AL-QUR’A>N DAN MASYARAKAT: RESPONS ULAMA ACEH TERHADAP AL-QUR’A>N AL-KARI>M DAN TERJEMAHAN BEBAS BERSAJAK DALAM BAHASA ACEH

TESIS

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Agama (M.A) dalam Bidang Pengkajian Islam

Oleh:

Munawir Umar NIM: 21171200100103

Pembimbing: Dr. Yusuf Rahman, MA

KONSENTRASI TAFSIR INTERDISIPLIN SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 2020

i

KATA PENGANTAR Syukur alhamdulillah dan segala puji kepada Allah Swt atas limpahan rahmat dan karunia-Nya dengan menilhami hikmah ilmu pengetahuan sehinga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini dengan baik. Sejak pertama kali penulis menginjakkan kaki untuk melanjutkan studi pada program Magister Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, bagitu banyak pihak yang telah membantu penulis dalam berbagai macam, baik itu bentuknya moril maupun materil. Pertama, tentu penulis mengucapkan rasa terima kasih yang terdalam kepada kedua orang tua penulis sendiri, yaitu Ayahanda Umar Usman dan Ibunda Khuzaijah. Kepada keduanya muara hikmah pengetahuan pertama kali penulis dapatkan dan menuntun penulis dengan bantuan, nasehat serta do’anya untuk menyelesaikan pendidikan ini. Kemudian tidak lupa penulis sampaikan pula kepada adik-adik saya Nurjannati, Nur’aini, Muhammad Riza, Muksalmina, dan juga Humaira sebagai penyemangat dalam rangka mendorong saya untuk segera menyelesaikan tugas ini. Kedua, saya menyampaikan ucapan terima kasih setinggi-tingginya kepda kepada Prof. Dr. Amani Lubis, MA sebagai rektor Univeristas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh jajarannya, pimpinan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Jamhari, MA, Prof. Dr. Didin Saepudin, MA, dan Arif Zamhari, M.Ag, Ph.D. Serta kepada seluruh dosen dan staf Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberi banyak bantuan serta masukan dalam rangka penyelesaian tugas akhir ini. Ketiga, penulis mengucapan rasa terima kasih dan penghargaan sedalam- dalamnya kepada pembimbing tesis penulis, yaitu Dr. Yusuf Rahman, MA yang telah dengan begitu telaten membimbing penulis sehingga menghasilkan sebuah karya yang layak diuji dan dikunsumsi secara ilmiah. Keempat, ucapan terima kasih pula kepada para dosen yang telah memberikan bimbingan baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama kepada Dr. Phil. JM. Muslimin, MA, Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA, Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Kusmana, MA yang telah memberi arahan dan bimbingan selama proses penyelesaian tesis ini. Selanjutnya terkhusus kepada para narasumber di mana penulis mengambil data wawancara demi terselesaikannya tesis ini, kepada Prof. Dr. Azman Ismail, MA, Prof. Drs. Yusny Saby, MA, Ph.D, Prof. Dr. Alyasa’ Abubakar, MA, Dr. Samsul Bahri, M.Ag, Dr. Hisyami Yazid, M.Ag, Dr. Fauzi Saleh, S.Ag, Lc, MA, Dr. Safir Iskandar Wijaya, MA, Abu Syeikh Hasanoel Basri HG, Teungku Muhammad Yusuf A. Wahab, Waled Nuruzzahri, dan Teungku Faisal Ali yang telah meluangkan waktunya demi penyelesaian tesis ini. Terakhir, ucapan terima kasih kepada keluarga Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang sudah memberikan kesempatan pada saya unutk melanjutkan studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, terkhusus lagi kepada keluarga besar kelurahan awardee LPDP Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mensupport saya dalam penyelesaian karya ini. Dan karya ini saya persembahkan kepada seluruh orang yang ada disekeliling dan juga kepada seluruh masyarakat Aceh. Mudah-mudahan tesis ini bisa membawa pemahaman kajian tafsir masyarkat Aceh secara lebih dalam luas. Amin. ii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Munawir Umar NIM : 21171200100103 No. Kontak : 081269080838

Menyatakan bahwa tesis yang berjudul Al-Qur’an dan Masyarakat: Respons Ulama Aceh Terhadap Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh adalah hasil karya saya sendiri. Ide/gagasan orang lain yang ada dalam karya ini saya sebutkan sumber pengambilannya. Apabila diekemudian hari terdapat hasil plagiarisme maka saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan dan sanggup mengembalikan gelar dan ijazah yang saya peroleh sebagaimana peraturan yang berlaku.

Jakarta, 10 September 2020 Yang Menyatakan,

Munawir Umar

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis yang berjudul Al-Qur’an dan Masyrakat: Respon Ulama Aceh Terhadap Al- Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh. NIM 21171200100103 telah melalui pembimbingan, work in progress, dan ujian pendahuluan sebagaimana ditetapkan oleh Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta sehingga layak diajukan untuk Ujian Tesis.

Jakarta, 10 September 2020 Pembimbing

Dr. Yusuf Rahman, MA

iv

LEMBARAN PERBAIKAN Tesis yang berjudul: Al-Qur’an dan Masyarakat: Respons Ulama Aceh Terhadap Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, oleh Munawir Umar, NIM: 21171200100103 telah dinyatakan lulus ujian pendahuluan yang diselengarakan pada hari/tanggal Jum’at/21 Februari 2020.

Tesis ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan dewan penguji, sehingga disetujui layak untuk diajukan ke tahap ujian promosi tesis.

Jakarta, 02 Maret 2020

Tim Penguji:

No Nama Tanda Tangan Tanggal

1 Dr. Hamka Hasan, Lc, MA

2 Dr. Yusuf Rahman, MA

3 Arif Jamhari, M.Ag, Ph.D

v

PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Munawir Umar NIM : 21171200100103 Judul Tesis : Al-Qur’an dan Masyarakat: Respons Ulama Aceh Terhadap Al- Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Besajak dalam Bahasa Aceh

Menyatakan bahwa Draft Tesis telah diverifikasi oleh ketua Program Studi Doktor Bapak Prof. Dr. Didin Saepuddin, MA. Dan draft Tesis ini telah diperbaiki sesuai dengan saran verifikasi.

Demikian surat pernyataan ini dibuat agar dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menempuh ujian promosi Tesis..

Jakarta, 02 Maret 2020 Yang membuat pernyataan,

Munawir Umar

vi

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon ulama Aceh terhadap karya Mahjiddin Jusuf yang berjudul Al-Qur’an dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh. Dalam hal ini berfokus pada wawasan sekaligus jejak pendapat para ulama Aceh yang dihasilkan dari wawancara dengan mereka dengan klasifikasi kritis ideologis, kritis epistemologis dan kritis akomodatif. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui metodologi yang digunakan oleh Majiddin Yusuf dan latar belakang penulisan Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh tersebut. Kemudian Mengetahui secara spesifik kelayakan karya tersebut diberikan nama sebagai terjemah ataukah tafsir. Sedangkan metodologi yang digunakan dari aspek jenis penelitian adalah menggunakan penelitian dengan jenis lapangan (field research) bersifat kualitatif deskriptif-analitis untuk mendeskripsikan respon Ulama Aceh terhadap Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan antropologis, hermeneutik, dan pendekatan sastra. Penelitian terdahulu adalah tesis yang berjudul “Puitisasi Terjemahan Al- Qur’an: Studi Analisis Terjemah Al-Qur’an Bersajak Bahasa Aceh” oleh Bilmauidhah. Ia hanya menggambarkan selayang pandang diskusi para ulama terakit karya Mahjiddin dan memberikan apresiasi terhadap karya tersebut. Sedangkan penelitian ini mengaku lebih kritis dengan melihat respon para ulama. Hasil analisis penulis menyimpulkan terkait pro dan kontra di kalangan pakar tafsir di Aceh bahwa sebagian ulama yang mengidentifikasi bahwa pendekatan budaya pada karya tersebut hendaklah ditinjau ulang, sebab itu akan mendistorsi kandungan makna Al-Qur’an dengan kosa kata yang telah dipilih untuk digunakan. Sementara beberapa ulama lain seperti Teungku Faisal Ali dan Profesor Azman Ismail mengatakan bahwa hal itu tidaklah mengapa, sebab sejatinya yang terpenting adalah masyarakat bisa memahami Al-Qur’an secara substansial yang dikandungnya. Di samping itu juga ada yang menyebutnya sebagai terjemahan dan ada pula yang menyebutnya sebagai tafsir dengan metode ijma>li> dan corak (laun) lugha>wi>. Dan bahkan bisa diasumsikan karya ini menjadi menjadi corak adab ijtima>’i> dan berbasiskan tafsir bi al-ra’yi. Sementara penulis sendiri berpendapat bahwa karya itu adalah sebuah karya tafsir dengan menggunakan metode dan corak sebagaimana disebutkan sebelumnya. Kata Kunci: Terjemah Al-Qur’an, respon ulama, bersajak Aceh.

vii

ABSTACT This study aims to determine the response of Acehnese ulama to the work of Mahjiddin Jusuf entitled Al-Qur’an Al-Karim and Free Poetic Translation in Achenhness Language. In this case, it focuses on the insights as well as the impressions of the opinions of Acehnese scholars resulting from interviews with them with ideologically critical, epistemological and critical accommodative classifications. This study also aims to find out the methodology used by Majiddin Yusuf and the background of writing the Al-Qur’an Al-Karim and Free Poetic Translation in Achenhness Language. Then Knowing specifically the feasibility of the work is given a name as a translation or interpretation. While the methodology used from the aspect of this type of research is to use research with a type of field (qualitative research) that is descriptive-analytical in nature to describe the response of the Acehnese Ulama to Al-Qur’an al-Karim and Rhyming Free Translation in Acehnese Language. The approach used is the anthropological approach, hermeneutics, and the literary approach. Previous research was a thesis entitled “Puitisation of Qur’anic Translation: Analitical Study of Qur’anic Translation in Achehness Language” by Bilmauidhah. She only described a brief overview of the discussions of scholars assembled by Mahjiddin and gave appreciation for the work. While this study claimed to be more critical by looking at the responses of the scholars. The results of the author's analysis conclude the pros and cons of commentators in Aceh. a scholar who identifies that the cultural approach to the work should be reviewed, because it will distort the content of the meaning of the Qur’an with the vocabulary that has been chosen for use. While some other scholars such as Faisal Ali and Azman Ismail said that this was not the case, because in fact the most important thing was that the public could understand the Koran substantially contained. In addition, there are also those who call it translation and some call it interpretation by the method of ijma> li> and style (laun) lugha> wi>. And it can even be assumed that this work becomes an ijtima> ’i> style and is based on the tafsir bi al- ra’yi. While the authors themselves argue that the work is a work of interpretation using the methods and patterns as mentioned earlier. Keywords: Translation of the Qur’an, ulama response, Aceh rhyme.

viii

ملخص هتدف هذه الدراسة إىل حتديد استجابة أساتذة آتشيهيني لعمل حم ي الدين يوسف بعنوان القرآن الكرمي وترمجة احل رة من اللغة يف آتشيه. يف هذه احلالة ، فإنه يركز على األفكار وكذلك انطباعات آراء علماء أتشيه الناجتة عن املقابالت معهم مع تصنيفات إيديولوجية نقدية ومعرفية ونقد اإلجيايب. هتدف هذه الدراسة أي ًضا إىل معرفة املنهجية اليت استخدمها حم ي الدين يوسف وخلفية كتابة القرآن الكرمي والرتمجة احل رة لقافية آتشيه. مث معرفة مالئمة اعتبار هذا املصنف كونه ب ترمجة أو تفسري. واملنهج املستخدم يف هذا البحث ه ي استخدام البحث مع نوع من اجملال )البحث النوع ي( الذي هو وصفية حتليلية يف الطبيعة لوصف استجابة أولياء أتشيه للقرآن الكرمي وترمجة رميينج احلرة يف لغة آتشيهيني. النهج املستخدم هو النهج األنثروبولوج ي، التأويل، والنهج األديب. حبث سابق كان عبارة عن أطروحة ان بعنو"ترمجة شعر القرآن: دراسة حتليلية لرتمجة القرآن الكرمي بلغة آتشيه" للمخرج بلمايضه. ووصف فقط حملة موجزة عن مناقشات العلماء اليت مجعها حم ي الدين وقدم التقدير للعمل. بينما زعمت هذه الدراسة أهنا أكثر أمهية من خالل النظر يف ردود العلماء. نتائج حتليل املؤلف ختتتم إجيابيات وسلبيات املعلقني يف اتشيه. الباحث الذي حيدد أن النهج الثقايف للعمل جيب أن يتم مراجعته ، ألنه سيشوه حمتوى معىن القرآن مع املفردات اليت مت اختيارها لالستخدام. بينما قال بعض العلماء اآلخرين مثل تنكوا فيصال عايل واألستاذ الدكتور عزمان إمساعيل إن هذامل يكن كذلك ، ألن األمر األكثر أمهية يف احلقيقة هو أن اجلمهور ميكن أن يفهم القرآن الكرمي بشكل كبري. باإلضافة إىل ذلك، هناك أي ًضا أولئك الذين يطلقون عليها الرتمجة وبعضهم يسميها التفسري بطريقة اإلمجايل ولون األدب اإلجتماع ي. وميكن حىت افرتاض أن هذا العمل يصبح أسلوبًا ويعتمد على تفسري بالرأي بينما جيادل املؤلفون بأن العمل عبارة عن عمل تفسري باستخدام األساليب واألمناط كما ذكرنا سابًقا. الكلمات املفتاحية: ترمجة القرآن ، استجابة العلماء ، قافية أتشيه. ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan tesis ini berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan 0543b/U/1987. A. Konsonan Tunggal

Huruf Nama Huruf Latin Keterangan Arab

Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ا Bā’ b be ب Tā’ t te ت (Ṡā’ ṡ es (dengan titik di atas ث Jīm j je ج (Ḥā’ ḥ ha (dengan titik di bawah ح Khā’ kh ka dan ha خ Dāl d de د (Żāl ż zet (dengan titik di atas ذ Rā’ r er ر zai z zet ز sīn s es س syīn sy es dan ye ش (ṣād ṣ es (dengan titik di bawah ص (ḍād ḍ de (dengan titik di bawah ض (ṭā’ ṭ te (dengan titik di bawah ط (ẓȧ’ ẓ zet (dengan titik di bawah ظ ain ‘ koma terbalik di atas‘ ع gain g ge غ fā’ f ef ف qāf q qi ق kāf k ka ك lām l el ل mīm m em م nūn n en ن wāw w w و hā’ h ha هـ hamzah ` apostrof ء yā’ Y Ye ي

x

B. Konsonan Rangkap karena Syaddah Ditulis Rangkap

Ditulis Muta‘addidah مـتع ّددة Ditulis ‘iddah ع ّدة

C. Tā’ marbūṭah Semua tā’ marbūtah ditulis dengan h, baik berada pada akhir kata tunggal ataupun berada di tengah penggabungan kata (kata yang diikuti oleh kata sandang “al”). Ketentuan ini tidak diperlukan bagi kata-kata Arab yang sudah terserap dalam bahasa indonesia, seperti shalat, zakat, dan sebagainya kecuali dikehendaki kata aslinya.

Ditulis ḥikmah حكمة ditulis ‘illah ع ّلـة ’ditulis karāmah al-auliyā كرامةاألولياء

D. Vokal Pendek dan Penerapannya Fatḥah ditulis A --- َ ---- Kasrah ditulis i --- َ ---- Ḍammah ditulis u --- َ ----

Fatḥah ditulis fa‘ala ف عل Kasrah ditulis żukira ذكر Ḍammah ditulis yażhabu يذهب

E. Vokal Panjang 1. fathah + alif ditulis ā ditulis jāhiliyyah جاهلـ ّية 2. fathah + ya’ mati ditulis ā ditulis tansā تـنسى 3. Kasrah + ya’ mati ditulis ī ditulis karīm كريـم 4. Dammah + wawu mati ditulis ū ditulis furūḍ فروض

F. Vokal Rangkap 1. fathah + ya’ mati ditulis ai ditulis bainakum بـينكم 2. fathah + wawu mati ditulis au ditulis qaul قول

G. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan dengan Apostrof Ditulis A’antum أأنـتم ditulis U‘iddat اُ ع ّدت ditulis La’in syakartum لئنشكرتـم H. Kata Sandang Alif + Lam xi

1. Bila diikuti huruf Qamariyyah maka ditulis dengan menggunakan huruf awal “al” ditulis Al-Qur’ān القرأن ditulis Al-Qiyās القياس

2. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis sesuai dengan huruf pertama Syamsiyyah tersebut ’ditulis As-Samā ال ّسماء ditulis Asy-Syams ال ّشمس

I. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat Ditulis menurut penulisannya ditulis Żawi al-furūḍ ذوىالفروض

ditulis Ahl as-sunnah أهل ال ّسـ ّنة

xii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... i PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...... iii PERSETUJUAN PEMBIMBING...... iv PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUANError! Bookmark not defined. PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI ...... vi ABSTRAK ...... vii PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ...... x DAFTAR ISI ...... xiii BAB I : PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah...... 1 B. Permasalahan ...... 13 1. Identifikasi Masalah ...... 13 2. Rumusan Masalah ...... 14 3. Pembatasan Masalah ...... 14 C. Tujuan Penelitian ...... 15 D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ...... 15 E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ...... 16 F. Metode Penelitian ...... 19 1. Jenis Penelitian ...... 19 2. Sumber Data ...... 21 .3 Subjek Penelitian ...... 22 4. Teknik Pengumpulan Data ...... 24 5. Teknik Analisis Data ...... 24 G. Sistematika penulisan ...... 25 BAB II : DISKURSUS TERJEMAH DAN SAJAK DALAM AL-QUR’AN ...... 23 A. Terjemah : Akar dan Polemik ...... 24 1. Konsepsi Terjemah ...... 24 2. Embriologi Terjemah ...... 29 3. Hukum Menerjemahkan ...... 31 B. Al-Qur’an dan Kajian Sastra ...... 34 C. Sajak Al-Qur’an: Dimensi Puitis dalam Al-Qur’an ...... 41 1. Fenomena Sajak Al-Qur’an ...... 41 2. Aspek Linguistika dan Stilistika Al-Qur’an ...... 52 BAB III : ACEH DAN KAJIAN AL-QUR’AN ...... 56 A. Dinamika Kajian Al-Qur’an di Aceh ...... 57 B. Aceh dan Kesusasteraan...... 65 C. Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bersajak ...... 74 1. Biografi Penulis ...... 74 2. Biografi dan Karakterisitik Al-Qur’an dan Terjemahan Bersajak Aceh . 79 BAB IV : TERJEMAH PUITIS BAHASA ACEH DAN RESPON ULAMA ...... 86 xiii

A. Tipologi dan Peran Ulama ...... 87 B. Puitisasi Terjemah Al-Qur’an ...... 96 1. Wacana Puitisasi Terjamah Al-Qur’an ...... 96 2. Kontroversi Puitisasi Al-Qur’an ...... 102 C. Analisis Respon Ulama Aceh Terhadap Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh ...... 108 1. Persamaan Bunyi dan Irama ...... 108 2. Tafsir dan Perluasan Makna ...... 116 3. Pendekatan Sosial dan Budaya ...... 123 4. Ayat Antropomorfisme (Mutasya>biha>t) ...... 130 5. Fawa>tih} al-Suwar (Ayat Munqata’ah) ...... 133 6. Qasam Al-Qur’an (Sumpah Al-Qur’an) ...... 136 BAB V: PENUTUP ...... Error! Bookmark not defined. A. Kesimpulan ...... Error! Bookmark not defined. B. Rekomendasi ...... Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA ...... 144 GLOSARIUM ...... 159 INDEKS ...... 164 LAMPIRAN ...... 169 BIOGRAFI PENULIS ...... 173

xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Bagi umat Islam, Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang pengarangnya ialah Allah Swt sendiri dan memiliki otoritas atasnya yang tidak dapat diganggu gugat dari segi otentisitasnya. Para Nabi terdahulu telah menyampaikan risalah kitab-kitab suci mereka yang juga datang dari Allah Swt, seperti kitab Taurat, Zabur, dan Injil. Namun kitab tersebut telah disalahgunakan dan mempalsukannya sehingga pada akhina Allah mengutus Nabi Muhammad Saw untuk menyampaikan risalah Al- Qur’an sebagai kitab sekaligus menjadi akhir zaman dengan jaminan bahwa Al- Qur’an tidak akan pernah rusak dan akan terjaga selamanya.1 Karena itu pula, Al- Qur’an telah menjadi sebuah kitab wahyu yang terkandung di dalamnya segala esensi wahyu-wahyu yang pernah diturunkan kepada para Nabi terdahulu. Semua ajaran secara esensial, dalam berbagai aspek, diungkapkan kepadanya dalam Al- Qur’an. Allah menurunkan Al-Qur’an dalam Bahasa Arab, sebuah bahasa yang memiliki keistimewaan tersendiri. Keistimewaan ini selain karena sebagai penampil pesan-pesan Ilahi, ia juga memiliki sifat-sifat istimewa yang tak dimiliki oleh bahasa-bahasa lain di dunia. Memperkuat pernyataan tersebut, Mahmu>d Rawwa>s Qal’ahji>,2 mengatakan bahwa bahasa ini (Arab) memiliki balaghah yang sangat tinggi yang berasal dari Kabilah Quraisy dalam ungkapan memiliki kecermatan dan menunjukkan kepada makna tertentu, mudah diucapkan, memiliki ragam makna yang tidak dimiliki oleh bahasa yang lain pada suku dan kabilah lain. Al-Qur’an mengandung nilai tah>addi>3 (tantangan) bagi orang yang ini menentang kesakralannya. Tantangan tersebut secara bervariasi memberi tantangan kembali kepada mereka yang ingkar terhadapnya. Karena itu, Syihi>n memberikan sebuah

1 Jacques Jomier, Horizon Al-Qur’an: Membahas Tema-tema Unggulan dalam Al- Qur’an, Terj. Hasan Basri, Cet. I, (Jakarta: Bale Kajian Tafsir Al-Qur’an Pase, 2002), 7-8. 2 Mahmu>d Rawwa>s Qal’ahji>, Lugha>t Al-Qur’a>n, Lugha>t al-‘Arab al-Mukhta>rah, (Beirut: Da>r al-Nafa>is, 1988), 49. 3 Ada empat tantang yang dituju Al-Qur’an bagi mereka yang meragukan bahkan mengingkarinya sebagai petunjuk yang datang dari Allah Swt. sebagai berikut: Pertama, ) ح ح ٍ ح حح ح حح ) :Allah menantang untuk membuat Al-Qur’an secara keseluruhan فَ ْليَْأت ُْوا حبَديْث مثْله إ ْن ُكْنتُ ْم َصادقَْني “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Qur’an itu jika mereka orang-orang yang benar.” (QS. al-T{u>r: 34). Kedua, Menantang untuk menyusun sepuluh Katakanlah: “(kalau demikian), Maka“ ( ح ح ٍ ح حح ) :surah semacam Al-Qur’an قُ ْل فَْأتُوا بَع ْشر ُسَور مثْله datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya,…” (QS. Hu>d: 13). :Katakanlah ( ح ٍ ح حح ) :Ketiga, Allah menantang dengan mendatangkan satu surah saja قُ ْل فَاْت ُْوا ب ُسْوَرة مثْله “(Kalau benar yang kamu katakan itu), Maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya…” (QS. Yu>nus: 38). Keempat: Menantang dengan serupa dengan mendatangkan para ahli dari mereka. Lihat terperinci, Ahmad Must}afa> Al-Mara>ghi>, Terjemah Tafsi>r al-Mara>ghi> Jilid 16, Cet: ke-2, Terj Tafsi>r Al-Mara>ghi>, Bahrun Abu Bakar dkk, (Semarang: Toha Putra, 1992), 97-99. Lihat juga, Abdullah M. Al-Rehaili, Bukti Kebenaran Al-Qur’an, Terj, Purna Safiah Istianati, (Yogyakarta: Tajidu Press, 2003), 71. 1 argumentasi, bahwa bahasa ini –Al-Qur’an yang diturunkan dalam bahasa Arab- memiliki fleksibilitas suara yang tinggi baik dari segi irama, lambing, kesesuaian antara suara serta kesesuaian dari pola makna yang ditunjukkan oleh satu kosa kata meskipun telah melewati kurun waktu yang lama.4 Meskipun bahasa Al-Qur’an memiliki sastra dan balaghah yang tinggi, namun keistimewaan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipahami oleh masyarakat non-Arab dalam arti bahwa ia membutuhkan kepada alih bahasa dan terjemahan. Di sisi lain kandungan makna bahasa Al-Qur’an juga tidak seluruhnya dapat diterjemahkan dalam bahasa selain Arab. Dengan kata lain, terjemahan tidak sepenuhnya mewakili maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Muchlis M. Hanafi, bahwa seorang penerjemah memiliki posisi yang sangat urgen dan stategis meskipun sulit. Ia dituntut untuk menguasai dua bahasa sekaligus, bahkan dituntut pula mengusai latarbelakang budaya masing-masing bahasa yang hendak diterjemahkan. Sebab, ini sangat terkait dengan otentisitas makna teks yang hendak diterjemahkan. Bahkan seorang penerjemah sangat terikat pula dengan sebuah teks sehingga menuntutnya untuk menjaga amanah secara konsisten dalam penyampaian maksud teks kepada para pembaca. Hanafi melanjutkan, bahwa posisi seorang penerjemah terkadang harus melakukan sebuah penghianatan terhadap salah satu bahasa –bahasa sasaran terjemah atau bahasa yang sedang diterjemahkan-. Pada satu sisi ia sangat dituntut untuk memelihara kejujuran. Sedang di sisi lain ia dituntut untuk menampakkan keindahan bahasa yang hendak ia terjemahkan agar apa yang ia terjemahkan terasa indah bagi mereka yang membacanya. Maka karena itu persoalan menerjemahkan sebuah teks adalah satu hal yang tidak mudah dan sangat pelik untuk dilakukan.5 Pernyataan Hanafi di atas diperkuat oleh Larson yang mendefinisikan terjemahan dengan penggunaan struktul gramatikal dan leksikon yang sesuai dalam bahasa dan konteks budayanya untuk mengungkapkan kembali makna yang dimaksud oleh bahasa tersebut.6 Definisi tersebut memberi gambaran bahwa sebuah bahsa yang hendak diterjemahkan sangat erat kaitannya dengan bahasa sasaran dengan pertimbangan kontek budaya setempat. Tesis Hanafi memunculkan sebuah pertanyaan baru untuk menguji keabsahan. Mungkinkah dalam satu bahasa ditemukan kesatuan makna dari dua ungkapan (vocabularies) yang berbeda? Al- Ja>hiz menerangkan, terjemahan tidaklah menjadi representatif dan gambaran dari sebuah ucapan maupun keterwakilan dari sebuah teks. Hal tersebut bisa dilihat dari sudut kekhasan makna, pesan tersirat serta arah pembicaraan.7 Demikian halnya al- Sairafi sebagai mana dikutip oleh Abu> Hayya>n mengatakan, “Ketahuilah, aspek bahasa berupa sifat, susunan, kosa kata, kata kerja serta bentunya tidak bisa

4 Taufiq Muhammad Sya>hi>n, ‘Awa>mil Tanmiyah al-Lughat al-‘Arabiyah, (al- Qa>hirah: Maktabah Wahbah, 1993), 5. Lihat juga Jacques Jomier, Horizon Al-Qur’an: Membahas Tema-tema Unggulan dalam Al-Qur’an, Terj. Hasan Basri, Cet. I, (Jakarta: Bale Kajian Tafsir Al-Qur’an Pase, 2002), 133. 5 Muchlis M. Hanafi, “Problematika Terjemahan Al-Qur’an Studi pada Beberapa Penerbitan Al-Qur’an dan Kasus Kontemporer”, Jurnal Suhuf, Vol. 4, No. 2, 2011, 169. 6 Mildred L. Larson, Meaning Based Translation: A Guide to Cross-Language Aquivalance, (Lanham & London: University Press of Amerika, 1984), 3. 7 Amr Ibn Bah}r al-Ja>hiz, al-H{ayawa>n, (Beirut: Maktab al-Jahiz, t.t), 75-76. 2 disamakan antara satu bahasa dengan bahasa yang lain. Inilah salah satu problem utama yang dialami oleh seorang penerjemah.8 Dalam kajian ilmu tafsir, ada dua metode populer yang digunakan untuk menerjemahkan Al-Qur’an, 1. dan 2. Tarjamah tafsi>riyah (non-literal konteks).9 Bahkan menurut Manna>’ Khali>l al-Qat}t}a>n ditambah dengan Tarjamah maknawiyah.10 Oleh sebab itu muncullah sebuah anggapan bahwa terjemahan adalah sebuah hal krusial yang harus dipertimbangkan dari segala sudut. Pertimbangan tersebut tidak saja menjadi bias pada sisi teologis, tetapi juga akan mengintervensi Al-Qur’an sebagai mukjizat sepanjang masa. Sebagaian ulama tradisional pun berpendirian bahwa Al-Qur’an tidak bisa diterjemahkan sama sekali (untranslateable) dengan argument penolakan terhadap penerjemahan Al-Qur’an dengan segala konsekuensinya. Pada awal periode perkembangan dakwah Islam, telah ada pula wacana penerjemahan Al-Qur’an. Hal tersebut bisa dilihat dari dialog menarik antara pendapat Abu> Hani>fah dan Asy-Sya>fi’i>. Abu> Hani>fah misalnya pernah mengeluarkan fatwa mengenai bolehnya menerjemahkan Al-Qur’an dengan alasan bahwa terjemahan bukanlah Al-Qur’an. Di sisi lain, Asy-Sya>fi’i> berpendapat bahwa, tidaklah mungkin Al-Qur’an dapat disetarakan dengan bahasa lain. Maksudnya, bahwa bahasa asing selain Arab tidak dapat memenuhi kriteria apa yang dimaksud oleh Bahasa Arab, apalagi memenuhi makna yang dikandung Al-Qur’an. Ibnu Qutaibah lebih menegaskan lagi pendapat Asy-Sya>fi’i>, menurutnya orang ‘ajam (asing) akan memahami nilai kandungan Al-Qura’n jika diterangkan makna yang dikandung Al-Qur’an dengan bahasa mereka dengan asumsi bahwa bahwa tersebut bukan salinan arti dari perkata dalam Al-Qur’an atau lazim disebut dengan terjemahan perkata (tarjamah harfiyah) ke dalam bahasa yang kedua.11 Uniknya, penolakan secara metodologis tersebut, pada perkembangan berikutnya, berkembang menjadi fatwa haram. Artinya, penggunaan metode literal dalam menerjemahkan Al-Qur’an tidak hanya dinilai lemah secara metodologis, melainkan juga berkonsekuensi dosa bagi pelakunya, terutama yang tidak memiliki ragam kualifikasi keilmuan yang relevan. Lebih dari itu, penerjemahan Al-Qur’an

8 Ibrahi>m Anis, Dala>la>h al-Alfa>z{, (Mesir: Maktabah Anglo, 1976), 80-81 9 Para ulama ahli tafsir rata-rata menolak metode yang pertama serta menerima metode yang kedua. Penolakan terhadap metode yang pertama pada umumnya berpijak kepada alasan linguistik bahwa penerjemahan suatu teks ke dalam bahasa lain selalu sarat dengan ragam kesulitan. Antara satu bahasa dengan bahasa yang lain, terdapat ragam perbedaan yang begitu mendasar, sehingga menerapkan metode literal akan banyak terbentur dengan ketiadaan padanan kata, kalimat, ataupun idiom tertentu. Pada titik ini, metode literal berpotensi besar untuk mereduksi atau bahkan menghilangkan maksud dan pesan penulis teks, sehingga secara metodologis tidak tepat untuk dipakai sebagai metode penerjemahan teks seagung Al-Qur’an. Lihat. Ziauddin Sardar, 2011. Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam. Cet. I, (New York: Oxford University Press, 2011), 40. 10 Manna>’ Khali>l al-Qat{t{a>n, Maba>his\ fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, Terj. Aunur Rafiq El- Mazni, Cet. XXII, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), 396. 11 Lihat, Egi Sukma Baihaki, “Orientalisme dan Penerjemahan Al-Qur’an”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 16, No. 1, 06 3 dengan metode literal juga dinilai bisa berdampak serius secara teologis. Metode tersebut tidak saja mengaburkan eksistensi Al-Qur’an dan terjemahannya.12 Penerjemahan Al-Qur’an dalam bahasa asing pada masa selanjutnya juga terhambat oleh fatwa para ulama13 yang secara tegas menolak bahkan mengharamkan gagasan tersebut. Di Mesir para ulama yang menolak gagasan tersebut seperti Muhammad Ahmadi Z}awa>hir14 (Mantan Rektor al-Azhar dan Grand Syaikh Universitas al-Azhar tahun 1929-1935) dengan mengirimkan surat kepada Ali> Ma>hir Pasya (Mantan Perdana Menteri Mesir) dan Syaikh Abba>s Jama>l (Wakil Pembela Syariat). Hal serupa juga dilakukan oleh Syaikh Muhammad Sulaima>n yang menjabat Wakil Ketua Mahkamah Agung Mesir ketika itu sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka terhadap penerjemahan Al-Qur’an.15 Namun Hadi Makrifat dalam bukunya memberikan bantahan terhadap argumen terebut dengan menampilkan beberapa dalil Al-Qur’an tentang urgensi terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa dunia. Dalil yang ia utarakan adalah QS. al- Baqarah: 159 QS. A

  • n : 138; QS. al-An’a>m: 19; QS. al-Nahl: 44; dan QS. al- Furqa>n: 1.16 Pendapat Hadi tersebut berlandaskan pada fatwa yang dikeluarkan oleh

    12 Menurut al-Zarqani>, setidaknya ada lima hal dasar yang menjadi pembeda antara tafsir dan terjemah. 1). Terjemah harus mampu mengakomodir makna kalimat yang dimaksud, sedangkan tafsir adalah berupa penjelasan kalimat berdasarakan pada pemikiran penafsir; 2). Terjemah hanya bertugas menguraikan dasar kata, sinonim, antonim dan lainya yang ia hanya bersifat bebas (independent) dari kaidah asal; 3). Tidak boleh adanya missing kalimat dalam penerjemahan, sedangkan dalam penafsiran boleh dan dimungkin untuk melakukan missing kalimat, asalkan tujuan dan maksud kalimat tersampaikan berdasarkan pada sudut pandang penafsir; 5). Terjemah harus memenuhi makna asli, sedangkan tafsir tidak saja berpatron pada makna tersebut, namun harus diberikan penjelasan secara luas berdasarkan teks; 5). Terjemah memilki makna yang original (asli) yang sesuai dengan teks (apa adanya), berbeda dengan tafsir yang membuka seluruh makna yang tidak saja dikandung oleh teks namun dijelaskan secara kontekstual. Lihat. Muhammad Abd al-Azhīm Al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm Al-Qur’a>n. Juz II. Cet. I, (Beirut: Dār al-Kitāb al- ‘Arabī, 1995), 94- 95. 13 Penerjemahan Al-Qur’an pernah diterjemahkan dalam bahasa Barbar pada masa Dinasti Muwahidun di Spanyol (1142-1289 M), namun mereka memerintahkan unutk menghanncurkanya. Namun hal tersebut pada masa berikutnya para ulama mengeluarkan fatwa tentang kebolehan menerjemahkannya dengan melahirkan banyak terjemahan Al- Qur’an yang sangat banyak seperti dalam bahasa parsi yang diterjemahkan oleh Syaikh Sa’a>di Asy-Syirazi (1313 M) dan terjemahan dalam bahasa Turki oleh Syaikh Waliyulla>h Dahlawi. Lihat, Abu Bakar Aceh, Sejarah Al-Qur’an (Solo: Ramadhani, 1986), 40. 14 Muhammad Ahmadi al-Z}awa>hiri> menjadi Grand Syeikh al-Azhar setelah Must{a>fa> al-Mara>ghi>. Setelah itu, Must}a>fa> al-Mara>ghi> kembali menjabat sebagai Grand Syeikh. 15 Muhammad Must}afa> Syat}ir Mis}ri>, al-Qaul as-Sadi>d fi> Hukmi Tarjuma>ti al- Qur’a>n al-Maji>d, (T.t: Da>r al-Fikr, 1370 H/1951 M), 17-18. Lihat juga, M. Hadi Makrifat, Sejarah Al-Qur’an, terj. dari bahasa Arab oleh Thoha Musawa, (Jakarta: Al-Huda, 2007), 278-288. 16 Lihat, M. Hadi Ma’rifat, Sejarah Al-Qur’an, terj. dari bahasa Arab oleh Thoha Musawa (Jakarta: Al-Huda, 2007), 278-288. Terkait dengan penjelasan lebih rinci tentang hukum penerjemahan Al-Qur’an, Lihat, Jala>l al-Di>n Ibn al-T{a>hir al-Alu>si>, Ahka>m Tarjamah 4

    Mustafa> al-Mara>ghi> yang membantah fatwa yang sebelumnya dengan konsekuensi bahwa menerjemahkan Al-Qur’an hukumnya adalah boleh. Beliau menulis dalam karyanya secara tegas sebagai berikut: “keliru jika ingin menilai bahwa Al-Qur’an tidak dapat diterjemahkan secara keseluruhan dengan alasan kemukjizatan yang dimilikinya.” Lebih tegas lagi, beliau menulis dalam karyanya sebagai berikut: إن اإلدعاء بأن القرآن الكرمي كله ال ميكن ترمجته ألنه معجز، إدعاء خاطئ، بل احلق أن يقال: إنه ميكن ترمجته من ناحية الدالالت األصلية، ويستحيل ترمجة من ناحية الدالالت التابعة، إن بعض آيات القرآن ميكن أن ترتجم ترمجة حرفية، وبعضها ال 17 ميكن أن يرتجم ترمجة حرفية. Sesungguhnya Al-Qur’an tidak mungkin dapat diterjemahkan secara keseluruhan adalah pendapat yang keliru. Yang benar ialah bahwa ia (Al-Qur’an) memungkinkan diterjemahkan dari sudut makna primer, dan tidak mungkin diterjemahkan dalam makna sekunder. Memungkinkan sebagian ayat Al-Qur’an diterjemahkan secara harfiah, sedangkan sebagian yang lain tidak mungkin untuk diterjemahkan secara harfiyah. Selain Must{afa> al-Mara>ghi>, fatwa bolehnya menerjemahkan Al-Qur’an juga dikeluarkan oleh Muhammad Husain Ka>syiful Ghita> dalam menjawab permohonan oleh Abdurrahi>m Muhammad Ali> untuk diumumkan di Najaf Asyraf.18 Demikian pula Ayatulla>h Khu>’i> (w. 1992) dalam kitabnya al-Baya>n menyebutkan, bahwa menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa selain Arab adalah salah satu pekerjaan mulia sebagai bentuk manifestasi dakwah tersebar diseluruh penjuru dunia. Namun penerjemahan tersebut perlu diperhatikan syarat dan ketantuan serta keilmuwan yang mumpuni baik ilmu bahasa, ilmu-ilmu Al-Qur’an dengan segala jenisnya dan lain sebagainya.19 Namun ironisnya ditengah berkembangnya pendapat para ulama tersebut, jauh sebelumnya orang-orang Barat dan Eropa justru telah menerjemahkan Al-

    Al-Qur’a>n al-Kari>m, (Beiru>t: Da>r Ibn Hazm, 1429 H/2008 M), 17-34. Lihat juga, Muhammad ‘Abd al-‘Adzi>m al-Zarqani>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> Ulu>m Al-Qur’a>n, 105- 125. 17 Muhammad Must}afa> al-Mara>ghi>, Bahs\ fi> Tarjama>t Al-Qur’a>n al-Kari>m wa Ahka>muha>, (Kairo: Majalah Al-Azhar, 1423 H), 35. Lihat juga, Muchlis M. Hanafi, “Problematika Terjemahan Al-Qur’an: Studi pada Beberapa Penerbitan Al-Qur’an dan Kasus Kontemporer”, Jurnal Suhuf, Vol. 4, No. 2, 2011, 178. 18 Syamsuddi>n Sarkhasi>, al-Mabs}u>t}, Juz I, (Beiru>t: Da>r al-Ma’rifah, 1989 M/1409 H), 37. Lihat juga, M. Ha>di Ma’rifat, Sejarah Al-Qur’an, terj. dari bahasa Arab oleh Thoha Musawa (Jakarta: Al-Huda, 2007), 279. 19 Muhammad Fari>d Wujdi>, al-Adillah al-Ilmiah ‘ala> Jawa>zi Tarjamati Al-Qur’a>n ila> al-Lugha>ti al-Ajnabiyah, (Kairo: Da>r al-Muqtabis, 1936 M), 58. Lihat juga, M. Hadi Ma’rifat, Sejarah Al-Qur’an, terj. dari bahasa Arab oleh Thoha Musawa (Jakarta: Al-Huda, 2007), 280-281. 5

    Qur’an ke dalam bahasa mereka.20 Untuk pertama kalinya, sekitar abad ke-12 M atau tepatnya pada tahun 1145-1146, Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa, yaitu bahasa Latin. Dari bahasa ini kemudian ia diterjemahkan ke dalam bahasa yang lain, seperti bahasa Perancis, Inggris, Jerman dan Belanda.21 Bahkan pada abad ke 17 M muncul Catherine The Great (1762-1796 M), pernah menduduki tahta Rusia yang kemudian membentuk sebuah Mazhab Orientalis untuk melaksanakan beberapa kebijakan, salah satunya menerjemahkan Al-Qur’an. Dalam usaha ini, Catherin hanya melanjutkan dan mengembangkan usaha yang pernah dilakukan Peter The Great dengan mengirimkan para kader ke Turki dan Persia untuk belajar menerjemahkan Al-Qur’an. Hal tersebut berbeda dengan Catherin, para kadernya ia kirim ke Eropa yang terkenal dengan kajian orientalismenya seperti Belanda, Inggris, dan Jerman.22 Lebih dari itu, usaha menerjemahkan Al-Qur’an dalam bentuk prosa atau puisi juga muncul dalam berbagai bahasa yang diprakarsai oleh banyak sarjana muslim. Misalnya The Glorious Koran, karya Muhammad Marmaduke William Pickthall (1875-1936),23 ia juga merupakan intelektual Muslim Barat yang telah menerjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa Inggris pertama. Dan universitas al-Azhar menjadi intansi yang sangat mendukung hal tersebut. Times Literary Supplement juga menyebutkan bahwa karya Picktall ini sebagai pencapaian penulisan yang besar. Demikian pula halnya dengan Abdulla>h Yu>suf Ali> (1872-1958), menerjemahkan Al-Qur’an berbentuk prosa dalam bahasa Inggris. Dua karya

    20 Pada awalnya, proyek penerjemahan ini memiliki tujuan untuk menjajah negera dan agama Timur Tengah, yaitu Islam. Namun pada perkembangannya, para orientalis murni bergerak pada kajian Islamic Studies secara objektif-independen. Setidaknya, ada tiga periode alur perjalanan tersebut, yaitu sebelum perang salib, perang salib hingga masa keemasan Eropa, dan periode penerahan hingga abad modern. Lihat. Arina Haqan, “Orientalisme dan Islam dalam Pergulatan Sejarah”, Jurnal Mutawatir, Vol. 1, No. 2, Juli- Desember 2011, 165. 21 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (PT. Raja Grafindo Persada, 2013), 125 22 Lihat, Egi Sukma Baihaki, “Orientalisme dan Penerjemahan Al-Qur’an”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 16, No. 1, 07. Lihat juga, Wan Jamaluddin Z, “Perkembangan Tradisi Arabistika dan Kajian Al-Qur’an Oleh Orientalis Rusia pada Penghujung Abad Ke-18 M”, dalam, Centre of Qur’anic Research International Journal, Vol. 2, No. 1, 2012, 149-150. 23 William Pickthall merupakan seorang muallaf. Ia lahir di Inggris dalam keluarga kelas menengah dan ia menempuh pendidikan di Harrow sebuah kota yang ada di London, Inggris. Pada masa dewasanya, ia melakukan rihlah ilmiyah (berkelana) ke negara-negara Timur Tengah dengan melakukan pengakjian terhadap peristiwa yang ada ditimur tengah, sehingga ia dinobatkan sebagai ahli dalam bidang kajian Timur Tengah. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai seorang berjiwa seni dan satsra, terutama dalam penulisan novel. Hal tersebut diakui oleh para tokoh disekitarnya, seperti, E.M Forster, H.G. Wells, D.H Lawrence. Tidak saja disitu, keilmuwannya juga dikenal dikalangan jurnalis, para pimpinan instansi baik dari sekolah agama maupun politik. The Glorious Koran ia tulis ketik ia menjadi pejabat pada masa pemerintahan Nizam di Hayderabad. Mohammed Marmaduke Pickthall, The Meaning of the Glorious Koran. (Kuwait:Da>r al-Isla>miyah). 6 tersebut menjadi referensi paling banyak digunakan diseluruh dunia.24 Pada masa selanjutnya, Model dan gaya tersebut juga pernah dilakukan oleh A>mi>n Khu>li > (w. 1967 M) yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan sastra. Ini menjadi inspirasi bagi muridnya seperti A>isyah Abdurrahma>n bintu Sya>ti’(w. 1998),25 Muhammad Ahmad Khala>fullah, M. Syukri Ayyad (w. 2001) dan Nasr Ha>mid Abu> Zayd. Hal tersebut tentu dengan berbagai sudut pandang cara masing dengan menggunakan pendekatan sastra. Hal tersebut juga mengundang Muhammad Abduh (w. 1905) untuk melakukan kritik terhadap asumsi-asumsi di atas yang mengkontaminasi bahkan menyamakan Al-Qur’an dengan sastra. Ia beranggapan, bahwa pemahaman Al- Qur’an dalam bentuk sastra bukanlah pada tempatnya, karena Al-Qur’an merupakan sebuah kitab hidayah dan bukanlah sebuah buku sastra dan bukan pula karya filsafat.26 Kritik Abduh ini telah menjadi awal lahirnya pemikir lain yang terpengaruhnya olehnya, misalnya Hassan Hanafi> (l. 1935). Juga banyak para pemikir lain yang terpengaruh dengan gaya berpikir Muhammad Abduh.27 Lebih dari itu, penggunaan teori sastra terhadap Al-Qur’an, kerena teori sastra dianggap sebagai teori sekuler. Sebab itu tidak dapat diterapkan kepada teks yang suci seperti Al-Qur’an. Mereka juga menyatakan bahwa Al-Qur’an sebagai teks suci dan firman Allah, hanya dapat dikaji dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kesucian firman Allah, dan itu berarti dengan menggunakan metode yang suci pula (divine hermeneutics) atau metode yang islami (manhaj al-Isla>mi).> 28

    24 Bombay India adalah tempat kelahiran Yu>suf Ali> pada 14 April 1872. Ia menimba ilmu agama dan menghafal Al-Qur’an pada masa kecilnya. Mengusai bahasa inggis dan Arab secara baik dan kemudian belajar banyak dari letaratur bahasa tersebut serta ia pula mengunjungi banyak negera di Eropa dengan tujuan belajar “Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary” adalah salah buah karyanya yang sangat fenomenal di bidang Al-Qur’an diplublikasi pada tahun 1934. Tidak saja itu, ia juga menguasai bidang sejarah Islam dan juga Tafsir sehingga ia dikenal baik dan disegani di India. Karena kepiawaiannya, ia direkrut oleh Muhammad Iqbal menjadi pimpinan di Collage di Lahore, Pakistan. Setalah itu, ia pindah ke Inggris dan wafat di sana pada 10 Desember 1953 dan dimakamkan pula di sana dekat dengan pemakaman Pickthall. Abdulla>h Yu>suf Ali>, The Holy Qur’an : English translation of the meanings and Commentary. Pengeditan dan revisi oleh Kelompok Peneliti Islam, IFTA. Percetakan lengkap King Fahd Holy Qur’an. (Al-Madina Saudi Arabia) 1410 M. 25 Andrew Rippin, Muslim, Their Religious Beliefs and Practices.: The Contemporary Periode, Vol. 2, (London dan New York: Routledge, 1993), 94. 26 Ra>syid Ridh>a, Tafsi>r al-Mana>r, Jilid I, (Kairo: Da>r al-Mana>r), 17-25. Bandingkan dengan J.J.G Jansen, The Interpretation of the Quran in Modern Egypt, 24-25 27 Hasan Hanafi juga mengkritik pendekatan ini. Lihat Hassa>n Hanafi>, Method of Thematic Interpretation of the Qur’an, dalam Stefan Wild (ed.), The Qur’an as Text, (Leiden ect.: Brill, 1994). 28 Yusuf Rahman, Kritik Sastra dan Kajian Al-Qur’an, dalam Pengantar Kajian Al- Qur’an, Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian, (ed.) Kusmana dan Syamsuri, (Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru, 2004), 226. Lihat juga, Muhammad Aunul Abied Shah dalam artikel berjudul “Ami>n al-Khu>lli> dan Kodifikasi Metode Tafsir” dalam buku Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung: Mizan, 2001), 140. 7

    Melihat kontroversi tersebut, para sarjana muslim kontemporer berusaha menarik teks ke horizon puisi. Mereka berupaya menempatkan semua fenomena wahyu ke dalam sistem kebudayaan yang sudah mapan dan dominan. Penafsiran atau penerjemahan Al-Qur’an dalam konteks bahasa, sepenuhnya tidak bisa lepas dari wilayah kultural historis. Di samping bahasa sebagai bagian dari kultur manusia.29 Dalam hal ini, penafsir berusaha menampilkan serta memperjelas definisi dan tujuan suatu ayat berdasarkan hasil dari proses intelektualisasi dengan langkah- langkah epistimologi ilmiah yang mempunyai sumber pada teks dengan konteks yang dihadapkan dalam segala persoalan yang terjadi di sekitaran lingkungan manusia.30 Demikian halnya di Indonesia, proses penerjemahan atau penafsiran Al- Qur’an bisa dikatakan tidak secepat dan tidak semulus penafsiran-penafsiran yang lahir dari negera asli dimana Al-Qur’an diturunkan. Ini disebabkan oleh faktor bahasa yang digunakan penduduk indonesia bukanlah bahasa Arab, melainkan bahasa Indonesia. Meskipun ada anggapan bahwa Indonesia merupakan negera berpenduduk muslim terbesar di dunia.31 Syaikh ‘Abd al-Ra’uf al-Singkili32 tercatat sebagai orang pertama yang menggagas penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia (Melayu). Ini berdasarkan pada karyanya kitab Tarjuma>n al-Mustafi>d yang menggunakan huruf Arab-Melayu pegon.33 Itu pun pada awalnya menuai pro dan kontra serta kecaman dan penolakan datang dari berbagai kalangan ulama dengan berlatar belakang bahwa Al-Qur’an adalah sebuah mukjizat yang memiliki sakralitas dibandingkan teks dan buku-buku lainnya yang hanya ditulis dan dikarang oleh manusia, sedang Al-Qur’an adalah firman Allah Swt yang berfungsi sebagai kitab undang-undang untuk menjadi petunjuk bagi seluruh manusia. Hal ini sebagaimana telah penulis singgung pada lembaran awal latar belakang masalah. Ditinjau tentang konsepsi Al-Qur’an tentang sastra ialah masuk dalam ranah pilihan yang tidak sampai pada wajib. Namun harus dititikjelaskan bahwa sastra adalah sebuah sarana perwujudan dari budaya yang barangkali bisa dianulirisasi oleh Al-Qur’an sebagai kitab yang mampu menyesuaikan pada setiap tempat dan waktu.

    29 Muhammad Yunus Melalatoa, Memahami Aceh sebagai sebuah Perspektif Budaya, dalam Aceh Kembali ke Masa Depan, Sardono W. Kusumo, cet. II, (Jakarta: IKJ Press bekerja sama dengan keluarga Almarhum dr. Sjarif Thayeb dan keluarga Dr. Anwar Nasution, 2006), 7 30 Nas}r Ha>mid Abu> Zaid, Mafhu>m al-Nas{s{: Dira>sa>t fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, (Beiru>t: Markaz al-S}aqa>fah al-‘Arabi>: 1998), 14. 31 Nashiruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, (Solo: Tiga serangkai Pustaka Mandiri, 2003), 31. 32 ‘Abd al-Ra’uf al-Singkili –sebagaian masyarakat mengenalnya “Syeikh Kuala”- lahir pada tahun 1035 H/1615 M dan wafat di Banda Aceh pada tahun 1105 H/1693 M. Nama asli beliau Abd Al-Rauf al-Fansuri. Ayahnya bernama Syeikh Ali, seorang Arab Persia yang datang ke Samudera Pasai pada akhir abad ke 13 yang kemudia menetap di Fansur (Barus) sebuah kota tua di panatai Barat Sumatera. Lihat Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, (Yogyakarta: Diva Press, 2008), 89. Lihat juga, M. Sholihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 60. 33 Ahmad Izzan, ‘Ulumul Qur’an: Telaah Tektualitas dan Kontekstualitas Al- Qur’an, (Bandung: Humaniora, 2011), 351. 8

    Cadangan pilihan-pilihan paradigmatik yang tidak wajib dipilih bagi sastra Indonesia. Artinya, persoalan pendekatan sastra terhadap Al-Qur’an merupakan seni dalam upaya menampung aspirasi masyarakat serta ia berkorelasi dalam penyampaian pesan-pesan Ilahi secara komperhensif tanpa menghilangkan nilai dasar dari Al-Qur’an sendiri dan pesan-pesan yang ingin disampaikannya.34 Thomas Hoffman dalam sebuah artikel berjudul “The Moving Qur’an: A Coqnitive Poetics Approach to Qur’anic Language” berpandangan bahwa pendekatan sastra atau bahasa terhadap Al-Qur’an memiliki peran begitu besar dalam menyingkap isi dan kandungannya. Karena hal tersebut langsung berbicara terkait dengan kondisi integral manusia pada setiap harinya yang mencakup pengalaman fisik dan mental, persepsi, ingatan, skema imei, cara pandang, emosi, motion dan movement (situasi bergerak) dan lain sebagainya.35 Maka begitu penting pendekatan ini untuk memberikan sebuah interpretasi dengan menghubungkannya dengan Al-Qur’an. Namun begitu, kontroversi terhadap pendekatan sastra beberapa dekade terakhir ini telah muncul di permukaan dalam dunia penerjemahan Al-Qur’an. Misalnya pada akhir tahun 1970, muncul HB. Jassin,36 yang dikenal sebagai seorang kritikus sastra Indonesia pada waktu itu menerbitkan sebuah terjemahan Al-Qur’an dan menyusunnya atas dasar sastra dalam proyeknya Al-Qur’an Al-Karim Bacaan Mulia, dan Al-Qur’an Berwajah Puisi. Usaha Terjemah tersebut ternyata mendapatkan respon negatif dari berbagai aliansi, organisasi dan ormas masyarakat Islam di Indonesia dengan mengkritik dan menanggapi kepada karya tersebut.37 Kritikan tersebut sungguh sangat bersalan dan memiliki latar belakang akademis. Sebab pada hakikatnya, aspek yang sering kali pula menjadi problematik dan dipersoalkan dalam dunia penerjemahan adalah pada ihwal kemurnian dan

    34 Abul Haris Akbar, Musikalitas Al-Qur’an: Kajian Unsur Keindahan Bunyi Internal dan Eksterna, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009), 30. 35 Thomas Hoffman, “The Moving Qur’an: A Cognitive Poetics Approach to Qur’anic Language,” dalam Mohammed Nekroumi dan Jan Meise, Modern Controversies in Qur’anic Studies, (Hamberg: EB-Verlag, 2009), 145 36 Hans Bague Jassin adalah seorang kritikus dan dokumentator sastra Indonesia. Jassin lahir di Gorontalo 31 Juli 1917 dan wafat di Jakarta 11 Maret 2000. Hans adalah pelafalan yang salah dari kata Hamzah, Bague berasal dari nama ayahnya, Bague Mantu Jassin. Mengenai nama ini, Jassin enggan mengubahnya dengan ejaan baru. Lihat “Penghina Tuhan Menerjemahkan Al-Qur’an” (Wawancara dengan Majalah Tempo, 29 Maret 1975), dalam HB. Jassin (ed.), Kontroversi Al-Qur’an Al-Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, 2000), 21 37 HB. Jassin, Al-Qur’an Al-Karim Bacaan Mulia, cet 3, (Jakarta: Djambatan, 1991). Banyak orang menganggap Jassin tidak punya kapabilitas intelektual yang memadai untuk menerjemahkan Al-Qur’an. Pada tingkat yang ekstrim, beberapa orang bahkan mengharamkan untuk membeli dan membaca karya tersebut. Konon, pada tahun 1978 ada yang membakar karya puitisasi tersebut. Kitab ini mendapat sambutan dan kritik dari berbagai pihak, selengkapnya lihat, Nazwar Syamsu, Koreksi Terjemah Al-Qur’an Karim Bacaan Mulia HB. Jassin, (Padang Panjang: Pustaka Sa’adiyah, 1978). Lihat, H. Oemar Bakry, Polemik H. Oemar Bakry dengan H.B. Jassin tentang Al-Qur’an Al-Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Mutiara, 1979), Siradjuddin Abbas, Sorotan atas Terjemahan Al-Qur’an HB. Jassin, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1979). 9 keotentikan bahasa yang disampaikan. Bahkan oleh seorang penerjemah harus paham betul terhadap dua bahasa, yaitu bahasa sasaran dan bahasa sumber yang hendak diterjemahkan. Maka, untuk melihat kekeliruan dalam penerjemahan itu, perlu memperhatikan perbedaan lebih spesifik antara baik buruk (good or bad translation) dan betul salah (correctness) secara lebih detail dan akurat.38 Salah satu kecaman dan kritikan tersebut datang dari Majelis Ulama Indonesia di tandatangani oleh KH. Hasan Basri dan Skretaris Umum Prodjokusumo dalam surat No. U 1061/MUI/XII/1992. Begitu pula dengan Kementerian Agama melalui Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an yang ditandatangani oleh H. A. Hafizh Dasuki sebagai ketua Badan Penelitian dan Pengembangan (litbang) Lajnah Pentashih Al-Qur’an, Depatemen Agama Republik Indonesia melalui Surat Keputusan No. P III/TL.02/1/242/1179/1992. Dan kemudian surat keputusan itu diberikan kepada Jassin pada awal tahun 1993.39 Namun berbeda halnya dengan B.J. Habibie (menjabat Menristek ketika itu), juga KH. Abdurrahman Wahid dan beberapa kalangan lainnya yang secara penuh mendukung dan memberikan tanggapain positif kepada karya tersebut dengan melihat aspek kreasi sastra yang dilakukan oleh Jassin dalam mengeksplor isi kandungan Al-Qur’an dan juga mengenalkan tingginya nilai sastra yang dikandung oleh bahasa Indonesia. Menurut mereka, sungguh tidaklah terlalu berlebihan jika karya tersebut diapresiasi dan jika pun ada kekeliruan dan proses penerjemahan maka hendaknya diberikan masukan demi terwujudnya sebuah sebuah pengayaan dalam bidang kajian Al-Qur’an. Di samping Jassin dan beberapa orang lainnya, ternyata usaha mendekati Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan sastra ini juga muncul di Aceh yang dilakukan oleh Mahjiddin Jusuf (1918-1994 H).40 Dalam menerjemahkan Al- Qur’an, Mahjiddin menggunakan gaya puisi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dalam kitabnya Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh,41 yang secara lengkap menerjemahkan seluruh isi Al-Qur’an dari surah al-

    38 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, (Bandung: Pustaka Jaya, 2006), 27 39 HB. Jassin, Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi, (Jakarta: Graviti, 1994), 17. 40 Peusangan adalah tempat kelahiran Mahjiddin Jusuf, pada tanggal 16 September 1918. Ayahnya bernama Fakir Jusuf merupakan tempat ia menimba ilmu semenjak kecil. Menimba ilmu dari Dayah (pondok pasantren) yang ada di Aceh sampai ke Normal Islam di Padang selesai pada tahun 1941 H. Semasa hidupya, Mahjiddin mendedikasikan ilmunya sebagai Asisten Sipil Negara, dosen luar biasa di Institute Agama Islam Negeri Ar-Raniry (sekarang Universitas Islam Negeri Ar-Raniry) Banda Aceh, Imam Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Ia juga pernah menjadi anggota DPRD Provinsi Aceh dan Sumatra Utara dari Mashumi sebagai Partai Politik Islam pada masa itu, serta beberapa jabatan lain dalam lembaga sosial kemasyarakatan. Penerjemahan ini dilakukan pada tahun 1955 di dalam penjara. Peristiwa DI-TII Aceh yang berkobar pada tahun 1953 menyebabkan beliau dipenjara dan menghabiskan masa empat tahun di sana dengan menghasilkan sebuah karya besar. Lihat, Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, (Banda Aceh: Pusat penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) Aceh, 2007), xvii. 41 Pada awalnya, terjamah ini masih berupa naskah yang terdapat di perpustakaan Ali Hasjimy Banda Aceh dengan Nomor: 8/ NKT/ YPAH/ 1992. Yang kemudian di cetak oleh P3KI Banda Aceh menjadi sebuah kitab yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Tafsir 10

    Fa>tih}ah hingga surah al-Na>s. Penerjemahan ini pada mulanya lebih ditujukan untuk mendekatkan Al-Qur’an dengan kondisi sosio-kultural masyarakat Aceh.42 Tidak terlalu berlebihan, jika karya tersebut dalam proses terjemahannya menggunakan model terjemah idiometis atau uslu>biyah. Mahjiddin berupaya menyingkap dan memformulasikan makna kandungan teks Al-Qur’an dalam bentuk sajak (hikayat) dalam bahasa Aceh dengan berbagai nilai dan budaya yang dikandung oleh bahasa tersebut.43 Hal tersebut bisa dilihat banyak hikayat Aceh yang memiliki persamaan bunyi pada akhir kata dan pada setiap baris terdiri dari sepuluh kata yang juga berbentuk puitis. Penulisannya bergandengan dan tidak dipisahkan dalam susunan dengan susunan baris-baris. Oleh penyunting, baris tersebut sudah dipisahkan dan menjadi satu kesatuan berjumlah empat baris. Namun terkadang kesatuan tersebut bisa tidak konsisten pada akhir surat menjadi dua baris saja karena mengikuti ayat yang ada.44 Terkait dengan diktum di atas, penulis berasumsi bahwa penulisan kitab terjemah ini adalah bentuk dari respon terhadap masyarakat Aceh yang dekat dengan sajak dan menyukai puisi dengan bentuk yang indah ketika dibaca dan didengarkan. Tujuannya adalah untuk mengajak masyarakat Aceh dekat dengan Al-Qur’an dan memahaminya dengan bahasa Aceh. Maka akan tersampaikan nilai kandungan Al- Qur’an kepada seluruh lapisan masyarakat. Tidak bisa dihindari pula, bahwa penulisan dilatarbelakangi oleh adanya hikayat prang sabi (perang sabil) ditulis oleh Teungku Chiek Muhammad Pante Kulu.45 Hikayat tersebut bertujuan untuk ini hadir pada masa modern kurun waktu kedua (1951-1980). Dalam kajiannya, Nasharuddin memetakan perkembangan tafsir Al-Qur’an menjadi empat periode. Lihat Nasharuddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai, 2002), 35 42 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003), 248-249. Lihat juga, Thaha Husein, Fi> al-Ada>b al-Jahili>, (Mesir: Da>r al- Ma’a>rif), 89. Juga Must{a>fa> Musli>m, Maba>his\ fi> I’ja>z Al-Qur’a>n, (Jeddah: Da>r al- Manarah, 1988), 72. 43 Terjemahan secara idiomatik pada dasarnya hampir sama dengan terjemah secara literlek (harfiyah). Penerjemah berusaha menampilkan kalimat yang menarik dalam bahasa sasaran tanpa menghilangkan esensi bahasa asal. Penerjemahan yang benar-benar dilakukan secara idiomatis akan menimbulkan sensasi yang menimbulkan kembali bahasa sumber dan bahasa asli tanpa terasa. Tujuan akhir setiap terjemahan hendaknya terjemahan idiomatis. Mildred L. Larson, Meaning-based Translation: A Guide to Cross-Langguage Equivalence, (London: University Press of America, 1984), 3. 44 Mahjiddin Yusuf, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, xxii 45 Hikayat Prang Sabil telah disusun kembali oleh H. M. Zainuddin, yang berjumlah sebanyak 80 halaman, dicetak di Medan. Hikayat tersebut tertulis dalam bentuk bait, sebagaiamana yang dikutip oleh Alfian: “Watee jitueng naggroe le kaphe, Dum ta sare wajeb temuprang, Han jeued ta’lem peuseungue droe, Duek lam naggroe teumeuseunang, Bak watee nyan fardhu ain, Beu tayakin sang seumahyang, Wajeb tapubuet jeuep kutika Meunghan deesya teu hai abang.” Yang artinya: Tatkala negeri direbut kafir, kitab semua wajib berperang tidak boleh berdiam diri, kita bersenang-senang di dalam negeri, Diketika itu hukum fardhu ain, harus yakin seperti sembahyang Wajib kerjakan setiap waktu, kalau tak begitu dosa hal abang. Lihat. Teuku Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, (Jakarta: Sinar Harapan. 1987), 112-113. 11 mengangkat dan membakar semangat berperang orang Aceh dalam menaklukkan Belanda pada masa penjajahan Aceh ketika itu.46 Ada sebuah artikel yang ditulis oleh Fauzi Shaleh47 yang mengungkapkan keunikan tafsir di Aceh. Di antara isi dalam artikel tersebut ialah membahas tentang karya Mahjiddin. Fauzi menyebutkan, bahwa karya tersebut adalah bentuk tafsir yang secara metodologis menggunakan metode tah\}li>li> meskipun Mahjiddin menamakannya dengan ‘terjemah’. Ia berasumsi, bahwa karya tersebut bisa disebut tafsir karena berangkat dari terminologi tafsir itu sendiri yang berarti menjelaskan sebuah ayat Al-Qur’an untuk melahirkan sebuah keterangan secara terperinci dan dapat dipahami dengan baik bagi siapa saja yang membacanya.48 Penulis mengutip dan menampilkan contoh dan model penafsiran yang dilakukan oleh Mahjiddin Yusuf ketika menafsirkan atau menerjemahkan bismillahirrahmanirrahim dan awal surah al-Fa>tih\}ah sebagai berikut: Ngon nama Allah lon puphon surat Tuhan Hadharat nyang Maha Murah Tuhanku sidroe geunaseh that-that Donya akhreat rahmat Neulimpah Sigala pujo bandum lat-batat Bandum nyan meuhat milik Potallah Nyan peujeut alam timu ngen barat Bandum lat-batat peuneujeut Allah.49 Artinya: Dengan nama Allah ku mulai surat Tuhan Hadharat yang Maha Pemurah Tuhanku Esa Maha Pengasih Dunia akhirat rahmat berlimpah

    46 Bagi pihak Belanda, Hikayat Prang Sabi dipandang sebagai karya subversif yang sangat berbahaya karena itu dalam tiap penggeledahan Belanda menyita dan memusnahkan naskah-naskah tersebut serta menahan pemiliknya. Lihat, Ade Maman Suryaman, Hikayat Prang Sabi: Pengobar Semangat Perjuangan Teungku Tjik Ditiro, Artikel ini dibuat untuk mengikuti seleksi Program internalisasi nilai kebangsaan, yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dikutip dari Teuku Abdullah Imran, Hikayat Prang Sabi – Satu bentuk karya sastra perlawanan. Pidato pengukuhan guru besar pada FIB UGM. Yogyakarta: tidak diterbitkan. 47 Fauzi Shaleh adalah dosen aktif Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. Menempuh pendidikan Strata satu (s1) di Ma’had Khadimul Haramain (LIPIA) Jakarta dan Sekolah Tinggi Al-Hikmah, jenjang magister ia tempuh pada bidang ilmu Al-Qur’an di Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, dan program Doktoral ia selesaikan di Universitas Islam Negeri Ar- Raniry pada konsentrasi Fiqh Muqaran. 48 Fauzi Shaleh, “Mengungkap Keunikan Tafsir di Aceh”, Jurnal al-Ulum, vol. 12, no. 2, tahun 2012, 384. 49 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, (Banda Aceh: Pusat penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) Aceh, 2007), 1. 12

    Segala puji seru sekalian alam Semua itu adalah milik Allah Yang Meciptakan alam Timur dan Barat Semua isinya ciptaan Allah Fauzi Shaleh memberi komentar terhadap model terjemah tersebut. Menurutnya, karya Majiddin tersebut adalah sebuah karya yang mengikuti gaya tafsi>r Jala>lain dan tafsi>r S}a>wi> ‘ala al-Jala>lain, meskipun setting dan tata letak kata yang diberikan berbeda dengan yang ada dalam dua kitab tersebut. Hal tersebut dapat dimaklumi, karena terjemah bersajak Aceh adalah sebuah karya tafsir dalam bentuk sajak dengan rima puisi. Argumen yag ia bawakan tersebut berlatar belakang pada beberapa pertimbangan sebagai berikut, yaitu: (1) Mahjiddin menafsirkan makna tersebut dengan pada, (2) Penulisan Bayt tersebut diusahakan dapat mewakili dari seluruh lafal yang ditafsirkan, (3) Mahjiddin tidak menampilkan seluruh kata secara harfiyah/lafzhiyah, dengan tujuan menyesuaikan sajak sebagai tafsir sastra. Misalnya, dalam menafsirkan kata ‘al-Rahi>m’: Tuhanku sidroe geunaseh that-that donya akherat rahmat Neulimpah. Di akhir bait, beliau menambahkan makna, sekalipun hanya pada aspek makna tafsiriyah dengan menekankan pada aspek ukhrawi.50 Disebutkan oleh Ibra>hi>m Zaki> Khursyid dalam kitab al-Tarjama>t wa Musykila>tuha>,51 bahwa penerjemahan sastra berwajah prosa lebih mudah dikerjakan dibandingkan dengan terjemahan dalam bentuk puisi. Di antara penyebabnya adalah: pertama, karena kandungan nilai satra, maka perlu ada penekanan yang lebih signifikan dalam pemilihan kata. Kedua, perlu memperhatikan, menghayati, serta meresapi aspek kata-kata terhadap makna yang dikandungnya. Karena hal ini akan berpengaruh pada bahasa sasaran dalam penyampaian makna yang dimaksud oleh puisi tersebut. Berangkat dari diskusi di atas, penulis tertarik mengkaji kembali Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh karya Mahjiddin Jusuf yang disajikan dalam bentuk puisi. Kajian tersebut akan menampilkan dalam bentuk ilmiah dengan beberapa rumusan masalah dan identifikasi masalah yang penulis cantumkan di bawah ini.

    B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, makan dapat diidentifikasi beberapa masalah yang timbul sebagai berikut: a. Para ulama berbeda pendapat dalam melihat metode terjemah Al-Qur’an secara puitis. Muhammad Abduh menyebutkan bahwa metode terjemah seperti ini akan memalingkan keotentikan Al-Qur’an sebagai mukjizat. Sedangkan seperti Ami>n al-Khu>lli> dan diiukuti oleh At}i’ mengikuti gaya ini dalam penafsiran mereka.

    50 Lihat, Fauzi Shaleh, “Mengungkap Keunikan Tafsir di Aceh”, Jurnal al-Ulum, vol. 12, no. 2, tahun 2012, 384-385. 51 Ibra>hi>m Zaki> Khursyid, Al-Tarjama>t wa Musykila>tuha>, (al-Hayy al-Mashriya>t al-‘Amma>t li al-Kita>b: Kairo, 1985), 9. 13

    b. Majelis Ulama Indonesia dan Kemenag melalui Lajnah Pentasih Al-Qur’an pernah mengeluarkan fatwa dan kritikan terhadap terjemah Al-Qur’an oleh HB Jassin hingga fatwa haram. Namun pada saat yang sama mereka membolehkan terjemah puitis dalam bahasa Aceh oleh Mahjiddin Yusuf. c. Di satu sisi, karya Mahjiddin Jusuf diberi nama sebagai ‘Terjemah Bebas Bersajak’. Namun di sisi lain beberapa pakar studi Al-Qur’an dan Tafsir di Aceh menyebutnya sebagai karya Tafsir dengan corak dan metode tertentu yang ditempuh oleh Mahjiddin Jusuf.

    2. Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang diuraikan, maka dalam membahas tentang Respon Ulama Aceh Terhadap Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak Berbahasa Aceh perlu dirumuskan suatu rumusan masalah dengan mengajukan pertanyaan penelitian (research question) mayor sebagai berikut: “Bagaimana respon ulama Aceh terhadap puitisasi terjemahan Al-Qur’an dalam karya Mahjiddin Jusuf?”. Selanjutnya dari pertanyaan tersebut didetailkan dengan pertanyaan minor sebagai berikut: 1. Bagaimana Konsep Terjemahan Al-Qur’an secara Puitis? 2. Bagaimana Respon Ulama Aceh terhadap Akurasi Terjemahan Al- Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bersajak dalam Bahasa Aceh secara puitis?

    3. Pembatasan Masalah Sebuah keniscayaan dalam sebuah penelitian, bahwa melakukan kajian dalam ruang lingkup yang sangat luas tanpa membatasi objek yang akan diteliti. Oleh karenanya, perlu memberikan batasan masalah agar dalam prosesnya lebih terarah dan fokus. Dengan kata lain, bahwa sebuah penelitian menjadi baik jika dilakukan secara sistematis dengan cakupan yang tidak terlalu luas dan tidak melebar sehingga objektivitas dan validitasnya tepat pada sasaran. Dalam penelitian ini akan dibatasi pada kajian kritis terhadap objek, yaitu terjemah Al-Qur’an bersajak atau puitis yang dilakukan oleh Mahjiddin Jusuf. Pilihan tersebut di ambil dengan alasan di samping sebagai salah satu karya monumental yang hadir melengkapi perkembangan kajian Al-Qur’an di Aceh juga merupakan karya tafsir atau terjemahan pertama yang menggunakan pendekatan susastera dalam terjemahannya serta kelebihan lainnya yang tak sama dengan kebanyakan karya sarjana lokal yaitu pemilihan bahasa daerah yang digunakan dengan tujuan agar Al-Qur’an lebih dipahami dengan bahasa yang masyarakatnya. Jadi penelitian ini merupakan analisa terhadap penggunaan metode susastera yang digunakan Mahjiddin dan aplikasi penerjemahan dalam memahami makna teks Al-Qur’an. Kemudian, karya tersebut akan dianalisa berdasarkan data wawancara terkait respon dan sudut pandang ulama Aceh terhadap Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh dengan mengambil sampel purposive. Secara lebih detail akan melihat respon ulama terkait autobiografi Mahjiddin Jusuf, terjemahanya dalam semua model penafsiran, yang meliputi beberapa konten, yaitu sebagai berikut: persamaan bunyi dan irama, tafsir dan perluasan makna, pendekatan sosial dan budaya, ayat antromorfisme

    14

    (mutasya>biha>t), fawa>tih{ al-Suwar (munqat}a’ah), Qasam Al-Qur’a>n (sumpah Al- Qur’an). Di samping itu, penelitian ini pula membatasi pada karya Mahjiddin Jusuf, yaitu Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh. Dalam penelitian ini hanya difokuskan pada terjemahan edisi kedua yang telah disunting oleh tim penyunting setelah melaui proses diskusi baik dengan penulis sendiri dan juga dengan tim lainnya. Hal itu dilakukan karena melihat beberpa kekeliruan dalam penerjemahan. Perlu diketahui pula bahwa sejauh penelusuran penulis, tidak ditemukan penerjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Aceh berbentuk puitis selain karya Mahjiddin Jusuf. Hanya saja ditemukan penerjemahan yang dilakukan dalam bahasa Gayo. Berikutnya pula, bahwa penelitian ini membatasi objek respon pada ulama yang berafiliasi dari Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh (MPU), dan para akademis di ligkungan kampus yang terlibat dalam kajian Al-Qur’an. Adapun yang menjadi respon dalam penelitian ini ialah berjumlah 12 orang, yaitu sebagai berikut: Azman Ismail, Alyasa’ Abubakar, Yusni Saby, Hisyami Yazid, Samsul Bahri, Fauzi Shaleh, Safir Iskandar Wijaya, Hasanoel Bashry HG, Nuruzzahri, Muhammad Yusuf A. Wahab, Faisal Ali, dan Muntasir A. Kadir sebagai sampel yang mewakili baik secara kelembagaan maupun secara wilayah di mana meraka tingga untuk menggambarkan respon ulama seluruh Aceh sebagaiman dalam judul yang penulis paparkan.

    C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latarbelakang di atas, setidaknya dalam penilitian ini secara spesifik dan konperhensif tujuan sebagai berikut, yaitu mengetahui respon ulama Aceh terkait Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh karya Teungku Mahjiddin Yusuf dan mengangkat kembali nama beliau sebagai tokoh dalam kajian Al-Qur’an dan Tafsir khususnya di Aceh dan umumnya di Indonesia. Di samping itu juga ingin mengetahui secara mendalam dan spesifik kelayakan karya tersebut diberikan nama sebagai terjemah ataukah bisa disebut sebagai tafsir. Di samping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengangkat dan memperkanalkan Mahjiddin Jusuf dan juga karyanya sebagai seorang tokoh dalam kajian Al-Qur’an di bumi Nusantara yang selama ini masih belum dikenal oleh banyak orang baik secara khusus maupun secara umum.

    D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian Sejalan dengan tujuan penelitian di atas, diharapkan memberi signifikansi dan manfaat penelitian sebagai berikut: 1. Secara teoritis, kajian ini sebagai salah satu upaya pengembangan keilmuwan dalam bidang ilmu Al-Qur’an dan tafsir secara akademis dan ilmiah; 2. Dilihat secara praktis, diharapkan hasil kajian ini mampu menjadi sumbangsih dan berkontribusi dalam bidang akademik khusus dalam bidang Tafsir dan Al-Qur’an dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan sekarang dan di mana yang akan datang;

    15

    3. Melahirkan komunitas intelektual muslim yang mampu memahami Al- Qur’an dan isi kandungannya serta mampu menerapkannya dalam kehidupan.

