2. Imron Rosyadi

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

2. Imron Rosyadi GAGASAN DAN PRAKTIK POLITIK ISLAM ERA 1996-1990-AN DALAM PERSPEKTIF ORDE BARU Imron Rosyadi Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jl. Ahmad Yani, Tromol Pos I, Pabelan Kartasura, Surakarta 57102 Telp. (0271) 717417, 719483 (Hunting) Faks. (0271) 715448 ABSTRAK Kelahiran Orde Baru dengan aktor intelektualnya, yaitu Soeharto, sebenarnya menjadi harapan banyak kalangan, termasuk umat Islam, untuk dapat memberikan ruang yang luas, khususnya kehidupan politik yang demokratis, di samping mengembalikan kondisi ekonomi bangsa yang carut marut. Harapan yang besar itu terlihat dari dukungan umat Islam terhadap eksistensi Orde Baru. Namun, seiring perjalanan Orde Baru, harapan itu tidak seperti yang diharapkan. Sebaliknya, kehidupan politik yang tidak demokratis justru menjadi fenomena di mana-mana. Alasan yang dikemukakan adalah perioritas pembangunan ekonomi harus lebih didahulukan. Sebab, menurujuk pengalaman di masa Orde Lama, partai-partai memberikan andil dalam keterpurukan ekonomi bangsa, khususnya partisipasi yang ideologis dan kritis di Parlemen. Untuk itu, depolitisasi dan desimbolisasi terhadap partai Islam menjadi pilihan untuk dilakukan demi pembangunan ekonomi. Tulisan ini mencoba nelakukan analisis secara cermat fenomena tersebut. Kata Kunci: politik Islam, Orde Baru Pendahuluan Baru merupakan orde pembeda dari Orde Baru pernah menjadi keku- orde lama era Soekarno. Secara embrio- atan yang mendominasi dalam pentas nal, kelahiran Orde Baru ini dapat dilacak politik nasional selama 32 tahun. Orde dari Surat Perintah Sebelas Maret 124 SUHUF, Vol. 20, No. 2, Nopember 2008: 124 - 135 (Supersemar) pada tahun 1966 yang sebagai kekuatan utama menggandeng dimotori oleh Jendral Soeharto. Kela- teknokrat dan ekonom untuk memper- hiran Orde Baru ini secara langsung cepat pemulihan perekonomian nasional.4 memotong dua kekuatan utama pemerin- Untuk memperkuat pertumbuhan tahan Soekarno, yaitu Soekarno sendiri perekonomian secara stabil, Orde Baru dan PKI. Dengan lengsernya dua harus belajar pengalaman kehidupan kekuatan ini, maka tinggal ABRI sebagai politik masa Orde Lama. Dalam evalua- kekuatan tunggal dalam Orde Baru di sinya, system liberal dalam menata bawah komando sekaligus actor intelek- kehidupan politik yang lebih berbasis tualnya, yaitu Soeharto.1 pada partai di parlemen dipandang sangat Soeharto dengan Orde Barunya tidak kondusif untuk pemulihan krisis mempunyai tugas untuk menata institusi- yang dialami Negara. Bahkan pada institusi politik dan memperbaiki per- tingkat tententu, besarnya peran partai ekonomian yang kondisinya carut-marut di parlemen itu dibarengi dengan kecen- warisan Orde Lama.2 Dalam bidang derungan adanya konflik politik di daerah politik diperlukan format politik baru yang yang berbasis ideologis dan berpotensi lebih demokratis dengan tidak mengulang menimbulkan pemberontakan di daerah. format yang pernah dikembangkan Orde Kondisi politik seperti itu, sulit mencapai Lama. Keharusan perubahan ini meru- consensus sehingga yang terjadi adalah pakan suatu tuntutan yang berkembang berlarut-larutnya persoalan yang sedang pada waktu itu mengingat praktik politik dipecahkan khususnya perekonomian. Orde Lama yang lebih cenderung otoriter Bercermin pada kehidupan politik dan dictator.3 Sedangkan dalam bidang masa sebelumnya, Orde Baru mencoba perekonomian, Orde Baru menca- menformat ulang system politik nasional. nangkan dengan menitikberatkan pada Dalam format baru ini, Orde Baru me- orientasi pertumbuhan ekonomi. Untuk nyebutnya dengan system demokrasi keperluan ini, Orde Baru dengan ABRI Pancasila. Dalam konteks ini, Orde Baru 1Eep Saifullah Fatah, Pengkhianatan Demokrasi Ala Orde Baru: Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional (Bandung: Rosyada, 2000), 22. 2Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1980), 47; Mohtar Mas‘ud, Struktur Ekonomi Politik Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 1989), 49-50. 3Format politik Orde Lama sangat sentralistik dan tidak demokratis karena itu, banyak kalangan berharap banyak kepada Orde Baru untuk tidak menggunakan format politik Orde Lama. Harapan ini didasarkan pada tiga argumentasi empiric, pertama, Orde Baru dilahirkan oleh gerakan massa yang mengalirkan arus keinginan dari bawah. Kedua, formulasi kebijakan-kebijakan politik tidak lagi didasarkan pada peran politisi dan ideologi. Ketiga, bergesernya pusat kekuasaan yang pada masa Orde Lama: Presiden, Militer dan dan PKI menjadi militer, teknokrat dan birokrasi. Namun, harapan itu, menurut Eep, hanya tinggal kenangan. Lihat Eep, Pengkhianatan…, 21-23. 4Ali Murtopo, Strategi Politik Nasional (Jakarta: CSIS, 1980), 47. Gagasan dan Praktik Politik Islam Era 1996-1990-an ... (Imron Rosyadi) 125 ingin melaksanakan Pancasila dan UUD empat pilar5 yang masing-masing meru- 45 secara murni dan konsekuen dalam pakan hal berkait satu sama lain. setiap gerak pembangunan yang dilak- Pertama, militer sebagai salah satu sanakan. Dilihat dari sini, secara ideolo- instrument kekuatan politik Orde Baru gis, antara Orde Lama dan Orde Baru yang harus mendominasi berbagai aspek tidak berbeda karena sama-sama ingin pembangunan. Penggunaan militer mempertahan Pancasila dan UUD 45. sebagai kekuatan utama pelaksanaan Hal ini berbeda dengan Partai-partai pembangunan merupakan cara logis Islam masa Orde Lama, seperti Masyu- yang ditempuh untuk mempercepat mi, yang ingin memperjuangkan Islam jalannya pembangunan. Opsi ini ditempuh sebagai dasar Negara. dengan bercermin pada pengalaman Dalam demokrasi Pancasila versi Orde Lama, khususnya aspek keamanan Orde Baru, stabilitas politik menjadi yang tidak stabil. sangat penting untuk dapat melindungan Pada tingkat tertentu, sikap repre- pertumbuhan ekonomi bangsa. Untuk itu, sif sebagai konsekuensi diterapkan peran partai politik harus ditekan pendekatan keamanan merupakan sedemikian rupa dan aspek-aspek politik pilihan Orde Baru yang dilakukan ideologis selain Pancasila harus ‘dimati- dengan kesadaran mendalam. Tindakan kan‘ dalam kehidupan politik nasional. represif ini ditujukan kepada siapa saja Untuk mengamankan idealisme ini, Orde yang dinilai akan memunculkan potensi Baru harus mengedepankan jurus repre- kearah instabilitas keamanan yang sif dan pendekatan keamanan sebagai berujung pada mengganggu roda peme- panglima untuk mempercepat laju pro- rintahan. Dari sini Orde baru berjalan gram pembangunan nasional. tidak demokratis adalah suatu tindakan Tulisan ini akan mencoba menelu- yang sulit dihindari, meski gagasan awal suri implementasi perspektif Orde Baru peralihan kekuasaan dari Orde Lama dalam kehidupan politik nasional, seperti dimaksudkan untuk menciptakan iklim disebutkan di muka, khususnya terhadap kehidupan yang demokratis. partai Islam. Kedua, pembangunan ekonomi sebagai perioritas utama pembangunan. Empat Strategi Politik Orde Baru. Kondisi ekonomi yang carut marut men- Secara general, strategi untuk jadi perhatian utama Orde Baru. Peme- mencapai cita-cita Orde Baru untuk rintah secara terus menerus mengupa- membangun Indonesia dilakukan dengan yakan percepatan pertumbuhan ekonomi 5Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 198-212. 126 SUHUF, Vol. 20, No. 2, Nopember 2008: 124 - 135 yang pada tingkat tertentu mengesam- Sumitro Djoyohadikusumo, Radius pingkan pemerataan. 