Karawitan Kreasi Pepanggulan Lingga Prabawa I Made Putra Sanjaya NIM

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Karawitan Kreasi Pepanggulan Lingga Prabawa I Made Putra Sanjaya NIM Karawitan Kreasi Pepanggulan Lingga Prabawa I Made Putra Sanjaya NIM. 201302047 INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR Alamat: Jalan Nusa Indah Denpasar, Telp: (0361) 227316, Fax: (0361) 236100 e-mail: [email protected] ABSTRAK Perjalanan tentang kisah kehidupan dengan berbagai keragaman serta warna dan filsafat rwa bhineda yang mewarnai cerita kehidupan, tentang pahit manisnya proses yang dialami dan hanya terlewatkan oleh ruang dan waktu, member inspirasi bagi penata untuk menuangkannya dalam tabuh kreas ipepanggulan dengan judul LINGGA PRABAWA. Penata mencoba mentransformasikan kisah ini kedalam komposisi musik Tabuh Kreasi Pepanggulan dengan menggunakan gamelan angklung dengan pengolahan melodi empat nada serta jalinan kotekan, irama yang padu dan selipan gending-gending sekar rare yang mengingatkan pada masa kanak-kanak yang indah dan penuh kenangan. Kata kunci : Lingga prabawa, tabuh kreasi, rwa bhineda ABSTRAK The journey of the life story with the diversity and colors and philosophy of rwa bhineda that colored the life story, the bitter sweetness of the process experienced and only missed by space and time, inspired the stylist to pour it in the tabuh kreas ipepanggulan with title LINGGA PRABAWA. The stylists try to transform this story into the composition of Tabuh Kreasi Pepanggulan music by using angklung gamelan with four-tone melodic processing and bundles of kotekan, a unified rhythm and inserts of sekare rare gending reminiscent of beautiful and memorable childhood. Keywords: Linga prabawa, percussion creations, rwa bhineda PENDAHULUAN Dalam proses kehidupan setiap orang tentu mengalami situasi dan kondisi yang berbeda satu sama lainnya yang sering kita kenal dengan pahit manisnya suatu kehidupan (rwa bineda). Siklus yang terjadi seiring waktu terkadang memberi pengaruh yang besar bagi seseorang. Rasa senang, cemas, prihatin, bahagia, atau sedih akan selalu mewarnai kehidupan. Sebuah pengalaman sangatlah berharga dalam menapaki kehidupan yang lebih baik. Dalam mengisi hari- hari dalam kehidupan sudah pasti kita harus bersyukur karena sudah diberi keselamatan oleh Tuhan dan diciptakan sebagai mahluk yang paling sempurna di alam ini. Tidak perlu mengeluh dan tetap mensyukuri hidup ini serta berusaha mencapai tujuan hidup, bagaikan matahari yang tidak mengenal lelah terbit di ufuk timur dan tenggelam di barat menyinari alam semesta tanpa memandang ruang dan waktu. Tujuan hidup seseorang dalam kehidupan ini tentu diketahui dengan jelas sesuai dengan cita-citanya. Cita- cita merupakan sesuatu yang mulia yang harus digapai sesuai tahapan serta rintangan yang menghadangnya. Kebanggaan dan kepuasan serta prestise akan dirasakan ketika dapat melewati rintangan tersebut. Tahapan kehidupan yang mesti dilewati memberikan arti dalam mencapai sebuah kesuksesan dan sebagai cermin dan ukuran dalam menuju tahapan hidup selanjutnya. Tahapan-tahapan dari masa anak-anak, remaja, dewasa dan selanjutnya selalu mempunyai tujuan sesuai dengan masanya. Setiap tahapan kehidupan hendaknya dipahami dan diterima sebagai karunia dari Tuhan yang merupakan sumber segala sesuatu atau segala sesuatu bersumber dari Tuhan (everything emanates from God). Dalam karya