam bentuk perundang-undangan. (Peureulak), berdiri pada 1 Muharram 225H atau Hukum Islam yang berlaku di peradilan sederhana 12 November 839 M (Uwik, 2011: 70). Sementara pada saat itu adalah hukum fikih hasil ijtihad para itu, menurut Daliman (2012: 99) Kesultanan ulama yang dilakukan secara patuh oleh Perlak berdiri pada abad ke-12. Menurut spekulasi masyarakat atau komunitas Islam karena kesadaran Yatim (2016:194) cikal bakal kekuasaan Islam dan keyakinan mereka bahwa hukum Islam adalah masa ini tenggelam dalam hegemoni Sriwijaya. hukum yang benar (Ali, 2011: 211). Sebab setiap Menurut Usman (2014) kerajaan ini telah muslim yang taat akan mengikuti hukum-hukum melaksanakan hukum Islam dalam pemerintahan- yang berpangkal dari sumber-sumber ajaran Islam nya. Sultan pertamanya bernama Alaiddin Sayyid itu sendiri yang telah ditanamkan oleh para ulama Maulana Abdul Aziz Syah, meskipun belum banyak sebagai orang yang lebih memahami kandungan keterangan mengenai pelaksanaan hukum Islam ajaran Islam. Pada masa ini peran ulama dari Timur dalam pemerintahan ini, kecuali keterangan dari Tengah sangat berpengaruh dalam memperkenal- Marcopollo. Namun sebagai institusi yang kan hukum Islam dan kaderisasi tunas ulama mendelakrasikan sebagai kerajaan Islam, bisa pribumi. Pengaruh mereka bahkan berlanjut dipastikan bahwa Kesultanan Perlak telah hingga masa penyebaran agama Islam di Jawa. menerapkan hukum Islam di lingkungan Sebab para Wali Songo pada masa awal adalah para pemerintahannya. Pergeseran praktik akulturasi ke ulama dan ahli tata negara dari Timur Tengah yang legalisasi hukum ini semakin jelas keterangannya diutus oleh Sultan Muhammad I dari kekhalifahan setelah berdiri Kesultanan Samudra Pasai. Turki Usmani (Abdullah, 2015: 75-88). Samudra Pasai terletak di Aceh Utara Karakter masyarakat Nusantara, umumnya didirikan oleh Sultan Malik as-Saleh pada 1267 Pulau Sumatra sangat patuh terhadap pemimpin- (Achmad, 2016: 39-40). Sejak berdirinya Samudra pemimpin adat dan tokoh-tokoh agama atau Pasai dapat dipandang sebagai genealogi awal spiritual. Setelah mereka menerima Islam, para pemberlakuan hukum Islam sebagai hukum negara tokoh atau ulama menjadi pemutus dalam suatu di Nusantara. Ibnu Batutah penjelajah muslim dari perkara. Agak berbeda dari Pulau Jawa pada Maroko mempunyai catatan unik yang berkaitan awalnya kecenderungan dan ketaatan masyarakat dengan pemberlakuan hukum Islam dalam sistem secara umum sangat patuh terhadap pemimpin peradilan pada masa pemerintahan Malik al-Zahir politik struktural pemerintah. Hal ini menjadi salah di Samudera Pasai. Dalam catatannya, Ibnu satu alasan mengapa Wali Songo mendukung dan Batutah sangat mengagumi kemampuan sang menginisiasi Raden Fatah untuk membentuk sultan dalam berdiskusi tentang berbagai masalah pemerintahan kerajaan Islam di Jawa, karena Islam dan ilmu hukum Islam. Pada masa ini hukum Raden Fatah dianggap sebagai pewaris Kerajaaan yang digunakan sebagai rujukan dalam peradilan Majapahit yang sah, sehingga di Jawa peran ulama untuk memutuskan perkara hukum masih terbatas yang tergabung dalam Wali Songo ini berhasil pada hukum fikih yang dikodifikasikan oleh ulama- mendirikan Kerajaaan Islam Demak Bintoro pada ulama Timur Tengah dari karya ulama-ulama Senin Kliwon, malam Selasa Legi, 11 malam 12 mazhab, khusus fikih mazhab Syafi’i. Sebab Rabi’ul Awwal tahun 860 H/1404C/1482M dan menurut catatan sejarah, Kesultanan Samudra mengangkat Sultan Fattah sebagai raja Islam Pasai mengadopsi hukum Islam mazhab fikih pertama di Jawa (Abdullah, 2015: 13). Dalam Syafi’i, selanjutnya diperkenalkan dan menyebar ke pandangan ulama mendirikan pemerintahan dan berbagai kerajaan Islam lainnya di tanah air pada masa berikutnya (Ali dalam Surjaman, 1991: 69).

