KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM PEWARISAN HUKUM ADAT TOBA (Studi Putusan Mahkamag Agung Nomor 566 K/Pdt/2015)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

DANIEL LUMBAN GAOL NIM : 130200502

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N 2 0 1 9

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Daniel Lumban Gaol * Rosnidar Sembiring ** Syaiful Azam **

Berdasarkan hukum Adat Batak Toba, masing-masing anak kandung menurut hukum waris ada perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan karena perempuan bukan ahli waris, melainkan anak laki-laki yang berhak sebagai ahli waris dari segala harta peninggalan ayahnya karena warisan adalah simbol dari eksistensi suatu marga oleh karena itu warisan harus diberikan kepada laki-laki saja, apabila perempuan mendapat bagian akan sangat tergantung pada kebaikan hati saudara dari pihak laki-laki, karena secara tradisional falsafahnya anak perempuan kawin dengan anak orang lain. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini adalah bagaimana kedudukan perempuan dalam adat Batak Toba, bagaimana sistem pewarisan pada masyarakat adat Batak Toba, bagaimana kedudukan perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak Toba berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 566 K/Pdt/2015. Metode pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis. Pengumpulan data melalui data primer dan data sekunder. Metode analisis yang dipakai adalah kualitatif, dan penyajian datanya dalam bentuk laporan tertulis secara ilmiah. Kedudukan perempuan dalam adat Batak Toba pada prinsipnya masih berbeda, bila dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan tidak berhak berbicara dan mengeluarkan pendapat di acara-acara resmi, terlihat pada pesta-pesta Batak hampir tidak pernah terlihat ada perempuan duduk di barisan depan, ikut berbicara dan mengambil keputusan. Namun saat ini, dalam lingkup pertemuan keluarga yang lebih kecil para perempuan sudah diizinkan berbicara tetapi hanya sebagai pendahuluan saja, seperti acara pemberian nama kepada anak (tardidi), acara memberi kata penghibur bagi keluarga yang berduka (mangapuli). Sistem pewarisan pada masyarakat adat Batak Toba yang susunan kekerabatannya mempertahankan garis keturunan laki-laki (patrilineal). Kedudukan perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak Toba berdasarkan Putusan Mahkamag Agung Nomor 566 K/Pdt/2015 bahwa kedudukan yang sama dalam hak waris antara laki- laki dengan perempuan. Mengenai laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama sebagai ahli waris dan berhak untuk mendapatkan bagian yang sama dari harta warisan peninggalan orang tuanya.

Kata Kunci : Kedudukan, Perempuan, Hukum Waris Adat, Batak Toba. . *Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I dan Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

i

Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

Daniel Lumban Gaol * Rosnidar Sembiring ** Syaiful Azam **

Based on the Toba Batak customary law, each biological child according to inheritance law there is a difference between boys and daughters who are not heirs, while boys who are entitled as heirs of the inheritance of the existence of a clan, therefore inheritance must given only to men, the consent of women to get a share will depend very much on the honor of a male brother on the male side, because traditionally the philosophy of girls marrying someone else's child. The issues raised in this discussion are how the position of women in the Batak Toba adat, how the inheritance system in the Batak Toba indigenous people, how the position of women in inheritance of Batak Toba customary law based on the Decision of the Supreme Court Number 566 K / Pdt / 2015. The research method used in writing this thesis is juridical normative and the specification of this research is analytical descriptive. Data collection through primary data and secondary data. The analytical method used is qualitative, and the presentation of data in the form of scientific written reports. The position of women in the Batak Toba tradition is still different in principle when compared to men. Women do not have the right to speak and issue opinions at official events, seen in Batak parties there has never been a woman sitting in the front row, participating in speaking and making decisions. But now, in smaller family gatherings that have been approved, only as a prelude, such as the naming event for children (tardidi), the giving of words of consolation for the bereaved family (mangapuli). Inheritance system in the Toba Batak indigenous people whose family structure maintains patrilineal male lineage. The position of women in inheritance of Toba Batak customary law based on Mahkamag Agung Decree Number 566 K / Pdt / 2015 concerning equal position in inheritance rights between men and women. About men and women have the same position as heirs and are entitled to get the same share of the inheritance inherited from their parents.

Keywords: Position, Women, Customary Law, Toba Batak . * University of North Sumatra Faculty of Law students ** Supervisor I and Supervisor II, Faculty of Law, University of North Sumatra.

ii

Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala nikmat

Islam dan nikmat kesempatan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul skripsi ini adalah

“Kedudukan Perempuan Dalam Pewarisan Hukum Adat Batak Toba (Studi

Putusan Mahkamag Agung Nomor 566 K/Pdt/2015)”. Untuk penulisan skripsi ini penulis berupaya agar hasil dari penulisan skripsi ini bisa lebih baik seperti yang diharapkan, meskipun demikian penulisan ini masih terdapat kekurangan- kekurangan, karena manusia tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, semua saran dan kritik akan penulis terima dari siapa saja dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak sehingga dalam kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara..

3. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Jelly Leviza S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

iii

Universitas Sumatera Utara

5. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum

Ekonomi sekaligus sebagai Pembimbing I yang telah banyak membantu dan

memudahkan saya dalam mengajukan judul skripsi.

6. Ibu Dr. Yefrizawaty, SH.M.Hum selaku dosen pembimbing II yang telah

banyak membantu berupa pikiran dan waktunya untuk memberikan

pengarahan dan bimbingan kepada saya sehingga memudahkan saya dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini. Semoga ilmu yang penulis telah peroleh selama ini dapat bermakna dan berkah bagi penulis dalam hal penulis ingin menggapai cita-cita.

Medan, Juli 2019

Penulis

DANIEL LUMBAN GAOL

iv

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...... i

KATA PENGANTAR ...... ii

DAFTAR ISI ...... iv

BAB I : PENDAHULUAN...... 1

A. Latar Belakang ...... 1

B. Perumusan Masalah ...... 8

C. Tujuan Penulisan ...... 8

D. Manfaat Penulisan ...... 8

E. Tinjauan Pustaka ...... 9

F. Metode Penelitian...... 11

G. Keaslian Penulisan ...... 14

H. Sistematika Penulisan...... 16

BAB II : KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM ADAT BATAK TOBA ...... 18 A. Sekilas Tentang Hukum Adat Batak Toba ...... 18

B. Sistem Kekerabatan Menurut Hukum Adat Batak Toba .... 23

C. Sistem Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba ...... 25

D. Kedukan Perempuan dalam Hukum Adat Batak Toba ...... 33

BAB III : SISTEM PEWARISAN PADA MASYARAKAT ADAT BATAK TOBA ...... 41

A. Sistem Pewarisan dalam Hukum Adat Batak Toba ...... 41

B. Subyek Hukum dalam Hukum Waris Adat Batak Toba ...... 44

C. Pembagian Warisan dalam Adat Batak Toba ...... 46

v

Universitas Sumatera Utara

BAB IV : KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM PEWARISAN HUKUM ADAT BATAK TOBA (Studi Putusan Mahkamah Nomor 566 K/Pdt/2015) ...... 51

A. Kedudukan Perempuan Dalam Pewarisan Hukum

Adat Batak Toba ...... 51

1. Hak Waris Perempuan dalam Pembagian Harta

Warisan Pada Masyarakat Adat Batak Toba ...... 51

2. Penyelesaian Hukum Waris Adat Batak Toba Sejak 2010

Saat ini ...... 57

B. Pertimbangan Hukum Pemberian Harta Warisan Kepada

Perempuan Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor

566 K/Pdt/2015...... 70

1. Kasus Posisi ...... 70

2. Pertimbangan Hukum ...... 73

3. Analisis Kasus ...... 76

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ...... 79

A. Kesimpulan ...... 79

B. Saran ...... 80

DAFTAR PUSTAKA ...... 82

vi

Universitas Sumatera Utara BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara terdiri dari beragam suku, adat istiadat, bahasa, agama, sehingga menyulitkan unifikasi hukum waris secara nasional karena saat ini belum mempunyai hukum khusus yang mengatur tentang pewarisan secara nasional. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi Pembangunan Nasional yang menuju unifikasi hukum dan terutama yang akan dilakukan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan dengan tidak mengabaikan tumbuh dan berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan dalam pembinaan hukum.1

Pembagian hukum adat waris di Indonesia sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa. Adat merupakan indentitas bagi bangsa dan identitas bagi tiap daerah. Hukum waris pada dasarnya diatur dalam KUH

Perdata buku II Bab XII-Bab XVIII tetapi bagi warga negara asli masih tetap berlaku hukum waris adat.

Hukum ditinjau dari segi terbentuknya dapat berupa hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, dan di Indonesia hukum tidak tertulis dikenal dengan hukum adat yang tumbuh dari cita-cita dan alam pikiran masyarakat Indonesia.2 Menurut

Soepomo bahwa corak atau pola-pola tertentu dalam hukum adat yang merupakan perwujudan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir yang tertentu adalah:3

1 Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (: Kencana Prenada Meda Group, 2005), hlm. 71 2 Ibid., hlm. 19 3 R. Soepomo. Sistem Hukum Di Indonesia, Sebelum Perang Dunia Kedua, (Jakarta: Prandnjaparamita, 2007), hlm. 140-141

1

Universitas Sumatera Utara 2

1. Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat artinya manusia menurut hukum adat merupakan bentuk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat rasa kebersamaan. 2. Mempunyai corak magis religius yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia. 3. Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba konkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubunganhubungan hidup yang konkrit tadi dalam mengatur pergaulan hidup. 4. Hukum adat mempunya sifat visual artinya hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkannya dengan suatu ikatan yang dapat dilihat.

Berdasarkan sistem pembagian harta warisan di Indonesia masih mengikuti hukum waris adat yaitu di pengaruhi oleh masyarakatnya atau dari kekerabatannya. Secara hukum waris perdata tidak dibedakan semua berhak mewaris antara anak laki-laki dan perempuan mempunyai bagian yang sama sedangkan bagi warga negara asli masih tetap berlaku hukum waris adat yang diatur menurut susunan masyarakat adat, yang bersifat patrilinial, matrilineal dan parental/bilateral.4

Hukum waris adat meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses penerusan dan peralihan kekayaan material dan immaterial dari keturunan ke keturunan.5 Hukum Waris Adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan pada masyarakat bersangkutan yang berpengaruh terhadap penetapan ahli waris pembagian maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan.

Pembagian harta warisan sangat berhubungan dengan susunan kekeluargaan yang ada pada masyarakat adat di Indonesia. Masyarakat adat di

4 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 2 5 Ter Haar, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, ( Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hlm. 202

Universitas Sumatera Utara 3

Indonesia dibedakan tiga kelompok, Susunan kekeluargaan patrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (bapak), Susunan kekeluargaan matrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak perempuan (ibu),

Susunan kekeluargaan parental, yaitu di mana garis keturunan pada masyarakat ini dapat ditarik dari pihak kerabat bapak maupun dari kerabat ibu.6

Adapun sistem pewarisan yang dikenal dalam hukum adat yaitu :7

1. Sistem Pewarisan Individual, yaitu sistem pewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan. 2. Sistem Pewarisan Kolektif, yaitu sistem pewarisan yang menentukan bahwa ahli waris mewaris harta peninggalan secara bersama-sama (kolektif), sebab harta peninggalan yang diwarisi itu tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris. 3. Sistem Pewarisan Mayorat, yaitu sistem pewarisan di mana penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta warisan itu dialihkan dalam keadaan tidak terbagi-bagi dari pewaris kepada anak tertua laki-laki (mayorat laki-laki) atau anak tertua perempuan (mayorat perempuan) yang merupakan pewaris tunggal dari pewaris.

Salah satu suku yang menganut sistem kekerabatan patrilineal yang sangat kental adalah masyarakat adat Batak Toba. Sistem patrilineal dikenal dengan perkawinan jujur pada masyarakat Batak Toba, yaitu suatu bentuk perkawinan dengan adanya pembayaran (sinamot) dari kerabat laki-laki kepada pihak kerabat perempuan dengan tujuan untuk memasukkan perempuan ke dalam klan suaminya. Supaya anak-anak yang lahir akan menjadi generasi penerus ayah.

Berbeda dengan ketentuan menurut hukum adat batak toba. Setelah isteri berada di dalam lingkungan kerabat suami, maka isteri dalam segala perbuatan hukumnya harus berdasarkan persetujan suami, atau atas nama suami atau atas persetujuan

6 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta : Haji Masagung, 2007), hlm. 129-130 7 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 43

Universitas Sumatera Utara 4

kerabat suami. Oleh karena itu, pada masyarakat patrilineal yang menarik garis keturunan menurut garis bapak menjadikan kedudukan laki-laki lebih menonjol pengaruhnya dari pada kedudukan wanita dalam hal waris.8

Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus yang membawa marga dari orang tuanya, sehingga anak laki-laki saja yang berhak mewaris karena anak laki-laki dianggap sebagai generasi penerus marga/clan.

Terhadap anak perempuan, adanya hambatan dalam mewaris dari harta peninggalan orang tuanya karena adanya perkawinan jujur yang berarti perkawinan di mana anak perempuan dilepaskan dari marganya dan dimasukkan ke dalam marga suaminya, dengan membayar jujur.9

Berdasarkan hukum Adat Batak Toba, masing-masing anak kandung menurut hukum waris ada perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan karena perempuan bukan ahli waris, melainkan anak laki-laki yang berhak sebagai ahli waris dari segala harta peninggalan ayahnya karena warisan adalah simbol dari eksistensi suatu marga oleh karena itu warisan harus diberikan kepada laki-laki saja, apabila perempuan mendapat bagian akan sangat tergantung pada kebaikan hati saudara dari pihak laki-laki, karena secara tradisional falsafahnya anak perempuan kawin dengan anak orang lain.10

Secara tersirat anak perempuan dipandang mempunyai makna yang sama dengan anak laki-laki sehingga perlakuan adil harus diberikan sama dengan anak laki-laki, namun dalam hal pewarisan arti adil tadi tidak diberikan sama antara

8 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), hlm 23 9 S. Tamakiran, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum (Bandung: Pionir Jaya, 2002), hlm. 68 10 Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum, (Jakarta : Yayasan Oborhlm, Indonesia, 2007). hlm.122.

Universitas Sumatera Utara 5

anak laki-laki dan anak perempuan. Hal ini dikarenakan berkaitan dengan konsep

Raja Parhata yaitu ahli waris selalu mengacu kepada anak laki-laki karena dialah yang dianggap bertanggung jawab besar untuk meneruskan keturunan marga dari ayahnya, kemudian anak perempuan dianggap menjadi anggota clan suaminya menjadi marga lain dan melipatgandakan marga dari anggota marga lain tersebut dan ikut menikmati warisan dari mertuanya, dan agar suami dari anak perempuan tidak mengusai tanah terlalu luas karena suami dari anak perempuan dianggap marga penumpang.11

Masyarakat adat Batak Toba mengenal ada beberapa istilah yang merendahkan martabat anak perempuan antara lain : 12

1. Sigoki jabu ni halak do ianggo boru (anak perempuan adalah untuk mengisi rumah orang). 2. Mangan tuhor niboru (anak perempuan dianggap barang dagangan yang diperjualbelikan). 3. Holan anak do sijalo teanteanan (zaman dahulu ada tuntutan untuk mendahulukan anak laki-laki dalam melestarikan marga, sehingga anak laki-laki berhak memiliki serta berbicara mengenai ikatan adat secara hukum.

Seiring dengan perkembangan zaman, di dalam pembagian harta warisan adanya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan mulai dirasakan oleh perempuan di dalam sistem kekerabatan Patrilineal, maka melalui pendidikan dan pengetahuannya kaum wanita melakukan penolakan (resistensi) terhadap sistem kekerabatan patrilineal, yaitu mereka tidak begitu saja tunduk kepada ketentuan hukum adat tradisionalnya, khususnya di dalam pembagian harta warisan.

Sehingga banyak konflik mengenai harta, dan kaum wanita memilih institusi peradilan dalam proses penyelesaian sengketa warisan, dalam berbagai upaya

11 Ibid., hlm.124. 12 J.C.Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (Jakarta:PustakaAzet, 1986), hlm. 485

Universitas Sumatera Utara 6

untuk memperoleh bagian dari harta ayah ataupun suami yang akhirnya keluarlah berbagai yurisprudensi yang mengatur tentang hak waris anak perempuan dalam masyarakat dengan sistem kekerabatan patriilneal seperti pada masyarakat

Batak.13

Perjuangan untuk mendapatkan kedudukan yang sama khususnya dalam hal pewarisan banyak dilakukan wanita, bahkan telah ada dalam berbagai putusan hakim di berbagai tingkat pengadilan, yang telah menjadi yurisprudensi, yang memberikan hak mewaris kepada perempuan Batak. Hukum adat selalu menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang senantiasa terus berubah yang dapat dilihat dari substansinya melalui sumber-sumber hukum yang tersedia yang dapat tercermin dalam doktrin, perundang-undangan, kebiasaan, dan perumusan dalam hukum positif dilakukan melalui yurisprudensi.

Yurisprudensi disebut sebagai faktor pembentukan hukum yang dalam praktek berfungsi untuk mengubah, memperjelas, menghapus, menciptakan, atau mengukuhkan hukum yang hidup dalam masyarakat.14

Pembagian harta warisan Batak Toba terhadap perempuan, sebagaimana

Putusan Mahkamah Agung Nomor 566 K/Pdt/2015 antara Fitzgerald Stevan

Purba, Andrey Michael Purba, Anny L. Toruan, sebagai para penggugat melawan

Berthold Raja Purba sebagai tergugat. Para Penggugat dengan surat gugatannnya tanggal 28 Desember 2012 yang diterima dan didaftarkan di Kepaniteraan

Pengadilan Negeri Depok pada tanggal 02 Januari 2013 di bawah Register Nomor

01/Pdt.G/2013/PN.Dpk. dan telah dilakukan perubahan/perbaikan Surat Gugatan

13 Togar Nainggolan, Batak Toba Di jakarta, (Jakarta:BM, 2000), hlm. 210 14 Soerjono Soekanto, Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat, (Jakarta: Academica, 2009), hlm. 24,

Universitas Sumatera Utara 7

tertanggal 27 Maret 2013 telah mengajukan gugatan pembagian harta warisan atas harta peninggalan orang tunya berupa tanah berikut bangunan Sertifikat Hak

Milik No.1054/Tanjung Sari seluas 271 m² yang terletak di Jl.Setia Budi Pasar II

Blok G-8 Kota Medan yang sampai sekarang belum dibagi diantara para ahli waris.