ini, penata ingin menuangkan perjalanan hidup yang harus dilalui ke dalam garapan yang berjudul “Lingga Prabawa” sebagai bentuk ekspresi dari nilai keyakinan penata bahwa segala yang dilalui, semuanya berasal dari Tuhan, seperti disebutkan dalam Bhagavad Gita : Aham sarvasya prabhavo mattah sarvam pravartate yang artinya Tuhan adalah sumber dunia rohani dan material, segala sesuatu berasal dari Tuhan (Prabhupada, 2006: 456). Kisah kehidupan ini menginspirasi penata untuk menciptakan sebuah komposisi musik utuh kreasi pepanggulan dengan judul“Lingga Prabawa”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata lingga berarti batu berbentuk tiang yang dijadikan tugu peringatan dan juga berarti tanda kelaki-lakian Dewa Siwa yang melambangkan kesuburan, sedangkan kata prabawa berasal dari bahasa Sansekerta memiliki pengertian makna kekuatan, tenaga yang luar biasa atau pengaruh the source / the origin (sumber/asal) (Spokensanskrit Dictionary) (Van Zoest,1996:VII). Sehubungan dengan makna tersebut di atas, Lingga Prabawa yang dimaksud adalah Siwa sebagai sumber atau asal segala sesuatu dalam hidup ini. Dengan demikian, penata secara sederhana mengartikan perasaan seseorang ketika dapat mencapai tujuan yang hendak dicapai dalam hidup dengan meyakini Tuhan, dalam hal ini Siwa yang disebut sebagai Lingga, adalah sumber segala kekuatan, kebahagiaan, dan segala sesuatunya, yang dituangkan ke dalam gamelan Angklung sebagai media ungkap karya yang akan dipersembahkan untuk mewujudkan konsep keseimbangan dalam kehidupan yang damai dan sejahtera. Ide Garapan Ide garapan adalah sebuah hal yang paling awal dari suatu proses penciptaan. Bagi seorang penggarap, ide garapan merupakan gagasan pikiran yang ingin disampaikan lewat hasil karyanya. Gagasan bisa berupa cita- cita, imajinasi, interpretasi sampai dengan desain awal dari sebuah hasil karya atau pengungkapan atau penyajian kesenian. Berdasarkan pengalaman penata sebagai seorang komponis, untuk mendapatkan sebuah ide terkadang muncul dengan sendirinya secara tiba-tiba, namun terkadang juga harus mencarinya dengan beberapa aktivitas seperti membaca, menonton, mendengar, ataupun merenungi kembali pengalaman yang pernah dialaminya. Ide merupakan sebuah rancangan pemikiran dalam menciptakan sebuah karya seni. Dalam karya “Lingga Prabawa” ini, penata ingin mengambil inspirasi dari kehidupan manusia yang berjuang dalam menjalani hidup di dunia material ini. Karena dalam kehidupan dunia material, kecendrungan manusia untuk dipengaruhi tiga sifat alam material sehingga bertindak di luar aturan hukum alam material. Apabila mahkluk hidup mengadakan hubungan dengan ciptaan material, maka cinta kasih yang kekal dalam hatinya terhadap Tuhan diubah menjadi hawa nafsu (Prabhupada, 2006 : 201). Untuk mencapai keseimbangan dalam hidup ini, manusia sudah seharusnya meningkatkan bakti kepada Tuhan yang merupakan sumber segala sesuatu. Penjelasan ini dikemas ke dalam bentuk komposisi karawitan dan tergolong sebuah karya komposisi yang cenderung menggali ide-ide atau gagasan. Komposisi karawitan ini memakai seperangkat gamelan Angklung sebagai media ungkap yang diwujudkan ke dalam sebuah kreasi pepanggulan dengan memperhatikan dan memanfaatkan unsur-unsur yang ada. Namun, komposisi karawitan ini masih tetap mempertahankan pola- pola tradisi yang ada dengan penonjolan dan pengembangan musik secara sederhana melalui pengolahan