2. LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan tentang Gereja Gereja merupakan tempat peribadatan agama kristiani. Pada bab ini akan lebih dijelaskan lebih detail lagi mengenai pengertian gereja Katolik, arsitektur (tata ruang), beserta ruang dan peralatan dalam gereja.

2.1.1 Pengertian Gereja Katolik Pengertian gereja dari asal katanya yaitu, „gereja‟ berasal dari kata Portugis „igreja‟ yang berarti : „kumpulan‟ atau „pertemuan‟, yang merupakan transkripsi dari kata Yunani atau kata latin „ekklesia‟ yang berarti : mereka yang dipanggil, kaum, golongan, dan „kyriake‟ yang berarti : yang dimiliki Tuhan (Heuken 341). Dilihat dari istilah di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari gereja adalah suatu kumpulan (golongan) orang yang dipanggil dan dimiliki oleh Tuhan. Kata „Katolik‟ sendiri berasal dari Bahasa Yunani yang berarti umum, universal. Kata ini pertama kali ditemukan dalam tulisan Ignatius dari Antiokhia, yaitu dalam surat kepada jemaat di Smirna. Dalam terminologi Kristen, kata ini dipergunakan dalam beberapa arti sebagai berikut: a. Gereja yang universal, yang bertujuan untuk membedakannya dari gereja lokal. b. Gereja yang benar, yang bertujuan untuk membedakannya dengan aliran sesat dan skismatik. c. Bagi penulis sejarah, istilah ini dipakai untuk menunjuk gereja sebelum perpisahan antara Gereja Barat dan Gereja Timur pada tahun 1054. d. Sejak munculnya Reformasi, istilah ini dipakai oleh Gereja Barat sebagai nama dirinya. (Wellem 211) Jadi kesimpulannya, Gereja Katolik menurut Heuken adalah umat Kristen yang meyakinkan dirinya sebagai „Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik sesuai dengan Syahadat‟. Gereja yang dikepalai Kristus, di dunia ini tersusun sebagai satu umat yang beriman akan Yesus Kristus dan direalisasikan

10 Universitas Kristen Petra dulu Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti para rasul yang diketuai oleh uskup Roma sebagai pengganti St. Petrus.

2.1.2 Arsitektur dan Tata Ruang Gereja Bangunan gereja merupakan suatu hasil arsitektur suatu zaman, yang mencakup beberapa hal, yaitu adanya kemuliaan Allah dan manusia, ketekunan dalam hal waktu, ketrampilan, dan biaya, dibangun oleh para ahli terbaik zamannya, serta menggunakan teknik-teknik bangunan yang paling mutakhir. Secara tidak langsung dalam menikmati bangunan sebuah gereja, kita sudah dapat menikmati perjalanan-perjalanan budaya berabad-abad, sehingga terdapat kekhususan terhadap gaya atau motif yang digunakan pada bangunan gereja dalam tiap-tiap zamannya (Mariyanto 31). Menurut Mariyanto (32) bahwa dalam sejarah gereja terdapat berbagai gaya dan motif yang digunakan pada tiap-tiap zamannya, antara lain : 1. Gaya Rumah biasa dan Sinagoga (merupakan jemaat kristiani yang pertama). 2. Gaya Basilika (abad II - III). 3. Gaya Romanesque (abad XI). 4. Gaya Gotik (abad XII - XIII). 5. Gaya Renaisans (akhir abad XV – awal abad XVI). 6. Gaya Barok (pertengahan abad XVI – XVII). 7. Gaya Neo-klasik (abad XVIII – zaman Modern). Setelah zaman modern, para arsitektur gereja mulai melakukan perubahan-perubahan gaya yang ada, sehingga tidak ada bangunan gereja yang khas akibat adanya paham sekularasi. Maka boleh dikata bahwa bangunan gereja masa kini bergaya pluriform, artinya bahwa setiap arsitektur diberi kesempatan dan kebebasan memilih, merancang, dan membangun model serta tata ruang gereja menurut “ungkapan seni religusnya”. Keadaan yang seperti itu membuat adanya kesan bahwa banyak bangunan gereja yang tidak memenuhi kebutuhan imam dan umat. Maka dari itu, Konsili Vatikan II mengeluarkan keputusan bahwa tiap gedung gereja harus mempunyai tata ruang yang liturgis.

11 Universitas Kristen Petra Menurut Mariyanto (33-35) tata ruang yang liturgis yang harus diperhatikan menurut Konsili Vatikan II yaitu : 1. Dalam pembangunan, pemugaran atau penyesuaian bangunan lama, hendaknya sesuai diusahakan dengan seksama supaya gereja-gereja menjadi benar-benar cocok sesuai dengan hakikat gereja. 2. Dibutuhkan suasana yang ramah dan nyaman, yakni saling mengenal, dan adanya relasi yang akrab antar umat. 3. Baik dalam tata bangun, tata ruang, musik maupun kesenian harus memenuhi dua tuntutan liturgis, yakni : mutu dan keserasian. “mutu” menunjukkan cinta dan perhatian dalam berbagai bentuk seni, sehingga dapat menghindari perlengkapan liturgi yang murahan atau dibuat-buat. Sedangkan “keserasian” menunjuk pada keserasian barang-barang seni yang dapat mengungkapkan misteri dan dapat dikomunikasikan dalam liturgi, sehingga liturgi menjadi “hidup”. 4. Semua perlengkapan liturgi yang penting harus mudah dipindahkan dan tetap dijaga unsur keagungan dan kegunaan, dan harus ditata dengan rapi sebelum peribadatan dimulai. Kesimpulannya bahwa, sebuah tata ruang gereja harus mencakup seluruh lingkup tempat kegiatan liturgis dilaksanakan, dan tata ruang gereja dapat membantu umat dalam melaksanakan kegiatan liturgi, serta dapat membangun suasana yang serasi dan indah sehingga dapat membuat umat nyaman dan betah. Dengan demikian tata ruang yang liturgis akan sangat menunjang jalannya peribadatan.

2.1.3 Ruang dan Perlengkapan Gedung Gereja Menurut Windhu (13-25) Di dalam dan sekitar gedung gereja ada beberapa tempat yang seharusnya kita kenal, antara lain : a. Panti Imam Panti Imam adalah tempat imam memimpin perayaan liturgi.

12 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.1 Panti Imam Sumber : Windhu (1997, p. 13)

Bagian-bagian dari Panti Imam :  Altar adalah meja besar untuk mengadakan perayaan Ekaristi dalam liturgi yang lain.  Mimbar atau ambo adalah tempat mengadakan ibadat sabda (bacaan dari Perjanjian Lama, surat-surat para rasul atau epistola, dan injil), berkotbah, pembacaan mazmur, pembacaan doa umat, dan pengumuman.  Sedilia adalah tempat duduk imam dan para pembantunya (para Prodiakon, Misdinar, dan Konselebran).  Kredens adalah meja kecil yang diletakkan di panti imam.  Tabernakel adalah semacam lemari kecil untuk menyimpan Sakramen Mahakudus.  Lampu Tuhan adalah lampu merah yang menyala terus di dekat tabernakel sebagai tanda bahwa dalam tabernakel disimpan Sakramen Mahakudus. b. Sakristi Sakristi adalah tempat persiapan imam dan pembantunya (misdinar, prodiakon paroki) sebelum mereka keluar ke altar. Di sakristi imam dan pembantunya mengenakan busana liturgi. Dalam sakristi terdapat beberapa lemari untuk menyimpan buku-buku Ekaristi, pakaian liturgi, dan perlengkapan liturgi lainnya. Tentu terdapat juga salib, penanggalan liturgi, dan lavabo. Sakristi

13 Universitas Kristen Petra biasanya terletak di samping atau di belakang panti imam. Sakristi dan panti imam dibatasi dengan tembok dan dihubungkan dengan dua atau satu pintu.

Gambar 2.2 Ruang Sakristi Sumber : Windhu (1997, p. 17) c. Panti Umat Panti Umat adalah tempat bangku atau kursi untuk umat. Tempat duduk bangku biasanya punya tempat untuk berlutut. Tempat duduk kursi hanya bisa untuk duduk, tetapi tidak bisa untuk berlutut.

Gambar 2.3 Panti umat dan Tempat Koor Sumber : Windhu (1997, p. 18) d. Tempat Koor Tempat Koor adalah tempat khusus bagi para petugas yang diserahi tugas untuk membawakan lagu-lagu selama perayaan liturgi dan ekaristi. Dahulu tempat koor biasanya di balkon supaya suara mereka terdengar kuat dan bagus. Namun kini banyak tempat koor yang berada di samping kiri atau kanan altar, bahkan ada yang menjadi satu dengan umat, dengan maksud lebih menggiatkan partisipasi umat dalam bernyanyi.

14 Universitas Kristen Petra e. Kamar Pengakuan Kamar Pengakuan adalah tempat untuk menerima sakramen tobat secara pribadi. Kamar pengakuan dibagi menjadi dua : satu ruangan untuk imam, dan satu lagi untuk orang yang mengaku dosa. Kedua kamar ini dibatasi sekat dinding kecil dengan lobang untuk berkomunikasi. Di dalam pengakuan biasanya terdapat salib dan bangku untuk berlutut. Kamar pengakuan biasanya terletak di sayap kanan dan kiri bagian dalam gereja. Maksudnya supaya umat bisa dengan mudah mendapatkan tempat itu. Biasanya ada lebih dari satu tempat kamar pengakuan. Sebelum atau sesudah ekaristi sering ada imam menyediakan diri bagi umat yang ingin mendapatkan sakramen tobat.

Gambar 2.4 Ruang Pengakuan Sumber : Windhu (1997, p. 18) f. Balkon Balkon adalah tempat atau ruang atas di bagian depan gereja. Dahulu dimaksudkan sebagai tempat koor supaya suaranya lantang memenuhi gedung gereja. Di gereja yang tidak mempunyai balkon, tempat koor biasanya menjadi satu dengan umat atau di dekat altar. Balkon yang tidak difungsikan untuk tempat koor, sekarang dipakai untuk tempat duduk umat. Dari balkon ini pula lonceng gereja dibunyikan. g. Menara Gereja Menara Gereja adalah tempat untuk menggantukan lonceng. Menara gereja kadang-kadang disebut juga candi karena bentuknya mirip dengan candi. Menara gereja ada yang menjadi satu dengan bangunan gereja, ada yang terpisah di samping kiri atau kanan gereja. Menara gereja harus tinggi supaya bunyi lonceng bisa didengar umat sejauh mungkin. Biasanya di atas menara

15 Universitas Kristen Petra dipasang salib sebagai tanda bahwa tempat itu sebagai tempat ibadah kristiani. Kadang-kadang ada menara yang dilengkapi dengan patung jago sebagai lambang agar kita berjaga-jaga dan tidak jatuh dalam pencobaan seperti Petrus. h. Tempat Air Suci Tempat air suci adalah bejana kecil di kanan dan kiri pintu depan gereja. Umat yang akan mengikuti perayaan liturgi sebelum masuk ke gereja mengambil air suci dengan tangan dan menandai diri dengan tanda salib. Tindakan ini mengingatkan kita pada sakramen pembaptisan yang telah diterima.

