SIFAT KIMIA KAYU RARU ASAL TAPANULI TENGAH

SKRIPSI

Fazilla Oktaviani Tarigan 161201095 Teknologi Hasil Hutan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020

Universitas Sumatera Utara SIFAT KIMIA KAYU RARU ASAL TAPANULI TENGAH

SKRIPSI

Oleh: Fazilla Oktaviani Tarigan 161201095 Teknologi Hasil Hutan

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020

Universitas Sumatera Utara LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Sifat Kimia Kayu Raru Asal Tapanuli Tengah Nama : Fazilla Oktaviani Tarigan NIM 161201095 Departemen : Teknologi Hasil Hutan Fakultas : Kehutanan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Apri Heri Iswanto, S.Hut., M.Si. Ketua

Mengetahui,

Arif Nuryawan, S. Hut., M. Si., Ph.D. Ketua Departemen Teknologi Hasil Hutan

Tanggal Lulus : 20 Februari 2020

i Universitas Sumatera Utara PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Fazilla Oktaviani Tarigan NIM : 161201095 Judul Skripsi : Sifat Kimia Kayu Raru Asal Tapanuli Tengah

Menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan skripsi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Medan, Februari 2020

Fazilla Oktaviani Tarigan NIM 161201095

ii Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

FAZILLA OKTAVIANI TARIGAN: Sifat Kimia Kayu Raru asal Tapanuli Tengah. Dibimbing oleh APRI HERI ISWANTO.

Raru merupakan spesies kurang dikenal yang berasal dari Sumatera Utara. Terdapat beberapa jenis dari pohon Raru lokal yaitu, Raru Dahanon, Pulut, dan Songal. Masyarakat setempat biasanya memanfaatkan kayu Raru untuk keperluan bangunan, dan kulitnya sebagai campuran minuman beralkohol khas Batak (tuak). Informasi mengenai karakteristik dari tanaman Raru masih terbatas, termasuk sifat kimianya. Padahal, informasi tentang sifat-sifat kimia diperlukan tidak hanya untuk papan serat, ataupun kebutuhan pulp, tetapi komposisi kimia juga dimaksudkan sebagai tambahan ketahanan stabilitas kayu, baik secara biologis maupun fisis dan mekanis untuk keperluan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang komposisi kimia kayu Dahanon, Pulut dan Songal berdasarkan arah aksial batang (pangkal, tengah, ujung). Komposisi kimia seperti holoselulosa, alfa-selulosa, hemiselulosa, kandungan lignin, dan zat ekstraktif dalam etanol benzena 1:2, zat ekstraktif dalam air panas, air dingin, dan NaOH 1% diukur. Analisis komponen kimia dilakukan dengan menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari tiga kayu Raru lokal dari bagian yang berbeda menghasilkan sifat kimia yang berbeda. Komposisi kimia dari kayu dahanon, pulut dan songal adalah 61,28%, 63,13%, dan 66,19% (holoselulosa), 41,88%, 42,01%, dan 42,95% (α-selulosa), 19,39%, 21,11%, dan 23,24% (hemiselulosa), 28,68%, 24,76%, 30,11% (kadar lignin), 3,34%, 4,6% dan 3,83% (zat ekstraktif dalam air dingin).

Kata kunci: Kayu, Kayu Lokal, Komponen Kimia.

iii Universitas Sumatera Utara ABSTRACT

FAZILLA OKTAVIANI TARIGAN: The Chemical Properties Of Raru Wood from Central Tapanuli. Supervised by APRI HERI ISWANTO.

Raru is a lesser-known species originating from North Sumatra. There were tree local raru species namely, Raru Dahanon, Pulut, and Songal. Local people commonly harvesting raru wood for building purpose and its bark for a mixture of bataknese alcoholic drinks (tuak). The information regarding the wood characteristic of local raru wood is still limited, including its chemical properties. Where as, information on chemical properties is needed not only for fiberboard, pulp purpose, but the chemical composition is also intended as an addition to wood stability resistance both biologically as well as physical and mechanical for future utilization. Therefore, this study was conducted to get information on the chemical composition of Dahanon, Pulut and Songal wood based on stem axial (bottom, middle, top). The chemical composition such as holocellulose, α- cellulose, hemicellulose, lignin content, and extractive substances in 1: 2 benzene ethanol, an extractive substance in hot water, cold water, and NaOH 1% were measured. The chemical component observations were done by using the Indonesian National Standard (SNI). The results showed that of the three local raru wood from different parts produce different chemical properties. The chemical composition of Dahanon, Pulut and Songal wood are 61.28%, 63.13%, and 66.19% (holocellulose), 41.88%, 42.01%, and 42.95% (α- cellulose), 19.39%, 21.11%, and 23.24% (hemicellulose), 28.68%, 24.76%, 30.11% (lignin content), 3.34%, 4.6% and 3.83% (extractive substance in cold water).

Keywords: wood, local raru, chemical compositions.

iv Universitas Sumatera Utara RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 06 Oktober 1998. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara oleh pasangan Bapak Darfen dan Ibu Mauliza. Penulis memulai pendidikan formal di SD Swasta Ibnu Sina Batam pada tahun 2004 - 2010, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 6 Batam pada tahun 2010 - 2013, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Batam pada tahun 2013 - 2016, dan pada tahun 2016 penulis diterima di Fakultas Kehutanan USU melalui jalur SBMPTN dan memilih minat Departemen Teknologi Hasil Hutan. Selain mengikuti perkuliahan, penulis merupakan anggota Pemerintahan Mahasiswa USU tahun 2017-2018, anggota organisasi Rain Forest USU tahun 2018 - 2019, anggota HIMAS USU, dan sekretaris umum Pemerintahan Mahasiswa Fakultas Kehutanan USU 2019 – 2020. Penulis telah mengikuti Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan di Kawasan Hutan Mangrove Lubuk Kertang pada tahun 2018. Pada tahun 2019 penulis juga telah menyelesaikan Praktik Kerja Lapang (PKL) di KPHL Unit II Batam. Pada awal tahun 2019 penulis melaksanakan penelitian dengan judul Sifat Kimia Kayu Raru Asal Tapanuli Tengah di bawah bimbingan Bapak Dr. Apri Heri Iswanto, S.Hut., M.Si.

v Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta memberikan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Sifat Kimia Kayu Raru asal Tapanuli Tengah”. Penyususnan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Apri Heri Iswanto, S.Hut, M. Si selaku komisi pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis serta memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Bapak Darfen dan Ibu Mauliza yang telah memberikan dukungan materi dan moral untuk pelaksanaan dan penyusunan hasil penelitian ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu pelaksanaan dan menyumbangkan semangat serta kerjasama yang baik saat penelitian. Penulis menyadari pembuatan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi menyempurnakan sripsi ini. Dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hasil hutan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Februari 2020

Fazilla Oktaviani Tarigan

vi Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PENGESAHAN ...... i PERNYATAAN ORIGINALITAS ...... ii ABSTRAK ...... iii ABSTRACT ...... iv RIWAYAT HIDUP ...... v KATA PENGANTAR ...... vi DAFTAR ISI ...... vii DAFTAR TABEL ...... ix DAFTAR GAMBAR ...... x DAFTAR LAMPIRAN ...... xi PENDAHULUAN Latar Belakang ...... 1 Tujuan Penelitian ...... 2 Manfaat Penelitian ...... 2 TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Pohon Raru Pulut ...... 3 Taksonomi Pohon Raru Dahanon ...... 3 Taksonomi Pohon Raru Songal ...... 3 Morfologi Pohon Raru Pulut ...... 4 Morfologi Pohon Raru Dahanon ...... 4 Morfologi Pohon Raru Songal ...... 4 Habitat dan Penyebaran Pohon Raru Pulut ...... 4 Habitat dan Penyebaran Pohon Raru Dahanon ...... 5 Habitat dan Penyebaran Pohon Raru Songal ...... 5 Berat Jenis Raru ...... 5 Komponen Kimia ...... 6 Komponen Kimia Struktural ...... 6 –Selulosa ...... 6 Hemiselulosa ...... 7 Holoselulosa ...... 7 Lignin ...... 8 Komponen Kimia Non Struktural ...... 9 Ekstraktif dalam Etanol Benzena 1:2 ...... 9 Ekstraktif dalam Air Panas ...... 9 Ekstraktif dalam Air Dingin ...... 10 Ekstraktif dalam NaOH 1% ...... 10 Review Hasil Penelitian Tentang Sifat Kimia Kayu ...... 10

vii Universitas Sumatera Utara METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu ...... 12 Alat dan Bahan ...... 12 Prosedur Penelitian...... 12 Persiapan Sampel ...... 13 Kadar Lignin ...... 14 Kadar Holoselulosa ...... 15 Kadar –Selulosa ...... 16 Kadar Ekstraktif dalam Ethanol Benzena (1:2) ...... 17 Kadar Ekstraktif dalam Air Panas ...... 18 Kadar Ekstraktif dalam Air Dingin ...... 18 Kadar Ekstraktif dalam NaOH 1% ...... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN Lignin ...... 20 Holoselulosa ...... 22 –Selulosa ...... 23 Hemiselulosa ...... 24 Ekstraktif dalam Etanol Benzena 1:2 ...... 26 Ekstraktif dalam Air Panas dan Air dingin ...... 27 Ekstraktif dalam NaOH 1% ...... 28

KESIMPULAN ...... 30 DAFTAR PUSTAKA ...... 31 LAMPIRAN ...... 36

viii Universitas Sumatera Utara DAFTAR TABEL

No Halaman 1. Kadar Ekstraktif pada kayu Shorea retusa, Shorea macroptera, dan Shorea macrophylla pada arah aksial dan radial...... 11 2. Komponen Kimia pada kayu Shorea retusa, Shorea macroptera, dan Shorea macrophylla pada arah aksial dan radial ...... 11 3. Klasifikasi komponen kimia pada kayu daun lebar ...... 19

ix Universitas Sumatera Utara DAFTAR GAMBAR

No Halaman 1. Serbuk kayu Raru jenis Dahanon, Pulut, dan Songal berdasarkan arah aksial batang ...... 13 2. Kadar lignin berdasarkan arah aksial batang kayu Raru jenis Dahanon, Songal, dan Pulut...... 20 3. Kadar holoselulosa berdasarkan arah aksial batang kayu Raru jenis Dahanon, Songal, dan Pulut ...... 22 4. Kadar alfa-selulosa berdasarkan arah aksial batang kayu Raru jenis Dahanon, Songal, dan Pulut ...... 24 5. Kadar hemiselulosa berdasarkan arah aksial batang kayu Raru jenis Dahanon, Songal, dan Pulut ...... 25 6. Kadar ekstraktif dalam alkohol benzena 1:2 berdasarkan arah aksial batang kayu Raru jenis Dahanon, Songal, dan Pulut ...... 26 7. Kadar ekstraktif dalam air panas berdasarkan arah aksial batang kayu Raru jenis Dahanon, Songal, dan Pulut ...... 27 8. Kadar ekstraktif dalam air dingin berdasarkan arah aksial batang kayu Raru jenis Dahanon, Songal, dan Pulut ...... 27 9. Kadar ekstraktif dalam NaOH 1% berdasarkan arah aksial batang kayu Raru jenis Dahanon, Songal, dan Pulut ...... 28