Berdasarkan gugatan dari para penggugat, maka Pengadilan Negeri Depok memberikan putusan mengabulkan gugatan para penggugat sebagian, menetapkan harta bersama dari Alm. Drs. Victor Purba,SH, LLM yang harus dibagi kepada para ahli waris (seluruh harta warisan), serta menetapkan ahli waris dari Alm. Drs. Victor Purba,SH, LLM berikut hak/bagian masing-masing atas seluruh harta warisan yang harus dibagi tersebut adalah Anny L.Toruan sebesar ½ bagian + 1/8 bagian = 5/8 ( lima per delapan) bagian dari seluruh harta warisan,

Berthold Raja Purba (tergugat) sebesar 1/8 ( satu per delapan) bagian dari seluruh harta warisan, Fitzgerald Stevan Purba sebesar 1/8 ( satu per delapan) bagian dari seluruh harta warisan, Andrey Michael Purba sebesar 1/8 (satu per delapan) bagian dari seluruh harta warisan.

Putusan Pengadilan Negeri Depok dalam tingkat banding atas permohonan

Tergugat telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung dengan putusan Nomor

529/PDT/2013/PT.BDG. tanggal 05 Februari 2014. Kemudian dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung memberikan putusan menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi Berthold Raja Purba.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti, mengkaji, dan menganalisis Putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung Nomor 566 K/Pdt/2015

Universitas Sumatera Utara 8

yang memberikan pertimbangan atas pembagian harta terhadap perempuan, yang dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul sebagai suatu karya ilmiah dengan judul “Kedudukan Perempuan Dalam Pewarisan Hukum Adat Batak Toba

(Studi Putusan Mahkamag Agung Nomor 566 K/Pdt/2015)”.

B. Perumusan Masalah

Rumusan permasalahan yang akan diteliti dibatasi sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan perempuan dalam adat Batak Toba ?

2. Bagaimana sistem pewarisan pada masyarakat adat Batak Toba ?

3. Bagaimana kedudukan perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak Toba

berdasarkan Putusan Mahkamag Agung Nomor 566 K/Pdt/2015 ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan pokok-pokok permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kedudukan perempuan dalam adat Batak Toba.

2. Untuk mengetahui sistem pewarisan pada masyarakat adat Batak Toba.

3. Untuk mengetahui kedudukan perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak

Toba berdasarkan Putusan Mahkamag Agung Nomor 566 K/Pdt/2015.

D. Manfaat Penulisan

Penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih

lanjut untuk melahirkan berbagai konsep kajian yang pada gilirannya dapat

Universitas Sumatera Utara 9

memberikan masukan bagi pembangunan ilmu hukum tentang kedudukan

perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak Toba.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini juga dapat digunakan:

a. Sebagai upaya pengembangan kemampuan dan penambah pengetahuan

hukum bagi penulis mengenai ilmu bidang hukum waris adat.

b. Untuk bahan informasi bagi pihak-pihak khususnya bagi mahasiswa yang

membutuhkan refrensi yang dapat digunakan untuk bahan penelitian yang

lanjutannya berkaitan dengan permasalahan hukum dengan pokok bahasan

hukum pembagian harta warisan dalam hukum Adat Batak Toba

E. Tinjauan Pustaka

Perkawinan dalam adat Batak Toba bukanlah urusan pribadi namun lebih dari itu yaitu urusan keluarga, clan/kerabat dan persekutuan. Soerjono Soekanto mengatakan perkawinan sebagai urusan keluarga dan kerabat menpunyai fungsi untuk memungkinkan pertumbuhan secara tertib suatu masyarakat kerabat melalui angkatan/ generasi baru, di mana anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu meneruskan masyarakat keluarga dan kerabat yang sekaligus berfungsi untuk meneruskan tertib clan atau pun suku. 15

Masyarakat hukum Indonesia jika ditinjau dari segi kekeluargaan adalah berbeda-beda, di setiap lingkungan adat ini masing-masing mempunyai sistem kekeluargaan yang berbeda-beda pula. Begitu juga dalam hal kedudukan anak laki-laki dengan anak perempuan pada prinsipnya dan asasnya adalah berbeda.

15 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 28

Universitas Sumatera Utara 10

Hukum Adat Batak Toba merupakan salah satu hukum adat yang masih hidup dengan sistem kekerabatannya mengikuti garis keturunan ayah (patrilineal) yang membedakan kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki merupakan generasi penerus ayahnya, sedangkan anak perempuan tidak karena anak perempuan dianggap hanya bersifat sementara, dan suatu ketika anak perempuan akan menikah dan mengikuti suaminya, dan masuk ke dalam klan suaminya. Selama anak perempuan belum menikah, dia masih tetap kelompok ayahnya. Ahli waris dalam masyarakat Batak Toba adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan bukan sebagai ahli waris ayahnya. Anak perempuan hanya memperoleh sesuatu dari orang tuanya sebagai hadiah.

Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, bahwa setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum dan biasa disebut meninggal dunia. Apabila ada suatu peristiwa hukum yaitu meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia.16

Anak dalam pewarisan masyarakat Batak Toba sejak dalam kandungan sudah dianggap ahli waris, hanya status si anak ditentukan pada saat lahir apakah laki-laki atau perempuan, sebab dalam pewarisan di Batak Toba hanya dikenal ahli waris adalah anak laki-laki, tetapi anak perempuan tidak. Anak perempuan tidak mewaris baik terhadap harta peninggalan/pencaharian maupun harta pusaka.17

16 Hilman Hadikusuma, Op. Cit., hlm. 45. 17 Ibid., hlm. 48.

Universitas Sumatera Utara 11

Alasan atau argumentasi yang melandasi sistem Hukum Waris Adat pada masyarakat Batak Toba dengan sistem kekerabatan Patrilineal, sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewaris harta peninggalan orangtuanya yang meninggal, sedangkan anak perempuan sama sekali tidak mewaris. Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang memandang rendah kedudukan wanita dalam masyarakat Batak. Titik tolak anggapan tersebut adalah : a. Emas kawin, yang membuktikan bahwa perempuan dijual. b. Adat levirat yaitu yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara

dari suaminya yang meninggal. c. Perempuan tidak mendapat warisan.18

F. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang berusaha menggambarkan sebuah kondisi/fenomena hukum dengan legalitas secara lebih mendalam/lengkap mengenai status sosial dan hubungan antar fenomena.19

Tujuan dari penelitian deskriptif adalah menghasilkan gambaran yang akurat tentang sebuah kelompok, menggambarkan sebuah proses atau hubungan, menggunakan informasi dasar dari suatu hubungan teknik dengan definisi tentang penelitian ini dan berusaha menggambarkan secara lengkap kedudukan perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak Toba.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian berupa inventarisasi perundang-undangan yang

18 Djaja S. Meliala dan Aswin Perangin-angin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, (Bandung: Tarsito, 1978), hlm. 65 19 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum , (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm.105

Universitas Sumatera Utara 12

berlaku, berupaya mencari asas-asas atau dasar falsafah dari perundang-undangan tersebut atau penelitian yang berupa usaha penemuan hukum yang sesuai dengan suatu kasus tertentu.20 Penelitian hukum normatif pada skripsi ini didasarkan pada bahan hukum sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kedudukan perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak Toba. Metode pendekatan yuridis normatif dimaksudkan untuk menjelaskan dan memahami makna dan legalitas peraturan perundang-undangan21 yang mengatur tentang kedudukan perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak Toba.

2. Sumber Data

Data penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual, baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.22 Data sekunder yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari :

1) Bahan hukum primer, terdiri dari bahan hukum dan ketentuan-ketentuan

hukum positif termasuk peraturan perundang-undangan;

2) Bahan hukum sekunder atau sering dinamakan secondary data yang antara

lain :

a) Kepustakaan/buku literatur yang berhubungan dengan kedudukan

anak perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak Toba.

b) Data tertulis yang lain berupa karya ilmiah para sarjana.

20Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 12. 21 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2003), hlm.16. 22Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Surabaya: Bayumedia, 2006), hlm.192.

Universitas Sumatera Utara 13

c) Referensi-referensi yang relevan dengan kedudukan anak perempuan

dalam pewarisan hukum adat Batak Toba.

3) Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus

hukum, ensiklopedia, kamus umum dan lain sebagainya.

Bahan-bahan hukum sebagai kajian normatif sebagian besar dapat diperoleh

melalui penelusuran terhadap berbagai dokumen hukum.23

3. Teknik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca, mempelajari dan menganalisa literatur/buku-buku, peraturan perundang-undangan dan sumber buku lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Analisis Data

Data yang dikumpulkan dapat dipertanggungjawabkan dan dapat menghasilkan jawaban yang tepat dari suatu permasalahan, maka perlu suatu teknik analisa data yang tepat. Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan.24

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini menggunakan pola pikir/logika induktif, yaitu pola pikir untuk menarik kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum.25 Pengolahan dan analisis data bergantung pada jenis datanya. Pada

23 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm. 98 24 Bambang Sunggono, Op.Cit, hlm.18 25 Ibid., hlm. 21.

Universitas Sumatera Utara 14

penelitian hukum berjenis normatif, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier tidak dapat lepas dari berbagai penafsiran hukum yang dikenal dalam ilmu hukum.26

F. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang

“Kedudukan Perempuan Dalam Pewarisan Hukum Adat Batak Toba (Studi

Putusan Mahkamag Agung Nomor 566 K/Pdt/2015)” belum pernah dilakukan penelitian. Dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah atau secara akademik.

Penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan kedudukan perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak

Toba, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan maupun media cetak maupun elektronik dan di samping itu juga diadakan penelitian. Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara. Ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan topik dalam tesis ini antara lain:

1. Herlina Mariaty P, dengan judul skripsi : Perkembangan Hak Waris Anak

Perempuan dan Janda Pada Masyarakat Batak Toba di Perkotaan (Suatu

Penelitian Di Kelurahan Sudi Rejo II Kecamatan Medan Kota- Kota Medan).

Rumusan masalah dalam skripsi tersebut adalah :

26 Ibid., hlm. 22.

Universitas Sumatera Utara 15

a. Bagaimana prinsip dan asas hukum keluarga adat Batak Toba terhadap hak

waris anak perempuan dan janda ?

b. Bagaimana perkembangan hak waris anak perempuan dan janda dalam

hukum adat keluarga adat Batak Toba dewasa ini ?

c. Bagaimana sikap Mahkamah Agung di dalam menentukan hak mewaris

anak perempuan dan janda terhadap harta peninggalan ?

2. Julita Br. Sagala, dengan judul skripsi Efektivitas Penerapan Yurisprudensi

MA-RI Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak

Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan Terhadap Hukum

Waris Adat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Medan Baru). Rumusan masalah

dalam skripsi tersebut adalah :

a. Bagaimana penyelesaian sengketa waris adat pada masyarakat Suku Batak

Toba Perkotaan di Kecamatan Medan Baru?

b. Bagaimana penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 pada masyarakat Suku Batak Toba

Perkotaan di Kecamatan Medan Baru?

c. Hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam penerapan

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

179/K/SIP/1961 pada masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan di

Kecamatan Medan Baru?

3. Ulfa Sundari dengan judul : Sistem Pewarisan Dalam Perkawinan Antara

Masyarakat Dengan Sistem Kekerabatan Patrilinial Dan Masyarakat Dengan

Sistem Kekerabatan Matrilinial. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara 16

a. Bagaimanakah hukum yang mengatur pembagian harta warisan dalam

perkawinan antara masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilinial dan

masyarakat dengan sistem kekerabatan matrilinial ?

b. Bagaimanakah pelaksanaan pembagian harta warisan dalam perkawinan

antara masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilinial dan masyarakat

dengan sistem kekerabatan matrilinial ?

Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini saya buat, maka hal itu menjadi tanggung jawab saya sendiri.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan, dengan sub bab terdiri dari, yaitu Latar Belakang,

Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian

Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Sistematika Penulisan.

Bab II : Kedudukan Perempuan Dalam Adat Batak Toba meliputi : Sekilas

Tentang Hukum Adat Batak Toba, Sistem Kekerabatan Menurut Hukum Adat

Batak Toba, Sistem Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba, Kedukan

Perempuan dalam Hukum Adat Batak Toba.

Bab III : Sistem Pewarisan Pada Masyarakat Adat Batak Toba meliputi :

Sistem Pewarisan dalam Hukum Adat Batak Toba, Subyek Hukum dalam Hukum

Waris Adat Batak Toba, Pembagian Warisan dalam Adat Batak Toba.

BAB IV : Kedudukan Perempuan Dalam Pewarisan Hukum Adat Batak

Toba (Studi Putusan Mahkamag Agung Nomor 566 K/Pdt/2015) meliputi :

Universitas Sumatera Utara 17

Kedudukan Perempuan Dalam Pewarisan Hukum Adat Batak Toba, Hak Waris

Perempuan dalam Pembagian Harta Warisan Pada Masyarakat Adat Batak Toba,

Penyelesaian Hukum Waris Adat Batak Toba Sejak 2010 Saat ini, Pertimbangan

Hukum Pemberian Harta Warisan Kepada Perempuan Pada Putusan Mahkamah

Agung Nomor 566 K/Pdt/2015, Kasus Posisi, Pertimbangan Hukum, Analisis

Kasus.

BAB V : Kesimpulan dan saran terhadap hasil analisa dari bab-bab sebelumnya.

Universitas Sumatera Utara BAB II

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM ADAT BATAK TOBA

A. Sekilas Tentang Hukum Adat Batak Toba

Dalam sejarah Batak Toba, belum ada keseragaman di antara para penulis sejarah mengenai pengertian nama “Batak”. Menurut Batara Sangti bahwa bila ada buku yang membuat sejarah dan kebudayaan suku Batak kebanyakan hanya secara subyektif dengan tidak memakai tarikh (angka-angka tahun atau abad).27

Perkataan nama “Negeri Batak” telah kedapatan juga dahulu kala di tanah

Melayu (sebelum ada terjadi Kesultanan Malaka, BS). Asal kata Batak lebih besar kemungkinannya datang dari kata “Bataha”, sebagai nama salah satu kampung/negeri di Burma/Siam dahulu kala sebagai kampung/negeri asal orang

Batak sebelum berserak kekepulauan nusantara. Dus dari kata “Bataha” kemudian beralih menjadi kata “Batak.28

Menurut sejarah Batak bahwa tempat perkampungan leluhur suku bangsa

Batak yang pertama adalah berada di tepi sungai danau Toba yang bernama Si

Anjur Mula-Mula, dari tempat ini tersebar turunan suku bangsa Batak ke seluruh penjuru tanah Batak. Orang Batak Toba menganggap bahwa mereka berasal dari satu keturunan nenek moyang (geneologis) yang sama yaitu Si Raja Batak, bahwa

Si Raja Batak ini adalah turunan dari Mula Jadi Na Bolon, yang mula-mula tinggal di Si Anjur Mula-Mula pada Gunung Pusuk Buhit dekat Pangururan di pulau Samosir.

27 Batara Sangti, Sejarah Batak, (Balige : Karl Sianipar Company, 1997), hlm. 17 28 Ibid., hlm. 26.

18

Universitas Sumatera Utara 19

Masyarakat Batak Toba sendiri memiliki adat budaya baku yang disebut

Dalihan Na Tolu yang dapat menembus sekat-sekat yang didalamnya terdapat perbedaan dalam bermasyarakat. Adat budaya Batak ini memiliki sembilan belas nilai/norma inti dalam bermasyarakat yaitu : norma adat, norma musyawarah, norma perkawinan, norma pergaulan sehari-hari, norma perceraian, norma pewarisan, norma kekeluargaan, norma integrasi, norma kejujuran, norma keadilan, norma kesejahteraan, norma kemanusiaan, norma kebebasan, norma kepemimpinan, norma ambisi, norma ketelatenan, norma keterbukaan, dan norma kedaulatan takyat yang mana semua norma tersebut tak terlepas dari praktek pelaksanaan unsur sistem Dalihan Na Tolu.

Dalihan Na Tolu yang merupakan Trias Manner of Batak lahir pada abad

14 Masehi di Tamiang yang merupakan wilayah migrasi para leluhur Batak dari perantauannya kota Bataha, bekas kerajaan Martaban di Myanmar sebelum melakukan migrasi ke penjuru daerah migrasi lainnya di wilayah Sumatera Utara, dan kemudian leluhur masyarakat Batak Toba membawanya ke wilayah migrasinya di wilayah Toba, yang kemudian prinsip budaya ini tetap dinamai

Dalihan Na Tolu di Toba dan di wilayah migrasi lainnya dinamai Rakut Sitelu,

Daliken Sitelu, Owuloa Hada.29

Dalam sejarah yang ada mengenai Dalihan Na Tolu, bahwa awal mula nya terdapat sebuah kesepakatan para leluhur Batak sebelum mereka menyebar ke berbagai wilayah secara berkelompok, agar selalu memegang teguh Dalihan Na

Tolu dimana mereka akan tinggal. Kesepakatan atas sistem Dalihan Na Tolu yang

29 Djaren Saragih, Hukum Perkawinan Adat Batak Khususnya Simalungun, Toba, Karo, dan Undang-Undang Tentang Perkawinan (UU No. 1/1974), (Bandung : Tarsito, 1980), hlm. 85.

Universitas Sumatera Utara 20

berarti kesepakatan untuk tidak mendaulat jadi seseorang menjadi raja. Mereka semua tunduk pada hukum Habatahon dengan sistem yang dinamai Dalihan Na

Tolu. Kesepakatan tersebut mengartikan bahwa siapapun yang mengusulkan, alasannya sudah pasti adalah “yang mengatur kita selama ini pun adalah

Habatahon/Budaya kita”. Jika kita semua tunduk pada hukum Habatahon itu, tidak akan ada konflik diantara kita. Maka semua lelaki dewasa harus sebagai

Anak Ni Raja dan semua perempuan dewasa harus sebagai Boru Ni Raja.30

Dalihan Na Tolu merupakan nafas atau ibaratkan ideologi yang harus dilaksanakan bagi orang Batak manapun, terkhususnya masyarakat Batak Toba dalam kesehariannya.Dalihan Na Tolu menjadi tolak ukur, menjadi pedoman, menjadi landasan ataupun dasar masyarakat dalam bertindak dan bertingkah laku terhadap sesamanya sesuai dengan peran/status yang dia peroleh dari suatu ikatan dalam marganya sendiri.Dalihan Na Tolu ini selalu hadir didalam setiap ritus masyarakat Batak Toba yang tidak dapat tertinggal/terpisahkan.

Dalihan Na Tolu secara harafiah berarti tungku yang terdiri dari tiga kaki penyanggah.Dahulu orang Batak Toba memasak di atas tiga buah batu tersebut.Pada rumah tradisional Batak Toba, perapian merupakan dimana tungku

(tataring) ini berada mengabil tempat di tengah rumah.Tungku ini menjadi pusat rumah.31 Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang sangat mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tersebut tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan

30 Ibid., hlm. 89. 31 Batara Sangti, Op. Cit., hlm 38.

Universitas Sumatera Utara 21

tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi.Inilah yang dipilih leluhur suku batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru. Hal ini dikarenakan bahwa Perlunya sebuah keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akanpernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu di masyarakat Batak Toba.