    E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan Dalam rangka menjadikan penelitian lebih komperhensif, maka perlu melihat melihat kajian dan penelitian terdahulu yang telah dilakukan sebagai pendukung dalam peneltian ini. Tujuannya ialah agar tidak tidak terjadi pengulangan dalam penulisan karya ilmiah, juga mengkompromi antara penlitian yang telah ada dengan penelitian ini agar mendapatkan hal baru dalam konteks akademik. Ada beberapa penelitian yang telah ditemukan sebagai bahan penunjang dalam penelitian ini sebagai berikut: Pertama, dari sumber internasional penulis merujuk kepada karya populer di kalangan pakar tafsir di Nusantara, berjudul Populer Indonesia of Qur’an karya Howard M. Federspiel.52 Karya ini kemudian dialihbahasakan dan diterjemahkan menjadi judul buku Kajian Al-Qur’an di Indonesia oleh Tajul Arifin. Dalam buku ini, kajian dan bahasannya hanya menelaah beberapa tafsir di Indonesia dari Mahmud Yunus hingga M. Quraish Shihab. Karya ini tentu dari segi cakupannya belum memenuhi kriteria kajian tafsir di Indonesia, karena masih ada tafsir lama yang tidak dikaji olehnya, yaitu Tarjuma>n al-Mustafi>d karya ‘Abd Ra’uf al-Singkili. Bahkan, buku ini pula telah meluputkan karya Mahjiddin Yusuf Al-Qur’an Al- Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak Berbahasa Aceh yang ditulis pada tahun 1953 yang sebenarnya jika ditinjau secara periodik karya Mahjiddin Yusuf masuk dalam karya Howard. Terlepas dari kekurangan tersebut, karya Howard memiliki peran penting dalam penulisan tesis ini untuk melihat perkembangan kajian Al- Qur’an di tanah Nusantara secara umum dalam melihat jaringan perkembangannya baik secara masif atau pun tidak.

    52 Dalam kajian dan studi ke-Islaman, Howard M. Federspiel berguru dan menimba ilmunya kepada salah seorang pemikir Islam, yaitu Fazlurrahman di McGill University Montrel Canada. Ia lahir di sebuah negara bagian New York, Amerika Serikat pada tahun 1932. Ia juga belajar kepada Wilfred Cantwell Smith, Muhammad Rasyidi dan John Alde n Williams. Ketertarikannya terhadap kajian Al-Qur’an adalah berawal dan dilatarbekalangi oleh basic dasar keilmuwan yang miliki dalam bidang Antropologi yang terfokus pada ruang lingkup semua sisi dan aspek gejala-gejala yang terjadi di lingkungan manusia. Disertasi Doktoralnya (Ph.D) adalah bericara tentang Persatuan Islam (Persis) di Bandung dan Bangil. Bermula dari sinilah ia mulai termotivasi untuk melakukan kajian terhadap Al-Qur’an di Nusantara, sehingga menghasilkan karyanya Populer Indonesia of Qur’an. Dalam proses itu pula ia pernah menjadi diplomat muda AS yang membidangi permasalahan Indonesia dan ia juga pernah mengunjungi Indonesia beberapa kali. Dalam beberapa kali kunjungannya ke Indonesia, ia telah banyak menorehkan karya, seperti Populer Indonesian Literature of Qur’an (buku yang menjadi rujukan dalam penelitian ini), Indonesian Muslim Intellectuals and Nastional Development in Indonesia, The Usage of Tradition of the Prophet in Contemporary Indonesia, dan Dictionary of Indonesian Islam. Lihat Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur’an di Indonesia: Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, Terj. Tajul Arifin, cet. I, (Bandung: Mizan, 1996), 5-6. 16

    Kedua, penulis menemukan buku berjudul Literatur Tafsir Indonesia53 yang ditulis oleh Mafri Amir dan Lilik Ummi Kultsum yang saat ini masih menjadi dosen aktif di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Buku ini membahas lebih komplek dan nyaris sempurna dibandingkan dalam buku karya Howard Federspiel. Pembahasannya dimulai dari Tarjuma>n al-Mustafi>d karya ‘Abd al-Ra’uf al-Singkili hingga karya Tasfir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab. Namun begitu, buku ini juga masih luput dalam membahasan Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh. Meskipun begitu, buku ini menjadi salah satu rujukan dalam proses penelitian ini dalam rangka melihat sisi perkembangan Tafsir di Nusantara pula. Berikutnya, penulis merujuk pula pada Al-Qur’an terjemahan dalam bahasa Inggris dalam bentuk prosa berjudul The Glorious Koran, ditulis oleh Muhammad Marmaduke William Pitchall. Berikutnya ada pula karya Abdulla>h Yu>suf A

  • 53 Mafri Amir, Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir di Indonesia, cet. I, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah). 54 Bilmauidhah, “Puitisasi Terjemahan Al-Qur’an: Studi Analisis Terjemah Al- Qur’an Bersajak Bahasa Aceh”, Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010). 17 yang ditulis oleh D.I Ansusa Putra”.55 Isi tesis ini berbicara terkait bagaimana hubungan bahasa Al-Qur’an pada periode awal Makkah dengan budaya Arab itu secara verbal sebelum Islam. Tesis tersebut juga berkesimpulan sebagaimana argumen yang dibawa oleh Issa J Boulatta bahwa sebagian bahkan banyak dari ayat Al-Qur’an itu bersajak kerena diakhiri oleh irama-irama yang sama. Kesimpulan tesis ini juga mendukung argumentasi yang dibawa oleh Muhammad Hadi Ma’rifah dalam al-Tamhid fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, Muhammad Abu Layla dalam Al-Qur’a>n min Manzu>r Istisyra>qi bahwa dalam Al-Qur’an mengandung banyak sekali sajak bahkan ia bisa dikaitkan dengan argumentasi i’ja>z di mana sajak berperan sebagai mu’jiz (sajak yang mengandung nila yang tidak dapat ditandingi oleh apa pun), argumen itu memberi beberapa contoh dalam surat Ta>ha> : 70 yang selalu beakhiran dengan kata dan bunyi mu>sa>. Ketiga, merujuk pada artikel yang ditulis oleh Fauzi Shaleh berjudul “Mengungka Keunikan Tafsir di Aceh.”56 Dalam artikel tersebut ia membahas tentang perkembangan kajian tafsir di Aceh. Di antaranya ialah membahas tentang Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh karya Mahjiddin Yusuf. Ia mencoba menampilkan segi-segi keunikan yang ada dalam karya tersebut dengan memberi komentar secara ilmiah. Penelitian tersebut tentu berbeda dengan penelitian ini. Ia hanya menggambarkan selayang pandang tentang karya tersebut dalam bentuk artikel. Sedangkan dalam penelitian ini akan melakukan secara lebih spesifik untuk membuktikan karya tersebut layak disebut sebagai ‘terjemahan’ atau ‘tafsir’. Hal ini ditempuh dengan melihat respon para ulama Aceh terhadap karya tersebut. Selanjutnya penulis menemukan beberapa artikel dan jurnal terkait prolematika dalam pro dan kontra penerjemahan Al-Qur’an dan penafsiran Al- Qur’an baik di Indonesia maupun di berbagai negera lainnya. Di antara artikel tersebut ialah seperti yang ditulis oleh Muchlis M. Hanafi berjudul “Problematika Terjemahan Al-Qur’an: Studi pada Beberapa Penerbitan Al-Qur’an dan Kasus Kontemporer”57 yang diterbitkan oleh Jurnal Suhuf Kementerian Agama. Berikutnya terdapat jurnal penelitian yang ditulis oleh Ishlah Gusmian yang diberi judul dengan “Kontroversi Mushaf Al-Qur’an Berwajah Puisi Karya HB. Jassin (Studi tentang Tatacara Penulisan dan Layout Mushaf Al-Qur’an)”. Dalam jurnal ini membahasa secara rinci dan mendalam terkait model penulisan yang dilakukan oleh HB. Jassin dengan berbagai model layout yang diberikan. Disertai juga pemberian kritikan oleh Islah Gusmian terhadap karya tersebut.58 Selain itu juga banyak sekali jurnal-jurnal lain yang membantu peneliti dalam penulisan ini. Dalam jurnal ini hanya membahas seputar terjemah dan prokontra di kalangan para ulama dalam ruang lingkup Al-

    55 D.I Ansusa Putra, Sajak Al-Qur’an: Potret Dialektika Al-Qur’an dan Budaya Verbal Arab Pra Islam, (Jakarta: Gaung Persada Press, t.t). 56 Fauzi Shaleh, “Mengungkap Keunikan Tafsir di Aceh”, Jurnal al-Ulum, vol. 12, no. 2, tahun 2012, 377. 57 Muchlis M. Hanafi, “Problematika Terjemahan Al-Qur’an: Studi pada Beberapa Penerbitan Al-Qur’an dan Kasus Kontemporer”, Jurnal Suhuf, Vol. 4, No. 2, 2011, 169. 58 Islah Gusmian, “Kontroversi Mushaf Al-Qur’an Berwajah Puisi Karya HB. Jassin (Studi tentang Tatacara Penulisan dan Layout Mushhaf Al-Qur’an)”, Jurnal Al-Itqan, Vol. 1, No. 1, Februari-Juli, 2015. 18

    Qur’an Terjemah bersajak Berwajah Puisi Karangan HB. Jassin. Sedangkan dalam tesis ini, mengkaji Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh dalam padangan para ulama Aceh dari semua kalangan, meliputi ulama Dayah yang berada di bawah Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, dan para akademisi di beberapa Universitas Islam yang tersebar di Aceh serta juga dengan beberapa para peminat kajian Al-Qur’an lainnya. Di lain sisi pula, para ulama terdahulu terah berupaya melakukan kompromi dengan aspek pendekatan sastra terhadap Al-Qur’an sehingga ini bukanlah hal yang tabu bahkan bukan pula hal baru. Misalnya, Abu> ‘Ubaidah (w. 210 H/825 M), Al- Ja>hiz (w. 255 H/869 M), Qad{i> Abd Jabba>r (w. 415 H/1024 M), Abdul Qa>hir al- Jurja>ni> (w. 474 H/1078 M) dan al-Zamakhsyari> (w. 538 H/1144 M). Tidak sampai di situ, Ami>n al-Khu>lli> juga menjadi tokoh sentral kontemporer dalam kajian ini yang menulis kitab Mana>hij al-Tajdi>d fi> al-Nahwi wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al- Adab serta mengembangkannya dalam penafsiran Al-Qur’an dalam bentuk al- manhaj al-adab.59 Berdasarkan kajian terdahulu tersebut, penulis berasumsi dan mendapat banyak diskusi ilmiah di kalangan para pakar terkait puitisasi Al-Qur’an. Ada pakar yang mendukung jalan yang ditempuh tersebut dengan dalih bahwa Al-Qur’an bisa dieksplor dalam berbagai macam cara sebagai ciri bahwa ia menjadi petunjuk bagi seluruh alam dan ia bisa dilihat dalam kacamata apapun dan dari berbagai multi disiplin ilmu. Sementara bagi sebagian kalangan ulama sangat menentang model ini, karena akan menghilangkan kesakralan dan otentitas Al-Qur’an sebagai sebuah mukjizat. Mereka berpandangan bahwa Al-Qur’an tidak bisa diterjemahkan dengan wajah prosa, terlebih lagi berwajah puisi yang berefek pada distorsi makna dan kandungan Al-Qur’an. Ada pula ulama yang mengakomodir kedua kalangan tersebut dengan memberi persepsi dan asumsi bahwa sangat mungkin menerjemahkan Al-Qur’an dengan model puisi, namun harus diikat oleh beberapa syarat untuk serta harus berlaku bagi penerjemah yang hendak melakukan penerjemahan tersebut. Tujuannya adalah agar Al-Qur’an tetap terjaga sebagai mukjizat sepanjang masa yang ia berbeda dengan karya sastra yang lain sebagaimana dipersepsikan oleh sebagian kalangan. Maka penelitian ini begitu menitik beratkan pada ranah perdebatan para pakar terkait hal tersebut dengan kajian ilmiah secara komperhensif dari berbagai aspek dan sudut pandang. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Berdasarkan pada pertanyaan-pertanyaan yang tercantum dalam rumusan masalah, maka tentu membutuhkan kepada jawaban. Oleh sebab itu penelitian ini merupakan sebuah usaha untuk menjawab pertanyaan tersebut dan mengujinya

    59 Bilmauidhah, “Puitisasi Terjemahan Al-Qur’an: Studi Analisis Terjemah Al- Qur’an Bersajak Bahasa Aceh”, 16. Lihat juga, M. Nur Kholis S, “Literary Interpretation of the Qur’an: A Study of Amin Khulli’s Thought”, dalam al-Ja>miah Journal of Islamic Studies 61, Juni 1998, 30-317. 19 secara ilmiah dengan mengedepankan segala aspek objektivitas agar menghasilkan penelitian yang baik dan memenuhi kriteria akademis.60 Dalam penelitian ini, akan menggunakan penelitian dengan jenis field research (studi lapangan) dengan cara menelusuri dan fokus terhadap persoalan yang timbul seputar objek penelitian menyangkut dengan Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh. Objek tersebut akan melihat sisi respon ulama Aceh menyangkut model terjemahan yang digunakan dalam karya tersebut. Penelitian ini bersifat kualitatif61 deskriptif-analitis yang digunakan untuk mendeskripsikan tentang respon Ulama Aceh terhadap Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh. Kemudian dianalisa secara kritis, sehingga dapat diketahui kesesuaian antara teori terjemah Al-Qur’an dan pendapat para ulama Aceh terhadap objek tersebut. Dalam hal ini, penulis akan melakukan analisis dan interpretasi terhadap data, fakta, informasi tentang kitab tersebut. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan tiga pendekatan untuk melihat subjek penelitian secara lebih detail dan sistematis. Pertama, Pendetakan antropologis untuk menggambarkan secara spesifik akar budaya dan setting masyarakat Aceh yang gemar terhadap puisi. Edward Taylor mendefinisikan antropologi sebagai akumulasi dan transmisi pengetahuan yang menghasilkan sebuah perilaku sehingga manusia dapat menata kembali lingkungannya dalam konteks alamiah dengan segenap kemampuan. Sedangkan James L. Peascock memberikan definisi antropologi sebagai keanekaragaman yang dipahami dan menitikberatakan pada aspek kemanusian secara menyeluruh.62 Kedua, pendekatan hermeneutik, untuk melihat aspek terjemah yang dilakukan oleh Mahjiddin Yusuf dalam karyanya. Carl E. Braaten mendefinisikan hermeneutik sebagai the science of reflecting on how a word or event in a past time and culture may be understand and become existentially meaningful in our present situation, yaitu ilmu yang merefleksikan cara sebuah kata atau kejadian dalam budaya dan waktu lampau supaya dipahami dan menjadi berarti secara eksistensial

    60 Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 29. 61 Penelitian kualitatif merupakan bagian kajian fisafat post-positivisme. Sebuah metode dalam melakukan research dengan mengedepan wawancara, pengamatan dan pengkajian ulang terhadap objek kajian secara ilmiah. Ada beberapa pertimbangan dalam menggunakan metode ini. Pertama, metode ini mampu menampilakan hubungan antara peneliti dan reponden secara langsung. Kedua, jika berhadapan dengan objek dengan jumlah yang banyak, maka penelitian ini sangat mudah untuk digunakan dalam proses penelitian. Ketiga, metode kulitatif dapat menyesuaikan diri dan peka dengan objek yang dihadapi di lapangan dengan banyak melakukan penajaman terhadap aspek yang diteliti. Lihat Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan r dan d, (Bandung: Alfabeta, 2011), 9. Lihat juga: Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. 26, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), 9-10. 62 James. L. Peacock, The Antrophological Lens, Harsh Ligh, Soft Focus (Cambridge: University Press, 1998), 10. 20 di waktu sekarang.63 Sedangkan Zygmunt Bauman sebagaimana dikutip Komaruddin Hidayat, bahwa hermeneutik merupakan usaha menelusuri, menjelaskan dan membuka makna pesan dasar dari sebuah tulisan, ucapan yang masih kabur, remang-remang tidak jelas serta masih bersifat kontradiksi (masih dipertentangkan) yang dapat menimbulkan kebingungan dan keraguan bagi pembaca dan pendengar.64 Ketiga, Pendekatan sastra, mengakaji secara lebih dalam aspek sastra dalam karya tersebut karena bentuknya adalah puisi yang bersajak arti Al-Qur’an. Ami>n al- Khu>lli> sebagai tokoh modern memotori pendekatan sastra dalam kajian Al-Qur’an. Di mana satra didefinisikan dalam Ensiklopedi Indonesia sebagai bentuk seni yang menghasilkan makna dalam dengan gaya bahasa.65 Dengan kata lain, sastra adalah produk manusia melalui perantara bahasa baik secara lisan maupun tertulis, imajinatif yang disampaikan dengan gaya khusus (khas) dan mengandung pesan yang bersifat relatif. Dari tiga pendekatan, penulis akan melakukan elaborasi penelitian ini, sehingga mendapat kesimpulan dari berbagai sisi secara objektif terhadap objek penelitian yang menjadi fokus. Hal tersebut tentu dengan mengedepankan aspek objektif untuk menghasilkan penelitian yang baik serta dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. 2. Sumber Data Dalam penelitian ini, data primer adalah karya Mahjiddin Jusuf, yaitu Al- Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, dan yang menjadi data pendukung dalam mengelaborasi kajian ini adalah data yang bersumber dari hasil wawancara (interview) yang dilakukan secara sistematis dengan kontak langsung antara peneliti dan respoden yang hendak diwawacara - dalam hal ini adalah ulama Aceh-.66 Sebagaimana dikemukakan Esterberg yang dikutip oleh Sugiono memberikan definisi wawancara (interview) dengan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat menyimpulkan dan mengakumulasi makna dalam sebuah topik tertentu yang sedang dibahas.67 Lebih dalam disebutkan bahwa dengan wawancara maka peneliti akan segala hal yang sedang diperhatikan, baik terkait partisipan dalam menginterpretasi situasi dan fenomenas secara lebih mendalam. Dan data tersebut tidak akan bisa didapatkan melalui observasi.68

    63 Carl E. braaten, History and Hermeneutics, (Philadelphia: The Westminster Press, t.th), 131. 64 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), 126. Lihat juga, Ulya, Berbagai Pendekatan Dalam Studi Al- Qur’an: Penggunaan Ilmu-Ilmu Sosial, Humaniora dan Kebahasaan dalam Penafsiran, cet. I, (Yogyakarta: Idea Press, 2017), 55. 65 Hasan Shadely, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1980), 90. 66 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), 72. 67 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: CV. Alfabet, 2014), 72. 68 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, 72. 21

    Data primer lainnya yang penulis gunakan dalam penelitian ini ialah karya Mahjiddin Jusuf yang berjudul Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh. Di sisi lain, penulis juga menggunakan sumber sekunder sebagai pendukung penelitian ini berupa studi kepustakaan, yaitu dengan melacak kembali buku-buku yang berbicara mengenai metodologi terjemahan Al- Qur’an, metode penafsiran Al-Qur’an, Sejarah Terjemah Al-Qur’an, serta jurnal- jurnal yang bersangkutan terhadap problematika penerjemahan puisi laiinnya. 3. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah respon para alim ulama di Aceh yang ada di beberapa instansi terkait dan juga lembaga kemasyarakatan lainnya. Di antaranya adalah: Ulama Dayah (Pesantren Tradisonal) yang teroganisasi dalam ormas Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Ulama Kampus (akademisi), Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan beberapa Teungku serta yang berkecimpung dalam dunia tafsir dan Ulum Al-Qur’an serta yang terakit dengannya yang menjadi perwakilan ulama-ulama dari daerahnya masing-masing dengan menggunakan metode purposive sampling. Hal ini bertujuan untuk relevansi keterwakilan cara pandangan dari seluruh aspek dari tokoh ulama terhadap karya tersebut sehingga menghasilkan sebuah karya penelitian yang memenuhi kriteria akademis. Adapun para responden yang meliputi para ulama Aceh dari berbagai kalangan, yaitu dari kalangan Ulama Dayah, Ulama Pemerintah (Majelis Permusyawaratan Ulama), dan juga dari kalangan Ulama Kampus (Akademisi). Agar lebih efektif maka dalam penelitian ini mengambil beberapa sampel69 dari ulama yang telah penulis sebutkan, yaitu dengan menggunakan purposive sampling,70 di mana para ulama yang menjadi narasumber tersebut mewakili dari daerah masing-masing mereka yang ada di Aceh. Penulis memilih responden/narasumber ini karena dianggap dapat memberikan informasi lebih dan mendalam terkait subjek penelitan yang penulis teliti sesuai yang dibutuhkan sebanyak 12 orang dengan rincian latar belakang mereka sebagai berikut. Adapun yang menjadi responden dari kalangan Ulama Dayah ialah: Pertama, Teungku H. Hasanoel Bashry HG. Ia adalah pimpinan Dayah Ma’had Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya atau disingkat dengan Mudi Mesra Samalanga, Kabupaten Birueun, Provinsi Aceh. Selain menjadi pimpinan dayah, ia

    69 Sampel ialah sebagian dari populasi yang terpilih dan mewakili populasi tersebut. Sebagian dan mewakili dalam batasan di atas merupakan dua kata kunci dan merujuk kepada semua ciri populasi dalam jumlah yang terbatas pada masing-masing karakteristiknya. Lihat A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan, cet. 4, (Jakarta: Kencana, 2017), 150. 70 Purposive Sampling ialah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini misalnya orang terebut dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan, atau mungkin ia sebagai penguasa sehingga ia akan memudahkan peneliti menjelajahi objek/situasi sosial yang diteliti. Purposive Sampling adalah termasuk dalam salah satu teknik pengambilan data dalam katagori nonprobability sampling ialah teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Lihat, Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, cet. 10, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2014), 52-54. 22 juga menjadi ketua dewan pembinan pada Pengurus Besar Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dan juga menjadi pendiri Majelis Pengajian dan Zikir Tasawuf, Tauhid, Fiqih (TASTAFI) Aceh. Pemilihannya sebagai salah satu responden juga karena ia dianggap sebagai salah satu representasi dari ulama Aceh di Kabupaten Birueun yang letak geografisnya di pantai Timur-Utara Aceh. Kedua, Teungku Nuruzzahari, ialah mudir atau pimpinan Dayah Ummul Ayman, Samalanga, Kabupaten Birueun, Provinsi Aceh. Selain menjadi pimpinan Dayah Ummul Ayman, ia juga pernah menjabat sebagai ketua tanfiziyah Pimpinan Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) Aceh dan sekarang menjabat sebagai Ra’is ‘Amm PWNU Aceh. Ketiga, Teungku Muhammad Yusuf A. Wahab, ia adalah pimpinan Dayah Babussalam Al-Aziziyah Jeunib, Kabupaten Birueun, Provinsi Aceh. Selain menjadi pimpina dayah, ia juga menjabat sebagai ketua harian Himpunan Ulama dayah Aceh (HUDA) periode 2019-2024. Sedangkan yang menjadi informan dan responden dari kalangan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh ialah sebagai berikut: Pertama, Teungku Faisal Ali. Ialah menjabat Wakil Ketua I Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh. Selain itu ia juga menjadi pimpinan Dayah Mahyal Ulum Al-Aziziyah, Sibreh, Kabupaten Aceh Besar. Selain itu ia juga menjabat sebagai ketua PWNU Provinsi Aceh masa jabatan tahun 2016-2020 dan secara wilayah beliau mewakili wilyah Aceh Besar. Kedua, Prof. Dr. Tgk. Azman Ismail, MA adalah menjabat sebagai Ketua bidang fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, juga menjadi Dosen dan Guru Besar Bahasa dan Sastra Arab pada Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. Selain itu beliau juga menjadi Koordinator Dewan Hakim tetap pada Musabaqah Tilawatil Qur’an tingkat provinsi Aceh sekaligus menjadi hakim dalam bidang Tafsir Al-Qur’an baik di tingkat provinsi maupun Nasional. Sedangkan secara wilayah ia mewakili dari Aceh Besar. Ketiga, Prof. Dr. Alyasa’ Abubakar, MA adalah anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh komisi C bidang fatwa. Guru Besar Fiqh dan Ushul Fiqh pada Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. Ia juga menjadi salah satu dari tim penyunting penerjemahan Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh karya Mahjiddin Jusuf. Dari aspek geografis, Alyasa’ menjadi tokoh tokoh ulama yang mewakli Kabupaten Gayo atau Aceh bagian Tengah. Secara keorganisasian, Alyasa’ pernah menjabat sebagai ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah Provinsi Aceh. Kemudian dari kalangan Akademisi, penulis mengambil beberapa sampel yang dianggap mampu menjawab pertanyaan penelitian dalam kajian ini. Pertama, Dr. Hisyami Yazid, M.Ag adalah Dosen Ilmu Rasm Al-Qur’an dan Ilmu Dhabt Al- Qur’an pada Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. Ia salah satu dosen yang pakar dalam bidang ilmu ‘Arudh di lingkungan UIN Ar-Raniry dan terdapat sebuah karyanya dalam bidang Dhabt Al-Qur’an yang ia tulis dalam bentuk sya’ir Aran dan sajak. Dalam organisasi ia sekarang menjabat sebagai Anggota Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Banda Aceh. Kedua, Dr. Fauzi Shaleh, MA adalah dosen pada Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. Ia berlatar belakang pendidikan strata satu pada Ma’had Khadimul Haramain

    23

    Jakarta atau disebut juga dengan LIPIA. Dalam konteks ini ia pernah menulis jurnal terkait “Keunikan Tafsir Aceh” dan salah satu yang dibahasa dalam artikel tersebut ialah Al-Qur’an Terjemahan Bersajak yang ditulis oleh Mahjiddin Jusuf. Dari aspek letak geografis Aceh maka ia menjadi salah satu ulama yang mewakali pantai Barat- Selatan di Aceh Jaya. Ketiga, Dr. Samsul Bahri, M.Ag adalah juag dosen pada Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. Ia menjadi salah satu tokoh ulama akademisi yang juga mewakali pantai Barat-Selatan Nagan Raya. Berikutnya dari kalangan akademisi juga ada seperti Prof. Dr. Yusni Saby, MA. Ia adalah salah satu dewan dan tim penyunting dari karya tersebut baik dalam edisi pertama dan edisi kedua. Sekaligus ia juga menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Aceh. Kemudian Dr. Safir Iskandar Wijaya, M.Ag menjadi ketua LP3M pada waktu itu dan ia mengambil peran begitu penting dalam percetakan sekaligus penyebaran karya Al-Qur’an dan Terjemahan Puitis Tersebut. Di samping itu ada pula Dr. Muntasir A. Kadir, MA adalah Rektor Institut Agama Islam Al-Aziziyah Samalanga sekaligus menjadi mudir dan pimpinan Dayah Jamiah Al-Aziziyah Samalanga Bireuen Aceh. Ia juga menjadi salah satu dari Anggota Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Aceh. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik dan cara pengumpulkan data dalam penelitian ia adalah dengan melacak, melihat dan mengkaji sumber dari perpustakaan (library research) dan wawancara dengan berbasis model lapangan (field research). Dari sudut aspek kepustakaan, penulis menggunakan cara dengan mengumpulkan koleksi yang ada, baik dalam bentuk kitab turats, buku yang bersangkutan dengan terjemah dan metode tafsir Al-Qur’an. Disamping itu juga akan melihat dan mengkaji jurnal- jurnal serta artikel terkait dengan penelitian ini sehingga bisa menghasilkan karya ilmiah yang baik dan dikonsumsi oleh kalangan luas. Sedangkan dalam kajian lapangan, penulis akan melakukan wawancara kepada para responden dengan bentuk pertanyaan sesuai dengan apa yang telah dituliskan berdasarkan pada penelitian dan pembahasan. Dalam bahasa lain metode ini disebut juga dengan wawancara secara terstruktur. Wawancara tersebut akan melibatkan beberapa unsur ulama Aceh yang terdiri dari Ulama Dayah, Ulama Kampus yang berasal dari Perguruan Tinggi Islam baik negeri maupun swasta di Aceh yang menggeluti dalam bidang kajian Al-Qur’an atau penerjemahan, dan juga beberapa instansi yang di dalamnya melibat ulama Aceh, seperti Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), sebagai pendukung penelitian ini. 5. Teknik Analisis Data Berdasarkan perolehan data, maka akan dikaji dan dianalisa secara komperhensif dan ilmiah untuk melihat jawaban dan respon para ulama Aceh terkait objek penelitian, yaitu Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh. Data tersebut akan dianalisis dengan membuat jabaran dan diolah terhadap hasil data yang ada, kemudian diaktualisasi dan dikompromikan dengan konsep teori yang telah dirumuskan dan kemudian menyimpulkannya dalam sebuah

    24 jawan terhadap masalah penelitian yang dipaparkan pada latar belakang masalah dan juga rumusan masalah. Demikian halnya dengan cara mengolah dan menganalisis data yang telah didapatkan pada studi lapangan. Data tersebut akan dikorelasikan dengan data yang telah diperoleh dari studi perpustakaan. kemudian data ini akan dielaborasi dan dianalisi secara kritis dengan teknik dekriptif analitis.71 Sehingga dapat menghasilkan sebuah kesimpulan secara kritis analisis dan menghasilkan sebuah karya ilmiah yang objektif dan juga memenuhi kriteria akademis yang realistis. G. Sistematika penulisan Dalam penelitian tesis ini, agar lebih sistematis dan menarik baik secara metodologis maupun secara teknis, maka penulis membagi bahasan kajian ini menjadi lima bab dengan rincian sebagai berikut: Bab Pertama: Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan, dan batasan masalah, tujuan, signifikansi da kegunaan penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab ini menjadi kerangka awal dalam sebuah karya ilmiah yang akan menjadi gambaran terhadap bab dan pembahasan selanjutnya dan bab ini pula menjadi penentu hasil sebuah penelitian. Bab Kedua: Berisi tentang teori terjemahan dan tafsir Al-Qur’an yang terdiri dari konsep terjemah dan tafsir Al-Qur’an, hukum terjemah Al-Qur’an, Diskusi para ulama tentang terjemahan Al-Qur’an dan juga persoalan puitisasi terjemah Al- Qur’an serta pro dan kontra terkait objek yang akan diteliti. Pembahasan ini dianggap penting sebagai teori awal untuk memahami hakikat terjemah Al-Qur’an dalam berbagai aspeknya, baik dari segi hukum agar bisa menjelaskan bebab inti secara komperhensif dengan kesimpulan penelitian yang efektif dan ilmiah. Bab Ketiga: Berisi tentang Aceh dan kajian Al-Qur’an yang dihubungkan dengan Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh. Dengan cakupan pembahasan terdiri dari dinamika kajian Al-Qur’an di Aceh, Aceh dan kesusasteraan, biografi penulis kitab, dan juga latar belakang serta motivasi menulis karya tersebut. Di samping itu juga diikuti oleh setting sosial dan politik masyarakat Aceh yang mencakup pula perkembangan tafsir di Aceh dan seputar Al- Qur’an dan terjemah bersajak berbahasa Aceh dan karakterisitik penerjemahan Al- Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh. Hal ini dianggap penting dibahas sebagai upaya untuk mendeteksi aspek-aspek terjemah dalam karya tersebut agar menjadi data konkret dalam penelitian ini. Karena biografi dan latar belakang penulis akan menjadi data untuk mengetahui latar belakang penulisan tersebut. Bab Keempat: Pada bagian ini membahas tentang tipologi respon ulama Aceh terhadap Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, mencakup kritis ideologis (menolak), berdasarkan epistemology (menolak dan menerima dengan syarat dan pertimbangan), dan akomodatif. Bagian ini menjadi

    71 Teknik deskriptif analitis merupakan sebuah metode yang berupaya menganalisa data yang telah dikumpulkan, disusun, kemudian dianalisis dan diinterpretasikan berdasarkan data yang ada. Lihat Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1993), 30. 25 bab inti dari kajian dan penelitian ini dengan melihat sisi pandang para ulama Aceh terkait dengan karya tersebut sebagai data utama untuk melakukan analisis data secara lebih konkrit dan komperhensif dan menghasilkan kesimpulan yang baik dalam sebuah penelitian. Sedangkan kajian ayat yang akan menjadi respon para ulama adalah meliputi persamaan bunyi dan irama, tafsir dan perluasan makna, pendekatan social dan budaya, ayat antromorfisme (mutasya>biha>t), fawa>tih al- Suwar (ayat munqata’ah), Qasam Al-Qur’a>n (sumpah Al-Qur’an). Bab Kelima: Memaparkan kesimpulan hasil penelitian sesuai dengan rumusan awal dalam bab satu secara relevan dan baik. Berikutnya mengikuti permintaan saran dan rekomendasi berdasarkan hasil analisis dan penelitian. Dan ini menjadi bab terakhir dalam penelitian ini sebagai hasil penelitian dan konklusinya yang akan menjadi rekomendasi baik terhadap objek kajian serta juga kepada para peneliti selanjutnya.

    26

    BAB II DISKURSUS TERJEMAH DAN SAJAK DALAM AL-QUR’AN

    Para ulama sepakat terkait dengan orisinilitas teks bahwa ia murni dari Allah (tawqifi>) bukan ijtiha>di> di mana Nabi Muhammad Saw mengambil langsung dari malaikat Jibril dengan cara bertalaqqi dan kemudian ditulis oleh para sekretaris Nabi yang mumpuni seperti Zaid bin Tsa>bit dan beberapa sahabat lainnya. Ini menjadi bukti bahwa benar datang dari sisi Allah Swt, bukan karangan Nabi Muhammad seperti yang dituduhkan oleh para kaum kafir Quraisy pada masa itu. Seiring dengan meluasnya ekspansi dakwah Islam, kebutuhan terhadap semakin pesat, tidak terkecuali bagi mereka yang diluar semenanjung Arab yang notabennya tidak memahami bahasa Arab. Maka terjemahan terhadap teks pun mesti dilakukan agar dakwah dan nilai Islam dalam tersampaikan dengan segala tesis dan anti tesis yang muncul di kalangan umat Islam dan ulamanya. Kerena kebutuhan itu pun, terjemahan dan alih bahasa pun muncul yang diinisiasi oleh beberapa kalangan ulama. Terjemahan yang muncul pun beragam, ada yang berbahasa Latin, Parsi, Cina dan lain sebagainya. Dalam The World Bibliography disebutkan bahwa Al-Qur’an telah diterjemahkan tidak kurang dari 65 bahasa.1 Begitu pula di Indonesia pada abad ke 17, ‘Abd Ra’uf al-Singkili melakukan gagasan menerjemahkan ke dalam bahasa melayu yang pada masa itu juga menuai kontra dan kecaman. Meskipun begitu, hingga abad ke 20 telah begitu banyak terjemahan dalam bahasa indonesia lebih dari 20 karya seperti, dan Terjemahnya karya Mahmud Yunus, al-Furqan karya A. Hasan Bandung, Al-Bayan buah tangan T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, dan Al-Qur’an dan Maknanya karya M. Quraish Shihab.2 Pada awal tahun 1900-an di Indonesia muncul pula gagasan penerjemahan dengan pendekatan sastra yang dilakukan oleh HB. Jassin dengan karyanya Al- Qur’an Al-Karim Bacaan Mulia. Wacana tersebut ternyata mengundang perhatian para tokoh, pemuka agama bahkan hingga ormas-ormas besar Islam bahkan muncul diberbagi media baik nasional maupun lokal. Karena hal terserbut maka muncullah berbagai penolakan terhadap karya terserbut di samping ada pula yang memberikan apresiasi. Hal serupa pula dilakukan oleh Mahjiddin Jusuf yang menerjemahkan dalam bahasa Aceh dalam bentuk sajak yang diberi judul Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh. Karya tersebut hampir bisa disimpulkan bahwa itu adalah puisi terhadap terjemahan. Menariknya, dalam kata pengantar penulis tidak merujuk satu pun kepada terjemah baik Departemen Agama atau pun lainnya, hanya ditemukan bahwa karya tersebut merujuk pada tiga karya

    1 Rizqa Ahmadi, “Model Terjemahan Tafsiriyah Ustad Muhammad Thalib”, Jurnal CMES, vol. VIII, No. 1, Januari-Juni 2015, 58. Lihat juga, Daoud Mohammad Nassimi, A Thematic Comp Ara Tive Review Of Some English Translations Of The Quran, (The University of Birmingham, Tesis, 2008), 46. 2 Muchlis M. Hanafi, “Problematika Terjemahan : Studi pada Beberapa Penerbitan dan Kasus Kontemporer” dalam Suhuf: Jurnal Kajian dan Kebudayaan, Vol 4, No 2, 2013, 178-179. Lihat juga Muhammad Chirzin, “Dinamika Terjemah : Studi Perbandingan Terjemah Kementerian Agama RI dan Muhammad Thalib” dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu dan Hadits, Vol 17, No 1, Januari 2016, 8. 23 besar tafsir klasik, yaitu Ibnu Kas\i>r, al-Qurt}ubi>, dan al-Zamakhsyari>.3 Sedangkan nama yang diberikan berkonotasi bahwa karya tersebut adalah terjemahan. Tetapi hal tersebut berbeda sama sekali ketika penulis membuka secara langsung kepada karya Mahjiddin bahwa karya itu ialah seperti sebuah karya tafsir yang berbasissatrawi. Karena itu pula, maka kajian ini akan mencoba meneliti terkait fenomena tersebut sebagai sebuah karya secara objektif dan komperhensif dengan beberapa dengan memformulasikan, menguji dan menganalisis kembali kembali teori-teori yang telah ada.

    A. Terjemah : Akar dan Polemik 1. Konsepsi Terjemah Secara harfiah, terjemah selain berasal dari bahasa Arab, ia juga diadaptasi dari bahasa Armenia, yaitu ‘turjuman’,4 kata ini juga sebentuk dengan kata ‘tarajaman’ dan ‘tarjuman’ dengan arti menyalin atau memindahkan suatu pembicaraan (kalam) dari satu bahasa ke bahasa lain (singkatnya mengalihbahasakan atau penerjemahan, to translate).5 Meskipun demikian, kata tarjamah dalam bahasa Arab memiliki makna yang lebih luas. Sebagai kata kerja, tarjama bermakna pengalih-bahasaan (naqlu al- kala>m min lughatin ila> ukhra>) sebagaimana translation. Akan tetapi itu bukanlah satu-satunya makna tarjamah. Ia juga bermakna menafsirkan, menginterpretasikan, atau menjelaskan; bersinonim dengan fassara dan syaraha. Di samping itu, tarjamah juga bermakna menulis biografi, sehingga dalam sejumlah buku-buku tentang biografi dan riwayat hidup seseorang diberi judul dengan tarjamah. Salah satu derivasinya, yaitu suka kata tetapi berlainan makna adalah kata turjuman atau tarjuman diartikan sebagai penerjemah, pemandu (guide), dan juru bicara. Sementara sebagai kata benda, tarjamah diartikan sebagai terjemahan, penjelasan, prakata (pada buku), biografi, dan sebagainya.6 Perlu dibedakan pula antara kata penerjemahan dan terjemahan sebagai padanan dari translation. Kata penerjemahan mengandung pengertian proses alih pesan, sedangkan kata terjemahan artinya hasil dari suatu terjemah.7 Dalam aspek terjemah pada dasarnya memuat dan melibatkan sisi dan unsur tafsir8 dengan memberikan pemahaman terhadap ayat baik secara umum (ijma>li>)

    3 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, (Banda Aceh: Pusat penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) Aceh, 2007). 4 Muhammad Di>da>wi>, ‘Ilm al-Tarjamah Baina al-Naz}riyah wa al-Tat}bi>q, (T>u>nis: Da>r al-Ma’a>rif, 1992), 7. 5 Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an: Telaah Tektualitas dan Kontekstualitas Al-Qur’an, (Bandung: Humaniora, 2011), 351. Lihat juga, Louis Ma’lu>f, Al-Munjid fi> al-Lughah wa al- A’la>m, (Bairu>t: Da>r al-Masyri>q, 1994), 60. 6 Atabik Ali> dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamu>s al-‘Asriy (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, tt), 456; Ibn al-Manz{u>r, Lisa>n al-‘Arab, Juz 12, (Beiru>t: Da>r Sadir, tth), 66. 7 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian dan Tafsir (Yogyakarta: Idea Press, 2015), 92. 8 Definisi Tafsir secara bahasa adalah al-Baya>n (penjelas), al-Kasyf (penyingkap). Ibn Manzu>r mengatakan bahwa tafsir adalah menyingkap maksud ayat dari lafadz yang 24 atau terperinci (tafs{ili>). Bahkan pemberian footnote atau catatan kaki dalam menjelaskan arti ayat juga disebut sebagai tafsir. Bila dihubungkan dalam konteks ke-Indonesiaan, maka terjemah begitu besar memainkan eksistensinya dalam upanya penyampaian unsur-unsur Qur’ani yang terdapat di dalam . Tanpa melibatkan terjemahan bahkan penafsiran dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu maka tidaklah menjadi pemberi petunjuk, sebab ia tertulis dalam bahasa Arab yang tidak dimengerti oleh setiap orang selain Arab.9 Secara terperinci Al-Zarqa>ni> dalam Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n menjelaskan empat makna yang menujukkan kepada konotasi tarjamah. Pertama, menyampaikan suatu ungkapan (berita) kepada orang yang belum mendengarnya. Kedua, menjelaskan suatu ungkapan dengan bahasanya. Ketiga, menjelaskan suatu ungkapan dengan bahasa lain, bukan bahasa asal yang digunakan ungkapan itu, dan keempat memindahkan suatu ungkapan dari suatu bahasa kepada bahasa lainnya.10 Terkait dengan, terjemah dalam makna pertama dan kedua telah ada semenjak masa pewahyuan itu sendiri. Jika Nabi Muhammad Saw menyampaikan wahyu kepada para sahabat, ia menyarankan kepada para sahabat yang hadir dan mendengar langsung untuk mewartakan apa yang mereka terima kepada sahabat lainnya yang tidak berkesempatan hadir saat itu. Sementara dalam makna kedua, Rasulullah sendiri adalah mutarjim, sebagaimana juga gelar tarjuma>n Al-Qur’a>n untuk Ibnu ‘Abba>s berada dalam makna ini. Berbeda dari kedua makna pertama, urgensi makna ketiga dan keempat muncul belakangan ketika agama Islam berkembang ke luar daerah Arab. Secara lebih komperhensif, terjemah adalah memindahkan pada bahasa lain yang bukan bahasa Arab dan mencetak terjemahan ini ke dalam beberapa naskah agar dapat dimengerti oleh orang yang tidak dapat berbahasa Arab sehingga ia bisa memahami maksud kitab Allah Swt dengan perantaraan terjemahan.11 Kedua makna terakhir ini memiliki latar belakang dan tujuan yang sama, yaitu upaya menjembatani perbedaan bahasa. Perbedaannya, makna ketiga hanya berkepentingan untuk menjelaskan konten atau pesan dengan bahasa yang berbeda, sementara makna keempat berkepentingan untuk mengalihbahasakan pesan itu musykil. Sedangkan secara istilah tafsir adalah menjelaskan makna ayat, urutannya, kisahnya, dan sebab diturunkannya (Asba>b al-Nuzu>l) dengan lafaz{ yang menunjukkan kepadanya secara terang (jelas). Lihat, Jala>luddi>n al-Suyu>t}i>, Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n (T.tp: Da>r al- Fikr, 1370), 173. Lihat juga, Ibn Manz{u>r, Lisa>n al-‘Arab (Kairo: Da>r al-Hadi>s, 1434 H/2013), 10. ‘Ali> Ibn Muhammad al-Jurjani>, Al-Ta’ri>fa>t, ed. ‘Alwi> Abu> Bakar Muhammad al-Saqqa>f (Jakarta: Da>r al-Kutub al-Isla>miyah, 1433 H/2012 M), 75. Untuk pengertian tafsir menurut ulama Sunni dan Syiah lebih jelasnya lihat, Muhammad Faki>r al-Mayabdi>, Qawa>id al-Tafsi>r Baina asy-Syi>’ah wa as-Sunnah (T.tp: Markaz al- Tah{qiqa>t wa al-Dira>sa>t al- ’Ilmiyah al-Ta>bi’ li al-Majma’ al-’Alami li Tarqi>b Baina al-Madza>hib al-Isla>miyah, t.th), 15-19. 9 Taufikurrahman, “Kajian Tafsir di Indonesia”, dalam Jurnal Mutawatir 2. no. 1. Januari-Juni (2012): 4-5. 10 Muhammad Abd al-Az{i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1996), 78-79. 11 Muhammad Ali> As-S{a>bu>ni, Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. dari bahasa Arab oleh Aminuddin (Bandung: Pustaka Setia, 1991), 331. 25 sendiri. Selain keempat makna itu, kata tarjamah juga menunjukkan kepada makna- makna lain, seperti ‘judul’, sebagaimana pada ungkapan tarjim li ha>za> alba>bi bikaza>; ‘biografi’ seperti pada tarjamat fulanin, ‘maksud atau pengertian’ seperti pada tarjamat hadza alba>bi kaza>, dan sebagainya.12 Ada beragam macam asumsi dan argumentasi yang diberikan oleh beberapa pakar dalam bidang kajian ulumul Qur’an terkait terjemahan. Manna>’ Khali>l al- Qat{t{a>n, Muhammad Husain al-Zahabi, dan Muhammad ‘Abd al-‘Az{i>m al-Zarqa>ni mengatakan, bahwa terjemah dapat dikatagorikan ke dalam dua macam pembagian, yaitu tarjemah harfiyah dan terjemah tafsi>riyah. Terjemah harfiyah berkonotasi pada pemindahan sebuah lafaz dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain dengan tetap menjaga unsur dan struktur tata bahasa tujuan dan dengan tetap pula menjaga makna bahasa asal tanpa ada kurang sedikit pun.13 Terjemah model ini oleh sebagian ulama menyebutnya pula dengan terjemah lafziyah atau terjemah musawiyah.14 Adapun terjamah tafsi>riyah adalah menjelaskan makna kalimat dengan bahasa lain tanpa terikat kepada kaidah-kaidah, gramatika dan struktur bahasa asal.15 Terjamah jenis ini tidak mengabaikan penjagaan kaidah dan struktur bahasa asal, selama penerjemah sanggup mengungkap makna dari teks yang diterjemahkan. Penjelasan ketiga pakar mengenai dua klasifikasi di atas sebenarnya lebih rumit dan susah untuk dimengerti. Meskipun memulai langkahnya dari dua klasifikasi dasar tersebut, namun menariknya Manna>’ Khali>l al-Qat{t{a>n menambah klasifikasi tersebut menjadi tiga, yaitu; terjamah harfiyah pada kelompok pertama, dan membedakan antara maknawiyah dan tafsi>riyah pada kelompok kedua dan ketiga. Terjamah harfiyah adalah memindahkan suatu lafaz dari suatu bahasa kepada tujuan dengan menjaga kesesuaian struktur dan grammar bahasa asal. Menurutnya, terjemah harfiyah tidak mungkin dilakukan karena setiap bahasa memiliki ciri khas dan karakter tersendiri yang membedakannya dari bahasa lain, sebagaimana bahasa lain (‘ajm) juga memiliki struktur yang tidak dimiliki bahasa Arab. Adapun hukumnya, bagi al-Qat}t}a>n adalah haram, dalam artian bahwa sebuah terjemahan dari kata tertentu dalam tidak boleh dianggap sebagai. hanyalah wahyu sebagaimana yang disampaikan kepada Nabi Muhammad, berbahasa Arab, dan mengandung i’ja>z. Maka, menurut al-Qat}t}a>n, terjamah harfiyah terhadap, meskipun dilakukan oleh seseorang yang menguasai bahasa, asa>lib, dan tara>kib-nya, maka ia telah mengeluarkan dari eksistensinya sebagai .16 Untuk membedakan antara terjamah maknawiyah dan tafsi>riyah, ia berangkat dari konsep dualitas makna, antara asliyah dan sanawiyah. Makna asliyah adalah makna literal. Makna ini bisa diketahui secara global oleh orang-orang yang mengetahui tunjukan makna (madlu>la>t al-Alfa>z al-mufradah/signified) suatu kata

    12 Al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> Ulu>m Al-Qur’a>n, 78-79. 13 Muhammad Husain al-Zahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, juz 1 (tt: Maktabah Mus’ab Ibn Umair al-Isla>miyyah, 2004), 19. 14 Muhammad ‘Abd al-Azi>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1996), 80. 15 Manna>’ Khali>l al-Qat{t{a>n, Maba>his\ fi> Ulu>m Al-Qur’a>n, (Kairo: Maktabah Wahbah, tth), 313. 16 Manna>’ Khali>l al-Qat{t{a>n, Maba>his\ fi> Ulu>m Al-Qur’a>n , 307-308. 26 dan strukturnya (tara>kib). Sementara makna sanawiyah adalah makna yang berada di tingkat lanjutan. Makna ini berada di sisi khawa>s} al-Naz}a>m, yang menjadikannya superior dan mengandung mukjizat. Untuk mengakses makna ini dibutuhkan kepakaran tentang seluk beluk bahasa Arab dengan segala kaidah kosa kata yang ada, Asba>b al-Nuzu>l, Qawa>’id al-Tafsi>r, di samping sejumlah perangkat keilmuan lainnya. Menurut al-Qat}t}a>n, menerjemahkan makna sanawiyah bukanlah perkara sederhana, selain karena problem kekhususan masing-masing bahasa, antara bahasa Arab dan bahasa ‘ajm, juga karena kedalaman makna bahasa. Oleh sebab itu, yang mungkin dilakukan adalah penerjemahan makna as}liyah. Namun begitu, penerjemahan makna as}liyah memiliki kelemahan, terutama terkait kata-kata tertentu dalam yang memiliki banyak kemungkinan makna. Jika seorang penerjemah hanya menerjemahkan dari satu sisi, maka ia telah mereduksi makna. Karena terjamah h}arfiyah tidak mungkin dan terlarang, penerjemahan makna asliyah riskan, dan penerjemahan makna sanawiyah rumit, maka jalan terakhir adalah dengan menerjemahkan tafsir. Inilah yang ia sebut dengan terjamah tafsi>riyah; inilah yang kemudian membedakan antara terjamah maknawiyah dan terjamah tafsi>riyah.17 Berbeda dengan al-Za>habi> yang membahas tema terjemah dalam bab al- tafsi>r Al-Qur’a>n bighair lughatih (tafsir dengan selain bahasa Arab) dalam bukunya al-Tafsi>r wa al-Mufassi>ru>n. Ia juga memulai kajiannya dengan dua tipologi dasar antara harfiyah dan tafsi>riyah. Jika al-Qat{t{an berkonsentrasi dan memisahkan antara terjemah tafsi>riyah dan maknawiyah, maka klasifikasi al-Z}ahabi> berada pada sisi terjemah harfiyah, yaitu harfiyah bi al-mis\l dan harfiyah bighair al-misl. Katagori pertama adalah menerjemahkan ke bahasa lain dengan kerangka yang persis sama, bagian per bagiannya, setiap kata pada bahasa asal digantikan oleh bahasa tujuan secara gaya bahasa (uslu>b), dan mengandung seluruh makna pada setiap struktur bahasa asal. Sementara yang kedua sedikit lebih longgar daripada bi al-misl, yaitu penerjemahan dengan gaya yang sama, namun dibatasi kesesuaian bahasa tujuan.18 Jika al-Qat{t{a>n membedakan antara terjemah tafsi>riyah dan maknawiyah, al-Zahabi menganggap keduanya sama. Baginya, terjamah tafsi>riyah atau maknawiyah adalah penjelasan tentang sebuah ungkapan dan maknanya dalam bahasa yang berbeda, tanpa beban untuk menjelaskan keseluruhan cakupan maknanya.19 Dari judul bab yang ia gunakan, tampak bahwa hubungan antara terjamah dan tafsir merupakan poin yang sangat penting bagi al-Zahabi>. Menurutnya, baik tarjamah harfiyah bi al-misl maupun bighair al-misl tidak termasuk kepada tafsi>r bighair lughatih. Al-Zahabi> berargumen bahwa terjamah adalah pengalih bahasaan, sementara tafsir adalah penjelasan terhadap makna . Istilah yang ia gunakan adalah bahwa terjamah merupakan “haikal Al-Qur’a>n biza>tihi illa> anna al-su>rata ikhta>lafa>t bi ikhtila>fi al-lughatain” (Wujud itu sendiri dalam bentuk yang berbeda dari segi bahasa). Artinya, tarjamah bukanlah atau ia adalah wujud kedua dari untuk menjelaskan makna yang dikandung oleh. Itulah mengapa ia menolak kemungkinan dan menekankan keharamannya. Berbeda dengan terjamah harfiyah, tarjamah tafsi>riyah/maknawiyah bagi al-Zahabi digolongkan kepada tafsir.

    17 Manna>’ Khali>l al-Qat{t{a>n, Maba>his\ fi> Ulu>m Al-Qur’a>n,, 307-316. 18 Muhammad Husain al-Zahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, juz 1, 19. 19 Muhammad Husain al-Zahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, juz I, 21. 27

    Al-Zarqa>ni membuka kajiannya tentang terjamah dengan urgensitas tema dan diikuti oleh makna terjemah secara bahasa dan‘urfi>y. Terkait terjemah, sebagaimana al-Qat{t{a>n dan al-Zahabi>, al-Zarqa>ni juga berangkat dari klasifikasi terjemah harfiyah dan tafsi>riyah. Menurutnya, pada dasarnya tarjamah tafsi>riyah dan harfiyah hanya memiliki perbedaan pada kelonggaran masing-masing; keduanya sama-sama alih bahasa, dari bahasa asal ke bahasa tujuan. Jika terjemah harfiyah sangat terikat dengan struktur dan tata bahasa asal, maka tafsi>riyah lebih longgar. Sebagaimana al-Zahabi>, al-Zarqa>ni juga memberikan perhatian yang cukup besar terhadap perbandingan antara terjemah dan tafsir. al-Zarqa>ni secara tegas memisahkan antara terjemah dan tafsir. Hal ini terlihat pada penjelasan mantiqi-nya terhadap frasa “ma’a al-wafa>’ bi ja>mi’ ma’a>ni>hi wa maqa>s}idihi”, bahwa tarjamah mensyaratkan kesepadananan antara bahasa asal dan bahasa tujuan, sementara tafsir tidak mensyaratkan itu. Sebuah tafsir tidak dituntut untuk mengelaborasi seluruh makna teks secara sepenuhnya; tafsir hanya bertugas menjelaskan, baik secara global maupun terperinci.20 Hal yang sama juga terlihat pada dua dari empat syarat sebuah terjemah yang ia ajukan. Yang pertama adalah kesepadanan. Kedua, al- Zarqani> berpandangan bahwa sebuah terjemahan bersifat independen dari teks asalnya, dalam arti bahwa sebuah terjemahan secara utuh bisa menggantikan keberadaan dari teks asal.21 Lebih lanjut, ia menjelaskan tiga perbedaan lainnya antara tarjamah dan tafsir. Pertama, sighat terjemahan bersifat independen, tidak terkait dengan bahasa asal. Maksudnya, suatu terjemahan hanya produk alih bahasa dari bahasa asal, dan setelah sempurna menjadi suatu produk terjemahan, ia bisa dipisahkan dari bahasa asal. Akan tetapi, tafsir tidak demikian, tafsir bersifat dependen yang berada di bawah teks asal. Tafsir akan selalu terkait dan berhubungan dengannya, dan tidak akan berdiri sendiri tanpanya, jika saja ia berdiri sendiri maka penafsiran akan mengalami kekeliruan karena telah lari dari konsep dasar. Kedua, suatu produk terjemah sejatinya tidak boleh mengandung penyimpangan makna dari bahasa asal. Seorang penerjemah mesti merangkul amanah untuk mengungkapkan suatu teks dengan bahasa tertentu dengan menggunakan bahasa lain apa adanya, tanpa penyimpangan dan distrosi makna yang sesungguhnya. Sementara tafsir suatu saat bahkan kapan saja sangat mungkin mengandung unsur penyimpangan dari makna literal teks, terlebih bagi mereka yang menafsirkan Al-Qur’an tanpa berdasarkan pada ilmu dan syarat yang mesti dipenuhi. Ketiga, sebuah produk terjemahan semestinya menciptakan kepuasan hati bagi para pembaca. sebab ia telah mengalihbahasakan sebuah teks dengan sempurna. Sementara sejumlah tafsir bersifat global dan masih menyisakan rasa ingin tahu bagi pembaca secara lebih luas.22

    20 Muhammad ‘Abd al-Azi>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, 91. 21 Dua syarat lainnya yang ia kemukakan adalah terkait pengetahuan penerjemah terhadap bahasa asal dan bahasa tujuan dan pengetahuan penerjemah tentang kekhususan- kekhususan tertentu pada masing-masing bahasa. Muhammad ‘Abd al-Azi>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, 93. 22 Muhammad ‘Abd al-Azi>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi > ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, 79- 82. 28

    Di sisi lain, al-Qurrafi menyebutkan bahwa bahasa jika dilihat dari konteks al-Isti’ma>l ,(الوضع) pemakaiannya ia terbagi kepada tiga kategori, yaitu al-Wadl’a Al-Wadl’a adalah bahasa titipan dari pemiliknya 23.(الحمل) dan al-Haml ,(اإلستعمال) yang berarti bahwa pemilik bahasa tersebut adalah Bahasa Arab. Al-Isti’ma>l adalah pengguna atau yang menggunakan bahasa dari pemilik bahasa tersebut dalam posisi inilah Al-Qur’an yang berbahasa Arab itu, berarti sebagai pengguna Bahasa Arab. al-Haml adalah memahami maksud yang terkandung dalam bahasa pengguna tersebut baik berupa penafsiran (interpretasi) maupun terjemahan (alih bahasa). Maka cukup beralasan bila seandainya teori ini digunakan dalam menelaah sebuah teks –terlebih Al-Qur’an- untuk kepentingan kebahasaan untuk mengungkapkan interpretasi terhadap penafsiran secara lugas dan terbuka tanpa menghilangkan hakikat teks yang sebenarnya. 2. Embriologi Terjemah Bila dilihat tarik ulur ke belakang, penerjemahan dan alih bahasa Al-Qur’an dan juga teks-teks lain sebenarnya telah dilakukan semenjak pada masa sahabat sebagai periode awal perkembangan Islam. Hal tersebut dapat dilihat ketika Raja Najasyi mewawancara para sahabat Nabi Saw ketika bertolak melakukan hijrah ke Habsyah. Raja pun meminta juru bicara dari kalangan sahabat –Ja’far bin Abi> T}alib- untuk menerjemahkan kepadanya dalam bahasa Habsyah.24 Bahkan Ada pula yang menyebutkan bahwa embriologi terjemah terhadap sudah dilakukan semenjak masa Rasulullah Saw ketika ia mengirimkan surat kepada dua orang raja, yaitu Kaisar Heraclius dari Bizantium dan Kaisar Negus dari Abessenia dengan mencantumkan ayat-ayat di dalamnya.25 Namun belum ditemukan data secara konkret terkait penerjemahan secara utuh pada masa tersebut, tatapi embriologi dan cikal bakal telah ada semenjak masa Rasulullah Saw. Dalam sebuah seminar ilmiah yang diselanggarakan di Universitas Islam Madinah yang berjudul “Melacak Sejarah Penerjemahan”, salah seorang pematerinya bernama Syeikh Tamir -Guru Besar Sastra Arab di Univeritas Madinah al-Munawwarah- menyebutkan bahwa awal mula terjemahan Al-Qur’an itu dilakukan dalam bahasa Persia, hal itu berdasarkan pada permintaan umat Islam di sana sebagai sebuah kebutuhan. Permintaan tersebut ditujukan kepada salah saorang sahabat Rasul Saw, yaitu Salman al-Farisi untuk menerjemahkan beberapa ayat. Karena permintaan itu pula, Salman sebagai sahabat Rasul asal Persia pun memperkenankannya dengan menerjemahkan surat al-Fa>tih}ah secara menyeluruh.

    23 Syiha>b al-Di>n Abu> al-Abba>s Muhammad al-Idri>s al-Qurrafi, Syarh Tanqih al- Futs}u>l fi> Ikhtis}ar al-Hus}u>l fi> al-Us}u>l, (Kuwait: Da>r al-Fikr, 1973), 20. 24 Maulana Muhammad Ali, Biografi Muhammad Rasulullah, terjemah S.A. Syurayuda (Jakarta: Turos, 2015), 89. Lihat juga, Muhammad Chirzin, “Dinamika Terjemah Al-Qur’an: Studi Perbandingan Terjemah Al-Qur’an Kementerian Agama RI dan Muhammad Thalib”, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Vol. 17, No. 1, Januari 2016, 6. 25 Https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/17/m2m933- melacak-sejarah-penerjemahan-alquran, (Diakses pada 8 Juli 2019). Lihat juga, Afnan Fatani, "Translation and the Qur’an", dalam Leaman Oliver (ed), The Qur’an: An Encyclopedia, (Great Britain: Routeledge, 2006). 29

    Bahkan ada pula data yang menyebutkan terkait temuan terjemah dalam bahasa Persia dengan judul Qur’an Quds secara menyeluruh 30 Juz. Namun karya tersebut sampai saat ini penulisnya masih anonim.26 Menariknya, usaha menerjemahkan pertama kali27 secara lengkap di lakukan oleh Robert of Ketton28 -ada yang menyebutnya dengan Robert Renita/Robertus Ketenensis- dalam bahasa Latin diberi judul ‘Lex Mahumet Pseudoprophete’, di Spanyol, Andalusia yang notabanenya bukan seorang muslim. karya Robert ini selesai dikerjakan pada tahun 1143 bertepatan pada tahun ke enam hijriyah. Empat abad kemudian, yakni tahun 1543 M, terjemahan ini diedit dan diterbitkan kembali dengan tiga jilid di Basle, oleh Pendeta Theodore Bibliander untuk kepentingan gereja.29 Indikasi lain menyebutkan, bahwa penerjemahan Al-Qur’an telah dilakukan jauh sebelum dipromotori oleh Robert. Pada tahun 884 M di Alwar, Pakistan (dahulu menjadi bagian dari India) trobosan tersebut dilakukan atas perintah dari Khalifah Abdullah bin Umar bin Abdul Azis dengan permintaan dari seorang raja Hindu bernama Mehruk.30 Hal yang sama proses penerjemahan disadur pula ke dalam bahasa Jerman, Italia, dan Belanda dengan berbagai latar belakang dan keperluan. Ada pula yang menerjemahkannya untuk keperluan Biara Clugny di gereja untuk dikaji secara lebih mendalam penyebab umat gereja pada saat itu sudah memilik daya tarik terhadap. Pada saat yang sama pula mereka tidak ingin adanya penyebaran tersebut dikalangan rakyat karena dianggap membahayakan eksistensi gereja dan memurtadkan pemeluk Kristen dari agamanya. Begitu pula di Inggris, pada tahun 1689 muncul terjemahan pertama dalam bahasa inggris yang ditulis oleh A. Ross

    26 Https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/17/m2m933- melacak-sejarah-penerjemahan-alquran (Diakses pada; Rabu, 10 Agustus 2019). 27 Afnan Fatani, “Translation and the Qur’an”, dalam Leaman Oliver (ed), The Qur'an: an Encyclopedia, (Great Britain: Routeledge, 2006), 657–669. 28 Robert of Ketton (Latin: Robertus Ketenensis) (1110-1160) adalah seorang teolog Inggris, ahli perIbntangan dan ahli Arab. Ketton adalah tempat ia dilahirkan, sebuah desa kecil di Rutland, hanya beberapa mil dari Stamford. Robert diyakini mendapatkan pendidikan di Cathedral School of Paris. Pada tahun 1134, dia melakukan perjalanan dari Perancis ke Timur selama empat tahun dengan murid dan temanya Herman of Carinthia (yang juga dikenal dengan Herman Dalmatin). Mereka mengunjungi Imperium Bizantium, the Crusader States di Palestina dan Damaskus. Kedua orang tersebut menjadi terkenal sebagai penerjemah dari bahasa Arab. Lihat, Charles Burnett, ‘Robert of Ketton (fl. 1141– 1157)’, dalam Oxford Dictionary of National Biography, (Oxford: Oxford University Press, 2004) dan Thomas E. Burman, “Tafsir and Translation: Traditional Arabic Quran Exegesis and the Latin Qur’ans of Robert of Ketton and Mark of Toledo” dalam Speculum, vol. 73 (1998), 703-732. Lihat juga Samuel M. Zwemer, “Translation of the Koran,” dalam The Moslem World, July, 1915, 244-261. 29 Hasil revisi tersebut mengandung pula banyak kekeliruan dan kesalahan. Meskipun begitu, karya tersebut telah banyak terserbar luas pada masyarakat non-muslim di Eropa. 30 Https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/17/m2m933- melacak-sejarah-penerjemahan-alquran (Diakses pada; Rabu, 10 Agustus 2019). Lihat juga, Afnan Fatani, "Translation and the Qur'an", dalam Leaman Oliver (ed), The Qur'an: an Encyclopedia, (Great Britain: Routeledge, 2006). 30 sebagai proyek lanjutan terjemahan yang dilakukan oleh Maracci dalam bahasa Perancis.31 Dan pada tahun 1936 M terjemahan dalam bahasa Urdu pun dilakukan oleh Shah Abdul Qadir dan Shah Rafiuddin. Maka terjemahan dalam berbagai bahasa hingga tahun 1936 telah berjumlah hingga 102 terjemahan. Belum lagi dengan muncul berbagai model terjemahan baru baik dalam bahasa Melayu dan lain sebaginya. Tetapi celakanya, setelah dilihat dan dikaji ulang oleh beberapa pakar di Turki terhadap karya Robert dan beberapa Orientalis lainya, dimenemukan banyak kesalahan dan distorsi terhadap makna dan maksud. Karena sebab itu dan permintaan umat Islam, pada tahun 1550 M terjemahan tersebut direvisi dan dicetak ulang kembali.32 Maka tidak heran jika penolakan terhadap usaha terjemahan pun muncul dari berbagai pihak baik dari kalangan ulama maupun dari kalangan umat Islam lainnya semenjak dahulu kala hingga sekarang ini. Penolakan itu pun dilandasi oleh pertimbangan yang sangat teologis sebagai solusi menjaga kemurnian dan sakralitas sebagai wahyu Ilahiyah. Lebih dari itu akan ada anggapan masyarakat bahwa terjemahan tersebut adalah murni maksud, padahal bahasa adalah bahasa yang begitu tinggi nilai sastranya dan tidak dapat ditandingi oleh bahasa mana pun. Karena pertimbangan mas}lah}ah pula, akhirnya para ulama pun mengambil sebuah kebijakan baru untuk melegalkan terjemahan terhadap –sekali pun ulama sebelumnya mengharamkan- dengan berbagai pertimbangan dan realitas yang sedang terjadi demi untuk perkembangan dakwah dengan berpijak pada dalil-dalil agama secara umum.33 Seiring dengan perkembangannya pula, tidak saja diterjemahkan secara harfiyah, tetapi pada kurun akhir abad ke 18 hingga awal abad mengundang para pemerhati Al-Qur’an seperti Muhammad Yu>suf Ali> dan Muhammed Marmaduke Pickthall untuk menerjemahkan dengan menggunakan pendekatan sastra berbentu prosa dan puisi untuk diterjemahkan. Ide dan karya tersebut pun yang ternyata mendapat pengakuan dan apresiasi dari Universitas al-Azhar sebagai Perguruan Tinggi Islam tertua di dunia. Meskipun dukungan datang dari pihak al-Azhar, Muhammad Abduh (w. 1905) yang juga menjadi bagian dari al-Azhar menolak dengan keras gagasan tersebut dengan asalan bahwa bukanlah ladang bagi para ahli sastra untuk menguji kebolehan dan kemampuannya. Sebab hal tersebut akan menjadikan sama dengan karya sastra yang lain dan itu pun mustahil terjadi.

    3. Hukum Menerjemahkan Problematika menerjemahkan memang menjadi sebuah perbincangan sendiri dalam kajian ulum Al-Qur’an hingga mengundang perdebatan yang begitu besar di antara para peminat kajian. Selain karena sebagai firman Ilahiyah yang

    31 Abdulla>h Yu>suf Ali>, Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, terjemah Ali Audah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), xx-xxi. Lihat juga, Kemenag RI, dan Terjemahanya, (Medinah: Mujamma’ Khadim al-Haramain asy-Syarifain, 1990), 30. 32 Arjan van Dijk “Early Printed Qur’ans: The Dissemination of the Qur’an in the West” dalam Journal of Qur’anic Studies, Note, Report and Correspondent Vol. 7 No. 2, Oktober 2005. 33 Lihat, Hamam Faizin, “Percetakan dari Venesia hingga Indonesia,” dalam Jurnal Esensia, XII no. 1 Januari (2011), 141-144. 31 mendandung mukjizat luar biasa yang tidak dapat ditiru oleh siapa pun, menerjemahkan pun bukanlah persoalan mudah dan bahkan membutuhkan energi ilmu yang begitu besar.34 Lafazh dan kalimat dengan aspek balaghahnya mengandung nilai makna-makna yang tersembunyi untuk disingkap dalam kontekstual. Terkait hukum penerjamahan, semenjak periode awal perkembangan Islam telah terjadi pro dan kontra di kalangan para ulama. Hal tersebut dapat dilihat ketika Abu> Hani>fah mengeluarkan fatwa bahwa menerjemahkan itu diperbolehkan dengan alasan bahw terjemah itu bukanlah. Berbeda dengan Imam Asy-Sya>fi’i> yang menolak secara tegas bahwa tidak mungkin diterjemahkan ke dalam bahasa apapun, karena terjemahan tidaklah mewakili maksud bahasa Arab terlebih bahasa. Menengahi kedua pendapat tersebut, Ibnu Qutaibah berpendapat bahwa memungkinkan untuk diterjemahkan, tetapi harus dijelaskan kepada orang ‘ajam (orang selain Arab) bahwa terjemahan tersebut bukanlah, tetapi hanya interpratasi sementara dari yang harus ditafsirkan berdasarkan kedalaman bahasa itu sendiri.35 Penerjemahan dalam bahasa asing pada masa selanjutnya juga terhambat oleh fatwa para ulama36 yang secara tegas menolak bahkan mengharamkan gagasan tersebut. Di Mesir para ulama seperti Muhammad Ahmadi Z}awa>hir37 (Mantan Rektor al-Azhar dan Grand Syaikh Universitas al-Azhar tahun 1929-1935) menolak gagasan itu dengan mengirimkan surat kepada Ali> Ma>hir Pasya (Mantan Perdana Menteri Mesir) dan Syaikh Abba>s Jamal (Wakil Pembela Syariat). Hal serupa juga dilakukan oleh Syaikh Muhammad Sulaima>n yang menjabat Wakil Ketua Mahkamah Agung Mesir ketika itu sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka terhadap penerjemahan .38 Namun Hadi Ma’rifat dalam bukunya memberikan bantahan terhadap argumen tidak bolehnya menerjemahkan dengan menampilkan beberapa dalil terkait urgensi terjemahan ke dalam bahasa dunia. Dalil yang ia utarakan adalah QS. Al- Baqarah: 159 QS. A

  • n : 138; QS. Al-An’a>m: 19; QS. Al-Nahl: 44; dan QS.

    34 Afnan Fatani, "Translation and the Qur’an", dalam Leaman Oliver (ed), The Qur'an: an Encyclopedia, (Great Britain: Routeledge, 2006). 35 Egi Sukma Baihaki, “Orientalisme dan Penerjemahan ”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 16, No. 1, 06. 36 Penerjemahan pernah diterjemahkan dalam bahasa Barbar pada masa Dinasti Muwahidun di Spanyol (1142-1289 M), namun mereka memerintahkan unutk menghanncurkanya. Namun hal tersebut pada masa berikutnya para ulama mengeluarkan fatwa tentang kebolehan menerjemahkannya dengan melahirkan banyak terjemahan Al- Qur’an yang sangat banyak seperti dalam bahasa parsi yang diterjemahkan oleh Syaikh Sa’adi Asy-Syirazi (1313 M) dan terjemahan dalam bahasa Turki oleh Syaikh Waliyullah Dahlawi. Lihat, Abu Bakar Aceh, Sejarah Aceh, (Solo: Ramadhani, 1986), 40. 37 Muhammad Ahmadi al-Z}awa>hiri> menjadi Grand Syeikh al-Azhar setelah Must{afa> al-Mara>ghi>. Setelah itu, Must{afa> al-Mara>ghi> kembali menjabat sebagai Grang Syeikh. 38 Muhammad Must}afa> Sya>t{ir Mis}ri>, al-Qaul as-Sadi>d fi> Hukmi Tarjuma>ti Al- Qur’a>n al-Maji>d, (T.t: Da>r al-Fikr, 1370 H/1951 M), 17-18. Lihat juga, M. Hadi Ma’rifat, Sejarah Al-Qur’an, terj. dari bahasa Arab oleh Thoha Musawa (Jakarta: Al-Huda, 2007), 278-288. 32

    Al-Furqa>n: 1.39 Pendapat Hadi tersebut berlandaskan pada fatwa yang dikeluarkan oleh Must{afa> al-Mara>ghi> yang membantah fatwa yang sebelumnya dengan memberi ruang kebolehan menerjemahkan dengan batas-batas dan syarat-syarat tertentu. Beliau menulis dalam karyanya secara tegas sebagai berikut: “keliru jika ingin menilai bahwa tidak dapat diterjemahkan secara keseluruhan dengan alasan kemukjizatan yang dimilikinya.” Lebih tegas dalam pernyataanya ia menulis sebagai berikut: إن اإلدعاء بأن القرآن الكرمي كله ال ميكن ترمجته ألنه معجز، إدعاء خاطئ، بل احلق أن يقال: إنه ميكن ترمجته من ناحية الدالالت األصلية، ويستحيل ترمجة من ناحية الدالالت التابعة، إن بعض آيات القرآن ميكن أن ترتجم ترمجة حرفية، وبعضها ال ميكن أن يرتجم ترمجة حرفية 40. Sesungguhnya tidak mungkin dapat diterjemahkan secara keseluruhan adalah pendapat yang keliru. Yang benar ialah bahwa ia (Al-Qur’an) memungkinkan diterjemahkan dari sudut makna primer, dan tidak mungkin diterjemahkan dalam makna sekunder. Memungkinkan sebagian ayat diterjemahkan secara harfiah, sedangkan sebagian yang lain tidak mungkin untuk diterjemahkan secara harfiah. Selain Must{afa> al-Mara>ghi>, fatwa bolehnya menerjemahkan juga dikeluarkan oleh Muhammad Husain Ka>syiful Ghita> dalam menjawab permohonan oleh Abdurrahi>m Muhammad Ali> untuk diumumkan di Najaf Asyraf.41 Demikian pula Ayatulla>h Khu>’i> (w. 1992) dalam kitabnya al-Baya>n menyebutkan, bahwa menerjemahkan ke dalam bahasa selain Arab adalah salah satu pekerjaan mulia sebagai bentuk manifestasi dakwah tersebar diseluruh penjuru dunia. Namun penerjemahan tersebut perlu diperhatikan syarat dan ketantuan serta keilmuwan yang mumpuni baik ilmu bahasa, ilmu-ilmu dengan segala jenisnya dan lain sebagainya.42

    39 Lihat, M. Hadi Ma’rifat, Sejarah Al-Qur’an , terj. dari bahasa Arab oleh Thoha Musawa (Jakarta: Al-Huda, 2007), 278-288. Terkait dengan penjelasan lebih rinci tentang hukum penerjemahan , Lihat, Jala>l al-Di>n Ibn al-T}a>hir al-Alu>sy, Ahka>m Tarjamah Al- Qur’a>n al-Kari>m (Beiru>t: Da>r Ibn Hazm, 1429 H/2008 M), 17-34. Lihat juga, Muhammad ‘Abd al-‘Az{i>m al-Zarqani>, 105- 125. 40 Muhammad Must{afa> al-Mara>ghi>, Bahs\ fi> Tarjama>t Al-Qur’a>n al-Kari>m wa Ahka>muha>, (Kairo: Majalah Al-Azhar, 1423 H), 35. Lihat juga, Muchlis M. Hanafi, “Problematika Terjemahan: Studi pada Beberapa Penerbitan dan Kasus Kontemporer,” Jurnal Suhuf, Vol. 4, No. 2, 2011, 178. 41 Syamsuddi>n Sarkhasi>, al-Mabsu>t}, Juz I, (Beiru>t: Da>r al-Ma’rifah, 1989 M/1409 H), 37. Lihat juga, M. Ha>di Ma’rifat, Sejarah Al-Qur’an, terj. dari bahasa Arab oleh Thoha Musawa, (Jakarta: Al-Huda, 2007), 279. 42 Muhammad Fari>d Wujdi>, al-Adillah al-Ilmiah ‘ala> Jawa>zi Tarjamati Al-Qur’a>n ila> al-Lugha>ti al-Ajnabiyyah, (Kairo: Da>r al-Muqtabis, 1936 M), 58. Lihat juga, M. Hadi Ma’rifat, Sejarah Al-Qur’an, terj. dari bahasa Arab oleh Thoha Musawa (Jakarta: Al-Huda, 2007), 280-281. 33

    Dari berbagai perdebatan di atas, nampaknya menjadi sebuah analisa bahwa pada hakekatnya Al-Qur’an tidak dapat diterjemahkan secara literal secara keseluruhan sebagaimana argumen yang dibangun oleh Must{afa> al-Mara>ghi>. Sebab itu pula, maka dalam rangka menerjemahkan Al-Qur’an sangat membutuhkan kepada instrumen yang mumpu untuk mengetahui seluk beluk kosa kata agar tidak terjatuh dalam kesalahan dan kekeliruan dalam memahaminya. Jika saja bahasa cenderung dipahami secara literal, maka akan memunculkan stigma bahwa kandungan Al-Qur’an antara satu ayat dengan ayat yang lain itu layaknya saling bertentangan. Begitu pula jika dipahami secara bebas tanpa melibatkan ilmu dasar dalam penggaliannya maka akan jatuh pula pada distorsi terhadap makna Al-Qur’an yang mestinya harus dipahami berimbang antara makna literlek (harfiyah) dan makna secara lebih luas baik dalam maknawiyah dan juga tafsi>riyah. Oleh sebab itu penulis sependapat dengan apa yang disebutkan oleh Must}afa> al-Mara>ghi> terkait dengan cara, model, dan juga kriteria penerjemahan.

