1

BAB I

DINAMIKA POLITIK ETNIS DAN POLITIK UANG DALAM PILKADA

A. Latar Belakang Masalah

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung berdampak pada bangkitnya semangat kedaerahan atau instrumentasi etnis oleh elite politik. Mobilisasi etnis oleh elite politik bertujuan menggerakkan masyarakat untuk memilih elite yang mencalonkan diri dalam Pilkada. Hal ini dapat ditengarai dengan adanya isu-isu putra daerah asli dan pendatang dalam kampanye Pilkada. Isu putra daerah asli yang ditampilkan dalam kampanye, sesungguhnya menyerang calon lain yang bukan putra daerah. Instrumentasi etnis dalam Pilkada bisa memicu konflik horisontal antar pendukung calon.

Sehubungan dengan maraknya instrumentasi etnis dalam Pilkada, bermula dari pengekangan oleh rejim Orde Baru selama tiga puluh dua tahun. Oleh karena dikekang selama tiga puluh dua tahun, maka ketika kekang tersebut terbuka lebar, maka instrumentasi etnis menjadi ancaman perpecahan dalam masyarakat. Studi terdahulu membuktikan bahwa instrumentasi etnis tersebut dimanfaatkan oleh elite politik untuk pemenangan dalam Pilkada.

Dari hasil penelitian penulis terhadap tesis dan disertasi tentang politik etnis, penulis menemukan beberapa kajian yang menarik. Penelitian tentang instrumentasi etnis dalam pemenangan Pilkada dilakukan oleh Umasugi (2009), Ramadlan (2008) dan 2

Syarkawi (2007). Umasugi menemukan bahwa pemenangan Pilkada di Kabupaten

Buru disebabkan kandidat menginstrumentasi etnis – hal ini diidentifikasi dengan pemilihan wakil Bupati yang menunjuk kandidat dengan marga yang berpengaruh besar di Kabupaten Buru. Kandidat menginstrumentasi etnisitas dalam rangka membangkitkan ikatan primordialisme dan kekerabatan dalam masyarakat untuk mendukungnya. Dampak dari kemenangan kandidat dalam Pilkada ialah hanya etnis tertentu yang menempati posisi strategis dalam pemerintahan1.

Sebaliknya Ramadlan mengkaji instrumentasi etnis Dayak dari sisi yang berbeda dengan Umasugi. Temuan Ramadlan menunjukkan bahwa kemenangan kandidat dalam

Pilkada ditopang oleh strategi jejaring etnisitas adat. Instrumentasi jejaring elit adat yang ditopang dengan adanya isu putra daerah menarik simpati pemilih. Hal yang selaras juga ditemukan dalam penelitian Syarkawi yang meneliti tentang fisibilitas politik identitas dalam Pilkada di Kalteng. Syarkawi menemukan bahwa politik identitas memiliki pengaruh yang kuat terhadap masyarakat Kalteng yang masih terikat dengan tradisi dan adat istiadat. Pasangan Narang dan Diran merupakan perpaduan antara Dayak dan Jawa yang sangat dominan di Kalteng.

Namun dalam masyarakat majemuk secara etnis, kemenangan kandidat tidak cukup hanya ditopang oleh dua kandidat dari etnis mayoritas. Temuan Azis (2007) dalam penelitian di provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan perlunya akomodasi semua

1 Dalam masyarakat yang masih terikat kuat dengan adat (suku) tampaknya pengaruh etnis yang dominan, tetapi faktor penentu yang tidak kelihatan yang mampu memobilisasi mereka, yakni money politics sering berbaur menyatu dalam adat,agama dan acara ritual lainnya. Dengan kata lain instrumentasi etnis tidak dapat terpisahkan dengan praktik money politics. 3

etnis dalam masyarakat. Dalam konteks ini kandidat mengakomodasi semua etnis yang mendukungnya. Implikasi dari dukungan beberapa etnis tersebut ialah penempatan orang dalam pemerintahan melibatkan beberapa etnis. Dampaknya terhadap etnis minoritas, karena tidak mendukung kandidat mereka akan tersingkir dari pemerintahan dan dapat memicu kerawanan sosial.

Sebaliknya temuan Bangsawan (2007) agak unik, karena ternyata etnis minoritas tidak identik dengan kekalahan dalam Pilkada yang sarat dengan instrumentasi etnis.

Penelitian tentang Ahok dalam Pilkada di Kabupaten Belitung membuktikan Ahok selaku representasi etnis minoritas mampu mengalahkan kandidat lain. Strategi kemenangan Ahok terhadap masyarakat kota ialah mengampanyekan program pendidikan dan kesehatan gratis, untuk masyarakat pinggiran kota akan disediakan lapangan kerja dan bantuan usaha. Sementara itu strategi Ahok untuk masyarakat pedesaan ialah mencitrakan diri sebagai figur yang kredibel, kapabel dan bertanggungjawab. Terbukti Ahok dari etnis minoritas mampu mengalahkan kelompok etnis mayoritas, karena program yang ditawarkan kepada masyarakat menjawab kebutuhan mereka2.

Tampaknya dalam Pilkada langsung kontestasi antar kandidat yang menginstrumentasi etnis adalah hal yang lazim terjadi. Namun tentang rivalitas antar etnis dalam Pilkada ternyata tidak semudah yang kita duga. Studi ini dibuktikan oleh

2 Dalam kasus Ahok ini faktor instrumentasi etnis tampaknya tidak berlaku, karena masyarakat Belitung sudah mampu memilah-milah, mana kandidat yang layak dipilih dan mampu memberikan solusi atas masalah ekonomi. Mereka mampu memilih kandidat yang kredibel dan bertanggungjawab tanpa membedakan etnis dan agama. 4

Kocu (2007) yang meneliti perilaku pemilih di tengah rivalitas antar kelompok etnis di

Sorong Selatan-Papua Barat. Kocu menemukan bahwa loyalitas individu terhadap kesamaan etnis tidak terbukti, sebab mereka lebih memilih kandidat yang mampu membawa kesejahteraan masyarakat. Sekalipun etnis mereka berbeda dengan kandidat, namun bila kandidat mampu menunjukkan karya nyata dan mampu membangkitkan solidaritas yang sama untuk memerangi kemiskinan, maka kandidat tersebut yang akan dipilih oleh masyarakat. Dalam hal ini studi Kocu membuktikan berlakunya teori rational choice, artinya pemilih tidak dipengaruhi oleh faktor kesamaan etnis, namun mereka cenderung memilih kandidat yang tidak memicu berkonflik, agar terjadi kenyamanan dan perubahan ekonomi dalam masyarakat.

Dari hasil temuan penelitian tersebut diatas masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan. Peneliti yang mengkaji dari sisi pemenangan kandidat dari perspektif strategi pemenangan akan terjebak untuk memaparkan keunggulan strategi pemenangan versi kandidat. Secara implisit peneliti akan terjebak untuk menjadi penyambung lidah bagi kandidat. Demikian juga dengan peneliti yang memaparkan pendekatan dari sisi kepemilikan modal yang kuat bagi kandidat. Mereka akan digiring ke pemikiran kepada yang kuat dan yang lemah – mereka yang memiliki modal yang kuat yang akan menang. Logika ini sangat sederhana dan mudah ditebak, karena parameter kemenangan hanya pada kandidat yang modalnya besar. Pendekatan instrumentasi etnisitas seperti yang dipaparkan diatas ada beberapa varian, namun peneliti juga akan terjebak dengan loyalitas pemilih terhadap kandidat yang sama etnisnya. Ternyata temuan tersebut diatas tidak menyinggung tentang faktor politik 5

uang dalam Pilkada. Padahal politik uang dilakukan oleh semua kandidat dalam

Pilkada. Pertanyaan kritis yang patut diajukan ialah apakah strategi yang memengaruhi kandidat dalam pemenangan Pilkada atau politik uang ? Ataukah kemenangan kandidat berdasar pada modal besar tanpa strategi yang efektif ?

Penelitian yang dilakukan oleh penulis berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Perbedaan mendasar dalam penelitian penulis ialah argumen yang penulis tawarkan berbeda. Penulis berargumen mobilisasi jejaring etnis dilakukan bersamaan dengan politik uang dalam pemenangan Pilkada. Namun politik uang tidak efektif tanpa adanya mobilisasi jejaring etnis yang dirajut ke desa-desa melalui pemuka adat, pemuka agama dan tokoh masyarakat (birokrasi). Selain itu peneliti membandingkan proses dua kemenangan Kepala Daerah dalam era transisi demokrasi di Kaltim. Figur Suwarna dari etnis Sunda merupakan representasi mantan Pangdam

Mulawarman (militer) dan pendatang yang berhasil memenangkan Pilkada Kaltim dua periode berturut-turut. Sedangkan pesaingnya ialah Awang Farouk Ishak dari etnis

Kutai yang mewakili penduduk asli Kaltim. Persaingan antara keduanya dan proses adu strategi dalam pemenangan Pilkada Kaltim tersebut yang penulis teliti. 6

B. Politik Etnis di Kalimantan Timur

Pada awalnya pasca runtuhnya rejim Orde Baru (1998), terjadilah era transisi demokrasi di Indonesia dan hal ini ditandai dengan maraknya Pemilihan Kepala Daerah

(Pilkada) secara langsung. Proses Pilkada secara langsung juga terjadi di Kalimantan

Timur (Kaltim), dimana untuk pertama kalinya masyarakat Kaltim memilih Kepala

Daerah secara langsung tahun 2008. Kemenangan Pilkada langsung menjadi kemenangan putra daerah, karena untuk kedua kalinya dalam sejarah pemerintahan di

Kaltim etnis Kutai (Awang Farouk Ishak) sebagai Kepala Daerah. Sebelumnya Aji

Pangeran Tumenggung Pranoto (1956-1962) sebagai Gubernur Kaltim yang pertama pada era Orde Lama.

Tampaknya persaingan antar etnis dalam merengkuh kekuasaan di Kaltim terjadi, karena adanya hegemoni etnis Jawa (militer) dalam pemerintahan. Sebelum

Pilkada langsung diterapkan, biasanya pada era Orde Baru seorang Kepala Daerah ditunjuk atau dipilih langsung oleh DPRD. Namun pada praktiknya seorang Gubernur terpilih karena memiliki kedekatan dengan Soeharto. Hal ini sudah menjadi semacam tradisi bahwa Kepala Daerah di Kaltim biasanya dari latar belakang militer atau dari

TNI Angkatan Darat dan bisanya berasal dari etnis Jawa. Hal ini bisa dipahami, karena pada era Soeharto berkuasa, dia menghegemoni pemerintahan dengan menempatkan kroni-kroninya pada jabatan yang strategis dengan tujuan menjadi ‘bemper’ untuk penguasaan atas sentra ekonomi di Kaltim. 7

Oleh karena itu tidak mengherankan Suwarna (etnis Sunda) selaku mantan

Pangdam Mulawarman dan mantan Wakil Gubernur Kaltim mampu memerintah Kaltim selama dua periode. Tampaknya pemerintahan Suwarna selaku Kepala Daerah diwarnai dengan adanya tindak politik uang, sehingga dia mampu mengendalikan anggota DPRD dan DPP dan PDIP. Namun sepintar-pintarnya elite politik merahasiakan tindakan politik uang, akhirnya terbongkar juga oleh KPK. Suwarna berhadapan dengan

KPK dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Studi tentang mobilisasi jejaring etnis sering dikaji secara terpisah dengan menggejalanya politik uang dalam Pilkada di Indonesia. Para pakar ilmu politik atau pakar ilmu sosial di Indonesia pada umumnya mengkaji politik uang dalam Pilkada secara terpisah dengan mobilisasi jejaring etnis. Pertanyaan kritis yang patut diajukan ialah bagaimana menjelaskan hubungan antara mobilisasi jejaring etnis dengan politik uang ? Dalam konteks masyarakat di Indonesia yang masih terikat dengan nilai-nilai kekerabatan,paguyuban dan adat istiadat, apakah mobilisasi jejaring etnis memberikan kontribusi yang signifikan bagi kandidat dalam pemenangan Pilkada ? Sebaliknya apakah faktor politik uang yang menjadi penentu kemenangan kandidat dalam Pilkada ?

Atau adakah faktor lain yang menjadi penentu kandidat dalam pemenangan Pilkada ?

Biasnya kajian para pakar ilmu politik tentang politisasi etnis dan politik uang dalam Pilkada bisa dipahami, karena adanya proses perubahan dalam masyarakat di

Indonesia, dimana masyarakat memasuki era transisi demokrasi. Era transisi demokrasi ditandai dengan adanya Otonomi Daerah dan partisipasi masyarakat dalam politik. Pada 8

era Orde Baru partisipasi masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada direkayasa sedemikian rupa, sehingga mereka praktis tidak berperan secara politik. Namun dengan adanya pergantian rejim, peranan masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada sangat menentukan, karena sistem pemilihan terhadap kandidat Kepala Daerah berdasarkan pilihan masyarakat secara langsung (one person, one votes,one value).

Dalam masyarakat yang sedang berkembang dan bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar, nilai-nilai paguyuban atau kekerabatan cenderung memudar dan diganti dengan budaya baru. Yang lebih mendominasi masyarakat perkotaan adalah budaya modern yang berciri individualisme, materialisme dan hedonisme. Sebaliknya mereka yang tinggal di pedesaan atau perkampungan, budaya kekerabatan atau paguyuban masih dominan mewarnai. Hal ini ditunjukkan dengan menjelang hari raya Idul Fitri mereka memiliki tradisi mudik ke kampung halaman untuk bertemu orang tua. Budaya mudik digerakkan oleh adanya jiwa kekerabatan dan hormat terhadap orang tua.

Selain itu adanya perbedaan pandangan para pakar tentang hal ini bisa dimaklumi juga karena mobilisasi jejaring etnis dan politik uang berada dalam ranah informal yang sulit terdeteksi oleh orang luar atau para peneliti. Oleh karena keduanya berada dalam domain informal, tampaknya hal ini diinstrumentasi oleh elite politik sebagai sarana yang efektif untuk memengaruhi perilaku pemilih tanpa mereka menyadarinya. 9

C. Rumusan Masalah

Tampaknya ada anggapan dalam masyarakat bahwa suara pemilih menjelang

Pilkada dapat dibeli dengan uang (politik uang ) dan hal ini sudah lazim dilakukan oleh semua kandidat yang berkontestasi dalam Pilkada. Kandidat yang tidak melakukan tindakan politik uang tidak akan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Masyarakat mempersepsi praktik politik uang yang dilakukan oleh kandidat sebagai bantuan sosial atau donasi. Dengan demikian muncul persepsi dalam masyarakat bahwa penentuan kemenangan kandidat bukan ditentukan oleh mobilisasi jejaring etnis, tetapi oleh tindakan bantuan sosial (politik uang) yang diberikan oleh kandidat tersebut. Oleh karena itu kajian perpaduan antara politisasi etnis dan politik uang jarang dikaji secara mendalam, padahal keduanya menentukan pemenangan kandidat dalam Pilkada. Studi ini penting karena memfokuskan pada jejaring mobilisasi etnis yang tidak terpisahkan dari tindakan politik uang. Oleh karena itu rumusan masalah dalam penelitian ini diformulasikan, sebagai berikut : “Bagaimana politisasi etnis dimanfatkan oleh kandidat dalam pemenangan Pilkada Kalimantan Timur ?”

D.Pentingnya Studi Politik Etnis

Mengapa studi tentang mobilisasi jejaring etnis dalam pemenangan Pilkada ini penting ? Ada lima alasan yang penulis ajukan sebagai argumen, sebagai berikut : pertama, alasan teoritis. Studi tentang mobilisasi jejaring etnis masih minim dilakukan, khususnya kaitannya dengan praktik politik uang dalam Pilkada. Penelitian penulis membuktikan bahwa masyarakat Indonesia yang terdiri lebih dari lima ratus suku 10

(etnis) lebih membutuhkan kajian secara serius, agar mereka tidak mudah diinstrumentasi oleh elite politik untuk kepentingan sesaat. Apabila elit politik menginstrumentasi etnis untuk kepentingan kelompok, maka hal ini dapat berdampak pada kerawanan sosial yang akan mewujud dengan tindakan anarkis antar pendukung kandidat. Oleh karena itu pada masa kini diperlukan studi mendalam tentang mobilisasi jejaring etnis di Indonesia dalam kaitannya dengan praktik politik uang.

Kedua, alasan aktualitas dalam rangka menjawab kebutuhan masyarakat. Studi ini aktual, karena pasca Pilkada sering diwarnai dengan tindak kekerasan antar pendukung kandidat. Biasanya pendukung kandidat yang kalah yang melakukan tindakan anarkhi terhadap sarana dan pra sarana. Studi ini mengungkap penyebab terjadinya konflik antar kelompok dalam masyarakat dan pencegahannya.

Ketiga, alasan signifikansi dalam hal memberdayakan kelompok etnis

(masyarakat), khususnya dalam pencegahan konflik antar kelompok dalam masyarakat.

Studi ini mencoba mengkaji bagaimana kandidat menginstrumentasi jejaring etnis kaitannya dengan praktik politik uang. Dampak persaingan antar kandidat dalam menginstrumentasi jejaring etnis dalam Pilkada dapat menimbulkan kerawanan sosial.

Oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk mengelola konflik dalam masyarakat, yakni dengan memberi pembelajaran bagi masyarakat, agar mereka matang dalam partisipasi politik. Dengan demikian studi ini memiliki signifikansi, karena menjawab kebutuhan mendesak dari masyarakat. 11

Keempat, alasan pragmatis. Maraknya tindak korupsi para pejabat di Kaltim berakar dari adanya praktek politik uang dalam Pilkada. Oleh karena itu diperlukan suatu studi untuk pencegahan terjadinya praktik politik uang. Argumen yang saya ajukan ialah apabila masyarakat dewasa dalam partisipasi politik, maka praktik politik uang yang dilakukan oleh elit politik tidak akan mempan membeli suara masyarakat.

Salah satu cara untuk mencegah adanya praktik politik uang dalam masyarakat ialah melalui peningkatan pemahaman politik yang benar. Sebab kelompok masyarakat yang berlatar belakang pendidikan rendah dan ekonomi lemah mudah sekali dibeli suara mereka oleh kandidat. Oleh karena itu alasan pragmatis dilakukannya studi ini, agar berhasil guna bagi terwujudnya demokrasi yang sehat pada tataran masyarakat.

Kelima, alasan politis. Selama ini kelompok etnis belum terakomodasi kepentingan mereka,khususnya secara politik. Mereka memiliki tata aturan, tanah ulayat dan adat istiadat tersendiri. Sebelum Republik Indonesia ini terbentuk, kelompok etnis sudah memiliki sistem pemerintahan tersendiri yang mengatur bagaimana masyarakat mentaati hukum adat, agama, budaya dan ekonomi. Pada waktu Republik Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno – Hatta, seolah ‘kekuasaan’ kelompok etnis ini lebur atau tidak diakui oleh pemerintah. Hal ini terbukti dengan pelanggaran tanah ulayat

Dayak di Kaltim oleh para pengusaha yang direstui oleh pemerintah. Mereka membutuhkan legitimasi dari pemerintah bahwa mereka juga memiliki kedaulatan dan hak yang harus diakui oleh negara. Oleh karena hak dan eksistensi kelompok etnis

Dayak tidak diakui oleh pemerintah, maka mereka bangkit untuk merengkuh kekuasaan yang dihegemoni kelompok pendatang. 12

E.Metodologi Penelitian

Metode penelitian dalam buku ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana pengumpulan data dilakukan di Yogyakarta dan Kalimantan Timur. Menurut Neuman penelitian kualitatif ialah research contains several techniques (e.g. grounded theory, ethnography, life history, conversational analysis). Selanjutnya Neuman menuliskan sebagai berikut :

”A qualitative research style involves more than looking at qualitative data. Positivists often try to convert the data into a quantitative form or analyze it using quantitative techniques...... The qualitative research style values qualitative data.Its entire orientation is organized around theorizing, collecting and analysing qualitative data. Qualitative researchers may have different concerns about data. For example,the may be concerned more with generating new concepts than with testing existing ones” (Neuman,1997:328)

Penelitian kualitatif tersebut dimaksudkan dengan memaparkan kerangka teoritis, mengumpulkan dan menganalisa data. Kerangka teoritis tentang mobilisasi jejaring etnis tersebut diakomodasikan dengan data yang ditemukan di lapangan. Data terdiri dari data kualitatif dan kuantitatif yang diolah sedemikian rupa dalam rangka untuk mendukung argumen yang dipaparkan dan menjawab rumusan masalah. Data tentang mobilisasi jejaring etnis dikumpulkan melalui beberapa cara, yakni : (1) studi pustaka, (2) wawancara, (3) diskusi kelompok, (4) internet dan (5) observasi lapangan.

Pertama, studi pustaka dilakukan di Yogyakarta dan Kalimantan Timur untuk mencari data tentang mobilisasi jejaring etnis dan praktik money politics pemenangan

Pilkada. Studi pustaka tentang hasil penelitian pemenangan kandidat dalam Pilkada di 13

Indonesia dilakukan di perpustakaan Fisipol Universitas Gadjah Mada dan Program

Pascasarjana Polokda-Fisipol Univerisitas Gadjah Mada. Sementara itu untuk mendapatkan data tentang instrumentasi jejaring etnis dalam Pilkada di Kaltim dilakukan di Universitas Mulawarman dan Perpustakaan Pemerintah Daerah Propinsi

Kalimantan Timur. Selain itu data tentang kontestasi dalam Pilkada Kaltim juga dikumpulkan melalui mengkliping surat kabar lokal dan data dari KPU dan KPUD

Kaltim.

Kedua, wawancara. Mengingat mobilisasi jejaring etnis dan praktik money politics ini terjadi dalam ranah informal, maka untuk mendapatkan data tersebut juga dilakukan dengan cara wawancara informal. Wawancara informal dilakukan di Kaltim dengan tokoh politik, tokoh masyarakat, cendekiawan, ibu rumah tangga, sopir taksi, aktifis LSM, wartawan, guru dan kaum awam. Tujuan wawancara ialah untuk mendapatkan data tentang bagaimana elit politik memanfaatkan jejaring etnis dalam merengkuh kemenangan di Pilkada.