melodi, permainan tempo, pengembangan pola hitungan dan pola ritme sehingga menjadi sebuah karya karawitan yang utuh dan mempunyai nuansa sederhana. Penata memakai gamelan Angklung karena didalam berkreativitas itu seniman bebas menggunakan media gamelan apa saja, di sisi lain tuntutan lembaga pendidikan justru menuntut berkreativitas yang seluas- luasnya, juga di Banjar penata memang adanya gamelan Angklung, sehingga penata tidak mempersulit diri didalam persiapan ujian dan sekaligus memberikan pelajaran bagi masyarakat kami khususnya dan masyarakat secara umum yang memiliki gamelan Angklung, yang secara eksistensi gamelan Angklung itu adalah gamelan yang pada umumnya digunakan pada saat ada kematian atau Upacara Pitra Yadnya. Kembali penata tegaskan kenapa menggunakan Angklung, untuk dapat mempermudah persiapan dalam rangka Ujian Tugas Akhir dan memang tidak harus mutlak menggunakan alat musik tertentu dan lembaga pendidikan memang menuntut kreativitas yang seluas-luasnya. Adapun beberapa instrumen yang digunakan dari gamelan Angklung berlaras slendro empat nada diantaranya adalah sebagai berikut. Sepasang kendang cedugan lanang wadon 6 tungguh pemade 6 tungguh kantilan 2 tungguh jegogan 2 tungguh reong 4 suling kecil 1 pasang gong lanang wadon 1 tungguh bende 1 tungguh kempli 1 tungguh kajar 1 pangkon cengceng ricik Tujuan Garapan Pada dasarnya, setiap kegiatan menggarap ataupun mencipta yang dilakukan pasti memiliki tujuan. Begitu pula halnya dengan penggarapan karya seni ini dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. 1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penggarapan karya ini adalah sebagai berikut. a. Sebagai salah satu syarat untuk menempuh gelar Sarjana Seni (S1) pada Jurusan Seni Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar. b. Untuk mengembangkan kreativitas teknik permainan melodi, tempo, ritme, dinamika di dalam mendukung garapan komposisi sehingga terkesan utuh. c. Untuk menghasilkan sebuah garapan komposisi karawitan tabuh kreasi pepanggulan yang sederhana serta layak disajikan untuk tugas akhir. d. Dengan adanya karya ini, nantinya diharapkan dapat memberikan motivasi bagi seniman dalam berkarya. e. Menambah pembendaharaan hasil karya seniman khususnya Karawitan Kreasi pepanggulan. 2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penggarapan karya ini adalah sebagai berikut. a. Untuk mewujudkan garapan Lingga Prabawa dengan media ungkap gamelan Angklung yang dikemas dalam bentuk kreasi pepanggulan. b. Untuk memasukkan kejadian-kejadian kehidupan dalam sebuah musik dengan menggunakan gamelan angklung. Manfaat Garapan Manfaat yang dapat diperoleh dai penyusunan komposisi Karawitan Tabuh Kreasi Pepanggulan Lingga Prabawa ini adalah sebagai berikut. a. Sebagai wahana untuk mengukur daya kreativitas penata dalam sebuah karya komposisi musik. b. Mendapatkan pengetahuan yang baru tentang cara-cara menuangkan ide ke dalam sebuah garapan komposisi tabuh kreasi pepanggulan dan menambah pengalaman penata dalam menggarap
Recommended publications
  • Perkembangan Gender Wayang Kayumas Oleh
