Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

REKONVERSI AGAMA KEMBALI KE JALAN DHARMA

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma  Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta Pasal 1 1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pidana Pasal 113 1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf I untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan / atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan / atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

REKONVERSI AGAMA KEMBALI KE JALAN DHARMA

Editor: N. Putrawan

PUSTAKA EKSPRESI 2019

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma iii Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

KATALOG DALAM TERTEBITAN

Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Penyunting : N. Putrawan Denpasar, 2019 xii + 257 hlm, 24 cm

ISBN:

Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma

Pracetak oleh Pustaka Ekspresi Desain sampul Made Narendra Danadwipa Cetakan pertama Februari 2019

iv Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Pengantar Penulis

Om Swastyastu, Angayu bagia penulis panjatkan dan puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat asung kerta wara nugraha-Nya, buku dengan judul “Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma” dapat terselesaikan dan semoga dapat memberikan manfaat bagi seluruh umat beragama. Penulis menyadari buku ini belumlah sempurna dan perlu banyak kajian yang dapat melengkapinya. Buku ini sebenarnya bahan dasarnya adalah disertasi penulis tahun 2015 yang berjudul “Rekonversi Umat Hindu dari Agama Katolik di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan” kemudian diadakan penyesuaian untuk keperluan publikasi secara umum. Penulis juga menyadari buku yang berawal dari disertasi ini tidak akan mampu terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan rasa angayu bagia penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat: Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A., sebagai Promotor yang begitu penuh kesabaran memberikan bimbingan dan motivasi bagi penulis, beliau pula

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma  Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. yang memberikan banyak support dari proses awal disertasi ini, yaitu saat studi mandiri, kualifikasi proposal, proposal sampai proses disertasi ini, beliau telah banyak memberikan bimbingan, saran dan masukan. Buku- buku pun telah banyak diberikan kepada penulis. Bapak Prof. Dr. I Dewa Komang Tantra, M.Sc., sebagai Ko Promotor I, yang dengan kesabaran pula memberikan bimbingan, saran, pendapat, masukan untuk kemajuan disertasi ini, beliau adalah pemikir serius, tetapi santai. Ko Promotor II, Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si., yang selalu memberikan perhatian dan mengingatkan untuk segera menyelesaikan disertasi ini. Banyak pula masukan, bimbingan, dan saran yang disampaikan dalam proses penyelesaian disertasi ini. Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya, semoga penulis dapat terus berkarya. Ucapan terima kasih tidak lupa juga penulis sampaikan kepada Dr. Drs. Ketut Sumadi, M.Par., yang saat penulis menempuh studi di Prodi S3 IHDN Denpasar, beliau saat itu sebagai Direktur Pascasarjana IHDN Denpasar yang telah memberikan fasilitas dalam mengikuti perkuliahan, sehingga disertasi ini dapat terselesaikan. Kepada Dr. Drs. I Ketut Donder, yang waktu itu selaku Ketua Program Doktor dan Dr. Dra. Ida Ayu Tary Puspa, S.Ag.,M.Par., sebagai sekretaris Program Doktor Program Studi Ilmu Agama Program Pascasarjana IHDN Denpasar yang telah banyak membantu penulis terutama penyelesaian dan informasi adminitrasi dalam mengikuti perkuliahan. Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada dewan penguji disertasi atas nama Prof.Dr. I Wayan Ardika, M.A., Prof.Dr. I Dewa Komang Tantra, M.Sc., Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana,M.Si., Prof. Dr. I Nengah Duija, M. Si., Drs. I Ketut Donder, M.Ag.,P.hD., Dr. Drs. Ketut Sumadi, M.Par., Dr. Drs. I Ketut Tanu, M.Si., Dr. I Gede Suwindia, S.Ag., dan Dr.Dra. Ida Ayu Tary Puspa, S.Ag.,M.Par., yang telah memberikan masukan dan kritik serta referensi dalam memperkaya disertasi ini, sehingga menjadi lebih sempurna. Penulis pada akhirnya menemukan arah penelitian disertasi ini, sehingga menjadi karya tulis ilmiah yang ke depannya dapat dijadikan dokumentasi intelektual bagi seluruh umat Hindu. Ucapan terima kasih pula kepada seluruh pengajar pada mata kuliah di Program Doktor Ilmu Agama IHDN Denpasar yang telah memberikan dan membagi ilmu yang dimiliki untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis yang digunakan untuk menyelesaikan disertasi ini.

vi Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Kepada seluruh staf adminitrasi di lingkungan Kampus Pascasarjana yang selalu memberikan pelayanan terbaik bagi para karyasiswa. Tidak lupa kepada yang teristimewa para sahabat atau teman Program Doktor Ilmu Agama khusususnya angkatan 2010, yang begitu beragam dari berbagai profesi dengan penuh canda tawa sambil diskusi dan menganalisis setiap permasalahan yang ada. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada seluruh keluarga besar Desa Tengkudak, yang selalu menerima penulis dengan sangat terbuka. Terutama di Desa Pakraman Penganggahan yang telah memberikan banyak informasi kepada penulis, tentang rekonversi agama yang telah terjadi. Rasa kekeluargaan sangat terasa dalam proses penelitian ini, semoga disertasi ini dapat menjadi bagian terpenting dari sejarah rekonversi agama bagi masyarakat Desa Tengkudak. Pada akhirnya, tidak ada kata yang terucap hatur sembah bhakti ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa maupun Ida Bhattara Bhattari, berkat kuasa-Nya dan berkat kehendak-Nya apapun yang terjadi, maka terjadilah. Semoga seluruh pihak yang telah banyak membantu terbitnya buku ini mendapat anugerah, keselamatan, murah rejeki, panjang umur dari kuasa-Nya.

Om Santih, Santih, Santih Om.

Denpasar, Februari 2019

Penulis

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma vii Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Pengantar Penerbit

viii Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma ix Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Daftar Isi

Pengantar Penulis ...... v Pengantar Penerbit ...... viii Daftar Isi ...... x

BAB 1 PENDAHULUAN ...... 1 1. Rekonversi Agama ...... 9 2. Umat Hindu ...... 12 3. Agama Katolik ...... 13 Teori yang Digunakan ...... 15 Teori Ideologi ...... 16 Teori Pertukaran Sosial ...... 18 Teori Praktik Generatif ...... 20

BAB 2 DESA TENGKUDAK TEMPAT TERJADINYA REKONVERSI ...... 22 Sejarah Pemerintah Desa Tengkudak ...... 24

 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Budaya dan Kesenian ...... 29 Potensi Wisata ...... 30 Ekonomi Masyarakat ...... 30 Sejarah Desa Pakraman Penganggahan ...... 35 Pura Dalem Kahyangan Agung ...... 37 Pura Puseh Pecatu ...... 30 Setra Pakraman Penganggahan ...... 41

BAB 3 SEJARAH MASUKNYA AGAMA KATOLIK DI DESA TENGKUDAK ...... 44 Kuburan Kristen ...... 48 Orang-orang Katolik Membangun Gereja ...... 51

BAB 4 DARI KATOLIK KEMBALI KE HINDU ...... 54 Sejumlah Pengakuan ...... 72 Pengaruh Dialektika Pemikiran ...... 80 Ritual Hindu dan Kesadaran Spiritual ...... 93

BAB 5 PENGARUH KAPONGOR DAN BALIAN ...... 103 Daiwabala Prawrta ...... 104 Peran Balian ...... 116 Faktor Perkawinan ...... 126 Kesadaran dalam Interaksi Sosial ...... 133

BAB 6 PROSES REKONVERSI UMAT HINDU DARI AGAMA KATOLIK ...... 139 Bendesa Adat Sebagai Pemegang Kekuasaan ...... 148

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma xi Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

BAB 7 PERAN TEMPAT SUCI DAN YAJÑA ...... 164 Upacara Suddhi Wadani Sebagai Legitimasi Kehinduan ...... 176

BAB 8 NEO-IDEOLOGI DAN DAMPAK YANG MENYERTAI .... 194

BAB 9 MENGHADIRKAN KEMBALI KEYAKINAN TERHADAP LELUHUR DAN BHATARA ...... 205 Implikasi Teologi Sang Hyang Pitara ...... 207 Implikasi Teologi Kahyangan Desa ...... 218

BAB 10 PERAN AJARAN TRI HITA KARANA DALAM REKONVERSI ...... 224

BAB 11 ESOTERIK VERSUS EKSOTERIK ...... 232

BAB 12 KONDISI EKONOMI YANG MENGUAT ...... 242

BAB 13 PENUTUP ...... 253 Kesimpulan ...... 253 Saran ...... 255

BIODATA PENULIS ...... 257

xii Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

1

Pendahuluan

ali sebagai salah satu wilayah kecil sarat dengan berbagai aktivitas Breligi, dan praktik keberagamaan yang mengekspresikan rasa keagamaan yang mapan. Semua aktivitas tersebut terbingkai dalam sebuah sistem religi, yaitu sistem religi Hindu sehingga mendeskripsikan dari sudut sosio-teologis maupun sosio-religius tidak terlepas dari sistem kepercayaannya yang kuat. Bali dari zaman lampau, seperti yang terdapat dalam Purana-Purana Hindu di Bali, yakni Raja Purana Bali, Raja Purana Batur, Usana Bali, dan Purana lainnya digambarkan sebagai wilayah yang religius. Raja Purana Batur dan Raja Purana Besakih menyebutkan bahwa Bali dibelah oleh aliran sungai besar, dan gunung tinggi menjulang serta sepanjang sungai dan gunung tersebut terjadi aktivitas religi disertai dengan emik yang kuat terhadap objek pemujaan yang berkarakter animisme dan dinamisme (Reuter,2005: 117). Aktivitas religi dan kepercayaan yang kuat terjadi pula dalam komunitas-komunitas tradisional yang membentuk satu kesatuan. Kekuatan tersebut tidak akan terpatahkan, seperti Goris (2012: 1) mengutip deskripsinya Lekkerkerker, bahwa kekuatan yang tidak dapat dipatahkan mengenai

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma  Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. konsep personal dan sosial yang sangat religius. Konsep tersebut sangat kuat pengaruh Hindunya pada orang Bali, yang mendominasi kehidupan, menyerap dan menyatukan masyarakat, dan menentukan setiap pelaksanaan upacara masing-masing orang. Deskripsi tersebut menjadi sebuah penanda bahwa aktivitas religi yang kuat dilakoni oleh orang Bali tidaklah muncul dari ruang hampa, tetapi atas dasar keyakinan dan kepercayaan masyarakat yang kuat terhadap bentuk-bentuk keimanan yang diwarisi dari masa lampau. Aktivitas religi yang berkarakteristik Hindu masih tetap bertahan, kendatipun Bali berada di antara pulau dengan meyoritas agama Islam dan Kristen. Akan tetapi, dibalik kebertahanan masyarakat Bali terhadap bentuk keyakinan dan kepercayaan masyarakatnya yang mayoritas pemeluk Hindu, Bali mengalami berbagai masalah yang problematik, khususnya berkaitan dengan aspek religi. Dalam kontek wacana agama, semua energi, pikiran dan kemampuan masyarakat Hindu di Bali dimobiliasasi untuk menjalankan agamanya atas dasar kemampuan untuk melangsungkan upacara sehingga tattwanisasi menjadi hal yang penting. Sebagaimana Suryawan (2012: 3) dalam tesanya terhadap Bali, bahwa agama hanya dijadikan kontestasi bercampur politik, baik dari raja-raja terdahulu sampai dengan saat ini. Pembangunanisme, energi dan pikiran rakyat Bali diarahkan untuk menjalankan ritus hanya dalam dimensi euforia. Kekurangan akan hakikat dan filsafati dari agama yang dianut, maka keyakinan dan keimanan masyarakat Hindu Bali terhadap agamanya semakin terdistorsi. Hal tersebut berimplikasi pada terdegradasinya sistem reiligi masyarakat Hindu Bali terhadap agama yang dianutnya dari turun-temurun. Kekurangan tersebut menjadikan celah yang positif bagi para zending atau misionaris untuk melakukan konversi agama atau protelisasi agama besar-besaran di Bali. Fenomena konversi di Bali bukanlah hal yang baru, tetapi sebuah fenomena religi yang sudah berlangsung lama sejak datangnya para koloni Barat. Hal tersebut dapat dilacak pada tulisan Covarrubias (2013: 445) yang menjelaskan bahwa ‘pekabar injil’ sudah terjadi di Bali sejak masuknya para koloner (orang yang melakukan kolonisasi), yakni Nicodemus, mualaf pertama dan pekabar serta murid pekabar Injil pertama di Bali. Namun, Nicodemus membunuh tuannya, dan pada akhirnya menyerahkan dirinya agar dihukum sesuai hukum adat Bali. Skandal tersebut tidak membuat para pekabar Injil kecil, tetapi konversi dan pembaptisan masih tetap dilakukan,

 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. yakni pada tahun1891,1920 dan 1924 hingga sampai dengan saat ini. Senada dengan itu, Wijaya (2007: 98) menjelaskan bahwa misionaris sudah datang ke Bali pada awal abad XIX, dan melakukan upaya sistematis dan terstruktur untuk mempelajari kehidupan religi melalui teks-teks suci kuno dengan tujuan sangat jelas berupaya mengkristenisasi masyarakat Hindu Bali. Cara yang demikian dalam ideologi Katolik disebut dengan evangelis. Tugas pokok dari para zending adalah melakukan evangelisasi kepada semua umat manusia di berbagai benua, terlebih benua yang masih memeluk agama di luar Katolik dan Kristen. Evangelisasi merupakan ideologi ortodhoksi Katolik dan Kristen yang ekslusifisme. Sebuah ideologi yang mengharuskan pendeta Katolik menjalin relasi kekuasaan Gereja sebagai pesan kebenaran Allah. Gerakan tersebut secara fundamental adalah sebuah kebutuhan dari misi yang bermaksud membuka lapangan kegiatan Gereja dalam wawasan tugas utamanya untuk memberikan Injil kepada seluruh dunia (Siwu,1996: 21). Merujuk deskripsi tersebut, dapat dikemukakan sebuah pandangan bahwa Katolik sebagai agama yang serumpun dengan Kristen memiliki kesamaan ideologi, yakni sama-sama sebagai agama misi yang bertendensi pada pola pengalihan agama sebagai hal yang diamini Allah. Dengan demikian, upaya evangelisasi memiliki korelasi yang kuat dengan para misionaris agar ide-ide ekslusif Gereja dapat terealisasi. Ideologi eksklusifisme pada akhirnya terdegradasi setelah konsili Vatikan II yang diselenggarakan pada tanggal 11 Oktober 1962, dan dianggap merupakan tonggak bergesernya ideologi Kristen dan Katolik dari ekslusifisme ke arah inklusif-pluralistik. Dengan demikian, apologis teologis Kristen dan Katolik telah mengalami keruntuhan (Donder,2006: 95). Pola anutan ideologi baru (inklusif-pluralistik) tidak serta merta merubah paradigma para zending untuk melakukan upaya konversi agama. Justru neo-ideologi yang demikian menjadikan para zending atau misionaris melakukan sebuah gerakan rekonversi yang berakar pada ideologi misi yang intoleransi, tetapi menjadikan ideologi inklusif-pluralistik sebuah domain yang kuat. Dalam artian, kebenaran ada pada agama dan kepercayaan lain yang tidak lebih bersumber dari Trinitas Kekristenan. Dengan demikian, kaum Gereja menempatkan secara hierarki idiologi agama, dan Gereja sebagai koordinat serta agama dan kepercayaan di luar Katolik dan Kristen merupakan kepercayaan subordinat atu minor yang sesat. Demikian juga

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma  Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. ideologi tersebut dijadikan dialog misi untuk memperkenalkan Yesus. Knitter (2005: 127) menjelaskan bahwa dialog merupakan bagian dari prasyarat untuk memperkenalkan Yesus, dan pluralisme religius dijadikan titik pijak. Oleh karena itu, ideologi misi masih berpijak pada ideologi apologis, dan hal tersebut dapat dilihat dari gencarnya arus misionaris. Upaya tersebut tidak dapat dipisahkan dari peran missiologia dan zending dunia (Barat) yang melakukan geraskan misi ke Asia. Siwu (1996: 15) menjelaskan bahwa para misi yang tergabung dalam Gerakan Ekumenikal mengadakan konfrensi dunia untuk membentuk Dewan Misi Internasional (DMI) dengan tujuan fundamental untuk mewadahi para misi dunia untuk mengkaji masalah-masalah global, dan dalam kepentingannya melakukan kristeniasasi ke seluruh belahan dunia, tidak terkecuali Asia. Organisasi tersebut sebagai payung bagi para misionaris dunia yang melakukan misinya, dan gerakan tersebut berangkat dari sebuah ideologi teologi misi Kristen. Teologi misi yang dibawa ke Asia memberikan spirit bagi para zending di Indonesia, dan Bali khususnya. Teologi misi yang dibangun tentunya didasarkan atas pandangan bahwa Gereja beserta dengan penghuninya agar berkarya dan turut campur dalam pentas global, karena Gereja harus menyadari bahwa dinamika evangelisasi tidak diperbolehkan mengkesampingkan kenyataan sosial, ekonomi, politik, sosial dan budaya serta agama. Terlebihnya lagi melakukan penampikan pesan Injil untuk membaptis atau mencarikan jalan menuju ke kerajaan Tuhan orang-orang yang tertindas dan miskin. Demikian juga, Gereja harus diwujudkan menjadi sakramen masa depan yang abadi (Kirchberger,1995: 27). Dengan demikian, umat Kristen dan para misionaris memandang program konversi sebagai tugas suci yang harus dijalankan. Teologi misi yang demikian menjadi sebuah formulasi elementer bagi para misionaris dan zending dalam upaya untuk mengkristenisasi Asia dan Bali. Terlebih teologi misi bersandar pada tiga aspek misi yang harus dilakukan, sebagaimana Donder (2010: 267) menyebutnya sebagai Trisula Misi Kristen dan Katolik. Lebih jauh dijelaskan bahwa gerakan misi dan konversi adalah gerakan yang didesain oleh para intelektual agama Kristen. Gerakan tersebut berideologikan dengan sebutan 3G, yakni God, Gold dan Glory atau sering juga disebut dengan evangelis, uekumenis dan elenktis. Gerakan evangelis mewartakan kabar kegembiraan, yakni telah lahirnya Yesus sebagai juru selamat. Adapun uekumenika adalah yang berhubungan

 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. dengan materi, dan para misionaris menggunakan strategi ekonomi dalam melakukan konversi. Selanjutnya elenktis atau kemegahan, yakni setrategi para misionaris dan zending untuk mewartakan kemegahan berada dalam dunia Kristen. Teologi misi dan Trisula Misi Kristen tersebut merupakan ideologi yang kuat, dan mampu mempersuasi para misionaris untuk melakukan misinya. Demikian juga melalui formulasi teologi misi yang demikian, menjadikan Asia dan Bali khususnya sebagai ladang misi sehingga banyak orang Hindu Bali mengalami proteliasasi agama dari agama yang dianut sebelumnya. Sebagaimana disinggung sebelumnya, bahwasanya Bali menjadi ladang misi semenjak kedatangan bangsa Barat ke Bali. Dharma (2011: 63) menjelaskan bahwa masyarakat Bali pada periode awal belum mengenal Injil dan sang Juru Selamat dipandang perlu dikristenkan oleh para misionaris. Para misonaris berusaha melakukan misinya dari Buleleng pada tahun 1829, dan dalam pandangan misi masyarakat Bali adalah orang kotor, budak, tergantung candu dan sangat wajar dikonversi. Bertolak dari hal tersebut, dapat dikemukakan bahwa konversi merupakan gejala sosio religius problematik yang sudah berlangsung lama di Bali. Namun, secara emperis tidak sepenuhnya program misi, teologi misi, dan Trisula Misi berhasil menjalankan gerakannya di Bali. Senada dengan itu Donder (dalam Dharma, 2011: 269), secara kuantitas program misi dan konversi tidak berhasil secara signifikan karena dari beberapa abad Kristen melakukan gerakan misi, dunia ini tidak ada 50% penduduknya memeluk Kristen. Demikian juga di Bali, Kristen tidak sepenuhnya berhasil dalam menjalankan misinya. Hal tersebut dapat dilihat dari prosentase penduduk Kristen di Bali yang masih minoritas. Wijaya (2003: 35-37) menjelaskan hal yang sama bahwa perkembangan konversi agama di Bali, tidak begitu mudah dilakukan karena banyak kendala yang dihadapi, termasuk pemerintah Belanda, melarang Kristenisasi di Bali karena dianggap kepercayaan Bali adalah unik. Sulitnya para zending melakukan kristeniasasi di Bali dapat dicermati dari perdebatan antara Residen Bali dan Lombok, H.T. Damste pada tahun 1923 dengan bekas pembantu Residen Bali Selatan, dan Damste menginginkan Bali mesti mendapat perlindungan budaya. Bali seharusnya diisolasi dari pengaruh luar yang merusak. Perkembangan berikutnya, pada tanggal 12 Juli 1924 muncul tulisan dari G.P. Rouffaer yang menyatakan di

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma  Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Bali tidak boleh ada jalan kereta api, perkebunan kopi barat, pabrik gula, tidak boleh ada kegiatan untuk mencari penganut baru, tidak ada umat Islam (kecuali orang pribumi yang dipeluk dari daerah lain), tidak ada umat Protestan dan tidak ada umat Katolik (Wijaya, 2003: 37). Perlindungan tersebut menjadi halangan yang besar bagi zending untuk mengkristenisasi Bali. Beberapa kantong Kristen dan Katolik sangat banyak di Bali, tetapi mengalami masa berjaya, kemudian surut, dan banyak rekonversi terjadi. Desa Pakraman Tengkudak Tabanan Bali dahulu merupakan ladang misi yang dilakukan oleh para zending, dan perhelatan ideologi Katolik dan Hindu terjadi antara penduduk yang menganut agama Katolik dengan Hindu. Berdasarkan jejak rekam sejarah misi, desa Pakraman Tengkudak berhasil dikonversi oleh para zending karena faktor kemiskinan. Terlebih pada tahun 1963, Gunung Agung sebagai gunung tertinggi di Bali mengalami letusan sehingga banyak penduduk mengalami kemiskinan. Fenomena tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh para zending sehingga banyak penduduk Tengkudak Penebel dikonversi. Selain itu, konversi yang dilakukan para zending dan misionaris secara implisit merupakan simbol perdebatan sekaligus pertarungan ideologi dan teologi antara Hindu dengan Katolik yang cukup kuat dalam reantang waktu yang panjang. Misionaris atau zending begitu progresif, sistemastis, terstruktur dan masif melakukan misinya, dan berhasil membaptis beberapa penduduk desa Pakraman Tengkudak. Hal tersebut menjadi penanda bahwa ideologi dan teologi misi (Katolik) mendapat tempat dalam kehidupan sosio-religius masyarakat desa Pakraman Tengkudak. Kendatipun secara genealogi historikal, desa Pakraman Tengkudak merupakan salah satu desa tertua di Bali, dan hal tersebut dapat dilihat dari praktik beragama yang menganut polarisasi berbeda dengan Bali Nagari yang terkena pengaruh Majapahit. Hal tersebut tidak terlalu menjadi faktor diterminan penguatan ideologi bagi penduduk desa Pakraman Tengkudak sehingga beberapa penduduk memeluk Katolik. Selain itu, secara genealogis historikal terjadinya konversi agama dari Hindu ke Katolik di desa Pakraman Tengkudak berangkat dari lemahnya teologi yang dimiliki oleh penduduk di desa Pakraman Tengkudak yang beragama Hindu, dan kesejahteraan ekonomi yang dibawah rata-rata. Berdasarkan hal tersebut, beberapa kepala keluarga berhasil dikonversi menjadi Katolik.

 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Terlepas dari suksesi para misionaris dan zending melakukan konversi, beberapa warga desa kembali ke agama Hindu (rekonversi), dan belakangan ini diketahui bahwasanya sangat banyak penduduk desa Pakraman Tengkudak kembali memeluk Hindu. Hal tersebut mencirikan bahwa pertarungan ideologi dan teologi antara Katolik dengan Hindu terus berlanjut di desa Pakraman Tengkudak Tabanan. Pertarungan tersebut menjadi sebuah simbol, bahwa ideologi ekslusivisme memiliki peran strategis dalam hal pengalih agamaan yang dilakukan, dan ideologi tersebut dimiliki oleh agama rassmith, baik Kristen Protestan, Katolik, dan Islam. Sebagaimana Kimbal (2006: 9) menjelaskan bahwa ideologi ekslusivisme yang dimiliki agama Abrahamik sangat mengedepankan pengalihagamaan karena penganutnya berpandangan bahwa jalan agamanya paling benar dan merupakan jalan pembebasan. Ideologi yang demikian sangat bertentangan dengan karakteristik agama Timur, seperti Hindu dan Buddha. Terlebih kultur agama Hindu di Bali yang lebih menonjolkan pada elastisitas dan toleran yang mengakaui bahwa ada kebenaran pada jalan, kepercayaan lainnya. Tampaknya, secara emperik kedua ideologi tersebut mengalami perhelatan antara pemeluk Hindu di desa Pakraman Tengkudak dengan penduduk yang menganut Katolik sehingga konversi dari Hindu ke Katolik terjadi, demikian juga rekonversi dari Katolik ke Hindu terjadi. Tidak saja demikian, fenomena rekonversi terjadi tidak terlepas dari dalil-dalil ideologi religi yang tidak nampak secara nyata, tetapi dalil tersebut memasuki ruang pemikiran (psikis) yang berimplikasi rasionalisasi ajaran agama Hindu sehingga memungkinkan penduduk desa Pakraman Tengkudak memahami, memunculkan dan membela ideologi Hindu yang dianut. Berdasarkan hal tersebut, fenomena rekonversi di desa Pakraman Tengkudak merupakan sebuah ruang resistensi antar kedua ideologi antara Katolik dengan Hindu sebagai sebuah pertarungan dalil ideologi yang memberikan pengaruh terhadap supremasi Katolik dan Hindu global. Fenomenologi rekonversi di desa Pakraman Tengkudak tidak saja ranah pertarungan ideologi, tetapi merupakan pertaruhan keyakinan terhadap dogma religi antara Hindu dan Katolik. Hal tersebut dapat dicermati dari latar belakang orang Hindu beralih agama ke Katolik, dan akhirnya kembali lagi menganut agama Hindu tidak terlepas dari peran kehidupan sosial. Peran sosial yang dimaksud, yakni korelasi antara orang

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma  Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. awam dengan agamawan. Konversi terjadi ada indikasi ketimpangan atas hubungan orang awam dan agamawan. Demikian pula, rekonversi terjadi akibat dari ketimpangan tersebut sehingga permasalahan agama terjadi, dan membawa dampak pada disharmonisasi serta lingkar konfliktual. Turner (2006: 151) menjelaskan bahwa masalah agama dengan sosial terjadi disebabkan oleh ketimpangan hubungan antara orang awam dengan orang agamawan. Sebagian besar orang memiliki paradigma bahwa orang awam merupakan orang kelas dua karena tidak memiliki kemampuan sehingga sangat mudah kaum agamawam melakukn persuasif. Rekonversi di desa Pakraman Tengkudak merupakan refleksi dari ketimpangan tersebut, dan ketimpangan terjadi sudah tentu ada perhelatan di dalamnnya sehingga sangat layak untuk ditelaah lebih dalam lagi melalui teropong ilmiah. Keyakinan umat Hindu untuk rekonversi agama di Desa Tengkudak, Tabanan memberikan pemikiran bagi perkembangan umat Hindu secara teoretis yang bersifat akademis, bahwa beragama yang baik adalah memahami agamanya secara dimensi eksoterik dan esoterik. Masyarakat Hindu yang telah konversi agama ke Katolik dan merasakan zona nyaman, karena memahami agama secara eksoterik. Pada perkembangan selanjutnya kembali menjadi umat Hindu sebagai agama atas dasar esoteriknya. Hal inilah yang menjadi kajian dari penelitian ini, tentang penyebab atau faktor apa yang mempengaruhi umat Hindu secara iklas kembali menjadi umat Hindu di Desa Tengkudak, Tabanan. Dimensi esoterik inilah yang akan dikaji dalam penelitian ini, sehingga secara pragmatis bermanfaat bagi umat Hindu yang melakukan rekonversi agama dan menjadikan agama Hindu sebagai pelindungi yang memberikan kesadaran, pencerahan, ketenangan dan kedamaian bagi seluruh umat manusia, sehingga peran agama dalam menstabilkan anomie di masyarakat, khususnya di Bali dapat tercapai dan berdampak bagi masyarakat. Dimensi esoterik umat Hindu di Bali patut dijaga karena hal inilah yang menyebabkan agama Hindu tetap ajeg. Rekonversi agama yang dilakukan pada penelitian ini, tentu ada interaksi sosiologis antara personal, keluarga, lingkungan lama maupun baru, sehingga ada proses sampai pengakuan seseorang disebut umat Hindu. Proses ini menjadi pengalaman yang sangat layak dikaji, karena masing-masing orang memiliki proses rekonversi berbeda-beda, begitu pula dalam penghayatanya kepada Tuhan.

 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Perjalanan umat Hindu untuk rekonversi agama tentunya ada konflik di dalam diri maupun lingkungan, yang berpengaruh pada keyakinan terhadapTuhan (teologinya) dan sosio-religiustiasnya. Oleh karena itu, diperlukan interaksi dan cara menyesuaikan diri dalam melaksanakan bentuk keberagamaan sesuai ajaran Hindu, agar sradha dan bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasalebih meningkat. Adanya rekonversi agama tentunya memberikan implikasi bagi kehidupan beragama di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan. Implikasi atau dampak ini pula menjadi bahan atau materi yang patut dikaji dan dianalisis dalam penelitian ini sehingga rekonversi agama, yaitu kembalinya umat Hindu yang pernah konversi ke Kristen dapat memahami ajaran Hindu dan mampu menjaga stabilitas keberagamaan yang damai di Bali.

Konsep Konsep berfungsi mendefinisikan kata atau pemikiran tentang ide-ide maupun gejala sosial yang digunakan agar orang dapat memahami maksud tersebut. Konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Rekonversi Agama Perpindahan keyakinan atau agama dapat dibagi menjadi dua istilah, yaitu konversi dan rekonversi agama. Istilah konversi agama menurut etimologi kata berasal dari kata lain “conversion” yang berarti tobat, pindah, dan berubah (agama). Selanjutnya kata tersebut dipakai dalam kata Inggris Coenversion yang mengandung pengertian: berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or from one religion, to another). Berdasarkan istilah tersebut dapat dikemukakan bahwa konversi agama mengandung pengertian: bertobat, berubah agama, berbalik pendirian terhadap ajaran agama atau masuk ke dalam agama (menjadi paderi) (Jalaluddin, 2010: 339). Konversi agama menurut terminologi, menurut pengertian ini dikemukakan oleh beberapa para ahli, yaitu 1) Max Heirich mengatakan bahwa konversi agama adalah suatu tindakan di mana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya. 2) W.H.Clark mendefinisikan konversi agama merupakan sebagai suatu macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran dan tindakan agama. 3) William James mengatakan, konversi

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma  Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. agama merupakan berubah, digenerasikan, untuk menerima kesukaan, untuk menjalani pengalaman beragama, untuk mendapatkan kepastian adalah banyaknya ungkapan pada proses baik itu berangsur-angsur atau tiba-tiba, yang dilakukan secara sadar dan terpisah-pisah, kurang bahagia dalam konsekuensi penganutnya yang berlandaskan kenyataan beragama. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa konversi agama sebagai berikut. 1. Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya. 2. Perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan, sehingga perubahan tersebut dapat terjadi secara berproses atau secara mendadak. 3. Perubahan tersebut tidak hanya berlaku bagi pemindahan kepercayaan dari satu agama ke agama lain, akan tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang dianutnya sendiri. 4. Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan, maka perubahan itu pun disebabkan oleh faktor petunjuk dari Yang Maha Kuasa (Hanafi,2007: 9).

Vijay (2008: 122) menjelaskan bahwa konversi merupakan kriminalisasi spiritual yang dilakukan oleh para misionaris. Lochan (2007: 1) mengemukakan sebuah pandangan bahwasannya konversi merupakan akar konflik agama, dan masalah Hindu dunia. India sebagai negara yang sekuler, para misi melakukan perluasan ideologi Kristen atau Katolik. Bahkan Paus secara terang-terangan menyampaikan dalam pidatonya bahwa konversi merupakan jalan yang sangat tepat untuk mengkristenkan dunia, dan harus dimulai dari India. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konversi tidak saja terjadi di Bali, tetapi konversi merupakan bentuk pengalihan keyakinan dan ideologi yang bersifat global. Putra (2000: 5) menjelaskan bahwa konversi merupakan perubahan keyakinan dan ideologi agama tertentu akibat dari superioritas ideologi agama mayoritas. Berdasarkan hal tersebut, konversi merupakan fenomena masalah agama global sebagai sebuah bentuk pengalihan keyakinan yang dilakukan oleh kelompok tertentu. Rekonversi dalam ensiklopedi disebutkan reconvert yang berarti menyebabkan konversi ke kondisi sebelumnya. Pada dunia English dictionary

10 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. menjelaskan reconvert adalah untuk membawa kembali seseorang pada mantan agamanya. Berdasarkan pengertian di atas kata reconvert dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berubah kembali dan balik beragama ke Hindu sebagai agama pertama atau mantan agama (Ensiklopedi Book Missi and Zending, 2000: 564). Lochan (2007: 7) menjelaskan bahwa rekonversi merupakan salah satu bentuk fenomena beragama yang penganut sistem agama tertentu kembali lagi pada kepercayaan sebelumnya (exs religion). Upaya rekonversi banyak dilakukan oleh kelompok atau organisasi sosial India, seperti RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangh) sebuah komunitas besar di India telah melakukan upaya rekonversi jutaan umat Katolik dan Kristen untuk kembali ke Hindu agama sebelumnya. Media Hindu (edisi 18 Juni 2010: 7) menjelaskan dalam sebuah artikel bahwasanya ratusan bahkan ribuan umat Kristen rekonversi kembali ke Hindu, dan sayap kanan Hindu, yakni RSS melakukan sebuah upaya yang signifikan. Di samping itu, memang RSS memberikan pengaruh terhadap percaturan politk partai Hindu di India. Merujuk pada deskripsi dan fenomena rekonversi di India tersebut maka dapat digambarkan dalam Gambar 2.1 rekonversi yang terjadi di desa Pakraman Tengkudak Tabanan sebagai berikut.

KONVERSI

UMAT AGAMA UMAT AGAMA

HINDU KATOLIK

REKONVERSI

Gambar 2.1 Rekonversi Agama Di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan (Sumber: Pradnya, 2015)

Gambar 2.1 di atas menunjukan bahwasanya konversi dan rekonversi dapat dianalogikan seperti sebuah lingkaran siklik. Konversi merupakan perpindahan keyakinan yang baru meninggalkan keyakinan yang sebelumnya. Adapun rekonversi adalah kebalikan dari itu, yakni meninggalkan keyakinan baru dan kembali pada keyakinan sebelumnya.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 11 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Lingakran siklik konversi-rekonversi tersebut memiliki koherenitas dengan fenomena rekonversi yang terjadi di desa Pakraman Tengkudak. Masyarakat di desa Pakraman Tengkudak, Tabanan secara historis beragama Hindu, namun pada tahun 1965 masyarakat mengalami paceklik, sehingga memutuskan untuk pindah agama atau dikonversi menjadi Katolik, proses konversi ini pun terjadi di seluruh Bali. Perkembangan selanjutnya pada tahun 1980 masyarakat yang dikonversi perlahan-lahan memutuskan mengubah kembali keyakinannya ke agama leluhurnya (Hindu), inilah yang disebut rekonversi agama. Rekonversi agama ini terjadi dengan berbagai penyebab, proses dan implikasi bagi Umat Hindu yang dibahas pada penelitian ini. 2. Umat Hindu Umat Hindu menurut Sivananda (2003: 2) merupakan penganut agama nenek moyang atau agama induk. Hal ini membuktikan bahwa Hindu merupakan agama tertua yang bemula dari peradaban di India tepatnya Sungai Sindhu. Ajaran Hindu sebagaimana diyakini oleh penganut Hindu adalah tidak berawal maupun berakhir (anadi-ananta). Hinduisme juga dikenal dengan sanatana dharma artinya agama abadi. Hinduisme adalah induk dari semua agama, karena naskah-naskah suciHindu merupakan yang tertua di muka bumi ini. Hindu berkembang sejak ribuan tahun yang lalu dan merupakan agama yang masih eksis sampai sekarang. Hinduisme muncul sekitar tahun 1800 BC di India yang terdapat dalam peradaban Lembah Sungai Sindhu (Keene, 2006: 9-10). Perkembangan Hindu membawa pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Sampai saat ini ditemukan peninggalan-peninggalan sejarah yang masih diwariskan, antara lain: candi- candi di Pulau Jawa dan karya sastra. Perkembangan selanjutnya agama Hindu menjadi agama mayoritas di Pulau Bali dengan tradisi dan budaya yang menyatu dalam kehidupan adat masyarakat. Hindu di Bali merupakan spirit masyarakat Bali dalam menjalankan aktivitas keseharianya, yang mana Hindu mengajarkan tentang tiga kerangka dasar, yaitu tattwa (filsafat), susila (etika) dan acara (ritual keagamaan). Hampir setiap hari umat Hindu di Bali melaksanakan ketiga kerangka dasar ini, namun biasanya lebih menonjolkan tentang acara agama Hindu, yaitu pembuatan sarana upacara yang disebut dengan banten.

12 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Berkaitan dengan penelitian ini umat Hindu khususnya di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan pada tahun 1963 tergoyah keimanannya dengan melakukan konversi agama ke Kristen-Katolik, namun pada tahun 1980-an umat Hindu yang berkonversi agama memutuskan kembali menjadi umat Hindu. Kembalinya umat Hindu ini tentunya memiliki pengalaman hidup, baik spiritual maupun material dalam mempertahankan kehidupanya. Pengalaman hidup dari umat Hindu, khususnya di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan inilah yang dikaji dan diteliti, khususnya penyebab rekonversi agama, proses rekonversi agama dan implikasi dari aktivitas rekonversi agama, sehingga akhirnya mereka disebut sebagai umat Hindu dan diakui sebagai umat Hindu, baik di keluarga, lingkungan, masyarakat maupun bangsa, dan negara. 3. Agama Katolik Sejarah Katolik meliputi rentang waktu selama hampir dua ribu tahun. Katolik sebagai cabang kekristenan tertua yang bermula dari Gereja Ortodhok Timur yang berasal dari gerakan suksesi “apostolik” (Amstrong,2012: 342). Genealogis Katolik merupakan bagian integral sejarah kekristenan secara keseluruhan. Istilah Katolik tidak dapat dipisahkan pula dari Gereja Katolik Yerusalem yang didirikan oleh Yesus Nazaret (33 Masehi), dan dipmpin oleh suksesi apostolik yang berkesinambungan melalui Santo Petrus Rasul Kristus dan dikepalai oleh Uskup roma sebagai St. Petrus, yang kini dikenal dengan Paus (Brown,2010: 213). Selama rentan waktu sejarahnya, Katolik muncul dari skisma yang telah merusak kesatuan kekristenan. Perpecahan utama terjadi pada 318 akibat dari Arianisme. Sekitar 1054 skisma Timur dan Barat melalui Gereja Ortodoks Timur, dan pada 1517 dengan reformasi Protestan. Gereja dan sekte Katolik telah menjadi kekuatan penggerak pada peristiwa utama dalam dunia sejarah termasuk evangeliasasi Eropa dan Amerika. Katolik sebagai penggerak menyebarkan ideologi ‘melek aksara’ dan pendirian universitas-universitas, rumah sakit, monatisisme, perkembangan seni rupa dan inkuisi, bahkan sampai pecahnya Perang Salib (Brown,2009: 322). Smith (2004: 355) menjelaskan agama Katolik serumpun dengan Kristen merupakan salah satu agama telah berusia 2000 tahun lalu. Saat ini Agama Kristen merupakan agama terbesar di dunia dengan perkiraan jumlah penganutnya 2 milliar orang, walaupun penganutnya terbagi-bagi

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 13 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. dalam lebih 20.000 sekte atau gereja. Sekte yang paling terbesar adalah Gereja Katolik Roma dengan jumlah 1,2 Miliar, diikuti banyak Gereja Protestan dengan jumlah seluruhnya 360 juta umat dan Gereja Ortodok dengan jumlah 170 juta umat (Keene, 2006: 86-87). Lebih jauh Amstrong (2010: 215) menjelaskan bhawa ideologi dan isntitusional sekte Katolik atau Gereja Katolik berpegang pada ajaran-ajaran Yesus Kristus (10-8 SM). Sebagaimana yang tercantum keempat Injil karya Markus, Matius, Lukas dan Yohanes menggambarkan Yesus sebagai tukang kayu Yahudi yang diyakini sebagai putra Allah sebagai penggenapan nubuat Perjanjian Lama. Oleh karena itu Kristen memandang dirinya sebagai kelanjutan dari Yudaisme, serta memandang Allah umat Kristen dan Allah umat Yahudi sebagai pribadi yang sama. Gereja adalah jemaat yang sama dengan yang dahulu didirikan oleh Yesus yang berkelanjutan sampai sekarang berkat dari kontinuitas yang dilakukan oleh suksesi “apostolik” (Katolik). Dengan demikian, Katolik merupakan penurus yang tidak terputus dari Yesus dan berawal dari Kritus berakhir di Katolik. Atas suksesi apostolik tersebut, Katolik memiliki misi untuk meneruskan misi Yesus atau Allah secara langsung. Agama Katolik mengenal istilah misi Allah, yang berarti pekerjaan sosial dengan proyek-proyek yang mendukung rekonsiliasi rasial, pemberian bantuan, kelompok drama dan banyak kegiatan lainya, membentuk kegiatan misi. Beberapa orang menolak ide tradisional bahwa misi berkaitan dengan “membujuk orang-orang dari kepercayaan non Katolik dari denominasi lain untuk bertobat pada gereja orang itu sendiri”, sedangkan pengertian “misi-misi” menjelaskan aktivitas missionaries, pengInjil, pendiri gereja, dan kaum awam yang menjangkau orang yang belum percaya pada Injil Yesus Kristus serta strategi dan metode dalam penyampaian pesan Allah ini (Schnabel, 2010: 1-3). Dengan misi tersebut, seseorang yang belum mengenal ajaran Allah dan Gereja kepada mereka yang non-kristen, agar dapat mempercayai kepercayaan sebagai wahyu Allah di rumah Tuhan yaitu Gereja dengan Yesus sebagai penerima pesan tersebut. Kegiatan ini merupakan misi besar yang tujuanya agar masyarakat yang nonkristen dapat percaya dengan Injil Yesus Kristus. Bahkan misi ini dilakukan dengan strategi dan metode yang matang, sehingga dapat diterima dalam suatu daerah objek misi, seperti pemberian bantuan sosial dan kemanusiaan. Kegiatan yang dilakukan

14 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. missionaries merupakan kegiatan yang menantang, karena berupaya mengubah keimanan seseorang untuk dapat mengenal keberadaan Yesus Kristus, sebagai putra Bapa. Metode konversi ini pula terjadi di Indonesia, dengan misi yang diartikan sebagai usaha gereja menyebarkan agama Katolik, yang kemudian dikenal dengan daerah misi, yaitu dimana daerah Gereja Katolik sedang tumbuh atau daerah dimana pekerjaan misi bekerja keras untuk mendapat pengikut, daerah tersebut tidak lagi disebut daerah misi bila telah terbentuk pengurus Gereja secara hierarkis. Missionaries adalah para panderi atau Imam katolik yang bekerja melaksanakan tugas misi diantara orang-orang yang dianggap kafir (sesat atau berdosa) (Dharma, 2011: 44-45). Demikian pula sampai akhirnya banyak umat Hindu di Bali konversi ke Katolik dengan berbagai alasan dan penyebab, termasuk pula pada daerah Tabanan, salah satunya di Desa Tengkudak, Penebel yang merupakan lokasi penelitian rekonversi agama. Katolik menyebarkan ajaran dan menjadikannya sebagai daerah misi, sehingga pada tahun 1960- an sebanyak 40 KK umat Hindu konversi menjadi Katolik, bahkan mampu membuat Gereja dengan bentuk ornament Bali. Tokoh yang berperan menyebarkan Katolik di Desa Tengkudak adalah Pastor Seeberger dari Jerman. Perkembangan selanjutnya, Umat Hindu yang telah dikonversi menjadi Katolik, perlahan-lahan kembali menjadi Hindu sampai saat ini, dengan berbagai penyebab, proses dan implikasi yang dibahas pada penelitian ini.

Teori yang Digunakan Menurut Marx dan Goodson (dalam Moleong, 2001: 35) bahwa teori adalah aturan yang menjelaskan proposisi atau seperangkat proposisi yang berkaitan dengan beberapa fenomena alamiah dan terdiri atas representasi simbolik dari (1) hubungan-hubungan yang dapat diamati diantara kejadian-kejadian (yang diukur), (2) mekanisme atau struktur yang diduga mendasari hubungan-hubungan, (3) hubungan yang disimpulkan serta mekanisme dasar yang dimaksudkan untuk data dan yang diamati tanpa adanya menifestasi hubungan emperis secara langsung. Menurut Cooper and Schindler (dalam Sugiyono, 2010: 52-53) teori adalah seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang tersusun secara sistematis, sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan dan meramalkan

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 15 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. fenomena. Teori pada umumnya memiliki dasar empiris yang memandang gejala dari sudut pandang yang berbeda-beda, misalnya dapat dengan menerangkan, tetapi dapat pula menganalisa dan menginterprestasi secara kritis (Habernas dalam Sugiyono, 2010: 53). Berdasarkan pengertian teori di atas pada penelitian ini digunakan beberapa teori untuk menjelaskan, menganalisis, dan menginterprestasikan sebuah fenomena. Adapun teori-teori tersebut adalah sebagai berikut.

1. Teori Ideologi Teori ideologi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pemikiran dari Louis Althusser lahir pada tahun 1918 di Algeria dan meninggal di Paris tahun 1990. Althursser adalah seorang Marxis, anggota seumur hidup Partai Komunis Prancis, seorang pembela terkemuka bagi karya “dewasa”, kapital. Althusser juga seorang antihumanis teoretis yang terkemuka dalam Marxisme dan sebagai seorang filsuf (Beilharz, 2005: 1-2). Menurut Marx ideologi merupakan suatu konsep yang tidak abstrak, ideologi merupakan piranti ide-ide dari kelas berkuasa yang dapat diterima di dalam masyarakat sebagai sesuatu yang normal dan natural. Menurut Marx, ideologi kaum borjuis mempertahankan para pekerja dalam status false consciousness (kesadaran palsu). Kesadaran masyarakat siapa dirinya atau bagaimana hubungan mereka dengan bagian masyarakat lainya dan pengertian yang mereka bangun tentang pengalaman sosialnya, diproduksi oleh masyarakat. Kesadaran ditentukan dari masyarakat yang telah membesarkan seseorang, bukan oleh watak ataupun psikologi individu (Althusser, 2008: x). Menurut Marx dalam pemikiran teori ideologi (dalam Takwin, 2003) bahwa banyak manusia yang dicekoki dengan pengetahuan dan realitas yang salah sehingga menyadari realitas yang salah pula. Kesadaran yang salah memahami realitas, menurut Marx bersifat ideologis. Ditambahkanya pula negara adalah pihak yang menyebarkan kepalsuan dan kebohongan lewat idea-idea yang dijejalkan kepada rakyatnya. manipulasi ini didukung oleh para agamawan dengan ide-ide tentang pahala yang akan diperoleh di sorga sebagai bayaran dari penderitaan. Bagi Marx, negara dan agama merupakan suprastruktur yang menguntungkan kelas pemodal dan memperlemah kelas pekerja. Ideologi Marx adalah bersifat makro, bahwa individu yang tertindas,

16 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. sebenarnya tidak memiliki ideologinya, karena mereka hanya sebagai pengikut dari ideologi negaranya atau penguasanya, sehingga secara tidak langsung, apapun ideologi dari penguasa atau negaranya harus dipatuhi, meskipun bertentangan dengan hati nurani. Ideologi Marx bersifat massif dan kekerasan, inilah yang kemudian disebut Marx sebagai kesadaran palsu (Althusser, 2008: 25). Marx membagi dua struktur dalam fenomena kehidupan. Yang dibawah bernama Base Structure dan diatas bernama Supra structre. Yang dibawah akan medikte yang diatas. Yang dibawah ini adalah materi, suatu yang tangible, yang bisa diukur, itu adalah ekonomi dan yang diatas itu adalah ide-ide yang tak terukur, seperti agama, pendidikan, hukum, politik, sosial dan lain-lain. Sederhananya, ekonomi akan mendikte agama, pedidikan, hokum dan politik. Jadi yang penting bagi Marx adalah membenahi sesuatu yang bisa di ukur, yaitu ekonomi. Ketika ekonomi baik, stabil, dan mencapai keadilan, maka akan mendapatkan supra structure yang baik. Suatu hal yang percuma jika kita meubah-ubah dan berjuang menyelesaikan pendidikan, hukum, politik, karena semua hal itu tidak akan berpengaruh apa-apa, kecuali ekonomi sebagai base structure berubah. Itulah pandangan Marx. Berdasarkan latar belakang di atas, Althusser mengembangkan teori ideologi dengan tesisnya bahwa ideologi mempresentasikan hubungan imajiner dari individu-individu pada kondisi eksistensinya yang nyata. Yang dimaksud Arthusser bahwa ideologi bersifat lebih efektif dibandingkan apa yang dikemukakan Marx. Ideologi bekerja dari dalam diri, bukan dari luar dan secara mendalam mendeskripsikan cara berpikir serta cara hidup tertentu pada segenap kelas (Althusser, 2008: xi). Teori ideologi pada penelitian ini digunakan untuk membedah permasalahan yang menyebabkan umat rekonversi agama, dan tentunya ada ideologi yang ditanamkan dalam diri. Terlebihnya lagi leluhur masyarakat Bali menganut agama Hindu sehingga mampu memfilteriasasi ajakan dari para kaum berkelas, pemilik modal (borjuis). Pada saat Gunung Agung meletus tahun 1963 umat Hindu di Desa Tengkudak, Penebel mengalami paceklik, sehingga para missionaris sebagai pemilik modal langsung menolong dan membaptis menjadi Katolik, meskipun demikian tetap saja berideologi Hindu yang dibuktikan sarana persembahyangan, serta bentuk teologinya

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 17 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. saat menjadi Katolik tidak ada bedanya dengan Hindu, sehingga umat Hindu yang telah dikonversi menjadi Katolik kini kembali lagi menjadi Hindu, karena ideologi yang tumbuh dari dalam diri maupun luar dirinya bangkit kembali.

2. Teori Pertukaran Sosial Teori pertukaran sosial Blau (Raho, 2007: 176-177) terbatas kepada tingkah laku yang mendatangkan imbalan, yakni tingkah laku yang akan berhenti, kalau dia berasumsi bahwa tidak akan ada imbalan lagi. Apabila satu kelompok di dalam asosiasi itu membutuhkan sesuatu dari kelompok lain, tetapi tidak mungkin mengembalikanya dalam imbalan yang seimbang, maka empat kemungkinan dapat terjadi: Pertama, orang dapat memaksa orang lain untuk menolongnya. Kedua, mereka mencari dari sumber yang lain bantuan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ketiga, mereka dapat bertahan dan hidup terus tanpa memperoleh apa yang mereka butuhkan itu. Keempat, mereka dapat takluk kepada orang-orang lain yang memberikan bantuan kepada mereka. Atas dasar itu orang-orang lain itu bisa memerintahkan mereka untuk melakukan apa yang mereka kehendaki. Dalam hal itu sudah terkandung secara intrinsik unsur kekuasaan. Blau melihat struktur mikro terdiri dari individu-individu yang berinteraksi, sedangkan struktur makro terdiri dari kelompok-kelompok yang berinteraksi. Menurutnya orang tertarik kepada satu sama lain karena bermacam-macam alasan yang memungkinan mereka membentuk organisasi maupun asosiasi sosial. Begitu ikatan-ikatan telah terbentuk, maka imbalan yang mereka berikan kepada satu sama lain berfungsi untuk mempertahankan dan menguatkan ikatan itu. Kemungkinan sebaliknya itu pun bisa terjadi, yakni imbalan-imbalan yang tidak seimbang akan memperlemah asosiasi atau bahkan menghancurkan asosiasi itu sendiri (Upe, 2010: 183). Blau (Ritzer-Goodman, 2008: 369) memusatkan perhatian pada proses pertukaran yang menurutnya mengatur kebanyakan perilaku manusia dan melandasi hubungan antarindividu maupun antarkelompok. Blau membayangkan empat langkah berurutan, mulai dari pertukaran antarpribadi ke struktur sosial hingga ke perubahan sosial. 1. Langkah 1: Pertukaran atau transaksi antarindividu yang meningkat ke…

18 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

2. Langkah 2 : Difrensiasi status dan kekuasaan yang mengarah ke… 3. Langkah 3: Legitimasi dan pengorganisasian yang menyebarkan bibit dari… 4. Langkah 4 : Oposisi dan perubahan

Menurut Blau terdapat dua persyaratan yang mesti dipenuhi bagi perilaku, sehingga dapat dikatakan sebagai pertukaran sosial. Pertama, perilaku tersebut harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain. Kedua, perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut (Poloma dalam Upe, 2010: 186). Tujuan yang dimaksud itu dapat berupa ganjaran ekstrinsik, seperti uang, barang atau jasa, maupun ganjaran intrinsik, seperti kasih sayang, kehormatan dan kecantikan. Selain Blau, tokoh teori pertukaran sosial lainya adalah Homans yang menyatakan individu berinteraksi dengan individu lain, dikarenakan pola hubungan give and take. Menurut Homans inilah disebut proposisi sukses (the success Proposition), yaitu semakin sering tindakan khusus seseorang diberi hadiah, maka semakin besar kemungkinan orang melakukan tindakan itu (Homan dalam Ritzer, 2008: 361). Hal ini juga dinyatakan oleh Emerson, bahwa terjadi ketergantungan kekuasaan (power-dependence), seorang aktor atau individu harus dapat berinteraksi dengan kelompok yang dapat memberikan imbalan. Dikatakan kekuasaan seseorang atas orang lain dalam hubungan pertukaran adalah kebalikan fungsi ketergantunganya terhadap orang lain. Kekuasaan yang tidak seimbang dan ketergantungan menyebabkan ketidakseimbangan dalam hubungan, tetapi melalui perjalanan waktu ketimpangan itu akan bergerak menuju hubungan kekuasaan- ketergantungan yang semakin seimbang (Ritzer-Goodman, 2008: 378-379). Teori tersebut dalam penelitian ini digunakan untuk membedah permasalahan tentang proses rekonversi umat Hindu dan implikasinya di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan. Konversi di Bali disebabkan oleh pertukaran sosial, terutamanya pada waktu masyarakat Bali mengalami sebuah krisis pangan yaitu pada masa paceklik, tepatnya ketika Gunung Agung meletus tahun 1963, yaitu adanya propaganda dari missionaries dan zending, sehinggga beberapa masyarakat Hindu di Bali dan Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan, berhasil dikonversi dan membentuk kelompok atau

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 19 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. organisasi baru. Perkembangan berikutnya karena missionaris dan zending tidak dapat mempertahankan imbalan maupun ganjaran secara ekstrinsik maupun intrinsik kepada kelompok yang dikonversi, sehingga kelompok tersebut kembali lagi pada kelompoknya yang terdahulu yang dapat memberikan imbalan lebih besar daripada kelompok missionaries maupun Zending, akibatnya terjadilah rekonversi agama di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan.

3. Teori Praktik Generatif Teori yang dikembangkan oleh Bourdieu adalah reproduksi kelas, yang mana suatu generasi dari suatu kelas memastikan bahwa dia mereproduksi dirinya dan meninggalkan hak istimewa kepada generasi berikutnya. Hal tersebut dilihat sebagai kekerasan simbolik, yakni kekerasan halus dan tak tampak yang tersembunyi dibalik pemaksaan dominasi. Dari sinilah Bourdieu memperkenalkan konsep habitus, yakni pola persepsi, pemikiran dan tindakan yang bertahan dalam waktu yang panjang, yang disebabkan oleh sutu kondisi objektif, namun tetap berlangsung bahkan ketika kondisi tersebut telah berubah (Rindawati dalam Suyanto, dkk, 2010: 423). Selain itu habitus juga berarti struktur mental atau kognitif yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial (Ritzer & Godman, 2008: 522). Teori Bourdieu selain membicarakan masalah pada habitus, juga memberikan ruang atau ranah (arena) yang selalu didefinikan sebagai sistem relasi objektif kekuasaan yang terdapat di antara posisi sosial yang berkorespodensi dengan sistem relasi objektif. Struktur ranah didefinisikan pada suatu momen tertentu oleh keseimbangan antara titik-titik ini dan antara modal yang terbagi (Rindawati dalam Suyanto, dkk, 2010: 423). Kapital atau modal menurut Bourdieu sebagai relasi sosial terdapat pada suatu sistem pertukaran baik material maupun simbol tanpa adanya perbedaan.Modal harus ada dalam setiap ranah, dalam rumusan generatif Bourdieu dijelaskan ketertarikan antara habitus, modal dan ranah yang bersifat langsung. Bourdieu juga memandang modal sebagai basis dominasi yang dapat dipertukarkan dengan jenis modal yang lainya, penukaran yang paling hebat adalah penukaran secara simbolis, karena dalam bentuk inilah modal yang berbeda persepsi dan dikenali sebagai sesuatu yang legitimate. Teori praktik Generatif Bourdieu pada penelitian ini, menunjukan kehidupan masyarakat di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan

20 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. memiliki habitus dalam lingkungan Hindu, karena mayoritas penduduknya beragama Hindu, sehingga setiap hari religi masyarakat adalah Hindu, ranah masyarakat di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan merupakan sebuah wilayah yang terletak di dekat Pura Sad Kahyangan Batukaru jadi penerapan ajaran Hindu dilaksanakan setiap hari, terlebih saat upacara piodalan di Pura Batukaru dan sekitarnya. Saat ini Kapital intelektual, sosial, budaya dan ekonomi masyarakat telah mengalami perubahan pola pikir yang memengaruhi kepercayaan dan keyakinan beragama sehingga masyarakat Hindu yang dikonversi ke Kristen, kini kembali lagi ke Hindu. Pada penelitian ini, teori praktik generative digunakan untuk menganalisis implikasi rekonversi agama di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan dalam Kajian Sosio-Teologi Hindu.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 21 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

2

Desa Tengkudak Tempat Terjadinya Rekonversi

ebagaimana diketahui bahwa setiap pemberian sebuah nama Sterhadap sesuatu, biasanya ada latar belakang tertentu, tentang asal usul dari nama yang bersangkutan mengapa nama itu dipakai. Demikian juga halnya nama “Desa Tengkudak” nampaknya ada sedikit kisah yang melatar belakangi kenapa sampai disebut Tengkudak. Kalau dikaji asal usul nama tersebut di atas, maka secara singkat sejarah Desa Tengkudak sebagai berikut. Awalnya wilayah Desa Tengkudak merupakan suatu kesatuan wilayah yang disebut dengan wilayah Pekandelan Batukaru, sedangkan masyarakatnya disebut satu kesatuan masyarakat Panjak Pekandelan Batukaru yang dulu dikenal dengan Satak Wongaya dan wilayahnya beberapa bagian diberi nama : 1) Di sebelah utara di kenal dengan sebutan Luhur. 2) Di sebelah timur dikenal dengan sebutan Manis Bayu. 3) Di sebelah selatan di kenal dengan sebutan Tanggun Dangka.