Ketiga, diskusi kelompok dilakukan dengan kelompok mahasiswa Kaltim yang kuliah di Yogyakarta dan kelompok wanita pengrajin di Kaltim. Tujuan diskusi kelompok ialah untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap pemanfaatan jejaring etnisitas oleh elit politik. Dalam diskusi kelompok tersebut penulis mendapat masukan dari mahasiswa tentang bagaimana kandidat menggunakan jejaring etnisitas, birokrasi dan praktik money politics dalam pemenangan Pilkada. 14

Keempat, internet. Pencarian data tentang mobilisasi jejaring etnisitas dan praktik money politics juga dilakukan melalui media on line (internet). Pencarian difokuskan pada praktik instrumentasi etnis di Kalimantan Timur (khusus) dan

Indonesia pada umumnya. Selain itu sebagai pembanding diteliti juga praktik instrumentasi etnis di Afrika, Amerika Latin, Asia dan Eropa. Data tentang praktik money politics dalam Pemilu, baik di Indonesia (Kaltim), Afrika,Asia, Eropa dan

Amerika Latin tersebut dikumpulkan lalu dianalisa secara seksama. Pencarian data melalui internet ini bermanfaat untuk mempertajam analisa yang diakomodasikan dengan temuan data di lapangan – hal ini membantu penulis dalam menganalisis fenomena yang terjadi di Kaltim.

Kelima, observasi. Selain pengumpulan data melalui studi pustaka, wawancara, diskusi kelompok dan internet – peneliti juga mengadakan observasi ke Kaltim. Tujuan observasi ke lapangan ialah untuk mengamati kehidupan masyarakat sehari-hari dan mengadakan cek data. Apakah data yang didapatkan melalui studi pustaka dan wawancara tersebut dapat diandalkan kesahihannya. Selain itu penulis juga dibantu oleh asisten yang merupakan penduduk asli Kaltim yang memberikan laporan secara berkala tentang perkembangan politik yang terjadi di Kaltim baik secara lisan dan melalui kliping surat kabar lokal.

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan penelitian ini dipaparkan ke dalam enam bab, yang berisi Bab I penulis memaparkan argumen mengapa mobilisasi jejaring etnis 15

dilakukan bersamaan dengan money politics oleh kandidat dalam proses pemenangan

Pilkada. Namun money politics tidak efektif tanpa mobilisasi jejaring etnisitas. Dalam

Dalam Bab II, penulis menguraikan konsepsi dasar teoritis tentang politik etnis dan money politics untuk pemenangan Pilkada.

Dalam Bab III penulis mengajukan argumen bahwa penguasaan arena politik oleh kandidat sangat menentukan dalam proses pemenangan Pilkada. Yang dimaksud dengan penguasaan arena politik dalam konteks ini ialah pentingnya penguasaan kandidat terhadap identitas etnis dalam masyarakat majemuk di Kaltim. Kandidat yang tidak memahami dan menguasai dinamika etnisitas dalam masyarakat sebagai arena politik, maka dia tidak akan mendapatkan legitimasi dan dukungan suara dari masyarakat.

Dalam Bab IV ini penulis mengajukan argumen bahwa pemilihan Kepala

Daerah oleh anggota DPRD tidak hanya ditentukan oleh money politics saja. Memang pemilihan Kepala Daerah sangat rentan dengan praktik money politics, karena kandidat dengan modal yang besar dapat ‘membeli’ suara anggota DPRD. Kandidat yang memiliki uang banyak dan akses ke partai politik, dia akan unggul. Namun keunggulan

Suwarna bukan hanya ditentukan oleh faktor money politics dalam ranah politik saja, namun faktor modal sosial yang dimilikinya memberikan legitimasi dan kontribusi yang signifikan.

Dalam Bab V penulis mengajukan argumen bahwa perilaku pemilih dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, psikologis dan rational choice. Perilaku pemilih dipengaruhi 16

oleh beberapa faktor yang memotivasi mereka untuk menentukan pilihan terhadap kandidat. Dalam konteks masyarakat tradisional peranan kekerabatan, adat istiadat dan agama masih sangat dominan memengaruhi persepsi dan perilaku pemilih. Sebaliknya dalam konteks masyarakat modern, mereka dipengaruhi oleh media massa dan pilihan rasional. Kandidat yang mampu memadukan pendekatan sosio kultural, psikologis dan rational choice akan efektif memengaruhi pilihan pemilih.

Diakhir Bab VI penulis memberikan kesimpulan tentang apakah mobilisasi jejaring etnis yang menentukan kemenangan kandidat dalam Pilkada ? Atau faktor money politics yang menentukan dalam pemenangan Pilkada ?. Diskursus tentang masa depan demokrasi lokal di Indonesia penulis paparkan. Selain itu pada bagian ini juga dipaparkan temuan baru dalam penelitian ini, dimana mobilisasi jejaring etnis diinstrumentasi oleh kandidat bersamaan dengan praktik money politics yang dipersepsi oleh masyarakat sebagai donasi. 17

BAB II

KERANGKA TEORI POLITIK ETNIS DAN POLITIK UANG

Dalam Bab I penulis telah paparkan dinamika politik etnis dalam Pilkada

Kaltim, dimana elite mobilisasi massa dengan menginstrumentasi etnis. Dalam Bab II ini penulis memaparkan dasar teori politik etnis dan politik uang sebagai pijakan untuk membahas permasalahan dalam buku ini.

A.Perspektif Politik Etnis

Studi tentang mobilisasi jejaring etnis kaitannya dengan perubahan sistem politik (demokrasi) dalam masyarakat majemuk dapat ditinjau dengan beberapa paradigma atau perspektif. Tinjauan paradigma etnis dapat dilihat dari segi ikatan batin diantara anggota kelompok, pengaruh relasi kelompok etnis dengan perilaku anggota kelompok dan relasi politik etnis dan mobilisasi anggota kelompok etnis untuk merebut kekuasaan. Pandangan para pakar tentang hal ini sedikitnya dapat diklasifikasi dalam tiga kelompok, yakni : (1) kajian etnisitas secara primordialis,

(2) kajian etnisitas secara instrumentalis dan (3) kajian etnisitas secara strukturalis/fungsionalis.

Pertama, kajian etnis secara primordialis. Menurut Max Weber yang dimaksud dengan ikatan primordialis dipaparkan, sebagai berikut:

”The belief in group affinity, regardless of whether it has any objective foundation, can have important consequences especially for the formation of a political community. We shall call ’ethnic groups’ this human groups that entertain a subjective belief in their common descent because of similarities of physical type or customs or both, or because of memories of colonozation and migration, this belief must be important for the propagation of group formation; conversely,it does not matter whether or not an objective blood 18

relationship exists. Ethnic membership (Gemeinsamkeit) differs from the kinship group precisely by being a presumed identity, not a group with concret social action, like the latter” (Weber, 1978:389-95) Dari kutipan tersebut tampak jelas bahwa kelompok etnis terbentuk oleh karena adanya ikatan dalam kekerabatan yang menunjukkan hal ini sebagai identitas yang mereka miliki. Menurut Weber kelompok etnis adalah suatu kelompok sebagai

’subyek belief’, dimana anggota kelompok memiliki kesamaan budaya, kepercayaan, sedarah daging dan senasib sepenanggungan pada pasca penjajahan dan migrasi etnis.

Munculnya politik identitas di negara berkembang, disebabkan adanya penjajahan yang sangat lama. Hal ini menurut Weber sebagai pemicu munculnya kesadaran politik etnis dalam rangka ’bargaining’ terhadap para penjajah. Pandangan Weber tersebut selaras dengan apa yang ditulis oleh Clifford Geertz , sebagai berikut :

”This tension takes a peculiarly severe and chronic form in the new states, both because of the great extent to wihich their people sense of self remains bound up in the gross actualities of blood, race,language,locality, religion or tradition, and because of the steadily accelerating importance in this century of the sovereign state asd a positive instrument for the realization of collective aims” (Geertz,1963:108-13) Dari kutipan tersebut di atas tampak jelas bahwa dalam negara berkembang atau negara pasca penjajahan dimana masyarakatnya multi etnis, maka faktor pembentukan negara baru berhubungan dengan eksisitensi kelompok etnis. Menurut

Geertz ada dua motif utama dalam pembentukan ’negara baru’ (new state), dalam masyarakat yang sedang berkembang. Pertama, semua tindakan, keinginan dan harapan masyarakat difokuskan dalam rangka pencarian identitas diri (identity) kelompok dan negara. Identitas diri tersebut ditandai dengan adanya kesamaan sedarah daging (kekerabatan), ras, bahasa, lokalitas, agama dan tradisi. Dalam negara berkembang seperti Indonesia pencarian identitas (jatidiri) sangat urgen di awal kemerdekaan. Bangsa yang memiliki jatidiri yang kokoh akan mampu mandiri di tengah persaingan global. Kedua, dalam suatu negara berkembang tujuan 19 pembangunannya difokuskan pada peningkatan kualitas hidup masyarakat, pembangunan sarana, pra sarana dan terwujudnya masyarakat adil dan makmur.

Tujuan kedua ini merupakan suatu pergulatan politik antar elit partai, elit etnis dan pemerintah dalam rangka menunjukkan kepada masyarakat tentang sentralitas kekuasaan hanya ada pada pemerintah.

Ketika suatu bangsa mencari identitasnya, maka pengaruh etnisitas sangat dominan. Sebaliknya pada saat suatu bangsa ingin mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka bertendensi politik etnis, karena untuk mewujudkannya diperlukan pemerintahan yang kuat dan stabil. Menurut Geertz ikatan primordial merupakan suatu relasi sedarah daging, satu ras, satu bahasa, mereka tinggal di suatu wilayah, satu agama dan budaya. Dengan kata lain menurut Geertz primordialisme adalah suatu kelompok etnis yang memiliki ikatan satu darah daging, satu ras, bahasa, agama, budaya dan menetap di suatu wilayah.

Fredrik Barth memaparkan bahwa kelompok etnis sering dipahami dalam literatur anthropologi hanya sebagai disain populasi. Selanjutnya Barth menuliskan kelompok etnis, sebagai berikut :

”1. is largely biologically self perpetuating; 2.shares fundamental cultural values, realized in overt unity in cultural forms;3. makes up a field of communication and interaction; 4. has a membership which identifies itself, and is identified by others, as constituting a category distinguishable from other categories of the same order” (Barth,1969:10-19)

Pandangan Barth tentang kelompok etnis tersebut memberikan gambaran yang tajam tentang kelompok etnis bukan hanya suatu ikatan keluarga saja, melainkan adanya suatu pertukaran nilai-nilai budaya. Bahkan bukan hanya itu saja, melainkan adanya suatu interaksi dan komunikasi antar anggota atau antar kelompok yang dapat mewujudkan terjadinya suatu kelompok etnis. Secara tegas Barth memaparkan bahwa 20 definisi yang ideal tentang kelompok etnis ialah ras = budaya = bahasa. Barth menawarkan konsep adanya kesamaan ras, budaya dan bahasa merupakan suatu identifikasi tentang kelompok etnis.

Namun pandangan para pakar tentang etnisitas tersebut terus berkembang dan terjadi perdebatan yang tajam. Konsepsi primordialisme yang dipaparkan oleh Geertz tersebut diatas dikritisi oleh Eller dan Coughlan yang mengkritisi Geertz dengan penekanan pada primordialisme adalah ’hal yang rohani’ dan orisinal dalam suatu kelompok masyarakat. Ikatan primordialisme tersebut oleh Eller dan Coughlan disebut dengan istilah apriority (sesuatu yang alamiah) dan ’melekat’ pada kelompok etnis. Selain itu primordialisme melibatkan aspek non bahasa (ineffability) dan emosi

(affectivity). Konsepsi Eller dan Coughlan tersebut merupakan kritik terhadap teori

Geertz yang mempersepsi primordialisme secara ’ikatan fisik’ (sedarah daging, bahasa, budaya dan teritori). Sedangkan Eller dan Coughlan mempersepsi esensi primordialisme ialah relasi emosi (afeksi). Selanjutnya Eller dan Coughlan menuliskan sebagai berikut:

”In fact, in the end primordialism belies the same faulty approach which has already come under fire in the realms of culture and effect – taking phenomena that are simply ’already exist’ and ’persistent’ them in things that are ’natural’,’spiritual’,and have always existed and always will” (Eller dan Coughlan,1993:187-92) Argumen Eller dan Coughlan tersebut didasarkan atas ikatan kelompok etnis bukan hanya secara ’fisik’ saja, melainkan secara ’rohani’ dan ’natural’. Para penganut pandangan teori primordial yang tidak sependapat dengan Geertz mencoba mengkaji adanya relasi antara gen pribadi, kelompok dan perilaku yang berdampak pada ’manipulasi politik’ di dunia modern. Berghe (1995:359-68) menuliskan tentang hal ini sebagai berikut: ”Let us now close the circle on the relationship between genes and behaviour. I have repeatedly stresses that behaviour,human and 21 non human like, can only be understood within an evolutionary framework that gives equal weight to genes and environment acting in concert.” Menurut Berghe tindakan kelompok etnis tidak hanya ditentukan oleh faktor kekerabatan, bahasa, tradisi dan agama saja, melainkan ikatan kelompok etnis yang mewujud dalam perilaku politik dalam masyarakat modern ditentukan oleh faktor gen manusia yang bersangkutan.

Permasalahan mendasar dalam dunia modern ialah kompetisi antar kelompok etnis, dimana penguasaan otoritas, ekonomi, politik dan kedudukan menjadi isu utama. Menurut Berghe kelompok etnis berkaitan dengan relasi antara gen, perilaku dan modernisasi. Dengan kata lain ikatan primordial ialah suatu keberadaan kelompok etnis kaitannya dengan tindakannya dalam dunia modern.

Kedua, kajian etnisitas secara instrumentalis yang merupakan kontras terhadap pandangan kaum primordialis. Dalam pandangan kaum instrumentalis kajian etnis dikaitkan dengan sosial politik, penguasaan sumber daya alam dan identitas etnis.

Menurut Cohen kelompok etnis tidak bisa dipisahkan dari interaksi intensif antar anggota kelompok etnis dengan non anggota kelompok etnis (separatis). Konsepsi ini bertentangan dengan pandangan tentang faktor kesukuan (tribal) adalah perekat bagi anggota etnis. Cohen mendasarkan pandangannya berdasarkan penelitian di Afrika bahwa dampak dari penjajahan Barat, maka peran negara sangat besar terhadap kelompok etnis. Peran pemerintah yang dijajah menggantikan fungsi suku-suku

(etnis), sehingga peran kepala adat kurang berpengaruh. Setelah penjajahan berakhir, kebiasaan negara mencampuri atau menghegemoni kelompok etnis terus berlanjut.

Dampak dari penjajahan yang lama di Afrika ialah hilangnya peran kelompok etnis dan digantikan dengan peran negara (kelompok etnis yang berkuasa). Selanjutnya

Cohen menuliskan sebagai berikut : 22

”.....ethnicity is essentially a political phenomenon, as traditional customs are used only as idioms,and as mechanisms for political alignment....ethnic grouping is essentially informal. It does not form part of the official framework of economic and political power within the state....” (Cohen,1969:198)

Namun menurut Brass kelompok etnis adalah ’rekayasa’ elite dalam membendung proses modernisasi dan sekularisasi dalam masyarakat. Proses modernisasi dan sekularisasi tersebut melibatkan kompetisi dan konflik antar elite adat, pemimpin dan antara elite politik nasional dengan eliet lokal. Isu kelompok etnis diwujudkan dalam rangka menolak intervensi kelompok pendatang yang dianggap merugikan kepentingan mereka. Brass menuliskan sebagai berikut :

”Four sources of elite conflict that may spur the development of ethnic communalism or separatism in preindustrial or early modernizing societies are those (a) between a local aristrocracy attempting to maintain its privileges against an alien conqueror; (b) between competing religious elite from different ethnic groups; (c) between religious elite and the native aristocracy within an ethnic group; (d) between native religious elites and alien aristrocracy” (Brass,1991:18) Konflik bersumber pada pertentangan antara nilai-nilai tradisional dan modern yang mengemuka dalam ranah masyarakat, yakni: antara elite lokal dengan pendatang,kompetisi antara elite agama dengan kelompok etnis, antara elite agama dan aristokrasi asli dan antara elite agama asli dengan aristokrasi asing (kelompok pendatang). Pada umumnya kaum instrumentalis memandang mobilisasi etnis terjadi dengan memanfaatkan simbol-simbol identitas budaya dan lembaga adat dalam rangka mempertahankan otoritas mereka di suatu wilayah. Oleh karena basis gerakan kaum instrumentalis pada identitas budaya dan lembaga adat, maka hal ini sangat beresiko apabila kelompok etnis tersebut termarjinal dalam pemerintahan atau tergusur karena proses modernisasi dan sekularisasi. Menurut Barth ikatan kelompok etnis hanya merupakan simbol ’penjaga batas’ (border guards) dalam bentuk bahasa, pakaian, makanan dan kesenian. Bagi Barth penggunaan simbol-simbol budaya 23 merupakan suatu ’transaksi’ (transactionalist) terhadap proses modernisasi tanpa menghilangkan identitas budaya dan lembaga adat. Pandangan Barth tentang

’transaksi’ budaya tersebut merupakan kritik terhadap batasan identitas yang selama ini dihegemoni oleh elite adat dan kegagalan mereka dalam berinteraksi dengan masyarakat modern .

Kalau Barth mempersepsi etnisitas sebagai simbol ’penjaga batas’ dan memaknainya dengan istilah ’transaksi’, maka Horowitz (1985:216-24) mempersepsi etnisitas sebagai gejala ’psikologi sosial’ (social psychological). Argumen Horowitz tentang etnisitas sebagai gejala ’psikologi sosial’ ialah bahwa kelompok etnis yang mendiami kawasan Asia dan Afrika memiliki perbedaan budaya, ekonomi, sumber daya alam yang sangat strategis untuk mendukung identitas mereka. Identitas kelompok etnis ’ditentukan’ oleh lingkungan dan bukan oleh ikatan keturunan atau nilai-nilai adat.

Menurutnya identitas kelompok etnis berhubungan dengan kekerabatan

(ikatan sedarah daging) adalah mitos. Pandangannya tentang etnisitas didasari atas asumsi bahwa untuk memahaminya harus dengan perspektif sejarah, dimana kelompok etnis tersebut bagian dari masyarakat non-kolonial. Selain itu mereka harus dipahami dengan pendekatan kolektif memori dan antagonis pra eksistensi etnis.

Selanjutnya Hutchinson dan Smith (1996:8) menuliskan sebagai berikut : ”In stark contrast to primordialist, the instrumentalists treat ethnicity as a social, political, and cultural resource for different interest and status groups.”

Pandangan instrumentalis kontras dengan pandangan primordialis, sebab pandangan instrumentalis mengaitkan mobilisasi etnis dengan rekayasa sosial, politik dan budaya. Rekayasa sosial budaya dan politik tersebut dilakukan dalam rangka 24 legitimasi atau mempertahankan diri dari gerusan kelompok pendatang. Namun

Horowitz (1985:216) menuliskan : ”Although all political systems must cope with some such claims, in a multiethnic society the size and intensity of the symbolic sector, as a fraction of all demands, constitute an excellent indicator of malintegration” Dengan kata lain elit politik merekayasa sistem politik yang ada dengan menginstrumentasi kemajemukan etnis dalam masyarakat sebagai legitimasi baginya, namun disisi lain hal ini dapat memicu kerawanan sosial.

Ketiga, kajian etnisitas secara strukturalis (fungsional) menekankan tentang perilaku pribadi dalam konteks interaksi dalam struktur yang berhubungan dengan kekuasaan pemerintah. Hecter menuliskan sebagai berikut:

”ethnic organisations are critical for two basic reasons. First, they are major source of the private reward and punishments that motivate the individual decision to particate in collection action. Second, because the individual’s benefit/cost calculation depends in part upon his estimate of the probability of success of any collective action, organisations can play a key role by controlling the information available to their members” (Hecter,1986:268-77) Dalam kutipan tersebut tampak jelas bahwa keterlibatan individu dalam tindakan kolektif (mobilisasi massa), karena adanya hadiah atau hukuman bagi mereka yang menolak terlibat. Dengan kata lain keterlibatan pribadi dalam mobilisasi jejaring etnis dimotivasi karena adanya keinginan untuk sukses dalam mensejahterakan ekonomi keluarga, komunitas dan hal ini dipantau oleh sesama anggota dan ketua adat. Dalam konteks masyarakat tradisional politik etnis merupakan pewujudan dari adanya ’bargaining’, karena aspirasi mereka tidak terwadahi. Oleh karena itu Rothschild menuliskan sebagai berikut :

”As a result, in modern and transitional societies – unlike tradisional ones politicized ethnicity has become the critical principle of political legitimation and deligitimation of systems,states, regimes and governments and at the same time has also become an effective instrument for pressing mundane interests in society’s competition for power, status and wealth. This triadic nexus among 25

ethnicity, political legitimacy and social interest meas that hypothetically, there are always several possible ethnic or ethno national cutting edge potiantially available for mobilization in a modern society.....” (Rothschild, 1981:1-9) Kutipan tersebut diatas jelas sekali memaparkan pandangan Rothschild bahwa politik etnis dalam masyarakat modern atau tradisional merupakan kritik terhadap politik legitimasi atau sebaliknya mendelegitimasi sistem yang sudah baku. Bahkan politik etnis dalam dunia modern merupakan manifestasi adanya kompetisi antar elit politik yang berebut kekuasaan, status dan kesejahteraan. Rothschild berpendapat bahwa politik etnis merupakan suatu proses dialektik antara kelompok etnis dengan proses modernisasi. Dalam konteks ini proses demokrasi dianggap oleh mereka sebagai suatu ancaman, namun juga merupakan suatu peluang untuk mendudukkan wakil mereka ke dalam struktur pemerintahan atau kekuasaan.