Gambar 2.5 Tempat Air Suci Sumber : Windhu (1997, p. 22) i. Bejana Permandian Bejana pemandian adalah tempat air untuk membaptis. Biasanya bejana peemandian berada di dekat pintu masuk depan gereja. Kadang-kadang bejana permandian terdapat lilin Paskah. Maksunya berkat permandian, Yesus mengangkat kita sebagai anak-anak terang dan harus hidup selaras sebagai anak terang. Sekarang banyak gereja yang memiliki bejana permandian secara permanen. j. Pastoran Pastoran adalah tempat tinggal pastor, biasanya tidak jauh dari atau bahkan satu kompleks dengan bangunan gereja. k. Sekretariat Paroki Sekretariat paroki adalah tempat segala urusan administrasi paroki, arsip, dan dokumen-dokumen paroki. Biasanya sekretariat paroki terletak dekat dengan pastoran.

16 Universitas Kristen Petra l. Panti Paroki Panti Paroki adalah tempat kegiatan umat paroki. Paroki yang belum mempunyai panti atau gedung paroki biasanya menggunakan ruangan yang ada di sekitar gereja untuk mengadakan berbagai pertemuan.

Menurut Marsana Windhu (25-31), perlengkapan yang ada di gereja, meliputi : a. Salib Setiap kali mengadakan kegiatan liturgi dan ibadat yang lain, salib selalu hadir disana. Dan biasanya didampingi dengan lilin-lilin yang sudah dinyalakan. Salib diletakkan di atas meja altar atau dipasang di atas meja altar. Dan ada pula salib yang besar di bagian belakang altar, menempel di dinding.

Gambar 2.6 Salib Sumber : Windhu (1997, p. 25) b. Patung Yesus Patung Yesus biasanya berukuran besar, sehingga mudah dilihat oleh umat. Diletakkan di samping kanan altar.

Gambar 2.7 Patung Yesus dan Patung Maria Sumber : Windhu (1997, p. 25-26)

17 Universitas Kristen Petra c. Patung Maria Patung Maria biasanya juga berukuran sama besar dengan patung Yesus. Diletakkan pada samping kiri altar, dan biasanya terdapat tempat umat untuk mempersembahkan lilin supaya permohonannya dikabulkan. Fungsi dari patung Maria dan patung Yesus sebagai sarana pembantu umat dalam berjumpa dengan Tuhan sendiri. d. Gambar Jalan Salib Setiap gereja Katolik mempunyai gambar atau relief jalan salib. Pada saat tertentu mengadakan kebaktian jalan salib di gereja, dengan bantuan gambar atau relief tersebut. Biasanya gambar atau relief jalan salib ini dipasang pada dinding-dinding gereja.

Gambar 2.8 Gambar Jalan Salib Gambar 2.9 Patung Santo Pelindung Sumber : Windhu (1997, p. 26) Sumber : Windhu (1997, p. 27) e. Patung Santo atau Santa Pelindung Gereja Biasanya gereja menggunakan nama santo atau santa untuk nama gereja. Gambar atau patung santo atau santa pelindung diletakkan di depan gereja. Kadang-kadang gambarnya diwujudkan dalam lukisan di dinding kaca di bagian depan gereja. Maksud dari penggunaan nama santo atau santa untuk mendapatkan perlindungan dan menjadi teladan bagi umatnya. f. Gong Merupakan salah satu alat bunyi gamelan yang dipasang di dekat altar. Bersama bel atau kelinting, gong dipakai untuk memberi tanda konsekrasi, atau untuk menciptakan suasan hening, khusyuk, dan penuh perhatian. Beberapa

18 Universitas Kristen Petra gereja menggunakan gong untuk mengawali dan mengakhiri Doa Syukur Agung.

Gambar 2.10 Gong dan Bel Kelinting Sumber : Windhu (1997, p. 29) g. Keprak Merupakan alat bunyi dari kayu yang khusus digunakan untuk perarakan Sakramen Mahakudus pada hari Kamis Putih. Suara dari alat ini untuk mengungkapkan duka karena Kristus sedang mengalami kedukaan yang besar menjelang kematianNya.

Gambar 2.11 Keprak Sumber : Windhu (1997, p. 30)

2.2 Tinjauan Tentang Liturgi Liturgi mengacu pada tata kebaktian yang ada pada gereja. Tentunya dengan adanya liturgi tersebut, mempengaruhi tatanan interior gereja. Maka dari itu akan dijelaskan lebih dalam lagi mengenai liturgi yang ada.

2.2.1 Asal Usul Kata Liturgi „Liturgi‟ adalah istilah teologis biasanya mengacu kepada ibadah gereja atau tata kebaktian. Namun bila dilihat dari makna dalam alkitab, kata „liturgi‟ tidak mempunyai dasar secara alkitabiah yang dapat dikatakan sebagai „ibadah gereja‟ atau „tata kebaktian‟, karena kata liturgi itu sendiri berarti „bekerja untuk

19 Universitas Kristen Petra kepentingan rakyat‟. Kita hampir tidak menemukan lagi maknanya yang asli dalam kata „liturgi‟, sebagai istilah gerejawi yang lazim dipakai sekarang ini. Asal kata „Liturgi‟ berasal dari Bahasa Yunani „leiturgia‟. Kata „leiturgia sendiri berasal dari kata kerja „leiturgeo‟ yang artinya melayani, melaksanakan dinas atau tugas, memegang jabatan (Riemer 9) Secara harfiah „leiturgia‟ berasal dari dua kata Yunani, yaitu „leitos‟ yang berarti rakyat, umat, dan kata „ergon‟ yang berarti pekerjaan, perbuatan, tugas. Jadi „leiturgia‟ menurut kedua kata ini berarti melakukan sesuatu pekerjaan untuk rakyat. (Riemer 10)

2.2.2 Prinsip Ruang Liturgi Prisip pertama adalah prinsip kesatuan. Tata liturgi haruslah mencerminkan kesatuan umat sebagai Tubuh Kristus. Asas kesatuan dan kebersamaan bukan hanya soal sosiologis dan psikologis, melainkan pertama- tama memiliki dasar teologis dan spiritual yang kuat. Sebab umat Allah yang berhimpun di sekitar altar itu adalah satu Tubuh Kristus (1 Korintus 12 dan Roma 12:4) yang bertumpu pada kesatuan Allah Tritunggal. Secara praktis, itu berarti tata ruang Ekaristi harus memungkinkan terjadinya kebersamaan dan kesatuan umat. Tata ruang Ekaristi harus disusun sedemikian rupa, sehingga umat beriman yang sedang berliturgi merasakan kebersamaan dan kesatuan dengan Tuhan dan dengan sesama mereka secara sungguh-sungguh. (Martasudjita 56) Prinsip kedua adalah prinsip fungsi dan peranserta. Semua umat beriman memang merupakan kesatuan. Namun, dalam kesatuan umat beriman ini terdapat aneka peran dan tugas. Konsekuensi praktis bagi tata ruang liturgi ialah, pertama : adanya tata ruang yang memperhatikan aneka fungsi dan tindakan yang dilakukan dalam rangka perayaan liturgis. Maka misalnya, panti imam, altar, dan mimbar sabda harus mendapat tempat yang khusus, dimana semua umat beriman dapat melihat dan merasakan kedekatannya. Kedua : adanya tata ruang yang memungkinkan peranserta aktif seluruh umat beriman. (Martasudjita 56-57) Prinsip ketiga adalah prinsip simbolisme. Tata ruang liturgi haruslah memperhatikan simbolisme. Dasarnya adalah ciri khas liturgi sendiri yang bersifat simbolis. Maka PUBM 253 menyatakan : “Rumah ibadat dan segala

20 Universitas Kristen Petra perlengkapannya hendaknya pantas dan indah, serta merupakan tanda dan lambang alam surgawi.” Tata ruang liturgi harus mampu membawa umat kepada realitas ilahi dan martabat agung dari apa yang dirayakan dalam liturgi. Maka, tata liturgi menuntut usaha dan kreatrivitas seni yang tinggi, indah, dan baik, yang “membantu memperdalam iman dan kesucian” (SBL 620). Di samping itu, tata ruang Ekaristi ini harus dibangun menurut napas setempat dan tuntunan zaman. (SBL 646) (Martasudjita 57).

2.2.3 Struktur Pokok Perayaan Ekaristi Berdasarkan Tata Perayaan Ekaristi (TPE), struktur pokok Tata Perayaan Ekaristi sebagai berikut (Martasudjita 37-39) : 1. Pembukaan  Lagu pembukaan  Menghormati altar  Tanda salib  Salam  Tema  Pernyataan tobat – Kyrie  Madah Pujian (Kemuliaan)  Doa Pembukaan 2. Liturgi Sabda  Bacaan I  Antar bacaan : Mazmur Tanggapan  Bacaan II  Bait Pengantar Injil  Bacaan Injil  Aklamasi  Homili atao khotbah  Syahadat  Doa umat 3. Liturgi Ekaristi  Persembahan :

21 Universitas Kristen Petra  Persiapan, meliputi : kolekte – perarakan (diiringi lagu persembahan)  Menghunjukkan persembahan  Pengantar doa persembahan  Doa persembahan  Doa Syukur Agung  Prefasi yang dibuka dengan dialog pembukaan  Kudus  Doa Syukur Agung  Komuni  Pengantar Bapa Kami  Bapa Kami  Embolisme  Doa Damai  Salam Damai  Anak domba Allah  Pemecahan hosti suci  Doa Menjelang komuni  Ajakan menyambut komuni  Menyambut komuni – Lagu komuni  Saat hening  Madah syukur  Doa penutup 4. Penutup  Pengumuman  Berkat  Pengutusan  Menghormati altar  Lagu penutup