22 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

4) Di sebelah barat dikenal dengan sebutan Batu Sari. 5) Sedangkan ditengah – tengah dikenal dengan sebutan Daerah Pejuang. Tidak diceritakan panjang lebar bahwa keempat pejuru itu dijaga oleh para Pecalang Agung Batukaru yang bertugas untuk menjaga keenam Panjak Pekandelan dan kekayaan alamnya. Selanjutnya diceritakan Pecalang Agung Manis Bayu serta anggotanya lari ke Tanggun Dangka akibat dari gempuran Sri Aji Mayadanawa. Tetapi berkat persatuan dan kesatuan dari Pecalang Agung Tanggun Dangka dan Pecalang Batu Sari, pasukan Sri Aji Mayadenawa berhasil dikepung dan dibunuh habis di daerah wilayah Batukaru dan mayatnya dikubur disana, sekarang dikenal dengan nama Seme Tamyu (Kuburan untuk tamu yang mengganggu kedamaian Pekandelan Batukaru). Diceritakan bahwa jalan utama menuju Kahyangan Batukaru yang mulanya dari Timur dipindahkan dari selatan melalui Tanggun Dangka dengan dilalui upacara pasinglar dicampuhan sungai kecil dengan tujuan barang siapa yang dengan kesaktiannya dan bermaksud jahat terhadap Panjak Pekandelan Batukaru, apabila melangkahi sungai kecil tersebut kesaktiannya akan punah/ pudar dan orangnya tidak kembali, sehingga sungai kecil yang mengalir sepanjang tahun itu di sebut dengan nama Tukad Kelang Kelung. Kemudian setelah upacara Pesinglar di daerah itu nampak dari kejauhan selalu terang benderang siang dan malam hari dengan memancarkan sinar kuning keemasan, sehingga wilayah itu disebut dengan nama Nyitan, sekarang disebut Kunyitan. Pertambahan Penduduk yang semakin bertambah di Tanggun Dangka akibat dari rerarudan (pengungsian) Kerajaan Mengwi akibat perang raja-raja di Bali. Rakyatnya di Mengwi kemudian datang berduyun-duyun mengaturkan sembah bakti ke Pura Luhur Batukaru dengan maksud Kebayan menerima sebagai Panjak Pekandelan dan tempat tinggalnya di sebelah Barat Tanggun Dangka, dengan tugas tambahan sebagai Pecalang Agung. Kemudian setelah datang rerarudan rakyat Mengwi menyusul lagi rerarudan rakyat Tabanan, Kubayan memberikan tempat disebelah Tanggun Dangka dan masyarakatnya di sebut Panjak Pupulan. Setelah masyarakat Tanggun Dangka dan Pupulan melebihi jumlah seratus orang, kemudian berdirilah Bale Agung sebagai tempat pemujaan

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 23 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. yang merupakan awal dari lahirnya Kahyangan tiga di Tanggun Dangka dan diberikan kewenangan mendirikan Kahyangan, maka lahirlah satu kesatuan masyarakan Tanggun Dangka, kata Tanggun berarti Wilayah, kemudian secara evolusi kata Tanggun berubah menjadi Tengkudak. Berikut ditampilkan sejarah kepemimpinan Desa Tengkudak pada table 4.1 berikut.

Sejarah Pemerintah Desa Tengkudak

Tabel 2.1 Sejarah Kepemimpinan Desa Tengkudak NO. NAMA PEJABAT MASA JABATAN KET.

1 NANG REMADI ( REMEN ) 1979 - 1984 2 I WAYAN RAMAS 1984 - 1989 3 I MADE PEKEG 1989 - 1994 4 I WAYAN RAMAS 1994 - 1999 5 I WAYAN SUNADRA 1999 - 2007 6 I WY SUDIARTAJAYA,SE 2007 - 2013 7 I MADE SUBAGIASTERA 2013 - sekarang

Sumber: Profil Desa Tengkudak 2013

Fasilitas Desa Melaksanakan aktifitas pemerintahan, Desa Tengkudak memiliki fasilitas berupa Kantor Desa yang dibangun pada tahun 2008 – Sekarang dimulai pembangunan Kantor Desa dengan konstruksi beton bertulang berlantai 3. Pembangunan Kantor Desa dilaksanakan secara bertahap setiap tahun, dimana sampai saat ini bangunan belum selesai 100 persen, sedangkan dana yang dihabiskan telah mencapai sekitar Rp. 650.000.000 yang bersumber dari iuran masyarakat, dana ADD dan beberapa sumbangan dari Pemda Tabanan. Pelaksanaan kegiatan di banjar-banjar dilakukan disetiap Br. Dinas dengan dibangun balai banjar oleh masing-masing

24 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. banjar dinas secara swadaya dan Gotong Royong. Fasilitas lain yang ada adalah 3 Buah Sekolah Dasar ( SD ), 2 Buah TK, 1 Buah PAUD dan 1 Buah Poskesdes. Dibidang transportasi untuk menghubungkan banjar-banjar yang ada di Desa Tengkudak telah dibangun Pembetonan Jalan di Banjar Puluk-Puluk dan Tingkih Kerep dengan swadaya masyarakat, sedangkan jalan yang menuju Banjar Puakan dibangun dengan dana PPIP Tahun 2013 senilai Rp. 245.000.000 dan pengerjaannya sepenuhnya dilakukan oleh warga masyarakat Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan.

Lokasi Desa Tengkudak Lokasi Desa Tengkudak terletak di wilayah Kabupaten Tabanan yang merupakan bagian daripada wilayah Kecamatan Penebel di bawah gunung Batukaru. Desa Tengkudak yang terletak di wilayah bagian barat Kecamatan Penebel dengan jarak ke pusat fasilitas ( kota) sebagai berikut. 1. Jarak Desa Tengkudak ke Ibu Kota Kecamatan sepanjang 7 Km dengan prasaran jalan aspal ditempuh dengan waktu 15 Menit dengan angkutan umum. 2. Jarak Desa Tengkudak ke Ibu Kota Kabupaten Tabanan sepanjang 18 Km dengan prasarana jalan aspal ditempuh dengan waktu 30 menit dengan sarana angkutan umum. 3. Jarak Desa Tengkudak ke Ibu Kota Propensi Bali sepanjang 45 Km dengan Prasarana Jalan aspal ditempuh dengan waktu 60 menit dengan saran angkutan umum.

Melihat letak Desa Tengkudak pada gambar 4.1 yang agak jauh dari fasilitas kota, maka pengembangan pembangunan yang menuju Keluarga Sehat Sejahtera dari masa kemasa tetap berjalan dan terarah. Berdasarkan data areal wilayah tersebut di atas, khususnya lahan pertanian basah/sawah secara umum masih terpelihara dengan baik dan tidak banyak yang beralih fungsi. Sawah bagi penduduk Desa Tengkudak masih merupakan areal yang diandalkan karena selama ini memberikan hasil manfaat yang sangat ekonomis bagi warga dengan tetap memelihara padi lokal (padi merah dan injin ) dibandingkan memelihara benih padi unggul, memelihara padi lokal di Desa Tengkudak lebih menguntungkan secara ekonomis, karena padi lokal Desa Tengkudak sudah banyak diminati

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 25 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. oleh pihak luar untuk kepentingan kehidupan maupun sosial budaya. Demografi Penduduk merupakan sumber daya utama dalam rangka menunjang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa Tengkudak dengan jumlah Penduduk Per-Desember 2013 sebanyak 2651 Jiwa terdiri dari penduduk laki laki 1301 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 1350 jiwa dan terbagi dalam 897 Kepala Keluarga (KK), 87 KK tergolong Rumah Tangga Miskin ( RTM ). Dari luas wilayah jika dibandingkan dengan jumlah penduduk terdapat kepatan penduduk secara geografis dan kepadatan penduduk secara agraris sebanyak 2651 jiwa / 590,629 Ha dengan rincian sebagai berikut.

Mata Pencaharian 1. Petani. : 819 Orang. 2. Pedagang : 27 Orang. 3. Wiraswasta : 8 Orang 4. Pegawai negeri : 150 Orang. 5. Pamong Desa : 12 Orang. 6. ABRI : 15 Orang. 7. Pensiunan : 15 Orang. 8. Buruh Tani : 325 Orang 9. Tukang Jahit : 15 Orang 10. Tukang Kayu : 65 Orang 11. Sopir ( jasa ) : 43 Orang 12. Karyawan Swasta : 607 Orang.

26 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Pendidikan

Tabel 2.2 Data Tingkat Perkembangan Pendidikan

JUMLAH NO INDIKATOR SUB INDIKATOR TH. 1 TH. 2

1 2 3 4 5

1.Jml Penduduk buta huruf 0 orang 0 orang 2.Jml.pend tidak tamat SD 1 orang 1 orang 3. Jml.pend tamat SD 2133 orang 2163 orang 4. Jml. Pend tamat SLTP 1891 orang 1916 orang 5. Jml.pend tamat SLTA 1530 orang 1565 orang Pendidikan 6. Jml pend tamat D-1 20 orang 22 orang 1 Penduduk usia 7. Jml pend tamat D-2 8 orang 8 orang 15 th keatas 8.Jml.pend tamat D-3 keatas a. D3 18 orang 19 orang b. D4 14 orang 15 orang c. S1 82 orang 85 orang d. S2 6 orang 7 orang e. S3 4 orang 6 orang

1. Jml. pend usia 7-15 tahun 310 orang 318 orang Wajib belajar 2. Jml pend usia 7-15 2 9 tahun dan sekolah 309 orang 317 orang putus sekolah 3. Jml pend usia 7-15 th putus Sekolah 1 orang 1 orang

1. Jumlah SLTA/Sederajat 0 0 2. Jumlah SLTP/Sederajat 0 0 3. Jml SD/Sederajat 3 buah 3 buah 4. Lembaga Pendidikan Prasarana 3 Agama 0 0 Pendidikan 5. Lembaga Pendidikan lain (Kursus/Sejenisnya) 0 0 6. TK 0 Buah 2 Buah 7. PAUD 0 Buah 1 Buah

Sumber: Profil Desa Tengkudak Tahun 2013

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 27 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Jumlah Penduduk

Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan umur JUMLAH NO INDIKATOR TH. 1 TH.2 1 2 3 4

1 0 – 12 Bulan 13 orang 18 orang 2 >1-<5 Tahun 89 orang 91 orang 3 >5-<7 Tahun 62 orang 66 orang 4 >7-<15 Tahun 310 orang 318 orang 5 >15-56 Tahun 1375 orang 1378 orang 6 >56 Tahun 778 orang 780 orang

Sumber: Profil Desa Tengkudak Tahun 2013

Tabel 2.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Gender JUMLAH NO INDIKATOR TH. 1 TH. 2 1 2 3 4 Jumlah Penduduk 1 2627 orang 2651 orang Jumlah Laki-laki 2 1292 orang 1301 orang Jumlah Perempuan 3 1335 orang 1350 orang Jumlah Kepala 4 871 KK 897 KK Keluarga

Sumber: Profil Desa Tengkudak Tahun 2013

28 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Kesehatan

Tabel 2.5 Kesehatan Masyarakat JUMLAH NO INDIKATOR SUB INDIKATOR TH. 1 TH.2 1 2 3 4 5 1. Jml bayi lahir 13 orang 18 orang 1 Kematian bayi 2. Jml bayi mati 0 0 1. Jml Balita 100 orang 91 orang Gizi dan 2. Jml Balita gizi buruk 0 0 2 KematianBalita 3. Jml Balita gizi baik 100 orang 91 orang 4. Jml Balita mati 0 0 11 orang 26 orang 1. Cakupan Imunisasi polio Cakupan 3 2. Cakupan ImunisasiDPT-1 10 orang 6 orang Imunisasi 3. Cakupan Imunisasi BCG 9 orang 8 orang Angka harapan 4 Angka harapan hidup 69 tahun 73 tahun Hidup Cakupan 1. Total rumah tangga dapat 871 RT 897 RT 5 Pemenuhan Akses air bersih Kebutuhan hdp 2. Pengguna mata air 871 RT 8897 RT

Kepemilikan 1. Total Rm tangga 6 Jamban mempunyai jamban /WC 871 RT 897 RT

Sumber: Profil Desa Tengkudak Tahun 2013

Budaya dan Kesenian Dilihat dari segi kepercayaan yang dianut sebagian besar penduduk beragama Hindu dan ada 7 (tujuh ) KK yang beragama Kristen Katolik yang ada di Br. Dinas Penganggahan. Desa Tengkudak memiliki lima desa Pakraman : Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak, Puluk –Puluk, Puakan dan Tingkih Kerep. Masing masing telah memiliki Pura Kahyangan tiga. Disamping itu juga warga Desa Tengkudak ngamongin/ mekandelin kayangan jagat seperti Desa Pakraman Tengkudak dan Pakraman Penganggahan ngamongin Kahyangan Watukaru, Pakraman Puluk-Puluk dan Tingkih Kerep ngandelin di Pura Puncaksari dan Pakraman Puakan

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 29 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. ke Pura Tamba Waras. Di Desa Tengkudak ada Dua Pura yang dari Kepurbakalaan dikatakan Pura Batu/Pundan Berudak yaitu Pura Pedanga yang ada di Desa Pakraman Puluk - Puluk dan Pura Manis Bayu yang ada di wilayah Desa Pakraman Tengkudak dan juga ada sebuah Gereja di Banjar Penganggahan yang dianut oleh 7 ( tujuh ) KK umat Kristen Khatolik. Dilihat dari segi kesenian di Desa Tengkudak ada beberapa sekaa- sekaa seperti sekaa joged, rindik, gender yang ada di Banjar Puluk- Puluk, dan kesenian yang disakralkan seperti Baris Memedi, Sanghyang Sampat dan Sanghyang Cicing juga ada di Pakraman Puluk-Puluk dan di Desa Pakraman Tengkudak dan Rejang Tabuh yang ada di Desa Pakraman Tingkih Kerep. Kesenian sakral tersebut seperti Sanghyang Sampat dipercaya oleh leluhur ditangun apabila ada kebrebehan seperti serangan merang di sawah, warga banyak yang sakit dan dipercaya sebagai pengusir roh-roh jahat, sedangkan untuk Baris Memedi digunakan pada acara pengabenan, dengan mangambil tingkatan upakara pengabenan yang utama dan juga hanya boleh dipentaskan apabila yang meninggal tersebut sudah memiliki cucu.

Potensi Wisata Desa Tengkudak terletak di kaki gunung Batukaru dan memiliki banyak panorama/pemandangan yang indah. Dari banyak lokasi tersebut telah dikembangkan objek pariwisata petualang seperti See Bali dan Paddy Venture yang berlokasi di Subak Manis Bayu. Selama ini objek See Bali dan Pady Venture cukup banyak dikunjungi wisatwan asing maupun domestik, sehingga sudah mampu memberikan sedikit kontribusi bagi pendapatan desa, disamping itu juga mampu menampung tenaga kerja yang berasal dari Desa Tengkudak, sehingga angka pengangguran di Desa Tengkudak berkurang. Kedepan akan direncanakan dikembangkan wisata agro di subak-subak basah dengan padi lokalnya dan Wisata Tracking.

Ekonomi Masyarakat Kemajuan dibidang perekonomian di sebuah desa sangat ditentukan oleh tersedianya lapangan kerja dan lembaga-lembaga ekonomi yang memadai untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di Desa Tengkudak telah didirikan lembaga-lembaga perekonomian diantaranya sebagai berikut.

30 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

1. KUD berlokasi di Banjar Puluk-puluk 1 (satu) buah 2. Koperasi yang masing-masing berlokasi di Banjar Penganggahan dan Banjar Puluk-puluk 3. LPD yang berlokasi di masing-masing desa Pakraman yaitu Desa Pakraman Tengkudak, Desa Pakraman Penganggahan, Desa Pakraman Puluk-puluk, Desa Pakraman Tingkih Kerep dan Desa Pakraman Puakan. Lembaga-lembaga ekonomi tersebut di atas secara nyata telah mampu memberikan manfaat kepada warga Desa Tengkudak dalam menampung tenaga kerja, menyediakan modal usaha maupun dalam memberikan kontribusi kepada pemerintah Desa Tengkudak, yaitu Perbekel Desa Tengkudak mengeluarkan keputusan tentang iuran yang dikenakan dalam kaitan pelaksanaan hari-hari besar nasional maupun hari besar Agama Hindu. Disamping lembaga yang telah disebutkan di atas, di Desa Tengkudak telah berdiri kelompok-kelompok ekonomi lainnya seperti : a. Organisasi subak basah sebanyak 4 (empat) subak basah yaitu : 1) Subak Tengkudak 2) Subak Tingkih Kerep 3) Subak Puakan 4) Subak Pancoran Sari b. Subak Abian sebanyak 3 (tiga) Subak yaitu : 1) Subak Abian Manik Pecatu di Banjar Dinas Penganggahan 2) Subak Abian Wahana Merta di Banjar Dinas Tengkudak 3) Subak Abian Purwa Sari di Banjar Dinas Puakan. Subak tersebut di atas fungsinya menjadi sangat penting, karena Desa Tengkudak dan subak telah ditetapkan menjadi bagian warisan budaya dunia yaitu kawasan Jatiluwih dengan pelestarian alam adat dan subak. Penetapan ini didasarkan atas Peraturan Bupati Tabanan No. 34 Tahun 2011 tentang Penetapan Dan Pelestarian Warisan Budaya Kabupaten Tabanan. Pertanian yang dikembangkan di subak-subak yang ada di wilayah Desa Tengkudak masih mempertahankan untuk menanam varietas padi lokal (padi merah dan hitam). Menanam varietas tersebut sebagai produk unggulan, maka secara ekonomis telah mampu memberikan keuntungan yang

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 31 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

lebih besar kepada para petani jika dibandingkan dengan menanam bibit unggul yang sudah pernah dicoba dengan 8 usaha penyosohan gabah. c. Kelompok tani ternak ayam buras yang berlokasi di Banjar Dinas Penganggahan beranggotakan 25 orang pernah berprestasi sebagai juara 1 lomba kelompok tani ternak ayam buras Tingkat Nasional, sehingga berkesempatan diundang ke Istana Negara di Jakarta. d. Kelompok pembudidaya ikan air tawar yang berada di Banjar Dinas Penganggahan sudah mampu berproduksi secara rutin dengan menjual hasil olahannya, sudah berprestasi sebagai juara 3 lomba kelompok pembudidaya ikan sebagai juara 3 Tingkat Provinsi Bali. e. Kelompok UPO yang berlokasi di Banjar Dinas Tingkih Kerep. Beranggotakan sebanyak 132 anggota yang berasal dari Banjar Dinas Tingkih Kerep. Kegiatan yang sudah dilaksanakan adalah memelihara sapi dan pembuatan pupuk organik untuk menunjang kepentingan usaha pertanian. Dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan para anggota telah memasukkan KK miskin sebagai anggota sehingga mampu memberikan penghasilan tambahan untuk meningkatkan kesejahteraan. f. Kelompok Wanita Tani Dwi Tunggal Banjar Dinas Penganggahan juga aktif dalam melakukan kegiatannya secara rutin yang dilakukan seminggu sekali dengan tujuan mengentaskan masyarakat miskin sudah mampu dan terbukti dalam kegiatannya sehingga memperoleh Prestasi Juara di Tingkat Kabupaten Tabanan dan Juara III UKM Provinsi Bali g. Simantri berlokasi di Banjar Puluk-puluk dengan anggota sebanyak 25 orang dengan usaha kegiatan berupa pemeliharaan induk sapi dan pemanfaatan kotoran sapi untuk diolah menjadi pupuk organik. h. Kelompok-kelompok tani lainnya sepeti : Kelompok ikan di Banjar Puakan, kelompok ikan di Banjar Denuma. i. Usaha di bidang Pariwisata. Sebagai wilayah yang telah ditetapkan menjadi salah satu bagian kawasan Jatiluwih sebagai warisan budaya dunia, Desa Tengkudak telah mulai dikembangkan menjadi objek wisata yang mengandalkan pemandangan alam sebagai pendukungnya. Kondisi geografis Desa Tengkudak relatif indah untuk dikembangkan menjadi objek wisata.

32 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Adapun pariwisata yang telah dikembangkan diantaranya wisata petualangan dengan motor ATV yang dimiliki oleh salah satu warga Tengkudak dengan nama See Bali dan Pady Ventura, wisata tracking dengan lingkungan persawahan dan perkebunanan serta padi lokalnya yang menawan.

Selama ini telah dapat dirasakan keuntungan dan manfaat dengan telah beroperasinya objek wisata tersebut di atas sebagai berikut. 1) Pariwisata telah banyak menampung tenaga kerja lokal dan hal ini sangat membantu pemerintah desa dalam hal mengurangi terjadinya pengangguran. 2) Membuka peluang bagi masyarakat lainnya untuk membuka usaha yang baru yang terkait dengan pariwisata tersebut 3) Masyarakat diusahakan tidak menjual tanah untuk pariwisata tetapi cukup dikontrakkan atau bentuk kerjasama lainnya. 4) Memberikan keuntungan kepada kas desa karena pariwisata tersebut diatas telah mampu memberikan kontribusi berupa iuran tetap setiap bulan yang dikelola dalam APB desa demi menunjang kelancaran tugas-tugas pemerintah desa. 5) Memperkenalkan wilayah Desa Tengkudak sebagai daerah pertanian organik kepada wisatawan domestik dan mancanegara.

Sisi lain dari telah dikembangkannya Desa Tengkudak menjadi objek wisata adalah masih terdapatnya kendala/hambatan yang dihadapi diantaranya : 1) Terbatasnya kemampuan masyarakat dalam mendukung keberlangsungan daripada pariwisata 2) Masih kurangnya pemilik modal yang menawarkan kerjasama untuk pengembangan pariwisata. Berdasarkan data perekonomian masyarakat di Desa Tengkudak telah banyak kemajuan, terbukti sumber pendapatan mengalami peningkatan dan jumlah kemiskinan mengalami penurunan, sesuai dengan table 4.9 berikut.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 33 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Tabel 2.6 Perekonomian Masyarakat

JUMLAH NO INDIKATOR SUB INDIKATOR TH. 1 TH.2 1 2 3 4 5 1. Jml penduduk usia Kerja 15-56 th 2057 orang 2109 orang 2. Jml penduduk usia Kerja 15-56 th yg tidak bekerja 0 orang 0 orang 1 Pengangguran 3. Penduduk wanita usia 15-56 th menjadi ibu rumah tangga 871 orang 897 orang 4. Penduduk usia > 15 th cacat sehingga tidak dapat bekerja 12 orang 10 orang Sumber Pendapatan 1. Pertanian 2. Kehutanan 6.000.000.000 7.500.000.000 3. Perkebunan 0 0 4. Peternakan 1.329.400.000 1.984.300.000 5. Perikanan 2.675.000.000 2.975.000.000 2 Pendapatan 6. Perdagangan 164.000.000 170.000.000 7. Jasa 124.300.000 140.000.000 8. Usaha penginapan/ 936.500.000 1.050.000.000 hotel 0 0 9. Pariwisata 1.720.000.000 1.730.000.000 10. Industri Rumah 151.200.000 176.400.000 Tangga

1. Pasar 0 0 2. Lembaga koperasi 2 2 Kelembagaan 3. BUMDes 0 0 3 Ekonomi 4. Toko/kios 28 28 5. Warung makan 1 1 6. Angkutan 0 0

1. Jumlah Rumah Tangga 871 RT 897 RT Tingkat 4 2. Jumlah Rumah Kemiskinan Tangga 98 RTM 87 RTM Miskin Sumber: Profil Desa Tengkudak Tahun 2013

34 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Sejarah Desa Pakraman Penganggahan Desa Pakraman Penganggahan dalam sejarahnya merupakan bagian dari Desa Tengkudak dalam satu wilayah. Perkembangan selanjutnya Desa Pakraman Penganggahan melakukan pemekaran pada tahun 1982, di mana pada waktu itu terjadi konflik sosial. Menurut Senayasa (5 September 2014) proses pemekaran Desa Pakraman Pengagahan dari Desa Pakraman Tengkudak, dimulai dari salah satu warga yang meninggal dari Banjar Dinas Den Uma yang seharusnya proses pengabenan dilakukan di Setra (kuburan) Desa Pakraman Tengkudak, namun pada waktu malam harinya keluarga dari Den Uma melakukan proses pengabenan (dikubur) di Setra Desa Pakraman Penganggahan. Hal ini menyebabkan keberatan dari warga masyarakat di Desa Pakraman Penganggahan, kemudian memicu aparat keamanan beserta Camat Penebel untuk mencarikan solusi atas permasalahan ini. Pada saat itu, para tokoh Desa Pakraman Penganggahan mengizinkan warga dari Den Uma di kubur di setra Desa Pakraman Penganggahan. Kemudian 22 orang tokoh Desa Pakraman Penganggahan memutuskan untuk berdiri sendiri atau pemekaran dari Desa Pakraman Tengkudak. Proses yang pertama ditempuh adalah mencari I.B Oka pada waktu itu sebagai Ketua PHDI Kab. Tabanan dan Pak Suandra sebagai Kanwil Agama di Tabanan, setelah mendapat izin tersebut. Para tokoh Desa Pakraman Penganggahan melanjutkan proses pemekaran terutamanya adminitrasi. Setelah dinyatakan sah untuk melaksanakan pemekaran desa Pakraman, masyarakat Desa Pakraman Penganggahan pada waktu itu hanya berjumlah kurang lebih 90 KK bergotong royong membangun desanya. Salah satu syarat yang disampaikan apabila membangun desa Pakraman baru, maka mesti memiliki Kahyangan Tiga meliputi Pura Puseh, Pura Desa/ Bale Agung dan Pura Dalem, Pura Mrajapati dilengkapi dengan Setra (kuburan). Hal inilah yang menjadi pemikiran bagi para tokoh adat di Desa Pakraman Pengganggahan, yang kemudian memutuskan Pura Pecatu yang berada di batas utara Desa Pakraman Pengganggahan dijadikan sebagai Pura Puseh, karena peranannya sama yaitu sebagai pemujaan kehadapan Dewa Wisnu, karena Pura Pecatu adalah pura untuk para Subak Abian. Perkembangan selanjutnya Pura Pecatu menjadi Pura Puseh Pecatu yang saat ini telah dilengkapi Palinggih Bale Agung dan Palinggih Pura Puseh.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 35 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Pembangunan berikutnya adalah keberadaan Pura Dalem di Desa Pakraman Penganggahan, oleh para tokoh adat diputuskan Pura Dalem Ambal-Ambal yang jauh telah ada sebelum pemekaran Desa Pakraman Penganggahan, dijadikan Pura Dalem Kahyangan Desa, sehingga disebut Pura Dalem Ambal-Ambal Kahyangan Desa Penganggahan. Dengan ditambahkan palinggih gedong disamping palinggih Gedong Dalem Ambal-Ambal. Hal ini diyakini oleh para krama adat memiliki satu tujuan dari keberadaan Pura Dalem yaitu pemujaan kehadapan Dewa Siwa dengan Sakti-Nya. Perkembangan berikutnya yang disampaikan oleh Wardana, sebagai Sekretaris Bendesa Adat Pakraman Penganggahan (wawancara, 3 Agustus 2014) membenarkan sejarah dari Desa Pakraman Penganggahan di atas dan kini jumlah masyarakat di Desa Pakraman Penganggahan (2014) kurang lebih 150 KK sesuai dengan data dari Banjar dinas Penganggahan. Data yang sama ini disebabkan dalam Desa Pakraman Panganggahan terdapat satu Banjar Adat dan satu Banjar dinas, dengan tiga Klian Adat yang terdiri dari Klian Adat Baler, Klian Adat Tegeh dan Klian Adat Lebah. Jadi data kependudukanya dapat disamakan. Hal ini memudahkan koordinasi para tokoh adat dan dinas dalam memberikan informasi dan pelayanan terhadap warga masyarakatnya. Desa Pakraman Penganggahan adalah batas utara Desa Tengkudak yang berbatasan langsung dengan Desa Wangaya Gede, sehingga sebagian besar tradisi yang dimiliki hampir sama dengan Desa Wangaya Gede terutama pitra atau proses upacara pengabenan, yaitu tidak melakukan pembakaran mayat, seperti upacara pengabenan pada umumnya. Menurut Budiasa, Kepala Lingkungan Banjar Dinas Penganggahan (wawancara, 5 Agustus 2014) membenarkan bahwa dalam lingkungan Penganggahan memang terdapat dua agama, yaitu Hindu dan Katolik. Keberadaan agama Katolik memiliki sejarahnya tersendiri, meskipun pada awalnya penganutnya beragama Hindu, kemudian konversi menjadi Katolik, seluruh adminitrasi tetap dilaksanakan dengan baik dan kehidupan sosial masyarakat juga berjalan dengan tertib dan damai. Hal ini juga dibenarkan Yasadharma, Bendesa Adat Penganggahan (wawancara, 13 Agustus 2014) bahwa masyarakat di Desa Penganggahan terdiri dari dua agama, namun yang masuk dalam desa adat adalah mereka yang beragama Hindu, meskipun yang menjadi Katolik dulunya beragama

36 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Hindu, tetap tidak disebut sebagai Krama Adat Penganggahan dan tidak mendapatkan hak dan melakukan kewajiban seperti masyarakat beragama Hindu, sehingga segala ssuatu yang berkaitan dengan adat secara otomatis tidak dapat dicampurkan dengan keberadaan umat Katolik.

Pura Dalem Kahyangan Agung Pura Dalem yang merupakan bagian dari kahyangan tiga pada masing-masing desa Pakraman juga harus dimiliki oleh masyarakat di Desa Pakraman Penganggahan, Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan. Pada perkembangan Desa Pakraman Penganggahan yang telah melaksanakan pemekaran pada tahun 1982 secara gotong royong para penglingsir dan tokoh adat berkumpul dan memikirkan Pura Dalem yang akan dipergunakan untuk pemujaan terhadap Dewa Siwa beserta Sakti-Nya yang telah menjadi amanat seluruh desa Pakraman di Bali. Oleh karena itu, Pura Dalem di Desa Penganggahan, terletak bersama dengan Pura Dalem Ambal-Ambal. Menurut mantan Bendesa Adat Senayasa (5 September 2014) mengatakan dalam upaya melengkapi dan juga sebagai tempat pemujaan dalam Desa Pakraman, maka para tokoh adat sepakat untuk menjadikan Pura Dalem Ambal-Ambal sebagai Pura Dalem Kahyangan Agung Desa Pakraman Penganggahan. Dengan dasar pertimbangan bahwa Pura Dalem Ambal-Ambal memang disungsung warga masyarakat Penganggahan sejak zaman dulu dari generasi ke generasi. Disamping itu juga pemujaan Pura Dalem adalah kepada Dewa Siwa beserta Sakti-Nya dan arsitektur Pura Dalem Ambal-Ambal hampir sama dengan Pura Dalem pada umumnya. Oleh karena itulah, disepakati bahwa Pura Dalem Ambal-Ambal dijadikan Pura Kahyangan Desa dengan ditambahkan Gedong Ida Bhattara Dalem di sebelah Gedong Ida Bhattara Dalem Ambal-Ambal. Sampai sekarang masyarakat di Desa Pakraman Penganggahan menyebutnya Pura Dalem Ambal-Ambal/ Pura Dalem Kahyangan Agung Desa Pakraman Penganggahan, bahkan tetap dicantumkan Pura Dalem Ambal-Ambal dalam plakat nama pura. Keberadaan Pura Dalem Ambal-Ambal sesuai dengan yang disampikan oleh mantan Bendesa Pakraman Penganggahan di atas. Secara fisik bangunan Dalem Ambal-ambal seperti pada Pura Dalem pada umumnya, yaitu Ida Bhattara distanakan dalam palinggih berbentuk gedong. Menurut Titib (2003: 108) Ida Bhattara yang berstana di Pura Dalem, pada

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 37 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. umumnya distanakan dalam bentuk gedong suci. bentuk palinggih gedong pada umumnya bujur sangkar atau persegi panjang. Bangunan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu dasar, badan dan puncak atau atap. Bagian pada dasar umumnya selalu dari batu bata atau padas yang kadang-kadang berisi ukiran, didukung oleh seekor empas dililit naga. Penggunaan relief atau ukiran ini terbatas umumnya pada gedong gede yang berfungsi utama pada sebuah pura. Pada bagian badan pada biasanya terbuat dari batu bata atau batu padas. Bagian atas atau atapnya terbuat dari konstruksi kayu, atapnya alang-alang, ijuk, seng, genteng bata atau lain sebagainya yang disesuaikan dengan bentuk dan fungsinya. Pura Dalem di Desa Pakraman Penganggahan terdapat dua gedong yaitu sebagai pemujaan Dalem Ambal-Ambal dan Pura Dalem Kahyangan Desa. Kata ambal-ambal dalam bahasa Indonesia berarti beramai-ramai atau meriah, sedangkan dalam bahasa Bali dikenal dengan istilah sorning ambal-ambal dan luhurning ambal-ambal, yang berarti tingkatan lapisan dunia dalam agama Hindu disebut sapta patala dan sapta loka. Dengan demikian pada intinya pemujaan yang dilakukan tetua Adat masyarakat penganggahan di Pura Dalem Ambal-Ambal adalah pemujaan terhadap Ida Bhattara Siwa yang berkedudukan ditengah-tengah, baik dalam pengider buana maupun dalam purana Siwa berada di tengah-tengah buana agung maupun bhuana alit, diantara sapta patala dan sapta loka, sehingga kehidupan ini menjadi lebih ramai dan hidup. Sedangkan Pura Dalem Kahyangan Desa sesuai dengan hasil paruman di Pura Samuan Tiga oleh Mpu Kuturan, telah disepakati bahwa yang berstana di Pura Dalem Kahyangan tiga adalah Dewa Siwa beserta Sakti- Nya, Dewi Durga dan Parwati yang berfungsi sebagai pelebur, sehingga keberadaan Pura Dalem Kahyangan Desa pada umumnya terletak di teben atau di perbatasan desa sebelah selatan atau barat yang berdekatan dengan setra atau kuburan. Arti kata teben berarti di bawah, sehingga Pura Dalem oleh Goris ( 2012: 39) disebut Pura dunia bawah, yang diacu sebagai pura bagi sang pitara, ketika manusia telah meninggal dilakukanlah upacara penyucian sang roh, agar roh yang telah suci dapat memasuki sorga sebagai pitaras. Begitu roh telah suci, maka mereka dipuja di Pura Puseh sebagai leluhur yang dimuliakan. Berdasarkan hal tersebut, maka pemilihan Pura Dalem Kahyangan Desa di Pura Dalem Ambal-Amabal sudah tepat sesuai dengan teks sastra dan telah disepakati oleh masyarakat Desa Pakraman

38 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Penganggahan, jadi tidak perlu membuat Pura Dalem Kahyangan Desa secara mandiri. Pura Dalem Kahyangan Desa, telah memiliki penanggungjawab untuk merawat pura dan juga sebagai pemimpin umat dalam melaksanakan persembahyangan, yang disebut Pemangku. Pemilihan Pemangku di Pura Dalem dilaksanakan dengan upacara nedunin, yang kemudian menjadi garis keturunan pada pemilihan Pemangku berikutnya. Pemangku inilah yang memimpin pelaksanaan upacara piodalan setiap enam bulan sekali, yaitu pada hari wraspati (kamis) umanis Ugu.

Pura Puseh Pecatu Keberadaan Pura Puseh di Desa Pakraman Penganggahan, memiliki sejarah yang sama dengan Pura Dalem Kahyangan Agung di Desa Pakraman Penganggahan. Kesamaan ini berkaitan dengan pemekaran Desa Pakraman Penganggahan dari Desa Pakraman Tengkudak. Sebagai salah satu syarat mendirikan desa Pakraman, mesti memiliki Kahyangan Tiga, yaitu Pura Desa/Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem. Berdasarkan hal tersebut para tokoh adat Penganggahan memiliki alternative untuk membangun Pura Puseh, yaitu menjadikan areal Pura Pecatu sebagai Pura Puseh Kahyangan Desa dan Pura Bale Agung Kahyangan Desa. Keberadaan Pura Pecatu sebenarnya telah ada sebelum pemekaran Desa Pakraman Penganggahan, sama halnya dengan Pura Dalem Ambal- Ambal. Menurut Pemangku Pura Puseh Pecatu, Jro Mangku I Wayan Ginder (Pan Wartini) mengatakan Pura Pecatu dipuja oleh masyarakat yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Oleh karena itu, pemujaan Pura Pecatu adalah terhadap Dewi Sri sebagai dewi kesuburan, sehingga Pura Pecatu juga disungsung oleh masyarakat petani yang tergabung dalam kelompok organisasi tradisional yang membidangi masalah pertanian dan pengairan yaitu subak. Ada dua jenis subak yaitu Subak Uma / sawah untuk lahan basah dan Subak Abian untuk lahan kering/tegalan. Pura Pecatu digolongkan sebagai pemujaan terhadap Dewi Sri dalam manifestasi-Nya sebagai penguasa Subak Abian (wawancara, 9 September 2014). Perkembangan berikutnya menurut Senayasa (wawancara, 5 September 2014) mengatakan dengan adanya pemekaran Desa Pakraman Penganggahan dari Desa Pakraman Tengkudak, pada tahun 1982 eksistensi Pura Pecatu disepakati sebagai Pura Puseh dan Bale Agung, sehingga

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 39 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. terjadi renovasi dan pengembangan areal pura, beberapa tanah warga pun di beli oleh masyarakat Desa Pakraman Penganggahan, sehingga Pura Puseh Pecatu sampai saat ini memiliki luas tanah 7 Are. Pembangunan dilakukan dengan gotong royong dan beryajna sesuai kemampuan masing-masing keluarga. “Pembangunan Pura Puseh Pecatu begitu terasa sekali semangat para masyarakat, karena pada waktu itu masyarakat antusias membangun desanya yang baru, sehingga mereka bahu membahu membangun tempat suci, salah satunya Pura Puseh Pecatu. Pada saat itu, mereka yang memiliki kayu menghaturkan kayu, bagi mereka yang biasa sebagai tukang bangunan, langsung mengerjakan pura tersebut dan yang lainya memberikan bantuan berupa tenaga, moril maupun materiil. Jadi diharapkan generasi penerus, tinggal melanjutkan warisan leluhur masyarakatnya”

Penggunaan Pura Pecatu sebagai Pura Puseh Desa dan Pura Bale Agung sudah tepat, hal ini sesuai dengan fungsi dan tujuan dari Pura tersebut. Pada kepercayaan umat Hindu konsep dari Kahyangan Tiga adalah sebagai pemujaan terhadap Sang Hyang Tiga Sakti atau Tri . Pura Bale Agung/Pura Desa sebagai pemujaan terhadap Dewa Brahma yang memiliki sifat sebagai Pencipta; Pura Puseh sebagai tempat pemujaan terhadap Dewa Wisnu yang memiliki sifat sebagai pemelihara; Pura Dalem sebagai tempat suci pemujaan terhadap Dewa Siwa yang bersifat melebur. Pura Pecatu sebagai tempat pemujaan kepada Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan, sudah sesuai berdampingan dengan Pura Puseh, karena Dewi Sri adalah Sakti dari Dewa Wisnu. Dewi Kesuburan harus berdampingan dengan Dewa Pemelihara, sehingga tercipta kesejahteraan hidup masyarakat, khususnya di Desa Pakraman Penganggahan. Kata Pecatu berarti sawah. Kata Pecatu pada konsep Pura Pecatu adalah tempat suci stana dari kemahakuasaan Tuhan yang memberikan kesejahteraan pada masyarakat berupa hasil sawah. Begitu juga dengan fungsi dari Pura Puseh adalah memberikan kesejahteraan dan kemakmuran berupa kesuburan terhadap lahan pertanian masyarakat, karena masyoritas penduduk Penganggahan sebagai petani, sehingga sebagai bentuk bhakti masyarakat kepada Tuhan-Nya, setiap 15 tahun sekali dilaksanakan Upacara Ngusabha Nini. Pura Bale agung sebagai dewa pencipta yang distanakan di areal Pura Pecatu, sudah pula tepat karena letak dari Pura Pecatu berada di

40 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. perbatasan paling utara Desa Pakraman Penganggahan. Konsep budaya Bali mengenal istilah hulu dan teben atau luan-teben yang merupakan simbol keharmonisan alam semesta, khususnya palemahan di Desa Panganggahan, Tengkudak, Tabanan. Konsep hulu dan teben berarti kaja dan kelod dalam pengertian ini berarti gunung dan laut atau arah pada terbit dan tenggelamnya matahari yaitu timur dan barat, serta tinggi dan rendah atau tegeh dan lebah. Dengan demikian huluning Desa Pakraman Pangganggahan berada di kaja (gunung) di arah Gunung Batu Karu dalam peta berada di batas utara desa. Oleh karena itu, sangatlah tepat stana Dewa Brahma berada sebagai pencipta yang selalu memberikan sinar sucinya dari gunung sampai ke laut. Sedangkan konsep teben pada Desa Pengangahan adalah stana dari Dewa Siwa yaitu Pura Dalem Ambal-Ambal/Kahyangan Dalem. Setiap Pura Kahyangan tiga pastilah memiliki Pemangku, atau orang yang telah diupacarai dengan pawintenan Pemangku yang bertanggung jawab merawat pura secara sekala maupun niskala. Begitu pula, Pemangku di Pura Puseh Pecatu. Pada sejarahnya Pemangku di Pura Pecatu hanya ada satu orang dan menjadi garis keturunan bagi generasinya. Perkembangan saat ini dengan adanya palinggih Bale Agung dan Pura Puseh di Pura Pecatu, maka masyarakat melakukan upacara nedunin atau nyanjan, yaitu prosesi menurunkan para dewa dengan mediasi orang yang memiliki kelebihan secara spiritual yang disebut dasaran. Melalui mediasi dasaran inilah yang kemudian trance dan menunjuk mereka menjadi Pemangku di Pura Puseh dan Pura Bale Agung. Demikianlah sejarahnya, sampai sekarang Pura Puseh Pecatu memiliki Pemangku 3 orang, yaitu Pemangku di Pura Pecatu, Puseh dan Bale Agung yang kemudian bertanggung jawab memimpin pelaksanaan upacara piodalan setiap enam bulan sekali.

Setra Pakraman Penganggahan Setiap desa Pakraman, pastilah memiliki setra atau kuburan, sebagai tempat penguburan mayat atau pelaksanaan upacara pengabenan bagi umat Hindu di Bali. Setra adalah tempat yang disakralkan oleh umat Hindu di Bali, dengan dilaksanakanya upacara pada umumnya bersamaan dengan upacara piodalan di Pura Dalem. Tidak sembarang orang yang meninggal dapat dikubur di setra milik desa Pakraman, karena ada aturan tertentu yang telah mengikatnya. Aturan ini telah termuat dalam peraturan desa

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 41 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Pakraman, bahwa setra adalah hak yang diperoleh masyarakat beragama Hindu atas kewajibanya dalam kehidupan sosial masyarakat. Begitu pentingnya setra di Bali, maka banyak kasus yang terjadi, seperti perebutan setra, konflik maupun sengketa. Bahkan pelarangan mayat dikubur maupun diaben sering terjadi di Bali, karena banyak kepentingan dalam bersosialisasi di masyarakat, sehingga muncul pendapat dari masyarakat, hidup susah, ketika meninggal pun juga susah, meskipun demikian keberadaan setra di Bali sangat penting, sebagai salah satu tempat untuk melepaskan unsur panca mahabutha ketika umat Hindu telah meninggal, sehingga di tempat inilah para roh telah dibebaskan dari badan fisiknya, melalui upacara pitra yajna, sawa wadana. Begitu pula keberadaan setra di Desa Pakraman Penganggahan yang telah ada sejak dulu, pernah pula berkonflik dan konflik setra ini kemudian menjadi sejarah terpenting yang memicu terjadinya pemekaran desa, yaitu dari Desa Pakraman Tengkudak menjadi Desa Pakraman Penganggahan. Selain itu pula keberadaan Desa Pakraman Penganggahan yang memiliki penduduk dengan dua agama yang berbeda yaitu Hindu dan Katolik, telah pula terjadi konflik setra. Hal inilah yang menjadi suatu kajian dalam penelitian rekonversi agama, sehingga menjadi penyebab rekonversi agama di Desa Pakraman Penganggahan. Berdasarkan strukturnya, keberadaan setra pada umumnya berdekatan dengan Pura Dalem, hal ini sesuai dengan konsep Siwa-Durga. Dewa Siwa berstana di Pura Dalem dan di huluning setra dibangun berupa palinggih yang disebut Pura Prajapati sebagai stana Dewi Durga yang dalam konsep Kahyangan Tiga berbentuk Padma dan sebuah bentuk Bebaturan Linggih Sedahan Setra. Pada saat umat Hindu meninggal, maka kedua Pura inilah yang tidak kena kasebelan atau cuntaka, sebab Pura inilah yang memberikan pembebasan rohani agar roh manusia yang meninggal tidak mengganggu palemahan desa Pakraman dengan bergentayangan yang disebut atma diyadiyu, hal ini termuat dalam teks lontar Yama Purana Tattwa. Menurut Ginder (wawancara, 13 September 2014) mengatakan luas setra Desa Penganggahan yaitu 9 Are. Berada di teben (kelod/ selatan) desa Pakraman penganggahan dan berlokasi di pinggir jalan utama, sebelah barat, Denpasar-Pura Batukaru. Keunikan dari upacara pitra yajna yang dilaksanakan di setra, berbeda dengan upacara yang sama di desa lainya, karena seluruh upacara di pimpin oleh Pemangku Pura Dalem dan Balian

42 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Desa. Tidak ada sulinggih yang menyelesaikan prosesi penyucian sang roh, sehingga pelaksanaan di setra dilakukan lebih cepat, namun tetap tidak mengurangi makna dari prosesi pitra yajna yang dilaksanakan. “pelaksanaan upacara pitra yajna di setra Desa Pakraman Penganggahan hanya dilaksanakan oleh Pemangku di Pura Dalem dan Balian Desa. Kemudian pelaksanakan dilaksanakan dengan cepat, sehingga parisentana yang ditinggalkan tidak memiliki hutang kepada leluhurnya yang telah menjadi preta kemudian disuciakn menjadi pitara. Keunikan lainya adalah khusus di Desa Pakraman Penganggahan, upacara pengabenan tidak dilaksanakan dengan dibakar, melainkan di kubur, hanya simbol yang digunakan pada saat upacara pengabenan”.

Hal yang sama juga dikatakan Senayasa (Wawancara, 5 September 2014) bahwa setiap warga masyarakat yang beragama Hindu di Desa Penganggahan berhak mendapatkan setra, tetapi mesti melaksanakan kewajiban yaitu ikut melaksanakan berbagai upacara yang dilasksanakan di desa penganggahan dan aktif dalam berbagai kegiatan sosial atau suka duka di desa pangganggahan. Keberadaan balian desa bukanlah balian pada umumnya, yaitu sebagai dukun yang mengobati penyakit, namun balian desa di desa penganggahan adalah memiliki tugas menyucikan roh dalam pelaksanakaan upacara pitra yajna di setra sampai mengantarkan roh ke sanggah kemulan. Ketika berada di sanggah kemulan, maka prosesi upacara pitra yajna telah selesai. Jadi tidak ada meajar-ajar dan prosesi runtutan lainya.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 43 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

3

Sejarah Masuknya Agama Katolik di Desa Tengkudak

asuknya agama Katolik di Desa Tengkudak, khususnya di MDesa Pakraman Penganggahan dibawa oleh seorang warga Banjar Dinas Penganggahan yang bernama I Wayan Witra. Menurut Barnabas I Made Budiastra, S.A.g., (wawancara, 5 Febuari 2015) salah satu umat Hindu yang konversi agama ke Katolik di Penganggahan, Tengkudak bahwa pada awalnya Wayan Witra beragama Hindu karena dirinya dan keluarga sakit yang susah disembuhkan yang diyakini sebagai penyakit dari ilmu leak (black magic), menyebabkan dirinya begitu menderita dan tidak tahan terhadap penyakit yang mengganggu keluarganya, sehingga Witra mencari kesembuhan sampai ke Jembrana, Negara, karena Wayan Witra juga menjadi seorang disana. Melalui proses pencarian dan mendalami agama beberapa orang menemukan ajaran agama Katolik yang diperoleh di Desa Pilling, Penebel, Tabanan. Keberadaan Katolik di Desa Pilling, tidak lepas dari seorang tokoh Pastor bernama Pastor Seeberger, SVD yang berasal dari Jerman.

44 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Disanalah Wayan Witra mendapatkan kesembuhan dari penyakitnya dan kemudian memutuskan untuk melakukan konversi agama ke agama Katolik. Selanjutnya Wayan Witra kembali ke kampung asalnya yaitu di Desa Penganggahan, dengan membawa keyakinannya Katolik, sehingga terlepas dari segala aturan dan awig-awig dari desa Pakraman. Wirta tidak berani menerangkan kepada masyarakat terkait dirinya melakukan konversi agama ke agama Kristen. Karena takut dibully oleh masyarakat di desanya, namun berlahan-lahan beberapa warga di Desa Penganggahan satu persatu konversi ke agama Katolik. Menurut Suderi (wawancara, 11 Agustus 2014) mengatakan sekitar tahun 1968 memang terjadi konversi agama dari Hindu ke Katolik, situasi pada waktu itu jelas berbeda dengan saat ini. Kehidupan masyarakat yang tidak stabil, dari ekonomi, kesehatan, sosial, politik dan lain sebagainya. Inilah yang menyebabkan banyak KK di desa Penganggahan konversi agama dari Hindu menjadi Katolik. Hal yang paling mendasari pada waktu itu adalah sakit yang disebabkan oleh magic, kemudian mendapat mujizat kesembuhan dari Juru Selamat Yesus dan pelayanan Tuhan, sehingga berjanji akan pindah agama menjadi Katolik, apalagi Agama Katolik masuk di Banjar Dinas Penganggahan, sehingga memudahkan masyarakat memperdalam ajaran agama baru yang selama ini diajarkan di Desa Pilling, Penebel, Tabanan dan langsung memberikan solusi atas masalah yang dihadapi, saat itu. “Situasi pada waktu itu memang tidak seperti sekarang, disamping karena paceklik juga karena sakit yang banyak menimpa kehidupan masyarakat. Penyakit yang aneh, sehingga banyak balian yang dicari waktu itu untuk menyembuhkan penyakit karena kemungkinan disebabkan karena ilmu leak yang dipelajari orang pada waktu itu. Beruntunglah penyakit yang aneh dapat disembuhkan dengan adanya pastor Siberger yang kemudian membuat masyarakat menjadi lebih percaya dengan ajaran Yesus sebagai juru selamat dan ini terbukti mampu menyebuhkan berbagai penyakit waktu itu, sehingga jangan disalahkan orang waktu itu konversi agama ke Katolik (Suderi, 11 Agustus 2014).

Dengan masuknya Pastor ke Banjar Dinas Penganggahan secara tidak langsung dapat dikatakan mencari pengikut dengan menginformasikan kepada keluarga terdekat bahwa ada kepercayaan yang baru masuk ke desa yang mampu menangkal ilmu leak atau sakit secara nonmedis serta

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 45 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. mendapatkan bantuan sembako kepada masyarakat yang ikut bergabung di dalam persatuan tersebut. Hal ini juga disampaikan Ginder (wawancara, 13 September 2014) yang mengatakan pada saat pengkristenan di Desa Penganggahan dirinya menjadi Klian dusun dari tahun 1982, dirinya juga sempat diajak bergabung menjadi Katolik, namun langsung ditolaknya dengan mengatakan “nak mula mekejang ngorang meagama luwung, aluh meagama, kewala I raga sing tawang apa saja keto. Pokokne, mendan je ada agama ne ngidang ngubah padi di duur jineng dadi nasi, agama to kal barengin. Yen jani kanggoang malu meagama hindu, nak agama ne suba uli pidan jalanin”.

Terjemahan: “semua orang mengatakan beragama yang bagus, tapi kita tidak tahu kebenaran dari agama yang baru itu. Pokoknya, kapan ada agama yang langsung bisa merubah padi jadi nasi di atas jineng, maka agama itulah yang saya pilih. Kalau sekarang, ya biarkan saya beragama Hindu, karena dari dulu Agama Hindu sudah dijalani oleh masyarakat di sini”.

Ginder juga mengakui bahwa kondisi masyarakat saat itu sedang mengalami gagal panen atau paceklik, sehingga kedatangan Katolik bersama Pastor Seeberger, SVD dari Jerman memberikan bantuan berupa gandum dan kebutuhan pokok lainya. Inilah bentuk pelayanan yang diberikan, disamping itu ada beberapa masyarakat yang telah diberikan lahan untuk tempat tinggal dan ada juga yang disekolahkan di desa maupun di kota. Tidak ada paksaan untuk harus beragama Katolik, itu semua adalah pilihan hidup dari masing-masing pribadi seseorang, karena kepercayaan beragama ditentukan oleh diri mereka sendiri. Melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi di Desa Penganggahan, maka agama Katolik yang masuk ke Banjar Dinas Penganggahan mulai secara terbuka menyebarkan ajaran Yesus sebagai sebuah misi keumatan dari Katolik. Hampir 40 KK warga Banjar Dinas Penganggahan konversi ke agama Katolik, sehingga Pastor Seeberger, SVD bersama umat Katolik dari Ubud berencana untuk membuat Gereja diseputaran Desa Pakraman Penganggahan, dengan mengadopsi kebudayaan dan arsitektur Bali, sehingga tercipta Gereja dengan ciri khas Bali.

46 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Menurut Bendesa Adat pada waktu itu adalah Senayasa (wawancara, 5 September 2014) membenarkan adanya konversi agama ke Katolik berdasarkan informasi dari masyarakat. Informasi itu tentunya tidak ditanggapi dengan emosi, namun Senayasa mencari informasi secara rinci terkait kepercayaan baru yang masuk ke Desa Pakraman Penganggahan. Kepercayaan yang masuk mengadopsi ajaraan agama Hindu dengan menyebut palinggih atau sanggaha, tetapi palinggihnya berada di dalam ruangan. Bendesa Adat melakukan sidak terhadap rumah tersebut, di lihat beberapa warga masyarakat berkumpul dan mendapat penjelasan mengenai agama Katolik dengan menyebutkan bahwa penyembahan dilakukan kepada Sang Hyang Yesus. Istilah Sang Hyang Yesus ataupun Sang Hyang Widhi Wasa adalah sama, Hal ini dikatakan Budiastra (wawancara, 5 Februari 2015) bahwa istilah Sang Hyang Yesus diberikan oleh Pator Shadeg, SVD yang berada di Desa Tuka, Badung sebagai bentuk penghormatan terhadap Tuhan Yesus “Istilah Ida Sang Hyang Yesus diberikan oleh Pastor Shadeg, SVD yang menguasai banyak bahasa, termasuk juga bahasa Bali. Jadi penggunaan istilah itu adalah bentuk penghormatan pada Tuhan Yesus. Bahkan Injil Bahasa Bali pun kami memiliki, sehingga ketika ada kebaktian setiap hari minggu menggunakan Injil yang berbeda-beda bahasa. Artinya jika minggu ini menggunakan Injil berbahasa Bali, minggu berikutnya berbahasa Indonesia, sehingga lebih mampu memperdalam ajaran Katolik. Penguasaan bahasa dan perkenalan budaya sangat dipahami oleh Pator Shadeg, SVD yang tinggal di Tuka, Badung sebagai pusat Katolik terbesar di Bali, dari Tuka inilah kemudian menyebar ke Tangeb, Pilling, Penganggahan, Buruan dan seterusnya”.

Ditambahkan oleh Senayasa (wawancara, 5 September 2014) bahwa keberadaan Katolik di Desa Penganggahan, menyebabkan warganya tidak mendapatkan hak dan kewajiban yang telah ditentukan sesuai aturan di dalam desa pakraman, seperti hak mendapat kuburan dan hak memperoleh laba pura. Diakuinya juga permasalahan kecil pasti timbul dari adanya kepercayaan baru yang masuk ke dalam desa pakraman. Hal ini, tentunya tidak sampai memicu permasalahan yang besar, disamping kebebasan beragama telah diakui dan diamanatkan dalam undang-undang, sehingga Senayasa yang sebagai Bendesa Adat apada waktu itu, memberikan

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 47 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. kebebasan yang sama bagi masyarakatnya untuk mendapatkan kenyamanan dalam memilih agamanya. Terbukti, sampai saat ini kehidupan sosial masyarakat di Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak berlangsung dengan aman dan damai, tidak sampai kearah fisik, karena umat yang telah konversi agama ke Katolik adalah bagian dari keluarga yang berasal dari garis keturunan yang sama.

Kuburan Kristen Di dalam palemahan atau lingkungan di Desa Pakraman Penganggahan tidak saja ada kuburan untuk umat Hindu melainkan juga ada kuburan untuk umat Kristen. Tempat kuburan umat Kristen berada di sebelah selatan, kurang lebih 200 meter dari setra Desa Pakraman Penganggahan. Keberadaan kuburan Kristen, tentu memiliki sejarah sama halnya dengan sejarah setra bagi umat Hindu di Desa Pakraman Penganggahan. Menurut Senayasa (wawancara, 5 September 2014) mengatakan pada waktu masuknya konversi agama Hindu ke Katolik, pada awalnya berlangsung dengan damai, namun ketika ada umat katolik yang meninggal, kemudian dikubur di Setra Desa Pakraman Penganggahan. Padahal secara aturan mereka yang berhak menggunakan Setra Desa Pakraman Penganggahan adalah mereka yang ikut menjadi krama adat, yang berkewajiban melaksanakan upacara Agama Hindu dan bertanggung jawab dengan pelaksanaan yajna di masing-masing kahyangan desa, serta ikut dalam pelaksanaan kegiatan suka duka dalam kehidupan sosial terutama pelaksanaan panca yajna. Ketika seseorang telah berkonversi agama, secara otomatis mereka tidak sebagai Agama Hindu dan tidak mau ikut dalam kegiatan panca yajna. Oleh karena itu, hak mereka untuk mendapat kuburan atau setra jelas tidak diperoleh. Jika hal tersebut diperbolehkan, maka yang berat adalah penganut umat Hindu, karena kewajiban dan hak tidak sesuai. Ginder (wawancara, 13 September 2014) juga mengatakan bahwa ketika masuknya Kristen Katolik di Pengagahan banyak masyarakat yang beralih agama, kemudian tidak mengikuti kewajiban sebagai anggota krama adat. Namun ada permintaan dari pengurus dewan Gereja untuk membagi Setra Desa Pakraman Penganggahan menjadi dua, yaitu bagian utara adalah kuburan untuk Kristen dan bagian selatan adalah bagian untuk Hindu. jelas saja permintaan tersebut ditolak oleh krama adat, karena

48 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. dianggap tidak adil, tapi sebelumnya telah ada beberapa warga Kristen yang dikubur di Setra Pakraman Penganggahan, namun tidak melakukan upacara ke Pura Dalem, Prajapati dan Huluning Setra tempat berstananya Dewi Durga, sehingga dianggap tidak menjaga kesucian dari setra. Krama Adat Penganggahan, sangat takut terkena wabah penyakit maupun kutukan dari alam semesta, karena melakukan penguburan tidak sesuai dengan tata krama sebagai Umat Hindu yang dengan menghaturkan banten sebagai sarana upacara, serta tidak nunas tirta yang merupakan sarana penyucian sang roh dengan badan fisiknya. Selain itu adanya perbedaan yang sangat mencolok pada proses penguburan serta bentuk kuburan, karena kuburan Kristen berisi salib dalam makamnya. Ditambahkan oleh Ginder, bahwa pada saat terjadi gejolak terhadap setra di Penganggahan, hampir terjadi provokasi. Karena salah satu makam kuburan yang berada di setra tanda salibnya di potong, sehingga membuat kedua agama bersitegang. Pihak Katolik menuduh yang melakukan adalah umat Hindu, namun kebenaran akhirnya membuktikan, justru umat Katolik lah yang melakukan itu untuk menciptakan suasana yang tidak kondusif sehingga setra menjadi tanah berstatus quo. Dengan tanah berstatus quo, maka umat Katolik dapat menggunakan Setra Desa Pakraman Penganggahan sebagai setra bersama (wawancara, 13 September 2014). Inilah salah satu sanksi sosial akibat tidak mengikuti aturan yang telah dibuat oleh leluhur umat Hindu di Bali untuk membentengi keturunanya agar tidak melupakan leluhurnya. Kemudian setelah lama terjadi tarik ulur setra, maka diputuskan agar umat Katolik dapat memahami situasi di desa pakraman. Dengan pemahaman yang dimengerti, akhirnya para pengurus dan dewan Gereja, mencari alternative, yaitu membeli tanah, kemudian dijadikan kuburan untuk umat Katolik di Desa Penganggahan. Hal ini dibenarkan oleh Senayasa (wawancara, 5 September 2014) ketika terjadi konflik perusakan salib di setra, maka umat Katolik pun mengerti akan statusnya, bahwa mereka bukanlah krama adat pengarep lagi, melainkan sebagai krama tamiu yang berada di Desa Penganggahan, sehingga tidak dapat dipaksanakan bahwa setra dibagi menjadi dua. Beberapa pengurus dewan Gereja beserta beberapa tokoh adat Penganggahan, berdiskusi dengan menghasilkan beberapa keputusan, yaitu umat Katolik dipersilakan memiliki kuburan di lingkungan Desa Pakraman Penganggahan, dengan catatan berada di luar setra Adat penganggahan.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 49 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Berdasarkan keputusan itu, maka umat Katolik yang bernama Pan Cetig memberikan tanahnya untuk ditukarkan atau jual beli, sehingga umat Katolik akhirnya memiliki kuburan sampai sekarang di Lingkungan Penganggahan. “Setelah terjadi konflik kecil, maka para pengurus dewan Gereja memutuskan untuk membeli atau menukar tanah salah satu umat Hindu yang konversi menjadi Katolik, bernama Pan Cetig. Letak tanahnya berada diselatan desa penganggahan. Perkembangan selanjutnya Pan Cetig memutuskan kembali menjadi Hindu, dengan alasan tertentu” (wawancara: Senayasa, 5 September 2014)

Hal ini juga disampikan Budiastra (wawancara, 5 Februari 2015) bahwa memang benar pernah terjadi konflik, tetapi hanya salah faham saja. Proses dari demokrasi beragama. Waktu itu konfliknya adalah masalah kuburan, tapi sudah diantisipasi sampai akhirnya umat Katolik memiliki kuburan sendiri, yaitu 100 meter dari setra Penganggahan. Tanah Kuburan Katolik luasnya 7 Are, milik dari salah satu umat Katolik bernama Pan Cetig, tapi sekarang telah kembali menjadi Hindu. Inilah hikmahnya, sehingga untuk masa depan dan anak cucu nantinya tidak terjadi konflik yang lebih besar, karena semua telah memiliki tempat dan tanggungjawab masing-masing. Setelah kejadian tersebut, kehidupan beragama di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan kembali damai dan rukun sampai saat ini. Menurut Pan Cetig (wawancara, 9 September 2014) mengatakan memang benar tanah yang dipakai untuk kuburan Kristen saat ini adalah tanah milik leluhurnya, kemudian ditukar polos oleh pengurus Gereja dengan tanah sawah di Manis Banyu. Karena pada waktu itu, pihak Gereja memutuskan untuk memakai tanahnya sebagai kuburan, karena lokasinya sangat tepat. Oleh karena itu tanahnya seluas 7 Are diiklaskan untuk ditukar meskipun tanpa tambahan biaya apapun. “Tanah saya seluas 7 Are berada di pinggir jalan utama memang ditukarkan oleh pihak pengurus Gereja kemudian digantikan dengan sawah di banyu sari tempatnya jauh di dalam. Pada waktu itu saya dan keluarga konversi agama ke katolik dan mengira akan berkepentingan untuk anak dan keturunan saya kemudian. Oleh karena itu saya memberikan dengan iklas meskipun harganya sangat jauh berbeda dari harga tanah kuburan saat ini. Ternyata nasib berkata lain, saya hanya menjadi umat Katolik hanya 1 tahun dan kembali menjadi Hindu. Tanah saya itulah nantinya menjadi saksi tentang keberadaan

50 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

kuburan Katolik di Desa Pakraman Penganggahan. Saya berharap Tuhan dapat memberikan perlindungan bagi saya dan keluarga” (wawancara, Cetig: 15 September 2014).

