Amriyan Sukandi
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Amriyan Sukandi 119220135 Songkok Resam, ‘Mutiara’ Pulau Timah yang Karam Pulau Sumatera merupakan salah satu pulau besar yang ada di Indonesia. Saat ini terdapat 10 provinsi yang menjadi bagian dari Pulau Sumatera. Setiap provinsi di Sumatera memiliki produk lokal yang menjadi sebuah keunggulan di masing-masing daerah. Beberapa produk lokal unggulan yang dimiliki oleh berbagai provinsi di Pulau Sumatera telah banyak yang dikenal di kancah nasional bahkan internasional. Keunggulan-keunggulan tersebut dapat berupa produk seperti makanan khas, potensi sumber daya migas dan nonmigas, potensi hasil pertanian dan kelautan, serta produk kerajinan tangan yang sangat estetik. Produk-produk lokal unggulan sumatera yang sudah banyak yang terkenal bahkan mendunia seperti produk makanan Rendang dari Sumatera Barat, produk Kain Ulos dari Sumatera Utara, produk Songket dari Aceh, produk Kopi Lampung, produk tambang batubara di Sumatera Selatan, potensi hasil laut di Kepulauan Natuna, dan masih banyak produk lainnya. Salah satu provinsi di Sumatera yang potensi daerahnya kurang diperhatikan dan dimaksimalkan yakni Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdiri dari dua pulau utama, yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Pulau yang dikenal sebagai penghasil timah terbesar di Indonesia ini sebenarnya menyimpan banyak potensi yang masih belum diketahui banyak orang. Salah satu potensi yang kini sedang banyak dibicarakan yaitu potensi dari sektor pariwisata yang sangat indah dan beragam, diantaranya wisata pantai, danau biru kaolin, dan wisata perbukitan yang memukau. Selain potensi tambang timah dan pariwisata, Bangka Belitung juga memiliki potensi di bidang kerajinan tangan yang estetik seperti kain cual, tudung saji dan alat musik dambus. Selain itu, terdapat juga kerajinan tangan yang estetik dan bernilai jual tinggi, namun kurang mendapat perhatian seperti kerajinan songkok resam. Menurut Pratiwi (2017:02), Songkok resam merupakan kerajinan tangan serupa dengan peci atau kopiah yang digunakan sebagai alat penutup kepala bagi orang laki-laki ketika salat ataupun menghadiri ritual budaya di pulau Bangka, seperti peringatan budaya sepintu sedulang, rebo kasan,ataupun nganggung. Songkok resam juga merupakan bagian dari pakaian adat Melayu. Melayu merupakan salah satu suku yang ada di Bangka Belitung selain Suku Tionghoa. Songkok resam dibuat dari tumbuhan paku yang biasanya tumbuh di daerah hutan ataupun perbukitan. Ciri-ciri dari tumbuhan resam yaitu memiliki daun yang menyirip dan berjajar dua, serta memiliki batang atau tangkai kecil yang bercabang-cabang. Batang resam yang sudah tua biasanya berwarna coklat ataupun coklat kehitaman, memiliki serat lunak didalam batangnya yang lentur, kemudian dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan songkok resam. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak sedikit masyarakat Bangka, terutama anak-anak dan remaja yang mengabaikan atau bahkan tidak mengetahui informasi apapun perihal tumbuhan resam. Padahal, tumbuhan ini merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki sebuah potensi dan bernilai jual tinggi apabila dikelola dengan baik oleh masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Walaupun menjadi bagian dari pakaian adat, namun fakta yang tak bisa kita pungkiri bersama adalah popularitas songkok resam jelas kalah jika dibandingkan dengan blangkon ataupun peci hitam yang sudah lama terkenal bahkan sudah mendunia. Blangkon yang merupakan produk lokal dari Pulau Jawa memang sudah menjadi aset nasional dan menjadi warisan budaya nasional. Eksistensi songkok resam di bumi pertiwi ini tidak lebih baik daripada blangkon, padahal songkok resam juga merupakan bagian dari produk lokal nasional yang kental akan nilai-nilai kebudayaan. Itulah sebabnya penulis memunculkan narasi bahwa, songkok resam merupakan ‘mutiara’ pulau Timah yang karam. Sebab, songkok resam merupakan sebuah produk bernilai jual tinggi yang kurang dikenal oleh masyarakat di negeri sendiri. Lantas apa faktor yang menyebabkan eksistensi songkok resam masih rendah? Apa yang sudah dilakukan oleh pelaku ekonomi lokal? Serta apa yang seharusnya dilakukan oleh produsen dan pemerintah daerah setempat? Adanya revolusi industri 4.0. yang digaungkan oleh pemerintah Indonesia, memang memberikan dampak yang besar bagi berbagai sisi kehidupan manusia. Berbagai pekerjaan dapat menjadi lebih mudah dikerjakan berkat adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, faktanya penggunaan teknologi saat ini belum sepenuhnya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Sering kali kita menemukan masyarakat menyalahgunakan teknologi untuk melakukan tindakan-tindakan kriminal seperti penipuan, kejahatan asusila, atau hanya sekadar menebar ancaman. Kemajuan