6 Untuk keperluan Prawiro dan Frans Seda. Tim ini meru- ini, Orde Baru merekrut teknokrat- pakan generasi pertama dan masih ekonom dan menarik investor asing untuk ditambah dengan tim generasi kedua, masuk ke Indonesia dengan keiistime- misalnya, Arifin Siregar dan Andrianus waan-keistimewaan. Investor asing yang Mooy.9 menjadi incaran Orde Baru waktu itu Program pertumbuhan ekonomi adalah Amerika dan Jepang. Sedangkan Orde Baru ini memang menuai hasil pengusaha local diberikan fasilitas khusus memperbaiki kondisi ekonomi yang sebagai pendukung terciptanya pertum- ditinggalkan Orde Lama. Namun seiring buhan ekonomi. Pengusaha local yang dengan pertumbuhan itu, muncul kritik paling diuntungkan dengan kebijakan ini dari sejumlah cendikiawan karena cara- adalah pengusaha nonpribumi oleh cara untuk menuju ke sana dilakukan karena merekalah yang mempunyai dengan berlebihan yang berakibat mun- modal yang diperolehnya semasa penja- culnya kesenjangan yang tajam di tengah jahan Belanda yang waktu itu diberikan masyarakat, bahkan ekonomi pertum- hak istimewa untuk mengembangkan buhan ini bergulir dan hanya dimiliki oleh perdagangan.7 sekelompok tertentu saja. Dalam hal ini, Untuk mengawasi pembangunan warga Negara Indonesi keturunan cina ekonomi ini, Orde Baru membentuk mendominasi penikmat ekonomi pertum- Dewan Stabilitas Ekonomi di bawah buhan. Dari pengusaha pribumi keba- Soeharto sebagai ketuanya dengan nyakan yang dekat dengan pejabat atau anggota stafnya dari ekonom Universitas mantan pejabat tinggi. Menurut penelitian Indonesia.8 Di antara mereka itu, misal- Yoon Hwan Shin, pada akhir tahun nya Ali Wardana, Wijoyo Nitisastro, 1980-an, terdapat 29 konglomerat Muhammad Sjadli, Emil Salim, dan nonpri dari 40 konglomerat terbesar di Subroto. Di samping itu, Soeharto selaku Indonesia dengan perincian peringkat 1- Presiden, mengangkat tim penasehat 8 ditempati pengusaha WNI keturunan, ekonomi Presiden dengan anggota baru diikuti oleh pengusaha pribumi. Dari 6Analisis tentang program ekonomi dan implikasinya dalam kehidupan social dan politik, lihat dalam H.W. Arnandt (ed), Pembangunan dan Pemerataan: Indonesia di Masa Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 1988); juga Arief Budiman, Negara dan Pembangunan, Studi tentang Indonesia
Recommended publications
  • The Professionalisation of the Indonesian Military
    The Professionalisation of the Indonesian Military Robertus Anugerah Purwoko Putro A thesis submitted to the University of New South Wales In fulfilment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy School of Humanities and Social Sciences July 2012 STATEMENTS Originality Statement I hereby declare that this submission is my own work and to the best of my knowledge it contains no materials previously published or written by another person, or substantial proportions of material which have been accepted for the award of any other degree or diploma at UNSW or any other educational institution, except where due acknowledgement is made in the thesis. Any contribution made to the research by others, with whom I have worked at UNSW or elsewhere, is explicitly acknowledged in the thesis. I also declare that the intellectual content of this thesis is the product of my own work, except to the extent that assistance from others in the project's design and conception or in style, presentation and linguistic expression is acknowledged. Copyright Statement I hereby grant to the University of New South Wales or its agents the right to archive and to make available my thesis or dissertation in whole or in part in all forms of media, now or hereafter known. I retain all property rights, such as patent rights. I also retain the right to use in future works (such as articles or books) all or part of this thesis or dissertation. Authenticity Statement I certify that the Library deposit digital copy is a direct equivalent of the final officially approved version of my thesis.