x Universitas Sumatera Utara DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman 1. Gambar bentuk permukaan daun Raru Songal (a), Raru Dahanon (b), Raru Pulut (c)...... 36 2. Gambar bentuk bagian belakang daun Raru Songal (a), Raru Dahanon (b), Raru Pulut (c) ...... 36 3. Gambar kayu Raru berdasarkan arah aksial batang kayu Raru jenis Dahanon (a), Songal (b), dan Pulut (c) ...... 36

xi Universitas Sumatera Utara 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dikenal memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, terutama terkait dengan keanekaragaman vegetasi. Di antara banyak jenis pohon yang ada, masih terdapat spesies lokal yang belum banyak diteliti karakteristiknya. Sumatera Utara adalah provinsi yang memiliki wilayah hutan tropis dengan tingkat keanekaragaman spesies yang relatif tinggi dengan memiliki beberapa jenis vegetasi lokal yang berpeluang untuk dipelajari karakteristiknya. Spesies tanaman lain yang memiliki potensi untuk dipelajari dari kawasan hutan di Sumatera Utara adalah tanaman Raru. Tanaman Raru yang ditemukan di Sumatera Utara dan telah teridentifikasi jenisnya baru satu jenis, yaitu kayu Raru jenis Pulut (Cotylelobium melanoxylon). Berdasarkan informasi yang tersedia bahwa di Provinsi Sumatera Utara, tepatnya wilayah Tapanuli Tengah, terdapat 3 jenis tanaman Raru, dimana masyarakat mengenal tanaman ini sebagai Dahanon, Songal, dan Pulut. Menurut Hildebrand (1954) beberapa jenis kayu diklasifikasikan sebagai tanaman Raru, termasuk Shorea maxwelliana King, Vatica songa V.Sl. dari dan Garcinia sp. dari keluarga Guttifera. Diperlukan bahan baku dalam jumlah yang cukup banyak juga kualitas yang sesuai dengan kebutuhan industri, hal ini yang mendorong diperlukannya mencari alternatif dalam menghadapi masalah ini dengan melakukan upaya peningkatan efisiensi produksi dalam pemanfaatan kayu, sehingga kayu-kayu dengan jenis kurang terkenal mulai menjadi perhatian (Gurning et al., 2017). Kayu Raru adalah kayu yang umumnya hanya dimanfaatkan bagian kulitnya. Kulit kayu ini ditambahkan pada proses pembuatan gula aren yang bertujuan untuk meningkatkan cita rasa. Kulit ini juga ditambahkan pada proses pembuatan minuman tradisional Batak yang dikenal sebagai Tuak (Pasaribu, 2007). Selanjutnya Pasaribu (2007) mengemukakan bahwa kayu Raru sangat cocok untuk konstruksi berat seperti tiang listrik, perkapalan dan sebagainya. Informasi yang terbatas menyebabkan kayu Raru hanya digunakan untuk campuran dalam minuman keras khas Batak (Tuak). Sifat fisis, mekanis,

Universitas Sumatera Utara 2

dan kimia kayu Cotylelobium melanoxylon sebelumnya telah diteliti oleh Pasaribu (2007) dan Pasaribu et al. (2007). Fokus dari penelitian ini adalah untuk menganalisis keragaman sifat kimia dari tiga jenis kayu Raru asal Tapanuli Tengah berdasarkan arah aksial batang. Keanekaragaman perlu dinilai berdasarkan posisi batang, dikarenakan selain keanekaragaman karena perbedaan jenis, karakteristik kayu juga ditentukan oleh perbedaan posisi kayu pada batang. Menurut Gonzales-Rodrigo et al. (2013), faktor fenotip dan genotip menyebabkan variabilitas tinggi dalam sifat kayu, tidak hanya antara spesies yang berbeda tetapi juga pada individu dengan tipe yang sama. Variasi pada individu tidak terlihat langsung tetapi merupakan hasil dari sistem yang kompleks dari berbagai faktor yang terlibat dalam proses modifikasi fisiologis dalam pembentukan kayu. Variasi terjadi pada semua arah radial dan longitudinal pohon (Panshin dan De Zeeuw, 1980). Oleh karena itu dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi ini, maka studi mengenai sifat kimia raru berdasarkan posisi batang secara aksial ini dilakukan.

Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis sifat kimia dari Kayu Raru jenis Raru Dahanon, Pulut, dan Songal, berdasarkan arah aksial batang.

Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai sifat kimia kayu Raru jenis Dahanon, Pulut, dan Songal terkait dengan penggunaan kayu Raru sehingga dapat menambah pemahaman tentang kesesuaian penggunaan dari kayu tersebut.

Universitas Sumatera Utara 3

TINJAUAN PUSTAKA

Terdapat tiga jenis kayu Raru asal Tapanuli Tengah yang dikenal oleh masyarakat sekitar dengan nama lokal kayu Raru Dahanon, Pulut, dan Songal, berikut merupakan taksonomi, morfologi, maupun habitat dan penyebaran dari ketiga jenis kayu Raru asal Tapanuli Tengah. Taksonomi Pohon Raru Pulut (Cotylelobium melanoxylon) Taksonomi Pohon Raru Pulut (Cotylelobium melanoxylon) bersadarkan IUCN (2019), sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Tracheophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Famili : Dipterocarpaceae Genus : Cotylelobium Spesies : Cotylelobium melanoxylon Taksonomi Pohon Raru Dahanon (Cotylelobium lanceolatum) Taksonomi Pohon Raru Dahanon (Cotylelobium lanceolatum) bersadarkan IUCN (2019) sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Tracheophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Malvales Famili : Dipterocarpaceae Genus : Cotylelobium Spesies : Cotylelobium lanceolatum Taksonomi Pohon Raru Songal ( Sangal) Taksonomi Pohon Raru Songal (Hopea Sangal) bersadarkan IUCN (2019), sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Tracheophyta Kelas : Magnoliopsida

Universitas Sumatera Utara 4

Ordo : Malvales Famili : Dipterocarpaceae Genus : Hopea Spesies : Hopea Sangal Morfologi Pohon Raru Pulut (Cotylelobium melanoxylon) Raru (Cotylelobium melanoxylon) merupakan pohon yang memiliki ketinggian dapat mencapai 52 meter dengan diameter 72 cm setinggi dada. Memiliki batang berdamar, dimana pada bagian terluar batang terdapat damar yang dapat keluar dari batang. Tata daun pada raru adalah alternate, yaitu hanya terdapat satu daun yang berseling pada setiap buku, dan permukaan bawah daun umumnya sangat ringan, dan hampir keputih-putihan. Diameter bunga sekitar 13 mm, berwarna putih, dan terletak di dalam penicles. Dan memiliki buah dengan panjang 10 mm, berwarna kuning kehijauan sampai kemerahan, dengan 2 sayap (Silk, 2009). Morfologi Pohon Raru Dahanon (Cotylelobium lanceolatum) Merupakan pohon dengan batang beresin, dengan ranting yang halus hingga sedikit bersisik. Memiliki daun stipule dengan diameter 3 mm. memiliki daun dengan tata daun altenate atau bersilangan pada setiap buku dimana hanya terdapat satu daun saja. Bunga dengan diameter 12 mm berwarna krem, yang diterdapat di dalam penicles. Buah pada kayu raru ini berwarna merah, dengan ukuran diameter 8 mm, dan memiliki 2 sayap (Silk, 2009). Morfologi Pohon Raru Songal (Hopea sangal) Pohon dapat tumbuh hingga ketinggian 40 – 50 m dan batangnya memiliki diameter 40 – 180 cm, memiliki bentuk daun yang bersilangan sederhana, memiliki bunga berwarna kuning dengan diameter 4 mm, memiliki buah bersayap dengan panjang 7 mm berwarna merah-hijau, serta memiliki batang yang beresin (Silk, 2009). Habitat dan Penyebaran Raru Pulut (Cotylelobium melanoxylon) Kayu raru merupakan pohon yang habitat aslinya terdapat di hutan hujan Thailand, Indonesia, , dan Brunei Darussalam. Menurut Julaihi et al. (2016) Dalam IUCN, kayu raru dengan jenis ini sering dijumpai pada tingkat ketinggian rendah hingga 400 m atau 750 m di atas permukaan laut. Kayu raru dengan spesies ini dapat mencapai ketinggian pohon hingga 60 m, dan terdapat di

Universitas Sumatera Utara 5

dataran rendah, pada hutan dipterocarpacea campuran dan kerangas, spesies ini dapat tumbuh pada dataran rendah, dengan tanah berpasir atau podsol, sehingga Cotylelobium melanoxylon sering dijumpai di daerah sekitar pantai (Ashton, 2004). Habitat dan Penyebaran Pohon Raru Dahanon (Cotylelobium lanceolatum) Menurut Ashton (2004), jenis raru (Cotylelobium lanceolatum) tumbuh dengan membentuk kanopi hutan utama sebab dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 45 m pada hutan hujan, sama seperti spesies Cotylelobium melanoxylon, raru jenis ini juga tumbuh pada tanah berpair atau limetone podsol, sehingga banyak ditemukan di teras pantai yang terangkat. jenis ini dapat hidup di punggung bukit atau lereng bukit tanah yang kering, berbatu, sampai berpasir, juga dapat ditemukan di batu kapur (Silk, 2009). Habitat dan Penyebaran Pohon Raru Songal (Hopea Sangal) Menurt Chua et al. (2010) Raru jenis shorea pauciflora banyak dijumpai di dataran rendah, maupun hutan dipterocarpaceae yang pada umumnya berada di dekat sungai. Raru jenis Songal ini dapat tumbuh dalam berbagai tanah, termasuk tanah liat maupun tanah yang mengandung batuan serpih. Spesies ini merupakan spesies yang berasal dari Asia Tenggara, Penyebarannya terdapat di Indonesia bagian Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan, Spesies ini juga ditemukan di Thailand, Singapura, dan Malaysia. Berat Jenis Raru Pada penelitian sebelumnya oleh Pasaribu (2007) telah diteliti mengenai sifat fisis dan mekanis dari kayu Raru jenis Pulut terhadap aksial batang, akan tetapitidak menunjukkan perbedaan sifat yang nyata antara berat jenis pohon dengan arah aksial batang. Diketahui bahwa kayu raru memiliki perbedaan sifat fisis dan mekanis. Berat jenis kayu mencapai 1,02 - 1,09. Akan tetapi pada waktu kayu disimpan di laboratorium sangat cepat diserang oleh rayap kayu kering/bubuk kayu kering. Jenis ini potensial dikembangkan di masa depan sebagi jenis andalan setempat yang memiliki nilai ganda.