22 Universitas Kristen Petra 2.3 Tinjauan Tentang Transformasi Transformasi merupakan perubahan rupa (bentuk, sifat, dsb) (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1070). Pada dasarnya proses transformasi budaya perlu dipahami dalam jangka waktu yang panjang dan „transparan‟, diikuti dengan memperhatikan kejadian transformasi lainnya. Selain itu juga, proses dari transformasi adalah sebagai suatu proses yang lama dab berlangsung bertahap, serta merupakan suatu titik balik yang cepat. Menurut Max Weber, proses transformasi melalui suatu proses evolusioner dari saling mempengaruhi antar unsur dalam suatu ideal tipe masyarakat, yang sengaja diciptakan sebagai suatu model atau paradigma. Sedangkan menurut Van Peursen, mengatakan bahwa transformasi budaya bukan berarti menuju ke suatu tahapan yang lebih tinggi, melainkan mengarah kepada hal yang berbeda sifatnya, dan biasanya disertai dengan sejumlah penyimpangan (Sachari & Sunarya 80-81). Menurut Kuntjoroningrat membaginya atas tiga wujud, yaitu : a. Kompleks gagasan yang berwujud sangat abstrak, yang berada di dalam kepala setiap individu yang bersistem, diistilahkan juga sebagai sistem budaya. b. Kompleks perilaku yang berwujud lebih kongkret, yang dinamakan sistem sosial, meliputi tindakan yang baik, buruk, hingga tindak laku upacara, peperangan, dan sebagainya. c. Material culture, merupakan himpunan benda, baik yang berukuran kecil maupun besar (Sachari & Sunarya 82). Faktor-fakor yang menyebabkan terjadinya transformasi budaya, yaitu : a. Adanya reintegrasi baru dalam sektor kehidupan. b. Adanya proses pengideologian yang mengubah mental kebudayaan lama menjadi mental kebudayaan baru c. Hancurnya tata nilai, terjadinya kontradiksi kultural, inkoherensi, dan inkonsistensi sebagai perangkat kebudayaan (Sachari & Sunarya 83-84). Transformasi dapat dihasilkan dengan adanya perubahan bentuk, yang dimanipulasi dengan dimensi dari bentukan tersebut. Menurut Ching (50-51), transformasi dapat dilakukan dengan :

23 Universitas Kristen Petra a. Transformasi Dimensi : Suatu bentuk dapat berubah bentuk dengan cara mengubah dimensinya, namun masih mempertahankan identitasnya. Misalnya, dari bentuk kubus dapat diubah dengan mengubah tinggi, lebar, atau panjang dari kubus tersebut, sehingga menjadi bentuk prismatik lain (misalnya : balok).

Gambar 2.12 Contoh Transformasi Kubus Menjadi Balok Sumber : Ching (1979, p. 64) b. Transformasi dengan pengurangan dimensi : Suatu bentuk dapat diubah dengan mengurangi sebagian dari volumenya. Tergantung pada besar volume dari proses pengurangan tersebut. Bentuk awal tetap dapat mempertahankan identitasnya, atau berubah menjadi bentuk yang lain. Contohnya, sebuah bentuk kubus setelah terjadi pengurangan volume, bentuk kubus perlahan-lahan berubah menjadi bentuk polyhedron hingga menjadi bentuk yang mendekati sebuah bola.

Gambar 2.13 Transformasi dengan Pengurangan Dimensi Sumber : Ching (1979, p. 64) c. Transformasi dengan penambahan dimensi : Suatu bentuk dapat diubah dengan penambahan elemen-elemen untuk volumenya. Sifat dari proses penambahan akan menentukan apakah identitas bentuk awal dipertahankan atau diubah.

24 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.14 Transformasi dengan Penambahan Dimensi Sumber : Ching (1979, p. 64)

Transformasi dapat dipengaruhi oleh unsur-unsur sebagai berikut : a. Bentuk : mengidentifikasi karakteristik utama dari bentuk, bentuk hasil dari pengaturan spesifik dari sebuah bentuk permukaan dan tepi. b. Ukuran: dimensi riil bentuk, panjang, lebar, dan kedalaman, sementara dimensi tersebut menentukan proporsi dari bentuk, skala ditentukan oleh ukuran relatif terhadap bentuk-bentuk dalam konteksnya. c. Warna : rona, intensitas dan nada nilai suatu bentuk permukaan, warna adalah atribut yang paling jelas membedakan suatu bentuk dari lingkungannya. Itu juga mempengaruhi bobot visual suatu bentuk. d. Tekstur: karakteristik permukaan suatu bentuk, tekstur mempengaruhi taktil dan cahaya-reflektif kualitas dari suatu permukaan bentuk. e. Posisi : lokasi sebuah bentuk relatif terhadap lingkungan atau bidang visual f. Orientasi : sebuah bentuk posisi relatif terhadap orang yang melihat bentuk. g. Visual intersia : derajat konsentrasi dan stabilitas dari suatu bentuk, visual inersia dari suatu bentuk tergantung dalam geometri dan juga orientasi relatif.

2.4 Tinjauan Tentang Gaya

2.4.1 Gaya Early Christian Gaya Early Christian disebut juga dengan Gaya , yang lahir pada tahun 313 – 800 (Ensiklopedi Nasional Indonesia 273). Gereja pada Early Christian meniru pada gaya Basillica Roman, yang menggunakan kolom tua dengan ketinggian yang seragam dan menggunakan busur ruang.

25 Universitas Kristen Petra Istilah “Basilica”, yang diterapkan pada sebuah gereja Early Christian pada abad keempat, adalah sebutan khas yang sesuai untuk bangunan yang didedikasikan untuk melayani raja-raja raja, beberapa pihak berwenang, namun percaya bahwa gereja Early Christian telah berevolusi dari rumah tinggal Roman. Gereja Early Christian biasanya dibangun di atas tempat pemakaman orang suci kepada siapa gereja dipersembahkan, dan tempat pemakaman ini disebut dengan istilah “confessio” yaitu altar tinggi yang tertutup oleh siborium, atau dikenal sebagai tabernakel (Fletcher 202).

2.4.1.1 Gambaran Umum Gaya Early Christian Menurut Pile (202), karakter arsitektur gereja Early Christian adalah mengesankan dan bermartabat dengan perspektif denah yang memanjang. Selain itu juga, adanya penggunaan pengulangan kolom yang membawa mata kita langsung menuju ke tempat kudus (altar). Sehingga arsitektur gaya ini terkesan polos, dengan penyajian permukaan yang luas dengan jendela dan pintu batu yang sejajar dengan beberapa relung (Davies 91). Pada era Early Christian, perluasannya dikembangkan dalam beberapa cara. Yang pertama adalah penerapan kolom berjajar, pada umumnya didasarkan pada salah satu perintah roman. Kedua, material yang mereka gunakan adalah batu, dan yang paling sering digunakan adalah batu marmer. Yang ketiga, yaitu pengecatan pada dinding bagian atas kolom, dan setengah kubah di atas apse (panti imam) dicat atau dilapisi dengan mosaik yang menggambarkan tema-tema keagamaan, sedangkan pada lantai sering ditaburi dengan batu berwarna dalam pola-pola geometris dengan warna yang kuat (Pile 36). Salah satu ciri khas lainnya, yaitu adanya bangunan menara yang letaknya berdiri sendiri atau menempel pada dinding luar gereja. Tujuan dari menara ini, yaitu sebagai menara pengawasan atau pertahanan, pemanfaatan dinding yang tinggi, dan sebagai tempat menggantungkan genta atau lonceng (Boediono 40). Dapat disimpulkan bahwa, bangunan Gaya Early Christian ini adalah bangunan yang memiliki denah berbentuk persegi yang terkesan memanjang karena pengaruh Roma. Hal yang paling ciri khas yaitu, adanya kolom berjajar

26 Universitas Kristen Petra yang diatasnya terdapat jendela berjajar (clerestory windows), pola lantai geometris, bentuk setengah kubah di atas panti imam dengan mosaik gambar agama, serta adanya bangunan menara.

2.4.1.2 Elemen Pembentuk Ruang Menurut Boediono (40), denah bangunan gereja gaya Early Christian terdiri dari tiga sampai lima bagian bangunan. Bentuk denah gereja menyerupai denah Roma, yaitu berbentuk persegi. Bangunan tersebut terdiri dari pintu gerbang (pintu masuk utama), pekarangan besar (atrium), serambi (narthex), nave (panti umat), aisle (gang atau lorong) yang mengapit nave (panti umat), dan apse (panti imam) yang berbentuk sudut banyak atau setengah lingkaran. Setelah berkembang, bangunan ini mempunyai ruang tambahan yang disebut transept, yang digunakan sebagai meletakkan barang peninggalan orang suci. Bentuk denah menjadi seperti bentuk salib (menyerupai huruf “T”) dengan adanya transepts (bagian melintang pada denah) yang diletakkan 90 derajat dari panti imam atau panti umat (Harwood 101-102).

Gambar 2.15 Denah Basilika St. Peter di Roma, abad IV Sumber : Fletcher (1928, p. 206)

27 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.16 Potongan Denah Gereja S.Agnese Fuori Le Mura Sumber : Fletcher (1928, p. 210)

Dinding pada desain Gaya Early Christian menggunakan bahan batu bata (Sumalyo 112). Dinding pada panti umat (nave) dibuat lebih tinggi daripada dinding panti imam (apse), karena dinding tersebut digunakan untuk meletakkan clerestory windows (jendela berjajar). Sedangkan pada dinding depan altar terdapat triumphal arch (lengkungan kemenangan) berbentuk lengkung yang dianggap sebagai “klimaks” pada ruang kebaktian, yaitu menunjukkan Tuhan hadir di tempat ini (Harwood 103). Dinding pada bagian dalam ruangan mempunyai banyak hiasan, yang berupa lukisan dinding dan dekorasi pada bagian pelengkung (Sumalyo 112). Penggunaan kolom merupakan ciri khas pada bangunan gaya Early Christian ini, kolom-kolom yang dibuat berjajar dibagian sisi kiri dan sisi kanan yang digunakan untuk memisahkan panti umat dan gang (Harwood 104). Kolom berjajar hanya diletakkan dari ujung belakang sampai pada ujung panti umat.

Gambar 2.17 Kolom pada Nave Gereja St. Paolo Fuori Le Mura, Roma Sumber : www.sacred-destinations.com/italy/rome-san-paolo-fuori-le-mura

28 Universitas Kristen Petra Pada bagian plafon pada panti imam berbentuk kubah atau setengah kubah (semicircular vault) yang penuh dengan lukisan. Lukisan yang digunakan adalah lukisan Kristus atau orang-orang kudus, yang menjadi simbolis surga yang akan menandai objek sebagai keramat (Harwood 104). Sedangkan pada plafon lainnya, terutama pada panti umat menggunakan kerangka dari atap kayu, berbentuk segi empat dan permukaannya rata yang menimbulkan kesan datar dan tertutup. Ketinggian plafon mencapai 20-30 meter (Sumalyo 61).