    Perkembangan Gender Wayang Kayumas Oleh : Ni Ketut Suryatini, SSKar., M.Sn dan Ni Putu Tisna Andayani, SS Perkembangan Variasi, Komposisi Gender Wayang sebagai kesenian yang tetap eksis di masyarakat karena keterkaitannya dengan upacara agama, akhir-akhir ini mendapat pula sentuhan variasi dari para seniman pendukungnya terutama dari seniman akademis dan generasi muda. Pemberian variasi sifatnya sah-sah saja sepanjang tidak meninggalkan unsur-unsur musikal nilai estetika dan etika. Sejarah Gender Wayang pada abad ini mengarah pada persimpangan jalan yang diwarnai dengan adanya saling mempengaruhi dengan gamelan-gamelan lain, termasuk gong kebyar, yang menonjol pertama sebagai musik instrumental untuk gong di Bali Utara pada tahun 1914 dan kemudian dikembangkan sebagai iringan tari. Setelah gong baru itu mulai berkobar di Bali Selatan (Sekehe gong di Pangkung Tabanan, Belahan Denpasar, Peliatan Gianyar), komposisi- komposisi baru untuk pelegongan dan semar pagulingan dari Kuta juga mulai diserap oleh gong kebyar, yang sampai saat itu mendapat pengaruh dalam perkembangannya berdasarkan tradisi gong sebagai titik tolak. Wayang Lotring adalah seorang tokoh dalam pelegongan dan gender wayang yang pernah belajar tradisi-tradisi gender yang lain disamping dari desanya sendiri, termasuk di Kayumas Kaja Denpasar dan Sukawati, dan latar belakang tersebut merupakan sebuah harta karun dalam karya-karya baru dari imajinasinya. Dalam penggalian tradisi gender dia mentransfer gending Sekar Gendot dengan penyesuaian, perubahan dan penambahan ke pelegongan. Proses peminjaman dan transformasi itu dari gender ke gong kebyar juga dilakukan di Jagaraga termasuk bentuk gineman sehingga dikembangkan suatu urutan tertentu dalam kebyar : kebyar, gineman, gegenderan dan bagian-bagian berikutnya seperti gilak, bapang dan playon dalam berbagai kombinasi. Inspirasi dari gender dalam kebyar dan perkembangan saih pitu pada masa ini masih berjalan; sebuah kutipan dari ”Pemungkah” gaya Kayumas bagian lainnya seperti ”Tulang Lindung”, telah muncul juga dalam kreasi gong.
    [Show full text]
  • University of Oklahoma Graduate College
    UNIVERSITY OF OKLAHOMA GRADUATE COLLEGE JAVANESE WAYANG KULIT PERFORMED IN THE CLASSIC PALACE STYLE: AN ANALYSIS OF RAMA’S CROWN AS TOLD BY KI PURBO ASMORO A THESIS SUBMITTED TO THE GRADUATE FACULTY in partial fulfillment of the requirements for the Degree of MASTER OF MUSIC By GUAN YU, LAM Norman, Oklahoma 2016 JAVANESE WAYANG KULIT PERFORMED IN THE CLASSIC PALACE STYLE: AN ANALYSIS OF RAMA’S CROWN AS TOLD BY KI PURBO ASMORO A THESIS APPROVED FOR THE SCHOOL OF MUSIC BY ______________________________ Dr. Paula Conlon, Chair ______________________________ Dr. Eugene Enrico ______________________________ Dr. Marvin Lamb © Copyright by GUAN YU, LAM 2016 All Rights Reserved. Acknowledgements I would like to take this opportunity to thank the members of my committee: Dr. Paula Conlon, Dr. Eugene Enrico, and Dr. Marvin Lamb for their guidance and suggestions in the preparation of this thesis. I would especially like to thank Dr. Paula Conlon, who served as chair of the committee, for the many hours of reading, editing, and encouragement. I would also like to thank Wong Fei Yang, Thow Xin Wei, and Agustinus Handi for selflessly sharing their knowledge and helping to guide me as I prepared this thesis. Finally, I would like to thank my family and friends for their continued support throughout this process. iv Table of Contents Acknowledgements ......................................................................................................... iv List of Figures ...............................................................................................................