Universitas Sumatera Utara 6

Komponen Kimia Komponen kimia penyusun kayu terdiri atas komponen kimia struktural (komponen mayor) dan komponen kimia non-struktural (komponen minor), dimana komponen kimia struktural terdiri dari holoselulosa, selulosa, hemiselulosa, dan lignin, sedangkan komponen kimia non-struktural terdiri dari abu dan zat ekstraktif. Menurut Wijanarko (2014) komponen kimia kayu merupakan unsur penting untuk diketahui untuk dapat membedakan jenis-jenis kayu, agar dapat dikelompokkan untuk pengerjaan dan pengolahan kayu tersebut. Penyebaran komponen kimia kayu tidak merata di dalam dinding sel, dinding sel sekunder banyak diisi oleh hemiselulosa, dalam dinding primer biasanya banyak diisi oleh lignin dan lamela tengah, sedangkan zat ekstraktif terdapat di luar dinding sel kayu. Komponen kimia kayu dapat digunakan unutk mendukung program pengembangan uji keturunan dari generasi kayu berikutnya, dimana sifat-sifat kayu berpengaruh terhadap penggunaan kayu tersebut, terutama pemilihan kayu dalam pembuatan pulp dan kertas, uji komponen kimia kayu masih sangat terbatas dalam pengembangannya (Fatimah et al., 2013). Komposisi Kimia Struktural Komposisi kimia struktural merupakan komponen kimia mayor yang terdapat pada kayu yang meliputi selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Menurut Martawidjaya et al. (2005) selulosa dapat mencapai antara 39 – 55% dalam kayu, dan merupakan bagian terbesar yang terdapat pada kayu, kemudian lignin yang berkisar 18 – 33%, kemudian pentosan 21 – 24%, pentosan merupakan bagian dari hemiselulosa. Alfa-Selulosa Selulosa berperan sebagai metabolit primer pada tumbuhan merupakan bahan dasar penyusun tumbuhan, dan dapat dikonversi menjadi berbagai senyawa kimia lain sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi seperti menjadi furfural yaitu bahan baku dari kebanyakan fine chemical dan bahan bakar (biofuel) (Monariqsa et al., 2012). Menurut Curling at al. (2002) Selulosa adalah salah satu komponen polisakarida yang dapat didegradasi dengan polimerisasi tanpa kehilangan lignin

Universitas Sumatera Utara 7

yang luas. Kadar selulosa berkisar dari 40 - 50% dari berat kayu kering, selulosa merupakan polimer glukan yang disusun dari rantai linier unit 1,4-β-terikat anhidroglukosa (Pettersen, 1984). Hemiselulosa Sekitar dua pertiga kayu tersusun dari polisakarida, dimana polisakarida merupakan polimer-polimer monosakarida, termasuk holoselulosa yang terdiri dari selulosa dan hemiselulosa. Hemiselulosa terdiri dari heteropolisakarida dan pada bagian kayu terdapat 20 - 30% hemiselulosa dari berat kayu kering. Hemiselulosa merupakan hasil pengisolasian dari holoselulosa yang mengalami ekstraksi berturut-turut dengan dimetil sulfoksida dan alkali berair. Ekstraksi dengan konsentrasi alkali dapat memisahkan komponen hemiselulosa, lalu dapat diendapkan dari larutan, selanjutnya dimurnikan (Sjostrom & Westermark, 1999). Teknik konvesional dengan hidrolisis alkali dapat menghilangkan komponen hemiselulosa dalam serat tanaman, teknik ini diproses secara kimia untuk mendelignifikasi dan menghilangkan daerah amorf (Azeez dan Orege, 2018). Holoselulosa Holoselulosa merupakan salah satu komponen kimia kayu struktural, yang menurut Pettersen (1989) holoselulosa adalah polisakarida total yaitu jumlah dari selulosa dan hemiselulosa di dalam kayu, dengan cara penentuan dengan menghilangkan seluruh lignin dari kayu tanpa menganggu karbohidrat di dalamnya. Maka dengan hal itu kadar holoselulosa pad kayu berbanding terbalik dengan kadar ligninnya, jika kadar holoselulosa tinggi, maka kadar ligin pada suatu kayu akan semakin rendah (Wibisono et al., 2018). Hasil dari studi sebelumnya Pari et al. (1997) tentang analisis kimia sembilan jenis kayu yang berasal dari Irian Jaya menyatakan bahwa kadar holoselulosa pada kayu berkisar antara 69,61 - 75,21%, kadar holoselulosa menggambarkan rendemen bubur kayu yang dapat dihasilkan oleh kayu dalam pembuatan pulp, sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) maka kayu dengan holoselulosa lebih dari 65% baik sebagai bahan baku pulp.

Universitas Sumatera Utara 8

Kadar Lignin Lignin terdapat di dalam dinding sel yang berfungsi sebagai pemberi ketegaran pada sel, dan pemberi ketegaran pada kayu sebagai penentu sifat-sifat kayu, bagian kayu yang paling kuat adalah bagian yang memiliki kadar lignin yang tinggi, sehingga semakin rendah ligninnya maka bagian kayu akan semakin lunak, kadar lignin yang terdapat pada kayu berkisar antara 29,03 - 33,15% (Aryati, 2009). Menurut Sokanandi et al. (2014), lignin juga merupakan polimer senyawa seperti selulosa dan hemiselulosa yang membentuk dinding sel kayu, dimana terdapat ikatan-ikatan kimia seperti aril-alkil dan ikatan eter pada lignin yang berperan dalam melindungi selulosa dan senyawa karbohidrat lain pada dinding sel, dikarenakan kadar lignin yang tinggi menyebabkan agen hidrolisis (asam atau enzim) kesulitan menembus selulosa. Lignin merupakan komponen makro molekul yang memiliki ikatan kovalen dengan selulosa dan hemiselulosa. Pada umumnya, lignin tidak larut dalam pelarut sederhana, lignin larut dalam pelarut organik, dapat dilihat pada kelarutan komponen kimia, dimana lignin dan zat ekstraftif dapat larut dalam pelarut organik (Simatupang et al., 2012). Komposisi Kimia Nonstruktural Komposisi kimia nonstruktural merupakan komponen kimia minor yang terdapat pada kayu, diantaranya adalah zat ekstaktif dan abu. Menurut Pettersen (1984) terdapat sejumlah kecil komponen penyusun kayu, sebagian besar dalam bentuk zat ekstraktif organik dan mineral organik atau abu yang biasanya hanya sekitar 4 - 10% dalam kayu. Kayu memiliki komposisi unsur berupa karbon sekitar 50%, hidrogen 6%, oksigen 44%, dan beberapa ion logam. Zat Ekstraktif Zat ektraktif pada kayu merupakan komposisi kimia yang dapat membuat kayu tersebut tahan lama pada keadaan aktualnya. Pada kayu-kayu yang tahan lama diketahui mengandung tanin (Hawley et al.,1924). Keberadaan zat ekstraktif pada kayu berkaitan dengan warna kayu pada beberapa spesies kayu (Lukmandaru, 2009).

Universitas Sumatera Utara 9

Menurut Fengel & Wegener (1995) Zat ekstraktif merupakan bahan organik maupun anorganik yang berupa cairan yang tedapat di dalam rongga sel atau protoplasma pada saat sel masih hidup. Setelah sel menua dan tidak lagi berkembang, cairan menempel pada dinding sel dan dapat berupa getah, lilin, zat warna, gelatin, gula, dan mineral. Zat ekstraktif sangat erat kaitannya dengan ketahanan kayu. Berdasarkan kelarutannya zat ekstraktif dapat dilarutkan dengan menggunakan pelarut organik maupun air, zat ekstraktif juga dapat dinyatakan jumlah dari zat yang terlarut dari kayu dengan menggunakan air, benzena, eter, dan alkohol (Pari, 1996). terlarut dari kayu dengan menggunakan air, benzena Zat Ekstraktif dalam Alkohol Benzena 1:2 Zat ekstraktif yang larut dalam alkohol benzena 1:2 dapat menunjukkan kandungan dari minyak, lemak, tanin, pigmen dan resin yang terdapat di dalam kayu, zat ekstraktif memang memiliki komponen yang paling sedikit di dalam kayu dibanding dengan lignin, selulosa, holoselulosa, dan hemiselulosa, namun keberadaannya dapat mempengaruhi kekuatan kayu, kerapatan, kembang-susut kayu, dan juga mengurangi daya serangan mikroorganisme maupun jamur dalam kayu (Syahri, 1988). Zat ekstraktif dapat berperan memberikan warna pada kayu, Menurut Lukmandaru (2016) terdapat korelasi nyata antara zat ekstraktif dalam kelarutan etanol benzena, apabila kadar ekstraktif yang terlarut dalam etanol bezena semakin tinggi maka kecerahan pada kayu akan semakin rendah atau kayu akan lebih gelap. Ekstraktif yang terlarut dalam etanol benzena adalah senyawa- senyawa terpenoid sampai fenolat. Hal ini yang menyebabkan semakin gelap kayu menandakan bahwa kadar senyawa fenolatnya tinggi. Zat Ekstraktif dalam Air Panas Zat ekstraktif yang larut dalam air panas tidak memiliki korelasi terhadap warna pada kayu, hal ini disebabkan oleh kurangnya kadar senyawa fenolat seperti tanin atau zat warna lain yang terlarut oleh air panas. Hal ini dapat menunjukkan bahwa sebagian besar senyawa fenolat telah diekstraksi oleh etanol benzena (Lukmandaru, 2016). Menurut Lukmandaru (2009), zat ekstraktif yang larut dalam air panas terdiri dari garam-garam anorganik, karbohidrat, dan protein,

Universitas Sumatera Utara 10

hal ini dapat disimpulkan ekstraktif dalam air panas tidak menunjukkan pengaruh terhadap penghitaman kayu karena komponennya yang bersifat polar. Zat Ekstraktif dalam Air Dingin Zat ekstraktif bukan merupakan salah satu komponen penyusun dinding sel, melainan terdapat dalam rongga sel. Adapun zat-zat yang terlarut oleh pelarut polar bersuhu rendah ini adalah zat warna, gula, dan pati. Jumlah dan zat ekstraktif yang terlarut dapat berbeda tergantung dengan jenis, letaknya pada tanaman. Zat ekstraktif dapat dipengaruhi oleh kondisi dari pertumbuhan (Batubara, 2009). oleh kondisi dari pertumbuhan Lukmandaru (2009) menyatakan bahwa diduga nilai kelarutan zat ekstraktif dalam air dingin lebih rendah dibandingkan dalam air panas, dikarenakan nilai fraksi senyawa karbohidrat yang terlarut tidak lebih banyak daripada kelarutan ekstraktif pada air panas. Zat Ekstraktif dalam NaOH 1% Menurut Maulana et al. (2018), dengan pelarut NaOH 1% pada kayu dapat melarutkan zat ekstraktif, sebagian lignin, dan hemiselulosa dengan molekul rendah. Kelarutan dalam NaOH 1% juga menampakkan petunjuk adanya zat yang memiliki berat molekul rendah seperti lignin, pentosan, dan heksosan oleh karena itu dalam pembuatan pulp diharapkan memiliki persentase yang rendah. Penentuan kerusakan kayu yang disebabkan oleh mikroorganisme dapat dilihat dari kelarutan zat ekstraktif dalam NaOH 1%. Review Hasil Penelitian Tentang Sifat Kimia Kayu Analisa komponen kimia kayu bertujuan untuk mengetahui kandungan komponen kimia dari suatu kayu agar pemanfaatannya sesuai dengan sasaran berdasarakan komponen kimianya (Pari, 1996). Review mengenai hasil penelitian tentang sifat kimia kayu raru ini ditujukan agar dapat mengetahui perbandingan dari sifat kimia kayu raru dengan studi mengenai kayu lainnya. Berikut adalah komponen kimia struktural maupun nontruktural oleh Yunanta et al. (2014).