18 Sarkowi dan Agus Susilo (Akar Historis Formalisasi Hukum Islam di Nusantara)

Bahkan, menurut Hill (1963: 8) sejak berdiri, Nusantara (Maman, 2009: 101). Melihat adanya Samudra Pasai berkembang menjadi pusat peran jaringan ulama dari Timur Tengah pada kekuatan politik Islam sekaligus basis islamisasi. masa awal ini diperkirakan para ulama telah Dari keterangan tersebut menegaskan bahwa berhasil melakukan kaderisasi dan mencetak Samudra Pasai tidak hanya sebagai pemerintahan ulama-ulama asli Nusantara. Hal ini dibuktikan masa awal melakukan formalisasi hukum Islam di dengan kemunculan ulama-ulama pribumi yang Nusantara, namun lebih dari itu tersirat bahwa berpengaruh besar dalam islamisasi dan Samudra Pasai sebagai pusat islamisasi di perpolitikan di Nusantara pada masa berikutnya. Nusantara. Hal ini dapat dibuktikan dari para Pelaksanaan hukum Islam membutuhkan ulama mancanegara yang akan berdakwah di Pulau lembaga peradilan (al-qadha) dan qadhi (hakim) Jawa dan daerah lain biasanya terlebih dahulu yang dapat memberi dan menjamin keadilan serta singgah di Samudra Pasai. adanya ketegasan hukum terhadap semua lapisan Kemunculan kekuatan politik Islam di masyarakat. Sementara itu, ulama adalah orang Nusantara menandakan adanya pergeseran dalam yang dipandang paling memahami konsep dan pelaksanaan hukum Islam dari pengamalan oleh pelaksanaan hukum dalam Islam, sehingga ulama individu dan proses akulturasi dengan tradisi lama dapat dianggap sesuatu yang tidak terpisahkan menuju legislasi hukum oleh pemegang otoritas dalam pemberlakuan hukum Islam. Karena melalui kekuasaan di berbagai kerajaan Islam di Nusantara. ilmu para ulama diharapkan keadilan Islam melalui Kalangan elite kerajaan menggunakan kekuatan, sistem peradilan dapat dirasakan di tengah birokrasi, dan hegemoni kultur politik dalam kehidupan masyarakat, sehingga akan terwujud proses internalisasi norma Islam atau hukum Islam suatu kehidupan masyarakat yang damai dan (Reids, 1993: 84-107). Peran ulama adalah sebagai rukun. Terkait dengan kelahiran ulama-ulama peranti pelaksana dan legitimasi kekuasaan yang Melayu di Nusantara, menurut Azra (1994) karena menerapkan peraturan Islam. Pergeseran ini jaringan ulama-ulama Timur Tengah sehingga menandai dimulainya formalisasi hukum Islam menjadi sarana bagi kemunculan ulama-ulama dalam sistem pemerintahan saat itu. Nusantara. Sejak berdiri kekuatan politik Islam di Ulama dan Formalisasi Hukum Islam di Nusantara, ulama menjadi bagian penting dalam Nusantara legitimasi kekuasaan di tengah masyarakat yang telah beralih menjadi muslim, sehingga setiap Sejak awal penyebaran Islam di Nusantara tidak kesultanan biasanya mengangkat qadhi, mufti bisa dipisahkan dari peran para ulama atau hingga syaikh al-Islam bagi ulama yang pendakwah yang diutus langsung dari pusat berpengaruh besar. Mereka tampil di tengah- pemerintahan Islam di Madinah, Damaskus, tengah masyarakat dalam menyelesaikan berbagai Baghdad, Istambul atau yang datang atas inisiatif persoalan hukum Islam. Sebagaimana jabatan sendirinya. Menurut sumber Hikayat Raja-Raja hakim dalam tradisi Islam sejak masa Nabi Pasai, islamisasi di Samudera Pasai dilakukan oleh Muhammad saw., Khulafa ar-Rasyidin dan para seorang ulama asal Timur Tengah, Syekh Ismail khalifah setelahnya di negeri Islam, para hakim (Hill, 1960: 56-57). Sumber ini juga banyak disebut dengan istilah qadhi. Dalam penerapan memberikan gambaran tentang pelaksanaan hukum Islam idealnya haruslah totalitas, bukan hukum Islam di Samudra Pasai, termasuk juga mengambil jalan tengah seperti yang dianjurkan peran para ulama. Pengaruh para ulama ini Syamsuddin (2015). kemudian berhasil mewarnai kehidupan Pengaruh ulama juga dapat disaksikan secara masyarakat dan institusi politik di Nusantara. kultural mengkristal ke sendi-sendi kehidupan Setelah Islam bekembang dan menjelma menjadi masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan sebuah kekuatan politik, hukum-hukum Islam slogan-slogan yang masih berkembang hingga saat diterapkan dalam sistem pemerintahan dengan ini. Menurut Kenedi (2017) Minangkabau adalah menjadikannya sebagai hukum negara salah satu daerah yang menerapkan hukum Islam menggantikan hukum adat di berbagai daerah pada masa lalu, hal ini dapat dibuktikan dengan