Selaras dengan pandangan Rothschild tersebut diatas, Hecter mendasarkan asumsinya bahwa untuk mendudukkan orang dalam kekuasaan diperlukan perilaku yang baik dan dapat diterima oleh masyarakat. Permasalahannya ialah apakah parameter untuk mengukur perilaku baik dari seseorang ? Pilihan atas seseorang yang berdasarkan kelompok etnis minoritas dapat menimbulkan konflik horisontal, kalau tidak dikelola secara bijak. Studi kasus yang baik untuk menjelaskan hal ini ialah etnis

Baluch yang beraliansi dengan etnis Sindhis dan Pashtuns di Pakistan. Menurut Selig

S. Harrison (1986:270-7) untuk menggerakkan etnis mayoritas, etnis minoritas berhasil memengaruhi mereka dengan isu nasionalisme. Harrison menuliskan : ”In seeking to mobilize a nationalist movement today, Baluch leaders can manipulate the powerful historical symbolism of a tortuous struggle for survival stretching back for more than two thosands years.” Aliansi ketiga suku tersebut kurang dari 30 % dari jumlah penduduk, namun mereka mendiami 72 % wilayah di Pakistan. Isu untuk menggerakkan masyarakat ialah mencari titik temu pentingnya nasionalisme bagi 26 rakyat Pakistan. Sejak etnis Baluch menggunakan isu nasionalisme, maka mereka mampu menggerakkan rakyat untuk memimpin dan ’memanipulasi’ simbol-simbol kekuasaan selama dua ribu tahun.

Sebaliknya menurut Brown (1994: 258-65) proses demokrasi yang terjadi di

Asia Tenggara merupakan tantangan bagi kelompok etnis, karena hal ini berarti mereduksi kekuasaan mereka. Demokrasi sebagai produk modernisasi menjadi pemicu polarisasi kekuasaan antara negara dan kelompok etnis. Menurut Brown permasalahan yang mendasar di Asia Tenggara ialah adanya konspirasi antar elit etnis dengan elit politik yang bermotifkan memperebutkan status kedudukan, kekuasaaan, ekonomi dan sumber daya alam. Menurutnya permasalahan bukan terletak pada identitas etnis, malainkan adanya aktor politik yang menggunakan isu primordial dalam rangka memperebutkan jabatan politik. Selanjutnya Brown (1994: 258) menuliskan sebagai berikut : ”The danger has been, in each of the Southeast Asian states, that ethnic interests have been deemed democratically legitimate by the state only when they have been supportive of the incumbent regime.” Dengan demikian semakin jelas bahwa instrumentasi etnis dalam negara berkembang pada umumnya untuk mendukung rejim incumbent dalam melegitimasi kekuasaannya.

Menurut Brass politik etnis di India sedikitnya dipengaruhi oleh tiga faktor yang saling berhubungan, yakni : (1) kebangkitan politik etnis pasca kemerdekaan, (2) kebijakan pemerintah yang sentralistis dan (3) perubahan sosial yang berdampak pada kemiskinan, pengangguran dan instabilitas Nasional. Ketiga faktor tersebut menjadi pemicu terjadinya perebutan kekuasaan dengan basis kasta, agama dan etnis pasca

Nehru. Ketiga faktor tersebut dapat dipergunakan oleh elit politik menjadi isu utama dalam rangka merebut kekuasaan. Konflik yang berlangsung di India sampai hari ini bermuara pada ketiga faktor tsb. Selanjutnya Brass menuliskan, sebagai berikut: 27

”Ethnic selfconsciousness, ethnically based demands, and ethnic conflict can occur only if there is some conflict either between indigenous and external elites and authorities or between indigenous elites. Four sources of elite conflict that may spur the development of ethnic communalism or separatism in preindustrial or early modernizing societies are those (a) between a local aristrocracy attempting to maintain its against an alien conqueror; (b) between competing religious elites from different ethnic groups; (c) between religious elites and the native aristrocracy within an ethnic group and (d) between native religious elites and an alien aristocracy” (Brass,1991: 18-20) Dengan demikian perilaku elite politik dalam memengaruhi masyarakat dapat menginstrumentasi konflik yang sudah terjadi dalam masyarakat.Konflik tersebut terjadi karena adanya kepentingan dan kesadaran etnis yang tidak terakomodasi dalam pemerintahan. Konflik bisa terjadi antara elite politik lokal dengan kelompok pendatang. Hal ini biasanya dipicu adanya kesenjangan ekonomi yang tajam antara penduduk asli dengan pendatang. Atau konflik yang memobilisasi massa dapat dipicu dengan isu agama dn etnis dalam rangka melegitimasi kekuasaan petahana.

Selaras dengan pandangan Brass, menurut Bell proses modernisasi, dan transformasi masyarakat merupakan isu utama politik di Afrika, Asia, Uni Soviet dan

Amerika Latin. Bell berpendapat bahwa di negara-negara berkembang telah terjadi proses sinkretisasi antara identitas budaya, politik dan struktur birokrasi. Politik etnis merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari struktur birokrasi di pemerintahan. Dengan demikian politik etnis dapat memanipulasi kebijakan pemerintah dalam rangka menghadapi ekspansi dari kelompok etnis pendatang.Selanjutnya Bell menuliskan sebagai berikut :

”Except where minorities (or majorities even) are openly repressed (for example South Africa, Angola), competition between plural groups takes place largely in the political arena. The reason is simple. Status competition is diffuse an lacks a specific site. Economic competition is dispersed between interests and occupations. But political competition is direct and tangible, the rewards are specified through legislation or by the direct allocation of jobs and privileges.” (Bell, 1975:138) 28

Elite politik dari etnis mayoritas yang berkuasa sering membatasi etnis lain untuk menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan. Oleh karena itu etnis minoritas merasa termarjinalkan dan berupaya untuk merengkuh kekuasaan. Selain itu kemudian terjadi kesenjangan ekonomi, karena sentra ekonomi dikuasai oleh etnis mayoritas. Oleh karena adanya tekanan dari kelompok etnis mayoritas, maka muncul kesadaran etnis minoritas yang termarjinal yang kemudian hal ini bergulir dalam bentuk solidaritas etnis. Yang pada gilirannya solidaritas etnis tersebut akan mewujud dalam politik etnis untuk merebut kekuasaan yang selama ini terpasung oleh kelompok etnis mayoritas.

B.Kerangka Pikir

Untuk menjabarkan konsepsi secara teoritis tentang penelitian ini, penulis menggunakan logika berpikir instrumentasi etnis, namun dengan modifikasi yang disesuaikan dalam konteks Kaltim. Menurut penulis elite yang menginstrumentasi jejaring etnis tidak bisa dipisahkan dari ikatan primordial. Dalam konteks ini ikatan primordial ialah relasi kekerabatan,kesamaan agama dan kesamaan nilai-nilai budaya.

Tujuan akhir dari instrumentasi jejaring etnis ialah dalam rangka merebut kekuasaan.

Dengan demikian instrumentasi etnis juga tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan. Tiga paradigma tersebut diatas bukan berarti memberikan garis pembatas perbedaan yang tajam, melainkan dalam penelitian ketiganya dapat dirajut menjadi satu sinergi yang menjawab rumusan masalah dalam buku ini.

1.Mobilisasi jejaring etnis

Menurut Cohen etnisitas dalam dunia modern adalah suatu upaya untuk memanipulasi simbol nilai-nilai, norma, kepercayaan, upacara adat, organisasi politik dalam merebut kekuasaan. Argumen Cohen tesebut selaras dengan argumen Brass 29 yang memaparkan bahwa kesadaran etnis (ethnic selfconsciousness) disebabkan adanya konflik antar elite politik dengan elite etnis. Dalam konteks masyarakat modern, hadirnya pembangunan yang memarjinalkan penduduk asli menimbulkan kesadaran etnis. Kesadaran etnis yang diinstrumentasi oleh elite politik mewujud dalam politik etnis, dimana mobilisasi jejaring etnis menjadi sarana untuk bargaining power terhadap kelompok pendatang yang menghegemoni mereka. Instrumentasi etnis oleh elite politik disatu sisi utuk merengkuh kekuasaan, khususnya dalam kontestasi Pilkada, namun disisi lain bagi kelompok etnis sendiri motif mereka mau diinstrumentasi ialah adanya keinginan untuk berkuasa. Oleh karena mereka tidak mampu menginstrumentasi partai politik, maka strategi yang diterapkan oleh elite adat (dewan adat) ialah bekerjasama dengan elit politik (kandidat) dalam merengkuh kekuasaan.

Dengan demikian mobilisasi jejaring etnis adalah suatu upaya merengkuh kekuasaan dengan menginstrumentasi kekerabatan, persaudaraan, upacara adat dan ritual keagamaan. Instrumentasi budaya atau adat tersebut dimanfaatkan sedemikian rupa dalam rangka mendukung pengembangan organisasi politik. Dalam masyarakat yang masih menghargai nilai-nilai budaya atau masyarakat tradisional – instrumentasi jejaring etnis melalui kekerabatan, persaudaraan, upacara adat dan ritual keagaaman tersebut efektif untuk mendapatkan legitimasi masyarakat. Teori Cohen , Brass dan

Rothschild yang dimodifikasi sedemikian rupa dapat dipakai untuk menjelaskan tentang instrumentasi jejaring etnis yang dimanfaatkan elit politik untuk mendapatkan legitimasi rejim,bargaining power kelompok etnis terhadap partai politik dan dalam upaya merengkuh kekuasaan. 30

2.Pemenangan Pilkada

Untuk menjelaskan tentang konsep pemenangan Pilkada, hal ini tidak bisa dipisahkan dari perilaku pemilih. Mobilisasi jejaring etnis adalah salah satu strategi yang dimanfaatkan oleh elite politik dalam rangka meraih suara pemilih sebanyak- banyaknya. Namun pada umumnya masyarakat Kaltim masih terikat oleh adat dan budaya dan lebih cenderung mudah dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya. Dalam rangka memberikan kerangka teori terhadap konsep pemenangan pemilih, maka perpaduan tiga teori perilaku pemilih tersebut di bawah ini dipakai untuk menjelaskan terhadap fenomena perilaku pemilih di Kaltim.

Adapun tiga pendekatan teoritis dalam mengkaji perilaku pemilih,sebagai berikut : (1) sosiologis atau sosial struktural, (2) psikologi sosial dan (3) pilihan rasional (rational choice). Pertama, pendekatan perilaku pemilih secara sosial kultural. Menurut Lazarsfeld,Berelson dan Gaudet (1968) perilaku pemilih memiliki kaitan erat dengan empat faktor yang saling memengaruhi, yakni (a) status sosial ekonomi (pendidikan,jenis pekerjaan,pendapatan dan kelas), (b) agama, (c) etnik dan

(d) wilayah tempat tinggal (kota, pesisir, desa dan pedalaman). Faktor etnis diwujudkan dengan status sosial kandidat (elit politik) dan kaitannya dengan latar belakang etnis pemilih. Selanjutnya Lazersfeld dan kawan-kawan menuliskan sebagai berikut:

“There is a familiar adage in American folklore to the effect that a person is only what he thinks he is, an adage which reflects the typically American notion of unlimited opportunity,the tendency toward self-betterment, etc. Now we find that the reverse of the adage is true: a person thinks, politically, as he is, socially. Social characteristics determine political preference “(Lazarsfeld et al., 1968: 69)

Dari kutipan tersebut eksplisit Lazersfeld dan kawan-kawan membuat suatu konklusi bahwa faktor sosial ekonomi, agama dan tempat tinggal sangat memengaruhi 31 pemilih. Kesimpulan tersebut berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 600 orang dengan metode pengumpulan data melalui angket dan wawancara. Lazarsfeld juga mencatat adanya peralihan suara pada hari pemilihan, namun jumlah mereka hanya delapan persen. Lazarsfeld menuliskan sebagai berikut :

“In short, the party changers — relatively, the people whose votes still remained to be definitely determined during the last stages of the campaign, the people who could swing an election during those last days — were, so to speak, available to the person who saw them last before Election Day. The notion that people who switch parties during the campaign are mainly the reasoned, thoughtful, conscientious people who were convinced by issues of the election is just plain wrong. Actually, they were mainly just the opposite.” (Lazarsfeld et al,1968:69)

Perpindahan suara pemilih tersebut berdasarkan survei Lazarsfeld dan kawan- kawan sangat dimungkinkan, karena mereka berbeda pendapat dengan kandidat, namun jumlah mereka tidak sampai melebihi sepuluh persen. Sementara itu pemilih yang tetap mendukung kandidat sampai hari pemilihan, karena pengaruh sosial ekonomi, agama dan domisili pemilih mencapai lima puluh tiga persen. Selanjutnya

Lazarsfeld menyimpulkan dari hasil survei tersebut, sebagai berikut :

“In sum, then, this is what the campaign does: reinforcement (potential) 53%; activation 14%; reconversion 3%; partial conversion 6%; conversion 8%; no effect 16%.”(Lazarsfeld et al.,1968:103).

Kedua, pendekatan perilaku pemilih secara psikologi sosial. Hasil temuan

Campbell dan kawan-kawan (1960) menunjukkan bahwa perilaku pemilih tidak dipengaruhi secara langsung oleh faktor sosial, namun pemilih lebih banyak dipengaruhi oleh faktor psikologis.Yang dimaksud faktor psikologis ialah kedekatan kandidat dengan pemilih, kharisma kandidat, karakter,kesamaan etnis dan agama kandidat dengan pemilih dan kepedulian kandidat terhadap para pemilih. Selanjutnya

Campbell dan kawan-kawan menuliskan hasil surveinya sebagai berikut: 32

“In characterizing the relation of individual to party as a psychological identification we invoke a concept that has played an important if somewhat varied role in psychological theories of the relation of individual to individual or of individual to group. We use the concept here to characterize the individual’s affective orientation to an important group-object in his environment. Both reference group theory and small-group studies of influence have converged upon the attracting or repelling quality of the group as the generalized dimension most critical in defining the individual-group relationship, and it is this dimension that we will call identification.” (Campbell, 1960:121)

Argumen yang diajukan oleh Campbel dan kawan-kawan ialah pemilih baik perorangan atau kelompok memiliki relasi dengan kandidat atau elit politik.

Berdasarkan argumen tersebut Campbel dan kawan-kawan mengembangkan surveinya bahwa ada keterkaitan antara pribadi dengan kelompok secara psikologi.

Campbell menjelaskan paradigma psikologi relasi antara pemilih dengan kandidat

(elit politik) dengan penggambaran cerobong asap, sebagai berikut :

“To think of a funnel in this way greatly enlarges our explanatory chore, for in the ideal case we want to take measurements that refer to states not at one cross section alone, but at a great number. Each cross section contains all the elements that will successfully predict the next, and so on, until we have arrived at the final act.” (Campbell, 1960:121)

Cerobong asap digambarkan sebagai negara yang memiliki banyak tugas atau fungsi, sedangkan asap yang keluar adalah para pemilih atau masyarakat. Jadi cerobong hanya merupakan wadah atau sarana untuk menyalurkan asap yang keluar.

Dengan demikian gambaran ini memberi tekanan pada adanya relasi kedekatan antara kandidat dengan pemilih menjadi faktor penentu pemenangan dalam Pemilu.Tanpa adanya kedekatan antara kandidat dengan pemilih, maka kandidat tidak akan dipilih oleh masyarakat.

Ketiga, pendekatan perilaku pemilih secara rasional. Pendekatan perilaku pemilih dengan perspektif rational choice ini dipelopori oleh Anthony Downs (1957).

Argumen yang diajukan Downs ialah perilaku pemilih ditentukan pada saat dia 33 memberikan suaranya di tempat pemungutan suara (TPS). Dalam hal ini pertimbangan pemilih ialah cost and benefits sebelum menentukan pilihan. Pemilih berargumen apa untung dan ruginya memilih kandidat. Kalau ternyata kandidat yang berkompetisi tidak akan mampu membawa perubahan dalam bidang ekonomi dan politik, maka mereka cenderung golput atau tidak pemilih siapapun.

“Our main thesis is that parties in democratic politics are analogous to entrepreneurs in a profit-seeking economy. So as, to attain their private ends, they formulate whatever policies they believe will gain the most votes, just as entrepreneurs produce whatever products they believe will gain the most profits for the same reason. In order to examine the implications of this thesis, we have assumed that citizens behave rationally in politics. This premise is itself a second major hypothesis. “(Downs, 1957: 295-296).

Argumen yang diajukan oleh Downs dalam mempersepsi perilaku pemilih dengan menggunakan analogi bisnis. Pada umumnya pebisnis menggunakan pertimbangan ‘untung rugi’ dalam memutuskan sesuatu – analogi ini dipergunakan oleh Downs untuk menjelaskan perilaku pemilih dalam menentukan pilihan terhadap kandidat. Kalau kandidat yang akan dipilih dinilai menguntungkan secara ekonomi atau kandidat mampu memberikan bukti adanya perubahan ekonomi, maka dia yang akan dipilih. Sebaliknya kandidat yang tidak memberikan perubahan ekonomi secara mandasar, maka dia cenderung tidak akan dipilih oleh masyarakat. Prinsip dari teori rational choice ialah efisiensi - pemilih akan mempertimbangkan efisiensi suara dia dalam pemilihan. Apakah efektif memilih kandidat A atau kandidat B ? Kalau ternyata tidak ada kandidat yang dinilai efisien dalam arti dia mampu dan dapat dipercaya membawa perubahan, maka dia akan cenderung golput. Selanjutnya Downs menuliskan, sebagai berikut :

“This follows from the definition of rational as efficient, i.e., maximizing Output for a given input, or minimizing input for a given output. Thus, Whenever economists refer to a ’rational man’ they are not designating a man whose 34

though processes consist exclusively of logical propositions, or a man without prejudices, or a man whose emotions are inoperative. In normal usage all of these could be considered rational men. But the economic definition refers solely to a man who moves toward his goals in a way which, to the best of his knowledge, uses the least possible input of scarce resources per unit of valued output.” (Downs, 1957: 5)

Dengan demikian teori rational choice dapat diintisarikan sebagai suatu teori perilaku pemilih dengan paradigm ‘untung rugi’. Perilaku pemilih sangat bergantung pada output yang akan didapat. Kalau output yang diberikan oleh kandidat bagus dan masuk akal, maka dia akan mendukung kandidat. Selama kandidat memberikan keuntungan ekonomi secara konkret dan telah membuktikannya dengan karya nyata dalam masyarakat dengan pemberdayaan ekonomi, maka dia akan dipilih.

3. Money Politics

Praktik money politics dalam Pilkada di Indonesia menyebabkan ratusan

Kepala Daerah terjerat perkara hukum. Tampaknya praktik money politics tidak terpisahkan dengan klientelisme dalam masyarakat agraris atau negara berkembang.

Dalam negara berkembang masyarakat masih terikat kuat dengan tradisi dan adat istiadat. Peranan kepala adat dan tokoh agama sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat agraris (berkembang) relasi klientelisme antara elite politik dengan tokoh adat atau tokoh agama sering terjadi. Oleh karena itu dalam

Pemilu/Pilkada sang kandidat sering menggunakan relasi klientelisme ini untuk meraih dukungan dan memengaruhi para pemilih. Selain itu salah satu strategi efektif yang digunakan elite politik untuk memengaruhi suara pemilih ialah dengan melakukan tindakan money politics.

Menurut Herbert E.Alexander money politics digambarkan seperti sumber energi yang memengaruhi perilaku pemilih. Apalagi hal ini ditopang dengan sistem

Pemilu yang berfokus pada ‘one person, one vote, one value – pemberian uang kepada masyarakat mampu memengaruhi pilihan pemilih. Namun ironinya kandidat 35 tidak memiliki modal yang cukup untuk kampanye, oleh karena itu hal ini membuka peluang bagi pengusaha besar untuk menjadi donatur. Selanjutnya Alexander menuliskan tentang hal ini sebagai berikut :

“Sebenarnya dalam semua masyarakat, uang adalah sebuah medium atau alat yang sangat signifikan untuk dapat menguasai energi dan sumber daya….Uang dapat dipertukarkan ke dalam bentuk sumber daya yang lain. Ia dapat digunakan untuk membeli barang, juga dapat memberi energi, ketrampilan dan jasa manusia….Penggunaan secara cerdas ideologi,isu dan penghasilan atau janji-janji dukungan finansial akan mampu membangkitkan dukungan keuangan terhadap aktor-aktor politik….” (Alexander, 2003 : 29)

Dari kutipan tersebut tampak jelas bahwa uang adalah medium atau alat yang dapat diinstrumentasi oleh elit politik untuk menguasai energi dan sumber daya dalam rangka memengaruhi perilaku pemilih. Oleh karena melalui uang yang diinstrumentasi oleh elit politik dapat mewujud dalam bentuk pemberian barang,jasa dan ketrampilan. Dengan kata lain tindakan money politics adalah suatu upaya yang dilakukan oleh kandidat dalam rangka memengaruhi para pemilih yang mewujud dalam bentuk kegiatan pemberian sembako,uang, jasa dan ketrampilan.

Praktik money politics dilakukan secara tersembunyi oleh tim sukses dengan cara merekrut kader sampai ke desa-desa dengan tujuan untuk memengaruhi tokoh masyarakat setempat. Argumen yang penulis ajukan ialah money politics berlangsung bersamaan dengan mobilisasi jejaring etnis untuk pemenangan kandidat dalam

Pilkada. Namun money politics tidak akan efektif dalam pemenangan kandidat tanpa adanya instrumentasi jejaring etnis.

