Repo-Dosen-172005081944-63.Pdf
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Bab 11 TRADISI NGEJOT PADA UPACARA KEPUS PUNGSED: KEARIFAN LOKAL KELUARGA DI BALI Kadek Aria Prima Dewi PF, Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar [email protected] Abstract Tulisan ini menguraikan tentang tradisi ngejot sebagai rangkaian prosesi upacara kepus pungsed (lepas tali pusar) di wilayah Padangsambian Denpasar Bali. Ngejot tidak hanya bermakna ucapan terimakasih atas telah dilaksanakannya upacara tersebut, namun juga sarat makna-makna lain khususnya yang berkaitan dengan perubahan peran sosial pasutri. Kegiatan ngejot dilakukan dengan memberikan kiriman masakan khas Bali kepada pihak keluarga dari pihak pria setelah prosesi perkawinan. Ngejot berkaitan dengan pemberitahuan perubahan peran sosial pasutri disebut dengan ngejot kepus pungsed. Tradisi ini merupakan salah satu tradisi yang masih dipertahanan masyarakatnya, karena dianggap sebagai salah satu media pemberian informasi kepada masyarakat sekitar yang masih relevan dengan perkembangan zaman. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dilaksanakan di daerah Bali Selatan, tepatnya di Kelurahan Padangsambian Kecamatan Denpasar Barat-Bali. Key words: tradisi ngejot, peran sosial, tradisi Hindu Bali. A. Pendahuluan Bali merupakan daerah yang kaya akan tradisi yang sarat dengan symbol dan makna. Dalam berbagai seting budaya pada masyarakat Bali, terdapat berbagai aktivitas ngejot yang merupakan rangkaian dari kegiatan atau upacara panca yajna. Ngejot tidak saja berfungsi sebagai media pemberian informasi mengenai kegiatan atau ritual yang dilaksanakan oleh sang yajamana (yang melaksanakan upacara yajna), namun juga memiliki makna-makna tertentu sesuai dengan ragam aktivitas yajna yang Dr Kadek Aria Prima Dewi PF.,S.Ag.,M.Pd., Dosen pada Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Hindu pada Fakultas Dharma Acarya IHDN Denpasar-Bali-Indonesia, Sekretaris Yayasan Sarwe Sukhinah Bhawantu yang bergerak pada pendidikan pranikah, Ketua Bali Parenting. E-mail: [email protected] dilaksanakan. Salah satu wilayah yang masih mempertahankan tradisi ngejot dalam berbagai kegiatan Panca Yajna adalah wilayah Padangsambian, Denpasar. Terdapat berbagai ragam tradisi ngejot, dengan kemasan dan makna yang bervariasi seperti tradisi ngejot madingang galeng kasur, ngejot upacara kepus pungsed, ngejot ngulemin, ngejot ngaben dan sebagainya. Pembeda pelaksanaan dari tradisi ngejot ini adalah perbedaan dasar kegiatan yajna yang dilaksanakan, seperti upacara yang ditujukan untuk Tuhan, Leluhur, Manusia, Guru ataukah untuk lingkungan alam. Sehingga kemasan makanan yang dijotkan akan sangat bervariasi. Pada penelitian ini difokuskan pada penelurusan tradisi ngejot upacara kepus pungsed, yang secara sederhana dimaknai oleh masyarakatnya sebagai media penyampaian informasi telah dilahirkannya seorang anak pertama pada keluarga baru yang telah berhasil melewati fase kritis dari fase awal kelahirannya sebagai manusia di dunia. Namun faktanya tidak semua anak yang lahir pada keluarga Hindu di Padangsambian dirayakan dengan tradisi tersebut. Untuk itu akan dilakukan penelitian lebih mendalam tentang hakekat dari tradisi ngejot upacara kepus pungsed dari aspek anak dan pasangan suami istri. Tulisan ini disusun berdasarkan sebuah riset kecil di wilayah Padangsambian Bali secara kualitatif. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara, observasi dan studi dokumen. Jenis data yang digunakan adalah jenis data kualitatif dengan sumber data primer adalah tokoh agama, tokoh adat, serta pasutri yang menjadi orang tua. Sumber data sekunder adalah dari literatur-literatur, buku-buku, jurnal, serta proseding. Teknik penentuan informan menggunakan teknik purposive sampling. Data yang telah terkumpul dianalisis menurut model Milles and Huberman (2009) dengan triangulasi data yaitu data reduction (reduksi data), data display (penyajian data) dan 164 conclusion drawing/verification (penarikan kesimpulan). B. Apa itu Tradisi Ngejot Upacara Kepus Pungsed? Tradisi Ngejot Upacara Kepus Pungsed merupakan salah satu bagian dari tradisi Ngejot secara umum, adapun arti kata Ngejot dapat ditinjau dari bentuk dasar katanya ‘jot’ yang bermakna ‘bawa’, mendapatkan afiks ‘ng’ menjadi kata ngejot (Suharmin, 2016). Ngejot kemudian memiliki perubahan makna menjadi sikap saling menghormati dalam suatu acara adat dengan cara memberikan/ membawakan makanan kepada kerabat. Tradisi Ngejot di Bali biasa dilakukan berkaitan dengan kegiatan Panca Yajna. Kegiatan Panca Yajna terdiri atas lima bagian (1) Dewa Yajna ialah upacara atau persembahan suci yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasiNya, (2) Pitra Yajna ialah persembahan suci yang ditujukan kepada para leluhur, (3) Rsi Yajna ialah persembahan suci yang ditujukan kepada orang suci, (4) Manusa Yajna ialah upacara suci yang bertujuan untuk memelihara hidup, kesempurnaan dan kesejahteraan manusia, dan (5) Bhuta Yajna ialah persembahan suci yang ditujukan kepada Bhuta Kala. Tradisi Ngejot Upacara Kepus Pungsed dilaksanakan setelah tali pusar bayi (bayi nifas) lepas dari tubuh bayi yang merupakan anak sulung dari pasutri tersebut. Dalam tradisi ngejot ini pasutri akan mengirimkan olahan makanan kepada anggota keluarga dalam ikatan kekerabatan ayah dan ibu dari pihak suami. Makanan yang diberikan (diejotkan) biasanya berupa makanan khas Bali seperti sate, lawar, nasi, dan sayur berkuah. 