Gambar 2.18 Plafon Berbentuk Kubah (semicircular vault) Sumber : www.sacred-destinations.com/italy/rome-san-clemente

Gambar 2.19 Plafon Berbentuk Segi Empat Sumber : www.sacred-destinations.com/italy/rome-santa-maria-maggiore

Pada lantai gaya Early Christian mempunyai pola yang rumit, dengan penggunaan kombinasi dari warna putih, abu, dan hitam. Bahan yang digunakan pada lantai adalah marmer, sedangkan pada kolomnya menggunakan bahan granit atau marmer (Harwood 103).

29 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.20 Lantai Gereja St. Paolo Fuori Le Mura, Roma Sumber : www.sacred-destinations.com/italy/rome-san-paolo-fuori-le-mura

Menurut Fletcher (213), elemen transisi pada gaya ini berbentuk setengah lingkaran, baik dari bentuk jendela dan pintu. Sedangkan menurut Harwood (102- 103), jendela dan pintu gaya Early Christian ini mempunyai bentuk segi empat panjang dan bagian atasnya melengkung atau setengah lingkaran. Pintu menggunakan ukiran kayu atau perunggu.

Gambar 2.21 Pintu Gaya Early Christian Sumber : picasaweb.google.com/lh/photo/w9RX-rt5rcoZ0WxlS6kdNg

Gambar 2.22 Jendela Gaya Early Christian Sumber : Fletcher (1928, p. 217)

30 Universitas Kristen Petra 2.4.1.3 Perabot Menurut Harwood (102), peletakan perabot seperti altar diletakkan menempel pada dinding belakang apse (panti imam) atau diletakkan di titik fokus apse dan mengarah ke timur ini dimaksudkan karena Kristus telah disalibkan di Yerusalem, selain itu juga karena gereja merupakan tempat pertemuan para pengikut agama Kristen dimana umat berdoa dan memuja melalui perantaraan imam sehingga letak altar dan pendeta harus berhadapan dengan umat (dalam Wendy 16-17). Makam para martir yang terletak di bawah altar dan di belakang latar juga terdapat kursi uskup (Boediono 101). Dan tempat pemakaman ini disebut dengan istilah “confessio” yaitu altar tinggi yang tertutup oleh siborium, atau dikenal sebagai tabernakel (Fletcher 202).

2.4.1.4 Elemen Dekoratif Ciri dekorasi ruang pada gaya Early Christian adalah sederhana agar mudah dibaca. Dinding pada panti umat, arcade (lengkungan di atas kolom), triumphal arch (lengkungan kemenangan), dan panti imam terutama pada plafonnya penuh dengan lukisan, mosaik kaca, marmer, dan perhiasan. Warna yang digunakan antara lain biru, hijau, ungu, merah, dan emas. Pada plafon apse terdapat lukisan Kristus atau orang-orang Kudus, dan ini menjadi simbol surga yang akan menandai objek keramat (Harwood 104). Untuk penggunaan material mosaik dipasang sejajar dengan apse (panti imam) setengah lingkaran, yang dilapisi dengan warna emas. Pada clerestory windows (jendela berjajar) yang ada pada dinding, terdapat rangkaian mosaik yang menggambarkan sejarah, atau doktrin Kristen, yang dibuat dengan warna- warna kuat di atas sebuah dasar warna emas dalam sebuah desain sederhana (Fletcher 214). Cahaya mosaik pada dinding dapat menciptakan kesan suatu dunia surgawi yang mendiami dengan makhluk surgawi. Pada lantai sering ditaburi dengan batu berwarna dalam pola-pola geometris dan warna yang kuat (Pile 36).

31 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.23 Dekoratif Gaya Early Christian Sumber : www.sacred-destinations.com

Gambar 2.24 Motif Lantai Gaya Early Christian Sumber : www.sacred-destinations.com

2.4.1.5 Warna Melalui pengamatan secara visual akan warna-warna yang sering digunakan pada interior Gereja Early Christian, akan diambil tiga contoh gereja

32 Universitas Kristen Petra yang ada di Roma. Gereja-gereja tersebut yaitu Gereja St. Maria Maggiore, Gereja St. Paolo Fuori Le Mura, dan Gereja St. Peters. Gereja pertama adalah Gereja St. Maria Maggiore. Gereja ini merupakan salah satu dari lima besar dari Basilika kuno Roma. Dibangun oleh Paus Liberius (352-366).

Gambar 2.25 Area pintu masuk Gereja St. Maria Maggiore Sumber : www.sacred-destinations.com/italy/rome-santa-maria-maggiore

Gambar 2.26 Area Confessio Altar Tinggi pada Gereja St. Maria Maggiore Sumber : www.sacred-destinations.com/italy/rome-santa-maria-maggiore

Gambar 2.27 Nave Gereja St. Maria Maggiore Sumber : www.sacred-destinations.com/italy/rome-santa-maria-maggiore

33 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.28 Mosaik pada Panel Tengah Gereja St. Maria Maggiore Sumber : www.sacred-destinations.com/italy/rome-santa-maria-maggiore

Gereja kedua yaitu Gereja St. Paolo Fuori Le Mura, Roma, yang ditahbiskan oleh Kaisar Konstanstinus pada tanggal 18 November 324

Gambar 2.29 Nave pada Gereja St. Paolo Fuori Le Mura Sumber : www.sacred-destinations.com/italy/rome-santa-maria-maggiore

Gambar 2.30 Plafon pada nave Gereja St. Paolo Fuori Le Mura Sumber : www.sacred-destinations.com/italy/rome-santa-maria-maggiore

34 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.31 Transept pada Gereja St. Paolo Fuori Le Mura Sumber : www.sacred-destinations.com/italy/rome-santa-maria-maggiore

Gereja ketiga yaitu Gereja St. Peters, Roma. Dibangun abad XVI, dan terdapat makam St. Petrus di bagian bawah altar.

Gambar 2.32 Nave pada Gereja St. Peters Sumber : www.sacred-destinations.com/italy/rome-st-peters-basilica

Gambar 2.33 Detail Kubah pada Gereja St. Peters Sumber : www.sacred-destinations.com/italy/rome-st-peters-basilica

35 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.34 Altar pada Gereja St. Peters Sumber : www.sacred-destinations.com/italy/rome-st-peters-basilica

Dari pengamatan secara visual, dapat ditarik kesimpulan akan warna- warna yang digunakan pada Gereja Early Christian pada umumnya, yaitu :

Tabel 2.1 Perbandingan Warna pada Gereja St. Maria Maggiore, St. Paolo Fuori Le Mura, dan St. Peters Warna St. Maria Maggiore St. Paolo Fuori Le St. Peters Mura Lantai : Mamer : hitam, abu- Marmer : hitam, abu- Marmer : hitam, abu, putih, krem, abu, krem, cokelat abu-abu, putih, cokelat. krem, cokelat Dinding : Marmer : putih-abu Marmer : Putih-abu Marmer : putih-abu Cat : krem Plafon : Warna dasar putih Warna dasar putih Warna dasar putih Kolom : Marmer : abu-abu Marmer : abu-abu, Marmer : abu-abu cokelat Dekorasi: Dinding : emas Dinding : emas Dinding : cokelat, Plafon : emas Plafon : emas hitam, putih (marmer) Plafon : emas Perabot : Cokelat (kayu) Cokelat (kayu) Cokelat (kayu) Pencahayaan: Jendela : kaca Jendela : kaca Jendela : kaca mosaik. mosaik. mosaik. Lampu : warna Lampu : warna kuning kuning

36 Universitas Kristen Petra Setelah dianalisa dari tabel diatas, dapat ditarik kesimpulan akan warna- warna dominan yang digunakan pada Gereja Early Christian, yaitu : 1. Elemen pembentuk interior :  Lantai : hitam, abu-abu, putih, krem, cokelat (motif geometris)  Dinding : putih-abu (marmer), krem  Plafon : warna dasar putih  Kolom : putih-abu, abu-abu, cokelat (marmer) 2. Elemen Dekoratif :  Dinding : kombinasi warna mosaik  Plafon : dominan emas, kombinasi warna mosaik 3. Perabot : cokelat (kayu) 4. Cahaya : Kuning.

2.4.2 Gaya Romanesque Gaya ini mulai muncul pada tahun 700-1150. Istilah Romanesque yang berarti keromawi-romawian (Ensiklopedi Nasional Indoensia 1988).

2.4.2.1 Gambaran Umum Gaya Romanesque Konsep keteraturan dan simetri, adalah lambang gaya Romanesque. Lengkungan setengah lingkaran dan kubah barel mengingat teknik Roma kuno. Elemen visual yang paling mudah diidentifikasi dengan desain Romanesque adalah lengkungan setengah lingkaran. Kayu menjadi material yang biasa digunakan untuk struktur bangunan, dan bahan untuk lantai dan konstruksi atap. Bentuk kubah gaya Romanesque awal merupakan bentuk kubah yang masih sederhana, dan selalu dalam bentuk setengah lingkaran. Bentuk kubah kemudian berkembang, namun tetap selalu dengan bentuk setengah lingkaran (Pile 42).

2.4.2.2 Elemen Pembentuk Ruang Susunan denah dari gaya Romanesque masih mengikuti dari susunan denah Basilica atau Gaya Early Christian, yaitu berbentuk huruf “T”. Susunannya terdiri dari tiga bagian bangunan, namun yang berbeda, yaitu adanya perkembangan dari bentukan apse (panti imam). Pada gaya Early Christian, apse

37 Universitas Kristen Petra cuma satu buah, sedangkan gaya Romanesque ini memiliki beberapa kelompok apse. Susunan pada ruang altar diulangi lagi pada kedua ujung bangunan melintang, sehingga bentuk denah secara keseluruhan berbentuk seperti daun semanggi (Boediono 52).

Gambar 2.35 Denah Gaya Romanesque Sumber : Boediono (1997, p. 52)

Dinding gaya Romanesque pada awal mulanya berbentuk kubah (lancip menyudut), yang kemudian berkembang menjadi bentukan melengkung. Namun terkadang masih tetap menggunakan bentukan menyudut, hanya pada bagian atas bentukan melengkung (Boediono 55). Dan menurut Harwood, mempunyai dinding yang tebal pada nave yang memiliki ciri khas : adanya ribbed vault (lengkungan rusuk), round arch (lengkungan busur), pointed arches (lengkungan menyudut), triforium (jendela yang terdapat diantara clerestory windows dengan arcade), dan clerestory windows (jendela berjajar). Bahan yang digunakan adalah batu marmer dan mempunyai ketinggian kurang lebih 18 meter (134). Warna batu marmer yang digunakan adalah warna putih, hitam, atau cokelat yang disusun dalam bentuk kotak-kotak dan garis-garis sebagai hiasan luar (Sumalyo 112-137). Kolom yang digunakan berbentuk silinder dengan proporsi pendek yang dibentuk sebagai tiang-tiang besar. Kolom-kolom tersebut terkadang diukir dengan ornamen (Fletcher 250). Pada lantai menggunakan bahan yang sama dengan dindingnya, yaitu marmer yang dibuat dengan pola yang rumit (Harwood 138).