19 Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 5 (1) 2020: 14-27 | E-ISSN: 2443-0110 eksistensi postulat yang berbunyi “adat basandi dalam pendirian dan pemberlakuan hukum Islam syarak, syarak basandi kitabullah” (adat bersendi di Nusantara dapat dibuktikan dari inisiasi ulama hukum Islam, hukum Islam bersendi kitabullah). yang tergabung dalam Wali Songo dalam pendirian Dari slogan tersebut tersirat bahwa kehidupan Kesultanan Demak Bintoro. Hal ini menunjukkan sosial masyarakat Minangkabau memedomani pengaruh ulama di Pulau Jawa berlangsung sejak hukum Islam. Hal ini juga diperkuat dengan slogan awal pendirian kerajaan Islam pertama, bahkan lain disebutkan “adat dan syarak sanda-menyanda, Cirebon dan Banten didirikan oleh Sunan Gunung syarak mengato adat memakai” (adat dan syarak Jati, salah satu anggota Wali Songo. Formalisasi saling menopang, syarak menyatakan adat hukum Islam dalam institusi pemerintahan sudah memakaikan atau menjalankan). Hal ini tentu diawali proses akulturasi dengan adat istiadat menunjukkan adat dan hukum Islam saling dalam kehidupan masyarakat melalui proses menopang; selama adat bersesuaian dengan dakwah yang telah dilakukan oleh para ulama. hukum Islam maka adat dilaksanakan atau tumbuh Kemudian setelah berdiri kesultanan Islam dari hukum Islam yang sudah mengakar dari dilakukan proses legislasi dan formalisasi hukum kehidupan masyarakat. Akulturasi adat dengan oleh lembaga pemeritah. Secara struktural pihak hukum Islam yang serupa banyak juga dijumpai penguasa menggunakan birokrasi dan hegemoni pada masyarakat adat Riau, Jambi, Palembang, politik dalam melakukan proses internalisasi Bengkulu, Lampung, dan berbagai daerah lain di hukum-hukum Islam kepada rakyat (Reids, 1993: Nusantara (Departemen Agama RI, 1985: 5). 84-107). Dalam perkembangan Islam di Nusantara, Konsepsi hukum Islam dalam sistem Sultan Muhammad I dari kekhalifahan Turki pemerintahan merujuk kepada sumber hukum- Usmani pernah mengutus para ulama untuk hukum Islam yang terdiri dari Alquran, hadis, ijma melakukan penyebaran Islam di Pulau Jawa, sahabat dan qiyas. Akan tetapi, secara khusus kemudian dikenal dengan sebutan Wali Songo. konsepsi hukum Islam yang dijalankan pada Ulama tersebut adalah Maulana , kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara tidak ahli tata pemerintahan dari Turki, Maulana Ishaq luput dari perjuangan dan peran para ulama, baik dari Samarqand, yang dikenal dengan nama Syaikh dalam tataran konseptual maupun pelaksanaannya. Awwalul Islam, Maulana Jumadil Kubro dari Mesir, Formalisasi hukum Islam mengacu pada kitab- Maulana Muhammad al-Maghribi dari Maroko, kitab fikih yang ditulis oleh para ulama. Pada masa Maulana Malik Israil dari Turki, Mualana awal, meskipun karya ulama belum dapat dikatakan Hasanuddin, Maulana Aliyuddin dari Palestina sebagai qanun atau perundang-undangan, namun dan Syekh Subakir dari Persia. Mereka pada beberapa buku karya ulama dijadikan rujukan umumnya singgah di Samudra Pasai sebelum dalam kehidupan bernegara dan penetapan hukum melanjutkan ke Jawa, karena pada saat itu Samudra di beberapa kerajaan Islam di Nusantara, sehingga Pasai telah menjadi kekuatan politik Islam. Bahkan menjadi sumber penting sekaligus sebagai bukti Sultan Samudra Pasai, Sultan Zainal Abidin atas penerapan hukum Islam dalam sistem Bahiyan Syah (1421-1436 M) mengantar langsung peradilan dan pemerintahan di kesultanan- Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke kesultanan Islam di Nusantara. Beberapa Tanah Jawa (Maman, 2009:101). penelitian dijelaskan bahwa dalam buku-buku Masifnya gerakan dan aktivitas dakwah para hukum tersebut dimuat pula tentang hukum ulama yang terus menerus, maka terbentuklah pidana Islam. berbagai institusi politik atau kesultanan Islam di Kuatnya pengaruh dan legitimasi ulama Nusantara yang menjadi pintu akselerasi islamisasi menjadi salah satu faktor utama kesultanan- dan cikal bakal formalisasi hukum Islam di kesultanan Islam di Nusantara mengadopsi Nusantara. Di Sumatra, Kesultanan Perlak berdiri undang-undang yang bersumber dari Islam dalam pada 1 Muharram 225 H atau 12 November 839 M, pemerintahannya. Di antara undang-undang (Arifin, 2005: xxxvi) yang dipandang sebagai kesultanan Islam di bumi Nusantara yang paling kerajaan Islam pertama di Nusantara (Usman, banyak disoroti adalah undang-undang yang 2014). Kemudian disusul Kesultanan Samudra terdapat pada Kesultanan Aceh Darussalam Pasai dan yang lainnya. Pengaruh ulama yang kuat bernama Kitab Adat Meukuta Alam yang diadopsi

20 Sarkowi dan Agus Susilo (Akar Historis Formalisasi Hukum Islam di Nusantara) dari hukum-hukum pidana dan perdata Islam. menulis karya fikih yang cukup dikenal luas. Undang-undang ini ditulis dalam huruf Arab Karyanya berjudul Mir’at al-Thullab fi Tasyi al- Melayu (huruf Jawi) dan dijadikan undang-undang Ma’rifah al-Ahkam al-Syar’iyah li al-Malik al- kerajaan (Usman, 2014). Undang-undang ini Wahhab ditulis atas permintaan Sultan Aceh, diberlakukan sejak masa Sultan Iskandar Muda, Sayyidat al-Din dan diselesaikan pada 1074 sementara ulama yang berpengaruh mendampingi H/1633M. Menurut Azra (1994: 200) tampaknya sultan sebagai mufti pada masa itu adalah buku ini ditulis dalam suasana psikologis yang Syamsuddin Sumatrani, kemudian dilanjutkan mendua. Penerimaan al-Sinkli terhadap oleh Nuruddin al-Raniri pada masa Sultan Iskandar kepemimpinan wanita di Aceh dipandang bahwa ia Sani dan Sultanah Shafiyyah al-Din. Hal ini telah mengompromikan integritas intelektualnya menandakan bahwa pada masa itu sudah dikenal dengan realitas yang ada. Walaupun demikian, sistem pemerintahan yang berdasar pada hukum setidaknya hal ini menunjukkan keberadaan ulama yang terkodifikasi dan ulama dipercaya sebagai merupakan