Gambar 3.1 Kuburan Katolik Di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan (Dokumentasi: Pradnya, 2014)

Gambar 3.1 di atas adalah kuburan Katolik yang memiliki nilai historis dalam proses pendirian dan diakui di Desa Pakraman Penganggahan, seperti yang disampaikan oleh Suderi (wawancara, 11 Agustus 2014) sebagai pengurus Gereja, dulu berjuang untuk bersama-sama mendapatkan setra Desa Pakraman Penganggahan agar di bagi menjadi dua. Alasannya ketika meninggal umat Katolik, tidak mungkin dikremasi secara Hindu, tentu berdasarkan cara dari ajaran Katolik, agar Yesus sebagai juru selamat dapat memikul dosa-dosa dari yang telah meninggal, sehingga mereka dapat masuk sorga. Untuk kebebasan inilah maka diperlukan kuburan, dengan lambang salib sebagai tanda Katoliknya dan memang benar ada konflik waktu dulu, tapi inilah kami anggap sebagai proses untuk pelayanan, sebagaimana Tuhan dalam Katolik melayani umatnya.

Orang-orang Katolik Membangun Gereja Misionaris umat Katolik dan beberapa umat di Banjar Dinas Penganggahan bermaksud untuk mendirikan tempat suci/sembahyang berupa Gereja di kawasan Banjar Dinas Penganggahan. Pendanaan bangunan Gereja tidak bersumber dari iuran umat Katolik desa setempat melainkan bersumber dari luar Banjar Dinas Penganggahan, sedangkan

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 51 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. pembangunan Gereja mengadopsi arsitektur asli Bali dengan mengisi bangunan kori agung dan motif ukiran Bali. Dengan demikian bangunan Gereja di Banjar Dinas Penganggahan sangat besar yang kental dengan bangunan Bali. Gereja tersebut dapat dilihat pada gambar 3.2 berikut.

Gambar 3.2 Gereja di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan Berarsitektur Bali (Dokumentasi: Pradnya, 2014)

Setelah berdirinya Gereja di Banjar Dinas Penganggahan aktifitas umat Katolik tentunya semakin meningkat dengan melaksanakan persembahyangan rutin setiap minggu. Pada perkembanganya sekarang Gereja di Desa Tengkudak ini, hanya dijadikan tempat doa oleh beberapa KK dari Desa Pakraman Penganggahan, Penebel, Tabanan. Hal ini terjadi karena beberapa umatnya telah kembali menjadi Hindu atau rekonversi agama. Menurut Budiastra (wawancara, 5 Februari 2015) bahwa sarana upacara yang dihaturkan ke Gereja adalah berupa anggur, air putih, hosty (roti upacara), bunga dan lain sebagainya. Setelah doa setiap hari minggu, umat Katolik menghaturkan punia disebut Kolekte dipergunakan memelihara kebersihan dan kegiatan di Gereja. Kegiatan keagaamaan di Gereja berdasarkan Kalender Liturgi. Pakaian yang dipakai saat ke Gereja adalah pakaian nasional, kemudian hari tertentu memakai pakaian adat Bali. Persiapan Natal di Gereja Penganggahan, memasang penjor dan ngelawar (Tanggal 23 Desember) seperti umat Hindu. Pada tanggal 25 Desember dilaksanakan Natal bersama umat di Buruan dan Pilling. Perkawinan umat

52 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Katolik dilakukan di Gereja, apabila berbeda agama dilakukan Baptis Sakramen. Umat Katolik yang meninggal, dapat di bawa ke Gereja atau di rumah duka, sebelum dikubur mayat dipakaikan jubah, diperciki air suci dan pendupaan. Bedanya dengan Hindu, umat Katolik tidak terkena cuntaka atau sebel dan tidak mengenal dewasa (perhitungan hari baik), karena dalam Katolik, kelahiran seseorang adalah hari baik dan saat kematian juga hari baik, jadi segera di kubur makin lebih baik.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 53 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

4

Dari Katolik Kembali ke Hindu

eskripsi logis menjadi sangat penting diketengahkan dalam Dalur analisis berkenaan dengan penyebab rekonversi karena mendeskripsikan kebertahanan tradisi dalam desa Pakraman identik dengan fenomena kausalitas yang tetap eksis dalam perilaku sosial masyarakat. Sebagaimana teori sosial yang dijelaskan Raho (2007: 176-177), bahwa kausalitas terbatas pada tingkah laku yang mendatangkan imbalan, yakni tingkah laku yang akan berhenti. Apabila satu kelompok di dalam asosiasi tersebut membutuhkan sesuatu dari kelompok lain, tetapi tidak mungkin mengembalikannya dalam imbalan yang seimbang. Adapun pada sisi lain, Weber (dalam Raho, 2013: 132) mengemukakan bahwa kepentingan yang mendorong seseorang bertindak. Adanya kepentingan tidak harus selalu ekonomi, melainkan kepentingan lainnya, seperti kepentingan-kepentingan agama. Lebih jauh Weber menganggap bahwa agama mengandung ide-ide dan interpretasi-inteprestasi yang mendorong terjadinya sebuah tindakan sosial. Bertolak atas deskripsi tersebut, ide-ide dan kepentingan agama dalam kehidupan masyarakat Bali seluruhnya diatur dalam organisasi

54 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. adat terkecil disebut desa Pakraman. Kehidupan masyarakat Bali selalu berpedoman dan diatur dalam sebuah sistem yang terdapat dalam komunitas tradisional. Demikian pula adanya emik religi dengan menempatkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai ontologi pemujaan selalu diatur dalam komunitas tersebut. Dengan kata lain, desa Pakraman memiliki legitimasi dan otoritatif terhadap kehidupan beragama masyarakat Hindu Bali. Hal tersebut dijelaskan Korn (dalam Goris, 2012: 2) sebagai berikut. Apa yang biasa menjadi kekuatan untuk mendorong orang Bali ke dalam kelompok-kelompok tradisional (pakaraman) yang disatukan secara kokoh, yang berkumpul pada saat tertentu dalam setahun untuk berkonsultasi dengan cara yang nampaknya asing di wilayah Indonesia lainnya, dan memainkan bagian yang demikian penting, di dalam kehidupan publik dan dari rumah para penduduk. Kekuatan tersebut adalah pelayanan terhadap para dewa-dewa, yang secara ajeg meminta perhatian dan pengabdian dari penduduk.

Merujuk uraian tersebut, jelas disebutkan bahwasanya kebertahanan masyarakat Bali terhadap komunitas tradisional tidak terlepas dari kekuatan masyarakat Bali untuk melakukan pengbdian terhadap para para dewa yang setiap saat diberikan persembahan berupa yajña sebagai korban tulus iklas. Dengan demikian, bentuk kepercayaan masyarakat Bali terhadap Tuhan dilakukan dengan melaksanakan yajña dan segala hal yang berkaitan dengan hal tersebut diatur dalam desa Pakraman sebagai komunitas tradisional. Dengan demikian, yajña merupakan titik pusat bahwa segala bentuk tradisi terlahir. Mengacu pada Wiana (2008: 98) bahwa beragama dalam bentuk yajña sebagai cikal bakal lahirnya tradisi. Tradisi tanpa agama akan menjadi risi, demikian juga sebaliknya. Dilihat dari keberadaaan desa Pakraman di Bali secara genealogis historikal berawal dari dharma Rsi Markandeya ke Bali yang dipercaya sebagai awal didirikannya desa Adat di Bali. Maharsi Markandeya merupakan orang suci Hindu, dan banyak disebutkan dalam literatur pustaka suci Veda. Selain desa Pakraman, Maharsi Markandeya membuat konsep berkenaan dengan sistem pengairan sawah di Bali, yaitu subak. Dengan demikian, desa adat merupakan refleksi kesejarahan, seperti uraian Parimartha (2013: 22), bahwasanya desa adat memiliki pemerintahan sendiri, memiliki aturan tata krama sendiri dan berlaku bagi warga masyarakatnya, terutama dalam menegakkan adat. Aturan dibuat secara tertulis maupun tak

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 55 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. tertulis dinamakan dresta, sima, awig-awig, loka cara, catur dresta dan sebagainya. Hal yang sama juga dijelaskan Surpha (2004: 7-8), bahwa desa adat di Bali dilandasi kepentingkan hak asasi warga desanya sebagai manusia, untuk melaksanakan upakara yajña, atau ibadah agama Hindu secara individu maupun kolektif dalam desa adat banjar adat. Perkembangan selanjutnya dijelaskan oleh Surpha (2008: 10-11), bahwa desa adat ditetapkan dan diputuskan menjadi desa Pakraman dalam Mahasabha maupun Pesamuan Agung Parisadha Hindu Dharma Pusat berkaitan dengan desa adat, yaitu: 1. Setiap Orang yang tinggal di suatu desa dalam jangka waktu 3 bulan harus menyatakan diri sebagai anggota banjar dan jika bermaksud menetap harus menyatakan diri sebagai krama desa adat 2. Setiap anggota krama desa harus tunduk kepada peraturan-peraturan desanya 3. Guna dapat mewujudkan kehidupan yang rukun dan harmonis di dalam suatu Desa Sukertagama, diharapkan agar setiap sikap dan tingkah laku warga desa merupakan pancaran dari kehidupan adat yang dijiwai oleh agama 4. Pimpinan Desa Sukertagama supaya diambil dari warga desa yang mempunyai pengetahuan cukup baik dalam agama maupun adat yang megantarkan masyarakat menuju kerta raharja 5. Adanya kahyangan tiga merupakan syarat mutlak bagi suatu desa adat 6. Adanya Pura Dalem sedapatnya dipisahkan dengan Pura Puseh/ Pura desa dan usahakan dekat Patunon (kuburan) 7. Setiap kahyangan desa yang langsung diurus oleh desa adat harus mendapatkan laba pura 8. Jenis gamelan dan ilen-ilen harus disesuaikan dengan tempat dan jenis upacara 9. Setiap patunon harus dapat di tepi desa, terlindung dari pandangan umum sedapat-dapatnya di dekat air dan harus ada Pura Prajapati 10. Adat yang dapat menunjang pelaksanaan ajaran agama Hindu dipupuk sesuai desa, kala dan patra 11. Demi kemurnian pelaksanaan ajaran agama Hindu diserukan agar adat jangan sampai menjadi penghambat pelaksanaan ajaran agama. 12. Desa adalah masyarakat hokum yang bersifatkesatuan hidup social keagamaan dan banjar merupakan bagian dari desa

56 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

13. Bagi ketertiban hidup di desa diserukan penyuratan awig-awig 14. Status tanah pekarangan desa supaya ditertibkan sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku 15. Para pemimpin desa dan pemuka agama di desa supaya menjalin kerjasama yang erat dalam menghayati ajaran Agama Hindu.

Berdasarkan pada deskripsi tersebut, desa adat berubah menjadi desa Pakraman berdasarkan karangkan kosepnTri Hita Karana, yaitu tiga penyebab keharmonisan, terdiri dari parhyangan berarti keharmonisan kepada Tuhan; palemahan berarti keharmonisan pada lingkungan dan pawongan berarti keharmonisan pada sesama manusia. Inilah menjadi peran penting desa Pakraman di Bali menjaga nilai-nilai luhur Agama Hindu. Desa Pakraman dipimpin Bendesa Adat, yang melaksanakan tradisi dan menjaga religiusitas Hindu di masing-masing wilayahnya. Demikian pula warga desa Tengkudak diikat oleh desa Pakraman sebagai komunitas tradisional. Segala aktivitas warga, terlebih aktivitas religius diatur dan ditentukan oleh desa Pakraman sehingga warga Hindu tetap bertahan dibalik misi Katolik dan para zending. Wiana (2008: 98) menjelaskan bahwa desa Pakraman merupakan benteng yang kuat untuk menagkal ideologi agama lain. Keberadaan desa Pakraman tetap kokoh menjalankan fungsinya dan mampu meredam konversi agama tidak meluas, dan tradisi terpelihara dengan baik berimplikasi pada meningkatnya warga yang sebelumnya beragama Katolik memutuskan rekonversi ke Agama Hindu. Rekonversi tersebut semakin jelas menandakan bahwa desa Pakraman tetap bertahan, dan eksis di tengah gempuran missionaris. Kuatnya desa Pakraman dapat dicermati secara emperis, bahwa warga desa Tengkudak yang konversi agama ke Katolik terkonsentrasi di Desa Pakraman Penganggahan tahun 1960-an berjumlah 40 KK. Namun, warga Hindu di luar warga yang menganut Katolik masih tetap menjalankan tradisi, dan keyakinan beragama Hindu yang diikat oleh desa Pakraman, sehingga dewasa ini banyak warga yang sebelumnya memeluk Katolik kembali menganut agama dan tradisi Hindu Bali. Selain itu, adanya perubahan keyakinan konversi dan rekonversi agama di desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak, Penebel, Tabanan memiliki pertautan kuat dengan perhelatan ideologi. Hal tersebut dapat dilihat secara emperis bahwa beberapa penduduk Tengkudak mengalami

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 57 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. konversi ke Katolik rekonversi ke Hindu karena kuatnya pengaruh tardisi Hindu yang didalamnya terdapat dalil ideologi agama Hindu. Dalam artian, ideologi agama Hindu tidak saja berangkat dari sebuah domain abstraksi, tetapi terefleksi dalam berbagai bentuk tradisi yang rasional dan membumi. Dengan demikian, diskursus ideologi tidak saja berbicara dalam aspek abtsrak tetapi konkret dan dapat dialami. Althusser (2008: 19) menjelaskan juga demikian bahwa ideologi tidak saja dipahami sebagai domain abstrak tetapi berupa pengetahuan dalam ralitas yang konkret sehingga seseorang menyadari akan hal yang nyata, dan tidak salah memahami realitas. Hanafi (2007: 1) menjelaskan bahwa pengetahuan merupakan sesuatu yang digulirkan untuk menetapkan ideologi religius melalui dalil ideologis. Dengan kata lain, pengetahuan akan dapat membantu manusia dalam meningkatkan berbagai modal yang dimiliki, terlebih modal ekonomi. Konversi terjadi, salah satu faktornya adalah adanya pergulatan dalam ranah ekonomi (Surpi,2012: 65). Demikian pula, rekonversi terjadi di desa Pakraman Tengkudak berangkat dari sebuah konsep kepemilikan modal dalam eknomi sebagai besik struktur. Sebagaimana Engels yang menganut pemikiran ideologi Karl Marx (2008: 76) bahwa ideologi terbagi mejadi ideologi dominan dan ideologi relegius yang berdasarkan konsep kelas bermodal dalam ekonomi sebagai base struktur, seperti dalam table 4.1 berikut.

Tabel 4.1 Ideologi Menurut Engels Ideologi Engels Keterangan

Kelompok Kelas bermodal/feudal mendominasi dan Ideologi dominan mengarahkan kelas tertindas untuk mengikuti dan melaksanakan apapun dari kelas penguasa Gereja dan institusi-institusi agama ditempatkan sebagai alat produksi cultural dan alat produksi mental, sehingga Ideologi religious seluruh ideologi masyarakat bersifat religious sesuai religiusitas penguasa Sifat dari ideologi Tidak permanen dan teori kelas mengatakan bahwa dominan dan reli- keadaan sosiallah yang kemudian memberikan gious kesadaran (Sumber: Tuner (2006)

58 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Menurut Engels (dalam Turner, 2006: 134) ideologi seseorang dapat dikuasai oleh ideologi dominasi, antara kelas pemilik modal yang dominan terhadap masyarakat yang tertindas. Kelas dominan secara sadar memanfaatkan agama untuk memistifikasi dan mengontrol petani dalam masyarakat feodal dan para buruh dalam masyarakat kapitalisme. Kelas yang tertindas selalu bergantung pada narkotis janji-janji agama, narkotis agama selalu dikontrol dan diedarkan oleh kelas penguasanya melalui kaum intelektualnya. Dominasi ideologi tersebut jelas terlihat dalam dunia rekonversi di desa Tengkudak. Sebelum penduduk desa Pakraman tengkudak rekonversi, penduduk setempat terlebih dahulu mengalami konversi (pengalihan agama) dari Hindu ke Katolik. Konversi terjadi di masa lampau sebagai sebuah bentuk berkuasanya dominasi kaum Katolik yang memiliki modal ekonomi yang mapan. Penduduk yang mengalami konversi adalah orang-orang kelas tertindas dan masyarakat feodal. Zending yang rata-rata memiliki modal kapitalis melakukan dominasi ideologi yang mana Yesus sebagai putra Tuhan akan datang memberikan keselamatan. Adapun rekonversi yang terjadi dewasa ini, tidak terlepas dari peran ideologi yang disampaikan Engels. Penduduk desa Tengkudak yang sudah dikonversi kembali ke Hindu (rekonversi) tentunya memiliki latar belakang tingkatan kehidupan sosial paling bawah. Sebagai kaum tertindas dan berada di bawah, maka pendudukan yang beragama Katolik berhasil didominasi oleh ideologi Hindu, terlebih ideologi religius Hindu yang menjadikan Pura Kahyangan Tiga sebagai pusat ideologi relegius. Demikian pula tradisi sebagai sebuah cerminan ideologi religius Hindu menjadi penyebab diterminansi terjadinya rekonversi di desa Pakraman Tengkudak. Uraian lebih jauh dijelaskan bahwa konversi agama terjadi karena kelas dominan memiliki modal memberikan bantuan kepada masyarakat di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan yang sebagian besar terdiri dari petani dan buruh tani. Melalui bantuan sosial, maka para petani dan buruh telah didominasi dengan ideologi religius, yang menyebabkan para kelas terdindas secara ekonomi menuruti ideologi kelas dominan dan menjadikan masyarakat mengikuti ideologi religious yang baru dengan memberikan janji-janji agama baru bagi masyarakat. Demikian sebaliknya, rekonversi terjadi akibat dari adanya dominasi ideologi dari agama Hindu. Oleh karena itu, ideologi dominan dapat dikatakan sebagai sebuah ideologi yang tidak permanen.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 59 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Engels (dalam Turner, 2006: 135-137), bahwa halangan ideologis menghambat perlawanan kaum tertindas muncul dari agama tidaklah bersifat permanen, para kaum yang tertindas tidak bisa dipandang sepenuhnya telah terlena oleh candu Gereja. Dalam artian, penduduk desa Pakraman Tengkudak yang sudah dikonversi menjadi Katolik bukanlah sesuatu yang permanen, atau sepenuhnya terlena oleh ideologi Katolik. Justru idelogi agama Katolik yang selama diyakini telah membawa pada alam damai digeser oleh ideologi Hindu melalui upacara dan kuatnya tradisi Hindu dalam desa Pakraman. Berdasarkan hal tersebut dapat dikemukakan bahwa lingkungan sosial membawa pengaruh terhadap kesadaran masyarakat Tengkudak yag memeluk Katolik kembali ke Hindu. Sejalan dengan teori kelas menyangkut ideologi dalam pemikiran Marx dan Engels yang melahirkan teori yang menyatakan bahwa, “keadaan sosiallah yang membentuk kesadaran” (Ritzer dan Goodman,2013: 214). Jadi setiap kelas menciptakan sendiri sistem keyakinan sesuai dengan kepentingan kelas masing-masing. Artinya, sistem lingkungan sosial dapat membentuk kesadaran seseorang. Demikian pula, penduduk desa Pakraman Penganggahan Tengkudak yang rekonversi berawal dari adanya aktivitas religi dalam lingkungan sosial (Desa Pakraman) sehingga dapat meunculkan kesadaran untuk kembali menjadi Hindu. Terjadi simbiosis mutualisme antara kesadaran individu masyarakat desa Penganggahan Tengkudak dengan kebertahanan Desa Pakraman Penganggahan sehingga terbentuk kesadaran sosial krama desa dalam menyikapi konversi agama. Salah satu bentuk kesadaran dalam solidaritas sosial adalah mengadakan konsolidasi internal. Konsolidasi ini bertujuan menguatkan identitas umat Hindu dan mengevaluasi hubungan umat Katolik. Bentuk konsolidasi ditetapkan dalam keputusan paruman desa, yaitu tidak lagi melaksanakan tradisi metulungan dan mejot-jotan selama enam bulan kepada penduduk yang memeluk Katolik. Hal tersebut bertujuan meminimalkan pengaruh buruk dari hubungan aktivitas sosial yang terlalu akrab sehingga dikhawatirkan ada lagi warga Hindu tertarik masuk Katolik karena merasa nyaman bersosialisasi dengan warga Katolik. Bentuk konsolodasi internal sebagai bentuk kesadaran dalam solidaritas sosial di dukung pernyataan Durkheim (Upe, 2010: 99), bahwa masyarakat ideal selalu berdasarkan konsep solidaritas sosial, menunjukan suatu keadaan hubungan antar individu dan kelompok berdasarkan

60 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. perasaan moral serta kepercayaan yang dianut bersama, dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Ikatan solidaritas sosial menurut Durkheim lebih mendasar daripada hubungan kontraktual yang diperbuat atas persetujuan rasional. Upaya konsolidasi internal yang dilakukan krama Hindu Penganggahan dijelaskan oleh mantan Bendesa Adat, yakni Senayasa (wawancara, 5 September 2014) dengan tegas mengatakan sebagai berikut. “…setiap melaksanakan kegiatan keagamaan, Krama desa Pakraman Penganggahan selalu mengunjungi warga Katolik memberikan jotan (makanan dan kue yang disajikan dalam pesta adat atau sejenisnya). Karena umat Katolik di Penganggahan adalah saudara dan bagian dari keluarga besar umat Hindu di Penganggahan, namun sesuai kesepakatan krama adat, tradisi itu dihentikan agar tidak mencampurbaurkan tradisi dengan agama lain. Berlahan-lahan warga Katolik tidak enak hati bertahan memeluk Agama Katolik karena istilah adat Bali mereka sudah kesepekang oleh warga masyarakat. Namun Kita tidak ada berbuat menyalahi hukum seperti meneror apalagi mengusir warga Katolik, hanya saja melakukan penertiban aktivitas tradisi keagamaan biar jelas, mana kegiatan Hindu dan wilayah agama lain, tetapi karena warga Katolik mungkin merasa kurang nyaman dalam hubungan sosial dengan krama Hindu, akhirnya satu per satu mereka balik ke Hindu, rindu suasana keakraban ala desa”.

Merujuk pada uraian tersebut upaya konsolidasi antar sesama warga Hindu dalam mengupayakan strategi agar warga Hindu tidak mengalami konversi dapat dikatakan sebagai langkah yang sangat efektif. Upaya tersebut merupakan upaya menginternalisasi kelemahan yang selama menjadi celah bagi para zending untuk melakukan misinya. Upaya konsolidasi tersebut tidak lepas dari keberadan desa Pakraman sebagai wadah tempat berkumpulnya warga Hindu dalam mencari solusi terhadap permasalahan konversi. Deskripsi tersebut di atas menegaskan bahwasanya bentuk konsistensi desa Pakraman dalam kegiatan sosial keagamaan mengedepankan gotong royong bersifat komunal sangat memegang peran signifikan untuk mencegah terjadinya konversi. Oleh sebab itu, kegiatan sosial keagamaan seyogyanya lebih mengintensifkan intensitas keterlibatan umat Hindu sebagai penyelenggara desa Pakraman. Sebagaimana Sirtha (2002: 122)

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 61 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. menjelaskan bahwa desa adat (Pakraman) merupakan wadah tempat hidup, dan sumber pelaksanaan Agama Hindu yang diwujudkan dalam pelaksanaan upacara agama. Pelaksanaan upacara agama berkaitan erat dengan tempat- tempat pemujaan yang tersebar di setiap desa adat. Selain itu, desa Pakraman juga membangun revitalisasi sebagai sebuah perbentengan terhadap agama, tradisi dan budaya Hindu melalui keputusan paruman (rapat desa adat) desa Pakraman Penganggahan. Hasil keputusan paruman tersebut secara esensial tidak mencampuradukkan kegiatan sosial keagamaan dengan umat lain sebagai bentuk revitalisasi menjaga budaya Bali dan agama Hindu. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa desa Pakraman merupakan perlindungan yang kuat dalam memfilterisasi ideologi baru di luar Hindu. Sejalan dengan hal tersebut, Pitana (2002: 48) menjelaskan bahwa desa adat merupakan benteng terakhir menjaga, memelihara dan mengembangkan kebudayaan Bali, termasuk membendung berbagai dampak negatif dari luar Hindu. Selain itu, peraturan adat (tradisional) yang diakronik menjadi hal yang fundamental dalam mencegah konversi di desa Pakramanan Penganggahan Tengkudak. Peraturan tersebut berupa awig-awig desa Pakraman yang dijabarkan melalui perarem. Menurut Ginder (wawancara, 13 September 2014) bahwa peran prajuru desa sangat penting dalam mengakan awig- awig desa sehingga 14 kepala keluarga (KK) menyatakan kembali menjadi Hindu, yaitu tahun 1982-1999. Kembalinya penduduk memeluk agama Hindu disebabkan kuatnya prajuru adat menegakkan aturan awig-awig desa Pakraman. Dijelaskan dalam awig-awig, bahwasanya setiap warga yang tidak beragama Hindu, secara otomatis hak-haknya dicabut sehingga tidak mendapatkan setra (kuburan). Secara tidak langsung keputusan dalam awig- awig tersebut berdampak pada banyaknya KK kembali menjadi Hindu. Hal tersebut, mendapat perlawanan dari pengurus Dewan Gereja, dan meminta setra Desa Pakraman Penganggahan di bagi dua atas pertimbangan bahwa umat Katolik asli orang Penganggahan secara hierarki berasal dari leluhur yang sama, yakni Desa Pakraman Penganggahan. Namun, ketegasan prajuru adat yang kuat menegakan aturan desa Pakraman sehingga Katolik kehilangan simpati, akibatnya banyak umat memutuskan kembali menjadi Hindu (rekonversi agama). Merujuk hal tersebut, peran awig-awig dapat ditegaskan memiliki peran sentral dalam merekonversi penduduk desa Tengkudak, khususnya

62 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. kantong Katolik di desa Penganggahan Tengkudak. Windia (1985: 34) menjelaskan bahwa aturan adat berupa awig-awig memiliki otoritas yang kuat, dan legitimasi yang paling mungkin untuk melakukan perbentengan terhadap berbagai kebudayaan yang masuk ke dalam desa Pakraman. Aturan desa Pakraman berupa awig-awig desa Pakraman yang disepakati bersama merupakan suprimasi hukum yang kuat dan tidak menyimpang dari Undang-Undang Pemerintah Republik Indonesia. Oleh karena itu, awig-awig merupakan formulasi logis yang mampu membangun kohisivitas antar krama Hindu Bali. Sebagaimana isi awig-awig yang tegas tentang penggunaan setra atau kuburan dalam desa Pakraman Penganggahan diatur dalam Sarga III, Sukerta Tata Agama Palet 18, Paos 98, 100 dan 101, seperti berikut. Setra/sma amongan Krama Desa Adat Penganggahan kawastanin Setra Hindu utawi Sma Hindu (paos 98) Jadma tamiu/penumpang, jadma sane wusan/sane mausan mekrama Desa Adat miwah jadma sewosan meagama Hindu sakukuwuban Krama Desa Adat Penganggahan kadadosan memendem sawa kalih ngaben ring setra/sma inucap ring paos 98 yaning sampun nawur sejawaning nawur panukun setra/sma, ageng alit manut prarem. Sejawaning nawur panukun setra/sma inucap, patut ngawentenang aci ring setra/sma panukon manut Agama Hindu (paos 100) Sapa sira ugi jagi mamendem sawa nenten kadadosang nginepang bangbang. Sang memamurug kasisipang tur kapaputang ngewentenang aci ring setra/sma panukon manut Agama Hindu (paos 101).

Terjemahan: …,Kuburan masyarakat Desa Adat Penganggahan disebut sebagai kuburan Setra Hindu/Sma Hindu (paos 98) Para penduduk yang tidak berasal dari Desa Penganggahan disebut krama tamiu/ penumpang atau mereka yang telah berhenti menjadi krama adat dan telah tidak menjadi beragama Hindu. diizinkan melakukan penguburan atau ngaben di Setra Adat Penganggahan dengan cara membayar denda sesuai peraturan awig-awig yang dipertegas dalam aturan prarem. Pada proses pembayaran tersebut diwajibakan untuk melaksanakan proses penguburan dengan pelaksanaan upacara di setra Penganggahan sesuai ajaran Agama Hindu (paos 100)

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 63 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Siapapun yang membuat lubang untuk penguburan, tidak diizinkan untuk menginapkan lubang tersebut. Karena siapapun yang melakukan itu dan juga menguburkan lubang itu, maka mereka akan dikutuk dan diharuskan melakukan upacara di setra/sema Penganggahan sesuai ajaran Agama Hindu (paos 101),…. (Awig-awig Desa Adat Penganggahan, 1991: 27-28).

Merujuk pada penggalan deskripsi awig-awig tersebut dapat dikemukakan padangan bahwa segala aspek kehidupan manusia, baik lahir, hidup dan mati, semuanya diatur dalam desa Pakraman sehingga masyarakat dapat membangun harmonis. Adanya aturan di atas menunjukan bahwa setra atau kuburan menjadi perhatian penting bagi masyarakat yang melakukan konversi agama, sebab umat Katolik tahu hak dan kewajiban saat berhenti menjadi krama adat. Meskipun saat ini umat Katolik telah memiliki setra, namun proses kembalinya roh menyatu dengan Tuhan dilakukan dengan sawa wadana, menyucikan prateka (roh yang penuh dosa) menjadi pitara (roh yang telah suci) kemudian distanakan di Sanggah Kemulan (tempat pemujaan terhadap leluhur, sebagai manifeastasi Sang Hyang Guru di dalam merajan atau sanggah masing-masing rumah umat Hindu di Bali) tidak dilakukan dalam ajaran Katolik. Prosesi pengembalian tersebut menjadi hal yang sangat penting, dan berdampak pada sisi psikis orang Hindu yang sudah beragama Katolik. Semua prosesi tersebut dilakukan oleh masyarakat Hindu dalam desa Pakraman sehingga desa Pakraman merupakan wadah yang kuat dalam masyarakat membangun relasi sosial antar karma Hindu di desa Tengkudak. Desa Pakraman diatur dalam hukum adat berupa awig-awig menjadikan umat Hindu di Bali, dan umat Hindu di desa Tengkudak khususnya terstuktur dalam Sosio-Teologi Hindu yang jelas. Hal tersebut menjadi penyebab rekonversi agama terjadi. Terlebih awig-awig tersebut dibuat berdasarkan lima kepercayaan (Panca Sradha) sebagai dasar kebertahanan tradisi dalam Desa Pakraman. Secara konseptual dalil-dalil tersebut diejawantahkan dalam peraturan adat sehingga dalil tersebut tidak hanya dalil dan domain yang irasional, tetapi rasional. Artinya, Panca Sradha merupakan dalil filosofis yang dituangkan dalam diskursus-diskursus konstruksi ilmu pengetahuan dalam konteks ini awig-awig sehingga secara tidak langsung dalil filosofis tersebut dikonfirmasi oleh masyarakat Hindu

64 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Tengkudak. Mengacu pada Hanafi (2007: 9), bahwa dalil logis-filosofis memberikan pengaruh terhadap diskursus konstruksi ilmu pengetahuan sehingga dapat dikonfirmasi dan terealiasasi. Konsep dalil filosofis Panca Sradha sebagai sebuah bentuk kontruksi konsep rasional yang tertuang dalam awig-awig sebagai bentuk kebertahanan dapat dilihat pada gambar

4.2 berikut.

Secara Secara Tekstual, Kontektual, yaitu yaitu  Percaya

 Percaya punarbawa PANCA SRADHA dengan  Percaya Brahman atman  Percaya  Percaya dengan Moksa karmaphala

DESA PAKRAMAN  Kahyangan tiga DAN HUKUM  Aktivitas  Sanggah kamulan ADAT religi melalui  Pura penyungsung (AWIG-AWIG) yajña  desa Pengabdi pada  Kebebasan sekala- masyarakat niskala desa  Pengemban tradisi leluhur Aparatus Negara Ideologis (ISA AGAMA)

Gambar 4.2 Panca Sradha Sebagai Dasar Kebertahanan Tradisi Dalam Desa Pakraman (Sumber: Pradnya, 2015)

Merujuk pada gambar 4.2 tersebut dapat dijelaskan bahwa adanya konversi agama di desa Tengkudak adalah proses menguji kebertahanan lembaga adat di desa Pakraman Penganggahan, dan menguji kebertahanan keyakinan masyarakat Hindu di Bali terhadap lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut Panca Sradha, baik secara teks dan kontekstual. Secara Tekstual mempercayai Ida Sang Hyang Widhi Wasa, para leluhur dan kawitan berstana di Sanggah/Merajan, Kahyangan Tiga serta pura besar yang mengelilingi pulau Bali. Oleh karena itu, kemahakuasaan Tuhan selalu melindungi umat Hindu di Bali, dan Tuhan sebagai energi alam semesta selalu memberikan vibrasi kesucian terhadap Bali. Sesuai hukum kekekalan energi, yaitu energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, tetapi dapat di rubah dari satu bentuk ke bentuk energi lainnya.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 65 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Begitu pula kemahakuasaan Tuhan terhadap umat Hindu di Bali, energi ketuhanan selalu menjadikan spirit umat Hindu. Spirit inilah disebut Althusser (2000: 54) sebagai Isa agama yang berfungsi secara ideologi, dipergunakan menyatukan umat dalam keanekaragaman, termasuk desa Pakraman yang memiliki ideologi berdasar Agama Hindu dapat menggerakan ideologinya memperkuat eksistensi umat Hindu yang di dalam desa Pakraman diatur dalam awig-awig. Selin itu, dalam kontekstual, kemahakuasaan Tuhan sebagai yang gaib dikonkretisasi melalui perayaan ritus yajña. Konkretisasi tersebut dapat dilihat dalam setiap perayaan ritus yang notabene ada pertunjukan atas kekuatan gaib dan magi melalui kerauhan (trance), dan masyarakat Tengkudak meyakini sebagai trust yang kuat dan abadi. Sebagaiman R.Otto (dalam Koentjaraningrat,1987: 35), dalam teori magi menjelaskan bahwa manusia tidak akan dapat memisahkan hidupnya dari hal yang gaib sebagai yang abadi dan sempurna. Kegaiban tersebut bagi masyarakat Bali diyakini sebagai trust energi kemahakusaan Tuhan. Selain itu, konteks konseptual Panca Sraddha diwujudkan dengan menjadikan desa Pakraman sebagai wadah mengembangkan dan mewujudkan empat tujuan hidup mencapai dharma, artha, kama dan moksha. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka desa Pakraman sebagai lembaga adat harus berperan dalam manajemen maupun aktivitasnya. Desa Pakraman Penganggahan menjalankan perannya untuk mewujudkan tujuan hidup tersebut melalui struktur desa dibawah Bendesa adat sebagai koordinat, dan pengurus adat lainnya sebagai subordinat. Adapun susunan struktur prajuru adat sebagai berikut (Awig-awig Desa Adat Penganggahan, 1991: 5) Krama Desa Adat puniki kahenterang antuk: a. Bendesa Adat, maka panua Krama Desa Adat b. Penyarikan, maka juru surat c. Patengen, maka pangemong padruwen desa d. Juru arah, maka juru gumencang (Sarga II Sukerta Tata Pekraman, Palet 4 Prajuru, Paos 6) Prajuru Adat inggih punika: a. Kelihan adat b. Penyarikan c. Petengen

66 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. d. Kasinoman/ Juru Arah e. Pecalang, maka patilik sukertan Krama Desa/ Banjar (Sarga II Sukerta Tata Pekraman, Palet 4 Prajuru, Paos 7)

Selain segala aktivitas religi dan aspek lainnya diikat dan diatur dalam desa Pakraman, secara fisik desa Pakraman juga memiliki sarana dan prasarana yang difungsikan untuk membangun peningkatan sraddha dan bhakti umat Hindu di desa Tengkudak. Sebagaimana Parimartha (2013: 9) menjeaskan bahwa dalam setiap desa Pakraman terdapat tiga unsur, yakni parahyangan (tempat suci dan aktivitas ritualnya), palemahan (wilayah desa Pakraman) dan pawongan (warga desa). Adapun pura yang terdapat di desa Pakraman Penganggahan meliputi Pura Kahyangan Tiga: Pura Puseh, Pura Bale Agung dan Pura Kahyangan Dalem, disamping Kahyangan Tiga juga terdapat pura yang telah ada sebelum pemekaran desa Pakraman, yaitu Pura Pecatu dan Pura Dalem Ambal-Ambal. Pada saat sekarang ini telah dibangun Pura Ulun Suwi atau pura Subak. Pujawali di masing-masing pura dilaksanakan setiap enam bulan sekali. Selain ritual tersebut, pada waktu tertentu digelar Ngusaba nini dan Ngusabha desa. Desa Pakraman Penganggahan juga memiliki laba desa dalam bentuk sawah dan ladang. Laba desa digarap krama adat diatur sedemikian rupa sehingga upacara keagamaan dibiayai dari laba desa. Event ritus yang digelar oleh desa Pakraman akan dapat membangun soliditas masyarakat Pakraman dan bertahan terhadap kepercyaan yang dianut. Keberadaan pura sebagai unsur parhyangan memiliki peran signfikan dalam mencegah konversi, dan dalam peran tersebut pamangku sebagai media penghubung antara sekala dengan niskala dapat dikatakan memiliki peran yang setrategis dalam rekonversi. Sebagaimana Miartha (2008: 97) menjelaskan bahwa pamangku merupakan rohaniawan yang memiliki fungsi yang penting dalam aktivits beragama. Pamangku dalam teologi dan ideologi Hindu diposisikan sebagai media penghubung alam sekala dengan niskala sehingga pamangku merupakan simbol berpusat (axismundi). Dengan demikian, peran Pamangku sangat penting dalam aktivitas beragama umat Hindu sehingga dalam lontar Raja Purana Gama disebutkan ada beberapa jenis kePemangkuan sebagai berikut. Yening Pamangku Dalem, Puseh, Bale Agung, penataran wruh ring pangasriyan bhatara katurang wali, tur wruh ring kecaping Raja

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 67 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Purana Gama, Widhi Tattwa, mamuja angamong gentha, punika sane mewasta Pemangku, samalih yan ten wruh ucaping ajeng, kewala wruh ring sulur ngaturang pangasriyan pangadegang widhi, punika mawasta pamongmong. Kewala wruh munggah asasapuh ring raja purana punika mewasta Pemangku jan banggul. Iki ngaran Tri Pemangku. Hana mwah Pemangku cungkub, pelinggihne ri ulun pakarangan, pasimpanganya genep adasa palinggih, wastaning Pemangkune Pemangku Cungkub Malih sane mewasta Pura Nilarta, babaktan saking Santana, genep adasa pesimpangan, wastan Pemangku ne Pemangku Nilarta San mewasta Pemangku Pandita, wruh ring pangasrian pitra yajna, nmwang manusa yajna, mayajnya kala, medewa yajnya, wenang indriya kasoran ring sang Maha Brahmana Pandita, sampun pastika panugran sekala niskala. Pemangku mwang kahyangan , ika ngaran Pemangku pandita. Malih sane mewasta Pemangku bhujangga, bhuja ngaran sembah, irika nyembah raga, atunggilan wangsa, punika purane mewasta Pura Bhujangga, nyembah kawitan prasasti Malih sane mewasta Pemangku Balian, wruh ring pangasriayan haji saraswati, wenang anglukat anglebur wwang kalaran perisudha denya Sane mewasta Pemangku dalang, wenang anglukat nyapuh leger, wong metu wuku katadah kala Malih sane mewasta Pemangku lancuban, ngaran tatakson, yening nyanjan, dewa ngelancubin, yening nyemega, pitra ngelancubin, yen salah ucape, kala ngelancubin Sane mewasta Pemangku tukang, wruh ring pangasrian, wenang angrencana saluwiring karya, upayajna, tukang, sangging, pande Punika tatan Pemangku ne ngemong pengastawa yening dalem, durga astawa, yening puseh siwa astawa, pura nilarta resi astawa, Mangku cungkub, guru astawa,Pemangku pandita, indra astawa, amuja angemong genta. Yening tukang wiswakarma astawa, Pemangku pengulun swi, sri astawa, Pemangku segara baruna astawa, Mangku balian, saraswati astawa, Mangku kortenu, prajapati astawa, pengulun setra wenang brahma astawa (Rai, dkk: 2005: 1-2).

Berdasarkan kutipan di atas jenis-jenis Pemangku dapat di kelompokan menjadi 12 jenis Pemangku yang bertugas sesuai dengan

68 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. fungsinya, dan kewenangannya diatur dalam teks tersebut. Adapun 12 jenis Pamangku tersebut meliputi: 1. Pamangku Kahyangan Tiga Pemangku yang bertugas di Kahyangan Tiga, seperti Pemangku Pura Desa, Puseh dan Dalem. 2. Pamangku Pamongmong Pemangku yang hanya bertugas sebagai pembantu daripada Pemangku yang utama di suatu pura, dengan tugas pokok mengatur tata pelaksanaan dan jalannya upacara. 3. Pemangku Jan Banggul Pemangku yang hanya bertugas sebagai pembantu di pura, dalam tugas-tugas mengatur sesajen, menurunkan arca, pratima, memasang busana pada palinggih, membagikan wangsuh pada dan bija kepada umat yang sembahyang. Di beberapa tempat dikenal dengan istilah sadeg, juru sunggi, dan lain-lain. 4. Pemangku Cungkub Pemangku yang bertugas di Mrajan Gede yang memiliki jumlah palinggih sebanyak sepuluh buah atau lebih. 5. Pemangku Nilarta Pemangku pada pura keluarga atau kawitan. 6. Pemangku Pandita Pemangku yang memiliki tugas muput yajna seperti Pandita, adanya Pemangku seperti ini didasarkan adanya tradisi atau purana pada daerah tertentu yang tidak diperkenankan menggunakan pemuput Pandita. Sehingga segala tugas, menyangkut pelaksanaan Panca Yajna diselesaikan oleh Pemangku ini. 7. Pemangku Bhujangga Pemangku yang memiliki tugas pada Pura Leluhur atau Kawitan yang tergolong paibon. 8. Pemangku Balian Pemangku yang melaksanakan swadharmanya sebagai balian, mengobati orang sakit. 9. Pemangku Dalang Pemangku yang melaksanakan tugas / swadharmanya sebagai dalang.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 69 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

10. Pemangku Lancuban Pemangku yang bertugas sebagai mediator membantu dalam matuwun, untuk memohon petunjuk dari dunia niskala. 11. Pemangku Tukang Pemangku yang paham ajaran wiswakarma, serta segala yang tergolong pekerjaan tukang undagi, sangging, pande, dan sejenisnya. 12. Pemangku Kortenu Pamangku yang bertugas di Pura Prajapati atau Pengulun Setra (Rai, dkk: 2005: 1-2).

Adapun di desa Pakraman Penganggahan Tengkudak menggunakan jenis Pamangku Kahyangan Tiga, di samping ada beberapa Pamangku Pamongmong dan Mangku lainnya. Oleh karena itu, Pamangku di desa Pakraman Penganggahan Tengkudak memiliki fungsi yang penting sebagai simbol berpusat, dalam artian pusat peningkatan sraddha dan bhakti umat Hindu di wilayah desa Tengkudak. Selain fungsi tersebut, prosesi untuk menjadi Pamangku juga dapat dikatakan sebagai pemicu meningkatnya sraddha dan bhakti umat Hindu terhadap kekuatan di luar lingkar persepsi manusia. Adapun prosesi upacara pewintenan Pemangku tersebut disaksikan warga masyarakat, tokoh adat dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai dewa saksi. Prosesi upacara pewintenan dilaksanakan di tempat Pura yang akan dijadikan tempat ngayah atau berserah diri, seperti Pamangku Pura Puseh, maka prosesi upacara pewintenan dilaksanakan di Pura Puseh, begitu pula selanjutnya. Pada saat prosesi nyanjan Pamangku, diyakini kekuatan gaib tersebut muncul, dan memberikan petunjuk salah satu orang warga Penganggahan menjadi Pamangku. Selain hal tersebut di atas, menjadi Pemangku di desa Pakraman Penganggahan diatur dalam awig-awig desa Pakraman, tertuang dalam sargah III Sukerta Tata Agama Palet 16, Paos 89 ring kahyangan desa adat patut keadegang Pemangku Kengin Taler kawentenang penyade Pemangku manut kabuatang kalih prarem (Pada Kahyangan Desa Adat, diwajibkan mengangakat Pemangku, begitu juga pengganti Pemangku yang diatur dalam prarem). Menjadi seorang Pemangku tidaklah mudah karena tugasnya adalah sebagai pelayan umat dan jembatan penghubung antara Tuhan/ Ida Sang Hayang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya dengan masyarakat Hindu, khususnya. Oleh karena itu, Rai, dkk (2005: 6) menjelaskan bahwa keputusan dan menetapkan dipilih menjadi seorang

70 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Pemangku dilakukan dengan beberapa cara yaitu Berdasarkan keturunan dari Pemangku sebelumnya, yaitu sebagai berikut. 1. Melalui pemilihan 2. Dengan cara nyanjan atau metuwun 3. Dengan cara lekesan atau sekar

Awig-awig desa Pakraman Penganggahan juga dijelaskan tentang tata cara pemilihan Pemangku dituangkan dalam sargah III Sukerta Tata Agama Palet 16, Paos 92, yakni sebagai berikut. Ngadegang Pemangku patut nganutin dudonan piteket ring sor: 1. Ngewilangin saking turunan 2. Nunas pawuwus widhi/nyanjan 3. Pilihan I Krama Desa Adat

Terjemahan: Mengangkat Pemangku dapat dilakukan sesuai aturan seperti berikut: 1. Pemangku berasal dari garis keturunan 2. Melaksanakan upacara nyanjan (upacara yang menurunkan para dewa biasanya dilakukan dengan mediasi orang yang sudah ditunjuk berdasarkan pemahaman spiritualnya) 3. Berdasarkan pilihan masyarakat desa adat

Berdasarkan hal di atas, maka menjadi seorang Pemangku di Desa Pakraman Penganggahan, mesti sesuai awig-awig. Umumnya di desa Pakraman Penganggahan pemilihan Pamangku melalui proses nyanjan, yakni kekuatan Tuhan dihadirkan melalui perantara seseorang sehingga kekuatan tersebut memberikan petunjuk orang yang tepat menjadi Pamngku. Melalui petunjuk tersebut, masyarakat desa Pakraman Penganggahan menjadi sangat yakin terhadap kekuatan tersebut sebagai kekuatan Ida Bhatara. Ada fenomena emperis yang menarik, bahwa Pemangku kahyangan sesa Pakraman Penganggahan pernah dikonversi dan beralih agama menjadi Katolik. Nmaun, melalui proses nyanjian para Pamangku yang sebelumnya beragama Katolik mengalami pengalaman spiritual, dan memutuskan kembali menjadi Hindu (rekonversi agama) untuk melaksanakan amanat menjadi Pemangku di Pura Kahyangan Desa (Jero Dasaran Ketut Bedra,wawancara, 25 Agustus 2014).

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 71 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Sejumlah Pengakuan Warga desa Pakraman Penganggahan Tengkudak yang sebelumnya beragama Katolik, dan pada akhirnya menjadi Pamangku dengan memeluk Hindu tidak dapat dipisahkan dari genealogi keturunan atau garis keturunan (trah) sebagai Pemangku Kahyangan Desa. Selain itu Pemangku yang menjadi Katolik, mendapat pawuwus dari Hyang widhi, sehingga memutuskan kembali menjadi Hindu dan menjadi dasaran desa. Para Pemangku yang rekonversi agama adalah Jro Mangku Geledeg keturunan Pemangku Pura Pecatu, Jro Mangku Kandel keturunan Pemangku Kahyangan Dalem dan Jro dasaran Bedra keturunan Pemangku di Pura Manis Banyu dan Dasaran Desa. Berbekal dari kepercayaan leluhur dan Tuhan menjadi seorang Pemangku hendaknya iklas melakukan swadharma dengan ketulusan hati sehingga dapat menjalankan swadharma kepemangkuan dengan baik. Sesuai ajaran dana punia disebut dharma dana, yaitu melaksanakan kewajiban dengan tulus dan iklas. Menurut teks sastra disebutkan pelayanan terhadap umat lebih utama daripada arthadana atau pemberian berupa uang maupun materi. Terlebih memberikan pembekalan rohani terhadap warga Hindu lainnya melalui pengalaman spiritual yang dialami. Hal tersebut dijelaskan oleh I Nengah Geledeg atau Mangku Nari (wawancara, 25 Agustus 2014) merupakan salah satu umat Hindu yang pernah di baptis menjadi Katolik di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan. Tahun 1969-1970-an dirinya membantu membuat Gereja sebagai buruh bangunan. Pada saat itu, mendapat bantuan sembako dan kebutuhan hidup lainya. Mangku Nari lebih jauh menjelaskan bahwa para misionaris memberikan pengaruh kuat sehingga perlahan-lahan diajak ke dalam Gereja, sambil bernyanyi-nyanyi, memuliakan Tuhan Yesus. Kemudian memutuskan menjadi Katolik bersama keluarga dan beberapa masyarakat di Desa Penganggahan. Hal tersebut dibenarkan Ni Wayan Widri, Istri dari Pan Nari (wawancara, 26 Agustus 2014), bahwa waktu itu ekonomi sangat sulit dan Gereja datang memberikan bantuan kepada keluarganya. Disamping itu, datang ke Gereja hanya bernyanyi-nyanyi, tidak perlu mebanten, seperti umat Hindu. “Dumun waktu dadi Katolik, nak aluh meagama. Sing perlu ngae banten, cara Hindu. Hidup luwung, man sembako, buku-buku. Di Gereja megending-gending. Makane ajak bapakne bareng meagama Katolik”

72 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Terjemahan: “dulu waktu menjadi Katolik memang mudah beragama. Tidak perlu membuat banten, seperti umat Hindu. hidup nyaman, apalagi dapat sembako dan buku-buku. Sampai di Gereja hanya bernyanyi-nyanyi, makanya dengan suami bersama keluarga ikut beragama Katolik”

Namun, kenyamanan yang didapat saat memeluk Katolik sebagaimana dijelaskan di atas tidak bertahan lama karena konversi agama membuat kehidupan keluarga Pan Nari tidak baik. Hal tersebut dikarenakan secara adat, Pan Nari adalah garis keturunan langsung Pemangku Pecatu, Pura Pecatu adalah pura tertua menjadi cikal bakal sejarah berdirinya Desa Pakraman Penganggahan. Ketika Pura Pecatu tidak lagi memiliki Pemangku, maka harus dilakukan penyade Pemangku atau pengganti. Oleh karena itu, berdasarkan awig-awig Desa Pakraman Penganggahan, maka diputuskanlah Pan Nari sebagai Pemangku di Pura Pecatu Desa Pakraman Penganggahan. Pergantian tersebut sepenuhnya diatur dalam awig-awig Desa Pakraman Penganggahan, dan aturan sudah memutuskan tidak dapat diganggu gugat. Tanggung jawab sebagai Pemangku sangat penting kepada alam sekala niskala. Alam niskala adalah tanggung jawab kehadapan Tuhan sedangkan tanggungjawab sekala adalah tanggung jawab kepada krama adat Desa Penganggahan, seperti uraian Pan Nari (wawancara, 25 Agustus 2015) sebagai berikut. “tiang sampun dados katolik, mangkin wenten penyade Pemangku ring pura pecatu. Tiang wenten garis keturunan dados Pemangku drika, mangda nenten kacakrabawa lan keni pengila-ila. Napi malih ring adat sampun poastika tiang sane dados Pemangku irika. Tiang iklas malih dados meagama Hindu. Moga mogi ida bhattara ngicenin tiang keselametan ring pasikian tiang taler ring keluarga lan parisentane tiang kawekasan”

Terjemahan: (saya sudah menjadi katolik, waktu itu ada pergantian Pemangku di Pura Pecatu, sebagai garis keturunan langsung Pemangku pecatu dan telah diamanatkan oleh masyarakat adat desa pangangagahan, agar tidak terkena kutukan. Dengan iklas saya kembali menjadi Hindu, semoga Ida Bhattara memberikan saya kekuatan, kesehatan, keselamatan buat keluarga dan keturunan saya berikutnya).

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 73 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Merunut dari hal tersebut di atas, maka dapat dikemukakan sebuah paradigima rekonversi yang terjadi di desa Pakraman Penganggahan Tengkudak bertautan dengan sebuah keyakinan dan trust bahwa ada kekuatan di luar diri mengarahkan warga desa Penganggahan yang sudah memeluk Katolik berpindah agama kembali memeluk Hindu. Keyakinan akan kutukan (sapata) merupakan faktor yang sangat penting, dan peran desa Pakraman mejaga tradisi pemelihan Pemangku dapat dikatakan sebagai pemantik yang kuat sehingga munculnya kesadaran akan adanya kekuatan magi yang dalam pandangan Katolik, Islam dan agama ras Smith sebagai hal yang terkutuk (zatan) (Madrasuta, 2010: 132). Dalam perspektif Hindu, fenomena magi maerupakan salah satu unsur religi yang mendasari dalam setiap event religi, dan sebagai pengungkapan kekuatan Tuhan sebagai yang abadi (Van Gennep,1987: 35). Pengalaman religi melalui pengalaman langsung merupakan refleksi dari ketulusan hati. Anandamurti (2011: 65) menjelaskan bahwa pengalaman langsung atau anubhava dirasakan melalui kescuian batin, dan kesucian tersebut timbul dari rasa tulus yang mendalam. Ketulusan warga desa Pakraman yang sebelumnya memeluk Katolik, dan kembali menjadi Hindu serta melanjutkan titah sebagai Pemangku mengekspresikan sebuah kesan mendalam. Hal tersebut harus dilakukan dengan kesungguhan hati, agar berpahala, seperti tertuang dalam Teks Widhi Sastra. Iki Tegesing Pemangku, pa ngaran pastika, pasti ring kasucyaning angga sarira. Mang ngaran weruh tata titining agama, apan Mang ngaran Iswara. Sang Hyang Iswara maka guruning wwang sadesa, maka angga ramadesa. Ku ngaran Kukuh ring widhi. Di ngaran Dina, Na ngaran amertha, Ta ngaran Toya, Ya ngaran Jati, Jatining kaweruhan ring kahananing bhuawana agung mwang buawana alit. Mangkana kengetakna Ajwa Lupa.

Terjemahan : Inilah yang namanya Pemangku, Pa berarti Pasti, pasti dari kesucian dalam diri sendiri. Mang berarti kepintaran dan kepandaian tentang ajaran Agama (agama Hindu), Karena Mang adalah aksara dari Iswara. Sang Hyang Iswara adalah Guru semua mahluk yang berada diseluruh badan alam semesta. Ku berarti bhakti terhadap Sang Hyang Widhi. Di berarti hari, Na adalah amerta, Ta seperti air, Ya adalah Keseriusan atau sejati. Keseriusan, kepandaian dan bhakti setiap hari, untuk mendapatkan amerta layaknya hidup seperti air

74 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

yang mengalir di dalam alam semesta maupun di dalam diri sendiri, demikianlah nasehat jangan dilupakan.

Menurut Jro Mangku Nari (wawancara, 25 Agustus 2014) ketika ada kesiapan menjadi Pemangku di Pura Pecatu, memiliki perasaan sangat bahagia. Terlebih di desa Pakraman Penganggahan Tengkudak telah dibangun sebuah sistem yang adaptif dan startegi mensejahterakan Pamngku, yakni Pemangku dibiayai oleh desa Pakraman. Hal tersebut menjadi sebuah isyarat bahwa desa Pakraman memiliki kekuatan dan legitimasi yang otoritatif untuk mengatasi konversi agama. Sistem yang demikian, didukung pula oleh ketegasan Bendesa Adat beserta para prajuru adat di masing-masing desa Pakraman untuk menegakan prinsip dan aturan adat. Jero Mangku Nari (wawancara, 25 Agustus 2014) menjelaskan sebagai berikut. “Saya meyakini bahwa Bendesa Adat beserta prajuru adat adalah tokoh panutan yang sangat saya hormati, karena mereka adalah para tetua dalam desa Pakraman. Apalagi mereka adalah representasi dari warisan leluhur Bali yang begitu disakralkan. Kata-katanya adalah perintah untuk melanjutkan dan melestarikan ajaran leluhur yang terdapat di dalamnya Agama Hindu”

Bertumpu atas uraian tersebut, bahwa peran Bendesa Adat sangat penting dalam menegakan aturan adat. Seorang Bendesa Adat adalah orang yang dipercaya sebagai tetua untuk memimpin para prajuru adat beserta krama Adat. Bendesa berasal dari Kata Banda dan Desa. Banda artinya mengikat dan desa berarti wilayah, sehingga Bendesa adalah mereka yang dipercaya oleh para krama adat untuk mengikat seluruh masyarakat agar tercipta Tri Hita Karana yaitu tiga penyebab keharmonisan (Wiana,2008: 76). Peran Bendesa Adat merupakan modal simbolik yang dapat dijadikan alat untuk mengusaai. Sebagaimana Bourdieu (dalam Haryanto,2014: 47) menjelaskan bahwa modal simbolik merupakan modal yang penting untuk menangkap modal lainnya sehingga modal simbolik dapat dijadikan alat untuk menguasai. Mengacu pada teori tersebut, menjadi Bendesa Adat merupakan kepemilikan modal simbolik yang sangat penting untuk penguasaan modal lainnya dalam ranah sosial. Penguasaan tersebut dapat dijadikan media untuk mengatur dan menjalankan awig-awig atau

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 75 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. aturan adat agar dapat memberikan penguatan masyarakat Hindu Bali dan menguasai aspek lainnya sehingga dapat menarik warga Katolik untuk kembali ke Hindu. Penguasaan modal simbolik sangat jelas terlihat pada saat paruman adat, dan seorang Bendesa yang sedang memimpin paruman memiliki legitimasi yang kuat, terlebih modal cultural bahwa paruman adat merupakan ranah sakral. Jadi, segala keputusan dan putusan dalam paruman adat harus dilaksanakan, dan tidak dapat dibantah karena telah dianggap Tuhan bersaksi dan menghendaki apa yang diparumkan. Terlebih sebelum paruman adat, prajuru adat melaksanakan persembahyangan terlebih dahulu, dan disaksikan oleh Tuhan dalam sarana upacara pejati. Secara maknawi, pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” yang berarti keseriusan. Jadi pejati berarti melaksanakan apapun dengan keseriusan dan kesungguhan hati (Sudarsana,1999: 7). Selain fenomena tersebut, fenomena yang sama juga dialami secara emperikal oleh Jro Mangku Kandel yang kembali ke Hindu kemudian menjadi Pemangku. Pada waktu Katolik masuk ke Desa Penganggahan, dirinya masih sekolah di bangku SD, kemudian orang tuanya bersama keluarga lainnya melakukan konversi agama karena berbeda pendapat waktu itu antara menantu dan mertua, yaitu nenek dengan ibunya, seperti dalam petikan wawancara berikut. “Tiang memang pernah menjadi Katolik, karena mengikuti orang tua. Jadi pada waktu itu tidak tahu apa-apa. Pindah agama, ya pindah, karena tidak tahu tentang pencarian terhadap Tuhan yang sesungguhnya. Kalau tidak salah, pada waktu itu tahun 1975 saya masuk sebagai Katolik bersama keluarga. Jadi yang saya dapatkan waktu itu seingat saya adalah mendapatkan buku dan pensil serta disekolahkan di SD Katolik yang berada di luar Kota Tabanan, tapi setelah dua tahun disekolahkan saya balik ke Penganggahan” (Jro Mangku Kandel,wawancara,25 Agustus 2015).