teknologi juga tidak sepenuhnya digunakan generasi muda untuk berkarya. Saat ini permainan dalam jaringan atau game online seakan-akan merebut waktu produktif generasi muda Indonesia dan banyak generasi muda yang terjebak, hingga kemudian menimbulkan rasa candu bermain game online. Kemajuan teknologi yang sangat cepat saat ini juga secara tidak langsung menyebabkan terjadinya asimilasi budaya, sehingga menyebabkan generasi muda Indonesia mulai kehilangan jati dirinya. Menurut Soekanto dalam Romli (2015:03) menyebutkan asimilasi adalah proses perubahan pola kebudayaan untuk menyesuaikan diri dengan mayoritas. Banyak generasi muda yang lupa akan budaya daerah asalnya, seperti generasi muda Bangka Belitung yang kini perlahan-lahan mulai lupa terhadap budayanya. Kurangnya minat generasi muda Bangka Belitung terhadap budaya lokal disebabkan oleh pemikiran yang menjadikan budaya barat sebagai ‘kiblat’ dari kehidupan. Seringkali muncul anggapan bahwa budaya daerah merupakan budaya yang ketinggalan zaman dan kuno. Selain itu, peran pemerintah daerah provinsi Bangka Belitung juga belum maksimal untuk mengembangkan potensi budaya dan produk lokalnya, seperti songkok resam. Hingga saat ini belum ada usaha serius dari pemerintah daerah Bangka Belitung untuk mengembangkan dan mempromosikan songkok resam kepada masyarakat di skala nasional maupun internasional. Bahkan, para pengrajin songkok resam di Bangka Belitung masih dibiarkan berdiri sendiri dan belum memiliki kelompok usaha. Namun, baru-baru ini Pemerintah daerah Bangka Belitung mulai memperhatikan para pengrajin songkok resam, berdasarkan informasi yang dilansir dari BANGKAPOS.com pada Oktober 2019, Gubernur Bangka Belitung telah menandatangani Peraturan Gubernur yang berisi aturan bahwa setiap hari Jumat ASN di lingkup pemerintah provinsi wajib mengenakan songkok resam. Selain itu pemerintah provinsi juga akan memberikan bantuan mal resam yang standar kepada pengrajin agar mempunyai standar yang sama. Songkok resam adalah salah satu aset daerah yang diharapkan dapat membantu menunjang perekonomian masyarakat Bangka Belitung. Saat ini, kisaran harga songkok resam di pasaran sekitar Rp50.000-Rp300.000 untuk songkok resam dengan kualitas standar, dan bisa mencapai satu juta rupiah untuk songkok resam dengan kualitas yang bagus atau unggulan. Kerajinan songkok resam yang dibuat oleh masyarakat Bangka Belitung sebenarnya memiliki potensi dan peluang besar untuk dapat bersaing dengan produk lokal dari daerah lain di Indonesia. Ada beberapa alasan yang menyebabkan songkok resam dapat bersaing dengan produk lokal daerah-daerah lain di Indonesia, seperti bahan baku songkok resam yang berasal dari alam dan ramah lingkungan, proses pembuatan yang rumit dan memerlukan keterampilan khusus, bentuknya yang memiliki pori-pori sehingga tidak menyebabkan rasa panas ketika dikenakan, serta tampilannya yang estetik dan bergaya tradisional. Ada beberapa alternatif cara yang dapat dilakukan oleh pengrajin songkok resam, mahasiswa, masyarakat, atau pemerintah daerah Bangka Belitung agar kerajinan songkok resam ini dapat bersaing dengan produk lokal dari daerah-daerah lain, cara-cara tersebut seperti: 1. Membentuk beberapa kelompok usaha Saat ini pengrajin songkok resam yang ada di Bangka Belitung masih berdiri sendiri atau belum memiliki kelompok usaha, sehingga mereka hanya bekerja secara mandiri dan memasarkan produknya sendiri. Semakin sulitnya mencari bahan baku akibat dari alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit, serta modal yang kurang, menyebabkan banyak pengrajin songkok resam yang memilih untuk beralih profesi menjadi petani atau menjadi buruh harian. Dengan demikian, seharusnya pemerintah daerah Bangka Belitung melalui Dinas UKM dan Koperasi mengajak masyarakat untuk membentuk suatu kelompok usaha dan memberikan modal kepada masyarakat, misalnya membentuk koperasi atau UKM yang kemudian dibina dan diberikan pelatihan khusus oleh para ahli, mulai dari cara mencari dan mengumpulkan bahan baku, cara mengolah bahan baku, cara menganyam songkok resam, hingga strategi pemasarannya. Dengan adanya kelompok usaha tersebut, maka para pengrajin songkok resam dapat saling membantu dan berbagi keterampilan agar produk yang dihasilkan memiliki kualitas yang bagus, serta para pengrajin dapat belajar strategi pemasaran untuk meningkatkan popularitas songkok resam dan bersaing dengan produk lokal dari daerah lainnya. 2. Menampung hasil produk songkok resam Cara lain yang dapat dilakukan agar songkok resam dapat bersaing dengan produk lokal daerah lain yaitu dengan terlebih dahulu meningkatkan popularitas songkok resam di daerah sendiri. Pemerintah daerah Bangka Belitung dapat menampung hasil kerajinan songkok resam dan membuat Peraturan Gubernur tentang pemanfaatan dan pelestarian produk lokal daerah, seperti songkok resam agar