Amriyan Sukandi

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Amriyan Sukandi Amriyan Sukandi 119220135 Songkok Resam, ‘Mutiara’ Pulau Timah yang Karam Pulau Sumatera merupakan salah satu pulau besar yang ada di Indonesia. Saat ini terdapat 10 provinsi yang menjadi bagian dari Pulau Sumatera. Setiap provinsi di Sumatera memiliki produk lokal yang menjadi sebuah keunggulan di masing-masing daerah. Beberapa produk lokal unggulan yang dimiliki oleh berbagai provinsi di Pulau Sumatera telah banyak yang dikenal di kancah nasional bahkan internasional. Keunggulan-keunggulan tersebut dapat berupa produk seperti makanan khas, potensi sumber daya migas dan nonmigas, potensi hasil pertanian dan kelautan, serta produk kerajinan tangan yang sangat estetik. Produk-produk lokal unggulan sumatera yang sudah banyak yang terkenal bahkan mendunia seperti produk makanan Rendang dari Sumatera Barat, produk Kain Ulos dari Sumatera Utara, produk Songket dari Aceh, produk Kopi Lampung, produk tambang batubara di Sumatera Selatan, potensi hasil laut di Kepulauan Natuna, dan masih banyak produk lainnya. Salah satu provinsi di Sumatera yang potensi daerahnya kurang diperhatikan dan dimaksimalkan yakni Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdiri dari dua pulau utama, yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Pulau yang dikenal sebagai penghasil timah terbesar di Indonesia ini sebenarnya menyimpan banyak potensi yang masih belum diketahui banyak orang. Salah satu potensi yang kini sedang banyak dibicarakan yaitu potensi dari sektor pariwisata yang sangat indah dan beragam, diantaranya wisata pantai, danau biru kaolin, dan wisata perbukitan yang memukau. Selain potensi tambang timah dan pariwisata, Bangka Belitung juga memiliki potensi di bidang kerajinan tangan yang estetik seperti kain cual, tudung saji dan alat musik dambus. Selain itu, terdapat juga kerajinan tangan yang estetik dan bernilai jual tinggi, namun kurang mendapat perhatian seperti kerajinan songkok resam. Menurut Pratiwi (2017:02), Songkok resam merupakan kerajinan tangan serupa dengan peci atau kopiah yang digunakan sebagai alat penutup kepala bagi orang laki-laki ketika salat ataupun menghadiri ritual budaya di pulau Bangka, seperti peringatan budaya sepintu sedulang, rebo kasan,ataupun nganggung. Songkok resam juga merupakan bagian dari pakaian adat Melayu. Melayu merupakan salah satu suku yang ada di Bangka Belitung selain Suku Tionghoa. Songkok resam dibuat dari tumbuhan paku yang biasanya tumbuh di daerah hutan ataupun perbukitan. Ciri-ciri dari tumbuhan resam yaitu memiliki daun yang menyirip dan berjajar dua, serta memiliki batang atau tangkai kecil yang bercabang-cabang. Batang resam yang sudah tua biasanya berwarna coklat ataupun coklat kehitaman, memiliki serat lunak didalam batangnya yang lentur, kemudian dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan songkok resam. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak sedikit masyarakat Bangka, terutama anak-anak dan remaja yang mengabaikan atau bahkan tidak mengetahui informasi apapun perihal tumbuhan resam. Padahal, tumbuhan ini merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki sebuah potensi dan bernilai jual tinggi apabila dikelola dengan baik oleh masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Walaupun menjadi bagian dari pakaian adat, namun fakta yang tak bisa kita pungkiri bersama adalah popularitas songkok resam jelas kalah jika dibandingkan dengan blangkon ataupun peci hitam yang sudah lama terkenal bahkan sudah mendunia. Blangkon yang merupakan produk lokal dari Pulau Jawa memang sudah menjadi aset nasional dan menjadi warisan budaya nasional. Eksistensi songkok resam di bumi pertiwi ini tidak lebih baik daripada blangkon, padahal songkok resam juga merupakan bagian dari produk lokal nasional yang kental akan