Ekonomi dan Keuangan Vol. 36, No. 4, 1988

Pengembangan Kota Sekunder Dalam Rangka Pembangunan Daerah : Kasus Kotamadya Panjang ^

Rustian Kamaluddin

Attract The population percentage share of municipalities to that of West Sumatera has totally been rather increasing every year, namely from 19.53% (1971) to 20.85% (1980) and 21.28% (1986). Nevertheless the population growth rates were not the same among municipalities. In the period of 1971-80 the net population migration of all municipalities was +0,77%) and then in the period of 1980-86 has decreased to +0,34%,. In relation to that mentioded above it can be stated that municipality has been always experienced the lowest population growth among eight municipalities in West Sumatera. Furthermore this municipality was one of the four municipalities experienced negative net population migration. And its net figure was the highest compared to the others, namely minus 1,75%. That's mean Padang Panjang has experienced highest de-urbanization process compared to the other three municipalities. Padang Panjang municipality can be included as a secondary city in West Sumatera, although still in the early phase of its development. This secondary city has functioned as a central place which must serve other popualtion live and stay in its hinterlands. And this secondary city has combination of characteristics of socio-economic way of lives, both urban and rural. It can be explained furthermore that urban life characteristics of Padang Panjang municipality is still limited and less prominent. Its population livings is relatively still based on agricultural sector or other related sectors. This city can function better as a center distribution of goods and services and also as a center for supply of agricultural products. To develop the secondary city like Padang Panjang it is necessary to be carried out certain strategies and measures simultaneously and integrated by developing the other secondary cities and their hinterlands. So that they will run and develop according to their respective functions and will have interrelation and support each others. Nevertheless the success of Padang Panjang municipality development, beside depend on the leadership and the ability of development fund of the city, will also depend much on its population participation and mental attitude, commit• ment and motivation devotion and discipline of government officials and all people of Padang Panjang municipality itself.

*) Makalah yang disajikan sebagai ceramah dalam Musyawarah Pola Dasar Pembangunan Daerah dan Repelita V Kotamadya Padang Panjang, 7-8 Nopember 1988.

401 Kamaluddin

Di dalam Repelita 111 daerah Sumatera Barat yang kemudian di• lanjutkan pada Repelita IVnya, telah mengambil strategi dan kebijaksa• naan pengembangan wilayah pembangunan dengan pusat-pusat pengem- bangannya. Sebagai pusat-pusat pengembangan tingkat pertama adalah Padang, , , Lubuk Sikaping dan Sikakap untuk wilayah- wilayah pembangunan A,B,C,D dan E. Sedangkan Sawah Lunto, Padang Panjang, dan 16 kota kecamatan ditetapkan sebagai pusat pengembangan tingkat kedua. Di samping bertujuan melaksanakan pemerataan pembangunan, maka pembangunan pusat-pusat pengembangan wilayah ini mempunyai fungsi utama yang bermacam-macam, antara lain sebagai pusat untuk pengembangan kawasan dalam lingkungan pengaruhnya dan menahan atau menjaring penduduk sehingga akan berkurang migrasi penduduk ke luar daerah (merantau) maupun ke kota-kota besar (berurbanisasi). Dari pengalaman pelaksanaan selama Pelita 111 dam Pelita IV, maupun dari hasil pengamatan selama ini, ternyata bahwa konscp pengembangan wilayah belumlah berjalan sebagaimana yang diharapkan. Pusat-pusat pengembangan, baik tingkat kesatu maupun tingkat kedua, masih belum berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini mungkin disebab• kan oleh berbagai faktor, seperti masih kurangnya peranan yang diberi• kan pada pusat-pusat pengembangan, keterbatasan kemampuan pen- danaan dan penyediaan fasilitas kota yang diperlukan, dan sebagainya. Pada uraian berikut ini akan dikemukakan tentang perkembangan penduduk dan urbanisasi di Sumatera Barat, karakteristik dan fungsi kota sekunder, strategi dan keterpaduan pengembangannya, serta arah dan kebijaksanaan pembangunan kota, dengan menitik-beratkan pada kasus kotamadya Padang Panjang.

I. Perkembangan Pendudukan dan Urbanisasi Dalam membahas aspek perkembangan penduduk kota, biasanya meliputi segi-segi kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk dan tingkat urbanisasi. Menurut data-data Sumatera Barat Dalam Angka 1986 kepadatan penduduk kotamadya secara totalitas sebanyak 875 orang per km2 dan kepadatan penduduk Sumatera Barat 90 orang per km2. Dan di antara 6 buah kotamadya se Sumatera Barat yang terpadat penduduknya ada• lah kodya Bukittinggi (3.030 orang per km2) dan yang terjarang pen• duduknya adalah kodya Padang (737 orang per km2). Kodya Padang Panjang menempati urutan keempat dalam kepadatannya, yaitu seba• nyak 1.311 orang per km2. Secara terinci lihat Tabel 1.

