KAJIAN STRUKTUR DAN MAKNA TARI BARONG BANJAR PADA UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT BANJAR DI DESA TANJUNG IBUS KECAMATAN SECANGGANG KABUPATEN LANGKAT

TESIS

Oleh:

HILMA MITHALIA SHALIHAT NIM: 117037002

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015

Universitas Sumatera Utara KAJIAN STRUKTUR DAN MAKNA TARI BARONG BANJAR PADA UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT BANJAR DI DESA TANJUNG IBUS KECAMATAN SECANGGANG KABUPATEN LANGKAT

T E S I S

Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) dalam Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh:

HILMA MITHALIA SHALIHAT NIM: 117037002

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015

Universitas Sumatera Utara Judul Tesis : KAJIAN STRUKTUR DAN MAKNA TARI BARONG BANJAR PADA UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT BANJAR DI DESA TANJUNG IBUS KECAMATAN SECANGGANG KABUPATEN LANGKAT Nama : Hilma Mithalia Shalihat Nomor Pokok : 117037002 Program Studi : Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni

Menyetujui

Komisi Pembimbing,

Dr.H. Muhizar Muchtar, M.S Yusnizar Heniwaty, SST, M.Hum NIP. 195411171980031002 NIP. 196510211992032003

Program Studi Magister (S-2) Fakultas Ilmu Budaya Penciptaan dan Pengkajian Seni Dekan, Ketua,

Drs. Irwansyah, M.A. Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP 196212211997031001 NIP 195110131976031001

Tanggal lulus:

Universitas Sumatera Utara Telah diuji pada Tanggal

PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS

Ketua : Drs. Irwansyah, M.A. (……………………..)

Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. (..…..………………..)

Anggota I : Dr. H. Muhizar Muchtar, M.S (….………....….……)

Anggota II : Yusnizar Heniwaty, SST, M.Hum (...……………………)

Anggota III : Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D (..…….……...………)

Universitas Sumatera Utara ABSTRACT

This study aims to find out the history, structure and meaning of the Barong Dance Banjar Banjar community marriage ceremony in the village of Tanjung Ibus Secanggang Langkat. Dance at Banjar community is one of the inherited culture of his ancestors. Dance at wedding ceremonies are performed entourage groom who bride. Banjar Barong Dance is a dance presented by dancers at a ceremony associated with the commemoration of the life stages, such as the wedding ceremony. This dance serves as a ritual in 's lives in the village of Tanjung Ibus, Secanggang, Langkat. Banjar Barong Dance is a dance presented by dancers at a ceremony associated with the traditional wedding ceremony. Banjar Barong event is made, if one of the brides dream that organized the event Barong ie Indarok Head of / Head of a dragon. So after the bride's dream, to be held ceremonies and wedding wear the Head of Indarok. If not done, the family will get a disaster or a disease. In the event there Banjar Barong dance possessed by the spirits of past ancestors. Dancers not been specifically but chosen by the spirit - the spirit of the ancestors. Dancers must be people who bleed Banjar who have hereditary follow the traditional Barong Banjar. People who danced this dance expression there are sad, happy or excited, and angry. According to legend, Banjar Barong dance originated from the story of the wedding of Princess uphold Froth with child of the King of Majapahit. The lady who gave birth to the Banjar is still customary to know Banjar. History and Barong dance performance Banjar is a unity that must be understood by the dancers. At the presentation of the Barong dance Banjar in marriage ceremonies consists of six varieties, ie the range of motion limbai, kale limbai, lontang, grandiose axis fly, Surefire pedestal, and sit cross-legged. Accompanying music is drum, violin, and gongs are played by men hats as a marker of Muslim musicians. Therefore, dancer wearing makeup simple and veiled with white clothes color as a sacred symbol / hygiene and unseen; red symbol of the courage; and, as a form of clothing yellow A prince and princess who gave birth to the Banjar on the island of Borneo.

Keywords:, Head of Indarok, Barong Banjar, Wedding Ceremonies.

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur dan makna Tari Barong Banjar pada upacara perkawinan masyarakat Banjar yang ada di Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. Penelitian Tari Barong Banjar dilakukan dengan menggunakan metode peelitian kualitatif deskriptif untuk mendeskripsikan bentuk penyajian Tari Barong Banjar pada saat penelitian dilakukan. Berdasarkan bentuk penyajian tari ini, maka akan dideskripsikan makna gerakan tari yang melatarbelakangi gerakan tari sesuai dengan adat suku Banjar. Dengan teori struktur da morfologi yaitu kajian struktur akan dilihat dari hubungan tari yang ditampilkan pada upacara perkawinan, sedangkan morfologi akan dianalisis dari gerak, property, musik, busana dan kelengkapan lainnya. Dan dengan menggunakan teori semiotic yang berdasarkan dari segi tiga makna, terdiri dari tiga elemen yakni tanda (sign), object dan interpretant. Di artikan dengan Simbol ( tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon ( tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan indeks ( tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Pada proses penyajian tari dan persiapan sebelum membawakan tari. Merupakan rentetan aplikasi dari cara menyajikan tari, tahapan penyajian, dan waktu penyajian. Sedangkan persiapan merupakan seluruh perlengkapan. Bentuk gerakan ini sebagai iti dari bentuk penyajian tari. Tari pada masyarakat Banjar merupakan salah satu budaya yang diwariskan para leluhurnya. Tari pada upacara adat perkawinan yang dibawakan rombongan pengantin laki-laki yang mengarak pengantin. Tari ini berfungsi sebagai upacara ritual dalam kehidupan masyarakat Banjar di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat.Tari Barong Banjar merupakan tari yang disajikan oleh penari pada upacara yang berkaitan dengan upacara adat perkawinan. Acara Barong Banjar ini dibuat, jika salah satu dari pengantin bermimpi agar diselenggarakan acara Barong yaitu Kepala Indarok / Kepala naga. Maka setelah si pengantin bermimpi, harus diselenggarakan upacara adat dan pesta perkawinan memakai Kepala Indarok tersebut. Jika tidak dikerjakan, keluarga akan mendapat musibah atau suatu penyakit . Di acara Barong Banjar terdapat tarian yang dirasuki oleh roh-roh nenek moyang terdahulu. Penari bukan dipilih khusus melainkan dipilih oleh roh – roh nenek moyang tersebut. Penari harus orang yang berdarah Banjar yang telah turun temurun mengikuti adat Barong Banjar. Orang yang menarikan tari ini ekspresinya ada yang sedih, senang atau gembira, dan marahPada penyajian tari Barong Banjar dalam upacara perkawinan terdiri dari enam ragam, yaitu gerak limbai kisar, kangkung limbai, lontang, terbang paksi muluk, ayal alas, dan duduk bersila.

Kata Kunci :, Kepala Indarok, Tari Barong Banjar, Upacara Pe rkawinan.

Universitas Sumatera Utara PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karuniaNya, karena berkat dan rahmatNya tesis ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Tesis ini berjudul

“ Kajian Struktur dan Makna Tari Barong Banjar pada Upacara Perkawinan

Masyarakat Banjar di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten

Langkat”. Pemilihan judul ini atas dasar keinginan penulis untuk memperkuat dan melestarikan kesenian Banjar yang ada di Kabupaten Langkat. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang S-2 dan memperoleh gelar Master Seni (M.Sn) pada Program Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian

Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Tesis ini berisikan hasil penelitian mengenai tinjauan umum masyarakat

Banjar, deskripsi struktur upacara perkawinan dalam masyarakat Banjar, makna tari Barong Banjar dalam upacara perkawinan adat Banjar. Pokok permasalahan yang dibahas adalah struktur dalam upacara perkawinan; Bagaimana cara penyajian tari Barong Banjar; Bagaimana pelaksanaa upacara perkawinan Barong

Banjar dan Bagaimana makna tari Barong Banjar?

Tanpa disadari, penulis masih memiliki keterbatasan kemampuan serta pengalaman sehingga harus menghadapi kendala dalam menyelesaikan studi ini.

Akan tetapi, hal ini dapat teratasi karena bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya dan rasa hormat kepada para pembimbing yakni Bapak Dr. Muhizar Muchtar, M.S, sebagai pembimbing I dan Ibu Yusnizar

Universitas Sumatera Utara Heniwaty, SST, M.Hum sebagai pembimbing II serta para penguji yakni Bapak

Drs. Irwansyah, M.A, Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, dan Bapak Drs. M.

Takari, M.Hum, Ph.D. Tim pembimbing dan penguji ini sungguh banyak membantu penulis selama penyusunan tesis. Mereka juga memberikan banyak pelajaran kepada penulis terutama kesabaran dan ketelatenan dalam penulisan.

Arahan-arahan tersebut membuat penulis semakin termotivasi dan semangat untuk menyelesaikan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas

Sumatera Utara, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Ketua dan sekretaris Program

Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs.

Ponisan selaku pegawai Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian

Seni, yang telah memberikan banyak bantuan yang bersifat administratif kepada penulis sejak awal duduk dibangku perkuliahan hingga menyelesaikan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga penulis hanturkan kepada kedua orang tua, ayahanda tercinta dan tersayang yang telah meninggalkan kami selama hampir 2 tahun ketika beliau masih hidup sangat menyemangati penulis, semoga beliau di tempatkan di tempat yang terindah di sisi-Nya. Alm.H. Drs. Muhammad Helmi dan ibunda tersayang Hj.Tengku Enita Rosmika, SE. M.Si, keduanya telah sangat sabar mendukung , memotivasi dan cahaya untuk Ananda, baik berupa materi maupun material, terutama doa dari kedua orang tua yang mengiringi Ananda untuk melangkah menyelesaikan tesis ini. Terima kasih kepada suami saya tercinta Harry Yandi. S. ST yang tidak pernah lelah mendukung dan memotivasi

Universitas Sumatera Utara saya dalam perkuliahan hingga selesainya penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga saya hanturkan kepada kedua mertua saya Bapak Ir. Sahril dan Ibu Rohani

Nasution.

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada adinda tersayang dr.

Hilna Khairunisa Shaliha yang telah memotivasi dan membantu hingga tesis ini selesai dengan baik dan teman-teman sesama mahasiswa/i Magister (S-2)

Penciptaan dan Pengkajian Seni terutama teman-teman satu angkatan 2011 ;

Vanesia Amelia Sebayang, Ria L.T. Pakpahan, Andry Permana Barus, Roy J.

Hutagalung, Harry Dikana S, Sopian Loren, Joy Euodia Jeremiah, Antonius

Harita, dan Dindin N, terima kasih telah berbagi susah maupun senang selama dua tahun duduk dibangku perkuliahan.

Penulis mengucapkan beribu-ribu maaf bila ada kata yang kurang berkenan, mohon jangan disimpan didalam hati. Akhir kata, penulis berterima kasih kepada seluruh pihak yang sudah membantu penyusunan tesis ini, dan maaf bila ada nama yang tidak/lupa penulis cantumkan. Semoga proposal ini dapat memenuhi ketentuan yang berlaku dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Terima kasih.

Medan, Januari 2015

Penulis,

Hilma Mithalia Shahila NIM :117037002

Universitas Sumatera Utara DAFTAR RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS DIRI

Nama : Hilma Mithalia Shaliha, S.Pd

Nim : 117037002

Tempat/Tanggal lahir : Medan, 12 Juli 1988

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Perempuan

Pendidikan : 1. Sekolah Dasar Negeri 132406 Tanjung Balai,

2000

2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Medan,

2003

3. Sekolah Menengah Atas Negeri 15 Medan, 2006

4. Sarjana Pendidikan ( S.Pd ) dari Departemen Seni

Tari, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas

Negeri Medan, 2011.

5. Magister Seni ( M.Sn ) dari Program Studi

Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni,

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera

Utara, Medan, 2014

Pekerjaan : Guru Seni Budaya Al-Azhar bertaraf Internasional

Medan (sejak 2011-sampai sekarang)

Universitas Sumatera Utara PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar keserjanaan di suatu Perguruan

Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2015

Hilma Mithalia Shaliha NIM. 117037002

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...... i HALAMAN PENGESAHAN ...... ii ABSTRACT ...... v INTISARI ...... vi PRAKATA ...... vii DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...... x SURAT PERNYATAAN ...... xi DAFTAR ISI ...... xii DAFTAR BAGAN ...... xv DAFTAR GAMBAR ...... xvi DAFTAR TABEL ...... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ...... 1 1.1 Latar Belakang ...... 1 1.2 Rumusan Masalah ...... 6 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 7 1.3.1 Tujuan Penelitian ...... 7 1.3.2 Manfaat Penelitian ...... 8 1.4 Kajian Pustaka ...... 9 1.5 Kerangka Konsep ...... 12 1.5.1 Konsep ...... 12 1.6 Landasan Teori ...... 15 1.6.1 Teori Struktur ...... 16 1.6.2 Teori Semiotik ...... 17 1.6.3 Bentuk penyajian tari ...... 24 1.7 Metodologi Penelitian ...... 24 1.7.1 Teknik Mengumpulkan data/Observas ...... 25 1.7.2 Wawancara ...... 26 1.7.3 Teknik penyajian hasil analisis data ...... 28 1.8 Lokasi Penelitian ...... 28 1.9 Sitematika Penulisan ...... 29

BAB II. TINJAUAN UMUM MASYARAKAT BANJAR DI KECAMATAN SECANGGANG KABUPATEN LANGKAT 31 2.1 Gambaran Umum Masyarakat Banjar ...... 31 2.1.1 Letak geografis dan kondisi Kabupaten Langkat ..... 31 2.1.2 Data kependudukan Desa Tanjung Ibus ...... 34 2.1.3 Mata pencaharian ...... 35 2.2 Suku Banjar ...... 43 2.2.1 Migrasi suku Banjar ke Sumatera Timur ...... 43 2.2.2 Keberadaan masyarakat Banjar di Sumatera Timur. 53 2.3 Sistem Kepercayaan Masyarakat Banjar ...... 61 2.3.1 Agama pada suku Banjar ...... 61

Universitas Sumatera Utara 2.3.2 Kerajaan Banjar dan hukum Islam ...... 64 2.4 Kebudayaan Dalam Masyarakat Banjar ...... 66 2.4.1 Kesenian yang berkembang di Kalimantan Selatan dan Sumatera Utara ...... 66 2.4.2 Sistem kekerabatan ...... 71 2.4.3 Bahasa Banjar ...... 72 2.4.3.1 Eksistensi bahasa Banjar ...... 72 2.4.3.2 Dialektika bahasa Banjar ...... 73 2.4.4 Banjar ...... 74 2.4.4.1 Bentuk rumah adat Banjar ...... 74 2.4.4.2 Makna simbolik ornamen rumah adat banjar bubungan tinggi ...... 77 2.4.4.3 Makna simbolik senjata khas Banjar ...... 81 2.4.5 Upacara dalam kehidupan masyarakat Banjar ...... 87 2.4.5.1 Upacara adat perkawinan (bakakahawinan) ...... 87 2.4.5.2 Upacara basunat/khitan ...... 93 2.4.5.3 Upacara penabalan nama anak ...... 94 2.4.5.4 Upacara melepas dan menyambut haji ..... 96 2.4.6 Makna Upacara ...... 97

BAB III. KAJIAN SEJARAH DAN STRUKTUR PELAKSANAAN TARI BARONG BANJAR ...... 100 3.1 Sejarah Tari Barong Banjar ...... 100 3.1.1 Asal mula nama tari Barong Banjar ...... 100 3.1.2 Asal mula nama Banjar ...... 102 3.1.3 Legenda tari Barong Bajar ...... 104 3.2 Upacara Perkawinan Adat Banjar ...... 107 3.2.1 Persiapan upacara ...... 107 3.2.2 Pelaksanaan upacara perkawinan ...... 112 3.2.3 Pelaksanaan upacara tari Barong Banjar ...... 116 3.2.3.1 Bentuk pelaksanaan upacara adat ...... 116 3.2.3.2 Bentuk pelaksanaan upacara perkawinan .... 121 3.3 Struktur Tari Barong Banjar ...... 134 3.3.1 Tahapan pelaksanaan tari Barong Banjar (pra upacara) ...... 134 3.3.2 Tahapan pelaksanaan saat upacara ...... 136 3.3.3 Bentuk pelaksanaan saat penutupan upacar ...... 143 3.4 Deskripsi Gerak Tari Barong Banjar ...... 150 3.5 Nilai Dalam Tari Barong Banjar ...... 155 3.4.1 Estetika ...... 155 3.4.1.1 Estetika bentuk ...... 155 3.4.1.2 Estetika gerak ...... 155 3.4.2 Etika ...... 156 3.4.2.1 Etika gerak ...... 157 3.4.2.2 Etika busana ...... 158

Universitas Sumatera Utara 3.6 Fungsi Tari Barong Banjar ...... 159

BAB IV. MAKNA TARI BARONG BANJAR DALAM UPACARA PERKAWINAN ADAT BANJAR ...... 160 4.1 Gerak Tari Barong Banjar ...... 160 4.2 Ragam gerak Tari Barong Banjar ...... 161 4.3 Tata Busana dan Tata Rias ...... 172 4.3.1 Tata Rias ...... 17 4.3.2 Tata Busana ...... 173 4.4 Iringan Musik Tari Barong Banjar ...... 173 4.5 Properti Tari Barong Banjar ...... 175 4.6 Tempat Pelaksanaan Tari Barong Banjar ...... 198 4.7 Waktu Pelaksanaan tari Barong Banjar ...... 199 4.8 Pola Lantai Tari Barong Banjar ...... 201

BAB V. PENUTUP ...... 202 5.1 Kesimpulan ...... 204 5.2 Saran ...... 174

DAFTAR PUSTAKA ...... 175

DAFTAR WEBSITE ...... 177

DAFTAR ISTILAH ...... 178

LAMPIRAN ...... 187

Universitas Sumatera Utara DAFTAR BAGAN

1.1 Segitiga Makna 2.2

Universitas Sumatera Utara DAFTAR GAMBAR

Foto 2.1 Peta Kabupaten Langkat ...... 31 Foto 2.2 Tajak Bulan salah satu alat pertanian khas Banjar untuk menebas membabat rumput disawah yang berair ...... 36 Foto 2.3 Lunta/ jala untuk menangkap ikan ...... 37 Foto 2.4 Lukah terbuat dari rotan, bentuknya bermacam-macam ada yang besar dan ada yang kecil sesuai ukuran ikan yang akan ditangkap ...... 37 Foto 2.5 Pangilar, alat penangkap ikan sepat khas Banjar, tanpa umpan ikan secara berombongan masuk dan tidak bisa keluar lagi .... 38 Foto 2.6 Cara mengawetkan ikan dengan digarami yang banyak agar ikan tidak busuk ...... 39 Foto 2.7 Ikan yang difermentasi ...... 40 Foto 2.8 Bakul Pabarasan (tempat menyimpan beras, terbuat dari kulit Bamban) ...... 41 Foto 2.9 Lanjung, keranjang tradisional orang Banjar yang dipergunakan untukmembawa hasil pertanian, diletakkan dipunggung dan talinya bertumpu dibahu ...... 41 Foto 2.10 Seorang wanita / bibinik Banjar sedang menganyam tikar purun yang merupakan salah satu home industri masyarakat Banjar ...... 41 Foto 2.11 Rumah adat Banjar Bubungan Tinggi tampak samping ...... 80 Foto 2.12 Rumah adat Banjar Bubungan Tinggi tampak depan ...... 80 Foto 2.14 Bilah Mandau yang terbuat dari lempengan besi ...... 82 Foto 2.15 Gagang (Hulu mandau) ...... 83 Foto 2.16 Sarung mandau ...... 84 Foto 3.1 Macam-macam sesajen untuk upacara ada ...... 111 Foto 3.2 Barong yang menjadi kendaraan Putri Junjung Buih ...... 116 Foto 3.3 Kelengkapan sesajen untuk acara adat...... 117 Foto 3.4 Pemanggilan naga ...... 118 Foto 3.5 Pemunculan naga ...... 119 Foto 3.6 Seorang perempuan menceburkan diri kesungai ...... 119 Foto 3.7 Orang-orang Banjar sedang berzikir ...... 120 Foto 3.8 Penyerahan diri ...... 121 Foto 3.9 Kepala indarok yang terbuat dari batang pohon pisang muda dan bagus ...... 123 Foto 3.10 Pengantin akan dibawa ke tempat arakan ...... 127 Foto 3.11 Pengantin diarak mengelilingi kepala indarok ...... 127 Foto 3.12 Kepala indarok yang mulai rusak dan hancur ...... 128 Foto 3.13 Pengantin dibawa ke tempat pemandian ...... 128 Foto 3.14 padudusan, rumah segi empat yang dihiasi pagar mayang ...... 131 Foto 3.15 Pengantin diiringi oleh tetua berjalan maju mundur ...... 132 Foto 3.16 Pengantin duduk untuk memulai ritual mandi-mandi ...... 132

Universitas Sumatera Utara Foto 3.17 Saat pengantin diarak dan seorang penari kerasukan ...... 145 Foto 3.18 Saat penari menggoyangkan Kepala Indarok ...... 145 Foto 3.19 Saat menghancurkan Kepala Indarok ...... 146 Foto 3.20 Orang yang kerasukan langsung diberikan air kelapa muda .... 146 Foto 3.21 Kerasukan roh naga ...... 147 Foto 3.22 Pengantin berjalan maju mundur ...... 147 Foto 3.23 Lingkaran yang dibuat oleh para tutuhaan dan pengantin ...... 148 Foto 3.24 Salah satu gerakan penari yang mirip dengan gerakan bersilat 148 Foto 3.25 Dimulainya Badudus (memandikan pengantin) ...... 149 Foto 3.26 Seorang lelaki membawa lilin ...... 149 Foto 4.1 Ketua Adat Banjar melakukan gerak duduk bersila ...... 163 Foto 4.2 Penari melakukan ayunan tangan dalam ragam limbai kisar .... 164 Foto 4.3 Penari melakukan ragam gerak kangkung limbai ...... 167 Foto 4.4 Penari melakukan gerak lontang setengah ...... 168 Foto 4.5 Penari melakukan gerakan terbang paksi muluk ...... 169 Foto 4.6 Penari melenggangkan tangan dalam gerak ayal alas ...... 170 Foto 4.7 Penari melakukan Ragam Mambunga ...... 171 Foto 4.8 Penari melakukan Ragam Limbai Kibas ...... 172 Foto 4.9 Penari melakukan Ragam Alang Manari ...... 173 Foto 4.10 Pemusik tari Barong Banjar, gendang dan biola ...... 175 Foto 4.11 Pemusik Tari Barong Banjar, alat musik gong ...... 175 Foto 4.12 Pemusik Tari Barong Banjar, gendang dan biola ...... 176 Foto 4.13 Property yang digunakan ...... 180 Foto 4.14 Payung kuning bermakna melindungi ...... 180 Foto 4.15 Kue khas banjar, Gagaok ...... 192 Foto 4.16 Kue khas Banjar, cincin ...... 192 Foto 4.17 Kue khas Banjar, cucur ...... 193 Foto 4.18 Kue khas Banjar, dodol ...... 193 Foto 4.19 Kue khas Banjar, wajik ...... 194 Foto 4.20 Kue khas Banjar, bubur merah dan bubur putih ...... 194 Foto 4.21 Kue khas Banjar, cakarok batu ...... 195 Foto 4.22 Kue khas Banjar, tape pulut ...... 195 Foto 4.23 Ayam panggang ...... 196 Foto 4.24 Kue khas Banjar, cakarok ...... 196 Foto 4.25 Kue khas Banjar, Banyok Kincak ...... 197 Foto 4.26 Pulut kuning dengan telur rebus ...... 197 Foto 4.27 Bermacam-macam sesajen ...... 198 Foto 4.28 Pisang Raja ...... 198 Foto 4.29 Syarat untuk memandikan pengantin ...... 200

Universitas Sumatera Utara DAFTAR TABEL

1.1 Tabel Pembagian Tanda ...... 23 2.1 Tabel Jumlah Etnik di Kabupaten Langkat ...... 33 3.1 Tabel Tahapan Pelaksanaan tari Barong Banjar ...... 136 3.2 Tabel Deskripsi Gerak Tari Barong Banjar ...... 151

Universitas Sumatera Utara ABSTRACT

This study aims to find out the history, structure and meaning of the Barong Dance Banjar Banjar community marriage ceremony in the village of Tanjung Ibus Secanggang Langkat. Dance at Banjar community is one of the inherited culture of his ancestors. Dance at wedding ceremonies are performed entourage groom who bride. Banjar Barong Dance is a dance presented by dancers at a ceremony associated with the commemoration of the life stages, such as the wedding ceremony. This dance serves as a ritual in Banjar people's lives in the village of Tanjung Ibus, Secanggang, Langkat. Banjar Barong Dance is a dance presented by dancers at a ceremony associated with the traditional wedding ceremony. Banjar Barong event is made, if one of the brides dream that organized the event Barong ie Indarok Head of / Head of a dragon. So after the bride's dream, to be held ceremonies and wedding wear the Head of Indarok. If not done, the family will get a disaster or a disease. In the event there Banjar Barong dance possessed by the spirits of past ancestors. Dancers not been specifically but chosen by the spirit - the spirit of the ancestors. Dancers must be people who bleed Banjar who have hereditary follow the traditional Barong Banjar. People who danced this dance expression there are sad, happy or excited, and angry. According to legend, Banjar Barong dance originated from the story of the wedding of Princess uphold Froth with child of the King of Majapahit. The lady who gave birth to the Banjar is still customary to know Banjar. History and Barong dance performance Banjar is a unity that must be understood by the dancers. At the presentation of the Barong dance Banjar in marriage ceremonies consists of six varieties, ie the range of motion limbai, kale limbai, lontang, grandiose axis fly, Surefire pedestal, and sit cross-legged. Accompanying music is drum, violin, and gongs are played by men hats as a marker of Muslim musicians. Therefore, dancer wearing makeup simple and veiled with white clothes color as a sacred symbol / hygiene and unseen; red symbol of the courage; and, as a form of clothing yellow A prince and princess who gave birth to the Banjar on the island of Borneo.