    B. Al-Qur’an dan Kajian Sastra Pendekatan penafsiran Al-Qur’an dengan gaya susastra sebenarnya telah menanam buana dan telah ada benih embriologi dan akarnya pada masa Nabi Muhammad Saw. Dalam menjelasakan ayat Al-Qur’an Nabi seringkali memberikan makna lain tidak sebagaimana lahir ayat. Hal tersebut dapat dilihat ketika Nabi memberikan interpretasinya terkait dengan istilah maja>z sebagai salah satu kajian terkait perluasan makna dalam terminologi sastra Arab43 dan bahkan juga Nabi mencari sinonim (mura>dif) kata untuk menjelaskan kata yang terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an.44 Karena masih sifatnya umum, maka kajian tersebut hanya sebatas pada tahap sejarah perkembangan awal sejarah penafsiran Al-Qur’an dan bagi para peminat tafsir pun masih memperdebatkannya. Para peminat kajian tafsir menyebutkan, bahwa Abdulla>h Ibnu Abba>s (w. 68/687 M)45 yang dikenal sebagai Abu> al-Tafsi>r (bapak tafsir)46 telah melakukan

    43 Agar lebih lengkap terkait perkembangan tafsir pada peridode awal bisa dilihat dalam Ignaz Goldziher, Madza>hib al-Tafsi>r al-Isla>mi>, terj. ‘Abd Hali>m al-Najja>r, (Kairo: Maktaba>t al-Khaniji>, 1955), Muhammad Husein al-Za>habi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, juz I, (T.tp.: Mus’ab Ibn ‘Umair: 2004), 45-47. 44 -dalam Surah alالصائمون denganالسائحون Seperti ketika Rasulullah menafsirkan lafal dalam Surahلدلوك الشمس Taubah ayat 112 dari hadis riwayat Abdulla>h Ibn Abd Ma>lik atau kata al-Isra’ ayat 78. Lebih jelas, baca Must{afa> al-S{a>wi> al-Juwaini>, Mana>hij fi> al-Tafsir>, (Iskandariyah: Mansya’ah al-Ma’a>rif), 16. 45 Data terkait karya dan tulisan Ibnu Abbas dapat diakses dalam Andrew Rippin, Ibn Abba>s al-Lugha>t fi> Al-Qur’a>n , BSOAS, idem, Ibn Abba>s Ghari>b Al-Qur’a>n , dalam Rippin, the Qur’ân: Formative Interpretation. Nabia Abott, “The Early development of Tafsir” dalam Studies in Arabic Literary Papyri II: Qur’anic Commentary and Tradition, (Chicago: University of Chicago Oriental Institute Publications, 1967), 78. 46 Gelar Abu> al-Tafsi>r yang disematkan kepada Ibnu Abbas sangat erat kaitannya dengan keistemwaan beliau, antara lain karena beliau pernah didoakan oleh Rasulullah tumbuh dan berkembang besar di rumah Rasulullah serta ,أللهم علمه الكتاب واحلكمة dengan bunyi berada dalam pusaran tokoh-tokoh sahabat pasca wafatnya Rasulullah serta ia sangat 34 penafsiran Al-Qur’an sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.47 Dalam analisa tafsirnya, ia seringkali mengunakan analisis bahasa agar kepentingan teologis tercapat dalam upaya memahami kandungan Al-Qur’an. Demikian pula dengan generasi setelahnya juga banyak melahirkan tafsir-tafsirnya yang pendekatanya tidak bisa dijauhkan sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Abba>s. Muja>hid Ibnu Jabba>r (w. 104 H/722 M)48 dan genarasi setelah misalnya, Hasan al- Basri> (w. 110/728 M),49 Qata>dah (w 128 H/745 M), al-Suddi al-Kabi>r (w. 128), Ata>’ Ibn Abi> Rabbah, Maqa>til Ibn Sulaima>n (w. 150 H/767 M), Ibnu Juraij (150 H/767 M), Sufya>n al-S}auri> (w. 161/777), Yahya> Ibn Ziya>d al-Farra>’ (w. 207/822 M) dan Abu> Ubaida al-Mus{anna> (w. 210 H/825 M) juga telah banyak memberikan sumbangsih dan dukungan terhadap lahirnya susastra dalam upanya menafsirkan Al- Qur’an. Pada tahap selanjutnya, pendekatan tersebut juga telah banyak menarik minat para pengkaji Al-Qur’an dengan melanjutkan pengembangan yang telah dilakukan pada masa klasik hingga melahirkan paradigma baru dalam manhaj tafsi>r.50 Akibatnya, pemahaman terhadap pesan-pesan Al-Qur’an dipahami secara lebih komperhensif dengan tetap berpacu pada fungsi awal dari ajaran Al-Qur’an yang trans kultural dan trans historis.51 menguasai bahasa Arab dan seluk beluk yang dikandungnya dan ia juga mempunyai keberanian dalam berijtihad dengan bermodal ilmu yang sangat mumpuni. Salah satu contoh penafsiran dengan pendekatan bahasa yang dilakukan oleh Ibnu Abbas ialah ketika dalam surah al-Maidah: 35. Lebih lengkap lihat Musaidاحلاجة denganالوسيلة menafsirkan lafal Musli>m Abdulla>h Ali> Jafar, As{ar al-Tat}awwu>r al-Fikri> fi> al-Tafsi>r, (Bairu>t: Muassasah al- Risalah, 1984), 383. Must}afa> al-S{a>wi> al-Juwaini}, Mana>hij fi> al-Tafsi>r, (Iskandariyah: Mansya’ah al-Ma’a>rif), 23. Muhammad Husain al-Zaha>bi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Mus{’ab Ibn Umar al-Isla>miyah, 2004), 52. 47 Penafsiran Abdullah Ibn Abbas sering kali menjadi sya’ir-sya’ir sebagai sebagai salah satu sumber penafsiran dan pada perkembangannya inilah muncul cikal bakal madrasah lughah ketika Abdulla>h Ibn Abba>s mengasuh mata pelajaran tafsir di Makkah pada bad pertama hijiriyah yang kemudian diteruskan oleh murid-muridnya. 48 Hasan al-Bas{ri dalam karyanya memberikan cakupan hubungan (munasabah) bahwa Al-Qur’an itu adalah saling menjelaskan antar ayat dengan ayat yang lain sehingga dapat dipahami sebagaimana mestinya. 49 Ibn Juraij termasuk dalam bagian pengkaji Al-Qur’an pada pasa klasik yang mengedepankan prinsip bahwa Al-Qur’an itu tidak bisa dipisahkan antara satu ayat dengan ayat yang lain. Karya dan biografi Ibn Juraij dapat diakses melalui, Ibn Khalkan, Wafaya>t al- Aya>n, jilid III, 286. Al-Z}aha>bi, Tazkirah al-Huffa>z{, Juz I, (Tp: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah: 2019), 170. 50 Bagi para peminat kajian Al-Qur’an di abad modern baik dari kalangan sarjana muslim dan orientalis, teori susastera tersebut telah dikembangkan dalam interpretasi dan terminologi baru dan menggunakannya sebagai pisau analisis terhadap Al-Qur’an, seperti teori hermeneutik, fenomenologi, strukturalisme dan semiotik, teori resepsi, psikoanalisi dan postrukturalisme. Pendekatan tersebut dilakukan oleh Muhammad Arkoun, Nasr Ha>mid Abu> Zaid, dan John Wansbrough. 51 Waryono Abdul Ghafur, “Al-Qur’an dan Tafsirnya dalam Prespektif Arkoun” dalam buku Studi Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), 167. 35

    Dalam konteks penafsiran Al-Qur’an, para mufassir sering kali terjatuh - atau bahkan disengaja- dalam metodologi kecenderung untuk menafsirkan Al- Qur’an dengan keahlian disiplin ilmu masing-masing. Dilihat dari aspek metodologi maka penasira Al-Qur’an terbagi kepada empa, yaitu metode tahli>li>, ijma>li>, muqa>rin (perbandingan), dan maud{u>’i > (tematik). Sedangkan ditinjau dari aspek pendekatan atau model (corak) dibagi menjadi enam, yaitu corak lughawi> (bahasa), fiqhi> (fiqih), corak ilmi> (ilmiah), corak falsafi> (filsafat), corak sufi>, adab ijtima>’i>, dan corak haraki> (pergerakan). Namun, bila Mengacu pada penelitian al-Syarqa>wi>, maka pada akhir abad ke-20 sebagai abad modern, perkembangan diskursus dan wacana tafsir telah diwarnai oleh tiga model penafsiran, yaitu: a. Penafsiran bercorak sastra (laun ada>bi>), b. Penafsiran bercorak sosial (laun ijtima>’i>), c. Penafsiran becorak saintifik (laun ‘Ilmi>). Gaya dan model pertama telah digagas oleh Ami>n al-Khu>lli>, sementara yang kedua dipromotori oleh Muhammad Abduh dalam karyanya Tafsi>r al-Mana>r, sedangkan model yang ketiga dipelopori dan dikembangkan oleh Tantawi Jawhari dalam magnum opusnya al-Jawa>hir fi> Tafsi>r Al-Qura>n, yang berisi dengan penemuan-penemuan ilmiah terkait alam jagat raya dan sebagainya dan sebuah kitab tafsir klasik bernama Tafsi>r al-Kabi>r atau Mafa>tih{ al-Ghaib yang ditulis oleh Fakhruddi>n al-Ra>zi> .52 Berbeda dengan Musta{fa> al-S}a>wi> al-Juwaini> dalam bukunya Mana>hij Tafsi>r memaparkan bahwa ia lebih cenderung memilih untuk membedakan sebuah metode tafsir dengan bidang pendekatan yang ditekuni, seperti: al-Ja>hiz (w. 255 H/869 M) sebagai seorang tokoh Mu’tazilah merepresentasikan pendekatan logika rasionalitas, Farra>’ dan al-Zajja>j yang merepresentasikan semantic dan kebahasaan, dan Ibnu Jari>r al-T{abari> yang merepresentasikan tradisi bil riwa>yah (riwayat) secara berkesinambungan hingga sampai kepada Rasulullah Saw.53 Demikian pula Mahmud Basuni, yang mengatakan bahwa sebuah metode itu dilihat dari sudut mazhab yang dianut, seperti Sunni, Sufi, dan Syi’ah.54 Di dunia akademis, Ignas Goldziher sebagai salah seorang yang kerap kali mengkaji Islam yang secara spesifik kajian Al-Qur’an dalam karyanya Maza>hib al- Tafsi>r al-Isla>mi> telah menggagas sebuah analisis yang sangat populer dengan berbagai kecenderungan dalam studi Al-Qur’an secara sistematis yang sangat argumentatif.55 Ignas memaparkan bahwa semenjak masa klasik hingga abad

    52 Al-Syarqa>wi>, Ittija>ha>t al-Tafsi>r fi> Mis{r fi> ‘Asr al-Hadi>s{, (Kairo: Maktabah al- Kaila>ni>, 1963), 88. Al-Z}ahabi>, Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, 210. Ali> al-Iyazi>, Mufassiru>n Haya>tuhum wa Mana>hijuhum, 62. 53 Untuk mellihat dan mengatahuinya secara lebih detail dapat dilihat dalam Must{afa> al-S{a>wi> al-Juwaini>, Mana>hij fi> al-Tafsi>r, (Iskandariyah: Mansya’ah al-Ma’a>rif), 45, 107 dan 301. 54 Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, (al-Tafsi>r wa Mana>hijuh), terj. Mochtar Zoerni dan Abdul Qadir Hamid, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1987), 93, 135 dan 244. 55 Ignaz Goldziher, Maza>hib al-Tafsi>r al-Isla>mi>, 6-11. Klasifikasi yang disebutkan oleh Goldziher mandapatkan kritik dari Jansen dengan asumsi bahwa klasifikasi tersebut tidak sepenuh benar dan mengandung sisi kelemahan. Hal tersebut dapat dilihat ketika ia 36 modern setidaknya ada lima kecenderungan dalam kajian studi Al-Qur’an oleh masing-masing mufassir dalam upaya menafsirkan Al-Qur’an. Di antaranya ada yang kecenderungan para mufassir dalam konteks studi Al-Qur’an secara dogmatis, studi Al-Qur’an tradisonal, studi Al-Qur’an sektarian, studi Al-Qur’an mistik, dan studi Al-Qur’an modern. Studi dan kecenderungan Al-Qur’an modern menurut Ignaz Goldziher sangat berkaitan dengan gerakan pemikiran yang berkembang di Mesir dengan gagasan pembahruan Islam oleh Muhammad Abduh dan di India dengan tokohnya Ahmad Khan yang membawa gagasan pembahruan kebudayaan.56 Berbeda dengan Jansen yang cenderung mengkritik Ignas Goldziher, ia berpendapat bahwa secara metodologis kecenderungan dalam studi tafsir Al-Qur’an hanya berorientasi pada tiga hal (model), yaitu: tafsi>r ‘ilmi bahwa Al-Qur’an tidaklah mungkin bertentangan dengan sains modern, karena Al-Qur’an pada dasarnya bersifat mendahului ilmu pengatahuan dan kejadian yang ada alam jagat raya ini.57 Sementara tafsir sastra (ada>bi) mengandung sebuah esensi bahwa Al- Qur’an dipandang sebagai sebuah bacaan yang agung yang dapat menggoncang setiap jiwa dengan cara mengembalikan Al-Qur’an pada nilai dan esensi yang dikandungnya sebagai media penenang bagi siapa saja yang membaca dan mendengarnya,58 dan tafsir realita (wa>qi’) dipahami sebagai sebuah pendekatan penafsiran Al-Qur’an yang menjadikannya sebagai sebuah media untuk menjawab segala persoalan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan manusia.59 Terlepas dari berdebatan kedua pakar tersebut, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa dua model studi Al-Qur’an yang diperopori oleh Muhammad Abduh di Mesir dan Ahmad Khan di India agaknya harus menjadi perhatian lebih spesifik, terlebih gagasan yang dibawa oleh Abduh yang telah melahirkan banyak gagasan baru yang lain.60 Abduh memberikan argumen baru bahwa fungsi Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam dan menjadi solusi bagi setiap persoalan dalam kehidupan tentu mengandung nilai-nilai yang sangat sesuai dengan naluri manusia

    mengkatagorikan Tafsi>r al-Kasysya>f yang ditulis oleh sekaliber Zamakhsyari> sebagai hasil karya dalam katagori dogmatis disebabkan karena ia beraliran Mu’tazilah. Sementara itu karya yang menfokuskan bahasannya pada kecendurungan penafsiran hingga masa Muhammad ‘Abduh ini mengabaikan sejumlah karya tafsir yang dikaji secara luas di dunia Islam, seperti Ibn Kas{i>r, al-Alu>si>, al-Nasafi>, Abu Su’ud atau Abu> Hayya>n. Demikian juga karya sepopuler al-Jalalain hanya disentuh secara singkat hanya dalam catatan kaki. Lihat, J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran, 6 56 Ignaz Goldziher, Maza>hib al-Tafsi>r al-Isla>mi>, 392. 57 Goldziher, Maz}a>hib al-Tafsi>r al-Isla>mi>, hal. 376. Lihat Jansen, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim, (Yogyakarta: Tiara Wacanam 1997), hal. 55. Ami>n al- Khu>lli>, Metode Tafsir Kesusasteraan atas Al-Qur’an, Terj. Ruslani, (Yogyakarta: Ibna Media, 2005 ), 28. 58 Jansen, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim, (Yogyakarta: Tiara Wacanam 1997), 108. 59 Jansen, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, 124. 60 Studi Al-Qur’an modern memberi pemahaman bahwa hal tersebut adalah berupa usaha menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab yang bisa disesuaikan oleh zaman muali sejak zaman Nabi Muhammad hingga sekarang. Sehingga apa yang disajiak oleh Al-Qur’an menjadi rahmatan lil ‘alamin. Lihat Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation, 392. 37 sampai kapan pun dan dalam situasi apa pun karena Al-Qur’an memiliki sifat dan ketetuannya di dalamnya pun sangat begitu universal dan cocok di mana saja dan kapan pun.61 Berbeda dengan Ahmad Badawi yang mengatakan bahwa Al-Qur’an sangat begitu menganulir pendekatan sastra dalam penafsirannya untuk menyingkap makna yang belum diketahui secara disiplin ilmu lain atau pendekatan lain. Di mana pendekatan ini mampu membuat daya tarik manusia, rohani dan jiwanya terbawa dalam lamunan dan kesenanangan dan jauh dari efek kepedihan karena ia mampu menarik dan membawa manusia dalam dunia perasaan. Tidak sampai disitu saja, bahwa Al-Qur’an memiliki akurasi balaghah yang begitu tinggi sehingga mampu memberikan sentuhan dan rangsangan batin di alam pikiran manusia maupun untuk beriman kepada Allah dan beramal saleh kepada Allah Swt.62 Sekalipun Al-Qur’an menganulir dirinya terhadap pendekatan sastra, namun Al-Qur’an tidaklah dapat disetarakan dengan karya sastra apapun, sebab ia mengandung nilai yang begitu tinggi yang tidak dapat ditandingi. Hal itu dapat dilihat dari ritme dan bait ayat-ayat Al-Qur’an dengan gaya bahasa yang berubah- ubah dan tidak sistematis. Maka oleh sebab itu mengundang perhatian begitu besar bagi para ilmuwan dan mendorong mereka untuk meneliti dan mempelajarinya secara lebih mendalam. Bahkan seorang orientalis bernama Stefan Wild pernah mengeluarkan sebuah statemen dalam pengantar buku The Qur’an as Text (Qur’an sebagai teks) bahwa salah satu model dan cara baru untuk mengungkapkan keunikan Al-Qur’an adalah dengan menggunakan pendekatan sastra. Hal tersebut tentu karena Al-Qur’an sebagai kitab suci yang begitu agung,63 oleh sementara orang mengatakan bahwa bahasa Al-Qur’an tidaklah sepenuhnya bisa disebut sebagai puisi (sya’ir) dan tidak pula bisa disebut sebagai prosa (nas{ar). Lebih jauh Nur Khalis berasumsi bahwa pendekatan sastra terhadap Al- Qur’an menjadi salah satu pendekatan yang paling urgen dan penting dalam memahami isi kandungan Al-Qur’an. Ia beralasan bahwa Rasulullah semenjak dahulu kala telah mengarahkan dan merintis pondasinya manakaa setiap kali hendak beliau memahami Al-Qur’an.64 Lebih jauh Toshihiko Izutsu dalam bukunya Ethico Religious Concept in the Qur’an berkomentar terkait Al-Qur’an sebagai sebuah teks yang harus dianalisis dengan pendekan sastra karena mengandung banyak sekali berlian-belian yang harus dikeluarkan. Sehingga melalui analisis tersebut maka akan membuka pandangan terhadap Al-Qur’an dengan bertumpu pada aspek sususan kata baik secara indudual kata maupun dalam kalimat yang terstruktur.65 Begitu pula As-

    61 Ignaz Goldziher, Maza>hib al-Tafsi>r al-Isla>mi>, 352. 62 Ahmad Badawi, Min Balag>ha>t Al-Qur’a>n , 37. 63 Ami>n al-Khulli> adalah orang pertama yang menggunakan terminologi Al-Qur’an sebagai kitab bahasa Arab paling agung atau disebut dengan Kita>b al-‘Arabiyyah al-Akbar. Ia pula berpendapat bahwa Al-Qur’an tidaklah dapat dipisahkan dari aspek sosiologis masa diturunkannya Al-Qur’an di tengah bangsa Arab. Lihat Ami>n al-Khu>lli>, Mana>hij Tajdi>d, 229-230. 64 M. Nurkhalis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, cet. I, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2007), 3. 65 Baca lebih rinci dalam Toshihiko, Ethico Relegious Concept in the Qur’an, (Montreal: Mc Gill University Press, 1996). 38

    Suyu>ti> dalam al-Itqa>n fi Ulu>m Al-Qur’a>n pula menukil sebuah prinsip yang disodorkan oleh Ibnu Abbas sebagai sebuah pegangangan dalam memahami sebuah realitas teks yang beraroma puisi, bahwa “apabila engkau mengalami kesusahan dengan Al-Qur’an maka rujuklah kepada puisi karena puisi adalah esensi Arab”.66 Pada sub judul di atas telah penulis singgung terkait pendekatan sastra terhadap Al-Qur’an. Di mana gagasan pendekatan sastra terhadap Al-Qur’an tersebut telah dipopulerkan kembali oleh An al-Khu>lli> dengan maksud dan tujuan dalam rangka memberikan sebuah warna baru dalam memahami teks wahyu Ilahi. Gagasan pendekatan sastra al-Khu>lli> tersebut memberikan warna terhadap Al- Qur’an agar ia berbicara sesuai yang diinginkannya, artinya jauh dari intervensi- intervensi eksternal dan segala kepentingan kelompok baik dari segi ideologis dan lain sebagainya. Sebab Al-Qur’an berperan sebagai kitab petunjuk yang tidak boleh dijadikan sebagai kitab untuk membela kepentingan pribadi baik itu kepentingan kelompok yang berlatar belakang ideologis, politis dan berbagai macam lain.67 Pendekatan sastra oleh al-Khu>lli> dijadikan sebagai alat analisis terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan alasan bahwa ia adalah mukjizat yang mengandung nilai sastra terbesar sepanjang abad.68 Dalam menguatkan argumentasinya, al-Khu>lli> memberikan sebuah contoh ayat dalam Al-Qur’an yang menurutnya bisa untuk ditafsirkan dengan menggunakan pendekatan sastra, yaitu QS. Al-Baqarah: 143 dengan memberi perhatian secara khusus kepada kata wasat}a dalam ayat tersebut sebagai berikut:

        .         

           .         

    .                  

    

    Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” Menurut al-Khu>lli> kata wasat}a dalam ayat tersebut memberikan makna sebagai “keseimbangan”, “keharmonisan” dan “equilibrium” dalam kehidupan

    66 Jala>l al-Di>n al-Suyu>t{i>, al-Itqa>n fi> Ulu>m Al-Qur’a>n, Juz I, 119. 67 Ibntu al-Sya>t{i>’\, Maqa>l fi> al-Insa>n, (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1972), 45-48. 68 Himan Latief, Nas}r Ha>mid Abu> Zaid Kritik Teks Keagamaan, (Yogyakarta: elSAQ Press, 2003), 1. 39 sosial, kultural masyarakat muslim. Lebih jauh implikasi dari equilibrium adalah penegakan dan pengakuan dalam konteks hak-hak individu dan pernyataan akan tanggung jawab kolektif dalam masyarakat muslim.69 Bahkan jika ingin dibawa dalam ranah umum, konteks wasat}a juga berlaku bagi segenap manusia yang tidak harus beragama Islam, tetapi mereka juga mesti diperlakukan secara berkeadilan dengan mengedepankan konteks kemanusiaan. Begitu pula dengan At}i>’ sebagai pewaris gagasan keilmuwan yang dibawa oleh al-Khu>lli> yang menjadi pendekatan sastra dalam upaya memahami Al-Qur’an secara lebih baik tanpa ada kepentingan kelompok. Salah satu contoh penafsirannya adalah ketika Bintu Sya>t{i>’ mengoleksi ayat-ayat yang berbicara tentang manusia, sekaligus menemukan munasabahnya antara satu dengan yang lainnya, lalu menyusun urut-urutan kronologisnya. Di dalam Al-Qur’an ketika berbicara tentang manusia ternyata sangat beragam, kadang menggunakan na>s, an- nas> , insan,> al-insan> dan basyar serta al-basyar. Di mata Bintu Sya>t{i{’ kata-kata tersebut mempunyai implikasi yang berbeda dengan yang lain. Dengan analisis adabi, Bintu Sya>t{i>’ berkesimpulan ungkapan Al-Qur’an al-nas> dan al-basyar memiliki arti manusia dalam pengertian jasad biologis, sedangkan ketika Al-Qur’an menggunakan kata al-insa>n, maka yang dimaksud adalah manusia sebagai makhluk sosial dan budaya yang harus berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya demi terwujudnya sebuah tujuan keduniaan.70 Penulis sangat sependapat dengan argumentasi yang dibawa oleh al-Khu>lli> dan Bintu Sya>t{i>. Keduanya memiliki tujuan untuk membawa ranah pemahaman dan interpretasi Al-Qur’an sebagaimana adanya dengan pendekatan bahasa di mana Al- Qur’an itu sendiri diturunkan. Tetapi yang harus digarisbawahi bahwa sekali pun Al- Qur’an harus diberikan haknya dengan segala interpretasinya, perlu pula oleh para peminat dalam kajian ini yang barangkali ingin memberikan sebuah interpretasi baru Al-Qur’an dengan pendekatan sastra, hendaknya menguasai segala aspek keilmuwan dan kaedah-kaedah yang dibutuhkan, agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami makna Al-Qur’an. Karena akan ditakutkan terjadi kebebasan penafsiran (free interpretation) oleh siapa saja yang mereka menganggap dirinya memahami sastra secara bebas dengan mengabaikan aspek kaedah-kaedah yang harus dipenuhi oleh mufassir dalam konteks intelektulal.71 Sedangkan dalam konteks mental atau

    69 A>mi>n al-Khul>li>, Min Huda > Al-Qur’a>n al-Qad}a>t al-Rasu>l, (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1959), 59. 70 Bintu Sya>t}i>’, Maqa>l fi> al-Insa>n, (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1972), 45-48. Lihat juga, Istianah, “Stilistika Al-Qur’an: Pendekatan Sastra Sebagai Analisis Dalam Menginterpretasikan Al-Qur’an”, dalam Jurnal Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014, 386. 71 Disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir sebelum menafsirkan Al- Qur’an menurut Manna> Khali>l al-Qat}t}a>n adalah sebagai berikut: 1. Menguasai bahasa Arab dengan segala cabangnya, 2. Ilmu Qira’ah, 3. Ilmu Tauhid, 4. Ilmu Ushul, terutama Us}u>l al- Tafsi>r, 5. Ilmu Na>sikh Mansu>kh, dan 6. Ilmu Asba>b al-Nuzu>l. Lihat Manna> Khali>l al- Qat}t}a>n, Maba>his\ fi> Ulu>m Al-Qur’a>n, terj. (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2000), 462-466. Lihat 40 relijiulitas maka para mufassir harus memenuhi juga kriteria-kriteria agar penafsiran Al-Qur’an tidak serta merta dibelokkan berdasarkan kemauan mereka.72

    C. Sajak Al-Qur’an: Dimensi Puitis dalam Al-Qur’an 1. Fenomena Sajak Al-Qur’an Fenomena persajakan dalam Al-Qur’an adalah sebuah hal yang tidak dapat dipungkiri dan dipisahkan dalam kajian Al-Qur’an. Kajian Al-Qur’an tentang persajakan secara otomatis akan berbicara terkait dengan sosiolinguistik73 dalam konteks masyarakat Arab dengan segala karakteristik budaya dan sosial pada masa itu juga sekaligus sebagai tempat diturunkannya Al-Qur’an. Karena itu, Bahasa merupakan alat transmisi komunikasi dari individu ke individu lainnya. Komunikasi manusia bersifat horizontal. Sedangkan komunikasi linguistik Al-Qur’an bersifat vertikal, karena melibatkan dua personal yang berbeda secara tingkatan. Dimensi ini merupakan keunikan proses transmisi komunikasi Al-Qur’an. Namun, pada saat yang sama seorang penutur menggunakan bahasa untuk membuat pernyataan yang bisa menarik hati para pendengarnya. Untuk membentuk itu, dibutuhkan variasi bahasa ungkapan yang tepat. Pemilihan style74 akan memberikan penutur makna ungkapan alternatif untuk mengkomunikasikan informasi yang sama, namun acapkali menyampaikan informasi ungkapan tambahan. Ibnu Manz}u>r dalam Lisa>n Arab memberikan terminologi sajak sebagai sebuah kalimat atau kata yang mengandung pengulangan dengan menimbulkan bunyi akhir yang sama.75 Dimensi sajak menekankan pada aspek keseimbangan juga, Imam Masrur, “Telaah Kritis Syarat Mufassir Abad ke-21” dalam Jurnal Qaf, Vol. 2, No. 2, Juli 2018, 191-195. 72 Manna>’ Khali>l al-Qat}t}a>n dalam Maba>his\ fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n menjelaskan syarat mental bagi seorang mufassir adalah sebagai berikut: 1. Aqidah yang benar, 2. Bersih dari hawa nafsu, 3. Pemahaman yang cermat, 4. Niat yang baik dan bertujuan benar, 5. Berakhlaq baik, 6. Taat dan beramal, 7. Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan, 8. Tawa>d}u’ dan lemah lembut, 9. Berjiwa mulia, 10. Vokal dalam menyampaikan kebenaran, 11. Berpenampilan yang baik yang menjadikan mufassir yang berwibawa dan terhormat dalam semua penampilannya secara umum, 12. Bersikap tenang dan mantap, 13. Mendahulukan orang yang lebih utama darinya. Lihat Manna> Khali>l al-Qat}t}a>n, Maba>his\ fi> Ulu>m Al-Qur’a>n, terj. (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2000), 462-466. Lihat juga, Imam Masrur, “Telaah Kritis Syarat Mufassir Abad ke-21” dalam Jurnal Qaf, Vol. 2, No. 2, Juli 2018, 191-195. 73 Ilmu sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari fenomena bahasa sebagai perangkat komunikasi sosial. Biasanya fokus kajian sosiolinguistik terpusat pada fenomena dialek sebuah bangsa, variasi ungkapan dan style bahasa. bahasa sangat erat kaitannya dengan sosial, karena bahasa merupakan kode komunikasi yang digunakan oleh sebuah komunitas tertentu. Lihat Ronald Wardhaugh, An Introduction to Sociolinguistic, (Oxford: Blackwell Publishing Ltd, 2006), 1. 74 Style menurut kajian sosiolinguistik adalah cara berbahasa, artinya bagaimana seorang pembicara menggunakan sumber variasi bahasa untuk membuat pemaknaan dalam kerangka sosial. Lihat Nicolas Coupland, Style: Language Variation and Identity, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), x. 19. 75 dengan kandungan artiسجع – يسجع – سجعا Dalam bahasa Arab disebut dengan konsisten atau bermakna sama, sajak pula memiliki arti ungkapan yang mempunyai potongan, seperti susunan bait dalam syair, namun bedanya sajak tidak memiliki wazan. 41 bunyi dan harmonisasi antara bunyi dan lafaz. Sajak pula berkonotasi pada nilai bahasa yang begitu tinggi yang mengandung nilai elegan dan dering dengan ungkapan-ungkapan yang berintonasi indah yang mengakibatkan manusia menjadi asyik dan nyaman mendengar serta membacanya. Lebih jelas Philiph K. Hitti menambahkan bahwa dalam masyarakat Arab pra-Islam, sajak menjadi sebuah ungkapan yang mula-mula berkembang yang hal itu menjadi keseharian mereka dalam gubahan-gubahan sya’ir yang indah. Bahkan jika dilihat lebih spesifik, orang- orang Arab pada masa tersebut kerapa kali menjadikan ungkapan sajak dari para dukun sebagai media untuk mengabarkan terkait berita ghaib yang dapat mereka lihat dalam persugihan mereka.76 Sajak77 adalah kesesuaian huruf/bunyi akhir pada tiap potongan kalimat.78 Tidak seperti syair, untuk membentuk sajak cukup dibutuhkan minimal dua potongan kalimat.79 Merujuk pada defenisi di atas, bisa disimpulkan bahwa fenomena seperti yang digambarkan oleh defenisi di atas dapat kita temui keberadaannya di dalam Al-Qur’an, atau bahkan banyak ditemui. Namun, dalam penggunaan kata sajak untuk karakteristik tersebut dalam Al-Qur’an masih

    Mahmu>d Kama>l, Nahwa Naz{ariyah Uslu>biyah, (Beiru>t: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, tt.h) 178. Menurut ahli Balaghah bahwa sajak memiliki arti huruf pada dua potongan kalimat terakhir memiliki kesesuaian seperti prosa. Muhammad Ibrahi>m Pasha, Lughah wa Uslu>b, (Kairo: Da>r al-Ma’a>sir, 1989), 154. Lebih konkret dijelaskan, bahwa ia mengandung arti sebuah kalimat dalam bentuk prosa yang mengandung kesamaan pada dua kalimat akhir huruf atau bunyi akhir. Abduh Abdul Azi>z Qalqaylah, al-Bala>ghah al-Is{t{ila>h}iyah, (Kairo: Dar Fikr al- 'Arabi>, 1992), 357. Bandingkan dengan Phillip K. Hitti, History of the Arabs, Terj. Cecep Lukman dan Dedi Slamet, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), 110. 76 Seorang ka>hin atau dukun dan para normal pada masa Arab pra-Islam dianggap mumpuni jika mampu meramal masa depan dengan menggunakan pendekatan prosa. Di antara prosa atau sajak yang berkembang pada masa tersebut adalah seperti saj’u al-kuhha>n (sajak para tukang dukun) yang bersifat elitis atau unik, karena tidak semua orang mampu menjadi seperti para ka>hin tersebut. Bahkan disebutkan, bahwa keahlian seprti ini hanya dimiliki oleh beberapa orang saja yang sangat terbatas dalam masing-masing suku. Selain laki-laki seperti Ibn Tawa’un al-Hamiri, Urwah Ibn Hazzam dan Sawd Ibn Qarib ad-Dusy, para kahin juga terdapat dari kalangan perempuan, seperti Tarifah yang berasal dari Yaman, Fatimah al-Khath’amiyah, Ufayra’ Zarqa’ dan Salma. Shauqi D}ayf, Ta>ri>kh al-Adab al- Arabi: al-‘As}r al-Ja>hili,> 420. Lihat juga Jurji Zaida>n, Ta>ri>kh al-Tamaddun al-Isla>mi>, (Beiru>t: Mans}u>ra>t Da>r Maktabah al-Haya>h, 1967), 18 – 21. 77 Posisi sajak dalam displin ilmu, terdapat dalam kajian sastra Arab, khusunya disiplin ilmu Balaghah, yaitu pada pembahasan ilmu badi' yang menjadi cabang dari balaghah. Sajak merupakan salah satu metode dalam menghasilkan ungkapan indah. Lebih lanjut lihat, ‘Ali> Ja>rim dan Mus}t}afa Muslim, al-Bala>ghah al-Wa>d}ihah, (Kairo: Da>r Ma'a>rif, 2001), 78. 78 Sayyid Ah}mad Hashimi, Jawa>hir al-Bala>ghah fi> al-Baya>n wa al-Ma>'ani wa al- Badi>’, (Baerut: Maktabah ‘As}riyah, 1990), 330. 79 Hal ini dapat disimpulkan dari defenisi yang diberikan Ah}mad H}asyi>mi, kesesuaian dua potong kalimat pada huruf akhir). Dari) توافق الفاصلتین في حرف األخیر:yaitu defenisi ini dapat disimpulkan bahwa jumlah kalimat minimal pembentuk sajak adalah dua potongan kalimat. Bandingkan dengan, ‘Abduh ‘Abdul Azi>z Qalqaylah, al-Bala>ghah al- Ishtila>hiyah, (Kairo: Da>r Fikr al-‘Arabi>, 1992), 357. 42 diperdebatkan, meskipun secara esensial sudah jelas keberadaannya. Bagi sebagian aliran pemikiran dalam Islam, membenarkan keberadaan sajak dalam Al-Qur’an tidak dibolehkan karena akan menyamakan karya manusia dengan Al-Qur’an. Hal itu dimotivasi oleh peranan sajak pada masa pra-Islam dan dikaji secara historis banyak digunakan oleh para dukun (al-Kuhha>n).80 Menurut Zamakhsya>ri>, walaupun sebagian Al-Qur’an dibentuk memenuhi karakteristik sajak, namun, persajakan Al-Qur’an tidak mengurangi dimensi I’ja>z yang terkandung dalam Al-Qur’an. Hal itu dikarenakan persajakan Al-Qur’an tidak semata-mata bertujuan untuk memenuhi kriteria persajakan tetapi juga dibarengi dengan kepadatan makna yang terkandung di dalamnya.81 Hal ini juga dikemukakan oleh al-Rumma>ni>, tetapi al-Rumma>ni> tidak menggunakan istilah sajak Al-Qur’an, tetapi menggunakan istilah Fawa>s{i>l (plu. Fa>s{ilah). Lebih detail lagi, Abd al-Qa>hir memberi dimensi I'ja>z sajak Al-Qur’an pada pertukaran posisi-posisi komponen linguistik. Seperti; Taqdi>m wa Ta'khi>r, Hazf (penghapusan kata) dan lain-lain. Pertukaran-pertukaran posisi ini menurut ‘Abd al-Qa>hir memberikan pemaknaan yang jauh lebih kompleks dibanding susunan kalimat yang seharusnya.82 Sajak termasuk kemurnian fitur balaghah yang istimewa, sajak digunakan dalam banyak bahasa di dunia. Murni, mantap, digunakan dalam bentuk ungkapan perumpamaan (simile), dalam pribahasa, hingga dalam pidato. Karena dalam sajak terdapat aspek keindahan musik. Maka, peran sajak dalam mempengaruhi pikiran dan hati tidak terbantahkan. Aspek ini pula yang dipergunakan Al-Qur’an dalam metode dakwahnya. Melihat fenomena karakteristik Al-Qur’an tidak menghalangi eksistensi sajak dalam Al-Qur’an. Bahkan, yang harus dipahami adalah sajak merupakan salah satu bentuk ungkapan yang indah83 yang digunakan Al-Qur’an untuk menyampaikan pesan dakwahnya. Sebagaiungkapan indah (al-Ta’bi>r al- Fanni>) keberadaan sajak tentu sangat signifikan terhadap suksesnya perjuangan dakwah nabi Muhammad di periode awal Mekah. Banyak para tokoh Islam sentral yang bermula dari ketertarikan terhadap Al-Qur’an. Sebut saja seperti Umar bin al- Khat}t}a>b. Para historian sepakat bahwa dengan masuk Islamnya Umar adalah salah satu faktor penenu kesuksesan perjalanan dakwah Islam di Mekkah.84 Fenomena linguistik persajakan Al-Qur’an ini selayaknya diteliti dan dianalisa dengan tepat dan cermat. Alat analisa persajakan Al-Qur’an yang cocok dalam proses analisa persajakan Al-Qur’an adalah ilmu stilistik-linguistik. Salah satu cabang linguistik adalah stilistika.85 Posisi sajak dalam ranah disiplin linguistik adalah dalam kajian stilistika linguistik ini, yang membahas tentang gaya-gaya

    80 Lebih lanjut lihat, Kama>luddi>n ‘Abdul Gha>ni Mursi>, Fawa>s}il al-Aya>t al- Qur'a>niyah, (Alexandria: Maktab al-Ja>mi'I al-Hadi>s\, 1999), 14. 81 Zamakhsha>ri>, Asra>r al-Bala>ghah, (Baerut: Dar al-Ma'rifat, 1982), 56 82 ‘Abd al-Qa>hir al-Jurja>ni, Dalail al-I'jaz, (Kairo: Da>r al-Khanji>, 2004), 455. 83 Kama>luddi>n 'Abd al-Gha>ni Mursi, Fawa>s}il al-Aya>t Al-Qur’a>niyah, 17. 84 Ibn Hisya>m, Si>rah Nabawiyah, (Kairo: Dar al-Hadi>s\ Isla>miyah, 2003), 123 85 Stilistika adalah kajian tentang teks yang diucapkan atau yang ditulis. Maksudnya adalah mengkaji style yang secara konsisten terjadi dalam sebuah teks meliputi struktur dan tipe yang diungkapkan melalui bahasa, Lihat, Richard Bradford, Stylistics, (London dan New York: Routledge, 1997), 56. 43 bahasa. Stilistika merupakan mediasi antara dua disiplin, linguistik dan kritik sastra.86 Hubungan antara linguistik dan kritik sastra ini digambarkan oleh Widdowson. Diagram tersebut menyimpulkan: Pertama, hubungan antara linguistik dan stilistika adalah bahwa stilistika membutuhkan linguistik dalam menganalisa komponen bahasa. Abdul Mutallib membuat gambaran unik tentang relasi antara linguistik dan stilistika, Abdul Mutallib mengatakan bahwa linguistik mempelajari apa yang diucapkan, dan stilistika mempelajari bagaimana ucapan itu dihasilkan.87 Kedua, ilmu stilistika dalam membangun analisisnya masih membutuhkan empat disiplin lainnya, yaitu: linguistik, bahasa, kritik sastra dan ilmu sastra. Jadi, dapat dikatakan bahwa stilistika adalah disiplin ilmu yang tidak bisa berdiri sendiri. Namun, ini bukan berarti Stilistika tidak berguna bagi linguistik dan kritik sastra. Ilmu stilistika juga mempunyai peranan penting untuk memfasilitasi ketajaman analisa bahasa serta membuat apresiasi yang lebih komprehensif dalam sebuah karya sastra dalam analisis kritik sastra. Karena posisi stilistika dengan disiplin ilmu lain bersifat mediasi antara dua disiplin. Maka, analisa stilistika dapat digabungkan dengan dua disiplin lainnya; linguistik-stilistik atau stilistika sastra. Karena, Style bahasa dengan Style sastra memiliki perbedaan.88 Persajakan Al-Qur’an mengandung dimensi estetika sosial. Karena persajakan Al-Qur’an merupakan kasus yang tepat untuk menggambarkan variasi ungkapan dan style Al-Qur’an. Style bahasa merupakan identitas sebuah komunitas. Jika dihubungkan dengan fenomena sajak Al-Qur’an bisa disimpulkan bahwa secara umum ungkapan berirama merupakan identitas masyrakat Arab pada abad ke-6 M. Dimensi-dimensi sosial Al-Qur’an tersebut dapat dilihat dari berbagai faktor baik faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Dimensi sosial Al-Qur’an melalui faktor intrinsik dapat dilihat dari pengaruh dan keterpengaruhan bahasa Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai kitab suci terbesar telah menyedot perhatian banyak orang.89 Al-Qur’an merupakan gambaran unsur nilai, sistem sosial dan peralatan budaya Arab selama dua puluh tiga tahun. Secara teologis (dalam pandangan umat islam) Al-Qur’an merupakan teks yang diwahyukan Allah SWT kepada nabi Muhammad sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia.90 Kitab suci ini diturunkan untuk menjawab

    86 Jeremy Hawthorne, A Glossary of Contemporary Literary Theory, (New York: Routledge 1994), 284. 87 Muh}ammad Abd al-Mut{allib, al-Bala>ghah wa al-Uslu>biyah, (Beirut: Maktabah Lubna>n Na>shiru>n 1994), 186. 88 Jean Jacques Weber, memberikan distingsi antar kedua hal tersebut. Jacques mengatakan, Style bahasa adalah cara pengungkapan yang sengaja diformulasikan dengan dimensi makna dengan sitem yang terorganisir dengan mengimplikasikan linguistik dan makna ekstra linguistik yang mencakup topik, situasi, fungsi, maksud pengarang, dan konten dari sebuah ungkapan Lihat, Jean Jacques Weber, The Stylistics Reader. From Roman Jakobson to the present, (New York: Oxford University Press, 1996), 57. 89 Bahkan Abu> Zayd menilai Al-Qur’an sebagai motivator lahirnya tonggak peradaban dunia baru, Lihat Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}s}, 10. 90 Al-Qur’an berkali-kali menyebut dirinya sebagai huda> (petunjuk). Misalnya saja, ayat kedua surat al-Baqarah berbunyi: “Kitab (Al-Qur’an) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. 44 persoalan-persoalan nyata yang muncul di tengah kehidupan manusia yang mencakup tiga unsur tadi. Ia adalah kitab bacaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Fakta sejarah yang tidak dapat dibantahkan juga bahwa bahasa Arab menjadi bahasa yang dipilih Al-Qur’an sebagai media komunikasi dengan bangsa Arab sebagai langkah awal dakwah Islam.91 Diktum tersebut dibuktikan sendiri oleh Al-Qur’an dalam ayatnya bahwa ia diturunkan oleh Allah Swt dalam bahasa kaumnya.92 Selain itu, realitas dan kondisi juga menjadi sebuah acuan karakteristik mukjizat seorang Nabi sebagai utusan Allah Swt untuk mengambangkan dakwahnya dalam segala aspek.93 Nabi Isa dianugerahi oleh Allah Swt untuk dapat menyembuhkan orang sakit dimulai dari penyakit supak, kusta, dan bahkan hingga orang mati sekali pun, karena pada masa itu umat memiliki keahlian dalam bidang kesehatan dan kedokteran. Begitu pula Nabi Musa yang dianugerahi mukjizat tongkat yang dibawanya dalam keseharianya berubah menjadi ular ketika dibutuhkan untuk menolak serta menandingi sihir yang bekembang di tengah masyarakatnya ketika itu. Begitu pula dengan Nabi Muhammad yang diberi anugerah Al-Qur’an sebagai mukjizat disebabkan pada masa itu kaum Quraisy sangat piawai dalam merangkai kata dengan menyusun bai-bait syair. Maka Al- Qur’an turun untuk melawan mereka berdasarkan kemampuan yang ada pada diri kaum Quraisy.94 Ragam variasi bahasa yang digunakan Al-Qur’an sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesannya, banyak sekali.95 Pemilihan ragam tersebut juga memiliki efek terhadap makna, misalnya penggunaan kalimat tanpa penyebutan fa>il,

    91 Sebagai sebuah fakta bahasa bahwa Al-Qur’an sebagai kalam Tuhan tertulis dalam bahasa Arab sebagai bahasa induk yang digunakan oleh orang Arab untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Karena bahasa itu sifatnya sosial, maka benar jika ia didefinisikan sebagai sebuah simbol bunyi (ujaran) yang berfungsi sebagai alat untuk membuat sebuah kesepahaman dan kesepakatan antara dua belah pihak. Mahmu>d Fahmi Hija>zi>, ‘Ilm al-Lughah al-‘Arabiyah, (Kairo: Da>r Ghari>b li al-Tiba>’ah wa al-Nas}r al-Tauzi>’, t.t), 10. 92 QS. Yusuf: 2:

           “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” 93 Nas}r Abu> Zayd menuturkan bahwa Al-Qur’an sebagai wahyu sangatlah memiliki hubungan yang sangat erat dengan fenomena dan basis budaya kultural yang terjadi di masyarakat Arab ketika itu. Nas}r Hamid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas{s{, (Beirut: al-Markaz al- S{aqa>fi al-‘Arabi> li al-T{iba’ah wa al-Nas}r wa al-Tauzi>’, 1996), 33-34. 94 Bangsa Arab adalah sebuah bangsa yang memiliki bperadaban dan kecakaan bahasa yang begitu tinggi dan indah, akibatnya mereka selalu mengekspesikan keindahan tersebut dalam bentuk syar’ir dan puisi-puisi Arab. Lihat ‘Abd al-Jabba>r Ibn Ahmad, Sharh al-Usu>l al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Jumhu>riyah, 1996), 572. Lihat juga Philip K. Hitti, History of Arabs, terj. Cecep Lukman dan Dedi Slamet, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), 108. 95 Muh{ammad Umar Bah}azi>q, Uslu>b Al-Qur’a>n, (Baerut: Da>r al-Ma’mu>n li al- Nashara>t, 1971), 32. 45 atau kalimat pasif. Baik dalam unsur fonetik, morfem dan sintaksis. Unsur sintaksis yang dimaksud menyaran pada pengertian struktur kalimat. Dalam kegiatan komunikasi bahasa, juga jika dilihat dari kepentingan style, kalimat lebih penting dan bermakna dari pada sekedar kata walau kegayaan kalimat dalam banyak hal juga dipengaruhi oleh pilihan kata. Sebuah gagasan, pesan dapat diungkapkan ke dalam berbagai bentuk kalimat yang berbeda-beda struktur dan kosa katanya.96 Dalam kalimat, kata-kata berhubungan dan berurutan secara linear. Keistimewaan bahasa yang dimiliki oleh Al-Qur’an inilah yang diakui oleh M. Pickthall sebagai sebuah bentuk simfoni yang tidak bisa ditiru, suara sejati yang menggerakkan manusia menuju keharuan dan kebahagiaan.97 Atau yang dalam istilah Safa Khulu>si disebut sebagai salah satu bentuk panorama spiritualitas islam.98 Dan hal itulah yang mendorong Ami>n al-Khu>lli> salah seorang sastrawan besar Mesir, untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah sebuah kitab sastra terbesar sepanjang masa. Ia adalah buku seni (sastra) Arab yang suci, Buku Agung berbahasa Arab dan karya sastra yang tinggi.99 Jika Al-Qur’an dipandang sebagai karya sastra, maka sastra Al-Qur’an merupakan cerminan kehidupan masyarakat. Sedangkan faktor ekstrinsik dimensi sosial Al-Qur’an dapat dilihat dari keterpengaruhannya dari komunitas masyrakat Arab sebelum maupun sesudah Al- Qur’an turun. Sebagai kitab suci yang menggunakan tanda bahasa, Al-Qur’an memang menjadi teks yang fenomenal dalam sejarah manusia khususnya sejarang bangsa Arab. Di satu sisi, ia diyakini sebagai kalam Tuhan. Sementara di sisi lain, ia tidak dapat dilepaskan dari situasi kultural-historis zamannya. Artinya, bahwa Al- Qur’an pada kenyataannya juga menggunakan sistem bahasa yang terkait dengan kultur para penuturnya. Namun demikian, tak ada seorang pun yang mampu menandinginya, baik dari segi isi, gramatikal, maupun stailistika. Sudah dimaklumi, bahwa Al-Qur’an pertama kali berinteraksi dengan masyarakat Arab pada masa nabi Muhammad. Keahlian mereka adalah bahasa dan sastra Arab. Di antara mereka telah terbangun tradisi berlomba-lomba untuk mencipta dan menggubah puisi, khutbah dan nasehat. Karya-karya mereka yang dinilai indah akan digantungkan di atas dinding Ka’bah, dan bahkan didendangkan di hadapan publik. Para penyair atau sastrawan mendapat kedudukan istimewa di tengah masyarakat Arab.100 Masyarakat Arab mengklaim bahwa Al-Qur’an bukan merupakan firman Allah, dan pada saat yang sama, mereka memiliki keahlian dalam bidang bahasa,

    96 Sebagaimana Al-Qur’an yang diturunkan dalam kehidupan bangsa Arab, kosa kata yang digunakan Al-Qur’an adalah sama dengan kosa kata yang digunakan bangsa Arab. Akan tetapi pada saat yang sama mereka terpukau dengan gaya bahasa Al-Qur’an yang unik dan arah perkataan yang mempesona. Jadi, poin penting dalam keindahan bahasa adalah style-nya. Lihat Al-Khat}t}a>bi>, Baya>n I‘ja>z Al-Qur’a>n, (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1968), 11. Pernyataan al-Ba>qilla>ni> terdapat pada buku Muh}ammad ‘Abd Lat}i>f, Qad}a>ya> al-Hada>s\ah ‘Inda ‘Abd al-Qa>hir al-Jurja>ni, (Kairo: Da>r al-Kita>b), 38. 97 M. Pickthall, The Meaning of the Glorious Qur'a>n, (Karachi: Taj Press, 1973). 98 Safa> Khulu>s}i “Sastra Arab” dalam Sayyed H}usseyn Nas}r (ed.), Spiritualitas Islam: Manifestasi, (Bandung: Penerbit Mizan, 2003), 411. 99 Ami>n al-Khu>lli>, Mana>hij Tajdi>d, (Mesir: al-Nahd}ah al-Mis}riyah al-'Ab, 1995), 229 – 231. 100 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1998), 111. 46 maka tidak mengherankan jika tantangan pertama yang dilontarkan oleh Al-Qur’an kepada mereka yang ragu, adalah menyusun kalimat semacam Al-Qur’an: minimal dari segi keindahan dan ketelitiannya.101 Dari sini dapat dikatakan, bahwa keunikan dan keistimewaan Al-Qur’an dari aspek bahasa merupakan kemukjizatan yang utama dan pertama yang ditujukan kepada masyarakat Arab. Kemukjizatan yang dihadapkan kepada mereka ketika itu, bukan dari segi isyarat ilmiah, pemberitaan gaib, karena kedua aspek itu berada di luar pengetahuan dan kemampuan mereka. Begitu turunnya Al-Qur’an di tengah bangsa Arab yang ahli dalam bidang prosa dan persajakan, maka Al-Qur’an menerima dan mengakomodir nilai-nilai sastra tersebut sebagai salah satu bentuk perantara untuk tersampaikannya nilai-nilai substansial keagamaan dengan mengungkapkan keindahan budaya yang bersifat verbal. Oleh sebab itu, Al-Qur’an menjadi satu instansi yang tidak dapat dipisahkan dengan budaya-budaya Arab pada masa pra-Islam, meskipun sastra Arab tidaklah dapat disamakan dengan bahasa yang dikandung Al-Qur’an.102 Lebih tegas diutarakan bahwa sajak dan sya’ir Arab sama sekali tidaklah sama dengan Al- Qur’an, sebab Al-Qur’an turun kepada mereka sebagai media untuk mencari kebenaran Islam dan tidak gaya gramatikal bahasanya tidaklah dapat ditandingi oleh siapa pun, meskipun ia adalah ahli sastra yang begitu piawai dalam bidang ini. Dimensi sosial selanjutnya terletak pada urgensi kehadiran Al-Qur’an. Al- Qur’an diturunkan sebagai kitab petunjuk, Al-Qur’an sejatinya ditelusuri dan dikaji untuk dapat menguak misteri kebesaran yang terselubung di dalamnya, dengan tetap membiarkan Al-Qur’an berbicara dengan sendirinya. Karena dengan membiarkan Al-Qur’an berbicara sendiri, maka akan didapat gambaran mengenai kebesaran dan keagungan Al-Qur’an yang sesungguhnya. Mengkaji Al-Qur’an dengan membiarkan dirinya untuk berbicara sendiri, berarti mengembalikan Al-Qur’an ke watak aslinya sebagai teks bahasa, bukan diseret ke dalam perspektif teologis, sufistik, politik dan atau yang lainnya. Al-Qur’an tidak disusun menurut tema dan persoalan tertentu. Ia tidak disusun seperti susunan buku teologi yang membicarakan dasardasar akidah. Ia tidak disusun menurut sistem buku-buku etika, sejarah dan atau cerita. Namun, Al- Qur’an adalah kitab hidayah dan rahmat. Ini merupakan tujuan agung yang harus diwujudkan oleh umat islam. Mengembalikan kajian Al-Qur’an kepada wataknya yang hakiki, yakni sebagai Buku Agung berbahasa Arab, merupakan tujuan utama dan sasaran paling jauh yang harus mendahului semua bentuk tujuan yang lain.103 Susunan seperti ini memperjelas posisi Al-Qur’an sebagai fenomena sosial. Al-Qur’an sebagai wahyu yang dipenuhi dengan ungkapan estetika memiliki dimensi sosiologis. Keindahan Al-Qur’an membawa serta ekspansi rasa hidup dan

    101 Hal itu dapat dilihat misalnya dalam “Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain” (QS. Al-Isra’: 88). Atau sanggahan Al-Qur’an “Dan Al-Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. sedikit sekali kamu beriman kepadanya”, (QS. Al- Ha>qqah: 41). 102 Philiph K. Hitti menyebutkan bahwa kebudayaan Arab muncul pada satu abad sebelum Islam. Ketika Islam muncul, maka turunlah Al-Qur’an sebagai awal kenabian Muhammad Saw. 103 Ami>n al-Khu>li>, Mana>hij Tajdi>d, 230-233. 47 kesadaran diri sebagai bagian dari keseluruhan. Sifat sosial dari kesenian (sastra verbal) ialah terletak pada informasi-informasi berupa cerita-cerita heroik, pengetahuan yang dikandung Al-Qur’an disampaikan kepada kemunitas bangsa Arab ketika itu.104 Keindahan bahasa adalah perwujudan daya cipta. Begitu juga halnya dengan Al-Qur’an, fungsi integritas antara informasi dengan kesenian adalah untuk mengidealisasikan dan menguniversalkan kebenaran, sehingga kebenaran itu menghibur, meriangkan hati dan mencamkan cita-cita mulia lebih dalam daripada ungkapan dalam bentuk rasional belaka. Keindahan persajakan Al-Qur’an menegaskan nilai-nilai dengan menggunakan cara tertentu. Al-Qur’an menemukan dimensi urgenitasnya sebagai wahyu hingga akhir zaman. Dengan keindahan bahasa verbal ini teks Al-Qur’an menjadi hidup dari masa ke masa, waktu ke waktu.105 Konsepsi sosiolingiuistik terus berjalan menembus ruang dan waktu. Maksud menembus ruang adalah konsep ini pada kelanjutannya tidak hanya dibatasi oleh garis-garis geografi wilayah Arab, tetapi konsep ini secara fakta sejarah juga meliputi kawasan-kawasan non-Arab termasuk indonesia. Peradaban-peradaban islam di seluruh penjuru dunia merupakan bentuk komunikasi sosial masyrakatnya dengan bahasa verbal Al-Qur’an. Maka, tidak heran jika kemudian Abu Zayd mengatakan bahwa peradaban Islam merupakan peradaban teks (had}a>rah al-Nas}s}).106 Peradaban Islam di sini tidak hanya peradaban yang pernah muncul di Arab, tetapi lebih luas dari pada itu peradaban yang lahir di kawasan non- Arab juga demikian. Bagi umat islam, kegiatan interpretasi terhadap Al-Qur'an adalah menjadi tugas yang tak kenal henti.107 Karena, ia merupakan usaha untuk memahami pesan ilahi. Namun demikian, sehebat apapun manusia, ia hanya bisa sampai pada derajat pemahaman yang relatif, dan kebenarannya pun tidak dapat mencapai derajat absolut. Wahyu Tuhan dipahami secara variatif dari satu waktu ke waktu yang lain. Ini berarti kegiatan menafsirkan wahyu Tuhan (exegesis) telah menjadi disiplin keilmuan yang selalu hidup seiring dengan perkembangan teori pengetahuan para pengimannya.108

    104 Salah satu telaah sosioligis bahasa bahwa sastra dilihat sebagai cerminan masyarakatnya, yang ditelaah adalah bahaimana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Lihat Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung: Penerbit Angkasa), 54. 105 Sastra dilihat dari sosialnya juga mengungkapkan fungsi sosial yang ditimbulkan oleh sastra tersebut. Berkaitan dengan nilai sosial, sampai berapa jauh sastra dapat berfungsi sebagai alat sosial baik bersifat bahasa, hukum bagi masyrakatnya. Lihat Atar Semi, Kritik Sastra, 54 106 Nas}r H}a>mid mengatakan bahwa teks merupakan sumber sentral kebangkitan kebudayaan Islam. Lihat, Nas}r H}a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}s}, 9. Prof Hitti dalam History if the Arabs juga mengungkapkan hal yang sama. Hitti mengulasnya ketika menjelaskan peranan kebudayaan verbal dalam struktur budaya Arab. Lihat Phillip K. Hitti, History of the Arabs, 108. 107 Kegiatan kajian Al-Qur’an dimulai sejak Al-Qur’an diturunkan hingga sekarang dilakukan oleh para ahli dengan berbagai disiplin dan pendekatan. Sarjana yang paling ahli dalam bidang ini adalah al-Wahi>di (468/1076) kemudian dilanjutkan oleh al-Suyu>ti}. 108 M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ, 2005), 1. 48

    Fungsi sosial Al-Qur’an sebagai teks yang merupakan korpus terbuka yang sangat potensial untuk menerima segala bentuk eksploitasi, baik berupa pembacaan, penerjemahan, penafsiran, hingga pengambilannya sebagai sumber rujukan. Kehadirannya telah memberikan inspirasi dan bahkan melahirkan pusat pusaran wacana bagi pembangunan peradaban dan kebudayaan. Al-Qur’an menjadi core text di tengah peradaban umat Islam.109 Mengingat Al-Qur’an sebagai teks bahasa memiliki peran nyata dalam terbentuknya peradaban umat islam, maka tak mengherankan jika Nasr Hamid Abu> Zayd menyebut peradaban islam-Arab sebagai had}arah al-nas} (peradaban teks). Teks Al-Qur’an itu sendiri tidak bisa membangun dan melahirkan peradaban. Tetapi, peradaban itu terbangun melalui dialog yang dilakukan oleh manusia dengan teks pada satu sisi, dan berinteraksi dengan realitas di sisi lain.110 Studi-studi mengenai Al-Qur’an di era sekarang ini semakin menemukan urgensitasnya. Dalam sejarah kemanusiaan, keyakinan para pemeluk islam dan perspepsi etisnya tentu semakin berarti. Ketika islam semakin penting dalam kerangka dunia agama-agama, maka peran Al-Qur’an sebagai dokumen relegius semakin tak terbantahkan.111 Fenomena sajak dalam Al-Qur’an adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Peran sajak sangatlah berpengaruh pada perkembangan awal dakwah Islam di kota makkah untuk menyampaikan nilai-nilai Al-Qur’an. Hal tersebut dapat dibutikan pada perbedaan mendasar antara susunan ayat yang diturunkan sebelum hijrah (makkiyah) dengan ayat yang diturunkan setelah hijriyah (madaniyah).112 Sebagai wahyu dari Allah, maka Al-Qur’an tentu menggunakan kerangka terbaik yang tidak dapat ditandingi baik dari segi keindahan susunan dan bacaannya, serta semantiknya yang menggambarkan keserasian makna Al-Qur’an.113 Nas}r Ha>mid Abu> Zayd juga mengakui keberadaan ayat makkiyah sebagai salah satu karakteristik gambaran setting sosial masyarakat Arab pra Islam. Bahkan lebih sistematis ia membagi sajak dalam Al-Qur’an ke dalam dua macam dengan katagori Makkiyah berkarakteristik sajak dan madaniyah yang tidak bersajak dengan argumentasi yang dibangun bahwa pada masa tersebut Islam telah tersebar dan tumbuh berkembang di kalangan masyarakat Arab.114 Bagi para peminat dan peneliti Al-Qur’an dari sarjanawan Barat seperti Schwally dan Noldeke, bahwa untuk mengetahui kronologis pewahyuan Al-

    109 Al-Qur’an banyak diteliti dengan berbagai pendekatan: Pendekatan itu meliputi: teori “Hermeneutika Humanistik” dari pemikir Mesir, Hasan Hanafi, “Teori Batas” Muhamad Shahru>r dari Syiria, “Analisis Teks dari Nas}r H{a>mid Abu> Zayd dari Mesir, “Tafsir Tematik” Bintu Sya>t}i dari Mesir dll. Lihat A. Khudori Saleh (Ed), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela Pustaka, 2003), 31. 110 Nas}r H}amid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}s}, 9. 111 Stefan Wild, “Pengantar” dalam M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar, xxvii. 112 Nas}r H}a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}s}: Dira>sah fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Markaz al-Thaqa>fi al-'Arabi, 1999), 79 – 81. 113 Lihat Sayyid Qut{b, al-Tas{wi>r al-Fanni> fi Al-Qur’a>n al-Kari>m (Kairo: Da>r al-Ilm al-H{adi>s{, 1993), 101. 114 Nas}r H}a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}s}, 145. 49

    Qur’an,115 salah satu cara yang ditempuh ialah dengan melihat aspek persajakan dalam surah dan ayat-ayat Al-Qur’an untuk membedakan serta menjadi bahan pertimbangan untuk membawa mereka pada tahap konsistensi bahwa sebuah surat dapat digolongkan dalam makkiyah atau madaniyah. Karena penelitaan tersebut, keduanya telah merumuskan sebuah teori yang disebut dengan teori kronologi Schwalli-oldeke Surah Classification.116 Keberadaan sajak dalam Al-Qur’an telah menampilkan sebuah kenyataan dan fenomena baru dalam kajian sastra. Al-Qur’an mampu mengekplorasi maknanya dengan resolusi dalam setiap kalimat secara stabil tanpa adanya kerancuan dan ketidakseimbangan sehingga menjadi perhatian dan mengugah hati banyak pihak. Jika saja terdapat salah satu di antara kata dalam Al-Qur’an diganti dengan kata yang lain, maka hal tersebut akan menampakkan ketidakseimbangan dan hilangannnya integrasi antara satu ayat dengan ayat yang lain baik dari segi lafadz dan maknanya.117 Tata letak dan susunan Al-Qur’an itu sendiri telah menjadikan Al- Qur’an sebagai mukjizat yang dapat diidentifikasi dalam setiap ayat dan surat yang sesuai dengan porsinya masing-masing. Bahkan hal tersebut telah mampu membawa pada kesimpulan besar bahwa Al-Qur’an adalah sebuah kitab dengan retorika yang

    115 Penelitian dan analisa Schwally dan Noldeke sangat berbeda dengan cara pandang sarajana muslim terhadap kronologis turunnya Al-Qur’an yang berpatokan pada hadits dan pandangan pengkaji Al-Qur’an masa lalu sebelum mereka. Bagi keduanya, kronologi Al-Qur’an sangatlah dipengaruhi oleh banyak faktor internal dalam Al-Qur’an dengan melihat gaya bahasa Al-Qur’an dengan segala kekayaan grammernya dan peristiwa- peristiwa yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai bahan dan alat pertimbangan. Lebih lengkap lihat Taufik Adnan Amal, Pengantar Studi Al-Qur’a>n, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 175. 116 Gaya bahasa Al-Qur’an menjadi pusat perhatian dan analisa Noldeke dalam merumuskan teorinya tersebut dengan pengakuan bahwa Al-Qur’an terbagai kepada dua klasifkasi, yaitu makkiyah dan madaniyah sebagaimana yang lumrah pula disebutkan dalam banyak buku ulang yang ditulis oleh sarjana Muslim lainnya. Tetapi yang berbeda dari Noldeke ialah ia mampu mangklasifikasikan surat makkiyah dalam tiga periode, yaitu: Pertama, Makkiyyah awal dengan karakteristik bersajak, mengandung banyak perumpamaan, ayatnya pendek-pendek dengan irama bahasa yang indah (bersajak), dan sering kali didahului dengan sumpah. Kedua, makkiyah pertengahan, yang beisi tentang ajaran dan doktrinisasi serta dengan banyak ilustrasi baik dari sejarah dan alam. Ketiga, Makkiyyah akhir, dengan gaya bahasa yang hampir saja menyerupai surah Madaniyyah yang bersifat prosa yang panjang. Neal RoIbnson, Discovering the Qur’an, A contemporary Approach to veiled text (London: SCM Press Ltd, 1996), 76-77. 117 Qad}i> Abd al-Jabba>r menjajabarkan konsepnya tentang kemukjizatan Al-Qur’an dengan melihat segi susunan teks bahasa Al-Qur’an dengan melihat pada aspek fasahah saja hanya terbatas pada sisi keindahan kata dan makanya saja, tidak sebagaimana dipahami orang lain secara umum. Penetapan itu pun dengan melihat langkah dan tahapan penting untuk dapat membedakan criteria tersebut agar tidak tercampur dengan dimensi yang lain. Bahkan Abd al-Jabbar menolak sama sekali argumentasi yang menyebutkan bahwa Al- Qur’an tidak dapat disamakan oleh manusia dengan teks apapun. Maka baginya, sisi keistimewaan Al-Qur’an hanya terdapat pada aspek fasahah dengan mutiara lafaz dan kata- kata Al-Qur’an. Muhammad Mu>sa> S}ari>f, I’ja>z Al-Qur’a>n al-Kari>m; Baina al-Ima>m al-Suyu>t{i> wa al-Ulama>’, (Jeddah: Da>r Andalus al-Khadra, 2002), 619. 50 sangat tinggi yang penuh dengan keserasian, tidak dapat ditandingi oleh siapa pun sepanjang masa. Karena Al-Qur’an sebagai sebuah sumber induk dari seluruh kitab samawi, maka berbagai argumentasi yang datang untuk mengganggu kesakralan Al-Qur’an pun ditepis oleh beberapa sarjana muslim terkait keberadaan sajak dalam Al-Qur’an. Al-Baqillani118 misalnya dalam karyanya I’j>az Al-Qur’a>n memberikan sebuah argumentasi penolakannya terhadap wacana yang menyamakan Al-Qur’an dengan sajak, baginya Al-Qur’an tidaklah dapat disamakan dengan teks-teks lain karena ia memiliki karakterisitik yang begitu berbeda. Salah satu yang membedakannya dengan teks Arab dan teks lainnya adalah ditinjau dari segi ukuran dan panjangnnya. Oleh sebab itu Al-Qur’an sebagai mukjizat tidaklah dapat ditiru (inimitabile genre).119 Al-Ba>qilla>ni memfokuskan narasi dan konsep kalam Tuhan sebagai bagian dari manifestasi ke-Tuhanan pada diri Allah Swt yang bersifat qadim. Karena itu, Al-Qur’an sebagai kalam Allah tidak mungkin memiliki kemiripan dengan kalam manusia, di mana setiap orang akan merasa kebingungan ketika berusaha untuk menandinginya. Hal tersebut dapat dilihat dari sebuah sabda Nabi Saw bahwa, “kelebihan kalam Allah atas kalam-kalam yang lain itu bagaikan kelebihan Allah atas makhluknya”. Menurut al-Ba>qilla>ni, hadits tersebut menjadi indikasi bahwa Al- Qur’an bukanlah tempat para ahli retorika untuk menunjukkan kebolehan, angan- angan serta pikirannya, karena pada akhirnya pun ia tidak akan pernah mampu untuk melakukan itu.120 Berbeda dengan al-Rumma>ni yang menjadikan lafadz dan makna Al-Qur’an sekaligus sebagai pertimbangan dasar penolakannya terhadap sajak dalam Al- Qur’an. Sekalipun keduanya berbeda, namun mereka memiliki tujuan yang sama untuk menjadikan Al-Qur’an terjaga dari segala campur tangan manusia dan menjadikannya sebagai bagian dari karya sastra. Tetapi di sisi lain, al-Ba>qilla>ni dan al-Rumma>ni> mendapat kritikan dari al-Khafa>ji dalam karyanya Sirr al-Fasahah dengan menyebutkan bahwa pada dasaranya tidak ada perbedaan mendasar antara fawa>sil (pemisah ayat) dan sajak dalam Al-Qur’an.121

    118 Al-Ba>qilla>ni merupakan pengikut paling fanatik Abu Hasan al-Asy’ari dalam bidang teologi. Baginya, Al-Qur’an itu berwujud imanen atau ia bersifat qadi>m yang melekat pada Allah sebagai zat. Karena alasan tersebut maka muncullah konsep ‘imitasi’ teks terhadap kalam Ilahi bahwa teks tersebut adalah qadi>m. Bahkan persoalan yang terjadi dalam konsep teologi Asy’a>ri dengan teologi lain adalah terkait adanya dualisme kalam ilahi apa yang ada pada zat Allah dan yang tertulis dalam lembaran mushaf. Lebih tegas al-Baqillani menyebutkan bahwa menyamakan sajak dengan Al-Qur’an sama seperti apa yang diusahakn oleh Musailamah al-Kazzab dengan membuat sebuah surat yang seumpama dengan Al- Qur’an. 119 Lihat Muhammad Ibn al-T}ayyib Abu> Bakar al-Ba>qilla>ni, I'ja>z Al-Qur’a>n , (Mesir: Dar al-Ma’arif, 2010), 78 120 D.I Ansusa Putra, Sajak Al-Qur’an: Potret Dialektika Al-Qur’an dan Budaya Verbal Arab Pra Islam, (Jakarta: Gaung Persada Press, t.t), 31. 121 Lihat Muhammad Khala>fulla>h Ah}mad dan Muh}ammad Zaghlul sala>m, S\alas\ Rasa>’il fi> I'ja>z Al-Qur’a>n, (Kairo: Da>r-Ma’a>rif bi Mis}r, 1976), 191. 51

    Berdasarkan pada diskusi para pakar di atas, cukup beralasan sekali jika ada yang menerima dan menjadikan sajak sebagai bagian dari Al-Qur’an, tentu dengan landasan teori, cara pandang, dan pemikiran yang berbeda. Sebab, bila dilihat pada periode awal perkembangan Islam, Al-Qur’an diturunkan pada indikasi menformasikan diri dalam pendekatan sajak yang sangat disukai oleh masyarakat Arab pra-Islam ketika itu. Maka surat makkiyah dengan segala kandungan makna dan isinya menjadi alasan dan argumen bahwa Al-Qur’an itu bersajak. Sungguh pun begitu, penolakan yang digagas oleh al-Ba>qilla>ni dan al-Rumma>ni sangatlah pula beralasan dan sangat memiliki komitmen teologi keagamaan yang begitu kuat berdasarkan pada kaedah-kaedah dasar yang telah dibangun. Hal tersebut dilakukan demi menjaga keotentikan dan sakralitas Al-Qur’an serta terpelihara dari segala campur tangan manusia sebagai yang terjadi pada kitab-kitab samawi lainnya.

    2. Aspek Linguistika dan Stilistika Al-Qur’an Kebanyakan ahli bahasa menempatkan kajian bahasa Al-Qur’an sebagai fenomena stilistika (seni ungkapan) ini berarti persajakan Al-Qur’an adalah fenomena kesenian. Jikalau demikian, apakah kajian persajakan Al-Qur’an sejatinya bersifat subjektif tanpa adanya unsur objektif? Di satu sisi memang agak sulit menemukan posisi sajak dalam disiplin ilmu linguistik. Sajak merupakan salah satu jenis seni verbal. Ada perbedaan mendasar antara variabel kesenian dan variabel bahasa. Antara bahasa dan kesenian mengandung konflik di antara dua kecendrungan yang bertentangan. Bahasa dan kesenian terus-menerus bergerak di antara dua kutub yang bertentangan. Kutub objektif dan kutub subjektif.122 Linguistik adalah perangkat metodologi ilmiyah yang cendrung objektif sedangkan kesenian adalah hasil prakarya ide individual yang cendrung subjektif dan emosional. Jika dilihat dari posisi Al-Qur’an sebagai wahyu kiranya, fenomena persajakan Al-Qur’an dapat dilihat dari perspektif linguistik yang mempertemukan sajak Al-Qur’an dan linguistik dalam sebuah poin tertentu. Dimensi komuikasi linguistik adalah salah satunya. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa linguistik adalah perangkat ilmu ilmiyah yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya.123 Sebagai sebuah teks/naskah, Al-Qur’an menggunakan alat komunikasi

    122 Perdebatan ini telah berlangsung lama. Pedebatan ini ditemui dalam disiplin filsafat bahasa dan filsafat kesenian. Teori imitasi klasik mengatakan bahwa kesenian adalah usaha manusia untuk meniru konteks dan emosional seorang seniman. Lebih lanjut lihat, Ernst Cassier, An Essay on Man, (Connecticut: Yale University Press, 1944), 215. 123 Secara singkat linguistik dapat didefenisikan sebagai ilmu yang mengkaji tentang bahasa, atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, atau seperti yang dikatakan Martinet yaitu ilmu yang menelaah secara ilmiyah tentang bahasa manusia secara umum, Lihat Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2007), 3. Para pakar bahasa mendefenisikan linguistik dengan berbagai pengertian: Pertama, A.S Hornby mengatakan bahwa linguistik adalah ilmu ilmiyah bahasa yang mengkaji struktur dan relasinya dengan perangkat lain dalam komunikasi, A.S Hornby, Oxford Advance Leaner's Dictionary of Current English, (Oxford: Oxford University Press, 1980), 289. Maka, ada tiga kata kunci penting yang perlu diketahui untuk mengenal linguistik, yaitu: kajian, keilmiyahan dan bahasa. Kajian memiliki makna mencari tahu lebih banyak tentang sebuah 52 untuk menyampaikan pesan ‘langit’ untuk warga ‘bumi. Alat komunikasi tersebut adalah seperangkat bahasa yang dimengerti oleh Mad'u> (objek dakwah). Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan Lisa>n al-'Araby al-Mubi>n (Q.S 16:103). Izutsu124 (1997) mengemukakan adanya dua prasyarat komunikasi linguistik: (a) Tersedianya sistem isyarat (bahasa) yang sama-sama dimiliki oleh pelibat tutur dan (b) Kesamaan hakikat ontologis pelibat tutur. Kedua prasyarat tersebut mungkin dapat dijelaskan sebagai berikut. Agar terjadi komunikasi yang efektif, penutur (Pn) harusberbicara dengan bahasa yang dapat dipahami oleh mitra tutur (Mt) 40. Bertolak pada dua prasyarat komunikasi linguistik yang dikemukakan Izutsu tersebut, dapatkah pewahyuan Al-Qur’an disebut sebagai komunikasi linguistik.125 Bagi umat Islam, Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Dengan kata lain, pewahyuan Al-Qur’an melibatkan Tuhan sebagai penutur dan manusia sebagai mitra tutur. Hal itu berarti entitas pelibat tuturnya sangat berbeda. Di sini jelas bahwa Pn dan Mt tidak berhadapan secara horisontal berdasarkan kesamaan tingkat entitanya. Sebaliknya, hubungan yang ada adalah hubungan vertikal. Dalam hal ini, Pn berada jauh di atas, sebagai entitas yang paling tinggi. Sedangkan, Mt berada di bawah, mewakili tingkat entitas yang jauh lebih rendah. Karakteristik pelibat tutur yang berbeda entitas tersebut tampaknya pewahyuan Al-Qur’ann bukan merupakan komunikasi linguistik. Jika simpulan tersebut diambil, bertentangan dengan keyakinan umat Islam bahwa Tuhan sendirilah yang telah mewahyukan Al-Qur’an kepada manusia dengan menggunakan bahasa manusia, bukan bahasa non-manusia. Juga merupakan fakta, bahwa Al- Qur’an tidak lain berisi data verbal yang dipahami oleh masyarakat sejak diwahyukannya. Agar tidak terjadi kontradiksi antara dua prasyarat komunikasi linguistik (model Izutsu) dan fakta Al-Qur’an sebagai data verbal, diperlukan penjelasan yang memadai. Dalam hal ini Al-Kirma>ni> (1939) dalam syarahnya terhadap kumpulan hadits Al-Bukha>ri mengemukakan bahwa wahyu merupakan komunikasi linguistik antara Tuhan dengan manusia.126 Sebagai fenomena komunikasi linguistik, pewahyuan Al-Qur’an mengandung dimensi Langue127 dan Parole128 model Saussurian.129 Adapun Ayat-

    subjek atau masalah. Keilmiahan mengandung makna berhati-hati dalam mengorganisasikan sebuah sistem, atau dalam menggunakan metode, sedangkan bahasa adalah komunikasi yang digunakan manusia. 124 Isutzu ialah seorang islamis Jepang yang mempelajari Al-Qur’an. Karya- karyanya kebanyakan mengkaji Al-Qur’an dengan pendekatan semantik. Seperti, God and Man in the Koran, yang mengkaji relasi tuhan dan manusia menurut Al-Qur’an dengan analisa semantik. 125 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran, (Tokyo: Keio University, 1997), 192. 126 Al-Kirma>ni, Syarh{} S{ahi>h al-Bukha>ri>, (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1999), 223. 127 Langue merupakan aspek sosial bahasa atau aspek sistem bahasa yang bersifat sosial. 53 ayat Al-Qur’an menunjukkan bahwa pewahyuannya didasarkan dimensi Langue dan Parole. Dalam hal ini, sebagai langkah awal, Al-Qur’an menegaskan bahwa setiap kaum memiliki Langue masing-masing. Dalam Al-Qur’an surat Ibra>hi>m (surat ke 14 ayat 4). Surat al-Syu’ara’ (42:51) mengemukakan tiga cara komunikasi pewahyuan, yaitu (a) melalui wahyu, suatu cara komunikasi di luar jangkauan kesadaran manusia, (b) melalui balik layar, dalam arti rasul mendengar tuturan tertentu tetapi tidak mampu melihat penuturnya, dan (c) melalui utusan, yaitu proses komunikasi tatap muka antara rasul dan malaikat. Separoh pertama hadits di atas dan bagian pertama ayat 51 surat al-Syu>ra> merupakan gambaran dari komunikasi pewahyuan melalui proses transformasi kepribadian Mt. Prasyarat pertama yaitu digunakannya sistem tanda yang samasama dimengerti oleh pelibat tutur telah terpenuhi dengan digunakannya bahasa Arab sebagai sistem tanda komunikasi pewahyuan Al-Qur’an antara Tuhan sebagai Pn dan Muhammad sebagai Mt. Hal itu berarti, dua prasyarat komunikasi linguistik pewahyuan dapat terpenuhi. Dengan demikian, komunikasi pewahyuan Al-Qur’an tidak lain merupakankomunikasi linguistik. Ayat itu paling tidak mengandung tiga hal penting yakni (a) setiap kaum memiliki Langue (lisan) masing-masing sebagai sistem isyarat verbal yang digunakan bersama untuk Berkomunikasi antar sesama anggota masyarakat, (b) seorang rasul yang diutus untuk suatu kaum merupakan penutur bahasa kaum tersebut, dan (c) pengutusan rasul berpenutur bahasa kaum itu bertujuan agar terjadi komunikasi linguistik yang efektif dalam rangka dakwah. Suatu fakta bahwa masyarakat Arab mempunyai Langue (lisan) tersendiri yang disebut bahasa Arab.130 Jikalau dijadikan Al-Qur’an itu teks dengan bahasa asing (Ajam) tentulah mereka mengatakan: Mengapa ayat-ayatnya tidak dijelaskan?, apakah layak Al-Qur’an dalam bahasa asing ('a`jamiyyu>n) sedangkan rasulnya adalah orang Arab (‘arabyu>n) (Q.S. al-Fus{ilat/41:44). Jika Al-Qur’an diwahyukan tidak dalam bahasa Arab kepada nabi yang bukan penutur bahasa Arab, lalu dibacakan kepada kaumnya tentu mereka tidak memahaminya. Akibatnya, mereka tidak mungkin mengimaninya.131

    128 Parole merupakan aspek perseorangan atau bahasa sebagai ujaran yang bersifat perseorangan (Samsuri, 1988). Lebih lanjut lihat, Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam tafsir Al-Quran kontemporer ‘ala' M. Syahrur, (Yogyakarta: 2007, eLSAQ Press), 71. 129 De Saussure, seorang tokoh linguistik deskriptif abad ke-20, terkenal dengan sejumlah konsep dikotominya. Salah satu konsep dikotomi yang diajukan adalah pembedaan bahasa dari aspek langue dan parole, Lebih lanjut lihat, Ferdinand De Saussure, Cource in General Linguistic, diterjemahkan oleh Wade Baskin, (New York: Oxford University Press, 1966), 98. 130 Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam tafsir Al- Quran kontemporer 'ala' M. Syahrur, (Yogyakarta: 2007, eLSAQ Press), 280. 131 Jika Al-Qur’an (berbahasa Arab) diturunkan kepada salah seorang dari masyarakat non-Arab, lalu ia membacakannya kepada kaumnya (dalam bahasa Arab), niscaya mereka tidak akan beriman (Q.S. Asy-Syu’ara>/26:198-199). Berbagai ayat tersebut memperkuat keberadaan dimensi Langue dalam pewahyuan Al-Qur’an. 54

    Hal ini juga sejalan dengan definisi Al-Qur’an yang dirumuskan oleh para pakar.132 Al-Qur’an pada umumnya didefinisikan sebagai firman Allah (kalam Allah) yang diturunkan kepada Muhammad untuk umat manusia. Jelas bahwa kata kalam dalam terminologi Al-Qur’an sepadan dengan kata Parole dalam terminologi Saussurian. Jadi, komunikasi pewahyuan Al-Qur’an merupakan komunikasi linguistik berdimensi Langue dan Parole. Lebih ekstrim lagi, Ibnu ‘Arabi> membuat relasi antara bahasa dan eksistensi Allah,133 Sebagaimana yang diteliti oleh Nas{r Ha>mid. Bagi Ibnu ‘Arabi>, Huruf merupakan representasi keberadaan Allah. Karena, tingkatan wujud Allah dapat dirasakan melalui huruf-huruf Al-Qur’an yang merupakan bagian terkecil dari bahasa. Maka, wujud dalam hal ini dapat diartikan sebagai kata-kata Allah yang dibentuk dengan tanda yang dikenal oleh manusia. Dari penjelasan Ibnu ‘Arabi> di atas, Ibnu ‘Arabi> juga memahami konsep Parole Allah.134 Titik pertemuan antara sajak dan linguistik juga dapat dilihat dari dimensi seni karakteristik. Seni karakteristik ialah cara pandang terhadap seni dan kesenian melalui dua aspek; aspek emosional dan aspek reproduksi. Artinya, seni verbal tidak hanya bentuk luapan emosional tetapi juga bersifat formal. Seni memang ekspresif, namun ia tak mungkin bersifat ekspresif tanpa bersifat formatif, dan proses formatif ini berlangsung dalam medium metodologi tertentu, apabila seni memiliki metodologi maka ia juga bersifat ilmiyah. Buktinya, dalam persajakan emosi bukan satu-satunya bahan dan bukan pula unsur yang sangat menentukan corak seni. Tidak dapat dikatakan bahwa pembentukan sajak bersifat subjektif dan bebas dari nilai- nilai objektifitas. Sajak dibentuk dengan kata bukan dengan ide. Sajak ditulis dengan citraan-citraan, bunyi-bunyi dan irama-irama yang menyatu sebagai kesatuan yang tak terpisahkan.

