ADAPTASI SOSIAL UMAT BERAGAMA DI KABUPATEN KOLAKA TIMUR (Studi Umat Islam, Kristen, dan Hindu di Kecamatan Ladongi)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh : NIAR LINGGAENI NIM : 105381100816

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI FEBRUARI 2021 ix

ix

ixi

ixii

ABSTRAK

ixiii

Niar Linggaeni. 2021. Adaptasi Sosial Umat Beragama Di Kabupaten Kolaka Timur (Studi Umat Islam, Kristen, dan Hindu Di Kecamatan Ladongi). Skripsi, Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I Muhammad Nawir dan pembimbing II Risfaisal. Penelitian ini mengamati dan mendeskripsikan adaptasi sosial yang dilakukan antar umat beragama di kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka Timur. Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) awal mula munculnya keberagaman agama di kecamatan Ladongi, (2) proses adaptasi sosial antar umat beragama di kecamatan Ladongi. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pen- dekatan studi kasus yang bertujuan untuk mengetahui proses adaptasi sosial antar umat beragama di kecamatan Ladongi. Informan dalam penelitian ini yaitu, masyarakat dan tokoh dari masing-masing agama, yakni Islam, Kristen, dan Hindu, pemerintah setempat, serta orang yang mengetahui sejarah keberagaman agama di kecamatan Ladongi. Teknik pengumpulan data yaitu dengan cara observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian mengatakan bahwa awal mula munculnya keberagaman agama di kecamatan Ladongi yaitu agama Islam dan Kristen sudah ada sejak masa Kerajaan Mekongga. Kemudian pada tahun 1972 agama Hindu mulai masuk serta agama Islam dan Kristen semakin bertambah populasinya melalui program transmigrasi. Proses adaptasi antar penganut agama dilakukan dengan kesadaran untuk saling menghargai satu sama lain. Selain itu terjadi pula perkawinan silang antar agama yang membuat hubungan antar umat beragama semakin harmonis.

Kata Kunci: Adaptasi Sosial, Umat Beragama.

ABSTRACT

ixiv

Niar Linggaeni. 2021. Social Adaptation of Religious People in East (Study of Muslims, Christians and Hindus in Ladongi District). Essay. Faculty of Teacher Training and Education. Muhammadiyah University of Makassar. Supervised by Advisor I Muhammad Nawir and mentor II Risfaisal This study observes and describes the social adaptation carried out by reli- gious communities in Ladongi sub-district, East Kolaka Regency. The purpose of this study aims to determine (1) the origin of the emergence of religious diversity in Ladongi sub-district, (2) the process of social adaptation between religious communities in Ladongi sub-district. This type of research is qualitative research with a case study approach which aims to determine the social adaptation process between religious commu- nities in Ladongi sub-district. The informants in this study are the community and figures from each religion, namely Islam, Christianity and Hinduism, the local government, as well as people who know the history of religious diversity in Ladongi sub-district. Data collection techniques are by means of observation, interviews, and documentation. The results show that the origin of the emergence of religious diversity in Ladongi sub-district, namely Islam and Christianity, has existed since the days of the Mekongga Kingdom. Then in 1972 Hinduism began to enter and Islam and Christianity increased in population through the transmigration program. The adaptation process between religious adherents is carried out with the awareness of respecting one another. Apart from that, inter-religious intermarriage occurred which made the relationship between religious communities more harmonious.

Keywords: Social Adaptation, Religious People.

ixv

1

KATA PENGANTAR

بِ ْس ِم ه َِّللا ال هر ْح َم ِن ال هر ِحي ِم

Allah Maha Penyayang dan Pengasih, demikian kata untuk mewakili atas segala karunia dan nikmat-Nya. Jiwa ini takkan henti bertahmid atas anugerah pada detik waktu, denyut jantung, gerak langkah, serta pada-Mu, Sang Khalik.

Skripsi ini adalah setitik dari sederetan berkah-Mu.

Setiap orang dalam berkarya selalu mencari kesempurnaan, tetapi terkadang kesempurnaan itu terasa jauh dari kehidupan seseorang. Kesempurnaan bagaikan fatamorgana yang semakin dikejar semain menghilang dari pandangan, bagai pelangi yang terlihat indah dari kejauhan, tetapi menghilang jika didekati.

Demikian juga tulisan ini, kehendak hati ingin mencapai kesempurnaan, tetapi kapasitas penulis dalam keterbatasan. Segala daya dan upaya telah penulis kerahkan untuk membuat tulisan ini selesai dengan baik dan bermanfaat dalam dunia pendidikan, khususnya dalam ruang lingkup Fkultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar.

Motivasi dari berbagai pihak sangat membantu dalam perampungan tulisan ini. Segala rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua Jaja dan Yani Admini yang telah berjuang, berdoa, mengasuh, membesarkan, mendidik, dan membiayai penulis dalam proses pencarian ilmu.

Demikian pula, penulis mengucapkan kepada para keluarga dan kerabat yang tidak hentinya memberikan motivasi dan selalu menemaniku dengan candaannya, kepada Dr. Muhammad Nawir, M.Pd, dan Risfaisal, S.Pd.,M.Pd. pembimbing I

2

dan pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan, arahan serta motivasi sejak awal penyusunan proposal hingga selesainya skripsi ini.

Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih kepada; Ketua Program

Studi Pendidikan Sosiologi, Dr. H. Nurdin, M.Si., Sekertaris Jurusan Pendidikan

Sosiologi, Kaharuddin, S.Pd.,M.Pd.,Ph.D, serta seluruh dosen dan para staf pegawai dalam lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas

Muhammadiyah Makassar yang telah membekali penulis dengan serangkaian ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritikan dan saran dari berbagai pihak, selama saran dan kritikan tersebut sifatnya membangun karena penulis yakin bahwa suatu persoalan tidak akan berarti sama sekali tanpa adanya kritikan. Mudah-mudahan dapat memberi manfaat bagi para pembaca, terutama bagi diri pribadi penulis. Amin.

Makassar, Februari 2021

Penulis

3

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...... i

HALAMAN JUDUL ...... ii

LEMBAR PENGESAHAN ...... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...... v

SURAT PERNYATAAN ...... vi

SURAT PERJANJIAN ...... vii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...... viii

ABSTRAK ...... ix

KATA PENGANTAR ...... x

DAFTAR ISI ...... xi

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Rumusan Masalah ...... 5 C. Tujuan Penelitian ...... 5 D. Manfaat Penelitian ...... 5 E. Definisi Operasional ...... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...... 8 A. Kajian Konsep ...... 8 B. Kajian Teori ...... 22 C. Penelitian Terdahulu ...... 24 D. Kerangka Pikir ...... 27

BAB III METODE PENELITIAN ...... 29 A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ...... 29 B. Lokasi dan Waktu Penelitian ...... 29 C. Fokus Penelitian ...... 30 D. Informan Penelitian...... 30

4

E. Jenis dan Sumber Data ...... 30 F. Instrumen Penelitian ...... 31 G. Teknik Pengumpulan Data...... 32 H. Teknik Analisis Data ...... 33 I. Teknik Keabsahan Data ...... 33

BAB IV DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN DAN DESKRIPSI KHUSUS LOKASI PENELITIAN ...... 36 A. Deskripsi Umum Daerah Penelitian ...... 36 B. Deskripsi Khusus Lokasi Penelitian ...... 42

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...... 50 A. Hasil Penelitian ...... 50 1. Awal Mula Munculnya Keberagaman Agama di Kecamatan Ladongi ...... 50 2. Proses Adaptasi Sosial Antar Umat Bergama di Kecamatan Ladongi ...... 54 B. Pembahasan ...... 63

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ...... 67 A. Simpulan ...... 67 B. Saran ...... 68

DAFTAR PUSTAKA ...... 69

LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa merupakan bangsa yang majemuk dan multikultural baik suku, bahasa, adat istiadat serta agama. Dalam perspektif sosiologis, agama merupakan suatu sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam tindakan-tindakan tertentu. Agama sangat erat kaitannya dengan pengalaman hidup manusia sebagai seorang individu atau bagian dari suatu kelompok. Sehingga perilaku yang di- perankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang di- anutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya.

Agama menjadi kebutuhan yang mendasar bagi eksistensi manusia dalam kehidupannya. Seperti yang dikemukakan oleh Raimundo Panikkar, ekspresi keagamaan seseorang dibedakan menjadi tiga yaitu; eksklusifisme, inklusifisme, dan pluralisme. Dengan adanya pemahaman inilah sehingga pluralitas keberaga- maan dapat diterima, dan dengan menggunakan paradigma pluralisme, maka hal- hal negatif yang dapat memicu konflik tidak akan terjadi. Pluralitas merupakan realitas yang tidak bisa ditolak maupun dihilangkan. Keadaan ini membawa pada suatu konsekuensi logis dalam kehidupan beragama, yakni untuk hidup berdamp- ingan dalam perbedaan keyakinan. Berdasarkan hal itu, dapat diketahui bahwa dalam diri manusia terdapat suatu kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap perbedaan yang dihadapinya.

1

2

Selain itu, pluralitas agama ini juga berpotensi memicu terjadinya konflik.

Akhir-akhir ini pemahaman tentang sikap toleransi antar umat beragama mengalami pergeseran, hal ini ditandai dengan banyaknya konflik yang bernuansa agama yang terjadi di wilayah Indonesia. Tentu ini merupakan tantangan bersama baik itu pemerintah, masyarakat maupun para tokoh lintas agama dalam meredam potensi konflik beragama tersebut. Maka sebagai bangsa yang mejemuk dan beragam diperlukan proses adaptasi sosial yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam perspektif dimensi agama, setiap ajaran agama mengandung klaim kebenaran yang bersifat universal yang artinya agama tersebut memiliki nilai masing-masing. Pluralitas agama merupakan tantangan bagi agama-agama. Ada beberapa pertimbangan sebagai acuan akan arti pentingnya pencarian titik temu antar agama. Pertama, ketika keanekaragaman agama belum dipahami sepenuhnya oleh umat beragama, maka yang muncul ke permukaan adalah sikap eksklusifisme beragama, yang merasa ajaran yang dipeluknya adalah yang paling benar. Kedua, di tengah pluralisme agama ini, hanya pemeluk agama tertentu yang bersikap eksklusif dan masih cenderung memonopoli kebenaran agama karena tanpa adanya klaim tersebut penganut agama tidak dapat mewujudkan pengamalan agama yang betul-betul dan istiqamah.

Hubungan ini dapat dilihat pada kehidupan antar umat beragama di

Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka Timur di mana terdapat beberapa agama yaitu agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Khatolik, dan Hindu. Di mana agama Islam menjadi agama mayoritas dengan jumlah penganutnya sekitar 15.331

3

orang, kemudian berikutnya yaitu agama Hindu dengan jumla penganutnya sekitar

2.239 orang, Kristen Protestan sekitar 372 orang dan yang menjadi agama minoritas yani Kristen Khatolik dengan penganutnya sekitar 132 orang. Dalam kesehariannya masyarakat di Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka Timur tidak pernah terjadi konflik meskipun penganut agama yang berbeda hidup berdampingan dalam suatu wilayah yang sama. Tempat beribadah antara ketiga agama ini bisa saling berdekatan, sehingga antar penganut agama dapat mendengar saat ritual-ritual keagamaan dilaksanakan. Seperti saat adzan berkumandang di masjid penganut agama lain bisa mendengarnya ketika berada di tempat ibadah mereka, begitu pula ketika di gereja dan di pura diadakan kegiatan maka akan terdengar oleh masyarakat yang sedang berada di masjid. Hal ini juga terjadi saat hari perayaan tiba di mana ketika hari raya Idul Fitri masyarakat

Muslim melakukan kegiatan takbiran di malam hari, penganut agama lain dapat memaklumi hal tersebut, walaupun kita ketahui takbiran biasanya dilakukan semalaman suntuk. Begitu pula saat umat Kristen sedang merayakan hari raya

Natal dan umat Hindu merayakan hari raya Galungan. Hal ini menujukkan bahwa agama mayoritas tidak bersikap diskriminatif terhadap agama minoritas yang ada di kecamatan Ladongi, baik mayorita maupun minoritas dapat saling menghargai satu sama lain.

Suatu proses sosial terbentuk dari adaptasi sosial yang dalam hal ini adalah adaptasi yang terjadi antara berbagai individu yang di dalamnya terdapat standar

Norma sosial yang telah disepakati bersama. Sehingga pada masyarakat di

Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka Timur terjalin suatu pola adaptasi yang

4

baik dan harmonis serta tercipta kerukunan antar umat beragama. Adaptasi sosial dapat terjalin melalui beberapa ikatan seperti misalnya hubungan pernikahan di mana dua orang yang berbeda agama dipersatukan dalam tali pernikahan, kemudian bisa juga melalui hubungan pekerjaan jika yang berbeda agama bekerja dalam satu tempat yang sama, dan masih banyak lagi pengikat-pengikat yang dapat terjalin antar umat beragama.

Walaupun kehidupan antar masyarakat berbeda agama di Kecamatan

Ladongi Kabupaten Kolaka Timur terjalin dengan rukun, bukan berarti hal ini tidak dapat dijadikan sebagai suatu fenomena, justru dengan kerukunan inilah menjadikannya fenomena yang unik untuk kita mencari tahu apa yang menjadi penyebab dari keharmonisan tersebut sehingga di antara penganut agama yang berbeda tidak terjadi konflik. Hal ini dapat kita ketahui dengan cara melihat pola adaptasi yang dilakukan masyarakat dari berbagai bidang, baik itu bidang ekonomi (kerjaan), di mana memungkinkan terjadinya kerjasama atau persaingan usaha antara masyarakat yang berbeda agama yang mengarah pada disharmonisai bertaraf mikro. Selain bidang ekonomi, kita juga dapat melihat pola adaptasi dari hubungan sosial (kemasyarakatan), di mana terdapat hubungan pernikahan, kekeluargaan atau kekerabatan antar masyarakat yang menganut agama Islam,

Kristen, dan Hindu di Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka Timur.

Latar belakang diatas merupakan dasar bagi peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Adaptasi Sosial Umat Beragama di Kabupaten Kolaka

Timur (Studi Umat Islam, Kristen, dan Hindu di Kecamatan Ladongi)”.

5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana awal mula munculnya keberagaman agama di Kecamatan

Ladongi Kabupaten Kolaka Timur?

2. Bagaimana proses adaptasi sosial antar umat beragama di Kecamatan

Ladongi Kabupaten Kolaka Timur?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah di atas maka tujuan dari Penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana awal mula munculnya keberagaman agama di

Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka Timur?

2. Untuk mengetahui proses adaptasi sosial antar umat bergama di Kecamatan

Ladongi Kabupaten Kolaka Timur?

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambaan khazanah keilmuan baik bagi peneliti pada khususnya maupun bagi masyarakat luas pada umumnya. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap pengembangan kajian mengenai adaptasi sosial, terutama dalam

6

hal adaptasi sosial antar penganut agama yang berbeda dalam hal ini agama Islam,

Kristen, dan Hindu.

2. Manfaat Praktis a. Bagi masyarakat umum, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan

masukan dan wawasan tentang adaptasi sosial antar umat agama yang berbeda b. Bagi pemerintah Kecamatan Ladongi atau pihak-pihak yang berkepentingan,

hendaknya hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan sekaligus referensi untuk

mencermati berbagai sisi kehidupan sosial masyarakat yang dapat mengarah

pada terjadinya adaptasi sosial antar umat beragama. c. Bagi Universitas Muhammadiyah Makassar, hasil penelitian ini diharapkan

dapat menambah koleksi bacaan sehingga dapat dimanfaatkan dalam rangka

pengembangan dunia pendidikan.

E. Definisi Operasional

1. Pengertian Adaptasi Sosial

Adaptasi adalah proses penyesuaian diri terhadap lingkungan dan keadaan sekitar. Adaptasi sosial berarti proses perubahan dan akibatnya pada seseorang dalam suatu kelompok sosial sehingga orang itu dapat hidup atau berfungsi lebih baik di lingkungannya.

2. Umat Islam

Umat Islam adalah manusia yang memeluk agama Islam, agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Yang berpedoman pada kitab suci Al-

Qur'an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah Swt.

7

3. Umat Kristen

Adalah manusia yang menganut agama Kristen yang merupakan agama

Abrahamik monoteistik berasaskan riwayat hidup dan ajaran Yesus Kristus, yang merupakan inti sari agama ini.

4. Umat Hindu

Umat Hindu merupakan manusia yang memeluk agama Hindu yang mengandung aneka ragam tradisi. Umat Hindu terbagi atas berbagai aliran, diantaranya Saiwa, Waisnawa, dan Sakta serta suatu pandangan hukum luas akan hukum dan aturan berdasarkan pada karma, darma, dan norma.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Konsep

1. Konsep Adaptasi Sosial

Adaptasi adalah sesuatu yang sudah tidak asing lagi bagi suatu masyarakat, di mana ada kehidupan masyarakat di situ pula lah kita bisa melihat adanya suatu adaptasi, adaptasi merupakan suatu proses penyesuaian diri terhadap keadaan sekitar tempat tinggal, baik itu keadaan masyarakatnya maupun keadaan lingkungannya.

Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi Gerungan (1991:55). Adaptasi merupakan penyesuaian yang dilakukan seseorang dengan mengubah dirinya sesuai dengan keadaan lingkungannya, atau sebaliknya, dia mengubah lingkungan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan keinginan dirinya.

Adaptasi mempunyai dua arti, yang pertama disebut penyesuaian diri yang autoplastis (auto artinya sendiri, plastis artinya bentuk), sedangkan pengertian yang kedua disebut penyesuaian diri yang alloplastis (allo artinya yang lain, plastis artinya bentuk). Jadi adaptasi ada yang artinya pasif yang mana kegiatan pribadi ditentukan oleh lingkungan, dan yang artinya aktif berarti pribadi

8

9

mempengaruhi lingkungan Sapoetra (1987:50). Adaptasi memiliki dua arti yaitu pasif dan aktif, adaptasi yang pasif adalah proses lingkungan mempengaruhi individu, sedangkan adaptasi yang aktif adalah proses individu mempengaruhi lingkungannya.

Adaptasi merupakan suatu konsep mengenai pembiasaan atau penyesuaian diri. Dalam kamus ilmiah popular adaptasi merupakan proses penyesuaian diri terhadap suatu lingkungan dan kondisi lingkungan tersebut. Sedangkan menurut pendapat William A. Haviland dalam (Watif, 1993:26), adaptasi adalah proses penyesuaian interaksi karena perubahan yang ditimbulkan antara lingkungan dan organisme. Dengan adanya adaptasi, individu bisa menyesuaikan interaksi yang dilakukannya dengan perubahan lingkungannya tersebut.

Dalam proses kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, individu tidak dapat begitu saja untuk melakukan tindakan yang dianggap sesuai dengan dirinya, karena individu tersebut mempunyai lingkungan di luar dirinya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Dan lingkungan ini mempunyai aturan dan norma-norma yang membatasi tingkah laku individu tersebut, terlebih dalam kehidupan masyarakat luas.

Proses penyesuaian yang dilakukan antara individu dengan lingkungan fisiknya disebut sebagai suatu adaptasi, sedangkan proses penyesuaian antara individu dengan lingkungan sosialnya dikenal dengan sebutan “adjustment”.

Proses adaptasi meliputi hal-hal fisik, seperti seseorang yang melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan sekitarnya, tingkah lakunya tidak saja harus

10

menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik, tetapi juga dengan lingkungan sosialnya (adjustment).

Adaptasi sosial menurut Soekanto (2007:28), adalah proses penyesuaian dari individu, kelompok, maupun unit sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun kondisi yang diciptakan. Suparlan (1993:46) menegatakan bahwa adaptasi pada hakekatnya merupakan suaut proses untuk memenuhi syarat- syarat dasar untuk tetap melangsungkan kehidupan, yang termasuk dalam syarat- syarat dasar adalah syarat dasar kejiwaan, dan syarat dasar sosial. Syarat dasar kejiwaan meliputi perasaan tenang yang jauh dari perasaan takut, keterpencilan dan gelisah. Sedangkan yang meliputi syarat dasar sosial adalah hubungan untuk dapat belajar mengenai kebudayaan lainnya yang berasal dari lingkungan sekitar.

Definisi lainnya tentang adaptasi sosial dikemukakan oleh Soekanto

(2000:29) yang mengatakan bahwa adaptasi sosial merupakan proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan, proses penyesuaian terhadap norma-norma, proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah, proses mengubah diri agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan, dan proses memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem serta proses penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah. Adaptasi membantu indidvidu dalam mengatasi masalah yang dihadapinya di lingkungan baru tempat tinggalnya.

Sears (1985:33) mengatakan bahwa pada dasarnya manusia menyesuaikan diri karena ingin diterima secara sosial menghindari celaan. Dalam suatu lingkungan yang baru, tentunya terdapat nilai-nilai atau norma yang dipakai dalam

11

hubungan antar individu, ketidak mampuan individu dalam memahami dan melakukan apa yang menjadi nilai atau norma tersebut tentunya akan mengakibatkan penolakan secara sosial bagi individu tersebut. Adaptasi dilakukan agar individu dapat diterima dengan baik di lingkungan barunya, juga agar individu tersebut bisa menerima keadaan lingkungan barunya.

Dari penjelasan-penjelasan yang dikemukakan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan sesuatu yang sangat penting dilakukan karena sangat berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari manusia, manusia dapat hidup dan berkembang di suatu lingkungan jika melakukan adaptasi. Ketika melakukan proses adaptasi ada dua hal yang akan terjadi, yaitu individu dipengaruhi oleh lingkungan atau sebaiknya individu yang mempengaruhi lingkungan.

Di manapun di dunia ini setiap organisme baik itu manusia, hewan, maupun tumbuhan selau mengadaptasikan dirinya pada keadaan lingkungan tempatnya berada, agar dapat hidup dengan kesesuaian antara proses alam dan pertumbuhan dirinya. Begitu pula dengan masyarakat yang tinggal atau hidup di daerah yang memiliki perbedaan agama, mereka harus bisa menyesuaikan diri dan berbaur dengan masyarakat lainnya tanpa melihat perbedaan itu agar tercipta masyarakat yang bersatu. Dengan menanamkan sikap tersebut, masyarakat akan dengan mudah melakukan interaksi satu sama lainnya dengan tidak meninggakan ajaran agamnya tetapi juga tetap menjalankan fitrah sebagai makhluk sosial.

Pertemuan-pertemuan secara simbolik semata tidak akan menciptakan suatu pergaulan hidup antara mereka, agar dapat dikatakan membaur dan

12

menyesuaikan diri, mereka harus melaukan interaksi sosial satu sama lain baik itu antara individu dan individu, individu dengan kelompok, maupun antara kelompok dengan kelompok.

Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok maupun unit sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang diciptakan, proses interaksi antara perubahan yang ditimbulkan oleh lingkungannya. a. Tahapan Adapasi Sosial Oberg (1960:44) menyatakan bahwa ada empat tahapan dalam proses adaptasi yaitu Honeymoon, Culture Shock, Recovery, dan Adjusment.

1) Tahapan honeymoon ditandai dengan perasaan terpesona, antusias, senang,

adanya hubungan yang baik dengan orang sekitar. Tahapan bulan madu juga

dapat dikatakan sebagai pengalaman menjadi pengunjung. Apabila seorang

individu berada di suatu daerah yang memiliki kebudayaan yang berbeda

dalam waktu yang relatif singkat maka yang tersisa dalam kenangan adalah

berbagai hal menyenangkan yang ditemui di tempat baru. Sebaliknya bila

inidividu yang masih tinggal lebih lama mulai merasakan suasana hati

menurun karena mulai mengalami masalah yang muncul karena perbedaan

budaya.

2) Tahapan culture shock merupakan tahapan di mana terdapat bermacam-

macam kesulitan untuk dapat hidup di tempat yang baru, tidak dapat

mengekspresikan perasaannya dalam bahasa lisan yang benar, kesulitan

13

dalam bergaul karena persoalan bahasa, adanya nilai-nilai yang berbenturan

dengan kepercayaan atau kebiasaan yang dianut.

3) Tahapan recovery atau tahapan penyembuhan merupakan tahapan pemecahan

dari krisis yang dihadapi pada tahapan cultuer shock. Pada tahapan ini,

individu sudah membuka jalan dengan lingkungan yang baru, mulai

bersahabat dengan lingkungan yang baru dan sudah mulai menguasai bahasa

serta budaya yang baru. Kondisi individu pada tahapan ini sudah memperoleh

keterampilan yang diperlukan untuk bertindak secara efektif sehingga

perasaan tidak puas mulai luntur, pada tahapan ini individu juga mulai

memperoleh pengetahuan mengenai budaya pada lingkungan baru dan

muncul sikap positif terhadap individu yang berasal dari lingkungan baru.

4) Tahapan adjusment merupakan tahapan dimana individu mulai menikmati

dan menerima lingkungan atau budaya yang baru meskipun masih mengalami

sedikit ketegangan dan kecemasan. Pada tahapan adjusment terjadi proses

integrasi dari hal-hal lama yang sudah dimiliki individu. Penyesuaian diri

pada suatu tempat atau lingkungan yang menurutnya bagi dipandang sebagai

suatu hal yang baru.

Selain itu adaptasi juga memiliki pengertian sebuah penyesuaian diri dalam mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi juga mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan diri) Gerungan (1996:46).

Pengertian lain menurut Heerdjan (1987:21) yang mengatakan bahwa penyesuaian diri adalah usaha atau perilaku yang tujuannya mengatasi kesulitan dan juga hambatan, adaptasi bisa dikatakan juga sebagai respon yang terjadi pada

14

tingkatan stress, dilakukan sebagai suatu perbaikan yang dapat mengubah lingkungan internal, dalam adaptasi juga bisa termasuk di dalamnya penstabilan biologis internal dan juga psikologis lainnya. Namun dalam hal ini juga dipandang sebagai sesuatu yang positif.

Di dalam suatu adaptasi juga terdapat yang namanya urutan elemen, di mana elemen tersebut menurut Roy (1969:66) di antaranya :

1) Lingkungan, dalam penggambaran lingkungan ini merupakan suatu input

dalam psikologi sosial yang bisa dikatakan jauh lebih luas dan adaptif, namun

jika didefinisikan juga bisa dikatakan sebaagi suatu kondisi ataupun suatu

keadaan di dalamnya dapat mempengaruhi suatu keadaan, dalam suatu

kondisi, keadaan yang dapat mempengaruhi perkembangan dan juga perilaku

manusia.

2) Manusia, manusia merupakan sebuah sistem adaptif, di mana di dalamnya

dapat digambarkan secara holistik dan bisa dilakukan sebagai suatu kesatuan

yang memiliki input, kontrol, output dan juga proses umpan balik. Di

dalamnya juga terdapat proses kontrol yang didefinisikan pada sebuah sistem

adaptif dengan sebuah aktivitas kognator dan juga dalam mempertahankan

adaptasi tersebut.

3) Kesehatan, secara tidak langsung yang namanya kesehatan dapat

mempengaruhi kondisi yang dapat digunakan sebagai kelengkapan hubungan

adaptasi/sebuah adaptasi yang bebas juga dapat mengizinkan manusia

melakukan respons pada stimulus yang lain.

15

Selain dari berbagai elemen tersebut ada pula yang dinamakan dengan faktor yang mempengaruhi adaptasi dalam psikologi, diantaranya:

1) Faktor orientasi pada tugas, hal tersebut bisa dikatakan sebagai koping yang

bisa dipakai sebagai cara untuk mengatasi sebuah masalah yang dilakukan

dengan sebuah proses penyelesaian, dalam hal ini bisa termasuk di dalamnya

hal efektif atau perasaan, kognitif dan juga psikomotor. Dalam suatu reaksi ini

memiliki cara bisa dilakukan dengan melakukan komunikasi yang baik

mengenai permasalahan tersebut. Dalam hal ini termasuk sebuah cara untuk

mencari jalan keluar mengenai suatu keadaan yang dapat dilakukan dengan

kekuatan.

2) Faktor orientasi pada ego, dalam hal ini adaptasi bisa dikatakan sebagai cara

untuk melakukan pertahanan diri secara psikologis, di mana dengan

melakukan hal tersebut dengan tujuan agar tidak menganggu jenis psikologis

lainnya.

3) Kondisi fisik, hal ini juga bisa mempengaruhi dari proses adaptasi secara

psikologis, karena jika seseorang memiliki kondisi fisik yang baik, tentu orang

tersebut akan jauh lebih mudah untuk melakukan adaptasi, namun sebaliknya

jika seseorang tersebut memiliki kondisi fisik yang kurang baik, tentu hal

tersebut akan sangat mengganggu bahkan memperlambat dari proses adaptasi.

4) Kepribadian, hal ini tentu memiliki peranan yang cukup krusial dalam

melakukan proses adaptasi, karena di dalam kepribadian seseorang tentu

memiliki sifat dan juga kebiasaan yang berbeda-beda. Orang tersebut juga

16

memiliki kemampuan adaptasi yang tentunya berbeda-beda, dan akan sangat

mempengaruhi dari cepat atau lambatnya dalam melakukan adaptasi.

5) Proses belajar, segala hal sesuatu dimanapun tentunya bisa dilakukan dengan

melakukan rentetan proses belajar, jika kita sebagai manusia bisa melalui

proses belajar tersebut dengan baik, tentu akan terlihat lebih mudah untuk

melakukan adaptasi, namun sebaliknya jika kita tidak mampu untuk

menyelesaikan proses belajar tersebut malah akan sangat berpengaruh pada

proses belajar kita sendiri.

Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tahapan adaptasi merupakan proses penyesuaian secara sadar yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok terhadap kondisi pada lingkungannya.

b. Strategi Adaptasi

Dalam kamus lengkap Indonesia, strategi berarti cara siasat atau teknik perang Ali dan Deli, (1997:16). Strategi adaptasi (Adaptive Strategy) secara umum merupakan sebuah rencana tindakan yang akan dilakukan seseorang secara sadar maupun tidak sadar, yang dilakukannya sebagai bentuk tindakan dalam merespon berbagai situasi dan kondisi internal atau eksternal. Sedangkan menurut

Marzali (2003:26), dalam bukunya menjelaskan strategi adaptasi secara luas, ia menjelaskan bahwa strategi adaptasi merupakan tindakan seseorang dalam menempatkan kemampuan yang mereka miliki untuk menyelesaikan masalah yang dialami sebagai pilihan tindakan yang tepat yang sesuai dengan lingkungan sosial, budaya, ekonomi, dan ekologi di tempat mereka hidup.

17

Smith (1986:57), mengemukakan konsep strategi adaptasi mengarah pada rencana tindakan pada kurun waktu tertentu, oleh suatu kelompok tertentu atau keseluruhan manusia sebagai upaya dalam langkah-langkah dengan kemampuan yang ada di dalam dan di luar. Strategi mempunyai tingkatan pelaku pada suatu kondisi sosial. Pelaku-pelaku tersebut setidaknya harus mempunyai semacam pernyataan tentang apa yang dipikirkan, apa yang direncanakan dan apa yang dilakukan. Suatu individu atau masyarakat yang mendiami daerah baru harus dapat cepat tanggap terhadap keadaan yang terjadi dan harus mampu menyusun strategi agar dapat dengan mudah merespon berbagai kondisi yang terjadi di lingkungan yang baru di tempati.

Adaptasi diartikan sebagai kapasitas individu untuk mengatasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pada umumnya proses tingkah laku yang didasarkan faktor-faktor psikologis untuk melakukan antisipasi kemampuan melihat tuntutan di masa yang akan datang. Dengan demikian adaptasi merupakan tingkah laku yang melibatkan perencanaan agar dapat mengantisipasi suatu peristiwa di masa yang akan datang. Pengertian adaptasi sering dibaurkan dengan pengertian penyesuaian.

Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungannya.

Individu memiliki hubungan dengan lingkungannya yang menggiatkannya, merangsang perkembangannya, atau memberikan sesuatu yang ia perlukan.

Adaptasi merupakan suatu respon pada situasi, sedangkan penyesuaian merupakan perubahan stimulus itu sendiri. Strategi merupakan suatu proses memenuhi syarat untuk dapat melangsungkan hidup dengan memenuhi kebutuhan fungsional

18

berupa sistem menjamin kebutuhannya dari lingkungan dan mendistribusikan sumber-sumber dalam masyarakat. Maka dengan demikian Strategi adaptasi dapat diartikan sebagai bentuk penyesuaian yang dilakukan oleh seseorang terhadap lingkungannya.

2. Konsep Agama

Sebagai manusia kita pastinya sudah tidak asing lagi dengan kata agama, sejak lahir agama sudah melekat pada diri manusia. Agama merupakan suatu pandangan atau sebuah ketentuan dalam menjalankan hidup sebagai ciptaan tuhan. Setiap agama memberikan pedoman bagi penganutnya dalam menjalankan kehidupan di bumi. Agama juga bisa memberikan ketenangan jiwa bagi mereka yang mengamalkan aturan-aturan yang sudah ditetapkan dengan keimanan yang seutuhnya.

Agama, secara arti kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah suatu sistem yang mengatur tata keimanan serta peribadatan kepada Tuhan

Yang Maha Kuasa serta aturan atau tata kaidah yang memiliki hubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia, manusia dengan Penciptanya serta manusia dengan lingkungannya. Kata "agama" merupakan bahasa yang berasal dari bahasa

Sansekerta berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini ialah religi yang berasal dari bahasa Latin religio serta berakar pada kata kerja re- ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang telah mengikat dirinya kepada Tuhan. Agama mengatur manusia untuk bagaimana

19

berinteraksi antar sesama manusia ataupun dengan mahluk ciptaan tuhan yang lainnya.

