URNAL Kebijakan Pembangunan Volume 12 Nomor 2 Desember 2017: 149 - 161 ISSN 2085-6091 Terakreditasi No : 709/Akred/P2MI-LIPI/10/2015

RAGAM ARSITEKTUR MASJID TRADISIONAL BANJAR KALIMANTAN SELATAN DAN MAKNA SIMBOLISNYA

THE ARCHITECTURES VARIETIES OF TRADITIONAL BANJAR MOSQUE AND SYMBOLIC MEANING

Wajidi Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Jl. Dharma Praja I , Kalimantan Selatan, Banjarbaru, e-mail: [email protected] Diserahkan: 20/07/2017, Diperbaiki: 29/08/2017, Disetujui: 20/09/2017

Abstrak Masjid tradisional Banjar Kalimantan Selatan menarik untuk dikaji karena selain memiliki keragaman model arsitektur yang relatif sama, juga mengandung makna simbolis sebagai cerminan adanya pengaruh budaya pra-Islam dalam konstruksi dan ragam hiasnya. Kajian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui gambaran konstruksi masjid tradisonal Banjar; (2) Mengetahui pengaruh ragam hias pra-Islam yang mencerminkan hubungan antara Islam dan budaya pada arsitektur masjid tradisional Banjar. Penelitian ini mengambil tempat di Kota , Kabupaten Tapin, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan Kabupaten Tabalong yaitu di tempat masjid tradisional Banjar berada. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan metode pendekatan antropologis, sejarah, budaya dan keagamaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meski sama-sama beratap tumpang (bertingkat), masjid tradisional Banjar di Kalimantan Selatan mempunyai perbedaan dengan masjid tradisional Indonesia lainnya. Perbedaan tersebut terutama dalam variasi bentuk atap, kontruksi lantai panggung, ukiran atau ragam hias (ornamen) yang masing-masing dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan setempat. Kata kunci: arsitektur, ragam hias, masjid tradisional Banjar, makna simbolis.

Abstract The traditional Banjar mosque in South Kalimantan is interesting to study because in addition to having diversity in architectural model that is relatively the same, it also contains a symbolic meaning as a reflection of the influence of pre-Islamic culture in the construction and the decoration. This study aims to: (1) find out the Banjar traditional mosque construction; (2) find out the effect of pre-Islamic ornamentation that reflects the relationship between Islam and the culture of Banjar traditional mosque architecture. The location of research is in Banjarmasin, Tapin , Hulu Sungai Selatan regency, and in which the mosques are categorized as the traditional Banjar mosque. This study is a qualitative descriptive study with an anthropological, historical, cultural and, religious approach method. The results showed that even though all mosques in Banjar have the same roof overlapping, the traditional Banjar mosques have differences from the other Indonesian traditional mosques. The difference is mainly in the form of variations roof, floor construction stage, carving or decoration (ornaments) that each is influenced by the local culture and environment. Keywords: architectural, ornament, traditional mosque Banjar,and symbolic meaning

PENDAHULUAN pula bangunan masjid yang merupakan hasil renovasi Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan masjid tua, bahkan banyak masjid didirikan di lokasi identik dengan agama Islam. Identitas itu tidak hanya baru guna menampung jama'ah. Seiring perjalanan tercermin dari kenyataan bahwa Islam sebagai agama waktu, banyak masjid tua di Kalimantan Selatan mayoritas, namun juga banyaknya tempat ibadah mengalami renovasi dengan bentuk kubah masjid yang berupa masjid, langgar (), dan mushola. lebih modern mengikuti model arsitektur Timur Keberadaan tempat ibadah itu sejalan dengan sejarah Tengah. masuk dan tersebarnya agama Islam di Kalimantan Dalam ajaran Islam yang terpenting dari sebuah Selatan. Dimana umat Islam berada maka dibangunlah masjid sebagaimana diatur dalam Alqur'an dan Hadits masjid sebagai tempat ibadah salat lima waktu, salat adalah ketepatan arah kiblat, sehingga di tanah lapang Jumat, salat hari raya, dan kegiatan ibadah lainnya. pun ibadah salat dapat dilakukan. Aturan tentang Diantara masjid itu, ada yang telah berusia bentuk masjid sendiri tidak ada, akibatnya dari waktu ratusan tahun tanpa ada ada perubahan yang berarti ke waktu terjadi perubahan bentuk bangunan masjid dari arsitektur aslinya saat pertama kali dibangun, ada yang sifatnya menyempurnakan fungsi dan

149 URNAL Kebijakan Pembangunan Volume 12 Nomor 2 Desember 2017: 149 - 161

penampilan fisiknya; keindahan atau daya tarik. masjid-masjid tradisional atap tumpang di Kalimantan Masjid berarsitektur tradisional di Indonesia Selatan, yaitu di Masjid Sultan Suriansyah di berbeda dengan masjid di Saudi Arabia atau India yang Kampung Kuin Banjarmasin, Masjid Al-Mukarromah umum dengan atap kubah model bawang. Atap masjid (populer disebut Masjid Banua Halat) di Desa Banua tradisional Indonesia pada umumnya berbentuk Halat Kiri Kabupaten Tapin, Masjid Quba di Desa seperti atap bangunan Meru di Bali. Bentuk atap Amawang Kanan dan Masjid Su'ada di Desa Wasah seperti itu, merupakan pengaruh dari arsitektur Hilir Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Masjid Al-Haq, tradisional pra-Islam, begitu pula dengan ornamen- di Desa Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, ornamen selain kaligrafi banyak dipengaruhi oleh Masjid Pusaka Banua Lawas di Desa Banua Lawas suasana lingkungan yang kaya dengan pepohonan dan Kabupaten Tabalong, Masjid Assuhada di Desa bunga-bungaan. Waringin Kecamatan Haur Gading, Kabupaten Hulu Sejak awal perkembangan, agama Islam Sungai Utara, Masjid Assyuhada di Desa Sungai memang bersikap toleran terhadap unsur-unsur Durian Kecamatan Banua Lawas Kabupaten tradisional, dan bahkan menjadikannya sebagai objek Tabalong, Masjid Basar Desa Pandulangan kultural yang memperkuat dakwah Islamiyah. Dari sisi Kecamatan Sungai Pandan Kabupaten Hulu Sungai bangunan masjid, unsur-unsur tradisional Utara. Data primer dan sekunder, baik berupa diaplikasikan bukan hanya pada konstruksi, melainkan peninggalan-peninggalan (relics atau remain) dan juga ornamen yang terdapat pada jendela, pintu, catatan-catatan (records) (Sjamsuddin 2012) mimbar, kubah, dan lain sebagainya. dikumpulkan menggunakan kombinasi teknik-teknik Sebagai bagian dari tempat ibadah, masjid pengumpulan data, yaitu wawancara, pengamatan/ tradisional Banjar yang berusia tua di Kalimantan observasi, studi kepustakaan, dokumentasi. Selatan sangat menarik menarik untuk dikaji karena memperlihatkan adanya interaksi atau persinggungan HASIL DAN PEMBAHASAN antara kepercayaan lama dan Islam. Persinggungan itu dapat dipahami jika kita melihat proses Islamisasi Keragaman Konstruksi Masjid pada masyarakat Banjar pra-Islam yang tidak serta Unsur utama yang dipakai untuk membedakan merta menghapus pelbagai tradisi atau warisan budaya bentuk/langgam/gaya bangunan masjid adalah pada dalam bentuk material (fisik) maupun gagasan (non atap, menara, dan pola hiasan. Bentuk atap bangunan fisik) yang terkait dengan kepercayaan lama. masjid tradisional Kalimantan Selatan mempunyai Salah satu peninggalan tradisi dalam bentuk perbedaan dengan masjid tradisional Indonesia material adalah masjid tradisional Banjar yang jika lainnya, meski sama-sama beratap tumpang dicermati memiliki keragaman konstruksi dalam (bertingkat). Perbedaan tersebut terutama dalam arsitektur yang relatif sama, disamping mengandung variasi bentuk atap, ukiran atau ragam hias (ornamen) makna simbolis sebagai cerminan adanya pengaruh karena masing-masing dipengaruhi oleh budaya dan budaya pra-Islam dalam konstruksi dan ragam lingkungan setempat. hiasnya. Sebagai contoh, pada konstruksi atap Pada mulanya, langgam atap kubah masjid kuno tumpang dan ragam hiasnya seringkali dikaitkan di Kalimantan Selatan tumpang seperti kubah masjid dengan alam, kepercayaan lama, atau agama Islam Demak, hal ini terjadi karena terbentuknya Kesultanan yang dianut masyarakat Banjar. Permasalahan yang Banjar tidak terlepas dari peranan Kerajaan Demak diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana yang mengutus Khatib Dayan yang mengislamkan gambaran keragaman konstruksi dan pengaruh budaya Pangeran Samudera sebagai raja yang pertama dengan pra-Islam pada arsitektur masjid tradisional Banjar? gelar Sultan Suriansyah. Karena adanya pengaruh Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka Demak, maka kemungkinan besar bentuk bangunan kajian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui gambaran atap masjid Sultan Suriansyah atau masjid tua lainnya keragaman konstruksi masjid tradisional Baanjar saat pertama kali didirikan masih mengadopsi model Kalimantan; (2) Mengetahui pengaruh ragam hias pra- Masjid Demak. Akan tetapi, seiring dengan perjalanan Islam yang mencerminkan hubungan antara Islam dan waktu terjadi penyempurnaan tampilan fisik di budaya pada arsitektur masjid tradisional Banjar beberapa segi bangunan yang dipengaruhi oleh budaya Kalimantan Selatan; (3) Mengetahui latar belakang atau lingkungan setempat, sehingga akhirnya munculnya pengaruh tradisi Pra-Islam pada konstruksi terbentuklah pola bentuk atap dan ornamen masjid dan ragam hias masjid tradisional Banjar Kalimantan bercirikan budaya Banjar yang mempunyai ciri khas Selatan. tersendiri dan telah menjadi model bangunan mesjid waktu itu yang berbeda dengan masjid model Demak, METODE PENELITIAN meski tetap beratap tumpang. Tulisan ini merupakan penelitian deskriptif Di Kalimantan Selatan, masjid berasitektur kualitatif. Lokasi penelitian mengambil tempat di tradisional atap tumpang yang bercirikan budaya