nilai-nilai kebudayaan. Itulah sebabnya penulis memunculkan narasi bahwa, songkok resam merupakan ‘mutiara’ pulau Timah yang karam. Sebab, songkok resam merupakan sebuah produk bernilai jual tinggi yang kurang dikenal oleh masyarakat di negeri sendiri. Lantas apa faktor yang menyebabkan eksistensi songkok resam masih rendah? Apa yang sudah dilakukan oleh pelaku ekonomi lokal? Serta apa yang seharusnya dilakukan oleh produsen dan pemerintah daerah setempat? Adanya revolusi industri 4.0. yang digaungkan oleh pemerintah Indonesia, memang memberikan dampak yang besar bagi berbagai sisi kehidupan manusia. Berbagai pekerjaan dapat menjadi lebih mudah dikerjakan berkat adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, faktanya penggunaan teknologi saat ini belum sepenuhnya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Sering kali kita menemukan masyarakat menyalahgunakan teknologi untuk melakukan tindakan-tindakan kriminal seperti penipuan, kejahatan asusila, atau hanya sekadar menebar ancaman. Kemajuan teknologi juga tidak sepenuhnya digunakan generasi muda untuk berkarya. Saat ini permainan dalam jaringan atau game online seakan-akan merebut waktu produktif generasi muda Indonesia dan banyak generasi muda yang terjebak, hingga kemudian menimbulkan rasa candu bermain game online. Kemajuan teknologi yang sangat cepat saat ini juga secara tidak langsung menyebabkan terjadinya asimilasi budaya, sehingga menyebabkan generasi muda Indonesia mulai kehilangan jati dirinya. Menurut Soekanto dalam Romli (2015:03) menyebutkan asimilasi adalah proses perubahan pola kebudayaan untuk menyesuaikan diri dengan mayoritas. Banyak generasi muda yang lupa akan budaya daerah asalnya, seperti generasi muda Bangka Belitung yang kini perlahan-lahan mulai lupa terhadap budayanya. Kurangnya minat generasi muda Bangka Belitung terhadap budaya lokal disebabkan oleh pemikiran yang menjadikan budaya barat sebagai ‘kiblat’ dari kehidupan. Seringkali muncul anggapan bahwa budaya daerah merupakan budaya yang ketinggalan zaman dan kuno. Selain itu, peran pemerintah daerah provinsi Bangka Belitung juga belum maksimal untuk mengembangkan potensi budaya dan produk lokalnya, seperti songkok resam. Hingga saat ini belum ada usaha serius dari pemerintah daerah Bangka Belitung untuk mengembangkan dan mempromosikan songkok resam kepada masyarakat di skala nasional maupun internasional. Bahkan, para pengrajin songkok resam di Bangka Belitung masih dibiarkan berdiri sendiri dan belum memiliki kelompok usaha. Namun, baru-baru ini Pemerintah daerah Bangka Belitung mulai memperhatikan para pengrajin songkok resam, berdasarkan informasi yang dilansir dari BANGKAPOS.com pada Oktober 2019, Gubernur Bangka Belitung telah menandatangani Peraturan Gubernur yang berisi aturan bahwa setiap hari Jumat ASN di lingkup pemerintah provinsi wajib mengenakan songkok resam. Selain itu pemerintah provinsi juga akan memberikan bantuan mal resam yang standar kepada pengrajin agar mempunyai standar yang sama. Songkok resam adalah salah satu aset daerah yang diharapkan dapat membantu menunjang perekonomian masyarakat Bangka Belitung. Saat ini, kisaran harga songkok resam di pasaran sekitar Rp50.000-Rp300.000 untuk songkok resam dengan kualitas standar, dan bisa mencapai satu juta rupiah untuk songkok resam dengan kualitas yang bagus atau unggulan. Kerajinan songkok resam yang dibuat oleh masyarakat Bangka Belitung sebenarnya memiliki potensi dan peluang besar untuk dapat bersaing dengan produk lokal dari daerah lain di Indonesia. Ada beberapa alasan yang menyebabkan songkok resam dapat bersaing dengan produk lokal daerah-daerah lain di Indonesia, seperti bahan baku songkok resam yang berasal dari alam dan ramah lingkungan, proses pembuatan yang rumit dan memerlukan keterampilan khusus, bentuknya yang memiliki pori-pori sehingga tidak