402 Pengembangan Kota

Tabel 1 Luas Daerah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kotamadya dan Kabupaten diSumatera Barat, 1986.

Luas Kepadatan Kotamadya/Kabupaten Pendudui (Km2) (orang) per km2

Kotamadya 928J 812.431 875 1. Padang 7.66,0 564330 737 2. Solok 25,0 37.210 1.488 3. Sawab Lunto 63 15,168 2.408 4. Padang Panjang 26,6 34.870 1.311 5. Bukittinggi 24,9 75.450 3.030 6. Payakumbub 80,1 85.403 1.066 Kabupaten 41368,4 3.005.833 Sumatera Barat 42.2973 3.818.264

Sumber : Bappeda dan Kantor Sensus Sumbar, Sumatera Barat Dalam Angka, 1986. (angka-angka disederbanakan).

Sungguhpun kodya Padang Panjang bukanlab kotamadya yang ter• jarang penduduknya di Sumatera Barat, akan tetapi pada satu pihak batas wilayahnya tidak mengalami perluasan. Di lain pihak jumlah pen• duduknya mengalami pertumbuhan yang terendah di antara kotamadya- kotamadya se Sumatera Barat, lebih-lebih pada tahun-tahun belakangan ini. Berdasarkan data-data statistik yang tersedia dapat dihitung bahwa sungguhpun pada periode 1971-1980 laju pertumbuhan penduduk kodya Padang Panjang adalah urutan ketiga terendah (1,29% per tahun), setelah kodya Sawah Lunto (0,96%) dan kodya Bukittinggi (1,26%). Akan tetapi pada periode 1980—1986 pertumbuhan penduduk kodya Padang Panjang telah mengalami kemerosotan yang tajam, sehingga menempati urutan paling rendah di antara kodya-kodya se Sumatera Barat, yaitu dengan laju pertumbuhan hanya sebesar 0,17% rata-rata per tahun. Ini antara lain terjadi karena pemindahan sebagian anggota Brimob Padang Panjang ke Padang serta karena kematian dan pemindah• an penduduk akibat bencana alam ke luar dari daerah ini pada tahun 1987. Namun demikian jika seandainya pemindahan dan bencana alam tersebut tidak terjadi, maka laju pertumbuhan penduduk kodya Padang Panjang masih tetap yang terendah, yaitu hanya 0,88% rata-rata per tahun. Rinciannya lihat tabel 2.

403 Kamaluddin

Tabel 2 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kotamadya dan Kabupaten di Sumatera Barat, 1971-1986.

Laju Pertumbuhan Daerah Jumlah Penduduk (orang) (% per tahun) 1971 1980 1986 1971-80 1980-86

Kotamadya 545.583^) 710.331 812.431 2,98 2,26 1. Padang 351.154^) 480.922 564.330 3,56 2,69 2. Solok 24.771 31.724 37.210 2,76 2,69 3. Sawab Lunto 12.427 13.561 15.168 0,96 1,88 4. Padang Panjang 30.711 34.517 34.870 1,29 0,17 5. Bukittinggi 63.132 70.771 75.450 136 1,07 6. Payakumbub 63388 78.836 85.403 2,43 134 Kabupaten 2.402.428 2.696,485 3.005.833 138 1,83 Sumatera Barat 2.793.196 3.406.816 3.818.264 2,21 1,92 Rasio Penduduk Kodya terbadap Sumbar 19,63 20,85 21,28 a) Termasuk jumlab pendudukpada kecamatan-kecamatan wilayab perluasan Kodya Padang. Jumlab penduduk kodya Padang lama 1971 sebanyak 196.339 jiwa. Sumber: Dikutip dan dibitung kembali dari: (1) Rustian Kamaluddin, Beberapa Aspek Pembangunan Nasional dan Daerab, Gbalia Indonesia, Jakarta, 1983. (2) Bappeda dan Kantor Sensus Sumbar, Sumatera Barat Dalam Angka, 1986.

