Bab I Dinamika Politik Etnis Dan Politik Uang Dalam Pilkada A
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
1 BAB I DINAMIKA POLITIK ETNIS DAN POLITIK UANG DALAM PILKADA A. Latar Belakang Masalah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung berdampak pada bangkitnya semangat kedaerahan atau instrumentasi etnis oleh elite politik. Mobilisasi etnis oleh elite politik bertujuan menggerakkan masyarakat untuk memilih elite yang mencalonkan diri dalam Pilkada. Hal ini dapat ditengarai dengan adanya isu-isu putra daerah asli dan pendatang dalam kampanye Pilkada. Isu putra daerah asli yang ditampilkan dalam kampanye, sesungguhnya menyerang calon lain yang bukan putra daerah. Instrumentasi etnis dalam Pilkada bisa memicu konflik horisontal antar pendukung calon. Sehubungan dengan maraknya instrumentasi etnis dalam Pilkada, bermula dari pengekangan oleh rejim Orde Baru selama tiga puluh dua tahun. Oleh karena dikekang selama tiga puluh dua tahun, maka ketika kekang tersebut terbuka lebar, maka instrumentasi etnis menjadi ancaman perpecahan dalam masyarakat. Studi terdahulu membuktikan bahwa instrumentasi etnis tersebut dimanfaatkan oleh elite politik untuk pemenangan dalam Pilkada. Dari hasil penelitian penulis terhadap tesis dan disertasi tentang politik etnis, penulis menemukan beberapa kajian yang menarik. Penelitian tentang instrumentasi etnis dalam pemenangan Pilkada dilakukan oleh Umasugi (2009), Ramadlan (2008) dan 2 Syarkawi (2007). Umasugi menemukan bahwa pemenangan Pilkada di Kabupaten Buru disebabkan kandidat menginstrumentasi etnis – hal ini diidentifikasi dengan pemilihan wakil Bupati yang menunjuk kandidat dengan marga yang berpengaruh besar di Kabupaten Buru. Kandidat menginstrumentasi etnisitas dalam rangka membangkitkan ikatan primordialisme dan kekerabatan dalam masyarakat untuk mendukungnya. Dampak dari kemenangan kandidat dalam Pilkada ialah hanya etnis tertentu yang menempati posisi strategis dalam pemerintahan1. Sebaliknya Ramadlan mengkaji instrumentasi etnis Dayak dari sisi yang berbeda dengan Umasugi. Temuan Ramadlan menunjukkan bahwa kemenangan kandidat dalam Pilkada ditopang oleh strategi jejaring etnisitas adat. Instrumentasi jejaring elit adat yang ditopang dengan adanya isu putra daerah menarik simpati pemilih. Hal yang selaras juga ditemukan dalam penelitian Syarkawi yang meneliti tentang fisibilitas politik identitas dalam Pilkada di Kalteng. Syarkawi menemukan bahwa politik identitas memiliki pengaruh yang kuat terhadap masyarakat Kalteng yang masih terikat dengan tradisi dan adat istiadat. Pasangan Narang dan Diran merupakan perpaduan antara Dayak dan Jawa yang sangat dominan di Kalteng. Namun dalam masyarakat majemuk secara etnis, kemenangan kandidat tidak cukup hanya ditopang oleh dua kandidat dari etnis mayoritas. Temuan Azis (2007) dalam penelitian di provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan perlunya akomodasi semua 1 Dalam masyarakat yang masih terikat kuat dengan adat (suku) tampaknya pengaruh etnis yang dominan, tetapi faktor penentu yang tidak kelihatan yang mampu memobilisasi mereka, yakni money politics sering berbaur menyatu dalam adat,agama dan acara ritual lainnya. Dengan kata lain instrumentasi etnis tidak dapat terpisahkan dengan praktik money politics. 3 etnis dalam masyarakat. Dalam konteks ini kandidat mengakomodasi semua etnis yang mendukungnya. Implikasi dari dukungan beberapa etnis tersebut ialah penempatan orang dalam pemerintahan melibatkan beberapa etnis. Dampaknya terhadap etnis minoritas, karena tidak mendukung kandidat mereka akan tersingkir dari pemerintahan dan dapat memicu kerawanan sosial. Sebaliknya temuan Bangsawan (2007) agak unik, karena ternyata etnis minoritas tidak identik dengan kekalahan dalam Pilkada yang sarat dengan instrumentasi etnis. Penelitian tentang Ahok dalam Pilkada di Kabupaten Belitung membuktikan Ahok selaku representasi etnis minoritas mampu mengalahkan kandidat lain. Strategi kemenangan Ahok terhadap masyarakat kota ialah mengampanyekan program pendidikan dan kesehatan gratis, untuk masyarakat pinggiran kota akan disediakan lapangan kerja dan bantuan usaha. Sementara itu strategi Ahok untuk masyarakat pedesaan ialah mencitrakan diri sebagai figur yang kredibel, kapabel dan bertanggungjawab. Terbukti Ahok dari etnis minoritas mampu mengalahkan kelompok etnis mayoritas, karena program yang ditawarkan kepada masyarakat menjawab kebutuhan mereka2. Tampaknya dalam Pilkada langsung kontestasi antar kandidat yang menginstrumentasi etnis adalah hal yang lazim terjadi. Namun tentang rivalitas antar etnis dalam Pilkada ternyata tidak semudah yang kita duga. Studi ini dibuktikan oleh 2 Dalam kasus Ahok ini faktor instrumentasi etnis tampaknya tidak berlaku, karena masyarakat Belitung sudah mampu memilah-milah, mana kandidat yang layak dipilih dan mampu memberikan solusi atas masalah ekonomi. Mereka mampu memilih kandidat yang kredibel dan bertanggungjawab tanpa membedakan etnis dan agama. 