Parokialitas Adat
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
ISLAM WETU TELU DI BAYAN LOMBOK: DIALEKTIKA ISLAM NORMATIF DAN KULTURAL Muhammad Harfin Zuhdi Abastract Abstract: Islam reached Lombok island at sixteenth century, approximately at 1545. Its well known spreader was an expedition from Java led by Sunan Prapen son of Sunan Giri, one of the famous Wali Songo. Before Islam reached this island, according to some historian, the indigenous Sasak –appellation to indigenous of Lombok people—had their own traditional religion, Boda. Islam –since the very beginning of its history and will continuosly last to the end of time—has faced some different even contradictive values of local traditions and cultures. Its leads to a kind of dialectical process, and in turn produces what is called local Islam such as Islam Wetu Telu in Bayan, West Lombok. This article is aimed at revealing historical root of religious identity of Sasak community. Historical sketch of its religious identity leads to Wetu Telu religion that was collaboration of tradition, cultural and relegious values of the comers and those of the indigenous people in the past. Another point of view sad that Wetu Telu religion is an uncompleted process of islamization toward Waktu Lima religion that is considered by presently most Muslims in Lombok the true and pure Islam. ﻟﻘﺪ دﺧﻞ اﻹﺳﻼم ﻓﻲ اﻟﺠﺰﯾﺮة ﻟﻮﻣﺒﻮك ﻓﻲ اﻟﻘﺮن اﻟﺴﺎدس ﻋﺸﺮ ﺣﻮاﻟﻲ اﻟﻌﺎم ١٥٤٥م. أﻣﺎ أﺷﮭﺮ داﻋﯿﺔ اﻹﺳﻼم ﻓﻰ ﻟﻮﻣﺒﻮك ﻓﮭﻮ وﻓﺪ أو رﺣﻠﺔ اﺳﺘﻜﺸﺎﻓﯿﺔ ﻣﻦ اﻟﺠﺰﯾﺮة ﺟﺎوا اﻟﺘﻲ ﯾﻘﻮدھﺎ ﺳﻮﻧﺎن ﺑﺮاﺑﯿﻦ (sunan Prapen) وھﻮﻣﻦ أوﻻد ﺳﻮﻧﺎن ﺟﯿﺮى (sunan Giri) اﺣﺪ اﻷوﻟﯿﺎء اﻟﺘﺴﻌﺔ. وﻗﺒﻞ اﻹﺳﻼم ﺟﺎء إﻟﻰ ھﺬه اﻟﺠﺰﯾﺮة ﻛﺎﻧﺖ ﻗﺒﯿﻠﺔ ﺳﺎﺳﺎك – ﻗﺒﯿﻠﺔ اﻟﺴﻜﺎن اﻷﺻﻠﯿﯿﻦ ﻓﻲ ھﺬه اﻟﺠﺰﯾﺮة- ﻟﺪﯾﮭﺎ اﻟﺪﯾﻦ اﻟﺘﻘﻠﯿﺪي ﺑﻮدا (boda) ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻟﮫ ﺑﻌﺾ اﻟﻤﺆرﺧﯿﻦ. ﻛﺎن اﻹﺳﻼم ﻣﻦ أول ﯾﻮﻣﮫ ﺣﺘﻰ ﻧﮭﺎﯾﺔ ﺗﺎرﯾﺨﮫ ﻗﺪ واﺟﮫ ﻟﻸﻣﻮر ﻣﺨﺘﻠﻔﺔ ﺣﺘﻰ ﺿﺪ ﻗﯿﻢ اﻟﺜﻘﺎﻓﺔ واﻟﺘﻘﺎﻟﯿﺪ اﻟﻤﺤﻠﯿﺔ وھﻲ ﻣﺘﻨﺎﻗﻀﺔ ﻟﮫ وﻣﻦ ﺛﻢ ﯾﺠﻠﺐ اﻟﻌﻤﻠﯿﺔ اﻟﺤﻮارﯾﺔ ﺑﯿﻨﮭﻤﺎ اﻟﺘﻲ ﺗﻨﺘﺞ ﻣﺎ ﯾﺴﻤﻰ ﺑﺎﻹﺳﻼم اﻟﻤﺤﻠﯿﺔ "إﺳﻼم ﺛﻼﺛﺔ أوﻗﺎت" (islam wetu telu) ﻛﻤﺎ ﺣﺪث ﻓﻲ" ﺑﺎﯾﺎن" ﻟﻮﻣﺒﻮك اﻟﻐﺮﺑﯿﺔ. ھﺬا اﻟﺒﺤﺚ ﯾﮭﺪف إﻟﻰ اﻟﻜﺸﻒ ﻋﻦ اﻟﺠﺬور اﻟﺘﺎرﯾﺨﯿﺔ ﻟﻠﮭﻮﯾﺔ اﻟﺪﯾﻨﯿﺔ ﻣﻦ اﻟﻘﺒﯿﻠﺔ ﺳﺎﺳﺎك. ﻓﮭﻮﯾﺘﮭﻢ اﻟﺪﯾﻨﯿﺔ أدى إﻟﻰ اﻟﺪﯾﻦ "وﺗﻮ ﺗﻠﻮ" اﻟﺬي ھﻮ ﻣﺰﯾﺞ ﻣﻦ اﻟﻘﯿﻢ اﻟﺘﻘﻠﯿﺪﯾﺔ واﻟﺜﻘﺎﻓﺔ ودﯾﻦ اﻟﻤﮭﺎﺟﺮ ﻣﻊ اﻟﻤﺴﺘﻮطﻨﯿﻦ اﻷﺻﻠﯿﯿﻦ ﻓﻲ اﻟﺰﻣﻦ اﻟﻤﺎﺿﻲ وﻣﻦ اﻟﻤﺆرﺧﯿﻦ ﻣﻦ ﯾﻘﻮل ان اﻟﺪﯾﻦ "اﺳﻼم ﺛﻼﺛﺔ أوﻗﺎت" ھﻮ ﻋﻤﻠﯿﺔ اﻷﺳﻠﻤﺔ اﻟﺘﻲ ﻟﻢ ﺗﻨﺘﮫ ﻣﻦ اﻟﺪﯾﻦ وھﻮﻣﻤﺎ ﯾﻌﺘﺒﺮ ﻣﻌﻈﻢ اﻟﻤﺴﻠﻤﯿﻦ ﻓﻲ اﻟﺠﺰﯾﺮة ﻟﻮﻣﺒﻮك ﺑﺎﻻﺳﻼم اﻟﺤﻘﯿﻘﻲ واﻷﺻﻠﻲ ﺧﻤﺴﺔ اﻷوﻗﺎت Islam masuk ke pulau Lombok pada abad ke-16, sekitar tahun 1545. Penyebar agama Islam yang paling terkenal adalah sebuah ekspedisi dari pulau Jawa yang dipimpin oleh Sunan Prapen anak dari Sunan Giri, salah seorang Walisongo. Sebelum Islam masuk di pulau ini, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Aktivis Rahmat Semesta Center, E-mail: [email protected]. 1 menurut beberapa sejarawan, suku Sasak – sebutan suku pribumi pulau Lombok – memiliki agama tradisional sendiri, Boda. Islam – sejak awal dan sampai akhir sejarahnya – telah menghadapi banyak hal-hal yang berbeda sekalipun terhadap nilai-nilai tradisi maupun budaya lokal yang kontradiktif. Hal ini membawanya kepada sebuah proses dialektis, dan begitu juga menghasilkan apa yang disebut dengan Islam lokal seperti Islam Wetu Telu di Bayan, Lombok Barat. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengungkap akar sejarah identitas keberagamaan suku Sasak. Goresan sejarah identitas keberagamaan mereka mengantarkan kepada agama Wetu Telu yang merupakan sebuah kolaborasi antara nilai-nilai tradisi, budaya dan agama pendatang dengan penduduk pribumi di masa lampau. Sudut pandang lain mengatakan bahwa agama Wetu Telu adalah sebuah proses yang belum selesai dari pengislaman agama lima waktu yang dianggap oleh sebagian besar orang Islam di Lombok sebagai Islam yang benar dan murni. Kata Kunci: Boda, Agama, Kultural Lokal. Wetu Telu, Waktu Lima. PENDAHULUAN Sebelum Islam datang berbagai macam adat kuno dan kepercayaan lokal banyak dipraktekkan dan sangat menyatu dengan struktur lokal sosial. Selanjutnya ketika Islam datang, ia berhadapan dengan nilai-nilai lama yang beberapa diantaranya mengandung unsur-unsur Hindu-Budha. Alih-alih membersihkan sepenuhnya anasir non-Islami, Islam juga diakomodasikan dan pada akhirnya disinkretisasikan ke dalam tradisi lokal. Keberadaan Islam abangan di Jawa, dan Islam Wetu Telu di Lombok merupakan bukti bahwa Islam dipraktekkan dengan kepercayaan lokal yang mengandung anasir non-Islami. Perbedaan perspektif dan pemahaman dalam menyerap dan menjalankan ajaran-ajaran Islam, serta akomodasi agama ini ke dalam struktur lokal yang spesifik telah menyumbang pluralitas dan parokialitas Islam di Indonesia. Soebardi mendeskripsikan pluralitas kultur Islam sub kultur di Indonesia: “Realitas kehidupan Islam sangat pluralistik. Seseorang bisa menjumpai berbagai perbedaan cara orang Islam dan menjalankan ajaran Islam. Kelompok-kelompok 2 ortodoks menjalankan kewajiban-kewajiban agama dengan penuh ketaatan. Di pihak lain, ada banyak sekali orang yang menyebut dirinya Islam tetapi pengetahuan tentang hukum dan ajarannya sangat dangkal dan tidak sempurna serta mereka tidak bertindak tanduk menurut petunjuk agama mereka dalam kehidupan sehari-hari. Bisa ditambahkan di sini bahwa ada banyak sekali anasir peribadatan yang berasal dari zaman pra Islam”( Soebardi, 1976: 39). Bedasarkan elaborasi di atas terlihat bahwa terdapat pluralitas ekspresi keberagamaan di Indonesia. Di pulau Lombok terdapat dua varian Islam yang dipisahkan secara diametral, yakni antara Islam Wetu Telu dan Islam Waktu Lima. Islam Wetu Telu dapat dikatagorikan sebagai agama tradisional, sementara Islam Waktu Lima dikatagorikan agama samãwi. Klasifikasi ini bukan merupakan suatu yang terpisah satu sama lain. Kedua katagori ini bisa saling tumpang tindih, di mana sebuah katagori memiliki karakteristik tertentu yang juga bisa dipunyai katagori lain, begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain, agama tradisional memuat nilai-nilai, konsep, pandangan, dan praktek-praktek tertentu hingga pada batas-batas tertentu juga bisa ditemukan dalam agama samãwi. Begitu juga halnya dengan agama samãwi bisa mengandung sesuatu yang ternyata lebih parokial. Identifikasi Wetu Telu yang lebih mendekati agama tradisional ini, dan Waktu Lima yang lebih mendekati agama samawi bukanlah merupakan pemisahan total. Ada muatan-muatan nilai yang dipunyai Waktu Lima yang juga dianut kalangan Wetu Telu. Penggunaan do’a-do’a berbahasa Arab yang diambil