Universitas Sumatera Utara 11

Tabel 1. Kadar ekstraktif (%) pada Kayu Shorea retusa, Shorea macroptera, dan Shorea macrophylla pada arah aksial dan radial. Arah Arah Kelarutan Etanol Kelarutan Kelarutan Spesies Aksial Radial Benzena 1:2 Air Dingin Air Panas Shorea retusa 2,80 1,58 4,17 Shorea macroptera 5,55 5,92 7,89 Gubal Shorea macrophylla 1,81 1,70 1,84 Shorea retusa 5,87 2,47 3,28 Teras Pangkal Shorea macroptera 11,37 4,96 6,21 luar Shorea macrophylla 2,35 1,52 2,37 Shorea retusa 4,69 1,37 1,68 Teras Shorea macroptera 10,62 3,37 4,28 dalam Shorea macrophylla 4,27 2,09 2,34 Shorea retusa 2,86 2,08 3,38 Gubal Shorea macroptera 7,21 4,49 7,91 Shorea macrophylla 2,15 2,19 2,69 Shorea retusa 16,09 6,91 8,14 Teras Shorea macroptera 15,84 4,34 5,94 Ujung luar Shorea macrophylla 2,58 1,50 2,14 Shorea retusa 11,45 2,48 4,10 Teras Shorea macroptera 12,29 2,01 4,37 dalam Shorea macrophylla 1,47 1,66 1,55 Sumber: Yunanta et al. (2014).

Tabel 2. Komponen kimia dinding sel (%) pada kayu Shorea retusa, Shorea macroptera, dan Shorea macrophylla pada arah aksial dan radial. Arah Spesies Holoselulosa Alfa-selulosa Hemiselulosa Lignin NaOH 1% Aksial SR 69,92 48,33 21,59 26,75 23,70 ST 71,05 43,60 27,45 24,35 29,18 SP 1,81 1,70 1,84 1,70 1,84 SR 73,14 43,86 29,29 28,51 27,33 Pangkal ST 11,37 4,96 6,21 4,96 6,21 SP 71,22 46,44 24,79 30,20 27,5 SR 66,39 45,61 20,78 29,30 29,22 ST 10,62 3,37 4,28 3,37 4,28 SP 69,66 45,47 24,19 27,87 25,72 SR 2,86 2,08 3,38 2,08 3,38 ST 69,54 47,96 21,58 29,20 25,17 SP 71,09 44,46 26,65 29,75 32,64 SR 72,9 47,86 25,04 31,40 24,36 Ujung ST 64,55 45,23 19,32 31,35 27,39 SP 70,15 39,70 30,45 31,01 33,55 SR 11,45 2,48 4,10 2,48 4,10 ST 68,96 41,31 27,64 28,07 21,74 SP 1,47 1,66 1,55 1,66 1,55 Sumber: Yunanta et al. (2014). *SR = Shorea retusa ** ST = Shorea macroptera *** SP = Shorea macrophylla

Universitas Sumatera Utara 12

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai dengan bulan Agustus 2019. Rangkaian kegiatan mulai dari pengambilan kayu Raru jenis Dahanon (Cotylelobium lanceolatum), Pulut (Cotylelobium melanoxylon), dan Songal (Hopea sangal), penyiapan kayu menjadi serbuk dan analisis komponen kimia dari tiga jenis kayu Raru. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan dan Laboratorium PPPHH (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan). Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu Raru Dahanon, Pulut, dan Songal jenis serbuk kayu raru bagian pangkal, tengah dan ujung, akuades, air panas, air dingin, alkohol, benzena, NaOH 17,5%, asam asetat 10%,

H2SO4 72%, (NH4)2SO4 25% dan aseton. Alat yang digunakan adalah oven, timbangan digital, kertas saring, benang kasur, kapas, desikator, termometer, gelas ukur, kaca arloji, botol vial, cawan petri, alat klorinasi, tabung labu, gelas piala, pipet tetes, erlenmeyer, pompa vakum, gelas ukur. Prosedur Penelitian Persiapan Sampel Kayu Raru jenis Dahanon, Pulut, dan Songal diambil dari Hutan Alam Bonalumban, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Dengan pohon berukuran 18 cm dbh dengan tinggi 3,5 meter. Persiapan sampel dilakukan berdasarkan standar TAPPI T 257 cm-02 dan TAPPI T 264 cm-97. Sampel kayu raru untuk ketiga jenis dan ketiga arah aksial batang dibuat menjadi serbuk berukuran 40 mesh, selanjutnya sampel dikeringkan hingga mencapai kadar air kering udara, sebelum dilakukan analisis.

Universitas Sumatera Utara 13

Gambar 1. Serbuk kayu Raru jenis Dahanon, Pulut, dan Songal berdasarkan arah aksial batang.

Kadar Lignin

Pengujian kadar lignin dilakukan berdasarkan standar uji SNI 8429:2017. a) Ditimbang (1,0 g ± 0,1 g) contoh kayu. b) Diekstraksi contoh kayu dengan alkohol benzena 1 : 2, menurut SNI 1032, Cara uji kadar sari (ekstrak alkohol benzena) dalam kayu. c) Dipindahkan contoh uji bebas ekstraktif ke dalam gelas piala 50 mL dan kemudian ditambahkan asam sulfat 72 % sebanyak 15,0 mL. Penambahan dilakukan perlahan-lahan dalam bak perendam pada temperatur (20 ± 1 °C) sambil dilakukan pengadukan dan maserasi dengan batang pengaduk selama 2 sampai 3 menit. d) Setelah terdispersi sempurna, tutup gelas piala dengan kaca arloji dan biarkan pada bak perendam selama dua jam dan dilakukan pengadukan sekali-kali selama proses berlangsung. e) Ditambahkan air suling sebanyak 300 mL ke dalam labu erlenmeyer 1000 mL dan pindahkan contoh dari gelas piala secara kuantitatif. Tambahkan lagi air sampai volume 575 mL, sehingga konsentrasi asam sulfat menjadi 3%. f) Dipanaskan larutan dalam erlenmeyer sampai mendidih dan biarkan di atas penangas air selama empat jam dengan api kecil. Dipertahankan supaya volume larutan tetap, dapat pula menggunakan pendingin balik. g) Didinginkan dan diamkan sampai endapan lignin mengendap sempurna. h) Didekantasikan larutan dan pindahkan endapan secara kuantitatif ke dalam cawan masir atau corong gelas dengan dilapisi kertas yang telah diketahui beratnya.

Universitas Sumatera Utara 14

i) Dicuci endapan lignin sampai bebas asam dengan air panas (diuji dengan lakmus). j) Dikeringkan cawan masir atau kertas saring berisi endapan lignin pada oven (105 ± 3 °C), didinginkan dalam desikator dan timbang sampai berat konstan. k) Dilakukan pengerjaan dua kali penetapan.

Kadar Holoselulosa

Pengujian ini dilakukan sesuai dengan SNI 82400:2017. a) Ditimbang 2 g contoh uji, dilakukan ekstraksi. b) Dicuci contoh uji dengan air panas sampai bebas dari larutan alkohol benzena. c) Dibasahi contoh uji denganair dingin (10 °C). Pasang cawan masir yang berisi contoh uji dalam alat klorinasi. Dilakukan klorinasi selama 3 menit. d) Diangkat cawan masir, diaduk isinya dengan hati-hati, dan diulangi klorinasi selama 2 menit. e) Diangkat cawan masir, dicuci dengan alkohol 95% untuk melarutkan kelebihan gas klor dan asam klorida. Dibiarkan selama 1 menit lalu dikeluarkan larutannya dengan pompa vakum dan dibasahi dengana air dingin. f) Ditambahkan larutan panas monoetanolamin 3% (±75 °C) diaduk, diisi hati- hati dan dibiarkan selama 2 menit lalu dikeluarkan larutannya dengan pompa vakum. Diulangi pengerjaan tersebut sekali lagi. g) Dicuci residu 2 kali dengan alkohol 95% lalu 2 menit dengan air dingin. Setiap kali pencucian dikeluarkan larutan dengan pompa vakum. h) Diulangi klorinasi (tiap kali 2 - 3 menit) dan diekstraksi seperti pada butih e, f, dan g sampai residu berwarna putih atau pucat dan tidak terjadi perubahan warna pada penambahan larutan panas monoetanolamin. i) Dicuci residu 2 kali dengan alkohol 95% untuk menghilangkan larutan alkohol-monoetanolamin. j) Dicuci residu 2 kali dengan air dingin dan sekali dengan alkohol 95% sampai residu memberi reaksi netral terhadap lakmus, kemudian ditambahkan eter untuk mempercepat pengeringan.

Universitas Sumatera Utara 15

k) Dikeringkan cawan masir yang berisi residu dalam lemari pengering 105 ± 3 °C selama 2,5 jam. l) Didinginkan dalam desikator. Diulangi pemanasan dan penimbangan tersebut sampai berat tetap. Dihitung berat residu. m) Dihitung kadar holoselulosa dengan rumus: W1 Kadar holoselulosa (%) = x 100% W Dimana: W : Berat contoh uji kering tanur dinyatakan dalam gram W1 : Berat residu dinyatakan dalam gram Kadar α-Selulosa Pengujian ini dilakukan berdasarkan metode uji SNI 82400:2017. a) Selama analisa dijaga supaya suhu air dan natrium tetap 25 ± 0,2 °C. b) Dipanaskan corong masir dan botol timbang pad oven suhu 105 ± 5 °C sampai berat tetap. Didinginkan dalam desikator sampai suhu kamar dan ditimbang dengan ketelitian 0,5 mg. c) Ditentukan kadar air contoh uji sesuai dengan SNI 7070. Ditimbang dua contoh uji masing-masing 1,5 ± 0,1 g dengan ketelitian 0,1 mg. d) Dimasukkan contoh uji ke dalam gelas piala tinggi 300 mL dan ditambahkan 75 mL larutan natrium hidroksida 17,5%, sebelumnya disesuaikan dulu pada suhu 25 ± 0,2 °C. Dicatat waktu pada saat larutan natrium hidroksida ditambahkan. e) Diaduk pulp dengan alat sampai terdispersi sempurna. Dihindari terjadinya gelembung udara dalam suspensi pulp selama proses pengadukan. f) Ketika pulp telah terdispersi, diangkat pengaduk dan dibersihkan pulp yang menempel pada ujung batang pengaduk. Dicuci pengaduk dengan 25 mL larutan natrium hidroksida 17,5%, ditambahkan ke dalam gelas piala, sehingga total larutan yang ditambahkan ke dalam pulp adalah 100 mL. Diaduk suspense pulp dengan batang pengaduk dan simpan dalam penangas 25 ± 0,2 °C. g) Setelah 30 menit dari penambahan pertama larutan natrium hidroksida, ditambahkan 100 mL akuades suhu 25 ± 0,2 °C pada suspense pulp dan diaduk segera dengan batang pengaduk.