Agama adalah suatu aturan terorganisir yang terdiri dari kepercayaan, sistem budaya, serta pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan. Beragam agama memiliki catatan, simbol, dan kesucian yang mana digunakan untuk menjelaskan makna dari hidup itu sendiri dan menjelaskan asal usul kehidupan, manusia di masa yang lalu ataupun terciptanya alam semesta. Dari keyakinan mereka tentang kosmos dan sifat manusia, setiap orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup yang disukai.

Agama berfungsi sebagai sumber kehidupan untuk individu maupun kelompok, untuk menjalin hubungan antar manusia dengan tuhan maupun manusia dengan manusia, serta penunjuk antara benar dan salah. Menurut Nata

(2008:14) ada tiga alasan manusia memerlukan agama, yaitu : a. Fitrah sebagai manusia, ialah bahwa setiap manusia membutuhkan agama

sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupannya. b. Manusia makhluk yang lemah, manusia memiliki keterbatasan dalam

menentukan hal-hal di luar pemikiran dan akalnya, sehingga agama hadir

sebagai sumber segala pengetahuan, tempat manusia mencari jawaban dari

persoalan-persialan yang terjadi di luar pemikiran mereka. c. Adanya tantangan hidup sebagai manusia. Manusia dalam menjalani

kehidupannya tidak pernah luput dari tantangan dan permasalahan, baik itu di

dalam keluarga maupun di lingkungan masyarakat atau bahkan tantangan

20

terhadap dirinya sendiri, tantangan ini juga dapat berupa hawa nafsu yang

terkadang menggelapkan mata dan pikiran manusia, oleh karenanya agama

diperlukan sebagai pengingan manusia terhadap penciptanya.

Salah satu cita-cita dari pembangunan agama adalah agar terciptanya suatu kesejahteraan di dalam masyarakat. Selain itu, agama juga mengharapkan agar penganutnya dapat hidup berdampingan dengan aman dan damai. Itu lah yang dimaksud dengan Pluralisme agama, di mana antara penganut agama yang berbeda dapat hidup berdampingan dan menjain interaksi dengan segala perbedaan yang ada di antara mereka. Selain itu, mereka juga diharapkan dapat menerima keberadaan agama lain dan menghormati hak-hak dan kewajiban setiap pemeluk agama yang berbeda agar tercipta suatu masyarakat yang harmonis dalam keberagaman.

Dalam perspektif sosiologi agama, secara terminology, pluralisme merupakan sutau sikap menerima dan mengakui keberagaman agama yang diyakini sebagai rahmat tuhan kepada manusia. Secara sosiologis, pluralisme agama merupakan keberagaman dan adanya perbedaan-perbedaan agama.

Setiap agama di seluruh dunia pada dasarnya memerintakan kepada pemeluknya agar dapat menjalankan kehidupan yang rukun dan damai terhadap sesama makhluk hidup meskipun berbeda agama yang dianutnya. Namun sering kali diartikan dengan sempit oleh penganutnya sehingga menimbulkan konflik antar masyarakat. Selain itu, sikap fanatisme yang berlebihan terhadap agama yang dianutnya seringkali mengakibatkan ketidak harmonisan antar pemeluk agama yang berbeda, bahkan terhadap sesama kelompok agama Suhanah (2005:1)

21

Sebagai pemeluk agama, kita harus menerima kemajemukan tersebut dengan meyakini bahwa agama kita adalah jalan keselamatan yang paing benar dan menerima bahwa penganut agama lain juga memiliki jalan keselamatan yang paling benar. Dari sikap inilah akan lahir toleransi dan saling menghargai antar penganut agama berbeda.

Toleransi yang sesungguhnya yaitu sikap menerima dari hati nurani masing-masing individu yang terlibat di dalamnya. Tumbuh dan berkembangnya kesadaran manusia dalam bertoleransi harus diupayaan semaksimal mungkin, dengan dibangun dan dibina secara bertahap melaui pendekatan-pendekatan yang menekankan pada pendekatan etika, kebudayaan, akhlak, dan humanis daripada menggunakan pendekat strukturan dan politis.

Masyarakat yang hidup dengan keyakinan atau kepercayaan akan menjadi sumber bagi nilai pembangunan, baik itu untuk mencapai kebahagiaan hidup, kebahagiaan batiniah dan lahiriah yang berasal dari sang pencipta, dengan adanya agama diharapkan dapat membangun peradaban manusia yang seutuhnya dan dapat membangun masyarakat dengan kebudayaan, agama, dan membangun kebahagiaan manusia sekitarnya.

Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri

Nomor: 9 Tahun 2006 dan Nomor: 8 Tahun 2006. Tentang Pedoman Pelaksanaan

Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan

Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan

Pendirian Rumah Ibadat pada Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa Kerukunan umat beragama adalah keadaan-keadaan hubungan sesama umat beragama yang

22

dilandasi toleransi saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945. Dan pada ayat (2) dikatakan pula

Pemeliharaan kerukunan umat beragama merupakan upaya bersama antar umat beragama dan pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan umat beragama.

B. Kajian Teori

1. Teori Adaptasi

Pierre Bourdieu adalah tokoh dari teori adaptasi ini, menurutnya habitus adalah struktur mental atau kognitif yang dapat membantu seseorang untuk berhubungan dengan lingkungan sosilanya. Manusia diberikan serangkaian gambaran terinternalisasi yang akan mereka gunakan untuk mengartikan, memahami, menilai, dan mengevaluasi dunia sosial. Dengan skema ini seseorang dapat menghasilkan praktik mereka, mengartikan dan mengevaluasinya. Dari segi bahasa, habitus merupakan hasil dari penanaman struktur dunia sosial. Atau dengan kata lain kita bisa mengartikan habitus sebagai akal sehat (common sense).

Habitus merupakan akibat dari tinggalnya seseorang pada daerah di dunia sosial untuk jangka waktu yang lama. Dengan demikian habitus ini bervariasi tergantung pada keadaan daerah yang di tempati seseorang tersebut. Jadi tidak semua orang memiliki habitus yang sama, namun mereka yang tinggal di daerah dengan keadaan yang sama cenderung memiliki habitus yang sama pula. Habitus

23

memungkinkan seseorang untuk memahami dunia sosial, namun dengan keberagaman habitus berarti bahwa dunia sosial dan strukturnya tidak menanamkan dirinya secara seragam pada setiap orang (Diana, 2017).

Alasan peneliti mengambil teori ini yaitu karena teori ini membahas mengenai adaptasi sebagai akibat dari ditempatinya suatu daerah atau keadaan dalam waktu yang lama ini sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti yaitu tentang adaptasi sosial antar penganut agama Islam, Kristen, dan Hindu di kecamatan Ladongi kabupaten Kolaka Timur.

2. Teori Tindakan Komunikasi

Dalam buku The Theory of Communicative Action, Hebermas menjelaskan bahwa masyarakat merupakan mahkluk yang komunikatif, dan perubahan yang dilalui oleh manusia bukanlah semata-mata dorongan dari produksi dan teknologi.

Teknologi dan faktor objektif lainnya hanya bisa mengubah masyarakat, apabila masyarakat tersebut menanamkannya ke dalam tindakan komunikasi yang memiliki “logikanya Sendiri”. Habermas mengandaikan pada kegiatan komunikasi itu, antar partisipan dapat menjelaskan kepada lawan bicaranya agar memahami maksudnya dengan berusaha mencapai pengakuan kebenaran yang dipandang rasional dan dapat diterima oleh lawan bicaranya tanpa paksaan sebagai hasil komunikasi.

Alasan peneliti mengambil teori ini karena teori tindakan komunikasi dapat memberikan landasan bagi terselenggaranya dialog antar umat beragama yang ideal, yang didasarkan pada rasionalitas komunikatif. Sehingga dialog yang

24

terjalin antar umat agama yang berbeda tidak kaku dan tidak menimbulkan konflik.

C. Penelitian Terdahulu

Peneliti terdahulu telah melakukan kajian dan analisis terhadap adaptasi sosial Penganut Agama Islam, Kristen dan Hindu yang mana beberapa kajian dan analisis tersebut relevan dan berkaitan dengan penelitian penulis yang dilakukan sekarang, adapun beberapa penelitian terdahulu antara lain :

Rosnatang (2017) dengan judul Adaptasi Sosial Antar Penganut Agama

Kristen Dan Agama Islam (Studi Kasus Di Desa Congko Kecamatan

Marioriwawo Kabupaten Soppeng). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Congko yang mana masyarakat penganut agama Islam hidup berdampingan dengan penganut agama Kristen, dan populasi masyarakat dengan penganut kedua agama ini paling banyak terdapat di Kecamatan Marioriwawo Kabupaten Soppeng. Hasil penelitian menunjukan Faktor-faktor pendukung untuk melakukan penyesuaian diri atau adaptasi sosial antar umat beragama dalam kehidupan masyarakat Desa

Congko yaitu, masih melekat sikap gotong royong pada masyarakat sekitar, suasana desa yang aman dan tentram jauh dari perselisihan, sikap saling keterbukaan, tidak saling mengganggu antar umat bergama dalam menjalankan ibadah masing-masing, dan saling mambantu dalam mempersiapkan perayakan hari-hari besar agama.

25

Diana (2017) dengan judul Strategi Adaptasi Mahasiswa Kristen Di

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui serta menganalisis strategi adaptasi yang dilakukan mahasiswa kristen di Universitas Negeri Islam Sultan Syarif Kasim Riau. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah Teori Adaptasi Pierre Bourdieu. Pada penelitian ini terdapat enam orang responden dengan teknik penentuan informan yaitu Purposeive

Sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa beragama kristen yang berkuliah di UIN Sultan Syarif Kasim Riau seringkali mendapat singgungan dari kaum mayoritas (agama islam) karena mereka kaum minoritas. Namun, mereka tidak memberikan perlawanan karena mereka sadar hal ini akan menimbulkan perpecahan ataupun akan beresiko kepada krgiatan kuliahnya.

Oktaviani, (2016) dengan judul Pengaruh Adaptasi Sosial Terhadap

Integrasi Masyarakat Di Kelurahan Cikutra Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kebiasaan masyarakat kota yang sudah individual dan acuh terhadap keadaan sekitarnya. Lalu proses sosial dari para pendatang yang menetap di kota tersebut.

Serta suatu keadaan yang berbeda (ekonomi) antara masyarakat yang hidup dalam suatu wilayah yang sama. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui adakah pengaruh dari adaptasi sosial terhadap integrasi masyarakat di Kelurahan Cikutra.

Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan analisis secara deskriptif.

Hasil penelitian yaitu rendahnya interaksi sosial warga yang merupakan dasar dari adaptasi sosial masyarakat di Kelurahan Cikutra, imbas dari rendahnya adaptasi sosial berpengaruh ke dalam terbentuknya integrasi masyarakat, dan semakin

26

tinggi/ seringnya interaksi sosial antar warga maka semakin tinggi/erat pula integrasi masyarakatnya, begitu pula sebaliknya.

Susilowati Dkk, (2017) dengan Judul Pola Adaptasi dalam Interaksi Sosial

Masyarakat Hindu di Dukuh Jomblang Desa Dukuhringin Kecamatan Slawi

Kabupaten Tegal Tujuan penelitian ini mengkaji tentang (1) pola interaksi yang terjadi antara masyarakat Hindu dan Islam, dan (2) pola adaptasi yang terjadi antara masyarakat Hindu dan Islam dalam mempertahankan kebudayaannya sehingga terbentuk kearifan lokal di Dukuh Jomblang Desa Dukuhringin

Kecamatan Slawi Kabupaten Tegal. Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi. Teknik pengambilan data dengan wawancara, observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan (1) pola interaksi yang terbentuk adalah kerjasama, akomodasi dan persaingan berdasarkan sikap saling menghargai dan toleransi yang tinggi setelah sikap kepemimpinan parisade Hindu Dharma Indonesia tegas, (2) pola adaptasi dihasilkan dari perubahan sikap dan perilaku masyarakat Hindu adalah modifikasi kultural seperti dalam bidang antar umat beragama terbentuknya forum

Silaturahmi Indonesia.

Tabel. 1 Perbandingan Penelitian Terdahulu

N Nama dan Judul Jurnal Persamaan Perbedaan o 1 Rosnatang (2017) dengan 1. Membahas 1. Penelitian terdahulu hanya judul Adaptasi Sosial Antar Adaptasi fokus pada Agama Islam Penganut Agama Kristen Sosial masing- dan Kristen Dan Agama Islam (Studi masing 2. Penelitian yang dilakukan Kasus Di Desa Congko penganut penulis fokus pada 3

27

Kecamatan Marioriwawo agama (Tiga) Agama yakni, Kabupaten Soppeng) 2. Mengunakan Islam, Kristen dan Hindu Metode kualitatif

2 Diana (2017) dengan judul 1. Membahas 1. Penelitian terdahulu hanya Strategi Adaptasi Mahasiswa Adaptasi fokus pada kehidupan Kristen Di Universitas Islam masing-masing umat beragama dalam Negeri Sultan Syarif Kasim penganut komunitas mahasiswa Riau agama 2. Penelitian yang dilakukan penulis fokus kehidupan masyarakat umum 3 Oktaviani, (2016) dengan 1. Membahas 1. Penelitian sebelumya judul Pengaruh Adaptasi Adaptasi menggunakan pendekatan Sosial Terhadap Integrasi Sosial masing- kuantitatif dan lebih Masyarakat Di Kelurahan masing menekankan pada Cikutra penganut pengaruh yang agama ditimbulkan adaptasi 2. Metode yang terhadap integrasi digunakan masyaraat Analisis data 2. Penelitian yang dilakukan berdasarkan oleh penulis berfokus pada fakta lapangan adaptasi yang dilakukan antar penganut agama 4. Susilowati Dkk, (2017) 1. Pola Adapatasi 1. Penelitian sebelumya dengan Judul Pola Adaptasi dalam lebih menekannkan pada dalam Interaksi Sosial kehidupan interaksi penganut Agama Masyarakat Hindu di Dukuh sosial Hindu dan Islam Jomblang Desa Dukuhringin masyarakat 2. Penelitian yang dilakukan Kecamatan Slawi Kabupaten oleh penulis lebih pada Tegal semua penganut Agama dalam kehidupan Masyarakat

D. Kerangka Pikir

Kerangka pikir merupakan alur berpikir peneliti dalam penelitian.

Kerangka pikir dalam penelitian ini, penulis membahas permasalahan pokok yang telah dirumuskan. Pembahasan tersebut akan dijelaskan dengan menggunakan

28

konsep dan teori yang ada hubungannya untuk menjawab masalah penelitian.

Adapun masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Proses awal mula munculnya keberagaman para pemeluk agama Islam,

Kristen dan Hindu di Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka Timur

2. Proses Pelaksanaan Adaptasi Sosial antara para pemeluk agama Islam,

Kristen dan Hindu di Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka Timur dalam

menjaga kerukunan antar umat beragama serta sikap toleransi dalam

kehidupan masyarakat

Untuk lebih jelasnya kerangka penelitian yang akan dilakukan oleh penulis dapat dilihat pada skema kerangka kerja penelitian berikut ini:

Bagan Kerangka Pikir

Umat Beragama di Kecamatan Ladongi

Asal Mula Umat Islam Munculnya Umat Kristen Keberagaman Umat Hindu Agama

Adaptasi Sosial Umat Beragama

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, meliputi rangkaian kegiatan yang sistematik untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang diajukan.

Pendekatan penelitian ini berdasarkan tujuannya, maka penelitian ini termasuk dalam penelitian exploratory karena pengetahuan topik tersebut yang terakumulasi melalui riset-riset sebelumnya masih sangat langka. Dengan mempertimbangkan kompleksitas setting dan situasi penelitian, dengan aspek-aspek keperilakuan memegang peran vital dalam proses pertukaran antar partner, maka penelitian ini mengunakan strategi riset “Case Study”. Yin (1994:38) menyatakan bahwa “Case

Study” adalah satu-satunya metode yang sesuai untuk menangkap subyek yang kompleks.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Adapun Lokasi Penelitian ini adalah di Kecamatan Ladongi Kabupaten

Kolaka Timur Provinsi Tenggara. Waktu penelitian ini dilaksanakan selama bulan Oktober hingga bulan November 2020 dengan asumsi bulan pertama dilakukan sejak Penulis memperoleh izin penelitian.

29

30

C. Fokus penelitian

Fokus pada penelitian ini adalah kegiatan-kegiatan proses pelaksanaan adaptasi sosial penganut Agama Islam, Kristen dan Hindu dalam menjaga kerukunan antar umat beragama serta menjunjung tinggi sikap toleransi dalam kehidupan bermasyarakat.

D. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini berjumlah 11 (sebelas) orang dengan rincian sebagai berikut:

1. Tokoh Agama Islam Sebanyak 3 Orang

2. Tokoh Agama Kristen Sebanyak 3 Orang

3. Tokoh Agama Hindu sebanyak 3 Orang

4. Camat Ladongi Selaku Pimpinan Wilayah

5. Ketua FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Kecamatan Ladongi

E. Jenis dan Sumber Data

1. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian. Adapun data yang dibutuhkan oleh peneliti adalah data tentang: a. Identintas dari para penganut masing-masing Agama b. Proses adaptasi yang dilakukan antar umat beragama c. Strategi yang dilakukan oleh Tokoh Lintas Agama dalam meredam setiap

permasalahan yang dapat merusak kerukunan antar umat beragama

31

2. Data sekunder

Data sekunder merupakan data yang secara tidak langsung diperoleh atau diperoleh melalui perantara. Data sekunder ini dapat mendukung data primer yang didapatkan seblumnya. Data sekunder merupakan pelengkap, meliputi media seperti: internet, majalah, koran dan buku yang menjadi referensi dan berkaitan dengan masalah yang diteliti.

F. Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini, penulis sendiri yang bertindak sebagai instrumen

(human instrument). Hal ini didasari oleh adanya potensi manusia yang memiliki sifat dinamis dan kemampuan untuk mengamati, menilai, memutuskan dan menyimpulkan secara obyektif. Guba dan Lincoln (dalam Muhadjir, 1996 120) mengatakan bahwa, “Tujuh karakteristik yang menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian memiliki kualitas baik, yaitu: sifatnya yang responsive, adapif, lebih holistik, kesadaran pada konteks tek terkatakan, mampu memproses segera, dan mampu menjalajahi jawaban ideosinkretik serta mampu mengajar pemahaman yang lebih dalam”.

Untuk memperoleh hasil penelitian yang cermat dan valid serta memudahkan penelitian maka perlu menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara (daftar pertanyaan), pedoman observasi, pensil/pulpen dan catatan peneliti yang berfungsi sebagai alat pengumpul data serta alat pemotret.

32

G. Teknik Pengumpulan Data

1. Observasi

Observasi penelitian adalah metode penelitian yang menggunakan cara pengamatan terhadap objek yang menjadi pusat perhatian penelitian. Metode observasi umumnya ditujukan untuk jenis penelitian yang berusaha memberikan gambaran mengenai peristiwa apa yang terjadi di lapangan.

Observasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Pengamatan atau observasi yang dilakukan akan memakan waktu yang lebih lama apabila ingin melihat suatu proses perubahan dan pengamatan. Observasi merupakan pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis, mengenai fenomena social dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan. Dimana dilakukan pengamatan atau pemusatan perhatian terhadap objek yang akan digunakan untuk mengetahui tentang adaptasi sosial antar umat beragama di kecamatan Ladongi.

2. Wawancara

Dalam wawancara kualitatif peneliti dapat melakukan dengan cara face to face Interview (wawancara yang dilakukan secara berhadapan langsung) dengan partisipan, mewawancarai mereka dengan telepon, atau terlibat dalam focus group interview (wawancara dalam kelompok tertentu) yang terdiri dari enam sampai delapan partisipan setiap kelompok. Wawancara-wawancara seperti ini tentu saja memerlukan pertanyaan-pertanyaan yang secara umum tidak terstruktur dan bersifat terbuka yang dirancang untuk memunculkan pandangan dan opini dari para partisipan Creswell (2016: 254).

33

3. Dokumentasi

Dokumentsi adalah dokumen yang berarti barang-barang tertulis. Di dalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, dokumen, peraturan-peraturan dan sebagainya. Hal ini digunakan untuk memperoleh dan melengkapi data penelitian selama proses penelitian berlangsung.

H. Teknik Analisis Data

Menurut Miles dan Huberman dalam (Silalahi 2009), kegiatan analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Terjadi secara bersamaan berarti reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan sebagai sesuatu yang saling jalin menjalin merupakan proses siklus dan interaksi pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk sejajar yang membangun wawasan umum yang disebut analisis.

Menurut Miles dan Huberman, terdapat tiga teknik analisis data kualitatif yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Proses ini berlangsung terus menerus selama penelitian berlangsung, bahkan sebelum data benar-benar terkumpul. Berikut teknik analisis yang digunakan peneliti:

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses seleksi, penyederhanaan dan abstraksi. Cara

mereduksi data adalah dengan melakukan seleksi membuat ringkasan atau

34

uraian singkat menggolong-golongkan ke pola dengan membuat transkrip

penelitian untuk mempertegas, memperpendek, membuat fokus membuat

bagian yang tidak penting dan mengatur agar dapat ditarik kesimpulan. Data

yang berasal dari hasil wawancara dengan subjek penelitian dan dokumentasi

yang didapat akan diseleksi oleh peneliti. Kumpulan data akan dipilih dan

dikategorikan sebagai data yang relevan dan data yang mentah. Data yang

mentah dipilih kembali dan data yang relevan sesuai dengan rumusan masalah

dan tujuan penelitian akan disiapkan untuk proses penyajian data.

2. Penyajian Data

Penyajian data yaitu sekumpulan informasi tersusun sehingga memberikan

kemungkinan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Agar dalam

penyajian data tidak menyimpang dari pokok permasalahan maka sajian data

dapat diwujudkan dalam bentuk matrik, grafis, jaringan atau bagan sebagai

wadah panduan informasi tentang apa yang terjadi. Data disajikan sesuai

dengan apa yang diteliti.

3. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan adalah usaha untuk mencari atau memahami makna,

keteraturan pola pola penjelasan alur sebab akibat atau proporsi. Kesimpulan

yang ditarik segera diverifikasi dengan cara melihat dan mempertanyakan

kembali sambil melihat catatan lapangan agar memperoleh pemahaman yang

lebih tepat. Selain itu juga dapat dilakukan dengan mendiskusikan. Hal

tersebut dilakukan agar data yang diperoleh dan penafsiran terhadap data

35

tersebut memiliki valid di atas sehingga kesimpulan yang ditarik menjadi

kokoh.

Untuk mendapatkan hasil kesimpulan data yang valid, maka perlu diperhatikan langkah-langkah berikut ini:

a. Mencatat poin poin terpenting yang didapat dari lapangan kemudian

diuraikan secara luas dan dikembangkan sesuai dengan keadaan,

pengamatan, dan hasil data dilapangan.

b. Peneliti mengumpulkan data dari berbagai sumber informasi. Peneliti

mengambil data secara detail mulai dari foto-foto, pengamatan, hasil

wawancara dan dokumentasi.

c. Pemilihan informan yang tepat sesuai dengan pemilihan data.

d. Peneliti harus jeli dalam memperhatikan proses di lapangan agar hasilnya

maksimal dan dapat dipertanggungjawabkan.

I. Teknik Keabsahan Data

Teknik keabsahan data merupakan proses mentriangulasikan tiga data yang terdiri data observasi, wawancara dan dokumen. Adapun alat yang digunakan untuk menguji keabsahan data antara lain :

1. Triangulasi Sumber yang mana peneliti mencari kebenaran informasi melalui

berbagai cara dan sumber perolehan data. Seperti, peneliti melakukan

wawancara tentang adaptasi sosial antar penganut agama secara mendalam

dan observasi, peneliti bisa menggunakan observasi terlibat, dokumen tertulis,

catatan resmi dan lainnya.

36

2. Triangulasi teknik, triangulasi teknik disini menguji kreadibilitas data dengan

cara mengecek data kepada sumber yang sama tetapi dengan teknik yang

berbeda. Seperti data diperoleh dengan cara wawancara, kemudian dicek

dengan observasi, dokumentasi. Apabila dengan teknik pengujian kreadibilitas

data tersebut menghasilkan data yang berbeda maka peneliti melakukan

diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang bersangkutan atau yang lain

untuk memastikan data mana yang dianggap benar.

BAB IV

DESKRIPSI UMUM DAERAH PENELITIAN DAN DESKRIPSI KHUSUS LOKASI PENELITIAN

A. Deskripsi Umum Daerah Penelitian

1. Tinjauan Singkat Histori Kabupaten Kolaka Timur

Kabupaten Kolaka Timur merupakan salah satu dari 17 kabupaten di

Provinsi Sulawesi Tenggara yang terbentuk melalui UU Nomor 8 tahun 2013 tentang Pembentukan Kabupaten Kolaka Timur di Provinsi Sulawesi Tenggara.

Kabupaten Kolaka Timur yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten

Kolaka tersebut terbentuk pada tanggal 15 Mei 2013 dan terdiri dari 118 desa dan

14 kelurahan yang tersebar di 12 kecamatan. Kabupaten Kolaka Timur masuk dalam kawasan strategis nasional (KSN) Kepentingan Ekonomi & Lingkungan yakni KSN Kapet, KSN Rawa Aopa Watumohai dan KSN Rawa Tinondo. Selain itu, Kolaka Timur juga dimasukkan dalam kawasan strategis provinsi yakni PKIP

Wilayah Pelayanan Pomalaa & KSP Industri Perkebunan Kakao Ladongi. Sesuai dengan data BPS Kolaka tahun 2015, lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan menempati posisi tertinggi dalam distribusi presentase PDRB ADHB dengan nilai 46.72%. Dengan potensi tersebut, dirumuskanlah visi Kabupaten

Kolaka Timur tahun 2016-2021 yaitu “Menjadikan Kolaka Timur Sebagai

Wilayah Yang Unggul Dibidang Agrobisnis”

37

38

Sejak terbentuknya kabupaten Kolaka Timur hingga saat ini telah berganti pemimpin sebanyak tiga kali, untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.1 Nama-nama Bupati Kabupaten Kolaka Timur No Nama Bupati Masa Jabatan Keterangan Penjabat 1 Drs. H. Tony Herbiansyah, M.Si. (2013-2015) Bupati Penjabat 2 Drs. H. Anwar Sanusi, M.M (2015-2016) Bupati Bupati 3 Drs. H. Tony Herbiansyah, M.Si. (2016-2020) Definitif Sumber: Kolaka Timur Dalam Angka Tahun 2019

2. Kondisi Geografis dan Iklim

Kabupaten Kolaka Timur terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 8

Tahun 2013. Kabupaten Kolaka Timur merupakan pemekaran wilayah dari

Kabupaten Kolaka. Berdasarkan posisi geografisnya, batas-batas Kabupaten

Kolaka Timur yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Kolaka Utara, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Konawe Selatan, sebelah Timur berbatasan Konawe, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kolaka.

Wilayah Kolaka Timur merupakan daratan dengan luas wilayah 3.981,38 km2.

Kabupaten Kolaka Timur terdiri dari 12 kecamatan. Kecamatan tersebut melingkupi Ladongi, Lambandia, Tirawuta, Mowewe, Uluiwoi, Tinondo, Lalolae,

Poli-polia, Loea, Aere, Dangia, dan Ueesi. Kabupaten Kolaka Timur terletak di jazirah Tenggara Pulau Sulawesi. Secara geografis terletak di bagian barat

Provinsi Sulawesi Tenggara, memanjang dari Utara ke Selatan diantara 3°00‟ -

39

4°30‟ Lintang Selatan (LS) dan membentang dari Barat ke Timur di antara

121°45‟- 124°06‟ Bujur Timur (BT). Luas daerah Kabupaten Kolaka timur menurut Kecamatannya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 4.2 Luas Daerah dan Jumlah Pulau Menurut Kecamatan di Kabupaten Kolaka Timur, 2018

No. Kecamatan Ibukota Kecamatan Luas (km2) 1. Aere Desa Aere 138,35 2. Lambandia Kelurahan Penanggo Jaya 133,00 3. Poli-Polia Kelurahan Poli-Polia 133,53 4. Dangia Desa Gunung Jaya 172,72 5. Ladongi Kelurahan Atula 122,88 6. Loea Kelurahan Loea 107,94 7. Tirawuta Kelurahan Rate-Rate 206,80 8. Lalolae Kelurahan Lalolae 75,39 9. Mowewe Kelurahan Inebenggi 155,29 10. Tinondo Kelurahan Tinengi 261,13 11. Uluiwoi Kelurahan Sanggona 712,39 12. Ueesi Desa Ueesi 1.435,32 Kolaka Timur Kecamatan Tirawuta 3.654,74 Sumber: Kabupaten Kolaka Timur dalam Angka 2018

Kolaka Timur Memiliki dua musim, yaitu musim kemarau dan penghujan.

Musim kemarau terjadi antara bulan Mei dan Oktober, dimana angin Timur yang bertiup dari Australia tidak banyak mengandung uap air, sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya musim hujan terjadi antara bulan November dan

Maret, dimana angin Barat yang bertiup dari Benua Asia dan Samudera Pasifik banyak mengandung uap air sehingga terjadi musim hujan. Khusus pada bulan

April arah angina tidak menentu, demikian pula curah hujan sehingga pada bulan ini dikenal sebagai musim pancaroba. Curah hujan dipengaruhi oleh perbedaan iklim, orografi dan perputaran/pertemuan arus udara. Hal ini menimbulkan adanya

40

perbedaan curah hujan menurut bulan. Di wilayah Kolaka Timur, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Mei dengan 2061 mm. sementara itu, curah hujan terendah berada pada bulan September dengan curah hujan sebesar 51,0 mm.

Tinggi rendahnya suhu udara dipengaruhi oleh letak geografis wilayah dan ketinggian dari permmukaan laut. Wilayah Kolaka Timur pada umumnya berada pada ketinggian kurang dari 1.000 meter, sehingga beriklim tropis. Pada tahun

2018, suhu berkisar antara 34,6°C – 37,0°C, dan suhu minimum rata-rata berkisar antara 20,4°C – 24,0°C. Curah hujan di Kolaka Timur dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.3 Jumlah Curah Hujan, Hari Hujan Menurut Bulan di Kabupaten Kolaka Timur, 2018

No. Bulan Curah Hujan(mm) Hari Hujan 1. Januari 198,8 20 2. Februari 199,2 12 3. Maret 171,9 16 4. April 154,4 22 5. Mei 206,1 21 6. Juni 199,7 23 7. Juli 182,9 15 8. Agustus 81,0 10 9. September 51,0 8 10. Oktober 56,5 6 11. November 154,1 15 12. Desember 164,2 23 Sumber: Kolaka Timur Dalam Angka 2019

3. Topografi, Geologi, dan Hidrologi

Peta topografi menunjukkan bahwa Kolaka Timur umumnya emiliki permukaan tanah yang bergunung, bergelombang berbukit-bukit. Diantara gunung

41

dan bukit-bukit, terbentang dataran-dataran yang merupakan daerah potensial untuk pengembangan sector pertanian, dengan tingkat kemiringan sebagai berikut: a. Antara 0-2 % (9,94% dari luas daratan). b. Antara 2-15 % (8,84% dari luas daratan). c. Antara 1-40 % (19,99% dari luas wilayah daratan). d. Antara 40% ke atas (61,23% dari luas daratan).

Dari jenis tanah, Kabupaten Kolaka Timur memiliki sedikitnya tujuh jenis tanah, yaitu tanah Podzolik Merah Kuning seluas 167.235ha (24,17 persen dari luas tanah Kolaka Timur), Podzolik Cokelat Kelabu 103.780 ha (15,00 persen),

Lithosol 131.145 ha (18,96 persen), Regosol 40.193 ha (5,81 persen), Alluvial

54.695 ha (7,91 persen), Rezina 67.271(9,72 persen), Mediteran Merah Kuning

127.519 (18,43 persen).

Kabupaten Kolaka Timur memiliki beberapa sungai yang terdapat di 12 kecamatan. Sungai sungai tersebut pada umumnya potensial untuk dijadikan sebagai sumber energi, untuk kebutuhan industri, rumah tangga, irigasi, dan pariwisata.

4. Kondisi Demografi

Penduduk Kabupaten Kolaka Timur berdasarkan proyeksi penduduk tahun

2018 sebanyak 130.860 jiwa yang terdiri atas 67.208 jiwa penduduk laki-laki dan

63.652 jiwa penduduk perempuan. Dibandingkan dengan proyeksi jumlah penduduk tahun 2017, penduduk Kolaka Timur mengalami pertumbuhan sebesar

42

2,11 persen dengan masing-masing persentase pertumbuhan penduduk laki-laki sebesar 2,18 persen dan pertumbuhan penduduk perempuan sebesar 2,04 persen.