    [Show full text]
  • Adapting and Applying Central Javanese Gamelan Music Theory in Electroacoustic Composition and Performance
    Middlesex University Research Repository An open access repository of Middlesex University research http://eprints.mdx.ac.uk Matthews, Charles Michael (2014) Adapting and applying central Javanese gamelan music theory in electroacoustic composition and performance. PhD thesis, Middlesex University. [Thesis] Final accepted version (with author’s formatting) This version is available at: https://eprints.mdx.ac.uk/14415/ Copyright: Middlesex University Research Repository makes the University’s research available electronically. Copyright and moral rights to this work are retained by the author and/or other copyright owners unless otherwise stated. The work is supplied on the understanding that any use for commercial gain is strictly forbidden. A copy may be downloaded for personal, non-commercial, research or study without prior permission and without charge. Works, including theses and research projects, may not be reproduced in any format or medium, or extensive quotations taken from them, or their content changed in any way, without first obtaining permission in writing from the copyright holder(s). They may not be sold or exploited commercially in any format or medium without the prior written permission of the copyright holder(s). Full bibliographic details must be given when referring to, or quoting from full items including the author’s name, the title of the work, publication details where relevant (place, publisher, date), pag- ination, and for theses or dissertations the awarding institution, the degree type awarded, and the date of the award. If you believe that any material held in the repository infringes copyright law, please contact the Repository Team at Middlesex University via the following email address: [email protected] The item will be removed from the repository while any claim is being investigated.
    [Show full text]
  • I KONSEP KENDANGAN PEMATUT KARAWITAN JAWA GAYA
    View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE provided by Institut Seni Indonesia Surakarta KONSEP KENDANGAN PEMATUT KARAWITAN JAWA GAYA SURAKARTA TESIS Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat sarjana S2 Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Minat Studi Pengkajian Musik Nusantara diajukan oleh: Sigit Setiawan 439/S2/K2/2010 Kepada PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT SENI INDONESIA (ISI) SURAKARTA 2015 i Disetujui dan disahkan oleh pembimbing Surakarta, …… Maret 2015 Pembimbing Prof. Dr. Soetarno, D.E.A NIP 194403071965061001 ii TESIS KONSEP KENDANGAN PEMATUT KARAWITAN JAWA GAYA SURAKARTA Dipersiapkan dan disusun oleh Sigit Setiawan 439/S2/K2/2010 Telah dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal 13 Maret 2015 Susunan Dewan Penguji Pembimbing Ketua Dewan Penguji Prof. Dr. Soetarno, D.E.A Dr. Aton Rustandi Mulyana, M. Sn NIP 194403071965061001 NIP 197106301998021001 Penguji Utama Prof. Dr. Sri Hastanto, S. Kar. NIP 194612221966061001 Tesis ini telah diterima Sebagai salah satu persyaratan Memperoleh gelar Magister Seni (M. Sn.) Pada Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Surakarta, …. Maret 2015 Direktur Pascasarjana Dr. Aton Rustandi Mulyana, M. Sn NIP 197106301998021001 iii PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “KONSEP KENDANGAN PEMATUT KARAWITAN GAYA SURAKARTA” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara- cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko/sangsi yang dijatuhkan kepada saya apabila di kemudian hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.
    [Show full text]
  • Indo 20 0 1107105566 161
    GENDER BARUNG, ITS TECHNIQUE AND FUNCTION IN THE CONTEXT OF JAVANESE GAMELAN* Sumarsam In the gamelan of Central Java there are three types of gender: gender panembung, 1 gender barung and gendfer panerus. The construction of these three instruments is similar. They are metallophones with bronze, iron, or brass keys suspended by cords over tube resonators. Gender panembung has six or seven keys and a range the same as the lowest section of the gender barung* 1s. Gendfcr barung usually consists of two and one-half octaves. Gender panerus has the same number of keys as gender barung but is pitched one octave higher. As a result, it overlaps gender barung by one and a half octaves. Here we are going to discuss only gender barung (hereafter referred to as gender), its technique and function in the context of the gamelan.2 Gender is generally accepted as an important instrument in the gam elan.3 45 Gending (gamelan compositions) with buka (introduction) by gender are named gending gender. In other gending, except gending bonang, 4 i f the rebab is absent from the ensemble, gender is called upon to play buka. Either the bonang barung or the gender has the right to play buka fo r gending lanearan. 5 The pitch of genddr is in the low and medium range. It produces full yet soft sounds. If gender is ab­ sent from the gamelan, the sound of the ensemble is not as full and sonorous. Thus barung (verbs, ambarung, binarung) , the second half of the full name for gender, means playing or singing together in order to create a full sound.