menyebabkan rasa panas ketika dikenakan, serta tampilannya yang estetik dan bergaya tradisional. Ada beberapa alternatif cara yang dapat dilakukan oleh pengrajin songkok resam, mahasiswa, masyarakat, atau pemerintah daerah Bangka Belitung agar kerajinan songkok resam ini dapat bersaing dengan produk lokal dari daerah-daerah lain, cara-cara tersebut seperti: 1. Membentuk beberapa kelompok usaha Saat ini pengrajin songkok resam yang ada di Bangka Belitung masih berdiri sendiri atau belum memiliki kelompok usaha, sehingga mereka hanya bekerja secara mandiri dan memasarkan produknya sendiri. Semakin sulitnya mencari bahan baku akibat dari alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit, serta modal yang kurang, menyebabkan banyak pengrajin songkok resam yang memilih untuk beralih profesi menjadi petani atau menjadi buruh harian. Dengan demikian, seharusnya pemerintah daerah Bangka Belitung melalui Dinas UKM dan Koperasi mengajak masyarakat untuk membentuk suatu kelompok usaha dan memberikan modal kepada masyarakat, misalnya membentuk koperasi atau UKM yang kemudian dibina dan diberikan pelatihan khusus oleh para ahli, mulai dari cara mencari dan mengumpulkan bahan baku, cara mengolah bahan baku, cara menganyam songkok resam, hingga strategi pemasarannya. Dengan adanya kelompok usaha tersebut, maka para pengrajin songkok resam dapat saling membantu dan berbagi keterampilan agar produk yang dihasilkan memiliki kualitas yang bagus, serta para pengrajin dapat belajar strategi pemasaran untuk meningkatkan popularitas songkok resam dan bersaing dengan produk lokal dari daerah lainnya. 2. Menampung hasil produk songkok resam Cara lain yang dapat dilakukan agar songkok resam dapat bersaing dengan produk lokal daerah lain yaitu dengan terlebih dahulu meningkatkan popularitas songkok resam di daerah sendiri. Pemerintah daerah Bangka Belitung dapat menampung hasil kerajinan songkok resam dan membuat Peraturan Gubernur tentang pemanfaatan dan pelestarian produk lokal daerah, seperti songkok resam agar
Recommended publications
  • Mata Sebagai Sumber Ide Penciptaan Motif Dalam Busana Modern
    E-ISSN : 2685-2780 P-ISSN : 2685-4260 MATA SEBAGAI SUMBER IDE PENCIPTAAN MOTIF DALAM BUSANA MODERN Volume 2, Nomor 1 Putri Utami Mukti Januari 2020, (1-8) Pascasarjana ISI Yogyakarta Institut Seni Indonesia Yogyakarta e-mail : [email protected] ABSTRAK Mata adalah jendela jiwa dan jendela dunia ke dalam kehidupan, dengan semua peristiwa dapat dilihat dan dihargai itu memiliki bentuk estetika, filosofis konten dan nilai yang tinggi bagi kehidupan, maka dari itu menjadi penting untuk menyampaikan mata lewat media yang mudah diterima oleh masyarakat. Salah satu media yang dapat mewakili seluruh isi mata adalah seni kriya tekstil, karena memiliki turunan berupa busana yang menjadi kebutuhan utama bagi kehidupan manusia. Busana tidak hanya berfungsi sebagai pelindung tubuh tetapi bisa menjadi media komunikasi untuk menyampaikan pesan estetis. Mata akan digunakan sebagai sumber ide penciptaan motif dan diterapkan pada busana modern untuk menyampaikan konten makna dan filosofis yang terkandung di dalamnya dengan menggunakan pendekatan estetika dan ergonomi. Kata kunci: Mata, busana, kriya tekstil ABSTRACT The eyes are the Windows of the soul and the world's window into life, with all the events can be seen and appreciated it has a form of aesthetic, philosophical content and high value for life, therefore becomes essential to convey the eyes through the media that is easily accepted by the society. One of the media that can represent the entire contents of the eye is the art of textile craft, because it has a derivative form of clothing that became the main needs for human life. The clothes not only serves as a protector of the body but it can be a medium of communication to convey messages aesthetically.