Universitas Sumatera Utara 16

h) Disimpan gelas piala dalam penangas untuk 30 menit berikutnya sehingga total waktu ekstraksi seluruhnya sekitar 60 menit ± 5 menit. i) Setelah 60 menit, diaduk suspense dengan batang pengaduk dan dituangkan ke dalam corong masir, dibuang 10 mL sampai 20 mL filtrat pertama, kemudian dikumpulkan filtrat sekitar 100 mL dalam labu yang kering dan bersih. Pulp jangan dibilas atau dicuci dengan akuades dan dijaga agar tidak ada gelembung yang melewati pulp pada saat penyaringan. j) Pipet filtrat 25 mL dan 10 mL larutan kalium dikromat 0,5 N ke dalam labu 250 mL, ditambahkan dengan hati-hati 50 mL asam sulfat pekat dengan menggoyang labu. k) Dibiarkan larutan tetap panas selama 15 menit (dipanaskan pada suhu 125 °C sampai 135 °C) kemudian ditambahkan 50 mL yang didinginkan pada suhu ruangan . Ditambahkan 2 tetes sampai 4 tetes indikator ferroin dan titrasi dengan larutan ferro ammonium sulfat 0,1 N sampai berwarna ungu. l) Dilakukan titrasi blanko dengan mengganti filtrat pulp dengan 12,5 mL larutan natrium hidroksida 17,5% dan 12,5 mL akuades. Kadar Ekstraktif Dalam Alkohol Benzena (1:2) Pengujian ini dilakukan berdasarkan SNI 14-1032-1989. a) Ditimbang contoh kering udara 1 ± 0,1 g dalam cawan masir. b) Ditutup cawan masir dengan kertas saring yang dilubangi kecil kecil dan telah bebas dari sari, ikat dengan benang yang telah bebas dari sari. c) Ditempatkan contoh dalam alat soklet. d) Diisikan 150 - 200 mL campuran alkohol-benzena 1:2 ke dalam labu ekstrak 250 mL yang telah diketahui berat keringnya. Hubungkan dengan alat soklet lalu pasangkan pada pendingin. e) Dilakukan ekstraksi di atas penangas air atau pemanas listrik selama 6 jam. Atur pendidihan alkohol-benzena sehingga dalam waktu satu jam terjadi lima kali sirkulasi pada alat soklet. f) Dikeluarkan cawan masir yang berisi contoh dari alat soklet. g) Diuapkan alkohol-benzena yang ada di dalam labu ekstrak sampai hampir kering. Alkohol-benzena yang tertampung dalam alat soklet dapat digunakan kembali.

Universitas Sumatera Utara 17

h) Dipanaskan sisa penguapan dalam labu ekstrak dalam lemari pengering pada suhu 105 ± 3 °C, selama 3 jam atau lebih. Didinginkan dalam desikator lalu timbang sampai berat tetap. Kemudian dapat dihitung kadar ekstraktif dengan rumus: A Kadar ekstraktif (%) = X100% B Dimana A : Berat sari dalam labu ekstrak (g) B : Berat contoh kering tanur (g)

Kadar Ekstraktif Dalam Air Panas Pengujian kadar ekstraktif dalam air panas dilakukan berdasarkan SNI 01-1305-1989. a) Dipindahkan 2,0 ± 0,1 g sampel serbuk kayu kering tanur ke dalam erlenmeyer 200 mL dan ditambahkan 100 mL air. b) Dipasangkan pendingin tegak. Diisi penangas air dengan air mendidih lalu ditempatkan erlenmeyer yang berisi sampel selama 3 jam, diatur permukaan air dalam penangas, agar permukaan air pada sampel di dalam erlenmeyer tidak lebih tinggi daripada permukaan air penangas. c) Dikeluarkan erlenmeyer dari penangas air. d) Disaring contoh uji dengan corong masir yang telah diukur beratnya, dan dicuci contoh uji dengan air panas sampai filtratnya jernih. e) Dikeringkan corong masir yang berisi residu sampel selm 4 jam di dalam lemari pengering suhu 105 ± 3 °C. f) Didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Dilakukan pengeringan secara berulang hingga mendapatkan hasil yang konstan. g) Dihitung kadar zat ekstraktif dengan rumus berikut: W − W1 Kadar ekstraktif (%) = X100% W Dimana W : Berat contoh uji kering tanur sebelum diekstrak dengan air panas (g) B : Berat residu kering tanur (g)

Universitas Sumatera Utara 18

Kadar Ekstraktif Dalam Air Dingin Pengujian ini dilakukan berdasarkan SNI 01-1305-1989. a) Dipindahkan 2,0 ± 0,1 g contoh uji kering tanur ke dalam gelas piala 400 mL b) Ditambahkan air sebanyak 300 mL, diaduk sampai larutan homogen, ditutup gelas piala dengan kaca arloji. c) Ditempatkan gelas piala yang telah berisi contoh uji pada ruang dengan suhu 23 ± 2 °C selama 48 jam, dilakukan pengadukan beberapa kali selama di ruangan. d) Disaring sampel menggunakan corong masir, lalu dicuci dengan air dingin hingga filtratnya jernih. e) Dikeringkan Corong masir yang berisi residu contoh uji tersebut selama 4 jam, di dalam lemari pengering suhu 105 ± 3 °C. f) Didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang. Dilakukan pengeringan berulang kali hingga mendapatkan berat yang konstan. g) Dihitung kadar zat ekstraktif dengan rumus berikut: W − W1 Kadar ekstraktif (%) = X100% W Dimana W : Berat contoh uji kering tanur sebelum diekstrak dengan air dingin (g) W1 : Berat residu kering tanur (g)

Kadar Ekstraktif Dalam NaOH 1% Penelitian mengenai kadar ekstraktif dalam NaOH 1% berdasarkan SNI 14-1838-1990. a) Disiapkan sampel serbuk kayu kering udara 2,0 ± 0,1 g, lalu dipindahkan ke dalam gelas piala 200 mL. b) Ditambahkan larutan NaOH 1% sebanyak 100 mL. Kemudian diaduk sampai larutan homogen, lalu digunakan kaca arloji sebagai penutup gelas piala. c) Ditempatkan contoh uji yang berada di gelas piala ke dalam penangas air yang telah diisi air mendidih selama 60 menit. d) Diatur permukaan larutan NaOH 1% di dalam gelas piala agar tidak lebih tinggi dari pada permukaan air dalam penangas. Diaduk selama 5 detik setiap 10, 15, dan 25 menit.

Universitas Sumatera Utara 19

e) Dikeluarkan gelas piala yang berisi contoh uji dari penangas air, disaring contoh uji dengan corong masir yang telah ditimbang beratnya. f) Dicuci contoh uji dengan air panas sampai filtratnya tidak berwarna, kemudian asam asetat 10% sebanyak 25 mL ditambahkan contoh uji, lalu didiamkan selama 1 menit dan disaring kembali. g) Dicuci kembali dengan air panas sampai bebas asam. Dikeringkan corong masir yang berisi residu contoh uji selama 4 jam di dalam pengering suhu 105 ± 3 °C. h) Didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Dilakukan pengeringan secara berulang sampai diperoleh berat yang tetap. i) Dilakukan perhitungan dengan rumus sebagai berikut: W − W1 Kadar ekstraktif (%) = X100% W Dimana W : Berat contoh uji kering tanur sebelum diekstrak dengan NaOH 1% (g) W1 : Berat residu kering tanur (g)

Kelas Komponen Kimia Pada Kayu Tabel 3. Klasifikasi Komponen Kimia pada Kayu Daun Lebar Kelas Komponen KomponenKimia Tinggi Sedang Rendah Selulosa (%) >45 40 - 45 <40 Lignin (%) >33 18 - 33 <18 Pentosan (%) >24 21 - 24 <21 Zat ekstraktif (%) >4 2 - 4 <2 Abu (%) >6 0,2 - 6 <0,2 Sumber: Departemen Pertanian, 1976 dalam Pari, 1996.

Universitas Sumatera Utara 20

HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk dapat membedakan antar jenis kayu diperlukan analisis komponen kimia kayu, yang juga bertujuan untuk mengelompokkan kayu-kayu tersebut didalam penggunaannya. Distribusi komponen kimia kayu di dalam dinding sel tidak merata, hemiselulosa banyak ditemukan pada dinding sel sekunder, sedangkan pada dinding sel primer diisi oleh lignin, serta zat ekstraktif terdapat di luar dinding sel kayu (Wijanarko, 2014). Lignin Hasil dari penelitian ini menunjukkan tingkat lignin berdasarkan arah aksial batang berkisar antara 22% hingga 31,5% (Gambar 2). Kandungan lignin tertinggi ditemukan di bagian tengah kayu Songal dan kandungan lignin terendah ditemukan di bagian atas kayu Pulut. Menurut Martawidjaya et al. (2005), kandungan lignin dalam kayu umumnya berkisar antara 18 - 33%.

Dahanon Songal Pulut 40

30

20 ignin (%)

L 10

0 Pangkal Tengah Ujung Posisi dalam batang

Gambar 2. Kadar lignin berdasarkan arah aksial batang kayu Raru jenis Dahanon, Songal, dan Pulut.

Lignin adalah zat terbesar kedua dan salah satu komponen kimia utama pada tanaman (Casey, 1960). Lignin berfungsi sebagai agen pengikat antar sel dan memberikan kekakuan sel (Ray et al., 2009). Menurut Terashima et al. (2009), lignin memiliki peran penting dalam perakitan struktural dinding sel. Berdasarkan Gambar 2. Kandungan lignin tertinggi dari spesies pohon Raru lokal ditemukan pada bagian tengah batang, sedangkan yang terendah ditemukan di bagian ujung. Hasil ini kontradiktif yang dilakukan oleh Rahman et al. (2018) mengenai kandungan lignin pada kayu Kelampayan, dilaporkan dalam penelitian bahwa

Universitas Sumatera Utara 21

kandungan lignin di bagian ujung adalah yang tertinggi karena di bagian ujung didominasi oleh kayu juvenil. Kecenderungan yang berbeda pada kayu Raru diprediksi karena kayu ini memiliki berat jenis yang hampir sama pada ketiga bagian batangnya, kemungkinan keberadaan kayu juvenil seperti yang ditemukan pada kayu kelampayan tidak terjadi pada kayu Raru. Pasaribu (2007) melaporkan bahwa berat jenis kayu Raru pada 3 bagian batang yaitu pangkal, tengah dan ujung berkisar antara 1,02 hingga 1,09 di mana yang tertinggi adalah pangkal dan yang terendah adalah bagian ujung. Berdasarkan jenisnya, kayu Raru jenis Songal memiliki kandungan lignin tertinggi dibandingkan dengan jenis Raru Dahanon dan Pulut, pada bagian pangkal, tengah, dan ujung yaitu 31,15, 31,25, dan 27,97%,. Menurut Gindl et al. (2002) lignin berkontribusi terhadap kekakuan dinding sel. Sementara itu, Fagerstedt et al. (2015) menyatakan bahwa lignin umumnya dianggap memberikan ketahanan terhadap gaya tekan dalam struktur. Menurut dan Manuhuwa dan Loiwatu (2008) bahwa selain sebagai perekat antar satu sel dengan sel lainnya, kadar jumlah lignin dalam batang dapat menmpengaruhi nilai keawetan pada kayu, semakin tinggi kadar lignin maka semakin tinggi pula nilai keawetan kayu dikarenakan sifat lignin yang sulit untuk dirombak, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kayu Raru jenis Songal dapat memiliki nilai keawetan yang lebih tinggi dibandingkan kayu Raru jenis Pulut dan Dahanon. Kandungan lignin pada bagian ujung setiap jenis kayu Raru memiliki nilai kadar lignin yang lebih rendah dibandingkan dengan bagian pangkal dan tengah. menurut Yunanta et al. (2014) bahwa semakin mendekati bagian ujung secara aksial batang maka kadar lignin dari suatu kayu semakin rendah. Hermawan et al. (2019) juga menyatakan bahwa kadar nilai lignin mengalami pengingkatan dari bagian pangkal ke bagian tengah, dan mengalami penurunan kebagian ujung, hal ini diduga karena pada fase pembelahan dinding sel primer terjadi proses pembesaran dinding sel menjadi dinding sel sekunder dan terjadi lignifikasi yang membedakan serat kayu dan lamella tengah, sehingga lignin yang dibuat oleh sel merembes dan mengeras ke seluruh jaringan kayu. Dapat dikatakan bahwa terdapat interaksi antara arah aksial dan lateral batang yang

Universitas Sumatera Utara 22

menyebabkan variasi nilai kadar lignin antar pangkal, tengah, dan ujung walaupun tidak terlalu besar.