    [Show full text]
  • Automatic Gamelan User Guide
    AUTOMATIC GAMELAN USER GUIDE Charles Matthews MA Sonic Arts, Module MDA4303 Student Number: 2235561 Tutor: Nye Parry Contents 1. Introduction ................................................................................................................4 1.1 Gamelan Samples.............................................................................................................4 1.2 Kepatihan Notation.........................................................................................................5 2. Central Javanese Gamelan ......................................................................................6 2.1 The ‘Loud Style’ Ensemble............................................................................................6 3. Gamelan Concepts .....................................................................................................7 3.1 Tuning .................................................................................................................................7 3.1.1 Laras .............................................................................................................................................. 8 3.1.2 Pathet ............................................................................................................................................ 8 3.2 Tempo and Irama ............................................................................................................8 3.3 BentuK .................................................................................................................................9
    [Show full text]
  • Aplikasi Gamelan Gong Kebyar Instrumen Gangsa Dan Kendang Berbasis Android
    MERPATI VOL.3, NO.3, DESEMBER 2015 ISSN: 2552-3006 Aplikasi Gamelan Gong Kebyar Instrumen Gangsa dan Kendang Berbasis Android Made Wibawa, Putu Wira Buana, I Putu Agung Bayupati Jurusan Teknologi Informasi, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, Bali, Indonesia e-mail: [email protected], [email protected],[email protected] Abstrak Gamelan Gong Kebyar merupakan salah satu jenis Gamelan yang ada di Bali, yang dimainkan dengan memakai sistem kebyar. Sebagian masyarakat Bali seringkali kurang berminat memainkanGamelan Gong Kebyar karena dianggap kuno dan harga instrumennya cukup mahal.Kondisi tersebut dapat diatasi dengan adanya media pengenalan yang memanfaatkan perkembangan teknologiseperti Aplikasi “Gamelan Gong Kebyar Instrumen Gangsa dan Kendang”berbasis Android. Aplikasi Gamelan Gong Kebyarberisikaninstrumen Gangsa dan Kendang yang dapatdimainkan secara multitouch dan juga dilengkapi dengan fitur record yaitu merekam suara Gamelan yang dimainkan. Hasil kuesioner yang disebarkan terkait aplikasi Gamelan Gong Kebyar Instrumen Gangsa dan Kendang ini kepada koresponden mendapat respon yang baik. Aspek desain user interface dengan persentase rata-rata tertinggi “Baik” yaitu 100% untuk orang ahli dan 94.17% untuk orang awam. Aspek penggunaan aplikasi mendapat rata-rata tertinggi “Baik” yaitu 78.46% untuk orang ahli dan 91.92% untuk orang awam. Aspek fitur aplikasi mendapat rata-rata tertinggi “Baik” yaitu 100% untuk orang ahli dan 100% untuk orang awam. Kata kunci: Gamelan, Gong Kebyar, Aplikasi, Android. Abstract Gamelan Gong Kebyar is onekind of Gamelan in Bali, using kebyar system. Someof Balinese people are not interested playing Gamelan Gong Kebyar becausethey think it’s old- fashioned and the instruments prices are too expensive. This condition can be solved by introducing technological developments media like Gamelan Gong Kebyar applicationbased on Android.