Keluarga memiliki peran penting dalam pendidikan agama, apalagi urusan agama ditentukan oleh orang tua yang memberikan nilai-nilai keagamaan, apapun agama yang ditentukan orang tua, mempengaruhi cara belajar anak mengenal agamanya. Sifat anak mengenal agama ataupun Tuhannya dalam psikologi agama disebut memiliki sifat imitative, yaitu suatu sifat suka meniru. Menurut penelitian Gillespy dan Young

76 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. menyatakan bahwa anak yang tidak mendapatkan pendidikan agama dalam keluarga tidak dapat diharapkan menjadi pemilik kematangan agama yang kekal (Jalalludin, 2010: 73). Inilah peranan keluarga dalam mengarahkan pendidikan umat sejak dini. Pengalaman beragama inilah justru membuat Mangku Kandel semakin mengenal keagamaan sampai akhirnya memutuskan kembali menjadi Hindu (rekonversi agama). Pada tahun 1977, keluarga Mangku Kandel transmigrasi ke Sulawesi karena situasi ekonomi zaman itu sangatlah sulit, tapi tahun 1978 kembali ke Bali oleh neneknya, ketika di Bali inilah neneknya memberikan saran masukan dan nasehat tentang keluarganya, bahwa dijelaskan Mangku Kandel adalah keturunan Pemangku di Pura Dalem di Kahyangan Desa Penganggahan, seperti dituturkan Mangku Kandel dengan nasehat neneknya. “tut, mbah nak ngorin tut ne uli pidan nak meagama Hindu. para penglingsisr mekejang dadi Pemangku di Pura Dalem dini. Jani yen tut nu meagama Katolik, nyen kal orin ngeruruang Purane. Pa buin para krama sesai nunas tirta, nyen kal orin biin ngemargiang. Yen dadi tut jani meagama Hindu, mendan pang ada ne ngelanjutin kePemangkuanne”

Terjemahan : “Tut, nenek memberi tahu kamu sejak dulu keluarga kita beragama Hindu. para leluhur semuanya menjadi Pemangku di Pura Dalem. Kalau sekarang ketut beragama Katolik, siapa yang akan merawat Pura. Apalagi para krama adat sering memohon air suci di Pura, siapa yang akan melayani. Kalau boleh nenek kasi saran kembalilah menjadi Hindu, agar ada yang melanjutkan ngayah di Pura sebagai Pemangku disana, nanti setelah kamu dewasa”

Pesan neneknya kepada Kandel tentang peran keluarganya di masyarakat, memiliki tanggungjawab moral terhadap krama desa Pakraman Penganggahan sehingga memutuskan kembali menjadi Hindu (rekonversi agama). Kembalinya Mangku Kandel menjadi Hindu karena kuatnya desa Pakraman yang membentengi masyarakatnya. Mangku Kandel adalah trah keturunan Pemangku di Pura Dalem Kahyangan Desa Penganggahan. Ketika beranjak dewasa, Jro Mangku Kandel diputuskan oleh Desa Pakraman Penganggahan sebagai Pemangku, menggantikan Pemangku Dalem sebelumnya. Permintaan dari desa Pakraman, diikuti Jro Mangku Kandel sebagai bentuk tanggungjawab sosial dan swadharma.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 77 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Setelah menjadi Hindu dari zaman dulu dan kini menjadi Pemangku, dapatlah kemudian menceritakan kepada anak cucu tentang eksistensi keluarganya terhadap desa Pakraman. Ada ideologi yang kemudian dipancangkan dalam keluarganya terhadap tanggungjawab kepada leluhur yang ikut merintis membangun desa Pakraman masih eksis dan diharapkan berkembang untuk generasi berikutnya. Ideologi inilah yang menyatukan keluarganya tetap berpegang teguh menganut Agama Hindu karena dalam suatu agama ada ikatan darah yang menyatukan suatu individu, ketika dibenturkan dengan keluarga besar, yaitu desa Pakraman. Kebertahanan desa Pakraman dalam sistem kePamangkuan yang termuat dalam awig-awig desa Pakraman, menyebabkan salah satu umat Hindu yang konversi ke katolik memutuskan kembali menjadi Hindu karena mendapat tugas desa Pakraman sebagai Jro Dasaran adalah Bedra, sejarah masuknya Bedra menjadi Katolik karena mengikuti orang tua, yang dulu telah berjanji menjadi Katolik karena disembuhkan oleh Pastor Seeberger, SVD atas izin dan kehendak juru selamat Yesus Kristus. Menurut Bedra (wawancara, 15 Agustus 2014) mengatakan masuk sebagai Katolik tahun 1969, Orang tuanya adalah salah satu tokoh pengurus Gereja di Desa Pengangahan. Keseharian ikut terlibat dalam program Katolik. Perkembangan selanjutnya memutuskan kembali menjadi Hindu tahun 2000, karena sering mengalami kerauhan atau trance. Bahkan saat dirinya menjadi Katolik pun terus kerauhan. Ketika ditarik garis keturunan ke atas, ternyata Bedra adalah keturunan salah satu Pemangku di Pura Luhur Batukaru yang kemudian menetap tinggal di Penganggahan, kemudian leluhurnya menekuni spiritual dalam upaya melakukan tapa, brata, dan mencapai samadhi sekaligus mengasah jñana untuk menyucikan diri. Tidak mengherankan Bedra selalu mengalami pengalaman spiritual dalam kehidupannya. Segala godaan dan cobaan datang silih berganti. Bahkan seorang putranya bernama Subagia meninggal dalam keadaan sakit. Begitu berat cobaan dihadapi Bedra beserta keluarganya. Istri Bedra, yaitu Sudri (wawancara: 11 Agustus 2014) bahwa pada saat menjadi Katolik, Bedra sering kerauhan dan diharapkan Bedra ngiring menjadi dasaran desa. Hal tersebut tidak ditanggapi serius, sampai anaknya meninggal. Akhirnya memutuskan kembali menjadi Hindu, pada saat menjadi Hindu, seluruh krama desa memberikan dukungan dan segera melakukan upacara pewintenan diangkat sebagai Jro Dasaran.

78 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

“sampai mangkin dados dasaran desa, wenten karya, piodalan lan panca yajna. Pasti sampun dasaran desa nyarengin. Padahal kuren tiang nak belog, ten uning napi, mangkin kautus dados dasaran. Nika margiang sampai mangkin taler ngaturang ayah ring krama Desa Penganggahan. tiang wantah nunas mangda selamat seger sareng sami tiang lan keluarga, napi malih wenten cucu ten medue rerame. Mangda prasida ida bhattara mapaica panugrahan”

Terjemahan: (sampai saat ini menjadi dasaran desa, ada upacara, piodalan dan panca yajna. Pastilah dilibatkan, padahal suami saya tidak begitu pintar, tidak tahu apa-apa. Sekarang menjadi dasaran di desa. Tapi kami jalani saja sebagai bentuk pengabdian bagi seluruh umat Hindu di Desa Penganggahan. saya hanya memohon kepada Ida Sng Hyang Widhi Wasa agar diberikan keselamatan, sehat seluruh keluarganya. Apalagi memiliki cucu yang tidak punya bapak. Semoga Tuhan memberikan anugrahnya).

Bentuk pengabdian pada desa Pakraman adalah hal yang sangat penting, seluruh jiwa diserahkan sebagai bentuk bhakti kehadapan leluhur dan krama adat, khususnya di Desa Pakraman pengangahan. Ideologi dalam desa Pakraman, mampu membuat orang-orang yang dahulunya beragama Katolik dan meninggalkan Hindu pada akhirnya sadar berbhakti pada Tuhanya. Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa desa Pakraman sebagai bentuk kebertahanan agama Hindu. Adanya desa Pakraman di Bali sebenarnya memiliki ideologi sehingga dapat eksis sebelum zaman Majapahit sampai saat ini, bahkan di masa datang. Ideologi dalam Desa Pakraman ibaratnya besi pancang yang kuat ditanam di Bali dengan berbagai macam ritual, , yantra, mudra, dan lain sebagainya lebur menjadi satu sebagai suatu energi spiritual berkumpul menjaga Bali dari berbagai gempuran ideologi yang masuk ke Bali. Setiap desa Pakraman di Bali memiliki tradisi yang disakralkan sehingga umat Hindu semakin eksis dan kuat. Agama Hindu akan tetap eskis, dan sulit ditembus karena ideologi desa Pakraman di Bali telah masuk dalam diri umat Hindu maupun orang yang berada di Bali secara tidak disadari. Hal tersebut sesuai dengan teori ideologi Althurser (dalam Takwin, 2009: 84-85), mengartikan ideologi sebagai ketidaksadaran yang begitu

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 79 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. mendalam (profoundly unconscious). Ideologi adalah salah satu bentuk ketidaksadaran, maka prakteknya dalam diri manusia tidak disadari. Ideologi masuk lewat berbagai sumber yang terkait dengan struktur masyarakat: keluarga, agama, pendidikan, media massa dan lain-lain. Berdasarkan teori Althuser, eksistensi desa Pakraman di Penganggahan merupakan bukti kuatnya ideologi tiang pancang yang telah ditanam leluhur umat Hindu di Bali. Hal tersebut dapat dilihat dalam rekam jejak masuknya Katolik di Penganggahan tahun 1968 sampai 1970. Dala kurun waktu tersebut, Katolik memiliki penguasaan modal simbolik sehingga 40 KK warga desa Pakraman Penganggahan berhasil dikonversi ke Katolik. Namun, tidak sampai sepuluh tahun warga yang dikonversi kembali menjadi Hindu. Eksistensi sistem yang dibuat desa Pakraman telah mampu mengembalikan umat Hindu yang telah mendarah daging dari ratusan generasi sehingga ideologi secara tidak langsung telah membuat umat Hindu tidak mampu meninggalkan agama leluhurnya. Hal tersebut dibenarkan oleh Ginder (wawancara, 13 sepetember 2014) yang menjelaskan bahwa, ketika dilantik sebagai Kelian Dusun Banjar Penganggahan, berdasarkan adminitrasi kependudukan secara serempak sebanyak 14 KK umat Hindu yang telah konversi menjadi Katolik, memutukan kembali ke Hindu dan megubah KTP-nya menjadi Hindu. Hal tersebut disebabkan oleh kuatnya niat dari dalam atau juga ketakutan yang disebabkan oleh sanksi sosial yang dimiliki desa Pakraman. Menurut Wardana (wawancara, 3 Agustus 2014) sebagai Sekretaris Bendesa Adat Penganggahan bahwa, pada tahun 2014 jumlah Katolik semakin berkurang, yang bertahan sampai saat ini (2014) hanya kurang lebih 5-7 KK dan kembali menjadi Hindu terakhir pada tahun 2005, yaitu keluarga I Wayan Suderi. Kembalinya warga Penganggahan menjadi Hindu dengan berbagai macam faktor, namun desa Pakraman sebagai penerima dan pengayom memberikan kemudahan dan kelonggaran, sampai akhirnya warga yang dikonversi kembali menjadi Hindu salah satu syaratnya adalah membuat sanggah kamulan sebagai pemujaan terhadap Hyang Guru atau leluhur.

Pengaruh Dialektika Pemikiran Terdapat berbagai aspek yang menyebabkan pemeluk agama Katolik di Desa Pakraman Tengkudak, Penebel, Tabanan melakukan rekonversi ke Agama Hindu. Selain disinggung dalam deskripsi di atas, yakni peran desa

80 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Pakraman yang setrategis sebagai penyebab rekonversi, melalui pendidikan dan pengetahuan juga dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab rekonversi. Rusman (2011: 64) menjelaskan bahwa kemajuan dunia pendidikan di suatu tempat mempengaruhi cara berpikir masyarakatnya, sehingga muncul perkembangan dan inovasi di bidang sosial, budaya, ekonomi, politik dan lainnya. Sejarah rekonversi agama terjadi di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan adalah bentuk dialektika pemikiran di bidang keimanan dengan kemajuan pendidikan masyarakatnya. Hal itu sesuai dengan definisi pendidikan, yaitu usaha sadar dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau latihan yang berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah sepanjang mempersiapkan peserta didik, agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup di masa datang (Tanu, 2011: 76). Pendidikan adalah pengalaman-pengalaman belajar terprogram dalam bentuk pendidikan formal, non-formal dan informal di sekolah dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup bertujuan optimalisasi pertimbangan kemampuan-kemampuan individu agar di kemudian hari dapat memainkan peranan hidup secara tepat (Mudyahardjo, 2001: 11). Merujuk pada terminologi pendidikan tersebut, maka pendidikan dapat dilakukan di dalam sekolah, keluarga dan masyarakat. Melalui pendidikan dan pelatihan yang dilakukan secara sadar akan mampu meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap segala fenomena berkehidupan. Demikan juga melalui pendidikan keimanan seseorang terhadap keyakinan dan agamanya dapat meingkat. Konversi yang terjadi di wilayah desa Pakraman Tengkudak tidak terlepas dari kondisi sosial masyarakatnya yang miskin pendidikan. Sebagaimana menurut salah seorang tokoh masyarakat Tengkudak, Arjana (wawancara, 9 Mei 2014) menjelaskan sebagai berikut. “sebelum tahun 1965 kehidupan masyarakat di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan adalah masyarakat belum mengenal pendidikan khususunya sekolah, meskipun pada zaman itu telah berdiri sekolah- sekolah. Hal ini disebabkan lingkungan masyarakatnya dan juga letak geografis berada di pegunungan. Kehidupan masyarakat zaman tersebut mayoritas menjadi petani, namun masyarakat telah memiliki budaya yang diwariskan oleh para leluhur dalam menjaga tradisi, berupa sistem pengairan, sistem kemasyarakatan dan sistem religius. Perkembangan berikutnya tahun 1965 terjadi krisis paceklik

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 81 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

menyebabkan masyarakat mengalami kemiskinan, sehingga dibantu para missionaries dengan diberikan gandum, pakaian bahkan disekolahkan ke sekolah keguruan yang berada di tanah Jawa. Pada masa susah itu kemudian datang misionaris memberikan bantuan ekonomi ternyata bermotif propaganda yang dibuktikan beberapa masyarakat dibaptis menjadi Katolik. Keikutsertaan masyarakat dibaptis menjadi Katolik karena ketidaktahuannya mengenal istilah ajaran Agama Hindu. Masyarakat masih sangat awan terhadap ajaran Hindu, terlebih saat itu tidak adanya ajaran agama, seperti penyuluhan agama, buku-buku agama maupun sekolah khusus Agama Hindu. Pada pelaksanaan beragamanya mereka tetap menjalankan tradisi mereka dan budaya Bali, yaitu melakukan persembahyangan ke Kahyangan Tiga di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan”

Merujuk dari deskripsi Arjana di atas, pendidikan yang minim menjadi salah satu faktor terjadinya konversi. Masyarakat yang tidak berpendidikan notabene tidak akan dapat memahami cara dan hakikat praktik keberagamaan yang dilakukan. Atas dasar tersebutlah, konversi terjadi di desa Pakraman Tengkudak. Namun, perkembangan selanjutnya tingkat pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan berimplikasi pada meningkatnya Sumber Daya Manusia Hindu khususnya di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan. Semua warga menjadi melek dan beberapa diantaranya mulai bersekolah sehingga mengenal ajaran agama Hindu dalam bentuk buku-buku, maupun pergaulan di sekolah. Memahami ajaran Hindu di sekolah dan komunikasi melalui media cetak dan elektronik, serta kemajuan pariwisata di Bali menyebabkan umat Hindu yang konversi agama menjadi Katolik di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan berproses kembali menjadi Hindu (rekonversi agama). Menurut Arjana (wawancara, 9 Mei 2014) bahwa kembalinya umat Hindu yang dibaptis menjadi Katolik dan kembali ke Agama Hindu (rekonversi agama) karena tingkat pendidikan umat semakin membaik dengan mengenal istilah perbandingan, merasakan dan menggunakan akal sehat serta logika dalam memahami ajaran agama. Perlahan-lahan dengan pengetahuan yang dimiliki dan proses berpikir menggunakan intelektual yang mengkaji dan menganalisis permasalahan yang dihadapi dalam keyakinanya, akhirnya memutuskan kembali menjadi umat Hindu, sesuai tradisi para leluhur. Hal yang sama juga disampikan Suderi (wawancara, 11

82 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Agustus 2014) mantan dewan Gereja di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan bahwa dulunya melakukan konversi ke Agama Katolik karena kurangnya pendidikan sehingga tidak mempunyai pengetahuan benar tentang Katolik maupun agama Hindu. Seiring waktu, warga mulai mempelajari agama Hindu melalui buku-buku dan bertanya kepada warga lain yang memiliki kemampuan dalam hal ajaran agama Hindu sehingga memutuskan kembali menjadi Hindu dengan keiklasan dan dipertimbangkan dengan akal sehat. Pendidikan yang semakin maju dan merata membuat pikiran masyarakat terbuka sehingga dapat menentukan pilihan-pilihan lebih rasional yang dirasakannya sesuai kemampuan dan keinginannya. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Tengkudak pada tahun 2013 dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.2 Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Tengkudak Tahun 2013

No Tingkat Pendidikan Jumlah 1 Tamat SD 2.163 orang 2 Tamat SMP 1.916 orang 3 Tamat SMA 1.565 orang 4 Strata 1 (S1) 85 orang 5 Strata 2 (S2) 7 orang 6 Strata 3 (S3) 6 orang 7 D1 22 orang 6 D2 8 orang 7 D3 19 orang (Sumber: Profil Desa Tengkudak, 2013)

Berdasarkan Tabel 4.2 di atas dapat diketahui tingkat pendidikan masyarakat Desa Tengkudak tergolong maju. Lebih detailnya lagi, keluarga Suderi melakukan rekonversi ke Agama Hindu menunjukkan perbaikan di bidang pendidikan. Suderi sebagai guru Sekolah Dasar (SD), sedangkan anak pertamanya tahun 1991 kuliah di Universitas Mahasaraswati, Denpasar, sedangkan anak keduanya kuliah di Denpasar. Intelektualitas yang berkembang menjadikan seseorang menginginkan hidupnya lebih bermakna, tidak saja kaitannya dengan diri (batin) dan sesama, tetapi juga dengan alam. Hal tersebut sesuai dengan Weber (2012: 324), bahwa para cendikiawan berusaha dengan berbagai cara yang kasusnya hampir tak

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 83 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. terbatas jumlahnya untuk menganugerahi hidupnya dengan sebuah makna yang mendalam dan karenanya menemukan kesatuan dalam dirinya dengan sesamanya dan dengan kosmos. Pendidikan cukup menjadikan seseorang menguasai ilmu pengetahuan dan dengan pengetahuan, seseorang memiliki alasan kuat memutuskan tindakannya. Pengetahuan melenyapkan keragu-raguan, termasuk dalam menentukan agamanya. Sebagaimana secara implisit dijelaskan dalam teks Bhagavadgita IV. 41 dan 42 berikut. Yoga samnyasta karmanam jnana samcchinna samsayam, Atmavanism na karmani nibadhnanti dhanamjaya.

Terjemahan: Ia yang bebas menurut ajaran yoga, Dananjaya, yang mengikis keraguannya dengan ilmu pengetahuan Yang telah menguasai jiwanya sendiri, Hukum kerja tidak membelengunya lagi(Pendit, 1991: 129).

Tasmad ajnana sambhutam hritstham jnanasina ‘tmanah, Chhittvai ‘nam samsayam yogam atishtho ‘’ttishtha Bharata

Terjemahan : Sebab itu, setelah memotong keraguan dalam hatimu karena ketidaktahuan dengan pedangnya ilmu pengatahuanBerpegang pada yoga, bangkitlah! O Bharata (Pendit, 1991: 130).

Selain itu, aspek pendidikan dan agama merupakan komponen yang sangat menentukan dalam menghadapi kehidupan kompleks. Agama merupakan pelita yang menerangi kehidupan manusia. Melalui agama kesadaran manusia akan kebesaran Tuhan semakin meningkat sehingga menjauhi hal-hal terlarang. Manusia juga menjadi mampu mengolah anugerah Tuhan untuk kepentingan hidupnya dengan berlandaskan kebenaran. Melalui ajaran agama manusia dapat mencapai tujuan hidup yang paling asasi, yaitu kedamaian rohani (Sutriyanti, 2011: 53). Kedamaian rohani memiliki korelasi dengan pikiran dan pikiran berkembang berkat ilmu pengetahuan. Selain Suderi, aktor rekonversi lainnya adalah Bedra, yang konversi dari Agama Hindu ke Katolik tahun 1970 dan rekonversi ke Hindu tahun

84 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

1990. Sebelum rekonversi agama, Bedra sering mengalami hal aneh, di antaranya kerauhan ketika bekerja sebagai buruh di sebuah pura. Hal tersebut menjadi sebuah misteri, bahwa seorang pemeluk Katolik dapat kerauhan. Adanya fenomena seperti itu, menjadikan Bedra termotivasi bertanya kepada orang-orang yang mengerti serta membaca buku-buku agama Hindu. Melalui pendidikan di luar sekolah (nonformal) Bedra mulai mengerti tentang hakikat budaya Hindu di Bali, termasuk fenomena kerauhan. Berdasarkan pengetahuan tersebut, Bedra selanjutnya bertanya kepada balian mohon petunjuk mengenai kerauhan yang dialaminya. Setelah beberapa waktu sejak peristiwa itu Bedra kemudian rekonversi ke Agama Hindu (wawancara Bedra, 15 Agustus 2014). Tingkat pendidikan mempengaruhi intelektualitas seseorang kemudian berpengaruh pada perilakunya. Sebagaimana teori fakulti (Faculty Theory) disebutkan tingkah laku manusia tidak bersumber pada suatu faktor yang tunggal, tetapi terdiri atas beberapa unsur, antara lain yang dianggap memegang peranan penting adalah: fungsi cipta (reason), rasa (emotion) dan karsa (will). Cipta (reason) merupakan fungsi intelektual jiwa manusia. Ilmu kalam (teologi) adalah cerminan adanya pengaruh fungsi intelek ini. Melalui cipta, orang dapat menilai, membandingkan dan memutuskan sesuatu tindakan terhadap stimulant tertentu. Perasaan intelek ini dalam agama merupakan suatu kenyataan yang dapat dilihat, terlebih- lebih dalam agama modern, peranan dan fungsi reason sangat menentukan (Jalaluddin, 2010: 56). Pengalaman Suderi dan Bedra di atas menunjukkan tidak adanya konsistensi antara pengakuan luar sebagai penganut agama tertentu dengan ketaatan keimanan. Hal tersebut disebabkan adanya alienasi antara pengalaman batin dengan pengakuan bersifat formal. Hal tersebut merupakan pelajaran yang seharusnya membuat seseorang dinamis dalam kehidupan beragama, bukan mengembangkan fanatisme dan terlarut dalam dogma-dogma yang tidak memberikan kontribusi positif dalam kehidupan batiniah dan sosial kemasyarakatan. Ketaatan Suderi dan Bedra bertahun-tahun dalam nama iman Kristus terbukti hanya menjadi ketaatan luar saja. Kondisi ini disebabkan cara pendidikan dan pembelajaran agama yang menekankan pada upaya membuat orang beragama (to have religion) karena diyakini akan otomatis menjadikan seseorang akan beriman. Padahal orang yang beragama secara

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 85 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. taat (ke Gereja setiap mingggu atau bahkan setiap hari) belum tentu beriman. Susetyo (2005: 89) menandaskan dalam deskripsi logis bahwasanya pendidikan agama saat ini terkesan membuat orang menjadi suci, taat pada peraturan agama sedetail-detailnya, tetapi kurang memberikan perhatian pada masalah-masalah sosial. Adanya nilai-nilai dalam pendidikan saat ini, menurut kriteria masing-masing agama membuat seseorang belajar agama adalah untuk menjadi suci. Berbeda dengan Agama Hindu bertujuan tercapainya moksatam jagathita ya ca iti dharma (Gambar: 5.5), yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan dalam dunia maupun setelah kematian serta tercapai pembebasan atau kesempurnaan rohani. Ajaran Hindu tidak memberikan doktrin dan dogma, karena doktrin mengikat seseorang bahkan cenderung menyimpang menjadi over fanatik, terlebih dogma agama disampaikan menyebabkan orang menjadi kaku dan keras. Hindu memberikan dasar pengetahuan fleksibel sehingga dapat dicapai dan dicari dengan jalan apapun berdasarkan dharma, seperti gambar 4.3 berikut.

WEDA

PARA WIDYA ESOTERIS Epistemologi Pramana Tiga Kerangka Dasar  Pratyaksa Pramana Agama Hindu  Anumana Pramana  Tattwa  Sabda Pramana  Susila  Upamana Pramana  Acara APARA WIDYA EKSOTERIK

MOKSATAM IDEOLOGI JAGATHITA YA PEMBEBASAN CA ITI DHARMA HINDU

Gambar 4.4 Pengetahuan Dalam Ajaran Agama Hindu (Sumber: Pradnya, 2014)

86 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Merujuk pada gambar 4.4 tersebut, maka dapat dideskripsikan bahwa pengetahuan paling hakiki bagi umat Hindu adalah Weda sebagai pengetahuan tertinggi yang dijabarkan dalam tiga kerangka dasar agama Hindu, terdiri dari tattwa (filsafat), Susila (etika) dan Acara (ritual keagamaan). Tiga dasar Agama Hindu membentuk konstruk berpikir umat Hindu dalam memahami Tuhan dengan pengetahuan para widya bersifat spiritual, rohani/batin atau dalam konteks ini disebut esoterisme beragama. Selain itu, pengetahuan dalam memahami Tuhan dilakukan melalui apara widya atau sains yang sifatnya jasmani, material atau eksoterisme. Weda sebagai kitab suci telah merangkum seluruh pengetahuan yang dipelajari berdasarkan epistemologinya disebut catur pramana, yaitu melalui persepsi atau pengamatan (Pratyaksa pramana), menarik kesimpulan (Anumana Pramana), Perbandingan (Upawana pramana) dan Perkataan (Sabda Pramana). Berdasarkan epistemologi Agama Hindu sebagai dasar ideologi pembebasan Hindu disebut apawarga yaitu pembebasan mutlak dari penderitaan, sehingga mereka yang telah mencapai kebebasan ini, mereka adalah orang yang tercerahkan (Sivananda, 2003: 183). Inilah disebut dengan Moksatam Jagathita Ya Ca Iti Dharma, kebebasan abadi jasmani dan rohani dengan menyatu pada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kontruk pengetahuan dalam Agama Hindu yang universal dan merangkum seluruh pengetahuan alam semesta dapat juga diperbandingkan dengan ide-ide yang disampaikan oleh tokoh teori ideologi seperti Marx dan Althusser, mengenai pengetahuan agama (Tabel 4.3). Analisis komparatif, bermanfaat dalam penelitian ini, membuktikan pengetahuan yang menjadi besic ideologi dalam teks suci Weda adalah bersifat fleksibel dan kompetitif sehingga umat Hindu dapat lebih memahami pengetahuan Hindu yang telah terkonsep dari leluhur, keluarga dan lingkungan. Sebagaima dapat dicermati pada tabel 4.3 berikut.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 87 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Tabel 4.3 Ideologi Pengetahuan Agama Perspektif Marx, Althusser Dan Hindu

IDEOLOGI MARX ALTHUSSER HINDU Ideologi Makro dan Karakter Ideologi Makro Ideologi Mikro Mikro Kesadaran Luar dan Kesadaran Kesadaran dari luar Kesadaran dari dalam dalam (Sumber: Takwin, 2003; Althusser 2008)

Menurut Marx dalam pemikiran teori ideologi (dalam Takwin, 2003: 65) bahwa banyak manusia yang dicekoki dengan pengetahuan dan realitas yang salah sehingga menyadari realitas yang salah pula. Kesadaran yang salah memahami realitas, menurut Marx bersifat ideologis. Ditambahkanya pula negara adalah pihak yang menyebarkan kepalsuan dan kebohongan lewat idea-idea yang dijejalkan kepada rakyatnya. manipulasi ini didukung oleh para agamawan dengan ide-ide tentang pahala yang akan diperoleh di sorga sebagai bayaran dari penderitaan. Bagi Marx, negara dan agama merupakan suprastruktur yang menguntungkan kelas pemodal dan memperlemah kelas pekerja. Ideologi Marx adalah bersifat makro, bahwa individu yang tertindas, sebenarnya tidak memiliki ideologinya, karena mereka hanya sebagai pengikut dari ideologi negaranya atau penguasanya, sehingga secara tidak langsung, apapun ideologi dari penguasa atau negaranya harus dipatuhi, meskipun bertentangan dengan hati nurani. Ideologi Marx bersifat massif dan kekerasan, inilah yang kemudian disebut Marx sebagai kesadaran palsu (Althusser, 2008: 121). Marx membagi dua struktur dalam fenomena kehidupan. Yang dibawah bernama Base Structure dan diatas bernama Supra structre. Yang dibawah akan medikte yang diatas. Yang dibawah ini adalah materi, suatu yang tangible, yang bisa diukur, itu adalah ekonomi dan yang diatas itu adalah ide-ide yang tak terukur, seperti agama, pendidikan, hukum, politik, sosial dan lain-lain. Sederhananya, ekonomi akan mendikte agama, pedidikan, hokum dan politik. Jadi yang penting bagi Marx adalah membenahi sesuatu yang bisa di ukur, yaitu ekonomi. Ketika ekonomi baik, stabil, dan mencapai keadilan, maka akan mendapatkan supra structure yang baik. Suatu hal yang percuma jika kita meubah-ubah dan berjuang

88 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. menyelesaikan pendidikan, hukum, politik, karena semua hal itu tidak akan berpengaruh apa-apa, kecuali ekonomi sebagai base structure berubah. Itulah pandangan Marx Kuncinya ada pada ekonomi. Pemikiran Marx di atas berbeda dengan ideologi dari muridnya, yaitu Althusser. Ideologi Althusser adalah ideologi mikro artinya ideologi yang dimiliki oleh masing-masing individu-individu yang telah diperoleh sejak kecil maupun dalam ligkungan tertentu. Kesadaran dari ideologi Althusser adalah kesadaran yang lahir dari dalam diri masing-masing individu. Ideologi membuka ruang diri individu dan mendapatkan kebebasan untuk menyampikan ide-idenya untuk kesejahteraan masyarakat secara makro. Althusser punya dua tesis tentang ideologi. Tesis pertamanya mengatakan bahwa ideologi adalah representasi dari hubungan imajiner antara individu dengan kondisi eksistensi nyatanya. Yang direpresentasikan disitu bukan relasi riil yang memandu eksistensi individual, tetapi relasi imajiner antara individu dengan suatu keadaan dimana mereka hidup didalamnya. Tesis yang kedua mengatakan bahwa representasi gagasan yang membentuk ideologi itu tidak hanya mempunyai eksistensi spiritual, tetapi juga eksisten material. Jadi bisa dikatakan bahwa aparatus ideologis negara adalah realisasi dari ideologi tertentu. Ideologi selalu eksis dalam wujud aparatus. Eksistensi tersebut bersifat material. Eksistensi material menurut Althusser bisa dijelaskan bahwa kepercayaan seseorang atau ideologi seseorang terhadap hal tertentu akan diturunkan dalam bentuk-bentuk material yang secara natural akan diikuti oleh orang tersebut. Misalnya jika seseorang percaya kepada Tuhan dan termasuk penganut agama tertentu, maka orang tersebut akan pergi ke gereja untuk mengikuti misa, pergi ke masjid untuk sembahyang lima waktu. Atau kalau percaya keadilan, maka orang tersebut akan tunduk pada aturan hukum, menyatakan protes, atau bahkan ikut ambil bagian dalam demonstrasi, jika ketidakadilan menimpa. Ajaran Agama Hindu yang merangkum pengetahuan dalam perspektif teori ideologi Marx dan Althusser memberikan penjabaran universal, bahwa ideologi seseorang justru ditentukan secara makro maupun mikro. Makro yang disampaikan Marx adalah Negara yang memberikan ideologi bagi kelompok yang tidak berkuasa atau pemilik modal sebagai pemilik base struktur yang mengatur agama sebagai suprastruktur. Menurut ajaran Hindu, base struktur dalam catur warna disebut Brahmana dan Kesatria yang diatur sedemikian rupa berdasarkan swadharmanya bukan

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 89 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. atas kelahirannya. Swadharma Brahmana dan Kesatria diatur dalam kitab dharmasastra sehingga mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan masyarakat yang melaksanakan swadharmanya berdasarkan pengetahuan dharma. Swadharma Brahmana dan Ksatria sebagai base struktur mampu mengendalikan supra struktur, seperti kehidupan sosial masyarakat, khususnya di desa Pakraman, sebagai palemahan atau lingkungan. Begitu pula Hindu memberikan pengetahuan dalam setiap individu- individu yang disampaikan Altusser dalam teori ideologinya, sebagai ide- ide imajiner setiap individu. Bahwa umat Hindu diberikan kebebasan untuk memahami eksitensi Tuhan dengan pengetahuan yang dimiliki, kemudian ide-ide individu yang dimiliki dapat diaplikasikan pada masyarakat umum. Jadi ada kebebasan seseorang dalam memahami ajaran Hindu sehingga banyak pengetahuan suci yang dimiliki oleh Umat Hindu dan hal ini tertuang dalam Kitab Wraspati Tattwa, 2 dan 3, yaitu percakapan antara Iswara dengan Rsi Wraspati, bahwa pengetahuan yang beraneka ragam disebabkan manusia atas kelahiranya berbeda-beda (Putra dan Sadia, 1998: 2-5). Jadi setiap individu memiliki pengetahuanya sendiri yang diyakini dapat memberikan pembebasan atau kebahagiaan. Kesadaran dalam diri manusia menurut ideologi pengetahuan Hindu adalah kesadaran yang berasal dari dalam dan luar diri manusia. Kesadaran dalam diri manusia adalah kesadaran batin yang bersifat rohani bertujuan menunggalkan atman dengan Brahman. Kesadaran di luar diri adalah kesadaran yang dilakukan umat Hindu dalam dunia material, mencari kesadaran terdalam tidaklah seseorang manamfik atas keberadanya di dunia material. Seseorang hendaknya menerima kehidupan material, namun dibalik itu kesadaran akan atman hendaknya tidak dilupakan. Untuk itu perlu dilakukan disiplin rohani sehingga manusia tidak diperbudak oleh material (Sandika, 2014: 66). Kembalinya umat Hindu yang dibaptis menjadi Katolik kemudian kembali menjadi umat Hindu di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan, menunjukkan ideologi yang berdasarkan esoterisme yang tetap kuat terhadap Hyang Widhi Wasa, dan membuktikan bahwa umat Hindu yang dibaptis menjadi Katolik di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan adalah warga desa yang tidak mengetahui tentang eksoterisme ajaran Hindu. Diakui bahwa kelemahan atas aparatus negara yang memiliki ideologi para penguasa yang memanfaatkan base struktur kemudian mempengaruhi

90 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. supra struktur Agama Hindu, menyebabkan Agama Hindu yang telah ada sebelum kemerdekaan baru diresmikan dan diakui sebagai agama nasional RI pada tahun 1962. Hal tersebut menyebabkan pengetahuan eksoterisme (apara widya) seperti buku-buku Hindu belumlah ada, terlebih kitab suci Hindu. Demikian pula tidak adanya lembaga pendidikan Agama Hindu yang concern terhadap pengembangan pendidikan agama Hindu. Meskipun tahun 1964 buku-buku agama Hindu dicetak oleh lembaga PHDI dengan melaksanakan Pesamuan Agung dan Mahasabha serta memprakarsai berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Hindu seperti PGAH, IHD, DAN STKIP (Lama dalam Nurkancana, 2009: 155). Hal tersebut tentu terlambat dari keberadaan Hindu di Nusantara. Ketidaktahuan umat Hindu di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan terhadap ajaran Hindu yang eksoteris menyebabkan umat Hindu mencari kebenaran yang dipercayai memiliki kebenaran yang sama dengan Hindu sehingga sampai dibaptis oleh Katolik. Ketidaktahuan ini, perlahan menjadi tahu karena pendidikan dan pemikiran intelektual masyarakat diperoleh dari epistemologi Hindu yang dijabarkan secara formal di sekolah. Penjabaran melalui ranah pendidikan berdampak pada meningkatnya kemampuan akal dan pikiran dalam menganalisis sesuatu sehingga wawasan atau cara pandang terhadap Hindu semakin terbuka. Perpaduan antara eksoterik dengan esoterik beragama yang dipahami oleh umat Hindu saat ini di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan pada akhirnya menemukan kebenaran sejati. pengetahuan sejati merupakan kesadaran yang diperoleh umat Hindu dari dalam maupun luar dirinya. Hal ini sesuai pemikiran dari Freudrich Scheiermacher (dalam Tumanggor, 2014: 25) menjelaskan sebagai berikut. Agama pada hakikatnya bukan pikiran, bukan perbuatan, melainkan perasaan yaitu rasa ketergantungan pada yang tak terhingga. Dogma dianggap benar sejauh mampu menjawab ungkapan rasa ketergantungan tersebut

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa seseorang yang meyakini dan percaya dengan Tuhan atau Hyang Widhi dalam batinnya melalui para widya (esoterik) pada akhirnya orang tersebut akan menemukan jalan terbaik untuk mencapai kebebasan atau kebahagiaan. Dalam hal ini doktrin ataupun dogma yang mengajarkan seseorang dikalahkan dengan pemikiran

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 91 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. yang lebih rasional dan melalui pengalaman niskala yang dirasakan lebih mendalam, maka dogma itu menjadi runtuh. Hal tersebut tertuang secara implisit dalam kitab Bhagavadgita, II. 15 sebagai berikut. Yam hi na vyathayanty ete purusham purusarsabha Sama-dukha-sukham dhiramso’mrtatvaya kalpate

Terjemahan: Wahai manusia yang paling baik (arjuna), orang yang tidak goyah karena suka ataupun duka dan mantap dalam kedua keadaan itu pasti memenuhi syarat untuk mencapai pembebasan (Maswinara,1999: 54).

Kutipan teks sastra suci di atas menunjukkan, bahwa keyakinan umat Hindu di desa Tengkudak, Penebel, Tabanan terhadap kemahakuasaan Tuhan yang berstana di masing-masing rumah maupun desa Pakraman secara esoterik tetap dilakukan meskipun telah dibaptis menjadi Katolik sehingga dalam keadaan suka dan duka mereka tidak tergoyahkan. Pernyataan tersebut dibenarkan oleh Geledeg atau Nang Nari (wawancara, 25 Agustus 2014) yang menjelaskan bahwa warga yang tidak paham terhadap Agama Hindu menjadikan dirinya dibaptis menjadi Katolik, apalagi budaya Bali digunakan oleh Gereja untuk mengkemas ajaranya, waktu itu tidak ada kecurigaan dari Nang Nari menjadi Katolik, tetapi merasa bersyukur para saudara semua tetap memberikan dukungan dan toleransi. Pendidikan dan pergaulan di luar menyebabkan mengenal Hindu dan memutuskan kembali menjadi Hindu. “tiang ten uning napi, tiang nak belog, tiang ten uning napi nika agama Hindu tiang turung uning. Dumun tiang ten masih uning Katolik, nanging liu masyarakat ngorang meagama Katolik patuh cara Hindu. di Katolik masih ngangge bahasa bali, megending Yesus. Tiang pindah dadi Katolik, trus ketemu sareng Guru Artana, guru sane ngajahin tiang memantra, nawang ba tiang meagama Hindu. Bin tiang balik meagama Hindu, lantas dadi Pemangku”(wawancara, Nang Nari: 25 Agustus 2014)

Terjemahan: Saya tidak tahu apa-apa, saya orang bodo dan tidak tahu ajaran Hindu belum dipahami dengan baik. Saya juga tida tahu Katolik, tapi banyak masyarakat waktu itu berbicara Katolik sama dengan

92 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Hindu. Di Katolik juga menggunakan Bahasa Bali, bernyanyi Yesus. Saya pindah menjadi Katolik, lalu bertemulah dengan Guru Artana, gurulah yang kemudian mengajari dan menuntun untuk tahu mantra dan memahami ajaran Hindu. akhirnya saya kembali menjadi Hindu dan menjadi Pemangku (pemimpin upacara.

Semangat belajar Nang Nari memahami agama Hindu dilakukan dengan selalu bertanya kepada tokoh agama Hindu yang mengetahui tata cara melaksanakan upacara yajna, kepemangkuan, mantra-mantra persembahyangan dan lain sebagainya sehingga banyak buku-buku agama Hindu yang diterima dan dipelajari sebagai dasar menjadi seorang pemangku di Pura Puseh Pecatu. Pernyataan yang disampaikan aktor rekonversi agama di atas, membuka pemikiran dalam penelitian ini, bahwa Hindu adalah agama yang fleksibel memberikan kebebasan bagi siapapun untuk berkarya, meskipun dari kulit yang berbeda namun dalam batin terpancar jiwa Hindu yang damai, menyelamatkan orang-orang yang baik atau menyelamatkan para bhakta Tuhan, maka Tuhan akan turun tangan. Beliau akan turun sebagai seorang yang mampu memahami segala kejadian dari semua zaman dan menuntun kembali pada kita tentang sejarah asal mula manusia. Beliau akan menceritakan cerita kejadian masa lalu, beliau akan sungguh-sungguh memberikan kepada kita tentang kebenaran, cinta kasih, kegembiraan dan kesucian (Donder, 2004: 32). Kehidupan masyarakat di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan yang konversi menjadi Katolik akibat ketidakpahaman dalam menghayati antara Tuhan dan Hyang Widhi Wasa sehingga menjadikan seseorang dibaptis menjadi Katolik Kini kembali lagi menjadi Hindu yang tak lain karena Hyang Widhi Wasa datang menyelamatkan umat dan menuntun kembali serta memberikan dan menunjukan melalui pengetahuan kebenaran, cinta kasih dan kesucian lahir dan batin.

Ritual Hindu dan Kesadaran Spiritual Kehidupan masyarakat Bali sangat memegang teguh tradisi para leluhur. Hal ini sesuai pendapat dari berbagai penulis mengenai Bali yang menekankan sifat religious komunitas pedesaan di Bali bahwa desa membentuk suatu kesatuan yang tertutup dan mencukupi diri sendiri. Salah satu penulis tentang Bali adalah Korn yang menyatakan:

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 93 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Apa yang bisa menjadi kekuatan untuk orang Bali ke dalam kelompok- kelompok yang disatukan secara kokoh yang berkumpul pada saat- saat tertentu dalam setahun untuk berkonsultasi dengan cara yang tampaknya asing di wilayah lain di Indonesia dan memainkan bagian yang demikian penting di dalam kehidupan publik dan rumah dari para penduduk ini? Kekuatan tersebut adalah pelayanan terhadap dewa-dewa yang secara ajeg meminta perhatian (Goris, 2013: 3).

Pernyataan Korn di atas menunjukan masyarakat Bali pada umumnya hidup hanya melakukan aktivitas yajña atau korban suci sehingga setiap hari masyarakat Bali selalu melakukan kegiatan religius berdoa dan memohon anugrah kepada para dewa maupun Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hal ini dilakukan karena wujud syukur manusia telah diperhatikan oleh Tuhan sehingga manusia dapat bereksistensi dalam kehidupanya. Tesis Korn tersebut sejalan dengan ungkapan sloka dalam kitab Bhagavadgita III. 12 disebutkan sebagai berikut. Iṣṭân bhogân hi vo devâ dâsyante yajn͂a-bhâvitâḥ, Tair dattân apradâyaibhyio yo bhuṅkte stena eva saḥ.

Terjemahan: Sesungguhnya keinginan untuk mendapat kesenangan telah diberikan kepadamu oleh para dewa karena yajn͂amu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yajn͂a sesungguhnya adalah pencuri (Maswinara,1999: 54).

Atas dasar itulah umat Hindu di Bali melakukan yajña, disamping itu berupacara dipercaya sebagai bentuk keyakinan bhakti terhadap Tuhan. Meskipun banyak yang tidak tahu tentang makna dari upacara yang dilakukan. Namun, masyarakat Bali tetap meyakini bahwa yang dilakukan adalah jalan mencapai Tuhan. Ajaran Filsafat Hindu, menekankan pelaksanan upacara untuk mencapai sorga adalah pendapat Rsi Jaimini dengan ajaranya, yaitu mimamsa. Menurut Rsi Jaimini, dalam filsafat mimamsa yang dimaksud dharma secara umum ialah upacara-upacara keagaman bersumber dari Weda atau kebajikan-kebajikan yang bersifat keagamaan mengandung tuntutan-tuntutan kesusilan yang mutlak. Seseorang yang kotor dari kesusilaan dapat disucikan oleh Weda, maka itulah kemurnian kesusilaan adalah syarat mutlak bagi pelaksana upacara-upcara keagamaan yang mendatangkan pahala (Sumawa dan Raka, 1996: 108).

94 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Leluhur masyarakat Bali pada zaman prasejarah telah mengenal sistem kepercayaan, dengan temuan-temuan berupa nekara seperti di Pura Penataran Sasih, Pejeng, Gianyar, sarkofagus (peti mayat yang terbuat dari batu padas, pada umumnya berbentuk kura-kura, arca), menhir, punden, dan dolmen. Dari temuan tersebut dapat dikemukakan tesa bahwa ada tiga jenis pemujaan yang dilakukan oleh masyarakat Bali yang berkembang pada zaman itu, yaitu: pemujaan terhadap arwah leluhur, pemujaan terhadap arwah para pemuka agama dan pemujaan terhadap kekuatan alam (Nurkancana, 2009: 127-128). Kepercayaan kepada leluhur dan mempercayai kekuatan alam semesta dianggap oleh beberapa ahli sebagai pemujaan berevolusi. Dalam artian, tingkat keyakinan dilakukan dengan mempercayai adanya kekuatan suci roh, kekuatan suci benda-benda, kemudian baru mengenal kekuatan suci Tuhan. Berbeda dengan pemikiran tersebut, Pitchard membantah evolusi kepercayaan dan animisme, ke dinamisme, polytheisme, trinitas dan monotheisme. Menurutnya agama bangsa primitif juga monotheisme. Meskipun mempercayai banyak ruh; ruh di atas, ruh di bawah atau ruh di bumi, tetapi pemikiran yang utama dan pertama tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang tanpa pamrih, Tuhan yang menyayangi ciptaan-Nya dan selalu hadir dalam kehidupan mereka (Agus, 2010: 138). Berdasarkan pemikiran tersebut, Hindu bukanlah agama yang berevolusi melainkan agama yang universal dan fleksibel tidak memaksa dengan dogma serta doktrin yang mengekang umatnya untuk mengenal keyakinan lainya, yang menyebabkan umatnya fanatik. Sikap inilah yang menimbulkan disharmonis antar umat beragama. Pernyataan Evans- Pritchard di atas, dalam umat Hindu dibuktikan dengan beberapa kutipan kitab suci berikut. Hiranyagarbhah samavartatagre bhustasya jatah patireka asit, sa dadhara prthivim dyam utemam kasmai devaya havisa vidhema (Regveda X.121.1)

Terjemahan: Tuhan yang Maha Esa yang menguasai semua planet yang bercahaya di dalam diri-Nya dan eksis sejak awal keabadian, adalah Maha Tunggal yang menciptakan segalanya. Ia yang menyangga bumi dan sorga, kepada-Nya devata yang tertinggi, sumber kebahagiaan yang

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 95 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

suci, kami persembahkan doa kebaktian dengan penuh ketulusan hati (Maswinara,2006: 245).

Ya etam devam ekavrtam veda, Na dvitiyo na trtiyas caturtho napyucyate, na pancamo na sasthah saptamo napyucyate, nastamo na navamo dasamo napyucyate, sa sarvasmai vi pastyati yacca pranati yacca na, tamidam nigatam sahah sa esa eka ekavrd eka eva, sarve asmin deva ekavrto bhavanti. (Atharva Veda XIII.4.15-21)

Terjemahan: Kepada Ia yang mengetahui ini Tuhan semata-mata hanya Tunggal, tidak ada yang kedua, ketiga, keempat Ia dipanggil. Tidak ada yang kelima, keenam, ketujuh Ia dipanggil. Tidak ada yang kedelapan, kesembilan Ia dipanggil. Ia melihat segala apa yang bernafas dan apa yang tidak bernafas. Kepada-Nyalah tenaga penakluk kembali, Ia hanya Tunggal. Tunggal belaka, padaNya semua Deva hanya satu saja.

Ekam eva adityam brahma,… (Chandogya Upanisad)

Terjemahan: Tuhan hanya satu tidak ada yang kedua,…

Om narayana evedam sarvam yad bhutam yacca bhavyam niskalanko niranjano nirvikalpo nirakhyatah suddho seva eko narayana na dvit’yo asti kascit.

Terjemahanya: Om Narayana adalah semua ini apa yang telah ada dan apa yang akan ada bebas dari noda, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan, sucilah Dewa Narayana, Ia hanya satu tidak ada yang kedua. (bait Puja Trisandya/ Gayatri mantram) Drs. I Gusti Made Ngurah dan I.B Rai Wardhana, SH, Doa sehari-hari menurut Hindu, (Jakarta : Hanuman Sakti, 1994), hal. 8

Eko devas sarva bhutesu gudhas sarva vyapi sarva bhutantar-atma, karmadhyaksas sarvabhutadivasas saksi ceta kevalo nirgunasca.

96 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Terjemahanya: Tuhan yang tunggal sembunyi pada semua mahluk, menyusupi segala, inti hidupnya semua mahluk, saksi, yang mengetahui, yang tunggal, bebas dari kualitas apapun. (Svestara Upanisad. VI. 11)

Maya tatam idam sarvam, jagad avyakta-murtina, mat-sthani sarva- bhutani, na caham tsv avasthitah.

Terjemahan: Aku berada dimana-mana di seluruh alam semesta dalam bentuk-Ku yang tidak terwujud. Semua makhluk hidup berada dalam diri-Ku, tetapi Aku tidak berada di dalam mereka. (Bhagavadgita IX.4)

ye ‘py anya-devata-bhakta, yajante sraddhayanvitah, te ‘pi mam eva kaunteya, yajanty avidhi-purvakam

Terjemahan: Orang yang menyembah dewa-dewa lain dan menyembah dewa- dewa itu dengan kepercayaan sebenarnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka berbuat demikian dengan cara yang keliru, wahai putera Kunti. (Bhagavadgita IX.23)

Monotheisme dalam Agama Hindu di atas adalah sebagai bentuk keyakinan terhadap keberadaan Tuhan. Pada ajaran Agama Hindu dijelaskan tentang Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu (Gambar 5.7) yang terdiri dari tattwa (filsafat), susila (etika) dan acara (upacara). Ketiga Kerangka Dasar tersebut sebagai metode memahami Tuhan. Pada umumnya masyarakat Hindu di Bali dalam memahami Tuhan dilakukan dengan acara atau upacara keagamaan, yang disebut yajña. Pemahaman terhadap Tuhan yang monotheisme dalam masyarakat Hindu di Bali adalah melestarikan dan mengimplementasikan ajaran leluhur yang tertuang dalam desa Pakraman sehingga tidak ada paksaan sama sekali dalam pelaksanaan upacaranya. Ritual keagamaan yang dilaksanakan umat Hindu di Desa Pakraman Penganggahan, Penebel, Tabanan memiliki bentuk religiusitas yang berbeda dengan desa Pakraman lainya, sesuai dengan desa, kala dan patra yang

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 97 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. berdasarkan pada konsep Tri Hita Karana, yaitu tiga penyebab kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan ritus tersebut dapat dilihat pada Gambar berikut.

Tiga Kerangka Catur Marga Tri Hita Karana Dasar  Jnana Marga  Parhyangan  Tattwa  Raja Marga  Palemahan  Susila  Karma Marga  Pawongan  Acara  Bhakti Marga

SEKALA NISKALA  Karma Marga  Jnana Marga  Bhakti Marga  Raja Marga

KEBEBASAN KEBEBASAN DI LUAR DI DALAM FISIK/ ROHANI/ ESOTERIK EKSOTERIK

RITUAL PENCERAHAN

IDEOLOGI SAGUNA-NIRGUNA KESADARAN SPIRITUAL

Gambar 4.5 Ritual dan Pencerahan Sebagai Puncak Kesadaran Spiritual (Sumber: Pradnya, 2014)

Pelaksanaan ritual dalam ajaran Agama Hindu adalah bagian dari catur marga yaitu empat jalan mencapai Tuhan, yaitu Jnana Marga dan Raja Marga adalah jalan penghayatan ke dalam diri manusia bersumber dari sastra suci Tattwa, berisikan ajaran kalepasan, penciptaan dan penyatuan alam semesta, bersifat batin atau esoterik dalam ajaran agama Hindu disebut dimensi niskala. pencapaian dari niskala ini adalah pencerahan. Karma dan Bhakti Marga adalah jalan mencapai Tuhan dalam bentuk fisik, berupa upacara keagamaan/ritual suci, bersifat material atau eksoterik dalam ajaran Hindu berada dalam dimensi sekala. Pada konsep bhakti dan karma

98 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. marga adalah sumber ritual suci. Oleh Karena itu, apapun jalan Tuhan adalah mencapai kesadaran spiritual yang menjadi ideologi umat Hindu di Bali dalam memahami bentuk Tuhan yang berwujud (saguna Brahman) maupun Tuhan yang tak terwujud (nirguna Brahman). Pada filsafat mimamsa dijelaskan bahwa seseorang yang telah melakukan upacara atau ritual suci, maka mendapatlah pahala. Namun, pahala tidak dapat dinikmati secara langsung, melainkan setelah kematian, inilah yang disebut sorga. Hal ini dijelaskaan dalam ajaran mimamsa yang memiliki ajaran apurwa, yaitu tenaga tidak tampak, merupakan suatu jembatan yang menghubungkan sebuah ritual dengan pahala. Ajaran tersebut menjelaskan bahwa pahala dari ritual itu akan dapat dinikmati dalam hidup didunia ini dan di alam akhirat nantinya. Jadi siapapun yang melakukan dharma dalam ajaran mimamsa, maka pastilah berpahala. Ada dua dharma dalam mimamsa, yaitu tindakan yang diwajibakan dan tindakan yang tidak diwajibkan. Tindakan yang diwajibkan meliputi ritual yang berlaku setiap hari dan berkala, sedangkan tindakan yang tidak diwajibkan adalah ritual yang dilakukan secara fakultatif (Sumawa dan Raka, 1996: 108-109). Menurut Jro Bendesa Adat Penganggahan, Yasadharma (wawancara, 7 Agustus 2014) menjelaskan keberadaan masyarakat di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan dalam melaksanakan religiusitas keagamaan, diwujudkan dalam bentuk panca yajña, yaitu korban suci tulus iklas ke hadapan Para dewa (dewa yajña), leluhur (pitra yajña), para pendeta (rsi yajña), manusia (manusa yajña) dan kepada para butha (butha yajña). Pada pelaksanakan upacara pitra yajña khususnya di Banjar Penganggahan, prosesi upacara tidak dilaksanakan seperti upacara ngaben pada umumnya, melainkan di kubur. Hal tersebut disebabkan karena letak georgrafis dari Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan, berada di daerah Gunung Batukaru yang dipercaya sebagai tempat suci para dewa. Oleh karena itu, pelaksanaan upacara ngaben sama dengan upacara pemakaman umat Katolik yang berada di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan. Hal yang sama di katakan Suderi (wawancara, 11 Agustus 2014) Pelaksanakan upacara pemakaman Katolik di Desa Tengkudak Penebel, Tabanan adalah dengan dikubur, sama dengan prosesi ngaben umat Hindu. Hal tersebut disampaikan karena pada saat sebelum melakukan rekonversi agama ke Hindu, pernah mengikuti pemakaman umat Katolik sehingga bentuk pemakaman sama, dan hal inilah yang kemudian dijadikan persamaan

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 99 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. sebagai bentuk penguatan Katolik terhadap Hindu. Perbedaan prosesi ritual pitra yajña Hindu dengan Katolik adalah prosesi setelah dikubur. Jika di Katolik semua dosa dan masalah kehidupan ditanggung oleh Tuhan Yesus yang memegang kunci Sorga, sedangkah Hindu distanakan di Sanggah Kemulan dan semua karma dibawa masing-masing sesuai wasana ketika di dunia. “Saya meyakini, bahwa upacara pitra yajna yang dilaksanakan umat Hindu mampu mengantarkan roh saya menuju Tuhan. Apalagi saya mempunyai sanggah kemulan, setelah kematian bisa menjadi Dewa Hyang. Apalagi dalam ajaran Hindu dijelaskan juga dapat menyatu dengan Tuhan yang disebut moksa” (wawancara, Suderi: 11 Agustus 2014)

Puji juga mempertegas (wawancara, 10 Agustus 2014) membuat banten adalah sesuatu yang tidak asing karena lingkungan keluarganya berasal dari keluarga Pemangku sehingga ketika rekonversi agama hanya belajar sedikit telah mengerti cara pembuatanya. Menurut Puji, makna dari banten tidak diketahuinya, namun berkeyakinan dengan sarana banten, membawanya pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, apalagi canang, gebogan dan penjor yang sering dilihat di Gereja, membuatnya berniat kembali menjadi Hindu karena sebelum menjadi Katolik, sudah terbiasa membuat canang seperti itu. “Saya berkeyakinan meskipun tidak tahu apa arti dari banten yang dihaturkan setiap hari di rumah, tapi saya meyakini bahwa dengan sarana banten bisa mengantarkan doanya pada Tuhan. Apalagi saya dari dulu sudah sering melihat orang tua membuat sarana banten ini. Begitu juga ketika di Gereja, sering juga menggunakan sarana seperti canang, gebogan, membuat penjor, seperti umat Hindu di Desa Penganggahan. Jadi kadang teringat ketika membawa canang ke Gereja atau melihat penjor di Gereja, berniat juga kembali menjadi Hindu. Mungkin saja niat itu kemudian mengantarkan saya kembali menjadi Hindu dan kini setiap hari menghaturkan canang di depan rumah, di sanggah, di dalam rumah sesuai petunjuk dari masyarakat di Desa Penganggahan” (wawancara, Puji: 10 Agustus 2014).