penentu dan dianggap sebagai ujung qadhi (hakim) sekaligus mengontrol pelaksanaan tombak dalam pemberlakuan hukum-hukum Islam hukum Islam dalam pemerintahan. di Aceh pada saat itu. Kemunculan undang-undang hukum Islam Di Kalimantan muncul ulama yang sangat dan kitab hukum yang diadopsi oleh kesultanan- berpengaruh dalam islamisasi dan kesultanan Islam di Nusantara merupakan memperjuangkan formalisasi hukum-hukum Islam pengaruh dari kitab-kitab fikih yang disusun oleh di tanah Banjar, yakni Syaikh Muhammad Arsyad beberapa ulama ahli hukum Islam di Nusantara. al-Banjari (1122-1227 H/1710-1812). Di antara Nuruddin al-Raniri menulis buku hukum Islam buku hukum di bidang fikih yang paling masyur berjudul Sirat al-Mustaqim pada 1628. Beliau berjudul Sabil al-Muhtadin. Al-Banjari menjadikan disebut sebagai tokoh Islam abad ke-17 yang doktrin hukum Islam sebagai acuan dalam banyak melahirkan buku. Kitab Sirat al-Mustaqim pengadilan kriminal, memprakarsai pendirian ini menjadi dokumen hukum pertama yang disebar pengadilan Islam dan jabatan mufti dalam ke seluruh Nusantara. Bahkan buku ini yang pemerintahan dan kehidupan sosial di Kesultanan disyarah oleh ulama besar Syaikh Arsyad al-Banjari Banjar (Azra, 1994: 252-254). Ini artinya Sultan menjadi buku Sabil al-Muhtadin li Tsaqah fi Amr Banjar melakukan legalisasi hukum Islam melalui al-Din sebagai pedoman dalam penyelesaian buku Sabil al-Muhtadin yang ditulis oleh ulama masalah hukum di Kesultanan Banjar (Sirajuddin, ternama, Syekh Arsyad Banjari. 2016). Selain buku di atas, karya-karya fiqih al- Begitu juga dengan formalisasi dan Raniri lainnya berjudul Jawahir al-‘Ulum fi Kasyf al- pelaksanaan hukum Islam di Tanah Jawa, tidak Ma’lum, Kaifiyat al-Shalat dan Tanbih al-‘Awm fi lepas dari pengaruh ulama. Misalnya jabatan qadhi Tahqiq al-Kalam fi al-Nawafil juga cukup pada pemerintahan Demak dipegang oleh Sunan berpengaruh terhadap perkembangan dan Kalijaga seorang ulama anggota Wali Songo formalisasi hukum Islam di Nusantara (Nuruddin generasi akhir. Sementara di Kesultanan Banten dan Tarigan, 2006: 4). Syaikh Nuruddin al-Raniri peran ulama sangat diutamakan dalam pelaksanaan dianggap ulama pertama di Nusantara yang hukum Islam dalam pemerintahan, bahkan pada menulis buku pegangan standar mengenai masa-masa awal qadhi hakim tertinggi dijabat kewajiban agama atau pengamalan hukum fikih ulama dari Mekkah, baru kemudian dipercayakan secara mendasar bagi banyak orang di Nusantara kepada ulama setempat (Sunanto, 2007:154). Di pada saat itu, bahkan masih digunakan di beberapa Cirebon misalnya, ada Papakem Cirebon sebagai daerah hingga saat ini (Azra, 1994: 186). Menurut kumpulan buku hukum yang mengatur perilaku Hasymi (1992: 46-52), kitab Masa’il al Muhtadi hukum masyarakat Cirebon ketika itu. Di dan Sirat al Mustaqim adalah kitab Jawi yang paling dalamnya terdapat buku hukum yang berjudul Jaya populer di Asia Tenggara. Lengkara, Hukum Raja Niscaya, Undang-undang Di Aceh juga muncul ulama ternama, Abdul Matoram, Kontra menawa dan Adilullah. Rauf al-Sinkli atau Abdul Rauf Singkel. Beliau Sekalipun dikenal sebagai hukum Jawa Kuno, akan termasuk mujtahid di tanah Nusantara yang tetapi dari segi isinya dipengaruhi oleh nilai-nilai

21 Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 5 (1) 2020: 14-27 | E-ISSN: 2443-0110 hukum Islam (Rusdi, 2011: 48). Dengan melihat hukum negara sepanjang sejarah di Indonesia pada posisi ulama dalam pemerintahan tersebut, para masa lalu, bertolak belakang dengan laporan Ibnu ulama dianggap sebagai garda terdepan dalam Batutah ini. pelaksanaan hukum Islam dalam pemerintahan Perihal di atas membuktikan bahwa kesultanan Islam di Nusantara. Samudra Pasai memberlakukan hukum Islam sebagai hukum negara. Menurut Israeli (1989: Praktik Penerapan Hukum Islam pada Masa 181) Ibnu Batutah juga mengagumi kehebatan Kesultanan di Nusantara Sultan al-Malik al-Zahir dalam pemahaman hukum Islam, sehingga tidak dapat dipandang sebagai figur Setelah Perlak dan Samudra Pasai susul menyusul raja semata namun juga seorang ahli fikih mazhab berdirilah berbagai kerajaan Islam di Nusantara. Syafi’i yang banyak dianut masyarakat Pasai. Hal Kerajaan bercorak Islam ini dikenal dengan istilah senada juga disampaikan Marcopollo ketika kesultanan dan rajanya disebut sultan. singgah di Peureula (Perlak) sebelum kemunculan Kemunculan kesultanan ini juga diikuti dengan Kesultanan Samudra Pasai. Sultan telah pergeseran hukum yang diberlakukan pihak menyatukan adat istiadat dengan ajaran Islam. kerajaan, sebelumnya mengadopsi hukum adat Pascakemunduran Samudra Pasai, Kesultanan atau hukum kerajaan yang mendapat pengaruh Aceh muncul sebagai kekuatan politik, ekonomi, tradisi lokal dan Hindu-Buddha kemudian secara dan pusat penyebaran agama Islam. Salah satu bertahap menuju pemberlakuan hukum Islam atau faktor pendukungnya adalah letak Aceh yang hukum adat yang telah berakulturasi dengan sangat strategis di pintu masuk wilayah Nusantara hukum Islam, sehingga napas hukumnya tetap