    [Show full text]
  • Intellectual Property Center, 28 Upper Mckinley Rd. Mckinley Hill Town Center, Fort Bonifacio, Taguig City 1634, Philippines Tel
    Intellectual Property Center, 28 Upper McKinley Rd. McKinley Hill Town Center, Fort Bonifacio, Taguig City 1634, Philippines Tel. No. 238-6300 Website: http://www.ipophil.gov.ph e-mail: [email protected] Publication Date: 02 March 2021 1 ALLOWED MARKS PUBLISHED FOR OPPOSITION .................................................................................................... 2 1.1 ALLOWED NATIONAL MARKS ............................................................................................................................................. 2 Intellectual Property Center, 28 Upper McKinley Rd. McKinley Hill Town Center, Fort Bonifacio, Taguig City 1634, Philippines Tel. No. 238-6300 Website: http://www.ipophil.gov.ph e-mail: [email protected] Publication Date: 02 March 2021 1 ALLOWED MARKS PUBLISHED FOR OPPOSITION 1.1 Allowed national marks Application No. Filing Date Mark Applicant Nice class(es) Number 1 March SOYA SARAP Central Luzon State University 1 4/2018/00003811 29 and30 2018 HEALTHY DELIGHTS [PH] 11 April DOORTECH Ambassador International, Inc. 2 4/2019/00006040 7 and37 2019 SYSTEMS [PH] 22 April 3 4/2019/00006471 LAO BAN Hong Qingcheng [PH] 30 2019 4 4/2019/00011267 1 July 2019 KEMIN Kemin Industries, Inc. [US] 1; 5; 29 and31 The Chewy Restaurant Group, 5 4/2019/00011522 4 July 2019 CRAZY ACRES 29 and43 Inc. [PH] 12 July 6 4/2019/00012325 ECOLOOP Dell Inc. [US] 9 and18 2019 18 July Cscor Global Intertrade Corp. / 7 4/2019/00012631 CALIFORNIA STYLE 3 2019 Lin Y. Tan [PH] HEIHEI 15 August Bounty Agro Ventures, Inc. 8 4/2019/00014445 GOT YOUR CHICKEN 35 and43 2019 [PH] MATE! MR. ELMER SANGALANG 23 October MIGUEL operating as 9 4/2019/00018512 LIVESOUND 9 2019 SOUNDLIGHT ENTERPRISES [PH] 11 Discovery Hospitality 10 4/2019/00019642 November DISCOVERY SAMAL 43 Corporation [PH] 2019 29 11 4/2019/00020847 November LODI STOVE Aldrich D.
    [Show full text]
  • Case Study of Kubrosiswo Cultural Art Commodification
    Harmonia: Journal of Arts Research and Education 18 (1) (2018), 1-12 p-ISSN 2541-1683|e-ISSN 2541-2426 Available online at http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/harmonia DOI: 10.15294/harmonia.v18i1.11363 Traditional Art Strategy in Responding Capitalization: Case Study of Kubrosiswo Cultural Art Commodification Agus Maladi Irianto, Arido Laksono, Hermintoyo Faculty of Humanities, Universitas Diponegoro, Indonesia Received: November 6, 2017. Revised: April 23, 2018. Accepted: June 10, 2018 Abstract The aim of this study is to describe traditional art capitalization as the cultural identity of a so- ciety and a strategy of the society which supports traditional art in developing cultural comodi- fication in line with the demands of the tourism industry. The paper is based on field research presenting a case study of the existence of Kubrosiswo traditional art from Magelang Regency, Central Java, Indonesia which develops the cultural comodification as a strategy to respond to the economic capitalization demands, especially the emergence of the tourism industry which appeared in this globalization era. One alternative strategy which is developed in this research is by making a documentary film. The documentary film is one of the strategies to present the real- ity based on the description in the field, and it is also expected to create awareness in recognizing and comprehending the knowledge of Kubrosiswo traditional art. Keywords: Art Capitalization; Cultural Commodification; Kubrosiswo; Documentary Film How to Cite: Irianto, A. M., Laksono, A., & Hermintoyo. (2018). Traditional Art Strategy in Responding Capitalization: Case Study of Kubrosiswo Cultural Art Commodification. Harmonia: Journal of Arts Research And Education, 18(1), 1-12.