dari al-Qur’an, para kiai yang menjalankan peran sebagai imam, dan masjid merupakan anasir penting keprcayaan Wetu Telu yang diambil dari Islam universal. Dimasukkannya ayat-ayat al-Qur’an dalam praktek-praktek keagamaan Wetu Telu merupakan kualitas esoterik yang, bagaimana pun juga, tidak mengubah secara substansial bentuk-bentuk animistik dan antropomorpismenya (Erni Budiwanti, 2000: 66). PEMBAHASAN A. Agama, Islam dan Adat Agama adalah suatu ajaran yang sudah ada sejak dahulu, diwarisi secara turun temurun yang berfungsi sebagai pegangan dan pedomana hidup yang bersumber dari kitab suci agar kehidupan manusia menjadi damai, tertib dan tidak kacau. Secara terminologis, pengertian agama adalah sama dengan pengertian religi dalam bahasa-bahasa Eropa, dan istilah din dalam bahasa Arab. Istilah religi berasal dari kata religie 3 dalam bahasa Belanda, atau religion dalam bahasa Eropa lainnya, seperti Inggris, Prancis, dan Jerman, yang bersumber dari bahasa Latin: Lerigare (re berati kembali, lerigare artinya terikat/ikatan). Dengan demikian, istilah religi dapat diartikan bahwa agama adalah sebuah sistem kehidupan yang terikat oleh norma-norma atau peraturan-peraturan, sedangkan norma atau peraturan yang tertinggi adalah norma atau peraturan yang berasal dari Tuhan. Religion juga dapat berarti sebagai earnest observance of ritual obligation and an inward spirit reference.1 Agama dalam pengertian Glock & Stark, sebagaimana dikutip Djamaludin Ancok (Ancok, 2001, 77), adalah sistem simbol dan keyakinan, sistem nilai dan perilaku yang terlembagakan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi. Sedangkan Robert H. Thouless mendefinisikan Relegion adalah sikap dan penyesuaian diri terhadap dunia yang mencakup acuan yang menunjukkan lingkungan yang lebih luas daripada lingkungan dunia fisik yang terikat ruang dan waktu (Thouless, 1988: 10). William James berpendapat bahwa agama sebagai perasaan, tindakan, dan pengalaman- pengalaman manusia masing-masing dalam ’keheningannya’ (Crapps, 1993: 17). Kesadaran keagamaan berdasarkan pengalaman subyektif, ada tiga ciri yang mewarnai agama, yaitu pertama, pribadi, agama sebagai hal yang amat pribadi sesuai dengan kenyataan sepenuhnya; kedua, emosionalitas, sebagai hakikat agama yang baik dalam bentuk emosi maupun dalam perilaku yang didasarkan atas perasaan keagamaan; dan ketiga, keanekaragaman dalam pengalaman keagamaan (Crapps, 1993: 148-152). Selanjutnya lebih jauh, Anthony Giddens menjelaskan bahwa agama terdiri dari seperangkat simbol, yang membangkitkan perasaan takzim dan khidmat, serta terkait dengan pelbagai praktek ritual maupun upacara yang dilaksanakan oleh komunitas pemeluknya (Giddens, 1989: 542). Sebagai sebuah sistem makna, maka agama memberikan penjelasan dan interpretasi tertentu atas berbagai persoalan, dan mejadikan berberapa persoalan lainnya tetap sebagai misteri. Agama memberikan jawaban atas pertanyaan tentang asal-usul alam semesta dan manusia dalam kehidupan, kematian dan hidup sesudah mati dalam konsep-konsep yang bernuansa keghaiban. Ini berarti penjelasan dan makna yang melekat dalam agama melampaui 1 The American Heritage Concise Dictionary, Microsoft Encarta 97 Encyclopedia, (Hougthon Mifflin Company, 1994),