Pernyataan Suderi dengan Puji di atas secara implisit adalah sebagai penegasan bahwa jiwa dan rasa berada di Hindu tidak dapat dinegasikan, meskipun badan fisik berada di Katolik. Hal tersebut disebut ideologi, seperti

100 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. uraian Althusser (2008: 9), bahwa Ideologi ada dalam berbagai hubungan, termasuk dalam relasi orang per orang. Ideologi ada dalam tiap individu, meskipun orang tersebut tidak menyadarinya. Jadi, ideologi bukanlah sebuah kesadaran palsu, melainkan sebuah ketidaksadaran yang tertanam di individu. Bahkan ketidaksadaran itu begitu mendalam (profoundly councious), sehingga bagaimana prakteknya dalam diri manusia tidak disadari. Berdasarkan hal tersebut, tanpa disadari sarana upacara yang memiliki kemiripan dengan sarana upacara Hindu, telah membuat pikiran dan hati seseorang teringat masa pra Katolik. Jadi sarana upacara yang digunakan dalam persembahan tulus kepada Tuhan, seperti canang, gebogan dan penjor merupakan budaya Bali yang dihaturkan sebagai bentuk bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam teori ideologi inilah pendekatan dari Ideological State Apparatuses, ISA. Pendekatan ISA ini melalui ideologi yang masuk dalam individu dengan jalan persuasive (Altusser, 2008: 21). Melalui ISA, ideologi tidak lagi hanya sebentuk ide, namun berada dalam praktik material yang hidup, seperti ritual, kebiasaan, pola perilaku, cara berfikir, bahasa, dan sebagainya. Jadi ideologi dapat membentuk budaya hidup seseorang, serta berpengaruh dalam formasi sosial. Dengan demikian ideologi menginterpelasi subjek, dan ketika ideologi mampu menginterpelasi subjek, maka peranan Bendesa dan prajuru adat adalah menguatkan subjek pada ideologi yang telah ada dalam subjek itu sendiri. Oleh karena itu, Bendesa adat mesti mampu membuat solusi atas permasalahan banten yang dianggap merepotkan dan menjadikan ritual keagamaan Hindu, menjadi lebih praktis dan irit, tanpa mengurangi makna dari upacara tersebut. Ide-ide mempermudah ritual keagamaan di Desa Pakraman Penganggahan, Penebel, Tabanan telah dilaksanakan sejak pemekaran desa. Hal tersebut dijelaskan oleh Senayasa (wawancara, 5 September 2014) sebenarnya masalah ritual keagamaan tidak begitu sulit dilaksanakan, terlebih lagi semua dilakukan dengan gotong royong. Jadi biaya lebih irit dan praktis, disamping itu juga pelaksanaan upacara dibuat sederhana, tanpa meninggalkan maknanya. Apalagi pitra yajña, dengan tidak ada prosesi pembakaran mayat (ngaben pada umumnya) dan tidak ada upacara meajar-ajar, serta cukup dipimpin oleh Mangku Dalem dan Balian Desa, maka upacara sawa wadana sudah dianggap selesai dan sang pitara dilinggihkan dalam sanggah kemulan cukup satu hari, sesuai hari baik yang telah disepakati oleh prajuru adat Penganggahan.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 101 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

”Melihat kondisi Desa Pakraman Penganggahan yang mendapat tantangan dari umat lainya, tentu harus ada solusi bagi umat Hindu lainya, agar mereka beragama menjadi lebih praktis dan irit, namun tidak meninggalkan makna di dalamnya. Selama ini, apabila ada umat yang memiliki yajna, patut dibantu secara bersama-sama. Disamping itu, apabila ada umat Katolik yang kembali mejadi Hindu, diperlakukan dan dilayani dengan baik, bahkan diberikan keringanan untuk penanjung batu, sehingga menjadi Hindu lebih dihayati” (wawancara Senayasa, 5 September 2014).

Ritual suci yang dilaksanakan umat Hindu di Bali adalah sebagai bentuk kesadaran spiritual masyarakat Hindu di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan yang dalam kehidupan religiusitasnya tidak dapat dipisahkan dari keberadaan ritual suci. Klasifikasi ritual dalam fenomenologi agama disebutkan ada dua ritual Agama Hindu, yaitu ritual agama vedis dan agamais. ritual agama vedis korban suci kehadapan para dewa dengan melakukan persembahan, sedangkan ritual agamais lebih menonjolkan pemujaan kepada para dewa yang diyakini dapat memberikan keselamatan dan kebahagiaan (Dhavamony, 2010: 171-173).

102 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

5

Pengaruh Kapongor dan Balian

eberapa kisah konversi umat Hindu ke Katolik sejak tahun B1960-an sampai 1970-an di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan disebabkan gangguan penyakit ilmu hitam (leak). Sebagaimana telah dipaparkan sebagian dari umat Hindu konversi ke Katolik setelah mendapat kesembuhan dari Pastor Seeberger, SVD sehingga penyakit yang tidak kunjung sembuh, ternyata mendapatkan kesembuhan setelah didoakan Pastor Seeberger, SVD atas nama Tuhan Yesus. Selanjutnya, dalam kasus rekonversi ke Agama Hindu yang terjadi tahun 1970-an, dimulai juga dari peristiwa sakit bernuansa gaib, bahkan seluruh umat Katolik yang kembali menjadi Hindu dasarnya adalah sakit. Fenomena tersebut senada dengan Tumanggor (2014: 81), bahwa kepercayaan kepada yang gaib sebagai penyebab, dan penyembuh penyakit yang banyak terjadi pada masyarakat yang masih terbelakang itu menunjukkan, bahwa memang ada hubungan antara keyakinan agama dan penyakit hingga penyembuhannya. Reville (dalam Durkheim, 2011: 56) menjelaskan bahwa agama merupakan daya penentu kehidupan manusia, yaitu sebuah ikatan yang menyatukan pikiran manusia dengan pikiran misterius menguasai dunia, dan diri yang disadari serta hal-hal

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 103 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. yang menimbulkan ketentraman bila terkait dengan hal tersebut. Pada ajaran Hindu disebut konsep daiwabala prawrta, dan Nala (2006: 93) menjelaskan, daiwabala prawrta adalah penyakit yang disebabkan gangguan niskala, supernatural, tidak tampak. Di Bali memercayai, bila seseorang tiba-tiba jatuh sakit tanpa diketahui jelas penyebabnya disebut penyakit berkausa niskala. Misalnya bebai, gering agung, pepasangan, cetik, salah dewa dan penyakit lainya.

Daiwabala Prawrta Menurut Ayurveda, penyakit atau wyadhi dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan kausa atau penyebabnya. Jenis penyakit terdiri dari, (1) Adhyatmika, yaitu penyakit yang penyebabnya berasal dari dalam diri manusia. (2) Adhidaiwika, yaitu penyakit akibat pengaruh lingkungan dan (3) Adhibautika, yaitu penyakit yang diakibatkan benda tajam, sehingga menjadi luka atau akibat gigitan binatang. Tiga kategori penyakit ini dibagi lagi ke dalam sub-sub lebih rinci, sebagaimana diuraikan Nala (2006: 93) sebagai berikut: (1) Adhyatmika adalah penyakit yang penyebabnya berasal dari dalam dirinya sendiri. Misalnya: (a) Adibala prawrta yang merupakan penyakit keturunan (herediter). Penyakitnya diturunkan oleh orang tuanya, merupakan kelainan genetika, seperti penyakit kencing manis, buta warna. (b) Janmabala prawrta, ialah penyakit yang diperoleh ketika berada di dalam kandungan (congenital). Akibat pengaruh sewaktu sedang berada di dalam kandungan, timbul penyakit tersebut, misalnya karena ibunya kurang gizi, sehingga bentuk tubuh anak menjadi tidak normal, ibunya meminum obat tertentu, sehingga anaknya lahir cacat. (c) Dohabala prawrta, ialah penyakit akibat gangguan ketidakseimbangan pada unsur tri dosha (vatta, pitta, kapha atau angin, api, air) di dalam tubuh. Penyakit ini yang paling banyak terjadi pada manusia. Sewaktu janin dalam proses pertumbuhan terjadi gangguan, sehingga sel dan organ tubuhnya mengalami kelainan, sehingga fungsinya menjadi tidak optimal. Misalnya mudah terserang penyakit pilek, batuk, alergi, demam. (2) Adhidaiwika, adalah penyakit akibat pengaruh lingkungan di luar tubuhnya. Adhidaiwika dibagi menjadi tiga kategori, yaitu, (a) Kalabala prawrta, yaitu suatu penyakit akibat pengaruh musim. Misalnya pada musim hujan timbul penyakit pilek, demam. Pada musim panas mudah terserang batuk. (b) Daiwala prawrta, yaitu

104 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

penyakit akibat gangguan niskala, supernatural, tidak tampak. Di Bali dipercayai bahwa bila seseorang tiba-tiba jatuh sakit tanpa diketahui dengan jelas penyebabnya, sering disebut penyakit yang berkausa niskala. Misalnya penyakit bebai, gering agung. (c) Swabala bala prawrta, yaitu penyakit gangguan sekala, natural, tampak. Misalnya, demam karena kehujanan, benjol terkena lemparan batu, luka bakar akibat tersulut api. (3) Adhibautika, yaitu penyakit yang diakibatkan oleh benda tajam, sehingga menimbulkan luka yang dalam akibat irisan benda tajam, goresan benda atau karena gigitan binatang. Penyakit ini juga terdiri dari dua kategori, yaitu, (a) Sastrakrta, yaitu luka yang disebabkan oleh benda tajam. Misalnya teriris pisau, tertusuk tusuk sate. (b) Wyalakrta, yaitu luka akibat gigitan binatang, misalnya luka karena digigit anjing, kucing, monyet, ular dan sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, salah satu aspek yang menyebabkan umat Katolik di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan rekonversi ke agama Hindu disebabkan penyakit daiwabala prawrta. Sebagaimana dijelaskan Gumbreg yang dikonversi dari Hindu ke Katolik tahun 1969 menjelaskan bahwa alas an yang kuat konversi terjadi adalah atas desakan ekonomi, dan banyak dibantu oleh Katolik dalam hal kesejateraan, di antaranya diberikan bantuan kebutuhan pokok serta anaknya disekolahkan di sebuah Sekolah Dasar di Gumbrih, Kabupaten Badung. Selain akibat masalah ekonomi, Gumbreg juga memutuskan untuk pindah agama karena sakit-sakitan yang tidak kunjung sembuh sehingga memunculkan perselisihan internal keluarga. Pada suatu ketika tahun 19769 perselisihan dengan mertuanya semakin meruncing sehingga Gumbreg memilih untuk menjadi Katolik (Wawancara: Gumbreg, 19 Agustus 2014). Gumbreg adalah orang yang tidak terlalu betah menjadi penganut Katolik, tahun 1971 setelah dua tahun beriman kepada Yesus, Gumbreg memilih rekonversi ke agama Hindu. Hal ini disebabkan penyakit misterius (niskala) yang tidak sembuh-sembuh, terlebih penyakitnya semakin parah sebelum masuk Katolik . Lebih lanjut, Gumbreg menyebutkan sebagai berikut. “Pada tahun 1969 saya pindah menjadi pengikut Katolik, karena saat itu mengalami kesulitan ekonomi dan banyak dibantu oleh Katolik. Waktu itu saya juga mengalami penyakit misterius, mungkin penyakit bikinan orang yang bisa ngeleak yang kemudian bisa sembuh setelah

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 105 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

didoakan oleh Pastur Seeberger di Desa Piling. Namun, baru dua tahun saya menjadi Katolik, saya mengalami penyakit parah yang juga tidak bisa diobati oleh dokter. Kali ini penyakit saya jauh lebih parah dari dulu, sewaktu belum masuk Katolik. Karena tidak kunjung sembuh, suatu hari saya datang ke rumah Balian di Desa Sigaran untuk minta petunjuk. Berdasarkan petunjuk niskala yang diperoleh Jro dasaran, konon penyakit yang saya alami disebabkan kesisipan atau pongoran, yaitu para leluhur saya murka, karena saya pindah agama, sehingga hubungan leluhur dengan kami menjadi jauh. Kemudian saya dan seluruh keluarga matur piuning melalui Jro dasaran, bahwa jika bisa sembuh, maka kami akan kembali beragama Hindu” (wawancara, Gumbreg, 19 Agustus 2014).

Setelah sembuh, Gumbreg bersama keluarganya rekonversi ke agama Hindu diikuti oleh KK Katolik lainnya karena merasa khawatir nanti mengalami masalah serupa, yaitu penyakit akibat kesisipan dari leluhurnya. Tahun 1975 Gumbreg bersama keluarganya bertransmigrasi ke Sulawesi menyandang status sebagai pemeluk Agama Hindu. Beberapa tahun di daerah transmigran, perekonomiannya mulai membaik. Atas petunjuk niskala, Gumbreg kembali ke Tengkudak dan kejutan terjadi, sebab melalui titah niskala, anaknya ditunjuk sebagai Pemangku di Pura Dalem Tengkudak (wawancara, Gumbreg, 19 Agustus 2014). Berdasarkan keterangan Gumbreg di atas, bahwa dirinya melakukan rekonversi agama karena gangguan kesehatan atau penyakit yang diyakini akibat niskala, yaitu kesisipan atau kapongoran dari leluhurnya. Penyakit yang disebabkan niskala, khususnya daiwala prawrta memperoleh kesembuhan, setelah rekonversi ke agama Hindu. Menurut Gautama dan Sariani (2009: 505), pongor (mongor) berarti memurkai, mamongor artinya memurkai; kapongor, dimurkai (oleh); kapongorin: dimurkai; popongoran, diartikan hukuman. Adapun Putrawan., dkk (2010: 1) menjelaskan bahwa kapongor, pongoran, keduken, kesisipan, adalah kepercayaan yang real hidup di tengah budaya relegi masyarakat Hindu (Bali). Ada banyak kasus kehidupan; penyakit, ekonomi keluarga hancur, tidak rukun, gila, tak pernah merasa tenang dan lain-lain problem adalah awal mula, kemudian orang yang terkena kasus itu menyusuri faktor masalahnya. Lebih lanjut, Putrawan., dkk (2010: 1) menguraikan sebagai berikut. Awalnya mereka memecahkan masalahnya secara logika dalam langkah-langkah empiris. Lantas, ketika solusi akal-akalan tak

106 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

mempan, maka solusi alternatif pun mesti di tempuh: meluasang, nunasang baos, metaken ke balian pipis baas. Nah, di sinilah biasanya sebagian ditemukan akar masalahnya, bahwa problema sakit penyakit, keruwetan hidup dan lainnya semata-mata disebabkan oleh kapongoran. Ada pitara atau Ida Betara duka (murka), karena dosa atau suatu sengketa gaib dari orang bersangkutan. Misalnya, tak ingat kawitan, salah menata bangunan pawongan maupun parahyangan, kapiutangan di masa kelahiran sebelumnya dan lain- lain penyebab. Biasanya, bila petunjuk balian tepat, maka dengan mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan sebagai penawarnya, niscaya masalah yang dihadapi pun berangsur tuntas. Penyakit menjadi sembuh, keluarga menjadi rukun, ekonomi stabil dan sebagainya.

Uraian tersebut menjelaskan bahwa Kapongor merupakan fenomena sosial yang lumrah terjadi di lingkungan sosial masyarakat Hindu Bali. Kapongor terkadang tidak dapat dirasionalisasikan sehingga sangat identik dengan sesuatu yang bersfiat gaib. Kapongor menurut umat Hindu di Bali disebabkan siklus reinkarnasi yang menyimpang terhadap leluhur (Gambar 5.8). Hal ini disebut dengan istilah tulah pitra. Seseorang yang durhaka dengan orang tua, maupun leluhurnya pasti mendapat pahala tidak baik dan menanggung banyak kesengsaraan dalam kehidupan. Bentuk penyimpangan terhadap leluhur dapat diamati pada Gambar berikut.

KEPONGOR/ TULAH PITRA

Gambar 4.5 Siklus Reinkarnasi dan Kapongor (Sumber: Pradnya, 2014)

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 107 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Merujuk pada gambar 4.5 tersebut dapat dikemuakan bahwa manusia adalah Ilahi, sifat sejatinya adalah atman, tak terbatas, abadi, suci, selalu bebas, penuh kebahagiaan dan identik dengan Brahman. Manusia bukanlah pendosa, manusia membuat kesalahan dan menderita karena kebodohanya (Kamajaya, 2001: XV). Manusia yang lahir disebabkan karena sisa karma atau wasana. Menurut Wraspati Tattwa, 3 dinyatakan wasana adalah atman, sisa karma melekat padanya. Sisa karma menodai dan mewarnai atman itu, atman yang ternoda inilah disebut raga. Jadi, wasana menghasilkan raga. Oleh karena itu, setiap perbuatan orang pastilah membuahkan karma wasana dan karman yang kemudian membawa kelahiran yang berbeda- beda (Putra dan Sidia, 2008: 4). Kelahiran kembali menurut Hindu disebut punarbawa bertujuan menghapuskan segala wasana dengan melaksanakan penebusan Tri Rna, yaitu hutang kepada Tuhan (Dewa Rna), hutang kepada leluhur (Pitra Rna) dan hutang kepada seluruh guru suci (Rsi Rna). Penebusan terhadap Tri Rna bertujuan menyatu dengan Brahman, yaitu keberadaan, kesadaran, kebahagiaan mutlah. Brahman adalah kebenaran yang tak berubah, diluar batas ruang, waktu dan penyebab. Brahman yang menyatu dengan maya- nya disebut Tuhan (Kamajaya, 2001: xiv). Kepongor terjadi apabila, umat Hindu dalam reinkarnasinya tidak melunasi hutang terhadap Tri Rna, yaitu para dewa, leluhur dan para guru suci, maka mereka akan dikutuk karena berani dengan leluhur atau tulah pitra. Rekonversi agama di Desa Penganggahan, Penebel, Tabanan disebabkan perasaan sadar umat Hindu, ketika para leluhur memberikan ujian dan cobaan berupa sakit misterius yang tidak mampu disembuhkan siapapun. Kesembuhan hanya diperoleh melalui meminta maaf, menghaturkan guru piduka atas kesalahan yang dilakukan, seperti menjadi Katolik. Bukti- bukti nyata kesembuhan dari para leluhur atau Tri Rna kepada yang telah kembali menjadi Hindu, kehidupanya menjadi lebih baik. Fenomena tersebut dibuktikan oleh Suderi yang rekonversi agama ke Hindu karena mengalami penyakit atau gangguan niskala. Suderi masuk Katolik tahun 1970 mengikuti orang tuanya yang lebih dahulu masuk Katolik, yaitu tahun 1969. Suderi adalah tiga bersaudara, tetapi saat itu satu saudaranya menolak ikut masuk Katolik sehingga hanya dua bersaudara dan orang tuanya saja yang pindah menjadi Katolik. Suderi memiliki peran cukup penting dalam kiprah umat Katolik di Desa Tengkudak. Suderi pernah dipercaya sebagai Dewan Gereja di Tengkudak.

108 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Masa awal menjadi Katolik Suderi merasa nyaman saja, sampai kemudian Suderi berhasil menjadi seorang guru Sekolah Dasar. Keimanan Katoliknya mulai goncang sejak tahun 1990 setelah salah seorang anaknya kecelakaan akibat menabrak anjing, sehingga terlambat menyelesaikan kuliahnya di Universitas Mahasaraswati, yang mestinya tamat tahun 1990, tetapi karena musibah itu anaknya baru dapat menyelesaikan kuliah tahun 1991. Hambatan juga terjadi pada anak keduanya, yang sedianya kuliah di Surabaya, tapi karena sulit mengurus administrasi di Tabanan, akhirnya kuliah di Denpasar dan anak ketiganya tidak bisa kuliah karena sering sakit- sakitan (wawancara Suderi, 11 Agustus 2014). Merasa hidupnya banyak mengalami gangguan dan halangan, Suderi kemudian minta petunjuk kepada beberapa balian. Pada saat itulah balian menyebutkan leluhurnya tidak bisa membantu karena perbedaan agama sehingga leluhurnya hanya memantau dari jauh. Lebih lengkapnya Suderi menyebutkan. “Saya adalah orang Bali yang pernah beragama Hindu sebelum ngristen (baca: masuk agama Katolik). Jadi saya mengenal budaya mapinunas munyin baas ke Jro Dasaran untuk menanyakan berbagai persoalan yang tidak bisa selesaikan secara rasional. Setelah saya mengalami kesulitan dan cobaan beruntun, saya mulai mencoba ikut nunasang ke Jro dasaran, barangkali ada masalah niskala yang menjadi penyebab kesulitan hidup keluarga kami. Kami mohon petunjuk ke lima Jro dasaran yang berbeda dengan waktu dan tempat berbeda pula. Ternyata dari lima dasaran tersebut semuanya memberi petunjuk sama, keluarga kami dikatakan kena kesisipan dari Bhatara Hyang Guru, karena jauh dari leluhur, sehingga tidak mendapat pengayoman. Untuk itu, kami disarankan kembali memeluk Hindu. Adanya petunjuk seperti itu belum membuat kami yakin, sehingga untuk sementara kami tetap bertahan dalam iman Katolik meskipun tetap galau. Saya sendiri mulai tumbuh keyakinan akan petunjuk Jro dasaran, setelah putri saya menikah dengan pemuda beragama Hindu. Jadi, otomatis putri saya pindah ke agama Hindu dan diupacarai menurut Hindu. Ternyata setelah itu, putri saya yang sebelumnya terus sakit-sakitan berubah menjadi sehat dan mendapat pekerjaan. Melihat kenyataan tersebut, kemudian tahun 2002 saya inisiatif mengupacarai cucu saya yang di rumah dengan upacara ala Hindu, dengan harapan dapat sehat dan selamat. Upacara dilakukan di tempat adik saya, karena status saya dan akan-anak masih Katolik. Tahun 2005 setelah saya pensiun sebagai Kepala Sekolah di SD No.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 109 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

3 Tengkudak, kami sekeluarga kembali memeluk Hindu setelah merasakan kedamaian dalam hidup kami, dan surat sudiwadani kami dapatkan tahun 2006” (wawancara Suderi, 11 Agustus 2014).

Kepercayaan mengenai kapongor akibat kutukan atau dimurkai dewa maupun leluhur ditemukan dalam beberapa sumber lokal di Bali. Cerita Mayadanawa dalam Usana Bali Usana Jawa: Teks dan Terjemahan (1986: 88), di antaranya menyebutkan adanya kutukan Dewa Indra, Dewa Mahadewa serta para dewata terhadap air sungai Petanu, supaya airnya tidak boleh digunakan untuk karya pembangunan, baik pada tengah pekarangan, pada ladang padi gaga maupun sawah serta pada meru dan sanggar pemujaan. Air sungai itu disebutkan sebagai air yang cemar dan ternoda, sebab berasal dari darah dua orang (Mayadanawa dan Kalawong). Selanjutnya air sungai Petanu ini disebut air mala (ternoda). Pada Babad Pasek juga tercantum sebuah bhisama yang di antaranya mengandung kutukan. Adapun bunyi bhisama itu sebagai berikut. Om Awignam astu Kamung Pasek muang Bendesa, aywa lupa ring ring kahyangan makadi ring Besakih, ring Lempuyang, ring Dasar Bhuwana Gelgel, muang ring Silayukti. Yan kita lupiya ring kayanganta, wastu kita Tan Anut Ring Apasanakan, Sugih Gawe Kirang Pangan, tan pegatan gering, surud kawibawan, katemah dening bhuta kala dengen. Mangkana Piteketku ri pretisentana, kapratisteng prasasti, Muwah tan kita pageh ring piteketku, moga-moga tan wus kita amangguh hana dirgha yusa, amangguh wirya, guna mantra sidhi ngucap, jananuraga, asihing Hyang, dibiya guna, susila, wruhing naya.

Terjemahan : Kamu Pasek dan Bendesa, jangan lupa dengan kahyanganmu, seperti di Besakih (Pura Ratu Pasek), di Lempuyang, terutama Lempuyang Madya, Dasar Bhuwana Gelgel dan Silayukti di Padang. Kalau kamu lupa dengan kahyanganmu, “Terkutuklah Engkau” tak akan pernah rukun berkeluarga, banyak bekerja tanpa hasil, tak henti- hentinya menderita penyakit, jatuh kewibawaannya, dihukum oleh setan anesti aneluh, anerangjana, buta pisaca. Demikian peringatanku kepada seketurunanmu, tercantum di dalam prasasti. Dan selanjutnya kalau engkau benar-benar mengikuti peringatanku, mudah-mudahan kamu tak putus-putusnya menemukan kebahagiaan, dihormati, semua kata-katamu dipercaya orang,

110 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

tersohor di dunia, dikasihi Hyang Widhi, menjadi orang berguna, sopan santun, tahu segala hal. Demikian ciri-cirinya prasasti itu (Soebandi, 2003: XV).

Beberapa kutukan yang tercantum dalam berbagai teks sastra mencerminkan kentalnya kepercayaan akan suatu kutukan dalam masyarakat Hindu di Bali. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila kepercayaan mengenai kapongor identik dengan murka para dewa sebagai kepercayaan masyarakat Bali yang bersifat religio magis. Perasaan damai yang dialami Suderi dan keluarganya setelah melakukan rekonversi ke agama Hindu, merupakan pengalaman bersifat pribadi sebagai proses pencarian keyakinan. Pencarian keyakinan Suderi berlandaskan pengalaman bernuansa kegaiban atau niskala sehingga dirinya merasa mantap dalam melakukan rekonversi agama kembali menjadi Hindu. Hal tersebut selaras dengan Nasution (dalam Tumanggor, 2014: 8) yang menyebutkan ada beberapa definisi agama, yaitu: (a) pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi, (b) pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia, (c) mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada sumber yang berada di luar diri manusia dan mempengaruhi perbuatan manusia, (d) kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu, (e) suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari suatu kekuatan gaib, (f) pengakuan terhadap adanya kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib, (g) pemujaan terhadap kekuatan gaib yang tibul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia, (h) ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul. Rekonversi ke Hindu karena faktor daiwabala prawrta juga dialami oleh Bedra dan istrinya Ni Nyoman Suderi (bedakan dengan Suderi seorang pensiunan guru di atas). Bedra bersama istri dan anaknya rekonversi ke agama Hindu tahun 1990. Sebelum memutuskan untuk rekonversi, keluarganya mendapatkan musibah besar dengan kehilangan salah seorang anaknya bernama Subagia yang telah bekerja di sebuah hotel berbintang di Kuta. Peristiwa ini diyakini oleh Bedra dan istrinya disebabkan keduken Ida Bhatara atau kesisipan Ida Bhatara. Mengenai latar belakang keluarganya melakukan rekonversi, Bedra mengatakan sebagai berikut.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 111 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

“…Sebelum kembali memeluk Hindu, kami mengalami berbagai hal yang menurut kami sulit dicerna akal. Misalnya, anak kami yang kini sudah meninggal, saat itu sudah bekerja di sebuh hotel berbintang di Kuta. Anehnya, meskipun ia biasa ditempat ramai dan bergaul dengan turis, suatu hari ia mendadak berhenti bekerja dan setiap hari selalu ketakutan yang hebat, sampai-sampai untuk ke luar kamar saja tidak berani. Melihat keadaan demikian, ia kemudian kami titipkan di rumah pamannya. Seiring waktu, anak kami semakin parah penyakitnya, karena ia merasa selalu dihantui dan dicari sesuatu yang bersifat gaib. Kemudian saya bertemu saudara yang masih beragama Hindu untuk berembug. Akhirnya kami disarankan mohon petunjuk ke balian. Oleh Jro dasaran kami diberi petunjuk untuk nglukat anak kami yang sakit itu di Pura Mas Bayu di Tengkudak, sebuah pura untuk umum. Saran tersebut pun kami lakukan dan masesangi, kalau anak kami bisa sembuh, kami akan kembali menjadi Hindu. Memang ajaib, tidak berselang lama setelah itu anak kami bisa bekerja lagi seperti sediakala, namun menantunya tidak meyakini kesembuhan itu memiliki hubungan dengan upacara melukat yang dilakukannya di Pura Manis Banyu. Akibatnya, kami lupa naur sesangi untuk kembali ke Hindu. Tidak berselang lama, akhirnya anak kami meninggal dan barulah kami sadar, bahwa gangguan yang kami alami merupakan teguran niskala dari Pura Manis Banyu. Untuk itu kami berketetapan hati untuk kembali memeluk Hindu dengan didahului matur piuning di merajan gede yang kaempon oleh keluarga besar kami. Ternyata saat matur piuning itu saya mengalami kerauhan yang menitahkan saya menjadi dasaran di Pura Manis Banyu. Bawos (amanat gaib) saat saya kerauhan itu menyatakan, bahwa berdasarkan garis keturunan, keluarga kami adalah penyungsung Pura Manis Banyu. Semua itu kami tepati dan turuti dengan menjadi Hindu kembali dan mawinten dasaran di Pura Mas Bayu, sehingga kini saya didudukkan sebagai Jro dasaran di Desa Tengkudak yang memiliki tugas saat ada piodalan di pura khayangan tiga menjadi tapakan Ida Bhatara untuk menyampaikan bawos Ida Bhatara lewat media kerauhan” (wawancara Bedra, 15 Agustus 2014).

Bedra sekeluarga rekonversi ke agama Hindu setelah permohonannya dikabulkan untuk minta kesembuhan dan dibebaskan dari gangguan gaib kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Ida Bhatara yang berstana di Pura Manis Banyu, Banjar Penganggahan, Tengkudak. Menurut Hinduisme, Tuhan bersifat Maha Kuasa, termasuk kuasa menyembuhkan penyakit

112 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. maupun menghilangkan rintangan yang dialami umat ciptaan-Nya. Hal ini sesuai sabda suci Tuhan dalam Rgveda, 114. 2, sebagai berikut. Mrla no rudrota no mayas krdhi Ksayadviraya namasa vidhema te, Yac cham ca yos ca manur ayeje pita Tad asyama tava rudra pranitisu

Terjemahan : Wahai penyembuh ilahi, semoga Engkau berlaku ramah kepada kami. Berilah kami kebahagiaan dan bebas dari penyakit; kami menghaturkan penghormatan kepadaMu, wahai pengatur orang-orang pemberani. Datanglah kepada keluarga kami, bawakanlah mereka kebahagiaan dan semoga kami memperoleh kesehatan dan kedamaian utama yang diberikan leluhur kami setelah memperolehnya dariMu.

Selanjutnya, Rgveda, sukta 114. 7 menyebutkan sebagai berikut. Ma no mahantam uta ma no arbhakam Ma na uksantam uta ma na uksatam Ma no vadhih pitaram mota mataram Ma nah priyas tanvo rudra ririsah

Terjemahan : Wahai penyembuh ilahi, semoga engkau tidak menyakiti mereka yang ada di sekitar kami, tua maupun muda; janganlah menyakiti orang yang baru tumbuh dewasa ataupun yang sudah dewasa sepenuhnya. Janganlah membunuh ayah maupun ibu, janganlah menyusahkan badan pribadi kami yang masih kami sayangi.

Beberapa pujian dalam Rgveda menjelaskan Tuhan sebagai pemberi kesembuhan. Rgveda menyiratkan, Tuhan sebagai sumber energi hidup, dari-Nya pula bersumber energi pemeliharaan (kesehatan), maupun energi penghancuran. Karena itu, untuk menjaga keteraturan pancaran energi kesehatan mengalir terus pada dirinya, manusia berdoa secara teratur kepada Tuhan (Putrawan, 2013: 8). Pengalaman kesembuhan aktor rekonversi agama, Gumbreg, Suderi dan Bedra dengan mesesangi (berkaul), meskipun saat itu beragama Katolik dengan ingat pada leluhur dan Ida Bhattara, akhirnya mendapatkan kesembuhan dan diringankan beban hidupnya. Hal tersebut membuktikan kebenaran doktrin dalam Weda menyebutkan, bahwa

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 113 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. keselamatan tidak hanya dicapai oleh orang-orang Hindu, melainkan untuk semua makhluk. Talreja (2005: 179) menjelaskan bahwa dalam Weda keselamatan bukan monopoli dari suatu masyarakat tertentu. Weda sekalipun diungkapkan dalam hati kepada Agni, Vayu, Aditya dan Angira Di tepi sungai Sindhu (Indus) di Aryavarta (India Barat). Weda suci adalah warisan abadi yang unik dari manusia untuk seluruh alam semesta. Agama Weda adalah agama kemanusiaan. Agama Hindu sebagai agama kemanusiaan memberikan kesembuhan pada setiap umat manusia, termasuk aktor rekonversi agama di Desa Tengkudak, Penbel, Tabanan kembali menjadi Hindu karena sakit dan penyakitnya pun aneh-aneh yang dipercaya sebagai penyakit niskala. Penyakit niskala inilah kemudian disembuhkan setelah kembali menjadi Hindu. Hal ini dikatakan oleh I Wayan Robed (wawancara, 5 September 2014) bahwa kembali menjadi Hindu karena istrinya yaitu Nyoman Sumbreg, mengalami sakit-sakitan, yaitu sakit di daerah bibirnya, seperti penjelasan berikut. “saya sudah lama menjadi Kritsen kurang lebih 20 tahun-an, tapi saya lupa tahunnya, seingat saya anak saya tiga bulan waktu itu. Saya menikmati menjadi Katolik, karena praktis dan sorga sudah pasti, karena Yesus sebagai juru selamat, telah dibangkitkan untuk menyelamatkan umat manusia. Segala dosa-dosa telah dipikul oleh Tuhan Yesus. Beda seperti di Hindu, harus buat begini dan begitu. Nah’ yang tidak masuk akal, istri saya terus saja sakit. Kemudian saya berusaha mencari jawaban atas masalah yang saya hadapi dengan keluarga. Ternyata istri saya adalah orang yang tidak boleh makan sembarangan, mungkin karena keturunan Pemangku atau apa, sehingga dengan kesepakatan bersam istri dan anak, akhirnya kembali menjadi Hindu. sampai saat ini, istri saya sudah sehat, yam au tidak mau, harus saya jalani berlahan-lahan. Apapun agamanya, yang penting membuat keluarga saya bahagia dan sehat itulah tujuan hidup saya” (wawancara Robed, 5 September 2014).

Pernyataan Robed di atas dibenarkan oleh istrinya, Nyoman Sumbreg (wawancara, 5 September 2014) yang menjadi Katolik bersama suami dan anak-anaknya. Sumbreg begitu memahamai ajaran Katolik, bahkan dari kelahiran Yesus dari perawan Bunda Maria, sampai tujuan Yesus dilahirkan adalah menyelamatkan manusia dari dosa-dosanya. Begitu fasihnya, terhadap ajaran Katolik, tapi sakitnya belum dapat disembuhkan. Pada

114 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. akhirnya kesehatan adalah hal utama, kemudian memutuskan kembali menjadi Hindu dan faktanya mendapatkan kesembuhan. Sebagaimana dalam penjelasan berikut. “saya sangat hafal betul ajaran Katolik sampai saat ini, dimana Bunda Maria yang perawan atas izin allah melahirkan seorang juru selamat bernama Tuhan Yesus datang sebagai juru selamat. Jadi pada saat saya menjadi Katolik, saya terus merasakan sakit terutama di bibir saya, terutamanya lagi ketika harus ke tempat orang-orang yang punya yajna jadi hati-hati sekali. Kemudian, atas petunjuk dari beberapa saudara kemudian diberikan nasehat, karena disebabkan dari penyakit niskala. Nasehat itu pun saya ikuti. Anehnya ketika kembali menjadi Hindu, penyakit saya hilang sampai saat ini. Kemungkinan para leluhur tidak menghendaki saya untuk menjadi Katolik. Konsep Hindu adalah percaya dengan leluhur dan leluhurlah sebagai juru selamat saya, saya takut juga kualat dengan para leluhur dan Ida Bhattra dan leluhur” (Wawancara Sambreg, 5 September 2014).

Semakin jelas, bahwa konversi agama dan rekonversi agama di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan, khususnya di Desa Pakraman Penganggahan, tidak sepenuhnya berdasarkan masalah ekonomi saja, melainkan ada yang lebih esensi daripada sebuah materi. Kasus rekonversi agama dengan objek penelitian di Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak, Penebel, Tabanan membuktikan bahwa kesehatan, lebih utama daripada masalah uang/ekonomi sehingga seluruh aktor rekonversi agama, mengatakan sakit kemudian rekonversi agama menjadi Hindu, hasilnya mendapatkan kesembuhan medis-nonmedis. Fenomena yang misterius terseut merupakan hal yang elementer sebagai penyebab rekonversi terjadi. Kesembuhan tersebut tidak terlepas dari adanya sebuah emik yang kuat bahwa seseorang yang lupa agama sebelumnya akan terkena kapongor atau kutukan dari Tuhan. Untuk terlepas dari kutukan tersebut, maka warga harus kembali memeluk Hindu. Sebagaimana fenoemena kesembuhan tersebut dapat dicermati pada gambar 4.6 berikut.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 115 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Gambar 4.6 Hasil Kapongor dan Rekonversi Agama (Sumber: Pradnya, 2014)

Kesembuhan maupun kesehatan lebih penting dari ekonomi, didukung oleh Althusser seorang tokoh ideologi yang berbeda pendapat dengan Marx. Marx selalu berpandangan bahwa aspek ekonomi hanyalah sekedar relatif dalam dunia supra struktur. Dengan demikian, Althusser menolak determinisme ekonomi seperti digagas Marx yang menyebutnya sebagai overdeterminasi guna mengatasi ketunggalan esensi ekonomi dalam ideologi. Proses produksi dan reproduksi memang berasal dari aspek ekonomi, namun dalam perkembangannya, ideologi menjadi suatu esensi otonom yang bukan hanya merengkuh sisi ekonomi, tetapi juga sosial budaya. Proses ekonomi memang tidak langsung terungkap dalam ideologi atau kesadaran, melainkan muncul sebagai akibatnya dalam bentuk realitas sosial akan gagasan-gagasan.

Peran Balian Rekonversi ke agama Hindu di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan didasarkan aspek kesehatan tidak dapat dipisahkan dari peran balian maupun dasaran. Atas petunjuk balian, orang-orang yang mengalami sakit niskala mendapatkan kesembuhan. Kesembuhan diperoleh melalui tradisi budaya bernuansakan Hindu menjadikan orang menderita daiwabala prawrta yakin terhadap kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

116 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Nala (1992: 113) menjelaskan istilah dukun di Bali dengan sebutan balian, tapakan atau jero dasaran. Balian adalah orang yang mempunyai kemampuan mengobati orang sakit. Kemampuan menyembuhkan atau mengobati diperoleh dengan berbagai cara. Balian adalah pengobat tradisional yang mendapatkan keahliannya berdasarkan tradisi, keturunan, taksu, pica atau bisa melalui belajar pada balian lain. Berdasarkan atas perolehan keahliannya, balian terdiri dari empat macam, yaitu, (1) balian katakson, (2) balian kapican, (3) balian usada dan (4) balian campuran. Mengenai perbedaan keempat balian ini, Nala (1992: 114) menjelaskan sebagai berikut. Balian katakson adalah balian yang mendapat keahlian melalui taksu. Taksu adalah kekuatan gaib yang masuk ke dalam diri seseorang dan mempengaruhi orang tersebut, baik cara berpikir, berbicara maupun tingkah lakunya. Karena kemasukan taksu inilah, orang tersebut mempunyai kemampuan untuk mengobati orang sakit. Itulah sebabnya dia dinamai balian katakson (ka + taksu + an), dukun yang kataksuan, kemasukan taksu (kasurupan). Dia berfungsi sebagai mediator, penghubung.Selanjutnya, balian kapican adalah orang yang mendapat benda bertuah yang dapat dipergunakan untuk menyembuhkan orang yang sakit. Benda bertuah ini disebut pica. Pica ini dapat berupa keris kecil, batu permata, tulang, gigi, besi atau logam lainnya, gigi kilap, serta benda lain yang bentuknya aneh. Ada malahan yang berupa binatang seperti kucing, burung, anjing atau binatang lainnya. Benda pica ini biasanya diperoleh melalui petunjuk dalam mimpi. Dengan mempergunakan benda-benda atau binatang pica ini dia mampu menyembuhkan orang yang sakit. Sejak itu mereka disebut balian kapican, dukun yang mendapat pica atau yang kapican (ka + pi + ca + n) oleh sesuatu yang gaib.Selanjutnya, balian usada adalah seseorang yang dengan sadar belajar ilmu pengobatan, baik melalui aguru waktera, belajar pada seorang balian yang telah mahir dalam ilmu pengobatan maupun belajar sendiri melalui lontar usada. Karena untuk menjadi balian ini melalui proses belajar, maka orang Barat menyebut jenis balian tipe ini dengan julukan dokter Bali. Kemudian yang terakhir, balian campuran adalah balian katakson maupun kapican yang mempelajari usada. Oleh sebab itu, balian katakson maupun kapican ini kemampuannya tidak hanya mengandalkan taksu atau pica saja, tetapi telah menambah dengan memberikan ramuan obat-obatan berdasarkan lontar usada. Balian jenis ini disebut balian katakson-usada atau balian kapican-usada. Ada juga balian di samping memperoleh taksu, juga mendapat pica, sehingga disebut balian katakson-kapican.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 117 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Berdasarkan uraian di atas, aktor rekonversi ke Agama Hindu di Desa Tengkudak memperoleh kesembuhan serta dibebaskan dari gangguan gaib melalui perantara balian katakson. Sebagaimana dijelaskan Cetig (wawancara, 9 September 2014) bahwa kembalinya menjadi pemeluk Hindu tidak lepas dari peran balian yang berhasil mengembalikan keyakinan warga Hindu di desa Pakraman Tengkudak kembali beragama Hindu. Saat berkonsultasi atau nunas bawos kepada balian, maka balian selalu melakukan pemujaan dengan cara-cara Hindu, seperti ngaturang pejati diiringi doa dengan bahasa Bali (sesontengan) yang ditujukan kepada Ida Bhatara. Mengenai cara pengobatan dan menetralisir gangguan yang dialami keluarga, seperti uraian Cetig sebagai berikut. “Setelah melakukan pemujaan di kamar sucinya, balian kemudian seperti kerasukan. Matanya terpejam sambil berkata-kata kepada kami yang datang. Saat itu balian sudah kemasukan roh yang mengaku para leluhur kami dan mengatakan beberapa hal kepada kami yang ternyata semuanya tepat sesuai keadaan yang kami alami. Selanjutnya beliau memberikan dengan para leluhur kami. Setelah kami menyanggupi serta disertai permohonan untuk dibebaskan dari segala gangguan dan penyakit gaib, balian itu kembali sadar pada identitas pribadinya. Balian kemudian memberikan tamba (obat) berupa tirtha yang dipercikkan ke kepala kami kemudian diminum. Tirtha tersebut juga dibawa ke rumah untuk dipercikkan ke sekitar tempat tinggal untuk menetralisir pengaruh-pengaruh gaib yang bersifat negative (wawancara, 9 September 2014).

Cetig dapat terbebas dari gangguan gaib setelah nunas bawos pada balian katakson atau dasaran. Nunas bawos atau istilah lainnya meluasang, mepeluasang, ngalih munyin pipis baas, metuunang, dan istilah lainnya. Secara implisit prosesi tersebut merupakan suatu usaha mengadakan hubungan gaib dengan alam lain untuk memperoleh jawaban tentang suatu hal. Hubungan tersebut bisa terjadi bila ada mediator yang memiliki kemampuan memediasi dua alam berbeda ini, yaitu alam manusia dengan alam gaib. Para mediator ini di Bali disebut Jro dasaran, balian ngengengan, balian pipis baas (Suar Bali edisi 23-29 Mei 2007: 2). Lebih jauh diuraikan bahwa kehadiran seorang balian atau dasaran sebagai mediator mampu memediasi dengan komunikasi antara manusia dengan alam supernatural, seperti dalam uraian berikut.

118 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Dengan kewaskitaannya, Jro dasaran mencoba menghubungkan diri dengan roh-roh leluhur seseorang atau Ida Bhatara supaya berkenan menurunkan titah atau sabda kepada orang yang datang nunas bawos ke rumah dasaran. Kebiasaan yang paling umum berlaku di masyarakat adalah metuunang roh leluhur. Nunas bawos sah-sah saja dilakukan sepanjang apa yang diperoleh dari nunas bawos itu ditimbang-timbang dengan wiweka (kebijaksanaan) dan dicarikan pembanding pada sastra.

Sejalan dengan uraian tersebut, Putrawan (2012: 7) menjelaskan bahwa pada saat manusia tertekan, dan tidak puas dengan kehidupannya yang berbatas, maka manusia mencoba ‘lari’ kealam supernatural, alam gaib. Manusia mencoba mengekspresikan keinginannya lebih luas melalui alam supernatural. Supernatural memberi ruang kepada manusia untuk menjadi “pengendali” kecil di alam ini. Untuk mengadakan hubungan dengan alam supranatural tersebut, aktor rekonversi menggunakan jasa dasaran sebagai medium yang memiliki kepekaan supernatural untuk menjembatani komunikasi antara dirinya dengan leluhurnya. Sebagaimana disebutkan Burns (1996: 145), orang yang melakukan kemediuman disebut medium atau orang peka. Orang yang demikian dapat dikatakan sebagai perantara yang dapat berhubungan dengan energi nonjasmani dan jasmani. Seorang yang peka atau medium apabila berada dekat dengan orang yang sedih atau terganggu dapat merasakan kesusahan tersebut. Seorang yang dapat dikatakan sebagai medium juga dapat menyadari situasi berbahaya yang akan datang sebelum hal itu terjadi. Deskripsi Burns tersebut bertautan dengan uraian yang dialami orang-orang yang mengalami rekonversi di desa Pakraman Penganggahan Tengkudak. Ada semacam rasa gangguan dan ketidaknyamanan bila tidak kembali beragama Hindu. Ketidaknyamanan tersebut, diyakini sebagai datangnya dari kekuatan leluhur dan Ida Bhatara. Sebagaimana dijelaskan Bedra Perkataan leluhurnya itu yang disampaikan lewat dasaran (medium), yang dapat mengetahui bahaya yang tengah mengancam dirinya. Semua pernyataan dasaran (medium) kemudian terbukti, anaknya meninggal. Setelah Bedra (wawancara, 15 Agustus 2014) menjelaskan bahwa rekonversi bermula adanya pawisik dari leluhur sehingga pada akhirnya kembali ke jalan Hindu, dan melakukan pawintenan dasaran, barulah gangguan- gangguan yang bersifat niskala berlahan menghilang.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 119 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Gangguan tersebut besifat niskala tidak saja berupa gangguan dari leluhur, dan sejenisnya, tetapi gangguan yang datang dari adanya sebuah emik, bahwa adanya makhluk astral jadi-jadian yang sering disebut Leak. Masyarakat desa Pakraman Penganggahan sangat meyakni bahwa gangguan niskala yang muncul bagi warga korban konversi adalah black magis atau Leak (Gambar 5.10). Leak yang dimaksud adalah leak pemoroan, yaitu mahluk-mahluk gaib yang dikirim oleh seseorang dengan sengaja untuk menyakiti orang lain (Subagia, 2011: 89). Emik yang demikian menjadi enigma yang kuat, bahwa setiap warga yang sakit disebabkan oleh Leak. Enigma yang demikian juga menjadi salah satu faktor terjadinya konversi, terlebih lagi datangnya pastor Katolik bernama Pastor Seeberger, SVD dengan dakwah penyembuhan. Dalam perkembangan selanjutnya, warga yang telah menjadi Katolik kembali menjadi Hindu karena sakitnya bertambah parah, dan doktriniasasi Katolik hanya dianggap deskripsi irasional. Fenomena Leak sebagai penebar gangguan dapat disimak pada Gambar 4.6.

Gambar 4.6 Teori Demonologis Dalam Rekonversi Agama di Desa Tengkudak (Sumber: Pradnya, 2014)

120 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Merujuk pada gambar 4.6 tersebut, dapat dikemukakan pandangan ilmiah bahwa adanya keyakinan yang berkembang dalam arena sosial di desa Pakraman Penganggahan bahwasanya sakit yang menjadi alasan mendasar konversi maupun rekonversi agama di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan disebabkan adanya budaya Bali yang sangat tenget dan sakral. Selain itu, adanya trust bahwa orang yang memiliki kemampuan pembangkitan energi batin adalah orang dengan gelar (balian pangiwa) yang telah menguasai ilmu kebatinan Bali (leak pemororan). Orang yang demikian dapat melakukan hal yang bersifat irasional dan mampu mengirim mahluk-mahluk aneh yang mengganggu. Kemampuan tersebut di atas, dalam ilmu Patologi sosial disebut teori demonologis, yaitu berasal dari kata demon berarti roh jahat, iblis, setan. Teori demonologis menyebutkan sebab-musabab kekalutan mental, yaitu unsur-unsur mistik gaib dan setan-setan atau roh jahat atau hasil dari perbuatan dukun-dukun jahat (Kartini, 2013: 276). Sesuai teori demonologis, maka seseorang kacau, kalut dan mudah diganggu black magic (Leak Pamoroan) karena umat Hindu telah melupakan bahkan tidak mau tahu terhadap penghormatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa maupun leluhur (pitra). Hal tersebutlah yang menyebabkan para dewa tidak menjelma dalam kehidupan umat yang telah melupakanya. Padahal menurut ideologi spiritual Hindu dalam kakawin Ramayana dikatakan seorang Raja Dasaratha yang begitu mulia, sehingga Dewa Wisnu (dewa kemakmuran) berkenan menjelma sebagai putra maha raja. Hal ini disebabkan oleh kemampuan dan sadhana sang raja, seperti dalam penggalan kekawin berikut. Gunamanta sang Dasaratha, Wruh sira ring weda bhakti ring dewa, Tar malupeng pitra puja, Masih ta sireng swagotra kabeh.

Terjemahan : Keutamaan sang Dasaratha, Beliau paham akan Weda, berbakti kepada Tuhan, Tidak pernah lupa memuja leluhur, J uga sayang terhadap keluarga dan rakyat (Departemen Kebudayaan Propinsi Bali,1998: 5).

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 121 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Kekawin Ramayana di atas mesti dipahami oleh umat Hindu khususnya di Bali, dan warga Hindu di desa Pakraman Penganggahan Tengkudak agar selalu mendapat anugrah dan karunia Ida Sang Hyang Widhi. Hal ini tentu telah disampaikan para balian sehingga umat Katolik di Desa Tengkudak akhirnya melakukan rekonversi ke Agama Hindu dan hidupnya kembali nyaman lahir batin. Jadi, dalam kasus rekonversi di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan peran balian sangat penting dalam mengembalikan sradha bhakti aktor rekonversi agama kepada Ida Sang Hyang Widhi dan leluhurnya. Hal tersebut senada dengan uraian Wiguna (dalam Suar Bali, edisi 2-8 Mei 2007: 2), bahwa Pemangku tapakan atau dasaran memiliki peran-peran khusus dalam pembinaan umat, seperti berikut. Pemangku tapakan berdasarkan kehendak gaib memiliki peran- peran khusus, terutama dalam mediasi religius dan budaya dalam pembinaan umat. Peran religius atau cultural engginering yang ada padanya cukup dominan. Peran tersebut memberi ruang untuk menginduksi daya spiritualitas dan budaya adiluhung alam semesta ke dalam karakter individual dan sosial masyarakat. Pesan atau informasi adikodrati harus diimplementasikan ke dalam kehidupan nyata umat. Tapa, brata, yoga dan samadhi merupakan laboratorium utama untuk mengasah kepekaan intuisi objektivitas interpretasi diperkuat melalui beberapa studi., yakni studi intuitif spiritual, studi empirik (dinamika persoalan umat) dan mengkaji sastra suci. Konseling terhadap umat dalam praktiknya sering dilakukan dengan memadukan informasi yang bersifat intuitif, kajian sastra suci serta mencermati masalah umat. Setelah menginduksi pengetahuan sastra suci, maka perlu adanya gerakan membatin. Praktik-praktik individu di bidang kerohanian hendaknya dijalankan. Sadana spiritual adalah sarana untuk mengarahkan sikap lahir batin manusia kepada Sang Pencipta. Sadana adalah sarana spiritual untuk meningkatkan keimanan manusia. Umumnya, Pemangku tapakan memiliki daya siddhi sakti atau taksu tertentu. Daya ini umum digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup umat. Pemanfaatannya dapat ditujukan untuk penyembuhan (healing), sedangkan bentuk batinnya bisa berupa transfer energi atau daya tarik taksu alam semesta dan komunikasi multi dimensi.

Pamangku maupun balian adalah dua bentuk profesi kultural yang memiliki tempat tersendiri secara sosial, kultural dan religius dalam

122 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. masyarakat Bali. Saat menjalankan tugas dalam swadharmanya selalu bersandar pada etika dan moral masing-masing sehingga dapat menjalankan peran dengan baik, serta dipertanggungjawabkan secara sekala maupun niskala. Peran tersebut diyakini dan nyata dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam bidang kehidupan keagamaan sehingga kedua profesi itu hidup dan berkembang harmonis dalam dinamika masyarakat. Peran penting yang disandang Pemangku dan balian disebabkan sumbangsihnya dalam memberikan ketentraman batin kepada masyarakat yang memohon bantuannya di bidang ritual maupun supernatural. Perasaan nyaman dalam batin yang dihubungkan dengan kekuasaan Tuhan, menjadikan agama semakin kokoh dalam keyakinan pemeluknya. Sejalan dengan uraian tersebut Utama (2013: 4) menjelaskan bahwa agama berkaitan dengan usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan keberdaan alam semesta. Selain itu, agama juga dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna dan juga perasaan takut. Meskipun perhatian ditujukan kepada adanya suatu dunia yang tidak dapat dilihat (akhirat), namun agama melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari di dunia. Perihal harapan mendapatkan kebahagiaan lahir batin dan di lain pihak munculnya ketakutan yang bersumber dari sistem keyakinan keagamaan, menjadikan aktor rekonversi di Desa Tengkudak mencari solusi atas paradoks tersebut. Harapan akan kebahagiaan maupun perasaan takut yang muncul merupakan bagian dari emosi keagamaan yang masing-masing individu memiliki emosi keagamaan berbeda-beda. Emosi keagamaan orang-orang yang melakukan rekonversi di desa Pakraman Penganggahan Tengkudak dimediasi oleh dasaran. Pencarian sandaran ke alam gaib dengan minta parantara dari dasaran merupakan salah satu wujud mencari tahu sebab musabab kelemahan dan gangguan yang eksis dan laten dalam diri individu masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, Nasution (dalam Tumanggor, 2014: 8) menjelaskan bahwa manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh karena itu, manusia harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib. Hubungan baik ini dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan menjauhi larangan kekuatan gaib. Adapun Keontjaraningrat (2002: 281) menjelaskan bahwa terdapat empat unsur religi yang dapat dipakai sebagai konsep dasar untuk

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 123 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. menganalisis agama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, yaitu: (a) Emosi keagamaan adalah suatu emosi yang menyebabkan manusia menjadi religius. Emosi keagamaan adalah suatu getaran yang dirasakan oleh jiwa manusia, bisa pada waktu sendiri atau bersama-sama saat menjalankan aktivitas keagamaan seperti pada saat sembahyang, bermeditasi, melaksanakan upacara-upacara keagamaan. Emosi seperti ini dirasakan oleh manusia yang sadar pada saat mengagungkan kebesaran Tuhan, pada saat menyadari tentang suatu kebenaran kehidupan, (b) Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta imajinasi manusia tentang Tuhan, keberadaan alam gaib, supernatural, yaitu tentang hakikat dan wujud dewa- dewa yang berada di luar jangkauan manusia. Keyakinan seperti itu biasanya diajarkan kepada manusia dari kitab-kitab suci agama bersangkutan, (c) Sistem upacara religius adalah suatu cara yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Sang Pencipta, (d) Komuniti agama. Berdasarkan uraian Koentjaraningrat di atas, kehadiran dasaran sebagai mediator dengan alam gaib, dalam kasus rekonversi di Desa Tengkudak, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, dapat membantu mengekspresikan emosi keagamaan, sistem kepercayaan, sistem upacara religius dan komuniti agama, bagi aktor rekonversi agama. Melalui peran dasaran, aktor rekonversi dapat merasakan getaran religius yang dialaminya waktu nunasang bawos di rumah dasaran, dan semakin mantap setelah di antaranya melakukan matur piuning di merajan gede untuk berikrar menyatakan kembali ke Agama Hindu. Sedangkan dalam ranah sistem kepercayaan yang mengandung imajinasi manusia tentang Tuhan, keberadaan alam gaib, supernatural, dasaran menjalani perannya dengan cara memohon perkenan Ida Bhatara tertentu untuk tedun (turun) melalui media raganya, dan berkenan memberikan tuntunan (mabawos) kepada umat yang datang meminta nunas bawos. Keterhubungan dengan gaib mencetuskan emosi keagamaan yang difasilitasi dengan upacara, yaitu mepejati sebagai simbol kesungguhan hati untuk mohon petunjuk dari Ida Bhatara. Sedangkan dari sudut pandang komuditi agama, dasaran diakui oleh Agama Hindu dipandang sebagai peranti dalam pengabdi keagamaan di masyarakat karena tergolongan Pamangku. Dijelaskan dalam Lontar Raja Purana Gama, Dasaran tergolong ke dalam kelompok Pamangku Lancuban (Pamangku Sutri), yang keberadaan dan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat Hindu diakui.

124 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Berdasarkan hal di atas, peranan balian dalam rekonversi agama adalah sebagai utusan Tuhan yang menyelamatkan umat manusia dari penderitaan. Eksistensi seorang balian terletak pada keberhasilan dalam menyembuhkan orang sakit, medis maupun non-medis yang bersumber dari kemahakuasaan Tuhan. Oleh sebab itu, balian yang telah mendapat anugrah Tuhan memiliki power kekuasaan terhadap orang-orang yang menderita. Orang dengan kapasitas yang demikianlah dicari banyak orang karena taksu yang diperoleh atas kehendak Tuhan sehingga dapat mengatur dan mengarahkan kehidupan masyarakat. Fenomena tersebut dapat dianalisis dalam ideologi komparatif Karl Marx dengan Hinduisme (Tabel 5.4) di bawah ini.

Tabel 4.4 Komparatif Ideologi Marx dan Hinduisme dalam Rekonversi agama

Ideologi Marx Hinduisme Base Structure Ekonomi Brahman Supra Struktur Agama, Politik dll Ekonomi, Politik dll (Sumber: Pradnya, 2014)

Berdasarkan tabel 4.4 tersebut dapat dijelaskan bahwa komparatif ideologi Marx dan Hinduisme adalah suatu analisis yang relevan digunakan dalam penelitian ini, sesuai data yang diperoleh di atas, bahwa ketika umat Hindu pada tahun 1960-an di konversi karena faktor ekonomi, sesuai ideologi Marx karena pemilik modal (base struktur) memberikan bantuan sosial kepada umat Hindu pada saat itu, sehingga suprastruktur dikuasai, sampai akhirnya berdiri Gereja Katolik di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan. Perkembangan selanjutnya, karena masalah kesehatan yang disebabkan sesuai teori demonologis maupun kapongor, menyebabkan Umat Hindu mempercayai Brahman (Tuhan) sebagai base struktur yang dapat menyembuhkan dan memberikan kenyamanan kesehatan kepada para aktor rekonversi agama, sehingga segala sakit dapat disembuhkan dan kehidupan ekonomi, dan lain sebagainya menjadi lebih baik (Suprasutruktur). Oleh karena itu, kekuatan niskala atau gaib sangat mempengaruhi rekonversi umat Hindu di Desa Tengkudak. Kenyataan ini sesuai yang disebutkan Jalaluddin (2010: 339) bahwa yang menjadi faktor pendorong

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 125 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. terjadinya konversi agama adalah petunjuk ilahi. Pengaruh supranatural berperan secara dominan dalam proses terjadinya konversi pada diri seseorang atau kelompok.

Faktor Perkawinan Selaian deskripsi tersebut di atas, penyebab rekonversi ke agama Hindu di Desa Tengkudak adalah melalui perkawinan. Adanya rekonversi melalui perkawinan merupakan fenomena yang menarik untuk ditelaah lebih dalam. Perkawinan merupakan penyatuan dua hal yang prinsip antara maskulin dan feminim. Demikian pula berkaitan dengan pertaruhan ideologi agama sehingga perkawinan menjadi penyebab yang fundamental terjadinya rekonversi. Menurut aktor rekonversi Miniwati puteri dari Alm. I Ketut Rukin dengan Ni Ketut Ranih. Pada saat Miniwati dipinang oleh calon suaminya Wayan Artika, S.Pd, Miniwati sekeluarga telah beragama Katolik. Selanjutnya karena yang meminang adalah laki-laki beragama Hindu, maka si perempuan kembali memeluk Hindu. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan emperis agar terjadi kebersamaan dan penyatuan lahir batin dalam rumah tangga yang terbentuk. Persetujuan kedua orang tua Miniwati menjadikan perpindahannya ke agama Hindu menjadi lancar dan ditoleransi oleh keluarga besarnya. Sebagaimana dikatakan Miniwati (wawancara, 12 September 2014) sebagai berikut. “ Kami sama-sama mencintai dan kemudian memutuskan menikah dengan upacara agama Hindu seperti lazim dilakukan oleh umat Hindu. Saya memilih mengikuti agama yang dianut calon suami agar keluarga yang terbentuk dapat harmonis dan terjadi kebersamaan secara lahir maupun batin. Apalagi kedua orang tua saya menyetujui keputusan saya, karena di Bali lazim pula kaum perempuan akan ikut agama suaminya. Dengan demikian saya dapat mempersiapkan diri untuk memahami dan mempraktikkan agama Hindu dalam kehidupan saya selanjutnya di bawah bimbingan sang suami”.

