SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, sebagaimana yang diatur dan diubah dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002, bahwa: Kutipan Pasal 113 (1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagai­mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Pengguna­ ­an Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Pengguna­ ­an Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000. 000,00 (satu miliar rupiah). (4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Proceedings SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara

Salatiga Jum’at, 8 September 2017

Editor: Kastholani, Ph.D. Dr. Benny Ridwan, M.Hum. Dr. Supardi Abdillah, M.A. SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara

Editor : Kastholani, Ph.D. Dr. Benny Ridwan, M.Hum. Dr. Supardi Abdillah, M.A.

Sampul & Layout : Tim Cetakan I : September 2017

Penerbit : IAIN Salatiga Jawa Tengah

ISBN: 978-602-96724-2-8

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis dan penerbit. PREFACE

SILin 2017 is the first international seminar on Literature Nusantara held by State Institute of Islamic Studies IAIN Salatiga Indonesia in cooperation with Universiti Pendidikan Sulthan Idris (UPSI), Malaysia, Persatuan Penulis Budiman, Malaysia, and Forum Lingkar Pena (FLP) Salatiga, Indonesia. The objectives of this seminar are to explore the literature and cultural heritages in Southeast Asia, to enriching the literature, cultural, and religious studies; to contextualize the values of literature, culture, and religion to establish a dignified peace society; and to maintenance the cooperation among the universities, academicians, artist, and expects on literature, language, cultural, and religious studies. This is due to the fact that literature is a portrait of the reality of human life. Literature is also an important tool for writers to display social reality in literary works. It is in this literary work that human values, justice, nurture, be preserved and disseminated, so that the ideals of the human beings to establish a dignified peace society can be manifested by involving this literary role. This is because literature carries out the functions of humanity, education, and liberation. There four main topics discussed in this seminars, covering: First, Religion, State, and Counter Terrorism, Second; Literature and Literature Criticism, Third, The Locality and Contextualization of Literature and Culture, Fourth, Education, Literature and Language Studies. There are 24 papers presented in this seminar. This seminar is an effort to actively participate in the development of science and literature and to develop and enrich the treasures of literature and to uphold the values of​ literature, culture, and religion to create a peaceful and dignity and to expand participation in a regional, national, and international context.

The Editors.

Kastolani, Benny Ridwan, and Supardi Abdillah

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara v

SEPATAH KATA NAIB CANSELOR UNIVERSITI PENDIDIKAN SULTAN IDRIS

Assalamualaikum wrt wrt dan Salam Sejahtera.

Syukur kepada Allah SWT, kerana seminar pertama SILiN ini dapat di­ r­ealisasikan pelaksanaannya di Kampus Institut Agama Islam Negeri Kota Salatiga, Jawa Tengah indonesia. Saya ingin mengambil kesempatan ini me­rakam­ k­an ucapan terima kasih atas kesediaan Persatuan Penulis Budiman Malaysia memilih Universiti Pendidikan Sultan Idris sebagai rakan kongsi akademik bagi menjayakan seminar ini. Program-program keilmuan sememangnya sudah menjadi suatu keperluan di universiti sebagai pemangkin perkembangan ilmu. Persidangan membuka ruang argumentasi, dialog dan perbincangan yang akan menemukan manusia kepada sesuatu solusi. Persidangan yang dianjurkan ini membuka peluang kepada ahli akademik menyampaikan hasil-hasil kajian menerusi pembentangan kertas kerja yang tentunya akan mendatangkan banyak manfaat untuk pembangunan negara. Saya menyambut baik usaha murni ini dan merakamkan setinggi peng­ haragaan atas dokongan Institut Agama Islam Negeri Kota Salatiga, Jawa Tengah, Pemerintah Walikota Salatiga bagi menjayakan seminar ini. Sokongan se­perti ini boleh memberi manfaat kepada dua pihak dalam konteks membangun

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara vii Daftar Isi dan merancakkan proses pengembangan ilmu dan pembangunan di rantau Nusantara ini. Semoga dokongan dan kerjasama seperti ini dapat diteruskan lagi pada masa-masa akan dalam pelbagai bidang yang lain.

Sekian terima kasih.

PROFESOR DATO’ DR. MOHAMMAD SHATAR BIN SABRAN.

viii SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara KATA SAMBUTAN PRESIDEN PERSATUAN PENULIS BUDIMAN MALAYSIA

Pertama-tamanya, saya mengucapkan kesyukuran ke Hadrat Allah SWT kerana dengan Izin dan Rahmat-Nya jua Seminar Internasional Pertama Literatur Nusantara (SILiN) yang julung kali dianjurkan ini dapat direalisasikan pelaksanaannya pada hari ini. Selawat dan Salam ke atas Junjungan Besar Nabi Muhammad SAW obor uswatun hasanah. Seminar kali pertama ini mengenengahkan literatur Nusantara sebagai latar yang menganjung ruang perbincangan para akademis. Seminar ini membuka satu lagi ruang akademik di peringkat internasional yang mempertemukan ahli akademik serumpun dan senusantara menggembeling buah fikir dan pemikiran bagi tujuan memanjangkan lagi kebaikan-kebaikan untuk manfaat manusia seluruhnya. Mewakili Persatuan Penulis Budiman Malaysia, saya mengambil kesempatan di sini merakamkan ucapan terima kasih kepada seluruh warga Institut Agama Islam Negeri Kota Salatiga Jawa Tengah, Indonesia kerana sudi menghulur tangan persahabatan menjalinkan kerjasama serantau bagi menjayakan usaha-usaha kebaikan untuk manfaat manusia di rantau Nusantara ini. Juga ucapan terima kasih saya titipkan kepada pengurusan tertinggi Universiti Pendidikan Sultan Idris, atas kesediaan memberi kerjasama.

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara ix Daftar Isi

Kepada semua peserta yang mengambil bahagian saya ucapkan selamat berseminar. Mohon dimaafkan atas sebarang kekurangan sepanjang persidangan ini berlangsung dan mendoakan semoga berjumpa lagi dalam SILiN 2019 di Malaysia.

Sekian, terima kasih.

PROF. MADYA DR. ABDUL HALIM ALI

x SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara INTRODUCTION

The Global and Local Value of International Literature

Tabitha Kidwell Doctoral Candidate, University of Maryland Visiting Researcher, IAIN Salatiga September, 2017

A reader lives a thousand lives before he dies. The man who never reads lives only one. -George R.R. Martin

Introduction

he study of literature is a valuable endeavor. Literature provides Texposure to new ways of thinking, behaving, and perceiving the world. In many academic contexts, the study of literature has long focused on the canonical works – the so-called “Great Books” or “classics.” A list of these works would include philosophical treatises (e.g., Plato’s The Republic, Sun Tzu’s The Art of War), scripture (e.g., The Bible, the Koran, the BhavagadGita), drama (e.g., works by Shakespeare), poetry (e.g., John Milton’s Paradise Lost), and prose (e.g., novels by Charles Dickens, Jane Austen, or James Joyce). The study of canonical literature aims to expose students to the “high culture” of western civilization, and knowledge of the classics serves to contribute to students’ status as “cultured individuals.” The ubiquity of the canonical approach to the study of literature distracts from its relative novelty; though the canonical approach to literature occupies such a central position in the study of arts and humanities, it is, in fact, a fairly new curriculum innovation (Corbett, 2003). It was only in the late 19th century that English literature came to be widely taught in English and American higher education (Crawford, 1998). As the American and English model of higher education has spread around the world, the canonical model has spread with it, transmitting and maintaining the assumption that status as a ”cultured

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara xi Daftar Isi individual” requires knowledge of the (primarily) western classics (Kramsch, 1993). Teachers of literature have “promoted themselves as no less than the guardians of civilized values, values which were themselves stored in the ‘great tradition’ of writing in English” (Corbett, 2003, p. 167). Though efforts in recent years have strived to diversify the canon, it remains heavily weighted toward the works of European men. Corbett (2003) argues that the study of English literature has become politicized, and has become a way for “middle-class white males [to withhold] power from groups such as the working class, women, and other races” (p. 167). In this paper, I refute the prioritization of western classics within the study of literature. Instead, I argue for an increased focus on contemporary works from diverse global authors. This publication’s focus on Nusantara literature, the literature of Indonesia and its neighbors (primarily Malaysia, Singapore and Brunei), is an example of an appropriately increased focus on previously under-represented world literatures. I frame my argument within an approach to literature and language that seeks to minimize cultural globalization and empower global voices. Within that theoretical framework, there are two complementary and parallel arguments for an increased prioritization of international literature. First, for global readers, studying the literature of diverse societies and cultures supports the development of intercultural1 competence, which is increasingly necessary in today’s global and interconnected world. Second, for member of diverse global societies and cultures, the elevation of local literatures to a status commensurate with the “western classics” increases the cultural relevance of local education, and opens the possibility of the participation of diverse global scholars in contemporary academic conversations. Below, I will expand upon my theoretical framework before discussing these two arguments for the value of international literature.

Theoretical Framework

As an English teacher and a scholar of applied linguistics and language education, my views on academia are grounded in language education, so I will explain my theoretical perspective building from that field. English skills are highly prized by many people around the world. For instance, many Indonesian people see strong English skills as a gateway to opportunities in commerce, diplomacy, and academia (Chodidjah, 2008; Faisal, 2015). Despite widespread interest in learning English, the prioritzation of the English language can be

1 The terms “cross-cultural” and “intercultural” are both used to describe the understandings and competencies necessary to navigate the divides between people of different background. I prefer the term “intercultural” because it emphasizes the unity in such exchanges, rather than the division that much be crossed. I also feel that it avoids the connotation of bilateralism inherent in “cross-cultural”, which implies that there are two cultures crossing. I will primarily use the term “intercultural,” except when citing the work of other scholars. xii SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara Daftar Isi accompanied by a deprioritization of the local language – and also the risk of deprioritization of the local cultures. Kartono (1976) argues that Indonesian people have long viewed English, and the western cultural values that might come with English instruction, as a potential threat to national unity. Many Indonesian people appear to want to gain English skills while remaining concerned about the possibility of loss or degradation of the home culture. Global scholars echo and validate these concerns. Kachru (1986) was one of the first scholars to speak about against the cultural imperialism thatcan accompany the global spread of the English language. In Kachru’s framework, typical “native speaker” countries (i.e., the US, Canada, the UK, Ireland, Australia, and New Zealand) constitute the “inner circle” of English language use. Countries where English is in frequent use as a second or official language (e.g., India, Nigeria, Malaysia) are considered the “outer circle,” while countries where English is typically taught as a foreign language (e.g., Peru, China, Greece) comprise the “expanding circle.” Kachru’s framework offers the possibility of replacing the idealized (and ultimately unattainable) “native speaker” model with that of a local proficient speaker of “Indian English” or “Peruvian English.” He advocates for the development of “world Englishes” (such as “Indonesian English”) as a means of better matching local needs, cultural practices, and linguistic norms. Canagarajah (1999) characterizes the divide between inner circle communities of “native speakers” and outer/expanding circle communities of “non-native speakers” as “center” and “periphery. Canagarajahargues that students and teachers of English in “periphery” countries should question “standardized native speaker norms” by rejecting, embracing, or appropriating the language in accordance with their own needs and priorities. As English is increasingly used as a common language among non-native speakers worldwide (Jenkins, 2006), the linguistic contribution of countries like Indonesia, which Kachru (1986) characterizes as “expanding circle,” and which Canagarajah (1999) calls a “periphery” country, is growing in importance. The issues discussed above focus on the potential cultural imperialism of the English language, but a parallel argument can be made regarding the potential cultural imperialism of English (and Western) “canonical” literature. Though study of the “canon” has been sold to students and scholars around the world as a necessary element of becoming a “cultured individual,” the prioritization of Western literature is predicated on a Euro-centric norm that no longer matches the international balance of power in our increasingly globalized world. Just as the development of “world Englishes” appropriate for diverse local realities in “periphery” countries is essential to English language teaching, the development of “world literatures” that reflect the societies and cultures of “periphery” countries is essential to the sustained viability and relevance of the study of literature. In Indonesia, therefore, appropriate support and attention should be given to Nusantara literature. A strong focus on Nusantara literature is essential

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara xiii Daftar Isi for two main reasons: first, this focus will allow scholars, students, and readers worldwide to learn about the cultures of Indonesia and its neighbors, thereby strengthening their intercultural understanding, awareness, and competence; second, an increased focus on Nusantara literature will serve to empower and inspire scholars, students, and readers from the Nusantara region, offering them a voice and a place in global literary and academic conversations.

The Global Value of International Literature

Globalization has brought international citizens together in an unprecedented way. People interact together across differences of culture, language, race, and religion with increasing regularity. Intercultural understanding, competence, and awareness are integral when navigating the “borders” between these differences. As Kramsch (2004) states, “cross-cultural understanding requires a basic willingness to question one’s own and one’s interlocutor’s assumptions and beliefs, to interpret intentions, and to engage with worldviews that are different from one’s own” (p. 57). International literature provides an important source of exposure to the assumptions, beliefs, intentions, and worldviews of others. It is a particularly cost-effective option, as well; readers need only purchase a book, rather than an intercontinental plane ticket, to be able to have contact with diverse perspectives. As readers engage with divergent perspectives, they will proceed through emergent, variant cultural understandings. Kramsch (1996) refers to the site of cultural learning as a “third place” and suggests that focus should be placed less on seemingly fixed, stable cultural entities and identities on both sides of national borders, and more on the shifting and emerging third place of the language learners themselves (Kramsch, 1996, p. 9). In this “third place,” learners are positioned at the “intersection of multiple social roles and individual choices,” and are able to develop a richer understanding of the multi-faceted nature of culture (Kramsch, 1993, p. 234). Other scholars have also focused on the unique nature of the site of cultural contact in their discussions about intercultural competence. For instance, Pratt (1991) refers to these sites as “contact zones,” and describes them as “the social spaces where cultures meet, clash, and grapple with each other, often in highly asymmetrical relations of power, such as colonialism, slavery, or their aftermaths as they are lived out in many parts of the world today” (p. 34). Anzaldúa (1987) has characterized these locations as “cultural borderlands” and sites of “border crossings” (see also Giroux, 2005). A focus on these sites can be powerful because it raises issues of power, conflict, and social justice. Engaging with global literature allows learners to engage with these important issues. In doing so, readers develop the skills to analyze the cultures of the literature they are reading and the perspectives they are encountering. Rich and vibrant international literature is an essential contributor to the development

xiv SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara Daftar Isi of intercultural understanding, awareness, and competence, because it helps scholars, students, and readers step out of their own cultural perspective into a “third place” that allows them to move towards deeper and more meaningful engagement with individuals from different cultures.

The Local Value of International Literature

While international literature offers the possibility of increasing the intercultural awareness of readers from different cultures, if also offers a powerful opportunity to validate and sustain global cultures. In the US, scholars working across differences of race and ethnicity have called for curricula that validate and build on learners’ lived experiences; Gay (2000) refers to this approach to education as “culturally responsive,” while Ladson-Billings (1994) uses the term “culturally relevant.” Scholars working with linguistically diverse students in the US have established the importance of portraying cultural difference as a strength rather than a deficit (Zentella, 2005), and have advocated for curricula that build on the “funds of knowledge” within students’ communities (Moll, Amanti, Neff, & Gonzalez, 1992). In recent years, Paris (2012) has built on the work of these scholars to argue for the value and importance of culturally sustaining curricula, which “seek to perpetuate and foster—to sustain—linguistic, literate, and cultural pluralism” (p. 93). While these scholars are primarily focusing on diverse individuals within the U.S., their argument is equally strong in respect to diverse communities worldwide. Students, scholars, and readers around the world need to see themselves and their local realities reflected in the literature they read. If they never read about people who talk, look, and act like them, they will be far less likely to see a place for themselves within literary and academic conversations. Symbols matter, but if individuals do not encounter symbols that matter to them in the literature that is externally validated by the academy, those symbols will come to matter less and less. To sustain the vibrancy of cultures around the world, it is essential for the academy to promote and validate international literature thatportrays those diverse cultures. Support for the study and development of Nusantara literature will provide individuals from Nusatara cultures to see their place in literature, academia, and the world. It should be noted that focusing on internationalcultures is somewhat problematic because no culture can be considered static or definable, including the cultures of any given community. Rather, cultural influences in intercultural communication are “fluid, fragmented, hybrid, and emergent” and cultural groupings and boundaries are not easily defined (Baker, 2011, p. 66). Spack (1997) warns of the dangers of labeling, stereotyping, or essentializingcommunities based on reductive views of culture that do not take into account the its fluid, nondeterministic nature. This risk has become more present, given that the influence of globalization has intensified the potential for cultural hybridity

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara xv Daftar Isi within individuals. Appadurai (1996) noted that the globalization of the media has allowed for the development of cultural frames of reference that are independent of geographical location. Individuals carry with them many “small cultures,” such as the culture of their neighborhood, classroom, or peer group, in addition to the ethnic or national culture that Holliday (1999) refers to as “large culture.” In response to these realities, Spack (1997) argues for the importance of seeing people as individuals, not as members of a cultural group. Similarly, Pratt (1991) puts forward the notion of transculturation, advocating for a curriculum that celebrates difference, variation, and creativity rather than focusing first on a certain cultural background. These ideas fit with scholars’ calls for “global appropriacy and local appropriation” (Alptekin, 2002, p. 63) that help people come to feel “at home in both international and national cultures” (Kramsch& Sullivan, 1996, p. 211). Therefore, as support is lent to international literatures, it is essential to keep the door open diverse perspectives and new voices. Otherwise, efforts to move away from the hegemony of the canonical western academic tradition will simply result in the imposition of a new hegemony that may be no less oppressive. Though diverse voices may express perspectives that challenge commonly held beliefs, their existence is not a threat. Rather, like fire that kills the underbrush and thereby invigorates the forest, critically diverse and discordant discourse supports the development of deeper, truer understandings and increased knowledge.

Conclusion

Efforts to develop and sustain the viability of International literature, such as this publication focused on Nusantara literature, are essential. As the forces of globalization continue to bring global citizens closer together, the study of literature from different cultures offers the opportunity to engage with and learn from those cultures. At the same time, vibrant literature traditions help foster, protect, and validate international cultural traditions, and provide a space for individuals from diverse communities to contribute to international literary and academic conversations. Nusantara literature has much to contribute to international dialogue – on both a global and a local level.

References

Alptekin, C. (2002). Towards intercultural communicative competence in ELT. ELT Journal, 56(1), 57–64. Anzaldua, G. (1987). Borderlands/La Frontera. San Francisco, CA: Spinsters/Aunt Lute Press. Appadurai, A. (1996). Modernity at large: Cultural dimensions of globalization. Minneapolis, MN: University of Minnesota Press.

xvi SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara Daftar Isi

Baker, W. (2011). From cultural awareness to intercultural awareness: culture in ELT. ELT Journal, 66(1), 62–70. http://doi.org/10.1093/elt/ccr017 Canagarajah, A.S. (1999). Resisting linguistic imperialism in English teaching. Oxford, UK: Oxford University Press. Chodidjah, I. (2008, January). English in primary school: Gem in the mud in Indonesia. Paper presented at the International Conference on Teaching English to Young Learners, Bangalore, India. Corbett, J. (2003). An intercultural approach to English language teaching.Clevedon, UK: Multilingual Matters. Crwford, R. (1998). The Scottish Invention of English Literature. Cambridge, UK: Cambridge University Press. Faisal, G. (2015). Boosting multi-lingual proficiency for educators. The Jakarta Post. November 25, 2015 Gay, G. (2000). Culturally responsive teaching: Theory, research, and practice. New York, NY: Teachers College Press. Giroux, H. A. (2005). Border crossings: Cultural workers and the politics of education (2nd ed.). New York, NY: Routledge. Holliday, A. (1999). Small cultures. Applied Linguistics, 20(2), 237–264. Jenkins, J. (2006). Current on perspectives teaching world Englishes and English as a lingua franca. TESOL Quarterly, 40(1), 157–181. Kachru, B. (1986). The alchemy of English. Oxford, UK: Pergamon Press. Kartono, G. (1976). KedudukandanfungsiBahasaAsingdi Indonesia (The Status and Function of Foreign Languages in Indonesia). In A. Halim (Ed.), Politikbahasanasional (National language politics) (Vol. 2, pp. 117-126). Jakarta, Indonesia: PusatPembinaandanPengembanganBahasa. Kramsch, C. (1993). Context and culture in language teaching.Oxford, UK: Oxford University Press. Kramsch, C. (1996). The cultural component of language teaching.Language, Culture and Curriculum, 8(2), 83–92. http://doi.org/10.1080/07908319509525192 Kramsch, C. (2004). The language teacher as go-between.Education and Democracy, 13(3), 37–60. Kramsch, C. & Sullivan, P. (1996). Appropriate pedagogy. ELT Journal 50(3), 199– 212. Ladson-Billings, G. (2009).The dreamkeepers: Successful teachers of African American children. Hoboken, NJ: Wiley & Sons. Moll, L. C., Amanti, C., Neff, D., & Gonzalez, N. (1992). Funds of knowledge for teaching: Using a qualitative approach to connect homes and classrooms. Theory into practice, 31(2), 132-141. Paris, D. (2012). Culturally sustaining pedagogy: A needed change in stance,

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara xvii Daftar Isi

terminology, and practice. Educational Researcher, 41(3), 93–97. http://doi. org/10.3102/0013189X12441244 Pratt, M. L. (1991).Arts of the contact zone.Profession, 91, 33-40 Spack, R. (1997b). The rhetorical construction of multilingual students.TESOL Quarterly, 31(4), 765-774. Zentella, A. C. (2005). Building on strengths: Language and literacy in Latino families and communities. New York, NY: Teachers College Press

xviii SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara DAFTAR ISI

Preface...... v Sepatah Kata, Naib Canselor Universiti Pendidikan Sultan Idris...... vii Kata Sambutan, Presiden Persatuan Penulis Budiman Malaysia...... ix Introduction; The Global and Local Value of International Literature...... xi Daftar Isi...... xix

TEMA I: RELIGION, STATE, AND COUNTER TERRORISM The Desputes Overterrorism: Between Committing Violance for The God’s Sake or Violance Against the Command of God? Istadiyantha...... 3

Ibrahim Haji Yaakob (1910-1979): Memori Anak Kandung Suluh Budiman SITC, Tokoh Penjalin Setiakawan Malaysia-Indonesia Raja Ahmad Shalaby Raja Hassan ...... 23

Relasi Antara Agama, Negara dan Budaya dalam Kontek Negara Kesatuan Republik Indonesia Mubasirun...... 33

Unsur-Unsur Islam dalam Puisi-Puisi daripada Diwan Barat-Timur oleh Johann Wolfgang Von Goethe Robe’ah Yusuf, Abdul Halim Ali (Phd), Minah Sintian ...... 45

Teosofi, Soekarno, dan Pancasila Ahmad Faidi...... 53

Proses dan Peranan Konversi Agama Terhadap Pencarian Identitas Diri Seorang Mualaf Muhammad Aji Nugroho...... 79

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara xix Daftar Isi

TEMA II: LITERATURE, LITERATURE CRITICS AND COMPARATIVE DISCOURSE Analisis Penggunaan Tulisan Jawi (Arab Melayu) dan Kaligrafi dalam Artifak-Artifak Nusantara: Kajian berbagai Artifak di Asia Tenggara Abad ke-18 dan 19 Makmur Haji Harun, Kastolani...... 99

Drama Melayu Tradisional: Satu Kajian Bentuk dan Struktur Penulisan Skrip Makyong, Mohd Amir Bin Mohd Zahari...... 127

Pendekatan Kritik Teks Sastera Berasaskan Gagasan Estetika Bersepadu Abdul Halim Ali...... 133

Membaca Ayat–Ayat Cinta 2 dan Memikirkan Habiburrahman El Syirazy Hanung Triyoko...... 153

A Comparative Discourse on Islam and Hinduism Preaching Texts Hammam...... 165

TEMA III: LOKALITAS DAN KONTEKSTUALITAS SASTRA DAN BUDAYA Pengetahuan Lokal Masyarakat Kadazandusun dalam Pemeliharaan dan Pemuliharaan Alam Minah Binti Sintian, Julita Norjietta Binti Taisin, Ani Binti Omar, Siti Nor Amalina Binti Ahmad Tajuddin...... 185

Lokalitas dan Kontekstualitas Tafsir Sastra di Indonesia (Sebuah Upaya Deradikalisasi) Mohamad Nuryansah & Benny Ridwan...... 201

Tradisi Islam Jawa: Lintasan Sejarah dan Dinamikanya Adif Fahrizal Arifyadiputra...... 217

The Functions of Buka Luwur Tradition in The Grave of Sunan Kudus Muhammad Rikza Muqtada...... 235

Makna Tersirat dalam Teka-Teki Melayu Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh...... 249

The Concept of Tolerance Between School of Islam In The Massage Suryo Ediyono, Muamar Maulana...... 271

Aktifitas Ekonomi Masyarakat Tionghoa di Semarang Tahun 1900-1930 Rindita Anggarini Santosa...... 281

xx SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara Daftar Isi

TEMA IV: EDUCTION, LITERATURE AND LANGUAGE STUDIES Sastera Melayu Memprakarsakan Modal Insan dalam Pendidikan Negara Azhar bin Hj.Wahid & Fathin Noor Ain binti Ramli...... 295

Works of Literature As A Media To Build Character Education Values: An Analysis on The Legend of Salatiga Noor Malihah...... 309

Cerita Fantasi dan Sains Fiksyen Membina Daya Kreativiti dan Motivasi Murid-Murid Sekolah Dalam Hospital Professor Madya Dr. Ani Binti Haji Omar...... 317

Akal Budi dalam Peribahasa Melayu Sarawak Abang Patdeli bin Abang Muhi...... 335

Penilaian Kurikulum Berasaskan Model CIPP (Context, Input, Process, Product) Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, dan Akhyar Zaim Bin Azizi...... 357

Tipe-Tipe Kesalahan Konkordansi Gramatikal pada Klausa Bahasa Arab Supardi...... 379

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara xxi

TEMA I: RELIGION, STATE, AND COUNTER TERRORISM The Desputes Overterrorism: Between Committing Violance for The God’s Sake or Violance Against the Command of God? Istadiyantha...... 3

Ibrahim Haji Yaakob (1910-1979): Memori Anak Kandung Suluh Budiman SITC, Tokoh Penjalin Setiakawan Malaysia-Indonesia Raja Ahmad Shalaby Raja Hassan ...... 23

Relasi Antara Agama, Negara dan Budaya dalam Kontek Negara Kesatuan Republik Indonesia Mubasirun...... 33

Unsur-Unsur Islam dalam Puisi-Puisi daripada Diwan Barat-Timur oleh Johann Wolfgang Von Goethe Robe’ah Yusuf, Abdul Halim Ali (Phd), Minah Sintian ...... 45

Teosofi, Soekarno, dan Pancasila Ahmad Faidi...... 53

Proses dan Peranan Konversi Agama Terhadap Pencarian Identitas Diri Seorang Mualaf Muhammad Aji Nugroho...... 79 THE DESPUTES OVERTERRORISM: Between Committing Violance for The God’s Sake or Violance Against the Command of God?

Istadiyantha Universitas Sebelas Maret of Surakarta [email protected]

Abstract

In the wake of 9/11 the role of religion in promoting acts of vio- lence considered as terrorism has been widely discussed by scholars,journalists, and policy makers. Several scholars, however, claim that religion does not have anything todo with terrorism. In their views religion is innocent and victim of unscrupulous politic alactivists. Several others do believe that religion has to do with terrorism because religion has the power to motivate people to do good as well bad things. This article aims to elaborate religious or sacred terrorism or‘new terrorism’according to some scholars.

Keywords: Religious terrorism, Holy terror, Waves of terrorism.

Abstrak

Peristiwa 9/11 telah memicu pembahasan secara luas oleh para ilmuwan, wartawan, dan pengambil kebijakan mengenai peranan agama dalam mendorong kekerasan yang dikategorikan sebagai terorisme. Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa agama tidak ada hubungan dengan terorisme. Mereka mengatakan bahwa agama tidak bersalah dan hanya sebagai korban dari para aktivis politik yang tidak bertanggungjawab. Sebagian lagi berpendapat bahwa agama mampu mendorong timbul tindakan-tindakan terorisme. Artikel ini akan mengelaborasi terorisme keagamaan/suci atau terorisme baru, menurut beberapa ilmuwan.

Katakunci: Terorisme keagamaan,Teror suci, Gelombang teroris

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 3 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

Introduction

iolent events are deemed as the acts of terrorism occurred over the last Vfew decades indicating there is a different kind of specific committed violation. The most frequent violence in recent years, which has claimed many lives and possessions, is recognized by the perpetrators as being religiously motivated. For instance, the assassination of Israeli Prime Minister Yitzhak Rabin, November 4th, 1995 by Yigal Amir, an extremist Jewish youth. Yigal told the local police that, “I am acting alone and by God’s command,” and “I am not sorry”. About fourteen years earlier (October 6, 1981) Lieutenant Khalid al- Islambuli, a soldier and member of the al-Jihād organization in who led a small group tasked with killing President Anwar Sadat, shouted after firing at the honorary seat of Sadat’s seat, “My name is Khalid al-Islambuli, I have killed Fir’awn (Sadat), and I am not afraid to die.”1 The two people who committed the murders, despite their different religions, Yigal Amir were Jewish believers while Khalid al-Islambuli was a Muslim, had the same conviction that killing a state leader who violated the laws of God was His command.2 Such assassinations and acts of violence (such as terrorism), which are driven by religious beliefs, were not primarily just happened among Jews and Muslims, but also in other religions. Since the 1980s, this type of terrorism has involved the elements of all major religions, including sects and cult.3 All these groups are united by the belief that their acts of violence are approved by God and even commanded by Him. Although these groups have doctrines, institutions, religious practices, and different origins, they are all united by the motivation and justification for the use of sacred violence in their efforts to sustain, extend or revoke their society or for the millenarian or messianic reasons.4 One of the most remarkable of all the violence perpetrated by all religious cult and others date to the 9/11 event that destroyed twin buildings in New York and part of the Pentagon building in Washington, USA and caused

1 Mark Juergensmeyer, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, Updated Edition with a New Preface (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 2000), 47; Bruce Hoffman, Inside Terrorism (New York: University of Columbia Press, 1998), 89; Bruce Hoffman, Inside Terrorism: Revised and Expanded Edition (New York: Universityof Columbia Press, 2006), 82 2 Gilles Kepel, Muslim Extremism in Egypt: The Prophet & Pharaoh (Berkeley and Los Angeles: University California Press, 1985), 192; Daniel Benjamin and Steven Simon, The Age of Sacred Terror: Radical Islam’s War Against America (NewYork: Random House, 2002), 85; John L. Esposito, Unholy War: Terrorin the Name of Islam (New York: Oxford University Press, 2002),90. 3 Charles Selangut, Sacred Fury: Understanding Religious Violence (New York: AltaMira Press, 2003), 3 4 Juergensmeyer, Terrorin the Mind of God; David C. Rapoport, “the Four Waves of Modern Terrorism,” dalam Audrey K. Cronin and James M. Ludes, eds., Attacking Terrorism: Elements of a Grand Strategy, 46-73 (Washington, D.C.: Georgetown University Press, 2004), 61; Bruce Hoffman, Inside Terrorism, 92-93; Bruce Hoffman, Inside Terrorism: Revised and Expanded Edition, 86-88; Adam Dolnik and Rohan Gunaratna,“On the Nature of Religious Terrorism”, dalam Feffrey Haynes,ed., Routledge HandbookofReligionand Politics (New York: Routledge, 2009), 344-345.

4 Istadiyantha T he Desputes Overterrorism the loss of about 3000 human lives. Osama bin Laden, the supreme leader of al-Qaeda, said in a statement after this incident that the Almighty God had hit the United States and destroyed its best buildings. Bin Laden thanked God for the death and destruction caused by the actions of al-Qaeda members. Thus, bin Laden presents his group’s struggles in theological terms.5 Nevertheless, some scientists and religious leaders insist that terrorism has absolutely nothing to do with religion. Religion is considered only as an innocent victim and in some ways irrelevant. Robert Pape, for example, let say that the acts of terrorism realized through suicide bombings are essentially to gain national independence from the foreign military occupation of a democratic state.6 Thus, Pape emphasized the role of political factors, namely the liberation movement of the state in the emergence of suicide bomb terrorism. Although Pape in some places mentions the role of religion in terrorism, particularly in the form of suicide bombings,7 however, in general his analysis of religious motives is irrelevant. For this reason he does not try to explain the obviously visible role of religion in acts of violence and terrorism perpetrated by members of various religions and sects that occur worldwide (eg, Indonesia, Pakistan, India, Iraq, Egypt, Algeria, Sudan, Spain, United Kingdom, United States, Japan, Russia, and others). The position taken by Pape supports indirectly two distinct groups: first, religious advocates seeking to distance religion from acts of violence and terrorism. They say that religion is not only neutral about violence but also against it, and therefore religion is an innocent victim of hardliners. These people, they say, have hijacked a religion of peace. Second, secular scientists and analysts are always argued that political and economic factors are responsible for the acts of violence and social conflict. The two positions above, which say that religion has a connection with acts of violence and which reject the existence of such relationships, shows religion as a coin of a currency that has two sides. Religion has the authority to kill and heal, to inflict barbaric acts, or to bless humanity with healing and wholeness. However, this article will only discuss the views of scientists who say that acts of terrorism are motivated by religion and have religious and political objectives. But before elaborating it, the author will first explain the definition of the term “religious terrorism”.

5 Juergensmeyer, Terror in the Mind of God, 2000. 6 Hoffman, Inside Terrorism, 2006, 81 7 Robert A. Pape, Dying to Win: The Strategic Logicof Suicide Terrorism (New York: Random House, 2005), 23, 38, dan 45; Robert A. Papeand James K. Feldman, Cutting the Fuse: The Explosion of Global Suicide Terrorism and Howto Stopit (Chicago and London: fte Universityof Chicago Press, 2010), 25-26.

Istadiyantha 5 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

Definition of Religious Terrorism

There are two words that need to be explained, namely ‘terrorism’ and ‘religion’. Etymologically, ‘terrorism’ comes from the word terrere (Latin), which means ‘cause (people) to tremble’. Thus, terrorism is intended to scare people. While by definition, the definition of ‘terrorism’ is still being debated by experts working on this issue. As a result, “no single definition is generally accepted.”8 John Horgan asserts that “we are still far from the horizontal (italic of Horgan) terrorism that is approved (in general). ”9 People have different understandings regarding the term terrorism and the scope of its meaning. The people involved in the debate often try to make definitions that suit their needs and interests. Thus, the definition of terrorism is generally a reflection of the political interests and moral judgments of the people who provide the definition. In other words, the decision to label a particular person or organization as a ‘terrorist’ is subjective, depending primarily on whether the person is sympathetic or opposed to the person/group/destination of the person concerned. Therefore, the author will not give a definition of terrorism. Instead, he will provide the characteristics of terrorism based on the definitions given by some experts of terrorism. The characteristics are as follows: First, violence is carried out with other political, religious, and ideological objectives and motives. Among these motives, political motives are most widely mentioned by scientists who examine terrorism. These motives are a separating factor from other forms of violence. Violence committed to obtaining financial gain is not terrorism, although such acts generate fear. Second, an act can be said to be terrorism if it involves violence or the threat of violence. In addition, violence can be categorized as an act of terrorism if the act of violence is planned. In other words, terrorism is not an accidental act, or a sudden criminal act. Third, to be called an act of terrorism, violence must affect the target or audience beyond the immediate target (the victim). Thus, the immediate objective or victim of an act of violence is not the main target. Fourth, terrorism involves non-state actors or actors who commit violence against non- combatants, ie civilians and soldiers who are not in war. Fifth, terrorism is done by people who are very rational, not irrational or even crazy. In addition to acts of terrorism are not done arbitrarily and sporadically, but the target to be attacked is chosen by the terrorists.10 In choosing the targets to be attacked, the ideology held by any terrorist group is very important, in addition to the resources owned by them, the community’s reaction to the actions of the terrorists, and the level of environmental security that will be targeted. Among these four factors, ideology

8 Robert A. Pape, Dying to Win, h. 33, 39, dan 117. 9 R. Scott Appleby, The Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence, and Reconciliation (New York: Rowman& Littlefield, 2010), 29. 10 Juergensmeyer,Terror in the Mind of God, 5; Joseph S. Tuman, Communicating Terror: The Rhetorical Dimensions of Terrorism (ftousand Oak, CA: Sage Publication, 2003), 2.

6 Istadiyantha T he Desputes Overterrorism is of the utmost importance because it not only provides the initial strength to act, but also explains the moral framework as a guide and reference for terrorists in operations. Ideology determines how terrorist members see the world around them and identify enemies by explaining and justifying why certain people or institutions are legitimately targeted to be attacked.11 In this respect, religion also falls into the category of ideology that is like other ideologies (nationalism, communism, Separatism, etc.) provides motivation and justification for acts considered terrorism. The word ‘religion’ comes from the word religare (Latin) which means ‘binding together’. This understanding shows that religion binds believers into one group or umma. In addition to religare, the word ‘religion’ also comes from the word ‘relegere’ (Latin), which means ‘to do it over and over, to do it seriously’. This sense refers to religious rites that must be repeatedly and seriously. According to William Cavanaugh, ‘religion’ comes from the word religio (ancient Latin), which refers to the powerful demands to perform an act. Religio itself comes from the word re-ligare which means to re-unite or reconnect, which is to rebuild the bond that has been disconnected.12 While ‘religion’, is a difficult term to define. This is as Jonathan Fox and David Loy emphasize that “religion is difficult thing to define.”13 This is because religion is a debatable concept. As a result, says Martin Marty, scientists will never agree on the definition of religion.14 In line with this statement, William Cavanaugh says that scientists are far from agreeing on the definition of religion. 21 Even Allan Aldridge insists that there is no and will never be a universally agreed religious definition.15 TalalAsad provides the reason why there can be no universal religious definition. This as he argued, not only because the elements and relationships that shape religion are historically specific, but also because the definition itself is the result of a historical discourse process.16 In line with Asad’s opinion, William Cavanaugh says that there is no religious concept that transcends history or goes beyond culture. Religion has a history, and what is regarded as a religion and what is not in a particular context depends on the configuration of power and authority,17 namely the power of a liberal modern

11 Jeff Goodwin, “Afteory of Categorical Terrorism”, Social Forces, Vol. 84, No. 4 (June 2007), 2027. 12 John Horgan, The Psychology of Terrorism (London and New York: Routledge, 2005), 137. 13 Abdul MuisNaharong, “Pejuang Kemerdekaan adalah Teroris? Menjelaskan Pengertian Terorisme”, JurnalParamadina, Vol. 9, No. 1 (April 2012), 259- 276. 14 C. J. M. Drake,“fte Roleof Ideology in Terrorists’ Target Selection”, Terrorism and Political Violence,Vol. 10, No. 2 (Summer1998),53-54. 15 Adam Dolnik and Rohan Gunaratna,“ On the Nature of Religious Terrorism”, 343; Drake,“fte Role of Ideology inTerrorists’ Target Selection,”56. 16 Peter L. Berger says that repeatedly performed religious rites are a very important instrument of reminding people of forget fulness (to their Creator). Humans who have forgetful character, Berger said, should always be reminded (Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Element sofa Sociological Theory of Religion (Garden City,NY: Doubleday,1969), 40. 17 Ronald L. Johnstone, Religion in Society: A Sociology of Religion, ftird Edition (New Jersey:

Istadiyantha 7 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism nation state as was developed in the West.18 Since the concept of religion comes from Western tradition and in itself reflects the bias of Christianity, as TatsukiKataoka emphasizes that the use of the word ‘religion’ in non-Western societies, including people in Southeast Asia, is widely disputed. The existing religious traditions must adapt to the standards of Western (Jewish, Christian and Muslim) religions to meet the religious definition equivalent to those religions in the sense required by the field of comparative religion.19 For example, to become a religion according to the standards of Western religions then the supporters of one culture must state that they should at least have teachings about God, the Prophet, the Scriptures, and the rites even though at first they were not so obvious to be put forward in a number of their traditions. Social sciences scientists usually provide a substantive/exclusive and functional/inclusive definition of religion.20 The definition of a substantive or exclusive religion is a definition that seeks to impose limits on what religion is. For example, it contains beliefs about something called God, the gods, the trans­ cendent or the like. Thus this substantive definition limits religion to the so-called ‘world religions’ which clearly have a doctrine of deity known to people in ge­ ne­ral. Therefore, a substantive definition of religion can be considered exclusive. While the definition of functional emphasis on aspects of religious function (what religion does) for individuals and society in general. This type of definition includes all phenomena that have social, psychological, and/or political functions in human life in the category of religion, although it is clearly secular. Proponents of this functional definition define religion not from the point of what believers believe, but from the point of how they believe it, from that aspect of the role of faith in human life. By using this functional definition then nationalism, communism, capitalism, and all other ideologies and beliefs, as well as soccer, music communities or bands and the like are religions. Thus, functional definitions are inclusive, not confining religion to a very widely-known religions and beliefs. Even this definition incorporates a secular phenomenon into the category of religion. In this paper the author will not give a definition of religion. The author only gives some of the elements contained in the phenomenon called religion on the basis of a substantive/exclusive definition of religion. The elements of religion are as follows: First, the belief there will be God, the gods or the transcendent who are beyond the reach of mankind. Secondly, rituals as a result of beliving in God

Prentice-Hall, 1988), 7. 18 William Cavanaugh, The Myth of Religious Violence (New York: Oxford University Press, 2009), 62. 19 Jonathan Fox, “Clash of Civilizations and Clash of Religions: Whichis a More Important Determinant of Ethnic Conflict?”, Ethnicities, Vol. 1, No. 3 (2001), 298; William Cavanaugh, The Myth of Religious Violence, h. 107. 20 Cavanaugh, The Myth of Religious Violence, 27.

8 Istadiyantha T he Desputes Overterrorism and the like. Third, there is society or people as a result of the existence of people who believe in certain religious systems. Fourthly, there are demands upon his followers to behave in accordance with the guidelines given in their Scriptures. Religious terrorism, according to Club de Madrid, can be distinguished into religious terrorism that has political objectives and religious terrorism that have no political or purely religious purpose. The first type of religious terrorism, referred to as religious political terrorism, includes insurgents in Iraq and Afghanistan who use religion as a tool to attract members and justify their actions with political goals.21 These political goals, according to Jessica Stern, It can be an attempt to gain political power so that they can apply the laws of religion in accordance with their interpretation or even control of a particular country or region and justify them with religious texts.22 Whereas the second kind of religious terrorism, which the Club de Madrid calls terrorism Milleniaristic, does not have worldly purposes, but strives to achieve an abstract sacred goal that is difficult to attain. This second type of terrorism group is the most perceived and most fearful among Europeans and the United States. The acts of terrorism perpetrated by this latter group in general are in the framework of revenge23 against something being said/done by a person or a society, even though the perpetrators of violence are not directly affected by the action except the honor and reputation of their religion and prophet. If a community does something that causes a victim or offense, then all members of the community may become the target of violence. Club de Madrid incorporated al-Qaeda into this second type of religious terrorism. According to Club de Madrid, al-Qaeda is the best example of a group that marks the emergence of millennium religious terrorism. Only such groups appear to be attacking in the center of Western countries.24 Daniel Benjamindan Steven Simon also incorporated al-Qaeda into this second type of religious terrorism group. Both of them say that the 9/11 attacks by members of al-Qaeda are a perfect act of religious devotion. Those who carry out the attacks reveal their motives in terms that are clearly religious and see themselves as implementing God’s will. Their motivation is not a political calculation, a strategic advantage nor an uncontrollable bloodthirsty. The action aims to shame and kill those who oppose the hegemony of God. The 9/11 attack is a cosmic war.25

21 Cavanaugh, The Myth of Religious Violence, 57. 22 Allan Aldridge, Religion in the Contemporary World: A Sociological Introduction(Malden, MA: Blackwell, 2000), 23. 23 TalalAsad, Genealogies of Religion: Disciplines and Reasons of Power in Christianityand Islam (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1993), 29. 24 One example of the intervention or role of the ruler in determining whether a belief including religion or not is a case of Confucianism in Indonesia. In 1967 Presidential instructions issued no. 14 which prohibits all forms of expression of Chinese religion and customs in public places including Kong Hu Cu. But in 2000 President Abdurrahman Wahid recognized Kong Hu Cu as a religion parallel to the major religions already in Indonesia. 25 William Cavanaugh, The Myth of Religious Violence, 59.

Istadiyantha 9 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

Based on documents found in the suitcase of Muhammad Atta, the 9/11 leader, Bruce Lincoln says that they vote and define enemies not from a national, racist or political standpoint but as opposed to purely Religious. By using the terminology of al-Qur’ān, these opposed people are referred to as unbelievers, unbelievers, and allies of Satan, while they are believers and believers of God.26 Their motives, Based on the instructions that guide their last days, very deeply and profoundly religious. It was their religion that influenced Muhammad Atta and 18 others to attack 9/11. Therefore, their deeds are a sacred duty.27 James Jones, on the other hand, explains that religious terrorism is not only motivated by religion, but also by other factors. All terrorism, even religious terrorism, is a multi-dimensional and multi-factor phenomenon.28 In line with this view, Mark Sedgwick says that religious terrorism, including al-Qaeda, has both religious and political objectives.29 Sedgwick shares the goal of religious terrorism into the ultimate/ultimate goals and short-term goals. The ultimate/ultimate purpose is often in an intangible form and is generally determined by the religion or ideology held by the terrorist group.30 In other words, the ultimate goal is religious, while the short-term goals are generally more concrete, often political, just as the objectives of other terrorist groups. Like Sedgwick, Madawi al-Rasheed and Marat Shterin also say that religious terrorism, including transnational ones such as al-Qaeda, also has political goals in addition to religious objectives. The political objectives of this transnational religious terrorism group are even localized despite the acts of terrorism committed in various parts of the world under religious rhetoric.38 Some scientists who research terrorism say that religious terrorism in addition to having a religious motive also has a political motive because, according to Magnus Ranstrop, the act of terror is also driven by practical political considerations in a particular environmental context.39 In other words, Occurs in a vacuum. Mark Juergensmeyer says that religion is not necessarily violent. Violence can occur only when religious factors coalesce with a particular set of circumstances, political, social and ideological, that is, when religion fuses with violent expressions of social aspirations, personal pride, and movements for political change. Therefore, in order to understand why religious terrorism occurs at this time, the context (historical situation, social situation, and life situation associated with violent incidents) should be considered.40

26 Tatsuki Kataoka,“De-Institutionalizing Religionin Southeast Asia,” Southeast Asian Studies, Vol. 1, No. 3 (Desember 2012), 361. 27 Malcolm Hamilton, The Sociology of Religion: Theoretical and Comparative Perspectives, Second Edition (New York: Routledge, 2001), 18-19; Stephen J. Hunt, Religion in Western Society (New York: Palgrave, 2002), 7-9; William Cavanaugh, The Myth of Religious Violence, 102-106. 28 Club de Madrid, Concepts of Terrorism: Analysis of the Rise, Decline, Trends and Risk (Madrid: Club de Madrid, 2008), 77-78 29 Jessica Stern, Terror in the Name of God: Why Religious Militants Kill (New York: Harper Collins, 2003), xx. 30 AsepAdisaputra, Imam Samudra Berjihad (Jakarta: Pensil-324, 2006), 67-68).

10 Istadiyantha T he Desputes Overterrorism

According to some of the scientists described above, and borrowing the theoretical causes of terrorism put forward by the Club de Madrid,31 it can be argued that the root cause or precondition of religious terrorism is the particular religious teachings practiced by the perpetrators terror. These religious teachings are factors that prepare the arena for terrorism in the long term. While the cause of triggers (trigger causes or precipitants) of religious terrorism are special events that occurred before the emergence of acts of terrorism. In the case of the bombing of Imam Samudra and his comrades in Bali, for example, the root cause or precondition is the doctrine of jihād which is believed by them and those of the like as fard } ‘ayn,32 that is a religious doctrine which must be done by every Muslims, just like the pillars of Islam, such as prayer, fasting, and others. In other words, they make jihād the sixth pillar of Islam. The trigger cause or precipitant is a massive bombing carried out by US troops and their allies in Iraq which resulted in a large number of victims in the country (see Endnote 30). Similar to the bombing of Imam Samudra and his colleagues, Timothy McVeigh’s bombing of the Alfred P. Murrah Federal Building in Oklahoma City in April 1995 also had a major religious cause, the Christian Identity he embraced. The trigger was the attack on agents of the Bureau of Alcohol, Tobacco and US Weapons against the Davidians Branch Sect, led by David Koresh in February and March 1993 in Waco, Texas. This attack ended with the death of all the followers of the sect in the fire that befell their building. Likewise, the attack by Dr. Baruch Goldstein, an extreme Jew, against Muslims performing their morning prayers at Ibrahim Mosque, in February 1994. The main cause of this event is the Jewish religious teachings of the group it embraces, while the trigger is the annoyance and humiliation of young Arabs on the eve of Purim. The information given above shows those scientists who discuss religious terrorism have different opinions about the motives and purposes of terrorist acts. In general they recognize that religious terrorism, different from secular terrorism, is driven by religious motives and goals. But they differ on the acts of terrorism they are doing whether it is also motivated by political considerations. This makes it difficult for observers to distinguish between the political and religious realm of terrorist groups. This kind of dilemma is not felt by members and leaders of terrorist groups of Islamic groups because for them religion and politics can not be separated in Islam. For them, Islam does not recognize any differentiation or separation between religion (Islam) and all aspects of life (politics, economy, law, social, etc.). All these aspects are an integral part of religion.

31 Club de Madrid, Concepts of Terrorism, 78. 32 Daniel Benjamin and Steven Simon, The Age of Sacred Terror: Radical Islam’s War Against America (New York: Random House, 2002), 39-40.

Istadiyantha 11 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

Religious Terrorism and Its Characteristics

The scientist who talks about religion with terrorism is David C. Rapoport. David Rapoport43 has long argued that religion is the driving force behind violence that is categorized as terrorism. In addition, religious zeal and militancy is able to maintain the terrorist movement for long periods of time despite the challenges and obstacles that are not small. For example, the Ftugs Group (a sect in Hinduism) survived for about 6 centuries (7th-13th century), the Assassins (Niz}ārī, a sect of Isla (Ismā’īlī) for 2 centuries (1090-1275), And Zealots-Sicaari (Jews) for 27 years (66-73 M.) 44 These three groups are seen as a historical precursor to contemporary religious violence and terrorism, and are often described as models for religious terrorism in modern times. Therefore religion is not an illusion, something unreal, which has no influence on human actions, nor is it a factor used by the leaders of terrorist groups to manipulate their uneducated followers. Also, religion is not a camouflage of an act that actually has a political motivation and purpose as some scientists claim. Religious terrorism is neither an abstract nor a revolt against the modern world. But religion, for Rapoport, is a rational motivation for terrorism. Religious-motivated terrorism is a rational phenomenon, which has existed before modern times, which can be learned and understood. Religion is a tremendous motivating force, which makes men and women willing to take up arms, kill and even sacrifice their souls. David Rapoport says that the most exciting and unexpected development of recent times is the resurgence of terrorist acts to support the religious or terror goals justified in theological terms. This phenomenon is called by Rapoport as “holy” or “sacred” terror aka terror terror. This phenomenon, says Rapoport, is most prominent in Islam, both within Sunnī and Sy’’ah.33 Therefore, it is not surprising that terrorist acts are more attributed to Islamic groups, even though similar actions are undertaken Also by other penges and sects Until about the early 1980s, says Rapoport, many people still do not want to believe that a person kills because of religious motives and purposes. It is also an important cause why the concept of holy terror is rarely discussed. Many authors of books on terrorism continue to view religion as a cover for political actions, not as a motivating force. One still considers the opinion that religion has the power to move people to take up arms and to wage war and ultimately to win against obstacles that are perceived as impossible to be conquered as an outlaw, and therefore need not be taken seriously. One example he put forward is the murder of President Anwar Sadat in 1981 by members of the al-Jihād group in Egypt. Although Sadat’s killers say that they killed him because he did not keep his promise to apply Islamic law (Syar’’ah), Mohammad Heikal, a journalist and former Minister of Information

33 Bruce Lincoln, “Holy Terrors: ftinking about Religion after September 11th: Chapter One: fte Study of Religion in the Current Political Moment,” 2002, 13. Di http://www. law. syr. edu/Pdfs/Ostudyofreligion. pdf, diakses 03/31/12.

12 Istadiyantha T he Desputes Overterrorism of Egypt, did not believe in the reasons given by Sadat’s killers. Heikal said the reason for their killing was social and economic factors. 46 Scientists using such perspectives, Jeffrey Kaplan said, that Afghan fighters with the help of the CIA and the Pakistani government who fought against the Russian invasion can be understood as struggling people Want to establish a Western democracy in Afghanistan that they will liberate and not because of religious motivation.34 David Rapoport asserted that the main source of the acts that incite the sacred terror are religious doctrines.35 R. Scott Appleby supports Rapoport’s opinion by saying that it is a mistake to assert that violence and terrorism committed in the name of religion must be motivated by Other interests. It is true, as Appleby said that much violence and terrorism cannot be doubted as manipulative and for personal gain, with little or no religious motives at all. But saying all the ipso facto “sacred violence” actions as non-religious is a misunderstanding of religion and undermines its ability to inflict acts of terrorism and deadly conflict.36 The tendency to question and not even believe in this religious motif, according to Peter Berger, generally occurs among social scientists. Those who generally have a secular view say that religious motives are used to legitimize the underlying causes (political, economic, social) underlying an act of terrorism and conflict. Such an opinion, Berger says, is a bias that fails to understand the motivating power of religious beliefs. Berger acknowledges that it is indeed difficult to know the motives that are purely religious, but he believes that the motives of those who commit suicide bombings in the Middle East are genuinely religious as the suicide bombers say.37 These sacred terrorists, according to David Rapoport, find justification for their actions in the past, both in the commandments of God given in ancient times contained in their Scriptures as well as in the interpretations of the deeds (sunna/The trodden path) people from the founding periods of the parent religions. The aims and the means or tools they use in the struggle are destined for holy purposes and therefore can be fully accepted by group members. Therefore, their violence has unique characteristics, distinct from normal, casual profane violence.38 Based on these unique features, some scientists, journalists, consultants and policymakers call religious terrorism As new terrorism, which is different from previous forms of terrorism.

34 Bruce Lincoln, “Holy Terrors: ftinking about Religion after September 11th, 16. 35 James W. Jones, Blood That Cries Out From the Earth: The Psychology of Religious Terrorism (New York: Oxford University Press, 2008), 22. 36 MarkSedgwick, “Al-Qaeda and the Nature of Religious Terrorism,” Terrorism and Political Violence,” Vol. 16, No. 4 (Winter 2004), 795-796. 37 Mark Sedgwick, “Al-Qaeda and the Nature of Religious Terrorism,” 797. 38 Madawi al-Rasheed and Marat Shterin, “Between Death of Faith and Dying for Faith: Reflectionson Religion, Politics, Society and Violence,”dalam Madawial-Rasheed and Marat Shterin, ed., Dying for Faith: Religiously Motivated Violence in the Contemporary World, xvii-xxx (London and New York: I.B. Tauris, 2009), xxi

Istadiyantha 13 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

The main component or feature of this religious terrorism, which some scientists call a new terrorism, is the teachings or commandments of religion. This transcendent source of this sacred terror, according to David Rapoport, is the most decisive feature that distinguishes it from other forms of terrorism.39 Similar remarks are expressed by Bruce Hoffman. He said that religious motivation or encouragement is the most important feature of today’s terrorist activities.40 Bruce Hoffman goes on to say that what distinguishes the sacred terror of secular terror is that sacred terror has its own very different value system from secular terror, has a legitimacy mechanism and Justification, and Manichean’s concept of morality and worldview, which divides the world into two opposing groups, good and evil, pagans and believers, justice and injustice. For religious terrorists, the first and foremost violence is the act of the sacrament or the divine duty performed to carry out theological commands and demands. Religious terrorism therefore has a transcendent dimension and as a result the perpetrators ignore the political, moral and practical constraints that may affect secular terrorists in their operationsIn addition, unlike secular terrorists seeking to win sympathy from their supporters and potential supporters, religious terrorists do not seek support and sympathy from anyone but themselves. This is because they are both perpetrators and members involved in a total war. Both of these factors cause holy terrorism to be more destructive and out of control because their goals are endless, and often try to eliminate as many enemies as possible. On this basis some experts who study terrorism say that religious terrorists will try to acquire Weapon of Mass Destruction (WMD). The perpetrators of religious terrorists see themselves not as part of a system that needs to be nurtured and defended but as outsiders seeking to make fundamental changes to the existing order. It also causes religious terrorists to commit extraordinary acts of violence and have unlimited enemy categories to attack.41 Religious terrorism, according to Mark Juergensmeyer, is symbolic. The act of religious terrorism is meant to describe or refer to something outside the immediate objective, for example, a great conquest or an extraordinary struggle. The target enemy is considered a devil, the spiritual enemy of the believers. Therefore, the acts of religious terrorism are not a tactic directed towards a worldly direct goal or strategic goal, but are dramatic events intended to show or show their symbolic meaning. Thus, such acts of terrorism can be analyzed as well as analyzing sacred symbols, rituals or plays.42 In addition to being symbolic, religious terrorism is also a cosmic war or a divine war. The cosmic war, according to Juergensmeyer, is a sacred war greater

39 Magnus Ranstorp, “Terrorism in the Name of Religion,”Journal of International Affairs, Vol. 50, No. 1, 1996, h. 2. Di http://www. ciaonet. org/wps/ram01/, diakses 10/26/2005. 40 Mark Juergensmeyer, Terror in the Mind of God, 10. 41 Club de Madrid, Concepts of Terrorism, 6. 42 The law of jihad, as most Muslims believe, is essentially a kifāyah, a duty which, when some Muslims have done it, others are no longer burdened with it.

14 Istadiyantha T he Desputes Overterrorism than life itself. This kind of war is reminiscent of the great wars of the past, and has a connection with the metaphysical conflicts between good and bad, between truth and falsehood. The terrorists involved in this cosmic war consider themselves to be soldiers involved in sacred battles. They often use the sacred war images found in every religious tradition, such as the wars described in the Old Testament, epic events or epics in Hinduism and Buddhism, and jihadist notions in Islam.43 Based on this jihād’s notion, Islamic terrorists do not understand the acts of violence they commit as terrorism (irḥāb), but as jihād which, to them, is farḍ ‘ayn. As jihadis, these people believe that they act as “true believers”44. What makes religious violence cruel and without mercy, says Juergensmeyer, is that the perpetrators place the religious image of the divine war/struggle-the cosmic-to serve worldly-worldly battles. For this reason, the act of religious terror serves not only as a tactic in a political strategy but also as a reminder of a larger spiritual confrontation.45 David Rapoport and Bruce Hoffman denied the claim that religious terrorism is a newly emerging terrorism. They say that religious relations with terrorism have lasted for more than two thousand years. 60 Rapoport explains that before the 19th century, religion provided the only acceptable justification of terror. These sacred terrorists believe that only transcendent purposes can justify acts of terror. 61 Rapoport mentions three religious terrorist groups existing in that period, namely ftugs, Assassins, and Zealots-Sicaari.46 Ftugs members intercept people traveling and strangle them to death so as not to bleed because this blood is dedicated to Kali (also known as Durga, Bhavani, and Devi), the god of terror and destruction. The ftugs believe that they are obliged to give blood to Kali, their creator, to maintain the balance of the world. They deliberately slowed the deaths of the strangled victims to show the terror of their victims in order to please Kali. The ftugs do not require people to witness their deeds because their audience is primarily the god of Kali. In performing its operations, ftugs only pay attention to three aspects, namely those who carried out the attack (their own), their victims, and the god Kali.

43 David C. Rapoport, “fte Four Waves of Modern Terrorism,”; David C. Rapoport, “Sacred Terror: A Contemporary Example From Islam,” dalamWalter Reich, ed., Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies,States of Mind, 103-130 (New York: Cambridge University Press, 1990); David C. Rapoport, “Messianic Sanctions for Terror. comparative Politics,” Vol. 20, No. 2 (January 1988), h. 195-213; David C. Rapoport, “Fear and Trembling: Terrorism in ftree Religious Traditions,” The American Political Science Review, Vol. 78, No. 3 (September 1984), 658-677; David C. Rapoport, “Terror and the Messiah: An Ancient Experience and Some Modern Parallels,” dalam David C. Rapoport and Yonah Alexander, eds. The Morality of Terrorism: Religious and Secular Justifications (New York: Columbia University Press), 1982. 44 David C. Rapoport, “Fear and Trembling: Terrorism in ftreeReligious Traditions,”660- 672;Hoffman,InsideTerrorism:RevisedandExpandedEdition, 83-84. 45 David C. Rapoport, “Sacred Terror: A Contemporary Example From Islam,” 103. 46 David C. Rapoport, “Sacred Terror: A Contemporary Example From Islam,” 106.

Istadiyantha 15 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

Unlike ftugs, the Assassins have motivation and religious and political objectives. Their aim is to carry out the obligations ordered by Islam and purify this religion, which is to build a society whose religious and political institutions are not separate. This step will create a state for the coming of ImāmMahdī. If ftugs takes into account three things in its operation, the Assassins seek to attain the fourth element, the audience, the public or a moral community whose sympathy and support is endeavored to be aroused by actions of interest. To achieve this goal they kill enemies made up of important people who are held responsible in blocking da’wah and ignoring warnings to change behavior. By choosing a place like this and the weapon in the form of a dagger they use is meant so that they can be caught and then killed. They made no attempt to escape. Even considered embarrassing if they are not killed in carrying out a mission. In other words, members of the Assassins group who were on a murder mission against the people who considered their enemy deliberately looking for martyrdom (dead syahīd). The mission they embrace is regarded as jihād, a religious sacrifice that frees them from guilt and from all the sins they have committed, and thus they can enter heaven. Such beliefs are also shared by the suicide bombers of today’s Islamic groups. This is not strange because the Assassins, like those suicide bombers, are also Islamic groups even from a sect in Shī’ah Ismā’īlī. Zealots-Sicarii has some similarities with the Assassins. Both of them are inspired by the coming hope of Messiah, or ImāmMahdī in Islam, and seek maximum publicity. Both of them also believe in the concept of martyrdom, that the people who fall in the struggle to get a place in heaven. As with the Assassins, Zealots-Sicarii also uses political solutions, in the form of political violence, for religious matters. In the case of this Jewish group, the political solution took the form of a massive campaign against Jews and Gentiles. Their attacks were carried out during the day in front of the crowd to send a message to the Roman authorities and the Jews. As with the Assassins, Zealots-Sicarii also uses a dagger (Sicarii, a man who wears a dagger) in his mission. Nevertheless, the differences between these two groups are even greater than their equations. This is rooted in differences in the concept of messianism and the myth of Jewish religious establishment. Unlike other religious terrorist groups concerned only with members of their own faith, this Jewish terrorist group also wants to arouse rebellion against the Greeks living in Judea in large numbers as well as against the Romans who governed them. Their rebellion brought disaster and resulted in the destruction of their temple in , and the massive suicide they committed in Masada. The next two uprisings against the Roman rulers resulted in the massacre of Jewish inhabitants in Cyprus and Egypt, the emptying of the inhabitants of Judea, and culminating with their Exile. The rebellions were intended to trigger the coming of the Messiah.

16 Istadiyantha T he Desputes Overterrorism

Based on the description just given to these three groups, it can be said that ftugs have religious motivation and purpose. They have no complaints of either economic or social nature, nor do they make demands of a political nature. Borrowing the Sedgwick classification as described at the beginning of this paper, the final/major and short-term objectives of the ftugs group are religious. While Assassins and Zealots Sicarii have a final/main purpose of a religious nature while their short-term goals are political. From the explanation of the three groups, it can be said that religiously motivated terrorism is almost as old as the major religions themselves. Rapoport explains that although the holy terror seems to be a new phenomenon, as some scientists have observed terrorism, but before the French Revolution this holy terror was the dominant form of terror and perhaps even the only form of terror. Since it appears, the holy terror has never disappeared completely, and there are signs of this kind of terror being resurrected lately in new and extraordinary forms.47 It’s just that over the past few decades, this religiously motivated terror, said Bruce Hoffman, a closure by terrorism motivated by ideology and ethno nationalist/separatist. For example, none of the 11 international terrorist groups known to be active in 1968, the year which is considered the emergence of modern international terrorism, can be classified as religious terrorism.48 It’s just that over the past few decades, this religiously motivated terror, said Bruce Hoffman, a closure by terrorism motivated by ideology and ethno nationalist/separatist. For example, none of the 11 international terrorist groups known to be active in 1968, the year which is considered the emergence of modern international terrorism, can be classified as religious terrorism.49 Therefore, it is not surprising that Rapoport calls this period the fourth wave of modern terrorism, the “religious wave”, 67 from 1979 to the present, and Islam is at the center of the wave of religious terrorism.50 Rapoport presents two reasons for this statement: first, that Islamic groups carry out the most meaningful and deadly and highly international attack; Second, equally important, is that the political events that provide hope for the emergence of the fourth wave come from Islam, and the success achieved from these political events seems to affect religious terrorist groups in various places. Although there is no direct evidence of such relations or influence, but the sequence of events of religious terrorism can be evident. After Islam, from the 1980s to the 1990s, some Sikh extremist groups committed several acts of terrorism, including the killing of Prime Minister Indira Gandhi by his two Sikh

47 Jeffrey Kaplan, “David Rapoport and the Study of Religiously Motivated Terrorism,” dalam Jean E. Rosenfeld, ed., Terrorism, Identityand Legitimacy: The Four Waves Theory and Political Violence, 66-84 (New York: Routledge, 2011), 74. 48 David C. Rapoport, “Fear and Trembling: Terrorism in ftree Religious Traditions,” 672. 49 R. Scot Appleby, The Ambivalence of the Sacred, 30. 50 Peter L. Berger, “Secularization Falsified,”First Thing (February 2008), 25.

Istadiyantha 17 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism guards in October 1984, in order to establish a religious state in Punjab and, in the case of Indira Gandhi’s murder, Was to take revenge for the raid of the Golden Temple in Amritsar by the Indian army in June 1984. Jewish terrorists attempted to blow up al-Aqsa mosques in Jerusalem (1982 and 1984) and several other acts of terrorism committed by them, including the killing of 29 Muslims praying in a mosque in Hebron in February 1994, and the assassination of Israeli Prime Minister Yitzhak Rabin in November 1995 AumShinrikyo, a group combining Buddhist, Hindu and Christian teachings, deployed Sarin gas on a Tokyo subway in March 1995, killing 12 people and injuring about 3,000 people. Terrorist acts also occurred in the United States carried out by members of Christian Identity and other sects from the 1980s to the 1990s. Rapoport mentions three events in the Islamic world that are a dramatic turning point in politics that is crucial for a fourth wave. These three events are the Iranian Revolution that took place in 1979, the start of a new Islamic century (XV century Hijri), and the Soviet/Russian invasion of Afghanistan. The Iranian revolution led by Ayatollah Khomeini overthrew the secular state assisted by the West, particularly the United States. Mohammad Reza Pahlavi, Shah Iran, left Iran on January 16, 1979 and Khomeini returned to Iran from exile (France) on 1 February 1979. Through Iran’s national referendum became the Islamic Republic on April 1, 1979. Khomeini’s victory changed the relationship between Islam and the West and Relations among Muslims themselves. Not long after this incident, several terrorist groups outside of Iran (Iraq, Saudi Arabia, Kuwait and Lebanon) who were inspired by the success of the Iranian Revolution by getting help from Iran committed acts of terror. In Beirut, on October 23, 1983 the Sha’ah (Hezbollah) group introduced suicide bombs69 with remarkable success rates as it attacked the building of American and French troops who entered the country as peacekeepers after Israel invaded Lebanon in 1982. Besides the Iranian Revolution, the coming of the XV century Hijri is also a moment that can lead to messianic movements because many Muslims believe (based on an hadīts)} that in every new century a reformer will emerge, which in some quarters, is believed to be Mahdī. This can be seen, for example, at the attack and occupation of the Masjid al-Harām} on November 20, 1979, the first day of the XV century Hijri, conducted by some 200 people led by Juhaimin al- Utaybi. Al-Utaybi proclaimed his brother-in-law Mu’ammad ‘Abdullāh al-Qath} } ānī as the eager Mahd. The Soviet invasion of Afghanistan on 24 December 1979 gave birth to an extraordinary solidarity among Muslims. With the help of Saudi Arabia, the United States and Pakistan tens of thousands of volunteers came to Afghanistan to jihad against the Soviets and succeeded in driving the Soviets out of Afghanistan on February 15, 1989. This was regarded as the religious success of defeating a secular superpower. The many Muslim nations, formerly part of the Soviet Union, such as Chechnya, Uzbekistan, Kyrgyztan, Tajikistan and Azerbaijan

18 Istadiyantha T he Desputes Overterrorism became places of sowing of Islamic rebellion. The same factor also caused the war in Bosnia. Equally important are Afghan veterans returning to their respective countries and then engaging themselves in the ongoing conflicts in their respective countries, and even the founders of radical Islamic groups, such as in Algeria, , Yemen, Libya, Egypt, Gaza, Saudi Arabia, Indonesia, the Philippines and others. 70 While others joined al-Qaeda under Osama bin Laden.

Conclusions

The increase on the frequency of violent events of the last few decades categorized as acts of terrorism driven by religious teachings or in the name of God raises three types of opinion from scientists who examine the symptoms of terrorism. Some scientists argue that there is no religious relation to acts of violence, including those categorized as terrorism. Others believe that religion can be a motivation and justification for all actions, including acts of terrorism. Some of these two groups say that acts of terrorism are motivated by religion and have a religious purpose only. Others say religious terrorism is motivated and aims at politics and religion. Their main purpose is religious, while their short-term goals are political. From another perspective, religious teachings are the main cause or precondition (root cause or precondition) arises acts of sacred or religious terrorism, while trigger or precipitant factors are special events, whether related to religious factors Or not. Religious terrorism, because it occurs in various contexts, can not be avoided; it can also be motivated by political factors and other factors. This has to be recognized because in human action it is driven by various motives. It’s just that in religious terrorism, the dominant is the religious motive.

References

Adisaputra, Asep. Imam SamudraBerjihad. Jakarta: Pensil-324, 2006. Aldridge, Allan. Religion in the Contemporary World: A Sociological Introduction. Malden, MA: Blackwell, 2000. Appleby, R. Scott. The Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence, and Reconciliation. New York: Rowman& Littlefield, 2010. Asad, Talal. Genealogies of Religion: Disciplines and Reasons of Power in Christianity and Islam. Baltimore: Johns Hopkins University, Benjamin, Daniel and Simon, Steven. The Age of Sacred Terror: Radical Islam’s War Against America. New York: Random House, 2002. Berger, Peter L. The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion. Garden City, NY: Doubleday, 1969. Burgess, Mark. “Explaining Religious Terrorism Part 1: fte Axis of Goodand

Istadiyantha 19 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

Evil,” 2004, 4. Diakses 18 Agustus 2005 dari http://www. cdi. org/ friendlyversion/printversion. cfm?documentID=2381 Cavanaugh, William. The Myth of Religious Violence. New York: Oxford University Press, 2009. Drake, C. J. M. “fte Role of Ideology in Terrorists’ Target Selection”, Terrorism and Political Violence, Vol. 10, No. 2, Summer 1998. Esposito, John L. Unholy War: Terror in the Name of Islam. New York: Oxford University Press, 2002. Fox, Jonathan. “Clash of Civilizations and Clash of Religions: Which is a More Important Determinant of Ethnic Conflict?”,Ethnicities , Vol. 1, No. 3. 2001. Goodwin, Jeff. “A teory of Categorical Terrorism”, Social Forces, Vol. 84, No. 4 June 2007. Hamilton, Malcolm. The Sociology of Religion: Theoretical and Comparative Perspectives, Second Edition. NewYork: Routledge, 2001. Hoffman, Bruce. Inside Terrorism: Revised and Expanded Edition. New York: Uni­ versity of Columbia Press, 2006. Horgan, John. The Psychology of Terrorism. London and New York: Routledge, 2005. Hunt, Stephen J. Religion in Western Society. New York: Palgrave, 2002. Johnstone, Ronald L. Religionin Society: A Sociology of Religion, ftird Edition. New Jersey: Prentice-Hall, 1988. Jones, James W. Blood That Cries Out From the Earth: The Psychology of Religious Terrorism. New York: Oxford University Press, 2008. Juergensmeyer, Mark. Terror in the Mind of God: The Global Riseof Religious Violence, Updated Edition with a New Preface. Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 2000. Kataoka, Tatsuki. “De-Institutionalizing Religion in Southeast Asia,”Southeast Asian Studies, Vol. 1, No. 3. Desember 2012. Kepel, Gilles. Muslim Extremism in Egypt: The Prophet & Pharaoh. Berkeley and Los Angeles : University California Press, 1985. Laqueur, Walter. No End to War: Terrorism in the Twenty-First Century. New York and London: Continuum, 2004. Madrid, Clubde Concepts of Terrorism: Analysis of the Rise, Decline, Trendsand Risk. Madrid: Clubde Madrid, 2008. Marty, Martin E. and Appleby, R. Scott. Fundamentalisms and the State. Chicago: fte University of Chicago Press, 1993. Naharong, Abdul Muis. “Pejuang Kemerdekaan adalah Teroris? Menjelaskan Pengertian Terorisme”, Jurnal Paramadina, Vol. 9, No. 1, April 2012. Pape, Robert A. and Feldman, James K. Cutting the Fuse: The Explosion of Global

20 Istadiyantha T he Desputes Overterrorism

Suicide Terrorism and How to Stop it. Chicago and London: fte University of Chicago Press, 2010. Pape, Robert A. Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism. New York: Random House, 2005. Rapoport, DavidC. and Alexander, Yonah. The Moralityof Terrorism Religious and Secular Justifications. New York: Columbia University Press,1982. Rasheed, Madawi and Shterin, Marat. Dying for Faith: Religiously Motivated Violence in the Contemporary World, xvii-xxx. London and New York : I. B. Tauris, 2009. Reich, Walter. Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, New York: Cambridge University Press, 1990. Rosenfeld, Jean E. Terrorism, Identity and Legitimacy: The Four WavesTheoryandPoliticalViolence. NewYork:Routledge,2011. Samudra, Imam Aku Melawan Teroris!. Solo: Jazera, 2004. Sedgwick, Mark, “Al-Qaeda and the Nature of Religious Terrorism,”Terrorism and Political Violence,” Vol. 16, No. 4. Winter 2004. Stern, Jessica. Terror in the Name of God: Why Religious Militants Kill. New York: Harper Collins, 2003. Tibi, Bassam. “Countering Ideological Terrorism, ”Defence Against Terrorism Review, Vol. 1, No. 1. Spring2 008. Tuman, Joseph S. Communicating Terror: The Rhetorical Dimensionsof Terrorism. Ftous and Oak, CA: Sage Publication, 2003

Istadiyantha 21

IBRAHIM HAJI YAAKOB (1910-1979): Memori Anak Kandung Suluh Budiman SITC, Tokoh Penjalin Setiakawan Malaysia-Indonesia

Raja Ahmad Shalaby Raja Hassan UPSI, Malaysia.

Abstrak

Makalah ini meninjau secara deskriptif kegiatan dan jasa seorang tokoh pejuang kemerdekaan terkenal, Ibrahim Haji Yaakob. Beliau merupakan Anak Kandung Suluh Budiman SITC dari tahun 1929-1931. Menerima pendidikan semangat nasionalisme daripada guru-guru SITC terutamanya Pendeta Za’ba, Abdul Hadi Haji Hassan dan Harun Aminurrashid. Beliau adalah presiden dan pengasas Kesatuan Melayu Muda(KMM) dan tokoh politik Melayu pertama yang menentang penjajah British di Malaya. Matlamat KMM adalah untuk mencapai kemerdekaan bagi Malaya melalui penyatuan bersama Indonesia di bawah konsep Melayu Raya atau Indonesia Raya. Ibrahim Yaakob telah mengutus tiga orang wakil KMM ke Jakarta untuk bertemu dengan Sukarnodi Jakarta dan berunding dengan Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang membicarakan sempadan wilayah Indonesia Rayayang terlalu luas meliputi bekas Hindia Belanda, Malaya, New Guinea, Borneo Utara dan Timor-Timur. Sukarno merasa terhutang budi kepada Ibrahim Yaakob di atas semangat juang dan setiakawan orang Malaya di Indonesia. Lantas Sukarno mengajak Ibrahim Yaakob berjuang sahaja di Pulau Jawa kerana mereka seketurunan dari Bugis- Jawa, Indonesia.Fokus makalahini ialah untuk mengetahui sumbangan yang diberikan oleh tokoh ini dalam konteks patriotisme dan hubungan Malaysia- Indonesia.

Kata kunci: Ibrahim Yaakob, Sultan Idris Training College, Kesatuan Melayu Muda, Melayu Raya, Indonesia Raya.

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 23 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

Pengenalan

brahim Haji Yaakob ialah tokoh Anak Kandung dari Sultan Idris ITraining College (SITC) yang tersohor kerana pernah menjadi presiden serta pengasas Kesatuan Melayu Muda (KMM) yang menentang British dan diiktiraf sebagai tokoh pejuang kemerdekaan Tanah Melayu. Beliau yang juga dikenali dengan nama Dr. Iskandar Kamel ialah seorang Melayu berketurunan Bugis dari daerah Silo, Sulawesi, Indonesia. Beliau dilahirkan pada 27.11.1911, di Kampung Tanjong Kertau, Temerloh, Pahang. Beliau mendapat pendidikan awal di sekolah Melayu di Tanjong Kertau pada tahun 1918 ketika berusia tujuh tahun. Pada tahun 1928, beliau dipilih menjadi guru pelatih di Pusat Latihan Perguruan Kuantan, Pahang.

Guru Pelatih SITC

Pada tahun 1929, Ibrahim Haji Yaakob menyambung pengajian diSITC Tanjong Malim hingga tamat pengajian pada tahun 1931.Dalam peperiksaan akhir tahun bulan Disember 1931, Ibrahim mendapat markah seperti berikut: General Literature 49%, General Science 68%, Writing & Drawing 55%, Pedagogy 51%, Physical Training 55%, Manual Training 55%; jumlah peratus keseluruhan ialah 54.1%. Ini melayakkan Ibrahim menamatkan pengajian dengan Pangkat III, daripada sejumlah 128 orang pelajar keseluruhannya. Di antara kawan- kawan yang setingkatan dengannya yang merupakan tokoh besar serta pejuang nasionalis termasuklah Muhammad Yassin Maamor (Pangkat I), Abdullah Sidek (Pangkat II), Abdul Karim Rashid (Pangkat II), Hassan Abdul Manan (Pangkat II), Mohamed Nor Ahmad (Pangkat II), Mohd Isa Mahmud (Pangkat III). Dalam kegiatan kokurikulum pula, Ibrahim tidak aktif bersukan. Beliau cuma diamanahkan memegang jawatan sebagai ‘Penjaga Permainan Dalam’. Namun, pengajiannya di SITC secara tidak langsung menyemai semangat kebangsaan dalam dirinya hasil daripada didikan guru-guru yang sememang­ nya telah memainkan peranan penting dalam membangkitkan semangat kebangsaan kerana terpengaruh dengan gerakan kebangsaan yang berlaku di Indonesia, Mesir, India dan Jepun. Di antara guru-guru yang banyak mem­ pengaruhi pemikiran Ibrahim Haji Yaakob ialah Cikgu Abdul Hadi Haji Hassan, Cikgu Zainal Abidin bin Ahmad (Za’ba), Cikgu Ahmad bin Abdullah (Ahmad Bakhtiar), Cikgu Buyong bin Adil, Cikgu Harun bin Mohd Amin (Harun Aminurrashid) dan Cikgu Mohd Nordin bin Harun. Peranan guru-guru SITC ini memberi inspirasi kepada Ibrahim dalam memperjuangkan konsep “Melayu Raya” khususnya bagi orang Melayu melalui pertubuhan Kesatuan Melayu Muda (KMM). Galakan daripada Cikgu Harun Aminurrashid selaku guru dan penyelia di rumahnya telah menanamkan semangat kebangsaan yang berkobar- kobar dalam diri Ibrahim Haji Yaacob. Maka lahirlah perasaan antiimperalis dan

24 Raja Ahmad Shalaby Raja Hassan Ibrahim Haji Yaakob (1910-1979) anti-Cina hingga awal tahun 1929, Ibrahim dan rakan-rakannya secara sembunyi masuk menjadi anggota Parti Nasional Indonesia (PNI) yang ditubuhkan pada tahun 1927 pimpinan Ir. Soekarno. Kegemaran Ibrahim membaca buku-buku dari pelbagai aspek khususnya buku sastera, sejarah dan politik, memberi kelebihan kepadanya dalam memahami keadaan politik semasa. Pembacaannya tidak terbatas kepada buku-buku sahaja, tetapi juga akhbar-akhbar khususnya dari Indonesia seperti akhbarPedoman Masyarakat, Fikiran Rakyat, Persatuan Indonesia, Pewarta Deli, Pertja Selatan, Soeloeh Rakyat Indonesia, Semangat Islam, Seruan Azhar, Bintang Timur dan Bintang Hindia yang terdapat di perpustakaan SITC. Ini kerana pengetua SITC pada waktu itu, O.T. Dussek mengarahkan supaya pihak perpustakaan melanggan akhbar- akhbar dan buku-buku dari Indonesia untuk memenuhi keperluan pembelajaran di SITC.Semangat anti-British dipanaskan oleh Ibrahim melalui penulisannya dalam majalah tahunan SITC iaitu Majalah Cenderamata. Ibrahim turut mengagumi “Sumpah Pemuda” yang merupakan ikrar persatuan yang menekankan perjuangan untuk mencapai matlamat satu bahasa, satu nusa dan satu bangsa Indonesia. Pengetahuan yang diperoleh melalui pembacaan dan pendedahan perkembangan politik khususnya di Indonesia memberi impak ke dalam diri Ibrahim dalam membina jati diri yang kukuh dan secara tidak langsung menimbulkan perasaan cintakan bangsa dan negara. Pendedahan dalam aspek politik dan pengalaman yang diperolehi di SITC telah membentuk diri Ibrahim sebagai seorang Melayu yang mencintai bangsa dan negaranya. Dalam memastikan perjuangannya dapat disebarkan kepada rakyat umum, Ibrahim memperjuangkan ideologi politiknya melalui penulisan di dalam akhbar Majlis. Penulisan Ibrahim juga turut tersiar di dalam akhbar-akhbar terkemuka pada ketika itu seperti Warta Malaya dan Utusan Melayu. Penulisan beliau meliputi aspek kehidupan orang Melayu sama ada dari perspektif ekonomi, pelajaran, cara hidup orang Melayu dan berkaitan dengan bangsa asing serta dasar-dasar British di Tanah Melayu.

Menubuhkan KMM

Sebelum tertubuhnya KMM, Ibrahim melibatkan diri secara langsung dengan beberapa pertubuhan bukan kerajaan. Semasa beliau masih menuntut di SITC, beliau beserta rakan-rakan telah menubuhkan satu persatuan sulit yang “berhaluan sosialis” iaitu Ikatan Semenanjung Malaya/Borneo pada tahun 1929 yang memperjuangkan gagasan “Melayu Raya” dengan menerapkan nilai perjuangan dan memulakan proses perkembangan nasionalisme Melayu. Pengenalan konsep “Melayu Raya” dan tuntutan kemerdekaan Semenanjung Tanah Melayu di bawah Indonesia menjadi asas kepada perjuangan Ibrahim melalui pertubuhan KMM. Walaupun ada pendapat yang melabelkan Ibrahim

Raja Ahmad Shalaby Raja Hassan 25 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism sebagai golongan radikal yang berhaluan kiri, namun jasa dan cetusan idea politik beliau telah membuka ruang kepada kegiatan nasiolisme Melayu kemudian disambung oleh rakan-rakan seperjuangannya. Penubuhan KMM berkait rapat dengan keadaan di SITC yang kini dikenali sebagai Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) di Tanjong Malim, Perak.Pemikiran nasionalisme Ibrahim juga terserlah dalam beberapa tulisan beliau sama ada dalam bentuk buku bacaan umum ataupun puisi. Buku yang dihasikannya berjudul Melihat Tanah Air (1941) dan Nusa dan Bangsa Melayu (1951) ataupun puisi-puisinya dalam Majlis, Warta Malaya, Warta Negeri dan Warta Ahad. Antara puisinya yang bertemakan nasionalisme Melayu ialah “Seruan Kebangsaan” dan “Oh Saudara” yang diterbitkan dalam Warta Negeri, 28.6.1931. Dalam buku Nusa dan Bangsa Melayu Ibrahim beliau mengilhamkan konsep “Indonesia Raya” dengan menulis: Tudjuan Melayu-Raya ke arah Indonesia-Raya jang djadi tjita-tjita pergerakan kebangsaan Melayu itu ialah untuk menebus kembali hak warisan Nusantara Sri-Vidjaja, ialah ke arah kesatuan bangsa bersama. Selama kemerdekaan Malaya, buat bangsa Melayu itu belum berhasil, maka tjita-tjita national jang murni itu belumlah boleh berhasil. (1951:67).

Dalam puisi “Seruan Kebangsaan” pula, antara lain beliau menyeru bangsanya supaya bangkitlah mencari kemajuan dan bukan hanya memeluk tubuh sahaja. Ibrahim menukilan: Wahai bangsa Melayu putera sejati Memiliki Semenanjung wahai gusti Ke manakah tuan buahnya hati Marilah lekas kemajuan uliti.

Usahlah tidur amboi wei! Bangsa Bukalah mata lihatlah desa Keluarkan gagah dengan perkasa Supaya bangsa tinggal sentosa

Bangunlah kaum bangunlah asmara Bangun bekerja dengan segera Carilah kemajuan bangsa negara Berpeluk kita bersatu saudara (Abdul Latif Abu Bakar, 1987:41).

Ibrahim mengesa masyarakat Melayu supaya menubuhkan Persatuan Kebangsaan Melayu bagi menyatukan orang Melayu untuk menyelamatkan hak kebangsaaan memperlihatkan dirinya sebagai pengerak nasionalisme Melayu di Tanah Melayu. Selain itu, penglibatan beliau di dalam kelab dan pertubuhan sebelum tertubuhnya KMM antaranya meliputi Kelab Melayu Bentong pada tahun 1931 hingga 1934, Persatuan Melayu Selangor pada tahun 1938, Persatuan Belia Melayu dan beberapa persatuan yang menjadi medan Ibrahim berjuang

26 Raja Ahmad Shalaby Raja Hassan Ibrahim Haji Yaakob (1910-1979) dan memperkembangkan ideologinya.Penglibatan Ibrahim dalam KMM bermula selepas Persatuan Belia Melayu yang dianggotainya telah mengalami proses tranformasi. Pada peringkat awal Persatuan Belia Melayu hanya terlibat di dalam aktiviti sosial sahaja,namun Ibrahim bersama rakan-rakannya dari SITC menjadikan Persatuan Belia Melayu berteraskan politik. Selaras dengan perubahan tersebut, nama Persatuan Belia Melayu telah ditukar kepada Kesatuan Melayu Muda yang turut dikenali dengan Young Malay Union. Pertukaran nama tersebut menjadikan KMM sebuah pertubuhan nasional yang agak radikal. Ibrahim dilantik sebagai Presidendengan dibantu rakan-rakannya seperti Mustapha Hussain sebagai Naib Presiden, Hassan Abdul Manan sebagai Setiausaha 1, Othman Mohd Noor sebagai Setiausaha 2, Idris Hakim sebagai Bendahari, manakala Ahli Jawatankuasa terdiri daripada Ishak Haji Muhammad, Abdul Karim Rashid, Bahar Abik, Onan Haji Siraj, Sulung Chik, Abdul Samad Ahmad, Abdullah Kamil dan Mohammad Salehuddin. Selain daripada mereka, antara tokoh-tokoh terkemuka yang pernah menyertai KMM selepas itu ialah Dr. Burhanuddin Al-Helmy pada tahun 1939, Dato’ Onn Ja’afar yang menganggotai KMM pada bulan April 1942 dan beberapa orang tokoh yang kemudiannya menjadi pencetus kepada perjuangan menuntut kemerdekaan Tanah Melayu daripada British. Ahli-ahli KMM yang ramai terdiri daripada guru-guru lulusan SITC mula menyebarkan sayap dan fahaman KMM ke pelusuk Tanah Melayu. Kemudiannya, KMM dan beberapa pertubuhan Melayu yang lain telah mengaturkan satu kongress Melayu di Kuala Lumpur pada Ogos, 1939. Kongress kedua telah diadakan di Singapura pada Disember 1940. Kongress sepatutnya diadakan di Ipoh, Perak pada tahun 1941, akan tetapi kehendak itu terhalang apabila Perang Dunia II meletus dan Tanah Melayu jatuh kepada tentera Jepun. KMM yang diterajui oleh Ibrahim menjadi satu medan perjuangan bagi membentuk kuasa rakyat akar umbi dalam menentukan nasib orang Melayu. Bagi Ibrahim, KMM dikhaskan untuk golongan pemuda bawahan. Hal ini bertujuan bagi menunjukkan protes beliau terhadap penguasaan golongan bangsawan dalam kepimpinan politik Melayu seperti Persatuan Melayu Selangor yang dipimpin oleh Tengku Ismail Tengku Muhammad Yasin. Oleh itu, ideologi Ibrahim melalui KMM secara tidak langsung telah membawa satu anjakan terhadap idea pemikiran baru kepada orang Melayu dengan memberi satu bentuk kepimpinan berasaskan kuasa dari rakyat,oleh rakyat, untuk rakyat. Menurut Ibrahim Haji Yaakob, pembentukan KMM adalah bertujuaan untuk melenyapkan belenggu penjajahan asing dan sebagai gantinya melahirkan satu gagasan “Satu Untuk Semua, Semua Untuk Satu”. Oleh itu,beliau bertindak selaras dengan cita-cita dan ideologinya semenjak menuntut di SITC lagi iaitu mengabungkan Tanah Melayu dengan Indonesia di bawah satu konsep “Melayu Raya” untuk memastikan orang Melayu dapat bersatu di bawah satu bangsa atau satu negara.

Raja Ahmad Shalaby Raja Hassan 27 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

Sewaktu Perang Dunia IIsemakin menghampiri,pemuda-pemuda KMM telah bertindak menyemarakan semangat anti-British. Pada 1941, Konsul Jeneral Jepun di Singapura telah membantu KMM membeli akhbar Melayu di Singapura iaitu Warta Malayadengan memberikan kemudahan kewangan. Pada tahun itu, pihak British telah mula mengesan pengaruh Jepun di dalam KMM. British telah memerhati KMM dengan dekat dan pada akhir tahun, pucuk kepimpinan KMM termasuk Ibrahim Haji Yaakob dipenjarakan. Perjuangan KMM menjadi lemah apabila ramai pemimpin mereka ditangkap. Kelemahan mereka semakin ketara apabil Jepun mula menduduki Tanah Melayu. Dalam mengharungi perubahan sosiopolitik yang berlaku khususnya di Tanah Melayu, Ibrahim melakukan beberapa pendekatan atau perubahan bagi memastikan KMM dan ideologi yang dibawanya dapat bertahan lama. KMM di bawah kepimpinannya telah menjalinkan hubungan dengan pentadbiran British, Jepun dan juga pihak Parti Komunis Malaya (PKM) melalui tentera rakyat yang dikenali sebagai Malayan Peoples’s Anti Japanese Army (MPAJA). Beliau mengambil keputusan menyokong Jepun semasa pendudukannya di Malaya. Kerjasama Ibrahim dengan pihak Jepun melalui KMM menyebabkan pihak British mencurigai beliau dan ahli-ahli KMM yang lain. Kerjasama ini dikenali sebagai ‘politik persubahatan dan kerjasama dengan Jepun’.

Komandan Giyuugun

Setelah tentera Jepun menyerang Tanah Melayu, pemuda-pemuda KMM telah membantu kemaraan tentera-tentera Jepun ke Tanah Melayu sepanjang tahun 1941-1942 sebagai penunjuk jalan dan jurubahasa. Ibrahim dilatih selama enam bulan dan sebelum bulan Jun 1944, beliau dilantik sebagai komandan Giyuugun dengan pangkat Leftenan Kolonel. Dengan bantuan tentera Jepun, pasukan Giyuugun telah dikembangkan di seluruh Semenanjung Tanah Melayu dan Sumatera.Beliau juga dilantik sebagai penasihat hal-ehwal orang Melayu kepada Gabenor Watanabe di Singapura. Namun, tindakan pihak Jepun yang tidak memberi jawatan penting kepada Ibrahim dan ahli KMM yang mempunyai pengaruh yang kuat adalah bagi mengelakkan berlakunya dominasi pentadbiran Jepun terganggu. Kegagalan pihak Jepun menunaikan janji memberi hak kemerdekaan penuh Tanah Melayu dan memenuhi beberapa tuntutan serta tindakan pihak Jepun menggunakan Barisan Pemuda KMM sebagai buruh paksa di Tanjung Katong menjadi salah satu faktor utama Ibrahim bergiat melalui KMM untuk menentang dasar kerajaan Jepun pula. Pada 7 dan 8 Disember 1941, Ibrahim Haji Yaakob, Ishak Haji Muhammad, Hassan Abdul Manan, Ahmad Boestaman dan Muhammad Isa Mahmud ditahan oleh British kerana disyaki merancang pakatan menentang British dan bekerjasama dengan pihak Jepun di bawah Undang-undang Pertahanan (Defence Regulation), lalu dipenjarakan di Changi, Singapura. Penangkapan

28 Raja Ahmad Shalaby Raja Hassan Ibrahim Haji Yaakob (1910-1979)

Ibrahim selaku Yang Dipertua KMM menyebabkan teraju KMM diambil alih oleh Mustapha Hussein untuk memimpin. WalaupunIbrahim dan ahli-ahli KMM ditangkap oleh British, Mustapha Hussein tetap meneruskan dasar untuk memberi sokongan kepada pihak Jepun. Tindakan Ibrahim Haji Yaacob bekerjasama dengan PKM menyebabkan pemerintah Jepun mengambil tindakan untuk mengharamkan KMM pada akhir bulan Jun 1942 kerana dicap sebagai radikal yang boleh menggugat kedudukan dan kepentingan penjajah. Walaupun KMM diharamkan, Ibrahim Haji Yaakob beserta rakan-rakannya seperti Dr. Burhanuddin dan Onan Siraj menubuhkan Kesatuan Rakyat Indonesia Semenanjung (KRIS) pada bulan Jun 1945 dengan diketuai oleh Ibrahim sendiri bagi meneruskan cita-cita dan memperjuangkan kemerdekaan Semenanjung Tanah Melayu di bawah Indonesia. Mereka kemudiannya menubuhkan Parti Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM) yang dipimpin oleh Mokhtaruddin Lasso, Dr. Burhanuddin Al-Helmy, Ishak Haji Muhammad dan Ahmad Boestamam.

Hubungan Dengan Indonesia

Semasa kemuncak nasionalisme Melayu mendapat sambutan di Tanah Melayu, Ibrahim Yaakob menghantar tiga wakilnya ke Jakarta untuk berunding dengan Soekarno untuk berbincang kemungkinan pengabungan Malaya- Indonesia. Sejurus tiba di Jakarta, wakilnya bersama Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia membicarakan batas sempadan negara Indonesia iaitu termasuk bekas Hindia Belanda, atau bekas Hindia Belanda ditambah dengan Malaya, New Guinea, Borneo Utara dan Timor Timur Portugis. Bekas Hindia Belanda dikatakan menolak New Guinea, namun Profesor Mohammad Yamin menganjurkan alternatif lain, iaitu merdeka melalui Indonesia Raya. Soekarno bersetuju dan pada pemungutan suara 39 dari 62 anggota Badan tersebut yang memilih Indonesia Raya. Pada 13 Ogos 1945, Ibrahim Haji Yaakob telah bertemu sendiri dengan delegasi dari Indonesia iaitu Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, dan dari Malaya Dr. Burhanuddin al-Helmy dan Mejar Jeneral Umezu di bandar Taiping, Perak. Sukarno dan Hatta singgah di bandara Taiping dalam perjalanan pulang dari Saigon, Vietnam dalam perjalanan ke Indonesia. Mereka menyatakan bahwa rakyat di Tanah Melayu ingin bersatu dalam negara Indonesia. Ibrahim Yaakob yang mengagumi Soekarno kerana karisma kepimpinannya di samping mempunyai persamaan keturunan Bugis. Ibrahim menegaskan kepada Soekarno bahawa orang-orang Melayu di Malaya bertekad untuk merdeka bersama Indonesia dalam Indonesia Raya. Namun Indonesia Raya tidak menjadi kenyataan kerana Jepun menyerah kalah secara tiba-tiba pada 15 Ogos 1945. Ibrahim diarahkan membubarkan tentera Giyuugun.

Raja Ahmad Shalaby Raja Hassan 29 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

Pada 19 Ogos 1945, Ibrahim, isterinya, iparnya Onan Haji Siraj dan Hassan Abdul Manan terbang ke Jakarta dengan pesawat tentera Jepun. Soekarno mengaskan gagasan memasukkan Malaya tidak mudah kerana terpaksa berjuang menentang dua kuasa besar iaitu Belanda dan British. Presiden Soekarno menyarankan Ibrahim dan rakan rakan-rakan berjuang di pulau Jawa untuk mencapai ‘Indonesia Raya’. Pada bulan November 1955, Ibrahim Yaakob bertemu dengan Tunku Abdul Rahman yang menjadi Ketua Menteri Persekutuan Tanah Melayu lalu menemui Presiden Soekarno di Jakarta. Tunku mahu Malaya merdeka dalam Komanwel British sedangkan Ibrahim mahu Malaya merdeka dalam kerangka Indonesia Raya.Usaha tersebut gagal dilaksanakan setelah Soekarno membuat perisytiharan kemerdekaan Indonesia tanpa penyertaan Tanah Melayu pada tanggal 17 Ogos 1945. Ibrahim sangat kecewa dan mengambil keputusan untuk berjuang di Indonesia. Melalui sokongan Presiden Soekarno, Ibrahim dilantik sebagai ahli Parlimen Indonesia dengan nama ‘Iskandar Kamel’. Apabila terjadi peristiwa lubang buaya 1965, Ibrahim mengundurkan diri menjadi ahli parlimen. Kemudian beliau merintis membentuk ‘Bank Pertiwi’ dan menjadi pengarahnya. Perjuangannya untuk menyatukan Malaya–Indonesia semakin jauh lalu gagal. Walau bagaimanapun, perjuangan dan cita-cita Ibrahim Haji Yaakob untuk melihat Malaya merdeka tetap diteruskan oleh rakan-rakannya. Semangat kebangsaan dan nasionalisme yang diterapkan oleh Ibrahim Haji Yaakob, secara tidak langsung membawa kepada kemerdekaan Tanah Melayu pada 31 Ogos 1957. Ibrahin Haji Yaakob meninggal dunia ketika berusia 68 tahun pada 8 Mac 1979. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Indonesia kerana pemerintah Indonesia menghargainya sebagai seorang yang banyak berjasa kepada Indonesia. Beliau merupakan tokoh hebat Anak Kandung SITC Tanjong Malim yang diiktiraf sebagai pejuang kemerdekaan negara oleh ramai pengkaji sejarah dan politik Malaysia. Beliau merupakan seorang tokoh yang dianggap sebagai penjalin setiakawan Malaysia-Indonesia.

Rujukan

Abdul Latiff Abu Bakar. (1987). Puisi-puisi Kebangsaan 1913-1957, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Abu Talib Ahmad. (2007). Siri Syarahan Umum Pelantikan Profesor, Pendudukan Jepun (1942-1945) dan Asia Tenggara, Pulau Pinang: Penerbit Universiti Sains Malaysia. Ibrahim Yaacob. (1957).Sekitar Malaya Merdeka. Jakarta: Penerbit Kesatuan Malaya Merdeka, Bahagian Penerangan. Ibrahim Yaakob. (1951). Nusa dan Bangsa Melaju, Jakarta: Alma’arif. Insun Sony Mustapha. (1999). Memoir Mustapha Hussain: Kebangkitan Nasionalisme

30 Raja Ahmad Shalaby Raja Hassan Ibrahim Haji Yaakob (1910-1979)

Melayu Sebelum UMNO, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Ishak Saat, Radikalisme Melayu Perak 1945-1970, Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia, 2011. Ishak Saat. (2009). Malaysia 1945-2000. Kuala Lumpur: Utusan Publications. Ishak Saat. (2011). Radikalisme Melayu Perak 1945-1970. Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia. Loh, Philip Fook Seng. (1975). Seeds of Separatism: Educational Policy in Malaya, 1874-1940.Kuala Lumpur: Oxford University Press. Record of Final Examinations and Prizes 1910-1935, Sultan Idris Training College. Roff, William R. (1994). The Origins of Malay Nationalism. Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya.

Raja Ahmad Shalaby Raja Hassan 31

RELASI ANTARA AGAMA, NEGARA DAN BUDAYA DALAM KONTEK NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Mubasirun Fakultas Usuluddin Adab dan Humaniora, IAIN Salatiga Indonesia [email protected]

Abstract

In the context of the relation between Religion, State and Culture, there are two groups of countries, groups that integrate between Religion and state affairs and groups that separate religion and state affairs. Similarly, the relationship between religion and culture. Indonesia as a plural country and the majority of its population is Muslim, does not follow one of the two groups, but stands between the two groups. Indonesia does not integrate religion and state affairs, nor is it a separation between religion and state affairs. However, the Indonesian government system accommodates both groups and stands between the two groups held by many countries in the world, this is the uniqueness of the Indonesian government system.

Keywords: relations, religion, country, clothing, Indonesia

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 33 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

Pendahuluan

gama selalu diterima dan dialami secara subjektif. Oleh karena itu Aorang sering mendefinisikan agama sesuai dengan pengalaman dan penghayatannya pada agama yang di anutnya. Menurut “Mukti Ali”, mantan menteri agama Republik Indonesia menyatakan bahwa agama adalah percaya akan adanya Tuhan Yang Esa. Dan hukum-hukum yang di wahyukan kepada kepercayaan utusan-utusannya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Sedangkan menurut ”James Martineau” agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup. Yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia. Friedrich Schleiermacer, menegaskan bahwa agama tidak dapat di lacak dari pengetahuan rasional, juga tidak dari tindakan moral, akan tetapi agama berasal dari perasaan ketergantungan mutlak kepada yang tak terhingga (feeling of absolute dependence).1 Di samping itu, agama merupakan pedoman hidup atau arahan dalam menentukan kehidupan, sebagaimana dalam hadist. “Kutinggalkan untuk kamu dua perkara tidaklah kamu akan tersesat selama-lamanya, selama kamu masih berpegang kepada keduanya yaitu kitabullah dan sunnah rasul”2 Istilah negara merupakan terjemahkan dari beberapa kata-kata asing yaitu: “staat” (Dari Bahasa Belanda dan Jerman) “state” (Bahasa Inggris) “etat” (Bahasa Perancis). Kata “staat” (state,etat) itu diambil dari kata Bahasa Latin yaitu “status” atau “statum”, yang artinya keadaan yang tegak dan tetap atau suatu yang memiliki sifat yang tegak dan tetap. Secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif yang pada galibnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat: masyarakat (rakyat), wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat.lebih lanjut dari pengertian di atas, negara indentik dengan hak dan wewenang3 Indonesia merupakan negara kepulauan yang penuh dengan kekayaan serta keragaman budaya, ras, suku bangsa, kepercayaan, agama, bahasa, dan masih banyak lainnya. Meskipun penuh dengan keragaman, Indonesia tetap satu sesuai dengan semboyannya, “ Bhineka Tunggal Ika” yang artinya “meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Munculnya keragaman budaya didukung oleh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah-pisah oleh lautan. Di samping itu juga dipengaruhi oleh letak geografis indonesia yang terletak di jalur perdagangan internasional serta kekayaan alam yang melimpah sehingga perdagang asing banyak yang datang dan singgah di Indonesia. Para

1 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama sebuah Pengantar, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004) h. 20-22 2 Waqiatul Azra, Buku ajar civic education, (Pamekasan, STAIN Pamekasan Press, 2006) h. 48 3 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (ICCE UIN Syarif Hidayatulla: Jakarta, Edisi ke-3, 2008) h. 84

34 Mubasirun Relasi Antara A gama, Negara dan Budaya dalam Kontek Negara Kesatuan Republik Indonesia pedagang asing tersebut, selain melakukan kegiatan perdagangan, mereka juga menyebarkan ajaran agama dan kepercayaan yang mereka bawa dari negeri asalnya. Di antara agama yang disebarkan oleh para pedagang asing tersebut adalah agama Budha dan Hindu yang dibawa oleh bangsa India yang telah lama berdagang dengan Indonesia, agama Islam yang dibawa dan disebarkan oleh para pedagang Gujarat, agama katolik dan kristen dibawa oleh para pedagang dari Eropa,dan agama Kunghucu dibawa dan disebarkan oleh para pedagang dari Cina. Berbagai agama tersebut diterima oleh bangsa Indonesia karena sebelumnya masyarakat sudah mengenal kepercayaan sperti dinamisme maupun animisme, di samping sifat keterbukaan masyarakat Indonesia terhadap budaya lain. Keberagaman agama dan budaya di Indonesia yang disebabkan oleh datangnya para pedagang dari berbagai manca negara tersebut, masih berlangsung sampai sekarang dan tetap dipertahankan oleh bangsa Indonesia yang justru menjadi kebanggaan tersendiri. Kondisi keberagaman yang terjadi di Indonesia inilah menuntut adanya kekhasan bentuk relasi antara agama dan negara di Indonesia.

Hubungan antara Agama dan Negara

Relasi antara agama dan negara menurut Din Samsudin, seorang tokoh intelektual Muslim Indonesia terbagi dalam tiga paradigma yaitu paradigma Integratif (unified paradigm), paradigma sekuler (secularistic paradigm) dan paradigma simbiotik (symbiotic paradigm).4 Yang dimaksudkan Paradigma Integratif (unified paradigm), yaitu agama dan negara menyatu. Wilayah agama meliputi wilayah politik atau negara. Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahan diselenggarakan atas dasar kedaulatan Tuhan (divine sovereignty). Pendukung paradigma ini meyakini bahwa kedaulan berasal dan berada di tangan Tuhan. Dengan demikian, dalam perspektif paradigma integratif pemberlakuan dan penerapan syariat Islam sebagai hukum positif negara adalah hal yang niscaya. Sedangkan Paradigma sekular (secularistic paradigm) adalah paradigma yang menolak dua paradigma di atas, yaitu paradigma integratif dan paradigma simbiotik. Sebagai gantinya paradigma sekular mengajukan pemisahan (disparatis) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama. Konsep al-dunyâ al-akhîrah, al-dîn al-dawlah atau umûr al-dunyâ umûr al-dîn didikotomikan secara diametral. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak, menolak determinasi Islam pada bentuk tetentu dari negara. Sementara Paradigma simbiotik (symbiotic paradigm), yaitu agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik

4 M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 58-64.

Mubasirun 35 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara dan dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama dan dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral- spiritual. Paradigma ini terkadang disebut pola hubungan yang tidak formal atau tidak resmi antara agama dan negara. Dalam sistem kenegaraan dan pola pemerintahan seperti ini, agama secara resmi tidak dijadikan dasar negara dalam konstitusinya, tetapi pola hubungan antara keduanya dibuat berlangsung secara tidak formal. Dalam praktiknya, ada dua kelompok negara-negara di Dunia ini terkait relasi antara Agama dan Negara. Kelompok pertama adalah negara yang mengposisikan Agama tidak terpisahkan dengan negara, karena urusan negara termasuk dari bagian agama. Hal ini seperti yang dipraktikan oleh negara- negara Timur Tengah seperti Kerajaan Arab Saudi, Syiria, Irak, Iran, Mesir dan negara-negara lainnya di Timur Tengah. Kenyataannya di antara negara-negara tersebut tidak begitu kondosif, selalu terjadi konflik antar warganya. Kelompok kedua adalah negara yang memisahkan antara negara dan agama. Antara negara dan Agama merupakan dua hal yang berdiri sendiri, tidak saling mencampuri. Hal ini seper yang terjadi di negara-negara Eropa. Indonesia merupakan negara yang berada di antara dua yang dipraktikan oleh kedua kelompok tersebut, tidak sekuler dan tidak pula integratif, dan di sinilah yang menjadi keunikannya.

Relasi antara Agama dan Negara dalam Konteks Indonesia

Pemerintah Indonesia memberikan kebebasan kepada seluruh warganya dalam menganut agama yang diyakininya. Tidak ada paksaan dari Pemerintah untuk menganut agama tertentu. Kebebasan dalam menganut agama bagi segenap warga negara di Indonesia dijamin oleh Undang-undang, yaitu Undang-undang 1945 pasal 29 dan sila pertama dari Pancasila. Namun demikian hanya enam agama yang diakui oleh Pemerintah, yaitu Islam, Kristen, Katulik, Hindu, Buda dan Konghucu.5 Enam agama inilah yang di anut oleh kebanyakan penduduk Indonesia. Karena Pemerintah tidak mewajiban kepada warganya untuk menganut agama tertentu, melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada warganya, maka ajaran agama-agama tersebut mengikat warga negara di Indonesia. Sedang yang mengikat segenap warga negara adalah Undang-undang dasar 19456 dan Pancasila7 yang menjadi dasar negara Indonesia. Di antara

5 Pencantuman terhadap enam agama tersebut tertera dalam penjelasan tuntang Tap Presiden No 1/ PNPS/tahun 1965 tanggal 27 Januari 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan /atau Penodaan Agama 6 Sebelum dilakukan amendemen, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh yang terdiri dari 16 bab, 37 pasal, 65 ayat, dan setelah mengalami 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 16 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan. 7 Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima sila tersebut adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan

36 Mubasirun Relasi Antara A gama, Negara dan Budaya dalam Kontek Negara Kesatuan Republik Indonesia penganut dari ke enam agama tersebut, penganut agama Islam yang paling banyak. Menurut hasil sensus tahun 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan. 8 Meskipun UUD 1945 dan Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia bukan merupakan azas agama, akan tetapi secara substansial banyak yang termuati ajaran agama, dalam hal ini agama Islam. Praktik penyelenggaraan negara tidak saja memiliki dimensi kepentingan sesaat, akan tetapi jauh ke depan. Kepentingan ke depan itu selalu didasarkan pada pertimbangan kepentingan pelaksanaan nilai-nilai ajaran Islam, karena pelaksanaan ajaran Islam pada dasarnya tidak hanya penting bagi umat Islam saja akan tetapi bermanfaat bagi keluhuran sifat dasar kemanusiaan. Secara umum pembuatan peraturan perundangan- undangan di Indonesia banyak yang mengacu kepada kaidah “kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus berdasarkan pada kemaslahatan” (tasharraf al imam ‘ala raiyyah manuuthun bi al mashlahah). Secara lebih khusus lagi, sesuai dengan dasar filosofi ajaran Islam (maqashid al syari’at) yang memiliki lima prinsip yaitu;

Pertama, hifz al din. Setiap kegiatan didasarkan untuk kepentingan pemeliharaan ajaran Islam, oleh karenanya kehidupan itu baru bernilai apabila selalu didasarkan kepada ajaran Islam. Setiap peraturan perundang- undangan tidak boleh bertentangan dengan hakikat ajaran Islam malah justru semua undang-undang haruslah bertujuan memperkuat komitmen semua umat beragama terhadap ajaran agamanya. Oleh karena itu pertimbangan untuk kepentingan syari’at haruslah ditempatkan di atas segala- galanya. Semua peraturan perundang- undangan hendaklah yang dapat memudahkan orang beribadah oleh karenanya tidak boleh ada yang bertentangan dengan ajaran Islam (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 83). Mengingat agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah Islam, maka setiap undang- undang memberi kemudahan bagi umat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya, dan pada saat yang sama juga memberikan kemudahan bagi umat lainnya dalam mengamalkan ajaran agamanya. Bertolak pada pemikiran tersebut, setiap undang - undang tidak boleh bertentangan dengan semangat spiritual yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.

Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ke lima sila ini juga tercantum pada paragraf ke-4 Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. 8 Sensus Penduduk 2010. Jakarta, Indonesia: Badan Pusat Statistik. 15 May 2010. Islam 207176162 (87,18%), Kristen 16528513 (6,96), Katolik 6907873 (2,91), Hindu 4012116 (1,69), Buddha 1703254 (0,72), Kong Hu Cu 117091 (0,05), lainnya 299617 (0,13), tidak terjawab 139582 (0,06), tidak ditanyakan 757118 (0,32), total 237641326.

Mubasirun 37 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

Kedua, hifz al nafs. Setiap pelaksanaan ajaran Islam harus selalu memelihara kelangsungan hidup manusia, oleh karena itu tidak dibenarkan upaya-upaya kehidupan yang justru berakibat hilangnya keberadaan manusia. Peraturan perundang-undangan di Indonesia harus dapat menjaga kelangsungan kehidupan dan melindungi kehormatan umat manusia. Tidak dibenarkan adanya undang-undang yang merendahkan martabat manusia karena manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang sempurna (Q.S. Al Tin [95]: 4); (Q.S. Al Isra’ [17]: 33).

Ketiga, hifz al nasl. Seluruh perundang-undangan harus dapat memelihara kelangsungan berketurunan, oleh karena itu tidak dibenarkan adanya upaya pembunuhan atau pemutusan keturunan atas dasar alasan apapun juga. Serta tidak dibenarkan aktifitas perusakan lingkungan hidup karena dapat mengancam eksistensi kelangsungan hidup manusia. Seluruh produk perundang-undangan hendaklah bertujuan memuliakan manusia (Q.S. Al Isra’ [17]: 31).

Keempat, hifz al mal. Seluruh perundang-undangan hendaklah dapat memelihara kepemilikan harta, baik kepemilikan harta yang sempurna (milk taam) maupun kepemilikan tak sempurna (milk naaqish)dan hak-hak kepemilikan kebendaan termasuk hak cipta maupun budaya bangsa. Islam menegaskan adanya kepemilikan perorangan dan kepemilikan syirkah, namun harta yang dimiliki itu memiliki nilai ibadah dan sosial yang ditunaikan melalui zakat, infak dan shadaqah (Q.S. Al Hijr [15]: 20).

Kelima, hifz al aql. Peraturan perundang-undangan hendaklah memuliakan manusia sebagai makhluk Allah yang mulia yang memiliki akal sehat dengan kemampuan berfikir yang baik dan benar, terbebas dari hedonisme dan materialisme, jauh dari pragmatis serta menjunjung tinggi akhlak mulia, sehingga segenap kehidupan manusia menjadi aman dan bahagia (Qs. 17:70). Hal ini dapat terwujud manakala akal pikirannya positif, tidak terkotori pengaruh narkotika dan obat- obat terlarang dan mampu menyikapi semua hal secara dewasa.

Relasi antara Agama dan Buadaya dalam Kontek Indonesia

Untuk menelusi adanya relasi antara Agama dan Budaya dalam konteks Indonesia, akan mengambil wilayah Jawa, mengingat bahwa Jawa merupakan salah satu kepulauan Indonesia yang paling padat penduduknya. 57,5 % atau sekitar 135.455.556 dari seseluruhan 237.641.326 penduduk Indonesia mendiami

38 Mubasirun Relasi Antara A gama, Negara dan Budaya dalam Kontek Negara Kesatuan Republik Indonesia pulau jawa. Sementara luas pulau jawa hanya 6,8 % dari keseluruhan luas wilayah Indonesia atau sekitar 353141 km² dari keseluruhan luas wilayah Indonesia yang mencapai 5.193.250 km² termasuk daratan dan lautan. Dengan jumlah penduduk terbanyak tersebut, pulau jawa merupakan yang paling setrategis baik dari aspek politik, ekonomi maupun budaya. Perlu kiranya disinggung bahawa ajaran budaya Jawa semuanya harus dituangkan dengan Sasmita Semu (teka-teki). Artinya, segala ajaran, nasihat dan petuah tidak ditunjukkan atau disampaikan secara nyata (konkret) istilah Jawanya blaka suta. Oleh karena itu ajaran kejawen tidak mudah dicerna dan dipahami begitu saja, melainkan perlu penjabaran dan penjelasan. Kehidupan bagi orang Jawa adalah gambaran urip/panguripan yang terdapat dalam lahir dan batin merupakan suatu kenyataan yang tak terpisahkan. Saat menggambarkan kehidupan, orang Jawa memberi gambaran watak seperti lakon dalam dunia pewayangan. Parameter moral budaya Jawa yang tidak jelas karena bergantung konteks penggunaannya. Untuk memahami watak orang Jawa kita tidak dapat menggunakan penilaian dari budaya lain. Watak orang Jawa mempunyai keunikan yang bersifat sebagai relativisme Jawa yang Pluralis moralitas dengan budaya lain9. Konsep ajaran jawa yang di dalamnya sarat dengan petuah keagamaan banyak tertuang dalam tembang dolanan ( nyanyian mainan ), di antaranya;

Gundul-gundul Pacul Tembang Gundul-gundul Pacul diciptakan oleh Sunan Kalijaga10 pada abad 14 berisi tentang filosofi kepemimpinan yang baik. Tembang ini merupakan tembang mainan bagi anak-anak. Naskah lengkap tembang Gundul-gundul Pancul adalah sebagai berikut; Gundhul gundhul pacul cul gembèlengan Nyunggi nyunggi wakul kul gembèlengan Wakul ngglimpang segané dadi sak latar Wakul ngglimpang segané dadi sak latar

Gundul gundul pacul, gembelengan. Gundul adalah kepala plontos tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan dan kemuliaan seseorang, sementara rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Dengan demikian, gundul artinya adalah kehormatan yang tanpa mahkota. Pacul adalah cangkul, yaitu suatu alat pertanian yang terbuat dari lempeng besi segi empat, merupakan lambang rakyat kecil yang kebanyakan adalah petani. Orang Jawa mengatakan bahwa pacul adalah papat kang ucul (lit. “empat yang lepas”), dengan pengertian

9 Edi Purwanto, Falsafah Dibalik Tembang “Gundul-Gundul Pacul” dan “Lir-Ilir” dalam http:// lapmics.blogspot.co.id/2013/10/falsafah-dibalik-tembang-gundul-gundul.html 10 Sunan Kalijaga atau Sunan Kalijogo adalah seorang tokoh Wali Songo yang sangat lekat dengan Muslim di Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa. Makamnya berada di Kadilangu, Demak.

Mubasirun 39 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism bahwa kemuliaan seseorang sangat tergantung kepada empat hal, yaitu cara orang tersebut menggunakan mata, hidung, telinga, dan mulutnya. Jika empat hal itu lepas, kehormatan orang tersebut juga akan lepas. Gembelengan artinya “besar kepala, sombong, dan bermain-main” dalam menggunakan kehormatannya. Dengan demikian, makna kalimat “ Gundul-gundul Pacul “adalah bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota, tetapi pembawa pacul untuk mencangkul (mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya). Namun, orang yang sudah kehilangan empat indera tersebut akan berubah sikapnya menjadi congkak (gembelengan). Terkait tugas yang harus diemban oleh pemimpin M Quraish Shihab menjelaskan bahwa sang khalifah atau pemimpin harus menyesuaikan semua tindakannya dengan apa yang diamanatkan oleh Pemberi tugas itu yaitu Allah yang Maha memiliki kekuasaan dan rakyat yang memilihnya.11 Nyungi nyunggi wakul kul, gembelengan. Nyunggi memiliki arti “ membawa”, wakul’ artinya bakul, yaiti tempat untk menaruh nasi. Gemblelengan dalam bahasa Indonesia berarti “ sombong, besar kepala. Maka kalimat “ nyunggi wakul gemblelengan berarti membawa bakul di atas kepala dengan sombong. Hal ini dilambangkan sebagai menjunjung amanah rakyat. Namun, saat membawa bakul, sikapnya sombong hati (gembelengan). Wakul ngglimpang segane dadi sak latar. Wakul ngglimpang (bakul terguling) melambangkan amanah dari rakyat terjatuh, akibat sikap sombong saat membawa amanah tersebut.Segane dadi sak latar (nasinya jadi sehalaman) melambangkan hasil yang diperoleh menjadi berantakan dan sia-sia, tidak bisa dimakan lagi (tidak bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat). Inilah pelajaran yang terkandung dalam tembang Gundul-gundul Pacul.12 Tembang “Lir-Ilir” Lir ilir lir ilir tandure wong sumilir Tak ijo royo royo Tak sengguh penganten anyar Bocah angon bocah angon penekno blimbing kuwi Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro Dodotiro dodotiro kumintir bedah ing pinggir Dondomono jrumatono kanggo seba mengko sore Mumpung padang rembulane Mumpung jembar kalangane Yo surak’o surak hiyo

Lir-ilir, Lir-ilir (Bangunlah, bangunlah) Tandure wus sumilir (Tanaman sudah bersemi) Tak ijo royo-royo (Demikian menghijau) Tak sengguh temanten anyar (Bagaikan pengantin baru)

11 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah volume 12 cet. II, (Tangerang: Lentera Hati, 2004),h. 133. 12 Edi Purwanto, Falsafah Dibalik Tembang “Gundul-Gundul Pacul” dan “Lir-Ilir” dalam http://lapmics.blogspot.co.id/2013/10/falsafah-dibalik-tembang-gundul-gundul.html

40 Mubasirun Relasi Antara A gama, Negara dan Budaya dalam Kontek Negara Kesatuan Republik Indonesia

Sebagai umat Islam kita diminta bangun. Bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas untuk lebih mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh Alloh dalam diri kita yang dalam ini dilambangkan dengan Tanaman yang mulai bersemi dan demikian menghijau. Terserah kepada kita, mau tetap tidur dan membiarkan tanaman iman kita mati atau bangun dan berjuang untuk menumbuhkan tanaman tersebut hingga besar dan mendapatkan kebahagiaan seperti bahagianya pengantin baru. Dalam hal ini selaras dengan seruan Allah dalam QS; al-Musatsir [74]; 1 di mana Allah memberikan seruan agar menanggalkan kemalasan dan melawat tabiat serta sesuatu yang disukai oleh manusia, yaitu bersantai-santai, tidur atau menjahui resiko dan bekerja keras. “Bangunlah. Lakukan sesuatu yang berarti. Peringatkan kaummu selagi masih ada kesempatan” kira-kira seperti itulah pesan Allah pada hambanya. Cah angon, cah angon (Anak gembala, anak gembala) Penekno Blimbing kuwi (Panjatlah (pohon) belimbing itu) Lunyu-lunyu penekno (Biar licin dan susah tetaplah kau panjat) Kanggo mbasuh dodotiro (untuk membasuh pakaianmu)

Disini disebut anak gembala karena oleh Alloh, kita telah diberikan sesuatu untuk digembalakan yaitu HATI. Bisakah kita menggembalakan hati kita dari dorongan hawa nafsu yang demikian kuatnya? Si anak gembala diminta memanjat pohon belimbing yang notabene buah belimbing bergerigi lima buah. Buah belimbing disini menggambarkan lima rukun Islam13 . Jadi meskipun licin, meskipun susah kita harus tetap memanjat pohon belimbing tersebut dalam arti sekuat tenaga kita tetap berusaha menjalankan Rukun Islam apapun halangan dan resikonya. Lalu apa gunanya? Gunanya adalah untuk mencuci pakaian kita yaitu pakaian taqwa. Dodotiro, dodotiro (Pakaianmu, pakaianmu) Kumitir bedah ing pinggir (terkoyak-koyak dibagian samping) Dondomono, Jlumatono (Jahitlah, Benahilah!!) Kanggo sebo mengko sore (untuk menghadap nanti sore)

Pakaian taqwa kita sebagai manusia biasa pasti terkoyak dan berlubang disana-sini, untuk itu kita diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahinya agar kelak kita sudah siap ketika dipanggil menghadap kehadirat Alloh SWT.

13 Sa’ad bin Ubadah dari Ibnu Umar yang diriwayatkan Muslim. ِ ِ ِ ِ َّ ِ َّ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ َع ْن َس ْعد بْن عُبـَْي َدةَ َع ْن ابْن عُ َمَر َع ْن النَّ ِّب َصلى َّاللُ َعلَْيه َو َسلَم قَ َال بُ َن ْال ْسَلُم َعلَى َخْ َسة َعلَى أَ ْن يـَُو َّح َد َّاللُ َوإقَام َّالصَلة ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َوإيتَاء َّالزَكاة َوصيَام َرَم َض َان َو ْالَِّج فـََق َال َرُج ٌل ْالَ ُّج َوصيَ ُام َرَم َض َان قَ َال َل صيَ ُام َرَم َض َان َو ْالَ ُّج َه َكَذا َسْعتُهُ م ْن َرُس ول َّالل َّ ِ َّ َصلى َّاللُ َعلَْيه َو َسلَم Dari Sa’ad bin Ubaidah dari Ibnu Umar dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: Islam dibangun di atas 5 (rukun): Mentauhidkan Allah, menegakkan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadlan dan haji. Seorang laki-laki bertanya (kepada Ibnu Umar): haji dan puasa Ramadlan? (Ibnu Umar) berkata: Tidak, puasa Ramadlan dan haji. Demikianlah aku mendengar dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam (H.R Muslim)

Mubasirun 41 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

Mumpung padhang rembulane (Mumpung bulan bersinar terang) Mumpung jembar kalangane (mumpung banyak waktu luang) Yo surako surak iyo!!! (Bersoraklah dengan sorakan Iya!!!)

Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai “mari kita terapkan syariat Islam” sebagai tanda kebahagiaan. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (Al-Anfal :25) Kita diharapkan melakukan hal-hal di atas ketika kita masih sehat (dilambangkan dengan terangnya bulan) dan masih mempunyai banyak waktu luang14 dan jika ada yang mengingatkan maka jawablah dengan Iya!!! Lir ilir, judul dari tembang di atas. Bukan sekedar tembang dolanan biasa, tapi tembang di atas mengandung makna yang sangat mendalam. Tembang karya Kanjeng Sunan ini memberikan hakikat kehidupan dalam bentuk syair yang indah. Carrol McLaughlin, seorang profesor harpa dari Arizona University terkagum kagum dengan tembang ini, beliau sering memainkannya. Maya Hasan, seorang pemain Harpa dari Indonesia pernah mengatakan bahwa dia ingin mengerti filosofi dari lagu ini. Para pemain Harpa seperti Maya Hasan (Indonesia), Carrol McLaughlin (Kanada), Hiroko Saito (Jepang), Kellie Marie Cousineau (Amerika Serikat), dan Lizary Rodrigues (Puerto Rico) pernah menterjemahkan lagu ini dalam musik Jazz pada konser musik “Harp to Heart“.15

Simpulan

Relasi antara Agama, Negara dan Budaya di Indonesia bersifat simbiotik yang merupakan jalan tengah antara sekuler dan integraif. Relasi simbiotik antara Agama dan Negra di Indonesia dapat terlacak dalam berbagai perundang- undangan yang berlaku yang ternyata sarat dengan nilai-nilai religius. Sedang relasi antara Agama dan Budaya dapat terlacak di antara dalam tembang- tembang dolana yang sarat dengan nilai agama yang sudah ada sejak ratusan tahun silam.

14 Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ا ْغتَنْم َخْ ًسا قـَْب َل َخْس: َشبَابَ َك قـَْب َل َهَرم َك َو ص َّحتَ َك قـَْب َل َسَقم َك َو غنَ َاك قـَْب َل فـَْقرَك َو فـََر َاغ َك قـَْب َل َشْغل َك َو َحيَاتَ َك قـبل موتِك َْ َ Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara : [1] Waktu mudamu sebelumَ datangَْ“ waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,[3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,[5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.” 15 Edi Purwanto, Falsafah Dibalik Tembang “Gundul-Gundul Pacul” dan “Lir-Ilir” dalam http://lapmics.blogspot.co.id/2013/10/falsafah-dibalik-tembang-gundul-gundul.html

42 Mubasirun Relasi Antara A gama, Negara dan Budaya dalam Kontek Negara Kesatuan Republik Indonesia

Daftar Pustaka

A. Ubaedillah dan Abdul Rozak dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (ICCE UIN Syarif Hidayatulla: Jakarta, Edisi ke-3, 2008). Edi Purwanto, Falsafah Dibalik Tembang “Gundul-Gundul Pacul” dan “Lir-Ilir” dalam http://lapmics.blogspot.co.id/2013/10/falsafah-dibalik-tembang- gundul-gundul.html Imam Jalaluddin as-Suyuthi, al-itqân fi ‘Ulumi al-Qur’an, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H Imam Badruddin az-Zarkasyi, al_Burhan fi Ulumi al-Qur’an, Beirut: Darul Fikr, Cet.I, 1988 M/1408 H, Vol.I. Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama sebuah Pengantar, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004. M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002. Muhammad Nawawi al-Bantani, Nashāihul ‘Ibād, Bandung, Irsyad Baitus Salam,2005 Imam Ibnu Jarir at-Thabary, Jâmi’ al-Bayân, Beirut: Dar Ihya Turats a-Araby, Cet.I, 2001 M/1421 H, Vol.29. Imam Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, : al-Maktabah al-Qayyimah Vol.IV. Shihab, M. Quraish. Tafsīral-Misbāh. Jld. 4. Jakarta: LenteraHati, 2001. ------. Tafsīral-Mishbāh.Vol. 2. Cet. X. Tangerang: LenteraHati, 2008. ------. Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan. Bandung: Mizan, 2007. ------. HidanganIlahi, Ayat-ayatTahlil. Jakarta:LenteraHati, 1997. ------. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992. Shafiurrahman al-Mubarakfury, Ar-Rahîq al-Makhtûm, edisi terjemah, Jakarta Pustaka al-Kautsar, Cet.II, Januari 2009. Waqiatul Azra, Buku ajar civic education, Pamekasan, STAIN Pamekasan Press, 2006.

Mubasirun 43

UNSUR-UNSUR ISLAM DALAM PUISI-PUISI DARIPADA DIWAN BARAT-TIMUR OLEH JOHANN WOLFGANG VON GOETHE

Robe’ah Yusuf Abdul Halim Ali (Phd) Norjietta@Julita Taisin (Phd) Minah Sintian Pusat Bahasa dan Pengajian Umum Universiti Pendidikan Sultan Idris [email protected]

Abstrak

Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) merupakan pujangga agung Jerman. Antara karya utama beliau adalah Faust (1797). Selain itu An Schwanger Kronos, Auf Dem See, Neue Liebe, Neues Leben dari kumpulan puisi Goethe Gedichte in Zeitlicher Folger juga terkenal kerana keindahan kata-kata dan kemampuan mengekspresi rasa kemanusiaan khususnya buat pengkaji Sastera Bandingan. Goethe juga terkenal dengan keunikan kumpulan puisinya yang berjudul West- östlicher Divan (Diwan Barat-Timur) yang dihasilkan sekitar tahun 1819 -1827. Makalah ini akan membincangkan tentang unsur Islam yang terdapat dalam Diwan Barat-Timur menerusi puisi Sonst Wenn Man Den Heiligen Koran Zitierte (Dulunya Kalau Merujuk Al-Quran Yang Suci) dan Wofür Ich Allah Höchlich Danke?(Mengapa Pujianku Pada Allah Membumbung Tinggi?). Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, iaitu sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata yang tertulis atau lisan daripada orang-orang tertentu (penulis atau pengarang) dan perilaku yang dapat diamati. Tulisan ini berusaha mengenal pasti unsur Islam menerusi Teori Teksdealisme. Penelitian ini mendapati kepengarangan Goethe berada atas landasan yang sejajar dengan empat peringkat yang dicadangkan oleh Teori Teksdealisme, iaitu kehadiran, pelanggaran, pengukuhan dan ke peringkat individualiti.

Kata kunci: Goethe, Diwan Barat - Timur, unsur Islam, Teori Teksidealisme

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 45 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

Pengenalan

ohann Wolfgang von Goethe (Goethe) telah dilahirkan di Frankfurt Jam Main, 28 Ogos 1749. Bapanya ialah Johann Kaspar Goethe (29 Julai 1710 - 25 Mei 1782) dan ibunya ialah Katharina Elisabeth Textor (19 Februari 1731 – 15 September 1808). Goethe dikenal sebagai pujangga agung Jerman dan popular dalam sejarah kesarjanaan sastera Eropah. Beliau turut dikenali sebagai negarawan, ilmuwan, dan ahli falsafah. Goethe merupakan tokoh penting dalam sastera Jerman semasa zaman Neoklasisisme dan Romantisme Eropah pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Karya ciptaan beliau memperlihatkan perjalanan hidupnya. Karya Goethe merupakan sumber inspirasi bagi bidang muzik, drama dan puisi. Pada 22 Mac 1832, Goethe meninggal dunia di Weimar dan dikebumikan Vault. Sehingga kini, nama beliau diguna pakai untuk Pusat Bahasa dan Kebudayaan Jerman iaitu Goethe Institut di seluruh dunia. Nama beliau turut diabadikan sebagai nama sebuah Universiti Goethe di Frankfurt am Main. Goethe berbeza dengan sasterawan seangkatan beliau dari segi prinsip ilmuan dan falsafah yang didokong. Berdasarkan perbezaan inilah maka kajian ini memfokuskan kepada Johann Wolfgang von Goethe.

Puisi dan Islam

Secara umumnya karya sastera mempunyai pelbagai aspek untuk dikaji. Salah satu aspek kajian adalah melibatkan perspektif agama iaitu unsur-unsur Islam dalam sesebuah karya (Mohd Afandi, 1992). Aspek agama yang dikaji dalam karya sastera termasuklah aqidah, syariah, dan akhlak. Sebagai contohnya aqidah dapat dibahagikan kepada kategori tertentu. Menurut Mohd Afandi (1992), pembahagian aqidah meliputi: 1) ilahiyah adalah perbincangan yang berhubungan dengan Allah (Tuhan) (contohnya: wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, dan sebagainya). 2) nubuwwah adalah perbincangan sesuatu yang berkaitan dengan nabi dan rasul, termasuklah perkaitan mengenai kitab-kitab Allah, mukjizat, dan sebagainya. 3) ruhaniah adalah perbincangan tentang alam metafizik, seperti malaikat, jin, syaitan dan roh. 4) sam’iyah adalah perbincangan tentang dalil naqli bersandarkan Al-Quran dan As-Sunah termasuklah alam barzakh, azab kubur, dan sebagainya.

Hakikat Puisi

Hakikat puisi tidak terletak pada bentuk formalnya. Puisi adalah karya seni sastera. Sementara itu, karya seni sastera merupakan cabang ilmu seni atau estetika. Culler &Jonathan (1983) menyatakan fungsi estetika adalah dominan

46 Robe’ah Yusuf, Abdul Halim Ali, Minah Sintian Unsur-Unsur Islam dalam Puisi-Puisi daripada Diwan Barat-T imur oleh Johann Wolfgang Von Goethe iaitu fungsi seninya yang berkuasa. Unsur-unsur estetika adalah seperti diksi (pilihan kata), irama, dan gaya bahasa (Riffaterre, 1984). Puisi akan muncul unsur kepuitisannya bila di dalamnya terkandung unsur-unsur estetika (Culler &Jonathan,1983). Penyair memilih kata-kata yang tepat untuk mewakili inti pati cerita yang akan dikemukakan dalam sesebuah puisi. Puisi adalah bentuk karya sastera yang mengungkapkan fikiran dan perasaan penyair secara imaginatif dan disusun dengan kesepaduan bahasa dengan dari segi fizikal, intipati dan mesej (Masuri S.N.,1998).). Pada dasarnya puisi selalu berubah-ubah mengikut peredaran zaman dan kebiasaanya sesebuah puisi terdapat kiasan-kiasan yang menyatakan suatu hal dengan erti tersirat. Ketidaklangsungan ekspresi atau isi tersirat ini menurut Riffaterre (1978), disebabkan oleh displacing of meaning, distorting of meaning dan creating of meaning. Oleh itu dapatlah dijelaskan bahawa, hakikat puisi tidak pernah terlepas dari fungsi dan unsur seni, kepadatan, dan ekspresi tidak langsung menerusi pemilihan kata-kata yang mendatangkan erti tertentu menurut khalayak pembacanya.

Unsur-unsur Pembentukan Puisi

Menurut Kristeva (1980), perkataan puisi berasal dari bahasa Yunani “poesis” yang bermakna penciptaan. Freund (2000) merujuk hakikat puisi adalah untuk mengganti isi puisi daripada bentuk fizikal atau luaran puisi. Isi puisi melibatkan perasaan (feeling), tema (sense), nada (tone), dan amanat (intention). Sementara itu bentuk fizikal puisi terdiri daripada diksi (diction), kata kata yang nyata (konkrit) (the concrete word), bahasa figuratif (figurative language), dan bunyi yang menghasilkan rima dan ritma (rhyme and rhytm) (Freud, 2000).

Permasalahan Kajian

Kebanyakan pengkaji berasa kagum dengan Goethe menerusi hasil karya beliau yang begitu aneh kerana kemampuan menerima dan memahami dunia Timur khususnya Islam. Di Malaysia, Goethe mungkin dikenali oleh penggiat bahasa dan sastera bandingan (Arndt Graf, 2009). Penulisan ini adalah percubaan untuk menerangkan sedikit sebanyak persepsi Goethe terhadap dunia Timur khususnya Islam.

Persoalan Kajian

Goethe mempunyai hubungan yang unik dengan dunia Islam, terbukti melalui puisi-puisinya mengguna pakai kalimah-kalimah yang berkaitan Islam seperti Al-Quran, Allah dan nama-nama tokoh-tokoh Islam seperti Yusuf, Zulaikha dan Hafiz. Oleh itu kajian ini mengkhususkan persoalan-persoalan kajian seperti berikut :

Robe’ah Yusuf, Abdul Halim Ali, Minah Sintian 47 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

1) Apakah aspek Islam tentang aqidah yang terdapat dalam Diwan Barat-Timur menerusi puisi Sonst Wenn Man Den Heiligen Koran Zitierte (Dulunya Kalau Merujuk Al-Quran Yang Suci)? 2) Apakah aspek Islam tentang aqidah yang terdapat dalam Diwan Barat-Timur menerusi puisi Wofür Ich Allah Höchlich Danke?(Mengapa Pujianku Pada Allah Membumbung Tinggi?)? 3) Apakah landasan kepengarangan Goethe sejajar dengan empat peringkat yang dicadangkan oleh Teori Teksdealisme?