Sementara itu besarnya angka rasio jenis kelamin tahun 2018 penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan sebesar 106. Hal ini berarti jumlah penduduk laki- laki 6 persen lebih besar dari jumlah penduduk perempuan. Kepadatan penduduk di Kabupaten Kolaka Timur tahun 2018 mencapai 878 jiwa/Km2. Kepadatan

Penduduk di 12 kecamatan cukup beragam dengan kepadatan penduduk tertinggi terletak di Kecamatan Lambandia dengan kepadatan sebesar 180 jiwa/Km2 dan terendah di Kecamatan Ueesi sebesar 2 jiwa/Km2. Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah penduduk Kabupaten Kolaka Timur dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Kolaka Timur

No. Kecamatan Jumlah Penduduk 1. Ueesi 2.280 2. Uluiwoi 5.603 3. Tinondo 8.82 4. Mowewe 9.349 5. Lalolae 4.392 6. Tirawuta 15.488 7. Loea 7.657 8. Ladongi 19.802 9. Dangia 11.124 10. Poli-Polia 12.807 11. Lambandia 23.984 12. Aere 9.546 Sumber: Kabupaten Kolaka Timur dalam Angka 2019

43

B. Deskripsi Khusus Lokasi Penelitian

1. Sejarah Singkat Kecamatan Ladongi

Pada mulanya pembentukan Kecamatan Ladongi dimulai sejak tahun 1986 sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 1986 Tentang

Pembentukan Kecamatan-Kecamatan di Kabupaten Daerah Tingkat II ,

Kolaka, Muna dan Buton. Kecamatan Ladongi merupakan bagian dari wilayah administratif Kecamatan Tirawuta sebagai Kecamatan induk. Dan Kecamatan

Ladongi hanya sebatas wilayah semi administratif yang dikepalai oleh seorang

Pembantu Camat Wilayah, selanjutnya pada tanggal 06 April Tahun 1987 wilayah

Kecamatan Ladongi menjadi wilayah administratif penuh yang terdiri dari 18

Desa yakni Desa Putemata, Desa Ladongi Jaya, Desa Atula, Desa Welala, Desa

Raraa, (Wilayah administratif Kecamatan Ladongi saat ini). Desa Gunung Jaya,

Desa Dangia, Desa Lembah Subur, (Mekar menjadi Kecamatan Dangia Tahun

2006) Desa Poli-Polia, Desa Wia-Wia, Desa Tokai, Desa Pangi-Pangi, Desa

Andowengga, (Mekar menjadi Kecamatan Poli-Polia Tahun 2006), Desa

Penanggo Jaya, Desa Lowa, Desa Wonembuteo, Desa Bou, dan Desa Mokupa,

(Mekar menjadi Kecamatan Lambandia Tahun 2004). Sehingga selama terbentuk wilayah Kecamatan Ladongi telah melahirkan 3 (Tiga) Kecamatan baru.

Untuk di wilayah Kecamatan Ladongi Desa Putemata Mekar menjadi Desa

Anggaloosi, Desa Putemata. Sedangkan Desa Ladongi Jaya mekar menjadi Desa

Tongandiu, Desa Wunggloko yang selanjutnya mekar menjadi Desa Pombeyoha sedangkan Desa Atula, Desa Welala dan Desa Raraa tetap pada semula dan berubah menjadi Kelurahan bersamaan dengan perubahan status Desa Ladongi

44

Jaya menjadi Kelurahan. Sehingga saat ini wilayah Kecamatan Ladongi terdiri dari 6 (Enam) Desa dan 4 (Empat) Kelurahan.

2. Tingkat Pendidikan

Pada tahun ajaran 2018/2019, jumlah Taman Kanak-kanak (TK) di

Kecamatan Ladongi berjumlah 15 unit dengan jumlah guru sebanyak 49 orang dan murid 523 yang berarti rasio murid terhadap guru sebesar 11 orang.

Sementara itu, Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan Ladongi terdapat 15 unit yang tersebar di tiap desa/kelurahan dengan jumlah guru sebanyak 89 orang dan murid sebanyak 1.901 orang yang berarti rasio murid terhadap guru yaitu 21 orang.

Untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada tahun 2018 terdapat 3 unit dengan jumlah guru sebanyak 31 orang dan murid sebanyak 652 orang yang berarti rasio murid terhadap guru sebesar 21 orang. Sedangkan di tahun yang sama terdapat

Sekolah Menengah Atas (SMA) Sederajat sebanyak 3 unit dengan jumlah guru 76 orang dan murid 898 orang dengan rasio murid terhadap guru sebanyak 12 orang.

3. Mata Pencaharian

Masyarakat Kecamatan Ladongi mayoritas penduduknya bekerja pada sektor pertanian dan sektor perkebunan sedangkan untuk mata pencahariaan lainnya relatif bervariasi, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.5 Menurut Mata Pencaharian Kecamatan Ladongi Tahun 2019 Pekerjaan Desa/Kelura No PNS, Ket han Petani Pedagang/Jasa Konstruksi Lainnya TNI/POLRI 1 2 3 4 5 6 7 8 1 Raraa 387 34 31 7 144 2 Welala 412 165 67 22 91

45

3 Atula 389 163 59 26 82 4 Pombeyoha 54 2 0 0 0 5 Wunnguloko 163 2 9 0 0 6 Ladongi Jaya 534 61 97 13 230 7 Tongandiu 120 0 0 0 0 8 Lalowosula 292 37 33 12 36 9 Putemata 346 39 64 50 38 10 Anggaloosi 123 1 5 0 0 Jumlah 2.820 504 365 130 621 Sumber : Kecamatan Ladongi Dalam Angka 2019

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa Mata Pencaharian masyarakat Kecamatan Ladongi adalah bekerja atau berprofesi sebagai

Petani/Pekebun dengan Jumlah 2.820 atau 63,51% selanjutnya bekerja pada sektor lainnya yang terdiri dari transportasi, buruh serta pekerja serabutan dengan jumlah 621 atau 13,99 % dan selanjutnya berprofesi sebagai PNS, TNI dan

POLRI dengan jumlah 504 atau 11,35 %.

Untuk Petani atau pekebun bergerak pada sektor pangan dan non pangan yang mana sektor pangan adalah padi sawah sedangkan non pangan adalah

Perkebunan meliputi Kakao, Lada dan tanaman palawija, hortikultura. Hitungan ini didasarkan pada jenis atau pekerjaan utama, namun secara keseluruhan masyarakat Kecamatan Ladongi adalah Petani dan Pekebun dengan asumsi bahwa

PNS, TNI, POLRI, Pedagang dan masyarakat yang memiliki profesi lainnya memiliki lahan pertaniaan maupun perkebunan hanya sebagian masyarakat yang tidak memiliki lahan pertanian.

46

4. Kehidupan Sosial, Budaya dan Agama

Keberagaman dalam masyarakat Kecamatan Ladongi ditinjau dari sudut pandang geografis, dapat dipastikan hanya dihuni oleh etnis lokal yakni etnis

Tolaki, namun seiring dengan penempatan wilayah Kecamatan Ladongi sebagai daerah penempatan transmigrasi yang berasal dari pulau Jawa, Bali dan Sulawesi

Selatan, yang mana kesemuanya ini memiliki budaya, adat istiadat serta agama yang berbeda-beda. Kebudayaan nasional adalah suatu kebudayaan yang mampu memberi makna bagi kehidupan berbangsa dan berkepribadian, akan dapat dibanggakan sebagai identitas nasional.

Akan tetapi dalam masyarakat majemuk dengan keragaman latar belakang kebudayaan seperti yang terjadi di Kecamatan Ladongi tidaklah mudah untuk mengembangkan suatu kebudayaan nasional dan daerah hanya dengan mengandalkan pada kemampuan dan kemapanan masyarakat semata-mata. Oleh karena itu kebudayaan nasional dan daerah yang hendak dikembangkan itu telah ditetapkan landasan dan arah tujuannya yang dituangkan dalam penjelasan pasal

32 UUD 45 yang berbunyi: “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan- kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa”

Ada berbagai macam cara yang dapat dilakukan untuk berinteraksi dengan masyarakat yang memiliki latar belakang beragam sosial budaya. Berbagai kegiatan sosial budaya berciri gotong royong memperlihatkan karakter masyarakat Kecamatan Ladongi yang saling menghormati antara berbagai

47

perbedaan golongan, suku bangsa, hingga agama. Dalam kehidupan manusia, agama dan budaya jelas tidak berdiri sendiri, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dalam dialektikanya selaras menciptakan dan kemudian saling menegasikan.

Agama sebagai pedoman hidup manusia yang diciptakan oleh Tuhan, dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan kebudayaan adalah sebagai kebiasaan tata cara hidup manusia yang diciptakan oleh manusia itu sendiri dari hasil daya cipta, rasa dan karsanya yang diberikan oleh Tuhan. Agama dan kebudayaan saling mempengaruhi satu sama lain. Agama mempengaruhi kebudayaan, kelompok masyarakat, dan suku bangsa. Kebudayaan cenderung berubah-ubah yang berimplikasi pada keaslian agama sehingga menghasilkan penafsiran berlainan.

Sebelum kita memahami perspektif agama, budaya dan masyarakat, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui penjelasan eksistensi tentang agama. Agama merupakan suatu kepercayaan tertentu yangdianut sebagian besar masyarakat merupakan tuntunan hidup. Agama menyangkut kepercayaan- kepercayaan dan berbagai prakteknya, serta benar-benar merupakan masalah sosial yang pada saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat manusia. Karena itu, lahir pertanyaan bagaimana seharusnya dari sudut pandang sosiologis. Dalam pandangan sosiologi, perhatian utama agama adalah pada fungsinya bagi masyarakat. Di mana fungsi seperti diketahui, menunjuk pada sumbangan yang diberikan agama atau lembaga sosial yang lain untuk mempertahankan keutuhan masyarakat sebagai usaha aktif yang

48

berlangsung secar terus-menerus. Konsepsi agama menurut kamus besar bahasa indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Budaya atau yang biasa di sebut culture merupakan warisan dari dari nenek moyangterdahlu yang masih eksis sampai saat ini. Suatu bangsa tidak akan memiliki ciri khas tersendiri tanpa adanya budaya-budaya yang di miliki.

Budaya-budaya itupun berkembang sesui dengan kemajuan zaman yang semakin modern. Kebudayaan yang berkembang dalam suatu bangsa itu sendiri di namakan dengan kebudayaan lokal, karena kebudayaan lokal sendiri merupakan sebuah hasil cipta, karsa dan rasa yang tumbuh dan berkembang di dalam suku bangsa yang ada di daerah tersebut. Di dalam kebudayaan suatu pasti menganut suatu kepercayaan yang bisa kita sebut dengan agama. Agama itu sendiri adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan yang dianut oleh suatu suku/etnik tersebut.

Terhadap kehidupan Sosial, Budaya dan Agama di Kecamatan Ladongi untuk masyarakat lokal atau etnik lokal masih melestarikan budaya-budaya mereka baik itu dalam proses pernikahan atau acara kehamilan dan kematian begitu pula dengan masyarakat transmigrasi yang ada hal ini terlepas dari budaya serta agama yang berasal dari asal daerah sebelumnya, untuk masyarakat Jawa,

Sunda, Bali dan Etnik lainnya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari masih melaksanakan aktivitas kebudayaan sesuai dengan budaya yang dimilikinya.

49

Akulturasi budaya antara masing-masing etnik hanya terjadi manakala terdapat perkawinan campuran yang melibatkan dua atau lebih etnis yang berbeda maka yang digunakan adalah adat yang berlaku secara umum yang telah disepakati sebelumnya. Contoh untuk perkawinan masyarakat Etnis Bugis yang berasal dari Sulawesi Selatan dan Masyarakat Lokal dalam hal ini Etnis Tolaki maka kecenderungan dalam penggunaan adat atau adat yang paling dominan digunakan adalah etnik asal pengantin wanita. Dalam hal bahwa pengantin wanita tersebut berasal dari etnis campuran maka yang digunakan adalah aturan umum sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Ini berlaku juga dengan etnis-etnis lainnya yang ada di Kecamatan Ladongi.

Untuk pernikahan atau perkawinan yang melibatkan dua agama maka yang digunakan adalah pernikahan melalui salah satu agama namun dalam pelaksanaannya menggunakan budaya atau ritual budaya berdasarkan kesepakatan yang telah ditetapkan dengan perjanian-perjanjian tertentu. Dalam hal pelaksaanaan budaya masih masyarakat Kecamatan Ladongi tetap menggunakan atau melakukan budaya sesuai dengan etnik yang dimilikinya.

Dalam hal kehidupan beragama di Kecamatan Ladongi sifat saling menghormati, toleran masih sangat tinggi hal ini dibuktikan dengan belum adanya konflik yang melibatkan baik itu konflik etnis maupun agama, ini merupakan wujud dari kesadaran masyarakat Kecamatan Ladongi dalam menghormati setiap pebedaaan, baik perbedaan etnis maupun agama. Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai perlakuan-perlakuan khusus terhadap masing-masing agama dalam menjalankan ritual keagaaan. Contoh pada saat bulan Ramadhan kaum

50

muslim menjalankan ibadah puasa maka pemeluk agama lain tidak melakukan aktivitas yang dapat mengganggu ibadah kaum muslim salah satunya dengan tidak membuka warung makan atau makan di tempat umum. Begitupun sebaliknya dalam perayaan nyepi bagi pemeluk Agama Hindu masyarakat yang non Hindu akan senantiasa tidak membuat acara atau aktivitas yang dapat menggangu ibadah mereka.

Ini merupakan potret kecil dalam kehidupan sosial, budaya dan agama masyarakat Kecamatan Ladongi dalam kehidupan sehari-hari, yang mana dapat digambarkan bahwa Kecamatan Ladongi dapat dijadikan contoh bagi daerah- daerah lainnya dalam membina kerukunan antar etnis dan agama yang mana akhir-akhir ini mengalami penurunan dan berakibat pada konflik yang dapat menggangu pembangunan nasional serta dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa. Untuk lebih jelasnya populasi penduduk berdasarkan agama dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.6 Jumlah penduduk menurt Kelurahan dan agama yang dianut di kecamatan Ladongi 2018

No. Desa/Kelurahan Islam Protestan Katholik Hindu 1. Rara 1768 3 - 0 2. Welala 2911 64 5 182 3. Atula 1907 37 17 1136 4. Pembeyoha 436 0 0 4 5. Wunggoloko 532 0 0 23 6. Ladongi Jaya 4286 13 2 74 7. Tongandiu 157 0 0 0 8. Lalowosula 1113 22 6 142 9. Putemata 1051 233 102 677 10. Anggolosi 1170 0 0 1 Jumlah/Total 15331 372 132 2239 Sumber: Kecamatan Ladongi dalam Angka Tahun 2019

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Awal Mula Munculnya Keberagaman Agama di Kecamatan Ladongi

Pluralisme agama adalah terdapat lebih dari satu agama yang mempunyai eksistensi hidup berdampingan, saling bekerja sama dan saling berinteraksi antara penganut satu agama dengan penganut agama lainnya, atau dalam pengertian yang lain, setiap penganut agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan menghormati hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya kerukunan dalam keragaman. Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda- beda, beragam dan plural dalam hal beragama.

Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda- beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain. Di kecamatan Ladongi sendiri pluralitas agama yang ada terjadi melalui proses yang panjang sehingga terdapat agama-agama yang berbeda yaitu agama

Islam, Kristen, dan Hindu.

51

52

a. Masyarakat Pribumi

Setelah melakukan observasi, wawancara, serta dokumentasi di lapangan maka akan disajikan data-data yang diperoleh dari penilitian. Adapun proses awal mula keberadaan agama Islam di kecamatan Ladongi menurut Ketua Majelis

Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Kolaka Timur bapak JM (57 th) menyatakan bahwa:

Kalau umat Islam di Kecamatan Ladongi ini memang sudah ada sejak awal masyarakat pribumi suku Tolaki ini kan beragama Islam. Kemudian nanti sekitar tahun 1972 baru bertambah penduduk yang beragama Islam melalui program transmigrasi yang dilakukan pemerintah saat itu untuk membangun dan mengembangkan wilayah Sulawesi Tenggara ini. Kemudian setelah itu dari tahun ketahun banyak masyarakat yang datang untuk merantau di sini ada yang dari agama Islam dan juga agama lainnya. Termasuk saya sendiri datang di sini itu baru pada tahun 1992 itu saya di sini karena di tempatkan jadi kepala sekolah di SMP 1 Ladongi dulu. (Hasil wawancara 25 Oktober 2020).

Menurut informan di atas, masyarakat pribumi kabupaten Kolaka Timur yang merupakan suku Tolaki sejak awal memang sudah menganut agama Islam.

Kemudian populasinya bertambah seiring berjalannya waktu dengan adanya perkembangan melalui proses perkawinan, penempatan Pegawai Negeri Sipil

(PNS) serta beberapa umat Islam juga ada yang datang ke kecamatan Ladongi melalui program transmigrasi yang dilakukan pemerintah. Hal serupa juga diungkapkan oleh bapak LM (31 th) selaku sekertaris Forum Kerukunan Umat

Beragama (FKUB) Kecamatan Ladongi yang menyatakan bahwa:

Kalau bicara proses awal mulanya keberagaman agama di kecamatan Ladongi kan berarti kita bicara sejarah masa lampau, dulu itu pada masa kerajaan Mekongga dan Konawe agama Islam sudah mulai masuk ke Ladongi yang disebarkan oleh para pedagang maupun syekh. Kemudian

53

pada masa penjajahan Belanda, agama Kristen juga mulai disebarkan di Ladongi melalui pendekatan-pendekatan dengan masyarakat. Nah nanti kemudian saat ada program transmigrasi dari pemerintah pusat barulah masuk agama Hindu, serta agama pemeluk agama Islam dan Kristen pun juga bertambah. (Hasil wawancara 25 Oktober 2020). Dari wawancara di atas dapat diketahui bahwa pada awalnya di kecamatan

Ladongi masyarakatnya sudah memeluk agama Islam dan Kristen. Dimana agama

Islam disebarkan oleh para pedagang maupun syekh yang masuk ke wilayah

Kolaka pada masa kerajaan Mekongga, sedangkan agama Kristen disebarkan oleh para penjajah Belanda yang pada saat itu menguasai daerah Kolaka. Hal senadapun diungkapkan oleh bapak SH (41 th) selaku Camat Ladongi bahwa:

Kalau proses kedatangan masing-masing penganut agama untuk di kecamatan Ladongi itu, kalau untuk Kristen dan Islam itu mereka sudah ada disini sejak dulu masih zaman penjajahan Belanda, bisa dibilang pribumi lah. Kalau untuk Hindu, nanti sekitar tahun 1972 mereka baru masuk ke sini lewat program transmigrasi. (Hasil wawancara 25 Oktober 2020). Dari hasil wawancara di atas dapat dipahami bahwa pada mulanya di kecamatan Ladongi masyarakatnya menganut agama Islam dan Kristen. Yang mana kedua agama ini sudah ada sejak zaman kerajaan Mekongga di Kolaka yang dibawa oleh para pedagang yang melakukan perdagangan di daerah Sulawesi

Tenggara.