165 Gambar 1 Lawar Barak Gambar 1. Tetandingan jotan (sumber: dokumen peneliti 2016) Pada hari tersebut, pihak keluarga melakukan kegiatan ngelawar (memasak makanan khas Bali) secara khusus, untuk diberikan kepada keluarga besar sebagai ucapan terimakasih atas kesuksesan bayi nifas melewati salah satu masa sulit dalam hidupnya, yakni proses adaptasi lingkungan dari dan setelah dilahirkan dari dalam kandungan. Makanan yang dimasak terdiri atas laukpauk minimal mebunga dua (2 jenis) atau mebunga pat (4 jenis) yakni lawar barak, urab putih, serapah dan urab gadang, sate dan nasi putih) disesuaikan dengan kemampuan pasutri masing-masing. Makanan ini ditata di atas taledan dengan posisi nasi di tengah, lawar merah di ujung kiri atas, serapah di ujung kanan atas, urab putih di ujung kiri bawah, urab gadang di ujung kanan bawah, di atas nasi diletakkan sate yang berjumlah empat buah. Makanan inilah kemudian dibagi-bagikan kepada keluarga besar. Nasi diukur seukuran setengah batok kelapa, kemudian lawar dibungkus dengan daun pisang (kini kemasannya sudah bervariasi). Yang menjadi ciri khas adalah pada penentuan jumlah sate yang diberikan. Upacara kepus pungsed merupakan kegiatan manusa yajna, dan ngejot ini 166 ditujukan pada pihak keluarga saja, maka sate yang diberikan berjumlah 4 buah. Jika jotan sebagai undangan untuk menghadiri kegiatan upacara, maka jumlah satenya berbeda yakni sejumlah 8 buah. Jadi jumlah sate ini akan menjadi ciri dari kegiatan yang dilaksanakan. Gambar 2. Proses memasak lawar untuk ngejot (sumber: dokumen peneliti 2016) C. Perubahan peran sosial pasutri menjadi orangtua Upacara kepus pungsed merupakan rangkaian kegiatan upacara Manusa Yajna: upacara yang dilaksanakan dengan rasa tulus ikhlas yang ditujukan untuk manusia. Upacara kepus pungsed ini merupakan bagian dari upacara daur hidup manusia dalam kemasan budaya Bali. Penyelenggaraan pesta dan upacara sepanjang daur hidup yang universal sifatnya disebabkan adanya kesadaran bahwa setiap tahap baru dalam daur hidup menyebabkan masuknya seseorang di dalam lingkungan social yang baru dan lebih luas (Koentjaraningrat, 1997: 92). Pada upacara kepus pungsed ini, tidak hanya anak yang memasuki lingkungan social yang baru, namun juga pasutri tersebut memasuki peran baru sebagai orang tua. Peran sosial adalah peran yang dimainkan seseorang dalam lingkungan sosialnya. Peran ini adalah tuntutan dari masyarakat terhadap individu 167 untuk memberikan sumbangan sosial dari anggotanya dalam rangka menjaga keutuhan sosial dan meningkatkan kebaikan dalam masyarakat tersebut. Peran sosial bisa berupa aktivitas individu dalam masyarakat dengan cara mengambil bagian aktivitas individu dalam masyarakat dalam kegiatan pada sector sosial, politik, ekonomi, keagamaan dan sebagainya. Pengambilan peran ini tergantung pada tuntutan masyarakat dan atau pada kemampuan individu bersangkutan serta kepekaannya dalam melihat keadaan masyarakatnya (Syuhud dalam Saputri dan Prasetyo, 2012: 256-257). Menjadi orang tua merupakan kewajiban lanjutan dari dilangsungkannya pernikahan sebagai pintu gerbang grahasta. Dalam ajaran agama Hindu, disebutkan empat tingkatan hidup yang disebut dengan catur asrama yakni (1) brahmacari asrama ialah masa menuntut ilmu, (2) grahasta asrama ialah masa berumahtangga/ membangun keluarga, (3) wanaprastha asrama ialah tingkatan kehidupan dengan menjauhi nafsu keduniawian, dan (4) bhiksuka asrama ialah tingkatan lepas dari keduniawian. Adapun tujuan dari grahasta asrama ialah pemenuhan dari catur purusa arta yang terdiri atas (1) dharma, (2) artha, (3) kama, dan (4) moksa. Perubahan peran social yang terjadi pada kelahiran anak sulung pada pasutri Hindu di wilayah Padangsambian adalah perubahan peran berkaitan statusnya yang awalnya hanya sebagai pasangan suami istri menjadi orangtua. Maka jika dikaitkan dengan acara catur purusha artha, maka peran orangtua dalam kondisi ini adalah memenuhi kebutuhan anak dalam bidang pemenuhan atas (1) dharma, (2) artha, (3) kama dalam usaha mencapai (4) moksa. Dalam peran sebagai orang tua, pasutri diperkenankan untuk memenuhi nafsu-nafsu duniawi dengan berlandaskan atas ajaran dharma (kebenaran), seperti memperoleh kekayaan (artha), keturunan serta menjalankan