Dalam hubungan ini dapat dikemukakan lebih lanjut mengenai aspek kependudukan ini ditinjau dalam kaitannya dengan masalah urbanisasi. Sebagai alat analisis dalam hal ini adalah tingkat urbanisasi. Secara umum dikatakan bahwa tingkat urbanisasi adalah perbandingan antara pertambahan penduduk kota (urban) dengan pertambahan pen• duduk secara nasional. Sehingga analog dengan ini dapat dikatakan tingkat urbanisasi dari kodya-kodya di Sumatera Barat adalah perban• dingan antara laju pertumbuhan penduduk kodya yang bersangkutan dengan laju pertumbuhan penduduk Sumatera Barat. Jika angka tingkat urbanisasi ini lebih besar dari satu, maka disebut terjadi urbanisasi, dan semakin besar angka tersebut akan berarti semakin besar arus urbanisasi ke kota (madya) yang bersangkutan. Sebaliknya jika angka tingkat urbanisasi sesuatu kota (madya) lebih kecil dari satu, maka dikatakan terjadi de-urbanisasi, artinya arus penduduk yang pindah ke luar dari kota (madya) yang bersangkutan adalah lebih besar dibandingkan dengan

404 Pengembangan Kota jumlah penduduk pendatangnya. Dan jika angka tingkat urbanisasi kota (madya) yang bersangkutan semakin kecil ke arah nol, maka proses de- urbanisasi akan semakin meningkat. Proses de-urbanisasi yang demikian ini menunjukkan adanya gejala involusi kota dimana jumlah penduduk kota bertumbuh dengan lamban, babkan adakalanya jumlah penduduk• nya bertendensi semakin berkurang. Dari hasil perhitungan dari data-data yang tersedia ternyata bahwa pada periode 1971-1980 terdapat tiga kotamadya di Sumatera Barat yang mengalami proses urbanisasi di mana yang tertinggi adalah kodya Padang dengan tingkat urbanisasi sebesar 1,61. Sedangkan tiga kota• madya lainnya mengalami proses de-urbanisasi,. di mana yang terparah adalah Padang Panjang dengan tingkat urbanisasinya sebesar 0,13. Pada periode 1980-1986 hanya dua kotamadya yang mengalami proses ur• banisasi yaitu Padang dengan tingkat urbanisasi sebesar 1,41 dan Solok sebesar 1,40. Sedangkan empat kotamadya lainnya mengalami proses de-urbanisasi, di mana yang terparah tetap Padang Panjang dengan ting• kat urbanisasinya sebesar 0,09, yang berarti lebih parah lagi dari pada periode sebelumnya. Sebagai penjelasan tambahan dapat dikemukakan pula di sini bahwa pada periode 1980-86 laju pertumbuhan penduduk kodya Padang Panjang (0,17% per tahun) adalah sebesar 1,75% lebih rendah (negatif) di bawah laju pertumbuhan penduduk Sumatera Barat secara keseluruhannya (1,92% per tahun). Lihat tabel 3. Keadaan dan perkembangan yang dikemukakan di atas menunjuk• kan bahwa antara lain kodya Padang Panjang sebagai fungsi kota dan pusat pengembangan tingkat kedua di daerah ini belum dapat melak• sanakan salah satu fungsi utamanya dalam menahan, menjaring dan me• ningkatkan penduduknya dalam jumlah yang cukup memadai. Namun demikian, mungkin saja peranannya dalam mengembangkan kota ke• camatan dan daerah kawasan disekitarnya tetap ada, tetapi dari indikasi yar.g ada kelihatannya kurang begitu besar pengaruhnya.

II. Karakteristik dan Fungsi Kota Sekunder Di negara-negara berkembang, khususnya di Indonesia, sejak lebih dari satu dekade belakangan ini dalam pembinaan dan pengembangan kota telah ada kecenderungan untuk semakin meratakan penyebaran pembangunan pada kota-kota menengah atau kota-kota sekunder. Ke• bijaksanaan ini diambil di samping untuk menahan derasnya arus urbani• sasi ke kota-kota besar atau daerah metropohtan, juga untuk menahan atau mengurangi efek yang merugikan akibat mengalimya permodalan dan sumber-sumber ekonomi lainnya yang diperlukan dari daerah pe• desaan dan kota-kota sekunder ke kota-kota besar (metropolitan)

405 Kamaluddin

Tabel 3 Tingkat Urbanisasi dan Perpindahan Penduduk Netto pada Kodya-Kodya se Sumatera Barat, 1971-80 dan 1980-86.

Tingkat Urbanisasi^) Perpindahan Penduduk'') Kotamadya \ro ) Netto (%) 1971-80 1980-86 1971-80 1980-86

Padang 1.61 1.41 + 135 + 0,78 Sdok 1,25 1.40 + 035 + 0,77 Sawah Lunto 0,43 0,98 -135 -0,04 Padang Panjang 0.13 0,09 -032 -1.75 Bukittinggi 037 036 -0,95 -0,85 Payakumbuh 1,10 0,70 + 032 -0,58 Kodya selumhnya 135 1.18 + 0,77 + 034

Catatan: a) Tingkat Urbanisasi di sini adalah rasio laju pertumbuhan penduduk masing-masing kodya teriiadap laju pertumbuhan penduduk Sumatera Barat (dalam %). b) Perpindahan Penduduk Netto di sini adalah selisih antara laju pertum• buhan penduduk kodya masing-masing dengan laju pertumbuhan pen• duduk Sumatera Barat (dalam %). Sumber: Dikutip dan dihitung dari Tabel 2 yang berasal dari: (1) Rustian Kamaluddin, Beberapa Aspek Pembangunan Nasional dan Daerah. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983. (2) Bappeda & Kantor Sensus Sumbar, Sumatera Barat Dalam Angka, 1986.