38 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.36 Lantai Gereja Durham , Inggris Sumber: en.wikipedia.org/wiki/durham-cathedral

Pada bentukan atap bagian nave (panti umat) memiliki bentuk kubah yang berbentuk kerucut dengan dibagian tengahnya meruncing keatas, dan atap apse (panti imam) berbentuk setengah kubah, yang dihiasi dengan lukisan mosaik (Sumalyo 112-137). Bentuk pintu dan jendela pada gaya Romanesque bagian atasnya melengkung. Ciri khas lainnya adalah round arch (melengkung busur), pengulangan, ribbed vault (lengkungan rusuk), dan triforium (jendela yang terdapat diantara clerestory windows dengan arcade). Sehingga bentuk elemennya terkesan berat (Harwood 135).

Gambar 2.37 Pintu dan jendela Gaya Romanesque Sumber : Fletcher (1928, p. 267), Boediono (1997, p. 57)

39 Universitas Kristen Petra 2.4.2.3 Perabot Sebagian besar perabotan gaya Romanesque berwarna terang dan penuh dengan ornamen dan hiasan. Bahan yang digunakan kayu, namun mempunyai kesan berat, besar, tetapi desainnya sederhana (Harwood 140).

Gambar 2.38 Bangku Gereja Gaya Romanesque Sumber : Boediono (1997, p. 91)

2.4.2.4 Elemen Dekoratif Ciri gaya Romanesque banyak menggunakan ukiran, sehingga ukiran ini merupakan bagian dari gaya ini. Bagian-bagian yang terkena ukiran dalam interior gaya Romanesque, adalah bagian nave (panti umat), transepts (bagian melintang pada denah), jendela, molding (pinggiran pada pintu atau jendela), dan kepala kolom. Ukiran ini digunakan untuk menggambarkan sejarah, cerita Kitab Injil, dan lambang Kristen, kemudian dekoratif lainnya berupa permainan garis dan pola, serta mempunyai warna cerah. Biasanya warna yang digunakan adalah warna kuning, ocher, batu, abu-abu, dan merah (Harwood 132-139). Menurut Sumalyo, adanya pemakaian kolom-kolom yang difungsikan sebagai hiasan berbentuk silinder, langsing, dan pendek. Pada dindingnya menggunakan bahan marmer yang disusun dalam pola kotak-kotak dan garis-garis sebagai hiasan luar. Atap pada apse (panti imam) terdapat dekoratif berupa lukisan dari mosaik (Sumalyo). Ornamen yang digunakan berbentuk tumbuhan dan binatang, yang diterapkan pada ukiran dan patung. Untuk interiornya terdapat lukisan dinding

40 Universitas Kristen Petra dengan gambar mosaik, seperti fitur pada gereja Early Christian, yang telah dipengaruhi dengan keadaan masing-masing negara (Fletcher 250).

Gambar 2.39 Macam Ornamen Tumbuhan Gaya Romanesque Sumber : Boediono (1997, p. 81,83,85)

Gambar 2.40 Ornamen Gambar Binatang Sumber : Boediono (1997, p. 79) 2.4.2.5 Warna Melalui pengamatan secara visual akan warna-warna yang sering digunakan pada interior Gereja Romanesque, akan diambil tiga contoh gereja yaitu Gereja Autun Cathedral, Gereja Conques Abbey, dan Gereja Le Puy Cathedral. Gereja pertama adalah Gereja Autun, dibangun sebagai gereja ziarah besar (aslinya bukan katedral) untuk memegang relik Lazarus, yang ditemukan di Autun pada awal abad XII.

Gambar 2.41 Elemen Pembentuk Interior Gereja Autun Cathedral Sumber : www.sacred-destinations.com/france/autun-cathedral

41 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.42 Dekoratif Gereja Autun Cathedral Sumber : www.sacred-destinations.com/france/autun-cathedral

Gereja kedua bernama Gereja Durham Cathedral. Didirikan oleh Santo Aidan atas perintah Oswald dari Northumbria sekitar tahun 635.

Gambar 2.43 Nave pada Gereja Durham Cathedral Sumber: en.wikipedia.org/wiki/durham-cathedral

Gambar 3.44 Aisle pada Gereja Durham Cathedral Sumber: en.wikipedia.org/wiki/durham-cathedral

42 Universitas Kristen Petra Gereja ketiga adalah Gereja Le Puy Cathedral. Bertengger di atas batu vulkanik yang menghadap kota Le Puy-en-Velay di daerah . Meskipun lokasinya terpencil, Le Puy telah menjadi pusat keagamaan penting sejak pra- Kristen.

Gambar 2.45 Nave pada Gereja Le Puy Cathedral Sumber : www.sacred-destinations.com/france/le-puy-cathedral

Gambar 2.46 Kolom-kolom pada Aisle Gereja Le Puy Cathedral Sumber : www.sacred-destinations.com/france/le-puy-cathedral

43 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.47 Dekoratif Gereja Le Puy Cathedral Sumber : www.sacred-destinations.com/france/le-puy-cathedral

Dari pengamatan secara visual, dapat ditarik kesimpulan akan warna- warna yang digunakan pada Gereja Romanesque pada umumnya, yaitu :

Tabel 2.2 Perbandingan Warna pada Gereja Autun Cathedral, Durham Cathedral, dan Le Puy Cathedral Warna Autun Cathedral Durham Cathedral Le Puy Cathedral Lantai : Marmer : putih-abu Abu-abu cokelat Abu-abu tua Dinding : Marmer : putih-abu Abu-abu cokelat Abu-abu Plafon : Abu-abu Abu-abu cokelat Abu-abu Kolom : Marmer : putih abu Abu-abu cokelat Abu-abu Dekorasi: Dinding : abu-abu Dinding : merah, Kolom : putih, hitam, (ukiran) hijau, kuning, biru merah (lukisan) Perabot : Cokelat (kayu) Cokelat (kayu) Cokelat (kayu) Pencahayaan: Jendela : kaca Jendela : kaca - mosaik. mosaik. Lampu : warna kuning

Setelah dianalisa dari tabel diatas, dapat ditarik kesimpulan akan warna- warna dominan yang digunakan pada Gereja Romanesque, yaitu : 1. Elemen pembentuk interior :  Lantai : putih-abu, abu-abu cokelat, abu-abu tua (motif geometris)  Dinding : putih-abu (marmer), abu-abu, dan abu-abu cokelat (batu)

44 Universitas Kristen Petra  Plafon : abu-abu dan abu-abu cokelat (batu)  Kolom : putih-abu (marmer), abu-abu dan abu-abu cokelat (batu) 2. Elemen Dekoratif :  Dinding : abu-abu (ukiran), merah, kuning, hijau, dan biru (lukisan)  Kolom : putih, hitam, merah 3. Perabot : cokelat (kayu) 4. Cahaya : Kuning

2.4.3 Gaya Gothic

Pada awalnya di dalam seni bangunan kata Gothic dianggap sebagai seni barbar, karena bentuk bangunannya yang meruncing, karena itulah kata Gothic sama artinya dengan „barbar‟. Namun dalam perkembangannya, gaya Gothic ini disebut sebagai „karya Perancis‟ karena perkembangannya yang begitu meluas dan signifikan di Perancis. Gaya ini lahir karena pertentangan dari gaya klasik. Gaya Gothic mempunyai ciri khas bentukan yang sangatlah rumit dan ramai akan ukiran yang tidak beraturan, terkesan misterius. Arsitektur gaya Gothic tumbuh subur di Eropa bagian barat sejak pertengahan 1100an–1400an. Kata Gothic mula-mula digunakan untuk menyatakan rasa tidak setuju. Isitilah ini dipakai oleh para artis dan pengarang pada abad 14 dan 15 yang berusaha menghidupkan kembali arsitektur klasik Yunani dan Romawi. Mereka menghubungkan gaya yang tidak mereka setujui dengan orang Goth yang memusnahkan banyak karya klasik selama tahun 400an. Para seniman dan pengarang berkeberatan terhadap desain gaya Gothic yang ruwet dan tidak beraturan, sangat berbeda dengan gaya klasik yang serasi (Ensiklopedi Nasional Indonesia 277). Gaya Gothic di Perancis (1150 – 1550) dibedakan menjadi 3 periode (Pile 59-60; Fletcher 440), yaitu : 1. Premaire (abad 12) masa ini disebut juga Lancettes. Merupakan suatu peride dimana gaya ini menggunakan pointed arch (lengkungan menyudut) dan bentuk jendela yang geometris. 2. Secondaire (abad 13) biasa disebut juga dengan Rayonnant. Pada periode ini ditandai dengan bentuk jendela yang bundar seperti Reims, Amiens, dan

45 Universitas Kristen Petra Bourages. Dimana bentukan ruang yang tampak bersinar merupakan aspek yang terpenting. Penggunaan jendela bundar besar berbentuk mawar pada katedral merupakan salah satu tipe dari masa Rayonnant. 3. Tertiaire (abad 14- sebagian abad 16) dan biasa disebut dengan Flamboyant. Flamboyant menggambarkan sebuah gambaran dari istilah “flame like” dimana pada masa ini bentukan yang paling menjadi ciri khasnya adalah detail dekorasi seperti ukir-ukiran yang terkadang tampak berlebihan. Pada bangunan gaya Gothic memiliki ciri-ciri bentuk yang khas dari arsitekturnya, antara lain :

2.4.3.1 Gambaran Umum Gaya Gothic Ciri khas pada bangunan gereja Gothic, yaitu bangunan dengan atap yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan dimensi pengguna, hal ini untuk menggambarkan kebesaran Tuhan dan manusia yang kecil di hadapanNya. Selain itu adanya penggunaan bentukan menyudut (pointed arch) baik pada atap maupun jendela. Dari segi teknik pembangunan, bangunan Gothic ini menggunakan bentuk lengkungan tajam dan kubah pada atap, yang terjadi pada sekitar tahun 1150–1250, yang disebut sebagai masa Early and High Gothic (Pile 59). Menurut Pile, karakteristik yang paling utama pada bangunan gaya Gothic adalah penggunaan batu alam sebagai bahan bangunannya (dalam Rosella 8).