Keywords:, Head of Indarok, Barong Banjar, Wedding Ceremonies.

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur dan makna Tari Barong Banjar pada upacara perkawinan masyarakat Banjar yang ada di Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. Penelitian Tari Barong Banjar dilakukan dengan menggunakan metode peelitian kualitatif deskriptif untuk mendeskripsikan bentuk penyajian Tari Barong Banjar pada saat penelitian dilakukan. Berdasarkan bentuk penyajian tari ini, maka akan dideskripsikan makna gerakan tari yang melatarbelakangi gerakan tari sesuai dengan adat suku Banjar. Dengan teori struktur da morfologi yaitu kajian struktur akan dilihat dari hubungan tari yang ditampilkan pada upacara perkawinan, sedangkan morfologi akan dianalisis dari gerak, property, musik, busana dan kelengkapan lainnya. Dan dengan menggunakan teori semiotic yang berdasarkan dari segi tiga makna, terdiri dari tiga elemen yakni tanda (sign), object dan interpretant. Di artikan dengan Simbol ( tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon ( tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan indeks ( tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Pada proses penyajian tari dan persiapan sebelum membawakan tari. Merupakan rentetan aplikasi dari cara menyajikan tari, tahapan penyajian, dan waktu penyajian. Sedangkan persiapan merupakan seluruh perlengkapan. Bentuk gerakan ini sebagai iti dari bentuk penyajian tari. Tari pada masyarakat Banjar merupakan salah satu budaya yang diwariskan para leluhurnya. Tari pada upacara adat perkawinan yang dibawakan rombongan pengantin laki-laki yang mengarak pengantin. Tari ini berfungsi sebagai upacara ritual dalam kehidupan masyarakat Banjar di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat.Tari Barong Banjar merupakan tari yang disajikan oleh penari pada upacara yang berkaitan dengan upacara adat perkawinan. Acara Barong Banjar ini dibuat, jika salah satu dari pengantin bermimpi agar diselenggarakan acara Barong yaitu Kepala Indarok / Kepala naga. Maka setelah si pengantin bermimpi, harus diselenggarakan upacara adat dan pesta perkawinan memakai Kepala Indarok tersebut. Jika tidak dikerjakan, keluarga akan mendapat musibah atau suatu penyakit . Di acara Barong Banjar terdapat tarian yang dirasuki oleh roh-roh nenek moyang terdahulu. Penari bukan dipilih khusus melainkan dipilih oleh roh – roh nenek moyang tersebut. Penari harus orang yang berdarah Banjar yang telah turun temurun mengikuti adat Barong Banjar. Orang yang menarikan tari ini ekspresinya ada yang sedih, senang atau gembira, dan marahPada penyajian tari Barong Banjar dalam upacara perkawinan terdiri dari enam ragam, yaitu gerak limbai kisar, kangkung limbai, lontang, terbang paksi muluk, ayal alas, dan duduk bersila.

Kata Kunci :, Kepala Indarok, Tari Barong Banjar, Upacara Pe rkawinan.

Universitas Sumatera Utara PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karuniaNya, karena berkat dan rahmatNya tesis ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Tesis ini berjudul

“ Kajian Struktur dan Makna Tari Barong Banjar pada Upacara Perkawinan

Masyarakat Banjar di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten

Langkat”. Pemilihan judul ini atas dasar keinginan penulis untuk memperkuat dan melestarikan kesenian Banjar yang ada di Kabupaten Langkat. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang S-2 dan memperoleh gelar Master Seni (M.Sn) pada Program Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian

Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Tesis ini berisikan hasil penelitian mengenai tinjauan umum masyarakat

Banjar, deskripsi struktur upacara perkawinan dalam masyarakat Banjar, makna tari Barong Banjar dalam upacara perkawinan adat Banjar. Pokok permasalahan yang dibahas adalah struktur dalam upacara perkawinan; Bagaimana cara penyajian tari Barong Banjar; Bagaimana pelaksanaa upacara perkawinan Barong

Banjar dan Bagaimana makna tari Barong Banjar?

Tanpa disadari, penulis masih memiliki keterbatasan kemampuan serta pengalaman sehingga harus menghadapi kendala dalam menyelesaikan studi ini.

Akan tetapi, hal ini dapat teratasi karena bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya dan rasa hormat kepada para pembimbing yakni Bapak Dr. Muhizar Muchtar, M.S, sebagai pembimbing I dan Ibu Yusnizar

Universitas Sumatera Utara Heniwaty, SST, M.Hum sebagai pembimbing II serta para penguji yakni Bapak

Drs. Irwansyah, M.A, Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, dan Bapak Drs. M.

Takari, M.Hum, Ph.D. Tim pembimbing dan penguji ini sungguh banyak membantu penulis selama penyusunan tesis. Mereka juga memberikan banyak pelajaran kepada penulis terutama kesabaran dan ketelatenan dalam penulisan.

Arahan-arahan tersebut membuat penulis semakin termotivasi dan semangat untuk menyelesaikan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas

Sumatera Utara, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Ketua dan sekretaris Program

Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs.

Ponisan selaku pegawai Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian

Seni, yang telah memberikan banyak bantuan yang bersifat administratif kepada penulis sejak awal duduk dibangku perkuliahan hingga menyelesaikan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga penulis hanturkan kepada kedua orang tua, ayahanda tercinta dan tersayang yang telah meninggalkan kami selama hampir 2 tahun ketika beliau masih hidup sangat menyemangati penulis, semoga beliau di tempatkan di tempat yang terindah di sisi-Nya. Alm.H. Drs. Muhammad Helmi dan ibunda tersayang Hj.Tengku Enita Rosmika, SE. M.Si, keduanya telah sangat sabar mendukung , memotivasi dan cahaya untuk Ananda, baik berupa materi maupun material, terutama doa dari kedua orang tua yang mengiringi Ananda untuk melangkah menyelesaikan tesis ini. Terima kasih kepada suami saya tercinta Harry Yandi. S. ST yang tidak pernah lelah mendukung dan memotivasi

Universitas Sumatera Utara saya dalam perkuliahan hingga selesainya penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga saya hanturkan kepada kedua mertua saya Bapak Ir. Sahril dan Ibu Rohani

Nasution.

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada adinda tersayang dr.

Hilna Khairunisa Shaliha yang telah memotivasi dan membantu hingga tesis ini selesai dengan baik dan teman-teman sesama mahasiswa/i Magister (S-2)

Penciptaan dan Pengkajian Seni terutama teman-teman satu angkatan 2011 ;

Vanesia Amelia Sebayang, Ria L.T. Pakpahan, Andry Permana Barus, Roy J.

Hutagalung, Harry Dikana S, Sopian Loren, Joy Euodia Jeremiah, Antonius

Harita, dan Dindin N, terima kasih telah berbagi susah maupun senang selama dua tahun duduk dibangku perkuliahan.

Penulis mengucapkan beribu-ribu maaf bila ada kata yang kurang berkenan, mohon jangan disimpan didalam hati. Akhir kata, penulis berterima kasih kepada seluruh pihak yang sudah membantu penyusunan tesis ini, dan maaf bila ada nama yang tidak/lupa penulis cantumkan. Semoga proposal ini dapat memenuhi ketentuan yang berlaku dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Terima kasih.

Medan, Januari 2015

Penulis,

Hilma Mithalia Shahila NIM :117037002

Universitas Sumatera Utara BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki beraneka ragam suku bangsa, yang memiliki budaya dengan ciri khasnya masing-masing, serta menjadi kekayaan yang tidak ternilai bagi bangsa Indonesia. Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan, menjadi aset yang perlu untuk dijaga dan dikembangkan, dikarenakan kesenian merupakan tradisi yang digunakan untuk tujuan tertentu bagi masyarakatnya. Seni tari sebagai salah satu cabang kesenian, adalah produk yang dihasilkan dan diwariskan secara turun temurun dari generasi kegenerasi berikutnya. Pewarisan tersebut menjadikan seni tari tradisional sebagai identitas dari suatu masyarakat dimana seni tari tersebut hidup. Tari adalah suatu pertunjukan, yang melibatkan seluruh elemen masyarakat pendukungnya, yang juga merupakan warisan budaya leluhur dari beberapa abad yang lampau. Tari tercipta sesuai dengan kebudayaan setempat dengan cara, bentuk, dan dalam konteks yang berbeda-beda. Tari biasanya difungsikan baik untuk kegiatan yang sakral maupun sekuler. Misalnya kegiatan yang berkaitan dengan religi, adat, dan kepercayaan, sebaliknya ada juga yang berfungsi utama sebagai hiburan atau rekreasi. Sistem sosial dan lingkungan alam juga mempengaruhi bentuk dan fungsi tari pada suatu suku (etnik) dan budaya, yang sudah menjadi tradisi bagi masyarakatnya.

Sebagai bagian dari tradisi, kesenian merupakan rangkaian aktivitas dari budaya masyarakatnya yang tidak bisa berdiri sendiri. Kehidupan kesenian setiap etnik,

Universitas Sumatera Utara berhubungan erat dengan aspek adat, yang menjadi keharusan dalam pelaksanaannya. Bentuk-bentuk pertunjukan disesuaikan dengan tujuan dari pelaksanannya, sehingga pelaksanaannya memerlukan perlakukan khusus dan aturan-aturan yang mengikatnya. Bentuk seni tari tersebut menjadi seni tradisional yang masih berkembang luas di Indonesia, baik di pedesaan maupun diperkotaan.

Tari Barong Banjar merupakan salah satu tari tradisional yang dimiliki suku

Banjar yang ada di Tanjung Ibus. Suku Banjar merupakan salah satu dari sekian banyak suku bangsa yang mendiami Pulau Kalimantan. Dalam hikayat Banjar diceritakan bahwa perahu orang Banjar memiliki kemampuan mengharungi samudera dan lautan-lautan luas, konon untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah

Suci Mekkah (Saudi Arabia) orang Banjar menggunakan perahu sendiri. Oleh karena itu wajar bila orang Banjar banyak didapati di pesisir-pesisir pantai di luar pulau Kalimantan dan diperkirakan sejak ratusan tahun yang lalu sudah ada orang

Banjar di Pulau Sumatera. Kemudian, Suku Banjar mulai berkembang di Desa

Tanjung Ibus, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.

Suku Banjar merupakan salah satu dari ratusan suku bangsa di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri. Salah satu kebiasaan yang menjadi ciri khas suku

Banjar adalah madam, yaitu kebiasaan orang Banjar berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, lalu menetap di suatu tempat untuk mencari ketenangan hidup.

Salah satu tempat yang dihuni oleh suku Banjar sekarang ini adalah Desa Tanjung

Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat dimana mayoritasnya adalah suku Banjar. Saat ini, Tradisi madam sudah mulai hilang, ini disebabkan karena

Universitas Sumatera Utara kelompok masyarakat sudah mempunyai lahan pertanian untuk bercocok tanam sehingga tradisi madam sudah tidak dilakukan lagi.

Tradisi madam suku Banjar telah membawa orang Banjar menetap di

Sumatera Utara, seperti di Desa Kebun Kelapa, Hamparan Perak/Paluh Kurau,

Pantai Cermin, Sei. Ular, dan Pantai Labu. Suku Banjar ini berasal dari DAS

(Daerah Aliran Sungai) Barito bagian hilir, DAS Bahan (Negara), DAS Martapura, dan DAS Tabanio di Kesultanan Banjar, Kalimantan Selatan. Menurut Fauzi

(2006: 2).“Bersama penduduk lainnya, mereka telah merasakan bahwa “Tanah

Deli” merupakan kampung halaman bersama, sehingga mereka mengaku sebagai bagian dari suku Melayu di Sumatera Utara.”

Hal ini diperkuat oleh kesamaan agama yang dianut orang Banjar dan orang Melayu, yakni agama Islam. Dengan demikian, agama Islam menjadi salah satu ciri khas orang Banjar sebagaimana dinyatakan oleh Alfani Daud dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Banjar berikut ini:

“Islam telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak beradab-abad yang silam. Islam juga telah menjadi identitas mereka, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok Dayak yang ada disekitarnya, yang umumnya masih menganut religi sukunya. Memeluk Islam merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai “babarasih” (membersihkan diri) di samping menjadi orang Banjar.”

Persebaran orang Banjar ke berbagai kawasan Indonesia membuat budaya

Banjar pun ikut menyebar. Budaya Banjar yang dibawa oleh masyarakat Banjar yang madam dipengaruhi oleh budaya lokal sehingga terjadi percampuran antarbudaya. Hal ini berakibat positif bahwa budaya Banjar dikenal oleh masyarakat lain. Akan tetapi, akibat negatif pun muncul, terutama di kalangan

Universitas Sumatera Utara generasi muda terkini yang tidak mengenal budaya leluhurnya, sungguh pun mereka menyadari bahwa mereka orang Banjar, bahkan sebagian di antaranya tidak lagi mengenal bahasa dan tidak dapat menarikan tari-tarian Banjar.

Percampuran budaya ini turut didukung oleh kesamaan agama dan mata pencaharian dengan masyarakat Melayu.

Tari Barong Banjar merupakan salah satu budaya masyarakat Banjar yang cenderung terlupakan oleh generasi penerusnya. Apalagi, Tari Barong Banjar merupakan tari yang bersifat ritual yang dimiliki masyarakat Banjar. Menurut

Syarifuddin (2006: 18),“Nenek-moyang masyarakat Banjar pernah menganut kepercayaan animisme atau kaharingan yang mengakui adanya kekuatan magis”.

Tari Barong Banjar sepengetahuan penulis dan sudah wawancara dengan

(Hakim:januari 2014) hanya dilakukan di Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang

Kabupaten Langkat, dan sudah beradaptasi dengan budaya setempat. Tari Barong

Banjar ini memang berasal dari Kalimantan, tetapi tari Barong Banjar yang ada di

Tanjung Ibus berbeda dengan yang ada di Kalimantan.

Menurut sejarah, tari barong Banjar merupakan cerita pernikahan Putri

Junjung Buih dan anak Raja Majapahit. Berkisah dari sejarah, Putri Junjung Buih merupakan Putri suku Banjar yang berwujud buih di laut. Putri Junjung Buih telah mengetahui siapa yang akan menjadi jodohnya. Oleh karena itu, ia mengutus empat anak adam untuk melihat anak raja majapahit. Sesampainya ditanah Jawa, empat anak adam melihat Raja majapahit yang berwujud buah semangka.

Kemudian mereka kembali dan memberitahukan hal tersebut kepada Putri

Universitas Sumatera Utara Junjung Buih. Meskipun demikian, Putri Junjung Buih tetap ingin menikah dengan anak Raja Majapahit yang diyakininya merupakan jodohnya.

Sebelum melangsungkan pernikahan, Putri junjung Buih meminta empat anak adam untuk membuat balai atau rumah yang berwarna kuning yang berasal dari Batung bertulis. Putri Junjung Buih memberitahukan kepada empat anak adam bahwa batung bertulis berasal dari Gunung Halau-Halau. Setelah batung bertulis itu selesai dibuat, Putri Junjung Buih pergi kedarat untuk menikah dengan anak Raja Majapahit. Di Muara Sungai Barito, muncullah dua ekor naga yang bersedia menghantarkan Sang Putri ketanah Jawa. Selanjutnya, dua ekor naga itu menjadi kendaraan Putri Junjung Buih dan anak Raja Majapahit. Itulah sejarah terjadinya Tari Barong Banjar tersebut.

Tari Barong Banjar biasanya dipertunjukkan pada upacara adat penolak bala yang dilakukan setiap setahun sekali, ini wajib dilakukan. Jika tidak dikerjakan, akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti mendapat penyakit atau bencana alam menurut kepercayaan mereka dan pada pesta adat perkawinan.

Sebelum acara pernikahan, calon pengantin yang akan menikah mendapat bisikan bahwa sewaktu acara pernikahannya nanti harus dilaksanakan acara adat tari Barong Banjar.Untuk upacara adat penolak bala wajib dilaksanakan di tepi sungai sebagai lambang tempat tinggal Putri Junjung Buih. Pada pesta adat perkawinan dilaksanakan juga ditepi sungai, namun apabila ditempat pesta tidak ada sungai, pihak keluarga akan membuat tempat pemandian pengantin, yaitu dengan memakai ember yang besar berisi air bersih . Tari Barong Banjar dilakukan oleh orang yang berdarah Banjar dengan gerak improvisasi dimana

Universitas Sumatera Utara dalam upacara itu diantaranya akan ada kemasukan oleh roh para leluhur. Gerak- gerak yang dilakukan para penari walaupun dilakukan secara improvisasi tetapi masih ada menampilkan pola gerak dasar yang sama. Para penari yang menarikan

Tari Barong Banjar menampilkan ekspresi yang berbeda sesuai dengan roh leluhur yang masuk ketubuh mereka, ada yang sedih, senang, marah, atau gembira.

Apabila dia senang atau gembira berarti roh leluhur yang masuk kedalam tubuh sipenari merasa bahwa dia berkumpul dengan keluarganya diibaratkan lengkaplah keluarganya di acara tersebut. Apabila dia sedih berarti roh leluhurnya merasa bahwa keluarganya tidak berkumpul didekatnya. Apabila dia marah berarti si pemain gendang atau biola salah memainkan musiknya dan leluhurnya akan mengingatkannya.

Melihat dari fenomena – fenomena di atas, maka penulis tertarik ingin meneliti tentang Tari Barong Banjar ini, penelitian ini akan ditulis dengan judul

Kajian Struktur, Bentuk Penyajian dan Makna Tari Barong Banjar pada upacara

Perkawinan Masyarakat Banjar di Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang

Kabupaten Langkat. Dengan demikian, masyarakat memperoleh gambaran yang lengkap terhadap Tari Barong Banjar pada upacara perkawinan di Indonesia, khususnya di Kabupaten Langkat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang disajikan pada latar belakang penelitian ini, Tari

Barong Banjar dikembangkan oleh suku Banjar di Sumatera Utara, khususnya di

Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. Dari

Universitas Sumatera Utara perkembangan tari tersebut, penulis mengidentifikasi beberapa masalah berikut ini:

1. Bagaimanakah struktur Tari Barong Banjar pada upacara perkawinan

dalam kehidupan masyarakat di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan

Secanggang, Kabupaten Langkat?

2. Apakah makna dalam struktur tari Barong banjar yang dikaji dari urutan-

urutan motif-motif gerak, syair, pola, music, busana, dan pesan dari tujuan

yang disampaikan, pada upacara perkawinan di Desa Tanjung Ibus,

Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat?

3. Bagaimana bentuk penyajian Tari Barong Banjar pada upacara perkawinan

di Desa Tanjung Ibus,Kecamatan Secanggang,Kabupaten Langkat?

Perumusan masalah berperan penting dalam suatu penelitian. Menurut

Sevilla, (2006: 23) bahwa masalah dalam penelitian haruslah merupakan hal baru, dapat diselesaikan sesuai waktu yang diinginkan, dan tidak bertentangan dengan moral.

Berdasarkan karakteristik rumusan masalah tersebut dan hasil identifikasi masalah yang peneliti lakukan di Desa Tanjung Ibus, maka penelitian ini akan dilakukan berdasarkan rumusan masalah, “Bagaimanakah Kajian Struktur, Bentuk

Penyajian dan Makna Tari Barong Banjar pada Upacara Perkawinan Masyarakat

Banjar di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat?”

Universitas Sumatera Utara 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan yang akan dicapai dalam proses penelitian ini adalah:

1. Mengkaji struktur Tari Barong Banjar pada upacara perkawinan di Desa

Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat.

2. Mengkaji Bentuk penyajian Tari Barong Banjar pada upacara perkawinan

di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat.

3. Mengkaji makna Tari Barong Banjar pada upacara perkawinan di Desa

Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat.

1.3.2 Manfaat penelitian

Secara umum, hasil penelitian ini memberikan manfaat untuk mengetahui keberadaan kesenian tradisional Banjar berbentuk Tari Barong Banjar yang selama ini tidak diketahui oleh masyarakat luas. Secara khusus, manfaat penelitian ini adalah:

1. Hasil penelitian ini memberi deskripsi bentuk penyajian tari untuk

melestarikan Tari Barong Banjar agar tidak punah. Oleh karena itu,

Pemerintah Kabupaten Langkat sebagai pemangku kebijakan tempat

berkembang Tari Barong Banjar dapat mengambil kebijaksanaan yang

tepat untuk melestarikan, meningkatkan, dan mengembangkan hasil

kesenian suku Banjar tersebut.

Universitas Sumatera Utara 2. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang berguna untuk

meningkatkan kualitas seni dan budaya Indonesia sehingga menambah

kekayaan khasanah budaya Indonesia.

3. Hasil penelitian ini menjadi bahan masukan para penari, ahli tari, dan

peneliti yang ingin melakukan penelitian tari yang berkembang dalam

kehidupan masyarakat Banjar di Kabupaten Langkat.

1.4 Kajian Pustaka

Sebelum penulis mengadakan studi lapangan, terlebih dahulu penulis mengadakan studi keperpustakaan antara lain : kajian tentang tari Barong Banjar masih sangat minim sekali, belum banyak yang melakukan kajian-kajian tentang tarian ini. Akan tetapi buku tentang seni tari telah banyak ditulis oleh pakar-pakar seni tari baik di Barat maupun di Indonesia yang digunakan sebagai bahan panduan dan bahan informasi terhadap kajian ini. Selain itu, buku tentang sejarah suku Banjar sebagai masyarakat pemilik tari Barong Banjar juga telah dipublikasikan. Maka dari itu, sebelum melangkah kepada kajian yang dijalankan tahap yang penulis lakukan adalah studi keperpustakaan untuk mempelajari literature yang berkaitan dengan objek kajian.

Dari hasil studi literature tulisan ini akan menggunakan buku-buku yang berkaitan dengan penulisan ini antara lain :

Buku yang berjudul “ Antropologi Tari “ ( Anya Peterson Royce, terjemahan F.X Widaryanto, 2007), “ Antopologi Tari “, merupakan tinjauan antropologis secara luas, dalam dunia tari sekaligus memberi keleluasan dalam dunia seni pertunjukan maupun antropologi. Dimana wilayah kajiannya mencapai

Universitas Sumatera Utara kajian budaya tari dari segala macam bentuk dan wujud kelompok masyarakat yang ada diberbagai belahan dunia. Dalam dunia tari dianalisis dari sudut pandang sejarah metode perbandingan simbol dan gaya, struktur dan fungsi, morfologi dan fungsi tari pada masyarakat. Buku ini menjadi panduan bagi peneliti dalam mengkaji struktur, makna, dan bentuk pertunjukan pada masyarakat Banjar.

Menurut Ahmad ( 2006) sejarah masyarakat Banjar, budaya dan adat istiadat suku banjar dan perpindahan orang banjar dari Kalimantan ke Sumatera

Utara. Buku ini sangat membantu penulisan kajian ini terutama masalah latar belakang masyarakat Banjar di Sumatera Utara dan sejarah budaya masyarakat

Buku yang berjudul Berger, Arthur Asa. Signs in Contemporary culture :

An intriduction to semiotics. Terjemahan M. Dwi Marianto dalam “ Pengantar

Semiotika : Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer”, merupakan tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan. Dimana ada tanda disana ada sistem. Tanda akan mengacu ke sesuatu yang lain disebut objek. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda apabila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang terkenal dengan nama segitiga semiotik. Buku ini menjadi panduan bagi peneliti dalam mengkaji makna simbol pada masyarakat Banjar.

Ada juga beberapa sumber dalam bentuk skripsi dan tesis :

Universitas Sumatera Utara Skripsi Hilma Mithalia Shalihat, yang berjudul “ Bentuk dan Makna simbol tari

Barong Banjar pada upacara perkawinan masyarakat Banjar di Desa Tanjung Ibus

Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat” pada tahun 2011. Ada beberapa perbedaan dengan penulisan skripsi S1 dan penulisan untuk tesis S2 peneliti.

Pada Skripsi penulis terdahulu berisikan tentang Sejarah Tari Barong Banjar, bentuk penyajian tari dimana terdapat pada ragam gerak, sesajen, properti dan busana. Pada skripsi hanya dasar-dasarnya yang diambil berbeda dengan Tesis S2 dimana dalam Tesis berisikan tentang Asal mula kedatangan suku Banjar ke

Tanah deli, Kebudayaan dalam masyarakat Banjar, bahasa Banjar, rumah adat banjar, upacara dalam kehidupan masyarakat Banjar, Upacara perkawinan adat

Banjar dimana ada tata cara pra perkawinan, tata cara perkawinan dan tata cara pasca perkawinan. Di Tesis di bicarakan mengenai struktur Tari Barong Banjar, fungsi Barong Banjar, makna ragam, dan empat puluh satu macam sesajen pada saat upacara adat Barong Banjar. Skripsi ini menjadi acuan peneliti untuk membuat tesis ini, karena peneliti dahulunya juga sudah meneliti tentang masyarakat banjar.

Tesis Sannur Sinaga, yang berjudul “ Tor-tor dalam pesta Horja pada kehidupan masyarakat Batak Toba : Suatu kajian struktur dan Makna”.

Merupakan penjelasan tentang kajian struktur dan makna yang akan dibahas juga oleh peneliti.