150 Ragam Arsitektur Masjid Tradisional Banjar Kalimantan Selatan dan Makna Simbolisnya (Wajidi)

Banjar, kini tinggal sedikit yang tersisa, karena ulin atau kayu besi (Eusideroxylon Zwageri) yaitu sebagian besar telah direnovasi ke bentuk baru atau kayu khas Kalimantan yang mempunyai tekstur padat modern dengan atap/kubah model bawang (pola Timur dan keras, merupakan bahan bangunan yang banyak Tengah). Diantara yang sedikit tersisa itu adalah dipergunakan dalam bangunan masjid tradisional, Masjid Sultan Suriansyah di Kampung Kuin disamping kayu lanan (meranti), kayu kapur naga Banjarmasin, Masjid Sungai Batang Martapura (Dryobalanops sp.), dan kayu balangiran Kabupaten Banjar, Masjid Al-Mukarromah desa (belangeran). Banua Halat Kabupaten Tapin, Masjid Quba di desa Sesuai dengan kondisi alamnya, rumah Amawang Kanan Kabupaten Hulu Sungai Selatan, panggung merupakan hal yang umum di daerah ini. Masjid Su'ada di desa Wasah Hilir Kabupaten Hulu Begitu pula dengan konstruksi rumah ibadah, pada Sungai Selatan, Masjid Pusaka di desa Banua Lawas mulanya berkonstruksi panggung atau berkolong yaitu Kabupaten Tabalong, Masjid Assuhada di desa berdiri di atas tongkat-tongkat kayu ulin. Namun Waringin Kabupaten Hulu Sungai Utara, Masjid Tua di masjid yang berkonstruksi demikian, kini hanya Tamiyang Layang Kelumpang Selatan Kabupaten tinggal dua buah yaitu Masjid Su'ada di Wasah Hilir Kotabaru, serta Masjid Al-Haq di Desa Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan kalau memang Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Diantara masjid yang masih utuh sampai sekarang juga pada Masjid Tua disebutkan itu, hanya Masjid Su'ada di Wasah Hilir diTamiyang Kelumpang Selatan Kabupaten Kotabaru. yang arsitekturnya masih utuh/tidak berubah dari saat Sisanya telah mengalami perubahan karena lantainya pertama kali didirikan tahun 1908 sampai sekarang ini. diuruk dengan tanah atau beton berlantai ubin. Seperti halnya Banjar, arsitektur Meski secara fisik bentuknya berubah, masjid- masjid tradisional Kalimantan Selatan juga masjid lainnya seperti Masjid Al-Karomah di dipengaruhi oleh kondisi lingkungan Kalimantan Martapura Kabupaten Banjar, masjid di Negara Selatan yang terdiri dari banyak rawa, sungai dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan masjid tua dataran tinggi yang penuh dengan pepohonan. Hutan lainnya di Kandangan, Barabai, dan Amuntai dengan keanekaragaman tumbuhan baik di dataran dahulunya juga berarsitektur atap tumpang. Bentuk tinggi maupun dataran rendah dimanfaatkan untuk atap tumpang pada masjid tersebut dapat dilihat pada keperluan hidup penduduk, diantaranya untuk bahan foto-foto lama masjid itu yang telah menjadi koleksi bangunan dengan corak kebudayaan tersendiri dimana oleh KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en kebudayaan sungai merupakan hal yang dominan di Volkenkunde, Royal Netherlands, Institute of daerah ini, utamanya bagi suku Banjar, baik suku Southeast Asian and Caribbean Studies) dan Arsip Banjar Pahuluan maupun Banjar Kuala. Nasional Republik Indonesia (ANRI) serta koleksi Selain itu, dari kayu-kayu itulah mereka Museum Negeri Lambung Mangkurat di Banjarbaru. tuangkan perasaan seni mereka dalam bentuk ukiran Bangunan induk ditopang oleh tiang utama tradisional dengan motif bunga dan daun-daunan (soko guru) dan tiang samping yang umumnya sebagai adaptasi kreatif terhadap lingkungan. Kayu berpenampang segi delapan. Adakalanya pada

Gambar 1. Masjid Al-Mukarromah, Banua Halat. Gambar 2. Masjid Su'ada, Wasah Hilir. Sumber: Dok. Pribadi. Sumber: Dok. Pribadi.

151 URNAL Kebijakan Pembangunan Volume 12 Nomor 2 Desember 2017: 149 - 161

Gambar 3. Masjid Assuhada, Waringin. Gambar 4. Masjid Al-Haq, Hantakan. Sumber: Dok. Pribadi. Sumber: Dok. Pribadi.

Gambar 5. Masjid Syekh Abdul Hamid Abulung. Gambar 6. Masjid Pusaka Banua Lawas. Sumber: Dok. Pribadi. Sumber: Dok. Pribadi.

Gambar 7. Masjid Quba, Amawang Kanan. Gambar 8. Masjid Sultan Suriansyah, Kuin. Sumber: KITLV. Sumber: ANRI, Museum LM.

Gambar 9. Masjid Al Karomah, Martapura,tahun 1924. Gambar 10. Masjid Nagara, tahun 1950 an. Sumber: KITLV. Sumber: KITLV.