Gambar 2.48 Denah Gaya Gothic Sumber : Boediono (1997, p. 109)

46 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.49 Potongan denah Gaya Gothic Sumber : Fletcher (1928, p. 445)

Menurut Harwood (142), dapat disimpulkan bahwa bangunan gaya Gothic secara umum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:  Adanya garis tegak atau vertikal, yang lebih ditekankan untuk membuat kesan „langsing‟ pada bangunan. Membuat orang merasa kecil jika dibandingkan dengan ruangan dalam bangunannya.  Bentukan menyudut (pointed arch).  Penggunaan stained glass (kaca mosaik) yang ada pada pintu dan jendela sebagai dekoratif.  Terdapat banyak patung-patung religuis yang hampir mengitari seluruh bangunan, baik dalam luar ataupun luar ruangan.  Penggunaan angka-angka Kitab Injil pad arsitekturnya, misalnya seperti angka 3, dan 12 untuk jumlah pintu dan jendela.  Adanya banyak kolom, karena kolom menjadi penyangga utama bagi bangunan Gothic. Satu bangunan dapat ditopang kurang lebih 100 buah kolom.  Adanya ribbed vault atau lengkungan rusuk pada rangka atap.  Terdapat menara dan puncak menara. Pada salah satu menara terdapat lonceng gereja.  Flying buttress, rangka penopang yang terletak diantara 2 buah kolom.

47 Universitas Kristen Petra 2.4.3.2 Elemen Pembentuk Ruang Denah bangunan gereja Gothic adalah berbentuk salib latin (curciform lay out). Pada bagian panti umat (nave) biasanya diapit oleh lorong atau gang (aisle), sedangkan pada bagian dinding belakang panti imam (apse) berbentuk setengah lingkaran. Maka dari itu, dinding pada bagian panti imam mengikuti bentuk melengkung sesuai dengan bentuk denah setengah lingkaran. Dinding biasanya terbuat dari batu atau batu bata yang sering diterapkan dengan adanya frame-frame jendela tunggal ataupun jendela berjajar (Clerestory Windows) (Fletcher 477). Jendela tersebut dijajarkan berderet mengikuti bentuk lengkungan menyudut, yang berfungsi untuk memasukkan cahaya luar ke dalam bangunan gereja. Kaca pada jendelanya menggunakan kaca stained glass berbentuk mosaik, biasanya didominasi oleh warna merah, biru, kuning, dan hijau (Pile 54).

Gambar 2.50 Jendela Bangunan Gothic Sumber : Boediono (1997, p. 108,111)

Plafonnya mempunyai ketinggian mencapai 60-70 meter. Plafon pada gaya ini dibangun sangat tinggi jika dibandingkan dengan dimensi pemakai, dikarenakan untuk memberikan kesan Tuhan yang besar dan manusia yang kecil. Bentuk kerangka atapnya melengkung, yang berbentuk seperti setengah kubah (semicircular vault) yang merupakan potongan dari batu yang membentuk suatu bingkai, yang juga didukung oleh papan tipis. Pada bagian bawah permukaan

48 Universitas Kristen Petra kubah atau pada bagian belakang altar, diterapkan lukisan yang menggambarkan subjek agama. (Pile 54).

Gambar 2.51 Plafon Berbentuk Kubah dengan Lengkungan Rusuk Sumber : www.chiesaanglicanapalermo.it

Bentukan ribbed vault atau lengkungan rusuk pada dinding belakang dari panti imam. Bentukan lengkungan rusuk ini merupakan ciri khas daripada Gothic. Pada istilah pointed arch (lengkungan menyudut) mempunyai bentuk lengkungan menyudut, dimana bentukan ini mengikuti bentuk dari kubah berelung. Adanya bentukan pointed arch ini untuk menunjukkan “klimaks” pada ruang kebaktian dan juga sebagai tempat yang kudus dan megah.

Gambar 2.52 Ribbed Vault Gambar 2.53 Pointed Arch Sumber : architecture.about.com/od/earlychristianmedieval/ss/gothic_4.htm

49 Universitas Kristen Petra 2.4.3.3 Perabot Pada era gaya Gothic, sebagian besar dari perabotannya diberi lukisan yang menggambarkan subjek agama, yang biasanya sering ditempatkan di bagian kedua sisi altar, serta pada mimbar dan pada sisi perabot lainnya. Kayu sebagai bahan yang dipakai pada perabotan gaya Gothic ini. Salah satu perabotan dalam gereja, yaitu altar, dimana altar diberi lukisan atau ornamen yang bergambar cerita atau legenda yang ada di dalam alkitab (Pile 54). Selain ornamen cerita dalam dalam alkitab, bentukan ornamen alam (hewan dan tumbuhan), bentukan pointed arch (lengkungan menyudut) juga menjadi ornamen yang biasa dipakai pada perabotan. Menurut Grolier (127), mebel gaya Gothic mempunyai karakteristik sebagai berikut :  Kayu yang dipergunakan adalah jenis kayu oak, dan kayu kenari, karena memungkinkan untuk dipahat.  Dekorasi menggunakan motif lukisan, seperti burung, binatang, atau manusia dalam bentuk yang fantastis.  Motif-motif dekoratifnya lengkung, bundar, atau bulat dan dikombinasikan dengan ukiran tumbuhan (Weale 295).

Gambar 2.54 Altar Gereja St. Johan, Dokota Bozen Sumber : Boediono (1997, p. 129)

50 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.55 Kursi Gothic Sumber : www.buffaloah.com; Boediono (1997, p. 133)

2.4.3.4 Elemen Dekoratif Ciri-ciri dekoratif yang digunakan pada gaya Gothic ini, yaitu lukisan yang menggambarkan subjek agama yang sering ditempatkan di bagian belakang altar, baik altar tinggi di mimbar dan di sisi altar yang lain (Pile 54). Pada bagian dinding terdapat hiasan patung-patung orang suci (para santo dan para pahlawan kristen) dalam jumlah yang besar (Boediono 98). Menurut umat kristen abad pertengahan, para santo dan para pahlawan ini mendiami dan menguatkan gereja tersebut dalam arti simbolik.

Gambar 2.56 Patung-patung Orang Suci pada Dinding – Rheims Cathedral Sumber : John (1963, p. 202)

51 Universitas Kristen Petra Pada dinding diantara gerbang pintu utama yang melengkung dan mengarah ke atas, diberi hiasan berupa jendela bulat besar yang berbentuk bunga mawar (rose window) dan dibuat dari kaca mosaik yang berwarna-warni (Boediono 98).

Gambar 2.57 Ornamen Rose Window Sumber : Fletcher (1928, p. 461)

Kaca pada jendelanya menggunakan kaca stained glass berbentuk mosaik, dengan cara pembuatannya menggunakan kaca-kaca kecil yang disatukan menjadi kaca yang lebih besar, karena pada masa itu belum ada teknik untuk membuat bahan kaca dalam ukuran yang sangat besar. Hal ini menyebabkan banyaknya pola dan menciptakan gamnbar yang penuh warna yang biasanya didominasi oleh warna merah, biru, kuning, dan hijau (Pile 2000). Pintu utama pada Gaya Gothic biasanya dijadikan pusat perhatian dengan adanya banyak hiasan dan ornament dengan nilai seni yang tinggi. Bagian luar pintu gereja biasanya ditampilkan dengan dicat atau diukir (Pile 54). Ukiran tersebut ditampilkan dalam bentuk warna, dan ukiran-ukiran yang dipakai tentunya menggunakan ornamen yang ada pada zaman Gothic. Menurut Pile, pada era Gothic mengambil bentukan ornamen dari bentukan alam, yaitu : tumbuhan dan hewan, misalnya bentukan daun yang digunakan, yaitu seperti bentuk daun yang mempunyai tiga daun (berdaun tiga cluster) dan quatefoil (kelompok serupa empat daun) bergabung dengan corckets (memproyeksikan hiasan berbentuk daun) untuk membentuk gaya baru. Ukuran Sedangkan pada elemen pahatan menggambarkan tema-tema keagamaan dan adanya gargoyles (patung dekoratif) (Pile 56). Adanya tiang dan kerangka jendela Gothic yang diberi hiasan ukiran dan ornamen biasa disebut dengan masswerk (Beodiono 103).

52 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.58 Aksesori Pintu Gaya Gothic Sumber : Boediono (1997, p. 127-128)

Gambar 2.59 Ornamen Tumbuhan (daun) Sumber : Boediono (1997, p. 119); Fletcher (1928, p. 465)

Gambar 2.60 Ornamen Capit Kepiting Sumber : Boediono (1997, p. 120-121)

53 Universitas Kristen Petra 2.4.3.5 Warna Melalui pengamatan secara visual akan warna-warna yang sering digunakan pada interior Gereja Gothic. Gereja-gereja yang digunakan adalah Gereja , Gereja , Gereja Notre Dame Cathedral. Gereja pertama adalah Gereja Amiens Cathedral, Perancis. Didirikan pada abad III oleh St. Firmin. Merupakan gereja terbesar dan tertinggi di Perancis.

Gambar 2.61 Nave pada Gereja Amiens Cathedral Sumber : www.sacred-destinations.com/france/amiens-cathedral

Gambar 2.62 Plafon pada transept Gereja Amiens Cathedral Sumber : www.sacred-destinations.com/france/amiens-cathedral

54 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.63 Dekoratif pada Gereja Amiens Cathedral Sumber : www.sacred-destinations.com/france/amiens-cathedral

Gereja kedua adalah Gereja Rheims Cathedral yang merupakan anggota tiga serangkai terkemuka "High Gothic" atau "klasik" katedral Prancis dibangun pada abad ke XIII.

Gambar 2.64 Nave pada Gereja Rheims Cathedral Sumber : www.sacred-destinations.com/france/reims-cathedral

Gambar 2.65 Dekoratif pada Gereja Rheims Cathedral Sumber : www.sacred-destinations.com/france/reims-cathedral

55 Universitas Kristen Petra Gereja ketiga bernama . Terletak di kota pertengahan Chartres, sekitar 50 kilometer dari Paris.