Tesis Vanesia Amelia Sebayang, yang berjudul “ Analisis interelasi guru sibaso, musik dan trance dalam upacara ritual Erpangir Kulau pada masyarakat

Universitas Sumatera Utara Karo” . Tesis ini menjadi panduan untuk peneliti terutama tentang membahas bagaimana proses trance dan apa makna dari trance tersebut.

Tesis Erma Satifa, yang berjudul “ Syair Madihin pada adat perkawinan

Banjar diLangkat : Kajian Prosodi dan fungsi”. Merupakan penjelasan tentang beberapa upacara dalam kehidupan masyarakat Banjar. Tesis ini sangat membantu peneliti dalam bentuk penyajian upacara pada kehidupan masyarakat Banjar.

Tesis Ewidiani, “ Analisis struktur dan pola gerak tari Bello Mesusun pada masyarakat Alas di Kabupaten Aceh Tenggara” . Tesis ini menjadi acuan peneliti untuk mengkaji tentang nilai-nilai yang ada pada tari Barong Banjar terutama dalam estetika dan etika.

Skripsi Imelda Ningsih, yang berjudul “ Barongsai dan masyarakat Cina di

Kota Medan, Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik “. Skripsi ini menjadi acuan untuk membedakan bagaimana tari Barongsai dalam masyarakat

Cina dengan tari Barong Banjar dalam masyarakat Banjar.

Selain sumber yang telah dijelaskan di atas penulis juga mendapat beberapa masukan lewat sumber webside antara lain www.google.com dan www.wikipedia.org.

1.5 Kerangka Konsep

1.5.1. Konsep

Dalam rangka memperjelas makna-makna peristilahan yang digunakan dan berhubungan dengan topik tesis ini, maka penulis akan menjelaskan apakah konsep dan teori itu. Penulis menggunakan ini agar tidak terjadi pendistorian makna. Konsep adalah rancangan idea tau pengertian yang diabstrakkan dari

Universitas Sumatera Utara peristiwa kongkret. Dalam penulisan tesis ini konsep yang diuraikan adalah tentang : (1) Tari, (2) Barong Banjar (3) Struktur (4) Makna Tari (5) Upacara

Adat Perkawinan. Konsep ini terutama mengacu kepada pandangan para ahli di dunia pengetahuan seni dan dari kalangan masyarakat pendukungnya.

(1) Tari pada masyarakat Banjar merupakan salah satu budaya yang diwariskan para leluhurnya. Tari Barong Banjar merupakan tari yang disajikan oleh penari pada upacara yang berkaitan dengan peringatan tingkatan-tingkatan kehidupan, seperti acara pesta perkawinan. Tari ini berfungsi sebagai ritual dalam kehidupan masyarakat Banjar di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang,

Kabupaten Langkat.

(2) Barong menurut tata bahasa Banjar merupakan suatu symbol kebesaran.

Dalam Tari Barong Banjar symbol kebesaran itu berupa kepala naga yang disebut

“kepala indarok”.

(3) Struktur adalah bangunan (teoritis) yang terdiri atas unsur-unsur yang berhubungan satu sama alain dalam satu kesatuan. Struktur ini bisa dikaitkan dengan pengertian struktur social atau struktur masyarakat. Dalam kaitannya dengan tulisan ini, struktur yang dimaksud adalah merujuk kepada struktur pertunjukan tari. Struktur mencakup etika pembawaan tari, estetika tari maupun prosesnya.

(4) Makna adalah hal-hal yang dapat diketahui tujuannya melalui yang hendak disampaikan kepada orang lain. Seni yang bermutu adalah seni yang memberikan pengalaman estetik, pengalaman emosi, pengalaman keindahan, atau pengalaman seni yang khas milik darinya. Menurut C. Bel, menanamkan kualitas

Universitas Sumatera Utara seni yang demikian itu sebagai significant form (bentuk bermakna) (Sumardjo

2000: 124). De Saussure mengungkapkan “hubungan antara bentuk dan makna tidak bersifat pribadi, tetapi sosial yakni di dasari oleh kesepakatan (konvensi) sosial (Hoed, 2008: 3-4).

Makna dan simbol merupakan dua kata yang berkaitan satu sama lain.

“Simbol memiliki makna lambang. Lambang itu sendiri memiliki pengertian (i) sesuatu seperti benda (lukisan, lencana, dan sebagainya) yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu; (ii) tanda pengenal yang tetap (menyatakan sifat, keadaan, dan sebagainya); (iii) huruf atau tanda yang digunakan untuk menyatakan unsur, senyawa, sifat, atau satuan matematika.”

Berdasarkan pengertian di atas, kata “makna” dapat diartikan sebagai arti yang diberikan seseorang kepada suatu hal yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, baik arti sebenarnya maupun arti kiasannya. Sedangkan simbol dapat diartikan sebagai lambang sesuatu yang berlaku dalam kebiasaan masyarakat pada lingkungan atau budaya tertentu. Dengan demikian, makna simbol tari dapat diartikan sebagai arti yang diberikan seseorang kepada bentuk gerakan tertentu dalam tari sesuai dengan sesuatu yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Makna simbol tari dalam penelitian ini mengacu pada gerakan tari.

Artinya, makna gerakan tari yang dijadikan sorotan dalam penelitian ini adalah gerakan yang bersifat umum sebagai gerak tari yang dipersiapkan penarinya maupun gerakan yang muncul secara alamiah sebagai gerakan tari yang tidak dipersiapkan oleh penari tetapi muncul dan memberi kekuatan estetika tariannya.

Universitas Sumatera Utara Makna simbol yang tersirat dipengaruhi oleh konsep penciptaan tari. Hal ini menunjukkan pentingnya sang penari mengetahui latar belakang penciptaan tari agar dapar memaknai setiap simbol yang ada pada gerakan tari sesuai dengan asat istiadat budaya pemilik tarian. Makna tari melekat erat pada tiap gerakan mulai dari awal tari sampai akhir tarian.

Makna Simbol diartikan sebagai arti yang diberikan seseorang terhadap symbol-simbol yang terdapat pada tarian. Makna simbol tari dalam penelitian ini mengacu pada gerakan tari. Jadi gerakan tari merupakan symbol yang maknanya harus sesuai dengan sesuatu yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

1.6 Landasan Teori

Sebelum mengutarakan teori yang akan dipergunakan, terlebih dahulu penulis akan mengulas tentang apa itu teori. Teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, yang didukung oleh data dan argumentasi. Teori merupakan alat, dasar, pijakan, kerangka atau acuan bagi para peneliti yang akan mengadakan penelitian. Teori diperoleh berdasarkan studi perpustakaan dari para ahli yang sesuai dengan bidang ilmu yang dikaji. Dengan adanya teori, proses pengumpulan dan penganalisisan data bisa dilakukan dengan lebih terarah dan terencana.

Di dalam penelitian ini, penulis melakukan studi kepustakaan untuk memilih beberapa sumber yang sesuai dengan ragam dan makna tari. Untuk melihat makna yang terkandung dalam tari Barong Banjar, penulis menggunakan teori makna dalam tari (Perteson Royee, 2007), ketika berbicara mengenai makna

Universitas Sumatera Utara tari, Peterson menawarkan hal-hal yang tersirat di dalam tari dengan membandingkan aspek-aspek komunikasi dari perilaku tari melalui media ekspresi lain. Kapasitas ekspresi tari yang kadang-kadang membuatnya menjadi efektif sebagai pembawa makna.

Untuk itu, penulis menggunakan landasan teoritis sebagai pedoman berpikir dalam melaksanakan penelitian dan membahas hasil penelitian. Landasan teoritis pada penelitian ini diuraikan dalam tiga bagian (1) Struktur Tari (2) Teori

Semiotik (3) Bentuk Penyajian.

1.6.1 Teori struktur

Menurut Brown dan Parsons (1989) mengkaji sebuah “ keutuhan struktur social masyarakat “, dengan demikian bahasan tentang tari akan dilihat dari struktur tari yang akan dipertunjukkan sehingga antara masyarakat yang akan dibahas dalam teori struktur fungsi dan sebuah tari yng dipertunjukkan dipanggung sama-sama mempunyai struktur antara bagian-bagian dari struktur yang tidak dapat dipisahkan atau saling berhubungan secara fungsional.

Kajian struktural tari biasanya berkenaan dengan sesuatu yang menghasilkan tata bahasa dari gaya-gaya tari tertentu. Struktur menunjuk pada tata hubungan antara bagian-bagian dari suatu keseluruhan. Struktur tari harus mengandung nilai-nilai etika tari yang dibawakan sehingga menjanjikan estetika tari dengan menjunjung tinggi aspek keindahan tari di setiap proses tarian.

Dalam penjelasan struktur adalah penting untuk membedakan morfologi dan struktur karena selain penggunaannya yang kerap kali saling tertukar,

Universitas Sumatera Utara keduanya tidak menunjuk pada kesamaan derajat sesuatu benda. Secara sederhana dinyatakan, bahwa morfologi berkenaan dengan bentuk, sementara struktur berkaitan dengan tata hubungan dari bentuk-bentuk tersebut (Anya Peterson

Royce 69 : 2007).

Berdasarkan kajian struktur dan morfologi maka dalam mengkaji struktur tari Barong Banjar akan dilihat dari struktur dan morfologi yaitu kajian struktur akan dilihat dari hubungan tari yang ditampilkan pada upacara perkawinan, sedangkan morfologi akan dianalisis dari gerak, tema property, musik, busana,dan kelengkapan lainnya.

Pada umumnya tari memiliki susunan ragam gerak atau patokan gerak.

Rangkaian patokan pola-pola gerak atau patokan tersebut merupakan bentuk rangkaian gerak yang pada umumnya dapat diulang langsung tanpa melalui gerak lainnya. Pada dasarnya patokan gerak ini terbagi atas dua bagian yaitu patokan yang disebut gerak pokok dan gerak penghubung (Elin Syamsuri, dkk, 1994 28-

29).

1.6.2 Teori Semiotik

Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinan de

Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Pierce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Pierce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan adalah linguistik, sedangkan Pierce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi. Semiologi menurut Saussure didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna

Universitas Sumatera Utara atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada dibelakangnya sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Dimana ada tanda disana ada sistem. (Sumbo, 2008: 11-12)

Menurut Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Dimana ada tanda disana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk aspek lainnya yang disebut signified, bidang bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung dalam aspek pertama. Jadi, petanda merupakan kinsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama. (Sumbo,

2008: 11-13, Marianto, 2006:135-138)

Menurut Pierce, tanda ialah suatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh

Pierce disebut obyek. Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda apabila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. hubungan ketiga unsur yang dikemukkan

Pierce terkenal dengan nama segitiga semiotik. (Sumbo, 2008: 13-14)

Selanjutnya dikatakan, tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut

Universitas Sumatera Utara metafora. Contoh ikon adalah potret. Indeks adalah ada hubungan kedekatan eksistensi, contoh, tanda panah penunjuk panah bahwa disekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan. (Sumbo, 2008: 14)

Barthes mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semuanya ini berlangsung ketika interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda. (Hoed, 2008: 76, Sumbo, 2008: 15)

Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adlah penanda dalam tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Jika teori ini dikaitkan dengan spiritualitas gendang lima sedalanen dalam gendang kematian pada masyarakat Karo, maka setiap pesan yang ada di dalamnya merupakan signifier (lapisan ungkapan) dan signified (lapisan makna). Lewat unsur verbal dan visual, diperoleh dua tingkatan makna, yakni makna denotatif yang terdapat pada semiosis tingkat pertama dan makna konotatif yang didapat dari semiosis tingkat berikutnya. Pendekatan semiotika terletak pada tingkat signified, makan pesan dapat dipahami secara utuh. (Sumbo, 2008: 15).

Untuk mengkaji makna tari dalam pertunjukan Tari Barong Banjar, penulis menggunakan teori semiotik. Selanjutnya teori ini digunakan dalam usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem

Universitas Sumatera Utara simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotik adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders

Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.

Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat

(interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara

Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol.

Semiotik atau semiologi adalah kajian teradap tanda-tanda (sign) serta tanda-tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama pula dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotik, yaitu pakar linguistik dari

Swiss Ferdinand de Sausurre. Menurutnya semiotik adalah kajian mengenai

“kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.”

Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof Inggris abad ke-17 yaitu

Universitas Sumatera Utara John Locke, gagasan semiotik sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi, baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya seorang filosof Amerika Serikat,

Charles Sanders Peirce.

Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotik ini, ia menumpukan perhatian kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefinisikan tanda sebagai

“sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu sumbangannya yang besar bagi semiotik adalah pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: (a) ikon, yang disejajarkan dengan referennya (misalnya jalan raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan); (b) indeks, yang disamakan dengan referennya (asap adalah tanda adanya api) dan (c) simbol, yang berkaitan dengan referentnya dengan cara penemuan (seperti dengan kata-kata atau signal trafik).

Untuk membantu kajian makna dalam penelitian ini juga penulis mengkaji fungsi tari Barong Banjar, dengan menggunakan teori fungsionalisme. Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi dan kebiasaan- kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi. Institusi-institusi seperti negara, agama, keluarga, aliran dan pasar terwujud. Sebagai contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang di ungsikan untuk mendukung aktiviti politik demokrasi dan ekonomi pasar.

Universitas Sumatera Utara Dalam masyarakat yang lebih sederhana, masyarakat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung solidaritas sosial di antara kelompok-kelompok manusia yang berhubungan kekerabatannya. Untuk lebih memperinci teori semiotik ini maka penulis mendeskripsikan empat teori semiotik yang digunakan untuk mengkaji makna tari Barong Banjar.

Peirce mengemukakan teori segi tiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik), dan indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda (Santosa, 1993:10) dan

(Pudentia, 2008:323).

Bagan 1.1:

Segitiga Makna

Objek

Representamen Interpretan

Menurut Peirce (Santosa,1993:10) pemahaman akan struktur semiosis menjadi dasar yang tidak dapat ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme. Seorang penafsir adalah yang berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang dipahaminya. Dalam

Universitas Sumatera Utara mengkaji objek yang dipahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat, segala sesuatunya akan dilihat dari tiga jalur logika, yaitu hubungan penalaran dengan jenis penandanya, hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya, dan hubungan pikiran dengan jenis petandanya seperti yang tertera dalam bagan 1.2 dan bagan 1.3 berikut. Bagan 1.2: Pembagian Tanda

Ground/ representamen : Objek/ referent: yaitu apa Interpretant: tanda-tanda baru tanda itu sendiri sebagai yang diacu. yang terjadi dalam batin perwujudan gejala umum. penerima.

Qualisign: terbentuk oleh Ikon: tanda yang penanda Rheme: tanda suatu suatu kualitas yang dan petandanya ada kemungkinan atau konsep, yaitu merupakan suatu tanda, kemiripan. Misalnya: foto, yang memungkinkan menafsirkan misalnya: “keras” suara peta. berdasarkan pilihan, misalnya: sebagai tanda, warna hijau. “mata merah” bisa baru menangis, tapi bisa juga yang lain.

Sinsign/tokens: terbentuk Index: hubungan tanda dan Dicent sign: tanda sebagai fakta/ melalui realitas fisik. objek karena sebab akibat. pernyataan deskriptif eksistensi Misalnya : rambu lalu lintas. Misalnya: asap dan api. aktual suatu objek, mis : tanda larangan parkir adalah kenyataan tidak boleh parkir.

Legisign: Hukum atau Symbol: hubungan tanda Argument: tanda suatu aturan, kaidah yang berupa tanda. dan objek karena yang langsung memberikan Setiap tanda konvensional kesepakatan / suatu tanda alasan, mis : gelang akar bahar adalah legisign, misalnya: yang penanda atau dengan alasan kesehatan. suara wasit dalam petandanya arbitrer pelanggaran. konvensional. Misalnya: bendera, kata-kata.

Sumber: Erni Yunita (2011)

1.6.3 Bentuk penyajian tari

Secara historis, bentuk penyajian tari dapat dibedakan sebagai bentuk penyajian tari modern dan tari tradisional. Menurut Edi Sedyawati, tari modern

Universitas Sumatera Utara diciptakan untuk melepaskan keterkaitan tradisi dan berfungsi sebagai hiburan, baik bersifat estetis maupun komersial. Di dalam hal ini, penari modern selalu mau mencari hal-hal baru, baik dalam tema maupun bentuk dan dasar teknik menarinya. Sedangkan tari tradisional berfungsi untuk mempertunjukkan kaidah- kaidah keindahan tari sesuai dengan persyaratan teknik, bentuk, dan ritme tari sehingga lebih bersifat ritual pada upacara yang berhubungan dengan tingkatan- tingkatan hidup dan perputaran waktu (Sutrisno dan Verhaak ,1993:100).

Bentuk penyajian tari modern dan tari tradisional berkaitan erat dengan proses penyajian tari dan persiapan sebelum membawakan tari. Penyajian tari merupakan rentetan aplikasi dari cara menyajikan tari, tahapan penyajian dan waktu penyajian tari. Sedangkan persiapan merupakan seluruh perlengkapan yang diperlukan dalam menyajikan tari. cara, tahapan waktu, dan perlengkapan penyajian tari merupakan perwujudan estetika tari. Bentuk gerakan sebagai inti dari bentuk penyajian tari.

1.7 Metodologi Penelitian

Penelitian Tari Barong Banjar ini akan dilakukan penulis dengan secara kualitatif. Menurut Bungin (2007: 6),

“Dalam penelitian kualitatif, seorang peneliti memulai berpikir secara induktif, yaitu mengungkap berbagai fakta atau fenomena-fenomena sosial, melalui pengamatan di lapangan, kemudian menganalisisnya dan berupaya melakukan teoritisasi berdasarkan apa yang diamatinya.”

Untuk mencapai hal itu, penelitian ini akan menggunakan metode deskripsi. Metode deskripsi merupakan cara memperoleh data berdasarkan apa

Universitas Sumatera Utara yang terjadi. Hal ini sejalan dengan pendapat Sevilla, (2006: 71) yang menyatakan,

“Penelitian deskriptif menentukan dan melaporkan keadaan sekarang. Seperti penelitian sejarah tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol hal- hal yang telah terjadi, demikian pula penelitian deskriptif tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol hal-hal yang sementara terjadi, dan hanya dapat mengukur apa yang ada (exists).”

Berdasarkan hal itu, maka penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif untuk mendeskripsikan bentuk penyajian Tari

Barong Banjar pada saat penelitian dilakukan. Berdasarkan bentuk penyajian tari ini, maka akan dideskripsikan makna gerakan tari yang melatarbelakangi gerakan tari sesuai dengan adat suku Banjar.

1.7.1 Teknik Pengumpulan Data/ Observasi

Data penelitian ini dikumpulkan dengan cara observasi, wawancara, dan dokumentasi kepustakaan. Ketiga teknik pengumpulan data ini dilakukan secara bertahap dengan terlebih dahulu melakukan observasi. Observasi merupakan cara pengumpulan data dengan pengamatan secara langsung terhadap objek yang diteliti. Di dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengamatan secara langsung terhadap penyajian Tari Barong Banjar di Desa Tanjung Ibus, baik penyajian tari pada acara pesta perkawinan maupun penyajian tari secara khusus yang disajikan di hadapan penulis. Pengamatan meliputi struktur penyajian tari yang dilakukan secara detail dari proses sebelum pelaksanaan upacara hingga penyajian tari

Barong Banjar pada upacara perkawinan.

Setelah dilakukan observasi maka peneliti melakukan wawancara dan mendokumentasikan Tari Barong Banjar. Di dalam tahap dokumentasi, peneliti

Universitas Sumatera Utara juga melakukan observasi secara sistematis sehingga diperoleh hasil dokumentasi

Tari Barong Banjar yang andal. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, metode pengumpulan data dan metode analisis data.

Berdasarkan hasil dari suatu percobaan, bahwa metode pengumpulan data kualitatif yang paling independen terhadap semua metode pengumpulan data dan teknik analisis data adalah metode wawancara mendalam, observasi partisipasi, bahan dokumenter, serta metode baru seperti metode bahan visual dan metode penelusuran bahan internet ( Bungin,2007: 107).

Dalam proses penelitian lapangan, digunakan beberapa instrumen pembantu seperti buku notes, pulpen, kamera Canon A495, handycam Sony, kamera Blackberry 9800. Sedangkan dalam proses kerja laboratorium ( laboratory research), digunakan beberapa alat bantu seperti notes,pulpen, 1buah note book,1 buah laptop, printer Canon MP198, dan komputer Tablet Samsung GT-P5100.

1.7.2 Wawancara

Untuk memperoleh data-data yang tidak dapat dilakukan melalui observasi,penulis melakukan wawancara.Wawancara yang dilakukan adalah wawancara yang sifatnya terfokus yaitu terdiri dari pertanyaan yang tidak mempunyai struktur dan yang mempunyai struktur, tetapi selalu terpusat kepada satu pokok tertentu.

Menurut Bungin (2007), metode wawancara dibagi kedalam dua jenis yakni wawancara mendalam dan wawancara bertahap. Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan

Universitas Sumatera Utara informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan. Sedangkan bentuk wawancara kedua sedikit formal dan terstruktur jika dibandingkan dengan bentuk wawancara mendalam. Wawancara terarah dilaksanakan secara bebas dan juga mendalam, tetapi kebebasan ini tidak terlepas dari pokok permasalahan yang akan ditanyakan kepada responden dan telah dipersiapkan oleh pewawancara.

Kehadiran utama dari wawancara ini adalah dilakukan secara bertahap. Kehadiran pewawancara sebagai penelitian yang sedang mengamati objek penelitian dapat dilakukan secara tersembunyi atau terbuka.

Di dalam penelitian ini, penulis melakukan wawancara terstruktur kepada informan kunci dan wawancara tidak terstruktur kepada masyarakat Banjar di

Desa Tanjung Ibus. Model wawancara yang dilakukan adalah wawancara secara langsung dengan teknik catat dan rekam hasil wawancara.

Dokumentasi dalam p enelitian ini dibagi atas dua hal, yaitu dokumentasi berupa data tertulis dan dokumentasi digital. Dokumentasi dalam penelitian ini dihasilkan penulis dari hasil penelitian lapangan, baik berupa hasil wawancara, pemotretan, dan perekaman video penyajian Tari Barong Banjar di Desa Tanjung

Ibus.

Universitas Sumatera Utara 1.7.3 Teknik penyajian hasil analisis data

Setelah diperoleh data dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi, maka peneliti akan melakukan analisis data dengan mendeskripsikan ragam gerak secara tertulis, baik gerakan tari, makna tari, maupun tata cara penyajian tari.

Deskripsi dilakukan secara berurutan sesuai konsep gerak yang terdapat dalam

Tari Barong Banjar. Berdasarkan deskripsi gerakan tari dan tata cara penyajian tari, maka dilakukan pembahasan yang berkaitan dengan ragam gerak dalam Tari

Barong Banjar.Gerak dan makna didasarkan pada bentuk penyajian tari klasik sebagaimana di ungkapkan oleh Rustam A.A (2007: 6-12) dalam kebudayaan suku Banjar.

1.8 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini terletak di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan

Secanggang, Kabupaten Langkat. Di Desa Tanjung Ibus inilah ditemukan Tari

Barong Banjar sebagai warisan kesenian masyarakat Banjar di kawasan budaya suku Melayu. Lokasi penelitian dapat ditempuh dengan perjalanan darat dari Kota

Medan menuju arah Langkat. Jarak tempuh akan memakan waktu sekitar satu setengah jam dengan menggunakan kendaraan umum ataupun kendaraan pribadi.

Waktu yang diperlukan dalam penelitian ini adalah bulan Maret 2013 –

Mei 2013. Selama tiga bulan tersebut, peneliti mengintensifkan penelitian terhadap ragam gerak dan makna tari sebagai bagian akhir dari penelitian pendahuluan yang peneliti lakukan sebelumnya.

Universitas Sumatera Utara 1.9 Sistematika Penulisan

Pada sistematika penulisan ini hasil penelitian mempunyai : Pengantar, hasil penelitian dan kesimpulan bagian pertama dalam tulisan ini adalah pendahuluan yang didalamnya berisikan latar belakang dan permasalahan ruang lingkup dan manfaat penelitian, tujuan penelitian, penulisan tinjauan pustaka, teori dalam penulisan, lokasi penelitian, metode penelitian, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Didalam bab dua ini penulis mengkaji beberapa hal tentang tinjauan umum masyarakat Banjar diantaranya adalah geografis kabupaten Langkat, data kependudukan Desa Tanjung Ibus, asal mula kedatangan suku Banjar, sistem religi, sistem kekerabatan, mata pencaharian, bidang kegamaan, upacara adat dan juga tidak tertinggal adalah kesenian masyarakat Banjar.

Pada bab ketiga memaparkan tentang sejarah tari Barong Banjar, struktur tari Barong Banjar, tahapan upacara pelaksanaan pada upacara perkawinan masyarakat Banjar, serta penyajian tarinya.

Pada bab keempat mendeskripsikan tentang makna tari Barong Banjar, makna gerak tari Barong Banjar pada upacara perkawinan masyarakat Banjar, musik iringan pada tari Barong Banjar, tata busana dan tata rias pada upacara perkawinan masyarakat Banjar, sesajen pada upacara perkawinan masyarakat

Banjar, tempat pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat Banjar serta perlengkapan pada upacara perkawinan masyarakat Banjar.

Universitas Sumatera Utara Bab kelima sebagai akhir dari penulisan ini, memuat kesimpulan mengenai keseluruhan dalam pembahasan yang diharapkan dapat menarik benang merah dari uraian pada bab-bab sebelumnya.