Kecuali kodya Padang, semua kodya lainnya di Sumatera Barat masih tergolong kota sedang atau kota sekunder. Sedangkan kodya Padang sudah dapat digolongkan sebagai kota besar mendekati tingkat metropolitan. Melihat fungsi dan jumlah penduduknya, kodya Padang Panjang sudah termasuk kota sekunder, tetapi masih dalam tahap per• kembangan awal sungguhpun sudah berlangsung sejak lama. Kebanyakan penganalisis perkotaan berpendapat bahwa kota se• kunder menyelenggarakan fungsi-fungsi tempat pusat (central place) di mana kota itu harus melayani pendiiduk yang hidup dan tinggal di luar batas wilayahnya, tetapi merupakan kawasan di bawah lingkungan pengaruhnya. Di samping itu kota sekunder itu juga harus bersifat saling mempengaruhi, di mana antara satu sama lain sesamanya perlu melak• sanakan pelayanan sebagai saluran untuk aliran barang dan jasa, sebagai perantara dalam hubungan kemasyarakatan dan sebagai penyebar bagi pengaruh-pengaruh modemisasi.

406 Pengembangan Kota

Dapat dikemukakan lebih lanjut bahwa kota sekunder itu cende• rung mempunyai ciri-ciii kombinasi atau campuran dari sifat-sifat ke- hidupan sosio-ekonomi perkotaan dan pedesaan. Perekonomiannya di- dominasi oleh perdagangan dan jasa, sedangkan sektor industrinya ter• diri dari industri yang berskala kecil dan kerajinan. Dan kota sekunder yang relatif kecil dan sifat urbannya masih terbatas biasanya proporsi (bagian) besar dari tenaga keijanya berada di sektor pertanian dan la- pangan kerja yang berkaitan dengan pertanian itu. Semakin besar dan semakin berkembang kota sekunder itu, maka akan semakin besar pe• ranan kehidupan urbannya dan semakin berkurang tenaga keijanya yang bekerja di sektor pertanian dan yang berkaitan dengannya, serta semakin meningkat proporsi jumlah tenaga kerja yang hidup dan be• kerja pada sektor-sektor industri, perdagangan dan jasa.

Jika diperhatikan kehidupan perekonomian dan kemasyarakatan di kodya Padang Panjang tampak bahwa ciri-ciri kehidupan urbannya masih serba terbatas dan kurang menonjol. Dari sudut persentase pen• duduk menurut mata-pencahariannya, sungguhpun telah terdapat se• dikit pergeserannya namun pada tahun 1987 sektor pertanian masih tetap memegang peranan utama, yaitu sebesar 27,2%. Kemudian me- nyusul pada sektor pemerintahan 27,0% dan pada sektor perdagangan 14,4%. Sedangkan jumlah penduduk yang bekerja pada sektor industri hanyalah 6,4% dan sektor jasa 5,9% dari jumlah tenaga kerja keseluruh• annya. Dan tampaknya pada tahun-tahun belakangan ini, baik dalam hal ciri kehidupan perkotaannya maupun dari segi mata-pencaharian penduduknya rupanya belumlah begitu banyak perubahan dan kemaju- annya. Secara terinci lihat Tabel 4. Biasanya kota sekunder yang berpenduduk cukup besar relatif lebih mudah dan cepat perkembangannya, baik dalam melaksanakan fungsinya maupun dalam perkembangan kehidupan perkotaannya. Di kota-kota sekunder yang demikian ini relatif akan lebih mudah ter- cipta skala kegiatan yang besar dan penghematan-penghematan ekono- mis karena tersedianya berbagai rupa jasa dan fasilitas umum serta ber• kembangnya usahanisaha menengah dan kecil-kecilan. Kota-kota yang demikian ini dapat berfungsi dengan lebih baik sebagai pusat-pusat dis• tribusi barang dan jasa serta juga sebagai pusat-pusat suplai hasil-hasil pertanian. Dalam hubungan ini fungsi penting yang dapat diselenggara- kannya adalah sebagai pusat transportasi dan komunikasi regional, yaitu men^ubungkan penduduknya dan penduduk kota/daerah kawasan lingkun^nnya dengan kotaTcota dan daerah-daerah lainnya. Dengan demikian jaringan transportasi dan komunikasi itu adalah vital tidak hanya bagi pertumbuhan kota sekunder itu sendiri. Akan tetapi juga

407 Kamaluddin

Tabel 4 Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Mata Pencaharlan di Kodya Padang Panjang, 1983 & 1987.