    [Show full text]
  • Motif Ragam Hias Kupiah Aceh
    Jurnal Ilmiah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unsyiah Volume 1, Nomor2:147-154 Mei 2016 MOTIF RAGAM HIAS KUPIAH ACEH T Ikkin Nurmuttaqin1*, Ismawan1, Cut Zuriana1 1 Program Studi Pendidikan Seni Drama Tari dan Musik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala ABSTRAK Penelitian ini berjudul “Motif Ragam Hias Kupiah Aceh”. Adapun yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah apa saja macam-macam jenis kupiah Aceh dan motif ragam hias yang terdapat pada kupiah Aceh. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan macam-macam jenis kupiah Aceh dan mendeskripsikan motif ragam hias yang terdapat pada kupiah Aceh. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan dengan reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa macam-macam jenis kupiah Aceh terdapat pada koleksi Museum Aceh adalah kupiah Puteh, kupiah Teureuboih, kupiah Ija Tjam, kupiah Gayo Lues, kupiah Aceh Tengah-Bener Meriah, kupiah Beludru Hitam dan kupiah Beludru Motif Aceh). Motif-motif yang ada pada kupiah Aceh tersebut adalah sebagai berikut: Motif Bungong Kundo, Motif Bungong Renue Leue, , Motif Bungong Sise Meuriah, Motif Bungong Johang, Motif Bungong Pucuk Rebung, Motif Buah Delima dan Awan, Motif Putekh Tali, Motif Gelombang, Motif Cecengkuk Anak, Motif Lempang Ketang, Motif Emun Berangkat, Motif Tei Kukor, Motif Putar Tali, Motif Bintang dan Motif Gesek. Kata Kunci: motif ragam hias kupiah Aceh, motif Aceh PENDAHULUAN Aceh adalah sebuah provinsi di Indonesia. Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatra dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia.
    [Show full text]
  • Art Gallery of New South Wales Annual Report 2001
    ART GALLERY OF NEW SOUTH WALES ANNUAL REPORT 2001 1 TABLE OF CONTENTS ART GALLERY OF NEW SOUTH WALES HIGHLIGHTS PRESIDENT’S REPORT 2 NEW ATTENDANCE RECORD SET FOR THE POPULAR ARCHIBALD, WYNNE AND SULMAN PRIZES, WHICH HAD MORE THAN 98,000 VISITORS. DIRECTOR’S REPORT 4 1 YEAR IN REVIEW 8 TWO NEW MAJOR AGNSW PUBLICATIONS, AUSTRALIAN ART IN THE ART GALLERY OF NEW SOUTH WALES AND PAPUNYA TULA: GENESIS AIMS/OBJECTIVES/PERFORMANCE INDICATORS 26 2 AND GENIUS. CORPORATE GOVERNANCE 32 DEDICATION OF THE MARGARET OLLEY TWENTIETH CENTURY EUROPEAN LIFE GOVERNORS 34 3 GALLERIES IN RECOGNITION OF HER CONTINUING AND SUBSTANTIAL SENIOR MANAGEMENT PROFILE 34 ROLE AS A GALLERY BENEFACTOR. ORGANISATION CHART 36 COLLECTION ACQUISITIONS AMOUNTED TO $7.8 MILLION WITH 946 FINANCIAL STATEMENTS 41 4 PURCHASED AND GIFTED WORKS ACCESSIONED INTO THE PERMANENT COLLECTION.TOTAL ACQUISITIONS HAVE GROWN BY MORE THAN $83.4 APPENDICES 62 MILLION IN THE PAST 10 YEARS. INDEX 92 MORE THAN 1.04 MILLION VISITORS TO OVER 40 TEMPORARY, TOURING GENERAL INFORMATION 93 5 AND PERMANENT COLLECTION EXHIBITIONS STAGED IN SYDNEY, REGIONAL NSW AND INTERSTATE. COMMENCED A THREE-YEAR, $2.3 MILLION, NSW GOVERNMENT 6 FUNDED PROGRAMME TO DIGITISE IMAGES OF ALL WORKS IN THE GALLERY’S PERMANENT COLLECTION. Bob Carr MP Premier, Minister for the Arts, and Minister for Citizenship DEVELOPED GALLERY WEBSITE TO ALLOW ONLINE USERS ACCESS TO Level 40 7 DATABASE INFORMATION ON THE GALLERY’S COLLECTION, INCLUDING Governor Macquarie Tower AVAILABLE IMAGES AND SPECIALIST RESEARCH LIBRARY CATALOGUE. 1 Farrer Place SYDNEY NSW 2000 CREATED A MAJOR NEW FAMILY PROGRAMME, FUNDAYS AT THE 8 GALLERY, IN PARTNERSHIP WITH A FIVE-YEAR SPONSORSHIP FROM THE Dear Premier, SUNDAY TELEGRAPH.