4. Teori Alternatif

Ketiga kerangka teori tersebut diatas oleh penulis dimodifikasi sedemikian rupa dalam rangka menjawab pertanyaan permasalahan dalam buku ini. Teori sosio kultural dapat dipakai untuk menjelaskan tentang mobilisasi jejaring etnis dan money politics, sedangkan teori psikologi sosial dipakai untuk menjelaskan pangaruh 36 kedekatan atau perasaan pemilih dengan kandidat. Sementara itu teori rational choice dipergunakan untuk menjelaskan perilaku pemilih di perkotaan, khususnya dari kalangan menengah ke atas, dimana mereka sudah ‘melek politik’ dan cenderung mengandalkan rasio dalam menentukan pilihan. Untuk menjelaskan konsepsi teori tersebut ke dalam penelitian ini dipaparkan melalui Gambar 1.1 di bawah, sebagai berikut:

Gambar 1.1 Mobilisasi jejaring etnis

Modal Sosial: legitimasi,citra a

Modal Budaya : Kandidat Mobilisasi Kekerabatan,ritual Suara Pemenangan adat,agama Etnis Pemilih Pilkada

Modal Ekonomi: money politics

Gambar 1.1 tersebut di atas memaparkan tentang alur kandidat dalam kontestasi Pilkada langsung yang membutuhkan modal sebagai syarat untuk menang.

Bagi kandidat yang ingin memenangkan persaingan dalam Pilkada minimal harus memiliki tiga modal, yakni: (1) modal sosial, (2) modal budaya dan (3) modal ekonomi. Modal sosial merupakan modal dasar bagi kandidat untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Apalagi kalau kandidat bukan berasal dari penduduk asli, modal sosial ini mutlak diperlukan dalam rangka memeroleh kepercayaan masyarakat.

Tanpa kepercayaan masyarakat terhadap kandidat, maka dukungan suara terhadapnya akan kecil. Bagi kandidat yang berasal dari putra daerah, hal ini merupakan peluang baginya untuk mendapatkan dukungan yang sebanyak-banyaknya dari masyarakat. 37

Kandidat yang telah membuktikan berkarya dengan efektif dalam masyarakat, berpengalaman dan terbukti dapat diterima oleh semua kelompok etnis, maka tingkat elektabilitas dan kapabilitasnya tinggi.

Namun kandidat tidak cukup hanya memiliki modal sosial saja tanpa diimbangi dengan mengakarkan pengaruhnya ke dalam jaringan kelompok etnis. Oleh karena itu kandidat yang cerdik memanfaatkan jejaring etnis untuk memeroleh dukungan suara sebanyak-banyaknya, sebab masyarakat Indonesia pada umumnya masih terikat dengan faktor etnis dan mudah dimobilisasi. Penelitian tersebut diatas membuktikan bahwa masyarakat (pemilih) masih terikat kuat dengan budaya dan agama, sehingga simbol-simbol budaya dan agama dapat dijadikan instrumen untuk memengaruhi para pemilih. Untuk melegitimasi kandidat sebagai figur yang merangkul atau menerima semua etnis dalam masyarakat yang majemuk, maka instrumen yang dimanfaatkan oleh elit politik ialah rekayasa bahasa tentang pentingnya “rasa kekitaan” dan saling memiliki diantara kelompok etnis. Pemanfaatan rasa kekitaan merupakan instrumen yang efektif untuk menepis anggapan bahwa kandidat hanya ‘milik’ dari satu kelompok etnis tertentu. Dengan merekayasa “rasa kekitaan” diantara kelompok etnis yang majemuk, maka sang kandidat memosisikan diri sebagai figur pengayom, pemersatu dan pemimpin yang kapabel bagi semua kelompok etnis.

Positioning kandidat sebagai figur pemersatu dan pengayom memungkinkan kandidat untuk merekayasa adanya “musuh bersama” yang mengancam “rasa kekitaan” dan rasa memiliki, sehingga persepsi pemilih difokuskan hanya untuk memilih satu kandidat saja dan mengabaikan kandidat lain yang dianggap sebagai

“musuh bersama”. Namun semua upaya untuk memanfaatkan instrumen jejaring etnis

(kekerabatan), budaya/agama,rasa kekitaan,dan merekayasa musuh bersama tersebut 38 tidak dapat berjalan dengan efektif tanpa adanya modal ekonomi yang terwujud dengan adanya praktik money politics. Modal ekonomi dapat dibedakan menjadi dua yakni : (1) biaya politik dan (2) money politics. Biaya politik yang dimaksud ialah suluruh biaya aktifitas kampanye yang secara legal dihimpun dan dilaporkan kepada

KPU. Sementara itu biaya money politics ialah biaya illegal yang dihimpun dari donator dan tidak dilaporkan ke KPU. Biaya money politics ini dipergunakan untuk kegiatan kampanye terselubung baik berupa biaya dana sosial, dana pembangunan dan dana yang diberikan selama proses kampanye kepada pemilih dalam bentuk uang atau barang. Tindakan money politics ini merupakan “sumber energi” yang menggerakkan modal sosial dan mobilisasi jejaring etnis yang berdampak pada perilaku pemilih untuk memilih sang kandidat.

Sementara itu perilaku pemilih tampaknya tidak hanya digerakkan oleh faktor kekerabatan atau persaudaraan, melainkan oleh faktor psikologi, dimana pemilih memiliki kedekatan dan mengenal kandidat. Dalam konteks masyarakat tradisional faktor sosio kultural dan psiko sosial sangat menentukan perilaku pemilih. Namun hal ini tampaknya kurang berpengaruh pada masyarakat perkotaan yang cenderung rasionalis. Dasar penentuan pilihan mereka ialah ‘untung dan rugi’, oleh karena itu tindakan money politics mampu memengaruhi pilihan mereka.

C.Definisi Konsep Untuk mengoperasionalkan konsepsi teori alternatif tersebut diperlukan suatu definisi yang jelas, agar tidak terjadi penafsiran ganda atau salah persepsi. Adapun konsep-konsep kunci dalam buku ini, sebagai berikut

1. Mobilisasi jejaring etnis ialah suatu instrumentasi yang dilakukan oleh

elite politik (kandidat) dalam rangka kontestasi pemenangan Pilkada. 39

Tujuan instrumentasi etnis ialah untuk merengkuh kekuasaan.

Instrumentasi jejaring etnis meliputi elemen kekerabatan, persaudaraan

(paguyuban),ritual adat, agama, perasaan kekitaan dan kesadaran adanya

musuh bersama. Semua elemen etnis tersebut dimanipulasi oleh elite

politik untuk melegitimasi dirinya atau rejim dalam memengaruhi

perilaku pemilih.

2. Pemenangan Pilkada ialah suatu strategi yang dilakukan oleh elite

politik (kandidat) yang dijabarkan oleh tim sukses dalam kegiatan

kampanye dalam rangka memengaruhi perilaku pemilih. Oleh karena itu

tim sukses menggunakan berbagai strategi, diantaranya strategi ofensif

dan defensif. Strategi ofensif dilakukan dalam rangka merebut suara atau

memengaruhi suara pemilih dengan cara kampanye secara massif

melalui media massa, media elektronik dan program-program unggulan

yang mematahkan strategi lawan. Adapun strategi defensif ialah suatu

upaya kandidat untuk mempertahankan basis massa pendukung dari

serangan lawan. Tujuan penerapan strategi defensif ini ialah untuk

mempertahankan basis massa pendukung, agar tidak pindah ke lawan

politik.

3. Perilaku pemilih ialah perasaan, pikiran dan sikap pemilih terhadap

kandidat dalam Pilkada. Perilaku pemilih dipengaruhi oleh tiga faktor

yang saling berkaitan satu terhadap yang lain, yakni : (1) sosial budaya,

(2) psikologi dan (3) rational choice. Penentuan suara pemilih terhadap

sang kandidat dalam Pilkada terkait dengan ikatan kekerabatan,

paguyuban,kesamaan budaya dan agama. Selain itu faktor kedekatan, 40

kharisma dan jejak rekam kandidat dalam karya nyata mengentaskan

ekonomi masyarakat juga memengaruhi perilaku pemilih

4. Money Politics adalah istilah umum untuk menjelaskan tentang tindakan

elit politik yang menginstrumentasi uang untuk memengaruhi pemilih

dalam rangka merengkuh kekuasaan. Adapun bentuk kegiatan yang

dilakukan elite politik untuk ‘membeli suara’ pemilih diwujudkan

dengan pemberian uang, sembako, barang elektronik,pengobatan gratis

dan sekolah gratis. Untuk melancarkan kegiatan money politics tersebut

elite merekrut vote brokers yang merupakan kader atau tim sukses

kandidat yang dibayar oleh kandidat dengan tugas khusus sebagai

pelaksana di desa-desa,kelurahan,kecamatan dan kota untuk

memengaruhi para pemilih 41

BAB III

MODAL DAN STRATEGI POLITIK DALAM PILKADA

Dalam Bab III penulis mengajukan argumen tentang penguasaan elite politik

(kandidat) terhadap identitas sosial masyarakat plural secara tepat, maka dia akan mampu memanfaatkannya sebagai modal sosial dalam rangka pemenangan Pilkada.

Elite politik mampu menginstrumentasi identitas etnis sebagai strategi untuk memengaruhi perilaku pemilih. Maraknya instrumentasi politik identitas (etnis) mencuat pasca Orde Baru, karena adanya marjinalisasi terhadap kelompok etnis asli di

Kaltim. Munculnya politik identitas juga dipicu dengan adanya perubahan kondisi sosial, budaya dan ekonomi dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena salah satu penyebabnya ialah migrasi kelompok etnis pendatang ke Kaltim yang berdampak penduduk asli merasa ‘terancam’, karena sentra ekonomi dan pemerintahan dikuasai oleh kelompok etnis pendatang.

A.Migrasi Etnis Pendatang

Pada mulanya kehadiran migran etnis Jawa, Banjar dan Bugis ke Kaltim tidak memengaruhi perubahan sosial dan budaya masyarakat setempat, karena motif mereka bermigrasi hanya untuk mencari pekerjaan yang layak. Mereka bermigrasi ke Kaltim, karena terdesak oleh sempitnya lapangan pekerjaan di daerah. Terdesak oleh keadaan dan minimnya lapangan pekerjaan di Jawa dan Sulawesi Selatan, maka mereka memutuskan migrasi ke Kaltim. Etnis Jawa datang ke Kaltim termotivasi untuk 42

mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Sedangkan etnis Banjar dan Bugis datang ke

Kaltim dipengaruhi oleh kebiasaan mereka merantau atau membuka ladang baru.

Migrasi etnis ke Kaltim tersebut tampaknya sejalan dengan kebijakan yang diterapkan oleh Orde Baru, dimana etnis Jawa yang mayoritas jumlah penduduknya dipindahkan ke daerah yang minim penduduknya di Kaltim seperti di Nunukan,

Malinau, Bulungan,Kutai Kartanegara dan Tarakan. Penyebaran etnis Jawa ke beberapa daerah tersebut dalam perkembangannya memengaruhi perubahan komposisi penduduk setempat yang pada gilirannya memengaruhi kondisi sosial, politik,budaya dan ekonomi. Demikian juga dengan kehadiran etnis Banjar dan Bugis yang datang terlebih dahulu ke Kaltim dibandingkan orang Jawa. Mereka semakin berkembang dan bermukim di , Balikpapan dan Bontang. Jumlah para migran ini semakin berkembang bersamaan dengan kebijakan pemerintah untuk mengeksplorasi hasil hutan dan sumber daya alam Kaltim. Eksplorasi hasil hutan dan tambang berdampak positif dengan adanya ribuan lowongan pekerjaan baru bagi para migran. Dengan adanya kebijakan pemerintah tentang transmigrasi dan eksplorasi hasil hutan dan tambang tersebut berdampak terjadinya politik identitas atau politik etnis. Kehadiran para migran telah memengaruhi kondisi sosial masyarakat dan hal ini tampak dengan terjadinya sekat-sekat dalam masyarakat yang berbasis pada ikatan primodial (suku, agama, ras dan antar golongan).

Tujuan rekayasa transmigrasi ke Kaltim oleh rejim Orde Baru dimaksudkan untuk mengendalikan daerah perbatasan yang sulit terdeteksi atau dikendalikan oleh pemerintah, khususnya etnis Dayak atau penduduk asli. Selain itu hal ini juga 43

dilatarbelakangi oleh pengalaman konflik antara RI dengan Malaysia pada era Orde

Lama, dimana Daerah perbatasan seperti Nunukan dan Malinau sangat rawan terhadap masuknya pihak asing (penyusup) yang memicu kerawanan sosial, masuknya senjata ilegal dan penjualan hasil hutan secara ilegal.

Sementara itu di ranah politik tingkat lokal, Soeharto merestui kepemimpinan

Abdul Wahab Sjahranie (etnis Banjar) di awal Orde Baru (1967-1978) sebagai

Gubernur Kalimantan Timur dalam rangka untuk menepis ‘sentimen anti Jawa’.

Tampaknya Sjahranie sebagai bemper Soeharto untuk mengendalikan pemerintahan dan ekonomi di Kalimantan Timur. Selain itu Soeharto juga memakai etnis China dengan cara mereka diberi ijin Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Strategi Soeharto dengan menempatkan putra Daerah (etnis Banjar) dan etnis China dalam mengelola hutan menimbulkan stigma di masyarakat Kaltim bahwa etnis Jawa identik ‘pengeruk harta’ kekayaan alam Kalimantan Timur.

Dalam bagian ini akan dipaparkan tentang beberapa faktor yang saling berkaitan berhubungan dengan perubahan sosial budaya masyarakat yang dimanfaatkan oleh elit politik sebagai modal sosial dalam Pilkada di era transisi demokrasi, sebagai berikut:

(1) identitas sosial masyarakat sebagai modal politik, (2) pemanfaatan kesadaran etnis dan (3) modal ekonomi kandidat.

B. Modal Politik

Pengenalan dan identifikasi identitas sosial masyarakat bagi elite politik sangat penting, karena hal ini merupakan modal sosial yang dapat dimanfaatkan untuk melegitimasi kandidat dalam memengaruhi pemilih. Dengan kandidat (elite politik) 44

memahami modal sosial secara tepat, maka melaluinya pemetaan kebutuhan dan segmen pemilih dapat dirumuskan secara tepat. Untuk memahami relasi modal sosial dan pemanfaatan tersebut oleh elit politik dalam Pilkada, ada baiknya kita bandingkan dengan penelitian terdahulu yang mirip atau mendekati dengan studi kasus penelitian ini.

Studi terdahulu tentang migrasi etnis dilakukan oleh Joanna Herbert, dia meneliti keberadaan migran dari Asia yang berada di Leicester (Inggris). Dari penelitian

Herbert tersebut ditemukan adanya kecenderungan kelompok migran yang minoritas tersegregasi oleh kelompok mayoritas. Mereka yang merantau lama di Inggris merasa nyaman kalau berada di komunitas sesama migran. Mereka membentuk paguyuban yang bertujuan untuk memperkuat solidaritas sesama migran. Hubungan antar individu secara informal semakin erat dalam situasi yang tersegegrasi. Temuan penting Herbet menunjukkan bahwa ada kecenderungan kaum wanita lebih mudah toleran terhadap etnis lain dibanding kaum lelaki. Selanjutnya Herbert menuliskan sebagai berikut :

“A key theme that emerged from the narratives of the South Asians was their feelings of marginalisation from British society due to the barriers of racism, experiences that are rarely acknowledged in success stories of minority ethnic groups. It has been shown that there was no uniform exclusion from British society, which itself was not homogeneous” (Herbert, 2008:171)

Kaum migran ini termarjinal oleh kelompok mayoritas (kulit putih), oleh karena itu mereka mencari solusi untuk dapat bertahan hidup. Dalam konteks penelitian tersebut di atas elit politik yang memanfaatkan isu gender atau kepedulian terhadap wanita kemungkinan besar akan mendapat dukungan kaum migran, karena kebutuhan mereka terakomodasi. Isu kampanye yang ditawarkan oleh kandidat didaerah kaum 45

migran dalam hal ini bisa difokuskan dengan tema-tema gender, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan ibu dan anak. Isu kampanye yang menyentuh kebutuhan kaum wanita dan anak akan menarik simpati kelompok pendatang (migran).

Menurut Miyazaki seperti yang dikutip Riwanto Tirtosudarmo, seorang ahli antropologi Jepang yang meneliti tentang migrasi orang Jawa pada jaman kolonial yang telah bermukim lama di Johor-Malaysia, dia menemukan adanya transformasi sosial budaya berkaitan dengan migrasi etnis Jawa ke Johor dan Kalimantan. Miyazaki menyebut para migran Jawa ini berpindah tempat ke Kalimantan membawa social and cultural elements, capital skills, hard working spirit atau network. Selanjutnya

Miyazaki mengajukan dua konsep yang menarik untuk dikaji berkaitan dengan migrasi, yakni; (1) niche dan (2) otherness. Selanjutnya Tirtosudarmo menjelaskan ke dua konsep tersebut, sebagai berikut :

“Niche adalah sebuah konsep yang menerangkan suatu lingkungan tertentu yang membuat para migran merasa cocok dan nyaman untuk mengembangkan kebudayaan mereka di tempat baru. Otherness merupakan konsep yang menerangkan makna kehadiran orang-orang dari kelompok etnis lain sebagai peneguh identitas penduduk dari latar belakang kebudayaan yang berbeda.”(Tirtosudarmo, 2007:11)

Konsepsi niche menjelaskan tentang kehadiran para migran di suatu tempat yang baru (nyaman) dan mereka mampu beradaptasi dan mengembangkan kebudayaan. Di tempat yang baru tersebut para migran dapat melebur dengan budaya lokal tanpa menghilangkan budaya asli mereka.

Sebaliknya konsepsi otherness merupakan penegasan kehadiran etnis lain dalam suatu daerah yang akan membawa mereka kepada kesadaran etnisitas (asli) bahwa mereka berbeda dengan etnis yang lain. Bagi elit politik pemanfaatan konsepsi niche, 46

dimana rasa diterima dan nyaman sangat diperlukan. Isu tentang konsepsi niche ini bisa direkayasa oleh kandidat (elit politik) untuk melegitimasi dirinya sebagai pengayom masyarakat atau diterima oleh semua kelompok masyarakat tanpa membedakan etnis.

Sedangkan konsepsi otherness dapat dimanfaatkan oleh elit politik atau kandidat kaitannya dengan isu putra Daerah dan musuh bersama. Elit politik dapat memakai isu otherness ini sebagai sarana untuk ‘menyerang’ lawan politik dan merekayasa ‘musuh bersama’. Rekayasa memori sosial ini penting dalam rangka elit politik mencitrakan diri sebagai figur pengayom dan memberikan rasa aman terhadap masyarakat. Dengan adanya rekayasa isu ‘musuh bersama’ (otherness), maka diharapkan akan tercipta rasa senasib sepenanggungan dalam masyarakat. Adanya otherness dianggap sebagai

‘musuh bersama’ yang harus ‘dilawan’ dan figur yang diharapkan bisa melawan adalah elit politik yang merekayasa memori sosial masyarakat tersebut.

Adanya kebutuhan ‘rasa aman’ yang didapatkan melalui komunitas di satu sisi, memunculkan sisi lain yang berbeda dengan komunitas atau etnis lain. Dalam konteks masyarakat plural elit politik dituntut untuk menyampaikan pesan yang tepat berkaitan dengan identitas sosial, agar memengaruhi mereka untuk memberikan dukungan suara.

Menurut Dickson dan Scheve dalam penelitian tentang political speech kaitannya dengan identitas sosial, mereka menyimpulkan bahwa kemampuan kandidat memahami identitas sosial dan kebijakan yang dibutuhkan oleh masyarakat menentukan pemenangan kandidat dalam kontestasi Pemilu/Pilkada. Dickson dan Sceve menuliskan sebagai berikut :

“Thus, a simple answer to the first question is that candidates seeking office can 47

have an incentive to make group-based appeals because such appeals can attract votes. This is, however, an incomplete answer, and the existing literatures do not persuasively address the second question concerning the conditions under which rhetoric will be observed. To answer both questions requires a strategic analysis of electoral competition; politicians’ incentives to engage in group rhetoric are determined not only by the social identity interests of voters but also by the strategies of competitors and the structure of electoral competition” (Dickson and Sceve, 2004:1)

Elit politik yang memahami identitas sosial dapat memanfaatkan hal ini sebagai strategi, penentuan positioning dan keberpihakan kepada masyarakat, sehingga berdampak dukungan masyarakat terhadapnya. Elit politik atau kandidat menginstrumentasi identitas etnis yang merupakan kelompol yang termarjinal untuk kepentingan pemenangan Pemilu atau Pilkada. Dalam hal ini elit politik menempatkan diri sebagai pihak ‘yang termarjinal’, agar mendapatkan dukungan dari masyarakat. Dia hanya sekedar retorika dan memberikan janji-janji kepada masyarakat, namun belum tentu memenuhinya. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk memobilisasi massa, agar menimbulkan ketertarikan terhadapnya.

Perpaduan antara perubahan sosial yang terjadi sebagai dampak dari migrasi etnis ke suatu daerah dan pemahaman terbentuknya identitas sosial yang baru tersebut dapat dimanfaatkan oleh kandidat dalam pemenangan Pemilu (Pilkada). Penelitian tentang relasi antara political speech kaitannyan dengan identitas etnis dilakukan juga oleh Daniel N. Posner (2005). Posner meneliti interaksi antar etnis relasinya dengan institusi politik di Afrika Selatan. Temuan Posner menunjukkan bahwa setiap individu memiliki identitas etnis yang saling terkait, seperti hubungan antar anggota keluarga.

Relasi dalam suatu keluarga atau kelompok tersebut menggunakan simbol budaya, bahasa dan agama yang mengikat mereka. Identitas yang melekat baik secara individu 48

maupun kolektif merupakan faktor yang penting bagi kandidat untuk memanfaatkannya dalam pemenangan Pemilu (Pilkada).

Posner (2005) mengajukan argumen penggunaan identitas sosial dalam merebut suara pemilih dengan dua istilah, yakni: (1) playing ethnic attachment dan (2) playing ethnic card. Pemanfaatan playing ethnic attachment yang dimaksud ialah suatu keadaan dimana identitas sosial terbentuk karena adanya rekayasa sosial oleh elit politik.

Identitas sosial terbentuk karena adanya kepentingan politik sesaat dalam memenuhi kepentingan elit. Sedangkan playing ethnic card ialah pemanfaatan identitas sosial yang sudah terbentuk atau sudah ada dalam menghadapi gerusan kaum migran atau kelompok pendatang yang mengancam eksistensi etnis asli1.