    [Show full text]
  • Entering New Political Competition (1960-1965)
    UvA-DARE (Digital Academic Repository) Miners, managers and the state: A socio-political history of the Ombilin coal- mines, West Sumatra, 1892-1996 Erwiza, Erman Publication date 1999 Link to publication Citation for published version (APA): Erwiza, E. (1999). Miners, managers and the state: A socio-political history of the Ombilin coal-mines, West Sumatra, 1892-1996. General rights It is not permitted to download or to forward/distribute the text or part of it without the consent of the author(s) and/or copyright holder(s), other than for strictly personal, individual use, unless the work is under an open content license (like Creative Commons). Disclaimer/Complaints regulations If you believe that digital publication of certain material infringes any of your rights or (privacy) interests, please let the Library know, stating your reasons. In case of a legitimate complaint, the Library will make the material inaccessible and/or remove it from the website. Please Ask the Library: https://uba.uva.nl/en/contact, or a letter to: Library of the University of Amsterdam, Secretariat, Singel 425, 1012 WP Amsterdam, The Netherlands. You will be contacted as soon as possible. UvA-DARE is a service provided by the library of the University of Amsterdam (https://dare.uva.nl) Download date:08 Oct 2021 CHAPTER VE ENTERING NEW POLITICAL COMPETITION (1960-1965) Introduction In the preceding chapter I have explained how the mining society was exposed to politics. Tts members were mobilized by the leaders of political parties, and involved in strikes, conflicts, and competition between various actors located at different layers in political hierarchy.
    [Show full text]
  • General Nasution Brig.Jen Sarwo Edhie Let.Gen Kemal Idris Gen
    30 General Nasution Brig.Jen Sarwo Edhie Let.Gen Kemal Idris Gen Simatupang Lt Gen Mokoginta Brig Jen Sukendro Let.Gen Mokoginta Ruslan Abdulgani Mhd Roem Hairi Hadi, Laksamana Poegoeh, Agus Sudono Harry Tjan Hardi SH Letjen Djatikusumo Maj.Gen Sutjipto KH Musto'in Ramly Maj Gen Muskita Maj Gen Alamsyah Let Gen Sarbini TD Hafas Sajuti Melik Haji Princen Hugeng Imam Santoso Hairi Hadi, Laksamana Poegoeh Subchan Liem Bian Kie Suripto Mhd Roem Maj.Gen Wijono Yassien Ron Hatley 30 General Nasution (24-7-73) Nasution (N) first suggested a return to the 1945 constitution in 1955 during the Pemilu. When Subandrio went to China in 1965, Nasution suggested that if China really wanted to help Indonesia, she should cut off supplies to Hongkong. According to Nasution, BK was serious about Maphilindo but Aidit convinced him that he was a world leader, not just a regional leader. In 1960 BK became head of Peperti which made him very influential in the AD with authority over the regional commanders. In 1962 N was replaced by Yani. According to the original concept, N would become Menteri Hankam/Panglima ABRI. However Omar Dhani wrote a letter to BK (probably proposed by Subandrio or BK himself). Sukarno (chief of police) supported Omar Dhani secara besar). Only Martadinata defended to original plan while Yani was 'plin-plan'. Meanwhile Nasution had proposed Gatot Subroto as the new Kasad but BK rejected this because he felt that he could not menguasai Gatot. Nas then proposed the two Let.Gens. - Djatikusuma and Hidayat but they were rejected by BK.