Fungsi dari Dalihan Na Tolu secara umum adalah menjaga integrasi masyarakat Batak Toba. Dalihan Na Tolu adalah suatu bentuk nilai budaya Batak

Toba. Sebagai suatu bentuk dari nilai budaya, maka Dalihan Na Tolu juga memiliki sifat yang tidak statis dan adaptif atau dapat berubah dalam tata pelaksanaan atau penerapannya.32

Untuk Orang Batak Toba, pihak pemberi isteri (hula-hula) adalah sumber kahidupan bagi pihak penerima isteri (boru). Secara konkret hal itu tampak karena pihak pemberi isteri memberikan putri mereka kepada penerima isteri, dan putri ini akan melahirkan anak laki-laki yang menjadi penerus marga. Terhadap pemberian isteri ini, penerima isteri membalas dengan mahar yang dalam bahasa

Batak Toba disebut tuhor (tukar, yang bisa berarti menukarkan atau membeli).Secara simbolis pemberi isteri mempunyai status yang lebih tinggi daripada pemberian penerima isteri. Pemberi isteri mempunyai sahala, yaitu kualitas tondi (prinsip hidup) yang lebih tinggi. Kuasa sahala pemberi isteri ini mempengaruhi nasib penerima isteri baik dalam hal yang baik maupun hal yang

32 Ibid.

Universitas Sumatera Utara 22

buruk, seperti: keturunan, panen gagal, kecelakaan, penyakit dan bahkan kematian. Penerima isteri merasa bahwa eksistensinya tergantung kepada berkat pemberi isteri.33

Hal ini membawa konsekuensi bahwa penerima isteri harus menaruh hormat yang tinggi kepada pihak pemberi isteri, yang dalam bahasa Batak Toba dikatakan, somba marhula-hula.Pada ritus perkawinan, penerima isteri menyembah pemberi isteri dengan membawa persembahan babi/kerbau (tudu- tudu sipanganon, yang merupakan bagian organ terpenting dari kurban babi/kerbau tersebut).Dalam hal ini tondi babi/kerbau tersebut membawa sembah

/hormat penerima isteri kepada pemberi isteri yang kemudian akan sampai kepada

Debata (Tuhan/Allah).34

Dari penjelasan diatas Dalihan Na Tolu dapat dikategorikan sebagai wujud kebudayaan ideas, acivities, dan artifacts. Dikatakan sebagai ideas karena

Dalihan Na Tolu merupakan suatu gagasan yang merupakan nilai inti dari masyarakat Batak Toba dan bertalian satu dengan yang lainnya. Dalam wujud yang demikian sifatnya sangatlah abstrak, tak dapat di raba, maupun di foto.

Apabila Dalihan Na Tolu sudah di implementasikan dalam sebuah aktivitas seperti upacara adat dan kebiasaan „martutur‟ maka wujud dari sistem kekerabatan ini adalah activities. Martutur merupakan penelusuran mata rantai istilah kekerabatan jika ia berjumpa dengan orang Batak Toba lainnya. Hal tersebut untuk mengetahui apakah yang satu masih kerabat dari yang lainnya dan bagaimana cara yang seharusnya untuk saling bertutur sapa. Dalam wujud

33 Ibid., hlm. 43. 34 Ibid

Universitas Sumatera Utara 23

artifacts terlihat dalam pemberian ulos, jambar, dekke, dan yang lainnya.

Pemberian ulos, jambar, dekke, ataupun yang lainnya didasarkan pada Dalihan Na

Tolu.35

B. Sistem Kekerabatan Menurut Hukum Adat Batak Toba

Masyarakat Batak Toba menganut sistem garis keturunan patrilineal (garis keturunan pihak ayah). Dari garis keturunan ayah tersebut dikenal kelompok kekerabatan yang disebut marga. Marga merupakan suatu bentuk kelompok yang turun-temurun mulai dari 1 (satu) kakek yang terikat dengan pertalian darah.

Lebih jauh, J.C. Vergouwen bahwa: ”marga adalah kelompok orang-orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek bersama, dan garis keturunan itu diperhitungkan melalui bapak atau bersifat patrilineal. Semua anggota dari satu marga memakai nama identitas yang dibubuhkan sesudah nama kecil.36

Mengetahui hubungan kekerabatan antara seseorang dengan yang lainnya dilakukan dengan menelusuri silsilah leluhur beberapa generasi di atas mereka yang dalam bahasa Batak disebut “martarombo” atau ”martutur” adalah dengan marga.

Perkataan marga berasal dari bahasa sansekerta yang artinya jalan atau, satu arah, satu keturunan sedarah dan satu lingkaran adat”.37 Menurut Djaren

Saragih bahwa ”pada masyarakat Batak Toba marga ini sangat penting karena nama panggilan seseorang adalah marganya, bukan namanya. Jadi kalau orang

Batak yang baru pertama kalinya bertemu yang ditanya adalah marganya bukan

35 Ibid., hlm. 44. 36 J.C.Vergouwen, Op. Cit, hlm. 9. 37 T.M. Sihombing, Op. Cit, hlm. 57

Universitas Sumatera Utara 24

namanya, bukan tempat asalnya. Orang Batak hanya memanggil nama hanya kepada anak-anak.38

Marga dalam kehidupan sehari-hari, sangat berguna bagi orang batak, antara lainnya:

1. Mengatur tata pergaulan.

2. Mengatur tata cara adat,

3. Mengatur hubungan kekeluargaan. 39

Di kalangan masyarakat batak ”Dalihan Na Tolu” mengandung makna yaitu ”Somba mar hula hula”, “Elek marboru” dan ”Manat mar dongan tubu”.

Artinya ketiga pola inilah yang menjadi dasar atau pedoman dalam kehidupan sosial maupun kegiatan lainnya di masyarakat batak. Dilihat dari posisi “Dalihan

Na Tolu”, terdapat perbedaan struktural dan bahkan perbedaan prinsip (pendapat), akan tetapi melalui peran “Dalihan Natolu” seluruh aspek kegiatan tetap mengacu kepada hasil yang terbaik. Dalihan Na Tolu mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai suatu sistem kekerabatan, pergaulan dan kesopanan, sosial hukum (adat) dan akhirnya diakui menjadi falsafah hidup masyarakat Batak.48Dalam berhubungan dengan orang lain, orang Batak menempatkan dirinya dalam susunan Dalihan Na Tolu tersebut, sehingga selalu dapat mencari kemungkinan adanya hubungan kekerabatan di antara sesamanya (martutur, martarombo).40

”Somba mar hula hula”, berarti bersikap hormat kepada hula-hula yaitu marga dari pihak istri maupun marga ibu. Hula-hula diibaratkan seperti mata ni

38 Djaren Saragih, Op. Cit., hlm. 9. 39 Jailani Sihotang dan Sadar Sibarani, Pokok-Pokok Adat Batak (Tata Cara Perkawinan di Toba), (Jakarta : Mars 1988), hlm. 9. 40 S. Sagala, Majalah Budaya Batak dan Pariwisata, Nomor. 8, 1 (Medan : Yayasan Budaya Batak, 1996), hlm. 46

Universitas Sumatera Utara 25

ari binsar yang artinya memberikan cahaya hidup di segala bidang, yang harus dihormati karena diangggap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. “Elek marboru” berarti bersikap mengasihi atau menyayangi putri/boru dari semarga

(yang termasuk kelompok boru adalah pihak keluarga Hela termasuk orang tuanya dan keturunannya, setelah anak perempuannya kawin, ia akan ikut dengan marga suaminya), dan ”Manat mar dongan tubu” berarti bersikap hati-hati terhadap kerabat semarga, teman semarga adalah teman untuk menjalankan maupun menerima adat (semarga menurut garis keturunan bapak). Budaya Dalihan Na

Tolu perlu dilestarikan jangan sampai punah dengan cara mewariskan kepada generasi muda khususnya pemuda Batak, karena budaya ini merupakan kekayaan bangsa Indonesia.

Dalihan Na Tolujuga berfungsi menyelesaian perselisihan di antara suami istri, bersaudara dan juga dalam acara pernikahan, sehingga Dalihan Na Tolu sebagai falsafah batak masih dipertahankan. Dalihan Na Tolu harfiah adalah “tiga tungku sejarangan”. Inimerupakan sistem kekerabatan adat Batak yang terdiri dari hula-hula (bride giver), boru (bride taker) dan dongan tubu (kelompok saudara dalam satu marga).41

C. Sistem Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba

Hukum Adat Batak Toba mengenal perkawinan exogami yaitu pada prinsipnya orang Batak harus kawin dengan marga yang lain, atau dengan kata lain bahwa pada prinsipnya perkawinan antara marga yang sama adalah tidak diperbolehkan atau dilarang, misalnya seorang laki-laki dari marga A tidak boleh

41 Djaren Saragih, Op. Cit., hlm. 78.

Universitas Sumatera Utara 26

kawin dengan wanita marga A.42 Perkawinan semarga ini dalam hukum adat

Batak Toba dianggap perbuatan yang sangat tercela dan merupakan pelanggaran terhadap hukum adat dan dikenakan sanksi hukum adat yang sangat berat yaitu hukum “dihukum dikucilkan dari masyarakat adat, dikucilkan dari kegiatan adat dan bahkan hukuman itu dapat berupa diusir dari lingkungan masyarakat dan dari lingkungan adat masyarakat adat tersebut. Pelanggaran adat ini dalam hukum adat

Batak Toba disebut dengan manompas bongbong (bendungan atau ikatan marga) yang memiliki arti mengambil isteri dari marga atau klen sendiri.43

Pelanggaran terhadap adat tersebut di atas, maka timbullah reaksi dari masyarakat dan sanksi hukum adat terhadap pelanggar itu. Agar dia dapat diterima lagi di dalam masyarakat, harus sanggup menyediakan 4-7 ekor lembu dan babi untuk disembelih ditambah pembayaran sesuai dengan keputusan raja- raja adat.44 Adanya sanksi (hukuman) yang berat ini maka sangat jarang terjadi perkawinan semarga sehingga exogami marga ini tetap dijalankan dihormati dalam lingkungan hukum Adat Batak Toba, sehingga tetap terpelihara dalam lingkungan masyarakat adat. Larangan kawin semarga dalam masyarakat Batak

Toba ini kebanyakan hanya terbatas pada marga yang sama, yang termasuk sub marga besar.45

Masyarakat Batak mengenal istilah Asimetris Connubium, yaitu tidak diperbolehkannya perkawinan secara timbal balik. Misalnya seorang laki-laki bernama A Samosir kawin dengan seorang wanita B Nasution. Laki-laki yang

42 Kariahen Purba, Kedudukan Harta Perkawinan Menurut Ketentuan Hukum Adat Batak Toba Dikaitkan Dengan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Medan : FH-USU, 2001), hlm. 8 43 Ibid. 44 Ibid. 45 Ibid, hlm. 9

Universitas Sumatera Utara 27

kawin berasal dari marga yang berbeda dengan si wanita dan jika wanita yang bermarga Nasution itu mempunyai saudara laki-laki misalnya, P Nasution, maka ia tidak diperbolehkan kawin dengan seorang wanita saudara dari A Samosir tadi.

Walupun laki-laki dalam hal ini berbeda marga dengan perempuan, tetapi mereka tidak diperbolehkan untuk kawin. Hal inilah yang dinamakan Asimetris

Connubium. Oleh karena itu sistem perkawinan pada masyarakat Batak Toba di samping menganut sistem exogami, yaitu tidak diperbolehkan perkawinan dalam satu marga, juga tidak memperboleh adanya perkawinan timbal balik.46

Perkawinan yang ideal dalam masyarakat Batak Toba adalah perkawinan cross-cousin, yaitu perkawinan antara anak laki-laki dengan gadis anak pamannya

(saudara ibunya baik saudara kandung ibunya maupun saudara sepupu ibu). Jadi pemuda Batak boleh mengambil anak gadis pamannya untuk menjadi isterinya atau sering disebut dengan kawin dengan Boru Tulang/Pariban.47

Ada beberapa jenis perkawinan pada masyarakat Batak Toba, yaitu :48

1. Dialap Jual yaitu perkawinan adat dengan cara menjemput pengantin perempuan ke rumah orang tuanya karena pesta adat sepenuhnya dilakukan oleh pihak perempuan. 2. Ditaruhon Jual yaitu perkawinan adat dengan cara pengantin perempuan di antar ke rumah laki-laki. 3. Mangalua yaitu perkawinan yang dilakukan tanpa persetujuan salah satu atau kedua keluarga, sehingga laki-laki membawa pasangannya ke rumah keluarganya lalu diadakan upacara parajahon.

Perkawinan dalam adat Batak Toba haruslah diresmikan secara adat berdasarkan adat Dalihan Na Tolu. Adapun unsur-unsur Dalihan Na Tolu adalah sebagai berikut:

46 Djaren Saragih, Op. Cit, hlm. 32 47 Kariahen Purba, Op.Cit, hlm. 10 48 Nelson Lumbantoruan, Kearifan Lokal Masyarakat Batak Toba, (Medan : Mitra, 2012), hlm. 30-31

Universitas Sumatera Utara 28

1. Dongan Tubu

Dongan Tubu, yaitu yang semarga dengan suhut. Suhut ialah seseorang atau sekeluarga yang berhajat menggelar acara adat. Acara adat yang diharapkan suhut tidak akan terlaksana dengan baik bila tidak didukung oleh dongan tubunya.

Betapa pun si suhut itu kaya, pejabat tinggi, atau semacamnya, bila suhut itu tidak berjalan pada aturan adat maka adat yang digelar tersebut tidak akan terlaksana dengan baik.

Unsur yang disebut di atas mau dengan sepenuh hati mendukung atau menghadiri acara adat itu bila si suhut tersebut pada waktu sebelumnya aktif sebagai pelaku adat sesuai dengan posisinya. Hal ini dalam bahasa Batak Toba tertuang dalam pribahasa: Sisoli-soli do uhum siadapari do gogo yang artinya: hadirilah dan laksanakanlah kewajibanmu pada acara adat sesuai dengan posisimu, agar orang lain hadir dan melaksanakan kewajibannya pada acara adat yang dilaksanakan.49

2. Boru

Unsur boru di acara adat ialah para suami anak perempuan suhut dan suami anak perempuan dongan tubunya. Setelah anak perempuan kawin, ia akan ikut marga suaminya. Anak dari anak perempuan suhut yang sudah berkeluarga yang disebut bere itu juga tergolong boru di sebuah acara adat.50

3. Hula-hula

Hula-hula adalah sapaan terhadap saudara laki-laki dari isteri, saudara laki-laki dari ibu, saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan ayah, saudara laki-

49 Richard Sinaga, Perkawinan Adat Dalihan Natolu, (Jakarta : Dian Utama, 2013), hlm. 13 50 Ibid, hlm. 14

Universitas Sumatera Utara 29

laki dari ibu yang melahirkan kakek, saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan ayah kakek. Saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan ayah kakek sewaktu hendak melaksanakan perkawinan tentu saja sudah tiada, oleh karena itu yang mewakilinya adalah anak dan cucunya laki-laki.51 Selain yang disebut di atas, saudara laki-laki dari ibu yang melahirkan istri, saudara laki-laki dari istri saudara laki-laki, dan orang tua dari istri anak adalah juga sebagai hula-hula.

Perkawinan pada masyarakat Batak Toba sangat kuat sehingga tidak mudah untuk bercerai, karena dalam pelaksanaan perkawinan tersebut banyak orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab di dalamnya. Pelaksanaan perkawinan adat Batak Toba terdapat beberapa ketentuan-ketentuan tata cara perkawinan. Adapun tata cara perkawinan secara normal berdasarkan ketentuan adat Batak Toba adalah sebagai berikut:

1. Mangarisik-risik

Mangarisik-risik atau lazim juga disebut marhori-hori dinding sebaiknya hanya dilakukan orang tua atau wali calon pengantin laki-laki dengan menandatangi orang tua atau wali calon pengantin perempuan. Bawaan orang tua calon pengantin laki-laki cukup makanan biasa berupa makanan ringan. Hal yang dibicarakan dipertemuan ini ialah masalah berapa jumlah sinamot, pesta dilakukan paranak atau parboru, dan kira-kira kapan dilakukan pesta. Sebenarnya inilah yang disebut marhusip pada mulanya.52

2. Marhata Sinamot

Mulanya marhata sinamot itu harus dihadiri hula-hula masing-masing, yaitu tulang calon pengantin laki-laki dan tulang calon pengantin perempuan,

51 T.M. Sihombing, Filsafat Batak (Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat Istiadat), (Jakarta : Balai Pustaka, 1986), hlm. 3 52 Richard Sinaga, Op.Cit, hlm. 166

Universitas Sumatera Utara 30

akan tetapi ada baiknya acara marhata sinamot itu dianggap sudah resmi walaupun tidak dihadiri hula-hula. Acara marhusip yang dilakukan sekarang dianggap resmi adalah marhata sinamot supaya di gedung tidak ada lagi marhata sinamot. Sebab kurang pada tempatnya marhata sinamot di gedung padahal pengantin sudah diberkati di gereja, dan jambar juhut sudah dibagi.53

Perkawinan adat Batak Toba mengenal beberapa jenis sinamot yaitu : 54 a. Sinamot Nagok

Sinamot nagok adalah prinsip berkenalan kedua belah pihak yang dilaksanakan secara murni menurut kedudukan keluarga pada sistem kekerabatan masing-masing kedua belah pihak. Dengan sistem sinamot nagok ini memberi kesempatan untuk tawar menawar antara tingkat kekerabatan yang sejajar berapa besarnya todoan yang dapat disetujui masing-masing pihak serta berapa ulos yang dapat disetujui masing-masing mereka. Sinamot nagok pada adat nagok pesta adat peresmian perkawinan terlaksana dengan murni di mana pihak paranak memberikan sinamot dan pihak parboru membalasnya dengan ulos, saling bertukar yang disebut dengan istilah marsitaripar. b. Sinamot Rambu Pinungu

Prinsipnya sama dengan sinamot nagok tetapi sudah disederhakan. Upa suhut dan upa suhi ni ampang na opat (sejumlah uang yang diberikan kepada empat penerima pemberian uang) yaitu, upa pamarai, upa simolohon, upa pariban dan upa tulang digabungkan seluruhnya. Dalam hal ini suhut parborulah yang bertanggung jawab memberikan upa suhi ni ampang na opat dari jumlah sinamot gabungan tadi.