    132 Lihat Suyu>t{}i, al-Itqa>n fi Ulu>m Al-Qur'a>n, (Riya>d{: Wiza>rah al-Shu'u>n Isla>miyah wa Awqa>f wa Da'wah Isla>miyah, t.t), 339. 133 Ibnu ‘Arabi> adalah seorang filosof islam klasik yang memiliki konsep Wihdat al- Wuju>d. Untuk menemukan keberadaan wujud Allah, ibn Arabi membuat relasi bahasa yang kita lihat sebagai tanda keberadaan Allah. Lebih lanjut lihat Nasr Ha>mid Abu> Zayd, Falsafatu al-Ta'wi>l, (Beirut: Da>r al-Tanwi>r li al-T{aba>'ah wa Nashr wa Tawzi>, 1993), 361. 134 Lihat, Nas}r H}a>mid Abu> Zayd, Falsafatu al-Ta’wi>l, (Lebanon: Da>r al-Tanwi>r li T{aba'ah wa Nas}r, 1993), 298. 55

    BAB III ACEH DAN KAJIAN AL-QUR’AN Azyumardi Azra menyebutkan, bahwa agama pada dasarnya memberikan sebuah konsep terkait sebuah realitas dengan menggunakan simbol-simbol dalam ruang lingkup sosial-kultural untuk mewujudkan substansi keagamaan. Tetapi dalam realialitasnya bahwa simbol-simbol tersebut tidak selalu terwujud dalam fakta kehidupan bermasyarakat dan bahkan terjadi berbagai peristiwa yang tidak secara tersurat berada dalam simbol agama yang ada.1 Dilihat dalam konteks Islam, Al- Qur’an dan Hadits menjadi sumber yang mutlak dan absolut untuk menjawab setiap realitas dan persoalan sosial yang muncul di tengah masyarakat. Maka untuk menjawab segala persoalan tersebut, Al-Qur’an yang bersifat umum (mujmal) ditafsirkan oleh orang yang berkompeten dan memiliki otoritas dalam bidang tersebut. Tujuannya adalah untuk mendapatkan sebuah interpretasi yang baik dengan mengkonfirmasi nilai-nilai sosiologis di tengah-tengah masyarakat.2 Demikian pula dengan gerakan pemikiran seseorang, hal itu tentu akan sangat dipengaruhi oleh keadaan dan seting sosial serta budaya yang ada disekitarnya. Pergerakan dan pemikiran itu pula tidak terhindar dari aspek latar belakang keilmuwan dan intelektualitas seseorang sebagai alat untuk mengkorfirmasi sebuah budaya sosial. Tentu dengan keilmuwan yang memadai akan membantuk dan menghasilkan sebuah metodologi dan bahkan pola berpikir yang konkret dan dapat diterima oleh orang banyak dengan cara diuji kebenarannya baik secara epistemologi maupun aspek sosial lainnya. Dalam konteks ini, bisa dihubungkan sebagaimana yang dialami oleh Teungku Mahjiddin Jusuf yang telah melakukan sebuah upaya dalam ranah sosial keagamaan dengan menerjemahkan terhadap Al-Qur’an secara bebas dalam bentuk sajak puisi dengan judul Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak Berbahasa Aceh. Hal itu dilakukannya untuk menjadikan masyarakat Aceh dekat dengan Al-Qur’an, yaitu dengan pendekatan budaya, di mana masyarakat Aceh sangat senang dengan baik-bait syair dan sajak sebagaimana pada masa lampau adanya hikayat Perang Sabil dalam upaya memukul mundur penjajah Belanda dari Aceh.

    1 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), 11. 2 Para sejarawan menyebutkan bahwa kehadiran Islam di semenanjung Nusantara menjadi salah salah satu objek kajian yang sangat menarik untuk diobeservasi dan diteliti secara lebih lanjut. Dalam proses kehadirannya, Islam sangat mengakomodir nilai-nilai sosial dan budaya yang dianut oleh penduduk Nusantara bahkan melakukan Islamisasi budaya yang dianggap tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Karena itulah proses perkembangan Islam di Nusantara begitu pesat dan mudah diterima oleh masyarakat tanpa ada perlawanan. Secara lebih spesifik disebutkan, bahwa ada tiga cara dan pola penyebaran Islam di kepulauan Nusantara, yaitu; dialogis, integratif, dan gabungan keduanya yang disebut dengan dialogis-integratif. Lihat Abdul Hadi WM, Terjadi Kekosongan Kultural di Tubuh Umat Islam, dalam Suara Muhammadiyah, (Jakarta: Ttp, 2006), 19. Lihat juga Abidin Nurdin, “Integrasi Agama dan Budaya: Kajian tentang Tradisi Maulod dalam Masyarakat Aceh,” dalam jurnal el-Harakat, vol. 18, No. 1, tahun 2016, 46. 56

    A. Dinamika Kajian Al-Qur’an di Aceh Daerah Aceh telah menjadi salah satu provinsi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia semenjak masa kemerdekaan. Hampir semua ahli sejarah mengungkapkan bahwa Aceh pula menjadi tempat awal berpijak dan melajunya perkembangan Islam di tanah Nusantara. Ada muncul silang pendapat antara para ahli sejarah terkait waktu masuknya Islam di Aceh. Sebagian mereka mengatakan bahwa Islam masuk ke Aceh pada abad 1 hijriyah, dan ada pula yang berpendapat pada abad 7 atau 8 M, dan bahkan para sejarawan Barat mengatakan bahwa Islam masuk ke Aceh pada abad 18 M. Namun sebagaian besar para sejarwan lain telah berkonsensus bahwa pendapat yang paling kuat adalah bahwa Islam datang ke Aceh atau Nusantar pada abad ke 7 hijriyah.3 Islam yang datang ke Aceh pun diterima secara dan baik oleh seluruh masyarakat dari semua kalangan. Faktor yang yang paling besar adalah disebabkan karena kedatangan Islam ke Aceh dibawa dengan cara-cara menghindari kekerasan dan mengedepankan aspek kelembutan. Hal ini sekaligus menepis dugaan atau tuduhan sebagaian sarjanawan atau orintalis Barat yang mengatakan bahwa Islam itu disebarkan dengan ujung pedang dan sekaligus membantah bahwa Islam adalah agama yang senantiasa mengedapankan aspek keharmonisan dan kedamaian. Karena itu pula, ideologi yang ditanamkan oleh para dai tersebar dengan begitu mudah dan signifikan tanpa ada rintangan secara murni dan substani.4 Pertumbuhan Islam yang dimulai dari Aceh itu pun berkembangan begitu pesat di seluruh pelosok Nusantara. Ajaran Islam pun tumbuh dan mengalir dengan baik di Aceh tanpa ada hambatan dan rintangan apapun. Jika dikaitkan dengan penyebaran dan transmisi ilmu maka kajian Al-Qur’an dan tafsir telah menjadi perhatian awal yang begitu besar dalam rangka membumikan ajaran Islam dalam benak masyarakat Aceh ketika itu. Ihwal itu dapat dilihat dari usaha para ulama dalam mendirikan banyak surau-surau dan balai-balai kajian hingga mengalami kemajuan yang begitu pesat pada era kerajaan Aceh kurun waktu pemerintahan raja Iskandar Muda sebagai Mahkuta Alam di Abad ke 18 sebagai abad keemasan bagi bangsa Aceh. Pada waktu itu muncul banyak sekali ulama yang sangat dikenal di seluruh penjuru, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, Nuruddin Ar- Raniry, ‘Abd al-Rauf al-Singkili, Ahmad Khatib Langin, dan Burhanuddin.5 Maka tidak heran jika kemudian masyarakat Aceh menjadi masyarakat yang cenderung menjadikan penafsiran terhadap Al-Qur’an adalah murni sebagai interpretasi dan maksud dari Allah Swt. Sebab bagi masyarakat Aceh dan para ulamanya telah menjadikan tafsir sebagai penjelasan secara ontentik dari Al-Qur’an tanpa ada keraguan. Padahal sejatinya tidaklah demikian, bahwa Al-Qur’an adalah sebagai firman yang kebenarannya diakui secara mutlak (absolut), sedangkan tafsir masih memiliki interpretasi berbeda dari setiap orang yang melihatnya. 6

    3 Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Terj. Winarsih Arifin, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), 56-61, 499. 4 Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia, (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), 26, 231-232. 5 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, (Jakarta: Penerbit Teraju, 2003), 42. 6 Ali Mustafa Ya’qub, Islam Masa Kini, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 11-15. 57

    Jejak Kajian Tafsir di Aceh Pada masa Rasulullah Saw dan sahabat, perkembangan tafsir Al-Qur’an memang belum begitu lebar dan bahkan memunculkan sebuah karya yang ditulis terhadap penjelasan Al-Qur’an.7 Hal itu memang sangat berlasan, sebab setiap peristiwa yang terjadi langsung dipertanyakan oleh para sahabat kepada Rasulullah Saw sebagai pemilik otoritas dalam menjelaskan Al-Qur’an.8 Namun seiring berjalannya waktu, Rasulullah pun wafat dengan meninggalkan para sahabat sebagai pewaris dan penyambung lidah wahyu Nabi kepada umat. Semenjak itu pula, interpretasi terhadap Al-Qur’an pun mengalami berbagai dilematis karena persoalan- persoalan yang muncul kian hari semakin berbeda. Karena itu pula muncul ragam macam jawaban yang diberikan oleh sahabat kepada para umat.9 Dalam konteks ke-Acehan dan juga ke-Indonesiaan, periode awal perkembangan terhadap kajian dalam bidang Al-Qur’an telah menjadi fokus utama di surau-surau disamping para ulama mengajarkan aneka ilmu lain seperti ilmu dalam hal tata beribadah (fiqih) pada abad ke 16. Hal itu dapat dilihat dengan sebuah naskah tafsir yang ditemukan. Naskah tersebut bertuliskan penafsiran terhadap surah al-Kahfi, namun sayangnya tidak ditemukan secara persis siapa yang menulis karya tersebut. Namun begitu dalam perkembangannya melahirkan sebuah karya tafsir yang ditulis oleh seorang ulama besar Aceh Syeikh ‘Abd al-Ra’uf al-Singkili dalam bahasa Melayu dengan judul Tarjuma>n Al-Mustafid10 yang ditulis secara sempurna 30 Juz. Bahkan sejarawan mengatakan bahwa karya ini menjadi karya pertama dalam bahasa Melayu di Asia Tenggara.11 Jika dilacak secara mendalam maka akan

    7 Muhammad Must{afa> Al-A’zami>, The History The Qur’anic Text From Revelation to Compil - tion A Compa rative Study with the Old and New Testaments: Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terj. Sohirin Solihin dkk. (Jakarta: Gema Insan Press, 2006), 65. 8 Al-S{a>bu>ni> menjelaskan, para sahabat pada dasarnya telah memahami Al-Qur’an baik dari mufradat maupun tarkibnya. Ini didasari atas pengetahuan mereka terhadap bahasa Arab sebagai bahasa inti Al-Qur’an. Akan tetapi terkadang mereka membutuhkan penjelasan apabila mendapati ayat-ayat yang mereka tidak memahaminya. Penafsiran para sahabat terhadap Al-Qur’an hanya merujuk pada inti kandungan Al-Qur’an. Mereka adalah orang yang mengetahui secara langsung bagaimana Al-Qur’an diturunkan, sebab apa Al-Qur’an, serta peristiwa apa yang melatarbelakangi Al-Qur’an diturunkan. Lihat, Muhammad Ali as}- S{a>buni, al-Tibya>n fi Ulu>m Al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), 339. 9 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), 71. 10 Kitab Tarjuma>n al-Mustafi>d menjadi karya terjemahan atau penafsiran Al-Qur’an dalam bahasa Melayu yang dicetak pada tahun 1981 M/1401 H oleh penerbit Dar al-Fikri yang terdiri dari dua jilid sebanyak 610 halaman. Liat Fauzi Shaleh, Tafsir Aceh, (Banda Aceh: Ushuluddin Publishing, 2013), 53. 11 Penelitian terhadap karya ini sudah banyak sekali dilakukan oleh para peminat bidang tafsir Al-Qur’an. Misalnya Anthony H. John dalam “The Qur’an in the Malay World: Reflection on ‘Abd al-Ra’uf of Singkel (1615-1693)” yang dipublikasikan di Journal of Islamic Studies, 9:2 (1998). Dalam tulisan ini ia secara umum sangat fokus di Indonesia pada abad 17 M (yang dikaji adalah tafsir Tarjumān al-Mustafīd) dan abad 19 M (yang dikaji adalah Tafsi>r Marāh Labīd) dengan menunjukkan metode penafsiran dan 58 ditemukan bahwa sosok ‘‘Abd al-Ra’uf al-Singkili tidak bisa dilepaskan dari perkembangan tafsir baik di Aceh secara khusus, bahkan di seluruh penjuru Nusantara. Melalui karyanya Tarjuman al-Mustafi>d telah mengalami begitu pesat berkembangan melalui banyak perantara pengajaran hingga pada masa hari ini. Melalui karya ini pula telah diduga kuat telah mampu melahirkan aneka ragam polarisasi manhaj dan corak dalam kajian tafsir di bumi Nusantara. Paling tidak ada dua dua aspek yang transmisi ulama tafsir dalam mengembangkan dan melahirkan karya tafsir. Pertama, melalui jalan dan jalur tulisan dan kedua adalah melalui jalur lisan atau pengajian.12 Maka di antara model jalur lisan dengan dipadukan tulisan adalah penyampaian dengan transfer ilmu yang begitu mudah kepada seluruh elemen masyarakat, maka para ulama pun menggunakan pendekatan uslu>b (idiom) dengan tanpa melupakan nilai-nilai substansi yang dikandung oleh Al-Qur’an itu sendiri.13 Sejak pertama Islam masuk ke Aceh, tahun 1290 M, pengajaran Islam mulai lahir dan tumbuh, terutama setelah berdirinya kerajaan Pasai. Waktu itu banyak ulama yang mendirikan surau, seperti Teungku Cot Mamplam, Teungku di Geureudong, dan yang lain. Pada zaman Iskandar Muda Mahkota Alam Sultan Aceh, pada awal abad ke 17 M surau-surau di Aceh mengalami kemajuan. Muncul banyak ulama yang terkenal waktu itu, seperti Nuruddin Ar-Raniry, Ahmad Khatib Langin, Syams al-Din al-Sumatrani, Hamzah Fansuri, ‘‘Abd al-Ra’uf al-Singkili dan Burhanuddin.14 Analisis Mahmud Yunus tentang sistem pendidikan Islam pertama di Indonesia memperlihatkan bagaimana Al-Qur’an telah diperkenalkan pada setiap Muslim sejak kecil melalui kegiatan yang dinamai “Pengajian Al-Qur’an” di surau, langgar, dan bahkan masjid. Beliau juga mengklaim bahwa pendidikan Al-Qur’an waktu itu adalah pendidikan Islam pertama yang diberikan kepada anak-anak dan peserta didik, meskipun pada dekade sebelumnya memang telah diperkenalkan

    keterpengaruhannya dengan karya tafsir klasik serta proses arabisasi pemakaian istilah dalam konteks bahasa di Indonesia. Lihat, Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika” dalam Jurnal Nun, Vol 1, No 1, Tahun 2015, 2. 12 Hasani Ahmad Said, “Mengenal Tafsir Nusantara: Melacak Mata Rantai Tafsir dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura hingga Brunei Darussalam”, Jurnal Refleksi, Vol. 16, No. 2, Oktober 2017, 207. Lihat juga, Musthafa Ibn ‘Abd Allah dan Abdul Mannan Syafi’i, “Khazanah Tafsir di Nusantara: Penelitian Terhadap Tokoh dan Karyanya di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand”, Jurnal Kontekstualita, Vol. 25, No. 1, Juli 2009, 31. 13 Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur’an Di Indonesia, Terj. Tajul Arifin, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), 60. Bahkan Salman Harun juga telah menjadikan kajiannya terhadap Hakikat Tarjuma>n al-Mustafi>d berupa disertasi Doktoralnya di Uniersitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia membahas secara mendetail dinamika pemikiran Abd Rauf al-Singkili dalam menguraikan Tarjuman al-Mustafi>d. Dalam hal corak (alwan) penafsiran dan setting sosial yang mempengaruhi kajian tersebut. Lihat, Salman Harun, “Hakikat Tarjuman al-Mustafid”, Disertasi (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1989). 14 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1984), 24. Lihat juga, Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika Hingga Ideologi, Cet I, (Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang, 2013), 17. 59 dengan praktik-praktik ibadah dengan menyelipkan tafsir-tafsir ayat agar para peserta didik memahami secara benar ketika meraka beribadah.15 Sebab dengan memahami makna yang dikandung maka ibadah yang dilaksanakan akan lebih terasa khidmat dan khusyuk. Tetapi ada pula penelitian lain oleh Karel A. Steenbrink yang memberikan kesimpulan berbeda bahwa proses pengajaran Al-Qur’an pada awal penyebaran Islam adalah dengan cara mengajarkan dan dihafalkan secara terbatas yang paling dianggap penting saja. Hal itu dilakukan agar pengajaran dalam bidang lain pun bisa dilakukan, misalnya mengajarakan tata cara melaksanakan shalat dan syarat-syarat yang harus dilakukan sebelum melakukan itu semua. Begitu pula terkait dengan materi ajar yang diberikan kepada para pelajar sangatlah tergantung pada kemampuan masing-masing guru dengan menyelipkan kaidah-kaidah tajwid dalam disiplin membaca Al-Qur’an secara benar.16 Demikian pula halnya dengan perkembangan pada masa selanjutnya atau disebut dengan perkembangan kajian tafsir pada masa pra kesultanan. Pada masa tersebut, peyaluran terhadap pemahaman Al-Qur’an tidaklah jauh berbeda dengan periode sebelumnya –walaupun tidak secara masif-, karena hanya dilihat dari proses tranformasi permbelajaran secara umum. Dayah atau meunasah17 telah menjadi perantara untuk menyampaikan isi Al-Qur’an dan makna kandungannya. Hal tersebut dapat dilihat dari diperkenalkannya huruf-huruf hijaiyah kepada para murid oleh para teungku di meunasah. Lebih spesifik bahwa kajian yang dilakukan dalam ruang lingkup meunasah itu malah inten dan mendalam dengan mengajarkan lafal bacaan Al-Qur’an kemudian disertai dengan penjelasan secara sekilas.18 Tetapi yang menjadi persoalan pada masa ini adalah tidka adanya tradisi literasi yang bisa didapatkan sebuah karya tafsir yang bisa dimunculkan. Namun yang menjadi titik perbedaan tranformasi pada masa ini dengan masa klasik adalah bahwa penafsiran sudah muali dilalukan dengan menggunakan kitab-kitab turas\, seperti tafsi>r Jala>lain yang didatang dari Arab yang diterjemahkan

    15 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1984), 24. Lihat juga, Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika Hingga Ideologi, Cet I, (Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang, 2013), 17-18. 16 Lebih dalam Snouck Hurgronje mengatakan bahwa pada masa tersebut pengajara yang diberikan kepada para murid pun bisa didapatkan di rumah-rumah para guru. Misalkan mereka belajar di serambi-seambi rumah dengan berbagai metode yang diberikan oleh sang guru. Salah satu metodenya adalah mereka membaca ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara seni lagu (nagham) yang indah dan dibimIbng satu persatu oleh sang guru mulai dari ½ jam hinga 2 jam selesai hingga seterusnya. lihat, Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika Hingga Ideologi, Cet I, (Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang, 2013), 18. Lihat juga, Kareel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), 10. 17 Lihat Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, Terj. Ng. Singarimbun, (Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985), 289-302. 18 Ridwan Azwad, dkk, Aceh Bumi Iskandar Muda, cet. I, (NAD: Pemerintah Provinsi, 2008), 192. Lihat juga, Fauzi Shaleh, Tafsir Aceh, (Banda Aceh: Ushuluddin Publishing, 2013), 67-69. Lihat juga, Fred M. Donner, Narrative of Islamic Origin: The Beginning of Islamic Historical Writing, Studies in Late Antiquity and Early Islam 14, (Princeton: Darwin Press, 1998), 58. 60 kepada para murid dan kemudian dijelaskan. Menariknya bahwa model dan cara yang dilakukan berjalan antara abad 16-18 M (3 tahun).19 Bisa dikata, bahwa pada periode kajian tafsir lebih berkembang dibandingkan pada masa sebelumnya. Sebab pada masa klasik proses pengajaran hanya bertump pada teks Al-Qur’an dengan penafsiran yang bebas. Berbeda pada masa ini yang sudah memiliki buku pegangan yang ditulis oleh para ulama tafsir pada masa sebelumnya. Beralih pada masa modern, bahwa perioderisasi era modern dalam pekembangan tafsir di Nusantara diklasifikasikan pada abad ke 20. Periode ini kajian terhadap terhadap tafsir Al-Qur’an telah begitu besar mengalami perputaran dna perubahan dramatis dengan melahirkan berbagai karya di bidang Al-Qur’an.20 Secara komperhensif dan lebih detail bahwa perkembangan tafsir di Aceh tidak bisa dipisahkan antara perkembangan tafsir di pulau Nusantara lainnya. Keduanya memiliki akar dan hubungan yang erat dan berkesinambungan. Maka dari itu –agar memudahkan- untuk mengetahui periode perkembangan di modern, maka secara sistematis dapat dibagi menjadi tiga periode. Pertama, berawal pada tahun 1900 hingga 1950 yang menjadi tahun permulaan bagi kemerdekaan bangsa Indonesia. Dimana pada masa ini sistem pembelajaran tafsir Al-Qur’an masih bersifat klasik dengan metode talaqqi> dan tempat yang digunakan pun berupa lesehan. Model ini ditempuh dengan cara memisahkan antara siswa dengan siswa lain yang berbeda tingkatan. Ada yang beda pada tingga pemula, tingkat menengah (wust{a)> , dan juga tingkat atas (ulya).> Terkhusus dalam dirasah tafsir itu hanya diberikan kepada mereka yang duduk pada tingkat menegah dan tingkat atas. Sebuah karya yang dihasilkan pada masa itu adalah terjemahan Al-Qur’an oleh Mahmud Yunus21 yang mulai ditulis pada tahun 1922 dan dicetak pada tahun 1938.22 Memasuki kurun waktu yang kedua dari periode modern (1951-1980) adalah di mana perkembangan kajian tafsir pada masa ini sudah lebih mengalami kemajuan yang signifikan dan bahkan mampu merespon setiap persoalan dalam kehidupan dengan penyelesaian lewat Al-Qur’an. Indikasi tersebut dapat dilihat dari beberapa fakta di lapangan bahwa pada masa itu Indonesia sudah terbebas dari belenggu penjajahan hingga mampu mendirikan kajian-kajian keislaman dengan basis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Karena trobosan itu pun

    19 Fauzi Shaleh, Tafsir Aceh, (Banda Aceh: Ushuluddin Publishing, 2013), 69. 20 Nashiruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, cet. I, (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), 81. 21 Mahmud Yunus dilahirkan di sebuah desa yang bernama Sungayang, Batusangkar, Sumatera Barat, pada hari Sabtu pada 10 Februari 1899M bersamaan 30 Ramadhan 1361H. Ia tumbuh di tengah-tengah keluarga terpandang dan taat beragama. Ayahnya, Yunus Ibn Incek adalah seorang pengajar surau. Sementara ibunya, Hafsah Ibnti Imam Samiun, adalah anak Engku Gadang M. Tahir Ibn Ali, pendiri serta pengasuh surau di wilayah itu. Yang dikutip dari, Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), 197. 22 Rifa Roifa, Rosihon Anwar, Dadang Darmawan, “Perkembangan Tafsir di Indonesia ( Pra Kemerdekaan 1900-1945)”, dalam Jurnal Al-Bay an: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir, 1, 2 (Juni 2017), 25. Lihat juga, Nashiruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al- Qur’an di Indonesia, cet. I, (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), 99. 61 maka mampu melahirkan masyarakat yang berintelektual dan mampu membasmi orang-orang yang buta huruf.23 Oleh sebab itu, masyarakat pun begitu menyambut gembira dengan kehadiran Perguruan Tinggi tersebut, dibuktikan dengan peran mereka dalam mengisi ruang sistem pembelajaran tersebut hingga kajiannya pun terus berkembang.24 Dan pada periode ketiga yang dimulai pada tahun 1981 hingga tahun 2000 perkembangannya sudah mulai bergeser dari model cara klasik dengan tidak menempuh lagi model metode membaca kitab dari awal hingga akhir. Tetapi hanya membahas dengan sub-sub tema saja atau dikenal dengan maud{u>’i dan kemudian disudahi dengan berbagai tanya jawab dan diskusi baik antara siswa dan guru. Model ini bisa kita dapat di Perguruan Tinggi Islam. Namun model pembelajaran dengan cara klasik juga tidak dapat dinafikan sebagaimana yang ditempuh oleh banyak pondok pesantren salaf dalam transformasi keilmuwan kepada muridnya.25 Jika diperbincangakan secara lebih tranformatif keilmuwan dalam ranah Nusantara, maka ditemukan banyak sekali karya-karya yang menjadi lanadsan awal yang fokus dan khusus melakukan kajian secara mendalam dan terperinci terhadap tafsir di Nusantara. Haward M. Federspiel sebagai seorang peneliti dalam kajian tafsir telah memaparkan paling tidak ada 48 tafsir yang telah ditelaahnya. Di antarnya adalah dimulai dari Munawar Khalil, Aboe Bakar Atjeh, Bahrun Rangkuti, Jamaluddin Kafie, Oemar Bakrie, Joesoef Sou’eb, M. Hasbi al-Shiddiqy, Masjfuk Zuhdi, A. Hasan Bandung, Qamaruddin Hamidy, Mahmud Yunus, Hamka, Abdul Halim Hasan, Tafsir Depag, Bachtiar Surin, Sukmadjadja Asyarie, Badrutthamam Akasah, Syahminan Zaini, MS. Khalil, Qamaruddin Saleh Nasikun, Bey Arifin, Labib, Labib MZ, A. Hanafi, Hadiah Salim, M. Ali Usman, Khadijatus Shalihah, A. Muhaimin Zen, Datuk Tombak Alam, A. Djohansjah, Ismail Tekan, T. Ahmadi Usman, Abu Hanifah, Zainal Abidin Ahmad, HB. Jassin, Mahfudi Sahli, Dja’far Amir, Muslih Maruzi, Abdul Aziz Masyuri, M. Munir Farunama, M. Ali Husayn, A. Syafi’i Ma’arif, Dewan Harjo, Azwar Anar, Imam Munawwir, Z. Kazijan, Nazwar Syamsu, dan M. Quraish Shihab.26 Lebih khusus dalam konteks Aceh, maka banyak ditemukan para ulama Aceh mengambil bagian dalam melestarikan kajian Al-Qur’an. Misalnya muncul Teungku Abdurrahim Daudy27 (lebih dikenal dengan Teungku Mude Kala).28

    23 Nashiruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, cet. I, (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), 93-94. 24 Nashiruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, 94-96. 25 Nashiruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, 81. Lihat juga, Fauzi Shaleh, Tafsir Aceh, (Banda Aceh: Ushuluddin Publishing, 2013), 70. 26 Lihat, Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, terj. Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996). Lihat juga, Hasani Ahmad Said, “Mengenal Tafsir Nusantara: Melacak Mata Rantai Tafsir dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura hingga Brunei Darussalam”, Jurnal Refleksi, Vol. 16, No. 2, Oktober 2017, 217. 27 Beliau lahir di Kebayakan belah Bukit Iwih pada tahun 1911 M. Sekolah Vervolk School Nangka Kebayakan menjadi tempat ia menuntut ilmu pada tahun 1915 dan juga ia pernah menjadi seorang santri di sebuah pesantren bernma Pesantren Gele Gantung dibawah 62

    Abdurrahmim Daudy telah menulis sebuah karya dalam bidang tafsir, yaitu kitab Tafsir Gayo.29 Karya tersebut telah diterbitkan oleh sebuah penerbit ternama di dunia, yaitu Mat{ba’ah Must{afa> al-Babi al-Halabi wa Awla>duh di Cairo, Mesir pada tahun 1357. Teungku Abdurrahim Daudy memberikan sebuah kata pengantar pada awal kitab tersebut bahwa buah karya tulisnya itu terinspirasi dari beberapa karya ulama lain yang sebelumnya, seperti dari karya Muhammad Amin, Khatib Bensu Gele Lungi, dan juga Teungku Yahya bin Rashib.30 Dalam penulisan Tafsir Gayo tersebut, Teungku Daudy menggunakan bentuk metodologi penafsiran bi al-ma’s\u>r, yaitu penafsiran Al-Qur’an yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan hadis (riwayat). Dalam menjelaskan ayat Al- Qur’an, ia seolah sedang menjelaskan ungkapan-ungkapan dengan begitu dalam dan rinci. Hal itu bisa dilihat ketika ia memberikan tafsiran terhadap kalimah syahadat (syaha>datain) pada awal kitabnya dengan menggunakan bahasa masyarakat gayo sendiri. Berikut contohnya: “Kubetih kin antingku kin diringku singunei gera ara Tuhen si layak isemah melainkan Allah Tuhen silebih suci ari kurang arum hine, dalil silengkap ini denie sekalian alam berkenak benne ku Tuhen, Tuhen si berkuasa di lengkap lagi sempurne si gere bernama ia Tuhen gere berine si ere bertuhub ia Tuhen gere berupe.”31 Kalimat di atas jika diterjemahkan dengan bahasa Indonesia, maka akan mengandung arti: “Saya naik saksi bahwa tiada Tuhan yang layak disembah melainkan Allah Tuhan yang maha suci dari segala kekurangan dan kehinaan. Sebagai bukti yang lengkap di dunia ini sekalian isinya bekehendak kepada Allah yang Maha Kuasa lagi sempurna tidak mempunyai bapak dan ibu tidak berjasad dan tidak pula berwujud.” Bila memperhatikan sebagaimana dalam penafsiran Teungku Daudy pada penggalan “Kubetih kin antingku kin diringku singunei” maka ini

    asuhan Teungku Muhammad Shaleh berkisar sampai tahun 30-an. Tim Penulis IAIN Ar- Raniy, Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh 2, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2005), 264. 28 Abdurrahim Daudy dengan nama pena Mudekala adalah seorang ulama Gayo yang selain menulis syair juga sekaligus dapat menyairkan dalam acara-acara tertentu dengan suara merdu. Tafsir Al-Gayo, adalah salah satu karya sastra beliau yang di cetak di Mesir, Kairo tahun 1938. Mudekala lahir di Kebayakan, Takengon, Februari 1910, wafat tahun 1961 di Baleatu Takengon. Lihat, https://lintasgayo.co/2019/02/16/saer-gayo-edeb-menum- tgk-mudekala, diakses pada tanggal 5 November 2019. 29 Dalam Tafsir Gayo tersebut, Teungku Daudy menguraikan sedikit terkait asal muasal di mana beliau berasal, yaitu Takengon/ Gayo. Ia menyebutkan pula mengenai pemberian makna dan penjelasan Al-Qur’an dan hadist dengan bahasa Gayo yang dijadikan sebagai argumen yang melatarbelakangi penulisan kitabnya sehingga diberi nama dengan Tafsir Gayo. Lihat, Tim Penulis IAIN Ar-Raniy, Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh 2, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2005), 265. Lihat juga, Fauzi Shaleh, Tafsir Aceh, (Banda Aceh: Ushuluddin Publishing, 2013), 72. 30 Tim Penulis IAIN Ar-Raniy, Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh 2, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2005), 264. 31 Abdurrahim Daudy, Tafsir Al-Gayo, (Mesir: Mat{ba’ah Must{afa> al-Baby al- Halaby> wa Awladuh, 1357 H), 5. 63 mengandung makna teologi yang berisi bahwa bersaksi dengan penuh keyakinan dan kesadaran diri tanpa keraguan kepada Allah bahwa ia adalah Tuhan semata dan tidak aja yang sama dengannya dalam bentuk dan jenis apapun. Meskipun demikian, sampai saat ini penulis belum bia melacak karya asli dari beliau. Pada era tahun 1940-1960, muncul sebuah tafsir bernama Tafsi>r An-Nu>r yang ditulis oleh M. Hasbi Ash-Shiddiqy32 berjumlah lima jilid dan komperhensif. Latar belakang penulisan kitab ini adalah karena bagi Hasbi bahwa Indonesia membutuhkan perkembangan Tafsir dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa. Selain itu, penyusunan kitab ini juga sebagai upaya memperbanyak literatur Islam dalam masyarakat Indonesia dan untuk mewujudkan suatu tafsir sederhana yang menuntut para pembaca untuk memahami ayat Al- Qur’an dengan menggunakan ayat Al-Qur’an itu sendiri. Begitu pula dengan Teungku Mahjiddin Jusuf sebagaimana menjadi kajian penulis dalam karya tesis ini yang barangkali luput dari kajian Howard sebagain bagian dari landasan berpijak para pengkaji tafsir baik di Nusantara maupun di luar Nusantara. Jika dicarikan titik temu maka bisa ditarik benang merah bahwa Mahjiddin hidup hampir semasa dengan Teungku Daudy, hanya saja karena pada masa itu keterbatasan dalam hal komunikasi maka barang kali ini yang membuat kajian Howard maliputi Mahjiddin dan Teungku Daudy. Magnum opus Teungku Mahjiddin mulai ditulis pada tanggal 25 November 1955 an diselesaikan pada 1988 (30 tahun). Menurut Alyasa’ Abubakar bahwa karya ini adalah sebuah karya yang begitu fenomenal yang telah mampu menggunakan pendekatan budaya dalam mengeksplorasi makna dan kandungan Al-Qur’an agar dapat dipahami oleh rakyat Aceh sendiri. Dalam bukunya menyebutkan bahwa penulisan karya tersebut sangat mendapatkan apresiasi dari Menteri Agama Tarmidzi Taher.33 Menurutnya hal ini tergolong unik, sebab ini menjadi karya pertama yang mampu menerjemahakan Al- Qur’an dalam bentuk sajak nazham yang membuka wawasan dan cakrawala

    32 M. Hasbi Ash-Shiddiqy lahir di kota Lhokseumawe pada 10 Maret 1904. Ayahnya bernama Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Suud, yaitu seorang ulama terkenal di kampungnya yang memiliki sebuah pesantren (dayah). Sedangkanibunya bernama Teungku Amrah Ibntu Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, putri seoran qadhi kesultanan Aceh. Menurut berbagai keterengan, bahwa nasab beliau bersambung dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq (573 -13 H/634 M), khalifah pertama setelah Rasulullah Saw. Ia menjadi generasi ke-37 dari khalifah tersebut sehingga melekatkan gelar al-Shiddieqy di belakang namanya. Pendidikan beliau pada mulanya ia ambil dari ayahnya dan juga kepada guru-gurunya yang lain di beberapa kota selama lebih kurang 20 tahun. Ilmu bahasa Arab ia dalam pada seorang ulama bernama Muhammad ibn Salim al-Kalali. Kemudian pada tahun 1926 beliau melanjutkan pula pendidikannya di Madrasah al-Irsyad, yaitu sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syakh Ahmad Soorkati di Surabaya selama dua tahun. Dan sepulang dari sana ia bergabung dalam organisasi Muhammadiyah di Aceh. Lihat, M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, jilid 1, (Semarang: Pustaka Riski utra, 2000), xvii. Lihat juga, Muhammad Aiyubi, Menelesuri Jejak Kepribadian Ulama, (Jakarta: Pustaka Anshar, 1996), 32. 33 Al-Yasa’ Abu Bakar, dkk, “Kata Pengantar Transliterasi” dalam Ta>j al-Di>n al- Tausani>, Safi>na>t al-Hukka>m fi> Talkhis al-Khassam, (Banda Aceh: Pusat Penelitian dan Penerjemahan IAIN Ar-Raniry, 2001), xix-xx. Lihat juga, Fauzi Shaleh, Tafsir Aceh, (Banda Aceh: Ushuluddin Publishing, 2013), 99. 64 keilmuwan secara lebih mendalam. Kemudian ia juga menegaskan bahwa karya tesebut menjadi sebuah langkah penghayatan terhadap Al-Qur’an dalam rangka menyambut 50 tahun kemerdekaan Republik Indonesia dengan berbagai aneka dan latar belakang kebudayaan.34 Pada tahun 2008 muncul pula Tafsir Pasee yang terinspirasi dari dari sebuah nama nama kerjaan pertama di Indonesia, yaitu kerajaan Samudera Pasee. Tafsir ini merupakan hasil kajan dari sebuah balee yang dibentuk pada tanggal 21 Mei 2008 sebagai refleksi sejarah di mana kesultanan mengadakan hal-hal serupa untuk menyebarkan ilmu pengetahuan.35 Kitab ini disusun oleh beberapa orang dari berbegai latar belakang keilmuwan (lintas disiplin), sehingga tafsir ini memberikan ciri khas tersendiri dalam dialektika isinya. Adapan para penyusunya adalah Hasan Basri, Thalhah Hasan, A. Mufakhir Muhammad, Zaki Fuad, dan Mustafa Ibrahim.36 Pada beberapa paparan di atas menunjukkan bahwa terdapat sebuah hubungan yang berkesinambangan antara satu ulama dengan ulama yang lain dalam pengembangan tradisi dan kajian Al-Qur’an. Dalam hal kajian adalah terkait budaya dan senangnya masyarakat Aceh terhadap syair dalam kehidupan mereka. Misalnya melihat geliat Tafsir Gayo, Tafsir Bersajak Aceh, dan Tafsir Pasee yang sama-sama punya ciri khas melakukan penafsiran terhadap teks dengan menggunakan pendekatan nazham puisi. Dan ini menjadi pula sebuah indikasi bahwa peradaban sastra telah begitu lama berkembang di masyarakat Aceh dengan berbagai latar belakang keilmuwan lain yang di bawa oleh para ulama.

    B. Aceh dan Kesusasteraan Kajian kesusteraan dalam konteks Aceh mamang menarik utuk diteliti dan dijadikan bahan kajian. Sebab para pakar telah menjadi sastra sebagai seuah kerafan yang tidak dapat dihilang dan selalu memiliki hubungan erat dengan sosial kemanusian. Sudjiman mislanya, membagikan sastra dalam sudut pandang kedudukan dan letaknya diklarifisikan kepada tiga jenis, yaitu sastra dunia, sasra nasional, dan sastra daerah. Sastra dunia (world literature) merupakan ragam sastra yang milik berbagai bangsa di dunia dan yang karena penyilangan gagasan yang

    34 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, (Banda Aceh: Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI), 2007), xx. 35 Tafsir ini adalah hasil pengolahan dan penyempurnaan dari makalah-makalh yang dipresentasikan dalam pertemuan-pertemuan pengajian di balee kajian tafsir Al-Qur’an; Masyarakat Pasee, Kompleks Bappenas dan Perumahan Pondok Indah Jakarta, yang diadakan secara berkala setiap bulan dari rumah ke rumah yang berlangsung selama dua tahun. Tafsir Pasee tergolong modern baik dari segi metodologi maupun substansinya. Dari segi metodologi, tafsir ini sudah mengikuti sistematika penulisan terkini dengan jalan dan alur pikir yang tertata terutama dalam menuangkan tulisan menjadi konsumsi pembaca. Dan jika dilihat dari segi substansi, maka tafsir ini telah ikut mengakomodir persoalan komtemporer dalam masyarakat. Lihat, TH. Thalhas, Pengantar Tim Penyusun Tafsir Pasee, (Jakarta: Balee Kajian Tafsir Al-Qur’an Pasee, 2001), v. Lihat juga, Fauzi Shaleh, Tafsir Aceh, (Banda Aceh: Ushuluddin Publishing, 2013), 106. 36 Fauzi Shaleh, Tafsir Aceh, (Banda Aceh: Ushuluddin Publishing, 2013), 108. 65 timbal balik memperkaya kehidupan manusia.37 Sedangkan sastra nasional adalah genre sastra yang ditulis dalam bahasa nasional dan bertema universal, sedangkan sastra daerh adalah genre.38 Bila dihubungkan dalam konteks ke-Indonesiaan dan ragam sastra yang tersebar luas adalah model ragam sastra daerah. Bahkan di setiap daerah di Indonesia mempunyai khazanah kebudayaan daerah sendiri pula. Menurut Tuloli, misalnya daerah Gorontalo yang memiliki khazanah budaya daerah sendiri dengan bahasa daerah sendiri dan memiliki sedikitnya 15 jenis sastra daerah.39 Aceh sebagai salah satu wilayah dalam raung lingkup Kepulauan Nusantara dalam perkembangan Islam pada awalnya menjadikan polarisasi dan peran teks agama dalam mempengaruhi aspek sosial kemasyarakatan begitu signifikan. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana Islam dapat diterima oleh masyarakat Aceh secara luwes, bahkan Malik Shaleh berperan sebagai raja Aceh yang menerima Islam secara langsung dari pada da’i berasal dari Arab untuk mengebangkan Islam di Aceh.40 Setelah Islam mulai menyebar di Aceh maka aspek yang lain ikut dikembangkan sebagai pendukung dakwah Islam mulai dari sektor ekonomi, sosial bahkan seni budaya turut dikembangkankan.41 Dalam hal seni budaya, dengan hadirnya Islam di Aceh aspek kesusasteraan dan bahasa pun terus dikembangkan sebagai bahasa komunikasi dalam penyebaran Islam oleh para sarajana dan cendikiawan Muslim terkemuka. Karena perkembangan tersebut, bahasa Arab pun diadopsi oleh bahasa Melayu dengan menjadi Arab Melayu (Arab Jawi) dengan menggunakan abjad-abjad dalam standar Arab. Akibatnya, bahasa Melayu pun menjadi bahasa yang sangat populer ketika itu.42 Dalam konteks perkembangannya telah tercatat dalam berbagai literatur sejarah bahwa banyak sekali muncul para penulis dan sastrawan pada abad ke 17 dengan menghasilkan berbagai karya yang mereka tulis dengan menggunakan bahasa Melayu. Tokoh-tokoh penulis tersebut bisa dilacak dalam berbagai literature

    37 Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2006), 72. 38 A. Rizak Zaidan, Bahasa Indonesia dalam Era Globaliasi, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2000), 181-183. 39 Noni Tuloli, Usaha ke Arah Pengembangan Penelitian Sastar, (Jakarta: Pusat Bahasa, 1979), 17. 40 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, (Jakarta: Kencana, 2018), 36. 41 Muhammad Naqib Al-Atas, Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1990), Cet. IV, 58. 42 Abdurrahman Abdullah, Pemikiran Umat di Nusantara; Sejarah dan Perkembangannya hingga Abad 19, (: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990), 90. Selain itu bahasa Malayu juga digunakan oleh kerajaan Samudera Pasai dalam proses surat menyurat dan bahkan dalam upaya menerjemahkan teks-teks kitab baik berbahasa Arab maupun bahasa lainnya. Lebih dari itu, bahasa Melayu juga menjadi bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar di pesantren di Nusantara dengan kitab-kitab yang telah diterjemahkan tersebut. Dan untuk diketahui pula bahwa kitab-kitab yang pertama kali diterjemahkan adalah kitab tasawuf dan kesusasteraan. Lihat Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh dalam Tahun 1520-1675, (Medan: Manora, 1972). Lihat juga Istiqamatunnisak, “Interkulturalisme Bahasa Melayu dalam Hikayat Raja-Raja Pasai”, dalam Jurnal Ar-Raniry, vol. 4, No. 2, Tahun 2017, 14. 66 sejarah, diantaranya ‘Abd al-Ra’uf al-Singkili (1024-1105 H/1515-1693 M),43 Hamzah Fansuri,44 Bukhari al-Jauhari, Nuruddin al-Raniri (w. 1068 H/1658 M),45 Do Karim dan Teungku Chik Muhammad Pante Kulu.46 Mulai dari abad ke 15

    43 Tengku Syiah Kuala adalah sapaan akrab kepada beliau dan Rinkes Sarjanawan dari Belanda menyebutnya dengan sebutan “Abdurrauf Van Singkel” dengan nama lengkap Syaikh Ami>nuddi>n Abd al-Rauf Ibn A

  • al-Ja>wi>, Tsumma Fanshuri As-Singkily. Diantara karya beliau yang sangat terkenal ialah kitab Tafsi>r Al-Qur’a>n Tarjuma>n al-Mustafi>d dalam bidang tafsir dan Mir’atu al-T{ulla>b sebagai representasi dalam bidang fiqih yang ia tulis atas permintaan Ratu Safiatuddin. Sebagai seorang ulama besar ia juga pernah menjabat sebagai Qad{i> pada kerajaan Aceh di masa empat orang ratu berkisar pada tahun 1641-1699. Lihat HB. Jassin, Al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Djambataan, 1978), ix. Tarjuman al-Mustafi>d diasumsikan kuat sebagai tafsir pertama di Nusantara yang lengkap menafsirkan 30 juz Al-Qur’an. Penulis tafsir ini merupakan seorang ulama besar Aceh, Syaikh ‘Abd al- Rauf Ibn ‘A
  • al-Fanshuri> al-Ja>wi>. Tafsir Tarjuma>n al-Mustafi>d tersebar luas di Nusantara, bahkan hingga ke mancanegara seperti Afrika Selatan. Tafsir ini berkali-kali pula telah berhasil dicetak di Singapura, , Jakarta, Bombay dan Timur-Tengah. Tafsir Tarjuma>n diperkirakan selesai ditulis pada tahun 1675 M, atau sewaktu ‘Abd al-Rauf masih menjabat sebagai seorang qa>d{i> di kerajaan Aceh. Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), 247. Lihat juga, Hamka, “Aceh Serambi Makkah”, dalam Ali Hasjmy, “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia”, (Medan: PT. Al-Ma’arif, 1993), 221-222. Lihat juga, Arivaie Rahman, Tafsi>r Tarjuma>n Al-Mustafi>d Karya ‘Abd Al-Rauf Al-Fanshuri: Diskursus Biografi, Kontestasi Politis-Teologis, dan Metodologi Tafsir, dalam Jurnal MIQOT, Vol. XLII No. 1 Januari-Juni 2018, 2. 44 Hamzah Fansuri oleh beberapa orang cendekiwan seperti Brakel, al-Attas dan Braginsky meberikan sebuah argument bahwa ia adalah menjadi peletak dasar dalam Bahasa dan Sastra Melayu dalam bentuk Syair. Hal itu berdasarkan pada fakta dan bahwa ia pernah menulis bait-bait yang sangat indah dalam bahasa melayu berisi paham yang dianutnya tentang Wahdatul Wuju>d. Karya lainnya pun bisa dijumpai yang juga dalam bentuk gubahan tasawif, seperti Zi>na>t al-Muwah{idi>n, Asra>r al-‘Arifi>n, Sya’ir Burung Pungguk, al-Mantani Syaah al-Sa>liki>n, Syair Burung ingai, syair perahu dan syair Siding Fakir. Teeuw A, ‘Hamzah Fansuri, Pemula Puisi Indonesia’. Dalam Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994), 44-73. Lihat juga, T. Iskandar, Hari Depan Kebudayaan Aceh, (Makalah disampaikan pada Seminar PKA II di Banda Aceh), 12. 45 Di samping sebagai seorang ulama, Nuruddin al-Raniri juga berperan sebagai seorang negerawan dan politikus di masa kesultananan Iskandar Muda. Keahliannya tidak saja dalam satu bidang disiplin ilmu, tetapi hampir semua cabang ilmu dalam agama ia kuasai secara mumpuni termasuk dalam bidang sastra. Karena kepiawaiannya dalam bidang sastra pada tahun 1630 M ia pun menghasilkan sebuah magum opus yang bernama kitab Busta>n al-Sala>ti>n sebagai sebuah karya dalam kesusasteraan Melayu Kuno. Kitab tersebut berisikan tentang dogma-dogma ajaran yang sangat mendalam dalam aspek budaya melayu ketika itu. Karya lain yang ia tulis ialah tentang bantah terhadapat paham yang bawa oleh Hamzah Fansuri terkait wahdah al-wuju>d bernama kitab Sira>t al-Mustaqi>m. Lihat Denys Lamboard, Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), 210. 46 Teungku Chik Muhammad Pante Kulu adalah pengarang sebuah hikayat yang sangat terkenal dalam benak hati orang Aceh, yaitu Hikayat Perang Sabi. Hikayat ini ia karang sebagai sebuah persembahan unutk membangkitkan semangat menggolora rakyat Aceh dalam melawan Belanda di masa penjajahan. Bahkan Ali Hasyimi menyebutkan bahwa Hikayat tersebut mengandung makna yang begitu mendalam yang disarikan dar kandungan 67 hingga abad ke 17 Aceh menjadi puncak keemasan dari berbagai sektor termasuk dalam hal perkemabangan budaya dan kesusasteraan yang termaktub dalam berbagai pantun, bait syair dan lain sebagainya yang dikenal hingga sekarang dalam sejarah kesusasteraan. Tetapi masa keemasan tersebut hanya bertahan dua abad saja, akibat dari kemunduran pada awal abad ke 18 dengan muncul-muculnya berbagai kerjaan lain di berbagai daerah kepulauan Nusantara. Seperti munculnya kerajaan Islam Melayu di , Palembang, Riau Penyengat, , Banjarmasin, Langkat, Pontianak, Deli, dan Riau Lingga. Pada masa itu bahasa Melayu menjadi sebah bahasa yang sangat bergengsi di tanah Nusantara disebabkan oleh tertariknya para pelajar di dunia Islam untuk menggunakan sebagai bahasa pengantar. Bahkan bahasa ini menjadi perantara interaksi sosial antara sesama masyakarakat baik antar suku, etnik dalam berbagai bidang di Nusantara dalam segala bidang, mulai dari interaksi kegamaan, ekonomi, politik, keilmwan dan lain sebagainya. Karena itu pula bahasa ini menjadi bahasa teladan di penjuru Asia Tenggara ketika itu. Bahkan Braginsky sebagai salah satu peneliti dalam bidang tasawuf melayu mengatakan, bahwa masa periode itu menjadi sebuah periode perkembangan sastra Melayu klasik yang sangat pesat. Indikasi tersebut terlihat pada aspek bahwa para penulis Melayu di Aceh telah mendapatkan sebuah jati diri dan menjadikan mereka pakar dalam bidang tersebut baik secara literer dan estetik.47 Tetapi dalam perkembangannya penggunaan bahasa Melayu di Aceh mengalami kemunduran dan kemerosotan. Hal itu dilihat dari para penulis-penulis Aceh dalam penulisan-penulisan mereka tidak lagi menggunakan bahasa resmi Melayu sebagai bahasa kerajaan pada masa tersebut. Tetapi yang terlihat pada tersebut adalah para penulis sudah mulai menulis karya mereka dalam bentuk sya’ir- syair dengan gaya sastra dalam bahasa daerah masing-masing sebagai saduran dari bahasa Melayu, seperti bahasa Gayo, Aceh, Alas, Melayu berdialek Singkil, bahasa Jamee dan lain sebagainya. Karena faktor itu pula, tidak jarang ditemuka gaya penyampain norma-norma estetika dalam setiap syair tidak pula dapat terhindar dari gaya Melayu msekipun mereka telah melakukan penulisannya dalam bentuk bahasa daerah masing-masing.48 Kedatangan Islam di Aceh juga menjadi salah satu faktor pendukung terhadap berkembanganya penulisan sastra di Aceh dalam ranah inteletual dan mereka yang terpelajar. Seiring dengan perkembangan itu pun pusat kebudayaan Melayu telah mampu bersaing dengan menggantikan Sriwijaya sebagai kerajaan pada masa itu karena mengalami kemunduran yang begitu pesat sebagai kerjaan Hindu dan Budha. Gerakan ini pun terjadi bukan secara kebetulan dan berjalan

    Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan puitis. Lihat Ali Hasyimi, Hikayat Prang Sabi Menjiwai Perang Aceh Melawan Belanda, (Banda Aceh: Firma Pustaka Farabi, 1971), 21. 47 Braginsky, V.I, Tasawuf dan Santera Melayu: Kajian dan Teks-teks, (Jakarta: RUL, 1993). Puisi Sufi erintis Jalan. Ceramah di Sudut Penulis Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur 27-8 Oktober. 48 Abu Deeb, Al-Jurjani’s Theory of Poetic Imagery, (Warminster, Wilts: Aris & Philips Ltd.: 1979), 76. 68 ditempat, tetapi ia berjalan begitu mulus hingga ke masa kerajaan berikutnya sampai masa kerajaan Aceh Darussalam pada mulai tahun 1516-1700 M.49 Ali Hasyimi mengatakan bahwa sejak awal perkembangan Islam di Aceh, bahasa dan sastra Aceh telah menjadi sebuah media dan perantara dalam dakwah Islam dan bahkan menyatua keduanya.50 Bahkan disebutkan dalam literatur sejarah bahwa masyarakat Aceh dalam semua aspeknya telah mencerminkan diri mereka sebagai masyarakat yang menjiwai dalam agamanya. Dan bila dilihat dari segi bahwa bahasa Melayu menjadi bahasa resmi Aceh itu disebabakan oleh faktor adobsi huruf-huruf Arab dari Al-Qur’an karena embrio Islam di Aceh telah ada pada abad pertama hijriah dengan masuknya pengajaran Al-Qur’an di masyarakat Aceh.51 Peran ulama sebagai sastrawan pun begitu memberikan kontribusi besar bagi perkembangan bahasa Melayu-Aceh. Faktu itu pun dapat dilihat dalam banyak karya tulis para ulama tersebut dengan memadukan budaya Melayu, Islam serta kebudayan Nusantara sehingga bisa memberikan warna baru dalam kebangkitan Islam Aceh dan bahakn di Indonesia.52 Data lain juga menyebutkan bahwa kebangkitan sastra Melayu itu bermula dari kerajaan Samudera Pasai yang disebut pula sebagai pusat beradaban kebudayaan Melayu pada abad ke 13 M. Di samping itu, dunia pendidikan Islam juga ikut mengambil andil dalam pengembangan sastra di dunia kepulauan Melayu.53 Ada sebuah buku berjudul Seulawah: Antologi Sastra Aceh diterbitkan pada tahun 1995 oleh Hasyim KS, Taufiq Ismail dan L. K. Ara yang mengatakan bahwa kegiatan penulisan sastra ternyata masih berlangsung hingga akhir abad ke-20. Hal itu dapat dilihat dari beberapa nama orang penulis, seperti Melalatoa, H. S. Ugati, L. K. Ara, Rusli A. Malem, Maskirbi, serta banyak pula penulis-penulis lain yang dianggap penting dalam perkembangan sastra di Aceh pada kirasan tahun 1960 sampai 1990. Namun menjadi sayang, bahwa mereka telah wafat sehingga dalam proses perkembangan selanjutnya pun sulit dilakukan.54 Meski demikian, pada beberapa dekade selanjutknya kegiatan dalam ruang lingkup sastra di Aceh dan beberapa daerah lain yang dianggap terpencil dan pedalaman di Indonesia

    49 Abdul Hadi W.M dkk., Adab dan Adat: Refleksi Sastra Nusantara, (Jakarta: Pusat Bahasa: 2003), 50-52. 50 Ali Hasyimi, Mau Kemana Bahasa dan Sastra Aceh yang Dahulu Pernah Menyatu dengan Dakwah Islamiah, (Makalah Dewan Kesenian Aceh, 1985), 8. 51 Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur’an di Indonesia: Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab, (Bandung: Mizan: 1996), 69-70. 52 Ali Hasyimi, Sumbangan Kesusastraan Aceh dalam PemIbnaan Kesusastraan Indonesia, (Jakarta: Bulan Ibntang, 1977), 24. Lihat juga A. Darwis Sulaiman, Sumbangan Kebudayaan Islam kepada Kebudayaan Indonesia, (Makalah yang disampaikan pada seminar ilmu pengetahuan dan kebudayaan di Takengon Aceh), 15. 53 Bilmauidhah, “Puitisasi Terjemahan Al-Qur’an: Studi Analisis Terjemah Al- Qur’an Bersajak Bahasa Aceh”, Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010), 56. 54 Abdul Hadi W.M, “Sastra Islam di Dunia Melayu-Indonesia”, dalam Taufiq Abdullah dan Nurchalis Madjid (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baroe Van Hoeve: 2002), 23. 69 mengalami kebangkitan. Hal itu dilihat dari munculnya beberapa orang yang kiprahnya begitu aktif dengan beberapa karya mereka yang juga terkenal sekalipun apa bakat mereka adalah terlahir secara otodidak. Para tokoh terenal itu adalah Sulaiman Tripa, Fikar W. Eda, Mustafa Ismail, D. Kemalawati, M. Nazir, dan Azhari.55 Ini tidak berarti bahwa menggeluti ide-ide besar diharamkan, sebab pengarang-pengarang terdahulu yang berhasil juga menggeluti ide-ide yang juga tidak kalah besar dari ide-ide yang berkembang sekarang. Namun motivasi kepengarangan mereka tidak semata didorong oleh ide-ide besar itu, melainkan terutama didasarkan atas motivasi bersastra dan dorongan estetik yang benar. Hamzah Fansuri, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Chairil Anwar, Mochtar Lubis, Pramudya Ananta Toer, Sutardji Calzoum Bachri, Iwan Simatupang, Luntowijoyo, Danarto, Rendra, Subagio Sastrowardojo, Seno Gumilar Ajidarma, Taufiq Ismail, Zawawi Imron, dan lain-lain juga bergelut dengan ide-ide besar. Tetapi motivasi bersastra dan dorongan estetik mereka juga besar, mereka tidak jatuh menjadi korban dari ide-ide besar yang mereka yakini benar. Mereka juga tahu bahwa bakat alam tidak cukup, untuk meminjam istilah Subagio Sastrowardojo. Seorang pengarang dalam dirinya harus mengusahakan dan meningkatkan bobot intelektualnya hingga wawasannya baik secara luas atau mendalam.56 Jika ditelesuri secara lebih mendalam –dalam konteks Aceh- maka akan ditemukan bahwa banyak karya sastra Aceh tertulis dalam bentuk puisi atau hikayat. Hikayat menjadi puncak perkembangan sastra di Aceh yang dengannya juga dakwah dan ajaran Islam tersampaikan kepada seluruh masyarakat. Tetapi pada kemudian harinya hikayat tersebut banyak ditulis dalam bahasa latin dengan mengikuti ejaan bahasa Perancis, sebab banyak ditemukan persamaan bunyi antara bahasa Aceh dan bahasa Perancis baik ditinjau dari huruf hidupnya dan lainnya sebagainya. Trobosan ini dilakukan oleh seorang sejarawan Belanda bernama Snouck Hurgronje yang pernah berada di Aceh sebagai utusan dari kerajana Belanda untuk mengamati keadaan Aceh. Hikayat menjadi bagian interpretasi agama telah menjadi sebuah hal yang tidak dapat dipisahkan semenjak dahulu kala bahkan hingga kini. Lebih dari itu, dalam kurun waktu yang begitu lama masyarakat Aceh begitu menghayati bahkan menyenangi dengan sastra-satra hingga membangkitkan semangat. Hal itu dapat dilihat di semua elemen masyarakat tanpa terkecuali baik dari kaum pemuda, orang tua, pria dan bahkan wanita hingga para pejabat menjadi cenderung dan gembira ketika mendengar dan menyaksikan lantunan-lantunan sajak dan hikayat yang disajikan.57

    55 Abdul Hadi W.M, Penulis Aceh dan Estetika Islam: Dari Sastra Melayu ke Sastra Indonesia, 18. 56 Abdul Hadi W.M, Penulis Aceh dan Estetika Islam: Dari Sastra Melayu ke Sastra Indonesia, 17. 57 Abu Bakar Meulaboh, Prasarana Bahasa dan Kesusastraan Aceh, dalam Petunjuk Panitia PKA II, 1972. 70

    Lebih mendalam M. Naqib al-Attas (1972)58 dengan mengutip Wilhelm Dilthey mengatakan, bahwa pada dasarnya sastra itu tidak terlahir dari sebuah kekosongan dan kehampaan. Artinya, sastra adalah sebuah refleksi yang terlahir dari penghayatan sebuah pengamalan dalam kehidupan dalam aspek sosial budaya kemanusiaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Teori tersebut dibangun dari gagasan pemikiran bahwa sebuah nilai akan menjadi sorotan dan pandangan dunia (worldview) ketika ia telah bangkit pada zamannya. Jika dihubungkan dalam kontek Malayu Aceh, maka nilai-nilai sastra yang muncul itu terbentuk dari pemahaman terhadap doktrin-doktrin ajaran Islam baik dari aspek teologi, estetika, metafisik yang terangkum dalam dunia tasawuf dan kesufian. Maka menjadi suatu hal yang terbantahkan jika ada yang beranggapan bahwa sebuah karya sastra itu muncul secara kebetulan atau hanya khayalan yang dibuat-buat saja. Lebih jauh lagi bahwa perkembangan sastra di dunia Melayu adalah buah tangan dari estetika para ulama sufi pada masa dahulu seperti Ibnu ‘Arabi>, al-Ghaza>li>, Jala>luddi>n Ru>mi>, Fariduddi>n Atta>r, Hamzah Fansu>ri>, dan juga Abdul Rahma>n Ja>mi>. Konsep itu sebanarnya sejalan dengan teori yang dibangun oleh Ignaz Goldziher, Kuntowijoyo, dan Jurgen Habermas dalam perspektif history of idea Qur’anic interpretation yang dikutip oleh Abdul Mustaqim dalam Epistemologi Tafsir Kontemporer mengatakan bahwa perkembangan kajian dalam rangka membaca dan pemahaman penafsiran terhadap Al-Qur’an agar tetap relevan untuk setiap masa dan zaman dapat dilihat dari beberapa peta dan perioderisasi secara rigid. Hal itu menurutnya karena memang begitu sulit mengingat dan memenggal perjalanan tersebut dalam setiap kurun dan waktu di mana tafsir-tafsir tersebut diproduksi.59 Dapat dipetakan kepada tiga masa agar lebih konseptual dan dapat dikaji secara lebih jelas dan sistematis.60 Pertama, tafsir era formatif dengan nalar quasi61 kritis ialah era yang sudah dimulai sejak masa Nabi Muhammad Saw dan yang menjadi sumber penafsirannya adalah langsung kepada Al-Qur’an, al-Hadis (aqwa>l ijtihad Nabi), qira>’a>t, aqwa>l dan ijtihad sahabat, tabi’in dan juga atba’ ta>bi’i>n, cerita Israiliyat, dan juga syair-syair jahiliyah dan era ini berjalan hingga abad kedua hijriah. Kedua, tafsir era afirmatif dengan berbasis nalar idelogis, era fromatif ini terjadi pada abad pertengahan ketika penafsiran Al-Qur’an lebih didominasi oleh kepentingan-kepentingan politik, mazhab, atau ideologi keilmuwan tertentu, sehingga Al-Qur’an seringkali diperlakukan hanya sebagai legitimasi bagi

    58 M. Naqib al-Attas, Prelimanary Statement in a General Theory of Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka: 1969). 59 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS, 2010), 31-32. 60 Lois Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1986), 188-189. 61 Nalar quasi-kritis ialah sebuah model atau cara berpikir yang kurang memaksimalkan penggunaan akal (ra’yi) dalam menafsirakan Al-Qur’an dan juga belum mengemukakan budaya kritisisme. Dalam konteks ini, Muhammed Arkoun cenderung menggunakan istilah nalar mitis (mythitical) sebagai oposisi Ibner terhadap kata rastional. Lihat Ursula Guther, “Muhammed Arkoun: Toward a Radical Rathinking of Islamic Thought”, dalam Suha Taji Faruki (ed.) Modern Muslim Intelectual and The Qur’an, (London: Oxford University, 2004), 144. 71 kepentingan-kepentingan tersebut. Bahkan lebih kasar bahwa pada era ini Al-Qur’an cenderung “diperkosa” menjadi objek kepentingan sesaat untuk membela kepentingan subjek (penafsir dan penguasa). Ketiga, tafsir era reformatif dengan nalar kritis dengan tujuan transformatif. Pada masa ini dimulai dengan munculnya tokoh-tokoh Islam, seperti Sayyid Ahmad Khan dengan karyanya Tafhi>m Al-Qur’a>n dan Muhammad Abduh dengan karya tafsirnya Al-Mana>r yang terpanggil untuk mengkritisi terhadap produk-produk penafsiran ulama terdahulu yang dianggap tidak lagi relevan.62 Langkah tersebut juga ternyata diikuti oleh banyak para tokoh lain, seperti Muhammad Syahrur, Fazlurrahman, Muhammed Arkoun, dan Hassan Hanafi dengan mengedepankan kritis terhadap karya tafsir yang selama ini dikonsumsi oleh umat Islam.63 Pada era reformatif ini, posisi Al-Qur’an (text), realitas (context), dan penafsir (reader) berjalan sirkular secara triadik dan dinamis. Pendekatan hermeutik pun pada akhirnya menjadi trend tersendiri pagi para tokoh era reformatif ini dengan melakukan kajian secara intensif dan berkesinambungan terhadap Al-Qur’an sebagai objek kajian.64 Menariknya kajian tersebut tidak saja dilakukan oleh para sarjanawan muslim, tetapi kajian terhadap Al-Qur’an juga mendapatkan perhatian dari meraka para sarjan dari kalangan non-muslim, seperti Andrew Rippin, John Wansbough, Alford dan juga Stefan Wild. Mereka begitu tertarik mengkaji Al-Qur’an –terlepas dari berbagai latar belakang maksud mereka- karena ada sebuah image atau apresiasi yang muncul dengan begitu tinggi bahwa Islam adalah sebuah agama yang sangat fenomenal dengan menjadi Al-Qur’an pedoman sentral dan diagungkan.65 Berbekal dari perjalanan sejarah tersebut, pada pertengahan abad ke 19 sebagai bagian dari perioderisasi tersebut muncul pula seorang penyair sekaligus sebagai agamawan bernama Teungku Mahjiddin Yusuf yang berusaha mendekatkan Al-Qur’an dalam aspek kebudayaan dalam penerjemahan yang dilakukan. Teungku Mahjiddin Yusuf pada masanya dikenal sebagai seorang yang memeliku darah dan keturunan penyair dengan ayahnya bernama Teungku Fakir Yusuf. Mahjiddin Yusuf mewarisi keahlian yang dimiliki oleh ayahnya sebagai seorang penyair. Maka oleh sebab itu kontribusinya itu nampak sekali setelah melakukan penerjemahan terhadap

    62 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS, 2010), 51-52. 63 Pada masa formalisme produk penafsiran belum terbntuk dalam naskah kitab tafsir sebab rasul dan sahabat seakan menjadi kamus berjalan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Hingga pada masa tabi’ tabi’in pengaruh rasul dan sahabat tetap kuat, sehingga produk penafsirannya pun tidak lepas dari data-data riwayat keduanya yang bersifat afirmatif. Kondisi demikian menjadi cikal-bakal lahirnya metode Tafsi>r bi al-Ma’tsu>r yang menaruh perhatian lebih terhadap aspek riwayat. Lihat lebih spesifik dalam Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS, 2010), 31-53 64 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 51-52. 65 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 52-53, lihat juga Fazlurrahman, “Some Recent Books on the Qur’an by Wester Authors” dalam Jurnal Religion, Vol. 64, 1984,73 72

    Al-Qur’an secara sempurna 30 juz dengan judul Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh. 66 Dalam karirnya, Mahjiddin Jusuf pernah dipercayakan untuk menjabat sebagai salah satu dari anggota Majelis Ulama Aceh (sekarang MPU). Ia telah memberikan sumbangsih yang begitu bagi peradaban keilmuwan dalam bidang kajian Al-Qur’an dan tafsir di Aceh. Karya terjemah terhadap Al-Qur’an dengan gaya puisi dan berbentuk nazam bersajak telah memberikan kontribusi serta manfaat dan bahkan mengangkat kembali wibawa dan marwah bangsa Aceh ke permukaan yang sangat kental dengan keagamaan pada umumnya dan sangat menyukai seni- seni syair dengan elaborasi agama.67 Penggunakan gaya penerjamahan Al-Qur’an dalam bentuk sajak oleh Mahjiddin pada dasarnya hampir menyurupai sebagaimana model dan metode terjemah yang dilakukan oleh HB. Jassin. Jika HB. Jassin tidak terlalu terikat dengan bersajakan dan hanya menyesuaikan Al-Qur’an dan artinya dengan bait-bait prosa, maka Mahjiddin lebih dimana dalam karyanya menerjemahkan karya dengan model puisi bersajak ab ab. Lebih dalam jika diperhatikan pula bahwa nuansa dan karakter kedaerahan yang ditranformasikan dalam karya tersebut begitu kental dengan aspek-aspek akumulasi dan mengkompilasi dengan pemikiran-pemikiran masyarakat Aceh dengan segala bentuk budayanya, tetapi tanpa mengubah makna dan maksud dasar dari Al-Qur’an itu sendiri. Bahkan lebih jauh dapat memberikan pemahaman dan gambaran Al-Qur’an secara sepintas jika para pembaca ingin membacanya. Begitu pula dalam susunan bahasa Aceh yang ia gunakan pun sangat terlihat penguasaan begitu mendalam baik dari segi grammar dan tata bahasa dan juga penyusunan kata-kata serta kalimat yang begitu baik. Aspek lain yang membedakan antara Mahjiddin dengan HB. Jassin ialah pada kepakaran dan juga latar belakang keduanya. Mahjiddin adalah seorang sastrawan sekaligus juga sebagai seorang ulama yang sangat paham akan bahasa Arab dan segala seluk beluk kaedah yang ada di dalamnya. Selain itu juga beliau sangat paham betul dan memahami bahasa Aceh serta kaedahnya secara mendalam. Hal, itu terlihat pada transformasi dan pilihan kata yang beliau gunakan untuk menerjemahkan Al-Qur’an tersebut. Bahkan jika melihat karya awal yang ia tulis dalam bentu bahasa Arab Jawi pegon akan membuktikan bahwa ia adalah seorang yang sangat pakar dalam bahasa Arab.68 Berbeda dengan HB. Jassin yang mendapatkan penolokan juga karena disebabkan latar belakangnnya yang tidak menguasai aspek ilmu keagamaan, seperti ulumul Qur’an, bahasa Arab, dan bahkan juga ilmu-ilmu pendukung lainnya dalam menerjemahkan Al-Qur’an. Hanya saja ia adalah seorang ahli sastra yang sangat dikenal dengan kepakarannya dalam bidang tersebut. Tetapi meskipun begitu bukan harus serta merta ia dapat menerjemahkan

    66 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, (Banda Aceh: Pusat penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) Aceh, 2007), xv. 67 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, xix. 68 Wawancara dengan Azman Ismail, tanggal 14 Oktober 2019 di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. 73

    Al-Qur’an dalam bentuk puisi dan bahkan terlebih lagi ia meletakkan lay out Al- Qur’an sama persis seperti bait-bait puisi dalam bahasa Indonesia.69

    C. Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bersajak 1. Biografi Penulis Teungku70 Mahjiddin Jusuf lahir di Peusangan Aceh Utara (sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Bireun), salah satu Kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam, bertepatan pada pada tanggal 16 September 1918.71 Mahjiddin adalah termasuk orang yang tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan yang sangat islami. Ia Menghabiskan masa kanak-kanaknya dalam asuhan keluarga yang begitu taat beragama. Mendapat pendidikan langsung dari orang tuanya sendiri yaitu Teungku Fakir Jusuf, yang juga merupakan salah seorang ulama dan penyair dan pengarang hikayat72 di daerah Peusangan Aceh Utara. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di berbagai dayah73 di Aceh Utara, seperti ‘Balee Setui’, ia menempuh pendidikan nonformal pada orang tuanya, kemudian melanjutkan ke Peverlop School, setingkat sekolah dasar pendidikan Belanda yang terdiri dari lima tingkatan kelas. Setelah menamatkan studi pada

    69 Islah Gusmian, “Kontroversi Mushaf Al-Qur’an Berwajah Puisi Karya HB. Jassin (Studi tentang Tatacara Penulisan dan Layout Mushaf Al-Qur’an)”, Jurnal Al-Itqan, Vol. 1, No. 1, Februari-Juli, 2015, 44-48. 70 Teungku adalah gelar penghormatan kepada ulama. Gelar ini berbeda di beberapa daerah misalnya di Jawa dikenal dengan sebutan kyai, di Sunda dikenal dengan ajengan, di Sumatra Barat dikenal dengan buya, di Nusa Tenggara Barat dikenal dengan tuan guru, di Sulawesi Selatan disebut dengan topandita, di Madura dikenal dengan nun atau bandara. Di Aceh dipanggil teungku. Lihat Subhan SD, Ulama-ulama Oposan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), 21. Gelar teungku hanya diberikan kepada orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama, berakhlak mulia dan dalam waktu tertentu menuntut ilmu ke salah satu dayah. Dalam perkembangan selanjutnya, teungku dianggap sebagai panggilan penghormatan terhadap orang-orang tertentu yang dianggap atau dirasa perlu dihormati. Lihat Alfian, The Ulama in Acehnese Society: A Preliminary, Observation, (Banda Aceh: Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Aceh, 1975), 2. 71 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim, xix. 72 Dalam masyarakat Aceh akan dijumpai sejumlah karya sastra dari zaman lampau. Di antara karya sastra itu ialah hikayat. Hikayat ditulis hampir seluruhnya berbentuk puisi dengan menggunakan huruf Arab-Melayu tetapi tetap dalam teks berbahasa Aceh. Ditinjau dari segi masyarakat Aceh, hikayat tidaklah dipandang sebagai karya fiksi yang utuh. Hikayat dan cerita rakyat semacam itu lebih berat dipandang sebagai suatu peristiwa kehidupan yang benar-benar ada dari pada sebagai buah pikiran pengarangnya. Juga, isi kandungan hikayat dianggap mewakili sekelumit peristiwa kehidupan sosial Aceh sehingga amat mempengaruhi tingkah laku, norma atau nilai-nilai sosial, kehidupan bermasyarakat dan berbudaya pada umumnya. Lihat Ahar, “Sastra dan Kritik Sastra”, Horison, No. 3 Maret 1974. Lihat Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, Terj. Ng. Singarimbun, (Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985), 289-302. 73 Istilah dayah berasal dari bahasa Arab Zawiyah yang berarti pojok, sudut, bagian dari satu tempat bangunan. Lihat Ishak Kasim, Struktur Organisasi dan Kurikulum Dayah, dalam hasil kesimpulan pertemuan ilmiah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 1985, 3-4. Istilah Dayah berarti “ Sekolah Tinggi Aceh”. lihat Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh, 313. Lihat juga, Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim, xii. 74 jenjang ini ia melanjutkan kembali studinya pada Madrasah al-Muslim Matang Geulumpang Dua sampai tahun 1937. Pada dekade 1939, Mahjiddin memutuskan untuk menimba ilmu ke Sumatera Barat pada sebuah sekolah terkenal pada waktu itu yang bernama Normal Islam School di Sumatera Barat. Pada akhirnya menyelesaikan studi pada tahun 1914 dengan kelulusan peringkat terbaik. Setelah kepulangannya dari Sumatera Barat pada akhir tahun 1914 ia kembali ke kampung kelahirannya dan menjadi pendidik di sekolah al-Muslim. Pada tahun 1944-1946 ia dipercaya untuk memimpin sebuah Madrasah al-Muslim. Perjalanan karirnya terhenti disebabkan Mahjiddin terpilih menjadi Kepala Nanggroe (Negeri) pertama Peusangan atau Wakil Kepala Negeri Keresidenan Bireun (setingkat camat) di Daerah Kabupaten Aceh Utara setelah kemerdekaan hingga pada tahun 1948. Berkat kepiawaiannya, Mahjiddin hijrah ke jantung kota Banda Aceh yang pada saat itu masih bernama Kutaraja karena ia disenter untuk menduduki sebuah jabatan penting di pemerintahan. Bertepatan pada bulan Januari tahun 1949 ia ditugaskan kembali untuk menjabat sebuah instansi sebagai Kepala Pendidikan Agama pada Jawatan Departemen Agama Banda Aceh. Ketika Provinsi Aceh dilebur oleh Pemerintah Pusat, Mahjiddin masih dipercaya untuk menjabat sebagai Kepala Pendidikan Agama Provinsi Sumatera Utara. Jabatan ini tidak berlangsung lama, hanya sekitar satu tahun, kemudian ia pulang kembali ke Banda Aceh dan menjabat kembali Kepala Bagian Pendidikan Agama Aceh.74 Pada saat peristiwa Aceh bergolak, Mahjiddin sempat ditangkap dan ditahan serta diasingkan ke penjara Binjai pada tahun 1953.75 Namun, setelah empat tahun yaitu pada tahun 1957 Mahjiddin dibebaskan. Setelah bebas, ia kembali berkiprah dalam dunia pendidikan yang berada di jajaran Departemen Agama, pindah dari satu jabatan ke jabatan yang lain dan terakhir menjadi Kepala PGA Negeri 6 Banda Aceh dari tahun 1963 sampai pensiun tahun 1974.76 Di samping pekerjaan dan jabatan sebagai pegawai negeri sipil, Mahjiddin juga pernah menjabat sebagai anggota DPRD Propinsi Aceh dan Sumatera Utara mewakili partai politik Islam Masyumi.77 Sebagai tokoh agama karismatik, ia juga

    74 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim, xx. 75 Aksi DI/TII (Darul Islam/ Negara Islam Indonesia) di Aceh dipimpin oleh Tgk. Muhammad Daud Beureueh, ketika itu, mayoritas ulama-ulama Aceh yang diduga terlibat dalam partai politik yang pada saat itu Masyhumi dan akhirnya beliau ditangkap dan dipenjarakan oleh TNI. Dalam tahanan inilah, Mahjiddin Jusuf mulai menuliskan al-Qur’ân dan terjemahan bersajak bebas dalam Bahasa Aceh dan berhasil menerjemahkan tiga buah surat yaitu: Ya sin, al-Kahfi dan al-Insyirah. Lihat Hendra Gunawan SS, M. Natsir dan Darul Islam, Studi Kasus Aceh dan Sulawesi Selatan Tahun 1953-1958, (Media Dakwah: Jakarta, 2000), 54. 76 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim, xx. 77 Sejarah Bangsa Indonesia mencatat nama besar Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai partai Islam terbesar yang pernah ada. Masyhumi didirikan dalam Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 7-8 November 1945. Setelah berdiri, Masyhumi tersebar merata di segenap penjuru tanah air. Hal itu dapat terjadi karena dukungan dari organisasiorganisasi yang loyal kepada Masyhumi. Ada delapan unsure organisasi pendukung Masyhumi yakni, NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam 75 diangkat menjadi iman Mesjid Raya Banda Aceh dan pernah juga menjadi dosen luar biasa di Institut Agama Islam Negeri IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, serta beberapa jabatan lainnya dalam berbagai organisasi sosial kemasyarakatan. Karena diakui sebagai ulama yang berilmu luas, Mahjiddin juga pernah menjabat sebagai ketua Yayasan Pendidikan Umat Islam, Dewan Pertimbangan Majelis Ulama, Panitia Persiapan Pembentukan IAIN Ar-Raniry, Yayasan Dana Kesejahteraan Aceh, dan sebagai pendiri Pondok Pasantren Darul Ulum Banda Aceh. Ikut berkiprah dalam bidang agama di Departemen Agama, pindah dari satu jabatan ke jabatan yang lain dan terakhir menjadi kepala PGA (Pendidikan Guru Agama) Negeri 6 Banda Aceh. Di usianya yang telah senja, Mahjiddin menulis berbagai karya, di antara karya-karya beliau dalam bidang pendidikan, ia menulis beberapa buku pelajaran dan buku bacaan untuk murid-murid SRI (Sekolah Rakyat Indonesia) yang sekarang lebih dikenal sebagai Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) dalam bidang tafsir, bahasa arab dan pelajaran bahasa aceh pada tahun 50-an. Di samping itu ia juga mengarang beberapa hikayat dalam bahasa aceh yang kesemuanya masih berbentuk naskah yang belum dipublikasikan. Sebuah naskah tentang riwayat hidup dan kepenyairan orang tuannya yang berjudul Fakir Yusuf. Beberapa hikayat Aceh yang pernah ditulis pada tahun 1984 untuk kalangan keluarga dalam bentuk stansilan atau lembaran-lembaran kecil. Termasuk karya ayahandanya yang ia salin kembali, seperti Hikayat Nabi Yusuf dan Hikayat Nabi Adam. Juga karya tafsirnya Al-Qur’an Terjemahan Bersajak Bebas Dalam Bahasa Aceh merupakan khasanah lokal karya terbesar dari Mahjiddin Yusuf yang lengkap 30 juz, ditulis dalam bahasa Arab Jawi Aceh berbentuk sastra sekaligus ditafsirkan sesuai dengan konteks kedaerahan diparuh abad-20 di Tanah Rencong Nanggroe Aceh Darussalam. Mahjiddin Jusuf dipanggil oleh sang Khalik pada malam hari raya fitrah 1415 H bertepatan pada tanggal 14 Maret tahun 1994 M dalam usia 76 tahun, dan dimakamkan di pemakaman keluarga di Kelurahan Beurawe Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh.