Pernyataan Miniwati di atas memenuhi kaidah-kaidah yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan bunyi pasal tersebut di atas maka dapat dilihat beberapa

126 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. unsur yang menggambarkan sifat perkawinan tersebut, yaitu: (1) adanya ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita; (2) ikatan tersebut adalah ikatan sebagai suami istri; (3) dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga); dan (4) atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa (Gelgel, 2013 : 48). Berdasarkan pada hal tersebut, perkawinan merupakan sesuatu hal yang sakral yang membutuhkan kesiapan lahir dan batin. Perkawinan yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan melengkapi unsur sahnya perkawinan, maka Miniwati bersaksi dalam upacara Hindu dan selanjutnya menjadi pemeluk Hindu sebagaimana agama suaminya. Oleh karena itu, Miniwati yang telah rekonversi ke Agama Hindu terjadi karena faktor perkawinan yang oleh Jalaluddin (2010 : 343) disebut sebagai konversi karena perubahan status. Lebih jauh dijelaskan Jalaludin bahwasanya perubahan status terutama yang berlangsung secara mendadak akan banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama, misalnya perceraian, ke luar dari sekolah atau perkumpulan, perubahan pekerjaan, kawin dengan orang yang berlainan agama dan sebagainya. Konversi ke agama Hindu yang dilakukan oleh warga desa Pakraman Penganggahan merupakan pilihan pribadi, yaitu dorongan untuk dapat seiring sejalan dalam berumah tangga. Perkawinan tersebut merupakn murni berasal dari keinginan dan rasa untuk dapat sejalan dengan pasangan. Tidak ada unsur-unsur eksternal yang menekan atau memaksanya untuk meninggalkan keimanan lamanya. Oleh karena itu, konversi yang dilakukan melalui perkawinan disebabkan adanya dorongan yang dating dari internal diri individu. Hal tersebut sesuai dengan yang disebutkan oleh M.T.L. Penido (dalam Jalaluddin, 2010 : 344) yang menjelaskan bahwa konversi agama mengandung dua unsur, yaitu sebagai berikut. 1) Unsur dari dalam diri (endogenos origin), yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok. Konversi yang terjadi dalam batin ini membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi disebabkan oleh krisis yang terjadi dan keputusan yang diambil seseorang berdasarkan pertimbangan pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala psikologis yang bereaksi dalam bentuk hancurnya struktur psikologis yang lama dan seiring dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologis baru yang dipilih. 2) Unsur dari luar (exogenos origin), yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau kelompok, sehingga mampu menguasai kesadaran

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 127 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

orang atau kelompok yang bersangkutan. Kekuatan yang datang dari luar ini kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran, mungkin berupa tekanan batin, sehingga memerlukan penyelesaian oleh yang bersangkutan.

Merujuk pada hal tersebut, koversi agama diadasarkan atas sebuah teori bahwa orang yang melakukan konversi berasal dari internal diri maupun eksternal. Keputusan beberapa masyarakat desa Pakraman Tengkudak yang kembali ke agama Hindu melalui perkawinan lebih banyak mengikuti agama suami dengan harapan untuk dapat membentuk keluarga yang rukun, bahagia, langgeng, dan sejahtera. Perkawinan dalam Hindu sering disebut dengan tahapan grehasta asrama, dan perkawinan merupakan sebagai yang sakral untuk melahirkan keturuan dan mewujudkan keluarga rukun, bahagia, sejahtera dan sejenisnya, sesuai dengan yang diamanatkan oleh Weda sebagai berikut. Asthuri no garhapatyani,… (Rgveda. VI. 15. 19)

Terjemahan: Hendaknyalah hubungan suami istri kami tidak bisa putus dan berlangsung abadi.

Sam jaspatiyam suyamam astu devah,… (Rgveda. X. 85. 23).

Terjemahan: Ya, para dewata, semoga kehidupan perkawinan kami berbahagia dan tenteram.

Ihahiva stam ma vi yaustam, visvam ayur vyasnutam Kridantau putrair naptrbhih, modamanau sve grhe,… (Rgveda X. 85. 42).

Terjemahan: Ya, pasangan suami-istri semoga anda tetap di sini dan tidak pernah terpisahkan. Semoga anda berdua mencapai hidup yang penuh kebahagiaan. Semoga anda bermain dengan anak-anak lakimu dan cucu-cucu lakimu, tinggal di rumah ini dengan gembira.

128 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Mantram dan pujian dalam Weda menekankan secara tegas bahwa suami-sitri seyogyanya dapat bahagia, dan selamanya dikaruniai keabadian. Kesadaran tersebut hendaknya dimunculkan, dan banyak warga desa Pakraman Tengkudak menyadari bahwa suami-istri yang seagama akan dapat bersama-sama dalam setiap aktivitas keagamaan. Dengan selalu bersama, baik dalam aktivitas duniawi maupun keagamaan akan terjadi penyatuan hati antara suami dan istri, sehingga keluarga yang dibentuk dapat berbahagia lahir batin. Selain itu, dalam Weda kedudukan istri mendapatkan posisi yang mulia, dan terhormat. Hal tersebut pararel dengan susastra Hindu yang menempatkan perempuan dalam statusnya sebagai istri memiliki kedudukan mulia dalam keluarga, seperti dalam uraian berikut. 1) Ardhanggani, yaitu menejadi belahan hidup yang tidak terpisahkan dari suami; 2) Jaya berarti wanita yang melahirkan anaknya; 3) Sahadharmini, yaitu istri yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam kewajiban sosial keagamaan; dan 4) Dharmapatni, yaitu istri sebagai partner yang penting dalam pelaksanaan agama, pemujaan kepada Tuhan (Dalem, Januari 2010 : 12-13).

Kehidupan awal berkeluarga merupakan momentum penting untuk meneguhkan kehidupan, dan keyakinan keagamaan seseorang. Komitmen membangun rumah tangga baru oleh sepasang suami-istri yang disahkan oleh ritual keagamaan serta pencatatan secara hukum menjadikan pelaku perkawinan tidak saja memproklamirkan identitas barunya sebagai pasangan suami istri, tetapi juga menegaskan identitas keagamaan yang dianut. Hal tersebut jelas sekali tampak dalam rekonversi yang dilakukan warga desa Pakraman Tengkudak melalui perkawinan. Warga yang sebelumnya seorang Katolik kemudian disudhiwadani menjadi pemeluk Hindu yang diselenggarakan pada hari upacara pernikahan di Penganggahan, Desa Tengkudak. Agus (2006 : 205) menjelaskan bahwa legitimasi keluarga bagi masyarakat tradisional atau religius sangat penting dilakukan melalui upacara agama. Agama memberikan aspek kesakralan bagi institusi keluarga dengan upacara pernikahan. Masyarakat tradisional dan religius melaksanakan upacara pernikahan sebagai upacara sakral, dan sebagai ritus keagamaan. Kesakralan pernikahan dalam agama dihubungkan dengan tanggung jawab kepada Tuhan atau kekuatan supernatural lainnya. Pengaitannya dengan Tuhan juga untuk mendapatkan ketabahan, petunjuk

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 129 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. dan keberkahan dalam menjalani lautan kehidupan yang penuh ombak dan badai. Terjadinya rekonversi melalui perkawinan tentunya didasari atas rasa suka dan cinta serta saling menyayangi satu dengan yang lain. Melalui rasa tersebut, keyakinan dan agama yang dianut menjadi dikesampingkan. Hal tersebut dijelaskan Artika (wawancara,12 September 2014) menjelaskan bahwa rekonversi terjadi melalui perkawinan didasarkan atas rasa sayang dan cinta sehingga warga yang menganut agama Katolik meninggalkan keyakinan Katolik. Sebagaiman dijelaskan berikut. “saya dan istri, Miniwati telah melangsungkan pernikahan dengan keyakinan Hindu. Bahkan istri telah sah sebagai Hindu dalam proses perkawinan. Kami berdua saling mencintai dan menyayangi, namun sebagai laki-laki di Bali tentu berat rasanya jika menikah kemudian menjadi Katolik, jadi beban semakin bertambah. Saya menikah dengan Miniwati, dengan prosesi pernikahan nyentana, karena keluarga istri tidak memiliki anak laki-laki, agar ada yang menyambung keturunan berikutnya. Jika istri tetap Katolik, tentu saya tidak mau nyentana, saya sebagai kepala keluarga tentu mengajari dan memberikan nasehat tentang agama Hindu, sehingga istri dapat melaksanakan apa yang diperintahkan oleh ajaran Hindu dan tidak melanggar yang dilarang oleh Hindu”.

Bertendensi pada deskripsi tersebut, perlu dibahas tentang definisi perkawinan nyentana, agar tidak bias dalam penelitian ini, perkawinan nyentana adalah perkawinan yang dilangsungkan antara seorang laki- laki dengan seorang perempuan, yang mana pihak laki-laki meninggalkan rumahnya untuk melangsungkan perkawinan di rumah istrinya dan bertanggungjawab penuh meneruskan kewajiban (swadharma) orang tua serta leluhur istrinya, secara sekala (alam nyata) maupun niskala (alam gaib) (Windia, dkk, 2009:19). Artika (wawancara, 12 Februari 2015) memberikan informasi, tentang perkawinan yang menyebabkan rekonversi agama, yaitu I Nengah Budiarja berasal dari Penganggahan menikah dengan Ni Wayan Maria Chandradewi yang juga berasal dari Penganggahan. Upacara perkawinan dilakukan di Desa Pakraman Penganggahan, Penebel, Tabanan pada tahun 1993 dengan upacara Hindu. Wayan Artika juga menambahkan bahwa Ni Wayan Maria Chandradewi sebelum menikah beragama Katolik adalah putri dari I Nengah Wika, salah satu tokoh Katolik di Penganggahan, bersaudara tiga,

130 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. yaitu Maria, Agus dan Joni, dan hanya Maria saja yang kembali menjadi Hindu, karena aspek perkawinan. Adapun keluarga siperempuan sampai saat ini (2015) masih beragama Katolik. “… Budiarja adalah adik saya, dia memang mencintai Maria, dia sering curhat, karena mereka berbeda keyakinan. Pada saat serius menuju jenjang pernikahan, karena berbeda agama dan tidak direstui oleh orang tua Maria, maka mereka berdua berinisiatif kawin lari. waktu itu memang terjadi kehebohan, karena orang tua Maria, bingung mencari anaknya. Tapi dengan diketahui anaknya di bawa oleh Budiarja, maka I Nengah Wika pun merestui putrinya dipinang oleh menantu beragama Hindu. Waktu perkawinan berlangsung seluruh Keluarga Maria dan orang tuanya hadir menyaksikan putrinya kembali beragama Hindu. Sampai saat ini, I Nengah Wika justru semakin saying dengan keluarga Maria, apalagi telah memiliki cucu” (Wawancara, 12 Febuari 2015)

Kasus rekonversi agama tersebut sangat menarik untuk dikaji lebih dalam karena pengorbanan yang dilakukan oleh kedua mempelai. Fenomena tersebut terjadi karena cinta dan kasih sayang yang lahir dari dalam diri masing-masing, tanpa paksaan sedikit pun. Fenomena tersebut menunjukan ideologi cinta kasih (Gambar 4.7) yang muncul dari dalam kesadaran diri, seperti dalam Gambar berikut.

JIWA BADAN

TRI SARIRA DALAM HINDU

Sang Hyang Smara Badan Laki -Laki

Sang Hyang Ratih Badan Perempuan

Ideologi Cinta Kasih Dalam Hindu

Gambar 4.7 Ide Dualisme Plato Dan Ideologi Cinta Kasih Hindu (Sumber: Pradnya,2014)

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 131 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Ideologi Plato adalah ide-ide yang menjadi pedoman bagi filsuf- filsuf saat ini, banyak kritikan dan dukungan dari murid maupun para pemikir lainya, namun karya-karya Plato tetap abadi sampai saat ini. Pemikiran Plato yang paling terkenal adalah tentang dualitas, yaitu antara jiwa dan badan adalah berpisah. Jiwa tetap abadi dan badan mengalami perubahan, dikatakan bahwa jiwa itu ada di dalam penjara saat berada di badan manusia. ketika badan manusia lemah dan mati, maka saat itu sang jiwa bebas dan mencapai kemerdekaanya dan menjelma lagi pada penjara lainya (badan). Pemikiran Plato sama dengan konsep Hindu yang mengenal istilah Tri Sarira, yaitu tiga badan dalam tubuh manusia, yaitu badan kasar/fisik (Stula Sarira), badan ingatan (Suksma Sarira) dan badan yang memberikan kehidupan (Antakarana Sarira). Stula Sarira yang mengalami perubahan menurut Plato disebut badan, sedangkan Suksma Sarira dalam Plato disebut dunia ide yang selalu ada bahkan saat manusia belum ada. begitu juga Antakarana Sarira dalam pemikiran Plato adalah jiwa-jiwa yang abadi. Ajaran Agama Hindu merupakan ajaran cinta kasih yang melekat dalam diri semua insan. Diyakini dalam teks sastra Hindu, Dewa Smara dan Dewi Ratih adalah dewa cinta di sorga. Oleh karena Sorga sedang digoda oleh para raksasa, maka Dewa Indra sebagai raja para dewa memerintahkan Dewa Smara menggoda tapa brata Dewa Siwa. Dewa Smara memanah Dewa Siwa, kemudian Dewa Siwa terbangun dan membakar Dewa Smara menjadi abu. Melihat kejadian itu Dewi Ratih memohon agar Dewa Smara dan dirinya menyatu selamanya, karena tujuan membangunkan Dewa Siwa adalah menyelamatkan sorga dan alam semesta. Oleh karena itu, Dewa Siwa membakar Dewi Ratih, agar dapat bersatu dengan Dewa Smara di dunia. Dewa Siwa memberikan anugrah Dewa Smara akan selalu ada dalam badan diri Laki-laki dan Dewi Ratih selalu ada dalam badan diri perempuan. Oleh karena itulah cinta sejati selalu ada di dunia, meskipun dengan banyak pengorbanan. Cinta yang penuh pengorbanan adalah bentuk ideologi cinta kasih yang mengalahkan ideologi lainya. Warga desa Tengkudak yang rekonversi melalui perkawinan bersyukur dipertemukan dalam cinta sehingga pengorbanan tidak percuma. Terlebih perkawinan dan pernikahan atas dasar cinta kasih menjadi inspirasi bagi warga lainnya sehingga banyak yang kembali menjadi Hindu. Dengan demikian, rekonversi terjadi tidak

132 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. dapat dipisahkan dari perhelatan ideologi cinta kasih yang ada dalam perkawinan.

Kesadaran dalam Interaksi Sosial Soekanto (1987:53) menyebutkan, suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu: (1) adanya kontak sosial (social contact); dan (2) adanya komunikasi. Kata kontak sosial berasal dari bahasa Latin con atau cum yang artinya bersama-sama, dan kata tango yang artinya menyentuh. Lebih lanjut. Soekanto menguraikan sebagai berikut. 1) Antara orang perorangan, misalnya apabila ada anak kecil mempelajari kebiasaan-kebiasaan dalam keluarganya. Proses demikian terjadi melalui sosialization, yaitu suatu proses di mana anggota masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di mana dia menjadi anggota. 2) Antara orang perorangangan dengan satu kelompok manusia atau sebaliknya, misalnya apabila seseorang merasakan bahwa tindakan- tindakannya berlawanan dengan norma-norma masyarakat atau apabila suatu partai politik memaksa anggota-anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan ideologi dan programnya. 3) Antara satu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya. Umpamanya dua partai politik mengdakan kerjasama untuk mengalahkan partai politik yang ketiga di dalam pemilihan umum. Atau dua perusahaan bangunan mengadakan suatu kontrak untuk membuat jalan raya, jembatan dan seterusnya di suatu wilayah yang baru dibuka.

Fenomena rekonversi ke Agama Hindu yang terjadi di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan juga disebabkan oleh faktor adanya interaksi sosial antara penganut Katolik dengan penganut agama Hindu. Hal tersebut dimungkinkan karena kedua penganut agama yang berbeda tinggal dalam satu lingkungan, yaitu Banjar Penganggahan, Desa Tengkudak. Interaksi sosial yang berlangsung secara terus menerus memungkinkan terjadinya saling memahami ideologi keagamaan di antara kedua belah pihak yang selanjutnya menimbulkan ketertarikan pihak yang satu terhadap agama pihak yang lain. Peristiwa konversi dari Hindu ke Katolik tahun 1970-an,

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 133 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. para pelaku konversi tersebut berusaha lepas dari kungkungan desa adat dan tradisi Hindu dengan mengganti ideologi keagamaannya. Selanjutnya setelah merasakan ketidaknyamanan dalam komunitas Katolik, sebagian dari warga kembali mengganti ideologi keagamaannya menjadi Hindu. Menurut Althusser (dalam Sutrisno dan Putranto, 2005 : 47) ideologi adalah sebuah mekanisme yang digunakan kaum borjuis untuk memproduksi dominasi kelasnya. Melalui ideologi, berbagai generasi terus menerus menyesuaikan diri dengan status quo. Guru Artana (wawancara: 15 Agustus 2014) menjelaskan bahwa beberapa warga Katolik di Tengkudak sering mangadakan komunikasi intensif dengan warga sekitar desa yang beragama Hindu, khususnya warga yang dianggap dan diyakini memiliki kekuatan supranatural. Tujuannya sangat jelas untuk mendiskusikan berbagai keyakinan keagamaan, dan masalah-masalah yang terjadi dalam berkehidupan. Masalah yang sering ditanyakan oleh warga Katolik tersebut menyangkut pengalaman hidup yang banyak mengalami berbagai gangguan. Seorang Pemangku di Pura Taman Beji Batukaru yang sering dimintai petunjuk oleh masyarakat yang memeluk Katolik berkenaan dengan masalah-masalah supernatural (niskala). Orang-orang Katolik di Desa Tengkudak masih tetap memiliki trsut terhadap sesuatu yang niskala karena warga memiliki latar belakang budaya Bali, dan sebelumnya beragama Hindu sehingga warga Katolik masih memiliki kepercayaan terhadap masalah-masalah niskala. Sebagaimana Artana (wawancara : 15 Agustus 2014) mengatakan sebagai berikut. “beberapa warga masyarakat yang masih beragama Katolik sempat bertanya kepada saya tentang mengapa dirinya dan keluarga selalu kesakitan dan juga perekonomiaanya terpuruk. Sesuai bidang saya kemudian saya mencoba menelusuri persoalan yang membelit pihak-pihak tersebut. Ternyata di antara mereka ada yang keturunan Pemangku sehingga leluhurnya kurang berkenan keturunannya pindah agama. Saya tidak hanya menyampaikan hal itu, karena kepada yang lain saya juga berusaha paparkan bagaimana sebaiknya menjalani kehidupan beragama. Mungkin selain bertanya kepada saya mereka juga konsultasi dengan orang-orang Hindu lainnya sehingga akhirnya mereka memutuskan untuk kembali memeluk Agama Hindu”

134 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Interaksi dan relasi sosial warga Katolik di Desa Tengkudak dengan umat Hindu dapat dikatakan berlangsung baik. Terlebih lagi tokoh Hindu yang dipandang memiliki keududukan yang setrategis. Ineterkasi terjalin dengan baik karena ada kedekatan historis, bahwa warga Katolik dahulunya adalah beragama Hindu. Interaksi diwujudkan dalam bentuk pasuka dukaan, dan warga Katolik ikut akatif dalam kegiatan religi Hindu. Demikian juga warga Katolik di Banjar Penganggahan sebelum rekonversi ikut aktif dalam kegiatan adat, seperti saat ada perhelatan upacara yajña. Umat Katolik biasanya datang menghadiri acara (kondangan) walaupun tidak diundang. Hal itu sebagai bentuk upaya untuk tetap menjaga toleransi, dan kerukunan dengan warga Hindu. Kebiasaan tersebut sebagai bagian bentuk interaksi sosial turut pula mempengaruhi keputusannya untuk rekonversi ke agama Hindu karena ada rasa kenyaman dalam kebersamaan seperti itu serta adanya pertimbangan lain. Kontak sosial warga Katolik Desa Tengkudak melalui pergaulan dengan warga Hindu setempat terbukti berperan dalam peristiwa rekonversi tersebut. Dalam kasanah susastra suci Hindu pergaulan memiliki peran penting dalam meberikan pengaruh persuasive seseorang, seperti disebutkan dalam Sarasamuccaya 300 sebagai berikut . Nyang selangakena, ikang sang-sarga, agelis juganularaken guna ya, irikang lot masangsarga lawan maguna, wyaktinya, nahan yamboning sekar, an tular mara ring dodot, wwai, lenga, lemah, makanimitta pasangsarganya, lawan ikang kembang.

Terjemahan: Inilah tentang pergaulan; lekas benar pergaulan itu memindahkan sifat yang baik kepada orang yang selalu bergaul dengan orang yang bersifat utama; buktinya baunya bunga beralih kepada kain, air, minyak dan tanah, disebabkan persentuhannya dengan bunga itu (Kadjeng, dkk., 2012 : 151).

Hubungan antara umat Katolik dengan Hindu di Desa Tengkudak umumnya berlangsung dengan harmonis, bahkan pada masa-masa awal banyak warga Tengkudak beralih ke agama Katolik, dan diberikan hak pula untuk menguburkan jenazah warga yang meninggal di setra desa. Namun, dibalik semua itu muncul disharmonisasi dalam interaksi sosial. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakikhlasan warga Hindu Desa Tengkudak terhadap

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 135 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. orang-orang Katolik yang membagi kuburan (setra) desa Pakraman Penganggahan, Penebel, Tabanan. Namun, setelah dilakukan musyawarah mufakat dan Katolik membeli tanah di tempat lain untuk kuburan, pada akhirnya antarwarga yang berbeda agama, kembali membaik (Senayasa : wawancara, 5 September 2014). Umat Hindu di Desa Tengkudak meskipun berstatus mayoritas, tetapi dapat menerima kehadiran umat dari agama lain dengan penuh toleransi, dan berdampingan dengan damai. Hal tersebut didasarkan tas ideologi ajaran Hindu yang banyak menjabarkan ajaran tentang heterogenitas sehingga umumnya warga Hindu bersikap moderat dan toleran. Sebagaimana disebutkan Ngurah (2011 : 204) bahwa secara konseptual agama Hindu mengajarkan banyak hal berkenaan dengan cara pandang terhadap kehidupan yang heterogen antara lain sebagai berikut. Pertama, disampaikan bahwa sesungguhnya kita semua ini walaupun takpaknya berbeda satu dengan yang lain pada hakikatnya adalah satu. Hal ini dinyatakan dalam kalimat “vasudewa kutumbhakam” (kita semua bersaudara). Konsep ini jelas mengajarkan agar kita bisa memandang orang lain itu bukan musuh, akan tetapi sebagai saudara sendiri. Ada pengakuan satu dengan yang lain saling mendukung, saling menerima, saling menghormati, dan saling menghargai, guna keharmonisan hidup bersama, walaupun satu dengan yang lain ada perbedaan. Kedua, ada konsep yang disebut Tat Twam Asi (itu adalah saya juga). Tat Twam Asi mengajarkan agar di dalam bertingkah laku (tri kaya parisudha) dapat menyatakan diri ini sesungguhnya sama dengan orang lain. Artinya jika diri ini tidak senang disakiti janganlah menyakiti orang lain. Jika milik sendiri tidak suka diambil tanpa izin oleh orang lain, jangan pula mengambil milik orang lain tanpa izin, dan seterusnya. Ketiga, ada beberapa sloka yang menyatakan tentang kehidupan multicultural seperti dinyatakan “Jalan manapun ditempuh manusia, asalkan menujuKU, semuanya akan Ku terima (Bhagavadgita, IV. 11). Selanjutnya Bhagavad Gita II. 11 menyatakan “dengan saling menghormati engkau akan mencapai kebajikan.” Keempat, agama Hindu juga mengajarkan Rwa bhineda (dua hal yang berbeda pada hakikatnya adalah satu) Rwaneka datu Bhineka Tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

136 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Ajaran Hindu di atas adalah bentuk dari menghargai multikultural di masyarakat, melalui gerakan yang persuasive telah menjadikan umat Hindu yang konversi ke Katolik, akhirnya kembali menjadi Hindu. Interaksi sosial yang menyebabkan rekonversi agama, dapat dianalisis dari ide-ide Mead tentang interkasional simbolik, seperti Gambar 5.14 berikut.

Gambar 4.7 Interaksionisme Simbolik Menurut Ide Mead sumber: Rizer dan Goodman, 2008: 290-294

Berdasarkan Gambar di atas, bahwa membuat pilihan terjadi karena adanya interaksi sosial berupa sosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat sehingga bersosialisasi mengakibatkan proses berpikir yang lebih dinamis untuk perkembangan cara hidup manusia. Setelah berinteraksi, maka manusia belajar mempelajari simbol dan makna dalam interkasi sosial. Manusia menanggapi tanda-tanda dengan tanpa berpikir. Sebaliknya manusia menanggapi simbol dengan cara berpikir karena simbol adalah objek sosial yang dipakai untuk merepresentasikan apapun yang disetujui orang untuk direpresentasikan. Proses interaksional simbolik lainya adalah dampak dari pemahaman simbol dalam masyarakat, yaitu tindakan sosial, yang mengarahkan manusia untuk mengerti dan saling mempengaruhi sesuai kebiasaan. Tindakan yang telah dilakukan melahirkan pilihan yang dimiliki secara otonom oleh aktor. Bahkan sang aktor dapat memberikan penafsiran baru atas interaksi dalam kehidupan sosial. Jadi aktor dapat memutuskan apapun menurut dirinya sendiri. Berdasarkan hal di atas, maka rekonversi agama di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan adalah pilihan yang dimiliki secara otonom oleh aktor rekonversi agama berdasarkan interaksi dengan lingkungan di Desa Pakraman Penganggahan, Penebel, Tabanan. Dibandingkan dengan ideologi

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 137 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Althusser bahwa ideologi berasal dari dalam diri individu sehingga ada kesamaan. Namun, individu tidak dapat memutuskan pilihanya, jika mereka tidak berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, rekonversi agama adalah hak dan pilihan semua orang secara otonom dan berideologi dengan kesadaran dari dalam diri untuk memiliki keyakinanya dan cara mereka hidup yang tidak dapat dipisahkan dari hubungan sosial kehidupan masyarakat, khususnya dalam penelitian ini, lingkungan yang dimaksud adalah Desa Pakraman Pengagahan, Tengkudak, Penebel, Tabanan.

138 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

6

Proses Rekonversi Umat Hindu dari Agama Katolik

roses rekonversi merupakan sebuah bentuk transaksi antar Pindividu dan kelompok yang terjadi dalam ranah sosial. Artinya, rekonversi terjadi berawal dari adanya sebuah bentuk transaksional atau pertukaran antara individu dengan individu lainnya, demikian juga antar kelompok dalam ruang sosial. Pertukaran dalam konteks ini mengacu pada asumsi teori sosial, bahwasanya transaksi terbatas kepada tingkah laku yang mendatangkan imbalan, dan transaksi akan berhenti jika tidak ada imbalan (Raho,2007: 177). Turner (2006: 151) menjelaskan bahwasanya pertukaran tidak saja terbatas pada tingkah laku yang mendatangkan imbalan, tetapi pertukaran lebih kepada pertukaran ideologi religius yang dimiliki oleh masing-masing individu dan kelompok. Rekonversi yang terjadi di desa Pakraman Penganggahan Tengkudak dapat dilihat melalui sebuah proses pertukaran atau transaksional, baik transaksi terbatas tingkah laku yang mendatangkan imbalan dan transaksi ideologi religius.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 139 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Proses transakasional tersebut terjadi antar individu dan kelompok di lingkungan struktur sosial desa Pakraman Penganggahan Tengkudak. Proses transaksional antar individu terbatas tingkah laku yang mendatangkan imbalan dapat ditemukan dalam setiap aktivitas masyarakat Hindu di desa Pakraman Penganggahan yang terpola dalam aturan adat (awig-awig). Aturan adat banyak menyebutkan bahwa, warga Hindu di desa Pakraman Penganggahan Tengkudak akan mendapatkan hak-hak atau imbalan dari desa pakraman, jika tetap beragama Hindu. Imbalan tersebut memberikan keuntungan dan kemudahan yang signifikan terhadap warga Hindu sehingga warga Hindu dapat bertahan hidup dalam lingkungan sosial. Selain itu, pertukaran ideologi religi menjadi sebuah proses transaksional yang penting bagi warga Katolik yang rekonversi ke Hindu. Proses tersebut terpolarisasi melalui sebuah hubungan “memberi dan menerima”. Dalam teori pertukaran sosial Homans (2010: 9) menjelaskan bahwa individu berinteraksi dengan individu lain, dikarenakan pola hubungan give and take. Homans menjelaskan bahwa pola demikian disebut proposisi sukses (the success Proposition), yaitu semakin sering tindakan khusus seseorang diberi hadiah, maka semakin besar kemungkinan orang melakukan tindakan itu (Homan dalam Ritzer, 2008: 361). Hanafi (2007: 11) menjelaskan bahwa hadiah dalam pertukaran sosil tidak saja berupa barang, dapat juga berupa prinsip-prinsip keyakinan ideologis yang memuat aksioma agama yang terbukti dengan sendirinya. Pola proposisi sukses Homas tersebut menjadi sebuah proses yang fundamental hingga terjadinya rekonversi di desa Pakraman Panganggahan. Warga Hindu melalui desa pakraman dan awig-awig secara konstan memberikan pengetahuan agama Hindu yang dituangkan dalam tradisi dan upacara yadnya sehingga prinsip keyakinan ideologis ajaran Hindu yang dimiliki masyarakat desa pakraman semakin kuat. Berdasarkan proposisi sukses Homans, maka pihak desa Pakraman Penganggahan dapat dikatakan telah mampu mengkonstruk sebuah struktur sosial mikro maupun makro sehingga terjadi interaksi. Dalam interaksi tersebut terjadi pertukaran ideologi religi sehingga warga Katolik kembali menjadi Hindu. Interakasi secara mikro dan makro berlangsung dalam event ritus yajña dan berlangsung dalam tradisi yang mengharuskan warga Katolik untuk beralih ke Hindu. Di samping itu, pertukaran ideologi religi

140 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. memberikan efek terhadap psikis warga Katolik untuk kembali ke Hindu. Sebagiamana dijelaskan Cetig (wawancara, 9 September 2014) sebagai berikut. “saat itu saya berpikir, bahwa menjadi Katolik hidup lebih sejahtera karena segalanya di taggung, serta menjadi Katolik tidaklah begitu membebani terutama masalah upacara keagamaan. Jadi beragama yang praktis, apalagi kehidupan saat itu sangat sulit, mencari bahan makanan begitu susah. Namun, belakangan jauh dari bayangan saya, ternyata menjadi meagame Hindu saya mendapatkan kepuasan batin melalui upacara dan mengikuti tradisi yang berkembang di desa Pakraman. Setelah akhir-akhir ini banyak tetangga warga Hindu yang memberikan saya pemahaman yang baik tentang Hindu sehingga saya merasa nyaman beragama Hindu”

Berdasarkan pada uraian informan tersebut, dapat dikemukakan bahwasanya interaksi mikro dan makro memberikan dampak yang positif terjadinya proses rekonversi. Dalam interaksi tersebut, pertukaran ideologi terjadi antar warga Hindu dengan warga Katolik sehingga rekonversi terjadi, dan elit agama Hindu memiliki peran setrategis dalam mengembangkan pelayanan religius melalui ritus yajña dan pasukadukaan antar krama Hindu. Pertukaran elit religius Hindu dengan krama Hindu, yang terjadi dalam bentuk pelayanan secara langsung dan tidak langsung dapat meneguhkan keyakinan warga Hindu terhadap ajaran agamanya. Turner (2006: 177) menjelaskan bahwa pertukaran elit religius dengan massa dalam bentuk pelayanan religius secara langsung dan tidak langsung dapat meneguhkan supremasi ideologi kepercayaan tertentu. Secara emperis perilaku konversi agama ke Katolik secara bersama- sama di Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak disebut perilaku kolektif. Ciri-ciri umum perilaku kolektif, yaitu: 1) fenomena tersebut melibatkan sejumlah orang yang melakukan tindakan yang sama atau mirip pada waktu yang bersamaan, 2) Perilaku yang ditampilkan tersebut bersifat sementara atau terus menerus berubah, tidak dalam kondisi seimbang atau stabil, 3) terdapat semacam ketergantungan tertentu diantara tindakan- tindakan tersebut dan individu tidak dapat bertindak secara bebas (Coleman, 2011: 271-272). Sebagaimana analisis perilaku kolektif terhadap rekonversi di desa Tengkudak dapat dijelaskan melalui Gambar 6. 1 berikut.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 141 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Gambar 6.1 Analisis Perilaku Kolektif Terhadap Konversi dan Rekonversi Agama (Sumber: Pradnya,2014)

Merujuk pada hal tersebut dapat dikemukakan bahwa konversi agama di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan sesuai dengan ciri perilaku kolektif, yaitu dilakukan bersama-sama dalam waktu bersamaan sekitar tahun 1969- 1970, sehingga berkelompok menjadi Katolik. Mengacu pada ciri perilaku kolektif kedua di atas, berarti konversi agama, dilakukan sementara dan berubah karena situasi yang tidak stabil. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya rekonversi agama. Situasi yang tidak stabil dimaksudkan dalam penelitian ini, karena individu tidak dapat bertindak secara bebas, disebabkan desa Pakraman dengan tradisinya yang mengatur masyarakat dalam peraturan otonom, mesti dilaksanakan sesuai ajaran Hindu. Oleh karena itu, tidak mudah meninggalkan agama leluhurnya. Beragama Hindu di Bali tidak dapat dipisahkan antara tradisi dan leluhur. Sebagian besar leluhur orang Bali dipercaya lahir kembali di keluarga yang sama. Umat Hindu menyebutnya punarbawa atau samsara dipercaya kakek atau nenek yang telah meninggal kembali lahir menjadi cucu atau keturunan berikutnya. Kepercayaan ini masih kental di warisi bahkan sangat di percaya oleh masyarakat Desa Pakraman Penganggahan. Secara tidak langsung leluhur senantiasa ada dalam kehidupan umat Hindu. Permasalahan terjadi, ketika keturunanya tidak lagi memperhatikan leluhurnya karena setelah konversi agama tidak sembahyang di sanggah kamulan atau rong tiga. Hal tersebut salah satu penyebab warga Desa Pakraman Penganggahan menyadari akan keberadaannya sehingga memutuskan kembali ke Agama Hindu. Kesadaran dari dalam dirinya muncul, setelah melihat keadaan sosial atau lingkungan yang tetap mempertahankan tradisi Hindu dalam

142 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. kehidupan sehari-hari. Terlebih banyak aktivitas ritual, dan praktik agama yang dilaksanakan dalam desa Pakraman. Hal tersebut secara tidak langsung terjadi interaksi sosial yang intensif antar masing-masing individu. Hal tersebut disampaikan oleh Suderi (wawancara, 11 Agustus 2014), seperti berikut. “…beberapa tahun belakangan ini baru saya menyadari pentingnya peranan leluhur terhadap kesuksesan kehidupan di dunia. Ketika saya beragama Katolik, ketiga anak saya mengalami penyakit yang janggal dan sulit sekali untuk disembuhkan, serta banyak sekali kejadian-kejadian yang tidak masuk di akal. Salah satu anak saya tidak ingin melanjutkan sekolah, padahal fasilitas sudah saya penuhi semua. Bahkan anak saya tersebut tidak ingin melakukan kegiatan apapun. Kejadian lainnya adalah ketika lahir cucu pertama saya selalu rewel, kebetulan adik saya beragama Hindu, saya suruh dia untuk menanyakan penyebab cucu saya rewel kepada orang pintar atau balian, berdasarkan penjelasan balian, cucu saya menginginkan agar diselenggarakan upacara sesuai dengan tradisi Hindu. Upacara dimaksud adalah upacara kelahiran sampai meoton setiap enam bulan sekali, karena cucu ini saya yakini punarbawa dari leluhur terdahulu. Namun waktu itu saya masih beragama Katolik, sehingga tidak mungkin melaksanakan upacara, karena berbeda keyakinan, sehingga upacara dilaksanakan dirumah adik yang disebut manusa yajna. Anehnya ketika selesai melaksanakan upacara manusa yajna, cucu saya langsung sehat dan tidak rewel lagi. Pengalaman- pengalaman ini, membuka mata saya dan memutuskan kembali menjadi Hindu pada tahun 2005”.

Berdasarkan penjelasan Suderi dalam petikan wawancara di atas membuktikan kesadaran dirinya mengenai keberadaan leluhur yang senantiasa memantau dan memperingatinya untuk tidak beralih agama dan tetap beragama Hindu. Kongruensi dengan pandangan psikologi agama yang menjelaskan bahwa fenomena tersebut terjadi karena tekanan batin di dalam diri tidak seimbang, dan keterikatan dengan Agama Hindu sangat besar sehingga menimbulkan proses kejiwaan merenung, cemas terhadap masa depan, perasaan susah yang timbul dari kebimbangan, keterikatan akan keamanan dan kebahagiaan (Jalaluddin, 2010: 344). Secara tidak langsung alam bawah sadar terikat kehidupan masa lalu dan juga terbelenggu bayangan leluhur, sehingga membuat warga yang beragama Katolik lebih

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 143 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. yakin, dan percaya terhadap Agama Hindu serta memutuskan rekonversi ke Agama Hindu. Selain itu, warga Desa Pakraman Penganggahan rekonversi ke Agama Hindu melalui kesadaran diri dipengaruhi oleh tradisi sosial dan peran leluhur. Leluhur merupakan pengejawantahan dewata, hal ini termuat dalam Taittiriya Upanishad, Shikshavalli I.20: matru devo bhava, pitru devo bhava, acharya devo bhava, atithi devo bhava, artinya; bahwa Ibu adalah Dewa, leluhur adalah dewa, guru adalah dewa dan tamu adalah dewa (Radhakrishnan, 2010: 231). Dengan demikian, leluhur dapat dikatakan sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa sehingga wajib di hormati dalam bentuk bhakti maupun yajña. Berdasarkan uraian tersebut proses rekonversi ke Agama Hindu di mulai dari keyakinan dan penyadaran dirinya atas kebesaran leluhur yang senantiasa membantunya. Senada dengan itu, Bedra (wawancara, 15 Agustus 2014) menjelaskan sebagai berikut. “…Dahulu saya adalah penganut Agama Katolik yang taat, tidak sekalipun terlepas dari kaedah Agama Katolik. Saya kembali ke Agama Hindu karena penyadaran diri saya sendiri dari berbagai pengalaman hidup yang saya alami. Ketika beragama Katolik saya sempat kehilangan salah satu anak saya karena sakit. Dulunya anak saya tersebut bersekolah di Denpasar, suatu ketika tidak diketahui pasti apa penyebabnya dia merasa ketakutan setengan mati ketika berada di sekolah, sehingga pihak sekolah mengantarnya ke rumah di Banjar Dinas Penganggahan. Itu pun dia tidak berani diam dirumah. Anak saya di titip di rumah pamannya, lebih dari 1 (satu) bulan saya membawakan dia makan dan minum serta kebutuhan lainnya, akan tetapi tidak ada perubahan, dia selalu merasa ketakutan seakan-akan melihat raksasa yang besar. Suatu ketika saya berinsiatif untuk pergi ke balian meskipun saya masih beragama Katolik, ternyata sesuhunan di Pura Manik Bayu mendatangi anak saya (kesisipan di pura Mas Bayu). Mengetahui hal tersebut saya tangkil ke Pura Manik Bayu untuk nunas tirta dan meminta kesembuhan kepada anak saya, dan berjanji ketika anak saya sembuh bersedia untuk pindah Agama lagi ke Agama Hindu. Tidak berselang beberapa hari anak saya langsung sembuh padahal hanya di berikan tirta (air suci) dari Pura Manik Bayu saja.”

144 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Diadasarkan pada kutipan wawancara tersebut dijelaskan bahwa Bedra menyadari bahwa leluhurnya sangat ingin membantu untuk menyembuhkan anaknya. Sedangkan leluhurnya sendiri tidak dapat membantu langsung karena tempat dari leluhur, yaitu sanggah kemulan tidak dimiliki oleh Bedra sehingga melalui masalah yang dihadapi keturunanya, leluhur datang membantu sebagai bentuk eksistensi leluhur. Leluhur berdasarkan karmanya menurut Hindu dibagi menjadi dua yaitu, karma leluhur baik mendapat sorga, dan karma leluhur buruk memperoleh neraka. Selanjutnya, kepada orang-orang yang mendapat sorga di mohon karunianya, sedangkan orang yang berada di neraka didoakan oleh keturunannya untuk membebaskan roh dari kesengsaraan. Oleh karena itu, keturunannya wajib berbuat baik, maka leluhurnya yang telah mencapai sorga akan memperoleh kebebasan dan yang di neraka terlepas dari penderitaan. Sebaliknya bila keturunan berbuat jahat atau bahkan meninggalkan leluhurnya, maka leluhur yang berada di sorga akan kecewa dan leluhur yang berada di neraka selalu menderita (Titib, 2003: 225). Umat Hindu di Bali memiliki trust atau kepercayaan yang kuat tentang roh leluhur yang menderita, maka para keturunanya juga menderita, meskipun tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Namun, leluhur memiliki fungsi pemberi anugrah, pemberi pertolongan, rahmat serta berbagai hal mulia lainnya kepada keturunannya yang berada di dunia. Sebagaimana hal tersebut tertuang dalam Rgveda sebagai berikut.

Barhisadah pitara uti arvag Ima vo havya cakrma jusadhvam Ta a gata avasa samtamena Atha nah sam yor arapo dadhata (Rgveda X.15.4)

Terjemahan: Wahai para leluhur yang duduk bertebaran, datanglah kemari dengan (membawa) pertolongan, upacara persembahan ini kami persembahkan untuk anda, semoga anda berbahagia. Datanglah dengan pertolongan bermanfaat, karuniailah kami kesehatan, rahmat dan bebaskan dari keperihan (Maswinara,1999: 218).

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 145 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Seseorang yang telah konversi agama, maka orang tersebut telah meninggalkan leluhur yang dalam keyakinan Hindu sebagai pemberi anugrah. Orang yang demikian hidupnya pasti menderita karena lupa akan leluhur. Terlebih warga Tengkudak yang masuk Kristen telah menagsikan sanggah kamulan sebagai simbol sthana dari leluhur. Menurut kepercayaan Hindu di Bali roh leluhur bersthana di sanggah kemulan atau di rong tiga. Sanggah Kemulan dapat dijadikan piranti agar umat dapat meminta dan menyampaikan keluh kesahnya kepada leluhur. Tidak ada sarana pemujaan sudah tentu komunikasi tidak terjadi, dengan kata lain leluhur tidak dapat membantu keturunannya karena berbeda keyakinan. Seperti halnya pernyataan Suderi (wawancara, 11 Agustrus 2014) dalam petikan wawancara berikut. “…ketika saya konversi Agama ke Katolik sanggah yang saya miliki tentunya di bongkar karena tidak berguna lagi. Beberapa tahun menjadi Katolik terlepas dari kebiasaan mebanten di sanggah membuat saya lebih merasa ringan. Akan tetapi beberapa kondisi membuat saya dan keluarga merasa terpuruk karena kejadian bertubi-tubi mendatangi, dari kecelakaan sampai kepada tekanan mental anak saya. Ketika itu saya sedikit sekali percaya dengan orang pintar/ dukun/ balian karena sudah tidak sepaham, meskipun demikian beberapa kali pembuktian saya dengan bertanya ke balian jauh dari Desa Tengkudak dan nedunang leluhur terdahulu. Dengan hasil perbincangan hampir sama yaitu leluhur tidak dapat membantu keluarga Suderi karena berbeda keyakinan, selain itu leluhurnya kebingungan ketika ingin berkunjung kerumah keturunannya tidak ada tempat karena sanggah kemulan sudah dibongkar. Dari beberapa pernyataan balian tersebut saya mulai berpikir kembali untuk pindah Agama lagi ke Agama Hindu, dimana saya menyadari sepenuhnya bahwa leluhur saya sebelumnya telah membuatkan saya warisan yang wajib untuk diteruskan.

Melalui pernyataan Suderi tersebut dapat dicermati bahwa kesadaran diri mengenai keyakinan itu sangat penting karena masyarakat Hindu khususnya di Desa Pakraman Penganggahan tidak saja terikat dalam kehidupan sekarang ini melainkan terikat dengan kehidupan terdahulu ataupun kehidupan para leluhur, dan juga akan mengikat dalam kehidupan masa datang. Konsep-konsep inilah yang baru di sadari sehingga terketuk hati secara duniawi kembali ke Agama Hindu.

146 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Kesadaran diri sendiri terhadap leluhur dan tradisi masyarakat berlaku secara kolektif di Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak, Tabanan yang dianalisis dalam teori perubahan sosial Homans dalam proposisi deprivasi-kejemuan, yaitu makin sering seseorang menerima hadiah khusus di masa lalu yang dekat, makin kurang bernilai baginya setiap unit hadiah berikutnya (Ritzer-Goodman, 2008: 365). Hal tersebut didasarkan atas sebuah enigma bahwa konversi agama yang diberikan dalam bentuk barang dan jasa secara kontinyu dalam waktu yang dekat, kamudian tidak ada lagi pemberian selanjutnya, maka tidaklah bernilai hadiah itu, sebab antara biaya dan keuntungan yang direncanakan tidak sesuai. Oleh karena itu, sesuatu yang telah lama dilakukan masyarakat Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak secara turun temurun, tidak dapat dirubah secara instan. Perubahan sosial masyarakat yang terjadi di Desa Pakraman Penganggahan dengan konversi agama, tidak lantas menjamin seseorang bertahan dalam agama barunya, justru sebaliknya ditinggalkan. Karena adanya kebiasaan atau habit dari leluhur umat Hindu dalam suatu tradisi yang bertahan, tetap stabil serta masih eksis sampai saat ini sehingga hadiah yang diberikan Katolik bersifat sementara. Apalagi tradisi berkomunikasi dengan Tuhan atau manifestasi-Nya menjadi kebiasaan masyarakat Hindu dengan menggunakan mantra yang diucapkan Balian, kebiasaan ini tentu tidak dimiliki oleh Katolik. Kebiasaan bertanya kepada roh suci telah di warisi dari zaman-ke zaman. Begitu pula setelah konversi agama pun hal itu masih di yakini, terbukti dari beberapa informan di atas menjelaskan masalah yang dihadapai, terjawab ketika melakukan komunikasi dengan leluhur. Melakukan komunikasi dengan roh nenek moyang menurut Hindu juga termuat dalam Weda khusunya dalam Rgveda sebagai berikut. Upahutahpitarah samyase Barhisyesu nidhis priyesu Ta a gamantu ta iha sruvantu Adhi bruvantu te avantu asman (Rgveda X.15.5)

Terjemahan: Dimohon kehadirannya para leluhur pencinta untuk tempat yang tersimpan dan amat disayangi, tempat yang bertebaran, semogalah mereka (para leluhur) datang kemari, semogalah mereka mendengarkan dan berkenan untuk bercakap-cakap dan memberikan pertolongan kepada kita.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 147 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Melalui kutipan tersebut ditegaskan mengenai keberadaan leluhur tidaklah jauh dari keberadaan manusia, sehingga antara manusia dengan leluhur dapat melakukan komunikasi melalui perantara balian atau dasaran. Masyarakat Desa Pakraman Penganggahan secara sosial keagamaan juga memiliki Balian Desa yang bertugas mengatur dan menentukan kegiatan yajña yang dilaksanakan di Desa Pakraman Penganggahan. Balian Desa berperan menguhubungkan alam sekala dengan alam niskala.

Bendesa Adat Sebagai Pemegang Kekuasaan Perilaku manusia baik secara individu dan kelompok dapat dicermati secara emperik dalam pola hubungan sosial. Pola hubungan sosial antara orang awam dengan elit agama. Turner (2006: 151) menyebutkan bahwa pola tersebut sebagai bahasan abadi dalam sosiologi agama. Pola tersebut terjadi pula di Desa Pakraman Penganggahan Tengkudak, yakni interaksi yang terpolarisasi antara masyarakat biasa dengan orang agamawan. Secara historikal, konversi terjadi di desa Pakraman Penganggahan pada masa lalu dikarenakan adanya ketimpangan antar elit agama dengan masyarakat biasa. Elit agama yang sering disebut agamawan dipahami sebagai kaum kelas atas dan di luar itu adalah kelas bawah atau kelas dua. Kaum non agamawan sebagai golongan kelas dua tidak diberikan pemahaman agama yang mapan sehingga konversi terjadi. Lima tahun belakangan, ketimpangan tersebut berhasil disinergikan dan diseimbangkan oleh kaum agamawan Hindu sehingga tidak lagi ada pandangan kelas sosial yang mencolok. Bendesa Adat sebagai elit agama selain orang suci Hindu di Desa Pakraman Penganggahan memiliki kuasa untuk mengatur sepenuhnya perilaku masyarakat. Balu (dalam Ritzer- Goodman, 2008: 369) menjelaskan bahwa penguasaan status dan kekuasaan akan dapat mengatur kebanyakan perilaku manusia dan melandasi hubungan antar individu maupun kelompok. Bendesa Adat Penganggahan sebagai penguasa dan memiliki status sebagai pemimpin adat memiliki wewenang untuk melakukan interakasi dengan tujuan-tujuan tertentu. Bendesa Adat sebagai aktor harus mampu berinteraksi dengan kelompok sehingga terjadi ketergantungan ideologi bagi warga Katolik sehingga kembali ke Hindu melalui kesadaran yang muncul dari dalam diri individu. Wewenang dan kekuasaan Bendesa Adat Penganggahan terlihat jelas dalam aturan dan diskursus berupa wacana yang dibuat. Wacana tersebut

148 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. secara eksplisit menyebutkan bahawa masyarakat yang terdahulunya warga asli dari banjar dinas Penganggahan, setelah konversi ke Agama Katolik tidak lagi termasuk anggota dalam desa Pakraman sehingga segala haknya dihapus termasuk hak-hak kemanusiaannya. Wacana merupakan alat kekuasaan yang ampuh bagi seorang aktor dalam mencapai tujuan. Sebagaimana teori kuasa wacana Foulcault, bahwa wacana adalah alat kekuasaan dan digunakan untuk melangengkan kekuasaan (mikro-fisik kekuasaan) (Wirawan,2013: 260). Wacana yang dibuat oleh Bendesa Adat sebagai aktor secara tidak langsung dan langsung menjadi hukuman bagi warga Hindu yang konversi ke agama Katolik. Selaian Bendesa Adat sebagai pemilik status dan kekuasaan, Desa Pakraman juga dapat dikatakan sebagai status kekuasaan dan alat kekuasaan. Desa Pakraman menjadi lembaga adat resmi di Bali sebagai upaya mengatur dan mempertahankan kebudayaan tradisional Bali. Secara hukum desa Pakraman diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 03 Tahun 2001 yang menjelaskan desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu, dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangga sendiri. Perda tersebut menjelaskan enam unsur pokok yang membentuk desa Pakraman, yaitu (1) kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali, (2) mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun, (3) dalam ikatan Kahyangan tiga (Kahyangan Desa), (4) mempunyai wilayah tertentu, (5) mempunyai harta kekayaan sendiri, dan (6) berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Mengacu pada enam unsur tersebut dapat dipahami bahwa Perda tersebut hendak menegaskan bahwa sistem sosial masyarakat (Desa Pakraman) Bali bercorak Hindu. Seperti dijelaskan Sirtha dalam Astra (2003: 71) bahwa agama Hindu yang dianut oleh masyarakat Bali memberikan corak khas bagi desa Pakraman. Kegiatan masyarakat adat dijiwai oleh Agama Hindu yang dimanifestasikan dalam pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kahyangan tiga sebagai tempat pemujaan menjadi simbol pemersatu bagi masyarakat adat dalam melaksanakan upacara pemujaan sebagai wujud bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 149 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Substansi awig-awig desa Pakraman, dijiwai oleh Agama Hindu berdasarkan falsafah Tri Hita Karana, yaitu (1) parhyangan sebagai kongkretisasi tempat pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa yang mengatur kegiatan manusia dalam melakukan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud upacara keagamaan; (2) pawongan sebagai perwujudan hubungan manusia dengan sesamanya dalam melaksanakan berbagai kegiatan sosial; dan (3) palemahan atau wilayah berupa perwujudan hubungan manusia dengan alam yang menjadi tempat pemukiman dan sumber kehidupan masyarakat. Desa Pakraman merupakan satu kesatuan yang harmonis dari tiga unsur, yaitu krama desa sebagai unsur pawongan membutuhkan ruang untuk melaksanakan aktivitasnya berupa kewajiban hidup (dharma) di wilayah desa Pakraman, yaitu unsur palemahan. Kenyataan bahwa manusia adalah bagian dari alam, sehingga manusia mempengaruhi alam dan sebaliknya, alam juga mempengaruhi kehidupan manusia. Suriadiredja dalam Astra (2003: 254) menjelaskan bahwa untuk melangsungkan kehidupannya manusia akan selalu tergantung kepada lingkungannya. Ditegaskan bahwa manusia dapat mempengaruhi, bahkan mengubah lingkungannya. Oleh karena itu, antara krama desa dengan lingkungan desanya terdapat jalinan saling mempengaruhi. Krama desa sebagai makhluk sosial membutuhkan jalinan komunikasi harmonis untuk memenuhi kepentingan bersama dalam suasana nyaman dan aman. Mircea Eliade dalam Susanto (1987: 132) menjelaskan bahwa manusia juga merupakan makhluk religius sehingga membutuhkan kebahagiaan batin (rohaniah). Untuk memperoleh dan memenuhi kebutuhan kebahagiaan yang bersifat rohaniah, manusia berpaling dan berlindung serta bersujud ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, manusia (krama desa) mendirikan tempat-tempat suci (Pura) untuk memuja Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa), yaitu unsur parhyangan. Ketiga unsur tersebut menciptakan hubungan harmonis sesuai konsep Tri Hita Karana. Desa Pakraman memiliki peran sebagai lembaga bernafaskan Hindu dan sebagai organisasi berideologi Hindu di Bali mempunyai otonomi khusus sebagai upaya mengatur pemerintahan dan kegiatan yang dilaksanakan desa Pakraman, dan segala bentuk kegiatan cenderung bersifat culture religion. Sistem pemerintahan dengan pemilihan Bendesa adat melalui sistem demokrasi. Bendesa adat sendiri

150 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. cenderung memiliki tugas berat karena mengatur semua bentuk kegiatan dalam desa Pakraman. Seperti Bendesa adat Penganggahan, mempunyai tugas khusus selain mengatur jalannya upacara yajña. Sebagai organisasi kemasyarakatan Bendesa adat juga menangani permasalahan penduduk. Desa Pakraman Penganggahan dengan Banjar dinas Penganggahan berada dalam satu wilayah sehingga semua warga Banjar dinas bergabung dalam desa Pakraman Penganggahan, kecuali umat Katolik. Dengan demikian warga banjar dinas Penganggahan yang beragama Katolik tidak termasuk kedalam anggota atau sebagai krama desa Pakraman. Dengan demikian umat Katolik yang berkeinginan menjadi Krama adat, maka harus rekonversi agama menjadi Hindu.

Gambar 6.2 Analisis Pertukaran sosial Emerson terhadap Proses rekonversi Agama (Sumber: Pradnya, 2014)

Merunut sekaligus merujuk Gambar 6.2 tersebut, maka aturan dalam struktur sosial yang telah dibuat leluhur umat Hindu di Bali dalam kelompok sosial desa Pakraman, memiliki aturan secara otonom terutama mendapatkan hak dan kewajiban dalam organisasi adat. Bagi umat yang rekonversi agama, tentu melalui tahapan atau proses penyampaian komunikasi terhadap desa Pakraman, sebagai kelompok makro yang memiliki kekuasaan dalam wilayah Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak, Penebel, Tabanan. Hal tersebut sesuai dengan Teori pertukaran sosial Emerson, bahwa terjadi ketergantungan kekuasaan (power-dependence), seorang aktor atau individu harus dapat berinteraksi dengan kelompok yang dapat memberikan imbalan.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 151 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Dikatakan kekuasaan seseorang atas orang lain dalam hubungan pertukaran adalah kebalikan fungsi ketergantunganya terhadap orang lain. Kekuasaan yang tidak seimbang, dan ketergantungan menyebabkan ketidakseimbangan dalam hubungan, tetapi melalui perjalanan waktu ketimpangan itu akan bergerak menuju hubungan kekuasaan- ketergantungan yang semakin seimbang (Ritzer-Goodman, 2008: 378-379). Interaksi individu dengan kelompok begitu penting dan saling membutuhkan satu sama lain. Kepentingan yang menyebabkan eksistensi antara individu maupun masyarakat kolektif. Penelitian ini membuktikan bahwa teori pertukaran sosial dapat memberikan jawaban atas proses dari rekonversi agama, bahwa sebelum masuknya Katolik ke Desa Pakraman Penganggahan, tercipta struktur masyarakat yang stabil, khususnya keyakinan dalam keberagamaan. Ketika terjadi interaksi Hindu-Katolik yang mengakibatkan umat Hindu konversi agama, inilah yang kemudian menyebabkan kekuasaan dari desa Pakraman dengan ketergantungan individu mengalami ketimpangan. Berlahan-lahan seiring waktu ketimpangan kekuasaan-ketergantungan menjadi stabil dan seimbang yang dibuktikan umat rekonversi agama dan kembali menjadi krama adat di Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak. Berdasarkan hal di atas, konversi agama dalam hubungan mikro (individu) hanya bersifat sementara, dan bergantung pada situasi yang tidak stabil antara aktor konversi dengan desa Pakraman. Hal tersebut juga seiring waktu mengalami pertukaran sosial mengarah pada titik seimbang. Oleh karena ketergantungan dari individu terhadap desa Pakraman dinilai lebih menguntungkan. Oleh karena itu, individu yang ingin menjadi krama desa Pakraman, harus menjadi Umat Hindu terlebih dahulu. Hal ini dituangkan dalam awig-awig Desa Pakraman Penganggahan, Palet 5, Paos 12 Krama Desa Adat: a. Krama Adat puniki inggih punika sang sane jumenek ring wewengkon jebar kakuwub Penganggahan tur sampun medruwe karang paumahan kalih nganutin Agama Hindu b. Sios ring asapunika sinanggeh tamiu

152 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Terjemahan: a. Krama adat adalah orang yang berada dalam lingkungan Desa Pakraman Penganggahan dan mempunyai rumah tempat tinggal serta beragama Hindu b. Diluar itu, disebut Tamu

Proses menjadi Krama adat atau rekonversi agama harus terlebih dahulu melapor kepada Bendesa adat secara lisan maupun tulisan agar diterima oleh Desa Pakraman sebagai warga baru. Demikian pula umat Katolik di Desa Pakraman Penganggahan, Penebel, Tabanan, ketika kembali beragama Hindu atau rekonversi agama, harus melapor kepada Bendesa adat selaku pemimpin desa Pakraman. Proses pelaporan kepada Bendesa Adat tentu menanyakan alasan rekonversi agama. Hal tersebut dikatakan Bendesa adat Penganggahan (wawancara, Yasadharma, 13 Agustus 2014) sebagai berikut. “…sampai saat ini saya memang belum pernah menangani langsung dalam arti luas saya belum pernah mendapati warga dari Agama Katolik pindah ke Agama Hindu saat masa jabatan saya sekarang. Akan tetapi saya mengetahui mekanisme ketika melakukan pindah agama dari Katolik ke Hindu, yang di awali dengan penyadaran diri dilanjutkan dengan menyampiakan kepada pihak desa Pakraman dalam hal ini adalah Bendesa adat Penganggahan. Disana umat yang ingin pindah agama ke Agama Hindu akan di tanya mengapa pindah lagi ke Agama Hindu, apakah tidak menemukan kenyamanan di Agama Katolik atau ada faktor lain yang menyebabkan. Sepanjang pengetahuan saya umat yang pindah Agama lagi ke Agama Hindu karena faktor sakit dan juga faktor ekonomi yang menjadi dominasi penyebab terjadinya rekonversi tersebut. Selaku Bendesa adat Penganggahan tentu saja memfasilitasi warga yang akan masuk ke Agama Hindu. Proses pelaporan itu disampaikan pula mengenai syarat dan kewajiban umat yang baru pindah ke Agama Hindu, sehingga warga yang akan masuk ke dalam desa Pakraman tidak merasa terlalu terbebani. Hal wajib yang dilakukan warga baru adalah kena penanjung batu atau pengopog sebagai bentuk keikut sertaan membangun tempat suci dan imfrastruktur Desa Pakraman akan tetapi dananya tidak sama besar dengan biaya sesungguhnya. Biaya itu hanya sebagai simbol semata dengan jumlah Rp 500.000,- “

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 153 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Pemaparan Bendesa Adat Penganggahan di atas menjelaskan bahwasanya proses pelaporan kepada Bendesa adat sangat dipermudah karena Bendesa adat berperan sebagai fasilitator dalam menunjang kemajuan dan kebertahanan desa Pakraman. Bendesa adat sangat menyambut baik, apabila ada warga di Desa Pakraman Penganggahan rekonversi ke Agama Hindu, serta memberikan arahan dan mekanisme kembali beragama Hindu dan masuk sebagai krama adat Desa Pakraman Penganggahan. Bentuk syarat wajib dilakukan warga yang akan menjadi krama adat dikenakan penanjung batu atau pengopog dengan membayar sejumlah uang sebagai simbol ikut ambil andil dalam pembangunan di desa Pakraman. Penanjung batu sendiri mengandung makna wujud atau simbol ikut dalam proses pembangunan tempat suci yang dilaksanakan oleh warga di Desa Pakraman Penganggahan. Bentuk penanjung batu berupa uang maupun barang yang telah disepakati. Aturan ini telah juga termuat dalam awig-awig Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak, yaitu pada Palet 5 Paos 13 dan 15, sebagai berikut. Paos 13. Yan wenten jadma tamui/penumpang sane ngerereh pengupa jiwa magenah numpang ring wewengkon desa adat puniki suwen ipun lintang ring asasih, selantur ipun patut itamiu punika nawur batu-batu apisan, kalih nyabran enem sasih nawur dana ring desa adat, ageng alit manut prarem,…

Terjemahanya: Paos 13. Jika ada tamu/pendatang yang mencari kehidupan dan tinggal di lingkungan desa adat lebih dari satu bulan, maka tamu itu wajib menyerahkan batu-batu dan setiap 6 bulan membayar kepada Desa adat, besar kecilnya batu-batu disesuikan dengan prarem.