152 Ragam Arsitektur Masjid Tradisional Banjar Kalimantan Selatan dan Makna Simbolisnya (Wajidi) bangunan induk terdapat tangga lingkar menuju kayu ulin yang ditatah menyerupai putik bunga. Meski balkon yang sangat jarang ditemui di daerah lainnya. telah diganti dengan bahan logam alumanium, bekas Hanya terdapat dua masjid di Kalimantan Selatan yang pataka dimaksud dapat ditemui di Masjid Pusaka mempunyai tangga lingkar menuju balkon yaitu Banua Lawas Kabupaten Tabalong. Bekas pataka Masjid Pusaka Banua Lawas dan Masjid Basar (Jami) yang terbuat dari kayu ulin juga terdapat pada Masjid Pandulangan di Alabio. Masjid Pusaka memiliki Basar (Besar) Pandulangan Kabupaten Hulu Sungai bentuk tangga melingkari tiang soko guru (tiang Utara. Masyarakat setempat menyebutnya Pataka utama) dengan trap tangga berjumlah 12 buah dan Tiga Baranak karena jumlahnya tiga dan dianggap dahulunya sebagai tangga menuju balkon tempat mempunyai tuah. Sebelum bentuk atap Masjid Basar mua'azin mengumandangkan suara azan. Begitupula Pandulangan diubah menjadi bentuk atap yang ada dengan tangga di Masjid Basar Pandulangan, tangga sekarang ini, maka sebelumnya pataka tersebut menuju balkon juga berbentuk melingkari tiang utama dipasang pada hiasan puncak atap bangunan induk, masjid. Berbeda dengan Masjid Pusaka dan Masjid mikrab dan di puncak panampil hadapan (pendapa). Basar Pandulangan, di masjid lain juga terdapat tangga Menurut informasi, sebagaimana tertulis dalam menuju balkon seperti di Masjid Assyuhada Desa ”Riwayat Singkat Masjid Jami (Besar) Pandulangan” Sungai Durian dan Masjid Al 'Ala desa Jatuh tangga, yang disusun panitia perbaikan masjid bertanggal 3 namun bentuknya tidak melingkar. April 1981 (27 Jumadil Awal 1401 H), pataka tiga Umumnya masjid berdenah segi empat beranak itu merupakan pataka asli yang ada pada saat dibangun dengan lantai menyatu dengan mikrab, tetapi atap kubah masjid ini sebelum menjalani rehabilitasi mempunyai atap atau kubah tersendiri. Masjid tua tahun 1908. Kemungkinan sebelum dilakukan sebagaimana di sebut di atas, bangunan induknya rehabilitasi pada tahun tersebut, kubah masjid beratap mempunyai atap tumpang tersusun tiga. Atap paling tumpang berbentuk piramid. Masing-masing pataka atas bentuknya meruncing lancip seperti piramida. itu berada pada puncak atap bangunan induk, mihrab Puncak atap selalu dihias dengan hiasan yang disebut dan di puncak panampil hadapan (pendapa). Ketika dengan pataka (mustaka, sungkul, molo) seperti dilakukan rehabilitasi masjid tahun 1908, bagian atas terdapat pada masjid-masjid kuno atau bangunan atau puncak kubah masjid ikut direhab. Ketiga pataka sakral di Jawa, namun di sini variasinya lebih beragam ulin itu diturunkan dan diganti dengan pataka yang sehingga sepintas terlihat seperti rangkaian bunga terbuat dari logam sebagaimana yang ada sekarang ini. yang digarap dengan artistik. H. Fathurrahman, 68 tahun, menginformasikan Pada masjid yang sangat tua, pataka yang sejak awal berdirinya masjid ini di desa Pandulangan, dipasang di puncak atap pada mulanya terbuat dari belum ada renovasi bangunan yang mengubah kubah

Gambar 11. Tangga lingkar pada Gambar 12. Tangga lingkar Masjid Pusaka Banua Lawas. Masjid Basar Pandulangan Alabio. Sumber: Dok. Pribadi. Sumber: Dok. Pribadi.

153 URNAL Kebijakan Pembangunan Volume 12 Nomor 2 Desember 2017: 149 - 161

Gambar 13. Simbar Masjid Su'ada, Gambar 14. Bekas pataka Wasah Hilir Kandangan. Masjid Pusaka Banua Lawas. Sumber: Dok. Pribadi. Sumber: Dok. Pribadi. masjid. Pataka masjid dari logam tetap seperti sejak Selatan mempunyai perbedaan dengan masjid awal dibangun. Jika informasi ini benar, maka ada dua tradisional Indonesia lainnya. Perbedaan tersebut kemungkinan. Pertama, pataka tiga beranak itu terutama dalam variasi bentuk atap, kontruksi lantai merupakan sisa bangunan masjid yang ada di lokasi panggung, ukiran atau ragam hias (ornamen) karena pertama di Teluk Betung. Kemungkinan kedua adalah masing-masing dipengaruhi oleh budaya dan bahwa ketiga pataka itu adalah pataka sumbangan lingkungan setempat. masyarakat, atau pataka yang tidak jadi dipasang, Pada umumnya masjid tradisional Indonesia karena ada pataka lainnya yang terbuat dari logam beratap tumpang seperti bentuk meru di Bali. Semakin yang dianggap lebih baik, artistik, dan sesuai ke atas semakin kecil, dan atap paling atas meruncing penempatannya dengan struktur bangunan atap yang kadangkala dilengkapi dengan hiasan kemuncak masjid. atau pataka (mustaka, molo). Bentuk atap seperti itu, Pada masjid tua beratap tumpang, di setiap merupakan pengaruh dari arsitektur tradisional pra- tingkat atap pertama, kedua, dan ketiga pada atap Islam, begitu pula dengan ornamen-ornamen selain kubah bangunan induk masjid berkonstruksi atap kaligrafi banyak dipengaruhi oleh suasana lingkungan tumpang terdapat pilis berukir, bermotif daun-daunan yang kaya dengan pepohonan dan bunga-bungaan. atau kembang diantaranya daun jeruju dan sulur- Selain itu, masjid tradisional Indonesia tidak suluran. Begitu pula di setiap sudut atap (ujung dilengkapi dengan menara, seperti lazimnya bangunan bubungan) dihias dengan simbar yang mencuat ke atas masjid yang ada di luar Indonesia atau yang ada dengan ukir-ukiran kombinasi antara motif bunga, sekarang, tetapi dilengkapi dengan (bahasa daun-daunan dan kepala burung enggang yang Banjar: dauh) atau kentongan untuk menyerukan disamarkan. tibanya waktu salat. Bedug dan kentongan merupakan Fungsi ragam hias pada bangunan masjid selain budaya asli Indonesia. Arsitektur masjid tradisional di untuk memberikan keindahan juga dapat mempunyai Jawa tercermin dari arsitektur masjid Agung Demak makna atau simbol tertentu. Sebagaimana dikatakan yang dibangun para wali penyebar agama Islam, yang William Benton (1962:91) fungsi ragam hias kini diimplemen-tasikan pada arsitektur tradisional (ornamen) adalah: (1) ornamen pasif (organic bernuansa modern pada masjid yang dibangun oleh ornament) yaitu ornamen yang tidak berfungsi Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. konstruktif, tetapi sebagai hiasan saja; (2) ornamen Seperti halnya rumah adat Banjar, arsitektur aktif (applied ornament) yaitu ornamen yang masjid tradisional Kalimantan Selatan juga digunakan pada bagian-bagian atau elemen-elemen dipengaruhi oleh kondisi lingkungan Kalimantan bangunan yang berfungsi konstruktif juga sebagai Selatan yang terdiri dari banyak rawa, sungai, dataran hiasan; (3) ornamen simbolis (mimetic ornament) yang tinggi atau pegunungan yang penuh dengan berfungsi sebagai perlambang. pepohonan. Hutan dengan beraneka ragam tumbuhan Meski sama-sama beratap tumpang (ber- baik di dataran tinggi maupun dataran rendah tingkat), masjid tradisional Banjar seperti Masjid dimanfaatkan untuk keperluan hidup penduduk, di Banua Halat, Masjid Pusaka Banua Lawas, Masjid antaranya untuk bahan bangunan dengan corak Su'ada Wasah Hilir, dan masjid sejenis di Kalimantan kebudayaan tersendiri dimana kebudayaan sungai