Objektif Kajian

Secara umumnya kajian ini bertujuan untuk menyenaraikan unsur-unsur Islam dalam puisi-puisi oleh Goethe. Secara khususnya kajian ini bertujuan untuk menyenaraikan ; 1) aspek Islam tentang aqidah yang terdapat dalam Diwan Barat-Timur menerusi puisi Sonst Wenn Man Den Heiligen Koran Zitierte (Dulunya Kalau Merujuk Al- Quran Yang Suci) 2) aspek Islam tentang aqidah yang terdapat dalam Diwan Barat-Timur menerusi puisi Wofür Ich Allah Höchlich Danke?(Mengapa Pujianku Pada Allah Membumbung Tinggi?). 3) landasan kepengarangan Goethe seperti yang dicadangkan oleh Teori Teks­ deal­isme.

Kepentingan Kajian

Penulisan ini bertujuan untuk mengangkat genre puisi berkaitan Islam dari pandangan masyarakat Eropah khususnya oleh penulis Jerman. Diharapkan kajian ini mampu menggambarkan sejauh mana sasterawan Jerman memberi pandangan yang positif terhadap dunia Islam. Diharapkan juga kajian ini mampu menambah bilangan pengkaji tentang Goethe kerana masih kurang pengkaji dari Malaysia membuat kajian terhadap karya beliau.

Batasan Kajian

Kajian ini hanya mengupas dua buah puisi Goethe yang dipetik dari kumpulan­ puisi yang berjudul West-östlicher Divan (Diwan Barat-Timur) yang dihasilkan sekitar tahun 1819 -1827. Fokus kajian adalah tentang unsur Islam yang terdapat dalam Diwan Barat-Timur menerusi puisi Sonst Wenn Man Den Heiligen Koran Zitierte (Dulunya Kalau Merujuk Al-Quran Yang Suci) dan Wofür Ich Allah Höchlich Danke?(Mengapa Pujianku Pada Allah Membumbung Tinggi?) sahaja ke­ rana puisi ini mempunyai gaya bahasa yang ringkas tetapi menyatakan tentang Islam dengan jelas sekali.

48 Robe’ah Yusuf, Abdul Halim Ali, Minah Sintian Unsur-Unsur Islam dalam Puisi-Puisi daripada Diwan Barat-T imur oleh Johann Wolfgang Von Goethe

Metodologi

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, iaitu sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata yang tertulis atau lisan daripada orang-orang tertentu (penulis atau pengarang) dan perilaku yang dapat diamati.

Landasan Teori

Kajian ini berusaha mengenal pasti unsur Islam menerusi Teori Teksdealisme. Teori Teksdealisme yang dikemukakan oleh Mana Sikana (1996). Teori ini menggagaskan empat peringkat yang perlu dilalui oleh seseorang penulis untuk mencapai tahap keunggulan dalam kepengarangannya. Empat peringkat itu ialah kehadiran, pelanggaran, pengukuhan dan individualiti atau keunggulan. Asas kepada kepengarangan menuju ke peringkat keunggulan adalah keberanian. Mana Sikana (1996) percaya bahawa setiap penulis mempunyai cita-cita atau keinginan untuk berjaya dan mencapai satu tahap tertinggi dalam karyanya. Secara umumnya Teori Teksdealisme berusaha menginterpertasi secara analitis dan kritis sesebuah karya dan kemudiannya mengangkat karya tersebut ke puncak idealismenya. Teori ini bergerak pada landasan yang mempercayai bahawa setiap pengarang memiliki dinamika kepengarangan yang akan men­dorong sese­orang pengarang berusaha untuk memajukan diri dengan meng­hasilkan karya-karya yang bermutu tinggi (Abdul Halim, 2011).

Dapatan dan Perbincangan

Berikut dibincangkan dapatan kajian analisis puisi-puisi Goethe ber­ dasarkan aspek Islam tentang aqidah yang terdapat dalam Diwan Barat-Timur mene­rusi puisi Sonst Wenn Man Den Heiligen Koran Zitierte (Dulunya Kalau Merujuk Al-Quran Yang Suci); Sonst wenn man den heiligen Koran zitierte Sonst wenn man den heiligen Koran zitierte Nannte man die Sure den Vers dazu Und jeder Moslim, wie sich’s gebührte, Fühlt sein Gewissen in Respekt und Ruh. Die neuen Derwische wissen’s nicht besser Sie schwatzen das Alte, das Neue dazu Die Verwirrung wird täglich größer, O! Heiliger Koran!O! ewige ruh’!

Robe’ah Yusuf, Abdul Halim Ali, Minah Sintian 49 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

Dulunya kalau merujuk al- Quran yang suci Dulunya kalau merujuk Al-Quran yang suci Disebut surah dan ayat yang dirahmati Dan setiap Muslim, seperti semestinya, Menghormatinya, dan merasa kalbunya tenteram-sentosa. Para darwis moden, dengan ilmu yang terbatas Ghairah berbicara, mencampur aduk yang lama dengan yang baru Dari hari ke hari, kebingungan semakin menjadi-jadi, Oh! Al-Quran suci! Oh! Ketenangan abadi!

Menerusi puisi ini terdapat pembahagian aqidah meliputi: 1) ilahiyah adalah perbincangan yang berhubungan dengan Allah (Tuhan) (contohnya : wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, dan sebagainya) iaitu dalam puisi ini pilihan perkataan yang muluk seperti dirahmati dan darwis. 2) nubuwwah adalah perbincangan sesuatu yang berkaitan dengan nabi dan rasul, termasuklah perkaitan mengenai kitab-kitab Allah, mukjizat, dan sebagainya iaitu dengan nyata diangkat sebagai tema utama puisi ini. 3) ruhaniah adalah perbincangan tentang alam metafizik, seperti malaikat, jin, syaitan dan roh dinyatakan dalam gambaran “kebingungan menjadi-jadi” kerana dalam Al-Quran tersenarai perkara-perkara ghaib seperti dunia roh, malaikat, jin dan syaitan. 4) sam’iyah adalah perbincangan tentang dalil naqli bersandarkan Al-Quran dan As-Sunah termasuklah alam barzakh, azab kubur, dan sebagainya iaitu jelas dinyatakan tentang ciri-ciri Al-Quran dalam puisi ini.

Seterusnya huraian kepada puisi Wofür Ich Allah Höchlich Danke?(Mengapa Pujianku Pada Allah Membumbung Tinggi?) adalah seperti berikut: Wofür ich Allah höchlich danke? Wofür ich Allah höchlich danke? Dass er Leiden und Wissen getrennt. Verzweifeln müsste jeder Kranke Das Übel kennend wie der Arzt es kennt.

Mengapa pujianku pada Allah membumbung tinggi? Mengapa pujianku pada Allah membumbung tinggi? Kerana Dia memisahkan penderitaan dari pengetahuan. Kalaulah pesakit mengetahui apa yang diketahui tabib Pastilah ia akan berputus asa.

Aspek Islam tentang aqidah yang terdapat dalam Diwan Barat-Timur menerusi puisi Wofür Ich Allah Höchlich Danke?(Mengapa Pujianku Pada Allah Membumbung Tinggi?) adalah seperti berikut : 1) ilahiyah adalah perbincangan yang berhubungan dengan Allah (Tuhan) (contohnya : wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, dan sebagainya)

50 Robe’ah Yusuf, Abdul Halim Ali, Minah Sintian Unsur-Unsur Islam dalam Puisi-Puisi daripada Diwan Barat-T imur oleh Johann Wolfgang Von Goethe

yang terdapat pada kata-kata seperti “mengapa pujianku pada Allah membumbung tinggi?” yang menunjukkan perhubungan Islam terdapat dalam puisi oleh Goethe. (2) nubuwwah adalah perbincangan sesuatu yang berkaitan dengan nabi dan rasul, termasuklah perkaitan mengenai kitab-kitab Allah, mukjizat, dan sebagainya iaitu dengan nyata diangkat sebagai tema utama puisi ini iaitu memperkatakan tentang puji-pujian terhadap kekuasaan Allah yang lebih berkuasa berbanding tabib. (3) ruhaniah adalah perbincangan tentang alam metafizik, seperti malaikat, jin, syaitan dan roh dinyatakan dalam gambaran “Kerana Dia memisahkan penderitaan dari pengetahuan” kerana dalam Al-Quran tersenarai perkara- perkara ghaib seperti dunia roh, malaikat, jin dan syaitan. (4) sam’iyah adalah perbincangan tentang dalil naqli bersandarkan Al-Quran dan As-Sunah termasuklah zat Allah seperti mana yang digambarkan oleh Goethe dalam puisi ini.

Seterusnya, menerusi puisi-puisi ini dapatlah diperhatikan landasan kepengarangan Goethe seperti yang dicadangkan oleh Teori Teksdealisme. Empat peringkat itu ialah kehadiran, pelanggaran, pengukuhan dan individualiti atau keunggulan. Asas kepada kepengarangan menuju ke peringkat keunggulan ini ialah kehadiran. Didapati dalam puisi-puisi Goethe menghadirkan unsur-unsur Islam biarpun Goethe sendiri merupakan orang Eropah yang rata-ratanya bangsa Jerman pada ketika itu menganut agama Kristian Protestant. Goethe begitu berani keluar daripada tulisan biasa di Eropah yang banyak memuji kepada Isa a.s. Menerusi peringkat pelanggaran, didapati Goethe keluar dari keadaan pada masa itu yang memfokus kepada puji-pujian terhadap agama asal penduduk di Eropah. Senario ini keluar dari norma-norma masyarakat di sekitarnya demi menyuarakan perasaan dan rasa kagum terhadap keagungan dan keindahan Islam. Menerusi tingkat pengukuhan, ternyata Goethe mengetahui secara mendalam dunia Islam dari kisah kekuasaan Allah dan isi kandungan Al-Quran yang syumul. Beliau mengangkat tinggi Islam menerusi kefahaman terhadap keagungan Allah dan isi kandungan Al-Quran dan ajaran Islam. Pada peringkat keunggulan, Goethe mempamerkan kelainan dengan kemampuan menzahirkan kisah-kisah ketuhanan, Islam, roh dan syaitan bukan sahaja dalam puisi-puisi yang dibincangkan ini. Sebagai contoh, dalam karya agungnya Faust, Goethe membuai perasaan pembaca dengan kisah gangguan jiwa dan peranan roh yang boleh merasuk sekiranya tidak dikawal dengan kekuatan dalaman diri (Marquass, 1998). Kekuatan dalaman yang bergantung kepada keteguhan agama seseorang. Goethe keluar daripada tema cinta yang kebanyakan ditulis oleh pengarang pada era Neoklasisisme dan Romantisme Eropah pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 (Rötzer, 2002).

Robe’ah Yusuf, Abdul Halim Ali, Minah Sintian 51 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

Penutup

Dalam puisi-puisi di atas Goethe menyampaikan amanat bahawa seluruh alam hanyalah variasi dari Pencipta (Allah) yang sentiasa hadir diri di dalam setiap mahkluk ciptaanNya. Pada hemat Goethe, tiada perkara yang kebetulan melainkan kuasa Allah yang mana dizahirkan menerusi Al-Quran. Goethe turut menyampaikan intipati tentang pemberian makna dalam kehidupan manusia iaitu agama khususnya Islam. Ternyata karya Goethe mempunyai banyak unsur Islam dan menunjukkan hubungan beliau dengan Islam agak rapat. Goethe juga membuktikan beliau merupakan penulis yang berada dalam kelas yang tersendiri pada era tersebut. Karya Goethe didapati berada atas landasan yang sejajar dengan empat peringkat yang dicadangkan oleh Teori Teksdealisme. Berasaskan idea empat peringkat proses menuju kepada keunggulan penulis dan teks, Goethe menunjukkan sifat dan keperibadian, kepengarangan dan kepenyairan, kedudukan dan pengiktirafan khalayak terhadap karyanya telah mencapai tahap keunggulan.

Rujukan

Abdul Halim Ali. (2011). Proses kreativiti A.Samad Said berasaskan teori teksdealisme. Jurnal Melayu, 6 . pp. 153-168. Culler, Jonathan. (1983). The Pursuit of Sign, Semiotics, Literature, Deconstruction. London: Rotlegde & Kegan Paul. Freund, Winfried. (2000). Deutsche Literatur. Köln: DuMont Buchverlag. Goethe, Johann Wolfgang (1749-1832). (2000). Gedichte aus dem West-östlichen Divan. Stuttgart : Reclam Verlag. Graf, Arndt & Md Salleh Yaapar. (2009). Gedichte aus dem West-östlichen Divan/ Johann Wolfgang von Goethe. Kuala Lumpur : Institut Terjemahan Negara Malaysia. Kristeva, Julia. (1980). Desire in Language : A Semiotic Approach to Literature and Art. Oxford: Basil Blackwell. Mana Sikana. (1996). Teori Teksdealisme. Bangi: Terbitan Jabatan Persuratan Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia. Masuri S.N. (1998). Kreativiti dan Kemanusiaan dalam Kesusasteraan. Shah Alam: Fajar Bakti. Marquass, Reinhard. (1998). Dramentexte analysieren. Mannheim: Duden Verlag. Mohd Affandi Hassan.(1992). Pendidikan Estetika Daripada Pendekatan Tauhid. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka. Riffaterre, Michael.(1984). Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press. Rötzer, Hans Gerd.(2002). Geschichte der deutschen Literatur. Bamberg: C.C. Buchners Verlag.

52 Robe’ah Yusuf, Abdul Halim Ali, Minah Sintian TEOSOFI, SOEKARNO, DAN PANCASILA

Ahmad Faidi Dosen SPI Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora [email protected]

Abstrak

Theosophical movement in Indonesia has an important role for the rise of the nationalist movement in Indonesia. Some organizations are closely related to the theosophy of which is Budi Oetomo, Indische Partij, and Jong Java. Soekarno, as one of the founders of Pancasila, has a close relationship with the theosophical figures. Therefore, Sukarno’s closeness to the theosophical figures is often used as the main reason for raising the claim that Pancasila is derived from the values of the theosophical movement which is considered as an extension of Jewish Zionism. This study found that the dynamics of theosophical relationship with Soekarno can be considered very neutral and dynamic according to the demands of the times. When Soekarno was still in Surabaya, theosophy was instrumental in establishing the foundations of Soekarno’s knowledge. While in Bandung and Jakarta, Soekarno only positioned indigenous theorists as one of the political partners in fighting for the foundations of the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI). Keywords: Teosofi, Seokarno, Pancasila.

Abstract

Gerakan teosofi di Indonesia memiliki peran penting bagi kebangkitan gerakan nasionalisme di Indonesia. Beberapa organisasi yang erat kaitannya dengan teosofi di antaranya adalah Budi Oetomo, Indische Partij, dan Jong Java. Sedangkan Soekarno, sebagai salah satu pencetus Pancasila, memiliki hubungan yang cukup dekat dengan tokoh-tokoh Teosofi. Oleh karena itu, kedekatan Soekarno dengan tokoh-tokoh teosofi tersebut seringkali dijadikan alasan utama untuk memunculkan klaim bahwa Pancasila diambil dari nilai-nilai pergerakan teosofi yang dianggap sebagai kepanjangan tangan zionisme Yahudi. Penelitian ini menemukan bahwa dinamika hubungan teosofi dengan Soekarno dapat dibilang sangat netral dan dinamis sesuai dengan tuntutan zaman. Ketika Soekarno masih berada di Surabaya, teosofi berperan dalam pembentukan dasar-dasar pengetahuan Soekarno. Sedangkan selama di Bandung dan Jakarta, Soekarno hanya memposisikan tokoh-tokoh teosofi pribumi sebagai salah satu patner politik dalam memperjuangkan dasar-dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kata kunci: Teosofi, Seokarno, Pancasila.

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 53 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

Pendahuluan

erakan teosofi atau Theosophical Society (TS) sendiri merupakan Ggerakan okultisme atau kebatinan yang didirikan pertama kali oleh Helena Petrovna Blavatsky di New York pada tahun 1875. Pada tahun 1879 TS dipindahkan ke Adyar, Madras, India. Perpindahan gerakan TS dari New York ke India tersebut didasari sebuah pandangan bahwa nilai-nilai gerakan TS sesndiri lebih condong atau dekat dengan ajaran kebatinan dunia Timur, khususnya ajaran-ajaran Hindu-Budha di India. Konsep utama yang diusung oleh gerakan teosofi ini adalah “persaudaraan universal.” Melalui konsep tersebut, para kaum teosofis hendak menciptakan komunitas masyarakat baru yang berdiri di atas semua perbedaan ras, agama, bahasa, dan budaya. Sedangkan di Indonesia, teosofi mulai masuk dan berkembang pesat pada akhir abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20. Proses penyebaran ajaran- ajarang teosofi oleh masyarakat kolonial Eropa, yang sebagian besar merupakan kaum asosianis, dapat dikatakan relatif mudah dan tidak mengalami tantangan yang berarti. Hal demikian cukup masuk akal mengingat kebudayaan Indonesia saat itu (bahkan sampai sekarang) masih cukup kental dengan nilai-nilai kebudayaan Hindu-Budha sebagaimana di India. Dalam kondisi kebudayaan yang demikian, maka cukup masuk akal apabila teosofi—gerakan kebatinan yang juga lebih condong pada nilai-nilai kebatinan Hindu-Budha—dengan cepat dapat diterima dan diserap oleh masyarakat Indonesia. Bahkan, propaganda kebudayaan yang dilakukan teosofi mampu menarik perhatian kaum pribumi, khususnya kaum elite Indonesia. Pada era selanjutnya, dari kalangan inilah kelak bermunculan gerakan, organiasasi, dan tokoh-tokoh kunci yang berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Meskipun secara formal Soekarno tidak pernah tercatat dalam keang­ gota­an teosofi, tetapi kegiatan-kegiatan kultural dan fasilitas-fasilitas keilmuan milik teosofi telah menjadi salah satu sumber pengetahuan bagi pemupukan intelektualitas Soekarno. Berangkat dari keterlibatan ayahnya dalam keang­ gotaan Teosofi, Soekarno dapat menikmati tumpah-ruah pengetahuan dalam perpustakaan Teosofi di Surabaya. Pada era selanjutnya, Soekarno pun senantiasa menjalin hubungan yang cukup dekat, bahkan berguru, dengan tokoh-tokoh yang pernah terlibat dalam gerakan teosofi seperti H. Agus Salim, Musso, Tjipto Mangunkusumo, Ernest Douwes Deker, Radjiman Wdyodiningrat, dan lain sebagainya. Berdasarkan pada beberapa fakta kedekatan Soekarno dengan ajaran teosofi tersebut di atas, banyak para tokoh yang menilai dan berspekulasi bahwa teosofi—yang dianggap mengemban misi rahasia zionisme Yahudi—memiliki pengaruh yang begitu besar terhadap pemikiran Soekarno. Bahkan ada pula yang secara serampangan menyebutkan bahwa lima asas Pancasila milik Soekarno diadopsi dari qanun asasi milik zionisme.

54 Ahmad Faidi Teosofi, Soekarno, dan Pancasila

Abdullah Pattani, dalam sebuah risalahnya yang berjudul Freemasonry di Asia Tenggara (t.t), menyatakan bahwa ideologi Soekarno yang terinspirasi dari Sun Yat Sen berasal dari dokrin zionisme Yahudi. Kesimpulan tersebut diperoleh Abdullah Pattani melalui analisis-komparatifnya tentang “keserupaan” Pancasila dengan ide-ide nasionalisme Sun Yat Sen, Jawarhal Nehru, dan Mustafa Kemal Attaturk yang dianggap berasal dari doktrin zionisme.1 Sedangkan Abdullah Tal, dalam sebuah artikelnya yang berjudul Af’al Yahudiyah fi Ma’aqalil Islami yang diterbitkan Al-Maktab Al-Islamy Beyrut, menuduh bahwa Soekarno merupakan keturunan Yahudi dari suku Dunamah. Tetapi, lagi-lagi artikel tersebut lebih bersifat spekulatif karena tidak disertai fakta adanya keterkaitan genetik antara Soekarno dan suku Dunamah.2 Pendapat Abdullah Pattani tersebut kemudian menyebarluas di Indonesia melalui dua buku kontroversial yang berjudul Doktrin Zionisme dan Ideologi Pancasila: Manguak Tabir Pemikiran Politik Founding Fathers RI (1999)3 dan Gerakan Theosofi di Indonesia (2010).4 Serupa dengan pendapat Abdullah Pattani, dengan tanpa menyertakan fakta-fakta historis yang relevan, kedua buku tersebut juga mengambil kesimpulan bahwa lima asas Pancasila berasal dari khams qanun milik Freemasonry Yahudi. Memang, keterkaitan Soekarno dengan Yahudi, baik secara genentik maupun ideologis, masih membutuhkan penelitian yang lebih lanjut. Sebagian besar buku dan artikel tentang hubungan Soekarno dengan Teosofi dan Yahudi lebih bersifat spekulatif sehingga kebenarannya masih menimbulkan perdebatan. oleh karena itu, penelitian menjadi begitu penting sebagai upaya klarifikasi hiostoris terhadap penyelewengan-penyelewengan sejarah tentang keterkaitan Soekarno dengan Teosofi dan Yahudi pada umumnya.

Teosofi dan Pengaruhnya Terhadap Kebangkitan Nasionalisme Hindia Belanda

Teosofi modern, yaitu Theosphical Society (selanjutnya TS), baru didirikan pertama kali di New York, Amerika Serikat, pada tahun 1875. Tokoh yang memelopori pendirian teosofi modern ini adalah seorang perempuan bangsawan Rusia, yakni Helena Petrovna Blavatsky, dengan mendapat bantuan pula dari

1 Menurut Abdullah Pattani, Sun Yat Sen adalah tokoh Komunis China yang juga merupakan simpatisan Freemasonry di Asia. Selain Sun Yat Sen, Abdullah Pattani juga memunculkan tokoh-tokoh revolusioner dunia seperti Mustafa Kemal Attaturk dan Jawarhal Nehru sebagai simpatisan Freemasonry. Abdullah Pattani mengambil kesimpulan bahwa Pancasila milik Soekarno, yang dianggap terinspirasi dari tokoh-tokoh tersebut, tidak lain dan tidak bukan adalah berasal dari doktrin zionisme Yahudi yang disebarkan melalui Freemasonry. 2 Abdullah Tal, Al Af’al Yahudiyah fii Ma’aqilil Islami, (Beyrut: Al Maktab Al Islamy, 1971), h. 128-133. 3 Drs. Muhammad Thalib dan Irfan B. Awwas (ed.), Doktrin Zionisme dan Idiologi Pancasila: Menguak Tabir Pemikiran Politik Founding Fathers RI, (Yogyakarta: Wihdah Press, 1999), h. 16. 4 Artawijaya, Gerakan Theosofi di Indonesia,(Jakarta: Al-Kautsar, 2010), h. 45.

Ahmad Faidi 55 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

Henry Steel Olcot dan W.Q. Judge. Beberapa tokoh lain yang turut ambil peran dalam gerakan teosofi di New York di antaranya yaitu Emma Harding Britten, Dr. William Britten, Carles Sotheran, Albert Rawson, George H. Felt, dan lain sebagainya.5 Pendirian gerakan teosofi sendiri sebenarnya dilatarbelakangi oleh kondisi sosial masyarakat dunia pada umumnya, khususnya di Amerika dan Eropa, yang telah didominasi dan digerogoti oleh bahaya materialisme, ateisme, indi­vidualisme, kapitalisme, serta kolonialisme.6 Faktor lain yang melatar belakangi pendirian teosofi adalah kondisi agama-agama konvensional yang dinilai tidak mampu lagi memberikan pengaruh besar untuk menyelamatkan masya­rakat dunia dari jeratan materialisme, kapitalisme, ateisme, dan lain sebagainya.7 Pada tahun 1879 Pusat TS dipindahkan oleh Blavtsky dari New York ke Adyar di Madras, India. Perpindahan tersebut terjadi karena Blavasky menilai bahwa ajaran-ajaran dalam teosofi lebih condong pada pemikiran mistik Timur. Pada akhir tahun 1878, Blavatsky beserta Olcott meninggalkan New York dan berjalan menuju India.8 Memasuki tahun 1895, di bawah kepemimpinan Annie Besant, TS memperkaya ajarannya dengan menggali nilai-nilai filsafat dan ajaran India Kuno. Pada tahun 1896, Annie Besant berhasil merumuskan tiga poin yang menjadi landasan utama gerakan kaum teosofi pada era-era selanjutnya yaitu: 1. Membentuk suatu inti dari persaudaraan universal kemanusiaan tanpa mem­ beda-bedakan ras (bangsa), kepercayaan, jenis kelamin, kasta, ataupun warna kulit. 2. Mengajak mempelajari perbandingan agama-agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan. 3. Menyeldiki hukum-hukum alam yang belum dapat diterangkan dan me­nye­ lidiki tenaga-tenaga yang masih tersembunyi dalam manusia.9

Beberapa organisasi lain yang berada di bawah TS di antaranya adalah The Star in The East (Bintang Timur), Moeslim Bond, Theosofische Wereld Universiteit, dan The Liberal Catholic Church (Gereja Katolik Bebas). Organisasi- organisasi tersebut, sebagian di antaranya diprakarsai oleh Besant, dimaksudkan untuk membantu TS dalam merealisasikan cita-cita TS dalam membangun persaudaraan universal. Pada tahap selanjutnya, berbagai organisasi cabang tersebut kemudian disebar-luaskan ke berbagai daerah di dunia, termasuk ke Hindia Belanda.10 Selain sub-sud oraganisasi yang dibentuk dipusat tersebut, TS juga memberikan kebebasan bagi cabang-cabang teosofi di dunia untuk

5 Joscelyn Godwin, Blavatsky and The First Generation of Theosophy, dalam Olav Hammer dan Mikhail Rothstein (ed.), Handbook of The Theosophical Current, (Leiden: Brill NV, 2013), h. 15-22. 6 Ibid, h. 5. 7 “Dr. Annie Besant,” dalam Persatoean Hidoep, Januari 1931, h. 8. 8 Theosphy Company, The Theosophical Movement 1875-1950, edisi revisi dari The Theosophical Movement 1875-1925, (California: The Cunningham Press, 1951), h. 57. 9 Ibid, h. 45. 10 Ibid, h. 7.

56 Ahmad Faidi Teosofi, Soekarno, dan Pancasila mendirikan organisasi-organisasi lokal untuk membantu propaganda teosofi. Seperti halnya di Hindia Belanda, Teosofi berhasil mendirikan beberapa organisasi lokal yang meliputi bidang kebatinan atau keagamaan, sosial dan politik, serta pendidikan dan pengajaran.11 Gerakan teosofi sendiri sebenarnya baru berdiri di Hindia Belanda pada tahun 1881. Akan tetapi keberadaan kaum teosofi di Jawa tersebut tidak bertahan cukup lama. Pada tahun 1885, kaum teosofi Jawa tersebut dibubarkan seiring dengan kepergian Tengnagel. 12 Dorongan kedua bagi kemunculan gerakan teosofi di Hindia Belanda muncul setelah kehadiran dua tokoh muda Belanda yang baru hadir di Hindia Belanda pada tahun 1895, yaitu D. van Hinllopen Labberton dan K. van Gelder. Semenjak saat itu teosofi mulai tersebar di berbagai daerah di kepulauan Jawa, khususnya di Surabaya (1903), Bogor (1903),Yogyakarta (1904), dan Surakarta (1905).13 Meski demikian, hingga awal tahun 1912 gerakan teosofi di Hindia Belanda masih berstatus sebagai anak-cabang dari gerakan teosofi cabang Nederland. Pendirian organisasi teosofi cabang Hindia Belanda secara mandiri baru tercapai pada tahun 1912. Berdasarkan pada keputusan Presiden Gerakan Teosofi, Dr. Annie Besant, yang dikeluarkan pada tanggal 15 April 1912, maka berdirilah Nederlandsch Indische Theosofische Vereeniging (NITV) dengan D. Van Hinloopen Labberton sebagai presidennya hingga tahun 1923. Sejak saat itu gerakan teosofi di Indonesia pun diakui sebagai organisasi cabang teosofi ke-20 di dunia.14 Di bawah kepemimpinan Labberton (1912-1923) teosofi di Hindia Belanda mengalami perkembangan yang cukup pesat, dari tahun ke tahun anggota teosofi terus bertambah dan loji-loji baru mulai didirikan hingga ke luar pulau jawa. Pada tahun 1923, teosofi dikejutkan oleh peristiwa pengunduran diri Labberton sebagai presiden teosofi cabang Hindia Belanda. Pada bulan Oktober 1923, Labberton bersama istrinya berlayar ke Jepang dengan menaiki kapal Marelle.15 Pasca pengunduran Labberton tersebut, teosofi di Indonesia secara perlahan- lahan mulai mengalami kemerosotan. Meski teosofi tetap aktif melaksanakan kegiatan seperti biasanya, namun pergerakan teosofi tidak menunjukkan adanya perkembangan dan peningkatan yang berarti seperti halnya pada masa Labberton. Kondisi demikian terus berlanjut hingga periode-periode selanjutnya. Bahkan pendudukan Jepang menjadi pukulan besar bagi kemerosotan teosofi di Indonesia. Gerakan teosofi Indonesia kembali muncul ke permukaan pada

11 Iskandar P. Nugraha, Teosofi, Nasionalisme, dan Elite Modern Indonesia, (Jakarta: Komu­ nitas Bambu, 2014), h. 9 12 Sylvain Zaffini (trans.), The First Theosophical Society In Indonesia: A Letter From Baron F. Tengnagel To A. P. Sinnett, dalam Jeffrey D. Lavoie, Research Journal of Germanic Antiquity: A Western Esoteric Journal, Vol.2 No. 3, (Florida: Brown Walker Press, 2013), h. 75. 13 Ibid, h. 75, lihat pula Iskandar P. Nugraha, h. 9. 14 Theosofie in Nederlandsch-Indie, Februari 1912, h. 23, dan Desember 1912, h. 35-36 . 15 Ibid, h. 21 dan 28.

Ahmad Faidi 57 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism tahun 1950 yang ditandai dengan diadakannya kongres pertama (setelah tahun 1942) di Semarang pada tanggal 3 September 1950. Dalam kongres ini para anggota teosofi sepakat untuk melanjutkan kegiatan mereka dan membentuk organisasi baru yang diberi nama dengan Perhimpunan Theosofi Tjabang Indonesia (Selanjutnya PTTI).16 Pada tahun 1954, PTTI telah memiliki 17 loji dan dua kantor pusat, salah satunya terletak di Medan, Sumatera Utara.17 Pada tahun 1960, PTTI telah memiliki 24 loji dan 1.146 orang telah tercatat sebagai anggota.18 Tetapi, semangat baru dalam PTTI tersebut tidak dapat bertahan lama setelah pada 1961 Pemerintah RI mengeluarkan surat larangan terhadap gerakan teosofi dan beberapa gerakan serupa lainnya. Pada tahun 1963, setelah merubah nama menjadi Persatuan Warga Theosofi Indonesia (Perwathin), teosofi kembali mendapat izin operasi dari pemerintah.19

Teosofi dan Soekarno Pada Masa Kolonial

Dalam lintasan sejarahnya, gerakan teosofi memang memberikan pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan masyarakat Indonesia. Melalui kegiatan- kegiatan propaganda yang dilakukan dalam berbagai bidang—khususnya bidang kebatinan, sosial, politik, kebudayaan, dan pendidikan—gerakan teosofi telah mampu memantik nasionalisme kebangsaan di tanah Hindia Belanda. Oleh karena itu maka tidak heran apabila sebagian sejarawan memposisikan teosofi sebagai salah satu gerakan yang mampu memberikan pengaruh cukup besar bagi kebangkitan nasionalisme Indonesia. Beberapa pergerakan nasional yang dikenal cukup dekat dengan gerakan teosofi di antaranya adalah Boedi Oetomo (termasuk Jong Java) dan Indische Partij. Sedangkan beberapa tokoh pribumi yang pernah terlibat dalam gerakan teosofi di antaranya adalah Dr. Radjiman Wedyodiningrat, H. Agoes Salim, Musso, Tjipto Mangunkusumo, Ernest Douwes Deker, Sanoesi Pane, Moh. Yamin, dan lain sebagainya. Tokoh yang disebut pertama, Radjiman, merupakan tokoh pribumi yang paling aktif dalam kegiatan dan propaganda-propaganda teosofi. Bersama dengan Soekarno dan Hatta, kelak Radjiman menjadi sosok penting bagi kemerdekaan Indonesia.

Awal Pertemuan Soekarno dengan Teosofi

Pertemuan pertama Soekarno dengan ajaran-ajaran teosofi tentunya diper­oleh dari pola pendidikan sang Ayah yang diterapkan dalam keluarganya. Menurut pengakuan Soekarno, meskipun sang ayah (Soekemi) adalah penganut agama Islam, akan tetapi Soekarno lebih cenderung mengakui agama ayahnya

16 Ibid. 17 Ibid. 18 Sylvain Zaffini (trans.), h. 76 19 Encyclopedi Theosophy, Theosophy in Indonesia, diakses dari http://theosophy.ph/encyclo/ index.php?title=Indonesia,_Theosophy_in pada tanggal 10 Oktober 2015 pukul 22:04 WIB.

58 Ahmad Faidi Teosofi, Soekarno, dan Pancasila sebagai agama teosofi. Salah satu penegasan terkait dengan keanggotaan Raden Soekemi dalam gerakan teosofi adalah pengakuan dari Soekarno. Dalam Muk­ tamar Muhammadiyah ke-32 yang digelar di Jakarta pada tahun 1962, seba­gai­ mana dikutip oleh Goenawan Mohammad (2010), Bung Karno mengatakan: “Ibu adalah meskipun beragama Islam asal daripada agama lain, orang Bali. Bapak, meskipun beragama Islam, beliau adalah beragama, jikalau boleh dinamakan agama, theosofi. Jadi kedua orangtua saya ini yang saya cintai dengan segenap jiwa saya, sebenarnya tidak dapat memberikan pengajaran kepada saya tentang agama Islam.”20

Melalui pernyataan tersebut, Soekarno hendak menegaskan bahwa meskipun kedua orang tuanya beragama Islam, namun Soekarno tidak banyak mem­peroleh pengetahuan keislaman dari mereka. Justru Soekarno mengakui bahwa pola pendidikan yang diterapkan dalam keluarganya lebih cenderung pada nilai-nilai Hinduisme. Patut pula dijadikan pertimbangan bahwa keang­ gotaan sang Ayah dalam teosofi juga turut mengambil peran dalam pola pendidikan Soekarno. Pada tahun 1915, setelah Soekarno menyelesaikan sekolah­nya di Europeesche Lagere School (ELS), ia pindah ke Surabaya untuk melanjutkan sekolahnya di Hogere Burger School (HBS). Selama di Surabaya, Selain mendapatkan pengetahuan dari hasil diskusi dengan tokoh-tokoh pergerakan, termasuk pula dengan tokoh-tokoh teosofi seperti Agoes Salaim dan Musso, Soekarno juga memperolehnya dari perpusatakaan teosofi.21 “Aku mengejar ilmu pengetahuan di luar yang diberikan di sekolah. Kami memiliki perpustakaan yang besar di kota ini yang diurus oleh Perkumpulan Teosofi. Bapakku seorang penganut teosofi, karena itu aku memiliki jalan masuk ke peti harta karun ini, yang tidak mengenal pembatasan terhadap seorang anak miskin. Aku masuk sama sekali ke dalam dunia paling dalam ini. Di sana aku bertemu dengan orang-orang besar. Pemikiran mereka menjadi pemikiranku. Cita-cita mereka menjadi dasar pandanganku, suatu pembelajaran di alam ide.”22

Dalam konteks ini, teosofi oleh Soekarno dijadikan sebagai media dan jem­batan dalam meningkatkan intelektualitasnya. Melalui perpustakaan teosofi, yang dipenuhi dengan pemikiran-pemikiran kaum teosofi dan pemikiran umum lainnya, Soekarno mulai meracik konsep-konsep pemikiran yang kelak

20 Goenawan Mohamad, Bung Karno dan Islam, dalam M. Ridwan Lubis, Sukarno & Modernisme Islam, (Jakarta: Kobam, 2010), h. xv. 21 Tidak banyak data yang mengungkap tentang keberadaan perpustakaan tersebut: khususnya terkait dengan koleksi-koleksi buku yang tersedia di dalamnya. Namun cukup menjadi bahan pertimbangan bahwa pendirian perpusatakaan teosofi di Surabaya tersebut merupakan salah satu bentuk propaganda gerakan teosofi di Hindia Belanda dalam rangka memberikan pencerahan terhadap warga teosofi khususnya dan masyarakat Indonesia pada umunya.. Dengan demikian, maka secara otomatis dapat dipastikan pula bahwa yang menjadi koleksi utama dalam perpustakaan ini adalah tentang ajaran-ajaran teosofi atau ajaran-ajaran lain yang berhubungan dengan cita-cita gerakan teosofi. Lihat Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 50-51. 22 Cindy Heller Adams, Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat, (Jakarta : Media Pressindo, 2011), h. 47.

Ahmad Faidi 59 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism akan menjadi landasan perjuangannya. Soekarno mulai bertemu dengan para pemikir-pemikir besar seperti Mahatma Ghandi, Sun Yat Sen, Ernest Renan, Karl Marx, Abaraham Lincoln, dan lain sebagainya. Melalui buku-buku bacaan Soekarno menyerap berbagai pemikiran yang kelak menjadi landasan pemikiran dan perjuangannya di masa depan. Hal demikian ditegaskan oleh Soekarno dalam kutipan di atas, di mana Soekarno menyebutkan bahwa pemikiran mereka (tokoh-tokoh besar yang ditemuinya dalam buku-buku bacaan) menjadi pemikiran sekaligus cita-cita Soekarno sendiri. Berbagai fasilitas ilmu pengetahuan di Surabaya, termasuk fasilitas ilmu pengetahuan dari teosofi, dianggap Soekarno sebagai dapur nasionalisme, yakni tempat Soekarno meracik ide-ide nasionalisme dari bahan-bahan yang telah ditanamkan oleh keluarganya dan diakumulasikannya dengan pengetahuan- pengetahuan lain yang didapatnya dari tokoh-tokoh dan buku-buku bacaan. M. Ridwan Lubis menilai bahwa pada tahap selanjutnya bacaan-bacaan tersebut dianggap memiliki pengaruh yang lebih besar ketimbang hasil pergaulan Soekarno dengan beberapa tokoh yang telah disebut sebelumnya.

Teosofi, Budi Oetomo, Indische Partij, Jong Java, dan Soekarno

Selama di Bandung, Soekarno semakin aktif dan solid dalam dunia pergerakan. Selain aktif mengikuti diskusi-diskusi yang diadakan oleh kaum pergerakan di Bandung, Soekarno juga tetap aktif dalam kenggotaan organisasi Jong Java, organisasi kepemudaan yang lahir dari organisasi Budi Oetomo (selanjutnya BO). Selain Jong Java, organisasi-organisasi lain yang juga lahir dari rahim BO di antaranya yaitu Indische Partij, Persatoean Goeroe Hindia Belanda (PGHB), dan lain sebagainya. BO sendiri merupakan salah satu organisasi tertua di Indonesia yang dikenal memiliki hubungan erat dengan gerakan teosofi di Hindia Belanda. BO didirikan pertama kali di Batavia, loji teosofi terpenting di Hindia Belanda, pada tahun 1908. Pimpinan tertinggi teosofi Hindia saat itu, yaitu Labberton, juga memiliki peran yang cukup besar bagi sejarah kelahiran dan pembentukan BO. Karena kedudukannya yang penting, Labberton telah mampu mempengaruhi kalangan terpelajar dalam rangka pendirian BO. Menurut pengakuan Dr. Soetomo, salah satu tokoh pendiri BO, Labberton dianggap sebagai sumber BO. Bahkan, Labberton juga memiliki peran besar dalam mempengaruhi beberapa Bupati khususnya terkait dengan sikap mereka terhadap BO.23 Pengaruh teosofi yang begitu kuat terhadap BO dapat dilihat pula dalam program dan propaganda yang dilakukan oleh para tokoh BO. Dalam sebuah pidato pengukuhannya, Dr. Wahidin lebih menekankan penguatan tradisi Jawa pra-Islam (pen: Hindu-Budha). Corak pergerakan BO yang anti politik dan lebih fokus pada pengembangan kebudayaan tersebut tampaknya tidak sesuai dengan

23 R. Soetomo, Kenang-Kenangan, (Surabaya, 1933), h. 86.

60 Ahmad Faidi Teosofi, Soekarno, dan Pancasila pemikiran kaum muda BO, yaitu Dr. Tjipto Mangoenkusumo dan Suwardi (Ki Hajar Dewantara). Karena itu, Tjipto dan Suwardi kemudian bergabung dengan organisasi politik yang didirikan oleh Douwes Deker pada tahun 1912, yaitu Indische Partij. Pergolakan antara kaum konservatif dan radikal, sebagaimana terjadi dalam tubuh BO, turut dirasakan pula dalan tubuh Jong Java. Seperti halnya BO, Jong Java juga memiliki kecenderungan anti politik dan mengajurkan agar seluruh anggotanya tidak terlibat dalam dunia politik. Tetapi hal demikian cukup bertentangan dengan keinginan sebagian naggota Jong Java, termasuk Soekarno, yang memiliki kecenderungan untuk terjun dalam dunia politik. Kontradiksi semacam inilah yang kemudian mengakibatkan Jong Java terpecah ke dalam dua golongan, yaitu “kaum merah” (radikal/progresif/pembaharu) dan “kaum halus” (konservatif/aristokrat).24 Puncak pertentangan antara kaum merah dengan kaum halus tersebut terjadi pada pelaksanaan kongres Jong Java di Bandung pada tahun 1921. Kaum merah (radikal), yang dikomandoi Soekarno, berhasil memenangi perdebatan tersebut. Sejak saat itu, Jong Java pun begeser dari organisasi non-politis menjadi organisasi politis.25 Tampaknya, kecenderungan pada dunia politik pemuda pergerakan saat itu menjadi suatu momentum yang dapat mempertemukan dan semakin mendekatkan Soekarno dengan tiga pimpinan IP, yaitu Tjipto, Douwes Deker, Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Ketiga tokoh inilah yang memiliki peran besar dalam perkembangan pemikiran dan perjuangan Soekarno. Bahkan, akibat didikan ketiga tokoh tersebut kelak Soekarno justru menjelma tokoh pergerakan yang lebih radikal ketimbang tiga gurunya tersebut. Pada tanggal 16 November 1928, Tjipto mengirim sebuah surat untuk mendesak Soekarno agar memperlunak kegiatan-kegiatanya. Dalam surat tersebut, sebagaimana dikutip oleh John Ingleson, Tjipto menyarankan sebagai berikut: “Saudara belum menyiapkan seorang pengganti: Jika saudara jatuh PNI akan tidak mempunyai pemimpin. Tidakkah saudara sebaiknya lebih moderat? Saya kira pidato-pidato telah cukup banyak....”26

Meski demikian, Soekarno tidak sedikitpun mengendorkan perjuangannya. Pada tahun 1933, Soekarno ditangkap oleh pemerintah Belanda untuk yang kesekian kalinya. Soekarno dituduh telah menghasut rakyat untuk melakukan penentangan dan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda. Pada tahun 1938, Soekarno dipindahkan dari Ende menuju Bengkulu, Sumatera. Pada Tahun 1942, ketika Jepang berhasil mengusir pemerintahan Belanda dari Indonesia, Soekarno baru mendapatkan kebebasannya. Soekarno kembali ke tanah Jawa dan kembali bergabung dengan teman-teman seperjuangannya untuk melanjutkan

24 Hans van Miert, Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930, (Jakarta: Hasta Mitra & Pustaka Utan Kayu, 2003), hlm. 63. 25 Hans Van Miert, h. 61-67. 26 Ibid, h. 96.

Ahmad Faidi 61 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism perjuangan kemerdekaan Indonesia. Demikianlah sekilas tentang hubungan Soekarno dengan teosofi serta per­ juangan politik Soekarno pada masa kolonial. Melalui gambaran singkat tersebut­ dapat kita pahami bahwa pada periode ini, khususnya selama berada di Bandung, Soekarno masuk dalam suatu zaman “kebangkitan nasionalisme” dimana ide- ide nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan Negara RI muncul ke permukaan dengan begitu dominan. Gelombang besar nasionalisme semacam inilah yang kemudian menjadikan berbagai “tradisi lama”, seperti halnya teosofi, menjadi kurang menarik lagi dan benyak ditinggalkan oleh para peminatnya—meski tidak sedikit pula yang masih bertahan, sebut saja di antaranya adalah Radjiman. Dalam konteks ini, sebagaimana telah diungkapkan dalam uraian di atas, setidaknya propaganda-propaganda teosofi yang dilakukan dari sejak awal berdirinya—baik melalui kebudayaan, lezzing-lezzing, pendidikan, dan lain sebagainya—telah mendorong lahirnya organisasi-organisasi, gerakan-gerakan sosial, dan individu-individu yang bergerak secara bebas dan lepas kontrol dari teosofi. Dalam hal ini Iskandar P. Nugraha menilai bahwa—terlepas dari keraguan para ilmuwan terhadap pandangan-pandangan agama tradisional dalam teosofi—bagaimanapun “gema” organisasi teosofi ini mampu menyentuh gerakan buruh, gerakan wanita, serta gerakan-gerakan nasionalisme lainnya (pen: seperti Budi Oetomo, Indische Pastij, dan Jong Java). Pada periode ini, gelombang besar nasionalisme setidaknya memecah keanggotaan teosofi menjadi dua kubu; pertama, kubu pemuda nasionalis radikal yang menuntut teosofi untuk ikut campur dalam dunia politik; kedua, golongan tua teosofi yang lebih kooperatif dan tetap bertahan untuk tidak ikut campur dalam dunia politik. Tetapi, pada tahap-tahap selanjutnya justru kubu nasionalis mengambil peran yang dominan, terutama dikalangan kaum elite dan intelek. Kondisi inilah yang menjadikan teosofi, khususnya kubu kooperatif, kalah pamor dan mulai banyak ditinggalkan oleh anggotanya. Gelombang besar “nasionalisme” itu pulalah yang kemudian mendorong lahirnya gerakan, kelompok, atau tokoh-tokoh nasionalis radikal seperti Tjipto, Ernest Douwes Dekker, Ki Hadjar Dewantara, dan lain sebagainya. Soekarno, sebagai tokoh yang tidak memiliki hubungan khusus dengan teosofi, menjadi sosok yang lebih cenderung pada gelombang besar nasionalisme tersebut. Pada periode ini, Soekarno lebih tertarik untuk ikut campur dan bergabung dengan kaum pergerakan politik radikal, seperti Tjipto, ketimbang bergabung dengan kaum pergerakan kooperatif, seperti Radjiman, yang masih memilih bertahan dengan tradisi perjuangan yang lama yakni melalui propaganda-propaganda kebudayaan. Berdasarkan pada kerangka pikir itulah cukup masuk akal apabila pada periode ini Soekarno lebih dekat dengan sosok Tjipto dan kaum pergerakan radikal lainnya. Bahkan, setelah melalui perdebatan yang cukup alot dan panjang, akhirnya Soekarno berhasil mengarahkan Jong Java, organisasi yang awalnya sangat bercorak teosofis dan anti politik, menjadi

62 Ahmad Faidi Teosofi, Soekarno, dan Pancasila gerakan politik murni yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pola hubungan yang terjalin antara Soekarno dan teosofi ketika tinggal di Surabaya mengalami perubahan siginifikan ketika Soekarno tinggal di Bandung. Di Surabaya Soekarno menjadikan teosofi sebagai salah satu elemen yang berperan dalam meningkatkan ilmu pengetahuannya. Sedangkan di Bandung, hubungan Soekarno dan teosofi (sebut tokoh-tokoh teosofi) lebih didasarkan pada orientasi politik—gerakan politik radikal—yang dianutnya. Bahkan, pada masa ini Soekarno telah berani masuk dan mengambil peran dalam mengarahkan Jong Java, salah satu organisasi di lingkuangan teosofi, menjadi sebuah organisasi politik murni.

Teosofi dan Soekarno Pada Masa Jepang dan Orde Lama.

Gerakan teosofi semakin menemui masa-masa kritisnya ketika Jepang mulai menaklukkan Hindia Belanda. Gedung-gedung (loji dan sekolah) yang menjadi pusat kegiatan teosofi satu persatu dirampas oleh Jepang. Para pimpinan dan anggota teosofi, khususnya orang-orang Belanda (atau Indo-Eropa) dan Tionghoa, banyak yang ditangkap dan dipenjarakan. Sedangkan para anggota teosofi dari kalangan pribumi oleh Jepang diberikan kelonggaran dan justru diajak kerjasama untuk melawan Belanda dan Sekutu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada periode ini teosofi benar-benar lumpuh secara organisasi dan tidak dapat lagi menjalankan kegiatan-kegiatan bersama sebagaimana pada periode-periode sebelumnya. Bagi masyarakat Belanda, masa-masa kekuasaan Jepang di Indonesia menjadi masa-masa yang paling sulit dan mencekam. Melalui propagandanya, Jepang mencerabuti bekas-bekas kekuasaan Belanda di Indonesia. Kondisi yang demikian memiliki dampak sosial-politik yang cukup besar bagi masyarakat kolonial. Para angggota teosofi, khususnya yang berkebangsaan Belanda dan Tionghoa, mendapatkan tekanan dan pengawasan yang keras dari pemerintahan Jepang. Bahkan gedung-gedung milik teosofi juga dirampas oleh Jepang. Sebaliknya, kondisi menguntungkan justru terjadi pada anggota teosofi pribumi. Untuk masyarakat pribumi, secara umum Jepang menggunakan metode pendekatan yang berbeda. Selain memberikan kelonggaran dan bersikap lebih terbuka, secara tidak langsung Jepang juga telah menyediakan fasilitas bagi tumbuh-suburnya pendidikan politik masyarakat Indonesia. Salah satu anggota teosofi pribumi yang paling aktif pada masa Jepang adalah Radjiman. Pada masa peerintahan jepang, Jepang seringkali diposisikan sebagai perwakilan kaum tua (kooperatif). Bersama dengan perwakilan kaum muda yang radikal, salah satunya Soekarno, Radjiman turut berperan dalam perjuangan kemerdekaan serta pembentukan dasar-dasar NKRI. Soekarno dan Radjiman dalam Perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia

Ahmad Faidi 63 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

Perkenalan Radjiman dengan Soekarno sebenarnya dimulai ketika kedua­ nya berada dalam garis organisasi yang sama. Ketika Radjiman telah dianggap sebagai salah satu tokoh utama dalam organisasi BO, saat itu Seokarno masih menjadi salah satu pemuda paling aktif dalam organisasi Jong Java: organisasi kepemudaan yang berafiliasi kepada BO. Kedua tokoh tersebut dapat dikatakan memiliki karakter yang saling berbeda antara satu sama lain. Radjiman merupakan kalangan tua BO yang konservatif dan senantiasa berupaya menjauhkan BO dari urusan politik. Sedangkan Soekarno di Jong Java menjadi salah satu tokoh radikal yang justru menuntut agar Jong Java terlibat secara langsug dalam urusan politik. Karena kecenderungan yang saling berbeda itulah mengapa pada masa itu hubungan keduanya tidak begitu akrab. Saat itu Soekarno justru lebih dekat kepada Tjipto (kaum muda BO yang radikal) ketimbang kepada Radjiman (kaum tua BO yang konservatif). Meski demikian, bukan berarti kesenjangan dan perbedaan keduanya tidak dapat terjembatani. Pada bagian-bagian tertentu, justru Radjiman menjadi tokoh panutan bagi Soekarno. Akira Nagazumi menilai bahwa gagasan-gagasan Radjiman kelak tampak mewarnai beberapa pemikiran Soekarno.27 Ketika kelak Jepang telah menduduki Indonesia, hubungan Radjiman dan Soekarno menjadi lebih intens. Keduanya senantiasa bekerjasana dan bahu-membahu demi mencapai kemerdekaan Indonesia. Dengan tanpa me­ nge­sampingkan peran tokoh-tokoh lain, kolaborasi antara Radjiman dengan Soekarno telah berhasil mengantarkan rakyat Indonesia menuju gerbang kemerdekaan. Negosiasi politik yang dibangun Soekarno dan Radjiman dengan pemerin­ tahan Jepang mulai mencapai titik terang ketika pada tanggal 28 Mei 1945 didirikan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritzu Junbi Cosakai. Organisasi ini menjadikan Radjiman sebagai ketua dengan wakil ketuanya (Ketua Muda) adalah R.P. Soerosa dan Ichibangse (Jepang). Sedangkan beberapa tokoh pergerakan yang tercatat sebagai anggota di antaranya adalah Soekarno, Mr. M. Yamin, Wahid Hasyim, Dr. R. Kusuma Atmaja, R. Abdulrahim Pratalykrama, R. Aris, Ki Hajar Dewantara, Ki Bagus Hadikusumo, dan lain sebagainya. Secara keseluruhan badan ini berang­ gotakan 60 orang dengan 7 anggota istimewa yang berasal dari kalangan peme­ rintah Jepang.28 Berbeda dengan organisasi-organisasi bentukan Jepang sebelumnya— seperti Putera, Jawa Hokokai, dan Tyuo Sangi-in yang lebih dipercayakan kepada kaum muda radikal—kali ini pemerintah Jepang justru mempercayai Radjiman sebagai ketua BPUPKI. Pemilihan Radjiman sebagai Ketua BPUPKI tentunya

27 Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918, (Jakarta: PT. Pusataka Utama Grafiti, 1989), h. 238. 28 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, h. 67. Lihat pula Drs. R. Nalenan, Proses Lahirnya Pancasila, (Jakarta: LPSN No. 1), h. 11-13. Lihat juga A.T. Sugito S.H, Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat: Hasil Karya dan Pengabdiannya, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983), h. 61-63.

64 Ahmad Faidi Teosofi, Soekarno, dan Pancasila dimaksudkan Jepang untuk memperlunak kaum pergerakan Indonesia. Meskipun popularitas Soekarno sebagai pimpinan bangsa kala itu melebihi Radjiman, tetapi ia tidak merasa keberatan ketika justru Radjimana yang terpilih menjadi pimpinan BPUPKI. Jabatan sebagai anggota biasa dalam BPUPKI, menurut Soekarno justru lebih tepat untuk dirinya. Pasalnya, dengan menjadi anggota biasa Soerkano bisa lebih leluasa mengungkapkan pendapat- pendapatnya dalam berbagai sidang yang akan digelar oleh BPUPKI.29 Lebih dari itu, Soekarno dapat dibilang memiliki kekaguman dan peng­hormatan yang besar terhadap sosok Radjiman. Menurut Soebaryo Mangunwidodo, kekaguman dan penghormatan besar Soekarno terhadap sosok Radjiman dapat dilihat dari susunan gramatikal pidato Soekarno yang disam­paikan dalam sidang BPUPKI pertama pada tanggal 1 Juni 1945. Dalam pem­bukaan pidato tersebut, sebagaimana dikutip oleh Soebaryo, Soekarno mengatakan sebagai berikut: “Paduka Tuan Yang Mulia! Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritzu Syunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari paduka Tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan paduka Tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan paduka Tuan yang mulia? Paduka Tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini. Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan yang mulia, yaitu bukannya dasar Indonesia Merdeka. Menurut Anggapan saya yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: Philosofische grondslag dari pada Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag, itulah fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal yang abadi.”30

Dari potongan pidato Soekarno tersebut, dilihat dari suku kata yang di­ gunakan, cukup tampak bagaimana penghormatan Soekarno terhadap Radjiman yang saat itu menjabat sebagai ketua BPUPKI. Sebaliknya, meskipun Soekarno jauh lebih muda, tetapi Radjiman tetap menghormatinya sebagai sosok pejuang yang gigih dan berpengetahuan luas. Sikap saling hormat-menghormati di antara kedua tokoh ternama tersebut cukup tampak ketika keduanya bertemu dan berjabat tangan. Lebih jelasnya lihat gambar dalam lampiran. Terlepas dari hal itu, sidang pertama BPUPKI sendiri berlangsung antara tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 yang ditempatkan di bekas Volksraad pada masa kolonial dan bekas Gedung Tyuo Sangi-In pada masa Jepang. Pada hari per­ tama persidangan, yakni tanggal 29 Mei, Dr. Radjiman secara resmi mebuka persidangan dan dilanjutkan dengan memberikan sambutan. Dalam sambutan

29 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, h. 67. 30 Ibid, h. 93-94.

Ahmad Faidi 65 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism tersebut, Radjiman menyampaikan berbagai hal terkait dengan maksud dan tujuan pelaksanaan sidang BPUPKI tersebut. Radjiman meminta segenap anggota untuk menyampaikan pendapatnya terkait dengan dasar negara Indonesia Merdeka yang hendak dibentuk. Di antara seluruh peserta sidang, hanya terdapat tiga peserta yang bersedia memenuhi permintaan Radjiman tersebut, yaitu M. Yamin, Dr. Soepomo, dan Soekarno. Secara berturut-turut, M. Yamin menyampaikan pidatonya pada tanggal 29 Mei, Dr. Soepomo tanggal 31 Mei, dan Soekarno pada tanggal 1 Juni. Pada dasarnya, masing-masing pidato dari M. Yamin, Dr. Soepomo, dan Soekarno mengajukan nilai-nilai dasar yang hampir sama. Tetapi justru pidato Soekarno terkesan lebih istimewa dan khas dengan nuansa ketimurannya, terutama terkait dengan pengajuan nama “Pancasila.” 31 Sidang pertama BPUPKI yang membahas dasar-dasar negara tersebut berakhir pada tanggal 1 Juni. Saat itu BPUPKI belum mendapatkan kesepakatan final terkait usulan-usulan siapa saja disetujui. Oleh karena itu, Radjiman beserta para anggota BPUPKI membentuk Panitia Kecil yang berjumlah delapan orang dan Soekarno diangkat menjadi ketuanya. Kedelapan anggota yang masuk dalam Panitia Kecil ini di antaranya adalah Soekarno, Moh. Hatta, Sutardjo Kartohadikusumo, Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Oto Iskandardinata, M. Yamin, dan A.A, Maramis. Panitia Kecil ini bertugas mendiskusikan lebih lanjut tentang usulan-usulan dalam sidang BPUPKI yang pertama.32 Pada tanggal 22 Juni, Soekarno beserta para anggota Panitia Kecil menemui Radjiman beserta para anggota BPUKI yang saat itu hanya dihadiri 38 orang. Ketidak hadiran beberapa anggota BPUPKI yang lain disebabkan saat itu mereka sedang menghadiri rapat Tyuo Sangi-In. Dalam pertemuan tersebut, antara Panitia Kecil dengan anggota BPUPKI sepakat untuk membentuk panitia kecil lain yang berjumlah 9 (Panitia Sembilan). Dengan Soekarno sebagai ketuanya, keanggotaan dalam Panitia 9 ini diisi oleh Moh. Hatta, M. Yamin, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Abdulkadir Muzakkir, Wachid Hasyim, H. Agoes Salim, dan Abikusno Tjokrosudjoso. Panitia sembilan ini bertugas untuk mendiskusikan secara matang tentang dasar-dasar negara yang telah tercatat sebelumnya. Setelah melalui perdebatan panjang yang disertai dengan berbagai pro-kontra, khususnya tarik-menarik antara kaun Islamis dan nasionalis, akhirnya Panitia Sembilan berhasil menyepakati rumusan penting yang disebut Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.33 Hasil keputusan Panitia Kecil tersebut kemudian dilaporkan Soekarno dalam sidang kedua BPUPKI yang dilangsungkan pada tanggal 10-17 Juli 1945. Seperti sebelum-sebelumnya, pada hari pertama sidang kedua BPUPKI tersebut, Radjiman kembali membuka sidang dengan kata-kata sambutan. Dalam kata sambutannya, Radjiman menyatakan:

31 Marwati Joened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, h. 67-69. 32 Ibid, h. 70. 33 Ibid, h. 71.

66 Ahmad Faidi Teosofi, Soekarno, dan Pancasila

“Para anggota-anggota sekalian yang terhormat, persidangan Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai yang kedua ini, saya buka dengan menghaturkan selamat dan bahagia serta terima kasih atas kedatangan tuan-tuan anggota yang terhormat,. Sebelum saya membicarakan acara persidangan, perkenankanlah saya mengucapkan sepatah dua patah kata pendahuluan seperti berikut. Di dalam persidangan ini haruslah senantiasa kita ingat, kita terikat oleh satu kewajiban yang dilimpahkan Pemerintah Balatentara Dai Nippon kepada kita, yakni menyelidiki usaha-usaha persiapan Kemerdekaan Indonesia. Maka dari itu di dalam pertukaran pikiran tentang soal-soal yang termasuk kewajiban kita bukanlah tujuan kita hendak tentang-menentang, berdebat-debatan, melainkan haruslah kita selalu berusaha mencari jalan yang sebaik-baiknya untuk memenuhi kewajiban kita tadi. Oleh karena itu sekalipun kita tidak dapat menyetujui pendirian orang lain, wajiblah kita menghormati pendirian itu, pun janganlah hendaknya kita memaksa orang lain, supaya menerima dan menyetujui pendirian kita sendiri. Di dalam persidangan ini pula sekali setiap anggota menyatakan pendiriannya dengan merdeka, bebas daripada pengaruh atau paksaan, oleh karena jika tidak demikian, keputusan yang harus ditentukan oleh persidangan ini bukan pendapat badan penyelidik yang sejati. Kemerdekaan, kebebasan di dalam menyatakan pendirian kita, yaitu merasa kedudukannya terpikat oleh orang lain, ataupun khawatir akan mendapat celaan dari pihak di luar badan penyelidik, yang tentulah tidak mungkin akan terjadi, oleh sebab persidangan ini bersifat rahasia. Maka di dalam suasana yang bebas dari segala paksaan itu mulai kita akan memenuhi persatuan yang tersusun dengan ikhlas dan suci hati, pun hasil-hasil yang didapat di dalam persidangan pasti murni dan sejati. Dengan jalan demikian kita menunjukkan pula persatuan masyarakat Indonesia yang kita kehendaki.”34

Pernyataan Radjiman tersebut di atas tampaknya merujuk pada peristiwa pro dan kontra yang terjadi sebelumnya, khususnya peristiwa tarik-menarik dan pro-kontra yang terjadi pada saat perumusan Pancasila. Berdasarkan pada hal tersebut, maka Radjiman menekankan agar para anggota BPUPKI secara keseluruhan agar bersikap demokratis. Radjiman menekankan agar masing- masing anggota dapat saling menghargai perbedaan pendapat masing-masing. Dengan jiwa moderatnya tersebut, maka Soebaryo menilai bahwa kehadiran Radjiman sebagai ketua BPUPKI menjadi sosok penting yang begitu menentukan bagi bergulirnya bola demokrasi dalam persidangan-persidangan BPUPKI. Radjiman dengan beberapa anggota lainnya di BPUPKI telah membuktikan bahwa suasana demokratis menjadi tonggak penting bagi keberhasilan mereka dalam mewujudkan negara Indonesia merdeka.35 Terlepas dari hal itu, persidangan kedua BPUPKI dimaksudkan untuk menyimak laporan dari Soekarno yang mewakili seluruh anggota Panitia Kecil dan Panitia Sembilan. Dalam laporannya, Soekarno menyampaikan tentang kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai dalam rapat-rapat Panitia Kecil, terutama tentang Piagam Jakarta. Meski demikian, para anggota sidang BPUPKI tidak lantas menyetujui keputusan-keputusan Panitia Kecil tersebut. Oleh

34 Soebaryo Mangunwidodo, Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat : Perjalanan Seorang Putera Bangsa 1879-1952, (Jakarta: Yayasan Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat, 1994), h. 94-95. 35 Ibid, h. 95-96.

Ahmad Faidi 67 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism karena itu, pada hari itu juga dibentuklah Panitia Perancang Undang-Undang Dasar dan Soekarno kembali ditunjuk untuk menjadi ketuanya. Keesokan harinya, tepatnya pada tanggal 11 Juli, BPUPKI kembali membentuk panitia kecil perancang undang-undang yang diketuai oleh Dr. Soepomo. Setelah melakukan musawarah, panitia kecil ini pun menyepakati isi prembule yang diambil dari piagam Jakarta. Pada tanggal 14 Juli, dalam sidang lanjutan BPUPKI, Soekarno melaporkan keputusan-keputusan yang telah disepakati sebelumnya. Dalam laporan tersebut, Soeakrno yang mewakili seluruh Panitia Perancang Undang- Undang, menyampaikan 3 hasil keputusan penting yaitu: 1. Pernyataan Indonesia Merdeka 2. Pembukaan Undang-Undang Dasar 3. Undang-Undang Dasar (Batang Tubuh).36

Setelah menerima laporan panitia kecil yang diwakili oleh Soekarno tersebut, maka Radjiman beserta seluruh anggota BPUPKI mendiskusikannya kembali selama kurang lebih satu jam. Selanjutnya, konsep-konsep yang disampaikan Soekarno pun diterima dan dispakati oleh seluruh anggota BPUPKI.37 Dengan demikian, maka selesailah tugas BPUPKI dalam mempersiapkan berbagai hal yang diperlukan untuk mendirikan Negara Indonesia merdeka. Tugas selanjutnya bagi Radjiman dengan Soekarno dan Hatta adalah melaporkan hasil seluruh persidangan BPUPKI kepada Pemerintah Jepang. Dalam rangka memenuhi tanggung jawab kepada Pemerintah Jepang, maka pada tanggal 7 Agustus 1945, Radjiman bersama Soekarno dan Hatta dipanggil untuk menghadap Pemerintah Jepang. Dalam pertemuan tersebut, setelah segala persiapan mendasar telah terpenuhi, maka sudah saatnya menuju langkah-langkah yang lebih praktis. Pada hari itu pula Pemerintah Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan BPUPKI pun dianggap bubar pada saat itu juga. Jika Jepang sebelumnya menunjuk Radjiman sebagai Ketua BPUPKI, maka saat itu Jepang menunjuk Soekarno sebagai ketua PPKI. Seperti pembentukan organisasi-organisa politik sebelumnya, Jepang juga berupaya mengintervensi PPKI. Dalam pendirian PPKI tersebut Jepang mengajukan dua persyaratan yang intinya meminta bangsa Indonesia untuk berperang melawan Sekutu serta Jepang hendak menjadikan Indonesia sebagai Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.38 Sehari setelah pembentukan PPKI, tepatnya pada tanggal 8 Agustus 1945, Radjiman menyampaikan pidato radio tentang kemerdekaan Indonesia dan berahasil menyulut semangat bangsa Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus, Radjiman, Soekarno, dan Hatta berangkat ke Saigon dan Dalat di Vietnam untuk

36 Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar tersebut kelak disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 agustus 1945. Lihat Marwati Joened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, h. 67-69. 37 Ibid, h. 72. 38 Ibid, h. 77.

68 Ahmad Faidi Teosofi, Soekarno, dan Pancasila bernegoisasi dengan panglima besar Jepang, yaitu Jenderal Terauci. Pada tanggal 12 agustus, Jenderal Terauci menyampaikan kepada tiga tokoh pimpinan bangsa Indonesia bahwa Pemerintah Kemaharajaan Jepang telah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Dengan pernyataan Jenderal Terauci tersebut, pada tanggal 14 Agustus Radjiman, Soekarno dan Hatta pulang ke Indonesia.39 Keesokan harinya, tepatnya pada tanggal 15 Agustus, Jepang telah menyerah tanpa syarat terhadap Sekutu. Akibatnya Indonesia kala itu terjadi kekosongan politik. Pada dasarnya, Sekutu meminta Jepang untuk tetap mempertahankan Indonesia dan kelak akan diambil alih oleh Sekutu. Akan tetapi, gairah kemerdekaan telah kadung meletus dalam tubuh pergerakan kaum muda Indonesia. Oleh karena itu, untuk memanfaatkan kekosongan tersebut maka kaum muda pergerakan Indonesia, yang dipelopori oleh Sukarni, Jusuf Kunto, dan lain sebagainya, segera mendesak dengan menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus, tepatnya pada jam 04:00 WIB. Selama di Rengasdengklok, kaum muda terus mendesak Soekarno dan Hatta agar sesegera mungkin memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Setelah terjadi perdebatan antara kaum muda dengan Soekarno-Hatta, maka akhirnya pembacaan Prokalmasi Kemerdekaan Indonesia berhasil dilaksanakan keesokan harinya di Jakarta, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945.40 Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI segera melaksanakan sidang pertamanya. Dalam sidang ini PPKI berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD-RI) yang kemudian dikenal sebagai UUD 45 dan memilih Soekarno dan Moh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Selain itu, sidang ini juga memutuskan bahwa sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) maka tugas-tugas presiden untuk sementara dibantu dan dikomandoi oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan komite-komite nasional serupa di tingkat-tingkat propinsi dan kepresidenan. Pendirian KNIP, yang baru diresmikan pada tanggal 29 Agustus 1945, dimaksudkan untuk mengawal dan menyelenggaraan kemerdekaan Negara Republik Indonesia dengan berdasarkan pada kedaulatan rakyat.41 Meskipun Radjiman saat itu telah berumur 66 tahun, tetapi ia tetap dipercaya untuk mengawal kemerdekaan dengan menjadi salah satu anggota dalam KNIP. Sedangkan kepengurusan tertinggi KNIP dipercayakan kepada Mr. Kasman Singodimejo (Ketua), Sutarjo Kartohadikusumo (Wakil Ketua I), Mr. Johanes Latuharhary (Wakil Ketua II), dan Adam Malik (Wakil Ketua III). Di samping kesibukannya sebagai anggota KNIP, Radjiman juga dipercaya menjadi

39 Ibid, h. 78-79. Lihat juga Soebaryo Mangunwidodo, hlm. 99-100. Lihat juga MC. Ricklefs, h. 426. 40 Marwati Joened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, h. 77-87. Lihat juga Soebaryo Mangunwidodo, h. 100-102. Lihat juga MC. Ricklefs, h. 425-427. 41 Soebaryo Mangunwidodo, h. 105-106.

Ahmad Faidi 69 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism anggota dalam Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang baru dibentuk atas dasar pengumuman pemerintah pada tanggal 25 Spetember 1945. 42 Sedangkan pada tanggal 17 agustus 1950, Radjiman beserta para anggota DPA lain diangkat menjadi anggota DPR. Kala itu Radjiman menjadi satu- satunya anggota tertua dibandingkan dengan anggota-anggota DPR lainnya. Oleh karena itu, sebagai bentuk penghormatan terhadap sosok Radjiman yang telah sepuh, maka ia memperoleh kehormatan untuk memimpin sidang pertama DPR. Tetapi, dua tahun setelah ia menjabat sebagai anggota DPR, tepatnya pada tanggal 20 September 1952, Radjiman telah pergi meninggalkan seluruh Bangsa Indonesia karena pangggilan Sang Maha Kuasa. Soekarno, yang saat itu sedang melakukan kunjungan kerja ke Surakarta, seketika itu langsung membatalkan rencana kerjanya dan segera menuju Rumah Sakit Kadipolo Surakarta, tempat Radjiman disamayamkan. Jenazah Radjiman kemudian dikuburkan di kompleks pemakaman leluhurnya di Desa Mlati, Yogyakarta.43

Demokrasi Terpimpin dan Pembubaran Teosofi Pendudukan Jepang pada tahun 1942-1945 dan perjuangan kemerdekaan menjadi masa-masa yang cukup sulit dan penuh tekanan bagi masyarakat teosofi di Indonesia. Selain mereka kehilangan loji-loji dan sekolah, mereka begitu banyak kehilangan para anggotanya, khususnya para anggota Belanda dan Tionghoa yang menjadi korban keganasan pasukan Jepang. Sebagian besar anggota teosofi yang tersisa dan dapat berkeliaran saat itu adalah kalangan pribumi. Meski demikian, kondisi bangsa Indonesia yang genting memaksa mereka untuk mengalihkan perhatiannya pada perjuangan bangsa Indonesia. Pada masa ini, Radjiman, M. Yamin, Dr. Soepomo, dan lain sebagainya, tampak lebih aktif dalam perjuangan kemerdekaan ketimbang dalam teosofi sendiri. Kepergian Jepang dari Indonesia serta berubahnya Indonesia menjadi negara berdaulat tentunya menjadi angin segar sekaligus tantangan baru bagi teosofi. Di satu sisi, para anggota teosofi Belanda dan Tionghoa dapat bernafas lega karena terbebas dari keganasan Jepang yang saat itu dipaksa menyerah oleh Sekutu. Pada sisi yang lain, perubahan Indonesia menjadi negara Merdeka dengan seperangkat Undang-Undang yang telah dibentuknya memaksa teosofi untuk menyesuaikan diri dengan situasi politik di Indonesia. Pada masa-masa revolusi Indonesia, keterlibatan Radjiman dan tokoh- tokoh teosofi lainnya dalam pembentukan dasar-dasar negara Indonesia secara tidak langsung memberikan keuntungan tersendiri bagi warga teosofi Indonesia. Kehadiran Radjiman dalam kursi pemerintahan hingga tahun 1952 setidaknya dapat mewakili warga teosofi Indonesia dalam kursi kepemerintahan. Melalui jabatan-jabatan Radjiman yang cukup strategis, dari KNIP, DPR, hingga DPA, serta sumbangan ide-idenya dalam berbagai rapat penting secara tidak langsung

42 Ibid, h. 106-109. 43 Ibid, h. 109-117.

70 Ahmad Faidi Teosofi, Soekarno, dan Pancasila telah berhasil menciptakan sistem regulasi yang memberikan jaminan hidup bagi setiap warga negara Indonesia pada umumnya dan warga teosofi Indonesia pada khususnya. Meski demikian, perlu dipahami pula bahwa, dari tiga usulan dasar negara yang masing-masing diajukan oleh Moh. Yamin, Dr, Soepomo, dan Soekarno sama mengusung nilai-nilai substansial yang hampir sama, tetapi para anggota BPUPKI kala itu sebagian besar menerima usulan Soekarno, yakni Pancasila. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penilaian tentang Pancasila atau hasil sidang BPUPKI sepenuhnya dipengaruhi langsung oleh teosofi merupakan penilaian yang buru-buru dan tidak proporsional. Meski demikian, perlu dipahami pula bahwa pengaruh nilai-nilai teosofi, yang saat itu telah tertanam dalam pemikiran para tokoh bekas anggota teosofi yang terlibat didalam BPUPKI, dalam pembentukan konstitusi Pancasila merupakan realitas historis yang tidak dapat dikesampingkan. Pada masa-masa revolusi Indonesia, keterlibatan Radjiman secara aktif dalam regulasi kepemerintahan kala itu tentunya memberikan keuntungan tersendiri bagi teosofi Indonesia. Kehadiran Radjiman dalam kursi pemerintahan hingga tahun 1952 setidaknya dapat mewakili warga teosofi Indonesia dalam kursi kepemerintahan. Melalui jabatan-jabatan Radjiman yang cukup strategis, dari KNIP, DPR, hingga DPA, serta sumbangan ide-idenya dalam berbagai rapat penting setidaknya telah berhasil menciptakan sistem regulasi yang memberikan kelonggaran bagi setiap warga negara Indonesia pada umumnya dan warga teosofi Indonesia pada khususnya. Pada tanggal 21 Desember 1949, Wakil Suhu Agung Carpentier Alting mengirim telegram ucapan selamat atas diangkatnya Soekarno sebagai Presiden Indonesia Serikat, Hatta sebagai Perdana Menteri Indonesia, serta ucapan selamat kepada seluruh anggota-anggota kabinet yang baru diangkat. Dalam telegram tersebut Carpentier Alting juga menegaskan bahwa tujuan-tujuan Republik Indonesia Serikat (RIS) dalam bidang kemanusian secara keseluruhan mendapatkan resonansinya dari asas-asas Freemaso (Tarekat Mason Bebas). Telegram dari Carpentier Alting berbunyi sebegai berikut: “Berhubung dengan pengangkatan Yang Mulia sebagai Presiden Pertama Republik Indonesia Serikat, Tarekat Mason Bebas dengan segala hormat mengucap selamat kepada Yang Mulia, dan menegaskan kepada Anda bahwa tujuan-tujuan RIS untuk melayani kemanusiaan, seluruhnya mendapat resonansi dalam asas-asas Tarekat Mason Bebas”44

Namun, telegram tersebut tidak dijawab oleh Soekarno secara langsung dan meminta Hatta, yang memiliki kedekatan khusus dengan kaum Freemasonry dan Teosofi, untuk menanggapi telegram tersebut. Dalam sebuah telegram balasan yang ditujukan kepada Carpentier Alting tersebut Hatta menyatakan

44 Th. Stevens, Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764- 1962, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2004), h. 482.

Ahmad Faidi 71 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism terima kasih atas ucapan selamat yang disampaikan oleh Alting. Demikian pula Hatta menegaskan bahwa salah satu sila Pancasila dalam Undang-Undang Dasar, khususnya tentang kemanusiaan, adalah sejalan dengan asas-asas kemanusian Freemasonry.45 Dari pernyataan tersebut di atas dapat dipahami bahwa Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia kala itu mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang sama dan sejalan dengan asas-asas kemanusiaan dalam Freemasonry dan juga dalam teosofi. Dalam kerangka pikir yang demikian, maka kondisi politik dan perundang-undangan Indonesia kala itu tidak lagi menjadi penghalang bahkan sangat mendukung bagi perkembangan teosofi dan freemasonry di Indonesia untuk melanjutkan kembali kegiatan-kegiatannya. Berdasarkan pada kondisi politik yang demikian, maka pada tahun 1950 warga teosofi Indonesia mengadakan kongres untuk pertama kalinya pasca pendudukan Jepang. Kongres yang dilaksanakan di Semarang tersebut seluruh peserta kongres yang hadir sepakat untuk melanjutkan kegiatannya dengan wadah baru yang diberi nama Perhimpunan Theosofi Tjabang Indonesia (PTTI). Pengurus PTTI kala itu dipercayakan kepada Soemardjo sebagai Sekretaris Jenderal dan Sadono Dirdjoatmodjo sebagai President dari Pemuda Theosofi. Sejak saat itu PTTI mulai menggiatkan propagandanya dengan mengeluarkan majalah bulanan yang disebut sebagai Madjalah PTTI.46 Pada tahun 1954, PTTI telah memiliki tujuh belas loji dan dua markas pusat yang salah satunya terletak di Medan, Sumatera Utara.47 Pada tanggal 19-20 Agustu 1955, para tokoh kebatinan di seluruh Indonesia mengadakan pertemuan di Semarang. Pada tanggal 7 Agustus 1956, para tokoh kebatinan di seluruh Indonesia kembali mengadakan kongres di Surakarta. Pertemuan tersebut dihadiri oleh 2.000 peserta perwakilan dari 100 organisasi kebatinan di Indonesia, termasuk perwakilan organisasi PTTI. Dalam pertemuan- pertemuan tersebut akhirnya dibentuklah Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI): suatu lembaga atau organisasi pusat yang mewadahi seluruh organisasi kebatinan di Indonesia. Dalam kongres di Surakarta tersebut juga disebutkan bahwa kebatinan sendiri merupakan sumber asas dan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” untuk mencapai budi yang luhur demi kesempurnaan hidup.48 Sehubungan dengan pengertian tersebut, maka dalam Kongres Ke-III BKKI yang diadakan di Gedung Pemuda, Jakarta, pada tanggal 17 Juni 1958,

45 Ibid, h. 482 dan 528. 46 PTTI dan Madjalah PTTI secara resmi diakui oleh Teosofi pusat Di Adyar sebagai cabang teosofi di Indonesia pasca kemerdekaan. Setahun setelah pendirian PTTI, Presiden TS Ke- 5, Mr. N. Sri Ram sempat mengunjungi berbagai daerah di Indonesia, khususnya daerah-daerah yang menjadi basis gerakan teosofi. Lihat Artawijaya, Gerakan Theosofi di Indonesia, (Jakarta: Al- Kautsar, 2010), hlm. 137-139. 47 The Theosophical Encyclopedia, Teosophy In Indonesia, diakses dari http://theosophy.ph/ encyclo/index.php?title=Indonesia,_Theosophy_in pada tanggal 15 September 2015 pukul 18:35 WIB. 48 Ridin Sofwan, Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan, (Semarang: Aneka Ilmu, 1999), hlm. 1. Lihat juga Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1973), hlm. 539.

72 Ahmad Faidi Teosofi, Soekarno, dan Pancasila

Soekarno diberikan kehormatan untuk memberikan ceramah tentang kebatinan. Dalam pidatonya yang berjudul Kebatinan Sejati, Soekarno menyatakan bahwa sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dapat dimaknai sebagai “Satu Tuhan” untuk “semua golongan” atau setiap golongan harus mengakui ke-Esa-an Tuhan. Di samping itu Soekarno juga menghimbau agar sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” tersebut tidak dipisah-pisahkan dengan empat sila yang lainnya. Melalui pernyataan tersebut Soekarno hendak menegaskan dan menghimbau kepada seluruh masyarakat kebatinan di Indonesia yang hadir dalam kongres tersebut agar tidak hanya memaknai kebatinan secara unsich; kebatinan sebagai aktivitas bersemedi, bertafakkur, bertasbih, menyepi, dan lain sebagainya. Menurut Soekarno, kebatinan yang sejati harus dimaknai secara luas dan harus pula termanifestasi dalam aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara.49 Pada tahun1959, melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan oleh Soekarno, Indonesia secara resmi menganut sistem Demokrasi Terpimpin. Jika kekuasaan sebelumnya dipegang penuh oleh Parlemen maka sejak saat itu Presiden memiliki otoritas penuh. Kebijakan politik pada periode ini yang kerap menjadi sorotan utama adalah kebijakan politik luar negeri Soekarno yang konfrontatif. Selain karena Indonesia dianggap telah memiliki fondasi yang cukup kuat sebagai negara Independen, politik konfrontatif tersebut diambil Soekarno berdasarkan pada padangan politiknya yang begitu anti terhadap kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebijakan politik konfrontatif, terlepas dari berbagai kontroversi yang mengiringinya, merupakan salah satu cara bagi Soekarno untuk membebaskan Indonesia dari koloniaslisme, imperialisme, serta kapitalisme.50 Dalam sistem yang demikian, Seokarno secara keras menentang dan menekan berbagai elemen yang bercorak westernisasi. Beberapa organiasi transnasional terpaksa menjadi korban dari pemberlakukan sistem Demokrasi terpimpin. Pada tanggal 27 Februari 1961, Soekarno secara resmi melarang Freemasonry untuk melanjutkan kegiatan-kegiatannya. Hal demikian diperkuat pula dengan Surat Keputusan Presiden No. 264 tahun 1962 yang melarang dan membubarkan organisasi Freemasonry dan beberapa organisasi sejenis lainnya seperti Rotary Club, Rosicrucian, Lion Club, Amorc, Rotary Blub, dan lain sebagainya. Satu tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 3 April 1963, Soekarno

49 Soekarno, Kebatinan Sejati, Amanat Presiden Soekarno Pada Kongres Kebatinan Indonesia di Gedung Pemuda Jakarta pada tanggal 17 Juni 1958. Diakses dari http://narawirabumi. blogspot.com pada tanggal 18 Juli 2015 pukul 21:28 WIB. 50 Langkah-langkah pertama Soekarno menuju sistem Demokrasi Terpimpin tersebut sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1957. Menurut Ricklefs, meski diputuskan secara bersama- sama dengan pimpinan-pimpinan lainnya, tetapi sistem Demokrasi Terpimpin tersebut sebagian besar diambil dan didominasi oleh pemikiran dan kepribadian Soekarno yang radikal. Lihat Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta : P.T. Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 508- 557. Lihat juga Ganewayati Wuryandari, Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik, (Yogyakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008), h. 76-96.

Ahmad Faidi 73 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism juga membubarkan Perhimpuna Theosofi Tjabang Indonesia (PTTI).51 Tujuh hari setelah penerimaan surat pemerintah tersebut, para tokoh teosofi Indonesia, seperti R.S. Soejatno, S.M. Soesiswo, dan beberapa pemuda teosofi lainnya berinisiatif untuk menyelamatkan dan mempertahankan organisasi teosofi di Indonesia. Jalan satu-satunya yang dapat diambil dalam kondisi politik yang demikian adalah bagaimana caranya agar organisasi teosofi menjadi organisasi independen dan tidak terikat lagi dengan gerakan teosofi di Adyar. Dengan kerangka pikir yang demikian maka para tokoh teosofi saat itu sepakat untuk mendirikan Persatuan Warga Theosofi Indonesia (Perwathin) pada tanggal 31 Juli 1963. Strategi tersebut ternyata berhasil setelah Soekarno, melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 30 November 1963 No.J.A 5/203/5, mengizinkan Perwathin untuk menjalankan kegiatan-kegiatannya. Pada masa Soeharto, Status izin Perwathin diperkuat pula dengan surat Penetapan Menteri Kehakiman tanggal 7 Desember 1971 No. J. A. 5/203/5 dan Berita Negara Republik Indonesia No. 2 Tanggal 7 Januari 1972. Dalam surat keterangan tersebut dinyatakan bahwa Perwathin tidak memihak satu aliran apapun dan beranggotakan orang-orang yang mencari kesunyatan.52

Kesimpulan

Berdasarkan pada pemaparan historis-kronologis hubungan Soekarno dan teosofi tersebut dapat dipahami bahwa pola hubungan yang terjalin di antara keduanya bergerak secara dinamis dan netral. Ketika di Surabaya, Soekarno menjadikan teosofi sebagai salah satu media yang cukup menunjang bagi perkembangan pemikiran Soekarno. Melalui perpustakaan milik teosofi Soekarno diperteukan dengan pemikiran-pemikiran tokoh besar yang cukup berpengaruh bagi perkembangan pemikirannya. Ketika pindah ke Bandung, dimana kondisi politik nasional mulai mengambil peran yang cukup dominan, Soekarno menjadikan teosofi sebagai salah satu jalan dalam perjuangan politiknya. Hal demikian cukup nampak ketika pada periode ini Soekarno lebih dekat dengan sosok Tjipto, tokoh teosofi radikal, ketimbang dengan tokoh-tokoh teosofi halus seperti Radjiman. Pada masa pendudukan Jepang hingga awal kemerdekaan, hubungan Soekarno dengan tokoh teosofi berbanding terbalik dengan sebelumnya. Jika sebelumnya Soekarno lebih dekat dengan tokoh-tokoh teosofi Radikal tetapi pada periode ini Soekarno mulai dekat dan bekerjasama dengan tokoh-tokoh teosofi kooperatif seperti halnya Radjiman. Bersama Radjiman dan Hatta, Soekarno begitu intens melakukan konsolidasi politik dengan pemerintahan Jepang demi tercapainya cita-cita kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa penilaian Soekarno terhadap teosofi dapat dikategorikan dalam dua bagian; pertama,

51 Th. Stevens, h. 507-508, dan 563-564. Lihat juga Artawijaya, h. 138. 52 Artawijaya, Gerakan Theosofi di Indonesia, h. 139.

74 Ahmad Faidi Teosofi, Soekarno, dan Pancasila ketika berada di bawah naungan keluarga hingga melanjutkan sekolahnya ke Surabaya, teosofi bagi Soekarno menjadi salah satu elemen pendorong bagi perkembangan pengetahuan Soekarno baik tentang nilai-nilai kebudayaan dan kepercayaan lokal maupun ilmu-ilmu sosial-politik yang sebagian didapatkan Soekarno dari fasilitas perpustakaan tesosofi; kedua, ketika melanjutkan sekolah di Bandung hingga menjadi Presiden, teosofi bagi Soekarno tidak lebih dari sekedar patner politik yang memiliki cita-cita sama; yakni membangun negara RI yang plural. Oleh karena itu, hendaknya keterkaitan Soekarno dengan teosofi diposisikan secara objektif dan proporsional. Pada satu sisi, kehadiran tokoh- tokoh teosofi di sekitar Soekarno menjadi salah satu elemen penting yang tidak dapat dihapus begitu saja dalam sejarah perjuangan dan perkembangan pemikiran Soekarno. Setidaknya, kehadiran berbagai tokoh teosofi serta berbagai fasilitas yang disediakan teosofi dapat dianggap sebagai salah satu faktor eksternal yang mendorong perkembangan pemikiran Soekarno. Pada sisi yang lain, teosofi bukan satu-satunya elemen yang berperan besar dalam pembentukan pemikiran Soekarno. Dengan demikian, setiap hasil pemikiran Soekarno yang dinilai bercorak teosofis tidak dapat dipastikan bahwa sepenuhnya mendapatkan pengaruhnya dari teosofi. Apalagi, cukup banyak elemen-elemen lain di sekitar Soekarno, selain teosofi, yang juga memiliki nilai-nilai yang sama dengan nilai-nilai perjuangan teosofi seperti halnya nilai-nilai mistisisme jawa, ide-ide kemanusiaan dari tarekat freemasonry, dan lain sebagainya. Dengan demikian, klaim yang menyebutkan bahwa Pancasila sepenuhya dipengaruhi oleh teosofi merupakan penilaian yang tidak objektif dan tidak proporsional. Ditambah lagi bahwa penilaian tersebut tidak disertai bukti-bukti historis yang cukup memamdai serta tidak melalui proses-proses ilmiah sebagaimana mestinya.

Daftar Pustaka

Buku: Adian Husaini, MA., Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra, Cetakan II, Jakarta : Gema Insani Press, 2005 Ahmad Faidi, Pemikiran Emas Tokoh-Tokoh Politik Dunia, Yogyakarta : Diva Press, 2013. ______, Biografi Politikus Legendaris Dunia: Sepak Terjang dan Konstribusinya Terhadap Negara dan Dunia, Yogyakarta : Ircisod, 2013. Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918, Jakarta: PT. Pusataka Utama Grafiti, 1989 ______(Penyunting), Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang : Perubahan Sosial- Ekonomi XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986

Ahmad Faidi 75 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

Artawijaya, Gerakan Theosofi di Indonesia,Jakarta: Al-Kautsar, 2010 Arniyati Prasedyawati Herkusuma, Chuo Sangi-In: Ddewan Pertimbangan Pusat Pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: PT. Rosda Jaya Putra, 1991 Asvi Warman Adam, Membongkar Manipulasi Sejarah, Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2009 A.T. Sugito S.H, Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat: Hasil Karya dan Pengabdiannya, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983 Axel Michaels dan Barbara Harshav, Hinduism: Past and Present, Amerika Latin: Princeton University Pers, 2004 Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999 Cindy Heller Adams, Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat, Jakarta : Media Pressindo, 2011. Hans van Miert, Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930, Jakarta: Hasta Mitra & Pustaka Utan Kayu, 2003 Iskandar P. Nugraha, Teosofi, Nasionalisme & Elite Modern Indonesia, Jakarta : Komunitas Bambu, 2011 John Ingleson, Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasional Indonesia Tahun 1927- 1934, Jakarta: LP3ES, 1988 ______, The Secular and Non-Cooperating Nationalist Movement in Indonesia 1923- 1934, tesis Ph.D, Monash University, 1974 Joscelyn Godwin, Blavatsky and The First Generation of Theosophy, dalam Olav Hammer dan Mikhail Rothstein (ed.), Handbook of The Theosophical Current, Leiden: Brill NV, 2013 J. Kruisher, Setoedjoenya Theosofie dengan Islam, dimelayukan oleh Loge T.V. Pakoe­ koehan Bogor, Weltevreden : N.V. Theosofische Boekhandel Minerva, t.t Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pusataka, 1984 Mohammad Hatta, Untuk Negeriku: Bukit Tinggi-Rotterdam Lewat Betawi, Jakarta: Kompas, 2011 Muhamad Thalib dan Irfan B. Awwas (ed.), Doktrin Zionisme dan Ideologi Pancasila : Menguak Tabir Pemikiran Politik Founding Father RI, Yogyakarta: Wihdah Press, 1999 M. Ridwan Lubis, Soekarno & Modernisme Islam, Jakarta: Komunitas Bambu, 2010 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta : P.T. Serambi Ilmu Semesta, 2008. Niels Mulder, Kebatinan dan Kehidupan Sehari-hari Orang Jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kulturil, Jakarta: Gramedia, 1983 Peter Kasenda, Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933, Jakarta: Komunitas Bambu, 2014

76 Ahmad Faidi Teosofi, Soekarno, dan Pancasila

Ridwan Saidi dan Rizki Ridyasmara, Fakta dan Data Yahudi di Indonesia Dulu dan Kini, Jakarta : Khalifa, 2006 R. Nalenan, Proses Lahirnya Pancasila, Jakarta: LPSN No. 1 Soebaryo Mangunwidodo, Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat : Perjalanan Seorang Putera Bangsa 1879-1952, Jakarta: Yayasan Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat, 1994 Soekarno, Revolusi Indonesia, Yogyakarta : Galang Press, 2007. ______, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid I dan II, Jakarta : Yayasan Bung Karno, 2005. ______, Tananm Tat Twam Asi di Dalam Dadamu, Djakarta: Departemen Penerangan RI, 1965 ______, Revolusi Belum Selesai : Kumpulan Pidato Presiden Soekarno, Yogyakarta : Ombak dan Mesias, 2005 ______, Kebatinan Sejati, Amanat Presiden Soekarno Pada Kongres Kebatinan Indonesia di Gedung Pemuda Jakarta pada tanggal 17 Juni 1958 Solichin Salam, Bung Karno Putra Fajar, Jakarta: Gunung Agung, 11984 Sri Muljono, Wayang dan Karakter Manusia, Jakarta : Gunung Agung, 1979 Sylvain Zaffini (trans.), The First Theosophical Society In Indonesia: A Letter From Baron F. Tengnagel To A. P. Sinnett, dalam Jeffrey D. Lavoie, Research Journal of Germanic Antiquity: A Western Esoteric Journal, Vol.2 No. 3, Florida: Brown Walker Press, 2013 Theosphy Company, The Theosophical Movement 1875-1950, edisi revisi dari The Theosophical Movement 1875-1925, California: The Cunningham Press, 1951 Th. Stevens, Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2004.

Majalah /Surat Kabar Persatuan Hidoep, 1931 Theosophie in Nederlandsc-Indie, 1909-1926 Pewarta Theosofi,September 1912-1930 Poetri Mardika, Februari 1917 Neratja, Agustus 1931 (Versi Mikro Film) Neratja, 28 dan 29 Agustus 1923 (Versi Mikro Film)

Website http://theosophy.ph http://wikipedia.org

Ahmad Faidi 77

PROSES DAN PERANAN KONVERSI AGAMA TERHADAP PENCARIAN IDENTITAS DIRI SEORANG MUALAF

Muhammad Aji Nugroho Pascasarjana UIN Walisongo Semarang [email protected]

Abstrak

Konversi merupakan perubahan batin seseorang secara mendasar yang ditimbulkan oleh kebimbangan, pertentangan dalam dirinya, dan keinginan mencari pandangan hidup untuk mendapatkan: 1) gambaran ideal tentang diri, agama, Tuhan, bahkan lingkungan sosial; 2) ketenangan batin yang diingin­kannya.­ Hal inilah yang kemudian menjadikan subjek lebih matang secara emosional­ karena senantiasa mempertimbangkan reaksi yang akan diberikan atas permasalahan yang muncul. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan pola pandangan hidup yang telah dianut seorang muallaf terhadap pencarian identitas diri melalui proses dan peranan konversi agama, dengan berbagai tekanan dan konflik ketika mengambil keputusan penting selama proses konversi agama. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi, yang mana pengumpulan data dilakukan melalui depth interview, observasi, perekaman interview, dan catatan lapangan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa peran konversi agama dapat mendorong pencapaian identitas diri (identity achivement) tetapi juga berpotensi menimbulkan kebingungan identitas (identity difusion), yang dipengaruhi oleh faktor: penerimaan diri, inisiatif dan motivasi, keterampilan komunikasi, strategi koping, kehendak bertanggungjawab, tingkat ancaman dan tekanan eksternal, serta dukungan sosial. Sebagaimana terlihat peran konstruktif konversi agama dalam pencarian identitas diri muallaf antara lain: keberanian membuat komitmen, kematangan emosi, ketatagan, otonomi, kemantapan dalam mengarahkan diri (self direction) dan munculnya motivasi keberagamaan intrinsik. Sedangkan peran dekonstruktif berupa kebingungan dan ragu-ragu dalam mengambil keputusan, takut membuat komitmen, ketergantungan secara emosional terhadap orang lain, menghindari tanggungjwab yang besar. Keputusan muallaf untuk melakukan konversi agama dilatar belakangi oleh motif intelektual, afeksional dan transendental. Sedangkan faktor yang mempengaruhi keputusan melakukan konversi agama adalah faktor kognitif, psikologis, sosial dan adanya hidayah Tuhan.

Keywords: Konversi Agama, Muallaf, Identitas Diri.

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 79 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

Pendahuluan

gama sering dihubungkan dengan masalah-masalah yang menjadi Aperhatian utama dalam kehidupan seperti pencarian makna hidup, penderitaan, kematian dan hal-hal yang dianggap berkaitan dengan eksistensi hidup manusia (Rahmat, 2003: 40). Agama dianggap sebagai urusan yang sangat personal, karena menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan atau sesuatu yang dianggap Ilahiah. Memeluk, memilih dan merubah pilihan terhadap agama yang dianut merupakan hak asasi yang paling asasi, bahkan diakui dan diatur dalam hukum internasional, diantaranya : Piagam hak asasi manusia sedunia / The United Nations Universal Declaration of Human Right pasal 18 ayat 1, dan Deklarasi UNHCR tentang Perjanjian Internasional Hak politik dan sipil / International Covenant on Civil and Political Right pasal 18 ayat 1 dan 2. Kebebasan beragama dan berkepercayaan tidak hanya menyangkut kebebasan setiap individu memilih agama atau kepercayaan, lebih dari itu juga berkait dengan hak untuk beralih agama atau kepercayaan. Pilihan individu dan pengaruh eksternal dari kegiatan missi dan dakwah yang berupaya melakukan proselytisasi, menghasilkan konversi baik dikalangan mereka sudah memiliki agama atau kepercayaan atau belum memiliki (Baidhowi, 2011: 94-95). Bagi mereka yang belum memiliki agama atau kepercayaan, tentu saja tidak menjadi masalah. Persoalan muncul ketika mereka yang konversi atau pindah keyakinan itu adalah orang yang sudah memiliki agama atau kepercayaan. Tindakan konversi ini disikapi oleh para penganut agama-agama misi sebagai sebuah pengkhianatan iman dan bahkan juga pengkhianatan politik. Oleh karena itu, konversi membahayakan bagi agama sekaligus Negara. Reaksi dan respon negatif atas mereka yang konversi terjadi pada dua agama besar misi (Kristen dan Islam). Dalam sejarah gereja-gereja Kristen pada masa pertengahan, inkuisisi iman terjadi penuh dengan kekerasan dan membebankan pemerintah dengan fungsi pemberi hukuman. Kegilaan semacam ini dalam sejarah Gereja bertentangan langsung dengan hukum dan semangat kristus. Meski demikian, perjanjian baru menggarisbawahi ajaran tentang hukuman abadi bagi mereka yang tidak berTuhan dan mereka jauh dari kehidupan kristus (Lukas 15:11-24). Dalam sejarah klasik dan pertengahan, Islam memandang mereka yang konversi dari kesetiaan terhadap Islam adalah perbuatan dosa tak terampunkan. Mereka dianggap jauh dari Allah sebagai pemiliknya dan dapat melemahkan negara, karena tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pemberontakan atau pengacauan. Mereka ini patut dihukum, dipaksa untuk kembali ke Islam dan bertobat. Jika diperlukan proses kembali ke Islam dilakukan dengan kekerasan dan siksaan. Respon di atas dirasa sangatlah tidak relevan dengan kehidupan saat ini, karena itu melanggar HAM. Berdasarkan uraian di atas dapat diartikan bahwa setiap orang pada dasarnya berhak menentukan agama yang diyakini dan berhak pula merubah

80 Muhammad Aji Nugroho Proses dan Peranan Konversi A gama Terhadap Pencarian Identitas Diri Seorang Mualaf pilihan keyakinan agama, asalkan merupakan pilihan sendiri serta tidak ada unsur pemaksaan dari siapapun. Karena itu bukanlah hal yang aneh jika fenomena perpindahan ke agama lain, yang disebut sebagai konversi agama terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Keputusan melakukan konversi agama merupakan keputusan besar dengan konsekuensi yang besar pula. Menurut Paloutzian (1996: 140) konversi agama akan membuat seluruh kehidupan seseorang berubah selama-lamanya, karena pada dasarnya konversi agama merupakan perubahan mendasar dan penataan ulang identitas diri, makna hidup juga aktivitas seseorang. Ketika seseorang melakukan konversi agama, maka individu diharapkan bisa meninggalkan sebagian atau bahkan seluruh nilai, keyakinan, dari sistem nilai dan aturan yang lama. Di saat yang sama, individu diharapkan mampu mengetahui tata nilai, sistem perilaku dari agama yang baru dianut, sekaligus menyesuaikan diri, melakukan aktivitas dan pola perilaku yang sesuai. Melakukan konversi agama berarti belajar dan beradaptasi dengan banyak hal tentang berbagai hal yang baru, yang tidak hanya membawa konsekuensi personal tapi juga reaksi sosial yang bermacam-macam, terutama dari pihak keluarga dan komunitas terdekat. Pada beberapa kasus konversi agama, penghentian dukungan secara finansial, kekerasan secara fisik maupun psikis baik lewat pengacuhan, cemoohan, pengucilan, bahkan sampai pengusiran oleh keluarga kerap dialami oleh remaja yang melakukan perpindahan agama (Endah, 1997: 48). Dilema dan konflik juga seringkali dialami oleh para muallaf ketika dihadapkan pada berbagai keputusan penting secara bersamaan, misalnya saat harus memilih agama yang diyakini dan meninggalkan orang tua yang dicintai sebagai konsekuensi pilihannya (Anastasia, 2003: 52). Di sisi lain, keberanian menentukan sikap dengan tegas dan mengambil keputusan secara mantap atas berbagai pilihan-pilihan dalam kehidupan, seringkali sulit dilakukan oleh para muallaf (Hurlock, 1997: 207). Hal ini menimbulkan sikap takut, ragu-ragu terhadap kemampuan mereka sendiri dan keputusan yang telah mereka ambil. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi para orang yang melakukan konversi agama membuat para ahli tertarik untuk meneliti sejak lama. Starbuck (dalam James, 2001: 303) berusaha menjelaskan konversi dengan upaya individu untuk membebaskan diri dari perasaan bersalah, berdosa, ketidakutuhan sebagai pribadi, sekaligus upaya untuk mencapai diri ideal positif yang ingin diraih. Cara seseorang mendefinisikan dirinya self( definition) berubah secara signifikan baik pada individu yang melakukan konversi secara mendadak maupun bertahap. Peningkatan kapasitas intelektual, faktor biologis, faktor sosial yang menimbulkan perubahan peran dan status ini membuka perspektif kesadaran pada diri seseorang tentang diri dan lingkungan sekitarnya (Steinberg, 2002: 256). Muallaf mulai tertarik untuk mempertanyakan kehidupannya di masa lalu, apa yang sebenarnya dilakukan sekarang, apa peranannya, ingin menjadi seperti apa, dan apa yang ingin diraih di masa yang akan datang. Muallaf mulai

Muhammad Aji Nugroho 81 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism mengembangkan konsep dan ide-ide yang berbeda daripada yang dikemukakan oleh orang tua, guru, maupun orang dewasa di sekitarnya. Seorang Muallaf mulai mengedepankan penegasan pendapat pribadinya dan sebisa mungkin melepaskan pengaruh orang lain, namun pada saat yang sama seorang muallaf masih mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya (Hurlock, 1997:208). Para Muallaf lebih banyak terlibat proses pengambilan keputusan diantara pilihan-pilihan yang penting dalam hidupnya. Keputusan-keputusan mulai membentuk inti tentang bagaimana individu menunjukkan keberadaanya sebagai manusia konsep yang disebut para ahli sebagai identitas diri (Archer, dalam Santrock, 2004, h. 57). McGuire menyatakan dalam proses konversi secara teoritis terdapat tiga komponen yang saling terkait, yaitu komponen sosial, psikologis, dan ideasional. Pertama; komponen sosial terdiri dari interaksi antara orang yang berkonversi dengan lingkungan di sekelilingnya, seperti orang tua, teman dan rekan kerja. Kedua; komponen psikologis, terdiri dari aspek emosional dan sikap. Ketiga; komponen ideasional, meliputi ide-ide aktual orang yang berkonversi baik yang diterima maupun yang ditolak selama proses konversi berlangsung. Ide- ide ini bisa sifatnya filosofis atau teologis, yang secara sederhana merupakan suatu kumpulan kepercayaan yang membenarkan sistem makna yang baru dan menolak yang lama. (McGuire, 2002:77) Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Konversi agama menandai suatu proses perubahan status keagamaan seorang muallaf, yang masih memiliki keterkaitan secara psikologi dan ekonomi terhadap keluarga dan kelompoknya, harus menyesuaikan diri dengan berbagai aturan, cara pandang, dan berbagai aktivitas yang relatif baru dan berbeda dari apa yang dipahaminya dalam agama sebelumnya. Penelitian lain yang menghubungkan konversi agama pada muallaf dengan lebih tingginya perkembangan ego, perubahan dalam konsep diri, dan adanya pengaruh yang cukup besar dari adanya stres dan trauma saling berinteraksi, namun dengan pola hubungan yang belum jelas. Hal ini menyisakan celah pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya proses pencarian identitas diri seorang muallaf yang melakukan konversi agama ke Islam di Indonesia. Berdasarkan ketertarikan dan permasalahan penelitian yang dikemukakan di atas, maka penelitian ini berangkat dari pernyataan mayor tentang bagaimana proses pencarian identitas diri pada muallaf. Beberapa pertanyaan minor yang ingin dijawab dalam penelitian ini antara lain : 1) Bagaimana proses pengambilan keputusan untuk melakukan Konversi Agama pada seorang muallaf ? 2) Bagaimana cara muallaf dalam menerima, memahami dan mengarahkan dirinya dengan identitas baru sebagai seorang muslim? 3) Bagaimana peran konversi agama yang dilakukan oleh para muallaf terhadap proses pencarian identitas diri?

82 Muhammad Aji Nugroho Proses dan Peranan Konversi A gama Terhadap Pencarian Identitas Diri Seorang Mualaf

Kajian Pustaka

Dari sisi proses psikologis, William James mengatakan konversi digam­ barkan dengan terjadinya perubahan sistem gagasan. Seiring berjalannya kehidu­ pan, minat selalu berubah, dan akibatnya terjadinya perubahan kedudukan dalam sistem gagasan kita. Gagasan yang berada di dekat pusat kesadaran ber­pindah ke tempat yang lebih ke tepi, dan gagasan yang lebih dekat ke tepi berpindah mendekati pusat. Hal yang menimbulkan perubahan semacam itu adalah perubahan gairah emosional. Ada kemungkinan terjadi guncangan minat emosional seseorang, dan titik-titik hangatnya, selanjutnya disebut oleh James dengan habitual centre of personal energy, terus berubah dengan cepat sekali. Kemudian, jadilah ia pribadi peragu dan mengalami keterbelahan. Atau, bisa juga fokus gairah dan kehangatan, sudut pandang yang menentukan tujuan seseorang pada akhirnya menghuni suatu sistem tertentu secara permanen (Wiliam James, 1958 :164-165). William James membagi konversi menjadi dua tipe, yaitu; 1) Type by volitional (tipe melalui kemauan) Volitional adalah konversi yang dilakukan dengan penuh kesadaran (concious) dan sukarela (voluntary). Dalam tipe ini, perubahan regeneratif biasanya berlangsung secara lambat, dan terwujud dari penyusunan secara sedikit demi sedikit sekumpulan kebiasaan moral dan spiritual yang baru. Akan tetapi, dalam proses ini selalu ada beberapa titik penting, yang padanya kemajuan berlangsung jauh lebih cepat. 2) Type by self-surrender (tipe melalui kepasrahan diri) sedangkan self-surrender adalah konversi yang dilakukan tanpa sengaja, di luar kemauan (involuntary) dan tanpa kesadaran (unconcious) atau dalam istilah James “bawah sadar” (suboncious) atau (subliminal). Dalam tipe ini orang yang menerima rahmat secara seketika adalah orang yang di dalam dirinya memiliki “suatu wilayah luas” (a large region) tempat kerja mental dapat berlangsung secara subliminal, dan darinya bisa muncul pengalaman yang menjajah (invasive experience), yang mengacaukan keseimbangan kesadaran primer. Untuk memperjelas bagaimana mekanisme ketidaksadaran (unconcious) James cenderung menamakannya bawah sadar (subconcious) (Wiliam James: 172). Thouless menjelaskan; ada proses represi aktif yang dengannya semua yang menyakitkan dan tidak sesuai dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh arus utama dalam kesadaran terdorong masuk ke dalam wilayah yang disebut ketidaksadaran dan dari situ ia bisa mempengaruhi perilaku atau berbagai pemikiran secara sadar tetapi tidak dapat dianggap sebagai bagian dari arus pemikiran sadar itu (Robert H. Thouless, 2000: 191-192). Sebagaimana James, Salzman mengatakan hasil akhir dari pencarian suatu alasan, pikiran, disebut sebagai regressive or psychopathological conversion, yang ditandai oleh suatu pengalaman emosional yang hampir selalu terlihat bersama dengan usaha memecahkan permasalahan yang tidak mudah dipisahkan. Regressive atau psychopathological conversion adalah konversi secara spontan yang ditujukan oleh

Muhammad Aji Nugroho 83 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

James sebagai subliminal sebagai kerja pikiran. Jika James menginterpretasikan pengalaman secara positif dalam arti bahwa individu bisa mengumpulkan bangunan identitasnya dan membentuk suatu worldview, Salzman melihatnya hanya sebagai suatu “pseudo-solution” yang dapat dipastikan mungkin terjadi pada seseorang penderita neurotic, prepsychotic, psychotic. Konversi secara spontan tidak melaksanakan suatu fungsi integratif, namun hanya suatu solusi sementara atau jangka pendek terhadap masalah psikologis (Larry Poston: 1992:147). James selanjutnya menggambarkan secara psikologis ada dua hal dalam pikiran orang yang akan berkonversi: Pertama, rasa ketidaklengkapan atau kesalahan yang ada pada masa kini, “dosa” yang darinya orang itu sangat ingin terbebaskan. Kedua, ideal positif yang sangat ingin ia raih. Dalam keadaan demikian, maka konversi berarti sebuah proses perjuangan melepaskan diri dari dosa, dan bukan upaya mencapai kesalehan. Hal ini terjadi karena bagi sebagian besar orang, kesadaran akan kesalahan merupakan sebuah fakta kesadaran yang jauh lebih jelas dibandingkan dengan imajinasi ideal positif yang menjadi tujuan. Setelah seseorang melakukan konversi, maka terdapat ciri-ciri afektif yang menurut James disebut sebagai kondisi yakin (the state assurance). Ciri intinya adalah lenyapnya semua kekhawatiran, adanya perasaan bahwa diri kita baik-baik saja, adanya kedamaian, keselarasan, kemauan untuk mengada (the willingness to be), meskipun kondisi lahiriah tetap sama. Ciri kedua adalah perasaan memahami kebenaran yang sebelumnya tidak dipahami. Ciri khas ketiga adalah perubahan obyektif yang sering dialami dunia. Secara umum, proses konversi menurut H. Carrier melalui tahapan berikut: (1) Terjadinya disintegrasi sintesis kognitif dan motivasi sebagai akibat dari krisis yang dialami; (2) Reintegrasi kepribadian berdasarkan konversi agama yang baru. Dengan adanya reintegrasi ini maka terciptalah kepribadian baru yang berlawanan dengan struktur lama; (3) Tumbuh sikap menerima konsepsi agama baru serta peranan yang dituntut oleh ajarannya; (4) Timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan suci petunjuk Tuhan (Jalaluddin, 2002:265). Sedangkan menurut Daradjat, proses konversi agama melalui lima tahapan proses kejiwaan (Zakiyah Darajat, 1976: 162-163), yaitu: Pertama, Masa Tenang: Di saat ini kondisi jiwa seseorang berada dalam keadaan tenang karena masalah agama belum mempengaruhi sikapnya. Kedua, Masa Ketidaktenangan: Tahap ini berlangsung jika masalah agama telah mempengaruhi batinnya. Mungkin dikarenakan suatu krisis, musibah, ataupun perasaan berdosa yang dialaminya, yang kemudian menimbulkan semacam kegoncangan dalam kehidupan batinnya dan memunculkan rasa gelisah, panik, putus asa, ragu dan bimbang. Ketiga, Masa Konversi: Tahap ini terjadi setelah konflik batin mengalami keredaan karena kemantapan batin telah terpenuhi berupa kemampuan menentukan keputusan untuk memilih yang dianggap serasi atau pun timbulnya rasa pasrah. Keputusan ini memberikan makna dalam menyelesaikan pertentangan batin yang terjadi,

84 Muhammad Aji Nugroho Proses dan Peranan Konversi A gama Terhadap Pencarian Identitas Diri Seorang Mualaf sehingga terciptalah ketenangan dalam bentuk kesediaan menerima kondisi yang dialami sebagai petunjuk Ilahi. Keempat, Masa Tenang dan Tenteram : sikap ini muncul karena kepuasan terhadap keputusan yang sudah diambil dan mampu membawa suasana batin menjadi mantap sebagai pernyataan menerima konsep baru. Kelima, Masa Ekspresi Konversi : Sebagai ungkapan dari sikap menerima terhadap konsep baru dari ajaran agama yang diyakininya tadi, maka tindak tanduk dan sikap hidupnya disesuaikan dengan ajaran dan peraturan agama yang dipilih tersebut. Pencerminan ajaran dalam bentuk amal perbuatan yang serasi dan relevan sekaligus merupakan pernyataan konversi agama itu dalam kehidupan. Adapun faktor pendorong seseorang melakukan konversi agama menurut Zakiyah Daradjat adalah sebagai berikut: a) Pertentangan batin ( konflik jiwa ) dan ketegangan perasaan orang yang gelisah, yang di dalam dirinya bertarung berbagai persoalan yang dapat dikendalikan ataupun tidak. b) Pengaruh hubungan dengan tradisi agama. Aktifitas lembaga keagamaan mempunyai pengaruh besar terutama dalam aktifitas sosialnya. Kebiasaan yang dialami waktu kecil, termasuk salah satu faktor yang memudahkan terjadinya konversi agama. c) Ajakan atau seruan dan sugesti. Peristiwa konversi agama terjadi karna sugesti dan bujukan dari luar jika orang yang mengalami konversi itu dapat merasakan kelegaan dan ketentraman batin dalam keyakinan baru, maka lama kelamaan akan masuklah keyakinan itu ke dalam pribadinya. d) Faktor emosi. Dalam penelitian George. A. Coe bahwa konversi agama lebih banyak terjadi pada orang yang dikuasai oleh emosinya. Orang yang emosional (lebih sensitif atau banyak dikuasai oleh emosinya) mudah kena sugesti apabila ia mengalami kegelisahan. e) Kemauan, juga merupakan peranan penting dalam konversi agama. Terbukti bahwa peristiwa konversi itu terjadi sebagai hasil dari perjuangan batin yang ingin mengalami konversi.

Memahami Konversi Agama

Istilah Konversi berasal dari kata “conversion” (Inggris) yang berarti suatu proses atau tindakan berubah dari suatu keadaan ke suatu keadaan yang lain, dapat juga dimaknai seseorang yang berubah kepercayaan atau agama ke kepercayaan atau agama lainnya. Istilah conversion dalam agama Yahudi dan Kristen, merujuk pada keinginan kuat untuk menolak kesalahan dan mempererat hubungan dengan Tuhan melalui keimanan. Starbeck mendefinisikan konversi dengan kata sebagai berikut “Conversion is a process of struggeling away from sin rather than of striving toward righteousness” (Konversi lebih merupakan proses berjuang untuk menghindar dari dosa dari pada mencari kebenaran) (Tri Wahyu Hidayati, 2008:128). Dengan demikian, konversi sesungguhnya merupakan istilah yang dipergunakan untuk menyatakan upaya seseorang untuk melepas diri dari sebuah

Muhammad Aji Nugroho 85 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism kesalahan yang baru disadari kemudian. Istilah konversi ini kemudian sering dikaitkan dengan berpindahnya seseorang dari agama satu ke agama lain yang dikarenakan munculnya kesadaran baru bahwa agama yang telah dianutnya itu kurang tepat bagi dirinya atau kurang memenuhi harapan keberagamaannya. Zakiyah Darajat berpendapat bahwa konversi agama merupakan perkembangan keagamaan pada orang dewasa yang merupakan proses terpenting dalam kehidupannya. Konversi agama berarti terjadinya suatu perubahan keyakinan yang berlawanan arah dengan keyakinan sebelumnya (Zakiyah Darajat, 1976: 162). Senada dengan Zakiyah, Wiliam James berpandangan bahwa konversi agama berarti suatu proses bertahap atau tiba-tiba dan secara sadar pindahnya seseorang dari agama satu ke agama lain (Wiliam James, 1928: 157). Sedangkan Max Heiritch menyatakan bahwa konversi agama berarti suatu tindakan di mana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya (Jalaluddin, 1998: 246). Berpindahnya seseorang dari agama satu ke agama lain itu, menurut Robert C. Monk, dapat berupa berbagai model tindakan keagamaan, seperti: (1) Meninggalkan suatu agama dan menjadi pemeluk agama lain seperti dari Katolik ke Protestan, Kristen ke Islam, dll. (2) Menjadi pengikut suatu agama tertentu karena sebelumnya tidak beragama atau ateis. (3) Menjadi penganut kelompok Kristen tertentu seperti yang sering terjadi di Eropa dan Amerika. (4) Menjadi orang yang lebih setia dan aktif berpartisipasi dalam suatu agama, setelah semula tidak begitu mempunyai komitmen terhadap agamanya. (Robert C. Monk, 1994: 75). Model terakhir inilah yang kemudian dianggap oleh Robert H. Thouless lebih dipengaruhi oleh aspek-aspek psikologis. Menurut Thouless, konversi agama adalah istilah yang pada umumnya dipakai untuk proses yang menuju pada penerimaan suatu sikap keagamaan yang didorong oleh keadaan kejiwaan seseorang. Pandangan Thouless ini ditulis dalam satu bab yang berjudul “The Psichology of Conversion” (Robert H. Thouless, 1871:104). Dari berbagai macam pengertian di atas, penulis mencatat beberapa hal penting tentang konversi agama. Konversi agama merupakan sebuah proses pengalaman keagamaan. konversi digunakan untuk menyatakan berpindahnya seseorang dari agama atau kepercayaan tertentu ke agama lain (Richard W. Bulliet 1979). Pengertian seperti inilah yang akan digunakan untuk bahan perbandingan dengan istilah riddah dalam agama Islam (Al-Qasimi, 1978 : 209). Para ahli yang meniti tentang konversi agama sesuai dengan sudut pandang kepakarannya menemukan bahwa, konversi merupakan proses yang dipengaruhi banyak aspek. Pada umumnya, mereka setuju, berbagai krisis dapat menyebabkan terjadinya konversi. Krisi keagamaan, politik, psikologi, budaya, dan keadaan lain dapat menyebabkan seseorang melakukan konversi. Konversi bukanlah peristiwa tunggal, namun merupakan proses yang terkait dengan

86 Muhammad Aji Nugroho Proses dan Peranan Konversi A gama Terhadap Pencarian Identitas Diri Seorang Mualaf totalitas hidup seseorang. Konversi agama merupakan proses yang progresif dan interaktif yang mempunyai konsekwensi di tengah masyarakat. Lain dari pada itu terdapat perbedaan pendapat para pakar tentang sudut pandang yang mempengaruhi terjadinya konversi Agama. Setidaknya terdapat empat faktor, yaitu. 1) Menurut Pandangan Teolog : Menurut para teolog faktor hidayah (bantuan istimewa dari Tuhan) sangat berpengaruh terhadap seseorang untuk berpindah agama. Pendapat ini senanda dengan apa yang dikatakan oleh Housten Clark, bahwa konversi agama menunjukkan suatu perubahan emosi yang tiba-tiba menuju ke arah mendapat hidayah Allah. 2) Menurut Pandangan Psikolog: Konversi Agama lebih disebabkan oleh keadaan jiwa yang tidak tenang, putus asa, konflik, tekanan mental, kebingungan dan ketidakpastian. Golongan seperti ini menginginkan pembebasan dari keadaan tersebut dengan mencari jalan keluar, yaitu dengan masuk agama tertentu. Diantara penyebabnya adalah percekcokan dalam keluarga, kesepian, perubahan status secara drastis, kebutuhan ekonomi, pernikahan dan lain sebagainya. 3) Menurut Pandangan Ahli Pendidikan: Konversi Agama dapat terjadi karena sistem pendidikan di bangku sekolah, dapat menjadi pendorong seseorang masuk agama tertentu. Bahkan menurut mereka pendidikan memainkan peranan kuat atas terbentuknya dorongan keagamaan yang lebih kuat pada kaum wanita dari pada kaum pria. 4) Menurut Pandangan Sosiolog: Konversi Agama menurut pandangan Sosiolog dipengaruhi oleh beberapa faktor baik berupa pergaulan antar pribadi, pengaruh kelompok, diajak kegiatan agama tertentu, anjuran teman dalam mencari pegangan baru, dan menjalin hubungan dengan pemimpin agama tertentu. Dari seluruh penjelasan di atas, tampak bahwa konversi agama yang tiada lain adalah pindahnya seseorang dari suatu agama ke agama lain dapat di­ pengaruhi banyak faktor, baik teologis, psikologis, edukatif, maupun sosiologis. Faktor-faktor itu dapat merubah cara berfikir seseorang dan kemudian meng­ hantarkannya untuk berpindah keyakinan keagamaan.

Metode Penelitian

Dalam upaya mengeksplorasi kesadaran dan pengalaman-pengalaman subjektif manusia terutama yang berkaitan dengan proses konversi agama, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode fenomenologis, yaitu metode yang menggambarkan makna pengalaman subjek akan fenomena yang sedang diteliti, yang bisa membantu peneliti untuk mendekati gejala yang terjadi, sebagaimana peneliti menghayati, menghidupi, atau mengalami gejala itu secara sebenarnya, dengan berusaha memahami manusia dari segi kerangka berpikir maupun bertindak orang-orang itu sendiri (Abidin, 2002:69). Hal terpenting dalam penelitian fenomenologi adalah kenyataan yang terjadi sebagaimana yang dibayangkan atau dipikirkan oleh individu-individu itu sendiri (Moleong, 2004 : 35). Husserl bependapat, fenomenologi adalah sebagai suatu analisis deskriptif

Muhammad Aji Nugroho 87 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman langsung, seperti religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi (Bagus, 2002: 236). Penelitian ini didesain dengan penelitian kualitatif, yaitu suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dan perilaku orang-orang yang diamati (Poerwandari, 2001). Fokus penelitian ini adalah menggambarkan, memahami latar belakang, peranan, proses dan pengaruh konversi agama terutama terhadap pencarian identitas diri pada orang yang melakukan pindah keyakinan ke agama Islam atau lazim disebut muallaf. Subjek penelitian didapatkan berdasarkan sampel teoritis yang mengacu pada konsep-konsep yang relevan dengan tujuan penelitian. Beberapa kriteria subjek yang digunakan dalam penelitian ini, seperti: 1) Orang yang berpindah dari agama atau kepercayaan yang lain menjadi pemeluk agama Islam (dibuktikan oleh piagam pengesahan agama Islam atau Kartu tanda penduduk dan atau kesaksian pihak yang mengetahui ). 2) Telah memeluk Islam dalam rentang waktu kurang dari 4 tahun sejak mengikrarkan syahadat. 3) Muallaf berusia antara 20-45 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. 4). Berdomisili di Salatiga. Metode Pengumpulan data menggunakan metode Wawancara Mendalam (indepth interview), Observasi, Dokumen Audio Visual (jika memungkinkan), cacatan lapangan, dibuat dalam bentuk deskripsi dan dilakukan segera setelah observasi dan interview. Sedangkan dalam menganalisis data dilakukan dengan melalui analisis diskriptif model interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Hubberman, yaitu Analisis data model ini terdiri atas komponen-komponen yang saling berinteraksi, yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan, dan verifikasi (Miles dan Hubberman, 1994:10). Dimana reduksi merupakan proses transformasi data kasar yang muncul sebagai dari catatan di lapangan yang masih belum diolah, kemudian akan dipilah-pilah untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam penelitian, yang pada nantinya akan disederhanakan agar mudah dipahami. Penyajian data dilakukan sebagai upaya dalam memberikan pemahaman dari informasi yang terkumpul secara sistematik, penarikan kesimpulan dilakukan secara berkesinambungan untuk mencapai hasil akhir.

Temuan Penelitian dan Analisis

Gambaran Kondisi Subyek Subyek didapat peneliti melalui data muallaf yang berada pada KUA (Kantor Urusan Agama) wilayah Sidomukti, dan beberapa penyuluh agama yang menjadi penuntun syahadat para muallaf yang masuk Islam, dari beberapa data yang masuk terkumpullah 8 orang yang sesuai dengan kriteria yang dicari, akan tetapi dari 8 orang tersebut yang dijadikan subyek penelitian adalah 4 (empat)

88 Muhammad Aji Nugroho Proses dan Peranan Konversi A gama Terhadap Pencarian Identitas Diri Seorang Mualaf orang, diantaranya; 1) Marlena dewi yakuba mauw dari ambon yang sekarang tinggal di Cabean Mangunsari Salatiga, ayahnya bernama (alm) Yohanes Mauw sebagai ketua Majelis Gereja GBIP Tamansari Salatiga, masuk Islam pada tahun 2008. 2) Anie Edi Prabowo dari dlisem klasman mangunsari, masuk Islam di tahun 2009. 3) Joni Hermawan dari tegalsari Mangunsari, termasuk salah satu kampung di Salatiga yang jumlah muslimnya minoritas hanya kisaran 35% dari total jumplah penduduk yang ada di desa tersebut, masuk Islam pada tahun 2012 dan 4) Andriyanto dari surakarta yang menetap menjadi orang salatiga setelah mengikrarkan diri menjadi seorang Muslim dan tinggal di daerah Cabean mangunsari Salatiga. Masuk Islam pada tahun 2009. Keempat subyek ini dinilai peneliti merupakan subyek yang sangat relevan terhadap penelitian yang sedang dijalankan oleh peneliti, disamping latar belakang kehidupan keagamaan lamanya yang telah menjadikannya sebagai tokoh sentral, aktifis, motivator, dan konseptor kegiatan sosial dalam kegiatan keagamaannya. Pemilihan subjek di atas, oleh peneliti bukan didasarkan pada keterwakilan melainkan diarahkan pada kecocokan konteks dengan menggunakan pendekatan purposif, yaitu subjek dipilih berdasarkan kriteria tertentu yang sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian, hal ini disebabkan Motivasi dan kepentingan peneliti dalam melakukan penelitian, Anonimitas; jaminan kerahasiaan subyek, riwayat hidup dan aktivitas dalam keagamaan terdahulu, menjadikan ke empat subyek tadi menjadi alat dimana peneliti dapat menyelesaikan tugas penelitian ini.

Proses Pengambilan Keputusan melakukan Konversi Agama Seorang Muallaf Peristiwa konversi agama sebenarnya bukanlah peristiwa yang berlangsung tiba-tiba. Peristiwa konversi agama dan perubahan identitas yang menyertai merupakan hasil sekaligus awal baru dari berbagai bentuk interaksi, identifikasi, dan penilaian yang berlangsung terus-menerus. Dari hasil penelusuran atas ucapan-ucapan subjek, beberapa hal yang terkait dengan proses perkembangan identitas diri muallaf yang melakukan konversi agama adalah sebagai berikut : 1) Peningkatan kapasitas kognitif pada muaallaf Indikasi adanya peningkatan kapasitas berfikir banyak terungkap dalam ucapan subjek, misalnya meningkatnya kemampuan berpikir abstrak atau operasional formal, mulai dari diri sendiri, masalah sosial yang berhubungan dengan agama, bahkan sampai tentang eksistensi Tuhan. Beberapa corak perkembangan kognitif yang ikut menjadi perantara terjadinya perkembangan identitas pada remaja yang melakukan konversi agama antara lain: Perkembangan Identitas diri muallaf pra konversi, yang mana perubahan dan transformasi identitas diri yang dialami muallaf pada dasarnya merupakan hasil akumulasi dari berbagai proses perkembangan bagi dirinya. terdapat beberapa peristiwa, kejadian yang menggugah kesadaran muallaf tentang perubahan-perubahan dalam diri maupun lingkungannya, yang kemudian

Muhammad Aji Nugroho 89 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

memunculkan Rasa ingin tahu, yang biasanya timbul setelah mengamati atau menerima konsep dan pertanyaan baru yang dianggap membingungkan atau justru menarik bagi subjek. Rasa ingin tahu kemudian mendorong terjadinya perilaku mengumpulkan informasi yang lebih banyak, misalnya dengan membaca buku, meneliti isi al- kitab dan al-Quran, bertanya, berdiskusi, dan menganalisis hasil temuannya terhadap apa yang dia alami. Kemampuan Melakukan perbandingan (comparation), analisis, evaluasi, dan sintesis, telah menghantarkannya kepada perbandingan kepada agama yang dia anut dengan agama lain yang sedang dia pelajari, dengan meng­ analisa, dan mengevaluasi yang kemudian memberikan kesimpulan terhadap apa yang telah terjadi dan terlintas didalam jalan berifikir dan keyakinannya. Seperti; “terdapat pernikahan dalam Islam lebih dari satu istri sedangkan dalam agama kristian cukup satu”, “kalau dalam katholik terdapat konsep trinitas, sedangkan dalam Islam tidak ada konsep trinitas, karena bagi Islam Tuhan itu hanya satu”. “Kemudian ketika al-kitab menyampaikan se­orang per­ empuan untuk menutup aurat akan tetapi dalam tataran aplikasi praktis­nya tidak jalankan, dan belum jelas mana yang aurat mana yang bukan”. “Kemu­ dian istilah perjanjian lama dan perjanjian baru yang membikin seolah kitab itu mesti ada pembaharuannya, dalam Islam kitab suci hanya al-Qur’an yang tidak perlu terkontaminasi dengan istilah perjanjian baru dan perjanjian lama”. Idealisme dan Kritisisme sepertinya merupakan corak perkembangan kognitif­ yang ikut mempengaruhi perkembangan identitas pada remaja yang melakukan konversi agama, dengan mengaitkan agama terhadap salah satu cara untuk membuat diri subjek lebih baik (ideal self). Ketika hal tersebut tidak bisa terwujud di agama lama, hal ini menimbulkan kekecewaan tersendiri pada diri subjek. akan tetapi ada juga tidak memikirkan gambaran diri ideal yang hendak dicapai di Islam. Hal ini bisa kita lihat dari ucapan subjek; “..... Aku harus menyembah Yesus dulu baru sampe ke Allah. Sementara bukan seperti itu yang aku inginkan, ini kan urusanku sama Allah”, yang kemudian memunculkan perasaan sama saja (pada agama lama), setelah berusaha untuk rajin beribadah, tetapi tidak mendapati perubahan yang membikin subyek lebih baik...... ” Membuat perkiraan dan hipotesis terhadap apa yang telah terjadi dalam keyakinannya, yang terkadang dapat menyebabkanya merasa ketakutan akan terjadi aspek negatif yang akan terjadi pada dirinya. Berbagai corak pemikiran yang menandai peningkatan kapasitas kognitif para muallaf ini tampaknya ikut berperan sebagai perantara terjadinya konversi agama. Jika pada agama sebelumnya cenderung menerima begitu saja konsep-konsep agama dan tata perilaku yang diajarkan oleh orang-orang disekitarnya, kemudian mempunyai kemungkinan untuk berubah lebih baik kedepannya. Hal ini tampaknya akan menyebabkan mulai terbukanya struktur keyakinan yang kaku.

90 Muhammad Aji Nugroho Proses dan Peranan Konversi A gama Terhadap Pencarian Identitas Diri Seorang Mualaf

2) Keterbukaan Struktur Keyakinan Terbukanya struktur keyakinan subjek tampaknya merupakan hal yang penting dalam proses perkembangan identitas, yang mampu memberikan perintah untuk menerima pandangan-pandangan baru atau berbeda dengan pola keyakinan yang lama, maka akan timbul sikap menerima sebagai lawan dari sikap menolak. Hal ini yang kemudian menyebabkan proses perkembangan identitas subjek lebih dinamis, dan akan mendorong berbagai sikap dan perilaku dalam mencari kebenaran dan menggapai diri ideal yang diinginkan. hal ini kemudian mendorong adanya kesadaran (self awareness) yang diikuti dengan penerimaan terhadap kebenaran Islam. kemudian mulai menemukan identitas diri setelah mampu lelepaskan dari semua doktrin orang tuanya, sebagaimana pernyataannya “.....ketika masih kecil aku menerima agamaku sebagai warisan, beribadah karna disuruh, yang kemudian aku merasa bahwa aku ndak nyaman dengan aktifitas ini...”. Makin terbukanya sikap subjek untuk menerima pandangan-pandangan baru tentang agama yang diikuti dengan penerimaan terhadap nilai-nilai Islam, tampaknya belum cukup merevisi ulang semua keyakinan lama dan membentuk keyakinan baru yang kuat terhadap Islam. Perubahan keyakinan tidak hanya diperantarai oleh aktivitas kognisi tapi juga adanya interaksi sosial subjek dengan orang-orang di sekitarnya. 3) Meluasnya Spektrum Interaksi Sosial Semua subjek lahir dan besar di lingkungan yang mayoritas beragama Islam, tetapi timbulnya kesadaran diri tentang pentingnya memilih agama, rata-rata menguat setelah usia menjelang dewasa, hal ini dikarenakan Subjek tidak hanya berinteraksi secara intens dengan keluarga tetapi meluas pada teman sebaya, bahkan interaksi sosial ini terjalin erat karena adanya ikatan emosional melalui; Hubungan dengan teman sebaya (pertemanan, persahabatan), kemudian Hubungan dengan teman dekat (dating), Afiliasi Kelompok atau organisansi kemasyarakatan dan sosial, Hubungan dengan orang-orang dewasa di sekitar, menjadikan seseorang melejit pola keinginan untuk mencapai sesuatu yang dia rasa baik untuk dirinya, sebagaimana subyek melihat ketika orang Islam bertemu dijalan saling mengucapkan salam, tidak cuek antar satu dengan yang lainnya, karena memiliki konsep ukhwah didalam agama Islam. 4) Proses Pencarian Jati Diri Berbagai bentuk proses pencarian jati diri pada subjek penelitian, baik lewat pengembaraan kognitif, pencarian sosial dan berbagai perilaku lain tampaknya ikut diperantarai oleh adanya perasaan tidak berarti dan tidak berharga. Subjek merasa bahwa ada yang kurang lengkap dalam dirinya, walaupun mereka tidak bisa mendeskripsikannya dengan jelas. sebagaimana terungkap dalam perkataan subyek; “....ada yang kurang dalam

Muhammad Aji Nugroho 91 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

diri saya.... saya yang tahu namanya ... susah tidur, dan sering mengalami kegelisahan, tetapi tidak pernah menemukan penyelesaiannya dalam agama lama...”. ini yang kemudian memunculkan istilah yang oleh penulis disebut dengan, Persepsi tentang ketidakberartian hidup (unmeaningfull living) dan kekuranglengkapan diri (uncompleteness). Muncul kebiasaan kontemplasi dan evaluasi diri, yaitu; Kesadaran akan ketidaklengkapan dan kekurangsempurnaan ini, evaluasi dan kontemplasi diri ini bukan hanya sekedar pada aktivitas keseharian seperti aktivitas kuliah dan interaksi sosial tapi juga menjangkau evaluasi dan kontemplasi tentang Tuhan, bahkan kehidupan dan kematian itu sendiri. Secara sadar subjek mulai mempertanyakan sebenarnya apa yang penting dan berharga untuk dilakukan dalam hidup ini, apa tujuan hidup dan beberapa pertanyaan eksistensial lainnya. sebagaimana pernyataan subyek “aku lagi mencari tujuan hidup yang sebenarnya, yang sampai saat ini tujuan itu masih dalam tahap pencarian”. Kebingungan eksistensial yang tak terjawab, Tuhan dan agama tampaknya makin dihayati secara sadar dan aktif oleh subjek. Hasil pengamatan, pencarian dan evaluasi yang dilakukan oleh subjek baik tentang diri, lingkungan sosial, hidup, bahkan tentang Tuhan. Hal ini kadangkala menimbulkan pertanyaan- pertanyaan dan kebingungan bagi subjek, ada yang bisa dijawab dan ada pula yang tidak bisa dijawab oleh subjek, salah satu pernyataan subyek yang kebingung dalam penyebutan sesembahan dengan istilah Tuhan atau bapak. Ketidakmampuan menemukan jawaban yang dianggap tepat dan memuaskan bagi subjek tampaknya menimbulkan kegelisahan yang besar bagi subjek. Hal inilah yang menjadi perantara tindakan konversi agama yang dilakukan subjek.