Paos 15. Jadma tamiu sane munggah ring paos 13 palet 5 inucap yening ipun ngewentenang karya suka duka ring genah madunungan polih pengayoman saking krama adat.

Terjemahanya: Paos 15. Penduduk tamu yang tertuang dalam paos 13 palet 5 jika memiliki upacara suka duka di desa adat mendapat pengayoman dari krama adat

154 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Berdasarkan penjelasan awig-awig di atas menunjukan bahwa krama tamu atau pendatang memiliki kewajiban setiap enam bulan sekali, mesti membayar kepada desa adat dan mendapatkan pengayoman dari krama adat. Begitu juga krama tamu yang menjadi krama adat, dikenakan batu- batu hanya sekali sebagai simbol kebulatan tekad ikut serta membangun desa Pakraman, khususnya di Desa Pakraman Penganggahan. Hal tersebut dijelaskan Senayasa (wawancara, 5 Septemeber 2014) sebagai mantan Bendesa Adat Penganggahan bahwa, seperti berikut. “…saya menyaksikan langsung beberapa warga di Banjar Dinas Penganggahan yang rekonversi ke Agama Hindu sejak tahun 1970 sampai tahun 2005. Beberapa orang yang pindah agama melapor kepada saya bahwa ingin kemabli menjadi Hindu dengan berbagai faktor penyebab. Sebagai Bendesa adat, saya sendiri tidak berani memutuskan untuk diterima atau tidak. Karena dalam awig-awig Desa Pakraman telah diatur bahwasana ketika ada anggota baru yang datang dikenakan syarat-syarat khusus sebagai bukti kesungguhan menjadi anggota Desa Pakraman. Pada saat itu saya menyempaikan kepada warga yang akan rekonversi agama bahwa syarat menjadi Hindu harus mengikuti upacara sudhiwadani dan supaya diterima di Desa Pakraman sebagai krama adat harus membayar penanjung batu, serta mendengarkan keputusan dari krama adat yang lainya”.

Penjelasan mantan Bendesa Adat di atas bahwasanya beberapa warga yang akan rekonversi ke Agama Hindu harus mengikuti persyaratan masuk sebagai anggota desa Pakraman atau krama adat. Berbagai syarat tidaklah begitu sulit, sesungguhnya pihak desa Pakraman selalu membuka pintu ketika warga khususnya dari Banjar Dinas Penganggahan melakukan rekonversi agama. Begitu juga krama adat selalu menyambut baik kedatangan krama baru asalkan sesuai prosedur dan memenuhi persyaratan, yaitu membayar penanjung batu dengan ketentuan biaya relatif tidak begitu besar hanya simbol keikut sertaan dalam pembangunan yang diselenggarakan oleh Desa Pakraman Penganggahan. Lebih lanjut Senayasa (wawancara, 5 September 2014), seperti berikut. “…saya sebagai Bendesa adat pada masa perpindahan Agama yang dilakukan oleh warga di Desa Pakraman Penganggahan merasa senang, karena ambisi saya sesungguhnya menginginkan semua warga yang berada di wilayah Desa Pakraman Penganggahan beragama Hindu dan ikut sebagai krama adat. Ketika ada laporan dari warga yang

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 155 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

ingin kembali menjadi Hindu, saya selaku Bendesa adat langsung memproses dan siap membantu sampai proses perpindahan agama selesai dilaksanakan”. Wardana, sebagai Sekretaris Bendesa Adat (wawancara, 3 Agustus 2014) menjelaskan bahwa segala bentuk adminitrasi di desa Pakraman sebagai krama mendapat hak dan kewajiban yang telah diatur dan disepakati bersama. Bentuk hak adalah mendapatkan setra atau kuburan, sedangkan kewajiban yang dilakukan adalah ikut melaksanakan tradisi yang diwariskan leluhur berupa pemujaan dan pelaksanaan yajña. Sebelum warga Katolik kembali ke Hindu, terlebih dahulu dibekali tata cara menjadi Hindu, terutama pertanggungjawaban secara niskala kepada para dewa dan sekala terhadap krama desa lainnya. “…krama desa adat penganggahan telah sepakat memberikan keringanan terhadap mereka yang ingin kembali menjadi Hindu, bahkan ada beberapa tokoh Katolik yang kembali menjadi Hindu, tidak dikenakan biaya sepeser pun bahkan desa Pakraman yang membiayai segala prosesi upacaranya. Inilah bentuk keseriusan kami sebagai tokoh adat di Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak, Penbebel, Tabanan” (wawancara Wardana, 3 Agustus 2014).

Berdasarkan penjelasan di atas bahwa secara adminitrasi terlebih dahulu proses kembali menjadi Hindu adalah menyampaikan secara lisan maupun tulisan kepada Bendesa Adat sehingga dianggap serius kembali menjadi Hindu. Kemudian diproses secara adat untuk mendapat pengakuan secara adat.

Paruman Desa Pakraman Sebagai Legitimasi Proses rekonversi agama selanjutnya adalah melakukan rapat adat atau peparuman adat. Paruman Desa Pakraman Penganggahan dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk pengorganisasian yang berorientasi kepada tujuan-tujuan yang hanya didapat melalui interaksi. Blau (dalam Ritzer-Goodman, 2010: 8) menjelaskan bahwasanya pengornisasian dan legitimasi merupakan salah satu langkah individu dan kelompok sosial mencapai tujuan yang dikehendaki. Lebih jauh diuraikan, bahwa pengorganisasian merupakan media untuk mencapai segala tujuan, dan tujuan yang dimaksud dapat berupa ganjaran ekstrisik dan ganjaran intrisik. Paruman Desa Pakraman Penganggahan merupakan bentuk legitimasi

156 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. dan pengorganisasian tradisional yang dilakukan oleh masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan yang berkaitan dengan ganjaran ekstrinsik dan intrisik. Di samping itu, Paruman adat bertujuan menyampaikan keinginan warga Banjar Dinas Penganggahan beragama Katolik untuk mendaftar sebagai krama adat Desa Pakraman Penganggahan. Proses peparuman yang memutuskan berhak atau tidak terdaftar sebagai krama adat di Desa Pakraman Penganggahan. Peparuman adat telah ditetapkan dalam awig-awig, secara tertulis untuk mengatur kegiatan krama adat ataupun hal lain di lingkungan desa Pakraman. Paruman adat biasanya dilakukan secara rutin satu bulan sekali, dan waktunya menyesuaikan tempat dan situasi. Kegiatan paruman bertujuan mempertemukan warga masyarakat dari rutinitas keseharian sehingga dapat berbagi pemikiran sekaligus simakrama. Paruman sendiri dipimpin oleh Bendesa Adat dan prajuru lainnya. Peparuman dalam awig- awig Desa Pakraman dijelaskan sebagai berikut. ha. Paruman wahu kéngin kakawitin sasampuné katedunin antuk pinih kedik kalih pah tiga saking sang patut ngamiletin Paruman, kamanggala antuk tengeran suaran kulkul, mabusana adat Bali, tan kalugra makta gagawan sakaluwiré, karihinin antuk ngarcana Bhagawàn Panyarikan, majalaran widhi widhana lan cané; na. Maka pangawit, kalaksanayang panyacak pangesép, karuntutin antuk nyacak dadosan, wahu kalanturang antuk parum; sasampun parumané puput, patut kacacak malih, tur sané kasép, sang ninggal paruman miwah sané nosa, wenang katibakin danda, sané ageng alitipun, kasulurang manut Pararem; ca. Maka pamastika wahu kéngin nyacak pangesép, kasulurang manut Pararem; ra. Sajeroning paruman tan kalugra ngwetuang wak ghora minakàdi ngardi biota; sang mamurug, wenang keni pamidanda bea pacamil, sakadi dandaning anguman-uman ring paséban, sané kasulurang manut Pararem; ka. Pamutus babawos sané briuk sapanggul utawi ingkup, punika sané kaaptiang tur kamanggehang; pradé nénten prasida, pamutus babawosé mangda kacumponin antuk pinih kedik kalih pah tiga saking sang ngamiletin paparuman. (Pedoman Awig-awig Desa Pakraman Kab. Tabanan)

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 157 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Terjemahan: Pelaksanaan rapat Desa Pakraman atau Banjar adat pelaksanaannya sebagai berikut: ha. rapat akan dimulai sesudah mendapat pemberitahuan dari prajuru atau staf dari Desa Pakraman dengan mendengarkan bunyi kulkul sebagai pertandanya. Berpakaian adat Bali dan tidak boleh membawa benda-benda lain. na. diawali dengan melaksanakan penyakcak pangesep dilanjutkan dengan membacakan denda dari karma adat. Barulah kemudian dilanjutkan dengan paruman atau rapat, setelah selesai rapat dilakukan absen kembali dengan tujuan tidak ada orang yang meninggalkan tempat rapat. Apabila diketahui ada yang meninggalkan tempat rapat dikenakan denda sesuai yang diatur dalam perarem. ca. untuk kepastian penyakcak pangesep ditentukan dalam perarem. ra. selain dari anggota rapat tidak diperkenankan untuk mengecaukan rapat, apabila itu terjadi yang membuat keributan akan dikenakan sanksi berupa denda bea pacamil sesuai dengan aturan dalam perarem. ka. keputusan rapat ditentukan dengan suara terbanyak dibuktikan dari sorakan krama adat menyerukan hal tersebut dan apabila itu tidak terjadi keputusan rapat dapat ditentukan dengan cara voting dan keputusan dari Bendesa adat itu sendiri.

Kutipan awig-awig di atas menjelaskan peraturan rapat yang mesti ditaati dan dilaksanakan semua krama adat dilingkungan desa Pakraman. Pelaksanaan rapat adat bersifat demokrasi yang keputusannya diambil dari suara terbanyak. Jalannya paruman bebas dari tekanan konflik sehingga rapat adat tidak diperkenankan dengan kekerasan fisik, jika itu terjadi maka dikenakan sanksi sesuai aturan dalam perarem. Paruman adat di Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak terdiri dari tiga jenis paruman, yaitu paruman Krama Desa, Paruman Krama Banjar dan Paruman Prajuru Desa/ Banjar adat. Begitu juga dipertegas tentang sanksi yang diberikan ketika krama adat tidak menghadiri paruman adat. Pada awig-awig juga dijelaskan proses paruman disebut sah. Berikut penjabaran paruman dalam awig-awig Desa Pakraman Panganggahan, tertuang dalam palet 6 paos 16-21, seperti berikut. 1. Paos 16. Peparuman wenten tigang soroh luwir ipun: a. Peparuman Krama Desa Adat sakurang ipun enem sasih apisan

158 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

b. Peparuman Krama Banjar Adat, Sekurang ipun enem sasih apisan c. Peparuman Prajuru Desa/ Banjar Adat kawentenang manut kabuatan ipun 2. Paos 17. Peparuman Kengin kelanturang yaning sampun kerawuhin antuk iwarga krama adat lintang ring atenge 3. Paos 18. Sapa sira ugi cedok ring sinalih tunggil peparuman tigang soroh punika, kadenda ageng alit manut prarem 4. Paos 19. Sang nyadokin peparuman kengin luput ring danda yaning: a. kapiambeng sakit b. kapiambeng matepetin c. kapiambeng karya suka duka d. kaluasan, nanging patut ngewentenang pesadok ring prajuru Desa/ Banjar adat 5. Paos 20. putusan peparuman kebaos sinanggeh pastika yaning sampun kacumponin antuk sinarengan sami sane rawuh majalaran pasungkem prarem 6. Paos 21. prarem kabaos sinanggeh pastika tur manggeh dados pamitegep pengelaksanan awig-awig yaning sampun kacumponin olih lintangan ring atenge saking gabogan I warga krama desa adat. (Awig-awig Desa Adat Penganggahan, 1991)

Terjemahan: 1. Paos 16. Peparumana ada tiga jenis yaitu: a. Peparuman Krama Desa Adat sekurang-kurangnya 6 bulan sekali, sesuai kesepakatan b. Peparuman krama banjar adat, sekurang-kurangnya 6 bulan sekali c. Peparuman prajuru Desa/ Banjar adat sesuai dengan kesepakatan 2. Paos 17. Paruman adat dapat dinyatakan sah apabila diikuti 50% lebih dari krama adat 3. Paos 18. Barang siapa yang tidak pernah mengikuti paruman adat lebih dari tiga kali akan dikenakan denda besar maupun kecil sesuai prarem

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 159 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

4. Paos 19. paruman adat yang tidak dikenakan denda, apabila krama adat: a. Sakit b. Mendapat musibah c. Karya Suka Duka d. Bepergian, tapi menyampaikan kepada prajuru desa/banjar adat 5. Paos 20. keputusan paruman dianggap sah apabila disepakati oleh krama adat sesuai prarem 6. Paos 21. Prarem disebut sah dan dapat menjalankan awig-awig yang telah disepakati oleh krama adat sekurang-kurangya 50% dari jumlah krama adat.

Berdasarkan paruman yang dijabarkan dalam awig-awig di atas membuktikan bahwa desa Pakraman adalah organisasi yang terus eksis sepanjang zaman, dan tetap bertahan sampai saat ini, bahkan aturan yang dibuat tidak bertentangan dengan UUD 1945. Segala peraturan disesuaikan dengan zaman, sehingga fleksibel dan demokratis karena disepakati oleh krama adat yang kemudian dijabarkan dalam prarem. Paruman adat dimulai dari pemberitahuan krama adat secara lisan oleh juru arah, yaitu orang yang bertugas menyampaikan pesan kepada krama adat dari rumah ke rumah dan dipastikan setiap krama adat mendapat giliran menjadi juru arah, sesuai keputusan desa Pakraman dan banjar adat. Juru arah menyampaikan pesan rekonversi agama dalam paruman rutin ataupun khusus yang dilaksanakan sewaktu-waktu untuk membahas warga Katolik yang pindah menjadi Hindu. Yasadharma selaku Bendesa Adat Penganggahan (wawancara, 13 Agustus 2014) menjelaskan sebagai berikut. “…setelah ada pemberitahuan kepada kami sebagai Bendesa adat. Saya beserta prajuru adat mengumpulkan krama adat desa Pakraman untuk mengadakan rapat khusus membahas warga yang masuk sebagai krama adat. Saya sebagai Bendesa adat hanya memfasilitasi warga yang akan pindah agama menjadi Hindu untuk bertemu dengan krama adat Desa Pakraman. Paruman inilah diputuskan mengenai cara dan prosedur yang mesti di ikuti oleh calon Krama adat di Desa Pakraman Penganggahan. Serta warga yang akan pindah Agama ikut serta dalam paruman adat tersebut serta menyampaikan keinginanya secara lisan maupun tertulis”.

160 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Berdasarkan uraian tersebut, dijelaskan secara singkat bahwa warga yang akan pindah agama dan masuk keanggotaan di desa Pakraman, maka diawali umat Katolik ikut serta dalam paruman yang diselenggarakan oleh desa Pakraman. Pada paruman adat di bahas mengenai syarat dan ketentuan warga yang akan ikut menjadi krama adat. Syarat dan ketentuan dalam paruman di desa Pakraman adalah bentuk hukum yang sah. Sebagaimana proses tersebut dapat disimak pada Gambar 5.3 berikut.

Merujuk pada gambar 6.3 tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa kembalinya umat Katolik menjadi Hindu, melalui proses paruman dalam desa Pakraman adalah etika menghormati kehidupan bermasyarakat dan membuktikan kekuasaan yang berdasar atas hukuman, mengajarkan seseorang berperilaku positif. Analisis paruman desa adalah bentuk pertukaran sosial “ketergantungan dan kekuasaan”. Molm (dalam Ritzer, 2008: 379) adalah murid dari Emerson tokoh teori pertukaran sosial menyatakan studi tentang kekuasaan-ketergantungan menekankan pada hasil positifnya adalah kemampuan untuk memberi hadiah terhadap orang lain, sedangkah hasil negatifnya adalah kemampuan kekuasaan menghukum, yang sifatnya lebih lemah dari kekuasaan memberi hadiah. Perkembangan selanjutnya dalam studi terakhirnya menyatakan kekuasaan menghukum bersifat lemah, karena kekuasaan tidak digunakan secara luas. Lebih lanjut Molm, Quist, dan Wisley menemukan bahwa kekuasaan menghukum lebih besar kemungkinanya dianggap “adil”, karena digunakan oleh orang yang

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 161 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. juga mempunyai kekuasaan memberi hadiah, tetapi dianggap tidak adil jika partnernya mengharapkan hadiah. Berdasarkan analisis di atas, pada dasarnya warga yang melakukan rekonversi ke Agama Hindu merupakan warga asli Banjar Penganggahan yang tidak pernah berpindah tempat, melainkan hanya konversi agama ke Katolik sehingga tidak terlibat langsung di desa Pakraman. Kehidupan sehari-hari warga Katolik masih terikat dalam kemasyarakatan di Banjar Dinas Penganggahan. Dengan demikian sesungguhnya warga Katolik bukan warga pendatang hanya saja berbeda keyakinan, kemudian kembali lagi beragama Hindu dan masuk sebagai anggota Desa Pakraman Penganggahan. Pelaksanaan paruman desa antara aktor rekonversi agama dengan krama adat desa Pakraman tidak melalui proses yang sulit karena semua warga desa Pakraman telah saling mengenal, dan tidak meragukan kualitas umat katolik yang melakukan rekonversi Agama. Meskipun demikian, kembalinya aktor rekonversi agama, mesti melewati sebuah proses sebagai bentuk kekuasaan hukuman. Dengan kekuasaan hukuman, umat Katolik yang menjadi Hindu dapat memahami Hindu lebih mendalam dan berinterospeksi diri atas kesalahan selama ini sehingga mencapai kesadaran atas hukuman yang diberikan desa Pakraman. Senayasa (wawancara, 5 September 2014) menjelaskan sebagai berikut. “…warga kami yang ikut paruman untuk penerimaan warga baru pindah dari Agama Katolik sudah saling mengenal satu sama lain, sehingga tidak ada perkenalan lagi, meskipun sudah saling mengenal serta memang warga asli banjar dinas Penganggahan, tentu harus mengikuti hukum dari awig-awig desa Pakraman sebagai warga baru yang bergabung akan dikenakan pemogpog sebagai bentuk kewajiban dalam menunjang pembangunan yang dilaksanakan di desa Pakraman”.

Melalui penjelasan tersebut aktor rekonversi agama di Banjar Dinas Penganggahan adalah warga asli Desa Pakraman Penganggahan. Meskipun warga asli tetap saja diberlakukan sesuai awig-awig yang mengatur mengenai syarat warga pindah ke Agama Hindu di Desa Pakraman Penganggahan. Syarat utama, yaitu harus membayar pemogpog sesuai dengan ketentuan yang diterangkan dalam pararem mengenai jumlah yang dibayarkan. Pembayaran berupa uang bertujuan agar krama adat baru ikut serta dalam

162 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. proses pembangunan dalam desa Pakraman dan mendapatkan hak-haknya kembali dalam desa Pakraman. Pemogpog sesungguhnya bukan dilihat dari nominalnya, tetapi bentuk hukuman dalam teori pertukaran sosial dan simbol peran serta aktor dalam desa Pakraman. Pemogpog juga dikategorikan sebagai dana punia terhadap desa Pakraman yang menunjang kegiatan secara administrasi ataupun kegiatan yajna yang dilaksanakan dalam kas desa Pakraman. Hal tersebut dijelaskan Suderi (wawancara, 11 Agustus 2014) sebagai aktor rekonversi ke Agama Hindu dan juga peserta paruman menerangkan sebagai berikut. “….setelah saya menyampaikan kepada Bendesa adat bahwa saya kembali beragama Hindu dan sekaligus nantinya menjadi krama adat Penganggahan. Beberapa hari berikutnya saya di undang ikut paruman adat dengan warga Desa Pakraman Penganggahan untuk menyampaikan bahwa saya kembali beragama Hindu. Hasil rapat yang disampaikan adalah saya diterima sebagai krama adat dengan ketentuan saya harus membayar pemogpog sebesar Rp500.000,- (lima ratus ribu rupiah) kepada pihak Desa Pakraman Penganggahan sebagai wujud ikut serta dalam pembangunan di desa Pakraman”

Merujuk pada petikan wawancara tersebut dijelaskan pengalaman Suderi sebagai salah satu orang yang rekonversi ke Agama Hindu, Suderi sendiri melewati berbagai proses kembali ke Agama Hindu, salah satunya mengikuti paruman atau rapat dengan krama adat Desa Pakraman Penganggahan. Rapat tersebut disampaikan suderi untuk rekonversi Agama Hindu dan menjadi krama adat sehingga awig-awig desa pakraman mengikatnya dengan membayar pengopog sebesar Rp.500.000,- sebagai simbol ikut serta dalam kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di Desa Pakraman Penganggahan. Membayar sejumlah uang bukan berarti membeli menjadi krama adat akan tetapi pemogpog merupakan simbol kesungguhan krama adat untuk ikut dalam kegiatan suka duka di desa pakraman tersebut. Melalui proses paruman adat secara sekala umat yang rekonversi agama telah diterima secara resmi oleh desa Pakraman dan dikembalikan hak-haknya dalam desa Pakraman. Proses niskala dilanjutkan membuat tempat suci Agama Hindu, agar dapat melakukan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya sehingga dapat dikatakan resmi beragama Hindu sekala maupun niskala.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 163 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

7

Peran Tempat Suci dan Yajña

roses terjadinya rekonversi di Desa Pakraman Penganggahan, PTengkudak memiliki pertautan yang kuat dengan eksistensi tempat suci dan pelaksanaan ritus yajña sebagai sebuah media untuk memproduksi identitas Hindu. Keberadaan tempat suci dan pelaksanaan yajña sebagai sebuah pengakuan dan pembuktian akan eksistensi Hindu dalam ranah kehidupan sosial. Tempat suci dan aktivitas yajña tidak lain merupakan modal simbolik bagi masyarakat Hindu di desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak untuk merefleksikan dan mengajegkan identitas kehinduan, selain ideologi yang masyarakat wujudkan dalam setiap aktivitas religius. Bourdieu dalam teori praktik generatifnya, menjelaskan bahwa sistem simbol dapat dijadikan sebagai instrumen dominasi, dan simbol memiliki arti penting dalam kehidupan global (Fashri,2007: 106). Dengan demikian, pura dan yajña sebagai modal simbolik sebagai sistem simbol bagi masyarakat Penganggahan Tengkudak merupakan instrumen untuk melakukan dominasi terhadap warga Katolik. Sebagaimana dijelaskan Bourdieu sebagai berikut.

164 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Dapat dikatakan bahwa sistem simbol memuat skema tanda tertentu yang merepresentasikan realitas tertentu pula. Daya simbol berperan membuka ruang komunikasi dan interpretasi terhadap tanda-tanda yang disebarkannya. Melalui daya simbol pula, dapat menggiring persepsi dan tindakan masyarakat untuk mengikuti maksud dari simbol tersebut. Dengan demikian sistem simbol dapat dijadikan muatan kekuasaan simbolik yang dapat membuat orang mengenali dan mempercayai realitas melalui tata simbolik (Haryanto, 2014: 29).

Berangkat dari deskripsi di atas maka sistem simbolik menjadi penting dikuasai dalam sistem sosial. Sistem simbol berperan siginifikan dalam membuka ruang interaksi dan interprestasi antar individu dan masyarakat dalam ranah sosial. Tempat suci dan aktivitas yajña yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak terbangun melalui sebuah sistem simbol yang dijadikan instrumen bagi masyarakat setempat untuk membangun ruang komunikasi dan tafsir terhadap simbol-simbol religi Hindu. Melalui daya simbol magi-religius tersebut akan dapat membongkar domain dan dogma Katolik sehingga masyarakat Tengkudak yang dikonversi kembali mempercayai simbol-simbol suci Hindu, dan kembali ke Hindu. Proses tersebut menurut Bourdieu (dalam Fashri, 2007: 109), disebut dengan dominasi simbolik. Dominasi simbolik akan memuat kekuasaan yang dapat membuat seseorang mengenali dan mempercayai serta mengubah pandangan seseorang mengenai realitas. Dominasi simbolik terus dilakukan oleh masyarakat Hindu di Desa Pakraman Penganggahan, dan kekuasaan simbolik bekerja melalui pengendalian simbolik serta mengkosntruksi realitas melalui tata simbol. Selama ini masyarakat Penganggahan yang menganut Katolik masih memiliki kepercayaan yang kuat terhadap simbolik Katolik, tetapi warga Hindu mampu meruntuhkan kepercayaan tersebut melalui dominasi simbol melalui instrumen tempat suci dan upacara yajña. Dominasi simbol terus berlanjut, melalui sebuah wacana bahwasannya syarat umat beragama Hindu memiliki tempat suci (Pura, Sanggah, Merajan). Dengan demikian, umat yang melakukan perpindahan agama khususnya ke Hindu, sudah seharusnya membuat tempat suci sesuai ajaran Hindu. Tempat suci sebagai tempat persembahyangan di masing-masing keluarga disebut merajan atau lazim disebut sanggah. Pembangunan merajan sudah semestinya ditempatkan

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 165 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. pada huluning pekarangan atau arah timur laut dari pekarangan. Bangunan suci pada rumah tangga paling tidak harus mendirikan sanggah kemulan taksu (, 2007: 28). Akan tetapi letak Merajan di Desa Pakraman Penganggahan khususnya menjadi patokan adalah jalan atau pintu masuk sehingga tidak jarang merajan dapat ditemukan disebelah barat laut, dan hal tersebut terjadi karena anggapan masyarakat hulu dari rumah adalah pintu masuk atau jalan raya. Masyarakat melakukan rekonversi Agama Hindu harus membuat tempat suci sesuai aturan yang berlaku. Pembuatan tempat suci atau merajan sederhana meliputi palinggih kemulan dan palinggih taksu, serta membuat palinggih Ratu Ngurah sebagai stana dari penunggun karang. Pembuatan palinggih tersebut dikategorikan sebagai merajan paling kecil atau kategori nista (Paketan, 2005: 70). Masyarakat Desa Pakraman Penganggahan secara umum mempunyai merajan katergori nista sebagai sarana dan pelengkap sebuah pekarangan. Sebagaimana dijelaskan Suderi sebagai berikut. “…saya memang dulu memiliki merajan sesuai dengan ketentuan masyarakat di sini, akan tetapi setelah saya konversi ke Katolik, merajan saya bongkar. Setelah itu membuat bangunan mepet ke jalan raya. Ketika tahun 2005 saya kembali beragama Hindu dan diwajibkan membuat tempat suci atau merajan oleh Bendesa dan juga tokoh agama Desa Pakraman Penganggahan, sedangkan tempatnya itu harus berada di hulu atau disamping pintu masuk, sedangkan di bagian itu adalah rumah tempat tidur saya. Karena memang keinginan saya kuat untuk kembali ke Agama Hindu, rumah yang sebelumnya saya bongkar dan saya geser ke belakang, sehingga menyisakan tempat untuk membuat merajan. Sehingga pada tahun 2005 saya melaksanakan pembangunan serentak, baik dari dapur, rumah tempat tidur dan juga merajan secara bersamaan. Meskipun pada mulanya saya hanya ingin membangun merajan sebagai syarat kembali ke Agama Hindu” (Wawancara, 11 Agustus 2014)

Berdasarkan kutipan wawancara Suderi, warga yang melakukan rekonversi ke Agama Hindu wajib memiliki merajan atau tempat suci. Memiliki merajan merupakan simbol dan identitas kehinduan sehingga bersifat wajib. Oleh karena itu, tempat suci harus di bangun dengan kedudukan di hulu atau dipinggir jalan sesuai dengan aturan Desa Pakraman Penganggahan. Pembutan merajan tidak lain merupakan salah satu bentuk reproduksi identitas kehinduan sebagai bukti emperis bahwa warga Katolik

166 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. yang masuk Hindu adalah sudah meyakini agama Hindu secara penuh. Pembangunan merajan meskipun harus menggusur rumah tempat tidur terlebih dahulu, hal itu membuktikan kesungguhan dan keteguhan batin melakukan rekonversi Agama Hindu. Sebelum prosesi membangun merajan diawali dengan upacara sebagaimana mestinya menurut agama dan tadisi Hindu. Upacara mengawali pembuatan merajan disebut upacara ngeruwak. Upacara tersebut bertujuan agar bangunan senantiasa mendapatkan anugrah dari Hyang Widhi Wasa serta harapan bangunan menjadi kokoh secara niskala. Proses Ngeruwak dilaksanakan pemilik bangunan ataupun dibantu Mangku Undagi atau tukang bangunan. Proses ngeluhurang upakara serta meatur- atur kehadapan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya, dan diakhiri dengan memendam batu bata dasar serta banten lainnya yang semestinya dipendam. Bila ngeruwak dilaksanakan oleh Pemangku, maka segala akan dilaksanakan sesuai dengan kewajaran seorang Pemangku. Pelaksanaan ngeruwak melalui beberapa tahapan meliputi beberapa tahapan, seperti uraian Swastika (2007: 35-45) berikut. (1) Pertama: proses pertama ngeruwak diawali pembuatan lubang pondasi disetiap bangunan yang akan dibangun. Sediakan bata dasar dengan jalan memohon kehadapan sulinggih. Lalu tepat di arah timur laut ditancapkan sanggah cucuk/ surya. Pada saat proses ngeruwak dilaksanakan, bata dasar yang telah dipasupati oleh sulinggih, ditempatkan pada tempat khusus disamping sebelah kanan sanggah cucuk. (2) Tahap kedua, upakara di Desa Pakraman Penganggahan dihaturkan oleh Pemangku dengan agem-ageman Pemangku dan melaksanakan pembersihan baik tangan, pasupati bajra dan pangaksama. (3) Ketiga dilanjutkan dengan menyucikan semua upakara yang dihaturkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya dengan mantra sebagai berikut: 1. Mantra Sesantun. Ong Ang Ung Mang Brahma Wisnu Iswara Meraga sesntun sida sidhi ang ah jeng ong. 2. Mantra Pras. Ong Ekawara dwiwara tri wara catru wara panca wara, purwa pras pras, sadya sidhi rahayu sekarya jeng ah, ong sidhirastu tad astu nama namah swaha ong.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 167 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

3. Mantra Suci Ong tri suksma dadi suci, sudhatmakam sukla hening, siwa ya namaw swaha an gung mang ong 4. Mantra Daksina Ong bathara wisnu malingga malinggih haneng sesantun, ing hulun kayogyan, betara guru asung wara nugraha, asing pinuja dening ingsun purna jati tan pamarisudha. Ong dasa dasi daksina tattwa yadnyanam sudha ya namah swaha. Ong sidhirastu tad asut nama namah swaha ong. 5. Mantra Durmenggala Ong atitha sang kala udug basur, kala wigraha, kalaa manggap, kala brahma, kala ang ah. Ong sang jala purwa, sang kala sakti, sang kala brajamuka, sang kala pretha, sang kala ngulaleng, sang kala suksma, manusan de kita angaturaken durmenggala. Om sri dewa desi sukla ya namah swaha. (4) Tahap keempat, selanjutnya adalah memuja Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya yang selanjutnya mengaturkan segala upakara yang ada di sanggah surya dengan mantra: 1. Mantra Siwa Raditya Âdityasya paraṁ jyoti, Rakta teja namo’stute, Sveta paṅkaja madhyaṣṭka, Bhâskarâya namo’stute, pakulun hyang surya candra lingtang teranggana, pragayang tri dasa saksi, manusanta angaturangken saluwire banten pangruwak, angerewak bumi, jaga ngwangun paumanahn lan sanggah mangde ledang Ida Bhattara Nyurya, nyaksi saking payogan agung, tur ngemicayang kerahayuan kerahajengan, napi sane kewangun ngemolihang kedirgayusan. Om Prenamya Bhaskara dewam, sarwa klesa winasanam, prenamya raditya siwartham, bhukti mukti wara pradham. Om Hrang hring syah raditya nama namah. 2. Mantra Pengeramped. Om Namaste Begawan gni, Namaste Begawan nari, Namaste bagawan hisa, Namaste bagawan gangga, sarwa bhaksa hutasana tri warna Begawan gni, brahma wisnu iswara sakti kepakisan sarwam, raksa nanca bhicurukam.

168 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Om suksma mukti mahat, sya rupa sana nyanam. Om kara Begawan brahma, sarwa yakam mahatmalam. Om kara Begawan wisnu, sarwa karya hutatakam. Om kara mukti rewanca, sarwa pras pras pranakam suda pras pras prayojanam, syaro mika twiya nityam ang ah Om. 3. Mantra Betara Kabeh Om samadaya masiwaya, darayasta masangga ya, namastute bayu akasa, sarwa sarwam namastute. Om pretiwi ya namah swaha, basuki candra nityam ya namah swaha. Om guna kumara swaha saraswati iswarah. Om yama indra masangga ya, bawet srawana sangga ya. Om dewa putri sanggama muham. Ong hrang hring syah siwa Aditya ya namah swaha. 4. Mantra Stawa Jagatnata Om ksama swamam jagatnata, sarwa papa irantaram, sarwa karya sidhi dehi, pramo mami sure swaram. Om twam suryah twan siwa karah, twam rudrah bahni laksanam, twam iswara gato karah, nama karyam prayoyate. Om ksama swamam maha sakte, hyate swarya gunatmakam, nasayet statam papam, sarwa lokha darpanam. Om brahma panca brahma kyatah, panca aksaram rudra hretah, trya aksaram wisnu sampretah. Ong hrang hring syah parama siwa Aditya ya namah swaha. (5) Sebelum proses dilanjutkan, maka pada saat ini dilaksanakan pembersihan areal upacara dan tempat bangunan dengan jalan melaksanakan biokaon dan prayascita. Dengan mantra sebagai berikut: 1. Mantra Biokaon Om sang kala kali katuran pabyokakala, apan duk kalania kabeh, sangkala, kepati, sangkala kecarik, sangkala karogan ragan jara mrana. Om antiganning sahung sakalirang, Om bang bama bhettara bayu angiberaken pada rogha papa klesaning jadma manusa, muksah mul;ih marin gtoyo. Om sukam bawantu, sriyam bawantu, purnam bawantu ya namah swaha.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 169 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

2. Mantra Prayascita Om sidhi srong sah wosat, sarwa papa wigna, sarwa klesa, sarwa rogam sarwa satru, winasanem. Om durga bucari byo namah. Om butha bucari byo namah. Om kala bucarai byo namah. Om I Sa Ba Ta A I. Om Na Ma Si Wa Ya. Om Ang Ung Mang, sarwa leteh geleh pate leteh sebel kandel, prayascita ya namah swaha. Om A Ta Sa Ba I. Ong Na Ma Si Wa Ya. Om Ung Ang Mang, sarwa mala dasamala sandha upata prodrawa, prayacita ya namah swaha. 3. Mantra Lis Om angdeg sang najur kuning, turunan de bhattara siwa, meawak lis brahma, lis meawak sang aji nirmala, angilangaken sebel kandeling jadma manusa, punah ilang. Om sidhirastu tad astu ya namah swaha. 4. Mantra Seawu-Tepung Tawar, Om janan astra, sastra mpu sarining wisesa, segawu angeluwaraken, tepung tawar amunahaken sarwa sebel kadel lara rofa petaka ya namah swaha. 5. Mantra Isuh-Isuh. Om telur saking sabrang melay, angesah lara roga nira. Om sang taya tanpa cangkem, tanpa netra, tanpa irung, tanpa karna. Sang hyang taya sira jati nirmala, angisuh-isuhin, angilangaken sarwa kala bhuta dengan ring ragan sariran manusasira. (6) Selanjutnya biokaon dan prayascita dilaksanakan di areal upacara, pada lubang pondasi serta diayab oleh pemilik upacara yang akan membangun rumah dan merajan di areal tersebut. (7) Setelah selesai melaksanakan biokala dan prayascita dilanjutkan dengan mecaru sebagai pemberi laba kepada bhuta kala sehingga hubungan yang harmonis dapat dijalin serta tidak menggnggu pada saat proses pembangunan rumah dan merajan. Mantra untuk menghatur caru sebagai berikut:

170 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Ih ta sira sang bhuta langkir, pahing panca warania, brahma dewatania, iki tadah sajinira, penek bang maiwak ayam biying pinanggang rinancana. Ajakakena sewadwanta kabeh, sangga atus sya dasa sya akwehnia, ri wus amangan lan anginum, manawi ta kirang luput atur manusanta, iki mesesari sangga atus sya dasa sya akwehnia lan lawe satukel, ring pasar agung ta kita atuku, pamantuke ta kita ke kahyangan soang-soang, haywa ta kita tolah toleh, mapan sampun polih laba, sinampura sang adrwe karye ayu mwang sang pinuja. Om Bang ya namah swaha. (8) Setelah selesai menghaturkan semua upakara, maka selanjutnya durmanggala yang ada dilubang pondasi tersebut diangkat, kemudian diadakan pembongkaran atau pembersihan lubang pondasi secara simbolis dengan menggunakan cawan, cincin, keris dan dahan dapdap cabang tiga dengan diiringi mantra: Om pakulun sanghyang Ibu Pretiwi, manusanira aminta sih nugraha Ibu Pretiwi pinaka sedahan Bumi. Pakulun angeruwakan pretiwi mwang sanghyang pemali agung, gingsirangajena lungakuan pretiwi mengga sanghyang Ibu Pretiwi, haywa midanda sang adruwe karya wewangunan lan sang amuja. Manusanta pacing ngewarung paumalan lan merajan. Iki ganjaran sampun katur, minakadi canang wangi, daksina maruntutan upakara separikramania, durmenggala segehan agung nasi kojongan sami katur ring ibu pretiwi lan sanghyang pamali agung, ndah pamukti pwasira de abecik, bukti den trepti, pakulan aminta kedirgayusan. Om Sidhirastu tad astu. Om awigenam astu nama sidham. (9) Selanjutnya bata dasar diperciki tirtha dilanjutkan dengan murwa daksina mengelilingi lubang pondasi sebanyak tiga kali searah jarum jam, semua caru diletakkan dilubang dan diatasnya diletakkan bata dasar yang ditumpuk dengan durmanggala. Tahapan terakhir adalah melakukan persembahyangan pemilik bangunan sebagai wujud bhakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Selesai prosesi Ngeruwak baru dilanjutkan dengan pembangunan rumah khususnya pembangunan merajan baik sanggah kemulan, sanggah taksu dan piasan sebagai stana semua manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 171 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Merujuk uraian tahapan tersebut di atas maka dapat dijelaskan bahwa pembuatan merajan harus mengikuti beberapa tahapan, dan dipmpin oleh pamngku atau warga yang ahli dalam prosesi tersebut. Prosesi tersebut secara tidak langsung merefleksipakan pereproduksian kembali identitas Hindu sehingga warga Katolik yang masuk Hindu mengenal lebih dalam ajaran agama Hindu. Berikut akan dideskripsikan pembangunan Sanggah sebagai salah satu bentuk reproduksi identitas kehinduan. Sanggah Kemulan menurut Kamus Bali diartikan kuil keluarga yang beruang tiga tempat pemujaan arwah leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi (Dinas Pendas,1991:606). Sanggah Kemulan adalah tempat pemujaan leluhur yang terdapat disetiap keluarga Hindu, bentuk Sanggah Kemulan adalah beragam menurut situasi dan kondisi keluarga, fungsinya sebagai tempat pemujaan leluhur dan bermakna persatuan dan pendidikan spiritual agar keluarga dapat bersatu, dapat menghayati dan meyakini kehadiran roh leluhur sebagai bagian dan kehidupan keluarga (Wiana, 1983:16). Sanggah Kemulan dapat dibuat permanen dengan menggunakan kayu, batu, bata atau beton namun dapat juga dibuat sederhana dan kayu dadap yang disebut turus lumbung. Sanggah Kemulan dapat dibangun di areal pemerajan agung, sanggah gede atau menyendiri pada keluarga baru, biasanya dibangun pada areal kaja kangin dan areal pekarangan rumah. (Bendesa, 1999: 12). Beberapa daerah di Bali seperti di Kabupaten Tabanan sanggah kemulan dibangun mengikuti arah pemeson pekarangan atau arah gunung karena dianggap utama mandala, seperti di Desa Pakraman Penganggahan (Windia, 2000: 23). Timbulnya pemujaan Sanggah Kemulan adalah karena kehidupan beragama masyarakat Bali yang astithi bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi atas kemahakuasaannya. Sementara itu, kemampuan manusia terbatas, oleh karena itu manusia yang serba terbatas tidak mungkin mampu menjangkau kemahakuasaan yang tiada terbatas itu sedangkan upaya untuk mendekatkan diri pada kemahakuasaan bertujuan agar manusia dapat mendayagunakan kepercayaan dimaksud guna meningkatkan kualitas hidup (Wiana, 1989: 10). Gede Sutaba dalam Bali Purbakala (1989: 66) Sanggah Kemulan berfungsi sebagai tempat penyatuan antara anggota keluarga yang masih hidup dengan para leluhur yang sudah tidak lagi ada di dunia nyata. Bentuk Sanggah Kemulan sangat terikat oleh ketentuan desa kala patra menyesuaikan keadan ekonomi keluarga dan wangsa dapat

172 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. dibuat permanen dan juga sederhana. Sanggah kemulan sendiri merupakan symbol dari tempat atau istana pemujaan bagi tuhan dalam manifestasinya dan juga tempat stanan roh leluhur yang telah meninggal. Mircea Eliade (2002: 13) mengemukakan simbol merupakan satu cara untuk dapat sampai pada pengenalan akan sesuatu yang transenden, setiap tindakan regilius dan setiap pemujaan mengarah pada suatu realitas yang metaempiris, karena inti keAgamaan tidak dapat diekspresikan, maka semua upaya semata-mata merupakan perkiraan-perkiraan dan karena itu bersifat simbolik. Sebagai salah satu cara untuk menghidupkan benda-benda yang ada, makhluk-makhluk gaib dalam pikiran dan para pemeluk Agama yang bersangkutan, simbolisme mempunyai potensi besar. Demikian pula warga Hindu yang berada di desa Pakraman Penganggahan Tengkudak, maupun warga rekonversi Hindu, merajan merupakan simbolisme pengenalan akan sesuatu yang niskala, dan semua bersifat simbolik. Tuhan bersifat transenden dan sangat sulit dibayangkan, tetapi Tuhan dapat diwujudkan dalam tatanan imenesi melalui penyimbulan atau konkretisasi dengan membuat peranti berupa tempat pemujaan. Sebagaimana warga Penganggahan yang rekonversi membuat merajan merupakan salah satu cara untuk mengkonkretisasi Tuhan yang transenden ketatanan imanensi. Areal Sanggah kamulan, ada sebuah palinggih yang penting lagi disebut Taksu. Kata taksu sudah merupakan bahasa baku dalam kosa kata Bali, yang dapat diartikan sebagai daya magis yang menjadikan keberhasilan dalam segala aspek kerja, misalnya para seniman, seperti pragina, balian, dalang dan lain-lain, yang berhasil disebut metaksu. Pada ajaran Tantrayana, taksu itu bisa diartikan sama dengan sakti atau wisesa, dimaksud dengan sakti itu adalah simbol dari pada bala atau kekuatan. Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energi atau kala. Daya atau sakti dalam ajaran Tattwa, tergolong Maya Tattwa. Energi dalam bahasa Sanskreta disebut prana adalah bentuk ciptaan yang pertama dari Brahman. Dengan mempergunakan prana barulah muncul ciptaan berikutnya (Panca Maha Bhuta). Dengan digerakkan oleh prana kemudian terciptalah alam semesta termasuk mahluk isinya secara evolusi. Tuhan Nirguna Brahma atau Paramasiva dalam sistem Siva Tattwa, memanfaatkan energi tersebut, sehingga menjadi Maha Kuasa, memiliki Cadu Sakti dengan Asta Aisvaryanya. Dalam keadaan yang demikian itu,

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 173 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Ia adalah Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur, yang dalam Wrhaspati Tattwa disebut Sadasiva Tattwa dan di dalam Filsafat Vedanta Ia disebut Saguna Brahma. Purusa (Sang Hyang Tri Purusa) dan Sang Hyang Tri Atma dipuja melalui palinggih kamulan, maka Sakti atau Mayanya dipuja melalui Taksu. Dalam upacara nyekah disamping adanya sekah sebagai perwujudan Atma yang akan disucikan, juga kita mengenal adanya Sangge. Ajaran Kandapat dikenal adanya saudara empat, yang mana setelah melalui proses penyucian saudara empat itu dikenal dengan sebutan: Ratu Wayan tangkeb Langit, Ratu Ngurah Teba, Ratu Gede Jalawung, Ratu Nyoman Sakti Pangadangan. Ratu Nyoman Sakti Pangandangan itulah dianggap dewaning taksu (Wikarman, 1998 : 19). Palinggih Taksu adalah berfungsi untuk memohon kesidhian atau keberhasilan untuk semua jenis profesi seperti seniman, pedagang, petani, pemimpin masyarakat dan sebagainya. Penyelesaian sebuah bangunan secara umum diakhiri dengan pemlaspasan atau melaspas. Hal tersebut bertujuan agar bangunan tersebut memiliki daya tahan, memiliki energi yang bersih dan positif, serta memiliki pancaran sinar sesuia dengan bentuk bangunan (Paketan, 2005: 78). Sedangkan untuk upakara tidaklah cukup sampai kepada pemlaspasan saja, akan tetapi dilanjutkan dengan upacara ngenteg linggih. Masyarakat Desa Pakraman Penganggahan yang baru melakukan rekonversi Agama dan juga membuat sanggah atau merajan tidak keseluruhan dapat menyelenggarakan upacara ngenteg linggih, sebagian besar penutup pelaksanaan upacara di merajan adalah upacara pemlaspasan, hal tersebut sebagai bukti atau peresmian secara niskala bangunan merajan mereka telah selesai dan telah di stanakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta leluhur dari masing-masing keluarga. Pelaksanaan upacara pemlaspasan dilaksanakan secara gotong royong oleh warga setempat guna meringankan beban yang mempunyai rumah. Jero Dasaran Ketut Bedra menjelaskan (wawancara, 15 Agustus 2014) menjelaskan sebagao berikut. “saya melakukan pembangunan merajan kembali setelah sempat saya bongkar dulu karena saya pindah Agama ke Agama Katolik. Setelah kembali lagi ka Agama Hindu saya kembali membuat sanggah merajan, dimana tahap akhirnya hanya melakukan upacara

174 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

pemlaspasan saja, karena saya belum mempunyai dana untuk melakukan upacara ngenteg linggih di merajan saya. Pelaksanaan pemlaspasan pun tergolong sederhana, kebetulah dibantu oleh warga Desa Pakraman dari pembuatan banten sampai selesai pelaksanaan upacara pemlaspasan tersebut. Saya menyadari bahwa semua bentuk pengorbanan itu saya lakukan dengan tulus karena saya percaya tuhan akan membalasnya lebih berlipat-lipat dari pada itu”.

Berdasarkan kutipan tersebut tidak semua warga yang kembali ke Agama Hindu kemudian membuat tempat suci bisa melakukan upacara ngenteg linggih karena dilihat dari aspek material yang begitu besar dalam penghabisan biayanya. Meskipun demikian terdapat juga masyarakat Desa Pakraman Penganggahan yang kembali ke Agama Hindu dari membuat bangunan sampai kepada pelaksanaan upacara ngenteg linggih dilaksanakan. Semua wujud persembahan tersebut adalah yajna. Bentuk- bentuk yajna dalam Agama Hindu telah diberikan sesuai dengan kemampuan dari perseorangan. Karena beberapa tanggapan masyarakat melaksanakan upacara yajna menjadi beban hidup, beberapa orang lainnya mempunyai anggapan bahwa pelaksanaan upacara yajña bermaksud pamer kemewahan dan ingin mendapat pujian dan maksud tertentu lainnya (Wiana, 1995: 10). Anggapan yang keliru sesunggunya mengenai pelaksanaan yajna. Beberapa warga Desa Pakraman Penganggahan yang melakukan rekonversi Agama Hindu masih sangat awam sekali mengenai pelaksanaan yajña. Meskipun demikian salah satu warga Desa Pakraman Penganggahan pada akhirnya melaksanakan upacara ngenteg linggih sebagai tatana upacara penyelesaian di merajan menjadi bentuk yajna kepada leluhur dan juga Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yaitu Suderi (wawancara, 11 Agustus 2014) menjelaskan sebagai berikut. “…pada dasarnya saya tidak mengerti dan memahami konsep Agama Hindu secara penuh akan tetapi yang saya ketahui adalah saya merasa nyaman dan damai ketika kembali lagi berAgama Hindu. meskipun pada saat pindah ke Agama Hindu rumah saya harus di gusur kebelakang karena harus membuat merajan. Pada awalnya saya sama sekali tidak memiliki dana untuk membuat bangunan lengkap, puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa saya mendapatkan bantuan dana cuma-cuma sehingga dapat membuat bangunan dari rumah sampai kepada merajan serta sampai pula pada pelaksanaan upacara ngenteg linggih di merajan saya ini. Meskipun pelaksanaan

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 175 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

upacara ngenteg linggih yang saya lakukan dalam tingkatan upacara yang kecil karena sebagai pelengkap dari pelaksanaan yajna yang saya lakukan”.

Berdasarkan kutipan wawancara tersebut dijelaskan beberapa warga Desa Pakraman Penganggahan yang melakukan rekonversi Agama Hindu merasa lebih nyaman dan damai, meskipun disisi lain terdapat tuntutan untuk mengegeser bangunan lainya untuk membuat merajan. Bantuan berupa dana, Suderi dapatkan dengan cuma-cuma terlebih bantuan dari masyarakat Desa Pakraman Penganggahan membantu secara fisik dalam pembangunan sampai kepada pelaksanaan upacara pemlaspasan dan ngenteg linggih. Rasa gotong royong dan rasa saling memiliki menjadi ciri khas warga desa Pakraman di Bali, dibuktikan dari melaksanakan kegiatan saling bantu dan gotong royong untuk meringankan beban.

Upacara Suddhi Wadani Sebagai Legitimasi Kehinduan Proses rekonversi di Desa Pakraman Penganggahan Tengkudak terjadi melalui sebuah proses yang panjang. Salah satu proses tersebut, yakni melalui upacara Suddhi Wadani. Upacara tersebut tidak lain merupakan sebuah proses legitimasi atau pengakuan seseorang untuk memeluk Hindu dan menjalankan ajaran Hindu dalam kehidupan sehari-hari. Penduduk yang rekonversi melakukan upacara Suddhi Wadani merupakan titik esensial pengalaman aktivitas religius. Sebagaimana R. Otto (dalam Turner,2006: 160) mengemukakan pandangan teoretisnya bahwa pengalaman religius dan yang suci sebagai titik esensial sebuah pengalaman terhadap yang transendensial. Dengan demikian, upacara Suddhi Wadani yang dilakukan oleh warga Katolik untuk memeluk Hindu kembali tidak lain merupakan sebuah proses mengalami akan yang suci sebagai yang transenden, dan hal yang demikian sering kali identik dengan “rasa” keagamaan. Weber (2013: 232) menjelaskan bahwa pengalaman yang suci berkisar pada masalah keinginan untuk mencapai keselamatan personal, arah menuju keselamatan dan akhirnya mengakomodasi tuntutan keselamatan ini dengan kehidupan sehari-hari. Deskripsi Weber tersebut memiliki korelasi dengan warga Katolik yang kembali masuk Hindu melalui proses Suddhi Wadani, yakni sebagai sebuah pemenuhan keinginan untuk mencapai keselamatan Hidup secara personal. Warga Katolik di Desa Pakraman Penganggahan

176 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. kembali ke Hindu karena mengalami beberapa hal yang trekait dengan keselamatan. Banyak warga Katolik mengalami berbagai masalah dalam kehidupannya yang mengancam keselamatan sehingga kembali ke Hindu merupakan pilihan personal dalam rangka mencapai keselamatan. Secara etimologi suddhi wadani berasal dari kata suddhi dan wadani. Suddhi berasal dari bahasa sansekerta (f) berarti penyucian, persembahan. Kata sepadan dari Suddhi adalah Suddha (mfn) berarti juga bersih, suci, cerah putih tanpa cela. Kata Suddhi dan kata suddha berasal dari akar kata kerja suddh berarti membersihkan, menyuciakan, menjadi bersih dan suci. Kata wadani secara gramatikal berasal dari kata benda veda (mfn) berarti perkataan, pembicaraan dalam kata majemuk. Kata vada hanya dipakai sebagai kata terakhir, seperti priamvada berarti berbicara baik atau pantas. Berdasarkan hal tersebut, suddhi wadani berarti kata-kata penyucian. Upacara suddhi wadani adalah upacara Agama Hindu sebagai pengukuhan atau pengesahan ucapan atau janji seseorang secara tulus iklas menyatakan diri menganut Agama Hindu. Pengukuhan ini menjadi saksi utama Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan), yang bersangkutan dan pimpinan PHDI atau yang ditunjuk mewakili (Tim Penyusun, dalam Pinatih, 2008: 25). Dasar hukum suddhi wadani, khususnya dilakukan karena perkawinan berbeda agama mengacu Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974, terutama pada pasal 2 ayat 1, yaitu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepecayaan itu. Untuk menyamakan persepsi dari agama berbeda, maka yang belum beragama Hindu dan ingin menjadi Hindu, disahkan melalui upacara suddhi wadani sebagai bentuk pengesahan sekala niskala dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Begitu pula bagi warga Desa Penganggahan, Tengkudak, Penebel konversi Agama, mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29, yaitu: 1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Berdasarkan pasal 29 ayat 1 dijelaskan ideologi negara Indonesia adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dan besifat mutlak. Prinsip Ketuhanan ditanamkan dalam UUD 1945 merupakan perwujudan dari pengakuan

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 177 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. keagamaan. Berikutnya, dari isi pasal 29 ayat 2 dijelaskan bahwa setiap warga negara memiliki agama dan kepercayaanya sendiri tanpa ada unsur paksaan dari pihak manapun dan tidak ada melarang orang memilih agama yang diyakininya. Setiap agama memiliki cara dan proses ibadah yang berbeda. Oleh karena itu, setiap warga negara tidak boleh melarang orang beribadah, agar tercipta suasana kerukunan beragama. Berdasarkan UUD 1945 tentang kebebasan beragama bagi seluruh rakyat Indonesia, maka bentuk pengesahan dilakukan dengan inisiasi menurut ajaran agama masing-masing, begitu juga Agama Hindu. Bentuk inisiasi Agama Hindu disebut suddhi wadani. Upacara ini dilakukan tanpa ada paksaaan dan dilakukan dengan keikhlasan. Pembuktian dari upacara suddhi wadani adalah dokumen yang disahkan PHDI. Inisiasi adalah suatu bentuk tindakan yang dilakukan oleh aktor rekonversi sebagai bentuk pembuktian pada struktur sosial, sesuai dengan teori Burn, yang digambarkan dalam model integrative Ronald Burn berikut.

(2) Kepentingan Aktor (2)

Stuktur Sosial Sebagai (3) Tindakan Konteks Tindakan (1) (4)

Gambar 7.1 Model Integratif Ronald Burn (Sumber: Ritzer, 2008)

Berdasarkan Gambar 7.1 di atas, aktor mengetahui dirinya sendiri berada dalam struktur sosial. Struktur sosiallah yang menetapkan kesamaan sosial mereka dan pola persepsi mereka tentang keuntungan yang akan didapat dengan memilih salah satu dari beberapa alternativ tindakan yang tersedia. Pada waktu bersamaan, struktur sosial membeda-bedakan paksaan atas aktor menurut kemampuan mereka melakukan tindakan, karena itu, akhirnya tindakan yang dilakukan adalah fungsi bersama aktor dalam mengejar kepentingan mereka hingga ke batas kemampuan mereka dimana kepentingan dan kemampuan dipolakan oleh struktur sosial. akhirnya tindakan yang dilakukan dibawah paksaan struktur sosial dapat mengubah

178 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. struktur sosial itu sendiri dan perubahan itu mempunyai potensi untuk menciptakan paksaan baru yang akan dihadapi aktor di dalam struktur (Burn dalam Ritzer, 2008: 386). Kepentingan aktor rekonversi agama, agar dapat diakui dalam struktur sosial, maka dilakukan proses upacara suddhi wadani. Pelaksanaan upacara ini adalah bentuk tindakan aktor yang disahkan dan dijadikan dasar untuk mendapatkan pengakuan dalam kehidupan masyarakat, khususnya di Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak, Penebel, Tabanan. Dengan demikian, terjadilah perubahan dalam struktur sosial di desa pakraman, khususnya jumlah keanggotaan maupun pelaksanaan atas hak dan kewajiban sebagai krama adat. Pelaksanaan upacara suddhi wadani dilakukan tiga tahapan yaitu: 1) Persiapan adminitrasi, 2) Sarana upacara, 3) Prosesi upacara. Demikian pula warga yang melakukan rekonversi agama di desa Pakraman Penganggahan Tengkudak, Penebel, Tabanan. Umat Hindu yang rekonversi agama, sesuai proses menjadi Hindu harus memenuhi syarat PHDI terkait administrasi. Hal wajib harus di miliki calon umat Hindu secara adminitrasi sebagai berikut. 1. Membuat surat pernyataan dengan tulus ikhlas untuk menganut Agama Hindu, tanpa tekanan atau paksaan dari pihak lain. 2. Membuat surat permohonan kepada Parisadha Hindu Dharma Indonesia setempat atau lembaga adat untuk pensuddhian. 3. Pas photo hitam putih ukuran 3x4cm sebanyak 2 lembar foto copy Kartu Tanda Penduduk. 4. Adanya saksi-saksi dalam pelaksanaan upacara suddhi wadani. (pelaksanaan upacara suddhi wadani tidak di tentukan batas umur bagi calon yang akan disudhikan karena upacara ini bersifat sebagai penyucian lahir bathin, pelaksanaannya hanya dengan upakara dan disaksikan oleh masyarakat lingkungan).