Universitas Sumatera Utara BAB II

TINJAUAN UMUM SUKU BANJAR

KECAMATAN SECANGGANG, KABUPATEN LANGKAT

2.1 Gambaran Umum Suku Banjar

2.1.1 Letak Geografis dan Kondisi Kabupaten Langkat

Foto 2.1 : Peta Kabubaten Langkat (sumber: http://erwin- siregar.blogspot.com/2011/06/blog-post_07.html)

Universitas Sumatera Utara Desa Tanjung Ibus sebagai tempat penelitian, berada di Kecamatan Secanggang,

Kabupaten Langkat. Kabupaten ini terletak pada koordinat 3º-14” sampai 4º-13”

Lintang Utara serta 97º-52” sampai 98º-45” Bujur Timur dengan ketinggian 0-300 meter di atas permukaan laut. Di sebelah utara berbatasan dengan Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam dan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Kabupaten

Karo, sebelah Barat dengan Nanggroe Aceh Darussalam, dan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kota Binjai.

Kabupaten Langkat memiliki keadaan alam yang terdiri dari daerah pantai, dataran rendah, dan dataran tinggi. Keadaan alam yang bervariasi ini dimanfaatkan masyarakat dan pemerintah untuk mengelola lahan pertanian, perkebunan, serta pertambangan minyak bumi dan gas alam. Keadaan alam pegunungan, sungai-sungai, pantai-pantai, serta flora dan fauna yang berada di kabupaten ini menjadi objek wisata yang layak dikunjungi oleh wisatawan dari dalam dan luar negeri.

Pemerintahan Kabupaten Langkat berpusat di Kota Stabat. Menurut data

Kecamatan Secanggang , Kabupaten Langkat memiliki luas 6.263,29 km² dan terdiri atas 23 kecamatan dan 277desa/kelurahan. Jumlah penduduknya 1.027.414 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 164,04 jiwa/km². Perbandingan luas kecamatan dengan jumlah penduduk termasuk belum merata. Kecamatan Bahorok dengan luas 955,10 km² memiliki kepadatan penduduk 47,69 jiwa/km² atau kedua terjarang penduduknya. Sebagai kota Kabupaten, Kota Stabat merupakan kota dengan jumlah penduduk terpadat yaitu 904,88 jiwa/km², dengan luas 108,85 km², serta Kecamatan Secanggang yang berada di daerah pantai Selat Malaka termasuk

Universitas Sumatera Utara kecamatan yang tingkat kepadatan penduduknya berada di atas rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Langkat. Kecamatan Secanggang dengan luas

243,78 km² memiliki tingkat kepadatan penduduk 6613 jiwa/km² sedangkan rata- rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Langkat adalah 300 jiwa/km².

Pusat pemerintahan Kecamatan Secanggang berada di Hinai Kiri yang berjarak 15 km dari Kota Stabat. Kecamatan ini terdiri dari 17 desa/kelurahan, diantaranya :

Tabel 2.1

Jumlah Etnik di Kabupaten Langkat

Etnik No Desa Melayu Banjar Jawa Karo Toba Mandailing

1 Secanggang 50 % 40% 5% 3% _ 2% 2 Selotong 30% 50% 20% _ _ _ 3 Pantai Gading 50% 35% 15% _ _ _ 4 Kuala Besar 50% 40% 5% 3% _ 2% 5 Perkotaan 40% 29% 26% 2% 1% 2% 6 Jaring Halus 40% 40% 15% 3% _ 2% 7 Karang Anyer 50% 40% 5% 3% _ 2% 8 Karang Gading 53% 25% 17% 2% _ 3% 9 Kepala Sungai 20% 60% 20% _ _ _ 10 Suka Mulia 50% 24% 20% 3% _ 3% 11 Cinta Raja 20% 20% 40% 15% 2% 3% 12 Teluk 20% 20% 40% 10% 2% _ 13 Telaga Jernih 20% 30% 35% 10% _ 5% 14 Hinai Kiri 50% 40% 5% 3% _ 2% 15 Kebun Kelapa 20% 60% 20% _ _ _ 16 Sungai Ular 20% 60% 20% _ _ _ 17 Tanjung Ibus 20% 60% 20% _ _ _ Sumber: Kantor Statistik Kab. Langkat

Universitas Sumatera Utara Dilihat dari tabel di atas, terlihat bahwa suku Banjar menjadi suku mayoritas yang menghuni di hampir semua desa di Kecamatan Secanggang, serta desa

Tanjung Ibus, menjadi salah satu desa dengan jumlah suku Banjar terbanyak.

Daerah ini juga berada di sekitar pesisir pantai. Hal ini juga yang memungkinkan tersebarnya suku banjar, dikarenakan masuknya pendatang pada umumnya melalui laut.

2.1.2 Data kependudukan Desa Tanjung Ibus

Menurut data Kecamatan Secanggang, penduduk Kabupaten Langkat lebih banyak perempuan dibandingkan penduduk laki-laki. Pada tahun 2014 jumlah penduduk laki-laki sebesar 513.651 jiwa sedangkan penduduk perempuan sebanyak 513.763 jiwa dengan rasio jenis kelamin sebesar 99,98%. Berdasarkan persentase suku bangsa, mayoritas penduduk Langkat bersuku bangsa Melayu

(56,87%), Jawa (15,93%), Karo (12,22%), Toba (1,50%),dan Mandailing

(2,54%). Keadaan penduduk Kabupaten Langkat berdasarkan data BPS Provinsi

Sumatera Utara dan Kabupaten Langkat tidak mencantumkan jumlah penduduk dari suku bangsa Banjar. Menurut Ir. H. Ansharullah, MMA sebagai Ketua

Paduan Masyarakat Keluarga Kalimantan (PMKK) Kabupaten Langkat dalam

Fauzi (2006:62-63), orang Banjar yang bermukim di kabupaten ini diperkirakan sekitar 6-8% dari jumlah penduduk Kabupaten Langkat atau sekitar 70.000 jiwa.

Mereka tersebar di seluruh kecamatan dengan pusat pemukiman orang Banjar berada di Kecamatan Secanggang, Stabat, Hinai, Tanjung Pura, Gebang, Babalan,

Brandan Barat, dan Pangkalan Susu.

Universitas Sumatera Utara Menurut Fauzi (2006: 62), migrasi besar-besaran orang Banjar ke Sumatera dan Malaysia terjadi tahun 1868 setelah terjadi Perang Banua Lawas di

Kalimantan. Hal ini dibuktikan ketika orang Banjar secara resmi datang pada tahun 1900, mereka mendapati bahwa sudah ada suku Banjar yang mendiami daerah pesisir pantai Kabupaten Langkat. Oleh karena itu, suku Banjar menjadi penduduk mayoritas yang menghuni kabupaten di sepanjang Kabupaten Langkat.

Di Kecamatan Secanggang yang terletak di pantai Selat Malaka, suku Banjar menjadi penduduk mayoritas, terutama di Desa Tanjung Ibus, Kebun Kelapa,

Sungai Ular, Secanggang, Kepala Sungai, dan Selotong.

2.1.3 Mata pencaharian

Mata pencaharian Suku Banjar di Desa Tanjung Ibus pada umumnya adalah bertani, terutama pertanian sawah pasang surut, berladang, berkebun, dan beternak. Salah satu alat pertanian khas Banjar adalah tajak bulan digunakan untuk menebas rumput di sawah yang berair. Selain bertani, sebahagian suku

Banjar mencari nafkah sebagai nelayan, dikarenakan keadaan posisi wilayahnya berada di daerah pesisir, maka mereka memilih sebagai nelayan sungai, rawa, dan laut. Suku Banjar yang berada jauh dari kampung halamannya ini masih mewarisi peralatan tradisional, seperti lunta (jala) untuk menangkap ikan, unjun (pancing) untuk memancing ikan, pangilar, alat penangkap ikan sepat yang sangat khas, terbuat dari kawat jaring. Memakai alat ini tidak memerlukan umpan untuk menangkap ikan sepat, karena bentuk dari bubu/ lukah (alat penangkap ikan) yang berbentuk bujur sangkar terbuat dari rotan, menyebabkan ikan sepat akan mudah

Universitas Sumatera Utara masuk dan tidak bisa keluar lagi. Bentuk dari alat ini dan bentuknya bermacam- macam ada yang besar ada untuk menangkap ikan besar seperti ikan tauman, belida dan kalui. Bentuk yang kecil untuk menangkap ikan kecil seperti sepat siam, pupuyu dan kepar.

Foto 2.2 : Tajak Bulan salah satu alat pertanian khas Banjar untuk menebas / membabat rumput disawah yang berair (sumber: hasanzainuddin.wordpress.com)

Universitas Sumatera Utara

Foto 2.3 : Lunta/ jala untuk menangkap ikan (sumber : budaya-

urangbanjar.blogspot.com)

Foto 2.4 : Bubu / lukah terbuat dari rotan, bentuknya bermacam – macam ada yang besar dan ada yang kecil sesuai ukuran ikan yang akan ditangkap.(sumber :budaya-urangbanjar.blogspot.com)

Universitas Sumatera Utara

Foto 2.5 : Pangilar, alat penangkap ikan sepat khas Banjar, tanpa umpan ikan secara berombongan masuk dan tidak bisa keluar lagi.(sumber : budaya- urangbanjar.blogspot.com)

Suku Banjar di Desa Tanjung Ibus terkenal pandai mengolah makanan

dengan cara mengawetkan / mamaja. Ilmu memasak tradisional Suku Banjar

masih melekat hingga saat ini, turun temurun dari leluhur yang dibawa dari tanah

kelahiran, karena “ ujar urang bahari”, semua kebaikan dan keburukan melalui

perut, jadi makanlah yang halal jangan yang haram, karena isi perut adalah segala-

gala iman. Jadi memasak adalah unsur budaya yang sangat penting, sebab

mempengaruhi harkat dan martabat seseorang. Makanan khas Banjar yang

terkenal hingga kini di Kalimantan Selatan maupun di Desa tanjung Ibus adalah

Wadi‟ dan Mandai. Dua jenis kuliner menggiurkan yang tidak ada pada suku lain

manapun. Dua cara mengawetkan tersebut yaitu :

1. Wadi’ (Ikan fermentasi), yaitu ikan sawah seperti sepat, papuyu, badau ataupun

ikan air tawar lainnya yang diberi garam bercampur rebuk beras atau gabah yang

disangrai/ digoreng tanpa minyak, yang selanjutnya ditumbuk kasar. Dalam

proses mawadi`, harus dicampur garam yang banyak, agar ikan tetap awet dan

Universitas Sumatera Utara tidak mudah busuk. Ikan yang di proses seperti ini disebut Wadi`. Ikan olahan

yang di fermentasi ini awet hingga satu tahun lamanya di dalam toples. Untuk

mengkonsumsinya menjadi lauk, ikan wadi` harus di goreng terlebih dahulu,

atau ditambahkan sedikit bawang. Untuk olahan lainnya, wadi` juga sangat enak

dimasak dengan bungkusan daun pisang dipais/dipepes. Wadi` di Desa Tanjung

Ibus merupakan makanan langka yang sangat diminati masyarakat di Desa

Tanjung Ibus tersebut. Wadi bisa ditemukan ketika musim penghujan datang,

dimana banyak terdapat ikan-ikan sawah untuk diolah menjadi wadi`.

Foto 2.6 : Cara mengawetkan ikan dengan digarami yang banyak agar ikan tidak busuk( sumber: archive.kaskus.co.id)

2. Mandai (kulit cempedak yang di fermentasi), mandai dibuat dari kulit Tiwadak

(cempedak) yang kulit luarnya dikupas sehingga duri/geriginya hilang, kemudian

kulit dalam beserta serat-seratnya diolah sedemikian rupa dengan memberi

garam, selanjutnya dipaja/diperam (difermentasikan) di dalam bejana non logam

atau di dalam toples. Rasa mandai sangat khas, terasa sedikit asam, tapi ini

sungguh enak, di masak dengan cara digoreng atau ditumis kering dengan cabai

Universitas Sumatera Utara beserta bawang. Hanya sesederhana itu memasaknya, sangat enak jika disajikan

dengan nasi panas.

Foto 2.7 : Ikan yang difermentasi (sumber: yusfasanti1712.bligspot.com)

Kadang-kadang dalam waktu-waktu tertentu mandai bisa menjadi sangat di favoritkan untuk dimakan mengalahkan daging sapi atau ayam atau ikan-ikan lainnya sebagai lauk.

Demikian juga dengan mata pencaharian sampingan berupa kerajinan mengayam tikar purun,tanaman purun tersebut diambil dari rawa-rawa. Tetapi saat ini yang pandai menganyam purun tidak hanya dan bakul seperti lanjung untuk membawa hasil pertanian, diletakkan dipunggung dan talinya bertumpu dibahu , ada juga bakul pabarasan tempat untuk menyimpan beras,terbuat dari kulit bamban yang menjadi ciri khas suku Banjar di tanah leluhurnya masih menjadi kegiatan sampingan ibu rumah tangga di Desa Tanjung Ibus dan sekitarnya.

Universitas Sumatera Utara

Foto 2.8 : Bakul Pabarasan, bakul tempat Foto 2.9: Lanjung, keranjang yang di menyimpan beras, terbuat dari kulit Bamban. Gunakan untuk membawa hasil pertanian, diletakkan dipunggung. (sumber : www.rancahpost.co.id dan hasanzainuddin.wordpress.com)

Foto 2.10 : Seorang wanita / bibinik Banjar sedang menganyam tikar purun yang merupakan salah satu home industri Suku Banjar. (sumber : www.fotografindo.com)

2.2 Suku Banjar

Universitas Sumatera Utara Kata kalimantan menurut Prof. Dr. Slamet Mulyana dalam bukunya

Sriwijaya (LKIS 2006) Kalimantan atau Klemantan berasal dari kata Sanksekerta,

Kalamanthana yaitu pulau yang udaranya sangat panas atau membakar (kal(a): musim, waktu dan manthan(a): membakar). Karena vokal a pada kala dan manthana menurut kebiasaan tidak diucapkan, maka Kalamanthana diucap

Kalmantan yang kemudian disebut penduduk asli Klemantan atau Quallamontan yang akhirnya diturunkan menjadi Kalimantan.

Diwilayah Serawak, bagian malaysia timur dikenal kata Lamantah yang artinya sagu mentah, yang pada zaman dahulu menjadi salah satu makanan pokok masyarakat setempat, dari kata lamantah itulah nanti menjadi kata „Kelamantan‟ yang dimaksudkan kepada penduduk setempat makanan pokoknya sagu.

Dari cerita masyarakat di Kalimantan selatan, khususnya suku Banjar, mengenai kata „Kalimantan‟ berasal dari dua gabungan kata „Kali‟ dan „Mantan‟ disini untuk kata „kali‟ dapat diartikan dengan „Sungai‟ sedangkan „Mantan‟ adalah singkatan dari kata “Jumantan” atau kata lain dari “intan”, yang kalau diterjemahkan kata Kalimantan berarti sungai yang banyak mengandung berbagai macam intan/berlian.

Kata Borneo merupakan nama populer lain dari Kalimantan khususnya di

Benua Eropa, munculnya sebutan Borneo oleh orang Eropa dikarenakan di

Kalimantan banyak ditemukan pohon Borneol (bahasa latin: Dryobalanops camphora) yaitu pohon yang mengandung terpetin, yaitu bahan yang dipergunakan untuk antiseptik atau minyak wangi dan kamper. Pada awal

Universitas Sumatera Utara kedatangan orang Eropa ke Indonesia terutama di Kalimantan, Borneol merupakan salah satu sumber daya alam yang dicari bangsa Eropa di Kalimantan.

Selain itu kata Borneo juga menunjuk pada satu Kerajaan dipulau Utara

Kalimantan yaitu Kerajaan Brunei Darussalam yang sering disinggahi pedagang

Eropa pada masa kolonial, dimana Kerajaan Brunei pada saat itu merupakan sebuah Kerajaan yang paling menonjol dipulau Kalimantan sekitar abad ke 16.

Karena kesulitan lidah orang Eropa menyebut kata Brunei akhirnya menjadi terbiasa dengan sebutan Borneo. Sekarang ini Kalimantan atau Borneo merupakan wilayah yanh dimiliki oleh tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan juga Brunei

Darussalam (maedafarhansyah07.blogspot.com buku syahrani)

2.2.1 Migrasi suku Banjar ke Sumatera Timur

Foto 2.11 : Migrasi besar-besaran suku Banjar ke Sumatera Timur (sumber:

http://erwin-siregar.blogspot.com/2011/06/blog-post_07.html)

Pemadaman merupakan kosa kata bahasa banjar yang artinya sama dengan perantauan. Pemadaman berasal dari kata madam yang artinya pergi

Universitas Sumatera Utara merantau atau melakukan migrasi terutama keluar Kalimantan Selatan. Sejak akhir abad ke-19 atau awal-awal abad ke-20banyak orang Banjar yang melakukan migrasi ke berbagai tempat di kepulauan Nusantara. Sehingga tak mengherankan orang Banjar kini banyak bermukim di Sapat dan Tembilahan (Indragiri Hilir,

Provinsi Riau), Bintan (Provinsi Kepri), Kuala Tungkal (Provinsi Jambi), Deli

Serdang , Langkat, Serdang Bedagai, Asahan (Provinsi Sumut), Kaltim, Kalteng, di pulau Jawa, pulau Lombok dan Bima (Nusa Tenggara Barat), Manado,

Gorontalo, Kendari, Makasar, Maluku, dan lain sebagainya. Atau di daerah- daerah yang menjadi bagian negara luar Indonesia, seperti Parit Buntar di Perak,

Tanjung Karang di Selangor dan Batu Pahat di Johor dan juga di negara Brunei

Darussalam, Singapura, dan Pattani Thailand.

Fenomena migrasi yang dilakukan orang Banjar di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 merupakan pola umum yang juga dilakukan oleh berbagai etnis di

Nusantara. Migrasi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti faktor kondisi politik, ekonomi, keamanan, atau faktor tidak kondusifnya daerah asal mereka.

Faktor ekonomi seperti untuk mencari penghidupan yang lebih baik merupakan salah satu alasan mereka bermigrasi, misalnya yang dilakukan orang

Banjar ketika bermigrasi ke Semenanjung Malaya sebagai buruh penyadap karet.

Penyadapan getah karet dan perluasan lahan perkebunan karet tentu saja memerlukan tenaga kerja atau buruh harian. Dan tenaga itu didatangkan atau diperoleh dari orang-orang yang datang ke Semenanjung Malaya.

Universitas Sumatera Utara Orang-orang Banjar tidak segan bekerja di tempat yang jauh dari kampungnya. Walaupun mereka akan segera kembali jika telah mendapat banyak uang atau keadaan di perantauan tidak menguntungkan lagi. Seperti ketika perkebunan tembakau Deli baru dibuka, banyak orang Banjar pergi kesana untuk membuka lahan dan membuat bangunan (L. Potter dalam Tundjung, 2008:6).

Menurut Sartono Kartodirdjo (1975: 116-118), fenomena migrasi bukanlah semata-mata faktor ekonomi yang menjadi pertimbangan mereka, namun dikarenakan oleh faktor lain seperti faktor politik yang kadang-kadang membuat orang menentukan harus pindah ke daerah lain.

Bambang Purwanto dalam A. Muthalib (2008:24) menyatakan bahwa ketika tekanan politik Belanda terhadap Banjarmasin dan kerajaan-kerajaan di

Sulawesi Selatan semakin intensif, orang Bugis dan Banjar semakin banyak yang membuka daerah rawa-rawa di sepanjang pantai timurSumatera.

Terkait dengan latar belakang migrasi orang Banjar, maka selain bertujuan untuk mencari penghidupan yang lebih baik (faktor ekonomi), juga untuk menghindar dari penindasan Pemerintah Hindia Belanda (faktor politik dan keamanan).

Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Kresidenan Borneo Selatan

(Kalimantan Selatan) di tahun 1920 an turut mendorong terjadinya migrasi orang

Banjar. Kondisi itu terkait dengan dampak ekonomi dunia yang tengah dilanda malaise. Selain itu, adanya perlakuan diskriminasi Pemerintah Hindia Belanda terhadap pribumi mengakibatkan kehidupan masyarakat Banjar di bawah penguasaan Belanda juga sangat memprihatinkan.

Universitas Sumatera Utara Orang Belanda (termasuk orang Eropa lainnya) sebagai kelas tertinggi, memegang kekuasaan ekonomi dan politik. Pembangunan seperti di bidang pendidikan, tempat rekreasi, perumahan, bioskop, dan fasilitas penting lainnya adalah untuk kepentingan Pemerintah Hindia Belanda dan orang-orang Eropa.

Hanya orang kulit putih atau yang dipersamakan yang boleh memasuki fasilitas penting tersebut, sedangkan Bumiputera adakalanya dilarang masuk karena ada tanda-tanda tertentu bertulisan larangan, seperti: “Verboden toegang voor

Inlanders en Honden (dilarang masuk untuk orang bumiputera dan anjing” (Saleh,

1981-1982:37).

Perlakuan diskriminasi sebenarnya tidak hanya dikenakan antara golongan pribumi dengan orang Eropa atau Timur Asing, melainkan juga antara golongan pribumi muslim dengan pribumi penganut agama Kristen. Pada tahun 1920-an, guru-guru agama, guru-guru sekolah Islam, khatib, bilal dan kaum masjid dikenakan kewajiban oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menjalankan

Ordonnantie Heeren Dienst yang menyangkut erakan atau kerja rodi, sedangkan guru-guru agama Kristen, Penyebar Injil, dan Kepala Jemaat, dan Guru-guru

Sekolah Zending justru dibebaskan dari kewajiban itu.

Diskriminasi atau pengklasifikasian status sosial yang terjadi di dalam masyarakat mengundang pertentangan sosial dan ini menyebabkan seringnya terjadi penindasan terhadap kaum yang lemah. Diskriminasi dan penindasan seperti itulah yang pada akhirnya menimbulkan kesengsaraan pada masyarakat bumiputera.

Universitas Sumatera Utara Terhadap pribumi pemerintah Hindia Belanda mengenakan berbagai pungutan seperti Pajak Pencaharian, Pajak Tanah, Pajak Kepala, Pajak Erakan

(uang kepala), Bea Masuk, Pajak Penyembelihan dan berbagai pungutan resmi maupun tidak resmi. Selain itu, setiap orang, kecuali golongan pangreh praja, yang berumur antara 18-45 tahun dapat dikenakan kerja rodi (kerja erakan) yang sangat memberatkan rakyat yang kesemuanya untuk kepentingan Pemerintah

HindiaBelanda.

Mengenai pajak erakan (uang kepala), misalnya: (1) Tiap 1 orang petani yang punya 1 bidang sawah dan 1 bidang ladang dalam setahun harus bayar pajak sawah-ladangnya, walaupun hasilnya sangat kurang. Sawah dikenakan wajib pungut sebesar “tujuh puluh lima sen” (f 0,75), dan pajak ladang wajib bayar

“lima puluh sen” (f. 0,50); (2) Tiap 1 orang berusia lanjut 50 s.d. 55 tahun harus bayar wajib pajak kepala per tahun “lima puluh sen” (f. 0,50). Tiap 1 orang dewasa (kawin/belum) umur 18 tahun ke atas harus bayar wajib pajak seperti tersebut di atas. Meski umur muda akan tetapi jika akan melaksanakan perkawinan, dia wajib kena pungut pajak kepala(Wajidi,2008:18).

Kondisi sosial ekonomi yang berkaitan dengan rodi dan berbagai pajak dan pungutan, dampak depresi ekonomi dunia saat itu, dan ditambah dengan pendidikan yang kurang maju menjadi dominan sifatnya antara tahun 1900 –1928 di Kalimantan Selatan. Kondisi demikian mengakibatkan keresahan yang bermuara kepada munculnya pemberontakan Guru Sanusi 1914-1918 dan pemberontakan Gusti Darmawi tahun 1927. Keadaan itu pula yang mengakibatkan banyak penduduk khususnya dari Hulu Sungai yang melakukan

Universitas Sumatera Utara eksodus ke pesisir Timur Sumatera seperti Kuala Tungkal, Sapat, Tembilahan.

Sampai tahun 1950 jumlah penduduk suku Banjar di daerah Sapat dan

Tembilahan mencapai 250.000 orang (Saleh et al,1978/1979: 51).

Sumatera Utara merupakan salah satu daerah pamadaman yang cukup besar. Berdasarkan data yang diperoleh dari Ahmad Fauzi (2010:2) diperkirakan orang Banjar di Sumatera Utara saat ini berjumlah lebih kurang 180.000 orang dengan perincian kab. Langkat 70.000 orang, Deli Serdang 30.000 orang, Serdang

Bedagai 50.000 orang, Asahan 20.000 orang, kabupaten/kota lainnya kurang lebih

10.000 orang.

Informasi lain sebagaimana disebutkan A. Muthalib (2008:26) bahwa orang Banjar yang telah bermukim di Indragiri Hilir pada tahun 1900 sekitar seribu jiwa. Lima belas tahun kemudian (1915) jumlah mereka meningkat drastis, yakni 18.798 jiwa. Pada akhir perang Dunia I atau dekade kedua abad ke-20, jumlah mereka diperkirakan 20 ribu jiwa. Selain ke pesisir Sumatera, puluhan ribu penduduk Hulu Sungai juga pergi untuk menetap di Melaka (Sjamsuddin, 2001:

9). Mungkin yang dimaksud Sjamsuddin di Malaya, bukan di Melaka. Kalau di

Melaka tidak ada orang Banjar seramai itu, kerana Melaka bukan tumpuan migrasi orang Banjar.