Proses Perkembangan Diri Saat melakukan Konversi Peristiwa konversi agama merupakan saat dimana subjek mengambil keputusan untuk melakukan konversi agama dengan mengucapkan syahadat (ikrar sebagai syarat masuk Islam) di hadapan saksi. Peristiwa konversi agama ini berlangsung sangat singkat walaupun ada persyaratan terdahulu yang mesti dipenuhi sesuai dengan aturan KUA Sidomukti salatiga, yang menyarankan kepada muallaf untuk mengenal Islam lebih dalam dengan mengikuti pelatihan dan pengarahan dari petugas KUA kurang lebih selama tiga kali. Namun proses tersebut tampaknya memberi kesan yang sangat mendalam buat subjek dalam menentukan hidupnya. Beberapa hal yang terkait dengan perkembangan identitas pada masa konversi agama antaralain sebagai berikut: 1) Pemilihan berbagai alternatif yang dia telah tempa selama beberakali mempertanyakan terhadap realitas yang dia hadapi, sehingga memunculkan sebuah ketegasan sikap akan pilihan hidup yang harus dia jalankan sebagai seorang muallaf. 2) pengambilan keputusan, merupakan langkah dimana seseorang telah menemukan jawaban atas berbagai macam hala yang telah terjadi dalam hidupnya, dan dia merasa bahaswa apa yang dia temukan saat ini adalah yang dapat mewarnai segala

92 Muhammad Aji Nugroho Proses dan Peranan Konversi A gama Terhadap Pencarian Identitas Diri Seorang Mualaf kebutuhan hidupnya. 3) Ritus penerimaan atas Syahadat yang telah diucapkan, merupakan konsekuensi logis terhadap apa yang harus dia kerjakan, dan aplikasikan terhadap segala bentuk langkah kehidupan, ini merupakan sebuah sikap yang dilahirkan dari bentuk penyerahan diri untuk menerima, memahami dan mengarahkan dirinya dengan identitas baru sebagai seorang muslim. Adaptasi dalam menjalankan agama Islam, Proses belajar dan adaptasi untuk menjalankan berbagai ibadah dan kewajiban di agama Islam terus dilakukan subjek baik pada saat subjek menyembunyikan keislaman ataupun telah mengungkap- kannya. Subjek mulai belajar mempelajari tatacara peribadahan dan konsep-konsep dasar dalam Islam. Hal ini dilakukan dengan membaca, bertanya, mengobservasi dan menirukan, juga dengan bimbingan orang lain yang lebih paham. Proses belajar tentang Islam pada masa awal-awal konversi dinilai subjek sebagai pengalaman yang berkesan karena banyak hal- hal yang baru, unik dan mengasyikkan tentang Islam yang bisa diketahui subjek. sebagai sebuah kesulitan sekaligus tantangan untuk dapat menjalankannya ataupun mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Proses Perkembangan Diri Saat Pasca Konversi Keadaan pasca konversi merupakan kondisi yang terjadi setelah subjek mengikrarkan syahadat atau dengan kata lain setelah subjek memiliki identitas keagamaan yang baru yaitu Islam. Kondisi ini berlangsung terus menerus bahkan hingga subjek meninggal dunia, akan tetapi untuk memfokuskan pembahasan maka kondisi pasca konversi yang dimaksud dalam penelitian ini terhitung sampai waktu pengambilan data penelitian terhadap masing- masing subjek. Rentang waktu yang berbeda, latar belakang dan berbagai kondisi internal maupun eksternal subjek yang beraneka ragam memungkinkan adanya pengalaman pasca konversi yang beragam pula. Beberapa hal yang terkait dengan perkembangan identitas diri pasca konversi agama pada subjek penelitian yang berhasil ditelusuri dari ucapan subjek antaralain sebagai berikut : 1) Menyembunyikan identitas, bentuk berbagai pertimbangan akan berbagai kemungkinan yang timbul sebagai konsekuensi tindakan tersebut. Keputusan menyembunyikan identitas keislaman untuk sementara waktu tampaknya menjadi pilihan yang dianggap paling “aman” dari konflik terbuka dengan orang tua subjek. 2) Mengungkapkan identitas keislaman dan mengakui tindakan konversi agama yang dilakukan secara terang-terangan pada orang tua dan lingkungan sosial. 3) Konflik, Pressure dan cara mengatasinya (coping), ada dua kemungkinan yang bisa terjadi Setelah identitas keislaman subjek diketahui, menerima dan mendukungnya atau menolak keputusan konversi agama yang dilakukan subjek bahkan melakukan upaya untuk menghalangi atau membatalkannya. Penolakan identitas keislaman subjek terutama oleh orang tua dan keluarga, tampaknya akan menciptakan kondisi yang menyulitkan dan menimbulkan

Muhammad Aji Nugroho 93 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism tekanan, konflik bagi subjek baik yang terjadi secara eksternal berkaitan dengan sosial kemasyarakatan maupun internal keluarga, bentuk penekanan macam- macam ada yang mengancam pemutusan hubungan, mendiamkan dan tidak diajak berbicara, dan ancaman pemutusan finansial (sebagai ahli waris), adapun dari eksternal penekanan lebih dari sebuah intimidasi cara kebersamaan dalam aktualisasi diri pada aktivitas dikehidupan kesehariaan, banyak upaya yang dilakukan oleh pihak internal maupun eksternal dalam merayu subyek untuk kembali pada agama lama. Berbagai kondisi dan situasi yang menimbulkan kecemasan, konflik dan tekanan bagi subjek tentunya membutuhkan cara-cara untuk diatasi agar subjek dapat melanjutkan kehidupannya dengan berhasil dan efektif. Beberapa cara untuk mengatasi berbagai persoalan dan kondisi yang penuh tekanan (coping) yang dilakukan subjek ada yang berfokus pada emosi (emotion focused coping) misalnya­ degan menangis. adapula dengan mengkomunikasikan pendapat pribadi pada orang tua baik yang berupa penolakan, atau bahakan melakukan negosiasi dan kompromi. Hal lain yang dilakukan adalah menceritakan per­ masalahan pada sahabat atau keluarga, meminta bimbingan guru. dan senjata pamungkas dan terakhir adalah dengan kembali pada Tuhan (turning to religion) dengan berdoa, mengadukan permasalahan pada Tuhan serta meminta petunjuk dan pertolongan. Menyembunyikan identitas keislaman dari keluarga terdekat tampaknya menimbulkan kecemasan tersendiri bagi subjek, namun di sisi lain juga menimbulkan adanya keterbutuhan dan keterikatan yang lebih kuat dengan Tuhan sebagai tempat meminta pertolongan. Subjek mengaku walaupun masih terbata-bata melakukan ibadah, namun justru bisa merasakan adanya keterhubungan dengan Tuhan (transendence). Subjek makin mendekatkan diri lewat ibadah-ibadah sebagai salah satu cara mengatasi permasalahan yang dihadapi (turning to religious) sebagaimana pernyataan salah satu subyek; “setelah saya masuk Islam itu sering solat malem sebagai salah satu jalan keluar terhadap permasalahan yang sedang diahadapinya”. Dalam konteks perkembangan identitas diri, adanya keterhubungan dengan Yang Maha Kuasa tampaknya memberikan kekuatan yang besar bagi subjek untuk keluar dari berbagai macam persoalan, setidaknya untuk melepaskan berbagai macam emosi (emotional release) sehingga subjek mendapatkan ketenangan dan kelegaan. Keterhubungan dengan Tuhan tampaknya juga merupakan sumber kekuatan internal bagi subjek untuk tetap tegar dan menghadapi segala konsekuensi atas tindakan konversi yang dilakukan. Memberikan subjek alternatif “jalan keluar terakhir” setelah menemukan kebuntuan atas berbagai macam persoalan yang dihadapi terutama pasca konversi agama. Adanya kepasrahan diri pada Tuhan (self surender) memberi subjek keyakinan akan datangnya pertolongan, membantu subjek mensugesti diri sendiri tentang adanya jalan keluar dan penyelesaian dari berbagai persoalan yang dihadapi.

94 Muhammad Aji Nugroho Proses dan Peranan Konversi A gama Terhadap Pencarian Identitas Diri Seorang Mualaf

Pengalaman transenden subjek tampaknya juga akan memperkuat komitmen dan keyakinan subjek bahwa tindakan konversi yang dilakukan adalah tindakan yang benar dan merupakan pilihan terbaik, bahwa Tuhan yang ia yakini memang ada (eksistensi Tuhan) dan tidak meninggalkannya sendiri. Hal ini mendorong subjek untuk makin bertanggungjawab atas konsekuensi dari tindakan konversi agama yang telah dilakukannya. Kesadaran akan adanya kekuatan yang Maha Besar di luar dirinya, pemikiran tentang adanya konsekuensi dan balasan dari Tuhan tentang semua perbuatan yang dilakukan, tampaknya membantu subjek untuk mengorganisir dan menyatukan berbagai konsep dan gambaran subjektif tentang diri yang ada di masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Adanya perasaan bahwa setiap perbuatan tidak bernilai sia-sia di mata Tuhan, ada bahwa Tuhan Maha mengampuni dan Maha membalas dengan adil, tampaknya menjadi semacam kerangka untuk mengarahkan diri (self direction).

Kesimpulan

Proses pencarian identitas diri muallaf melibatkan sejumlah interaksi antara: faktor kognitif berupa peningkatan kapasitas kognitif, keterbukaan dan penerimaan terhadap nilai-nilai baru; faktor psikologis berupa kepribadian terutama ditinjau dari self determinat, perubahan status dan peran, konlik internal dan pola asuh; faktor sosial berupa proses belajaran sosial, penerimaan atau penolakan sosial serta faktor hidayah Tuhan. Setidaknya ada tiga motif remaja muallaf dalam melakukan konversi agama, yakni motif intelektual, afeksional dan transendental. Penerimaan diri (self acceptance) subjek setelah melakukan konversi agama ada dua jenis, yakni langsung mengungkapkan status keislaman kepada lingkungan sosial, yang kedua menyembunyikan status keislaman dalam waktu tertentu. Peran konversi agama dalam proses pencarian identitas diri subjek memiliki dua bentuk a) konstruktif sehingga mendorong pencapaian identitas diri yang optimal (identity achievement) b) dekonstruktif sehingga menimbulkan kebimbangan identitas (identity confussion). Hal ini dipengaruhi oleh: penerimaan diri, inisiatif dan motivasi internal untuk terus melakukan perbaikan diri, keteram­ pilan dalam mengkomunikasikan perasaan, pendapat kepada orang lain, strategi koping yang dipakai untuk mengatasi konflik, kehendak bertanggungjawab atas konsekuensi tindakan, tingkat ancaman dan tekanan eksternal yang diterima, serta tingkat dukungan sosial yang diperoleh subjek.

Daftar Pustaka

Universal Islamic Declaration of Human Rights, dalam Concilium, no.3, th.1994, London: SCM Press, 1994. Al-Qasimi, Mahasin at-Ta’wil, Juz. 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1978.

Muhammad Aji Nugroho 95 Tema I: Religion, State, and Counter Terrorism

B McGuire, Meredith, Religion, the Social Context, Belmont: Wadsworth Thomson Learning, 2002. Baidhawi, Zakiyuddin, Kredo kebebasan Agama, Jakarta: PSAP, 2005. ______, Kebebasan Beragama Perspektif HAM dan Islam, Salatiga, STAIN Sltg Press, 2011. Bulliet, Richard W., Conversion to Islam in Medievel Period, USA: Harvard University Press, 1979. Clark, Walter Housten, The Psychology of Religion, Canada: The Macmilian Company, 1969. Darajat, Zakiyah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1976. Hidayat, Komaruddin, dan Ahmad Gaus F, Passing Over; Melintas Batas Agama, Jakarta: Gramedia, 1998. Hidayati, Tri Wahyu, Apakah Kebebasan Beragama sama dengan Bebas Pindah Agama; Prespektif Hukum Islam dan HAM, Salatiga: STAIN Salatiga Press dan JPBOOKS, 2008. James, William, The Varieties Religious Experience, New York: Mentor, 1958. Jalaluddin, Psykologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Jhonson, Paul E., Psychology of Religion, New York: Abingdon Press, t.t. Kelsay, Jhon, “Islam dan Kebebasan Beragama”, dalam Ahmad Suaidy (ed.), Kebe­ basan Agama dan Little, David, “Perkembangan Hak Kebebasan Agama dan Nurani di Barat”, dalam Ahmad Suaidy (ed.), Kebebasan Agama dan Hak Asasi Manusia, Terj: Riyanto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Monk, Robert C., Exploring Religius Meaning, New Jersey: Prentice Hall Inc., 1994. Thouless, Robert H., An Introduction to The Psychology of Religion, London: Cam­ bridge University Press, 1871. Thouless, Robert H, Pengantar Psikologi Agama, terj. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000. Poston, Larry, Islamic Da’wah in The West, New York: Oxford University Press, 1992. Paloutzian, Raymond F. Invitation to the Psychology of Religion. London : Allyn and Bacon. 1996. Poerwandari,E. Kristi. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta­ : Lembaga Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI. 2001. S. Endah, S. Yanti, B. Nova. Mengapa Aku Pilih Islam; Kumpulan Kisah Para Muallaf. Jakarta: PT. Intermasa. 1997. Santrock, John W. Life Span Development; Perkembangan Masa Hidup. Penerjemah : . Jakarta : Penerbit Erlangga. 2002. Van Asbeck, Baron F., (ed.), The Universal Declaration Of Human Rights and Its Predesessor (1679-1948) Leiden: E.J. Brill, 1949.

96 Muhammad Aji Nugroho TEMA II: LITERATURE, LITERATURE CRITICS AND COMPARATIVE DISCOURSE Analisis Penggunaan Tulisan Jawi (Arab Melayu) dan Kaligrafi dalam Artifak-Artifak Nusantara: Kajian berbagai Artifak di Asia Tenggara Abad ke-18 dan 19 Makmur Haji Harun, Kastolani...... 99

Drama Melayu Tradisional: Satu Kajian Bentuk dan Struktur Penulisan Skrip Makyong, Mohd Amir Bin Mohd Zahari...... 127

Pendekatan Kritik Teks Sastera Berasaskan Gagasan Estetika Bersepadu Abdul Halim Ali...... 133

Membaca Ayat–Ayat Cinta 2 dan Memikirkan Habiburrahman El Syirazy Hanung Triyoko...... 153

A Comparative Discourse on Islam and Hinduism Preaching Texts Hammam...... 165 ANALISIS PENGGUNAAN TULISAN JAWI (ARAB MELAYU) DAN KALIGRAFI DALAM ARTIFAK-ARTIFAK NUSANTARA: Kajian berbagai Artifak di Asia Tenggara Abad ke-18 dan 19

Makmur Haji Harun Fakulti Bahasa dan Komunikasi, Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI), 35900 Tanjong Malim, Perak, Darul Ridzuan, Malaysia. E-mail: [email protected]. Telephone : +6016 365 6350. Kastolani Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, Jalan Lingkar, 02 Sidorejo, Salatiga, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia, 50716. E-mail: [email protected]. Telephone : +62 822 2634 9991.

Abstrak

Wujudnya pelbagai tulisan Jawi (Arab Melayu) dalam artifak-artifak di Asia Tenggara pada abad ke-18 dan 19 baik yang berbentuk implementasi tulis­ an atau apresiasi lukisan yang banyak dijadikan sebagai wasilah penye­baran Islam di bumi Nusantara. Kepelbagaian karya tersebut walaupun perlu ba­kat dan kemahiran dalam menghasilkannya karena harus menguasai huruf Jawi, perlu mahir kaedah seni khat, mesti kreatif melukis dan penting berinovasi meng­ angkat karya-karya seni tersebut sepanjang masa. Penggunaan tulisan Jawi (Arab Melayu) telah lama berakar dalam kehidupan masyarakat Nusantara bahkan berabad-abad lamanya yang terus meluas hampir ke semua wilayah Asia Teng­ gara dengan mengandungi nilai seni budaya yang sarat makna tersendiri, me­ miliki corak bervariasi, penambahan seni khat Jawi berciri, memaparkan falsafah seni mendalam. Selain kegunaannya dapat mempercantik keindahan artifak- artifak beragam corak, warna dan bentuknya. Tulisan Jawi (Arab Melayu) juga dapat mengungkap seni lebih mendalam sebagai manifestasi sosial budaya masyarakatnya yang pernah merekahasilkan pada zaman dahulu. Metodologi kajian menggunakan penyelidikan lapangan melalui pelbagai artifak-artifak ber­ tulisan Jawi (Arab Melayu) yang dijumpai di Nusantara terutama dari Indonesia­ dan Malaysia di abad 18 dan 19. Objektif kajian ingin mengangkat kreati­­ vitas­­ seni dan tulisan Jawi (Arab Melayu) di pelbagai artifat di Alam Melayu yang meng­

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 99 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

gambarkan artistik terekspresi berbentuk seni, budaya, adat, bahasa, peralatan, bangunan dan tradisisebagai pelestarian warisan khazanah masya­rakatnya.­ Dapatan kajian diharapkan dapat memaparkan analisis kepelba­ gaian­ tulisan Jawi (Arab Melayu) di Nusantaraselama dua abad sebagai karya kebanggaan bangsa,­ selain menjadi wacana ilmu pengungkap kekayaan kha­zanah agama dan negara.

Kata kunci: Tulisan Jawi, Arab Melayu, Artifak-artifak, Alam Melayu dan Nusantara.

Pengenalan

da pelbagai artifak bertulisan Jawi (Arab Melayu) ditemui di ANusantara yang merupakan kekayaan khazanah sangat berharga bagi masyarakat Nu­santara yang telah diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya yang banyak menjadi rujukan di pelbagai ilmu pengetahuan ter­masuk bidang sejarah. Warisan ini tercipta dari perananpara penulis terdahulu untuk menyusun tulisanagardapat dijadikan sebagai rujukan penting generasi berikutnya. Kemudian penulisannya biasanya dihiasi gaya kesusastraan Nusantara­ klasik bercorak sejarah. Oleh itu, sejarah yang disampaikan melalui tulisan berbentuk sastra dan diperkaya dengan fakta- fakta atau bukti-bukti nyata seperti nama-nama pelaku, latar belakang tempat dan waktuataulokasi sesuatu peristiwa, maka karya-karyatersebut yang bersifat demikian itulah sering disebut peninggalan-peninggalan bersejarah. Wujudnya hasil penulisan yang bersifat sastra sejarah terdiri dari dua bentuk, yaitu puisi dan prosa. Puisi digunakan untuk menceritakan peristiwa yang sifatnya sesaat, dan tidak berhubungan dengan urusan istana atau negara. Prosa pula digunakan oleh pengarang men­ceritakan keadaan negara. Perkembangan tulisan Armal yang merupakantulisan pada manuskrip, naskah atau teks merupakan penerapan bahasa lokal yang digunakan sebagai alat komunikasi dalam komunitas masyarakatnya berinteraksi antara satu dengan lainnya. Sedangkan bahasa yang disampaikan melalui tulisan tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan ilmu filologi karena bahasa menunjukkan identitas suatu bangsa dan negara. Penerapan bahasa juga menjadi kata kunci dari perkembangan ilmu pengetahuan sebab ia digunakan sebagai alat untuk mengetahui seni dan budaya sesuatu masyarakat melalui penelitian naskah atau teks manuskrip mereka, terutama bahasa yang dipakai dalam penulisan manuskrip khazanah warisan bangsanya. Untuk memahami bahasa dengan baik, maka perlu juga mengetahui mengenai tulisan yang digunakan karena ia bisa menjadi catatan sejarah panjang yang berkembang dan yang diterapakannya di kawasan yang menjadi tempat tinggal mereka. Selain adanya faktor kebahasaan tersebut juga menjadi sebuah tantangan tersendiri yang sangat menarik untuk dibicarakan dalam makalah ini, karena untuk membahas sebuah warisan pe­ ninggalan suatu bangsa yang sering menjadi kendala adalah bahasa dan tulisan­ nya yang tidak diketahui oleh pengkajinya dengan baik dan sempurna.

100 Makmur Haji Harun, Kastolani Analisis Penggunaan Tulisan Jawi (Arab Melayu) dan Kaligrafi dalam Artifak-Artifak Nusantara

Melalui bahasa dan tulisan Armal ini ada banyak karya sastra atau naskah yang muncul dan menjadi tumpuan kajian para ilmuan atau filolog di Nusantara sebagai penyampai maklumat berupa naskah-naskah kuno atau manuskrip- manuskrip klasik yang perlu diketahui keberadaannya, baikyang berada di perpustakaan, universitas, museum, pondok pesantren, koleksi perorangan dan lain sebagainya, selain perlu dilihat keberagamannya yang pelbagai sehingga nampak jelas manuskrip bertulisan Jawi di Nusantara dari warisan nenek moyang mereka yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Keberadaan bahasa dan tulisan Jawi sangat berperanan penting dalam menyampaikan komunikasi yang tidak terlepaskan dari sejarah perkembangan seni dan budaya masyarakatnya, demikian juga tulisan Jawi yang banyak digunakan menjadi tulisan penting bagi penduduknya, bahkan menjadi bahasa pertuturan hampir di semua kalangan. Bahasa dan tulisan Jawi menunjukkan identitas bangsa Melayu, tulisan Jawi menjadi penyampai komunikasi yang ikut berkembang bersama-sama dengan ilmu filologi, naskah dan manuskrip mereka. Oleh karena itu, tulisan Jawi dalam pelbagai manuskrip atau di artifak-artifak di Alam Melayu yang digunakan menjadi alat untuk mengetahui kebudayaan bangsanya, terutama bahasa yang digunakan mengkaji naskah dan manuskrip Jawinya.

Objektif Kajian

Objektif kajian ini ingin menganalisis secara mendalam selain mengungkap sejarah silam yang mengangkat kreativitas tulisan Jawi (Arab Melayu) dan seni kaligrafi di berbagai artifat Nusantara yang menggambarkan artistik terekspresi berbentuk seni, budaya, adat, bahasa, peralatan, bangunan dan tradisi sebagai wujud pelestarian khazanah seni warisan masyarakatnya. Kemudian ingin juga membuktikan betapa pentingnya aksara Jawi yang menjadi tulisan dasar dalam manuskrip, naskah, teksdan artifak-artifaklainnya yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka dari generasi ke generasi sehingga sekarang.

Metodologi Kajian

Metodologi kajian yang digunakan dalam menganalisis khazanah warisan tulisan Jawi dan kaligrafi ini adalahmenggunakan penyelidikan lapangan di samping pengamatan di berbagai artifak-artifak bertulisan Jawi (Arab Melayu) yang dijumpai di Nusantara, terutama yang ada di Indonesia dan Malaysia pada abad ke-18 dan 19. Analisis ini juga turut dikembangkan melalui pengamatan di beberapa buku sejarah di perpustakaan untuk menguatkan hasil dapatan kajian yang telah dihasilkan.

Makmur Haji Harun, Kastolani 101 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

Permasalahan Kajian

Sebelum kajian ini dijalankan, pengkaji telah menemui berbagai manuskrip bertulisan Jawi (Arab Melayu) di Nusantarahampir di semua bidang termasuk mengenai sejarah yang dirujuk oleh para cendikiawan atau ilmuan tempatan dan luar negara. Kemudian dari kesekian banyaknya artifak bertulisanArmal ada yang mampumengungkap sejarah kemudian fakta dan realitas hidup masyarakatnya dari zaman ke zaman.Oleh sebab itu, adanya cara dan metode pe­nulisannya tersebut, isi dan kandungannya, masa dan tempohnya, arah dan tujuannya, bentuk dan coraknya dan lain sebagainya. Maka permasalahan tersebut melalui kajian analisis ini pengkaji ingin menganalisa secara mendalam menge­nai penggunaan tulisan Jawi dan kaligrafi di berbagai artifakdi wilayah Nusantara sebagai pengungkap sosio budaya masyarakatnya seperti manuskrip, naskah, hikayat, batu nisan, prasati, surat, serta pembuktian klasik lainnyayang terekam dalam sejarah masyarakatnya di Nusantara sehingga mengundang para cendikiawan, sarjana dan ilmuan tempatan dan bangsa-bangsa Eropa lainnya untuk mengenalnya lebih mendalam kesemua artifak-artifak berharga dari waktu ke waktu sehingga sekarang.

Sejarah Tulisan Arab Melayu dan Kaligrafi dalam Khazanah Warisan Nusantara Semenjak bangsa Nusantara terutama orang-orang Melayu mengenal huruf, puncaknya ketika Islam datang ke Alam Melayu, maka sebagian besar dari masyarakatnya sudah membudayakan membaca dan menulis naskah atau manuskrip mereka sehingga dapat berbentuk dokumen yang memberi banyak informasi mengenai kehidupan mereka pada masa lampau. Di antara bangsa Asia yang dianggap cukup banyak memiliki dokumen peninggalan masa lalu mereka adalah India. Hal itu terungkap dari berbagai penelitian dan kajian ter­ utama penyelidikan terhadap dokumen mereka berupa tulisan seperti batu-batu bersurat, prasasti, batu nisan, ukiran, artifak, dan naskah-naskah kuno pening­ galan nenek moyang mereka jika dibandingkan dengan bangsa di Asia Tenggara. Malahan bangsa India telah menghasilkan naskah yang dianggap paling tua yaitu kesusateraan Weda berupa kitab suci agama hindu. Kitab Weda berisikan kepercayaan kepada dewa, penyembahan terhadap dewa, mantera-mantera yang mengiringi upacara keagamaan Hindu dan juga termasuk ilmu sihir. Setelah usai masa keemasan naskahWeda tersebut, kemudian muncul pula naskah lain berupa kitab suci lainnya yaituBrahmana.Kandungan kitab ini berisi cerita mengenai pen­ cipta dunia dan segala isinya, lalu muncul juga kitab Aranyaka kandungannya berisi petunjuk bagi pertapaan dalam menjalani kehidupan di hutan-hutan, dan kitab Upanisad kandungan kitab ini berisi filsafat yang memikirkan tentang keduniaan. Selain naskah-naskah bernafaskan agama tersebut, terdapat juga naskah- naskah lama di India yang berisi tentang Wiracarita, misalnya tentang kepah­

102 Makmur Haji Harun, Kastolani Analisis Penggunaan Tulisan Jawi (Arab Melayu) dan Kaligrafi dalam Artifak-Artifak Nusantara lawanan Mahabarata dan Ramayana dan lain-lainnya. Sementara tata bahasa San­sekerta pertama kali ditulis oleh seorang pendeta berbangsa Jerman bernama Hanxleden berbahasa Latin, lalu karangan tersebut diterbitkan di Romaoleh seorang penginjil berbangsa Austria. Kemudian bangsa Inggeris pada abad ke-18 tepatnya pada tahun 1790 yang melakukan kegiatan penyelidikan ilmu filologi di India dengan menyusun kitab hukum berdasarkan hukum- hukum yang ditulis berdasarkan naskah-naskah lama bangsa India. Hal inilah yang juga mendorong bangsa-bangsa Eropa untuk mengenali lebih banyak lagi bahasa-bahasa di kawasan lainnya di Asia termasuk Asia Tenggara. Bahkan pada awal abad ke-19 Alexander Homilton berbangsa Inggris dan Frederich Schlegel berbangsa Jerman, kedua-duanya dipandang sebagai pakar filologi yang sempat memajukan kajian naskah-naskah Sansekerta di Eropa.Sementara August (abang Frederich) adalah orang yang pertama kali memberikan kuliah bahasa Sansekerta di Born Jerman Barat, kesannya sehingga pertengahan abad ke-19 telah banyak dilakukan penelitian terhadap karya-karya sastra klasik di kawasan India termasuk sastra epik mereka. Perkembangan kajian manuskrip dan naskah di kawasan itu telah dipandang sebagai penyelidikan lengkap semenjak tahun 1980, yaitu pada masa tersebut banyak dilakukan kajian sastra klasik secara ilmiah, kemudian diterbitkan juga naskah-naskahyang dilengkapi kritik teksnya dan lain-lainnya. Perkembangan kajian ini akhirnya juga meluas sehingga ke wilayah Nusantara dengan pelbagai faktor, kaedah dan cara yang digunakan sehingga kekal abadi penggunaanya sampai sekarang.

Gambaran Perkembangan Awal Tulisan Arab Melayu dan Seni Kaligrafi Islam Nusantara Perkembangan awal tulis menulis di Nusantara belum terlalu dikenal luas, karena ia dianggap sebagai kepakaran tersendiri dan hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahuinya, bahkan tidak banyak dari kalangan masyarakat umum yang menguasainya kecuali dari golongan tertentu atau penulis-penulis istana saja. Wujudnya bahasa dalam tulisan yang digunakan dalam menyampaikan informasi, juga digunakan dalam penulisan naskah dan manuskrip sebagai alat untuk mengetahui seni budaya sesuatu bangsa termasuk di kawasan Nusantara. Pada umumnya, penerapan tulisan Armaldi berbagai manuskrip dan naskah yang berkembang di Asia Tenggara pada masa kini dapat dikatakan berasal dari bangsa-bangsa yangmengalami kehidupan masa lampau dan telah diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Sementara perkembangan awal penggunaan tulisan Jawi dan khat di Nusantara sangat berkaitan dengan kajian ilmu filologi, karena penyelidikan ilmu filologi menggunakan pelbagai bahasa sebagai pengantar dalam menyusuri seni budaya sesuatu bangsa dan masyarakat yang ingin dikaji, terutama bahasa yang digunakan dalam naskah dan manuskripnya. Demikian juga bahasa yang dipakai dalam naskah-naskah di Asia Tenggara yang tidak dipergunakan lagi

Makmur Haji Harun, Kastolani 103 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea dalam masyarakatnya sehingga ia menjadi objek penting penelitian pelbagai kajian filologi di Nusantara. Sehubungan dengan itu, maka perkembangan filologi tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan bahasa dalam artian yang luas seluas-luasnya. Kemudian kegiatan pengajian filologi yang dimaksud di sini adalah adanya kegiatan yang erat kaitannya dengan penyuntingan naskah lama serta tinjauan dari aspek sastra klasik dalam naskah-naskah orang Melayu di Nusantara. Tetapi pembicaraan lebih fokus kepada ilmu filologi Melayu yang dilengkapi segala hal yang menjangkau penggunaan tulisan Armal dan seni kaligrafi di kawasan Nusantara. Hal ini juga dipengaruhi adanya kegiatan sosial politik yang terjadi pada masa kedatangan orang-orang Barat ke Nusantara yang merupakan latar belakang penting wujudnya kegiatan penelitian ilmu bahasa dan filologi. Bukti paling awal aksara Jawi ini berada di Malaysia melalui adanya Batu Bersurat Terengganu yang bertanggal 702 H atau abad ke-14 M (tanggal ini agak masalah sebab bilangan tahun ini ditulis, tidak dengan angka). Di sini hanya bisa terbaca tujuh ratus dua (702 H). Tetapi kata dua ini boleh diikuti dengan kata lain yakni 20 sampai 29 atau - lapan -> dua lapan -> “delapan”. Kata ini bisa pula di­ikuti dengan kata “sembilan”. Dengan ini, kemungkinan tanggal ini menjadi banyak menjadi 702, 720 - 729, atau 780 - 789 H. Tetapi karena Batu Bersurat ini juga menyebut bahwa tahun ini adalah “Tahun kepiting”, maka hanya ada dua kemungkinan tersisa yakni tahun 1326 M atau 1386 M. Tetapi menurut Syed Muhammad Naguib al-Attas (1972)bahwa Batu Bersurat Terengganu tersebut ditulis pada tahun 702 H bersamaan dengan tahun 1303 M. Kandungannya tersebut menekankan hukum-hukumfiqih, juga menggunakan tulisan Jawi yang merupakan satu terjemahan dari kitab agama berjudul ‘Aqa’id al-Nasafi. Setelah itu, semenjak agama Islam mulai bertapak di Asia Tenggara, tulisan Armal mulai berkembang dan hidup bersama-sama masyarakatnya. Menurut catatan sejarah, tulisan ini memainkan peranan penting bagi mendukung perkembangan Islam dalam mewujudkan pelbagai kajian naskah dan manuskrip Nusantara. Sehingga telah muncul pelbagai batu bersurat, prasasti, naskah, manuskrip yang menunjukkan bahwa Islam sudah wujud di Asia Tenggara sejak lama dulu. Antara bukti lain yang dapat menunjukkan wujudnya Islam di Nusantara adalah penemuan batu nisan makam Sheikh Abdul Qadir Ibn Husain Shah Alirah di Langgar, Alor Setar Kedah, bertanggal 290 H bersamaan dengan 910 M. Selain itu, terdapat juga batu nisan yang ditemui di Pekan Pahang, subuh hari Rabu 14 Rabi’ul Awal 429 H; batu nisan yang ditemui di Phanrang Viet­ nam, bertanggal 431 H bersamaan 1039 M; dan batu nisan puteri Sultan Abdul Majid Ibnu Muhammad Shahal-Sultan bertanggal 440 H bersamaan 1048 M di perkuburan Islam, Jalan Residensi, Brunei Darussalam. Kemudian turut ditemukan juga batu nisan Fatimah Maimun bt. Hibatullah yang bertanggal475 H bersamaan 1082 M di Leran Gresik, Jawa Timur. Adanya penemuan-penemuan bukti sejarah tersebut telah menunjukkan agama Islam sudah lama bertapak di

104 Makmur Haji Harun, Kastolani Analisis Penggunaan Tulisan Jawi (Arab Melayu) dan Kaligrafi dalam Artifak-Artifak Nusantara

Asia Tenggara yang mempengaruhi perkembangan penggunaan tulisan Armal dalam berbagai corak dan bentuknya. Tulisan dan manuskrip ini berkembang seiring dengan penyebaran Islam yang berjaya membina sebuah masyarakat bertamadun yang mempunyai kebudayaan selaras dengan Islam (Ismail Hussein, 1984). Aktivitas penulisan bahan-bahanliteratur terus dilanjutkan secara berkesinambungan yang kemuncaknya pada abad ke-17 M ketika muncul tokoh-tokoh berpengaruh seperti Hamzah Fansuri dan Nuruddin ar-Raniri (r.h) dan lain sebagainya. Ulama dan cendekiawan dari Parsi juga banyak memberi sumbangan dalam bidang politik, perdagangan, sosial, budaya dan agama Islam, malah Pasai terkenal sebagai pusat perkembangan bahasa dan kesusastraan Islam (Teuku Iskandar, 1995). Perkembangan dalam bidang kesusastraan amat pesat karena penulisan karya-karya sastra dalam bahasa Melayu dengan tulisan Armal yang digunakan secara meluas bukan saja di kalangan masyarakat bahkan dalam kalangan orang-orang istana (Ismail Hussein, 1984).

Aplikasi Tulisan Arab Melayu dan Kaligrafi di Nusantara

Sudah sekian banyak jenis tulisan dan seni kaligrafi yang berkembang di negara-negara Islam, tetapi seni khat thuluth yang bentukya ornamental dan khat nasakh yang bergaya ringkas telah dikembangkan oleh Ibnu al-Bawwab dan Yaqut al-Musta’shimi setelah dirintis oleh pendahulunya Ibnu Muqlah, ter­ lihat sangat meluas penggunaannya, malahan sangat diterima oleh semua lapisan masyarakat Islam. Penggunaanya menjadi sedemikian erat dengan tulisan­ al- Qur’an, manuskrip dan naskah-naskah keagamaan lainnya sehingga ia dapat meraih kedudukan tertinggi, ini terbukti juga karenasebagian besar tulisan tersebut digunakan sebagaijudul karya-karya ilmiyah, buku-buku pelajaran, judul tulisan- tulisan Koran atau majalah dan lain-lainnya. Bahkan bentuk tulisan dan seni khat ini lebih dikenal dengan nama al-Aqlam al-Sittah (enam skrip yang asal) yaituKhat thuluth, nasakh, muhaqqaq, rayhan, riq’ah dan tawqi’ (Yasin Hamid Safadi, 1979: 19) juga berkembang walaupun tidak semuanya diguna­ kan­­ dengan baik sehingga ke Nusantara. Ada tujuh jenis khat selalu terlihat di­gunakan di Asia Tenggara terutama di Malaysia dan Indonesia, antaranya ialah jenis khat thuluth ( ), nasakh ( ), diwani ( ), kufi ( ), ta’liq (farisi) ( ), riq’ah( ) dan diwani jali ( ) (Bayard Dodge, 1970: 172). Jenis-jenis khat inilah yang akhirnya berkembang dan digunakan di berbagai tempat dan bahan sehingga kini. Kesemua khat tersebut juga digunakan dalam mencorakkan lagi kreativitas dari para khattat, artis mahupun seniman Muslim di Nusantara. Berikut perincian kreasi atau kre­ativitas­ seni tersebut: Pertama, kemegahan seni kaligrafi dan Armal dalam seni arsitektur. Seni khat dan Jawi merupakan seni kaligrafi Islam yang bersumber baik darial-Qur’an mahupun al-Hadith. Dinamika ini, menjadikan penggunaan seni ini semakin meluas pemanfaatannya terutama dalam menyemarakkan pembangunan seni

Makmur Haji Harun, Kastolani 105 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea bangunan masjid dan seni arsitektur Islam lainnya. Menurut Ibnu Khaldun (T.th: 9) dalam kitabnya Muqaddimah seperti yang dipetik oleh Mustafa Haji Daud (1990: 127) dan Ghazali Darussalam (2001: 252) bahwa seni arsitektur bermaksud satu bidang seni untuk mendirikan bangunan, seni bentuk dan tata letak yang direkayasa oleh manusia. Seni ini merupakan satu dari asas peradaban yang paling utama, dimana ia berarti bahwa seni arsitektur adalah lambang atau manifestasi dari peradaban sesuatu bangsa. Oleh sebab itu, berdasarkan pencapaian ini maka keagungan dan ketinggian sesuatu peradaban itu dapat diukur. Selanjutnya Ibnu Khaldun menambahkan lagi bahwa “Kedudukan ruhani setiap bangsa, pandangan hidup, cita rasanya dapat diwujudkan pada bangunan-bangunan yang didirikannya. Ilmu seni arsitekturmerupakan karya yang dapat melahirkan kekuatan ruhani umat.“ Kedua, kreasi seni kaligrafi dan Armal dalam pertandingan. Sebagai momentum mencari kreasi seni kaligrafi dan Jawi dalam pertandingan ini adalah cara untuk membangun dalam memantapkan dukungan kepada penulis mahupun pecinta seni ini, terutama dalam meningkatkan minat baca tulis al- Qur’an sekaligus mencungkil bakat penulisan dengan berbagai jenis khat untuk dipertandingkan seperti khat nasakh, thuluth, farisi, diwani, riq’ah dan lain sebagainya. Jenis-jenis ini merupakan tulisan tangan berbentuk cursifyaitu tulisan bergerak berputar (rounded) dan sifatnya mudah serta jelas ketika dibaca (C. Israr, 1985: 83). Jenis-jenis ini merupakan tulisan dasar yang banyak digunakan karena mudah didapati dan dipelajari. Pada umumnya tulisan-tulisan yang selalu dipertandingkan ini lebih berperanan sebagai tulisan mushaf al-Qur’an, manuskrip-manuskrip, naskah-naskah, buku-buku, surat-surat dan karya-karya lainnya dengan tujuan mempermudah dalam penulisan dan pembacaannya, selain dapat melahirkan banyak lagi penulis-penulis kaligrafi dan Jawi yang ahli (Hasan Qasim, 1990: 3). Ketiga, keunikan seni kaligrafi dan Armal dalam hiasan interior. Dinamakan hiasan dalaman atau interior karena penggunaan seni kaligrafi yang sangat berperanan dalam hiasan bangunan dan seni arsitektur Islamnya, seperti masjid, pondok pesantren, madrasah, kantor, istana dan lain sebagainya. Jenis khat thuluth adalah salah satu betuk khat yang banyak digunakan untuk hiasan dinding dan reka bentuk interior ini, di samping berbagai media lainnya karena susunan huruf-hurufnya dianggap paling susah dalam penulisannya jika dibandingkan dengan jenis-jenis khat lainnya, baik dari sisi kaedah yang digunakan mahupun proses penulisan dengan penyusunan ruang-ruang hurufnya yang memerlukan ketelitian, perlu kesungguhan dalam penulisannya tetapi sangat menarik ketika dijadikan sebagai hiasan, sehingga terlihat tulisannya lebih indah lagi serasi serta harmoni antara satu dengan lainnya (Didin Sirojuddin AR., 2007: 67). Selain faktor hiasan dalaman yang banyak mempengaruhi keindahan sesuatu karya seni arsitektur, faktor luaran bangunan juga perlu diambil kira, seperti perkembangan seni arsitektur di Asia Tenngara. Karakteristik seni ini sangat

106 Makmur Haji Harun, Kastolani Analisis Penggunaan Tulisan Jawi (Arab Melayu) dan Kaligrafi dalam Artifak-Artifak Nusantara menarik karena banyak terilhami dengan sumber kekayaan alamnya seperti unsur kayu, daun, buah-buahan, bunga-bungaan dan lain sebagainya. Menurut S. Vlatseas (1990: 40) dalam bukunya A history of Malaysian architecture bahwa seni arsitektur yang berkembang di Nusantara adalah beragam, dengan berdasarkan seni rekaan tradisional termasuk pembangunan rumah, istana, sekolah, masjid dan lain-lain. Keempat, rekaan seni kaligrafi dan Armal dalam logo atau lambang. Lambang adalah tanda yang menyatakan atau memperkenalkan sesuatu (seperti bendera, lencana dsb), simbol atau isyarat. Sedangkan Perlambangan bermaksud perihal (perbuatan dsb) menggunakan sesuatu sebagai lambang (Kamus Dewan, 2010: 699). Kreasi jenis perlambangan ini lebih dikenal sebagai lambang atau logo yang selalu dijadikan sebagai tanda petunjuk sesebuah perusahaan, tokoh, masjid, organisasi, sekolah, kantor dan tanda atau petunjuk lainnya. Jenis kreasi seni ini merupakan nisbah kepada tanda-tanda tertentu sehingga orang lain dapat mengenalnya lebih dekat melalui perlambangan yang ditunjukkannya, sekaligus menjadi cara untuk memperkenalkan atau menyampaikan informasi terhadap simbol lambang tersebut. Adapun penggunaan kreasi perlambangan ini biasanya untuk menghurai atau menerangkan sesuatu makna yang dijabarkan baik menggunakanlakaran, warna, mahupun corak yang ada dalam lambang tersebut. Kelima, keragaman seni kaligrafi dan Armal dalam kitab dan buku.Untuk mewujudkan kreasi tulisan Jawi dan seni kaligrafi melalui buku-buku adalah sememangnya biasa dan sangat penting untuk terus diabadikan, karena melalui buku inilah proses pembelajaran dan pengajaran mudah diaplikasi secara berkesan. Proses penulisan Armal atau seni kaligrafi yang digunakan dalam buku- buku atau kitab-kitab adalah menggunakan kaedah-kaedah standardariberbagai jenis, salah satu jenis khat sering menghiasi buku-buku pelajaran mahupun ilmu pengetahuan lainnya adalah khat nasakh dan riq’ah. Selain karena nasakh merupakan jenis khat yang mudah ditulis dan bahkan mudah untuk dibaca, ia juga memiliki ciri yang jelas, mudah dan rapi selain cantik dengan memiliki ciri tersendiri. Menurut Abd Rahman Hamzah (2008: 60) dalam bukunya Khat & Jawi mutiara kesenian Islam sejagat bahwa khat nasakh sering dijadikan sebagai tulisan untuk dipertandingkan ditingkat sekolah di Malaysia, selain ianya juga dianggap sebagai tulisan yang paling asas dengan bertujuan pembelajaran anak- anak sekolah di seluruh dunia Islam selain bentuk khat riq’ah. Keenam, kemodernan corak seni kaligrafi dan Armal dalam lukisan. Menurut Didin Sirojuddin AR., (1995: 68) bahwa tulisan dan lukisan kaligrafi berkembang mengikut sunnatullah yang merupakan cerminan dari keabadian serta ciri kemajuan seni rupa di Nusantara. Lahirnya nuansa-nuansa baru tersebut dapat memperkukuh penciptaan (seni) yang lebih menyeluruh, dan akan mendorong kewibawaan seni kaligrafi dan tulisan Armal dalam kemungkinan- kemungkinan melahirkan corak-coraknya yang beragam. Arus perkembangan

Makmur Haji Harun, Kastolani 107 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea ini akan terus dan seharusnya bergerak terus tanpa harus dibatasi. Berikutnya beliau juga memberikan sumbang saran kepada pelukis-pelukis kaligrafi di Nusantara agar; a.Karya seni khat tradisional dan seni khat lukis kedua-duanya harus tetap dihadirkan sekaligus dalam karya lukis Nusantara mutakhir. b. Perlu kiranya para pelukis khat atau penulis Armal agar lebih memperdalam lagi kaedah-kaedah seni khat tradisionalnya dalam rangka memperluas lagi gagasan ide dalam melestarikan warisan Islam yang agung untuk mengamalkan pesan-pesannya. c.Gaya “khas Nusantara terutama gaya Melayu” harus terus diusahakan pencapaiannya, melalui modifikasi gaya-gaya tradisional dan kontemporer yang diperkaya dengan pemikiran tentang ke-Nusantaraan atau ke- Indonesiaan ataupun ke-Malaysiaan. Keempat, perlunya mempererat hubungan antara khattat dan pelukis khat Nusantara dengan seniman kontemporer Asia Tenggara lainnya serta dunia. Ketujuh, keserasian seni kaligrafi dan Armal dalam kain batik.Dalam hal ini, adanya keserasian seni kerajinan batik merupakan salah satu keterampilan tangan yang dihasilkan melalui kemahiran menggunakan teknik campuran motif atau corak di atas kain. Dalam Kamus Dewan (2010: 103) dinyatakan bahwa batik adalah kain yang berlukis (dilukis atau ditera dengan lilin dan dicelup). Menurut Hamzuri (1989: 155) bahwa ciri-ciri batik memiliki kriteria berupa lukisan atau gambar pada mori yang dibuat dengan menggunakan alat bernama canting (alat digunakan melukis kain mori). Orang melukis, menggambar atau menulis pada kain mori menggunakancanting disebut membatik (Bahasa Jawa: mbatik). Membatik menghasilkan batik atau batikan berupa macam-macam corak atau motif yang mempunyai sifat-sifat khusus dimiliki oleh batik itu sendiri. Sementara kreasi seni kaligrafi atau tulisan Armal yang menghias kain batik sesuai pengamatan penulis tidaklah banyak ditemui karena penggunaan batik sering merasa kurang nyaman dan merasa berdosa jika ada unsur-unsur disakralkan seperti tulisan ayat-ayatal-Qur’an terutama pada pakaian yang digunakannya.Penggunaan seni kaligrafi atau tulisan Jawi ini kebanyakan dijadikan sebagai hiasan-hiasan dinding rumah, kantor, madrasah dan bahkan sering juga dijadikan sebagai simpanan di museum-museum untuk bahan pameran. Kedelapan, kreativitasseni kaligrafi dan Armal dalam ukiran kayu. Kedudukan seni kaligrafi dan tulisan Armalsebagai seni Islam yang unik memiliki keindahan menakjubkan jika dipadukan dengan berbagai bahan seni termasuk kayu. Ukiran di atas kayu merupakan salah satu khazanah seni yang tidak kalah pentingnya di Nusantara, terlebih-lebih setelah dihias indah dengan berbagai jenis seni kaligrafi atau pepatah Arab yang bertulisan Armal. Ukiran-ukiran kayu yang dihasilkan kebanyakan berbentuk ukiran tebuk, tebuk terus tembus, atau ukiran timbul memadukan antara seni kaligrafi dengan motif ukiran bunga-bungaan seperti bunga sulur kacang, sulur keladi, daun bayam, daun kukur dan bunga ketumbar. Kombinasi inilah yang menjadikan seni ukiran kayu nampak lebih artistik dan malahan terlihat lebih berwibawa dan mengkagumkan. Inilah khazanah

108 Makmur Haji Harun, Kastolani Analisis Penggunaan Tulisan Jawi (Arab Melayu) dan Kaligrafi dalam Artifak-Artifak Nusantara kekayaan motif dan corak ukiran kayu yang berkembang dengan sendirinya melalui kreativitas masing-masing pengukir di Asia Tenggara terutama di Jepara dan Terengganu. Hal ini juga memperkaya lagi seni dan warisan Islam melalui penggabungan seni ukir dengan seni khat atau tulisan Jawi yang terbuat dari kayu berkualitas tinggi bersumber dari alam sekitar negara-negara yang berdomisili di Asia Tenggara. Kesembilan, keindahan dari berbagai kreasi seni kaligrafi dan Armal. Dengan penggunaan kreasi seni kaligrafi dan juga tulisan Armal ini diciptakan untuk menyalin pelbagai ketetapan seperti dokumen, surat-surat, buku-buku resmi negara, penulisan piagam, watiqah, palang, sepanduk, surat nikahdan lain-lainnya yang kemudian berfungsi juga sebagai hiasan dan corak tulisan lainnya (Didin Sirojuddin, AR., 1997: 46). Di bagian lain seni kaligrafi dan Jawi ini juga dapat ditemui sebagai penghias indahdi permadani, kain, sepanduk, poster, brosur, banting, pakaian, stiker, kartu undangan dan lain-lainnya. Hal ini lahir karena adanya usaha manusia terus menerus dalam mencipta bentuk-bentuk yang menyenangkan secara estetika dan senantiasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat penggunanya. Dalam hal ini, Ghazali Darussalam (2001: 254) telah mempelbagaikan jenis seni Islam mencakupi segala hal, yaitu: • Bahasa dan kesusastraan, seperti puisi, cerpen, sajak, novel, lirik lagu, syair, pantun, seloka, gurindam dan keindahan bahasa al-Qur’an dari segi ilmu al- balaghah dan lain sebagainya. • Seni suara, seperti lagu, nasyid, qasidah, bacaan ayat suci al-Qur’an, azan, berzanji, nazam dan lain sebagainya. • Kaligrafi Islam,seperti tulisan seni khat atau tulisan Jawi atau Armal. • Ukiran, seperti ukiran keramik, ayat-ayat al-Qur’an yang dibuat dari kayu, batu, batu nisan, dan material seni-seni lainnya. • Seni sulaman, seperti sulaman dan tenunan yang tertera di kain, sajadah, permadani, sutera dan meterial sulaman lainnya. • Seni binaan, seperti yang dapat dilihat dalam pembangunan masjid, mihrab, mimbar, bangunan, kubu, empangan dan lain sebagainya. • Seni lukisan, seperti lukisan alam semesta tetapi bukan lukisan arca yang berbentuk penuh menyerupai lukisan-lukisan patung yang menjadi pujaan dewa atau Tuhan dan sesembahan. • Seni hiasan, seperti kerawang dan bentuk-bentuk geometrik dan lain sebagainya.

Kesemua jenis seni inilah yang banyak dihiasi indah dengan kreasi seni kaligrafi atau tulisan Jawi dan Armal yang sangat beragam, sehingga dapat memperlihatkan ketinggian dan kewibawaan hasil karya seniman Muslim yang hampir merata di seluruh pelosok dunia umumnya dan di bumi Nusantara khususnya. Contoh-contoh karya berbagai dengan perpaduan seni kaligrafi atau aplikasi tulisan Armal, seperti berikut:

Makmur Haji Harun, Kastolani 109 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

a b c

Ilustrasi 1: a. Contoh kreasi hiasan kubah masjid berbentuk khat thuluth, khat ini tertulis Surahal-Fatihah dari hasil karya Irfan Ali Nasrudin tahun 2001, se­orang kaligrafer alumni Universitas IslamNegeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogya­karta [Sumber:http://www.facebook.com/profile.php]. b. Contoh kreasi seni kaligrafi berbentuk lambang MTQ ke-XVI tingkat nasional di Yogyakarta, tahun 1991 [Sumber: Zainul Muttaqin, 1992:135]. c. Karya seni kaligrafi lukis kontemporer sebagai kreasi yang sangat cantik dan menakjubkan. Kandungannya ialah Wa lillahi mulku al-samawati wa al-ard, hasil karyaPoniman seorang khattat kontemporer kenamaan Indonesia pendatang baru [Sumber:http://www.kali­ grafi.kaligrafer.com/2016/01/100-karya-terbaru-kaligrafi-kontemporer.html].

Realisasi Penerapan Tulisan Arab Melayu dan Seni Kaligrafi dalam Seni Warisan Khazanah Nusantara Ada beberapa bukti sejarah yang dapat menunjukkan tentang penggunaan tulisan Armaldan seni kaligrafi yang wujud di bumi Nusantara. Bukti ini lebih berupa inskripsi dan manuskrip Islam yang tersebar di bumi Asia Tenggara. Benda-benda peninggalan sejarah ini bertulisan Armal dan seni kaligrafi dalam berbagai jenis dan bentuknya. Bukti ini dijumpai bermula dari abad-abad awal kedatangan Islam ke Nusantara sehingga abad ke-19 M. Pada prinsipnya seseorang yang hendak menulis manuskrip pada zaman dahulu perlu menggunakan tulisan tangan, mereka perlu memastikan bahwa tulisan yang akan digunakan adalah­ terbaik, jelas dan mudah dibaca. Setelah semua alat tulis lengkap dan dalam ke­ adaan yang baik, kertas yang hendak ditulis juga perlu disediakan dengan baik seperti garis untuk teks tulisan, garis tepi, garis atas dan bawah. Garisan-garisan ini akan membantu penulis membatasi penulisan mereka dalam setiap halamannya, dan menjadikan setiap halaman mempunyai pembagian teks yang seimbang. Sebagaimana manuskrip Arab, kebanyakan manuskrip Melayu juga mempunyai ruang pinggir, kanan dan kiri teks yang agak lebih lebar. Hal ini bagi memudahkan kerja penjilidan dan juga catatan nota yang dilakukan oleh pembaca. Biasanya pada halaman pertama dalam naskah atau manuskrip, sering terdapat ruang yang mempunyai jarak atas lebih besar berbanding halaman lainnya. Bagian ini selalunya ditinggalkan untuk dijadikan hiasan yang akan

110 Makmur Haji Harun, Kastolani Analisis Penggunaan Tulisan Jawi (Arab Melayu) dan Kaligrafi dalam Artifak-Artifak Nusantara dibuat selepas semua teks selesai ditulis. Kemudian perkataan Bismillah misalnya, bukan saja digunakan untuk pembuka bicara secara lisan tetapi juga digunakan sebagai awal pembuka penulisan. Perkataan ini digunakan kepada hampir kesemua manuskrip Melayu baik salinan, terjemahan atau karya tempatan. Terdapat beberapa gaya penulisan Bismillah yang digunakan di dalam manuskrip Nusantara, antara gaya yang sering digunakan ialah dengan memanjangkan huruf ba atau terdapat juga gaya memanjangkan huruf sin sebelum mim. Di samping itu, biasanya dalam badan teks manuskrip Melayu ada dua jenis warna pena yang menjadi pilihan penulisnya, yaitu hitam dan merah. Hitam merupakan pilihan utama, manakala merah akan digunakan sewaktu menulis sebuah manuskrip yang mempunyai dua bahasa yaitu Arab, Melayu, Banjar, Jawa, Mandailing atau Bugis dan lain sebagainya. Teknik ini biasanya digunakan dalam manuskrip terjemahan. Bahasa Arab misalnya akan ditulis dengan tinta merah bagi memudahkan pembaca mengenal teks asal sebelum terjemahan atau keterangan diberikan oleh penulis yang ditulis bertinta hitam. Terdapat juga penulis lain menggunakan tinta merah untuk perkataan pertama bagi menandakan ayat baru. Sedangkan bagian penutup biasanya juga mempunyai gaya penulisan tersendiri di mana teks pada halaman tersebut akan menjadi semakin tirus dan runcing sehingga ke perkataan terakhir bagi manuskrip tersebut yakni perkataan tamat. Sedangkan bahan pula yang selalu digunakan untuk menulis manuskrip Nusantara ialah pena, tinta dan kertas. Pena yang digunakan oleh para penulis Melayu biasanya diperbuat dari batang pelepah batang resam. Batang resam ialah sejenis pohon dari keluarga paku pakis yang besar dan kebanyakannya tumbuh di kawasan hutan terutamanya di kawasan dingin seperti di kawasan tanah tinggi. Pelepah daun batang resam diambil dan dibersihkan sebelum dipotong mengikut ukuran dan mata pena yang diperlukan oleh penulis. Selain itu, jika terdapat nama penulis, tempat, waktu dan tanggal di bagian ini ia dinamakan kolofon. Akan tetapi terdapat juga manuskrip yang tidak mempunyai kolofon. Satu lagi bahan dasar penting diperlukan untuk menulis ialah kertas. Dalam penulisan manuskrip, kertas yang sering digunakan bukan seperti kertas biasa yang didapati pada hari ini. Kertas di Nusantara dikenali dengan nama dluwang/deluwang yang diperbuat dari lapisan kulit pohon seperti mulberi yang diketuk sehingga lepek selepas lapisan dalam kulit pohon tersebut direndam sehingga lembut. Kertas ini mempunyai tekstur dan tahan lama, selain dari kertas deluwang, bahan lain yang sering juga digunakan untuk menulis ialah: kayu, daun nipah, bambu, dan daun lontar. Permukaan setiap bahan yang digunakan untuk menulis menggunakan tinta serta pena perlulah licin dan tidak terlalu kesat karena ia akan mengganggu proses penulisan, bahkan tulisan yang dihasilkan tidak jelas dan sukar untuk dibaca. Selain kertas deluwang, kertas yang diimpor dari luar negara terutamanya dari Barat, seperti Belanda, Perancis, Jerman dan Inggeris. Kertas-kertas impor ini kebanyakannya ditandai dengan cap produksitersendiri yang dikenal anti air.

Makmur Haji Harun, Kastolani 111 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

Manuskrip Nusantara merupakan lambang keintelektualan para cendekiawan bangsa Melayu tempo dulu. Kegiatan penulisan dan penghasilan manuskrip di berbagai bidang bagi mewariskan ilmu dan pengetahuan mereka mengenai sesuatu perkara kepada generasi seterusnya. Antara bidang penulisan manuskrip Melayu yang sering diangkat ialah bidangkeagamaan yang terdiri dari ilmu tauhid, tajwid, fiqih, tasawuf, akhlak, filsafat, sejarah dan lain-lainnya. Manakala dalam bidang tradisi Melayu tempatan pula sering dibahas mengenai hikayat, seni, budaya, perubatan atau tib dan lain sebagainya. Manuskrip adalah nama yang diberikan kepada naskah penulisan yang bertulisan tangan. Manakala tulisan yang sering digunakan dalam penulisan pula adalah tulisan Jawi atau juga sering disebut Armal. Tulisan Jawi ini adalah tulisan yang diadaptasikan dari huruf-huruf Arab dan Parsi sebanyak 30 huruf dengan ditambahkan sebanyak enam huruf bagi membentuk perkataan dan pertuturan yang sesuai dengan bahasa Melayu. Pada abad ke-16 dianggap sebagai zaman perkembangan yang sangat berarti dalam penulisan manuskrip ini selepas masyarakatnya di kawasan Nusantara telah menguasai tulisan sepenuhnya dan diterima bersamaan kedatangan agama Islam itu sendiri di Asia Tenggara. Pada abad ini, ada ratusan malah ribuan manuskrip ditulis di pelbagai daerah di Nusantara, terutama di istana-istana dan pusat-pusat pemerintahan. Sedangkan antara bidang penulisan manuskrip yang sering diketengahkan dalam masyarakatnya adalah mencakupi segala bidang. Koleksi manuskrip Nusantarabertulisan Armal yang diperkirakan berjumlah ratusan bahkan ribuan judul manuskrip yang tulisan tangannya berbahasa Armal dan bahasa-bahasa lainnya. Hal ini telah membuka ruang penyelidikan khusus dalam bidang literatur Nusantara. Antara judul-judul yang sering dirujuk ialah Sulalatus Salatin, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Indera Putera, Panji Semirang, Bsutanul al-Salatin, Bustanul al-Katibin, Taj al-Salatin, Syair Singapura Terbakar dan lain-lainnya. Selain terdapat banyak bukti-bukti sejarah lain seperti artifak-artifak yang dijadikan peninggalan tulisan dan bahasa Nusantara dengan menggunakan gaya seni khat beragam. Peninggalan tersebut baik merakamkan ayat-ayat suci al-Qur’an, hadith, do’a- do’a dan lain sebagainya. Adapun penulisannya tersebut, ada yang ditulis di atas berbagai bahan seperti batu nisan, batu bersurat, dinding-dinding, bangunan, masjid, istana, rumah.Malahan ada juga yang diabadikan di atas kulit, kertas, kain, pedang, senjata, uang, rehal dan lain-lainnya. Adapun jenis-jenis seni khatnya yang terpilih seperti khat kufi, thuluth, nasakh, diwani, farisi, riq’ah, ta’liq dan nasta’liq. Berikut contoh bukti sejarah tersebut sebagaiartifak-artifak penting mengikut huraiannyasecara terperinci seperti di bawah ini: Batu nisan, batu nisan adalah sejenis batu yang banyak dijumpai di makam-makam kuno di Asia Tenggara seperti yang ada di wilayah Aceh, Sumatera. Batu nisan ini diukir oleh orang-orang Aceh sejak abad ke-15 hingga 19 yang akhirnyatersebar luas hampir di seluruh tanah air. Bentuk dan ragam hias batu nisan ini adalah gabungan dari kesenian yang wujud di rantau ini

112 Makmur Haji Harun, Kastolani Analisis Penggunaan Tulisan Jawi (Arab Melayu) dan Kaligrafi dalam Artifak-Artifak Nusantara sebelum kedatangan Islam. Tulisan yang biasanya dipahat mencatatkan tanggal dan nama si mati, petikanayat-ayat al-Qur’an dan puisi bertemakan kematian. Bahkan ada sebagian masyarakat setempat menganggap batu nisan ini sebagai keramat (Hashim Musa, 1998: 13). Ada terdapat dua jenis batu nisan yang dijumpai di Aceh masa itu yaitu yang berbentuk bujur telur biasanya adalah untuk mayat perempuan, bentuk bulat bersegi pula biasanya untuk mayat kaum lelaki. Pada asalnya batu nisan diperbuatdari batu jenis geranit merah yang dibuat oleh tukang di Aceh. Dikatakan juga bahwa kuburan yang terawal menggunakan batu nisan di Aceh adalah makam Sultan Malik al-Salleh pada zaman pemerintahan kerajaan Islam Samudera Pasai yang mangkat pada tahun 1297 M, setelah itu, barulah diikuti makam-makan lainnya di Nusantara. Batu bersurat atau prasasti yang terdapat di Negeri Terengganu, batu bersurat ini menandai awal kedatangan Islam ke Nusantara seawal 1303 M lagi, batu ini tertanggal4 Rajab 702 H bersamaan dengan 22 Februari 1303 M yang merupakan teksberbahasa Melayu pertama ditemui tertulisan dalam ejaan Armal (Jamaludin Idris, 2009: 29), mempunyai bentuk seni khat yang menghampiri gaya khat thuluth, yaitu khat yang dicipta padaabad ke-7 M semasa Dinasti Umayyah. Seni khat ini mencapai pembentukannya yang sempurna terakhir pada abad ke-9 M. Namun gaya khat thuluth ini bergerak ke arah muhaqqaq dan rayhani. Batu bersurat Terengganu adalah berwarna hitam bersisi empat segi, dipenuhi tulisan Jawi setiap sisinya. Sementara tulisan dalam batu bersurat ini terlihat bahwa bentuk tulisannya seperti belum stabil karenaukuran dan bentuk abjadnya masih lagi tidak seimbang. Wan Ali Hj Wan Mamat (1987: 84) menamakan tahap awal tulisan Jawi itu sebagai ”archaic hand” dengan ciri-ciri tulisan yang tidak stabil dengan bentuk dan ukuran abjadnya masih lagi tidak seimbang dengan menggunakan gaya seni khatnya masih lagi tidak tetap dan bahkan tiada hiasan indah sehingga terkesan tidak menarik. Mengandungi pahatan tulisan yang membincangkan tentang undang-undang Allah SWT dan mengandungi hukuman terhadap kesalahan zina serta undang-undang lainnya menyangkut tetang keagamaan seperti utang piutang dan lain-lainnya. Lembaran surat, helaian atau lembaran surat seperti surat Raja Ambon dalam pembuangannya adalah ditulis di Makassar pada tahun 1658 M, tempat raja Ambon Kimelaha Salahak Abdul Kadir dan pengikutnya melarikan diri setelah ditaklukkan Belanda. Kimelaha meminta bantuan East India Company, berdasarkan perjanjian yang dibuat tiga abad lalu. Dengan bahasa yang penuh emosi namun halus, ia juga mengingatkan agar Inggris memperlihatkan martabatnya. Surat ini juga mempunyai bentuk tulisan yang stabil, rapi dan tersusun, dengan gaya tulisan khat nasakh yang terpengaruh oleh gaya khat ta’liq, yaitu jenis khat yang menjadi dituliskan yang sangat menonjol dalam penulisan manuskrip-manuskrip di Nusantara seterusnya. Adapun manuskrip-manuskrip Nusantarapada abad-abad ke-18 dan ke-19 Myang kebanyakan dikaji mempunyai gaya jenis khat nasakh terpengaruh dari jenis khat ta’liq, kecuali satu manuskrip

Makmur Haji Harun, Kastolani 113 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea dari naskahHukum Kanun Melaka yang mempunyai gaya khat ta’liq mirip ke arah nasta’liq.Ada juga satu manuskrip yang mempunyai gaya khat nasakh murni yaituHidayat al-salikinyang dikarang pada tahun 1192 H/1778 M (Naskah yang dikaji tercetak pada tahun1935 M) (Hashim Musa, 1998: 17-18). SedangkanSurat perjanjian jugabanyak ditulis dalam Armal seperti surat jual beli lada yang bertanggal 1600 M, surat perjanjian ini antara Tun Jawa dengan dua seorang kapten kapal Belanda, surat ini mempunyai bentuk tulisan sejenis khat yang mirip ke arah khat nasakh, yaitu tulisan dengan lenggok huruf penuh dan setara di atas atau bawah garisnya, lenggok huruf-hurufnya tidak memanjang ke kiri secara horizontal. Bahkan bentuk tulisannya belum lagi stabil sepenuhnya dari segi ukuran, lenggok garisan dan rupanya, bahkan terdapat pembatalan yang menunjukkan ketidak rapian dalam penulisannya sehingga terlihat kurang cantik. Manuskrip, merupakan dasar penting penyebaran tulisan Armal di Nusantara seperti manuskrip Sulalatul-Salatin (Sejarah Melayu) merupakan karya agung yang cukup hebat ketika ituditulis menggunakan bahasa Melayu dengan bertulisan abjad dan huruf Jawi. Manuskrip Sulalatul-Salatin dikarang oleh Tun Sri Lanang yang sangat dikenali karena karyanya tersebut merangkumi beragam sejarah masyarakat Melayu, Jawa, Brunei, Patani dan Campa. Kebenaran tentang beliau sebagai penulis asal atau sekedar penyunting kitab tersebut tidak dapat dipastikan dengan tepat. Namun menurut Syeikh Nuruddin al-Raniri, ulama dan penasihat agama di Kesultanan Aceh, telah memperakui bahwa Tun Sri Lanang adalah sebagai pengarang dan penyusun manuskrip ini karena beliau kenal rapat dengannya. Manuskrip tersebut telah dapat disiapkan penulisan dan penyuntingannya dalam waktu dua tahun yakni pada tahun1614 M selepas tanggal penulisannya yang dimulai tahun1612 M. Manuskrip ini dinyatakanjuga sebagai satu sumber terkaya dan terlengkap menceritakan mengenai sejarah bangsa-bangsa yang mendiami bumi Nusantara. Bahkan dikatakan bahwaSulalatul-Salatin ada 29 versi, dengan kepelbagaian versinya telah membuatkan kita dapat membaca pelbagai versi tentang sejarah Sultan Mansur Syah yang dilagendakan perkawinannya dengan Puteri Jawa dan Puteri Pahang. Begitu juga dengan peminangan Sultan Mahmud Syah terhadap Puteri Gunung Ledang yang diubah oleh penyalin kepada Sultan Mansur Syah mungkin karena kekagumannya terhadap Sultan Mansur Syah dengan harapan dapat meningkatkan lagi citra Sultan, namun tidak menyedari tentang interpretasi cerita tersebut sehinggadapat mengurangkan kewibawaan seorang Sultan. Antara perubahan lain berlaku dalam manuskrip ini adalah adanya perubahan watak Hang Jebat yang bertarung dengan Hang Tuah telah diubah kepada Hang Kasturi di versi lainnya. Naskahdanteks, merupakan sebuah karya sastra sejarah yang mengandungi asal usul tentang raja-raja Melayu yang memerintah di daerah atau negeri di bumi Nusantara serta membincangkan tentang adat resam dan

114 Makmur Haji Harun, Kastolani Analisis Penggunaan Tulisan Jawi (Arab Melayu) dan Kaligrafi dalam Artifak-Artifak Nusantara budaya negeri tertentu. Seperti naskahMisa Melayu yang ditulis berbentuk prosa dan puisiyang menggunakan tulisan Armal. Misa Melayu ini juga merupakan teks sastra sejarah Melayu yang amat penting karena menceritakan salasilah Raja-raja di Negeri Perak padaabad ke-18 M. Naskahnya mempunyai keistimewaan tersendiri berbanding teks-teks histiografi lainnya, karena isi kandungannya dikatakan tidak mengandungi unsur-unsur mitos dan legenda. Sebaliknya, isi kandungan naskah sepenuhnya merupakan fakta sejarah masa pemerintahan Sultan Mudzaffar, Sultan Iskandar, Sultan Mahmud dan Sultan Alauddin. Pengarangnya adalah Raja Chulan ibn Almarhum Raja Abdul Hamid ibn Almarhum Sultan Mansur Syah. Tiada tanggal tepat mengenai waktu kelahirannya, namun ada pendapat menyebutkan bahwa beliau lahir dan hidup antara tahun 1720-1787 M. Sewaktu era pemerintahan Mudzaffar Syah III (1728- 1752 M), Raja Chulan telah diberi pangkat sebagai Raja Kecil Besar, kemudian dinaikkan pangkat menjadi Raja Bendahara, Negeri Perak. Jabatan terakhir beliau adalah menjadi Raja Muda Perak pada tahun 1773 M dan beliau mangkat pada tahun 1787 M, kemangkatannya dipercayai dibunuh oleh seorang suami yang menuntut bela tetapi ada juga kenyataan menyebutkan bahwa baginda mangkat secara biasa saja (Sanusi Samid, 1986: 193). Mengenai tanggal penulisan naskahMisa Melayu adayang menyebutkan manuskrip ini ditulis pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Zulkarnain di penghujung abad ke-18 M dan selesainya penulisan tahun 1836 M bersamaan 1252 H. Kemudian diperkirakan telah dikitabah dan disalin semula oleh penulis-penulis lainnya sehingga terdapat dua tanggal berbeda darinaskah suntingan R.O. Winstedt mengenai tanggal akhir penulisannya sesuai pernyataan yang berbunyi ... tamatlah Hikayat Misa Melayu ini ... seribu dua ratus lima puluh dua [bersamaan T.M. 1836]. Undang-undang negara, ada juga bentuk peraturan yang bertulisan Armal seperti Undang-undang Laut Melaka, diperkirakan disusun pada tahun1655 M, mempunyai dua bentuk tulisan berbeda versi yang ditulis jelas oleh dua juru tulis berlainan. Bagian awalnya tertulis dalam jenis khat mirip kepada nasakh yang dipengaruhi oleh gaya khat ta’liq. Bentuk tulisannya tidak begitu stabil dan seimbang dari segi ukuran, ruang dan susunannya, lenggok hurufnyapun tidak begitu sempurna bentuknyayang menyebabkan seni khatnya agak tidak beraturan. Bagian akhir manuskrip ini tertulis jenis khat yang menghampiri khat ta’liq, dengan bentuk tulisan agak stabil dan seimbang dari segi ruang dan ukuran abjadnya. Kedua-dua tulisan tersebut kelihatannya ditulis dengan kecepatan yang sangat cepat sehingga terkesan tergesa-gesa. Selain manuskrip tersebut, ada juga manuskrip berbentuk undang-undang, sepertiUndang- undang Melaka atau lebih dikenal dengan sebutanHukum Kanun Melakayang pada mulanya merupakan peraturan tidak bertulis, baru kemudian ditulis atas perintah Sultan yang memerintah ketika itu agar dapat dibaca dengan jelas oleh semua kalangandan tulisan Armalnya menggunakan huruf-huruf Arab yang agak stabil dan sempurna.

Makmur Haji Harun, Kastolani 115 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

Hikayat, merupakan bentuk manuskrip yang dipercayai kitab tertua di dalam kesusastraan Melayu. Ia merupakan hikayat hasil temuan sekitar abad ke- 16 M. Manuskrip berbentuk hikayat ini dipercayai salah satu hasil salinan semula dari tulisan sebelumnya. Yakni Hikayat Raja-raja Pasai yang merupakan karya sastra bersifat sejarah tertua dari zaman Islam di Nusantara. Dalam naskahhikayat tersebut diceritakan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi antara tahun 1250- 1350 M. Zaman ini adalah masa pemerintahan Raja Merah Silu yang kemudian masuk Islam dan mengganti namanya dengan sebutan Malik al-Soleh. Naskah hikayat ini merupakan satu-satunya peninggalan sejarah zaman kerajaan Pasai yang pernah berjaya ketika dulu di Nusantara. Menurut perkiraan Russel Jones hikayat ini ditulis pada abad ke-14 M. Hikayat ini juga mencakup masa dari berdirinya kesultanan Samudera Pasai sampai penaklukan yang dilakukan oleh kerajaan Majapahit. Selain itu, isi dan kandungan dariHikayat Raja-raja Pasai ini menceritakan unsur-unsur legalisasi susunan keluarga memerintah, menyatakan asal-usul sakral keluarga tersebut. Manuskrip syair, tulisan Armal juga ditemui dalam bentuk syair, seperti Syair Singapura Terbakar adalah karya paling tua pernah diciptakan oleh Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi yang lebih dikenal dengan nama Abdullah Munsyi. Karya ini dikatakan ditulis karena adanya kejadian ketika Singapura dimakan api dengan kebakaran besar yang terjadi pada masa kolonial Inggris dan kejadian ini dijadikkan sebagai karya syair tahun 1830 M, ditulis dengan menggunakan huruf Armal yang cantik, namun baru diterbitkan untuk khalayak ramai di tahun 1843 M oleh Mission Press, Singapura berbentuk cop, yakni cop batu Jawi yang disertai cetakan huruf latin. Syair ini ditulis selepas Abdullah Musnyi mengalami kebakaran terbesar di Singapura dan beliau sempat menggambarkan kelakuan menarik manusia bersama dengan gambaran terang mengenai kejadian-kejadian tragis menimpah mereka ketika kejadian kebakaran tersebut. Abdullah Munsyi juga memiliki karya lain yang juga berbentuk puisi. Beliau bercerita dalam syair tersebut mengenai peristiwa kebakaran yang terjadi di Singapura, yaituSyair Kampung Gelam Terbakar ditulis pada tahun1847 M. Sebelum terbitnya satu kajian yang lebih serius oleh Amin Sweeney (2006) terhadap Syair Singapura Terbakar dan Syair Kampung Gelam Terbakar, kedua karya ini sering mengelirukan pembaca. Kekeliruan tersebut terjadi karena edisi-edisi kedua karya tersebut sangat langkah sehingga susah untuk dilakukan pendekomentasian terhadap isi dan kandungan keduanya. Selain itu, kebanyakan sarjana Belanda dan Inggris yang meneliti kedua karya tersebut mendasarkan penelitian mereka kepada deskripsi Abdullah sendiri tentang itu di dalam karya prosanya yang sangat terkenaldan ditulis pada tahun 1845 M. Berikut beberapa contoh gambaran manuskrip dan artifak bertulisan Armal yang dutemu di kawasan Nusantara:

b c

116 Makmur Haji Harun, Kastolani Analisis Penggunaan Tulisan Jawi (Arab Melayu) dan Kaligrafi dalam Artifak-Artifak Nusantara

a b c

Ilustrasi 2: a. Gambar salinan surat Raja Ambon masa dalampembuangan, bertulisan Armal yang stabil, surat ini bertanggal1658 M[Sumber:Hashim Musa, 1998: 17-18]. b. Sekilas gambaran sekeping naskah Syair Singapura Terbakar yang ditulis oleh Abdullah Munsyi menggunakan tulisan Armal standart [Sumber: http://www.manuskripmelayu.com]. c. Contohgambaran naskah manuskrip asal Hukum Kanun atau Undang-undang Melaka[Sumber: Perpustakaan Negeri Melaka (PNM), Melaka, Malaysia].

Pembahasan, Dapatan dan Cadangan Berikut beberapa pembahasan mengenai dapatan kajian yang perlu penulis kemukakan agar perbincangannya dapat dijadikan sebagai bahan dalam membahasanalisis penggunaan tulisan Jawi (Arab Melayu)dan seni kaligrafi dalam artifak-artifak yang tersebar luas di Nusantara, seperti huraian berikut:

Pembahasan

Hasil kajian penulis secara keseluruhannya, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa penggunaan tulisan Jawi (Arab Melayu) dan seni kaligrafi dalam artifak- artifak secara menyeluruh yang wujud di Nusantara sekitar abad ke-18 dan ke- 19, penulis dapati paling banyak digunakan untuk tulisan manuskrip, naskah, teks-teks lama, walaupun didapati juga di tempat lain seperti ukiran kayu, uang, peti, keramik, bangunan, surat, surat perjanjiandan lain sebagainya. Tulisanini juga menjadi tulisan pilihan utama yang digunakan menulis pelbagaimanuskrip di Nusantara pada tersebut karena ia diterima secara meluas sebagai dasar agama Islam. Selain itu, karena ada beberapa faktor. Pertama, tulisan Armal menjadi tulisan dan bahasa perantara antara sesama suku bangsa yang berdomisili di bumi Nusantara.Kedua, dalam pilihan model tulisan masyarakat Nusantara telah menjadikanhuruf Arab sebagai bentuk tulisan pilihanuntuk menjadi tulisannya walaupunmereka perlu menambahkanenam huruf tabahan lagi sebagai pelengkap mewakili lisannya orang Melayu. Ketiga, seperti yang kita ketahui, bahwa memang sukar mendapatkan tenaga ahli yang mahir untuk menuliskan Jawi atau seni kaligrafi ini, namun jenis tulisan ini tetap diutamakan juga oleh penulis-penulis setempat karena pengaruh keberkahan yang mereka

Makmur Haji Harun, Kastolani 117 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea rasai di dalamnya sebab ia bersumber dari al-Qur’an, al-Hadis, pepatah Arab dan kata-kata hikmah. Kemudian keempat, kecendrungan peminat tulisan Armal yang tidak terlalu banyak di bumi Nusantara tetapitulisan ini menjadi jenis tulisan yang didukung oleh keindahan huruf seni kaligrafi yang menjadi sumber kesenian Islam tersebut, maka ia tetap menjadi satu khazanah yang sangatbernilai harganya sampai akhir zaman. Kelima, tulisan Armalini selain dipengaruhi oleh huruf Arab, ia juga didukung dengan seni khat sangat populer kehalusan seninya yang berasal dari bumi Asia Barat, selain bentuknnya berwibawa, coraknya bersusun-susun, memiliki segi estetika menarik, memaparkan motif keindahan kaedah menakjubkan. Tetapi betapapun indahnya tulisan seni khat ini, ia tetap mendatangkan kesukaran kepada orang yang tidak biasa dengan selok belok kaligrafi tersebut yangmemerlukan keahlian khusus dalam menulisnya. Keenam, untuk memasyarakatkan penggunaan tulisan Armal dan kaligrafi ini, maka masyarakat Nusantara perlu banyak menggunakan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadis sebagai bahan bacaan dan tulisan mereka. Selain berpahala ketika membaca dan mentilawahnya, tetapi juga menjadi pedoman hidup bagi masyarakatnya. Selain itu, ketujuh bagi umat Islam di bumi Nusantara, demi menambahkan lagi variasi seni kaligrafi dan tulisannyamaka perlu juga membiasakanuntuk membaca karya-karya warisan khazanah lama agar karya- karya tersebutdapat menggugah hati para pembacanya.Kedelapan, sebagai tujuan estetika, tulisan Armal dan seni kaligrafi perlu dipelbagaikan gaya dan bentuk seninyaseperti digunakan untuk menghasilkan karya ukiran kayu sebagai karya, karena karyaukiran terutama ukiran jati merupakan kayu keras dan tahan lama untuk sesebuah ukiran, namun mudah untuk diukirtetapi sangat mahal harganya. Oleh karena itu, adanyatulisan ini yang diperkaya dengan kreativitas seni kaligrafi Islam sebagai bahan utama dalam karya tulisan berbagai artifak di Nusantara, diharapkan juga agar dapat menjadi penentu kemajuan seni dan budaya masyarakatnya dari waktu ke waktu selain tetap menjaga nilai-nilai luhur, adat dan istiadat bangsa, agama dan negara.

Dapatan Dapatan kajian ini diharapkan dapat memaparkan analisis mendalam mengenai karya-karya tulisan Jawi (Arab Melayu) dan seni kaligrafi Islam yang banyak digunakandalam menghasilkan pelbagai karya seni dan artikfak yang mencakupi manuskrip, naskah, teks, ukiran kayu, dan lain sebagainya selain mampu menjadi salah satu wacana ilmu yang dapat mengungkapkan kekayaan khazanah dan warisan seni tulisan dalam masyarakat Islam di Nusantara. Oleh sebab itu, maka hasil karya tulisan dan seni ini lebih banyak memaparkan penggunaan jenis-jenis seni khat terpilih yang biasanya sengaja digunakan untuk menulis ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadis atau artifak-artifak lama sebagai aspek terpenting tulisan dan hiasannya. Hanya sayang sekali karya tulisan Armal ini

118 Makmur Haji Harun, Kastolani Analisis Penggunaan Tulisan Jawi (Arab Melayu) dan Kaligrafi dalam Artifak-Artifak Nusantara masih tidak banyak peminatnya dalam masyarakat setempat, terutama yang mau menjadikannya sebagai bacaan utama jika dibandingkan dengan huruf latin baik di kantor, sekolah, rumah, kediaman, pondok pesantren dan lain- lainnya. Padahal karya-karya tulisan Armal tersebut sudah pernah populer penggunaanya di Nusantara ketika dulu terutama pada abad ke-17, 18 dan ke-19. Selain itu, keberadaan tulisan Armalini digunakan menjadi petikan ayat-ayat bersumber asli darial-Qur’an dan al-Hadis, bentuknya yang sangat menarik, coraknya sesuai dijadikan sebagai hiasan berciri khas seni budaya setempat. Selain itu, karya-karya tulisan Armal dan seni kaligrafi ini jugamampu menampilkan corakseni warisan masyarakatnya yangbernilai tinggi perlu terus dilestarikan sehingga kapanpun, baik dalam bentuk ukiran di dinding-dinding masjid, sekolah, kantor, mimbar, mihrab, rehal, dan lain sebagainya. Malahan dalam hal ini kesan atau faedah seninya semakin terasa bagi masyarakat Islam yang senantiasa menjunjung tinggi seni budaya setempat. Sedangkan proses penulisan Armal dan kaligrafi tidak semestinya mengetengahkan bahan-bahan karya yang mahal semata-mata, tetapi perlu juga memunculkan bahan karya yang agak murah selama terjaga kualitas dan kuantitasnya sebagai tulisan diperlukan oleh masyarakatnya. Selain itu, perlu tetap terus menjaga ketelitian tulisannya dan harus senantiasa menjaga kaedah yang digunakannya dalam penulisan. Barangkali dengan menjaga ini semua akan terhasilkan karya-karya tulisan berwibawa di masa akan datang. Sedangkan para penulisArmal dan kaligrafi yang telah berjasa mencipta kreasi tulisan indah ini akan tetap dicatat sebagai pengisi sejarah dalam hidup mereka dan masyarakatnya. Walaupun mereka ini, ada yang sebagian hidup sederhana dan pas-pasan, ada juga yang terkenal dan ada pula yang kurang dikenal, malah mungkin banyak lagi yang tidak diketahui siapa penulisnya. Adapun dapatan lain, terutama realisasi penerapan tulisan Armal yang ditemui di pelbagai bentuk, tempat, corak dan bahan-bahan lainnyayang dapat diabadikan di berbagai mediadan bahan telah digunakan oleh orang Melayu dan masyarakatnya di Nusantara. Di antaranya seperti poster, mata uang, uang logam, uang kertas, duit emas, cop mohor, surat pelantikan, surat sumpah, surat ikrar, permasyhuran kemerdekaan, surat kepada penduduk-penduduk tanah Melayu, surat watikah, pingat kejuaraan, darjah kebesaran, ahli mangku negara, panglima mangku negara, johan mangku negara, johan setia mahkota, piring, piring keramik bergelasir, piring besar, keramik, cangkir, teko, potbunga berhias, pot bunga Cina, pot bunga, tempat sirih, piring keramik bergelasir, piring tembaga, kendi tanah, kendi tembaga, kotak barang perhiasan, peti kayu, gantang, dulang besar, pundi, tempat perasapan, periuk tembaga, sarung keris, mata keris, meriam lela, lembing, tombak, pedang, pedang Turki, senjata, senapan, kain batik, kain hias bertulis, kain selendang, baju sulaman, baju sadariah, kain limar, bendera, lambang negeri atau negara, logo, pintu, tiang, peralatan ilmu falak, ukiran perahu, kayu ukir, rehal, kotak nelayan, lemari, pintu gerbang,

Makmur Haji Harun, Kastolani 119 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea gapura, panel ukiran, panel penanda perahu, keranda mayat, bingkai photo dan lain sebagainya.

Cadangan Berikut beberapa pembahasan lanjut sebagai cadangan yang perlu penulis kemukakan agar dapat dijadikan sebagai bahan memajukan tulisan Jawi (Arab Melayu) dan seni kaligrafi di Nusantara.Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa hampir semua Provinsi dan Negeri tidak hanya di Indonesia dan Malaysia, kalau mengikut perancangan pemerintah terutama kurikulum yang sudah diterapkan di sekolah-sekolah agama di Malaysia, maka tidak mustahil akan dapat melahirkan penulis-penulisArmalyang handal bercirikan adat dan tradisi Nusantara, tetapi dengan tetap komitmen harus terus menerapkan tulisan Arab dan seni kaligrafi ini di sekolah-sekolah agama dan umum.Selain itu, diharapkan juga negara Malaysia dan Brunei Darussalam agar dapat menjadi ikutan oleh daerah-daerah lain di Indonesia sehingga di negara-negara ASEAN lainnya dalam menerapkan penggunaan tulisan Jawi secara meluas oleh semua lapisan masyarakatnya.Perlunya penerapan tulisan Armal dan seni kaligrafi atautulisan huruf Arab di berbagai tempat dan bahan, agar dapat mengangkatnyamenjadi khazanahwarisan yang berharga dan bernilai tinggi oleh semua kalangan. Selain dicadangkan juga agar dapat memantau kegiatan penulisan dan pengkaryaan supaya semua perhiasan dan tulisan yang dibuat semuanya betul dan menarik terhindar dari sebarang kesalahan sehingga mampu memberikan kesan luaran dan dalaman bagi pecintanya. Selain itu, harus terus dielakkan karya-karya tersebut dari ‘asal jadi’ dengan cara perlu terus mencari penulis dan kaligrafer yang betul-betul berbakat dan menguasai kaedah penulisan khat dan Arab yang betul. Mengharapkan juga kepada para pengajar dan peminat muda untuk lebih meningkatkan lagi kemahiran penulisan Armal dan penulisan kaligrafinya, dimulai dari tingkat SD, SMP, SMA sehingga perguruan tinggi dan dewasa. Perlu senantiasa memilih ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadis yang dipelbagaikan lagi kecantikan kaligrafinya. Sekiranya menggunaan ejaan Arab penggunaannya perlu dipastikan betul, khususnya menyangkut nama masjid, sekolah, pondok pesantren, universitas dan lain sebagainya kemudian aktivitas penulisan ini perlu terus dipertandingakan dan dilestarikan sampai kapanpun.

Rumusan

Pendalaman mengenai tulisan Jawi (Arab Melayu) dan seni kaligrafi yang berkembang dari waktu ke waktu, selain mengetahui pertumbuhannya, juga perlu mengetahui penerapan dan aplikasinya dalam berbagai bahan atau benda yang mencakupi segala aspek kehidupan masyarakatnya di Nusantara. Melalui pembahasan dalam makalah ini diharapkan dapat mengungkap mengenai realisasi tulisan Armal dan seni kaligrafi di Nusantara yang berasal

120 Makmur Haji Harun, Kastolani Analisis Penggunaan Tulisan Jawi (Arab Melayu) dan Kaligrafi dalam Artifak-Artifak Nusantara dari warisan khazanah nenek moyang mereka. Selain itu, dapat melihat bagaimana pengaruh dan perkembangan tulisan ini yang ada pada naskah atau teks sebagai penerapan bahasa lokal digunakan menjadi alat komunikasi dalam komunitas masyarakatnya sebagai orang Melayu untuk berinteraksi antara satu dengan lainnya, karena bahasa tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan tulisan itu sendiri apalagi ia sering menunjukkan sebagai identitas bangsanya sejak berzaman lamanya. Malahan dengan adanya penerapan bahasa Melayu dan tulisan Armal sebagai tulisan yang menjadi kunci perkembangan ilmu sosio budaya yang digunakan sebagai alat menggambarkan seni budaya sesuatu masyarakat melalui naskah, teks dan manuskrip mereka. Oleh karena itu, untuk memahaminya dengan baik dan sempurna, maka perlu pengetahuan sejarah perkembangan bahasa dan tulisan itu sendiri agar dapat mengenal penerapannya di kawasan yang menjadi tempat kajiannya yakni di Asia Tenggara. Sedangkan faktor kebahasaan tersebut juga menjadi satutantangan ter­ sendiri yang sangat menarik untuk dibicarakan dalam makalah ini, karenadalam membahas sebuah bahasa akan erat kaitannya dengan tulisan yang sering menjadi pengangan utama sesebuah bangsa dan negara yang berperadaban. Kemudian pembahasan yang menjadi tumpuan kajian makalah ini di antaranya ialah faktor pengembang dan aplikasi kreasi tulisan Armaldi berbagai bahan, naskah dan manuskrip yang dijumpai di bumi Nusantara. Selanjutnya perbincangan mengenai sejarah kreasi dan realisasi penerapan tulisan Armal dan seni kaligrafi Islam yang penggunaannya beragam dalam berbagai seni warisan Asia Tenggara, seperti: Batu nisan, batu bersurat Terengganu, lembaran surat, manuskrip, surat perjanjian, naskah-naskah, undang-undang negara, hikayat, syair-syair, dan penerapan tulisan Jawi di berbagai bentuk, tempat, corak, dan bahan-bahan lainnya serta lain-lain bentuk seni warisan bangsa Nusantara. Semoga kesemua pemaparan tersebut dapat memberikan pengetahuandan pengalaman penting dari sekian banyak kekayaan khazanah budaya masyarakatnya.

Referensi

Al-Qur’an dan Terjemahannya. (1986). Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia. A. Halim Ali & Norazimah Zakaria. (2017). Serat wajah histiografi Melayu.Tanjong Malim: Institut Peradaban Melayu. Ab. Razak Ab. Karim. (2003). Melestarimanuskrip Melayu. Kuala Lumpur: Per­ pusta­kaan Negara Malaysia. Abd. Rahman Hamzah. (2008). Khat & Jawi mutiara kesenian Islam sejagat. Johor: UTM Press. Abdul Ghani Samsudin.et.al. (2001). Seni dalam Islam. Petaling Jaya: Intel Multi­ media dan Publication.

Makmur Haji Harun, Kastolani 121 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

Abdul Hadi. WM.et.al. (1995). Seni rupa kontemporer Istiqlal. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal. Abdul Karim Husain. (1971).Seni kaligrafi khat nasakhi: Tuntunan menulis halus huruf ’Arab dengan metode komparatif. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya. Ahmad Shah Mohd. Noor. (1977). Hikayat raja-raja Pasai. Penyelenggaraan A.H. Hill: Suatu Analisa. T.tp. Ali Akbar. (1995). Kaedah menulis kaligrafer & karya-karya master. Jakarta: Pustaka Firdaus. Amat Juhari Moian. (1996). Perancangan bahasa: Sejarah aksara Jawi. Kuala Lumpur: Dewan bahasa dan Pustaka. Anas Hj. Ahmad. (1984). SasteraMelayulamadanbaru. Selangor: Syarikat Cahaya. Asma Hj. Omar. (1991). Bahasa Melayu abad ke-16: Suatu analisis berdasarkan teks Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Bayard Dodge. (ed. dan terj.). (1970). The fihrist of al-Nadim: A Tenth century survey of Muslim culture. London: Columbia University Press. C. Israr. (1985). Dari teks klasik sampai ke kaligrafi Arab.Jakarta: Yayasan Masagung. Dewan Bahasa dan Pustaka. (1988). Daftar ejaan rumi-Jawi. Kuala Lumpur: DBP. Didin Sirajuddin, AR. (1985). Seni kaligrafi Islam.Jakarta: Pustaka Panjimas. Didin Sirojuddin, AR. (1992). Dinamika kaligrafi Islam.(Terj). Jakarta: Darul Ulum Press. Didin Sirojuddin, AR. (1994), Potret dan potensi pengembangan seni kaligrafi Islam di Indonesia.Jakarta: LPTQ Nasional. Didin Sirajuddin, AR. (1995). Sekeliling kaligrafi. Seni kaligrafi al-Quran dan usaha pengembangan di Indonesia. Jakarta: LEMKA, UIN Syarif Hidayatullah. Didin Sirojuddin, AR.(1995), Kaligrafi dalam karya lukis Indonesia mutakhir di antara modifikasi gaya kaligrafi tradisional.Sarasehan Kaligrafi Islam SCTV. Jakarta: Taman Ismail Marzuki. Didin Sirojuddin, AR (2007).Koleksi karya master kaligrafi Islam.Jakarta: Darul Ulum Press. Ekadjati, Edi Suhardi. (1999). Katalog induk naskah-naskah Nusantara jilid 5A: Jawa Barat koleksi lima lembaga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ensiklopedi Islam. (1994). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Faridah binti Che Husain. (2000). Seni kaligrafi Islam di Malaysia sebagai pencetus tamadun Melayu Islam. (Thesis Sarjana, Fakulti Sastra dan Sains Sosial, Universiti Malaya, Kuala Lumpur). Fauzi Salim Afifi. (2002). Cara mengajar kaligrafi, pedoman guru. Jakarta: Darul Ulum Press. Gallop, Annabel T., (1994). The legacy of the Malay letters: Writing traditions of Indonesia. London: The British Library.

122 Makmur Haji Harun, Kastolani Analisis Penggunaan Tulisan Jawi (Arab Melayu) dan Kaligrafi dalam Artifak-Artifak Nusantara

Ghazali Darusalam. (2001). Sumbangan sarjana dalam tamadun Islam. Kuala Lum­ pur: Utusan Publication and Distributors Sdn. Bhd. Hamzuri. (1989). Batik klasik. Yogyakarta: Djambatan. Hasan Muarif Ambary. (1998), Menemukan peradaban jejak arkeologis dan historis Islam Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Hasan Qasim. (1990).Jamaliah khat al-naskhi.Beirut: Dar al-Qalam. Hashim bin Awang (ed.). (1992). Sesaka VII. Terengganu: Lembaga Museum Negeri Terengganu. Hashim Musa. (1999). Sejarah perkembangan tulisan Jawi. Kuala Lumpur: DBP. Ibnu Khaldun. (T.th). Muqaddimah. Mesir: Mustafa Muhammad. Jld 1. Ibrahim Saad. (1974). Kesusateraan Melayu: Satu pengenalan. Kuala Lumpur: Utusan Melayu. Ilham Khoiri. (1999). al-Qur’an dankaligrafi Arab.Jakarta: Logos. Ismail Hamid. (1985). Peradaban Melayu dan Islam. Kuala Lumpur: Fajar Bakti. Ismail Hussein (1984). Sejarah pertumbuhan bahasa kebangsaan kita. Kuala Lumpur: DBP. Isma`il Raji al-Faruqi dan Lois Lamya` al-Faruqi. (1986). The cultural atlas of Islam. New York: Macmillan Publishing Company. Jainal Sakiban. (2005). Seni khat: Keindahan dalam kepelbagaian sejarah, tokoh dan karya.Kajang Selangor: Synergymate. Jones, Rusell, ed. (1987). Hikayat raja Pasai. Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti. Kamal Ariffin. (1981). Ikhtisar sejarah sastera Melayu klasik dan moden. Kuala Lumpur: BTC. Publishing House. Kamil Baba. (1983). Ruh al-khat al-’Arabi. Beirut: Dar al-Ilm wa al-Malayin. Kang Kyoung Seouk. (1990). Perkembangan tulisan Jawi dalam masyarakat Melayu. Kuala Lumpur: DBP. Kamus besar bahasa Indonesia. (1988). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kamus Dewan (edisi baru). (2010). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Mahmud Buchari. (1985). AD. Pirous. Bandung: Galeri Decenta. Makmur. (2006). Seni kaligrafi Islam Jambi: Satu kajian kes. (Thesis Sarjana, Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor). Makmur. (2011). Sejarah perkembangan seni khat di Nusantara: Kajian perbandingan di museum kesenian Islam Malaysia dan yayasan restu (Malaysia) dengan lembaga dan pondok kaligrafi al-Qur’an LEMKA (Indonesia). (Thesis P.hD, APIUM, Kuala Lumpur). Manja Mohd. Ludin, A. Suhaimi Hj. Mohd. Nor. (1995). Aspek-aspek kesenian Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Makmur Haji Harun, Kastolani 123 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

Martin, B. et.al. (T.th). Belajar melukis batik. Yogyakarta: Nurcahaya. Maria Indra Rukmi. (1997). Penyalinan naskah Melayu di Jakarta pada abad XIX. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Mohd Taib Osman. (1972). Laporan naskhah-naskhah dan alatan-alatan budaya Melayu di beberapa pusat pengajian di Great Britain dan Jerman Barat. T.tp. Molen, W. Van der. (1985). Sejarah perkembangan aksara Jawa. Yogyakarta: Javanologi. Muhammad Bukhari Lubis dan Ali Haji Ahmad. (2006). Transliterasi kata Arab- Parsi-Turki. Kuala Lumpur: Utusan Publication & Distributors Sdn. Bhd. Muhammad Bukhari Lubis, Makmur Haji Harun dan Alizah binti Lamri. (2013). Jawi: Warisan warga Alam Melayu. Tanjong Malim: Penerbit Mentari. Muhammad Yusuf Hashim. (1988). Persejarahan Melayu Nusantara. Kuala Lumpur: Teks Publishing Sdn. Bhd. Mustafa Haji Daud. (1990). Tamadun Islam. Kuala Lumpur: Utusan Publications dan Distributors Sdn. Bhd. Nabilah Lubis. (2001). Naskah, teks dan metode penelitian filologi. Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia. Nik Hassan Suhaimi. (2000). Kesenian Melayu: Roh Islam dalam penciptaan. Mohd Taib. T.tp. Oloan Situmorang. (1988). Seni rupa Islam pertumbuhan dan perkembangannya. Bandung: Angkasa. Othman Mohd. Yatim. (1989). Seni khat warisan Islam. Kuala Lumpur: DBP. Perpustakaan Negara Malaysia. (1984). Bibliografi dalam bibliografi manuskrip Melayu. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia. Pusat Dakwah Islamiyah.( 2005). Brunei Darussalam: Pejabat Ugama Brunei Darussalam. Sanusi Samid. (1986). Sejarah Melayu sebagai satu sumber sejarah, (Zahrah Ibrahim). Sastera sejara interpretasi dan penilaian. Kuala Lumpur: DBP. Sayyed Hussein Nasr. (1987). Spiritualitas dan seni Islam. Bandung: Mizan. Sidi Gazalba. (1977). Pandangan Islam tentang kesenian. Kuala Lumpur: Pustaka Antara. Soebadio, Haryati. (2010). Penelitian naskhah lama Indonesia. Jakarta: Buletin Yaperna. Suryani NS, Elis. (2006). Teori filologi (Diktat kuliah). Bandung: Fakulti Sastera Unpad. Sutrisno, Sulastin. (1983). Hikayat Hang Tuah: Kajian struktur dan fungsi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Syahruddin. (2004). Kaligrafi al-Qur’an dan metodologi pengajarannya.Jakarta: Sabit Pluss.

124 Makmur Haji Harun, Kastolani Analisis Penggunaan Tulisan Jawi (Arab Melayu) dan Kaligrafi dalam Artifak-Artifak Nusantara

Syed Muhammad Naguib al-Attas. (1972). Islam dalam sejarah dan kebudayaan Melayu. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia. Teuku Iskandar. (1995). Kesusasteraan klasik Melayu sepanjang abad. Brunei: Penerbit UBD. Vlatseas, S. (1990). A history of Malaysian architecture. Kuala Lumpur: DBP. Wan Ali Wan Mamat. (1988). Pemuliharaan buku dan manuskrip. Kuala Lumpur: DBP. Yasin Hamid Safadi. (1979).Islamic calligraphy. Colorado: Shambhala. Zainal Abidin Ahmad (Za’ba). (1949). Daftar ejaan Jawi. Tanjong Malim: Pejabat Karang Mengarang Sultan Idris Training College. Zainul Muttaqin. et.al.(1992). Seni kaligrafi kontemporer.Gontor: Darussalam Press. Zakaria Ali. (1994). Islamic art in southeast Asia. Kuala Lumpur: DBP. Berita [email protected] Idris, Khamis, 24 Desember 2009. Buku Cendermata. (1981).PameranSultanTerengganu.Kuala Terengganu: Lembaga Museum Negeri Terengganu. Buku Cenderamata. (1981). Pameran pertandingan seni khat. Kuala Terengganu: Lembaga Museum Negeri Terengganu. Brosur Peraduan Seni Khat. (2009). Manifestasi perdana seni khat. Kuala Lumpur: MKIM. Kompas, Ahad, tanggal, 21 Juni 2009. Syaiful Adnan.(3Juni 1995).Potensi kaligrafi(ragam).Jakarta: Gatra. The British Library and British Council. (1990).Surat-surat emas raja-raja Nusantara dari koleksi Inggeris. Jakarta: Yayasan Lontar dan Depart Pariwisata, Pos dan Telekom. Masjid Pondok Pesantren LEMKA, Kota Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, tanggal, 28 Juni 2009. Muzium Bayt al-Qur’an, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, DKI Jakarta. Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, DKI Jakarta, 16 Juli 2016. Pameran Kesenian Islam Museum Negara.Kuala Lumpur.Desember-Januari, Tgl, 24/12/2009. http://www.google.com, Kesenian Islam dalam Negara, tanggal, 9 Januari 2016/13 Juni 2017. http://www.galeri-nasional.or.id/koleksi., tanggal, 15 Maret 2017. http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/amang.html, tanggal, 13 April 2017. http://www.suarakarya-online.com, tanggal, 15 Maret 2017.

Makmur Haji Harun, Kastolani 125 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea http://[email protected], tanggal, 15 Maret 2017. http://[email protected], Kompas Online, Ahad, tanggal, 6 April 1997. http://www.lemka.net/2014/09/ust-isep-misbah-ajarkan-metode-belajar.html. http://www.noqtahcalligraphy.indonetwork.co.id/24/3/2011. http://www.tabloidmarifat.blogspot.my/2010/11/kumpulan-kaligrafer- penebar-siar-islam.html. http://www.islamicart.com/main/calligraphy/origins.htm. http://www.panduankaligrafi.com., tanggal, 23Januari 2010.

126 Makmur Haji Harun, Kastolani DRAMA MELAYU TRADISIONAL: Satu Kajian Bentuk dan Struktur Penulisan Skrip Makyong

Mohd Amir Bin Mohd Zahari Jabatan Bahasa Dan Kesusasteraan Melayu Fakulti Bahasa Dan Komunikasi Universiti Pendidikan Sultan Idris , Malaysia

Abstrak

Makyung merupakan satu permainan drama muzikal yang menjadikan alat hiburan pada zaman dahulu. Selain itu juga, persembahan makyung adalah bertujuan alat perantaraan teknik perubatan tradisional. Maka, wujudnya elemen- elemen ritual dengan menyeru “bantuan” daripada pihak ketiga. Ceita Makyung ini mempunyai struktur dan gaya tersendiri.Justeru itu, Objektif kajian ini ialah gaya penulisan skrip makyung yang telah dihasilkan oleh aktivis dan ciri-ciri komponen yang membentuk dan struktur penulisan skrip Makyung. Sebanyak 10 buah naskah teks Makyung yang akan di analisis serta dikategorikan dalam skrip Makyung yang telah dipentaskan di beberapa panggung sebagai sumber data. Selain itu pengkaji akan mengadakan sesi temubual bersama empat (4) orang aktivis iaitu ahli akademik dan juga dari Jabatan Kebudayaan Keseniaan bagi mendapatkan maklumat agar dapatan menjadi lebih kukuh.

Kata kunci: Makyong, Skrip Makyong

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 127 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

Pendahuluan

enurut yang terdapat dalam kamus Dewan, Mak Yong adalah MSandiwara yang mempertujukkan cerita digabungkan dengan tarian dan nyanyian sekaligus (Dr. Teuke Iskandar, 1989:791). Makyong juga dalam erti kata lain sebagai salah satu bentuk dramatari Melayu dimana mengabungkan unsur-unsur ritual, lakonan, nyanyian. Terdapat juga muzik, vokal, lagu instrumental, cerita atau teks percakapan yang formal dan bersahaja

Sejarah dan Perkembangan Makyong

Mubin Sheppard (1972:5-11) Makyong is oldest from of malay drama and has been perform in Pattani and Kelantan for hundred. . Mak yong merupakan sebuah dramatari melayu yang berkembang di negeri Kelantan di Malaysia. Ia merupakan satu kombinasi dari unsur-unsur tarian, muzik, drama dan komedi yang dipentaskan secara teater ke1iling (Makyung, Siri mengenal budaya 112003). Mak Yong berasal dari Patani, sebuah Negara Melayu lama yang terletak di kawasan selatan Thai (Ghouse, 2009) Ketiadaan bukti-bukti yang bertulis secara formal mengenainya menyukarkan penentuan sejarah asal usul makyong. Oleh yang demikian banyak pandangan dan teori-teori kedatangan asal usul makyong yang telah diusulkan oleh pengkaji-pengkaji aktivis teater makyong. Mana Sikana (2006:5) mengatakan Makyong yang berkembang di Kelantan yang berasal dari Selatan Thailand (Pattani). Bukti tersebut telah dikukuhkan lagi dengan fakta geopolitik dan etnografi sejak 400 tahun dahulu daerah Pattani memang terletak di bawah penaklukan Sultan Kelantan.

Objektif Kajian

1. Mengenalpasti bentuk komponen pembentukan teks Makyong 2. Membina satu bentuk pelarasan gaya penulisan naskah Makyong 3. Menganalisis struktur penulisan skrip Makyong abad ini.

Penulisan Skrip Makyong

Enam elemen pembentukan teks dramatik Aristotle iaitu plot, watak, pemi­kiran, diksi, muzik, dan kesan visual Fazilah Husin (2007). Jika dilihat enam elemen tersebut, pembentukan sesebuah naskah perlu ada elemen tersebut. Justeru itu, dalam tinjuan yang dijalankan oleh pengkaji terhadap skrip dan pementasan makyong ternyata mempunyai elemen-elemen tersebut. Walaubagaiman pun gaya penulisan teks Makyong belum dikembangkan atau didokumentasikan.

128 Mohd Amir Bin Mohd Zahari Drama Melayu Tradisional

Semenjak bermulanya kesenian makyong terkenal pada tahun 400 tahun dahulu, tiada penulisan yang dibukukan atau didokumentasikan bagi tujuan pengajaran di mana-mana insitusi. Oleh yang demikikan, cerita Makyong merupakan sebuah hasil sastera rakyat Cerita-cerita Makyong yang telah dihasilkan dan juga dipentaskan adalah sebuah hasil sastera rakyat yang diperturunkan melalui lisan. Ini bemakna cerita tersebut adalah berkisar mengenai rakyat- rakyat dan juga berkaitan dengan golongan di istana. Ini jelas kelihatan kerana setiap kali pementasan terajunya adalah Raja, permaisuri dan seterusnya rakyat jelata. Menurut Zulkifli Mohamad (2012), proses penyebarannya cerita-cerita lisan tersebut, ianya mengalami pindaan dan tokok tambah pada jalan cerita, teks dan juga tajuk. Menurutnya lagi, Sehingga di abad ini masih belum dapat dikenal pasti beberapa lamakah cerita-cerita Mak Yong yang dipersembahkan telah wujud. Ghulam Sarwar merupakan orang yang bertanggungjawab dalam menghasilkan skrip makyong. Sejumlah 12 cerita himpunan telah disiapkan dan ada setengah cerita telah pun dipentaskan. Berikut adalah separuh senarai cerita- cerita Makyong yang terdapat dalam catatan pengkaji terdahulu iaitu Anak Raja Gondang, Dewa Muda, Dewa Sakti, Bongsu Sakti, Anak Raja Tangkai Hati, Raja Muda Laleng, Raja Muda Lembek, Cerita Tuan Bijak Laksana. Dalam proses penyebarannya ia mengalami pindaan dan tokok tambah pada jalan cerita, teks dan juga tajuk. Sehingga kini masih belum dapat dikenal pasti berapa lamakah cerita-cerita Mak Yong yang dipersembahkan telah wujud. Kesukaran juga dihadapi dalam usaha menyenaraikan tajuk cerita-cerita Mak Yong kerana terdapat tajuk yang berlainan tetapi mempunyai isi cerita yang sama. Walaubagaimanapun cerita-cerita Mak Yong adalah sebenarnya berada dalam lingkungan atau rumpun yang sama. Persembahan Mak Yong biasanya berlanjutan tiga hingga lima malam. Ini menepati salah satu ciri sastera rakyat. Ia juga boleh dianggap sebagai penglipur lara. Pada abad ini setelah wujudnya insitusi-insitusi pengajian tinggi yang ada pengajian tentang seni teater tradisional, maka khazanah skrip dan cerita makyong telah dikumpulkan. Walaubagaimana pun, kajian yang terperinci­ mengenai penulisan naskah makyong masih belum diketengahkan oleh penyelidik atau tenaga akademik di Malaysia Khususnya. Begitu banyak per­ soalan yang bermain dikepala saya tentang corak penulisan skrip makyong. Me­ nurut aktivis-aktivis makyong yang terkenal di Kelantan, mereka memberitahu pada zaman dahulu cerita-cerita tersebut dimainkan secara spontan dan majoriti mereka adalah golongan yang tidak tahu menulis dan membaca. Menurut Mana Sikana (2006:472), menyatakan dalam sebuah drama tradisional Makyong, per­ sembahannya bertitik tolak daripada aksi lakonan, tarian, muzik dan nyanyian.­ Konteks persembahannya terdapat pencerita, adegan, dan babak yang disusun secara sistematik dan tersusun.

Mohd Amir Bin Mohd Zahari 129 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

Perkembangan Penulisan Skrip Makyong

Penulisan naskah tersebut diusahakan oleh Ghulam Sarwar-Yousuf (Profesor) semasa beliau membuat kajian doktor falsafahnya dengan merakam­ kannya daripada cerita yang diberikan oleh Khatijah Awang, primadona genre ini. Pementasan mak yong oleh Norzizi menuruti sebahagian besar pecahan babak dalam persembahan genre ini dalam bentuk asal secara tradisinya. Penulisan naskah makyong ini dikatakan telah terdapat elemen-elemen kontemporari dalam naskahnya. Ini juga dipengaruhi dengan kehendak penonton yang mahukan pembaharuan. Pementasan Makyong mengambil masa dalam tempoh satu jam atau dua jam. Pengarah tidak mahukan jalan cerita itu bosan dan perlu ditambahkan unsur-unsur komedi.Kenyataan ini telah disokong oleh Pn Jumilah Tahir (2017). Persembahan Makyong Anak Raja Gondang oleh beliau yang diteliti ini menggunakan teks bertulis bertulis. Teks asal yang digunakan oleh beliau itu pernah dipersembahkan oleh Khatijah Awang yangdiwarisi daripada ibunya Che Kemala. Naskah teks tersebut adalah dalam simpanan Akademi Seni Kebangsaan yang digunakan sebagai mata kuliah kepada pelajar mak yong di akademik tersebut. Penulisan naskah tersebut diusahakan oleh Ghulam Sarwar- Yousuf (Profesor) semasa beliau membuat kajian doktor falsafahnya dengan merakamkannya daripada cerita yang diberikan oleh Khatijah Awang primadona genre ini.

Kaedah Lakonan Makyong: Improvisasi

Menurut Samat Salleh (2003) dalam Journal of Arts Discources mengatakan dalam kajiannya hampir semua bentuk seni teater tradisional bermula dengan improvisasi. Ini termasuk juga dengan cerita-cerita epic naratif yang bermula dengan cerita lisan dan jug acara lakonan yang diimprovisasikan. Bagi di Malaysia telah lama melakukan improvisasi dalam teater telah lama diamalkan. Terutamanya dalam teater tradisional tempatan begitu kaya dengan lakonan improvisasi. Kenyataan ini diakui oleh Samat Salleh (2003) teater tradisional tidak mempunyai skrip atau naskah yang digunakan. Oleh demikian dalam aspek lakonan mereka melakukan dalam bentuk improvisasi, Persembahan makyong mempunyai “hukum” nya tersendiri iaitu struktur persembahannya. Dalam persembahan Makyong ini, terdapat selitan dialog-dailog di antara ucapan dan nyanyian oleh pelakon Makyong untuk melengkapkan persembahan makyong ini. Antara strukturnya adalah dimulai dengan Bertabuh, mengadap rebab, Raja atau Pak Yong keluar dan berdialog dengan Mak Yong,Pak Yong Muda atau Puteri Mak Yong akan menyanyi Dialog Pak Yong memanggil pengasuh, Sendayong Pak Yong, Nyanyian Peran, Dialog antara Pak Yong dengan Peran, Pak Yong menyanyi lagu berkhabar, Lagu Barat

130 Mohd Amir Bin Mohd Zahari Drama Melayu Tradisional

Cepat, Nyanyian Pakyung Tua Sedayong Pakyung, Dialog, Nyanyian Kisah Barat oleh Pakyung Muda, Dialog, Nyanyian Peran Barat Cepat,Dialog antara Pakyung dan Peran, Nyanyian oleh Pakyung (Lagu Berkbabar), Dialog Nyanyian Peran (Lagu Saudara), Dialog dan akhirnya Lagu Barat Cepat. ,

Tumpuan dan Batasan Kajian

Kajian ini menumpukan kepada elemen dan komponen teks drama makyong yang dihasilkan. Ini dilihat secara terperinci bagaimana struktur skrip tersebut sehingga menjadi satu naskah lengkap makyong. Bagaimanakah sesuatu naskah Makyong ini dihasilkan. Antara cerita-cerita makyong adalah Jula Juli Bintang Tujuh, Anak Raja Gondang. Penulisan naskah makyong masih belum di tahap serius dikaji oleh para aktivis teater. Skrip Makyong dapat dihasilkan mengikut jalan cerita berdasarkan tajuk. Boleh dikatakan penulisan skrip makyong

Metodologi Kajian

Bagi melaksanakan penyelidikan ini, pengkaji akan mengaplkasikan kaedah temubual. Soalan temubual yang bertujuan digunakan untuk menjawab persoalan yang dicetuskan oleh penyelidik. Kaedah temubual bersama tokoh teater Makyong ini dapat membantu dalam mencapai objetif dalam kajian ini. Dalam kajian ini pengkaji akan menemubual dua orang tokoh teater tradisional juga merangkap ahli akademik, iaitu Prof Dato Dr Ghulam Sarwar dari Universiti Malaya dan Pn Jumilah Tahir dari Universiti Teknologi Mara (UiTM). Mereka bedua dipilih kerana berdasarkan pelopor utama dalam teater tradisional Makyong di Malaysia.

Dapatan Awal

Bagi makluman penilai, dapatan maklumat masih dalam proses pengumpulan data. Datapan awal telah diperolehi daripada beberapa maklumat seperti sesi temubual dengan pensyarah di UiTM. Pengumpulan akan dijalankan pada bulan Oktober sehingga Disember 2017. Pengaji telah berjumpa dengan Pensyarah Pn Jumilah tahir di Universiti Teknologi Mara (UiTM), Kampus Puncak Perdana Fakulti Filem, Teater Dan Animasi. Pn Jumilah Tahir merupakan seorang yang mengajar bagi kursus Teater Tradisional Makyong.Dalam meniti perjalanan nya sebagai pencinta makyong, banyak pengalamannya dalam penghasilan skrip makyong yang telah dijalankan. Semasa di UiTM beberapa skrip yang telah diolah dan penambahbaikkan bersama pelajarnya. Setiap skrip Makyong yang dimurnikan kerana mengikut kehendak penonton masa kini. Tambahan lagi, penonton di kalangan remaja atau dewasa tidak mahu menonton

Mohd Amir Bin Mohd Zahari 131 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea dan fokus pada persembahan, justeru itu harus di tambah nilai-nilai komedi, pengajaran dan unsur-unsur futurelistik.

Rumusan

Kajian ini masih dijalankan oleh pengkaji bagi pengumpulan data. Ternyata kajian mengenai penulisan teks makyong masih ditahap minima. Kurang penyelidik lain menceburi didalam konteks penyediaan naskah makyong ini. Ramai yang memberi gambaran dan tumpuan terhadap persembahan, pengurusan dan sejarah makyong. Pengkaji mengharapkan dengan kajian yang dijalankan ini dapat membantu generasi kini dan akan datang lebih peka dan mengetahui dengan lebih jelas terhadap pembikinan teks makyong. Masyarakat 400 tahun dahulu yang melopori makyong tidak dan kurang mahir dalam penulisan teks. Maka, mereka lebih kepada persembahan secara improvisasi dan upacara melalui lisan. Justeru itu apabila Ghulam Sarwar telah membuat satu paradigma terhadap persembahan makyong dengan mengumpulkan serta membuat dialog secara bertulis. Perkara itu harus generasi baharu melihat bagaimana corak penulisan dan bagaimana karya teks makyong itu dihasilkan sehingga menjadi satu naskah drama tradisional.

Bibliografi

Cahyaningrum Dewojati. (2012) Drama Sejarah, Teori dan Penerapannya. Javakarsa Media Fazilah Husin. (2007) Teater Eksperimental Melayu: Satu Kajian Bentuk dan Struktur Teks Dramatik. (Tesis Ph.D). Universiti Sains Malaysia. Ghouse Nassarudin. (2009). Teater Tradisional Melayu. Dewan Bahasa dan Pustaka: Kuala Lumpur. Ghulam SarwarYousof. (2005). Makyong and generations. Dibentangkan di Seminar Kebangsaan Seni Persembahan Muzium Seni Asia University Malaya 25- 27 November 2005. Gulam Sarwar Yousof. (2004). The Encyclopedia of Malaysia, performing arts, volume 8. Singapura:Archipelago Press. Mana Sikana (2006), Drama Melayu Tradisional, Moden dan Pascamoden. Dewan Bahasa dan Pustaka.

132 Mohd Amir Bin Mohd Zahari PENDEKATAN KRITIK TEKS SASTERA BERASASKAN GAGASAN ESTETIKA BERSEPADU

Abdul Halim Ali Universiti Pendidikan Sultan Idris, Perak, Malaysia

Abstrak

Makalah ini bertujuan membincangkan sebuah pandangan baharu terhadap kritik estetik dalam teks kesusasteraan Melayu. Kaedah kritik estetik terdahulu khususnya dari Barat yang lebih mementingkan aspek rasa dan pengalaman sebagai lapangan estetik kurang sesuai untuk memaknakan erti keindahan dalam karya kesusasteraan Melayu yang berteraskan agama. Malah terdapat sarjana sastera Melayu yang turut menggaggaskan idea kritik estetik yang terkeluar daripada kerangka agama. Walahal, padangan sarjana muslim seperti al-Faruqi, Yusuf al-Qardawi dan al-Ghazali menunjukkan bahawa keindahan dalam karya kesusasteraan berkait rapat dengan agama. Padangan baharu yang dikemukakan ini adalah suatu respon terhadap kelemahan kaedah kritik sebelumnya dengan gagasan Estetik Bersepadu yang merujuk pada kesempurnaan ciptaan nabi Adam a.s. sebagai asas memahami erti keindahan. Estetika Bersepadu mengemukakan dua idea teras iaitu (1) kesepaduan unsur dalaman (idea/pemikiran/perutusan) dengan unsur luaran (bahasa/bentuk/ teknik/plot). Kesepaduan ini menzahirkan stail. Kedua (2) perkaitan stail (kesepaduan unsur dalaman) dengan kebenaran (agama dan realiti).

Kata kunci: Estetik, keindahan, estetika bersepadu, kesepaduan, perkaitan

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 133 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

Pengenalan

stetika menjadi sebahagian daripada inti pemikiran penulis Melayu Esejak sekian lama. Citra estetika ini telah dibuktikan wujud secara meluas dalam karya-karya kesusasteraan Melayu tradisional oleh ramai sarjana. Para pengkaji seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas, I.V.Braginsky, Muhammad Haji Salleh merupakan antara sarjana yang gigih menganalisis pelbagai genre kesusasteraan era tradisional, dan mereka telah menemukan beberapa konsep yang menteorikan makna estetika atau keindahan dalam kesusasteraan Melayu tradisional. Keindahan ini, walaupun tidak diperikan dalam sebuah risalah yang canggih, masih tetap wujud dalam contoh-contoh mentah atau halus dalam seluruh karya berbahasa Melayu (Muhammad Haji Salleh,2000:234). Konsep keindahan yang ditemui oleh Braginsky termuat dalam bukunya yang berjudul Erti Keindahan dan Keindahan Erti Dalam Kesusasteraan Melayu Klasik (1994), manakala Muhammad Haji Salleh merakamkan hasil kajiannya dalam bukunya yang berjudul Puitika Sastera Melayu (2000). Daripada dua hasil kajian inilah, konsep keindahan dalam kesusasteraan Melayu tradisional ditemui dan diteorikan oleh mereka. Dalam tradisi sastera Melayu, makna kesusasteraan itu sendiri men­ cermin­kan sifat indah yang ada pada karyanya. Awalan su yang terangkum dalam perkataan kesusasteraan itu bererti baik dan indah, sehingga dapat dibandingkan dengan belles letter (A.Teeuw:1995:3). Kata sastra yang berasal daripada kata Sanskrit bermaksud sarana atau alat yang membawa pengajaran, sedangkan awalan su membawa makna indah, maka kata susastra dengan sendiri mendokong suatu makna bahawa susastera yang difahami dalam bahasa Jawa dan Melayu itu ialah sarana yang membawa pengajaran dengan cara yang indah. A.Teeuw juga memetik pandangan Gonda dan Zoetmulder yang menyatakan, bahawa perkataan susastera tidak terdapat dalam bahasa Jawa Kuno dan Sanskrit, maka ia sudah pasti asal daripada kata Jawa atau Melayu. Daripada makna kata susastra itu dapat dibayangkan citra bangsa Melayu tradisional yang menyukai keindahan dalam seni sastera. Keindahan merupakan unsur terpenting sesebuah karya kesusasteraan, malah menjadi pengukurnya (Muhammad Haji Salleh,2000:235). Kenyataan Muhammad diperkukuhkan lagi oleh Braginsky (1994:46), yang menyebutkan, salah satu keunggulan karya sastera yang dianggap terpenting ialah keindahan, yang tercermin baik dalam sistem imej mahupun dalam susunan kata. Dalam tradisi kesusasteraan Melayu tradisional, daerah keindahan sangatlah luas, ia tidak terbatas hanya kepada kecantikan bunyi bahasa, tetapi juga meluas kepada susunan watak dan ceritanya (Muhammad Haji Salleh,2000:237). Sebaliknya, Braginsky berpendapat, segala keindahan dalam kesusasteraan Melayu sama seperti mana kesusasteraan Islam berpunca daripada kudrat Allah (Braginsky,1994:46). Menurut Braginsky lagi, disebabkan Kudrat-Nya,

134 Abdul Halim Ali Pendekatan Kritik Teks Sastera Berasaskan Gagasan Estetika Bersepadu keindahan-Nya yang mutlak tampil dalam keindahan pelbagai benda, ter­masuk­ lah keindahan dalam karya kesusasteraan. Dalam tradisi kesusasteraan Melayu tradisional, aspek keindahan hadir dan membawa makna didaktik, pengajaran daripada ciptaan yang bersifat keagamaan dan sekular (Braginsky,1994:47). Namun, konsep didaktisme berbeza dengan keindahan luaran. Didaktisme larut dalam keindahan dalaman yang mengunjurkan hal-hal yang berfaedah, yang baik-baik, bermoral dan beretika. Braginsky membahagikan keindahan karya kesusasteraan Melayu tradisional kepada tiga sfera, iaitu sfera keindahan luaran, sfera keindahan dalaman dan sfera fungsional. Di antara dua sfera itu, sfera keindahan dalaman menduduki tempat kedua tinggi, manakala sfera fungsional adalah yang tertinggi.

Latar Belakang

Sebagai asas yang mengungguli karya sastera, keindahan sebenarnya memiliki daya tarikan yang mendorong pembaca suka kepadanya. Keindahan ini menurut Muhammad Haji Salleh bersifat positif dan baik untuk pengarang dan khalayak, dan membantu manusia lebih nyaman dan lebih manusiawi (Muhammad Haji Salleh,2000:234-5). Khalayak pembaca yang berhadapan dengan karya merupakan manusia yang menggemari keindahan. Keindahan menarik minat dan keinginan pembaca kepada sesebuah karya. Naluri ini me­ nurut Mohd Affandi Hassan (1992:30), merupakan sifat semula jadi manusia sesuai dengan bentuk kejadiannya yang sempurna dan terbaik susunannya. Keindahan dalam apa bentuk dan sifat dicintai oleh manusia tidak sekadar untuk memenuhi keinginannya yang menginginkan sesuatu yang indah, tetapi keindahan itu sebenarnya menjadi pendorong yang memandu gerak geri dan ilham manusia untuk bertingkah laku dengan tingkah laku yang baik-baik dan mulia. Selain Muhammad Naguib, Braginsky dan Muhammad Haji Salleh, terdapat juga kajian-kajian yang dilakukan oleh sarjana lain seperti Mohd Affandi Hassan, Mohd Kamal Hassan, A.Wahab Ali, Hamidah Abdul Hamid, Shafie Abu Bakar, Sohaimi Abdul Aziz, Mohd Kamal Abdullah (kemudiannya disebut Kemala), S.Othman Kelantan dan Lutfi Abbas. Hasil kajian yang dilakukan oleh Muhammad Naqiub al-Attas (1971), Braginsky (1979,1993,1994,2000) dan Muhammad Haji Salleh (1989,2000) mem­ buktikan bahawa keindahan merupakan aspek yang paling penting mengungguli karya kesusasteraan Melayu tradisional. Keunggulan nilai keindahan ini berakar pada keindahan hakiki yang terjelma menerusi nilai keagamaan yang diperikan dengan gaya bahasa, teknik dan deskripsi dalam ciptaan sesebuah karya kesusasteraan.

Abdul Halim Ali 135 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

Permasalahan

Setelah memahami duduk letaknya keindahan dalam kesusasteraan Melayu tradisional sebagaimana yang dibincangkan beberapa tokoh, timbul persoalan yang berkait dengan keberadaan elemen keindahan itu dalam kesusasteraan Melayu moden. Adakah unsur keindahan yang dianggap sebagai teras kesusasteraan Melayu tradisional masih terus wujud dalam kesusasteraan Melayu moden hari ini? Apakah konsep dan teori-teori yang menerangkan konsep keindahan kesusasteraan Melayu tradisional sesuai bagi menerangkan konsep keindahan dalam kesusasteraan Melayu moden yang telah dipengaruh oleh kesusasteraan Barat? Sejauh manakah relevannya kaedah pengkajian estetik yang berasaskan teori Barat diaplikasikan untuk memahami dan mengkonsepsikan makna keindahan dalam kesusasteraan Melayu? Sedangkan dalam masa yang sama ramai sarjana Melayu meragui dan menolak keupayaan teori Barat sebagai metod yang sesuai untuk mengkonsepsikan dan menjelaskan sesuatu makna dalam karya kesusasteraan yang diakui berteraskan jatidiri Melayu dan Islam? Mohd Affandi Hassan merupakan sarjana Melayu yang paling lantang menyuarakan kritikannya terhadap wacana keindahan sastera Melayu yang disandarkan kepada kerangka estetika Barat. Mohd Affandi mempersoalkan pandangan beberapa sarjana Barat seperti Arsitotle, John Dewey dan Mathew Arnold. John Dewey yang beranggapan, bahawa pengalaman estetik manusia harus menjadi model kepada semua pengalaman manusia, manakala Mathew Arnold menganggap puisi lebih utama daripada agama dan falsafah (Mohd Affandi Hassan,1992:30). Konsep puisi dan estetika seperti ini menurut Mohd Affandi Hassan memberi kedudukan yang terlalu tinggi kepada hawa nafsu, mementingkan salutan emosi luaran yang mabuk dan asas penilaiannya yang subjektif dengan mengutamakan aspek bentuk luaran dan kata-kata yang tidak diberi fungsi ilmiah (Mohd Affandi Hassan,1992:24). Kritikan Mohd Affandi ini sangat penting diberi perhatian, kerana pemahaman terhadap konsep keindahan dalam karya kesusasteraan Melayu moden sebelum ini diasaskan kepada konsep estetik Barat. Selain itu, kritikan Mohd Affandi ini juga memberi makna, bahawa konsep keindahan dalam kesusasteraan Melayu tidak sesuai dan tidak wajar ditafsir berlandaskan kerangka pemikiran sarjana Barat. Perbincangan dan kajian yang dilakukan tentang keindahan dalam kesusasteraan Melayu moden lebih cenderung menggunakan istilah estetika, bukannya istilah keindahan sebagaimana yang digunakan oleh pengkaji terdahulu yang mengkaji karya-karya kesusasteraan Melayu tradisional. Kajian oleh Sohaimi Abdul Aziz (1992) misalnya, menggunakan konsep estetika Barat yang memberi fokus hanya kepada aspek pengalaman estetik `.yang menggabungkan rasa` (dipinjamkan dari teori esterik Rasa Dhivani) dengan teori estetik Fenomenologi Roman Ingarden (Barat). Hasil kajiannya .menemukan

136 Abdul Halim Ali Pendekatan Kritik Teks Sastera Berasaskan Gagasan Estetika Bersepadu sejumlah rasa dalam karya-karya A.Samad Said. Konsep rasa yang menerasi landas teori kajian ini mengutip satu persatu idea daripada penteori estetik Divani India dan Fenemenologi Barat yang jelas bertolak daripada pemikiran penteori bukan Islam. Pengalaman estetik yang diketengahkan oleh Sohaimi Abdul Aziz dalam teori Rasa-Fenomenologi tidak dijelaskan secara tuntas, bagaimanakah rasa itu berkait secara langsung dengan nilai-nilai agamawi, jauh sekali dari usaha untuk membuktikan, bahawa proses fenomenologi yang menjadi lorong kemasukan fenomena rasa ke dalam pengalaman pembaca sewaktu menghayati sesebuah teks merupakan suatu proses rohaniah yang bersandar pada teras pengajaran Islam. Rasa dan fenomenologi yang menjadi piawai ukuran tidak mengambil apa-apa nas yang boleh memancarkan roh keislaman dengan naluri keimanan dan ketauhidan. Akhirnya, jadilah rasa-rasa yang ditemui dalam teks itu sebagai rasa-rasa yang terpisah dari roh agamawi. Pemahaman yang jelas terhadap konsep estetik dalam kesusasteraan Melayu moden merupakan satu tuntutan dan kebertanggungjawaban sasterawan muslim yang sangat penting, kerana estetik sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Haji Salleh (2000:234) merupakan sebahagian daripada pemikiran orang-orang Melayu itu sendiri. Keindahan itu juga katanya akan membantu manusia menjadi lebih nyaman dan manusiawi. Lebih dari itu, keindahan juga adalah pengukurnya (Mohammad Hj Salleh:2000:235). Pandangan Muhammad ini menjelaskan bahawa keindahan ialah asas terpenting dalam kesusasteraan Melayu dan menjadi indikator utama untuk mengukurnya nilai taranya. Kesusasteraan Melayu yang diakui ramai sarjana sebagai berkembang pada paksi Islam sejajar dengan kepercayaan dan anutan agama sasterawannya. Latar pemikiran dan inti kesusasteraan tidak lari dari akar budaya dan sistem kepercayaan sasterawan itu sendiri. Kerana itu, untuk menjejak makna keindahan dalam kesusasteraan Melayu, maka pengkaji tidak boleh hanya melihat pada sifat luaran teks yang ditulis dengan estetik bahasa semata-mata, malah sebaliknya mestilah melihat dengan teliti pada agama yang menjadi latar kepercayaan dan esensi diri sasterawan Melayu muslim itu. Menurut Ali Abd al-Khalid (dlm. S.H.Nasr,1989), daya kreatif bagi seseorang seniman itu didorong atau desakan yang diberikan oleh Tuhan atau sebagai isti`dad yang perlu digunakan sebagai bantuan untuk memeriahkan kebesaran Allah S.W.T. dan bagi manusia menapak di atas Jalan Yang Lurus menuju-Nya. Mohd Affandi Hassan (1992:10) menyebutkan, konsep keindahan (estetika) yang harusnya difahami dalam kesusasteraan Melayu ialah estetika yang membawa kebenaran dan membawa manusia kepada hidup yang beradab. Meskipun Mohd Affandi menggunakan istilah estetika, kefahaman beliau jelas merujuk kepada kekaburan dan kepincangan konsep estetik Barat dalam memahami erti keindahan yang sebenar. Beliau turut menegaskan, konsep keindahan dalam kesusasteraan Melayu berkait dengan keindahan hakiki, yakni,

Abdul Halim Ali 137 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea keindahan Allah S.W.T Abdul Hadi W.M. (2000:336) turut menegaskan perkara yang sama, katanya; Di dalam tradisi estetika Islam, Yang Satu dinamakan Yang hakiki. Dialah asal segala bentuk, segala rupa dan segala makna. Yang hakiki adalah Yang Maha Indah dan keindahan itu sendiri.

Oleh kerana itu, konsep keindahan tidak boleh dipisahkan daripada kebe­ naran, sebaliknya mestilah dilihat secara bersepadu dan berkait secara langsung dengan agama Islam. Agama Islam membuka luas ruang keterbukaannya bagi membolehkan apa sahaja unsur luar memasuki dan bersepadu dengan prinsip- prinsip ajarannya yang berteraskan tauhid (Abdul Hadi W.M.,2000;338). Penting pernyataan Abdul Hadi ini diberi perhatian kerana, ia menyarankan keterbukaan Islam menerima apa juga kaedah, metod atau fahaman dari Barat yang boleh dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu asal sahaja ia tidak terkeluar daripada landasan tauhid Islamiah. Namun, hal ini tidak dimanfaatkan oleh Sohaimi Abd Aziz, malah Muhammad Haji Salleh juga. Wajar dipersoalkan, sejauh manakah kesesuaian kaedah yang digunakan pengkaji terdahulu yang menteorikan makna estetika untuk menjelaskan konsep keindahan dalam kesusasteraan Melayu? Sedangkan, dalam waktu yang sama teori-teori ini sendiri tidak memberi tempat kepada Islam dalam kerangka idea mereka. Mengamati pandangan, Mohd Kamal Hassan (1981), Hashim Awang (1997), Shafie Abu Bakar (1997), Mana Sikana (1998), Mohd Affandi Hassan (1992), Ungku Maimunah (1999), Abdul Hadi W.M. (2000) dan beberapa sarjana Melayu lain, jelas menunjukkan keraguan dan penolakan mereka ter­ hadap kebolehpercayaan teori-teori sastera Barat dalam menjustifikasi dan mengkonsepsikan makna keindahan dalam teks kesusasteraan yang berteraskan jatidiri bangsa, budaya Melayu dan agama Islam. Pada waktu yang sama, konsep estetik moden Barat yang muncul pada abad ke-18, secara terang-terangan mendokong konsep estetika yang bersifat hedonisme1 mementingkan hanya aspek sikap dan pengalaman estetik sebagai lapangan utama bidang estetika yang terpisah jauh daripada intelektual. Beberapa orang sarjana sastera Melayu kemudiannya muncul dengan gagasan teori masing-masing sebagai jalan keluar kepada kelemahan teori sastera Barat. Muhammad Haji Salleh tampil dengan teori Puitika Sastera Melayu, Hashim Awang dengan Pengkaedahan Melayu, Mana Sikana dengan teori Teksdealisme, Shafie Abu Bakar pula dengan teori Takmilah dan Mohd Affandi Hassan dengan Pendidikan Estetika Daripada Pendekatan Tauhid (kemudiannya menggagaskan teori Persuratan Baru). Daripada beberapa buah teori yang dikemukakan, teori Takmilah, Peng­ kaedahaan Melayu dan gagasan Mohd Affandi Hassan iaitu Pendidikan Estetika

1 Lihat pandangan Dadney Townsend dalam bukunya Aesthetics: Classic Readings from the western Tradition, hlm. 86

138 Abdul Halim Ali Pendekatan Kritik Teks Sastera Berasaskan Gagasan Estetika Bersepadu

Daripada Pendekatan Tauhid merupakan sebuah gagasan yang condong kepada kerangka keindahan dengan konsep persuratan yang berasaskan keindahan adab, gaya bahasa dan mesej yang benar di sisi agama. Teori – teori ini menjadi jalan keluar kepada konsep estetik Barat yang bersifat hedonisme. Teori Takmilah misalnya mengemukakan idea konsep keindahan dan kesempurnaan mana­kala teori Persuratan Baru mengemukakan idea tentang konsep `keindahan bermakna`. Tokoh-tokog teori ini mengemukakan suatu jalan keluar kepada konsep estetik Barat dengan keyakinan bahawa keindahan dalam apa juga bentuk dan keadaan, sentiasa berhubungan dengan keindahan hakiki (sebenar), termasuklah keindahan yang wujud dalam teks kesusasteraan. Daripada pandangan-pandangan ini, sekurang-kurangnya terdapat empat perkara paling asas permasalahan dalam memahami makna dan konsep keindahan dalam kesusasteraan Melayu iaitu; a) ketinggian nilai puitika Melayu dan Islam kurang sesuai ditelusuri meng­ guna­kan kerangka teori estetik dan teori sastera Barat. b) Kerangka teori estetik yang dikemukakan oleh sarjana Melayu juga tidak memberi pertimbangkan kepada Islam sebagai asas pentafsiran keindahan, c) Makna dan konsep keindahan dalam kesusasteraan Melayu masih dibayangi pemikiran estetik yang tidak `bermakna` di sisi Islam. d) Bagaimanakah seharusnya makna dan konsep keindahan dalam kesusasteraan Melayu itu wajar dan sesuai dikaji?