154 Ragam Arsitektur Masjid Tradisional Banjar Kalimantan Selatan dan Makna Simbolisnya (Wajidi) merupakan hal yang dominan di daerah ini, utamanya pengecualian adalah pada simbar masjid Sultan bagi etnis Banjar, baik subetnis Banjar Pahuluan, Suriansyah di kampung Kuin, Kota Banjarmasin, yang Batang Banyu, maupun Banjar Kuala. merupakan rumbai pilis atau jamang rumah Selain itu, dari kayu-kayu itulah mereka Bubungan Tinggi yang dipasang di atap masjid. tuangkan perasaan seni mereka dalam bentuk ukiran Diduga, hiasan simbar pada atap masjid atau hiasan tradisional dengan motif bunga dan daun-daunan sejenis yaitu rumbai pilis (jamang) pada atap rumah sebagai adaptasi kreatif terhadap Banjar Bubungan Tinggi, diilhami oleh ornamen pra- lingkungan. Kayu ulin atau kayu besi yaitu kayu khas Islam yaitu hiasan antefiks pada candi. Hiasan antefiks Kalimantan yang mempunyai tekstur padat dan keras, berbentuk segi tiga meruncing yang biasanya merupakan bahan bangunan yang banyak ditemukan pada bagian atap (puncak) candi. dipergunakan dalam bangunan masjid tradisional, disamping kayu lanan atau meranti, kayu kapur naga, Pengaruh Ragam Hias Pra-Islam dan kayu balangiran. Kerajaan Banjar berdiri tahun 1526 dengan Sesuai dengan kondisi alamnya, rumah bantuan Kerajaan Demak (Saleh 1981/1982). Sejak panggung merupakan hal yang umum di daerah ini. itu pulalah proses Islamisasi berkembang dengan pesat Begitu pula dengan konstruksi rumah ibadah, pada ke daerah pedalaman dan turut mempengaruhi mulanya berkonstruksi panggung atau berkolong yaitu mitologi atau kepercayaan masyarakat setempat. berdiri di atas tongkat-tongkat kayu ulin. Namun Kesenian merupakan salah satu saluran Islamisasi, masjid yang berkonstruksi demikian, kini hanya dan agama Islam turut mempengaruhi seni budaya tinggal dua buah yaitu masjid Su'ada di Wasah Hilir setempat sehingga memberikan ciri dan identitas Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan masjid tua di tersendiri dalam budaya Banjar. Seni ukiran yang Tamiyang Kelumpang Selatan Kabupaten Kotabaru. dulunya berpijak pada konsep-konsep kepercayaan Sisanya telah mengalami perubahan karena lantainya lama juga tetap diwarisi dan diterapkan dalam wujud diuruk dengan tanah atau beton berlantai ubin. seni bangunan dan seni pahat pada rumah adat dan Di setiap tingkat atap pertama, kedua dan ketiga tradisional bahkan bangunan ibadah seperti pada terdapat pilis berukir, bermotif daun- daunan atau masjid-masjid kuno. Selain itu kondisi lingkungan kembang di antaranya daun jeruju dan sulur-suluran. yang terdiri dari rawa-rawa, sungai, dan pegunungan Begitu pula di atas siku ujung atap masjid, baik atap yang kaya dengan pepohonan juga mempengaruhi pertama, kedua, maupun atap ketiga dihias dengan ragam arsitektur dan ragam hiasnya (Wajidi 2011). simbar yang mencuat ke atas dalam bentuk tatah Masjid-masjid kuno di Indonesia mempunyai bakurawang (ukiran tembus) berupa kombinasi antara kekhasan tersendiri. Jika dicermati ciri yang paling motif bunga, daun-daunan dan kepala burung enggang utama ada pada atapnya bertumpang dua, tiga, lima, yang disamarkan. Hiasan simbar pada masjid, dapat atau lebih. Bagian-bagian lain seperti lengkung pola dilihat pada atap Masjid Su'ada di desa Wasah Hilir makara, mimbar dengan pola teratai, dan mustaka atau Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Masjid Assuhada di memolo jelas menunjukkan pola-pola seni bangunan desa Waringin Kabupaten Hulu Sungai Utara (sekitar tradisional yang telah dikenal di Indonesia sebelum awal tahun 1990-an sebagian jamang pada masjid kedatangan Islam. Bentuk bangunan pada masjid kuno Asyuhada sudah rusak atau lepas), pada Masjid Syekh yang mengadaptasi pola-pola bangunan atau Abdul Hamid Abulung Sungai Batang, Kabupaten keyakinan Hindu tersebut menunjukkan bahwa Islam Banjar (simbar yang asli kini sudah tidak ada lagi, disebarkan dengan jalan damai. karena diganti dengan hiasan jamang Rumah Banjar Islam tersebar dengan damai, penuh toleransi namun foto simbar yang asli dapat dilihat di Museum dan persaudaraan. Toleransi dakwah Islam itu Negeri Lambung Mangkurat) dan pada Masjid Quba di didukung oleh fleksibilitas (daya lentur) ajaran Islam Amawang Kanan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan itu sendiri. Dalam pengertian bahwaIslam merupakan (kini sudah tidak ada lagi, dan hanya dapat dilihat pada kodifikasi nilai-nilai universal. Karenanya, ajaran foto masjid sebelum mengalami renovasi). Islam dapat berhadapan dengan berbagai bentuk dan Meski sama-sama bertatah bakurawang, bentuk jenis situasi kemasyarakatan. Dengan watak semacam simbar pada Masjid Su'ada di Wasah dan Assuhada di ini, maka kehadiran Islam di suatu wilayah tidak lantas Waringin bentuknya berbeda dengan rumbai pilis atau merombak tatanan nilai yang telah mapan (Huda jamang yang terdapat pada rumah Bubungan Tinggi. 2007). Selain itu, secara kejiwaan dan strategi dakwah, Dalam hal penempatan, rumbai pilis pada atap anjung penerusan tradisi seni bangunan dan seni ukir pra- dan sindang langit rumah Bubungan Tinggi adalah Islam merupakan alat Islamisasi yang sangat bijaksan menyatu dan/atau merupakan ujung dari pilis, sehingga bisa menarik orang-orang non Islam untuk sedangkan simbar pada masjid beratap tumpang, memeluk Islam sebagai pedoman hidup barunya ditempatkan di atas siku atap masjid, baik atap (Pusponegoro 1990). pertama, kedua, maupun atap ketiga. Sebagai Pengaruh ragam hias pra-Islam, antara lain

155 URNAL Kebijakan Pembangunan Volume 12 Nomor 2 Desember 2017: 149 - 161

tampak pada arsitektur Masjid Pusaka di desa Banua yaitu atap tumpang tiga berbentuk piramid atau puncak Lawas Kabupaten Tabalong. Menurut tradisi lisan, lancip. Pada konsep kepercayaan orang-orang masjid Pusaka Banua Lawas didirikan oleh Khatib Maanyan atap seperti itu merupakan perlambang Dayan bersama-sama dengan tokoh-tokoh Dayak (simbolisasi) dari wujud gunung, yang pada masa pra- Maanyan seperti Datu Kartamina, Datu Sari Negara, Islam merupakan suatu yang disakralkan sebagai Datu Sri Panji, Datu Rangganan dan datu lainnya yang tempat bersemayamnya arwah nenek moyang. telah memeluk agama Islam pada tahun 1625 M Sebagai masjid yang arsitekturnya dipengaruhi bersamaan dengan pendirian Masjid Pusaka Puain oleh arsitektur masjid Demak. Sementara Masjid pada tahun itu juga. Dilihat dari namanya, Demak juga mendapat pengaruh dari unsur kemungkinan Datu Sari Nagara dan Datu Sri Panji kepercayaan Jawa pra-Islam, maka atap Masjid Banua sebelumnya memeluk agama Hindu atau mungkin saja Halat, Masjid Pusaka Banua Lawas, dan masjid- masih menganut agama lamanya itu dan turut masjid lainnya yang beratap tumpang berpuncak membantu saudaranya yang telah memeluk agama lancip adalah bentuk gunungan dalam kebudayaan Islam membangun Masjid Pusaka Banua Lawas, Jawa sebagai simbol dari jagad raya. Puncaknya sebagaimana halnya Dayuhan membantu Intingan adalah lambang keagungan dan keesaan. Bentuk membangun Masjid Banua Halat, sebagaimana simbol ini memang menyerupai gunung (seperti yang diasumsikan oleh Alfani Daud (1997). sering dipakai dalam wayang kulit). Dalam Meski telah mengalami beberapa kali praktiknya, orang-orang Jawa memasang motif pemugaran yaitu tahun 1669, 1769, 1791, 1848, 1932, gunungan di rumah mereka sebagai pengharapan akan dan terakhir tahun 1999 dan 2003 oleh Direktorat adanya ketenteraman dan lindungan Tuhan dalam Linbinjarah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, rumah tersebut. Terkait dengan masjid, maka puncak bangunan masjid masih mencirikan arsitektur kuno, masjid berbentuk lancip kemudian dimaknai meng-