    [Show full text]
  • Primer for Javanese Gender
    The Javanese Gender An English Language Primer by Sean Hayward Illustrations by Vivien Sárkány The Javanese Gender An English Language Primer by Sean Hayward Illustrations by Vivien Sárkány Foreward This primer is intended to serve as a brief introduction to the Central Javanese gender barung, one of the more complex and important instruments of the gamelan. It will focus specifically focusing on the Solonese style. When I first began learning gender, I did not speak Indonesian. Due to this, I found information about basic technique and patterns to be essentially inaccessible outside of my direct contact with my instructor. My motivation in writing this book is to hopefully relieve some of these difficulties for other students in the same position. This primer is nowhere close to a complete description of the instrument, but I hope it will be helpful nonetheless. Pursuing the serious study of gender is best approached by working directly with a Javanese musician. THE BASICS OF GAMELAN This book will assume some preexisting knowledge about gamelan, and this section will offer a brief review of the necessary terminology and concepts for playing the gender. Javanese gamelan is written using cipher notation called kepatihan. The numbers 1-7 represent pitches. 1 (siji), 2 (loro), 3 (telu), 4 (papat), 5 (lima), 6 (enem), 7 (pitu) These Javanese syllables in underlined italics will be used any time a tone is referred to in the text, exclusing kepatihan examples. This is the common solfege practice in Java. Dots above or below the number indicate the octave (higher and lower respectively), lines over the top of numbers divide the length of the note in half.
    [Show full text]
  • JAVANESE GAMELAN TERMINOLOGY Barry Drummond Gamelan Laras Tentrem
    JAVANESE GAMELAN TERMINOLOGY Barry Drummond Gamelan Laras Tentrem Instruments of the Gamelan Gamelan Generic term for ensembles of predominantly percussion instruments of Indonesia, especially in Java and Bali. Bronze is the preferred material for the gongs and metallophones, but brass and iron are used as well. The instruments constituting a complete gamelan in present-day Central Java are: Gong Ageng The largest of the hanging gongs, approximately 80-100 cm in diameter. Gong Suwukan Sometimes called Siyem. Mid-size hanging gongs, approximately 50-60 cm in diameter. Gamelan Terminology 2 Kempul The smallest hanging gongs, approximately 30-40 cm in diameter. Kenong The largest of the horizontal gongs resting on racks. Kethuk and Kempyang Two small horizontal gongs which form a pair. The above instruments form the gong structure in gendhing (musical compositions, see below) with the gong ageng marking the largest sections, called gongan, and the kenong usually dividing these into either two or four sections called kenongan. The kempul, in forms that use them, usually divide a kenongan in half while the kethuk and kempyang mark the pulse of the structure in between stronger beats. In addition, some gamelan have two small hanging gongs (± 25 cm), engkuk and kemong, which, in certain sections and irama (tempo/density level, see below) of slendro pieces, replace the kempyang. Slenthem Sometimes called Gender Panembung since its construction is like the gender described below, i.e., keys suspended over individual tuned resonators. Saron Demung Commonly shortened to Demung. Pitched an octave above the slenthem, its keys, like the other saron, lie atop a trough resonator.
    [Show full text]
  • Javanese Gamelan Ensembles)
    PERFORMANCE Module Handbook Kayo Kimura, Nami Higuchi(Javanese Gamelan ensembles) Suguri Hariu (Javanese dance) Term: Spring Semester Numbering MMA101 Credits 1 SYNOPSIS: The aim of this subject is to help students understand the structure and instrumentation of each part of Indonesian and Central Javanese gamelan ensembles and to teach them “communication through music” which is a distinctive feature of gamelan. Students will also have the opportunity to learn Javanese dance deeply connected to music. OUTLINE SYLLABUS Week Synopsis 1 Beginner: The Wide Variety of Gamelan Intermediate: Ladrang Style Music 1 (Outline) Advanced: Gamelan as Accompaniment Music 2 Beginner: Influence on Western Music (History) Intermediate: Colotomic