Empat isu yang timbul ini menjelaskan; 1) Ketidakyakinan sarjana Melayu terhadap pendekatan kritik berasaskan teori sastera Barat dalam mengkonsepsikan nilai-nilai jati diri bangsa, budaya dan agama Islam 2) Keutamaan menyediakan landas kritik yang berteraskan nilai agama sesuai dengan karya kesusasteraan Melayu yang kaya dengan nilai kemelayuan dan keislaman. 3) Konsep-konsep umum keindahan tersurat yang bersifat universal dalam pemikiran Barat dapat `diIslamkan` menerusi proses penyepaduan dengan nilai Islam menjadi tunggaknya.

Kelemahan Kaedah Memahami Terdahulu

Seperti yang diterangkan sebelum ini bahawa kajian-kajian estetik ter­ dahulu sama ada oleh sarjana Barat mahu pun sarjana di Malaysia lebih cende­ rung menggunakan kaedah analisis yang berasaskan teori Barat. Teori-teori estetik dan teori-teori sastera Barat tidak mengambilkira perkaitan estetik dan fenomena kesusasteraan dengan ajaran agama. Sedangkan, konsep keindahanjelas menunjukkan keindahan adalah sebahagian daripada Islam dan berkait langsung

Abdul Halim Ali 139 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea dengan keindahan Penciptanya (Tuhan yang mencipta keindahan itu). Dalam tradisi Klasik di Barat, pemahaman terhadap keindahan dikaitkan dengan keindahan hakiki. Keindahan hakiki ini merupakan keindahan Tuhan. Plato membahagikan jenis keindahan kepada dua iaitu keindahan benda- benda dan keindahan hakiki. Walau bagaimanapun, dalam era moden di Barat, pemahaman terhadap keindahan telah berubah malah dibataskan kepada aspek- aspek khusus sahaja. Selain itu, istilah keindahan (beautiful) tidak lagi digunkan sebaliknya istilah estetik yang diperkenalkan oleh Alexender Baumgarten pada abad ke-18 telah dipopularkan dan berkembang sebagai bidang kajian untuk memahami konsep keindahan. Konsep keindahan yang dikaitkan dengan keindahan hakiki tidak lagi mendapat tempat. Bidang kajian estetik hanya mem­ beri tumpuan kepada deria sebagai piawai untuk menilai keindahan sebagai­ mana yang dipopularkan oleh para sarjana dan ahli teori estetik Barat moden. Pengabaian peranan agama dalam memakna konsep keindahan juga berlaku dalam teori-teori keindahan yang dikemukakan oleh sarjana Melayu, sebagaimana yang dihujahkan oleh Ahmad Kamal Abdullah terhadap teori Puitika Sastera Melayu . Demikian juga dengan idea Sohaimi Abdul Aziz menerusi konseptual Rasa-Fenomenologi yang hanya memanfaatkan idea teori Rasa-Dhivani dari India dan teori Fenemenologi Roman Ingarden dari Barat. Pengabaian aspek agama ini dilihat tidak wajar kerana kesusasteraan Melayu berkembang pesat setelah menerima pengaruh agama Islam. Jelasnya, kaedah kritik estetik yang digunakan oleh pengkaji terdahulu yang menggunakan prinsip-prinsip teori estetik moden Barat dan India kurang sesuai dan memilik kekurangan untuk mengkonsepsikan konsep keindahan dalam kesusasteraan Melayu yang jelas berteraskan kepada dua nilai yang utama iaitu kemelayuan dan keislaman. Terdapat juga kecenderungan dalam kalangan sarjana terdahulu menggunakan idea Struktural dan ada pula yang berpegang semata-mata kepada unsur puitika Melayu. Terdapat juga para sarjana dan pengkaji Melayu di Nusantara yang memperkaitkan konsep keindahan dengan Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Hadi W.M. (2000), Mohd Kamal Hassan (1981), Mohd Affandi Hassan (1992), Shafie Abu Bakar (1997) dan lain-lain namun, perkaitan yang dibincangkan bersifat umum tanpa memberikan panduan yang metodologi. Shafie Abu Bakar ada melakukannya dalam kerangka idea pengindahan dan penyempurnaan manakala Mohd Affandi Hassan menyebutkan dalam kerangka pendidikan estetika dalam pendekatan tauhid. Selain itu, sumber yang dijadikan rujukan para ilmuan bagi memahami dan menteorikan makna keindahan juga harus dinilai semula. Berasaskan definisi yang diberikan oleh sarjana Barat tentang keindahan dan estetik secara jelas menunjukkan rujukannya yang logik dengan diberikan formula-formula struktural, tekstual, taste dan pengalaman manusia. Manakala dalam kalangan ilmuan muslim, sumber rujukan untuk memahami makna keindahan datangnya daripada sumber al-Quran dan al-

140 Abdul Halim Ali Pendekatan Kritik Teks Sastera Berasaskan Gagasan Estetika Bersepadu

Hadis. Inilah yang diberikan oleh al-Ghazali, Seyyed Hussian Nash dan Shafie Abu Bakar, Abdul Hadi, Hamka, Haron Din dan lain-lain. Al-Ghazali merujuk surah an-Nur bagi menjelaskan konsep keindahan. Beberapa tokoh lain merujuk kepada hadis yang diriwayatkan oleh Muslim yang bermaksud `Sesungguhnya Allah itu Indah dan Dia suka kepada keindahan`. Keindahan Allah SWT bertaut erat dengan beberapa nama Allah seperti al-Jamal,, al-Nur, al-Quddus, al-Hamiid, al Barr dan al Badii’. Maksud al-jamal mendokong suatu makna yang komprehensif tentang sifat, nilai dan status keindahan yang tiada tolok bandingnya. Istilah al-jamal sering digunakan oleh ahli sufi aliran Wahdatul Wujud terutama Abd al-Karim al-Jili yang memandang keindahan dalam sebagai keindahan Ilahi, manakala konsep keindahan luaran sebagai keindahan fizikal. Sumber al-Quran dan al-Hadis merupakan sumber rujukan paling autoriti, paling benar dan tiada keraguan. Pada al-Quran dan al-Hadislah yang paling wajar untuk dirumuskan formula atau asas pembinaan teori bagi memahami fenomena estetik dalam teks kesusasteraan.

Analisis dan Perbincangan

Keindahan yang menjadi teras estetik sajak ialah keindahan yang dapat mewujudkan dalam kesedaran pembaca tentang peringatan-peringatan Allah S.W.T. dalam al-Quran yang berkait dengan persoalan akidah, syariat dan akhlak. Puncak daripada kesedaran itu ialah pembaca menyedari hakikat keindahan yang hakiki iaitu keindahan yang menjadi sumber kepada segala keindahan manifestasi sepertimana yang dapat dilihat dan dikesan dalam puisi. Keindahan tidak sekadar hiasan pada binaan struktur atau jalinan gaya bahasa semata-mata. Keindahan seumpama ini adalah keindahan yang diagungi oleh para estetis Barat yang melihat estetik itu dalam juzuk-juzuk yang tersendiri, terpisah dari keindahan yang menyedarkan manusia pada hakikat sebenar keindahan itu. Keindahan dalam gaya bahasa tidak bermakna selagi ia tidak dikaitkan dengan keindahan dalam perutusan agama, sehingga dengan perkaitan itu mengesan dalam kesedaran pembaca dengan pengajaran agama. Sumber tempat menyandarkan keindahan ini ialah al-Quran itu sendiri. Di dalam al-Quran tersedia pelbagai gaya bahasa kiasan yang terkandung pula di dalam gaya kiasan itu peringatan-peringatan Allah untuk hamba-hamba-Nya. Allah S.W.T. berfirman dalam SurahAz-Zumar ayat 27, bermaksud; `Sesungguhnya Kami adakan beberapa contoh (perumpamaan) bagi manusia dalam al-Quran ini, mudah-mudah mereka menerima peringatan`

Pernyataan ini bersandarkan pada Firman Allah S.W.T. dalam al-Quran. Contohnya Firman Allah S.W.T. dalam Surah al-Fajr, ayat 18-22, bermaksud; Dan (memperhatikan) langit bagaimana ia ditinggikan Dan (memperhatikan) gunung ganang bagaimana ia ditegakkan

Abdul Halim Ali 141 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

Dan (memperhatikan) bumi bagaimana ia didatarkan Maka berilah (mereka) peringatan, engkau hanya memberi peringatan Engkau bukan memaksa mereka.

Maksud Firman Allah S.W.T. dalam ayat 18-22 Surah al-Fajr ini me­ nunjukkan unsur keindahan gaya bahasa yang tinggi berkaitan dan bersepadu dengan beberapa unsur bahasa seperti pengulangan, keragaman rima akhir dan metafora. Jalinan kesepaduan pelbagai unsur gaya bahasa ini pula berkait secara langsung dengan perutusan dalam bentuk peringatan kepada Rasulullah S.A.W. supaya menyampaikan peringatan kepada manusia tentang berita gembira dan berita buruk dari Allah S.W.T. Malah, dalam konteks ayat tersebut, jelas menunjukkan bahawa keindahan gaya bahasa bukanlah matlamat, sebaliknya perutusan itulah yang menjadi terasnya. Contoh ayat di atas juga jelas dapat dibuktikan bahawa keindahan pada gaya tidak terpisah daripada keindahan dalam perutusan. Oleh kerana itu, peringatan tergambar dalam nada yang harmoni dan lembut tetapi mengesankan hati dan akal manusia terhadap akibat- akibat melanggari peringatan Allah S.W.T.

Mengamati Penciptaan Nabi Adam a.s.

`sesungguhnya Kami ciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk`. Surah at- Tin, ayat 4,

`Sesungguhnya telah Kami muliakan Bani (anak-anak) Adam dan Kami angkut mereka dengan kenderaan di darat dan di laut serta Kami beri rezeki mereka dengan sebaik-baik dan Kami lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk yang Kami jadikan dengan kelebihan (yang sempurna)`. Surah Al-Israak, ayat 70

Nabi Adam a.s. ialah makhluk manusia pertama diciptakan Allah SWT. Kisah penciptaan Nabi Adam a.s. banyak dikisahkan dalam al-Quran, Hadis dan juga kitab-kitab sejarah Islam. Dua petikan maksud Firman Allah SWT di atas memberitahu tentang penciptaan nabi Adam a.s. sebagai penciptaan yang sebaik-baiknya dn kelebihan (kesempurnaan) berbanding dengan makluk- makhluk yang lain. Adam diciptakan daripada tanah manakala iblis diciptakan daripada api dan malaikat diciptakan daripada cahaya. Dalam hal penciptaan manusia ini, Haron Din, et al (1997) menjelaskan bah­ wa kejadian manusia adalah sebaik-baik dan seindah-indah kejadian, iaitu keinda­ ­ han yang teradun daripada unsur jasmani dan rohani. Unsur jasmani ma­nusia (al- Khalaq) meskipun indah, namun keindahan itu tidak sempurna kera­na itu ia perlu kepada penyepaduan dengan unsur rohani (al-Khuluq), su­paya ia benar-benar menepati dengan `fi ahsani taqwim` dalam sebaik-baik kejadian. Berdasarkan kepada hakikat kejadian manusia ini, membuktikan proses kesempurnaan dan kemantapan boleh berlaku atau dilakukan secara

142 Abdul Halim Ali Pendekatan Kritik Teks Sastera Berasaskan Gagasan Estetika Bersepadu menyepadukan beberapa unsur menjadi satu yang mantap. Selanjutnya Haron Din menyebutkan; Walaupun manusia dicipta daripada dua unsur yang berbeza dan bercanggah, tetapi dengan kekuasaan Allah yang memiliki unsur-unsur dan undang- undangnya telah mencantumkan (menyepadukan-pengkaji) kedua-dua unsur tersebut dalam satu kejadian yang dinamakan manusia. Kegiatan kedua-dua unsur tersebut hanya akan dapat melukiskan `ciptaan` seni hidup yang indah dan bernilai jika berpandukan acuan yang ditentukan oleh Maha Penciptanya. (Haron Din, et al,1997:8)

Kesempurnaan kejadian manusia merupakan manifestasi keindahan hakiki bersumberkan daripada keindahan Allah S.W.T. Manusia sebagai makhluk ciptaan yang paling indah (sempurna) ditunjuki Allah S.W.T. kepada manusia bahawa kesempurnaan (keindahan) itu terhasil daripada satu proses kesepaduan. Hal ini juga menjelaskan, keindahan tidak berdiri dan terbangun atas satu unsur, melainkan terikat kepada keperluan kepada unsur lain melengkapkannya. Demikian sifat sesuatu yang diciptakan Allah S.W.T. Oleh kerana itu, keindahan lahiri yang ditanggapi dan dinikmati oleh manusia dalam alam maknawi masih dan tetap terkait dengan sumber keindahan yang asal. Berasaskan keterangan al-Quran dan Hadis serta pandangan ulama saya meletakkan suatu keyakinan bahawa sumber rujukan paling utama bagi memahami makna keindahan dan bagaimana cara keindahan itu terhasil sewajarnya dirujuk pada sifat luaran dan dalaman Adam a.s. proses proses penciptaannya. Sifat luaran dan dalam serta proses penciptaan ini adalah suatu keadaman yang menstruktur, dan mendeskripsi makna keindahan. Meneliti hakikat kewujudan nabi Adam a.s. dan proses penciptaannya, saya merumuskan empat perkara penting, iaitu; a. Nabi Adam a.s. merupakan puncak keindahan dalam alam duniawi b. Penciptaannya berlaku berasaskan proses penyepaduan. c. Hakikat penciptaannya berkait langsung dengan alam dunia yang diletakkan padanya tugas kepimpinan dan amanah. d. Hakikat penciptaannya berkait langsung dengan ketetapan Allah untuk melantik pemimpin di dunia.

Keadaman Teks Kesusastraan

Keindahan seperti yang disebutkan pada awal kertas ini merupakan asas yang mengungguli karya kesusasteraan. Keindahan memiliki daya tarikan yang mendorong pembaca suka kepadanya. Manusia secara fitrahnya suka menggemari keindahan sesuai dengan fitrah kejadiannya yang indah dan sempurna. Keindahan ini menurut Muhammad Haji Salleh bersifat positif dan baik untuk pengarang dan khalayak, dan membantu manusia lebih nyaman dan

Abdul Halim Ali 143 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea lebih manusiawi (Muhammad Haji Salleh,2000:234-5). Khalayak pembaca yang berhadapan dengan karya merupakan manusia yang menggemari keindahan.. Keindahan dalam apa bentuk dan sifat dicintai oleh manusia tidak sekadar untuk memenuhi keinginannya yang menginginkan sesuatu yang indah, tetapi keindahan itu sebenarnya menjadi pendorong yang memandu gerak geri dan ilham manusia untuk bertingkah laku dengan tingkah laku yang baik-baik dan mulia. Elemen estetik merupakan satu-satunya elemen mengungguli keindahan bahasa. Bahasa tampak indah dan menarik perhatian pembaca kepadanya kerana kemangnetikan estetiknya. Elemen estetik inilah juga inti kesusasteraan. Jelasnya teks kesusasteraan memiliki keserasian dengan ciri-ciri keadaman yang dapat menjelaskan dan mendeskripsi makna keindahannya.

Ciri-ciri Keadaan Teks Kesusastraan

Berasaskan pada keterangan tentang proses ciptaan Adam secara kasar dapat difahami ciri-ciri keadaman itu sebagai satu ciptaan Allah SWT yang paling indah atau sempurna.

Asas Ciri Deskripsi Hasil/ciptaan Diciptakan Pencipta (Allah SWT) Unsur Ketuhanan Roh Kenabian Pemimpin umat di dunia Kemanusiaan Akal, nafsu Proses kejadian Kesepaduan Unsur fizikal dan dalaman: 1) Tanah 2) Roh Fungsi Perkaitan Berkait dengan tujuan penciptaannya: 1) sembah Allah 2) khalifah Allah di bumi Kenabian: 1) menyampaikan perutusan Allah

Mengamati ciri-ciri keadaman ini, maka kita dapat melihat keserasian ciri-ciri teks kesusasteraan yang indah yang dapat dipadankan atau disesuaikan dengan ciri-ciri keadaman tersebut;

Asas Ciri Deskripsi Hasil/ciptaan Diciptakan Pengarang/Penulis/Penyair Unsur Agama ketuhanan keduniaan hal-hal kemasyarakatan Kemanusiaan pemikiran,nilai-nilai Proses kejadian Kesepaduan Unsur fizikal dan dalaman: 1) gaya bahasa/bentuk/teknik 2) idea/permikiran

144 Abdul Halim Ali Pendekatan Kritik Teks Sastera Berasaskan Gagasan Estetika Bersepadu

Asas Ciri Deskripsi Fungsi Perkaitan Berkait dengan tujuan penciptaannya: 1) Fungsi kreatif seniman 2) Fungsi kesasteraan 1) menyampaikan perutusan /mesej

Adam a.s. bukan sekadar makhluk manusia pertama yang paling sempurna ciptaan Allah SWT, tetap Adam juga dapat diambil daripadanya suatu rujukan bagi memahami erti keindahan dari sudut unsur dan proses penciptaan serta perkaitan penciptaannya dengan fungsi yang ditetapkan Allah menjadi khalifah di muka bumi. Memahami dan mengamati proses ciptaan Adam a.s., ini maka tergambar suatu kesepaduan proses yang dapat memahamkan makna keindahan. Dengan kata lain, untuk memahami makna keindahan maka kita boleh sahaja dirujuk indikasinya pada proses kejadian Adam a.s. Keindahan dalam keadaan ini menampakkan dua asas kezahirannya iaitu (1) kesepaduan dan (2) perkaitan.

Memahami Makna Keindahan Dalam Teks Kesusastraan Berdasarkan Idea Kesepaduan dan Perkaitan

Konsep Estetika bersepadu mempercayai bahawa estetik merupakan aspek penting yang mengungguli keindahan dan kekuatan sesebuah karya kesusasteraan. Keindahan dalam teks ini tercerna hasil daripada kesepaduan beberapa unsur yang membina teks tersebut iaitu gaya bahasa, pemikiran dan perutusan. Hasil kesepaduan unsur-unsur inilah yang menjadikan teks kesusasteraan bernilai dan bermakna di sisi agama dan estetika. Kesepaduan di antara unsur-unsur ini juga dapat menggambarkan dan melahirkan keyakinan dalam penghayatan pembaca tentang keluhuran dan kebergunaan karya kesusasteraan dalam kehidupan manusia.

Kesepaduan Kesepaduan adalah proses yang dapat menujukkan pertalian hubungan unsur-unsur tekstual yang membina makna teks. Aspek yang bersepadu meliputi unsur dalaman (idea/ pemikiran dan perutusan/mesej) dan unsur- unsur lahiriah teks (bahasa, bentuk, teknik, struktur). Memahami makna teks dari sudut kesepaduan ini sejajar dengan pandangan al-Faruqi yang menjelaskan, sifat kesusasteraan Islam tergambar dalam gabungan isi kandungan yang luhur dengan bentuk yang luhur (Mohd Affandi Hassan,1992:13). Bererti, keindahan tidak berupaya menampilkan sifatnya secara `solo` tanpa mengambilkira persoalan perutusan yang terkandung di dalam teks. Keindahan dalam konteks ini tidak bersifat autonomus, sebaliknya bersepadu dengan aspek lain seperti bentuk, bahasa dan perutusan untuk menampilkan sifat indahnya yang menyeluruh itu. Al-Ghazali menyebutkan, keindahan alam semula jadi

Abdul Halim Ali 145 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea merumuskan bahawa Tuhan yang menciptakannya adalah Tuhan yang indah (Hamidah Abdul Hamid,1995:25). Keindahan alam tidak wujud sendiri dan tidak bersifat autonomus melainkan berkait langsung dengan sifat indah Tuhan. Salah satu manifestasi keindahan Allah S.W.T. ialah keindahan pada bahasa al-Quran yang mengandungi pokok pengajaran Islam dalam aspek kehidupan manusia yang meliputi bidang akidah, syariat dan akhlak. Al-Quran yang me­ miliki keindahan pada bahasa dan isi itu diturunkan kepada manusia untuk dijadi­kan petunjuk kehidupan di dunia dan di akhirat menerusi gaya kiasan yang indah sesuai dengan fitrah kejadiannya. Firman Allah S.W.T. bermaksud; `Allah telah menurunkan sebaik-baik perkataan (iaitu) kitab yang serupa (keindahan ayat-ayatnya) lagi didua-duakan (diulang-ulang membacanya) oleh kerananya menggeletar kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi lembut kulit dan hati mereka untuk mengingati Allah. (Kitab) itulah petunjuk Allah, dia tunjukki dengan siapa yang kehendaki-Nya. Dan dengan siapa yang disesatkan Allah, maka tidak adalah baginya orang yang menunjukki` (Surah Az-Zumar, Ayat 23)

Dari satu sudut aqidah, estetik bahasa al-Quran adalah suatu bentuk estetik manifestasi Allah S.W.T. yang menyampaikan peringatan-peringatan dengan gaya yang indah berhikmah. Terdapat kisah-kisah sejarah di dalam al-Quran, tetapi bukannya kisah-kisah yang bersifat nostalgik. Ianya merupakan kisah- kisah yang mendokong makna untuk kehidupan manusia sepanjang zaman. Mahmud Yunus (1983), menyebutkan kisah-kisah di dalam al-Quran bukan seperti cerita-cerita biasa melainkan untuk mengambil iktibar dan pengajaran dari sejarah umat terdahulu. Jelasnya, bahasa yang indah (elok) tidak hanya menampakkan keindahan harfiah struktur bahasa itu, tetapi juga memperlihatkan keindahan dalam perutusan agama yang bersumber dari salah satu manifestasi keindahan Allah S.W.T. Abu Hassan Abdul (2007) dalam kajian di peringkat ijazah kedoktoran menggunakan sandaran agama dalam kerangka strategik retorik Melayu. Beliau memanfaatkan unsur-unsur bahasa dalam bidang retorik Barat dengan strategik retorik al-Quran untuk menjelaskan strategik retorik Melayu menerusi model Retorik Peluasan yang dibina bagi menganalisis strategik retorik dalam karya Hamka dan dan Shahnon Ahmad. Kerangka Strategik Retorik Peluasan yang menggabungkan Strategik al-Quran, Barat dan Melayu menunjukkan konsep keindahan yang terbina dalam karya kesusasteraan tidak bergantung hanya kepada satu elemen retorik. Malah Abu Hassan membuktikan stratetik dalam karya sastera Melayu perlu disepadukan dengan strategik retorik yang berpandukan al-Quran (Islam). Berbeza dengan konsep estetik Barat yang dibicarakan dalam disiplin estetika moden hanya mementingkan konsep estetika berasaskan kualiti estetik semata-mata. Kualiti estetik yang dimaksudkan ialah kualiti yang dialami

146 Abdul Halim Ali Pendekatan Kritik Teks Sastera Berasaskan Gagasan Estetika Bersepadu oleh pembaca/penonton ataupun disebut kualiti subjektif (Sohaimi Abdul Aziz,1998:27). Kefahaman terhadap konsep keindahan dalam era estetik moden berbeza dengan kefahaman terhadap konsep tersebut pada peringkat awal. Perkembangan baharu dalam abad ke-18 juga menyaksikan perubahan pada tanggapan ahli teori estetik dan bidang tumpuannya. Menurut McCormick (dalam Sohaimi Abdul Aziz,1998) tumpuan penilaian estetik beralih daripada objek kepada subjek dengan penjurusan yang lebih spesifik aspek sikap estetik, kesedaran estetik, ketidakpentingan, persepsi estetik dan kesedaran estetik. Dari perspektif ini, teori keindahan dan teori estetik tidak lagi sama, sebaliknya mendokong kefahaman dan ruang tumpuan penilaian yang berbeza, meskipun kedua-duanya masih terikat dengan bidang falsafah. Pemencilan aspek keindahan daripada aspek keagamaan amat ketara dalam falsafah estetik Barat. Ini dapat dilihat pada idea-idea ahli falsafah Scott David Hume (1711-1776) dan ahli falsafah Jerman Immanuel Kant (1724-1804) yang lebih memberi perhatian pada persoalan taste (rasa) dalam memahami estetik seni. Al-Ghazali menyifatkan keindahan yang tidak ada hubungannya dengan Tuhan adalah fenomena imaginasi yang tidak benar. Pernyataan al-Ghazali ini bertepatan dengan maksud hadis Rasulullah; `sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa paras, sebaliknya melihat kepada hati dan budi pekertimu`

Dengan peralihan kasus penilaian estetik daripada objek kepada subjek, menjelaskan lagi penolakan ahli teori estetik moden Barat terhadap peranan objek sebagai sumber estetika. Tanggapan ini berbeza dengan pandangan al- Ghazali yang percaya bahawa setiap objek atau fenomena mempunyai ciri-ciri keindahannya yang tersendiri (Hamidah Abdul Hamid,1995:29). Malah, al- Ghazali menghubungkan keindahan objek ini dengan kualiti dalaman manusia yang mencipta objek-objek tersebut. Alam semulajadi juga merupakan objek yang memiliki nilai keindahan. Dalam konteks agama Islam, keindahan alam semulajadi adalah suatu refleksi dan manifestasi keindahan Allah S.W.T. yang menciptanya (keindahan). Keindahan yang hadir pada objek atau dipersepsi oleh subjek tidak dapat dipisahkan hubungannya dengan Tuhan. Hubungan inilah menjadi asas kepada konsep Estetika bersepadu yang mengkonsepsi keindahan bermakna di sisi agama. Dengan perkataan lain, nilai estetika tidak lagi bermakna apabila terpisah atau terputusnya hubungan nilai estetika dengan nilai-nilai keagamaan. Konsep Estetika Bersepadu menerima kepercayaan bahawa objek seni termasuk karya kesusasteraan adalah sumber yang memancarkan nilai estetik. Terdapat beberapa kasus yang menjadi medan terpancarnya estetika di dalam karya kesusasteraan seperti gaya bahasa, pemikiran, perutusan dan teknik. Keindahan tersurat dapat dianalisis pada gaya bahasa dan teknik, manakala

Abdul Halim Ali 147 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea keindahan tersirat dapat dianalisis pada pemikiran penyair dan perutusan yang disampaikan. Konsep keindahan tersurat dan tersirat ini sejajar dengan tanggapan al-Ghazali yang menyatakan bahawa keindahan alam syahadah (tersurat) dapat dipersepsikan oleh pancaindera yang lima. Keindahan ini dapat dialami oleh sesiapa sahaja, malah sesiapa yang tidak mempercayai wujudnya Tuhan juga boleh mengalami perasaan dan pengalaman ini. Manakala keindahan dalaman hanya dapat dipersepsikan oleh mata hati manusia sahaja (Hamidah Abdul Hamid,1995:28). Keindahan dalaman yang dimaksudkan oleh al-Ghazali ialah keindahan yang tersirat, yang wujud dalam bentuk abstrak. Keindahan ini memerlukan kaedah pengapresiasian yang dapat menembusi ruang transendental dengan menghubungkan maklumat dalam bentuk nyata dengan maklumat dalam bentuk abstrak. Islam memberi keutamaan yang lebih kepada aspek keindahan yang tersirat berbanding keindahan yang tersurat. Rupa paras, warna kulit dan kekayaan bukannya indeks yang menentukan tahap keindahan pada diri seseorang, sebaliknya, nilai-nilai peribadi dan akhlak menjadi indeks yang lebih diutamakan. Dari sudut ini, konsep keindahan dari perspektif Islam juga membawa maksud kebaikan dan keelokan. Keindahan, kebaikan dan keelokan seumpama ini dijelaskan oleh al-Ghazali sebagai bersumberkan kepada sifat Tuhan dan keindahan atau kebaikan dalaman itu tadi memimpin para seniman kepada kasih dan sayangnya kepada Tuhan (Hamidah Abdul Hamid,1995:30). Keindahan atau kebaikan dalaman ini dianggap oleh al-Ghazali sebagai keindahan yang sebenar. Demikian sabda Rasulullah S.A.W. dalam sebuah hadisnya yang bermaksud; `Kebaikan itu ialah elok budi pekerti. Dan dosa itu ialah apa yang tergetar dalam diri engkau dan engkau benci bahawa dilihat oleh manusia kepadanya` Riwayat Al-Nawawi. Dlm. Hadis 40,1992:304)

Imam al-Nawawi dalam syarahnya berkaitan hadis di atas menghubungkan kebaikan dengan kebajikan. Kebajikan ini tergambar dan terlaksana dalam dua hubungan iaitu hubungan manusia sesama manusia dan hubungan manusia dengan Allah S.W.T. Dalam konteks hubungan manusia dengan Allah S.W.T., kebajikan secara khususnya berkait dengan makna melaksanakan segala amal taat sama ada dari sudut zahir mahupun batin sesuai dengan ajaran Islam. Kedua-dua jenis kebajikan ini menurut al-Nawawi merupakan kebaikan dan kebaikan menurut Rasulullah S.A.W. pula ialah keelokan budi pekerti. Keelokan budi pekerti bermaksud mengerjakan sesuatu yang ditentukan atau disukai atau yang sesuai dengan ibadat dan fikiran, tetapi tidak bertentangan dengan petunjuk agama (Mustafa `Abdul Rahman,1992:306). Penjelasan ini menunjukkan, Islam lebih mementingkan keindahan yang tersirat, tetapi tidak menolak keindahan yang tersurat selagi ianya tidak bertentangan dengan ajaran agama. Menurut Abdul Hadi W.M. (2000:338), Islam adalah agama yang penuh

148 Abdul Halim Ali Pendekatan Kritik Teks Sastera Berasaskan Gagasan Estetika Bersepadu keterbukaan. Sudah lama unsur-unsur kebudayaan luar itu mendapat ruang dan bergerak bebas dalam tradisi Islam yang berteraskan tauhid. Tegas Abdul Hadi lagi; Terhadap unsur-unsur yang membawa kepada syirik, nihilisme, pemujaan suatu kelas sosial, suku ayau ras tertentu, fetisyisme palsu, hedonisme material, pemutarbelit sejarah wahyu dan kenabian, pengingkaran terhadap hal-hal yang bersifat metafisis dan eksatologis, jelas tidak akan diterima. (Abdul Hadi W.M.,2000:338-339)

Pernyataan Abdul Hadi menunjukkan elemen-elemen daripada luar Islam masih boleh diterima pakai dengan syarat disepadukan dengan ajaran-ajaran pokok Islam yang berteraskan tauhid. Berbeza dengan pandangan Aquinas yang membezakan kebaikan dengan keindahan. Menurut Aquinas, kebaikan berhubung dengan kehendak (desire) dan deria (sense) untuk menjejaki nilai ini ialah cita rasa seni (taste) dan bau (smell), manakala keindahan dikaitkan dengan sesuatu yang menggembirakan (Sohaimi Abdul Aziz,1998:29). Pandangan Aquinas ini menjadi asas estetik moden yang memisahkan bukan sahaja nilai keindahan dengan kebaikan, tetapi juga dengan nilai yang lain. Keindahan pada gaya bahasa tergambar dalam bentuk luaran pada unsur- unsur bahasa yang digunakan. Keindahan tersurat boleh dikatakan seba­gai kualiti estetik yang terkesan pada penggunan gaya bahasa. Gaya bahasa, khu­ susnya gaya bahasa ketaklangsungan makna mencerminkan secara mekanis salah satu jenis kualiti dan kuantiti estetik dalaman sesuatu teks kesusasteraan. Kualiti estetik dapat ditanggapi dan dipersepsi pada kesan yang dihasilkan oleh kesepaduan sejumlah kuantiti gaya bahasa. Kuantiti gaya bahasa dapat dirujuk pada unsur-unsur tertentu yang mewakili jenis bahasa yang digayakan, seperti gaya perbandingan, gaya kiasan, gaya pengorangan, metafora, alusi dan lain- lain lagi. Islam meletakkan daya kreativiti manusia berlandaskan agama sebagai sumber yang mendatangkan makna. Penyair terkait dalam soal kewujudan makna keindahan dari sudut penglahiran pemikiran yang mengunjurkan perutusan, dan perutusan ini pula mengesankan pengajaran agama. Penyair adalah pihak yang terlibat secara langsung dalam perkaitan ini. Oleh kerana itu, keperibadian penyair semestinya menjadi latar pewarian sumber keindahan dalam aspek pemikiran dan perutusan. Namun begitu, daya kreativiti itu tidak bersifat autonomus, sebaliknya berkait secara tuntas dengan ketentuan Tuhan. Bermakna, setiap perlakuan manusia, termasuk penyair (dalam kerja-kerja penulisan) tidak terelak daripada bersandar kepada agama, kerana penentuan akhir atas apa yang ditulis dan difikirkan oleh penulis terangkum dalam qada dan takdir Tuhan juga. Manusia melakukan sesuatu dengan pilihannya, potensi kreatifnya dan ketentuan (takdir)

Abdul Halim Ali 149 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

Allah S.W.T. Keindahan tersurat menampilkan unsur-unsur atau nilai keindahan yang umum, yakni yang boleh dipandang, dibaca dan diukur secara mekanis. Keindahan ini merupakan keindahan yang paling asas dan universal sifatnya. Ia merupakan peringkat keindahan paling rendah. Dalam karya puisi, keindahan tersurat dapat dipersepsi dan dihuraikan berdasarkan makna tidak langsung menerusi gaya bahasa yang digunakan. Gaya bahasa merupakan unsur asas penting yang menampilkan raut wajah luaran bahasa puisi yang indah dan dapat mendorong fikiran dan minat pembaca menerokai ruang abstraksi dan menikmati keindahan karya. Menurut Goethe (dlm. Rahman Shaari,1992) gaya bahasa merupakan prinsip karya yang tertinggi dan aktif, dan dengannya penulis dapat menembusi dan membuka bentuk dalaman subjeknya. Pandangan Goethe menggambarkan, aspek gaya bahasa menunjangi kekuatan sesebuah karya. Meskipun Goethe berpendapat bahawa gaya bahasa merupakan prinsip terpenting dan tertinggi dan aktif, namun dalam kajian ini, ketinggian gaya bahasa tidak semata-semata berdiri atas sifatnya, tetapi berpadu erat dengan pemikiran dan perutusan. Keindahan gaya bahasa bentuk tersurat ditandai dengan kehadiran unsur-unsur gaya kiasan dalam terkelompok dalam gaya ketaklangsungan makna. Daripada gaya kiasan inilah, pemikiran penyair dan perutusan dapat dipersepsi dan ditafsirkan. Keindahan yang terkesan pada penggunaan gaya bahasa kiasan menggambarkan idea atau gagasan pemikiran penyair itu sendiri kerana pemilihan gaya yang menimbulkan kesan keindahan itu dibuat atas kesedaran estetiknya. Kerana itulah, keindahan yang tergambar bukan setakat pada gaya tetapi jauh menjejak dasar pemikiran penyair. Konsep Estetika Bersepadu percaya bahawa keindahan yang terjelma dalam penggunaan gaya dan pemikiran penyair dimaknakan lagi dengan perutusan yang ingin disampaikan kepada khalayak. Menurut Othman Puteh (2004), seseorang pengarang mengarang kerana ada sesuatu yang ingin disampaikan. Dengan itu, penyair tidak sekadar menampilkan kebijaksanaannya dalam stail mengarang, tetapi juga kebijaksanaan dalam menyampaikan perutusan kepada pembaca. Jelasnya, pengetahuan tentang keindahan stail sangat penting sebagai asas kepada pengetahuan yang lebih khusus pada peringkat keindahan bermakna.

Perkaitan Nabi Adam a.s. yang diciptaan Allah SWT atas maksud untuk dijadikan khalifah di muka bumi. Dengan maksud ini bermakna nabi Adam a.s. melaksanakan tugas kerasulannya menyampaikan perutusan Allah kepada manusia di dunia. Penciptaan Adam tidak tamat dengan zahirnya manusia yang dimasukkan ke dalam ruang fizikal tubuhnya roh, tetapi berkait secara langsung dengan tugas kerasulan dan kekhalifahan. Tugas ini adalah sesuatu yang benar berkait dengan realiti kebenaran Kehendak Allah SWT dan berkait dengan realiti dunia tempat nabi Adam a.s. dipertanggungjawabkan amanah.

150 Abdul Halim Ali Pendekatan Kritik Teks Sastera Berasaskan Gagasan Estetika Bersepadu

Referensi perkaitan ini secara perbandingannya dapat dikiaskan dengan fungsi teks kesusasteraan yang tidak semata-mata dihasilkan pengarang untuk tkesasteraan, sebaliknya terkait dengan perasanannya membawa idea/pemikiran pengarang kepada pembaca. Justeru, teks kesusasteraan membawa bersamanya suatu perutusan daripada `pencipta` (pengarang) dengan tujuan agar perutusan itu memberi manfaat kepada kesejahteraan manusia.

Rumusan

Estetika teks kesusasteraan adalah kualiti keindahan yang terhasil daripada proses kesepaduan gaya bahasa, idea, pemikiran dan perutusan yang menampakkan rupa bentuk stail keilmuan dalam kepengkaryaan. Stail ini berkait pula dengan kebenaran agama dan kebenaran realiti kehidupan tempat di mana teks itu dizahirkan. Estetika dalam konsep Estetika Bersepadu bukan sekadar kualiti keindahan yang menyentuh rasa dan pengalaman, tetapi melewati daerah keimanan dan kebenaran di sisi agama. Ini pandangan baharu yang boleh diberi pertimbangan bagi memahami makna keindahan dalam amalan kritik terhadap teks kesusasteraan Melayu.

Rujukan

Al-Quran dan terjemahannya.(1428 H). Cetakan Kerajaan Arab Saudi. A.Teeuw. (1995). Sastera dan ilmu sastera: Pengantar teori sastera. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Abdul Hadi W.M. (2000). Cakrawala estetik dan budaya. Jakarta: Pustaka Firdaus. Abul Fidaa’ Ismail bin Katsir al-Quraisy (2004) Kisah para nabi: Teladan bagi orang berakal.(terjemahan). Kuala Lumpur: Darul Fajr Sdn. Bhd. Adib Bisri Musthofa. (1999). Tarjamah shahih muslim. (Jilid 1). Kuala Lumpur: Penerbit Victory Agencie. Braginsky. I.V. (1993) The system of classical malay literature. Leiden: KITLV Press. Braginsky. I.V.(1994) Erti keindahan dan keindahan erti dalam kesusasteraan melayu klasik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Braginsky. I.V.(2000). `Perpaduan etika dan estetik sastera di dalam hikayat melayu zaman islam`. Kertas kerja. Seminar Teori Sastera Islam: Kaedah dan Penerapan. Hotel Renaissance, Palm Garden, Puchong. 26-28 September 2000. Gorys Geraf (2005) Diksi dan gaya bahasa. (Edisi ke-15). Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Hamidah Abdul Hamid. (1995). Pengantar estetik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka

Abdul Halim Ali 151 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

Haron Din, et al. (1997). Manusia dan islam. (Jld Dua). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Ismail Faruqi. (1980). Islam and culture. Kuala Lumpur: Terbitan Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM). Mohd Affandi Hassan. (1992). Pendidikan estetika daripada pendekatan tauhid. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Mohd Kamal Hassan. (1981). `Konsep keindahan dalam islam dan hubungannya dengan seni dan sastera`. Jurnal islamiyyat, Jilid 3/81, Bangi: Terbitan Fakulti Pengajian Islam UKM. Othman Puteh. (2004). Panduan menulis cerpen. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Rahman Shaari. (1993). Memahami gaya bahasa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. S.H.Nasr. (1989). Falsafah kesusasteraan dan seni halus. (terj). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Sidi Ghazalba. (1977). Pandangan islam tentang kesenian. Kuala Lumpur: Penerbitan Pustaka Antara. Sohaimi Abdul Aziz. (1998). Rasa-fenomenologi:Penerapannya terhadap karya a.samad said. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.. Townsend, D. (2001). Aesthetics: Classic readings from the western tradition. United States of America: Wadsworth. Ungku Maimunah Tahir. (1999). `Persuratan baru oleh mohd affandi hassan: Satu sambutan awal`. Kertas kerja. Kolokium Membina Teori Sastera Sendiri. Bahagian Teori dan Kritikan Sastera, Dewan Bahasa dan Pustaka. Hotel The Summit, Subang Jaya, Selangor. 6-8 Disember 1999. Yusuf al-Qardawi. (2000). Islam dan seni (terj) Bandung: Pustaka Hidayah.

152 Abdul Halim Ali MEMBACA AYAT–AYAT CINTA 2 DAN MEMIKIRKAN HABIBURRAHMAN EL SYIRAZY

Hanung Triyoko Head of Language Center, IAIN Salatiga/[email protected]

aya menulis makalah ini sebagai kritik sastra atas novel Ayat-Ayat SCinta 2 Karya Habiburakhman El Shirazy untuk memuaskan keinginan berbagi kesan dan pesan sebagai alumni jurusan Sastra Inggris, penikmat novel, sekaligus pembaca karya-karya Kang Abik yang penasaran terhadap kabar akan difilmkannya novel tersebut segera. Kritik sastra dalam pengertian yang ditawarkan oleh Morner dan Rausch (1998:121) adalah kegiatan menjabarkan, menafsirkan, dan menilai suatu karya sastra. Terdapat begitu banyak cara melakukan kritik sastra sehingga tulisan seseorang tentang karya sastra tertentu dalam format penyajian bagaimanapun dapat dianggap sebagai kritik sastra, bahkan pun sekedar seruan “waduuh, bagimana ini kok akhir ceritanya begini ...?”. Pada tataran akademik kemudian disepakati cara-cara tertentu yang akan membantu pembaca memahami cara pandang atau tujuan seorang kritikus dama kegiatan kritik sastranya. Hal ini kemudian melahirkan tuntutan penghadiran teori-teori kritik sastra yang ternyata juga sangat beraneka rupa. Dalam sejarahnya pengolongan kritik sastra dalam dua kelompok utama yakni kritik sastra formal dan kritik sastra kultural, dianggap mencukupi sampai akhirnya dijumpai tulisan tulisan kritik sastra yang secara sengaja mencampuradukkan keduanya. Kritik sastra formal adalah kritik sastra yang hanya memusatkan perhatian kepada karya sastra tersebut atau melihat karya sastra sebagai dunia tersendiri yang memenuhi tuntutan keberadaanya sendiri sehingga suatu karya sastra hanya dapat ditafsirkan atau dinilai berdasarkan terpenuhi ataupun tidaknya wujud dunia karya sastra dalam karya sastra tersebut. Kritik sastra kultural adalah kritik sastra yang memusatkan perhatian terhadap keterkaitan antara budaya dan karya sastra atau bahwa karya sastra selalu terkait dengan budaya dalam arti yang paling luas dari penulis karya satra tersebut atau budaya masyarakat yang melingkupi kehidupan penulis karya

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 153 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea sastra tersebut. Kritikus karya sastra yang menggabungkan pendekatan kritik sastra formal dan struktural meyakini bahwa karya sastra memang merupakan dunia tersendiri dengan eksistensi sendiri mengikuti cirinya namun demikian dunia tersendiri dari karya satra tersebut tidak pernah hadir dalam titik nol atau dalam kondisi hampa. Pada titik inilah saya menuliskan kritik sastra ini. Saya menuliskan kritik sastra atas novel Ayat-ayat Cinta 2 karya Habibburakhman El-shirazy kali ini dengan didasarkan pandangan bahwa karya sastra hadir sebagi dunia tersendiri akan tetapi karya satra selalu memiliki pintu-pintu penghubung dengan dunia-dunia lainya, baik dunia-dunia yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra itu ataupun dunia-dunia masa depan yang setiap waktu terhubung dengan karya sastra tersebut begitu karya sastra tersebut dinikmati ataupun dibaca sehingga peran pembaca karya sastra tidak kalah pentingnya dengan peran dari pencipta karya sastra itu sendiri. Saya tentu mengawali kegiatan kririk sastra atas novel Ayat-ayat Cinta 2 dengan membacanya, pada saat saya membaca inilah novel tersebut hadir sebagai teks yang bisa saya perlakukan sebagai dunia yang terpisah dari dunia Habibburakhman El-shirazy yang menciptakannya atau dunia masyarakat yang budayanya melatarbelakangi penciptaan novel tersebut karena saya memiliki kuasa untuk secara subyektif memaknai novel tersebut inilah yang disebut teori reader response dalam kritik sastra. Teori Reader Response untuk kegiatan kritik sastra ini dipelopori oleh Stanley Fish (1970) yang saat itu membuat pernyataan kontroversial namun fenomenal yakni “Karya sastra itu ada dan bermakna hanya apabila karya sastra tersebut dibaca”. Melalui pernyataan inilah anggapan pembaca sastra itu sama pentingnya dengan penulis sastra memperoleh pijakan yang kuat. Hingga saat ini pkiran saya selalu merujuk kepada Habiburrakhman sebagai penulis novel Islami Indonesia pertama melalui karyanya Ayat-ayat Cinta (2004), atas dasar yang mungkin sama yang digunakan akademisi satra di eropa untuk merujuk Rokeya Sakhawat Hossain sebagai penulis kisah fiksi pertama dari kalangan Muslim melalui novelnya Sultana’s dream (1905) karena keduanya Habibburachman El-Shirazy juga Rokeya yang pertama kali menyajikan tema-tema Islam dan tokoh-tokoh Islam sebagai inti cerita atau yang menyajikan lived religion istilah yang dipopulerkan David Hall (1997) yang merujuk kepada keimanan atau perilaku sehari-hari pemeluk agama. Pengertian novel Islami dalam kritik sastra ini mengikuti pengertian bahwa novel-novel Habibburachman El-Shirazy menyajikan cerita tentang keimanan tokoh-tokoh Muslim serta perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari bukan merujuk kepada ciri-ciri pembeda novel Islami dibandingkan novel lainnya. Terus-terang saya sangat menikmati membaca novel ini meski setebal 690 halaman namun saya akui setiap halamannya menyajikan gaya penceritaan yang jelas hanya bisa dilakukan oleh novelis yang terampil dan berhasil. Detail penggambaran lokasi, pemilihan kata, penokohan, serta penjalinan peristiwa, keseluruhannya memerangkap saya untuk terus membaca tanpa sedikitpun

154 Hanung Triyoko Membaca Ayat-Ayat Cinta 2 dan Memikirkan Habiburrahman El Syirazy kemalasan untuk sengaja melompat ke halaman-halaman tertentu yang saya butuhkan sekedar untuk mendapatkan struktur cerita yang disajikan Kang Abik, tentu saja pengalaman saya sebagai penikmat novel dan sarjana sastra memberi saya ketrampilan yang cukup untuk itu. Saya benar-benar memilih untuk membaca tiap kalimat karena saya akui Kang Abik lihai menyajikan kalimat-kalimat yang gampang dicerna, namun tetap terbingkai indah dalam penyajiannya dan kuat dalam pemaknaannya. Inilah yang disepakati banyak orang sebagai kekuatan karya-karya Kang Abik. Membaca novel Ayat-Ayat Cinta 2 benar-benar membawa saya kepada perjalanan magis ke Inggris, ke kota Edinburgh persisnya, karena meski saya belum pernah kesana dan hanya membaca novel itu saja, saya seolah-olah telah mengakrabi sudut-sudut kota itu bahkan sanggup membayangkan kemegahan tata kota plus tipikal bangunan-bangunan yang menjadi landmark atau ciri kas kota tersebut dengan mengandalkan uraian setiap tempat yang melatarbelakangi penceritaan novel ini. Hal ini membuat saya berpikir akan seberapa berhasil kah sang sutradara yang bertanggung jawab dalam ikranisasi (proses penyajian dalam layar lebar/pem-film-an) novel ini karena saya tahu sutradara manapun dihadapkan kepada pilihan-pilihan ekspresi seni, pembiayaan, tenggat waktu yang disediakan produser, plus idealisme penulis novel. Kompromi-kompromi yang mesti dilakukan sang sutradara dapat saja mengorbankan salah satu atau beberapa aspek tersebut demi tuntutan atas aspek lainnya. Berkaca dari pengalaman saya menonton film Ayat-Ayat Cinta (AAC), ikranisasi novel jilid pertama seri Ayat-Ayat Cinta, saya kecewa dengan hilangnya begitu banyak bayangan akan tokoh-tokoh cerita yang saya ciptakan sendiri akibat detail penggambaran tokoh oleh Kang Abik dalam novel. Ketika perwatakan tersebut diperankan dalam film saya dipaksa melihat tokoh- tokoh cerita yang saya mesti mengenalinya kembali. Sederhananya saya tidak menemukan ‘kecantikan’, ‘kewibawaan’, ‘kepiluan’, bahkan ‘ketulusan’ yang disajikan dalam novel ada dalam film. Idealnya tentu saja apabila kang Abik sebagai penulis novel sekaligus juga adalah sutradara dan produser film sehingga Kang Abik memiliki lebih banyak keleluasaan dalam menghadirkan novelnya dalam format film. Saya mendoakan kalaupun film Ayat-Ayat Cinta 2 belum juga menempatkan Kang Abik dalam posisi ideal demikian setidaknya film ini akan lebih berhasil dari film Ayat-Ayat Cinta seri pertama dalam menghadirkan secara utuh nuansa dan peristiwa- peristiwa yang terlebih dahulu disajikan dalam benak pembaca novel yang tentu saja jauh lebih sulit mempertimbangkan banyaknya jalinan peristiwa dalam 690 halaman novel tersebut dalam durasi tayang antara 90 sd 120 menit film. Untuk yang belum membaca novel Ayat-Ayat Cinta 2, jelas anda tidak akan terbebani dengan upaya otomatis pembandingan penyajian cerita dalam novel dan film karenanya anda diharapkan bisa menikmati filmnya lebih leluasa.

Hanung Triyoko 155 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

Membaca novel Ayat-Ayat Cinta 2 memang memberi saya semacam reafirmasi atau penegasan kembali atau istilah yang paling sederhana semangat baru untuk mencintai Islam karena novel ini gamblang menyajikan perwujudan nilai-nilai Islam berupa kedisiplinan, kepercayaan diri tinggi dibarengi kepasrahan terhadap kekuasaan Ilahiyah, kedermawanan, kemantapan hati dalam membela dan memperjuangkan kebenaran, persaudaraan dalam kemanusiaan serta nilai-nilai Islami lainnya yang menopang prinsip ajaran kebaikan dalam Islam kaitannya dengan hubungan antar makhluk dengan Tuhannya (habluminallah) dan hubungan antar manusia (habluminannas). Keseluruhan nilai ideal Islami tersebut ditampilkan melalui tokoh Fahri dan bagian perbagian lainnya dari nilai-nilai Islami tersebut dinukilkan melalui perwatakan tokoh-tokoh lainnya seperti Paman Hulusi, si sopir yang jujur dan teguh dalam pertaubatannya atas dosa-dosa masa lalu. Sabina, perempuan misterius yang ternyata si Aisha istri Fahri yang hilang, yang setia dan rela mengorbankan apapun demi kehormatannya. Hulya, perempuan yang cerdas, ramah, namun tetap menempatkan suami dan keluarga sebagai prioritas utama, yang membuat Fahri siap menikah kembali setelah bertahun-tahun meredam duka dan kerinduan akibat kehilangan istrinya Aisha. Misbah, teman Fahri, yang kritis dalam berpikir, penuh perhitungan, namun selalu perduli terhadap kesulitan orang lain meski dirinya sendiri tidak dalam kondisi terbaik untuk siap sedia menolong orang lain. Dengan cara perwatakan tokoh-tokoh cerita versi Kang Abik yang demi­kian saya jadi berpikir apakah benar yang dikatakan orang-orang yang menganggap karya-karya Kang Abik tidak pantas disejejarkan dengan karya- karya sastra Indonesia yang masterpiece yang dapat dianggap sebagai karya agung kesustraan Indonesia? Atau bahwa Ayat-Ayat Cinta 2 tidak layak dianggap mewakili budaya dan interaksi sosial sebagai cerminan kehidupan masyarakat Muslim yang diwakili pemuda Muslim asal Indonesia bernama Fahri dan dipamerkan ke dunia? Saya teringat salah satu kritik atas novel Ayat-Ayat Cinta seri pertama yang best seller waktu itu oleh Ayu Utami yang dimuat dalam media online detiknews pada Minggu 23 Maret 2008 pukul 12.32 WIB yang diberi judul Ayat-Ayat Cinta Pengecut yang diantaranya menyebutkan bahwa hanya kelompok sastrawan Muslim yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena yang memuji-muji novel tersebut, bahwa novel tersebut hanya berusaha menyenangkan orang (mungkin lebih mengena lagi kalau disebut orang Muslim) dengan menyampaikan apa yang ingin Muslim dengar, bukan yang Muslim tidak ingin dengar dengan cara menyajikan cerita yang happy ending, menetapkan perwatakan tokoh utama yang tidak memiliki cela, juga dengan mematikan tokoh-tokoh penopang cerita lainnya kapan pun dikehendaki untuk segera mengurai kerumitan konflik cerita dan menghindari penolakan pembaca terhadap peristiwa-peristiwa dalam novel yang dianggap mempromosikan nilai-nilai yang oleh sebagian besar masyarakat

156 Hanung Triyoko Membaca Ayat-Ayat Cinta 2 dan Memikirkan Habiburrahman El Syirazy

Indonesia dianggap tidak umum terjadi di kehidupan keseharian. Penghadiran peristiwa poligami oleh Kang Abik dalam Ayat-Ayat Cinta seri pertama, misalnya. Poligami yang dikisahkan diinginkan oleh istri pertamanya Aisha, yang dituruti oleh Fahri, namun segera Maria, istri kedua Fahri, dimatikan dalam cerita untuk segera mengembalikan kebahagiaan pembaca dan menyudahi kerumitan cerita yang mungkin saja muncul akibat poligami tersebut. Strategi pembangunan struktur cerita yang melibatkan kematian tokoh yang menurut saya jamak dilakukan para novelis dan seringkali justru menjadi titik dramatisasi elegan oleh Ayu Utami dianggap sebagai bagian kepengencutan Kang Abik dalam menyampaikan nilai-nilai yang dipercayainya sendiri tentang poligami. Saya berpikir mengapa pula hal nyaris serupa dilakukan Kang Abik dalam novel Ayat-Ayat Cinta 2. Novel ini juga menghadirkan penggalan peristiwa poli­ gami sebagai penopang cerita tapi lalu sang novelis, Kang Abik, ‘mematikan’ istri kedua seolah-olah Kang Abik memang belum nyaman benar mengkisahkan kehidupan keluarga poligami. Dikisahkan Fahri dengan segala alasan personalnya yang masuk akal menikahi Hulya, seperti alasan ketidaktahuan Fahri bahwa Sabina yang wajah­ nya buruk rupa yang selama ini dia selamatkan dari tindakan hina mengemis di jalanan adalah Aisha, istrinya yang hilang. Alasan bahwa Fahri akhirnya tidak harus menerima ataupun menolak permintaan Syaikh Utsman guru yang sangat dihormatinya untuk menikahi Yasmin, wanita janda yang juga bagian dari keluarga besar Syaikh Utsman, karena tiba-tiba Yasmin sendirilah yang membatalkan perjodohan tersebut. Tidak kalah pentingnya alasan bahwa Hulya sejak awal memang menarik perhatian Fahri karena kemampuan bermain biola dan gerak gerik Hulya lainnya yang terus mengingatkan Fahri terhadap sosok Aisha istrinya yang telah menghilang sekian lama dan memang Hulya dan Aisha memang masih kerabat dekat. Kembali dalam Ayat-Ayat Cinta 2 ada perwatakan tokoh yang tanpa cela pada diri Fahri, ada peristiwa poligami, meski dengan mudah pembaca cenderung mengabaikan peristiwa poligami tersebut. Saat pernikahan Fahri dan Hulya berlangsung, Sabina hanyalah perempuan buruk rupa yang karena niat baik Fahri dikembalikan kepada kehidupan yang terhormat dari kehidupan sebelumnya yang mengemis menggelandang. Sabina bukanlah Aisha istri Fahri yang hilang. Sabina pada saat sesuatu yang seharusnya disebut poligami itu terjadi hanyalah perempuan misterius yang sejak awal sedikit demi sedikit dilekatkan perwatakan Aisha melalui perilaku dan kebiasaan kesehariannya sehingga pembaca yang sadar akan mulai mengganggapnya Aisha. Dengan kelihaian gaya penceritaan Kang Abik Sabina baru benar-benar pada akhirnya diketahui tidak lain dan tidak bukan adalah Aisha istri Fahri yang hilang setelah Hulya, istri kedua Fahri, mati membela sahabat non-muslimnya Kaira dari perampokan. Sabina atau Aisha istri pertama Fahri memilih menjaga kehormatannya sebagai istri Fahri dari perkosaan saat dipenjara oleh tentara Israel dengan

Hanung Triyoko 157 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea cara merusak wajah cantiknya. Sabina tidak mampu untuk berterus-terang kepada Fahri bahwa dirinyalah Aisha istri yang selama ini dirindukannya dengan wajahnya yang buruk rupa karena Sabina takut Fahri dan yang lainnya menganggapnya perempuan yang tidak tahu berterimakasih dan kelewatan apabila dia mengaku sebagai Aisha. Dengan ketidaktahuan Fahri bahwa Sabina adalah Aisha, secara teknis poligami tersebut tidak dilakukan oleh Fahri tetapi secara teknis pula poligami tersebut terjadi dan direlakan terjadi oleh Sabina yang sebenarnya Aisha istri Fahri. Saya berpikir keras mengapa Kang Abik kembali memilih ‘mematikan’ salah satu tokoh dalam ceritanya dan menampilkan ide poligami secara terselu­ ­ bung sebagaimana yang dilakukannya lewat seri pertama novel Ayat-Ayat Cinta? Saya sering berpikir bahwa pilihan ‘mematikan’ tokoh penopang cerita memang menjadi ciri atau setidaknya kegemaran Kang Abik dalam menjalin peristiwa-peristiwa dalam novel-novel karyanya yang terbingkai dalam plot cerita yang berbasis konflik yang rumit dan panjang, yang terasa benar perbesaran intensitas pertentangan antara protagonist dan antagonist menuju klimax namun pendek fase denoument atau anti-climaxnya karena kematian tokoh penopang cerita tersebut sebagaimana yang pembaca temukan dalam novel Ketika Cinta Bertasbih, Ayat-Ayat Cinta 1 dan 2, Bumi Cinta, meski ada juga novel karya Kang Abik, Bidadari Bermata Bening, yang tidak membuktikan kegemaran Kang Abik ‘mematikan’ tokoh penopang cerita. Pun demikian saya tidak menyetujui kritik terhadap kegemaran Kang Abik ‘mematikan’ tokoh tersebut hanya dikaitkan dengan upaya Kang Abik untuk menyajikan happy ending atau situasi yang di- ideal-kan para pembaca pada setiap cerita yang dikisahkannya karena dalam pikiran saya Kang Abik gemar ‘mematikan’ tokoh karena kepentingan yang lebih besar daripada sekedar menyenangkan pembaca. Menurut saya, Kang Abik sebagai seorang novelis, mengerti betul apa yang bisa dilakukannya sekaligus bagaimana dia melakukannya dengan novel sebagai media dakwah. Daripada menyetujui pernyataan Ayu Utami bahwa Sastrawan yang bernafsu menyampaikan kebenaran itu tidak menarik, saya memilih untuk menyetujui pernyataan Ayu Utami yang lain bahwa novel, apapun kisah di dalamnya, adalah kerajinan kata-kata dan pengakuan Kang Abik bahwa novelnya adalah novel dakwah memberikannya keleluasaan untuk lebih bernafsu mempromosikan kebenaran sesuai keyakinannya. Membaca perwatakan Fahri yang tanpa cela sehingga begitu banyak wanita yang jatuh hati kepadanya dalam serial novel Ayat-Ayat Cinta 1 dan 2, membaca dan bahkan ikut merasakan kebanggaan Fahri ketika tampil luar biasa dalam debat di Oxford sehingga memenangkan dukungan hadirin dalam forum akademik yang amat disegani dunia tersebut sehingga mereka tidak lagi melihat Islam secara keliru sebagai agama para teroris, agama penebar kebencian, namun sebagai agama cinta, agama yang mempromosikan ‘toleransi yang hakiki, toleransi yang anggun’ (Ayat-Ayat Cinta 2 hlm. 574), membuat saya berpikir bahwa

158 Hanung Triyoko Membaca Ayat-Ayat Cinta 2 dan Memikirkan Habiburrahman El Syirazy

Kang Abik punya alasan yang serius dan masuk akal menampilkan perwatakan dan peristiwa-peristiwa yang dialami Fahri yang demikian mencengangkan atau membuat iri para lelaki atau pemuda pembaca novel ini. Kang Abik bahkan tidak begitu memperdulikan kritik terhadap gaya penokohan yang bombastis ini. Saya berpikir Kang Abik adalah novelis yang memang sejak awal mempertaruhkan karir kepenulisannya untuk dakwah. Novel-novel karya Kang Abik, keseluruhannya ditulis dengan niatan untuk mendakwahkan nilai-nilai Islam sehingga setiap novel Kang Abik akan lebih mencerminkan tema-tema dakwah tertentu dibandingkan dengan upaya Kang Abik untuk dijuluki orang sebagai sastrawan, novelis nomer 1, novelis best seller, dll. Kalaupun kemudian Kang Abik memang termasuk novelis terlaris, hal itu malah semakin meyakinkan dirinya bahwa strategi dakwahnya melalui menulis novel memang tepat. Saya berpikir Kang Abik tidak akan kawatir dikritik sebagai novelis yang cerita-ceritanya mulai gampang ditebak karena pola penokohan yang berpusat pada kepahlawanan lelaki, asalkan pembaca novelnya terus bertambah, setidaknya tidak berkurang. Dalam kegiatan dakwah, jumlah orang yang dapat dijangkau itu hal terpenting. Saya berpikir Kang Abik juga tidak akan risau menjangkau keragaman pembaca novel-novelnya sehingga lebih banyak orang non Muslim yang juga menjadi penggemar novel-novelnya karena Kang Abik sadar betul bahwa menjangkau isi kepala seluruh Muslim di Indonesia sehingga Muslim Indonesia menjalani kehidupan Islami sebagaimana yang dicita-citakan Kang Abik dalam dakwahnya bukan perkara yang mudah dan sudah terus menerus menyita perhatiannya. Tema dakwah Ayat-Ayat Cinta 2 yang saya kenali melalu pembacaan seluruh rangkaian peristiwa penopang cerita adalah Islam Rahmatan Lil Alamin. Jelas dalam Ayat-Ayat Cinta 2 ini dikisahkan semua perjuangan Fahri untuk melawan prasangka prejudice atau bahkan pelabelan sterotype bahwa Islam adalah agama para teroris, agama penebar kebencian. Ayat-Ayat Cinta 2 adalah perjuangan Fahri untuk senyata-nyatanya menyajikan bukti bahwa Islam adalah agama orang-orang yang cinta damai, agama cinta yang menjadi rahmat tidak hanya bagi Muslim tetapi bagi seluruh umat manusia. Untuk mendakwahkan Islam Rahmatan Lil Alamin Kang Abik tentu harus menyajikan situasi dimana ajaran Islam dimengerti dan dilaksanakan sepenuhnya oleh setidaknya seorang Muslim dan dirinya memiliki segala kemungkinan untuk membantu sebanyak mungkin orang dan mengatasi sebanyak mungkin jenis persoalan. Karena itu dihadirkanlah sosok Fahri yang pandai, disiplin, kaya, namun sekaligus dermawan untuk menjadi figure Muslim ideal yang didakwahkan Kang Abik sehingga semua lelaki Muslim terinspirasi atau membangun semangat ‘kalau Fahri bisa mengapa saya tidak?’. Benar sekali endorsement dari Prof. Dr. Yunahar, Waketum MUI, di halaman cover novel Ayat-Ayat Cinta 2 bahwa “ini bukanlah sekadar novel, tapi sebuah cita-cita dan pemikiran besar”.

Hanung Triyoko 159 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

Fahri menyayangi dengan tulus dan menolong nenek Catarina yang Yahudi. Fahri membelanjakan tabungannya cukup banyak untuk memastikan Keira yang Kristen, yang sangat membenci kaum Muslim, agar tidak menghancurkan hidupnya sendiri dengan menjadi pelacur dan mengapai cita-citanya. Fahri menempuh studi sampai ke tingkat doktor dalam bidang studi Islam di Eropa, menulis begitu banyak artikel tentang Islam di Jurnal Internasional dalam bahasa Inggris dan berdebat di forum akademik paling bergengsi di Oxford, itu semua adalah peristiwa-peristiwa yang pada akhirnya benar-benar menyajikan perwujudan Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin dan itu semua menjadi mungkin dilakukan oleh karena gaya penokohan Fahri yang dipilih Kang Abik. Untuk kepentingan cerita semata mungkin Kang Abik tidak perlu menghadirkan sosok Fahri sedemikian rupa tanpa cela tetapi untuk kepentingan dakwah, Kang Abik melakukannya. Saya memikirkan apa yang diandalkan Kang Abik sehingga mampu meng­ hasilkan begitu banyak novel-novel Islami best seller dan kaget luar biasa karena pemikiran saya untuk pertanyaan tersebut justru juga menghasilkan jawaban mengapa Kang Abik dalam novel seri Ayat-Ayat Cinta 1 dan 2 meng­hadirkan sekelumit kisah praktik poligami. Saya meyakini Kang Abik dalam setiap proses penulisan novelnya membawa kesadaran penuh bahwa sebagai si empunya cerita, dirinya memiliki segala kekuasaan untuk berkehendak apapun terhadap dunia cerita ciptaanya atau menjadi tuhan dengan huruf t kecil untuk dunia cerita ciptaannya tersebut. Itulah mengapa Kang Abik kapanpun dapat menggunakan strategi ‘mematikan’ tokoh penopang cerita demi menyajikan cerita yang dikehendakinya. Perbedaan tuhan dengan huruf t kecil atau kekuasaan yang dimiliki penulis cerita dengan Tuhan dengan T besar atau Kekuasaan Allah pada dunia sesungguhnya, bukan dunia cerita, adalah bahwa tuhan dengan t kecil, atau si novelis, memiliki kekuasaan yang dibatasi dan dinilai pembaca cerita. Agar kekuasaan tuhan dengan huruf t kecil, atau kekuasaan novelis ini diterima oleh pembaca, Kang Abik mesti merangkaikan peristiwa-peristiwa sebanyak yang diperlukan untuk menjadikan satu peristiwa, misalnya kematian Hulya, adalah peristiwa yang masuk akal bagi pembaca cerita, sementara Allah, Tuhan dengan T besar, Tuhan sesungguhnya, tidak perlu membuat segala tindakan-Nya atau kehendak-Nya masuk akal bagi manusia, penghuni dunia nyata. Dalam ilmu sastra dikenal istilah plausibility atau kemungkinan yang diterima penikmat cerita yang menghantarkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang dirangkaian sebagai cerita. Saya sebagai pembaca cerita Ayat-Ayat Cinta 2 menemukan plausibility tersebut sebagai salah satu andalan Kang Abik. Saya menganggap wajar Fahri memilih menolong nenek Catarina yang Yahudi dan membiayai Keira yang Kristen karena dalam novel tersebut Fahri ditokohkan sebagai dosen perguruan tinggi terkemuka di Inggris yang bergaji tinggi, memiliki bisnis bercabang di banyak kota di Eropa, dan Fahri memahami betul

160 Hanung Triyoko Membaca Ayat-Ayat Cinta 2 dan Memikirkan Habiburrahman El Syirazy kedermawanan adalah juga ajaran Islam yang setiap Muslim harus kerjakan sehingga tentu saja dengan kekayaan yang dimilikinya dan motivasi pribadinya yang ingin menjadi Muslim taat tentu saja semua tindakan Fahri tersebut masuk akal. Sebagai novelis, Kang Abik menurut saya sangat terampil memilih peristiwa penopang cerita serta perwatakan setiap tokohnya sehingga sampai saat ini novel-novelnya selalu laku dan ditunggu-tunggu penggemarnya. Penggemar novel seri Ayat-Ayat Cinta misalnya menurut saya akan cukup mudah menerima peristiwa pernikahan Fahri dan Hulya karena rangkaian peristiwa yang menjadi alasan-alasan masuk akal yang saya uraikan sebelumnya. Kematian Hulya pun menjadi hal yang dapat diterima karena luka tusukan belati berkali-kali dan ketidakberdayaannya sebagai perempuan berhadapan dengan lelaki beringas yang sangat marah karena mabuk. Kang Abik selalu percaya diri dalam memilih peristiwa dan merangkaikannya menjadi cerita yang seringkali bombastis namun tetap dirindukan karena ketrampilannya dalam menyajikan plausibility tersebut. Namun plausibility ini pula lah yang menjadi alasan mengapa Kang Abik hanya menukilkan sekelumit kehidupan poligami dalam Ayat-Ayat Cinta 1 dan memicu kritik dari Ayu Utami sebagai kepengecutan Kang Abik dalam mendakwahkan keyakinannya namun tetap diulangi Kang Abik dalam Ayat-Ayat Cinta 2 dengan nukilan kehidupan poligami singkat lainnya yang di paragraf sebelumnya juga saya pertanyakan alasannya. Alasan ditampilkannya kehidupan poligami secara singkat dalam serial novel Ayat-Ayat Cinta 1 dan 2 menurut saya bukan karena kepengencutan Kang Abik dalam mendakwahkan keyakinannya tetapi karena keyakinan Kang Abik bahwa poligami adalah bagian dari ajaran Islam belum ditopang pengalaman empiris yang memampukan Kang Abik menguraikan kehidupan poligami tersebut secara lebih panjang dan lebih menarik. Kekurangpercayaan diri Kang Abik dalam menyajikan plausibility atau alasan masuk akal yang diterima untuk mengkisahkan peristiwa kehidupan poligami yang lebih detail dan panjang disebabkan karena Kang Abik sendiri tidak tumbuh dalam kehidupan keluarga poligami sehingga pikirannya bahkan imaginasinya pun belum membantu Kang Abik menjangkau seluruh aspek kehidupan poligami dan mengungkapkannya dengan ketrampilan kata-katanya sehingga lebih banyak orang akan menerima poligami sebagai peristiwa kehidupan yang wajar. Untuk poligami memang Kang Abik hanya menyampaikan belum mendakwahkan. Sudah saatnya saatnya saya sudahi pemikiran saya tentang novel Ayat- Ayat Cinta 2, ansich, kini waktunya saya memikirkan bagaimana nanti kehadiran sutradara yang bertanggungjawab mem-film-kan Ayat-Ayat Cinta 2, tuhan dengan huruf t kecil lainnya, memastikan bahwa film tersebut adalah juga film dakwah sebagaimana Kang Abik melahirkan Ayat-Ayat Cinta 2 sebagai media dakwah. Sutradara sebagai tuhan dengan huruf t kecil pun akan menciptakan dunia lain meski tidak seberkuasa sang novelis karena dunia ciptaan sutradara semestinya

Hanung Triyoko 161 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea adalah dunia visual semu yang diadaptasikan dari dunia cerita ciptaan novelis. Jangan sampai nantinya kekuasaan sutradara sebagai tuhan dengan huruf t kecil tersebut menciptakan dunia visual semu yang asing bagi novelis dan pembaca novel. Jangan sampai visualisasi novel atau ikranisasi atas Ayat-Ayat Cinta 2 justru menghasilkan film yang jauh dari dakwah karena penonton terjebak pada visualisasi yang cenderung materialistis atau pembedaan karena esensi film yang berdasar pada slogan ‘picture speaks more than words’ atau bahwa gambar berbicara lebih banyak hal sehingga penonton tergiring untuk menangkap jauh lebih banyak informasi yang mengaburkan dakwah Kang Abik. Sebagai pembaca novel Ayat-Ayat Cinta 2 yang penasaran dengan kabar pem-film-annya dan tentu saja ingin menonton filmnya saat sudah diluncurkan, saya sangat ingin tidak hanya melihat adegan-adegan atau peristiwa-peritiwa favorit saya sebagaimana saya baca dalam novelnya benar-benar berhasil divisualisasikan dengan baik namun saya juga ingin sepenuhnya mendengar kembali kata-kata yang sangat menginspirasi yang menyertai kejadian-kejadian persitiwa tersebut seperti yang dituliskan dalam kalimat-kalimat Kang Abik dalam novel karena menurut saya peristiwa dan kata-kata tersebut sangat kekinian dan dapat berkontribusi luar biasa untuk merubah kondisi kehidupan kaum Muslim Indonesia seperti nukilan-nukilan berikut: Sang Syaikh hanya tersenyum dan berkata, ‘tanpa bermaksud meremehkan apa yang engkau katakan, tolong renungkan baik-baik! Bagaimana kalian akan menegakkan khilafah, sedangkan kalian menyatukan hari raya Idul Fitri saja tidak bisa!’ 9 Hlm. 143). Kata-kata tersebut menurut saya cukup kuat memaksa kita Muslim Indonesia ber­pikir lebih jauh untuk menanggapi, menerima atau menolak, rencana peme­ rintah membubarkan HTI di Indonesia. “Kita boleh berbeda ... Tetapi kita sesungguhnya memiliki nurani yang sama, yaitu nurani kemanusiaan. Nurani kemanusiaan inilah yang tidak boleh lepas dari diri kita, siapa pun kita. Kita semua tidak rela ada anak-anak tidak berdosa yang tidak berdaya dinistakan oleh tangan-tangan jahat seperti yang terjadi pada anak-anak Palestina” (Hlm. 297) kuatnya kata-kata yang juga tentu saja berlaku juga pada situasi kegawatan penyelematan anak-anak jalanan di Indonesia sehingga semua warga negara bersatu dan tidak saling curiga karena dipicu alasan-alasan perebutan umat beragama, perebutan suara politik, dsb. Dengan menahan isak, Syaikh Muhamad Abduh mengucapkan kalimat yang kemudian sangat terkenal di seantero dunia Islam, ‘Al-Islamu mahjuubun bil muslimin”. Islam tertutup oleh umat Islam. Cahaya keindahan Islam tertutupi oleh perilaku buruk umat Islam. Dan Perilaku-perilaku itu sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam. (Hlm. 388). Kata-kata yang benar-benar menyarikan penjelasan mengapa Indo­ nesia yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia juga sekaligus mem­ produksi begitu banyak koruptor yang tindakannya bahkan jauh lebih merusak dari pencurian, mengapa di jalan raya banyak dari kita Muslim yang mudah beringas, dst.

162 Hanung Triyoko Membaca Ayat-Ayat Cinta 2 dan Memikirkan Habiburrahman El Syirazy

Mengakhiri tulisan ini, saya menyampaikan terimakasih kepada kang Abik yang telah menjadi tokoh berkomitmen dalam dakwah Islam lewat novel. Jelas Kang Abik telah berkontribusi sangat besar dalam memberikan lebih banyak pilihan bagi Muslim Indonesia khususnya untuk mengisi waktu mereka lebih bermanfaat melalui membaca, Kang Abik telah menjadikan Islam bagian dari percaturan kesusastraan Indonesia secara lebih serius.

Daftar Pustaka

Ameri, F. (2009) Sacred Spaces in Contemporary English Literature: Muslim Contri­ butions. Murdoch University Press. Hall, David D. (1989). Worlds of Wonder, Days of Judgment: Popular Religious Belief in Early New England. Harvard: Harvard University Press. El-Shirazy, H. (2015) Ayat-ayat Cinta 2. Jakarta; Pustaka Abdi Bangsa. Fish, S. (1970). “Literature in the Reader; Affective Stylistics” in New Literary History Vol. 2, No. 1, A Symposium on Literary History (Autumn, 1970), pp. 123-162 The Johns Hopkins University Press Morner, K., and Rausch R (1998). NTC’s Dictionary of Literary Terms. Chicago: NTC Utami, A. (2008) Ayat-Ayat Cinta Pengecut diterbitkan online pada detiknews Minggu 23 Maret 2008 pukul 12.32 WIB https://news.detik.com/ berita/911733/ayat-ayat-cinta-pengecut

Hanung Triyoko 163

A COMPARATIVE DISCOURSE ON ISLAM AND HINDUISM PREACHING TEXTS

Hammam State Institute for Islamic Studies (IAIN) Salatiga, Central Java Province, Indonesia E-mail: [email protected]

Abstract

The research aims to explore the preaching texts delivered in Islam and Hinduism community in Salatiga, Central Java, Indonesia. This analysis consists of three aspects-field, tenor and mode-of the preaching texts, and then to formulate how the preaching delivered be able to promote harmonious co- existence among Muslims and between Muslim and non-Muslims. Method of the research is descriptive qualitative; discourse analysis. The data of the research were collected through documentation. The data then is analyzed by Hallidian theory called, context of situation. There are some findings that in the field of preaching text in Islam is to build justice for all aspects of life, and in Hiduism is to develop pluralistics attitude in religions’ life. The tenor of preaching text in Islam and Hinduism is that each preaching text supported by the arguments taken from holy books such as, the Koran, and the Bhagavat-Gita. The mode of preaching text in Islam and Hinduism is that each preaching text consists of four interactants; God, preachers, worshippers, and religion as well as nation with land (where people were born and lived there). Another finding of formulating peaceful co-existance, the preaching texts should consider at least three things as a local wisdom such as preachers and worshippers, content, and the way how to communicate and deliver the preaching texts to the audiences.

Keywords: Preaching, text, and discourse analysis

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 165 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

Background of the research

nder the New Order era or the Suharto’s regime (1966-1998), the life Uamong religious adherent seems harmonious artificially. This is due to Suharto’s regime controlled the public realm in Indonesia. It was due to some conflicts and violence emerged in different parts of Indonesia such as in Aceh, East Timor, Papua, cleansing the members of Indonesian Communist Party (PKI), and Tanjung Priok tragedy. Nationally, the religion’s life among the followers has changed since 1998. The era reformasi (reformation era) started following the economic crisis of 1997. Indonesia became entrapped into crisis, monetary and political. Because of this, many politicians and student activists protested Suharto’s regime in order to recover this condition but they disappointed with the regime. They mobilized many peoples to end Suharto’s regime. The political and religious leaders preached in mosques and elsewhere to criticize the Suhartos’ regime. The student activists in cooperation with all students demonstrated in front of People’s Consultative Council of Jakarta and demanded a new president. On 21 May, 1998 the situation got worse while politician, religious leaders and students from every campus in Indonesia protested in front of the People’s Consultative Council. At the same time, there were many incidences of violence in Jakarta, Surakarta (Central Java), South Sulawesi, and North Sumatra. Almost in all parts of Indonesia, there were riots and acts of violence - the burning of markets, government offices, mosques, churches, and rapping of women. This was the worst social, cultural, and political life Indonesia expirienced since the Suharto became the President of the Republic of Indonesia. Another effect of reformation is that there are many fundamental, radical Islam and transnational movements in Indonesia such Indonesian Faith Defender Council (Majelis Mujahidin Indonesia, MMI), Islamic Defender Front (Front Pembela Islam, FPI), Indonesian Freedom Party (Hizbut Tahrir Indonesia, HTI), and the Struggle Paramilitary (Laskar Jihad). Their endeavour was to realize the Islamic law (shari’a) as the basic pillar of the Indonesian Republic. The radical Islam movements are always associated with some kind of violence in Indonesia. For example, in Legian Bali bombings on 12 October, 2002, the leader of MMI, Abu Bakar Ba’asyir was suspected as one the perpetrators of that crime. According Al- Caedar (The Street Times, 21 September, 2001) there were 15.000 ex-mujahids from Afghanistan who came back to Indonesia from Afghanistan were behind this accident and that is why Bali bombing were connected with Al-Qaida and MMI. Within such conflicts and terror condition, mosques, churches and temples became spaces for religious preachers to express their views and doctrines about violence and non-violence. Preachers of all these religions played an important role in the daily life of common man. Preachers, in order to establish their spiritual authority often misinterperte, misjudge the original text in their sermons. Islam is

166 Hammam A Comparative Discourse on Islam and Hinduism Preaching Texts the religion of majority in Indonesia. This means that Muslim preachers have greater chance to influence the populace by interpreting original text in their discourses. Similarly, other religious leaders, being minorities, in order to establish their religious power, use the same style and approach in their sermons to the people of their faith. According to Manjali (2008:120), in communication, individuals use various words and texts as a dynamic aspect of language in social context. Further, he states that words and texts change the world as the speakers want. The words and text have significant influence on changing the wold. In other words, language have the power to create an environment both chaos and order in life. On the contrary, such a situation did not directly impact the economic, social and political life in Salatiga, Central Java. It seems that there was a dedicated attempt from from the government, and leaders of political parties, communities, and religions to keep the situaion under control in Salatiga at any cost. The religious leaders did not provoke their congregations during their preaching bsoth inside or out side mosque, churches and other public gatherings against the national political turbulence, due to economic crisis, which erupted across other regions. Many studies have paid attention to political, economic, and social factors that cause conflicts and terrors, but few have studied the issue of violence and peace from sociolinguistics perspective. Therefore, this study approaches violence and non-violence in contemporary Indonesia, particularly in Salatiga, Central Java. It analyses three aspects - field, tenor and mode - of the preaching texts delivered to Muslim and Hindu community in Salatiga and to formulate (based on local wisdom) how the peace preaching is delivered in Salatiga, in order to promote peace, nonviolence and harmony among Muslims and between Muslim and non-Muslims. This research is essential for Indonesia in developing paradigmatic discourse concerning on the Islam and Hindu communities in Salatiga, and maintaning peace through preaching in particular, and in addressing unsolved question of the relationship between religion and violence, in general. It will also be of significance in providing a deeper understanding of the development of religion as one of the powerful forces in a social life beisdes economics, politics, etc. and its role as a positive and constructive, a resource for fostering the non- violence values and harmony within the soceiety per se. At least, it infuses new insight into harmonius relationship between religious and social life in Indonesia in general and in Salatiga Central Java in particular.

Discourse and Its Analysis

In daily life, people produce texts to get a message across, to express ideas and beliefs, to explain something, to get the other people to do certain things or think certain way. This complex communication purpose is called as discourse.

Hammam 167 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

Discourse can be manifested in the form of what a text producer meant by a text and a text meant by the reciever (Widdowson,2009:7). It seems that discourse is indispensable from human life. Another definition of discourse is use of language seen as form of social cultural practice, and how text works within social cultural practice. Such analysis requires attention to the form, structure and organisation of a text at all levels; phonological, grammatical, lexical (vocabulary) and higher levels of textual organisation in term of exchange systems ( the distribution of speaking turns), structure of argumentation, and generic (activity type) structures, (Norman Fairlough,1995:7 in Sumarlam (2003:12). A discourse analysis also studies language in use; written texts of all kinds and spoken data; from conversation to highly institutionalize forms of talk, (Carthy, 1997 in Sumarlam, 2003:13) Based on the different definitions mentioned above, I will conjecture about what is called as a discourse. It is the most completed language unit which is articulated through both spoken and written form and it can be percieved from surface (cohesion and coherence) and depth structure (meaning). Spoken discourse can be seen in such shape as; preaching of sermon texts, speech, dialog, classroom instruction or interaction. Whereas, written discourse can be short stories, books, letters, magazine and newspaper. In accordance with Schiffrin (1998:3), there are some key suppositions about language taken as a main point to present discussion issues on discourse analysis dealing with context and communication. The postulation are presented as follows: (1) language always occurs in a context, (2) language is context sensitive, (3) language is always comunicative and (4) language is designed for communication. Here, I will discuss only two of the above hypotheses: (1) and (3).

Langauge Always Occurs in Acontext

In sociolinguistics and psycholinguistics, researches have shown in detail the specific contexts in which a language is constructed and understood between text and context, which is varied from cultural context of shared meanings and world views to social context through which the definition of context itself and situation is produced , to cognitive contexts of past experience and knowledge. Knowing how language is utilized in a society and it is organized relies on deliberation of how it is entrenched in all of these contexts. Schriffin (1998:4) classifies the context into three types- cognitive, cultural and social. Cognitive context stores past experience and draws upon knowledge. Cultural context contructs meaning and world view; and social context convey the institutional and interactional orders to assemble notion of situation and action. Halliday, and Ruqaiya Hasan (1989:77-166) have developed an analysis of context in three expression - field, tenor and mode. Field refers to subject matter

168 Hammam A Comparative Discourse on Islam and Hinduism Preaching Texts and it may be similar to certain uses of the terms domain in computational linguistics: what is happening, to whom, where and when, why it is happening, and so on. Tenor passes on the social relation existing between the interactants in a speech situation. It comprises relation of formality, power and affects. Tenor influences interpersonal choices in the linguistics system, and thereby it affects role the structures and the strategis chosen to activate the linguistics argument. Mode describes the language as being used in the speech interaction, including the medium (spoken, written) as well as rhetorical mode (expository, instructive, persuasive,etc). Sumarlam (2003:46) , an Indonesian scholar,classifies context of discourse into two types - context of situation and context of culture. Context of culture means as a basis to understand the meaning of discourse locally based the speech or communication events. In addition, context of situation is as restriction of a meaning. Going by Sumarlam, to infer the meaning of a discourse, the context of situation must be then divided into three parts: physical context, ephistemic context, and social context. Physical context has three elements, place, topic, action in the communication. Ephistemic is dealing with the background knowledge or schemata which is mutually understood by speakers (writers) and listeners (readers). Social context is social relation and setting among the speakers (writers) and listeners (readers). In order to get the information in detail, the writer will bestow an example as presented below: Utterance/data of discourse: “...Panas sekeli ruangan ini...” (the room is very hot).

If this utterance of discourse is interpreted by the context of situation developed by Suparlan, Halliday and Ruqaiya Hasan, it can be clarified as follows: a. Physical context The above utterance is stated in a certain room. This room is relatively high or very high temperature. This room is not comfortable to stay. In other words, the room is not recommended for anyone to stay for while or longer time. b. Ephistemic context Both speaker and the listener have similar feeling, knowledge, and understanding of the room’s temperature. c. Social context The social relation between speaker and listener is assumed that speaker has relatively equal or higher position than listener.

Based on the above interpretation, it can be deduced that the speaker’s intention is to switch of air condition, to switch on fan, or to open the window. This room assumed has one of the equipments of home ventilation.

Hammam 169 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

Language Is Always Communicative

At least two analysts claim that communication happens merely under certain conditions of speaker intentionality. Ekman and Freisen (1960) in Schriffin (1998:5) differentiate messages which are informative from those which are communicative. The former elicits similar interpretaions in observers but may be inaccurate information about the sender. The latter needs not be informative (i.e may not receive consistent interpretations) but are those which a sender consciously intends to send. Still other messages are interactive; they modify another’s behaviour, even though the need be neither consistantly interpreted nor conisciously intended toward a particular modification. Meanwhile, MacKay (1972) in Schriffin (1998:5) also presents another categorisation of communication. It is necessarily goal-directed and interpreted as goal-directed; whatever is either not goal-directed, or not interperetd as such, falls into the category of conduct.

Properties of Discourse

Schriffin (1998:6) classifies discousre elements into three parts suchas, structure, meaning, and action. The writer will discuss such terms in detail below:

Structure Two issues or problems should be paid attention when people are discussing discourse; whether the discourse a linguistic structure or discoure structure a method inherited from linguistics. Harris (1983) attempts to extend the method of structural linguistics into discourse analysis; the stcructure of a text was generated by recurrent patterns of morphemes independent of either their meaning, or relationship with non-textual factors. Meanwhile Van Dijk (1972) in Eriyanto, (2001:221) claims that text can be treated as extensions of sentences and that a text grammar can be written in the same form as generative sentence grammar. Within such grammar, the acceptability of discourse would be determined by a set of rules acting as formal criteria for the interpretability of sentences within the text. Further, Schriffin (1998:15) and other scholars such as: Linde and Labov (1975), aLinde and Goguen (1978), Grosz (1981) and Polanyi and Scha (1983) show that the sructure of specific discourse units (apartment descriptions,plans) is modelled after their informational strucure and content. They illustrate that the process of focusing on the specific entities throughout a discourse is modelled after the structure of a specific task in which the refered to entities are used. They all considered discourse as a structured composition of linguistics constituents such as morphemes, clauses, and sentences. They contend that discourse contains a syntactic structure in which clauses belong to discourse units ranging

170 Hammam A Comparative Discourse on Islam and Hinduism Preaching Texts in size from local turn-taking exchanges, to more extended semantics units such as narrative, and even to speech events. In short, discourse structure is purely linguistics, and that structure parallels with other types of language structure.

Meaning Halliday and Hasan (1989) claim that more complex than a structure of discourse is semantic relationships underlying the text. Thus, particular items such as pronoun, adverds, and conjunction help create discourse not because of they rule-governed distribution, but because they indicate an interpretative link between two parts within the text, called cohesive elements. The study of cohesion indicates that the meaning expressed by a text is meaning which is interpreted by speakers and hearers based on their inferences about the propositional connections underlying the waht is read or said. Instead of cohesion, to understand the meaning it could be also used prgamatic perspective including analysis of speaker intention, communicative strategeis and cooperative maxim which helps to endow with a principled account of these additional inferences.

Action Another properties of dsicourse is action. It is a property which appears not so much from arrangements of underlying units, as from the organisation of speakers goals and intentions which are taken up and acted upon by hearers, and from the ways in which language is used in service such goals. To undertand the the action, the linguist classifies into four fucntion of language such as: (i) fuction of language, (ii) speech act, (iii) conversational analysis, and (iv) ethnography of communication. The function of language is differentiated into six fuctions of langauge; arguing that each bsed uon a different commponent of the overall speech situation, ,conative, phatic, meta-linguistic, poetic, referential. Speech act means there has been a great deal of effort to incorporate into formal linguistic theory, the insight that language is used toperform actions, to account for how one can say and mean one thing but it is quite another, and to discover the procedures by which hearer interpret the actions that are performed by speakers’ words. Conversational analysis affords the critical imminent that although actions are situated in a fairly broad sense of being performed by a particular bearer in a certain social situation. In conversational analysis, the sitauiton of analysis is divided into two parts. First, they emerge in locally negotiated settings in which interactional identities may play as crucial a role as the institutional identities often focused upon more macro-level sociolinguitics analysis. Seocnd, what occured in the immediately prior exchange of talk may play as critical a role in allowing the rcognition of an action and in influencing the form of performance,

Hammam 171 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea as the set of ststicmutually known preconditions typically focused on by speech act theoriest. Ethnography of communication means to show how cultures differ dramatically in terms of what speaker goals are culturally encoded in patterns of speaking, as units of speech (acts, events), and in situation for speech. Regarding for branches of action in disocurse, if they are taken together it shows that language is utilized by its speakers for fabulous amount of social work. Language is used to establish, maintain, and adjust relationships with others as well. Besides, language is exploited to perform the less well-understood actions of threathening, confiding, boasting, complaining, complimenting, and insuklting and so on. Finally, actions are accomplished in culturally-defined interacting contexts in which what one person does ios treated as a basis for what another does. Therefore, Sumarlam (2003:47) bridges three improtant element of discourse as a unity in situational context mentioned above through four models of inference. These models are personal, locational, temporal, and anlogy. Personal inference refers to who and whom involved in the discourse. Locational inference means where the discopurse takes place. Temporal informs when the discourse occurs and goes on. Analogy is a basic information used by speaker (writer) and listener to grasp the overall meaning of a dsicourse.

Research Method

This research utilizes interdisciplines studies sociolinguistics and combines it with religious studies. Sociolinguistics will be employed as well to see the way in which Muslim and Hindu communities in Salatiga maintaining interaction with their surrounding by using a language. Religious studies is due to study and analyze the text of religion especially sermon or preaching text. This study is categorized as qualitative descriptive. The writer presents data and analyze them non statistically. In other words, the writer just does categorisation and take inference regarding, theoretical framework, text and context unit analysis taken from data. The method of data collection used in this research includes documentation and observation. The documents are preaching texts taken from Islam and Hinduism. The method of data collection for primary data is documentation. It is due to the writer takes one text from each religion. Another documents are taken as secondary data from electronic (internet) and non electronic media or resources such as newspaper, magazine and books supporting the data. Primary data are written sources or peace preaching texts, written texts delivered in Islam and Hinduism communities in Salatiga. In this research, the writer took one preaching text each from both religion - Keadilan Yang Menyeluruh (Islam) and Pluralisme dalam Perspektif Agama Hindu (Hindu). Other pieces informations were collected from books, articles, newspapers, reports, theses, journals, etc.,

172 Hammam A Comparative Discourse on Islam and Hinduism Preaching Texts and visual and audiovisual sources. Oral sources (oral history) by interviews, as well as observations were employed.

Technique of Data Analysis

In this research, I will utilize a method called discourse analysis, involving context of culture and context of situation analysis by Hasan and Halliday(1989). Context of situation will see aspects physiscal context (field), ephistemic context (tenor), social context (mode) of the sermons. Field is also called as social action, what is actually taking place. It refers to what is happening to the nature of the social action that is taking place. In other words, the researcher wants to know the content of the sermon. Tenor is who is taking part to the language event (sermon) or the participants of the sermon. Mode is nothing but the role of the language in the sermon. It means that how the sermon is constructed and delivered. The following is example and initial analysis of the data:

Example Of Analysis

In order to get the picture of analysis at glance , the writer will bestow an example of it as presented below: Utterance/data of discourse: A (hotel receptionist): ‘Good morning. Can I help you?’ B (guest) : ‘Good morning. I have reservation’ A (hotel receptionist): Name? B (guest) : Smith.

If this utterance of discourse is interpreted by the context of situation developed by, Halliday and Ruqaiya Hasan (1989), it can be clarified as follows: a. Physical context (field) The above utterance takes place in a hotel reservation room. This room is generally to welcome as well as to serve any quiery. This room is usually comfortable to stay. In other words, the room is recommended for every guest to find information services for while before getting confirmation of the room. b. Ephistemic context (tenor) The speaker and listener realized where the conversation occured. They have mutual understanding that the hotel is very nice place and offer good services to all guests. c. Social context (mode) The social relation between hotel reptionist and guest is assumed that the guest has relatively higher position than hotel receptionist. This assumption is constructed by cultural belief that ‘a customer is like a king’. She or he has

Hammam 173 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

right to get good service from the hotel. On the contrary for the hotel point of view, good service means that more customer are coming to stay in the hotel.

Based on the above interpretation, it can be deduced that the speaker’s intention is to find room and to know the hostpitality of the hotel receptionist that influence his or her satisfactory.

Setting of the Research

Historically there are sources or document used to express the original name of Salatiga. The name of salatiga itself comes form folklore, legend, and regarding the academic research. Regarding the epigraphy, Salatiga was established in July 24, 750 Masehi. This has been legalized by the local government decree number 15, 1995 as the beirthday of Salatiga. According to Dr.J.G.de Casparis and completed by Prof. Dr. Poerbataraka, peace dan may all happines for all peeople. In Colonial era Salatiga had been known as Salatiga based on the Staatblat 1917, No 266, 1 July 1917. Salatigas has eight villages.

Islamic Preaching Text

Physical context (field) In Islamic tradition, preaching and delivering sermon (in means khutbah) can be carried out in two activities -out door and in door. First, it is done in the yards or town square (wide open area) especially to deliver Iedul Fitri sermon text, many preachers prefer to do preaching in such public places. Second, preaching and sermon (khutbah) is delivered in the mosque (in door). This place is only used for Friday sermon or preaching. The preaching text, which is analysed, is Menegakkan Keadilan Yang Menyeluruh (Building Justice for All Aspects of Life). It is delivered for celebrating Iedul Fitri not only for Muhammadiyah people in Jogjakarta but also for all Moslems in Indoensia, including Salatiganese people. This preaching text is also presented and distributed by Muhammadiyah (the biggest modern Moslem organisation in Indonesia). Regarding the temporal inference, this text officially is distributed and presented in the morning. In Islamic tradition, Iedul Fitri prayer should be done in the morning. Eeven though it is not mentioned in the text, it can inefered regarding the temporal interpretation. It is written text so the readers can read not only in the Iedul Fitri prayer but at any time as well when they are availabe to read. The topic of the preaching is the characteristics of muttaqiin. The characteristics is to build justice. The preacher persuades the audiences by mentioning two verses from the holy Koran, chapter Al-Maidah,8 and An-nisa, 135. The Indonesian translation version as found in the preaching text (page 3, paragraph 1-3) is as conveyed below:

174 Hammam A Comparative Discourse on Islam and Hinduism Preaching Texts

“...Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesusngguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan...” (QS.Al-Maidah,8)

“...Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirirmu sendiri atau ibu bapak atau kaum kerabatmu...” (QS.An-nisa, 135)

These two verses are suitable with one of stripes on preaching of nonviolent action as stated by Ikeda; number one is self control and number four is community development.

Epistemic (tenor) The next step of analysis will see the schemata or knowledge background between speakers and listener or writer and readers toward the topic presenetd or discussed in the text. From the preacher text, it be infered that audeinces and preachers have similar knowledge background, that there is general election as stated at page four paragraph two (Page.4 paragarph 2). “.....Kaum muslimin yang dimulyakan Allah.....”

“....Hari raya Iedul Fitri tahun ini mempunyai makna tersendiri. Karena hari bahagia ini hadir setelah pemilu presiden dan wakil presiden putaran ke dua 20 September 2004 yang baru lalu. Perhitungan suara telah selesai dan final hasilnyapun telah diumumkan.....”

Besides, he also asks the congregation to welcome of the new president after presidential election on 20 September 2004. This point is very crucial because at that time one of presidential candidates was H.M Amien Rais from Muhammadiyh. It is one of important points to maintain the harmonius life among Muhammadiyah and other organisation generally. This can be seen at page 3, paragraph 3 below: “....Alhamdulillah Pemilu Presiden dan Waki Presiden secara langsung berjalan lancar tertib, aman, damai dan selamat...... ”

The preacher engages worshippers to keep and stay being in harmonious life. He does not quote the verse from the holy qur’an but also to see the real context that normally after doing general election there are so many people dissapointed because the their candiadte was not elected. In the context that Muhammadiyah has been preserve the peaceful life. From the sentences, preachers and audiences have similar knowledge background of presidential general election. It is due to in Indonesian context every citizen should vote for any kinds of general election.

Social context (mode) It will elaborate the social realation between actors mentioned inside the texts. In this text the preachers mention some verses to conivnce all participant of

Hammam 175 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea iedul fitri prayer to follow the commandment of the god. In Islamic social context every believers are necessary to follow all his commands. Preacher can not speak regarding his personal thought or idea independently but he should deliver the message from God and prophet Muhammad traditon. In Islam preacher is selected by the mosque committee or organisation. There is no thight criteria for some mosques but others may be very stricted and competitive. It depends on which mosque or area the preacher hase lived. If the mosque is in city area, the relation between him and auidences is determined by the function. They will pay attention wthat he said in the preaching but personally he could get along with the audiences.

Hindu Preaching Text

Physical context (field) This text’s title is talking about Mengembangkan Sikap Pluralis dalam Kehidupan Berapagama (Developing of Pluralistic Attitude in Religious Life). It is delieverd for Hinduism people and non Hinduism people. This preaching text is delivered at Theology Faculty, Satya Wacana Christian University Salatiga. This preaching text is presented particularly for new students called Studium Generale program. Regarding the temporal inference, this text officially distributed and presented in the lecturer time. In Hinduism tradition, preaching should be done in any time. Eeventhough it is not mentioned in the text, it can inefered regarding the temporal interpretation. It is due to written text, so the readers can read not only in the prayer time formally but aslo at any time they are availabe informally. The topic of the preaching is a tolerance. There are three characteristics how to cultivate the tolerant person. First, he or she should believe in God. Second, he or she has to have an emphaty with other people and last he or she should give sharity with others. All characteristics can be gathered from the following preaching text: ‘...ekam Eva Adityam Brahman.....” it means hanya satu (Ekam Eva) tidak ada duanya (adwityam) Brahman (Tuhan Yang Maha Esa) itu...’

And also from holy book, Bhagavat Ghita, ‘...man mana bhava madbhakto madyaji mam namskuru mam evai ‘syasi satyam te prajitane priyo si me...’

The meaning is as follows: ‘...Pusat pikiranmu pada-Ku, berbakti pada-Ku, bersyuud pada-Ku, sembahla Aku, engkau akan tiba pada-Ku, Aku beranji setulusnya pada-Mu, sebab engkau Aku kasihi...”

Hindu philosophy, it is called: ...Tat twam asiI...

176 Hammam A Comparative Discourse on Islam and Hinduism Preaching Texts

It means: ...Aku adalah kamu...

Veda Smrti, Mana Dharma Sastra, III.99 ...samprapatya twathitaye pradyadasanodake, annam caiwa yatha caktim satkatya widhi purawakam...

The meaning is: ...Hendaknya is memberika sesuai dengan peraturan, kepada tamu yang datang tiba-tiba tempat duduk air, dan uga makanan dengan lauk pauknya, sesuai menurut kemampuan...

Atharwa Veda: X, 191,4 ...samani va akuth, saman hrdayani vah samanamstu vo mano yatha vah susahsatiI...

It means: ...Samalah hendaknya tujuanmu, sama pula hatimu. Hendaknya pikiranmu satu sehingga engkau dapat hidup bersama dengan bahagia...”

Besides, the preacher also asks the congregataion to be close with other people in both sides, physical and emotional. To have emphaty is one of directions to get happiness in life. In short, the preacher engages audiences to keep and stay in harmonious life. He quotes the verses from the Bhagavad-Gita and Vedas to convey God’s message. It means he speaks not regarding his personal thought or emotion merely. The verses should be very clear and really befitting the context; otherwise people will be angry, being felt awkward. However, the sermon leads people to remain humble and polite with others, also to do charity such as food, water, etc. based on their material capability.

Ephistemic context (tenor) The analysis will show the schemata or knowledge of the preacher and worshipper, and between writer and reader toward the topic presented or discussed in the text. From the preacher text, it can be inferred that audiences and preachers have similar understanding, that there is a basic teaching, such as thanks to God and to be tolerant. This is common and basic teaching for any other religion. The preacher states (page 3 point b): “...kita wajib mengucapkan syukur dengan usaha-usaha untuk menciptakan kerukunan anatar umat beragama. Kita hendaknya menadi pemeluk agama yang baik dan pada saat yang sama menghormati pula keykinan orang lain...”

Then the preacher supports his argument by asserting verse from the Bhagavad-Gita, chap. IV.1.

Hammam 177 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

...ye yatha mam prapadntyante tam tathatai’va bhajami aham mama vartma ‘nuvatante manu syah parta sarvasah..

This means: “...jalan manapun ditempuh manusia kearah Ku semuanya Ku terima, dari mana semua mereka menuju jalan-Ku...”

From the sentences, preachers and audiences have similar knowledge of thanking and being tolorant. There is outsider (believers) that is different from this group.

Social context (mode) It will elaborate the social relation among interactants provided inside the texts. In this text, there are five types of relation - God, preacher, worshippers religion and nation (land). God is as the center of human life including the preacher, worshippers, and religion itself. The Hindu preacher learnt what the God’s teaching through Bhagavad Gita and instructed to the worshippers. The way how to interact between, God, preacher and worhsippers, and human being is ruled in the holy book. Hindu believers should obey and follow their teaching. In Hindu belief system, every believer has a duty toward the land nation where he or she was born and lived. Hindu preacher does not speak regarding his personal thought or idea independently either, but he should deliver the message of God. It is also happened in Islam, for that matter any religion. In Hindu tradition, the preacher is selected by a board or committee or an organisation. There are no hard and and fast criteria for being a preacher, but can be varied and competitive. It depends on where the preacher has lived. If he lives in a city, the relation between him and auidences is determined by his personal behaviour and attitude. They will pay attention to what he may or may not get along with the audience.

Conclusion

As mentioned earlier, this research has tried to explore and analyse the preaching texts delivered among Muslim and Hinduism communities in Salatiga. The analysis consists of three aspects: (1) the factors of local wisdom influencing of peace preaching, (2) assess three aspects: field, tenor and mode of the preaching texts; and (3) to formulate (based on local wisdom) how the peace preaching was delivered in Salatiga Central Java, in order to promote peace, non-violence and harmony among Muslims and between Muslim and non-Muslims. Regarding such problems, I formulate the following conclusions: 1. There are some factors as a local wisdom affecting the composition of peace- preaching text of the Muslim and Hinduism communities to acommodate local and current issues into into the preaching so as to retain a tolerant

178 Hammam A Comparative Discourse on Islam and Hinduism Preaching Texts

community, building confidence and mutual respect. 2. Islam is building justice in all aspect of life. For Hindus, the focused area is developing pluralistic attitude in religious life. The tenor of Muslim and Hindu preaching text is supported by the holy books such as, the Koran, Bhagavad-Gita and Veda. Their mode is that each preaching text consists of four interactants, God, preachers, worshippers, religion and nation with land (where people were born and lived). 3. The pattern on creating harmoniuos coexistence through preaching text in Salatiga considers at least three things: preachers and worshippers, content, and the ways how to communicate and deliver the preaching text.

References:

Ackermann, Robert John. (1996). Agama Sebagai Kritik: Analisis Eksistensi Agama – Agama Besar. Jakarta. Gunung Mulia. Akmajian, Adrian, (Ed). (2009). Linguistics: An Introduction to Language and Communication. Cambridge. MIT Press. Anderson, Benedict R. (1990). Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. United States. Cornell University Press. Baidhawy, Zakiyuddin and Mutoharun Jinan. (2002). Agama dan Pluralitas Budaya Lokal. Surakarta. Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial. ------. (2002). Ambivalensi Agama, Konflik dan Nirkekerasan. Yogyakarta. LESFI. ------. (2012). The Concept of Jihad and Mujahid of Peace. Jakarta. Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Pendidikan Tinggi Islam. Beech, Hannah. (2013). Preaching Hatred. Time Vol.182. No.I. page 14-21. Beuken, Wim and Karl-Josef Kuschel. (2010). Religion as a Source of Violence. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Brown, Gillian and George Yule. (1996). Discourse Analysis. Jakarta. Gramedia. Chomsky, Noam. (2003). Power and Terror: Post-9/11 Talks and Iinterviews. New York. Seven Stories Press. Colombijn, Freek and J Thomas Lindblad. (2002). Roots of Violence in Indonesia: Contemporary Violence in Historical Perspective. Singapore. Institute of South Asian Studies. Eggins, Suzanne.(1994). An Introduction to Systemic Functional Linguistics. London. Pinter Publisher Engineer, Ali Asghar. (2008). Islam: Misgivings and History. New Delhi, Vitasta Publishing Pvt. Ltd. Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta. LKiS. Halliday, M.A. K.(1994). Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning. Melbourne. Edward Arnold.

Hammam 179 Tema II: Literature, Literature Critics and Comparative Discoursea

Harris, Roy, (Ed). (1983). Approaches to Language. New York. Pergamon Press. Hasan, Ruqaiya and M.A.K. Halliday. (1989). Language, Context, and Text: Aspects of Language in a Social – Semiotic Perspective. Victoria. Deakin University Press. Kuntowijoyo. (2006). Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta. Tiara Wacana. Mahsuns. (2005). Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta. Rajagrafindo Persada. Manjali, Franson, (2008). Language, Discourse and Culture: Contemporary Philosophical Perspective. New Delhi, Anthem Press. Martin,J.R. (1992). English Text: System and Structure. Philadelphia. John Benyamins Publishing Company. Mulyana, (2005). Kajian Wacana:Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta. Tiara Wacana. Nunan, David. (1993). Introducing Discourse Analysis. London.Pinguin English. Nunan, David. (1992). Research Approach in Language Learning. Cambridge. Cambrdige University Press. Parekh Bhikhu. (2002). Rethinking Multiculturalism: Plural Diversity and Political Theory. Massachusetts. Harvard University Press. PP IRM. (2000). Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Pollock, Seldon. (2009). The Language of the Gods in the World of Men: Sanskrit, Culture, and Power in Premodern India. Berkeley. California Press. Puniyani, Ram. (2009). Religions and Politics: Essays on Contemporary Issues. Kerala. Mythri Books. Rahardjo, Mudjia. (2010). Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur. Malang. UIN-Maliki Press. Rosenberg, Marshal B. (2003). Nonviolent Communication: A Language of Life. California. Puddle Dancer Press. Schiffrin, Deborah.(1998). Discourse Makers. New York. Press Syndicate of the University of Cambridge ------. (1994). Approaches to Discourse. Massachusetts. Blackwell Publishers Schumann, H. Olaf. (2004). Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan. Jakarta. Gunung Mulia. Shekar, Vibhanshu. (2011). The Politics of Islam Nation-Building and Development: Ethnics Violence and Terrorism in Indonesia. New Delhi. Anamika Publisher. Stubbs, Michael. (1996). Text and Corpus Analysis: Computer-assisted Studies of Language and Culture. London. Blackwell Publisher. Sudibyo, Agus. (2009). Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta. LKiS Sumarlam, (Ed). (2003). Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta. Pustaka Cakra Surakarta.

180 Hammam A Comparative Discourse on Islam and Hinduism Preaching Texts

Tibi, Basam. (1999). Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta. Tiara Wacana. Tuner, Brian S. (1991). Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis atas Tesa Sosiologi Weber. Jakarta. Rajawali Press. Wasem, Alef Teria, (ed) et.al. (2005). Religious Harmony: Problems, Practice and Education, Proceeding of the Regional Conference of the International Association for the History of Religions. Yogyakarta.Oasis Publisher. Widdowson, H.G. (1996). Lnguistics: Oxford Introduction to Language Study. New York. Oxford Unversity Press. ------. (2007). Discourse Analysis: Oxford Introduction to Language Study. New York. Oxford University Press.

Hammam 181

TEMA III: LOKALITAS DAN KONTEKSTUALITAS SASTRA DAN BUDAYA Pengetahuan Lokal Masyarakat Kadazandusun dalam Pemeliharaan dan Pemuliharaan Alam Minah Binti Sintian, Julita Norjietta Binti Taisin, Ani Binti Omar, Siti Nor Amalina Binti Ahmad Tajuddin...... 185

Lokalitas dan Kontekstualitas Tafsir Sastra di Indonesia (Sebuah Upaya Deradikalisasi) Mohamad Nuryansah & Benny Ridwan...... 201

Tradisi Islam Jawa: Lintasan Sejarah dan Dinamikanya Adif Fahrizal Arifyadiputra...... 217

The Functions of Buka Luwur Tradition in The Grave of Sunan Kudus Muhammad Rikza Muqtada...... 235

Makna Tersirat dalam Teka-Teki Melayu Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh...... 249

The Concept of Tolerance Between School of Islam In The Amman Massage Suryo Ediyono, Muamar Maulana...... 271

Aktifitas Ekonomi Masyarakat Tionghoa di Semarang Tahun 1900-1930 Rindita Anggarini Santosa...... 281 PENGETAHUAN LOKAL MASYARAKAT KADAZANDUSUN DALAM PEMELIHARAAN DAN PEMULIHARAAN ALAM

Minah Binti Sintian, Julita Norjietta Binti Taisin Ani Binti Omar, Siti Nor Amalina Binti Ahmad Tajuddin Fakulti Bahasa dan Komunikasi, Universiti Pendidikan Sultan Idris Tanjong Malim Perak Darul Ridzuan. [email protected]

Abstrak

Walaupun pengetahuan lokal sesuatu yang baru dalam sains iklim, namun ianya telah lama diiktiraf sebagai sumber maklumat dan penjelasan penting dalam domain pemeliharaan dan pemuliharaan alam. Masyarakat Kadazandusun telah lama mempraktikkan pemeliharaan dan pemuliharaan alam sekitar melalui kepercayaan dan budaya tradisional yang diwarisi turun-temurun. Amalan-amalan patod, labot, mongungkias do rinda,manalob, mamahui pogun, dan seumpamanya merupakan antara kepercayaan dan ritual kehidupan masyarakat agraria untuk menjaga keseimbangan alam. Kewujudan alam ini berkait rapat dengan keper­caya­ an mereka yang menganggap segala sesuatu mempunyai hubungan. Hubungan tersebut meliputi manusia dengan manusia, manusia dengan pencipta, manusia dengan alam sekitar, dan manusia dengan supernatural. Kepercayaan, nilai dan ritual yang tertanam dalam budaya masa silam, berupaya menyatukan masyarakat Kadazandusun untuk hidup secara kolektif dalam mempertahankan pemeliharaan dan pemuliharaan alam agar bebas daripada segala malapetaka seperti penyakit, ketidaksuburan hasil tanaman, dan bencana alam. Kajian ini akan cuba mengupas kepercayaan, nilai dan ritual masyarakat Kadazandusun dalam aktiviti pertanian untuk mengenal pasti dan menjelaskan pemeliharaan dan pemuliharaan alam. Kajian dilakukan menggunakan kaedah lapangan dan pustaka. Kaedah temu bual bersemuka, dan pemerhatian dengan menggunakan persampelan bertujuan dan persampelan bola salji digunakan untuk mendapatkan maklumat. Data yang diperoleh akan dikenal pasti, dianalisis dan dirumuskan. Adalah diharapkan hasil kajian ini dapat membantu teknologi moden dalam memulihara dan mengurus sumber alam demi kelanjutan kehidupan masyarakat pendukungnya. Kajian ini juga penting untuk membantu kerajaan negeri Sabah dalam mengurangkan isu- isu gangguan ekosistem khususnya di kawasan tanah tinggi.

Kata kunci: Pengetahuan lokal, budaya tradisional, masyarakat Kadazandusun, peme­ lihara­an dan pemuliharaan alam

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 185 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya

Pendahuluan

tnik Kadazandusun merupakan kumpulan penduduk peribumi Eterbesar di negeri Sabah (North Borneo) yang mempunyai keluasan 73 500 kilometer persegi, iaitu seramai 568, 575 orang pada tahun 2010 (Jabatan Perangkaan Malaysia, 2011). Sarjana barat dan tempatan mengelompokkan etnik Kadazandusun kepada tiga keluarga besar, iaitu keluarga Dusunik, Paitanik dan Murutik (Clayre, 1966; King & King, 1984; Miller, 1988; Raymond Boin Tombung, 1991; Dayu Sansalu, 2008; Kntayya Mariappan & Paul Porodong, 2012; Pugh- Kitingan, 2012; Lobel, 2013). Kebanyakan masyarakat Kadazandusun menempati bahagian muara sungai, pedalaman dan perbukitan di hampir seluruh pelusuk negeri Sabah. Hal ini pernah disentuh oleh Rutter (1985) dan Evans (2007) dalam kajian etnografi dan antropologi mereka berkenaan dengan masyarakat ini. Rutter mendapati istilah Murut berasal daripada orang Bajau belud yang bererti ‘bukit’ dan Dusun daripada perkataan Melayu ‘dusun’ yang bermaksud kebun. Namun pada asalnya, masyarakat Dusun menggelarkan diri mereka sebagai tulun tindal (landsman), gelaran ‘Kadazan’ bagi yang tinggal di pantai barat dan masyarakat Murut mengenalkan diri mereka sebagai ulun asak. Evans pula memberi fokus kepada kajian budaya masyarakat Dusun Tempasuk yang tinggal di kawasan tanah rendah yang di kelilingi oleh bukit-bukau. Menurut Dayu Sansalu (2008), pemerintah SBBU menyebut kumpulan etnik tersebut sebagai “Dusun” kerana etnik tersebut tinggal di kawasan desa atau di dusun. Perkara yang sama juga disebut oleh Appell dan Harrison (1968), apabila memetik pandangan para pengembara Melayu dan kemudian oleh Inggeris yang menggelar “Dusun” untuk merujuk penduduk yang tinggal di kawasan antara pantai dengan pedalaman yang bergunung-ganang. Pugh-Kitingan (2012), pula mendakwa bahawa istilah “Dusun” sudah digunakan oleh orang Brunei ketika Kesultanan Brunei menguasai pantai barat di bahagian Borneo utara, iaitu dengan merujuk “Dusun” sebagai etnik petani pedalaman, terutamanya yang menanam padi sawah. Penggunaan istilah “Dusun” ini kemudiannya berkembang dan berlanjutan sehingga hari ini apabila orang British mengekalkan panggilan “Dusun” kepada penduduk peribumi yang tinggal di kawasan tanah tinggi yang mengusahakan pertanian.

Metodologi Kajian

Kajian ini menggunakan kaedah kepustakaan dan lapangan untuk mendapatkan data. Semasa kajian lapangan, pengkaji menggunakan kaedah temu bual separa berstruktur dan pemerhatian. Teknik temu bual separa berstruktur digunakan untuk menjelajah jawapan informan berkaitan dengan pengetahuan lokal masyarakat Kadazandusun dalam melestarikan alam melalui kegiatan

186 Minah Binti Sintian, Julita Norjietta Binti Taisin, Ani Binti Omar, Siti Nor Amalina Binti Ahmad Tajuddin Pengetahuan Lokal Masyarakat Kadazandusun dalam Pemeliharaan dan Pemuliharaan Alam pertanian. Pemerhatian pula melibatkan tindakan memerhati peristiwa bukan verbal, ruang, perlakuan, artifak dan sebagainya. Temu bual itu telah dirakam menggunakan telefon pintar. Kajian ini dibataskan kepada petani yang pernah menanam padi di kampung Bundu Tuhan Ranau Sabah.

Objektif kajian: Mengenal pasti pengetahuan lokal masyarakat Kadazandusn dalam penanaman padi yang dapat memelihara dan memulihara alam.

Pengetahuan Lokal dan Pelestarian Alam Pemeliharaan alam sekitar sama ada disedari secara langsung atau tidak langsung telah lama menjadi amalan oleh kebanyakan kaum peribumi di dunia. Komuniti peribumi Afrika di Sankana dan Tong-Tengzuk utara Ghana, masyarakat nelayan di Pulau Tinjil Indonesia, orang-orang Baduy di Bentan Indonesia dan sebagainya telah sekian lama memelihara alam sekitar di kawasan penempatan mereka. Pemeliharaan alam dilakukan berlandaskan pengetahuan lokal komunitinya yang dipancarkan melalui kepercayaan dan amalan sejak zaman silam lagi dan kemudian berkembang secara evolusi selari dengan keupayaan masyarakat itu berfikir. Masyarakat Kadazandusun juga telah lama mempraktikkan pengetahuan lokal mereka dalam pelestarian alam. Keharmonian dan kesejahteraan yang dikecapi oleh manusia adalah disebabkan hubungan lestari antara manusia dengan alam dan supernatural (Minah Sintian, 2013). Dalam konteks budaya masyarakat Kadazandusun tradisional, manusia dididik melalui amalan dan kepercayaan untuk menghormati alam dan supernatural demi keseimbangan ekosistem. Kajian Minah Sintian mendapati bahawa terdapat tempat yang dianggap sakral oleh sesetengah masyarakat Kadazandusun seperti kawasan Sogindai. Senan (2017), melihat kawasan Sogindai sebagai manifestasi perdamaian antara manusia dengan supernatural melalui ritual mitaru’ (mengangkat sumpah). Bobolian (pawang) akan melafazkan mantera untuk memanggil semangat-semangat untuk melindungi penghuni perkampungan mereka daripada penyakit berjangkit, bencana alam dan menghalang serangan sangod (perang) daripada penduduk di kampung lain (Informan B). Hal ini selari dengan perjanjian yang dimaterai oleh manusia dan supernatural (Senan, 2017). Berdasarkan pemerhatian pengkaji, kawasan Sogindai terletak di sebatang sungai (Sg. Liidan) yang ditumbuhi pokok-pokok bambu. Mengambil, menebang dan merosakkan pokok bambu yang tumbuh di kawasan Sogindai adalah tabu. Pelanggaran kepercayaan itu akan menyebabkan hujan turun tidak berhenti-henti sehinggalah suatu upacara monogit (menyejuk) dijalankan oleh bobolian.

Minah Binti Sintian, Julita Norjietta Binti Taisin, Ani Binti Omar, Siti Nor Amalina Binti Ahmad Tajuddin 187 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya

Gambar 1: Pokok bambu di kawasan Sogindai

Pengetahuan lokal atau juga dikenali sebagai kearifan tempatan, penge­ tahuan tradisi, kebijaksanaan asli dan seumpamanya merupakan pengetahuan unik yang merujuk kepada budaya sesebuah komuniti (Flavier, 1995) dan menjadi salah satu lambang ketamadunan suatu bangsa yang diwakili oleh komuniti tersebut. Zulkarnain dan Febriamansyah (2008) yang dipetik dalam Raden Cecep Eka Permana et al. (2011: 68) mentafsirkan kearifan lokal sebagai prinsip dan cara tertentu yang dipegang, difahami dan diaplikasi oleh masyarakat lokal dalam berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungannya dan ditransformasikan dalam bentuk sistem nilai dan norma adat. Pengetahuan lokal berhubung rapat dengan perilaku positif manusia dalam beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, bersumber daripada nilai- nilai keagamaan, adat istiadat, pantang larang atau budaya setempat yang terbentuk secara alamiah dalam suatu masyarakat (Imam Santoso Ernawi, 2009). Saidatul Nornis dan Budi Anto (2011), merumuskan bahawa pengetahuan lokal itu terkandung dalam budaya suatu masyarakat yang merangkumi sistem kemasyarakatan, sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem kepercayaan dan upacara keagamaan, budaya benda, bahasa, kesenian, larangan-larangan serta pola-pola hidup yang mengatur hubungan sosial antara manusia dengan lingkungan alamnya. Manusia zaman silam mempercayai bahawa lingkungan persekitarannya bukan semata-mata dihuni oleh manusia bahkan terdapat makhluk lain yang memiliki dan mendiaminya. Oleh kerana itu, manusia perlu menjaga dan menghormati tempat-tempat seperti hutan, sungai, gunung, batu, pokok, lembah dan sebagainya untuk kesejahteraan dan keharmonian penghuni-penghuninya. Tempat-tempat itu juga dipercayai mempunyai unsur-unsur sakral atau keramat yang harus dihormati dan dijaga. Pencerobohan sewenang-wenang ke

188 Minah Binti Sintian, Julita Norjietta Binti Taisin, Ani Binti Omar, Siti Nor Amalina Binti Ahmad Tajuddin Pengetahuan Lokal Masyarakat Kadazandusun dalam Pemeliharaan dan Pemuliharaan Alam kawasan itu boleh menimbulkan kemarahan penghuninya. Kemarahan alam diterjemahkan melalui kejadian bencana alam seperti berlakunya banjir, ke­ marau, tanah runtuh, letupan gunung berapi, gegaran, gempa bumi, penyakit dan seumpamanya. Raden Cecep Eka Permana et al. (2011), mendakwa bahawa bencana sedemikian hanya dapat dipulihkan atau dikurangkan oleh masyarakat lokal yang mempunyai kearifan lokal dan kearifan ekologi di kawasannya. Pengetahuan lokal masyarakat peribumi dan tempatan berakar umbi dalam kosmologi yang tidak dapat dilihat secara jelas ini juga terikat kepada kepercayaan terhadap nenek moyang sebagai mana dinyatakan oleh Rohana Yusof (2010) bahawa masyarakat agraria cenderung memuja nenek moyang mereka. Max Weber yang dipetik dalam Robertson (1997), dalam karya agungnya “The Sociology of Religion” menghubungkan tabu ataupun pantang larang untuk kepentingan sosial dan ekonomi khususnya pemuliharaan hutan- hutan dan hidupan liar. Manusia dahulu kala yang menjalankan kehidupan secara berpindah randah percaya bahawa setiap kehidupan di alam ini sangat berkait rapat dengan kepercayaan mereka. Mitologi primitif tentang alam sering menjadi sumber titik tolak kepercayaan mereka. Makhluk halus yang mengatur pertumbuhan dan kematian tumbuh-tumbuhan dan benda-benda yang ada di angkasa dipercayai menjadi pembawa nasib sama ada melalui penderitaan, kematian dan kebangkitan Tuhan bagi orang-orang yang memerlukan. Pengetahuan lokal itu telah diamalkan secara turun-temurun bagi meme­ nuhi keperluan masyarakat tersebut kerana ianya dilihat memainkan peranan sebagai pelestarian sumber alam dan manusia, pengekalan adat dan budaya serta bermanfaat untuk kelanjutan kehidupan. Pernyataan ini bersesuaian dengan pendapat Nitty Hirawaty Kamarulzaman, Selvakkumar, Nor Atiah Ismail dan Md Azree Othman Mydin (2016), yang mengatakan bahawa kearifan lokal itu terhasil daripada pengetahuan yang dibina berdasarkan pemerhatian dan pengalaman persekitaran oleh sekelompok komuniti yang terkait dengan situasi itu. Masyarakat agraria zaman silam mengandalkan pengetahuan lokal mereka dalam memelihara alam melalui kepercayaan dan amalan yang diwarisi turun- temurun. Hal ini banyak dibicarakan oleh ahli-ahli antropologi yang berminat melihat pemeliharaan alam daripada perspektif tempatan seawal pertengahan 1950-an seperti Conklin, Goodenough dan Frake (Nazarea, 2006). Pada abad ke-21 ini, kajian berkaitan kearifan lokal dalam pertanian dan pemuliharaan alam masih dilihat relevan. Kajian Nakashima, Prott dan Bridgewater (2002), mengesahkan bahawa kearifan lokal merupakan asas dalam pengeluaran makanan tempatan dalam kebanyakan negara membangun. Misalnya Institut Lazare Sehoueto Kilimandjaro (Benin) menunjukkan bahawa kearifan lokal adalah sumber pengetahuan utama bagi petani berskala kecil yang mewakili 70 hingga 90% pengeluar hasil pertanian. Nazarea melihat kearifan lokal dan teknologi moden didokumentasi dan dipromosi dalam pusat penyelidikan

Minah Binti Sintian, Julita Norjietta Binti Taisin, Ani Binti Omar, Siti Nor Amalina Binti Ahmad Tajuddin 189 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya pertanian antarabangsa dan Bank Dunia kerana signifikan sebagai maklumat ilmu.

Masyarakat Kadazandusun Agraria dan Alamnya

Catatan Rutter (1985), menggambarkan bahawa etnik Kadazandusun menjalankan aktiviti penanaman padi bukit dan sawah, sayur-sayuran, pokok buah-buahan, tembakau, lada hitam dan kapas. Pekerjaan sebagai petani dijalankan sama rata oleh kedua-dua gender sebagaimana dinyatakan oleh Rutter, “No special class is employed in this work, the whole body of the people, both men and women, being engaged” (hlm. 86). Penanaman sawah padi terdapat di Keningau, Tambunan dan Ranau. Lee Yong Leng (1983), mengakui pernyataan Rutter dengan menambah bahawa kawasan tanah tinggi di pedalaman seperti Tambunan, Keningau dan Kemabong-Melalap (daerah Tenom) merupakan kawasan pertanian yang tetap. Selain menanam padi, etnik Dusun juga menanam tanaman lain seperti ubi kayu, jagung, ubi manis, ubi keladi, pokok pisang, langsat, rambutan, durian, pisang dan sebagainya. Rutter (1985), memperincikan pemerhatiannya terhadap kebun masyarakat Dusun dengan mengatakan bahawa terdapat tanaman lain seperti labu, tembikai dan timun ditanam di antara pokok padi. Orang Dusun di Bundu (Kuala Penyu) menanam lada hitam kerana belajar daripada etnik Cina yang menetap di situ. Selain itu, penanaman kapas juga dijalankan oleh orang Dusun di daerah Tambunan. Kapas itu ditanam sebagai kegunaan sendiri untuk tilam dan bantal. Menurut Bisht & Bankoti (2004), etnik Kadazandusun yang tinggal di kawasan pantai barat dan utara Borneo Utara pernah menjalankan hubungan perniagaan dengan pedagang-pedagang Cina dan India seawal kurun ke-17 atau mungkin lebih awal daripada itu sebagaimana dalam catatan seorang peniaga Cina bernama Wang Sen-Peng yang mengatakan bahawa terdapat hubungan antara peniaga dan pengembara Cina dengan masyarakat peribumi yang tinggal di muara sungai Kinabatangan sekitar tahun 1375. Bisht dan Bankoti, melihat hubungan baik kedua-dua belah pihak itu telah berjaya mentransformasikan teknik penanaman padi daripada konvensional kepada penanaman padi sawah apabila orang Cina memperkenalkan kerbau sebagai sumber utama dalam mengusahakan sawah padi penduduk tempatan. Yunus Suman (2000), menyokong pandangan bahawa masyarakat Kadazandusun tradisional telah lama menjalankan kegiatan perdagangan. Kegiatan ini bukan sahaja dijalankan dengan pedagang Cina dan India bahkan dengan etnik peribumi lain misalnya dengan etnik Bajau di Kota Belud, Tuaran, Tenghilan, Tamparuli, Inanam dan Putatan. Pada ketika itu, segala hasil pertanian akan dipasarkan di badi atau “tamu” (pekan sehari). Kebiasaannya perniagaan dilakukan secara barter, iaitu bertukar-tukar barangan. Sistem barter kerap

190 Minah Binti Sintian, Julita Norjietta Binti Taisin, Ani Binti Omar, Siti Nor Amalina Binti Ahmad Tajuddin Pengetahuan Lokal Masyarakat Kadazandusun dalam Pemeliharaan dan Pemuliharaan Alam diamalkan di mana-mana badi pada ketika itu bagi memenuhi keperluan dan kehendak pengguna masing-masing. Hasil tanaman masyarakat Kadazandusun seperti padi, buah-buahan dan sayuran akan ditukarkan dengan hasil laut seperti ikan, kerang, udang, ketam dan kuih-muih daripada masyarakat Bajau. Mitos “Huminodun” yang terkenal dalam etnik Kadazandusun mengukuh­ kan pendapat para sarjana yang menghubungkan istilah “Dusun” dengan aktiviti perkebunan atau pertanian. Mitos itu dipercayai dan dimanifestasikan oleh etnik Kadazandusun sehingga ke hari ini melalui perayaan “Tadau Kaamatan” atau Pesta Menuai. Huminodun dikisahkan sebagai seorang gadis jelita anak kepada Kinorohingan dan Suminundu yang telah dikorbankan oleh ayahnya Kinorohingan untuk menyelamatkan orang Kadazandusun daripada mati kebuluran (Low, 2005). Dari atas kubur Huminodun, tumbuh padi dan tumbuhan lain yang boleh dimakan seperti jagung dan ubi kayu. Kajian Low mendapati bahawa kebanyakan masyarakat agraria memiliki mitos yang mem­ punyai motif mengorbankan anak gadis atau dewi untuk memperoleh tanam- tanaman misalnya suku Semaq Beri dan suku Sulawesi. Masyarakat agraria di Flores, Indonesia juga percaya bahawa padi tumbuh dari bahagian tertentu tubuh seorang gadis bernama Ine Mbu yang berkorban untuk menyelamatkan masyarakatnya daripada kelaparan (Hans J. Daeng, 2008). Mitos ini bukan semata-mata memaparkan kisah pengorbanan bahkan menjelaskan keakraban antara manusia dengan unsur-unsur alam dan super­ natural. Ini bersesuaian dengan penemuan Low (2005) yang mendapati bahawa sesetengah bangsa yang terdapat di dunia ini mempercayai bahawa unsur-unsur alam berasal daripada tubuh tuhan atau dewa. Masyarakat Kadazandusun agraria meyakini bahawa manusia, tanah, air, udara, flora, fauna dansupernatural merupakan elemen yang saling berkaitan dan perlu dijaga keharmoniannya demi menjamin keseimbangan ekosistem. Justeru, masyarakat agraria sangat teliti pada fasa-fasa aktiviti pertanian sebelum, semasa dan selepas aktiviti itu selesai. Kepercayaan, pantang larang dan ritual diasimilasikan dalam kegiatan pertanian. Pada masa lampau, kegiatan memotong kepada masyarakat Kadazandusun memberi signifikan dalam mencegah ancaman penyakit dan bencana alam. Phelan (2001), menceritakan tentang pemenggalan kepala yang berlaku dalam masyarakat tani Kadazandusun yang dikenali sebagai upacara Magang. Upacara itu berkaitan dengan penghormatan kepala-kepala yang dipenggal serta fungsi-fungsi kepala itu setelah selesainya upacara tersebut. Menurut Phelan, sebahagian kepala yang dipenggal itu diletak atau digantung di dalam sulap ataupun pondok tempat penyimpanan padi. Ianya bertujuan untuk menyuruh roh kepala yang dipenggal itu menjaga hasil padi di dalam sulap itu. Kajian Phelan bersesuaian dengan pendapat informan A yang menjelaskan bahawa kepala yang dipenggal itu mempunyai sunduan (semangat) yang dapat memberi kosogit-sogiton (kesejahteraan) dan kolumaagan (rezeki) kepada masyarakat

Minah Binti Sintian, Julita Norjietta Binti Taisin, Ani Binti Omar, Siti Nor Amalina Binti Ahmad Tajuddin 191 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya pengamalnya. Para petani akan mengharapkan semangat daripada kepala itu menjauhi hasil tanaman mereka daripada serangan penyakit, serangan binatang buas, dijauhi daripada dilanda kemarau dan sebagainya (Minah Sintian, 2014). Masyarakat Kadazandusun agraria mengamalkan cara tersendiri untuk menjaga padi yang telah dituai, iaitu dengan memberi makan kepada penjaga padi (berupa supernatural). Kajian Zawawi Ibrahim (2001), mengatakan bahawa petani di daerah Tambunan meletakkan makanan seperti telur, tapai, nasi, sireh, buah dan apa-apa sahaja yang boleh dimakan di atas padi yang telah dituai. Mereka meletakkan sepenuh kepercayaan kepada penjaga padi untuk melindungi padi itu daripada dimakan oleh binatang-binatang kecil seperti tikus. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Kadazandusun dalam upacara papaakan do bambarayon (memberi makan kepada penjaga/semangat padi). Menurut informan A, terdapat tiga fasa dalam upacara papaakan do bambarayon, iaitu sebelum, semasa dan selepas menuai. Upacara sebelum dikenali sebagai pasalakoi pusakag (sebelum dan selepas) dan sumagang (semasa). Istilah-istilah itu berkaitan dengan upacara menyambut kepulangan semangat padi ke tempat menyimpan padi tangkob/dorutip (kepuk) sebagai tanda kesyukuran dan terima kasih kepada bambaazon/bambarayon (Hanafi Hussin, 2005). Hubungan masyarakat Kadazandusun agraria dengan alam dan super­ natural agak akrab dan unik. Penggunaan bahasa seperti bahasa mantera sebagai doa keharmonian dan kesejahteraan antara manusia, alam dan supernatural tidak terbatas kepada para bobolian yang dianggap sebagai pakar ilmu roh dan kuasa ghaib (Dayu Sansalu, 2008), bahkan para petani umum juga mempunyai tanggungjawab bersama. Low dan Lee (2012) mendapati bahawa para petani Kadazandusun cenderung mengungkapkan bahasa sundait (teka-teki) semasa menjalankan aktiviti pertanian. Mereka percaya bahawa monundait (berteka-teki) bukan sahaja dapat merapatkan hubungan silaturahim dalam kalangan petani malah turut mengakrabkan hubungan dengan makhluk yang tidak kelihatan, iaitu bambarayon. Ini selari dengan pendapat Lokman Abdul Samad (2009) yang menegaskan bahawa berteka-teki sangat signifikan pada siang hari terutama semasa musim menuai kerana mereka mendapat perlindungan daripada semangat padi.

Dapatan dan perbincangan

Jadual 1: Kearifan Lokal Dalam Penanaman Padi Jenis Tana- Informan Kearifan Lokal man A Padi Bukit Sebelum membuka tanah - magawoi (membersih kawasan kecil), pababar do boros (melafaz mantera) Semasa membuka tanah -

192 Minah Binti Sintian, Julita Norjietta Binti Taisin, Ani Binti Omar, Siti Nor Amalina Binti Ahmad Tajuddin Pengetahuan Lokal Masyarakat Kadazandusun dalam Pemeliharaan dan Pemuliharaan Alam

Jenis Tana- Informan Kearifan Lokal man momorilik (menebang), mongulat (menyah sampah), monutud (membakar), mongurak (memerun), monokop (menutup), monukad (membuat injak-injak), patod (salah satu ritual) Semasa menanam - poingkakat do tonomon (mantera untuk benih padi), pasalag do linsou (menyelang benih lain), gumamas (merumput), madsalud (mantera untuk padi sedang bunting), momuhau (men- jaga buah padi) Sebelum dan selepas menuai- papaakan do bambarayon

Kearifan Lokal dalam Penanaman Padi dan Signifikannya dengan Pelestarian Alam Masyarakat Kadazandusun zaman silam mengamalkan pertanian pin­ dah. Sebelum membuka tanah untuk bercucuk tanam, terlebih dahulu mereka membuat tinjauan di kawasan tapak itu. Mereka menjalankan gawoi dengan membersihkan kawasan tapak lebih kurang semeter luasnya. Selepas pem­ bersihan, bobolian ataupun pemilik tanah akan melafazkan mantera memohon perlindungan daripada supernatural untuk mendapatkan kosogit-sogiton do mongumo (kesejahteraan semasa bertani). Bobolian akan memancang tanah itu dengan batang kayu dan sekali lagi melafazkan mantera memohon mimpi yang baik untuk bertani. Informan A tidak dapat menjelaskan secara terperinci bentuk mimpi yang baik dan buruk sebelum membuka tanah. Menurutnya, mimpi yang baik itu seperti melihat mogitimbang-timbang o watu di ongokodou (batu keras bersusun-susun). Sementara mimpi buruk pula umpama ongolombut o guol nga sanghaba’-haba’ (ubi keledek yang subur tetapi rebah satu persatu). Aktiviti menebang pokok akan dijalankan selepas mendapat mimpi yang baik. Lazimnya, masyarakat Kadazandusun akan mencantas pokok-pokok kecil terlebih dahulu sebelum menebang pokok besar. Dahan-dahan pokok akan dipotong untuk mempercepatkan proses pengeringan. Selepas pengeringan selama lebih kurang dua bulan, aktiviti membakar pun dijalankan. Bagi mengelakkan api daripada melarat ke hutan, terlebih dahulu kawasan sekeliling ladang itu perlu dibersihkan daripada sebarang sampah-sarap. Lebar tulat ialah lebih kurang tiga kaki atau semeter. Membakar ladang juga memerlukan peraturan dan teknik yang disepakati, iaitu membakar bermula dari sinuku (atas) dengan cara sunsurionon (mengundur) dan berpandukan arah tiupan angin. Aktiviti membakar tidak boleh dijalankan sekaligus. Biasanya bahagian atas tepi ladang yang berpotensi ditiup angin kuat akan dibakar terlebih dahulu bagi mengelakkan kemaraan api ke kawasan hutan. Membakar ladang tidak boleh dijalankan pada musim kemarau yang panjang bagi mengelakkan api merebak ke hutan atau tanaman orang lain. Selain itu, kemarau yang panjang juga tidak

Minah Binti Sintian, Julita Norjietta Binti Taisin, Ani Binti Omar, Siti Nor Amalina Binti Ahmad Tajuddin 193 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya

akan menumbuhkan tanaman. Selepas membakar, batang-batang kayu yang tidak terbakar akan dikumpul dan dilonggokkan untuk dibakar semula.