    [Show full text]
  • Many Shot Dead by Troops
    Tapol bulletin no, 65, September 1984 This is the Published version of the following publication UNSPECIFIED (1984) Tapol bulletin no, 65, September 1984. Tapol bulletin (65). pp. 1-20. ISSN 1356-1154 The publisher’s official version can be found at Note that access to this version may require subscription. Downloaded from VU Research Repository https://vuir.vu.edu.au/26281/ British Campaign for the Defence of Political Prisoners and Human Rights in Indonesia T APOL Bulletin No. 65. September 1984 Tanjung Priok incident Many shot dead by troops Well over two dozen people were shot dead and many more Tanjung Priok is Jakarta's dockland where economic and social wounded when troops fired on demonstrators in Tanjung Priok problems are serious: who were demanding that the police release four people. Tempo (22 September) put the number killed at 28, while the Petititon­ Economically, (it is) not the worst off but work is irregular and life of-50 group in a statement (see below) said forty people died. insecure. The country's imports have been down dramatically, re­ ducing port employment, and recently the government has suddenly The event which occurred on 12 September was the climax to banned much stevedoring activity . .. There is also an ecological a series of incidents provoked by local police and army security problem: fresh water is difficult and expensive to obtain in Tanjung officers. On 7 September, a mubalig (preacher) had made a Priok. (Far Eastern Economic Review, 27 September 1984.) sermon at the Rawa Badak mosque denouncing government policy, in particular, according to Tempo, land seizures, the Many dockworkers and seamen in the area are from devout family planning programme and the Societies Law (see page 2) .
    [Show full text]
  • Peran Politik Militer (Abri) Orde Baru Terhadap
    PERAN POLITIK MILITER (ABRI) ORDE BARU TERHADAP DEPOLITISASI POLITIK ISLAM DI INDONESIA (Studi Terhadap Hegemoni Politik Militer Orde Baru Terhadap Politik Islam Tahun 1967-1990) Oleh EDHY HARIYANTO 101045222258 PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH JURUSAN SIYASAH SYAR’IYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1427 H/2006M PERAN POLITIK MILITER (ABRI) ORDE BARU TERHADAP DEPOLITISASI POLITIK ISLAM DI INDONESIA (Studi Terhadap Hegemoni Politik Militer Orde Baru Terhadap Politik Islam Tahun 1967-1990) Oleh EDHY HARIYANTO 101045222258 PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH JURUSAN SIYASAH SYAR’IYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1427 H/2006M KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT. Penulis panjatkan atas segala rahmat dan karunia-NYA yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada nabi Muhammad SAW, rasul paling mulia dan penutup para Nabi, serta iringan doa untuk keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya yang selalu setia sampai akhir zaman. Tidak terasa perjalanan panjang menempuh studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah berakhir. Satu tahap perjalanan akademis yang merupakan perjalnan kecil dibalik kehidupan, telah penulis telusuri dengan segala suka dan duka, bahagia bercampur haru mengiringi rasa syukur atas karunia ini tidak dapat penulis sembunyikan dari lubuk hati yang paling dalam. Akhirnya penulis tersadarkan bahwa perjalan dalam menyelesaikan skripsi ini telah memberikan perjalanan hidup yang melekat dalam sanubari, sekecil apapun pekerjaan yang kita lakukan, apabila kita hadapi dengan penuh penghayatan dan keikhlasan, maka tak akan menghasilkan kesia-siaan.