Gambar 2.66 Nave pada Gereja Chartres Cathedral Sumber : www.sacred-destinations.com/france/chartres-cathedral

Gambar 2.67 Dekoratif pada Gereja Chartres Cathedral Sumber : www.sacred-destinations.com/france/chartres-cathedral

Dari pengamatan secara visual, dapat ditarik kesimpulan akan warna- warna yang digunakan pada Gereja Gothic pada umumnya, yaitu :

Tabel 2.3 Perbandingan Warna pada Gereja St. Amiens Cathedral, St. Rheims Cathedral, dan St. Chartres Cathedral Warna St. Amiens St. Rheims Cathedral St. Chartres Cathedral Cathedral Lantai : Keramik : hitam, Batu : abu-abu, dan Batu : cokelat dan putih cokelat Dinding : Batu : abu-abu Batu : putih abu-abu Batu : abu-abu Plafon : Cat : krem Batu : abu-abu -

56 Universitas Kristen Petra Kolom : Batu : abu-abu Batu : abu-abu Batu : abu-abu Dekoratif: Patung : abu-abu Ukiran : cokelat (kayu) Patung : emas (batu) Patung : abu-abu (batu) (perunggu) Kaca mosaik : Kaca mosaik : merah, Kaca mosaik : merah, kuning, kuning, hijau, biru merah, kuning, hijau, hijau, biru biru Perabot : Cokelat (kayu) Cokelat (kayu) Cokelat (kayu) Pencahayaan: Jendela : kaca Jendela : kaca mosaik. Jendela : kaca mosaik. mosaik. Lampu : warna kuning

Setelah dianalisa dari tabel diatas, dapat ditarik kesimpulan akan warna- warna dominan yang digunakan pada Gereja Gothic, yaitu : 1. Elemen pembentuk interior :  Lantai : hitam, abu-abu, putih, cokelat  Dinding : abu-abu (batu)  Plafon : krem (cat), abu-abu (batu)  Kolom : abu-abu (batu) 2. Elemen Dekoratif :  Patung : abu-abu (batu), perunggu (emas)  Kaca mosaik : merah, biru, hijau, kuning  Ukiran : cokelat (kayu) 3. Perabot : cokelat (kayu) 4. Cahaya : Kuning.

2.4.4 Gaya Baroque Kata "Baroque" merupakan adaptasi dari kata sifat dalam bahasa Perancis yang diambil dari kata benda bahasa Portugis, "barroco". Baroque merupakan suatu periode seni serta seni yang mendominasinya. Seperti makna katanya, tidak beraturan atau menyimpang, karya-karya seni pada era ini memang tampak lebih bebas, pahatan dan lukisan yang mewah juga kaya akan cahaya dan warna, lalu gerakan yang lebih hidup pada seni patung seperti pada

57 Universitas Kristen Petra karya-karya Michelangelo. Gaya Baroque menggunakan gerak yang dilebih- lebihkan juga detail yang jelas dan mudah ditafsirkan untuk menghasilkan drama, ketegangan, semangat yang hidup dan keagungan dalam seni patung, lukisan, sastra dan musik (http://bluclai.blogspot.com/2009/07/baroque.html). Gaya Baroque merupakan bagian akhir dari gaya Renaissance di Perancis (Pile 116). Gaya Baroque ini merupakan gaya yang menolak pemakaian aturan-aturan gaya klasik. Sehingga para seniman berkreasi secara bebas sehingga terlihat lebih eksentrik dan dengan bentukan-bentukan extravaganza. Hal baru yang terjadi pada gaya Baroque ini adalah bersatunya para seniman. Dengan menggunakan teknik-teknik yang brilian, para seniman baik di bidang lukis, pahat, dan arsitek bersatu dan menggabungkan ilmu mereka, baik dalam dunia nyata maupun ilusi (http://repository.binus.ac.id/content/U0072/U007244845.ppt). Baroque dibagi menjadi 3 bagian penting, yaitu :  Baroque awal (1590-1625)  Puncak Baroque (1625-1660)  Akhir Baroque (1660-1725) (http://repository.binus.ac.id/content/U0072/U007244845.ppt)

2.4.4.1 Gambaran Umum Gaya Baroque Gaya desain pada interior gereja Baroque lebih mencerminkan drama dan emosi semangat, karena banyaknya penggunaan lukisan dan ukiran yang dinamis di elemen pembentuk ruangnya (Harwood 322). Tema dasarnya adalah bangunan yang memusat pada mahkota kubah yang digabung dengan bangunan memanjang. Selain itu juga mempunyai skema denah yang bisa dibagi menjadi 3 bagian, yaitu gerbang, jalan, dan tujuan yang secara arsitektural dijabarkan menjadi fasade (wajah bangunan), ruang tengah dan kubah berelung (Boediono 121-122). Pada zaman Renaissance, memisah-misahkan tiang bangunan menjadi suatu bagian yang tertutup. Sebaliknya pada zaman Baroque, menyatukan tiang- tiang tersebut menjadi satu kesatuan yang besar dan menjadi bagian dari keseluruhan bangunan. Tiap perkembangan Baroque mempunyai ciri khas masing-masing. Menurut Boediono (127), pada zaman Baroque awal mempunyai bangunan

58 Universitas Kristen Petra memanjang dan memusat, yang diberi kubah lebih tinggi. Mempunyai skema dengan serambi depan yang memanjang, serambi tengah yang melebar dengan adanya kubah pada bagian tengahnya. Fasade pada bangunan memperlihatkan garis-garis siluet. Hiasan melengkung (volute) yang terletak di atas lisplank berprofil dan di atas atap miring serambi samping. Gaya Baroque masa puncak ditandai dengan susunan yang berirama. Bidang-bidang mendatar dan vertikal serta bagian-bagian bangunan yang berornamen dan yang polos, menciptakan ketegangan yang harmonis (Boediono 127). Pada akhir gaya Baroque, ritme bangunan tampak jelas pada pengembangan fasadenya. Skema denah gabungan bangunan memanjang dan bangunan memusat tampak semakin menyatu dan menjadi suatu bentuk baru, yaitu oval memanjang. Perkembangan ini juga mempengaruhi bagian ruang dalam gereja (Boediono 129).

2.4.4.2 Elemen Pembentuk Ruang Bentuk denah dari gaya Baroque mengambil bentuk dasar dari bentuk salib Yunani yang mempunyai sisi sama panjang. Terdapat kubah pada bagian tengah bangunan. Dasar pada kubah tersebut berbentuk cincin yang ditopang oleh tiang-tiang yang terletak pada garis-garis keliling lingkaran kubah tersebut (Boediono 124).

Gambar 2.68 Denah Gaya Baroque Sumber : Boediono (1997, p. 124)

59 Universitas Kristen Petra Pada interiornya, terutama pada dinding dan plafonnya dipenuhi oleh bentukan ukiran berupa lis tebal yang meliuk-liuk membentuk semacam bingkai cermin. Biasanya didalam bingkai lis tersebut dipenuhi oleh lukisan.

Gambar 2.69 Dinding dan Plafon Gereja Gaya Baroque Sumber : www.stiftmelk.at/englisch/pages_melk/abbeychurch.html

Lantainya menggunakan bahan marmer, keramik, dan batu. Plafonnya menggunakan bahan gypsum, karena bagian plafonnya sering digunakan sebagai media lukisan (Harwood 339). Sedangkan menurut Pile (107), lantai biasanya menggunakan kayu parket yang disusun dengan pola, selain kayu parket juga menggunakan marmer atau keramik, yang biasanya disusun dengan pola yang menggabungkan beberapa macam warna. Terkadang karpet juga digunakan untuk menampilkan kesan kemewahan (Pile 107). Pada bagian pintunya menggunakan jenis dua daun pintu yang permukaannya dipenuhi oleh ukiran khas Baroque dan ukiran panel. Menurut Norberg, karakteristik gaya Baroque yaitu :  Centralization  Bentuk dinamis, banyak menggunakan bentuk melingkar  Clear path and places (memiliki peletakan dan jalur yang jelas)  Penggunakan teknik pencahayaan yang dramatik, seperti pencahayaan “chiaroschuro” yaitu penggunaan kontras gelap terang cahaya  Penggunaan ornamen dengan konsep “imitation of nature”  Memiliki hierarki yang jelas

60 Universitas Kristen Petra 2.4.4.3 Perabot Perabot pada gaya Baroque tidak berbeda dengan perabot gaya Renaissance. Namun perabot pada gaya Baroque menunjukan kekayaan dan kekuasaan. Perabot Baroque cenderung berukuran besar dan didominasi oleh bentuk yang gendut dan menonjol (Pile 106). Selain itu juga bentuk-bentuk perabotnya melengkung dengan permukaan yang dihiasi dengan ukiran atau cat (Pile 107). Pada perabot kursi gaya Baroque sering menggunakan bentuk Cabriole Legs pada kaki kursinya. Bentuk Cabriole Legs nya sangat tebal. Menurut Mary Jo Weale (229), karakteristik mebel Baroque adalah sebagai berikut : a. Menonjolkan garis-garis lurus dengan beberapa lengkung-lengkung dan struktur persegi yang simetris. b. Monumental, dengan bentuk-bentuk klasik yang masif dan dilebih-lebihkan. c. Menonjolkan underbracing (penguatan bagian bawah) dan konstruksi yang solid sampai struktur dihilangkan pada periode ini d. Menonjolkan ukiran dan boulle marquetry serta gilding (penyepuhan) dan parcel gilding (gilding yang diterapkan pada bagian ornamentasi) dan lapisan perak dan emas, lacquer dan pengecatan.

Gambar 2.70 Kursi Gaya Baroque Sumber : Boediono (1997, p. 175)

2.4.4.4 Elemen Dekoratif Ciri khas ukiran bentuk Baroque yang sering digunakan sebagai dekoratif pada interior dan perabotannya adalah kulit kerang, suluran melengkung, bunga- bunga, patung, ukiran wajah orang (sunface), ceruk ukiran (niches) dan gabungan

61 Universitas Kristen Petra beberapa kerang bentuk “C” (cartouches) (Harwood 324). Menurut Pile (107), ornamen yang sering diterapkan adalah terbuat dari timah, perak, perunggu, atau emas.

Gambar 2.71 Macam Ornamen Baroque Awal Sumber : Boediono (1997, p. 133-134)

Gambar 2.72 Macam-macam Oranamen Gaya Baroque Sumber : Boediono (1997, p. 160,162)

Di dalam The New Book of Knowledge Grolier Incorporated (509), mebel Baroque ditandai oleh kekayaan dekorasi dan bentuk-bentuk proyeksi yang memberi kesan bergerak dan dramatis. Ukiran merupakan teknik dekoratif yang penting, karya diperkuat dengan hiasan ukiran yang terpahat dalam. Lapisan dan pahatan yang kaya juga digunakan untuk menghias mebel. Material pada ukirannya adalah menggunakan bahan dari kayu atau semen (Harwood 337). Warna pada interiornya sangat kaya warna sebab interiornya sangat kaya warna sebab interiornya dipenuhi dengan lukisan ilusi, sehingga memberikan kesan yang kontras. Semua ukiran yang terdapat pada pintu Gaya Baroque menggunakan warna emas.