Tulat (kawasan yang dibersihkan)

Gambar 2: Aktiviti Mongulat dan Modtutud Sumber: Image google.com

Mongurak (Mengumpul ranting-ranting kayu untuk dibakar)

Gambar 3: Aktiviti Mongurak Sumber: Image google.com

Ladang yang selesai dibakar itu akan dibiarkan sejuk lebih kurang sebulan. Bagi mengelakkan rumput tumbuh, aktiviti monokop akan dijalankan. Kawasan yang diberi perhatian utama untuk ditutup ialah tempat yang diyakini ditumbuhi rumput dengan cepat dan sukar dimusnahkan seperti lalang dan tolinting (spesis rumput gajah atau pennisetum purpureum schamach). Ladang itu ditutupi dengan menggunakan daun lalang, daun pisang dan sebagainya. Penutup itu akan dibakar lebih kurang seminggu sebelum aktiviti menugal padi

194 Minah Binti Sintian, Julita Norjietta Binti Taisin, Ani Binti Omar, Siti Nor Amalina Binti Ahmad Tajuddin Pengetahuan Lokal Masyarakat Kadazandusun dalam Pemeliharaan dan Pemuliharaan Alam

dijalankan. Kaedah monokop ini bukan sahaja membantu mengurangkan rumput tumbuh bahkan dapat menyuburkan tanah. Keadaan topografi penanaman padi yang agak curam bukan sahaja mengundang bahaya kepada petani bahkan tanah yang mengandungi baja semulajadi akan terhakis apabila hujan turun dengan lebat. Masyarakat agraria menggunakan kearifan lokal monukad, iaitu menyusun kayu-kayu panjang di kawasan yang dikenal pasti curam untuk melindungi tanah daripada terhakis ke bawah bukit.

Batang kayu se- bagai penghadang tanah hakis

Gambar 4: Aktiviti Monukad Sumber: Stella Taradas, Facebook

Masyarakat Kadazandusun agraria di Bundu Tuhan akan menjalankan ritual Patod sebelum membuka tanah baru untuk pertanian terutama untuk penanaman padi. Perkataan Patod merujuk kepada serumpun bambu yang dianggap suci oleh masyarakat Kadazandusun. Kawasan Patod ini mesti berdekatan dengan sungai atau anak sungai kerana upacaranya berkaitan dengan air yang mempunyai unsur-unsur simbolik dalam kehidupan masyarakat Kadazandusun (Minah Sintian, 2013). Air memberikan kosogit-sogiton kepada para petani, tanam-tanaman mereka dan alam sekitar. Menurut informan A, ritual Patod dapat menghalau kuasa-kuasa kejahatan supaya tidak mengganggu manusia yang membuka tanah dan memohon berkat daripada Kinorohingan (Tuhan) untuk kesuburan hasil tanaman. Amalan Patod ini menegah manusia daripada membuka tanah pertanian tanpa persetujuan bersama dengan semua penduduk kampung. Rasionalnya, dapat mengelakkan kebakaran hutan, perubahan cuaca secara mendadak seperti hujan, mengelakkan serangan binatang buas dan serangga-serangga pemusnah tanaman. Proses menanam padi sehinggalah menuai hasilnya melibatkan pengetahuan lokal yang telah disepakati bersama dalam masyarakat

Minah Binti Sintian, Julita Norjietta Binti Taisin, Ani Binti Omar, Siti Nor Amalina Binti Ahmad Tajuddin 195 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya

Kadazandusun agraria. Semasa menanam, upacara poingkakat do tonomon perlu dilafazkan oleh pakarnya. Antara kandungan dalam ungkapan mantera itu adalah memohon padi tumbuh dengan subur, hasil padi dilipatgandakan, dijauhi daripada hasad dengki orang lain dan pemiliknya diberikan kesejahteraan (Minah Sintian, 2012). Umumnya, pemilik tanah akan menyelang-selikan tanaman lain semasa menugal. Antara benih yang ditanam ialah bayam, labu, timun dan jagung. Tanam-tanaman ini bukan sahaja berguna sebagai makanan tambahan sementara menunggu padi masak, bahkan tanaman campuran (companion planting) memberikan perlindungan kepada padi daripada diserang oleh serangga perosak, membantu pendebungaan kepada padi melalui pokok jagung, mengekalkan kelembapan tanah melalui pokok timun, labu dan sebagainya. Dalam bidang pertanian, setiap tanaman mempunyai nutrisi tersendiri. Nutrisi daripada tanaman lain dapat membantu membekalkan nutrient kepada tanaman berhampiran. Hal ini secara tidak langsung dapat membaik pulih tanah dan mengurangkan penggunaan baja kimia.

Pokok jagung

Aktiviti gumamas (merumput) merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat tani dalam menjaga hubungan manusia dengan tanam-tanamannya. Semasa gumamas, para petani bukan sahaja membuka rumput yang tumbuh di antara batang padi bahkan memberi peluang kepada petani untuk berkomunikasi dengan padinya yang sedang tumbuh. Bahasa mempunyai kuasa dalam memujuk dan merayu. Petani akan membelai daun-daun padinya sambil mengungkapkan kata-kata berbentuk harapan, kasih sayang, prihatin dan sebagainya terhadap padi. Kajian saintifik mengakui bahawa bercakap dengan tumbuhan dapat memberi kesuburan pada tanaman. Manakala penggunaan peralatan tradisional seperti gagamas (parang tumpul) semasa gumamas menggambarkan kaedah merumput tradisional yang bersopan-santun terhadap alam sekitar. Gagamas tidak akan melukakan makhluk

196 Minah Binti Sintian, Julita Norjietta Binti Taisin, Ani Binti Omar, Siti Nor Amalina Binti Ahmad Tajuddin Pengetahuan Lokal Masyarakat Kadazandusun dalam Pemeliharaan dan Pemuliharaan Alam yang menghuni tanah, justeru mereka tidak membalas dendam kepada petani (informan A). Dalam erti kata lain, penghuni tanah itu sentiasa memberikan kesuburan kepada tanam-tanaman. Kearifan lokal ini mengurangkan risiko penggunaan racun serangga dan baja kimia untuk pertumbuhan tanaman. Apabila padi berusia lebih kurang 3 bulan, padi itu mulai bunting. Ritual madsalud (mantera khusus untuk padi yang mulai berisi) akan dijalankan oleh bobolian. Kenyataan ini selaras dengan kajian Julita Norjietta Taisin (2014), bahawa nenek moyang masyarakat Kadazandusun zaman silam amat dominan dengan kepercayaan dan adat tradisi dalam mengamalkan aktiviti pertanian khasnya padi bukit yang dikaitkan dengan perkataan rumilik (menebang pokok), mengurak (membakar), mengasok (menugal), bambarayon (semangat padi), bobolian dan mitabang (bekerja sama secara bertimbal balik). Dalam melaksanakan aktiviti penanaman padi misalnya, perkataan-perkataan tersebut dikaitkan pengetahuan lokal adat dan kepercayaan kerana adanya upacara-upacara tertentu yang perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil padi yang banyak.

Kesimpulan

Secara keseluruhan dapat dirumuskan bahawa pengetahuan lokal masyarakat pendukungnya memainkan peranan dalam pemeliharaan dan pemuliharaan alam yang amat berkait rapat dengan adat dan kepercayaan. Jelas bahawa dengan penggunaan perkataan-perkataan tertentu serta penggunaan peralatan dalam pertanian padi menjadi inti pati kelangsungan perkembangan masyarakat Kadazandusun pada zaman silam yang dapat dijadikan landasan dan panduan oleh generasi muda dalam menjana pelestarian alam.

Rujukan

Appell, G.N. dan Harrison, R. (1968). Ethnographic Profiles of the Dusun- speaking Peoples of Sabah, Malaysia. Journal of Malayan Branch of the Royal Asiatic Society. 41 (2), 131-147. Kuala Lumpur: MBRAS. Bisht, N.S. dan Bankoti, T.S. (eds.). (2004). Encyclopaedia of the South-East Asian Ethnography, 1st ed. Vol.1 A-L. Delhi: Global Vision Publishing House. Dayu Sansalu. (2008). Kadazandusun di Sabah Pendidikan dan Proses Pemodenan 1881-1967. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Flavier, J.M. (1995). The Regional Program for the Promotion of Indigenous Knowledge in Asia. Dalam Warren D.M, Slikkerveer L.J dan Brokensha, D. (eds.). The Cultural Dimension of Development: Indigenous Knowledge Systems (hlm. 479-487). London: Intermediate Technology Publications. Hanafi Hussin. (2005). Ritual Padi Komuniti Kadazan Dataran Penampang, Sabah. Jati, 10, 171-203.

Minah Binti Sintian, Julita Norjietta Binti Taisin, Ani Binti Omar, Siti Nor Amalina Binti Ahmad Tajuddin 197 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya

Hans J. Daeng. (2008). Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Imam Santoso Ernawi. (2009). Kearifan Lokal dalam Perspektif Penataan Ruang. Dalam Respati Wikantiyoso dan Pindo Tutuko. (eds). Kearifan Lokal dalam Perencanaan dan Perancangan Kota: Untuk Mewujudkan Arsitektur Kota yang Berkelanjutan. Malang: Group Konservasi Arsitektur & Kota. Jabatan Perangkaan Malaysia. (2011). Buku Tahunan Perangkaan Sabah 2011. Sabah: Jabatan Perangkaan Malaysia Negeri Sabah. Julita Norjietta Taisin (2014). SUDAWIL : Analisis Dari Aspek Makna. Tesis PhD. Universiti Malaysia Sabah. Lee Yong Leng. (1983). Sabah Satu Kajian Geografi Petempatan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Lokman Abdul Samad. (2009, Disember). Sundait. Etnik, 2(3), 32-33. Low Kok On. (2005). Membaca Mitos dan Legenda Kadazandusun. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia. Low Kok On & Lee Yok Fee. (2012). Investigating the Relatinship Between Kadazandusun Beliefs About Paddy Spirits, Riddling in Harvest-Time and Paddy-Related Sundait. MALIM-SEA Journal of General Studies, 13, 65-93. Minah Sintian. (2012, November). Mantera atau Rinait Kadazandusun: Tinjauan dalam Aspek Pengamal dan Fungsinya dalam Kehidupan. Prosiding dari Simposium Bahasa dan Budaya Iban dan Folklor Borneo/Kalimantan. Kuching, Sarawak: Dewan Bahasa dan Pustaka Kuching, Persatuan Folklor Malaysia, Fakulti Bahasa dan Komunikasi, UPSI. Minah Sintian. (2013, April). Kepercayaan dan Amalan Masyarakat Kadazandusun dalam Pemeliharaan Alam Sekitar. Prosiding dari Persidangan Intelektual Kebangsaan Malaysia. Tanjong Malim: Fakulti Sains Kemanusiaan, Universiti Pendidikan Sultan Idris. Nakashima, D., Prott, L. & Bridgewater, P. (2000, Julai-Ogos). Tapping into the World’s Wisdom. UNESCO Sources, 125, 11-12. Diakses pada 2 Februari 2017 daripada unesdoc.unesco.org/i Nazarea, V.D. (2006). Local Knowledge and Memory in Biodiversity Conservation. Annual Review of Anthropology. Advance online publication. doi. 10.1146/ annurev.anthro.35.081705.123252 Nitty Hirawaty Kamarulzaman, Selvakkumar K.N. Vaiappuri, Nor Atiah Ismail dan Md Azree Othman Mydin. (2016). Local Knowledge of Flood Preparedness: Current Phenomena to Future Action. Jurnal Teknologi, 78(5), 85-89. Phelan, P. R. (2001). Head Hunting and The Magang Ceremony in Sabah. Kota Kinabalu: Natural History Publications (Borneo) Sdn. Bhd. Pugh-Kitingan, Jacqueline. (2012). Kadazan Dusun. Kuala Lumpur: Institut

198 Minah Binti Sintian, Julita Norjietta Binti Taisin, Ani Binti Omar, Siti Nor Amalina Binti Ahmad Tajuddin Pengetahuan Lokal Masyarakat Kadazandusun dalam Pemeliharaan dan Pemuliharaan Alam

Terjemahan & Buku Malaysia. Raden Cecep Eka Permana, Isman Pratama Nasution dan Jajang Gunawijaya. (2011). Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Baduy. Makara, Sosial Humaniora, 15 (1), 67-76. Robertson, R. (1997). Agama dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Rohana Yusof. (2010). Asas Sains Sosial Dari Perspektif Sosiologi. Kuala Lumpur: dewan Bahasa dan Pustaka. Rutter, O. (1985). The Pagans of North Borneo. Singapore: Oxford University Press. Saidatul Nornis Mahali dan Budi Anto Mohd. Tamring. (eds.) (2011). Pluraliti dalam Kearifan Lokal di Sabah. Kota Kinabalu: Penerbit Universiti Malaysia Sabah. Senan Marshall. (2017). Sistem Politik Bundu Tuhan di Daerah Ranau dalam Sejarah Pra-Negara Moden. Dalam Vincent Pang, Budi Anto Mohd. Tamring & Veronica Petrus Atin (eds.), Bundu Tuhan Konteks dan Tranformasi (hlm. 9-25). Kota Kinabalu: Perpustakaan Negeri Sabah. Yunus Sauman Sabin. (2000). Masyarakat Bajau dan Dusun di Sabah Sebelum Tahun 1900. Diakses pada 10 Februari 2016 daripada myrepositori.pnm. gov.my/.../MDSS_2000_Bil.28_03... Zawawi Ibrahim. (2001). Voices of the Crocker Range Indigenous Communities Sabah Social Narratives of Transition in Tambunan and its Neighbours. Sarawak: Institute of East Asia Studies, Universiti Malaysia Sarawak. Informan: A Lombi Gungkat. B Erwan Gunda

Minah Binti Sintian, Julita Norjietta Binti Taisin, Ani Binti Omar, Siti Nor Amalina Binti Ahmad Tajuddin 199

LOKALITAS DAN KONTEKSTUALITAS TAFSIR SASTRA DI INDONESIA (Sebuah Upaya Deradikalisasi)

Mohamad Nuryansah & Benny Ridwan Fakultas Usuluddin Adab dan Humaniora IAIN Salatiga

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk menggali dimensi lokalitas dan kontekstualitas tafsir Al-Azhar, sebagai upaya untuk mengikis faham radikalisme yang sedemikian mengakar di Indonesia. Lokalitas sebagai sebuah pertimbangan dan kontekstualitas sebagai sebuah cara menafsirkan benar-benar diterapkan oleh Hamka dalam menafsirkan al-Qur’an, terutama terkait ayat yang disalah fahami oleh sebagian kaum radikalis, seperti ayat yang menjelaskan tentang menjaga eksisitensi umat beragama dan tempat ibadah mereka serta tentang Jihad menuju jalan Allah swt. Hasil penelitian menyebutkan bahwa dengan kemajemukan yang ada di Indonesia, yang menganut banyak keyakinan, menjadikan Hamka mengutuk keras fanatisme buta terhadap agama, sebab fanatisme yang berlebihan akan menjadi pemantik onar dan peperangan diantara anak bangsa sendiri, sebab ketika seseorang sudah merasa Agamanya sendiri yang benar, maka akan melahirkan tindakan represif yang berujung pada penindasan dan pertikaian, sehingga hal tersebut bukanlah sebagai tujuan dari Islam, demikian pula Hamka mendorong untuk menjaga eksistensi umat beragama dan tempat ibadah mereka, baik Masjid, Gereja, Sinagog dan tempat ibadah agama lain. Umat Islam harus menjaga umat beragama dan tempat ibadah Agama manapun sebagai bentuk politik luhur Islam. Adapun Jihad diartikan sebagai sebuah “perang” hanya dalam rangka mempertahankan diri dari musuh yang hendak merusak Agama dan Negara, selain kondisi tersebut, Jihad harus diartikan sebagai sebuah kesungguhan untuk mencari jalan Allah dengan menjalankan tugas sesuai dengan kapasitas masing-masing sebaik mungkin, baik sebagai pengajar, pedagang, petani dan pejabat.

Kata kunci: Tafsir al-Azhar, lokalitas, dan kontekstualitas.

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 201 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya

Pendahuluan

l-Quran sebagai sumber primer ajaran Islam mengandung nilai-nilai Adalam membangun peradaban manusia (al-tamaddun al-insāni),1 oleh karena itu minat kajian terhadap al-Qur’an terus berkembang dengan pesat. Dari klasik hingga kontemporer, dari sarjana Muslim maupun sarjana Barat. Kajian al-Qur’an yang sedemikian pesat tidak hanya terjadi di dunia Arab maupun Barat, tetapi juga di Indonesia -sebagai Negara dengan jumlah muslimnya terbesar di dunia. Berbagai pendekatan telah ditawarkan, mulai dari Linguistik (sastra), Ushul Fiqh, Hermeneutik, dan pendekatan integratif, telah mengalami perkembangan signifikan dalam memproduksi dan mereproduksi ide-ide dan gagasan al-Qur’an secara terus menerus dan berkesinambungan. Berbagai pendekatan dalam berinteraksi dengan al-Quran merupakan sebuah keniscayaan yang harus terus dikembangkan, sebab Al-Qur’an merupakan teks statis, sedangkan zaman dan berbagai persoalan manusia terus bertambah dan berkembang, dengan demikian kebutuhan akan penafsiran yang selaras dengan perkembangan zaman amatlah sangat penting agar al-Qur’an senantiasa menjadi guidance (way of life) bagi umat Islam, al-Qur’an menjadi solusi terhadap problematika manusia serta al-Qur’an akan tetap salih li kulli zamān wa al-makān. Al-Qur’an dapat menjadi solusi terhadap persoalan manusia manakala al-Qur’an tersebut sudah ditafsirkan oleh penafsir, sebab al-Qur’an tak mampu berbicara (menjelaskan sendiri) tanpa adanya refleksi manusia (penafsir). Sebagaimana ungkapan dari sahabat Ali Ibn Abi Thalib “Al-Qur’an merupakan teks, tak mampu menjelaskan dirinya sendiri, mufasirlah yang dapat menjelaskannya. Dari berbagai pendekatan yang ada, pendekatan Adabi Ijtima’i2 (sastra- kemasyarakatan) mengalami kemajuan yang signifikan, terutama di Indonesia, sebagaimana tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka. Tafsir ini menempatkan al- Qur’an sebagai petunjuk universal sehingga dapat dijadikan pedoman dan solusi

1 Qur’an menjadi inspirasi utama dalam membangun peradaban manusia, karena al- Qur’an merupakan kitab yang sempurna, mengandung semua elemen terkait manusia, baik aspek teologis, moral, kemasyarakatan. Sehingga al-Qur’an menjadi manhaj li al-basyar (pandangan hidup manusia). Sayyid Quṭb, Hādzā al-Dīn (Kairo: Dār al-Syurūq, tt ), h. 68 2 Al-adabi wa al-ijtima’i terdiri dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i, yaitu tafsir yang memadukan antara dimensi sastra (adabī) dengan kemasyarakatan (ijtimā’i).(Mohamad Nur Kholis dalam J. J. G. Jansen. Diskursus Tafsir al-Quran Modern (Terj.). (Yogyakarta: Tiara wacana Yogya.1997), h. xi) Kata al-adabī bermakna sopan santun, tata krama dan sastra. Sedangkan kata al-ijtima’iy bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan dengan kemasyarakatan. Jadi secara etimologis tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada satra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural. (Supiana-M. Karman, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), h. 316-317) Jadi corak tafsir al-Adabī al-Ijtimā’i adalah corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al- Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat atau masalah-maslah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti dan indah didengar. Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), h. 108.

202 Mohamad Nuryansah & Benny Ridwan Lokalitas dan Kontekstualitas Tafsir Sastra di Indonesia dalam masyarakat. Karakteristik tafsir dengan corak semacam ini merupakan inovasi dari berbagai pendekatan tafsir pada era sebelumnya, dimana para penafsir hanya menafsirkan al-Quran dengan cara menganalisa susunan kalimatnya atau mengungkap sisi kebahasaannya atau bahkan hanya memaparkan pendapat para ulama yang saling berbeda, sehingga kurang memberikan kontribusi yang signifikan bagi persoalan kemasyarakatan.3 Dengan demikian sudah barang tentu kita akan menemukan pemikiran revolusioner Hamka dalam membangun gagasan keislaman, dimana ia berani menerjang batas-batas dogma yang dipegang oleh umat Islam kebanyakan. Hal ini sangat penting sebagai upaya untuk membangun Islam rahmah dalam konteks kekinian dan sebagai sebuah upaya dalam membendung arus radikalisme yang mulai mengakar di Indonesia. Tafsir ini merupakan tafsir yang unik, yang berbeda dengan karya-karya tafsir Nusantara yang lainnya. Aspek lokalitas dalam tafsir ini begitu kentara, baik berkaitan dengan sejarah, suku, budaya dan perjuangan bangsa Indo­ nesia termaktub dalam tafsir ini. Terlebih Tafsir dengan pendekatan sastra kemasyarakatan menjadi pilihan utama dalam memahami al-Qur’an, sebab pen­ dekatan ini dianggap terbebas dari fanatisme idiologi, madzhab dan kepentingan dari penafsirnya sendiri, demikian pula al-Qur’an disusun dalam bahasa yang sastrawi. Nur Khalis Setiawan mengungkapkan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab sastra terbesar di dunia, hal ini bukan berarti membandingkan al-Qur’an dengan berbagai produk sastra ataupun menyamakannya, namun ungkapan ini lebih tepatnya sebagai usaha menjelaskan bahwa al-Qur’an memiliki ke­ istimewa­an dalam aspek kesusastraan dan kebahasaan. Islam merupakan Agama yang rahmah (mengasihi), baik seagama maupun berbeda Agama, sebab Al-Qur’an sebagai pedoman telah menjelaskan moral kemanusiaan yang bersifat universal, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Namun terkadang dijumpai berbagai macam tindakan yang tidak manusiawi dan menciderai terhadap keadilan dengan justifikasi ayat-ayat Al- Qur’an. terutama terkait faham radikalisme yang kian menguat dan mengakar di bumi Indonesia. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut diantaranya adalah tawaran lokalitas dan kontekstualitas dalam membaca teks keagamaan –al-Qur’an dan Hadis. Kedua aspek ini nampak jelas dalam Tafsir Al-Azhar ini. Kontekstualitas berupaya mengambil makna teks secara proporsional dengan memperhatikan sosio historis dari teks, sedangkan lokalitas berupaya menghasilkan pemahaman yang selalu memperhatikan nilai- nilai lokalitas dari suatu bangsa, khusunya Indonesia, yaitu Kebhinekaan. Upaya membendung radikalisme berdasarkan penafsiran yang menonjol­ kan aspek lokalitas dan kontektualitas tentu sangat relevan untuk dikaji dengan seksama, sebab secara normative al-Qur’an memiliki fungsi moral-sosial disamping fungsi teologis. Fungsi teologis mengandung fungsi al-Qur’an sebagai

3 Abdul Mustaqim. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Quran Periode Klasik hing­ga Kontemporer. (Yogyakarta: Nun Pustaka Yogyakarta. 2003), h. 91

Mohamad Nuryansah & Benny Ridwan 203 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya

Mu’jizat, Burhan dan Bayinah. Kemukjizatan al-Quran diantaranya adalah berkaiatan dengan aspek bahasa dan susunan redaksinya. Sejarah telah mencatat bahwa bangsa Arab pada saat turunnya al-Quran memiliki peradaban yang maju dalam bidang kefashihan bahasa (balaghah), kesempurnaan menyampaikan penjelasan (al-bayān), keserasian dalam menyusun kata-kata, serta kelancaran logika.4 Oleh karena bangsa Arab maju dalam aspek bahasa dan seni sastra, karena sebab itulah al-Quran menantang mereka. Padahal mereka memiliki kemampuan bahasa yang tidak bisa dicapai orang lain seperti kemahiran dalam berpuisi, syi’ir atau prosa (natsar). Namun walaupun begitu mereka tetap dalam ketidakberdayaan ketika dihadapkan dengan al-Quran.5 Jikalau pekerjaan tidak bisa dilakukan oleh mereka yang ahli dalam bidangnya tentu sangat mustahil itu bisa dilakukan oleh mereka yang tidak ahli dibidangnya.6 Dalam konteks moral sosial diantaranya al-Qur’an sebagai Al-Huda (petunjuk)7, Asy-Syifa’ (obat/penyembuh)8, Al-Mau’idhah (pelajaran/nasehat)9, Al-Busyra (kabar gembira)10 dan Rohmah. Konteks moral sosial yang sedemikan menggembirakan terkadang terlupakan oleh sebagian umat Islam sendiri karena tidak mengkaji al-Qur’an secara seksama dan komprehensif.

Sekilas tentang Hamka dan Tafsir al-Azhar

Hamka lahir pada 13 Muharram 1362 H, atau 16 Februari 1908 M. di desa Tanah Sirah, Nagari Sungai Batang. Ayah Hamka bernama Syekh Abdul Karim bin Amrullah mempunyai hasrat besar agar anaknya kelak mengikuti jejak dan langkah yang telah diambilnya sebagai seorang ulama’.11 Sebagai seorang ulama’

4 Al-Thbathaba’I, Al-Mizān, Juz I, (Mesir: Dar al-Syuruq, 1989), h. 66 5 Manna’ al-Qathan, Mabāhis fi Ulūmil Qurān, (Beirut: Dār al-Fikr, 1999), h. 264-265. Contoh tantangan al-Qur’an terhadap orang kafir Arab diantaranya: 1) tantangan berupa undangan bagi orang-orang Arab beserta seluruh kekuatan pendukung dari jin atau manusia untuk membuat padanan al-Quran (QS. Al-Isro’: 88); 2) tantangan membuat 10 surat (QS. Hud: 13); 3) tantangan terakhir hanya untuk meniru satu saurat dari al-Quran (QS. Al-Baqarah: 23). Abdul Qāhir al- Jurjāni, Dala’ilul I’jāz, h. 385. 6 M. Abdul Adzīm al-Zarqāni, Manāhilul Irfān fi Ulām al-Quran, Juz III, (Beirut: Dār al-Fikr, 2004), h. 332 7 Dan sesungguhnya tatkala kami mendengar petunjuk (Al-Qur’an), kami beriman kepadanya. Barangsiapa beriman kepada Tuhannya, maka ia tidak takut akan pengurangan pahala dan tidak (takut pula) akan penambahan dosa dan kesalahan (QS. Al Jin [72]:13). 8 Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (QS. Yunus [10]:57) 9 Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (QS. Yunus [10]:57) 10 Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (QS. An Nahl [16]:102). 11 Rikza Chamami, Studi Islam Kontemporer (Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2002), hal. 121.

204 Mohamad Nuryansah & Benny Ridwan Lokalitas dan Kontekstualitas Tafsir Sastra di Indonesia

Hamka adalah seorang sastrawan, budayawan, Mubaligh, pendidik, bahkan menjadi politisi. Adapun pendidikan formalnya, Hamka kecil hanya sampai pendidikan SD, Namun keahliannya dalam Islam diakui dunia internasional sehingga kemudian mendapat gelar kehormatan dari Universitas Al-Azhar (1955) dan dari Universiti Kebangsaan Malaysia (1976). Perjalanan intelektual Hamka dimulai pada Tahun 1924 ditandai dengan kepergiannya ke tanah Jawa untuk belajar antara lain kepada HOS Cokroaminoto, dan aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Selain konsen dalam dunia keislaman, Hamka juga menjadi seorang redaktur pada majalah Pedoman Masyarakat dan Pedoman Islam (1938-1941). Pada waktu itu ia mulai banyak menulis roman, seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), Merantau ke Deli (1940), Di Dalam Lembah Kehidupan (1940; kumpulan cerita pendek), Ayahku (1949; merupakan riwayat hidup dan kisah perjuangan ayahnya). Di zaman Orde Lama Hamka pernah mearasakan dinginnya tembok pen­ jara karena sebuah Fitnah, Namun justru itu disyukuri ole Hamka, sebab di dalam penjara itulah Ia mampu menyelesaikan karya monumentalnya, yaitu Tafsir Al-Azhar. Diantara karya-karya Hamka antara lain: 1. Di Bawah Lindungan Ka’bah 2. Adab Minangkabau dan Agama Islam 3. Si Sabariyah 4. Kepentingan Tabligh 5. Agama dan Perempuan 6. Ayat-ayat Mi’raj 7. Merantau ke Deli 8. Tasawwuf Modern 9. Ringkasan Tarikh Umat Islam 10. Falsafah Hidup 11. Pembela Islam:Tarich Sayyidina Abu Bakar 12. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk 13. Tuan Direktur 14. Kenang-kenangan Hidup 15. Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra 16. Tafsir al-Azhar

Adapun penulisan tafsir al-Azhar di mulai sejak tahun 1958, yang pada awalnya berupa uraian dalam kuliah subuh bagi jama’ah mesjid Agung al- Azhar.12 Hasil uraian Hamka setiap subuh tersebut di muat dalam majalah Gema Islam sejak tahun 1969, dan Hamka menyelesaikan penuliasn Tafsirnya komplit

12 Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990. hlm. 56

Mohamad Nuryansah & Benny Ridwan 205 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya tiga puluh juz saat berada dalam rumah tahanan politi Mega Bandung tanggal 11 Agustus 1964. Selanjutnya Hamka melakukan penyempurnaan terhadap karya tafsirnya ketika Hamka setelah keluar dari penjara. Interaksi Hamka terhadap penafsiran al-Qur’an dimulai sejak ia belajar tafsir al-Qur’an kepada KI Bagus Hadikusumo di Yokyakarta tahun 1924-1925. Dari sinilah muncul minat Hamka untuk mendalami lebih dalam tentang al- Qur’an, sebab Hamka hendak meninggalkan pusaka yang bermanfaat atau punya nilai bagi bangsa dan umat muslim Indonesia jika kelak kembali ke hadirat Allah swt. Tafsir al-Azhar merupakan tafsir dengan metode tahlili, yaitu menafsirkan al-Qur’an mengikuti sistem al-Qur’an sebagaimana yang ada dalam mushaf, dibahas dari berbagai segi mulai dari asbab al-nuzul, munasabah, kosa kata, susunan kalimat dan sebagainya. Tafsir ini layak disebut tafsir al-Qur’an,13 karena memenuhi kriteria sebuah tafsir, di antaranya ialah seorang mufasir menjelaskan lafaz, kalimat atau ayat dengan menggunakan sumber dan menerapkan prinsip- prinsip penafsiran yang berlaku. Tafsir Al-Azhar ditulis dalam suasana yang baru, yaitu di Negara yang penduduk muslimnya lebih besar jumlahnya dibanding dengan pemeluk agama yang lain, sedangkan mereka haus akan bimbingan Agama. Sehingga perbedaan madzhab dan fanatisme pada suatu faham idiologi hampir tidak akan dijumpai dalam tafsir ini.14 Madzhab yang dianut penafsir ini adalah madzhab salaf, yaitu madzhab Rasulullah, sahabat dan para ulama penerus Nabi. Dalam persoalan aqidah, Hamka bersifat taslim, artinya menyerah tanpa banyak bertanya lagi, Namun bukan taklid buta, tetapi meninjau mana yang lebih dekat dengan kebenaran untuk diikuti dan mana yang menyimpang untuk ditinggalkan.15 Tafsir yang dijadikan rujukan oleh hamka dalam menulis tafsirnya adalah Tafsir Al-manar karya Sayyid Rasyid Ridha, menurut Hamka tafsir ini layak dijadikan sebagai rujukan sebab selain menguraikan persoalan Agama, mengenahi hadis, fiqih, sejarah Islam, juga menafsirkan ayat-ayat tersebut sesuai dengan perkembangan politik dan kemasyarakatan, sehingga tafsir al-Azhar pun demikian, hanya saja berbeda dalam aspek perkembangan politik dan kemasyarakatan, hal tersebut karena berbeda waktu dan temapat antara Tafsir Al-Manar dan Tafsir al-Azhar. Selain Al-Manar, tafsir yang dijadikan sebagai rujukan oleh Hamka adalah Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Qasimi, dan Tafsir Fi Dhilal Al-Qur’an. Adapun sumber penafsiran Hamka; 1) Otoritas Al-Qur’ān; 2) Otoritas Hadis Nabi; 3) Ucapan Sahabat; 4) Akal; dan 5) Realitas (lokalitas).

13 Nurwajnah Ahmad, “Pemahaman Mufasir Indonesia Mengenai Ayat-ayat yang Berkaitan dengan Negara, Sumber Harta dan Ilmu Pengetahuan”, Disertasi, Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1997 14 Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid I (Jakarta: Gema Insani, 2015), hlm. 38 15 Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid I (Jakarta: Gema Insani, 2015), hlm. 37

206 Mohamad Nuryansah & Benny Ridwan Lokalitas dan Kontekstualitas Tafsir Sastra di Indonesia

Kontektualitas dan lokalitas dalam tafsir: Sebuah Upaya Deradikalisasi

Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam harus mampu difahami dengan sekasama, sehingga mampu mengahadirkan solusi yang tepat terhadap berbagai tantangan zaman, sebagaimana tantangan kultural dan sosiologis yang saat ini dihadapi, tentu berbeda dengan dengan tantangan yang ada pada zaman Nabi, Sahabat, dan Tabiin. Kebutuhan akan kreatifitas dalam memahami al- Qur’an inilah yang tidak dapat dinafikan, salah satu jalan yang dapat dilakukan adalah dengan cara kontekstualitas dan mengetengahkan nilai-nilai lokalitas/ kultural yang ada dalam menafsirkan al-Qur’an. Salah satu tantangan yang ada di depan mata ialah faham-faham radi­ kal­isme yang sudah mewabah di Negara ini. Berbagai survei menegaskan ten­ tang virus radikalisme sudah akut di Indonesia, Direktur Wahid Institute, Yenny Wahid dalam diskusi Simposium Nasional (14/8/2017) di Balai Kartini menye­butkan, sebanyak 11 juta orang bersedia melakukan tindakan radikal, 0,4 persen penduduk Indonesia pernah bertindak radikal, sedangkan 7,7 persen mau bertindak radikal kalau memungkinkan. Tindakan ini diakibatkan oleh kesenjangan ekonomi dan terprovokasi oleh ceramah-ceramah ustad yang berisi kebencian.16 Demikian juga Setara Institute telah melakukan survey pada tahun 2015, tentang persepsi siswa atas toleransi beragama dan radikalisme, dan hasilnya sangat mengejutkan, satu dari 14 siswa SMA setuju dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah). 17 Demikian pula pada penelitaian sebelumnya, yaitu pada tahun 2011 oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang dipimpin oleh Prof. Dr. Bambang Pranowo-Guru Besar sosiologi di UIN Syarif hidayatullah Jakarta, menyebutkan bahwa hampir 50% pelajar mendukung cara-cara keras dalam menghadapi masalah moralitas dan konflik keagamaan.18 Pada tahun yang sama, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lazuardi Biru menjelaskan bahwa Indonesia masih rawan terhadap aksi radikalisme dan terorisme, dengan indeks kerentanan radikalisme di Indonesia sebesar 43,6, dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, terdapat tiga daerah yang paling rentan tindakan radikalisme, yakni Nangroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, dan Banten. Komponen indeks kerentanan radikal tersebut terdiri dari tindakan radikal, keanggotaan organisasi radikal, aliensi-deprivasi, intoleransi terhadap non-muslim, persamaan tidan aman, dan perasaan terancam dari masyarakat.19

16 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170814172156-20-234701/survei-wahid- institute-11-juta-orang-mau-bertindak-radikal. 17 Setara Institute melakukan survei terhadap siswa 76 SMU di Jakarta dan 38 SMU di Bandung (meliputi Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kota Bandung) pada 9-19 Maret lalu. Dari total 114 sekolah, diambil enam siswa, sehingga tingkat kepercayaannya 95 persen dan margin of error 4,7 persen. Penelitian itu menggunakan metode wawancara dan kuesioner. Read more at http://nasional.tempo.co/read/news/2015/03/31/078654122/survei-setara-satu-dari-14- siswa-sma-setuju-isis#uGXOODprl7dU4B3v.99 18 Survei ini dikerjakan sejak Oktober 2010 hingga Januari 2011, http://www.bbc.com/ indonesia/berita_indonesia/2011/04/110426_surveiradikalisme 19 ttp://nasional.kompas.com/read/2011/10/05/15592674/Survei.Indonesia.Masih.

Mohamad Nuryansah & Benny Ridwan 207 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya

Kondisi psikologis masyarakat yang sedemikian rentan oleh tindakan radikal tentu harus segera dicarika solusi, salah satunya dengan upaya meng­ kontek­tualisasikan teks-teks keagamaan secara proporsional. Penafsiran tekstual dan kontekstual sudah ada pada zaman Nabi. Hal itu dapat dibuktikan dari perdebatan antar sahabat, misalnya Umar ibn Khatab yang terkenal dengan ijtihadnya.20dengan perkembangan dan perluasan wilayah maka perbedaan kedua pola dan metode ini semakin nampak, didukung pula legitimasi teologis sosiologis oleh masing-masing pengikutnya, bahkan kedua pola ini berkembang men­jadi sebuah paradigma, dimana terkadang antara keduanya saling me­ nyerang. Secara historis, masyarakat Mekkah dan Madinah cenderung melakukan pendekatan tekstual, disamping tipikal masyarakat di Mekkah yang homogen, banyaknya sumber hukum (Hadis) juga menjadi penyebab masyarakat Mekkah lebih tekstual, karena ketika terjadi persolan, mereka dapat langsung merujuk pada hadis-hadis tersebut. Namun kekurangan pendekatan ini dapat berpotensi menimbulkan paham dan gerakan yang reaksioner terhadap perkembangan zaman.21 Sedangkan pola pendekatan kontekstual didominasi oleh masyarakat Irak dan sekitarnya. Disamping masyarakat Irak terbatas ketersediaan sumber hukum (hadis), tipikal masyarakat di Irak juga heterogen, sehingga lebih cen­ de­rung menggunakan rasio ketika terdapat perbedaan antara teks dan akal.22 Pendekatan kontekstual lebih berorientasi pada konteks pembaca (penafsir) dimana ia hidup dan berada, dengan pengaruh budaya, sejarah dan sosialnya sendiri.23 Sehingga kontekstualitas merupakan sebuah pendekatan yang rele­ van pada saat ini untuk mengikis faham radikalisme di masyarakat. Me­nurut Nasaruddin Umar, radikalisme muncul dari tekstualisme sehingga dia me­ nawarkan pendekatan kontekstual Maqāsidi dalam memahami teks keagamaan. Lokalitas (locality) dalam sebuah tafsir merupakan sebuah diktum yang menarik untuk ditelaah secara mendalam. Sebab meskipun Al-Qur’an itu diperuntukkan untuk semua umat manusia secara universal, namun pelaksanaan ajarannya (tafsir) itu sendiri menuntut pengetahuan dan pemahaman tentang

Rentan.Aksi.Radikalisme 20 Persoalan ini dapat dilihat dari penafsiran sahabat terhadap hadis Nabi yang berbunyi : “janganlah ada yang shalat sebelum sampai di kampung bani Quraidhah” sebagian Sahabat memahami hadis ini secara tekstual sehingga mereka tidak menjalankan ibadah shalat meski sudah masuk waktunya sebelum mereka tiba di kampung bani Quraidhah dan sebagian lainnya memahami secara kontekstual sehingga mereka menjalankan shalat ketika sudah tiba waktunya. Adapun hadis Nabi tersebut diartikan oleh kalangan sahabat yang kontekstual sebagai perintah Nabi untuk melakukan perjalanan secara cepat. Muhammad al-Ghazali, Studi atas Hadis Nabi Secara Tekstual dan Kontekstual,(terj) (Bandung: Mizan, 1993), h.25. 21 Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), h.36 22 Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), h. 36-37. 23 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 249.

208 Mohamad Nuryansah & Benny Ridwan Lokalitas dan Kontekstualitas Tafsir Sastra di Indonesia lingkungan kultural (lokalitas) masyarakat tertentu, termasuk di Indonesia, 24 dalam bahasa yang sederhana adanya dialog anatara realitas manusia dan al- Qur’an. Dengan demikian maka dapat difahami mengapa al-Qur’an sama namun dalam praksis pengamalannya berbeda-beda.25 Sehingga maksud lokalitas dalam tafsir disini diartikan sebagai wacana kultural yang ada dalam sebuah tafsir, baik terkait peristiwa maupun gagasan yang dibangun oleh seorang mufasir untuk menjelaskan makna ayat. Dengan adanya lokalitas konteks keindonesiaan ini diharapkan sebuah tafsir dapat memberikan sumbangsih atas keberagaman dan kebinekaan umat Islam Indonesia sehingga tidak mudah tersulut oleh faham radikalisme.

Lokalitas dalam Tafsir Al-Azhar: sebagai pertimbangan

Negara Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari berbagai suku, Agama, ras dan golongan. Kemajemukan ini menjadi sebuah keunikan –lokalitas yang hanya dimiliki oleh Indonesia yang patut disyukuri sekaligus dibanggakan. Sebab hanya Indonesialah yang memiliki kekayaan peradaban semacam ini. Namun tidak dapat dipungkiri, keunikan yang sedemikian indah terkadang menimbulkan persoalan di lain pihak, terutama terkait isu Agama. Fanatisme keagamaan yang sudah akut diderita oleh sebagian pemeluk Agama menjadikan keharmonisan umat beragama menjadi goyah, banyak teror di Masjid, Gereja dan tempat ibadah yang lain. Fanatisme, termasuk dalam beragama menurut Hamka dapat menghilangkan ketentraman dalam jiwa dan membawa onar dan peperangan, sebab truth claim, aksi radikal pasti terjadi ketika seseorang mengalami fanatisme buta.26 Argumen semacam itu dikemukakan oleh Hamka saat menafsirkan surah al-Baqarah ayat 62.27 Penafsiran semacam itu menurut penulis merupakan sebuah penafsiran yang berani dan progresif dengan mempertimbangkan lokalitas Indonesia, yang terdiri dari berbagai Agama, Ras, Suku dan Budaya. Penjelasan yang termaktub dalam tafsir al-Azhar ini sangat representatif untuk diketengahkan, karena akhir-akhir ini ujaran kebencian atas nama Agama, aksi radikal menjadi musuh yang nyata bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara. Demikian atensi terhadap lokalitas keindonesiaan juga tampak ketika Hamka menafsirkan surat al-Baqarah ayat 114, ayat ini membicarakan ten­tang perilaku orang dhalim yang senantiasa menghalangi umat Islam untuk beribadah di masjid. Dalam menafsirkan ayat ini, nampaknya Hamka

24 Syafi’i Anwar, “Sosiologi Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid”, Jurnal Ulumul Qur’an, No. 1 Vol. IV. 1993, h. 50 25 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an kritik terhadap Ulumul Qur’an, Terj. Khoiron Nahdliyyin. (Yogyakarta: LKIS, 2002), h. 4 26 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz I (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), h. 205 27 Ayat ini berbunyi “sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang Yahudi, Nasrani, dan Shabiin. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kiamat dan beramal shalih, maka untuk mereka adalah ganjaran di sisi tuhan, tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita.

Mohamad Nuryansah & Benny Ridwan 209 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya mempertimbangkan lokalitas masyarakat Indonesia yang menganut berbagai macam Agama. Sehingga Hamka menegaskan bahwa Islam mengutuk keras terhadap perilaku yang menghambat seseorang untuk beribadah ditempat ibadahnya sendiri. Baik di masjid ataupun ditempat ibadah Agama lain, seperti di Gereja bagi orang Kristen, Sinagog bagi orang Yahudi, demikian pula umat diharuskan menjaga keamanan umat beragama baik Islam, Kristen, Hindu, Budha serta membela tempat ibadah agama manapun baik Masjid, Gereja, Sinagog dll, Sebab menurut Hamka menjaga dan membela tempat-tempat ibadah (Masjid, Gereja, Sinagog) merupakan bagian dari politik luhur Agama Islam.28 Demikian pula aspek lokalitas dalam tafsirnya, dapat dilihat dari penye­ butan Hamka terkait nama benda, daerah, suku yang yang ada di Indonesia. Dalam sebuah Tafsir, seorang penafsir pasti dipengaruhi oleh latar belakang dan kondisi daerah dimana penafsir tersebut hidup. Hal tersebut menjadi wajar ketika dalam menafsirkan menyebut nama benda, nama daerah, atau nama suku yang ada disekeliling penafsir, termasuk Hamka. Dalam tafsirnya Al- Azhar, Hamka banyak menyebut nama-nama tersebut dalam tafsirnya sebagai upaya memperjelas atau memperkokoh penafsirannya. Ini sangat menarik, sebab jarang penafsir Indonesia yang sebegitu banyaknya menyebutkan dan mengelaborasi konteks keindonesiaan dalam tafsirnya. Seperti suku Jawa, Batak,29 Minangkabau,30 Mandailing,31 Sunda, Aceh dll;

Jihad dalam berbagai perspektif

Jihad secara umam diartikan sebagai tindakan yang mengandung makna kekerasan ataupun tindakan damai bergantung pada konteks penggunaan kata tersebut. Atau dalam bahasa yang sederhana jihad dapat masuk dalam konteks keagamaan ataupun bukan keagamaan.32 Namun konteks Jihad yang demikian luas dan fleksibel seperti ini terkadang difahami sebagai embrio radikalisme yang berkembang pada akhir-akhir ini, hal itu memang dipengaruhi oleh tidndakan radikal oleh sebagian kecil umat Islam yang ada di dunia, Indonesia khususnya. Nasharuddin Umar mengutip perkataan Dawam Raharjo, menjelaskan bahwa ada lima sarjana barat yang telah mengulas konsep jihad dalam Agama Islam, diantaranya Andrean Reland (1718) yang mengulas hukum Jihad melawan agama Kristen, Snouck Hurgronje dalam bukunya De Achehers (1894), menguraikan tentang doktrin jihad dalam lingkungan masyarakat Aceh. Demikian juga gagasan dari H. TH. Obbrink (1901) yang meneliti tentang gerakan Cheragh “Ali di India” kajian ini fokus pada doktrin jihad. A.J. Wensinck (1930)

28 Hamka, Tafsir Al-Azhar,Juz III ( Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hlm. 272 29 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid I (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 358 30 Ibid. 31 Ibid. 32 Nasarudin Umar, Deradikalisasi pemahaman al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Gramedia, 2014) hlm. 90

210 Mohamad Nuryansah & Benny Ridwan Lokalitas dan Kontekstualitas Tafsir Sastra di Indonesia menulis buku hadis yang dalam versi Inggrisnya berjudul The Handbook of Early Muhammadan Tradition. Buku ini juga memuat banyak uraian tentang jihad dengan menggunakan kata kunci “perang”. Sarjana berikutnya Rudolf Peters dari Universitas Amsterdam, dalam bukunya yang berjudul Islam and Colonialism: The Doctrine of Jihad in Modern History (1979) menitikberatkan pada relasi antara Islam dan kolonialisme Barat, khususnya dampak kolonialisme terhadap Islam.33 Selanjutnya Mark A. Gabriel, 34 dalam karyanya yang berjudul Islam and Terrorism (2002) secara lugas mengukuhkan terjadinya relasi antara Islam dan terorisme, mulai dari akar terorisme dalam Islam hingga perkembangan jihad di era kontemporer. Sebagaimana Gabriel menyoroti eksistensi surah al-Qital sebagai nama lain dari surah Muhammad (47), dan surah al-Qital yang bernuansa perang sedangkan tidak ada surah lainnya yang bernuansa perdamaian. Ber­ dasar pada penamaan surah ini, Gabriel dengan tegas menyatakan bahwa jihad dan perang merupakan ajaran paling utama dalam Islam.35 Atas dasar itu juga, Gabriel menilai sejarah Islam sebagai “sungai darah” (a river of blood). lebih dari itu, ia menyatakan bahwa (doktrin) Islam lah agama yang berada di balik segala tindakan terorisme.36 Gabriel berpandangan bahwa motif utama dari jihad adalah untuk membinasakan manusia yang tidak menerima Islam sebagai agamanya. Ia memahami bahwa praktik jihad di zaman Nabi Muhammad Saw, adalah memerangi warga kristen dan Yahudi ataupun orang-orang yang menyembah berhala.37 salah satu ayat al-Qur’an yang dijadikan legitimasi pandangan pandangan Gabriel terhadap Islam adalah QS. Al-Anfal (8): 39: dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. Dalam ayat ini, istilah Jihad sebagai sebuah struggle yaitu memerangi orang yang menghalangi penyebaran Islam, atau memerangi orang yang menolak untuk masuk Islam. Demikian juga Gabriel menjelaskan bahwa wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad SAW yang menceritakan perihal Yahudi tidak pernah bernilai positif, tetapi setelah Muhammad berhijrah ke Madinah, wahyu al-Qur’an yang menyebut term “Ahlul Kitab” bahkan menjadi sangat dimusuhi. Diantara ayat yang dimaksud adalah QS. Al-Anfal (8):39 di atas. Gabriel memandang bahwa doktrin jihad dalam Islam lebih mem­ prioritas­kan membunuh musuh katimbang menjadikannya tawanan perang, sebagaimana termktub dalam QS Al-Anfal (8):67: tidak patut bagi seorang Nabi

33 Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, t.th), h. 511. 34 Mark A. Gabriel memperoleh gelar doktor dalam bidang sejarah dan kebudayaan di Universitas Al-Azhar, bahkan pernah menjadi tenaga pengajar di Universitas bergengsi tersebut. Nasarudin Umar, “Al-Qur’an di Mata Mantan Intelektual Muslim: Ibn Warraq dan Mark A. Gabriel” dalam Jurnal Studi Al-Qur’an vol.1/2, 2006, h. 125-126. 35 Mark A. Gabriel, Islam and Terrorism; What the Qur’a Really Teaches about Christianity, Violence and the Goals of Islamic jihad, (Florida; Charisme House, 2002), h. 24 36 Nasarudin Umar, “Al-Qur’an, Jurnal Studi Al-Qur’an Vol. 1/2, 2006, h. 125-126 37 Ibid., h.33

Mohamad Nuryansah & Benny Ridwan 211 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya

SAW, mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana. Menurut pandangan Nasaruddin Umar pandangan Mark A. Gabriel ini merupakan paradigma yang banyak dipahami oleh mayoritas orientalis, terutama terkait dengan doktrin jihad dan perang dalam Islam.38

Kontekstualisasi Makna Jihad dalam Tafsir al-Azahar

Ayat yang berkaitan tentang Jihad diturunkan dalam fase Makiyah dan Fase Madaniyah. diantara ayat al-Qur’an yang memuat kata jihad dengan segala derivasinya yang tergolong makkiyah, yaitu 1) QS Al-’Ankabut (29):6. dan barangsiapa yang berjihad maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. 2) QS. Al- ‘Ankabut (29): 8. dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. 3) QS. Luqman (31): 15. dan jika keduanya memaksamu untuk memeprsekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutlah jalan orang yang kembali kepada_Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. 4) QS. Al-Furqon (25): 52. maka janganlah kamu mengikuti orang- orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang besar. 5) QS. An-Nahl (16):10. dan sesungguhnya Allah (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar, sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. 6) QS. Al-’Ankabut (29): 69. dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan Kepad merekaa jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. Menurut penafsiran Hamka perintah Jihad dalam ayat-ayat makiyah se­ yogya­nya dikontekstualisasikan secara proporsional, sebab Jihad dalam fase ini tidak memiliki kaitan dengan peperangan fisik, melainkan perjuangan mem­ pertahankan ketauhidan dari kemusyrikan dan keimanan dari kekufuran. Orang muslim yang lemah tetap dengan keimanannya meskipun dianiaya oleh kafir Qurais sampai para perempuan di bunuh, dan laki-laki diseret-seret di pasir yang panas, dipaksa memaki-maki Nabi dan memuji berhala mereka seperti Ammar bin Yasir. Namun Nabi selalu memberikan semngat kepada mereka agar

38 Nasarudin Umar, Deradikalisasi pemahaman al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Gramedia, 2014) hlm. 89

212 Mohamad Nuryansah & Benny Ridwan Lokalitas dan Kontekstualitas Tafsir Sastra di Indonesia sungguh-sungguh dan sabar menghadapi penderitaan pahit itu,39 jangan ada yang berganti keimanannya “kembali musyrik” hanya mengharap kehidupan dunia. Sampai Abu Sufyan kagum dengan kesungguhan umat Islam dalam mempertahankan keimanan mereka, dihadapan Heraclius Raja Romawi yang memerintah negeri Syam, Abu Sufyan bercerita bahwa belum pernah pengikut Muhammad itu kembali kepada agamanya yang lama, betapapun penderitaan mereka.40 Dengan demikian maka Hamka berpendapat bahwa Jihad dalam konteks mekah adalah jihad dalam rangka mempertahankan keimanan dan bersabar dalam mengahadapi penyiksaan kaum kafir. Hal ini nampaknya selaras dengan Sa’id Al- Asymawi yang menegaskan bahwa jihad di Mekah berarti berusaha untuk selalu berada dalam jalan keimanan yang benar dan bersabar dalam mengahdapi penyiksaan kaum kafir. Dengan kata lain, jihad dalam periode ini bermakna moral dan spiritual. Penafsiran Jihad dengan pengertian semcam ini menurut penulis merupakan gagasan yang penting di tengah glombang globalisasi yang terus menggerus keimanan seperti kemiskinan dan kesenjangan yang begitu jauh antara si miskin dan si kaya. Adapun Ayat Al-Qur’an yang menyebut kata jihad dan segenap derivasinya dan tergolong madaniyah diantaranya: 1) QS. Al-Baqarah (2): 218. sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. 2) QS. Ali Imran (3): 142. apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu, dan belum nyata orang- orang yang sabar. 3) QS. An-Nisa; (4): 95. tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad ddengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk saatu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. 4) QS. Al-Maidah (5): 35. hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. 5) QS. Al-Maidah (5): 54. hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatngkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki- Nya, dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) Lagi Maha Mengetahui. 6) QS. Al-Anfal (8):72. sesungguhnya oerang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan perttolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu sama lain saling lindung-

39 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XIII &XIV (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), h. 305 40 Ibid.

Mohamad Nuryansah & Benny Ridwan 213 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Jihad pada masa Madinah di definisikan sebagai sebuah kesungguhan (sungguh-sungguh) dan bekerja keras menuju jalan Allah, dalam konteks ini orang dapat melaksanakan Jihad sesuai dengan keahlian masing-masing, segala macam pekerjaan yang baik dan tujuan yang baik termasuk menuju jalan Allah, maka semua pekerjaan itu dilaksanakan dengan semangat yang sungguh- sungguh “jihad”. Sehingga mengajar, menjadi arsitek (membuat bangunan yang bermanfaat), bertani, berniaga, bahkan menjadi pejabat juga termasuk dalam koridor Jihad, sehingga wajib dilaksanakan dengan semangat Jihad pula. Adapun Jihad dalam pengertian perang ‘hanya” dalam konteks melawan musuh yang hendak merusak Agama dan Negara.41 Jadi, makna jihad sebagai sebuah peperangan manakala untuk mempertahankan diri dari penganiayaan dan serangan musuh, sehingga peperangan yang terjadi antara umat Islam dengan musuh-musuh Islam merupakan sebuah reaksi atas agresi dari musuh terhadap umat Islam. Dengan demikian Hamka menegaskan bahwa perang dalam Islam merupakan sebuah pertahanan diri.

Penutup

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Tafsir Al-Azhar merupakan sebuah tafsir yang mempertimbangkan aspek lokalitas dan kontekstualitas dalam penafsirannya. Ini merupakan sebuah karya yang patut untuk diekspos pada konteks saat ini, dimana terkadang dijumpai sebagian penganut Agama Islam yang terlepas dari konteks keindonesiaan dalam memahami al-Qur’an, sehingga al-Qur’an tidak menjadi solusi atas persoalan kemasyarakatan. Sudah tentu hal tersebut tidak bijaksana, sebab al-Qur’an sebagai hujjah dan petunjuk bagi umat Islam, yang tentunya dapat menjadi solusi atas persoalan yang dihadapi umat Islam sampai hari kiamat.

Daftar Pustaka

Ahmad, Nurwajnah “Pemahaman Mufasir Indonesia Mengenai Ayat-ayat yang Berkaitan dengan Negara, Sumber Harta dan Ilmu Pengetahuan”, Disertasi, Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1997. Al-Ghazali, Muhammad, Studi atas Hadis Nabi Secara Tekstual dan Kontekstual, Bandung: Mizan, 1993. Al-Thbathaba’I, Al-Mizān, Juz I, Mesir: Dar al-Syuruq, 1989.

41 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid II (Jakarta: Gema Insani, 2015), h. 235

214 Mohamad Nuryansah & Benny Ridwan Lokalitas dan Kontekstualitas Tafsir Sastra di Indonesia

Al-Qathan, Manna’, Mabāhis fi Ulūmil Qurān, Beirut: Dār al-Fikr, 1999. Al-Zarqāni, M. Abdul Adzīm, Manāhilul Irfān fi Ulām al-Quran, Juz III, Beirut: Dār al-Fikr, 2004. Anwar, Syafi’i, “Sosiologi Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid”, Jurnal Ulumul Qur’an, No. 1 Vol. IV. 1993. Chamami, Rikza, Studi Islam Kontemporer, Pustaka Rizki Putra: Semarang, 2002. Gabriel, Mark A., Islam and Terrorism; What the Qur’a Really Teaches about Chris­ tianity, Violence and the Goals of Islamic Jihad, Florida: Charisme House, 2002. Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia, Jakarta: Teraju, 2002. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid I, Jakarta: Gema Insani, 2015. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz I, III Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986. Kholis, Mohamad Nur, dalam J. J. G. Jansen. Diskursus Tafsir al-Quran Modern, Yogyakarta: Tiara wacana, 1997. Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Quran Periode Klasik hingga Kontemporer, Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003. Qutb, Sayyid, Hādzā al-Dīn, Kairo: Dār al-Syurūq, tt. Rahardjo, Dawam, Ensiklopedia Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, t.th. Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009. Supiana, M. Karman, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Islamika, 2002. Syihab, Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan Pustaka, 2007. Umar, Nasarudin, Deradikalisasi pemahaman al-Qur’an dan Hadis, Jakarta: Gramedia, 2014. Umar, Nasarudin, “Al-Qur’an di Mata Mantan Intelektual Muslim: Ibn Warraq dan Mark A. Gabriel” dalam Jurnal Studi Al-Qur’an vol.1/2, 2006. Yusuf, Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990. Zaid, Nasr Hamid Abu, Tekstualitas al-Qur’an kritik terhadap Ulumul Qur’an, Terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LKIS, 2002.

Mohamad Nuryansah & Benny Ridwan 215

TRADISI ISLAM JAWA: Lintasan Sejarah dan Dinamikanya

Adif Fahrizal Arifyadiputra Fakultas Ushuluddin, Adab & Humaniora IAIN Salatiga email: [email protected]

Abstrak

Kebudayaan Islam Jawa adalah wujud dari Islam yang diartikulasikan lewat budaya lokal Jawa. Perjumpaan antara Islam dengan budaya Jawa telah menghasilkan sebuah ‘sintesis mistik’ Islam Jawa atau yang sering pula disebut Islam kejawen. Selama beberapa abad Islam kejawen menjadi tradisi keberagamaan yang dominan di kalangan masyarakat Muslim Jawa. Apa yang disebut sebagai Islam kejawen bukanlah tradisi keberagamaan yang monolitik melainkan sebuah tradisi yang memiliki spektrum pengamal beragam, dari mulai Muslim nominal sampai mistikus yang mengabaikan aspek legal-formal Islam (syari’ah). Para pengamal tradisi Islam kejawen yang beragam itu dipertemukan oleh setidaknya dua hal: 1) persepsi yang kuat mengenai keterikatan antara identitas keislaman dengan identitas kejawaan sehingga keduanya tidak terpisahkan satu sama lain; dan 2) penerimaan terhadap warisan budaya nenek moyang dari masa pra-Islam yang dimaknai ulang dengan cara pandang Islam. Selain titik temu, pengamal tradisi Islam kejawen juga memiliki titik perselisihan dan kontestasi yang meliputi dua hal: 1) soal bagaimana relasi yang tepat antara syari’ah dengan mistisisme (tasawuf); dan 2) soal sejauh mana warisan budaya Jawa pra-Islam dapat diterima oleh Muslim Jawa. Kaum kebatinan adalah satu segmen dari pengamal Islam kejawen yang sering dianggap -secara salah kaprah- sebagai satu-satunya representasi Islam kejawen. Dalam perjalanan sejarah, sebagian kaum kebatinan membedakan dirinya dari Islam dan mengalami institusionalisasi dalam bentuk aliran-aliran kebatinan yang tumbuh pesat di Jawa pada paruh pertama abad ke- 20. Pada periode yang bersamaan Muslim Jawa dari kalangan pesantren menjalin kontak yang semakin intensif dengan Jazirah Arab, membawa arus keilmuan yang memperkuat ortodoksi Islam di Jawa. Dinamika ini sempat membuat Muslim Jawa terpolarisasi menjadi abangan dan putihan yang berpuncak pada konflik di pertengahan abad ke-20. Merekatkan kembali hubungan antara Islam dan budaya Jawa yang sempat terputus merupakan agenda penting bagi Muslim Jawa hari ini.

Kata kunci: Islam Jawa, Islam kejawen, kebatinan, abangan, putihan

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 217 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya

Pendahuluan

alam peringatan Isra Mi’raj di Istana Negara tahun 2015 yang lalu Dada sebuah peristiwa menarik ketika Al Quran dibacakan dengan langgam Jawa. Pembacaan Al Quran dengan langgam Jawa ini memancing kontroversi khususnya di media sosial. Tidak sedikit yang mengapresiasi tetapi tidak sedikit pula yang mengritik bahkan mengecam. Terlepas dari kontroversi yang menyertainya, kehadiran tilawah Al Quran langgam Jawa ini sejatinya mengangkat kembali salah satu khazanah kebudayaan Islam Jawa yang sempat lama terlupakan.1 Perbincangan tentang Islam dan relasinya dengan budaya Jawa sendiri selalu menjadi hal yang menarik. Etnis Jawa adalah etnis terbesar di Indonesia yang merupakan negeri dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Mengingat mayoritas orang Jawa menyatakan diri beragama Islam, konsekuensi logisnya tentu saja etnis Jawa adalah etnis Muslim terbesar di Indonesia dan karenanya adalah salah satu etnis Muslim terbesar di dunia. Dilihat dalam konteks ini ke(ber)islaman orang Jawa menjadi menarik untuk disoroti. Meskipun mayoritas orang Jawa adalah Muslim namun seringkali ke(ber)islaman orang Jawa tampak disangsikan. Ada persepsi bahwa meskipun secara nominal beragama Islam namun sejatinya kebanyakan orang Jawa bukanlah Muslim karena tidak mengamalkan syari’at Islam dan pemahaman maupun praktik keberagamaannya dianggap “sinkretik” alias campur aduk antara unsur Islam dan pra-Islam. ‘Tuduhan’ ini lantas ditanggapi dengan argumentasi disertai sekian banyak data -sosio-kultural maupun historis- yang menegaskan bahwa mayoritas orang Jawa adalah Muslim meskipun dengan corak ke(ber)islaman yang berbeda dengan umat Islam di belahan dunia lainnya -khususnya di Tanah Arab. ‘Pembelaan’ ini sendiri masih menyisakan perdebatan, apakah corak ke(ber)islaman orang Jawa itu dapat diterima secara akidah dan syari’ah? Apakah ia adalah suatu hal yang sudah “jadi” dan tidak perlu dipersoalkan lagi? Ataukah justru ia adalah suatu cara berislam yang ‘belum sempurna’ sehingga harus ‘disempurnakan’? Masih banyak hal yang bisa diperdebatkan akan tetapi sebelum itu kita perlu memahami terlebih dahulu seperti apakah sesungguhnya corak ke(ber)islaman orang Jawa tersebut -yang untuk mudahnya kita istilahkan sebagai “Islam Jawa”? Tulisan ini bermaksud mendudukkan persoalan “Islam Jawa” secara jernih dan proporsional sehingga tidak menjadi bahan perdebatan yang rancu, kacau- balau, dan tak tentu arah. Bagaimanapun pembahasan mengenai “Islam Jawa” ini penting guna memahami hubungan antara Islam sebagai agama mayoritas orang Jawa dengan budaya kelompok etnis terbesar di Indonesia ini.

1 Tentang tilawah Al Quran langgam Jawa silakan baca “Fashlun, ay, Hadza Fashlun fi Suluk Tilawah Jawi” (Muhammad Yaser Arafat, makalah untuk acara Seminar Nasional “Memperkenalkan Qiraah Langgam Jawa”, oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Tafsir- Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang, Jawa Tengah, pada 15 Juni 2015 diunduh dari https://www.academia.edu/13521388/Tentang_Tilawah_Jawi_atau_Qiraah_Langgam_ Jawa 21 Agustus 2017 pukul 10: 39 WIB.

218 Adif Fahrizal Arifyadiputra Tradisi Islam Jawa: Lintasan Sejarah dan Dinamikanya

Islam Jawa: Bagian dari Peradaban Islam Global

Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk memahami keberagamaan orang Jawa. Yang paling terkenal tentu saja adalah “Religion of Java” karya Clifford Geertz yang menjadi buku babon tentang keberagamaan orang Jawa dan selalu menjadi rujukan dalam setiap karya ilmiah yang membahas masyarakat Jawa. Geertz membedakan orang Jawa yang beragama Islam ke dalam tiga kelompok berdasarkan orientasi keberagamaannya: santri, abangan, dan priayi dan Geertz mengambil kesimpulan bahwa “Jawa bukan Islam, dan mayoritas orang Jawa -yaitu kaum abangan dan priayi- sesungguhnya bukanlah Muslim”.2 Karya Geertz yang terkemuka ini memicu perdebatan ilmiah di kalangan para antropolog. Di antara kritik yang muncul terhadap Geertz adalah kritik terhadap penafikan antropolog Amerika ini atas pengaruh kuat Islam dalam budaya dan masyarakat Jawa. Sejumlah antropolog yang lebih belakangan seperti Bambang Pranowo dan Mark Woodward melakukan penelitian yang menghasilkan anti-tesis atas kesimpulan Geertz, yaitu bahwa “Islam Jawa” tak lain dan tak bukan adalah Islam dalam wajah budaya Jawa alih-alih ajaran non-Islam yang bertopengkan Islam.3 Namun apa sesungguhnya “Islam Jawa” itu sendiri? “Islam Jawa”, “Islam kejawen”, atau “sintesis mistik Jawa” -meminjam istilah sejarawan M.C. Ricklefs- adalah suatu corak pemahaman, penghayatan, dan pengamalan Islam oleh orang Jawa yang disesuaikan dengan atau ditransformasikan lewat budaya Jawa yang notabene sudah terbentuk sejak masa pra-Islam. Islam Jawa dalam pengertian ini bukanlah sebuah mazhab atau aliran pemikiran dalam Islam seperti Ahlus Sunnah, Jabbariyah, Qadariyah, Khawarij, atau Mu’tazilah dan juga bukan agama sempalan Islam melainkan sebuah varian kebudayaan Islam yang merupakan bagian dari kompleks besar peradaban Islam sebagaimana halnya “Islam Arab”, “Islam Persia”, “Islam Turki”, “Islam India” dan lain-lain. Hampir semua penganut dan pengamal tradisi Islam Jawa -se­lanjutnya kita sebut “Muslim kejawen”- adalah Sunni -setidaknya secara nominal- meskipun pada kenyataannya ada sebagian penganut dan pengamal tradisi ini yang pemahamannya mirip dengan kaum Bathiniyah di Timur Tengah, bah­kan memiliki sebutan yang sama yaitu “kebatinan” -terjemahan dari kata “bathiniyah”­ dalam bahasa Arab. Soal kelompok ini akan kita bahas lebih lanjut nanti. Tradisi Islam Jawa sesungguhnya memiliki spektrum penganut dan pengamal yang luas dan beragam, terentang dari mulai kaum Muslim nominal, mereka yang saleh, sampai para mistikus yang tidak terlalu peduli dengan doktrin-doktrin dan aturan formal Islam. Lantas apa yang menjadi pembagi

2 Baca Clifford Geertz, Agama Jawa : Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa (Depok: Komunitas Bambu, 2013). 3 Baca Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Tangerang: Pustaka Alvabet & INSEP, 2009) dan Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan (Penerjemah: Hairus Salim H.S.), (Yogyakarta: LKiS, 1999).

Adif Fahrizal Arifyadiputra 219 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya bersama (common denominator) mereka sehingga sama-sama menjadi bagian dari Islam Jawa? Setidaknya ada dua hal. Pertama, adanya persepsi yang kuat mengenai keterikatan antara identitas keislaman dengan identitas kejawaan sehingga keduanya tidak terpisahkan satu sama lain.4 Identitas keislaman dan kejawaan bukanlah dua hal yang harus didikotomikan atau “dimenangkan” salah satunya dengan mengorbankan yang lainnya. Begitu kuatnya identifikasi antara keislaman dan kejawaan, sampai dengan abad ke-19 orang Jawa yang murtad dari Islam dan masuk Kristen dipandang telah melepaskan kejawaannya sehingga ada ungkapan Jawa wurung Landa durung yang ditujukan kepada mereka.5 Pada abad-abad yang lalu, sebagaimana dapat dibaca dalam naskah-naskah Jawa lama kaum Muslim kejawen juga secara sadar membedakan dirinya dari kaum non-Muslim seperti orang-orang Jawa yang masih menganut kepercayaan lama (wong buda), orang Belanda yang Kristen (kapir Landa), atau orang Cina yang Konfusianis (wong Cina). Kedua, penerimaan terhadap warisan budaya nenek moyang dari masa pra-Islam yang dimaknai ulang dengan cara pandang Islam. Ini adalah hal yang wajar karena orang Jawa telah memiliki budaya adiluhung sejak lama yang sulit bila harus dicampakkan begitu saja. Sewaktu Islam masuk ke Jawa, masyarakat Jawa bukanlah masyarakat primitif yang masih mencari- cari jati diri kebudayaannya tetapi sebuah masyarakat dengan budaya yang sudah mapan dan canggih. Di luar dua pembagi bersama tersebut ada hal-hal yang diperselisihkan dan dikontestasikan di antara kaum Muslim kejawen yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua pokok permasalahan. Pertama adalah soal bagaimana relasi yang tepat antara syari’ah dengan mistisisme (baca: tasawuf). Pada prinsipnya kaum Muslim kejawen menerima tasawuf sebagai inti keberagamaan dan syari’at adalah jalan yang yang harus ditempuh sebelum memasuki inti tersebut akan tetapi ada perbedaan pandangan tentang apakah syari’at bersifat mengikat bagi semua orang atau tidak. Sebagian berpandangan bahwa syari’at tetap mengikat bagi semua Muslim termasuk bagi mereka yang sudah mencapai maqam hakikat dan ma’rifat sekalipun -untuk mudahnya kita sebut saja mereka sebagai golongan ortodoks atau golongan syari’at. Namun sebagian lagi berpandangan bahwa bagi orang-orang yang sudah mencapai maqam hakikat dan ma’rifat atau manunggaling kawula gusti syari’at tidak lagi diperlukan -mereka bisa kita namakan sebagai golongan heterodoks atau kebatinan. Dialektika antara kedua golongan ini sudah berlangsung sejak lama, kemungkinan besar sejak awal terbentuknya kebudayaan Islam Jawa di zaman Demak perselisihan ini sudah ada sebagaimana bisa kita cermati dari kisah Wali Songo menghadapi Syekh Siti Jenar.6 Akan tetapi perlu dicatat bahwa perselisihan ini berlangsung

4 Baca M.C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java:a history of Islamization from the fourteenth to the early nineteenth centuries (London: East Bridge, 2006). 5 Partonadi 1990 dalam En-Chieh Chao, Entangled Pieties: Muslim-Christian Relations and Gendered Sociality in Java, Indonesia (Cham: Springer, 2017), h. 36. 6 Soal apakah Syekh Siti Jenar mengajarkan paham kebatinan -jika yang diartikan

220 Adif Fahrizal Arifyadiputra Tradisi Islam Jawa: Lintasan Sejarah dan Dinamikanya dalam kerangka tradisi Islam, dalam arti sekalipun golongan ortodoks menganggap golongan heterodoks sesat dan kufur namun golongan heterodoks mempertahankan diri dengan menganggap pemahaman yang mereka anut adalah sah dalam kerangka pandangan Islam. Dengan demikian secara kultural perselisihan tersebut lebih tepat dilihat sebagai perselisihan antara dua penafsiran yang berbeda atas Islam alih-alih perselisihan antara tradisi Islam vis-a-vis non- Islam -seperti Hindu-Buddha misalnya.7 Bahwa kemudian golongan kebatinan perlahan melepaskan diri dari Islam dan sebagian secara tegas menyatakan diri bukan Islam -bahkan memusuhi Islam- adalah perkembangan yang terjadi belakangan setelah masyarakat Jawa memasuki era modern. Perlu pula diketahui bahwa kedua golongan tersebut tetap saling menghormati satu sama lain -bisa dilihat dalam kisah Wali Songo dan Syekh Siti Jenar- dan berusaha menjaga kerukunan di antara mereka. Dalam rangka menjaga harmoni ini pulalah peran penguasa (raja) menjadi penting. Raja harus menjaga keseimbangan kekuatan antara golongan syari’at dan kebatinan dan tidak boleh berat sebelah memihak salah satu kubu. Itulah sebabnya meskipun kebanyakan raja-raja Muslim Jawa adalah penganut kebatinan namun mereka tetap memerhatikan pelaksanaan syari’at yang ditunjukkan dengan membangun masjid-masjid, mengangkat pejabat keagamaan (abdi dalem pamethakan), mengangkat para ulama sebagai penasihat kerajaan, dan sebagainya. Bahkan ada kalanya raja menghukum para mistikus yang dianggap membahayakan kestabilan kerajaan dan ketentraman masyarakat -seperti pada kasus Kiai Ahmad Mutammakin. Kasus penghukuman terhadap Kiai Ahmad Mutammakin adalah contoh menarik tentang dialektika kaum syari’at dan kebatinan serta konstelasi tradisi Islam Jawa di masa lalu. Dalam Serat Cebolek dikisahkan bagaimana berlangsungnya perdebatan antara Ketib Anom Kudus (representasi golongan syari’at) melawan Kiai Ahmad Mutammakin (representasi golongan kebatinan -sekalipun soal apakah memang benar Kiai Mutammakin adalah penganut kebatinan lagi-lagi masih bisa diperdebatkan). Dalam perdebatan itu Ketib Anom Kudus tidak canggung menguraikan ajaran mistik dengan merujuk pada kisah Bimasuci dalam jagat pewayangan. Sementara itu konon Kiai Ahmad Mutammakin mengambil ajaran mistik heterodoks dari gurunya asal Yaman kebatinan di sini adalah menafikan syari’ah- sendiri sesungguhnya masih bisa diperdebatkan. Menurut beberapa versi cerita, hukuman mati terhadap Syekh Siti Jenar dengan tuduhan menolak syari’ah sebenarnya lebih kental muatan politisnya. Terlepas benar-tidaknya dugaan ini, kesalahan Syekh Siti Jenar memang adalah tindakannya mengumbar pengalaman spiritual (kasyaf) kepada masyarakat awam yang dapat menimbulkan kesalahpahaman, baik berupa timbulnya persangkaan bahwa dirinya menolak syari’ah ataupun kekeliruan di kalangan pengikutnya sendiri bahwa memang ia mengajarkan demikian. Baca K.H. Muhammad Sholikhin, Manunggaling Kawula-Gusti. Filsafat Kemanunggalan Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Narasi, 2008) 7 Tentang konsep manunggaling kawula gusti di Jawa sejumlah ahli berpendapat bahwa konsep ini lebih merupakan turunan dari konsep wahdatul wujud dalam tradisi tasawuf Islam ketimbang monisme Hindu (bersatunya brahman dan atman). Lihat Abdul Hadi W.M., “Sumbangan Islam bagi Kebudayaan Indonesia dan Tantangan Modernisme” dalam Prisma (Nomor Ekstra 1984), h. 100.

Adif Fahrizal Arifyadiputra 221 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya benama Syekh Zen8 Kedua golongan ini sendiri sejatinya tidaklah memiliki garis pembatas yang tegas melainkan lebih tepat dipandang sebagai sebuah spektrum dengan aneka ragam variasi pemahaman maupun praktik keberagamaan yang kerap tumpang-tindih antara satu dengan yang lainnya.9 Satu hal yang perlu dicatat bahwa dialektika antara golongan syari’at dan kebatinan adalah perselisihan kaum terpelajar yang ada di luar urusan masyarakat kebanyakan. Mayoritas masyarakat awam adalah kaum Muslim nominal yang tidak ambil pusing dengan perdebatan syari’at melawan hakikat dan lebih sibuk mengurus kehidupannya di dunia ini dan kini. Bagi mereka syari’at baru menjadi penting ketika menghadapi ritus-ritus daur hidup yaitu berkhitan, menikah, dan meninggal dunia. Mereka pun tidak tertarik dengan mistisisme kecuali ritual-ritual mistik atau laku asketis yang berkorelasi dengan kepentingan pragmatis mereka seperti mencari kekayaan, jodoh, kesaktian, dan sebagainya. Bagi golongan syari’at maupun kebatinan masyarakat awam ini -yang kemudian dikenal sebagai kaum abangan- adalah orang-orang yang harus diarahkan dan dibimbing agar berjalan di ‘jalan yang benar’. Pokok permasalahan kedua yang menjadi poin perselisihan di tengah kaum Muslim kejawen adalah soal sejauh mana warisan budaya Jawa pra-Islam dapat diterima oleh orang Jawa yang Muslim. Selama ini ada stereotipe yang dilekatkan pada tradisi Islam Jawa bahwa Islam Jawa memiliki sifat “sinkretik” yang memadukan Islam dengan peninggalan tradisi Hindu-Buddha, animisme, dan dinamisme. Stereotipe ini tidak sepenuhnya benar. Sejak awal pertumbuhan dan perkembangan Islam Jawa sudah ada orang-orang Jawa Muslim yang me­ nolak praktik-praktik peninggalan masa pra-Islam tanpa secara apriori menolak semua warisan pra-Islam. Dalam naskah-naskah Islam Jawa paling tua yang pernah ditemukan seperti naskah Pitutur Seh Bari dan Kropak Ferrara misalnya, terdapat seruan untuk menjauhi praktik-praktik pra-Islam yang dikategorikan sebagai perbuatan kufur seperti menyembah berhala (kaya wong anembah brahala) dan bersesaji (miluaababanten) di samping juga kritik terhadap pemahaman Islam yang heterodoks.10 Namun demikian naskah-naskah tersebut ditulis

8 (Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1999), h.126- 130). Ini menunjukkan bahwa penguasaan terhadap khazanah filsafat Jawa dari masa pra- Islam tidak selalu berbanding lurus dengan heterodoksi Islam. Sebaliknya hubungan keilmuan dengan Timur Tengah tidak selalu berbanding lurus dengan ortodoksi. Fakta bahwa Kiai Ahmad Mutammakin adalah seorang pemimpin pesantren di daerah pesisir utara Jawa juga menunjukkan bahwa di masa lalu -kurang lebih abad ke-18- pesantren dan daerah pesisir yang kini dikenal sebagai kantong ortodoksi Islam di Jawa pernah pula menjadi pusat perkembangan ajaran mistik yang dianggap menyimpang dari akidah dan syari’at Islam. Sementara penguasa keraton di pedalaman yang biasanya dianggap sebagai pelindung kebatinan justru berperan dalam menegakkan ortodoksi. Uniknya lagi makam Kiai Ahmad Mutammakin di Kajen Pati sekarang lebih banyak diziarahi oleh kaum santri daripada para penganut kebatinan. 9 Tentang hubungan kaum syari’at dan kebatinan serta peranan penguasa Jawa dalam konstelasi hubungan antara keduanya baca Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan (Penerjemah: Hairus Salim H.S.), (Yogyakarta: LKiS, 1999). 10 Lihat Susiyanto, Wejangan Agama dari Era Sekitar Wali Jawa (Studi Naskah Lontar Ferrara (http://susiyanto.com/wejangan-agama-dari-era-sekitar-wali-jawa/ diakses tanggal 29 Agustus

222 Adif Fahrizal Arifyadiputra Tradisi Islam Jawa: Lintasan Sejarah dan Dinamikanya dalam bahasa Jawa Madya (pertengahan, yaitu periode peralihan dari bahasa Jawa kuna ke bahasa Jawa baru) yang mempertahankan kosa kata dari masa pra-Islam untuk menjelaskan konsep-konsep Islam seperti Pangeran untuk menyebut Allah, sembahyang untuk menyebut shalat, dan tapa untuk menyebut riyadhah bathiniyah serta menggunakan huruf Jawa hanacaraka -turunan aksara Pallawa dari India Selatan. Bagi orang-orang semacam penulis naskah-naskah itu tampak bahwa budaya Jawa dapat diterima sepanjang tidak bertentangan dengan akidah dan syari’at Islam. Sikap menolak warisan budaya Jawa yang bertentangan dengan Islam juga terlihat pada naskah-naskah Jawa yang lebih belakangan, bahkan juga yang berasal dari lingkungan keraton yang kerap dicap sebagai pelestari sinkretisme. Ini terlihat misalnya dalam Serat Sanasunu karya pujangga keraton Kasunanan Surakarta Yosodipuro II yang berisi ajaran moral dan etika. Dalam serat ini Yosodipuro dengan tegas menyebut kebiasaan mencari hari baik dengan menggunakan perhitungan wuku (pawukon) bisa mengakibatkan kufur. Ia pun mengritik kebiasaan menyakralkan benda-benda pusaka seperti keris dan sebagainya.11 Di sisi lain ada pula kalangan Muslim kejawen yang lebih longgar me­ nyikapi warisan pra-Islam. Mereka tidak mempermasalahkan dan bahkan men­ jalankan praktik-praktik tradisi yang menurut kebanyakan golongan syari’at adalah syirik. Akan tetapi yang menarik praktik-praktik tersebut mereka maknai sebagai sesuatu yang tidak bertentangan -bahkan sejalan- dengan Islam. Kebiasaan membuat sesajen misalnya, yang oleh golongan syari’at dipandang sebagai bentuk penyembahan kepada selain Allah dimaknai sebagai penghormatan kepada sesama makhluk Allah, bersujud di makam leluhur dimaknai sebagai penghormatan kepada leluhur sebagaimana anak menghormati orang tuanya, mubeng beteng (tradisi mengitari pagar keraton pada malam 1 Suro, malam tahun baru Jawa) dimaknai sebagai kegiatan meneladani jejak langkah kanjeng Nabi Muhammad, dan sebagainya.12 Tentu saja pemaknaan -atau lebih tepatnya justifikasi- semacam ini tetap tidak dapat diterima oleh mereka yang berpegang secara ketat pada syari’at. Namun dilihat dari sisi lain, usaha pembenaran terhadap tradisi-tradisi tersebut menunjukkan betapa kuatnya ‘hegemoni’ cara pandang Islam dalam alam pikiran masyarakat Jawa. Para pendukung dan pengamal tradisi tersebut tidak mempermasalahkan konsep “syirik” itu sendiri, pun tidak menggugat keabsahan tata nilai Islam sebagai acuan dalam menilai dan menyikapi sesuatu. Alih-alih menolak Islam mereka berusaha menyatakan -betapapun lemah argumentasinya- bahwa apa yang mereka lakukan itu bukan syirik dan bahkan “Islami”. Lebih jauh lagi, sebagian kaum Muslim keja­ wen berusaha menyatakan bahwa apa yang secara umum dianggap sebagai

2017 pukul 08:43 WIB) 11 Sri Suhandjati Sukri, Ijtihad Progresif Yasadipura II dalam Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2004), h. 72-74. 12 Sebagai contoh, baca tulisan Nuladha Laku Ambiya, Mubeng Beteng: Mengkhusyu’i Tapak Hijrah Kanjeng Nabi (Buletin Jum’at Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta, 1 November 2013)

Adif Fahrizal Arifyadiputra 223 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya peninggalan pra-Islam pada hakikatnya adalah Islam juga -bukan Hindu, Buddha, atau yang lainnya, hanya saja ia adalah “Islam Jawa” dan bukan “Islam Arab”. Ini terlihat misalnya pada sebuah versi kisah Aji Saka -tokoh mitologis pencipta aksara Jawa- yang konon pernah pergi ke Makkah untuk berguru langsung kepada Nabi Muhammad dan bertemu dengan para sahabat terkemuka (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) kemudian kembali ke Jawa untuk menyebarkan pengetahuan dengan membawa hadiah kropak (buku yang terbuat dari daun lontar) dan pangot (pisau untuk menulis di atas daun lontar) dari Nabi.13 Kisah legenda ini seolah hendak mengatakan bahwa orang Jawa sudah mengenal Islam -bahkan langsung dari Nabi Muhammad- sebelum para wali datang ke Jawa.14 Lagi-lagi ini adalah sebuah indikasi bahwa orang Jawa tidak menolak Islam secara apriori tetapi hanya ingin menegaskan bahwa mereka menganut suatu versi Islam yang berbeda dari mainstream Islam yang dikenal secara luas. Bahwa kemudian ada sebagian orang Jawa yang secara terang-terangan menolak dan bahkan memusuhi Islam maka itu adalah fenomena yang muncul belakangan. Terkait dengan penerimaan -ataupun penolakan- terhadap tradisi pra- Islam patut pula digarisbawahi bahwa penerimaan maupun penolakan ini tidak selamanya berbanding lurus dengan kecenderungan seseorang atau sekelompok masyarakat terhadap ortodoksi atau heterodoksi, juga tidak berbanding lurus dengan identitas sebagai Muslim taat atau Muslim nominal. Sebagai contoh, dalam banyak ritual tradisional Jawa seperti bersih desa, sedekah bumi, dan sebagainya orang-orang yang tergolong santri seperti modin dan naib juga terlibat meskipun dalam ritual itu ada hal-hal yang dalam pemahaman syari’at secara ketat bisa dikategorikan sebagai syirik. Selain itu, di daerah-daerah yang diidentifikasi sebagai “daerah santri” pun sampai belum lama berselang terkadang masih hidup tradisi yang umumnya dianggap sebagai sisa-sisa budaya pra-Islam.15 Akan tetapi sebaliknya ada pula orang-orang yang tergolong Muslim nominal atau condong pada kebatinan yang menolak kebiasaan yang dianggap syirik.16

13 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (Yogyakarta: Gading Publishing, 2012), h. 65-66. 14 Usaha mengklaim bahwa apa yang secara umum dianggap sebagai warisan pra- Islam Jawa pada hakikatnya adalah “Islam” kembali muncul di awal abad ke-21 ini. Terbitnya buku semacam “Fakta Mengejutkan. Majapahit Kerajaan Islam” karya herman Sinung Janutama menunjukkan usaha tersebut. 15 Sebagai contoh adalah tradisi wayang bumi di Gresik Jawa Timur (baca Muchammad Toha, Dari Wayang Bumi ke Haul (Studi tentang Sejarah Perkembangan Upacara keagamaan di kelurahan Lumpur dan Kroman Gresik), skripsi Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1994. Tradisi ini sekarang telah hilang -ini bisa dilihat sebagai penanda hilangnya tradisi Islam Jawa di Gresik, digantikan tradisi Islam yang lebih ‘murni’- tetapi menarik bahwa sampai beberapa puluh tahun silam di sebuah daerah yang terkenal sebagai “daerah santri” dengan penduduk Muslim yang taat dan fanatik masih hidup tradisi yang umumnya diasosiasikan dengan sisa-sisa pra-Islam dan kebiasaan kaum abangan. 16 Lihat Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Tangerang: Pustaka Alvabet & INSEP, 2009), h. 255-256.

224 Adif Fahrizal Arifyadiputra Tradisi Islam Jawa: Lintasan Sejarah dan Dinamikanya

Antara Islam Jawa, Kebatinan, dan Aliran Kepercayaan

Dalam diskursus ilmiah maupun populer di masyarakat, Islam Jawa kerap diidentikkan dengan kebatinan. Berdasarkan uraian sebelumnya, identifikasi ini jelas keliru. Kebatinan hanyalah satu bagian saja dari spektrum Islam Jawa yang luas dan beragam. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, tradisi Islam Jawa mencakup baik orientasi syari’at yang kuat maupun kebatinan. Kebatinan bukanlah satu-satunya representasi wajah Islam Jawa. Dalam perkembangannya kemudian bahkan bisa dibilang kebatinan menyempal dari tradisi Islam Jawa. Pada awal abad ke-20 kebatinan mengalami proses institusionalisasi yang ditandai dengan bermunculannya sekte-sekte atau aliran kebatinan seperti Subud, Sumarah, Pangestu, Sapta Darma, dan sebagainya. Meskipun guru kebatinan sudah ada di Jawa sejak lama tetapi pelembagaan kebatinan ke dalam bentuk aliran-aliran kebatinan seperti yang dikenal sekarang adalah fenomena modern. Sejauh mengacu pada data historis yang ada, pada masa pra-modern di Jawa -yaitu sebelum mapannya kekuasaan kolonial Belanda- bentuk mistisisme yang terlembagakan adalah tarekat yang notabene berasal dari tradisi Islam dan dikenal di seluruh penjuru Dunia Islam. Timbulnya aliran-aliran kebatinan khas Jawa pada awal abad ke-20 sedikit banyak adalah hasil persentuhan kaum priayi Jawa -segmen masyarakat yang paling berminat pada kebatinan- dengan gerakan Theosofi yang diperkenalkan orang-orang Eropa.17 Aliran-aliran kebatinan ini memiliki ciri yang berbeda dari golongan kebatinan dalam tradisi Islam Jawa pada masa pra-modern dalam setidaknya tiga hal: pandangannya terhadap identitas kejawaan, pandangannya terhadap agama-agama yang terorganisir -khususnya Islam, dan pandangannya terhadap syari’at. Berbeda dengan kaum kebatinan masa pra-modern yang memandang keislaman dan kejawaan sebagai dua hal yang tak terpisahkan, para penganut aliran kebatinan memandang bahwa kejawaan tidak ada kaitannya dengan agama tertentu dan bukan monopoli penganut satu agama saja. Orang Jawa berhak menganut agama apa saja dan tetap menjadi Jawa.18 Dalam hal pan­ dangan­nya tentang agama, para penganut aliran kebatinan memandang bahwa semua agama adalah jalan yang meskipun berbeda-beda namun menuju Tuhan yang satu atau menuju manunggaling kawula gusti. Dengan demikian mereka mengeksplisitkan gagasan pluralisme agama. Kembali dalam hal ini aliran kebatinan bersimpang jalan dengan golongan kebatinan Islam Jawa masa pra-modern yang walaupun menganut versi Islam yang heterodoks dan telah

17 Tentang gerakan Theosofi dan hubungannya dengan aliran kebatinan baca Iskandar P. Nugraha, Theosofi, Nasionalisme dan Elit Modern Indonesia (Depok: Komunitas Bambu, 2011). 18 Dalam konteks ini perlu diingat bahwa sejak abad ke-19 telah tumbuh komunitas Kristen pribumi di Jawa. Lewat pendekatan budaya yang sungguh-sungguh, pelan namun pasti kaum misionaris Kristen berhasil mengikis persepsi dominan di tengah masyarakat Jawa bahwa orang Jawa yang berpindah agama dari Islam ke Kristen telah kehilangan kejawaannya (Lihat M.C. Ricklefs, Polarizing Javanese Society: Islamic and other visions, c. 1830-1930 , (Singapore: NUS Press, 2007), h. 105-125).

Adif Fahrizal Arifyadiputra 225 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya dijawakan namun tetap mengunggulkan Islam dari agama-agama lainnya.19 Penolakan untuk berpegang secara eksklusif pada Islam tentu membawa konsekuensi penolakan terhadap syari’at Islam oleh para penganut aliran kebatinan. Lagi-lagi dalam hal ini mereka mengambil jalan yang berbeda dengan kaum kebatinan Islam Jawa yang menganggap syari’at tetap penting, setidaknya sebagai tahapan pertama yang harus dilalui sebelum menempuh jalan mistik. Ini semua menunjukkan bahwa aliran kebatinan sesungguhnya adalah fenomena baru yang merupakan sempalan dari tradisi Islam Jawa yang telah mapan sebelum bercokolnya kolonialisme Belanda di Jawa.20 Kalaupun mau sedikit memaksakan sebuah konsep, maka “aliran kebatinan” Islam Jawa yang pertama adalah Tarekat Akmaliyah yang diajarkan Syekh Siti Jenar. Namun tetap saja tarekat ini tidak bisa disamakan dengan aliran-aliran kebatinan abad ke-20 karena 2 hal: pertama, Akmaliyah masih memiliki karakteristik Islam yang jelas sekalipun juga sangat akomodatif terhadap budaya Jawa; kedua, Akmaliyah memiliki genealogi spiritual yang bersambung ke para sufi Timur Tengah (Soal kemu’tabarohan tarekat ini memang masih dipertanyakan, tetapi ini bukan sebuah perkecualian. Tarekat Tijaniyah yang telah diakui mu’tabaroh pun masih dipersoalkan kemu’tabarohannya oleh sebagian ulama dari kalangan tarekat sendiri). Pasca-kematian Syekh Siti Jenar para pengamal tarekat ini memilih bersikap low-profile dan memoderasi pengajaran konsepsi tasawufnya sehingga tidak terkesan bertentangan dengan syari’ah. Dalam perkembangan lebih lanjut aliran kebatinan tidak saja memisahkan dirinya dari arus utama Islam Jawa tetapi juga berusaha menjadikan dirinya sebagai suatu kelompok agama tersendiri yang berbeda dari agama-agama terorganisir yang telah ada, yang dinamakan sebagai “Aliran Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa” (aliran kepercayaan). Mereka mengklaim aliran kepercayaan sebagai “agami Jawi” (agama Jawa) yang merupakan “agama asli” orang Jawa yang sudah ada sebelum masuknya agama-agama besar dari luar Nusantara. Sebagian aliran kebatinan malah menjadikan kelompoknya sendiri sebagai suatu agama, seperti yang terjadi pada aliran Sapta Darma.

Pergeseran Budaya di Kalangan Pesantren

Tumbuh dan berkembangnya tradisi Islam Jawa tidak lepas dari peran dua institusi yaitu keraton dan pesantren -atau lembaga pendidikan Islam yang

19 Konon, pada tahun 1870-an, ada seorang bupati di Jawa yang sangat mengagumi budaya, cara hidup, dan pendidikan Belanda sampai-sampai pernah berujar bahwa ia ingin hidup seperti seorang Belanda. Padahal, ia seorang Muslim. Ada yang bertanya kepadanya, apakah itu berarti ia akan pindah dan memeluk agama Kristen? ”Ah,” jawabnya, ”kalau mau jujur, saya lebih suka memiliki empat orang istri dan satu Tuhan ketimbang seorang istri dan tiga Tuhan.” (M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa. (Jakarta: Serambi, 2013). 20 Baca K.H. Muhammad Sholikhin, Manunggaling Kawula-Gusti. Filsafat Kemanunggalan Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Narasi, 2008).

226 Adif Fahrizal Arifyadiputra Tradisi Islam Jawa: Lintasan Sejarah dan Dinamikanya mendahuluinya.21 Kedua lembaga ini memegang peranan penting sebagai pusat keilmuan sekaligus kepemimpinan dalam tradisi Islam Jawa. Keraton meme­ gang kepemimpinan politik dan spiritual sedangkan pesantren memegang kepemimpinan spiritual. Hubungan antara kedua lembaga ini tentu saja diwarnai pasang surut. Ada kalanya keduanya harmonis namun ada kalanya pula keduanya terlibat perseteruan. Akan tetapi adalah keliru jika kita menganggap keduanya selalu berhadapan dalam suasana konfrontatif, apalagi dengan labelisasi ideologis yang simplistis dan diwarnai over-generalisasi seperti bahwa keraton adalah pembela kebatinan dan sinkretisme sementara pesantren adalah benteng syari’at. Fakta sejarah menunjukkan adanya hubungan erat antara kalangan keraton atau priayi dengan pesantren. Tidak jarang para kiai pesantren berasal dari keluarga priayi bahkan kerabat keraton dan memang sampai sebelum meluasnya sistem pendidikan ala Barat di Jawa banyak keluarga priayi mengirim anak-anaknya untuk belajar di pesantren. Tidak heran jika kemudian ada pula pujangga keraton yang cukup memiliki pengetahuan tentang Islam seperti Yosodipuro II atau mendapat inspirasi dari khazanah kitab-kitab klasik Islam -terutama kitab-kitab tasawuf- seperti cucu Yosodipuro II, Raden Ngabehi Ronggowarsito. Namun demikian dalam sejarah perkembangan pesantren di Jawa sejak kurang lebih pertengahan abad ke-19 memang terjadi pergeseran di kalangan pesantren yang membawa dampak besar pada perkembangan Islam di Jawa pada masa-masa berikutnya. Seiring makin banyaknya orang Jawa yang pergi berhaji sekaligus menuntut ilmu di Haramain (Makkah dan Madinah) yang lalu kembali ke Jawa untuk menyebarkan ilmunya dan juga kontak yang intensif antara golongan syari’at (kaum putihan atau santri) dengan para imigran Arab Hadhramaut yang membanjiri Jawa pada abad ke-19 tradisi Islam Jawa di pesantren menjadi semakin terwarnai kultur Islam Arab -lebih tepatnya lagi kultur Haramain dan Hadhramaut- dan lambat laun pengaruh kultur Islam Arab ini tampak menjadi dominan di kalangan pesantren dan kaum putihan pada umumnya. Pergeseran kultural ini bisa dilihat dari mulai hal-hal yang sederhana seperti ketidaksukaan sebagian kaum santri terhadap kesenian lokal Jawa semacam wayang, perubahan nama dari nama-nama Jawa menjadi nama- nama Arab -atau perbaikan nama-nama Arab yang telah dijawakan menjadi nama yang sesuai dengan makhrajil huruf dalam bahasa Arab (Misalnya Amat menjadi Ahmad, Kasan menjadi Hasan, Ngabdul Kamit menjadi ‘Abdul Hamid dan sebagainya)- bergantinya slawatan langgam Jawa menjadi seni hadrah dengan irama padang pasir, sampai dengan hal-hal yang lebih substansial seperti membesarnya perhatian terhadap kajian ilmu-ilmu syari’ah -fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadits- di pesantren menggeser tasawuf dan tergesernya tarekat

21 Berbicara tentang “pesantren” belum bisa dipastikan keberadaannya dalam konteks sebelum abad ke-18. Meskipun pendidikan Islam sudah ada sejak awal masuknya Islam ke Tanah Jawa namun pesantren paling tua dalam bentuknya yang kita kenal sekarang baru muncul pada abad ke-18 yaitu Pesantren Tegalsari di daerah Ponorogo (Lihat, Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, h.92-94).

Adif Fahrizal Arifyadiputra 227 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya dengan corak tasawuf falsafi yang kental seperti Syattariyah oleh tarekat-tarekat yang lebih menekankan segi amaliyah dari tasawuf seperti Naqshabandiyah, Qadiriyah, dan Syadziliyah. Pergeseran ini membawa dampak positif maupun negatif bagi perkembangan Islam di Jawa. Dampak positifnya antara lain: 1. Terhubungkannya Jawa dengan jaringan umat Islam global. Jawa tidak lagi menjadi wilayah terpencil di pinggiran Dunia Islam. Kondisi umat Islam di Jawa mendapat perhatian dari umat Islam di belahan dunia lainnya, sebaliknya umat Islam di Jawa dapat meluaskan wawasannya tentang Dunia Islam. Pada akhirnya hal ini dapat membangun ukhuwwah Islamiyah yang melintasi batas-batas geografis, kultural, dan rasial. 2. Menghilangnya secara perlahan praktik-praktik tradisi yang bertentangan dengan akidah dan syari’at Islam seiring dengan dakwah yang dilakukan para kiai, haji, dan santri sampai ke daerah pedesaan. Ini bisa dilihat sebagai kelanjutan dan penyempurnaan dari proses dakwah Islam yang telah dirintis oleh para penyebar Islam awal (Wali Songo) pada abad ke-15-16. 3. Meningkatnya perhatian terhadap syari’at dan pengamalan syari’at di tengah masyarakat Jawa. Hal ini pun tidak lepas dari peranan kaum putihan yang kembali ke Jawa usai beribadah haji dan menuntut ilmu di Tanah Suci. Pada dasarnya pengamalan syari’at itu sendiri memang merupakan hal yang diserukan oleh para pujangga Islam Jawa.

Akan tetapi pergeseran di kalangan pesantren dan kaum putihan pada umumnya juga membawa beberapa dampak negatif bagi perkembangan Islam di Jawa, di antaranya: 1. Kaum putihan menjadi asing dengan khazanah budaya lokal Jawa dan lebih akrab dengan budaya Islam Arab (Haramain dan Hadhramaut) sehingga menimbulkan antipati dari sebagian masyarakat Jawa yang menganggap mereka sebagai agen penyebar budaya asing. Jurang pemisah antara kaum putihan sebagai golongan syari’at dengan golongan kebatinan menjadi semakin lebar, keduanya hidup dalam dunianya masing-masing dan tidak lagi berdialog satu sama lain. Hal ini diperparah oleh usaha penguasa kolonial Belanda memisahkan kaum priayi -yang notabene banyak di antara mereka adalah penganut kebatinan- dengan kalangan pesantren. 2. Sebagian kaum putihan melancarkan dakwah Islam secara menggebu-gebu dan hal ini dipandang oleh sebagian masyarakat Jawa sebagai tuntutan menjalankan Islam yang memberatkan sehingga membuat mereka menjauh dari Islam. Dalam perkembangan selanjutnya segmen masyarakat Jawa yang menjauh dari Islam ini -dikenal sebagai kaum abangan- terkonsolidasi sebagai kekuatan sosial-politik yang menantang kekuatan sosial-politik Islam dan proses Islamisasi di Jawa. 3. Proses Islamisasi yang dimotori kaum putihan pada abad ke-19 membuka jalan bagi masuknya arus Islamisasi berikutnya dari Timur Tengah yang lebih

228 Adif Fahrizal Arifyadiputra Tradisi Islam Jawa: Lintasan Sejarah dan Dinamikanya

tidak ramah terhadap budaya lokal. Pada dekade 1920-an gerakan purifikasi Islam yang terinspirasi pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha mulai tersebar di Jawa yang berdampak pada terbelahnya kaum putihan menjadi kubu “tradisionalis” dan “modernis”. Dalam perkembangannya yang lebih belakangan kaum “modernis” membuka jalan pula bagi masuknya “fundamentalisme Islam” dari Timur Tengah yang semakin memperumit dinamika perkembangan Islam di Jawa dan Indonesia pada umumnya.

Secara umum arus Islamisasi yang dibawa kaum putihan Jawa mulai pertengahan abad ke-19 berdampak pada merenggang atau bahkan putusnya hubungan antara Islam dengan budaya Jawa yang membuat banyak orang Jawa menjauh dari Islam. Di sisi lain kerenggangan atau keterputusan ini dimanfaatkan atau semakin didorong oleh pihak-pihak yang memang menghendaki de- Islamisasi Jawa demi kepentingannya masing-masing. Mereka yaitu penguasa kolonial dan misionaris Kristen.22

Islamisasi Jawa Pasca-1965

Tragedi 1965-1966 yang membuka jalan bagi lahirnya rezim Orde Baru berpengaruh besar bagi perkembangan masyarakat Indonesia –khususnya Jawa- pada masa selanjutnya. Identifikasi diri dengan agama(-agama) yang diakui negara mendadak menjadi hal yang penting bahkan erat kaitannya dengan keselamatan nyawa. Tahun 1966 pemerintah mengeluarkan Penpres no.1/1966 yang isinya mewajibkan seluruh warga negara Indonesia memeluk salah satu agama dari 5 agama yang diakui Negara –Islam, Kristen Protestan, Katolik Roma, Hindu, dan Buddha.23 Orang-orang yang tidak memeluk salah satu dari kelima agama tersebut terancam dicap atheis yang disamakan dengan komunis yang artinya layak untuk ditumpas. Demikian pula halnya dengan orang yang meskipun secara formal mengaku beragama tetapi tidak menunjukkan ketaatan beragama atau identifikasi dengan agama tertentu juga terancam mengalami nasib yang sama dengan orang-orang yang tidak beragama. Kebijakan pemerintah dalam hal agama tersebut mendorong perubahan besar dalam kehidupan keberagamaan masyarakat di berbagai penjuru Indonesia, termasuk di Jawa. Masyarakat yang semula hanya menganut agama secara nominal berusaha menunjukkan ketaatan beragama agar tidak dicap sebagai PKI. Dalam kaitannya dengan Islam tidak heran jika pasca-1965 terjadi perkembangan yang signifikan dalam proses Islamisasi atau lebih tepatnya santrinisasi di Jawa. Banyak daerah yang semula dikenal sebagai daerah abangan dan menjadi basis PKI atau PNI mengalami pergeseran dalam orientasi

22 Baca M.C. Ricklefs. Polarizing Javanese Society, h. 105-250. 23 G. Budi Subanar, “Mengoreksi Pandangan Membuka Cakrawala (Sebuah Catatan Pengantar)” dalam Paul R.A.F. Webb & Steven Farram, Di-PKI-kan: Tragedi 1965 dan Kaum Nasrani diIndonesia Timur (Yogyakarta: Syarikat, 2005), h. vii.

Adif Fahrizal Arifyadiputra 229 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya keberagamaan masyarakatnya menjadi masyarakat santri.24 Proses Islamisasi ini sedikit banyak didukung oleh pemerintah sebagai bagian dari upaya mengikis pengaruh komunis dan membangun stabilitas nasional di samping tentu saja ada peran dari organisasi atau kelompok-kelompok Islam sendiri.25 Aktivitas dakwah di daerah-daerah di Jawa yang semula berkarakter abangan biasanya ditandai secara fisik dengan pembangunan masjid atau langgar/mushola dan kadang-kadang pondok pesantren. Masjid dan mushola memiliki fungsi utama sebagai pusat ibadah masyarakat di samping juga sebagai tempat diselenggarakannya pendidikan agama bagi warga sekitar. Adapun pondok pesantren jelas menjadi pusat pendidikan keislaman yang tidak hanya didatangi warga sekitar tetapi juga menarik banyak orang dari daerah lain untuk belajar agama di sana. Berdirinya prasarana fisik itu sekaligus menandai masuknya institusi keislaman di daerah tersebut. Perlu dicatat bahwa masjid, mushola, ataupun pondok pesantren bukan sekadar bangunan fisik melainkan juga lembaga yang mengemban nilai-nilai Islam dan menyebarkannya kepada masyarakat luas. Lembaga-lembaga ini berperan penting dalam proses dakwah di Jawa pasca-1965. Secara umum, keberhasilan dakwah di Jawa tidak dapat dilepaskan pendekatan yang digunakan. Dalam hal ini pendekatan kultural merupakan metode yang efektif untuk mendakwahkan Islam di Jawa. Masyarakat Jawa -terutama yang hidup di pedesaan- lekat dengan kehidupan yang guyub-rukun alias kehidupan yang diwarnai ikatan komunal yang kental. Pada masyarakat semacam ini kegiatan yang melibatkan banyak orang secara bersama-sama adalah suatu hal yang digemari dan inilah yang dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah. Kegiatan-kegiatan keislaman yang kental dengan nuansa komunal seperti tradisi tahlilan, yasinan, mujahadah, dan sebagainya adalah sarana efektif untuk menyebarkan pesan-pesan dakwah, terutama di pedesaan. Melalui tradisi- tradisi ini ajaran Islam dapat disosialisasikan secara tepat kepada masyarakat sesuai tingkat kepahamannya. Dalam studinya tentang kehidupan beragama di pedesaan Magelang tahun 1980-an Bambang Pranowo mencatat bahwa tradisi mujahadahan (dzikir bersama disertai dengan ceramah) menjadi sarana menyosialisasikan konsep tauhid yang menekankan kedudukan Allah sebagai satu-satunya dzat yang berkuasa atas segala sesuatu dan karenanya tidak ada yang pantas ditakuti kekuatannya selain Allah.26 Lebih lanjut, Pranowo menjelaskan bahwa proses dakwah yang intensif menghapus berbagai praktik kepercayaan tradisional yang bersifat mitis seperti kepercayaan kepada roh

24 Baca Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa. 25 Lihat Uji Nugroho “Memutihkan Yang Merah: Ujian Guru Agama (UGA) dan Deideologisasi Komunis di Gunung Kidul Pasca-1965” dalam Sri Margana & Widya Fitrianingsih (ed.) Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal dan Global. Persembahan Untuk 70 tahun Prof. Dr. Djoko Suryo (Yogyakarta: Ombak, 2010), h. 408-428. 26 Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa, h. 147.

230 Adif Fahrizal Arifyadiputra Tradisi Islam Jawa: Lintasan Sejarah dan Dinamikanya penjaga (ingkang mbaurekso) dan menggantinya dengan kepercayaan kepada Allah semata. Seiring dengan proses tersebut kebiasaan seperti membuat sesaji (sajen) -berupa makanan dan bunga-bunga tertentu yang diletakkan di suatu tempat hingga membusuk- perlahan-lahan hilang. Masyarakat memandang bahwa daripada makanan dihambur-hamburkan untuk membuat sesaji lebih baik dimakan sendiri saja.27 Sementara itu dalam studinya tentang Muslim reformis di pedesaan Yogyakarta pada dekade 1990-an Hyung-Jun Kim mengungkapkan bagaimana seiring dengan dakwah yang dilakukan kaum Muslim reformis kepercayaan tentang berkuasanya makhluk halus seperti dhanyang menghilang karena diyakini kemudian bahwa kepercayaan semacam itu adalah syirik. Menurut pengamatan Kim, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di dusun yang menjadi lokasi penelitiannya pembicaraan mengenai kekuatan supranatural terbilang jarang dan praktik asketik (Jawa: lelaku) jarang nampak. Kalaupun ada pembicaraan santai tentang hal-hal tersebut maka sifatnya lebih sebagai bahan olok-olokan.28 Terjadi pula transformasi dalam pemahaman masyarakat di dusun tersebut mengenai makhluk-makhluk supranatural. Jika sebelumnya mereka mengenal banyak jenis makhluk supranatural yang bisa dimintai pertolongannya tanpa peduli bagaimana kedudukan makhluk-makhluk tersebut dalam kaitannya dengan kekuasaan Allah maka setelah berlangsungnya proses Islamisasi secara intensif masyarakat setempat hanya mengenal satu konsep makhluk supranatural yaitu jin, yang disebutkan dalam Al Qur`an. Mereka lalu memahami pula bahwa jin adalah makhluk Allah yang tidak lebih mulia dari manusia sehingga tidak layak ditakuti dan dimintai pertolongan.29 Masih dalam studi yang sama, Kim juga membahas tentang transformasi dalam ritual kendhuri atau slametan di dusun tersebut. Dalam penelitiannya pada dekade 1950-an Clifford Geertz memaparkan tentang ritual slametan yang di situ nama Allah, nabi, arwah nenek moyang, sing mbaurekso, sampai dewa-dewi Hindu disebutkan dalam dalam bagian pembuka untuk menghadirkan keadaan slamet.30Akan tetapi dalam penelitian yang dilakukan oleh Kim pada dasawarsa 1990-an hal tersebut sudah tidak lagi ditemukan -setidaknya di dusun tempat ia melakukan penelitian. Ia menemukan bahwa di dusun itu hanya nama Allah yang disebut-sebut dalam slametan.31 Ini sekali lagi mengindikasikan adanya perubahan dalam cara pandang masyarakat dusun tersebut. Nama-nama kekuatan supranatural selain Allah tidak lagi disebut karena adanya pemahaman bahwa hanya Allah-lah yang layak dimintai pertolongan dan mampu mendatangkan maslahat ataupun mudharat bagi umat manusia.

27 Lihat ibid: 255-256. 28 Hyung-Jun Kim,Reformist Muslims in Yogyakarta Village : The Islamic Transformation of Contemporary Socio-Religious Life (Canberra: ANU E Press, 2007), h. 149. 29 Ibid: 150-155. 30 Geertz dalam ibid, h. 116. 31 ibid

Adif Fahrizal Arifyadiputra 231 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya

Makanan yang disajikan dalam slametan pun mendapat pemaknaan baru seiring dengan Islamisasi yang intensif. Tumpeng yang selalu disajikan dalam slametan dimaknai oleh warga yang telah memahami Islam sebagai simbol dari dunia yang diciptakan oleh Allah. Bentuk tumpeng yang meneyerupai gunung dihubungkan dengan ayat Al Qur`an yang menyebutkan bahwa Allah menjadikan gunung-gunung sebagai pasak. Warga lainnya memahami tumpeng sebagai simbol keesaan Allah karena bentuk tumpeng yang seperti gunung dan pada setiap gunung pasti hanya ada satu puncak. Adapun ingkung ayam dimaknai sebagai simbol manusia. Sesuai tradisi hanya ayam jago yang boleh dijadikan ingkung, “jago” di sini dapat diartikan sebagai “yang terunggul” atau “yang terhebat”. Oleh karena Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling mulia maka manusia pun bisa disebut sebagai “jago”. Dengan demikian ayam jago yang dijadikan sebagai ingkung merupakan perlambang dari manusia sebagai makhluk “jago” yang diciptakan Allah.32 Penataan makanan yang disajikan dalam slametan juga memiliki makna tersendiri dalam kacamata warga Muslim di dusun itu. Semua makanan disajikan di tengah ruangan, ingkung ditempatkan berhadapan dengan tumpeng dengan posisi seperti orang bersujud. Di sekeliling tumpeng dan ingkung disajikan makanan-makanan lainnya yang melambangkan segala apa yang dikaruniakan Allah bagi manusia. Secara singkat susunan makanan yang disajikan dalam slametan menyimbolkan manusia yang sedang shalat menyembah Allah dikelilingi makhluk-makhluk lainnya yang dianugerahkan kepadanya oleh Allah. Makna shalat itu sendiri dilambangkan oleh tiga jenis makanan yaitu kolak, apem, dan ketan. Konon nama ketiga makanan itu diambil dari tiga kata dalam bahasa Arab yaitu qala (berkata), afwu (maaf), dan khotho` (kesalahan). Artinya dalam shalat itu seseorang mengeluarkan kata-kata untuk memohon maaf kepada Allah atas kesalahan yang dilakukannya.33 Pemaknaan ini berbeda dengan pemaknaan orang-orang tua yang memahami tumpeng sebagai simbol gunung yang merupakan tempat menetapnya roh-roh orang mati dan makhluk halus lainnya dan disajikannya tumpeng dalam slametan dimaksudkan sebagai sarana untuk memudahkan kontak dengan kekuatan-kekuatan supranatural tersebut yang dianggap dapat membawa keadaan “slamet”.34 Masih banyak contoh kasus lain dalam perkembangan kontemporer yang menunjukkan semakin intensifnya Islamisasi di Jawa. Satu hal yang jelas bahwa pasca-1965 dakwah Islam berlangsung dengan pesat di Jawa. Dalam jangka panjang proses ini membawa perubahan besar dalam masyarakat Jawa, baik dalam cara pandang, tradisi, dan berbagai aspek kehidupan lainnya.

32 Ibid, h. 127. 33 Ibid 34 Ibid: 126.

232 Adif Fahrizal Arifyadiputra Tradisi Islam Jawa: Lintasan Sejarah dan Dinamikanya

Kesimpulan

Dengan berbagai warna dan dinamikanya Islam Jawa adalah bagian dari khazanah peradaban Islam global yang tidak perlu dipahami secara komprehensif dan mendalam. Jika kita serius ingin membangun kembali hubungan antara Islam dengan budaya Jawa yang sudah lama renggang atau bahkan putus perlu ada upaya memahami tradisi Islam Jawa dengan pikiran jernih dan terbuka, tanpa didahului dengan prasangka atau sikap apriori terhadapnya. Untuk itu pula perlu ada dialog terus menerus antara orang Jawa Muslim yang telah jauh dari tradisi Islam Jawa dengan mereka yang masih setia memegang tradisi ini agar tercapai titik temu dan titik kesepahaman dalam menjalani hidup bersama sebagai sesama bagian dari umat Islam dan lebih khususnya lagi dalam meng­ hadapi tantangan de-Islamisasi yang kian kompleks. Wallahu a’lam bish shawab.

Daftar Pustaka

1. Buku van Bruinessen, Martin, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, Yogyakarta: Gading Publishing, 2012. Kim, Hyung-Jun, Reformist Muslims in Yogyakarta Village : The Islamic Transformation of Contemporary Socio-Religious Life,Canberra: ANU E Press, 2007. Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1999. Nugraha, Iskandar P., Theosofi, Nasionalisme dan Elit Modern Indonesia, Depok: Komunitas Bambu, 2011. Pranowo, Bambang, Memahami Islam Jawa, Tangerang: Pustaka Alvabet & INSEP, 2009. Ricklefs, M.C, Mystic Synthesis in Java:a history of Islamization from the fourteenth to the early nineteenth centuries, London: East Bridge, 2006. ______, Polarizing Javanese Society: Islamic and other visions, c. 1830-1930, Singapore: NUS Press, 2007. ______, Mengislamkan Jawa: Islamisasi dan Penentang-penentangnya 1930-Sekarang, Jakarta: Serambi, 2013. Sholikhin, K.H. Muhammad, Manunggaling Kawula-Gusti. Filsafat Kemanunggalan Syekh Siti Jenar, Yogyakarta: Narasi, 2008. Sukri, Sri Suhandjati, Ijtihad Progresif Yasadipura II dalam Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004. Woodward, Mark. R., Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan (Penerjemah: Hairus Salim H.S.), Yogyakarta: LKiS, 1999.

2. Majalah Hadi W.M, Abdul. “Sumbangan Islam bagi Kebudayaan Indonesia dan Tantangan Modernisme” dalam Prisma Nomor Ekstra 1984.

Adif Fahrizal Arifyadiputra 233

THE FUNCTIONS OF BUKA LUWUR TRADITION IN THE GRAVE OF SUNAN KUDUS

Muhammad Rikza Muqtada Ushuluddin Faculty at State Islamic Institute of Salatiga Email: [email protected]

Abstract

Buka Luwur in the grave of Sunan Kudus in Java Indonesia is a local tradition combining religious and local values. Their relationship provides a unique religious experience to the Kudus society and its surrounding area. The intersection of these two entities has at least three functions: 1) Social functions that realized in the form of mutual assistance, fraternity, love each other, and realization of inter-religious harmony, especially with Chinese ethnicgroup who live in the centre of ceremony. 2) Spiritual functions, in which people in Kudus make sacred objects, such as Sego Jangkrik, Air Kolo Keris Chintaka and Kain Luwur to obtain inner satisfaction like as healthiness, increasing their confidenceand intelligence. 3) Economic function. In addition to increase income through tourism in the grave of Sunan Kudus, people believe that charities (sedekah) for Buka Luwur event of Sunan Kudus will facilitate their sustenance that comes from outside of human capacity, namely from God.

Keywords: Buka Luwur, Sunan Kudus, social function, spiritual function, economic function

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 235 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya

A. Kudus, Sunan Kudus and Local Tradition

udus is a district in Central Java Indonesia with a total area of 42.516 Khectares and is divided into 9 sub-districts (kecamatan). It has a slogan Gusjigang which stands for bagus (good), ngaji (learning Islam), and dagang (doing business). The slogan expresses the excellent character of Kudus people. In addition to prioritizing ngaji (learning religion), they are well knownfor their expert in running economic activities. The history of Kudus City cannot be separated from the role of Sunan Kudus, one of the nine Muslim saints called Walisongo who are believed to spread Islam in Java. His real name is Ja’far Sadiq, son of Raden Usman Haji. Since childhood he wanted to spread Islam among people who adhered to Hinduism and Buddhism. He studied Islam first with his father, and then with Sunan Ampel at Surabaya and Kiyai Telingsing at Kudus. Kyai Telingsing (Tan Ling Sing) is a Muslim scholar of Chinese origins who lived in the time of Chinese Islam dynasty (Ming dynasty, 1368-1644 AD), then came to Java (She-po or Zhaowa) after the expedition of Cheng Hoo (1416 AD) in order to establish bilateral cooperation with China in politic and trading as well as to spread Islam.1 Because of the civilization progress of China in politic, culture and trading, Sunan Kudus not only studied about religion to Kyai Telingsing, but also study about politics, social-culture, commerce, and arts. By studying several of knowledge makes sunan Kudus expert in various matters. In politic, Sunan Kudus is believed to be commander of Demak Islamic kingdom.2 In cultural tradition, as a respect for Hindus, Sunan Kudus forbade his students to slaughter a cow believed as a sacred animal. In architectural art, it is said that Sunan Kudus successfully maintained the harmonious interfaith relationship by establishing a worship place (956 H /1549 AD) -called by Masjid al-Aqsa Menara Kudus- representing a long acculturation that three religious teachings experienced.3 That all can be seen today as a cultural and traditions heritage of Sunan Kudus.4 In addition to the relics above, Sunan Kudus left many Islamic traditions were friendly with the tradition of Javanese ancestors. He was compromising Islamic values with local tradition values. Among the relics tradition of Sunan Kudus is Dhandangan, Pengajian Pitulasan, Buka Luwur, Sunatan Masal and some teachings that still adhered by people of Kudus. As gratitude for Sunan Kudus services, people of Kudus specifically commemorate atBuka Luwur event.

1 Sumanto Al Qurtuby, “Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra- Kolonial Belanda”, e-Journal Elsaonline, in http://jurnal.elsaonline.com/?p=97, accessed on 15th of February 2017 2 Sri Indrahti, Kudus dan Islam: Nilai-nilai Budaya Lokal dan Industri Wisata Ziarah, (Semarang: CV. Madina, 2012), p. 38 3 There is a dome as the characteristic of Islam, there is a tower and arch shaped as the characteristic of Hindu temples; and there is eight shower headed statue as the characteristic of Buddhism. 4 This information adopted from official website of Kudus government in http://www. kuduskab.go.id/profile.php, also inhttp://www.sunan-kudus.com/Kisah-Perjuangan-Sunan- Kudus.htmlaccessed on 2nd of November 2016

236 Muhammad Rikza Muqtada T he Functions of Buka Luwur Tradition In T he Grave of Sunan Kudus

Buka Luwur is an event that spends many of costs. Dozens of goats and buffaloes are slaughtered, tens of quintals of rice are cooked, and hundreds of meters of luwur fabric are installed in the grave. Nonetheless, people of Kudus actively contribute for implementing this annual event. Even non-Muslim people, who live around the center of event, also contribute their donation for the success of ritual. In addition, the event consists of religious rituals that each ritual has a sacred meaning for the people of Kudus. They would be lost if they are not involved in a series of Buka Luwur events. The distribution of sego jangkrik is the peak events that followed by thousands of people who are queuing to get sego jangkrik. Even for those who do not get sego jangkrik are willing to buy it from someone else with an agreed price. Apparently there is a power that encourage to the people of Kudus become active in the event of Buka Luwur, which was never implemented at the time of Sunan Kudus. They assume that each objects of Buka Luwur ritual and the ceremony itself has expediency and functionality. For further explanation, functionalism theory will be used to analyze the phenomenon that occurs in the people of Kudus.

B. Rituals, Islam, and Local Values

Islam and culture are two inseparable entities, one influencing the other. Islam with its set of religious values has influenced patterns of culture and tradition of its adherents. Nevertheless, the socio-cultural aspects of local society do not immediately eroded by Islam. In popular culture view, the cultures often absorb the concepts and symbols of religion, and it is clearly proven that religion was one of primary sources of culture.5Buka Luwur, for people in north coastal areas of Central Java, is one manifestation of the relationship between Islam with local tradition. For them Buka Luwur tradition is meaningful and valuable to their spiritual and social life. Several rituals are attached to Buka Luwur event. It begins with washing a keris (sacred dagger) that is believed to be in possession of Sunan Kudus. People compete for the water used to wash keris, called by kolo, with the hope to obtain a blessing (berkah) from Sunan Kudus by washing their keris. At the time of luwur replacement,the old fabricof luwur also contested by people in hope to obtain a blessing (berkah) like as a talisman (jimat), especially the fabric that covered head. At the peak of eventheld a parcel distribution containing rice and meat wrapped in teak leave, known as Sego Jangkrik. Many of people believe that Sego Jangkrik has a blessing from Sunan Kudus. Kolo water, Luwur fabric, and Sego Jangkrik actually have a sacred meaning for the people of Kudus. Prayer is the most important part of Buka Luwur ritual in order to gain blessing. Following Mircea Elliade’s theory on ‘the sacred and

5 Kuntowijoyo, Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1999), p. 228.

Muhammad Rikza Muqtada 237 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya the Profane’, Buka Luwur ritual was heed as sacred (something sacralization) that originally does not have any values at all held by people of Kudus. People in Kudus used a metaphysical thing ti achieve another metaphysical thing. This belief has a similarity with animism and dynamism, but it has become imbued with Islamic values. This religious phenomenon is a manifestation of human attitudes towards things that are considered sacred, and come from the unseen.6 For some people may consider this cultural rituals has not important functions because only ritual for luwur fabric replacement on the grave, but factually this ritual continues to survive and sustainable because there are several other functions that obtained by public actors. As Malinowski’s theory, functionalism, states that all cultural activity is intended actually to satisfy a series of a number of human instinct needs associated with his whole life.7 Therefore, from a long event series of Buka Luwur will provide satisfaction for the actors. At least they have a real function for social life, and symbols that still have a close relationship with the values prevailing local traditions. One of fundamental function of a religious ritual, as revealed by Radcliffe- Brown in Kaplan, that the existence and enforceability of a religious ceremony in the society is to do with the contribution of religious ceremonies for social cohesion. A religious ritual serves to strengthen the social solidarity. This solidarity is maintained to allow citizens to play a role that has been agreed, namely maintains a togetherness levels that is the basis of social system continuity.8 Buka Luwur actually has a real function for the social life of people (social dimension) also has a spiritual function that is stored in symbols related to the values of local tradition (spiritual dimension), so the functional theory is used to explain this case. Kaplan says that the assumption of functional theory is all of cultural systems have specific functional requirements to allow its existence. A tradition or a culture in public can be sustainable if these traditions have certain functions, so that they can survive.9Buka Luwur tradition has a motivation function and certain values that are believed by the natives.

C. The Procession of Buka Luwur of Sunan Kudus

People of Kudus are group that preserve the Buka Luwur tradition. Buka Luwur tradition that performed in the grave complex of Sunan Kudus is consider to have more values than the other Buka Luwur tradition that performed in the grave of other religious figures. Buka Luwur in the grave of Sunan Kudus is an event series to replace the old fabric that used to wrap the tomb, gravestone, and

6 Matulada, “Studi Islam Kontemporer, Sintesa Pendekatan Sosiologi dan Antropologi Dalam Menghadapi Fenomena Keagamaan”, in Taufiq Abdullah and M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama : Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), p. 2-3. 7 R. Manners and D. Kaplan, Teori Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), p. 76 8 R. Manners and D. Kaplan, Teori Budaya, p. 77 9 R. Manners dan D. Kaplan, Teori Budaya, p. 77

238 Muhammad Rikza Muqtada T he Functions of Buka Luwur Tradition In T he Grave of Sunan Kudus the cupola tomb (cungkup) of Sunan Kudus into the new fabric, called by luwur.10 This event is regularly held each Muharram or Shura. Buka Luwur for Kudus people is a public party. Buka Luwur event involves many of Kudus people and its surrounding area actively. Many people droves to provide a voluntary contribution, ranging from luwur fabricreplacement until foodstuffs to be distributed. Spices, rice, buffalo, goat, leaves of teak, raffia rope and so on are obtained from public contributions.11People believe that by charity (sedekah) for Buka Luwuris an intermediation (wasilah) in order to fulfill their affairs, both in economy, health, agriculture, education and the souls salvation. An interesting event because all these donations pure from public contribution, not from the results of committee operations. YM3SK officials forbid the committee to apply for material donations proposal to the public. This prohibition has been handed down from the elders, “this Buka Luwur should not be requested many donations from the public, let it flow”. After the donations collected, the committee worked together to implement many activities, ranging from replacing of luwur fabric, cooking of sego jangkrik menu than distributing to the public. In the process of rice cooking use the ‘colossal work’ systems by involving many of people, ranging from rice washing, rice cookers, furnaces regulator, rice carrying, rice cooling, until rice wrappers. Buka Luwur ceremony annually has a series of rites. Theceremoniesstart from 1st of Muharram until the peak of event (10th of Muharram). In interval of 9 days are coloring with various religious rituals, starting from cleaning the grave, washing the relics of Sunan Kudus (Chintaka kris), and prayers together. At the night of 9th of Muharram event called terbang papat and reading al-Barzanji (the life history of Prophet Muhammad), then concludes with Do’a Rasul. In the morning doingkhotmil Qur’an bi al-ghaib (memorizing of Qur’an), then proceed with animals slaughter to be used as a side dish in sego jangkrik, such as buffalo and goats.12 At the peak of event, begin from the evening of 10th of Muharram, held tahlil, public lectures (pengajian), and installation of new Luwur cloth. Buka Luwur event centered in Tajug (Joglo space for reception area) was carried out with various processions, such as reading the history of Sunan Kudus, reading the rosary together, and ended with the installation of new Luwur, then closed with the reading tahlil and its prayer. The next day is a ‘public party’ that people

10 Em Nadjib Hasan (the leader of YM3SK) in his speech for the peak of death anniversary of Sunan Kudus on 10th of Muharram 1423 Hijra/06th of Desember 2011 11 The donations not only from Muslims but also from non-Muslims who live in Kudus, especially around the Sunan Kudus’s grave. Its distribution is not only to Muslims, proven that Chinese people who live around the Kudus Minaret mosque and along Sunan Kudus Street also get sego jangkrik that delivered specifically. See Nur Said. Jejak Perjuangan Sunan Kudus dalam Membangun Karakter Bangsa. (Bandung: Brilian Media Utama, 2010), p. 20 12 Field observations conducted by researchers on 25th of November 2011 until the peak event on 06th of Desember 2011

Muhammad Rikza Muqtada 239 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya flocked to queue to get a parcel that is provided by YM3SK officials. This food is known as sego jangkrik or segobuka luwur. The 10th of Muharram seems an impression that at the time was a Sunan Kudus death (haul). This impression appears because of the ceremonial series in Buka Luwur always had been marked by many of rites, such as tahlilan and khotmil qur’anas like as in the death event (haul) generally. Until now, no one who knows the date of Sunan Kudus death certainty. In historical record informs that Sunan Kudus died around 1555 AD. However, Buka Luwur ritual, for the management foundation of Minaret Mosque and the grave of Sunan Kudus (YM3SK: Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus), is an event that packed to commemorate the services of Sunan Kudus.13 As the tradition of Kudus people who not to slaughter cows, sego jangkrik served with buffalo meat and/or goat meat cooked with uyah asem or jangkrik goreng spices.14 This menu is a typical taste of Kudus dishes, which is synonymous with the main mix spices uyah (salt) and asem (tamarind). There are two types of menus: fried sego jangkrik and Uyah Asem. Uyah asem menu includes buffalo meat without sauce, while fried sego jangkrik menu includes buffalo meat sauce that cooked rather crunchy. Therefore, this rice is known as uyah asem or sego jangkrik.15 According to Najib Hasan, the rice seasoned with salt and tamarind, and served without sauce, so the rice is not stale faster. Furthermore, sego jangkrik wrapped in the teak leave then tied with bamboo or straw. The teak leave gives a distinctive aroma and reaches the delights of sego jangkrik. Here is the distinctiveness of sego jangkrik of Sunan Kudus. There is no clear history related to the reason for mentioning ‘sego jangkrik’. According to Nafis,sego jangkrik was just a term; it does not mean there are crickets on the rice, as well as sego kucing in angkringan (a food stall). The teak leaves that used to wrap the rice is often used by people as one food of cricket (java: jangkrik). Moreover, the color of meat after flavored like as a crickets color, black brownish.16 In wrapping, sego jangkrik wrapped into four categories; 1) a little parcel (berkat) that assumed to be eaten for four people, 2) a medium parcel to be eaten for six people, 3) a big parcel to be eaten for eight people, and 4) a parcel that

13 Em Najib Hasan’ statement that quoted by Kompas media on 17th of Desember 2010. See also in Solichin Salam. Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam. (Kudus; Menara, 1977), p. 23 14 Is one of the special foods of Kudus that said to be the favorite food of Sunan Kudus besides the opor ayam, which was served at the purification of Sunan Kudus’s heritage (Chintaka Kris). Sunan Kudus often share the his pleasures food to the society on every 10th of Muharram or Shura. (Em Nadjib Hasan). See Ary Budiyanto, Maesah Anggni, Buka Luwur Kangjeng Sunan Kudus Karomah Penuh Barakah, ( Kudus, Yayasan Masjid Menara dan Makam sunan Kudus, 2013), p. 30 15 EM Nadjib Hassan the leader of YM3SK in his speech on the paeak off event on 10th of Muharram 1423 Hijra/06th of Desember 2011. He said: “Special to the public provided only uyah asem rice without sauce in order to not stale. However, the public used to call by sego jangkrik”. 16 M. Nafis Ilmi, Kwanaran Kudus people, the teacher of MTs NU TBS Kudus, when interviewed on 29th of Desember 2011

240 Muhammad Rikza Muqtada T he Functions of Buka Luwur Tradition In T he Grave of Sunan Kudus wrapped in teak leave to be eaten for two people. Further details as follows: 1. Sego jangkrik that given to the invited guests, consisting of a religious scholars, government representatives, community leaders and some special guests who read Manaqib, Khatmi al-Qur’an, al-Barzanzi, tahlil, istighosah and prayers reciting (doa) at 10th of Muharram after dawn (subuh) in Tajug / Pesanggrahan Kudus minaret. 2. Sego jangkrik that given to donors who have given the alms (sedekah), either property, thought and energy for a smooth event of Buka Luwur. 3. Sego jangkrik that given to whole family of religious scholars in Kudus. 4. Sego jangkrik that given to the public who queuing to get a parcel of sego jangkrik.

D. The Function of Buka Luwur for Society

1. The Spiritual Function of Buka Luwur of Sunan Kudus Based on the procession made by public at Buka Luwur ritual can be categorized that the basic motivation is religious motivation. Religious motivation is a human instinct to always closeand ask for help to Allah. Peoplebelieve that there is a magical power in koloex-water to wash Cinthaka Kris, mori (luwur fabric) installed in the grave of Sunan Kudus and sego jangkrik that distributed to public. For that reason, they are willing to overcrowd just for it. This behavior indicates that people believe in existence of divine power that is beyond the man’s power. a. Kolo; used water from washing Cinthaka Kris Based on Akhlis Fuadi’s research, Cinthaka kris is the name of Sunan Kudus’srelic that believed has a magical power until now. When washing Cinthaka kris is held, the weather certainly timbreng (neither heat nor rain). Kudus people who have a Kris at home is waiting for this moment to obtain kolo of Cinthaka Kris. They believe that kolo water can transmit a Cinthaka’s magic to their Kris.17 According to Faqihuddin Sholeh, the caretaker of Sunan Kudus grave, during the dry season, where the outside area of the grave complex of Sunan Kudus has a clear season, but the around area of Sunan Kudus grave is precisely cloudy. Even more bizarre when the around area of Sunan Kudus grave is rain. When rainy season, the area of Sunan Kudus grave to rain, but the outside area of Sunan Kudus grave just overcast. A native believe that the phenomenon is a magic effect of Cinthaka Kris that stored in Tajug and the sanctity of Sunan Kudus.18 b. An ex-Luwur fabric from Sunan Kudus grave An ex-Luwur fabric or mori from Sunan Kudus grave trusted as an inter­ mediary in obtaining blessings or good fortune. Luwur fabric that has a measure­

17 Akhlish Fuadi, Upacara Buka Luwur Makam Sunan Kudus Di Kabupaten Kudus, research paper at email: [email protected], h. 13 18 Ibid,.