Jumlah Persentase Pergeseran Jenis Pekerjaan 1987 thd. 1 QQq 1 QQ7 1 QCJ 1 QQT iyoD yyo) lyoj 1. Pertanian 2.750 2.797 28,0 27,2 -0,8 2. Industri 632 660 6,4 6,4 0,0 3. Transportasi 186 206 1,9 2,0 + 0,1 4. Perdagangan 1.306 1.485 13,3 14,4 + 1,1 5. Bangunan 457 491 4,7 4,7 0,0 6. Jasa 578 608 5,9 5,9 0,0 7. Pemerintahan 2.675 2.783 27,3 27,0 -0,3 8. Pelajar.Mahasiswa, dan lain-lain 1.225 1.276 12,5 12,4 -0,1

Jumlah 9.809 10.306 100,0 100,0 0,0

Sumber : Dikutip dan dihitung dari Pemerintah Kodya Padang Panjang, Buku Potensi Wilayah, 1988. penting untuk tumbuh dan berkembangnya kota-kota sekunder lainnya dan untuk mendorong berkembangnya produksi, khususnya hasil-hasil pertanian, pada daerah kawasan lingkungannya. Dalam hubungan dengan hal tersebut di atas, sebetulnya ada suatu keuntungan kodya Padang Panjang dari segi letaknya yang cukup stra• tegis di persimpangan jalan dan tempat transit bagi jaringan transportasi di dalam kota dan antar daerah. Yaitu sistem transportasi yang menuju ke/dari Padang sebagai ibukota Propinsi, yang menuju ke/dari Bukit• tinggi untuk terus ke Medan atau ke dan yang menuju ke/dari untuk terus ke Palembang dan seterusnya ke Jakarta. Namun demikian mengingat keterbatasan penduduk dan luas kotamadya serta keterbatasan fasilitas pelayanan kota, maka tampaknya lokasi yang cukup strategis itu belum memberikan manfaat yang cukup berarti bagi pengembangan kota ini.

III. Strategi dan Keterpaduan Pengembangan Kota Kemampuan dan usaha-usaha dalam mewujudkan bentuk dan sifat perkotaan dalam kota sekunder kelihatannya lebih banyak ditentukan

408 Pengembangan Kota oleh kemampuan dan "kewajiban" pemerintah kota. Sedangkan yang merupakan kemampuan hasil mekanisme kegiatan penduduknya sendiri rupanya masih kurang dan serba terbatas. Sebubungan dengan itu fungsi kota sebagai titik temu jaringan transportasi dan komunikasi, fasilitas pelayanan, pasaran kerja serta per- tukaran barang dan jasa dengan kota/kawasan sekitamya, menuntut aparat pemerintahan yang dapat menjamin optimalisasi berfungsinya dengan baik semua kegiatan ekonomi dan kemasyarakatan yang ada dalam kota itu. Dalam hal ini pemerintah kota terutama mengatur opti• malisasi pemanfaatan sumber-sumber dana dan daya yang tersedia dalam kota dan yang mungkin diperoleb dari sumber dari luar. Pengaturan optimalisasi itu berkaitan dengan pengaturan tata ruang kota, peruntukan dan penggunaan tanah kota, lokasi industri kecil, kawasan bisnis dan perdagangan, kawasan tempat tinggal, dan sebagainya. Kesemuanya ini, di samping berbagai pertimbangan lainnya, terutama perlu dikelola dengan cara pandangan ekonomi yaitu bagai- mana qlokasi sumber dana dan daya kota yang penting itu dapat diatur atau diintervensikan melalui kebijaksanaan pemerintah kota, sehingga dapat berjalan dan berkembang secara efektif dan efisien. Dalam hubungan dengan hal yang dikemukakan di atas salah satu faktor penting di antaranya adalah tingkat dukungan dari pemerintah pusat bagi pertumbuhan dan pengembangan internal dari kota sekunder itu sendiri, khususnya untuk menjamin bahwa sumber-sumber yang di• perlukan tidak "dihisap" dan mengalir keluar bagi pengembangan kota- kota besar atau metropolitan. Dan sebaliknya dalam kaitan dengan ke• pemimpinan daerah yang penting pula adalah kemampuan dan keber- hasilannya di dalam menarik sumber-sumber eksternal, baik dari pusat/ dalam negeri maupun dari luar negeri, untuk pembangunan dan pengem• bangan kota yang bersangkutan. Untuk membangun dan mengembangkan kota sekunder, seperti kodya Padang Panjang ini, perlu dilakukan berbagai strategi dan tindak- an-tindakan secara simultan dan terpadu. Pertama-tama fasilitas kota dan pelayanan sosial dasar perlu diperluas untuk mendukung aktivitas- aktivitas produktif dan guna memperbaiki sumber daya manusia. Struk• tur fisik kota perlu diperbaiki untuk membuat mereka menjadi efisien dan kondusif bagi berbagai kegiatan ekonomi secara produktif. Struk• tur kesempatan kerja dan basis ekonomi kota perlu diperkuat, demikian pula perencanaan, administrasi dan pembiayaan pada manajemen pem• bangunan perkotaan perlu direorganisasi. Di samping hal tersebut di atas, sebagai strategi pengembangan kota sekunder, ditinjau dari sudut pandangan pemerintahan tingkat