Hasil wawancara ini diperkuat dengan pembahasan pada buku yang yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd, dkk yang berjudul “Sejarah Dearah

Kolaka”. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa perkembangan agama Islam adalah perdagangan melalui laut yang banyak dimainkan oleh para pedagang nusantara sejak abad VII M, kemudian semakin berkembang pada abad XIII

54

sampai dengan abad XVII periode perkembangan agama dan kerajaan-kerajaan

Islam hingga menjelang datangnya bangsa-bangsa Imperialis Eropa di Nusantara.

Dalam sejarah pemerintahan di kerajaan Mekongga diketahui bahwa raja

Sangia Nibandera yang pertama-tama memeluk agama Islam dan beliaulah yang menyebarkan agama Islam secara umum serta memberikan ceramah agama sampai keseluruh penjuru kerajaan. Pada akhir abad XVI, hampir seluruh rakyat

Mekongga dinyatakan telah memeluk agama Islam. Pada periode itu, atas permintaan raja Sangia Nibandera banyak guru-guru agama Islam yang didatangkan dari kerajaan Luwu, Bone, dan Sinjai.

Kemudian sekitar tahun 1916 agama Kristen mulai masuk ke daerah

Sulawesi Tenggara yang dipelopori oleh seorang berkebangsaan Belanda yakni

Ds. Hendrik Van Der Klift. Dalam misi pekabaran Injilnya, Van Der Klift bersama isterinya, A.G. Van Der Klift Sniyer, memulai dengan membangun masyarakat melalui pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah, kesehatan dengan mendirikan poliklinik-poliklinik, pertanian dengan cara mengajar berkebun dan bersawah, membangun perkampungan yang teratur, dan memberikan latihan keterampilan seperti pertukangan dan keterampilan kewanitaan.

Pada Tahun 1918 di Mowewe, dilakukanlah pembaptisan pertama atas murid-murid Van Der Klift. Yaitu Wala Wongga (Petrus Wongga), Lama Tungga,

Tabeke, dan Korahi bersama dengan anak-anaknya. Selain pekabaran Injil, Ds.

Hendrik Van Der Klift bersama isterinya juga telah meletakkan dasar-dasar

55

pelayanan kesehatan dan pendidikan modern bagi masyarakat. Van Der Klift kemudian mengembangkan wilayah kegiatannya ke daerah lain seperti Sanggona

(Mowewe Utara), Rate-Rate, Lambuya, Puriala, Kendari, Moronene, dan akhirnya keseluruh jazirah Sulawesi Tenggara.

Namun pada tahun 1942, para missionaris dari Belanda harus kembali ke negara mereka karena Jepang telah menguasai daerah Sulawesi Tenggara. Agar pekabaran Injil terus berlangsung, maka sebelum Ds. Hendrik Van Der Klift meninggalkan Jazirah Sulawesi Tenggara, dilakukanlah pentahbisan Guru-Guru

Injil, yang mana merekalah nanti yang sampai saat ini melanjutkan pekabaran injil di Sulawesi Tenggara, terkhusus Kolaka Timur.

Kemudian seiring berjalannya waktu pemeluk agama Hindu mulai masuk di kecamatan Ladongi yang diawali dengan program transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pembangunan daerah pada saat itu. Selain agama

Hindu, pada program transmigrasi tersebut juga para pemeluk agama Islam dan

Kristen yang berada di Pulau Jawa juga ikut dalam program transmigrasi tersebut, sehingga populasi pemeluk agama Islam dan Kristen di kecamatan Ladongi mengalami peningkatan.

Sama seperti pemeluk agama Islam yang memang sudah tinggal di kecamatan Ladongi sejak awal, keberadaan pemeluk agama Kristen di kecamatan

Ladongi pada mulanya adalah peninggalan dari penjajah Belanda yang menyebarkan agama Kristen di kecamatan Ladongi, selain itu pemeluk agama

56

Kristen juga ada yang merupakan pendatang karena program transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1972. b. Program Transmigrasi

Permulaan penyelenggaraan transmigrasi pada tanggal 12 Desember 1950,

Pemerintah Indonesia secara resmi melanjutkan program kolonisatie yang telah dirintis pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905 dengan nama yang lebih nasionalis yaitu transmigrasi. Dari sinilah dimulainya sejarah ketransmigrasian yang selama satu abad (dihitung dari tahun 1905) ikut membantu perjuangan bangsa. Transmigrasi memiliki peran yang sangat penting bagi pembangunan nasional dan transmigran sebagai objek penyelenggaraan transmigrasi telah berkontribusi dalam pengembangan daerah.

Dasar hukum penyelenggaraan transmigrasi adalah Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian (sebelumnya

UU Nomor 3 Tahun 1972) dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi (Sebelumnya PP Nomor 42

Tahun 1973), ditambah beberapa Keppres dan Inpres pendukung. Menyusul terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian.

Disamping itu, landasan lainnya adalah Keputusan Menakertrans No Kep

293/Men/IX/2009 tentang Penetapan Lokasi KTM di Kawasan Transmigrasi.

Pembangunan transmigrasi merupakan bagian integral dari pembangunan nasional

57

dan daerah sebagai upaya untuk mempercepat pembangunan terutama di kawasan yang masih terisolir atau tertinggal yang sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan para transmigran dan masyarakat sekitarnya. Untuk itu maka perencanaan permukiman transmigrasi harus sejalan dengan tata ruang wilayah baik itu Rencana Tata Ruang Wila yah Provinsi (RTRWP) maupun Rencana Tata

Ruang Kabupaten/Kota (RTRWK).

Penyelenggaraan transmigrasi hanya ada di Indonesia dan sangat relevan menjadi solusi bagi pembangunan NKRI. Visi transmigrasi kedepan adalah menjadikan transmigrasi memiliki keunggulan wilayah dan masyarakat di kawasan transmigrasi yang harmonis, tangguh dan sejahtera. Reorientasi konsep transformasinya ke perpindahan sukarela dengan berpinsip menjaga keharmonisan budaya, serta mengarah pada pemenuhan kebutuhan hidup guna meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitar. Kolaka Timur sendiri merupakan salah satu daerah transmigran, yang mana dengan adanya program transmigrasi ini menjadikan Kabupaten Kolaka Timur tumbuh menjadi kota dengan kehidupan agama yang heterogen. Hal ini menjadi salah satu awal mula keberagaman agama di kecamatan Ladongi. Seperti yang diungkapkan oleh ibu

SC (30 th) Pendeta di Gereja Jemaat Eben Heazer Atula bahwa:

Jadi dulu pada tahun 1972, pemerintah melaksanakan transmigrasi bagi masyarakat Cianjur, Jawa Barat ke Ladongi, Sulawesi Tenggara dan terdaftar 18 KK sebagai pemeluk agama Kristen. Dari 18 KK itulah awal mula terbentuk suatu persekutuan hingga saat ini menjadi sebuah jemaat, yakni Jemaat Eben Haezer. (Hasil wawancara 26 Oktober 2020).

Dari pemaparan informan di atas dapat diketahui bahwa populasi umat

Kristen di kabupaten Kolaka Timur mengalami peningkatan. Terkhusus di

58

kecamatan Ladongi ada sekitar 18 kepala keluarga yang masuk melalui program transmigrasi dari Jawa Barat ke kecamatan Ladongi yang dilakukan pemerintah pada saat itu. Yang kemudian dari 18 kepala keluarga tersebut terbentuklah persekutuan jemaat, yakni jemaat Eben Heazer. Hal serupa juga di ungkapkan oleh bapak ML (50 th) salah satu Majelis Jemaat Eben Heazer Atula bahwa:

Kedatangan penganut agama Kristen di kecamatan Ladongi pertama itu ikut program transmigrasi dan juga beberapa keluarga datang karena ikut keluarga serta para pegawai (PNS) yang ditempatkan di kecamatan Ladongi. (Hasil wawancara 26 Oktober 2020).

Dari informan di atas dapat dijelaskan bahwa populasi umat Kristen di kecamatan Ladongi meningkat pada tahun 1972 yang didatangkan oleh pemerintah pusat dari Cianjur, Jawa Barat ke Sulawesi Tenggara khususnya kecamatan Ladongi dalam program transmigrasi yang dimaksudkan untuk mengembangkan wilayah Sulawesi Tenggara pada saat itu. Umat Kristen yang didatangkan pada saat itu sebanyak 18 kepala keluarga dan sekarang sudah mengalami perkembangan dalam jumlah jemaatnya. Selain dari program transmigrasi, perkembangan umat Kristen di kecamatan Ladongi juga karena adanya penempatan para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang di tempatkan di kabupaten Kolaka Timur, serta ada pula yang memang sengaja datang merantau dari daerah mereka ke kecamatan Ladongi untuk mencari penghidupan yang lebih baik, mengingat kabupaten Kolaka Timur adalah daerah dari pembukaan lahan baru yang memungkinkan masyarakat memiliki kesempatan untuk bercocok tanam.

59

Berbeda halnya dengan pemeluk agama Islam dan Kristen, yang sebagian besar memang telah tinggal di kecamatan Ladongi, keberadaan pemeluk agama

Hindu di kecamatan Ladongi pada awalnya memang didatangkan melalui program transmigrasi pemerintah yang dilakukan pada tahun 1972 dari Bali ke Kecamatan

Ladongi. Menurut bapak MM (47 th) salah satu tokoh agama Hindu di Kecamatan

Ladongi menyatakan bahwa:

Ya kalau pemeluk agama Hindu artinya sebelum merantau sudah memeluk memang agama Hindu sejak dari Bali dari leluhur sudah menganut agama Hindu. Kalau saya lahirnya di Bali jadi semua yang disini itu lahirnya di Bali terus transmigrasi ke Sulawesi, adapun yang lahir sebagaian di sini anak-anak setelah adanya perkawinan-perkawinan di Sulawesi Tenggara (Hasil wawancara 31 Oktober 2020).

Menurut informan di atas keberadaan umat Hindu di kecamatan Ladongi pada awalnya melalui program transmigrasi. Mereka lahir dan telah memeluk agama Hindu sejak tinggal di Bali, yang kemudian pindah ke kecamatan Ladongi melalui program transmigrasi tersebut yang kemudian seiring berjalannya waktu populasinya meningkat karena telah melakukan perkawinan dan melahirkan generasi di kecamatan Ladongi. Hal senada juga diungkapkan oleh bapak IB

(65th) salah satu tokoh agama Hindu di kecamatan Ladongi bahwa:

Begini kalau pemeluk agama Hindu di Ladongi ini kedatangannya itu melalui transmigrasi dari Bali ke sini itu awalnya. Awal pertama itu kami datang rombongan 100 Kepala Keluarga, yaa mungkin sekarang karena sudah beranak bercucu untuk Ladongi saja ini mungkin ada sekitar 360an KK. (Hasil wawancara 03 November 2020).

Dari wawancara di atas dapat diketahui bahwa pada awalnya umat Hindu yang didatangkan dari Bali ke kecamatan Ladongi hanya berjumlah kurang lebih

100 kepala keluarga, yang kemudian mengalami perkembangan melalui

60

pernikahan. Hal serupa juga diungkapkan oleh bapak KS (47 th) sebagai ketua

Parisada Hindu Dharma di kecamatan Ladongi menyatakan bahwa:

Jadi awal ceritanya itu waktu tahun 1972 melalui presiden Soeharto, pada saat itu mengadakan program transmigrasi. Nah oleh karena itu kami umat Hindu yang generasi pertama kalau saya kan sudah generasi kedua yah, jadi generasi pertama itu didatangkan ke sini melalui transmigrasi sekitar 150 KK diawal. Jadi pada tahun itu umat kami Hindu Bali di transmigrasikan ke sini oleh pemerintah. Dan sampai saat ini perkembangannya sudah luar biasa. (Hasil wawancara 03 November 2020).

Sesuai hasil wawancara di atas maka dapat dipahami bahwa keberadaan umat Hindu di kecamatan Ladongi pada awalnya berjumlah kurang lebih 150 kepala keluarga yang di datangkan dari Bali ke kecamatan Ladongi melalui program transmigrasi yang diadakan oleh presiden Soeharto pada tahun 1972. Dan hingga saat ini jumlah pemeluk agama Hindu sudah jauh berkembang setelah terjadi pernikahan-pernikahan di Ladongi.

2. Proses Adaptasi Sosial Antar Umat Beragama di Kecamatan Ladongi

Keberagaman adat istiadat bangsa Indonesia tercermin dari bahasa, struktur sosial, struktur ekonomi, norma-norma, interaksi sosial maupun keberagaman agama yang dimiliki masyarakat. Masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan yang terikat suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat,

2004). Perbedaan agama di masyarakat sering dipandang sebagai beban sosial di mana rendahnya rasa toleransi budaya dan kebiasaan dalam beribadat pada

61

masyarakat awam yang selalu dikesampingkan. Rasa toleransi dan setia kawanlah yang menjadi persoalan utama dalam masyarakat multikultural.

Menurut Wasino (2013), paham multikulturalisme merupakan menghargai perbedaan-perbedaan budaya yang lahir dari kelompok-kelompok pendukung budaya itu. Bentuk penghargaan tersebut dapat berupa toleransi antar manusia sehingga melahirkan pemikiran tentang bagaimana masyarakat Hindu dari kelompok minoritas dapat mempertahankan budayanya dengan leluasa tanpa ada ancaman dari mayoritas. Bukan hanya itu, realita kehidupan beragama diharapkan mampu berkembang menjadi gerakan sosial yang positif dan mengembalikan agama pada idenya yang idealistik sebagai pembawa misi perdamaian dan persaudaraan dalam berinteraksi.

Adaptasi diartikan sebagai kapasitas individu untuk mengatasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pada umumnya proses tingkah laku yang didasarkan faktor-faktor psikologis untuk melakukan antisipasi kemampuan melihat tuntutan di masa yang akan datang. Dengan demikian adaptasi merupakan tingkah laku yang melibatkan perencanaan agar dapat mengantisipasi suatu peristiwa di masa yang akan datang. Pengertian adaptasi sering dibaurkan dengan pengertian penyesuaian. Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungannya. Individu memiliki hubungan dengan lingkungannya yang menggiatkannya, merangsang perkembangannya, atau memberikan sesuatu yang ia perlukan. Adaptasi merupakan suatu respon pada situasi, sedangkan penyesuaian merupakan perubahan stimulus itu sendiri (Gerungan 2009:59).

62

Proses adaptasi yang dilakukan antar pemeluk agama yang berbeda merupakan proses penyesuaian atau proses pemahaman terhadap keadaan sekitar mereka yang tentunya berbeda dengan diri dan kebiasaan mereka. Dengan adanya adaptasi antar pemeluk agama mereka bisa menumbuhkan sifat toleransi ataupun saling memahami satu sama lain. Untuk membahas mengenai proses adaptasi yang dilaksanakan oleh para penganut masing-masing Agama baik itu Agama

Islam, Kristen maupun Hindu di wilayah Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka

Timur maka penulis menggunakan instrument pedoman wawancara sehingga penjelasan mengenai proses adaptasi tetap konsisten sesuai dengan tujuan awal penelitian.

Sebelumnya telah dibahas mengenai sejarah keberagaman para pemeluk masing-masing agama di Kecamatan Ladongi berdasarkan literature sejarah kabupaten Kolaka Timur serta wawancara dengan para tokoh agama serta responden yang memahami dan mengetahui tentang proses keberagaman tersebut. selanjutnya adalah pembahasan Proses adaptasi antar umat beragama di

Kecamatan Ladongi. a. Kesadaran Individu Maupun Komunitas Untuk Saling Menghargai

Toleransi secara bahasa berasal dari bahasa latin “tolerare”, toleransi berarti sabar dan menahan diri. Toleransi juga dapat berarti suatu sikap saling menghormati dan menghargai antar kelompok atau antar individu dalam masyarakat atau dalam lingkup lainnya. Sikap toleransi dapat menghindari terjadinya diskriminasi, walaupun banyak terdapat kelompok atau golongan yang

63

berbeda dalam suatu kelompok masyarakat. Pada umumnya manusia hidup dengan banyak toleransi: dalam keluarga, dalam kampung, dalam organisasi, dalam paguyuban beriman, dalam perusahaan, dalam pernerintahan. Selain itu toleransi diperlukan agar suara hati masing-masing orang dapat berfungsi secara wajar dan saling dihargai.