Muhammad Rikza Muqtada 241 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya ment of 10-20 cm is distributed to the public on 10th of Muharram simultaneously with berkat (sego jangkrik) distribution by means inserted in the wrapper. While the distribution of luwur, which has a measurement of 3-5 meters, held on 12th of Muharram. Only certain people can get luwur fabric of Sunan Kudus grave. They are elderly clerics, public leaders, people who had been registered as a committee, and all participants who have a contribution to the Buka Luwur event. All criteria have been identified by committee of YM3SK officials according to an agreement. Many people order to their family or their friends who got luwur fabric, although just in small in size, in order to obtain a Blessing of Sunan Kudus. A local belief has a conviction that luwur fabric can become a talisman for the owner. Ahmad Hadi (20 years old), a student around the Minaret mosque, believes that the small pieces of luwur fabric that wrapped in the plastic, and then put it in the cap could increase his confidence, and become easy in getting the knowledge/ learning. While Nur Hasanah (57 years old) believes that in the luwur fabric have a blessing from Sunan Kudus, a certain kind of power that cannot be reached by mind. Her vehicles that installed with luwur fabric until now had never fall or accident and never strike. Even some people who put the luwur fabric on the belt to immune their body. c. Sego jangkrik of Sunan Kudus The uniqueness in every Buka Luwur event is the time to distribute a sego jangkrik. The rice parcels that distributed in free of charge by the organizing committee believed to have a special efficacy fit what people believed. Thousands of people, both in Kudus city and outside of Kudus city, are flocking and willing to queue from early morning until noon in order to get a parcel of sego jangkrik. Recognition of Grobogan people, Fathonah (40 years old) had come over in the morning and the other residents just want to get the blessing of Sunan Kudus. She believes that the rice wrapper of Buka Luwur event will bring a blessing. She said, “Most of the rice will be eaten with the family, and the rest to neighbors who do not get the rice”.19 In the hereditary belief of Kudus people and its surrounding area, sego jangkrik are symbolized as public welfare. The rice is symbol of food welfare, and the teak leaves that used as wrappers are symbol of clothing welfare. If the distributed rice is precisely distribute to the public who come, certainly in the next year people will not be short of food. If the teak leavesis enough to create rice wrapper, certainly believed in the next year people will not lack of clothing.20 That’s why the Kudus society and its surrounding voluntarily contribute to the Buka Luwurtradition without an appeal for help from the committee or officials.

19 When met at the queue sidelines to get sego jangkrik on 06th of Desember 2011 20 According to Najib Hasan, the leader of YM3SK, Buka Luwur tradition by handing out the sego jangkrik has lasted hundreds years ago.

242 Muhammad Rikza Muqtada T he Functions of Buka Luwur Tradition In T he Grave of Sunan Kudus

Like as luwur fabrics, the blessing of sego jangkrikis believed by Kudus people and the other21 as an intermediary (wasilah) to cure the diseases, to bring a sustenance, to increase an intelligence of mind, as a form of tabarrukan to Sunan Kudus who known as waliyyu al-ilm, as a rice mixture at home, even as a rice mixture to be sold at the rice shop.22 According to the rice seller around the terminal travel of Minaret Kudus, rice sale rises after mixed with sego jangkrik. “I think there are still people who do not get sego jangkrik because of their delay or anything, so they decided to buy the rice around the Minaret of Kudus in order to get a blessing of Sunan Kudus (ngalap berkah)”.23 Likewise with Muthmainah experience.24 When his daughter was 8 years old ever sickly. It has been treated in many times medically also traditionally, but the signs of healing still not found. Starting from sawanen bledeg (lightning trauma), sawanen barongan (barongan trauma), and the other speculative opinions to response the illness. Her learning activities were disturbed, so she got a bad score. Nearly two months and coincides with a Sunan Kudus haul (Buka Luwur) event, the mother is following the queue to get sego jangkrik. After it, the rice was given to his daughter as she said and prayed “Nok, iki lho segone dimaem, kanti barokahe mbah Sunan Kudus mugi-mugi diparingi seger kwarasan saking Gusti Allah (Nok, eat this rice, with blessing of Sunan Kudus may be given a health by God)”. A few days later, the bodies become healthy. The heart confidence could change all things, by not forgetting to lean it to God. Usually after getting sego jangkrik, people eat the rice directly in hopes to secure their health. For Kasmirah (40 years oled), rice that has been obtained is dried until dry. The drying rice (in terms of Kudus society is sego aking) is soaked in water overnight. The soaking water had drunk by the sick person. The different treatment is done by Gimin (67 years old) which strike a delicate sego aking. Gimin mix the piece of sego aking into his rice supply. He hopes when the

21 Like as Pati, Demak, Jepara, Grobogan, even outside Central Java region such as Lamongan and Cirebon (survey on 12th of Desember 2011). 22 Annisa’s recognition, Lamongan people, at Kompas.com on 17th of Desember 2010. See on http://oase.kompas.com/read/2010/12/17/13372536/Warga.Antre.Nasi.Tradisi.Buka. Luwur accessed on 12th of January 2013. Susiyati, Sayung Demak people, believes that sego jangkrik have a blessing. The blessing that means by her is like as giving sustenance to family, healing the sick, and remainding people to the God. See on http://regional.kompas.com/read/2010/12/17/0935155/Kisah.Nasi.Jangkrik. di.Makam.Sunan.Kudus. Accessed on 06th of Januari 2013 Sugiatun, Undaan Kidul Kudus people, and Aminah (40 years old), Ngembalrejo Bae Kudus people, who admit participate annually to get sego jangkrik in order to ask a blessing for himself and his family because he believe that the rice has been prayed by the charismatic chaplain of Kudus. On 06th of Desember 2011. Autad’s statemnet, student of Islamic boarding school around Kudus city, who will make sego jangkrik for iftar menu on 10 Muharram in order to adding for blessing in his fast. Interviewed on 01st of Januari 2012. 23 chatting result with a few sellers of rice around the terminal travel of Sunan Kudus after the peak of Buka Luwur event. On 06th of Desember 2011 24 A 46 years old mother who live in Singocandi Kudus. On 07th of Desember 2011

Muhammad Rikza Muqtada 243 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya rice is cooked and eaten, his body will secured from various diseases. The unique is when sego jangkrik spread into paddy fields or plantations. Usually farmers spread the seeds to plant, and spread manure to fertilize their crops, but now the rice of sego jangkrik were spread in the field. Rice is not manure that scientifically used to fertilize crops or seeds that scientifically has become seedlings. However, public believe that sego jangkrik have a benefit and a remarkable blessing for their crops.25 Some people are willing to do anything to get sego jangkrik. By queue or buy from other people who are willing to sell their results of sego jangkrik. Even for those who really failed to get sego jangkrik may assume that their sustenance in this year become difficult, their plant are failure or their health are declined. That people fanaticism who already growing on as if they believe that there is magical powers in sego jangkrik. Similar event is going on in the other ancestors (danyang-danyang)26 grave, which exist in entire village in Kudus area. Uniquely, Buka Luwur of each ancestor held simultaneously in Shura/Muharram after Buka Luwur of Sunan Kudus. In practice, the distribution of sego jangkrik became the highlight of Buka Luwur series in each village. By the native, sego jangkrik that come from other ancestors also believed has a special blessing like sego jangkrik of Sunan Kudus.

2. The Social Function of Buka Luwur of Sunan Kudus Buka Luwur ritual is already a reality of public’s lives. Even for Kauman (the name of village that Kudus Minaret live in) people has become a liability. It is encouraging all citizens to engage in Buka Luwur ritual. There is discomfort for those who do not engage in Buka Luwur, so for maintaining order they also participated in this ritual. In addition to spirituality effect, this issue actually based on requirements for friendships establishing or social relationships with the other people. Buka Luwur is really an event, which has a ‘blessing’ aspect socially. The social dimension arising from Buka Luwur is togetherness and solidarity that is now rare. Buka Luwur event always involve hundreds of people without a command and without paid for with money. They were pleased with the results of the culinary dish that can be brought into home (sego jangkrik) as part of blessing search, and a piece of luwur fabric that always kept for personal use.27

25 Like as Iis Hidayati’s statement, Gondang Manis Bae Kudus people, that each had a sego jangkrikrice not only consumed, but also dried to be used as fertilizer for crop fertility. Also Umayah’s (45 years old) statement, Klumpit people, who believe that rice parcel from Buka Luwur will bring a blessing. “Most of the rice will be eaten, and the leftover for plant fertilizer”. See http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/09/12/27/98287- tradisi-buka-luwur-di-makam-sunan-kudus accessed on 12th of Januari 2013 26 The term to refer to public figures who live in village. It could be aWali or a pujangga (poet). 27 Nafsiyatul Luthfiyah, THE MYTHOLOGY OF “SEGO JANGKRIK” (The Case Study of Tradition Before Buka Luwur Sunan Kudus), Thesis, (Semarang; UIN Walisongo, 2013), p. 4

244 Muhammad Rikza Muqtada T he Functions of Buka Luwur Tradition In T he Grave of Sunan Kudus

The distribution of sego jangkrik to the public is a charity form that performed by donors through Buka Luwur event of Sunan Kudus. They feel equally seek blessings to Sunan Kudus, so they also shared a sense to others. Starting from religious students, traders, farmers, teachers, and priyayi (the gentry people) alike come to enjoy the sego jangkrik that believed to have efficacy. Involvement of Non-Muslim people who live around the center of event in contributing to the Buka luwur event is a form of religious tolerance, which already instilled by Sunan Kudus. One of ceremony’s purposes is to commemorate the greatness services of Sunan Kudus in spreading Islam in Kudus area that dominated by Hindu an Buddha followers at that time. The existence of sego jangkrik that do not use beef dishes is one of the legacies wisdom of Sunan Kudus in maintaining tolerance to Hindus people who live in Kudus city. That is one form of cultural adaptation ever made by Sunan Kudus. Sunan Kudus is a figure that is tolerant of differences. It has been demonstrated in addressing differences in public’s beliefs at that time. It means that everyone in interacting and doing activities that relate to others should not feel smart and want to win. In order to gain a success and sympathy from the public, someone must be able to promote a tolerance and mutual respect for each other. However, a tolerance and mutual respect just for the efforts of social interaction, not to those associated with sharia. Through tolerance approach and mutual respect, so the beliefs of Muslims would get a sympathy and empathy from the public.

3. The Economical Function of Buka Luwur of Sunan Kudus In Buka Luwur event, non-Muslims also believed that Sunan Kudus has brought fortune to their business. They compete well in doing business around the Kudus Minaret without any harassment, so that they feel have to contribute in Buka Luwur event of Sunan Kudus by giving a material donation. An active role in contributing is a form of their effort to create balance in social interaction, where they are a minority in contact with the Muslim majority. Sometimes, the parcel of sego jangkrik was obtained by people who lined up for is sold to people who are lazy to queue. They sell the sego jangkrik for 5.000 to 20.0000 in rupiah. Then the sellers usually do queue again to get sego jangkrik then sell it again for the second time to those who need sego jangkrik. They do this kind of activity repeatedly during still strong to queue up with the aim to increase their income or their allowance. Nevertheless, they are still leaving a pack of sego jangkrik for him in order to get the blessing of Sunan Kudus. Buka Luwur is a unique tradition that held by Kudus society annually. Therefore, many domestic and foreign tourists are interest just to see or even participate in Buka Luwur ceremony. Automatically provoke a lot of traders, both snacks traders, toy merchants, or others, to offer his goods to the visitors. In addition, many transportation provider services that facilitate the access of

Muhammad Rikza Muqtada 245 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya tourists to Buka Luwur location, ranging from carriage, rickshaw, and taxi bike until public transportation. Usually, the donors of Buka Luwur event are a successful trader in the Kudus city. They believe that by alms to Buka Luwur of Sunan Kudus their efforts are going more smoothly and rapidly. For them, the charities are not reducing the wealth, but it will facilitate their sustenance in trade circulation. Thus, the expected blessing is the smoothness of their economic activities.

E. Conclusion

Buka Luwur tradition and sego jangkrik provide a unique religious experience to people of Kudus and its surrounding area. They feel able to seek blessings and intercession from Sunan Kudus through charity, which distributed to the public. Its procession give strong impacts to the people of Kudus, both in social aspect like as mutual assistance with others, tolerance, feel same (not arrogant) and realize the harmony both intern also interreligious communities around Kudus city. In economical aspect, people of Kudus feel that by charity can add sustenance instead, proven with economical activities in Kudus is always increasing. In psychical aspect, people of Kudus believe that with wasilah (intermediary) to Sunan Kudus the God will give them a health beyond human ability.

Bibliography

Budiyanto, Ary Maesah Anggni, Buka Luwur Kangjeng Sunan Kudus Karomah Penuh Barakah, Kudus: Yayasan Masjid Menara dan Makam sunan Kudus, 2013 Fuadi, Akhlish, Upacara Buka Luwur Makam Sunan Kudus Di Kabupaten Kudus, paper research at email: [email protected]. Indrahti, Sri, Kudus dan Islam: Nilai-nilai Budaya Lokal dan Industri Wisata Ziarah, Semarang: CV. Madina, 2012 Kuntowijoyo, Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1999 Luthfiyah, Nafsiyatul,The Mythology of “Sego Jangkrik” (The Case Study of Tradition Before Buka Luwur Sunan Kudus), Semarang: Thesis of UIN Walisongo, 2013 Manners, Robert and D. Kaplan, Teori Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002 Matulada, “Studi Islam Kontemporer, Sintesa Pendekatan Sosiologi dan Antro­ pologi Dalam Menghadapi Fenomena Keagamaan”, in Taufiq Abdullah and M. Rusli Karim (ed), Metodologi Penelitian Agama : Suatu Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989 Al-Qurtuby, Sumanto, “Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa Pra-Kolonial Belanda”, e-Journal Elsaonline, in http://jurnal.elsaonline.

246 Muhammad Rikza Muqtada T he Functions of Buka Luwur Tradition In T he Grave of Sunan Kudus

com/?p=97, accessed on 15th of February 2017 Said, Nur, Jejak Perjuangan Sunan Kudus dalam Membangun Karakter Bangsa, Bandung: Brilian Media Utama, 2010 Salam, Solichin, Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam, Kudus: Menara, 1977.

Internet Sources: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusanta­ ­ ra/09/12/27/98287-tra­disi-buka-luwur-di-makam-sunan-kudus accessed on 12th of januari 2013 http://oase.kompas.com/read/2010/12/17/13372536/Warga.Antre.Nasi. Tradisi.Buka.Luwur accessed on 12th of Januari 2013 http://regional.kompas.com/read/2010/12/17/0935155/Kisah.Nasi.Jangkrik. di.Makam.Sunan.Kudus accessed on 12th of Januari 2013

Respondents: Ahmad Hadi, interviewed on 23 Oktober 2015 Aminah (40 years old), Ngembalrejo Kudus people, interviewed on 06th of Desember 2011 Aminuddin Mawardi, Padurenan Kudus people, interviewed at Friday on 9th of Desember 2011 Em Nadjib Hasan, the leader of YM3SK, in his speech for the peak of Buka Luwurof Sunan Kudus, on 10th ofMuharram 1423 / 06th of Desember 2011 Faishol Arijudin, the teacher of MTs NU TBS Kudus, Panjang Bae Kudus people, interviewed on 01st of Januari 2012 Fathonah, interviewed on 06th of Desember 2011 Iis Hidayati, Gondang Manis people, interviewed on 06th of Desember 2011 Kasmirah, interviewed on 23th of Oktober 2015 M. Nafis Ilmi, Kwanaran Kudus people, the teacher of MTs NU TBS Kudus, interviewed on 29th of Desember 2011 Mbah Gimin, interviewed on 23th of Oktober 2015 Muthmainnah (46 years old), Singocandi Kudus people, interviewed on 07th of Desember 2011 Nur Hasanah, interviewed on 23th of Oktober 2015 Sugiatun, Undaan Kidul Kudus people, interviewed on 06th of Desember 2011

Muhammad Rikza Muqtada 247

MAKNA TERSIRAT DALAM TEKA-TEKI MELAYU

Hamsiah Juki* dan Che Ibrahim Salleh Jabatan Bahasa Melayu, Fakulti Bahasa Moden dan Komunikasi, Universiti Putra Malaysia, 43400UPM, Serdang, Selangor, Malaysia Email:[email protected] & [email protected]

Abstrak

Fenomena orang Melayu suka bertutur secara tersirat merupakan salah satu seni berbahasa dari dulu hingga kini. Fenomena ini juga tergambar dalam ujaran teka-teki Melayu. Teka-teki ialah salah satu genre sastera rakyat yang bertujuan menguji kecerdasan minda berdasarkan petunjuk tertentu, yakni kata, frasa dan ayat dalam ujaran teka-teki itu sendiri. Kajian ini akan meninjau, adakah makna tersirat dalam teka-teki Melayu lahir daripada faktor leksikal, ayat atau konteks ujaran. Ini demikian kerana darjah kefahaman pendengar terhadap mesej tersirat dalam teka-teki berbeza, dan pemprosesan maklumat juga tidak sama. Kaedah penyelidikan yang digunakan dalam kajian ini berbentuk kualitatif. Bahan diperoleh daripada kajian kepustakaan dan temu bual dengan responden. Sebanyak 20 teka-teki bahasa Melayu dipilih sebagai data kajian. Semua data ini dianalisis berasaskan Teori Relevans. Dapatan kajian menunjukkan bahawa makna tersirat dalam teka-teki Melayu kebanyakannya terhasil daripada faktor leksikal, ayat dan konteks ujaran yang mencorakkan budaya warisan Melayu berdasarkan kosa ilmu yang terkandung di dalamnya.

Kata kunci: makna tersirat, teka-teki Melayu, kata, frasa, ayat, konteks ujaran

Abstract

The phenomenon of speaking with implicit meanings is an art of speaking that has been practised since the olden days amongst the Malays. This phenomenon is reflected in complex play of words in Malay riddles, which are a genre of folk literature that aims to test the mind’s capability to decipher the meaning conveyed by the riddles based on certain indicators, such as words, phrases and sentence contained in the riddles. This study aims to examine whether the implicit meanings suggested in Malay riddles are derived from the lexical, sentential, or speech context. This is related to the differences in the listeners’ level

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 249 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya

of comprehension and information processing of the implicit meaning conveyed by the riddles. This study employed a qualitative research method. The data of the study were obtained from library research and interviews. In total, 20 Malay riddles were selected as the data of the study, which were analysed based on the Relevance Theory. The findings of the study showed that the implicit meanings of the Malay riddles were mainly derived from the Malay lexical, sentential and speech contexts, which shape the heritage of the Malay culture based on the vocabulary that constitute the riddles.

Keywords: implicit meaning, Malay riddle, word, phrase, sentence, utterance context

Pengenalan

iat lain buat lain. Begitulah bunyinya satu ujaran teka-teki Melayu Nyang bersifat keagamaan dalam satu majlis ilmu yang pernah kami hadiri pada satu ketika dahulu. Walaupun tujuan guru agama berkenaan memberikan teka-teki itu hanya sebagai selingan untuk menghilangkan rasa jemu dan mengantuk dalam kalangan hadirin, namun ternyata teka-teki tersebut mempunyai makna tersirat atau makna tersembunyi yang sukar difahami. Teka teki ialah salah satu jenis sastera lisan dalam pelbagai suku bangsa yang berisi persoalan, baik yang serius mahupun main-main, yang harus diterka (Suhendra Yusuf,1995: 290). Untuk menghuraikan persoalan makna dalam teka-teki tersebut, pendengar perlu bijak atau panjang akal selain mempunyai pengetahuan agama yang mendalam untuk jawapan. Ini demikian kerana bahasa pada hakikatnya ialah proses penzahiran, iaitu daripada sesuatu yang ada pada tahap fikiran melimpah keluar dan lahir dalam bentuk zahirnya apabila diungkapkan melalui perkataan dan ayat (Rozita Che Rodi dan Hashim Musa, 2014:268). Di sinilah peranan kognitif sangat penting dalam meneka dan memproses makna kerana melibatkan aktiviti minda. Bermula daripada majlis ilmu itulah, kami berminat untuk mengkaji teka-teki bahasa Melayu yang selalunya mengandungi ujaran yang indah lagi tersirat maknanya. Makna tersirat merujuk kepada makna yang tidak berasaskan makna sebenar atau bukan makna biasa bagi kata-kata yang diujarkan. Perkara ini jelas kelihatan dalam teka-teki basahan, iaitu salah satu daripada tiga kelompok besar teka-teki bahasa Melayu yang akan digunakan atau menjadi data dalam kajian ini. Teka-teki basahan tersebut terdiri daripada teka-teki bersifat kiasan, teka-teki simpulan bahasa, teka-teki mempunyai bentuk pertentangan, teka-teki seakan-akan lucah dan teka-teki yang benar-benar lucah. Kelima-lima jenis teka- teki basahan inilah yang mendukung makna tersirat yang berbeza-beza seperti makna kiasan, makna tersirat dan makna tersirat jauh. Lihat jadual 1 yang berikut:

250 Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh Makna Tersirat dalam Teka-Teki Melayu

Teka-Teki Basahan Melayu No Jenis Teka-Teki Contoh 1 teka-teki kiasan Ayam putih lompat pagar 2 teka-teki simpulan bahasa Buah apa hanya untuk didengar, bukan untuk dimakan. 3 teka-teki pertentangan Dia yang keluar dahulu tetapi dia yang lepas ke bawah. 4 teka-teki seakan-akan lucah Tutup pintu, tutup lampu, buka kain, terus main 5 teka-teki lucah Apa bezanya antara basikal baru dengan pengantin baharu? (Inon Shaharuddin Abdul Rahman (1988) Jadual 1: Teka-teki Basahan Bahasa Melayu

Seterusnya, pembahagian makna tersirat dalam teka-teki Melayu boleh dibahagikan pula kepada dua bahagian seperti yang tertera dalam jadual di bawah ini: Makna Tersirat dalam Teka-Teki Melayu No Tersirat tersirat jauh 1 teka-teki kiasan teka-teki seakan-akan lucah 2 teka-teki simpulan bahasa teka-teki lucah 3 teka-teki pertentangan

Jadual 2: Klasifikasi Makna Tersirat dalam Teka-Teki Melayu

Dalam jadual 2 di atas, tersirat di sini membawa maksud makna yang mempunyai makna lain. Dengan kata mudah, apa-apa yang dimaksudkan tidak selari dengan apa-apa yang disampaikan. Makna tersirat memerlukan pentafsiran yang lebih lanjut. Makna tersirat jauh pula merujuk kepada makna yang memerlukan penelitian, pemerhatian dan renungan lebih mendalam terhadap ujaran penutur. Oleh sebab darjah pemahaman pendengar berbeza, pendengar perlu mengamati petunjuk pada pembayang teka-teki dalam menginterprestasikan makna ujaran sebenar, lebih-lebih lagi jika pendengar belum lagi berumah tangga. Hal ini kerana teka-teki yang membawa makna tersirat jauh terkandung dalam teka- teki seakan-akan lucah dan teka-teki lucah. Teka-teki bersifat kiasan mempunyai makna tersirat. Pendengar perlu memberikan jawapan yang sama sekali tidak ada kena mengena dengan pelukisan yang terdapat dalam soalannya. Teka-teki simpulan bahasa juga mengandungi makna tersirat. Bentuknya seakan-akan sama dengan teka-teki kiasan. Hanya teka-teki bersifat kiasan objeknya lebih umum dan luas, sedangkan teka-teki simpulan bahasa khusus berkaitan dengan simpulan bahasa. Manakala teka-teki mempunyai bentuk pertentangan juga membawa makna tersirat yang mempunyai sekurang-kurangnya sepasang frasa

Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh 251 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya pembayang yang saling bertentangan sifatnya. Teka-teki seakan-akan lucah pula mendukung makna tersirat jauh, walaupun jika sekilas pandang ia jelas berbau seks, namun, pada hakikatnya tidak. Unsur seks inilah yang menjadi daya tarikan terhadap teka-teki ini. Begitu juga dengan teka-teki yang benar-benar lucah turut membawa makna tersirat jauh, walaupun petunjuk dalam pembayangnya tiada unsur lucah, namun, perkara yang hendak diajukan itu sedemikian lucah sifatnya. Sudah menjadi tabii kebanyakan orang menyukai apa-apa sahaja topik berbau seks, termasuklah dalam teka-teki seakan-akan lucah dan benar-benar lucah.

Objektif Objektif kajian ini ialah: 1. mengenal pasti faktor yang menentukan kerelevanan ujaran teka-teki Melayu 2. menghuraikan kesan konteks dan kos memproses maklumat ujaran yang terdapat dalam teka-teki bahasa Melayu 3. menjelaskan makna tersirat dari sudut semantik.

Kepentingan Kajian

Teka-teki merupakan sebahagian daripada sastera lisan yang popular dan sangat digemari oleh orang ramai di mana-mana sahaja, terutama dalam kalangan kanak-kanak.Tidak ramai pengkaji yang mengkaji perkara yang berkait dengan teka-teki. Fenomena ini mendorong kami untuk mengkaji teka-teki dari sudut makna tersirat yang terdapat dalam teka-teki tersebut. Hasil temu bual kami dengan beberapa orang informan mendapati bahawa teka-teki semakin pudar peranannya, terutama dalam dunia moden tanpa sempadan ini. Generasi muda sekarang lebih berminat untuk mendapat hiburan daripada telefon pintar yang mereka miliki. Kajian ini diharapkan dapat membuka semula kegemilangan teta- teki agar tidak terus pudar ditelan zaman.

Kaedah dan Teori

Kaedah yang digunakan ialah kaedah temu bual, kepustakaan dan penganalisisan 20 teka-teki Melayu yang dipilih dengan mengkaji aspek makna tersirat yang terdapat dalam teka-teki tersebut. Penganalisisan ini berasaskan Teori Relevans. Teori ini diasaskan oleh Dan Sperber dan Diedre Wilson (1986) yang memfokuskan bagaimana persoalan untuk mentafsirkan makna yang terangkum dalam bidang semantik dan pragmatik dapat dileraikan dan melihat sejauhmana relevannya sesuatu ujaran dalam konteks tetentu. Teori ini menekankan tiga konsep utama, iaitu konteks, kesan konteks dan kos memproses. Ketiga-tiga komponen ini perlu bergabung agar setiap mesej yang

252 Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh Makna Tersirat dalam Teka-Teki Melayu hendak disampaikan mencapai tahap yang relevan. Menurut teori ini, semakin banyak kesan konteks yang diperoleh, semakin relevan sesuatu ujaran. Di samping itu, jika kos memproses maklumat semakin rendah, sesuatu ujaran itu juga menjadi semakin relevan. Dalam konteks kajian ini, ujaran dalam teka- teki Melayu mengandungi makna harfiah. Segala yang diperkatakan, terutama yang berkait dengan teka-teki seakan-akan lucah dan teka-teki yang benar-benar lucah mempunyai makna tersirat jauh, dan memerlukan pentafsiran yang lebih mendalam.Teori ini menggariskan kerelevanan sesuatu ujaran bergantung pada kesan konteks yang tinggi dan kos memproses maklumat yang rendah.

Dapatan Kajian

Teka-Teki dari Aspek Makna Tersirat Makna Kiasan Kiasan didefinisikan sebagai gaya bahasa yang mengasosiasikan atau memperbandingkan suatu kata dengan kata yang lain berdasarkan kaitan makna atau penggambaran antara kedua-duanya sehingga lebih memperluas makna yang mungkin diungkapkan (Suhendra Yusuf, 1995: 147). Selain itu, kiasan juga bermaksud perkataan yang tidak merujuk kepada perkara sebenar dan digunakan sebagai ibarat. Contohnya:

Lukah Tok Guru sudah mengena. Contoh teka-teki di atas mengandungi makna berlapis, iaitu makna tersurat berbeza dengan makna yang tersirat. Dari segi makna tersurat, lukah ialah sejenis alat untuk menangkap ikan (seperti bubu) yang dipasang dalam air yang tidak berapa dalam. Dalam konteks ini, lukah kepunyaan Tok Guru yang diletakkan dalam sungai telah dimasuki ikan. Manakala makna tersirat pula ialah segala pujuk rayu atau komunikasi antara Tok Guru dengan seseorang untuk mendapatkan sesuatu telah berhasil atau berjaya seperti yang dihajatinya.

Makna Leksikal Teo Kok Seong (1999: 40) menjelaskan bahawa makna leksikal ialah makna sesuatu perkataan, frasa, ayat atau wacana seperti terdapat dalam kamus. Per­ hatikan contoh ayat yang berikut: (1) Semua mentera dan jampinya tawar belaka. (2) Sebelum membeli sesuatu barang, hendaklah kita tawar dahulu harganya.

Dalam contoh yang diberikan, tawar membawa maksud leksikal ubat yang tidak mujarab, tidak manjur (tentang guna-guna, mentera) atau hilang daya kekuatan tentang bisa, racun dan lain-lain. Manakala dalam contoh ( 2 ), kata tawar mempunyai makna leksikal ialah negosiasi yang terjadi dalam transaksi

Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh 253 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya jual beli, iaitu meminta dikurangkan harga atau menyebut harga yang mampu dibayar daripada harga yang ditetapkan oleh penjual.

Makna Tersirat Makna tersirat ialah makna implisit yang mempunyai dwierti atau makna lain daripada makna yang sebenar. Contoh:

(3) Dilap dahulu baru diletak di atas batang, baru sedap mata memandang. (Inon Shaharuddin Abdul Rahman, 1988:2 ) Makna tersirat dalam teka-teki (3) adalah tentang pemakaian cermin mata. Bermula dengan mengelap pada cermin mata, kemudian baru dipakai dengan meletakkan cermin mata di atas batang hidung. Dengan ini, penglihatan akan menjadi lebih jelas dan terang. Kata sedap bermaksud enak (nyaman atau senang) tentang perasaan selesa atau sempurna membuat sebarang kerja seperti membaca, menulis, memandu, dan sebagainya lagi.

Makna Tersirat Jauh Makna tersirat jauh merujuk kepada makna yang tidak terjangkau dan tidak terfikir oleh pendengar akan makna sebenarnya yang ingin disampaikan oleh penutur kepada pendengar. Makna tersirat jauh terdapat pada teka-teki seakan-akan lucah dan teka-teki benar-benar lucah. Bagi teka-teki seakan-akan lucah, ujarannya memang lucah tetapi tidak mendukung makna lucah. Lihat contoh di bawah:

(4) Selak dapat tak selak tak dapat. Sekilas pandang, teka-teki dalam contoh (4) di atas berbau lucah, namun pada hakikatnya tidak demikian. Makna tersirat jauh bagi teka-teki di atas ialah membaca buku. Kata selak merujuk kepada membuka, iaitu membelek halaman demi halaman pada buku semasa membaca. Secara logiknya, jika rajin membelek buku yang bercorak ilmiah, nescaya seseorang itu akan dapat menambahkan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, jika malas membelek buku, pengetahuan tidak bertambah atau mungkin tidak mendapat pengetahuan langsung.

Makna Konotasi Makna konotasi ialah makna yang tersirat, bukan literal atau tersurat dan dirujuk oleh penutur dalam satu-satu konteks. Makna ini memberikan kesan emosi kepada pembaca dan pendengar (Nathesan, 1997:163 ). Teka-teki yang dikaji mengikut jenis yang telah dinyatakan, iaitu teka- teki bersifat kiasan, teka-teki simpulan bahasa, teka-teki mempunyai bentuk pertentangan, teka-teki seakan-akan lucah dan teka-teki yang benar lucah.

254 Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh Makna Tersirat dalam Teka-Teki Melayu

Teka-Teki dari Aspek Semantik dan Pragmatik. Teka-Teki Bersifat Kiasan Teka-teki bersifat kiasan memerlukan jawapan yang sama sekali tidak ada kena mengena dengan pelukisan yang terdapat dalam soalannya. Dengan kata lain, teka-teki ini mengandungi makna tersirat dan pendengar perlu mempunyai pengetahuan ensiklopedia dan maklumat yang relevan terhadap penggunaan kata yang dikiaskan kepada objek yang menjadi kiasan. Lazimnya, teka-teki ini terdiri daripada empat hingga lapan perkataan. Bagi tujuan kajian ini, kami memilih teka-teki bersifat kiasan yang mengandungi empat perkataan sahaja sebagai data kajian kerana makna tersirat wujud pada keseluruhan empat perkataan. Antara contoh teka-teki bersifat kiasan ialah:

(5): Badan di atas nyawa di bawah (wau) Berdasarkan contoh di atas, pendengar akan membina konteks melalui kepercayaan terhadap pemikiran penutur. Pendengar percaya bahawa dalam pemikiran penutur juga menetapkan tiada makhluk di atas bumi ini yang boleh dipisahkan nyawa daripada badan, kecuali dengan ketentuan Allah. Hasilnya, makna tersirat di sini ialah FN badan di atas dikiaskan kepada pergerakan wau yang terbang tinggi di udara. Manakala FN nyawa di bawah dikiaskan kepada kawalan tali oleh pemain wau. Jika tali wau terputus atau terlucut daripada tangan pemain wau, bererti wau akan jatuh menjunam yang diistilahkan sebagai mati kerana nyawa, iaitu tali telah terlepas.

(6): Bunga di hujung, buah di batang Meneliti data di atas, pendengar membina konteks melalui apa-apa sahaja yang berada di sekeliling. Pendengar boleh mengaitkan peristiwa dengan pengalaman sendiri atau apa-apa sahaja yang berlaku di sekitar manusia. Dalam konteks buah, terdapat banyak jenis buah-buahan tempatan seperti durian, cempedak, nangka, langsat dan lain lagi. Semua buah ini berbeza tempat berbunga dan berbuah. Umpamanya, bagi buah yang besar seperti buah durian, cempedak dan nangka berbunga dan berbuah di dahan atau di batang. Namun, buah langsat dan buah rambai yang bersaiz kecil didapati berbunga dan berbuah di batang sahaja. Manakala, buah saiz kecil seperti buah rambutan, ciku, manggis, belimbing besi dan segala jenis jambu mengeluarkan bunga dan berbuah di tangkai.

(7): Helikopter di tengah rumah Berdasarkan teori relevans, pendengar akan membina konteks melalui persekitaran fizikal yang sedia ada di sekeliling mereka. Dari aspek semantik leksikal, helikopter ialah sejenis pengangkutan udara yang berenjin dan mem­pu­ nyai kipas. Apabila enjin dihidupkan, kipas berpusing ligat serta mengeluarkan bunyi yang sangat bising. Langkah berikutnya menunjukkan bahawa pendengar

Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh 255 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya akan dapat membina kesan konteks melalui proses pengabungan, iaitu maklumat lama. Helikopter yang berenjin dan berkipas digabungkan dengan maklumat baharu, iaitu helikopter di tengah rumah. Dalam konteks perbezaan ini jelas menunjukkan bahawa helikopter di tengah rumah ialah maklumat baharu dan diandaikan tidak bergerak di udara. Sekiranya tidak mempunyai enjin dan bergerak di tengah rumah, maka jelaslah jawapannya ialah kipas. Kipas bagi helikopter tengah rumah mempunyai fungsi yang sama dengan helikopter, hanya helikopter ini tidak terbang di udara. Kipas juga boleh berpusing ligat dan mengeluarkan bunyi.

(8): Gajah putih di tengah rumah Konteks dibina berdasarkan apa-apa sahaja yang ada di sekeliling pen­ dengar. Gajah merupakan binatang liar yang jenis mamalia serta mempunyai tubuh badan yang besar. Untuk mendapatkan kesan konteks, mula-mula pendengar akan menggabungkan maklumat baharu gajah putih di tengah rumah dengan satu simpulan bahasa gajah putih yang membawa maksud projek mewah sama ada bangunan, kediaman atau pejabat, dan sebagainya yang telah siap binaannya, tetapi tidak digunakan kerana ada sedikit masalah yang tidak dapat dielakkan. Kata nama gajah juga memberikan kesan konteks yang positif kerana ia juga dapat dijinakkan dan menjadi binatang yang sering muncul dalam pertunjukan sarkas dan juga menjadi binatang pengangkutan utama pada zaman dahulu, terutama di Thailand. Konteks ini tidak mengaitkannya dengan simpulan bahasa tersebut, sebaliknya bagaimana gajah boleh berada di tengah rumah. Hasilnya, makna tersirat yang terkandung dalam data tersebut ialah kelambu, iaitu objek yang dikiaskan dengan gajah putih kerana mempunyai persamaan dari segi warna dan saiz. Kebiasaannya kelambu besar ini berwarna putih. Maksud saiz di sini merujuk kepada kelambu besar saiz kelamin. Kelambu besar diletakkan di tengah rumah kerana ia memakan ruang dan kurang sesuai diletakkan di tengah rumah. Ujaran ini dianggap relevans kerana mempunyai kesan konteks yang banyak serta kos memproses yang sedikit atau rendah. Mengikut teori relevans, semakin banyak kesan konteks, semakin relevans sesuatu ujaran tersebut.

Teka-Teki Simpulan Bahasa Bentuk teka-teki simpulan bahasa seakan-akan sama dengan teka-teki bersifat kiasan. Hanya yang membezakan antara kedua-duanya ialah teka-teki bentuk kiasan mempunyai objek yang kelihatan lebih umum dan luas, sedangkan teka-teki simpulan bahasa khusus berkait dengan simpulan bahasa. Contoh teka-teki simpulan bahasa ialah (8) Buah apa hanya untuk didengar, bukan untuk dimakan? (buah mulut) (9) Jatuh apa rasanya sedap? (jatuh cinta) (10) Ulat apakah yang paling bijak di dunia? (ulat buku) (11) Semakin kuat, semakin mudah terlepas (ikat jamin)

256 Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh Makna Tersirat dalam Teka-Teki Melayu

(8): Buah apa hanya untuk didengar, bukan untuk dimakan? Berdasarkan teori relevans dan data di atas, pendengar akan dapat mem­ bina konteks melalui pengetahuan sedia ada di sekeliling mereka. Dari segi logik akal, semua buah-buahan yang melalui proses tanaman boleh dimakan, kecuali yang diklasifikasikan tidak boleh dimakan seperti buah kulim, buah larah, buah kermau, buah kemuning, buah kemunting dan lain lagi kerana dibim­ bangi mengandungi racun. Selain itu, terdapat penggunaan kata buah yang menunjukkan komponen anggota badan seperti buah tangan, buah mulut, buah zakar dan buah dada (payu dara). Semua maklumat yang digabungkan itu diproses untuk menginter­ prestasikan makna sebenar ujaran dalam data yang dalam teori Relevans disebut kos memproses. Kos memproses ini akan mengandaikan bahawa buah yang tidak boleh dimakan tentulah bukan daripada jenis buah yang ditanam pokok­nya seperti buah yang terdapat pada anggota badan manusia atau, memang buah daripada pokok yang ditanam, tetapi tidak boleh dimakan kerana kemudaratannya, atau diambil sempena nama buah yang digunakan dalam simpulan bahasa. Hasilnya, didapati bahawa makna tersirat bagi data di atas dikaitkan dengan kata buah-buahan dalam simpulan bahasa, iaitu sama ada buah mulut atau buah tangan.

(9): Jatuh apa rasanya sedap? Bagi data di atas, pendengar membina konteks melalui peristiwa. Pendengar boleh mengaitkan peristiwa pengalaman yang ditempuhinya dengan persekitaran di sekeliling. Dalam konteks jatuh, kemalangan ini boleh berlaku di mana-mana dan pada bila-bila masa seperti jatuh tangga, jatuh buaian, jatuh bumbung, jatuh motor, jatuh basikal, dan sebagainya. Akibat daripada jatuh ialah kesan yang ditinggalkan, sama ada jangka panjang atau jangka pendek. Kesan jangka pendek ialah seperti kecederaan ringan, patah dan seliuh, manakala kesan jangka panjang, mungkin akan lumpuh dan cacat seumur hidup. Konteks yang sedia ada, jatuh rasa sakit berbeza dengan jatuh rasa sedap. Jatuh rasa sakit kerana maklumat lama merupakan andaian yang lemah dan berlaku pertentangan dengan jatuh rasa sedap yang dianggap relevan untuk membina konteks dengan andaian bahawa ada satu kemalangan yang akibat jatuh itu tidak mengalami rasa kesakitan. Hasilnya, makna tersirat yang terdapat dalam ujaran ialah simpulan bahasa jatuh cinta, iaitu simpulan bahasa yang diketahui ramai bermaksud pasangan lelaki dan perempuan yang saling mencintai. Kata sedap membawa maksud seronok dan leka akibat jatuh cinta.

(10): Ulat apakah yang paling bijak di dunia?

Berdasarkan data yang diberikan, konteks dikembangkan oleh pendengar melalui ensiklopedia. Kita tahu bahasa bulat ialah sejenis binatang yang kecil yang kebiasaannya lembut dan banyak kakinya serta lama kelamaan menjadi

Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh 257 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya kepompong, dan akhirnya akan menjadi kupu-kupu. Kita juga mengetahui bahawa binatang yang cerdik ialah ikan lumba-lumba, sang kancil dan binatang buas yang dijinakkan seperti harimau, singa, gajah, dan sebagainya, namun pendengar menggabungkan maklumat lama, iaitu ulat tidak bijak dan maklumat baharu, iaitu ulat paling bijak untuk mendapatkan kesan konteks yang lebih berkesan. Frasa ayat ulat sebagai binatang bijak merupakan maklumat baharu pendengar untuk digandingkan dengan maklumat lama, iaitu ulat tidak bijak seperti dihuraikan dalam konteks di atas. Kedua-dua ini merupakan peringkat memproses maklumat untuk mendapatkan pengintepretasian makna sebenar ujaran. Dalam kos memproses maklumat, pendengar akan menetapkan andaian bahawa manusia menjadi bijak, pandai, cerdik atau pintar adalah atas titik peluh sendiri dengan belajar bersungguh-sungguh. Akan tetapi ulat sejenis bintang yang tidak berakal dan frasa nama ulat seolah-olah ulatlah yang mendampingi buku tetapi hakikatnya adalah tidak. Hasilnya, makna tersirat bagi teka-teki dalam data ini ialah simpulan bahasa ulat buku yang menunjukkan maksud seseorang yang sentiasa mendampingi buku dengan tidak mempedulikan orang lain di sekelilingnya.

(11): Semakin kuat diikat,semakin mudah terlepas? Dalam data yang dinyatakan di atas, konteks diperoleh oleh pendengar melalui faktor peristiwa yang kemudiannya dirujuk pula kepada apa-apa sahaja yang berlaku di sekitar manusia. Jika mengikut logik akal, sesuatu barang atau benda yang telah diikat dengan kemas seperti plastik, guni berisi barang, kayu, papan, kerusi, buah, meja, dan sebagainya apabila diikat adalah sangat payah untuk dilepaskan. Oleh sebab konteks yang sedia ada, iaitu semakin kuat diikat, semakin sukar terlepas, berbeda dengan konteks maklumat baharu yang diberikan kerana ia dianggap andaian yang lemah dan berlaku pertentangan maklumat. Pendengar akan menilai maklumat baharu, iaitu semakin kuat diikat, semakin mudah terlepas yang dianggap relevans untuk membina kesan konteks dengan andaian bahawa setiap ikatan yang kemas dan kuat tidak bererti tidak boleh terlepas atau belum pasti terjamin selamat. Hasilnya, makna tersirat dalam data tersebut ialah simpulan bahasa ikat jamin yang membawa maksud membayar sejumlah wang untuk membebaskan seseorang penjenayah yang telah dihadapkan di mahkamah atas tuduhan jenayah. Frasa ayat semakin kuat diikat merujuk kepada seseorang penjamin telah membayar wang jaminan yang telah ditetapkan oleh mahkamah untuk membebaskan tertuduh sementara menunggu kes perbicaraan dijalankan. Manakala, frasa semakin mudah terlepas mempunyai maksud tersirat penjenayah masih boleh bergerak bebas pergi ke mana-mana walaupun menghadapi tuduhan jenayah di mahkamah.

258 Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh Makna Tersirat dalam Teka-Teki Melayu

Teka-Teki Mempunyai Bentuk Pertentangan Unsur pertentangan banyak digunakan dalam teka-teki untuk meman­ tap­kan bentuk soalan dari segi kejelasannya. Unsur pertentangan yang dimak­ sudkan ini ialah pertentangan antara dua pembayang atau objek yang menjadi pelukisan dalam soalan teka-teki tersebut. Teka-teki jenis ini mempunyai sekurang-kurangnya sepasang frasa pembayang yang saling bertentangan sifatnya. Kedua-dua frasa pembayang itu dipisahkan oleh perkataan tetapi. Contoh teka-teki yang mempunyai bentuk pertentangan: (12) Dia yang keluar dahulu tetapi dia lepas ke bawah. (jantung pisang) (13) Bunyi di bawah tetapi cari di atas. (bumbung tiris) (14) Pokok di darat tetapi isi dalam air. (buah kelapa) (15) Jika lupa bawa, jika ingat tinggal. (kemuncup) (Inon Shaharuddin Abdul Rahman, (1988)

(12): Dia yang keluar dahulu tetapi dia lepas ke bawah. Berdasarkan teka-teki di atas, pendengar akan membawa konteks melalui faktor kepercayaan dalam pemikiran penutur. Seterusnya, boleh dikembangkan menerusi amalan budaya di sekeliling kita. Dari segi kepercayaan dan budaya, apa-apa sahaja yang keluar atau pergi dahulu, sudah pasti akan tiba awal. Umpamanya, dalam acara olahraga seperti lari 100 meter, pelari yang memecut laju ke depan sekali akan memenangi acara tersebut. Seterusnya, pendengar akan melakukan proses pengabungan untuk membina kesan konteks. Maklumat sedia : keluar dulu sampai dulu dan maklumat baharu: keluar dulu tetapi lepas ke bawah atau sampai kemudian akan digabungkan untuk mendapatkan kesan konteks yang berkesan. Melalui pengabungan ini, kita dapat menyimpulkan bahawa apa yang dihuraikan dalam kedua-dua maklumat baharu dan maklumat sedia tersebut telah sekian lama wujud. Lebih-lebih lagi huraian dalam data di atas merupakan sesuatu yang pada anggapan kita mustahil berlaku, tetapi sememangnya telah berlaku antara FK keluar dahulu dengan FK lepas ke bawah. Pada hal, fenomena ini telah lama wujud dan dipilih sebagai data kajian. Hasilnya, makna tersirat bagi data di atas ialah proses pokok pisang mengeluarkan buah. Jawapan tersirat merujuk kepada jantung pisang. Walaupun jantung pisang yang terbit dahulu, akan tetapi jantung pisanglah juga yang lepas ke bawah setelah proses buah pisang terjadi.

(13): Bunyi di bawah tetapi cari di atas. Konteks bagi data di atas dibina daripada persekitaran fizikal pendengar yang kemudiannya dikembangkan melalui apa-apa sahaja yang berlaku di sekitar manusia. Dari segi konteks pengalaman, mencari sesuatu barang yang hilang sudah tentulah berhampiran dengan tempat barang tersebut hilang. Konteks ini berbeza dengan konteks dalam ujaran yang secara prinsipnya bertentangan, yang membawa maksud hilang di tempat lain tetapi mencari di tempat lain. Oleh

Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh 259 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya yang demikian, dalam konteks pendengar perlu mengugurkan maklumat sedia: bunyi di bawah caripun di bawah yang berupa satu andaian yang lemah akibat daripada pertentangan maklumat. Pendengar akan mengkaji pula maklumat baharu: bunyi di bawah tetapi cari di atas yang dianggap relevan untuk membina kesan konteks dan mengandaikan bahawa sesuatu bunyi yang dikesan di bawah tidak perlu mencari punca tersebut di bawah juga. Berbekalkan maklumat baharu ini, bunyi di bawah tetapi cari di atas, andaian ini diproses melalui kos memproses untuk meneka makna sebenar ujaran dalam data yang terdapat di atas. Kata bunyi di sini merujuk kepada pendengar membuat ketetapan, sama ada bunyi yang dikeluarkan itu perlu perlahan atau kuat. Berpandukan frasa kerja di atas, maka pendengar dapat membuat ketetapan maksud ujaran penutur: bunyi di bawah tetapi cari di atas: merupakan air yang menitis dari atas turun ke bawah. Hasilnya makna tersirat bagi keseluruhannya ialah bumbung tiris. Apabila berlaku kebocoran pada bumbung atau atap rumah, air akan menitis ke bawah dan berbunyi walaupun ditadah dengan timba atau besen. Kemudian jika hendak menampal tempat yang bocor itu kita akan mencari puncanya di bahagian atas, iaitu bumbung atau atap.

(14): Pokok di darat tetapi isi dalam air Konteks dalam data di atas dibina oleh pendengar melalui andaian am dan budaya. Budaya menanam pokok sudah sebati dalam jiwa manusia sejak dahulu lagi. Paling tidak, mereka pasti akan menanam pokok bunga atau buah-buahan di sekitar kawasan rumah. Seterusnya, konteks dalam data di atas dicetuskan oleh pendengar melalui proses penggabungan, yakni menggabungkan andaian awal yang ada pada pendengar atau dikenali juga sebagai maklumat lama, iaitu pokok di darat isi atau buah di darat juga dengan maklumat baharu, iaitu pokok di darat tetapi isi dalam air, yakni merupakan ujaran dalam data tersebut. Sudah menjadi kebiasaan, apabila pokok di darat maka buahnya juga di darat, tetapi ini berbeda dengan data baharu yang diperoleh. Penggabungan kedua- dua maklumat lama dan baharu diproses untuk menginterprestasikan makna sebenar ujaran dalam data ini. Kos memproses akan mengandaikan bahawa hanya pokok yang ditanam dalam air yang akan berbuah atau mempunyai isi dalam air. Contohnya, pokok teratai yang biasanya di dalam kolam, tasik atau bekas lombong memang akan tumbuh di atas air dan berbuah juga di atas air. Hasilnya, makna tersirat bagi data ini ialah buah kelapa. Huraian bagi jawapan ini ialah pokok kelapa yang ditanam atau tumbuh di darat tetapi mempunyai buah yang mengandungi air di dalamnya. Oleh itu, buah ini dikenali sebagai buah di dalam air sejak dini, kini dan selamanya. Kriteria ini diizinkan dalam teori relevans dan ujaran dalam data di atas juga dianggap tidak melanggar prinsip teori relevans.

260 Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh Makna Tersirat dalam Teka-Teki Melayu

(15): Jika lupa bawa, jika ingat tinggal Berdasarkan data yang dinayatakan di atas, pendengar membina konteks dengan melalui kepercayaan kepada pemikiran penutur. Pendengar percaya bahawa dalam pemikiran penutur juga telah ada pelbagai andaian, iaitu manusia tidak boleh terlepas daripada sifat pelupa atau tidak ingat serta alpa. Jika seseorang manusia sememangnya sangat sempurna, namun tabiat lupa tetap bersarang dalam diri seseorang. Istilah lupa dari aspek semantik leksikal ialah tidak timbul dalam fikiran, tidak sedar atau tidak ingat akan sesuatu ( Kamus Dewan. 2015: 968). Andaian awal: jika lupa tinggal, jika ingat bawa dikuatkan dengan kehadiran maklumat baharu yang merupakan keterbalikan dengan andaian awal tadi boleh disahkan dan terbukti betul bagi kesan kontek yang berfaedah. Hal ini penting untuk membantu pendengar dalam menginterprestasikan makna ujaran sebenar. Peranan kos memproses maklumat pendengar dengan mengambil kira maklumat baharu ini, iaitu jika lupa bawa, jika ingat tinggal mengandungi peringatan agar berhati-hati tentang sesuatu yang boleh menimbulkan kesulitan. Pendengar akan mengandaikan bahawa istilah bawa jika lupa ialah membawa sesuatu yang kurang menyenangkan dan tidak disukai dan sangat perlu dijauhi. Hasilnya, makna tersirat bagi data di atas ialah mengelak pakaian seperti kain atau seluar daripada terkena pokok kemuncup di atas padang yang berumput. Jika kita berjalan di atas padang yang banyak pokok kemuncup sudah tentu kita akan beringat-ingat dan tidak akan pergi ke arah pokok tersebut sekali gus menjauhkan diri daripadanya. Inilah yang dimaksudkan dengan ayat jika ingat tinggal. Manakala ayat jika lupa bawa mempunyai makna tersirat seandainya kita terus berjalan di atas padang tanpa berhati-hati nescaya banyaklah kemuncup yang dibawa bersama-sama.

Teka-Teki seakan-akan Lucah Teka-teki seakan-akan lucah tidak mempunyai makna seharfiah yang diujarkan, iaitu apa-apa yang dimaksudkan tidak selari dengan apa-apa yang hendak disampaikan. Selain itu, teka-teki ini juga menggunakan pembayang yang jelas berbau seks atau lucah, namun, perkara yang menjadi referensinya tidaklah bermaksud demikian. Kesemua itu merupakan daya tarikan yang terdapat dalam teka-teki tersebut, di samping unsur humor yang dibawanya. Faktor inilah yang menjadikan teka-teki sebagai bahan lisan kegemaran ramai di mana-mana sahaja dengan tidak mengira batasan sosial. Walaupun ujaran dalam teka-teki ini memerlukan lebih banyak usaha memproses maklumat, tetapi kesan yang diperoleh oleh pendengar mestilah setimpal dengan usaha yang ditumpukan oleh mereka. Ujaran seumpama ini dibenarkan mengikuti teori relevans. Hal ini demikian kerana darjah kefahaman pendengar terhadap makna tersirat jauh dalam teka-teki ini berbeza dan bagaimana menginterprestasikannya adalah mengikut persepsi masing-masing. Walaupun pembayang teka-teki tersebut jelas berbau seks atau lucah, namun, perkara yang menjadi referensinya tidaklah

Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh 261 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya bermaksud demikian. Sebab itulah teka-teki begini disebut sebagai teka-teki seakan-akan lucah. Contoh teka-teki seakan-akan lucah: (15) Tutup pintu, tutup lampu, buka kain, terus main. (wayang gambar) (16) Bulu bertemu bulu, tak ingat apa dah. (pejam mata / tidur) (17) Ada bulu ada batang, bulu masuk lubang, batang dipegang. (berus gigi) (18) Masuk keras, keluar terkulai. (tangan baju) (Inon Shaharuddin Abdul Rahman, 1988)

(16): Tutup pintu ,tutup lampu, buka kain, terus main Sekiranya data dalam teka-teki jenis ini dan teka-teki benar-benar lucah diujarkan kepada kanak-kanak dan golongan remaja dan juga kepada golongan dewasa yang belum mendirikan rumah tangga, agak sukar bagi mereka hendak menyelami makna tersirat jauh yang tercakup dalam data yang diberikan. Oleh sebab data ini yang agak berbau lucah kerana banyak berlegar tentang persoalan seks, hanya mereka yang telah berkahwin mampu dan berupaya mentafsir data mengandungi makna tersirat jauh data ini. Data ini memperlihatkan pengulangan kata kerja dengan kata nama bermula dari awal hingga akhir ujaran. Penjelasan ini dapat membantu pendengar membina maklumat konteks melalui wacana golongan kata dan mencari andaian pengulangan apa yang berlaku. Maklumat konteks ini akan membantu pendengar mewujudkan pada kesan konteks. Pendengar akan menggabungkan pola ayat frasa nama dan juga frasa kerja dengan maklumat baharu, iaitu pengulangan frasa kerja tanpa frasa nama di depan. Dalam maklumat lama, pendengar mendapati bahawa kata kerja digunakan dalam ayat yang mempunyai pola frasa nama dan frasa kerja. Namun, ujaran penutur dalam data di atas menunjukkan bahawa pengulangan frasa nama sebanyak empat kali berturut-turut tanpa frasa nama di depan untuk menunjukkan pelaku atau pembuat. Di sini, pendengar mendapati bahawa ayat dalam data tidak sama dengan maklumat lama, iaitu pola ayat frasa nama dan frasa kerja. Semua maklumat yang digabungkan itu diproses untuk menginterpretasikan makna sebenar ujaran dalam data. Kos memproses ini mengandaikan bahawa deretan kata kerja dan kata nama berlaku satu demi satu secara serentak. Fenomena ini menunjukkan bahawa empat jenis kata kerja dilakukan secara berturut-turut secara terus menerus tanpa henti. Kerja yang dilakukan itu menunjukkan bahawa terdapat suatu aktiviti yang dijalankan oleh satu pihak kepada pihak yang lain. Soalnya ialah apa, di mana, bila, kenapa dan bagaimanakah aktiviti berkenaan dilaksanakan? Ternyata di sini, data di atas mempunyai kos memproses maklumat yang tinggi kerana menggunakan banyak petunjuk untuk meneka jawapan. Hasilnya, makna tersirat jauh bagi data di atas merujuk kepada satu aktiviti kerja tayangan wayang gambar di pawagam atau mini pawagam dan bukan skrin tayangan kini yang hanya menggunakan lampu tanpa kain. Frasa kerja tutup pintu membawa maksud pintu akan ditutup apabila penonton semua telah memenuhi pawagam, frasa kerja tutup lampu bermaksud

262 Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh Makna Tersirat dalam Teka-Teki Melayu lampu dalam pawagam yang dipadam untuk mendapat kesan gelap. Frasa kerja buka kain bererti menarik tirai yang menutupi layar dan frasa kerja terus main membawa makna tayangan filem bermula.

(17): Bulu bertemu bulu, tak ingat apa dah. Data di atas memperlihatkan bahawa andaian awal pendengar yang di­ sebut juga sebagai maklumat sedia: apabila bulu bertemu bulu, anggota lain turut bertemu juga bertentangan dengan maklumat baharu: bulu bertemu bulu tak ingat apa dah, iaitu ujaran dalam data. Langkah berikutnya, pendengar akan membina kesan konteks melalui proses pengguguran. Dalam maklumat sedia: apabila bulu bertemu bulu,pendengar mengandaikan anggota badan yang lain seperti kaki, tangan, hidung, mulut dan lain-lain turut bertemu juga. Frasa ayat anggota badan yang lain turut bertemu membawa makna konotasi melakukan hubungan seks antara peria dengan wanita. KN bulu bermaksud rambut halus pada tubuh manusia dan binatang ( Kamus Dewan, 2015:186 ). Pendengar juga mengandaikan semua jenis bulu pada tubuh manusia seperti bulu hidung, bulu ketiak, bulu roma pada bahagian tangan dan betis, bulu pada alat sulit manusia, bulu mata dan bulu dada, ada yang boleh dan ada yang tidak boleh bertemu sesama sendiri mengikut konteks. Justeru, pendengar perlu menggugurkan maklumat sedia: rasa geli apabila bulu bertemu bulu kerana maklumat ini merupakan andaian yang lemah dan berlaku pertentangan maklumat antara yang sedia dengan yang baharu: bulu bertemu bulu, tak ingat apa dah. Pendengar akan menilai maklumat baharu: bulu bertemu bulu, tak ingat apa dah yang dianggap relevan untuk membina kesan konteks dangan andaian wujud fenomena bulu bertemu bulu sehingga lupa pada apa-apa yang berlaku di sekeliling. Andainya pendengaran ini dilakukan dalam kos memproses untuk menginterprestasikan makna tersirat jauh, kita dapat mengandaikan bulu bertemu bulu bukanlah membawa maksud berunsur seks seperti yang dijangkakan kerana bulu bukan setakat ada pada alat sulit manusia sahaja. Jelaslah di sini bahawa ujaran dalam data di atas mempunyai kos memproses maklumat yang tinggi kerana pendengar memerlukan beberapa petanda (tanda, alamat) untuk meneka jawapan. Hasilnya, maksud tersirat jauh untuk data di atas ialah pejam mata atau tidur. Tidak dapat dinafikan waktu tidurlah, kedua-dua bulu mata atas dan bulu mata bawah bertemu. Kesan tidur kepada kita memberangsangkan kerana jika tidur nyenyak sudah tentu tidak tahu apa-apa yang berlaku di sekitar kita.

(18): Ada bulu ada batang, bulu masuk lubang, batang dipegang Data di atas menunjukkan bahawa andaian awal pendengar, iaitu bulu tidak boleh masuk lubang tidak selari dengan maklumat dalam data. Menerusi maklumat lama, iaitu bulu tidak boleh masuk lubang, kita mengandaikan bahawa bulu dan batang seperti batang hidung, batang jari, batang zakar, dan sebagainya memang dimiliki oleh semua makhluk yang bernyawa. Jenis bulu yang terdapat pada manusia ialah bulu hidung, bulu ketiak, bulu mata, bulu roma, bulu alat

Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh 263 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya sulit manusia, bulu dada, dan sebagainya. Jika ditafsir menggunakan maklumat lama, iaitu bulu tidak boleh masuk lubang, sudah pasti ia berbau lucah kerana istilah lubang membawa makna konotasi alat kelamin manusia. Namun, data di atas menyatakan bahawa bulu yang masuk lubang, bukannya batang. Oleh yang demikian, pendengar akan menggugurkan maklumat lama, iaitu bulu tidak boleh masuk lubang kerana ia merupakan andaian yang lemah dan berlaku pertentangan maklumat antara yang lama dengan yang baharu, iaitu bulu masuk lubang. Pendengar akan menilai maklumat baharu, iaitu bulu masuk lubang sebagai relevan untuk membina kesan konteks dengan andaian bahawa hanya bulu yang boleh masuk lubang. Andaian pendengar ini digambarkan dalam kos memproses untuk menginterpretasikan makna tersirat, juga mengandaikan bahawa data ini tidak berbau lucah seperti yang difikirkan sebelum ini. Petanda yang menunjukkan bahawa data ini lucah terlihat pada frasa bulu masuk lubang, batang dipegang. Jika hendak ditafsirkan lucah, frasa tersebut sepatutnya berbunyi sebaliknya, iaitu batang masuk lubang,bulu dipegang. Dengan ini, jelaslah kepada kita bahawa ujaran dalam data tersebut mempunyai kos memproses maklumat yang tinggi kerana data ini mengajak pendengar untuk menggunakan petanda meneka jawapan. Hasilnya, makna tersirat ialah memberus gigi. Frasa kerja ada bulu, ada batang bermaksud berus gigi. Ayat bulu masuk lubang membawa makna berus gigi mengosok semua gigi. Frasa nama batang dipegang membawa makna tersirat memegang berus gigi.

(19): Masuk keras, keluar terkulai Sekilas pandang data di atas memang benar-benar berbau lucah, namun, hakikatnya tidak demikian. Pendengar akan membina konteks melalui andaian am yang dikembangkan melalui pengetahuan seksologi. Maklumat baharu: masuk keras, keluar terkulai dalam ujaran ini membawa makna konotasi yang sama dengan maklumat sedia: masuk keras, keluar terkulai. Untuk langkah yang seterusnya, pendengar akan membina pula kesan konteks melalui proses pengabungan. Andaian awal: masuk keras, keluar terkulai yang ada pada pendengar akan digabungkan walaupun sama dengan maklumat baharu: masuk keras, keluar terkulai untuk pendengar membuat interpretasi. Seperti disebutkan pada awal huraian di atas, data ini tidak berunsur seks. Namun, secara tersirat, data ini seakan-akan merujuk kepada sebelum dan selepas melakukan hubungan seks. Secara tabii dan menurut ilmu seksologi, alat kelamin lelaki yang normal tidak menghadapi masalah melakukan hubungan seks jika berjaya dirangsang dengan berkesan. Kos memproses akan mengandaikan bahawa masih terdapat situasi yang tidak berbau seks dan serupa seperti dalam data di atas, yakni masuk keras, keluar terkulai. Jika data ditafsirkan sebagai melakukan hubungan seks yang melibatkan manusia, maka data di atas yang pada hakikatnya tidak berbau seks sebenarnya melibatkan objek tidak bernyawa sebagai petunjuk baharu untuk meneka jawapan. Hasilnya, maka tersirat jauh yang terkandung dalam data di atas merujuk kepada tangan baju. Frasa kerja masuk keras dengan makna

264 Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh Makna Tersirat dalam Teka-Teki Melayu tersiratnya tangan baju akan menjadi keras apabila kita memasukkan kedua-dua tangan ketika memakainya. Sementara frasa kerja keluar terkulai dengan makna tersiratnya tangan baju menjadi lembik sebaik sahaja kita menanggalkan baju.

Teka-teki yang benar-benar lucah Seperti yang dinyatakan dalam teka-teki seakan-akan lucah, teka-teki jenis ini dan teka-teki seakan-akan lucah jika diujarkan kepada kanak-kanak atau kanak-kanak peringkat awal remaja, malah kepada orang dewasa yang belum mendirikan rumah tangga, agak sukar bagi mereka hendak menyelami makna tersirat jauh yang terdapat dalam data berkenaan. Oleh sebab data ini berbau lucah, maka banyak berlegar tentang persoalan seks, hanya mereka yang telah berkahwin mampu dan berupaya mentafsir data yang mengandungi makna tersirat jauh. Persoalan seks sering kali menimbulkan kelucuan yang amat sangat apabila diperkatakan dalam keadaan tertentu. Oleh sebab banyak orang yang begitu cenderung ke arah seks, maka seks sering dijadikan bahan untuk menimbulkan humor dalam teka-teki. Contoh teka-teki benar-benar lucah: (19) Apa bezanya antara basikal baharu dengan pengantin baharu? Jawapan: Basikal baharu apabila jumpa lubang, elak tetapi pengantin baharu, apabila jumpa lubang masuk. (20) Apa bezanya antara daun betik dengan tangan wanita? Jawapan: Daun betik boleh melembutkan daging, tetapi tangan wanita boleh mengeraskan daging. (21) Apa bezanya antara gajah dengan kain pelikat cap gajah? Jawapan: Gajah, belalai di luar, manakala kain pelikat cap gajah belalainya di dalam. (22) Apa bezanya antara basikal dengan wanita? Jawapan: Basikal, pam dahulu baru naik. tetapi wanita naik dahulu baru pam.

(20): Apa bedanya antara basikal baharu dengan pengantin baharu? Dalam data di atas, pendengar akan membina konteks melalui wacana golongan kata, iaitu kata adjektif. Penunjuk golongan kata dapat dikesan pada KA baharu dan membawa makna leksikal, iaitu sesuatu yang belum dipakai lagi atau belum lama dipakai (Kamus Dewan, 2015:105). Dengan ini, frasa nama basikal baharu menunjukkan maksud, sama ada basikal yang belum dipakai lagi atau belum lama dipakai. Manakala frasa nama pengantin baharu, merujuk kepada pasangan yang baru bernikah dan baru menjalani hidup sebagai pasangan suami-isteri yang sah. Maklumat sedia ada pada pendengar: perbezaan tersurat antara basikal baharu dengan pengantin baharu dapat dikaitkan dengan sifat semula jadi manusia yang pasti menyayangi sesuatu yang baharu. Dalam konteks data di atas, basikal yang baharu dibeli akan dijaga, diawasi dan diberi perhatian rapi agar sentiasa dalam keadaan baik dan elok. Begitu juga dengan pasangan yang baru menjadi pengantin, akan tinggal bersama untuk berkongsi hidup dalam

Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh 265 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya suasana berkasih sayang, saling mencintai, ceria, harmoni, dan sebagainya lagi. Namun, persoalan di sini ialah jika basikal baharu memerlukan pengawasan serta penjagaan teliti untuk mengekalkan tahap daya tahannya, maka bagaimana pula dengan pengantin baharu? Di sinilah peranan kos memproses maklumat pendengar dengan mengambil kira aspek penjagaan basikal baharu. Salah satu aspek penjagaan terhadap basikal baharu ialah mengelakkan basikal tersebut daripada melanggar atau terlanggar lubang di atas jalan. Tujuannya, supaya tayar tidak mudah pancit atau mengalami kerosakan teruk pada bahagian lain basikal. Selain itu, memerlukan dua bentuk jawapan yang bertentangan antara satu sama lain. KN lubang digunakan untuk menunjukkan persamaan objek yang kena buat oleh KK elak dan KK masuk. Di sini jelaslah kepada kita bahawa ujaran dalam data di atas mempunyai kos memproses maklumat yang tinggi kerana data ini mengajak pendengar menerokai maklumat demi maklumat sehingga mendapat petunjuk untuk meneka jawapan yang mengandungi makna tersirat jauh. Hasilnya, makna tersirat jauh yang dapat difikirkan bersama ialah jika basikal baharu apabila jumpa lubang akan mengelak, tetapi pengantin baharu, apabila jumpa lubang akan masuk. Frasa ayat apabila jumpa lubang masuk membawa makna konotasi melakukan hubungan seks.

(21): Apa bedanya antara daun betik dengan tangan wanita? Berdasarkan data di atas, konteks dapat dibina oleh pendengar melalui andaian am yang kemudiannya dikembangkan melalui persekitaran manusia. Antara konteks alam sekeliling dalam data ini ialah mengendalikan pendengar mempunyai pengetahuan tambahan tentang kegunaan daun betik. Pendengar akan membina kesan konteks melalui proses penguatan untuk mendapat kesan konteks yang tinggi. Andaian awal: perbedaan tersurat antara daun betik dengan tangan wanita dikuatkan dengan kehadiran maklumat baharu, iaitu perbedaan tersirat antara daun betik dengan tangan wanita. Andaian awal dalam konteks data ini ialah pemahaman pendengar tentang kegunaan daun betik yang boleh digunakan dalam usaha melembutkan daging. Manakala tangan wanita pula sangat penting dan berguna dalam melakukan apa-apa sahaja pekerjaan sama ada di rumah atau di tempat kerja.Ternyata ujaran dalam data ini mempunyai kos memproses yang rendah kerana mudah bagi pendengar meneka jawapan yang tersirat. Data ini memerlukan dua bentuk jawapan yang bertentangan antara satu sama lain. Di sinilah letaknya peranan kos memproses maklumat, iaitu pendengar akan mengandaikan jika betik digunakan untuk melambutkan daging, maka sudah tentu jawapannya bertentangan untuk tangan wanita, iaitu lawan kata kerja melembutkan, iaitu mengeraskan. Kata nama daging digunakan untuk menunjukkan objek yang kena buat oleh kata kerja mengeraskan sama dengan objek yang kena buat oleh kata kerja melembutkan. Persoalan yang timbul di sini ialah tangan wanita tidak boleh digunakan untuk mengeraskan daging

266 Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh Makna Tersirat dalam Teka-Teki Melayu haiwan seperti daging lembu, kerbau, arnab, ayam, kambing, dan sebagainya kerana daging haiwan sememangnya sudah lembut dan lagi pula dari topik yang membawa makna konotasi tentang seks. Data ini walaupun membawa usaha memproses yang rendah kerana daun betik dengan tangan wanita, namun ia mempunyai makna tersirat yang tinggi. Seorang suri rumah sangat tahu kegunaan daun betik dan dalam masa yang sama wanita sangat mengetahui peranan tangan wanita dalam konteks mengeraskan daging. Hasilnya, makna tersirat di atas ialah daun betik boleh melembutkan daging tetapi tangan wanita boleh mengeraskan daging. Frasa kerja mengeraskan daging membawa makna konotasi menegangkan sesuatu.

(22): Apa bezanya antara gajah dengan pelikat cap gajah? Berdasarkan data di atas, pendengar dapat membina konteks melalui wacana penggolongan kata yang kemudiannya dikembangkan melalui per­ sekitar­an yang berlaku di sekeliling manusia. Andaian am di sini membawa maksud pendengar telah mempunyai pengetahuan tentang gajah yang tergolong dalam kata am untuk binatang. Gajah merupakan binatang berdarah panas dan berkaki empat dari jenis mamalia yang bersaiz besar, ada belalai dan mempunyai gading bagi gajah jantan. Dari awal pendengar akan membina kesan konteks melalui proses penguatan untuk mendapat kesan konteks yang tinggi. Andaian awal perbezaan tersurat antara gajah dengan kain pelikat cap gajah dikuatkan dengan kehadiran maklumat baharu: perbezaan tersirat antara gajahd engan kain pelikat cap gajah. Dalam konteks data ini, andaian awal pendengar ialah mengetahui fungsi salah satu anggota badan gajah, iaitu belalai. Belalai, penting bagi gajah sebagai alat menyedut air untuk dimasukkan ke dalam mulut dan menyembur air ke seluruh badan. Selain itu belalai juga digunakan untuk mengangkat dan membelit objek keras seperti batang pokok, kepingan kayu, malah dapat membelit manusia dan sesiapa sahaja yang dianggap musuh. Ujaran data ini jelas mempunyai kos memproses yang tinggi kerana ujaran tersebut tidak mempunyai makna harfiah. Jika diteliti secara kasar, seolah-olah tiada kaitan langsung antara gajah dengan kain pelikat cap gajah. Namun, menurut teori relevan, jika usaha memproses maklumat itu tinggi, manakala kesan dan maklumat yang diperoleh juga tinggi, ujaran data tersebut diizinkan. Data ini menunjukkan maklumat yang tinggi kerana ada perkaitan antara makna tersirat jauh antara gajah dengan kain pelikat cap gajah. Hasilnya, makna tersirat jauh dalam data di atas ialah gajah mempunyai belalai di luar, sementara kain pelikat cap gajah mempunyai belalai di dalam. Frasa nama belalai di dalam membawa konotasi kedudukan alat kelamin lelaki di dalam kain pelikat cap gajah jika pemakainya orang lelaki.

(23): Apa bezanya antara basikal baharu dengan pengantin baharu? Dalam data di atas, pendengar akan membina konteks melalui wacana golongan kata, iaitu kata adjektif. Petunjuk golongan kata dapat dilihat pada

Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh 267 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya kata adjektif baharu dan membawa makna leksikal sesuatu yang belum dipakai atau belum lama dipakai. Dengan ini frasa nama basikal baharu menunjukkan maksud sama ada basikal yang belum dipakai lagi atau belum lama dipakai. Manakala frasa nama pengantin baharu menunjukkan kepada pasangan yang baharu mendirikan rumah tangga dan menjalin hubungan yang sah. Pendengar akan membina pula kesan konteks melalui proses penguatan untuk mendapatkan kesan konteks yang tinggi. Andaian awal: perbezaan tersurat antara basikal baharu dengan pengantin baharu dikuatkan dengan kehadiran maklumat baharu, iaitu perbedaan tersirat antara basikal baharu dengan pengantin baharu. Manakala maklumat yang sedia ada pada pendengar sama dengan andaian awal boleh disahkan dan terbukti betul untuk membentuk kesan konteks yang berfaedah. Cara begini penting untuk membantu pendengar dalam menginterpretasikan maksud sebenar ujaran tersebut. Perbedaan basikal baharu dengan pengantin baharu dapat dikaitkan dengan sifat semula jadi manusia yang pasti sayang kepada sesuatu yang baharu. Dalam konteks data di atas, basikal yang baharu dibeli akan dijaga, diawasi dan diberikan perhatian rapi agar sentiasa dalam keadaan baik dan elok. Begitu juga dengan pasangan yang menjadi pengantin. Sifat sayang, saling mencintai, dan sebagainya pasti akan terasa dan hubungan tersebut, dan perasaan ini akan dijaga sebaiknya. Namun, persoalannya di sini ialah basikal baharu memerlukan pengawasan serta penjagaan rapi untuk mengekalkan daya tahannya, maka bagaimana pula dengan pengantin baharu? Di sini peranan kos memproses maklumat pendengar dengan mengambil kira aspek penjagaan basikal baharu ialah memastikan bahawa basikal tersebut tidak akan melanggar lubang di jalanan. Tujuannya agar tayar tidak mudah pancit atau mengalami kerosakan teruk. Selain itu, dari segi lojik, apa-apa pun soalan tentang perbedaan antara dua objek memerlukan dua jawapan yang bertentangan antara satu sama lain. Dalam konteks ini, jika basikal baharu akan cuba mengelak lubang, maka sudah tentu jawapan yang bertentangan untuk pengantin baharu ialah lawan kepada kata kerja elak, iaitu masuk. Kata nama lubang digunakan untuk menunjukkan persamaan objek yang kena buat oleh kata kerja elak, iaitu masuk. Hasilnya, makna tersirat jauh yang dapat difikirkan bersama ialah basikal jika baharu apabila jumpa lubang akan cuba mengelak, tetapi pengantin baharu jika terjumpa lubang akan masuk. Itulah perbezaan ketara makna tersirat jauh yang terkandung dalam teka-teki tersebut. Frasa ayat apabila masuk lubang membawa makna konotasi melakukan hubungan seks. Ujaran dalam data ini dianggap relevan kerana kos memproses maklumat yang tinggi serta meninggalkan kesan yang memberangsangkan kepada pendengar. Kriteria ini dizinkan dalam teori relevans dan ujaran dalam data ini juga dianggap tidak melanggar teori relevans.

268 Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh Makna Tersirat dalam Teka-Teki Melayu

Kesimpulan

Kajian makna tersirat dan makna tersirat jauh dalam teka-teki bahasa Melayu berbantukan teori relevans mampu menginterprestasikan makna ujaran sebenar. Yang jelas di sini ialah terdapat juga ujaran dalam teka-teki Melayu memerlukan usaha memproses maklumat yang jauh lebih tinggi. Mesej dalam teka-teki Melayu mungkin gagal jika penutur gagal meramalkan darjah ketinggian konteks pendengar dan ini boleh menyukarkan kefahaman. Atas dasar inilah terdapat beberapa teka-teki Melayu dianggap mempunyai kos memproses yang tinggi. Secara keseluruhannya, teka-teki walaupun kelihatan terlalu bersahaja, tetapi tetap mempunyai fungsi dan falsafahnya yang tersendiri. Keprihatinan yang mendalam terhadap genre ini akan menyedarkan kita bahawa apa-apa sahaja warisan tradisi yang kita miliki tetap mempunyai nilai yang boleh diketengahkan dan dimanfatkan untuk pelbagai tujuan. Oleh itu, amat tidak wajar genre teka-teki ini dipinggirkan begitu sahaja dengan tidak melihat konteksnya dalam masyarakat, serta peranannya secara menyeluruh. Diharap kajian rinci yang lain dapat dilakukan terhadap mutiara bahasa ini, khususnya dari aspek makna tersirat dan makna tersirat jauh supaya pendapat yang diutarakan dapat diperkukuh dan diyakini.

Bibliografi

Abdul Rahman Al- Ahmadi.(1966). Pengantar Sastera. Kota Bharu: Pustaka Aman Pres. Annas Haji Ahmad. (1964). Sastera Melayu. Pulau Pinang: Sinaran Bros Sdn. Bhd. Dussek, O.T. (1918). Teka-teki II. Singapura: Methodist Publishing House. Harun Mat Piah. (1989). Puisi Melayu Tradisionl Satu Pembicaraan Genre dan fungsi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Henry Guntur Tarigan dan Undang Misdan. (1978). Tatarucingan ( Teka-teki Sunda). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Projek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastera Indonesia dan Daerah. Hooykass, G. (1977). Perintis Sastera. Petaling Jaya: Fajar Bakti Sdn. Bhd. Indirawati Zahid. (2003). “Semarak Leksikal : Penjenisan dan Hubungan Makna” Jurnal Dewan Bahasa 3:8 Ogos 2003 Inon Shaharuddin Abdul Rahman. (1988). Teka-teki Warisan. Kuala Lumpur: Tels Publishing. Ismail Hamid. (1986). Sastera Rakyat Satu Warisan. Petaling Jaya: Fajar Bakti Sdn. Bhd. Kamus Dewan Edisi Keempat. (2015). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Muhammad Abdul Jalil. (1964). Mutiara Terpendam Teka-teki Bersha’er. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh 269 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya

Nathesan, S. (1997). “Beberapa Aspek dalam Antologi Cerpen Guruh”, Jurnal Dewan Bahasa, 41: 2, Februari 1997 Nor Hashimah Jalaluddin. (1990). “Semantik dan Pragmatik dalam Teori Rele­ vans” Jurnal Dewan Bahasa 34:6 Jun. 1990. Nor Hashimah Jalaluddin. (1991). “Keimplisitan Ujaran : Satu Analisis Teori Relevans” Jurnal Dewan Bahasa 35: 6 Jun. 1991. Nor Hashimah Jalaluddin. (1992). Semantik dan Pragmatik: Satu Pengenalan Ringkas. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Nor Hashimah Jalaluddin. (1998). “Bahasa Sosiolisasi dan kognatif: Satu Pen­ dekatan Teori Relevans” dlm. Jurnal Dewan Bahasa 42:12 Disember 1998. Omar Mamat. (1999). “Teka-teki dalam Pengajaran bahasa” dlm. Pelita Bahasa 11:5 Mei, 1999. Rozita Che Rodi dan Hashim Musa. (2014). “Bahasa Melayu Bahasa Negara Bangsa Malaysia”, MAHAWANGSA (Jurnal Bahasa, Budaya dan Warisan Melayu). Vol. 1 (2) November 2014 Salmah Jabbar. (1999). “Pentafsiran Humor Pilihan Melalui Pendekatan Teori Relevans” dlm.Jurnal Dewan Bahasa 43:4 April 1999. Sperber, D dan Wilson, D. (1986). Relevance Theory: Communication and Cognition. Oxford: Basil Blackwell Suhendra Yusuf. (1995). Leksikon Sastra. Bandung: Mandar Maju Too Kok Seong. (1999). “Makna dalam Interaksi” dlm. Pelita bahasa 11:3 Mac 1999. Yahya bin Hussin dan Rosemany Mohamad. (1958). Teka-teki. Pulau Pinang: Sinaran Bros. Zalila Sharif dan Jamilah Haji Ahmad. (1993). Kesusteraan Melayu Tradisional. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Zainal Abidin Safarwan. (1995). Kamus Besar Bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Utusan Publication And Distributors. Sdn. Bhd.

270 Hamsiah Juki dan Che Ibrahim Salleh THE CONCEPT OF TOLERANCE BETWEEN SCHOOL OF ISLAM IN THE AMMAN MASSAGE

Suryo Ediyono, Muamar Maulana Faculty of Cultural Sciences, Universitas Sebelas Maret Surakarta Email: [email protected] & [email protected]

Abstract

This research explains three aspect: (1) the history formed of the Amman Message making, (2) it elaborated the essence of the message, (3) the concept of tolerance between school of Islam in the message. The research method used is descriptive qualitative. The results of this research shows that the Amman Message appears in response to Islamophobia that occured in the world after the 9/11 terrorist acts. This message was formed through a series of long process of negotiations among scholars in 2004-2006 on the idea of King Abdullah II of Jordan. The results of these negotiations gave birth to Three Points Amman Message which has been signed by 552 scholars from various countries. This message establishes a concept of tolerance oriented of harmony among Muslims to respect each other in the different schools in order to achieve the unity of Islam, as well as being a bridge in a diversity of schools.

Keywords: Amman Message, Tolerance, School of Islam.

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 271 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya

Pengantar

gama dan sistem kepercayaan adalah unsur kebudayaan yang Apenting dalam sejarah umat manusia (Sulasman, 2013: 43). Agama menjadi pedoman hidup bagi pemeluknya dan mengatur setiap sendi kehidupan manusia. Agama juga mejadi identitas bagi setiap individu di dunia. Kamus Filosofi dan Agama mendefinisilan agama sebagai berikut: “...sebuah institusi dalam kanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati” (Sulasman, 2013: 43). Agama Islam bermula dari Timur Tengah, tepatnya dari sebuah kota yang bersejarah, yaitu Mekah. Islam dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Saat ini Islam telah berkembang selama kurang lebih 1400 tahun. Perkembangan ini telah melahirkan banyak kebudayaan yang dimiliki oleh pemeluknya. Dalam hal pemahaman mengenai hukum Islam pun beragam sehingga timbul kelompok- kelompok mazhab. Kelompok-kelompok Islam inilah yang telah memeberikan warna budaya dalam agama ini. Akan tetapi timbulnya kelompok-kelompok ini juga menimbulkan suasana konflik di dalamnya. Sejarah telah membuktikan bahwa pernah terjadi bahkan berulang kali terjadi konflik antar kelompok dalam Islam. Konflik ini terjadi karena perbedaan masalah keyakinan dalam menjalani ibadah, ideologi, serta masalah kekuasaan. Konflik antar umat Islam mayoritas terjadi di daerah Timur Tengah. Konflik ini sudah terjadi sejak zaman Khulafa al-rasyidin. Bermula dari pembunuhan Khalifah Usman bin Affan dan selanjutnya Ali bin Abi Thalib juga terbunuh oleh seorang muslim juga. kemudian, setelah itu barulah konflik semakin berkembang. Konflik Irak-Iran adalah salah satu konflik terbesar di era modern ini. Keadaan ini menjadi sebuah fenomena yang memprihatinkan terjadi diantara umat Islam. Kawasan Timur Tengah juga terkenal dengan pergerakan Islam radikal yang banyak diceritakan oleh media sebagai teroris terutama setelah peristiwa 11 September 2001. Peristiwa ini sangat menjadi isu besar yang mencakup skala internasional. Pada saat itu banyak terjadi fobia Islam di beberapa negara di dunia. Selanjutnya di berbagai belahan dunia, baik di negara yang mayoritas Islam maupun negara yang mayoritas non-muslim. Sekelompok orang yang mengatasnamankan jihad Islam telah membuat berbagai teror kekerasan dan kekacauan, yang membuat agama ini menduduki peringkat teratas dalam hal agama yang dikaitkan dengan aksi kekerasan dan terorisme dunia (Muammar, 2013:315-316). Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjaga kerukunan antar umat Islam hingga akhirnya munculah Risalah Amman. Risalah ini dibuat di Yordania atas inisiatif Raja Abdullah II dimulai pada tahun 2004. Berdasarkan situs resmi Risalah Amman yaitu www.ammanmessage.com bahwasannya risalah ini merupakan surat kesepakatan yang menjelaskan tentang siapa saja yang menjadi saudara muslim dan hukum menyatakan seseorang sebagai kafir

272 Suryo Ediyono, Muamar Maulana T he Concept of Tolerance Between School of Islam In T he Amman Massage berdasarkan riset yang panjang Penelitian ini menggunakan pendekatan komunikasi multikultural. Pendekatan ini penulis gunakan untuk menjelaskan proses terbentuknya Risalah Amman. Komunikasi Multikultural adalah bagian dari kajian kebudayaan (cultural studies), artinya mempelajari komunikasi dari pengaruh faktor-faktor praktik kebudayaan dan dalam hubungannya dengan kekuasaan. Komunikasi multikultural sebagai bagian dari kajian kebudayaan didasarkan atas luasnya ruang lingkup kajian dan kompleksnya keterkaitan bidang komunikasi dengan bidang-bidang yang lain (Purwaskito, 2015:146-147). Tujuan utama mempelajari komunikasi multikultural adalah menumbuhkan saling pengertian antar- bangsa dengan jalan mempersempit missunderstanding dengan cara mencairkan prasangka-prasangka rasial, etnik, primordial, dari satu bangsa atas bangsa lain, serta berusaha menyumbangkan kesamaan visi hidup bersama dalam alam globalisasi (Purwaskito, 2015:64-65). Komunikasi multikultural diarahkan untuk memperoleh tingkat understanding antarrasial, antaretnik, antaragama, antargolongan dan kelas dalam masyarakat,agar tercipta harmonitas kehidupan dalam rangka hidup berdampingan secara damai. Dengan kata lain, tujuan utama komunikasi multikultural adalah mengurangi kelasahpahaman dalam proses dan tindak komunikasi sehingga proses interaksi sosial budaya mencapai tingkat keberhasilan yang optimal (Purwaskito, 2015:64-65). Selain itu tujuan kajian komunikasi multikultural adalah mereduksi perilaku agresif yang disebabkan oleh faktor perbedaan kultur, dari tingkat yang paling kecil, yakni lingkungan keluarga, di lingkungan komunitas perkampungan, dalam bisnis dan politik sampai perilaku agresif pada tingkat konflik horizontal dan konflik vertikal yang lebih besar, seperti konflik rasial, konflik antarumat beragama, dan konflik etnik (Purwaskito, 2015:76). Penelitian ini menggunakan pendekatan hasil kebudayaan yang berupa teks karena Risalah Amman merupakan sebuah dokumen hasil kebudayaan. Secara garis besar, hal yang dibahas dalam teori kebudayaan adalah memandang kebudayaan sebagai (a) sistem adaptasi terhadap lingkungan, (b) Sistem tanda, (c) teks, baik memahami pola-pola perilaku budaya secara analogis dengan wacana tekstual, maupun mengkaji hasil proses interpretasi teks sebagai produk kebudayaan, (d) fenomena yang mempunyai struktur dan fungsi, (e) sudut pandang filsafat (Sulasman, 2013:88). Dari lima pembahasan ini interpretasi teks adalah bahasan yang dipilih penulis. Penelitian ini menggunakan pendekatan toleransi. Toleransi didefinisikan sebagai sikap menghormati orang lain, belas kasihan, kemurahan hati, atau kesabaran. Toleransi merupakan unsur yang paling penting dari sistem moral, mengajari bagaimana cara merangkul dan mengasihi orang lain tanpa memandang perbedaan pendapat, pandangan dunia, ideologi, etnis, maupun kepercayaan (Muammar, 2013:482). Penelitian ini berupaya mengungkap toleransi dalam mazhab-mazhab yang disepakati dalam Risalah Amman. Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan bagaimana proses

Suryo Ediyono, Muamar Maulana 273 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya terbentuknya Risalah Amman, bagaimana esensi yang ada dalam risalah tersebut, serta bagaimana konsep toleransi antar-mazhab yang ada didalamnya. Oleh sebab itu, penelitian terhadap Risalah Amman perlu dilakukan untuk mengkaji (1) bagaimana proses terbentuknya risalah ini?, (2) apa saja isi dari risalah tersebut?, serta (3) bagaimana konsep toleransi antar-mazhab didalamnya?.

Metode Penelitian

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik kepustakaan (library research). Data diperoleh dengan cara menelaah informasi yang berkaitan dengan proses terbentuknya Risalah Amman maupun esensi di dalamnya serta konsep toleransi antar-mazhab di dalam risalah tersebut dari tahun 2004-2006. Selain itu, data penelitian ini juga didapatkan dari data-data sekunder yang diperoleh dari media internet, jurnal, skripsi, tesis, dan penelitian lain yang dianggap berkaitan. Analisis dilakukan secara kualitatif.

Pembahasan

1. Latar Belakang terbentuknya Risalah Amman Setelah tragedi pengeboman WTC, Islamisme (baca: Islam politik) menjadi sedemikian populer. Term yang mengibarkan global salafism tiba-tiba begitu menggelitik untuk dikaji dan diamati. Sebagaimana disebutkan oleh Roel Meijer dalam Muammar(2013: 315-316) menyebutkan : “Salafisme tidak mengatrakasikan banyak perhatian sebelum tragedi 9/11, kecuali untuk periode klasik. Semua dunia terbelalak dan bertanya-tanya benarkah lslam mengajarkan para pemeluknya untuk melakukan aksi kekerasan (baca: terorisme)?”. Selanjutnya di berbagai belahan dunia, baik di negara yang mayoritas Islam maupun negara yang mayoritas non-muslim, sekelompok orang yang mengatasnamankan jihad- Islam telah membuat berbagai teror kekerasan dan kekacauan, yang membuat agama ini menduduki peringkat teratas dalam hal agama yang dikaitkan dengan aksi kekerasan dan terorisme dunia. Situasi pasca peristiwa 9/11 membuat berbagai cendekiawan dunia mencurahkan pemikiran mereka untuk menghancurkan jaringan terorisme. Disisi lain peristiwa ini telah menimbulkan ancaman dan ketakutan terhadap Islam dan pemeluknya. Kebanyakan media, politisi, dan pemuka agama non- Islam di Barat meyakini Islam sebagai agama terorisme dan kosekuensinya mengakibatkan meningkatnya diskriminasi terhadap komunitas Muslim atau biasa disebut sebagai Islamophobia (Masduqi, 2011: 157). Islamophobia telah mengalami peningkatan pasca peristiwa 9/11. Di Eropa Islam dinilai sebagai agama kekerasan dengan persentase 63% di Inggris, 87% di Prancis, dan 88% di Belanda. Berbagai respon dilakukan oleh cendikiawan dunia salah satunya adalah John L. Esposito sebagai seorang Profesor Agama dan Hubungan Internasional

274 Suryo Ediyono, Muamar Maulana T he Concept of Tolerance Between School of Islam In T he Amman Massage serta Direktur Center for Muslim-Christian Understanding di Departeman Luar Negeri pada Walsh School, Universitas Georgetown. Ia menjelaskan bahwa Islam sejatinya memiliki wajah dan interpretasi yang beragam sehingga tidak bisa dipukul rata sebagai teroris semuanya (Masduqi, 2011: 157-158). Fase pasca peristiwa ini memunculkan konsep seperti: “perang melawan terorisme”, “yang tidak bersama kita adalah melawan kami “, “poros kejahatan”, serta konsep-konsep lain yang telah menjadi lazim dalam politik global dan media wacana. Dengan latar belakang ini, orang-orang Arab dan Muslim menjadi target, terutama sejak 19 orang yang melakukan serangan dari New York dan Washington adalah orang Arab dan Muslim (Al-Shalabi, 2011:1375) Pada bayangan iklim internasional ini yang ditandai dengan ketegangan, permusuhan, dan balas dendam, terdapat sebuah inisiatif Arab-Islam yang muncul pada tahun 2004 atas perintah dari Kerajaan Yordania melalui sebuah deklarasi yang dikenal sebagai “Risalah Amman”. Deklarasi ini dianggap sebagai inisiatif Arab yang paling penting menuju hubungan dengan yang lain (baca: Eropa dan Amerika) (Al-Shalabi, 2011:1375). Risalah Amman diucapkan di salah satu masjid dari Amman sebagai inisiatif oleh penguasa Yordania yaitu Raja Abdullah II. Deklarasi ini dilakukan oleh Raja Abdullah II pada tanggal 27 Ramadhan 1425 H / 9 November 2004 M. Raja Abdullah II telah mengirimkan pesan kepada 24 ulama mazhab baik dari kalangan Sunni, Syi’ah, maupun Ibadiyah. Pesan yang disampaikan tersebut berisikan tiga pertanyaan utama yaitu, (1) Who is a Muslim? (Siapakah seorang muslim?); (2) Is it permissible to declare someone an apostate(takfir)? (Apakah dibolehkan menyatakan seseorang sebagai kafir?); (3)Who has the right to undertake issuing fatwas (legal rulings)? (Siapakah yang berhak untuk mengeluarkan fatwa?) (The Royal Aal Al-bayt, 2008:84-85). Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tersebut menghasilkan fatwa-fatwa ulama besar. Beberapa ulama besar tersebut diantaranya Syaikhul Azhar, Ayatullah Al-Sistaniy, dan Syaikh Qardhawiy. Setelah adanya fatwa-fatwa tersebut Raja Abdullah II mengadakan sebuah Konferensi Islam Internasional yang mengundang 201 Ulama terkemuka dunia dari 50 negara (The Royal Aal Al-bayt, 2008:84-85). Konferensi ini diadakan di Amman, Yordania, pada tanggal 27 -29 Jumadil Ula 1426 H / 4-6 Juli 2005 M. Tema dalam konferensi ini adalah True Islam and It’s Role in Modern Society (Hakikat Islam dan Peranannya di Tengah Masyarakat Kontemporer). Ulama-ulama tersebut mengeluarkan sebuah panduan tentang tiga isu fundamental yang kemudian dikenal dengan sebutan “Tiga Poin Risalah Amman” (The Royal Aal Al-bayt, 2008:84-85).

2. Esensi Risalah Amman Risalah Amman terdiri dari dua bagian penting yang menjadi hasil dalam sebuah proses kebudayaan. Bagian pertama merupakan deklarasi yang disampaikan­ pada 27 Ramadhan 1425 H/9 November 2004 M. Pesan ini

Suryo Ediyono, Muamar Maulana 275 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya disampaikan melalui Khutbah Ramadhan yang bacakan oleh Hakim Agung Syaikh Izzuddin Al-Tamimi di depan Raja Abdullah II dan beberapa ulama di kota Amman Yordania (www.ammanmessage.com). Kandungan dalam deklarasi ini memuat lima pokok pikiran yaitu : (1) Posisi Kerajaan Yordania yaitu bahwa Kerajaan Yordania telah berupaya mempromosikan citra Islam yang luhur serta menghentikan tuduhan dan menghancurkan serangan atasnya. (2) Dasar Persatuan Islam yaitu bahwa Islam didirikan atas beberapa prinsip dasar yang kesemuanya tidak ada yang memungkirinya. Prinsip inilah yang menjadi dasar persatuan Islam,yaitu Syahadat; ,Salat, Puasa Ramadan, Zakat, Haji bagi yang mampu. (3) Ajaran Islam yang luhur ,yaitu (a) Islam memuliakan setiap orang, tidak terikat dengan warna kulit, ras, ataupun agamanya, (b) Islam menegaskan bahwa cara berdakwah harus dilakukan dengan cara yang baik dan dengan kelemah-lembutan, (c) Islam telah menjelaskan bahwa tujuan dari pesannya adalah menyebarkan rahmat dan kebaikan untuk semua orang, (d) Islam menyeru untuk memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain, (e) Islam sangat menekankan toleransi dan pengampunan sebagai kemulian ekspresi seorang manusia, (f) Islam menegaskan prinsip keadilan dalam berinteraksi dengan orang lain, menjaga hak-hak mereka dan menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mengambil alih milik orang lain, (g) Islam mewajibkan menghormati janji dan perjanjian dan mengikuti apa yang telah ditentukan dan melarang pengkhianatan, (h) Islam mengakui posisi (maqam) kemuliaan hidup seseorang, sehingga tidak dibenarkan memerangi orang lain, dan menyerang warga sipil. Sebaliknya mereka harus menjaga harta bendanya, anak-anaknya, para pelajarnya di sekolah, dan tidak diperkenankan menyerang pria usia lanjut dan kaum wanita, (i) Islam menolak segala bentuk ekstremisme, radikalisme dan fanatisme, semua agama samawi juga sama-sama menolak itu semua, karena itu adalah bagian dari cara yang salah dan bentuk ketidakadilan. (4) Tanggapan atas Aksi Terorisme yaitu bahwa deklarasi Risalah Amman menun-jukkan sikap sangat mengecam aksi terorisme yang terjadi. (5)Upaya-upaya strategis untuk menunjukan Islam yang benar dan kebenaran Islam. Sedangkan bagian kedua merupakan bagian penguat dari deklarasi pertama yaitu satu tahun setelah dirilisnya Risalah Amman. Pada bagian ini merupakan sebuah kesimpulan dari tiga pertanyaan yang disampaikan oleh Raja Abdullah II kepada 24 ulama yang mewakili mazhab-mazhab yang ada dalam Islam dari berbagai penjuru dunia. Pada bagian ini disebut Tiga Poin Risalah Amman (www.ammanmessage.com). Tiga poin Risalah Amman ini menjawab ketiga pertanyaan yang diajukan oleh Raja Abdullah II. Adapun isi pokok dari tiga poin tersebut adalah: (1) Pengakuan delapan mazhab hukum Islam yaitu: Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, Mazhab Hambali, Mazhab Ja’fari, Mazhab Zaidi, Mazhab Ibadhi, Mazhab Zhahiri. Selain itu juga pengakuan terhadap aliran teologi yaitu ‘Asy’ari, kemudian pelaku Sufi serta Salafi sejati semuanya adalah Muslim dan

276 Suryo Ediyono, Muamar Maulana T he Concept of Tolerance Between School of Islam In T he Amman Massage dilarang menuduh Kafir terhadap sekian aliran tersebut. (2) Terdapat banyak kesamaan daripada perbedaan diantara sekian mazhab Islam. Perbedaan yang ada terdapat pada masalah furu’ (cabang) dan perbedaan adalah rahmat. Hal ini adalah baik (3) Pengakuan dari beberapa mazhab fikih (baca : hukum Islam) dalam Islam berarti mengikuti qawaid ushul fiqh (baca: metodologi dasar) dalam pengambilan sebuah fatwa. Tidak ada yang dapat mengeluarkan fatwa tanpa kualifikasi pribadi yang disyaratkan oleh setiap mazhab hukum Islam.

3. Konsep Toleransi Dalam Risalah Amman Toleransi memiliki makna yang sangat luas. Toleransi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna (1) sifat atau sikap toleran, yaitu bersifat atau bersikap menenggang(menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri; (2) batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan; (3) penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja (Sugono, 2008: 1538). Toleransi dalam bahasa Arab disebut Al-tasamuch yang merupakan salah satu di antara sekian ajaran inti dalam Islam. Toleransi sejajar dengan ajaran dasar yang lain, seperti kasih sayang, kebijaksanaan, kemaslahatan universal, dan keadilan. James Hasting dalam Syarbini (2011: 20-21) menyebutkan bahwa toleransi berkonotasi menahan diri dari pelarangan dan penganiayaan. Yakni tidak melarang berkembangnya agama dan keyakinan orang lain, serta tidak mengintimidasi orang-orang yang berbeda keyakinan dengan kita. Lebih lanjut, toleransi mengakui adanya kebebasan beragama dan persamaan hak beragama. Kebinekaan mazhab adalah keberagaman haluan atau ajaran dalam mengikuti hukum Islam. Keberagaman ini meliputi aspek metode pengambilan hukum, prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah. Berdasarkan keputusan dalam Konferensi Hakikat Islam dan Peranannya di Tengah Masyarakat Kontemporer, yang diselenggarakan di Amman pada bulan Juli 2005 ada 8 mazhab hukum Islam yang disepakati. Mazhab yang disepakati tersebut antara lain mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali dari kalangan Sunni. Sementara kalangan Syi’ah adalah mazhab Ja’fari, dan Zaidiyah. Selain keduanya ada juga mazhab Ibadhi dan mazhab Dzahiri yang telah disepakati bahwa semua yang bermazhab yang disebutkan tadi adalah Muslim, maka haram darah, harta dan kehormatannya. Beberapa Ulama telah menjelaskan bahwa kebinekaan mazhab merupakan keniscayaan, maka perbedaan yang terjadi harus dihormati. Dr. Syaikh Ali Jum’ah, seorang Mufti besar Mesir, telah menjelaskan mengenai perbedaan diantara delapan mazhab ini adalah perbedaan yang hanya pada batas kandungan (madhmun) (Mir Aghai, 2014: 153). Selain itu ada pula pendapat dari Syaikh Yusuf al-Qardhawi yang merupakan Direktur Pusat Kajian Sunnah dan Sirah Universitas Qatar juga menjelaskan bahwasannya pintu masuk Islam ialah kalimat syahadat,

Suryo Ediyono, Muamar Maulana 277 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya dan orang meninggal dalam keadaan dia bersaksi demikian secara jujur, ikhlas dan bukan karena kemunafikan, maka kesaksian itu menyelamatkannya dari api neraka dan membawanya masuk ke dalam surga. Selama akidahnya benar maka walaupun dia pernah melakukan perbuatan-perbuatan buruk maka akan selamat dari kekekalan di neraka (Mir Aghai, 2014: 183). Al-Qardhawi juga memiliki konsep dalam persoalan toleransi antar mazhab, yaitu melalui budaya multikultural. Al-Qardhawi meletakkan fondasi konsep multikulturalisme yang terdiri atas beberapa prinsip, yaitu (1) kaum Muslimin harus menyadari bahwa perbedaan adalah keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri lagi. Keniscayaan ini dikarenakan teks-teks agama Islam bersifat multi-interpretatif, buktinya para sahabat telah terlibat dalam perbedaan penafsiran sejak masa kenabian, (2) perbedaan di antara umat Islam adalah rahmat. Perbedaan pendapat dinilai sebagai bentuk kekayaan kebudayaan Islam yang justru akan membuat kaum Muslimin leluasa menentukan pilihan pendapatnya. Setelah mengetahui keragaman pendapat dalam khazanah Islam, sebaiknya kaum Muslimin berusaha memilih pendapat yang moderat, (3) menjauhi sikap mengklaim kebenaran sepihak, (4) tolong-menolong dalam masalah yang disepakati oleh semua golongan, (5) toleransi dalam masalah- masalah yang diperselisihkan oleh ulama, (6) menghormati pendapat orang lain dengan menyadari bahwa kebenaran mungkin tercecer dimana-mana (Masduqi, 2011:123-124). Sikap yang perlu diambil adalah dengan tidak melarang berkembangnya keyakinan orang lain, serta tidak mengintimidasi orang-orang yang berbeda keyakinan dengan mazhab yang diikuti. Selama semua pengguna mazhab melakukan lima rukun Islam maka ia adalah muslim. Lebih lanjut, toleransi yang diusung telah mengakui adanya kebebasan menjalankan praktek amaliyah berdasarkan mazhabnya. Berdasarkan kaidah, toleransi harus memiliki sikap menghormati orang lain, belas kasihan, kemurahan hati, atau kesabaran. Risalah Amman telah menunjukan penghormatan antar-mazhab. Sehingga melalui nota kesepahaman ini dapat menjadi rujukan untuk merangkul dan mengasihi sesama umat Islam tanpa memandang perbedaan mazhab. Hal yang perlu digarisbawahi adalah toleransi bukan bermakna di­ pengaruhi orang lain atau mengikuti mereka, akan tetapi toleransi memiliki makna menerima seperti apa mereka, dan mengetahui bagaimana cara bersama mereka. Kesepakatan dalam Risalah Amman telah menunjukan bagaimana sikap yang seharusnya dilakukan dalam keberagaman mazhab sehingga dapat saling hidup berdampingan meskipun berbeda mazhab. Setiap mazhab memiliki metodologi yang menjadi dasar pengambilan hukum dari setiap persoalan umat Islam. Maka dari itu untuk meminimalisir kesalahan dalam mengambil keputusan dibutuhkan seorang yang memiliki kredibilitas dalam menetapkan suatu hukum. Dalam Risalah Amman telah dijelaskan bahwa untuk penetapan pengambilan hukum diserahkan kepada masing-masing penganut mazhab

278 Suryo Ediyono, Muamar Maulana T he Concept of Tolerance Between School of Islam In T he Amman Massage dengan menggunakan metodologinya masing-masing dengan syarat-syarat yang sudah diatur di setiap mazhab.

Penutup

Risalah Amman merupakan respon atas fenomena Islamophobia yang terjadi pasca aksi terorisme 9/11 di Amerika Serikat. Risalah Amman tercipta atas gagasan Raja Abdullah II dari kerajaan Yordania. Deklarasi yang telah dilakukan menghasilkan putusan berupa Tiga Poin Risalah Amman yang memberikan penjelasan mengenai kriteria muslim, toleransi antar-mazhab dan keabsahan fatwa. Konsep toleransi antar-mazhab yang diusung dalam Risalah Amman adalah bahwasannya perbedaan yang terjadi diantara mazhab-mazhab Islam merupakan keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri. Kaitannya dengan kebinekaan mazhab dalam Islam maka patokan utama yang menjadi dasar toleransi adalah wujud perbuatan dari rukun Islam dan rukun Iman. Kedelapan mazhab yang disebutkan dalam Risalah Amman telah memenuhi syarat ini sehingga semua mazhab ini adalah muslim. Perbedaan yang terjadi harus dihormati dengan tidak melarang berkembangnya keyakinan orang lain, serta tidak mengintimidasi orang-orang yang berbeda keyakinan dengan mazhab yang diikuti.

Daftar Pustaka

Al Shalabi, Jamal dan Munawer Bayan Alrajehi. 2011. “The Amman Message: Arab Diplomacy in the Dialogue of Civilizations”. Dalam Journal of US- China Public Administration : Yordania. Masduqi, Irwan. 2011. BerIslam Secara Toleran. Bandung: PT. Mizan Pustaka. Mir Aghai, Jalaludin. 2014. Pelangi Islam: Fatwa-Fatwa Ulama Besar tentang Keragaman Mazhab. Terjemahan oleh Musa Muzauwir dari Al-ta’addudiyah al-madzhabiyah fi> al-wa ara’ al-‘ulama’ fi>ha (2007). Jakarta : Nur Al-Huda. Muammar, M. Arfan dan Abdul Wahid Hasan. 2013. Studi Islam: Perspektif Insider/ Outsider. Yogyakarta: IRCiSoD. Purwasito, Andrik. 2015. Komunikasi Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugono, et al. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Sulasman dan Setia Gumilar. 2013. Teori-teori Kebudayaan. Bandung: CV Pustaka Setia. The Royal Aal Al-bayt Institute for Islamic Thought. The Amman Message. 2008. R.I.S.S.C. Yordania. www.ammanmessage.com

Suryo Ediyono, Muamar Maulana 279

AKTIFITAS EKONOMI MASYARAKAT TIONGHOA DI SEMARANG TAHUN 1900-1930

Rindita Anggarini Santosa Department of History and Culture (Tourism) Sinchuan University –China

Latar Belakang

ebelum kedatangan orang Belanda, orang Tionghoa di Indonesia Shidup damai dengan penduduk setempat. Mereka hidup membaur dengan saling membawa budaya masing-masing. Orang Tionghoa hidup dengan berdagang, bertani, dan menjadi tukang.1 Kebanyakan para imigran dari Tiongkok ini tidak membawa istri karena perempuan Tiongkok tidak diperbolehkan untuk ikut berlayar dan kegiatan mengirim perempuan keluar dari Tiongkok adalah ilegal. Oleh sebab itu, memungkinkan para imigran tersebut untuk mengambil istri dari orang-orang setempat (orang Jawa atau Melayu). Latar belakang etnis dan kultural-lah yang membedakan para pendatang dari Tiongkok dengan penduduk lokal di Asia Tenggara, kemudian peranan mereka sebagai pedagang perantara.2 Mereka datang ke berbagai daerah di Asia Tenggara salah satunya nusantara dan pulau Jawa, yang mempunyai tujuan utama untuk mencari uang dengan cara giat memasuki semua bidang perdagangan.3 Menurut Lombart4 tidak semua orang Tiongkok yang bermigrasi ke Jawa mempunyai minat berdagang. Banyak diantaranya menjadi petani, pengurus usaha pertanian para bangsawan Jawa, atau sebagai pachter (pengusaha tanah) Pemerintah Belanda. Sebagai akibat politik pintu terbuka yang mulai dilaksanakan pada tahun 1870, perdagangan dan perekonomian di Hindia Belanda mengalami ke­

1 Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Elkasa, 2002), hlm. 55. 2 Leonard Blusse, Persekutuan Aneh Pemukiman Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 93. 3 Benny G. Setiono, op.cit, hlm. 57. Para imigran dari Tiongkok ini bergerak dalam berbagai industri misalnya penyulingan alkohol dan pembuatan alat-alat rumah tangga. Ada juga yang berprofesi sebagai pedagang, tukang kayu atau pandai besi di samping menguasai seluruh perdagangan eceran di pulau Jawa. 4 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian II: Jaringan Asia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2005), hlm. 245.

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 281 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya majuan yang pesat. Hindia Belanda, khususnya Jawa semakin terlibat dalam jaringan perekonomian dunia. Sehubungan dengan meningkatnya perdagangan internasional tersebut beberapa kota pelabuhan di Jawa yaitu Batavia, Semarang dan Surabaya memegang peranan penting. Kota-kota pelabuhan ini tidak hanya berperan sebagai perantara produk-produk ekspor dari Jawa, tetapi juga merupakan pintu gerbang pintu gerbang bagi barang-barang industri Eropa untuk dipasarkan di sini.5 Kota Semarang sebagai ibu kota propinsi, merupakan pintu gerbang utama bagi lalu lintas ekspor-impor dari dan ke wilayah Jawa Tengah. Tum­ buh­nya Kota Semarang sebagai kota perdagangan menjadikan daya tarik tersendiri bagi para penduduk, baik dari wilayah sekaresidenan maupun dari luar karesidenan.6 Semarang pada perkembangannya menjadi ibu kota dari propinsi Jawa Tengah, kemudian yang menjadikannya sebagai kota terbesar di propinsi ini. Tumbuhnya perkebunan swasta di Karesidenan Semarang pada masa kolonial, telah melibatkan penduduknya dalam mata rantai perdagangan internasional. Berbagai komoditas ekspor primadona saat itu yang dihasilkan Karesidenan Semarang adalah gula dan kopi.7 Kopi banyak ditanam di wilayah kaki gunung Ungaran dan kopi sempat menjadi primadona perdagangan. Kondisi pasar yang berubah membuat kopi tidak lagi menjadi primadona sedangkan gula yang lebih menjadi primadona menggantikan kopi. Walaupun pada perkembangannya setelah ditemukan gula bit permintaan akan gula tebu asal Indonesia di dunia juga menurun. Indonesia pada saat itu di bawah pemerintahan Kolonial Belanda merupakan salah satu negara pengekspor gula dunia. Keresidenan Semarang yang merupakan daerah penghasil gula mempunyai beberapa pabrik gula yang berada di wilayah kabupaten Kendal.8

Masyarakat Tionghoa Semarang awal sampai tahun 1930

Menurut Liem Thian Joe9 orang Tionghoa pertama sampai Semarang adalah Sam Poo Tay Djin yang mendarat di Gedong Batu atau Sam Poo Tong sekitar tahun 1416. Orang-orang Tionghoa sangat pandai dalam memilih Hong Sui10 untuk tempat tinggalnya karena itu dipilihlah Gedong Batu sebagai awal

5 Dewi Yuliati, dkk., “Industrialisasi Di Semarang (1906-1930)”, Hasil Penelitian Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang, 1996, tdk diterbitkan, hlm. 1. 6 Rachmat Susatyo, Penguasaan Tanah dan Ketenagakerjaan di Karesidenan Semarang Pada Masa Kolonial, pdf., hlm. 1. 7 Ibid., hlm. 1-2. 8 Ibid., hlm. 2. 9 Liem Thian Joe, Riwayat Semarang, (Jakarta: Hasta Wahana, 2004), hlm. 2. 10 Hong Sui adalah kepercayaan pada faktor-faktor alamiah yang menunjang nasib baik dan nasib buruk manusia. Lihat buku Hadoko, T. Hani. “Tradisi (Manajemen) Dagang ala Tionghoa”. Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa., (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996), hlm. 53-57.

282 Rindita Anggarini Santosa Aktifitas Ekonomi Masyarakat T ionghoa di Semarang Tahun 1900-1930 mula pemukiman orang Tionghoa. Adapun mereka akhirnya pindah dari Gedong Batu ke Semarang merupakan perintah dari pemerintah kolonial Hindia Belanda yang kuatir akan terjadi pemberontakan seperti halnya yang terjadi di Kertasura.11 Ini dilakukan agar orang-orang Tionghoa lebih mudah untuk diawasi dan dikontrol pergerakannya. Pemerintah Kolonial Belanda memerintahkan orang Tionghoa di Gedong Batu untuk pindah ke Semarang, hal ini bertujuan untuk membuat para orang Tionghoa agar sulit berkomunikasi dengan orang- orang Tionghoa yang berdiam di daerah lain. Kehidupan masyarakat Tionghoa diperkirakan mulai berkembang di daerah yang akhirnya terkenal dengan sebutan pecinan. Pecinan di Semarang terletak di tengah kota, di selatan pasar tradisonal, dan dibatasi oleh Sungai. Orang-orang mulai berdiam di wilayah ini sejak abad ke 17 dan pemukiman menjadi lebih stabil sejak akhir abad ke 18.12 Orang-orang Tionghoa Semarang sudah dipastikan pada akhir abad 19 tidak dapat diperbolehkan untuk tinggal di luar wilayah pecinan akibat dari Wijkenstensel pada tahun 1841 dan untuk berpergian mereka harus memperoleh ijin perjalanan jika hendak berpergian keluar dari wilayah pecinan. Jika melihat pertumbuhan penduduk asing di pulau Jawa dan Madura yang bersumber pada Volkstelling 1930 dapat dilihat pertumbuhan populasi orang Tionghoa di Jawa dan Madura meningkat dari tahun ke tahun. Harapan dapat berdagang dan menjadi sukses di tanah Jawa.

Tabel 1: Pertumbuhan Penduduk Asing (Tionghoa) di Jawa dan Madura

Tahun Laki-laki Perempuan Total 1900 149.774 127.491 277.265 1905 157.870 137.323 295193 1920 209.103 174.511 383.614 1930 319.931 262.500 582.431

Sumber: Volkstelling 1930 Buku ke VIII, “Overzicht voor Nederlands Indie”, Batavia: Landsdrukkerij-1936, hlm. 86. Tabel 4.

Penduduk Tionghoa di Semarang juga mengalami pertumbuhan dapat dilihat pada tabel 2 dengan tahun yang terseleksi. Dari tahun ke tahun pertum­ buhan penduduk Tionghoa di Jawa meningkat sekitar 6,5% kurun waktu 5 tahun. Lima belas tahun kemudian meningkat sebesar 30% dan dalam sepuluh tahun kemudian antara tahun 1920-1930 meningkat menjadi 52%. Peningkatan jumlah penduduk di Jawa dan Madura sangat signifikan dalam dekade awal abad 20. Dilihat di Semarang sendiri, kemungkinan orang-orang Tionghoa melihat Semarang sebagai ibu kota dan sebagai kota terbesar di Jawa Tengah merupakan

11 Ibid., hlm. 5. 12 Pratiwo, Lembar Sejarah, “Jalan Sebagai Perwujudan Perubahan Kultural Masyarakat Cina Di Semarang”, Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. volume 2, no. 1, 1999.

Rindita Anggarini Santosa 283 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya peluang emas mereka untuk memulai serta mengembangkan usahanya. Semarang ketika menjadi kota pelabuhan terbesar ke tiga di Jawa baru terjadi sekitar abad ke 17. Kedatangan Orang-orang Tionghoa ke Jawa untuk pertama kali biasanya mereka mendarat di Banten kemudian kearah timur menuju Jepara, Rembang, Lasem dan Demak. Jepara memang tampil terlebih dahulu sebagai pelabuhan yang besar sebelum abad 17. Banyaknya endapan lumpur yang terjadi di pantai Jepara inilah yang kemudian menyebabkan pelabuhan Jepara tidak lagi dapat disinggahi oleh kapal-kapal besar VOC, sehingga Semarang dirancang sebagai kota pelabuhan untuk menggantikan Jepara. Penyebab alam inilah yang mendorong orang Tionghoapun memilih untuk mendarat dan bermukim di Semarang, kemudian mereka berdagang di kota tersebut.

Tabel 2: Pertumbuhan Penduduk Asing (Tionghoa) Di Semarang Tahun Jumlah Penduduk 1832 3957 1920 19.727 1929 23.974 1930 31.625

Sumber: Volkstelling 1930 Buku ke VIII, “Overzicht voor Nederlands Indie”, Batavia: Landsdrukkerij-1936, hlm. 64. Tabel 1 dan Pratiwo, Lembar Sejarah, “Jalan Sebagai Perwujudan Perubahan Kultural Masyarakat Cina Di Semarang”, Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. volume 2, no. 1, 1999.

Menurut catatan dalam Regering Almanak tahun 1906-1910, di kota Semarang terdapat 13.636 orang. Pada waktu itu penduduk kota Semarang berjumlah 96.000 orang, atau 14,11% Tionghoa dari seluruh jumlah penduduk. Menurut sensus tahun 1920, terdapat 19.727 orang Tionghoa di kota Semarang dari seluruh penduduk 126.628 atau 15,58%. Dalam sensus tahun 1930, terdapat 31.625 orang Tionghoa, dari seluruh penduduk sebesar 175.457 orang atau 12,59%. Kenaikan terbesar terjadi pada tahun 1920, dengan datangnya imigran baru daru Tiongkok.13 Para pendatang (orang Tionghoa) menurut Willmot terbagi dalam enam kelompok bahasa menurut asal usul mereka dari China yaitu Hokian, Hakka, Canton, Hokchia, Henghua, Hok Chiu. Kelompok Hokian yang lebih dulu datang ke Semarang sehingga 70% dari mereka telah menjadi peranakan. Sebagian besar datang ke Semarang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik yaitu dengan cara berdagang.

13 Rachmat Susatyo, op.cit., hlm. 25-26.

284 Rindita Anggarini Santosa Aktifitas Ekonomi Masyarakat T ionghoa di Semarang Tahun 1900-1930

Tabel 3: Kelompok Asal-usul Serta Keahlian Kelompok Keahlian Hokian Peranakan yang mempunyai bermacam-ma- cam keahlian dan kedudukan di Semarang Hakka berasal dari Kwan- Berdagang peralatan Rumah Tangga di Jalan tung-Mei Shien Pekojan dan Gang Pinggir Canton datang dari Canton, Ma- Menjalankan Industri kecil khususnya kayu cao dan daerah sekitarnya dan furniture di Sebandaran Hokchia datang dari Fuching Berdagang di Gang Waru Henghua datang dari Piu Tien Membuka toko sepeda di daerah Depok Hok Chiu atau Hupei yang Menjadi tukang emas di Kranggan dan Gang menjadi satu-satunya kelompok Pinggir yang memakai bahasa manda- Mereka juga menjadi tukang gigi rin

Sumber : Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang : A Changing Minority Community in Indonesia, (London: Cornell University Press, 1960).

Suatu komunitas Tionghoa pada masa itu selalu dipimpin oleh perwira, perwira sebagai pemimpin tertinggi di pecinan Semarang adalah Mayor. Berbagai pangkat Mayor, Kapten serta Letnan disini bukanlah pangkat dalam kemiliteran hanya sebutan untuk para pemimpin sosial dari kalangan Tionghoa. Penempatan Mayor Tionghoa di Semarang dibantu oleh satu atau dua Kapten serta dua atau empat lebih Letnan yang bertugas membantu kerja dari Mayor. Daerah distrik dipimpin oleh kepala distrik. Seorang perwira Tionghoa tidak berhak menghukum atau mendenda, akan tetapi para pelanggar akan diadili oleh pegawai-pegawai bangsa Eropa yang mempunyai wewenang. Pemungutan pajak dari perusahaan-perusahaan milik orang Tionghoa ditugaskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda kepada para perwira-perwira ini. Dimana para perwira itu memperoleh 8% dari pajak yang mereka pungut. Betapa berkuasanya para perwira Tionghoa diantara para kaumnya mereka sendiri.

Tiong Hwa Siang Hwee 1907-1930

Antara tahun 1902 dan 1911 atas dorongan dari pemerintah Hindia Be­ landa, para pengusaha Tionghoa mendirikan sebuah Kamar Dagang di kota-kota besar di Indonesia.14 Kamar dagang milik orang-orang China dinamakan dengan Tiong Hwa Siang Hwee yang berarti “Organisasi dari orang-orang Tionghoa”15 atau menurut Willmot diartikan sebagai “Perkumpulan Dagang Orang China”. Tiong Hoa Tjong Siang Hwee atau dapat disingkat menjadi Siang Hwee di dirikan pada tanggal 9 Maret 1907 di Gedung Kam-tjhat-tee di Gang Pinggir.

14 Donald Earl Willmott, The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia, (London: Cornell University Press, 1960, hlm. 27. 15 Bokoe Peringetan 1907-1937 Tiong Hwa Siang Hwee Semarang, hlm. 1.

Rindita Anggarini Santosa 285 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya

Yang memprakarsai berdirinya Siang Hwee ini antara lain tuan-tuan: Tjioe Ping Hie, Be Kwat Yoe, Kwa Wan Hong, Kam Khiem Hok. Oei Liang bo, Gan Siang Liat, Liem Giok Sing, Sih Khay Hie, Ang Wie Kiong, Oei Ik Tjoe, Tan Tjing Ping, Tjoa Tjhoen kang, Njoo Tjhan Sing, Liem Kiok Liam, Tan Tjing Tjiang, Tan Boen Gwan, Oei Boen Sia, Oh Tjhing Tjoe, Oen Hong Djie, Oei Lee Tjiong, Tan Tjo Tik, Tjoe Tong Sing serta Firma-firma: Yoe Siang, Kong Hap Hoo, Djoe Hap Kong Sie, Sing Hap Kong Sie, Hoo Soen Tjan, Tik Djoe Liong, Giok Hok Hoo, dan Ik Gwan Kong Sie.16 Tujuan pendirian Siang Hwee ini untuk mengajarkan tentang perdagangan, memberikan penyuluhan kepada anggota yang berkepentingan dalam perdagangan, memperbaiki kedudukan pengusaha Tionghoa serta merapatkan hubungan dagang anatar Tiongkok dan Indonesia.17 Dalam hubungan dagang dengan Tiongkok Siang Hwee membantu dalam hal ekspor barang yang akan dilakukan oleh pabrik-pabrik di Tiongkok. Siang Hwee membantu menyumbang saran agar barang dari Tiongkok dapat laku dipasaran Jawa. Selain itu Siang Hwee banyak membantu Tiongkok dalam hal dana, hal ini dilakukan ketika Tiongkok mengalami musibah bencana alam. Pengusaha terkemuka serta Firma terkemuka di Semarang sering ikut beramal dengan menyumbang dana untuk membantu para korban bencana tersebut.18 Siang Hwee juga banyak membantu mencarikan para pedagang Tionghoa di Semarang dana jika mereka mengalami kesulitan modal. Ketika harga beras dan gula menurun di pasar dunia serta diikuti dengan uang kertas De Javasche Bank yang dirumorkan tidak akan laku lagi saat perang dunia pertama. Saat itu Siang Hwee berperan penting dengan jalan membuat sidang luar biasa yang merumuskan berbagai putusan-putusan yang membuat tenang para pengusaha, pedagang, dan masyarakat Tionghoa Semarang. Putusan-putusan yang dihasilkan tentu saja meredam keresahan para pengusaha dan pedagang Tionghoa Semarang. Berbagai Sidang-sidang luar biasa sering dilakukan oleh Siang Hwee sebagai salah satu cara mengatasi krisis-krisis dalam bidang perdagangan di Semarang. Siang Hwee juga berperan dalam penghapusan pajak perang yang dibebankan kepada pengusaha Tionghoa oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

16 Ibid. 17 Ibid. Selain membantu para pengusaha Tionghoa dalam menjalankan bisnisnya, Siang Hwee juga menajalin hubungan sosial-politik dengan Negara Tiongkok (China). Ketika daerah- daerah di China mengalami bencana alam Siang Hwee ikut menggalang dana dari para pengusaha di Semarang untuk ikut membantu para korban. Serta menjadi semacam kantor konsulat yang mengurusi masalah kewarganegaraan misalnya paspor dll. Baca Donald Earl Willmott, op.cit., hlm. 28. 18 Tentang bantuan para pengusaha Tionghoa Semarang dalam menjalin hubungan yang erat dengan Tiongkok banyak dicatat di Bokoe Peringetan 1907-1937 Tiong Hwa Siang Hwee Semarang. Seperti Firma Kian Gwan menyumbang f. 10.000 untuk membantu meringankan korban banjir di Peking, Amoy dan Tientsin, tercatat pula Sih Khay Hie mendermakan uang 200 aandelen untuk mendirikan sebuah Bank di Tiongkok.

286 Rindita Anggarini Santosa Aktifitas Ekonomi Masyarakat T ionghoa di Semarang Tahun 1900-1930

Siang Hwee sebagai wakil dari pengusaha Tionghoa Semarang ikut menandatangi surat Handelvereeniging yang diajukan oleh Handelvereeniging di Padang berupa surat permohonan kepada Tweede Kamer di Belanda yang berisi soal keinginan penghentian pemungutan pajak perang yang harus dibayarkan oleh pengusaha- pengusaha Tionghoa.

Pekerjaan, Usaha, Industri dan Ekonomi Masyarakat Tionghoa Semarang 1900-1930.

Pada Tahun 1914 setelah terjadi pembunuhan putra mahkota Austria terjadi kegoncangan di Eropa yang menyebabkan terjadinya kekuatiran akan tidak berlakunya lagi uang kertas dari De Javasche Bank. Informasi yang beredar di masyarakat mempengaruhi kegiatan perdagangan. Pengusaha Tionghoa mengatasinya melalui Siang Hwee yang mengadakan sidang luar biasa. Hasil sidang tersebut menetapkan bahwa pengusaha Tionghoa jangan menarik deposito dari bank serta tetap menggunakan uang kertas seperti biasa. Sehingga isu uang kertas tidak laku lagi berangsur-angsur hilang. Sejak peperangan di Eropa semakin meluas, barang-barang Tiongkok ingin membanjiri pasar di Jawa hanya saja barang-barang dari Tiongkok ini tidak dapat bersaing. Hargan barang dari Tiongkok yang mahal dan tidak sesuai dengan pasar di Jawa. Barang dari Tiongkok kalah bersaing dengan barang dari Jepang. Keadaan perang Eropa menyebabkan harga beras dan gula naik sehingga para pengusaha gula resah. Pelarangan gula dan beras impor serta pelarangan menjual beras, gula ke luar pulau Jawa menyebabkan harga beras semakin melonjak dan rakyat kelaparan. Pada saat impor beras diperbolehkan lagi kemudian dibuatlah sebuah ketetapan dari pemerintah untuk harga beras di pasaran Jawa yaitu : 1. Beras Petjiam dari Rangoon per datjin*...... f 15,- 2. Beras Pikto tida ada persediaan 3. Beras C.I menir per datjin…………………… f 12.50,- 4. Beras A.I menir per datjin…………………… f 13.50,- 5. Beras merah kasar per datjin………………… f 12,25,- 6. Beras pehtjiam dari Siam per datjin…………. f 16,- 7. Beras Lamliap tida ada persediaan 8. Beras tjoeke per datjin……………………….. f 18,- Sumber : Bokoe Peringetan 1907-1937 Tiong Hwa Siang Hwee Semarang, hlm. 4. Catatan : * timbangan beras.

Disaat harga beras sudah dapat dikendalikan ternyata banyak pedagang yang mengalami kerugian pada tahun-tahun ini karena harga gula mengalami fluktuasi harga pada masa Perang Dunia Pertama. Dilain pihak keuntungan besar malah didapat Oei Tiong Ham yang berani melakukan spekulasi dengan

Rindita Anggarini Santosa 287 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya menimbun gula dan menjualnya kembali disaat harga mahal.19 Oei Tiong Ham dalam menjalankan usahanya ternyata tidak hanya mengandalkan bisnis gula saja. Dia mendiversifikasikan usahanya masih dibidang pertanian dan perkebunan dalam bidang penjualan kapuk, randu, karet, tapioka dan teh. Oei Tiong Ham terkenal akan julukan “Raja Gula dari Jawa” karena dalam kurun 1 dasawarsa berhasil mendapatkan lima buah pabrik gula dan memodernisasikan peralatan produksinya dengan mesin-mesin yang baru (bertenaga listrik). Mempekerjakan staf-staf yang ahli dibidangnya termasuk orang Belanda. Hal ini tidak seperti orang Tionghoa pada umumnya yang lebih memilih mempekerjakan keluarga. Sehingga usaha yang dimiliki Oei Tiong Ham dapat sukses melebihi pengusaha- pengusaha Tionghoa lain di Semarang bahkan di Jawa.

Tabel 4: Firma dan Pengusaha Terkemuka di Semarang Tahun 1900-1930 Kepemi­ Tahun Aset (dlm No. Firma/Pengus-aha Jenis Usaha likan Pemilik Berdiri Gulden) China 1. Alg. Mij Exploitatie 1919 Agrobisnis 40 jt P Oey Tiong Oey Tiong Ham Ham 2. NV. Bankvereeneging- 1906 Perbankan 4 jt P Oey Tiong ing Oey Tiong Ham Ham 3. Kian Gwan 1862 Perdagangan 3 jt P Oey Tiong Ham 4. NV. Indish Llyod Alg. 1917 Asuransi 1 jt P Thio Thiam Tjong dkk 5. NV. Handel Mij Thio 1921 Perdagangan, 2 jt P Thio Seng Seng Liong penyewaan Liong tanah, per­ kayuan 6. Sih Khay Hie - Perdagangan, - - Sih Khay perumahan Hie

Sumber : Twang Peck Yang, Elite Bisnis Cina di Indonesia Dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940- 1950, (Yogyakarta: Penerbit Niagara, 2005), hlm. 47-48 dan 55-56; Boeko Peringetan 1907- 1937 Tiong Hwa Siang Hwee Semarang, hlm. 11

Tabel diatas belum sempurna dan lengkap data yang diperoleh juga sangat minim di tabel tersebut dapat dilihat firma-firma yang dimiliki oleh orang Tionghoa Semarang. Aset yang dimiliki oleh perusahaan gula Oei Tiong Ham mencapai 40 juta gulden merupakan angka yang fantastis untuk sebuah perusahaan gula pada saat itu belum lagi ditambah dengan berbagai usaha dibidang agrobisnis, perbankan serta perdagangan. Oei Tiong Ham dapat disebut sebagai pengusaha pertama yang mempunyai kerajaan bisnis mencapai wilayah Asia Tenggara bahkan Eropa (Inggris) dan China. Di negara-negara tersebut Oei Tiong Ham membuka cabang usahanya.

19 Yoshinaro Kunio, Konglomerat Oei Tiong Ham Kerajaan Bisnis Pertama Di Asia Tenggara, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), hlm. 105

288 Rindita Anggarini Santosa Aktifitas Ekonomi Masyarakat T ionghoa di Semarang Tahun 1900-1930

Antara tahun 1913-1923 pemaksaan akan sewa tanah semakin merajalela sebab pemerintah Hindia Belanda menanamkan 1/3 modalnya di sektor perkebu­ ­ nan industri sehingga harus mengejar keuntungan maksimal. Areal perkebunan di Jawa semakin meluas dan areal pertanian menjadi semakin sempit. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan buruh perkebunan semakin meningkat dan petani menjadi menurun jumlahnya. Tahun 1870 Perkebunan yang dulunya diusahakan oleh pemerintah se­ karang diperbolehkan dikelola oleh swasta. Pemerintah Hindia Belanda me­ ngubah tanah jajahannya menjadi bersistem liberal. Walaupun seseorang tidak mempunyai tanah untuk dijadikan perkebunan mereka dapat menyewa tanah dari pemerintah lokal untuk dijadikan wilayah perkebunannya. Sehingga Jawa pada kisaran tahun 1900-1920 dapat memproduksi gula dari perkebunan tebu dalam jumlah besar.

Tabel 5: Produksi Tebu Gula di Jawa Tahun Produksi (Ton) 1900 744.257 1915 1.319.087 1917 1.822.188

Sumber: Endang Muryanti, “Sarekat Islam Semarang Tahun 1913-1920”, Skripsi, Semarang: Fakultas Ilmu Sosial UNNES, 2006, hlm. 30.

Di semarang terdapat kurang lebih 60 perkebunan yang biasanya ditanami tebu, nila ,kopi, kina, coklat dll. Pada akhir abad ke 19 diantara tanah perkebunan yang disewakan kepada para pengusaha tersebut di Semarang terdapat 12 pabrik gula, 1 pabrik tapioka, 2 penggilingan padi, dan 4 onderneming bagi tanaman gula/tebu sebagai tanaman material. Selanjutnya 5 pabrik karet pemerintah, yang mengolah getah dari perkebunan pemerintah.20

Tabel 6: Pekerjaan Masyarakat Tionghoa di Semarang Berdasarkan Tempat Lahir (1930) Semarang No. Pekerjaan Pada Bidang A B C Produksi Bahan Mentah 97 9 106 Industri 1073 1284 2377 a. Makanan/minuman/tembakau 451 274 728 b. Industri Logam 62 30 93

20 ENI III, hlm. 741. 12 pabrik gula yang disebut diatas, termasuk pabrik gula di Karesidenan Jepara. Pabrik gula di Karesidenan Semarang hanya 4 buah, yang semuanya terdapat di afdeling Kendal. Pabrik gula di Karesidenan Jepara dimasukkan ke dalam Karesidenan Semarang, disebabkan pada akhir abad XIX, Jepara termasuk wilayah Karesidenan Semarang. Selain itu, banyak pengusaha gula di Semarang yang memiliki beberapa pabrik di wilayah Jepara; sehingga dalam hal produksi pabrik tersebut dimasukkan sebagai produksi gula di Karesidenan Semarang

Rindita Anggarini Santosa 289 Tema III: Lokalitas dan Kontekstualitas Sastra dan Budaya

Semarang No. Pekerjaan Pada Bidang A B C c. Kayu/bambu 84 671 756 d. Pakaian 135 197 335 3. Transportasi 291 29 322 a. Transportasi Darat 176 12 190 4. Perdagangan 2677 1715 4412 a. Makanan/tembakau 597 348 947 b. Barang-barang Tekstil 207 538 753 c. Toko/kios 985 560 1553 d. Pedagang Skala Besar 370 86 457 e. Kredit 142 6 148 5. Pekerja Seni (profesi) 146 120 269 a. Seniman/Jurnalis/wartawan 67 50 117 6. Pelayanan Sipil 67 5 72 7. Lainnya 489 113 604 a. Bekerja utk kelangsungan hidup 78 18 97 a. Pekerja rumah tangga 109 34 144 b. Pekerjaan kurang penting 286 58 344

Sumber: Volkstelling 1930 Buku ke VII, “Overzicht voor Nederlands Indie”, Batavia: Landsdrukkerij-1935, hlm. 354-357.

Catatan : A: Lahir di Hindia Belanda B: Lahir di Luar Negeri C:Total (termasuk diantaranya orang Tionghoa yang tidak diketahuai asal mereka)

Bersumber dari Volkstelling 1930 dapat dilihat berbagai jenis pekerjaan atau usaha yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa Semarang. hanya anehnya dalam Volkstelling 1930 tidak disertakan berapa banyak masyarakat Tionghoa yang berkecimpung dalam produksi gula atau produksi bahan mentah (tebu) karena seperti yang sudah diketahui di Semarang merupakan salah satu penghasil tebu di Jawa. Kemungkinan karena banyaknya pabrik gula merupakan milik pemerintah Belanda atau orang Belanda. Oei Tiong Ham sendiri membuka kantor perusahaan gulanya di Semarang dengan nama Alg. Mij Exploitatie Oey Tiong Ham dan Kian Gwan. Faktanya 4 pabrik gula milik Oei Tiong Ham berada di Jawa Timur.

Kesimpulan

Masyarakat Tionghoa Semarang bergerak dalam bidang perdagangan. Para Tionghoa banyak bergerak dalam perdagangan besar selain itu mereka

290 Rindita Anggarini Santosa Aktifitas Ekonomi Masyarakat T ionghoa di Semarang Tahun 1900-1930 juga banyak yang menggeluti perdagangan kecil, perdagangan perantara serta bergerak dalam usaha pertanian/perkebunan yang memproduksi bahan mentah. Industri gula merupakan usaha yang menonjol di Semarang, walaupun pabrik gula milik orang Tionghoa tidak terlalu banyak tetapi daerah perkebunan tebu di Semarang tergolong besar sebagai penyuplai bahan baku pembuatan gula. Tionghoa Semarang memiliki Tiong Hwa Siang Hwee sebagai perkumpulan dagang mereka. Siang Hwee ini cukup berperan terhadap perdagangan di Semarang terutama perdangangan yang dijalankan para pengusaha Tionghoa. Para pengusaha saling bantu dalam hal perdangangan, peminjaman modal melalui Siang Hwee. Siang Hwee tidak hanya berperan sebagai perkumpulan dagang saja tetapi juga sebagai penghubung sosial-politik masyarakat Tionghoa perantauan agar dapat menjalin kerjasama dengan Tiongkok (China). Perang Dunia pertama sempat membuat beberapa pengusaha Tionghoa Semarang kolaps serta menanggung biaya perang yang dibebankan oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada mereka. Tetapi, dimanapun mereka berada pengusaha Tionghoa tidak akan pernah putus asa dan terus kembali meneruskan usaha mereka sehingga bisa bangkit kembali.