409 Kamaluddin propinsi dan nasional, juga perlu distimulir pertumbuhan dan diversifi• kasi atas kota-kota kecil dan pusat perbelanjaan kecil dengan tujuan untuk memperbaiki distribusi geografis dari kota-kota sekunder secara nasional. Lagi pula, sebagai bagian yang esensial dari strategi ini adalah untuk memperkuat keterkaitan fisik, ekonomi, sosial dan politik, baik antara kota-kota sekunder satu sama lain maupun antara mereka dengan kota/kawasan sekitamya yang lebih kecil dan yang lebih besar. Sehingga kota-kota sekunder itu akan dapat berdampak positif dan menyeleng• garakan fungsi pengembangannya secara efektif dan menguntungkan pembangunan daerah/nasional yang tersebar secara meluas dan merata.

Keterpaduan dan integritas dari strategi pengembangan kota se• kunder yang dikemukakan di atas patut mendapat perhatian dan untuk diaplikasikan di kodya Padang Panjang, yang disesuaikan dalam batas- batas kondisi dan sumber-sumber yang tersedia. Kesemuanya ini tak terlepas dari dinamika kepemimpinan daerah kotamadya dan partisipasi aktif masyarakat dalam mendukung pembangunan kota di daerah ini. rV. Arab dan Kebijaksanaan Pembangunan Kota Sebagaimana dikemukakan sebelumnya jumlah penduduk kota• madya Padang Panjang bertumbuh dengan sangat lamban sekali. Pen• duduk yang berkembang dan cukup besar jumlahnya akan dapat men• jadi basis ekonomi secara struktural menjadi lebih kuat. Dalam hal ini penduduk kota yang cukup besar jumlahnya, selain berfungsi sebagai pelaku produksi dan kehidupan masyarakat, juga menjadi pasaran bagi produk yang dihasiikan kota dan daerah kawasan sekitamya. Sebubung• an dengan itu kebijaksanaan peningkatan jumlah penduduk dan penye- barannya secara lebih merata di wilayah kotamadya ini patut mendapat perhatian dan prioritas, antara lain dengan peningkatan prasarana dan fasilitas pelayanan kota bagi pemenuhan kebutuhan penduduk serta penyediaan kesempatan kerja dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Dari segi luas wilayah kotamadya Padang Panjang sesungguhnya dengan jumlah penduduk yang masih rendah itu, maka belumlah dirasa- kan adanya kepadatan penduduk yang berarti. Dalam hubungan ini dari dua kecamatan yang ada, ternyata bahwa kecamatan Padang Panjang Barat relatif lebih padat penduduknya (22 orang per Ha) dibandingkan dengan kecamatan Padang Panjang Timur (11 orang perHa). Kelurahan- kelurahan yang terpadat penduduknya berturut-tumt: Pasar Bam se• besar 81/Ha, Balai-Balai 81/Ha, Pasar Usang 66/Ha, Tanah Pak Lambiak 44/Ha, dan setemsnya hingga yang terjarang penduduknya kelurahan- kelurahan Canting, Ekor Lubuk dan Koto Panjang masing-masing 5 orang per Ha. Dengan demikian tampak bahwa penduduk kota tersebut

410 Pengembangan Kota terbesar dengan tidak merata antara kelurahan-kelurahan dalam kota• madya. Mengenai rlncian perkembangan dan kepadatan penduduk kodya ini per kelurahan lihat Tabel 5 dan 6. Sebubungan dengan kondisi luas wilayah dan kepadatan penduduk yang diuraikan di atas dapat dikemukakan bahwa untuk kuatnya dan meluasnya basis perkotaan sesungguhnya sudah perlu dilakukan perluas• an batas wilayah kota. Namun demikian menjelang terealisasinya per• luasan kota, perluasan prasarana dan sarana yang diperlukan bagi kepen• tingan kotamadya untuk dapat memenuhi dan melaksanakan fungsinya sebagai kota sekunder dengan sewajarnya. Dengan demikian ini diperlu• kan pergeseran sebagian pemanfaatan tanah dari pertanian ke arah pengembangan prasarana dan fasilitas fisik kota serta pengembangan ka-

Tabel 5 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kodya Padang Panjang, 1983-198 7.