    Setting Sosial dan Politik Situasi politik di Aceh sangat berpengaruh terhadap perkembangan lembaga pendidikan terutama dayah. Perang Aceh yang berlangsung sejak tahun 1873-1903, telah membawa dampak pada pembahruan, khususnya pendidikan di Aceh.78 Mahjiddin, seperti yang digambarkan dalam sejarah hidupnya selayang pandang di atas, dilahirkan, dibesarkan, bahkan hidup pada masa masyarakat yang sedang disentuh pembaharuan peningkatan pendidikan di Aceh setelah masa perjuangan merebut kemerdekaan. Usaha melanjutkan perjuangan dilakukan dengan gagasan pembaharuan politik perang baru dengan maksud dan tujuan mengusir tentara Belanda setelah pihak Belanda melakukan pengkhianatan terhadap perjuangan

    (PERSIS), Persatuan Umat Islam, al-Irsyad, Ma’iyatul Washliah, al-Ittihadiyah dan Persatuan Umat Islam Seluruh Aceh (PUSA). Lihat, M. Hermawan Ibn Nurdin, Kiprah dan Jejak Politik Masyhumi, Majalah SAKSI, Edisi Oktober, 2005. 78 Abudin Nata (ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo: 2001), 50. 76 rakyat Aceh. Belanda harus diusir dari tanah Aceh. Para ulama merumuskan dua strategi perang, yang pertama Perang Gerilya dalam segala macam bentuk akan dilanjutkan sampai Belanda angkat kaki dari Aceh. Kedua, Perang Politik, yang terutama dilandaskan pada peningkatan pendidikan rakyat, terutama pendidikan Islam.79 Pendidikan dan pengajaran Islam dilaksanakan kembali dengan membangun dayah. Birkisar antara tahun 1915–1930 telah berdiri dayah-dayah di berbagai pelosok tanah Aceh,80 yang berfungsi untuk menyiapkan dan membina tenaga- tenaga pejuang kemerdekaan, yang perjuangannya didasarkan atas ajaran Islam. Pembaharuan pendidikan di Aceh terus berlanjut sampai pada tahun 1930-an mulai dikembangkan pendidikan Nasional, dengan lahirnya perguruan Taman Siswa, Madrasah al-Muslim Matang Geulumpang Dua, juga di bidang pendidikan agama, pembaruan paham dan ajaran Islam. Sekolah agama tingkat Tsanawiyah tumbuh sejak tahun 30-an hingga berkelanjutan sampai sekarang. Ketika Belanda mulai memperkenalkan sekolah Belanda di Aceh, seperti ELS, MULO, HIS dan bahkan kelas khusus untuk keturunan Cina, Arab dan Ambon. Maka untuk pribumi mereka juga membangun sekolah desa. Menghadapi pendidikan model ini dayah justru mempertahankan nilai tradisionalnya.81 Mereka melarang meniru gaya Belanda, sikap seperti ini membuat dayah tidak begitu diminati seperti masa kejayaan Aceh. Hal seperti ini disebabkan juga akibat perang yang terus terjadi secara bekesinambungan. Karena faktor ini pula yang menjadi pendorong orang Aceh untuk mengirim anaknya belajar agama ke luar Aceh, seperti antara lain ke Minangkabau, Mesir, Jawa dan lain sebagainya. Umumnya mereka memilih sekolah-sekolah yang dikelola oleh muslim modernis. Maka setelah pulang ke Aceh, mereka menjadi pembaharu dan mendirikan sekolah-sekolah modern.82 Selain itu, dalam seting historis pada tahun 1950-an sampai 1960-an, Aceh sedang mengalami peristiwa pemberontakan Darul Islam (DI), yang telah belangsung sejak 1948 di Jawa Barat dan meluas sampai ke seluruh Nusantara, dan sampai ke Aceh pada tahun 1953. Pemberontakan tersebut secara bebas menyatukan agenda yang berbeda untuk membentuk federasi negara-negara Islam (Negara Islam Indonesia, NII).83 Kekecewaan masyarakat Aceh memuncak menjadi

    79 Ali Hasyimi, Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemedekaan Indonesia, (Jakarta: Bulan Ibntang: 1976), 58-60. 80 Seperti Dayah Lhok Bubon, Dayah Jram, Dayah Daya, Dayah Montasik, Dayah Bitai, Dayah Bung Cala, Dayah Piyieng, Dayah Lam Ara, Dayah Seulimum, Dayah Garot, Dayah Smalanga, Dayah Pante Geulima, Dayah lang Bladeh, Dayah Simpang Ulim, Dayah Idi dan masih banyak lagi. Ali Hasyimi, Peranan Islam dalam Perang Aceh, 59-60. 81 Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan: 1987), 204. 82 Ibrahim Alfian, “Ulama dan Masyarakat Aceh” dalam Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah, (Jakarta: LP3ES: 1989), 174-175. AK. Jacobi, Aceh Daerah Modal, (Jakarta: Pelita Persatuan, 1992), 234-235. 83 Kesepakatan Aceh untuk keanggotaan atas negara baru, Indonesia, pada tahun 1949 secara lokal dipahami sebagai bergabung berdasarkan perlakuan yang setara merefleksikan kotribusi Aceh terhadap perjuangan antikolonial dan penegakan prinsip- prinsip Islami. Namun, Aceh hanya menikmati otonomi luas kurang dari satu tahun sebelum 77 pemberontakan pada September 1953 ketika para pemberontak lokal dipimpin oleh ulama Aceh paling berpengaruh, Teungku M. Daud Beureueh, bergabung dengan pemberontakan Darul Islam. Hanya setelah Januari 1957, ketika pemerintahan Presiden Soekarno membentuk kembali Provinsi Aceh, yang menumbuhkan harapan di kalangan para pemimpin Darul Islam bahwa Aceh akan dapat segera bebas untuk menerapkan syariah, keterlibatan rakyat Aceh dalam pemberontakan Darul Islam secara perlahan berkurang.84 Diduga terlibat dalam peristiwa di atas, Mahjiddin Jusuf (1918-1994 H) di antara sejumlah tokoh yang ditahan pada waktu itu, seperti pemimpin Muslim dan ulama lainnya, Mahjiddin menulis karyanya tersebut selama berada dalam tahanan, yaitu di penjara kota Binjei yang dijatuhkan oleh pemerintah Indonesia ketika terjadi perlawanan Rakyat Aceh dalam peristiwa DI/TII di Aceh. Penahanannya di Binjei merupakan awal kehidupan baru baginya, di mana Al-Qur’an menjadi perhatian utama dalam setiap detik. Pada satu sisi ia memanfaatkan kesempatan itu dengan aktivitas religius, mencoba menerjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa Aceh bersajak bebas, keahlian bersajak atau berhikayat yang diwariskan dari ayahnya Teungku Fakir Yusuf. Kondisi politik pada saat itu sangat berpengaruh terhadap perkembangan kegiatan intelektual Mahjiddin Jusuf. Upaya untuk memahami sebuah karya tafsir sebagai sebuah teks produk anak zaman dalam konteks pergaulan sosio historinya dalam era konflik merupakan kajian yang unik dan menantang intelektual. Sayyid Qutb misalnya menulis sebuah karya tafsir bernama tafsi>r fi> z{ila>l Al-Qur’a>n dalam tahan penjara. Di dalam tafsirnya itu begitu kental pula warna politis dengan corak haraki yang ada pada karya tersebut. Karena alasan itu pula, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan mengkaji lebih dalam secara spesifik terkait persoalan ini. Dan yang perlu diungkapkan dalam penelitian ini adalah sejauh mana seorang mufassir memperlakukan Al-Qur’an sebagai sebuah teks suci yang lahir pada konteks masa budaya dan historis tertentu.

    penggabungan ke dalam provinsi Sumatera Utara sebagai bagian dari reorganisasi administratif oleh Jakarta dengan menjadikan Indonesia hanya 10 provinsi. Kesan yang kuat akan pengkhianatan dalam keputusan ini di Aceh diperparah oleh masuknya orang-orang non-Aceh, pekerja migran non-muslim dan pasukan militer ke wilayah ini, serta memburuknya kondisi sosial ekonomi karena lebih besar porsi dari anggaran nasional mulai dialokasikan ke Jawa daripada pulau-pulau lainnya. 84 Sebagai bagian upaya Jakarta untuk mencapai kesepakatan dengan pemberontak Darul Islam Aceh, Presiden Soekarno juga menawarkan Aceh secara prinsip status ‘Daerah Istimewa’ pada 26 Mei 1959 dengan memberikan otonomi luas ke provinsi ini dalam hal agama, pendidikan, dan adat istiadat. Tawaran ini menanggapi usulan otonomi sebelumnya yang diajukan oleh mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Darul Islam, Hasan Saleh, yang berakar dari realisasi pragmatis bahwa satu-satunya cara untuk memenangkan konsesi untuk Aceh adalah melalui pendekatan lokal terhadap tujuan-tujuan Islamis yang luas para pemberontak. Meskipun tuntutan otonomi awal oleh para pemberontak Darul Islam adalah federalisme yang luas, Jakarta menganggap sebuah federasi Islam (NII) sama saja dengan kembali ke sistem kolonial Belanda yang tidak dipercaya lagi, sebuah argumen kontra- federalis yang dapat muncul kembali dalam perdebatan-perdebatan tentang desentraliasi pada masa pasca-Soeharto. 78

    2. Biografi dan Karakterisitik Al-Qur’an dan Terjemahan Bersajak Aceh Pada dasarnya, setiap terjemahan atau bahkan karya tafsir Al-Qur’an85 dalam bahasa apapun memiliki ciri khas dan karakteristik tersendiri sesuai dengan latar belakang yang menulis dan juga konteks yang terjadi di sekitaran penulis. Masing-masing penerjemah dan penafsir ingin meninjaunya sesuai dengan wawasan dan bidang keilmuwannya, sehingga setiap tafsir akan memberi manfaat tersendiri pula kepada pembacanya dengan bidang dan kajian yang ingin dicari dan digeluti pula. Karena pada dasarnya realitas kehidupan adalah medan di mana penafsiran Al- Qur’an menjadi orientasi konteks untuk merealisasi teks yang telah diturunkan Tuhan. Latar belakang sosial historis di mana teks muncul dan diproduksi menjadi variabel penting. Namun semua itu harus ditarik ke dalam konteks penafsir atau penerjemah di mana ia hidup dan berada, dengan pengalaman budaya, sejarah dan sosialnya sendiri.86 Pengalaman ini akan memberikan warna dan nuansa dalam karya yang dihasilkannya. Konteks tersebut teraplikasi dalam Terjemahan Al-Qur’an Al- Karim dan Terjamahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh karya Mahjiddin Jusuf yang memperkenalkan dirinya sebagai kitab terjemahan satu-satunya dalam bahasa Aceh yang menekankan pada aspek sastra atau ranah kebudayaan pada umumnya dalam konteks masyarakat Aceh. Latar Belakang dan Motivasi Penulisan Terjemah Al-Qur’an Bersajak Aceh Karya yang menjadi magnum opus dari Mahjiddin Jusuf berjudul Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh mulai dituliskan dan diterjemahkan pada pertengahan abad ke 19, bertepatan pada tanggal 25 November

    85 Terjemah Al-Qur’an seperti yang diungkap al-S{a>bu>ni>; mengalihkan Al-Qur’an kepada bahasa asing selain bahasa Arab, dan terjemahan tersebut dicetak dengan tujuan agar dapat dikaji oleh mereka yang tidak menguasai bahasa Arab sehingga dapat mengerti maksud dari firman Allah tersebut dengan bantuan terjemahan tadi. Khalid ‘Abd al-Rahman al-‘Akk menyebutkan bahwa terjemah Al-Qur’an adalah mengalihkan makna atau sebagian makna Al-Qur’an. Sebatas kemampuan dan kebolehan yang diberikan ilmu tafsir dan takwil, dan bukan berarti menyalin Al-Qur’an asli. Muhammad `Ali> al-S{a>bu>ni>, al-Tibya>n fi> `Ulu>m Al-Qur’a>n (Beirut: A>lam al-Kutub, t.th.), 210-214. Kha>lid ‘Abd al-Rahma>n al-Akk, Usu>l al- Tafsi>r wa Qawa>’iduhu, (Beirut: Da>r al-Nafa>’is, 1986), 461-483. 86 Farid Essack adalah salah satu contoh yang baik dalam pendekatan ini. Essack menempatkan Al-Qur’an dalam ruang sosial di mana ia berada, sehingga sifatnya bukan lagi kearaban yang umum. Tidak ada tafsir atau ta’wi>l yang bebas nilai. Penafsiran Al-Qur’an bagaianapun adalah exegesis yang memasukkan wacana asing ke dalam Al-Qur’an (Reading into) sebelum exegesis mengeluarkan wacana dari Al-Qur’an (reading out). Lihat, Farid Esack, “Contemporary Religious Thought in South Africa and The Emergence of Quranic Hereneutical Nations”, dalam ICMR, Vol. 2, No. 2, Deseber 1991. Secara teoritik dan praktek lihat bukunya Farid Esack, Quran Liberation and Pluralism: An Islamic Perspektif of Interreligious Solidarity Againts Opression, (Oxford: Oneworld, 1997), 49, 77. Perlu adanya usaha pengembangan kajian Al-Qur’an termasuk di Indonesia. Kajian Al-Qur’an yang bertitik tolak tidak hanya pada problem sosial kemasyarakatan yang membangun teks Al-Qur’an, tetapi juga problem sosial kemasyarakatan, di mana penulis tafsir berada bersama audiensnya. Ishlah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; Dari Hermeneutika hingga Idiologi, (Jakarta: Teraju, 2003), 255. Lihat juga, J.J.G. Jansen, The Interpretation of The Qur’an in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1974). 79

    1955 ketika ia berada dalam tahanan.87 Penulisan itu pun dilakukan oleh Mahjiddin di dalam penjara ketika meletusnya peristiwa DI/TII yang oleh penguasa beranggapan bahwa Mahjiddin termasuk dalam kelompok tersebut, sehingga ia pun tertangkap dan di dalam tahanan itu pula lah ia mulai menulis karya tafsir atau terjemah tersebut. Surat Ya> Si>n, al-Kahfi dan al-Insyirah } menjadi fokus awal penerjemahan yang dilakukan oleh Mahjiddin ketika berada di dalam tahanan. Penulis tidak menemukan alasan yang lebih spesifik mengapa ia memulainya dengan tiga surah tersebut. Tetapi agaknya penulis bisa memberikan pendapat dan asumsi bahwa ia memulai dengan tiga surah tersebut karena ada anggapan bahwa masyarakat Aceh hampir sering kali membacakan tiga surah tersebut dalam keseharian mereka. Hal memang sungguh sangat beralasan, barangkali disebabkan oleh fadhilah, kelebihan dan keutamaan yang dikandung oleh ketiga surah tersebut dan masyarkat Aceh pun memiliki sebuah kebiasaan membaca tiga surah itu dalam setiap kegiatan ibadah dan juag kegiatan keagamaan mereka lainnya. Penulisan terjemahan tersebut oleh Mahjiddin Jusuf sempat terhenti selama lebih kurang 20 tahun dan dilanjutkan kembali pada tahun 1977 setelah ia dibebaskan dan terselesaikan pada tahun 1988.88 Pada bulan Januari dan Februari tahun 1965 terjamahan ini pernah pula dipublikasikan dalm harian Aceh Duta Pantjatjita secara berkesinambungan. Berlanjut pada Tahun 1995, oleh Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) Aceh mengambil sebuh inisitif baru untuk menyunting dan menerbitkan naskah Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh ini. Penerbitan itu pula harus dengan melalui proses suntingan dan pengalihan aksara dari aksara Arab pegon (Arab Melayu) kepada bahasa latin untuk tujuan penerbitan dan dicetak. Hal itu dimaksudkan agar karya tersebut bisa dinikmati manfaatnya secara umum dan bersama oleh seluruh masyarakat Aceh. Motivasi Mahjiddin Jusuf menulis karya ini adalah untuk memberi pemahaman Al-Qur’an kepada masyarakat Aceh secara baik. Ditulis dalam bentuk puisi dan bersajak karena berlatar belakang bahwa masyarakat Aceh dari semanjak awal hingga hari ini sangat gemar dan menyukai hikayat yang mampu dilantunkan sebagaimana lantunan puisi. Bahkan hal itu diupayakan secara lebih lanjut oleh tim punyunting menulisnya dalam bahasa latin untuk memudahkan pemahaman kepada para masyarakat yang mulai dikerjakan pada bulan Ramadhan tahun 1413 (April 1993) yang pada awalnya karya tersebut berbentuk tulisan Arab pegon (Arab Melayu). Proses ini pun selesai dikerjakan pada Ramadhan 1414 (Maret 1994), dan selama itu telah dilakukan tiga kali konsultasi atau diskusi dengan pengarangnya. Diskusi terakhir berlangsung hanya beberapa hari sebelum Mahjiddin meninggal dunia. Setelah itu kegiatan dilanjutkan dengan pemeriksaan ejaan yang berakhir dalam bulan Juli 1994.89

    87 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, (Banda Aceh: Pusat penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) Aceh, 2007), xx. 88 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim, xx. 89 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim, xv. 80

    Demi mempertimbangkan semua hal, maka hasil pekerjaan ini dikoreksi kembali dan mencapai batas final pada bulan september 1994. Sesuai dengan kemampuan dana, maka penerbitan ini pada mulanya direncanakan hanya berisi terjemahannya saja tanpa disertai dengan teks asli Al-Qur’an. Namun ketika naskah tersebut ditujukan kepada beberapa pihak untuk memperoleh kritik dan sumbang saran demi kesempurnaan, maka disarankan untuk mencantumkan nash Al-Qur’an. Karena hal tersebut, P3KI meminta Team menjajaki kemungkinan penulisan nash Al-Qur’an tersebut. Upaya ini berjalan lancar setelah Lajnah Pentashih Al-Qur’an Departemen Agama memberikan bantuan serta memeriksa dan akhirnya memberikan izin penerbitan. Nash Al-Qur’an yang digunakan adalah nash standar Indonesia, seperti yang tertulis dalam Al-Qur’an dan Terjemahannya terbitan Departemen Agama.90 Dewan pentashih Terjemahan Al-Qur’an Bahasa Aceh ini diketuai oleh Abd Hafidz Dasuki dan empat belas anggota lainnya. Dalam pertemuan dan diskusi antara Mahjiddin Jusuf dengan Tim Penyunting, terasa kesungguhan dan penguasaan penerjemah terhadap hasil pekerjaannya. Terkesan sekali bahwa ia sangat menguasai bahasa Arab91 dan bahasa Aceh secara berimbang. Syarat utama dan pertama yang harus dipenuhi oleh seorang penerjemah adalah menguasai bahasa Sumber (Source Language) dan bahasa Sasaran (Target Language).92 Penguasaan bahasa termasuk salah satu instrumen dalam penerjemahan. Di antara instrumen lainnya adalah penguasaan ayat-ayat dan

    90 Adapun hal penting yang melatarbelakangi terjemahan ini dilakukan, yaitu, kehadiran terjemahan lengkap kitab suci Al-Qur’an dalam bahasa Aceh merupakan sumbangan yang patut membanggakan hati rakyat Indonesia pada umumnya dan rakyat Aceh pada khususnya. Menurut GBHN, Bahasa Daerah adalah bagian dari khazanah budaya Indonesia. Menghadirkan terjemahan Al-Qur’an agar dipahami kandungannya bagi masyarakat muslim yang belum mengetahui bahasa Arab, dan melalui terjemahan tersebut bisa memberikan kemudahan bagi masyarakat yang sudah memahami bahasa Arab namun lemah dalam menerjemahkan ke dalam bahasa Aceh dengan susunan bahasa Aceh yang baik dan benar. Karenanya harus dipelihara dan dilestarikan. Lahirnya terjemahan ini telah menambah intelektualisme dan khazanah budaya muslim Indonesia, lebih-lebih karena etika dan estetika Bahasa Aceh dipadukan dengan berbagai konteks yang terkandung dalam penafsiran Al-Qur’an. Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an al-Karim, xv-xvi. 91 Untuk dapat memahami teks Al-Qur’an, setiap mufasir atau penerjemah dituntut supaya membekali dirinya dengan sejumlah cabang ilmu pengetahuan. Para ulama mengemukakan bahwa ilmu yang harus dimiliki mufassir yaitu: Bahasa Arab dan Nahwu, Sharf , ilmu-ilmu balaghah, ilmu Ushul al-Fiqh, ilmu Tauhid, ilmu asbab al-Nuzul, ilmu al- Qasas, ilmu al-Nasikh wa al-Mansukh, hadits-hadits yang menjelaskan tentang ayat-ayat yang mujmal dan yang mubham. Lihat Muhammad ‘Abd ‘Az{i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-Irfa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, juz 2, (Beirut: Isa Babi al-Halabi, t.t.), 51. Lihat juga Jala>l al-Di>n al- Suyu>t{i>, al-Itqa>n fi> Ulu>m Al-Qur’a>n, juz 2, (Mesir: Mat{ba’ah al-Azhar, 1318 H), 180-182. 92 J.C. Corford, Naza>riyyah Lughawiyyah li al-Tarjama>t, Terj. Abd al-Ba>qi>, (Basrah: Da>r al-Kutub, 1964), 43. Lihat, al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n, 113. Lihat juga Ibra>hi>m Za>ki> al-Khursyid, al-Tarjama>t wa Musykila>tuha>, (Mesir: Da>r al- Kutub, 1985), 59. Viggo Hjornager Pedersen, Essays on Translation, (Kobenhaven: Nyt Nordisk Forlog Arnol Busck, 1998), 16- 17. 81 hadis yang relevan.93 Al-Ja>h>iz juga mengatakan, penerjemah hendaklah orang yang menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran dengan tingkat penguasaan yang sama. Juga harus mengetahui karakteristik, watak dan gaya kedua bahasa. Memiliki wawasan pengetahuan yang luas terutama berhubungan dengan latar belakang ayat yang diterjemahkan. Penguasaan wawasan kebudayaan merupakan poin tambahan dalam terjemahan Mahjiddin, di samping penguasaan topik akademik yang menuntut spesialisasi ilmu.94 Menurut Mary Snell Homby, persyaratan mengenai wawasan kebudayaan harus disadari dan dimiliki penerjemah.95 Setelah melakukan suntingan dan pengalihan aksara tersebut oleh para tim penyunting, 96 maka oleh pihak P3KI mencetak edisi pertema dengan sangat terbatas dan habis dengan begitu cepat. Hal itu karena mengingat respon dan minat masyarakat terhadap karya itu begitu besar. Karena itu pula pihak P3KI melalui pemerintah Aceh dan bekerjasam pula dengan Badan Rehabilitas dan Rekonstruksi (BRR) Nanggroe Aceh Darussalam- Nias (NAD-Nias) mengakomodir secara baik untuk melakukan cetak ulang terhadap karya terjemah tersebut pada tahun 1997.97

    93 Al-S}a>buni>, Mukhtas}ar Ibn Katsi>r, (Beirut: Da>r Al-Qur’a>n al-Kari>m, 1981), dan Jala>l al-Di>n al-Sayu>t}i>, Da>r al-Mansu>r, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1983). 94 Zaki Khursyid, al-Tarjama>t wa Musykila>tuha>, 65. 95 Mary Snell Hornby, Translation Studies: An Integrated Approach, (Amsterdam: John Benjamin Publishing Company, 1998), 42. 96 Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI), P3KI Luncurkan Terjemah Al-Qur’an Bahasa Aceh , lihat http://Al-Qur’an-batak.blogspot.com, diakses 6 November 2019. Tim Penyunting edisi kedua ini diketuai oleh Abdul Gani Asyik, ketua pengarah Ahmad Daudy, sekretaris oleh Abdul Rani Usman, anggota-anggota Zulkarnaini Abdullah, Hamdiah A. Latief, Ramly M. Yusuf. Dalam edisi kedua ini dilakukan beberapa penyempurnaan, terutama dalam hal standarisasi penulisan ejaan bahasa Aceh yang mengacu pada karya Abdul Gani Asyik, seorang linguisi (ahli bahasa) yang telah banyak meneliti dan menulis tentang Bahasa Aceh, termasuk versi ejaan bahasa Aceh yang digunakan dalam penulisan terjemahan Al-Qur’an ini. Selain itu penataan juga dilakukan pada beberapa elemen kata maupun kalimat yang keliru. Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang mencetak ulang Al-Qur’an terjemahan bahasa Aceh dikirim ke sejumlah negara. Sekretaris tim penyunting A.Rani Usman mengatakan sejumlah negara yang dikirim Al-Qur’an terjemahan bahasa Aceh itu antara lain Mesir, Malaysia, Belanda, Kanada, Taiwan dan beberapa negara lainnya. Pengiriman hasil karya ulama Aceh itu dimaksudkan untuk memperkenalkan budaya masyarakat Serambi Makkah kepada dunia internasional. Selain dikirim ke sejumlah negara di Timur Tengah, Al-Qur’an terjemahan bahasa Aceh itu juga diberikan secara gratis kepada seluruh Kabupaten dan Kota, Kecamatan, desa dan pesantren (dayah) yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kami juga mengirimkan karya ulama Aceh ini kepada sejumlah Perguruan Tinggi Negeri dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di seluruh Indonesia, di samping perpustakaan dalam dan luar negeri. Al-Qur’an terjemahan yang dicetak PT Intermasa Jakarta itu diterbitkan P3KI IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh. Edisi kedua dicetak sebanyak 12.000 buah dan dibagikan kepada lembaga di Aceh, dinas, lembaga serta instansi dengan harapan hasil karya putra kelahiran Peusangan Bireuen itu dapat menambah dan membuka wawasan masyarakat. 97 Penerbitan Terjemahan Al-Qur’an ini merupakan puncak dari sumbangan spiritual dan budaya dari masyarakat Aceh dalam memperingati setengah abad Indonesia 82

    Referensi dan Rujukan Kitab rujukan yang digunakan Mahjiddin yang utama ialah kitab tafsir Ibnu Katsi>r (w. 774 H).98 Dalam beberapa hal, berhubung belum tuntas atau tidak memuaskan dalam tafsir ini, ia menyebutkan dua tafsir lainnya yaitu al-Kasysya>f karya al-Zamakhsyari (w.538 H)99 dan Tafsi>r Ja>mi’ al-Baya>n fi> Tafsi>r Al-Qur’a>n karya al-T}abari> (w.310 H).100 Di samping kitab rujukan, Mahjiddin juga menggunakan berbagai terjemahan sebagai bahan pembanding berfungsi sebagai kamus dan kitab tafsir. Ia menggunakan kitab pembanding secara kritis bukan sekedar menyadur. Bahan pembanding yang digunakan Mahjiddin dalam menerjemahkan Al-Qur’an secara puitis antara lain Terjemahan Al-Qur’an dalam Bahasa Indonesia karya Ahmad Hasan, Mahmud Yunus dan HB. Jassin serta Yayasan Penyelenggara Penerjemahan Al-Qur’an Departemen Agama. Bentuk baru edisi yang sudah disunting telah mengalami perubahan yang cukup mencolok baik dalam aspek pola, penerjemahan, dan juga beberapa hal lain yang dianggap perlu diadakan perbaikan. Secara luas diadakan perbaikan supaya lebih enak dibaca dan mudah dipelajari oleh seluruh kalangan. Pada naskah awal,101 terjemahan bentuk puisi ini ditulis dengan menggunakan huruf Arab Melayu (Ja>wi>).102 Kemudian tulisannya dialih aksarakan menjadi huruf latin. Pada naskah awal, penulisan huruf Arab ini tidak dilakukan penerjemah secara taat asas, karena kata yang sama terkadang ditulis dengan huruf yang berbeda. Sedangkan kata-kata yang berasal dari bahasa Arab walaupun sudah diserap ke dalam bahasa Aceh yang sudah mengalami perubahan bunyi tetap dituliskan dalam bentuk aslinya. Dalam studi ilmu tafsir ada tiga ciri pokok yang perlu dilihat dalam membahas metode suatu karya tafsir atau terjemahan. Ciri pertama adalah tehnik penafsiran, yaitu bagaimana pembahasan suatu penafsiran, apakah ia menggunakan tehnik analisis (tahli>li>), global (ijmi>li>), perbandingan (muqa>ran), atau tematik (maud}u>’i). Layaknya para mufasir, secara umum Mahjiddin menggunakan cara yang sama dalam menerjemahkan Al-Qur’an. Ia memulai tafsirnya dari surah al-Fa>tihah sampai ujung surah al-Na>s. Dalam menafsirkan surat-surat Al-Qur’an mengikuti ayat-ayatnya. Ia menafsirkan ayat per ayat sesuai merdeka. Lihat kata sambutan Syamsuddin Mahmud, Gubernur Kepala Daerah Aceh dalam Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim, vii. 98 Abu> al-Fida>’ Isma>i>l Ibn Kas{i>r, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-‘Az{i>m, cet. 1, (Kairo: Isa Babi al-Halabi). 99 Al-Zamakhsyari>, Tafsi>r al-Kasysya>f, (Beirut: Da>r Kitab al-‘Ilmiyah: 1995). 100 Abu> Ja’far Muhammad Ibn Jari>r al-T{abari>, Tafsi>r Ja>mi’ al-Baya>n fi> Tafsi>r Al- Qur’a>n , cet. 2, (Kairo: Mustafa> al-Babi al-Halabi: 1954). 101 Naskah awal tersimpan di Pustaka Ali Hasyimi dalam catalog Naskah Tua, No. 08/NKT/YPAH/92. 102 Berdasarkan lacakan Anthony H. Johns, pada akhir abad ke-16 M, telah terjadi pembahasalokalan Islam di berbagai wilayah Nusantara. Seperti tampak pada penggunaan aksara (script) Arab yang kemudian disebut aksara jawi atau pegon. Banyak karya sastra serupa yang berasal dari bahasa Arab dan karya-karya sastra yang terinspirasi oleh model dan corak Arab Persia. Lihat, Anthony Johns,” The Qur’a>n in the Malay World: Reflection on ‘Abd al-Rauf al-Singkili (1615-1693)”, Journal of Islamic Studies, Volume 9, Nomor 2, 1998, 121. 83 dengan susunan di dalam surat sebagaimana yang tersusun dalam mushaf usmani.103 Gamal al-Banna mengungkapkan bahwa, susunan demikian, bisa jadi bukan cara terbaik dalam memahami Al-Qur’an.104 Pemberian Nama Pada tahap paling akhir, penerjemah dan Tim Penyunting membuat sebuah kesepakatan untuk memberikan nama kepada kitab tersebut setalah melalui diskusi yang begitu panjang. Ada beberapa usulan nama yang didiskusikan pada waktu itu, seperti Terjemahan Al-Qur’an Berwajah Hikayat atau Terjemahan Al-Qur’an Lam Bahasa Aceh. Namun karena nama-nama tersebut dirasa kurang cocok dan tidak sesuai dengan isi terjemahan, maka diputuskan untuk memberi nama karyanya tersebut dengan “Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh”.105 Jika seandainya terjemahan ini dibaca oleh orang yang memahami makna Al-Qur’an, akan merasakan kebebasan penerjemah dalam menuang pesan yang terdapat dalam bahasa asli ke dalam bahasa sasaran. Sebagaimana akan ada kesan, penulis relatif berupaya melakukan terjemahan yang bukan sekedar memberikan informasi, tetapi terjemahan yang dapat mempengaruhi emosi pembaca, seperti berusaha mendekatkan makna terjemahan dengan latar budaya dan lingkungan pembacanya. Dalam perkembangannya, kitab terjemahan bahasa Aceh ini menjadi rujukan dan sumber acuan nazham Aceh bagi para pemerhati Al-Qur’an berikutnya. Tafsir Pasee, salah satu karya terkemuka dari ulama yang tergabung dalam Tim halaqah atau Bale Kajian Tafsir Al-Qur’an Pasee di Jakarta.106 Puitisasi terjemahan teks dijadikan rujukan dalam penafsiran, guna menambah nilai seni dan sastra yang belum pernah ada dalam penafsiran. Karya terjemahan yang ditulis oleh Mahjiddin Jusuf telah membantah sebuah model penafsiran dengan sistematika; teks ayat setiap surat secara utuh; terjemah dalam bahasa Aceh dalam bentuk sajak. Penafsiran ayat per ayat tak ubahnya merupakan proses pembedahan atas tubuh-tubuh yang sudah mati. Cara seperti itu hanya akan melenyapkan vitalitas dan efektivitas ayat, khususnya ketika melakukan pembacaan atas surat secara utuh atau beberapa ayat tanpa pemisahan.

    103 ‘Abd al-Hayy al-Farmawi>, al-Bida>yah fi> al-Tafsi>r al-Maud{u>’i>, (Dira>sah Manha>jiyah Maudhu>iyah, t.t.p,), 7. ‘Ali> Iyazi>, al-Mufassiru>n; H{aya>tuhum wa Manha>juhum, (Teheran: Muassasah al-Tiba>’at wa al-Nasyr al-Saqafa>h al-Irsya>d al-Isla>mi>, 1414 H), 32. Lihat pula M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), 83. Said Agil Husein al-Munawwar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 66 104 Gamal al-Banna, Tafsi>r Al-Qur’a>n Al-Kari>m Baina al-Quda>ma>’ wa al Muhaddis\i>n, Terj. Novriantoni, (Qisti Press, 2004), 23. 105 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim, xxii. 106 Bale kajian tafsir Al-Qur’an Pase ini didirikan pada tanggal 21 Mei 1998. Tafsir ini adalah hasil pengolahan dan penyempurnaan dari makalah-makalah yang disampaikan dalam pertemuanpertemuan Bale masyarakat Pase Kompleks Bappenas dan Perumahan Pondok Indah Jakarta. Penyajian tafsir tersebut diprakarsai oleh T.H. Thalhas dan kawan- kawan yaitu Hasan Basri dan Mufakhir Yusuf. Lihat T.H. Thalhas (et al), Tafsir Pase: Kajian Surah al-Fa>tih}ah dan Surah-surah dalam Juz ‘Amma, Paradigma Baru, (Jakarta: Balee Kajian Tafsir Al-Qur’an Pasee, 2001), 3. 84

    Walaupun cara ini tidak bisa dihindarkan selagi yang diinginkan adalah penafsiran Al-Qur’an ayat per ayat. Terjemahan Mahjiddin memiliki beberapa keunikan, di samping bahasa terjemahan menggunakan bahasa Aceh, terjemahan ini juga mencoba untuk memadukan unsur-unsur Qur’ani dengan nuansa kultural kedaerahan dengan pendekatan sastra puisi. Hal ini dapat dilihat pada sistematika dan penerjemahan ayat-ayat yang memadukan bahasa aslinya dengan bahasa daerah. Bahasa daerah yang ditampilkan juga sangat unik, yaitu bahasa yang bersajak dalam bahasa Aceh atau disebut juga dengan naz{am atau hikayat. Unsur kedaerahan ini sengaja ditampilkan untuk memperkaya khazanah pemahaman Al-Qur’an dan sekaligus mengakrabkan pembaca kepada bahasa ibunya, terutama mereka yang berasal dari daerah Aceh. Pembahasan dan uraian ayat demi ayat disajikan dengan bahasa Aceh dan saji dengan kosa kata pilihan yang dapat diserap secara merata oleh orang Aceh. Jadi, nilai seni dan sastra yang terkandung baik dalam bahasa asli Al-Qur’an maupun bahasa terjemahan menyentuh perasaan begitu membaca, memahami dan menghayatinya.107 Sejauh pengamatan penulis, Mahjiddin sangat begitu perkompeten dalam proses penulisan tersebut dan bahkan semua pesan yang disampaikan oleh Al- Qur’an secara subtansi pun tersampaikan secara baik, meskipun secara harfiyah (tekstual) tidak semua kosa kata diterjemahkan. Begitu pula jika dilihat dari hasil yang diterjemahkan begitu mengandung nilai yang sangat estetis dengan memperhatika berbagai aspek dari kaidah kebahasaan baik dari bahasa asal dan bahasa tujuan. Kemudian dari aspek yang lain penerjemah juga berusaha sekuat tenaga agar tidak ada maksud Al-Qur’an yang tertinggal. Karena itu pula kemampuan penerjemah mempunyai kompetensi uji yang begitu besar dalam usaha ini

    107 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim, xxii. 85

    BAB IV TERJEMAH PUITIS BAHASA ACEH DAN RESPON ULAMA

    Response adalah bahasa inggris yang merupakan asal kata dari respon. Respon memiliki arti tanggapan, balasan atau jawaban (reaction).1 Ditinjau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), respon juga diartikan sama seperti di atas yang berarti reaksi, jawaban, dan tanggapan.2 Sedangkan dalam Kamus Besar ilmu pengetahuan menyebutkan bahwa, respon ialah sebuah reaksi psikologis-metabolik terhadap suatu rangsangan dengan latar belakang yang beragam, ada yang bersifat terkontrol atau terkendali, ada juga yang bersifat reflek dari sebuah kejadian atau peristiwa secara otomatis dan bahkan ada pula yang secara langsung bersifat emosional.3 Jika ditinjau dalam kamus lengkap Psikologi, maka respon (response) yang ditemukan konotosi arti bahwa ia adalah sebuah proses kerja kelenjar atau otot yang disebabkan oleh daya perangsang sebagai jawaban dari pertanyaan tes atau kuesioner, atau ia juga bisa berarti sebuah tingkah laku, baik yang terlihat secara jelas dengan kasat mata atau pun yang hanya dapat dirasakan dengan panca indera dan juga anggota tubuh yang lain secara samar-samar.4 Ahmad subandi juga memberikan definisi respon yang lebih spesifik bahwa ia mengandung makna sebuah komunikasi yang di dalamnya terdapat keseimbangan hubungan timbal baik antara satu orang dengan orang lain yang masing-masing memiliki pengaruh atau sebuah peran yang berlangsung secara baik dan khidmat.5 Begitu pula Donald K. Robert sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat dalam bukunya Psikologi Komunikasi menawarkan sebuah pembahasan terkait teori respon. Baginya, ketika berbicara terkait dengan repson maka sedang berbicara pula terkait media massa dan pengaruhnya. Dalam hal ini maka media massa sangat memiliki peran dalam perubahan perilaku manusia dalam konteks sosial dan budaya

    1 Jhon. M. Echoles dan Hassan Shadily, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, cet. Ke- 27, (Jakarta : PT. Gramedia, 2003), 481. 2 Hasan Alwi dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Departemen Pendidikan, edisi ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), 952. 3 Save D. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Lembaga pengkajian dan kebudayaan Nusantara, 1997), 964. 4 J. P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, cet. ke-9, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 432. 5 Ahmad Subandi, Psikologi Sosial, cet. ke-2, (Jakarta : Bulan Ibntang, 1982), 50. Disebutkan pula bahwa respon secara pemahaman luas dapat diartikan pula ketika seseorang memberikan reaksinya melalui pemikiran, sikap, dan perilaku. Sikap yang ada pada diri seseorang akan memberikan warna pada perilaku atau perbuatan seseorang. Secara umum respon atau tanggapan dapat diartikan sebagai hasil atau kesan yang didapat dari sebuah pengamatan. Adapun dalam hal ini yang dimaksud dengan tanggapan ialah pengamatan tentang subjek, peristiwa-peristiwa yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Segala sesuatu yang pernah kita alami akan selalu meninggalkan jejak atau kesan dalam pikiran kita. Kesan atau jejak itulah yang dapat timbul kembali dan berperan sebagai sebuah tanggapan atau bisa disebut respon. Lihat, Alisuf Sabri, Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Pedoman Jaya, 2004), 60. 86 sehingga perakselerasi pula kepada lingkungan sekitar yang diakibatkan oleh ekspos media baik media cetak atau media lainnya.6 Mengacu pada teori Steven M. Chaffe yang mengatakan bahwa respon dapat dikatagorikan menjadi tiga klarifikasi, yaitu sebagai berikut:7 a. Kognitif, yaitu respon yang berkaitan erat dengan pengetahuan keterampilan dan informasi seseorang mengenai sesuatu. Respon ini timbul apabila adanya perubahan terhadap yang dipahami oleh khalayak orang banyak. b. Afektif, yaitu respon yang berhubungan dengan emosional, sikap dan menilai seseorang terhadap sesuatu yang terjadi di sekitaran atau di lingkungannya. c. Behavioral, yaitu respon atau reaksi jawaban yang berhubungan dengan perilaku nyata meliputi tindakan atau kebiasaan yang terjadi pada sebuah objek respon yang dimaksudkan. Teori di atas telah memberikan sebuah indikasi bahwa repson adalah sebuah tanggapan dari berbagai peristiwa yang terjadi dalam semua ruang lingkup. Hanya tergantung pada subjek yang sedang terjadi (on the spot) pada saat itu. Bagitu pula dengan karya Teungku Mahjiddin Jusuf berjudul Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh menjadi objek respon dari penelitian ini. Pada penelitian ini akan dipapakan klasifikasi respon ulama Aceh terhadap karya tersebut dari berbagai sudut pandang keilmuwan dan latar belakang sosial, budaya dan pendidikan mereka. Kaena itu, bab ini adalah menjadi bagian inti dari penelitian yang dilakukan terhadap objek dari tesis dengan melihat kerangka repson ulama dari berbagai sudut pandang baik dari kalangan ulama dayah, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, dan ulama di kalangan akademisi. Pada bab ini juga akan lebih detail melihat dan mengkaji respon para ulama yang telah disebutkan dengan menyajikan berbagai klasfikasi sampel ayat yang dianggap tidak biasa dalam proses penerjemahan dalam berbagai pendekatan yang dilakukan oleh penerjemah. Sebelum membahas pada inti penelitian, maka terlebih dahulu akan penulis paparkan kajian tipologi dan macam model ulama dari berbagai teori yang ada dari para pakar sebagai berikut:

    A. Tipologi dan Peran Ulama Dalam interaksi sosial kemasyarakatan ditemukan berbagai model manusia, ada di antara mereka yang menjadi kalangan masyarakat biasa dan ada pula yang menjadi tokoh serta panutan untuk masyarakat. Ditinjau dari aspek panutan, maka itu pun terbagi kepada dua bagian, ada yang panutannya adalah pemimpin desa, kecamatan, hingga presiden sebagai pemegang kuasa tertinggi dalam sebuah negara. Dan yang paling menjadi perhatian adalah menjadi sesosok agamawan sebagai teladan dalam kehidupan baik dalam interaksi sosial dengan lingkungan sekitar dan juga interaksi vertikal dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Maka penulis berpendapat,

    6 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Umum dan Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), 128. 7 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, cet. ke 3, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), 64. 87 ulama memiliki peran lebih besar ketimbang pemimpin sebuah negara, karena ulama menjadi penyeimbang dari semua aspek kehidupan dengan ilmu yang telah dipelajari mereka. Ulama telah mengammbil bagian penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Mereka menjadi roel model atau panutan di mana pun dan kapun, di mana dan geriknya selalu di pantau oleh masyarakat lainnya. Dalam realitas di lapangan terkadang para ulama bisa terpecah klasifikasinya berdasarkan pada perilaku mereka. Maka tak heran jika Ahdi Makmur yang membagikan klasifikasi ulama ke dalam dua katagori secara garis besar, yaitu ulama>’ al-a>khirah dan ulama>’ al-dunya.8 Selanjutnya ia membedakan ulama ke dalam beberapa kelompok dengan melihat profesi mereka. Dengan demikian, terdapat ulama yang bekerja sebagai guru agama, juru dakwah, pegawai atau pejabat pemerintah dan politikus.9 Demikian halnya dengan Dhofier yang mengelompokkan ulama berdasarkan disiplin ilmu yang mereka kuasai, yaitu ilmu-ilmu agama atau ilmu-ilmu naqliyah dan ilmu-ilmu ‘aqliyah. Dengan demikian, terdapat ulama (tradisional) yang hanya menguasai ilmu-ilmu agama, dan ulama (intelektual), yaitu mereka yang menguasai ilmu-ilmu agama dan juga ilmu-ilmu ‘aqliyah.10 Klasifikasi lainnya adalah berdasarkan penguasaan ulama terhadap jenis- jenis kajian ilmu keagamaan. Maka tidak heran jika terdapat ulama fiqh, ulama hadits, ulama tafsir, dan ulama tasawuf. Kategori lain adalah berdasarkan penguasaan dan pengamalan ilmu yang dimiliki oleh mereka, sehingga melahirkan ulama yang berilmu tetapi hanyalah untuk dirinya sendiri, ulama yang mengamalkan ilmunya buat dirinya dan juga orang lain, dan ulama yang berilmu tetapi dia sendiri tidak mengamalkannya, kecuali kepada orang lain.11 Dalam konteks pemikiran keagamaan, ulama bisa dipandang sebagai ulama tradisional (mereka yang terikat kuat dengan teks-teks Islam klasik) dan ulama modern (mereka yang berani membuat ijtihad tanpa harus terikat dengan teks-teks

    8 Al-Ghaza>li> membagi ulama menjadi dua, pertama, ulama akhirat, kedua ulama su’ (ulama buruk) atau ulama dunia. Ulama yang mendapat gelar Hujjatul Islam ini menegaskan pentingnya mengetahui perbedaan kedua model ulama di atas, karena keduanya bagaikan timur dan barat atau langit dan bumi. Ulama su’ atau ulama dunia menurut al-Ghazali adalah mereka yang menggunakan ilmunya untuk mencari kenikmatan dunia, memperoleh kekuasaan dan posisi yang terhormat di hadapan masyarakat. Tipikal ulama inilah yang mendapat ancaman keras dari beberapa ayat dan hadis. Lihat https://serambimata.com/2018/09/20/definisi-ulama-menurut-imam-al-ghazali/. Diakses pada tanggal 12 Desember 2019. 9 Ahdi Makmur, Ulama dan Pembangunan Sosial, cet. I, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2016), 31-32, lihat juga, Kartodirdjo, Sartono (ed.), Elite dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1983). 10 Zamahsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1985), 57. Lihat juga, Ahdi Makmur, Ulama dan Pembangunan Sosial, cet. I, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2016), 32. 11 Hadariansyah, AB, ”Ulama dalam Tinjauan Normatif dan Historis Keindonesiaan”, Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, No. 5, Vol. 1 (2006), 105-106. Lihat juga, Ahdi Makmur, Ulama dan Pembangunan Sosial, cet. I, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2016), 32. 88 klasik). Ulama tradisional mencakup elit agama yang memiliki cakupan pemikiran tekstual dan kurang melihat realitasdan fakta yang terjadi di sekitarannya secara rasional akal dan pikiran, dan hanya memperhatikan aspek ibadah saja yang menjadi amala n kesehariannya secara vertikal. Sedangkan ulama modern adalah lawan dari ulama kalangan tradisional yang memiliki karakter pemikiran lebih luas dan memahami kontekstual realitas yang terjadi dalam segala lini kehidupan manusia mulai dari aspek eksoterik hingga aspek muamalah.12 Respon terhadap berbagai persoalan serta tantangan yang dihadapi oleh umat Islam dan seluruh masyarakat lainnya menjadi penyebab munculnya pengelompokan ulama menjadi ulama tradisonal dan ulama modern. Dalam konteks Asia Tenggara khususnya yang didiami oleh para suku Melayu seperti di Singapura dan Malaysia, terlihat perbedaan antara ulama kaum muda dan kaum tua dalam pandangan serta dukungan pilitik dan juga sikap keagamaan mereka. Hal ini bisa disorot manakala mereka dihadapkan secara sekaligus menjadi penentang dan pembangkang bagi penguasa. Mereka akan lebih memilih untuk berbeda karena faktor politik, bukan karena faktor keagamaan dalam sikap dan perilaku mereka, sehingga berefek pada patologi sosial kemasyarakatan.13 Dari kalangan ulama muda juga muncul lagi dua kelompok yang tinjau dari sikap dan perilaku mereka dalam merespon fakta sosial. Pertama, mereka yang merespon fakta tersebut dengan cara-cara yang ekstrim dan radikal dengan dalih teks keagamaan dan dalil-dalil syariat lainnya yang dipahami secara tekstual. Kedua, mereka para ulama muda yang merespon kejadian dan fakta sosial dengan sebuah kebajiakan dengan mengedepankan segala kearifan. Dan kelompok ini disebut juag dengan ulama muda yang bersikap moderat dalam memahami teks-teks keagamaan dengan perpaduan akal pikiran secara bijak. Karena itu Rahman memberi sebuah istilah baru kepada para ulama muda kelompok pertama dengan sebutan revivalis (revivalists). Sedangkan bagi kelompok yang kedua diberikan sebuah sebutan dengan kelompok modernis (modernists) atau juga reformis (reformists).14 Berbeda pula dengan Harun Nasution yang menyebut ulama kelompok pertama dengan istilah radikal atau ‘pemurni’, dan untuk kelompomk kedua dengan istilah ‘ pembahru’ atau moderat. 15 Masdari memaparkan bahwa setidaknya ada tiga corak ulama secara garis besar, yaitu ulama pembaharu (mujaddid), ulama pejuang (muja>hid) dan ulama pemersatu (mus}lih). Bagaimanapun, pengkategorian ini adalah sebuah harapan yang ingin dia wujudkan dalam figur seorang ulama (ulama ideal) yang diharapkan,

    12 Silfia Hanani, ”Peranan Ulama dalam Penyebaran Islam”, diakses dari www.karyanet.com.my, (2019). 13 Muhamed Nawab Mohamed Osman, ”Towards a History of Malaysian Ulama”, Makalah diterbitkan oleh The Institute of Defence and Strategic Studies (IDSS), Singapore, No. 122, (22 February 2007). 14 Amilah Ibnti Awang Abd. Rahman, “Islamic Revivalism in the Easthern Malay States: The Role of Haj Abas Mohamad in Propagiting Islam”, Journal of Islam in Asia, No. 3, Vol. 1, (2006), 151-175. 15 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Ibntang, 1975), 54. 89 sehingga seorang ulama tidak saja menjadi pembaharu, tetapi juga menjadi pejuang dan pemersatu bagi setiap kalangan dan stakeholder.16 Begitu juga dengan Zaman menyebutkan bahwa terbagi kepada ulama pemurni sebagai “islamists”, dan juga ulama pembaharu sebagai “peripheral ulema”. Di kalangan para ulama “islamists” ada yang berafiliasi radikal dan ada yang moderat dalam segala tingkah laku perbuatan.17 Raharjo, seorang intelektual Islam di Indonesia, seperti dikutip oleh Moesa menyebutkan bahwa ulama yang berupaya menyesuaikan diri dengan zamannya sebagai akibat dari pada proses pemoderenan atau perubahan sosial adalah ulama yang suka beradaptasi.18 Mereka adalah kebalikan dari pada ulama yang menolak segala aspek perkembangan zaman, perubahan sosial, dan modernisasi. Tetapi ada juga ulama yang merespon perubahan yang terjadi dalam masyarakat secara moderat agar tercipta sebuah keamajuan dalam segala aspek tanpa melupakan nilai-nilai keagamaan telah mutlak. Mereka inilah kelompok ulama yang selalu bersikap kreatif dan mengutamakan pendekatan dialogis dalam menghadapi berbagai masalah atau tantangan di masyarakat dan menjawab segala persoalan mereka. Ditinjau dalam kacamata kekuasaan atau politik, ulama dapat dikelompokan menjadi dua kelompok. Pertama, ulama birokrat, yaitu ulama pejabat atau disebut juga dengan ulama pemerintah. Klasifikasi ini menunjukkan kepada mereka para ulama yang terlibat dalam berbagai aktivitas kenegaraan dan mengambil peran sebagai pemberi masukan kepada pelaku kekuasan dalam aspek sosial keagamaan agar terciptanya nilai keberagamaan yang moderat dan sesuai dengan tatanan perpaduan antara undang-undang kenegaraan dan undang-undang keagamaan. Kedua, ulama bebas, yaitu ulama yang berusaha mengambil jarak dengan penguasa atau para tokoh politik. Ulama terakhir ini lebih senang atau cenderung melibatkan diri dalam aktivitas sosial dan keagamaan semata dan fokus untuk membina umat. Karena itu Gilani menjelaskan secara lebih spesifik terhadap dua kelompok ulama tersebut. Baginya ulama pemerintah atau ulama pejabat adalah kelompok ulama yang loyalitas terhadap pemerintah, sehingga berakibat pada hilangnnya wibawa dan jauhnya penghormatan masyarakat kepada mereka. Sedangkan ulama bebas adalah kelompok ulama yang menolak diperintah oleh penguasa demi menjaga otoritas keulamaannya sebagai teladan bagi masyarakat dalam interaksi sosial keagamaan.19 Cahyono dalam tulisannya tentang peranan ulama dalam organisasi semi politik di Indonesia yang berorientasi kepada pemerintah, yaitu Golongan Karya, telah menggolongkan ulama ke dalam ulama pro-rezim dengan spesifikasi dan ciri- ciri rasional, modern, pragmatis, logis, dan development-minded. Dan ulama anti

    16 Masdari, ”Mengindentifikasi Tipologi Ulama Pewaris Nabi”, dalam Masdari & Zulfa Zamalie (eds.) Khazanah Intelektual Ulama Banjar, (Banjarmasin: PPIK, 2003). 17 Muhammad Qasim Zaman, The Ulama in Contemporary Islam, Custodians of Change, (Princeton & Oxford: Princeton University Press, 2002), 57. Lihat juga, Iftikhar Zaman, ”Sunni ’Ulama”, dalam John L. Esposito (ed.) The Oxford Encyclopedia of the Islamic World, Vol. 4, (New Yok &Oxford: Oxford University Press, 1995), 258-261. 18 Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial Berbasis Agama, (Yogyakarta: Lkis, 2007), 63. 19 S. M.Yunus Gilani, “Ilm, ’Ulum and the ’Ulama”, Jorunal Hamdard Islamicus, No. 13, Vol. 4 (2000), 52. 90 rezim, yaitu ulama yang dogmatik, emosional, tidak rasional, dan berpandangan atau berideologi sempit. Karena pandangan tersebut maka siapa pun yang berbeda dengannya akan dianggap sesat dan tidak sesuai dengan agama.20 Dalam konteks negara Malaysia, Kamar mengklasifikasikan ulama ke dalam dua kategori besar. Pertama adalah ulama formal, yang bekerja di jabatan kerajaan atau pemerintahan dan berorientasi kepada UMNO, dan mereka milik Persatuan Ulama Malaysia yang didirikan pada tahun 1974. Kedua adalah ulama informal, yang sebahagian besar bekerja dalam bidang usaha sendiri, dan secara politik mereka adalah milik Parti Islam se-Malaya (PAS) yang sebelumnya bernama Persatuan Ulama se-Malaya yang berdiri pada tahun 1951. Di Malaysia, ulama memang mempunyai peranan politik yang penting.21 Di antara pemimpin politik yang dihormati bisa dilihat daripada sudut pandang agama, tetapi juga dapat berdasarkan simbol-simbol sosio-kultural para ulama.22 Di Indonesia, ulama juga telah menggerakan rakyat dalam menentang pemerintah Belanda melalui perang jihad.23 Akan tetapi, jika dilihat dari pada tanggapan atau reaksi ulama ke atas tradisi dan perubahan dalam masyarakat, ulama bisa digolongkan ke dalam empat kelompok, yaitu fundamentalis, tradisionalis, modernis dan pragmatis. Dengan menggunakan analogi dari pada berbagai tipologi pembaharu Islam seperti yang ditulis oleh Zohair Husain, mereka mempunyai ciri-ciri atau karakteristik masing- masing berdasarkan latar belakang yang mempengaruhi kehidupan mereka baik dalam ruang lingkup kehidupan dan bahkan pendidikan yang mereka tempuh dalam wilayah formal atau pun tidak formal.24 Pertama adalah ulama fundamentalis. Mereka sangat wara dan puritan, mendukung pendirian negara Islam melalui semangat puritan, percaya bahwa kelompok fundamentalis dengan jujur dan penuh pengabdian akan melaksanakan tugas dengan sangat baik dalam memimpin negara Islam yang benar, akan membuat dan menjalankan perundang-undangan Islam baik yang tertulis maupun yang ada dalam semangat atau ghirah Islam, sangat fatalistis, tetapi juga sangat aktif dalam penyebaran faham Islam puritan, percaya ada dunia dikotomi antara da>r al-Isla>m dan da>r al-Harb, puritan, fanatis, tekstual, revolusionir, dan percaya bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan Tuhan.25

    20 Greg Fealy, ”Peranan Ulama dalam Golkar, 1971- 1980, dari Pemilu sampai Malari” oleh Hero Cahyono, Journal of Southeast Asian Studies, No, 25, Vol. 2, (1994), 424. 21 Ahmad Kamar, Malay and Indonesian Leadership in Perspective, (Kuala Lumpur: Ahmad Kamar Ibn Abdul Rahman, 1984), 39. 22 Ahmad Kamar, Malay and Indonesian Leadership in Perspective, (Kuala Lumpur: Ahmad Kamar Ibn Abdul Rahman, 1984), 37. 23 Alfian, ”The Ulama in Acehnese Society”, dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique & Yasmin Husain (eds.) Reading on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Asian Studies, 1985). 24 Alfian, ”The Ulama in Acehnese Society”, dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique & Yasmin Husain (eds.) Reading on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Asian Studies, 1985). 25 Ahdi Makmur, Ulama dan Pembangunan Sosial, cet. I, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2016), 35-36. 91

    Kedua adalah ulama tradisionalis. Mereka adalah juga sangat wara’, relatif dogmatis dan ortodoks, tetapi toleran dalam batas tertentu terhadap adat-istiadat setempat, kebanyakan berpendidikan Islam informal, sering kali menolak pemikiran dan praktik non-Islam, berasal dari the ranks of the ulama, pemikiran dan praktik mereka diilhami oleh pandangan Islam klasik dan pertengahan, sangat terikat kepada taqlid, menentang ijtihad, sangat menentang pemikiran, praktik dan kelembagaan yang berasal dari negara Sosialis dan Barat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, mengutuk dengan lembut sekularisasi, hanya sedikit yang ingin menentang arus proses sekularisasi, percaya bahwa kelemahan dunia Islam disebabkan oleh kolonisasi, neokolonisasi, dan kegagalan merangkul semangat Islam, mendukung pendirian negara Islam dengan sistem teokratis tradisional, percaya bahwa ulama tradisional akan menjalankan negara Islam sebagai pengawal dan penerjemah utama dari pada syari’ah, sangat fatalistis dan seringkali bersifat pasif dan tidak berpolitik, ingin membentuk dan menjalankan perundang-undangan Islam baik secara tertulis maupun yang ada dalam semangat, percaya ada dunia dikotomi da>r al-Isla>m dan da>r al-Harb, reaksionis dan konservatif.26 Ketiga adalah ulama modernis. Mereka adalah wara hingga sangat wara, tetapi tidak kaku atau puritan, berpendidikan formal dan informal tetapi tidak semata belajar agama, terpengaruh secara signifikan oleh pemikiran-pemikiran dan amalan- amalan yang berasal dari Barat, bisa juga berasal dari the ranks of the ulama tetapi mayoritas tidak, bercermin kepada Islam klasik dan juga negara kapitalis dan sosialis dalam pemikiran dan tindakan, menentang taqlid dan semua tradisi yang dianggap membatasi kemajuan masyarakat Islam, sangat bersemangat dalam mendukung ijtihad, ijtihad harus dilaksanakan oleh semua orang Islam, menentang pemikiran dan amalan sekuler dan modern yang tidak sesuai dengan Islam meskipun seringkali toleran dalam batas-batas tertentu, menentang secara terbuka sekularisasi ajaran yang bersifat prinsipal tetapi cukup toleran untuk menyesuaikan dengan kehidupan masa kini, percaya bahwa kemunduran negara Islam disebabkan oleh faham ortodoks yang dogmatis, doktriner dan kaku, yang diusung oleh kelompok fundamentalis dan tradisionalis, pendukung ijtihad dan penghentian bid’ah sebagai tindakan kontra produktif, lebih menyukai sebuah negara dengan sistem demokratis liberal, orang-orang modern dianggap berkompeten bagi memimpin sebuah negara Islam yang modern, berkeinginan membentuk dan melaksanakan perundang- undangan yang tertulis dan sejalan dengan spirit Islam, pembaharu Islam yang sangat dinamis, tetapi bersikap moderat terhadap faham fatalistis, hampir tidak mempersoalkan adanya dikhotomi antara daral-Islâm dan daral-Harb, apologitis, sinkretis dan progresif.27 Keempat, ulama pragmatis adalah para ulama yang memiliki sifat yang cukup wara’ dan zuhud, nominal dan sangat liberal, mayoritas berpendidikan sekuler, formal dan informal, sangat dipengaruhi oleh pemikiran, cita-cita dan praktik yang berasal dari Barat dan non-Islam, tidak berasal dari the ranks of the ulama, memilik cara pandang yang penuh dengan filosofis bertujuan untuk melakukan pembangunan dalam aspek sosio-ekonomi. Di samping itu juga

    26 Ahdi Makmur, Ulama dan Pembangunan Sosial, 36. 27 Ahdi Makmur, Ulama dan Pembangunan Sosial, 36-37. 92 menentang taklid buta dan semua tradisi dan kebiasaan yang dianggap dapat mempengaruhi kemajuan masyarakat Islam, senang melihat umat Islam menikmati haknya untuk melaksanakan ijtihad, tidak ada keraguan dalam menerima pemikiran, cita-cita dan kelembagaan yang sekular dan modern, sangat mendukung sekularisasi, percaya bahwa keruntuhan dunia Islam disebabkan oleh faham ortodoks yang dogmatis, doktriner dan kaku yang diusung oleh kelompok fundamentalis dan tradisionalis, percaya bahwa kelemahan ijtihad sebagai sebuah sumber penyebab kemunduran dunia Islam, menentang munculnya negara Islam, lebih menyukai negara sekuler, percaya bahwa para politisi Muslim lebih berkompeten dibanding dengan ulama dalam memimpin dan menjalankan negara nasional yang modern, berkeinginan membentuk dan mengaplikasikan perundang-undangan yang bersifat sekuler (bukan sistem perundang-undangan Islam), percaya kepada sistem demokrasi parlimenter (bukan teokratis), berdasarkan faham kebangsaan karena Islam juga bersifat retorikal dan simbolis, tidak begitu fatalistis tetapi sangat dinamis, sama sekali tidak setuju dengan adanya dikotomi antara da>r al-Isla>m dan da>r al-Harb, sekular, oportunistik, manipulator, adaptasionis dan liberal.28 Dilihat dari kacamata sosiologi, pembagian ulama juga dapat diklasifikasikan kepada dua tipologi, yaitu ulama modern dan ulama tradisional. Pengelompokan ini didasarkan pada wacana anologi para tokoh seperti Durkheim dan Tonnies dengan melihat pada ciri da model masyarakat dalam tingkah laku mereka.29 Kriteria masyarakat modern dan tradisional terlihat pada pekerjaan dan kehiduapan, peranan kekeluargaan dan juga ikatan individu, cara pandang dan pola berfikir dan juga orientasi dalam mengelola waktu.30 Begitu juga ada yang mengelompokkan ke dalam model modern dan tradisional bisa dilihat dari struktur sosial, perbedaan budaya, kesan terhadap perubahan sosial yang menjadi patokan kelompok yang bersangkutan dengan berlandaskan pada kriteria yang utama dan menjadi prioritas. Penulis memberikan sebuah kesimpulan analisis dan cara pandanga tersendiri dari berbagai teori yang telah dikemukakan bahwa ulama setidaknya dapat digolongan ke dalam tiga golongan secara fungsi dalam semua ruang lingkup. Pertama, ulama ideologis yang aspek pemikirannya sangat berhati-hati dalam perkara keagamaan dan segala persoalan harus dengan penuturan teks-teks keagamaan yang ada. Kedua, ulama akomodatif yang berusaha mengkompromi setiap pendapat yang ada dan kemudian ia berusaha untuk melihat titik temua setiap jejak pendapat tersebut. Dan ketiga adalah ulama epistemologis yang tidak menerima secara langsung segala persoaan dan tidak juga menolaknya. Hanya saja ia butuh kepada konfirmasi pada nilai-nilai ilmu pengetahuan yang ada agar menghasilkan sebuah ketentuan dan kesimpulan untuk pembenaran dan juga menyalahkan sebuah pendapat.

    28 Ahdi Makmur, Ulama dan Pembangunan Sosial, 37. 29 Gordon Marshall, ”Talcott Persons”, dalam A Dictionary of Sociology, (Oxford: Oxford University Press,1998). Lihat juga, Wan Hashim Wan Teh, ”Perubahan Sosial: Teori-teori Klasik dan Moden”, Jurnal Antropologi dan Sosiologi, No. 12, (1984), 39-54. 30 Andraw Webster, Introduction to the Sociology of Development, (London: Macmillan Publishers Ltd., 1984). 134. 93

    Aceh dan Ulama Kajian tentang ulama dan ke-Acehan memang begitu menarik dibahas, karena berbicara tentang tentang Aceh adalah bicara lingkaran syariat Islam yang begitu kental. Ada sebuah kajian menarik yang dilakukan oleh Abdullah dalam bukunya Agama dan Perubahan Sosial. Salah satu bagiannya adalah mengupas terkait dengan peran ulama di daerah Aceh dan Sulawesi Selatan. Dalam konteks Aceh, ia menguraikan secara lebih mendalam bagaimana kesungguhan ulama Aceh, yang dalam realitasnya berada di luar struktur kekuasaan, tetapi selalu maju ke depan sebagai pemimpin rakyat ketika melawan penjajah Kolonial Belanda dan berhadapan dengan para uluhbelang (ulee balang) yang memihak kepada Belanda.31 Begitu pula dengan peran lembaga pendidikan yang disebut dengan dayah sebagai intitusi yang mengahasilkan banyak ulama dalam mengembangkan nilai-nilai Islam.32 Berdasarkan teori yang ditawarkan oleh para pakar di atas pula terhadap klasifikasi para ulama dari berbagai sudut pandang dengan melihat kesesuaian objek kajian tulisan ini pada realitas yang ada di lapangan. Setelah melihat itu semua maka penulis menemukan agaknya ada tiga model klasifikasi ulama yang ada di lingkungan masyarakat Aceh yang menjadai rujukan dan paduan meraka dalam segala persoalan kehidupan, terutama yang menyangkut dengan persoalan keagamaan. Klasifikasi tersebut bisa penulis uraikan adalah, yaitu Ulama Dayah, Ulama Kampus, dan Ulama Pemerintah (MPU). Perlu pula penulis garis bawah bahwa dalam Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)33 Aceh, para anggotanya diisi

    31 Taufik Abdullah, dkk, Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983). 21-35. 32 Taufik Abdullah, dkk, Agama dan Perubahan Sosial, 21-35. 33 Pada malam 17 Ramadhan 1422 H (3 Desember 2001 M) melalui iqrar sumpah, terbentuklah MPU Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang independen, bermitra sejajar dengan Pemerintah Aceh dan DPRA untuk masa khidmat 2001-2006. Melalui Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Nomor 2 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama mengukuhkan dan memperkuat kedudukan MPU Aceh sebagai mitra sejajar Pemerintah Aceh dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, terumata pembangunan syariat Islam. Kedudukan Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh sama dengan kedudukan Majelis Ulama Indonesia baik di tingkat pusat maupun di tingkat provinsi lainnya. Hanya saja berbeda nama karena disebabkan oleh keistimewaan yang diberikan kepada Aceh atas provinsi lain melalui Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Hal itu termaktub pada pasal 9 ayat (1) disebutkan “Daerah dapat membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri dari Ulama”. Dalam ayat (2) ditegaskan lagi “Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami”. Amanat Undang-Undang ini ditindaklanjuti dengan lahirnya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 43 Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tatakerja Majelis Permusywaratan Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Lihat 94 oleh perpaduan antara ulama Dayah dan ulama Kampus. Tetapi dari kalangan ulama Dayah juga banyak yang tidak mau masuk dalam struktural tersebut. Karena mereka berangggapan bahwa masuk dalam pemerintahan sama saja seperti telah mengotori diri dengan perkara syubhat, meskipun mereka mendukung para ulama Dayah yang lain masuk dalam strutural tersebut. Dalam tradisi masyarakat Aceh, konotasi yang menunjukkan kepada ulama sering kali mereka menyebutnya dengan kata teungku, kiai (Jawa) ajengan (Sunda), syekh (Sumatera Utara/Tapanuli) buya (Minangkabau) dan tuan guru (Nusa Tenggara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan KalimantanTengah).34 Teungku menjadi sebuah panggilan bagi mereka yang telah menimba ilmu di dayah35 baik sebentar atau lama. Hal ini dipahami karena sampai sekarang ini dayah untuk kultur Aceh masih di pandang sebagai perantara untuk mencetak kader gusu dalam bidang pendidikan keagamaan dan melahirkan seorang ulama. Para ulama di tengah masyarakat Aceh mengambil peran yang begitu penting, antara lain mereka menjadi pemimpin bagi mereka masyarakat dalam segala keputusan yang terjadi pada diri mereka. Tidak berlebihan jika ulama telah mengambil peran pemimpin negeri dalam konteks informal.36 Posisi ulama yang demikian berharga dalam kehidupan masyarakat karena selain ulama dianggap sebagai orang-orang yang berilmu tinggi, ia juga mampu memimpin dan mengobarkan semangat juang serta menjadi garda orang terdepan dalam melawan para penjajah Belanda. Kobaran tersebut juga dilatarbelakangi oleh interpretasi situasional berdasarkan pada norma-norma agama.37 https://mpu.acehprov.go.id/index.php/page/1/profil. Diakses pada tanggal 12 Desember 2019. 34 Ali Maschan Moesa, Kiai dan Politik dalam Wacana Civil Society (Surabaya: Lepkis, 1999), 60. Lihat juga, M. Muhlis Sholichin, “Tipologi Kiai Madura: Telaah Terhadap Silsilah dan Keberagamaan Prilaku Kiai-Kiai di Pamekasan”, dalam jurnal KARSA, Vol. XI No. 1 April 2007, 42 35 Di pulau jawa disebut dengan pesantren. Pesantren telah menjadi pusat transmisi Islam di Nusantara mulai berdiri sejak menyebarnya Islam ke Nusantara pada abad ke-15. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w.1419) yang berasal dari Gujarat, India, sekaligus menjadi tokoh pertama yang mengislamkan Jawa. Lihat, M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik, cet. I, (Yogyakarta: CENINNETS Press, 2004), 1. Lihat juga, Khamami Zada, dkk, Intelektualisme Pesantren; Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, cet. I, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), 7-8. Lihat juga, Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2001). 36 Ibrahim Alfian, “Cendikiawan dan Ulama dalam Masyarakat Aceh: Sebuah Pengamatan Permulaan’, dalam Alfian (ed) Segi-Segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh, (Jakarta: LP3ES, 1977), 204. Lihat juga, M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik, cet. I, (Yogyakarta: CENINNETS Press, 2004), 1-2. 37 Lihat, T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, (Jakarta: Sinar Harapan, 1987), 17. Lihat juga, M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik, cet. I, (Yogyakarta: CENINNETS Press, 2004), 2. Selain itu, peran ulama di Aceh dalam bidang ilmu pengetahuan telah terlihat sejak awal terbentuk masyarakat Islam secara politik, yaitu pada masa-masa kesultanan Islam. Hal itu bisa dilihat secara konkrit pada masa pemerintahan Malik Al-Zahir. Pada masa itu (tahun 1345) Ibn Batutah melakukan rihlahnya 95

    Jika pada bab ketiga telah penulis uraikan secara rinci terkait dinamika perkambangan kajian Al-Qur’an dan tafsir di Aceh mulai dari awal masuknya Islam hingga masa sekarang di abad modern. Adapun pada bab ini adalah menjadi bab inti dari isi tesis dengan melihat respon para ulama Aceh dari semua sudut pandang. Berawal dari padangan terkait pribadi Teungku Mahjiddin sebagai penerjemah pada bab tiga dan beberapa model ayat yang penulis sadurkan pada bab ini sebagai berikut.