lainnya. Dalam praktik positivasi atau formalisasi bercorak Islam atau bermuatan nilai-nilai Islam. hukum Islam, Aceh sepertinya mempunyai Menurut Mukhlas (2011: 121) sesuai dengan teori pengaruh besar kepada praktik hukum Islam di receptio in complexu yang digagas Salomon kerajaan-kerajaan Islam Indonesia lainnya Keyzer (1823-1868) menggariskan bahwa bangsa (Harjono, 1995: 121; Azra 1999: 69-71). Indonesia berlaku hukum menurut agamanya. Pelaksanaan hukum Islam pada kesultanan Oleh karena komunitas muslim tumbuh menjadi di Nusantara ditandai dengan kemunculan penduduk mayoritas, maka ajaran agama Islam berbagai lembaga pengadilan Islam. Misalnya, di menjadi pedoman dalam kehidupannya, temasuk Jawa ada Peradilan Serambi, Mahkamah Syar’iyyah dalam masalah hukum. di Sumatra, Kerapatan Qadhi di Banjar dan Praktik birokrasi dalam formalisasi hukum Pontianak. Peradilan ini selain menyelesaikan Islam dapat diketahui dari legislasi hukum Islam kasus-kasus perdata juga menyelesaikan kasus- yang dilakukan oleh kesultanan-kesultanan Islam kasus pidana (Sirajuddin, 2016). Oleh sebab itu, di Nusantara. Praktik penerapan hukum Islam Triyanta (2002) berkesimpulan hukum Islam yang meniscayakan adanya lembaga peradilan. Seorang diberlakukan pada masa lalu adalah hukum positif. pengembara Arab yang termasyur, Ibnu Batutah Dengan demikian, perangkat utama dalam (1992: 619) dalam karya Rihlah-nya yang penerapan hukum Islam terdiri dari qadhi sebagai fenomenal melaporkan bahwa ketika menerima hakim dari kalangan ulama dan lembaga peradilan berita kedatangan Ibnu Batutah dari syahbandar, sebagai institusi pemerintah dalam penyelesaian Amir Daulasah diperintahkan untuk menemuinya perkara-perkara hukum. bersama al-qadhi as-syarif (hakim yang mulia), Dalam praktik formalisasi hukum Islam di Amir Sayyid as-Syairazi dan Taj ad-Din al-Isbahani Nusantara, Kesultanan Aceh Darussalam termasuk dan para fukaha (ahli fikih). Sebagaimana tradisi pemerintahan yang cukup murni dalam dalam kekuasaan Islam sejak masa Nabi pelaksanaannya, tanpa tebang pilih, baik terhadap Muhammad saw. hingga masa kekhalifahan rakyat biasa maupun terhadap bangsawan dan berikutnya, gelar qadhi adalah sebutan untuk keluarga sultan. Hal ini bisa buktikan saat masa hakim yang bertugas menyelesaikan perkara di Sultan Iskandar Muda berkuasa, ia pernah lembaga peradilan negara berdasar hukum Islam. menjatuhkan hukuman rajam terhadap puteranya Pendapat yang menyatakan syariat Islam atau sendiri yang bernama Meurah Pupok yang terbukti hukum Islam tidak pernah diterapkan sebagai berzina dengan seorang isteri perwira. Pada masa

22 Sarkowi dan Agus Susilo (Akar Historis Formalisasi Hukum Islam di Nusantara)

Sultan Alauddin Syah dan Iskandar Muda hukum di berbagai kesultanan Islam di Nusantara berlaku Islam tidak hanya mengatur perdata dan pidana sistem kelembagaan kemitraan dagang (syarikah saja, tetapi hukuman takzir terhadap pelanggaran mufawwadhah) dan sistem commenda atau ibadah, seperti shalat lima waktu sehari semalam kepemilikan modal (Arab: qirad, mudharabah) dan ibadah puasa. Dalam bidang ekonomi (Rusdi, 2011: 40). Hukum tersebut adalah bagian misalnya, Sultan Iskandar Muda mengeluarkan hukum perekonomian Islam. Ini menunjukkan kebijakan atau melegislasi hukum pengharaman bahwa pada masa itu telah diterapkan sistem riba dan dirham dijadikan sebagai mata uang Aceh. hukum Islam. Sementara itu, di Kesultanan Malaka Kesultanan Aceh Darussalam ini sudah dilengkapi formalisasi dan legislasi hukum Islam cukup maju dengan Undang-undang Dasar yang berlandaskan dan berkembang. Di kerajaan Islam ini pelaksanaan Islam dengan nama Kitab Adat Meukuta Alam hukum Islam sudah berjalan stabil. Bahkan lengkap (Sunanto dalam Sarkowi, 2015: 116; Rusdi, 2011: dengan syarat-syarat qadhi (hakim) yang akan 45-46). Dalam pelaksanaan hukum Islam, qadhi memutuskan perkara di pengadilan juga telah memiliki wewenang memutuskan perkara di ditetapkan. Disebutkan bahwa syarat seorang pengadilan. Keterangan ini menunjukkan bahwa hakim harus seorang yang berilmu luas, adil, takwa, pelaksanaan hukum Islam di Kesultanan Aceh bijaksana dan bertanggung jawab. Ditetapkan pula Darussalam dilaksanakan secara murni dan untuk menjaga rasa keadilan dan kejujuran seorang menyeluruh, tidak terbatas pada pengaturan hakim dilarang menerima hadiah. Kesultanan ini hubungan antarmasyarakatnya dalam perkara sudah dilengkapi dengan undang-undang yang muamalat dan tindak pidana, tetapi juga berkaitan dikenal dengan sebutan Kanun Malaka (Sunanto, dengan ibadah salat dan puasa pun diatur secara 2007: 151). ketat. Dari keterangan dan penjelasan tersebut Di Kalimantan Selatan praktik pelaksanaan maka wajar AC Milner mengatakan bahwa Aceh hukum Islam dapat dilihat pada masa Kesultanan merupakan kerajaan Islam di Nusantara yang Banjar. Formalisasi dan legislasi hukum Islam paling ketat dalam melaksanakan hukum Islam melalui buku Sabil al-Muhtadin yang dilakukan pada peradilan sebagai hukum negara pada abad seorang ulama, mufti sekaligus