Rindita Anggarini Santosa 291

TEMA IV: EDUCTION, LITERATURE AND LANGUAGE STUDIES Sastera Melayu Memprakarsakan Modal Insan dalam Pendidikan Negara Azhar bin Hj.Wahid & Fathin Noor Ain binti Ramli...... 295

Works of Literature As A Media To Build Character Education Values: An Analysis on The Legend of Salatiga Noor Malihah...... 309

Cerita Fantasi dan Sains Fiksyen Membina Daya Kreativiti dan Motivasi Murid-Murid Sekolah Dalam Hospital Professor Madya Dr. Ani Binti Haji Omar...... 317

Akal Budi dalam Peribahasa Melayu Sarawak Abang Patdeli bin Abang Muhi...... 335

Penilaian Kurikulum Berasaskan Model CIPP (Context, Input, Process, Product) Azizi bin Jaafar, PhD, Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, dan Akhyar Zaim Bin Azizi...... 357

Tipe-Tipe Kesalahan Konkordansi Gramatikal pada Klausa Bahasa Arab Supardi...... 379 SASTERA MELAYU MEMPRAKARSAKAN MODAL INSAN DALAM PENDIDIKAN NEGARA

Azhar bin Hj.Wahid & Fathin Noor Ain binti Ramli Fakulti Bahasa dan Komunikasi, Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Tanjung Malim, Perak. Email: [email protected] , HP: 017-3307518

Abstrak

Sastera Melayu sebagai satu aspek kemanusiaan yang penting, menyentuh keperihalan manusia melalui penggunaan bahasa yang berseni, merakamkan pemikiran dan pengalaman manusia melalui struktur yang indah dan berkesan. Pemikiran, ekspresi dan komunikasi serta gaya bahasa yang indah, menjadi titik tolak dan teras dalam memperkasakan modal insan yang membijaksanakan manusia dalam setiap tindakan kehidupannya. Peranan sastera adalah selari dengan falsafah pendidikan iaitu untuk melahirkan rakyat yang beilmu penge­ tahuan, berketrampilan, berakhlak mulia, bertanggungjawab dan berkeupayaan untuk mencapai kesejahteraan diri demi menyumbang terhadap keharmonian dan kemakmuran masyarakat dan negara. Modal insan berkualiti merupakan aset yang penting dalam usaha menggerakkan pembangunan dan kemajuan Negara. Pembinaannya merangkumi satu proses lengkap membentuk tenaga kerja manusia yang berilmu, berakhlak, berkemahiran, berdaya saing dan ber­ daya tahan. Pendidikan merupakan cabang utama dalam pembentukan modal insan untuk mendidik akhlak dan jiwa, menanam diri dengan sifat terpuji, membiasakan diri dengan kesopanan yang tinggi dan mempersiapkan diri pelajar dengan sesuatu kehidupan yang suci dan ikhlas serta jujur demi menentukan hala tuju negara, bangsa dan agama.

Kata kunci: Pemikiran, komunikasi, pembangunan, berkemahiran, akhlak

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 295 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

Pengenalan

odal Insan ialah unsur-unsur kemanusiaan dan keduniaan yang Mterdapat dalam diri seseorang insan yang boleh dibangunkan sehingga menjadikan seseorang individu itu seorang yang berguna. Islam memandang pembentukan individu sebegini adalah merupakan asas utama. Dalam Islam, umat Islam dianggap umat yang terbaik (khayr ummah) dan mereka mesti menonjolkan sifat ini kepada umum. Untuk membuktikannya, tumpuan utama pembangunan umat Islam adalah penjanaan akal, sahsiah dan iman mereka. Dalam hal ini, akal adalah elemen utama keranan ia dapat membezakan seorang manusia itu sama ada menjadi seorang insan atau haiwan (haywan al- natiq). Dalam al-Quran ada merekodkan bahawa manusia akan menjadi haiwan atau lebih hina lagi apabila tidak menggunakan akal. Firman Allah SWT (Surah al-A’raf (7):Ayat 179) bermaksud: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan daripada jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat- ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”

Berasaskan nas ini, seseorang manusia boleh menjadi insan yang berkualiti apabila akal mereka dapat memandu diri, peribadi dan masyarakat sekeliling. Justeru itu, pemahaman ke atas tujuan utama manusia dijadikan di muka bumi dan kewajiban keimanan kepada Allah SWT dapat membawa manusia ke matlamat yang tepat. Dalam agenda pembangunan masyarakat Islam yang berteraskan al-Quran dan al-Sunnah, terdapat tiga ajaran Islam iaitu akidah, syariah dan akhlak. Gabung-jalin daripada tiga elemen ini akan membentuk satu gagasan yang tersusun bagi pembentukan umat Islam yang kuat, mantap, berguna dan terbaik. Mereka bukan hanya memiliki jiwa dan kefahaman kehidupan ini (duniawi dan ukhrawi) secara tepat, malah dizahirkan melalui amalan dan perkataan. Pemahaman ini menjadikan seorang Muslim itu mengetahui ke mana arah tuju kehidupan mereka dan menjadikan mereka golongan yang sentiasa ingin berjaya. Dalam kata lain, pembinaan modal insan dapat dicapai dengan membangunkan manusia sebagai human capital (Abdul Malek Al.Sayed, 1995). Ini sesuai dengan pandangan Ibn Khaldun yang menjadikan manusia sebagai fokus pembangunan atau pusat dunia. Oleh yang demikian konsep ini menjadikan modal kepada seseorang insan atau ringkasnya “modal insan” itu ialah menjadi insan yang berilmu, beriman dan beramal. Ketiga-tiga ciri itu mestilah berada serentak kerana kekurangan salah satu daripadanya mengakibatkan sifat modan insan itu tidak berjaya. Misalnya, insan yang berilmu tetapi tidak beriman akan membawa kehancuran dan kezaliman kepada bangsanya, begitu juga jika tidak beramal akan menyebabkan hidup sia-sia.

296 Azhar Bin Hj.wahid & Fathin Noor Ain Binti Ramli Sastera Melayu Memprakarsakan Modal Insan dalam Pendidikan Negara

Justeru itu, kejayaan material semata-mata tanpa nilai agama adalah bukan matlamat hidup bagi mereka yang berasaskan pembinaan modal insan. Se­ bagaimana firman Allah swt. Dalam surah al-Baqarah ayat 201 yang bermaksud:­ “Ya Allah, datangkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan juga di akhirat serta jauhkanlah kami daripada azab neraka.” Dengan ini, dapat kita memahami bahawa setiap perkara yang kita lakukan di dunia ini hendaklah seimbang di antara dunia dan akhirat atau dalam kata lainnya di antara rohani dan jasmani. Berkaitan dengan ini, Syed Qutub ada menegasakan bahawa “apabila kemanusiaan manusia itu menjadi nilai yang tertinggi di dalam se­sebuah masyarakat, dan apabila sifat-sifat kemanusiaan di dalam masyarakat itu yang menjadi tumpuan penilaian ketika itulah masyarakat menjadi sebuah masyarakat yang bertamadun, sebaliknya bila sahaja benda dalam bentuk apa pun menjadi nilai tertinggi dalam sesebuah masyarakat sama ada dalam bentuk “teori” seperti dalam tafsiran ala Karl Marx terhadap sejarah atau dalam bentuk pengeluaran benda seperti di Amerika, Eropah dan seluruh negara yang menganggap­ pengeluaran benda itu sebagai nilai tertinggi dan kerana itulah pula nilai-nilai kemanusiaan itu dipanang hina malah dipijaknya langsung. Maka masya­rakat itu adalah sebuah masyarakat yang songsang atau mengikut sebutan Islam masyarakat itu adalah masyarakat “jahiliyyah”. Sesungguhnya masyarakat ber­tamadun atau masyarakat Islam tidak memandang mudah kepada benda tidak dalam bentuk teori dan tidak pula dalam bentuk “pengeluaran benda” kerana pengeluaran benda adalah punca kehidupan di dunia ini sebagai pemberian­ Allah swt tetapi Islam tidaklah pula memandang benda itu sebagai asas semua nilai kemanusiaan semata-mata kerana hendak mengejar kemewahan kehidupan. Penekanan ini jelas menunjukkan bahawa keseimbangan di antara dunia dan akhirat atau di antara kebendaan dan rohani boleh membawa manusia kepada pencapaian ketamadunan dan kemajuan hidup. Antara dunia dan akhirat saling berkait di antara satu sama lain, tidak dapat dipisahkan sepertimana Allah swt menyebut dalam surah al-Qasas ayat 77 yang bermaksud; “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah swt kepada mu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahgiaanmu dari kenikmatan duniawi. Ibnu Kathir menegaskan berkenaan ayat ini, “Iaitu gunakanlah apa yang dikurniakan oleh Allah swt daripada harta yang banyak serta nikmat berterusan untuk mentaati Tuhan kamu, serta mendekati kepadaNya dengan berbagai cara pendekatan yang dapat menghasilkan pahala di dunia dan akhirat dengan tidak melupakan bahagian kamu di dunia daripada makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, perkahwinan. Sesungguhnya Tuhan kamu mempunyai hak ke atas kamu maka datangkanlah hak kepada mereka yang mempunyai hak ke atas kamu. Seungguhnya pendidikan fardhu ain dan fardhu kifayah adalah dua elemen terpenting yang saling menyatu, membantu serta melengkapi di antara satu sama lain bahkan konsep pendidikan dalam Islam yng telah dijalankan

Azhar Bin Hj.wahid & Fathin Noor Ain Binti Ramli 297 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies semenjak 800 tahun yang lalu ialah bersifat bersepadu serta menyeluruh. Ini kerana Islam mewajibkan umatnya mencari dan menuntut setiap ilmu yang bermanfaat dengan menjadikan ilmu fardhu ain sebagai terasnya, manakala imu-ilmu fardhu kifayah wajib juga dipelajari sekiranya ini dapat memajukan umat dan tamadun Islam. Dengan kata lain, kekuatan intelek umat Islam itu sangat penting kerana ia merupakan nadi kepada kegemilangan tamadun Islam. Maka dengan itu, menerusi kesepaduan ilmu fardahu ain dan fardhu kifayah inilah akhirnya cita-cita gagasan dan wawasan kita khususnya dalam pendidikan negara dapat direalisasikan. Pembentukan modal insan harus dilihat secara menyeluruh membabitkan semua aspek kehidupan dalam individu dan masyarakat. Oleh itu terdapat pelbagai aspek yang perlu diberi penekanan dalam usaha memperkasa modal insan dalam pendidikan negara, antaranya ilmu pengetahuan, daya intelek, kemahiran, tahap peningkatan ekonomi, kebudayaan dan sebagainya. Oleh yang demikian, kertas kerja ini akan mengupas dengan lebih jelas lagi mengenai pemerkasaan modal insan melalui sastera Melayu dalam pendidikan negara.

Sastera Melayu Memperkasa Modal Insan

Menurut Imam Al-Ghazali, fokus matlamat dalam pendidikan negara ialah ke arah pembentukan akhlak insan yang sempurna sebagaimana terbina dalam falsafah pendidikan negara. Tujuan utama asas dalam pendidikan ialah untuk melahirkan insan sempurna yang bermatlamat mendekatkan diri kepada Allah swt. Sementara tujuan kedua pula ialah untuk melahirkan insan sempurna yang bermatlamat mendapat kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Pendidikan bukanlah sekadar satu proses untuk memenuhi mental dengan segala ilmu yang belum diketahui, tetapi bermaksud juga untuk mendidik akhlak dan jiwa, menanam diri dengan sifat terpuji, membiasakan dri dengan kesopanan yang tinggi dan mempersiapkan diri dengan suatu kehidupan yang suci dan ikhlas serta jujur. Al-Ghazali berpesan; “tujuan pendidikan ialah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan pangkat dan bermegah-megah. Jangan seseorang belajar untuk mencari pangkat, harta, menipu orang bodoh atau bermegah- megah dengan kawan-kawan. Oleh itu pendidikan tidak terkeluar daripada pendidikan akhlak. Tujuan sebenar seseorang itu mempelajari segala ilmu pada masa kini adalah untuk kesempurnaan dan keutamaan jiwanya.” Melalui pendidikan yang sebenar dan tepat, akhlak bagi seseorang dapat dibentuk dan seterusnya segala kegiatan yang tidak bermoral akan dapat dikawal dan dihapuskan. Oleh yang demikian pendidikan yang berasaskan modal insan sewajarnya menjadi teras dalam pembangunan sikap dan mental individu, termasuk juga kepada cara untuk berfikir, keinsafan diri, ketahanan perjuangan serta kefahaman tentang hala tuju realiti zaman yang pantas berubah. Meskipun setiap insan dicipta dalam bentuk fitrah, tetapi mereka berpotensi

298 Azhar Bin Hj.wahid & Fathin Noor Ain Binti Ramli Sastera Melayu Memprakarsakan Modal Insan dalam Pendidikan Negara untuk berubah menjadi baik atau buruk melalui pendidikan, latihan, undang- undang, peraturan, tunjuk ajar, nasihat, disiplin dan sebagainya. Faktor agama, nafsu, keluarga, ibu bapa, rakan, masyarakat dan suasana sekeliling, kaedah mujahadah, riyadah, pemerhatian, pegaulan dan muhasabah, institusi formal serta peranan kaunseling dan dakwah digunakan sebagai kaedah penting bagi mendidik akhlak manusia. Kesemua kaedah ini dilakukan mengikut kesesuaian individu dan melibatkan kombinasi hati serta seluruh anggota badan yang lain. Kaedah mujahadah dan riyadah adalah kaedah pendidikan dengan cara memaksa diri melaksanakan akhlak terpuji sehingga ia menjadi suatu tabiat, adat ataupun kebiasaan yang menyeronokkan bagi seseorang. Ia dimulai dengan muhasabah diri iaitu berusaha memeriksa kelemahan diri dan akan mencari sifat mazmumah yang dimiliki dengan menjadikan peribadi orang lain sebagai cerminan diri. Kaedah ini melibatkan proses tazkiyah al-nafs iaitu jiwa dibersihkan daripada sifat mazmumah dan digantikan dengan sifat mahmudah. Umpamanya, orang yang jahil memperolehi kebijaksanaan dengan cara menguasai ilmu, orang yang kikir dengan melatih diri menderma, orang yang angkuh dengan cara memaksa diri bersifat merendah diri, orang yang pemarah dengan amalan bersabar dan sebagainya. Begitu juga dalam mendidik akhlak melalui cara memerhati dan bergaul dengan orang yang berakhlak mulia bertepatan dengan sifat manusia yang secara tabiinya bersifat mudah meniru. Melalui pemerhatian dan pergaulan akan membolehkan mereka mempelajari, meniru dan mencontohi pelbagai sifat baik dan akhlak mulia yang dipamerkan oleh orang lain secaa sedar atau tidak. Cara ini sangat berkesan terutama dalam mendidik kanak-kanak yang merangkumi adab makan, berpakaian, pergaulan, menuntut ilmu, berkomunikasi, memberi teguran atau nasihat dan sebagainya. Manakala mengikut pendekatan muhasabah, maka seseorang dapat memeriksa dan mengesan kelemahan yang terdapat pada diri sendiri. Ini diikuti dengan mengambil langkah pembetulan dan pembaikian. Empat mekanisme utama didapati mampu mengesan kelemahan- kelemahan diri. Pertama, dengan cara mendampingi guru lantaran beliau cukup arif dalam bidang pendidikan dan berautoriti untuk memberi nasihat atau teguran. Kedua, meminta teman yang boleh dipercaya, beragma dan ikhlas memberitahu kelemahan diri. Ketiga, menerusi kritikan musuh atau orang yang tidak menyukai diri kerana mereka sentiasa mencari-cari kelemahan orang yang dimusuhinya. Keempat, melalui pergaulan dengan pelbagai lapisan masyarakat agar dapat membandingkan diri dengan peribadi orang lain yang lebih baik. Dengan kelebihan, kelemahan diri dan penyakit hati dapat dikenalpasti dan seterusnya diperbaiki ke arah akhlak mulia. Al-Quran telah menggariskan beberapa akhlak mulia yang seharusnya menjadi pedoman kepada individu muslim. Allah swt telah memberi jaminan balasan yang besar kepada individu muslim yang berakhlak mulia. Sebagaimana firman Allah swt yang bermaksu:

Azhar Bin Hj.wahid & Fathin Noor Ain Binti Ramli 299 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

“Iaitu orang yang menjunjung perintah Allah dan RasulNya, sesudah mereka mendapat luka. Untuk orang yang berbuat baik di antara mereka dan yang bertaqwa, ada balasan yang amat besar”

Jaminan balasan yang besar kepada individu muslim yang berakhlak mulia ini ditegaskan legi oleh Rasulullah saw dengan menyatakan sifat individu muslim sebagai; “Orang Islam itu bersaudara kepada orang Islam yang lain, ia tidak menzaiminya dan tidak mendedahkannya kepada kebinasaan. Sesiapa yang menolong hajat saudaranya nescaya Allah akan menolong hajatnya dan sesiapayang melepaskan kedukaan seseorang Islam, Allah akan melepaskan kedukaan pada Hari Kiamat. Sesiapa yang menutup keaiban seorang Islam nescaya Allah akan menutup keaibananya pada Hari Kiamat.”

Dalam usaha membina peribadai muslim yang berakhlak mulia mengikut garis panduan Al_quran, maka pertamanya melihat kepada pembentukan manusia itu sendiri. Ini bermakna melihat pembentukan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai khalifah Allah swt di bumi. Kenyataan ini adalah berdasarkan kepada firman Allah swt yang bermaksud; “Dan Dialah yang menjadikan kamu khalifah di bumi dan meninggikan setengah kamu atas setengahnya yang lain beberapa darjat, kerana ia hendak mengujimu pada apa yang dikurnakanNya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat azab seksaNya, dan sesungguhnya Ia Maha Pengampun lagi Maha Mengasihani.”

Dalam hal ini, akhlak peribadi muslim dapat dilihat berdasarkan pelbagai perspektif yang mampu digarap sebagai asas penting dalam pembentukan insan dan tamadun. Ini kerana apabila insan dibentuk dengan elemen-elemennya, maka sesebuah tamadun akan menjadi kukuh dan bertahan lama. Oleh yang demikian, melihat kepada perspektif inilah dapat dikaitkan dengan akhlak seseorang individu muslim yang menjadi tunjang kepada pembinaan modal insan bagi merealisasikan sesebuah tamadun bangsa yang unggul. Dalam usaha menyempurnakan hakikat manusia dan kemanusiaan, manusia terlebih dahulu perlu memahami hakikat kejadian mereka. Kegagalan untuk memahami hakikat kejadian inilah menjadikan khidupan seseorang berat sebelah atau tidak seimbang, lantaran tiada lagi sistem kehidupan yang dipanggil akhlak. Rasulullah saw sendiri diutuskan buanlah untuk membawa satu kehidupan yang penuh dengan prasarana yang menjadikan kehidupan manusia indah, tetapi berkaitan dengan kemanuisaan, iaitu untuk menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak di sini perlulah difahai secara holistik iaitu cara hidup manusia yang meliputi cara atau corak pemikiran, perbuatan dalam aspek yang berkaitan dengan diri sendiri dan masyarakat yang meliputi perkara sosial, ekonomi, politik, ekologi, muamalat dan lain-lain. Inilah makna akhlak yang sebenar. Salah satu usaha untuk membentuk akhlak ini ialah melalui ilmu sastera atau kessasteraan. Antara peranan penting sasatera ialah sebagai pembentuk

300 Azhar Bin Hj.wahid & Fathin Noor Ain Binti Ramli Sastera Melayu Memprakarsakan Modal Insan dalam Pendidikan Negara personaliti, mengasuh kefahaman pemikiran, menghalusi nilai keindahan dan merupakan perantara yang penting dalam prosesseseorang kanak-kanak menguasai dan memperolehi nilai-nilai hidupnya dan membentuk manusia agar menjadi lebih sensitif terhadap masyarakat disekeilingnya. Untuk melayani segala tuntutan sebeginilah, kita berkeyakinan bahawa bahan-bahan sastera dan karya-karya kesusasteraan, terutamanya yang kita sendiri hasilkan, berupaya untuk memainkan peranan penting demi membantu membentuk, membina dan membangunkan peribadi dan keperibadian manusia yang kaya dengan nilai-nilai kemanusiaan serta memiliki dan mempusakai citra diri yang unggul. Dalam konteks ini kita sesungguhnya berkeinginan untuk melihat lahirnya manusia baru seperti yang dimaknakan oleh Syed Hussein Alatas (Jun 1991) iaitu; Dia beragama Islam tetapi tidak mengikuti aliran- aliran yang sempit, yang subur dalam ladang fikiran jahil. Dia setia terhadap kebudayaan Melayu tetapi bukan kebudayaan Melayu yang bangkit dari zaman kezaliman, bukan kebudayaan yang mengalu-alukan peribadi samseng. Dia menghargai adat-resam tetapi bukan adat yang merendahkan orang lain. Dia hormat pada kesan-kesan dan penghidupan manusia yang luar dari ilmu sains tetapi bukan percaya terhadap tahayul dan khurafat yang lebih rendah dari khayalan kanak-kanak. Yang saya maksudkan di sini ialah orang Melayu baru bukan orang Melayu arus. Yang dimaksudkan dengan Melayu arus, jika ada di kalangan kita, adalah mereka yang tinggal nama dan rupa sahaja Melayu. Dalam konteks yang lebih luas dan lebih hakiki, kita menanti dan mesti menumpukan seluruh keupayaan dan keseriusan untuk mengusahakan lahirnya insan baik (good man) dalam masyarakat dan negara kita. Ini kerana hanya insan baik yang berkemampuan menjadi warganegara yang baik justeru ditunjangi mantap dengan faham agama yang syumul sekaligus memiliki adab sempurna (Al-Attas,1980, lihat juga Wan Mohd. Nor Wan Daud, Jan-Mac 1996) Jadinya, pembentukan insan baik, manusia baru, dan dalam konteks yang agak sempit, Melayu baru ini, boleh dibantu untuk direalisasikan oleh kekuatan isi kandungan karya-karya kesusasteraan yang boleh disalurkan melalui pelbagai genre, seperti puisi, novel, cerpen, drama, teater dan yang seumpamanya. Setiap satu atau lebih daripada genre ini tentunya berupaya memenuhi citarasa manusia yang pelbagai dan berbeda-beda yang juga seringkali berubah-ubah. Sasterawan Negara A. Samad Said (1989: 186-187) menyatakan bahawa; Pengkhayal (dalam erti kata sihat) lebih sering ke puisi; pengamat lebih mudah ke cerpen, pemerhati lebih selesa ke drama, sementara penelaah lebih serasi ke novel. Secara ringkas, puisi memang meminjam suara dalaman, cerpen menangkap peristiwa singkat, drama merakam bualan bernas, dan novel menuntut pengamatan luas. Dengan pandangan yang sedemikian, maka tidak boleh dinafikan betapa karya-karya kesusasteraan sememangnya berupaya melunasi tanggungjawab untuk menjadi media dan mekanisme pendidikan manusia dan kemanusiaan yang paling utuh.

Azhar Bin Hj.wahid & Fathin Noor Ain Binti Ramli 301 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

Untuk memahami bagaimana sastera boleh berperanan sebagai wadah pembentukan manusia yang sebenar, sebagai contoh kita boleh meihat dari pandangan seorang pengarang. Pengarang yang mengenal diri dan segala aspek keinsanan akan terus memaknakan hasil karyanya mengenai insan dan masalahnya, insan dan komunikasi sama ada secara menoog atau dialog, perubahan insan baik secara jasman dan rohani dan lain-lain aspek insan yang berfuturistik, bernostalgik, berinstitusi dan lain-lain. Kesemua ini bertujuan untuk meninggalkan kesan yang benar-benar mendalam terhadap diri pengarang itu sendiri dan juga diri pembaca. Dengan kata lain, kesusasteraan sebagai satu aspek kemanusiaan yang penting, menyentuh keperihalan manusia melalui penggunaan bahasa yang berseni, merakamkan pemikiran dan pengalaman manusia melalui struktur yang idah dan berkesan. Pemikiran, ekspresi dan komunikasi serta gaya bahasa yang indah, menjadi titik tolak dan teras kesusasteraan. Hasil sastera yang baik akan membijaksanakan kepada minda dan seterusnya akan mengair ke seluruh anggota yang lain untuk digunakan demi menghasilkan sebuah kebaikan untuk kepentingan manusi. Seperti yang ditegaskan oleh Sasterawan Negara Shahnon Ahmad, watak utama dalam sastea adalah manusia dan bukannya benda yang bersifat statik seperti tunggul kayu. Perubahan yang berlaku pada manusia merupakan aspek penerokaan dalam sesuatu karya. Keperhalan manusia yang disampaikan oleh manusia kepada manusia. Secara ringkas manusia dan kemanusiaan adalah perkara asas dalam sesebuah karya seni atau dalam kesusasteraan itu sendiri. Mempelajari kesusasteraan sebenarnya memberi makna kepada hati manusia yang menjadi markas kepada kemanuisaan, sama ada dari segi fisiologi, psikologi dan sosiologi. Mungki setengah orang melebalkan kesusasteraan sebagai hiburan. Namun kesusasteraan sebenarnya ialah satu hiburan yang bermakna dan menjuruskan kepada peingkatan nilai manusia dan kemanusiaan. Kehebatan nilai sesuatu karya sastera bergantung kepada gabungan antara keperihalan manusia dan bahasa. Kesebatian dua unsur inilah yang akan menjadi teras kesusasteraan mencapai maksud yang sebenar. Kemanusiaan umpama sebuah lautan yang amat luas dan memiliki seribu satu rahsia yag terpendam dan memerlukan penerokaan yang berkesan, terutama aspek dalaman yan bersifat kerohanian, banyak tersembunyi dan tersirat jauh ke dalam jiwa manusia. Kemanusiaan juga sebuah alam yang tersendiri dan melahirkan pelbagai kesan dan cabaran dalam proses pembangunannya. Dalam penulisan kreatif, segala keperihalan manusia menjadi dasar, diolah dengan menggunakan bahasa yang cukup berseni. Oleh yang demikian, kesusasteraan bukan sekadar bahasa, tetapi manusia berbahasa, bukan sekadar falsafah tetapi insan berfalsafah. Penerokaan jauh ke dalam diri manusia untuk megorek, menganalisis rahsia kemanusiaan atau keinsanan agar dapat dihuraikan aspek dalaman manusia ini sehingga dapat mencaba daya persepsi pembaca.

302 Azhar Bin Hj.wahid & Fathin Noor Ain Binti Ramli Sastera Melayu Memprakarsakan Modal Insan dalam Pendidikan Negara

Justeru itu, teks-teks dari penulisan kratif jika dikaji adalah perhal manusia dan juga pengalaman insan yang diproses oleh pengarang dengan penh rasa tanggungjawab, saranan dan cabaran agar insan pembaca dapat memprosesnya melalui kefahaman. Pembaca melalui proses kreatifnya juga menganalisis saranan yang diperlihatkan melalui perwatakannya. Melalui renungan, analisis dan penilaian pembaca tentang sesuatu makna yang cuba digarapkan, pembaca sebenarnya mengasah mindanya untuk cuba memahami maksud yang tersurat di samping meyelamai perasaan yang cuba disampaikan oleh pengarang. Memalui latihan seperti ini, pembaca sebenarnya melatih dirinya untuk menjadi insan yang mempunyai kehalusan hati dan perasaan. Dalam hal ini, kita seharusnya menyedari dan menginsafi bahawa kita tidak menafikan yang pendidikan agama itu lebih berwibawa untuk mendidik dan mentarbiyah manusia, tetapi yang dicadangkan ialah penggunaan mata pelajaran pendidikan kesusasteraan sebagai salah satu cara yang boleh membantu menyalurkan pelbagai unsur kebaikan, nilai murni, dan budaya hidup yang luhur, secara yang amat halus, indah dan penuh dengan kesenian yang berkeupayaan sebenarnya menyentuh nurani manusia yang paling dalam. Pada masa yang sama juga kita seharusnya menyedari bahawa karya-karya sastera yang ingin dijadikan bahan pembacaan, kajian dan pengajaran-pembelajaran itu seharusnya merupakan karya-karya terbaik yang telah diperakui kehebatan dan kecemerlangan isi kandungannya, bahasanya, permasalahan dan tema yang dikemukakan, dan sebagainya, yang memenuhi makna sastera terbaik atau sastera madani. Malah, secara langsung atau tidak langsung juga, para pembaca boleh mempelajari bukan sahaja segala nilai terbaik dan idelisme kemanusiaan yang tinggi dalam karya-karya sastera yang terbaik tetapi juga membantunya menguasai bahasa (dalam konteks ini: bahasa Melayu) yang indah, menyenangkan dan mendamaikan, atau terkadang mencuit dan menyentuh emosi. Hassan Ahmad (Julai 1999: 46) menyatakan; bahasa sebenarnya tidak dapat diajarkan atau dipelajari sebagai ‘mata pelajaran’ yang tersendiri. Yang penting dalam pelajaran bahasa bukan hanya tatabahasanya, tetapi juga budayanya dan seninya. Pelajar perlu dipupuk supaya tertarik kepada bahasa Melayu bukan semata-mata sebagai alat atau sistem atau struktur bahasa (linguistik) dengan segala macam peraturan bahasanya yang kadang-kadang sukar diterapkan dalam wacana bahasa sosial dan bahasa komunikasi luas. Pelajar perlu juga dipupuk supaya menghayati budaya bahasa, dan ini dapat diajarkan atau dipelajari melalui pembacaan teks sastera yang terbaik dan bermutu kerana sastera merupakan bahan budaya, seni dan pemikiran yang penting dalam mana-mana masyarakat atau negara. Ini bukanlah pula bermakna bahawa tatabahasa dan struktur bahasa itu tidak penting sama sekali, tetapi melalui teks sastera segala macam hukum tatabahasa yang terkadang terlalu teknikal itu sebenarnya memiliki keanjalan penggunaannya yang luar biasa. Dan, di sinilah pula terbukti akan dinamika bahasa Melayu itu, yang sentiasa bersedia

Azhar Bin Hj.wahid & Fathin Noor Ain Binti Ramli 303 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies dengan ciri keterbukaannya untuk melonggarkan sedikit hukum tatabahasanya demi mempelbagaikan tatagunanya, tetapi pada masa yang sama juga tidak mengenepikan kemantapan strukturnya. Segalanya ini tidak akan berupaya direalisasikan, dikuasai atau dibuktikan sekiranya kita tidak memiliki tradisi membaca dan sekaligus juga tradisi menulis yang mantap. Dalam konteks ini, A. Aziz Deraman (2000) menyatakan bahawa terdapat tiga rasional yang mewajarkan untuk mengajar mata pelajaran Kesusasteraan di sekolah. Pertama, prinsip yang menekankan kepentingan tradisi yang berasaskan kurikulum yang mengandungi tanggapan bahawa sastera berfungsi untuk membentuk suatu warisan. Melalui pembacaan, penghayatan dan peniruan warisan itu, nilai-nilai budaya masyarakat dapat disalurkan kepada generasi demi generasi. Kedua, kurikulum pendidikan sastera analitik menekankan aspek daya kritis pelajar, iaitu keupayaan untuk memahami, menganalisis, memberi reaksi terhadap bahan sastera yang dipelajari. Ketiga, Kurikulum sastera yang menggunakan pendekatan psikologikal atau generatif yang menekankan kepada perkembangan individu melalui pembacaan daripada perkembangan kemahiran kritis. Seterusnya beliau menyatakan bahawa mata pelajaran Kesusasteraan penting diajar sebagai satu mata pelajaran di sekolah kerana ia merupakan satu cara untuk menarik minat pelajar kepada warisan dan budaya yang terdapat di sekelilingnya, dan juga sebagai cara untuk mengembangkan kekuatan pemikiran dan untuk merangsang imaginasinya ketika membaca. Mata pelajaran Kesusasteraan boleh merangsang minat membaca di pering­kat awal. Sastera yang ada hubungan dengan cerita mampu menarik minat mereka dan berupaya menjadi asas untuk membina masyarakat ber­ bu­daya membaca sepanjang hayat. Di samping itu, tulisnya lagi, kemahiran emosi boleh dibentuk daripada bahan-bahan sastera. Karya-karya sastera yang kaya dengan elemen emosi boleh diresapi oleh pelajar melalui pembacaan dan penghayatan yang akan memantapkan kemahiran-kemahiran emosinya. Selain itu, kepelbagaian cara menggunakan karya-karya sastera menjadikan pendidikan kemahiran emosi lebih menarik dan berkesan. Kita tentunya tidak dapat menafikan betapa karya-karya kesusasteraan sememangnya kaya dan sarat dengan kerencaman dan kepelbagaian nilai budaya tinggi dan nilai kemanusiaan yang melatarbelakangi pengkaryaan sesebuah karya itu sekaligus juga tercerna dan dicurahkan secara sedar dan selengkap mungkin di dalamnya. Demikian luasnya horizon ilmu yang boleh dibicarakan lewat karya- karya sastera. Tidak ada bidang ilmu yang tidak boleh dibicara dan disampaikan seperti yang terdapat dalam bidang sastera. Dengan perkataan lain, bidang dan karya sastera boleh menjadi wadah dan media untuk mendidik masyarakat sekali­gus memasyarakatkan segala bidang dan disiplin ilmu. Apatah lagi sastera itu sendiri berbicara tentang keindahan, menyampaikan idea dengan keindahan bahasa, tertib dan lenggok rima yang berirama yang sesuai pula dengan jiwa dan perasaan kita yang suka kepada keindahan, kehalusan dan pelbagai rentak irama

304 Azhar Bin Hj.wahid & Fathin Noor Ain Binti Ramli Sastera Melayu Memprakarsakan Modal Insan dalam Pendidikan Negara muzika kehidupan. Justeru fitrah manusia itu lahirnya indah dan sempurna (se­ baik-baik kejadian) maka karya sastera itu tentunya memenuhi naluri fitrah kejadi­an manusia itu. Dalam konteks inilah pendidikan kesusasteraan itu amat penting dan seharusnya menjadi antara subjek teras dalam sistem pendidikan kita. Malah, dalam karya sastera jugalah kita dapat menelaah falsafah dan pemikiran manusia yang membina tamadun sesuatu bangsa itu. Tanpa perlu berapologetik, sekiranya kita menelusuri karya-karya sastera lama sama ada prosa atau puisi, terserlah pelbagai falsafah dan pemikiran yang mendasari setiap genre berkenaan. Contohnya, pemikiran tentang ketatanegaraan dibicarakan dengan indah dan “beralas/berlapik” dalam Sejarah Melayu, falsafah kesetiaan yang paling luhur terhadap pemimpin dibicarakan dalam Hikayat Hang Tuah, pemikiran tentang alam kehidupan terungkap dengan puitis dan bermakna dalam pantun, syair, perbidalan, peribahasa dan sebagainya, dan pemikiran tentang hubungan manusia dengan alam sekitar dan alam ghaib terungkap dalam untaian jampi, serapah dan mantera. Dengan hal yang sedemikian, pendidikan kesusasteraan bukan sahaja berupaya menyerlahkan falsafah dan pemikiran manusia, masyarakat dan bangsa tetapi juga mengasuh, mengajar dan mentarbiyah manusi Demikian luasnya horizon ilmu yang boleh dibicarakan lewat karya-karya sastera. Tidak ada bidang ilmu yang tidak boleh dibicara dan disampaikan seperti yang terdapat dalam bidang sastera. Dengan perkataan lain, bidang dan karya sastera boleh menjadi wadah dan media untuk mendidik masyarakat sekaligus memasyarakatkan segala bidang dan disiplin ilmu. Apatah lagi sastera itu sendiri berbicara tentang keindahan, menyampaikan idea dengan keindahan bahasa, tertib dan lenggok rima yang berirama yang sesuai pula dengan jiwa dan perasaan kita yang suka kepada keindahan, kehalusan dan pelbagai rentak irama muzika kehidupan. Justeru fitrah manusia itu lahirnya indah dan sempurna (sebaik-baik kejadian) maka karya sastera itu tentunya memenuhi naluri fitrah kejadian manusia itu. Dalam konteks inilah pendidikan kesusasteraan itu amat penting dan seharusnya menjadi antara subjek teras dalam sistem pendidikan negara. Malah, dalam karya sastera jugalah kita dapat menelaah falsafah dan pemikiran manusia yang membina tamadun sesuatu bangsa itu. Tanpa perlu berapologetik, sekiranya kita menelusuri karya-karya sastera lama sama ada prosa atau puisi, terserlah pelbagai falsafah dan pemikiran yang mendasari setiap genre berkenaan. Contohnya, pemikiran tentang ketatanegaraan dibicarakan dengan indah dan “beralas/berlapik” dalam Sejarah Melayu, falsafah kesetiaan yang paling luhur terhadap pemimpin dibicarakan dalam Hikayat Hang Tuah, pemikiran tentang alam kehidupan terungkap dengan puitis dan bermakna dalam pantun, syair, perbidalan, peribahasa dan sebagainya, dan pemikiran tentang hubungan manusia dengan alam sekitar dan alam ghaib terungkap dalam untaian jampi, serapah dan mantera. Dengan hal yang sedemikian, pendidikan kesusasteraan

Azhar Bin Hj.wahid & Fathin Noor Ain Binti Ramli 305 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies bukan sahaja berupaya menyerlahkan falsafah dan pemikiran manusia, masya­ rakat dan bangsa tetapi juga mengasuh, mengajar dan mentarbiyah manusia tentang keindahan dan kebaikan.

Penutup

Kesusasteraan merupakan satu bidang yang boleh menyumbang ke arah pembinaan kemahiran kreatif, terutamanya dalam usaha untuk memenuhi keperluan jasmani, jiwa atau rohani dan minda seseorang insan. Manusia berharapan, memikirkan masa depannya, mengatur susunan dan program hidupnya pada hari muka. Secara ringkasnya manusia membayangkan masa depannya yang bertitik tolak dari sejarah masa lampau. Manusia bukan sekadar memikirkan masa lampaunya, namun bagaimana menggunakan sejarah masa lampau untuk menghasilkan satu masa yang lebih cerah. Dalam membayangi masa depan, sudah pasti banyak impian dan susunan cita-citanya dengan pertolongan daya imaginasinya. Demikianlah peranan sastera yang selari dengan falsafah pendidikan Negara, iaitu untuk melahirkan rakyat yang berilmu pegetahuan, berketrampilan, berakhlak mulia, bertanggngajwab dan berkeupayaan untuk mencapai kesejahteraan diri demi untuk memberi sumbangan terhadap keharmonian dan kemakmuran masyarakat dan Negara. Dalam Islam, nilai-nlai keohanian inilah yang akan memandu manusia dalam segala aktiviti dan tindakannya. Nilai- nilai moral inilah merupaan garis panduan yang membataskan tindakan hawa nafsu manusia bukan kegiatan atau kelakuan manusia mengikut hawa nafsunya yang menentukan arah tindakannya. Dengan kata lain, demikiannya sastera berperanan untuk menjana insan yang berkualiti melalui modalnya sebagai manusia yang merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna. Walau bagaimanapun untuk memastikan semua perkara ini menjadi reality, jiwa yang merupakan elemen penting kejadian manusia perlu sentiasa sihat, sejahtera dan berada dalam keadaan penuh kedamaian untuk merealisasikan pembinaan modal insan.

Rujukan

A.Aziz Deraman. 2000. Tamadun Melayu dan Pembinaan Bangsa Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Azhar Wahid & Zawawi Jahya. 2012. Pendidikan Pembangunan Modal Insan. Tg.Malim: Penerbit Universiti Pendidikan Sultan Idris. Hassan Ahmad. 2002. Imbasan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Shahnon Ahmad. 1994. Pengalaman Ilmu, Imaginasi dan kitarannya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

306 Azhar Bin Hj.wahid & Fathin Noor Ain Binti Ramli Sastera Melayu Memprakarsakan Modal Insan dalam Pendidikan Negara

Sufean Hussin & Norliza Zakuan. 2009. Dasar Modal Insan. Kuala Lumpur: Tinta Publishers. Syed Muhammad Naquib Al-Attas. 1972. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia. Syed Muhammad Naquib Al-Attas. 1976. Islam faham Agama dan asas Akhlak. Petaling Jaya: ABIM Syed Muhammad Naquib Al-Attas. 1980. The Concept of Education in Islam. Petaling Jaya: ABIM. Scheitzer, Albert. 1995. Civilization and Ethics. London: Adam & Charles Black. Wan Abdul Kadir. 1994. Nilai dan Worldview Orang Melayu. Petaling Jaya: Masfami Enterprise. Zulkifli Mohamad al-Bakri.2007. Himpunan Hadis Modal Insan. Kuala Lumpur: Telaga Biru Sdn.Bhd.

Azhar Bin Hj.wahid & Fathin Noor Ain Binti Ramli 307

WORKS OF LITERATURE AS A MEDIA TO BUILD CHARACTER EDUCATION VALUES: An Analysis on The Legend of Salatiga

Noor Malihah Head of English Teaching Department, Faculty of Education IAIN Salatiga [email protected]

Introduction

his paper focuses on the discussion of literary works, especially Tlegends in Salatiga and West Java, Indonesia. Indonesia is known as a nation with various cultures. The cultures give identity to each community including ethnics, races, tribes, religions, etc. Cultures are identically with what people usually do in a particular community. One of the cultures that growing fast is literatures. The communities introduce literatures both in spoken and written forms (Wellek and Warren, 1993: 3, cited in Fizriyani, 2014: 133). Hariyadi (2015: 621) argues that literatures are human personal expression of experiences, thoughts, feelings, idea, spirits and belifes as the reality demonstrated using language. Similarly, Okke (1991: 1, cited in Nasir, 2012: 27) also argues that works of literature contains thoughts, life and traditions exist in a society. These includes ideas, happenings, values and etc represented in, for example, stories by the creators or writers. There have been several works looking at the literatures, either fictions or non fictions. These works investigate various form of literatures such as folklores (Maloney, Kim, and Tereschenko, 2014), novels (Alua et al., 2014; Yavaş, 2014; Nasir, 2012), and legends (Karagös and Topdal, 2014; Youpika and Yuhdi, 2016; Wagiran, 2012). Indonesia, from the very west part of Indonesia - Sabang, to the very east - Merauke, also has various forms of literatures. However, there are still many of them, for examples the legends of Salatiga and Tangkuban Perahu, which are still understudied. For this reason, it is necessary to study these Indonesian literatures.

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 309 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

Literatures, Folklores, Legends

Literatures can be classified as world literatures, national literatures and local literatures (Sudjiman, 1988: 72 in Hariyadi, 2015: 622). This division is based on the scoupe of theme and the language. The first classification reters to any literatures with universal theme accepted people across countries, while the second classification has universal theme for a particular nation and it is told or written in a national language. The third classification refers to any literatures with universal theme but spoken or written in local language. Hariyadi argues that local literatures are potential cultures which enrich national cultures in the future. One form of literatures discussed in this paper is fo lklore. According to Maharani (2016: 119), folklores were created by people in the past. She argues that folklores are inheritaged orally from one generation to the next generations. As stories, folklores are not merely used for entertainments like movies or films. However, stories can become a fundamental and primary form of communication (Ramsdell, 2011: 270). Ramsdell adds that stories can be used to teach children and to make information memorable to people of any age. Similarly, folklores which were spoken but are currently documented in a book, contain lot of values which can be used to educate people. Also, folklores are able to control the norms believed by the people in a community. As Indonesia is rich of folklores, each of them provide local identity which represent the cultural values of the community. Bascom (1965: 3) argues that folklores, which he also calls prose narrative, includes (i) folktales, (ii) myths and (iii) legends. Bascom states that folktales are narratives considered as fiction. The stories in folktales never happen in the real life. Thus, there is no exact happening time and place in folktales. Routman (2005) adds that folktales are mostly from oral stories, songs, or proverbs which are then written down. On the other hand, myths are narratives which are considered to be truth in the past (Bascom, 1965: 4). Myths could be dogmas which are sacred and people believed to happen in the past. Supporting Bascom, Maloney et al. (2014) define myths as part of world picture in which elements of religion, art, science and subsistence practise are integrated. So, myths are stories explaining practices, beliefs and natural phenomenon. Myths are mostly fictions. Routman (2005) adds that myths are used to reveal human behaviour and natural phenomenon by its symbolism. Dealing with legends, Bascom (1965: 4) states that legends are “prose narratives which, like myths, are regarded as true by the narrator and his audience, but they are set in a period considered less remote, when the world was much as it is today”. Supporting Bascoom, Routman (2005: 2) argues that legend are stories, sometimes of a national or folk hero, which have a basis in fact but also include imaginative material. Routman also adds that legends often tell about the reason for a natural occurrence. Furthermore, Mathias (2011: 116) states that legend is a form of literature telling about the origin of a place. In this paper, the writer only emphasized to discuss further about legend by combining the definitions from three scholars above.

310 Noor Malihah Works of Literature As A Media To Build Character Education Values

Talking about legends, there are so many legends in Indonesia. Almost every region has their own stories telling about the existence of a natural occurrence or the origin of a place. Some of them are known very well throughout the Indonesian people. However, there are still some which are less famous. Thus, it is an opportunity for the writer to look at the understudied legend in Indonesia: the Legend of Salatiga Legend of Salatiga was formerly known orally. Not many people understand about this story. However, Salatiga Library and Archive Agency (Kantor Perpustakaan dan Asip Daerah Salatiga) has successfully published a book entitled ‘Legenda Salatiga’ in 2014. This book is composed to preserve the untold story of Salatiga in a document. It is expected that the next generation, the Indonesian people and also everyone in the world know the history of Salatiga with this book. As mentioned earlier, stories (legends, in this paper) are not merely a form of entertainment, but the story may contain lots of values. In this paper, the writer analyzes the values of education characters in the Legend of Salatiga.

Character Education Values

Wagiran (2012: 329) argues thata great nation should have strong character which could be derived from the values existing in the cultures believed by the people. Nowadays, moral degradation becomes the hot issue in the communities including government, schools, and families. The development of technology in global era is predicted to be one of the causes. For this reason, building character education is thought as one solution. Berkowits and Bier (2015), in the Association for Supervision and Curriculum Development, define character education as “teaching children about human basic values, including honesty, kindness, generousity, courage, freedom, equality and respect”. They argue that character education is aimed to create morally-responsible, self-disciplined children. On the other hand, the Education Ministry of Indonesia considers character education as “a conscious effort to make students understand, care about and internalize the values and norms of the social life, in order to create better personality. Realizing the importance of character education which actually have existed in conventional methods of education in the past, the governtment brings these into national curriculum in 2013 (known as Curricullum 2013). The Education Ministry of Indonesia proposes 18 character education values as: religiousity, honesty, tolerance, discipline, hard work, creative, independent, democratic, curiousity, nationality, patriotism, respecting others, peace, reading habit, environmental awareness, social awareness, and responsibility. As mentioned earlier that character educations have existed in the past, it is expected that stories or narratives coming from the past tradition – in this case legends – contain the character education values as mentioned in Curriculum

Noor Malihah 311 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

2013. To get the answer, the writer took one legend coming from Central Java – the Legend of Salatiga as the case.

Description of the Legend of Salatiga

Once upon a time, in the area of Semarang, there lived an Adipati, named Ki Pandanarang. He was very rich and lived with some beautiful wives. Although he had already rich, he still went to the market for a trading. He was a good businessman because he bought cheap stuffs and sold the stuffs with higher price. Unfortunately, he was too greedy with money. One day he went to the market alone and met a naked grass sellerman wearing wide hat. The man sat in front of two loads of grass. Ki Pandanarang came to the seller and asked for the price. As the grass was so cheap, 25 cents; he bought all of them and asked the seller to bring the grass to Kadipaten. They walked side by side. Realising that Ki Pandanarang needed a load more grass, he asked the seller to bring him one more to Kadipaten the day after. The sellerman agreed and promised to come again with a load more grass. Once the seller left, Ki Pandanarang asked his helper to dry up the grass. When his helper opened the load, he found 25 cents inside. The money was given to Ki Pandanarang. Although Ki Pandanarang knew that the 25 cents were the grass sellerman, he did not want to give the money back, but kept for himself. He thought he was lucky that day because he got money for free. The day after, the sellerman came to Kadipaten early in the morning with a load of grass. Ki Pandanarang wondered how could the seller came so early from Jabalkat mount and walked down only for 25 cents or even nothing as he left the money in Kadipaten. Although Ki Pandanarang understood the condition of the seller, he did not want to give the 25 cents back to the seller. He gave the money to the seller for another load of grass. After receiving the money from Ki Pandanarang, the seller asked for more money as charity for him. Ki Pandanarang was angry and threw a cent to the celler. The seller said that he would not receive any charity in impolite way and said that he was not a greedy person. The seller told Ki Pandanarang that he could get loads of gold easily only by swaying a spade once to the ground. Ki Pandanarang did not believe to the sller and laughed at him. He said that he would believe only if the seller proved what he said. Once it was proven, Ki Pandanarang promised that he would asked the seller to be his teacher. The seller agreed and borrowed a spade. He swayed the tip of the spade to the ground, and suddently the soil changed into loads of gold. Ki Pandanarang was so speechless and afraid. He then realized the the seller in front of him was a saint, Sunan Kalijaga who pretended as grass seller. Sunan Kalijaga came to test Ki Pandanarang who was known as a greedy person. Directly, Ki Pandanarang prostrated and apologised for his behavior. Sunan Kalijaga said if Ki Pandanarang regreted for his inconvenient behavior, he should follow him to

312 Noor Malihah Works of Literature As A Media To Build Character Education Values

Jabalkat Mount without bringing any stuffs. Ki Pandanarang should go to the south until he found a young teak tree and could build a house there. After that, Sunan Kalijaga dissappeared suddently. Ki Pandanarang soon met his wives and told them his amazing experience. He asked for permission to them to meet Sunan Kalijaga in Jabalkat Mount. However, his first wife wanted to follow him to Jabalkat mount. Ki Pandanarang could not stop her and finally allowed her to go with him,but without bringing any stuffs. Unfortunately, his wife disobeyed him and filled a yellow bambo stick with loads of gold and diamonds to survive during the journey. Knowing that his wife broke the rule, he was angry. He said that he would walk alone and asked his wife to follow after him. On the way to Jabalkat mount, Ki Pandanarang passed the highland Gombel and felt the cool weather there. He named the place as Ngesrep. He continued his way to the south and found a place with lots of bitter fruit. To memorize the place, he called the area as Lopait. He kept walking alone and left his wife behind. He stopped several times, till the ninth stop, he took a rest and name the place Kesongo. Not far from Kesongo, Ki Pandanarang met two robbers asking for any stuffs he had. Ki Pandarang said that did not bring anything, but his wife, who was behind him, brought golds and diamonds in her golden bambo stick. Ki Pandarang allowed the robbers to take all the stuffs his wife had but they should not do anything bad to his wife. Ki Pandanarang continued his way and the two robbers waited for Nyi Pandanarang to take the gold and diamonds. In few minutes, Nyi Pandarang appeared and the robbers robbed the golds and diamond easily. However, the robbers ignored what Ki Pandanarang said not to disturb his wife. They wanted Nyi Pandarang for their pleasure. Nyi Pandanarang fought against them and said that their behavior was just like an animal did. Unexpectedly, the heads of the robbers changed into a goat head and a snake head. Nyi Pandanarang was so afraid and surprised. The robbers apologised to Nyi Pandanarang and asked to give their heads back. However, Nyi Pandanarang did not know how to do that. Therefore, she invited the robbers to go to Ki Pandanarang. As Ki Pandanarang had walked earlier, he was far away from his wife and the robbers. He arrived at a river with so many worms. He remembered that his wife was afraid of worms. So he decided to turn back his way to pick up his wife. But he did not forget to name the place as Kalicacing. When he met his wife, he was so surprised that his wife was with two animal-head robbers. In a trembling speech, she told Ki Pandanarang her experience. What Ki Pandanarang responded was surprising. He said that three of them were wrong. Her wife was wrong because she broke the rule not to bring any stuffs during the trip. The two robbers were also wrong as they broke their promise not to disturb Nyi Pandanarang. Therefore, the happening was really the false of the three – Nyi Pandanarang and two robbers. And incidentally, in that place, there are also three (tiga in Javanese) stones (selo in Javanese). To

Noor Malihah 313 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies remember the place where the happening occured, he name the place as Salatiga or Solotigo.

Character Education values in the Legend of Salatiga The first value exists in the Legend of Salatiga is the spirit to work hard. This is repersented by the spirit of Ki Pandanarang in running his business eventhough he has already rich. What Ki Pandanarang has done can motivate the youngers to keep working hard in realizing the dreams, for example by studying hard to get good achievements or results. Ki Pandanarang was also a creative person in the trading business. He could find cheap stuffs and resold the stuffs with higher price. Thus, every person should believe that creativity leads to one success if it is managed seriously. A situation where Ki Pandanarang did not return the money he found in the loads of grass shows that he was not an honest person. He also underestimated the poor and the weak person (the grass seller who was actually the saint Sunan Kalijaga). As a consequence of his being dishonest and unrespecting others, he has to go to Jabalkat mount without bringing any stuffs with him. This consequence also teaches the people (the reader) about responsibility for misbehaving. These values also demonstrated by the robbers who broke their promise not to disturb Nyi Pandanarang. As they were not responsible and honest, they should be cursed to have animal heads (a goat and a snake). Similarly, Nyi Pandanarang who disobeyed her husband not to bring any stuffs got troubles by passing the robbers and got robbed and inconvenient situation. This occurence also demostrates that being discipline is important. Any agreed rules in the communities should be followed to become good citizens. Ki Pandanarang also shows his curiousity to know the identity of the grass seller. Ignoring shyness, he asked the grass seller where he lived and how much money he earned by selling the grass every day. The message shown is that encouraging everyone to ask to get further information he needs. Religious value is also demonstrated by Ki Pandanarang once he realized that the seller was Sunan Kalijaga. As he believed in the religion spreaded by Sunan Kalijaga, he was happy to do what Sunan Kalijaga suggested to go to Jabalkat mount. And knowing the seller was successful to change the soil into gold, he did what he said to follow the seller as asked. Implicitly, Ki Pandanarang shows that he acknowledged other achievement. As Adipati – the leader of a region – he should actually be aware to his environment and the people. however, he was too greedy for wealth and properties, he did not care that his people was poor and even he took the money from them event a small amount only. Then when the poor, in the legend it is the seller, asked for charity, he became angry and behaved impolitely to an older. Thus, this legend demonstrates a leader who lack of awarness to the surroundings. What can be learned is that as a human is a leader, we have to aware of everyone

314 Noor Malihah Works of Literature As A Media To Build Character Education Values and anything around us. It is possible that those we ignore at one time might become an important part of our lives. Being communicative has been shown by Ki Pandanarang when he met the robbers. He discussed what they wanted and gave alternative to see his wife for gold and diamonds. But he did not forget to negotiated to them not to disturb his wife. This part of the legend demonstrates another side of Ki Pandanarang as a greedy Adipati, he was actually good at negotiation and communication. Also when Nyi Pandanarang forced herself to follow him, Ki Pandanarang proposed a rule she had to obey, although his wife disobeyed what they agreed. So, being a leader of a family or a country, a person should be wise, and able to negotiate for sucessful communication. Part of this legend also teaches people to be democratic. It is demonstrates by Ki Pandanarang who has more than one wives. In the stories, there was no any part showing that they had conflicts in the family. It is assumed that Ki Pandanarang was a democratic person when he should live among wives. In a positive learning, everyone should also be democratic in viewing one’s right and obligation. Or at school, students should understand both their rights and obligation. Clearly, the values of character education exist in the legend of Salatiga which has been introduced years ago as oral tradition which then turns into a written document.

Conclusion

Among the 18 values of character education, there are three values which do not exist in the legend of Salatiga – nationality, partiotism and independence. However, return back to the prior discussion that character education has actually exist years ago is true. Thus, character education is not a new issue, but has become concern in the past education. The values of character education in the legend of Salatiga which is the past tradition are exposed clearyly in almost every part of the stories. Thus, as educators, to build the values of character education, one alternative is by introducing the works of literatures which might be local, national or worldwide, especially legend. Also, the effort to introduce and retell the stories again to the youngers may become one effort of cultural preservation. As the culture preserve, the national identity of our country will be stronger and Indonesia is well-known across nations then

Noor Malihah 315

CERITA FANTASI DAN SAINS FIKSYEN MEMBINA DAYA KREATIVITI DAN MOTIVASI MURID-MURID SEKOLAH DALAM HOSPITAL

Professor Madya Dr. Ani Binti Haji Omar Fakulti Bahasa dan Komunikasi, Universiti Pendidikan Sultan Idris, Perak, Malaysia [email protected]

Abstrak

Makalah ini membincangkan tentang cerita fantasi dan sains fiksyen dalam membina daya kreativiti dan motivasi murid-murid Sekolah Dalam Hospital (SDH). Cerita fantasi pada umumnya dapat dibahagikan kepada dua katagori iaitu fantasi lama dan fantasi moden. Fantasi lama terdapat dalam pelbagai genre seperti cerita dewa dewi (fairy tales) dan cerita binatang (fables). Fantasi moden pula berkaitan dengan kisah kehidupan moden seperti mendaki gunung, mengembara di hutan, memasuki gua dan sebagainya. Sementara sains fiksyen memaparkan pengembaraan, penerokaan dan penjelajahan ke dunia cakerawala yang berunsurkan sains. Untuk makalah ini perbincangan akan tertumpu kepada fantasi moden dalam bentuk sains fiksyen yang juga bersifat imaginatif rekaan. Dua buah buku cerita kanak-kanak iaitu Aerosa II Mendarat Di Petra Jaya karya Ahmad Zaini Mohamad Zen dan Dunia Sains Aiman Dunia Semut karya Umi Kauthar Abdul Razak dijadikan teks kajian. Objektif kajian ialah melihat keberkesanan kedua-dua teks ini sebagai bahan untuk membina daya kreativiti dan dalam masa yang sama boleh menjadi motivasi bagi murid-murid yang belajar di SDH. Teori Kesan janaan Aristotle digunakan dalam kajian ini. Empat unsur kesan akan diaplikasi dalam analisis dan dapatan kajian iaitu kekayaan, kesejagatan, keabadian, dan kebenaran. Kajian awal mendapati kedua-dua buku cerita yang diaplikasikan untuk murid-murid SDH yang terpilih telah memberi kesan “katharsis” atau keinsafan untuk mereka berjuang melawan penyakit yang dideritai supaya lekas sembuh dan dapat kembali semula ke sekolah asal bagi meneruskan sesi persekolah untuk masa depan mereka.

Kata kunci: Cerita Fantasi, Sains Fiksyen, Kreativiti, Motivasi

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 317 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

Pengenalan

Secara keseluruhannya aspirasi sistem pendidikan Malaysia seperti yang terkandung di dalam Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia (PPPM 2013- 2025) berhasrat untuk mencapai lima keberhasilan iaitu pertama akses dimana setiap kanak-kanak warganegara Malaysia berhak mendapat kesamarataan peluang pendidikan bagi membolehkan mereka mencapai potensi masing- masing. Kedua kualiti iaitu semua kanak-kanak akan berpeluang mendapat pendidikan cemerlang berdasarkan keunikan sistem pendidikan di Malaysia, dan standing dengan sistem pendidikan antarabangsa. Ketiga ekuiti iaitu sistem pendidikan berprestasi tinggi menyediakan pendidikan yang terbaik kepada setiap kanak-kanak tanpa mengira kedudukan geografi, gender atau latar belakang sosioekonomi. Keempat perpaduan iaitu mewujudkan suatu perkongsian pengalaman dan aspirasi bagi membina masa hadapan Malaysia dan kelima kecekapan iaitu setiap kanak-kanak berhak mendapat pendidikan yang menjurus kepada kemahiran dalam memperolehi ilmu pengetahuan walau dimana kanak-kanak tersebut belajar, sama ada di rumah, di sekolah arus perdana, sekolah swasta atau bagi kanak-kanak yang sedang di rawat mereka akan berada di hospital kerajaan dan mereka berpeluang untuk belajar di Sekolah Dalam Hospital (SDH). Seperti tajuk makalah ini tumpuan akan diberikan kepada aplikasi bahan sastera iaitu cerita fantasi dan sains fiksyen dalam membina daya kreativiti dan motivasi murid-murid SDH.

Sekolah Dalam Hospital (SDH)

Penubuhan Sekolah Dalam Hospital (SDH) adalah satu inisiatif bersama Kementerian Pendidikan Malaysia (KPM), Kementerian Kesihatan Malaysia (KKM), dan Yayasan Nurul Yaqeen (YNY) terhadap keperluan meneruskan pendidikan kepada murid-murid yang berada di wad hospital tetapi mempunyai kesediaan belajar. Normah Ismail (2014) menyatakan SDH merupakan program pendidikan yang menggunakan pendekatan pembelajaran berbeza daripada sekolah biasa. Ia merupakan satu bentuk perkhidmatan pendidikan yang berterusan secara formal dan berstruktur serta berfokus terhadap kesediaan dan keupayaan murid yang sedang menjalani rawatan di hospital. SDH bukanlah satu perkara baharu. SDH telah dilaksanakan secara terancang bertujuan memberi pendidikan serta sokongan moral kepada pesakit-pesakit di peringkat sekolah rendah dan menengah sejak tahun 1930-an di beberapa buah negara maju seperti Amerika Syarikat, United Kingdom, Kanada dan Australia. Program SDH disesuaikan mengikut konteks Malaysia berpandukan kepada program SDH di Australia yang juga dikenali sebagai “Hospital School Services”. Objektif pelaksanaannya adalah bagi memastikan pembelajaran murid tidak terjejas ketika berada di wad, tidak tercicir dalam pelajaran dan terus dipelihara selaras dengan matlamat “Education For All” di mana ia merupakan hasrat

318 Professor Madya Dr. Ani Binti Haji Omar Cerita Fantasi dan Sains Fiksyen Membina Daya Kreativiti dan Motivasi Murid-Murid Sekolah Dalam Hospital yang diperjuangkan oleh UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organizations). Program SDH dibahagikan kepada tiga peringkat persekolahan iaitu peringkat prasekolah, sekolah rendah dan sekolah menengah. Kanak-kanak berusia antara tiga hingga lapan belas tahun boleh menyertai program SDH ini. Proses pembelajaran dan pengajaran (PdP) SDH dilaksanakan secara berkumpulan di kelas dan secara individu di wad. Sukatan pelajaran SDH adalah berteraskan kepada kurikulum kebangsaan KPM yang telah sedia ada di peringkat sekolah rendah dan menengah serta digunakan secara fleksibel berdasarkan Akta Pendidikan 1996 dengan kaedah PdP disesuaikan mengikut keperluan pesakit. Proses PdP berfokus kepada empat subjek teras iaitu Bahasa Melayu, Bahasa Inggeris, Sains dan Matematik. Untuk makalah ini tumpuan adalah kepada subjek Bahasa Melayu dengan pengaplikasian bahan sastera. Lima orang murid yang terlibat dalam kajian ini iaitu berumur antara 9 hingga 12 tahun.

Fungsi Sastera Kepada Kanak-kanak

Sastera kanak-kanak merangkumi semua jenis penulisan berbentuk kreatif dan imaginatif yang dikhususkan untuk dibaca, dihibur dan dinilai oleh kanak-kanak. Sastera kanak-kanak juga merangkumi bidang fiksyen dan bukan fiksyen. Fungsinya adalah untuk menanam semangat pembangunan, semangat cintakan tanah air dan bangsa serta menambahkan ilmu pengetahuan. Sastera juga berfungsi untuk menjadikan kanak-kanak lebih kreatif, berani, memiliki sifat kerajinan, berbudi pekerti dan cintakan bahasa serta budaya bangsa. Terdapat beberapa ciri sastera kanak-kanak. Ciri pertama ialah dari segi pendekatan. Ciri kedua ialah dari segi kandungan. Sastera kanak-kanak mengandungi lebih banyak penekanan terhadap aksi berbanding dengan sastera dewasa yang mengandungi lebih banyak refleksi. Ciri yang terakhir ialah terdapat nilai pengajaran dan pendidikan iaitu ciri didaktisme. Tessa Krailing (2000) membahagikan buku kanak-kanak kepada sembilan jenis iaitu kisah binatang, cerita pari-pari, mitos dan legenda, misteri dan pengembaraan, cerita hantu dan seram, kisah persekolahan, kisah fantasi, fiksyen sains, novel sejarah dan cerita jenaka. Makalah ini akan menumpukan kepada bahan sastera bersifat fantasi dan sains fiksyen berfungsi sebagai motivasi dan melahirkan daya kreativiti murid- murid SDH.

Pernyataan Masalah

Sesetengah ibu bapa dan pendidik kerap menyoal keperluan sastera fantasi kepada kanak-kanak. Mohd Kasim Ismail (2001:92) menyatakan mereka beranggapan bahawa kanak-kanak hari ini lebih sesuai didedahkan dengan

Professor Madya Dr. Ani Binti Haji Omar 319 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies cerita-cerita semasa yang menampilkan masalah kehidupan harian daripada cerita-cerita fantasi yang jauh daripada realiti kehidupan. Generasi kini dikatakan lebih suka kepada bahan bacaan yang berbentuk kontemporari. Mereka suka membaca buku-buku realisme yang menggambarkan kehidupan realiti, bukan dunia fantasi yang terlepas atau jauh dari kebenaran realiti. Penerbitan buku bersifat global dengan bantuan teknologi maklumat seperti ‘e-book’ lebih menjadi minat kanak-kanak hari ini. Buku-buku akademik seperti sains, matematik, bahasa Inggeris dan ICT menjadi pilihan utama para ibu bapa untuk anak- anak mereka pada masa kini. Para ibu bapa kerap menyoal apakah pentingnya buku-buku fantasi dan sains fiksyen untuk masa depan anak-anak mereka. Penelitian mendapati pandangan orang dewasa tidak sama dengan pandangan kanak-kanak. Persoalan tentang kenyataan atau realiti dengan persoalan fantasi, adalah persoalan yang ditimbulkan oleh golongan realis yang melihat sastera kanak-kanak dari kaca mata dewasa bukan mengikut keperluan kanak-kanak. Justeru aspek yang dikehendaki dan perlu ada dalam sastera kanak-kanak adalah mengikut tanggapan dan persepsi orang dewasa. Kesan daripada ini terhasillah karya, kritikan dan penilaian cerita kanak-kanak yang tidak memberi pertimbangan wajar berdasarkan keperluan kanak-kanak. Sehubungan dengan itu kanak-kanak perlu didedahkan kepada bahan bacaan yang boleh merangsang minda mereka untuk berfikir secara kreatif. Melalui sastera, kanak-kanak mula mengenali dunia sekeliling mereka. Mereka mendapat palbagai maklumat melalui sastera. Salah satu daripada sikap mereka ialah ‘perasaan ingin tahu’. Perkara ini bertepatan dengan teori perkembangan kanak-kanak di mana mereka seterusnya mahu mencuba sesuatu yang baharu. Misalnya selepas mendapat maklumat daripada bahan pembacaan, mereka berusaha untuk mengetahui sesuatu perkara itu dengan lebih mendalam lagi. Perkara seumpama ini boleh menjadi motivasi dan daya kreativiti murid-murid SDH. Secara tidak langsung mereka berusaha untuk terus sembuh dan kuat semangat dan keazaman tinggi untuk terus sihat. Cerita Fantasi dan Sains Fiksyen pada umumya dapat dibahagikan kepada dua kategori iaitu fantasi lama dan fantasi moden. Fantasi lama, terdapat dalam pelbagai genre seperti cerita dewa dewi dan cerita binatang. Keduanya fantasi moden atau fiksyen moden. Bentuk ini pula dapat dipecahkan lagi kepada dua sub iaitu fantasi moden dan sains fiksyen. Fantasi moden berkait dengan kisah-kisah kehidupan moden seperti mendaki gunung, mengembara di hutan, memasuki gua dan lain-lain. Kisah-kisah ini walaupun cerita moden tetapi penceritaannya adalah bersifat imaginatif-rekaan. Sementara sains fiksyen pula memaparkan pengembaraan, penerokaan dan penjelajahan ke dunia cakerawala yang berunsurkan sains. Fantasi moden dalam bentuk sains fiksyen ini juga bersifat imaginatif rekaan. Antara yang terkenal ialah siri “Star Wars”, ia sangat popular dalam kalangan kanak-kanak dan remaja, menjadi bahan tontonan dan bacaan yang tidak jemu-jemu dalam kalangan mereka. Dalam sains fiksyen

320 Professor Madya Dr. Ani Binti Haji Omar Cerita Fantasi dan Sains Fiksyen Membina Daya Kreativiti dan Motivasi Murid-Murid Sekolah Dalam Hospital seperti ini terdapat kisah-kisah peperangan antara galaksi. Ceritanya dipenuhi unsur pengembaraan dan pertarungan yang luar biasa dan menakjubkan, yang tidak pernah dilihat dan wujud dalam pengalaman kanak-kanak. Sehubungan dengan itu kanak-kanak dan murid-murid SDH wajar didedahkan dengan bahan bacaan berbentuk fantasi dan sains fiksyen untuk merangsang minda mereka berfikiran kreatif dan membina imaginasi yang sihat serta memandang dunia ini dengan tanggapan yang positif.

Objektif Kajian

Tumpuan utama kajian ini adalah untuk: 1. Menganalisis unsur sains dan ciri-ciri fantasi yang terdapat dalam dua buah cerita iaitu Aerosa II Mendarat Di Petra Jaya karya Ahmad Zaini Mohamad Zen dan Dunia Sains Aiman Dunia Semut karya Umi Kauthar Abdul Razak 2. Mengaplikasi teori kesan dalam membina daya kreativiti dan motivasi murid- murid Sekolah dalam Hospital berdasarkan teks kajian.

Metodologi Kajian

Kaedah lapangan akan diaplikasi dalam kajian ini di mana SDH terpilih akan dikunjungi dengan melibatkan lima orang murid-murid SDH berumur antara enam hingga dua belas tahun. Pemilihan berdasarkan minat dan kecenderungan mereka serta disarankan oleh guru SDH dan mendapat kebenaran dari pihak hospital.

Kaedah Perlaksanaan

Untuk mendapatkan kesan motivasi dan daya kreativiti, langkah yang pertama ialah murid-murid yang terlibat mendengar cerita yang disampaikan oleh guru. Ada masanya murid yang berkenaan diminta menyambung cerita dan guru akan menggunakan inisiatif tersendiri untuk murid-murid yang terlibat memahami serta menghayati cerita yang sedang diperdengarkan kepada mereka. Perkara ini bertepatan dengan pendapat Carol Oppenheimer (2010:28) yang menjelaskan bahawa hubungan yang rapat atau mesra, seterusnya kepercayaan dan terakhir keyakinan yang diperolehi oleh murid-murid akan memudahkan para guru untuk mengendalikan bahan sastera sebagai terapi dan dapat melihat kesan motivasi kepada murid-murid yang berkenaan.

Strategi Susulan

Pardeck dan Pardeck (1993:29) memetik pendapat Zaccaria dan Moses (1968) menyimpulkan bahawa apabila selesai membaca, seharusnya disusuli

Professor Madya Dr. Ani Binti Haji Omar 321 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies dengan perbincangan atau kaedah terapi berdasarkan buku tersebut. Guru seharusnya menyimpulkan kepada murid-murid apakah hasil dari bacaan tersebut. Hal ini dapat mewujudkan cara atau langkah kepada murid-murid cara untuk menangani masalah yang mereka hadapi. Pengkaji juga mengaplikasikan teknik yang sama. Sejurus selepas selesai satu cerita, pengkaji akan berbincang dengan murid yang berkenaan tentang pemahaman mereka mengenai cerita yang berkenaan dan perkara-perkara yang berkaitan dengan ciri-ciri fantasi dan unsur sains yang terdapat dalam cerita tersebut. Pengkaji juga akan memberikan contoh yang bersesuaian dengan cerita berkenaan supaya kanak-kanak tersebut dapat memahami isi penyampaian cerita dengan lebih baik.

Seni Kreatif

Aktiviti berlandaskan kepada seni kreatif adalah sesuai diaplikasikan terhadap murid-murid SDH yang meminati aktiviti yang bersifat artistik. Kemahiran dalam seni kreatif dapat menjana pemikiran mereka agar mampu berfikir dengan aras yang tinggi. Keupayaan seseorang kanak-kanak berfikir boleh mempengaruhi cara pembelajarannya dan kepantasan serta keberkesanan pembelajarannya. Munir Shuib dan Azman Azwan Azmawati (2001:4) memetik pendapat Ainon dan Abdullah (1995) menjelaskan bahawa kemahiran berfikir meninggikan lagi keupayaan belajar oleh kerana dengan menggunakan kemahiran berfikir mereka dapat mengawal, memandu, dan mengukur kemajuan pembelajaran mereka. Pardeck dan Pardeck (1993:30) juga menjelaskan mengenai aktiviti rangsangan yang mampu membantu kanak-kanak menangani masalah mereka berdasarkan kepada aktiviti berbentuk seni kreatif. Aktiviti pertama murid- murid diminta membuat peta yang menggambarkan peristiwa dalam cerita, dengan menggunakan imaginasi mereka sendiri untuk menceritakan maklumat yang tidak diberikan dalam buku. Aktiviti kedua membina atau menyediakan boneka, model dari tanah liat untuk mengenai watak dalam cerita. Jika kaedah ini tidak mampu dilaksanakan oleh muri-murid yang berkenaan, pengkaji meminta murid-murid yang terlibat untuk melukis satu watak berdasarkan cerita yang telah diceritakan kepada mereka. Namun begitu, aktiviti ini harud diterangkan dengan teliti kepada mereka. Daripada hasil lukisan kanak-kanak tersebut, pengkaji dapat menyimpulkan bahawa mereka memahami cerita yang disampaikan dengan baik. Seterusnya, membina kolaj daripada majalah lama atau surat khabar tentang latar dalam cerita tersebut. Aktiviti keempat melukis sekual latar berdasarkan cerita atau membina satu sekual televisyen tentang insiden penting yang berlaku dalam cerita.

322 Professor Madya Dr. Ani Binti Haji Omar Cerita Fantasi dan Sains Fiksyen Membina Daya Kreativiti dan Motivasi Murid-Murid Sekolah Dalam Hospital

Perbincangan dan Teknik Main Peranan

Teknik perbincangan dan main peranan juga telah dijalankan oleh pengkaji. Pada pemerhatian pengkaji, murid-murid yang terlibat dapat mengaplikasikan nilai nurni berdasarkan cerita dengan baik sekali. Mereka benar-benar menunjukkan sikap positif selepas mendengar cerita yang disampaikan kepada mereka. Pengkaji juga bersama-sama dengan murid-murid yang berkenaan berbincang tentang cerita yang disampaikan supaya mereka dapat mendalami cerita tersebut dengan sebaik mungkin. Sepanjang sesi motivasi dan terapi, pengkaji telah menjalankan pemerhatian terhadap perubahan tingkah laku kanak-kanak terlibat dan mengaitkannya dengan teori kesan janaan Aristotle.

Teori Kesan Janaan Aristotle (384-322SM)

Selain daripada itu Teori Kesan Janaan Aristotle (384-322SM) iaitu kekayaan, kesejagatan, keabadian dan kebenaran akan diaplikasikan. Aristotle berbeza dengan gurunya Plato dalam beberapa hal. Pertama baginya kesusasteraan bukan kelas ketiga, tetapi suatu hasil yang istimewa dengan bentuknya yang tersendiri, sebagai produk kreativiti iaitu suatu “mimesis” bagi kehidupan ciptaan seniman. Beliau juga menolak pendapat Plato, bahawa tragedi dan epik memberikan kesan negatif kepada penonton. Sebaliknya bagi Aristotle, kedua genre tersebut boleh memberikan kesan “catharsis” atau keinsafan. Walaupun kedua-dua tokoh ini berbeza pendapat namun pandangan kedua-duanya dapat dianggap saling melengkapi. Plato (guru) menekankan pentingnya isi (content) kesusasteraan; sementara Aristotle menekankan pentingnya “bentuk” atau “struktur” kesusasteraan. Pandangan di atas dapat dirumuskan bahawa bahan sastera perlu mempunyai beberapa kesan.

Dapatan Kajian

Analisis kajian akan dikaitkan dengan empat prinsip teori kesan janaan Aristotle iaitu kekayaan, kesejagatan, keabadian dan kebenaran. Beberapa petikan terpilih dari teks kajian akan disertakan sebagai contoh.

Kekayaan

Hasil kajian mendapati kelima-lima murid SDH menggemari bahan bacaan berunsur fantasi dan sains fiksyen sama ada lelaki mahupun perempuan. Bahan bacaan ini mencabar minda mereka kerana memerlukan mereka memahami istilah sains yang terdapat dalam cerita yang berkenaan. Manakala cerita fantasi pula merangsang daya imaginasi mereka. Perkara ini bertepatan dengan konsep

Professor Madya Dr. Ani Binti Haji Omar 323 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies kekayaan yang terdapat dalam teori kesan janaan Aristotle, di mana kekayaan dalam konteks sastera boleh dibahagikan kepada dua; pertama keluasan, kedua kedalaman. Keluasan dapat diertikan sebagai banyak kisah, banyak peristiwa. Daripada kisah-kisah itu memberikan pula pelbagai makna dan persoalan sama ada yang menyentuh sebahagian atau keseluruhan karya kesusasteraan. Manakala aspek kedalaman, membawa makna kehalusan, berlapis-lapis iaitu dalam konteks pengertian tersurat dan tersirat. Dalam kesusasteraan ia berkait dengan makna sesuatu peristiwa atau kisah, atau makna sesuatu perlambangan sama ada yang bersifat “allegorical” atau “parable”. Cerita fantasi baik yang lama mahupun yang baharu, umumnya membawakan makna dan nilai tertentu. Fantasi lama seperti dalam cerita-cerita binatang dan dewa-dewi, mengentengahkan makna ‘kebenaran hidup lampau’, kebaikan mengatasi kejahatan. Ia juga menjadi satu cara berhibur dengan meneroka pelbagai dimensi kehidupan di luar realiti dan pengalaman mereka. Cara ini memberi peluang murid-murid SDH melihat, membanding, mentafsir dan menilai pelbagai fenomena kehidupan dari pelbagai bentuk atau dimensi. Dalam hubungan ini yang harus disedari ialah fungsi penting sastera fantasi itu ialah untuk membantu mereka membentuk dan mengembangkan daya imaginasi. Latihan berimaginasi melalui sastera fantasi, membolehkan kanak-kanak membentuk benih-benih pemikiran kreatif. Dengan perkataan lain pengalaman berimaginasi, secara beransur-ansur akan membentuk minda kreatif. Kualiti ini boleh merangsang dan menggalakkan kanak-kanak atau remaja berani menghasilkan pola-pola baharu pemikiran secara kreatif dan unik. Berimaginasi adalah kemahiran ‘vital’ manusia bagi tujuan penerusan hidup ‘survival’ manusia. Dalam hubungan ini murid-murid SDH perlu dibantu membentuk kemahiran berfikir kreatif untuk kejayaan masa depan mereka. Diharapkan apabila mereka dewasa dapat berfikir dan bertindak secara lebih prakmatik dan rasional. Dengan perkataan lain mereka mampu menyesuaikan diri mengkut masa dan perubahan bukan bersifat ‘katak di bawah tempurung’. Sehubungan dengan itu, menurut Md Sidin Ahmad Ishak (2005:16) perkataan ‘sains’ membawa maksud pengetahuan yang telah dibuktikan, manakala ‘fiksyen’ merupakan cerita rekaan. Fiksyen sains bermula dengan fakta-fakta yang benar yang diketahui tentang dunia yang dihuni dan fakta-fakta ini digunakan sebagai asas untuk membuat andaian atau khayalan. Fiksyen sains kerap kali berlegar pada cerita - cerita tentang pengembaraan ke angkasa lepas atau ke dalam lautan. Selain itu, ia juga adalah tentang ciptaan-ciptaan baharu yang menakjubkan, tetapi skop fiksyen sains ini sebenarnya bukanlah terbatas semata-mata kepada pengembaraan ke angkasa lepas. Penulis boleh juga turun kembali ke bumi nyata dan mengambil bahan-bahan yang terdapat dalam pengalaman kanak-kanak sehari-hari seperti dunia binatang iaitu semut, katak, atau pun mengenai seorang ahli sains dan ciptaannya serta mengenai kanak-

324 Professor Madya Dr. Ani Binti Haji Omar Cerita Fantasi dan Sains Fiksyen Membina Daya Kreativiti dan Motivasi Murid-Murid Sekolah Dalam Hospital kanak yang luar biasa. Penulis harus ingat fiksyen sains ini bersifat futuristik iaitu menjangkau ke zaman akan datang. Penulis boleh sahaja meramal apa yang mungkin berlaku di masa hadapan berdasarkan fakta-fakta sains. Antara unsur sains yang terdapat dalam cerita Dunia Sains Aiman ialah amnesia. Amnesia dimaksudkan adalah hilangnya ingatan atau memori seseorang, seperti kejadian, informasi, dan pengalaman. Pada umumnya amnesia tidak akan menyebabkan hilangnya identiti diri. Gejala yang juga disebut sindrom amnestik ini biasanya jelas dan pengidapnya akan tahu siapa dirinya tapi agak sukar untuk belajar tentang maklumat dan membentuk memori baharu. Amnesia disebabkan oleh kerosakan dibahagian otak yang penting untuk proses memori. Namun berbeza dengan kehilangan ingatan sementara (transient global amnesia), sindrom amnestik dapat menjadi kehilangan ingatan sementara. Dalam buku cerita ini digambarkan yang Aiman menghadapi amnesia sementara apabila dia tidak dapat mengingati peristiwa yang lepas-lepas. Hal ini dapat dilihat apabila Aiman tidak dapat mengingat tentang peristiwa yang terjadi yang lepas, apa yang diingatkannya hanyalah perkara terakhir yang berlaku iaitu kakinya dibalut oleh Velentina iaitu anak Profesor Yuri. Aiman menghadapi Amnesia sementara itu kerana dia telah terjatuh dan telah menyebabkan otaknya bergetar dan tidak dapat berfungsi dengan baik. Unsur sains seterusnya yang terdapat dalm buku Dunia Sains Aiman ialah bulan. Dalam cerita ini digambarkan mengenai Aiman yang sedang menjelaskan kepada Ying Chun mengenai sebab kenapa bulan yang kelihatan terang pada waktu malam. Aiman menjelaskan yang bulan merupakan satelit semulajadi bumi. Maksud satelit ialah benda yang mengorbit benda lain. Disebabkan bulan mengelilingi benda lain, bulan dipanggil satelit bumi. Aiman menceritakan dengan lebih mendalam kepada Ying Chun mengenai kejadian siang dan malam. Aiman memberitahu bahawa bumi berputar di atas paksinya dan disebabkan itulah terjadinya kejadian siang dan malam. Saiz bulan lebih kurang satu perempat dari saiz bumi. Disebabkan saiznya yang lebih kecil maka tarikan graviti di bulan hanya satu per enam daripada tarikan dibumi. Tambah Aiman lagi permukaan bulan adalah tidak rata kerana sebenarnya permukaan bulan penuh dengan kawah gunung berapi dan gunung gersang. Bulan tidak mengeluarkan cahaya sendiri tetapi ianya kelihatan terang kerana memantulkan cahaya daripada matahari. Sehubungan itu melalui penerangan Aiman yang berkonsepkan yang dia sedang bercerita kepada Ying Chun maka murid-murid SDH secara tidak langsung dapat mempelajari mengenai ilmu sains ini dengan bersahaja iaitu tanpa tekanan kerana mereka mendapat maklumat tersebut dengan mendengar cerita guru serta membaca buku cerita berkenaan. Oleh yang demikian mereka belajar secara santai dan tidak berasa bosan. Seterusnya ialah jisim dan graviti. Jisim ialah jirim yang memenuhi ruang Jisim sesuatu objek adalah sekata dan tidak dipengaruhi oleh daya tarikan gravity.Manakala graviti ialah daya tarikan yang bertindak ke atas sebarang jasad

Professor Madya Dr. Ani Binti Haji Omar 325 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies pada permukaan bumi menuju ke pusat bumi. Unit SI bagi daya tarikan graviti ialah newton (N) dan magnitud daya tarikan graviti bergantung kepada jisim jasad dan jarak dari pusat bumi.Dalam buku ini digambarkan Aiman sedang menerangkan kepada Ying Chun mengenai berat disebabkan oleh tarikan graviti oleh jisim. Dalam penggunaan saintifik moden jisim adalah kandungan bahan manakala berat adalah daya akibat tindakan graviti ke atas bahan itu. Aiman memberitahu bahawa jisim kekal namun berat berubah-ubah disebabkan oleh pecutan graviti dan adalah hampir sama sahaja di mana-mana di permukaan bumi. Berat sesuatu objek ialah ukuran daya tarikan graviti ke atas objek itu dan ianya berbeza dengan jisim. Tambah Aiman lagi sebenarnya jisim tidak akan berubah manakala berat boleh berubah bergantung kepada tarikan graviti. Tarikan graviti di bulan tidak kuat iaitu lebih kurang satu per enam daripada graviti bumi dan ini telah menyebabkan berat kita di bulan akan berkurang.Apa yang dapat disimpulkan melalui penerangannya kepada Ying Chun mengenai jisim dan berat ialah dua perkara yang berbeza namun salin berhubung kait. Aiman mengetahui semua ini melalui pembacaannya dalam bacaan sains dan ensiklopedia dan itu membuatnya begitu mudah untu berbicara mengenai sains dan teknologi. Unsur sains yang terdapat dalam buku cerita Dunia Sains Aiman juga ialah mengenai kapilari darah. Kapilari darah dalam cerita ini dikaitkan dengan mata kakak Evan yang berwarna warna kerana dia membaca dalam tempoh masa yang agak lama sehingga menyebabkan matanya merah. Biasanya kapilari darah ini tidak kelihatan kerana jumlah darah didalamnya adalah sedikit. Apabila membaca buku ketebalan kanta berubah berikutan perubahan jarak fokus mata. Otot keliling dalam mata berfungsi mengubah ketebalan kanta mata. Jadi darah perlu mengangkut lebih banyak oksigen agar otot keliling dapat berfungsi. Maka ini akan menyebabkan kandungan darah dalam kapilari bertambah dan kapilari menjadi tebal. lalu Ivan membuat kesimpulan mengenai info tersebut iaitu mata akan kelihatan merah apabila kapilari darah didalamnya menjadi lebih tebal. Selain itu,unsur sains yang terdapat buku cerita ini juga ialah karbon dioksida. Air-Cond atau penghawa dingin yang dipasang akan menyebabkan peghasilan banyak gas karbon dioksida. Pembebasan gas karbon dioksida yang terlalu banyak akan menyebabkan pemanasan bumi walaupun ianya sebenarnya baik bagi proses fotosintesis tumbuhan. Disebabkan terlalu ramai yang menggunakan penghawa dingin maka akan menghasilkan banyak gas karbon dioksida ke alam sekitar. Apabila terlalu banyak gas karbon dioksida lama – kelamaan akan menyebabkan pemanasan bumi lalu meneyebabkan lapisan ozon bocor kemudian cahaya sinaran UV dan radiasi dari matahari menembusi permukaan bumi dengan lebih mudah dan akan menyebabkan manusia mudah terkena kanser kulit,glasier kan mudah cair dan bumi menjadi lebih panas. Rumusannya unsur sains yang terdapat dalam buku cerita yang dijadikan bahan kajian ialah sains normal, dimana ia bertujuan untuk menyarankan

326 Professor Madya Dr. Ani Binti Haji Omar Cerita Fantasi dan Sains Fiksyen Membina Daya Kreativiti dan Motivasi Murid-Murid Sekolah Dalam Hospital bahawa sesetengah contoh amalan saitifik yang sebenar yang telah diterima. Oleh yang demikian, dari sudut yang positif murid-murid SDH, mereka dapat mempelajari istilah-istilah sains yang terdapat dalam buku itu. Contohnya Solepnopsis Geminata ialah istilah sains untuk semut api. Bukan itu sahaja mereka dapat mengetahui yang semut sering kali dikaitkan dengan makhluk yang rajin. Mereka juga dapat mengetahui bahawa semut mempunyai spesies yang paling banyak berbanding dengan hidupan lain. Ini bermakna jumlah semut di dunia lebih banyak berbanding dengan kelahiran manusia. Tidak keterlaluan jika dikatakan bahawa buku cerita yang dikaji memaparkan keistimewaan semut- semut yang memiliki ciri dan keistimewaan sama seperti manusia. Malah sifat rajin dan kerjasama semut dapat dijadikan unsur motivasi kepada murid-murid SDH.

Kesejagatan

Unsur kesejagatan atau universal bermakna wujud nilai rentas budaya tanpa batas, ras, ruang dan waktu. Dalam kesusasteraan, unsur sejagat adalah satu daripada unsur penting yang menyangkut pelbagai nilai kehidupan sama ada pemikiran mahupun moral dan kemanusiaan. Soal manusia dan kemanusiaan adalah soal sejagat yang berlaku di mana-mana daerah atau wilayah di dunia ini, dari dahulu hingga kini. Soal pemikiran misalnya, ialah soal membicarakan bagaimana manusia menggunakan kebijaksanaannya dalam mengurus dan menghadapi kehidupan. Dari satu sudut dilihat wujudnya nilai-nilai universal tentang sidat dan kelemahan manusia seperti kealpaan, kezaliman, penipuan, kesombongan, kebanggaan dan kebodohan hingga menyebabkan kemusnahan dan kegagalan sese orang individu manusia. Dari sudut yang lain terlihat pula adanya kekuatan, kegagalan, kebijaksanaan dan kecelikan manusia hingga pada satu peringkat terlihat pula manusia mencapai kejayaan dan kecemerlangan. Puncak kejayaan yang menjadi ideal manusia adalah cita-cita atau impian yang bercirikan kesejagatan tadi. Persoalan moral dan kemanusiaan adalah soal digniti dan integriti manusia. Persoalan khianat, kezaliman, keadilan adalah persoalan nilai yang berkaitan dengan manusia dan kemanusiaan iaitu soal kewujudan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan (hablumminallah) dan hubungan manusia sesama manusia (hablumminnas). Persoalan manusia dengan alam dan persoalan manusia dengan manusia adalah persoalan manusia sebagai makhluk berbudaya (beradab). Soal manusia dan adab adalah soal manusia dengan moraliti iaitu soal manusia dan kemanusiaan sejagat tanpa batas, ras, ruang dan waktu. Cerita Aerosa II Mendarat di Petra Jaya bertemakan tentang kewujudan makhluk-makhluk asing. Mereka berasal dari planet-planet yang tertentu. Cerita ini banyak mengisahkan tentang cara kehidupan makhluk asing yang sememangnya berbeza dengan kehidupan manusia di bumi. Kewujudan

Professor Madya Dr. Ani Binti Haji Omar 327 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies makhluk asing dalam cerita ini dapat dikesan melalui watak Nasita dan rakan- rakannya iaitu Yonna dan Farica yang berasal dari Planet Fesilia. Mereka juga berkawan rapat dengan makhluk bumi iaitu Zurida. Persoalan pertama yang dapat dikesan ialah persoalan hubungan persahabatan. Hal ini dapat dilihat apabila persahabatan di antara Zurida dan Nasita terjalin erat walaupun mereka berlainan makhluk. Zurida sanggup berkorban dengan menyerahkan dirinya kepada Timbo daripada melihat kawannya dan Aerosa II dimusnahkan. Zurida bertindak dengan bijak dengan berpura-pura sakit untuk membebaskan dirinya dan kawannya daripada di tahan oleh makhluk asing jahat di planet Ita. Contoh : “Ya, aku sanggup pergi bersamamu, asalkan kamu jangan ganggu lagi Aerosa II,” ujar Zurida dengan nada suara yang menurun. ( halaman 22 ).

Selain itu, persoalan kecanggihan teknologi. Hal ini digambarkan di dalam kapal angkasa Aerosa II. Zurida hanya perlu menekan butang untuk mendapatkan makanan dan minuman ketika berada di dalam kapal angkasa itu. Contoh : Zurida menekan butang yang terdapat di atas meja. Sebuah pintu terbuka dengan sendirinya. Dia terpegun. Sebuah meja roda datang membawa makanan dan minuman yang beraneka rupa kepadanya. Tanpa ragu-ragu Zurida terus menikmati hidangan tersebut. Sejurus kemudian Nasita dan rakan-rakannya turut serta menikmati hidangan tersebut. ( halaman 12 ).

Di samping itu, persoalan mengenang budi. Sifat mengenang budi ini dapat dilihat melalui watak Timbo. Timbo sangat berterima kasih kepada Zurida kerana telah menyelamatkan adiknya iaitu Malex daripada sakit kuat. Timbo berjanji untuk membalas budi baik Zurida itu. Zurida telah menyelamatkan Malex dengan menyentuh tubuhnya kerana aliran statik dari badan Zurida mampu menyembuhkannya. Contoh : “ Aku ucapkan berbanyak terima kasih atas pertolonganmu itu. Tak terdaya rasanya aku nak membalas budimu,” ujar Timbo, memberi penghargaan. ( halaman 25).

Seterusnya ialah persoalan balas dendam. Mengikut takrif lazim, “dendam” ialah perasaan hendak membalas kejahatan seseorang. Sifat pendendam ini wujud di dalam watak ketua makhluk asing di Planet Ita. Ia merasakan kejayaan Zurida dan rakan-rakannya akan mengancam kedudukannya. Oleh itu, ia merancang untuk membuat pakatan sulit supaya dapat menghancurkan kejayaan Zurida dan rakan-rakannya. Namun akhirnya askar-askar dari Planet Ita telah mengaku kalah dan mahu berdamai.

328 Professor Madya Dr. Ani Binti Haji Omar Cerita Fantasi dan Sains Fiksyen Membina Daya Kreativiti dan Motivasi Murid-Murid Sekolah Dalam Hospital

Contoh : Rahsia kejayaan Zurida dan rakan-rakannya telah sampai ke pengetahuan ketua makhluk Planet Ita. Mereka dicam sebagai ancaman besar kepada seluruh makhluk di Planet Ita. Dalam senyap-senyap ketua makhluk Ita menubuhkan satu pakatan sulit. Dia merasa masanya sudah sampai bagi mereka bertindak balas. ( halaman 55).

Persoalan yang seterusnya ialah persoalan kasih sayang. Hal ini menunjukkan kasih sayang ibu bapa terhadap anak-anaknya. Ibu Zurida berasa resah dan susah hati apabila mendapati anaknya telah hilang dan tidak pulang ke rumah. Ibu dan ayahnya mencari Zurida di merata-rata tempat namun tidak dijumpai. Mereka akhirnya meminta pertolongan Doktor Abbas untuk mencari anaknya. Contoh : Ibu dan ayah Zurida pergi ke rumah Doktor Abbas pada malam itu juga. Jasanya amat diperlukan. Mereka berjalan terhuyung-hayang. Kepenatan sudah tidak terasa lagi. Mereka akan sedia berkorban apa sahaja demi kepentingan anak mereka. ( halaman 14).

Keabadian

Sesuatu yang abadi adalah sesuatu yang berkekalan iaitu sesuatu yang dapat hidup atau bertahan lama atau berpanjangan. Dalam konteks kesusasteraan keabadian membawa maksud sastera lama atau baharu yang klasik (bermutu) yang terus hidup segar dalam penghayatan masyarakat atau khalayak sastara sama ada dalam bentuk pembacaan, kajian ataupun kritikan. Keadaan ini berlaku adalah disebabkan mutu sesebuah karya itu telah memenuhi idealnya iaitu dari segi pemikiran dan moralnya hingga berjaya menjadi santapan fikir dan rasa manusia. Dengan perkataan lain, karya yang abadi adalah karya yang dapat diterima pada setiap zaman, isinya tidak kering dengan persoalan sejagat, bersifat ‘malar segar’ iaitu sentiasa segar dalam penghayatan manusia dari zaman ke zaman. Unsur keabadian ini tidak dapat dikaitkan dengan dua buah teks yang dikaji kerana tidak memenuhi ciri-ciri yang berkenaan.

Kebenaran

Kefahaman tentang ‘humanisme’ dan ‘moralisme’ adalah usaha seniman dan khalayak sastera mencari ‘kebenaran’. Justeru akan lahirlah nilai kebenaran tentang kehidupan. Kebenaran hidup akan hanya wujud dan bertahan jika manusia dapat menghayati prinsip-prinsip yang berikut iaitu; kebijaksanaan, kefasihan, kesusilaan (kehalusan adab), keadilan dan kebenaran. Dalam pengucapan seni klasik tercermin kelima-lima nilai tadi khususnya dalam

Professor Madya Dr. Ani Binti Haji Omar 329 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies membicarakan hakikat kehidupan. Seniman klasik mampu menggunakan enam perkara berikut iaitu jalan pemikiran yang terbaik, justeru dapat menyampaikan isi dengan lancar, fasih tanpa mengabaikan kesusilaan iaitu adab serta tidak berat sebelah, adil dalam usaha mencari kebenaran. Sebagai contoh nilai dan pengajaran yang terdapat dalam cerita Aerosa II Mendarat Di Petra Jaya ialah nilai hubungan persahabatan. Hal ini dapat dilihat melalui watak Zurida, Nasita dan rakan-rakannya yang lain. Mereka tetap bersahabat dan saling bantu-membantu di antara satu sama lain walaupun mereka berbeza makhluk dan latar belakang. Contohnya, Zurida sanggup mencari jalan keluar daripada bilik kurungan sewaktu mereka ditahan oleh makhluk Planet Ita, semata-mata untuk menyelamatkan rakan-rakannya. Dia berpura-pura sakit dan telah menyamar sebagai seorang anggota askar Planet Ita untuk membebaskan rakan-rakannya. Hal ini menunjukkan bahawa Zurida sangat menghargai hubungan persahabatan mereka bertiga sehingga sanggup membahayakan nyawanya sendiri untuk menyelamatkan rakan-rakannya. Selain itu, nilai kasih sayang juga adalah suatu kebenaran dan dapat dilihat melalui novel ini. Cerita ini memaparkan nilai kasih sayang ibu bapa terhadap anaknya. Ibu bapa seharusnya mengambil berat akan setiap perbuatan dan tingkah laku yang dilakukan oleh anak-anak mereka. kasih sayang ini dapat dilihat melalui watak ibu dan bapa Zurida. Contohnya, ibu dan bapa Zurida berasa sangat bimbang ketika Zurida didapati hilang semasa pergi ke reban ayam miliknya dan tidak pulang ke rumah pada malam itu. Ayahnya mencari Zurida di merata-rata tempat namun tidak ditemui. Akhirnya, mereka berdua meminta pertolongan daripada Doktor Abbas untuk mencari Zurida. Ibu dan ayah Zurida pergi ke rumah Doktor Abbas pada malam itu juga. Jasanya amat diperlukan. Mereka berjalan terhuyung- hayang. Kepenatan sudah tidak terasa lagi. Mereka akan sedia berkorban apa sahaja demi kepentingan anak mereka. ( halaman 14). Di samping itu, unsur kebenaran dalam cerita ini ialah sanggup berkorban demi menyelamatkan orang lain. Hal ini dapat dilihat melalui watak Zurida yang rela berkorban demi menyelamatkan rakannya. Contohnya, Zurida rela mengikut Timbo untuk pulang ke Planetnya iaitu Planet Afza. Zurida sanggup membiarkan dirinya dibawa pergi oleh Timbo daripada melihat berlakunya pertarungan di antara Nasita dan Timbo yang telah menyebabkan kapal angkasa AEROSA II rosak teruk. Demi menyelamatkan kapal angkasa itu daripada dimusnahkan, Zurida telah bersetuju untuk mengikut Timbo pergi ke planetnya untuk menyelamatkan nyawa adik Timbo iaitu Malex. “Ya, aku sanggup pergi bersamamu, asalkan kamu jangan ganggu lagi Aerosa II,” ujar Zurida dengan nada suara yang menurun. ( hlm. 22 ) Seterusnya ialah mengenang budi. Kita seharusnya mengenang budi seseorang yang pernah menolong kita. Hal ini dapat dilihat melalui watak Timbo. Ia sangat berterima kasih dan terhutang budi kepada Zurida kerana telah

330 Professor Madya Dr. Ani Binti Haji Omar Cerita Fantasi dan Sains Fiksyen Membina Daya Kreativiti dan Motivasi Murid-Murid Sekolah Dalam Hospital menyelamatkan adiknya yang sedang sakit pada masa itu. Contohnya, “ Aku ucapkan berbanyak terima kasih atas pertolonganmu itu. Tak terdaya rasanya aku nak membalas budimu,” ujar Timbo, memberi penghargaan. ( halaman 25). Seterusnya unsur kebenaran yang lain ialah sikap membalas dendam akan merugikan diri sendiri. Kita harus mengelakkan perasaan dendam terhadap orang lain. Hal ini dapat dilihat melalui watak kapten Planet Ita yang berdendam dengan Nasita kerana mencemburui kejayaan mereka. Namun, misi balas dendam mereka telah gagal dan kapten makhluk Planet Ita telah mangaku kalah dan mahu berdamai. Contohnya, rahsia kejayaan Zurida dan rakan-rakannya telah sampai ke pengetahuan ketua makhluk Planet Ita. Mereka dicam sebagai ancaman besar kepada seluruh makhluk di Planet Ita. Dalam senyap-senyap ketua makhluk Ita menubuhkan satu pakatan sulit. Dia merasa masanya sudah sampai bagi mereka bertindak balas. ( halaman 55). Ciri-Ciri Fantasi Yang Terdapat Dalam Cerita AEROSA II Mendarat Di Petra Jaya juga boleh dikaitkan dengan unsur kebenaran iaitu melalui watak, latar tempat dan kecanggihan teknologi. Watak dalam cerita ini terdiri daripada makhluk asing. Oleh itu, watak ini dikatakan salah satu unsur fantasi yang terdapat dalam novel ini. Hal ini kerana makhluk asing merupakan satu makhluk yang unik dan tidak pernah ditemui oleh manusia secara jelas. Walaupun tidak pernah ditemui namun kewujudan makhluk ini diakui oleh manusia. Watak makhluk asing dalam cerita ini digambarkan dengan ciri-ciri yang tersendiri. Gambaran ini merupakan satu unsur fantasi dan mampu meningkatkan daya imaginasi kanak-kanak. Contohnya, “Ia berpakaian kemas berwarna kuning keemasan. Wajahnya comel, hidungnya mancung dan matanya bulat bersinar. Di atas kepalanya terdapat sejenis mahkota kecil yang mengeluarkan cahaya bergemerlap. Di pinggangnya tersisip sepucuk pistol.”

Berhubung dengan latar tempat pula, cerita ini mengisahkan tentang kehidupan makhluk asing di planet-planet. Antara planet-planet yang terdapat dalam cerita ini ialah planet Afza, planet Fisilia dan Planet Ita. Nama-nama planet ini berbeza dengan planet-planet yang wujud di galaksi yang kita sedia maklum. Oleh itu, hal ini mampu meningkatkan daya imaginasi murid-murid untuk berfantasi . Kecanggihan teknologi pula, cerita ini banyak memaparkan tentang kecanggihan teknologi yang melangkaui tahap pemikiran manusia biasa yang hidup di bumi. Kehidupan makhluk asing ini menceritakan tentang segala kecanggihan teknologi dalam pelbagai aspek. Unsur-unsur ini secara langsung dapat meningkatkan daya fantasi kanak-kanak. Contohnya, makhluk asing menggunakan perkhidmatan robot untuk melakukan segala pekerjaan di dalam atau luar rumah seperti mencuci, memasak dan sebagainya.

Professor Madya Dr. Ani Binti Haji Omar 331 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

Rumusannya walaupun cerita-cerita fantasi dan sains fiksyen ini hanyalah rekaan, namun dalam dunia realiti ada kebenarannya. Kehidupan di dunia ini perlukan kepada kekayaan, kesejagatan, kebenaran dan keabadian di mana semua itu hanyalah sementara, yang pasti tiada yang kekal abadi sampai masanya akan kembali kepada yang Maha Pencipta itulah sebenar-benarnya erti keabadian yang harus difahami oleh semua.

Kesimpulan.

Fantasi sukar ditakrifkan secara khusus kerana ia mungkin bersifat epik, mitos atau jenaka yang merentas genre. Ia mungkin bermula daripada dunia ini lalu berkembang menuju ke alam lain. Cerita fantasi merupakan cerita yang penuh dengan pelbagai kemungkinan yang luas. Cerita jenis ini dikatakan menarik kerana pembaca-pembaca muda dengan mudah dapat membayangkan diri mereka dalam situasi yang dikhayalkan. Cerita jenis ini dikatakan menarik kerana pembaca muda dengan mudah dapat membayangkan diri mereka dalam situasi yang dikhayalkan. Walaupun cerita jenis ini hanyalah khayalan namun ia amat menarik minat murid-murid SDH dan dapat menjana pemikiran kreatif mereka disamping rasa terhibur. Selain itu, novel kanak-kanak yang berunsur fantasi dan sains fiksyen ini mampu untuk meningkatkan daya imaginasi murid-murid SDH. Hal ini demikian kerana cerita fantasi ini biasanya banyak memaparkan peristiwa- peristiwa yang berlaku di luar kotak pemikiran manusia. Oleh itu, hal ini secara langsung dapat meningkatkan daya imaginasi mereka untuk berfantasi dalam dunia khayalan. Daya imaginasi yang tinggi boleh membuatkan murid-murid SDH mempunyai daya fikiran yang tajam dan mampu berfikiran jauh. Hal ini penting bagi menjamin perkembangan diri mereka yang seimbang walaupun dalam masa yang sama mereka masih menerima rawatan dan belajar dalam SDH. Di samping itu, novel yang berunsur fantasi dan sains fiksyen ini juga mampu menarik minat murid-murid SDH untuk membaca. Hal ini demikian kerana mereka lebih suka untuk berfantasi dalam dunia khayalannya. Oleh itu, buku-buku yang berunsur fantasi ini mampu menarik minat mereka untuk membaca. Dalam persekitaran dan keadaan mereka yang sedang menerima rawatan, ada masanya mereka lebih suka untuk berfantasi berbanding membaca bahan bacaan yang lebih bersifat ilmiah. Oleh yang demikian bahan sastera bersifat fantasi dan sains fiksyen ini menarik minat mereka untuk membaca. Tambahan pula ia boleh menjadi motivasi untuk mereka rasa positif dalam hidup ini. Kajian juga mendapati bahan sastera mampu meningkatkan daya imaginasi dan dapat menjana pemikiran mereka menjadi lebih kreatif.

332 Professor Madya Dr. Ani Binti Haji Omar Cerita Fantasi dan Sains Fiksyen Membina Daya Kreativiti dan Motivasi Murid-Murid Sekolah Dalam Hospital

Rujukan

Ahmad Zaini Mohammad Zen, (1988). Aerosa II Mendarat Di Petra Jaya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Ani Hj Omar. (2011). Apresiasi Teori Kesusasteraan Melayu. Selangor: Emeritus Publication. Ani Omar dan Nor Shahirah Haji Khalilludin. (2014). Sastera Kanak-kanak untuk Perkembangan Diri yang Seimbang. Tanjong Malim: Penerbit Mentari. Arba’ie Sujud dan Nik Rafidah Nik Muhamad Affendi. (2011). Pembentukan Emosi Kanak-Kanak Melalui Bahan Bacaan Sastera. Jurnal Pengajian Melayu, 22, 67-68. Carol Oppenheimer. (2010). Abstract Use Of Bibliotherapy As An Adjunctive Therapy With Bereaved Children.[ Tesis: Sarjana Muda]. Long Beach: California State University. Calterson, J.I. (1989), Chidren and Literature, New York: International Reading Charlotte S.H (1976), Children’s Literature in the Elementery School, New York: Holt, Rinehart and Winston. Hadijah Rahmat, ( 2006 ). Peranan dan Perkembangan Sastera Kanak-Kanak. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka. Haviland, V. (1993), Children and Literature, London: Bodley Lead Hunt, P (Ed), (1992), Literature for Children, London: Rontledge Julia Segal, ( 2003). Fantasi. Jogjakarta : Pohon Sukma. John W.S. (1980), Children and Literature, Chicago: Nally College Publishing Co. Md Sidin Ahmad Ishak. (2005). Perkembangan Sastera Kanak-Kanak di Malaysia Buku Melayu Mencari Nafas Baru. Shah Alam: Cerdik Publications Sdn. Bhd. Mohd Kasim Ismail. (2012). Kesusasteraan Kanak-Kanak dan Remaja. Serdang: Universiti Putra Malaysia Munir Shuib dan Azman Azwan Azmawati. (2001). Pemikiran Kreatif. Pulau Pinang: Prentice Hall Pearson Malaysia. Normah Ismail. (2014). “Cabaran Dalam Pengajaran dan Pembelajaran Berkualiti Di Sekolah Dalam Hospital”. Prosiding Seminar Sekolah Dalam Hospital Kali Ke-2. Putrajaya: Bahagian Pendidikan Guru Othman Puteh dan Abdul Ahmad (ed), (1984), Sekitar Sastera Kanak-Kanak dan Remaja. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Pelan Pembangunan Pendidikan Malaysia (PPPM 2013-2025). Putrajaya: Kementerian Pendidikan Malaysia. John T. Pardeck el. (1993). Bibliotherapy: A Clinical Approach for Helping Children. Amsterdam: Gordon and Breach Science Publishers. Shahnon Ahmad.(1994).Sastera pengalaman ilmu imaginasinya dan kitarannya.

Professor Madya Dr. Ani Binti Haji Omar 333 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

Kuala Lumpur:Dewan Bahasa dan Pustaka. Thomas S.Kuhn (1997).Struktur Revolusi Sains Edisi Kedua. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.Tony Jones.(2003).Sains Rujukan Meja Jilid 2.Selangor Darul Ehsan:Dawama Sdn.Bhd. Umi Kauthar Abdul Razak.(2009).Dunia Sains Aiman Dunia Semut. Kuala Lumpur:Bs Print (M) Sdn.Bhd.

334 Professor Madya Dr. Ani Binti Haji Omar AKAL BUDI DALAM PERIBAHASA MELAYU SARAWAK

Abang Patdeli bin Abang Muhi Malaysia

1. Pengenalan

akalah ini adalah berkaitan dengan penganalisisan terhadap aspek Makal budi yang tersirat dalam peribahasa yang terdapat dalam kalangan orang Melayu Sarawak, dan merupakan objektif ketiga dalam disertasi doktor falsafah berjudul Akal Budi dalam Peribahasa Melayu Sarawak. Data berkenaan dengan peribahasa itu telah dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan terhadap beberapa buku yang memuatkan beberapa rangkap peribahasa, dan penelitian di lapangan dengan menemu bual dua orang informan yang merupakan penutur asli bahasa Melayu Sarawak, dan tokoh yang arif tentang bahasa dan budaya orang Melayu Sarawak. Penelitian itu telah berjaya memperoleh 1373 rangkap peribahasa.

2. Orang Melayu Sarawak Selayang Pandang

Sarawak ialaha salah sebuah negeri dalam Malaysia, dan orang Melayu Sarawak adalah merupakan satu daripada 24 kaum yang terdapat di negeri itu, dan selepas kaum Iban, orang Melayu merupakan kelompok Bumiputera yang kedua terbesar. Meskipun begitu, kaum Melayu Sarawak tidak begitu dikenali berbanding dengan suku kaum Iban dan Melanau. Menurut Awang Hasmadi Awang Mois dalam kertas kerjanya Masyarakat Melayu Sarawak:Satu Penilaian yang dibentangkan dalam Seminar Budaya Melayu III pada tahun 1999:17: Ada daripada kita mungkin tahu bahawa masyarakat Melayu Sarawak adalah masyarakat yang kurang menarik perhatian ahli sosiologi mahupun antropologi dari dalam mahupun luar negeri. Jika dibandingkan dengan kaum-kaum lain yang terdapat di Sarawak, kaum Melayu Sarawak seolah-olah tidak wujud atau walau diketahui wujud pun seperti tidak menghadapi sebarang masalah

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 335 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

sosioekonomi atau budaya dalam keadaan Sarawak yang begitu cepat berubah. Justeru itu kita tidak pernah membaca tentang mana-mana badan atau pertubuhan bukan kerajaan (NGO) yang membicarakan atau melaungkan tentang nasib orang Melayu. Sebaliknya, perhatian mereka lebih tertumpu pada kumpulan- kumpulan lain yang dianggap lebih terpinggir (marginal), iaitu kaum-kaum yang terdapat di kawasan pedalaman seperti kaum Penan...Namun demikian, pengkaji luar terutamanya dari Barat memang menyedari bahawa peranan yang dimainkan oleh masyarakat Melayu dalam menentukan kestabilan politik tempatan dan nasional cukup signifikan.

3. Persoalan tentang Peribahasa

Bangsa Malaysia ialah suatu bangsa yang memiliki keanekaragaman suku, budaya dan bahasa. Salah satu daripadanya ialah suku kaum yang dikenali sebagai orang Melayu Sarawak yang sememangnya mempunyai bahasanya yang tersendiri, yakni bahasa Melayu Sarawak. Orang Melayu Sarawak juga kaya dengan tradisi lisan dan sastera tradisional yang tersendiri seperti peribahasa, dan pantun. Bahkan dalam bahasa Melayu Sarawak wujud perkataan peremban yang membawa maksud perumpamaan. Peribahasa yang wujud dalam bahasa Melayu Sarawak adalah terbentuk daripada keanekaragaman budaya yang dapat memberi sumbangan yang positif kepada kekuatan kebudayaan kebangsaan, dan pengayaan peradaban Melayu secara keseluruhannya. Dalam kalangan orang Melayu Sarawak peribahasa merupakan wahana signifikan untuk merakamkan akal budi, dan mengartikulasikan peradaban bangsa Melayu yang diungkapkan dengan susunan kata yang puitis dan berkias secara tersurat. Penelitian tentang tradisi lisan, dan sastera tradisional, khususnya yang berkaitan dengan peribahasanya belum dilakukan secara rinci dan tuntas, sedangkan selepas pantun, peribahasa adalah merupakan sub-genre puisi tradisional yang cukup signifikan. Justeru , makalah ini cuba mengetengahkan bahawa orang Melayu Sarawak juga adalah tinggi akal budinya seperti yang terpancar dalam peribahasanya yang terungkap indah, tersusun elok, serta menyurat dan menyirat majaz-majaz bermakna. Nilai-nilai akal budi ini hanya dapat dicungkil dan ditampilkan dengan mengkaji peribahasa yang telah wujud dalam kalangan orang Melayu Sarawak sejak sekian lama.

4. Akal Budi dalam Peribahasa

Orang Melayu Sarawak ada hubung kaitnya dari segi bahasa dan budaya dengan masyarakat Melayu di Semenanjung Malaysia. Justeru, dalam aspek akal budi yang terkandung dalam peribahasa, akan ada peribahasa yang mengungkapkan makna yang sama dengan unsur metafora yang berbeza, dan

336 Abang Patdeli bin Abang Muhi Akal Budi Dalam Peribahasa Melayu Sarawak pengungkapan maksud yang sama dengan perkataan serta susunan perkataan yang sama. Kemungkinan wujudnya persamaan mahupun keserupaan antara peri­ bahasa Melayu Sarawak dengan peribahasa orang-orang Melayu di Semenanjung Malaysia adalah disebabkan mereka berasal daripada Rumpun Melayu yang sama selari dengan catatan dalam Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1988) yang mengatakan bahawa Melayu ialah nama khas bagi satu kelompok suku bangsa di sekitar kepulauan Melayu atau nama am bagi pelbagai kelompok Bahasa Melayu – Polinesia. Sebagai nama khas, kelompok suku bangsa ini mendiami wilayah Semenanjung Tanah Melayu, Singapura, selatan Thailand, pesisir timur Pulau Sumatera, pesisir Pulau Borneo dan wilayah lain di Nusantara. Justeru, bukanlah sesuatu ganjil dan mengejutkan apabila wujudnya persamaan maksud dan nilai yang terkandung dalam peribahasa-peribahasa antara suku bangsa Melayu tersebut, termasuklah antara orang Melayu di Sarawak dengan orang Melayu di Semenanjung Malaysia serta kawasan- kawasan lain yang didiami oleh orang Melayu. Orang Melayu Sarawak bukan sekadar menggunakan dan memahami bahasa mereka sebagai deretan perkataan-perkataan yang hanya mendukung makna-makna denotasi, walau bagaimanapun, bagi mereka bahasa adalah cerminan tingkah-laku, peribadi, jiwa serta akal budi mereka seperti yang tersirat dalam peribahasa mereka. Menurut Hamidah et al dalam kertas kerja mereka Kesantunan dalam Budaya Melayu Sarawak (2009), masyarakat Melayu Sarawak kaya dengan adat istiadat yang ditenun dengan unsur-unsur kesopanan dan kesantunan. Unsur- unsur kesopanan dan kesantunan itu dapat ditelaah dalam pelbagai aspek kehidupan, termasuklah menerusi perlakuan dan penggunaan bahasa seperti kata ganti nama diri, kata sapaan dan rujukan hormat, selain pantun, kiasan, dan budaya rakyat seperti lagu dan cerita. Penekanan unsur kesantunan dalam kehidupan amat penting agar terlahir insan yang berpekerti mulia, tahu adat budaya, berakhlak dan mempunyai keperibadian Melayu. Akal budi yang merupakan inti sari dan ungkapan metafora yang terungkap serta terkias dalam peribahasa harus ditafsirkan dengan bestari dan hati nurani. Akal budi bukan hanya secara lahiriahnya bermakna memiliki akal, bagaimanapun, akal budi juga bermaksud kebijaksanaan dan kearifan orang Melayu Sarawak dalam mempergunakan akal, berfikiran sihat dan waras serta kepandaian mereka dalam mengungkapkan dan mengiaskan bahasa yang sarat dengan makna-makna. Bagi memperlihatkan aneka unsur akal budi dalam peribahasa Melayu Sarawak, teori utama yang digunakan ialah Teori Relevansi kerana teori pragmatik ini turut menekankan ilmu semantik yang dapat menghasilkan penganalisisan yang tuntas. Selain itu, teori ini juga sesuai digunakan dalam penganalisisan

Abang Patdeli bin Abang Muhi 337 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies peribahasa kerana teori ini juga mengambil kira aspek hubungan yang integral antara fungsi komunikatif peribahasa dengan kognitif. Teori Hermeneutik juga diaplikasikan untuk menganalisis peribahasa Melayu Sarawak sesuai dengan hakikat peribahasa itu yang mengandungi teks dan sub-teks sastera yang menyirat pelbagai makna yang perlu ditafsirkan. Justeru hermeneutik yang juga dikenali sebagai interpretasi atau tafsiran itu memang sesuai digandingkan dengan relevansi dalam kajian ini, khususnya untuk menganalisis aspek akal budi dalam peribahasa Melayu Sarawak. Sebagai gandingan kepada Teori Hermeneutik ini, pendekatan takwil juga diterapkan untuk mentakwilkan makna-makna batiniah yang terkandung dalam peribahasa yang dikaji itu kerana yang lahir adalah terbatas sifatnya, sedangkan yang batiniah adalah luas cakerawalanya. Teori Semantik juga digunakan untuk menganalisis peribahasa Melayu Sarawak yang dikaji ini sejajar dengan ciri peribahasa yang menyirat aneka makna yang perlu dicungkil, digali dan ditafsirkan makna-makna itu secara komprehensif agar pelbagai aspek akal budi dalam diserlahkan. Teori Relevansi yang diasaskan oleh Dan Sperber dan Deidre Wilson (1986) juga diaplikasikan kerana peribahasa Melayu Sarawak yang menjadi data primer kajian ini bukan sahaja mengandungi makna eksplisit atau lahiriah, bagaimanapun, juga mengandungi makna implisit atau batiniah. Makna-makna implisit atau ungkapan-ungkapan metafora yang tersirat dalam peribahasa itu perlu ditafsirkan dan ditakwilkan dengan menggunakan Teori Relevansi kerana teori itu menekankan bahawa makna sebenar yang terkandung dalam ungkapan metafora yang implisit sifatnya itu perlu ditafsirkan dan ditakwilkan secara mendalam sesuai dengan tiga prinsip utama teori itu yang menekankan aspek konteks, kesan konteks dan kos proses. Tambahan pula peribahasa yang digunakan dan diselitkan dalam komunikasi seperti yang telah dibincangkan sebelum ini memang berlaku mengikut konteks, dan dengan tujuan-tujuan tertentu seperti menyindir, mengkritik, menegur dan menasihati. Enam aspek akal budi yang akan dibicarakan dalam makalah ini ialah pemikiran, kekreatifan, keindahan, kesusilaan, keperibadian, dan kebudayaan.

4.1. Pemikiran Penelitian terhadap akal budi bererti penelitian tentang fikiran, kognisi atau akal dan persoalan budaya yang berkaitan dengan penciptaan makna oleh manusia. Makna-makna metafora itulah yang harus ditafsirkan bukan secara permukaan sahaja, bagaimanapun harus mendalami dan menyelami makna- makna tersiratnya sesuai dengan pandangan Hassan Ahmad (2016:108) yang mengatakan bahawa dalam sistem pemikiran, kaedah analogi sering digunakan untuk membentuk konsep yang abstrak dengan menggunakan kata-kata benda/ nama yang diambil daripada alam flora dan fauna atau alam tabii sebagai bahan

338 Abang Patdeli bin Abang Muhi Akal Budi Dalam Peribahasa Melayu Sarawak analogi, atau menurut istilah yang lebih teknikal sebagai domain sumber yang literal untuk membentuk makna baharu yang disebut domain sasaran. Daripada penelitian yang dibuat terhadap peribahasa-peribahasa yang dikumpulkan ini, pemikiran Melayu Sarawak diartikulasikan secara tersurat dan tersirat. Pemikiran itu ikut menyerlahkan suatu cerminan nilai sosial, nilai moral, nilai adat, dan falsafah orang Melayu Sarawak yang ada hubung kaitnya dengan metafizik, epistemologi, etika, logik dan estetika yang terhasil daripada interaksi orang Melayu dengan alam benda, alam flora dan fauna yang melingkungi kehidupan mereka. Peribahasa-peribahasa Melayu Sarawak yang dianalisis ini mendapati bahawa terdapat pelbagai unsur pemikiran yang melatari setiap peribahasa yang diungkapkan oleh orang Melayu Sarawak. Hakikat ini memang selari dengan pandangan Sapir Whorf (1921) yang menegaskan bahawa bahasa, seperti digunakan oleh orang Melayu Sarawak untuk membentuk dan menciptakan peribahasa, menggambarkan pemikiran masyarakat penuturnya. Dengan per­ kataan lain, melalui bahasa kiasan orang Melayu Sarawak meluahkan perasaan dan mengungkapkan buah fikiran mereka. Perkaitan antara pemikiran dengan bahasa, dalam konteks kajian ini ialah peribahasa, amat erat umpama isi dengan kuku, dan laksana lagu dengan irama. Dalam menghuraikan hubungan antara bahasa dan pemikiran ini, Asmah Haji Omar (1986) menjelaskan bahawa manusia menggunakan lambang bahasa untuk merakamkan fikiran dan pengalamannya. Penjelasan Asmah Haji Omar ini sejajar dengan peribahasa yang dikaji ini kerana peribahasa mengandungi ungkapan-ungkapan metafora atau lambang-lambang perlu ditafsirkan dan ditakwilkan dengan mendalam, dan tidak hanya tertumpu pada makna-makna linguistik atau eksplisit peribahasa-peribahasa tersebut. Aspek pemikiran yang berhubung kait dengan hubungan manusia dengan agama dan Tuhan amat jelas terungkap dalam peribahasa-peribahasa yang mengandungi unsur-unsur kehidupan yang berlandaskan ajaran agama Islam, khususnya dalam soal akidah. Antara peribahasa yang mengungkapkan tema sedemikian ialah rejeki jangan ditulak/rezeki jangan ditolak yang bermaksud rezeki walaupun sedikit hendaklah diterima dengan rasa syukur. Sebagai manusia biasa seharusnya sentiasa mensyukuri rezeki yang telah ditentu-Nya kerana rezeki ialah tiga rahsia Allah yang tidak diketahui, selain jodoh dan umur. Dalam soal jodoh pun orang Melayu Sarawak menyedari bahawa semua itu ditentukan oleh Tuhan Maha Esa, dan mereka amat mempercayai bahawa walau di mana pun seseorang itu berada, sekiranya mereka memang ditakdirkan untuk bertemu, dan menjadi suami isteri, mereka akhirnya akan bersatu juga seperti yang disirat dalam peribahasa ikan di laut, asam di darat, di dalam periok betemu juak/ikan di laut, asam di darat, di dalam periuk bertemu juga. Sesuai dengan nilai keagamaan yang menjadi sebahagian daripada amalan hidup masyarakat Melayu Sarawak, mereka juga amat mementingkan nilai

Abang Patdeli bin Abang Muhi 339 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies kesederhanaan,baik dalam aspek pemikiran mahupun tindak-tanduk mereka. Dalam konteks ini, ahli-ahli masyarakat juga diingatkan agar tidak melakukan pekerjaan yang sia-sia, dan merugikan diri sendiri. Peribahasa umpan abis ikan sik dapat/umpan habis ikan tak dapat yang bermaksud usaha yang sia-sia dan mendatangkan kerugian merupakan suatu peringatan agar tidak melakukan perkara-perkara yang sia-sia dan merugikan. Peribahasa untong ada, tuah sik ada/untung ada, tuah tidak ada mengingat­ kan agar orang Melayu tidak membazir dalam apa juga perkara, dan senantiasa memastikan agar segala rezeki yang mereka peroleh itu daripada sumber yang halal supaya diberkati oleh Tuhan, dan rezeki itu tidak habis begitu sahaja seperti yang terkandung dalam maksud peribahasa untong ada rezeki sik ada, iaitu murah rezekinya tetapi selalu habis sahaja. Peribahasa untong sabut timbol, untong batu tenggelam/untung sabut timbul, untung batu tenggelam pula memberi peringatan agar setiap orang sentiasa bertawakal, dan mensyukuri nasibnya sesuai dengan maksud peribahasa tersebut, iaitu terserah kepada nasib atau tidak ada orang yang dapat menghindari nasib yang menimpanya. Sifat sederhana dalam serba-serbi hal ehwal kehidupan, dan tidak menurut nafsu syahwat agar ahli-ahli masyarakat tidak mengalami pelbagai kerugian dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat memang dititikberatkan oleh orang Melayu Sarawak. Beberapa contoh peribahasa yang dibincangkan di atas jelas mengingatkan agar orang Melayu mensyukuri nikmat, takdir dan rezeki yang dikurniakan oleh-Nya sebagai sebahagian daripada citra keimanan mereka sejajar dengan pandangan Hamka (2009): ....Iman yang menimbulkan keyakinan mencari kehidupan dan rezeki, terutama iman kepada takdir. Orang yang beriman percaya meskipun rezeki itu berada dalam mulut macan, kalau tersedia buat dia, meski jatuh ke tangannya, itulah dia bekerja dan giat mencari rezeki.

Pemikiran tentang hubungan manusia dengan Tuhan juga dikiaskan dalam peribahasa tanggar muka diri empun dolok dalam ceremin/lihat muka sendiri dahulu dalam cermin yang bererti lihat keburukan, perangai dan sebagainya diri sendiri dahulu terlebih dahulu sebelum mengatai orang lain adalah suatu peringatan agar orang Melayu Sarawak itu tidak mencari-cari kesalahan, kelemahan, keburukan atau kejelikan orang lain tanpa melihat terlebih dahulu menilai diri sendiri. Sekiranya seseorang itu menyedari dirinya banyak kekurangan dan kelemahannya, kemungkinan besar dia tidak akan mencari-cari kekurangan dan kelemahan orang lain, dan mengatai atau mengumpat mereka. Perbuatan keji seperti mengatai dan mengumpat yang dibenci oleh agama itu sudah pasti dapat dielakkan daripada melakukannya. Pemikiran tentang hubungan manusia dengan manusia juga menjadi sebahagian daripada tema dalam peribahasa-peribahasa Melayu Sarawak.

340 Abang Patdeli bin Abang Muhi Akal Budi Dalam Peribahasa Melayu Sarawak

Orang Melayu Sarawak amat menitikberatkan kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat yang harmoni demi memastikan kemakmuran serta kesejahteraan dalam masyarakat Melayu itu sendiri, sekali gus antara masyarakat. Peribahasa-peribahasa yang berikut jelas memperlihatkan betapa orang Melayu Sarawak amat menitikberatkan soal hubungan yang harmoni dalam masyarakat Melayu itu sendiri, sekali gus dalam hubungan antar-masyarakat. (i) Ambik durok/mendahulukan bantuan yang bermaksud satu pihak terlebih dahulu menunaikan hajat pihak yang menjemputnya seperti dalam kenduri dan sebagainya, kemudian pihak tersebut akan menunaikan hajat yang sama pada masa akan datang. Maksud kedua peribahasa tersebut ialah membantu pihak lain terlebih dahulu seperti dalam kerja menuai padi dan sebagainya, dan selepas itu pihak yang telah dibantu itu akan memberikan bantuan yang serupa pada waktu yang lain;biasanya bantu-membantu dari segi tenaga, dan tanpa upah. (ii) Berat sama dipikol ringan sama dijenjeng/berat sama dipikul, ringan sama dijinjing yang sesuatu pekerjaan walaupun seberat mana pun akan menjadi mudah untuk dijayakan jika pekerjaan itu dilakukan secara bersama tanpa adanya sifat berkira dalam kalangan anggota masyarakat. (iii)Macam isik dengan kuku/seperti isi dengan kuku bermaksud hubungan yang sangat erat antara dua orang atau dua pihak. Peribahasa ini dapatlah di­ta­kwilkan dengan pengertian bahawa hubungan persahabatan atau ke­ masyarakatan itu perlulah erat dan didasari sifat saling mempercayai serta menghormati.

Peribahasa sebagai salah satu sub-genre sastera lisan yang juga terhasil daripada penerapan nilai-nilai Islam dalam kalangan orang Melayu Sarawak jelas memperlihatkan betapa orang Melayu Sarawak amat kreatif dan sensitif dalam pembentukan serta penciptaan peribahasa agar hasil ciptaan mereka itu sarat dengan makna-makna yang perlu ditafsirkan dan ditakwilkan secara bijaksana. Perihal ini adalah selari dengan pandangan Laurent Metzger (2009:52- 53) yang paling ketara dalam perkara ini ialah salah satu kesan yang begitu bermanfaat daripada kemasukan agama Islam di rantau ini, yakni satu sistem tulisan yang diterima oleh orang tempatan yang setakat itu tidak memiliki satu sistem penulisan yang begitu sempurna sehingga karya-karya sastera tidak dapat diedarkan. Akhirnya masyarakat Melayu begitu kaya dengan warisan sastera lisannya bermula dengan menggunakan satu sistem tulisan yang lengkap yang membolehkan para penyalin menyalin karya-karya Melayu yang besar dan yang dikemukakan dalam bentuk lisan secara turun-temurun supaya karya-karya itu dapat dibaca dan disimpan untuk masa hadapan. Salah satu nilai murni yang penting dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat ialah ahli-ahli masyarakat tahu mengenang budi baik orang lain, dan orang Melayu Sarawak tidak berkenan dengan orang-orang yang mudah

Abang Patdeli bin Abang Muhi 341 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies melupakan budi baik orang lain. Peribahasa utang emas dapat dibayar utang budi diembak mati/hutang emas boleh dibayar, hutang dibawa mati mengiaskan betapa tingginya nilai budi baik seseorang itu yang tidak dapat digantikan dengan wang ringgit atau harta benda. Bagi mereka yang mudah melupakan budi pula mereka dikiaskan dengan kacang lupak dengan kulit/kacang lupa akan kulit. Sesiapa yang berperangai tidak mengenang budi atau tahu berterima kasih sudah tentu tidak disukai. Hubungan manusia dengan alam adalah didasari dua prinsip utama, yakni menggali dan memelihara alam berserta segala kekayaannya dengan baik. Prinsip kedua, ialah sebagai pemelihara alam, manusia tidak dibenarkan merosak alam sekitar lantaran perbuatan merosakkan alam sekitar akhirnya akan mengakibatkan kerosakan kepada kehidupan manusia itu sendiri. Peribahasa macam ikan kenak tuba/seperti ikan dituba yang bermaksud sudah tidak berdaya lagi memperlihatkan betapa perbuatan merosakkan makhluk seperti ikan yang menjadi sumber protein yang utama dengan cara meracunnya dengan tuba, akhirnya akan merugikan manusia itu sendiri kerana lebih banyak ikan dan hidupan sungai yang lain yang turut musnah akibat racun tuba. Pemilihan dan penyusunan perkataan bagi membentuk serta menciptakan peribahasa sesungguhnya dilakukan secara teliti. Begitu juga dengan kiasan- kiasan makna yang lahir daripada peribahasa-peribahasa itu juga secara sedar sudah dalam benak fikiran dan hati para penciptanya. Hakikat ini sekali gus menunjukkan peribahasa-peribahasa itu bukan­ nya diciptakan mengikut cita rasa para pemikirnya melainkan dibentuk dan diciptakan berdasarkan pengalaman hidup mereka, pemerhatian dan perenungan mereka terhadap alam sekitar serta tingkah laku makhluknya, dan hasil daripada ketajaman pemikiran mereka terhadap apa juga cabaran hidup yang mereka hadapi.

4.2. Kekreatifan Penghasilan sesuatu karya sastera, khasnya peribahasa memerlukan kemampuan daya cipta atau kekreatifan yang tinggi. Seperti yang telah dibincangkan terdahulu, peribahasa Melayu Sarawak dibentuk dan diciptakan hasil daripada ilham, pengamatan, dan pentafsiran mereka terhadap alam semula jadi serta persekitaran hidup mereka. Alam semula jadi, persekitaran dan pengalaman hidup mereka telah menjadi sumber inspirasi untuk mereka mengungkapkan segala pengamatan dan pentafsiran mereka ke dalam peribahasa. Begitu juga dengan pantun-pantun yang merupakan sub-genre puisi tradisional yang diciptakan oleh orang Melayu, jelas memperlihatkan betapa kreatifnya mereka. Kekreatifan orang Melayu Sarawak dalam pembentukan dan penciptaan peribahasa dapat dilihat daripada aspek kebijaksanaan mereka memilih perkataan dan metafora, dan kepandaian mereka menyusun serta menganyam

342 Abang Patdeli bin Abang Muhi Akal Budi Dalam Peribahasa Melayu Sarawak perkataan-perkataan dan metafora-metafora yang bersifat konseptual itu menjadi ungkapan dan kalimat yang indah serta tinggi keintelektualannya. Menurut Hassan Ahmad (2016:108), ungkapan metafora konseptual tidak sahaja lahirnya secara spontan, tetapi berdasarkan pengalaman yang berpanjangan dan melalui renungan akliah dan intuitif pemikir Melayu berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Penelitian ini menemukan metafora- metafora yang digunakan untuk menyampaikan maksud, dan konsep atau prinsip yang abstrak. Peribahasa sekayuk ditetak sepuloh rebah/sepohon ditetak sepuluh yang rebah, menjelaskan konsep rasa sepunya atau kebersamaan antara kelompok atau kumpulan orang tertentu dalam masyarakat terhadap hal-hal yang saling berkaitan dengan mereka melalui analogi “sekayuk ditetak” atau “seorang dikritik atau disinggung”, dan beberapa orang yang lain turut berasa tersinggung oleh sesuatu kritikan itu yang dianalogikan dengan ungkapan “sepuloh rebah”. Dalam peribahasa kapal pecah yuk kenyang/jong pecah yu kenyang, meta­ fora kapal yang dipilih oleh orang tua-tua Melayu Sarawak, dan bukannya jong seperti yang terkandung dalam peribahasa Melayu “jong pecah yu kenyang” (Kamus Istimewa Peribahasa Melayu Edisi Kedua, 2016) kerana perkataan jong dalam bahasa Melayu Sarawak membawa pengertian “sejenis perahu yang kecil daripada kayu yang bukan digunakan untuk berlayar dan sebagainya”. Justeru, untuk menjelaskan konsep “banyaknya orang yang terkena musibah yang disebabkan kapal yang pecah” yang menjadi habuan kepada mamalia pemangsa yu, maka dengan bijaksana orang Melayu Sarawak memilih metafora kapal, dan bukannya jong. Yuk juga merupakan metafora mendukung konsep atau konotasi “ikan yang besar serta ganas”. Kepandaian orang Melayu Sarawak dalam memilih perkataan dan me­ nyusunnya menjadi ungkapan metafora yang tinggi falsafahnya adalah suatu petunjuk kekreatifan orang Melayu dalam menciptakan dan menghasilkan karya sastera seperti peribahasa. Contohnya, ungkapan tangkap salah ialah peribahasa, manakala, salah tangkap ialah ungkapan umum yang tidak mengandungi makna figuratif. Ini memperlihatkan bahawa kebijaksanaan orang Melayu dalam menyusun perkataan tangkap dan salah untuk menghasilkan makna yang berbeza. Tangkap salah mengandungi makna figuratif, manakala salah tangkap mengandungi makna denotatif.