    B. Puitisasi Terjemah Al-Qur’an 1. Wacana Puitisasi Terjamah Al-Qur’an Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, maka Ami>n al-Khu>lli (1895- 1966) sebagai perumus pendekatan sastra terhadapa Al-Qur’an dalam al-Manhaj al- Adabi> memberikan sebuah argumentasi bahwa untuk menyingkap isi dari makna Al- Qur’an maka ia bisa didekati dengan pendekatan sastra, sekalipun hal tersebut memang tidak begitu populer di kalangan masyarakat klasik. Pada masa Rasulullah memang sudah muncul benih-benih penafsiran dengan menggunakan pendekatan tersebut secara tidak seginifikan, sebagaimana dapat dilihat ketika Rasulullah Saw menafsirakan QS. Al-Baqarah: 189.38 Begitu pula pada masa al-T{abari>, Ibnu Kas{i>r, dan al-Zamakhsyari> sebagai tokoh mufassir pula belum memperkenalkan hal tersebut secara lebih spesifik.39 Lebih lanjutkan al-Khu>lli> mengatakan bahwa melalui pendekatan tersebut maka Al-Qur’an menjadi sebuah kitab yang dikaji tidak hanya sebatas pada kajian semata, tetapi juga untuk memperoleh kesan dan pesan secara menyeluruh tanpa distorsi serta terhindar dari kepentingan subyektifitas baik secara individualis dengan menulis bahwa raja yang memerintah sangatlah taat beragama dan bahkan di sekelilingnya selalu ada para ahli agama yang terus memberi masukan kepadanya. Di antara para ahli agama yang berada di sana ialah Ta>j al-Di>n dari Isfahan dan Qad}i Syari}f Ami}r Sayyid dari Shiraz. Lihat, Muhammad Gade Ismail, Pasai dalam Perjalanan Sejarah: Abad ke-13 Sampai dengan Abad ke-16, (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1993), 33. 38 Allah berfirman:

                 Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. Kata al-Khait al-Abyad{ (benang putih) dan al-Khait al-Aswad (benang hitam) disebut sebagai maja>z (metafora). Latar belakang penafsiran tersebut berawal dari pemahaman sahabat Ubay Ibn Hatim yang memahami ayat terebut secara literlek apa adanya dengan mengambil benang berwarna putih dan hitam. Pada malam tersebut ia pula memperhatikan benang tersebut secara berkesinambungan, tetapi walhasil tidak ada perbedaannya. Esok harinya, ia meminta penjelasan kepada Rasulullah Saw terkait maksud dari ayat tesebut. Maka Rasulullah pun memberi jawaban bahwa yang dimaksud dengan benang putih adalah datangnya fajar. Sedangkan yang dimaksud dengan benang hitam adalah gelapnya malam. Lihat Muhammad Husain az-Zahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: t.p, 1979), Jilid I, 35. 39 M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: e - SAQ Press, 2006), 129. 96 maupun ideologis. 40 Karena ada ada kepentingan tersebut, akhirnya Al-Qur’an hanya menjadi sebuah alat unutk ditafsirkan oleh mereka memiliki kepentingan bahkan mengabaikan aspek objektifitas. Kemudian penyebab dari munculnya banyak tafsir adalah karena adanya berbagai macam kecenderungan dari para penafsir sesuai dengan latarbelakang masing-masing. Hasil penafsiran mereka tentu sangat berpengaruh dengan latar belakang tersebut, misalnya sosial, politik, ideologi dan lainya. Sehingga pada gilirannya akan sangat berpengaruh pada misi utama yang dibawa oleh Al-Qur’an sebagai hudan.41 Tetapi sejatinya, Al-Qur’an itu harus dilihat dengan berbagai fakta-fakta sosio-historis disamping Al-Qur’an juga dilihat sebagaimana adanya dalam kaitan dengan masyarakat Arab sebagai orang yang pertama kali menyaksikan diturunkannya Al-Qur’an.42 Sebuah penelitian al-Khu>lli>, seperti ditulis dalam ulasannya terhadap artikel Carra de Vaux yang dimuat dalam Enzyklopedi des Islam, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab serta diterbitkan tersendiri menjadi al-Tafsi>r Ma’a>lim Haya>tihi Manhajuh al-Yaum,43 bahwa karya tafsir yang ada merupakan hasil kreatifitas kesarjanaan muslim. Satu hal yang perlu dicatat dari beragamnya karya tafsir menurut al-Khu>lli> adalah dominan kecendrungan yang melatarbelakangi para mufassir. Berbagai latar belakang intelektual, sosial, politik dan ideologi mempengaruhi hasil-hasil penafsiran yang pada gilirannya mengurangi misi utama yang dibawa Al-Qur’an. Dalam hal ini, al-Khu>lli> mencontohkan sarjana pendahulu yang diwarnai, untuk tidak mengatakan didominasi, kepentingan individual seperti tasawuf, teologi, fikih dan sebagainya. Atas dasar pemikiran tersebut di atas, al- Khu>lli> menawarkan metode susastra (al-Manhaj al-adabi>) dalam menafsirkan Al- Qur’an.44 Sasaran metode ini, sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah untuk mendapatkan pesan Al-Qur’an secara menyeluruh dan bisa diharapkan terhindar dari

    40 Ami>n al-Khu>lli>, Mana>hij Tajdi>d fi> al-Nahw wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al- Ada>b, (Kairo: Da>r al-Ma’rifah, 1961), 233. Lihat juga, Ibntu al-Sya>t}i’, Maqa>l fi> al-Insa>n (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1972), 45-48. Lihat juga, Himan Latief, Nas}r Hamid Abu> Zaid Kritik Teks Keagamaan, (Yogyakarta: elSAQ Press, 2003), 1. 41 M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), 3. 42 Khairon Nahyiddin, Metode Tafsir Susastra, (Yogyakarta: Adab Press), 2004, hal. vii 43 Edisi bahasa Arab dari Ensiklopedia tersebut adalah Da>irat al-Ma’a>rif al- Isla>miyah, diterbitkan di Beirut pada tahun 1934 oleh Da>r al-Ma’a>rif. Dalam buku ini, al- Khûlî memberi uraian singkat tentang tafsir semenjak era awal sampai masa al-Khûlî sendiri. 44 Andre Hardjana menyebutkan, bahwa ada tida aspek terpenting dalam kritik sastra, yaitu aspek re-kretif, aspek penghakiman, aspek re-kreatif, dan aspek historis. Dalam aspek historis, ia bertugus mencari dan menentukan hakikat serta ketajaman dalam pengungkapan suatu karya sastra dalam konteks historisnya. Sedangkan kriti penghakiman bertugas menentukan nilai dari sebuah karya sastra, sementara kritik re-kreatif ialah bertugas merekonstruktsi dan menciptakan kembali karya sastra. Tiga aspek inilah yang digunakan Amin Khulli dalam memahami Al-Qur’an dan ditawarkan kepada para mufassir lain. Lihat, Syihaabuddin Qalyubi, Stilistika Al-Qur’an: Makna di Balik Kisah Ibahim, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2009), 19. 97 tarikan-tarikan individual-ideologis. Melalui slogannya yang ditulis dalam pengantar tulisan “Tafsir Kontemporer” (al-tafsi>r al-yaum), al-Khu>lli> mengatakan: “awal pembaharuan adalah pemahaman turats secara paripurna” (awwal al-tajdi>d qatl al- qadi>m fahman).45 Dalam tulisan ini, Abu> mendeskripsikan bahwa Al-Qur’an sebagai kitab sastra Arab terbesar (kitab al-‘arabiyyah al-akbar), sebelum langkah studi Al- Qur’an diambil, harus dianggap sebagai teks sastra suci.46 Pedekatan susastra (baya>ni)> pada tahap berikutnya dilanjutkan oleh ‘Aisyah bintu Syathi’ dengan mengikuti al-Khu>lli> sebagai gurunya tanpa ada perbedaan sedikit pun.47 Dengan menggunakan metode susastra (al-manhaj al-adabi), maka penekanan yang digunakan oleh Bintu Sya>t}i>’ adalah dalam aspek kajian kosakata serta struktur yang ada dalam Al-Qur’an. Ia berargumen, karena Al-Qur’an adalah kitab terbesar yang diturunkan dalam bahasa Arab sebagai mukjizat yang abadi dan gagasannya yang tinggi. Penggunaan metode tersebut mendapat konformasi darinya sendir dalam al-Tafsi>r al-Baya>ni> li Al-Qura>n Al-Kari>m bahwa hal itu berasal dari suami yang sekaligus menjadi gurunya, yaitu Ami>n al-Khu>lli>.48 Sehingga mereka berkesimpulan, bahwa menafsirkan Al-Qur’an dengan menempuh metode sastra (al-manhaj al-ada>bi>) adalah cara untuk memahami Al- Qur’an lebih proporsional. Karena kesimpulan ini, maka al-Khulli memberikan interpretasi bahwa tafsir kontemporer mesti ditempuh dengan manhaj sah>ihah (metodologi yang tepat) dengan melihat aspek singkronisasi dalam konteks distribusi pemahaman (al-muattasiqah al-tauzi>’) serta kelengkapan aspek metodologi (al-manhaj al-ka>milah).49 Teori al-Khu>lli> dan Bintu Sya>t{i>’ pada perkembangan mendapat perhatian dari Abu> Zaid, ia mencoba mengembangkan teori tersebut dengan menggunakan berbagai pendekatan lain dengan mengkomparasikan dengan berbagai teori kritik sastra modern.50 Secara meyakinkan, Abu> Zaid mengatakan bahwa studi teks Al-

    45 Ami>n al-Khu>lli>, Mana>hij al-Tajdi>d fi> al-Nahw wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al-Ada>b,229. 46 Ami>n al-Khu>lli>, Mana>hij al-Tajdi>d fi> al-Nahw wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al-Ada>b,, 229. 47 Tetapi pendekatan yang dilakukan oleh A Zaid dengan asumsinya bahwa karyanya tersebut tidak lebih dari neo tafsir klasik. Abu> Zaid menilai, bahwa apa yang dilakukan oleh Bintu Sya>ti>’ sejatinya telah mendistorsi metode yang al-Khu>lli> dengan terminology al-Tafsi>r al-Baya>ni> dalam al-Tafsi>r al-Adabi dengan hanya menitik beratkan pada sisi kesusasteraan Al-Qur’an. 48 An Bintu Sya>t{i>’, al-Tafsi>r al-Baya>n li Al-Qur’a>n al-Kari>m, cet. V, (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1962), 13 49 Ami>n al-Khu>lli>, Mana>hij al-Tajdi>d fi> al-Nahw wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al-Ada>b, 230-231. 50 Pada dasarnya, teori kritik sastra jauh hari telah dipergunakan untuk kepentingan dalam apresiasi puisi. Namun begitu, teori sastra tidak bisa lari dari studi Al-Qur’an, mengingat dalam Al-Qur’an banyak sekali mengandung metapora (majaz), sekalipun kritik sastra adalah hal baru dalam melihat teks Al-Qur’an. Wen Chin Ouyang, Literary Criticism in Medieval Arabic Islamic Culture: The Making of a Tradition, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1997). Abu> Zaid, Mafhu>m al-Nas}s}: Dira>sa>t fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, cet. IV, (Beiru>t: Markaz al-Tsaqa>fah al-‘Arabi>: 1998), 21, 27-31. Ali> Juwa>d al-T{a>hir menjelaskan 98

    Qur’an dengan menggunakan pendekatan sastra (al-Dira>sa>t al-‘Adabiyah) sangatlah penting selain teks itu sendiri mempunyai nilai yang sakral, karena ia akan mengarahkan para pengkajinya untuk menghindari kecenderungan-kecenderungan ideologis (al-Taujih al-Aidiyu>lu>ji)> serta mengarahkan dalam ranah kesadaran ilmiah (al-Wa’y al-‘Ilmi).51 Bahkan lebih tegas ia mengatakan bahwa teks jangan menjadikan sebuah proof text (dalil) untuk sebuah pembenaran satu gagasan tertentu sebagai dalil tanpa memperhatikan konteks disekitarnya.52 Berbeda dengan masa klasik, manhaj al-Ada>bi> tersebut belum populer, tetapi studi Al-Qur’an pada masa itu masih dilakukan berdasarkan pada corak tertentu dan kecenderungan tertentu, seperti tauhid, fiqih dan tasawuf secara kandungan tamatiknya dan juga retorika dan gramatika. Tetapi tidak pelak, bahwa memang embrio dengan pendekatan ini telah digunakan oleh para mufassir pada masa klasik seperti Ibnu Kas\i>r, al-T{abari> dan al-Zamakhsyari>, bahkan pada masa Nabi pun sudah ada. Sedangkan pada masa al-Khu>lli> pendekatan tersebut sudah diformulasikan secara komperhensif dan menjadi sebuah metode dalam kajian ilmu Al-Qur’an dan tafsir dengan tujuan agar para penafsir terhindar baik dari aspek individual dalam ruang lingkup teologi dan untuk memperoleh kesan dan pesan Al- Qur’an secara baik dan menyeluruh.53 Memperkuat pernyataan dan gagasan yang dibawa al-Khu>lli> bahwa oleh al-Iskandar dan Must}afa} Anani dalam kitab al-Wasi>t fi> al-Adab al-Arabi>, sebagaimana yang dikutip Burhanuddin mengatakan Al-Qur’an tergolong dalam jenis prosa dengan perbedaan dari kelaziman prosa mursal dan kata bersajak Arab biasa; kadang berwajah prosa, tetapi dibagian lain berbentuk puisi atau kombinasi antara prosa dan puisi.54

    bahwa perbedaan antara teori kritik sastra secara umum dan teori kritik sastra Barat adalah pada menentukan penilaian terhadap sebuah teks sastra, baik atau tidak ditinjau dari dari gramatika bahasa dalam seni bersyair atau bisa pula melalui pemahaman masyarakat. Lihat Ali> Juwa>d al-T{a>hir, Muqaddimah fi> al-Naqd al-Adabi>, (Beiru>t: t.p, 1979), 338-339. Sedangkan menurut Sukron Kamil, kritik sastra (Naqd al-Adabi) adalah penelusuan ulang terhadap sebuah karya sastra dengan berbagai analisis serta meneksplorasi kandungannya kepada masyarakat agar mudah untuk dipahami. Lihat, Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), 52. Sementara menurut Garley De Scott, kritik sastra adalah memuji, menilai, membandingkan, menikmati bahkan mencari kesalahan dari sebuah karya sastra. Lihat, Akhmad Muzakki, Stilistika Al- Qur’an, (Malang: UIN Malang Press, 2015), 43. 51 Nas}r Ha>mid Abu> Zaid, Mafhu>m al-Nas{s{: Dira>sat fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, (Beiru>t: Markaz al-Tsaqa>fah al-‘Arabi>: 1998), cet. IV, 12-13. 52 Sunarwoto, “Nasr Ha>mid Abu> Zaid dan Rekonstruksi Studi-Studi ”, dalam Sahiron Syamsuddin, dkk, Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya (Yogyakarta: Islamika, 2003), 104. Lihat juga, lailatu Rohmah, “Hermeneutika Al-Qur’an: tudi atas Metode Penafsiran Nas}r Ha>mid Abu> Zaid”, Jurnal Hikmah, Vol. 2, 2016, 229. 53 Ami>n al-Khu>lli>, Mana>hij al-Tajdi>d fi> al-Nahw wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al-Ada>b, 233 54 Ahmad al-Iskandari>, Must{afa> Ana>ni>, al-Wasi>t{ fi> al-Adab al-Arabi> wa Ta>ri>khihi, (Mesir: Da>r al-Ma’a>rif: 1919), 34-35. Lihat juga Surahman Amin, “Al-Qur’an Berwajah Puisi Telaah Atas Al-Qur’an Bacaan Mulia Karya H.B Jassin”, Jurnal Kawistara, Vol. 6, No. 3, 22 Desember 2016, 231-232. 99

    Dalam hal ini, Muhammad Abduh (w. 1905 H) sebagai seorang tokoh pembahru dalam Islam di abad modern mengatakan, bahwa tujuan pertama dan utama dari ilmu tafsir adalah merealisasikan keberadaan Al-Qur’an itu sendiri secara fungsional, sebagai petunjuk (hudan) dan rahmat Allah Swt, dengan menjelaskan hikmah kodifikasi kepercayaan, etika dan hukum menurut cara yang paling bisa diterima oleh pikiran dan menenangkan perasaan.55 Dengan demikian, tujuan yang sebenarnya dari tafsir Al-Qur’an adalah untuk mencari petunjuk kebenaran di dalam Al-Qur’an dengan cara menjadikannya sebagai media untuk menjawab secara spontan segala persoalan yang terjadoi di sekitaran manusia.56 Lebih dari itu, Abduh juga mengkritik pedas pendekatan sastra terhadap Al-Qur’an yang dianggapnya kurang pantas. Bagi Abduh, bahwa interpretasi terhadap kandungan Al-Qur’an bukanlah ajang permainan dan bukan pula tempat para ahli bahasa maupun sastrawan untuk mempertontonkan keahlian dan kepintarannya. Karena Al-Qur’an adalah sebuah kitab bimbingan religius dan spiritual (hida>yah) dan bukanlah sebuah buku sastra atau filsafat belaka.57 Karena pemikirannya itu, tidak dapat dihindarkan, bahwa teori, narasi dan kritik yang dibawa oleh Abduh ini telah begitu banyak mempengaruhi pola pikir para reformis lain di pelbagai belahan dunia Islam, termasuk H}assan Hanafi{ (l. 1935 H) sebagai salah satu pewaris pemikirannya.58 Perbedaan mendasar pemikiran Abduh terletak pada penekanannya yang baru dalam melihat Al-Qur’an, yakni sebagai sumber petunjuk keagamaan dan spiritual.59 Dalam pandangan Abduh, Al-Qur’an terutama bukanlah sumber hukum atau dogma Islam atau suatu ajang kesempatan bagi para filolog untuk memamerkan kepintaran mereka, tetapi Al-Qur’an merupakan kitab di mana seharusnya umat dapat merumuskan pemikiran-pemikiran. Maka, ia tidak menghendaki metode penafsirannya dipenuhi analisis linguistik kebahasaan yang berlebihan. Analisis semantis Abduh tidak melebihi batas-batas kajian kebahasaan, kerangka penafsirannya tidak keluar dari bingkai metode analisis linguistik dan sastra (al-

    55 Rasyi>d Rid{a>, Tafsi>r al-Mana>r, jilid I, (Kairo: Da>r al-Mana>r,), 17-25. 56 Muhammad Aunul Abied Shah dalam artikel berjudul “Ami>n al-Khu>lli> dan Kodifikasi Metode Tafsir” dalam buku Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung: Mizan, 2001), 140. 57 Rasyi>d Rid{a>, Tafsi>r al-Mana>r, jilid I, hal. 17-25. Bandingkan dengan J.J.G Jansen, The Interpretation of the Qur’an in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1974), 24-25. 58 Hasan Hanafi juga mengkritik pendekatan ini dengan menawarkan cara “pembacaan” dan pemahaman terhadap Al-Qur’an dengan tafsir tematiknya. Ia ingin membangun sebuah paradigma tafsir perspektif (asy-syu’uri) dengan tujuan agar Al-Qur’an mampu mendeskripsikan manusia, hubungannya dengan manusia lain, kedudukannya dalam sejarah, membangun sosial dan politik. Ia tidak ingin penafsiran Al-Qur’an hanya sekedar menafsir dari ayat ke ayat, dari surat ke surat yang terkesan fragmentatis dan mengulang- ngulang. Dia ingin membangun tafsir tematik dengan cara menghimpun ayat-ayat yang satu tema dan di analisa begitu rupa sehingga muncul konsepsi universal tentang Islam, dunia, manusia dan sistem sosial. Lihat Hassan Hanafi, Method of Thematic Interpretation of the Qur’an, dalam Stefan Wild (ed.), The Qur’an as Text, (Leiden: ect.: Brill, 1994). Lihat juga Muhammad Syaefuddien Zuhry, “Tawaran Metode Penafsiran Tematik Hassan Hanafi,” dalam Jurnal at-Taqaddum, Vol. 6, No. 2, Nopember 2014, 386. 59 Rasyi>d Rid{a>, Tafsi>r al-Mana>r, Jilid I, 17. 100

    Manhaj al-Balaghi> al-Fanni>). Karena itu, pola pemahaman dan penfasiran Abduh terhadap Al-Qur’an terpola kepada dua landasa pokok, yaitu peranan akal dan peranan kondisi sosial.60 Kritik Abduh terhadap pendekatan linguistik dan sastra di-counter oleh Ami>n al-Khu>lli> (w. 1967 M) pada tahun 1930-an. Al-Khu>lli> mengkritik Abduh dengan menyebutkan bahwa Abduh sama sekali tidak menyadari bahwa seseorang tidak akan bisa mendapatkan bimbingan religius dan spiritual Al-Qur’an kecuali jika ia mengetahui makna literal teks sebagaimana ia dipahami pada masa pewahyuan Al-Qur’an pada masa lalu. Karena kritikannya itu, Al-Khu>lli> mengembangkan sebuah pendekatan sastra dalam menginterpretasikan teks Al-Qur’an (al-Manhaj al- Adabi> fi al-Tafsi>r) dan sebuah teori tentang hubungan antara linguistik dan interpretasi hingga melahirkan sebuah karya monumentalnya yang menjadi kajian bagi kalangan intelektual dalam bidang sastra Arab.61 Menurut J.M.S. Baljon bahwa Ami>n al-Khu>lli> adalah orang yang pertama menggunakan kritik historis dalam menginterpretasikan teks-teks Al-Qur’an.62 Namun haruslah dicatat, bahwa penggunaan kritik historis Al-Khu>lli> ini dikarenakan dia melihat bahwa pendekatan sastra mensyaratkan penafsir untuk mengenali konteks historis teks. Abu> Zaid kemudian mengembangkan teori ini dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang dikembangkan secara lebih relevan dan up to date dengan meremuskan teori dan kritik sastra modern.63 Ia yakin bahwa satu-satunya cara untuk memahami dan menginterpretasikan Al-Qur’an secara objektif adalah dengan menerapkan pendekatan ini.64 Abu> Zaid percaya bahwa studi sastra (al- Dira>sat al Ada>biyah) atas teks Al-Qur’an, di mana teks mempunyai posisi yang sentral, sangatlah begitu penting. Studi sastra akan membimbing seseorang ke arah penggunaan kesadaran ilmiah (al-wa’y al-‘ilmi) dan menghindari tendensi-tendensi ideologis (al-taujih alaidiyu>lu>ji>) yang akan menyebabkan Al-Qur’an tidak dapat dianalisis sebagaimana mestinya.65

    60 M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi atas Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 22. Lihat juga, Abba>s Mahmu>d al-Aqqa>d, al-Falsafah Al-Qur’a>n iyyah (Kairo: Da>r al-H{ila>l, t.th), 180. Lihat juga, Dusung Abdullah, “Pemikiran Syekh Muhammad Abduh dalam Tafsi>r al-Mana>r” dalam Jurnal al-Daulah, Vol. 1, Desember 2012, 38. 61 Ami>n al-Khu>lli>, Mana>hij al-Tajdi>d fi> al-Nahw wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al-Ada>b, 308-317. Bandingkan dengan Jansen, The Interpretation of the Qur’an in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1974), 65. 62 J.M.S. Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation, (Leiden: Brill: 1968), 4. 63 Penggunaan teori dan kritik sastra dalam kesarjanaan Arab-Islam sesungguhnya bukanlah merupakan hal baru. Teori sastra selalu dikaitkan dengan studi al-Qur’ân, sebagaimana dalam kasus metaphor (majâz), sementara kritik sastra telah dipergunakan untuk mengapresiasi puisi. Namun penggunaan kritik sastra dalam membaca teks adalah hal yang baru. Wen Chin Ouyang, Literary Criticism in Medieval Arabic Islamic Culture: The Making of a Tradition, (Edinburgh: Edinburgh University Press), 1997 64 Abu> Zaid, Mafhu>m al-Nas{s{, 21, 27-31 65 Abu> Zaid, Mafhu>m al-Nas{s{, 12-13. 101

    Penetapan tentang penggunaan sastra terhadap Al-Qur’an juga didasarkan pada argumentasi bahwa Al-Qur’an merupakan sebuah teks.66 Penegasan ini bukannya tanpa alas an yang argumentatif. Menurut Nur Khalis, Al-Qur’an juga berbicara tentang dirinya sendiri atau disebut juga dengan ‘self referensial’. Mengenai konsep teks juga bisa dilihat dari teori komunikasi. Ada dua bentuk komunikasi yang perlu mendapat perhatian, yakni komunikasi Tuhan dengan Muhammad dan komunikasi Al-Qur’an dengan masyarakat penerima Al-Qur’an sebagai wakyu dan menjadi pedoman dalam kehidupan. Dalam bingkai komunikasi bentuk pertama, Nur Khalis menegaskan bahwa Tuhan berposisi sebagai komunikator aktif, Muhammad sebagai komunikan pasif, sedangkan bahasa Arab berperan sebagai media komunikasi. Kendati komunikasi ini mengambil dua bentuk, yakni bentuk linguistik dan non-linguistik. Maka memposisikan Al-Qur’an sebagai sebuah kitab sastra telah melahirkan metode tafsir sastrawi atas Al-Qur’an. Model tafsir ini dilandaskan pada gaya bertutur yang komunikatif karena banyaknya simbol yang sarat makna pada ayat- ayat Al-Qur’an. Semua itu diandaikan dapat mengantarkan penafsir pada makna yang terdalam dari teks Al-Qur’an. Inilah respon akademik atas usaha untuk memuliakan teks Al-Qur’an, selain untuk menyingkap kedok sebuah produk tafsir sebagai alat seorang penafsir untuk melanggengkan kepentingannya sendiri. 2. Kontroversi Puitisasi Al-Qur’an Puitisasi Al-Qur’an pada awal perkembangannya di akhir tahun 1970 hingga 1980 telah menuai kontroversi di Indonesia bahkan hingga kecaman dari berbagai komunitas muslim yang pada saat itu dilakukan oleh HB. Jassin. Kematian Arsiti, istri Jassin, pada 12 Maret 1972 membangunkan kesadaran baru dalam diri HB. Jassin. Selama tujuh malam, di rumahnya, acara tahlilan digelar. Secara tidak sadar, ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakan setiap malam itu, mengusik hati Jassin dan menggiringnya untuk menerjemahkan teks-teks tersebut. Niatnya ini didorong suatu kesadaran bahwa Al-Qur’an sangatlah puitis, adalah sangat wajar bila terjemahannya juga dibuat secara puitis. Dan pada 7 Oktober 1972, ia memulai melaksanakan proses penerjemahan itu. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 18 Desember 1974, Jassin menyelesaikan terjemah seluruh ayat Al-Qur’an. Setelah edisi pertama terbit, Jassin diserang banyak pihak, karena dipandang dia tidak mempunyai ilmu yang dibutuhkan di dalam menerjemahkan Al-Qur’an. Oleh karena itu, demikian para pengkritiknya berargumen, Jassin tidak layak untuk menerjemahkan Al-Qur’an dan dengan demikian hasil terjemahannya itu juga tidak layak untuk dibaca.67

    66 Yang mempopulerkan konsep Al-Qur’an sebagai teks adalah Abu> Zaid. Lihat Nas}r Hamid Abu> Zaid, Mafhu>m al-Nas{s{. Namun belakangan, Abu> Zaid menawarkan konsep baru tentang Al-Qur’an , yakni sebagai wacana (discourse). Lihat Nas}r Ha>mid Abu> Zayd, Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics, (Amsterdam: Humanistics University Press: 2004), 9-12. 67 Edy A. Effendi, “Kontroversi di Sekitar HB. Jassin”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, November 1993. Lihat juga Islah Gusmian, “Kontroversi Mushaf Al-Qur’an Berwajah Puisi Karya HB. Jassin: Studi tentang Tatacara Penulisan dan Layout Mushaf Al- Qur’an”, dalam Jurnal al-Itqan, Vol. 1, No.1, Februari-Juli 2015, 47. 102

    Dilihat dari latar belakangnya, Jassin adalah seorang kritikus sastra Indonesia yang namanya sangat tersohor dan terkenal. Karena keahliannya dalam bidang sastra, membuatkannya ingin menjelajah lebih jauh dengan menerjemahkan Al-Qur’an pada pendekatan sastra dengan judul Al-Qur’an berwajah Puisi dan kemudian diformulasikan secara lebih puitis lagi dalam Al-Qur’an Al-Karim Bacaan Mulia. Pada dasarnya, buah karya ini dilahirkan oleh Jassin tidaklah bermaksud untuk membuat sebuah tafsiran dan interpretasi baru terhadap makna dan kandungan Al-Qur’an, tetapi hanya sebagai sebuah pendekatan agar Al-Qur’an dengan gaya yang berbeda dengan tujuan bisa dipahami dan dihanyati dengan sajian yang indah oleh pembaca.68 Lebih dari itu, model penulisannya pula dilakukan sebagaimana puisi dan dibaca pula dengan irama tertentu sebagaimana halnya puisi. Maka dalam hal ini secara otomatis akan terjadi potongan-potongan baik dari segi ayat Al-Qur’an atau pun arti yang disajikan. Ada tiga sebab yang melatarbelakangi terjadinya kontroversi terhadap buah karya yang dihasilkan oleh Jassin tersebut. Pertama, Al-Qur’an bukanlah sebuah kitab sastra sebagaimana kitab sastra lainnya. Meskipun pada dasar kehadiran Al- Qur’an adalah untuk menandingi sya’ir Arab pada masa tersebut. Maka sungguh sangat tidak wajar jika menyamakan Al-Qur’an sebagaimana karya sastra yang lain, sebab itu akan merendahkan posisi Al-Qur’an sebagai mukjizat sepanjang masa yang secara tegas telah mengatakan dalam ayat-ayat sebagai bentuk pembelaan. Kedua, ada anggapan bahwa Jassin bukan seorang yang mumpuni dalam bidang tafsir dan Al-Qur’an, sekalipun ia berlatar belakang sastrawan. Ketiga, inovasi yang dilakukan Jassin adalah sebuah terobosan pertama dan sebuah hal yang luar biasa bagi sebagian orang, tetapi bagi sebagian yang lain menjadi sebuah hal yang tabu (bid’ah) tanpa ada petunjuk dan keterangan dalil baik dari Al-Qur’an sendiri maupun hadits dan sumber hukum lainnya.69 Begitu pula dalam konteks karya HB. Jassin bahwa paling tidak kontrovesi terhadap Al-Qur’an Al-Karim Bacaan Mulia atau Al-Qur’an Berwajah Puisi dilatar belakangi oleh tiga hal. Pertama, HB. Jassin tidak menguasai bahasa serta sastra Arab dan bukan seorang pakar tafsir. Bahkan terjemahan sekalipun (apalagi buku tafsir) membutuhkan tiga hal di atas. Kedua, apa yang dilakukan HB. Jassin mungkin adalah yang pertama di dunia yang agi sebagian orang berangapan bahwa itu adalah ide intelektual yang jenius untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai sebuah karya yangb dapat diinterpretasi dalam berbagai pendekatan. Sebuah inovasi baru dalam mengutak-atik arti teks suci. Bagi sebagian yang lain menganggap bahwa karya tersebut merupakan bid’ah yang tidak punya rujukan atau basis dalil/hujjah/reason dari sumber-sumber hukum Islam. Ketiga, Al-Qur’an secara

    68 HB. Jassin, Al-Qur’an Al-Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Djambatan, 1991), cet. 3. Selengkapnya lihat, Nazwar Syamsu, Koreksi Terjemah Al-Qur’an Al-Karim Bacaan Mulia HB. Jassin, (Padang Panjang: Pustaka Sa’adiyyah, 1978). Lihat juga Oemar Bakry, Polemik H. Oemar Bakry dengan H.B. Jassin tentang Al-Qur’an Al-Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Mutiara, 1979). Lihat juga Siradjuddin Abbas, Sorotan atas Terjemahan Al-Qur’an HB. Jassin, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1979). 69 Bilmauidhah, “Puitisasi Terjemahan Al-Qur’an: Studi Analisis Terjemah Bersajak Bahasa Aceh”, Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010), 36-37. 103 jelas “membela dirinya sendiri” lewat ayat-ayatnya bahwa ia bukan kitab sastra. Meletakkan Al-Qur’an sebagai hanya karya sastra semata berarti merendahkan Al- Qur’an itu sendiri. Fungsi utama Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia.70 Mengutip pernyataan Islah Gusmian dalam artikel berjudul , “Kontroversi Mushaf Al-Qur’an Berwajah Puisi Karya HB. Jassin: Studi tentang Tatacara Penulisan dan Layout Mushaf Al-Qur’an” mengatakan bahwa perdebatan terkait bahwa Al-Qur’an itu berbentuk puitis atau proses memang sudah terjadi jauh sebelumnya. Mayoritas ulama, menyatakan bahwa tanpa dipuitisasikan, sesungguhnya ayat-ayat Al-Qur’an telah mengandung nilai puisi yang sangat agung. Tapi, ia sendiri bukanlah puisi. Thaha Husein, sastrawan Mesir, membagi perkataan pada: puisi, prosa, dan Al-Qur’an, sehingga dalam kategori ini dia memisahkan bahasa Al-Qur’an sebagai bahasa yang khas: bukan puisi dan juga bukan prosa. Sebab, Al-Qur’an tidak tunduk pada aturan puisi maupun prosa.71 Zaki Mubarak, berpendapat sebaliknya dalam kitab al-Nas}r al-Fanni sebagaimana dikutip Sirajuddin, dia mengatakan bahwa Al-Qur’an sebagai prosa Arab yang berbeda dari prosa sebelum dan sesudah kedatangannya. Mushthafa Anani menyebut Al-Qur’an tergolong prosa dengan perbedaan dari kelaziman prosa mursal dan kata bersajak Arab biasa: kadang berwajah prosa, tapi di bagian lain berwajah sajak, dan bahkan kombinasi antar keduanya. Sedangkan Al-Baqillani menolak wajah sajak dalam Al-Qur’an. Alasannya, dalam puisi harus ada minimal 4 bait dengan penyeragaman ujung-ujung qafiyah-nya, sedangkan Al-Qur’an tidak demikian.72 Masyarakat cendekiawan agaknya sependapat bahwa karya HB. Jassin ini bermaksud menyampaikan ketinggian sastrawi Al-Qur’an kepada bangsa Indonesia yang tidak menguasai sastra Arab. Dari keseluruhan polemik yang kemudian mencuat, semuanya mengerucut pada keberatan utama bahwa Jassin bukanlah seorang pakar tafsir dan ahli dalam bidang tersebut. Karena itu ia tidak pantas menulis sebuah terjemahan Al-Qur’an, apalagi menginterpretasikannya dalam bentuk puisi. Pada prinsipnya apa yang dilakukan Jassin sebenarnya bukan hal yang benar-benar baru. Sebelumnya seorang ahli sastra berkebangsaan Mesir bernama Sayyid Qut{b juga pernah menulis dan menerbitkan sebuah karya tasfir berjudul Tafsi>r fi Z}ilal Al-Qur’a>n. Latar belakang pengetahuan sastra Arab Sayyid Qut{b membuat tafsir tersebut cendrung sastrawi. Begitu pula pada abad keemasan Islam,

    70 Surahman Amin, “Al-Qur’an Berwajah Puisi Telaah Atas Al-Qur’an Bacaan Mulia Karya H.B Jassin”, Jurnal Kawistara, Vol. 6, No. 3, 22 Desember 2016, 231-232. Lihat juga https://artikula.id/muhammadrafi19/al-quran-berwajah-puisi-dan-al-quran- bacaan-mulia-h-b-jassin/ (Diakses, Tanggal 04 Februari 2020). 71 Islah Gusmian, “Kontroversi Mushaf Al-Qur’an Berwajah Puisi Karya HB. Jassin: Studi tentang Tatacara Penulisan dan Layout Mushaf Al-Qur’an”, dalam Jurnal al- Itqan, Vol. 1, No.1, Februari-Juli 2015, 44. 72 D. Sirajuddin. AR., “Al-Qur’an Berwajah Puisi: Dibenarkan tapi Tidak Diakui” dalam Ulumul Qur’an, No. 5, Vol. IV, Tahun 1993, 62. Lihat juga Islah Gusmian, “Kontroversi Mushaf Al-Qur’an Berwajah Puisi Karya HB. Jassin: Studi tentang Tatacara Penulisan dan Layout Mushaf Al-Qur’an”, dalam Jurnal al-Itqan, Vol. 1, No.1, Februari-Juli 2015, 44. 104 dikenal begitu banya tafsir-tafsir yang indah yang mengeborasi Al-Qur’an dalam bentuk sastra yang begitu tinggu. Mislanya, Tafsi>r Ibnu Arabi>, Tafsi>r al-Ma’a>ni > dan beberapa tafsir yang bernuansa keindahan bahasa Al-Qur’an.73 Surahman Amin menyebutkan, bahwa Al-Qur’an Al-Karim Bacaan Mulia sebagai buah karya dari HB. Jassin selain tidak membosankan untuk dibaca, ia juga dapat menyentuh perasaan yang amat halus. Hal ini tidaklah mengherankan, mengingat penulisnya dipengaruhi oleh keahlian tersendiri sebagai seorang sastrawan, sehingga produk yang dihasilkannya sangat diwarnai oleh kondisi yang demikian. Akan tetapi, terdapat beberapa tanggapan pro-kontra mengenai karya HB. Jassin yang berwajah puisi tersebut. Sebagian pengamat menganggap bahwa HB. Jassin telah melakukan dekonstruksi terhadap tipografi teks-teks Al-Qur’an yang normatif.74 Bagi mereka yang setuju dengan karya tersebut beranggapan bahwa karya tersebut adalah sebuah hal harus diapresiasi, sekalipun masih banyak ada kekurangan dan perlu ada perbaikan yang harus dilakukan. Mereka beralasan bahwa belum ada satu orang pun yang dapat menerjemahkan Al-Qur’an secara akuratistik, yang ada hanyalah sebuah pemahaman penerjemah terhadap teks. Namun bagi mereka yang menolak secara tegas menyatakan bahwa Jassin bukanlah orang yang layak untuk melakukan hal tersebut sekalipun di sisi lain mereka setuju bahwa Jassin bermaksud untuk menyampaikan dialektika keindahan bahasa Indonesia. Namun bukan berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai ladang sastra tanpa dasar ilmu pengetahuan dalam bidang tersebut.75 Secara umum, keberatan bagi yang menolak karya tersebut karena meragukan kompetensi HB. Jassin sebagai penerjemah yang kurang memahami bahasa Arab dengan baik. Selain itu sejumlah tuduhan yang menolak kepatutan moral (moral fitness) HB. Jassin pribadi untuk melakukan ‘kerja keagamaan’ tersebut. Mereka berpandangan yang berhak melakukan karya seperti ini ialah mereka yang mempunyai kapasitas keilmuan dalam bidang agama yang mumpuni.76 Perlu diketahui pula, bahwa Jassin sebenarnya bukanlah satu-satunya yang melakukan penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bentuk puisi. Ahmad Bestari Asnin, Syaifuddin B., K.H. Isa Anshary, dan Muhammad Diponegoro juga melakukan hal serupa. Ahmad Bestari Asnin tidak bisa menyelesaikan terjemahannya karena ia telah meninggal terlebih dahulu. Sementara kedua tokoh berikutnya menerbitkan

    73 Surahman Amin, “Al-Qur’an Berwajah Puisi Telaah Atas Al-Qur’an Bacaan Mulia Karya HB Jassin”, Jurnal Kawistara, Vol. 6, No. 3, 22 Desember 2016, 232. https://artikula.id/muhammadrafi19/al-quran-berwajah-puisi-dan-al-quran-bacaan- mulia-h-b-jassin/ (Diakses, Tanggal 04 Februari 2020). 74 Surahman Amin, “Al-Qur’an Berwajah Puisi Telaah Atas Al-Qur’an Bacaan Mulia Karya H.B Jassin”, Jurnal Kawistara, Vol. 6, No. 3, 22 Desember 2016, 232. https://artikula.id/muhammadrafi19/al-quran-berwajah-puisi-dan-al-quran-bacaan- mulia-h-b-jassin/ (Diakses, Tanggal 04 Februari 2020). 75 Bilmauidhah, “Puitisasi Terjemahan Al-Qur’an: Studi Analisis Terjemah Bersajak Bahasa Aceh”, 37. 76 Surahman Amin, “Al-Qur’an Berwajah Puisi Telaah Atas Al-Qur’an Bacaan Mulia Karya H.B Jassin”, Jurnal Kawistara, Vol. 6, No. 3, 22 Desember 2016, 232. 105 terjemahan puitis Al-Qur’an terhadap ayat-ayat pilihan, bukan seluruh Al-Qur’an sebagaimana Jassin.77 Bila ditinjau dan dilihat dari aspek bahasa yang digunakan, terjemahan Jassin sama dengan karya H.O.S Tjokroaminoto, Ahmad Hasan, Mahmud Yunus, dan Departemen Agama, berbeda dengan sejumlah terjemahan yang menggunakan bahasa Jawa, Sunda, dan Bugis. Dari segi tulisan, Jassin menggunakan tulisan latin, bukan tulisan pegon atau aksara Jawa. Meskipun begitu, terjemahan Jassin tetap memiliki perbedaan dengan Tjokroaminoto, Ahmad Hasan dan Mahmud Yunus. Ketiga tokoh tersebut menggunakan bahasa Indonesia dalam bentuk prosa, sementara Jassin menggubah terjemahannya dalam bentuk puisi.78 Dilihat dari kronologis penolakan terhadap karya Jassin secara terstruktur juga datang dari MUI dan Departemen Agma Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam keputusan surat dalam surat No. U 1061/MUI/XII/1992. Begitu pula dengan Kementrian Agama melalui Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an yang ditandatangani oleh H. A. Hafizh Dasuki sebagai ketua Badan Penelitian dan Pengembangan (litbang) Lajnah Pentashih Al-Qur’an, Depatemen Agama Republik Indonesia melalui Surat Keputusan No. P III/TL.02/1/242/1179/1992. Dan kemudian surat keputusan itu diberikan kepada Jassin pada awal tahun 1993 setelah karya tersebut telah dicetak sebanyak tiga kali.79 Lebih dari itu, pemerintah melalui Majelis Ulama Indonesia Ulama pula harus turun tangan untuk menjelaskan perkara tersebut dan bahkan Jassin dimintakan untuk mengklarifikasi kepada para ulama dan masuk ke sejumlah pesantren seputar terbitnya Al-Qur’an Al-Karim Bacan Mulia itu. Betapa tidak, karena akibat dari kontroversinya karya tersebut semua media dan surat kabar nasional bahkan lokal dimunculkan beberapa saat. Pada dasarnya MUI berpendapat bahwa karya tersebut tidak menjadi sebuah hal yang fatal, karena telah diuji dan diaudit oleh para ahli ilmu Al-Qur’an di MUI yang tertuang dalam Surat tanda tashih dari Lajnah Pentashih Al-Qur’an No. I-III/198/B-II/77. Namun perlu digarisbawahi bahwa karya tersebut harus dipertimbangkan dari segi kelayakan untuk sebuah terjemahan Al-Qur’an yang bersifat sastra. Karena yang menjadi persoalan paling sentral adalah bagaimana mencari cara yang paling tepat untuk menjelaskan posisi sastra Al-Qur’an ke dalam bahasa lain.80 Bahkan Hasan Basri sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia ketika itu mengeluarkan sebuah pernyataan dengan sebuah tudingan bahwa Jassin sedang mempermainkan Al-Qur’an sebagai landasan dalam kehidupan untuk mencapai tujuan awal penciptaan manusia di alam jagat raya ini.81 Sedangkan Menteri Agama yang menjabat pada waktu itu adalah

    77 Https://artikula.id/muhammadrafi19/al-quran-berwajah-puisi-dan-al-quran- bacaan-mulia-h-b-jassin/, (Diakses pada Tanggal 04 Fabruari 2020). 78 Https://artikula.id/muhammadrafi19/al-quran-berwajah-puisi-dan-al-quran- bacaan-mulia-h-b-jassin/, (Diakses pada Tanggal 04 Fabruari 2020). 79 HB. Jassin, Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), 17-18. 80 HB. Jassin, Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi, 17-18. 81 Surahman Amin, “Al-Qur’an Berwajah Puisi Telaah Atas Al-Qur’an Bacaan Mulia Karya H.B Jassin”, Jurnal Kawistara, Vol. 6, No. 3, 22 Desember 2016, 232. 106

    Munawir Sjazali yang secara tegas tidak merestui untuk dilakukan terhadap karya tersebut.82 Hamka sebagai salah seseorang tokoh mufassir Indonesia -yang telah mengenal Jassin- sejak tahun 1941 memberikan sebuah komentar menarik terkait karya tersebut, bahwa Jassin adalah seorang pribadi yang sangat tulus dan memiliki kegigihan.83 Dukungan penuh tersebut ia berikan terhadap buah karya tersebut sebagai sesuatu yang sangat berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kajian di ranah publik. Jassin pula telah mengakui dirinya bukan sebagai seorang yang ahli dalam bahasa Arab dan bukan pula seorang ulama. Hanya saja ia ingin mengeluarkan kemampuannya sebagai seorang sastrawan untuk menerjemahkan Al- Qur’an secara utuh dan lengkap dalam bahasa Indonesia. Karena itu pula Hamka pernah mengeluarkan sebuah pernyataan, “Perhatian saya kian lama kian mendalam kepada Al-Qur’an. Tidak saya biarkan satu hari berlalu yang saya tidak membacanya. Saya renungkan ayat demi ayat!” Penjelasan Jassin tersebut dikomentari seperti ini oleh Hamka dalam kelanjutan sambutannya: “Maka dapat dipahami jika ia pada mulanya tertarik merenungkan Al-Qur’an, lalu tenggelam ke dalam keindahannya, lalu terjalin cinta kepada Tuhan karenanya, lalu timbul keinginan hendak turut berbakti kepada agama dengan menyalinnya ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk kesusastraan yang Indah.”84 Berbeda dengan Muhammad Diponegoro dalam karyanya Pekabaran Puitisasi Terjemahan Juz ‘Amma,85 yang menulis sebuah terjemahan puitis Al- Qur’an juz 29-30. Dalam hal ini Diponegoro lebih bebas dibandingkan Jassin. Ia menggubah kembali terjemahan Al-Qur’an hingga tidak bermaksud terlalu konsen dan terperangkap dengan makna lafal teks secara harfiah. Tetapi dalam hal terjemahan puitis dan bukan puitis terhadap Al-Qur’an belum ada satu pun orang yang bisa menjamin bahwa hal tersebut yang menjadi keterwakilan makna yang dimaksud oleh Al-Qur’an, apalagi menyangkut hal keindahannya. Jika saja dengan model puitis itu dianggap bagus dan pantas maka sudah barang tentu hal tersebut pasti akan dilakukan semenjak masa Rasulullah Saw, karena bangsa Arab jungsa bangsa yang memiliki nilai sastra yang tinggi dengan aneka syair mereka. Di sisi lain Bachtiar Surin dalam karya puitis Al-Qur’annya86 mengatakan, bahwa mau atau tidak kandungan Al-Qur’an harus didakwahkan kepda seluruh aspek masyarakat. Karena mengingat tidak semua orang mampu memahami bahasa Arab, maka dengan

    82 Surahman Amin, “Al-Qur’an Berwajah Puisi Telaah Atas Al-Qur’an Bacaan Mulia Karya HB Jassin”, Jurnal Kawistara, Vol. 6, No. 3, 22 Desember 2016, 232. 83 HB. Jassin, Al-Qur’an Bacaan Mulia, xv 84 Https://artikula.id/muhammadrafi19/al-quran-berwajah-puisi-dan-al-quran- bacaan-mulia-h-b-jassin/. (Diakses pada Tanggal 04 Februari 2020) 85 Muhammad Diponegoro, Pekabaran Puitisasi Terjemahan Juz ‘Amma,(Jakarta: Kiblat). 86 Karya-karya Bachtiar Suryani sering dibacakan dalam perlombaan MTQ, pelantikan penjabat, pelepasan Haji, akad nikah, Maulid Nabi dan hari-hari besar Islam lainnya. Juga setiap tahun menulis puitisasi yang dibutuhkan LPTQ tiap tahunnya. Telah menghasilkan lebih dari 200 puisi yang sarat dengan nuansa religius. Khusus tentang puitisasi Al-Qur’an terdapat dalam antologi “ Cahaya” saritilawah Al-Qur’an, Perarakan Senja (puisi zikrul maut, dan Bias dalam Perjalanan Panjang). 107 pendekatan ini menjadi salah satu jalan untuk tersampaikannya nilai Al-Qur’an kepada seluruh umat. Selain itu, sebelum munculnya karya Jassin pada tahun 1872 M-1953 M telah muncul pula sebuah terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Inggris yang ditulis oleh Abdulla>h Yu>suf Ali>. Terjemahan tersebut ia susun dalam bentuk baris-baris gubahan modern bertujuan untuk menjadikan Al-Qur’an indah dilihat dari berbagai sudut pandang baik ketika dibaca dalam bahasa Arab dan juga ketika dibaca dalam bentuk terjemahan bahasa Inggris. Pada masa yang sama, muncul pula seorang intelektual muslim dari Barat bernama Muhammed Marmaduke Pickthall (1875- 1936)87 dengan gagasan ide menerjemahkan Al-Qur’an berbentuk prosa diberi judul dengan The Meaning of the Holy Qur’an dalam bahasa Inggris. Universitas Al- Azhar sebagai perguruan tinggi Islam tertua di dunia meberikan sebuah legesiasi, apresiasi sekaligus pengakuan bahwa karya tersebut adalah buah yang luar biasa bagi dunia perkembangan ilmu keislaman. Lebih lanjut Hamka berkomentar bahwa karya tersebut adalah karya yang paling indah tetap tersusun seperti ayat aslinya.88 Di sampaing itu usaha dan upaya menerjemahkan Al-Qur’an dalam bentuk puisi secara khusus juga telah muncul di Barat yang ditulis oleh Arthur J. Arberry, The Koran Interpreted pada tahun 1955, dan belakangan setelah itu oleh Hashim Amir Ali dengan judul The Message of The Qur’an pada tahun 1974.89 Usaha penerjemahan Al-Qur’an secara puitis tidak saja terhenti pada Jassin dan beberapa tokoh lainya yang telah penulis sebutkan di atas. Tetapi pada tahun 1953 hal tersebut menjadi inspirasi bagi Teungku Mahjiddin Jusuf untuk melakukan hal serupa dengan merujuk kepada Jassin sebagai referensi pembanding. Karya Mahjiddin Jusuf ini menjadi sebuah karya dengan gaya bahasa yang tergolong unik dengan ciri khasnya sendiri. Bahasa Aceh menjadi bahasa yang digunakan dalam penerjemahannya dengan tujuan dan maksud agar Al-Qur’an dapat dipahami oleh masyarakat Aceh dengan bahasa mereka sendiri dan dengan budaya Aceh yang masyarakatnya pula suka dengan bait-bait syair.

    C. Analisis Respon Ulama Aceh Terhadap Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh 1. Persamaan Bunyi dan Irama Para ahli sastra sering kali menggunakan model-model irama dan bunyi yang indah agar memberi kesan menarik ketika didengar sehingga bisa

    87 William Pickthall adalah seorang novelis yang terlahir dalam sebuah keluarga yang tergolong menegah ke atas di Horrow Inggris dan kepiawannya diakui oleh H.G. wells, DH. Lawrence dan E.M. Forster dari kalangan jurnalis, kepala sekolah juga pemimpian agama dan politik. Ia banyak melakukan rihlah ilmiyyah ke berbagai negara Timur tengah sehingga ia dikenal dengan ahli dalam persoalan Timur Tengah. Pada pada pertengahan perjalanannya tersebut ia memeluk agama Islam yang sebelumnya ia beragama Kristen. Banyak karya tulis yang ia hasilkan ketika ia menjadi pejabat dalam pemerintahan Nizam di Hayderabad. Muhammad Marmaduke Pickthall, The Meaning of the Glorious Koran, (Kuwait: Da>r al-Isla>miyya). 88 Hamka dalam “Kata Pengantar” Al-Qur’an Al-Karim Bacaan Mulia, xvi 89 Surahman Amin, “Al-Qur’an Berwajah Puisi Telaah Atas Al-Qur’an Bacaan Mulia Karya HB. Jassin”, Jurnal Kawistara, Vol. 6, No. 3, 22 Desember 2016, 234. 108 menyampaikan sebuah sabstansi secara baik. Bahkan oleh para pembaca akan mendapatkan kesan keindahan tidak saja pada aspek irama yang begitu beralun-alun, tetapi juga pada irama yang membuat seperti tersontak-sontak dan terkadang terhenti secara tiba-tiba ketika dibacakan. Sajak itu dilantunkan sesuai dan begitu merdu dengan ulangan-ulangan bunyi dan bukan saja di ujung baris. Dalam hal hikayat dan sajak Aceh yang berkonotasi pada sebuah karangan puitis dengan setiap baris terdiri dari sepuluh suku kata dan pada akhir barisnya terdapat bunyi yang sama. Format dan gaya penulisannya pada kebiasaan ditulis bergandengan dengan bait-bait berjumlah empat baris.90 Melihat definisi bunyi dalam konteks puisi adalah segala sesuatu yang menghasilkan rima dan ritma. Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Marjorie Boultan menyebut rima sebagai phonetic form. Jika berpadu dengan ritma, bentuk fonetik itu akan mampu mempertegas makna puisi.91 Pembicaraan tentang rima akan mencakup orkestrasi bunyi, simbol bunyi, kiasan suara, dan lambang rasa, sedangkan ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangaan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Bunyi dalam puisi berfungsi sebagai orkestrasi, yaitu untuk menimbulkan bunyi musik. Bunyi konsonan dan vokal disusun begitu rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan berirama seperti bunyi musik. Dari bunyi musik murni ini dapatlah mengalir perasaan, imaji-imaji dalam pikiran atau pengalaman-pengalaman jiwa pendengarnya (pembacanya). Dalam tataran ini dikenal dua kombinasi bunyi yang menghasilkan bunyi seperti bunyi musik, yaitu efoni92 dan kakafoni.93 Mahjiddin Jusuf dalam menerjemahkan Al-Qur’an telah menempuh metode sebagaimana disebutkan dalam teori persamaan bunyi di atas. Hal itu dapat dilihat dalam surah al-Fa>tihah yang terdapat dalam surah al-Fa>tihah ayat 1 dan 2: Ngon nama Allah lon puphon surat Tuhan Hadharat nyang Maha Murah Tuhanku sidroe geunaseh that-that Donya akhreat rahmat Neulimpah Sigala pujo bandum lat-batat Bandum nyan meuhat milik Potallah Nyan peujeut alam timu ngen barat

    90 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an al-KarimTerjemah Bebas Bersajak, xxii. 91 Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1991), 90. 92 Efoni diartikan sebagai bunyi yang indah atau komIbnasi bunyi-bunyi yang merdu. Orkestrasi bunyi merdu ini biasanya dapat atau untuk menggambarkan kerasaan mesra, kasih sayang atau cinta, serta hal-hal yang menggembirakan. Pada sajak-sajak MDDM orkestrasi jiwa ini ada yang bernada efoni, sperti rasa syukur, nikmatnya rindu, nada-nada optimis, juga yang bernada kakafoni seperti pada perasaan khauf (takut) kepada Allah dan berlindung diri kepada Allah daari kejahatan dunia dan kehidupan. Lihat, Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987), 28. 93 Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987), 27. 109

    Bandum lat-batat peuneujeut Allah.94 Jika diterjemahakan dalam bahasa Indonesia maka akan mengandung arti sebagai berikut: Dengan nama Allah ku mulai surat Tuhan Hadharat yang Maha Pemurah Tuhanku Esa Maha Pengasih Dunia akhirat rahmat berlimpah Segala puji seru sekalian alam Semua itu adalah milik Allah Yang Menciptakan alam Timur dan Barat Semua isinya ciptaan Allah Bandingkan dengan terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia sebagai berikut; Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al-Fa>tihah: 1-2) Begitu pula ketika ia melakukan proses penerjemah pada surat Ya>si>n ayat 37. Dalam penerjemahannya, Mahjiddin berusaha semaksimal mungkin untuk mencari sebuah kosa kata lain yang dianggap lebih cocok dan efektif. Bahkan ia juga mencari sebuah padadan kata dalam bahasa asli yang bertujuan untuk memadankannya dengan bunyi kalimat akhir itu lebih sepadan dan terdengar puitis ketika diucapkan oleh pembacanya. Hal itu dapat dilihat dari terjemahan dibawah ini: Timoh di Lampoh kuruma ngon inab Babah han seungap ta pajoh bagah Teupanca ngon krueng ie jeureungeh that Jika diterjemahakan dalam bahasa Indonesia maka akan mengandung arti sebagai berikut: Tumbuh di kebun kurma dan anggur Mulut pun tidak berhenti memakan begitu cepat Terpancar dari sungai air yang begitu jernih Bila memperhatikan pada akurasi makna terjemahan, maka kata inab dalam terjemahan di atas bukanlah bahasa Aceh. Melainkan itu adalah kosa kata dalam bahasa Arab, di mana oleh penerjemah melakukan penyesuaian terhadap sajak akhir agar nampak keindahan bunyi dan irama ketika dibacakan. Cara menyusun baris-baris sajak pun perlu pertimbangan. Dari sudut irama yang bertalian dengan pengaturan nafas, dari sudut keteraturan bunyi demi kenikmatan pendengaran dan juga dari sudut kesatuan isi kalimat atau bagian-bagian

    94 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, (Banda Aceh: Pusat penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) Aceh, 2007), 1. 110 kalimat. Bunyi-bunyi ini dapat pula diperkuat kesannya dengan memperhatikan irama susunan kalimat dan mencari kata-kata yang tepat menciptakan irama kalimat ini. Misalnya dengan mencari sinonim-sinonim yang terdiri dari jumlah suku kata tertentu. Jelaslah bahwa untuk mendapatkan terjemahan yang puitis efektif diperlukan perbendaharaan kata yang luas untuk memungkinkan irama yang lebih harmonis dalam hubungan kandungan makna. Kata-kata sinonim diperlukan supaya ada variasi dalam pengungkapan, sesuai dengan keindahan bunyi dan keserasian irama.95 Dalam konteks persajakan Aceh, jika ada sebuah suku kata yang terbuka dan bergaung an dan ang maka akan memberi kesan yang indah dan merdu. Itu sebabnya penerjemah begitu mudah mendapatkan kosa kata yang enak didengar persajakan yang lebih bagus. Al-Qur’an merupakan wahyu yang memiliki otoritas tunggal dari Tuhan dan tidak dapat diganggu gugat, maka para tim penyunting mencoba melakukan pemeriksaan terhadap kesahihan arti yang telah diterjemahkan. Dan setelah proses itu pun ternyata banyak ditemukan beberapa tempat yang dianggap perlu untuk dikoreksi demi kesempurnaan dan mendapat pemahaman yang sempurna terhadap makna ayat Al-Qur’an. Dalam proses pengerjaan itu pula, para tim tidak pernah terlepas dari konsultasi dengan penerjemah sendiri. Jika saja didapatkan sebuah kata atau kalimat yang perlu diubah, maka tim meminta Mahjiddin yang menukar kata atau kalimat bait tersebut. Maka bila dinilai dalam tinjauan estetis serta nilai seni yang ingin ditampilkan, maka karya Mahjiddin tergolong ke dalam terjemahan Astetis-Puitis, karena terjemahan ini mementingkan dampak efektif, emosi dan nilai rasa dari satu versi bahasa yang orisinal. Pada edisi kedua terdapat beberapa revisi yang dilakukan oleh Tim Penyunting. Di antarannya mengenai perubahan arti yang dianjurkan oleh Tim Penyunting tentang catatan bagi huruf-huruf yang ada di awal surah. Pada awalnya, huruf-huruf ini hanya ditulis teks latinnya saja, namun kemudian diusul untuk memberi komentar atau gambaran maksud terjemahan, yang pada dasarnya bukanlah terjemahan. Berikut contoh lain penerjemahan ayat 143 dalam surah al-An’am:

    ُُُُُُُُُُُ.ُ.ُ.ُ Na lapan pasang keubiri dua Kameng pih dua takheun ci peugah Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: Ada delapan pasang domba dua Kambing pun dua katakanlah Tim Penyunting merasa bahwa terjemahan di atas kurang tepat dan perlu direvisi dan disusun dengan baik menjadi: Lapan binatang meupasang-pasang

    95 Bilmauidhah, “Puitisasi Terjemahan Al-Qur’an: Studi Analisis Terjemah Al- Qur’an Bersajak Bahasa Aceh”, Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010), 94. 111

    Keubiri, kameng takheun ci peugah Diterjemahakan sebagai berikut: Delapan binatang berpasang-pasang Domba, kambing katakanlah Jika dialih bahasakan dalam bahasa Indonesia maka akan mengandung arti sebagai berikut: “(yaitu) delapan binatang yang berpasangan, sepasang domba, sepasang dari kambing. Katakanlah: …”. (QS. Al-An’a>m: 143) Dalam ayat lain, Tim Penyunting juga menemukan ketidak akuratan dan harus dilakukan upaya perbaikan, yaitu surah al-Ahzab: 4 sebagai berikut:

    ُُُُُُُُُُُُُُُُُ

     ُُُُُُُُُُُُُُُ

    ُُ Oleh Mahjiddin pada awalnya memberikan terjemahan pada edisi pertama dengan: Bak sidroe ureung na dua ate Hana roe Neubri meunan le Allah Meunyoe ta zihar peurumoh gata Ngon rueng ma gata saban that leupah Diterjamahkan sebagai berikut: Pada diri seseorang terdapat dua hati Tidak akan diberikan demikian oleh Allah Apabila kalian menzihar isteri kalian Dengan punggung ibumu secara berlebihan Baris keempat bait pertama dikhawatirkan dapat meragukan pembaca. Karena itu tim menganjurkan untuk diperjelas. Kemudian bait ini digubah menjadi: Bak sidroe ureung na dua ate Hana roe Nebri meunan le Allah Meunyo ta zihar peurumoh gata Ngon rueng ma gata takheun sa leupah Artinya sebagai berikut: Pada diri seseorang terdapat dua hati Tidak akan diberikan demikian oleh Allah Apabila kalian menzihar isteri kalian Dengan punggung ibumu secara berlebihan

    112

    Perubahan terakhir yang dilakukan adalah mengenai terjemah kata sumpah. Di dalam Al-Qur’an, Allah sering bersumpah baik menggunakan nama atau dirinya sendiri ada pula dengan makhluknya. Dalam beberapa ayat, Allah mengawali sumpahnya dengan kata la yang berarti tidak. Mahjiddin memilih kecendrungan bahwa kata la tersebut harus diartikan, tidak boleh dianggap tidak ada. Karena itu ayat 75 surah al-Wa>qi’ah diterjemahkan dengan:96 Han Lonmeusumpah ngon teumpat binatang Teumpat-teumpat nyan di langet luah Artinya sebagai berikut: Tidak Aku bersumpah dengan tempat binatang Tempat-tempat itu ada di langit luas Kedelapan kata sumpah yang diawali dengan kata la seperti disebutkan di atas ia terjemahkan dengan Han Lonmeusumpah. Persoalan inilah yang menjadi topik diskusi para tim penyunting yang terakhir dengan penerjemah. Melalui diskusi sesama tim penyunting, memutuskan untuk mengikuti kecenderungan umum kebanyakan buku tafsir, dan karena itu mengubah arti kedelapan sumpah yang diawali dengan kata la menjadi Ulon meusumpah. Dengan demikian terjemahan surat al-Waqi’ah menjadi: Ulon meusumpah ngon teumpat bintang Teumpat-teumpat nyan di langet luah Aku bersumpah dengan tempat binatang Tempat-tempat yang ada di langit luas Dalam konteks ini, Hisyami Yazid97 memberi komentar bahwa terjemahan dalam ayat ini memang telah cukup mewakili secara pemahaman dan penafsiran secara lebih luas. Tetapi perlu ditekankan bahwa pada baris kedua dalam terjemahan tersebut agak berlebihan jika diterjemahkan dengan Tuhan Hadharat. Karena memang secara tekstual kalimat bismillah terkandung terjemah yang menunjuki kepada arti tersebut.98 Menurutnya lagi, bahwa meskipun dalam diri kalimat bismilla>h tekandung takdir abtadi’u, tetapi tidak serta merta diberikan tambahan terjemahan lon peuphon surat, karena akan memberikan makna dan pemahaman

    96 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak, xxvi 97 Hisyami Yazid adalah Dosen pada prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. Pernah mengeyam pendidikan di Dayah Aceh dan kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Al- Azhar Mesir. Setalah menamatkan pendidikannya di Universitas Islam itu, ia melanjutkan kembali pendidikannya pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. Setalah menamatkan Program Magisternya, ia melanjutkan kembali pada program Doktor di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan sekarang ia aktif mengajar dan aktif pula pada Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Banda Aceh. 98 Wawancara dengan Hisyami Yazid, tanggal 03 Oktober 2019, di kediaman Jeulingke, Kota Banda Aceh. 113 yang keliru dan mengambang bagi mereka yang hendak membacanya secara pemahaman literlek.99 Komentar tersebut sejalan dengan apa yang disebutkan oleh Fauzi Shaleh, bahwa menurutnya hal tersebut memang patut diberikan apresiasi terhadap usaha yang telah dilakukan oleh Mahjiddin. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa meskipun demikian karya tersebut adalah sebuah karya hasil tangan manusia yang tentu tidak luput dari kekurangan.100 Menurutnya, dalam ayat ini haruslah diberikan beberapa catatan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam mengartikan arti ayat Al-Qur’an. Sebab jika tidak diberikan penjelasan lebih lanjut maka dikhawatirkan akan terjadi penambahan makna Al-Qur’an yang berujung kepada tahrif101 Al-Qur’an. Demikian pula komentar yang diberikan oleh Muhammad Yusuf A. Wahab102, bahwa haruslah sangat berhati-hati dalam upaya menerjemahkan Al- Qur’an. Sebab Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang sangat sakral sebagai pedoman dalam setiap kehidupan. Jika ayat-ayat tersebut diterjemahkan tanpa mengikuti kaedah-kaedah yang telah ditetapkan oleh para ulama yang muktabar maka sangat dikhawatirkan terjatuh dalam kekeliruan yang menyebabkan terrdistrosinya kandungan Al-Qur’an sebagaimana yang diinginkan. Boleh saja menerjemahkan Al-Qur’an dengan menyesuikan bunyi dan sajak, teteapi harus menjadi perhatian pula bahwa jangan karena hendak mengindahkan bunyi dan rima akhir tetapi mengabaikan kaedah yang ada, sehingga arti yang seharusnya ditimbulkan dalam terjemahan harus terhilangkan karena aspek-apek yang mengharuskan penyesuaian puisi.103 Bila melihat komentar dari ketiga pakar ini, maka dapat disimpulkan bahwa pendapat mereka dalam hal ini tergolong dalam ulama yang kritis epistemologis dengan mempertimbangkan syarat-syarat dalam aspek penerjemahan Al-Qur’an. Sekalipun dalam pernyataan mereka memang hampir menyentuh wilayah kritis ideologis atau juga teologis. Argumentasi memang sungguh sangat memiliki latar

    99 Wawancara dengan Hisyami Yazid, tanggal 03 Oktober 2019, di kediaman Jeulingke, Kota Banda Aceh. 100 Wawancara dengan Fauzi Shaleh, tanggal 02 Oktober 2019, di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh. 101 Dalam Lisa>n al-`Arab, Ibn al-Manzu>r menulis bahwa yang dimaksud dengan tahrif adalah pengubahan huruf dari maknanya, atau kata dari artinya yang berdekatan, sebagaimana orang Yahudi mengubah makna-makna (ayat) Taurat dengan yang serupa. Ar- Ra>ghib al-Asfaha>ni> menulis dalam al-Mufrada>t fi> Ghari>b Al-Qur’a>n bahwa yang dimaksud dengan tahri>f itu adalah menjadikan suatu kata pada keadaan yang memungkinkan dapat diarahkan pada dua makna (atau lebih). Lihat, Ibn Manzu>r, Lisa>n al-Arab, cet. ke 3, jilid 9 (Beiru>t: Da>r as-Shadir, 1994), 42. Lihat juga, Ar-Ra>ghib al-Asfa>ha>ni>, al-Mufrada>t fi> Ghari>b Al-Qur’a>n (Beiru>t: Da>r al-Ma’`ri>fah, tt), 114. Lihat juga, M. Nur Kholis Setiawan, “Book Review: Syi’ah dan Wacana Perubahan Al-Qur’an, Tahrif Al-Qur’an, dalam Jurnal Al- Jami’ah, Vol. 43, No. 1, 2005/1426 H. 102 Muhammad Yusuf A Wahab adalah pimpinan Dayah Babussalam Al-Aziziyah Jeunib, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh. Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) dan ketua Barisan Muda Umat (BMU) yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan. 103 Wawancara dengan Muhammad Yusuf A. Wahab, tanggal 15 Oktober 2019, di kediaman Lambhuk, Kota Banda Aceh. 114 belakang yang begitu kuat dengan landasan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang harus dipertimbangkan dari segela aspek untuk diterjemahkan. Begitu pula bila memperhatikan teori dalam sub bab di atas, akan ditemukan bahwa pemikiran mereka sangat identik dengan kelompok ulama tradisionalis dalam arti bahwa mereka adalah kelompok ulama yang memang toleran, tetapi mereka juga memperhatikan aspek-aspek tertentu dan penuh kehati-hatian agar tidak terjatuh dalam kesalahan fatal bahkan menjadi liberal dalam pemikiran. Di samping karena pemikiran mereka yang tradisionalis, menurut hemat penulis mereka juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan yang terlahir dari pesantren-pesantren tradisonal di Aceh. tetapi harus digaris bawahi bahwa pemikiran meraka tidak sampai pada tahap fundamentalis yang segala sesuatu dipertimbangkan berdasarkan pada teks keagamaan secara tekstualistis dengan mengabaikan aspek kontekstulis. Faisal Ali104 sebagai Wakil ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh juga memberikan komentar menarik yang berbeda dengan Muhammaad Yusuf A. Wahab. Menurutnya karya Mahjiddin tersebut adalah sebuah gambaran bahwa bahasa Aceh juga mampu menjadi sebuah bahasa yang mampu mentransformasi nilai-nilai keagamaan baik yang berasal Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam ajaran Islam. Ia menambahkan bahwa karya ini merupakan sebuah karya yang perlu diberikan apresiasi yang besar dan bahkan mampu menyalurkan substansi Al-Qur’an dalam bentuk sastra lokal. Lebih spesifik ia mengatakan bahwa tidaklah mengapa menerjemahkan Al-Qur’an dalam bentuk puisi dengan menyesuaikan bait-bait akhir dalam bentuk sajak ab ab. Terlebih jika melihat karya Mahjiddin di mana di dalamnya tidak mengandung distorsi-distorsi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri. Bahkan lebih dalam Mahjiddin Jusuf telah mampu menyalurkan substansi Al-Qur’an dengan baik dalam pendetakan budaya orang Aceh.105 Pola pemikiran Faisal Ali tergolong modernis-akomodatif, sekali pun Faisal berlatar belakang pendidikan pesantren tradisional tetapi tidak membuatnya berpola pikir tradisionalis sebagaimana kelompok ulama di atas dan tidak juga berpola pikir pragmatis yang mengakibatkan ia terjatuh dalam kontestualitas dan mengabaikan teks keagamaan. Munculnya pemikiran Faisal Ali yang modernis barangkali dilatar belakangi oleh faktor posisinya dalam struktur ulama pemerintah di Provinsi Aceh, yaitu Majelis Permusyawaratan Ulama (Aceh). Berdasarkan pada teori bahwa ulama pemerintah adalah ulama yang terlibat dalam aktivitas kenegaraan dengan segala administrasi di dalamnya. Di samping itu, dalam karya tersebut juga penulis mendapatkan di beberapa tempat dengan kekeliruan atau kesalahan penulisan yang dilakukan oleh penerjeman. Misalnya pada penulisan kata mukjidat dalam surat al-Ra’du ayat 38, seharusnya ditulis dengan mukjizat. Di samping itu jua terdapat dalam surat al-Nahl ayat 116, narasi kosa kata hareum (artinya haram), ditulis dengan hareuen. Boleh

    104 Faisal Ali adalah Pimpinan Dayah Mahyal Ulum A-Aziziyah, Sibreh, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Menjabat sebagai wakil ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Aceh. 105 Wawancara dengan Faisal Ali (Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh), tanggal 14 Januari 2020 di hotel Blue Sky Jakarta Pusat. 115 jadi masih terdapat beberapa kekeliruan lainnya di beberapa tempat lain, namun hal ini akan menjadi bagian dari masukan para tim penyunting dan dan telah dilakukan revisi untuk penerbitan edisi terbaru yang kedua. Tetapi menurut hemat penulis bahwa boleh jadi kesalahan ini adalah hanya kesalahan penulisan yang tidak menjadi substansial dari sebuah terjemahan dan tidak boleh jadi pula terdapat unsur kesengajaan dari penulis. 2. Tafsir dan Perluasan Makna Perluasan makna dalam artikulasi lain adalah memberikan interpretasi yang kaluar dari makna harfiyah kepada arti yang lebih lebar. Konotasi perluasan makna dalam bahasa Arab disebut juga dengan tafsi>r. Sedangkan istilah tafsir menurut Taufik Adnan Amal106 berasal dari kata fassara yang berarti menjelaskan, menerangkan, menyingkap atau menampakkan –secara khusus bermakna penjelasan atas Al-Qur’an atau ilmu tentang penafsiran kitab suci tersebut.107 Secara lebih khusus al-Zarkasyi> memberi definisi tafsir sebagai ilmu untuk memahami, menjelaskan makna, dan mengkaji hukum-hukum serta hikmah hukum tersebut dalam kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.108 Sinonim untuk kata ini adalah syarh atau ta’wi>l.109 Istilah syarh tidak digunakan dalam perbendaharaan tafsir, sekalipun memiliki makna senada, karena telah menjadi terminologi teknis dalam ilmu-ilmu hadits untuk komentar atas hadits. Konotasi dan distingsi tersebut sangat sesuai dengan komentar Azman Ismail110 terhadap karya Mahjiddin terhadap beberapa model penerjemahan yang ia gunakan. Menurutnya, bahwa sekalipun karya tersebut diberi judul dengan “terjemahan Bebas”, tetapi tidak dapat dinafikan bahwa dalam proses isi kandungannya terdapat unsur-unsur tafsir yang menjelaskan makna ayat secara lebih

    106 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta: FkBA, 2001), 353. 107 Ani Umi Maslahah, “Al-Qur’an, Tafsir, dan Ta’wil Dalam Perspektif Sayyid Abu Al-A’la Al-Maududi”, dalam Jurnal Hermeneutik, Vol. 9, No. 1, Juni 2015. 108 Muhammad Ibn Baha>dir Ibn Abdullah al-Zarkashi>, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m Al- Qur’a>n, Vol. 1, (Bairut: Da>r al-Ma’ri>fah, 1391 H), 13. 109 Menurut M. Quraish Shihab, pengertian takwi>l secara kebahasaan atau etimologi yang berarti kembali, yakni pengembalian (أل – يأول - أوال) berasal dari kata ala-ya’u>lu-aulan sesuatu yang dapat dikembalikan kepada penyebab awalnya. Kata takwil juga diambil dari kata ma’al, artinya kesudahan. Maksudnya, segala sesuatu ketika dipahami menjadikannya berbeda dari asalnya. Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 7 (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 353. lihat juga, M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 219. Sedangkan menurut Abdul Jabbar takwil diartikan sebagai pemindahan makna kata dari makna literal kepada makna non-literal sebab terdapat dalalah yang menuntut pemakaian makna nonliteral tersebut. Lihat, ‘Abd al-Jabba>r, Al-Mughni> fi> Abwa>b al-Tauhi>d wa al-‘Adl, Juz, 7, (Tk: tp, tt), 211. Lihat juga, Moh. Alwy Amru Ghozali, “Takwil dalam Perspektif ‘Abd Al-Jabbar: Sebuah Tawaran Hermeneutika Al-Qur’an”, dalam Jurnal Ushuluddin dan Dakwah STAIN Ponorogo, 172. 110 Ketua Majelis Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Aceh, Imam Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Guru Besar dan Profesor dalam bidang Bahasa dan Sastra Arab Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. 116 luas yang bertujuan agar dapat secara langsung dipahami oleh masyarakat ketika hendak berinteraksi dengan Al-Qur’an tanpa membutuhkan kepada pemikiran dan pertanyaan kepada orang lain.111 Tetapi harus digarisbawahi bahwa persentase penjabaran ayat dalam konteks penafsiran hanya berkisar pada 30% dari seluruh Al- Qur’an. Sedangkan 70 % lainnya berisi terjemahan secara bebas yang menyesuaikan pada aspek puisi dan persamaan bunyi pada akhir bait-bait terjemahan.112 Faisal Ali juga berkomentar yang agak sedikit bertolak belakang dengan Azman Ismail. Menurutnya, karya tersebut tidak dapat disebut sebagai karya tafsir, tetapi karya itu murni sebagai karya terjemahan dengan pendekatan sosio-budaya dalam kontek konteks ke-Acehan agar masyarakat Aceh bisa memahami terjemahannya dengan baik. Meski harus merujuk kembali kepada karya-karya tafsir besar laiinnya agar lebih memahami secara komprehensif.113 Realitas ini juga didukung pernyataan Muntasir A. Kadir yang mengatakan bahwa karya tersebut bukanlah karya tafsir tetapi karya terjemah berbasis maknawiyah yang harus diperbaiki kontennya di beberapa tempat terjemahan. Hal itu karena mempertimbangkan bahwa Al-Qur’an sebuah kitab suci yang sakral dan kesuciaannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun.114 Meskipun pada realitas yang nampak ke permukaan nampaknya ketiga tokoh ini berbeda pandangan dalam kontek penafsiran atau penerjemahan, namun harus digaris bawahi bahwa pada dasarnya keduanya memberikan apresiasi secara penuh kepada karya tersebut dengan melihat pula landasan-landasan teori yang ada yang dala terjemahan dan penafsiran Al-Qura’an. Di samping itu keduanya juga adalah menjadi bagian dalam struktural Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh yang masing-masing menempati posisi Ketua Majelis Fatwa dan Wakil Ketua I MPU Aceh. Justeru karena itu pemikiran mereka di bawa dalam ranah modernis (bukan pragmatis), tetapi yang terpeting adalah bagaimana Al-Qur’an mampu menyampaian substansinya kepada para pembaca dalam bermacam model dan metode apa saja. Tetapi harus dicermati pula bahwa berdasarkan pengamatan secara lebih mendalam dan spesifik secara berlanjut, penulis menemukan hal yang justeru bertolak belakang dengan kedua tokoh tersebut. Jika diperhatikan maka akan ditemukan dalam karyanya itu menggunakan unsur tafsir dengan landasan terjemahan maknawiyah atau bahkan tafsi>riyah, 115 yang menjelaskan makna dengan

    111 Wawancara dengan Azman Ismail, tanggal 14 Oktober 2019 di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. 112 Wawancara dengan Azman Ismail, tanggal 14 Oktober 2019 di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. 113 Wawancara dengan Faisal Ali (Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh), tanggal 14 Januari 2020 di hotel Blue Sky Jakarta Pusat. 114 Wawancara dengan Muntasir A. Kadir, tanggal 08 Februari 2020, di Pesantren MUDI Mekar Al-Aziziyah, Pondok Gede, Bekasi. 115 Al-Zarqa>ni> dan Manna>’ al-Qat}t}a>n sama-sama menamakan terjemahan tafsiriyah dengan maknawiyah. Perbedaan pendapat mereka hanya terletak dalam hal keterangan. Al- Zarqani> menamakan terjemahan tafsi>riyah dengan nama maknawiyah disertai keterangan, yakni terjemahan tersebut mengutamakan kejelasan makna. Sedangkan Manna>’ al-Qatta>n tanpa alasan dan keterangan yang jelas. Pemberian nama terjemahan tafsi>riyah oleh al- 117 bahasa lain tanpa terikat tertib kata-kata bahasa asal atau susunan kalimatnya. Harus diketahui pula bahwa terjemahan seperti ini pada hakekatnya mengutamakan ketepatan makna dan maksud secara sempurna meskipun dengan konsekuensi terjadi perubahan urutan-urutan kata atau susunan kalimat. Jenis ini disebut juga terjemahan maknawiyah karena mengutamakan kejelasan makna. Sedangkan gaya dan teknik terjemahan tafsi>riyah yang digunakan oleh Mahjiddin adalah dengan cara memahami maksud teks dengan bahasa Arab terlebih dahulu, kemudian baru diadaptasikan dengan bahasa tujuan, yaitu bahasa Aceh dengan muatan seni dan budaya Aceh hikayat, tetapi tidak terikat dengan urutan-urutan kata (terjemah bebas).116 Sungguh tidak berlebihan pula jika penulis ingin berpendapat bahwa karya tersebut adalah murni karya tafsir denga corak adab ijtima>’i> atau bisa disebut juga dengan tafsir sastrawi. Pernyataan ini sungguh beralasan, sebab dalam kata pengantar disebutkan bahwa penulis mengambil rujukan utama kepada tiga tafsir besar, yaitu Tafsi>r Ibnu Kas\i>r, Tafsi>r al-T{abari>, dan Tafsi>r al-Kasysya>f karya al- Zamakhsyari>. Sedangkan yang menjadi sumber sekunder adalah karya-karya terjemahan lainnya sebagai pendukung. Maka dari itu penulis berani memberikan sebuah asumsi bahwa karya tersebut adalah karya tafsir susuai dengan kriteria-kriteri yang telah ditetapkan oleh para ulama da pakar tafsir dalam buku mereka. Lebih lanjut mengenai ihwal perluasan atau tambahan makna (tafsir) yang diberikan penerjemah dapat langsung dilihat sejak surah al-Fa>tihah sampai akhir surah al- Na>s. Mengenai perluasan atau tambahan makna atau tafsir yang diberikan Mahjiddin dapat dilihat contohnya dalam surat A

  • n ayat 106-108:117 106. Bak uroe dudo nyang puteh muka Ngon itam muka dua kaphilah Nyang itam muka teuma geutanyong ‘Oh lheueh meuiman kakaphe di kah Jinoe karasa adeueb bukon le Sabab kakaphe raya that salah 107. Nyang puteh muka teuma that seunang Bandum ureueng nyan lam rahmat Allah Keukai di sinan sipanyang masa Nyankeuh chedara dum ayat Allah

    Zarqa>ni> bukan tanpa alasan dan keterangan yang logis. Pakar ilmu Al-Qur’an ini member nama terjemahan ini dengan tafsi>riyah karena tehnik yang digunakan oleh penerjemah dalam memperoleh makna dan maksud yang tepat mirip dengan teknik penafsiran, padahal bukan semata-mata tafsir. Lihat, Muhammad ‘Abd al- ‘Azi>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996 M), 113. 116 Bilmauidhah, “Puitisasi Terjemahan Al-Qur’an: Studi Analisis Terjemah Al- Qur’an Bersajak Bahasa Aceh”, Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010), 94. 117 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, (Banda Aceh: Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI), 2007), 89. 118

    108. Kamoe beuet ayat bandum keu gata Deungen sibeuna hana nyang salah Tan hajat Tuhan Neumeung elanya Meu sidroe hana hukom meuilah Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: 106. Pada hari kiamat yang putih muka Dan hitam muka dua kafilah Kepada yang hitam mukanya ditanya Setelah beriman kafirlah engkau Sekarang rasakanlah azab yang pedih Disebabkan kekafiran itu dosa besar 107. Yang putih mukanya begitu senang Semua mereka dalam rahmat Allah Kekal di dalamnya sepanjang masa Itulah saudara ayat Allah 108. Kami Bacakan semua ayat kepadamu Dengan maksimal tidak ada yang keliru Tidak maksud Tuhan untuk menyiksa Jika orang tidak melanggar hukum Berbagai pesan yang terdapat dalam teks asli berupa gambaran keadaan manusia di hari kiamat dapat tertampung dalam terjemahan ini. Terjemahan tersebut bisa dibandingkan dengan terjemahan ayat-ayat yang sama dalam Al-Qur’an dan Terjemahannya susunan Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an (Departemen Agama)118 yang kemudian disunting dan diterbitkan oleh Mujamma’ Kha>dim al-Haramain al-Syari>fain al-Ma>lik Fahd li Thiba’a>t al-Mushaf al-Syari>f Madi>nah Munawwarah. Bandingkan dengan terjemahan ayat-ayat yang sama dalam Al-Qur’an dan Terjemahannya surat A

  • n ayat 106 – 108 sebagai berikut;119

    ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ

    ُُُُُُُُُُُُُُُُُ

    ُُُُُُُ ُُُُُُُُُُُ

    106. Pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pulamuka yang hitam muram. Dan adapun orang-orang yang hitam muram mukanya

    118 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Penerbit Yayasan Penyelenggara/ Penerjemah/ Pentafsir Al-Qur’an Departemen Agama RI, 1970). 119 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Surabaya: Mekar Surabaya, 2004), 70. 119

    (kepada mereka dikatakan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.”