    [Show full text]
  • Kisah Tiga Jenderal Dalam Pusaran Peristiwa 11-Maret
    KISAH TIGA JENDERAL DALAM PUSARAN PERISTIWA 11‐MARET‐1966 Bagian (1) “Kenapa menghadap Soeharto lebih dulu dan bukan Soekarno ? “Saya pertama‐tama adalah seorang anggota TNI. Karena Men Pangad gugur, maka yang menjabat sebagai perwira paling senior tentu adalah Panglima Kostrad. Saya ikut standard operation procedure itu”, demikian alasan Jenderal M. Jusuf. Tapi terlepas dari itu, Jusuf memang dikenal sebagai seorang dengan ‘intuisi’ tajam. 2014 Dan tentunya, juga punya kemampuan yang tajam dalam analisa June dan pembacaan situasi, dan karenanya memiliki kemampuan 21 melakukan antisipasi yang akurat, sebagaimana yang telah dibuktikannya dalam berbagai pengalamannya. Kali ini, kembali ia Saturday, bertindak akurat”. saved: Last TIGA JENDERAL yang berperan dalam pusaran peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret Kb) 1966 –Super Semar– muncul dalam proses perubahan kekuasaan dari latar belakang situasi (89 yang khas dan dengan cara yang khas pula. Melalui celah peluang yang juga khas, dalam suatu wilayah yang abu‐abu. Mereka berasal dari latar belakang berbeda, jalan pikiran dan 1966.docx ‐ karakter yang berbeda pula. Jenderal yang pertama adalah Mayor Jenderal Basuki Rachmat, dari Divisi Brawijaya Jawa Timur dan menjadi panglimanya saat itu. Berikutnya, yang kedua, Maret ‐ 11 Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, dari Divisi Hasanuddin Sulawesi Selatan dan pernah menjadi Panglima Kodam daerah kelahirannya itu sebelum menjabat sebagai menteri Peristiwa Perindustrian Ringan. Terakhir, yang ketiga, Brigadir Jenderal Amirmahmud, kelahiran Jawa Barat dan ketika itu menjadi Panglima Kodam Jaya. Pusaran Mereka semua mempunyai posisi khusus, terkait dengan Soekarno, dan kerapkali Dalam digolongkan sebagai de beste zonen van Soekarno, karena kedekatan mereka dengan tokoh puncak kekuasaan itu. Dan adalah karena kedekatan itu, tak terlalu sulit bagi mereka untuk Jenderal bisa bertemu Soekarno di Istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966.
    [Show full text]
  • Benarkah Soekarno Ditodong Pistol Saat Teken Supersemar.Pdf
    Benarkah Soekarno Ditodong Pistol Saat Teken Supersemar? nasional.kompas.com/read/2016/03/11/08330081/Benarkah.Soekarno.Ditodong.Pistol.Saat.Teken.Supersemar. March 11, 2016 Lihat Foto Berdasar Tap MPRS No XIII/1966, Presiden Soekarno menugaskan Letjen Soeharto selaku Pengemban Tap MPR No IX/1966 untuk pembentukan Kabinet Ampera. Letjen Soeharto menjadi Ketua Presidium kabinet tersebut. Bung Karno sedang mengumumkan susunan kabinet tersebut pada tanggal 25 Juli 1966. Letjen Soeharto dan Adam Malik duduk mendengarkan. *** Local Caption *** Presiden Soekarno ketika mengumumkan Kabinet Ampera di Istana Merdeka Senin malaM dan tampak antara lain Ketua Presidium Let.Djen Soeharto dan Menteri Utama Adam Malik.(-/Arsip Kompas) Penulis Sabrina Asril JAKARTA, KOMPAS.com — Misteri Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tak melulu soal naskah asli yang hingga kini belum ditemukan. Proses bagaimana Presiden pertama RI Soekarno meneken surat tersebut juga masih menjadi tanda tanya. Terlebih lagi, surat itu seolah menjadi pintu bagi proses peralihan kekuasaan dari Soekarno dan Soeharto yang selanjutnya dilantik menjadi Presiden kedua RI pada tahun 1968. 1/4 Ajudan Soekarno, Soekardjo Wilardjito, mengungkap bahwa sang Presiden dalam kondisi tertekan saat meneken surat itu. Bahkan, dia menyebutkan bahwa jenderal Angkatan Darat bernama Maraden Panggabean menghadap Soekarno dan menodong pistol FN 46 saat menyerahkan dokumen Supersemar. Penuturan ini disampaikan Soekardjo setelah kejatuhan Presiden Soeharto terjadi pada tahun 1998, 32 tahun setelah berkuasa. Soekardjo menuturkan bahwa saat itu ada empat jenderal yang menghadap Presiden Soekarno. Mereka adalah para anak buah yang diutus Soeharto untuk mendapat surat mandat dari Soekarno. Keempat jenderal itu adalah Mayjen Basuki Rahmat, M Yusuf, Brigjen Amir Mahmud, dan Maraden Panggabean.