Proses adaptasi yang dilakukan oleh masing-masing para pemeluk agama di Kecamatan Ladongi dilakukan dengan saling menghargai satu sama lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan ibu SC (30 th) sebagai Pendeta Jemaat Eben Heazer

Kelurahan Atula bahwa:

Untuk adaptasi dengan pemeluk agama selama ini berjalan dengan baik, kami umat Kristen bisa menjalani kehidupan bersama, kita bisa hidup berdampingan. Kalau mau dilihat dari posisi atau letak tempat tinggal di sini jemaat tersebar, tidak tinggal di lokasi gedung Gereja. Justru yang ada disekitar Gereja itu umat Islam tetangga-tetangga kita. Tapi puji Tuhan selama ini bisa hidup berdampingan. Dan gedung gereja dengan ee apa Masjid juga dekat, dan itu tidak menjadi masalah. Dalam kehidupan sehari-hari kan kita memang berinteraksi dengan yang berbeda agama toh, ketika ada misalnya anak pemuda di sekolah kan pasti berinteraksi dengan yang berbeda agama, orang tua juga dia di kantor, kalupun juga dia petani pasti tetangga sawahnya juga ada yang beda keyakinan. Jadi ee selalu membangun komunikasi yang baik. (Hasil wawancara 26 Oktober 2020). Adaptasi yang dilakukan masyarakat kecamatan Ladongi dalam keseharian mereka dengan melakukan interaksi dengan umat agama yang berbeda. Interaksi ini terjalin baik di lingkungan tempat tinggal mereka dalam artian hubungan antar tetangga, di tempat-tempat umum seperti pasar, bahkan di kebun atau sawah sekalipun mereka tetap berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik. Hal ini diperkuat dengan pernyataan bapak ML (50 th) seorang Majelis di Gereja Jemaat

Eben Heazer bahwa:

64

Karena di sini kami yang berbeda agama hidup berdampingan saling bertetangga, jadi kami melakukan interaksi layaknya dengan tetangga tanpa mengungkit-ungkit ohh dia tidak seiman dia tidak seagama, tidak seperti itu. Adaptasi yang kami lakukan di sini baik, kami saling memahami dengan perbedaan-perbedaan yang ada antara pemeluk agama. Saya pribadi kan di sini tidak hanya tinggal berdampingan dengan umat Kristen, malahan lebih banyak tetangga saya yang beragama Islam, dan kami bisa saling menghargai. Kami berhubungan layaknya tetangga, tidak membatasi diri bahwa mereka itu Islam jadi jangan bergaul. (Hasil wawancara 26 Oktober 2020). Dari wawancara di atas dapat dipahami bahwa lingkungan tinggal yang heterogen dimana antara umat Islam, Kristen dan Hindu hidup saling bertetangga membuat interaksi antar mereka terjalin secara intensif. Mereka membangun hubungan baik layaknya tetangga pada umumnya, tanpa membatasi diri karena perbedaan agama yang ada. Mereka tidak memilih tempat tinggal dengan mengelompokkan diri dengan umat yang seiman, tetapi justru berbaur dengan umat yang beragama lain. Sesuai dengan pernyataan bapak KS (47 th) selaku

Ketua Parisada Hindu Dharma Kecamatan Ladongi yang menyatakan bahwa:

Tentang bagaimana kami bertoleransi karena kami ada di daerah rantau, misalnya yaa jadi karena kami paham itu bahwa di manapun kita berpijak di situ langit dijunjung kami sebagai umat Hindu yang mana di sini kami adalah minoritas, kami selalu melakukan pendekatan-pendekatan terhadap agama atau umat lain untuk selalu mengedepankan toleransi antar umat beragama. Jadi kalau misalnya ada kawan yang beragama Islam misalnya melakukan sebuah kegiatan itu kami menghargai. Seperti misalnya dalam bulan puasa itu yaa, kan biasanya orang gak makan, yaa kami juga menghargai itu kami dengan sebisa kami juga untuk tidak makan di tempat umum sebaliknya juga begitu karena di kami juga ada yang namanya hari raya tahunan yang harus dihormati, seperti perayaan hari raya nyepi yaa kami juga meminta kepada umat lain untuk sekiranya saat kami melakukan Tape Brate Penyepian agar menghargai. (Hasil wawancara 03 November 2020). Dari hasil wawancara di atas dapat dipahami bahwa proses adaptasi di kecamatan Ladongi masing-masing oleh para pemeluk agama baik itu pemeluk

65

agama Islam, Kristen maupun Hindu didasarkan pada keinginan masing-masing para pemeluk agama untuk saling menghormati satu sama lain. Adaptasi antar umat beragama tidak hanya terjalin dalam forum resmi, tetapi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adaptasi itu berjalan dengan baik. Terlebih partisipasi pemerintah dalam menjaga kerukunan antar umat beragama senantiasa aktif yang mana sesuai dengan visi dan misi pemerintah kecamatan Ladongi. b. Pernikahan Campuran Antar Agama

Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara Norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Pernikahan yang dilakukan antar pasangan yang berbeda agama menjadi salah satu cara masyarakat kecamatan Ladongi melakukan adaptasi terhadap perbedaan-perbedaan yang ada di lingkungan mereka. Hal ini di ungkapkan oleh bapak MM (47 th) salah satu tokoh agama Hindu di kecamatan

Ladongi dikatakan bahwa:

Kalau masalah adaptasi toleransi agama antara umat beragama selama ini hubungan kita harmonis dan baik. Baik itu dalam pelaksanaan ibadah, pelaksanaan keagamaan hari raya semua itu berjalan dengan bagus dan saling menghormati dan saling menghargai antara satu sama lain. Apalagi dengan adanya umat kita yang kawin silang, ada yang orang Bali kawin dengan Islam, orang Kristen dengan orang Bali, aa itu tambah erat hubungan persaudaraan. (Hasil wawancara 31 Oktober 2020). Dari wawancara di atas dapat diketahui bahwa hubungan antar umat beragama di kecamatan Ladongi bisa terjalin dengan harmonis bahkan erat karena

66

terjadi pernikahan-pernikahan antar umat agama yang berbeda, yang mana kemudian dua keluarga yang berbeda agama ini pada akhirnya bisa menjadi hubungan persaudaraan yang erat. Hal serupa juga di ungkapkan oleh bapak SH

(41 th) Camat Ladongi menyatakan bahwa:

Saya kira kalau untuk adaptasi di kecamatan Ladongi ini berjalan dengan baik yah, dalam keseharian juga antar umat agama yang berbeda bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik, bahkan kan ada yang dalam satu rumah itu, satu keluarga berbeda-beda agamanya suaminya Hindu istrisnya Kristen ada, yang Hindu menikah dengan Islam juga ada. Jadi itulah yang berbeda agama tinggal dalam satu rumah saja bisa gitu tanpa gesekan kan, apa lagi yang hanya bertetangga. (Hasil wawancara 25 Oktober 2020). Dari hasil wawancara di atas dapat dipahami bahwa salah satu cara masyarakat kecamatan Ladongi dalam melakukan adaptasi dengan umat agama yang berbeda yaitu melalui pernikahan silang antar agama yang berbeda, pernikahan yang dilakukan antar pasangan yang berbeda agama dapat menyatukan dua keluarga yang berbeda agama pula, hal ini tentu saja akan menjadi pendorong bagi mereka untuk melakukan adaptasi satu sama lain.

Dalam hasil wawancara terkait dengan peran tokoh lintas agama dan pemerintah kecamatan Ladongi dalam memelihara keharmonisan sehingga konflik antar umat agama tidak terjadi, berdasarkan pernyataan bapak SH (41 th) Camat

Ladongi bahwa :

Pemerintah kecamatan Ladongi dalam melakukan pencegahan terhadap potensi konflik antar umat beragama adalah dengan melakukan pendekatan kepada para tokoh lintas agama dengan berbagai kegiatan dan aktivitas sehingga komunikasi antar umat beragama dapat terwujud dan selanjutnya mengacu pada peraturan pemerintah dengan membuat suatu lembaga resmi yakni Forum Kerukunan Antar Umat Beragama

67

(FKUB) dengan tujuan utama adalah mendeteksi potensi konflik serta menylesaikan konflik antara pemeluk agama dengan pendekatan sosial dan kekeluargaan. (Hasil wawancara Tanggal 25 Oktober Tahun 2020).

Kerukunan antar umat beragam di Kabupaten Kolaka Timur tidak luput dari peran serta pemerintah dalam menjaga keharmonisan dalam keberagaman agama. Dalam menjaga kerukunan antar umat beragama di kecamatan Ladongi dibentuk suatu lembaga yang dapat berperan dalam terjalinnya komunikasi antar umat beragama yakni Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKUB). Hal senada juga disampaikan oleh bapak LM (30 th) Sekretaris Camat Ladongi selaku

Ketua FKUB Kecamatan Ladongi dikatakan bahwa :

Untuk mencegah agar tidak terjadi konflik antar umat beragama di kecamatan Ladongi kami berupaya melakukan pendekatan sosial kemasyarakatan salah satunya dengan melakukan proses komunikasi yang baik, yang mana di kecamatan Ladongi terdiri dari berbagai etnis, tentu permasalahan awal bukan diselesaikan oleh para pemuka agama tetapi diselesaikan ditingkat adat sehingga proses penyelesaiannya tidak sampai melibatkan kelompok para pemeluk agama secara luas. Dan juga apabila ada perselisihan maka pemerintah dan instansi terkait segera melakukan mediasi sehingga masalah tersebut dapat terselesaikan dengan baik. (Hasil wawancara Tanggal 25 Oktober Tahun 2020).

Berdasarkan hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa dalam mengatasi konflik antar umat beragama diperlukan peran serta tokoh agama dan pemerintah agar terus membangun komunikasi sehingga setiap permasalahan antar umat beragama dapat diselesaikan dengan baik.

Terhadap hasil wawancara yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat antara para pemeluk agama yang ada di kecamatan Ladongi selama ini tentu tidak terlepas dari kesadaran individu kemudian kelompok dalam memahami setiap

68

perbedaan-perbedaaan utamanya yang berkaitan dengan konsep keagamaan. hubungan sosial, kedekatan emosional, proses perkawinan antar etnis dan agama merupakan modal awal dalam menjaga keharmonisan antar para pemeluk agama di kecamatan Ladongi. c. Melalui Kegiatan Keagamaan, Budaya, dan Sosial

Dalam melakukan adaptasi, masyarakat Kecamatan Ladongi tidak hanya melakukan interaksi dikehidupan sehari-hari mereka. Namun adaptasi juga dilakukan dikegiatan-kegiatan baik yang sakral seperti hari-hari besar masing- masing agama, acara pernikahan, maupun kegiatan kebudayaan hingga sosial.

Sesuai dengan wawancara dengan bapak MM (47 th) salah satu tokoh agama

Hindu yang menyatakan bahwa:

Silaturahmi antara umat beragama satu contoh ketika kami melaksanakan upacara keagamaan dalam rangka menyambut tahun baru Saka itu biasa juga kami lakukan di lapangan terbuka dan dihadiri oleh pemerintah kecamatan Ladongi dan masyarakat sangat antusias dengan adanya pementasan ogoh-ogoh dan semua lainnya. (Hasil wawancara 31 Oktober 2020) Interaksi dan komunikasi antar umat agama yang berbeda dapat terjalin melalui kegiatan keagamaan umat Hindu yang biasanya dilakukan di ruang terbuka seperti lapangan, yang mana kegiatan ini dapat disaksikan oleh semua masyarakat meskipun bukan beragama Hindu. Kegiatan ini sama seperti kegiatan pementasan tokoh-tokoh dalam agama Hindu. Hal serupa juga diungkapkan oleh bapak ML (50 th) salah satu tokoh agama Kristen di Kecamatan Ladongi menyatakan bahwa:

69

Toleransi antar umat beragama disini sangat baik bahkan dapat dikatakan lebih baik hal ini ditandai dengan kegiatan kami, misalnya malam Natal yang menjaga Gereja adalah saudara kami yang Muslim. Kemudian pada hari Natal kerabat yang beragama Islam maupun Hindu biasanya datang ke rumah untuk apa istilahnya, bersilaturahmi lah begitu. Jadi bagi kami perbedaan hanya sebatas pada tata cara dan kepada siapa kami beribadah sehingga kami sudah menjadi keluarga besar tanpa dibatasi oleh perbedaaan keyakinan. (Hasil wawancara 26 Oktober 2020).

Pada hari-hari raya masing-masing agama masyarakat biasanya ikut meramaikan atau ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut untuk menunjukkan rasa saling menghargai dan toleransi mereka kepada umat agama yang sedang merayakan hari besar mereka. Selain beradaptasi pada kegiatan keagamaan, masyarakat juga biasanya melakukan interaksi dalam kegiatan sakral lainnya seperti upacara pernikahan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari bapak KS

(47 th) salah satu tokoh agama Hindu yang menyatakan bahwa:

Termasuk juga tentang kegiatan di luar keagamaan misalnya dalam tradisi kegiatan upacara menikah misalnya, kami disini berbaur, saya lihat kalaupun misalnya orang Bali yang punya kegiatan pesta menikah ada juga yang mengundang kaum Muslim dan datang, sebaliknya juga begitu dari masyarakat umum yang lebih mayoritas di sini mempunyai hajatan juga diundang kawan Bali teman Balinya juga datang. (Hasil wawancara 03 November 2020). Dari wawancara di atas, dapat dijelaskan bahwa dalam kegiatan atau acara pernikahan masyarakat tidak hanya mengundang kerabat atau keluarga yang seagama, tetapi juga mengundang kerabat ataupun tetangga yang berbeda agama, hal ini dilakukan karena telah terjalin hubungan baik antar mereka, baik itu hubungan pertemanan, hubungan pekerjaan, maupun hubungan tetangga. Selain itu juga untuk lebih mempererat hubungan kekerabatan terlebih lagi untuk menghargai keberadaan mereka yang berbeda agama di lingkungan kita. Hal ini

70

pula diperkuat dengan pandangan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten Kolaka Timur, bapak JM (57 th) yang menyatakan bahwa:

Setiap kegiatan baik kegiatan keagamaan maupun kegiatan adat, yang mana di kecamatan Ladongi ini bukan hanya banyak agama tapi juga banyak suku/etnik sehingga setiap kegiatan melibatkan banyak agama dan suku. Ini merupakan kelebihan kita untuk terus menjaga sifat toleransi rasa saling menghargai yang selama ini terjalin sangat baik, untuk hajatan misalnya saya selaku tokoh agama Islam banyak menghadiri kegiatan adat maupun agama yang diselenggarakan oleh saudara kita yang Nasrani mapun yang Hindu begitupun sebaliknya. (Hasil wawancara 25 Oktober 2020).

Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa sifat toleransi dan saling menghargai antara masing-masing pemeluk agama di kecamatan Ladongi diawali dengan kesadaran individu, keluarga kemudian kelompok serta komunitas, terhadap pelaksanaanya setiap kegiatan keagamaan atau adat selalu melibatkan berbagai komponen masyarakat tersebut. Agar tumbuh rasa keakraban dari masing-masing umat beragama. Dengan demikian proses komunikasi dapat terjalin terus menerus sehingga kerukunan dapat terus terjaga.

Hal yang perlu dilakukan pemerintah sekarang dalam menjaga sikap toleransi dan saling menghargai antara para pemeluk agama yang selama ini terus terjaga menurut Sekretaris FKUB Kecamatan Ladongi bapak LM (31 th) dikatakan bahwa :

Agar kerukunan yang selama ini terjalin maka pemerintah tetap melakukan komunikasi dengan melibatkan segenap komponen masyarakat tanpa melihat dasar agamanya. dengan demikian komunikasi yang baik akan berdampak pada pemahaman serta pengertian terhadap suatu agama atau budaya masyarakat secara menyeluruh sehingga akan menjadi dasar sesorang untuk bertindak karena apa yang menjadi tindakannya tidak berdampak atau menyakiti agama dan budaya orang

71

lain. Yang terpenting adalah pemahaman masyarkat tentang perbedaan karena sesungguhnya perbedaan agama dan budaya bukan sebagai penghambat pembangunan namun merupakan kekayaan yang tak ternilai sebagai bangsa yang besar. (Hasil wawancara 25 Oktober 2020)

Dari wawancara di atas dapat dijelaskan bahwa proses adaptasi yang dilakukan masyarakat yang berbeda agama di kecamatan Ladongi berjalan dengan baik dan harmonis, dalam menjalankan kehidupan sehari-hari antar pemeluk agama yang berbeda hidup saling berdampingan satu sama lain. Keberadaan atau populasi setiap pemeluk agama, baik itu Islam, Kristen dan Hindu mereka semua berbaur dan tinggal saling berdekatan antara satu sama lain, dalam urusan tempat tinggal mereka tidak mengelompokkan diri mereka berdasarkan agama yang dianutnya. Mereka bisa dengan nyaman dan harmonis tinggal bertetangga dengan pemeluk agama yang berbeda.