    [Show full text]
  • An Analysis of the Characteristics of Balinese Costume - Focus On The Legong Dance Costume
    Print ISSN 1229-6880 Journal of the Korean Society of Costume Online ISSN 2287-7827 Vol. 67, No. 4 (June 2017) pp. 38-57 https://doi.org/10.7233/jksc.2017.67.4.038 An Analysis of the Characteristics of Balinese Costume - Focus on the Legong Dance Costume - Langi, Kezia-Clarissa · Park, Shinmi⁺ Master Candidate, Dept. of Clothing & Textiles, Andong National University Associate Professor, Dept. of Clothing & Textiles, Andong National University⁺ (received date: 2017. 1. 12, revised date: 2017. 4. 11, accepted date: 2017. 6. 16) ABSTRACT1) Traditional costume in Indonesia represents identity of a person and it displays the origin and the status of the person. Where culture and religion are fused, the traditional costume serves one of the most functions in rituals in Bali. This research aims to analyze the charac- teristics of Balinese costumes by focusing on the Legong dance costume. Quantitative re- search was performed using 332 images of Indonesian costumes and 210 images of Balinese ceremonial costumes. Qualitative research was performed by doing field research in Puri Saba, Gianyar and SMKN 3 SUKAWATI(Traditional Art Middle School). The paper illus- trates the influence and structure of Indonesian traditional costume. As the result, focusing on the upper wear costume showed that the ancient era costumes were influenced by animism. They consist of tube(kemben), shawl(syal), corset, dress(terusan), body painting and tattoo, jewelry(perhiasan), and cross. The Modern era, which was shaped by religion, consists of baju kurung(tunic) and kebaya(kaftan). The Balinese costume consists of the costume of participants and the costume of performers.
    [Show full text]
  • Habitus of Culture: Retaining Batik's Identity Amidst the Modernization
    Habitus of Culture: Retaining Batik’s Identity amidst the Modernization Kamsidjo Budi Utomo. Ebnan Syarif, Universitas Negeri Semarang [email protected] Abstract Amidst the rapid modernization, Batik is now considered old-fashioned and less favored; as an icon of traditional textile art, Batik has been inferior in keeping up with current demands of a so-called “modern” society. The quick-spreading fad of kekinian (or „trendy‟, „hype‟) has been more familiar to the younger generation. This phenomenon calls for a critical outlook on the “metaphysics of presence” that lays its foundation on the principle of aesthetics. To this growing lifestyle, perfections in life are achieved by expediency and pragmatism. Contrary to that, batik offers traditionalistic, symbolic approach of representing meaning; therefore, it becomes less popular compared to the recent trends. This study, however, sees the relevance of raising the discourse of batik in the midst of recent trends by approaching it from the lens of cultural pluralism that highlights its emphasis on a nation‟s “character”. However, in lieu of mere attempt of “reviving” the relevance of batik, this study aims further to discuss batik‟s true nature and the development of its existence throughout the advancement of culture and science. Keywords : Batik Education, Habitus of Culture, Philosophy of Batik 1. Batik’s motifs There has been much debate over the history of batik: its origins, motifs, and dyeing techniques. People all over the world, from Latin America, up to India and Indonesia‟s neighbor, Malaysia, has been claiming about their respective cultures to be the birthplace of batik as one of the oldest fabric tie-dyeing techniques.