    [Show full text]
  • Indonesian Politics in Crisis
    Indonesian Politics in Crisis NORDIC INSTITUTE OF ASIAN STUDIES Recent and forthcoming studies of contemporary Asia Børge Bakken (ed.): Migration in China Sven Cederroth: Basket Case or Poverty Alleviation? Bangladesh Approaches the Twenty-First Century Dang Phong and Melanie Beresford: Authority Relations and Economic Decision-Making in Vietnam Mason C. Hoadley (ed.): Southeast Asian-Centred Economies or Economics? Ruth McVey (ed.): Money and Power in Provincial Thailand Cecilia Milwertz: Beijing Women Organizing for Change Elisabeth Özdalga: The Veiling Issue, Official Secularism and Popular Islam in Modern Turkey Erik Paul: Australia in Southeast Asia. Regionalisation and Democracy Ian Reader: A Poisonous Cocktail? Aum Shinrikyo’s Path to Violence Robert Thörlind: Development, Decentralization and Democracy. Exploring Social Capital and Politicization in the Bengal Region INDONESIAN POLITICS IN CRISIS The Long Fall of Suharto 1996–98 Stefan Eklöf NIAS Nordic Institute of Asian Studies Studies in Contemporary Asia series, no. 1 (series editor: Robert Cribb, University of Queensland) First published 1999 by NIAS Publishing Nordic Institute of Asian Studies (NIAS) Leifsgade 33, 2300 Copenhagen S, Denmark Tel: (+45) 3254 8844 • Fax: (+45) 3296 2530 E-mail: [email protected] Online: http://nias.ku.dk/books/ Typesetting by the Nordic Institute of Asian Studies Printed and bound in Great Britain by TJ International Limited, Padstow, Cornwall © Stefan Eklöf 1999 British Library Catalogue in Publication Data Eklof, Stefan Indonesian politics
    [Show full text]
  • ISLAM DAN KEKUASAAN ORDE BARU: Membaca Kembali Politik De-Islamisasi Soeharto
    Islam dan Kekuasaan Orde Baru: ... ISLAM DAN KEKUASAAN ORDE BARU: Membaca Kembali Politik De-Islamisasi Soeharto Darmawijaya Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun Ternate Alamat Email: [email protected] Abstract In 1966 was the beginning of New Order rezim. There was anyone who cannot argue that Moslem people had played an important role in bearing a new order. It was, therefore, natural that Moslem people have very extremely expected to manage this state with many more. This expectation was just imagination, because Suharto, as a leader of new order, did not give space adequately for them. Suharto exactly runs political of deislmatization systematically, in essential for marginalizing for Moslem people. The process reached the climax in 1985, in where the new order issued regulation setting that Pancasila (the five basic principles of Republic of Indonesia) as a single principle, so this signed the death of Islam as political ideology in Indonesian history. Keyword: Moeslem, New Order rezim, a single principle. Intisari Pada tahun 1966 adalah awal dari rezim Orde Baru. Tak seorangpun membantah bahwa umat muslim telah memainkan peran penting dalam membawa tatanan baru. Oleh karena itu, hal yang biasa bagi muslim sangat diharapkan untuk mengelola negara ini dengan cara mayoritas. Harapan tersebut menjadi hanya imajinasi, karena Suharto, sebagai pemimpin orde baru, tidak memberikan ruang cukup bagi mereka. Suharto dalam menjalankan sitem deislmisasi dalam percaturan politik, hal tersebut berfungsi dalam untuk menyingkirkan secara perlahan muslim-muslim yang punya posisi secara politik. Proses ini mencapai puncaknya di tahun 1985, dibuktikan dengan mengeluarkan peraturan dengan menetapkan bahwa Pancasila (lima prinsip dasar Republik Indonesia) sebagai asas tunggal .