Instruments, Saron Technique, Advanced: Dance Accompaniment 1 (Outline) 3 Beginner: Introduction to Short Pieces (Outline) Intermediate: 3 Bonang Barung Technique Advanced: 2 Directions by Kendang 4 Beginner: 2 Instrumentation (Pronunciation) Intermediate: 4 Bonang Panerus Technique Advanced: 3 Directions by Dance 5 Beginner: 3 Introduction to Irama Intermediate: 5 Kendang Technique Advanced: 4 Irama Variations 6 Beginner: 4 Ensemble Rules Intermediate: 6 Irama Variations Seminar Advanced: 5 Various Instrumentations 7 Beginner: Lancaran Structure 1 (Outline) Intermediate: Ketawang Structure 1 (Outline) Advanced: 6 Introduction to Arrangements 8 Beginner: 2 Colotomic Instruments, Saron Technique Intermediate: 2 Colotomic Instruments, Saron Technique Advanced: 7 Ensemble Seminar 9 Beginner: 3 Bonang Barung Technique
    [Show full text]
  • Unplayed Melodies: Javanese Gamelan and the Genesis of Music
    Perlman, Unplayed Melodies 7/12/04 2:05 PM Page i Unplayed Melodies Perlman, Unplayed Melodies 7/12/04 2:05 PM Page ii The publisher gratefully acknowledges the generous contribution to this book provided by the Music Endowment Fund of the University of California Press Associates and by Brown University. Perlman, Unplayed Melodies 7/12/04 2:05 PM Page iii Unplayed Melodies Javanese Gamelan and the Genesis of Music Theory marc perlman University of California Press berkeley los angeles london Perlman, Unplayed Melodies 7/12/04 2:05 PM Page iv Unless otherwise noted in captions, all music examples are by the author. University of California Press Berkeley and Los Angeles, California University of California Press, Ltd. London, England © 2004 by the Regents of the University of California Library of Congress Cataloging-in-Publication Data Perlman, Marc. Unplayed melodies : Javanese gamelan and the genesis of music theory / Marc Perlman. p. cm. Includes bibliographical references (p. ) and index. isbn 0-520-23956-3 (cloth : alk. paper) 1. Music—Indonesia—Java—History and criticism. 2. Gamelan music—Indonesia—Java—History and criticism. 3. Melody. I. Title. ml345.j3 p46 2004 781.2'4'095982—dc21 2003006432 Manufactured in the United States of America 13 12 11 10 09 08 07 06 05 04 10987654321 The paper used in this publication meets the minimum requirements of ansi/niso z39.48–1992 (r 1997) (Permanence of Paper).8 Perlman, Unplayed Melodies 7/12/04 2:05 PM Page v To my teachers, whose thoughts inspired this book: Suhardi (R. L. Wignya Bremara, 1937–2000) Sumarsam Supanggah This page intentionally left blank Perlman, Unplayed Melodies 7/12/04 2:05 PM Page vii Contents List of Illustrations ix Acknowledgments xiii Conventions of Transcription and Orthography xv introduction 1 1.
    [Show full text]
  • Javanese Gamelan Music
    Indonesia: Javanese Gamelan Music Gamelan Outreach Project Center for South East Asian Studies University of Michigan Prepared by: Dr. Vera H. Flaig This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 3.0 Unported License. Indonesia l Consists of a archepeligo of several thousand islands of which Java is the largest. l During colonial times Indonesia was known as the Dutch East Indies l Consists of many diverse languages and cultures. l The development of a common national language “Indonesian” made it possible to build the unity needed to win the revolution against the Dutch (1945-1949). l Major religions include: Hindu/Buddhism; Islam; and Christianity. Gamelan Tuning and Modes Laras (tuning system) Slendro: a five-note (pentatonic) tuning Pélog: a seven-note tuning Pathet (Modes)* Slendro Nem Pélog Nem Slendro Sanga Pélog Lima Slendro Manyura Pélog Barang *Modes correspond to Wayang Kulit performance: Nem from 9:00 PM to Midnight; Sanga from Midnight to 3:00 AM; Manyura from 3:00 AM to 6:00 AM. Gamelan Musical Structure l Colotomic Structure: based upon a circular perception of time. l Reflects the persistence of Hindu-Buddhist conceptions of time introduced to Java during the first millennium C.E. l All instruments in the gamelan must play important structural or “auspicious” notes together. These “coincidences” carry important meaning in Javanese culture. Gamelan Musical Structure l The sounding of the gong agung with the kenong marks the musical instance of the greatest weight or importance. It is
    [Show full text]