Peribahasa tangkap salah perlu ditafsirkan dan ditakwilkan untuk mengetahui serta memahami makna kiasan yang tersirat dalam peribahasa itu. Makna figuratif peribahasa itu ialah pasangan yang didapati “bersalah” kerana melanggar adat atau norma “hubungan lelaki dan perempuan dalam sifat masyarakat Melayu tradisional yang tertutup. Misalnya, si lelaki yang memberi jam miliknya kepada kekasihnya dan jam itu adalah “alasan” bagi disabitkan “kesalahan” pasangan tersebut yang menyebabkan dia harus bernikah dengan

Abang Patdeli bin Abang Muhi 343 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies gadis tersebut. Perbuatan yang dilakukan oleh pasangan itu dianggap sumbang atau kesalahan oleh orang tua-tua dalam kalangan masyarakat Melayu Sarawak pada zaman itu. Hal ini penting untuk ditafsirkan sesuai dengan struktur serta norma masyarakat pada waktu itu yang mementingkan soal perilaku dan adab bermasyarakat. Perihal tangkap salah yang berpunca daripada perbuatan yang dianggap sebagai suatu kesalahan atas dasar perbuatan pasangan yang kena tangkap salah itu tidak manis dipandang mata serta melanggar adab dalam pergaulan antara lelaki dan perempuan ini, juga terdapat dalam kalangan masyarakat yang mengamalkan Adat Perpatih di Negeri Sembilan, yakni dalam “Kesalahan Sumbang 12” (Mohd Rosli Saludin, 2016), khususnya kategori Sumbang Pandangan dan Sumbang Pergaulan. Kekreatifan orang Melayu Sarawak dapat juga diserlahkan dengan meneliti penggunaan metafora khusus dalam peribahasa yang mereka ciptakan. Dalam peribahasa bangke boyak sik dapat ditutup dengan nyiruk/bangkai buaya tidak dapat ditutup dengan nyiru yang bermaksud kesalahan yang besar yang tidak dapat ditutup, secara bijaksana orang Melayu Sarawak memilih metafora boyak (buaya) daripada metafora gajah seperti yang terdapat dalam peribahasa bangkai gajah tidak dapat ditutup dengan nyiru dalam kalangan orang Melayu Semenanjung Malaysia adalah disebabkan di negeri Sarawak tidak terdapat gajah, dan reptilia buaya besar berkulit tebal serta berbadan panjang adalah dekat dengan orang Melayu Sarawak, sementelahan reptilia itu banyak terdapat di negeri Sarawak khususnya di Batang Lupar, Batang Sadong dan Batang Samarahan yang menjadi petempatan utama orang Melayu Sarawak. Badan buaya seperti juga gajah yang cukup besar dan panjang itu ialah metafora bagi mengiaskan betapa besarnya sesuatu kesalahan itu, manakan mungkin ditutup dengan nyiru. Nyiru ialah metafora bagi sesuatu yang kecil yang tidak mampu menutupi benda-benda (kesalahan) yang besar. Bangke (bangkai) ialah binatang yang sudah mati, dan konteks peribahasa ini, bangkai ialah metafora bagi sesuatu yang berbau busuk. Bau busuk itu ialah metafora bagi sesuatu perbuatan jahat atau kesalahan yang besar. Kekreatifan orang Melayu Sarawak dalam pemilihan kata dan menjadi­ kannya ungkapan-ungkapan figuratif yang mengiaskan makna-makna yang tinggi falsafahnya, dan yang perlu ditafsirkan serta ditakwilkan dengan bijaksana adalah suatu refleksi kearifan dan kebijaksanaan orang Melayu Sarawak. Hanya orang yang arif dan bijaksana sahaja yang berkemampuan untuk memanfaatkan kekreatifan mereka untuk membentuk dan menciptakan peribahasa, lantas menjadi nara sumbernya. Ini adalah selari dengan pandangan Abdullah Hussain (2016) yang mengatakan bahawa sumber kedua peribahasa ialah orang-orang arif bijaksana.

344 Abang Patdeli bin Abang Muhi Akal Budi Dalam Peribahasa Melayu Sarawak

4.3. Keindahan Peribahasa ialah salah satu daripada genre puisi Melayu tradisional kerana peribahasa mengandungi ungkapan-ungkapan yang bernilai puisi seperti lariknya yang berangkap, memakai rima, irama dan pejajaran. Menurut Sohaimi Abdul Aziz (2012:138), estetika adalah suatu bidang falsafah yang membincangkan keindahan. Sastera, seperti juga seni-seni yang lain, adalah juga suatu wadah yang indah. Keindahan berada dalam dua kewujudan, iaitu bentuk dan pengalaman. Melalui bahasa, bentuk sastera dibina. Pemilihan diksi dan pembinaan ayat serta susunannya memberi wajah fizikal dan wajah abstraknya. Kata dan ayat-ayatnya adalah wahana fizikal yang membina pelbagai tema dan persoalan sesuatu karya. Jalinan antara bentuk fizikal dan abstrak menghasilkan satu lagi bentuk keindahan, iaitu keindahan kesan atau lebih dikenali sebagai pengalaman estetik. Nor Hashimah (2014) pula mengatakan bahawa melalui pantun dan peribahasa orang Melayu cukup banyak pengajaran dapat digali. Seterusnya beliau menegaskan pemikiran Melayu hanya akan dapat digarap setelah apa-apa yang terselindung di sebalik susunan kata-kata yang indah dalam peribahasa dapat difahami. Dan, untuk memahami makna-makna serta mesej-mesej yang terselindung atau tersirat itu, pentafsiran kognitif aras tinggi diperlukan. Nilai dan unsur keindahan dalam peribahasa Melayu Sarawak ditandai oleh ungkapan-ungkapannya yang menimbulkan rasa yang menyenangkan apabila membaca atau mendengarnya, susunan perkataan dan metafora yang teratur yang saling bertautan antara satu dengan yang lain, hasil ciptaan yang baik serta memupuk perasaan moral, dan mempunyai jalinan yang harmonis. Unsur keindahan yang paling ketara dalam peribahasa Melayu Sarawak ialah rima dan irama, yakni unsur aliterasi dan asonansi atau pengulangan huruf vokal dan konsonan yang menimbulkan aneka kesan keindahan seperti kehalusan, kelembutan dan kemerduan bunyi. Antara peribahasa Melayu Sarawak yang memperlihatkan keindahan rima dan irama ialah sik kunin oleh kunyit sik puteh kapor/tak kuning dek kunyit tak putih dek kapur, dan sireh pulang ke gagang, pinang pulang ke tampok, terejun sungai sulak ugak/sirih pulang ke gagang, pinang pulang ke tampuk, terjun sungai sulak tunggul. Panglima sik bekeris/panglima tak berkeris yang bermaksud orang lelaki yang tampaknya gagah atau sering bercakap besar kelakiannya, tetapi sebenar­ nya bapuk dan tidak gagah seperti lelaki yang normal ialah satu lagi contoh peribahasa indah pemilihan katanya, susunan kalimatnya, dan terasa kesan moralnya. Dalam budaya Melayu panglima ialah orang yang gagah berani serta pandai bermain senjata. Keris ialah senjata pendek yang digunakan dengan meluas di Kepulauan Melayu, selain menjadi salah satu daripada pelengkap pakaian lelaki Melayu. Keris juga merupakan simbol budaya orang Melayu zaman-berzaman

Abang Patdeli bin Abang Muhi 345 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

(Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1995). Ungkapan panglima tak berkeris cukup indah dari segi pemilihan katanya, susunan kalimatnya dan kesan maknanya sementelah gandingan antara kata panglima dan keris memang sinonim serta harmonis. Dalam membentuk dan menciptakan peribahasa panglima sik bekeris, orang arif dan bijaksana dalam kalangan masyarakat Melayu Sarawak tidak memilih kata pendekar, dan tidak juga memilih kata pedang untuk digandingkan menjadi ungkapan metafora pendekar sik bepedang/pendekar tak berpedang. Ini adalah disebabkan keris dalam peribahasa panglima sik bekeris itu ialah makna figuratif untuk senjata sulit lelaki yang merupakan petunjuk kelakian seseorang. Secara implisit peribahasa panglima sik bekeris mengiaskan makna seseorang lelaki yang lemah tenaga batinnya tetapi berlagak maco. Keris juga pendek sifatnya berbanding dengan pedang yang panjang sifatnya, dan oleh itu keris lebih sesuai sebagai perlambangan kepada sifat senjata sulit lelaki berbanding dengan perlambangan pedang. Aspek keindahan dalam peribahasa Melayu Sarawak yang dikaji ini juga dapat dilihat daripada cara pengungkapan maksud yang tersirat dalam peribahasa-peribahasa itu, yakni makna-makna figuratifnya yang berupa sindiran, kritikan, teguran, tunjuk ajar dan nasihat itu disampaikan secara tidak langsung, berkias, sinis dan pedas tetapi halus. Antaranya peribahasa sik cukup takar/tak cukup takar yang bermaksud seseorang yang tidak berpengetahuan tentang adat-istiadat, dan lain-lain. Ungkapan sik cukup takar adalah lebih lembut dan halus berbanding dengan ungkapan kurang asam, butak adat/buta adat atau sik tauk adat (tidak tahu adat) untuk maksud yang sama. Wawasan keindahan dan sistem sastera yang melatari pembentukan dan penciptaan peribahasa juga memperlihatkan bahawa para penciptanya tidak bertolak daripada bahawa peribahasa sebagai puisi tradisional bukanlah peniruan atas kenyataan, walau bagaimanapun lebih menjurus kepada simbolisme dan representasi idea yang berhubung kait dengan falsafah, pandangan hidup dan kearifan orang Melayu Sarawak.

4.4. Kesantunan Kesantunan yang dimaksudkan ialah penonjolan serta penyelitan nilai- nilai adat istiadat yang baik, adab dan kesopanan dalam peribahasa Melayu Sarawak sesuai dengan fungsi peribahasa itu bagi memberi pengajaran, nasihat dan sebagainya. Dalam interaksi atau perbualan antara ahli-ahli masyarakat, dalam majlis-majlis dan acara-acara tertentu, orang Melayu Sarawak amat menekankan soal adab dan kesantunan berbahasa agar tidak menimbulkan salah tanggapan, menyentuh perasaan, mengaibkan orang lain, dan sebagainya. Orang Melayu Sarawak secara tradisinya amat mementingkan soal ke­ susilaan dan kesantunan sebagai amalan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Orang-orang Melayu juga merupakan anggota masyarakat yang amat mematuhi undang-undang, dan berpegang kepada adat-istiadat yang dapat menjamin

346 Abang Patdeli bin Abang Muhi Akal Budi Dalam Peribahasa Melayu Sarawak kesejahteraan dan keharmonian sesuai dengan nilai-nilai keagamaan yang mereka yakini. Hakikat ini diperjelaskan oleh Abang Yusuf Puteh (1998:125): The cultural life of the Malays in its traditional form is orderly and, in many ways, regimented. One of its outstanding characteristics, especially before the advent of aggressive politics, is that by nature the Malays are law-abiding. This is mainly due to the style of kampung upbringing which has its foundation in religious observance and cultural obedience.

Peribahasa seperti yang telah diperbincangkan sebelum ini adalah salah satu cara atau pendekatan yang digunakan oleh orang Melayu Sarawak untuk memberi tunjuk ajar, teguran, kritikan dan nasihat kepada anggota masyarakat secara halus, dan tidak langsung. Secara pragmatiknya, pengungkapan peri­ bahasa itu sendiri adalah suatu petunjuk kesusilaan dan kesantunan orang Melayu dalam berkomunikasi lantaran. Menurut Marlyna Maros (2012), terdapat dua cara utama untuk ujaran sindiran dalam budaya Melayu iaitu melalui bentuk tidak langsung dengan penggunaan metafora, kiasan, dan tersirat untuk menyampaikan perasaan dan pendapat penutur kepada pendengar. Cara yang kedua adalah melalui ujaran langsung yang membawa maksud sindiran dengan jelas sebagai perkara yang perlu ditegur atau dinasihati kepada pendengar. Antara peribahasa Melayu Sarawak yang memperlihatkan lakuan bahasa sindiran yang memanifestasikan kesantunan atau kesusilaan dalam berkomunikasi ialah: a) Jaga aer muka/jaga air muka yang bermaksud berhati-hati agar tidak melakukan sesuatu perkara yang boleh memalukan atau menjatuhkan maruah orang lain atau maruah diri sendiri. b) Jaga ati/jaga hati yang membawa makna berhati-hati dalam perlakuan atau kata-kata agar tidak menggores perasaan atau menyakiti hati orang lain. c) Jaga mulut yang membawa makna berhati-hati sewaktu bercakap. d) Demam kurak/demam puyuh yang bermaksud seseorang yang berpura-pura sakit. e) Macam kiker besi/seperti kikir besi yang bermakna orang kaya yang bakhil.

Kelima-lima peribahasa contoh di atas mencerminkan kesantunan orang Melayu Sarawak dalam berkomunikasi. Peribahasa-peribahasa itu merupakan suatu nasihat dan peringatan agar sentiasa berhati-hati dalam pergaulan, per­lakuan dan percakapan untuk mengelak timbul salah faham mahupun menyentuh perasaan, dan menggores hati orang lain. Makanya, orang-orang yang terlalu berkira atau terlampau berjimat mem­ belanjakan wang mahupun menggunakan harta benda adalah tidak santun jika ditegur dengan mengatakan mereka itu secara langsung sebagai orang yang ke­dekut, lokek, bakhil, atau pelit kerana itu akan menyentuh perasaan dan meng­gores hati mereka. Ketidaksantunan bahasa yang digunakan itu tentunya

Abang Patdeli bin Abang Muhi 347 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies menyebabkan mereka berasa dihina atau telah diaibkan. Justeru, orang Melayu Sarawak menggunakan peribahasa kiker besi/kikir besi untuk mengiaskan secara halus dan santun sifat orang yang terlalu kedekut, lokek, pelit atau bakhil itu. Ungkapan kiker besi yang dipilih oleh orang tua-tua Melayu Sarawak kerana sifat kikir besi yang bergerigi halus pada permukaan atau tepinya, dan digunakan untuk mengikis besi dan sebagainya. Dalam kalangan orang Melayu Sarawak ada juga peribahasa kiker parek/kikir pari yang membawa maksud orang yang degil atau kedekut yang secara analoginya sama seperti sifat kulit ikan pari yang sudah dikeringkan yang keras seperti belulang. Berbanding dengan kikir pari, kikir besi adalah lebih keras dan tajam—suatu metafora bagi darjah kebakhilan yang tinggi. Orang Melayu Sarawak juga menekankan soal budi bahasa, dan penggunaan peribahasa sebagai salah satu unsur komunikasi dalam kalangan masyarakat Melayu Sarawak jelas memperlihatkan betapa mereka amat menitikberatkan perihal kesantunan sebagai salah satu ciri khas dalam perhubungan antara mereka, dan perhubungan mereka dengan masyarakat lain. Dalam kebiasaan dalam kalangan orang Melayu untuk tidak mahu mengecil hati orang lain,selain tidak mahu menjatuhkan maruah dan harga diri orang lain. Maka wujudlah peribahasa seperti jaga aer muka/jaga air muka, jaga ati/jaga hati dan jaga mulut/ jaga mulut yang maksudnya telah diterangkan di atas. Ketiga-tiga peribahasa di atas merupakan suatu peringatan agar seseorang itu harus sentiasa berhati-hati dalam pergaulan dan percakapan mereka. Peribahasa murah ati/murah hati yang bermaksud tidak bakhil serta suka menolong orang lain, dan murah tangan/murah tangan yang mendukung makna suka memberi, baik sedekah mahupun bantuan lain adalah contoh peribahasa yang berupa nasihat agar anggota masyarakat Melayu sentiasa mengamalkan sifat yang santun dalam pergaulan dan perhubungan mereka agar tidak menyinggung perasaan dan mengecil hati orang lain. Kewujudan peribahasa sebagai sarana kesantunan komunikasi dan mengandungi nilai-nilai moral sememangnya sudah jelas sesuai dengan hakikat itu peribahasa itu sendiri yang berupa kalimat pendek yang terdapat dalam masyarakat yang mengandungi unsur-unsur kebijaksanaan, kebenaran, moral, dan pandangan-pandangan tradisional dalam bentuk metafora, standard, dan selalu diingat serta diperturunkan dari satu generasi ke satu generasi yang lain (Mieder, 1993).

4.5. Keperibadian Orang Melayu Sarawak amat mementingkan keperibadian yang mulia, yakni sifat-sifat yang baik, luhur, berkualiti dan bermoral, sesuai dengan nilai- nilai kepercayaan serta keagamaan yang mereka anuti dan amalkan. Keperibadian mulia bukannya lahir secara semula jadi ataupun diperoleh dalam waktu yang singkat. Walau bagaimanapun, untuk mencapai tahap keperibadian mulia,

348 Abang Patdeli bin Abang Muhi Akal Budi Dalam Peribahasa Melayu Sarawak seseorang itu harus melalui proses pembelajaran dan latihan yang panjang. Dalam pada itu, keperibadian yang mulia dibentuk oleh pengalaman kehidupan, keagamaan dan kebudayaan. Orang Melayu Sarawak seperti disebut oleh Abang Yusuf Puteh (2008:8) sangat mengambil berat tentang agama mereka. Kepercayaan agama mereka menjadi satu kuasa yang kuat menyatupadukan, dan mewujudkan suatu sistem kesusilaan dan kebudayaan yang sama. Justeru, pembentukan dan penciptaan peribahasa adalah dengan mengambil kira unsur kepercayaan agama agar akan terkias keperibadian orang Melayu itu. Peribahasa Tukang Gendang/Pemain Gendang yang bermaksud perempuan yang mahir memukul gendang mengikut lagu dan irama tertentu serta mahir melagukan pantun, termasuk menjual dan membeli pantun secara spontan, dan Tukang Pantun/Pandai Pantun yang bermakna seseorang yang mahir berpantun yang dipilih khas untuk mengepalai acara berpantun, khususnya dalam acara pinang-meminang dan sebagainya adalah suatu manifestasi ketinggian akal budi orang Melayu Sarawak dalam bidang kesenian. Ini sekali gus menggambarkan keperibadian mereka yang mempunyai kemahiran yang khusus yang bukan sahaja memperlihatkan kesenimanan mereka, bahkan mencerminkan pemikiran mereka yang tinggi. Pemilihan kata tukang untuk dijadikan unsur utama dalam pembentukan dan penciptaan peribahasa tersebut amatlah sesuai kerana makna figuratifnya ialah orang yang mempunyai kemahiran atau kepandaian dalam bidang-bidang tertentu. Kata tukang dalam peribahasa tukang sik embuang kayu/tukang tidak membuang kayu bermaksud cerdik, sesuai dengan makna peribahasa itu, yakni orang yang cerdik selalu berhemat dalam segala perkara. Justeru, keperibadian orang Melayu Sarawak itu juga ditandai oleh kepandaian, kemahiran, kecerdikan serta daya cipta mereka yang tinggi dalam pelbagai bidang seperti peribahasa tukang ias/tukang hias yang bermaksud orang yang pandai menghias atau tukang andam. Ada juga peribahasa yang menggambarkan peribadi seseorang yang tidak elok atau negatif seperti yang dimaksudkan oleh peribahasa tukang angkat dan tukang rombok yang memerihalkan orang yang suka memuji-muji untuk keuntungan dirinya sendiri, dan tukang cucok/tukang cucuk yang bermaksud orang yang suka memberitahu sesuatu hal kepada orang lain dengan tujuan untuk menghasut atau mengapi-apikan orang tersebut. Peribahasa tukang gamin/ tukang mengaminkan juga memerihalkan sifat atau peribadi seseorang yang tidak baik kerana peribahasa itu membawa makna orang yang tidak membuat apa- apa kerja, sedangkan orang lain yang bertungkus-lumus melakukan pekerjaan, manakala dia hanya mengikut sahaja buruk baiknya pekerjaan itu. Peribahasa lain yang mengiaskan peri pentingnya keperibadian mulia agar seseorang itu terhindar daripada melakukan perbuatan yang mungkar

Abang Patdeli bin Abang Muhi 349 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies atau tidak baik ialah tahan iman/tahan iman, dan tahan napsu/tahan nafsu. Sifat- sifat yang negatif yang boleh mengakibatkan perkara yang buruk atau yang memudaratkan berlaku juga dikiaskan dalam peribahasa Melayu Sarawak seperti bahayanya orang yang bersifat tebal muka/tebal muka, telinga nipis/telinga nipis, dan panas ati/panas hati. Keperibadian mulia juga ditandai oleh mereka yang pandai menjaga maruah diri dan keluarga. Justeru, ada peribahasa Melayu Sarawak yang mengingatkan agar maruah dan harga diri harus dijaga sebaik mungkin agar tidak mendatangkan aib kepada diri dan keluarga. Peribahasa nyior ditebok tupe/ kelapa ditebuk tupai yang bermaksud anak gadis yang sudah hilang daranya kerana belum bernikah, dan jangan meludah ka langit/jangan meludah ke langit yang bermakna jangan mengeji atau mencela ibu bapa atau saudara-mara sendiri, mengingatkan betapa penting maruah dan harga diri itu dipelihara kerana jika seseorang anak dara itu rosak atau tidak suci lagi, dan sekiranya seseorang itu suka mengeji atau mencela ibu bapa atau keluarga sendiri, maka tercela keperibadiannya kerana melakukan sesuatu yang mengaibkan diri serta keluarganya. Sak puteh tulang jangan puteh mata/daripada berputih mata lebih baik berputih tulang yang membawa makna lebih baik mati daripada menanggung malu ialah satu lagi peribahasa yang menyerlahkan keperibadian kental orang Melayu Sarawak sanggup mati untuk mempertahankan maruah dan harga dirinya.

4.6. Kebudayaan Orang Melayu Sarawak mempunyai kebudayaannya yang tersendiri dan lebih tinggi berbanding dengan kaum-kaum lain di Sarawak, termasuklah yang berkaitan dengan ranah kesusasteraan, hasil daripada asimilasi dan akulturasi pelbagai pengalaman sosial, politik dan ekonomi yang dialami oleh masyarakat tersebut. Perihal ini diakui sejarawan Melayu Sarawak, Sanib Said (2013) yang antara lain menegaskan bahawa kebudayaan Melayu Sarawak dari segi agama, sosial, politik dan ekonomi boleh dikatakan tertinggi jika dibandingkan dengan kaum-kaum lain, lama sebelum kehadiran Raja Putih Brooke pada abad ke- 19. Kebudayaan Melayu Sarawak itu terhasil daripada pengalaman bangsa itu sendiri yang terdedah kepada dunia luar , dan kemudian dimurnikan oleh agama Islam. Dari segi budaya intelektual orang Melayu Sarawak mempunyai sejarah dan tradisinya sendiri seperti yang terpancar dalam kearifan mereka membentuk, dan mencipta peribahasa yang merupakan salah satu genre dalam kesusasteraan tradisional. Kewujudan peribahasa ini juga memperlihatkan budaya berkarya dan berkreativiti itu sudah wujud sejak sekian dalam kalangan masyarakat Melayu Sarawak.

350 Abang Patdeli bin Abang Muhi Akal Budi Dalam Peribahasa Melayu Sarawak

Peribahasa Melayu Sarawak cukup istimewa dari aspek tema dan motifnya. Dalam konteks ini, Mieder (1993) menjelaskan bahawa: It is generally agreed that peribahasa are traditional in that they have history of use within the language community, are accepted as applying to particular situations. We are conscious of the fact that proverbs are generally the properties of an area and tribe. Justeru, penelitian ini mendapati, peribahasa Melayu Sarawak ialah cerminan unsur-unsur budaya, dan pengalaman sejarah mereka. Aspek kebudayaan yang masih kekal diamalkan hingga kini dengan beberapa penyesuaian, ialah Adat Perkahwinan Orang Melayu Sarawak. Terdapat banyak peribahasa yang berhubung kait dengan budaya perkahwinan diciptakan oleh orang-orang arif dan bijaksana dalam kalangan masyarakat Melayu Sarawak. Peribahasa seperti ngantar tekol yang bermaksud menghantar rombongan untuk menyerahkan cincin tekol/cincin tanda sebagai tanda pihak lelaki sudah bersetuju untuk bertunang dengan pihak perempuan merupakan budaya yang masih diamalkan hingga kini dalam kalangan orang Melayu Sarawak. Peribahasa cincin tekol atau sarung gundi ialah sebentuk cincin yang dijadikan tanda pengikat yang dihantar oleh pihak lelaki kepada pihak perempuan yang menandakan rasmilah sudah pertunangan antara pasangan tersebut. Begitu juga dengan peribahasa ngantar tunang/menghantar tunang yang bermaksud rombongan peminangan yang pergi ke rumah pihak perempuan dengan pelbagai tanda pertunangan sebagai suatu ikatan yang kedua-dua keluarga telah bersetuju untuk menjalinkan hubungan kekeluargaan melalui perkahwinan anak masing-masing. Pengamalan adat yang baik seperti ini kekal menjadi budaya dalam kalangan masyarakat Melayu Sarawak hingga ke hari ini. Ironinya, jika pihak lelaki yang telah membuat peminangan, dan kemudiannya membuat keputusan untuk menarik diri, dari adat, pihak lelaki itu akan dikenakan hukuman kerana dianggap telah mungkir dan “mempermainkan anak perempuan” (Abang Yusuf Puteh, 2008). Peribahasa yang memerikan hukuman itu dinamai balak pengamang. Aspek kebudayaan lain yang terungkap dalam peribahasa Melayu Sarawak yang dikaji ini ialah peribahasa nyeruk tunang/menjemput tunang yang membawa makna menjemput bakal pengantin lelaki makan malam serta tidur di rumah tunangnya. Sehubungan dengan peribahasa nyeruk tunang ini, juga terdapat peribahasa meroboh katel/merobohkan katil. Peribahasa ini mencerminkan adat menanggalkan katil yang telah digunakan oleh orang yang meminang semasa mereka berkunjung sebelum ini. Adat secara simbolis menandakan berakhirnya tempoh pertunangan, dan akan berlangsungnya acara perkahwinan. Uniknya kebudayaan orang Melayu Sarawak ini dalam hal ehwal yang berhubung kait dengan perkahwinan ini digambarkan dalam peribahasa mandik

Abang Patdeli bin Abang Muhi 351 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies aer perantan/mandi beradat yang bermaksud pengantin perempuan dimandikan secara beradat sebelum dikenakan pakaian pengantin untuk acara persandingan. Yang dimaksudkan dengan aer perantan ialah air untuk ketahanan diri yang telah dijampi kerana majlis persandingan pengantin pada waktu itu memakan masa yang lama, dan ditambah lagi dengan keadaan yang panas zaman itu serta pakaian pengantin yang tebal yang memerlukan pengantin perempuan untuk dapat bertahan. Secara harfiah kata terbitan perantan terbit daripada kata pantan atau dalam bahasa Melayu baku disebut tasak, yakni bermaksud menahan darah daripada mengalir keluar. Satu lagi peribahasa yang menggambarkan budaya Melayu Sarawak yang ada hubung kaitnya dengan acara perkahwinan ialah turun tanggak/turun tangga yang mengiaskan makna pengantin lelaki yang turun naik tangga rumah sebanyak tiga atau tujuh kali selepas bersanding. Secara keseluruhannya, dalam budaya atau amalan perkahwinan dalam kalangan orang Melayu Sarawak, khususnya yang berkaitan dengan pantang- larang, terdapat peribahasa yang mengiaskan pantang-larang itu, yakni peribahasa tujoh peraja/tujuh pantang-larang yang mendukung makna tujuh pantang-larang yang penting selepas pernikahan. Orang Melayu Sarawak memang sangat mementingkan nilai-nilai murni yang terkandung dalam adat, khususnya untuk menjaga dan memelihara maruah diri serta keluarga. Maka, wujudlah norma yang diterima umum seperti yang tergambar dalam peribahasa tangkap salah yang bermaksud lelaki atau perempuan yang diharuskan berkahwin kerana melakukan sesuatu kesalahan dalam hubungan lelaki dan perempuan yang dianggap telah melanggar norma atau aturan tertentu seperti sudah sering bertemu, bertukar-tukar pemberian atau barangan, dan sudah kelihatan perbuatan mereka itu tidak manis dipandang mata. Bukanlah sesuatu yang ganjil hingga kini budaya nikah bejemok yakni majlis kenduri kahwin diadakan di sebelah pihak sahaja sama ada di pihak lelaki ataupun perempuan bagi menghematkan belanja dan masa, sekali gus untuk memeriahkan lagi majlis perkahwinan itu. Budaya ini juga memperlihatkan betapa bijaknya orang Melayu Sarawak dalam memelihara kerukunan kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Bagi orang Melayu Sarawak segala unsur kebudayaan yang tidak bercanggah dengan hukum-hakam agama, akan mereka terima dan terapkan dalam pengamalan pelbagai adat, khususnya yang berkaitan dengan perkahwinan dan pembentukan sistem kekeluargaan sesuai tuntutan agama dan adat-istiadat yang menjadi amalan masyarakat Melayu Sarawak demi membentuk masyarakat yang harmoni seperti yang ditegaskan oleh Abang Yusuf Puteh (2008) bahawa dalam semua masyarakat, pertalian darah dan perkahwinan adalah institusi yang diwujudkan untuk menjaga perhubungan dalam masyarakat.

352 Abang Patdeli bin Abang Muhi Akal Budi Dalam Peribahasa Melayu Sarawak

Antara peribahasa yang ada hubung kaitnya dengan institusi kekeluargaan dalam kalangan masyarakat Melayu Sarawak yang mengiaskan peri pentingnya memelihara keharmonian dalam masyarakat, dan untuk memastikan kesucian institusi kekeluargaan itu terjaga ialah: a) Nikah benar yang bermaksud pernikahan yang sebenar yang sejajar dengan adat resam serta norma yang telah ditetapkan. b) Nikah gantong/nikah gantung yang bermakna perkahwinan yang sudah sah, yakni sudah terlaksana akad nikah, ijab kabulnya, bagaimanapun belum bersanding lagi. c) Nikah salah yang membawa maksud pernikahan yang berpunca daripada ditangkap basah atau atas sebab-sebab tertentu seperti mengandung terlebih dahulu, melakukan sesuatu yang sumbang yang melanggar adat bertunang dan sebagainya. d) Tangkap basah yang membawa makna pasangan lelaki dan perempuan ditangkap kerana sedang berkhalwat atau melakukan perkara-perkara yang sumbang, dan sebagainya. e) Tangkap salah yang bermaksud pasangan lelaki dan perempuan yang didapati bersalah kerana melanggar adat atau norma hubungan lelaki dan perempuan dalam sifat masyarakat tradisional yang tertutup yang secara umumnya menganggap lelaki dan perempuan yang belum berkahwin tidak harus melakukan sesuatu yang tidak manis dipandang mata atau yang dianggap sumbang dan tidak sopan. f) Tebus talak yang membawa makna meminta agar diceraikan dengan membayar kembali mahar kepada suami. g) Wali akim/wali hakim yang bermakna orang yang bukan waris yang boleh menikahkan pengantin perempuan sekiranya ketiadaan walinya atau wali kerasnya. h) Wali keras yang membawa maksud bapa saudara atau saudara tua dan lelaki yang layak menjadi wali mengikut hukum syarak. i) Waris keras yang bermakna waris yang paling hampir seperti anak, cucu dan lain-lain.

Tentu sahaja segala bentuk dan nilai kebudayaan yang baik harus dipertahankan untuk terus diamalkan oleh generasi yang akan datang. Nilai- nilai murni yang diungkapkan secara tersirat yang mengandungi makna-makna metaforikal dan figuratif melalui sebahagian besar peribahasa yang representatif yang telah dibincangkan di atas telah memperlihatkan ketinggian akal budi Melayu dalam aspek pemikiran, kearifan, kekreatifan, keindahan, keperibadian, kepercayaan dan kebudayaan.

Abang Patdeli bin Abang Muhi 353 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

5. Rumusan

Tuntasnya, kekreatifan orang Melayu Sarawak dalam penciptaan dan pembentukan ungkapan-ungkapan figuratif yang mengiaskan makna-makna yang tinggi falsafahnya, dan yang perlu ditafsirkan serta ditakwilkan dengan bijaksana adalah suatu refleksi kearifan orang Melayu. Bahkan keupayaan dan ketinggian daya cipta mereka dalam pembentukan dan penciptaan peribahasa itu sendiri adalah suatu pembuktian yang jelas tentang betapa kreatifnya orang Melayu Sarawak kerana berjaya menghasilkan karya sastera tradisional yang diperturunkan daripada satu generasi kepada generasi yang seterusnya. Hanya orang yang arif dan bijaksana sahaja yang berkemampuan untuk memanfaatkan kekreatifan mereka untuk membentuk dan menciptakan peribahasa, lantas menjadi nara sumbernya. Ini adalah selari dengan pandangan Abdullah Hussain (2016) yang mengatakan bahawa sumber kedua peribahasa ialah orang-orang arif bijaksana. Seperti yang telah dihuraikan sebelum ini, melalui peribahasa yang disulami pilihan dan susunan kata-kata serta ungkapan yang indah, orang tua-tua dan arif bijaksana dalam kalangan masyarakat Melayu mengiaskan dan menyampaikan sesuatu makna secara analogi dan perbandingan dengan tujuan untuk mendidik, menegur, mengkritik, menyindir, dan menasihati dengan cara yang cukup paling halus. Sebagai rumusannya, beberapa teori yang diaplikasikan dalam kajian ini, khususnya Teori Relevansi telah membuktikan bahawa orang Melayu Sarawak telah berjaya membentuk dan menciptakan peribahasa dengan memanfaatkan segala flora dan fauna di sekeliling mereka, dan menggunakan aneka pengalaman hidup mereka untuk memilih serta menyusun metafora-metafora yang baik dan sesuai untuk mengungkapkan pemikiran dan falsafah. Ini juga memperlihatkan betapa tingginya kearifan, dan bestarinya kekreatifan orang Melayu Sarawak. Akhirulkalam, dapatan penelitian ini diharap dapat dimanfaatkan untuk meneruskan kajian lanjut yang lebih luas cakupannya terhadap peribahasa orang Melayu Sarawak.

Daftar Rujukan

Abang Yusof Puteh. The Malay Mind. Shobra Peblications Sdn. Bhd., Kuching, Sarawak.1997. Abang Yusof Puteh.The Malays of Sarawak:A Socio-Political Portrait.Shobra Publications Sdn. Bhd., Kuching, Sarawak.1998. Abang Yusuf Puteh. A Profile of Sarawak Malays. Penerbit Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tanjong Malim. 2005. Abang Yusuf Puteh. Adat Perkahwinan Orang Melayu Sarawak Edisi Kedua. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. 2008. Abdul Hadi W.M. Ta’wil:Relevansi Hermeneutika dalam Kajian Sastra Melayu di

354 Abang Patdeli bin Abang Muhi Akal Budi Dalam Peribahasa Melayu Sarawak

Indonesia. Jurnal Pangsura. Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam. Julai – Disember 2006. Bilangan 23/Jilid 12. Abdullah Hassan. Kamus Simpulan Bahasa Melayu. Dewan Bahasa dan Pustaka. 1990. Abdullah Hussain. Kamus Istimewa Peribahasa Melayu. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. 1975. Abu Hassan & Mohd. Rasdi Saamah. Unsur Haiwan dalam Peribahasa Masyarakat Asli Suku Kaum Semai. Pendeta. Jurnal Bahasa dan Sastera Melayu. Penerbit Universiti Pendidikan Sultan Idris. Jilid 3, 2012. Aminudin Mansor. Akal Budi Melayu dalam Pantun dan Sajak. Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi..2015. A. Aziz Deraman. Masyarakat dan Kebudayaan Malaysia (Edisi Baharu). Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. 2001. Asmah Hj. Omar. Bahasa dan Alam Pemikiran Melayu. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. 1986. Asmah Hj. Omar. Malays in Its Sociocultural Context. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. 1987. Asmah Haji Omar. Bahasa dan alam pemikiran Melayu. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. 1992. Asmah Haji Omar. Metaphors of anatomy as reflection of Malay cultural belief. Jurnal bahasa jendela alam. 1996. Awang Hasmadi Awang Mois & Sanib Said (Penyunting). Masyarakat Melayu Sarawak: Himpunan Kertas Seminat Budaya Melayu II. Yayasan Budaya Melayu Sarawak, Kuching. 1998. Hamka. Lembaga Budi:Perhiasan Insan Cemerlang. Pustaka Dini Sdn Bhd, Shah Alam. 2008. Hamka. Falsafah Hidup. Pustaka Dini Sdn Bhd, Shah Alam. 2009. Harun Mat Piah. Puisi Melayu Tradisional : Satu Pembicaraan Genre dan Fungsi. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. 1989. Hashim Fauzy Yaacob. Kedudukan Orang Melayu Sarawak di Bawah Penjajahan British. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. 2014. Hashim Ismail. Hermeneutik:Reaksi Reformasi Kaum Muda. Dewan Bahasa dan Pustaka. 2010. Ishak Ramly. Perkembangan Peribahasa dalam Bahasa Melayu. Jurnal Dewan Bahasa, Kuala Lumpur. 1990. James Danandjaja.Foklor Indonesia:Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain.Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.2002. Keris Mas. Perbincangan Gaya Bahasa Sastera. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. 1988. Laurent Metzger. Nilai-nilai Melayu: Satu Sudut Pandangan Orang Luar. Penerbit

Abang Patdeli bin Abang Muhi 355 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tanjong Malim. 2009. Lim Kim Hui. Budi as the Malay Mind: A philosophical Study of Malay Ways of Reasoning and Emotion in Peribahasa. University of Hamburg, Jerman.2003. Marlyna Maros et al (Penyunting). Prinsip dan Aplikasi Kesantunan Berbahasa. Dewan Bahasa dan Pustaka. 2012. Maxwell, W.E. Malay Proverbs.Pt.I.JSBRAS1 (July).1878. Md Salleh Yaapar et al (Penyusun). Kamus Kesusasteraan. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur.2015. Muhammad Haji Salleh (Penyunting). Pandangan Dunia Melayu: Pancaran Sastera. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. 2012. Muhammad Rakawi Yusuf (Pengkarya asal). Hikayat Sarawak. Penerbit Universiti Malaya, Kuala Lumpur. 2009. Napisah Muhammad. Bentuk Kata dan Golongan Kata. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. 2014. Nor Hashimah Jalaludin. Semantik dan Pragmatik:Satu Pengenalan. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. 1992. Nor Hashimah Jalaludin. Semantik dalam Akal Budi Melayu. Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi. 2014. Noriah Taslim. Lisan dan Tulisan: Teks dan Budaya. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. 2010. Samekto, Cecilia G. Popular Proverbs. Penerbit Kansius, Yogayakarta. 1994. Sanib Said. Melayu Sarawak: Sejarah Yang Hilang. Universiti Malaysia Sarawak, Kota Samarahan. 2013. Tenas Effendy. Ungkapan Tradisional Melayu Riau. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. 1989. T. Fatimah Djajasudarma. Semantik 1:Makna Leksikal dan Gramatikal. 1993. Yayasan Budaya Melayu Sarawak (Pengumpul). Petua-petua Melayu Sarawak Tradisional. Yayasan Budaya Melayu Sarawak, Kuching. 1996. Yayasan Budaya Melayu Sarawak (Pengumpul). Budaya Melayu Dalam Realiti Baru: Esei Pilihan Seminar Budaya Melayu Sarawak III. Yayasan Budaya Melayu Sarawak, Kuching. 2003. W. Mieder. Proverbs are never out of season;Popular wisdom in Modern Age. Oxford University Press, New York.1993. Wong Shia Ho. Bahasa Figuratif sebagai Wahana Pemikiran:Satu Analisis Pragmatik. Jurnal Bahasa. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. Jilid 13 Bil. 1.Jun 2013. Za’ba. Perangai Bergantung pada Diri Sendiri. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. 2007. Za’ba. Mencapai Keluhuran Budi. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. 2009.

356 Abang Patdeli bin Abang Muhi PENILAIAN KURIKULUM BERASASKAN MODEL CIPP (Context, Input, Process, Product)

Azizi bin Jaafar, PhD Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail Akhyar Zaim Bin Azizi Institut Pendidikan Guru Kampus Kota Bharu Kelantan, Malaysia. Email: [email protected] Tel Pejabat: 09-7717700 Tel H/P:0129556569

Abstrak

Kajian ini menggunakan reka bentuk penilaian program melalui tinjauan persepsi terhadap Guru Pendidikan Islam (GPI) yang mengajar di sekolah menengah harian yang terletak di bandar dan luar bandar di negeri Kelantan, Malaysia. Keseluruhan populasi GPI dalam kajian ialah n=1163, manakala sampel kajian dipilih secara rawak berstrata dengan keseluruhan bilangan sampel GPI adalah n=300 terdiri dari bandar (n=150) dan luar bandar (n=150) di 10 buah daerah di negeri Kelantan, Malaysia. Instrumen yang dibina dalam kajian ini adalah soal selidik yang dibentuk berdasarkan model penilaian Context, Input, Process, Product (CIPP) oleh Stufflebeam. Data kuantitatif daripada soal selidik dianalisis secara deskriptif menggunakan program SPSS untuk analisis min, peratus dan sisihan piawai dan MANOVA. Dapatan kajian menunjukkan bahawa pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Islam bagi dimensi proses pengajaran dan pembelajaran KPI, proses pemantauan, proses penilaian dan hubungan guru dengan pelajar adalah tinggi. Tahap bagi penggunaan BBM dan kerjasama guru dengan pihak pentadbir adalah berada pada tahap sederhana. Terdapat perbezaan yang signifikan antara kategori sekolah terhadap proses pengajaran, bahan bantu mengajar, pemantauan, penilaian, hubungan guru dengan pelajar dan hubungan guru dengan pentadbir dari dimensi proses.

Kata kunci: Model Context, Input, Process, Product, Penilaian Kurikulum

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 357 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

Abstract

This study uses a design evaluation program through reviews perception of Islamic Education Teachers (GPI) who teach in secondary schools located in urban and rural areas in the state of Kelantan, Malaysia. GPI overall study population is n = 1163, while the sample was selected using a stratified random sampling of GPI is a whole number n = 300 consists of the city (n = 150) and rural (n = 150) in 10 districts in the state of Kelantan. Instruments built in this study was adapted from questionnaire which was established by valuation models Context, Input, Process, Product (CIPP) by Stufflebeam. The quantitative data from the questionnaire were analyzed descriptively using SPSS for analysis of mean, percentage and standard deviation and MANOVA. The findings indicate that the implementation of Islamic Education Curriculum for the teaching and learning process dimensions KPI, process monitoring, process evaluation and relationship between teachers and students is high. The level of fuel consumption and teacher collaboration with the administration is at a moderate level. There are significant differences between schools of teaching, teaching aids, monitoring, evaluation, relations with student teachers and teacher administrator of the process dimension.

Keywords: Context, Input, Process, Product Model, Curriculum Evaluation

1. Pengenalan

Kurikulum Pendidikan Islam (KPI) dalam Kurikulum Bersepadu Sekolah Menengah (KBSM) di Propinsi Kelantan, Malaysia telah dirangka dengan mengambil kira pelbagai aspek termasuk unsur-unsur yang berkaitan dengan pembinaan negara bangsa Malaysia (Abdul Halim, 2012). Justeru itu, status mata pelajaran Pendidikan Islam telah dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran teras dalam Kurikulum Bersepadu Sekolah Menengah (KBSM) yang mewajibkan pelajar-pelajar Islam mempelajari dan mengambil mata pelajaran pendidikan Islam bermula daripada tahun satu sehingga tingkatan lima (Ahmad, 2008). KPI menekankan pengetahuan dan penghayatan pelajar dalam bidang Tilawah al-Quran, Ulum Syar’iyah, akhlak Islamiah, pengukuhan akidah Islamiah, pemahaman dan amalan ibadah dalam kehidupan harian. Pada tahun 1989 pelaksanaan KPI KBSM bermula di Tingkatan Satu. Berbagai cadangan strategi dan kaedah telah digariskan agar objektif dan matlamat pelaksanaan KPI yang dihasratkan tercapai. Syed Ismail (2011), menyatakan bahawa kejayaan pelaksanaan sesuatu kurikulum bergantung sepenuhnya kepada guru. Guru adalah individu yang bertanggungjawab pada peringkat pengajaran dan pembelajaran perlu berusaha bersungguh-sungguh bagi mencapai matlamat pendidikan (Abdul Halim, 2012). Penerapan kaedah dan strategi pengajaran merupakan syarat untuk mengintensifkan aktiviti pengajaran dan pembelajaran dalam proses mencapai matlamat Pendidikan Islam (Syahrul Riza, 2008).

358 Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, Akhyar Zaim Bin Azizi Penilaian Kurikulum Berasaskan Model CIPP

Setelah hampir 25 tahun KPI KBSM dilaksanakan di sekolah, pemantauan dan penyemakan tentang keberkesanan mata pelajaran ini sentiasa dilakukan (Zakaria, 2012). Pada tahun 1996, Kementerian Pelajaran Malaysia (KPM) telah memutuskan untuk menyemak KPI bagi penambahbaikan (Asmawati, 2009). Pada tahun 2000, KPM telah menyemak semula sukatan pelajaran Pendidikan Islam sejajar dengan semua mata pelajaran lain dalam kurikulum kebangsaan. Sukatan pelajaran Kurikulum Semakan Pendidikan Islam telah dibentangkan kepada Y.A.B. Perdana Menteri Dato’ Dr. Mahathir Mohamed pada 8 Mac 2001 (Unit Kurikulum Pendidikan Islam Teras, Bahagian KPI dan Moral:125). Pada tahun 2002, KPI sekali lagi disemak dan pada tahun 2003 Pendidikan Islam membawa kepada pelaksanaan kurikulum baru pada peringkat Tingkatan Satu. Penambahan bidang Hadis dalam Tilawah al-Quran yang merupakan sumber hukum kedua terpenting dalam Islam ditambah kepada KPI KBSM (KPM, 2002).

2. Pernyataan Masalah

Sejak tahun 1977 lagi perbincangan tentang paradigma baru dalam KPI di peringkat dunia telah bermula secara aktif dalam “The first Conference on Muslim Education” yang diadakan di Mekah (Syed Ali Ashraf, 1994). Pelbagai usaha telah dilakukan oleh negara-negara Islam termasuk negara Malaysia untuk merangka dan melaksanakan falsafah dan konsep Pendidikan Islam. Pendidikan Islam memainkan peranan utama dalam sistem pendidikan negara untuk menghadapi cabaran alaf baru ini (Jawiah, 2012). Kajian penilaian pelaksanaan KPI perlu dilakukan kerana banyak kepincangan berlaku dalam kalangan remaja sekarang (Abdul Halim, 2012). Keperluan terhadap penilaian pelaksanaan KPI semakin mendesak ekoran kebimbangan masyarakat sekeliling terhadap kecenderungan kaum remaja terbabit dalam kancah anti sosial yang semakin serius dan memuncak. Kesalahan- kesalahan berunsur jenayah sivil atau jenayah syariah boleh ditatap hampir setiap hari di media-media masa atau elektronik (Jawiah, 2012). Menurut Ungku Aziz (2005) dalam Jawiah (2012) menyatakan kemerosotan akhlak bukan lagi kes terpencil bahkan diakui oleh semua lapisan masyarakat termasuk pemimpin tertinggi negara.Bagi menilai sesuatu kurikulum, satu kajian yang komprehensif perlu dilakukan. Kajian ini perlu melibatkan penilaian ke atas guru sebagai tenaga pengajar KPI serta faktor-faktor lain yang mendukung pembelajaran KPI. Oleh itu, bagi menilai pelaksanaan KPI ini, satu model penilaian kurikulum perlu digunakan iaitu Model Penilaian CIPP (Stufflebeam, 2003) yang melihat dimensi penilaian proses pelaksanaan KPI. Aspek proses perlu dinilai kerana peranan dan keupayaan GPI di dalam bilik darjah amat penting untuk mencapai matlamat dan objektif KPI yang telah digubal dari aspek keupayaan penggunaan BBM, pemantauan pihak terlibat, penilaian terhadap pelajar, hubungan guru dengan pelajar serta pihak pentadbir.

Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, Akhyar Zaim Bin Azizi 359 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

Daripada beberapa kajian Azhar Ahmad (2006); Asmawati Suhid (2009); Zakaria Stapa (2012); Jawiah Dakir (2012); Abdul Halim Tamuri (2012); Ghazali Yusri (2012) dan Azizi (2015) tentang PdP dalam pelaksanaan KPI terutamanya dalam kaitan ke arah pembinaan negara bangsa, aspek yang paling utama yang perlu dikaji ialah bagaimana proses PdP KPI dilaksanakan di dalam bilik darjah. Menurut Noraini Hashim (2005), kaedah penilaian yang digunakan dalam KPI untuk menguji prestasi pelajar lebih berbentuk “exam oriented” dan mengabaikan perkembangan rohani dan akhlak pelajar. Azizah Lebai Nordin (2003) menyatakan ramai pihak telah membincangkan isu dan masalah tentang pelaksanaan PI di sekolah mempunyai hubungan yang signifikan dengan kurikulum, proses PdP serta kaedah pengajaran GPI dalam bilik darjah. Konsep PI tidak diterangkan dengan jelas oleh guru dan pelajar masih tidak memahami sesuatu konsep tetapi guru terus mengajar serta beralih kepada konsep yang seterusnya (Abdul Halim Tamuri, 2004). Pemahaman konsep dalam PI amat penting kerana konsep menjadi teras kepada pemahaman pelajaran berikutnya (Zakaria Stapa, 2012). Sokongan dan kerjasama yang baik dari pentadbir sekolah juga adalah faktor penting dalam mencapai matlamat pendidikan berkesan. Hal ini disokong oleh kajian Alma Harris (1996) yang mendapati tahap pencapaian pelajaran akan meningkat sekiranya guru mendapat sokongan yang padu daripada pihak pentadbir sekolah. Begitu juga faktor hubungan mesra antara guru dengan pelajar. Ini dibuktikan dalam kajian Rudzi Munap (2003) mendapati sekiranya guru mengamalkan konsep hubungan yang mesra dengan pelajar, ia akan dihormati dan dikagumi oleh pelajar-pelajarnya.

3. Kerangka Konseptual Kajian

Dalam kajian ini, Model Penilaian CIPP (Context, Input, Process, Product) telah dijadikan sebagai kerangka konseptual kajian, namun penyelidik hanya memberi fokus kepada aspek proses sahaja. Sehubungan dengan itu, dimensi proses adalah menilai proses pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran, penggunaan Bahan Bantu Mengajar (BBM), proses pemantauan dan penilaian, hubungan guru dengan pelajar dan hubungan guru dengan pihak pentadbir. Dimensi proses perlu dinilai kerana peranan dan keupayaan GPI di dalam bilik darjah amat penting untuk mencapai matlamat dan objektif KPI yang telah digubal dari aspek keupayaan penggunaan BBM, pemantauan pihak terlibat, penilaian terhadap pelajar, hubungan guru dengan pelajar serta pihak pentadbir. Sila rujuk Rajah 1 di bawah.

360 Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, Akhyar Zaim Bin Azizi Penilaian Kurikulum Berasaskan Model CIPP



   

        





Rajah 1: Kerangka Konseptual Kajian adaptasi daripada Model Penilaian CIPP oleh D.L. Stufflebeam (1971); Stufflebeam & Shinkfield (2003)

4. Kajian Literatur

Daripada beberapa kajian tentang pengajaran dan pembelajaran dalam pelaksanaan KPI terutamanya dalam kaitan ke arah pembinaan negara bangsa, aspek yang paling utama yang perlu dikaji ialah bagaimana proses pengajaran dan pembelajaran KPI dilaksanakan di dalam bilik darjah (Abdul Halim, 2004). Adnan Yusopp (2002) menyatakan GPI perlu bersedia melaksanakan proses PdP berasaskan kurikulum baru yang telah disemak. Justeru, aspek pendekatan dan gaya pengajaran GPI juga perlu disesuaikan dengan perkembangan semasa dan terkini. Tugas dan peranan tersebut perlu dilakukan oleh GPI untuk melaksanakan dalam proses PdP di sekolah. Azizi (2015) GPI boleh menggunakan dan memilih kaedah pengajaran yang sesuai yang boleh membawa kepada penguasaan ilmu, amalan dan penghayatan yang memberi kesan kepada diri pelajar dan masyarakat keseluruhannya. Selain pemilihan kaedah pengajaran yang sesuai, aspek aras juga perlu diberikan perhatian agar tahap aras keupayaan pelajar diberikan perhatian yang sewajarnya. KPM (2002) telah menghasilkan beberapa panduan yang boleh dijadikan asas dalam pelaksanaan KPI ini iaitu: (i) Sukatan Pelajaran;

Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, Akhyar Zaim Bin Azizi 361 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

(ii) Huraian Sukatan Pelajaran; (iii) Buku panduan PdP PI; (iv) Buku Panduan Guru dan (v) Buku Teks. Untuk menarik minat dan memotivasikan pelajar bagi mempelajari PI di dalam dan di luar bilik darjah, GPI perlu memberi tumpuan kepada suasana persekitaran yang kondusif, persediaan daripada segi mental dan fizikal agar pelajar dapat memberikan tumpuan kepada pengajaran yang diberikan oleh guru (Abdul Halim Tamuri, 2012). Aspek penilaian yang konsisten dan berterusan perlu dilaksanakan oleh guru dalam usaha memastikan keberkesanan pengajaran dan menilai tahap kefahaman dalam kalangan pelajar (Jawiah Dakir, 2012). Maka, GPI perlu melaksanakan penilaian sumatif dan formatif untuk memastikan objektif PI dapat dicapai dengan sebaiknya (Zakaria Stapa, 2012). Menurut Noraini (2005) kaedah penilaian yang digunakan dalam KPI untuk menguji prestasi pelajar lebih berbentuk “exam oriented” dan mengabaikan perkembangan rohani dan akhlak pelajar. Namun begitu, hasil kajian Fatimah (2009) menyatakan bahawa motivasi utama dalam pembelajaran ialah penilaian atau peperiksaan. Isu dan masalah tentang pelaksanaan KPI di sekolah dibincangkan oleh ramai pihak pada masa kini adalah sebahagian besarnya mempunyai hubung kait yang signifikan dengan proses pengajaran dan pembelajaran dan kaedah pengajaran GPI dalam bilik darjah khasnya dan sekolah amnya (Azizah, 2003). Menurut Abdul Halim (2004), pengajaran dalam bilik darjah lebih banyak tertumpu kepada peperiksaan dan berpusatkan guru bukannya berpusatkan pelajar seperti mana yang dikehendaki oleh KBSM. Oleh itu, matlamat yang ingin dicapai oleh KBSM tidak berjaya terutamanya dari aspek kaedah dan pendekatan. Para pelajar masih tidak memahami tetapi guru terus mengajar dan beralih kepada topik yang seterusnya. Sebenarnya pemahaman sesuatu konsep dan istilah dalam KPI amat penting kerana ia menjadi teras kepada pemahaman pelajaran seterusnya. Hal ini kerana Pendidikan Islam merupakan perkara yang berkaitan dalam amalan kehidupan seharian Muslim (Zakaria, 2012). Pada tahun 2006, Azhar Ahmad telah menjalankan kajian tentang persepsi guru mengenai faktor minat pelajar terhadap PI sekolah menengah. Kajian ini mendapati bahawa sebab utama pelajar kurang minat terhadap PI ialah kerana sekolah tidak mendapat sokongan yang sewajarnya dari masyarakat selain nilai masyarakat yang kadang-kadang memisahkan antara perkara keagamaan dengan perkara keduniaan, sikap masyarakat yang lebih mengutamakan mata pelajaran teknik dan vokasional. Kajian ini juga mendapati bahawa cara pelaksanaan PdP PI yang masih menggunakan cara tradisional yang tidak membolehkan pelajar ikut serta dalam PdP serta tidak menggunakan BBM telah menyebabkan pelajar kurang minat terhadap PI. Azizah Lebai Nordin (2003) telah menjalankan kajian berhubung penilaian dalam PI yang dilakukan di empat buah sekolah rendah di daerah Petaling Jaya Selangor. Kajian ini bertujuan untuk melihat amalan penyoalan dalam mata

362 Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, Akhyar Zaim Bin Azizi Penilaian Kurikulum Berasaskan Model CIPP pelajaran PI dan mengenai aras soalan yang selalu dikemukakan oleh guru kepada pelajarnya yang menjurus kepada soalan kemahiran berfikir, pembinaan soalan berdasarkan Jadual Penentuan Ujian (JPU) dan masalah yang dihadapi oleh guru dalam penilaian pembelajaran PI. Kajian Azizi (2015) menunjukkan kebanyakan soalan yang dibina dalam peperiksaan akhir adalah dalam bentuk pengetahuan dan kefahaman. Terdapat juga pelajar yang gagal dalam mata pelajaran PI adalah kerana mereka kurang penguasaan dalam tulisan Jawi. Oleh itu pihak sekolah dan ibu bapa perlu menekankan pengajaran Jawi dan guru- guru perlu menghadiri bengkel penilaian dalam PI supaya pembinaan soalan peperiksaan lebih menjurus ke arah kemahiran berfikir secara analitis, kritis dan kreatif. Secara keseluruhan daripada kajian-kajian lepas terhadap KPI di sekolah mendapati masih banyak ruang dan lompang yang perlu diperbaiki, dikaji dan kajian mereka tidak secara menyeluruh terutama dalam aspek proses pelaksanaan KPI di sekolah menengah. Sehubungan itu, kajian ini memberi perhatian dan dibuat penilaian ke atas pelaksanaan KPI sekolah menengah berasaskan Model CIPP supaya proses dan pelaksanaan KPI di sekolah dapat diperbaiki dan dibuat penambahbaikan.

5. Objektif Kajian

Objektif kajian ini adalah untuk menilai keberkesanan pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Islam berdasarkan model penilaian CIPP. Manakala objektif khusus kajian ini dilakukan untuk: 1. Menilai proses pengajaran dan pembelajaran Sekolah Menengah dilaksanakan dengan berkesan. 2. Menilai penggunaan Bahan Bantu Mengajar (BBM) dilaksanakan dengan berkesan. 3. Menilai proses pemantauan dan penilaian KPI Sekolah Menengah dilaksanakan dengan berkesan. 4. Menilai hubungan guru dengan pelajar dan kerjasama pihak pentadbir terhadap proses pengajaran dan pembelajaran yang lebih baik. 5. Menentukan sama ada terdapat perbezaan yang signifikan antara kategori sekolah terhadap proses pengajaran, bahan bantu mengajar, pemantauan, penilaian, hubungan guru dengan pelajar dan hubungan guru dengan pentadbir dari dimensi proses.

6. Metodologi

Kajian ini hanya terbatas kepada GPI di sekolah menengah bandar dan luar bandar 10 daerah PPD negeri Kelantan menjadi responden dalam kajian ini.

Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, Akhyar Zaim Bin Azizi 363 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

Guru dipilih berdasarkan guru yang mengajar mata pelajaran Pendidikan Islam di sekolah menengah. Kajian ini merupakan kajian deskriptif yang menggunakan kaedah tinjauan untuk memperoleh data melalui borang soal selidik dan bertujuan untuk menilai keberkesanan pelaksanaan mata pelajaran Pendidikan Islam berdasarkan model penilaian CIPP oleh Stufflebeam (2003). Instrumen kajian ini dibentuk berasaskan kajian-kajian yang telah dijalankan dalam bidang berkenaan di dalam dan luar negara. Soal selidik digunakan dalam kajian ini dan diedarkan sendiri oleh penyelidik kepada guru-guru yang mengajar Pendidikan Islam di sekolah terlibat.

7. Populasi dan Sampel Kajian

Kumpulan responden kajian ini adalah terdiri daripada GPI Sekolah Menengah Kebangsaan harian di bawah kelolaan Kementerian Pelajaran Malaysia berdasarkan kategori bandar dan luar bandar meliputi 10 daerah negeri Kelantan iaitu Pejabat Pelajaran Daerah (PPD) Kota Bharu, PPD Bachok, PPD Pasir Puteh, PPD Machang, PPD Pasir Mas, PPD Tumpat, PPD Tanah Merah, PPD Gua Musang, PPD Kuala Krai dan PPD Jeli. Populasi GPI 1163 orang dan sampel kajian pula bagi guru 300 orang. Penentuan saiz sampel dalam penyelidikan ini adalah berasaskan kaedah yang digunakan oleh Krejcie dan Morgan (1975).

8. Kesahan dan kebolehpercayaan

Kajian rintis digunakan bagi meningkatkan kesahan dan kebolehpercayaan alat kajian. Kajian rintis dilaksanakan dan diuji (pilot study) kepada 30 orang guru Pendidikan Islam. Ujian ini dibuat dengan menggunakan alpha Cronbach koefisiensi kepada dimensi Proses yang menggunakan lima mata skala Likert. Menurut Pallant (2007) konstruk yang itemnya melebihi 10, nilainya haruslah α ≥ .7. Hasilnya didapati aras kebolehpercayaan bagi soal selidik GPI ialah .8771 seperti Jadual 1.3 di bawah:

Jadual 1.3: Cronbach Alpha Instrumen Soal Selidik GPI Dimensi Instrumen Jumlah Item Cronbach Alpha Pelaksanaan P & P 20 .8609 (Proses) Penggunaan Bahan Bantu Mengajar 10 .8662 Pelaksanaan Pemantauan 12 .8617 Pelaksanaan Penilaian dan Peperiksaan 9 .8609 Hubungan guru dengan pelajar 8 .8633 Hubungan guru dengan pentadbir 8 .8607 Alpha = .8771

364 Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, Akhyar Zaim Bin Azizi Penilaian Kurikulum Berasaskan Model CIPP

Untuk mengukur kesahan kandungan, penyelidik telah merujuk kepada beberapa orang pakar dalam penilaian dan kurikulum Pendidikan Islam. Mereka terdiri daripada: 1. Kesahan dari aspek penilaian; i. Prof Madya Dato Dr. Hj Abd halim Tamuri (UKM) ii. Dr. Noriati A Rashid (Bahagian Akademik IPGM) 2. Kesahan kandungan KPI ; i. Prof Madya Datuk Paduka Dr. Syukri Yeoh Abdullah (UKM)

7. Penganalisisan Data

Bagi data kuantitatif dalam kajian ini menggunakan statistik deskriptif untuk mendapatkan maklumat yang dikaji. Skor min dalam tiga tahap seperti yang dipamerkan dalam Jadual 1.4 di bawah ini:

Jadual 1.4: Interpretasi Skor Min dalam pemboleh ubah bebas dan bersandar Skor Min Interpretasi 1.00 hingga 2.33 Rendah 2.34 hingga 3.66 Sederhana 3.67 hingga 5.00 Tinggi

Sumber: Diubahsuai daripada Pallant (2001)

8. Dapatan Kajian

Analisis deskriptif digunakan untuk mendapatkan taburan jawapan responden kajian dalam item- item untuk setiap bahagian. Data mentah yang diperoleh oleh pengkaji telah dianalisis dengan menggunakan SPSS winddows Versi 11.5 untuk mendapat kekerapan, peratusan, dan min dan MANOVA. Tahap min yang diperolehi hasil daripada analisis tersebut digunakan untuk membuat perbandingan serta kesimpulan atas keadaan yang berlaku.

8.1 Sejauh manakah proses pengajaran dan pembelajaran KPI sekolah menengah dilaksanakan dengan berkesan? Bahagian ini mengandungi 9 item soalan yang berkaitan dengan dimensi proses pengajaran dan pembelajaran berdasarkan soal selidik Guru Pendidikan Islam. Jadual 1.5 di bawah menunjukkan persepsi guru terhadap proses pengajaran dan pembelajaran tersebut:

Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, Akhyar Zaim Bin Azizi 365 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

Jadual 1.5 Skor Min dan sisihan piawai bagi proses pengajaran dan pembelajaran KPI Bil Proses Pengajaran dan Pembelajaran KPI Min S.P Tahap 1 Saya memastikan kelas terkawal dalam pengurusan 4.20 0.86 Tinggi bilik darjah 2 Saya sentiasa mewujudkan kesediaan pelajar untuk 3.83 0.90 Tinggi belajar 3 Pengajaran saya menarik perhatian semua pelajar 3.73 1.01 Tinggi untuk belajar 4 Saya sentiasa bersedia dan bersungguh-sungguh 4.34 0.65 Tinggi mengajar Pendidikan Islam 5 Saya sentiasa melaksanakan langkah pengajaran 3.67 0.99 Tinggi mengikut perancangan 6 Saya memberi peluang pelajar bersoal jawab jika ada 4.44 0.61 Tinggi masalah 7 Saya sentiasa menggalakkan pelajar mengambil ba- 3.97 0.86 Tinggi hagian dalam aktiviti P & P 8 Saya menghabiskan sukatan pelajaran mengikut 3.54 1.10 Seder- masa yang ditetapkan hana 9 Saya sentiasa menamatkan sesi pengajaran dengan 3.79 0.89 Tinggi rumusan yang baik KESELURUHAN 3.94 0.37 Tinggi S..P = Sisihan Piawai

Jadual 1.5 di atas menunjukkan bahawa skor min bagi setiap item adalah di antara 3.54 (S.P=1.10) hingga 4.44 (S.P=0.61) iaitu kesemuanya berada pada tahap tinggi kecuali item guru menghabiskan sukatan pelajaran mengikut masa yang ditetapkan berada pada tahap skor min sederhana iaitu skor min 3.54 (S.P=1.10). Skor min tertinggi ialah bagi item guru sentiasa memberi peluang pelajar bersoal jawab jika ada masalah iaitu 4.44 (S.P=0.61). Walau bagaimanapun skor min secara keseluruhannya berada pada tahap tinggi iaitu skor min 3.94 (S.P=0.37). Ini menunjukkan proses pengajaran dan pembelajaran Pendidikan Islam berada pada tahap berkesan.

8.2 Sejauh manakah penggunaan Bahan Bantu Mengajar (BBM) dilaksanakan dengan berkesan? Bahagian ini mengandungi 6 item soalan yang berkaitan dengan dimensi penggunaan BBM dalam proses pengajaran dan pembelajaran Pendidikan Islam. Jadual 1.6 di bawah menunjukkan persepsi Guru Pendidikan Islam terhadap penggunaan BBM tersebut:

366 Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, Akhyar Zaim Bin Azizi Penilaian Kurikulum Berasaskan Model CIPP

Jadual 1.6 Skor Min dan sisihan piawai bagi penggunaan Bahan Bantu Mengajar (BBM) Bil Penggunaan Bahan Bantu Mengajar (BBM) Min S.P Tahap 1 Penggunaan BBM menambahkan minat pelajar saya 4.09 0.97 Tinggi 2 Penggunaan BBM adalah penting dalam proses P & 4.06 0.92 Tinggi P seseorang guru 3 Penggunaan BBM dapat mencetuskan suasana bela- 4.23 1.03 Tinggi jar dengan lebih ceria 4 Interaksi pelajar dengan guru lebih berkesan meng- 3.84 1.01 Tinggi gunakan BBM 5 Saya menggunakan BBM terkini dan sesuai keperlu- 2.41 1.24 Sederhana an pelajar 6 Saya sentiasa menggunakan BBM dalam pengajaran 2.44 0.91 Sederhana Pendidikan Islam KESELURUHAN 3.51 0.32 Sederha- na S.P = Sisihan Piawai

Jadual 1.6 di atas menunjukkan bahawa skor min bagi setiap item berada pada tahap sederhana bagi 2 item dan tahap tinggi bagi 4 item. Perbandingan skor min di antara 6 item menunjukkan bahawa skor min tertinggi adalah bagi item penggunaan BBM dapat mencetuskan suasana belajar dengan lebih ceria, item penggunaan BBM menambahkan minat pelajar, item penggunaan BBM adalah penting dalam proses pengajaran dan pembelajaran seseorang guru dan item interaksi pelajar dengan guru lebih berkesan menggunakan BBM. Manakala skor min terendah pula bagi item guru menggunakan BBM terkini dan sesuai keperluan pelajar dan item guru sentiasa menggunakan BBM dalam pengajaran Pendidikan Islam. Skor min berada pada tahap di antara 2.41 (S.P=1.24) hingga 4.23 (S.P=1.03). Secara keseluruhannya skor min bagi semua item ialah 3.51 (S.P=0.32) iaitu berada pada tahap sederhana. Ini menunjukkan penggunaan BBM mengajar guru berada pada tahap sederhana.

8.3 Sejauh manakah proses pemantauan KPI Sekolah Menengah dilaksanakan dengan berkesan? Bahagian ini adalah berdasarkan soal selidik GPI mengandungi 10 item soalan yang berkaitan dengan dimensi proses pemantauan pengajaran dan pembelajaran Pendidikan Islam bagi GPI. Hasil analisis proses pemantauan pengajaran dan pembelajaran adalah seperti dalam Jadual 1.7 di bawah.

Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, Akhyar Zaim Bin Azizi 367 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

Jadual 1.7 Skor Min dan sisihan piawai bagi proses pemantauan KPI Bil Pemantauan Kurikulum Pendidikan Islam Min S.P Tahap 1 Sesi P & P saya dicerap sekurang-kurangnya sekali 3.98 0.89 Tinggi bagi setiap penggal/semester 2 Ketua Panitia di sekolah selalu memantau pelaksa- 4.36 0.76 Tinggi naan KPI saya 3 Guru Penolong Kanan sekolah selalu memantau pelak- 4.42 0.58 Tinggi sanaan KPI saya 4 Pengetua sekolah selalu memantau pelaksanaan KPI 3.46 0.97 Sederhana saya 5 Setiap tahun Pegawai dari Pejabat Pelajaran Daerah 4.52 0.65 Tinggi membuat pemantauan Kurikulum Pendidikan Islam 6 Setiap tahun Pegawai dari Sektor Pendidikan Islam Ja- 3.83 0.79 Tinggi batan Pelajaran Negeri membuat pemantauan Kuriku- lum Pendidikan Islam 7 Setiap tahun Pegawai dari Bahagian Pendidikan Islam 3.60 1.06 Sederhana Kementerian Pelajaran Malaysia membuat pemantau- an Kurikulum Pendidikan Islam 8 Jemaah Nazir Negeri membuat pemantauan Kuriku- 3.80 0.90 Tinggi lum Pendidikan Islam jika ada masalah 9 Jemaah Nazir Pusat Kementerian Pelajaran Malaysia 4.10 0.89 Tinggi membuat pemantauan Kurikulum Pendidikan Islam jika ada laporan 10 Pegawai yang mencerap ada membuat perbincangan 4.14 0.75 Tinggi hasil pencerapan KESELURUHAN 4.02 0.27 Tinggi S.P = Sisihan Piawai

Jadual 1.7 di atas menunjukkan bahawa skor min bagi setiap item adalah tinggi kecuali bagi item pengetua sekolah selalu memantau pelaksanaan KPI dan item setiap tahun pegawai dari BPI KPM memabuat pemantauan KPI mendapat skor min paling rendah. Perbandingan skor min di antara 10 item menunjukkan bahawa skor min tertinggi adalah bagi item setiap tahun pegawai dari PPD membuat pemantauan KPI iaitu skor min 4.52 (S.P=0.65) berbanding dengan skor min terendah iaitu item pengetua sekolah selalu memantau pelaksanaan KPI dengan skor min 3.46 (S.P=0.97). Skor min bagi keseluruhan item ialah 4.02 (S.P=0.27) iaitu berada pada tahap tinggi. Ini menunjukkan proses pelaksanaan pemantauan KPI dilaksanakan dengan berkesan.

8.4 Sejauh manakah proses penilaian KPI Sekolah Menengah dilaksanakan dengan berkesan? Kajian dimensi proses juga menyentuh proses penilaian KPI dilaksanakan di sekolah menurut persepsi GPI. Sebanyak 7 item soalan yang berkaitan dengan dimensi proses penilaian ini. Hasil analisis proses penilaian KPI adalah seperti dalam Jadual 1.8 di bawah:

368 Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, Akhyar Zaim Bin Azizi Penilaian Kurikulum Berasaskan Model CIPP

Jadual 1.8 Skor Min dan sisihan piawai bagi proses penilaian KPI Bil Proses Penilaian KPI Min S.P Tahap 1 Saya melakukan Ujian Penilaian (formatif) melibat- 3.80 0.70 Tinggi kan domain kognitif pelajar 2 Saya melakukan Ujian Penilaian (formatif) melibat- 4.29 0.86 Tinggi kan domain afektif pelajar 3 Saya membina soalan ujian berdasarkan sukatan pe- 3.69 0.81 Tinggi lajaran KPI 4 Semua soalan ujian disemak oleh Ketua Panitia dan 4.22 0.92 Tinggi Pentadbir 5 Saya mendedahkan kepada pelajar teknik menjawab 3.96 0.92 Tinggi soalan dengan betul 6 Peperiksaan akhir (Sumatif) melibatkan domain 3.66 0.98 Sederhana kognitif pelajar 7 Peperiksaan akhir (Sumatif) melibatkan domain 4.40 0.60 Tinggi afektif pelajar KESELURUHAN 4.00 0.34 Tinggi S.P = Sisihan Piawai

Jadual 1.8 di atas menunjukkan bahawa skor min bagi setiap item adalah berada pada tahap tinggi kecuali item pepeririksaan akhir melibatkan domain kognitif pelajar berada pada tahap sederhana. Perbandingan skor min di antara 7 item menunjukkan bahawa skor min tertinggi adalah bagi item peperiksaan akhir melibatkan domain afektif pelajar iaitu pada skor min 4.40 (S.P=0.60) berbanding dengan skor min terendah adalah bagi item pepeririksaan akhir melibatkan domain kognitif pelajar berada pada tahap sederhana iaitu pada skor 3.66 (S.P=0.98). Skor min bagi keseluruhan item ialah 4.00 (S.P=0.34) iaitu berada pada tahap tinggi. Ini menunjukkan proses penilaian KPI Sekolah Menengah dilaksanakan dengan berkesan.

8.5 Sejauh manakah hubungan guru dengan pelajar dan kerjasama pihak pentadbir terhadap proses pengajaran dan pembelajaran yang lebih baik?

Hubungan Guru dengan Pelajar Kajian dimensi proses juga melibatkan aspek hubungan guru dengan pelajar berdasarkan soal selidik GPI. Bahagian ini mengandungi 6 item soalan yang berkaitan dengan aspek yang dikaji. Hasil analisis proses penilaian hubungan guru dengan pelajar adalah seperti dalam Jadual 1.9 di bawah:

Jadual 1.9 Skor Min dan sisihan piawai hubungan guru dengan pelajar Bil Hubungan Guru dengan Pelajar Min S.P Tahap 1 Saya sangat prihatin terhadap perkembangan akade- 3.37 1.00 Sederhana mik pelajar saya

Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, Akhyar Zaim Bin Azizi 369 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

2 Saya sedaya upaya membantu pelajar saya dalam 4.57 0.55 Tinggi pembelajaran Pendidikan Islam 3 Saya sentiasa menjaga perasaan pelajar saya 3.81 0.79 Tinggi 4 Saya menggunakan bahasa yang sesuai dengan laras 3.62 1.06 Sederhana bahasa pelajar saya 5 Saya sentiasa mengambil berat keperluan pembelaja- 3.69 0.83 Tinggi ran pelajar saya 6 Saya melakukan interaksi dua hala dengan pelajar 3.31 1.02 Sederhana saya KESELURUHAN 3.80 0.42 Tinggi S.P = Sisihan Piawai

Jadual 1.9 di atas menunjukkan bahawa skor min bagi 3 item berada pada tahap tinggi iaitu item guru sedaya upaya membantu pelajar dalam pembelajaran Pendidikan Islam, item guru menjaga perasaan pelajar dan item guru sentiasa mengambil berat keperluan pembelajaran pelajar manakala 3 item berada pada tahap sederhana iaitu item guru melakukan interaksi dua hala dengan pelajar, item guru sangat prihatin terhadap perkembangan akademik pelajar dan item guru menggunakan bahasa yang sesuai dengan laras bahasa pelajar. Skor min tertinggi adalah bagi item guru sedaya upaya membantu pelajar dalam pembelajaran Pendidikan Islam dengan skor min 4.57 (S.P=0.55) berada pada tahap tinggi manakala skor min terendah adalah item guru melakukan interaksi dua hala dengan pelajar dengan skor min 3.31 (S.P=1.02) berada pada tahap sederhana. Secara keseluruhannya skor min bagi semua item berada pada tahap tinggi iaitu 3.80 (S.P=0.42). Ini menunjukkan hubungan guru dengan pelajar berada pada yang baik.

Kerjasama Guru dengan Pihak Pentadbir Kajian dimensi proses melibatkan kerjasama guru dengan pihak pentadbir dalam pelaksanaan KPI di sekolah menengah berdasarkan soal selidik yang mengandungi 8 item soalan yang merangkumi keseluruhan item. Hasil analisis kerjasama guru dengan pentadbir adalah seperti dalam Jadual 1.10 di bawah.

Jadual 1.10 Skor Min dan sisihan piawai bagi Kerjasama Guru dengan pihak Pentadbir Bil Kerjasama Guru dengan Pihak Pentadbir Min S.P Tahap 1 Sentiasa mendapatkan maklumat terkini tentang Pen- 3.88 1.09 Tinggi didikan Islam dengan pihak pentadbir 2 Sentiasa berpeluang berbincang mengenai keperluan pembelajaran Pendidikan Islam dengan pihak pentad- 3.75 0.68 Tinggi bir 3 Berpandangan pentadbir mengambil berat tentang 2.54 1.19 Sederhana pembelajaran Pendidikan Islam

370 Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, Akhyar Zaim Bin Azizi Penilaian Kurikulum Berasaskan Model CIPP

4 Berpandangan pentadbir mengambil berat tentang 3.58 0.86 Sederhana pelaksanaan KPI 5 Berpendapat pentadbir dapat berkomunikasi dua hala 2.32 1.16 Rendah dengan berkesan 6 Berpendapat pentadbir selalu memberi penghargaan 3.87 0.90 Tinggi apabila guru memberi sumbangan 7 Sentiasa berhubung mesra dengan pihak pentadbir 2.69 1.00 Sederhana 8 Selalu berbincang tentang kemajuan dan pencapaian 2.25 1.08 Rendah Pendidikan Islam KESELURUHAN 3.11 0.50 Sederhana S.P = Sisihan Piawai

Jadual 1.10 di atas menunjukkan bahawa skor min bagi setiap item adalah 3 item berada pada tahap tinggi dan 5 item berada pada tahap sederhana. Perbandingan skor min di antara 8 item menunjukkan bahawa skor min tertinggi adalah bagi item guru sentiasa mendapatkan maklumat terkini tentang Pendidikan Islam dengan pihak pentadbir iaitu pada skor min 3.88 (S.P=1.09) manakala skor terendah adalah bagi item guru selalu berbincang tentang kemajuan dan pencapaian Pendidikan Islam iaitu skor min 2.25 (S.P=1.08) dan item guru berpendapat pentadbir dapat berkomunikasi dua hala dengan berkesan iaitu skor min 2.32 (S.P=1.16) yang masing-masing mendapat nilai skor paling rendah. Bagi 3 item guru berpandangan pentadbir mengambil berat tentang pembelajaran Pendidikan Islam, item guru sentiasa berhubung mesra dengan pihak pentadbir dan item guru berpandangan pentadbir mengambil berat tentang pelaksanaan KPI masing-masing berada pada tahap sederhana. Secara keseluruhannya skor min bagi keseluruhan item adalah 3.11 (S.P=0.50) iaitu berada pada tahap sederhana. Ini menujukkan kerjasama guru dengan pihak pentadbir berada pada tahap sederhana.

8.6 Tidak terdapat perbezaan yang signifikan antara kategori sekolah terhadap proses pengajaran, bahan bantu mengajar, pemantauan, penilaian, hubungan guru dengan pelajar dan hubungan guru dengan pentadbir dari dimensi proses. Ujian MANOVA digunakan kerana ia melibatkan lebih daripada satu pemboleh ubah bersandar dan mengandungi lebih dua kategori data yang bebas antara satu sama lain (Chua, 2011). Sebelum menjalankan ujian MANOVA, beberapa syarat telah dipenuhi iaitu persampelan secara rawak (Field, 2000), saiz sel yang sesuai, taburan normal univariat dan multivariat, ketiadaan data terpencil dan ketiadaan masalah multikolinearan dan singularity (Coakes & Steed, 2001, Hair et al. 2006, Pallant 2005, Tabachnick & Fidell 2001), pemboleh ubah bersandar diukur dalam skala selang atau nisbah dan pemboleh ubah bebas mempunyai sekurang-kurangnya dua kumpulan data bebas (Chua, 2011).

Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, Akhyar Zaim Bin Azizi 371 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

Sebelum analisis MANOVA dilakukan, Ujian Box’s M menggunakan Homogenity of Covarians Matrices telah dijalankan bagi melihat matrik kehomogenan varian-kovarian. Ujian ini adalah prasyarat penting dalam ujian MANOVA (Fatimah, 2009). Jadual 1.11 di bawah menunjukkan hasil ujian Box’s M bagi menentukan matrik kehomogenan varian-kovarian.

Jadual 1.11 Ujian Box’s Equality of Covarianve Matrices(a) Box’s M Nilai F Df1 Df2 Sig.

88.809 4.139 21 326620.967 .000

P< .005

Berdasarkan Jadual 1.11 di atas didapati terdapat perbezaan varian dan kovarian yang signifikan dalam kalangan pemboleh ubah bersandar untuk semua aras pemboleh ubah bebas (F = 4.139, p = 0.000). Ini menunjukkan bahawa data memesong daripada salah satu syarat kesamaan kovarians. Dalam kajian ini, saiz sampel adalah besar dan hampir sama (sampel terbesar / sampel terkecil < 1.5), dengan itu hipotesis di atas boleh diuji menggunakan ujian MANOVA kerana kesilapan jenis 1 (Type 1 error) adalah sangat kecil.

Jadual 1.12 Keputusan Levene’s Test of Equality of Error Variances Input Nilai F D.K 1 D.K 2 Sig. Pengajaran & pembela- .551 1 298 .458 jaran Bahan Bantu Mengajar .978 1 298 .323 Pemantauan 3.366 1 298 .068 Penilaian 4.652 1 298 .032 Hubungan Guru-Pelajar 3.407 1 298 .066 Kerjasama Guru-Pentad- .111 1 298 .739 bir *Sig. pada aras 0.05

Keputusan ujian Levene dalam Jadual 1.12 di atas menunjukkan nilai ujian Levene terhadap keenam pemboleh ubah bersandar yang dikaji. Ujian Levene digunakan untuk menguji sama ada varians bagi pemboleh ubah bersandar merentasi kategori-kategori dalam pemboleh ubah bebas adalah sama. Keputusan ujian menunjukkan bahawa kesemua pemboleh ubah bersandar memperoleh keputusan yang tidak signifikan pada p<.05. (Ujian kesamaan varians ini diperlukan dalam prosedur analisis Stepdown. Oleh sebab analisis data ujian MANOVA ini menggunakan prosedur analisis Enter, maka analisis boleh diteruskan).

372 Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, Akhyar Zaim Bin Azizi Penilaian Kurikulum Berasaskan Model CIPP

Jadual 1.13 Analisis MANOVA bagi perbezaan proses pengajaran, bahan bantu mengajar, pemantauan, penilaian, hubungan guru dengan pelajar dan hubungan guru dengan pentadbir antara kategori bandar dan luar bandar (Multivariate Test)

Nilai Wilk’s Nilai Dk antara Dk dalam Tahap Kategori Lambda (λ) F kumpulan kumpulan sig *

Bandar dan luar bandar .934 3.474(a) 6.000 293.000 .002 *p<.05

Keputusan ujian Multivariate Test Wilk’s Lambda dalam Jadual 1.13 di atas menunjukkan terdapat perbezaan yang signifikan dalam konteks proses pelaksanaan KPI (Wilk’s Lambda = 0.934, F( 6, 293) = 3.474, dan p = 0.002). Berdasarkan dapatan ini, dapat disimpulkan bahawa terdapat perbezaan yang signifikan antara kategori sekolah terhadap proses pengajaran, bahan bantu mengajar, pemantauan, penilaian, hubungan guru dengan pelajar dan hubungan guru dengan pentadbir. Dengan itu, hipotesis ini ditolak, iaitu terdapat perbezaan yang signifikan antara kategori sekolah terhadap proses pengajaran, bahan bantu mengajar, pemantauan, penilaian, hubungan guru dengan pelajar dan hubungan guru dengan pentadbir dari dimensi proses.

Jadual 1.14 Ujian Kesan antara subjek (Tests of Between-Subjects Effects) Pemboleh ubah ber- Type III Sum sandar of Squares df Mean Square Nilai F Sig.

Proses Pengajaran .124 1 .124 .910 .341 Bahan Bantu Mengajar .053 1 .053 .512 .475 Pemantauan .003 1 .003 .044 .833 Penilaian .793 1 .793 6.828 .009 Hubungan guru-pelajar .986 1 .986 5.734 .017 Kerjasama guru-pen- .017 1 .017 .067 .796 tadbir a R Squared = .003 (Adjusted R Squared = .000) b R Squared = .002 (Adjusted R Squared = -.002) c R Squared = .000 (Adjusted R Squared = -.003) d R Squared = .022 (Adjusted R Squared = .019) e R Squared = .019 (Adjusted R Squared = .016)

Keputusan analisis dalam Jadual 1.14 di atas menunjukkan kategori tiada kesan bagi setiap pemboleh ubah bersandar di mana semua pemboleh ubah bersandar menunjukkan aras signifikan p=>.005. Nilai R² di bawah Jadual 1.14 menunjukkan bahawa kategori hanya menyumbangkan sebanyak .022 atau 2.2

Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, Akhyar Zaim Bin Azizi 373 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies peratus perubahan dalam pemboleh ubah bersandar hubungan guru dengan pelajar dan .019 atau 1.9 peratus daripada perubahan dalam pemboleh ubah bersandar hubungan guru dengan pentadbir.

Jadual 1.15 Min Anggaran Marginal (Estimated Marginal Means) Pemboleh ubah Std. Kategori Min 95% Confidence Interval Bersandar Error Upper Lower Bound Bound Proses pengajaran Bandar 3.970 .030 3.910 4.029 Luar Bandar 3.929 .030 3.869 3.988 Bahan bantu mengajar Bandar 3.502 .026 3.450 3.554 Luar Bandar 3.529 .026 3.477 3.581 Pemantauan Bandar 4.021 .022 3.977 4.065 Luar Bandar 4.027 .022 3.983 4.071 Penilaian Bandar 4.056 .028 4.001 4.111 Luar Bandar 3.953 .028 3.899 4.008 Hubungan guru-pe- Bandar 3.861 .034 3.795 3.928 lajar Luar Bandar 3.747 .034 3.680 3.813 Kerjasama guru-pen- Bandar 3.108 .041 3.027 3.188 tadbir Luar Bandar 3.123 .041 3.042 3.203

4.2

4.0

3.8

PNP 3.6 BBM

3.4 MANTAU

NILA I 3.2 HUP

3.0 HUBPEN Mean Bandar Luar Bandar

Kategori

Rajah 2: Graf Min antara kategori bandar dan luar bandar terhadap proses pengajaran, bahan bantu mengajar, pemantauan, penilaian, hubungan guru dengan pelajar dan hubungan guru dengan pentadbir

374 Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, Akhyar Zaim Bin Azizi Penilaian Kurikulum Berasaskan Model CIPP

Jadual 1.15 menunjukkan nilai min bagi kategori bandar dan luar bandar merentasi setiap pemboleh ubah bersandar. Dengan merujuk Jadual 1.15 di atas, didapati bahawa proses pengajaran, bahan bantu mengajar, pemantauan dan hubungan guru dengan pentadbir bagi kategori bandar dan luar bandar menunjukkan hampir sama iaitu min proses pengajaran bandar: 3.97 dan min luar bandar: 3.93, min bahan bantu mengajar bandar: 3.50 dan min luar bandar: 3.53, min pemantauan bandar: 4.02 dan min luar bandar: 4.02 dan min hubungan guru dengan pentadbir bandar: 3.11 dan min luar bandar: 3.12. Walau bagaimanapun, bagi min penilaian pula kategori bandar mengatasi min luar bandar iaitu bandar: 4.06 dan min luar bandar: 3.95 dan min bagi hubungan guru dengan pelajar bandar: 3.86 dan min luar bandar: 3.75. Perbezaan ini jelas ditunjukkan oleh bentuk graf garisan dalam Rajah 2 di atas.

9. Kesimpulan

Secara keseluruhannya, kajian ini menunjukkan dimensi proses pelaksanaan pengajaran dan pembelajaran GPI, proses pemantauan, penilaian dan peperiksaan serta hubungan guru dengan pelajar berada pada tahap tinggi. Penggunaan bahan bantu mengajar berada pada tahap sederhana kerana guru kurang mahir dari segi penggunaan bahan ini terutama penggunaan yang elektronik dan teknologi. Guru juga sibuk dengan tugasan sampingan lain menyebabkan mereka tiada masa dan kekangan untuk menyediakan bahan bantu mengajar dengan baik. Hubungan guru dengan pentadbir juga pada tahap sederhana kerana mereka kurang berinteraksi serta berkomunikasi dengan pentadbir. Kebanyakan guru kurang selesa dengan pentadbir kerana ada dalam kalangan pentadbir kurang memberi penghargaan apabila guru memberikan sumbangan kepada sekolah. Pentadbir juga kurang mengambil berat tentang keperluan pembelajaran dan berbincang tentang kemajuan dan pencapaian mata pelajaran Pendidikan Islam. KPM amat mengharapkan guru- guru Pendidikan Islam bersedia dan dapat melaksanakan proses pengajaran dan pembelajaran berasaskan KPI yang ditetapkan bagi mencapai hasrat Falsafah Pendidikan Kebangsaan dan Falsafah Pendidikan Islam. Justeru, aspek pendekatan, pengetahuan, amalan dan gaya pengajaran GPI perlu disesuaikan dengan perkembangan kurikulum semasa dan terkini. Kaedah pengajaran yang digunakan oleh guru dalam proses pengajaran dan pembelajaran mempunyai kesan besar kepada pembentukan diri pelajar (Abdul Halim, 2012).

Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, Akhyar Zaim Bin Azizi 375 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

Rujukan

Abdul Halim Tamuri. (2012). Keberkesanan Pendidikan Islam dalam pendidikan kebangsaan. Kertas kerja dibentangkan dalam Seminar Kebangsaan Pendidikan Islam dalam Pendidikan Kebangsaan pada 19 April 2012 di Puri Pujangga, UKM, Bangi. Abdul Rafie Mahat (2002). Kurikulum Bersepadu Sekolah Menengah, Sukatan Pelajaran Pendidikan Islam., Bahagian Pendidikan Islam dan Moral, Jabatan Pendidikan Islam dan Moral, Kementerian Pendidikan Malaysia. Ahmad Mohd Salleh (2008). Pendidikan Islam, falsafah, pedagogi dan metodologi. Selangor: Fajar Bakti Sdn. Bhd. Alma Harris (1996). Raising levels of pupils achievement through school improvement: support for learning. British Journal of Learning Support 11(2): 15-19. Azizah Lebai Nordin (2003). Penilaian dalam Pendidikan Islam. Jurnal Seminar Penyelidikan Jangka Pendek. (Vot F), 11 dan 12 Mac 2003. Azizi Jaafar. (2015). Penilaian Pelaksanaan Kurikulum Pendidikan Islam Sekolah Menengah Berasaskan Model Context Input Process Product. Tesis PhD. Universiti Utara Malaysia. Chua Yan Piaw (2011). Kaedah penyelidikan, buku 1 edisi kedua. Kuala Lumpur: McGraw-Hill (Malaysia) Sdn. Bhd. Choong Lean Keow (2008). Falsafah Pendidikan di Malaysia: Siri Pendidikan Perguruan. Selangor: U.G.Press Sdn. Bhd. Coakes, S. J. & Steed, L. G. (2001). SPSS: Analysis Without Anguish: Version 10.0 for Windows. Brisbane: John Wiley & Sons Australia Ltd. Fatimah Tambi (2009). Penilaian pelaksanaan program Pemulihan Khas di sekolah- sekolah rendah di negeri Selangor daripada perspektif guru besar dan guru Pemulihan Khas. Tesis Ph.D. Universiti Kebangsaan Malaysia. (Tidak Diterbitkan). Field, A. (2000). Discovering Statistics Using SPSS for Windows. London: SAGE Publications. Hair, J.E., Anderson, R.E. Tatham, R.L. & Black, W.C.(2006). Multivariate Data Analysis. Ed. Ke-5. Upper Saddle River: Prentice Hall. Jawiah Dakir (2012). Pendidikan Islam dan tahap penghayatan akhlak pelajar di sekolah sekolah menengah di Malaysia. Kertas kerja dibentangkan dalam Seminar Kebangsaan Pendidikan Islam dalam Pendidikan Kebangsaan pada 19 April 2012 di Puri Pujangga, UKM, Bangi. Kementerian Pendidikan Malaysia (1997). Sukatan Pelajaran sekolah menengah pendidikan Islam Tingkatan 1-V. Kuala Lumpur: Kementerian Pendidikan Malaysia. Kementerian Pendidikan Malaysia (1999). Dasar Pendidikan Kebangsaan. Kuala

376 Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, Akhyar Zaim Bin Azizi Penilaian Kurikulum Berasaskan Model CIPP

Lumpur: Kementerian Pendidikan Malaysia. Kementerian Pendidikan Malaysia (2002). Sukatan Pelajaran Pendidikan Islam Kurikulum Bersepadu Sekolah Menengah. Bahagian Kurikulum Pendidikan Islam dan Moral Jabatan Pendidikan Islam dan Moral: Kementerian Pendidikan Malaysia. Kementerian Pelajaran Malaysia (2012). Pelan Strategik Interim KPM 2011-2020. Kuala Lumpur: Kementerian Pelajaran Malaysia. Krejcie, R.V. & Morgan, D.W. (1975). Determining Sample Size fo Research Activities. Educational and Psychological Measurement 30 (3): 607-610. Mohd Aderi Che Noh (2004). Celik al-Quran di kalangan pelajar tingkatan satu zon Pudu Kuala Lumpur, Projek Penyelidikan. Universiti Kebangsaan Malaysia. (Tidak Diterbitkan). Noraini Hashim (2005). Keruntuhan akhlak dan pembangunan remaja masa kini cabaran Pendidikan Islam di Malaysia. Prosiding Wacana Pendidikan Islam (Siri 5). Hlm 26-27. Bangi: Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia. Pallant, J. (2005). SPSS Survival Manual. Philadelphia: Open University Press. Pusat Perkembangan Kurikulum (2001). Penilaian kendalian sekolah. Kuala Lumpur: Kementerian Pendidikan Malaysia. Rudzi Munap (2003). Penilaian program Diploma Kesetiausahaan eksekutif di Universiti Teknologi Mara. Tesis Ijazah Doktor Falsafah Fakulti Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia. (Tidak Diterbitkan).Stufflebeam, D.L. (2003). The CIPP Model for program evaluation. Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing. Syahrul Riza (2008). Konsep Pendidikan Islam menurut Ibn Khaldun: Satu kajian terhadap elemen-elemen kemasyarakatan Islam. Tesis Ijazah Sarjana Sastera, Universiti Sains Malaysia: Pulau Pinang. (Tidak Diterbitkan). Syed Ismail Syed Mustafa (2011). Pengantar Pendidikan. Selangor: Penerbitan Multimedia Sdn. Bhd. Tabachnick, B. G. & Fidell, L. S. (2001). Using Multivariate Statistics. Edisi ke-4. Boston: Allyn and Bacon. Zakaria Stapa (2012). Keberkesanan Pendidikan Islam dalam pendidikan kebangsaan. Kertas kerja dibentangkan dalam Seminar Kebangsaan Pendidikan Islam dalam Pendidikan Kebangsaan pada 19 April 2012 di Puri Pujangga, UKM, Bangi.

Azizi bin Jaafar, PhD., Tuan Majdiah Bt Tuan Ismail, Akhyar Zaim Bin Azizi 377

TIPE-TIPE KESALAHAN KONKORDANSI GRAMATIKAL PADA KLAUSA BAHASA ARAB

Supardi Program Studi Bahasa dan Sastra Arab IAIN Salatiga [email protected]

Abstrak

This applied linguistic study examines grammatical concord errors in the Arabic clause with a case study on the Arabic language of IAIN Salatiga’s students. The qualitative approach is used to identify the types of errors. Sources of data in this study are arabic thesis proposal, Indonesian-Arabic translation, Arabic-free composition. The analytical method used is error analysis. This study found that on the clause domain, based on the predicate stuffing, concord errors occur in noun, adjective, and verb predicates. There are 15 types of errors in clause domain, those are: subject- predicate, predicate-Subject, adverbial clauses with al-hal, and clause with the pronoun antecedent. Clause subject predicate with three kinds, namely predicate nouns, adjectives, and verbs. Errors found in categories: gender, number, definiteness, and person

SILiN 2017; Seminar Internasional Pertama Literature Nusantara 379 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

Pendahuluan

esalahan konordansi ini merupakan salah satu bentuk kesalahan Kberbahasa Arab yang sering terjadi. Isma’il (2005: 150) menempatkan masalah mut$baqah ‘konkordansi’ ini sebagai kesulitan gramatikal bagi pem­ belajar bahasa Arab. Penelitian Sa’adah (2005) menunjukkan bahwa kesalahan ber­bahasa Arab dalam konkordansi ini mencapai 293 kasus dari 2930 butir ke­salahan bahasa Arab mahasiswa, sementara Zaini (2011: 5-7) menemukan kasus-kasus kesalahan dalam konkordansi Subyek dan Predikat. Ubaidilah juga menemukan kesalahan konkordansi dalam frase bahasa Arab (Ubaidilah, 2009: 18-25). Belum terdapat penelitian tentang apakah sajakah tipe-tipe kesalahan konkordansi gramatikal sintaksis pada frase bahasa Arab, maka penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi tipe-tipe kesalahan konkordansi bahasa Arab dengan studi kasus pada bahasa Arab tulis mahasiswa IAIN Salatiga.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Sumber data diperoleh dari tulisan-tulisan mahasiswa yang berupa terjemahan Indonesia-Arab (TIA), proposal skripsi berbahasa Arab (PSBA), dan karangan bebas berbahasa Arab (KBA) mahasiswa IAIN Salatiga tahun 2013 dan 2014. Metode pengumpulan datanya adalah dengan metode simak teknik catat. Adapun metode analisisnya adalah analisis kesalahan, error analysis. Kesalahan- kesalahan konkordansi dalam artikel ini dibatasi pada domain klausa. Adapun klasifikasi tipe–tipe kesalahan konkordansi didasarkan pada unsur pengisi fungsi predikat yaitu nomina, adjektiva, dan verba dan kategori gramatikal konkordansinya.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Konkordansi Konkordansi adalah salah satu sistem kebahasaan yang menuntut adanya kesesuaian antara satu elemen dengan elemen lain dalam sebuah struktur bahasa. Dalam bahasa Inggris ada tiga istilah yang digunakan yaitu concord”, congruence, dan agreement (Bloomfield, 1933: 191). Konkordansi merupakan sinonim dari kongruensi, kesesuaian (Kridalaksana, 2001: 106 & 117). Secara terminologi, Quick, dkk, mendefinisikan ‘concord’ sebagaithe “ relationship between two gramatical elements such that if one of them contains a particular feature (e.g. plurality) then the other also has to have that feature”, (1972:312), sementara Kridalaksana mendefinisikan kesesuaian antara berbagai unsur dalam satu infleksi; ketergantungan sintaksis antara dua kata atau lebih yang menyangkut kasus, gender, jumlah dan persona (2001: 116).

380 Supardi T ipe-T ipe Kesalahan Konkordansi Gramatikal pada Klausa Bahasa Arab

Dari definisi konkordansi tersebut dapat ditarik beberapa intisari dari konkordansi yaitu: (a) adanya kesesuaian, (b) adanya hubungan sintaksis, c) adanya kategori gramatikal tertentu pada kesesuaian tersebut. Lebih lanjut, Corbett (2003: 110) merumuskan elemen-elemen dari konkordansi atau agreement, melalui gambar berikut ini:

Bagan ElemenBagan-Elemen Elemen-Elemen Konkordansi Konkordansi     

               Dari diagram tersebut dapat dijelaskan bahwa elemen-elemen dari kon­ kor­dansi adalah a) controller “pengontrol” yaitu elemen yang menentukan konkordansi, dalam contoh di atas adalah subyek frase nomina ‘the system’; b) target ‘target’ elemen yang bentuknya ditentukan konkordansinya oleh pe­ngon­ trol, dalam hal ini adalah predikat verba ‘works’; c) domain ‘domain’ adalah lingkungan sintaksis ‘the syntactic environment’ tempat terjadinya kon­kordansi, dalam contoh di atas adalah klausa; d) feature atau category ‘kategori’ adalah aspek apa konkordansi tersebut terjadi, dalam hal ini adalah number ‘jumlah’, e) value ‘nilai’ dalam hal ini adalah macam jumlah yang terjadi konkordansi adalah singular ‘tunggal’. Gramatikal berasal dari bahasa Inggris grammatical (Thatcher, ed. t.t.:375) yang berarti ‘according to the rules of grammar’, sesuai aturan-aturan gramatika (Thatcher,t.t.:376). Gramatikal diartikan sebagai (1) diterima oleh bahasawan sebagai bentuk atau susunan yang mungkin ada dalam bahasa atau (2) sesuai dengan kaidah-kaidah suatu bahasa (Ensiklopedi Kebahasaan Indonesia, 2013: 486). Sebuah frase, klausa, atau kalimat disebut gramatikal apabila mengikuti aturan-aturan gramatika (Richard & Schmidt, 2002: 231). Dari tesis tersebut, maka frase, klausa, atau kalimat yang tidak sesuai dengan aturan-aturan gramatika dapat disebut ungrammatical, tidak gramatikal, ketidakterimaan secara gramatikal atau salah secara gramatika. Salah satu aturan gramatika adalah konkordansi. Gramatika bahasa bahasa tertentu menuntut adanya konkordansi antara unsur-unsur dalam sebuah frase, klausa, dan atau kalimat. Apabila tidak terjadi kesesuaian antara unsur-unsur

Supardi 381 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies tersebut maka frase, klausa atau kalimat tersebut disebut tidak berterima secara gramatikal atau tidak gramatikal atau salah secara gramatikal. Misalnya (Quick, et all. 1972: 359):

033 The window is open Def. ‘Jendela’ S.N.Tgl. ‘tobe’ Tgl. Jendela itu terbuka

034 The windows are open Def. Jendela-jendelaS.N.Jmk. ‘to be’ Jmk. Jendela-jendela itu terbuka 035 *The window are open Def. ‘Jendela’S.N. Tgl. ‘to be’ Jmk. ‘membuka’ Jendela itu terbuka

036 * The windows is open Def. ‘Jendela-jendela’S.N. Jmk. ‘to be’ Tgl. Membuka. V. Jendela-jendela itu terbuka

Empat contoh kalimat di atas menunjukkan tentang adanya konkordansi. Pada contoh (033) terdapat kongruensi anatara Subyek window dengan tobe is dalam hal jumlah, begitu pula pada contoh (034) terdapat kongruensi the windows jamak dengan predikat to be ’are’ dalam hal jumlah jamak; sedangkan pada contoh (035) dan (036), kedua kalimat tersebut tidak gramatikal, karena tidak ada kongruensi anatara nomina dengan verba to be nya. Dari defini gramatikal dan contoh-contoh kalimat tersebut maka penulis merumuskan kesalahan gramatikal konkordansi sebagai ketidaksesuaian antara unsur-unsur dari suatu frase, klausa, atau kalimat dalam sebuah relasi gramatikal dalam satu atau lebih dari kategori gramatika yang meliputi gender, jumlah, persona, ketakrifan dan atau kasus. Dengan kata lain, kesalahan konkordansi ini dalam bahasa Arab disebut dengan istilah `adami al-muthabaqah (Zahran, 2008: 108).

Kesalahan Konkordansi Bahasa Arab pada Domain Klausa

Kesalahan konkordansi pada domain klausa dikelompokkan berdasarkan unsur pengisi fungsi predikat yaitu predikat nomina, predika adjektiva, dan predikat verba. Di samping itu, mengingat urutan kata dalam bA memungkinkan predikat verba didahulukan maka juga akan dilihat kesalahan pada konkordansi verba –nomina pada jumlah fi’liyah atau kalimat verba bahasa Arab yang urutan verbanya di depan. Lebih lanjut juga dibahas disini kesalahan konkordansi pada adverbia al-hal.

382 Supardi T ipe-T ipe Kesalahan Konkordansi Gramatikal pada Klausa Bahasa Arab

1. Konkordansi Subyek –Predikat (S-P) 1.1. Kesalahan Konkordansi Subyek-Predikat Nomina Kesalahan Subyek Predikat nomina hanya ditemukan pada kategori jumlah.

1.1.1. Tipe kesalahan konkordansi Subyek Tunggal-Predikat Jamak

No Kesalahan Kategori S.N Sing .P. N النسان مسؤلون* 035a al- insān mas’ūlūn Plural al-Takrif ‘itu’ ‘manusia’ S.N. Mas.Tgl ‘bertanggung jawab’ P. N. Mas. Jmk. Manusia itu bertanggungjawab Seharusnya: 035b S.N Sing .P. N فالنسان مسؤل al- insān mas’ūl Sing al-Takrif ‘itu’ ‘ manusia’ S.N. Mas.Tgl ‘bertanggung jawab’ P. N. Mas. Tgl. Manusia itu bertanggungjawab

Data (035a) ‘ ‘ manusia itu bertanggung jawab’ diatas terdiri dari /al-’insān-u/ sebagai Mubtada’ atau subyek dan /mas’ulūna/ sebagai khabar atau predikat. Dalam bahasa Arab, antara Mubtada’ dan khabar harus terdapat konkordansi dalam kategori gender dan jumlah. Data di atas menunjukkan tidak adanya konkordansi antara Mubtada’ dan Khabar dalam kategori jumlah. sebagai Mubtada’ dalam kalimat tersebut berkategori jumlah tunggal, sedangkan predikat berkategori jumlah jamak dengan pemarkah –ūna/ wawu jamak. Agar klausa tersebut menjadi benar secara gramatika dalam konkordansinya maka kata harus diubah menjadi bentuk kategori tunggal yaitu dengan menghilangkan –ūna menjadi sehingga secara lengkap klausa tersebut menjadi /fal ‘insānu mas’ulun/ (035b).

1.1.2. Tipe kesalahan Konkordansi Subyek Jamak - Predikat Tunggal

No Kesalahan Kategori 036a S.N.Mas.Jmk P.N.Mas. Tgl الطلب راغب* al- t}ullābu rāghib-un al- Def. ‘mahasiswa’S.N.Mas.Jmk. ‘senang’ P.N.Mas. Tgl. Mahasiswa-mahasiswa itu senang Seharusnya:

Supardi 383 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

036b S.N.Mas. .Jmk الطلب راغبون al- t}ullāb rāghib-ūna P.N.Mas. Tgl al- Def. ‘mahasiswa’S.N.Mas.Jmk. ‘senang’ P.N.Mas. Tgl. Mahasiswa-mahasiswa itu senang

Data (036a) “ ” /al- t}ullāba rāghib fī dars al-lughati/” menunjukkan bahwa antara Mubtada’ subyek [al- t}ullāba] dengan khabar ‘predikat’ rāghibun tidak terdapat konkordansi dalam kategori jumlah, karena subyek berjumlah jamak, sedangkan predikat merupakan nomina tunggal. Dengan demikian predikat yang tepat untuk subyek tersebut adalah , [ragib-ūna] sehingga kalimat tersebut menjadi: ‘ ’ al- t}ullāb rāghib-ūna fī dars al-lughati/ ‘mahasiswa-mahasiswa menyukai pelajaran bahasa Arab’. Lihat pembetulan no (036b).

1.1.3. Tipe Subyek P2ronomina Jamak –Predikat Nomina Tunggal

No Kesalahan Kategori (037a) S.Pron. Jmk P N. Tgl حنن طالب* Nah}nu t}ālib ‘kami’ S.Pron. Jmk. ‘mahasiswa’ P N. Tgl. Kami mahasiswa Seharusnya: 037b S.Pron. Jmk P N. Jmk حنن طلب Nahnu t}ullāb ‘kami’ S.Pron. Jmk. ‘mahasiswa’ P N. Jmk. Kami mahasiswa

Data (037a) “ ” [nah}nu t}ālibun] ‘kami seorang siswa’ terdiri dari dua kata yaitu pronomina ‘ ’ nah}nu ‘kami’ sebagai Mubtada’ ‘subyek’ dan nomina ‘ ’ mahasiswa sebagai khabar atau predikat, tetapi antara subyek dan predikat pada kalimat tersebut tidak terdapat konkordansi karena subyek merupakan pronomina berkategori jumlah jamak, sedangkat predikat merupakan nomina berkategori jumlah tunggal. Dengan demikian, tidak terdapat konkordansi antara keduanya atau salah secara gramatikal. Adapun predikat yang tepat untuk subyek ‘kami’ adalah /t}ullb/ ‘mahasiswa-mahasiswa’, sehingga kalimat tersebut menjadi /nah}nu t}ullb/ ‘kami adalah mahasiswa-mahasiswa” (037b).

1.2. Kesalahan Konkordansi Subyek - Predikat Adjektiva Kesalahan konkordansi juga ditemukan pada struktur Subyek –Predikat yang terdiri dari Subyek nomina atau pronomina dan predikat adjektiva yang meliputi: a) subyek nomina /pronominal maskulin predikat adjektiva feminin

384 Supardi T ipe-T ipe Kesalahan Konkordansi Gramatikal pada Klausa Bahasa Arab dan b) subyek nomina feminin dan predikat adjektiva maskulin dan subyek nomina maskulin dan adjektiva; c) subyek nomina/pronoimina dual predikat adjektiva tunggal.

2.1. Kategori Gender 2.1.1.Tipe kesalahan Subyek nomina maskulin dan Predikat adjektiva feminin

No Kesalahan Kategori 038a S.N.Mas أثر تطبيق املنهج الستنباطى كبرية* ‘Aśaru tat}b+qi al-manhaj 385pengaruh S.N.Mas.Tgl. ‘pen- P.Adj. erapan’N. pwt. ‘metode’ : N. Pwt. Fem

al-’ist}inbt+y kab+r-atun. ‘Intisi’: N.Pwt ‘besar’: P.Adj. Fem.Tgl. Pengaruh penerapan metode Intisi itu besar Seharusnya: 038b S.N.Mas أثر تطبيق املنهج الستنباطى كبري ‘Aśaru tat}b+qi al-manhaj 385pengaruh S.N.Mas.Tgl. ‘pen- P.Adj. erapan’N. pwt. ‘metode’ : N. Pwt. Mas

al-’ist}inbt+y kab+r-un. ‘Intisi’: N.Pwt ‘besar’: P.Adj. Mas.Tgl. Pengaruh penerapan metode Intisi itu besar

Sampel data (038a) di atas menunjukkan kesalahan konkordansi Subyek nomina dan Predikat adjektiva dalam kategori gender. Subyek nomina ‘Aśaru pada klausa diatas berkategori gender maskulin jumlah tunggal, sedangkan predikat adjektiva kabīr-atun berkategori gender feminin, sehingga tidak terdapat konkordansi gender pada kedua unsur pengisi fungsi subyek dan predikat pada klausa tersebut.Jadi klausa tersebut salah secara gramatikal, adjektiva yang tepat untuk klausa tersebut adalah kabīr-un (038b).

2.1.2. Tipe kesalahan subyek nomina feminin dan predikat adjektiva maskulin

No Kesalahan Kategori 039a ... اللغة العربية سهل* ‘al- lugata ‘al-‘arabiya-ta sahlun Al-takrif. ‘bahasa Arab’S. N. Fem ‘mudah’ P. Adj. Mas. Bahasa Arab itu mudah

Seharusnya:

Supardi 385 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

No Kesalahan Kategori 039b .. اللغة العربية سهلة ‘al-lugata ‘al-‘arabiya-ta sahlatun Al-takrif. ‘bahasa Arab’S. N. Fem ‘mudah’ P. Adj. Fem. Bahasa Arab itu mudah

Data 039a di atas menunjukkan tidak adanya konkordansi antara subyek nomina dengan predikat adjektiva dalam kategori gender. Subyek nomina ‘al- lugata ‘al-‘arabiya-ta ‘bahasa Arab’ menunjukkan kategori gender feminin dengan pemarkah ta’ marbuthah, sedangkan adjektiva sahlun ‘mudah’ berketegori gender maskulin, sehingga tidak sesuai antara subyek dengan predikat. Adjektiva yang tepat seharusnya berkategori gender feminin yaitu sahlatun (039b).

2.1.3. Kategori Jumlah Tipe Kesalahan Subyek Pronomina dual –Predikat adjektiva Tunggal No Kesalahan Kategori 041a Pron. Dual Adj. sing مها مهمة Humā muhimmat-un ‘mereka(2)’ Pron. Dual. ‘penting’: Adj. Tgl.. Mereka penting Seharusnya: 041b Pron. Dual Adj مها مهمتان Humā muhimmat-āni Dual ‘mereka(2)’. S.Pron. Dual. ‘penting’ P.Adj. Dual. Mereka penting

Data 041 di atas menunjukkan adanya kesalahan konkordansi antara subyek pronomina Humā yang berkategori jumlah dual dengan Predikat Adjektiva muhimmat-un yang berkategori jumlah tunggal. Klausa yang seharusnya adalah kedua unsur subyek dan predikat tersebut harus kongruen dalam kategori jumlah yaitu Humā muhimmat-āni (041b).

2.1.4. Kesalahan konkordansi Subyek– Predikat Verba Kesalahan konkordansi juga terdapat pada klausa yang bersubyek nomina dan ber-predikat kata kerja, berikut ini beberapa data:

386 Supardi T ipe-T ipe Kesalahan Konkordansi Gramatikal pada Klausa Bahasa Arab

2.1.4.1. Kategori Gender 2.1.4.2. Tipe Subyek Nomina Feminin- Predikat Verba Maskulin NO Kesalahan Kategori 042a S.N. Fem دراجيت قد سرق* P.V. Mas Darājat ī qad suriqa ‘sepeda’: S.N. Fem. ‘-ku’ Pron. ‘benar’.part. ‘dicuri’: P.V. Mas sepedaku benar-benar dicuri

Seharusnya: 042b S: N Fem P: V Fem دراجيت قد سرقت Darājat ī qad suriqat ‘sepeda’: S.N. Fem. ‘-ku’ Pron. ‘benar’.part. ‘dicuri’: P.V. Fem sepedaku benar-benar dicuri

Kategori yang sama terjadi pada data 042a. Data 042a ‘ ’ ini menunjukkan bahwa predikat verba pasif ‘ ’ tidak kongruen dengan subyeknya ‘ ’ dalam kategori gender. Subyek al-darajatī tersebut berkategori gender feminin ‘mu’annaś’, sedangkan predikat verba suriqa ‘dicuri’ tersebut bergender maskulin ‘mużakkar’. Seharusnya verba tersebut diberikan pemarkah gender feminin tunggal yaitu tā’ ta’nits sākinah, maka verba tersebut seharusnya suriqat, sehingga klausa tersebut seharusnya / anna darājatī qad suriqat/ ‘sungguh sepedaku telah dicuri’ (042b). Kesalahan yang sama terdapat dalam data berikut ini.

4.2.1.3.1.2. Tipe Subyek Nomina Maskuin-Predikat Verba Feminin

Kesalahan Kategori NO 043a S.P.N Mas العامل حتتاج ...* Al- ‘āmil-u tah$tju… P.V.Fem Al-takrif ‘pekerja’ S.N.Def. Tgl Mas.‘membutuhkan’: P.V. Fem. Pekerja itu membutuhkan Seharusnya: 043b S.P.N Mas العامل حيتاج Al- ‘āmil-u yah$tju… P.V.Mas Al-takrif ‘pekerja’ S.N.Def. Tgl Mas.‘membutuhkan’: P.V. Mas Pekerja itu membutuhkan

Supardi 387 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

Sampel data (043a) di atas menunjukkan adanya kesalahan konkordansi subyek predikat dengan subyek nomina dan predikat verba dalam kategori gender. Pada data tersebut, subyek nomina Al-‘āmil-u merupakan subyek nomina dengan ketakrifan takrif, jumlah tunggal, dan gender maskulin, sementara predikat verba tah}tju ‘membutuhkan’ merupakan verba kategori gender feminin sehingga tidak terdapat konkordansi antara subyek dan predikat. Predikat verba seharusnya adalah yah}tju ‘membutuhkan’ yang merupakan verba berkategori gender maskulin dengan pemarkah ya diawal kata kerja.

4.2.1.3.2. Kategori Jumlah 4.2.1.3.2.1. Tipe Subyek Nomina Jamak- Predikat Verba Tunggal

No Kesalahan Kategori 044a الطلب حيتج الوقت* al-t}ullb yahtaju alTakrif.‘Mahasiswa’ S.N.Jmk. ‘membutuhkan’:P.V.Tgl.

al- waqta al-takrif .‘waktu’ .O.N.

Mahasiswa–mahasiswa itu membutuhan waktu Seharusnya: 044b والطلب حيتاجون إىل الوقت al-t}ullb yahtjkna ‘il al-takrif, ‘Mahasiswa’ S.N.Def. Jmk. ‘membutuhkan’:P.V.Jmk.

al- waqta al-Takrif. ‘waktu’ .O.N.

Mahasiswa–mahasiswa itu membutuhan waktu

Data (044a) “ ” tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat konkordansi antara Subyek [al-t}ullb] ‘para mahasiswa’ yang berkategori gender maskulin berkategori jumlah jamak dengan predikat verba [yah$taju] ‘membutuhkan’ yang merupakan verba berkategori gender maskulin jumlah tunggal. Seharusnya predikat verba tersebut berkategori jumlah jamak agar terjadi konkordansi dengan subyeknya. Dengan demikian, predikat tersebut mestinya “ ”,[yah}taj-kna] dengan menambahkan sufiks –ūna sebagai pemarkah jamak nominatif sehingga kalimat tersebut selangkapnya menjadi “ ” Wa al-t}ullāb yahtājūna ilā al-waqt (044b).

4.2.1.3.2.2. Tipe Subyek Nomina Tunggal Predikat Verba Jamak Berikut ini merupakan sampel data kesalahan tipe subyek nomina tunggal predikat verba jamak

388 Supardi T ipe-T ipe Kesalahan Konkordansi Gramatikal pada Klausa Bahasa Arab

No Kesalahan Kategori 046a S N. Mas Tgl الطالب حيفظون* Al- t}libu yah}faz}-kna P V Mas Jmk Al-takrif‘mahasiswa’:S.N.Mas.Tgl.‘menghapal’P.V. Mas. Jmk Mahasiswa itu menghapal Seharusnya: 046b S N. Mas Tgl الطالب حيفظ Al- t}libu yah}faz}-u P V Mas Tgl. Al-takrif‘mahasiswa’:S.N.Mas.Tgl.‘menghapal’P.V. Mas. Tgl. Mahasiswa itu menghapal

Data (046a) tersebut menunjukkan adanya kesalahan konkordansi subyek nomina dengan predikat verba dalam kaegori jumlah. Subyek nomina Al-t$libu ‘mahasiswa’ merupakan nomina berkategori jumlah tunggal maskulin, sedangkan verba yah}faz}-kna ‘menghapal’ merupakan verba berkategori jumlah jamak dengan pemarkah waw jama‘-ūna. Dengan demikian tidak terdapat konkordansi di­antara subyek nomina dan predikat verba tersebut. Verba seharusnya pada klausa tersebut adalah yah}faz}-u yang berkategori jumlah tunggal (046b).

4.2.1.3.Tipe kesalahan konkordansi Subyek Predikat verba kategori Gender Kesalahan konkordansi Subyek Predikat verba juga terjadi dalam kategori gender. Berikut ini tipe kesalahannya:

4.2.1.3.1 Subyek Nomina Feminin Predikat Verba Maskulin

No Kesalahan Kategori 048a S.N. Fem املرأة الصغرية يبكى* al- mar’ah al-s}aghīrah yabkī ‘itual-takrif .‘wanita’:N.Def.Fem.Tgl. ‘kecil’ Adj.Def. P.V Fem.‘menangis’: P.V.Mas Mas Wanita kecil itu menangis Seharusnya: 048b S.N. Fem املرأة الصغرية تبكى al- mar’ah al-s}aghīrah tabkī ‘itual-takrif .‘wanita’:N.Def.Fem.Tgl. ‘kecil’ Adj.Def. P.V Fem.‘menangis’: P.V.Fem Fem Wanita kecil itu menangis

Sampel data (048a) menunjukkan tidak adanya konkordansi antara subyek nomina Tilka al-mar’ah al-s}aghīratu ‘wanita yang kecil itu..’ yang berkategori

Supardi 389 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies gender feminin dengan pemarkah ta’marbut$ah dengan predikat verba yabkī yang berkategori gender maskulin dengan pemarkah ya’ diawal kata. Jadi tidak ada ada konkordansi antara subyek nomina dan predikat verba. Verba yang tepat untuk mengisi fungsi predikat pada klausa di atas adalah tabkī (048b).

No Kesalahan Kategori 049a S.N. Fem املخلصات حترتمون* Al- mukhlisāt tahtarimūn Al- takrif. ‘wanita yg ikhlas’.S.N. Fem.Tgl.’menghormati PV.Mas. P.V Jmk Mas Perempuan mukhlis itu menghormati Seharusnya: 049b S.N. Fem املخلصات حترتمن Al-mukhlis}āt tahtarimna Al- takrif. ‘wanita yg ikhlas’.S.N. Fem.Tgl.’menghormati PV.Fem. P.V Jmk Fem Perempuan mukhlis itu menghormati

Sampel data (049a) klausa Al-mukhlis}āt tahtarimūn ‘Perempuan mukhlis itu menghormati’menunjukkan ketidakkonkordansian antara subyek nomina Al- mukhlis$āt yang berkategori gender feminin jumlah jamak, sedangkan predikat verba tahtarimūna berkategori gender maskulin jumlah jamak, sehingga tidak ada konkordansi antara subyek dan predikat, maka verba yang tepat untuk mengisi fungsi predikat adalah verba yang berkategori gender feminin, yaitu yahtarimna (049b).

4.2.1.3.2. Subyek Pronomina feminin–Predikat Verba maskulin No Kesalahan Kategori 050a Pp Fem V Mas هى قال* Hiya qāla ‘dia’ S.Pp. Fem. ‘berkata’. P.V. Tgl.Mas Dia Berkata Seharusnya: 050b Pp Fem V Fem هى قالت Hiya qālat ‘dia’. S.Pp. Tgl.Fem. ‘berkata’ .P.V. Tgl. Fem. Dia Berkata

Data (050a) ‘ ’/hiya qāla/ menunjukkan bahwa tidak terdapat konkordansi antara subyek pronomina /hiya/ ‘dia’ yang merupakan Pronomina kategori jumlah tunggal bergender Feminin(Pn/t/ f) dengan predikat verba /qāla/ ‘berkata’ yang merupakan verba berkategori gender maskulin

390 Supardi T ipe-T ipe Kesalahan Konkordansi Gramatikal pada Klausa Bahasa Arab jumlah tunggal (v/ m/t) dalam kategori gender. Dalam bahasa Arab, antara Subyek nomina atau pronomina harus terdapat konkordansi dengan verbanya dalam kategori gender. Dengan demikian, predikat verba dalam kalimat tersebut mestinya dengan ditambahkan ta’ta’niś sakinah sebagai pemarkah verba feminin tunggal, sehingga selengkapnya kalimat tersebut adalah: “ ” [hiya qālat] (050b). 4.2.2. Kesalahan konkordansi Predikat (P) –Subyek (S) Jumlah Fi’liyah 4.2.2. 1.Tipe kesalahan P S Predikat Verba Maskulin Subyek Nomina Feminin Berikut ini adalah sampel data Kesalahan konkordansi P-S Jumlah Fi‘liyah No Kesalahan Kategori (051a) V. Mas N. Fem وقف الافلة* waqafa al- hāfilah ‘berhenti’. P.V.Mas.tgl. al-Takrif ‘bus’ .S.N. Fem.tgl. Bus itu berhenti Seharusnya: 007b V. Fem N. Fem وقفت الافلة waqafat al- hāfilah ‘berhenti’. P.V.Fem.tgl. al-Takrif ‘bus’ .S.N. Fem.tgl. Bus itu berhenti

Pada data (051a) di atas kalimat [Wa waqafa al-hāfilah] tidak kongruen antara verba /waqafa/ dengan subyek al-h)filah dalam kategori gender, karena al-h)filah bergender mu’anaś menghendaki verba yang bergender mu’anaś pula. Sehinggga kalimat yang tepat adalah /waqafat al-h)filah/ (051b).

4.2.2.2. Tipe Predikat Verba Feminin-Subyek Nomina Maskulin No Kesalahan Kategori 052a أتتى املسلمون من داير بعيد* ta’tī al- Muslimūna…. ‘datang’ .Vimp. Fem. Al-takrif ‘Muslimin’: N. Mas.Jmk. Orang-orang Islam datang … Seharusnya: 052b أيتى املسلمون من داير بعيدة ya’tī al- muslimūna … ‘datang’ .Vimp. Mas. Al-takrif ‘Muslimin’: N. Mas.Jmk. Orang-orang Islam datang …

Data (052a) menunjukkan tidak adanya konkordansi antara predikat verba ta’tī yang berketegori gender feminin yang berpemarkah ta’ dengan subyek al-

Supardi 391 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies muslimūna yang berkategori gender maskulin. Unsur pengisi predikat verba tersebut semestinya berkategori gender maskulin. Verba yang tepat adalah ya’ti ‘datang’, yang merupakan verba maskulin tunggal. Selain konkordansi disyaratkan pada predikat verba, verb, konkordansi juga dituntut pada adverbia al-Hal.

4.2.3. Kesalahan Konkordansi pada Adverbia al-Hal Kesalahan konkordansi juga terjadi pada klausa yang memuat adverbi al-hal. Adapun tipe kesalahannya adalah nomina yang diterangkan maskulin sedangkan adverbia feminin, seperti sampel data berikut ini.

No Kesalahan Kategori 054a Nomina Mas صار شكلها اآلن مجيلة sāra syakluhā jamīlatan ‘menjadi’. Vperf.. ‘bentuk’ ; N. Tgl. Mas‘indah ’: Adv-hal. Adverbial Fem Fem Dan bentuknya menjadi indah Seharusnya: 054b Nomina Mas وصار شكلها اآلن مجيل sāra syakluhā jamīlan menjadi’. Vperf.. ‘bentuk’ ; N. Tgl. Mas‘indah ’: Adv-hal. Adverbia Mas. Mas Dan bentuknya menjadi indah

Data 054a di atas menunjukkan adanya kesalahan konkordansi antara subyek nomina dengan adverbia al-hal. Subyek nomina pada klausa Wa sārat syakluhā jamīlatan adalah syakl yang berketegori gender maskulin, sedangkan adverbia al-Hal jamīlatan ‘indah’ berkategori gender feminin, sehingga tidak terdapat kon­ kordansi antara subyek nomina dengan adverbial al-hal. Semestinya adver­bial al–hal tersebut berkategori gender maskulin juga. Adverbia al-Hal yang tepat adalah jamīlan.

No Kesalahan Kategori 055a Nomina Mas سعر بعض األغراض غالية* sa‘ara ba‘d}u al-’agrd} gliyatan ‘berharga’.Vperf.‘sebagian N.Mas.‘barang”: N. Jmk.‘mahal’ Adverbial Adv. Fem. Fem Harga sebagian barang mahal Seharusnya:

392 Supardi T ipe-T ipe Kesalahan Konkordansi Gramatikal pada Klausa Bahasa Arab

No Kesalahan Kategori 055b Nomina Mas سعر بعض األغراض غاليا sa‘ara ba‘d}u al-’agrd} gliyan ‘berharga’.Vperf.‘sebagian N.Mas.‘barang”: N. Jmk.‘mahal’ Adverbia Adv. Mas Mas Harga sebagian barang mahal

Kesalahan konkordansi nomina dan adverbia al-hal yang sama juga terjadi pada klausa data (055a) sa‘ara ba‘d}u al-’agrd} gliyatan. Tampak pada data tersebut bahwa adverbial al-hal gāliyatan berkategori gender feminin, padahal subyek nomina dan verba klausa tersebut yaitu ba‘d}u al-’agrd dan verba sa‘ara yang berkategori gender maskulin. Jadi tidak terdapat konkordansi antara subyek nomina, verba dengan adverbia al-hal dalam kategori gender. Adapun adverbia al-hal yang tepat adalah gāliyan (055b).

4.2.4. Tipe Kesalahan konkordansi Anteseden dan Pronomina Keselahan konkordansi juga terjadi pada konkordansi antara nomina Anteseden dan pronomina persona. 4.2.4.1.Tipe nomina feminin –Pronomina Maskulin Tabel Tipe Kesalahan konkordansi Anteseden Nomina dan Pronomina

No Kesalahan Kategori 058a Ant. N.Fem كل البلد الذى مر به* Kullu bilādi al-lad}I marra bihi Pron. ‘setiap’.part.‘negara’. N. Jmk. Fem.‘yang’. Konj. Mas Mas marra bi hi berjalan ‘dengan’. Prep. ‘dia’ Pron.. Mas.

setiap Negara yang dia lalui Seharusnya: 058b Ant. N.Fem كل البلد الىت ّمر هبا Kullu bilādi al-lad}I marra biha Pron. ‘setiap’.part.‘negara’. N. Jmk. Fem.‘yang’. Konj. Mas Fem marra bi ha berjalan ‘dengan’. Prep. ‘dia’ Pron.. Fem.

setiap Negara yang dia lalui

Data 058a di atas menunjukkan adanya kesalahan konkordansi rujuk silang antara nomina bilādi dengan pronomina persona Hi dalam kategori gender. Nomina bilādi merupakan nomina yang berkategori jumlah jamak taksir ‘jamak tak beraturan irregular plural. Dalam bA nomina jamak tak beraturan dianggap sebagai feminin. Di pihak lain, pronomina persona ‘hi’ dia merupakan

Supardi 393 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies pronominal persona ketiga tunggal maskulin. Jadi tidak terdapat konkordansi antara nomina dan pronominal rujuk silang tersebut dalam ketegori jumlah dan gender. Adapun pronominal yang tepat adalah ha yang merupakan pronomina persona orang ketiga feminin tunggal.

4.2.4.2. Tipe kesalahan anteseden Nomina maskulin Pronomina Feminin Berikut ini sampel data kesalahan kesalahan anteseden nomina maskulin pronomina feminin.

No Kesalahan Kategori 059a )املسجد( اشرتك ىف ننائها املسلمون* (al-masjidu) istaraka fī binā i ’masjid” O.N. Mas.Tgl. ‘ikutserta’ : V. ‘di’Prep.‘pembangunan’

hā al-muslimūna ‘nya’ Pn.3rd Fem. orang Islam’: N. Jmk.

Seharusnya: 059b )املسجد( واشرتك ىف ننائه املسلمون (al-masjidu) wa istaraka fī binā ihā al-muslimūna (al-masjidu) istaraka fī binā i ’masjid” O.N. Mas.Tgl. ‘ikutserta’ : V. ‘di’Prep.‘pembangunan’

hi al-muslimūna ‘nya’ Pn.3rd Mas. orang Islam’: N. Jmk.

Kesalahan konkordansi terdapat pada klausa 059a di atas. Pronomina ha merupakan pronomina orang ketiga berkategori gender feminin jumah tunggal tidak terdapat konkordansi dengan nomina al-masjidu yang berkategori gender maskulin jumlah tunggal. Jadi tidak terdapat konkordansi kategori gender antara anteseden nomina al masjid dan pronomina ha. Pronomina yang tepat adalah hi sebagai pronomina persona ketiga jumlah tunggal gender maskulin.

4.2.4.3.Tipe kesalahan Anteseden Nomina Persona 3 – Pronomina Persona ke 2 Berikut ini adalah sampel kesalahan anteseden nomina dengan pronominal dalam kategori persona.

394 Supardi T ipe-T ipe Kesalahan Konkordansi Gramatikal pada Klausa Bahasa Arab

No Kesalahan Kategori 060a N. Jmk. 3rd - كل الطلب وجب عليكم* Kullu t}ullbi wajaba 395alai 395setiap part.mahasiswaJmk..pl. Pn. Persona rd mas.3 ‘wajib’ V.perf. ‘pada’ prep. 2nd

Kum ‘kamu’ : Pn. 2nd person. Setiap mahasiswa wajib bagi mu sekalian Seharusnya: 060b N. pl. 3rd - كل الطلب وجب عليهم Kullu t$ullbi wajaba 395alaihim Pn. Persona Kullu t$ullbi wajaba 395alai 395setiap part.mahasiswaJmk..pl. 2nd mas.3rd ‘wajib’ V.perf. ‘pada’ prep.

him ‘mereka’ : Pn. 3rd person.

Setiap mahasiswa wajib bagi mereka

Kesalahan konkordansi terjadi antara anteseden nomina dan pronomina. Pada contoh 060a di atas pronomina kum pada gabungan preposisi pronomina ‘alaikum merupakan pronmina orang kedua kategori jumlah jamak, sedangan nomina antessedenya kulu tulab adalah nomina persona ketiga jamak. Promnomina semestinya adalah hum/him sehingga antara anteseden nomina dan pronomina sama sama persona ketiga, sehingga terdapat konkordansi antara anteseden pronomina.

4.2.4.4. Tipe Nomina dual pronomina persona tunggal

No Kesalahan Kategori 061a N. dual. - اللغة العربية والقران هو* Al-lugatu al-‘arabiyatu wa Pn. Perso- ‘bahasa’: N. I. Fem.tgl. ‘arab’:N.Pwt. fem tgl. Wa ‘dan’ : na tunggal Kt.sam. al-Qur’an huwa ‘al-Quran’: N. dia Aposisi pronominal 3rd tunggal.

al-‘arabiyatu wa al-Qur’an: anteseden dual

Bahasa Arab dan Al-Qur’an , dia…..

Supardi 395 Tema IV: Eduction, Literature and Language Studies

No Kesalahan Kategori Seharusnya: 061b N. pl. 3rd - اللغة العربية والقران مها Al-lugatu al-‘arabiyatu wa Pn. Perso- ‘bahasa’: N. I. Fem.tgl. ‘arab’:N.Pwt. fem tgl. Wa ‘dan’ : na 2nd Kt.sam. al-Qur’an huma ‘al-Quran’: N. keduanya Aposisi pronominal 3rd dual.

al-‘arabiyatu wa al-Qur’an: anteseden dual

Bahasa Arab dan Al-Qur’an , dia….. Al-lugatu al-‘arabiyatu wa al-Qur’an: anteseden dual huma : Aposisi pronominal 3rd dual.

Data 061a adi atas menunjukkan kesalahan konkordansi anteseden nomina dengan pronomina. Nomina Al-lugatu al-‘arabiyatu wa al-Qur’an ‘Bahasa Arab dan al-Qur’an’ berketegori persona jumlah dual, sementara pronomina huwa sebagai aposisi yang merujuk pada nomina tersebut berketegori jumlah tunggal. Pronomina semestinya yang menunjukkan jumlah dual adalah humā (061b), sehingga antara anteseden nomina dan pronominal menjadi ada konkordansi dalam kategori jumlah dual.

Kesimpulan

Kesalahan konkordansi pada bahasa Arab tulis mahasiswa IAIN Salatiga terdapat domain klausa dengan berbagai tipe-tipenya berdasarkan predikat pengisinya kesalahan konkordansi terjadi pada klausa nomina, klausa adjektiva, dan klausa verba. Terdapat 16 tipe kesalahan konkordansi pada domain klausa ini. pada 4 unit klausa yaitu klausa subyek predikat, predikat subyek, klausa dengan adverbial al-hal, dan klausa dengan anteseden pronomina. Klausa subyek predikat dengan tiga macam predikat yaitu nomina, adjektiva, dan verba. Kesalahan ditemukan pada ketegori jumlah, gender, dan persona. Adapun tipe kesalahan konkordansi domain klausa adalah unit klausa predikat subyek sub unit predikat verba subyek nomina denngan tipe predikat verba maskulin subyek nomina feminin, kemudian kedua adalah tipe subyek nomina maskulin predikat verba feminin, disusul ketiga adalah tipe kesalahan subyek nomina jamak predikat nomina tunggal dan tipe subyek nomina feminin predikat verba maskulin.

396 Supardi T ipe-T ipe Kesalahan Konkordansi Gramatikal pada Klausa Bahasa Arab

Daftar Rujukan

Bloomfield. Leonard. 1933.Language . New York: Henry Hold and Company Inc. Corbett, Greville G. 2003. Agreement: Term and Boundaries. The Role of Agreement in Natural Language: TLS 5 Proceedings, W. E. Griffin (ed.), 109-122. Texas Linguistics Forum, 53 Ellis, Rod. 1994. The Study of Second Language Acquisition. Oxford: OxfordUniversity Press. Ensiklopedi Kebahasaan Indonesia. 2013. Bandung: Remaja Rosdakarya. Isma’il, Ahmad Syatori. 2005. al-Su’ubāt al-Muhtamalah al-latiTuwāhu al- Indonesiyyīn ‘indaTa‘allum al-‘Arabiyyah dalam al-Jami’ahJurnal of Islamic Studies.Volume 43 Number 1 kategori. 131-158. Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia. Cetakankelima. Quick, Randolph, Sidney Greenbaum, Geofrey Leech, Jan Svartvik. 1972. A Grammar of Contemporary English. Vol. 1 & 2. New York: Longman Inc. Richard. Jack C. dan Richard Schmidt. 2002. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics. London: Longman Sa’adah, Fina. 2011. “Analisis Kesalahan Berbahasa Arab: Studi Kesalahan- Kesalahan Penerapan Nahwu pada Skripsi Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) IAIN Walisongo Periode Wisuda 2007/2008”. Tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sudaryanto. 1993. Metodedan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis, Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Thatcher. Virginia S. (Ed.). t.t. TheNew Webster Encyclopedic Dictionary of The English Language. Chicago: Consolidated Book Publisher. Ubaidillah. 2009. Kesalahan Pembentukan Frase Bahasa Arab oleh Pembelajar Bahasa Arab Studi Kasus pada Mahasiswa Fakultas Adab dalam Adabiyyat Jurnal Bahasa dan Sastra. Vol.8 No.1. kategori. 1-28. Zahrān, Badrawī. 2008. ‘ilmu al-Lughah al-tathbiqī fi al-majāl al-taqābulī (tahlil al- akhta’). Kairo: Dar al-āfāq al-‘arabiyah. Zaini, Hisyam. 2011. ‘Kesalahan Gramatikal dalam Penulisan Skripsi Berbahasa Arab oleh Mahasiswa Fakultas Adab UIN SunanKalijaga Yogyakarta. Dalam Lisania Jurnal Ilmu dan Pendidikan Bahasa Arab’ Vol. 2. Nomor 1 Juni 2011. Kategori. 1-20

Supardi 397