C. Pemanfaatan Modal Sosial

Dalam hal ini situasi dan kondisi masyarakat di Kaltim berbeda situasi dan kondisi dengan apa yang terjadi di Afrika dan Eropa. Namun ada beberapa persamaan diantaranya hadirnya para migran (kelompok pendatang) yang memengaruhi perubahan kondisi sosial budaya dan pemanfaatan isu etnis oleh elit politik sebagai sarana pemenangan Pilkada (pemilihan Gubernur). Pemanfaatan perubahan masyarakat sebagai modal sosial oleh elit politik yang terjadi di Kaltim sedikitnya meliputi dua faktor, yakni: (1) secara alamiah dan (2) instrumentasi kesadaran etnis oleh elit politik.

1 Lihat Faktor Etnis dalam Pilkada, Januari 2008,hal.27-29.Tim Lingkaran Survei Indonesia menganalisis faktor etnis dalam Pilkadadi Indonesia, studi kasus Pilkada di Provinsi Bangka Belitung, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat. Pertimbangan survei di tiga provinsi tersebut ialah untuk menguji apakah faktor etnis memiliki pengaruh terhadap perilaku pemilih. Selain itu kandidat yang mencalonkan diri berasal dari kelompok pendatang. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa faktor etnis yang sama antara kandidat dengan pemilih sangat berpengaruh di Kalbar. Namun dalam Pilkada di Bangka Belitung dan Sulsel, kandidat yang berbeda etnis dengan pemilih tidak memiliki pengaruh. Masyarakat Bangka Belitung dan Sulsel sudah mampu menerima kehadiran etnis lain dalam Pilkada. 49

Pertama, perubahan sosial yang terjadi secara alamiah. Perubahan sosial yang terjadi dalam konteks ini ialah karena adanya migrasi etnis ke Kaltim secara spontan

(alamiah), karena adanya lapangan pekerjaan baru. Pada mulanya daerah Kaltim mayoritas hanya dihuni oleh etnis Dayak yang terdiri dari tiga puluh tiga sub suku, etnis

Kutai dan etnis Banjar. Namun seiring dengan perkembangan jaman dan ditemukannya sumber daya alam dalam bentuk minyak oleh Belanda pada abad sembilan belas, maka berdatanganlah etnis Jawa, Bugis, Toraja dan Manado untuk menjadi buruh tambang.

Pada awalnya kelompok pendatang ini hanya perorangan yang datang ke Kaltim, namun dalam perkembangan berikutnya, karena penghidupan di Kaltim memberikan kepastian masa depan kesejahteraan yang jelas, maka mereka mengajak rekan dan keluarganya datang ke Kaltim, baik sebagai pekerja atau sekedar mengikuti suami bekerja. Secara bertahap namun pasti, mereka mulai membangun rumah dan hal ini mewujudkan terbentuknya komunitas etnis di Samarinda, Balikpakan dan Tarakan2.

Oleh karena jumlah mereka yang bermigrasi ini relatif banyak dibanding penduduk asli, maka hal ini memengaruhi komposisi perubahan dalam masyarakat.

Seorang tokoh politik Kutai mengatakan kepada penulis sebagai berikut : “Dengan adanya migrasi ke Kaltim,maka orang Kutai tersingkirkan sejak tahun 1955. Orang

Kutai yang semula mayoritas di Tenggarong berjumlah 15.000 jiwa, sekarang jumlah penduduk berkembang menjadi 90.000 jiwa. Persaingan antara kaum migran dan

2 Wawancara dengan Muhammad Arifiin, tanggal 12 Agustus 2009 di Universitas Mulawarman. Apa yang dipaparkan Arifin tidak jauh berbeda dengan pemaparan Magenda (1991) tentang komposisi penduduk Kaltim dalam era Orde Baru . 50

penduduk asli menjadi tidak seimbang”.3 Keprihatinan tokoh Kutai ini menandakan adanya kesadaran bahwa penduduk asli Kaltim yang selama ini menjadi tuan rumah di tanah sendiri, sekarang telah mengalami perubahan. Mereka harus menjadi ‘pekerja’ pabrik untuk mendapatkan nafkah sehari-hari. Mereka bukan lagi ‘tuan’ atas sumber hasil hutan dan sumber daya alam di Kaltim.

Perubahan kondisi sosial yang berdampak pada budaya tidak hanya terjadi di

Kutai Kartanegara atau Samarinda, melainkan terjadi juga di daerah perbatasan seperti di Malinau dan Kutai Barat (Paser). Etnis Dayak sebagai penduduk asli Kalimantan

Timur yang bermukim di Malinau tergeser hunian mereka oleh karena adanya transmigran dari Jawa. Sementara itu etnis Paser tergeser pengaruhnya oleh etnis Banjar dan Bugis. Tampaknya dampak dari migrasi ke Kaltim berpotensi memicu konflik horisontal. Salah seorang peneliti Universitas Mulawarman mengungkapkan kepada penulis : “Isu politik etnis laten di Kaltim dan sewaktu-waktu dapat memicu konflik horisontal di Malinau, Kutai Barat, Tarakan dan Sangata (Bugis vs Dayak). Isu tanah ulayat milik orang Dayak yang ditempati oleh orang Bugis dapat memicu konflik horizontal. Orang Bugis tidak mau pindah dari tanah ulayat orang Dayak. Sementara itu orang Dayak menganggap bahwa tanah yang ditempati oleh orang Bugis adalah tanah warisan leluhur”4 Dalam persepsi atau budaya orang Bugis membuka ladang baru adalah suatu upaya kerja keras dan sudah diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun temurun. Orang Bugis memiliki etos kerja keras dan sangat menjunjung

3 Wawancara dengan Awang Farouk Ishak, tanggal 11 Agustus 2009 di Kantor Gubernur-Samarinda 4 Wawancara dengan Mohammad Arifin, tanggal 14 Agustus 2009 di Samarinda 51

tinggi harkat dan martabat diri dan keluarga. Keberhasilan mereka merantau ditunjukkan dengan kepemilikan luasnya tanah dan banyaknya harta yang mereka miliki. Perbedaan persepsi atau budaya yang berbeda antara orang Bugis dan Dayak tentang penguasaan sumberdaya alam dapat memicu konflik horisontal seperti yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah.

Dengan adanya kaum migran spontan tersebut diatas, maka secara alamiah terjadi interaksi antara anggota kelompok pendatang (migran) dengan penduduk asli dan antar kelompok pendatang. Kemampuan masyarakat berinteraksi secara personal dan komunal tersebut disebut sebagai modal sosial. Modal sosial yang terjadi secara alamiah tersebut dapat dimanfaatkan oleh elit politik dalam kontestasi Pilkada dengan basis dukungan etnisitas. Modal sosial secara alamiah ini sudah ada dalam masyarakat, dimana elit politik tidak perlu merekayasa secara sosial. Dengan terjadinya perubahan komposisi jumlah penduduk di Samarinda, Balikpapan, Tarakan dan Kutai Kartanegara, dimana kelompok pendatang lebih dominan dibanding penduduk asli, maka elit politik dapat memanfaatkan hal ini sebagai peluang untuk memenangi kontestasi dalam

Pilkada.

Dalam era transisi demokrasi sangat dimungkinkan dominasi kelompok pendatang terhadap penduduk asli. Mereka berpeluang untuk menang dalam Pilkada, hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam masyarakat, dimana kelompok pendatang lebih dominan jumlahnya dibanding penduduk asli. Selain itu sistem pemilihan Kepala Daerah yang dipergunakan ialah one man one votes, dimana satu 52

orang memiliki hak suara untuk memilih Kepala Daerah secara langsung. Secara teoritis kelompok etnis yang berjumlah banyak akan cenderung memilih kandidat yang sama etnisnya, karena alasan kepentingan perjuangan etnis, agar kepentingan etnis terakomodasi dalam pemerintahan.

Tampaknya Suwarna (etnis Sunda) mantan Pangdam Mulawarman menyadari dan memahami adanya keberagaman etnis dalam masyarakat di Kalimantan Timur.

Apabila keberagaman ini tidak dikelola secara arif, maka akan berdampak menyulitkan pencalonannya sebagai Gubernur di era transisi demokrasi. Memahami keberagaman dalam masyarakat tersebut, maka tim sukses Suwarna melakukan tindakan dengan melobi etnis Dayak (etnis asli), agar dia memperoleh dukungan dalam pencalonan sebagai Gubernur. Hal ini mengindikasikan bahwa Suwarna ingin dianggap sebagai bagian dari masyarakat Dayak. Tampaknya strategi budaya tim sukses Suwarna tersebut menghasilkan pengukuhan dirinya dengan diberinya gelar kepala adat Dayak Maunati sebagai berikut :

“Di bawah pemerintah Orde Baru, orang Dayak terpinggirkan dalam pemerintahan daerah. Politik pada saat itu didominasi oleh orang-orang Melayu (yaitu orang-orang Kutai dan Banjar). Hambatan lainnya adalah kenyataan bahwa Gubernur terdahulu sudah dianugerahi gelar Dayak, dan banyak orang Dayak menghormatinya sebagai pemimpin formal sekaligus ‘kepala adat besar’ (kepala suku tertinggi). Hal ini menyulitkan orang Dayak untuk menyoal kewenangan dan kekuasaan pemerintah sekalipun banyak di antara mereka yang diperlakukan tidak adil.” (Maunati, 2004:340)

Gelar kepala adat besar dibutuhkan oleh seorang Kepala Daerah seperti

Suwarna, karena dengan gelar tersebut dia mendapatkan pengakuan dan pengaruh yang 53

sangat besar diantara orang Dayak. Selain itu dengan diberinya gelar kepala adat, maka

Suwarna memiliki legitimasi terhadap komunitas Dayak yang merepresentasikan masyarakat Kaltim. Tampaknya pendekatan secara budaya ini merupakan bagian dari modal sosial dan sekaligus modal politik bagi Suwarna untuk mencalonkan diri sebagai

Gubernur.

Tim sukses Suwarna memahami benar situasi pasca Orde Baru runtuh menjelang Pilkada 1998, dimana masyarakat menggugat rejim Soeharto dan Golkar.

Gugatan masyarakat luas tersebut memengaruhi kondisi masyarakat Kaltim.

Mempertimbangkan kondisi tersebut tim sukses Suwarna mengambil sikap politik memanfaatkan etnis Dayak, karena mereka termarjinal selama pemerintahan Orde Baru.

Selain itu Suwarna secara politik mendekatkan diri pada PDI-P sebagai partai yang merepresentasikan diri sebagai partai wong cilik. Dengan partai pengusung PDI-P dalam pencalonan sebagai Gubernur 1998, tampaknya Suwarna ingin mencitrakan diri sebagai wong cilik yang menggugat Orde Baru.

Selain itu Suwarna juga didukung penuh oleh fraksi TNI/Polri di DPRD.

Dengan sistem pemilihan Gubernur berdasarkan hasil keputusan Sidang Paripurna anggota DPRD, dimana peranan anggota DPRD sangat menentukan terpilihnya

Gubernur, maka Suwarna dengan mulus ditetapkan sebagai Gubernur Kaltim. Proses keputusan anggota DPRD tersebut sesungguhnya sudah terjadi dalam ranah informal, dimana tim sukses Suwarna melakukan lobi-lobi dan money politics terhadap DPP PDI-

P, Golkar dan anggota DPRD. Tampaknya sudah menjadi rahasia umum Sidang 54

Paripurna DPRD sekedar ‘cap stempel’ atau pengesahan dari lobi-lobi atau deal antar elit politik yang telah dilakukan sebelumnya.

Seperti halnya ada kesepakatan antara Suwarna dengan masyarakat Dayak, dimana Yurnalis Ngayoh sebagai representasi orang Dayak diposisikan sebagai wakil

Gubernur. Tim sukses Suwarna sudah merekayasa pemilihan Gubernur sedemikian dengan cara memanfaatkan modal sosial – mengakomodasi masyarakat Dayak, agar mereka tidak bergolak atau menggugat terpilihnya Suwarna sebagai Kepala Daerah.

Oleh karena itu gelar kepala adat merupakan instrumentasi simbolisasi budaya dalam rangka menghegemoni orang Dayak. Namun bagi orang Dayak, Suwarna dianggap orang luar atau bukan orang Jawa yang dianggap mampu mengakomodasi kepentingan orang Dayak, baik secara ekonomi, pendidikan dan politik. Tindakan money politics secara terselubung dilakukan oleh tim sukses Suwarna dengan cara membiayai musyawarah adat Dayak se Kalimantan Timur5. Sementara itu pada tataran politik lokal

(DPRD), untuk memengaruhi anggota partai politik, anggota tim sukses Suwarna dalam tubuh fraksi TNI/Polri menggunakan strategi lobi dan money politics juga.

Penetapan Suwarna sebagai Kepala Daerah 1998 merupakan bukti bahwa jari ngan Orde Baru dalam partai politik dan pemerintahan masih eksis. Jaringan mereka terwujud dalam diri fraksi TNI/Polri dan Golkar. Dibalik penetapan Suwarna sebagai

5 Tindakan money politics yang dilakukan oleh Suwarna tersebut telah dipaparkan dalam oleh Maunati (2004) dalam rangka melegitimasi Suwarna. Hal ini juga penulis temukan dalam diskusi dengan kelompok mahasiswa Kutai Kartanegara pada tanggal 25 Agustus 2009 di Yogyakarta. Keberadaan etnis Dayak yang termarjinal selama Orde Baru memotivasi mereka untuk bangkit pasca Soeharto lengser (1998) untuk merengkuh kekuasaan. Sebaliknya etnis Kutai pasca Orde Baru cenderung tergeser dari pemerintahan dan digantikan dengan etnis Dayak dan kelompok pendatang. 55

Gubernur 1998 tersebut ada permainan politik pencitraan oleh tim sukses yang mengindikasikan Suwarna didukung oleh PDI-P. Tampaknya politik pencitraan yang dibangun tim sukses efektif dan menghantar Suwarna sebagai Kepala Daerah.

Kedua, rekayasa instrumentasi kesadaran etnis oleh elit politik. Kemenangan

Suwarna-Yurnalis (etnis Sunda-Dayak) dalam pemilihan Gubernur 1998 dan 2003 mengindikasikan adanya instrumentasi kesadaran etnis Dayak untuk merengkuh kekuasaan. Hal ini seperti yang dialami rejim Orde Baru dalam melegitimasi kekuasaannya di Kaltim yang menginstrumentasi etnis Banjar dan Kutai dalam pemerintahan. Namun ketika Orde Baru runtuh, maka pengaruh mereka mulai memudar. Hal ini terindikasi dalam pemilihan Gubernur 2003, dimana Awang Faroek

Ishak-Abu Thalib Chair merupakan representasi dari etnis Kutai-Banjar. Namun dalam pemilihan Gubernur yang ditentukan oleh anggota DPRD tersebut yang rawan dengan money politics pasangan AFI-Abu kalah telak oleh Suwarna.

Dengan adanya perubahan sosial yang terjadi di masyarakat, karena hadirnya kelompok pendatang atau kaum migran, maka muncullah kesadaran etnis lokal terhadap eksistensi, hak dan wewenang mereka. Kesadaran etnis tersebut diinstrumentasi oleh elit politik dalam rangka merengkuh kekuasaan. Menurut Rothschild politik etnis yang mewujud dalam dunia modern merupakan rekayasa elit politik dan dialektika dalam proses transformasi masyarakat. Selanjutnya Rothschild menuliskan sebagai berikut :

“Politicization of ethnicity is thus a dialectical process that preserves ethnic groups by emphasizing their singularity and yet also engineers and lubricates their modernization by transforming them into political conflict groups for the modern political arena, where they must deploy cosmopolitian modern skills and 56

resources. These two aspects of the dialectical process facilitate and reinforce each other, controverting the conventional assumption that secular modernization and ethnic identification covary inversely” (Rothschild,1981:3)

Politik etnis atau politik identitas tidak mewujud dengan sendirinya tanpa adanya penyebab yang mendahuluinya. Salah satu penyebab munculnya politik etnis atau politik identitas ialah terancamnya eksistensi etnis asli oleh kehadiran kelompok pendatang atau gerusan modernisasi. Gerusan modernisasi yang dibawa oleh kelompok pendatang tersebut dapat mengubah cara pandang, budaya dan tatanan dalam masyarakat yang mentaati adat istiadat. Adanya kelompok pendatang yang membawa budaya mereka, menyebabkan terjadinya perubahan sosial budaya. Kehadiran kelompok pendatang dianggap mengancam budaya mereka, sehingga mereka merespon dengan politik etnis.

Pandangan Rothschild tersebut selaras dengan pandangan Abner Cohen.

Menurut Cohen (1969: 198-201) proses mewujudnya etnisitas dalam dunia modern dipegaruhi oleh tiga hal, yakni: (1) contemporary ethnicity is the result of intensive interaction between ethnic groupings and not the result of complete separatism, (2) tribalism involves a dyanamic rearrangement of relations and of customs, and is not the outcome of cultural conservatism or continuity dan (3) ethnicity is essentially a political phenomenon, as traditional customs are used only idioms, and as mechanisms for political alignment. Dengan kata lain kesadaran etnis mewujud sebagai politik etnis atau politik identitas di era modern, karena adanya desakan dari kelompok pendatang yang mengancam sendi-sendi budaya mereka. Kesadaran etnis mewujud sebagai respon dari 57

ancaman yang akan menggerus budaya mereka. Politik etnis ditandai dengan adanya penggunaan simbol-simbol budaya, agama dan adat sebagai benteng pertahanan untuk melawan gerusan budaya kelompok pendatang. Oleh elit politik kesadaran etnis tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan merengkuh kekuasaan. Geertz menuliskan tentang ikatan primordialisme sebagai suatu kekuatan sosial yang mengikat pribadi, sebagai berikut:

“The general strength of such primordial bonds, and the types of them that are important, differ from person to person, from society to society, at almost all times. But for virtually every person, in every society, at almost all time, some attachments seem to flow more from a sense of natural – some would say spiritual – affinity than from social interaction” (Geertz,1963 : 108-13) Ikatan primordial bukan hanya ‘mengikat’ pribadi untuk mentaatinya, tetapi secara komunal ternyata ikatan primordial ini juga memiliki pengaruh. Oleh karena itu dalam masyarakat tradisional, dimana ikatan antar pribadi dan komunal masih memiliki pengaruh yang kuat sering dimanfaatkan oleh elit politik untuk kepentingan pemenangan Pemilu/Pilkada. Menurut Geertz kesadaran etnis yang mewujud dalam bentuk politik etnis memiliki dua sisi, yakni : (1) secara internal mengikat atau mempersatukan mereka dan (2) secara eksternal membedakan mereka dari kelompok pendatang. Menurut Geertz kesadaran etnis yang mempersatukan disebut dengan istilah ikatan primordial yang ditandai dengan adanya kesadaran kesamaan keturunan sedarah daging, ras, bahasa, bermukim di wilayah yang sama, agama dan adat istiadat. Adanya kesamaan secara etnis dan bertempat tinggal yang sama menjadikan mereka merasa nyaman dan dapat mengembangkan adat istiadat dan budaya mereka. Namun kesadaran etnis yang mewujud, karena adanya ancaman terhadap eksistensi mereka, berdampak 58

membuat pemisahan yang tegas antara etnis asli dan kelompok pendatang. Di satu sisi kesadaran etnis mempersatukan antar sesama etnis, namun disisi lain hal ini berdampak membawa pemisahan yang tegas antara penduduk asli (putra daerah) dan penduduk pendatang.

D.Politisasi Erau

Elite politik Kutai selama Orde Baru memanfaatkan pesta erau yang merupakan acara penobatan raja sebagai simbolisasi kesadaran etnis. Elite politik memanfaatkan simbol budaya dan agama dalam rangka menggalang kekuatan massa dan melegitimasi kekuasaan mereka. Pendekatan elite politik etnis Banjar dan Kutai terhadap rejim Orde

Baru tampaknya berhasil, sehingga mereka mendapatkan perlakuan khusus dari

Soeharto. Hal ini dapat ditengarai dengan dominasi etnis Banjar dan Kutai menduduki posisi strategis dalam pemerintahan. Pemerintah memfasilitasi pesta erau setiap tahun dan pembangunan sarana dan pra sarana di Kaltim.

Upaya elite politik Kutai untuk memanfaatkan rejim Orde Baru tersebut, dilatarbelakangi adanya kekuatiran mereka terhadap perubahan sosial yang terjadi.

Menghadapi realita perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat sedemikian cepat, maka Achmad Dahlan selaku Bupati Kutai Kartanegara sejak 1971 membangkitkan kembali pesta Erau bersamaan dengan hari ulang tahun Tenggarong. Pesta erau pada era

Orde Baru dibangkitkan kembali setelah ‘hilang’ sejak tahun tahun 1960 dan dirayakan bersamaan dengan hari ulang tahun kota Tenggarong setiap tanggal 28 September .

Kebijakan Dahlan mengadakan pesta erau ini didukung oleh Sjahranie selaku Gubernur 59

Kaltim. Tampaknya Sjahranie juga ingin membangkitkan kembali budaya erau (etnis

Kutai) yang sudah hilang dalam tradisi Kutai kurang lebih tujuh abad. Pesta erau merupakan acara ‘penobatan raja’ pada jaman kesultanan Kutai Kartanegara. Acara erau bagi etnis Kutai ialah acara ‘sakral’, namun sejak tahun 1960 mereka tidak memiliki raja lagi, karena Kutai telah bergabung kedalam Republik Indonesia. Acara erau yang diadakan dalam pemerintahan Orde Baru merupakan simbolisasi bagi pemerintah sebagai bentuk penghargaan terhadap etnis Kutai. Pesta erau dilaksanakan tidak semeriah dahulu dengan durasi waktu sampai empat puluh hari, namun pada masa kini pesta erau hanya dilaksanakan selama satu minggu bersamaan dengan hari ulang tahun kota Tenggarong.