Holoselulosa Didapati hasil dari studi menunjukkan kandungan holoseslulosa dalam ketga jenis kayu Raru bagian pangkal, tengah, dan ujung memiliki nilai antara 59,59% hingga 69% (gambar 3).

Dahanon Songal Pulut 80

(%) 60 40

selulosa 20 lo 0 Ho Pangkal Tengah Ujung

Posisi dalam Batang

Gambar 3. Kadar holoselulosa berdasarkan arah aksial batang kayu Raru jenis Dahanon, Songal, dan Pulut.

Tingkat holoselulosa tertinggi ditemukan pada bagian ujung kayu Songal bagian yaitu 69,00%, sedangkan nilai terendah ditemukan pada bagian pangkal kayu Pulut yaitu 59,59%. Menurut Gurning (2017), tingginya nilai kandungan holoselulosa dalam kayu dapat disebabkan oleh lignin yang terkandung dalam holoselulosa, lignin dalam persentase rendah umumnya tetap dalam holoselulosa. Diperkirakan ada hubungan ultrastruktural dan kimia antara makromolekul dinding sel seperti holoselulosa dan lignin. Holoselulosa adalah jumlah senyawa karbohidrat dan polisakarida dalam kayu yang banyak ditemukan pada dinding sekunder (Pari, 1996). Rahman et al. (2018) menyatakan bahwa holoselulosa terdiri dari selulosa dan hemiselulosa dimana kandungan holoselulosa linier dengan keduanya. Semakin tinggi kandungan selulosa dan hemiselulosa, semakin tinggi nilai holoselulosa kayu. Ruiz-Aquino et al. (2019) menyatakan bahwa holoselulosa mewakili bagian total polisakarida dalam kayu. Pari (1996) menyatakan bahwa kandungan holoselulosa dalam kayu terdiri dari alfa-selulosa dan hemiselulosa yang menggambarkan jumlah senyawa karbohidrat dan polisakarida atau dapat dikatakan total polisakarida yang terkandung dalam kayu

Universitas Sumatera Utara 23

sekunder yang mengandung arabinosa, glukomanan, glukoronoksilan, glukosa, asam uranotik, dan xilosa. Tingginya kadar holoselulosa berpengaruh pada proses pembuatan pulp kayu. Holoselulosa dalam penelitian ini sedikit berbeda dengan Rahman et al. (2018) yang melaporkan bahwa kayu kelampayan, salah satu jenis kayu dengan pertumbuhan yang cepat, memiliki kandungan holoselulosa mulai dari 68 hingga 70%. Kayu yang dapat tumbuh dengan cepat, sebagian besar sel didominasi oleh kayu juvenil yang memiliki kandungan selulosa yang lebih tinggi. Tingginya kandungan selulosa berdampak pada tingginya nilai holoselulosa yang terkandung. Sementara tiga jenis kayu Raru bukan kategori kayu yang dapat tumbuh dengan cepat, oleh sebab itu kayu Raru memiliki nilai berat jenis yang tinggi. Berdasarkan berbagai spesies, kayu Raru jenis Pulut memiliki kandungan holoselulosa tertinggi di semua bagiannya. Ini menunjukkan bahwa kayu Raru Pulut diprediksi memiliki rendemen pulp yang lebih tinggi dibandingkan Songal dan Dahanon. Sebagaimana dinyatakan oleh MacLeod (2007), bahwa tingginya proporsi polisakarida yang mengindikasikan tingginya kandungan holoselulosa akan meningkatkan hasil pulp. Alfa-Selulosa Hasil alfa-selulosa dari kayu Raru jenis Dahanon, Pulut, dan Songal berdasarkan arah aksial batang disajikan pada Gambar 4. 100 Dahanon Songal Pulut 80

60

40 Selulosa(%) - 20 Alfa

0 Pangkal Tengah Ujung Posisi dalam batang

Gambar 4. Kadar alfa-selulosa berdasarkan arah aksial batang kayu Raru jenis Dahanon, Songal, dan Pulut.

Berdasarkan Gambar 4, kandungan alfa-selulosa kayu Raru berkisar antara 40,46 - 44,99%. Pettersen (1984) menyatakan bahwa kandungan selulosa berkisar

Universitas Sumatera Utara 24

antara 40 - 50% dari berat kering kayu. Selulosa adalah polimer glukan yang dibuat dari unit rantai linier 1,4-β-terikat anhydroglucose. Berdasarkan derajat polimerisasi dan disolusi dalam larutan natrium hidroksida (NaOH) 17,5%, selulosa dibagi menjadi 3, yaitu alfa-selulosa, beta-selulosa, dan gamma-selulosa. Alfa-selulosa adalah selulosa dengan derajat polimerisasi 600 - 15.000, yang biasa digunakan sebagai estimator dengan tingkat kemurnian α>92%. Bahan dengan kandungan alfa-selulosa yang lebih tinggi menunjukkan bahan baku berkualitas tinggi (Sumada et al., 2011). Alfa-selulosa adalah selulosa non-terdegradasi yang memiliki berat molekul tinggi (Pintor-Ibarra et al., 2018). Kadar alfa-selulosa tertinggi ditemukan di bagian tengah kayu Pulut (44,99%), sedangkan alfa-selulosa terendah ditemukan di bagian atas kayu Pulut (40,60%). Berdasarkan Gambar 4, kandungan selulosa yang lebih tinggi umumnya ditemukan di bagian tengah. Kemurnian selulosa sering dinyatakan dalam parameter alfa-selulosa. Menurut Achmadi (1990), tingkat selulosa yang lebih tinggi menunjukkan kualitas bahan yang lebih baik. Kandungan besar alfa-selulosa seperti ditunjukkan dalam selulosa nitrit, karboksil metilselulosa, dan selulosa xanthate diperlukan dalam pembuatan kertas saring (Fengel dan Wagener, 1984). Berdasarkan Gambar 4, ketiga jenis kayu Raru memiliki kandungan selulosa yang cenderung sama. Hal ini kemungkinan karena kayu Raru memiliki berat jenis (BJ) yang termasuk dalam kategori tinggi (BJ>0,8). Ketiga jenis kayu ini memiliki proporsi kayu dewasa yang hampir sama sehingga kandungan selulosa tidak jauh berbeda. Berdasarkan klasifikasinya, kandungan selulosa dalam kayu Raru dikategorikan ke dalam kelas menengah berdasarkan Departemen Pertanian (1976) dalam Pari (1996). Hemiselulosa Menurut Sjostrom & Westermark (1999), hemiselulosa terdiri dari hetero polisakarida dan 20 - 30% hemiselulosa dari berat kering kayu. Menurut Rowell et al. (2005), dinyatakan bahwa hemiselulosa pada spesies kayu keras didominasi oleh xilan. Sementara itu, faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah struktur dan komposisi hemiselulosa termasuk jenis kayu, jenis sel dan lokasi di

Universitas Sumatera Utara 25

dalam dinding sel (Walker, 2010 dalam Ruiz-Aquino et al., 2019). Mengacu pada Syafii dan Siregar (2006), kandungan hemiselulosa yang memiliki kriteria baik sebagai bahan baku pulp dan kertas berkisar antara 15 - 25%. Kandungan hemiselulosa yang tinggi memiliki peran penting dalam penggilingan pulp (Stephenson, 1951). Hal tersebut dikarenakan sifat gelatin dari hemiselulosa yang memiliki karakter hidrofilik dari pulp dan memfasilitasi pembentukan ikatan antara serat. Kandungan hemiselulosa dari ketiga jenis kayu Raru dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 5.

Dahanon Songal Pulut 30 25 20 15 10 5 Hemiselulosa Hemiselulosa (%) 0 Pangkal Tengah Ujung Posisi dalam batang

Gambar 5. Kadar hemiselulosa berdasarkan arah aksial batang kayu Raru jenis Dahanon, Songal, dan Pulut.

Berdasarkan Gambar 5, kandungan Hemiselulosa dari tiga spesies kayu Raru berkisar antara 19,13% hingga 25,71%. Kandungan hemiselulosa tertinggi terdapat di bagian atas kayu Raru Songal yaitu, sedangkan nilai hemiselulosa terendah terdapat di bagian dasar kayu Pulut. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Iswanto et al. (2019) kadar hemiselulosa pada kayu kemenyan berkisar antara 26 - 29%, dapat dilihat bahwa kandungan hemiselulosa yang dihasilkan dalam penelitian kayu Raru ini sedikit lebih rendah. Jika dilihat dari nilai Kandungan hemiselulosa ketiga jenis kayu tersebut, terdapat kemungkinan bahwa kayu Raru memiliki potensi sebagai bahan baku pulp dan kertas. Menurut Syafii dan Siregar (2006), menyatakan bahwa kandungan hemiselulosa yang memiliki kriteria baik sebagai bahan baku pulp dan kertas berkisar antara 15 - 25%.

Universitas Sumatera Utara 26

Zat Ekstraktif

Zat ekstraktif merupakan komponen kimia nonstruktural yang komposisinya termasuk minor di dalam kayu atau memiliki persentase kecil dalam kayu. Zat ekstraktif merupakan bahan organik maupun anorganik yang berupa cairan yang tedapat di dalam rongga sel atau protoplasma pada saat sel masih hidup. Meskipun begitu zat ekstraktif sangat dibutuhkan dalam keawetan kayu, karena zat ekstraktif sangat erat kaitannya dengan ketahanan kayu (Fengel & Wegener 1995). Zat Ekstraktif dalam Alkohol Benzena 1:2 Zat ekstraktif dilarutkan dalam beberapa pelarut polar, salah satunya adalah alkohol benzena 1:2. Menurut Lukmandaru (2016), alkohol benzena dapat melarutkan senyawa triterpenoid menjadi fenolat.