    [Show full text]
  • Proquest Dissertations
    INFORMATION TO USERS This manuscript has been reproduced from the microfilm master. UMI films the text directly from the original or copy submitted. Thus, some thesis and dissertation copies are in typewriter face, while others may be from any type of computer printer. The quality of this reproduction Is dependent upon the quality of the copy submitted. Broken or indistinct print, colored or poor quality illustrations and photographs, print bleedthrough, substandard margins, and improper alignment can adversely affect reproduction. In the unlikely event that the author did not send UMI a complete manuscript and there are missing pages, these will be noted. Also, if unauthorized copyright material had to be removed, a note will indicate the deletion. Oversize materials (e.g., maps, drawings, charts) are reproduced by sectioning the original, beginning at the upper left-hand comer and continuing from left to right in equal sections with small overlaps. Photographs included in the original manuscript have been reproduced xerographically in this copy. Higher quality 6” x 9* black and white photographic prints are available for any photographs or illustrations appearing in this copy for an additional charge. Contact UMI directly to order. Bell & Howell Information and Learning 300 North Zeeb Road, Ann Arbor, Ml 48106-1346 USA 800-521-0600 UMI LIBERALIZING NEW ORDER INDONESIA: IDEAS, EPISTEMIC CCMMÜNITY, AND ECONŒIC POLICY CHANGE, 1986-1992 DISSERTATION Presented in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree Doctor of Philosophy in the Graduate School of The Ohio State University By Rizal Mallarangeng, MA. ***** The Ohio State University 2000 Dissertation Committee: proved by Professor R.
    [Show full text]
  • Television Industry Dynamics in New Order Era the Effect of Broadcasting Policy Towards News Report
    International Journal of Administrative Science & Organization, May 2011 Volume 18, Number 2 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi ISSN 0854 - 3844, Accredited by DIKTI Kemendiknas RI No : 64a/DIKTI/Kep/2010 Television Industry Dynamics in New Order Era The Effect of Broadcasting Policy Towards News Report ISHADI SK Trans TV, Post-Graduate Department of Communication Sciences, Faculty of Social and Political Science, Universitas Indonesia, Indonesia [email protected] Abstract. Television Industry dynamics in New Order Era is influenced by the broadcasting policy established by the authority. The aim of this research is to explain the effect of the policy towards the television news report and its dynamics in New Order era. This research uses qualitative approach. Data analysis technique used is Critical Discourse Analysis (CDA). The researcher selects RCTI, SCTV, and Indosiar as research objects. The result shows that the authoritative broadcasting policy makes television as a mere government political tool. Indonesia broadcasting system in the New Order era demonstrates centralized broadcasting system throughout Java which, in hierarchy, administratively obeys Jakarta central station. The result, in its development, is that the established policy affects the reportage policy which tends to oppose the ruling power, except for TVRI. Although all television stations are designed from the very beginning as New Order political tool and critical supporter, they often play a role as spoilers against President Soeharto’s policy. Keywords: public policy, television reportage, critical discourse analysis INTRODUCTION New Order ideological aspect. In 1990, the Ministry of Information regulated that television program should The discourse concerning relation between media, reinforce the State Constitution of 1945 and Pancasila (Indo- especially television, and power, tends to place television nesian Ideology) and avoid affairs potentially upsetting ethni- under the power of the regime.
    [Show full text]
  • The Malari 1974, Press and the Soeharto's New
    The Malari 1974, Press and the Soeharto’s New Order: A Historical Reflection on Student Movement in the Authoritarian Era Herdi Sahrasad1, Muhammad Ridwan2 1Associate Professor, Universitas Paramadina, Jakarta 2Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Indonesia [email protected] Abstract Keywords demonstration; student movement; This article argues The Malari 1974 incident was triggered by a malari; Hariman Siregar; orde baru; series of protests carried out by the opposition and students against Soeharto; press; media foreign capital, which in this case were owned and Japanese outbreaks of fraud and corruption committed by officials in the New Order period, Hariman Siregar, the leader of Malari 1974 student movement himself, argued that this event was an anticlimax of the alliance between the campus and the military under Soeharto which was so warm in the previous times, namely in 1966 which was campus, in this case represented by students together with the military same to bring down the Old Order regime that was in power at the time. But that did not last long, because the alliance was then broken when students as a moral force found their critical reasoning again in criticizing the New Order government, which at the time was said to have deviated from the message of the actual suffering of the people. This then led to the Malari incident as an appropriate means to get rid of "opponents" who tried to overthrow the New Order power. At that time there were around 12 banned print media, such as: Nusantara, Indonesia Raya , Pedoman, KAMI, Mahasiswa Indonesias, The Jakarta Times, Abadi, Suluh Berita, Pemuda Indonesia, Pos Indonesia, Wenang weekly and Ekspress magazine.
    [Show full text]