qadhi (hakim) ke-17 (Rusdi, 2011: 45). Kesultanan Banjar yakni Syaikh Muhammad Menurut Beaulieu (dalam Lombard, 2014: Arsyad Banjari. Kasus serupa diketahui dari 118) peradilan pelaksanaan hukum Islam pada legalisasi kitab Simbur Cahaya yang terdapat masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda terdiri di Kesultanan Palembang yang memadukan dari pengadilan perdata, pidana, agama, dan niaga. hukum adat dengan hukum syariat (Ka’bah, 1999: Sepertinya Beaulieu kurang memahami konsep 69). Untuk praktik hukum di Kesultanan hukum dalam Islam, sehingga ia memisahkan Palembang ini memiliki kemiripan dengan hukum konsep hukum perdata, pidana, dan niaga dengan pepakem di Cirebon di Pulau Jawa, yakni dengan agama, padahal ketiga hukum tersebut adalah melakukan satu buku yang dijadikan pedoman bagian dari hukum agama atau bisa juga peradilan kerajaan dalam Kitab Surya Alam (Hooker, 1983: agama yang dimaksud adalah perkara yang 162-165). berkaitan ibadah. Namun Beaulieu sepertinya juga Praktik formalisasi hukum Islam juga gagal dalam menggambarkan Sultan Iskandar dilaksanakan di Pulau Jawa di berbagai kesultanan, Muda sebagai seorang yang kejam dengan misalnya pada kerajaan Islam pertama di Pulau menyiksa banyak orang termasuk putranya sendiri, Jawa, Kerajaan Demak, hukum Islam diberlakukan sebagai seorang gangguan saraf dan berwatak tidak di samping hukum adat kebiasaan Jawa kuno. Hal stabil (Lombard, 2014: 240-241). Tuduhan ini ini karena Demak merupakan kerajaan yang menunjukkan ketidakpahamannya terhadap berhasil menggantikan Kerajaan Majapahit yang hukuman pidana bagi orang yang melakukan bercorak Hindu Jawa. Masyarakatnya masih sangat kejahatan dalam Islam atau ada unsur kesengajaan kental dengan kebudayaan Jawa dan di antara untuk mendistorsikan fakta sejarah. mereka masih ada yang menganut agama Hindu. Dalam bidang perdagangan dan Maka, sebagai salah satu upaya dakwah Islam yang perekonomian tidak hanya Aceh, pada umumnya dilakukan adalah proses akulturasi budaya dan

23 Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 5 (1) 2020: 14-27 | E-ISSN: 2443-0110 islamisasi dengan nilai-nilai Islam terhadap adat diberlakukan hukum potong tangan bagi pencuri lama yang masih berkembang pada sebagian dengan kadar tertentu. Pada masa masyarakat. Akan tetapi, hukum Islam tetap pemerintahannya ia mengangkat seorang ulama diberlakukan dalam pelaksanaan peradilan. Hal ini bernama Syaikh Yusuf al-Makassari sebagai mufti tergambarkan dari peran peradilan kala itu yang atau qadhi kerajaan (Sunanto, 2007: 142, 153). menggunakan hukum Islam. Begitu juga dengan Pelaksanaan hukum Islam di Kesultanan Banten Kesultanan Cirebon, hukum Islam diberlakukan di sepertinya meliputi semua aspek hukum perdata samping hukum adat yang berlaku (Rusdi, 2011: dan pidana Islam, sebab selain hukum potong 47-48). Namun hukum adat di Cirebon sudah tangan juga ada keterangan tentang hukuman bagi disesuaikan dengan hukum Islam, sehingga pengguna opium dan hukuman berat terhadap Pepakem Cirebon yang dikenal sebagai hukum pelaku pelanggaran seksual (Azra, 1996: 69). Jawa kuno tidak lain merupakan Undang-Undang Selain Banten formalisasi hukum Islam di Pulau Hukum Islam di Kesultanan Cirebon. Jawa juga dilaksanakan juga di beberapa kesultanan Dalam kasus Kesultanan Demak, meskipun dan daerah seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, sebagai kesultanan Islam pertama di Jawa, dalam Ampel dan kemudian Mataram (Ka’bah, 1999: praktik penerapan hukum Islam sudah ada jabatan 69). qadhi yang dipercayakan kepada . Pada masa kerajaan Mataram Islam (1613- De Graff dan Th. Pigeaud juga mengakui adanya 1645) di bawah kepemimpinan Sultan Agung, jabatan tersebut dengan Sunan Kalijaga sebagai hukum Islam diberlakukan dalam sistem peradilan. pejabatnya (Sunanto, 2007: 153). Meskipun Setiap kejahatan yang menjadi urusan peradilan belum ada keterangan lebih lanjut bagaimana diadili menurut hukum Islam. Sekalipun masih susunan lembaga peradilan yang memberlakukan dalam upaya penyesuaian, namun sistem hukum hukum Islam ini, namun cukup menjadi bukti yang Islam sudah diperkenalkan dan diformalisasi dalam kuat bahwa hukum Islam telah diformalisasikan sistem pemerintahan. Penghulu pada masa Sultan dalam pemerintahan Demak, mengingat Agung mempunyai tugas tidak hanya sebagai keberadaan jabatan qadhi menunjukkan adanya imam, tetapi juga sebagai mufti atau penasihat sistem peradilan Islam dalam memutuskan perkara hukum Islam, qadhi atau hakim, wali hakim dan di tengah kehidupan umat Islam. amil zakat (Rusdi, 2011: 42). Sultan Agung juga Kesultanan Banten mengadopsi hukum yang mengubah peradilan pradata (Hindu) Islam dalam menyelesaikan berbagai masalah menjadi Peradilan Surambi atau Serambi. Disebut hukum di antara umat Islam (Ka’bah, 1999:69). demikian karena peradilan ini bertempat di Pelaksanaan hukum Islam pada Kesultanan Banten serambi Masjid Agung. Penghulu pada masa ini berbeda dari kesultanan lainnya yang ada di Pulau mempunyai tugas sebagai mufti, yaitu