Selanjutnya dalam membina suatu kerukunan di anatara umat beragama yang berbeda di kecamatan Ladongi, masyarakat melakukan proses adaptasi setiap harinya di setiap kegiatan yang mereka lakukan. Baik itu kegiatan perayaan keagamaan, pernikahan, maupun kegiatan keseharian mereka, seperti interaksi yang dilakukan di tempat-tempat umum seperti pasar, toko, maupun tempat hiburan. Untuk meningkatkan sikap toleransi dan adaptasi diantara pemeluk agama yang berbeda, setiap umat beragama senantiasa mendekatkan diri dengan masyarakat lainnya yang berbeda agama. Dalam acara-acara perayaan keagamaan, seringkali umat agama lain ikut menyaksikan atau ikut meramaikan kegiatan tersebut, seperti perayaan hari Nyepi bagi umat Hindu yang biasanya diramaikan dengan pertunjukkan Ogoh-Ogoh di ruang terbuka, yang tidak jarang bahkan umat agama Islam dan Kristen pun ikut hadir untuk menyaksikan pertunjukkan

72

tersebut. Proses adaptasi lainnya juga dilakukan saat ada perayaan pesta pernikahan, yang di mana para tamu undangan tidak hanya dari kalangan umat agama yang sama, namun seringkali ada kerabat dari agama lain yang ikut diundang untuk hadir di acara tersebut, dan undangan tersebut pun disambut baik oleh para pemeluk agama yang berbeda. Bahkan sudah tidak asing lagi terjadi pernikahan silang di kecamatan ladongi di mana antar pemeluk agama yang berbeda menjalin suatu hubungan yang akhirnya diikat oleh suatu pernikahan sakral.

Di antara usaha-usaha untuk mewujudkan kerukunan hidup umat beragama demikian itu adalah melalui dialog antar agama, atau dialog antar umat bergama dalam berbagai bentuknya. Komunikasi yang terjalin antar umat agama menjadi landasan dari terciptanya kerukunan serta rasa toleransi terhadap perbedaan yang ada diantara masyarakat itu sendiri. Ada beberapa proses adaptasi yang dilakukan antar umat beragama yakni; komunikasi yang dilakukan dengan baik antar umat beragama, sikap toleransi yang ditanamkan pada diri sendiri, rasa saling menghargai satu sama lain.

Hasil akhir dalam pelaksanaan terhadap proses adaptasi antara para pemeluk agama di Kecamatan Ladongi dapat dikatakan bahwa proses adaptasi yang terjadi selama ini merupakan adahnya kesadaran masyarakat dalam menyikapi setiap perbedaan utamanya keyakinan serta budaya. yang terpenting adalah bagaimana menjaga keharmonisan masyarakat dalam satu kesatuan yang didasarkan pada kepentingan bersama dalam rangka pembangunan daerah yang lebih maju.

73

B. Pembahasan

Beranjak dari uraian di atas maka peneliti dapat menganalisa secara ilmiah tentang bagaimana adaptasi sosial antar umat beragama di kecamatan Ladongi.

Pluralitas atau keberagaman agama pada masyarakat di suatu wilayah tentunya akan selalu membutuhkan proses adaptasi antar masyarakat yang berbeda agama tersebut. Adaptasi sosial tentunya menjadi persoalan di tengah-tengah masyarakat untuk menciptakan keharmonisan di antara mereka khususnya di kecamatan

Ladongi Kabupaten Kolaka Timur yang merupakan wilayah dengan penganut agama yang berbeda-beda. Keharmonisan antar umat beragama yang terjalin di kecamatan Ladongi menjadi salah satu kebanggaan bagi daerah ini.

Maka dari itu, proses adaptasi yang dilakukan masyarakat menjadi hal penting yang sering diperbincangkan oleh masyarakat di luar kecamatan Ladongi.

Dalam menciptakan keharmonisan ini pula tidak lepas dari peran pemerintah setempat dalam mengontrol dan mendorong adaptasi antar masyarakat. Dimana proses adaptasi yang dilakukan masyarakat kecamatan Ladongi sangat beragam baik itu melalui kesadaran pribadi terhadap pentingnya bertoleransi, terjadinya pernikahan silang antar pemeluk agama yang berbeda, dan melalui kegiatan- kegiatan kebudayaan, sosial, dan keagamaan.

Adaptasi sosial antar umat beragama yang dimaksudkan disini yaitu cara masyarakat melakukan penyesuaian agar dapat menjalani kehidupan sehari-hari mereka dengan realitas bahwa mereka hidup berdampingan dengan pemeluk agama yang berbeda.

74

Peneliti menggunakan teori Adaptasi yang di populerkan oleh Pierre

Bourdieu yang menyatakan bahwa habitus adalah struktur mental atau kognitif yang dapat membantu seseorang untuk berhubungan dengan lingkungan sosilanya. Habitus merupakan akibat dari tinggalnya seseorang pada daerah di dunia sosial untuk jangka waktu yang lama. Dengan demikian habitus ini bervariasi tergantung pada keadaan daerah yang di tempati seseorang tersebut.

Seperti halnya pada masyarakat di kecamatan Ladongi, keharmonisan dan rasa toleransi antar umat beragama yang terjalin di kecamatan Ladongi merupakan habitus atau kebiasaan yang timbul karena mereka telah menempati lingkungan yang sama dalam jangka waktu yang lama. Dimana dari hasil penelitian diketahui bahwa keberagaman agama di kecamatan Ladongi sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda yang berarti bahwa masyarakat sudah melakukan adaptasi dengan pemeluk agama yang berbeda sejak zaman itu pula. Sehingga toleransi antar umat beragama yang terjalin sampai saat ini merupakan habitus bagi masyarakat di kecamatan Ladongi.

Dalam melakukan adaptasi, sikap toleransi dan menghargai perbedaan terlebih dahulu ditanamkan dalam diri sendiri agar mendapat perlakuan yang sama dari masyarakat lainnya. Masyarakat melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan yang mereka tempati agar dapat menjalani kehidupan yang selaras dengan lingkungan mereka. Penyesuaian ini juga berarti bahwa mereka harus menerima adanya perbedaan-perbedaan yang mereka hadapi sebagai suatu realitas dalam masyarakat sosial.

75

Teori Tindakan Komunikasi Habermas. Dalam teori ini, Habermas menjelaskan bahwa masyarakat merupakan makhluk yang komunikatif. Dalam konteks ini teori tindakan komunikatif Habermas merupakan upaya diskursus etika yang bersifat praktis dalam mengeluarkan argumentasi melalui dialog atau perbincangan rasional untuk mencapai persetujuan timbal balik yang bersifat publik. Di antara usaha-usaha untuk mewujudkan kerukunan hidup umat beragama demikian itu adalah melalui dialog antar umat beragama dalam berbagai bentuknya. Komunikasi yang terjalin antar umat agama menjadi landasan dari terciptanya kerukunan serta rasa toleransi terhadap perbedaan yang ada diantara masyarakat itu sendiri. Ada beberapa proses adaptasi yang dilakukan antar umat beragama di kecamatan Ladongi yakni; komunikasi yang dilakukan dengan baik antar umat beragama, baik komunikasi antar individu yang dilakukan dalam keseharian seperti saat berada di pasar, kebun, sawah, kantor, sekolah dan tempat- tempat umum lainnya maupun komunikasi antar kelompok yang dilakukan dalam kegiatan-kegiatan yang di adakan oleh pemerintah yang melibatkan masyarakat, sikap toleransi yang ditanamkan pada diri sendiri dan rasa saling menghargai satu sama lain.

Dari pembahasan di atas peneliti dapat membandingkan bahwa hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rosnatang (2017) bahwa adaptasi sosial yang dilakukan antar umat beragama melalui kegiatan sosial atau gotong royong, menghargai satu sama lain salah satunya dengan tidak mengusik proses ibadah umat agama lain.

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian penulis, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Awal mula masuknya Agama Islam di Kabupaten Kolaka Timur khususnya

di Kecamatan Ladongi berawal dari para pedagang Nusantara yang pada saat

itu menyebarkan agama Islam di Kerajaan Mekongga, agama Kristen masuk

ke Sulawesi Tenggara dipelopori oleh orang berkebangsaan Belanda yani

Hendrik Van Der Klift dengan melakukan pembangunan melalui pendidikan

dan kesehatan gratis, sedangkan untuk agama Hindu berawal dari program

transmigrasi di Kecamatan Ladongi

2. Proses adaptasi antara pemeluk agama di Kecamatan Ladongi didasarkan

pada kesadaran individu serta komunitas masyarakat terhadap keberagaman

agama dan budaya, dalam pelaksanaanya segala aktifitas keagamaan para

pemeluk agama senantiasa saling menghormati dan toleran terhadap penganut

agama lainnya. Proses adaptasi dipengaruhi oleh proses perkawinan

campuran baik didasarkan pada perbedaan agama maupun etnis, sehingga

dalam keseharian masyarakat pandangan terhadap perbedaan menjadi tidak

nampak.

76

77

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian penulis, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Terhadap tokoh agama untuk senantiasa mempertahankan komunikasi yang

selama ini terjalin dengan sangat baik dan senantiasa mengarahkan umat agar

dapat menjaga persaudaraan dan sifat saling menghargai.

2. Terhadap pemerintah Kecamatan Ladongi untuk senantiasa melakukan

pendekatan pendekatan kekeluargaan terhadap permasalahan yang ada dalam

rangka menjaga konflik anta umat beragama, selanjutnya bersama FKUB

melakukan langkah strategis dalam mendeteksi segala potensi konflik antar

umat beragama agar dapat diantisipasi.

3. Terhadap Pemerintah Kabupaten Kolaka Timur untuk dapat mengaktifkan

secara terus menerus segala aktifitas keagamaan yang tujuan akhirnya adalah

menyatukan masyarakat yang beragam dalam satu kesatuan.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1998. Metode Penelitian Suatu pendekatan Praktek. Edisi Revisi Jakarta: Penerbit, Rineka Cipta.

Bart, Fredrik. (ed.). 1998, Kelompok Etnik dan Batasannya, Jakarta: Penerbit, Universitas Indonesia Press.

Bungin, Burhan. 2011. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Penerbit, Rineka Cipta.

Burgoon, J. K., Stern, L. A., dan Dillman, L. 1995. Interpersonal adaptation: Dyadic Interaction Patterns. New York: Penerbit, Cambridge University Press.

Creswell, Jhon W. 2013. Research design pendekatan kualitatif,Kuantitatif, dan mixed. Yogyakarta: Penerbit, Pustaka Pelajar.

Emzir. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: Penerbit Rajawali Pers.

Gerungan, W.A. 2009. Psikologi sosial. Bandung: Penerbit, PT Refika Aditama.

John Wiley & Sons. Inc. 2003. Metodologi Penelitian, Penerbit, Grasindo Hafid Anwar. (2009). Sejarah Daerah Kolaka. Bandung: Humaniora.

Herimanto dan Winarno. 2015. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Penerbit, Bumi Aksara, 2015.

Muhaimin. 2003. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Bandung.Penerbit, Nuansa.

Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit, PT. Remaja Rosdakarya.

Meinarno, Eko A. dkk. 2011. Manusia Dalam Kebudayaan Masyarakat. Jakarta: Penerbit, Salemba Humanika.

Oriza Hendropuspito. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Penerbit, Kanisus.

Puspito, D. Hendro. 1989. Sosiologi Agama, Yogyakarta: Penerbit, Kanisius.

Poloma, Margaret M. 2010. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Penerbit, PT Raja Grafindo Persada

78

79

Pelly, Usman. 1998. Urbanisasi dan Adaptasi, Jakarta: Penerbit, LP3ES

Rosda, Mustapa, M. Habib. 1989. Ilmu Budaya Dasar Kumpulan Essay-Manusia dan Budaya. Surabaya: Penerbit, Usaha Nasional Rosnatang, S. (2017). Adaptasi Sosial Antar Penganut Agama Kristen dan Agama Islam (Studi Kasus di Desa Congko Kecamatan Marioriwawo Kabupaten Soppeng). Socioedu Journal: Pendidikan, Sosial, Humaniora, 55-67.

Shihab, Alwi. 1999. „Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Agama, Jakarta: Penerbit, Mizan.

Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Penerbit, Rajawali Pers,

Saebani, Beni Ahmad. 2007. Sosiologi Agama, Bandung: PT Refika Aditama

Suhanah. 2005. Sosiologi Kehidupan Antarumat Beragama. Jakarta : Penerbit, Kaldera Pustaka Nusantara

Usman, Husaini dkk. 2014. Metodologi penelitian sosial. Jakarta: Penerbit, Bumi Aksara.

Wulansari, Dewi. 2009. Sosisologi Konsep dan Teori. Bandung: Penerbit, PT Refika Aditama

Zuriah, Nurul. 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, Cet. 3, Jakarta: Penerbit, PT Bumi Aksa,

L

A

M

P

I

R

A

N

Tabel Pernikahan Antar Agama di kecamatan Ladongi

NO NAMA AGAMA SUKU ALAMAT KET 1 KETUT PARWATA HINDU BALI WELALA 2 UUN ISLAM SUNDA WELALA 3 HENDRAWAN ISLAM JAWA PUTEMATA 4 RINA JENIANTI KRISTEN TATOR ATULA 5 I MADE SUNARA HINDU BALI LADONGI 6 JATINA KRISTEN TATOR LADONGI 7 I MADE MARGI HINDU BALI ATULA 8 HERNA KRISTEN TATOR ATULA 9 MADE NURANA HINDU BALI LADONGI 10 MARTA SENDOW KRISTEN TATOR LADONGI 11 I WAYAN KARMADA HINDU BALI PUTEMATA 12 SARIYANI ISLAM JAWA PUTEMATA 13 NYOMAN SUMERTA HINDU BALI WELALA 14 WULAN ISLAM SUNDA WELALA 15 FRANSISKUS TUGUN.P KRISTEN TATOR ATULA 16 YAYAH ISLAM SUNDA ATULA 17 JIDON BARTIMEUS KRISTEN TATOR LADONGI 18 LISRASNAWATI ISLAM TOLAKI LADONGI 19 ANRDE KENDENAN KRISTEN TATOR LADONGI 20 HELVIRA ISLAM TOLAKI LADONGI 21 JURNALIS BARTIMEUS KRISTEN TATOR LADONGI 22 NANA ISLAM BUGIS LADONGI 23 KETUT REGEP HINDU BALI ATULA 24 ANDI HADIJAH ISLAM BUGIS ATULA 25 MADE DUNIARTA HINDU BALI PUTEMATA 26 ENDANG ISLAM JAWA PUTEMATA 27 GUSTI PUTU BUDIARTA HINDU BALI PUTEMATA 28 TRINSIH VERONIKA PANGANTI KRISTEN TATOR PUTEMATA 29 MADE ARTIKA HINDU BALI PUTEMATA 30 SRI BUDI EKAWATI ISLAM JAWA PUTEMATA 31 GEDE BUDI ARSANA HINDU BALI PUTEMATA 32 NURSATI ISLAM TOLAKI PUTEMATA 33 WAYAN BUDI HINDU BALI PUTEMATA 34 SITI ISLAM JAWA PUTEMATA 35 MADE LANUS HINDU BALI LALOWOSULA 36 NIAWATI ISLAM JAWA LALOWOSULA 37 WAHONO ISLAM BUGIS ATULA 38 NI PUTU YAYUK.M HINDU BALI ATULA

Wawancara dengan Pendeta Jemaat Eben Heazer Kelurahan Atula

Wawancara dengan Tokoh Agama Kristen Kecamatan Ladongi

Wawancara dengan Tokoh Agama Kristen Kecamatan Ladongi

Wawancara dengan Tokoh Agama Hindu Kecamatan Ladongi

Wawancara dengan tokoh Agama Hindu Kecamatan Ladongi

Wawamcara dengan Tokoh Agama Hindu Kecamatan Ladongi

Wawancara dengan Tokoh Agama islam sekaligus pegawai Kecamatan Ladongi

Wawancara dengan Tokoh Agama Islam sekaligus selaku Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Ladongi

RIWAYAT HIDUP

Niar Linggaeni, Di lahirkan di Welala Kabupaten Kolaka

Timur pada tanggal 06 Januari 1999, dari pasangan Ayahanda

Jaja dan Ibunda Yani Admini. Penulis masuk sekolah dasar

pada tahun 2005 di SDN 1 Atula dan tamat pada tahun 2011.

Pada tahun yang sama peneliti melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2

Ladongi dan tamat pada tahun 2013 kemudian melanjutkan pendidikan di

Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Ladongi dan tamat pada tahun 2016.

Pada tahun 2016 peneliti melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, tepatnya di Universitas Muhammadiyah Makassar (Unismuh) Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan pada program studi Pendidikan Sosiologi. Peneliti menyelesaikan studi trata 1 (S1) pada tahun 2021.