53 Ibid. 54 DJ. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, (Medan : Amanda, 2002), hlm.301-302.

Universitas Sumatera Utara 31

c. Sinamot Sitombol

Ada istilah pada pelaksana adat di Tanah Batak yaitu disi iba hundul di sima tano ni degehon, disi iba tindang sima langit dijunjung. Maksudnya adalah di mana seseorang duduk disitulah tanah dipijak dan di mana berdiri disitulah langit dijunjung. Sidapot solup do na ro maksudnya pendatang hendaklah mempergunakan takaran setempat. Hal ini timbul adalah karena ada perbedaan pelaksanaan adat berdasarkan daerah. Suku Batak terdiri enam sub Suku batak dan dari sub Suku Batak Toba masih ada perbedaan pelaksanaan adat karena keadaan daerahnya seperti Toba, Silindung, Samosir dan Daerah Humbang.

Prinsip adat itu memang sama, tetapi berdasarkan daerah tadi ada variasi pada pelaksanaan adat.

Sinamot Sitombol adalah sejumlah uang yang disepakati kedua belah pihak laki-laki dan pihak perempuan untuk pelaksanaan upacara adat perkawinan, yang diserahkan pihak laki-laki kepada pihak perempuan (orang tua perempuan) yang diperuntukkan untuk upa suhut, todoan, dan upa-upa lainnya dan keseluruhan biaya upacara perkawinan baik untuk panjuhuti maupun dengkena. Semua pelaksana adat pada upacara peresmian perkawinan dengan sinamot sitombol dilaksanakan pihak perempuan dengan mempergumakan sejumlah uang yang telah diserahkan pihak laki-laki kepadapihak perempuan sesuai dengan kesepakatan yang telah dimufakatkan pada waktu marhata sinamot.

3. Martonggo Raja-Marria Raja

Biasanya setelah selesai acara martumpol di gereja, masing-masing paranak dan parboru melakukan acara martonggo raja dan marria raja. Paranak nanti yang melakukan pesta, paranaklah yang disebut martonggo raja, sebaliknya

Universitas Sumatera Utara 32

kalau parboru nanti yang melakukan pesta, parborulah yang disebut martonggo raja dan paranak disebut marria raja. Acara ini dihadiri oleh dongan tubu, boru/bere dan dongan sahuta masing-masing. Hal yang dibicarakan di acara martonggo raja/marria raja adalah mempersiapkan segala sesuatu menghadapi pesta pernikahan.55

4. Marunjuk

Marunjuk adalah saat berlangsungnya upacara perkawinan, upacara perkawinan pada masyarakat Batak Toba ada dua macam yaitu alap dan taruhon jual. Alap jual adalah suatu upacara adat perkawinan adat Batak Toba yang tempat upacara perkawinan dilaksanakan di tempat atau di kampung perempuan.

Pengantin perempuan dijemput oleh pengantin laki-laki bersama orang tua, kaum kerabat dan para undangan ke rumah orang tuanya. Pihak pengantin laki-laki sering menyebut istilah ini mangalap boru (menjemput pengantin perempuan).

Pada acara merunjuk inilah akan berjalan semua upacara perkawinan dari makan sibuhai-buhai, pembagian, dan mangulosi.56

5. Paulak Une

Acara ini dimasukkan sebagai langkah agar kedua belah pihak bebas saling kunjung mengunjungi setelah beberapa hari berselang setelah upacara perkawinan yang biasanya dilaksanakan seminggu setelah upacara perkawinan, pihak pengantin laki-laki dan kerabatnya, bersama pengantin pergi ke rumah pihak orang tua pihak pengantin perempuan. Kesempatan inilah pihak perempuan mengetahui bahwa anak perempuannya betah tinggal di rumah mertuanya.57

55 Richard Sinaga, Op.Cit, hlm. 166 56 DJ. Gultom Rajamarpodang, Op. Cit, hlm.303 57 Richard Sinaga, Op.Cit, hlm.180

Universitas Sumatera Utara 33

6. Maningkir Tangga

Upacara ini pihak perempuan pergi mengunjungi pengantin di rumah pihak laki-laki, di mana mereka makan bersama melakukan pembagian jambar.

Hakekatnya maningkir tangga ini dimaksudkan agar pihak perempuan secara langsung melihat dari keadaan putrinya dan suaminya karena bagaimanapun juga mereka telah terikat hubungan kekeluargaan dan sekaligus memberi nasehat dan bimbingan rumah tangga.58

D. Kedukan Perempuan dalam Hukum Adat Batak Toba

Kata “kedudukan mengandung arti tingkatan atau martabat, keadaan yang sebenarnya, status keadaan atau tingkatan orang, badan atau negara”.59

Kedudukan dalam hal ini dapat diartikan sebagai status atau tingkatan seseorang di dalam mengemban dan melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai anggota keluarga, kerabat dan masyarakat.

Masyarakat hukum Indonesia jika ditinjau dari segi kekeluargaan adalah berbeda-beda, disetiap lingkungan adat ini masing-masing mempunyai sistem kekeluargaan yang berbeda pula. Begitu juga dalam hal kedudukan laki-laki dengan perempuan pada prinsipnya dan asasnya adalah berbeda. Hukum adat

Batak Toba merupakan salah satu hukum adat yang masih hidup dengan sistem kekerabatannya mengikuti garis keturunan ayah (patrilineal) yang membedakan kedudukan laki-laki dan perempuan. Laki-laki merupakan generasi penerus ayahnya, sedangkan perempuan tidak karena perempuan dianggap hanya bersifat

58 Ibid., hlm. 188. 59 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2006), hlm.38.

Universitas Sumatera Utara 34

sementara, dan suatu ketika perempuan akan menikah dan mengikuti suaminya, dan masuk ke dalam klan suaminya. Selama perempuan belum menikah, dia masih tetap kelompok ayahnya.

Seorang istri di dalam sebuah keluarga menjaga keutuhan rumah tangganya, setia dan berbakti kepada suami, serta merawat dan mendidik anak- anaknya sehingga mereka dewasa. Istri adalah pendamping suami dalam menegakkan rumah tangga. Sejak perkawinan terjadi istri telah masuk ke dalam keluarga suaminya dan melepaskan hubungan dengan keluarganya sendiri.

Walaupun sebenarnya hubungan itu tetap masih ada sebagaimana yang terdapat dalam Dalihan Na Tolu di tengah-tengah masyarakat Batak Toba, si istri telah menjadi hak dan tanggung jawab dari suaminya dan istri mempunyai hubungan hukum semata-mata bukan hanya suami saja tetapi juga terhadap suaminya.

Tujuan perkawinan adalah untuk melanjutkan keturunan. Apabila istri telah melahirkan anak laki-laki posisinya adalah kuat di dalam keluarga. Oleh karena itu, apabila dalam sebuah keluarga hanya mempunyai anak perempuan maka keluarga tersebut dianggap punah. Kedudukan suami dan istri di dalam rumah tangga dan masyarakat adalah tidak seimbang ini karena pengaruh dari sistem kekeluargaan patrilineal yang dianut oleh masyarakat Batak Toba.

Perkawinan dalam adat Batak Toba bukanlah urusan pribadi namun lebih dari itu yaitu urusan keluarga, clan/kerabat dan persekutuan. Lebih jauh menurut

Soerjono Soekanto mengatakan “perkawinan sebagai urusan keluarga dan kerabat menpunyai fungsi untuk memungkinkan pertumbuhan secara tertib suatu masyarakat kerabat melalui angkatan/generasi baru, dimana anak-anak yang

Universitas Sumatera Utara 35

dilahirkan dari perkawinan itu meneruskan masyarakat keluarga dan kerabat yang sekaligus berfungsi untuk meneruskan tertib clan ataupun suku.60

Budaya Batak Toba mengenal tujuan hidup atau nilai-nilai yang berhubungan dengan keturunan, yaitu:

1. Hagabeon (diberkati karena keturunan, apalagi sudah punya anak laki-laki).

2. Hamoraon (kaya).

3. Hasangapon (prestice).61

Pergeseran makna hagabeon terjadi dalam hal pendidikan anak bahwa menjadikan anak sarjana sudah menjadi kebutuhan bagi orang Batak baik di kota maupun di kampung. Mereka menganggap pendidikan adalah satu-satunya jalan menuju kemuliaan hidup.62 Dalam hal inilah perempuan Batak sangat berperan.

Perempuan Batak yang berjualan cabe dan bawang beralaskan karung goni di pasar mampu mengirimkan uang kepada anaknya setiap bulan untuk bersekolah, sehingga anaknya menjadi insinyur dan orang terkenal. Dengan gigih mereka berjuang. Semua itu mereka lakukan demi anakhonhi do hamoraon di ahu.

Bila hagabeon tercapai dalam arti memiliki anak sarjana, pandai mencari uang dan kaya, bahkan terkenal, dengan sendirinya tujuan hidup yang lain hamoraon dan hasangapon juga tercapai. Karena sekarang sudah banyak orang

Batak menjadi berpendidikan, berpangkat, kaya dan terkenal dalam berbagai bidang profesi, maka tujuan hidup menjadi sangap (terhormat, gengsi) juga dikait- kaitkan dengan adanya jaringan hubungan dengan kaum elit Batak tersebut.

60 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Op.Cit. hlm. 28 61 Djaren Saragih, Op. Cit., hlm. 79 62 Ibid., hlm. 80.

Universitas Sumatera Utara 36

Khusus, mengenai tujuan hidup yang utama itu, dalam pandangan Batak tradisional memiliki banyak anak adalah sangat penting. Dalam banyak upacara perkawinan selalu diungkapkan permohonan berkat agar keluarga diberi karunia banyak keturunan (maranak sapulu pitu, marboru sapulu onom).

Setiap keluarga mengharapkan agar perkawinan yang telah dibina dapat berjalan harmonis. Keharmonisan keluarga mempunyai peranan yang cukup besar dalam pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Kepribadian anak dapat tumbuh secara baik jika pendidikan diberikan kepada anak disertai dengan perhatian dan kasih sayang. Perhatian demikian akan tercurah dengan baik bila keluarga itu punya hubungan harmonis diantara anggota keluarga, tanpa ada pilih kasih.

Kewajiban pemeliharaan anak bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmani tetapi juga kebutuhan rohani. Dalam sebuah keluarga selalu mengharapkan agar perkawinan yang telah dibina dapat berjalan dengan langgeng dan menjadi suatu keluarga yang bahagia dan sejahtera. Keharmonisan keluarga, mempunyai peranan yang cukup besar dalam pertumbuhan dan perkembangan jiwa seorang anak ke arah yang lebih baik, sebaliknya bila hubungan yang kurang harmonis di tengah-tengah keluarga dapat menyebabkan seorang anak tumbuh menjadi tidak baik. Keluarga yang bahagia dan sejahtera menjadi idaman setiap keluarga bila dapat terwujud.

Masyarakat hukum di Indonesia jika ditinjau dari segi kekeluargaan adalah berbeda-beda, dimana setiap lingkungan adat ini masing-masing mempunyai sistem kekeluargaan yang berbeda-beda pula. Begitu juga dalam hal kedudukan

Universitas Sumatera Utara 37

laki-laki dengan perempuan dalam sebuah keluarga pada prinsipnya adalah berbeda.

Dalam peta geneologis orang Batak Toba hanya dapat ditelusuri melalui garis garis laki-laki. Anak perempuan tidak tercatat dalam peta tersebut. Dalam sistem patrilineal itu laki-laki dengan perempuan menyandang hak dan kewajiban yang berbeda terhadap clan mereka. Laki-laki sejak kecil sudah disadarkan bahwa mereka harus memiliki pengetahuan mengenai sejarah dan kebudayaan Batak

Toba, dan mereka bertanggung jawab terhadap kelangsungan clan ayahnya. Bila laki-laki sepanjang hidupnya hanya mengenal clan ayahnya, maka perempuan mengenal dua clan, yaitu clanayahnya dan clan suaminya (bila sudah menikah).

Walaupun perempuan berkaitan dengan kedua clan tersebut tetapi kedudukan perempuan tidak jelas/tidak pernah menjadi anggota penuh dari kedua clan tersebut.63

Anak dalam keluarga orang Batak Toba menjadi harta berharga bila dibandingkan dengan yang lain, terutama dalam keluarga masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan. Dimana laki-laki diharuskan berhasil sehingga dapat meningkatkan derajad sosial dari marganya, bila berhasil menjadi sarjana atau bekerja merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Bagaimanapun cantik, pintar dan baiknya kehadiran kedua putrid tersebut oleh banyak orang Batak, belum dianggap cukup untuk membanggakan dan membahagiakan ayah-ibunya, ompungnya, keluarga besarnya, apalagi dunia kebatakan.

Kedudukan perempuan dalam struktur kekerabatan Batak Toba pada prinsipnya masih berbeda, bila dibandingkan dengan laki-laki. Seperti terlihat

63 Sulistyowati Irianto, Op. Cit, hlm. 9.

Universitas Sumatera Utara 38

pada pesta-pesta Batak hampir tidak pernah terlihat ada perempuan duduk di barisan depan, ikut berbicara dan mengambil keputusan. Namun dalam lingkup pertemuan keluarga yang lebih kecil para perempuan sudah diizinkan berbicara tetapi hanya sebagai pendahuluan saja, seperti acara pemberian nama kepada anak

(tardidi), acara memberi kata penghibur bagi keluarga yang berduka

(mangapuli).64

Masyarakat Batak dengan sistem kekerabatan mengikuti garis keturunan si bapak (patrilineal), dimana dibedakan antara laki-laki dengan perempuan.

Sebagai anak laki-laki merupakan generasi penerus marga dari pihak bapaknya, sedangkan perempuan tidak. Hal ini dikarenakan, setelah menikah marganya tidak akan dipakai tetapi masuk kepada marga dari keluarga suaminya. Selama perempuan belum kawin dia masih tetap kelompok ayahnya.

Adat Batak kuno menganggap perempuan nyata-nyata lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan bukanlah pribadi bebas dan otonom, tetapi sub- ordinat atau perpanjangan tangan laki-laki. Itulah yang menyebabkan dalam pesta- pesta batak sampai hari ini termasuk di kota metropolitan seperti Jakarta hampir tidak pernah menyaksikan ada perempuan duduk di barisan depan, ikut berbicara dan mengambil keputusan. Peempuan ada di barisan belakang dan diam (atau ngobrol sendiri dengan sesamanya) tak ubah penghias atau asesori pesta, atau sibuk di dapur sebagai pembantu (parhobas) saja.

Beberapa istilah dalam adat batak yang merendahkan martabat perempuan antara lain:

64 Jailani Sihotang dan Sadar Sibarani, Op. Cit., hlm. 16.

Universitas Sumatera Utara 39

1. Sigoki jabu ni halak do ianggo boru (perempuan adalah untuk mengisi rumah orang), 2. Mangan tuhor ni boru (perempuan dianggap barang dagangan yang diperjualbelikan). 3. Holan anak do sijalo teanteanan (zaman dahulu ada tuntutan untuk mendahulukan anak laki-laki dalam melestarikan marga dan juga pertahanan, sehingga anak laki-laki berhak memiliki serta berbicara mengenai ikatan adat secara hukum.65

Pada masa dulu laki-laki sangat dibedakan dengan perempuan dalam perhatian keluarganya, karena perempuan nantinya akan masuk ke dalam marga suaminya. Dan juga bila laki-laki berhasil maka saudara perempuan bangga bila saudaranya laki-laki/“ito” nya berhasil. Namun pemahaman sudah mulai bergeser, bukan saja laki-laki yang diberi perhatian lebih, namun perempuan juga telah sama diperhatikan dalam hal pendidikan, perhatian dan kasih sayang, karena perempuannya adalah darah daging dari orangtuanya juga. Bahkan suatu saat kelak bahwa tingkat taraf hidup bukan saja dilihat dari keberhasilan laki-laki saja tetapi juga perempuan, dan bila perempuan menikah dan dapat suami (hela) yang dapat mengangkat derajad kehidupan dari suatu keluarga tersebut.

Laki-laki dalam keseharian lebih diistimewakan di banding perempuan.

Laki-laki, karena alasan membawa nama keluarga lebih dijunjung, dengan melakukan berbagai usaha supaya dapat sekolah setinggi-tingginya, yang akhirnya diharap memperoleh nama dan kedudukan di tengah masyarakat. Sedangkan perempuan karena karena dianggap akan menjadi milik marga lain maka cukuplah kalau tahu baca dan tulis. Perempuan sedari kecil dilatih untuk hormat kepada saudara laki-laki walaupun lebih muda dari dia. Perempuan dilatih untuk melayani laki-laki, bahkan untuk hal-hal yang bisa dilakukan sendiri misalnya: mengambil

65 J.C. Vergouwen, Op.Cit, hlm. 485.

Universitas Sumatera Utara 40

piringnya (ketika hendak makan), mencuci piring dan berbagai pekerjaan rumah lainnya. Ketika anak perempuan sibuk di dapur, anak laki-laki bisa dengan tenang bermain catur menunggu makan malam selesai disiapkan.

Akibatnya, seorang perempuan memiliki konsep bahwa harus mengalah kepada laki-laki. Laki-laki adalah raja yang harus ditaatinya, dilayaninya dan kepentingan merekalah yang harus didahulukan. Konsep ini akan diturunkan lagi kepada putrinya kelak. Bagi laki-laki sendiri, kerugiannya ada juga, walau tidak seberat yang dialami perempuan. Seorang laki-laki akan kesulitan hidup mandiri atau sendiri. Jika tidak ada perempuan untuk melayaninya, ia akan kebingungan dan cenderung mencari seseorang yang bisa melakukan peran itu. Dia kesulitan untuk mengurus dirinya sendiri.

Ketidakadilan dalam keluarga Batak Toba tidak sulit ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Ketidakadilan itu dialami oleh perempuan terlihat dalam adat seperti: peran dalam pesta, mahar (tuhor), hak kepemilikan, pembagian harta warisan yang akan dibahas pada bagian tersendiri dan hak mengeluarkan pendapat dalam pertemuan resmi/pengambilan keputusan.

Universitas Sumatera Utara BAB III

SISTEM PEWARISAN PADA MASYARAKAT ADAT BATAK TOBA

A. Sistem Pewarisan dalam Hukum Adat Batak Toba

Hukum waris mengandung tiga unsur yaitu adanya harta peninggalan atau harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya. Hukum waris adat di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh bentuk susunan kemasyarakatannya, yaitu sistem keturunan dan kekerabatannya.

Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral.66

Kenyataannya pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem pewarisan yang sama. Di Indonesia dijumpai tiga macam sistem kewarisan, yaitu :

1. Sistem pewarisan individual Ciri sistem pewarisan individual ialah bahwa harta peninggalan itu terbagi- bagi pemilikannya kepada para waris, sebagaimana menurut hukum perundang-undangan KUH Perdata dan hukum Islam, begitu pula berlaku di lingkungan masyarakat adat seperti pada keluarga-keluarga Jawa yang parental, atau juga pada keluarga-keluarga Batak yang patrilineal. 2. Ciri sistem pewarisan kolektif ialah bahwa harta peninggalan itu diwarisi atau dikuasai oleh sekelompok waris dalam keadaan tidak terbagi-bagi, yang seolah-olah merupakan suatu badan hukum keluarga/kerabat (badan hukum adat). Sistem pewarisan ini dikenal di Minangkabau dan juga di Lampung. 3. Ciri sistem pewarisan mayorat ialah bahwa harta peninggalan orang tua (pusaka rendah) atau harta peninggalan leluhur (pusaka tinggi) tetap utuh

66 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, Op.Cit, hlm. 211.

41

Universitas Sumatera Utara 42

tidak di bagi-bagi kepada para waris, melainkan dikuasai oleh anak tertua lelaki (mayorat pria) di lingkungan masyarakat patrilineal Lampung dan juga di , atau tetap dikuasai anak tertua perempuan (mayorat wanita) di lingkungan masyarakat matrilineal Sumando dan Sumatera Selatan dan Lampung.67

Di kalangan masyarakat Batak sendiri pun dijumpai adanya sistem pewarisan. Masyarakat Batak yang dikenal menganut ciri kekeluargaan bercorak patrilineal yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan bapak. Di mana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dibanding dengan kedudukan wantia di dalam pewarisan. Hilman Hadikusuma mengatakan, dengan ciri kekeluargaan patrilineal itu masyarakat Batak menganut milik perseorangan, jadi bersistem individual.68

Masyarakat Batak Toba sebagai bagian dari masyarakat Batak secara keseluruhan bertumpu pada garis keturunan yang ditarik menurut garis bapak.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa masyarakat Batak Toba sistem pewarisannya berciri individual.

Kata pewaris digunakan untuk menunjukkan orang yang meneruskan harta peninggalan ketika hidupnya kepada ahli waris atau orang yang setelah wafat meninggalkan harta peninggalan yang diteruskan atau dibagikan kepada ahli waris. Pewaris adalah empunya harta peninggalan, atau empunya harta warisan.

Pewarisan adat harus diingat pada susunan kekerabatan yang mempengaruhinya dan bentuk perkawinan yang dilakukan ketika hidupnya pewaris.

Masyarakat Batak Toba, susunan kekerabatannya mempertahankan garis keturunan pria (patrilineal) sebagaimana berlaku di Batak pada umumnya, maka

67 Ibid., hlm. 24. 68 Djaren Saragaih, Op. Cit., hlm. 25.

Universitas Sumatera Utara 43

yang berkedudukan sebagai pewaris adalah kaum pria, yaitu ayah atau pihak ayah

(saudara-saudara pihak ayah), sedangkan kaum perempuan bukan pewaris. Jadi ibu atau pihak ibu, saudara-saudara ibu pria dan wanita bukan ahli waris. Pria yang berhak menjadi pewaris, adalah pria yang melakukan perkawinan dengan pembayaran jujur atau dalam adat perkawinan di Batak Toba disebut dengan perkawinan taruhon jual (eksogami-patriarcht).

Ahli waris adalah orang yang berhak mendapat harta warisan. Tetapi ada orang yang tidak merupakan ahli waris, namun ia turut mendapat harta warisan misalnya pemberian. Dalam kekerabatan patrilineal semua anak lelaki adalah ahli waris, sedangkan anak perempuan bukan ahli waris, tetapi mungkin mendapat warisan sebagai pemberian. Begitu pula istri sebagai janda bukan ahli waris dari suaminya yang telah meninggal, tetapi jika anak-anaknya masih kecil belum mampu menguasai harta warisan, maka yang berkuasa dan memelihara atas harta warisan tersebut adalah istrinya, sampai anak-anaknya dewasa. Jika anak-anak sudah dewasa dan harta warisan akan dibagikan, maka si istri boleh mendapat bagian, atau ia ikut pada anak yang tertua.

Di masyarakat Batak Toba seperti halnya di tanah Batak pada umumnya anak perempuan bukanlah ahli waris, tetapi mereka selama hidupnya (belum kawin) berhak memakai dan menikmati harta orangtuanya dalam batas kebutuhan penghidupannya. Bahkan, janda bukan merupakan ahli waris dari suami tetapi merupakan penghubung atau jembatan pewarisan dari ayah kepada anak-anaknya yang lelaki, maka begitu juga sebenarnya suami bukan waris dari isterinya yang meninggal karena menurut alam pikiran dalam sistem kekerabatan ini isteri adalah

Universitas Sumatera Utara 44

milik suami, apalagi harta bawaan dan harta pencahariannya yang selama perkawinan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dan tidak terbagi bagi kedudukannya, maka untuk seorang duda dapat dikatakan tidak ada masalah, ia tetap berkewajiban mengurus anak dan harta kekayaan mereka. Apakah ia kelak kawin lagi dengan mengambil adik kandung si isteri ataukah dengan orang lain tidak mempunyai kedudukan harta warisan, oleh karena hak mewaris tetap pada anak-anaknya yang lelaki.

B. Subyek Hukum dalam Hukum Waris Adat Batak Toba

Hukum Adat Batak Toba merupakan salah satu hukum adat yang masih hidup dengan sistem kekerabatannya mengikuti garis keturunan ayah (patrilineal) yang membedakan kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki merupakan generasi penerus ayahnya, sedangkan anak perempuan tidak karena anak perempuan dianggap hanya bersifat sementara, dan suatu ketika anak perempuan akan menikah dan mengikuti suaminya, dan masuk ke dalam klan suaminya. Selama anak perempuan belum menikah, dia masih tetap kelompok ayahnya.

Seorang istri dalam keluarga wajib menjaga keutuhan rumah tangganya, setia dan berbakti kepada suami, serta merawat dan mendidik anak-anaknya hingga mereka dewasa. Istri adalah pendamping suami dalam menegakkan rumah tangga. Sejak perkawinan terjadi istri telah masuk ke dalam keluarga suaminya dan melepaskan hubungan dengan keluarganya sendiri. Walaupun sebenarnya hubungan itu tetap masih ada sebagaimana yang terdapat dalam Dalihan Na Tolu di tengah-tengah masyarakat Batak Toba, Si istri telah menjadi hak dan tanggung

Universitas Sumatera Utara 45

jawab dari suaminya dan istri mempunyai hubungan hukum semata-mata bukan hanya terhadap suami saja tetapi juga terhadap kerabat suaminya.

Masyarakat batak menganut sistem kekeluargaan patrilineal yaitu garis keturunan ditarik dari ayah. Hal ini terlihat dari marga yang dipakai oleh orang

Batak yang turun dari marga ayahnya. Melihat dari hal ini jugalah secara otomatis bahwa kedudukan kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat adat dapat dikatakan lebih tinggi dari kaum wanita.

Sistem pewarisan dalam hukum adat Batak Toba adalah :

1. Sistem Pewarisan Individual Pada keluarga-keluarga patrilineal di tanah Batak pada umumnya berlaku sistem pewarisan individual ini, yaitu harta warisan terbagi-bagi kepemilikannya kepada masing- masing ahli waris. Salah satu kelebihan sistem pewarisan individual ini adalah dengan adanya pembagian terhadap, harta warisan kepada masing-masing pribadi ahli waris, mereka masing-masing bebas untuk menentukan kehendaknya terhadap bagian warisan itu. 2. Sistem pewarisan mayorat laki-laki Pada masyarakat suku Batak selain sistem pewarisan individual ada juga sebagian masyarakat yang menggunakan sistem pewarisan mayorat laki-laki, yaitu sistem pewarisan yang menentukan bahwa harta warisan seluruhnya dikuasai dan dipelihara oleh anak laki-laki sulung.69

Subyek dalam hukum waris Batak Toba adalah :

1. Pewaris Orang atau subyek yang berkedudukan sebagai pemilik harta kekayaan yang meneruskan/ mewariskan harta peninggalannya ketika ia masih hidup atau ketika la sudah meninggal dunia. Pada suku Batak yang disebut pewaris adalah pihak laki-laki (ayah). 2. Ahli waris Ahli waris utama yang berlaku di tanah Batak adalah terhadap anak laki-laki meskipun harta benda yang telah dibawakan kepada anak-anak perempuan tidak boleh diabaikan. Menurut asas hukum waris adat Batak Toba, yang berhak atas warisan seorang ayah hanyalah anak laki-laki. Hal ini dapat diperlunak dengan pembekalan tanah pertanian atau ternak si ayah kepada anak-anak perempuannya yang tidak kawin dan yang akan kawin, serta pemberian kepada keturunan sulung dari anak perempuannya tersebut (cucu si pewaris).70

69 Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hlm. 15-16 70 Ibid., hlm. 19

Universitas Sumatera Utara 46

Biasanya menjadi ahli waris dari harta peninggalan orang tuannya adalah anak kandung, yaitu anak yang lahir dari kandungan ibunya dan ayah kandungnya, bisa juga disebut sebagai anak sah. Anak angkat bisa juga menjadi ahli waris dari orang tuanya angkatnya, tapi tidak bisa mewaris dari orang tuakandungnya. Bahwa obyek dalam hukum waris adat Batak adalah harta warisan, yaitu harta benda yang dimiliki oleh si pewaris yang diteruskan semasa hidupnya atau yang ditinggalkan oleh pewaris yang sudah meninggal dunia; dan diteruskan dalam keadaan tidak terbagi-bagi, jenis-jenisnya adalah :

1. Harta bawaan harta kekayaan yang dibawa oleh suami dan istri ke dalam perkawinan sebagai modal di dalam kehidupan rumah tangga yang bebas dan berdiri sendiri. Telah menjadi asas umum yang berlaku di dalam hukum adat bahwa suami dan istri yang memperoleh harta yang berasal dari warisan atau hibah, akan tetap menjadi milik suami dan istri. Harta bawaan itu dapat berupa tanah, kebun dan perhiasan lainnya. Pada masyarakat Batak pemberian harta benda dari orang tua kepada anak-anaknya, baik laki-laki atau perempuan disebut dengan "Holong Ate" (kasih sayang). 2. Harta pencaharian bersama suami istri harta ini adalah harta yang diperoleh oleh keluarga itu sebagai hasil kerja sama antara suami dan istri dalam rangka biaya kehidupan rumah tangga, selama berjalannya kehidupan rumah tangga. Semua pendapatan dan penghasilan suami istri yang didapat selama perkawinan mereka. Harta ini kelak dapat ditinggalkan dan diteruskan kepada keturunan mereka.71

C. Pembagian Warisan dalam Adat Batak Toba

Warisan adalah semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia (pewaris), baik harta benda itu sudah dibagi atau belum terbagi atau memang tidak dibagi. Jadi apabila membicarakan tentang harta warisan maka berarti mempersoalkan harta kekayaan seseorang (pewaris) karena telah wafat dan

71 Ibid., hlm. 25.

Universitas Sumatera Utara 47

apakah harta kekayaan orang itu akan (dapat) dibagi, atau belum dapat dibagi atau memang tidak dapat dibagi.

Umumnya seorang yang meninggal dunia atau seorang pewaris ada memiliki dua bahagian harta benda yaitu harta pusaka dan harta pencaharian. Di samping kedua bagian harta tersebut mungkin juga ditemukan adanya harta yang diperoleh atau didapat seseorang pewaris semasa hidupnya sebagai hadiah dari orang lain, maka untuk harta demikian dapat dipersamakan dengan harta pencaharian.

Menurut hukum adat Batak Toba bahwa yang dimaksud dengan harta pusaka adalah harta yang diperoleh atau didapat seseorang, dimana harta tersebut diperolehnya dari kakeknya/ompungnya yang telah meninggal. Umumnya, objek harta pusaka adalah berupa tanah (tano), rumah (jabu), dan sawah (hauma).

Walaupun ada juga seseorang memiliki harta bergerak (lumbung padi, ternak, pohon, piutang) yang diperolehnya dari kakeknya yang telah meninggal, harta demikian umumnya tidak dipandang sebagai harta pusaka. Menurut pandangan orang Batak Toba sulit rasanya untuk mengetahui atau menentukan apakah harta bergerak itu merupakan harta yang diperoleh dari kakeknya atau tidak. Di samping itu harta bergerak sangat mudah diasingkan dibandingkan dengan harta yang tidak bergerak.

Harta pencaharian adalah segala harta yang tidak termasuk ke dalam harta pusaka. Untuk harta pencaharian ini tidak dibedakan dengan harta yang diperoleh seseorang sebagai hadiah dari pemberian orang lain. Untuk harta pencaharian dapat juga diberikan kepada anak laki-laki yang melangsungkan perkawinan yang tidak dibicarakan sewaktu pembagian harta warisan sesuai dengan adat. Karena

Universitas Sumatera Utara 48

pewarisan harta pencaharian, proses pewarisannya diserahkan sepenuhnya kepada pewaris. Di sini pengaruh kerabat dekat suaminya tidak ada dan terhadap anak perempuan juga dapat diberikan harta pencaharian ini. Sedangkan dengan harta pusaka yang masih terasa adanya pengaruh kerabat dekat si pewaris apabila harta tersebut hendak diwariskan. Seorang ahli waris yang memperoleh bagian dari harta warisan berupa harta pusaka, kemudian dari harta penggunaan harta pusaka ini dia menjadi kaya, maka hartanya yang terakhir ini bukan termasuk ke dalam harta pusaka, melainkan termasuk ke dalam harta pencaharian.

Penggunaan harta pusaka seseorang menjadi kaya, maka hartanya yang terakhir ini bukan termasuk ke dalam harta pusaka, melainkan termasuk ke dalam harta pencaharian. Proses pewarisan yang merupakan pengoperan barang-barang harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli warisnya dapat dilakukan ketika pewaris itu masih hidup atau setelah meninggal dunia.

Menurut Hilman Hadikusuma bahwa yang dimaksud dengan proses pewarisan atau jalannya pewarisan adalah cara bagaimana pewaris berbuat untuk meneruskan atau mengalihkan harta kekayaan yang akan ditinggalkan kepada para waris ketika pewaris itu masih hidup dan bagaimana cara warisan itu diteruskan penguasaan dan pemakaiannya atau cara bagaimana melaksanakan pembagian warisan kepada para waris setelah wafat.72

Pada masyarakat Batak Toba, pewarisan semasa hidupnya pewaris biasanya dilakukan oleh seorang ayah kepada anak-anaknya yang sudah kawin dan manjae(mandiri, tidak satu rumah), yang pemberiannya dilakukan secara lisan saja. Apabila seorang anak kawin tetapi belum manjae, maka anak tersebut

72 Hilman Hadikusuma, Op. Cit., hlm. 95

Universitas Sumatera Utara 49

bersama isterinya berada dalam satu rumah dengan orang tuanya, karena anak tersebut beserta isterinya belum merupakan “ripe” yang berdiri sendiri menurut hukum adat. Tetapi apabila kelak anak tersebut manjae, yang berarti berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka oleh orang tuanya dia diberi arta panjaean berupa sebagian dari harta benda orang tuanya sebagai modal permulaan bagi keluarga baru dari anaknya. Setelah anak tersebut dipanjae barulah ia dapat disebut sebagai ripe yang mandiri menurut hukum adat. Harta yang diterima anak tersebut (arta panjaean) selalu diperhitungkan pada waktu orang tuanya meninggal, terutama jika pada saat meninggalnya orang tua tersebut masih ada ahli waris yang belum menerima bagiannya.

Dengan diberikannya panjaean yang terdiri dari sebagian harta benda ayah kepada anaknya sewaktu manjae, maka pada saat tersebutlah berakhir pertanggungjawaban bapak tersebut anaknya dalam hidup bermasyarakat dan sekaligus berakhirlah pertanggungjawabannya untuk memenuhi kebutuhan hidup isteri anaknya (parumaen-nya).

Pewarisan semasa hidupnya pewaris terutama kepada semua anak-anaknya yang sudah kawin dan manjae (mencar) atas segala harta bendanya, terjadi apabila ayah dan ibu tidak kuat lagi bekerja. Setelah diadakannya pewarisan tersebut, maka ayah atau ibu seakan-akan menumpang kepada anak-anaknya. Pewarisan semasa hidupnya pewaris bisa juga terjadi walaupun ayah dan ibu masih sehat.

Dalam hal ini jika ayah mempunyai tiga orang anak, maka ayah membagi segala harta bendanya atas empat bagian. Tiap-tiap anak termasuk ayah sendiri memperoleh satu bagian.

Universitas Sumatera Utara 50

Berdasarkan hal-hal yang diutarakan diatas, maka ternyata bahwa pewarisan pada masyarakat Batak Toba bisa juga terjadi pada waktu pewaris masih hidup, di mana segala kewajiban dari pewaris termasuk kewajibannya kepada dirinya sendiri berpindah bersama segala harta bendanya kepada para ahli warisnya. Para ahli waris tersebutlah yang melangsungkan pengerjaan segala kewajiban pewaris termasuk mengurus kepentingan diri pribadi dari pewaris sendiri. Juga bisa terjadi hanya sebahagian dari kewajiban pewaris yang berpindah bersama sebahagian harta bendanya kepada ahli waris yang menerima kewajiban tersebut.

Apabila pemberian oleh si ayah kepada anaknya yang perempuan dilakukan pada waktu pewarisan, ataupun diterima oleh anak perempuan tersebut pada waktu pembagian harta peninggalan oleh saudara-saudaranya, maka pemberian itu disebut “ulos na so buruk”, artinya kain yang tak kunjung buruk.

Jelaslah bahwa menurut hukum adat Batak Toba, anak perempuan walaupun bukan ahli waris, tetapi berdasarkan lembaga holong ni ate anak perempuan patut mendapat pemberian dari harta peninggalan ayah kandungnya. Mengenai pengakuan terhadap lembaga holong ni ate ini dapat dilihat dalam putusan

Mahkamah Agung tanggal 31 Januari 1968 Reg. No. 136 K/Sip/1967. Tentang hal-hal tersebut diatas, maka oleh karena itu adalah merupakan pesan pewaris sewaktu ia masih hidup, maka pesan tersebut barulah mempunyai kekuatan untuk berlaku sesudah pewaris tersebut meninggal.

Universitas Sumatera Utara BAB IV

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM PEWARISAN HUKUM ADAT BATAK TOBA (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 566 K/Pdt/2015)

A. Kedudukan Perempuan Dalam Pewarisan Hukum Adat Batak Toba

1. Hak Waris Perempuan dalam Pembagian Harta Warisan Pada

Masyarakat Adat Batak Toba

Dalam hukum waris, laki-laki yang mewarisi harta peninggalan bapaknya.