Menurut Tunku Shamsul Bahrin (1964) sebagaimana dikutip dari

Mohamed Salleh Lamry (2010:4) bahwa berdasarkan sensus penduduk

Semenanjung Malaya tahun 1911, orang Banjar di Malaya pada masa itu berjumlah 21.227 orang. Umumnya mereka bermukim di Perak, Selangor dan

Johor. Pada tahun 1921 orang Banjar di Malaya meningkat hampir 80% menjadi

Universitas Sumatera Utara 37.484 orang. Antara tahun 1921 hingga 1931 penduduk Banjar di Malaya bertambah 7.503 orang menjadi 45.351 orang. Perak, Johor dan Selangor masih merupakan negeri di mana jumlah orang Banjar paling ramai. Dalam tiga negeri inilah tinggal 96% orang Banjar di Malaya.

Proses migrasi orang Banjar memang sudah terjadi pada abad ke-18 ketika

Belanda melakukan campur tangan dalam perebutan tahta antara Pangeran Nata dan Pangeran Amir yang berujung kepada kekalahan Pangeran Amir dan akhirnya dibuang ke Ceylon (Sri Langka). Untuk menghindari dari penangkapan dan hukuman dari pihak kolonial Belanda, maka pengikut Pangeran Amir melakukan eksodus ke berbagai tempat yang dirasa aman. Migrasi orang Banjar keluar Kalsel semakin banyak ketika terjadinya Perang Banjar yang berlangsung selama lebih dari 40 tahun (1859-1906). Dan migrasi itu mencapai puncaknya pada dekade- dekade pertama abad ke-20, disaat Pemerintah Hindia Belanda telah semakin intens menancapkan kekuasaan dan menjalankan pemerintahan kolonial yang diskriminatif dan menindas kaum pribumi.

Migrasi orang Banjar ke berbagai tempat di kepulauan Nusantara juga didukung oleh kemampuan orang Banjar dalam memiliki dan menguasai teknologi pembuatan perahu (jukung) dalam berbagai bentuk dan jenis keperluan baik untuk sungai, pantai dan lautan. Kemampuan itu dengan sendirinya menjadikan orang Banjar memiliki tradisi berlayar baik sebagai pelaut, nelayan, dan pedagang antar pulau (interensuler). Tak mengherankan jika pada masa

Kerajaan Negara Dipa, Negara Daha, dan Kesultanan Banjar, jung-jung yang

Universitas Sumatera Utara dibawa pedagang Banjar banyak berlabuh di berbagai bandar di pantai utara pulau

Jawa.

Ketika Islam berkembang pesat di Kesultanan Banjar yang mengharuskan penganutnya untuk melakukan perjalanan haji ke Mekkah bagi yang mampu, maka kemampuan orang Banjar berlayar mengarungi samudera semakin terasah.

Adalah hal biasa jika orang Banjar melakukan perjalanan ibadah haji ke Mekkah dengan menaiki kapal layar sendiri pulang pergi selama setahun lamanya.

Kemampuan memiliki, menguasai teknologi perkapalan dan adanya tradisi berlayar dan berdagang antar pulau dengan perahu tradisional itulah yang menjadikan orang Banjar memiliki mobilitas tinggi, berlayar dari satu pulau ke pulau lain dan menyusuri sungai hingga jauh ke pedalaman untuk mencari tempat bermukim. Suatu hal yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menumpang kapal uap milik maskapai Belanda yang hanya merapat di Bandar besar saja.

Putusnya komunikasi antara orang Banjar banua dengan perantauan barangkali disebabkan karena semakin berkurangnya armada perahu-perahu tradisional Banjar yang melayari lautan karena semua kegiatan perdagangan diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda, seiring dengan berhentinya perlawanan orang Banjar di awal abad ke-20 dan monopoli perdagangan Cina. Berbagai upaya untuk melawan pengaturan Belanda itu dan monopoli pedagang Cina, seperti yang dilakukan organisasasi Sarekat Islam cabang Banjarmasin dengan mendirikan

Sarekat Pelayaran sebagai upaya untuk memperlancar transportasi sungai yang merupakan jalur perdagangan penting di Kalimantan Selatan, namun agaknya usaha-usaha itu tidak mampu melawan monopoli perdagangan yang telah lama

Universitas Sumatera Utara dikuasai orang-orang Cina yang telah lama mendapat perlakuan istimewa yang diterimanya dari pemerintah, di samping eksploitasi pemerintah kolonial sendiri di bidang ekonomi (Wajidi, 2007: 123).

Dengan semakin sedikitnya perahu-perahu Banjar yang melayari lautan, maka semakin jarang orang Banjar di perantauan atau sebaliknya untuk saling berkunjung. Akibatnya untuk waktu sekarang masing-masing pihak mengalami kesulitan untuk menelusuri kembali sanak keluarga keluarganya. Sebagian dari mereka ada yang masih bisa menjalin komunikasi dengan kerabatnya di Kalsel, karena kerabatnya di banua masih dikenali. Namun tidak sedikit pula yang putus sama sekali karena yang mereka ketahui hanyalah padatuan mereka berasal dari

Kalsel (seperti dari Barabai, Kandangan, Alabio, Nagara, Amuntai, Kelua), namun dimana atau di kampung apa padatuan mereka dahulunya berada mereka tidak mengetahuinya.

Suku Banjar yang datang ke Sumatera pada umumnya adalah orang-orang daerah Alai (Kabupaten Hulu Sungai Tengah) dan orang-orang Kalua (Kabupaten

Tabalong) serta orang-orang Hulu Sungai Utara. Kepergian mereka ke Sumatera dan Malaysia disebabkan daerah mereka yang kurang produktif untuk pertanian karena sebagian besar rawa-rawa dan hutan. Mereka melakukan migran dengan menumpang kapal Belanda melalui Singapura, dan dari Singapura tujuan mereka terbagi kepada tiga tempat ke daerah Kuala Tungkal dan Tembilahan, sebagian ke

Malaka (Malaysia) dan sebagian lagi ke Deli (Sumatera Timur), karena didaerah- daerah tersebut telah ada saudara-saudara mereka bermukim, ini terjadi pada awal tahun 1900.

Universitas Sumatera Utara Di daerah Sumatera Timur ini suku Banjar mendapatkan daerah pertanian yang relatif lebih subur di pesisir pantai Kabupaten Asahan, Serdang Bedagai,

Deli Serdang, dan Langkat tepatnya di Tanjung Ibus, Sungai Ular, Desa Kedbun

Kelapa, Hamparan Perak, Pantai Cermin, dan Pantai Labu. Mereka mengolah persawahan untuk ditanami padi, berkebun kelapa dan lain-lain dengan membuka hutan-hutan disekitar daerah tersebut. Sebagian di antara mereka ada yang bekerja di perkebunan-perkebunan yang dibuka pemerintah Belanda menjadi tukang- tukang pembuat bangsal (tempat pengasapan tembakau) sebagian lagi menjadi mandor-mandor perkebunan dan buruh-buruh non kontrak. Kedatangan masyarakat/orang Banjar pada periode tahun 1900 ini merupakan migran spontan setelah mendapat informasi dari saudara-saudara mereka yang datang pada periode pertama dan kedua, bahwa di Deli banyak lapangan untuk mencari nafkah.

Menurut cerita, sekelompok Suku Banjar yang datang dari Kalimantan melapor kepada Sultan Langkat, dan Sultan Langkat memberi mereka pemukiman di sekitar kecamatan Secanggang, hingga sekarang di desa kecamatan Secanggang

Kabupaten Langkat banyak bermukim suku Banjar. Diterimanya orang Banjar secara resmi oleh Sultan Langkat karena faktor kesamaan agama, dan orang

Banjar terkenal sebagai penganut islam yang taat dan fanatik

(https://bubuhanbanjar.wordpress.com/2010/12/01/asal-usul-etnis-banjar/)

2.2.2 Keberadaan orang banjar di Sumatera Timur

Universitas Sumatera Utara Ketika orang Banjar meninggalkan kampung halamannya, mereka merupakan pengamal ajaran agama Islam yang taat, karena Kerajaan Banjar merupakan kerajaan Islam yang menerapkan syariat Islam kepada rakyatnya.

Suku Banjar berprinsip, madam itu untuk mendapatkan ketenangan hidup lahir dan bathin. Mereka bertekad untuk hidup bersama dirantau dengan baik, yang didasari oleh kekuatan iman dan Islam. Prinsip keimanan Suku Banjar tersirat dalam sebuah filsafat : “ WAJA SAMPAI KAPUTING” yang artinya

Ibarat Sebatang Besi, dari pangkal sampai pucuk seluruhnya bagaikan Baja, yaitu prinsip hidup yang istiqomah, selagi hayat dikandung badan, dari lahir sampai meninggal dunia. Suku Banjar berprinsip bahwa alam yang terbentang luas ini merupakan ciptaan Allah untuk seluruh manusia, karenanya dimanapun kita berada, daerah tersebut merupakan milik bersama, harus dijadikan tempat tinggal yang aman dan nyaman (Fauzi,2006: 70).

Keberadaan Suku Banjar dalam kehidupan di tanah Deli dapat diidentifikasi dalam beberapa hal, diantaranya :

1. Dalam bidang kemasyarakatan dan pemerintahan

Sejak zaman Kesultanan, masa merebut kemerdekaan, mempertahankan

kemerdekaan sampai sekarang Suku Banjar tetap aktif dalam setiap aspek

perjuangan dan pembangunan. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya

tokoh-tokoh Banjar berperan dalam masyarakat, dalam jabatan-jabatan

formal dipemerintahan maupun non-formal dalam masyarakat di Tanah

Deli.

2. Dalam bidang kegamaan

Universitas Sumatera Utara Dalam bidang ini banyak orang Banjar yang menjadi tokoh-tokoh

masyarakat, guru-guru agama, Kepala-kepala KUA. Menurut pengamatan

di Kabupaten Langkat hampir semua desa ada orang Banjar yang menjadi

guru agama, termasuk di perkebunan-perkebunan. Oleh karena itu tidak

berlebihan bila dikatakan orang Banjar di Deli adalah orang-orang Islam

yang taat melaksanakan ajaran agama dan suku Banjar adalah gudangnya

guru agama.

3. Dalam bidang pendidikan

Di bidang pendidikan suku Banjar sudah mulai mengikuti perkembangan,

jika dahulu orang Banjar hanya mau menyekolahkan anak-anaknya ke

sekolah agama saja, sekarang diantara anak-anak Banjar sudah banyak

yang menuntut ilmu di sekolah umum dan kejuruan bahkan sudah banyak

yang menjadi Tentara dan Polri. Tetapi masih ada Suku Banjar yang

bersifat egois dalam hal-hal yang berhubungan dengan kemajuan anak-

anak mereka, salah satu contoh dalam bidang pendidikan banyak orang

banjar yang tidak mau mengeluarkan dana untuk membiayai pendidikan

anak-anaknya sehingga sangat sedikit putra-putri Banjar yang melanjutkan

pendidikan keperguruan tinggi.

Penduduk yang mendiami di seluruh tanah borneo adalah melayu,di kategorikan sebagai melayu tua (proto malay) ataupun melayu muda ( deutro malay) yang memiliki asal usul yang sama termasuk perkembangan bahasa yang dimiliki. Oleh perkembangan waktu dan zaman manusia yang mendiami kantong- kantong wilayah diberbagai penjuru borneo mengembangkan peradaban dan

Universitas Sumatera Utara kebudayaaannya sendiri baik dikarenakan factor akulturasi sehingga pada akhirnya melahirkan entitas – entitas baru yang merujuk identitas itu berdasarkan pada kewilayahan dan bahasa pergaulan sehingga menjadikan penduduk melayu borneo itu berumpun – rumpun bangsa yang beragam. Hal ini lah yang terjadi padabangsa banjar yang mendeklarasikan sebagai melayu – islam di abad 14 lewat momentum kebagkitan kesultanan banjar di selatan borneo dari sekumpulan peduduk asli yang mengikrarkan diri secara politik dan cultural menjadi bangsa dengan sebutan baru yaitu bangsa banjar. Melayu di tanah borneo mengembangkan tata adat dan budayanya sendiri yang menjunjung tinggi nilai – nilai islam sebagai sendi utamanya. Kerajaan- kerajaan di borneo rata-rata berbasis melayu – islam sebagai pijakan dasar / falsafah kerajaaan /kesultanan yang menghasilkan peradaban masyarakat melayu dengan ke khasannya tersendiri di kawasan tanah borneo. Jadi dalam konteks membangun peradaba adat melayu tidaklah bisa dipisahkan dengan nilai- nilai agama yang memang dalam sejarahnya sudah bersenyawa hingga menjadi tatanan peradaba adat melayu di tanah borneo .

Ketika kita bicara tentang identitas etnik Banjar, maka penelusuran tentang asal usul etnik ini menjadi penting. Alfani Daud berasumsi bahwa cikal- bakal nenekmoyang orang-orang Banjar adalah pecahan sukubangsa Melayu, yang sekitar lebih dari seributahun yang lalu, berimigrasi secara besar-besaran ke kawasan ini dari Sumatera atau sekitarnya.

Peristiwa perpindahan besar-besaran suku bangsa Melayu ini, yang belakangan menjadi inti nenek moyang sukubangsa Banjar, diperkirakan terjadi

Universitas Sumatera Utara pada zaman Sriwijaya atau sebelumnya.Imigrasi besar-besaran dari sukubangsa

Melayu ini kemungkinan sekali tidak terjadi dalam satugelombang sekaligus.

Menurut asumsi Alfani Daud, kemungkinan sekali etnik Dayak yang sekarang ini mendiami Pegunungan Meratus adalah sisa-sisa dari imigran-imigran Melayu gelombang yang pertama yang terdesak oleh kelompok-kelompok imigran yang datang belakangan. Diperkirakan bahwa imigran-imigran Melayu yang datang belakanganlah yang menjadi kelompok inti terbentuknya sukubangsa Banjar. Dari cikal-bakal inilah nantinya yang menjadi dasar bagi pembentukan struktur sosial dalam masyarakat Banjar. Dengan asumsi cikal-bakal urang Banjar adalah

Melayu, maka berkembang pula asumsi selanjutnya, yakni agama mayoritas mereka adalah Islam. Menurut Alfani Daud lagi, karena Melayu adalah Islam.

Oleh karenanya, tidak heran jika Islam menjadi identitas urang Banjar sejak berabad-abad. Bahkan, kasus-kasus orang-orang Dayak memeluk agama Islam dikatakan sebagai “menjadi orang Banjar”. Memeluk Islam merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai “babarasih” (membersihkan diri).

Dalam perkembangan tersebut, tentunya, terjadi apa yang disebut oleh para ahli sebagai akulturasi budaya antara Islam dengan masyarakat Banjar. Itulah sebabnya kirakira walaupun sejak berabad-abad urang Banjar selalu diidentikkan dengan Islam, namun dalam banyak kasus praktek-praktek keagamaan yang terjadi dalam masyarakat Banjar tidaklah seluruhnya dapat dicari referensinya dalam ajaran Islam.

Universitas Sumatera Utara Koentjaraningrat (1996: 155): Akulturasi adalah suatu proses social yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsure-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsure-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ki dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.

Akulturasi dalam adat Perkawinan masyarakat banjar di Langkat, ada perpaduan kebudayaan dengan melayu, hal ini bisa dilihat dengan prosesi acaranya. Masyarakat melayu di Langkat dalam upacara perkawinan menggunakan upacara “Tepung Tawar” yang merupakan kebudayaan melayu.

Untuk menepung tawari dibutuhkan ramuan penabur yakni bahan-bahan tepung tawar diletakkan di atas pahar (dulang tinggi) dan tempat terpisah-pisah seperti beras putih, beras kuning, bertih (padi digoreng), bunga rampai, dan tepung beras.

Semua sajian ini mempunyai makna yakni beras putih berarti lambang kesuburan,beras kuning berarti suatu kemajuan yang baik,bunga rampai bermakna keharuman nama dan tepung beras memiliki arti kebersihan hati.

Ramuan perincis untuk tepung tawar terdiri dari semangkuk air, segenggam beras putih dicampur jeruk purut (limau mungkur) diiris-iris. Juga satu ikat bahan tepung tawar terdiri dari 7 macam bahan yakni: daun kalinjuhang (lambang tenaga magis kekuatan ghaib), daun pepulut atau pulutan (lambang kekekalan sesuai sifatnya yang lengket),daun ganada rusa (lambang perisai gangguan alam), daun jejeruan (lambang kelanjutan hidup sebab sukar dicabut), daun sepenuh(lambang rezeki), daun sedingin (lambang menyejukkan, ketenangan, kesehatan), rumput

Universitas Sumatera Utara sambau dan akarnya (lambang pertahanan karena akarnya sukar dicabut). Orang yang hendak ditepungtawari biasanya didudukkan pada tempat khusus semacam peteraana. Di atas kedua pahanya diletakkan kain panjang untuk menjaga kemungkinan tidak kotor atau basah oleh air tepung tawar. Lalu, si penepung tawar mengambil sedikit-sedikit bahan-bahan tepung tawar.

Selain Tepung Tawar masyarakat melayu tersebut menggunakan “Bale-

Bale “,. Balai dinamakan juga pulut balai bagi masyarakat Melayu sangat penting.

Keberadaannya dalam setiap upacara adat tidak bisa ditinggalkan dan menjadi kehormatan dan kebanggaan bagi yang menerima atau memberi balai. Balai dibuat dari kayu berkaki empat dan tingkatnya ada yang 3 atau 7 dan setiap tingkat berisi pulut kuning sebagai lambang kesuburan dan kemuliaan. Pada tingkat paling atas dari balai biasanya diletakkan panggang ayam sebagai lambang pengorbanan atau pun inti (kelapa parut dimasak dengan gula aren).

Setiap tingkat dari balai tersebut diletakkan telur dibungkus kertas minyak yang sudah dihias dan bertangkai lidi, kemudian dipacakkan ke pulut balai. Setelah itu balai diletakkan di tengah-tengah majelis sehingga memperindah pemandangan.

Biasanya jika acara seremonial seperti perkawinan, bunga telur dibagi-bagi kepada undang yang hadir, bisanya peserta marhaban jika acara itu memanggil kelompok marhaban.

Tepung tawar biasanya dikombinasikan dengan kegiatan upah-upah.

Meski begitu pada dasarnya kedua ritual adat ini berbeda sama sekali. Upah-Upah, dilakukan untuk suatu kebanggaan, menjemput semangat, memberi motivasi.

Upah-Upah biasanya dilakukan dengan menggunakan Pulut Bale, merupakan

Universitas Sumatera Utara suatu tempat yang terbuat dari kayu memiliki kaki 4 buah dan tempat yang bertingkat-tingkat. di dalamnya ada pulut yang diberi kunyit sehingga berwarna kuning, di atasnya ada ikan bakar/ayam bakar, pada pulut ditancapkan Merawal

(bendera kertas) dan digantung telur ayam. Dipuncaknya ditancapkan Kepala

Balai. Bale tadi diangkat dan diputarkan di atas kepala orang yang diupah-upah.

Menyampaikan kata-kata upah-upah dan diakhiri dengan menyarungkan kain sarung.

Meskipun mengadopsi upacara dari kebudayaan melayu masyarakat

Banjar tidak menghilangkan kebudayaan mereka sendiri yakni dalam prosesi acara pernikahan masih menggunakan upacara Siraman, Pecah Telur dan lainnya.

Demikian juga dengan penggunaan bahasa Banjar banyak dipengaruhi oleh bahasa Melayu, dan bahasa-bahasa Dayak. Bahasa Banjar mempunyai hubungan dengan bahasa Kedayan (Brunei) yang terpisahkan selama 400 tahun dan sering pula disebut Bahasa Melayu Banjar. Dalam perkembangannya, bahasa Banjar ditengarai mengalami kontaminasi dari intervensi bahasa Indonesia dan bahasa asing. Bahasa Banjar berada dalam kategori cukup aman dari kepunahan karena masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat Banjar maupun oleh pendatang.

Orang melayu Langkat memilik rumah tradisional dengan bentuk khas melayu. Di bangun dengan bentuk rumah panggung, biasanya dibuat dari bahan kayu hitam. Pintu masuk biasanya berada disamping rumah, dengan sebuah tangga, tapi saat ini sudah ada yang menempatkan pintu masuk dan dengan sebuah tangga di depan rumah. Rumah suku melayu memiliki persamaan dengan

Universitas Sumatera Utara rumah suku Banjar. Rumah yang dijadikan rumah adat Banjar adalah rumah bubungan tinggi/rumah panggung dan sama-sama memiliki atap dengan daun nipah yang banyak terdapat di rawa-rawa. Atap daun nipah ini memberi kesejukan dibawahnya meskipun cuaca sedang sangat terik dan panas.

Untuk mata pencaharian suku Banjar dan melayu di Langkat, memiliki kesamaan dan beragam profesi, tetapi sebagian besar hidup sebagai petani.

Mereka menanam berbagai jenis tanaman, seperti padi,ubi, jagung, dan berbagai jenis sayuran dan buah-buahan. Di daerah pesisir biasanya menjadi nelayan. Di luar itu mereka memilih sebagai pedagang, nelayan, sektor pemerintahan dan sektor swasta. Di sisi lain beberapa dari mereka menjadi buruh di perkebunan dan lain-lain.

Sistem ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan terpadu yang tersusun secara sistematis sehingga membentuk prinsip metode rasional untuk tujuan tertentu. Ciri khas sistem ilmu pengetahuan banjar dan melayu, berkembangnya pendidikan tradisional, utamanya pendidikan agama islam yang dikenal sebagai „pengajian‟. Pelajaran yang di berikan oleh tuan guru dalam pengajian adalah tauhid, fiqih dan ilmu tasawuf.

Sistem Pengetahuan tentang Pengobatan Tradisional, pengobatan tradisional yang di kenal masyarakat Banjar merupakan pengetahuan yang di warisi dari orang tua dan ahli pengobatan tradisional yang terdapat di daerah mereka (deutromalayan.blogspot.com).

Universitas Sumatera Utara 2.3 Sistem Kepercayaan Suku Banjar

2.3.1 Agama pada Suku Banjar

Masukknya agama islam : perang banjar pertama adalah perang antara pangeran tumenggung dengan keponakannya pangeran samudra. Perang ini merupakan perselisihan antar elit di kerajaan banjar yang akhirnya menyerat rakyat dan kerajaaan demak dari pulau jawa pada awal abad 16. Kekuatan besar pangeran tumenggung bukan tandingan pangeran samudra, tetapi pangeran samudra meminta batuan kerajaan demak untuk melawannya. Namun kerajaan demak bersedia membantu pangeran samudra, jika sudah menang mau masuk islam. Dan ketika perang tersebut berhasil di menangkan oleh pangeran samudra, ia menepati janjinya dengan masuk agama islamdan mengganti namnya menjadi sultan suriansyah. Masuknya agama islam dikesultanan banjar tersebut membuat agama islam berkembang dengan pesat dikalangan rakyat banjar. Peran seorang ulama yang bernama khatib dayyan dalam perkambangan agama islam cukup besar di masa sultan suriansyah tersebut. Perkembangan cepat agama islam juga tidak terlepas dari peran dan dukungan dari sultan suriansyah melalui kekuasaaanya.

Suku Banjar juga menjadi suku yang mayoritas penduduknya memeluk

Agama Islam. Menurut Alfani Daud dalam Fauzi (2006:13), agama Islam yang dianut oleh suku Banjar berasal dari agama yang dianut oleh suku Melayu dan suku Jawa yang datang ke Kalimantan Selatan. Pada waktu itu terjadi perkawinan campuran antara orang Melayu dan Jawa dengan penduduk sekitarnya, orang

Dayak. Perkawinan campuran ini berlangsung terus-menerus hingga muncul

Universitas Sumatera Utara Kerajaan Banjar yang beragama Islam. Menurut Anwar (2004: 27), Kerajaan

Banjar yang berpusat di Banjar Masin dan Martapura adalah kerajaan Islam yang menerapkan hukum Islam. Sejak saat itu, orang Banjar menyatakan diri Islam dan menerapkan kesenian bercorak Islam dalam kehidupannya, baik di Kalimantan

Selatan maupun di daerah perantauannya.

Masyarakat yang mendiami kab. Langkat pada umumnya menganut agama

Islam yang juga menjadi salah satu ciri dari suku Melayu yaitu Agama Islam.

Menurut Wilkinson dalam Takari dan Dewi (2008: 46), “Seorang Melayu adalah beragama Islam. Misalnya masuk Melayu berarti masuk Islam.” Ciri kemelayuan yang identik dengan Islam ini masih dipertahankan hingga sekarang. Oleh karena itu, Kabupaten Langkat masih dipandang sebagai daerah Melayu karena mayoritas penduduknya beragama Islam (90%). Penduduk yang lain beragama Kristen

Protestan (7,56%), Kristen Katholik (1,06%), Buddha (0,95%), Hindu (0,09%), dan lainnya (0,34%).

Di Kabupaten Langkat hampir semua desa ada orang Banjar yang menjadi guru agama, termasuk diperkebunan-perkebunan. Oleh karena itu tidak berlebihan bila dikatakan orang Banjar di Deli adalah orang-orang islam yang taat melaksanakan ajaran agama dan suku Banjar adalah gudangnya guru agama.

Dalam bidang seni baca Al Qur‟an banyak pula putera-puteri Banjar yang menjadi

Qori dan Qoriah, bahkan beberapa putera-puteri Banjar telah dinominasikan sebagai Qori Nasional karena telah berhasil menjadi MTQ Nasional. Pada saat musim haji cukup banyak warga Banjar yang berangkat mengerjakan ibadah haji ke Tanah suci dari Propinsi Sumatera Utara, untuk Kabupaten Langkat tiap

Universitas Sumatera Utara tahunnya diperkirakan lebih dari 15% dari jemaah hajinya adalah suku banjar.