Gambar 15. Pataka bangunan Gambar 16. Pataka Masjid Assyuhada, Gambar 17. Panapih mimbar mihrab Masjid Al-Haq, Hantakan. Sungai Durian. Masjid Agung ”AlAnwar” Marabahan. Sumber: Dok. Pribadi. Sumber: Dok. Pribadi. Sumber: Dok. Pribadi. esakan Allah atau ketauhidan. Islam (masjid, surau atau langgar) atau dapat pula Salah satu unsur terpenting pada atap adalah menjadi sarana dan perwujudan aspek simbol. hiasan kemuncak yang disebut pataka (mustaka, Jika dilihat dari teori form follow function sungkul, molo). Menurut Nugroho Nur Susanto (Susanto 1997), kehadiran pataka atau mustaka (1997:2) hiasan kemuncak dapat dilihat secara khususnya pada bangunan baru seperti halnya mustaka teknis/praktis, estetis maupun simbolis. Secara teknis, masjid yang dibangun YAMP, lebih dipengaruhi oleh hiasan kemuncak adalah bagian unsur atap yang fungsi praktis dan estetis. Kehadiran pataka pada berfungsi melindungi bangunan dari atas dan terletak masjid YAMP merupakan unsur yang pada posisi tertinggi. Secara estetis hiasan kemuncak menyempurnakan fungsi atap yaitu melindungi dari merupakan hiasan untuk mempercantik tampilan hujan, mencegah kebocoran, dan panas, disamping rumah ibadah. Keberadaan kemuncak pada rumah sebagai hiasan yang mempercantik bangunan. ibadah kadang dapat dikaitkan sebagai ciri khas rumah Akan tetapi, pada bangunan kuno apalagi pada ibadah agama tertentu, misalnya hiasan bulan sabit bangunan keagamaan, fungsi praktis, estetis, dan dengan bintang sebagai pertanda rumah ibadah umat simbolis menduduki fungsi yang seimbang. Selain

156 Ragam Arsitektur Masjid Tradisional Banjar Kalimantan Selatan dan Makna Simbolisnya (Wajidi) mempunyai fungsi praktis dan estetis, kehadiran mengilhami bentuk pataka yang mempunyai makna pataka tidak terlepas dari adanya pengaruh kemuncak- bahwa sorga merupakan perjalanan terakhir dan kemuncak bangunan suci pada masa sebelumnya. tertinggi yang ditempuh manusia sejak ia dalam rahim, Hasil penelitian Nugroho Nur Susanto mengenai lahir, dan mati serta dibangkitkan kembali oleh Sang simbolisme mustaka sebagai kemuncak bangunan Pencipta. yang dilakukan di masjid-masjid tua di wilayah Adanya pengaruh simbol pohon hayat pada Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1997 diperoleh pataka Masjid Pusaka Banua Lawas diduga karena gambaran bahwa kemuncak bangunan, khususnya masjid itu dibangun atas dukungan orang-orang mustaka identik dengan sesuatu yang tertinggi, paling Maanyan terhadap saudaranya yang telah memeluk dihormati atau faktor yang paling menentukan dan agama Islam. Bahkan dalam tradisi lisan yang juga dihubungkan dengan tujuan yang bersifat berkembang di daerah Banua Lawas dan sekitarnya memberikan pengajaran (didaktik) kepada masyarakat menyebutkan bahwa tepat di lokasi Masjid Pusaka pendukung budayanya. Keberadaan pataka juga Banua Lawas jauh sebelum agama Hindu dan Islam cenderung dikaitkan dengan hal-hal yang gaib berkembang, sudah berdiri semacam pesanggrahan (supernatural) yang nota bene merupakan pengaruh atau tempat pemujaan kepercayaan Kaharingan suku dari keyakinan dan ragam hias pra-Islam. Oleh karena Maanyan dari Kerajaan Nan Sarunai dalam bentuk itu, selain alasan teknis, penempatan hiasan kemuncak yang sederhana. juga dapat dikaitkan dengan maksud atau tujuan Tempat pemujaan itu dianggap sakral, dan tertentu yang bersifat mistis, sehingga kemudian manfaatnya terasa sangat penting bagi orang- orang disakralkan karena mempunyai pesan agama atau Maanyan yang pada masa itu banyak bermukim. keyakinan tertentu yang bersifat simbolis. Kemungkinan peristiwa besar terjadi yang memaksa Konsep keberadaan mustaka tampaknya mereka harus meninggalkan kampung halaman dan merupakan hasil kesinambungan budaya yang berakar membangun pemukiman baru. Kemungkinan itu dari kepercayaan nenek moyang. Kepercayaan pada adalah berkaitan dengan para imigran pelarian dari konsep ini tetap bertahan dan bahkan diperkuat oleh Jawa yang datang akibat kerusuhan politik di daerah kepercayaan Hindu-Budha. Konsep kepercayaan asalnya dan mendirikan kerajaan baru di pulau Hujung dimaksud adalah bahwa tempat yang tinggi identik Tanah bernama Negara Dipa. Di dalam Hikayat dengan tempat yang suci, sakral, dan perlu dihormati Lembu (Lambung) Mangkurat, Tutur Candi maupun keberadaannya (Susanto 1997). Oleh karena itu, tidak Hikayat Banjar atau Hikayat Raja-raja Banjar dan mengherankan jika berbagai hiasan pada pataka Kotawaringin disebutkan bahwa Negara Dipa masjid kuna di Kalimantan Selatan maupun pada didirikan oleh Mpu Jatmika, anak saudagar mustaka masjid kuna di Jawa terdapat lambang- Mangkubumi dari Keling. Ia meninggalkan Keling lambang seperti daun sulur-suluran, rangkaian dengan kapal Si Prabayaksa dan diikuti oleh para tumbuhan dan bunga, bunga teratai (patma) dan stupa pengikutnya untuk mencari atau mendirikan negara (yang mengandung arti tertentu). baru. Pada masa kebudayaan Hindu, motif teratai atau Sesuai dengan amanat ayahnya, bahwa mereka fatma merupakan perlambang kesucian dan harus mencari negeri yang bertanah panas dan berbau kekuasaan. Sedangkan dalam mitos penciptaan langit, harum yang kemudian ternyata adalah Pulau Hujung bumi dan manusia, penganut Kaharingan (orang-orang Tanah. Setelah tiba di pulau dimaksud, mereka Maanyan dan Ngaju) mengakui adanya pohon Hayat kemudian mendirikan kerajaan Negara Dipa dan yang melahirkan kesatuan serba dua, sifat jantan dan mendirikan Candi. Mpu Jatmika sendiri kemudian betina, terang dan gelap dan sebagainya. Hiasan bergelar Maharaja di Candi. Istilah Keling menurut pataka pada masjid tradisional atap tumpang seperti Van der Tuuk sebagaimana dikutip dari buku pada masjid Pusaka Banua Lawas yaitu berupa ragam Banjarmasin susunan M. Idwar Saleh (1981/1982) hias kuncup bunga teratai merah (patma) atau kumuda adalah berhubungan dengan Jawa bukan Kalingga di (bunga teratai putih) dianggap sebagai hiasan yang India. Di Jawa Timur terdapat sebuah distrik dengan dipengaruhi oleh simbol pohon Hayat dalam nama Kaling serta dalam cerita-cerita Jawa sebagai kepercayaan Kaharingan. alternatif dari Kuripan dan Jenggala. Sedangkan B. Meski demikian, ada pula yang berpendapat, Schrieke dalam Indonesian Sociological Studies pataka pada Masjid Pusaka Banua Lawas, dan pataka mengidentifikasikan Keling dengan Kediri Utara masjid lainnya di Kalimantan Selatan tidak (Saleh 1981/1982). Wajidi dalam tulisannya berjudul mempunyai makna simbolis atau tidak perlu dikaitkan Dari Tanjung Pura ke Masjid Pusaka (2009) dengan pohon Hayat karena hanyalah sebuah model menganalisis bahwa datangnya para imigran dari Jawa hiasan (fungsi estetis) yang umum digunakan pada ke Pulau Hujung Tanah dilatarbelakangi oleh Perang waktu itu. Ketika agama Islam berkembang di daerah Ganter (1222 M) yaitu perang antara Ken Arok dengan ini, konsep pohon Hayat masih dipertahankan dan Kertajaya (Raja Kediri). Dalam pertempuran tersebut