    [Show full text]
  • Batik, a Beautiful Cultural Heritage That Preserve Culture and Support Economic Development in Indonesia”
    “BATIK, A BEAUTIFUL CULTURAL HERITAGE THAT PRESERVE CULTURE AND SUPPORT ECONOMIC DEVELOPMENT IN INDONESIA” Evi Steelyana Accounting Departement, Faculty of Economics and Communication, BINUS University Jln. K.H. Syahdan No. 9, Palmerah, Jakarta Barat 11480 [email protected] ABSTRACT Batik is an icon nation for Indonesia. Batik has awarded as cultural heritage from UNESCO on October 2nd, 2009and it is significantly affected to batik industry afterward.The raising of batik industry caused some multiplier effects to economics and socio cultural in Indonesia. In many areas of industry, banking role has always beenthe man behind the scene. Banking role in Indonesia also gives some encouragement and be part of batik industry development. Many national event has been created by some banks to encourage SME in batik industry to market their product internationally. This paper will give a simple explanation how banking industry and batik industry get along together in Indonesia, especially in financial sector to enhance economics development and to preserve a nation culture.Research methodology in this paper is quantitative method. This paper will give a simple analysis through comparative analysis based on export value from batik industry, domestic use of batik,batik industry development and microcredit or loan from banking industry to SME in batik industry.Many people wearing batik to show how they do appreciate and belong to a culture.Batik also gives other spirit of nationalism which represent in Batik Nationalis.The role of batik in international diplomacy and in the world level gives significant meaning for batik as a commodity which preserve Indonesian culture. In a piece of batik cloth, embodied socio-cultural and economic values that maintain the dignity of a nation.
    [Show full text]
  • Contesting Sartorial Hierarchies
    Contesting Sartorial Hierarchies From Ethnic Stereotypes to National Dress , Raden Moehamad Enoch, a junior engineer at the Department of Public Works, patiently waited in line to purchase a I second-class train ticket at the Bandung railway station. Dressed in a Euro- pean suit, Enoch exemplied his generation of young Javanese who enjoyed a Western education, were uent in Dutch, and had roots in the lower aristoc- racy but worked in nontraditional professions. When it was his turn, Enoch approached the window and, in Dutch, kindly requested a train ticket to Madiun, his hometown. e European ticket o cer, clearly annoyed, replied to Enoch in Malay and told him to wait. When he then immediately accepted a European patron at his window, Enoch stepped up to another o cer at the counter for third-class tickets, only to be denied service once more. On Enoch’s inquiry as to why he was not served at either window, the ticket o cer yelled at him—this time in Dutch—and told him unmistakably to either shut up or su er the consequences. Enoch refused to back down, which provoked the ticket o cer into bellowing: “You are a native, and thus need to buy your ticket at the window for natives.” Instead, the proud Enoch demanded to speak to the sta- tion chief. When the chief arrived, he was forced to acknowledge Enoch’s right to purchase his ticket at any window he pleased—a right that was previously limited to Europeans. On the train to Madiun, Enoch described the episode in a letter to Advisor for Native A airs G.
    [Show full text]
  • Cultural Hegemony: White Gown Vs Traditional Dress
    UGM Digital Press Proceeding of ASIC 2018 2 Social Sciences and Humanities (2018) : 77-81 American Studies International Conference (ASIC) 2018 Cultural Hegemony: White Gown vs Traditional Dress Lisa Okta Wulandari American Studies Master’s Programme. Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada, Indonesia e-mail: [email protected] Abstract Traditional dress defines a local identity of a culture, place, tribe, or race. Nowadays, traditional dresses are only worn on some ceremonies such as wedding ceremony and even so, many people do not wear any kind of traditional attire in attending a wedding. Instead, they use the modern one. In this era, women are familiar with the white gown for the wedding. Instead of wearing the traditional dress, they rather choose a white gown for some reasons such as the needs, the condition, efficiency, or interest. However, besides those personal reasons, there are also external factors such as economy, social, and even politics. These all factors happen in one process called globalization. They are connected through the process of globalization. In this process, those factors influence the local identity, which in this case is a traditional dress, in engaged with a white gown. Also, it can be identified whether the traditional dress can survive, or it is replaced by a white gown and Keywordswhat condition in globalization makes traditional dress survive or not. Globalization, white gown, traditional dress, postmodernity 1 Introduction Talking about local identity in a globalization context, at first, it is necessary to understand the meaning and the concept of both identity and globalization. Identity itself has two kinds of definitions: social and social category personal.