Aktifitas keagamaan di desa-desa yang penduduknya Suku Banjar dapat pula dilihat dari banyaknya Masjid-masjid dan Musholla, pengajian-pengajian, perwiritan-perwiritan dan madrasah-madrasah, juga seni yang bernafaskan Islam.

Di setiap desa minimal terdapat satu buah masjid dan di dusun-dusun terdapat pula Musholla-musholla, demikian juga hampir setiap desa terdapat Madrasah baik Diniyah, TPA dan lain-lain. Pengajian perwiritan baik laki-laki maupun perempuan selalu mewarnai kegiatan keagamaan. Oleh karena itu, kesenian yang dilestarikan adalah kesenian yang Islami, seperti Madihin dan Barong Banjar.

Madihin adalah syair yang dinyanyikan dengan iringan gendang yang menceritakan suka dan duka orang Banjar dan dipertunjukkan oleh pamadihin sewaktu acara perkawinan, terutama keluarga pemuka adat Banjar. Sebaliknya,

Barong Banjar adalah tarian yang dipertunjukkan oleh orang Banjar yang telah turun temurun mengikuti acara adat Banjar dalam menyambut bulan Muharram dan perkawinan adat Banjar yang dilaksanakan oleh keluarga raja atau pemuka adat Banjar.

2.3.2 Kerajaan Banjar dan Hukum Islam

Menurut( Fauzi,2006: 118) dikutip dari buku sejarah Banjar, perang banjar pertama adalah perang antara pangeran tumenggung dengan keponakannya pangeran samudra. Perang ini merupakan perselisihan antar elit di kerajaan banjar yang akhirnya menyerat rakyat dan kerajaaan demak dari pulau jawa pada awal abad 16. Kekuatan besar pangeran tumenggung bukan tandingan pangeran

Universitas Sumatera Utara samudra, tetapi pangeran samudra meminta batuan kerajaan demak untuk melawannya. Namun kerajaan demak bersedia membantu pangeran samudra, jika sudah menang mau masuk islam. Dan ketika perang tersebut berhasil di menangkan oleh pangeran samudra, ia menepati janjinya dengan masuk agama islamdan mengganti namnya menjadi sultan suriansyah. Masuknya agama islam dikesultanan banjar tersebut membuat agama islam berkembang dengan pesat dikalangan rakyat banjar. Peran seorang ulama yang bernama khatib dayyan dalam perkambangan agama islam cukup besar di masa sultan suriansyah tersebut.

Perkembangan cepat agama islam juga tidak terlepas dari peran dan dukungan darisultansuriansyahmelaluikekuasaaanya.

Hukum islam bersifat universal bahkan merupakan hukum yang sangat konstekstual, dimana hukum Islam tidak terikat waktu dan tempat, yaitu dapat berlaku dimana saja dibelahan bumi ini, kapan saja dan dalam situasi bagaimanapun karena berdasarkan Al Qur‟an dan sunnah Rasulullah.

Sebelum Kerajaan Banjar terbentuk, Islam telah lama masuk kedaerah ini, artinya telah terbentuk masyarakat Islam di daerah-daerah Kalimantan Selatan termasuk disekitar Kerajaan. Oleh karena itu ketika dilaksanakan penerapan hukum Islam di Kerajaan sebelumnya beragama Hindu, maka tidak menimbulkan keresahan sosial.

Pada abad 17 dalam penerapan hukum Islam di Kerajaan Banjar ditandai dengan berkembangnya Ilmu Tasauf, yakni ilmu yang mempelajari Hakikat

Keesaan Allah dalam rangka menjadikan manusia sebagai insan yang paripurna.

Tokoh ulama Banjar yang berpengaruh ketika itu adalah Syekh Ahmad

Universitas Sumatera Utara Syamsuddin Al Banjari yang menulis buku “ Asal Kejadian Nur Muhammad

“ sebuah kita kajian Tasauf. Sementara kitab fiqih yang dipedomani masyarakat pada waktu itu adalah kitab Shirathol Mustaqim karangan ulama besar dari Aceh

Nuruddin Ar Raniri. Karena banyak yang memakai bahasa Aceh, orang Banjar kurang mengerti tetapi ini menandakan bahwa hubungan Kerajaan Banjar dengan

Kerajaan Aceh sudah cukup baik.

Pada abad 18 dan 19 perkembangan hukum Islam sangat pesat karena peran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang mampu mengintensifkan dakwah dan membina kader-kader ulama. Dakwah yang dilaksanakan Syekh

Muhammad Arsyad tidak hanya melalui lisan, tetapi juga dakwah bil hal dan dakwah bil kitab. Beberapa kitab beliau dalam bidang fiqih ditulis dalam bahasa

Melayu dan Banjar. Tulisan-tulisan beliau yang terkenal diantaranya Kitab

Parukunan Besar, Fathul Jawad, Luatalul Ajlam, Kitabun Nikah, Kitab Faraid, dan yang paling populer sampai saat ini adalah Kitab Sabilal Muhtadin. Kitab- kitab tersebut telah disinggung dalam riwayat singkat Syekh Muhammad Arsyad

Al Banjari.

Pengaruh lebih jauh dari pemikiran Syekh Muhammad Arsyad dalam penerapan hukum Islam tidak saja dalam mempelopori pembentukan lembaga

Mufti dan Qadhi sebagai lembaga peradilan hukum Islam, tetapi juga ketika

Sultan Adam Wasik Billah yang merupakan murid Syekh Muhammad Arsyad menetapkan suatu ketentuan hukum yang dikenal dengan Undang-Undang Sultan adam. Kemudian Undang-Undang Sultan Adam menjadi hukum tertulis dalam penerapan hukum Islam di Kerajaan Banjar. Pasal-pasal dalam Undang-Undang

Universitas Sumatera Utara Sultan Adam benar-benar memberi nuansa demokratis berdasarkan Al-Qur‟an dan

Sunnah Rasulullah, apakah dalam masalah tanah, jual beli, sewa menyewa dan lain-lain. Misalnya tanah baik yang subur maupun yang tidak subur dikuasai oleh

Kerajaan, tetapi siapapun yang menggarap tidak boleh ada orang yang melarangnya kecuali ada bukti tanah tersebut sedang digarap, dan siapa saja yang menggarap ialah yang memilikinya.

Sultan Adam memerintah Kerajaan Banjar tahun 1825-1857, beliau merupakan seorang Sultan yang sangat taat dan keras dalam menjalankan hukum

Islam, dan termasuk seorang Sultan yang sangat serius memperhatikan perkembangan Islam. Ketika masih muda Sultan Adam banyak belajar kepada anak Syekh Muhammad Arsyad yang bernama Mufti Haji Jamaluddin.

Menurut sejarah, naskah asli Undang-Undang Sultan Adam ditulis dengan tulisan tangan dengan huruf Arab Melayu, dan oleh para peneliti sejarah naskah ditulis dengan huruf latin bahasa Melayu Banjar dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda tahun 1917.

2.4 Kebudayaan Dalam Suku Banjar

2.4.1 Kesenian yang berkembang di Kalimantan Selatan dan Sumatera

Utara

Pada dasarnya seni merupakan budaya yang secara universal berkembang di hampir semua suku bangsa di dunia ini. Demikian juga dengan suku Banjar yang mendiami negeri leluhurnya Kalimantan Selatan berkembang beberapa

Universitas Sumatera Utara kesenian. Beberapa kreasi-kreasi seni yang masih ada di Kalimantan Selatan diantaranya :

1. Bakisah, yaitu seni tutur tanpa tabuhan (musik). Seorang tukang kisah

bercerita seorang diri yang kadang-kadang disertai dengan gerakan tubuh

untuk menguatkan alur cerita.

2. Wayang Banjar, ini tidak berbeda dengan wayang daerah lain, khususnya

wayang Jawa. Tetapi ada beberapa ciri khas dari Wayang Banjar

diantaranya :

- Penonton berada di depan layar, yaitu dibagian bayang-bayang

- Irama gamelan lebih khas dan dinamis

- Dalang tidak hanya sebagai penyampai cerita, membawakan dialog-

dialog, tetapi juga menyinden dan mengatur gamelan

3. Hadrah, adalah jenis kesenian bernuansa Islam yang dulunya berhubungan

dengan penyebaran agama Islam sehingga lagu-lagu yang dibawakan juga

adalahlagu-lagu pujian kepada Allah dan Nabi dalam bahasa Arab.

Kesenian ini dilengkapi dengan alat-alat musik (gamelan) yang ditabuh

oleh 5 sampai 7 orang.

4. Madihin, adalah suatu olah vokal oleh seorang atau dua orang bahkan bisa

tiga orang, menyampaikan lirik berirama diiringi dengan tabuhan gendang.

Cerita yang dibawakan biasanya kisah cinta, agama, yang dibawakan

dengan syair lelucon yang menarik tawa pendengar, dengan bersahut-

sahutan.

Universitas Sumatera Utara 5. Lamut, juga suatu olah vokal dengan iringan tetabuhan oleh pembawa

cerita secara solo (seorang).

Jenis kesenian yang terakhir sudah sangat jarang ditampilkan, karena sudah sangat sedikit seniman yang mengusainya, disamping itu kurangnya minat generasi muda yang menyaksikannya. Begitu juga kesenian Banjar di Sumatera

Utara, terutama di Langkat. Seni budaya Banjar sudah sangat langka didapati di

Langkat, wayang banjar boleh dikatakan tidak ada lagi. Di beberapa daerah silat

Banjar masih dikembangkan tetapi juga langka. Sampai tahun 70-an di Suku

Banjar Langkat masih banyak didapati pelaksanaan kegiatan adat terutama pada saat pesta perkawinan, diantaranya acara Batamat yaitu acara khatam Al Qur‟an yang dilakukan oleh pengantin. Pada saat itu terlihat acara unik bagacak hintaluk

(rebutan telur). Ketika tiba pada saat membaca surat alfiil (Alam Tarakaifa).

Kemudian pada saat pengantin sedang batatai (bersanding) dilakukan acara basilat (bersilat) dihadapan pengantin.

Selanjutnya acara beridang, yaitu acara makan dengan cara duduk diatas tikar secara bersama-sama, dan biasanya dilaksanakan pada sekitar pukul 9 pagi, seluruh yang hadir termasuk anak-anak disuruh makan. Sehari sebelum acara nikah dan bersanding disebut hari bamula, dimana para keluarga dan tetangga melakukan persiapan dengan mengerjakan bahan-bahan yang akan dimasak untuk hidangan pada hari pernikahan tersebut. Saudara-saudara, keluarga da tetangga membawa beras, ayam dan bahan-bahan yang akan diolah pada hari tersebut.

Di beberapa tempat terutama di Kabupaten Langkat, acara-acara seperti ini masih dilakukan Suku Banjar. Pada hari bamula di Secanggang disebut hari

Universitas Sumatera Utara baapi-api, juga diadakan suatu acara dimana keluarga pengantin laki-laki menyediakan hahadap yang diserahkan pada pihak pengantin perempuan.

Bahadap tersebut berisi bibit kelapa (paung niur), kelapa,pisang, ayam, beras, beras pulut, kayu bakar, garam dan bahan-bahan bumbu masak lainnya.

Di beberapa daerah orang Banjar di Secanggang masih ada kebiasaan tulak bala bahuma, yaitu setelah menanam padi di sawah (batanjang) masyarakat membaca yasin di Musholla atau Masjid dan membawa ketupat untuk dimakan bersama. Mereka berdoa agar tanaman padi yang baru ditanam tidak diganggu hama, bencana dan lain-lain. Demikian juga ada acara tepung tawar paung banih

(bibit padi) sebelum di taradak (disemai). Tepung tawar tersebut adalah memercikkan air yang telah dibacakan surat yasin kebibit padi yang akan disemai.

Dahulu acara mengilas (merontokkan padi dari tangkainya) yang disebut bairik benih, merupakan acara yang sangat mengasyikkan, biasanya mengilas padi dilakukan secara bergotong-royong. Pada saat bairik banih tersebut sering diadakan acara baahui, yaitu acara berbalas pantun. Tuan rumah menyediakan makan dan snack yang terbuat dari beras ketan (pulut).

Beberapa bait pantun baahui adalah :

U si diang (Alangkah enak si perempuan) Manggantung kalambu salagi siang (Menggantung kelambu selagi siang) Malam naya kita bawayang (Nanti malam kita berwayang) Abah si utuh jadi dadalang (Si suami jadi dalang) Ahuy ahuy aahuy... (Ahuy ahuy aahuy...)

Universitas Sumatera Utara Banyaknya orang urang tulak kahulu (Banyaknya orang pergi kehulu) Tulak kahulu manabang gatah (Pergi ke hulu memotong getah) Nyamannya urang babini balu (Enaknya orang mendapat janda) Hanyar kawin sudah barumah (Baru menikah sudah berumah) Ahuy ahuy aahuy.... (Ahuy ahuy aahuy...) . Setelah dibersihkan dan dijemur, padi dimasukkan ke dalam lulung atau kindai, yaitu tempat penyimpanan padi yang terbuat dari tepas atau papan berbentuk bulat atau segi empat. Perbedaan kindai dengan lulung dapat dilihat dari kapasitas muatnya. Lulung dapat menyimpan padi antara 1 ½ sampai 2 ton, biasanyadibuat dari tepas berbentuk bulat, sementara kindai berkapasitas lebih dari 2 ton, terbuat dari papan berbentuk segi empat. Untuk mengangkat hasil pertanian orang Banjar sering menggunakan lanjung, yaitu keranjang yang terbuat dari rotan yang diletakkan dipunggung dan talinya tertumpu diatas bahu.

Saat ini kindai, lulung dan lanjung sudah sulit didapat dirumah-rumah orang

Banjar, mungkin karena dianggap kurang praktis jika dibanding dengan goni dan sebagainya.

Pada Madihin juga berbentuk pantun, madihin ditampilkan pada berbagai acara,misalnya : saat mengucapkan selamat datang bertemu dengan anak dan cucu, dalam hal ini yang punya hajatan sangat menghormati para tamu yang sudah diundang untuk masuk ketempat yang telah disediakan dan pada saat acara penabalan anak juga Madihin akan ditampilkan.

Universitas Sumatera Utara 2.4.2 Sistem kekerabatan

Suku Banjar menganut sistem kekerabatan bilateral, yakni menurut garis ayah dan ibu. Untuk menentukan kelompok kekerabatannya, biasanya dilihat dari garis keturunan darah. Misalnya, garis kekerabatan dengan mengambil seorang tokoh atau satu keluarga atau nenek moyang tertentu sebagai pangkal keturunan.

Akan tetapi, di dalam kenyataan hidup bermasyarakat, garis ayah lebih dominan karena ayah berperan dalam hal-hal tertentu yang tidak dapat dilaksanakan oleh ibu, seperti menjadi wali anak yang menikah atau menjadi imam dalam sholat berjamaah sesuai dengan hukum Islam yang dianutnya.

Di dalam kehidupan sehari-hari, orang Banjar mengenal tiga kelompok kekerabatan, yaitu mamarina, dangsanak, dan kamanakan. Mamaria adalah kelompok saudara ayah/ibu, dangsanak adalah kelompok saudara kandung, dan kamanakan adalah anak-anak dari abang/adik kandung. Di samping itu, terdapat istilah minantu (menantu), mintuha (mertua), dan pawarangan (besan).

Secara hierarkis, orang Banjar memiliki cara memanggil diri dan antar sesama dengan panggilgan tertentu. Untuk menyebut diri sendiri digunakan istilah ulun yang berarti aku atau saya sedangkan untuk istilah kamu digunakan kata ikam atau kawu. Penyebutan nama diri dalam sistem kekerabatan suku Banjar dapat dikelompokkan atas dua bagian, yaitu penyebutan hubungan keluarga di atas diri ulun dan hubungan kekeluargaan di bawah diri ulun. Hubungan keluarga di atas diri ulun adalah uma (ibu), abah (bapak), kai (kakek), ninik (nenek), datu

(datuk, baik laki-laki maupun perempuan), sanggah (bapak/ibu dari datuk), dan waring ) nenek dari datuk). Sebaliknya, istilah yang digunakan untuk menyebut

Universitas Sumatera Utara orang yang hubungan keluarga di bawah ulun disebut utuh (anak laki-laki), diang atau galuh/aluh (anak perempuan), cucu (anak dari anak), buyut (anak dari cucu), intah (anak dari buyut).

Di samping itu, terdapat istilah kekerabatan untuk kelompok mamaria atau saudara ayah/ibu. Istilah kekerabatan itu adalah julak (saudara ayah/ibu yang paling tua), gulu‟ (saudara ayah/ibu yang nomor dua), angah atau tangah (saudara ayah/ibu yang pertengahan), dan busu (saudara ayah/ibu yang termuda).

Penggunaan istilah kekerabatan itu dapat diganti dengan istilah pakacil (paman) dan makacil (bibi). Akan tetapi, untuk saudara ayah/ibu yang lebih tua digunakan panggilan patuha/matuha.

Adanya peristilahan yang muncul dari hubungan perkawinan dalam sistem kekerabatan suku bangsa Banjar maka orang Banjar tidak boleh menyebut nama kepada orang yang status keluarganya lebih tinggi daripadanya. Dengan kata lain, orang yang lebih muda tidak boleh memanggil orang yang lebih tua dengan memanggil nama. Orang yang lebih tua sering digunakan kata (andika atau pian sampian).

2.4.3. Bahasa Banjar 2.4.3.1 Eksistensi bahasa Banjar Suku Banjar yang memakai bahasa Banjar tidak hanya di Kalimantan saja, tetapi masyarakat-Suku Banjar yang merantau ke Sumatera Utara pada umumnya menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa sehari-hari, itu merupakan suatu kebanggaan Suku Banjar. Menurut Suku Banjar dalam (fauzi,2006: 19),pertama bahasa Banjar relatif mudah diucapkan dan dipelajari karena banyak kemiripan

Universitas Sumatera Utara dengan bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu. Kedua, sejak masa

Sultan Suriansyah pada abad ke – 16, penyebaran agama Islam disebarluaskan

(didakwahkan) dengan bahasa Banjar, dan hingga sekarang kondisi ini masih tetap berjalan terutama di pedesaan-pedesaan Kalimantan Selatan. Dalam kehidupan sejarah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari diungkapkan bahwa buku-buku agama diterjemahkan dan ditulis beliau dalam bahasa Banjar, artinya bahasa Banjar tidak hanya sebagai sarana komunikasi tetapi juga digunakan sebagai sarana dakwah. Ketiga, bahasa banjar sudah cukup lama digunakan sebagai bahasa pergaulan, tidak hanya di Kalimantan tetapi di Tembilahan Riau juga ada dan dijadikan bahasa sehari-hari padahal penduduk disana bermacam- macam suku bangsa.

2.4.3.2 Dialektika bahasa Banjar

Menurut Oemar Dahlan dalam (fauzi,2006: 20), menjelaskan bahwa orang-orang yang berasal dari daerah lain yang pernah menetap beberapa tahun di

Kalimantan Selatan, meskipun tidak mempelajarinya secara khusus kebanyakan mengerti bahasa Banjar, setidaknya secara pasif. Sangat banyak kata dalam bahasa banjar yang mirip dengan kata Melayu.

Dalam bahasa Banjar, kata-kata bahasa Indonesia yang berbunyi e diucapkan menjadi a, misalnya hendak, dalam bahasa Banjar diucapkan handak, kata pedas diucapkan padas, kata mesjid diucapkan masjid. Demikian juga bahasa

Banjar tidak mengenal huruf o atau e, kedua huruf ini lazim diucapkan u dan i.

Misalnya kata boleh dalam bahasa Banjar diucapkan bulih, tolong diucapkan

Universitas Sumatera Utara tulung, merdeka diucapkan mardika, mobil diucapkan mubil, heran diucapkan hiran, dan sebagainya.

Selain itu, ada beberapa kata yang dalam pengucapannya kurang hurufnya menurut ucapan dalam bahasa Indonesia, misalnya takajut yang menurut bahasa

Indonesia terkejut, bajalan yang dalam bahasa Indonesia diucapkan berjalan.

Dalam bahasa Banjar apabila suatu kata benda, huruf akhirnya hidup

(vokal) terutama huruf tersebut diakhir kalimat, maka sering ditambah bunyi huruf hamzah dalam mengucapkannya, misalnya kuda pengucapannya kuda‟, bini pengucapannya bini‟, banyu pengucapannya banyu‟, dan sebagainya.

2.4.4 Rumah adat Banjar

2.4.4.1 Bentuk rumah adat Banjar

Seperti halnya suku bangsa lainnya di Indonesia, suku Banjar juga mempunyai bentuk rumah adat sendiri yang spesifikasi dan konstruksi bangunannya memiliki filosofis dan historis. Ada 11 macam (tipe) rumah adat Banjar yang masing- masing juga memiliki konstruksi yang khas. Sebelas macam rumah adat Banjar tersebut adalah :

1. BUBUNGAN TINGGI adalah bangunan rumah adat Banjar yang

konstruksi bangunannya seperti istana Sultan Banjar. Tipe ini merupakan

arsitektur tertua yang mengandung sejarah dalam kerajaan Banjar. Bentuk

bubungan tinggi melancip ke atas menyebabkan bangunan ini di beri nama

bubungan tinggi.

Universitas Sumatera Utara 2. GAJAH BALIKU, merupakan bangunan tempat tinggal bagi para saudara

raja Banjar, memiliki bubungan tinggi tetapi atap sindang langit, memiliki

anjungan.

3. GAJAH MANYUSU, merupakan bangunan hunian para warit raja yaitu

keturunan para gusti. Bangunan ini tidak memiliki bubungan yang tinggi

tetapi memiliki anjung.

4. BALAI LAKI, sebagai tempat hunian para pungawa, mantri dan prajurit

pengawal Sultan Banjar. Bangunan ini memiliki atap dengan bagian depan

tipe limas dan beranjung.

5. BALAI BINI, merupakan bangunan bagi para puteri atau keluarga pihak

wanita. Rumah ini memiliki atap dengan bagian depan tipe limas dan

beranjung.

6. PALIMASAN, yaitu suatu bangunan yang diperuntukkan bagi

Bendaharawan Kesultanan Banjar, karena dikenal sebagai wadah emas

dan perak. Bentuk bubungan depan seperti limas, menyebabkan bangunan

ini dinamakan palimasan. Banguna rumah ini tidak memiliki anjung.

7. PALIMBANGAN, sebagai bangunan rumah tempat tinggal para pemuka

agama, ulama dan saudagar. Bangunan ini sama besarnya dengan

palimasan dan tidak memiliki anjung.

8. CACAK BURUNG atau Anjung Sarung, adalah rumah bagi rakyat Banjar

pada umumnya. Denah bangunan ini seperti tanda tambah, kedua anjungan

kiri dan kanannya seperti bertumpangan diatas badan rumah.

Universitas Sumatera Utara 9. TADAH ALAS, merupakan bangunan rumah bagi rakyat Banjar.

Bangunan ini memiliki atap tumpang didepan, yang membedakan dengan

bangunan lainnya. Rumah ini memiliki anjung.

10. , adalah bangunan hunian bagi para Tionghoa di Banjarmasin.

Bangunan rumah ini dufungsikan pula sebagai gudang barang

dagangan,karena mereka pada umumnya adalah pedagang.

11. LANTING, adalah bangunan rumah yang terapung dipinggir sungai

Martapura,tempat tinggal orang Banjar di sepanjang batang banyu.

Bangunannya kecil dan sederhana, bertumpu pada batang-batang kayu

besar sebagai landasan pelampung.

Beberapa ciri arsitektur tradisional Banjar, khususnya mengenai bangunan- bangunan rumah adat Banjar yang masih dapat dijelaskan, sebagai berikut :

1. Bangunan dalam konstruyksi bahan kayu, karena alam Indonesia terutama

Kalimantan banyak hutan, sementara pada saat itu belum dikenal semen.

2. Rumah panggung, yaitu bangunan rumah yang didukung oleh sejumlah

tiang yang tinggi dari kayu ulin yang bertumpu pada dasar tanah dengan

pondasi yang panjangnya sampai kepangkal atap, sementara tongkat yang

bertumpu pada dasar tanah hanya sampai dasar lantai saja.

3. Bangunan rumah bersifat simetris, yaitu konstruksi dan elemen yang sama

pada sayap kiri dan kanan, maka dengan demikian lulungkang atau

jendelanya sama banyaknya kiri dan kanan.

Universitas Sumatera Utara 4. Sebagian bangunan memiliki anjung disamping kiri dan kanan, yaitu

anjung Kiwa dan anjung Kanan, dan masing-masing memiliki satu jendela

pada dinding bagian depan.

5. Atap rumah yang dipergunakan adalah atap sirap yang terbuat dari kayu

ulin, tetapi ada juga yang menggunakan atap rumbia.

6. Hanya memiliki dua buah tangga, yaitu tangga hadapan dan tangga

belakang, yang memiliki anak tangga yang berjumlah ganjil, yaitu lima,

tujuh, sembilan atau sebelas.

7. Lawang (pintu) rumah depan dan belakang terletak seimbang di tengah,

dan hanya ada dua pintu yaitu lawang hadapan dan lawang padu

(belakang).

8. Adanya “tawing halat” (dinding pembatas) yang membatasi antara

“panampik besar” (ambin sayap) dengan “palidangan” (ambin dalam).

Pada posisi pintu kembar dua dalam posisi yang sama dan seimbang.

2.4.4.2 Makna simbolik ornamen rumah adat Banjar bubungan tinggi

Ada beberapa makna simbolik untuk ornamen Rumah Adat Banjar bubungan tinggi, diantaranya:

1. Bubungan tinggi, konstruksi bubungan tinggi dimana bubungan (atap)

yang lancip menjulang ke angkasa yang dihiasi dengan ornamen layang-

layang khas Banjar. Ini bermakna hanya Allah yang maha tinggi, yang

maha agung dan mulia, sementara kita manusia adalah makhluk yang

rendah.