157 URNAL Kebijakan Pembangunan Volume 12 Nomor 2 Desember 2017: 149 - 161

Kertajaya tewas dan Kediri runtuh. Ken Arok Lawas didirikan oleh Khatib Dayan dan saudaranya kemudian menjadi raja di kerajaan yang ia dirikan Sultan Abdurrahman dari Kesultanan Banjar di Kuin kemudian bernama Singosari. Lebih lanjut Wajidi bersama-sama dengan tokoh- tokoh Dayak Maanyan mengatakan bahwa pengikut Kertajaya yang tetap seperti Datu Kartamina, Datu Sari Negara, Datu Sri setia atau tidak tahan atas perlakuan Ken Arok, Panji, Datu Rangganan, Datu Langlang Buana, Datu melarikan diri ke pulau Hujung Tanah dan mendirikan Garuntung Manau, Datu Timba Sagara, Garuntung Negara Dipa di pertemuan Sungai Negara dengan Waluh dan datu lainnya yang telah memeluk agama sungai Balangan. Dalam perkembangan selanjutnya Islam pada tahun 1625 M bersamaan dengan pendirian Negara Dipa menjadi vazal dari kerajaan Majapahit, Masjid Pusaka Puain dan Masjid Paran di daerah yaitu kerajaan yang tumbuh sesudah runtuhnya Balangan pada tahun itu juga. Selain tradisi lisan Singosari. berupa hikayat dan sejenisnya, tidak ada sumber Di dalam Hikayat Banjar diterangkan bahwa tertulis berupa prasasti dan manuskrip yang Mpu Jatmika juga telah memerintahkan supaya menyatakan bahwa Masjid Pusaka Banua Lawas Hulubalang Arya Megatsari dengan seribu tentaranya dibangun oleh Khatib Dayan di tahun 1625. Oleh menaklukkan daerah Batang Tabalong, Batang karena itu, riwayat pembangunan masjid ini lebih Balangan dan Batang Pitap. Dengan kekuatan yang berupa asumsi yang didasarkan kepada sumber dan sama, berangkat pula Tumenggung Tatahjiwa ke validitas yang terbatas. Betulkah Masjid Pusaka daerah Batang Alai, Batang Hamandit, dan Labuan dibangun pada tahun 1625. Seumpama Khatib Dayan Amas. Akibat penaklukan terhadap daerah Batang saat mengislamkan Raden Samudera pada tahun 1526 Tabalong, maka daerah Kelua, Banua Lawas berumur 30 tahun, maka pada saat mendirikan Masjid kemudian menjadi daerah kekuasaan Negara Dipa Pusaka di tahun 1625 M tentunya ia telah berumur yang berarti pula jajahan Majapahit. Dalam lebih dari 100 tahun. Negarakertagama karangan Mpu Prapanca disebutkan Terkait dengan Khatib Dayan yang lebih bahwa daerah Barito, Sawako dan Tabalong adalah benderang riwayatnya, maka riwayat Sultan jajahan Majapahit (Saleh 1981/1982). Abdurrahman itu sungguhlah gelap? Dalam silsilah Mengenai serangan imigran pelarian Jawa, raja-raja Banjar tidak dikenal nama Sultan orang Maanyan yang mengaku mempunyai sebuah Abdurrahman yang hidupnya sezaman dengan Khatib kerajaan bernama Nan Sarunai sebagaimana Dayan. Salah seorang raja yang mempunyai nama dinyanyikan wadian suku itu, menyebutkan bahwa sama adalah Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan kerajaan Nan Sarunai hancur karena “usak Jawa” atau Adam Al Wasik Billah yang hidupnya jauh sesudah serangan Jawa. Mereka menyebut penyerang tersebut Khatib Dayan. Ada kemungkinan Sultan dengan nama ”Maramjapahit” (Saleh 1981/1982; Abdurrahman adalah nama lain Khatib Dayyan. Wajidi 2011). Peristiwa penaklukan tersebut disertai Dalam buku Sejarah Banjar (Ideham 2003) disebutkan dengan proses penyebaran agama dan budaya Hindu, bahwa Khatib Dayan adalah utusan dari Penghulu serta pengikisan kepercayaan atau budaya lama. Demak Rahmatullah dengan tugas melakukan proses Kemungkinan saja di lokasi bekas pesanggrahan dan peng-Islaman Raja beserta pembesar kerajaan dan pemujaan orang Maanyan kemudian didirikan tempat rakyat kerajaan Banjar. Bahkan K.H. Syaifuddin Zuhri pemujaan bagi para penganut Hindu Siwa. Setelah dalam bukunya Sejarah Kebangkitan Islam Islam berkembang di lokasi ini kemudian didirikan berpendapat bahwa Khatib Dayan itu adalah seorang Masjid Pusaka. Arab golongan Ahlul Baid bernama Sayyid Banua Lawas diyakini oleh orang Maanyan Abdurrahman. Orang Jawa lazim menyebutkan sebagai pusat Kerajaan Nan Sarunai yang kemudian Sayyid Ngabdul Rahman. Mungkin juga ia orang Jawa mereka tinggalkan karena diserang Majapahit. Mereka keturunan Arab (Usman 1989; Ideham 2003). kemudian menyebutnya kampung yang ditinggalkan Dilihat dari namanya, tokoh-tokoh Maanyan dengan nama Banua Lawas. Menurut mereka di yang membantu Khatib Dayan seperti Datu Sari belakang Masjid Pusaka Banua Lawas terdapat Nagara dan Datu Sri Panji, mungkin masih menganut makam raja Raden Anyan atau terkenal dalam sejarah agama lamanya dan turut membantu saudaranya yang lisan orang Maanyan dengan nama Am'mah Jarang. Di telah memeluk agama Islam membangun masjid. Oleh bawah lantai masjid, dahulunya terdapat sumur tua karena itu, mengutip istilah yang dipakai Alfani Daud tempat Raden Anyan gugur ditombak Laksamana (1997) maka Masjid Pusaka ini merupakan barang Nala. Dan di belakang masjid terdapat tujuh pohon perpantangan yaitu milik bersama antara orang kamboja besar-besar sebagai pertanda moksanya tujuh Maanyan yang memeluk agama Islam dan dengan orang putera Raden Anyan, yaitu Jarang, Idong, orang Maanyan yang mempertahankan kepercayaan Pan'ning, Engko, Engkai, Liban, dan Bangkas (Rafiek lamanya (Wajidi 2011). Status masjid ini sama halnya 2009). dengan Masjid Banua Halat di Rantau yang juga Menurut tradisi lisan, Masjid Pusaka Banua barang perpantangan yaitu milik bersama antara