penasihat Jawa. Tegasnya penerapan hukum Islam di Banten hukum dalam sidang-sidang pengadilan negeri diduga karena pengaruh adat istiadat Hindu- (Maman, 2009: 102). Buddha di wilayah kerajaan ini tidak dominan, Dapat disimpulkan bahwa hukum Islam misalnya pada masa Sultan Hasanuddin sangat yang berlaku tidak hanya dalam tataran ibadah saja, ketat dalam melaksanakan hukum Islam. seperti salat, zakat, puasa, haji, nikah dan waris, Kesultanan ini dijalankan berdasar hukum Islam yang secara normatif tidak memerlukan bantuan yang murni, sehingga peradilan yang diberlakukan penyelenggara negara untuk melaksanakannya dan pada pemerintahan ini murni dari hukum Islam. dapat dijalankan atas dasar kesadaran individu Pemberlakuan hukum pidana Islam merupakan umat Islam. Namun juga menyangkut hukum bagian dari pelaksanaan syari’at Islam di Banten Islam yang berlaku secara formal yuridis, yakni (Rusdi, 2011: 49). Meskipun masyarakat Banten hukum Islam yang mengatur hubungan sesama bersifat heterogen atau multikultural (Wijono, manusia dalam kehidupan masyarakat dan negara 2017). yang disebut dengan istilah muamalah dan uqubat, Di Kesultanan Banten pelaksanaan hukum yakni hukum Islam yang memerlukan bantuan Islam ditangani oleh hakim yang disebut qadhi penyelenggaraan negara untuk pelaksanaan (dalam bahasa Jawa disebut kali). Antara tahun melalui upaya peradilan seperti pelanggaran 1651-1682 di bawah Sultan Ageng Tirtayasa kejahatan murni atau persengketaan hak milik dan

24 Sarkowi dan Agus Susilo (Akar Historis Formalisasi Hukum Islam di Nusantara) semacamnya (Ali, 2011: 75). Artinya, pada masa di Nusantara adalah Perlak pada abad IX hingga ini formalisasi hukum Islam memiliki peranan awal abad XIII dan Samudra Pasai abad XIII hingga sentral, karena menangani berbagai persoalan atau awal abad XVI, hal ini dapat dibuktikan dengan kasus-kasus yang terjadi di tengah-tengah keberadaan lembaga peradilan dan jabatan qadhi masyarakat, baik menyangkut perkara perdata pada masa pemerintahan tersebut. Hukum-hukum maupun pidana. Islam diterapkan dalam sistem pemerintahan dengan mejadikannya sebagai hukum negara Simpulan menggantikan hukum adat di berbagai daerah Nusantara. Dari penelusuran sumber-sumber sejarah dapat Sejak berdiri kekuatan politik Islam di disimpulkan bahwa fase awal pengenalan hukum- Nusantara, ulama menjadi bagian penting dalam hukum Islam menjadi genealogi awal proses legitimasi dan pelaksanaan kekuasaan Islam di formalisasi hukum Islam di Nusantara. Pada fase ini tengah masyarakat yang telah beralih memeluk hukum-hukum Islam sudah diperkenalkan kepada agama Islam. Bahkan ulama dianggap ujung seluruh anggota keluarga dan komunitas tombak dalam pelaksanaan hukum Islam dalam masyarakat yang telah menerima Islam. Sejalan pemerintahan. Praktik formalisasi hukum Islam di dengan proses islamisasi dan kulturisasi hukum masa kesultanan Islam dibuktikan dengan adanya Islam yang terus berkembang, hukum Islam pun undang-undang yang bercorak Islam dan lembaga menjadi bagian dari hukum tidak tertulis yang peradilan Islam seperti Peradilan Serambi di Jawa, berkembang di Nusantara berkat akulturasi dan Mahkamah Syar’iyyah di Sumatra, Kerapatan asimilasi hukum Islam dengan budaya lokal. Jika Qadhi di Banjar dan Pontianak dan lain sebagainya. terjadi persengketaan biasanya dari pihak yang Setiap kesultanan mengangkat qadhi, mufti hingga bersengketa itu mengangkat seorang muhakkam syaikh al-Islam sebagai penopang utama dalam (pemutus perkara) secara tahkim dari kalangan pelaksanaan formalisasi hukum Islam tersebut. ulama di antara mereka. Ini merupakan bentuk Begitu juga bukti-bukti sejarah tentang penerapan awal formalisasi hukum Islam secara sederhana hukum dan penanganan berbagai kasus baik di yang pertama-tama diberlakukan di Nusantara bidang perdata maupun pidana. yang biasanya dikenal dengan fase tahkim. Pada masa ini peran ulama dari Timur Tengah sangat Referensi berpengaruh dalam memperkenalkan hukum Islam dan kaderisasi tunas ulama Nusantara. Abdullah, R. (2015). Wali Songo: Gelora Dakwah Fase berikutnya adalah setelah agama Islam dan Jihad di Tanah Jawa (1404-1482). mengalami perkembangan dan terjadi konversi Surakarta: Al Wafi Publishing. penduduk di Nusantara ke dalam agama Islam. Achmad, S. W. (2016). Sejarah Kerajaan-Kerajaan Pengaruh para ulama tetap memegang peranan Besar di Nusantara. Yogyakarta: Araska. strategis dalam mewarnai kehidupan masyarakat Ali, M. D. (2011). Hukum Islam : Pengantar Ilmu dan institusi politik di Nusantara. Pada masa ini Hukum dan Tata Hukum Islam di bermunculan ulama Nusantara yang dipandang Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. cukup berpengaruh dalam bidang hukum Islam, Arif, M. (2011). Pengantar Kajian Sejarah. terbukti karya-karya buku mereka dijadikan Bandung: Yrama Widya. sebagai pedoman pelaksanaan hukum Islam dalam Arifin, A. H. (2005). Malikussaleh: Mutiara dari pemerintahan. Pengaruh ulama ini juga terekam Pasai. PT. Madani Press. jelas pada saat pendirian kerajaan Islam pertama di Azra, A. (1994). Jaringan Ulama Timur Tengah Pulau Jawa yang diinisiasi oleh para ulama yang dan Kepulauan Nusantara Abad XVII- tergabung dalam Wali Songo. Pada saat Islam XVIII. Bandung: Mizan. bekembang dan menjelma menjadi sebuah Azra, A. (1999). Renaisans Islam Asia Tenggara. kekuatan politik inilah awal dari formalisasi hukum Bandung: Rosda Karya. Islam di Nusantara. Kesultanan pada masa paling Batutah, I. (1992). Rihlah ibn Battutah al- awal dalam melaksanakan formalisasi hukum Islam Musammah Tuhfah al Nazzar fi Gara’ib al-

