Pengembangan Kota Sekunder Dalam Rangka Pembangunan Daerah : Kasus Kotamadya Padang Panjang ^
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Ekonomi dan Keuangan Indonesia Vol. 36, No. 4, 1988 Pengembangan Kota Sekunder Dalam Rangka Pembangunan Daerah : Kasus Kotamadya Padang Panjang ^ Rustian Kamaluddin Attract The population percentage share of municipalities to that of West Sumatera has totally been rather increasing every year, namely from 19.53% (1971) to 20.85% (1980) and 21.28% (1986). Nevertheless the population growth rates were not the same among municipalities. In the period of 1971-80 the net population migration of all municipalities was +0,77%) and then in the period of 1980-86 has decreased to +0,34%,. In relation to that mentioded above it can be stated that Padang Panjang municipality has been always experienced the lowest population growth among eight municipalities in West Sumatera. Furthermore this municipality was one of the four municipalities experienced negative net population migration. And its net figure was the highest compared to the others, namely minus 1,75%. That's mean Padang Panjang has experienced highest de-urbanization process compared to the other three municipalities. Padang Panjang municipality can be included as a secondary city in West Sumatera, although still in the early phase of its development. This secondary city has functioned as a central place which must serve other popualtion live and stay in its hinterlands. And this secondary city has combination of characteristics of socio-economic way of lives, both urban and rural. It can be explained furthermore that urban life characteristics of Padang Panjang municipality is still limited and less prominent. Its population livings is relatively still based on agricultural sector or other related sectors. This city can function better as a center distribution of goods and services and also as a center for supply of agricultural products. To develop the secondary city like Padang Panjang it is necessary to be carried out certain strategies and measures simultaneously and integrated by developing the other secondary cities and their hinterlands. So that they will run and develop according to their respective functions and will have interrelation and support each others. Nevertheless the success of Padang Panjang municipality development, beside depend on the leadership and the ability of development fund of the city, will also depend much on its population participation and mental attitude, commit• ment and motivation devotion and discipline of government officials and all people of Padang Panjang municipality itself. *) Makalah yang disajikan sebagai ceramah dalam Musyawarah Pola Dasar Pembangunan Daerah dan Repelita V Kotamadya Padang Panjang, 7-8 Nopember 1988. 401 Kamaluddin Di dalam Repelita 111 daerah Sumatera Barat yang kemudian di• lanjutkan pada Repelita IVnya, telah mengambil strategi dan kebijaksa• naan pengembangan wilayah pembangunan dengan pusat-pusat pengem- bangannya. Sebagai pusat-pusat pengembangan tingkat pertama adalah Padang, Bukittinggi, Solok, Lubuk Sikaping dan Sikakap untuk wilayah- wilayah pembangunan A,B,C,D dan E. Sedangkan Sawah Lunto, Padang Panjang, Payakumbuh dan 16 kota kecamatan ditetapkan sebagai pusat pengembangan tingkat kedua. Di samping bertujuan melaksanakan pemerataan pembangunan, maka pembangunan pusat-pusat pengembangan wilayah ini mempunyai fungsi utama yang bermacam-macam, antara lain sebagai pusat untuk pengembangan kawasan dalam lingkungan pengaruhnya dan menahan atau menjaring penduduk sehingga akan berkurang migrasi penduduk ke luar daerah (merantau) maupun ke kota-kota besar (berurbanisasi). Dari pengalaman pelaksanaan selama Pelita 111 dam Pelita IV, maupun dari hasil pengamatan selama ini, ternyata bahwa konscp pengembangan wilayah belumlah berjalan sebagaimana yang diharapkan. Pusat-pusat pengembangan, baik tingkat kesatu maupun tingkat kedua, masih belum berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini mungkin disebab• kan oleh berbagai faktor, seperti masih kurangnya peranan yang diberi• kan pada pusat-pusat pengembangan, keterbatasan kemampuan pen- danaan dan penyediaan fasilitas kota yang diperlukan, dan sebagainya. Pada uraian berikut ini akan dikemukakan tentang perkembangan penduduk dan urbanisasi di Sumatera Barat, karakteristik dan fungsi kota sekunder, strategi dan keterpaduan pengembangannya, serta arah dan kebijaksanaan pembangunan kota, dengan menitik-beratkan pada kasus kotamadya Padang Panjang. I. Perkembangan Pendudukan dan Urbanisasi Dalam membahas aspek perkembangan penduduk kota, biasanya meliputi segi-segi kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk dan tingkat urbanisasi. Menurut data-data Sumatera Barat Dalam Angka 1986 kepadatan penduduk kotamadya secara totalitas sebanyak 875 orang per km2 dan kepadatan penduduk Sumatera Barat 90 orang per km2. Dan di antara 6 buah kotamadya se Sumatera Barat yang terpadat penduduknya ada• lah kodya Bukittinggi (3.030 orang per km2) dan yang terjarang pen• duduknya adalah kodya Padang (737 orang per km2). Kodya Padang Panjang menempati urutan keempat dalam kepadatannya, yaitu seba• nyak 1.311 orang per km2. Secara terinci lihat Tabel 1. 