Dahanon Songal Pulut 20 15 10 5 0 Zat Zat Ekstraktif dalam Alkohol Alkohol Benzena (%) Pangkal Tengah Ujung Posisi dalam Batang

Gambar 6. Kadar zat ekstraktif dalam alkohol benzena 1:2 arah aksial batang kayu Raru jenis Dahanon, Songal, dan Pulut.

Berdasarkan Gambar 6, Pulut memiliki nilai zat ekstraktif tertinggi dalam alkohol-benzena 1:2 antara lain di bagian pangkal, tengah, dan ujung masing- masing 14,18, 14,92, dan 14,51%. Kelarutan ekstraktif dalam alkohol benzena 1:2 secara signifikan mempengaruhi warna kayu. Menurut Lukmandaru (2016), kandungan ekstraktif yang lebih tinggi dalam alkohol-benzena menghasilkan kecerahan kayu yang lebih rendah. Artinya kayu teras akan lebih gelap. Berdasarkan penelitian ini kayu Pulut memiliki kandungan ekstraktif yang lebih tinggi dan menghasilkan warna paling gelap dibandingkan yang lain. Sebaliknya, tingginya nilai bahan ekstraktif pada kayu Pulut berarti kayu Pulut lebih sulit untuk dimanfaatkan menjadi pulp. Menurut Junus et al. (2012) nilai ekstraktif

Universitas Sumatera Utara 27

yang tinggi membutuhkan jumlah zat kimia yang tinggi untuk proses memasak dalam pembuatan pulp. Zat Ekstraktif dalam Air Panas dan Air Dingin Menurut Jamaludin (2006) dalam Rahman et al. (2018) bahwa unsur- unsur kandungan ekstraktif yang dilarutkan dalam air termasuk tanin, pati, gula, pektin, dan senyawa fenolik. Hasil kelarutan zat ekstraktif dalam air panas dan dingin pada tiga kayu Raru lokal masing-masing disajikan pada Gambar 7 dan 8.

Dahanon Songal Pulut 10 8 6 4 2 Air Panas (%) 0 Zat Zat Ekstraktif dalam Pangkal Tengah Ujung Posisi dalam batang

Gambar 7. Kadar zat ekstraktif dalam air panas arah aksial batang kayu Raru jenis Dahanon, Songal, dan Pulut. Dahanon Songal Pulut 7 6 5 4 3 2

Air Dingin (%) 1

Zat Zat Ekstraktif dalam 0 Pangkal Tengah Ujung Posisi dalam batang

Gambar 8. Kadar zat ekstraktif dalam air dingin arah aksial batang kayu Raru jenis Dahanon, Songal, dan Pulut.

Menurut Gambar 7 dan 8, nilai kelarutan ekstraktif dalam air panas dan air dingin masing-masing berkisar antara 6,57 - 8,15% dan 2,48 - 6,05%. Nilai kelarutan ekstraktif tertinggi dalam air panas dihasilkan dari kayu Raru Pulut sedangkan kelarutan terendah dihasilkan dari kayu Raru Dahanon. Nilai kandungan ekstraktif tertinggi dan terendah yang dilarutkan dalam air dingin masing-masing ditemukan pada kayu Raru jenis Pulut di bagian ujung dan

Universitas Sumatera Utara 28

pangkal. Secara keseluruhan tidak ada perbedaan dalam nilai ekstraktif berdasarkan posisi batang. Nilai kelarutan ekstraktif dalam air panas lebih tinggi daripada air dingin. Menurut Dockzekalska dan Zborowska (2010), ini disebabkan oleh hidrolisis parsial hemiselulosa yang melibatkan pengembangan larutan asam organik menjadi air. Lukmandaru (2009) menyatakan hubungan antara kelarutan dengan zat ekstraktif dengan air panas dapat dikaitkan dengan unsur merah dalam kayu, juga menentukan keawetan alami dan sifat perekatannya.

Zat Ekstraktif dalam NaOH 1% Menurut Junior dan Moreschi (2003) bahwa kandungan ekstraktif dalam NaOH 1% menunjukkan intensitas kerusakan akibat jamur, panas, cahaya, dan oksidasi. Nilai kandungan ekstraktif yang tinggi dalam NaOH 1% menghasilkan peningkatan degradasi kayu. Hasil pada kelarutan zat ekstraktif pada NaOH 1% disajikan pada Gambar 9.

Dahanon Songal Pulut 35 30 25 (%) 20 1% 15 10

NaOH 5

Zat Zat Ekstraktif dalam 0 Pangkal Tengah Ujung Posisi dalam batang

Gambar 9. Kadar zat ekstraktif dalam NaOH 1% arah aksial batang kayu Raru jenis Dahanon, Songal, dan Pulut.

Berdasarkan Gambar 9, nilai rata-rata kelarutan ekstraktif NaOH 1% adalah 28,34%. Kelarutan NaOH 1% menunjukkan penguraian komponen kayu dalam bentuk karbohidrat dengan berat molekul rendah, tanin, dan pewarna. Tingginya nilai zat ekstraktif dalam pelarut NaOH 1% pada kayu menunjukkan bahwa kayu didominasi oleh mineral anorganik, pati atau karbohidrat, lemak, minyak, pewarna, dan senyawa aromatik dan pati. Berdasarkan pernyataan ini, pohon kayu Raru lokal mengandung mineral anorganik, pati atau karbohidrat, lemak, minyak, pewarna, dan senyawa aromatik dan pati. Menurut Pari (1996), tingginya kadar zat ekstraktif yang larut dalam NaOH 1% juga bisa menjadi

Universitas Sumatera Utara 29

indikasi adanya kerusakan kayu. Dalam pembuatan pulp, nilai zat ekstraktif harus rendah. Nilai kelarutan zat ekstraktif dalam NaOH 1% juga menunjukkan adanya kelompok asetil yang tinggi dalam hemiselulosa. Itu juga alasan mengapa kayu dengan nilai ekstraktif tertinggi sulit diserang oleh organisme perusak kayu. Ketiga jenis Raru asal Tapanuli Tengah memiliki nilai ekstraktif yang tinggi, dimana sifat ekstraktif berhubungan dengan keawetan kimia kayu, seperti studi sebelumnya yang dilakukan oleh Jasni et al. (2016) mengenai komponen kimia dan keawetan alami 20 jenis kayu, menunjukkan bahwa bukan hanya zat ekstraktif yang mempengaruhi keawetan alami kayu, melainkan komponen selulosa yang menjadi makanan utama rayap juga dapat mempengaruhi keawetan pada kayu, berdasarkan hal tersebut dapat diduga bahwa ketiga jenis kayu Raru memiliki nilai keawetan alami yang tinggi dikarenakan zat ekstraktif yang sangat tinggi dibandingkan dengan zat ekstraktif dari 20 jenis kayu dari studi sebelumnya, kayu Raru juga memiliki nilai selulosa yang sedang sehingga sumber utama makanan rayap tidak terlalu tinggi.

Universitas Sumatera Utara 30

KESIMPULAN

Kandungan alfa-selulosa dan hemiselulosa tertinggi dibandingkan ketiga jenis kayu Raru terdapat pada kayu Raru jenis Songal bagian ujung, kandungan lignin dan zat ekstraktif terlarut dalam NaOH 1% tertinggi terdapat pada kayu Raru jenis Songal bagian tengah, dan kandungan kadar holoselulosa tertinggi terdapat pada kayu Songal bagian Ujung. Sedangkan kadar ekstraktif tertinggi pada zat ekstraktif terlarut dalam air panas dan alkohol benzena 1:2 ditemukan dalam kayu Raru Pulut bagian tengah, dan zat ekstraktif tertinggi dalam kelarutan air dingin terdapat pada kayu Raru Pulut bagian ujung. Posisi spesies batang dan kayu menyebabkan variasi dalam nilai kandungan kimia struktural dan non- struktural. Komposisi kimia dari kayu Dahanon, Pulut dan Songal adalah 59,59 – 69,00% (holoselulosa), 40,46 – 44,99% (alfa-selulosa), 19,13 – 25,71% (hemiselulosa), 22,00 – 31,50% (kadar lignin), 9,40 – 14,92 (zat ekstraktif dalam alkohol benzena 1:2), 2,48 – 6,05% (zat ekstraktif dalam air dingin), 4,57 – 8,15% (zat ekstraktif dalam air panas).

Universitas Sumatera Utara 31

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi S. 1990. Kimia kayu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Antar Universitas. Insititut Pertanian Bogor. Bogor. Aryati H. 2009. Analisis Kimia Kayu Batang, Cabang, dan Kulit Kayu Jenis Kayu Leda (Eucalyptus deglupta Blume). Analisis Kimia Kayu, (27):258-261.

Ashton P. 2004. IUCN Red List of Threatened Species: versi 2019 [internet]. [Diunduh 2019 Agustus 29]. Tersedia pada: http: www. Iucnredlist.org.

Azeez MA, Orege JI. 2018. Modifikasi Kimia dan Produk Bambu. Http://Dx.Doi.Org/10.5772/Intechopen. 76359.

Batubara R. 2009. Nilai pH dan Analisis Kandungan Kimia Zat Ekstraktif Beberapa Kulit Kayu yang Tumbuh di Kampus USU. Karya Tulis. Medan.

Casey JP. 1980. Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology. Third edition, Vol.1. A Willey-Interscience Publisher Inc., New York. Curling S, Clausen C, Winandy J. 2002. Relationship Between Mechanical Properties, Weightloss, and Chemical Composition of Wood During Incipient Brown-Rot Decay. Forest Product Journal, 52(07):34-39.

Dockzekalska B, Zborowska M. 2010. Wood Chemical Composition of Selected Fast Growing Species Treated With NaOH part II: Non- Structural Substance. Wood Research, 55(3) : 83 – 92. Fagerstedt K, Saranpää P, Tapanila T, Immanen J, Serra JAA, Nieminen K. 2015. Determining the Composition of Lignins in Different Tissues of Silver Birch. 4(02) : 183 - 195. Fatimah S, Susanto M, Lukmandaru G. 2013. Studi Komponen Kimia Kayu Eucalyptus Pellita F. Muell dari Pohon Plus Hasil Uji Keturunan Generasi Kedua di Wonogiri, Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Kehutanan, 7(1) : 57 - 69.

Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Terjemahan Hardjono Sastrohamidjojo. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press. Gindl W, Gupta HS, Grunwald C. 2002. Lignification of Spruce Tracheid Secondary Cell Walls Related to Longitudinal Hardness and Modulus of Elasticity Using Nano-Indentation. Canadian Journal of Botany, 80(10) : 1029 - 1033.