Jika ada laki-laki, hanya merekalah yang menjadi ahli waris. Apapun yang diperoleh bapak melalui keringatnya sendiri, dipungka, tidak pernah boleh jatuh ke tangan satu anak saja, dia mesti dibagi-bagi di antara semua anak lelaki, atau tetap tidak dibagikan. Anak perempuan bersama harta peninggalan ayahnya berpindah ke tangan ahli waris yang kemudian berdasarkan kebijaksanaannya sendiri atau adat menentukan bagian yang menjadi perolehan anak perempuan tersebut. Apalagi seorang janda dengan atau tanpa anak laki-laki tidak dapat mewarisi harta peninggalan suaminya, hanya boleh mengelola harta peninggalan suaminya sebelum kemudian beralih ke tangan ahli waris. Jika janda tersebut tidak mempunyai keturunan, atau hanya keturunan anak perempuan, maka harta peninggalan suaminya beralih ke kerabat dari suaminya.

Ahli waris dalam adat Batak Toba adalah laki-laki, namun perempuan melalui upacara adat dapat meminta bagian dari harta kekayaan ayahnya baik semasa hidup ayahnya maupun sesudah meninggal dunia. Ada pemberian yang dapat dilakukan oleh seorang ayah kepada anak perempuannya selagi masih kecil, ada harta bawaan serta panjarnya yang diserahkan pada pertunangan anak

51

Universitas Sumatera Utara 52

perempuan selagi dia masih anak kecil, ada pemberian yang diserahkan sesudah dan selama dia berumah tangga, atau yang serahkan kepada anak-anaknya.

Tetapi apa yang dapat diterima anak perempuan tersebut tidaklah dalam arti hak, melainkan imbauan kepada saudara laki-lakinya agar diberi sebagian dari kekayaan yang ditinggalkan oleh ayahnya. Jika tidak ada anak laki-laki, imbauan tersebut bisa ditujukan kepada paman atau kerabat yang lebih jauh. Biasanya anak perempuan harus mengajukan permintaanya itu kepada ayahnya di saat ayahnya menjelang ajal, atau kepada saudara laki-lakinya bila ayahnya sudah tiada, melalui upacara manulangi. Namun permintaan ini tidak dapat dilakukan jika masih ada anak laki-laki yang belum kawin atau anak perempuan tersebut belum menikah, atau jika masih ada ibu yang ongkos hidupnya harus diambilkan dari harta peninggalan.

Besarnya bagian yang diserahkan kepada anak perempuan tergantung dari keadaan. Anak sulung yang mengambil keputusan, harus mempertimbangkan hak dan kepentingan semua adik laki-laki dan adik perempuan. Menurut Vergouwen bahwa hampir tidak pernah terjadi hubungan yang sumbang antara hula-hula dan boru karena perkara ini, paling-paling hanya tarik urat mengenai apa yang pernah dijanjikan tetapi tidak diberikan. Hakim biasanya tidak pernah repot dalam menghadapi perselisihan semacam itu.73

Jika ibu masih hidup dan anak-anak perempuan belum menikah, si ibu akan disetujui mengelola bagian terbesar harta kekayaan, dan ahli waris akan menetapkan besarnya pauseang (hadiah perkawinan) bagi anak perempuan bila ia

73 J.C. Vergouwen, Op.Cit, hlm. 316

Universitas Sumatera Utara 53

menikah. Hadiah ini biasanya hanya bagian kecil saja sebagai pengakuan atas hak mereka selaku uaris juga. Namun banyak juga keluhan pahit anak-anak perempuan, dan ibu yang hanya melahirkan anak perempuan, karena begitu bapak atau suami meninggal, ahli waris bersikeras menjalankan haknya untuk memberlakukan perwalian dan pengelolaan, menyita segala-galanya. Mereka hanya bersedia memberi kepada perempuan jumlah yang hampir-hampir tidak mencukupi untuk menutup keperluan yang paling pokok, dan juga tidak mau memberi apa-apa lagi kepada anak perempuan yang sudah kawin di luar apa yang sudah diterima sebagai pauseang.

Garis keturunan yang mengikuti jalur laki-laki berkonsekuensi pada sistem pewarisan. Warisan jatuh ke tangan keturunan laki-laki. Namun tidak berarti anak perempuan tidak mendapat bagian. Apakah perempuan mendapat bagian atau tidak, akan sangat tergantung pada kebaikan hati saudara laki-lakinya. Menurut secara tradisional falsafahnya adalah anak perempuan kawin dengan anak orang lain, mengapa ia harus mendapat warisan. Namun prinsip ini sekarang menurutnya, sudah bergeser, perempuan juga harus mendapat seperti laki-laki.

Harta adalah benda bergerak (perhiasan, ternak, dll), dan inilah yang dapat diberikan kepada anak perempuan. Warisan adalah simbol dari eksistensi suatu marga, oleh karena itu warisan harus jatuh ke tangan laki-laki saja. Harta pencaharian atau harta yang didapat selama perkawinan boleh diberikan kepada anak laki-laki maupun anak perempuan, tetapi anak laki-laki tetap harus mendapat bagian yang lebih banyak. Anak laki-laki bertanggung jawab atas adik-adiknya, bila adik-adiknya menderita anak laki-laki harus membantu.

Universitas Sumatera Utara 54

Orang batak agak lain, karena warisan dibagikan sewaktu seseorang masih hidup. Ada warisan yang diberikan sewaktu orang tua masih manjae (mandiri).

Anak-anak laki-laki diberi sawah, kebun, rumah. Anak laki-laki bungsu menempati kedudukan yang istimewa. Ia dianggap kawan sehidup semati oleh orang tuanya. Ia orang yang terakhir dilahirkan dan harus dekat dengan orang tuanya. Dialah yang harus memberangkatkan orang tuanya ke kuburan. Oleh karena itu harta orang tuanya akan diberikan kepadanya. Harta peninggalan yang ditinggalkan oleh orangtua dapat berupa benda tidak bergerak (seperti rumah dan sawah) maupun benda gerak (seperti cincin dan gelang).

Dalam hal perempuan boleh mendapat bagian dari harta ayahnya berupa tanah. Menurutnya perempuan pada waktu kawin mendapat hadiah yang disebut ulos na sora buruk, bisa berupa tanah, kebun atau barang-barang pusaka. Ada lagi yang disebut hoban, yaitu sebidang tanah yang ada mata airnya. Hoban ini juga bisa diberikan kepada anak perempuan.

Biasanya satu keluarga bisa memiliki hoban lebih dari satu. Hadiah lain yang biasa diberikan kepada anak perempuan adalah perhiasan. Bahwa salah satu tujuan hidup orang Batak yaitu mencapai hagabeon,memiliki (banyak) keturunan terutama laki-laki, ternyata nyaris tidak berubah sampai saat ini. Bagi orang Batak yang tidak punya anak laki-laki, tujuan tersebut diupayakan dengan mengadopsi anak laki-laki. Hal yang menarik untuk dicermati adalah, meskipun pengangkatan anak sudah disahkan secara adat, agama dan negara, tetapi kaum kerabat masih tidak mengakui anak tersebut. Apalagi bila dikaitkan dengan waris, maka orang yang dianggap tidak memiliki anak itu sangat tidak diuntungkan. Seperti kasus di

Universitas Sumatera Utara 55

atas secara normatif adat, harta seorang bapak akan jatuh ke tangan kerabatnya, meskipun ia memiliki seorang anak kandung perempuan dan anak adopsi laki- laki. Seorang ibu juga akan kehilangan harta suaminya meskipun ia sudah memiliki anak adopsi laki-laki. Mengapa nilai untuk memiliki anak laki-laki bagi orang Batak Toba nyaris tidak berubah, berdasarkan kasus di atas, ada kaitannya dengan masalah mempertahankan harta milik.

Dalam hukum adat Batak Toba, perempuan tidak memperoleh hak untuk mewarisi barang-barang menetap dari harta peninggalan orangtuanya. Dalam masyarakat Batak Toba, anak perempuan dengan anak laki-laki mempunyai kedudukan yang timpang, di mana anak perempuan pada posisi yang lemah, khususnya dalam hal waris. Secara normatif hukum adat Batak Toba tidak memberikan hak waris kepada anak perempuan74, baik yang berupa tanah, rumah maupun benda tidak bergerak lainnya. Sementara itu dalam berbagai peraturan perundangan nasional menjamin persamaan hak antara perempuan dan laki-laki.75

Akses perempuan kepada harta warisan memang sangat dibatasi, sehingga perempuan harus memperjuangkannya, terutama melalui sengketa melawan kerabat saudara laki-laki. Akses perempuan kepada tanah ayahnya semakin hilang karena kelangkaan tanah di kampung, sementara itu pewarisan kepada anak laki- laki dan pewarisan kolateral berdasarkan garis laki-laki masih tetap berlangsung.

74 Bandingkan dengan Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Pasal 174 KHI: yang memiliki hak untuk mewaris adalah anak, ayah, ibu, janda atau duda. Pasal 176: Bagian dari anak perempuan adalah ½, dua anak perempuan atau lebih akan mendapat 2/3 bersama-sama. Jika ada anak laki-laki dan perempuan, bagian anak laki-laki 2 dan anak perempuan 1. 75 Dalam UUD 1945 (sekarang UUD 1945 Amandemen ke-IV Tahun 2002) Pasal 27 (1) mengenai kedudukan perempuan dan laki-laki sama di muka hukum; UU Perkawinan Nomor. 1 Tahun 1974, Pasal 31 (1) mengenai hak dan kedudukan suami dan istri yang seimbang; Pasal 35 (1) mengenai harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; Pasal 36 (1) atas harta bersama tersebut suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah piha

Universitas Sumatera Utara 56

Pengaturan mengenai akses kepada tanah secara tradisional yang tetap dipertahankan ini adalah suatu cara untuk menjaga agar tanah tetap berada dalam wilayah hukum adatnya.

Harta yang dibawa oleh suami dan isteri ke dalam perkawinan sebagai modal di dalam kehidupan rumah tangga yang bebas dan berdiri sendiri. Telah menjadi asas umum yang berlaku di dalam hukum adat bahwa suami ataupun isteri yang memperoleh harta yang berasal dari warisan atau hibah, akan tetap menjadi milik suami atau isteri.

Harta bawaan itu dapat berupa rumah, tanah, kebun dan perhiasan lainnya.

Pemberian harta benda dari orangtua kepada anak-anaknya baik laki-laki atau perempuan disebut istilahnya dengan “holong ate” (kasih sayang). Pemberian- pemberian harta benda ini mempunyai istilah berbeda-beda. Harta benda yang diberikan kepada anak laki-laki disebut dengan istilah “harta panjaean” sedangkan harta yang diberikan kepada anak perempuan disebut dengan

“pauseang”.

Walaupun sebenarnya artinya sama. Selain dari harta pauseang maupu panjaean masih ada lagi harta bawaan yang fungsinya sama dengan pauseang dan panjaean tadi antara lain :

1. Indahan arian, ialah pemberian sebidang sawah oleh seorang ayah kepada anak perempuannya apabila anak perempuan tersebut telah mempunyai anak. Jadi pemberian ini adalah bermaksud indahan arian bagi cucunya. 2. Batu ni assimun, ialah pemberian dari seorang ayah kepada anak perempuannya yang sudah mempunyai anak Yaitu berupa hewan peliharaan dan emas. Maksudnya disini adalah pemberian yang seolah- olah sebagai hadiah bagi cucunya. 3. Dondon tua, yaitu pemberian seorang ayah kepada anak perempuannya yang telah melahirkan anak berupa sebidang sawah kepada cucunya

Universitas Sumatera Utara 57

yang paling besar dan si cucu boleh menerima setelah kakek meninggal dunia. 4. Hauma punsu tali, yaitu pemberian dari seorang ayah kepada anak perempuannya, pemberian ini adalah merupakan pemberian terakhir dan baru dapat diterima oleh anak perempuannya apabila si ayah meninggal dunia. 5. Ulos na so ra buruk, yaitu pemberian dari seorang ayah kepada anak perempuannya. Harta pemberian ini adalah merupakan sebagai modal pertama pada saat mulai membangun rumah tangga.76

Dalam keadaan demikian anak perempuan masih mempunyai kesempatan beroleh bagian dari “sinamot” orangtuanya, lewat ulos dan pauseang (tanda sayang). Dalam membela kesamaan/kesetaraan derajat antara anak perempuan dengan anak laki-laki sekarang ini dalam hukum adat Batak Toba ada ungkapan :

“Sarupa adop do marmeme anak dohot boru”. Kesetaraan anak perempuan dengan anak laki-laki sangat digaris bawahi.

2. Penyelesaian Hukum Waris Adat Batak Toba Sejak 2010 Saat ini

Diskriminasi perempuan sangat gampang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Kepemimpinan perempuan, contohnya, masih kerap terkungkung pola-pola patriaki. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari di tengah keluargapun, hak-hak perempuan ikut tertindas. Desakan ekonomi seakan lebih kuat untuk menggiring perempuan atau siapapun saat ini masuk dalam sebuah lingkaran yang tidak pernah ketemu di mana ujung pangkalnya. Perjuangan Kartini untuk menyetarakan kedudukan laki-laki dengan perempuan hampir berhasil. Karena semua sektor dan lini saat ini sudah ada perempuannya. Dalam kancah politik dan bidang lainnya suara perempuan sudah mulai didengar.

76 Djaren Saragih, Op. Cit, hlm. 62.

Universitas Sumatera Utara 58

Demikian juga dalam adat istiadat/budaya khususnya Batak Toba, perempuan pada umumnya tetap terikat pada konsep-konsep dan nilai-nilai mengenai perempuan, yang menempatkan mereka dalam arena adat. Kalaupun mereka mampu keluar dari peran tradisionalnya menjalani pendidikan tinggi, menjalani berbagai bidang profesi-profesi terhormat dalam masyarakat, dan hidup sebagai orang modern, mereka tetap tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban- kewajiban adatnya. Misalnya mereka “harus” melahirkan anak laki-laki, menjadi ibu dan istri yang baik bagi anak-anak dan suaminya, sekaligus menjadi kerabat yang baik bagi saudara-saudara suaminya maupun kelompok kekerabatan marga ayahnya (hula-hula), dan memiliki berbagai kewajiban kerja tetapi tidak memiliki hak bicara dalam berbagai pertemuan keluarga (adat). Meskipun tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban adat, perempuan dari lapisan sosial bawah secara diam-diam bekerja di sektor ekonomi menjalani berbagai profesi dagang.

Pandangan mengenai perempuan yang tidak berhak atas harta bapaknya harus dilihat dari falsafah masyarakat tradisional, yang berorientasi pada kelangsungan hidup kelompok dan kaitannya dengan terbatasnya sumberaya.

Dalam masyarakat tradisional, laki-laki dalam kelompok clan ayahnya dipandang bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan hidup perempuan dari clan tersebut. Di samping itu perempuan dianggap akan menikmati bagian harta suaminya, yang didapat dari clansuaminya. Untuk kelestarian hidup kelompok itulah, telah diciptakan aturan-aturan adat yang bersumber pada falsafah tradisional.

Universitas Sumatera Utara 59

Kehidupan orang Batak Toba yang tadinya berorientasi pada kelompok

(kolektif) lambat-laun berubah menjadi kehidupan yang cenderung mengarah pada individu, terutama di kota besar. Falsafah tradisional yang berorientasi pada kelangsungan hidup kelompok tidak lagi sepenuhnya dapat dibayangkan. Aturan- aturan yang tadinya sangat baik untuk menjaga kelangsungan hidup kelompok, khususnya yang berkaitan dengan waris, sesunguhnya dalam segi-segi tertentu sudah tidak cocok lagi. Pada masa sekarang peraturan adat yang mengatakan bahwa perempuan bukan ahli waris, akan berdampak tidak menguntungkan bagi perempuan tertentu. Misalnya, bila seorang perempuan kawin dengan seorang laki-laki yang tidak memiliki harta (tergolong miskin), dan dia dikatakan tidak boleh mendapatkan bagian dari harta ayahnya, maka ia berada pada posisi yang tidak diuntungkan.

Persoalan mengenai waris berkaitan dengan bagaimana suatu masyarakat menempatkan kedudukan dan peranan laki-laki dan perempuan dalam struktur kekerabatan, dan mensosialisasikannya melalui konsep-konsep gender tentang laki-laki dan perempuan, nilai-nilai, pranata sosial dan pranata hukum yang ditetapkan sebagai acuan berperilaku. Dalam hal ini acuan berperilaku tersebut juga menetapkan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam hubungan- hubungan kekerabatan dan hubungan sosial.

Masalah yang dihadapi oleh perempuan Batak Toba yang berkaitan dengan akses terhadap hak waris adalah mengenai bagaimana perempuan untuk mendapatkan akses kepada harta waris dan bagaimana perempuan dan harta orang tuanya dalam pandangan hukum adat dan hukum negara. Penyelesaian sengketa

Universitas Sumatera Utara 60

harta waris yang diskriminatif. Sebagai landasan dari penyelesaian sengketa harta waris, dibedakan antara cara penyelesaian melalui peradilan negara yang tujuan akhirnya adalah win-lose solution yang menitikberatkan pada substansi hukum dan melalui peradilan adat dengan tujuan win-win solution yang berfokus pada prosedur untuk menghindari terjadinya ketegangan sosial.