4 Kocu (2007) yang meneliti perilaku pemilih di tengah rivalitas antar kelompok etnis di Sorong Selatan-Papua Barat. Kocu menemukan bahwa loyalitas individu terhadap kesamaan etnis tidak terbukti, sebab mereka lebih memilih kandidat yang mampu membawa kesejahteraan masyarakat. Sekalipun etnis mereka berbeda dengan kandidat, namun bila kandidat mampu menunjukkan karya nyata dan mampu membangkitkan solidaritas yang sama untuk memerangi kemiskinan, maka kandidat tersebut yang akan dipilih oleh masyarakat. Dalam hal ini studi Kocu membuktikan berlakunya teori rational choice, artinya pemilih tidak dipengaruhi oleh faktor kesamaan etnis, namun mereka cenderung memilih kandidat yang tidak memicu berkonflik, agar terjadi kenyamanan dan perubahan ekonomi dalam masyarakat. Dari hasil temuan penelitian tersebut diatas masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan. Peneliti yang mengkaji dari sisi pemenangan kandidat dari perspektif strategi pemenangan akan terjebak untuk memaparkan keunggulan strategi pemenangan versi kandidat. Secara implisit peneliti akan terjebak untuk menjadi penyambung lidah bagi kandidat. Demikian juga dengan peneliti yang memaparkan pendekatan dari sisi kepemilikan modal yang kuat bagi kandidat. Mereka akan digiring ke pemikiran kepada yang kuat dan yang lemah – mereka yang memiliki modal yang kuat yang akan menang. Logika ini sangat sederhana dan mudah ditebak, karena parameter kemenangan hanya pada kandidat yang modalnya besar. Pendekatan instrumentasi etnisitas seperti yang dipaparkan diatas ada beberapa varian, namun peneliti juga akan terjebak dengan loyalitas pemilih terhadap kandidat yang sama etnisnya. Ternyata temuan tersebut diatas tidak menyinggung tentang faktor politik 5 uang dalam Pilkada. Padahal politik uang dilakukan oleh semua kandidat dalam Pilkada. Pertanyaan kritis yang patut diajukan ialah apakah strategi yang memengaruhi kandidat dalam pemenangan Pilkada atau politik uang ? Ataukah kemenangan kandidat berdasar pada modal besar tanpa strategi yang efektif ? Penelitian yang dilakukan oleh penulis berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Perbedaan mendasar dalam penelitian penulis ialah argumen yang penulis tawarkan berbeda. Penulis berargumen mobilisasi jejaring etnis dilakukan bersamaan dengan politik uang dalam pemenangan Pilkada. Namun politik uang tidak efektif tanpa adanya mobilisasi jejaring etnis yang dirajut ke desa-desa melalui pemuka adat, pemuka agama dan tokoh masyarakat (birokrasi). Selain itu peneliti membandingkan proses dua kemenangan Kepala Daerah dalam era transisi demokrasi di Kaltim. Figur Suwarna dari etnis Sunda merupakan representasi mantan Pangdam Mulawarman (militer) dan pendatang yang berhasil memenangkan Pilkada Kaltim dua periode berturut-turut. Sedangkan pesaingnya ialah Awang Farouk Ishak dari etnis Kutai yang mewakili penduduk asli Kaltim. Persaingan antara keduanya dan proses adu strategi dalam pemenangan Pilkada Kaltim tersebut yang penulis teliti. 6 B. Politik Etnis di Kalimantan Timur Pada awalnya pasca runtuhnya rejim Orde Baru (1998), terjadilah era transisi demokrasi di Indonesia dan hal ini ditandai dengan maraknya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Proses Pilkada secara langsung juga terjadi di Kalimantan Timur (Kaltim), dimana untuk pertama kalinya masyarakat Kaltim memilih Kepala Daerah secara langsung tahun 2008. Kemenangan Pilkada langsung menjadi kemenangan putra daerah, karena untuk kedua kalinya dalam sejarah pemerintahan di Kaltim etnis Kutai (Awang Farouk Ishak) sebagai Kepala Daerah. Sebelumnya Aji Pangeran Tumenggung Pranoto (1956-1962) sebagai Gubernur Kaltim yang pertama pada era Orde Lama. Tampaknya persaingan antar etnis dalam merengkuh kekuasaan di Kaltim terjadi, karena adanya hegemoni etnis Jawa (militer) dalam pemerintahan. Sebelum Pilkada langsung diterapkan, biasanya pada era Orde Baru seorang Kepala Daerah ditunjuk atau dipilih langsung oleh DPRD. Namun pada praktiknya seorang Gubernur terpilih karena memiliki kedekatan dengan Soeharto. Hal ini sudah menjadi semacam tradisi bahwa Kepala Daerah di Kaltim biasanya dari latar belakang militer atau dari TNI Angkatan Darat dan bisanya berasal dari etnis Jawa. Hal ini bisa dipahami, karena pada era Soeharto berkuasa, dia menghegemoni pemerintahan dengan menempatkan kroni-kroninya pada jabatan yang strategis dengan tujuan menjadi ‘bemper’ untuk penguasaan atas sentra ekonomi di Kaltim. 7 Oleh karena itu tidak mengherankan Suwarna (etnis Sunda) selaku mantan Pangdam Mulawarman dan mantan Wakil Gubernur Kaltim mampu memerintah Kaltim selama dua periode. Tampaknya pemerintahan Suwarna selaku Kepala Daerah diwarnai dengan adanya tindak politik uang, sehingga dia mampu mengendalikan anggota DPRD