Kecamatan/Kelurahan 1983 1987 Laju per• tumbuhan (%)

I. Kec. Padang Panjang Barat 20.432 21.898 1,75 1. Kel. Silaing Bawah 2.080 2361 331 2. Kel. Silaing Atas 1.534 1.776 3,73 3. Kel. Pasar Usang 4.385 3.962 -2,50 4. Kel. KampungManggis 3.095 3.576 3,68 5. Kel. Tanah Hitam 2.356 2.668 3.16 6. Kel. Pasar Baru 2.521 1.620 -10,47 7. Kel. Bukit Surungan 1.598 1.499 -1,59 8. Kel. Balai-Balai 2.863 4.446 11,63

II. Kec. Padang Panjang Umur 14.228 12.978 2,27 1. Kel. Canting 1.221 1.281 1.21 2. Kel. Sigando 1.117 1.179 136 3. Kel. Ekor Lubuk 1.594 1.678 1,29 4. Kel.Ngalau 1.147 1.370 434 5. Kel. GugukMalintang 4.033 3.905 -0,80 6. Kel. Tanah Pak Lambiak 2.902 1.310 -18,03 7. Kel. Koto Panjang 1.487 1.552 0,86 8. Kel. Koto Katik 736 703 -1,14 Jumlah 34.660 34.876 0,16

Sumber: Dikutip dan dihitung dari Pemerintah Kodya Padang Panjang, Buku Potensi Wilayah, 1988.

411 Kamaluddin

Tabel 6 Luas Wilayah. Jumlah dan Kepadatan Penduduk dalam Daerah Kodya Padang Panjang, 1987

T 11QC Kecamatan/Kelurahan JUulXaJl Poxi /X11 Hi 11/" per Ha. rcnuUUUK I. Kec. Padang Panjang Barat 990 21.898 22 1. Kel. Silaing Bawah 275 2.361 6 2. Kel. Silaing Atas 50 1.776 36 O XT' 1 T* T T 60 1 AZ A 66 3. Kel. Pasar Usang 3.962 4. Kel. Kampung Manggis 350 3.576 10 5. Kel. Tanah Hitam AA 2.668 30 90 6. Kel. Pasar Baru AA 1 ZAA 81 20 1.620 7. Kel. Bukit Sumngan 90 1.491 An9n 17 O X 8. Kel. Balai-Balai 55 4.446 81 n. Kec. Padang Panjang Timur 1.130 12.978 11 1. Kel. Canting 275 1.281 5 2. Kel. Sigando 115 1.179 10 3. Kel. Ekor Lubuk 340 1.678 5 4. Kel. Ngalau 135 1.370 10 5. Kel. GugukMalintang 190 3.905 21 6. Kel. Tanah Pak Lambiak 35 1.552 44 7. Kel. Koto Panjang 130 703 5 8. Kel. Koto Katik 90 1.310 15

Jumlah 2.300 34.876 16 number: Dikutip dan dihitung dari Pemerintah Kodya Padang Panjang, Biku Potensi Wilayah, 1922. wasan pemukiman. Dan untuk ini diperlukan kesediaan dan pengorban- an masyarakat, dengan disertai penggantian sekadamya dan peroiehan fasilitas tertentu dari pemerintah kotamadya, berupa penyerahan tanah- nya untuk mendukung program-program pembangunan dan pengem• bangan kota. Dalam hal ini jika diperhatikan kondisi tanah dan masih jarangnya kepadatan penduduk, maka pembangunan dan pengembangan prasarana dan fasilitas pelayanan kota akan lebih tepat diarahkan ter• utama ke kecamatan Padang Panjang Timur, khususnya pada kelurahan- kelurahan yang paling jarang penduduknya. Sebagai kota yang letaknya cukup strategis di persimpangan jalan dan sebagai tempat transit bagi transportasi antar kota, maka sudah pada tempatnyalab kodya Padang Panjang memanfaatkan posisi yang demikian itu bagi pengembangan kota. Dalam hubungan ini tentu saja