402 Pengembangan Kota Tabel 1 Luas Daerah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kotamadya dan Kabupaten diSumatera Barat, 1986. Luas Kepadatan Kotamadya/Kabupaten Pendudui (Km2) (orang) per km2 Kotamadya 928J 812.431 875 1. Padang 7.66,0 564330 737 2. Solok 25,0 37.210 1.488 3. Sawab Lunto 63 15,168 2.408 4. Padang Panjang 26,6 34.870 1.311 5. Bukittinggi 24,9 75.450 3.030 6. Payakumbub 80,1 85.403 1.066 Kabupaten 41368,4 3.005.833 Sumatera Barat 42.2973 3.818.264 Sumber : Bappeda dan Kantor Sensus Sumbar, Sumatera Barat Dalam Angka, 1986. (angka-angka disederbanakan). Sungguhpun kodya Padang Panjang bukanlab kotamadya yang ter• jarang penduduknya di Sumatera Barat, akan tetapi pada satu pihak batas wilayahnya tidak mengalami perluasan. Di lain pihak jumlah pen• duduknya mengalami pertumbuhan yang terendah di antara kotamadya- kotamadya se Sumatera Barat, lebih-lebih pada tahun-tahun belakangan ini. Berdasarkan data-data statistik yang tersedia dapat dihitung bahwa sungguhpun pada periode 1971-1980 laju pertumbuhan penduduk kodya Padang Panjang adalah urutan ketiga terendah (1,29% per tahun), setelah kodya Sawah Lunto (0,96%) dan kodya Bukittinggi (1,26%). Akan tetapi pada periode 1980—1986 pertumbuhan penduduk kodya Padang Panjang telah mengalami kemerosotan yang tajam, sehingga menempati urutan paling rendah di antara kodya-kodya se Sumatera Barat, yaitu dengan laju pertumbuhan hanya sebesar 0,17% rata-rata per tahun. Ini antara lain terjadi karena pemindahan sebagian anggota Brimob Padang Panjang ke Padang serta karena kematian dan pemindah• an penduduk akibat bencana alam ke luar dari daerah ini pada tahun 1987. Namun demikian jika seandainya pemindahan dan bencana alam tersebut tidak terjadi, maka laju pertumbuhan penduduk kodya Padang Panjang masih tetap yang terendah, yaitu hanya 0,88% rata-rata per tahun. Rinciannya lihat tabel 2. 403 Kamaluddin Tabel 2 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kotamadya dan Kabupaten di Sumatera Barat, 1971-1986. Laju Pertumbuhan Daerah Jumlah Penduduk (orang) (% per tahun) 1971 1980 1986 1971-80 1980-86 Kotamadya 545.583^) 710.331 812.431 2,98 2,26 1. Padang 351.154^) 480.922 564.330 3,56 2,69 2. Solok 24.771 31.724 37.210 2,76 2,69 3. Sawab Lunto 12.427 13.561 15.168 0,96 1,88 4. Padang Panjang 30.711 34.517 34.870 1,29 0,17 5. Bukittinggi 63.132 70.771 75.450 136 1,07 6. Payakumbub 63388 78.836 85.403 2,43 134 Kabupaten 2.402.428 2.696,485 3.005.833 138 1,83 Sumatera Barat 2.793.196 3.406.816 3.818.264 2,21 1,92 Rasio Penduduk Kodya terbadap Sumbar 19,63 20,85 21,28 a) Termasuk jumlab pendudukpada kecamatan-kecamatan wilayab perluasan Kodya Padang. Jumlab penduduk kodya Padang lama 1971 sebanyak 196.339 jiwa. Sumber: Dikutip dan dibitung kembali dari: (1) Rustian Kamaluddin, Beberapa Aspek Pembangunan Nasional dan Daerab, Gbalia Indonesia, Jakarta, 1983. (2) Bappeda dan Kantor Sensus Sumbar, Sumatera Barat Dalam Angka, 1986. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan lebih lanjut mengenai aspek kependudukan ini ditinjau dalam kaitannya dengan masalah urbanisasi. Sebagai alat analisis dalam hal ini adalah tingkat urbanisasi. Secara umum dikatakan bahwa tingkat urbanisasi adalah perbandingan antara pertambahan penduduk kota (urban) dengan pertambahan pen• duduk secara nasional. Sehingga analog dengan ini dapat dikatakan tingkat urbanisasi dari kodya-kodya di Sumatera Barat adalah perban• dingan antara laju pertumbuhan penduduk kodya yang bersangkutan dengan laju pertumbuhan penduduk Sumatera Barat. Jika angka tingkat urbanisasi ini lebih besar dari satu, maka disebut terjadi urbanisasi, dan semakin besar angka tersebut akan berarti semakin besar arus urbanisasi ke kota (madya) yang bersangkutan. Sebaliknya jika angka tingkat urbanisasi sesuatu kota (madya) lebih kecil dari satu, maka dikatakan terjadi de-urbanisasi, artinya arus penduduk yang pindah ke luar dari kota (madya) yang bersangkutan adalah lebih besar dibandingkan dengan 404 Pengembangan Kota jumlah penduduk pendatangnya. Dan jika angka tingkat urbanisasi kota (madya) yang bersangkutan semakin kecil ke arah nol, maka proses de- urbanisasi akan semakin meningkat. Proses de-urbanisasi yang demikian ini menunjukkan adanya gejala involusi kota dimana jumlah penduduk kota bertumbuh dengan lamban, babkan adakalanya jumlah penduduk• nya bertendensi semakin berkurang. Dari hasil perhitungan dari data-data yang tersedia ternyata bahwa pada periode 1971-1980 terdapat tiga kotamadya di Sumatera Barat yang mengalami proses urbanisasi di mana yang tertinggi adalah