158 Ragam Arsitektur Masjid Tradisional Banjar Kalimantan Selatan dan Makna Simbolisnya (Wajidi) orang Dayak Meratus di Tapin dengan orang Banua Imam Besar yang mewujudkan empat mazhab besar Halat, karena dahulunya dibangun oleh Dayuhan dan dalam Islam yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Intingan, dua kakak beradik yang berbeda keyakinan Hambali; (c). Empat tingkat menuju kesempurnaan di Banua Halat (Daud 1997). keyakinan dalam Islam yaitu Syariat, Tharikat, Ketika agama Islam masuk ke daerah Banua Hakikat dan Ma'rifat (Wajidi 2011). Pataka pada Lawas, memang terjadi pemisahan antara penduduk Masjid Basar Pandulangan merupakan gambaran yang menganut agama Islam dengan penduduk yang tingkatan tertinggi dari pencapaian langkah manusia masih menganut kepercayaan nenek moyang. dalam mengabdi kepada Tuhannya (Ma'rifat). Masyarakat Maanyan yang bertahan dengan Pergeseran simbolisasi dari ke dalam konsep kepercayaan lamanya menyingkir ke arah pedalaman Islam pada Masjid Basar Pandulangan mungkin terjadi atau ke daerah Barito Timur (Baguk, Tamiyang karena adanya pengaruh perkembangan dakwah Islam Layang dan sekitarnya). Sejak itulah kampung mereka yang cukup kuat khususnya organisasi tinggalkan itu disebut Banua Usang Habau (Banua Muhammadiyah di Alabio. Sebagaimana diketahui, Lawas) dan Banua Usang Puain (Tanta). Dalam Pandulangan berada di Kecamatan Sungai Pandan terminologi masyarakat Tanta dan Habau, “banua” dengan ibukota Alabio, dan Alabio khususnya desa berarti kampung, sedangkan “usang” berarti lama atau. Teluk Betung dahulunya merupakan tempat Banua Usang berarti “kampung tua atau kampung organisasi ini ketika pertama kali berkembang di lama”. Begitupula dengan Banua Lawas, “banua” Kalimantan Selatan. Organisasi Muhammadiyah berarti kampung, sedangkan “lawas” berarti lama. berdiri di Alabio pada tahun 1925, baru disusul Secara harafiah Banua Lawas artinya “kampung Banjarmasin dan Kapuas. Perkembangan organisasi lama”. Istilah Banua Usang dan Banua Lawas hingga ini di Alabio dipelopori oleh seorang pedagang kini tetap dipakai, namun Banua Usang relatif lebih bernama H. Usman Amin, dan mendapat sokongan dahulu dipakai sebelum munculnya nama Banua dari ulama setempat yaitu H. Japeri bin Umar yang Lawas. Masyarakat di sini, misalnya menyebut beras kemudian menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang yang berasal dari padi yang baru dipanen disebut: Alabio (Wajidi 2007). “beras hanyar”. Sedangkan, beras yang berasal dari Pengaruh ragam hias pra-Islam, juga terlihat padi yang telah lama disimpan di lumbung disebut: pada hiasan ujung talang masjid yaitu simbar, “beras usang”. kemungkinan berasal dari ukiran burung enggang Meski pesanggrahan tersebut mereka yang disamarkan. Burung enggang dalam bahasa tinggalkan namun hubungan kekeluargaan tetap Ngaju adalah tingang sebagai penggambaran sifat terjalin dengan baik dan bahkan saling mengunjungi jantan; penguasa alam atas dalam kosmologi dan membantu termasuk dalam membangun Masjid Kaharingan. Sedangkan pada ornamen masa Pusaka Banua Lawas di lokasi yang mereka anggap kebudayaan Hindu, motif burung enggang sakral oleh orang-orang Maanyan. Makna kata melambangkan kebangkitan. “Pusaka” yang artinya warisan dalam nama Masjid Pengaruh ragam hias pra-Islam terlihat mimbar Pusaka Banua Lawas menunjukkan bahwa sebenarnya masjid tradisional, yaitu adanya lengkung pola masjid ini adalah warisan atau bangunan yang diwarisi kalamakara atau banaspati yang disamarkan pada dari nenek moyang, khususnya nenek moyang orang- hiasan “dahi” atap gerbang pintu mimbar. Pada unsur orang Dayak Maanyan yang dahulunya bermukim di kepercayaan lama (Hindu), kalamakara adalah ragam Banua Lawas. Orang-orang Maanyan meyakini bahwa hias berbentuk wajah hantu/raksasa. Ragam hias masjid ini dibangun oleh nenek moyang mereka yang kalamakara sering dijumpai pada pintu atau gerbang berislam dengan bantuan saudara-saudara mereka masuk bangunan candi di Jawa Tengah. Kala yang masih menganut kepercayaan lama di bekas berbentuk mulut raksasa terbuka tanpa rahang bawah, lokasi bangunan pemujaan dan makam keramat berada di bagian atas, sedang makara menyerupai mereka. Dan bahkan di bagian teras depan Masjid kepala naga, berada di bagian bawah. Kalamakara Pusaka, terdapat dua tajau (guci) tempat melambangkan raksasa yang akan menelan atau penampungan air yang dahulunya konon digunakan memakan segala sesuatu yang jahat yang ingin masuk digunakan suku Dayak untuk memandikan anak yang misalnya ke candi ataupun rumah. Di Jawa Timur, baru lahir. kepala kala disebut banaspati, digambarkan lengkap Berbeda dengan Masjid Pusaka Banua Lawas, dengan rahang bawah (Soetrisno 1956). Kalamakara pada Masjid Basar di Pandulangan Kabupaten Hulu merupakan perlambang dua kekuatan yang ada di Sungai Utara, simbolisasi atap tumpang telah bergeser alam: kala sebagai kekuatan di atas (kekuatan ke dalam konsep-konsep Islam. Empat tingkat atap matahari) dan makara sebagai kekuatan di bawah pada masjid tersebut mempunya perlambang, bahwa: (kekuatan bumi). Kala bisa juga berarti waktu: setiap (a) Nabi Muhammad SAW mempunyai empat sahabat bentuk kehidupan manusia akan “dimakan” waktu. utama, yaitu Abubakar, Umar, Usman dan Ali; (b) Waktu jualah yang abadi, sedangkan yang lain akan