412 Pei^embangan Kota pemerintah kotamadya perlu meningkatkan prasarana dan fasilitas pe• layanan kota yang mendukung pemanfaatan tersebut. Dengan demikian program dan kebijaksanaan pembangunannya pertama-tama perlu mem- prioritaskan peningkatan jaringan jalan dan terminal kendaraannya, di samping peningkatan pertokoan dan prasarana/sarana perdagangannya. Hal ini perlu disertai dengan penyediaan barang dagangan, khususnya makanan dan bahan makanan, yang bersifat khas Padang Panjang. Penelitian, penciptaan dan pengembangan barang atau obyek baru untuk ini perlu mendapat perhatian yang cukup pada masa-masa men• datang. Selain dari pada itu, sesuai dengan pola pengembangan kotamadya Padang Panjang yang telah mensepakati fungsi dan julukan kotanya sebagai "kota KITA", yaitu dengan mengembangkan bidang-bidang/ sektor-sektor: (1) Kebudayaan dan pendidikan, khususnya pendidikan agama, (2) Industri kecil, dan juga perdagangan, (3) Pertanian terpadu, dan (4) Pariwisata, di dalam dan ke luar kota terdekat, maka pemerintah kotamadya perlu mengarahkan, mengatur dan mengendalikan kegiat• an pembangunan dan kehidupan masyarakat sesuai dengan fungsi dan julukan tersebut. Agar dapat berjaiannya fungsi kota dan program-program pem• bangunan yang disebutkan di atas, maka diperlukan sumber-sumber dana dan daya yang besar. Sumber-sumber ini tentulah pertama-tama berasal dari pemerintah pusat berupa anggaran sektoral dan subsidi pembangunan regional. Kemudian bersumber dari subsidi pemda tingkat propinsi dan sumber pendapatan ash dari daerah kotamadya sendiri. Di samping itu juga sumber-sumber dana dari pihak swasta penanam modal, termasuk dari perbankan, dan partisipasi dari masyarakat dalam kegotongroyongan/manunggai ABRI dan rakyat, dan sebagainya. Sedangkan sumber-sumber dana untuk pembangunan yang berasal dari bantuan luar negeri pada kota-kota sekunder di Sumatera Barat, khusus• nya kodya Padang Panjang, masih sangat terbatas atau sedikit sekali. Berhubung karena keterbatasan peroiehan dana dari subsidi peme• rintah dan pendapatan ash daerah, maka penggarapan sumber dana dan masuknya berbagai program/proyek serta penanaman modal yang ber• asal dari luar menjadi sangat penting. Dalam hai ini perjuangan dan ke- gigihan pimpinan pemerintah daerah dan pemuka masyarakat kodya Padang Panjang, dengan melalui berbagai jalur yang mungkin, adalah sangat penting dan perlu didukung bersama. Usaha-usaha ke arah ini perlu ditingkatkan di masa-masa mendatang, dengan disertai penyusun• an program dan penganggaran berdasarkan studi keiayanan, penyediaan kemudaban dan fasilitas pelayanan yang diperlukan, dukungan dan partisipasi masyarakat, dan sebagainya.

412 Kamaluddin

Dengan berbagai strategi dan keterpaduan pembangunan, serta pengarahan dan kebijaksanaan pembangunan sebagaimana yang dike• mukakan di atas, diharapkan kotamadya Padang Panjang akan dapat melaksanakan dan lebih meningkatkan fungsinya sebagai pusat pengem• bangan wilayah tingkat kedua dan akan lebih berkembang pada masa- masa mendatang. Dan dapat ditegaskan lagi bahwa keberbasilan pem• bangunan dan pengembangan kotamadya Padang Panjang ini, selain ter• gantung daripada kepemimpinan daerah, banyak tergantung pula pada partisipasi seluruh masyarakat serta pada sikap mental, tekad dan se• mangat, ketaatan dan disiplin dari para penyelenggara serta seluruh rakyat kotamadya Padang Panjang sendiri.

414 Pengembangan Kota

KEPUSTAKAAN DAN SUMBER DATA

Bapat, Meera, (1985). "Promoting Equitable and Balanced Development: Potential of Secondary Cities" dalam Economic and Politication Weekly. Vol. XX No. 20. Bappeda dan Kantor Statistik Propinsi Sumatera Barat, (1986). Sumatera Barat Dalam Angka. Bappeda dan Kantor Statistik'Kodya Padang Panjang, (1987). Padang Panjang Dalam Angka. Kamaluddin, Rustian (1983). 'Profii dan Perspektif Pertumbuhan Kota diSumatera Barat" dalam Beberapa Aspek Pembangunan Nasional dan Daerah. Pemerintah Kodya Dati II Padang Panjang, (1988). Buku Potensi Wilayah. Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat, Rencana Pembangunan Lima Tahun: Ketiga dan Keempat. Sujarto, Djoko (1976). 'Pemekaran Kota dan Dekonsentrasi Planologis?" dalam Prisma, No. 6 (Jakarta: LP3ES). Wirosardjono, Soetjipto (1984). "Pembangunan Ekonomi Kota", dalam Kompas, 5 November 1984. WJS. Waworoentoe dkk, (1972). "Perkembangan Kota dan Kehidupan Perkjotaan di Indonesia" dalam Prisma, No. 7 (Jakarta: LP3ES).

415