Dalam proses penyelesaian sengketa warisan Batak Toba, maka para pihak yanga dalam sengketa warisan adalah pihak perempuan yang dapat dikategorikan yaitu:

1. Pihak perempuan berhadapan dengan institusi hukum adat, tetapi karena putusan adat dirasa tidak mendatangkan keadilan, maka ia mengadakan tuntutan ke pengadilan. Artinya, mula-mula perempuan menggunakan hukum adat, namun kemudian menyatakan menolak meneruskan diri kepada hukum adat dan sepenuhnya menundukkan diri kepada hukum negara. 2. Pihak perempuan di pengadilan negara menyatakan tunduk pada sebagian hukum adat, yang menyatakan bahwa peresapan tidak berhak terhadap harta pusaka. Namun berargumentasi bahwa yang diperebutkannya adalah harta perkawinan, bukan harta pusaka. Dengan demikian perempuan menundukkan diri sebagian pada hukum adat dan sebagian pada hukum negara. 3. Pihak perempuan menundukkan diri sepenuhnya kepada hukum negara, yaitu ketika ia memang harus siap melayani gugatan terhadap dirinya di pengadilan negara. 4. Pihak perempuan tidak (mampu) membawa sengketa ke pengadilan, tetapi ia tunduk sebagian kepada hukum negara secara terbatas, yaitu ketika misalnya ia mengurus surat-surat sertifikat harta perkawinan, atau pergi kepada hakim untuk minta legalisasi bahwa dia adalah ahli waris suaminya. 5. Pihak perempuan tidak (mampu) membawa sengketa ke pengadilan negara, tetapi ia juga tidak mau menyelesaikan sengketa secara adat, yaitu ketika lawan sengketa menawarkan besarnya pembagian harta waris yang dirasakan tidak adil. 77

Pihak lawan sengketa yang pada umumnya adalah laki-laki menginginkan menggunakan hukum adat, yang berisi pembatasan-pembatasan terhadap perempuan untuk mendapatkan akses kepada harta waris. Argumentasi untuk

77 Sulistyowati Irianto, Op. Cit, hlm.212

Universitas Sumatera Utara 61

menggunakan hukum adat dapat terjadi di pengadilan negara, maupun di luar pengadilan (penyelesaian adat).78 Artinya pada umumnya pihak laki-laki menginginkan untuk sepenuhnya tunduk pada hukum adat. Pola-polanya adalah sebagai berikut :

1. Pihak laki-laki menyatakan menundukkan diri kepada hukum negara ketika ia (mereka) menggugat perempuan ke pengadilan negara, atau melayani gugatan perempuan di pengadilan negara. 2. Di pengadilan negara pihak laki-laki ada yang menolak menundukkan diri kepada hukum negara, yaitu ketika menolak diberlakukannya vonis pengadilan yang menghasilkan yurisprudensi, yang justru memberi hak mewaris kepada perempuan. Dalam hal ini pihak laki- laki mendasarkan argumentasinya pada substansi adat. Artinya pihak laki-laki, meskipun "berada" di pengadilan negara, tunduk sebagian, saja pada hukum negara, dan tunduk sebagian pada hukum adat. 3. Di pengadilan negara pihak laki-laki ada juga yang menundukkan diri kepada hukum negara, yaitu ketika mengacu pada vonis pengadilan yang tidak memberi hak mewaris kepada perempuan. Vonis ini dijatuhkan berdasarkan aman kepada hukum adat. Artinya pihak laki- laki sebesarnya tunduk pada hukum adat yang "dikemas" oleh hukum negara.79

Penyelesaian hukum waris adat Batak Toba dapat dilakukan melalui dua cara yaitu :

1. Penyelesaian di Luar Pengadilan

a. Marhata (Musyawarah Keluarga)

Marhata pada masyarakat Batak Toba sebagai suatu institusi adat bisa diselenggarakan kapan saja, ketika ada peristiwa penting dalam kehidupan seorang Batak yang menyangkut keluarga termasuk bila terdapat perselisihan atau sengketa. Dalam pelaksanaan pembagian warisan, sering terjadi perselisihan atau sengketa. Biasanya terjadi karena ada pihak keluarga yang merasa tidak puas atas bagiannya terhadap harta warisan yang dibagi, atau bahkan karena ia tidak

78 Ibid. 79 Ibid, hlm. 213-214

Universitas Sumatera Utara 62

mendapat bagian. Perselisihan tersebut dapat menyebabkan konflik di antara anggota keluarga tersebut, dan umumnya konflik yang terjadi adalah karena anak perempuan tidak mendapat bagian warisan. Biasanya sengketa tersebut diselesaikan terlebih dahulu dengan cara marhata (musyawarah antar anggota keluarga), yang dipimpin oleh orang yang dituakan dalam keluarga, misalnya paman (tulang), anak laki-laki sulung yang dituakan, atau saudara/kerabat dari pihak ayah.

Aturan dan prosedur dalam marhata adalah sangat formal, karena dilakukan dengan tutur bahasa yang halus, dan ada prosedur mengenai siapa saja yang mempunyai hak untuk berbicara, hak untuk berbicara terlebih dahulu, dan menjadi jura bicara. Orang-orang yang tergabung dalam satuan upacara marhata, adalah orang-orang yang berada dalam satuan Dalihan Na Tolu, yaitu yang mempunyai hak bicara pertama ada pada boru (kelompok pemberi anak perempuan), kedua dongan tubu (teman selahir, kelompok kerabat baik dari hula- hula maupun boru, tetapi yang asal-usulnya masih dapat ditelusuri secara jelas dihitung dari garis laki-laki), ketiga hula-hula (kelompok penerima perempuan); dan keempat (bila ada) dongan sa huta (teman se kampung) dalam musyawarah tersebut tulang (dalam kelompok boru) mempunyai kedudukan yang istimewa, karena ia yang berhak memutuskan, sekaligus menutup marhata. b. Lembaga Adat

Lembaga adat dalihan na tolu sebagai suatu lembaga musyawarah mufakat adat Batak yang mengikutsertakan para penatua/ketua adat yang benar-benar memahami, menguasai, dan menghayati adat istiadat Batak Toba. Jika dalam proses marhata (musyawarah keluarga) dilakukan dengan kerabat keluarga, dan

Universitas Sumatera Utara 63

apabila tidak ada kesepakatan penyelesaian maka perkara dapat dibawa ke lembaga adat guna diselesaikan oleh para ketua adat.

Keberadaan lembaga hukum adat Batak memiliki peranan yang sangat strategis dalam penyelesaian sengketa hukum yang terjadi khususnya dalam perkara perdata waris dimana dalam beberapa kasus yang terjadi. Hukum adat yang dijalankan oleh lembaga adat merupakan perwujudan nilai-nilai hidup yang berkembang di dalam masyarakat, oleh karena itu hukum adat, baik secara yuridis normatif, filosofis, maupun secara sosiologis sebagai sentral seharusnya diletakkan sebagai pondasi dasar struktur hirarki Tata Hukum Indonesia di mana dalam hukum adat itulah segala macam aturan hukum positip Indonesia mendasarkan diri dan mengambil sumber substansinya disamping itu pula berguna terciptanya sebuah Hukum Indonesia yang lebih baik, yakni Hukum

Indonesia yang sesuai dengan rasa keadilan dan berdasarkan nilai-nilai masyarakat Indonesia sendiri.

2. Penyelesaian di Pengadilan

Sengketa pembagian warisan yang tidak dapat diselesaikan secara marhata/musyawarah keluarga maupun oleh lembaga adat, maka para pihak kemudian dapat mengajukan gugatan sengketa pembagian warisan ke pengadilan.

Pihak yang paling sering membawa sengketa ke pengadilan biasanya adalah janda maupun perempuan masyarakat Batak Toba. Perlawanan yang dilakukan bukan merupakan konfrontasi langsung, karena mereka memahami lemahnya kedudukan mereka, namun konfrontasi akan menjadi terbuka ketika keadaan sudah menjadi genting.

Universitas Sumatera Utara 64

Janda dan anak perempuan Batak membawa sengketa ke pengadilan negara dengan alasan dan latar belakang yang berbeda. Janda baru membawa sengketa ke pengadilan sebagai pilihan terakhir, sedangkan dibawanya sengketa ke pengadilan oleh anak perempuan lebih merupakan karena pilihan (choice).

Oleh karena itu lebih banyak perempuan bersengketa di pengadilan negara daripada janda.80

Dalam penyelesaian sengketa lewat proses di dalam pengadilan ini biasanya jarang ditemukan perdamaian antara para pihak. Putusan yang ada biasanya berupa putusan kalah atau menang. Bila di Pengadilan tingkat pertama salah satu pihak ternyata kalah, maka terbuka kemungkinan untuk mengajukan banding bagi pihak yang kalah tersebut apabila ternyata ia tidak menerima putusan tersebut. Begitu seterusnya hingga pada pengadilan tingkat akhir yaitu di

Mahkamah Agung.

Akibatnya proses tersebut benar-benar menghabiskan waktu, menguras tenaga dan biaya serta melelahkan para pihak. Bahkan penyelesaian sengketa tersebut dapat terjadi hingga bertahun-tahun lamanya, sementara di lain sisi hubungan para pihak yang bersengketa terus memburuk, merenggang bahkan dapat bermusuhan. Dalam banyak kasus, biasanya sengketa tersebut menjadi semakin rumit dan akhirnya para pihak menjadi saling bermusuhan, dan permusuhan tersebut berlanjut terus bahkan hingga beberapa garis keturunan selanjutnya.

Pada umumnya masyarakat menghindari cara penyelesaian sengketa melalui Pengadilan ini, selain rasa malu, mereka menjadikan lembaga pengadilan

80 Ibid., hlm. 300.

Universitas Sumatera Utara 65

sebagai upaya terakhir bila dirasakan seluruh cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang mereka tempuh mengalami jalan buntu, karena selain caranya yang rumit, juga memakan waktu yang lama.

Para pihak yang bersengketa biasanya pada akhirnya akan menjadi bermusuhan karena putusan pengadilan tidak lagi ke arah perundingan atau perdamaian dan sering pula putusan pengadilan tersebut dirasakan memberatkan bagi salah satu pihak yaitu bagi pihak yang kalah atau dirugikan, sehingga sangat tertutup adanya kemungkinan untuk berdamai kembali setelahnya. Pengadilan merupakan upaya terakhir yang ditempuh oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Perkembangan hukum, kompetisi hukum atau cara penyelesaian alternatif yang menjadi bagian dari strategi bagi perempuan dalam penyelesaian sengketa harta waris merupakan keunikan tersendiri. Kebudayaan Batak menetapkan, bahwa hanya laki-laki yang mempunyai hak waris atas tanah, sementara perempuan hanya memiliki hak terbatas, yakni hak meminta berdasarkan cinta kasih. Hak meminta ini mengandung makna, bahwa perempuan yang orang tuanya tidak mampu, sebaiknya jangan meminta karena tidak ada yang bakal diberi, sementara bagi perempuan yang orang tuanya mampu, ia tidak akan diberi kecuali ia meminta. Artinya hak meminta pun masih belum pasti antara diberi dan tidak diberi.

Ketika berstatus nikah, fungsi istri sebagai pengelola dan penikmat harta suami dan harta bersama untuk selanjutnya diserahkan kepada anak laki-lakinya ketika dewasa, tapi ketika terjadi perceraian (cerai mati/cerai hidup), maka

Universitas Sumatera Utara 66

perempuan janda tidak memiliki hak waris atas harta gono-gini, apalagi harta pusaka suaminya. Namun demikian, dalam prakteknya ada peradilan adat yang di lapangan, yakni meskipun tidak memberikan hak milik waris, tapi memberikan hak pengelolaan harta bagi anak perempuan atau memberikan hak waris hanya kepada anak perempuan hanya jika ia merupakan anak satu-satunya dalam suatu keluarga. Perkembangan implementasi hukum yang terjadi tentang hak waris yang banyak dimenangkan oleh perempuan juga dipengaruhi oleh argumentasi tentang pembedaan antara harta pusaka dan harta perkawinan.

Berbagai strategi yang dilakukan oleh perempuan ketika bersengketa, mulai dengan cara yang halus tapi cerdik, yakni diam-diam pasang strategi dan tetap menjalin hubungan baik dengan keluarganya, sampai dengan cara yang frontal untuk mempertahankan harta orangtuanya. Akan tetapi pengharapan untuk mendapatkan perlindungan kepada negara atas harta waris tidak selamanya memberikan keuntungan bagi perempuan, meskipun hak waris telah diatur dalam

UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang didukung dengan Konvensi

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang termaktub dalam UU Nomor 7 Tahun 1984. Untuk kasus-kasus yang tidak diajukan ke pengadilan, ada kecenderungan terjadinya pengambangan, artinya kasus tersebut dibiarkan saja, tetapi si perempuan tetap berhubungan dengan pihak lawan atau dengan cara mengelak dan mengurangi atau memutuskan hubungan dengan pihak lawan, terutama ketika menyadari tipisnya kemungkinan untuk menang.

Strategi perempuan, meskipun dengan cara yang berbeda dalam menghadapi sengketa waris juga bervariasi mulai dari bersandiwara untuk mendapatkan belas kasihan sampai dengan melakukan perlawanan secara frontal

Universitas Sumatera Utara 67

kepada lawan sengketanya. Jika akses terhadap hukum negara bagi perempuan sangat terbatas dan penggunaan institusi hukum juga baru dilakukan ketika perempuan sudah dalam keadaan sangat terdesak, maka anak perempuan dalam menghadapi kasus sengketa warisan melalui pengadilan.

Perempuan dapat juga melayani gugatan lawan yang mengajukannya ke pengadilan atau melakukan gugatan ke pengadilan negara dan melanjutkan proses pengadilan jika mengalami kekalahan (misalnya, banding). Anak perempuan tidak segan-segan bersentuhan dengan pengadilan meskipun mereka menyadari, bahwa tindakan itu akan banyak menyebabkan social loss. Hal ini bila cara musyawarah tidak tercapai.

Keberanian ini disebabkan oleh faktor ekonomi (harta yang dipersengketakan memang besar atau tidak besar tapi vital bagi kelangsungan hidup anak perempuan). Faktor lain adalah karena lawan sengketa adalah anggota keluarga (kerabat ayah dan/atau saudara laki-lakinya) yang sudah jelas tidak memberi hak waris kepada anak perempuan sehingga mendorongnya untuk melakukan perlawanan. Namun, inipun masih ada keraguan karena ada pula kasus anak perempuan „kalah sebelum perang‟ ketika berhadapan dengan saudara laki- lakinya dalam soal harta waris.

Menurut Daniel S. Lev bahwa, dapat diidentifikasi beberapa ciri utama penyelesaian sengketa yang di dalamnya dapat ditemukan budaya hukum masyarakat, yang cenderung menghindari peradilan negara, yaitu:

1. Penyelesaian sengketa lebih banyak mengandalkan pada konsiliasi (penyelesaian secara kekeluargaan), dengan mengutamakan kompromi; 2. Gaya penyelesaian perselisihan yang dianjurkan oleh nilai-nilai dalam budaya hukum masyarakat adalah gaya yang lebih memperhatikan prosedur daripada substansi;

Universitas Sumatera Utara 68

3. Aturan dan pertimbangan hukum tentang keadilan sudah barang tentu tidak diabaikan, tetapi yang ditekankan bukanlah penerapan aturan- aturan tertentu melainkan berakhirnya sengketa yang ditakutkan akan menimbulkan ketegangan atau gangguan sosial.81

Peradilan negara merupakan cara terakhir yang dilakukan oleh perempuan yang menghadapi kasus sengketa waris juga tidak menjadikan peradilan negara sebagai cara pertama, kecuali jika terjadi kegagalan bernegosiasi dengan musyawarah di tengah-tengah keluarga dan jika ada yang memperadilankan kasus sengketa terlebih dahulu yang akhirnya mengenalkan perempuan pada institusi hukum negara. Hal ini menimbulkan terjadinya pilihan hukum di bidang waris sehingga menimbulkan pluralisme hukum dan terdapat perdebatan menyangkut sumber hukum adat dan mekanisme pembentukannya.82

Hukum adat yang beraneka ragam banyaknya masih berlaku pada suku bangsa di Indonesia, dan masing-masing mengacu pada sistem kekerabatan yang dianut. Sistem kekerabatan patrilineal seperti pada suku Batak tidak memasukkan perempuan sebagai ahli waris dan tidak termasuk penerus keturunan. Sejak tahun

1961 Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yaitu Yurisprudensi

No.179/K/ST/1961 tentang warisan adat di tanah Batak Toba yang memperhitungkan perempuan sebagai ahli waris dan mendapatkan bagian yang sama dengan laki-laki terhadap harta kekayaan bapaknya (orang tuanya).

Berdasarkan yurisprudensi tersebut terlihat bahwa secara yuridis perempuan

81 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, (Jakarta : LP3ES, 2000), hlm. 161. 82 Barita L.H. Simanjuntak, Disertasi, Tentang Hukum Waris Adat: Antara Perubahan Dan Resistensi, www. law.ui.com. (penelusuran melalui google.com). diakses Senin 22 Juli 2019.

Universitas Sumatera Utara 69

adalah ahli waris, hak waris laki-laki dan perempuan tidak dibedakan, namun kenyataannya dalam masyarakat Batak Toba bahwa kedudukan perempuan bukan ahli waris apalagi mempunyai hak untuk mendapatkan harta warisan bapaknya

(orang tuanya).

Walaupun secara normatif perempuan tidak termasuk dalam kelompok ahli waris, namun dalam perkembangannya, keluarga yang berasal dari warga masyarakat Batak Toba yang bertempat tinggal di kota-kota besar sudah memasukkan perempuan mereka sebagai ahli waris, sedangkan bagian yang diterima perempuan sangat bervariasi, yaitu bagian laki-laki lebih banyak dari perempuan, bagian perempuan tergantung dari saudara laki-lakinya atau bagian laki-laki sama dengan perempuan. Hal yang utama dapat dilihat pada bidang pendidikan, dimana laki-laki dan perempuan mendapat prioritas utama dengan tidak ada perbedaan.83

Kedudukan hak mewaris perempuan Batak Toba, yang menurut hukum adatnya tidak ditempatkan sebagai ahli waris, maka dalam rangka upayanya untuk memperoleh bagian dari harta ayahnya upaya yang dilakukan perempuan untuk mendapat hak yang dituntutnya adalah melalui musyawarah keluarga atau musyawarah adat terlebih dahulu. Apabila dengan cara musawarah adat tidak terselesaikan, maka mengajukan gugatan sengketa warisan ke pengadilan untuk memperoleh hak/bagian bersama-sama dengan saudaranya laki-laki atas harta peninggalan dari orangtua mereka.

83 Sulistyowati Irianto, Op. Cit, hlm. 208

Universitas Sumatera Utara 70

B. Pertimbangan Hukum Pemberian Harta Warisan Kepada Perempuan

Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 566 K/Pdt/2015

1. Kasus Posisi

Para pihak dalam sengketa ini adalah Fitzgerald Stevan Purba, Andrey

Michael Purba, Anny L. Toruan, sebagai para penggugat melawan Berthold Raja

Purba sebagai tergugat. Para Penggugat dengan surat gugatannnya tanggal 28

Desember 2012 yang diterima dan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri

Depok pada tanggal 02 Januari 2013 di bawah Register Nomor

01/Pdt.G/2013/PN.Dpk. dan telah dilakukan perubahan/perbaikan Surat Gugatan tertanggal 27 Maret 2013 mengajukan gugatan kepada tergugat untuk membagi seluruh harta warisan Alm. Drs.Victor Purba SH,LLM,MSC dengan menjual seluruh harta warisan berupa tanah dan bangunan dan atau para ahli waris dapat membeli dengan cara mengkompensasikan bagian warisnya dan dengan harga pasar, kecuali tanah berikut bangunan Sertifikat Hak Bangunan No. 10438/Kel.

Mekarjaya Kec. Sukmajaya d/h Kabupaten Bogor sekarang Kota Depok yang dikenal dengan Perumahan Pesona Khayangan Blok DP No. 2 Kota Depok oleh karena tanah berikut bangunan di atasnya tersebut ditempati dan atau dihuni oleh

Dra. Anny L. Toruan, MSC,Phd. selaku istri almarhum dan anak bungsunya yang belum berumah tangga bernama Andrey Michael Purba.