62 Universitas Kristen Petra 2.4.4.5 Warna Melalui pengamatan secara visual akan warna-warna yang sering digunakan pada interior Gereja Baroque. Gereja-gereja yang digunakan adalah Gereja Melk Abbey, Gereja St. Nicholas Cathedral. Gereja pertama adalah Melk Abbey. Gereja ini didirikan pada tahun 1089 ketika Leopold II, Margrave Austria memberikan salah satu benteng untuk biarawan Benediktin dari Lambach Abbey.

Gambar 2.73 Nave pada Gereja Melk Abbey Sumber : www.stiftmelk.at/englisch/pages_melk/abbeychurch.html

Gambar 2.74 Kursi dan Dekorasi pada Nave Gereja Melk Abbey Sumber : www.stiftmelk.at/englisch/pages_melk/abbeychurch.html

63 Universitas Kristen Petra Gereja kedua adalah Gereja St. Nicholas Chatedral. Gereja yang dibangun antara 1703 dan 1752 di Ibukota Slovenia.

Gambar 2.75 Altar pada Gereja St. Nicholas Cathedral Sumber : blog.adampaul.com/2010/01/19/prague-part-11-mala-strana-st-nicholas- cathedral-chram-sv-mikulase/

Gambar 2.76 Plafon pada Gereja St. Nicholas Cathedral Sumber : blog.adampaul.com/2010/01/19/prague-part-11-mala-strana-st-nicholas- cathedral-chram-sv-mikulase/

64 Universitas Kristen Petra Dari pengamatan secara visual, dapat ditarik kesimpulan akan warna- warna yang digunakan pada Gereja Baroque pada umumnya, yaitu :

Tabel 2.4 Perbandingan Warna pada Gereja Melk Abbey dan St. Nicholas Cathedral Warna Melk Abbey St. Nicholas Cathedral Lantai : Cokelat tua, krem - Dinding : Marmer : cokelat muda dan Cokelat dan putih cokelat tua Plafon : Berwarna-warni Berwarna-warni Kolom : Marmer : cokelat tua dan Marmer : abu-abu cokelat muda Dekoratif: Ukiran : emas Ukiran : emas Patung : emas Patung : marmer putih-abu, Lukisan : berwarna-warni emas Lukisan : berwarna-warni Perabot : Cokelat (kayu) Cokelat (kayu)

Setelah dianalisa dari tabel diatas, dapat ditarik kesimpulan akan warna- warna dominan yang digunakan pada Gereja Baroque, yaitu : 1. Elemen pembentuk interior :  Lantai : cokelat tua, krem  Dinding : putih, cokelat tua, cokelat muda  Plafon : berwarna-warni (lukisan)  Kolom : cokelat tua, cokelat muda, dan abu-abu (marmer) 2. Elemen Dekoratif :  Patung : putih-abu (marmer), emas  Lukisan : berwarna-warni  Ukiran : emas 3. Perabot : cokelat (kayu)

65 Universitas Kristen Petra 2.4.5 Gaya Rococo Gaya Rococo mulai eksis pada saat gaya Baroque mulai menurun pada tahun 1760. Padahal gaya ini telah muncul sejak tahun 1701 dan mulai berkembang di Perancis sekitar tahun 1720 (Ensiklopedi Nasional Indonesia 279). Menurut Harwood, gaya ini merupakan gaya transisi dari gaya Baroque yang disebut Le Regence (Frech Regency). Dapat dikatakan bahwa gaya Rococo mengulangi bentuk ukiran dari gaya Baroque, tetapi telah mengalami penyederhanaan bentuk dari gaya Baroque, sehingga keseluruhan ukiran Gaya Rococo sangat mirip dengan gaya Baroque. Rococo adalah variasi dari Gaya Baroque, dan pada dasarnya gaya dekoratif berubah-ubah, rumit dan hiasan bentuk. Gaya Rococo, di sisi lain, adalah lebih ringan dan lebih anggun daripada gaya Baroque (http://www.suite101.com/article.cfm/design_styles_retired/51089). . 2.4.5.1 Gambaran Umum Gaya Rococo Menurut Harwood (1999) gaya interior pada gaya Rococo didominasi oleh bentukan seni dekoratif yang berbentuk asimetris dan ornamen organik. Seni dekoratif yang digunakan banyak menggunakan unsur alam. Bentukan-bentukan tersebuat antara lain : bentukan sulur melengkung, daun-daunan, bunga yang dikombinasikan dengan kerang, sehingga memberikan kesan naturalistik, ornamentasi curvilinier. Ruang interiornya kaya akan warna dan cerah, karena nuansa yang ingin ditampilkan adalah keberanian, roman, kegembiraan, dan eksotis. Interior dan perabotan adalah ekspresi utama dari gaya Rococo, karena interior pada gaya ini lebih menekankan arti dari nilai seni dekoratifnya yang direfleksikan dalam bentuk ukiran dan lukisan yang digunakan pada interior dan perabot Rococo itu sendiri.

2.4.5.2 Elemen Pembentuk Ruang Sebenarnya bentuk bangunan dari Gaya Rococo ini sama dengan Gaya Baroque. Namun hanya susunannya yang berbeda, dari susunan simetris menjadi asimetris. Demikian juga dari warna, gaya ini menggunakan warna-warna yang lebih cerah, lebih beragam, dan meriah dibandingkan dengan Gaya Baroque (Boediono 176) .

66 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.77 Interior Gereja Gaya Rococo Sumber : commons.wikimedia.org/wiki/File:Hl_Josef_Gro%C3%9Fdorf_9.JPG

Menurut Harwood (391), pada bagian dinding banyak menggunakan hiasan berupa paneling kayu yang berbentuk kurva. Penggunaan kolom serta pilaster mulai dihilangkan dan ukuran kornis maupun lis mulai berkurang. Sedangkan pada plafon terdapat perubahan pada ukuran kornis atau lis, ukurannya lebih tipis dibandingkan Gaya Baroque. Sedangkan pada pintu dan jendela berbentuk kurva. Ornamen banyak menggunakan bentuk daun-daun, sulur melengkung, namun mempunyai bentuk yang lebih ramping dibanding Gaya Baroque.

2.4.5.3 Perabot Bentukan perabot gaya Rococo mengkombinasikan elemen gaya Baroque dan Gaya Rococo, seperti bentuk High Rectangular Backs pada bagian badannya dan Cabriole Legs pada bagian bentuk kakinya (Harwood 388). Menurut Mary Jo Weale (235), karakteristik mebel gaya Rococo, yaitu : a. Mebel terlihat feminim dan kelihatan anggun b. Penekanan ditempatkan pada garis-garis lengkung, khususnya untuk kaki c. Pada kaki cobriole tidak mempunyai stretcher d. Mebel pada umumnya kecil, ringan, dan mudah dipindah-pindahkan

67 Universitas Kristen Petra e. Kayu yang digunakan adalah walnut, mahoni, dan fruit wood demikian juga menggunakan rotan, rush, dan jerami. f. Menggunakan kain upholstery pastel g. Ornamentasi yang meriah yaitu menggunakan ukiran, lapisan, ormolu, pengecatan, polychrome dan gilding (penyepuhan) h. Motif-motif ornamen meliputi lengkung-lengkung terputus asimetris, bunga, scroll terpuntir, kerang, kera, instrumen-instrumen musik (biola, terompet, tamborin), simbol-simbol cinta (cupido dengan busur), quiver (tempat panah), dan panah hati yang menyala, karangan bunga, tropi (susunan dekoratif simbol- simbol perang), bunga dan binatang

Gambar 2.78 Kursi Gaya Rococo Sumber : Boediono (1997, p. 181)

2.4.5.4 Elemen Dekoratif Hiasan khas Rococo yang istimewa adalah usaha untuk memasukkan karakter taman ke dalam perancangan interiornya. Terutama langit-langitnya yang diberi lukisan yang menggambarkan keadaan alam di Taman Firdaus (Boediono 176). Puncak dari masa Rococo ditandai dengan hiasan ornamen yang bermotif kerang atau yang disebut Rocaille (kerang), kerang berbentuk “C” yang disebut C- Rocaille yang biasa disebut Cartouche. Bentukan kerang yang dikombinasikan dengan tumbuh-tumbuhan telah menjadi ciri khas gaya Rococo (Boediono 176).

68 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.79 Ornamen Kerang Bentuk “C” (C-Rocaille) Sumber : Boediono (1997, p. 194)

Gambar 2.80 Motif Ornamen pada Plafon Gaya Rococo Sumber : Boediono (1997, p. 198-199)

2.4.5.5 Warna Melalui pengamatan secara visual akan warna-warna yang sering digunakan pada interior Gereja Rococo. Gereja-gereja yang digunakan adalah Gereja St. Joshep, Gereja Wieskirche. Gereja pertama adalah St. Joshep, dibangun pada tahun 1666 selama masa pemerintahan Raja Narai, setelah permintaan dari Vietnam misionaris yang dipimpin oleh Uskup Perancis Lambert de la Motte.

69 Universitas Kristen Petra

Gambar 2.81 Nave dan Altar pada Gereja St. Joshep Sumber : commons.wikimedia.org/wiki/File:Hl_Josef_Gro%C3%9Fdorf_9.JPG

Gereja kedua adalah Gereja Wieskirche yang dirancang pada akhir 1740s oleh Dominikus Zimmermann. Gereja ini terletak di kaki bukit Alpen, Jerman.

Gambar 2.82 Nave pada Gereja Wieskirche Sumber : www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=584411&page=240

Dari pengamatan secara visual, dapat ditarik kesimpulan akan warna- warna yang digunakan pada Gereja Rococo pada umumnya, yaitu :

Tabel 2.5 Perbandingan Warna pada Gereja St. Joshep dan Gereja Wieskirche Warna St. Joshep Gereja Wieskirche Lantai : Hitam, abu-abu, krem - Dinding : Krem muda Putih

70 Universitas Kristen Petra Plafon : Warna dasar : putih dengan Warna dasar : putih dengan dekorasi lukisan dekorasi lukisan Kolom : Marmer : cokelat Putih dan cokelat muda Dekoratif: Ukiran : emas Ukiran : emas Patung : emas Patung : emas Lukisan : berwarna-warni Lukisan : berwarna-warni Perabot : Cokelat (kayu) Cokelat (kayu)

Setelah dianalisa dari tabel diatas, dapat ditarik kesimpulan akan warna- warna dominan yang digunakan pada Gereja Rococo, yaitu : 1. Elemen pembentuk interior :  Lantai : hitam, abu-abu, krem  Dinding : putih, krem muda  Plafon : berwarna-warni (lukisan)  Kolom : cokelat tua (marmer), cokelat muda, dan putih 2. Elemen Dekoratif :  Patung : emas  Lukisan : berwarna-warni  Ukiran : emas 3. Perabot : cokelat (kayu)

71 Universitas Kristen Petra