Adanya pesta erau dalam Orde Baru bagi elit Kutai hal ini merupakan suatu sarana yang dapat dipakai untuk membangkitkan romantisme orang Kutai. Dengan demikian erau dapat dimaknai sebagai instrumen untuk menunjukkan identitas etnis

Kutai sebagai jawaban atas ‘hegemoni’ kelompok pendatang. Salah satu pesta erau terbesar dilaksanakan tahun 1991, dimana Awang Farouk Ishak selaku anggota DPR-RI mengatakan kepada wartawan sebagai berikut : “Provinsi Kalimantan Timur dalam waktu dekat bakal semarak dengan digelarnya Erau Kalimantan Timur, untuk itu dan demi suksesnya sampai dimana sudah persiapan yang dilakukan panitia”6. Perhatian

Farouk terhadap pesta erau sangat besar, karena dia putra daerah yang tidak ingin budaya Kutai tergerus oleh budaya pendatang.

6 “Datang ke Tenggarong, Awang Farouk Langsung Tanyakan Persiapan Erau ’91” dalam Manuntung, 26 Juli 1991 60

Perhatian yang besar terhadap pesta erau juga ditunjukkan oleh H.M.Ardans

(etnis Banjar) selaku Gubernur Kaltim bahkan mempromosikan erau sampai ke Jakarta.

Bukan hanya itu dana untuk erau pada tahun 1991 termasuk sangat besar yakni Rp. 1 milyar yang diambilkan dari dana APBD. Besarya pesta erau ini juga disemarakkan oleh 2000 seniman se Kaltim yang terdiri dari suku-suku Dayak di pedalaman (Media

Indomesia, 23 Agustus 1991). Pesta erau ini dilaksanakan 7 hari dan dirayakan secara besar-besaran, selanjutnya Ardans mengatakan kepada wartawan: “Karena berkaitan dengan Tahun Kunjungan Indonesia, erau kali ini diperluas menjadi erau Kalimantan

Timur. Pesertanya dari seluruh Dati II di Kaltim”7. “Selanjutnya Ardans menekankan bahwa pesta erau bukan tanggungjawab Pemda saja, tetapi tanggungjawab seluruh masyarakat Kaltim”8. Perayaan erau sendiri dibuka oleh Menparpostel Soesilo

Soedarman dan dihadiri oleh beberapa pejabat Negara.

Dari fenomena pesta erau tersebut diatas berhubungan dengan kesadaran etnis

Kutai menghadapi gerusan budaya kelompok pendatang, ada tiga faktor yang saling memengaruhi, yakni: pertama, faktor pengaruh putra daerah. Dalam hal ini peranan

Farouk selaku bagian kesultanan Kutai dan anggota DPR-RI sangat signifikan.

Kunjungan Farouk ke Kutai secara khusus meninjau kemajuan pembangunan dan persiapan erau. Peranan Farouk dalam hal ini ialah sebagai pelobi terhadap Pemerintah

Pusat, dimana kebijakan Daerah pada era Orde Baru masih sangat bergantung pada

Pemerintah Pusat. Sementara itu peranan HM Ardans dalam hal ini dia sebagai Kepala

Daerah ialah memberdayakan seluruh masyarakat Kaltim dan memengaruhi media

7 “Upacara Adat Erau Terbesar di Tenggarong” dalam KOMPAS, 27 Agustus 1991 8 “Erau Bukan Kegiatan Kutai tapi Tanggung Jawab Kaltim” dalam Manuntung. 28 Agustus 1991 61

massa. Ardans berperan sangat penting, karena dia berhasil memengaruhi masyarakat

Kaltim yang majemuk dan mempersatukan mereka kedalam pesta erau. Ardans merekayasa citra tentang erau yang menjadi ‘milik’ dan tanggungjawab seluruh masyarakat Kaltim. Tampaknya Ardans berhasil merekayasa erau yang identik dengan budaya Kalimantan Timur.

Kedua, adanya kekuatiran etnis Kutai terhadap maraknya budaya kelompok pendatang, khususnya budaya Jawa yang akan memengaruhi masyarakat Kaltim.

Kekuatiran etnis Kutai sebagai etnis asli Kaltim ini semakin nyata bersamaan dengan peranan Sultan atau Keraton Kutai yang sudah tidak memiliki pengaruh dalam masyarakat, khususnya terhadap kelompok pendatang. Dibalik diadakannya pesta erau secara besar-besaran implisit para pejabat Kepala Daerah membutuhkan legitimasi penduduk asli Kaltim. Demikian juga dengan para elit Kutai pengaruhnya semakin memudar dalam masyarakat.

“Erau 1991 akan berbeda dengan Erau yang diselenggarakan tahun-tahun sebelumnya. Erau 1991 ditekankan pada pelestarian nilai dan kemurnian adat yang merupakan akar budaya. Misalnya saja, keinginan beberapa pihak yang menghendaki agar Bapak Gubernur Kalimantan Timur dan Bupati Kutai ‘ditempong tawari’oleh Bapak Aji Pangeran Praboe terpaksa ditolak…..”9

Ritual tempong tawari dilakukan pada hari pertama erau oleh seorang pawang

(dukun) terhadap pejabat Kepala Daerah dengan cara mendudukkan mereka dalam suatu kursi, kemudian sang pawang memberikan semacam doa sambil memberikan jampi-jampi. Ritual ini dimaksudkan untuk mendoakan keselamatan dan keberhasilan

Kepala Daerah dalam memimpin Kaltim. Secara implisit seorang Kepala Daerah yang

9 Syamsu Ardjani, “Erau 1991: Erau Adat” dalam Manuntung, 10 Agustus 1991 62

sudah mendapatkan tempong tawari – hal ini berarti pemerintahannya didukung oleh kesultanan Kutai. Dalam hal ini ritual tempong tawari diinstrumentasi oleh elit politik dalam rangka mencari legitimasi.

Hal ini juga dikuatkan dengan hasil wawancara penulis terhadap salah seorang informan yang mengatakan sebagai berikut: “Pengaruh Sultan Kutai dalam masyarakat

Kaltim sekarang ini sudah tidak ada lagi. Hal ini berbeda dengan Sultan Yogyakarta yang masih memiliki pengaruh terhadap masyarakat. Pada masa kini pesta erau atau

Sultan hanya sekedar simbolisasi budaya”10 Dalam perspektif Rothschild, pesta erau merupakan suatu bargaining power terhadap maraknya gerusan budaya modern yang dibawa oleh kelompok pendatang yang merubah budaya dalam masyarakat. Pesta erau ini dapat dimaknai sebagai bargaining politik terhadap posisi mereka di pentas nasional. Keberhasilan pesta erau yang megah dan besar dengan diliput media nasional

– hal ini dapat dimaknai sebagai unjuk kekuatan etnis Kutai dikancah nasional. Selama ini etnis Kutai kurang diperhitungkan secara nasional, karena peranan dan pengaruhnya relatif kecil.

Selain itu pesta erau yang megah dengan biaya yang besar dapat dimaknai sebagai kesadaran etnis Kutai yang ingin menunjukkan ‘kebesarannya’ yang pernah berjaya pada masa lalu. Pandangan ini selaras dengan apa yang diteorikan oleh Cohen bahwa kesadaran etnis dalam dunia modern ini dimotivasikan adanya ancaman terhadap eksistensi diri dan untuk mengatasi ancaman tersebut, maka elit politik merekayasa tentang kesadaran etnis. Dengan kata lain motif kesadaran etnis tersebut bermuara pada

10 Wawancara dengan Ahmad (nama samaran) tanggal 12 Agustus 2009 di Samarinda 63

kekuasaan etnis Kutai yang terancam oleh gerusan budaya kelompok pendatang.

Mereka ingin merebut kembali ‘kekuasaan’ yang hilang yang diambil alih oleh kelompok pendatang. Figur Farouk dan Ardans adalah representasi orang Kutai yang berhasil mengambil alih kekuasaan dari orang Jawa.

Ketiga,simbolisasi budaya dengan tujuan mempersatukan seluruh etnis. Dalam konteks ini pesta erau berhasil menyatukan tiga puluh tiga suku Dayak yang berdiam dipedalaman dengan etnis Kutai. Dalam sejarah etnis Kutai menguasai suku-suku

Dayak dipedalaman dan biasanya mereka dijadikan bawahan Sultan Kutai. Namun dalam pesta erau tersebut, suku-suku Dayak menampilkan kesenian dari masing-masing daerah dan membawa persembahan hasil panenan kepada Sultan Kutai. Penampilan kesenian daerah dalam pesta erau mengindikasikan bahwa mereka masih eksis dan berbeda dengan kelompok pendatang. Pemberian hasil panenan kepada Sultan merupakan simbolisasi rakyat tunduk terhadap raja. Simbolisasi budaya tersebut direkayasa oleh elit Kutai untuk menunjukkan kepada kelompok pendatang bahwa mereka masih eksis, memiliki massa dan budaya yang lebih luhur. Tersirat dalam pesta erau tersebut adanya upaya politik etnis untuk menandingi ekspansi kelompok pendatang.

Namun kebangkitan etnis Kutai yang ditandai dengan dominasi mereka dalam pemerintahan bersama orang Banjar pada era Orde Baru tersebut memudar bersamaan dengan lengsernya Soeharto. Kekalahan Awang Farouk Ishak (AFI) dalam kontestasi pemilihan Gubernur di era transisi demokrasi tersebut juga disebabkan pamor etnis

Kutai yang melekat dengan Orde Baru. Pada saat masyarakat menggugat dan tidak 64

percaya kepada rejim Orde Baru, maka hal ini berimplikasi pada Awang Farouk Ishak yang merupakan representasi dari partai Golkar. AFI sebagai tokoh senior Golkar di

Kalimantan Timur dan pernah menjadi anggota DPR selama dua periode. AFI mengakui kelemahannya dalam wawancara dengan penulis, sehingga kalah bahwa dalam kontestasi Pemilihan Gubernur 2003. Kelemahan AFI disebabkan oleh tidak kuatnya akses penguasaan terhadap anggota DPRD, melemahnya dukungan masyarakat terhadapnya dan ‘kurang gizi’. AFI diperhadapkan dengan Suwarna sebagai incumbent yang memiliki akses yang kuat terhadap anggota DPRD yang didominasi oleh Golkar dan PDI-P. Dukungan terhadap masyarakat terhadap citra elit Kutai mulai pudar, karena selama Orde Baru mereka tidak membawa perubahan dan perbaikan kesejahteraan bagi masyarakat. AFI mengatakan kepada penulis: “Saya kalah dalam pemilihan Gubernur

2003, karena kurang gizi”.11 Istilah ‘kurang gizi’ merupakan istilah untuk merujuk pada modal ekonomi atau tindakan money politics, dimana Suwarna melakukan money politics terhadap anggota DPRD, sehingga terpilih sebagai Gubernur 2003. AFI mengakui semua kandidat melakukan money politics, namun kalah kuat atau kalah besar uangnya dibanding dengan uang yang diberikan Suwarna kepada anggota DPRD.

E.Politisasi Niche

Politisasi niche ialah suatu upaya elit politik dalam mobilisasi etnis yang tersebar sesuai dengan komunitasnya, dimana masing-masing anggota komunitas tersebut menemukan dirinya dan nyaman sebagai bagian dari komunitas. Mereka menemukan jati diri, status dan rasa nyaman dalam komunitas tersebut. Elit politik

11 Wawancara dengan AFI, tanggal 11 Agustus 2009 di Kantor Gubernur - Samarinda 65

mempolitisasi niche ini sebagai bagian dari strategi politik untuk memengaruhi masyarakat dalam mendukung kandidat. Hal ini biasanya dilakukan menjelang Pilkada, dimana kandidat membutuhkan dukungan pemilih.

Menjelang Pilkada elit politik yang ingin unggul dalam kontestasi harus mampu memanfaatkan peluang dalam masyarakat, khususnya memobilisasi sebaran penduduk sebagai modal sosial. Elit politik yang mampu membaca sebaran penduduk berdasarkan pengelompokan etnis berarti dia mampu mempersiapkan isu kampanye yang menjawab kebutuhan masyarakat. Pengelompokan penduduk berdasarkan etnis tersebut terjadi secara alamiah dan tidak direkayasa oleh siapapun. Mereka merasa menemukan komunitas yang baru dan merasa nyaman hidup senasib sepenanggungan di rantau.

Namun dampak dari hadirnya kaum migran ke Kaltim ialah terjadinya sebaran penduduk yang tidak merata. Sebaran penduduk tersebut mengelompok berdasarkan etnisnya, sehingga hal ini dapat diinstrumentasi oleh elit politik untuk memunculkan isu kesadaran etnis atau politik identitas. Dengan kata lain sebaran penduduk tersebut memunculkan komunitas baru, yakni kelompok pendatang dan penduduk asli.

Komunitas baru terbentuk karena adanya kesamaan budaya, bahasa dan adat istiadat.

Kesamaan tersebut mengikat mereka, sehingga menimbulkan rasa aman dan nyaman

(niche). Namun kebersamaan mereka dalam suatu komunitas yang nyaman tersebut, memunculkan kesadaran bahwa mereka berbeda dengan kelompok etnis lain. Sebaran penduduk sebagai dampak dari maraknya komersialisasi hutan dan pertambangan di

Kalimantan Timur pada era Orde Baru dipaparkan melalui Tabel 1.1, sebagai berikut : 66

Tabel 1.1 Komposisi Penduduk Kalimantan Timur berdasarkan kelompok etnis 2002

Kabupaten/Kota Jawa Dayak Banjar Bugis Kutai Total 1. Pasir 82.021 7.262 32.323 54.953 860 177.419 2.Kutai Barat 14.424 78.681 6.658 5.242 22.297 127.302 3.Kutai 122.105 19.026 57.506 68.459 118.328 385.424 4.Kutai Timur 37.503 14.593 11.380 24.192 36.934 124.603 5.Berau 26.031 15.059 9.659 26.210 979 77.938 6.Malinau 1.327 26.081 490 1.207 20 29.125 7.Bulungan 16.873 27.499 3.315 10.839 188 58.714 8.Nunukan 5.131 29.783 1.124 34.574 55 70.667 9.Balikpapan 163.281 1.866 63.010 83.613 2.759 314.529 10.Samarinda 183.195 10.725 140.761 68.536 39.315 442.532 11.Tarakan 29.881 10.690 8.766 39.264 334 88.935 12.Bontang 36.428 599 5.328 28.677 2.760 73.792

Jumlah Total 718.200 241.864 340.320 445.766 244.829 1.990.979(99%) (36%) (12%) (17%) (22%) (12%) Sumber : Biro Pusat Statistik Kalimantan Timur, 2002 Tabel 1.1 tersebut menunjukkan kelompok etnis Jawa yang berjumlah 718.200 jiwa, mereka pada umumnya bermukim di Samarinda (183.195 jiwa), Balikpapan

(163.281 jiwa), dan Kutai (122.105 jiwa) yang merupakan daerah industri tambang.

Oleh karena itu tim sukses Suwarna berupaya untuk memanfaatkan ketermarjinalan etnis Dayak dalam era Orde Baru sebagai politisasi niche bagi Suwarna. Tim sukses tidak mendekati etnis Jawa,Banjar atau Bugis yang merupakan pendatang dengan jumlah penduduk mayoritas. Tampaknya dibalik strategi tim sukses Suwarna menginstrumentasi etnis Dayak tersebut ada tiga hal yang tersirat, yakni : pertama, tim sukses ingin menempatkan Suwarna sabagai bagian dari masyarakat yang termarjinal

(penduduk asli). Dengan kata lain tim sukses Suwarna ingin menjadikan Suwarna sebagai bagian dari masyarakat yang menggugat Orde Baru. Representasi Suwarna 67

sebagai bagian dari masyarakat yang termarjinal ini menimbulkan rasa percaya masyarakat terhadap dirinya dan membangun citra yang positif.

Kedua, tim sukses merekayasa positioning Suwarna sebagai tokoh yang juga menentang ‘anti Jawa’. Rekayasa tim sukses Suwarna tersebut bertujuan untuk meyakinkan masyarakat Kaltim bahwa Suwarna ‘bukan bagian’ dari Orde Baru. Tim sukes Suwarna ingin menunjukkan bahwa mereka juga bagian dari masyarakat yang

‘anti Jawa’. Dalam konteks ini tim sukses Suwarna memosisikan diri sebagai

‘pelindung atau pengayom’ masyarakat. Dalam kondisi masyarakat majemuk seperti di

Kaltim diperlukan suatu kenyamanan (niche), agar relasi antar kelompok dapat terjaga keharmoniannya. Faktor etnis Dayak yang termarjinal selama Orde Baru tersebut dapat menimbulkan kerawanan sosial. Etnis Dayak dapat menggugat hak adatnya yang terpasung selama rejim Orde Baru berkuasa. Untuk mengantisipasi kerawanan sosial dalam masyarakat yang akan muncul tersebut, tim sukses Suwarna melobi para pemuka adat Dayak se Kaltim yang pada umumnya mereka bermukim di Kutai Barat, Nunukan,

Malinau,Bulungan dan Tarakan.

Jaminan adanya kestabilan ini diperlukan, agar Suwarna dapat menjabat sebagai

Gubernur dengan efektif dan efisien. Strategi tim sukses Suwrna ini disebut dengan

‘makan bubur panas dari pinggir’, dimana strategi diterapkan dari pinggir (pedalaman) untuk mengakomodasi etnis Dayak yang membutuhkan niche atau rasa aman dengan menemukan jatidirinya. Setelah mendapatkan kepercayaan etnis Dayak dan legitimasi sebagai Kepala Adat, maka langkah berikutnya ialah menguasai sentra pemerintahan. 68

Ketiga, tim sukses Suwarna melakukan lobi-lobi politik dan tindakan money politics. Oleh karena pemilihan Gubernur ditentukan oleh hasil Sidang Paripurna

DPRD, maka upaya tim sukses untuk melobi terhadap pimpinan partai politik (DPP), pimpinan DPD dan anggota DPRD. Tentunya upaya lobi-lobi dilakukan secara diam- diam dan terselubung terhadap pimpinan Golkar, PDI-P dan partai politik lain.

Kesepakatan antar tim sukses dengan pimpinan partai atau anggota DPRD tersebut disertai dengan adanya praktik money politics12.

F.Rekayasa Modal Sosial

Perubahan sosial yang terjadi di Kaltim selama rejim Orde Baru berkuasa diwarnai oleh adanya rekayasa elite politik, dimana etnis Banjar dan Kutai mendominasi dalam pemerintahan. Dampak dari kebijakan yang direkayasa oleh

Soeharto tersebut, pasca Orde Baru lengser memicu munculnya politik etnis, khususnya dari kalangan etnis Dayak13. Mereka mulai menyadari hak politiknya yang termarjinal dan hal ini membangkitkan elite politik lokal untuk memobilisasi jejaring etnis dalam rangka bargaining power terhadap hegemoni kelompok pendatang. Kebijakan Soeharto dengan menempatkan orang Jawa di Daerah perbatasan menimbulkan resistensi penduduk asli (etnis Dayak), karena terjadinya kesenjangan sosial. Mereka merasa dianaktirikan, karena tidak diberikan fasilitas seperti para transmigran (etnis Jawa). Para transmigran ini mendapatkan ladang, perumahan, sarana dan sejumlah uang. Sementara penduduk asli tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Kondisi seperti ini memicu

12 Theo Syafei dan Korupsi, dalam www.suarapembaruan.com/19 Juni 2003; PDI Perjuangan Tolak Pengunduran Diri Theo Syafei, dalam www.korantempo.com/23 Juli 2003 13 Wawancara dengan Rudy Koesnandar, tanggal 13Agustus 2009 di Samarinda 69

kecemburuan sosial dan dapat mewujud dalam bentuk konflik sosial. Tabel 1.2 di bawah ini memberi gambaran adanya perubahan komposisi penduduk yang siginifikan, dimana etnis asli cenderung tergeser dengan hadirnya kelompok pendatang .

Tabel 1.2 Perbandingan Perubahan Penduduk di Kalimantan Timur

No Kabupaten/Kotamadya 1961 1971 1977 1. Balikpapan 91.706 137.340 238.141 2. Samarinda 69.712 137.918 190.393 3. Kutai 220.256 241.412 315.209 4. Berau 28.256 31.954 38.726 5. Bulungan 95.685 119.199 158.380 6. Pasir 44.967 57.192 67.719 Total 550.582 725.115 1.008.568 Sumber : Registrasi Penduduk Kalimantan Timur 1977 (Samarinda: Bappeda Kaltim,1978), hal.1-9 Dari Tabel 1.2 tersebut tampak jelas bahwa sebaran perubahan penduduk terjadi di Balikpapan,Samarinda dan Kutai secara signifikan. Sebaran penduduk tersebut terjadi karena adanya kegiatan bisnis komersialisasi hutan dan pertambangan. Menurut

Magenda (1991) komposisi penduduk di Balikpapan terdiri dari etnis Jawa (35%-40%),

Bugis (25%-30%), Banjar (30%) dan etnis lain seperti China,Minahasa dan Sangir

(5%). Etnis Banjar dominan berdiam di Samarinda diperkirakan mereka berjumlah sekitar 40%, etnis Jawa 30%, etnis Bugis sekitar 10% dan etnis lain yang terdiri dari

Dayak dan China sekitar 10%. Dominasi etnis Banjar di Samarinda bisa dimaklumi karena Gubernur dan hampir seluruh jabatan strategis birokrasi dalam pemerintahan didominasi oleh etnis Banjar pada era Sjahranie (Orde Baru). Sementara itu etnis Kutai pun berada dalam pemerintahan yang ditempatkan oleh Sjahranie. Namun etnis Dayak di Samarinda tidak menempati posisi strategis di pemerintahan, sebaliknya tanah ulayat mereka diambil oleh Negara. Hutan mereka dikomersialkan dan mereka tetap hidup dalam kesederhanaan. 70

Sementara itu di Tarakan yang merupakan Daerah industri, etnis Jawa diperkirakan berjumlah sekitar 50 %, etnis Bugis dan Toraja sekitar 20%, sementara itu etnis China dan Sangir sekitar 15 %. Etnis Jawa lebih banyak bekerja di pertambangan minyak dan perusahaan kayu, sedangkan etnis Bugis dan Toraja bekerja di perusahaan agrikultur. Demikian juga etnis Dayak lebih banyak bermukim Kecamatan Bulungan, khususnya Tanjung Palas, Krayan dan Malinau. Dari peta sebaran penduduk berdasarkan hasil tambang atau industri tersebut diatas, pada awalnya kelompok etnis pendatang berpindah ke Kaltim dengan motif hanya mencari pekerjaan. Namun dalam perkembangannya kelompok etnis yang bermukim lama dan sudah menjadi penduduk tetap membawa nilai-nilai budaya mereka.