    107. Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga) mereka kekal di dalamnya.

    108. Itulah ayat-ayat Allah, Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan benar; dan tiadalah Allah yang berkehendak untuk menganiaya hamba hambanya. Bandingkan juga dengan gaya puitis HB. Jassin dalam menerjemahkan ayat tersebut di atas:120 106. Pada hari wajah-wajah menjadi putih (berseri) Dan wajah-wajah menjadi hitam. (muram) Adapun orang yang wajahnya Menjadi hitam, (Kepadanya dikatakan): Apakah kamu menjadi kafir sesudah beriman? Maka rasakanlah olehmu Siksaan karena kekafiranmu?

    107. Adapun orang yang wajahnya Menjadi putih, Mereka itu dalam rahmat Allah, Mereka tinggal di dalamnya Selama-lamanya. 108. Itulah ayat-ayat Allah Yang kami bacakan kepadamu Dengan benar. Dan tiadalah Allah hendak Menganiaya makhluk-makhluk-Nya. Azman Ismail121 memberi komentar bahwa Mahjiddin tidak menerjemahkan kalimat sesuai urutan bahasa Arab, ia mencoba untuk mencari padanan kata singkat dan mampu mewakili kepadatan terjemahan secara prosa. Ia beranggapan bahwa terjemahan prosa terlalu panjang dan tidak langsung memberi pesan yang ingin disampaikan ayat. Karena itu dalam hal ini Mahjiddin Jusuf telah menempuh perluasan makna atau dalam istilah lain menfsirkan ayat baik secara bahasa maupun

    120 HB. Jassin, Al-Qur’an Al-Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Djambatan, 1991), 84. 121 Ketua Majelis Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Aceh, Imam Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Guru Besar dan Profesor dalam bidang Bahasa dan Sastra Arab Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. 120 secara lebih luas.122 Demikian lagi Samsul Bahri menanbahkan bahwa karya Mahjiddin tersebut adalah sebuah karya tafsir yang bermanhaj ijmali> (penafsiran secara global) sebagaimana terjemahan Departemen Agama. Ia memberi alasan bahwa Al-Qur’an memang tidak dapat diterjemahkan dan disamakan dalam bahasa apapun, karena bahasa Al-Qur’an memiliki kedalaman makna yang tidak dimiliki oleh bahasa lain.123 Begitu pula Fauzi Shaleh124 ketika membahas terkait karya Mahjidin Jusuf tersebut bahwa menurutnya karya itu adalah sebuah karya tafsir yang berlatar belakang metode ijma>li> (global).125 Menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan metode ijma>li> telah banyak ditempuh oleh para ulama terdahulu seperti Jala>l al-Di>n al-Mah}alli> (w.864H) dan Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i> (w.911 H) dengan kitab Tafsi>r Jala>lain.126 Bahkan jika dilihat lebih jauh, maka pada dasarnya penafsiran Al-Qur’an dengan pendekatan ijma>li > telah ditempuh pula oleh al-Fairuzzabadi> (w.1414 M) yang menyusun kitab Tanwi>r al-Miqbas min Tafsi>r Ibnu Abba>s dengan menisbtakan kepada Ibnu Abbas.127 Dalam kajian Al-Qur’an semua alih bahasa atau terjemahan Al-Qur’an disebut juga sebagai tafsir Al-Qur’an.128

    122 Wawancara dengan Azman Ismail, tanggal 14 Oktober 2019 di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. 123 Wawancara dengan Samsul Bahri, tanggal 01 Oktober 2019 di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. 124 Fauzi Shaleh, “Mengungkap Tafsir di Aceh”, Jurnal al-Ulum, vol. 12, no. 2, tahun 2012, 384. Wawancara dengan Fauzi Shaleh, tanggal 02 Oktober 2019, di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. 125 Metode tafsir ijmali yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan cara singkat dan global tanpa uraian panjang lebar. Metode Ijmali (global) menjelaskan ayat-ayat Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistimatika penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Penyajiannya, tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an. Lihat, Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1988). 1-2. Lihat juga, Hujair A. H. Sanaky, “Metode Tafsir: Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin”, dalam Jurnal Al-Mawarid, Edisi XVIII Tahun 2008, 272 126 Selain tafsi>r Jala>lain, ada juga beberapa karya tafsir lain yang juga menempuh metode ini, yaitu: Di antara kitab Tafsir yang menggunakan metode ini adalah sebagai berikut: 1. Tafsi>r al-Jala>lain, karya Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i> dan Jala>l al-Di>n al-Mahally>. 2. Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Az{i>m karya Muhammad Farid Wajdi. 3. Shafwah al-Baya>n li Ma’`a>ni> Al-Qur’a>n karya Syaikh Hasanain Muhammad Makhlu>f 4. Tafsi>r al-Wasi>t,{ produk lembaga Pengkajian Universitas al-Azhar Mesir, karya suatu komite Ulama 5. Al-Tafsi>r al-Muyassar karya Syaikh Abd al-Jali>l I>sa>, 6. Al-Tafsi>r al-Mukhtashar, produk Majelis Tinggi Urusan Umat Islam, karya suatu komite ulama. Lihat Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al- Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta: Sulthan Thaha Press, 2007), 48. 127 Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, (Jakarta: Sulthan Thaha Press, 2007), 47-48. 128 Muhammad Chirzin, “Dinamika Terjemah Al-Qur’an: Studi Perbandingan Terjemah Al-Qur’an Kementerian Agama RI dan Muhammad Thalib”, Jurnal Studi Ilmu- Ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Vol. 17, No. 1, Januari 2016, 5. Lihat juga, Muchlis M. Hanafi 121

    Karena itu Muhammad Iqbal pernah berkata sebagai berikut: “Kalian tertinggal di belakang, sebab kalian berhenti mengambil inspirasi dari Kitab yang menuntun kalian kepada sebuah peradaban yang begitu mulia. Kalian telah mempersempit wawasan kalian tentang ilmu pengetahuan dan kalian pun menjadi tak berkemampuan memahami Kitab Hikmah itu. Akan tetapi dalam diri kalian, hingga diri itu sesuai dengan nilai-nilai yang ditunjukkan oleh Kitab Cahaya itu, segera kalian akan kembali mengemudikan urusan kalian.”129 Ia juga menambahkan: “Tak seorang pun mengetahui rahasia, bahkan pun seorang mukmin, Ia tampak sebagai seorang pembaca, Namun Kitab itu ialah dirinya sendiri.”130 Dalam konteks terjemahan Al-Qur’an secara puitis, Jassin yang berusaha memberikan makna terjemahan berwajah puisi dengan segenap kemampuannya. Tetapi penulis merasa bahasa yang digunakan Jassin masih panjang seperti halnya terjemah bermodelkan prosa biasa. Hanya saja dalam terjemah tersebut ia berusaha menyusun terjemah sesuai dengan aturan puisi (baris perbaris), sehingga memberikan kemudahan kepada para pembaca untuk memahami terhadap kandungan makna yang sedang disampaikan oleh Al-Qur’an. Mahjiddin juga sering kali memberi tambahan atau tafsiran bertujuan untuk menyesuaikan bunyi dan sajak sehingga enak ketika dibacakan dan didengarkan oleh orang lain. Sebagaimana dalam contoh yang tersebutkan dalam surah A

  • n ayat 95 sebagai berikut:131 95. Takheun that beuna cit sidroe Allah Teuma taikot Nabi Ibrahim Agama gopnyan nyang gleh that leupah Ibrahim nyan kon ureueng nyang muchrek Bah that jibalek le kaphe jadah Katakanlah benarlah satu Allah Kemudian ikuti Nabi Ibrahim Agamanya yang sangat bersih

    menulis, “Problematika Terjemahan Al-Qur’an: Studi pada Beberapa Penerbitan Al-Qur’an dan Kasus Kontemporer” dalam Jurnal Suhuf Jurnal Kajian Al-Qur’an dan Kebudayaan, Vol 4, No 2, 2013, 169. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), 9. 129 HH Bilgrami, Iqbal: Sekilas tentang Hidup dan Pikiran-pikirannya, (Jakarta: Bulan Ibntang, 1982), 89. 130 Muhammad Chirzin, Buku Saku Konsep dan Hikmah Akidah Islam, (Jakarta: Zaman, 2015), 126. 131 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, 87. 122

    Ibrahim itu bukanlah orang yang syirik Meskipun diingkari oleh orang kafir Badingkan terjemahan ayat ini dengan Al-Qur’an dan terjemahannya sebagai berikut:132 95. Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah ia termasuk orang-orang yang musyrik. Jadi, baris terakhir Bah that jibalek le kaphe jadah adalah tambahan atau tafsir dari penerjemah. Sebagai penekanan bahwa “keimanan Ibrahim tidak akan berubah walaupun diperdaya oleh kaum musyrik.” Di samping memberikan penekanan makna, tambahan baris terakhir ini juga berfungsi untuk memenuhi susunan puitis empat-empat baris dalam terjemahan. Maka dalam hal ini sangat sesuai sebagaimana telah disebutkan oleh Nuruzzahri bahwa meskipun dalam penamaan kitab disebut terjemah, tetapi tidak bisa pula dielakkan begitu banyak unsur-unsur tafsir-tafsir yang berusaha untuk dilakukan oleh Mahjiddin terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dalam karyanya tersebut.133 Argumentasi ini sangat sesuai dengan pola pikir peniliti bahwa dalam karya Mahjiddin tersebut memang hamir bisa disebut sebagai sebuah karya tafsir dengan kriteria sebaimana yang telah penulis sebutkan di atas. Nuruzzahri memiliki latar belakang pemikiran yang hampir sama dengan ulama-ulama lainnya. Hanya saja dalam kajian ini ia lebih dominan memahami aspek tasfir dibandingkan dengan ulama yang lain. Hal, ini dapt dilhat bahwa ulama yang lain dalam kesehariannya sering kali bergaul bermulazamah dengan kitab-kitab fiqih dan sangat jarang membuka karya tafsir, apalagi karya-karya metodologi di bidang tafsir Al-Qur’an. Sedangkan Nuruzzahri134 berdasarkan wawancara sangat memahami metodologi-metodologi dalam kajian ilmu tafsir dan ilmu Al-Qur’an. Jika dihubungkan dengan teori keulamaan dan klasifikasi Teungku Nuruzzahri tergolong dalam kelompok ulama yang modernis. Bahkan lebih dalam ia pernah menjabat sebagai ketua tanfiziyah Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) provinsi Aceh. Selain itu ia juga sering kali menjadi bagian terpenting dalam struktur pemerintahan. Wejangan dan nasehatnya menjadi salah satu hal yang dipertimbangkan oleh para pemangku jabatan, termasuk dalam mewujudkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren oleh pemerintah pusat.

    3. Pendekatan Sosial dan Budaya Dalam dunia penafsiran, bahasan dan pemikiran memiliki hubungan yang sangat erat dan hampir tidak dapat dipisahkan. Sebab kualitas sebauh tafsiran sagat tergantung pada pilihan bahasa yang digunakan agar apa yang disampaikan bisa mewakilkan maksud Al-Qur’an secara ontentik. Bahasa Aceh misalnya, memiliki

    132 Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya, 52. 133 Wawancara dengan Nuruzzahri, tanggal 16 Oktober 2019, di Dayah Ummul Aiman Samalanga Bireun. 134 Pimpinan Dayah Ummul Ayman, Samalanga, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh. Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama Provinsi Aceh. 123 sebuah dimesnsi sosial yang dapat membentuk pola pikir orang Aceh ketika hal tersebut dibaca atau diucapkan. Keindahan sebuah bahasa juga akan membentuk sebuah pola pikir yang menjadi sebuah aksi perilaku dalam kehidupan. Begitu pula halnya dalam Al-Qur’an, terdapat kata-kata atau situasi khusus yang hanya terdapat di jazirah Arab seperti unta, kurma dan orang haus di padang pasir. Hal ini dapat digolongkan dalam sosio-linguistik, yang mempelajari pengaruh budaya terhadap gaya dan metode suatu bahasa digunakan. Bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara kelompok satu dengan yang lain. Pendekatan sosial-budaya dalam bahasa lain boleh disebut dengan tafsir kontekstual terhadap Al-Qur’an. Abdulla>h bin Saee>d menawarkannya tafsir kontekstual tersebut dalam sebuah wacana untuk memahami Al-Qur’an sebagai pisau bedah dalam memahami realitas yang ada. Sebab konteks tidaklah dapat dipisahkan dari teks agar memberikan interpretasi yang dapat dipahami oleh umat manusia. Karena menurut Saeed, pendekatan Al-Qur’an secara literal akan memberikan sebuah intervensi terhadap teks yang akan menciderai penyampaian makna yang semestinya. Meskipun pendekatan secara literal –dengan mengandalkan riwa>yah dan ra’yu yang digunakan pada masa dahulu135-, tetapi tidaklah dapat dinafikan karena teks Al-Qur’an sangat berhubungan dengan riwayat-riwayat yang disampaikan oleh Rasulullah baik melalui asba>b al-nuzu>l dan asba>b al-wuru>d dalam kajian hadits.136 Saeed juga mengatakan bahwa pada masa Al-Qur’an diturunkan, sesungguhnya ia tidaklah dapat dipisahkan dengan konteks sosial bangsa Arab pada masa itu dalam semua aspek, baik dari aspek sosial, ekonomi, politik, kultural dan lain sebagainya.137 Begitu pula dengan penerjemahan Al-Qur’an –yang dalam kajian ulum Al- Qur’an juga dikatagorikan dalam penafsiran- , seorang penerjemah akan berusaha untuk menyesuaikan terjemahannya dengan alam dalam hal ini adalah menerjemahkan Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Aceh. Misalnya, ketika Mahjiddin menerjemahkan surah al-Ti>n ayat 1 sebagai berikut:138 Demi boh ara dengan boh zaiton. Diterjemahkan dengan: Demi buah ara dan buah zaitun Secara esensi dan substansi bahwa sesungguhnya buah ti>n tidaklah sama dengan buah ara. Ketika hal ini tim penyunting tanyakan kepada Mahjiddin, ia memberikan alasan bahwa buah zaitun telah dikenal luas oleh masyarakat Aceh, sekurang-kurangnya sebagian orang mengenal dari minyaknya. Sedang ti>n hampir tidak dikenal, karena itu ditukar dengan nama ara. Ara diartikan secara harfiyah

    135 Muhammad Ibn Sa>lih al-‘Us\aimi>n, Syarh Muqaddimah Usu>l al-Tafsi>r, (Riyad: Da>rul Minha>j, 1432 H), 159. 136 Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21 Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2016), 31. 137 Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21 Tafsir Kontekstual, 31. 138 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an al-Karim, 956. 124 berupa buah atau pohon. Di samping itu diperlukan kata yang bersuku dua untuk mencukupkan sepuluh suku setiap baris, Mahjiddin dalam terjemahannya juga mengartikan kata tin dengan ara.139 Abdulla>h Yu>suf Ali> menerjemahkan surah al-Ti>n ayat 1 dengan: By the fig and the olive. Fig berarti ti>n dan olive berarti zaitu>n. Untuk kejelasan makna kedua kata tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam catatan kaki. Dalam bahasa Indonesia, fig diartikan dengan ara.140 Begitu pula dengan penyebutan gelar sebagai tambahan acuan terjemahan yang disesuaikan dengan gelar yang ada di daerah setempat, dalam hal ini dicontohkan penggunaan kata teungku dalam ayat 102 surah al-Saffa>t:141

    ُُُُُ ُُُُُُُُُ ُُُُ

    ُُُُُُُُُُُُُ

    102. ‘Oh ban rayek jih jak sajan Kamoe Geukheun teruk yoh nyan aneuk meutuah Lonlumpoe gata Neuyue koh takue Pakri aneuk droe pike tapeugah Seuot treuk aneuk hai ayah Teungku Neupubuet laju peue nyang peurintah Insya Allah lon akan lonsaba Neukalon nyata teuma hai ayah Tatkala besar ia berjalan bersama Kami Dikatakan ketika itu anak tercinta Di dalam mimpi engkau diperintah sembelih Bagaimana anakku pendapatmu Menjawab kemudian anak hai ayah Teungku Kerjakanlah apa yang diperintahkan insyaAllah aku akan bersabar Engkau melihat kenyataan di kemudian wahai ayah Mahjiddin menambahkan gelar teungku setelah menerjemahkan ya abati. Dalam terjemahan bahasa Indonesia diterjemahkan dengan hai Bapakku! Kata teungku tidak terdapat pada ayat di atas. Sedangkan dalam terjemahan Departeman agama, kata tersebut diterjemahkan dengan “Hai bapakku” tanpa menambahkan kata “teungku” sebagai berikut: 102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama- sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat

    139 HB. Jassin, Al-Qur’an Al-Karim Bacaan Mulia, 869 140 Abdulla>h Yu>suf Ali>, The Holy Qur’an: text, Translation and Commentary, 1669. 141 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim, 681-682. 125

    dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar". Mengomentari hal tersebut, Samsul Bahri142 menyebutkan bahwa dimasukkannya kata Teungku dalam ayat tersebut memberikan sebuah pengayaan khazanah tersendiri dalam peradaban kajian terhadap Al-Qur’an. Hal itu sungguh sangat beralasan, karena agar memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada masyarakat Aceh maka agaknya perlu diberikan penerjemahan dalam aspek budaya secara lebih lugas.143 Teungku Nuruzzahri juga menambahkan hal yang hampir sama dengan Samsul Bahri bahwa tidaklah berlebihan jika Mahjiddin Menerjemahkan kata abati dalam ayat tersebut sebagai ayah teungku. Baginya yang terpenting adalah para penikmat Al-Qur’an bisa memahami secara baik maksud yang disampaikan oleh Al-Qur’an tanpa mesti harus terpaku dengan sebuah makna saja.144 Komentar tersebut seirama dengan yang dinarasikan oleh Faisal Ali, bahwa menurutnya pendekatan budaya yang digubah oleh Mahjiddin memiliki nilai yang sangat filosofis dalam konteks ke-Acehan.145 Hampir bisa disebutkan bahwa pendekatannya tersebut telah membawa masyarakat Aceh pada aspek living Quran146 sebagai pengahayatan memahami kandungan Al-Qur’an secara baik.

    142 Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh 143 Wawancara dengan Samsul Bahri, tanggal 01 Oktober 2019, di Univesitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh. 144 Wawancara dengan Nuruzzahri, tanggal 16 Oktober 2019, di Dayah Ummul Aiman Samalanga Bireun. 145 Wawancara dengan Faisal Ali (Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh), tanggal 14 Januari 2020 di hotel Blue Sky Jakarta Pusat. 146 Ditinjau dari segi bahasa, Living Qur’an adalah gabungan dari dua kata yang berbeda, yaitu living, yang berarti ‘hidup’ dan Qur’a>n , yaitu kitab suci umat Islam. Secara sederhana, istilah Living Qur’an bisa diartikan dengan “(Teks) Al-Qur’an yang hidup di masyarakat.” Living Qur’an pada hakekatnya bermula dari fenomena Qur’an in Everyday Life, yakni makna dan fungsi Al-Qur’an yang ril dipahami dan dialami masyarakat muslim. Dengan kata lain, memfungsikan Al-Qur’an dalam kehidupan praksis di luar kondisi tekstualnya. Pemfungsian Al-Qur’an seperti ini muncul karena adanya praktek pemaknaan Al-Qur’an yang tidak mengacu pada pemahaman atas pesan tekstualnya, tetapi berlandaskan anggapan adanya fad}i>lah dari unit-unit tertentu teks Al-Qur’a>n , bagi kepentingan praksis kehidupan keseharian umat. Lihat, Sahiron Syamsuddin, “Ranah-ranah Penelitian dalam Studi Al-Qur’an dan Hadis,” dalam Sahiron Syamsuddin (ed.), Metode Penelitian Living Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: Teras, 2007), xiv. Lihat juga, M. Mansur, “Living Qur’an dalam Lintasan Sejarah Studi Al-Qur’an,” dalam Sahiron Syamsuddin (ed.), Metode Penelitian Living Qur’an dan Hadis, 5. Lihat juga, Didi Juneidi, “Living Qur’a>n: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Qur’a>n (Studi Kasus di Pondok Pesantren As-Siroj Al- Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon)”, Journal of Qur’a>n and Hadis{ Studies – Vol. 4, No. 2, (2015), 172-174. 126

    Ihwal tersebut juga sangat sejalan dengan ide dan argumentasi yang dibawa oleh Abu> Zaid, ia mengatakan bahwa penafsiran atau penerjemahan Al-Qur’an dalam konteks bahasa, sepenuhnya tidak bisa lepas dari wilayah budaya dan sejarah. Di samping bahasa itu sendiri memang sebagai bagian dari budaya manusia sebagai alat untuk berkomunikasi. Dalam hal ini, penafsir berusaha menjelaskan pengertian dan maksud suatu ayat berdasarkan hasil dari proses intelektualisasi dengan langkah epistimologi yang mempunyai dasar pijak pada teks dengan konteks-konteks yang ada disekitarnya, bukan serta merta melepaskan teks begitu saja.147 Selain nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Qur’an harus menerobos batas-batas geografis dan demografis dengan segala implikasinya, juga harus menembus lapisan-lapisan kultural dan sosial dengan segala keragaman dan keunikan. Pada saat yang sama, nilai-nilai Al-Qur’an dihadapkan pada: 1). Keharusan mewujudkan tuntunannya melalui penafsiran yang bersandarkan pada realita budaya lokal dan 2). Keharusan mempertahankan kontinuitas dan keotentikannya sepanjang zaman dan menghindari upaya campur tangan dan distorsi dari manusia.148 Lebih kuat Ali> ‘Abd al-Wa>hid Wa>fi mengatakan bahwa hubungan antara bahasa dan budaya sangatlah begitu erat, di mana bahasa tersebut menjadi cermin budaya suatu bangsa dan peradaban. Bahasa bukanlah salah satu permasalahan yang dibuat oleh seseorang atau individu tertentu, melainkan diciptakan oleh sebuah masyarakat dan muncul dari kehidupan berkelompok dan merupakan ungkapan perasaan dan pikiran tentang kehidupan. Setiap individu yang tumbuh akan menemukan suatu sistem kebahasaan di hadapannya yang berlaku di dalam masyarakat dan kemudian ia menerima sistem itu melalui belajar dan meniru, seperti halnya ia menerima sistem–sistem sosial lainnya, sehingga ia mengucapkan bahasa tersebut dengan tepat dan menerimanya dengan pemahaman dan ungkapan.149 Bahasa juga mengandung implikasi yang hebat dan kuat untuk pewarisan kebudayaan. Tanpa bahasa mustahil manusia dapat meneruskan atau menerima keterangan secara simbolis. Dengan demikian, tidak dapat menjadi pewaris dari 150 suatu kebudayaan yang demikian kaya dan demikian aneka ragamnya. Jdubs dan Daniel D Whitney menegaskan hubungan yang erat antara bahasa dan kebudayaan.151 Karana itu di antara aspek budaya yang harus diperhatikan saat hendak menerjemahkan Al-Qur’an yaitu aspek ekologi. Hal ini terkait dengan flora, fauna, angin, daratan dan bukit. Kata-kata bahi>rah, saibah, wasi>lah dan ham dalam surah al-Ma>’idah ayat 103 diterjemahkan Mahjiddin dalam bahasa aslinya, yaitu:

    147 Nas{r Hami>d Abu> Zaid, Mafhu>m al-Nas{s{: Dira>sa>t fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, (Kairo: al- Hai’ah al-Misriyyah al-Ummah li al-Kutta>b, 1993), 112. 148 Peter Newmark, Approaches to Translation, (Oxford: Pergamon Press, 1981), 186. 149 Ali> ‘Abd al-Wa>hid Wa>fi>, al-Lughah wa al-Mujtama’, (Kairo: Da>r Ihya> al-Kutub al-Arabiyyah Isa babi al Halabi wa syirkahu, 1951), 4. 150 TO. Ihromi (ed), pokok-pokok antropologi Budaya, Cet. 7, (Jakarta: PT Gramedia 1994), 20. 151 Patrick J. Dubbs dan Daniel D Whitney, Cultural Context, Making Anthropology Personal, (London: Allyn & Bacon Inc, 1938), 49. 127

    ُُُُ ُُُُُُُُُُُُُُ

    ُُُُُُُُ

    103. Hana neupeujeuet hukom le Tuhan Unta gata nyan takheun bahirah Saibah hana wasilah hana Got ham pih hana Neuyue le Allah152 Tidak dijadikan hukum oleh Allah Unta engkau itu disebut bahirah Saibah tidak wasilah tidak Baik ham pun tidak diperintah oleh Allah Kata-kata tersebut tidak mendapatkan padanannya dalam bahasa Aceh. Keempat kata tersebut adalah jenis unta betina. Mahjiddin tetap memberikan terjemahan dalam bahasa aslinya, karena jenis unta di atas tidak dikenal dalam budaya orang Aceh. Namun kekurangannya, ia tidak memberikan penjelasan baik berupa footnote maupun keterangan singkat mengenai maksud dari tiap-tiap jenis unta tersebut. Hal tersebut berbeda sekali dengan komentar Muhammad Yusuf A. Wahab, yang mengatakan bahwa terjemah teungku dalam ayat tersebut haruslah sangat berhati-hati karena akan ditakutkan terjadi pembiasan makna Al-Qur’an sehingga berakibat pada jauhnya pesan yang ingin disampaikan dan bahkan akan berakitab pada tah}ri>f Al-Qur’an.153 Pernyataan Muhammad Yusuf A. Wahab didukung oleh Muntasir A Kadir, menurutnya bahwa karya Mahjiddin tersebut haruslah dikaji dalam konteks tertentu dan tidak dapat dikonsumsi secara umum. Hal itu akan menyebabkan terjadi kekaliruan dalam pemahaman baik dalam konteks terjemahan makna secara harfiyah atau dalam konteks pendekatan secara budaya, terlebih jika dikonsumsi oleh mereka yang tidak memiliki latar bekalang pendidikan keagamaan yang memadai. Jika pun karya itu harus dikonsumsi oleh mereka yang awam maka alangkah baiknya oleh Tim Penyunting melakukan revisi ulang dengan memberikan beberapa catatan kali dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang telah dialihkan dalam konteks budaya Aceh.154 Asumsi Yusuf dan Muntasir dapat dipahami bahwa karakteristik pemikiran keduanya lebih kepada model pemikiran kritis epistemologis terhadap sebuah karya. Hal itu tentu karena melihat latar belakang pendidikan keduanya berbasis pesantren atau dayah Salafiyah dipadukan dengan pendidiakn formal dan jabatan publik lainnya yang merea jabat. Muntasir misalnya ia menjabat sebagai rektor Institut Agama Islam Al-Aziziyah Samalangalatar belakang pendidika Doktoral di

    152 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim, 178. 153 Wawancara dengan Teungku Muhammad Yusuf A. Wahab, tanggal 15 Oktober 2019, di kediaman Lambhuk, Kota Banda Aceh. 154 Wawancara dengan Muntasir A. Kadir, tanggal 08 Februari 2020, di Pesantren MUDI Mekar Al-Aziziyah, Pondok Gede, Bekasi. 128

    Universitas Kebangsaan Malaysia. Sedangkan Muhammad Yusuf A. Wahab pernah mengenyam pendidikan non formal pula di Madinatul Munawwarah bersama para ulama-ulama Sunni. Di samping itu juga beliau menjabat sebagai ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA). Begitu pula dalam terjemahan surah Maryam ayat 25 terhadap kata kurma dalam Al-Qur’an dan terjemahan Departemen Agama sebagai berikut:155

    ُُُُُُُُُُُ ُ 25. “Goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan mengugurkan buah kurma yang masak kepadamu”. Dan jika dilihat dalam terjemahan bersajak Aceh sebagai berikut: 25. Cuba tagrak-grak cabeung keuruma Rhet boh keuruma nyang mantong basah Coba bergerak cabang kurma Jatuh buah kurma yang masih basah Dalam terjemahan bahasa Indonesia, pohon kurma sebagai padanan kata 156 Pemadanan kata terakhir dengan .رطب dan buah kurma sebagai padanan kata النخلة buah kurma sebetulnya kurang tepat karena kata kurma merupakan kata generik Bila buah tersebut basah disebut .تمرyang dalam bahasa Arab disebut Dalam terjemahan Mahjiddin, selain menggunakan .قسب dan bila kering disebut رطب padanan kata buah kurma, namun juga memberikan keterangan maksud dari kata rat}b tersebut di akhir kalimat. Tidak ada penjelasan dan keterangan yang mengatakan maksud Mahjiddin tidak menerjemahkan atau memberi keterangan kata tersebut tidak diberikan maknanya. Hal ini dirasa dapat memalingkan tujuan awal dari terjemahan, agar dapat mudah dipahami masyarakat Aceh dengan gaya bahasanya sendiri. Namun kenyataannya, terdapat beberapa kalimat bahasa Arab yang tidak diberikan makna. 157 Mengikut beberapa pendapat penerjemah lainnya, seperti Ibnu Kas\{i>r dan Ahmad 158 Hassan yang memberikan keterangan dalam footnote mengenai maksud suatu kalimat yang terasa asing. Dari segi lain, sekiranya tejemahan Mahjiddin ini dibaca oleh orang yang memahami makna Al-Qur’an, akan merasakan kebebasan penerjemah dalam menuangkan pesan yang terdapat dalam bahasa asli ke dalam bahasa sasaran. Sebagaimana akan ada kesan penulis relatif berupaya juga melakukan terjemahan yang bukan sekedar memberikan informasi, tetapi terjemahan yang dapat

    155 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quraan dan Terjemahannya, 1014. 156 Ibn Manz{u>r, Lisa>n al-‘Arab, (t.tp.: Da>r al-Ma’a>rif, t.th), 65. 157 Ibn Kas\i>r, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Azhi>m, (Beiru>t: Da>r Ibn Hazm, 2000), 123. 158 Ahmad Hassan, Al -Furqan: Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia, 1956), v. 129 mempengaruhi emosi dan semangat para pembaca. Seperti berusaha mendekatkan makna terjemahan dengan latar budaya dan lingkungan pembacanya.159

    4. Ayat Antropomorfisme (Mutasya>biha>t) 160 Dalam menerjemahkan ayat-ayat mutasya>biha>t, yang tercakup dalam beberapa surah dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah: kata yad dalam surah al-Fath ayat 10, Mahjiddin menerjemahkan kata yad Allah dengan jaroe Tuhan. Jaroe dalam bahasa Indonesia berarti tangan. ‘Abdulla>h Yu>suf juga menerjemahkan yad Allah 161 dengan ‘The hand of Allah. Sebuah kalimat dalam Qur’an kadang-kadang mungkin memang tidak jalan menurut logika tata bahasa sehari-hari. Tetapi betulkah keadaan tidak jalan tersebut bukan merupakan satu bagian tak terpisahkan dari puisi, dan karenanya orang haruslah mengangkat seperti aslinya dan kalau perlu memberinya catatan kaki seperti dalam tafsir. Dalam menerjemahkan surah T{a>ha> ayat 5 pada kata ‘Arasy sebagai berikut:

    ُُُُ.ُُُ Artinya: “(yaitu) Yang Maha Pengasih, Yang bersemanyam di atas ‘Arsy.” (QS. Taha: 5) Dalam konteks ini, Mahjiddin mengikuti aturan dan kriteria sebagaimana para ulama salaf terdahulu dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabiha>t,162 yaitu dengan menerjemahkannya dengan arasy atau dalam bahasa lain disebut dengan tafwi>d} yang berbeda dengan takwi>l.163 Berikut terjemahannya:

    159 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim, xxii. 160 Mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya diketahui oleh Allah Swt. Memiliki banyak wajah pemaknaan dan dalam penafsiran membutuhkan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat yang lain. Lihat al-Sayu>t{i>, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n , (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), 70. Lihat juga Manna>’ Khali>l al-Qat}t}a>n, Maba>his{ fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n , 63. 161 Abdulla>h Yu>suf Ali>, The Holy Qur’an : Text, Translation and Commentary, 1330. 162 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim, 476. 163 Subhi> al-S{a>lih membedakan pendapat ulama terkait hal ini menjadi dua madzhab. Pertama, Madzhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan meyakini sifat- sifat mutasya>bih dan menyerahkan preriogatif dan hakikat maknanya kepada Allah Swt sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan mengetahui hakikat maksud ayat-ayat mutasyabiha>t kepada Allah. Oleh karenanya, mereka disebut mufawwid{ah atau ahl tafwi>d{. Sistem penafsiran tersebut secara umum digunakan Madzhab Salaf dalam memahami ayat- ayat mutasya>biha>t. Sedangkan dalam aplikasinya mereka menggunakan argumen aqli dan naqli sebagai dalil dan alat pendukung untuk keserasian makna yang diberikan. Kedua, Madzhab Khalaf yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil dengan makna yang sesuai dan laik untuk dzat Allah. Oleh sebab itu mereka disebut muawwilah atau madzhab takwi>l. Seperti mereka memaknakan istiwa> dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan perintahnya. Allah berada diatas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada suatu tempat. Sisi Allah dengan hak Allah. Wajah dengan dzat mata dengan pengawasan, tangan 130

    Tuhan Peumurah Maha Perkasa Neumat Kuasa di ateueh ‘Arasy164 Tuhan Pemurah Maha Perkasa Pemegang Kuasa di atas ‘Arasy Hal ini berbeda dengan model terjemah yang ditempuh oleh Yu>suf Ali> yang menerjemahkan ‘arasy dengan istilah throne (of authority) yang mengandung arti kekuasaan (singgasana).165 Begitu pula dengan kata Kata al-Qa>hiru dalam surah al- An’a>m ayat 18 diterjemahkan dengan perkasa yang berarti berkuasa.166 Di sini terlihat kehati-hatian Mahjiddin untuk menerjemahkan kata-kata di atas. HB. Jassin juga kurang berani menerjemahkan ayat-ayat yang mengandung makna ganda tersebsut. Jassin tetap menerjemahkannya secara harfiyah. Walaupun hal ini juga sama dengan terjemahan Al-Qur’an Departemen Agama, namun tetap diberikan keterangan pada bagian footnote guna memudahkan pemahaman para pembaca.167 Selanjutnya dalam menerjemahkan suarah al-Qas{as{ ayat 88 yang berbunyi oleh Mahjiddin memaknai kata wajh dalam ayat tersebut dengan ,كل شیئ هالك إال وجهه harfiyah dalam arti wajah pula.168 Namun jika melihat terjemahan Kementerian Agama maka akan ditemukan bahwa ayat tersebut diartikan dengan segala sesuatu pasti binasa kecuali Allah. Demikian pula surah al-Fajr ayat 22 pada potongan ayat di maknai oleh Mahjiddin dengan“peurintah Tuhan” yang berbeda denganوجاءُربكُ sebagian terjemah lain yang menerjemahkannya dengan datanglah Tuhan. Dan bahkan jika melihat dalam terjemahan karya Yu>suf Ali> yang memberi terjemahan dengan except His own Face dengan arti wajah Allah.169 Wajh pada asalnya adalah al-Jari>hah (anggota tubuh). Ketika wajh diartikan muka, maka anggota tubuh itulah yang pertama kali menghadap.170 Inilah yang dinamakan makna leksikal. Kata nominal wajh seperti pada ayat 115 dan 272 surah al-Baqarah diterjemahkan dengan arti yang berbeda. Pada ayat 115 diterjemahkan dengan wajah, maksudnya adalah arah Allah (al-Jihah); dan pada ayat 272 diterjemahkan dengan rida (mardat Allah). Meskipun kata yang sama tersebut diterjemahkan dengan terjemahan yang berbeda, pada esensinya kedua kata tersebut disandarkan pada Allah. Sehingga arah Allah yang dimaksudkan adalah arah yang diridai Allah dan diperintahkan untuk menghadapnya. Sedangkan wajh yang diterjemahkan rida Allah termasuk metaphora (maja>z mursal), meskipun yang dinyatakan itu sebagian (wajh) namun yang dimaksudkan adalah keseluruhan. Inilah yang diistilahkan dalam retorika bahasa Arab dengan maja>z mursal ‘alaqa>tuhu al- Juz’iyah.

    dengan kekuasaan dan diri dengan siksa. Lihat, Subhi> al-Sha>leh, Membahas Ilmu-Ilmu Al- Qur’an, (Bogor: Litera Antar Nusa, 1994), 211. 164 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim, 476 165 Abdulla>h Yu>suf Ali>, The Holy Qur’an: text, Translation and Commentary, 765 166 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim, 187 167 HB. Jassin, Al-Qur’an Al-Karim Bacaan Mulia, 169. 168 Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-Karim, 606. 169 Abdulla>h Yu>suf Ali>, The Holy Qur’a>n: text, Translation and Commentary, 985. 170 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1145. 131

    Dalam hal ini, para ulama dari semua kalangan di Aceh hampir semua sepakat bahwa terjemah yang ditempuh oleh Mahjiddin terkait ayat antropomorfisme sudah sejalan dengan para ulama terdahulu. Para ulama terdahulu baik dari dari kalangan salaf memang lebih kepada berdiam diri (tafwi>d{) dan menyerahkan makna sepenuhnya kepada Allah Swt. Bahkan Imam Malik pernah ditanya terkait makna istiwa>, dan berliau menjawab dengan, “Bersemayam itu kita ketahui, tetapi cara bersemayam-Nya, itu tidak dapat dipahami oleh akal kita, namun kita wajib mengimaninya. Menanyakan persoalan ini adalah bid’ah”.171 Berbeda dengan ulama khalaf yang menetapkan metode takwil sebagai jalan untuk memalingkan ayat mutasya>biha>t tersebut kepada makna yang layak dengan segala keaganguna Allah Swt.172 Pada model ini tidak terlalu memuncul kontroversi di kalangan para ulama Aceh dalam merespon terjemahan yang ada. Hasanoel Basri173 memberikan komentar dan apresiasi baik terhadap proses terjemahan Al-Qur’an yang dilakukna oleh Mahjiddin. Ia memberikan apresiasi yang begitu besar karena Mahjiddin telah memberikan sumbangsih terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang Al-Qur’an. Dalam terjemahan ini pun tidak ditemukan kejanggan yang besar, sebab sudah sesuai dengan kaidah-kaidah dasar dalam ilmu dengan tidak menerjemahkan huruf-huruf fawa>tih{ al-Suwar. Karena hal tersebut hanya Allah Swt yang mengetahui mengenai makna dan maksud kandungan arti di dalamnya. Meskipun ada sebagian ulama dahulu ada yang memberi makna sesuai dengan konteks ayat sebelum atau sesudahnya. Namun meski demikian tidak dapat merubah makna dan konotasi yang hendak dimaksudkan oleh ayat tersebut.174 Tetapi Hasanoel Basri sedikit memberikan komentarnya terkait terjemah yang menyesuakan sajak bahwa bagi mereka yang tidak mampu memmberikan makna secara baik maka sangat dianjurkan untuk tidak mengarjakan hal, serupa sebagaimana yang dilakukan oleh

    171 Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), 127. 172 Abdul Hamid Ritonga “Hadis-Hadis Antropomorfisme: Analisis terhadap Takwi>l Ibn Hajar al-‘Asqa>la>ni dalam Fath} al-Ba>ri>”, dalam Jurnal MIQOT, Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013, 244. 173 Hasanoel Basri adalah pemilik nama lengkap bernama Abu Syeikh Hasanoel Basri HG atau sering disapa dengan Abu Mudi. Ia adalah salah satu ulama besar di Aceh dengan kekayaannya dalam bidang ilmu fiqih dan alim di bidang tersebut. Abu Mudi memimpin sebuah pesantren atau Dayah di Aceh yang sangat terkenal dan diberi nama dengan Ma’had Ulu>m al-Di>niyah Isla>miyah Mesjid Raya atau disebut juga dengan Mudi Mesra. Laqab Abu Mudi adalah laqab yang sudah sangat dekat dengan dan menjadi panggilan mulia baik di kalangan santri maupun di kalangan masyarakat. Pendidikannya ia tempuh di Dayah tersebut semenjak dahulu di masa Teungku Abdul Azis (Abon aziz) sehingga ia dipersunting dengan anaknya Abon dan pada masa selanjutnya Dayah tersebut diwariskan kepada beliau untuk memimpinnya dengan baik. Di samping itu, ia juga menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Aceh bidang Fatwa dan juga menjadi dewan pemIbna Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) dan sekaligus juga menjadi pendiri Majelis Pengajian dan Zikir Tasawuf, Tauhid dan Fiqih (TASTAFI) Aceh yang telah memiliki cabang diberbagai wilayah, termasuk Jakarta, Malaysia, dan Brunei Darussalam. 174 Wawancara dengan Teungku Hasanoel Basri HG, tanggal 08 Februari 2020, di Bandara Soekarnoe Hatta, Tangerang Selatan. 132

    Mahjiddin, terlebih tidak menguasai ilmu bahasa Arab dan bahasa Aceh sebagai bahasa sasaran yang hendak diterjemahkan itu.175 Bila dilihat dari kriteria dan pengelompokan para ulama, maka argumen Hasanoel Basri dalam hal ini menjadi bagian dari kelompok ulama yang sangat bijak dan moderat dari semua sudut pandang. Hal itu dilihat dari aliran teologi yang ia anut dan ia sebarkan berasaskan pada pemikiran yang dirumuskan kembali Abu> H}asan al-Asy’ari> dan Abu> Mans{u>r al-Ma>tu>ridi>. Dua teolog ini telah menjadi perumus dasar aqidah ahl as-Sunnah wa al-Jama>’ah dengan memadukan antara teks keagamaan akal pikiran. Salah satu pokok pemikiran kedua tokoh ini adalah jika dihadapkan pada ayat-ayat yang samar-samar arti dan maksudnya (mutasya>biha>t) maka sikap dari dua tokoh ini pun ada dua. Pertama adalah mereka ber-tawaqquf (berdiam diri) dalam arti tafwi>d{ dengan menyerahkan segala pemahaman maknanya kepada Allah Swt. Sedangkan kelompok kedua yang datang setalah ulama salaf ialah berusaha memalingkan makna tersebut kepada makna yang layak kepada Allah Swt atau dalam bahasa lain disebut dengan ta’wi>l. Karena berlatar belakang pada pemikiran ini maka boleh disimpulkan bahwa pola pikir Hasanoel Basri berlandaskan pada pola pikir tardisionalis jika meyesuaikan dengan teori yang yang dibawa oleh Zohair Husein dalam menetapkan kriteria dan klasifikasi ulama. Sedangkan jika merujuk para kerangka penelitian ini, maka Hasanoel Basri tergolong dalam kelompok ulama yang kritis epistemologi atau terkadang ia berpola pikir akomodatif dengan sangat bergantung pada objek dan kajian yang sedang dibahas. Berdasarkan pada respon Hasanoel Basri dapat diidentifkasi bahwa pola pemikiran yang dianut oleh Mahjiddin sama sekala tidak berbeda dengan pemikiran ulama di Aceh pada umumnya. Ulama di Aceh menganut pemahaman bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan zat Allah Swt maka harus dipahami menurut kebesaran-Nya, dalam arti bukan memahami ayat secara tekstual. Di sisi lain jika terdapat ayat yang berbicara tentang zat Allah Swt maka seyogayanya pula didiamkan lebih baik. 5. Fawa>tih} al-Suwar (Ayat Munqata’ah) Para ulama semanjak dahulu telah menkaji secara lebih mendalam terkait fenomenas fawa>tih} al-Suwar dalam Al-Qur’an sebagai ayat awal disebagian besar surat-surat dalam Al-Qur’an. Imam al-Zarkasyi misalnya dalam al-Burha>n fi> Ulu>m Al-Qur’a>n membahas satu bab dalam kitab tersebut berjudul fi> Asra>r al-Fawa>tih} wa al-Suwar,176 Ibnu Abi> al-Is}ba’ dalam karyanya Ba>di>’ Al-Qur’a>n membahas dan mengkaji secara khusus dalam satu bab berjudul al-Khawa>hir al-Sawa>nih fi> Asra>r al-Fawa>tih}. Begitu pula dengan al-Suyu>t}i> dalam al-Itqa>n fi> Ulu>m Al-Qur’a>n menjelaskan persoalan tersebut dengan memberi dalam satu bab berjudul Awa>il al-

    175 Wawancara dengan Teungku Hasanoel Basri HG, tanggal 08 Februari 2020, di Bandara Soekarnoe Hatta, Tangerang Selatan. 176 Muhammad Ibn Abdilla>h al-Zarkasyi>, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n , Juz I, (Kairo: al-Halabi, 1957), 164. 133 suwa>r.177 Huruf fawa>tih} al-Suwa>r atau disebut juga dengan huruf munqat}a’ah yang terdapat pada awal surat oleh para ulama tidak memberikan sebuah terjemahan kepada huruf tersebut, melainkan hanya menerjemahkannya berdasarkan bunyi yang ada pada huruf tersebut. Seperti alif la>m mi>m, alif la>m ra>, alif la>m mi>m s}a>d dan lain- lain yang bisa didapatkan dalam beberapa surat dalam Al-Qur’an. Karena sebab tidak diterjemahkan ayat dan huruf tersebut, maka para ulama pun mengklasifikasikannya dalam ayat-ayat mutasya>biha>t.178 Berhubung itu adalah ayat mutasya>biha>t mayoritas para mufassir tidak melakukan tafsir terhadap ayat tersebut dan hanya memberikan dengan kata Alla>hu a’lam bimura>dihi. Bahkan oleh Ibnu Kas\ir memberi komentar bahwa lafal tersebut mengandung nilai mukjizat (i’ja>z Al-Qur’a>n )179 yang tidak diketahui oleh manusia karena keterbatasan kemampuan yang ada pada diri mereka.180 Bila melihat dalam setiap surat Al-Qur’an, maka akan ditemukan berbagai macam bentuk redaksi fawa>tih} al-Suwa>r. Ada yang terdiri dari satu huruf, tiga huruf atau lebih. Fawa>tih} al-suwa>r dalam satu huruf bisa ditemukan dalam tiga surat, yaitu surah S\a>d, surah Qa>f, dan surah al-Qalam. Ada pula yang terdiri dari dua huruf ditemukan pada sepuluh surah, yaitu: surat al-Mukmi>n (40): 1; surat asy-Syu>ra> (42): 1; surat az-Zukhru>f (43): 1; surat al-Dukha>n (44): 1; surat al-Jas\iyah (45): 1; surat al-Ah}qa>f (46): 1; yang diawali huruf ha> mi>m; surat Tha>ha> (20): 1 yang diawali dengan huruf t}a> ha>; surat an-Naml (27): 1 yang diawali t}a si>n; surat Ya> Si>n (36): 1 yang diawali dengan ya> si>n. Sedangkan yang terdir dari tiga huruf akan dijumpai dalam tiga belas surah, yaitu: surat al-Baqarah (20): 1; surat Ali> Imra>n (2): 1; surat al-Ankabu>t (29):1; surat al-Ru>m (30): 1; surat Luqma>n (31): 1; surat as-Sajdah (32): 1 yang diawali dengan huruf alif la>m mi>m; surat Yu>nus (10): 1; surat Hu>d (11): 1;

    177 Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n , Juz II, (Kairo: Al- Maktabah al-Taufi>qiyyah, tt.), 12, 43 dan juga lihat al-Itqa>n Juz II dalam bab al-Aya>t al- Mutasya>biha>t, 133. 178 Ayat-ayat mutasya>biha>t merupakan lawan kata ayat-ayat muh}kama>t. Lihat, Q.S. Ali ‘Imran: 7. Pengertian tentang ayat-ayat mutasya>biha>t maupun muhkama>t masih diperdebatkan di kalangan ulama. Namun satu definisi yang dapat diambil antara lain, ayat muhkama>t yaitu ayatayat yang dapat diketahui maksudnya. Dengan demikian ayat mutasya>biha>t yaitu ayat yang tidak dapat diketahui maksudnya, kecuali Allah. Di antara ayat-ayat yang termasuk ayat mutasya>biha>t ialah ayat-ayat tentang keberadaan Allah dan sifat-sifat-Nya, hakikat hari akhir, tanda-tanda kiamat dan huruf-huruf di permulaan surat. Lihat, Manna>’ Khali>l al-Qat{t{a>n, Maba>his\ fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n , 207. 179 I’ja>z berarti melemahkan. I’ja>z Al-Qur’a>n bermakna pengokohan Al-Qur’an sebagai sesuatu yang mampu melemahkan berbagai tantangan untuk penciptaan karya sejenis. Lihat, al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n , jilid 2, 331. I’ja>z Al- Qur’a>n dalam kaitannya dengan fungsi kerasulan Nabi Muhammad berarti memperlihatkan kebenaran kerasulan dan fungsi kenabiannya serta kitab suci yang dibawanya. Selain itu, untuk memperlihatkan kekeliruan bangsa Arab yang menentangnya, karena tantangan- tantangan yang dilontarkan Allah dalam Al-Qur’an tidak dapat mereka layani. Lihat, Sya’ba>n Muhammad Isma>il, al-Madkhal li Dira>sah Al-Qur’a>n wa al-Sunnah wa al-‘Ulu>m al-Isla>miyyah (Kairo: Da>r al-Ansa>r, t.th), 323. 180 Muhammad ‘Ali> al-S{a>bu>ni>, Safwah al-Tafa>sir, jilid 1, (Beirut: Da>r al-Fikr, 2001), 25. 134 surat Yu>suf (12): 1; surat Ibra>hi>m (14): 1; surat Al-Hijr (15): 1; surat al-Qashash (28): 1 yang diawali dengan huruf tha si>n mi>m. Terdiri atas empat huruf, terdapat pada dua tempat: surat al-A’ra>f (7): 1 yang diawali huruf alif mi>m s}a>d dan surat ar- Ra’d (13): 1 yang diawali dengan huruf alif la>m mi>m ra>’. Terdiri dari lima huruf, terdapat pada satu tempat: surat Maryam (19): 1 yang diawali dengan huruf ka>f ha> ya> ‘ain s}a>d. Adapun dalam aplikasi yang dilakukan oleh Mahjiddin dalam proses menerjemahkan huruf-huruf potong tersebut ia hanya memberikan penjelasan dan pemberitahuan sebagai berikut: Tuhan nyang teupue meukeusud ayat Sabab Hadharat hana Neupeugah Tuhan yang mengetahui maksud ayat Sebab Hadharat tidak mengatakannya Yusni Saby memberikan komentar terkait penerjemahan tersebut bahwa Mahjiddin telah menempuh jalur metode sebagaimana dilakukan oleh para ulama terhadap ayat-ayat mutasya>biha>t. Sebab memang sejatinya ayat tersebut tidak daat ditafsirkan dengan segala keterbatasan yang diberikan Allah Swt kepada manusia. Dalam kesempatan yang sama Allah pula ingin menunjukkan kepada manusia akan keterbatasan mereka dan menampakkan bahwa Ia Maha Mengetahui segala sesuatu.181 Yusni Saby memang menjadi bagian Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. Tetapi ia juga sekaligus menjadi bagian dari akademisi kampus yang berlatar belakang ilmu sejarah dan berpendidikan di Barat pada McGill University Canada, Amerika Serikat. Dilihat dari basik pendidikan memang ia adalah seorang modernis. Sikapnya terhadap karya Mahjiddin adalah sangat baik dan mendapatkan apresiasi yang sangat baik darinya, dan bahkan ia menjadi bagian dari Tim Penyunting kedua dari karya tersebut. Begitu pula komentar Muhammad Yusuf A. Wahab, bahwa menurutnya hal ini sudah sesuai dengan kaidah-kaidah yang digagas oleh para ulama tafsir baik dari masa dahulu hingga sekarang. Begitu pula sudah sesuai dengan kaidah-kaidah Al- Qur’an dan juga Hadis sebagai ajaran pokok dari umat Islam yang sangat konsisten menjaga keotentikannya sendiri dengan segala pengakuan yang ada di dalamnya. Hal itu tentu berbeda dengan kitab-kitab samawi lainnya yang keotentikannya tidak bisa dipertahankan sama sekali. Begitu pula dengan kitab agama lain yang segala isisnya telah banyak sekali mengandung distorsi dan campur tangan manusia, sehingga memberikan ruang kotor kemurnian agama.182 Sebagaimana telah penulis sebutkan di atas bahwa pola pemikiran yang dianut oleh Muhammad Yusuf A. Wahab adalah berkarakter tradisonalis-modernis yang dengan kuat mempertahankan tradisi turas\ yang telah diwariskan oleh para ulama terdahulu. Tetapi dalam mempetahankan tradsi tersebut ia sangat loyal

    181 Wawancara dengan Profesor Yusni Saby, tanggal 21 Oktober 2019, di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. 182 Wawancara dengan Teungku Muhammad Yusuf A. Wahab, tanggal 15 Oktober 2019, di kediaman Lambhuk, Kota Banda Aceh. 135 dengan keadaan disekitarnya dalam konteks penyesuaian segala hal yang dapat disesuaikan dengan teks agama baik Al-Qur’an maupun hadis. Dengan demikian, Mahjiddin telah melakukan sebuah pendekatan penafsiran terhadap Al-Qur’an sebagaimana telah dilakukan oleh banyak ulama baik dari kalangan salaf maupun khalaf. Di mana para ulama tersebut dahulunya ketika menjumpai huruf potong dalam beberapa surat hanya memberi komentar “Allahlah yang mengetahui maksudnya”. Dan ini sejalan begaimana yang dilakukan oleh Mahjiddin. Meskipun sejatinya itu bukanlah terjemahan yang dialamatkan kepada ayat-ayat yang oleh para ulama menggolongkannya dalam ayat mutasya>biha>t.183 Karena itu pula disepakati oleh para ulama untuk tidak diterjemahkan dan bahkan ditafsirkan dengan analogi manusia dan hanya Allah yang mengetahuinya.184 Tetapi pandangan tersebut berbeda dengan apa yang diutarakan oleh al-T{abari> dan At}i>’ yang mengatakan bahwa penafsiran terhadap fawa>tih} al-suwar telah menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Hal itu karena dilatarbelakangi oleh metode dan pendekatan interpretasi penafsiran terhadap maksud Al-Qur’an secara keseluruhan.185 6. Qasam Al-Qur’an (Sumpah Al-Qur’an) Dalam Al-Qur’an ada tiga macam term yang biasa diterjemahkan sebagai sumpah secara umum. Ketiga term tersebut adalah al-Qasam, al-Half dan al-Yami>n. Secara leksikal, term-term ini mempunyai makna-makna yang sama dan masing- masing term dapat diartikan dengan lainnya. Term al-Qasam dengan berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 33 kali; 22 kali di antaranya bermakna sumpah, yaitu 6 kali dalam bentuk aqsamu, 8 kali dalam bentuk la uqsimu, 1 kali dalam bentuk la tiqsimu. 2 kali yuqsima>ni, 1 kali bentuk qasamahuma>, sekali bentuk taqasau, dan dua kali dalam bentuk al-Qasam.186 Sedangkan al-Half ditemukan

    183 Menurut al-Zamakhsyari> bahwa ayat-ayat yang berbentuk huruf tersebut memang sengaja hanya disebutkan oleh Allah Swt dalam bebarapa surah saja (tidak seluruh surat). Hal bertujuan untuk menampakkan ke permukaan bahwa Al-Qur’an dapat dirasakan menjadi sebuah tantangan bagi mereka yang hendak menkajinya atau bahkan menantang keberadaannya bahwa memang ia mengandung nilai mukjizat yang besar. Begitu pula dengan Ibn Katsi>r yang memberi komentar bahwa setiap surah yang dimulai dengan huruf- huruf tersebut pastilah mengandung sebuah filsofi dan kelebihan untuk mengagungkan Al- Qur’an. Dan hal tersebut akan didapatkan jika seseorang betul-betul mendalami, menghayati serta memahami makna Al-Qur’an terkait hal tersebut. Lihat, al-Baqillani>, I’ja>z Al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-Sala>m, tt.), 51, 66. Baca pula Muhammad Ibn ‘Umar al-Zamakhsyari>, Al- Kasysysa>f ‘an Haqa>iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wil fi> Wuju>h al-Ta’wi>l, juz I, (Kairo: Al- Maktabah al-Taufi>qiyyah, tt), 17. Dan al-Suyu>ti>, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, Jilid 2, 13. 184 Ahmad Ibra>hi>m Maula>na>, Dira>sah Haula Tarjama>t Qur’a>n al-Kari>m, (t.tp.: t.pn., t.th.), 134. 185 Abu> Ja’far Muhammad ibn Jari>r al-Tabari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l Al-Qur’a>n, juz I, (Kairo: al-Maktabah al-Taufi>qiyyah, 2004), 118. Lihat juga, A>isyah Abdurrahma>n Ibntu Syati’, al-Tafsi>r al-Baya>ni li Al-Qur’a>n al-Kari>m, (Kairo, 1962), 147. 186 Muhammad Fua>d ‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>zh wa Al-Qur’a>n, cet. II, (t.t.: Da>r al-Fikr, 1981), 544-545. Lihat juga Muhammad Isma>i>l Ibra>hi>m, Mu’jam al- Alfazh wa al-A’la>m Al-Qur’a>niyya>t, (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabiy, t.th.), 425-426. 136 sebanyak 13 kali, 10 kali dalam bentuk yahlifuna,> dan masing-masing sekali dalam bentuk halaftum, yahlifanna dan halaf.187 Term al-Yami>n digunakan sebanyak 71 kali dalam berbagai pengertian.188 Sebanyak 23 kali di antaranya dalam pengertian sumpah. Dapat disimpulkan bahwa dari tiga term sumpah yang telah disebutkan, hanya term al-Qasam saja yang dapat disandarkan kepada Allah.189 Dua term lainnya hanya bisa disandarkan kepada sumpah-sumpah manusia. Sumpah-sumpah Allah dalam Al-Qur’an yang menggunakan kata kerja yang nampak (z}a>hir), semuanya menggunakan kata kerja yang berasal dari al-Qasam, yaitu uqsimu. Namun ada hal menarik yang terdapat pada ayat-ayat yang menggunakan kata kerja tersebut. Kata kerja uqsimu selalu dihubungkan dengan huruf la>, sehingga menjadi la> uqsimu. Di dalam Al-Qur’an kata kerja seperti itu ditemukan sebanyak delapan kali, dua kali di awal surat dan enam lainnya di tengah-tengah surah. Ada berbagai macam komentar yang disampaikan oleh para ulama mengenai la pada frase tersebut dan apa fungsinya dalam baik dalam konteks ayat Al-Qur’an maupun dalam berbagai literatur Arab lainnya. Di antaranya ada yang berpendapat bahwa frase la> uqsimu sebenarnya berasal dari la> uqsimu (sungguh saya bersumpah) yang menggunakan huruf la>m al-Qasam.190 Huruf la>m dibaca panjang menjadi la, mengikuti kebiasaan yang terjadi dalam syair ketika berhenti pada suatu lafal.191 M. Quraish Shihab memberi komentar terkait hal ini bahwa ada kata pada frase tersebut adalah la za’ida>t yang berfungsi untuk mempertegas. La ini tidak perlu diterjemahkan dengan ‘tidak’, karena ia diletakkan untuk menguatkan kandungan pebicaraan, maka cukup menggambarkan penekanan dalam terjemahannya, seperti menyisipkan kata ‘benar-benar’, sehingga la> uqsimu bisa diterjemahkan dengan ‘saya benar-benar bersumpah’.192

    187 Muhammad Fua>d Abd al-Ba>qi>, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} Al-Qur’a>n , 215. Muhammad Isma>i>l Ibra>hi>m, Mu’jam al-Alfa>zh wa al-A’la>m Al-Qur’a>niyya>t, 133. 188 Dalam kamus Al-Qur’an disebutkan bahwa makna-makna al-Yamin adalah kekuatan, sumpah, janji, tangan kanan, raja, agama, raja, sebelah kanan sesuatu dan arah. Lihat al-Husain Ibn Muhammad al-Damagha>ni>, Qa>mu>s Al-Qur’a>n wa Ist}ilah al-Wuju>h wa al-Naz}a>ir fi> Al-Qur’a>n al-Kari>m, (Beiru>t: Da>r al Ilm al-Mala>yi>n, 1980), cet. III, 505-506. 189 Sedangkan menurut Louis Ma’lu>f, dalam konteks bangsa arab, sumpah yang diucapkan oleh orang Arab itu biasanya menggunakan nama Allah atau selain-Nya. Pada intinya sumpah itu menggunakan sesuatu yang diagungkan seperti nama Tuhan atau sesuatu yang disucikan. Louis Ma’lu>f, al-Munji>d, (Beiru>t: al-Matba’ah al-Kathaliqiyyah, 1956), 664. 190 Lihat al-S}a>bu>ni>, Rawa>i’ al-Baya>n: Tafsi>r Aya>t al-Ahka>m min Al-Qur’a>n, (td), juz II, 505. Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1994), Jilid xv, 106. 191 Al-S}a>bu>ni>, Rawa>i’ al-Baya>n: Tafsi>r Aya>t al-Ahka>m min Al-Qur’a>n,, 505. Lihat juga, Manna>’ al-Qatta>n, Maba>his\ fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, 234. 192 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), 785. 137

    Jika membuka Al-Qur’an maka hal ihwal tersebut di atas sering kali dijumpai dalam berbagai redaksi ketika Allah Swt bersumpah193 dengan tujuan kepada-Nya sendiri atau bersumpah kepada makhluk-Nya. Redaksi itu disebut Allah dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an dengan bersumpah dengan mengawali kata la, wa, dan lain sebagainya yang menjadi huruf atau adawa>t al-half. Redaksi tersebut bisa ditemukan dalam beberapa surat dalam Al-Qur’an, di antaranya adalah sebagai berikut: al-Wa>qi’ah ayat 75, al-Ha>qqah ayat 38, al-Ma’a>rij ayat 4, al-Qiya>mah ayat 1 dan 2, al-Takwi>r ayat 15, al-Insyiqa>q ayat 16 dan al-Balad ayat 1. Dilihat dalam kitab Al-Qur’an dan terjemahan Kementerian Agama, maka akan ditemukan bahwa surat al-Wa>qiah ayat 75 diterjemahkan dengan: Maka Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Hal itu sangat berbeda dengan Mahjiddin yang memberi terjemahan dalam kitabnya pada ayat tersebut dengan bunyi kalimat puitis “Han Lonmeusumpah” di semua tempat yang diawali dengan kata la yang bermakna sumpah. Konteks tersebut dapat dilihat pada kalimat bercetak miring sebagai berikut:

    ُُُُُُُُ ُ “Maka aku bersumpah dengan masa turunnya bagian-bagian Al-Qur’an.” (QS. Al-Waqi’ah: 75) 75. Han Lonmeusumpah ngon teumpat bintang Teumpat-teumpat nyan di langet luah Meusumpah ngon nyan meu na tateupue 76. Keubit atra nyoe raya sileupah Tidak Aku bersumpah dengan tempat bintang Tempat-tempat itu ada di langit luas Bersumpah dengan itu harus engkau ketahui Benar-benar itu (bintang) begitu besar (agung) Terkait hal tersebut, dalam proses terjemahannya memang menjadi bahan diskusi antara tim penyunting dan penerjemah Mahjiddin pada pada bulan suci Ramadhan tahun 1414 H atau Februari 1994. Namun diskusi tersebut terhentikan

    193 Ibn al-Qayyim sebagaimana dikutip oleh Muhammad ibn ‘Alawi> al-Maliki> mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sumpah (qasam) adalah mempertegas (kebenaran) sebuah berita dengan menguatkannya. Landasannya adalah sebagaimana dalam QS. al-Muna>fiqu>n: 1, “Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” Ayat tersebut dianggap qasam karena fungsinya sebagai tauki>d (menguatkan) bahwa orang munafik benar-benar pendusta. Lihat, Muhammad Ibn ‘Alawi> al- Maliki> al-Hasani>, Zubdah al-Itqa>n fi> Ulu>m Al-Qur’a>n, Terj. Tarmana Abdul Qosim, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2003), 254. Begitu pula Manna>’ al-Qatta>n memberi definisi qasam sebagai al-hilf dan al-yami>n, yakni sumpah. Sighat asli qasam ialah fi’il atau kata kerja “aqsama” atau “ahlafa” yang di-muta’addi> (transitif)-kan dengan “ba” untuk sampai kepada muqsam bih (sesuatu yang digunakan untuk bersumpah), lalu disusul dengan muqsam ‘alaihi (sesuatu yang karena sumpah diucapkan) yang jawab qasam. Manna>’ Khali>l al- Qat}t}a>n, Maba>his\ fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n , Terj. Mudzakir AS, cet. 8, (Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2004), 414. 138 karena sang penerjemahan berpulang ke rahmatullah pasca bulan Ramadahan tepat pada malam Hari Raya Idul Fitri. Para tim pun berupaya melanjutkan itu dengan berembuk dan menerjemahkannya sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku baik dalam bahasa Arab dan bahasa tujuan, yaitu bahasa Aceh. Dan pada akhirnya menghasilkan sebuah kesimpulan dari penyunting untuk mengikuti kitab-kitab tafsir yang muktabar terhadap agar tidak terjadi kekeliruan ketika dibaca oleh para pembaca. Perubahan tersebut pun dilakukan di semua tempat, yaitu delapan tempat secara keseluruhan yang dimulai dengan kata la menjadi Ulon meusumpah. Dapat diperhatikan sebagai berikut: 75. Ulon meusumpah ngon teumpat bintang Teumpat-teumpat nyan di langet luah Meusumpah ngon nyan meu na tateupue 76. Keubit atra nyoe raya sileupah Aku bersumpah dengan tempat bintang Tempat-tempat itu ada di langit luas Bersumpah dengan itu harus engkau ketahui Benar-benar itu (bintang) begitu besar (agung) Maka dalam tradisi dan kebiasaan bangsa Arab dalam berkomunikasi sering kali mereka menggunakan sumpah dalam upaya untuk meyakinkan khitha>b atau lawan bicara. Karena kebiasaan itu pula, maka Al-Qur’an pun mengabadikannya sebagai sebuah makna untuk menunjukkan kepada sebuah komitmen bahwa itu benar-benar akan terjadi jika Allah telah bersumpah dengan kalam-Nya.194 Alyasa’ Abubakar195 pun memberikan respon baik terhadap terjemahan ayat ini. Menurutnya terjemahan ayat terkait sumpah sudah memenuhi kriteria dalam kaedah-akedah terjemahan dan sudah sesuai sebagaimana yang ditetapkan oleh para ulama-ulama terdahulu. Meskipun dilain sisi dalam aspek terjemahan yang lain masih terdapat beberapa tempat yang mesti dikaji ulang dan bahkan bisa dikaji oleh mereka yang menggeluti bidang ilmu Al-Qur’an. Alyasa’ melanjutkan –sekaligus sebagai salah satu tim penyunting- dengan mengomentari subtansi karya terjemah secara keseluruan bahwa terjemahan edisi kedua yang dicetak ulang sudah sangat sesuai dengan kaedah-kaedah kebahasaan, meskipun pada edisi pertama kita temukan sedikit kerancuan dalam terjemahan yang harus dilakukan sedikit saja membuang kata han pada awal terjemahan ayat tersebut. Sedangkan yang lain sudah sesuai dengan kriteria terjemahan bebas sebagai judul yang telah diberiakan terhadap karya tesebut. Harus dikatahui pula bahwa perubahan pada edisi kedua sudah tidak lagi atas sepengetahuan Mahjiddin, sebab hal itu tidak sempat dikonfirmasi lagi karena ia pun telah berpulang ke rahmatullah. Maka diambillah

    194 Muchatab Hamzah, Studi Al-Qur’an Komprehensif, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), 207. 195 Professor dan guru besar dalam bidang Ushul Fiqih pada Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. 139 sebuah kebijakan penerjemahan sesuai dengan kaedah-kaedah bahasa Arab yang ada.196 Faisal Ali juga memberi tanggapan terkait ayat ini bahwa kaidah sumpah yang diterjemahkan oleh Mahjiddin sudah memenuhi kriteria sebagaimana yang ada dalam buku dan kitab-kitab para ulama terdahulu. Meskipun pada awalnya hal tersebut keliru dalam penerjemahan yang dilakukan oleh beliau, tetapi sudah mendapatkan masukan dan kritikan dari para tim penyunting sehingga menjadi seperti yang tertera dalam cetakan kedua sebagaimana yang telah penulis cantumkan di atas.197 Maka dari respon dan tanggapan ini dapat dibaca bahwa orientasi pemikiran Faisal Ali begitu modernis tanpa melupakan aspek tradisionalis yang membekas dari latar belakang pendidikan yang telah ia tempuh. Sikap modernis seperti yang ia lakukan menjadi sikap yang sangat moderat dan jika dihubungkan dengan penerlitian ini maka akan menghasilkan bahwa pemikirannya termasuk dalam pola kritis epistemologis dan bisa pula disebut dengan kritis akomodatif.

    196 Wawancara dengan Alyasa’ Abubakar, pada tanggal 22 Oktober 2019 di Fakultas Hukum dan Syariah Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. 197 Wawancara dengan Faisal Ali, di hotel Blue Sky, Jakarta Pusat tanggal 14 Januari 2020. 140

    BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Tesis ini menyimpulkan beberapa kesimpulan terhadap Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh dengan menganalisis respon yang diberikan oleh para ulama Aceh baik dari kalangan Ulama Dayah yang terhimpun dalam Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, dan juga para akademisi di lingkungan kampus Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. Respon tersebut muncul dengan mengajukan beberapa sampel dari terjemahan dalam Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh karya Mahjiddin Jusuf. Maka melahirkan kesimpulan dari rumusan rumusan masalah sebagai berikut, yaitu Bagaimana polarisasi respon ulama Aceh terhadap Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh? Pertama, Bila dihubungkan dengan konteks terjemah puitis –berdasarkan pada beberapa teori terjemah yang dipaparkan para ahli- yang menjadi objek penelitian ini maka penulis menyimpulkan bahwa sejatinya terjemah Al-Qur’an secara puitis yang digunakan oleh Mahjiddin Jusuf telah menempuh metode penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan manhaj global (ijma>li>). Motode ini sebagaimana telah ditempuh oleh Jala>l al-Di>n al-Suyu>t{i> dan Jala>l al-Di>n al-Mahalli> dalam tafsi>r Jala>lain yang menfasirkan secara umum mufradat-mufradat ayat Al- Qur’an. Menurut hemat penulis dengan memadukan kepada beberapa respon ulama bahwa kitab yang ditulis oleh Mahjiddin Jusuf dalam karyanya Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh adalah tafsir bi al-ra’yi dengan menggunakan corak adab ijtima>’i>, di mana Al-Qur’an mampu menyesuaikan dengan peradaban masyarakat yang ada disekitarnya. Sebab terjemahan bebas (free translation) memiliki konotasi pada menekankan pada pengalihan pesan yang sedang diungkapkan dengan menyusaikan kebutuhan orang yang membaca. Bisanya, metode ini berbentuk parafrase yang dapat lebih panjang atau lebih pendek dari pada teks lain. Sebab sejatinya pula dalam kajian ulumul Qur’an, terjemahan terhadap Al-Qur’an juga mengandung unsur tafsir, di mana Al-Qur’an pada dasarnya tidak dapat diterjemahkan dan dialihbahasakan dalam bentuk apapun. Asumsi ini berdasarkankan pada beberapa teori dan kaidah-kaidah terjemah yang telah dirumuskan oleh para ahli. Misalnya rumusan dan teori yang dipaparkan oleh Manna>’ Khali>l al-Qat{t{a>n, Muhammad Husain al-Z{ahabi, dan Muhammad ‘Abd al-‘Azi>m al-Zarqa>ni>. Mereka mengatakan, bahwa terjemah dapat dapat dikatagorikan ke dalam dua macam, yaitu tarjemah harfiyah dan terjemah tafsi>riyah. Hanya saja oleh Manna>’ Khali>l al-Qat{t{a>n yang menambahkan terjemah maknawiyah sebagai klasifikasi ketiga dari model terjemahan yang semula mereka bersepakat dalam dua hal, yaitu model terjemah harfiyah dan tafsi>riyah. Bahkan Manna>’ Khali>l al-Qat{t{a>n lebih lanjut mengharamkan penerjemahan Al-Qur’an secara harfiyah (literlek). Meskipun hal tersebut berbeda dengan apa yang dipaparkan oleh Must{afa> al-Mara>ghi> bahwa sangat memungkinkan dan terbuka lebar untuk menerjemahkan Al-Qur’an secara literlek (harfiyah). Dan menurut hemat penulis pun sepakat dan sejalan dengan apa yang diargumenkan oleh Must{afa> al-Mara>ghi>, Muhammad Husain Ka>syiful Ghita>, dan juga Aya>tulla>h al-Khu>’i>.