159 URNAL Kebijakan Pembangunan Volume 12 Nomor 2 Desember 2017: 149 - 161

musnah. Bahkan pada mimbar masjid besar di berbentuk lancip bermakna meng-esakan Allah atau Pandulangan, terdapat panapih berukir kepala naga ketauhidan. yang disamarkan. Menurut konsep kepercayaan Berbagai ornamen pada pada berbagai masjid Kaharingan, kepala naga merupakan perlambang tradisional Banjar, khususnya pada gerbang ruang penguasa alam bawah. Sedangkan pada masa mihrab, bangunan mimbar, dan tiang soko guru kebudayaan Hindu, motif naga berarti melambangkan bermotif kulit buah nanas, sulur-suluran, tampuk keperkasaan mendukung wibawa. manggis, bunga, jambangan, pucuk rabung Hal yang sama juga terdapat pada panapih mempunyai makna tersendiri sebagai sebuah harapan, mimbar Masjid Banua Halat dengan ornamen motif tujuan atau hajat yang diyakini memberikan suatu daun dan bunga sulur yang dipengaruhi atau diilhami kebaikan sebagai cerminan dari perpaduan unsur oleh ragam hias budaya Hindu- Budha. Pada bangunan kepercayaan lama dan Islam. Pengaruh ragam hias pra- candi masa Hindu-Budha kedua sisi bawah tangga Islam juga terlihat pada mimbar mesjid tradisional, selalu dibuatkan arca Dewakala ataupun arca yaitu hiasan “dahi” atap gerbang pintu mimbar yang Ganesha. Ketika Islam masuk bentuk arca ini diganti pembuatannya sepertinya diilhami dari hiasan dengan ornamen daun sulur dengan bunganya, sebagai berbentuk lengkung pola kalamakara atau banaspati. pengaruh hiasan arca Dewakala atau Ganesha yang Hal yang sama juga terdapat ornamen panapih tangga disamarkan.. Meski demikian, adanya berbagai mimbar mesjid Banua Halat bermotif daun dan bunga pengaruh arsitektur dan ragam hias pra-Islam dalam sulur yang dipengaruhi atau diilhami dari ornamen dalam rumah ibadah tidaklah mempengaruhi makna budaya pra-Islam, yaitu arca Dewakala ataupun arca sebenarnya dari masjid karena esensi Islam Ganesha pada bagian bawah tangga candi Hindu- sesungguhnya terletak pada “ruh” fungsi masjid itu Budha. Hiasan pataka pada berbagai masjid sendiri sebagai tempat ibadah. Meski ada yang tradisional Banjar selain mempunyai fungsi teknis, mengaitkan dengan pengaruh ragam hias pra-Islam, estetis, juga mempunyai makna simbolis. Pada masa ada pula yang menyatakan bahwa hiasan puncak para-Islam, pataka identik dengan sesuatu yang masjid tidak perlu dikaitkan dengan pohon Hayat tertinggi, paling dihormati atau faktor yang paling karena hanya sebuah model hiasan yang umum menentukan dan keberadaannya cenderung dikaitkan digunakan pada waktu itu, maka ada pula yang dengan hal-hal yang gaib (supernatural). Hiasan menyatakan bahwa hiasan pada mimbar masjid pataka pada mesjid beratap tumpang diilhami dari tradisional hanyalah model yang umum pada waktu simbol pohon hayat yang merupakan pengaruh dari itu, atau tidak perlu dikaitkan dengan pengaruh ragam unsur kepercayaan lama. hias pra-Islam seperti hiasan hiasan kalamakara atau arca Dewakala dan arca Ganesha (Wajidi 2011). Rekomendasi Seyogyanya masjid-masjid itu, terutama sekali KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Masjid Sua'ada yang berkontruksi panggung dan memasuki satu abad usianya tidak mengalami Kesimpulan perubahan sampai sekarang ini, dapat dijadikan Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa referensi utama atau model dalam pembangunan dan sesungguhnya Kalimantan Selatan memiliki masjid renovasi masjid menuju masjid bernuansa budaya berciri khas arsitektur tradisional Banjar yaitu masjid Banjar, terutama sekali yang dilaksanakan oleh beratap tumpang. Meski sama-sama beratap tumpang pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) dengan (bertingkat), masjid tradisional Banjar di Kalimantan biaya APBD. Selatan mempunyai perbedaan dengan masjid Berbagai masjid yang tersisa dan foto-foto lama tradisional Indonesia lainnya. Perbedaan tersebut dapat digunakan sebagai model dalam pembangunan terutama dalam variasi bentuk atap, kontruksi lantai dan renovasi masjid menuju masjid bernuansa budaya panggung, ukiran atau ragam hias (ornamen) seperti Banjar di Kalimantan Selatan. Untuk kepentingan pada pataka (mustaka, sungkul, molo), simbar, pilis, tersebut, maka yang perlu dilakukan adalah: 1) dan mimbar masjid, karena masing-masing Peningkatan perhatian Pemerintah Daerah dan dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan setempat masyarakat untuk ikut melestarikan peninggalan yang mencerminkan akulturasi antara budaya lama sejarah berkategori cagar budaya yaitu masjid dan Islam. tradisional Banjar beratap tumpang yang kini tinggal Perpaduan budaya lama dan Islam nampak pada sedikit sangat diperlukan. Hal itu sejalan dengan apa konstruksi atap masjid berpuncak lancip sebagai yang diatur oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun perlambang atau pemaknaan (simbolisasi) dari wujud 2011 tentang Cagar Budaya; 2) Adanya komitmen gunung yang pada masa pra-Islam merupakan suatu nyata Pemerintah Daerah untuk mengaplikasikan yang disakralkan sebagai tempat bersemayamnya model Masjid Su'ada dalam pembangunan dan arwah nenek moyang. Namun puncak mesjid renovasi masjid, sehingga nantinya semakin banyak

160 Ragam Arsitektur Masjid Tradisional Banjar Kalimantan Selatan dan Makna Simbolisnya (Wajidi) bangunan masjid yang bernuansa “kebanjaran” yang Huda, Noor. 2007. Islam Nusantara Sejarah Sosial akan menjadi identitas daerah dan budaya masyarakat Intelektual Islam di Indonesia. Jogjakarta: Ar- selain rumah Banjar di Kalimantan Selatan. Ruzz Media. Ideham, M. Suriansyah (ed.) et.al. 2003. Sejarah Ucapan Terimakasih Banjar. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi seluruh informan, yaitu H. Barkati (43 Tahun), Kepala Kalimantan Selatan. Desa, Juru Pelihara Masjid Assuhada Desa Waringin Pengurus Panitia Perbaikan Masjid. 1981. ”Riwayat Kecamatan Haur Gading, Kab. Hulu Sungai Utara, H. Singkat Masjid Jami (Besar) Pandulangan”. Abdul Wahab, (63 Tahun), Desa Waringin Kecamatan Pusponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Haur Gading, Kab. Hulu Sungai Utara, Aini, (80 Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Tahun), Desa Waringin Kecamatan Haur Gading, Kab. Indonesia, Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka. Hulu Sungai Utara, Sarhah, (60 tahun), Desa Sungai Rafiek, M. 2009. Mitos Raja dalam Hikayat Raja Durian Kecamatan Banua Lawas Kabupaten Banjar. Malang: Disertasi Program Tabalong, Rusmina, (54 tahun), Desa Sungai Durian Pascasarjana Program Studi Pendidikan Bahasa Kecamatan Banua Lawas Kabupaten Tabalong, H. Universitas Negeri Malang. Ahmad, (64 tahun), Desa Pandulangan Kecamatan Saleh, M. Idwar. 1978. Sejarah Daerah Kalimantan Sungai Pandan Kabupaten Hulu Sungai Utara, dan H. Selatan. Jakarta : Depdikbud. Fathurrahman, (68 tahun), Desa Pandulangan Sjamsuddin, Helius, 2012. Metodologi Sejarah. Kecamatan Sungai Pandan Kabupaten Hulu Sungai Yogyakarta: Ombak. Utara, serta jajaran Balai Arkeologi Kalimantan Soetrisno. 1956. Tjatatan Sedjarah Seni Rupa Hindu- Selatan yang juga telah membantu sehingga penelitian Djawa. Jogjakarta. berlangsung dengan lancar. Susanto, Nugroho Nur. 1997. Simbolisme Mustaka Sebagai Kemuncak Bangunan (Tinjauan DAFTAR PUSTAKA Tentang Fungsi dan Arti). Yogyakarta: Skripsi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Benton, William. 1962. Encyclopedia Britanica. Usman, A. Gazali. 1994. Kerajaan Banjar : Sejarah London: Inc. Chicago. Perkembangan Politik, Ekonomi, Perda- Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar: gangan, dan Agama Islam. Banjarmasin : Diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Penerbit Lambung Mangkurat University Jakarta: Raja Grafindo Persada. Press. Cetakan I. Hamid, Abdul, dkk. 1987. Laporan Pendokumen- Wajidi. 2007. Nasionalisme Indonesia di Kalimantan tasian Masjid Assu'ada Desa Waringin Selatan 1901-1942. Banjarmasin: Pustaka Kabupaten Hulu Sungai Utara. Banjarmasin: Banua. Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Wajidi. 2011. Akulturasi Budaya Banjar di Banua Kantor Wilayah Depdikbud Provinsi Halat. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. Kalimantan Selatan.

161