    [Show full text]
  • Transformation of Ulos As Creative Textiles for Fashion Design Learning
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 102 1st International Conference on Technology and Vocational Teachers (ICTVT 2017) Transformation of Ulos as Creative Textiles For Fashion Design Learning Nining Tristantie Universitas Negeri Medan Fakultas Teknik Medan, Indonesia [email protected] Abstract— Qualified education is one which is able to reflect forward transition to the field of fashion design that becomes the globalization movement dinamically. Clothing Education and the sphere of creative fashion industry.(Tian, Bingqiang, Hu, globalization should provide an implication to the economy Shouzhong.2016) These problems are also in line with the accelaration which needs creative effort to drive either local or reality faced by the creative economy that exists in Indonesia, international market through learning which should contain local based on Department of Trade on the description of the genius. One of the local genius departing from cultural Creative Industry of 2009-2015 that the largest contribution of artifacts as a solid object is the usage of traditional textile from GDP (Gross Domestic Product) to Creative Industries is in the the Bataknese, North Sumatra, namely Ulos. Based on literature fashion field of 43.71 Percent based on constant prices. (2008). studies, Ulos as traditional textile can be adapted for design ideas This value is growing every year. Although it continues to which finally could be transformed as a number of creative show an increase, but this condition doesn’t actually touch the contemporary objects. The development starts from motifs on Ulos which is cultivated as printing textile or redefining about aspect of individual Indonesian creativity.
    [Show full text]
  • Makna Blangkon Yogyakarta Sebagai Simbol Status Pada Film Dokumenter “Iket Sirah”
    Visual Heritage: Jurnal Kreasi Seni dan Budaya e-ISSN:2623-0305 Vol. 3 No. 2, Januari-April 2021 Hlm. 131-143 MAKNA BLANGKON YOGYAKARTA SEBAGAI SIMBOL STATUS PADA FILM DOKUMENTER “IKET SIRAH” Hantoro1), Khikmah Susanti2), M. Sjafei Andrijanto3) Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Indraprasta PGRI Jl. Nangka No. 58 C, Tanjung Barat, Jakarta Selatan, 12530, Indonesia [email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis makna Blangkon Yogyakarta sebagai simbol status pada film dokumenter Iket Sirah sehingga memberikan informasi tentang sejarah, makna dan simbol pada bagian Blangkon karena setiap bagian Blangkon mempunyai makna simbol status tersendiri. Metode yang digunakan adalah semiotika menurut Ferdinand de Saussure. Pada film dokumenter "Iket Sirah" menggunakan metode Mise-En Scene. Metode pendekatan ini menitikberatkan elemen dalam film, yang dilihat dari sisi kamera oleh penonton dan bagaimana kamera diatur sedemikian rupa. Elemen-elemen itu terdiri dari; dekorasi, pencahayaan, ruang, kostum dan akting para bintang film. Semua elemen ini menjadi satu kesatuan yang menciptakan mood cerita hingga pemaknaan visual. Hasil dari penelitian ini terdapat banyak kritik pada film tersebut, dari elemen tokoh, tokoh yang ditampilkan adalah seorang Abdi Dalem kraton Yogyakarta yang bernama KRT. H. Jatiningrat. S.H yang menjelaskan tentang Blangkon Yogyakarta, dan tokoh pengrajin Blangkon yang menjelaskan pembuatan Blangkon, tetapi tidak menjelaskan tentang makna simbol sepenuhnya tentang Blangkon Yogyakarta sebagai simbol status, serta tidak menjelaskan tentang makna simbol pada motif dan bentuk Blangkon Yogyakarta terhadap setiap golongannya. Kata Kunci: Blangkon Yogyakarta, Semiotika, Film Dokumenter Abstract The research objective was to analyze the meaning of Blangkon Yogyakarta as a status symbol in the documentary film Iket Sirah.
    [Show full text]