Maraknya kaum migran ke daerah pinggiran di Kaltim mendesak penduduk asli semakin ke pedalaman, oleh karena itu mereka lebih memilih ‘mengalah’ dengan berpindah tempat hunian. Sebagian dari etnis Dayak menyeberang atau berpindah ke

Sabah atau Serawak (Malaysia). Kutipan dari Kaltim Post Online tanggal 31 Maret

2011 dibawah ini memberikan suatu penegasan, mengapa etnis Dayak lebih senang menjadi penduduk Malaysia daripada menjadi warga Indonesia.

“Sejak merdeka sampai sekarang, warga Krayan yang pindah ke Malaysia jumlahnya sudah mencapai belasan ribu. Ibaratnya, separuh warga Krayan sudah jadi warga negara Malaysia,” ungkap Kepala Adat Krayan Darat, Yagung Bangau, di hadapan 4 anggota DPD RI yang masuk ke Panitia Khusus (Pansus) Kawasan Perbatasan, di antaranya, Bambang Susilo dan Luther Kombong. Warga yang sudah melakukan eksodus itu diakui Yagung tidak akan mau kembali menjadi warga negara Indonesia, sebab mereka sudah merasakan enak dan mendapatkan kemudahan ketika menjadi warga Negara Malaysia.“Kalau mereka kembali ke Krayan, yang ada, mereka selalu mengeluh susah untuk hidup. Apalagi fasilitas yang dimiliki memang sangat sedikit,” terangnya. Tak 71

hanya itu, dari sekitar 16 ribu warga yang masih tinggal di Krayan saat ini, ada ribuan warga yang disebut-sebut Yagung memiliki dua kartu tanda pengenal, yakni Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia dan kartu warga Negara Malaysia. Seorang informan dari etnis Dayak yang penulis temui mengungkapkan keprihatinannya karena kebanyakan keluarga mereka tidak mengenyam pendidikan tinggi. Mereka hanya puas kalau sudah tamat Sekolah Menengah Atas dan bergegas mencari pekerjaan di perusahaan kayu. Mereka tidak mampu bersaing dengan orang

Jawa atau kelompok pendatang lain di perusahaan kayu, karena kemampuan dan ketrampilan yang mereka miliki sangat terbatas. Menurut keterangannya hanya dia sendiri yang bekerja di bagian administrasi, itupun karena rekomendasi dari pamannya yang sudah terlebih dahulu bekerja di perusahaan tersebut. Dia mengatakan :

“Kekayaan alam kami ‘dijarah’ oleh kelompok pendatang, sementara itu tanah kami juga diambil. Dalam penempatan pekerja di perusahaan pun terjadi nepotisme, karena posisi penting telah ‘dipesan’oleh Bupati, Walikota atau Gubernur. Dengan pendidikan yang terbatas, maka kami tidak mampu bersaing dengan tenaga profesional dari Jawa,

Bugis atau Banjar.”14 Apa yang diungkapkan oleh informan ini beralasan karena hampir semua perusahaan kayu dan pertambangan dalam menerima karyawan diatur dengan syarat atau standar yang ditentukan oleh kaum migran. Pada saat seleksi karyawan, maka mereka akan tersisih atau menempati rangking bawah, karena mereka tidak siap baik secara pendidikan dan ketrampilan yang memadai.

Munculnya dominasi orang Jawa baik di pemerintahan, industri kayu dan pertambangan, khususnya di posisi yang strategis menimbulkan citra terhadap orang

14 Wawancara dengan Bambang (nama samaran) dan Ani (nama samaran), Juni 2011 di Yogyakarta 72

Jawa yang kurang baik di masyarakat. Salah seorang informan yang penulis wawancarai mengatakan sebagai berikut: “Orang Jawa identik dengan ‘penjajah’, karena mereka mengeruk kekayaan alam Kaltim, dan membiarkan masyarakat Kaltim hidup miskin”

15Citra orang Jawa sebagai ‘penjajah’ ini terbentuk dalam benak masyarakat, karena mayoritas Gubernur di Kaltim sejak rejim Orde Lama berasal dari Jawa dan mantan

Pangdam Mulawarman (militer). Mantan Gubernur ini diidentikkan dengan orang Jawa yang ‘mengeruk’ kekayaan alam Kalimantan Timur. Mereka membangun rumah mewah di Jawa dan memiliki aset miliaran rupiah dalam bisnis tambang dan kayu.

Sementara itu penduduk asli hanya menjadi pekerja bawahan atau menjadi ‘orang terpinggirkan’, karena mereka kalah berkompetisi. Kefrustasian penduduk asli terhadap kelompok pendatang yang terakumulasi puluhan tahun tersebut muncul dengan stereotipe di masyarakat bahwa ”orang Jawa penjajah”.

G.Politik Identitas

Politik identitas muncul ke permukaan sebagai bentuk legitimasi ekistensi orang

Dayak yang termarjinal. Politik identitas merupakan simbol bangkitnya ‘perlawanan’ terhadap kelompok pendatang. Menurut Rothschild munculnya politik etnis atau politik identitas merupakan bargaining power terhadap proses modernisasi yang diterapkan pemerintah yang meminggirkan masyarakat asli (adat). Dalam konteks rejim Orde Baru

15 Wawancara via telpon seluler dengan Charles Siahaan, Juni 2011 di Yogyakarta-Kaltim. Istilah ‘penjajah’ untuk menyebut kelompok pendatang ini identik dengan etnis Jawa yang selama Orde Baru menguasai sumber daya alam Kaltim. Hal ini terbukti dengan adanya penamaan Bukit Soeharto di Kabupaten Kutai Kartanegara yang merupakan daerah hutan lindung pada masa kini. Penemaan Bukit Soeharto membuktikan adanya keterkaitan antara elit politik lokal dengan rejim Orde Baru. Istilah ‘penjajah’ atau ‘penjarah’ kekayaan alam Kaltim yang dilakukan oleh kelompok pendatang ini juga dibenarkan oleh Rudy Koesnandar dan Maksum yang penulis temui di Samarinda dan Balikpapan. 73

memerintah bentuk dari modernisasi ialah hadirnya industri kayu, pertambangan dan hadirnya pembangunan sarana dan pra sarana yang menggusur tanah dan lahan orang

Dayak. Politik identitas Dayak mengemuka sebagai respon terhadap modernisasi atau kebijakan yang diterapkan oleh rejim Orde Baru yang berdampak memarjinalkan mereka. Oleh karena etnis Dayak tergeser dalam pemerintahan selama Orde Baru, maka memasuki era transisi demokrasi mereka mulai sadar terhadap hak politiknya yang hilang. Mereka mulai mengonsolidasi diri kedalam satu kesatuan masyarakat Dayak.

Tujuan mereka konsolidasi ialah mendudukkan orang Dayak dalam pemerintahan, agar aspirasi orang Dayak terakomodasi. Bersamaan dengan kesadaran politik diantara orang

Dayak pada era transisi demokrasi - sebagian besar masyarakat Kaltim menggugat partai Golkar dan rejim Orde Baru yang telah mempurukkan ekonomi masyarakat.

Suwarna sebagai mantan Pangdam Mulawarman mengetahui dengan persis karakteristik etnis Dayak. Dengan memperhatikan kegalauan orang Dayak dan gugatan mereka terhadap ketidakadilan yang dialaminya, maka Suwarna menginstrumentasi politik identitas Dayak sebagai modal sosial dalam rangka mendapatkan kepercayaan masyarakat. Tim sukses Suwarna mengadakan lobi-lobi terhadap para pemuka adat

Dayak (Dewan Adat) untuk menjembatani relasi antara Suwarna dengan etnis Dayak se

Kaltim. Salah satu hasil lobi-lobi dan silaturahmi tersebut ialah intervensi Suwarna dalam membiayai musyawarah masyarakat Adat Dayak se Kalimantan Timur.

“…..mantan Gubernur mendanai Mubes tersebut dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan agar bisa menduduki lagi jabatannya untuk masa jabatan kedua.”

(Maunati,2004:325). Suwarna (etnis Sunda) sebagai mantan Pangdam Mulawarman 74

tidak menggunakan Golkar sebagai partai pengusung pencalonan dirinya sebagai

Gubernur 1998 dan 2003, melainkan PDI-P dan menginstrumentasi orang Dayak sebagai ‘bemper’ dalam pencalonan diri sebagai Gubernur Kaltim di era transisi demokrasi. Dengan diangkatnya Suwarna sebagai Kepala Adat, maka seluruh orang

Dayak di Kaltim akan mentaati dan mendukungnya dalam pemilihan Gubernur. Namun pengangkatan sebagai Kepala Adat dan dukungan terhadap Suwarna oleh orang Dayak tersebut tidak gratis, mereka mengajukan syarat wakil orang Dayak (Yurnalis Ngayoh) duduk dalam pemerintahan.

Tampaknya strategi Suwarna dalam merapat ke PDI-P dan mendapat dukungan orang Dayak tersebut efektif, karena dia ingin menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat yang pro reformasi. Suwarna ingin mengikis citra sebagai ‘kroni Orde Baru’ dalam pencalonannya sebagai Gubernur. Suwarna ingin mencitrakan diri sebagai bagian dari masyarakat Kalimantan Timur, karena itu dia mendekatkan diri ke komunitas

Dayak. Dia ingin diterima sebagai orang Sunda yang berbeda dengan orang Jawa dan sekaligus sebagai bagian dari masyarakat Kalimantan Timur. Tampaknya Suwarna memanfaatkan modal sosial yang merupakan warisan Orde Baru ini dengan cara

‘meleburkan diri’ sebagai bagian dari masyarakat dan ‘memutus’ citra sebagai ‘kroni

Orde Baru’.

Namun di awal era transisi demokrasi, pemilihan Gubernur masih dipilih oleh anggota DPRD, dimana anggota Golkar masih mendominasi kursi parleman. Dalam hal ini peranan dan dukungan Syaukani sebagai ketua DPD Golkar di Kalimantan Timur 75

sangat menentukan terpilihnya seorang kandidat sebagai Kepala Daerah. Tampaknya tim sukses Suwarna juga melakukan lobi politik terhadap Syaukani dengan adanya deal yang terselubung dalam pemilihan Gubernur Kalimantan Timur. Setelah melalui lobi- lobi politik dan money politics dalam pemilihan Gubernur 1998, maka Suwarna terpilih oleh anggota DPRD sebagai Gubernur Kalimantan Timur untuk periode 1998-2003.

Pemilihan Suwarna sebagai Gubernur melalui Sidang Paripurna DPRD tertutup dari pengawasan tim independen, media massa dan masyarakat, sehingga sangat rawan dengan praktik money politics, dimana Golkar melalui Syaukani akhirnya memberikan dukungan kepada Suwarna. Dalam pemilihan Gubernur tersebut sikap politik Golkar mendukung Suwarna yang diusung oleh PDI-P. Suwarna mampu memanfaatkan modal sosial yang telah direkayasa oleh Orde Baru sebagai ‘kendaraan politik’ yang menghantarnya sebagai Kepala Daerah.

Namun ironinya elit politik Golkar yang mendominasi DPRD Kalimantan Timur sejak Orde Baru mengalami kekalahan yang pertama kalinya dari PDI-P dalam Pemilu

1999. Tampaknya kekalahan elit politik Golkar ini untuk pertama kalinya sejak rejim

Orde Baru runtuh. Ironinya elit politik Golkar kalah di Samarinda, Balikpapan dan

Kutai Kartanegara pada Pemilu 1999, dimana di tiga daerah tersebut basis massa pendukung mereka sangat solid pada era Orde Baru (54%). Kekalahan Golkar di tiga daerah tersebut mengindikasikan adanya resistensi masyarakat terhadap rejim Orde

Baru dan kroni-kroninya. Tampaknya masyarakat direkayasa dengan cara ‘dibungkam’ selama 32 tahun secara politik, mereka sekarang sadar dan meluapkan kejengkelannya.

Situasi kemarahan dan kejengkelan masyarakat terharap rejim Orde Baru ini yang 76

dimanfaatkan oleh tim sukses Suwarna sebagai modal sosial untuk mencitrakan dirinya sebagai seorang yang ‘reformis’ .

Politik identitas Dayak yang dimanfaatkan oleh Suwarna tampaknya efektif dalam pemerintahan, karena Suwarna ditopang oleh tiga pilar, yakni : (1) anggota

DPRD, (2) birokrasi dan (3) masyarakat Kaltim (etnis Dayak). Oleh karena Suwarna berlatar belakang militer, maka strategi politiknya pun tersirat adanya ‘kroni-kroni Orde

Baru’. Penempatan mantan perwira pada posisi strategis dalam pemerintahan merupakan bagian dari strategi untuk mengendalikan birokrasi. Deal politik antara

Suwarna dengan Syaukani yang dilakukan oleh tim suksesnya merupakan bagian dari mengendalikan anggota DPRD. Sementara itu pada ranah masyarakat, Suwarna didukung penuh oleh seluruh elemen etnis Dayak. Dengan adanya tiga pilar yang mendukung Suwarna tersebut, maka tampaknya Suwarna ‘berhasil’ melaksanakan tugasnya sebagai Gubernur Kalimantan Timur periode 1998-2003.

Suwarna berhasil mengendalikan anggota DPRD dan keamanan dalam masyarakat, sehingga pemerintahannya dapat berjalan dengan lancar. Namun Suwarna tidak puas dengan apa yang dilakukannya, maka dia mencalonkan diri lagi sebagai kandidat Gubernur periode 2003-2008. Tampaknya Suwarna merasa yakin akan menang, karena mampu memanfaatkan modal sosial yang direkayasa sedemikian rupa dan hal ini mewujud dengan dukungan masyarakat Dayak terhadapnya. Selain itu

Suwarna juga telah menguasai anggota DPRD baik dari fraksi TNI/Polri, PDI-P dan

Golkar yang loyal terhadapnya. 77

Keyakinan Suwarna akan menjabat lagi sebagai Gubernur untuk periode 2003-

2008 ditengarai atas kemenangan PDI-P dalam Pemilu 1999 di Kalimantan Timur yang telah merubah konstelasi politik di Kaltim. Namun ternyata PDI-P tidak mendukung lagi Suwarna sebagai kandidat Gubernur 2003. Dengan kemenangan PDI-P dalam

Pemilu 1999 tersebut, maka elit politik PDI-P mayoritas menduduki kursi DPRD

Kaltim yang berjumlah 45 orang. Adapun rincian komposisi anggota DPRD Kaltim

1999-2004 menurut KPUD Kaltim, sebagai berikut : (1) PDI-P 14 kursi, (2) Golkar 13 kursi, (3) TNI/Polri 5 kursi, (4) Cahaya Reformasi 5 kursi, (5) PPP-PNU 5 kursi dan (6)

PKB 3 kursi. Untuk memenangkan pemilihan Gubernur tersebut diperlukan perolehan suara lima puluh prosen plus satu (23 suara). Dengan komposisi anggota DPRD seperti tersebut di atas, maka Suwarna cukup membutuhkan minimal 23 suara. Secara teoritis

Suwarna diprediksi minimal mengantongi 18 suara yang berasal dari Golkar dan

TNI/Polri. Suwarna hanya membutuhkan sekitar 6 suara lagi untuk memenangi pemilihan Gubernur 2003.

H. Mobilisasi Etnis

Isu instrumentasi etnis oleh kandidat menjadi sangat signifikan dalam era transisi demokrasi, khususnya dalam masyarakat yang berkembang dan terbelakang pendidikannya. Studi terdahulu tentang kajian pengaruh politik etnis dalam Pemilu dilakukan oleh Lisa Handley (2001) yang meneliti pemilihan anggota konggres dan anggota legislatif di negara bagian Arizona tahun 1996, 1998 dan 2000. Handley menemukan bahwa pemilihan langsung yang dilakukan ternyata tidak menghasilkan pemenang dari kandidat yang sama etnisnya dengan pemilih. Tampaknya telah terjadi 78

polarisasi suara, khususnya diantara etnis minoritas, mereka cenderung memilih kandidat dari partai yang mampu mengakomodasi kelompoknya. Handley menuliskan sebagai berikut :

“Voting in legislative elections in Arizona is frequently, but not always, racially/ethnically polarized.Voting in approximately one-fourth of the contests examined was not polarized – minority voters and white voters supported the same candidates in these contests. In another one-fourth of the contests analyzed, voting was strongly polarized, with the choices of white voters and minority voters being quite different. In the other one half of the contests, estimates of voting patterns by race/ethnicity indicated varying, but lesser, degrees of racially polarized voting.” (Handley, 2001:2)

Pada umumnya mereka tidak mempertimbangkan asal muasal etnis kandidat, namun mereka cenderung berpikir secara rasional tanpa melihat etnis yang sama dengannya.

Yang penting kandidat mampu menerima semua kelompok dan memperjuangkan aspirasi kaum minoritas. Selain itu Handley juga menemukan peranan incumbent untuk menang dalam pemilihan berikutnya sangat besar (65%). “Incumbency played a role in whether a contest was polarized or not: in the large majority (65%) of elections in which voting was not polarized, the contests were not polarized because whites voted for minority-preferred incumbents.” Kemenangan incumbent ini disebabkan oleh karya nyatanya yang berhasil mengakomodasi kelompok minoritas. Tampaknya dukungan kelompok minoritas seperti kaum Hispanic, Black dan native American di Arizona sangat menentukan kemenangan kandidat. Kelompok minoritas ini lebih cenderung memilih partai Demokrat, sementara orang kulit putih cenderung memilih partai

Republik. 79

Penelitian lain tentang pengaruh etnis dalam Pemilu (Pilkada) dilakukan oleh

Kevin A.Hill dan Dario V. Moreno (1999) di negara bagian Florida Selatan seperti yang dikutip dari kajian LSI,sebagai berikut :

“Kevin A. Hill dan Dario V.Moreno (1999) menemukan bahwa para politisi di Negara bagian tersebut seringkali menggunakan pendekatan voting block berdasarkan isu-isu tertentu pada komunitas minoritas di Florida Selatan, misalnya Hispanic—keturunan Spanyol. KevinA. Hill dan Dario V.Moreno (1999) menyimpulkan bahwa penguasaan bahasa kalangan minoritas yang ada di Florida Selatan bagi kalangan politisi dan kandidat presiden merupakan variabel penting bagi daya tarik mereka dalam pemilihan. Dalam peristiwa pemilihan presiden, misalnya kemampuan para kandidat di dalam menggunakan bahasa Spanyol dijadikan indikator penilaian dari kalangan Hispanic dalam membentuk sikapnya terhadap kandidat presiden” (LSI, 2008:25)

Hill dan Moreno dalam penelitiannya menemukan bahwa pendekatan kampanye berdasarkan isu etnis minoritas akan menarik simpati kelompok minoritas. Apalagi sang kandidat mampu menggunakan bahasa kelompok minoritas, hal ini akan berdampak positif pada dukungan kelompok minoritas kepada kandidat. Penggunaan bahasa

Spanyol dalam kampanye akan menarik simpati kelompok Hispanic untuk memilih kandidat. Tampaknya penggunaan identitas etnis memiliki pengaruh yang signifikan dalam Pemilu atau Pilkada. Di Negara yang sudah maju seperti Amerika pun faktor etnis dimanfaatkan oleh kandidat untuk merebut hati pemilih.

Penelitian yang dilakukan oleh Dianne M.Pinderhuges (1988) mengkaji model partisipasi politik sebagai alternatif dalam menjelaskan faktor-faktor kemungkinan yang berpengaruh terhadap kelompok ras di arena politik. Pindurhuges menemukan adanya relasi antara orang Asia, Black dan Meksiko terhadap pilihan mereka dalam pemilu.

Mereka lebih cenderung memilih kandidat yang akomodatif terhadap kelompok 80

minoritas dan tidak diskriminatif. Hal ini tampak seperti dalam kajian LSI dibawah ini, sebagai berikut:

“Identitas ras/etnis nampak masih berpengaruh dalam kontestasi pemilihan di Amerika. Salah satu penelitian yang membahas hal ini antara lain dilakukan oleh Dianne M. Pinderhuges (1988). Dianne M. Pinderhuges (1988) dalam hal ini mengkaji keterbatasan model status sosio ekonomis dalam partisipasi pemilihan. Dianne M. Pinderhuges (1988) mengembangkan model partisipasi politik (the political participation model) sebagai alternatif dalam menjelaskan faktor-faktor yang kemungkinan berpengaruh terhadap ekspresi kelompok- kelompok ras dan etnis dalam arena politik. Di sini Dianne M. Pinderhuges (1988) mengkaji beberapa etnis yang ada di Amerika, yaitu kalangan kulit hitam (blacks), Asia dan Mexican American” (LSI, 2008:26)

Politik etnis yang mirip terjadi juga diantara orang Dayak yang selama ini terpinggirkan dalam Orde Baru. Mereka memberikan gelar kepada Gubernur Kaltim sebagai Kepala Adat Tertinggi dengan harapan pemerintah akan memperhatikan kesejahteraan masyarakat Dayak, namun ironinya orang Dayak tetap terpinggirkan.

Menurut hasil temuan penelitian Maunati, orang Dayak menjadi minoritas di rumah mereka sendiri, mereka mulai menyadari ketertinggalannya dalam bidang politik di era transisi demokrasi, lalu mereka mengatur strategi untuk bargaining politik. “Organisasi

Dayak membentuk dua kelompok, yaitu ‘Tim Delapan’ dan ‘Tim Dua belas’, yang diresmikan pada awal Juni 1998 saat digelarnya sebuah rapat yang menghadirkan dua belas sub suku Dayak” (Maunati 2004:342). Dengan demikian kesadaran etnis dalam diri orang Dayak mulai muncul dan mewujud, karena adanya marjinalisasi dan hal ini mereka nampakkan dengan adanya politik identitas. Dua kelompok yang dibentuk 81

tersebut merupakan bukti tentang adanya politik identitas diantara orang Dayak, dimana mereka ingin diakomodasi dalam pemerintahan.