Universitas Sumatera Utara 2. Ganjil, bilangan anak tangga yang berjumlah 5,7,9 dan 11, jarajak (kisi-

kisi) lulungkang (jendela) yang terdiri dari 5, 7, 9 atau 11 menunjukkan

bahwa bilangan ganjil merupakan bilangan yang mengandung arti

lambang ke Esaan Tuhan, sesuai dengan Hadist Rasulullah dari Baihaqi :

Sesungguhnya Allah itu Esa (ganjil) Dia menyenangi yang ganjil.

3. Kanas (nanas), ornamen bermotif buah kanas atau nenas ditempatkan pada

sungkul kiri dan kanan tangga hadapan (depan) rumah adat Banjar

bubungan tinggi, mengandung makna adanya nuansa senang terhadap

rumah dan penghuninya atau mengandung arti undangan silaturahmi bagi

tamu dan juga untuk mencegah sifat-sifat berkarat atau negatif seperti

sombong, iri hati, malas, dan sebagainya. Hal ini ditafsirkan dari buah

nenas masak yang disenangi semua orang untuk makanan yang

menyenangkan seperti manisan atau rujak, sementara nenas yang muda

dimanfaatkan sebagai pembersih karat barang-barang logam seperti

kuningan, perak dan lain-lain.

4. Bertingkat, lantai rumah adat Banjar bubungan tinggi selalu bertingkat

atau memiliki perbedaan tinggi, tetapi dilindungi oleh atap. Ini

mengandung arti bahwa kehidupan manusia juga berbeda-beda atau

bertingkat-tingkat, ada yang senang, susah, miskin dan sebagainya, tetapi

tetap dilindungi haknya sebagai insan makhluk Allah SWT.

5. Pakis, pagar pelataran rumah adat Banjar bubungan tinggi berbentuk

pohon pakis, mengandung arti kekuatan, karena pohon pakis merupakan

Universitas Sumatera Utara tumbuhan keluarga palem yang memiliki rumpun yang kuat dan kokoh.

Maka kekuatan harus dibentuk dari kekuatan sinergi masyarakat.

6. Paku Alai,dijadikan motif bagi ornamen ukiran layang-layang dipucuk

bubungan tinggi, mengandung makna manfaat, karena tumbuhan yang

tumbuh di tanah gambut dan berair ini sangat akrab dengan petani dan

selalu dijadikan sayur bahan makanan.

7. Sindang Langit, adalah nama bagian atap yang mengarah kedepan dalam

konstruksi atap sengkuap pada pada rumah tradisional Banjar bubungan

tinggi, mengandung arti perjuangan hidup melawan dan menentang yang

mungkin ditemui dalam setiap perjalanan hidup.

8. Tombak, motif tombak diaplikasikan pada layang-layang yang ada

dipucuk bubungan rumah adat Banjar bubungan tinggi,memiliki makna

lambang kewaspadaan terhadap marabahaya. Tombak adalah senjata

tradisional orang Banjar untuk mempertahankan diri dari kemungkinan

gangguan atau serangan musuh.

9. Manggis, buah manggis merupakan ornamen yang terdapat di dalam

rumah adat Banjar termasuk rumah bubungan tinggi, memiliki filsafat

hidup bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang baik. Isi buah manggis

yang putih dan rasanya manis akan diperoleh setelah melalui kupasan kulit

manggis yang hitam dan rasanya manis. Hal ini oleh Suku Banjar

dikatakan mengandung makna bahwa untuk mencapai sesuatu hasil yang

baik dan diinginkan terlebih dahulu harus melalui kerja keras serta

Universitas Sumatera Utara perjuangan, tidak layak hanya berpangku tangan bila ingin sukses dalam

hidup.

Foto 2.12 : Rumah adat Banjar Bubungan Tinggi tampak samping( sumber :

www.binggor.com)

Foto 2.13 : Rumah adat Banjar Bubungan Tinggi tampak depan ( sumber :

purnamatravel.wordpress.com)

Universitas Sumatera Utara 2.4.4.3 Makna simbolik Senjata khas Banjar

Orang Banjar memiliki senjata khas yang disebut sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, ke mana pun ia pergi mandau selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan jati diri). Dahulu mandau dianggap memiliki unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti: perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara.

Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat keampuhan atau kesaktian.

Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya digunakan untuk menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, maka rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.

Mandau adalah senjata tajam sejenis parang berasal dari kebudayaan

Banjar di Kalimantan. Berbeda dengan parang, mandau memiliki ukiran-ukiran di bagian bilahnya yang tidak tajam. Sering juga dijumpai tambahan lubang-lubang di bilahnya yang ditutup dengan kuningan atau tembaga dengan maksud memperindah bilah Mandau, Bahan baku mandau adalah besi (sanaman) mantikei yang terdapat di hulu Sungai Matikei, Desa Tumbang Atei, Kecamatan Sanaman

Universitas Sumatera Utara Matikai, Samba, Kotawaringin Timur.Besi ini bersifat lentur sehingga mudah dibengkokan.

Berikut adalah struktur atau bagian-bagian dari Mandau;

1. Bilah mandau

Foto 2.14 : Bilah Mandau yang terbuat dari lempengan besi (sumber : www.kaskus.co.id)

Bilah mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berbentuk pipih-panjang seperti parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bagian atasnya berlekuk datar). Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi lainnya dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat digunakan untuk membuat mandau, yaitu: besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya dibuat oleh orang-orang tertentu.

Pembuatan bilah mandau diawali dengan membuat bara api di dalam sebuah tungku untuk memuaikan besi. Kayu yang digunakan untuk membuat bara

Universitas Sumatera Utara api adalah kayu ulin. Jenis kayu ini dipilih karena dapat menghasilkan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Setelah kayu menjadi bara, maka besi yang akan dijadikan bilah mandau ditaruh di atasnya agar memuai.

Kemudian, ditempa dengan menggunakan palu. Penempaan dilakukan secara berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang diinginkan.

Setelah bilah terbentuk, tahap selanjutnya adalah membuat hiasan berupa lekukan dan gerigi pada mata mandau serta lubang-lubang pada bilah mandau. Konon, pada zaman dahulu banyaknya lubang pada sebuah mandau mewakili banyaknya korban yang pernah kena tebas mandau tersebut. Cara membuat hiasan sama dengan cara membuat bilah mandau, yaitu memuaikan dan menempanya dengan palu berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk yang diinginkan. Setelah itu, barulah bilah mandau dihaluskan dengan menggunakan gerinda.

2. Gagang (Hulu Mandau)

Foto 2.15 : Gagang (Hulu mandau) (sumber : kutaihulu.blogspot.com)

Gagang (hulu mandau) terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung. Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif seperti: kepala naga, paruh burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi hiasan berupa bulu binatang atau rambut manusia. Bentuk dan ukiran

Universitas Sumatera Utara pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial pemiliknya.

3. Sarung Mandau

Foto 2.16 : Sarung mandau (sumber : folksofdayak.wordpress.com)

Sarung mandau (kumpang) biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis.

Bagian atas dilapisi tulang berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan sebagai penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan.

Pembuatan mandau, jika dicermati secara saksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari

Universitas Sumatera Utara proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.

Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau yang indah dan sarat makna (http://forum.vivanews.com/).

2.4.5 Upacara dalam kehidupan masyarakat Banjar

2.4.5.1 Upacara adat perkawinan (bakakahawinan)

Menurut Fauzi dalam ( Erma 2009: 94 ) dalam kebudayaan Banjar pernikahan atau perkawinan merupakan kegiatan yang bersifat keagamaan dan adat sekaligus. Pernikahan secara konseptual, adalah penyatuan jasmani dan rohani antara lelaki dan perempuan yang disahkan baik oleh agama mau pun norma - norma sosial. Salah satu sunnah Rasulullah yang baik dan perlu diketahui oleh masyarakat ramai adalah pernikahan (perkawinan) seorang laki-laki dengan perempuan, yang hikmahnya agar masyarakat mengetahui bahwa seorang perempuan tersebut telah bersuami sehingga terhindar dari fitnah. Oleh karena itu masyarakat selalu menyertakan acara-acara adat dalam perkawinan tersebut.

Menurut suku Banjar perkawinan bertujuan antara lain adalah untuk :

a. Melanjutkan keturunan orang tua

b. Memenuhi tanggung jawab orang tua terhadap anak dan menunjukkan

jalan yang benar, agar anak terhindar dari perbuatan zina.

c. Membangun rumah tangga berbahagia berdasarkan agam islam bagi anak.

d. Mempertemukan dan menyatukan dua keluarga menjadi satu keluarga

yang lebih besar agar tali persaudaraan semakin erat.

Universitas Sumatera Utara Dalam budaya Banjar perkawinan dalam lingkungan kerabat selalu lebih

diutamakan karena orang tua telah mengetahui keberadaan calon menantu

dan keluarganya. Oleh karena itu perkawinan dengan saudara sepupu

menurut orang Banjar akan lebih mengeratkan persaudaraan, disamping

alasan telah mengetahui keturunannya. Komentar yang selalu menjadi

alasan adalah “inya bukan urang lain” yang artinya‟ dia bukan orang lain‟.

Tetapi para pemuda terutama di kota berpendapat bahwa saudara sepupu

adalah saudara dekat, hampir sama dengan saudara sendiri. Cara

menentukan jodoh seseorang lazim dilakukan dengan dua cara. Pertama

orang tua mencarikan jodoh untuk anaknya. Cara ini biasanya dengan

permufakatan orang tua dua belah pihak yaitu pihak anak laki-laki dan

pihak perempuan. Si anak setuju dan mengikuti rencana tersebut. Kedua,

pemuda dan pemudi bebas menentukan calonnya sendiri, sementara orang

tua tinggal meresmikan setelah menyetujuinya. Cara inilah sekarang yang

paling banyak dilakukan.

Dalam pelaksanaan perkawinan adat Banjar dapat dilihat tiga tahapan pelaksanaannya. Pertama tata cara adat pada waktu sebelum hari perkawinan.

Kedua pelaksanaan acara-acara pada saat hari perkawinan dan ketiga adalah acara-acara yang dilakukan pada waktu sesudah hari perkawinan. Dalam tata cara pra (sebelum) perkawinan dilaksanakan beberapa upacara adat, diantaranya : a. BASUSULUH, adalah menanyakan secara langsung data-data si gadis. Utusan

pihak pemuda menanyakan apakah si gadis sudah ada yang meminang, atau

belum. Basusuluh sama dengan meresek dalam adat melayu.

Universitas Sumatera Utara b. BADATANG, sering juga disebut Bapara , yaitu acara melamar dari pihak

laki-laki yang datang kerumah pihak perempuan. Pada waktu melamar kadang-

kadang utusan hanya dua atau tiga orang saja, tetapi kadang-kadang dengan

rombongan yang lumayan banyaknya, tergantung pada situasi. Bila calon

mempelai ada hubungan keluarga, biasanya yang melamar tidak begitu banyak.

Sebelum datang melamar, pada waktu basusuluh telah dijanjikan waktu

kedatangannya. c. BAPAPAYUAN, adalah merupakan acara menentukan jujuran (mahar). Acara

ini dilakukan dirumah pihak laki-laki. Apabila jujuran telah disepakati maka

dilakukan acara maatar patalian (tanda ikatan). d. MAATAR PATALIAN, (mengantar tanda ikatan) yang terdiri dari pakaian

calon mempelai perempuan secara lengkap. Maatar Patalian ini sebenarnya

bisa saja ketika waktu bapapayuan, tetapi sering dilakukan pada upacara

tersendiri. Pada acara ini kadangkala diselipkan acara tukar cincin. e. BAANTAR JUJURAN, adalah upacara yang dilakukan untuk menyerahkan

mas kawin yang berupa jujuran atau uang mahar. Tempat acara adalah dirumah

mempelai perempuan. Uang mahar tersebut dihitung di tengah umum dalam

acara tersebut, jika jumlahnya sudah sesuai, maka diteruskan kepada orang tua

calon mempelai perempuan, yang dimasukkan ke dalam bakul. Baantar jujuran

sering juga disebut Manaikakan jujuran.

Sementara itu dalam tata cara perkawinan ada beberapa acara yang dilakukan, yaitu : a. NIKAH

Universitas Sumatera Utara Nikah (akad nikah) merupakan prosesi yang paling sakral dalam setiap acara

perkawinan, termasuk perkawinan dalam masyarakat suku Banjar, karena

merupakan sunnah Rasulullah.

Nabi Muhammad SAW menyatakan yang artinya :

“ Nikah itu adalah sunnahku, maka siapa yang tidak melaksanakan

sunnahku,ia bukan golonganku”

Orang Banjar sebagai masyarakat yang terkenal fanatik terhadap agama islam,

yang konsekwen menjalankan ajaran agama, menjalankan upacara nikah

sebagai puncak dari acara perkawinan. Oleh karena itu pada upacara

pernikahan selalu dihadirkan para alim ulama untuk mempersaksikan prosesi

sunnah tersebut. Biasanya sebagai wali, orang tua (abah) mempelai perempuan

langsung menjadi wali dan menikahkan anaknya yang disaksikan penghulu /

tuan kadhi dan para tutuhaan, bubuhan dan para undangan. Srtelah akad nikah

dilaksanakan, diberikan nasihat kepada kedua mempelai dan diakhiri dengan

doa. Di antara isi doa yang dimohonkan adalah agar kedua mempelai tetap

dalam keimanan kepada Allah SWT dan taat menjalankan perintah Allah serta

meninggalkan larangan-Nya, di dalam doa yang dimohonkan agar pasangan

pengantin berbahagia sebagaimana pasangan Nabi Muhammad SAW dengan

Siti Khadijah dan Siti Aisyah, seperti ibrahim AS dengan Siti Hajar dan Siti

Sarah, seperti Yusuf AS dengan Zulaiha.

Setelah acara nikah biasanya dilanjutkan dengan acara-acara adat lainnya.

Pada Suku Banjar dahulu, sebelum hari perkawinan, keluarga pengantin perempuan mempersiapkan dengan beberapa kegiatan diantaranya :

Universitas Sumatera Utara - Gotong royong mencari kayu di hutan untuk keperluan bamasak

(memasak keperluan acara pernikahan)

- Gotong royong manungkat pandal yaitu memperkuat tiang rumah dengan

tiang yang terletak di permukaan tanah, agar rumah mampu menampung

orang banyak yang menghadiri upacara perkawinan tersebut.

- Gotong royong membuat balai (ranjang pengantin).

- Gotong royong manumbuk banih ( menumbuk padi) sampai menjadi

beras yang siap dimasak.

- Gotong royong mancari iwak (mencari ikan) untuk keperluan acara

perkawinan. b. BADUDUS

Badudus atau bapapai adalah upacara memandikan pengantin sebelum

upacara perkawinan dilaksanakan. Upacara tradisional ini dilaksanakan oleh

wanita yang sudah lanjut usianya. Banyu(air) yang dipergunakan untuk mandi

tersebut adalah air yang bercampur kembang dan bermacam-macam benda

perlambang yang mempunyai arti tertentu. Upacara badudus atau bapapai ini

dengan tata cara adat. c. Mahias Pangantin

Seperti halnya pengantin-pengantin didaerah lain, pada pengantin banjar juga

dilaksanakan acara merias pengantin. Namun pada pengantin Banjar orang

yang menjadi juru rias pengantin tersebut adalah perempuan untuk pengantin

perempuan dan laki-laki untuk pengantin laki-laki. d. Manurunakan Pangantin Lalaki

Universitas Sumatera Utara Upacara ini dilakukan mulai dirumah pihak pengantin laki-laki untuk

dipersiapkan dibawa kerumah pengantin perempuan. Sambil berdoa pengantin

laki-laki melangkahkan kaki turun dari rumah(biasanya dimulai melangkahkan

kaki kanan), pada saat itu dikumandangkan shalawat Nabi oleh para Tetua

(orang-orang tua/tokoh masyarakat) dan oleh hadirin semua sambil menabur

beras kuning. e. Maarak Pangantin Lalaki

Selanjutnya rombongan pengantin mulai bergerak (naik kendaraan atau

berjalan kaki). Beberapa ratus meter dari rumah mempelai perempuan (tempat

acara perkawinan)rombongan berhenti. Pada saat itu ditampilkan atraksi

kesenian yang dibawakan oleh rombongan. Mempelai laki-laki

dilindungi/dinaungi payung yang dibawa bergerak dengan gaya seperti menari,

dan rombongan mempelai laki-laki bergerak perlahan-lahan mendekati rumah

tempat acara perkawinan tersebut. f. Batatai

Acara pangantin batatai atau mempelai bersanding merupakan acara puncak

yang penuh dengan kegiatan-kegiatan yang sarat dengan filosofi budaya.

Dalam acara batatai ini dilaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat filosofis,

diantaranya mempertukarkan bunga tangan yang disebut bahurup palimbaian‟

Kemudian menyuap sekapur sirih disebut bahurup susuapan‟, selanjutnya

acara bakukumur (berkumur-kumur) untuk membersihkan bekas sekapur sirih

tadi, berikutnya kegiatan memberi segenggam atau sekapal nasi ketan yang

Universitas Sumatera Utara diserahkan kepada mempelai perempuan dengan cara melemparkan

kepangkuan kedua mempelai.

Acara selanjutnya adalah Batutungkal atau disebut Batapung Tawar, yang dilakukan oleh orang tua kedua mempelai serta para sanak keluarga dan para tutuhaan yang hadir. Sementara itu dalam acara perkawinan Suku Banjar selalu dilaksanakan acara khatam al Quran oleh pengantin baik laki-laki maupun perempuan. Acara ini disebut Batamat.

Acara Batamat biasanya dilakukan setelah acara akad nikah, atau kadang- kadang dilaksanakan pada malam hari sebelum akad nikah. Secara filosofis acara ini adalah sebuah penyaksian bahwa seorang anak yang akan memasuki bahtera rumah tangga harus dapat membaca Al Qur‟an dengan benar dan telah khatam Al

Qur‟an (Batamat) adalah manakala bacaan Al Qur‟an tersebut sampai pada surat

Alfiil, maka telur rebus yang diletakkan di balai di perebutkan oleh hadirin terutama anak-anak.

Menurut tradisi, ini hakikat dari perebutan telur tersebut adalah siapa yang berhasil merebut telur dan memakannya sampai habis dengan cepat, maka yang bersangkutan akan cekatan dalam menuntut ilmu agama dan akan mudah mencerna pelajaran agama yang diberikan kepadanya.

Pada saat Pasca (sesudah acara perkawinan) dilaksanakan beberapa kegiatan diantaranya: a. Bajajagaan

Setelah acara pengantin batatai, pada malam harinya diadakan malam hiburan

yang disebut malam bajajagaan. Pada malam bajajagaan tersebut biasanya

Universitas Sumatera Utara digelar kesenian yang berperan sebagai penghibur para keluarga dan orang-

orang yang pada siang harinya bekerja membantu persiapan-persiapan upacara

di rumah mempelai perempuan.Kesenian yang ditampilkan biasanya kesenian

khas daerah Banjar , seperti bakisah, wayang dan sebagainya. b. Basusujud/Bailang

Basusujud adalah acara sungkem kepada orang tua pengantin laki-laki di

rumah mereka, selanjutnya pengantin berkunjung ke rumah para keluarga

untuk diperkenalkan, acara ini disebut bailang, biasanya dilakukan malam hari

di bawa oleh seorang wanita yang sudah berkeluarga. Yang dikunjungi adalah

keuarga kedua belah pihak, dan mereka memberi uang kepada pengantin

sebagai tanda agar pengantin tetap hidup bahagia selalu. c. Adat Menetap Sementara

Selesai acara perkawinan, kedua pengantin sementara menetap di rumah orang

tua pengantin perempuan, kehidupan seperti itu disebut Bakumpul Mintuha

atau Bakarubut Mintuha dimana mertua yang memegang tampuk kekuasaan,

sementara menantu merupakan abdi mertua. Biasanya masa menetap sementara

di rumah mertua ini tergantung kesepakatan, atau mereka dapat hidup mandiri.

2.4.5.2 Upacara Basunat/Khitan

Berdasarkan hukum Islam, berkhitan adalah wajib „ain, wajib dilakukan oleh setiap orang muslim, sesuai ajaran Nabi Muhammad SAW. Tidak ada ketentuan usia untuk khitanan, tetapi biasanya untuk anak lelaki dilakukan pada saat usi lebih dari tujuh tahun sampai duabelas tahun menjelang akil baligh (usia

Universitas Sumatera Utara remaja), sedangkan untuk anak perempuan biasanya dilakukan setelah berusia lebih dari setahun atau bahkan dilakukan sesaat setelah si anak perempuan lahir.

Dalam budaya Banjar, acara khitan biasa disebut dengan acara basunat dilaksanakan menurut hari baik,dan bulan baik, biasanya Sya‟ban, Syawal,

Zulhijjah atau Zulkaidah. Acara basunat biasanya berhubungan dengan adat- istiadat, yaitu kenduri sebagai rasa syukur dan memohon keselamatan kepada

Allah SWT.

Pada acara basunat, terdapat perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Bagi anak perempuan, basunat adalah peristiwa biasa sekedar prasyarat untuk menyempurnakan keislamannya, perempuan yang disunat tidak akan mengalami penderitaan akibat rasa sakit sebagaimana laki-laki.

Sedangkan anak laki-laki, basunat juga sebagai menyempurnakan keislamannya tetapi bagi anak laki-laki basunat merupakan peristiwa yang gawat sehingga pasca basunat harus diberikan perlakuan khusus.

Pada hari yang ditentukan,acara akan dilaksanakan dengan meriah, tingkat kemeriahan pesta biasanya terkait dengan status sosial dan ekonomi sang keluarga.

Semakin tinggi status sosial dan ekonominya, semakin meriah pesta yang diadakan. Sehari sebelum basunat, anak di arak keliling kampung, didandani seperti layaknya pengantin, dan ditepung tawari (aktivitas memercikkan air yang dicampur jeruk purut ke tubuh yang dituju agar selamat). Lalu si anak di tandu diatas balai-balai (tandu yang dihias) atau kursi yang dihias. Setelah pulang dari perarakan si anak didudukkan di pelaminan. Di depan pelaminan dihidangkan nasi lakatan balamak atau nasi balai yang berisikan ketan kuning yang telah

Universitas Sumatera Utara dimasak, ayam panggang dan telur rebus yang ditempatkan pada kotak berbentuk persegi empat yang bertingkat-tingkat. Pada saatanak didudukkan di pelaminan inilah biasanya dipersembahkan berbagai kesenian Islam dan Banjar seperti hadrah, silad, nasyid, dan syair madihin.

2.4.5.3 Upacara penabalan nama anak

Kelahiran seorang bayi, memiliki makna yang sakral dalam kehidupan sosial masyarakat tradisional. Hadirnya seorang bayi dalam lingkungan keluarga, seringkali disambut dengan suatu upacara atau ritual khusus. Prosesi upacara yang berkaitan dengan kehidupan ini,biasanya sarat akan simbol-simbol dan nilai-nilai religi atau kepercayaan.

Sesuai dengan ajaran agama Islam, seorang anak yang dilahirkan wajib bagi orang tua yang mampu untuk mengakikahkan dan menabalkan anak. Aqiqah ini merupakan pemotongan kambing sebagai hewan kurban untuk disedekahkan kepada fakir miskin dan kaum kerabat, sebagai tanda syukur kepada Tuhan YME atas karunia seorang anak. Selain itu, acara ini disertai pula dengan upacara tepung tawar, yaitu memercikkan air yang telah dicampur jeruk purut kepada bayi dan ibunya, diiringi oleh doa-doa penolak bala dari para tetua masyarakat dan sanak saudara.

Pada Suku Banjar, pemberian nama kepada seorang anak dilakukan dalam dua tahapan. Tahap pertama, dilakukan langsung oleh bidan yang membantu kelahiran anak. Proses ini terjadi, saat bidan melakukan pemotongan tangking atau tali pusat. Pada saat itulah bidan akan memberikan nama sementara yang

Universitas Sumatera Utara cocok untuk sang bayi. Sewaktu pemotongan tangking atau tali pusat bayi, bidan akan memasukkan atau melantakkan serbuk emas dan serbuk intan ke dalam lubang pada pangkal pusat sang bayi. Hal ini bermakna agar sang bayi kelak ketika dewasa memiliki semangat yang keras dan kehidupan yang berharga, selayaknya disimbolkan oleh sifat intan dan emas.

Tetapi setelah masuknya Islam dalam kebudayaan Suku Banjar, menyebabkan proses upacara pemberian nama dilakukan setelah bayi berumur

7hari atau setelah tali pusatnya mengering dan terlepas dari pangkal pusat dan dengan pemotongan kambing yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dalam kepercayaan Suku Banjar, bahwa nama yang diberikan kepada anak akan berdampak bagi kehidupannya di masa yang akan datang, karena nama adalah sebuah doa, sebuah harapan akan kehidupan yang baik bagi sang bayi kelak.