25 Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 5 (1) 2020: 14-27 | E-ISSN: 2443-0110

Amsar wa ‘Aja’ib al-Asfar. Beirut: Darul Peradilan Agama di Indonesia. Bandung: Kutub al-‘Ilmyyah. Remaja Rosda Karya. Daliman, A. (2012). Islamisasi dan Perkembangan Nashir, H. (2013). Islam Syariat: Reproduksi Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Salafiyah Ideologis di Indonesia. Bandung: Yogyakarta: Penerbit Ombak. Penerbit Mizan. Departemen Agama RI (1985). Kenang-kenangan Nuruddin, A. dan A. A. Tarigan (2006). Hukum Seabad Peradilan Agama di Indonesia. Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Jakarta: Ade Cahya. Media. Hamka (1981). Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Reids, A. (1993). The Making of an Islamic Bintang. Political Discourse in South East Asia. Harjono, A. (1995). Indonesia Kita: Pemiki- Victoria: Monash University Press. ran Berwawasan Iman-Islam. Jakarta: Rusdi, Kosim (2011). Sejarah Peradilan Agama di Gema Insani Press. Indonesia. Cirebon: Penerbit Nurjati. Hasymi, A. (Ed.), (1995). 50 Tahun Aceh Saidah, S. (2013). "Aktualisasi Hukum Islam di Membangun. Banda Aceh: MUI Aceh. Indonesia: Idealitas dan Realitas Hukum Hidayat, A. (2012). “Non Zero Sum Game Pidana Islam." Jurnal Hukum Diktum, Vol. Formalisasi Syari’ah dalam Bingkai 11 (2): 147-158. Konstitusionalisme.” Jurnal Pandecta, 7 (1): Sarkowi, S. (2015). “Pengaruh Islam terhadap 80-94. Politik dan Pemerintahan Kesultanan Islam Hikmatullah (2017). “Selayang Pandang Sejarah di Nusantara Abad IX-XIX”. Prosiding Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Seminar Nasional Sejarah II. Palembang: Indonesia.” Jurnal Ajudikasi, 1 (2): 39-52. FKIP Universitas Sriwijaya, 9 November Hill, A. H. (1960). “Hikayat Raja-Raja Pasai.” 2015. Journal of Malaysian Branch and Royal Sarkowi, S. dan Akip, M. (2019). “Kulturasi Ajaran Asiatic Society, Vol. 33 (2): 1-215. Islam Melalui Sistem dan Lembaga Hill, A. H. (1963). “The Coming of Islam to Nort Pendidikan Islam pada Masyarakat Masa Sumatra.” Journal of Southeast Asian Kesultanan di Nusantara”. SINDANG: History, Vol. 4 (1): 6-21. Jurnal Pendidikan Sejarah Dan Kajian Hooker, M. B. (1983). Islam in South-East Asia. Sejarah, 1 (2): 36-53. https://doi.org/ Leiden: E.J.Brill. https://doi.org/10.31540/sdg.v1i2.318 Israeli, R. (1989). The Crescent in the East : Islam Sirajuddin M. (2016). “Sejarah Pergulatan Politik in Asia Minor. London: Curzon Press. Hukum Islam di Indonesia”. Jurnal Al- Ka’bah, R. (1999). Hukum Islam di Indonesia, Manahij, 10 (2): 281-294. Prespektif dan NU: Sulasman, H. (2014). Metodologi Penelitian Jakarta: Universitas Yasri. Sejarah: Teori, Metode, Contoh Aplikasi. Kartodirjo, S. (1993). Pendekatan Ilmu Sosial Bandung: CV. Pustaka Setia. dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Sunanto, M. (2007). Sejarah Peradaban Islam Gramedia Pustaka Utama. Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Kenedi, H. J. (2017). “Penerapan Syariat Islam Persada. dalam Lintasan Sejarah dan Hukum Positif Surjaman, T. (ed.) (1991). Hukum Islam di di Indonesia.” Jurnal Nuansa, 10 (1): 74-84. Indonesia: Pemikiran dan Praktek. Lombard, D. (2014). Kerajaan Aceh Zaman Bandung: Remaja Rosda karya. Iskandar Muda (1607-1936). Jakarta: Syamsuddin, D. (2015). Transformasi Hukum Gramedia Pustaka Utama. Islam di Indonesa.” Jurnal al-Kadau, 2 (1): 1- Maman, K. (2009). “Ulama: Garda Terdepan 14. Penegakan Syariah di Indonesia.” Majalah Usman, I. (2014). Konsep Pembinaan Umat dan Al-Wa’ie No.108. Strategi Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.” Mukhlas, O. S. (2011). Perkembangan Peradilan Jurnal Media Syariah, 16 (1): 611-644. Islam: dari Kahin di Jazirah Arab ke Uwik, G. (2011). “Penerapan Syariah di Bumi Nusantara”. Majalah Al-Wa’ie No. 130.

26 Sarkowi dan Agus Susilo (Akar Historis Formalisasi Hukum Islam di Nusantara)

Wijono, R. S. (2017). “Di Bawah Bayang-Bayang Kota: Penataan Daerah di Provinsi Banten dari Zaman Kolonial sampai Zaman Reformasi.” Jurnal Sejarah Citra Lekha, 2 (2), 126-142. https://doi.org/10.14710 /jscl.v2i2.16122 Yatim, B. (2016). Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Rajawali Pers. Yunus, N. R. (2015). “Penerapan Syariat Islam terhadap Peraturan Daerah dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia.” Hunafa: Jurnal Studia Islamika, 12 (2): 253-279. Yusdani (2006). “Formalisasi Syariat Islam dan Hak Asasi Manusia di Indonesia.” Jurnal Al Mawarid, Edisi XVI: 191-210.

27