    141

    Penulis juga berkesimpulan bahwa penerjemahan Al-Qur’an dengan pendetakan dan wajah puisi telah memberikan warna terhadap pemahaman Al- Qur’an dan living Qur’an dari segi penghayatan makna Al-Qur’an itu sendiri. Bahkan secara lebih mendalam dapat dikatakan bahwa Al-Qur’an boleh saja diterjemahkan dengan puisi, hanya perlu dilihat dan dipenuhi syarat-syarat penerjemahan agar tidak terjadi distorsi terhadap kandungan Al-Qur’an itu sendiri. Akibatnya akan muncul pemahaman dan penghayatan yang keliru dalam kehidupan masyarakat. Dan penulis juga berkesimpulan bahwa Ami>n al-Khu>lli> dan A>isyah bintu Sya>t{i>’ patut untuk dijadikan landasan bahwa pendekatan sastra memahami Al- Qur’an. Penilitian sekaligus menguatan teori yang dibawa oleh Al-Khu>lli> dan membantah teori Muhammad Abduh yang mengatakan bahwa pendekatan sastra terhadap Al-Qur’an mendistorsi makna dan kandungan Al-Qur’an dari segi keotentikannya sebagai firman Allah Swt. Kedua, dari aspek respon ulama Aceh terhadap Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam bahasa Aceh maka penulis menemukan ragam macam respon. Respon tersebut terfokus baik pada pribadi penerjemah dan lingkungan sekitarnya pada masa itu, begitu pula terfokus pada beberapa sampel model yang penulis ajukan kepada para responden untuk kemudian dibaca dan direspon oleh mereka. Sampel tersebut meliputi; penyamaan bunyi dan irama, tafsir dan perluasan makna, pendekatan Sosial-Budaya, terjemah ayat antropomorfisme (ayat mutasyabi>ha>t), fawa>tih{ al-Suwa>r, dan terjemah ayat-ayat sumpah (Qasam). Pertama dari aspek penyamaan bunyi dan irama para responden hanya memberikan beberapa catatan bahwa meskipun harus menyesuaikan bunyi pada akhir kalimat sehingga indah didengar, maka hendaknya oleh penerjemah memperhatikan dan mencari kata-kata lain yang lebih sepadan baik dari segi bunyi dan makna. Meskipun oleh sebagian responden mengatakan bahwa cara ini tidak lah mengapa, sebab pada dasarnya yang terpenting adalah tersampaiannya nilai-nilai substansi dalam kandungan Al-Qur’an kepada para pembaca. Dalam konteks penerjemahan dengan melakukan pendekatan sosial dan budaya masyarakat Aceh maka ini lah yang begitu besar memunculkan pro dan kontra di kalangan para responden. Dari 12 responden yang penulis wawancara, 9 responden yang mengambil sikap bahwa pendekatan budaya dalam terjemahan karya tersebut harus dikaji ulang. Misalnya dalam menerjemahkan surat al-ti>n ayat 1 bahwa menerjemahkan buah ti>n dengan buah ara akan berdampak pada menciderai makna Al-Qur’an. Karena sesungguhnya buah ti>n dan buah ara itu sangat jauh berbeda baik secara rasa dan subtansi. Jika buah ti>n bisa dimakan, maka buah ara tidak dapat dikonsumsi dan bahkan berbahaya terhadap kesehatan tubuh serta memabukkan. Hanya saja ditemukan bahwa alasan Mahjiddin memberikan padanan itu, karena untuk memperkenalkan kepada masyarakat Aceh bahwa bentuk buah ti>n sama bentuknya dengan buah ara. Demikian halnya dengan terjemahan kata abati dalam surah al-Shaffa>t ayat 102 yang diterjemahkan dengan ‘ayah teungku’. Menurut sebagian besar responden boleh saja itu diterjemahkan dengan “ayah teungku”, tetapi harus diberikan penjelasan dan catatan kaki agar tidak terjadi kekeliruan dalam pemahaman oleh masyarakat dan para pembaca, terlebih mereka yang awam.

    142

    Sedangkan pada indikator lain, seperti fawa>tih{ al-Suwar, ayat-ayat mutasya>biha>t, masukan terhadap penerjemahan tersebut hampir sama dengan indikasi di atas. Secara konten dalam konteks ayat mutasya>biha>t para responden semua setuju dengan pendekaran terjemahn yang Mahjiddin gunakan karena sudah sesuai dengan kajian-kajian para ulama terdahulu dengan berbagai literatur yang ada. Dan setelah menganalisa dari beberapa respon ulama dari aspek bentuk terjemah maka dapat disimpulkan bahwa yang dilakukan oleh Mahjiddin Jusuf merupakan sebuah karya terjemah tafsi>riyah artinya menterjemahkan ayat-ayat Al- Qur’an dengan memberikan beberapa argumen yang dianggap penting untuk diketahui oleh pembacanya agar mudah dipahami. B. Rekomendasi Akhirnya, penulis sangat menyadari bahwa penelitian ini belum sepenuhnya dapat menggambarkan baik dari sisi respon ulama terhadap Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh dan juga dari segi seorang Mahjiddin Jusuf sebagai penerjemah karya ini. Namun perlu ada upaya ada para pengkaji di bidang Al-Qur’an yang membahas secara lebih lanjut agar tersingkap lebih mendalam aspek-aspek kontroversi yang tergambar di dalamnya. Dapat dikatakan bahwa karya itu telah memberikan warna dan khazanah baru dalam kajian tafsir Al-Qur’an di Aceh secara khusus dan di Nusantara secara umum. Bagaimana tidak, karya ini telah memberi sumbangsih begitu besar bagi para peminat dan pengkaji Al-Qur’an sebagai perantara menambah wawasan. Aceh dikenal sebagai tempat awal embriologi karya tafsir di Nusantara dengan membuahkan Tafsi>r Tarjuman al-Mustafi{d, karya ‘Abd al-Ra’uf al-Singkili telah juga menyumbang makna begitu besar.

    143

    DAFTAR PUSTAKA Buku Abd al-Ba>qi>, Muhammad Fua>d, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>zh wa Al-Qur’a>n, cet. II, t.t.: Da>r al-Fikr, 1981. Abbas, Siradjuddin, Sorotan atas Terjemahan Al-Qur’an HB. Jassin, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1979. Abdilla>h al-Zarkasyi>, Muhammad Ibnu, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n , Juz I, Kairo: al-Halabi, 1957. Abdullah al-Zarkashi>, Muhammad bin Baha>dir, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, Vol. 1, Bairut: Da>r al-Makri>fah, 1391 H. Abdullah, Abdurrahman, Pemikiran Umat di Nusantara; Sejarah dan Perkembangannya hingga Abad 19, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990. Abdullah, Taufik, dkk, Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, 1983. Abied Shah, Muhammad Aunul, dalam artikel berjudul “An Al-Khu>lli> dan Kodifikasi Metode Tafsir” dalam buku Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Bandung: Mizan, 2001 Abu> Zayd, Nas}r H}a>mid, Mafhu>m al-Nas}s}: Dira>sa>t fi 'Ulu>m Al-Qur’a>n, Kairo: Markaz al-Thaqa>fi al-'Arabi, 1999. ______, Mafhu>m al-Nas}s}: Dira>sa>t fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, Kairo: al-Hai’ah al- Misriyyah al-Ummah li al-Kutta>b, 1993. ______, Mafhu>m al-Nas{s{, Beirut: al-Markaz al-Thaqa>fi al-‘Arabi> li al-Tiba’ah wa al-Nas{r wa al-Tauzi>’, 1996. ______, Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics, Amsterdam: Humanistics University Press: 2004. Abubakar, Al-Yasa’ dkk, “Kata Pengantar Transliterasi” dalam Taj al-Din al- Tausany, Safinat al-Hukkam fi Talkhis al-Khassam, Banda Aceh: Pusat Penelitian dan Penerjemahan IAIN Ar-Raniry, 2001. Aceh, Abu Bakar, Sejarah Al-Qur’an Solo: Ramadhani, 1986. Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004. Ahar, Sastra dan Kritik Sastra, Horison, No. 3 Maret 1974. Ahmad Zuhdi Muhdlor, Atabik Ali>, Kamu>s al-‘Asri>y, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, tt. Ahmad, Abd al-Jabba>r, Al-Mughni> fi> Abwa>b al-Tauhi>d wa al-‘Adl, Juz, 7, Tk: tp, tt. ______, Sharh al-Usu>l al-Khamsah, Kairo: Maktabah Jumhu>riyah, 1996. Ahmad, Zakaria, Sekitar Kerajaan Aceh dalam Tahun 1520-1675, Medan: Manora, 1972. Ahmadi, Rizqa, “Model Terjemahan Al-Qur’an Tafsiriyyah Ustad Muhammad.” Aiyubi, Muhammad, Menelesuri Jejak Kepribadian Ulama, (Jakarta: Pustaka Anshar, 1996. Aizid, Rizem, Biografi Ulama Nusantara, Yogyakarta: Diva Press, 2008. Akbar, Abul Haris, Musikalitas Al-Qur’an: Kajian Unsur Keindahan Bunyi Internal dan Eksternal, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009. Al-A’zami, Muhammad Mustafa>, The History The Qur’anic Text From Revelation to Compil - tion A Comparative Study with the Old and New

    144

    Testaments: Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terj. Sohirin Solihin dkk. Jakarta: Gema Insan Press, 2006. Al-Aqqa>d, Abba>s Mahmu>d, Al-Falsafah al-Qura>niyyah, Kairo: Da>r al-Hila>l, t.th. Al-Asfa>ha>ni>, Al-Ra>ghib, Al-Mufrada>t fi> Ghari>b Al-Qur’a>n, Beiru>t: Da>r al-Ma’`ri>fah, tt. Al-Attas, M. Naquib, Prelimanary Statement in a General Theory of Islamization of the Malay-Indonesia Archipelago, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka: 1969. Al-Banna, Gamal, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-Kari>m Baina al-Qudama>’ wa al- Muhadditsi>n, Terj. Novriantoni, Qisti Press, 2004. Al-Baqillani>, I’ja>z al-Qura>n, Kairo: Da>r al-Sala>m, tt. Al-Farmawi>, ‘Abd al-Hayy, Al-Bida>yah fi> al-Tafsi>r al-Maud}u>’i, Dira>sah Manha>jiyyah Maudhu>iyyah, t.t.p. Alfian, Ibrahim, ”The Ulama in Acehnese Society”, dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique & Yasmin Husain (eds.) Reading on Islam in Southeast Asia, Singapore: Institute of Asian Studies, 1985. ______, “Cendikiawan dan Ulama dalam Masyarakat Aceh: Sebuah Pengamatan Permulaan’, dalam Alfian (ed) Segi-Segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh, Jakarta: LP3ES, 1977. ______, “Ulama dan Masyarakat Aceh” dalam Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah, Jakarta: LP3ES: 1989. ______, Perang di Jalan Allah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan: 1987. ______, The Ulama in Acehnese Society: A Preliminary, Observation, Banda Aceh: Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Aceh, 1975. Ali, Maulana Muhammad, Biografi Muhammad Rasulullah, terjemah S.A. Syurayuda, Jakarta: Turos, 2015. Ali> Jafar, Musaid Musli>m Abdulla>h, Atsar al-Tathawwur al-Fikri> fi> al-Tafsi>r, Bairu>t: Muassasah al-Risalah, 1984. Al-Iyazi>, Ali>, Mufassiru>n Haya>tuhum wa Mana>hijuhum, Al-Juwaini, Must}afa> al-S}a>wi, Mana>hij fi> al-Tafsi>r, Iskandariyah: Mansya’ah al- Ma’a>rif. Al-Khu>lli>, Ami>n>, Mana>hij Tajdi>d fi> al-Nahw wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al- Ada>b, Kairo: Da>r al-Ma’rifah, 1961. Al-Khu>lli>, Ami>n>, Metode Tafsir Kesusastraan atas Al-Qur’an, Terj. Ruslani, Yogyakarta: Bina Media, 2005. Al-Maliki> al-Hasani>, Muhammad Ibn ‘Alawi>, Zubdah al-Itqa>n fi> Ulu>m Al-Qur’a>n, Terj. Tarmana Abdul Qosim, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2003. Al-Mara>ghi>, Ahmad Must}afa>, Terjemah Tafsi>r al-Mara>ghi> Jilid 16, Terj Tafsir Al- Maraghi, Bahrun Abu Bakar dkk, Semarang: Toha Putra, 1992. ______, Bahs\ fi> Tarjama>t Al-Qur’a>n al-Kari>m wa Ahka>muha>, Kairo: Majalah Al-Azhar, 1423 H. Al-Mayabdi>, Muhammad Faki>r, Qawaid al-Tafsi>r Baina asy-Syi>’ah wa as-Sunnah T.tp: Markaz al- Tahqiqa>t wa al-Dirasa>t al-’Ilmiyyah al-Ta>bi’ li al- Majma’ al-’Alami li Tarqi>b Baina al-Madza>hib al-Isla>miyyah, t.th.

    145

    Al-Qat{t{a>n, Manna>’ Khali>l, Maba>his\ fi> Ulu>m Al-Qur’a>n, (Kairo: Maktabah Wahbah, tth. ______, Maba>his\ fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, Terj. Mudzakir AS, cet. 8, (Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2004), 414. ______, Maba>his\ fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, Terj. Aunur Rafiq El-Mazni, Cet. XXII, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015. Al-Ra>zi>, Fakhr al-Di>n, Mafa>tih{ al-Ghaib, Jilid xv, Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1994,. Al-Sayu>t{i>, Jala>l al-Di>n, Da>r al-Mans{u>r, Beirut: Da>r al-Fikr, 1983. ______, Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, T.tp: Da>r al-Fikr, 1370. Al-S{a>bu>ni>, Muhammad `Ali>, al-Tibya>n fi> `Ulu>m Al-Qur’a>n, Beirut: A>lam al-Kutub, t.th. ______, al-Tibya>n fi Ulu>m Al-Qur’a>n, Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1997. ______, Studi Ilmu Al-Qur’an, terj. dari bahasa Arab oleh Aminuddin, Bandung: Pustaka Setia, 1991. ______, Safwah al-Tafa>sir, jilid 1, Beirut: Da>r al-Fikr, 2001. ______, Mukhtas{ar Ibnu Kasir, Beirut: Da>r Al-Qur’a>n al-Kari>m, 1981. Al-Sha>leh, Subhi>, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Bogor: Litera Antar Nusa, 1994. Al-Syarqawi>, Ittija>ha>t al-Tafsi>r fi> Mis}r fi> ‘Asr al-Hadi>ts, Kairo: Maktabah al- Kailani>, 1963. Al-Syathi, ’Aisyah Bintu, Maqal> fi> al-Insa>n, Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1972. Al-Tha>hir, Ali> Juwa>d, Muqaddimah fi> al-Naqd al-Adabi>, Beiru>t: t.p, 1979. Al-Us\aimi>n, Muhammad bin S{a>lih, Syarh Muqaddimah Usu>l al-Tafsi>r, Riyad: Da>rul Minha>j, 1432 H. Alwi, Hasan, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Departemen Pendidikan, edisi ketiga, Jakarta : Balai Pustaka, 2005. Al-Zaha>bi, Tazkirah al-Huffa>z{, juz I, Beiru>t: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2009. Al-Zahabi>, Muhammad Husain, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Kairo: t.p, 1979), Jilid I. ______, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, juz 1, tt: Maktabah Mus’ab ibn Umair al- Isla>miyyah, 2004. Al-Zamakhsyari>, Muhammad Ibnu ‘Umar, Tafsi>r al-Kasya>f, Beirut: Da>r Kitab al- Ilmiah: 1995. ______, Al-Kasysysa>f ‘an Haqa>iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wil fi> Wuju>h al- Ta’wi>l, juz I, Kairo: Al-Maktabah al-Taufi>qiyyah, tt. Al-Zarqa>ni>, Muhammad ‘Abd al-‘Azi>m, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996 M. ______, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1996. Amal, Taufik Adnan, Pengantar Studi Al-Qur'a>n, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. ______, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Yogyakarta: FkBA, 2001. Amiruddin, M. Hasbi, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik, cet. I, Yogyakarta: CENINNETS Press, 2004. Anis, Ibra>hi>m, Dala>la>h al-Alfa>z,{ Mesir: Maktabah Anglo, 1976. Anwar, Rosihon, Ulumul Quran, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), 127.

    146

    Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, jilid 1, Semarang: Pustaka Riski utra, 2000. Azi>z Qalqaylah, Abduh ‘Abdul, al-Bala>ghah al-Ishtila>hiyah, Kairo: Da>r Fikr al- 'Arabi>, 1992, 357. Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia Jakarta: Kencana, 2018. ______, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999. Azwad, Ridwan, dkk, Aceh Bumi Iskandar Muda, cet. I, NAD: Pemerintah Provinsi, 2008. Baidan, Nashiruddin, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, cet. I, Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003. Bakry, Oemar, Polemik H. Oemar Bakry dengan H.B. Jassin tentang al-Qur’an al- Karim Bacaan Mulia, Jakarta: Mutiara, 1979. Baljon, J.M.S., Modern Muslim Koran Interpretation, Leiden: Brill: 1968. Bambang, Sugono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Bilgrami, HH, Iqbal: Sekilas tentang Hidup dan Pikiran-pikirannya, Jakarta: Bulan Bintang, 1982. Bilmauidhah, Puitisasi Terjemahan Al-Qur’an: Studi Analisis Terjemah Al-Qur’an Bersajak Bahasa Aceh, Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010. Bintu Sya>ti’, An, al-Tafsi>r al-Baya>n li Al-Qur’a>n al-Kari>m, Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1962. Braaten, Carl E., History and Hermeneutics, Philadelphia: The Westminster Press, t.th. Braginsky, V.I, Tasawuf dan Santera Melayu: Kajian dan Teks-teks, akarta: RUL, 1993. Burnett, Charles, ‘Robert of Ketton (fl. 1141–1157)’, dalam Oxford Dictionary of National Biography, Oxford: Oxford University Press, 2004. Chaplin, J. P., Kamus Lengkap Psikologi, cet. ke-9, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Chirzin, Muhammad, Buku Saku Konsep dan Hikmah Akidah Islam, Jakarta: Zaman, 2015. Corford, J.C., Nazariyyah Lughawiyyah li al-Tarjama>t, Terj. ‘Abd al-Baqi>, Basrah: Da>r al-Kutub, 1964. D}ayf, Shauqi, Ta>ri>kh al-Adab al-Arabi: al-Ashr al-Ja>hili,> 420. Lihat juga Jurji Zaida>n, Ta>ri>kh al-Tamaddun al-Isla>mi>>, Beiru>t: Manshu>ra>t Da>r Maktabah al-Haya>h, 1967. Dagun, Save D., Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta : Lembaga pengkajian dan kebudayaan Nusantara, 1997. Daniel D Whitney, Patrick J. Dubbs, Cultural Context, Making anthropology Personal, London: Allyn & Bacon Inc, 1938. Daudy, Abdurrahim, Tafsir Al-Gayo, Mesir: Mathba’ah Musthafa al-Baby al-Halaby wa Awladuh, 1357 H.

    147

    Deeb, Abu, Al-Jurjani’s Theory of Poetic Imagery, Warminster, Wilts: Aris & Philips Ltd.: 1979. Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Mekar Surabaya, 2004. ______, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Penerbit Yayasan Penyelenggara/Penerjemah/Pentafsir Al-Qur’an Departemen Agama RI, 1970. ______, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Medinah: Mujamma’ Khadim al- Haramain asy-Syarifain, 1990. Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1985. Di>da>wi>, Muhammad, ‘Ilm al-Tarjamah Baina al-Nazhriyah wa al-Tathbi>q, T>u>nis: Da>r al-Ma’a>rif, 1992. Diponegoro, Muhammad, Pekabaran Puitisasi Terjemahan Juz ‘Amma, Jakarta: Kiblat. Donner, Fred M., Narrative of Islamic Origin: The Beginning of Islamic Historical Writing, Studies in Late Antiquity and Early Islam 14, Princeton: Darwin Press, 1998. Esack, Farid, Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspektif of Interreligious Solidarity Againts Opression, Oxford: Oneworld, 1997. Fatani, Afnan, "Translation and the Quran", dalam Leaman Oliver (ed), The Quran: an Encyclopedia, Great Britain: Routeledge, 2006. Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-tafsir Al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir (al-Tafsi>r wa Mana>hijuh), terj. Mochtar Zoerni dan Abdul Qadir Hamid, Bandung: Penerbit Pustaka, 1987. Federspiel, Howard M., Kajian Al-Qur’an di Indonesia: Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, Terj. Tajul Arifin, cet. I, Bandung: Mizan, 1996. Ghafur, Saiful Amin, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008. Ghafur, Waryono Abdul, “Al-Qur’an dan Tafsirnya dalam Prespektif Arkoun” dalam buku Studi Al-Qur’an Kontemporer Wacana Baru Berbagai wacana.” Goldziher, Ignaz, Madza>hib al-Tafsi>r al-Isla>mi>, terj. ‘Abd Hali>m al-Najja>r, Kairo: Maktaba>t al-Khaniji>, 1955. Gottschalk, Lois, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, 1986. Gunawan SS, Hendra, M. Natsir dan Darul Islam, Studi Kasus Aceh dan Sulawesi Selatan Tahun 1953-1958, Media Dakwah: Jakarta, 2000. Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika Hingga Ideologi, Cet I, Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang, 2013. Guther, Ursula, “Muhammed Arkoun: Toward a Radical Rathinking of Islamic Thought”, dalam Suha Taji Faruki (ed.) Modern Muslim Intelectual and The Qur’an, London: Oxford University, 2004. Hadi W. M, Abdul dkk., Adab dan Adat: Refleksi Sastra Nusantara, Jakarta: Pusat Bahasa: 2003.

    148

    ______, “Sastra Islam di Dunia Melayu-Indonesia”, dalam Taufiq Abdullah dan Nurchalis Madjid (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baroe Van Hoeve: 2002. ______, Terjadi Kekosongan Kultural di Tubuh Umat Islam, dalam Suara Muhammadiyah, Jakarta: Ttp, 2006. Hamka, “Aceh Serambi Makkah”, dalam Ali Hasjmy, “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia”, Medan: PT. Al-Ma’arif, 1993 Hamzah, Muchatab, Studi Al-Qur’an Komprehensif, Yogyakarta: Gama Media, 2003. Hanafi>, Hasan, Method of Thematic Interpretation of the Qur’an, dalam Stefan Wild (ed.), The Quran as Text, Leiden ect.: Brill, 1994. Hanani, Silfia, “Peranan Ulama dalam Penyebaran Islam”, diakses dari www.karyanet.com.my, (2019). Harun, Salman, “Hakikat Tarjuman al-Mustafid”, Disertasi, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1989. Hassan Shadily, Jhon. M. Echoles, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, cet. Ke-27, Jakarta : PT. Gramedia, 2003. Hassan, Ahmad, Al-Furqan: Tafsir Al-Qur’an, Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia, 1956. Hasyimi, Ali, Hikayat Prang Sabi Menjiwai Perang Aceh Melawan Belanda, Banda Aceh: Firma Pustaka Farabi, 1971. ______, Mau Kemana Bahasa dan Sastra Aceh yang Dahulu Pernah Menyatu dengan Dakwah Islamiah, Makalah Dewan Kesenian Aceh, 1985. ______, Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemedekaan Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang: 1976. ______, Sumbangan Kesusastraan Aceh dalam Pembinaan Kesusastraan Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996. Hijazi, Mahmud Fahmi, ‘Ilm al-Lughah al-‘Arabiyyah, Kairo: Dar Gharib li al- Tiba’ah wa al-Nashr al-Tauzi’, t.t. Hitti, Philip K., History of Arabs, terj. Cecep Lukman dan Dedi Slamet, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010. Hoed, Benny Hoedoro, Penerjemahan dan Kebudayaan, Bandung: Pustaka Jaya, 2006. Hoffman, Thomas, “The Moving Qur’an: A Cognitive Poetics Approach to Qur’anic Language,” dalam Mohammed Nekroumi dan Jan Meise, Modern Controversies in Qur’anic Studies, Hamberg: EB-Verlag, 2009. Hornby, Mary Snell, Translation Studies: An Integrated Approach, Amsterdam: John Benjamin Publishing Company, 1998. Hurgronje, Snouck, Aceh di Mata Kolonialis, Terj. Ng. Singarimbun, Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985. Husein al-Munawwar, Said Agil, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, 2002. Husein, Tha>ha>, Fi> al-Ada>b al-Jahili>, Mesir: Da>r al- Ma’arif. 1998.

    149

    Ibnu Jari>r al-Tabari>, Abu> Ja’far Muhammad, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l Al-Qur’a>n, Juz I, Kairo: al-Maktabah al-Taufi>qiyyah, 2004. ______, Tafsi>r Ja>mi’ al-Baya>n fi> Tafsi>r Al-Qur’a>n, cet. 2, Kairo: Mustafa> al- Babi al-Halabi: 1954. Ibnu Muhammad al-Damagha>ni>, Al-Husain, Qa>mu>s Al-Qur’a>n wa Isthilah al- Wuju>h wa al-Nazha>ir fi> Al-Qur’a>n al-Kari>m, Beiru>t: Da>r al Ilm al- Mala>yi>n, 1980), cet. III. Ibnu al-Tha>hir al-Alu>sy>, Jala>l al-Di>n, Ahka>m Tarjamah Al-Qur’a>n al-Kari>m, Beiru>t: Da>r Ibn Hazm, 1429 H/2008 M. Ibnu Nurdin, M. Hermawan, Kiprah dan Jejak Politik Masyhumi, Majalah SAKSI, Edisi Oktober, 2005. Ibra>hi>m, Muhammad Isma>i>l, Mu’jam al-Alfazh wa al-A’la>m Al-Qur’a>niyya>t, Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabiy, t.th. Ihromi (ed), TO., Pokok-pokok antropologi Budaya, Cet. 7, Jakarta: PT Gramedia 1994. Isma>’i>l Ibnu Kas\i>r, Abu> Fida>’, Tafsi>r Al-Qur’a>n al-‘Azhi>m, cet. 1, Kairo: I>sa> Babi al-Halabi. Isma>il, Sya’ba>n Muhammad, al-Madkhal li Dira>sah Al-Qur’a>n wa al-Sunnah wa al- ‘Ulu>m al-Isla>miyyah, Kairo: Da>r al-Ansa>r, t.th. Ismail, Muhammad Gade, Pasai dalam Perjalanan Sejarah: Abad ke-13 Sampai dengan Abad ke-16, Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1993. Iyazi>, Ali>, Al-Mufassiru>n; Haya>tuhum wa Manha>juhum, Teheran: Muassasah al- Tiba>’at wa al-Nasyr al-Saqafat al-Irsya>d al-Isla>mi, 1414 H. Izzan, Ahmad, ‘Ulumul Qur’an: Telaah Tektualitas dan Kontekstualitas Al-Qur’a>n Bandung: Humaniora, 2011. Jacobi, AK., Aceh Daerah Modal, Jakarta: Pelita Persatuan, 1992. Jansen, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim, Yogyakarta: Tiara Wacanam 1997. Jansen, J.J.G, The Interpretation of the Qur’an in Modern Egypt, Leiden: E.J. Brill, 1974. Jassin, HB, Al-Qur’an al Karim Bacaan Mulia, Jakarta: Djambatan, 1991. ______, Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995. Jomier, Jacques, Horizon Al-Qur’an: Memahas Tema-tema Unggulan dalam Al- Qur’an, Terj. Hasan Basri, Cet. I, Jakarta: Bale Kajian Tafsir Al-Qur’an Pase, 2002. Jusuf, Mahjiddin, Al-Qur’an al-Karim Terjemah Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, Banda Aceh: Pusat penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) Aceh, 2007. Kamal, Mahmud, Nahwa Nazariyah Uslubiyah, Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt.h. Kamar, Ahmad, Malay and Indonesian Leadership in Perspective, (Kuala Lumpur: Ahmad Kamar bin Abdul Rahman, 1984. Kamil, Sukron, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.

    150

    Kasim, Ishak, Struktur Organisasi dan Kurikulum Dayah, dalam hasil kesimpulan pertemuan ilmiah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 1985. Kha>lid ‘Abd al-Rahma>n al-Akk, Usu>l al-Tafsi>r wa Qawa>’iduhu, Beirut: Da>r al- Nafa>’is, 1986. Khalkan, Ibnu, Wafaya>t al-Aya>n, jilid III, Beiru>t: Da>r Sadir, 1972. Kholis Setiawan, M. Nur, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta: Elsaq Press, 2005. ______, M. Nur, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta: e - SAQ Press, 2006. Khursyi>d, Ibra>hi>m Zaki>, al-Tarjama>t wa Musykilatuha>, al-Hayy al-Mashriya>t al- ‘Amma>t li al-Kita>b: Kairo, 1985. Larson, Mildred L., Meaning-based Translation: A Guide to Cross-Langguage Equivalence, London: University Press of America, 1984. Latief, Himan, Nasr Hamid Abu Zaid Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta: elSAQ Press, 2003. Lombard, Denys, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Terj. Winarsih Arifin, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008. M. Al-Rehaili, Abdullah, Bukti Kebenaran Al-Qur’an, Terj, Purna Safiah Istianati, Yogyakarta: Tajidu Press, 2003. M. Sholihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Ma’lu>f, Louis, Al-Munji>d, Beiru>t: al-Mathba’ah al-Kathaliqiyyah, 1956. ______, Al-Munjid fi> al-Lughah wa al-A’la>m, Bairu>t: Da>r al-Masyriq, 1994. Makmur, Ahdi, Ulama dan Pembangunan Sosial, cet. I, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2016. Makrifat, M. Hadi, Sejarah Al-Qur’an, terj. dari bahasa Arab oleh Thoha Musawa, Jakarta: Al-Huda, 2007. Manzhu>r, Ibnu, Lisa>n al-‘Arab, juz 12, Beiru>t: Da>r Sadir, tth. ______, Lisa>n al-‘Arab, Kairo: Da>r al-Hadi>s, 1434 H/2013. ______, Lisa>n al-‘Arab, t.tp.: Da>r al-Ma’a>rif, t.th. ______, Lisa>n al-Arab, cet. ke 3, jilid 9 Beiru>t: Da>r as-Shadir, 1994. Marshall, Gordon, ”Talcott Persons”, dalam A Dictionary of Sociology, (Oxford: Oxford University Press,1998. Masdari, ”Mengindentifikasi Tipologi Ulama Pewaris Nabi”, dalam Masdari & Zulfa Zamalie (eds.) Khazanah Intelektual Ulama Banjar, Banjarmasin: PPIK, 2003 Maula>na>, Ahmad Ibra>hi>m, Dira>sah Haula Tarjama>t Qur’a>n al-Kari>m, t.tp.: t.pn., t.th. Meulaboh, Abu Bakar, Prasarana Bahasa dan Kesusastraan Aceh, dalam Petunjuk Panitia PKA II, 1972. Moesa, Ali Maschan, Kiai dan Politik dalam Wacana Civil Society, Surabaya: Lepkis, 1999. ______, Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial Berbasis Agama, Yogyakarta: Lkis, 2007. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009.

    151

    Muh}ammad Zaghlul sala>m, Muhammad Khala>fulla>h Ah}mad, Tsalas\ Rasa>’il fi> I'ja>z Al-Qur’a>n, Kairo: Da>r-Maa>rif bi Mis}r, 1976. Muhammad al-Idri>s al-Qurrafi, Syiha>b al-Di>n Abu> al-Abba>s, Syarh} Tanqih al- Futs}u>l fi> Ikhtis}ar al-Husu>l fi> al-Ushu>l, Kuwait: Da>r al-Fikr, 1973. Muhammad al-Jurjani, Ali>, Al-Ta’rifat, ed. ‘Alwi> Abu> Bakar Muhammad al- Saqqa>f, Jakarta: Da>r al-Kutub al-Isla>miyyah, 1433 H/2012 M. Muhammad Fua>d Abd al-Ba>qi>, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>zh Al-Qur’a>n, 215. Muhammad Isma>i>l Ibra>hi>m, Mu’jam al-Alfa>z{ wa al-A’la>m Al- Qur’a>niyya>t, 133. Muslim, Mustafa, Maba>hits fi> I’ja>z Al-Qur’a>n, Jeddah: Da>r al-Manarah, 1988. Mustaqim, Abdul Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, Yogyakarta: Idea Press, 2015. ______, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LkiS, 2010. Must{afa> Ana>ni>, Ahmad al-Iskandari>, al-Wasi>t{ fi> al-Adab al-Arabi> wa Ta>ri>khihi, Mesir: Da>r al-Ma’a>rif: 1919. Muzakki, Akhmad, Stilistika Al-Qur’an, Malang: UIN Malang Press, 2015. Nahyiddin, Khairon, Metode Tafsir Susastra, Yogyakarta: Adab Press, 2004. Nassimi, Daoud Mohammad, 2008. A Thematic Comp Ara Tive Review Of Some English Translations Of The Qur’an, The University of Birmingham, Tesis. Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Nata (ed), Abudin, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo: 2001. Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University, 1993. Newmark, Peter, Approaches to Translation, Oxford: Pergamon Press, 1981. Nuqaib Al-Atas, Syed Muhammad, Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, Bandung: Mizan, 1990. Ouyang, Wen Chin, Literary Criticism in Medieval Arabic Islamic Culture: The Making of a Tradition, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1997. Pasha, Muhammad Ibra>hi>m, Lughah wa Uslu>b, Kairo: Da>r al-Ma’asir, 1989. Peacock, James L., The Antrophological Lens, Harsh Ligh, Soft Focus, Cambridge: University Press, 1998. Pedersen, Viggo Hjornager, Essays on Translation, Kobenhaven: Nyt Nordisk Forlog Arnol Busck, 1998. Pickthall, Muhammad Marmaduke, The Meaning of the Glorious Koran, Kuwait: Dar al-Islamiyya. Pradopo, Rachmat Djoko, Pengkajian Puisi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987. Putra, D.I Ansusa, Sajak Al-Qur’an: Potret Dialektika Al-Qur’an dan Budaya Verbal Arab Pra Islam, Jakarta: Gaung Persada Press, t.t. Qal’ahJi, Mahmu>d Rawwa>s, Lughah Al-Qur’an, Lighah al-‘Arab al-Mukhta>rah, Beiru>t: Da>r al-Nafa>is, 1988. Qalyu>bi>, Syiha>buddi>n, Stilistika Al-Qur’an: Makna di Balik Kisah Ibrahim, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2009.

    152

    Qut}b, Sayyid, al-Tas{wi>r al-Fanni> fi Al-Qur’a>n al-Kari>m, Kairo: Da>r al-'Ilm al- H{adi>ts, 1993. Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, cet. ke 3, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. ______, Psikologi Umum dan Perkembangan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Ridha>, Rasyi>d, Tafsi>r al-Mana>r, jilid I, Kairo: Da>r al-Manar. Rippin, Andrew, Ibn Abba>s al-Lugha>t fi> Al-Qur’a>n, BSOAS, idem, Ibn Abba>s Ghari>b Al-Qur’a>n, dalam Rippin, the Qur’an: Formative Interpretation. Nabia Abott, “The Early development of Tafsir” dalam Studies in Arabic Literary Papyri II: Qur’anic Commentary and Tradition, Chicago: University of Chicago Oriental Institute Publications, 1967. ______, Muslim, Their Religious Beliefs and Practices.: The Contemporary Period, Vol. 2, London dan New York: Routledge, 1993. Robinson, Neal, Discovering the Qur’an, A contemporary Approach to veiled text London: SCM Press Ltd, 1996. Sabri, Alisuf, Psikologi Umum dan Perkembangan, Jakarta: Pedoman Jaya, 2004. Saeed, Abdullah, Al-Qur’an Abad 21 Tafsir Kontekstual, Bandung: Mizan, 2016. Sardar, Ziauddin, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam. Cet. I. New York: Ox. 2011. Sarkhasi>, Syamsuddi>n, al-Mabsu>t}, Juz I, Beiru>t: Da>r al-Ma’rifah, 1989 M/1409 H. Sartono (ed.), Kartodirdjo, Elite dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: LP3ES, 1983. Setiawan, Nurkhalis, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, cet. I, Yogyakarta: Elsaq Press, 2007. Shadely, Hasan, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1980. Shaleh, Fauzi, Tafsir Aceh, Banda Aceh: Ushuluddin Publishing, 2013. Shari>f, Muhammad Mu>sa>, I’ja>z Al-Qur’a>n al-Kari>m; Baina al-Ima>m al-Suyu>t}i> wa al-Ulama>’, Jeddah: Da>r Andalus al-Khadra, 2002. Shihab, Alwi, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia, Bandung: Mizan, 2001. Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992 ______, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992. ______, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi atas Tafsir al-Manar, Jakarta: Lentera Hati, 2006. ______, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 7 Jakarta: Lentera Hati, 2006. ______, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997. ______, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2013. ______, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2013. Steenbrink, Kareel A., Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1994. Subandi, Ahmad, Psikologi Sosial, cet. ke-2, Jakarta : Bulan Bintang, 1982.

    153

    Subhan SD, Ulama-ulama Oposan, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000. Sudjiman, Panuti, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: Universitas Indonesia, 2006. Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: CV. Alfabet, 2014. ______, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan r&d, Bandung: Alfabeta, 2011. Sulaiman, A. Darwis, Sumbangan Kebudayaan Islam kepada Kebudayaan Indonesia, Makalah yang disampaikan pada seminar ilmu pengetahuan dan kebudayaan di Takengon Aceh. Syamsu, Nazwar, Koreksi Terjemah Al-Qur’an Al-Karim Bacaan Mulia HB. Jassin, Padang Panjang: Pustaka Sa’adiyyah, 1978. Syamsuddin, Sahiron, “Ranah-ranah Penelitian dalam Studi al-Qur’an dan Hadis,” dalam Sahiron Syamsuddin (ed.), Metode Penelitian Living Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: Teras, 2007. Syathir Mishri>, Muhammad Musthafa>, al-Qaul as-Sadi>d fi> Hukmi Tarjumati Al- Qur’a>n al-Maji>d, T.t: Da>r al-Fikr, 1370 H/1951 M17. Syukri Saleh, Ahmad, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, Jakarta: Sulthan Thaha Press, 2007. T. Iskandar, Hari Depan Kebudayaan Aceh, Makalah disampaikan pada Seminar PKA II di Banda Aceh. Taufi>q Muhammad, Sya>hi>n,‘Awa>mil Tanmiyah al-Lughah al-‘Arabiyah, al- Qa>hirah: Maktabah Wahbah, 1993. Teeuw A, Siding Fakir., ‘Hamzah Fansuri, Pemula Puisi Indonesia’. Dalam Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1994. Thalhas (et al), T.H., Tafsir Pase: Kajian Surah al-Fatihah dan Surahsurah dalam Juz ‘Amma, Paradigma Baru, Jakarta: Bale Kajian Tafsir Al-Qur’an Pase, 2001. Thalhas, TH., Pengantar Tim Penyusun Tafsir Pasee, Jakarta: Balee Kajian Tafsir Al-Qur’an Pasee, 2001. Tim Penulis IAIN Ar-Raniy, Ensiklopedi Pemikiran Ulama Aceh 2, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2005. Toshihiko, Ethico Relegious Concept in the Qur’an, Montreal: Mc Gill University Press, 1996. Tuloli, Noni, Usaha ke Arah Pengembangan Penelitian Sastar, Jakarta: Pusat Bahasa, 1979. Ulya, Berbagai Pendekatan Dalam Studi Al-Qur’an: Penggunaan Ilmu-Ilmu Sosial, Humaniora dan Kebahasaan dalam Penafsiran, Yogyakarta: Idea Press, 2017. Wa>fi>, Ali> ‘Abd al-Wa>hid, al-Lughah wa al-Mujtama’, Kairo: Da>r Ihya> al-Kutub al- Arabiyyah Isa babi al Halabi wa syirkahu, 1951. Waluyo, Herman J., Teori dan Apresiasi Puisi, Jakarta: Erlangga, 1991. Webster, Andraw, Introduction to the Sociology of Development, London: Macmillan Publishers Ltd., 1984. Wujdi>, Muhammad Fari>d, al-Adillah al-Ilmiah ‘ala> Jawa>zi Tarjamati Al-Qur’a>n ila al-Lugha>ti al-AjNabiyyah, Kairo: Da>r al-Muqtabis, 1936 M. Yaqub, Ali Mustafa, Islam Masa Kini, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.

    154

    Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1984. Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1984. Yusuf Ali, Abdullah, Al-Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, terjemah Ali Audah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Zada, Khamami, dkk, Intelektualisme Pesantren; Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, cet. I, Jakarta: Diva Pustaka, 2003. Zaidan, A. Rizak, Bahasa Indonesia dalam Era Globaliasi, Jakarta: Pusat Bahasa, 2000. Zaman, Muhammad Qasim, The Ulama in Contemporary Islam, Custodians of Change, (Princeton & Oxford: Princeton University Press, 2002. Zwemer, Samuel M., “Translation of the Koran,” dalam The Moslem World, July, 1915.

    Jurnal Abd. Rahman, Amilah binti Awang, ”Islamic Revivalism in the Easthern Malay States: The Role of Haj Abas Mohamad in Propagiting Islam”, Journal of Islam in Asia, No. 3, Vol. 1, 2006. Abdul Mannan Syafi’i, Musthafa bin ‘Abd Allah, “Khazanah Tafsir di Nusantara: Penelitian Terhadap Tokoh dan Karyanya di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand”, Jurnal Kontekstualita, Vol. 25, No. 1, Juli 2009. Abdullah, Dusung, “Pemikiran Syekh Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar” dalam Jurnal al-Daulah, Vol. 1, Desember 2012. AR, D. Sirajuddin., “Al-Qur’an Berwajah Puisi: Dibenarkan tapi Tidak Diakui” dalam Ulumul Qur’an, No. 5, Vol. IV, Tahun 1993, Amin, Surahman, “Al-Qur’an Berwajah Puisi Telaah Atas Al-Qur’an Bacaan Mulia Karya H.B Jassin”, Jurnal Kawistara, Vol. 6, No. 3, 22 Desember 2016. Amru Ghozali, Moh. Alwy, “Takwil dalam Perspektif ‘Abd Al-Jabbar: Sebuah Tawaran Hermeneutika Al-Qur’an”, dalam Jurnal Ushuluddin dan Dakwah STAIN Ponorogo. 2015. Baihaki, Egi Sukma, “Orientalisme dan Penerjemahan Al-Qur’an”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 16, No. 1. 2015. Burman, Thomas E., "Tafsir and Translation: Traditional Arabic Qur’an Exegesis and the Latin Qur’ans of Robert of Ketton and Mark of Toledo" dalam Speculum vol. 73, 1998. Chirzin, Muhammad, “Dinamika Terjemah Al-Qur’an: Studi Perbandingan Terjemah Al-Qur’an Kementerian Agama RI dan Muhammad Thalib” dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadits, Vol 17, No 1, Januari 2016. Dijk, Arjan van, “Early Printed Qur’ans: The Dissemination of the Qur’an in the West” dalam Journal of Qur’anic Studies, Note, Report and Correspondent Vol. 7 No. 2, Oktober 2005.

    155

    Esack, Farid, “Contemporary Religious Thought in South Africa and The Emergence of Qur’anic Hereneutical Nations”, dalam ICMR, Vol. 2, No. 2, Desember 1991. Effendi, Edy A., “Kontroversi di Sekitar HB. Jassin”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, November 1993. Faizin, Hamam, “Percetakan Al-Qur’an dari Venesia hingga Indonesia,” dalam Jurnal Esensia, XII no. 1 Januari, 2011. Fazlurrahman, “Some Recent Books on the Qur’an by Wester Authors” dalam Jurnal Religion, Vol. 64, 1984. Fealy, Greg, ”Peranan Ulama dalam Golkar, 1971- 1980, dari Pemilu sampai Malari” oleh Hero Cahyono, Journal of Southeast Asian Studies, No, 25, Vol. 2, 1994. Gilani, S.M.Yunus, “’Ulum and the ’Ulama”, Hamdard Islamicus, No. 13, Vol. 4 2000. Gusmian, Islah, “Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika” dalam Jurnal Nun, Vol 1, No 1, Tahun 2015. H. Sanaky, Hujair A., “Metode Tafsir: Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin”, dalam Jurnal Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008. Hadariansyah, AB, ”Ulama dalam Tinjauan Normatif dan Historis Keindonesiaan”, Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, No. 5, Vol. 1, 2006. Haqan, Arina, “Orientalisme dan Islam dalam Pergulatan Sejarah”, Jurnal Mutawatir, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2011. Husni, Muhammad, Penerjemahan dan Penafsiran Al-Qur’an: Antara Teori dan Kenyataan, Jurnal Vicratina, Vol. 01, No. 02, Tahun 2007. Istianah, “Stilistika Al-Qur’an: Pendekatan Sastra Sebagai Analisis Dalam Menginterpretasikan Al-Qur’an”, dalam Jurnal Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014. Istiqamatunnisak, “Interkulturalisme Bahasa Melayu dalam Hikayat Raja-Raja Pasai”, dalam Jurnal Ar-Raniry, vol. 4, No. 2, Tahun 2017. Jamaluddin Z, Wan, “Perkembangan Tradisi Arabistika dan Kajian Al-Qur’an Oleh Orientalis Rusia pada Penghujung Abad Ke-18 M”, dalam, Centre of Qur’anic Research International Journal, Vol. 2, No. 1, 2012. Johns, Anthony, ” The Qur’an in the Malay World: Reflection on ‘‘Abd al-Ra’uf al- Singkili(1615-1693)”, Journal of Islamic Studies, Volume 9, Nomor 2, 1998. Juneidi, Didi, Living Qur’a>n: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Qur’a>n (Studi Kasus di Pondok Pesantren As-Siroj Al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon), Journal of Qur’a>n and Hadith Studies – Vol. 4, No. 2, 2015. Kholis Setiawan, M. Nur, “Book Review: Syi’ah dan Wacana Perubahan Al-Qur’an, Tahrif Al-Qur’an, dalam Jurnal Al-Jami’ah, Vol. 43, No. 1, 2005/1426 H. M. Hanafi, Muchlis, “Problematika Terjemahan Al-Qur’an: Studi pada Beberapa Penerbitan Al-Qur’an dan Kasus Kontemporer” dalam Jurnal Suhuf: Jurnal Kajian Al-Qur’an dan Kebudayaan, Vol 4, No 2, 2013.

    156

    Maslahah, Ani Umi, “Al-Qur’an, Tafsir, dan Ta’wil Dalam Perspektif Sayyid Abu Al-A’la Al-Maududi”, dalam Jurnal Hermeneutik, Vol. 9, No. 1, Juni 2015. Nurdin, Abidin, “Integrasi Agama dan Budaya: Kajian tentang Tradisi Maulod dalam Masyarakat Aceh,” dalam jurnal el-Harakat, vol. 18, No. 1, tahun 2016. Osman, Muhamed Nawab Mohamed, ”Towards a History of Malaysian Ulama”, Makalah diterbitkan oleh The Institute of Defence and Strategic Studies (IDSS), Singapore, No. 122, 22 February 2007. Rahman, Arivaie, Tafsi>r Tarjuman Al-Mustafi>d Karya ‘Abd Al-Rauf Al-Fanshuri: Diskursus Biografi, Kontestasi Politis-Teologis, dan Metodologi Tafsir, dalam Jurnal MIQOT, Vol. XIII No. 1 Januari-Juni 2018. Rahman, Yusuf, Kritik Sastra dan Kajian Al-Qur’an, dalam Pengantar Kajian Al- Qur’an, Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian, (ed.) Kusmana dan Syamsuri, Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru, 2004. Ritonga, Abdul Hamid, “Hadis-Hadis Antropomorfisme: Analisis terhadap Takwi>l Ibnu Hajar al-‘Asqa>la>ni dalam Fath al-Ba>ri>”, dalam Jurnal MIQOT, Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013. Rohmah, Lailatu, “Hermeneutika Al-Qur’an: Studi atas Metode Penafsiran Nasr Ha>mid Abu> Zaid”, Jurnal Hikmah, Vol. 2. 2015. Rosihon Anwar, Rifa Roifa, Dadang Darmawan, “Perkembangan Tafsir di Indonesia (Pra-kemerdekaan 1900-1945)”, dalam Jurnal Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir, 1, 2, Juni 2017. Said, Hasani Ahmad, “Mengenal Tafsir Nusantara: Melacak Mata Rantai Tafsir dari Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura hingga Brunei Darussalam”, Jurnal Refleksi, Vol. 16, No. 2, Oktober 2017. Shaleh, Fauzi, “Mengungkap Keunikan Tafsir di Aceh”, Jurnal al-Ulum, vol. 12, no. 2, tahun 2012. Sholichin, M. Muhlis, “Tipologi Kiai Madura: Telaah Terhadap Silsilah dan Keberagamaan Prilaku Kiai-Kiai di Pamekasan”, dalam jurnal KARSA, Vol. XI No. 1 April 2007. Sunarwoto, “Nasr Ha>mid Abu> Zaid dan Rekonstruksi Studi-Studi Al-Qur’an”, dalam Sahiron Syamsuddin, dkk, Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya Yogyakarta: Islamika, 2003. Taufikurrahman, “Kajian Tafsir di Indonesia”, dalam Jurnal Mutawatir 2. no. 1. Januari-Juni, 2012. Wan Teh, Wan Hashim, ”Perubahan Sosial: Teori-teori Klasik dan Moden”, Jurnal Antropologi dan Sosiologi, No. 12, 1984. Zaman, Iftikhar, “Sunni ’Ulama”, dalam John L. Esposito (ed.) The Oxford Encyclopedia of the Islamic World, Vol. 4, (New Yok &Oxford: Oxford University Press, 1995. Zuhry, Muhammad Syaefuddien, “Tawaran Metode Penafsiran Tematik Hassan Hanafi,” dalam Jurnal at-Taqaddum, Volume. 6, Nomor. 2, Nopember 2014.

    157

    Website dan Internet Https://lintasgayo.co/2019/02/16/saer-gayo-edeb-menum-tgk-mudekala, diakses pada tanggal 5 November 2019. Https://serambimata.com/2018/09/20/definisi-ulama-menurut-imam-al-ghazali/. Diakses pada tanggal 12 Desember 2019. Https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/17/m2m933 melacak-sejarah-penerjemahan-alquran, (Diakses pada 10 Agustus 2019). Https://mpu.acehprov.go.id/index.php/page/1/profil. Diakses pada tanggal 12 Desember 2019. Https://artikula.id/muhammadrafi19/Al-Qur’an-berwajah-puisi-dan-Al-Qur’an- bacaan-mulia-h-b-jassin/. (Diakses pada Tanggal 04 Februari 2020).

    Wawancara Wawancara dengan Alyasa’ Abubakar, pada tanggal 22 Oktober 2019 di Fakultas Hukum dan Syariah Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. Wawancara dengan Azman Ismail, tanggal 14 Oktober 2019 di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Wawancara dengan Faisal Ali (Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh), tanggal 14 Januari 2020 di hotel Blue Sky Jakarta Pusat. Wawancara dengan Fauzi Shaleh, tanggal 02 Oktober 2019, di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. Wawancara dengan Hasanoel Basri HG, tanggal 08 Februari 2020, di Bandar Udara Soekarnoe Hatta, Cengkareng Banten. Wawancara dengan Hisyami Yazid, tanggal 03 Oktober 2019, di kediaman Jeulingke, Kota Banda Aceh. Wawancara dengan Muntasir A. Kadir, tanggal 08 Februari 2020, di Pesantren MUDI Mekar Al-Aziziyah, Pondok Gede, Bekasi. Wawancara dengan Nuruzzahri, tanggal 16 Oktober 2019, di Dayah Ummul Aiman Samalanga Bireun. Wawancara dengan Samsul Bahri, tanggal 01 Oktober 2019 di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. Wawancara dengan Teungku Muhammad Yusuf A. Wahab, tanggal 15 Oktober 2019, di kediaman Lambhuk, Kota Banda Aceh. Wawancara dengan Yusni Saby, tanggal 21 Oktober 2019, di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh.

    158

    GLOSARIUM

    Aqliyah : Ayat-Ayat Allah yang Swt berupa bukti yang bisa ditelaah dan dicerna oleh akal berupa fenomena alam dan sosial yang ada di sekitar dan di sekeliling manusia.

    Balee Pangajian : sebuah institusi pendidikan yang ada di Aceh yang hampir saja sama dengan ‘Dayah’. Namun yang menjadi titik perbedaan keduanya adalah pada ruang lingkupnya. Jika dayah dalam ruang lingkup lebih besar, tetapi balai pengajian hanya dalam ruang lingkup kecil saja.

    Dar al-Harb : Merupakan daerah wilayah, atau negara musuh. Isitilah ini merujuk pada suatu daerah yang sedang dalam situasi perang di sebuah negara Islam. Rakyat dan pemerintah daerah musuh ini mengancam, memengaruhi, memaksa agar orang-orang Islam di sana meninggalkan agamanya.

    Dar al-Islam : Setiap negeri yang dibangun oleh kaum Muslimin seperti Baghdad dan Bashrah, atau para penduduknya masuk Islam seperti Madinah dan Yaman, atau ditaklukkan secara paksa seperti Khaibar dan Mesir, atau ditaklukkan dengan damai seperti Makkah, maka wilayah itu milik kita dan kaum kafir diwajibkan membayar jizyah.

    Dayah : Sebuah lembaga pendidikan tertua di Aceh sejak awal Islam masuk. Secara lughawi ia berasal dari bahasa Arab, yaitu “zawiyah” yang berarti “sudut” yang menujukkan bahwa pada masa Rasulullah pengajian sering kali dilakukan di sudut-sudut. Di beberapa negera muslim lainnya, dayah atau zawiyah juga lazim disebut sebagai sekolah agama Islam (madrasah). Sedangkan di Pulau Jawa dayah disebut juga dengan pesantren, yaitu tempat menetapnya para santri.

    Hikayat : Salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam bahasa Melayu yang berisikan tentang kisah, cerita, dan dongeng. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan kenehan, kesaktian serta kemukjizatan tokoh utama. Sebuah hikayat juga dibacakan sebagai hiburan, pelipur lara atau untuk membangkitkan semangat juang.

    Ijtihadi : sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha

    159

    mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Qur’an maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.

    Majelis : Atau dikenal dengan MPU Aceh Merupakan suatu Permusyawaratan lembaga independen yang mewadahi para Ulama-ulama Ulama Aceh atau Cendikiawan Muslim untuk membimbing, membina, dan mengayomi umat Islam yang berada di Aceh. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh memiliki peranan sangat penting dalam rangka pemantapan implementasi Syariat Islam di Aceh karena peran MPU sebagai pemberi pertimbangan kepada Pemerintah Aceh dan DPRA dalam pembentukan sebuah rancangan Qanun (Perda) Aceh.

    Meunasah : Monumental ke Acehan:, dari aspek fungsi sarat makna: nilai-nilai edukatif, filosofis, historis, agamis, sosiologis, politis, ekonomis, herois, dst, menjadi sumber inspirasi “wadah pembelajaran” yang bernilai aset masa dulu, masa kini dan masa depan.

    Modernists : Pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, instituisi-instituisi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kata tersebut selanjutnya masuk ke dalam literature Islam. Dalam hubungan ini modernisasi mengalami perbedaan dengan modernisasi yang terjadi di Barat.

    Mujaddid : Orang yang memperbaiki kerusakan yang ada pada urusan atau praktik agama Islam yang dilakukan oleh umat muslim. Mujaddid tidak membawa agama baru, tetapi hanyalah membawa metode-metode baru dan memperbaiki metode yang menyimpang berdasarkan Al- Qur’an dan Hadits serta memperbaiki kerusakan- kerusakan yang sudah terjadi pada urusan agama Islam. Mujaddid muncul pada tiap awal kurun waktu/abad tertentu dalam kalender Hijriah. Mujaddid bisa saja seorang Ulama, Khalifah, Cendikiawan, tetapi yang pasti, mereka adalah orang yang berpengaruh besar dalam menegakkan agama Islam di zamannya. Mujaddid memiliki tugas untuk memperbaiki, membangkitkan dan membersihkan Islam yang dinodai unsur Bid'ah, Kurafat,

    160

    dan sebagainya.

    Mujahid : Muslim yang turut dalam suatu peperangan atau terlibat dalam suatu pergolakan. Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, istilah yang berasal dari akar kata yang sama dengan "jihad" ini menjadi nama berbagai pejuang bersenjata yang menganut ideologi Islam, walaupun tidak ada makna "suci" atau "jawara" (warrior) yang melekat secara eksplisit dalam kata ini.

    Naqliyah : Dalil-dalil yang di nukil atau di ambil dari Kitab Allah yang Maha Mulya dan dari sunnah yang suci atau dalil- dalil yang diriwayatkan kepada kita oleh naqalah al- hadits dan perawi-perawi.

    Nazham : Salah satu jenis puisi lama yang berasal daripada puisi Arab,[telah wujud lebih 100 tahun yang lalu. Nazam seakan-akan menyerupai nasyid tetapi ia boleh didendangkan secara perseorangan atau berkumpulan secara sponton oleh kaum wanita ketika menganyam tikar, membuat ketupat, menidurkan anak dan sebagainya.

    Orintalisme : Berasal dari kata “orient” dan isme, orient yang bermakna timur, dan isme yang bermakna paham. Sehingga secara singkat dapat diartikan bahwa orientalisme adalah studi Islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Orientalisme dalam bahasa arab biasa disebut Al-Istisroq. Yang berarti mempelajari ilmu ketimuran dan bahasanya.

    Pasee : Sebuah wilayah yang terletak di wilayah tengah bagian Utara Provinsi Aceh yang pada masa dahulu kala di tempat tersebut menjadi kerajaan Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia atau bahkan di Asia Tenggara.

    Prosa : Suatu jenis tulisan yang dibedakan dengan puisi karena variasi ritme yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta atau ide. Karenanya, prosa dapat digunakan untuk surat kabar, majalah, novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media lainnya.prosa juga dibagi dalam dua bagian, yaitu prosa lama dan prosa baru, prosa lama adalah prosa bahasa

    161

    indonesia yang belum terpengaruhi budaya barat, dan prosa baru ialah prosa yang dikarang bebas tanpa aturan apa pun.

    Puitis : Sesuatu hal yang identik dengan keindahan, yang merupakan sifat yang melekat pada sajak dengan kadar tertentu sesuai dengan kemampuan para penyairnya.

    Puritan : Lebih tepatnya Kaum Puritan dari Inggris pada abad ke- 16 dan 17 adalah kumpulan sejumlah kelompok keagamaan yang memperjuangkan "kemurnian" doktrin dan tata cara peribadatan, begitu juga kesalehan perseorangan dan jemaat.

    Reformists : Keyakinan bahwa perubahan secara bertahap melalui serta di dalam institusi yang ada, secara pasti dapat mengubah sistem ekonomi dan struktur politik fundamental masyarakat. Hipotesis mengenai perubahan sosial ini tumbuh dari perlawanan kepada sosialisme revolusioner, yang berpendapat bahwa revolusi diperlukan untuk terjadinya perubahan struktural secara fundamental. Reformisme harus dibedakan dari reformasi pragmatis: reformisme adalah pendapat bahwa suatu akumulasi reformasi dapat menyebabkan terbentuknya sistem sosial ekonomi yang sama sekali berbeda dengan bentuk saat ini dari kapitalisme dan demokrasi, sedangkan reformasi pragmatis mewakili upaya. Seulawah : Sebutan untuk sebuah nama gunung yang terletak di provinsi Aceh, bertepatan di Kabupaten Aceh Besar.

    Tafsir bi al-Ma’sur : Metode penafsiran dengan cara mengutip,atau mengambil rujukan pada Al-Qur’an , hadist Nabi, kutipan sahabat serta tabi’in. Metode ini mengharuskan mufasir menelusuri shahih tidaknya riwayat yang digunakannya.

    Tafsir bi al-Ra’yi : Metode penafsiran dengan cara ijtihad dan penyimpulan melalui pemahaman sendiri serta penyimpulan yang hanya didasarkan pada ra’yu semata.

    Talaqqi : Belajar secara berhadapan dengan guru. Sering pula disebut musyafahah yang bermakna dari mulut ke mulut (pelajar belajar Al-Qur’an dengan memperhatikan gerak bibir guru untuk mendapatkan pengucapan makhraj yang benar).

    162

    Tawqifi : Sesuatu yang diterima oleh Rasulullah Saw yang terkandung dalam wahyu atau Rasulullah sendiri yang menentukan. Dengan kata-kata itu lah Nabi menyampaikan kepada orang banyak. Merupakan bagian yang terkandung dalam wahyu.

    Teungku : Gelar penghormatan kepada ulama. Gelar ini berbeda di beberapa daerah misalnya di Jawa dikenal dengan sebutan kyai, di Sunda dikenal dengan ajengan, di Sumatra Barat dikenal dengan buya, di Nusa Tenggara Barat dikenal dengan tuan guru, di Sulawesi Selatan disebut dengan topandita, di Madura dikenal dengan nun atau bandara. Di Aceh dipanggil teungku. Gelar teungku hanya diberikan kepada orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama, berakhlak mulia dan dalam waktu tertentu menuntut ilmu ke salah satu dayah. Dalam perkembangan selanjutnya, teungku dianggap sebagai panggilan penghormatan terhadap orang-orang tertentu yang dianggap atau dirasa perlu dihormati.

    Trans Kultural : Lintas budaya yang mempunyai efek bahwa budaya yang satu mempengaruhi budaya yang lain atau pertemuan kedua nilai – nilai budaya yang berbeda melalui proses interaksi sosial.

    Turats Segala sesuatu yang sampai kepada kita dari masa lalu dalam peradaban yang dominan, sehingga merupakan masalah yang diwarisi sekaligus masalah penerima yang hadir dalam berbagai tingkatan Sementara pembaharuan merupakan penafsiran ulang atas tradisi sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman, karena yang lama mendahului yang baru.

    Worldview : Cara pandang terhadap sebuah objek atau kajian tertentu sehingga menghasilkan sebuah konklusi tertentu. Atau kepercayaan dan pikiran seseorang yang berfungsi sebagai asas atau motor bagi segala perilaku manusia.

    163

    INDEKS

    Al-Qur’an, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, A}} 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, A>isyah bintu Sya>t{i>’, 128 20, 21, 22, 23, 24, 25, 28, 29, 30, Abad, 6, 58, 67, 68, 97, 111 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, ‘Abd al-Rauf al-Singkili, 129 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, Abdul Mustaqim, 24, 72, 73 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 57, 58, Abdulla>h bin Saee>d, 111 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 68, Absolut, 57, 58 70, 72,73, 74, 75, 76, 77, 79, 80, Abu> Hani>fah, 3 81, 82, 83, 84, 85, 88, 97, 98, 99, Abu> Zaid, 7, 40, 41, 43, 51, 113 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, Aceh, 4, 7, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 32, 45, 46, 49, 57, 58, 59, 60, 61, 121, 122, 123, 124, 127, 128, 129 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, Al-T{abari, 41, 121 71, 72, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, Ami>n al-Khu>lli, 7, 17, 19, 38, 39, 40, 81, 82, 83, 84, 85, 88, 95, 96, 97, 41, 42, 43, 52, 53, 128 98, 99, 101, 102, 103, 104, 105, Antropomorfisme, 115, 118 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, Arab,, 1, 3, 8, 24, 26, 34, 38, 48, 79, 113, 114, 115, 117, 118, 121, 123, 82, 101, 107 124, 127, 128, 129 Ar-Raniry, 10, 12, 58, 60, 63, 64, 65, Adab ijtima>’i>, 51, 105, 127, 128 67, 75, 76, 81, 101, 104, 107, 108, Agama, 5, 6, 23, 25, 31, 46, 48, 57, 112, 121, 124, 127 58, 67, 68, 71, 73, 74, 76, 77, 78, Asba>b al-nuzu>l, 111 89, 90, 92, 93, 96, 97, 109, 112, Asba>b al-wuru>d, 111 122 Asia Tenggara, 59, 69, 78, 90 Ahmad Khatib Langin, 58, 60 Asy-Sya>fi’i, 3 Al-Azhar, 4, 6 Al-Fa>tihah, 10, 12, 29, 84, 98, 105 B Al-Ghaza>li>, 72 Belanda, 5, 11, 30, 57, 67, 68, 71, 75, Ali Hasyimi, 68, 70, 77, 83 77, 78, 79, 81, 92, 95, 96 Al-Khu>lli, 43, 54, 128 Bersajak, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, Allah, 1, 7, 8, 11, 12, 23, 25, 34, 35, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 45, 37, 38, 42, 53, 54, 55, 58, 60, 64, 46, 57, 66, 70, 74, 77, 79, 80, 84, 78, 79, 96, 98, 100, 106, 107, 109, 88, 97, 99, 100, 105, 106, 109, 127, 112, 114, 116, 117, 118, 119, 120, 128, 129 121, 122, 123, 124, 128 Bi al-ra’yi, 127

    164

    Bilmauidhah, 15, 17, 45, 46, 70, 99, I 105 Ibnu, 3, 24, 25, 26, 32, 34, 35, 37, 38, Budaya, 2, 8, 11, 14, 15, 19, 22, 34, 41, 45, 50, 51, 52, 54, 72, 76, 83, 35, 49, 55, 57, 65, 66, 67, 68, 69, 97, 101, 105, 108, 115, 119, 120, 70, 72, 79, 80, 81, 82, 84, 87, 88, 121 94, 103, 104, 105, 110, 111, 112, Ignaz Goldziher, 49, 52, 53, 72 113, 114, 115, 128 Ijma>li>, 25, 51, 108, 127 Bunyi, 11, 14, 16, 22, 34, 35, 50, 71, Indonesia, 8, 9, 10, 13, 14, 16, 17, 19, 83, 97, 98, 102, 104, 109, 119, 123, 23, 25, 31, 44, 45, 46, 47, 57, 58, 128 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, Burhanuddin, 41, 58, 60 68, 70, 71, 72, 76, 77, 78, 79, 80, Busta>n al-Sala>ti>n, 68 81, 82, 83, 87, 91, 92, 95, 96, 98, 99, 106, 109, 111, 112, 115, 116, D 117 Dinamika, 23, 29, 58, 59, 108 interpretasi, 9, 19, 29, 40, 42, 43, 51, Donya, 12, 98 55, 57, 58, 59, 71, 96, 103, 111, 121 E Iskandar Muda, 58, 60, 61, 68 Ekonomi, 67, 69, 78, 93, 95, 111 Islam, 3, 5, 6, 7, 9, 10, 12, 15, 16, 17, Epistemologi, 72, 73 21, 23, 24, 25, 29, 31, 34, 35, 37, 38, 39, 42, 43, 45, 48, 49, 52, 53, F 54, 57, 58, 60, 61, 62, 63, 65, 66, Fatwa, 3, 4, 5, 13, 104, 105, 107, 118 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, Fawa>tih al-suwar, 121 76, 77, 78, 80, 81, 83, 89, 90, 91, Fiqih, 41, 51, 59, 68, 110, 118 92, 93, 95, 96, 97, 99, 101, 102, Free translation, 127 104, 105, 106, 107, 108, 109, 112, 113, 121, 124, 127 G J Gramatikal, 2 Jala>l al-Di>n al-Mahalli, 108, 127 H Jala>l al-Di>n al-Suyu>thi>, 108 Jala>lain, 12, 61, 108, 127 Hamzah Fansuri, 58, 60, 68, 71 Jazirah, 110 Haram, 3, 13, 26, 103 Jejak, 58, 65, 76 Harfiyah, 2, 3, 5, 11, 12, 15 Hermeneutika, 10, 41, 60, 61, 80, 104 K Hikayat, 11, 57, 68, 71, 75, 76, 77, 85, 97, 105 Kaphe, 11, 109, 110 Kesusastraan, 70, 71

    165

    Kitab, 7, 8, 10, 11, 12, 13, 15, 16, 17, 93, 94, 95, 96, 97, 104, 110, 111, 19, 21, 22, 25, 37, 38, 39, 40, 41, 112, 113, 114, 115, 118, 127, 128 42, 44, 45, 51, 53, 54, 61, 63, 64, Melayu, 8, 30, 59, 67, 68, 69, 70, 71, 65, 67, 68, 73, 80, 82, 83, 84, 102, 72, 75, 83, 90 103, 108, 110, 113, 119, 120, 123, Metode, 3, 7, 18, 19, 21, 24, 39, 41, 124, 127 42, 52, 108, 113, 127 Kontemporer, 2, 5, 16, 23, 33, 40, 51, Metodologi, 14, 20, 21, 40, 51, 57, 72, 73, 108 64, 66, 110 Kultural, 7, 10, 34, 51, 55, 57, 85, 92, Metodologi, 19, 20, 51, 52, 68, 108 111, 113 Muhammad ‘Abd al-‘Azi>m al- Lurma, 110, 115 Zarqa>ni, 127 Muhammad Ali al-S{a>buni>, 59 L Muhammad Husain al-Z{ahabi, 127 Literal, 2, 3 Muhammad Yusuf A. Wahab, 101, Living Qur’an, 113 102, 114, 115 Lon, 12, 98, 101, 112 Mukjizat, 3, 13, 18, 26, 31, 34, 37, 40, 44, 54, 103, 120, 121 M Munqata’ah, 119 Mustafa> al-Mara>ghi>, 4, 5 M. Naqib al-Attas, 72 Mutasya>biha>t, 14, 22, 116, 118, 119, M. Quraish Shihab, 17, 18, 23, 42, 120, 121, 129 59, 84, 103, 108, 122, 123 Mutlak, 57, 58 Mahjiddin, 10, 11, 12, 13, 14, 16, 17, 19, 23, 24, 49, 57, 65, 66, 73, 74, N 75, 76, 77, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 88, 97, 98, 99, 100, 101, 102, Nurchalis Madjid, 70 104, 105, 106, 107, 109, 110, 111, Nuruddin Ar-Raniry, 58 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, Nuruzzahri, 110, 112 120, 121, 123, 124, 127, 128, 129 O Mahkuta Alam, 58 Majelis Permusyawaratan Ulama, 16, Orientalisme, 3, 5, 6 20, 21, 88, 95, 101, 102, 103, 104, Otoritas, 57, 59, 91, 99 107, 113, 118, 121, 127 Manna>’ Khali>l al-Qatta>n, 2 P Masyarakat, 1, 8, 9, 10, 11, 19, 20, Pemerintahan, 6, 49, 58, 75, 78, 92, 22, 30, 31, 34, 35, 38, 39, 41, 43, 95, 96, 97, 110 48, 49, 55, 57, 58, 60, 62, 64, 65, Pendekatan, 19, 49, 51, 54, 55, 73, 66, 67, 70, 71, 72, 74, 75, 77, 78, 110, 111, 113 80, 81, 82, 84, 88, 89, 90, 91, 92, Penerjemah, 1, 2, 9, 18 Perjanjian Baru, 59

    166

    Perjanjian Lama, 59 Syamsuddin As-Sumatrani, 58 Pesantren, 20, 61, 63, 89, 96, 110, 113 T Peta, 72 Ta’wi>l, 103, 119 Politik, 6, 39, 48, 69, 72, 76, 77, 79, Tafsi>r, 12, 27, 40, 61, 79, 103, 127 90, 91, 92, 97, 111 Tafsir, 2, 3, 10, 12, 14, 16, 17, 20, 21, Puisi, 9, 10, 16, 42, 44, 45, 46, 47, 22, 24, 27, 28, 39, 40, 41, 42, 44, 49, 68, 69, 97, 98 45, 49, 50, 51, 52, 58, 59, 61, 62, Puisi, 7, 12, 13, 19, 40, 42, 43, 44, 63, 64, 65, 66, 68, 72, 73, 74, 76, 46, 66, 85, 97, 102 79, 80, 83, 84, 89, 97, 100, 103, Puitisasi, 15, 17, 38, 44, 45, 46, 48, 104, 105, 107, 108, 110, 111, 116, 70, 84, 99, 105 119, 124, 127, 128, 129 PWNU, 110 Tafwi>d{, 116, 117, 119 Tah>addi>, 1 Q Tahrif, 101, 115 Qasam, 14, 22, 121, 122, 128 Takwil, 79, 104, 117 Tanfiziyah, 110 R Tarjamah maknawiyah, 3 Ra’yu, 111 Tarjamah tafsi>riyah, 2 Raja, 29, 30, 58, 67, 97, 122 Tarjuman al-Mustafi{d, 129 Rasulullah, 25, 29, 38, 48, 49, 50, 53, Tasawuf, 39, 41, 67, 69, 72, 89 58, 65, 111 Teologis, 3 Riwa>yah, 51, 111 Terjemahan bebas, 14, 124, 127 RUU, 110 Teungku, 11, 13, 14, 20, 23, 49, 57, 60, 6163, 64, 65, 68, 73, 74, 96, 78, S 79, 84, 88, 96, 97, 100, 101, 102, 103, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 118, Samudera, 8, 66, 67, 70 125, 129 Sastra, 1, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, Toshihiko Izutsu, 54 15, 16, 18, 19, 23, 31, 36, 38, 39, 40, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, U 51, 52, 53, 54, 55, 63, 66, 68, 69, 70, 71, 72, 75, 77, 80, 83, 84, 85, Ulama, 2, 3, 4, 5, 8, 13, 14, 15, 16, 97, 102, 128 18, 19, 20, 21, 22, 23, 25, 26, 31, Sejarawan, 58, 59, 71 32, 47, 58, 59, 60, 62, 63, 65, 66, Sosial, 10, 22, 34, 35, 39, 42, 51, 55, 68, 70, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 57, 60, 66, 67, 69, 72, 75, 76, 78, 79, 81, 82, 84, 88, 89, 90, 91, 92, 79, 80, 87, 88, 89, 90, 91, 94, 102, 93, 94, 95, 96, 97, 102, 103, 105, 110, 111, 113, 114, 128 108, 110, 116, 117, 118, 119, 120, Sosial-Budaya, 110, 128 121, 122,124, 127, 128, 129

    167

    Unta, 110, 114 Ushuluddin, 3, 6, 12, 32, 59, 61, 63, 64, 65, 66, 89, 101, 104, 108, 112

    V Vocabularies, 2

    W Wahdatul Wuju>d, 68 Wahyu, 7, 25, 26, 31, 34, 35, 54, 59, 99 Worldview, 72

    168

    LAMPIRAN Lampiran I

    PEDOMAN WAWANCARA

    1. Bagaimana latar belakang biografi kehidupan Teungku Mahjiddin Jusuf? a. Pendidikan b. keilmuwan c. Guru d. Pemikiran (Teologi, fikih) e. Aktivitas f. Karya g. Motivasi menulis h. Mengapa beliau dipenjara? 2. Bagaimana pandangan (Narasumber) terkait penyusunan karya beliau? a. Pemberian nama? Apakah cocok disebut sebagai terjemah bebas? b. Rujukan yang diambil? c. Pendekatan budaya yang digunakan? Apakah akan mencederai makna Al-Qur’an? d. Faktor pengalihan aksara e. Apakah karya tersebut akan mendistorsi makna Al-Qur’an baik secara harfiyah maupun secara tafsiriyah? 3. Sejauh mana ‘hikayat’ itu bisa mempengaruhi pengamalan keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh? 4. Apakah tulisan tersebut memberikan efek dalam perkembangan keilmuwan? 5. Apakah karya tersebut memberikan kontribusi kepada masyarakat Aceh? 6. Sastra apakah yang mempengaruhi penulisan karya tersebut? 7. Apakah katagori penilaian terhadap karya tersebut? Tafsir atau Terjemah? 8. Kenapa tafsir tersebut tidak begitu populer di kalangan masyarakat? 9. Aspek sosio-kultural apa yang terdapat dalam karya tersebut? 10. Jika tafsir ini ditulis untuk mengakomodir budaya di masyarakat Aceh, maka sejauh mana usaha para ulama Aceh mengembangkan pelestarian karya ini?

    169

    Lampiran II

    TRAKSKRIP HASIL WAWANCARA

    Nama : Teungku H. Faisal Ali Jabatan : Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tempat / waktu : Hotel Blue Sky, Jakarta Pusat, 14 Januari 2020

    1. Bagaimana latar belakang biografi kehidupan Teungku Mahjiddin Jusuf? Jawaban: Beliau adalah seorang ulama sekaligus sebagai seorang satrawan Aceh yang berlatar belakang pendidikan yang sangat mumpuni. Hal itu dapat bahwa ia pernah menuntut ilmu di padang pada Normal School yang didirikan oleh Mahmud Yunus selama 4 tahun. Di sana ia mempelajari segala ilmu yang mendukung untuk ia memahami agama. 2. Bagaimana pandangan (Narasumber) terkait penyusunan karya beliau? Jawaban: Penyusunan karya tersebut patut diberikan apresiasi yang setinggi-tingginya karena telah mamapu menjadi sebuah karya yang dapat bermafaat baik dunia pendidikan khususnya dalam kajian Tafsir dan Al-Qur’an. Demikian juga telah mampu memperkaya pemahaman Al-Qur’an di Masyarakat Aceh dalam bentuk nazham dan puisi dalam bentuk terjemahan. 3. Sejauh mana ‘hikayat’ itu bisa mempengaruhi pengamalan keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh? Jawaban: Pada masa awal perkembangan Islam di Aceh, hikayat telah menjadi sebuah perantara untuk menyebarkan Islam kepada seluruh masyarakat Aceh. Bahkan jika dilacak lebih dalam maka akan ditemukan bahwa pada masa itu para ulama yang menyebarkan Islam di Aceh banyak sekali menulis karya dengan model hikayat. Sebab masyarakat Aceh pada masa itu sangat gemar dan suka dengan persajakan karena indah ketika dibacakan dan didengarkan. 4. Apakah tulisan tersebut memberikan efek dalam perkembangan keilmuwan dan Masyarakat Aceh? Jawaban: Secara keseluruhan memang karya tersebut tidak terekspos kepada seluruh masyarakat Aceh. Di samping karena terbatasnya ketika dicetak, juga para tokoh kita tidak mempublikasi hasil karya tersebut. Dan karya itu juga hanya ditemukan di mesjid-mesjid bebarapa orang saja. 5. Apakah katagori penilaian terhadap karya tersebut? Tafsir atau Terjemah? Jawaban: Karya tersebut adalah murni karya terjemahan dan bukan tafsir 6. Jika tafsir ini ditulis untuk mengakomodir budaya di masyarakat Aceh, maka sejauh mana usaha para ulama Aceh mengembangkan pelestarian karya ini? Jawaban: Sejauh yang terlihat, memang karya Teungku Mahjiddin tidak begitu dikembangakan oleh para ulama kita di Aceh. Di antara sebabnya adalah bahwa

    170

    kajian di Aceh terkhusus di dayah hanya berpusat pada kajian Tauhid, Fiqih, dan Tasawuf, sedangkan kajian tasir hanya sedikit saja. Hal itu karena dikhawatirkan masyarakat Aceh tidak terlalu paham terhadap ilmu-ilmu yang lebih utama, yaitu fardhu ain. Tetapi kajian tersebut ada dilakukan di Perguruan Tinggi Islam pada Fakultas Ushuluddin di Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. 7. Bagimana pendapat Teungku Terkait contoh-contoh ayat dalam karya tersebut yang menerjamahkannya dalam konteks budaya Aceh? Apakah hal tersebut tidak akan mendistorsi makna yang dikandung oleh Al-Qur’an? Jawaban: Saya berpendapat bahwa terjemah terhadap Al-Qur’an melakukan konteks budaya adalah sebuah hal yang biasa yang tidak akan menghilangkan sakralitas kandungan Al-Qur’an. Bahkan dengan disampaikannya berdasar pada pendekatan budaya justeru makna Al-Qur’an tersampaikan secara substansial dan tidak akan menjadikan Al-Qur’an terdistorsi.

    171