Universitas Sumatera Utara 32

González-Rodrigo B, Esteban LG, De PalaciosP, García-Fernández F, Guindeo ya. 2013. Variation Throughout The Tree Stem in The Physical- Mechanical Properties of The Wood of Abies alba Mill. From The Spanish Pyrenees. Madera y Bosques, 19(2) : 87 - 107. Gurning B, Wardenaar E, Husni H. 2017. Chemical Analysis of Flow Flower type (Lithocarpus elegans) and Leather Leather Wood (Memecylon garcinioides) Based on Steel Beds. Jurnal Hutan Lestari, 5(2) : 319 - 329. Hawley LF, Fleck C, Richards A. 1924. The Relation Between Durability And Chemical Composition In Wood. Industrial And Engineering Chemistry, 16(07):699-700. Hermawan A, Diba F, Maryani Y, Setyawati D, Nurhaida. 2019. Sifat Kimia Batang Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jacq) Berdasarkan Letak Ketinggian Dan Kedalaman Batang. Fakultas Kehutanan. Universitas Tanjungpura. Pontianak.

Hidayat A, Iswanto AH, Susilowati A, Rachmat HH. 2018. Radical Scavenging Activity of Kemenyan Resin Produced by an Indonesian Native , Styrax sumatrana. Jurnal Korean Wood Science Technology 46 (4) : 346 - 354. Hildebrand FH. 1954. Daftar Nama Pohon-Pohonan 'Tapanuli' Sumatera Utara. Laporan Balai Penyelidikan Kehutanan No.67. Balai Penyelidikan Kehutanan Bogor. Indonesia. Iswanto AH, Susilowati A, Azhar I, Riswan, Supriyanto, Tarigan JE, Fatriasari W. 2016. Physical and Mechanical Properties of Local Styrax Wood from North Tapanuli, in Indonesia. Journal Korean Wood Science Technology, 44(4) : 539 - 550. Iswanto AH, Siregar YS, Susilowati A, Darwis A, Hartono R, Wirjosentono B, Rahmat HH, Hidayat A, Fatriasari W. 2019. Variation in Chemical Constituent of Styrax sumatrana Wood Growing at Different Cultivation Stein North Sumatra, Indonesia. Biodiversitas, 20(2) : 448 - 452. Jasni, Pari G, Sartiti ER. 2016. Komposisi Kimia dan Keawetan Alami 20 Jenis Kayu Indonesia dengan Pengujian di Bawah Naungan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 34(02) : 323 - 333. Julaihi LCJ, Julia S, Bodos V. 2016. IUCN Red List of Threatened Species: version 2019 [internet]. [Diunduh 2019 Agustus 29]. Tersedia pada: http: www. Iucnredlist.org.

Junior GB, Moreschi JC. 2003. Physical-Mechanical Properties and Chemical Composition of Pinus Taeda Mature Wood Following a Forest Fire. Bioresource technology 87(3): 231 - 238. Junus M, Latief L, Daud M, Ruslan. 2012. Sifat Kimia Kayu Pingsan (Teysmanniodendron sp.) Untuk Tiang Rumah Tradisional Suku Bajo. Researh Gate Publication. 1-7.

Universitas Sumatera Utara 33

Kiswandono AA, Iswanto AH, Susilowati A, Lumbantobing, AF. 2016. Sifat Fisis dan Mekanis Empat Jenis Kayu Andalan Asal Sumatera Utara. Prosiding Seminar Nasional Kimia-Lombok, 1 – 11. Lukmandaru G. 2009. Pengukuran Kadar Ekstraktif Dan Sifat Warna pada Kayu Teras Jati Doreng (Tectona Grandis). Jurnal Ilmu Kehutanan, 3(02): 67 -73.

Lukmandaru G. 2009. Sifat Kimia dan Warna Kayu Teras Jati pada Tiga Umur Berbeda. Jurnal Tropical Wood Science and Technology, 7(01) : 1 - 7.

Lukmandaru G. 2016. Hubungan Antara Zat Ekstraktif dan Sifat Warna pada Kayu Teras Jati. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 34(3) : 207 - 216. MacLeod M. 2007. The Top Ten Factors in Kraft Pulp Yield. Paper and Timber, 89 : 1 - 7. Manuhuwa E, Loiwatu M. 2008. Komponen Kimia Dan Anatomi Tiga Jenis Bambu. Jurnal Univeritas Gajah Mada, 1 - 16.

Martawijaya A, Kartasujana I, Kadir K, Prawira S. A. 2005. Atlas Kayu Indonesia. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Maulana MI, Nawawi DS, Wistara NJ, Sari RK, Nikmatin S, Maulana S, Park S, Febrianto F. 2018. Perubahan Kadar Komponen Kimia Bambu Andong Akibat Perlakuan Steam. Jurnal Ilmu Teknologi Kayu Tropis, 16(01) : 83 - 92.

Monariqsa D, Oktora N, Azora A, Haloho D, Simanjuntak L, Musri A. 2012. Ekstraksi Selulosa dari Kayu Gelam (Melaleuca leucadendron Linn) dan Kayu Serbuk Industri Mebel. Jurnal Penelitian Sains, 15(03) : 98 - 101.

Pari G. 1996. Analisis Kimia Beberapa Jenis Kayu dari Indonesia Bagian Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 14(1) : 1 – 6. Pari G, Setiawan D, Saepuloh. 1997. Analisis Kimia 9 Jenis Kayu dari Irian Jaya. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 15(07) : 87 - 93.

Pasaribu G. 2007. Sifat Fisis dan Mekanis Empat Jenis Kayu Andalan Asal Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 25(1) : 15 – 27. Pasaribu G, Sipayung B, Pari G. 2007. Analisis Komponen Kimia Empat Jenis Kayu Andalan Asal Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 25(4) : 327 - 333. Panshin AJ, Carl D, Zeuw. 1980. Textbook of Wood Technology. Mc. Graw- Hill Book Company, New York. Pettersen RC. 1984. The Chemical Composition of Wood. In Rowell R The Chemistry of Solid Wood. American Chemical Society, USA.

Universitas Sumatera Utara 34

Pintor-Ibarra L, Rivera-Prado JJ, Ngangyo-Heya M, Rutiaga, Quinones. 2018. Evaluation of The Chemical Components of Eichhornia Crassipes as An Alternative Material For Pulp and Paper. Bioresources, 13(2) : 2800-2813. Rahman WMNWA, Yunus NYM, Kasim J, Tamat NSM. 2018. Effects of Tree Porsion and Radial Position on Physical and Chemical Properties of Kelampayan (Neolamarckia cadamba) Wood. Bioresources, 13(2) : 4536 – 4549. Rahmat HH, Susilowati A, Elfiati D, Hartini KS, Faradillah WN. 2017. Strong Genetic Differentiation of The Endemic Rosin-Producing Tree Styrax sumatrana (Styracaceae) in North Sumatra, Indonesia. Biodiversitas 18(4) : 1331 - 1335. Ray D, Das M, and Mitra D. 2009. Influence of Alkali Treatment on Creep Properties and Crystalinity of Jute Fibres. Bioresources 4(2) : 730 - 739. Rowell RM, Pettersen R, Han JS, Rowell JS, Tshabalala MA. 2005. Cell Wall Chemistry. Handbook Of Wood Chemistry And Wood Composites (Boca Raton, Fla.: CRC Press), 33 - 72. Ruiz-Aquino F, Ruiz-Angel S, Feria-Reyes R, Santiago-Garcia W, Suarez-Mota ME, Rutiaga-Quinones, J. G. 2019. Wood Chemical Composition of Five Tree Species From Oaxaca, Mexico. Bioresources, 14(4) : 9826 - 9839. Sjostrom E, Westermark U. 1999. Chemical Composition of Wood Pulps: Basic Constituents and their distribution. Springer. Berlin. Silk JWF. 2009. Plants Of Southeast Asia. www.asianplant.net [diakses pada tanggal 29 Agustus 2019].

Simatupang H, Nata A, Herlina N. 2012. Studi Isolasi dan Rendemen Lignin dari Tandan Kosong Kelapa Sawit (Tkks). Jurnal Teknik Kimia USU, 1(01): 20 – 24.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1989. Cara Uji Kadar Sari Ekstrak (Alkohol- Benzena) dalam Kayu. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1989. Cara Uji Kelarutan Kayu dan Pulp dalam Air Panas. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1989. Cara Uji Kelarutan Kayu dan Pulp dalam Air Dingin. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1990. Cara Uji Kelarutan Kayu dalam NaOH. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2017. Lignin Tidak Larut Asam dalam Pulp dan Kayu. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2017. Cara Uji Kadar Holoselulosa dalam

Universitas Sumatera Utara 35

Kayu. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2017. Cara Uji Kadar Selulosa Alfa, Beta, Gama dalam Kayu. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Sokanandi A, Pari G, Setiawan D, Saepuloh. 2014. Komponen Kimia Sepuluh Jenis Kayu Kurang Dikenal : Kemungkinan Penggunaan Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32(03) : 209 - 220.

Sumada K, Tamara PE, Alqani F. 2011. Isolation Study Of Efficient Α-Cellulose From Waste Plant Stem Manihot Esculenta Crantz. Jurnal Teknik Kimia, 5(2) : 434 - 438. Stephenson J. 1951. Pulp and Paper Manufacture; Preparation of stack for making paper. Mc Grow Hill Book Companny, Inc. NewYork. Syafii W, Siregar IZ. 2006. Sifat Kimia dan Dimensi Serat Mangium (Acacia mangium Willd) dari Tiga Provinsi.. Jurnal Tropical Wood Science & Technology, 4(1) : 28 – 32. Syahri TN. 1988. Analisis Kimia 75 Jenis Kayu dari Beberapa Lokasi di Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 5(01) : 6 - 11.

[TAPPI] Technical Association of the Pulp and Paper Industry T 264 cm-97. Peparation of Wood for Chemical Analysis. Atlanta (US): TAPPI Pr.

[TAPPI] Technical Association of the Pulp and Paper Industry T 257 sp-14. Sampling and Preparing Wood for Analysis. Atlanta (US): TAPPI Pr.

Terashima N, Kitano K, Kojima M, Yoshida M, Yamamoto H, and Westermark U. Nanostructural Assembly of Cellulose, Hemicellulose, and Lignin in The Middle Layer of Secondary Wall of Ginkgo Tracheid. Jurnal Wood Science, 55: 409 – 416.

Wibisono HS, Jasni, Arsyad WOM. 2018. Komposisi Kimia dan Keawetan Alami Delapan Jenis Kayu di Bawah Naungan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 36(01) : 59 - 65.

Wijanarko B. 2014. Mengenal Sifat dan Komponen. Widyaiswara PPPPTK BOE Malang. Departemen Bangunan. Program Studi Teknologi kayu.

Yunanta RRK, Lukmandaru G, Fernandez A. 2014. Sifat Kimia Dari Kayu Shorea retusa, Shorea macroptera, dan Shorea macrophylla. Jurnal Dipterokarpa, 8(01) : 15 - 24.

Universitas Sumatera Utara 36

LAMPIRAN

a b c

Gambar 10. Bentuk permukaan daun Raru Songal (a), Raru Dahanon (b),Raru Pulut (c).

a b c

Gambar 11. Bentuk bagian belakang daun Raru Songal (a), Raru Dahanon (b), Raru Pulut (c).

a b c

Gambar 12. Kayu Raru Raru Songal (a), Raru Dahanon, Raru Pulut (c) berdasarkan arah aksial batang.

Universitas Sumatera Utara