Penggugat sudah berupaya melakukan musyawarah mufakat dengan tergugat sehubungan dengan pembagian harta warisan Alm.Drs.Victor

Purba,SH,LLM,MSC namun tidak berhasil oleh karena tergugat selalu menolak untuk membicarakan pembagian harta warisan. Menurut penggugat bahwa

Universitas Sumatera Utara 71

berdasarkan Undang-Undang dan hukum tersebut diatas maka pembagian harta warisan Alm.DRS.Victor Purba,SH,LLM,MSC adalah sebagai berikut : a. Bagian Dra. Anny L.Toruan sebagai istri adalah ½ (seperdua) bagian dari

seluruh harta bersama dan atau gono gini. b. Bagian Alm.Drs.Victor Purba.SH,LLM,MSC ½ (seperdua) bagian diwaris

secara bersama-sama oleh seluruh ahli warisnya yaitu : Dra.Anny L.Toruan

MSC,Phd, Berthold Raja Purba, Stevan Fitzgerald Purba ,Andrey Michael

Purba sehingga masing-masing ahli waris memperoleh 1/8 (satu perdelapan)

bagian

Berdasarkan gugatan para penggugat, maka hakim Pengadilan Negeri

Depok memberikan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut : a. Mengabulkan gugatan Para Penggugat sebagian; b. Menetapkan harta bersama dari Alm. Drs. Victor Purba,SH, LLM yang harus

dibagi kepada para ahli waris (seluruh harta warisan), berupa:

1) Sebidang tanah berikut bangunan Sertifikat Hak Milik No.1054 Desa

Tanjung Sari Kec.Medan Selayang Kota Medan Sumatera Utara dikenal

dengan Jl.Setia Budi Pasar II Blok G-8 Medan, seluas 271 m² Surat Ukur

No.231/Tanjung sari/1998 tanggal 24-2-1998.atas nama Drs. Victor

Purba,SH LLM;

2) Sebidang tanah berikut bangunan Sertifikat Hak Guna Bangunan

No.10438 Kel.Mekar Jaya Kec.Sukmajaya Kabupaten Bogor Jawa Barat,

dikenal dengan Blok DP No. 2 Perumahan Pesona Khayangan Kota Depok

seluas 240 m² Surat ukur No.`1325/ Mekar jaya /1999 tanggal 01-07-1999

atas nama Drs. Victor Purba.SH, LLM.;

Universitas Sumatera Utara 72

3) Sebidang tanah berikut bangunan Sertifikat Hak Guna Bangunan No.9066

Kel. Mekar Jaya Kec.Sukmajaya Kabupaten Bogor Jawa Barat dikenal

dengan Jl.Blok CN No.11 Perumahan Pesona Khayangan Kota Depok

seluas 126 m² Surat Ukur No.19113/1996 tanggal 11-09-1996 atas nama

Drs. Victor Purba,SH; dan

4) Uang tunai sejumlah Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) yang

dikuasai oleh tergugat; c. Menetapkan ahli waris dari Alm. Drs. Victor Purba,SH, LLM berikut

hak/bagian masing-masing atas seluruh harta warisan yang harus dibagi

tersebut adalah:

1) Dra.Ny.Anny L.Toruan MSC, PhD (Penggugat III) sebesar ½ bagian + 1/8

bagian = 5/8 ( lima per delapan) bagian dari seluruh harta warisan;

2) Berthold Raja Purba (Tergugat) sebesar 1/8 ( satu per delapan) bagian dari

seluruh harta warisan;

3) Fitzgerald Stevan Purba sebesar 1/8 ( satu per delapan) bagian dari seluruh

harta warisan;

4) Andrey Michael Purba sebesar 1/8 ( satu per delapan) bagian dari seluruh

harta warisan; d. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang sampai hari ini

ditetapkan sejumlah Rp. 741.000,00 (tujuh ratus empat puluh satu ribu

rupiah); e. Menolak gugatan Para Penggugat selain dan selebihnya;

Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Depok, maka tergugat melakukan banding dan dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat/Pembanding

Universitas Sumatera Utara 73

putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi

Bandung dengan putusan Nomor 529/PDT/2013/PT.BDG. tanggal 05 Februari

2014. Setelah itu oleh Tergugat/Pembanding mengajukan kasasi dan Hakim pada tingkat kasasi memberikan putusan menolak permohonan kasasi dari Pemohon

Kasasi : Berthold Raja Purba serta menghukum pemohon kasasi/tergugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

2. Pertimbangan Hukum

Maksud dan tujuan gugatan penggugat pada pokoknya adalah mengenai

Pembagian Harta Peninggalan/Waris dan Penetapan Hak Bagian Masing-Masing

Ahli Waris Atas Harta Peninggalan Alm. Drs. Victor Purba, S.H., LLM., MSc, maka oleh karena telah diakui atau setidak-tidaknya tidak disangkal pihak tergugat serta telah didasarkan pada bukti-bukti yang cukup, maka menurut hukum harus dianggap terbukti (sebagai fakta hukum), bahwa Alm. Victor

Aruslin Purba (Drs. Victor Purba, S.H., LLM, MSC.) adalah suami dari Anny

Lumban Toruan (Penggugat III), sesuai dengan Salinan Surat Nikah Gerejawi dan Buku Perkawinan LM;I/27/105 tertanggal 25 Agustus 2007. Perkawinan tersebut diatas telah lahir 3 (tiga) orang anak laki-laki yaitu Berthold Raja Purba

(Tergugat), Fitzgerald Stevan Purba (Penggugat I), dan Andrey Michael Purba

(Penggugat II). Victor Aruslin Purba tersebut telah meninggal dunia pada tanggal

2 Agustus 2007. Selama berlangsungnya perkawinan antara Alm. Victor Aruslin

Purba dan Anny Lumban Toruan (Penggugat III), telah diperoleh harta bersama dan atau harta gono-gini.

Universitas Sumatera Utara 74

Persengketaan antara kedua belah pihak adalah mengenai kedudukann para penggugat merupakan ahli waris dari Alm. Victor Aruslin Purba, dan masing- masing telah berhak untuk mendapatkan pembagian harta warisan dari Alm.

Victor Aruslin Purba, termasuk yang sebagian dikuasai oleh Tergugat. Oleh karena para pihak dalam perkara beragama selain Islam, maka terhadap para pihak berlaku Hukum Perdata BW (KUHPerdata), serta peraturan perundangan lainnya yang terkait dengan masalah itu.

Menurut KUHPerdata, prinsip dari pewarisan adalah: a. Harta waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila

terjadinya suatu kematian. (Pasal 830 KUHPerdata); b. Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami

atau isteri dari pewaris. (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan mereka

masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya,

kalau mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka

suami/isteri tersebut bukan merupakan ahli waris dari pewaris.

Berdasarkan prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang- orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris, baik itu berupa keturunan langsung maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak mewaris ada empat golongan besar, yang untuk Golongan I (utama) yaitu: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852

KUHPerdata).

Universitas Sumatera Utara 75

Konsekuensi dari hal tersebut maka dapat diartikan bahwa dalam hal pemilik harta masih hidup, dia tidak dapat mewariskan apapun kepada ahli warisnya sehingga, dalam hal terjadi suatu pemberian atas suatu barang kepada keturunannya yang ditujukan agar keturunannya dapat memiliki hak atas barang tersebut setelah meninggal dunia (dalam bentuk hibah misalnya) maka hal tersebut dianggap sebagai hibah wasiat, dimana barang tersebut baru beralih pada saat pemberi hibah telah meninggal dunia. Dalam hal pemberian barang tersebut diberikan pada saat si pemberi barang masih hidup, tanpa diberikan suatu imbalan berupa uang, maka hal tersebut disebut sebagai hibah saja.

Berdasarkan fakta hukum sebagaimana disebutkan di atas (angka 1, 2, dan

3), maka sebagai ahli waris dari Alm. Victor Aruslin Purba adalah Para Penggugat maupun Tergugat (Golongan I), yaitu Anny Lumbantoruan Ap selaku isteri

(Penggugat III), dan 3 (tiga) orang anaknya, yaitu Berthold Raja Purba (Tergugat),

Fitzgerald Stevan Purba (Penggugat I), dan Andrey Michael Purba (Penggugat

II).

Berdasarkan fakta hukum di atas obyek sengketa berupa harta bersama

(gono-gini), maka berdasarkan ketentuan Pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974, isteri dari Pewaris terlebih dahulu berhak atas bagian harta bersama itu setengahnya. Menurut KUH Perdata, seorang istri berdasarkan Pasal 852a KUH

Perdata berhak mewaris dengan kedudukan yang sama dengan kedudukan anak- anaknya dalam mewaris. dengan demikian, maka masing-masing dari ahli waris tersebut mempunyai hak secara sama.

Universitas Sumatera Utara 76

3. Analisis Kasus

Seperti diketahhui bahwa hukum adat Batak Toba merupakan salah satu hukum adat yang masih hidup dengan sistem kekerabatannya mengikuti garis keturunan ayah (patrilineal) yang membedakan kedudukan laki-laki dan perempuan. Laki-laki merupakan generasi penerus ayahnya, sedangkan perempuan tidak karena perempuan dianggap hanya bersifat sementara, dan suatu ketika perempuan akan menikah dan mengikuti suaminya, dan masuk ke dalam klan suaminya. Selama perempuan belum menikah, dia masih tetap kelompok ayahnya.

Masyarakat Batak Toba yang menjadi ahli waris adalah laki-laki sedangkan perempuan bukan sebagai ahli waris ayahnya. Perempuan hanya memperoleh sesuatu dari orang tuanya sebagai hadiah. Tetapi dengan putusan

Mahkamah Agung RI Nomor 566 K/Pdt/2015 telah membenarkan putusan

Pengadilan Negeri Depok dan dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang mempergunakan hukum adat Batak, Holong Ate atas pembagian harta warisan kepada perempuan atas pertimbangan kemajuan kedudukan perempuan dan hak perempuan yang diiringi dengan perkembangan zaman, maka yang berkedudukan sebagai pewaris dalam waris adat Batak Toba tidak hanya ayah, namun bisa juga ayah dan ibu (orang tua), karena yang umum dilakukan sekarang harta warisan dibagi-bagi pada saat kedua orang tua sudah meninggal. Alasan perempuan termasuk juga pewaris adalah karena di zaman modern ini, perempuan telah banyak berperan dalam menunjang ekonomi kehidupan keluarganya, dan penghasilan ibu/isteri kelak juga akan diwarisi oleh anak-anaknya pada saat suami isteri tersebut sudah meninggal.

Universitas Sumatera Utara 77

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung telah melakukan koreksi terhadap praktek di atas dengan menetapkan secara tegas kedudukan yang sama dalam hak waris antara laki-laki dengan perempuan. Namun pada sisi lain pertimbangan hukum dalam putusan Mahakamah Agung tidak dikaitkan dengan filosofi, sejarah

Hukum Waris Adat Batak Toba dan nilai-nilai yang hidup pada masyarakatnya.

Sehingga tidak semata-mata berisi pertimbangan persamaan kedudukan laki-laki dengan perempuan dari aspek kemanausiaan, perkembangan peradaban manusia dan pendapat pribadi majelis hakim.

Mahkamah Agung di dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 566

K/Pdt/2015 mempersamakan hak laki-laki dan perempuan serta janda di dalam hal warisan. Pasal 35 UU No 1 Tahun 1974 disebutkan : a. Harta yang diperoleh selama perkawinan harta bersama. b. Harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah

dibawah penguasaan masing-masing.

Dengan adanya perubahan/perkembangan tersebut, sudah terlihat adanya asas kesamarataan atau kesederajatan antara laki-laki dan perempuan, asas keadilan dan persamaan hak serta asas perikemanusiaan. Putusan Mahkamah

Agung selanjutnya dipahami sebagai penafsiran kaidah hukum waris adat Batak

Toba yang baru sehingga dalam perkembangannya otoritas badan peradilan

(Mahkamah Agung) turut mempengaruhi kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hukum waris adat Batak Toba, padahal keputusan Mahkamah Agung

Universitas Sumatera Utara 78

tersebut sesungguhnya sekedar mengukuhkan, menguatkan kembali saja landasan sejarah dan filosofi hukum waris adat Batak Toba yang sesungguhnya.

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 566 K/Pdt/2015, maka sudah jelas bahwa kedudukan perempuan telah berkembang sesuai dengan persamaan hak di dalam hak mewaris harta warisan orang tuanya dengan laki-laki dipandang sederajat terhadap harta peninggalan.

Universitas Sumatera Utara BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah diuraikan pada bab-bab terdahulu khususnya mengenai pembahasan, maka pada bab terakhir ini, yang merupakan bab penutup dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kedudukan perempuan dalam adat Batak Toba pada prinsipnya masih

berbeda, bila dibandingkan dengan laki-lakiPerempuan tidak berhak berbicara

dan mengeluarkan pendapat di acara-acara resmi, terlihat pada pesta-pesta

Batak hampir tidak pernah terlihat ada perempuan duduk di barisan depan,

ikut berbicara dan mengambil keputusan. Namun saat ini, dalam lingkup

pertemuan keluarga yang lebih kecil para perempuan sudah diizinkan

berbicara tetapi hanya sebagai pendahuluan saja, seperti acara pemberian

nama kepada anak (tardidi), acara memberi kata penghibur bagi keluarga yang

berduka (mangapuli).

2. Sistem pewarisan pada masyarakat adat Batak Toba yang susunan

kekerabatannya mempertahankan garis keturunan laki-laki (patrilineal), maka

yang berkedudukan sebagai pewaris adalah laki-laki, yaitu ayah atau pihak

ayah (saudara-saudara pihak ayah), sedangkan perempuan bukan pewaris.

Perempuan bukan ahli waris dan laki-laki yang berhak menjadi pewaris adalah

laki-laki yang melakukan perkawinan dengan pembayaran jujur atau dalam

adat perkawinan di Batak Toba disebut dengan perkawinan taruhon jual

(eksogami-patriarcht). Kalaupun dia mendapat harta waris dari orang tuanya

79

Universitas Sumatera Utara 80

adalah hanya sebagai pemberian belaka dikarenakan perempuan bakalan

mengikut suaminya.

3. Kedudukan perempuan dalam pewarisan hukum adat Batak Toba berdasarkan

Putusan Mahkamag Agung Nomor 566 K/Pdt/2015 bahwa kedudukan yang

sama dalam hak waris antara laki-laki dengan perempuan. Hal ini juga

berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 179 K/Sip/1961.

Tanggal 23 Oktober 1961 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 415

K/Sip/1970 tanggal 16 Juni 1971 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung

Nomor 707 K/Sip/1973 tanggal 18 Maret 1973, mengenai laki-laki dan

perempuan mempunyai kedudukan yang sama sebagai ahli waris dan berhak

untuk mendapatkan bagian yang sama dari harta warisan peninggalan orang

tuanya.

B. Saran

Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil diberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Disarankan kepada tokoh-tokoh adat dan kaum laki-laki, mulai memberi

kesempatan kepada perempuan untuk bersuara dan mengambil keputusan

dalam acara pesta-pesta Batak tanpa menghilangkan rasa hormat kepada laki-

laki dan ataupun mengubah struktur kekerabatan Batak Toba yaitu Dalihan Na

Tolu.

2. Persamaan hak itu merupakan tuntutan rasa keadilan dan hukum, karena

yurisprudensi tentang waris telah ada dan dijadikan acuan untuk

menyelesaikan mengatur persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan.

Universitas Sumatera Utara 81

Maka disarankan perlu adanya sosialisasi ditengah-tengah masyarakat (tokoh

adat, pemerintah setempat) untuk memberi pemahaman yang sama kedudukan

anak perempuan sama dengan anak laki-laki sehingga tidak terjadi

perselisihan pewarisan dalam satu keluarga.

3. Perkembangan hak mewaris bagi anak perempuan dari tidak mewaris menjadi

mewaris, perlu disikapi secara positif. Untuk itu pemerintah disarankan

membuat peraturan perundang-undangan tentang pembagian warisan yang

bersifat nasional, sehingga tidak ada lagi keanekaragaman pembagian warisan,

maka terciptalah kepastian hukum dan kepastian pembagian warisan bagi para

ahli waris.

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Ali, Zainudin, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001.

------; Hukum Waris Adat, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004.

Haar, Ter, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.

Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Surabaya: Bayumedia, 2006

Irianto, Sulistyowati, Perempuan dan Hukum, Yayasan Obor, Indonesia, Jakarta, 2007.

Lev, Daniel S. Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES, Jakarta, 2000.

Lumbantoruan, Nelson, Kearifan Lokal Masyarakat Batak Toba, (Medan : Mitra, 2012

Manan, Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Meda Group, Jakarta, 2005.

Meliala, Djaja S. dan Aswin Perangin-angin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, (Bandung: Tarsito, 1978.

Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Ilmu Hukum (Bandung: Mandar Maju, 2008.

Nainggolan, Togar, Batak Toba Di jakarta, BM, Jakarta, 2000.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2006.

Purba, Kariahen, Kedudukan Harta Perkawinan Menurut Ketentuan Hukum Adat Batak Toba Dikaitkan Dengan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Medan : FH-USU, 2001.

Rajamarpodang, DJ. Gultom, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, (Medan : Amanda, 2002.

107

Universitas Sumatera Utara 108

Saragih, Djaren, Hukum Perkawinan Adat Batak Khususnya Simalungun, Toba, Karo, dan Undang-Undang Tentang Perkawinan (UU No. 1/1974), (Bandung : Tarsito, 1980

Sangti, Batara, Sejarah Batak, (Balige : Karl Sianipar Company, 1997.

Sihombing, T.M. Filsafat Batak (Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat Istiadat), Balai Pustaka, Jakarta, 1986.

Sihotang, Jailani dan Sadar Sibarani, Pokok-Pokok Adat Batak (Tata Cara Perkawinan di Toba), Mars, Jakarta, 1988

Sinaga, Richard, Perkawinan Adat Dalihan Natolu, Dian Utama, Jakarta, 2013

Soekanto, Soerjono, Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat, Academica, Jakarta, 2009.

------; Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008.

------; Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Soepomo, R. Sistem Hukum Di Indonesia, Sebelum Perang Dunia Kedua, Prandnjaparamita, Jakarta, 2007.

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2003

Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung: Refika Aditama, 2005.

Tamakiran, S. Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum (Bandung: Pionir Jaya, 2002.

Vergouwen, J.C. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, PustakaAzet, Jakarta, 1986

Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta, 2007

B. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Universitas Sumatera Utara 109

C. Internet/Jurnal/Makalah Simanjuntak, Barita L.H. Disertasi, Tentang Hukum Waris Adat: Antara Perubahan Dan Resistensi, www. law.ui.com. (penelusuran melalui google.com). diakses Senin 22 Juli 2019.

S. Sagala, Majalah Budaya Batak dan Pariwisata, Nomor. 8, 1 (Medan : Yayasan Budaya Batak, 1996

Universitas Sumatera Utara