Untuk mewujudkan politik etnis orang Dayak secara konkret, menurut Maunati ada dua strategi yang mereka terapkan yakni: (1) mereka menggalang gerakan solidaritas Dayak. Dimana selama Orde Baru etnis Dayak menyadari sulit untuk dipersatukan, sebab masing-masing sub suku (kelompok etnis) mendahulukan kepentingannya. Oleh karena mereka tidak bisa bersatu, maka mereka mudah dipolitisasi oleh elit politik. Selanjutnya Maunati menuliskan sebagai berikut:

“Solidaritas didasarkan pada sebuah gerakan untuk mendorong persatuan dan kerukunan masyarakat Dayak yang lebih besar. Keteguhan dalam menggunakan istilah ‘Dayak’ sebagai pengganti dari nama-nama afiliasi kesukuan (seperti Kenyah,Benuaq dan Tunjung), dipandang sebagai cara untuk membangun persatuan Dayak dan memperkuat posisi tawar mereka. Organisasi Dayak, yang beranggotakan kalangan elit Dayak dari berbagai afiliasi kesukuan, telah memprakarsai sejumlah strategi untuk meningkatkan posisi Dayak dalam politik lokal dan untuk mewakili orang-orang Dayak yang sudah terpinggirkan sekian lama.” (Maunati, 2004:337-38) Tampaknya gerakan solidaritas orang Dayak tersebut sebagai bentuk pewujudan ambisi mereka yang selama ini terpinggirkan. Namun mereka menyadari kelemahannya karena ketidaksiapan berkompetisi terhadap kelompok pendatang. Mereka ingin merebut

‘kekuasaan’ yang telah hilang selama ini yang dikuasai oleh kelompok pendatang.

Mereka mulai sadar bahwa dengan cara berjuang sendiri-sendiri berdasar sub suku tidak akan berhasil, oleh karena itu harus diciptakan rasa senasib sepenanggungan bahwa mereka dijajah. Kesaksian seorang informan menyebutkan demikian : “Orang Dayak sudah kehilangan otonomi politiknya, karena menurunnya peran kepala-kepala adat.

Karenanya, orang Dayak tidak memiliki posisi untuk mengendalikan wilayah kami 82

sendiri. Orang Dayak selalu dijajah meskipun kami adalah penduduk asli Kalimantan”

(Maunati, 2004: 338).

Gerakan solidaritas Dayak ini bertujuan menyamakan persepsi diantara sub suku

Dayak di pedalaman Kalimanatan Timur, agar mereka memiliki visi dan misi yang sama, yakni : merebut kekuasaan yang diambil oleh kelompok pendatang. Gerakan solidaritas

Dayak ini juga memiliki peran penting karena mereka mencitrakan diri sebagai orang

Dayak yang modern dan memiliki pelobi politik yang ulung. Pencitraan sebagai Dayak yang modern perlu digaungkan untuk menepis citra orang Dayak yang primitif dan terbelakang. Dengan adanya citra diri bahwa mereka adalah orang modern dan terdidik, maka mereka mampu bersaing dalam bidang politik. Selama pemerintahan Orde Baru, orang Dayak terpinggirkan dalam ranah politik di Kalimantan Timur. Jabatan strategis dalam pemerintahan didominasi oleh orang Banjar,Kutai dan Jawa. Tetapi anehnya mereka memberi gelar ‘Kepala Adat’ kepada HM.Ardans dan Suwarna. Konsekuensi dari pemberian gelar kepada Ardans dan Suwarna ialah mereka tidak bisa

‘memberontak’, karena mereka sudah menganggap Ardans dan Suwarna sebagai ‘Kepala

Adat Besar’ yang harus ditaati.

Kedua, pembentukan tim delapan dan tim dua belas. Pembentukan tim sukses tersebut berdasarkan hasil musyawarah masyarakat Dayak yang dibiayai oleh Suwarna.

Oleh karena musyawarah tersebut dibiayai oleh Suwarna, maka tidak heran muncul pembentukan tim sukses untuk mencalonkan orang Dayak sebagai wakil Gubernur dan 83

mereka mendukung Suwarna sebagai Gubernur. Kutipan dibawah ini memberikan gambaran tentang politik etnis yang dilakukan oleh etnis Dayak, sebagai berikut:

“Organisasi Dayak mendukung Suwarna AF sebagai Gubernur baru dengan beberapa alasan, pertama, Suwarna orang Sunda jadi dia bukan orang asli Kalimantan. Sebagai orang luar, dia cenderung netral dan memperhatikan semua orang tanpa memandang kesukuan. Berdasarkan pengalaman yang lalu, bila Gubernur dijabat oleh orang luar, dia memperlakukan orang Dayak secara adil. Tetapi selama pak HM Ardans menjabat sebagai Gubernur, korupsi,kolusi dan nepotisme banyak terjadi. Kedua, nepotisme dapat dikurangi karena Gubernur yang baru ini tidak memiliki jaringan yang luas di Kalimantan Timur.” (Maunati, 2004: 341).

Berdasarkan asumsi bahwa Suwarna akan mengakomodasi kepentingan orang

Dayak dalam pemerintahan, maka tim sukses tersebut bekerja. Pembentukan tim delapan terdiri dari pegawai swasta, sementara itu tim dua belas terdiri dari pegawai negeri.

Dalam tim delapan dan tim dua belas juga dimasukkan orang Muslim untuk menunjukkan bahwa tim ini representatif mewakili semua agama. Tugas utama tim delapan ialah membuat proposal dan melobi kandidat Gubernur untuk menempatkan orang Dayak sebagai wakil Gubernur atau penempatan orang Dayak dalam pemerintahan. Hal ini dilatarbelakangi oleh realita selama HM Ardans sebagai Gubernur lima tahun terakhir (1993-1998) tidak ada orang Dayak yang diangkat sebagai pegawai

Pemda. Sementara itu tim dua belas memiliki tugas utama ialah memberi masukan dan solusi kepada Gubernur tentang permasalahan mendasar yang dihadapi oleh orang

Dayak, yakni: kemiskinan,pendidikan, kesehatan,pekerjaan, perumahan dan kesejahteraan. 84

Tim delapan melobi Suwarna dan berhasil meyakinkan bahwa Yurnalis Ngayoh sebagai putra daerah layak dan mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat (orang Dayak). Pemilihan Kepala Daerah pada tahun 1998 masih dipilih oleh anggota DPRD dan hal ini sangat rawan dengan politik etnis dan money politics.

Sementara itu anggota DPRD Kalimantan Timur didominasi oleh Golkar dan PDI-P.

Fraksi PDI-P dan TNI sudah jelas mendukung Suwarna, namun tampaknya ada deal khusus antara Suwarna dan Syaukani. Dalam proses pemilihan Kepala Daerah tertutup tersebut sangat terbuka peluang adanya money politics terhadap anggota DPRD, sehingga pemilihan Kepala Daerah tidak berdasarkan aturan yang berlaku. Dalam hal ini

Suwarna memanfaatkan jejaring etnis Dayak sebagai basis modal sosial yang kemudian disertai dengan lobi-lobi politik, dimana aroma money politics sangat kental.

I.Strategi Politik

Strategi tim sukses Suwarna dalam pemilihan Gubernur Kalimantan Timur

2003-2008 tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya. Strategi yang dilakukan oleh tim sukses Suwarna meliputi tiga hal, yakni : (1) menguasai DPRD, (2) rekayasa sosial dan (3) money politics. Pertama, strategi menguasai anggota DPRD dilakukan dengan cara tim sukses mendekati partai pemenang Pemilu 1999. Tim sukses Suwarna mendapat kesulitan, karena tampaknya PDI-P tidak mendukungnya sebagai kandidat

Gubernur, karena mereka memiliki kandidat tersendiri. Tim sukses mengambil sikap untuk melobi terus menerus terhadap anggota DPP PDI-P di Jakarta, agar mereka memberikan dukungan terhadap Suwarna. Selain itu tim sukses juga melobi Syaukani 85

selaku Ketua DPD Golkar Kaltim. Tampaknya lobi-lobi tim sukses memperoleh hasil, dimana Golkar memberikan dukungan terhadap Suwarna sebagai kandidat Gubernur.

Keputusan Golkar mendukung Syaukani sebagai kandidat Gubernur tentu ada deal dibalik itu.

Kedua, rekayasa sosial dan instrumentasi etnis yang dilakukan Suwarna terhadap etnis Dayak tampaknya efektif, karena Suwarna mengangkat figur putra daerah mereka sebagai wakil Gubernur (Yurnalis Ngayoh). Pemanfaatan putra daerah sebagai wakil Gubernur berdampak simpati dan dukungan masyarakat Dayak terhadap

Suwarna. Dukungan masyarakat asli Kaltim sangat dibutuhkan Suwarna, karena hal ini sebagai legitimasi terhadap dirinya. “Negosiasi-negosiasi politik tersebut di atas menuntut terbentuknya kembali identitas Dayak sejalan dengan pandangan tentang modernitas orang-orang Dayak” (Maunati, 2004:343). Bagi orang Dayak negosiasi politik dengan Suwarna dimaknai sebagai upaya untuk merengkuh kekuasaan dan pencitraan diri sebagai orang modern. Hal ini bisa dimaklumi oleh karena selama pemerintahan Orde Baru, mereka termarjinal dan citra mereka terkesan sebagai orang yang kuno atau tidak mengenal modernitas.

Ketiga, money politics. Oleh karena Suwarna tidak didukung oleh PDI-P, maka hal ini akan menyulitkan langkahnya untuk memenangi pemilihan Gubernur 2003. Oleh karena itu tim sukses Suwarna melakukan lobi-lobi politik terhadap para elit politik

Nasional atau DPP PDI-P di Jakarta. Upaya tim sukses untuk melobi petinggi PDI-P tersebut tampaknya efektif meningkatkan dukungan terhadap Suwarna. Hal ini 86

ditunjukkan dengan adanya suara kader PDI-P yang mendukung Suwarna bukan ke

Imam Mundjiat dan Hifnie Syarkawi. Dalam pemilihan Gubernur Kalimantan Timur tahun 2003 ada tiga pasangan kandidat yang mencalonkan diri, yakni : (1) Suwarna

Abdul Fatah dan Yurnalis Ngayoh (Golkar), (2) dan Abu Thalib

Chair (PAN dan PKB) dan (3) Imam Mundjiat dan Hifnie Syarkawie (PDI-P). Melalui

Sidang Paripurna tanggal 2 Juni 2003, anggota DPRD Kalimantan Timur mengadakan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dengan hasil sebagai berikut:

1.Suwarna Abdul Fatah dan Yurnalis Ngayoh mendapat 24 suara

2.Awang Faroek Ishak dan Abu Thalib Chair (PAN dan PKB) mendapat 14 suara

3.Imam Mundjiat dan Hifnie Syarkawie (PDI-P) mendapat 7 suara

Dengan adanya keputusan hasil Sidang Paripurna DPRD tersebut, maka

Suwarna dan Yurnalis terpilih kembali sabagai Gubernur dan Wakil Gubernur periode

2003-2008, karena telah memenuhi aturan pemilihan (limapuluh prosen plus satu).

Tampaknya ada indikasi money politics dalam Pemilihan Gubernur Kalimantan Timur

2003, dimana tim sukses memberikan uang kepada anggota DPP PDI-P, agar mereka menekan kadernya untuk mendukung Suwarna. Hal ini menyebabkan Theo Syafei mengajukan pengunduran diri, namun pengunduran diri Theo ditolak oleh pimpinan

PDI-P. Kutipan dibawah ini memberikan gambaran tentang adanya praktik money politics dibalik kemenangan Suwarna, sebagai berikut:

“Salah satu penyebab kekalahan Imam Mundjiat (PDI-P) diduga karena kedatangan Theo dan Agnita ke , bertemu sebagian anggota F-PDIP Kaltim. Keduanya mengaku diutus Ketua Umum DPP PDIP, Megawati 87

Sukarnoputeri, dengan menyampaikan bahwa F-PDIP Kaltim harus mendukung Suwarna. Paska terpilihnya Suwarna sebagai Gubernur Kaltim, beredar foto copy tanda terima ditandatangani Ketua DPRD yang juga Sekretaris DPD PDIP Kaltim, Sukardi Jarwo Putro, yang menyebutkan menerima Rp 6 miliar dari Suwarna untuk dana operasional Theo-Agnita. Dan selanjutnya kasus itu bergulir ke Mabes Polri.” 16

Untuk memenangkan kompetisi dalam pemilihan Gubernur tersebut tim sukses melakukan tindakan money politics dengan dua cara,yakni: pertama, mengarantina anggota Golkar dan partai lain di pulau Kemala, sehingga mereka tidak bisa disusupi oleh tim sukses yang lain. Dengan kata lain anggota DPRD tersebut diamankan, agar tidak memberikan suara pada calon lain, kecuali hanya kepada Suwarna17. Pulau

Kemala adalah pulau yang terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara yang dibangun oleh

Syaukani. Diperkirakan anggota DPRD yang dikarantina di pulau tersebut berasal dari

Golkar. Kedua, money politics dilakukan terhadap anggota DPP PDI-P dan hal ini dilakukan dalam pertemuan di Hotel Klub Bunga, Batu – Malang. Diharapkan dari pertemuan tim sukses dengan petinggi PDI-P tersebut, mereka dapat memengaruhi anggotanya untuk memilih Suwarna.

Secara teoritis AFI-Abu mestinya bisa memenangi Pemilihan Gubernur, kalau didukung oleh Golkar. Oleh karena AFI telah teruji dalam sejarah sebagai salah satu pendiri Golkar di Kalimantan Timur. Dia berpengalaman dalam berpolitik dan hal ini dibuktikan dengan menjadi anggota DPR dari Golkar selama dua periode (1987-1992 dan 1992-1997). Namun tampaknya Syaukani sebagai ketua DPD Golkar Kalimantan

Timur tidak mendukung AFI dalam Pemilihan Gubernur 2003. Kedekatan antara

16 “PDI Perjuangan Tolak Pengunduran Diri Theo Syafei” dalam www.korantempo.com/23 Juli 2003

17 Wawancara dengan Anto (nama samaran), Juni 2009 di Yogykarta 88

Syaukani dan Suwarna tampak nyata ketika para anggota DPRD di karantina di pulau

Kemala (Tenggarong) dan pertemuan di Batu-Malang yang direkayasa sedemikian rupa, agar mereka memilih Suwarna-Yurnalis. Indikasi adanya money politics mencuat santer kepermukaan, sehingga menimbulkan polemik yang berkepanjangan18.

J.Modal Ekonomi Kandidat

Dengan adanya kemenangan Suwarna dua periode berturut-turut dalam pemilihan Gubernur 1998 dan 2003 tersebut di atas yang sarat dengan tindakan money politics terhadap anggota DPRD, maka timbul pertanyaan dari mana modal Suwarna untuk membiayai tim sukses untuk melakukan money politics. Modal ekonomi kandidat dalam pemilihan Gubernur sedikitnya berasal dari lima sumber, yakni: pertama,modal ekonomi bersumber pada kekayaan pribadi19. Kekayaan pribadi Suwarna dan kandidat lain tidak disebutkan secara jelas, namun prinsip umum kekayaan pribadi ialah harta yang dimilikinya. Harta tersebut dapat berupa gaji yang diterima, rumah, tanah, deposito, tabungan dan aset jenis usaha yang kesemuanya ditaksir dalam bentuk rupiah.

Tampaknya sewaktu Suwarna sebagai Pangdam Mulawarman, dia dekat dengan para pengusaha China dan tentu saja dia sering mendapatkan fee, agar bisnis mereka dapat berlangsung lancar di Kalimantan Timur.

Kedua, modal ekonomi bersumber dari partai politik pendukung. Dalam konteks pemilihan Gubernur 1998 dan 2003 di Kalimantan Timur tampaknya sumber dana dari

18 “Theo Syafei dan Korupsi” dalam www.suarapembaruan.com/19 Juni 2003

19 Ide dasar tentang modal ekonomi kandidat ini penulis terinspirasi dari tulisan dari Schimpp and Ward, Money in Politics Handbook : A Guide to Increasing Transparancy in Emerging Democracies (Washington:USAID, November, 2003), hal.16 – 17, yang telah penulis kembangkan sesuai dengan konteks di Kaltim. 89

partai politik untuk kandidat sangat kecil. Namun yang terjadi justru sebaliknya, dimana kandidat memberikan uang kepada partai mendukung (money politics). Uang yang diberikan kandidat biasanya bervariasi berkisar antara sepuluh sampai lima puluh miliar rupiah. Tetapi partai politik yang tidak mampu mendukung kandidatnya dengan dana yang besar, maka sang kandidatlah yang mencari dana mandiri. Memang ada sumbangan dana dari pemerintah untuk partai politik, namun jumlahnya tidak besar.

Ketiga, modal ekonomi bersumber dari sumbangan masyarakat. Kandidat yang diusung oleh partai politik ada kemungkinan juga mendapat sumbangan dari masyarakat pendukung. Hal ini hanya dilakukan pada pemilihan Gubernur secara langsung oleh rakyat. Namun pemilihan Gubernur Kalimantan Timur 1998 dan 2003 dipilih berdasarkan Sidang Paripurna DPRD, sehingga kemungkinan kecil sumbangan dana dari masyarakat untuk dapat memengaruhi proses pemilihan Gubernur tsb.

Keempat, modal ekonomi bersumber dari pengusaha kecil dan menengah. Para pengusaha ini biasanya berbisnis di bidang batu bara, minyak dan kayu. Mereka memiliki kepentingan bisnis terselubung dalam mendukung kandidat. Mereka telah membuat kesepakatan dengan kandidat, bila kandidat menang, maka mereka akan mendapatkan tender proyek. Jadi mereka tidak menyumbang kandidat tanpa memiliki kepentingan, namun mereka berinvestasi terhadap kandidat. Mereka menghendaki uang yang disumbangkan balik modal, bahkan berbunga dengan adanya proyek yang diberikan oleh kandidat.

Kelima,modal ekonomi bersumber dari pengusaha besar. Para pengusaha besar ini dalam sejarah Orde Baru pada umumnya dikuasai oleh etnis China. Sejak tahun 90

1999-2002, Suwarna selaku Gubernur memberikan ijin kepada Pung Kian Hwa selaku direktur PT Surya Damai Group untuk mengelola 200.850.000 hektar hutan untuk ditanami kelapa sawit. Hal ini menyalahi ketentuan Menteri Kehutanan dan Perkebunan

No.107/Kpts-II/1999 tentang Perijinan Usaha Perkebunan, dimana pemberian ijin kepada perusahaan pada tataran Provinsi hanya diijinkan seluas 20.000 hektar20.

Dampak dari perbuatan Suwarna tersebut Negara dirugikan sebesar Rp. 346 miliar lebih atau setara dengan hasil hutan 697.260.23 M3 yang ditebang oleh PT Surya

Damai Group. Tentu dibalik pemberian ijin pengelolaan hutan oleh Suwarna kepada

Pung ada tindakan timbal balik dari Pung untuk memberikan uang kepada Suwarna.

Tampaknya uang yang diberikan Pung kepada Suwarna inilah sebagai modal untuk membiayai pencalonannya sebagai Gubernur. Dengan terbongkarnya kasus tindak korupsi yang dilakukan oleh Suwarna tersebut, maka Suwarna menerima uang komisi dari Pung sekitar Rp 30 milyar. Uang yang diterima oleh Pung inilah yang dipergunakan oleh Suwarna dan tim suksesnya untuk melakukan money politics terhadap anggota DPP PDI-P,DPP/DPD Golkar dan semua anggota DPRD Kalimantan

Timur. Untuk menjadi Kepala Daerah Kaltim Suwarna minimal membutuhkan modal enam puluh miliar rupiah. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh Gamawan

Fauzi selaku Menteri Dalam Negeri.

“Dana yang dihabiskan calon gubernur untuk kampanye adalah Rp 60 -100 miliar. Padahal seorang gubernur dalam lima tahun masa jabatannya maksimal hanya bisa mengumpulkan Rp 6 miliar"21

20 Data lengkap tentang kasus Suwarna bisa dilihat di www.putusan.mahkamahagung.go.id/putusan No.380 K/Pid.Sus/2007diakses 17 Juli 2011 21 “155 Kepala Daerah Jadi Terangka Korupsi” dalam www.vivanews.com/17 Januari 2011 diakses 24 November 2011 91

Oleh karena kandidat tidak memiliki modal yang cukup untuk membiayai kampanye dan tindakan money politics, maka dia melakukan tindakan kerjasama bisnis dengan para pengusaha besar. Para pengusaha besar inilah yang menjadi investor bagi

Suwarna dalam mendukung pemenangan Pilkada.

K.Ringkasan

Kontestasi politik bagi kandidat dalam pemenangan Pilkada 1998 dan 2003 di

Kalimantan Timur meliputi penguasaan kandidat terhadap identitas sosial masyarakat yang dimanfaatkannya sebagai modal sosial. Modal sosial tersebut bermuara pada mobilisasi jejaring etnis dalam rangka melegitimasi kandidat sebagai bagian dari mayoritas masyarakat. Pada saat mobilisasi jejaring etnis dalam masyarakat direkayasa oleh kandidat, bersamaan dengan hal tersebut kandidat melakukan tindakan money politics melalui instrumentasi simbol-simbol budaya, agama dan politik. Bagi masyarakat instrumentasi simbol-simbol etnis dan agama tersebut dipersepsi sebagai bantuan sosial. Namun bagi elite politik instrumentasi simbol-simbol etnis dan agama tersebut merupakan ‘investasi politik’ jangka panjang dalam rangka memengaruhi perilaku masyarakat terhadap elite politik (kandidat). 92