Tahapan awal adalah pembacaan ayat suci Al-Qur‟an ini dimaksudkan agar sejak kecil sang bayi mengenal Al-qur‟an yang merupakan kitab panduan bagi kehidupan umat muslim. Sehinggan diharapkan agar kehidupannya akan sesuai dengan norma-norma yang terkandung dalam kitab suci Al-qur‟an. Tahap selanjutnya adalah pemberian nama kepada sang bayi sekaligus aqiqah. Prosesi ini dipimpin langsung oleh tetua dalam tatacara menurut ajaran Islam. Tahap selanjutnya, pemotongan sebagian kecil dari rambut sang bayi. Hal ini merupakan simbol dari menghilangkan gangguan dan pengaruh buruk yang mungkin akan mengiringi sang bayi. Potongan rambut ini harus dibeli oleh salah satu sanak saudara dari orang tua sang bayi, dengan cara barter atau menukarkan potongan rambut dengan sesisir pisang emas. Hal ini bermakna agar pengaruh buruk

Universitas Sumatera Utara tergantikan dengan kebaikan dan kesejahteraan yang dilambangkan oleh pisang emas. Tahap selanjutnya, prosesi tepung tawar, ini biasanya dibarengi dengan pembacaan shalawat atau puji-pujian kepada nabi Muhammad SAW yang diiringi oleh tetabuhan alat musik rebana yang biasa disebut dengan marhaban.

Selanjutnya sang bayi digendong oleh orang tuanya dan berkeliling menghampiri para tetua, yang secara bergantian akan memercikkan air yang bercampur jeruk purut tersebut, diiringi dengan doa-doa dan harapan untuk sang bayi nantinya.

2.4.5.4 Upacara melepas dan menyambut haji

Umumnya masyarakat indonesia atau di negara lain yang muslim, sangat senang bila suatu hari nanti akan berangkat ke Tanah Suci Mekkah. Begitu juga dengan Suku Banjar tidak sedikit pula yang akan menunaikan ibadah haji. Di rumah calon haji tersebut dilakukan upacara melepas keberangkatan calon hajinya.

Biasanya, calon haji akan mengundang teman-teman dan sanak saudara serta tetangga dekat untuk upacara tersebut. Para undangan yang hadir ini biasanya menggunakan busana tradisi Banjar lengkap dengan songket, biasanya pakaian

Suku Banjar berwarna kuning. Namun, calon haji tidak memakai busana Banjar, ia memakai pakaian haji yang serba putih.

Dalam kebudayaan Banjar, proses memberangkatkan calon haji adalah memanjatkan doa selamat selama mengerjakan ibadah haji yang dipimpin oleh seorang ulama. Selain itu, persembahan marhaban yang dilakukan para seniman

Islam. Kemudian para hadirin dipersilahkan untuk menepung tawari calon haji tersebut. Biasanya setelah kegiatan menepung tawari para hadirin dipersilahkan untuk memakan makanan yang telah dihidangkan oleh tuan rumah.

Universitas Sumatera Utara Begitu juga dengan kepulangan haji, mereka menyambut haji ini dirumah haji dengan tepung tawar dan para penyambut memakai pakaian tradisi Banjar.

Mereka seperti saat melepas calon haji, kini menepungtawari haji yang baru, diupa-upa sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT karena telah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya sehingga ia selamat selama menunaikan ibadah haji di Tanah Suci Mekkah dan didoakan semoga menjadi haji dan hajjah yang mabrur. Selepas itu biasanya para hadirin/yang menyambut juga makan jamuan yang telah disediakan tuan rumah, terutama disiapkan oleh kerabat dekat haji yang baru pulang dari tanah suci. Ibadah haji ini dilakukan pada bulan

Zulhijjah.

2.4.6 Makna upacara

Suku Banjar sebelum mengenal Islam, merupakan masyarakat yang mempercayai animisme. Menurut Syarifuddin (2006: 18), Nenek moyang Suku

Banjar pernah menganut kepercayaan animisme atau kaharingan yang mengakui adanya kekuatan magis.

Senada dengan Haviland dalam (Sebayang, 2013: 125) Taylor memahami kepercayaan suatu kelompok masyarakat terhadap arwah/roh dan dewa/i tergolong pada aliran animisme dan spiritisme. Animisme merupakan aliran kepercayaan pada roh leluhur dan pencipta alam semesta. Berdasarkan wujud atau bentuk rupa roh, kepercayaan roh leluhur dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis roh yakni roh manusia/binatang dan roh non manusia/binatang. Sementara spiritisme berasal dari kata spirit/jiwa, memiliki arti aliran kepercayaan yang memuja,

Universitas Sumatera Utara menyembah dan menghormati jiwa/roh dari suatu benda. Jiwa/roh merupakan wujud manusia dan makhluk hidup lainnya setelah kematian. Terlepas dari bagaimana bentuk atau wujudnya, sebuah roh jika merasuki raga manusia yang masih hidup akan mengakibatkan si manusia tersebut mengalami masa-masa kesurupan. Selain dapat merasuki raga manusia yang masih hidup, roh juga dapat merasuki benda-benda mati yang mengakibatkan benda-benda tersebut menjadi sakral dan sakti.

Aliran kepercayaan animisme dan spiritisme yang menghormati roh leluhur dan pencipta alam semesta, tentunya tidak terlepas dari sesajen atau korban.

Sesajen/korban dijadikan hadiah perantara antara manusia dan roh, agar permintaan/doa-doa si manusia terkabulkan oleh roh leluhur. Sesajen/korban juga dapat bermakna keterwakilannya manusia atau sekelompok manusia dalam pemenuhan keinginan dari para roh.

Pada ritual berhubungan erat dengan religi. Dalam memaknai ritual, terlebih dahulu kita harus mengerti mengenai religi. Religi terdiri dari dua jenis makna yaitu : (1) religi terkait dengan wahyu Tuhan, dikarenakan religi tidak dapat dianalisis dengan menggunakan daya pikir manusia. Religi terkait juga dengan azas hidup kesusilaan manusia. (2) religi yang tergolong dalam alam hidup manusia. Pada religi jenis kedua ini, manusia diajak untuk percaya pada 3 (tiga) hal yakni percaya pada Tuhan, percaya pada kesusilaan alamiah dan percaya pada roh dalam dunia abadi.

Setelah Suku Banjar memasuki agama Islam, maka kegiatan ritual yang terdapat pada tari Barong Banjar sekarang dilakukan dengan bentuk perubahan

Universitas Sumatera Utara baru yaitu dengan cara berdzikir dan memanjatkan doa kepada yang Maha Kuasa untuk meminta keselamatan dalam melakukan upacara adat ini.

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairil, dkk. 2003. Upacara Adat di Kabupaten Banjar. Martapura: Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjar.

______2004. Sekilas Sejarah Kesultanan Kerajaan Banjar di Martapura. Martapura: Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjar.

______2005. Bawanang: Upacara Adat Suku Dayak Paramasan Bawah. Martapura: Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjar.

Anya Peterson Royce, Terjemahan F.X. Widaryanto, “ Antropologi tari “ , Sunan

Ambu PRESS STSI Bandung, ( 2007 : 209).

Bungin, Burhan. 2007. Penulisan Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan ilmu sosial lainnya, Edisi 1. Jakarta : Kencana.

Berger, Arthur Asa. 1984. Signs in Contemporary culture : An intriduction to semiotics. Terjemahan M. Dwi Marianto dalam “ Pengantar Semiotika : Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer”. Yogyakarta : Tiara Wacana, 2010.

BPS Langkat, 2014. Kabupaten Langkat Dalam Angka 2014. Stabat.

Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta : Rajawali Press.

Erma Satifa, 2009. “ Syair Madihin pada adat perkawinan Banjar di Langkat : Kajian Prosodi dan fungsi”. Tesis (S2). Program pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Ewidiani, 2012. “ Analisis struktur dan pola gerak tari Bello Mesusun pada masyarakat Alas di Kabupaten Aceh Tenggara”. Tesis (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Fauzi, Ahmad. 2006. Urang Banjar di Langkat dan Tanah Deli: Paduan Masyarakat Kulawarga Kalimantan (PMKK) Kabupaten Langkat. Binjai: Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Langkat.

Hilma Mithalia Shaliha, 2011. “ Bentuk dan Makna simbol tari Barong Banjar pada upacara perkawinan masyarakat Banjar di Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat”. Skripsi S-1, Sendratasik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan.

Imelda Ningsih, 2001. “ Barongsai dan masyarakat Cina di Kota Medan. Skripsi S-1, Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Koentjaraningrat, 1996. Manusia dan kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan.

Parson, Talcot, 1949. The Structure of Social Action, 2 ed. New York: McGraw- Hill

Rustam A.A. 2007. Gerak Dasar Tari Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan.

Sevilla, Consuelo G., dkk. 2006. Pengantar Metode Penelitian (Diterjemahkan oleh Alimuddin Tuwu dari An Introductionto Reseach Method). Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Syarifuddin R. 2006. “Sastra Lisan Banjar, bernafas dalam Arus Global,” dalam Jurnal Kebudayaan Kandil: Melintas Tradisi, Edisi 12, Tahun IV, februari-April 2006, Halaman 15-27.

Sutrisno, Mudji dan Christ Verhaak. 1993. Estetika: Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Yayasan Kansius.

Sudjiman, Van Zoest, art, 1996, Serba Serbi Semiotika, PT Gramedia. Jakarta.

Strauss, Levi, C. 1963, Structural Anthropology, New York, Basic Books, Inc.

Sedyawati, Edy. 1984. Tari Tinjauan dari Berbagai segi. Jakarta : Pustaka Jaya.

Sannur Sinaga, 2012. “ Tor-tor dalam pesta Horja pada kehidupan masyarakat Batak Toba : Suatu kajian struktur dan Makna”. Tesis (S2). Program pascasarjana. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Syahrani, Muhammad,2013. Sejarah da cerita rakyat Kalimantan dalam artikel asal kata Kalimantan da Borneo, April 2013. Kalimantan Tengah: Sejarah lokal.

Slamet Mulyana, Dr.Prof, 2006. Sriwijaya. LKIS 2006.

Takari, Muhammad dan Dewi Heristina. 2008. Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: USU Press. T. Christomy dan Untung Yuwono, 2004, Semiotika Budaya

Vanesia Sebayang, 2013. “ Analisis interelasi guru sibaso, musik dan trance dalam upacara ritual Erpangir Kulau pada masyarakat Karo”. Tesis (S2). Program Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Wajidi, 2010. “ Kontak Budaya antara masyarakat Banjar Banua dan perantauan dalam rangka pembagunan daerah Kalimantan Selatan”. Pada kongres budaya Banjar II, 4-7 April 2010. Banjarmasin

DAFTAR WEBSITE

“Kabupaten Langkat”, dalam http://id.wikimedia.org/wiki/Kabupaten_Langkat,

diakses tanggal 9 Desember 2010.

“SeniTradisionalBanjar”,dalam

http://id.wikipedia.org/wiki/Seni_Tradisional_Banjar, diakses tanggal 9

Desember 2010.

“Suku Banjar”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Banjar, diakses tanggal 9

Desember 2010.

“Tari Banjar”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Banjar, diakses tanggal 9

Desember 2010.

“ Peta Kabupaten Langkat “ http://erwin-siregar.blogspot.com/2011/06/blog-post_07.html) “ Migrasi Banjar ke Sumatera “ (https://bubuhanbanjar.wordpress.com/2010/12/01/asal-usul-etnis- banjar/)

DAFTAR ISTILAH

Madam : Kebiasaan orang Banjar berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain, lalu menetap di suatu tempat untuk mencari ketenangan hidup. Kepala Indarok : Kepala naga. Lunta : Jala untuk menangkap ikan. Unjun : Pancing untuk memancing ikan. Pangilar : Alat penangkap ikan. Bubu/ lukah : Alat untuk menangkap ikan besar. Mamaja : Mengawetkan. Ujar Urang Bahari : Semua kebaikan dan keburukan melalui perut. Wadi‟ : Ikan fermentasi. Dipais : Di pepes. Mandai : Kulit cempedak yang difermentasi. Tiwadak : Cempedak. Dipaja : Di peram. Lanjung : Untuk membawa hasil pertanian. Bakul Pabarasan : Tempat untuk menyimpan beras. Waja sampai Kaputing : Prinsip hidup yang istiqomah, selagi hayat dikandung badan dari lahir sampai meninggal dunia. Bakisah : Seni tutur tanpa tabuhan musik. Wayang Banjar : Tidak berbeda dengan wayang Jawa. Hadrah : Kesenian yang berhubungan dengan penyebaran islam melalui lirik lagu. Madihin : Suatu olah vokal untuk menyampaikan lirik berirama diiringi tabuhan gendang. Lamut : Suatu oleh vokal dengan iringan tetabuhan oleh pembawa cerita. Batamat : Acara khatam Al-Qur‟an. Bagacak Hintaluk : Rebutan telur. Batatai : Bersanding. Basilat : Bersilat. Beridang : Duduk diatas tikar tikar bersama-sama. Bamula : Melakukan persiapan sebelum pesta. Hari baapi-api : Pada hari Bamula. Bahadap : Suatu acara dimana keluarga pengantin laki-laki menyediakan bibit kelapa, kelapa, pisang, ayam, beras, garam kepihak pengantin perempuan. Tulak Bala Bahuma : Menanam padi di sawah. Batanjang : Sawah. Tepung tawar paung banih : Tepung tawar bibit padi. Taradak : Disemai. Mengilas : Merontokkan padi dari tangkainya. Bairik Banih : Mengilas padi secara bergotong royong. Baahui : Berbalas pantun. Uma sidiang : Alangkah enak si perempuan. Manggantung kalambu salagi siang : Menggantung kelambu selagi siang. Malam naya kita berwayang : Nanti malam kita berwayang. Abah si utuh jadi dadalang : Si suami jadi dalang. Banyaknya urang tulak kahulu : Banyaknya orang pergi ke hulu. Tulak kahulu manabang gatah : Pergi ke hulu memotong getah. Nyamannya urang babini balu : Enaknya orang mendapat janda. Hanyar kawin sudah barumah : Baru menikah sudah berumah. Lulung/Kindai : Tempat penyimpanan padi. Mamarina : Saudara Ayah/Ibu. Dangsanak : Saudara kandung. Kamanakan : Anak-anak dari abang/adik kandung. Minantu : Menantu. Mintuha : Mertua. Pawarangan : Besan. Ulun : Saya. Ikam/Kawu : Kamu. Uma : Ibu. Abah : Bapak. Kai : Kakek. Ninik : Nenek. Datu : Datuk baik laki-laki maupun perempuan. Sanggah : Bapak/ibu dari datuk. Waring : Nenek dari datuk. Utuh : Anak laki-laki. Diang/Galuh/Aluh : Anak perempuan. Cucu : Anak dari anak. Buyut : Anak dari cucu. Intah : Anak dari buyut. Julak : Saudara Ayah/Ibu yang paling tua. Gulu‟ : Saudara Ayah/Ibu nomor dua. Angah/Tangah : Saudara Ayah/Ibu yang pertengahan. Busu : Saudara Ayah/Ibu yang termuda. Pakacil : Paman. Makacil : Bibi. Patuha/Matuha : Saudara Ayah/Ibu yang paling tua. Andika/pian : Orang tua. Handak : Hendak. Padas : Pedas. Masjid : Mesjid. Bulih : Boleh. Tulung : Tolong. Mardika : Merdeka. Mubil : Mobil. Hiran : Heran. Takajut : Terkejut. Bajalan : Berjalan. Bubungan tinggi : Bangunan rumah adat Banjar. Gajah Baliku : Bangunan tempat tinggal para saudara Raja. Gajah Manyusu : Bangunan hunian para warit Raja yaitu keturunan para Gusti. Balai laki : Hunian para punggawa, mantri dan prajurit. Balai bini : Hunian para puteri atau keluarga pihak perempuan. Palimasan : Hunian untuk bendaharawan. Palimbangan : Hunian para pemuka agama ulama dan saudagar. Cacak burung/Anjung sarung: Rumah bagi rakyat Banjar pada umumnya. Tadah Alas : Rumah bagi rakyat Banjar. Joglo : Hunian bagi para Tionghoa. Lanting : Bangunan rumah yang terapung dipinggir sungai. Lawang : Pintu. Lawang padu : Pintu belakang. Lawang halat : Dinding pembatas. Panampih besar : Ambin sayap. Palidangan : Ambin dalam. Bubungan : Atap. Jarajak : Kisi-kisi. Lulungkang : Jendela. Kanas : Nenas. Hadapan : Depan. Paku Alai : Ornamen ukiran layang-layang dipucuk bubungan tinggi. Sindang Langit : Bagian atap yang mengarah kedepan. Tombak : Senjata tradisional Banjar. Mandau : Senjata khas Banjar. Pangayauan : Pemenggalan kepala lawan. Kumpang : Sarung Mandau. Bakakahawinan : Upacara adat perkawinan. Inya bukan urang lain : Dia bukan orang lain. Basunat : Khitanan. Nasi Lakatan Balamak : Nasi balai yang berisikan ketan kuning, ayam panggang dan telur rebus. Tepung tawar : Memercikkan air yang telah dicampur air jeruk purut. Tangking : Tali pusat. Tabbat Barito : Batasan Barito. Kelubut : Kaca. Percona : Perempuan Pertalak : Laki-laki. Trance : Keadaan di bawah alam sadar/kerasukan roh. Basusuluh : Menanyakan si gadis sudah ada yang meminang atau belum. Badatang/Bapara : Melamar. Bapapyuan : Menentukan mahar. Jujuran : Mahar. Maatar Patalian : Tanda ikatan. Baantar Jujuran : Menyerahkan mahar. Batimung : Mandi uap. Batapung tawar : Penebus atas berakhirnya masa perawan bagi seorang wanita. Piduduk : Seperangkat keperluan pokok bahan makanan. Sasanggan : Bokor/tempat kuning. Sagantang beras : Serantang beras. Sebuji nyiur : Sebiji kelapa. Walimah : Suatu pesta perkawinan dalam rangkaian acara- acara perkawinan. Nang jadi kepala gawe : Pimpinan kegiatan. Nang meurus tajak sarubung : Mendirikan tenda. Nang meurus pengawahan : Bagian masak nasi dan ikan. Nang meurur karasmin : Mengurus kesenian. Nang besaruan lalakian : Pengundang untuk pria. Nang besaruan babinian : Pengundang untuk wanita. Nang menerima saruan : Penerima tamu. Bamasak : Memasak. Manungkat pandai : Memperkuat tiang rumah. Balai : Ranjang pengantin. Manumbuk banih : Menumbuk padi. Mancari iwak : Mencari ikan. Mahias Pangantin : Menghias pengantin. Manurunakan pangantin lalaki : Pengantin laki-laki yang akan dipersiapkan untuk dibawa kerumah pengantin perempuan. Tutuhaan : Para tetua, orang tua/ tokoh masyarakat. Pangantin Batatai : Mempelai bersanding. Bahurup Palimbaian : Mempertukarkan bunga tangan kedua mempelai dalam posisi berdiri. Bahurup susuapan : Menyuapkan sekapur sirih. Bakakumur : Mengunyah sekapur sirih. Batimbai Lakatan : Memberi segenggam/sekepal nasi ketan dengan cara melemparkan kepangkuan mempelai pria. Batutungkal : Tepung tawar dengan memercikkan air ramuan. Maarak pangantin mangalilingi kapala Indarok : Pengantin diarak keluar rumah oleh para tetua ketempat kepala Indarok yang telah dibuat. Bausung Jinggung : Pengantin diusung/ digendong. Badudus/Bapapai : Upacara memandikan pengantin. Banyu : Air. Lalangitan : Kain yang dibentangkan pada bagian atas lokasi pemandian pengantin. Balairung Padudusan : Rumah-rumahan segiempat berukuran 2x2m. Manjajak hantalu : Menginjak telur ayam kampung. Bajajagaan : Malam hiburan. Basusujud : Acara sungkem kepada orang tua pengantin laki- laki. Bailang : Pengantin berkunjung kerumah para keluarga untuk diperkenalkan. Bakumpul mintuha/bakarubut mintuha : Kedua pengantin menetap sementara dirumah orang tua perempuan. Ritual : Kegiatan yang berhubungan dengan kekuatan magis. Perwiritan : Pada malam-malam tertentu, biasanya laki-laki berkumpul dirumah yang ditunjuk untuk membaca doa bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairil, dkk. 2003. Upacara Adat di Kabupaten Banjar. Martapura: Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjar.

______2004. Sekilas Sejarah Kesultanan Kerajaan Banjar di Martapura. Martapura: Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjar.

______2005. Bawanang: Upacara Adat Suku Dayak Paramasan Bawah. Martapura: Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjar.

Anya Peterson Royce, Terjemahan F.X. Widaryanto, “ Antropologi tari “ , Sunan

Ambu PRESS STSI Bandung, ( 2007 : 209).

Bungin, Burhan. 2007. Penulisan Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan ilmu sosial lainnya, Edisi 1. Jakarta : Kencana.

Berger, Arthur Asa. 1984. Signs in Contemporary culture : An intriduction to semiotics. Terjemahan M. Dwi Marianto dalam “ Pengantar Semiotika : Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer”. Yogyakarta : Tiara Wacana, 2010.

BPS Langkat, 2014. Kabupaten Langkat Dalam Angka 2014. Stabat.

Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta : Rajawali Press.

Erma Satifa, 2009. “ Syair Madihin pada adat perkawinan Banjar di Langkat : Kajian Prosodi dan fungsi”. Tesis (S2). Program pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Ewidiani, 2012. “ Analisis struktur dan pola gerak tari Bello Mesusun pada masyarakat Alas di Kabupaten Aceh Tenggara”. Tesis (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Fauzi, Ahmad. 2006. Urang Banjar di Langkat dan Tanah Deli: Paduan Masyarakat Kulawarga Kalimantan (PMKK) Kabupaten Langkat. Binjai: Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Langkat.

Hilma Mithalia Shaliha, 2011. “ Bentuk dan Makna simbol tari Barong Banjar pada upacara perkawinan masyarakat Banjar di Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat”. Skripsi S-1, Sendratasik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan.

Universitas Sumatera Utara Imelda Ningsih, 2001. “ Barongsai dan masyarakat Cina di Kota Medan. Skripsi S-1, Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Koentjaraningrat, 1996. Manusia dan kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan.

Parson, Talcot, 1949. The Structure of Social Action, 2 ed. New York: McGraw- Hill

Rustam A.A. 2007. Gerak Dasar Tari Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan.

Sevilla, Consuelo G., dkk. 2006. Pengantar Metode Penelitian (Diterjemahkan oleh Alimuddin Tuwu dari An Introductionto Reseach Method). Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Syarifuddin R. 2006. “Sastra Lisan Banjar, bernafas dalam Arus Global,” dalam Jurnal Kebudayaan Kandil: Melintas Tradisi, Edisi 12, Tahun IV, februari-April 2006, Halaman 15-27.

Sutrisno, Mudji dan Christ Verhaak. 1993. Estetika: Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Yayasan Kansius.

Sudjiman, Van Zoest, art, 1996, Serba Serbi Semiotika, PT Gramedia. Jakarta.

Strauss, Levi, C. 1963, Structural Anthropology, New York, Basic Books, Inc.

Sedyawati, Edy. 1984. Tari Tinjauan dari Berbagai segi. Jakarta : Pustaka Jaya.

Sannur Sinaga, 2012. “ Tor-tor dalam pesta Horja pada kehidupan masyarakat Batak Toba : Suatu kajian struktur dan Makna”. Tesis (S2). Program pascasarjana. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Syahrani, Muhammad,2013. Sejarah da cerita rakyat Kalimantan dalam artikel asal kata Kalimantan da Borneo, April 2013. Kalimantan Tengah: Sejarah lokal.

Slamet Mulyana, Dr.Prof, 2006. Sriwijaya. LKIS 2006.

Takari, Muhammad dan Dewi Heristina. 2008. Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: USU Press.

Universitas Sumatera Utara T. Christomy dan Untung Yuwono, 2004, Semiotika Budaya

Vanesia Sebayang, 2013. “ Analisis interelasi guru sibaso, musik dan trance dalam upacara ritual Erpangir Kulau pada masyarakat Karo”. Tesis (S2). Program Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Wajidi, 2010. “ Kontak Budaya antara masyarakat Banjar Banua dan perantauan dalam rangka pembagunan daerah Kalimantan Selatan”. Pada kongres budaya Banjar II, 4-7 April 2010. Banjarmasin

Universitas Sumatera Utara Lampiran:

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : H. Rusli

Umur : 56 tahun

Pendidikan Akhir : SMA

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta dan Ketua Adat Banjar Desa

Tanjung Ibus, Sei. Kuala, Kecamatan

Secanggang, Langkat

Tempat Tinggal : Desa Tanjung Ibus, Sei. Kuala, Langkat

2. Nama : H. Lukmanul Hakim

Umur : 73 tahun

Pendidikan Akhir : S.R.

Agama : Islam

Pekerjaan : Petani dan Pengetua Adat Suku Melayu

Banjar di Desa Kebun Kelapa V,

Kecamatan Secanggang.

Tempat Tinggal : Desa Kebun Kelapa V, Secanggang,

Langkat

Universitas Sumatera Utara 3. Nama : Saleh

Umur : 47 tahun

Pendidikan Akhir : SLTP

Agama : Islam

Pekerjaan : Petani

Tempat Tinggal : Dusun I Desa Sungai

ular,Secanggang,Langkat.

4. Nama : Aliandi

Umur : 50 tahun

Pendidikan Akhir : SMA

Agama : Islam

Pekerjaan : Sekretaris Camat Secanggang

Tempat Tinggal : Secanggang, Langkat

5. Nama : Ir. H. Ansharullah

Umur : 59 tahun

Pendidikan Akhir : S1 Fakultas Teknik

Agama : Islam

Pekerjaan : PNS, Kepala Bappeda Kabupaten Langkat

Tempat Tinggal : Stabat

Universitas Sumatera Utara 4. Nana : Zainal Abidin Arief

Umur : 49 tahun

Pendidikan Akhir : SLTP

Agama : Islam

Pekerjaan : Ustadz

Tempat Tinggal : Desa Karya Maju,Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat

Universitas Sumatera Utara