Warga masyarakat Banjar Dinas Penganggahan mengajukan permohonan suddhi wadani kepada PHDI Kecamatan Penebel dengan melampirkan surat pernyataan masuk Agama Hindu dan Pas Foto. Pihak PHDI sebagai penanggung jawab pelaksanaan upacara suddhi wadani nenunjuk salah seorang rohaniawan untuk memimpin upacara, mempersiapkan upakara dan tempat pelaksanaan upacara. Pemimpian upacara terlebih dulu

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 179 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. mengantarkan upakara dengan puja mantra kehadapan Ida Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya yang dipusatkan di Padmasana. Setelah adminitrasi di penuhi, maka dilanjutkan proses berikutnya yaitu mempersiapakan sarana upacara yang dipergunakan dalam upacara suddhi wadani. Upakara tersebut antara lain: banten pabyakalanan, banten prayascita dan banten tataban atau ayaban. Banten ini dapat dibuat sendiri ataupun diperoleh di griya sebagai tempat prosesi upacara suddhi wadani, sehingga lebih memudahkan umat melaksanakan prosesi ini. Banten adalah istilah dari sarana upakara, yang terdiri dari berbagai jenis sarana yang dirangkai sedemikian rupa, sesuai keperluan yajna umat Hindu. Proses terakhir dari suddhi wadani adalah tata cara pelaksanaan upacara suddhi wadani, yang dilakukan dengan berbagai tahapan sesuai dresta tempat diberlangsungkan upacara. Tahap pertama adalah calon yang disuddhi wadani diharapkan sudah siap lahir batin dengan berpakaian bersih dan rapi serta menyerahkan diri sepenuhnya kepada Hyang Widhi sebagai saksi agung. Upacara byakala sebelum memasuki halaman tempat suci dengan doa sebagai berikut. Om kaki bhuta penampik lara, kaki bhuta penampik klesa, ngunduraken bhaya kalaning manusaning hulun. Om ksama sampurna ya nama.

Setelah melaksanakan upacara byakala, orang yang disuddhikan diantar masuk kedalam tempat suci, kemudian dilakukan upacara prayascita. Upacara ini bertujuan agar bersangkutan dapat dibersihkan dan disucikan dari kotoran sehingga atma yang bersemayam dalam diri pribadinya dapat memancarkan sinarnya. Doanya : Om Sri Guru Saraswati, sarwa roga, sarwa papa, sarwa klesa, sarwa kali, kuluwasa ya namah swaha.

Upacara selanjutnya adalah persembahan upakara berupa tataban atau ayaban sebagai pernyataan terima kasih kehadapan Hyang Widhi. Doanya : Om Bhuktyantu sarwa dewa bhuktyantu triloka natham sageneh sapariwarah, sarwagah, sadhasidasah.

180 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Setelah selesai menghaturkan upakara, pemimpin upacara membacakan pernyataan yang sudah di tulis oleh yang melakukan suddhi wadani, kemudian ditirukan dengan seksama. Adapun bunyi surat pernyataan yang ditulis pada blangko surat pernyataan oleh calon Suddhi Wadani adalah sebagai berikut : Om tat Sat Ekam eva adwityam Brahman Sang hyang widhi wasa hanya satu tidak ada duanya. Satyam eva jayate

Terjemahan: Hanya kebenaran yang jaya ( menang ) Dengan melaksanakan ajaran Agama Hindu kebahagiaan pasti akan tercapai.

Kemudian selesai mengucapkan pernyataan tersebut, yang disuddhikan disuruh menepati pernyataannya itu dengan mengucapkan janji sebagai berikut : Bahwa saya akan tunduk serta taat pada hukum Hindu. Bahwa saya tetap akan berusaha dengan sekuat tenaga dan pikiran serta batin untuk dapat memenuhi kewajiban saya sebagai umat Hindu.

Kemudian di lanjutkan dengan penandatanganan Surat Keterangan Suddhi Wadani, oleh aktor rekonversi agama dan para saksi. Setelah penandatanganan selesai dilanjutkan persembahyangan bersama yang dipimpin oleh rohaniawan guna memohon persaksian dan restu dari Tuhan/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Persembahyangan diawali dengan mengambil sikap duduk (masila/ matimpuh) dengan mengucapkan beberapa mantra sebagai berikut. Oṁ Prasâda ṣṭhiti úarira Úiva úuci nirmalâya namaḥ svâhâ

Terjemahan: Oṁ, Kepada Siwa suci yang tidak ternoda (semoga), Badan (Hamba) telah siap menghormat dengan tenang. Mersihin bunga: OM puspa danta ya namah swaha

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 181 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Mantra dupa: Om ang dipa astra ya namah Dilanjutkan dengan mengatur nafas/ Pranayama Om, Ang Namah => tarik nafas Om, Ung Namah => tahan nafas Om, Mang Namah => hembuskan nafas Dilanjutkan dengan melaksanakan pembersihan tangan; Asepin tangan kanan : Om suddhamam swaha Asepin tangan kiri : Om atisuddhamam swaha Kemudian melaksanakan Puja Trisandya: 1. Om,Om,Om bhur bwah swah, Tat sawitur wrenyem, Bhargo Dewasya dhimahi, Dhoyo nah pracodayat 2. Om narayana ewedam sarwam, Yad bhutam yaw ca bhawyam, Niskalanko niranjano nirwikalpo, Nerakyatah suddho dewo eko, Narayana na dwilyo asti kascit, 3. Om twam Siwah twam maha Dewah, Iswara parami swara, Brahma wisnuca rudraca, Purusah parikitirtah, 4. Om papa ham papa karmaham, Papatma papasembawah, Trahimam pundarikatsa, Sabahya bhyantara sucih, 5. Om ksamaswamam maha Dewa, Sarva prani hitamcara, Mam moca sarva papebyah, Palaya sva sada Siwa, 6. Om ksantawyah kayiko dosah, Ksantawyo waciko mamo, Ksantawyo manasa dosah, Tat pramadat ksamamswamam, Om Santih,santih,santih om

182 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Persembahyangan dilaksanakan dengan Panca sembah (1) Sembah puyung/ tanpa serana: Oṁ âtma tattvâtma úuddhamâṁ svâhâ Terjemahan: Oṁ âtma, âtmanya kenyataan ini semoa hamba menjadi bersih/suci (2) Sembah kedua dilanjutkan kepada dewa Aditya menggunakan sarana bunga warna merah; Oṁ Âdityasya paraṁ jyoti Rakta teja namo’stute Sveta paṅkaja madhyaṣṭka Bhâskarâya namo’stute Terjemahan : Oṁ Sinar âditya yang maha hebat, bersinar merah hamba menghormat, engkau berada ditengah-tengah teratai putih, kepada Bhaskara hamba menghormat dan memuja. Oṁ Praṇâmya bhaṣkara Devaṁ Sarva kleśa vinaśanaṁ Praṇâmyâditya úivâthaṁ Bhukti mukti varapradaṁ Terjemahan: Oṁ sujud bhakti kepada dewa Bhaskara, melenyapkan segala penyakit, sujud kepada aditya sesungguhnya siwa, pemberi anugrah kebahagiaan jasmani dan rohani atau lahir batin. Oṁ raṁ riṁ úaḥ, Paramaúivâdityâya namaḥ svâhâ Terjemahan: Oṁ Raṁ Riṁ saḥ, menghormat kepada aditya paramasiwa. (3) Sembah ke tiga dilanjutkan dengan sarana bunga (sekar jangkep) kepada dewa yang berstana di pura masing-masing (tempat pada saat melaksanakan persembahyangan) Oṁ nama deva adhiṣṭhânâya Sarva vyâpî vaîúivâya Padmâsaṇa eka pratiṣṭhâya Ardhanareśvaryai namo namah Terjemahan: Oṁ sembah sujud kepada dewa yang berdiri pada tempat yang tinggi kepada semua yang berada dimana-mana sesunggh-Nya

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 183 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

siwa, berstana pada sebuah padmâsana (sebuah tempat duduk bunga teratai) kepada ardanaresvaryai hamba menghormat sembah sujud. (4) Persembahyangan ke empat menggunakan sarana bunga lengkap (sekar jangkep) ditujukan kepada dewa Samudaya untuk meminta penugrahan; Oṁ anugraha manohara Devadatta nugrahaka Arcanaṁ sarva pűjanaṁ Namaḥ sarva nugrahaka Terjemahan: Oṁ pemberi anugrah yang menarik hati, anugrah pemberian dewa pemuja segala pemuja, pemberi hormat kepada penguasa. Deva devî maha siddhi Yajñâṅga nirmalâtmaka Lakṣmî siddhîúca dirghayuh Nirvighna sukha vṛddhiśca Terjemahan: Om dewa dewi yang maha bersih, berbadan yajña berjiwa tak ternoda, kemakmuran/keberhasilan, panjang umur, bebas dari ringtangan, kesenangan, kegembiraan, dan kemakmuran. (5) Persembahyangan terakhir kembali tangan puyung (tanpa sarane) ditujukan kepada dewa suksma: Oṁ Deva sűkṣma paramâcintyâya nama svâhâ Terjemahan: Oṁ kepada dewa yang halus/gaib, maha mulia, tak terpikirkan, sembah sujud kepada sinar-Mu. Dengan demikian berakhirlah rangkaian persembahyangan yang kemudian disusul dengan memohon tirtha (air suci) yang dipercikan, diminum, dan diraup. Doanya : Om pratama sudha, dwitya sudha, tritya sudha, sadham wari astu. Terjemahan : Pertama suci, kedua suci, semoga disucikan dengan air ini.

Menurut Puji salah aktor rekonversi agama, tetap mengikuti aturan yang telah disampaikan Bendesa Adat maupun pengurus PHDI Kecamatan

184 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Penebel, Tabanan untuk mengikuti prosesi upacara suddhi wadani. Sebagaimana Puji menjelaskan sebagai berikut. “saya telah melaksanakan upacara suddhi wadani yang dilaksanakan oleh PHDI Kecamatan Penebel, Tabanan dan secara adminitrasi telah lengkap bahkan diberikan piagam sebagai bukti sah bahwa dirinya telah menjadi Hindu secara resmi. Upacara suddhi wadani dilaksanakan pada tanggal 20 Januari 2006 dan telah dinyatakan sah dengan keikhlasan, tanpa paksaan, kesadaran dan tanpa pengaruh siapapun” (wawancara, 10 Agustus 2014).

Selain itu I Nyoman Suderi (wawancara, 11 Agustus 2014) juga telah menyatakan mengikuti pelaksanaan upacara suddhi wadani, sesuai aturan yang telah diberikan oleh PHDI Kecamatan Penebel, Tabanan, seperti dalam kutipan wawancara berikut. “saya secara adminitrasi telah sah menjadi Hindu setelah melaksanakan upacara suddhi wadani yang secara adminitrasi diurus PHDI Kecamatan Penebel, Tabanan. Pada saat itu saya menyatakan percaya dengan kebenaran panca sradha, yaitu 1). Yakin dengan adanya Brahman (Tuhan), 2). Yakin dengan adanya Atman, 3). Yakin akan adanya karmaphala, 4). Yakin dengan adanya Punarbawa dan 5) yakin dengan adanya Moksa. Setelah mengucapkan itu saya dinyatakan sah oleh ketua PHDI Kec. Penebel, Tabanan yaitu Ida Bagus Niten Wijaya, S.Ag.”

Merujuk pada uraian tersebut, prosesi sudhiwadani ditangani oleh PHDI Kecamatan Penebel. Dengan demikian peran PHDI sebagai lembaga keumatan tertinggi dapat menjalankan perannya dengan baik. Banyak warga rekonversi melewati prosesi upacara tersebut atas kerjasama PHDI dengan warga Pakraman Penganggahan. Pernyataan Puji dan Suderi di atas menunjukan keseriusan kembali menjadi Hindu dan hal ini dapat dijadikan referensi, jika berkeinginan secara sadar dan keiklasan menjadi Hindu. Prosesi upacara sudhiwadani atau upacara untuk kembali memeluk Hindu merupakan salah satu wujud produksi identitas kembali kehinduan. Setelah warga rekonversi melewati prosesi tersebut, maka warga yang sebelumnya memeluk Katolik secara sah sudah masuk Hindu. Melengkapi administrasi kependudukan adalah kewajiban bagi semua warga negara, begitu juga aktor rekonversi agama di Desa

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 185 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Tengkudak, Penebel, Tabanan, mengubah KTP (Kartu Tanda Penduduk) umat beragama Katolik menjadi KTP beragama Hindu. Hal ini bertujuan mendata kependudukan di lingkungan masyarakat, serta menunjukan identitas diri sebagai warga Negara yang sah. Kepala lingkungan (Kaling) merupakan struktur pemerintahan yang bernaung di bawah lembaga desa, sesuai UU 5/1979, tentang Pemerintahan Desa pasal 30 ayat 2, Kepala Lingkungan adalah unsur pelaksana tugas Kepala Kelurahan dengan wilayah kerja tertentu. Dengan demikian kepala lingkungan merupakan perpanjangan tangan dari kepala desa untuk mengurus, memantau dan melayani masyarakat dinas sesuai aturan dan ketentuan berlaku. Selain itu, tugas kepala lingkungan adalah mengurus Kartu Tanda Penduduk untuk wilayah tertentu, sehingga mempermudah masyarakat dalam mengurus KTP. Demikian pula Kepala Lingkungan Banjar Dinas Penganggahan mempunyai peran penting membantu masyarakat mengurus KTP serta administrasi yang berhubungan dengan pemerintahan. Begitu juga apabila warga Banjar Dinas Penganggahan melakukan perpindahan Agama tentunya kepala lingkungan berperan sebagai saksi dalam pengurusan KTP. Sebagaimana dijelaskan Budiasa (wawancara 5 Agustus 2014) sebagai kepala lingkungan Banjar Dinas Penganggahan menjelaskan sebagai berikut. “…selaku kepala lingkungan atau yang lebih dikenal kepala dusun, saya berperan dalam menjaga ketertiban dan keamanan dari Banjar Dinas Penganggahan, selain itu saya juga berperan dalam proses perpindahan agama yang dilakukan warga Banjar Dinas Penganggahan. Setelah mengurus administrasi di desa Pakraman dan membuat bangunan suci berupa sanggah kemulan lengkap melaksanakan upacara pemlaspas atau ngenteg linggih dilanjutkan dengan melaksanakan administrasi di desa dinas untuk mengubah keterangan di KTP yang dulunya beragama Katolik berubah menjadi Agama Hindu. Hal tersebut juga didukung dengan surat Suddhi Wadani sebagai keterangan dari PHDI bahwa telah resmi menjadi warga Hindu kembali”.

Salah satu warga Banjar Dinas Penganggahan, Robed (wawancara, 5 September 2014) melakukan rekonversi agama dengan mengurus administrasi di Banjar Dinas Penganggahan. Lebih lengkapnya berikut kutipan penjelasan Robed sebagai berikut.

186 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

“…dulu saya sempat pindah Agama ke Agama Katolik, akan tetapi berbagai faktor dan juga saya tidak menemukan ketenangan bantin di sana, akhirnya saya memutuskan kembali lagi ke Agama Hindu. Proses kembalinya saya ke Agama Hindu melalui berbagai tahap, seperti harus masuk kedalam anggota desa Pakraman dan juga mengurus administrasi di Klian Dusun mengenai perubahan agama yang terdapat dalam KTP saya. Proses dalam perubahan dimulai dari saya mengisi formulir untuk membuat KTP baru dengan keterangan yang berbeda dalam kolom Agamanya”.

Merujuk petikan wawancara di atas, proses rekonversi agama di Banjar Dinas Penganggahan harus melewati berbagai tahapan dan terakhir mengurus KTP di kepala lingkungan atau klian dinas. Proses adminitrasi kependudukan hanya merubah keterangan kolom agama dalam KTP yang dilakukan dengan mengisi formulir pembuatan KTP baru dan menunjukkan surat suddhi wadani. Apabila dilaksanakan sesuai prosedur, maka KTP selesai dalam waktu singkat. Kesimpulanya warga Banjar Dinas Penganggahan yang melakukan rekonversi agama sangat dipermudah membuat KTP oleh kepala lingkungan. Menjadi kewajiban kepala lingkungan senantiasa mengabdikan dirinya kepada masyarakat khususnya masyarakat Banjar Dinas Penganggahan, meskipun terdapat dua keyakinan berbeda yaitu Katolik dan Hindu. Ketentraman dan keamanan Banjar Dinas Penganggahan masih dapat dijaga. Pada dasarnya semua warga Banjar Dinas Penganggahan menganut ajaran Agama Hindu, ketika masuknya Katolik beberapa umat Hindu memilih konversi ke Katolik bukan karena keyakinan melainkan kebutuhan. Hal tersebut menjadikan kekerabatan dan gotong royong masyarakat Banjar Dinas Penganggahan masih terjalin sampai saat ini. Rasa toleransi dan saling menghomatitertuang dalam pustaka suci Agama Hindu sebagai berikut. Namo mahadbhyo Namo arbhakebhyo Namo yuvabhyo Nama asinebhyah Rgveda I.27.13

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 187 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Terjemahan: Hormatku kepada para orangtua, para pemuda, kaum muda (anak- anak) dan orang-orang yang sudah lanjut usia.

Janam bibhrati bahudha vivacasam Nanadharmanam prthivi yathaukasam Sahasram dhara dravinasya me duham Dhruveva dhenur anapasphuranti Atharvaveda XII.1.45 Terjemahan: Bumi pertiwi yang memikul beban, bagaimana sebuah keluarga, semua orang berbicara dengan Bahasa yang berbeda-beda dan yang memeluk kepercayaan (Agama) yang berbeda, semoga ia melimpahkan kekayaan kepada kita, tumbuhkan penghargaan di antara anda seperti seekor sapi betina kepada anak-anaknya (Titib, 2003;423)

Berdasarkan kedua kutipan kitab suci di atas, dikemukakan mengenai rasa saling menghormati dan toleransi semua agama di Indonesia. Begitu juga Banjar Dinas Penganggahan, dasarnya semua warga Banjar Dinas Penganggahan berkeluarga, hanya saja umat konversi agama tidak percaya Agama Hindu melainkan kebutuhan makan dan hidup pada tahun 1970 yang menyebabkan warga konversi ke Agama Hindu, sehingga rasa kepemilikan dan rasa kebersamaan masih dapat terjalin meskipun berbeda keyakinan. Warga Banjar Dinas Penganggahan yang melakukan rekonversi Agama ke Agama Hindu sesungguhnya tidak perlu belajar kembali menganut dan mengenal ajaran Agama Hindu karena sudah tertanam keyakinanya terhadap Agama Hindu. Dengan demikian warga melapor kepada kepala dinas sesungguhnya hanya mengganti status Keagamaan semata, maka tidak jarang setelah rekonversi ke Agama Hindu terpilih menjadi pemimpin umat atau Pemangku di Banjar Dinas Penganggahan. Hal tersebut dijelaskan Subagiastra mantan kepala lingkungan Banjar Dinas Penganggahan (wawancara, 9 Agustus 2014) mengungkapkan telah menjadi saksi dari perindahan Agama yang dilakukan warganya pada tahun 2005.

188 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

“…ketika saya masih menjabat sebagai kepala lingkungan atau kelihan dines Banjar Dinas Penganggahan, saya sempat menjadi saksi perpindahan agama yang dilakukan salah satu warga saya, pindah agama dilakukan umat Katolik ke Agama Hindu dengan jumlah satu keluarga. Pada saat itu saya mendapat laporan terkait perubahan identitas dalam kartu tanda penduduk (KTP) merubah dari Agama Katolik menjadi Agama Hindu. meskipun sesungguhnya hal tersebut hanya sebagai formalitas semata karena tuntutan dari pemerintah terkait perubahan identitas masyarakatnya. Warga yang pindah Agama tersebut belajar dan menyesuaikan dengan Agama Hindu serta sangat cepat menyesuaikan diri. Pengakuan beberapa masyarakat terhadap saya ketika beragama Hindu lebih merasa bahagian dan lebih nyaman daripada Agama sebelumnya”.

Berdasarkan petikan wawancara tersebut rekonversi Agama yang dilakukan warga masyarakat Banjar Dinas Penganggahan menjadikan mereka lebih nyaman dan bahagia lahir batin. Melakukan administrasi di banjar dinas tepatnya di kapala lingkungan hanya sebagai formalitas saja untuk merubah identitas di KTP sehingga menjadi Agama Hindu. Hal tersebut dilakukan semata-mata untuk memenuhi administrasi dengan tujuan tidak menimbulkan dampak negatif di kemudian hari. Warga Banjar Dinas Penganggahan yang melakukan rekonversi ke Agama Hindu belajar Agama Hindu secara otodidak, masyarakat cenderung belajar dan langsung mengimplementasikannya dalam kegiatan ritual yang dilaksanakan. Proses selanjutnya adalah mengurus administrasi di desa dinas atau kepala desa. Secara prosedur teknis pelayanan pembuatan KTP dimulai dari kepala lingkungan memberikan form kepada masyarakat yang akan membuat KTP lengkap dengan foto serta tanda tangan pada form tersebut, kemudian dilanjutkan mencari surat keterangan di kantor desa yang disahkan oleh kepala desa, dilanjutkan ke kantor camat untuk membuat KTP. Kepala Desa Tengkudak berperan sebagai pemimpin daerah, sebagai seorang pemimpin tentunya memiliki sikap bijaksana serta tokoh dalam masyarakat. Titib (2003;471) pemimpin merupakan fungsi kebijaksanaan dan keberanian, bagaikan api, menerangi dan mencintai sesama manusia, tidak membenci siapapun, dermawan bagi rakyatnya, hidup di tengah- tengah rakyat dan melayani kebutuhan masyarakat khususnya dalam administrasi dan infrastruktur di Desa Tengkudak. Kepala desa merupakan

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 189 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. pemimpin yang ditempati oleh keberanian dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan demi kepentingan masyarakat Desa Tengkudak. Di Veda dijelaskan pula mengenai keutamaan seorang pemimpin. Yasmad indrad brhatahkim canem-rte Visvany-asmin sambhrtadhi virya Jathare somrm tanvi saho maho Haste vajram bharati sirsani kratum (Rgveda II. 16.2)

Terjemahan: Tidak terdapat apapun di dunia kecuali Indra Yang Agung. Semua kekuasaan diberikan oleh-Nya. Dia memiliki air-sari Soma di dalam perut-Nya, kekuatan dan kemasyuran di dalam tubuh-Nya, halilintar di tangan dan pengetahuan di kepala-Nya.

Kepala desa menjadi pemimpin dalam ruang lingkup desa yang memiliki fungsi kepemimpinan dalam ruang lingkup kepemerintahan. Kepala desa menjadi perpanjangan tangan dari kecamatan mengatur dan memantau semua kegiatan kemasyarakat di desa sampai kepada banjar. Kepala desa wajib melengkapi infrastuktur di wilayahnya sebagai pendukung kegiatan berupa jalan, kesehatan, keamanan dan juga tempat beribadah menurut kepercayaan di masing-masing wilayah. Semua elemen pendukung kepemerintahan berperan aktif seperti lemGambar non pemerintah yaitu desa Pakraman juga menjadi salah satu element di dalam mendukung kesuksesan kepemimpinan desa dinas. Sebagai masyarakat berhak mendapatkan pelayanan dari kepala desa ataupun staf desa untuk urusan administrasi, surat-menurat dan juga membuat KTP. Mengkhusus di Desa Tengkudak terdapat dua keyakinan masuk di dalamnya, kepala desa berperan dalam membantu semua urusan masyarakat terkait dengan urusan pembuatan Kartu Tanda Penduduk maupun surat keterangan Agama. Kepala Desa Tengkudak sebagai pemimpin yang mewilayahi Banjar Dinas Penganggahan juga ambil andil dalam proses rekonversi yang terjadi di Banjar Dinas Penganggahan. Kepala desa berperan aktif dalam proses penyelesaian berkas-berkas seperti surat menyurat yang ditujukan kepada PHDI untuk mendapatkan surat Suddhi Wadani dan juga pengurusan KTP

190 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. pada nantinya sebagai bukti telah resmi konversi kembali ke Agama Hindu secara adminitrasi kepemerintahan. Kepala desa sebagai fasilitator dari masyarakat kepada dinas terkait untuk menyelesaikan permasalahan pribadi khususnya permasalahan mengenai konversi Agama di desa Tengkudak. I Made Subagiastra selaku kepala desa Tengkudak (wawancara, 9 Agustus 2014) menerangkan sebagai berikut. “Perbekel Tengkudak berperan mempermudah masyarakat dalam mengurus adminitrasi serta memberikan pelayanan kepada masyarakat dan juga keamanan kepada masyarakat, hal itu bisa dijalin dari kerjasama pihak kesehatan dan kepolisian dengan lembaga desa sehingga di masing-masing kantor Perbekel terdapat satu unit penanganan kesehatan dan keamanan. Desa Tengkudak menaungi beberapa banjar dinas tentunya memiliki ruang lingkup yang luas. Banjar Dinas Penganggahan menjadi salah satu wilayah Desa Tengkudak yang memiliki ciri atau ke khasan wilayah. Dimana di Banjar Dinas Penganggahan terdapat dua Agama yang berkembang. Pada tahun 1970 Agama Katolik masuk ke Banjar Dinas Penganggahan, beberapa tahun kemudian umat Katolik di Banjar Dinas Penganggahan membuat gereja sebagai tempat persembahyangan, umat Hindu yang konversi ke Agama Katolik kurang lebih 40 KK. Akan tetapi beberapa tahun berikutnya warga yang konversi agama ke Agama Katolik kembali lagi ke Agama Hindu dengan berbagai alasan, meskipun secara administratif warga yang sempat pindah Agama ke Agama Katolik sempat mengubah keterangan keagamaan dalam KTP, sehingga diperlukan perubahan identitas kembali merubah keterangan Agama dalam KTP tersebut. Proses perpindahan kembali warga banjar dinas Penganggahan ke Agama Hindu adalah mengurus kembali KTP di kantor perbekel. Saya sebagai kepala desa tentunya memfasilitasi warga yang memerlukan bantuan terlebih itu adalah warga dari desa Tengkudak”.

Berdasarkan kutipan wawancara dijelaskan peran kepala desa dalam menjaga kesehatan, keamanan serta urusan adminitrasi warga setempat. I Nengah Geledeg (wawancara, 25 Agustus 2014) warga yang melakukan rekonversi ke Agama hindu harus mengurus adminitrasi di kantor Kepala Desa untuk mengurus KTP menjelaskan sebagai berikut.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 191 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

“…saya diwajibkan mengurus KTP dengan identitas Agama Hindu yang dulunya adalah Agama Katolik. Pada saat mengurus KTP sesuai dengan prosedur saya harus melapor kepada kepala desa, dalam hal ini kepala desa sangat membantu untuk menyelesaikan pembuatan surat pengantar dan juga memberikan informasi terkait penyelesaian KTP, sehingga saya telah resmi dan sah beragama Hindu. Jadi tidak ada beban lagi, ketika ada bertanya tentang keyakinan saya”.

Merujuk pada uraian tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa pembuatan karu identitas kependudukan merupakan hal yang signifikan untuk menggiring masyarakat di desa Pakraman Penganggahan utuk kembali ke Hindu. Oleh karena itu, peran pengurus Banjar Kedinasan sangat penting dalam mengarahkan warga rekonversi agar memiliki rasa bangga menjadi Hindu, dan ada rasa kepercayaan diri untuk mencantumkan identitas kehinduannya kembali. Hal tersebut merupakan penanda bahwa warga secara sah sudah memeluk Hindu secara arsip kedinasan. Berdasarkan petikan wawancara di atas, bahwa kepala desa sebagai lembaga pemerintahan menjadi salah satu proses yang wajib dilaksanakan oleh umat yang melakukan konveris maupun rekonversi agama, khususnya mengurus surat pengantar suddhi wadani dan surat ijin membuat KTP bagi masyarakat yang melakukan rekonversi ke Agama Hindu. Hal yang sama, juga dikatakan Widri (wawancara, 12 Agustus 2014) bahwa telah menyelesaikan urusan adminitrasi kependudukan bersama suami dan anak-anaknya. “…Sebelum menjadi Pemangku di Pura Pecatu, saya sudah menyelesaikan adminitrasi kependudukan beragama Hindu, melalui pengantar klian dusun dan di ketahui kepala desa, kemudian terakhir ke Kantor Camat di Penebel. Prosesnya tidak terlalu sulit, dengan memiliki KTP beragama Hindu, maka saya dan keluarga sudah resmi beragama Hindu, jadi tidak diragukan lagi keyakinan saya”.

Merujuk pula pada uraian tersebut, jelas disebutkan bahwa KTP merupakan media simbolis yang sangat efektif dalam mereproduksi identitas kehinduan. Demikian juga mencantumkan identitas kehidupan dalam KTP merupakan salah satu wujud keseriusan warga untuk beragama Hindu, dan hal tersebut menunjukan pula bahwa rekonversi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial.

192 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Dengan demikian semua elemen masyarakat mendukung proses rekonversi yang dilaksanakan warga masyarakat Desa Pakraman Penganggahan. Proses dimulai dari kesadaran dalam diri dan leluhur, dilanjutkan menempuh tahapan-tahapan selanjutnya, hal terpenting dalam rekonversi agama adalah menemukan kebahagian, kenyamanan dan rasa tentram dalam diri. Karena sesungguhnya tujuan masyarakat melakukan konversi agama adalah pelarian hal-hal yang ditakuti dan mencari ketenangan lahir dan batin.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 193 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

8

Neo-Ideologi dan Dampak yang Menyertai

danya rekonversi agama di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan, Atentu berimplikasi bagi kehidupan masyarakat. Demikian pula, rekonversi pada dasarnya terjadi dalam lingkungan sosial, dan berada dalam arena social, sehingga berimplikasi pada kehidupan sosial masyarakat. Rekonversi tidak saja terjadi akibat dari sebuah perhelatan sistem simbolik antar Hindu dan Katolik, tetapi rekonversi juga terjadi akibat dari adanya pertarungan ideologis religius Hindu dengan Katolik. Pertarungan tersebut terlihat dari cara konversisasi yang dilakukan para zending Katolik, demikian juga cara dan proses rekonversi yang terjadi di Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak. Pertarungan ideologis religius tersebut tentunya berimplikasi pada sistem strukturasi masyarakat Hindu di Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak. Implikasi yang jelas terlihat adalah bergesernya ideologi warga Hindu yang sebelumnya menganut ideologi abstrak ke ideologi realisme konkret. Hanafi (2004: 13)

194 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. menjelaskan bahwasanya ideologi abstrak lebih mengedepankan kehidupan di luar realitas yang hanya mendorong manusia pada dunia yang imajiner dan metafisis. Adapun ideologi realisme konkret, berangkat atas pemikiran dunia sebenarnya dan realitas kehidupan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari (eksistensialisme). Bergesernya ideologi tersebut dapat dilihat dalam konteks aktivitas kehidupan beragama Hindu di lingkungan masyarakat Desa Pakraman Penganggahan Tengkudak yang tidak lagi hanya berkutat pada tradisi gugun tuwon, dan yang bersifat vertikal. Tradisi dan upacara tetap dipertahankan, tetapi diimbangi pula oleh rasa solidaritas antar warga, dan menguatkan rasa menyama braya (kekeluargaan) dalam ikatan kesepemahaman bahwa warga Hindu adalah saudara. Bergesernya ideologi sebelumnya, memunculkan pula neoideologi yang berimplikasi pada menguatnya relasi sosial antar warga Hindu. Kuatnya relasi tersebut secara tidak langsung memberikan pengaruh terhadap warga Katolik untuk kembali ke Hindu. Demikian pula, setelah warga Katolik kembali memeluk Hindu, warga tidak lagi merasa teralienasi oleh warga Hindu sebelumnya. Oleh karena itu, ideologi masyarakat Hindu di Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak secara tidak langsung telah memberikan penghargaan kepada umat manusia. Sebagaimana hal tersebut terkandung dalam ajarana agama Hindu, yakni Bhagavadgita XII. 13 sebagai berikut. Advestha sarva bhutanam maitrah karuna eva ca, Nirmamo nirahamkarah sama-dukha kshami

Terjemahan: Bagi siapa yang tidak membenci kepada semua makhluk, yang begitu ramah, baik, dan penyayang. Ia yang tidak memiliki perasaan menjadi miliknya dan ia mampu menaggung kesedihan dan kesenagan dengan keseimbangan (Maswinara, 1999: 406).

Merujuk pada sloka tersebut di atas maka dapat dikemukakan bahwasanya ajarana agama Hindu sudah memberikan pengesan bagi para penganutnya untuk memberikan penghargaan kepada umat manusia atau sesama Hindu. Penghargaan sebagai manusia bagian dari Brahman (Tuhan). Hal tersebut akan menjadikan ideologi teosentrisme yang kuat dan diseimbangan melalui ideologi antropesentrisme sehingga niat baik

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 195 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

(good will) dan konsestensi jiwa tidak diragukan lagi. Hanafi (2004: 30) jelas sekali mengemukakan pandangan teoretisnya bahwa ideologi teosentrisme yang kuat dan menuju antroposentrisme yang mapan maka tindakan praksis yang tergantung pada niat yang baik akan mendatangkan kesadaran individu. Demikian pula, kemampuan yang keras pada niat baik yang bertendensi pada sasaran maka akan membawa pada kesadaran sosial yang mendatangkan kesadaran yang cerah. Pergeseran ideologi dapat dilihat dari perilkau masyarakat, seperti uraian Senayasa, mantan Bendesa Adat Penganggahan (wawancara, 5 September 2014) bahwa kehidupan sosial pada tahun 1970-an tentu berbeda dan banyak perubahan, dibandingkan saat ini, seperti dala kutipan wawancara berikut. “Pada tahun 1970-an di Desa Tengkudak, khususnya Desa Adat Penganggahan, menghadapi permasalahan baru yaitu beberapa warga masyarakatnya konversi agama menjadi Katolik, sehingga dapat dibayangkan situasi zaman itu, desa yang kecil berada di daerah pegunungan dengan SDM masyarakat sederhana, dihadapkan dengan masalah yang begitu besar. Tentunya ada beberapa konflik dalam kehidupan masyarakatnya. Namun sekarang hubungan krama Hindu semakin baik dan harmonis. Ada rasa jengah dengan warga yang Katolik untuk membuktikan bahwa krama Hindu masih kuat penyamabrayaane”.

Berdasarkan hal tersebut, terjadinya konversi berimplikasi pada terdistorsinya kohisivitas antar masyarakat. Konversi juga membawa tatanan struktur masyarakat kearah konflik horizontal sehingga terjadi deharmoniasi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari mantan Bendesa Adat Penganggahan, Senayasa (wawancara, 5 September 2014) menjelaskan sebagai berikut. “….pada saat itu telah dipikirkan jika semua masyarakat konversi menjadi Katolik, lalu siapa yang mengurus keberadaan kahyangan tiga di desa dan merajan/ sanggah di masing-masing pekarangan?, sehingga untuk mengimbangi keberadaan Katolik di Desa penganggahan, beberapa tokoh adat belajar ke Desa Penatahan yang berada di selatan Desa Tengkudak. Untung saja waktu itu ada pemikiran para tokoh desa untuk niat belajar tentang Hindu sehingga ada bekal dalam memahami Hindu yang terbatas”.

196 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Berdasarkan penjelasan tersebut, ada kekahwatiran yang kuat warga Hindu karena konversi menimbulkan gap dan hal tersebut dirasa berdampak buruk terhadap keberlangsungan agama Hindu. Oleh karena itu, pertarungan ideologi pun dimulai antar kelas Hindu dan Katolik. Dalam memenangkan pertarungan penguasaan pemahaman kognitif sangat penting. Sebagaimana Bourdieu (dalam Haryanto, 2014: 64) melalui postulat teoretisnya menjelaskan bahwa penguasaan arena sosial, maka penguasaan modal kognitif sebagai modal kultural sangat penting. Mengacu pada tesa teori tersebut, penguasaan modal kognitif terhadap ajaran agama Hindu sangat penting. Oleh karena itu, beberapa tokoh Hindu di Desa Pakraman Penganggahan mulai membangun modal kognitif tentang Hindu sehingga relasi antar krama Hindu menjadi kuat. Sebagaimana hal tersebut disampikan Guru Antara yang merupakan pemangku di Pura Beji Pura Luhur Batukaru (wawancara, 13 Agustus 2014) yang merupakan salah satu tokoh agama yang juga ikut belajar agama Hindu di Desa Penatahan, Penebel, Tabanan sebagai berikut. “…tiang melajah meagama Hindu di Desa Penatahan, Penebel, Tabanan. Peplajahan tiang drika me trisandia, melajahang tattwa, kanda lan ne len nan. Yen ten irage nyen ne mlajahang Hindu nyen kal orin. Apa buin suba liu krama ne meagama Katolik. Tiang mlajah meagama Hindu pang sing mekejang meagama Katolik. Pang ada masih ngewarisin agama iraga di desa”.

Terjemahan: “…Pelajaran yang diterima di Desa Penatahan adalah tentang tri sandia, tattwa, kanda dan beberapa ajaran Hindu. Dengan demikian ajaran Hindu mulai dipelajari oleh para tokoh dan beberapa umat Hindu di Desa Penganggahan. Para tokoh di Desa Penganggahan pada saat itu sangat berharap umat Hindu tidak konversi agama, agar sistem masyakarat yang di bentuk dan diwariskan leluhur tetap dilestarikan dan dilaksanakan”.

Pertarungan ideologi antara Hindu dan Katolik dalam arena sosial merupakan salah satu bentuk resistensi warga Hindu terhadap zending Katolik. Bentuk resistensi dimaksud adalah penguatan dan internalisasi nilai dalam Hindu, yakni dengan cara belajar agama Hindu sehingga dapat memahami lebih dalam agama Hindu. Internalisasi dirasa sangat penting

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 197 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. sebagai salah satu pengejawantahan dari retattvanisasi ajaran Hindu sehingga sraddha dan bhakti serta relasi warga Hindu di Penganggahan semakin meningkat. Oleh karena itu, penguasaan modal kognitif menjadi sangat penting. Pentingnya pengusaan modal tersebut dapat dibuktikan secara emperikal, bahwa rekonversi terjadi di desa Pakraman Tengkudak. Implikasi sosial lainnya dapat dilihat dalam pertarungan ideologi dan identitas antar Hindu dan Katolik melalui kesetaraan hak. Bagi umat Hindu di desa Pakraman di Bali dan warga Hindu di desa Pakraman Penganggahan Tengkudak seyogyanya mendapat hak dan kewajiban, seperti hak mendapat setra (kuburan) dan berkewajiban melaksanakan upacara yajña. Berbeda halnya pada tahun 1969/1970, ketika masa masuknya Katolik di desa Pakraman Penganggahan, Penebel, Tabanan terjadi konflik pembagian kuburan (setra). Umat Katolik menghendaki setra dibagi menjadi 2 (dua), yaitu setengah untuk umat Hindu dan setengahnya lagi umat Katolik. Padahal syarat berdirinya satu desa pakraman adalah memiliki kuburan dan kuburan itu adalah hak penuh bagi umat Hindu bukan kepada umat lain termasuk umat Katolik, karena umat Hindu bertanggung jawab terhadap Kahyangan Tiga dengan berbagai pelaksanaan upacara yajna. Dengan demikian implikasi sosial desa pakraman yang diwakilkan Bendesa Adat saat itu tidak menyetujui pembagian setra karena tanah setra merupakan laba Pura Prajapati, sehingga umat Katolik ingin kuburan bersama, maka umat Katolik harus ikut sembahyang dan melaksanakan upacara yajña di Desa Pakraman Penganggahan. Akibat dari pertentangan Bendesa Adat beserta pengurus adat saat itu, menyebabkan beberapa umat Hindu yang telah menjadi Katolik, kembali menjadi Hindu (rekonversi agama). Oleh karena itu, adanya aturan dalam lingkungan sosial kemasyarakatan dan dilaksanakan dengan ketegasan pengurus adat, maka eksistensi Hindu dapat dipertahankan dan setelah rekonversi agama berimplikasi bagi tatanan sosial masyarakat di Desa Pakraman Penganggahan, Penebel, Tabanan. Impilikasi sosial dengan adanya konflik dalam masyarakat adalah menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan serta kebersamaan dalam suatu keadaaan, seperti yang terjadi di Desa Pakraman Penganggaahan, Penebel, Tabanan di atas. Hal ini dikemukakan oleh Lewis Coser (Raho, 2007: 82- 84) disebut fungsionalisme konflik karena itu menekankan fungsi konflik bagi sistem sosial atau masyarakat. Lewis Coser menyebutkan beberapa fungsi dari konflik, yakni sebagai berikut.

198 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

1. Konflik dapat memperkuat solidaritas kelompok yang agak longgar, dalam masyarakat yang terancam disintegrasi, konflik dengan masyarakat lain bisa menjadi kekuatan yang mempersatukan. 2. Konflik dengan kelompok lain menghasilkan solidaritas dalam kelompok tersebut dan solidaritas itu bisa menghantarkanya kepada aliansi-aliansi dengan kelompok-kelompok lain. 3. Konflik juga bisa menyebabkan anggota-anggota masyarakat yang terisolir menjadi berperan aktif. 4. Konflik juga bisa berfungsi untuk berkomunikasi, sebelum terjadinya konflik anggota masyarakat berkumpul dan menyusun rencana, sehingga dapat mengalahkan lawan atau menciptakan perdamaian.

Menyimak fungsi konflik yang telah disebutkan di atas, menunjukkan kehidupan masyarakat di Desa Pakraman Penganggahan, Penebel, Tabanan setelah berkonflik, melahirkan kesadaran. Kesadaran yang di maksud dalam penelitian ini adalah rekonversi agama atau kembali menjadi umat Hindu. Dengan dilatar belakangi mendapatkan hak sosialnya dalam desa pakraman. Demikian pula merujuk pada deskripsi teoretis tersebut, konflik merupakan suatu kewajaran ada dalam lingkungan sosial, dan konflik akan reda jika ada internalisasi penguatan atau penguatan ke dalam. Demikian juga warga Hindu di desa Pakraman Penganggahan melakukan penguatan ke dalam lingkungan sosial dengan menfaatkan system adat, maka konflik akan diredam dengan sendrinya. Penguatan ke dalam, dan melalui penguasaan legitimasi kekuatan aturan adat, maka rekonversi Hindu terjadi. Sebagaimana disampaikan oleh Bendesa Adat Penganggahan, Yasadharma (wawancara, 9 Agustus 2014) sebagai berikut. “…sampai saat ini, jumlah KK yang bertahan menjadi Katolik kurang lebih 5 KK dari 40 KK, dengan kembalinya menjadi Hindu, tentu berimplikasi secara sosial, yaitu umat menjadi lebih rukun dan hubungan kekerabatan semakin membaik dan tentunya tidak berharap terjadi permasalahan yang mengganggu stabilitas di desa, yang paling penting pula kehidupan masyarakat di Desa adat Penganggahan, Penebel, Tabanan dalam melaksanakan kegiatan sosial kegamaan dapat lebih mudah, karena dengan jumlah kuantitas penduduk yang banyak, jiwa gotong royong pun semakin tumbuh, segala pekerjaan dapat dikerjakan dengan cepat dan hasil yang baik”.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 199 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Menurut Coser membagi konflik menjadi dua tipe, yaitu konflik realistis dan non-realistis (Poloma dalam Upe, 2010: 162-163). Konflik realistis adalah konflik yang diketahui sumber penyebabnya, biasanya berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus dalam suatu hubungan. Merujuk pada hal tersebut, konflik realistis menyebabkan implikasi sosial di desa Pakraman Penganggahan adalah kekecewaan dari umat Hindu yang melakukan konversi agama, karena konversi agama membuat tatanan dalam desa adat, yaitu sebagai penyelenggara sekaligus sebagai penopang kebertahanan tradisi masyarakat mengalami degradasi sosial. Demikian pula kekecewaaan masyarakat Hindu terhadap konversi yang berdampak pada runtuhkan kebudayaan yang telah diwariskan leluhur, sekaligus meruntuhkan umat Hindu yang terdapat di Bali yang disebut dalam ilmu sosial sebagai anomali atau menurut Durkheim sebagai anime. Sedangkan konflik non-realistis adalah konflik tanpa tujuan yang jelas, biasanya menggunakan ilmu gaib atau mistik, contohnya santet. Pada penelitian di desa Pakraman Penganggahan, Penebel, Tabanan konflik non-realistis telah menyebabkan adanya implikasi sosial pada kehidupan masyarakatnya. Pada tahun 1969/1970 ketika di mulainya konversi agama dan menjadi penyebab konversi agama di Desa Pakraman Penganggahan, Penebel, Tabanan adalah umat Hindu banyak yang sakit. Perbedaan pandangan dari kata sakit menurut masyarakat pegunungan khususnya di lokasi penelitian, menganggap dirinya terkena penyakit non medis atau penyakit yang dikenal bagi masyarakat budaya Bali sebagai penyakit ilmu leak, yang begitu ditakuti sampai saat ini. Ketika masyarakat mempercayai dirinya, sakit karena ilmu leak, maka masyarakat mempercayai pengobatan niskala yang dilakukan oleh para balian (dukun) sehingga apapun yang disampaikan oleh balian adalah kebenaran mutlak bagi masyarakat. Meskipun terkadang tidak ada logika, akal sehat maupun perspektif akademis yang bisa menyangkalanya. Pada saat terjadi konflik dalam kehidupan masyarakat yang non realistis, Katolik datang memberikan pencerahan dan memberikan janji keselamatan bagi umat. Dengan menyampaikan dalil maupun kutipan kitab suci yang memberikan kesembuhan dan keselamatan bagi orang-orang yang mengikuti ajaran Kristus. Strategi tersebut merupakan setrategi misi. Sebagaimana Donder (2010: 132) menyebutnya sebagai god atau evangelis yakni mewartakan keselamatan, dalam artian Yesus terlahir memberikan keselamatan kepada orang yang berada dijalannya.

200 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Hal ini juga disampikan oleh I Nyoman Suderi (wawancara, 11 Agustus 2014) ketika menjadi Katolik, ayahnya menjadi sembuh dan tidak sakit lagi, oleh karena itu seluruh keluarga pun menjadi Katolik mengikuti jejak Kristus sang juru selamat. Begitu juga dengan Bedra yang konversi agama karena sakit, kemudian disembuhkan oleh umat Katolik. Perbedaan perspektif bagi orang sakit yang menyatakan disebabkan oleh ilmu leak, sebenarnya telah menjadi ranah untuk saling memfitnah karena berdasarkan tradisi dan kepercayaan masyarakat Bali. Bahwa yang menyebabkan sakit adalah orang yang dekat dalam kehidupan, sehingga tidak terelakan bahwa terjadi saling curiga antara keluarga, tetangga dan masyarakat. Hal tersebut tentunya menyebabkan tatanan kehidupan sosial menjadi terganggu dan kepercayaan terhadap sesama umat Hindu menjadi terpecah. Padahal jika diteliti dan diamati, sakit yang disebabkan warga yang konversi agama, sebenarnya bukan karena orang iri yang mencelakai dengan ilmu leak, melainkan pengobatan medis pada saat itu belumlah secanggih saat ini, sehingga diperlukan suatu pembuktian bahwa yang menyebabkan sakit adalah murni dari medis bukan ilmu leak. Ketakutan yang selama ini menyebabkan orang sakit dituduh terkena ilmu leak kemudian konversi agama menjadi Katolik. Hal tersebut berimplikasi secara sosial, yaitu semakin bertambah kuatnya persatuan masyarakat Hindu di Desa Pakraman Pengagahan, Penebel, Tabanan. Terbukti secara emperikal bahwa banyak umat Katolik, kemudian memutuskan kembali menjadi Hindu (rekonversi agama). Berdasarkan penelitian di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan telah memberikan suatu pengalaman berharga bagi umat Hindu, bahwa sakit yang disebabkan ilmu leak, tidaklah benar. Justru warga tambah sakit setelah konversi agama. Hal ini juga disampaikan oleh Suderi dan Bedra yang kemudian menyadari bahwa sakit tidaklah disebabkan oleh ilmu leak yang dipercaya oleh orang tuanya dahulu dan justru konversi agama menyebabkan warga yang konversi ke Katolik betambah sakit, yaitu tidak saja sakit karena fisik, melainkan juga sakit karena pikiran dan perasaan. Dengan melakukan rekonversi agama menjadi Hindu, sakit yang selama ini menggganggu berlahan-lahan disembuhkan, apalagi secara sosial masyarakat yang berimplikasi membantu dalam proses penyembuhanya, karena Suderi dan Bedra adalah mahluk sosial atau homo sosio, yaitu manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Sebagai masyarakat sosial, maka manusia

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 201 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. merupakan bagian dari anggota masyarakat yang harus selalu bersimpati dengan orang lain, sebagai upaya menciptakan masyarakat yang harmonis. Pada pembagian konflik Coser terdiri dari konflik in group dan out group, serta konflik terjadi dalam hubungan yang intim. Konflik antara in group dengan out group adalah konflik yang melibatkan dua kelompok saling berbeda satu dengan lainya, baik itu perbedaan dari struktur organisasi atau teritorial, perbedaan keyakinan dan lain-lain. Sedangkan konflik intim dimaksud adalah pengungkapan gejala-gejala konflik dalam masyarakat atau kelompok atau individu yang telah intim jika banyak memendam perbedaan atau gejala konflik terus ditekan dan tidak segera diselamatkan, maka akan mengancam keutuhan suatu hubungan sosial (Upe, 2010: 163- 164). Pernyataan Coser, memiliki koherenitas dengan situasi di Desa Pakraman Penganggahan, Penebel, Tabanan. Dalam lingkungan sosial desa Penganggahan terdapat perbedaan keyakinan beragama, kehidupan masyarakat yang telah lama intim berada dalam satu kelompok desa pakraman, kemudian terbagi menjadi dua kelompok agama berbeda, yaitu Hindu dan Katolik. Perbedaan agama yang berada dalam satu lingkungan budaya dan adat, jika para tokoh adat tidak segera mengambil keputusan, maka terjadilah konflik besar. Oleh karena itu, keputusan yang dilakukan para tokoh adat dalam menyelamatkan tradisi leluhur Desa Pakraman Penganggahan adalah merangkul warga yang telah sadar menjadi Hindu, kemudian menetapkan aturan baru bagi seluruh krama adat mengenai religiusitas beragama Hindu dengan pola sederhana, namun tanpa meninggalkan maknanya. Beberapa hal yang dilakukan masyarakat dalam menjaga keharmonisan umat beragama disampikan Perbekel Tengkudak yang juga mantan kepala lingkungan penganggahan, Subagiasta (wawancara, 9 Agustus 2014) mengatakan sebagai berikut. “ada beberapa hal yang dilakukan masyarakat untuk tetap menjaga keharmonisan umat beragama salah satunya adalah mengadakan dialog antar umat beragama, yaitu melakukan diskusi, apabila diantara kedua keyakinan memiliki suatu permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanakan upacara keagamaan ataupun masalah sosial lainya yang sesuai hak dan kewajibanya sebagai warga Negara Indonesia. Karena kedua keyakinan yang ada di Desa Penganggahan, Penebel, Tabanan masuk dalam organisasi banjar”.

202 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Istilah banjar dalam peraturan daerah propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 06 Tahun 1986 adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian dari Desa Adat, serta merupakan suatu ikatan tradisi yang sangat kuat dalam satu kesatuan wilayah tertentu, dengan seorang atau lebih pimpinan yang dapat bertindak ke dalam maupun ke luar dalam rangka kepentingan warganya dan memiliki kekayaan baik berupa material maupun inmaterial (Surpha, 2004: 68). Sikap toleransi dibentuk dengan ikut bergabung dalam organisasi banjar adalah melaksanakan kegiatan suka dan duka, yaitu apabila dalam keluarga Katolik memiliki upacara keagamaan, maka seluruh umat Hindu ikut terlibat di dalamnya, begitu pula ketika umat Hindu memiliki upacara yajna. Hal ini disampikan oleh Jro Mangku Nari (wawaancara, 25 Agustus 2014), setelah kembali menjadi Hindu dan mendapat pengakuan dari masyarakat di bale banjar yang langsung diumumkan sebagai warga masyarakat banjar dan mengikuti setiap hak dan kewajibanya. Kemudian Jro Mangku Nari ikut terlibat dalam interaksi dengan masyarakat, perbedaanya saat menjadi Katolik, Jro Mangku Nari melaksanakan kegiatan upacara keagamaan tidak begitu dibantu masyarakat, karena oragniasasi banjar hanya melaksanaakan tradisi leluhur. Setelah melaksanakan rekonversi agama dengan kembali menjadi Hindu dan bergabung dengan masyarakat banjar kegiatan keagamaan semakin mudah karena langsung dikerjakan oleh masyarakat banjar, selain itu kegiatan sosial lainya pun terlibat ikut di dalamnya, termasuk pemberian dana suka duka yang disebut dengan patus. “….tiang waktu mewali ke Hindu, tiang termasuk aget duaning sami semeton driki san nulungin. Antuk yajna lan ne len nan. Napi malih tiang dados Pemangku ring puseh desa adat Penganggahan, tiang tuntun sareng guru antara. Kenten taler para krama di banjar. Len cara dugas nu di Katolik”

Terjemahan: “… saya waktu kembali menjadi Hindu termasuk beruntung, karena masyarakat banyak yang membantu, tidak saja masalah yajna tapi juga yang lainya. Apalagi sekarang menjadi Pemangku di Pura Puseh Desa adat Penganggahan yang dituntun oleh Guru Antara dan warga masyarakat di banjar. Berbeda pada waktu beragama Katolik”

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 203 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Begitu yang disampaikan oleh Widri, istri Mangku Nari (wawancara, 26 Agustus 2014) yang kemudian ikut bergabung dalam kegiatan organisasi wanita di tingkat banjar yang disebut Pemerdayaan dan Kesejahteraan Keluarga atau disingkat PKK. Menurutnya, kegiatan PKK membantunya dalam bersosialisasi kembali dengan saudaranya yang berada di Hindu. PKK merupakan lembaga kemasyarakatan yang anggotanya terdiri dari ibu-ibu anggota banjar yang perannya sangat besar dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga melalui berbagai macam kegiatan maupun program yang banyak dilakukan mulai dari hidup sehat, pendidikan keluarga. PKK merupakan wadah bagi perempuan untuk mengembangkan kemampuan dan potensi yang dimiliki perempuan agar secara mandiri mempunyai ketrampilan dan keahlian dalam mengatasi masalah yang mereka hadapi secara mandiri melalui peningkatan kapasitas dan kualitas hidup. Oleh karena itu, PKK dibentuk untuk menumbuhkan, menghimpun, mengarahkan, dan membina keluarga guna mewujudkan keluarga sejahtera.

204 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

9

Menghadirkan Kembali Keyakinan terhadap Leluhur dan Bhatara

ekonversi agama yang terjadi di Desa Tengkudak, Penebel, RTabanan membawa implikasi teologis dalam lingkungan sosial. Diskursus implikasi teologis tersebut berpusat pada konsep teoligi Hindu, bahwa Tuhan Yang Maha Esa maupun Ida Bhattara/ Bhattari dipandang sebagai ontologi pemujaan oleh umat Hindu dari berbagai pespektif, dan diyakini sebagai pemilik dari segala kekuatan serta kemahakuasaan. Pudja (1999: 5) menjelaskan bahwa teologi Hindu disebut dengan Brahmawidya Tattwa, yaitu ilmu yang mempelajari tentang Tuhan. Ideologi Brahamwidya Tattwa berpegang teguh pada ajaran, bahwa Tuhan adalah esa, tetapi memiliki banyak nama sesuai dengan fungsi dan aktifitas-Nya. Titib (1995: 15) menjelaskan bahwa ajaran ketuhanan Hindu disebut dengan Brahmawidya yang membahas tentang Tuhan Yang Maha Esa, dan sumber ajaran Brahmawidya adalah Veda. Tuhan yang esa disebut dengan berbagai nama, seperti dalam petikan mantram Veda berikut.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 205 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Indram mitram warunam agnim ahur atho diwyah sa suparno Garutman, ekam sadviprahbahudha wadantyagnim yamam matariswanam ahuh. (Rgveda I. 164.46)

Terjemahan: Mereka menyebut Indra, Mitra, Waruna, Agni, dan Dia yang bercahaya, yaitu Garutman yang bersayap elok, Yang Maha Esa itu oleh orang-orang bijaksana menyebutnya dengan banyak nama, seperti Agni, Yama dan Matariswan (Titib,2006: 16).

Merujuk pada Rgveda tersebut jelas disebutkan bahwa Tuhan dalam ajaran Hindu adalah satu, tetapi para bijaksana menyebutnya dengan banyak nama. Banyak nama tidak berarti Tuhan dalam pandangan ajaran Hindu polytheisme, tetapi satu berada dalam segalanya. Sebagaimana hal tersebut disebutkan pula dalam Jñanasiddhanta sebagai berikut. Ekatwaanekatwa swalaksana Bhattara. Ekatwa ngaranya, kahidep makalaksana ng Siwatattwa. Ndan tunggal, tan rwatiga kahidepanira. Mangekalaksana Siwa karana juga, tan paprabheda. Aneka ngaranya kahidepan Bhattara makalaksana caturdha Cathurdha ngaranya laksananira sthula suksma parasunya.

Terjemahan: Sifat Bhattara adalah eka dan aneka. Eka (esa) artinya Ia dibayangkan bersifat Siwatattwa. Ia hanya Esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. Ia bersifat Esa saja sebagai Siwakarana (Siwa sebagai pencipta), tiada perbedaan. Aneka artinya Bhattara dibayangkan bersifat caturdha artinya adalah sthulasuksema para sunya (Tim Penyusun,2005: 28-29).

Merujuk sloka tersebut, dapat ditegaskan kembali bahwasanya Tuhan disebut dengan Bhattara Siwa yang sesungguhnya adalam esa. Agama Hindu di Bali yang menganut paham Siwa, menempatkan Siwa sebagai dewata yang tertinggi sebagai Sanghyang Widhi, Bhatara dan Bhatari sebagai sumber segalanya. Masyarakat Hindu meyakini bahwasanya Bhatara-Bhatari merupakan sinar suci dari Sanghyang Widdhi Wasa yang memberikan perlindungan dan sumber segalanya. Demikian pula warga desa Pakraman Pengaggahan meyakini Ida Sanghyang Widhi

206 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Wasa, Ida Bhatara dan Bhatari sebagai pengusa dan sumber segalanya darimana semua ini eksis. Atas kuasanya Tuhan, maka tidak dibenarkan untuk mencari pengikut dalam beragama, terlebih melakukan proteliasasi agama. Gandhi (dalam Suwantana,2011: 8) menjelaskan bahwa hal tersebut sama dengan kriminasliasasi terhadap spiritualitas manusia. Ajaran Hindu memberikan kebebasan bagi umatnya untuk memahami ajaran ketuhananya yang bersifat universal dan fleksibel. Meskipun demikian, kepentingan dari Tuhan atau sang kausalitas menghendaki berbeda sehingga berkat petunjuk dan bimbingan dari Tuhan Hyang Maha Esa, warga yang beragama Hindu konversi ke Katolik, pada akhirnya kembali ke Hindu, tidak lain karena kuasa-Nya. Implikasi teologis secara rinci dideskripsikan dalam beberapa sub bab berikut.

Implikasi Teologi Sang Hyang Pitara Rekonversi agama yang terjadi di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan disebabkan implikasi dari manifestasi Tuhan yang berstana di sanggah atau merajan sebagai stana roh para leluhur, yang dilinggihkan pada sanggah kemulan atau rong tiga. Ideologi-teologi yang didasarkan atas sebuah keyakinan akan adanya leluhur merupakan faktor diterminan yang menyebabkan rekonversi terjadi. Dalam ideologi Katolik, sama sekali tidak ada kepercayaan terhadap leluhur. Madrasuta (2010: 89) menjelaskan bahwasanya ideologi Katolik bertendensi pada sebuah keyakinan bahwa roh orang yang sudah meninggal akan dibangkitkan kembali pada saat hari pengadilan terakhir. Eskatologi Katolik memiliki kesamaan dengan Kristen dan agama Abrahamik yang meyakini bahwa roh berada di alam barzad (kubur) menunggu hari pengadilan terakhir. Ideologi demikian bertentangan dengan emik masyarakat Desa Pakraman Penganggahan, baik yang memeluk Hindu, terlebih yang memeluk Katolik. Beberapa penduduk yang memeluk Katolik mengalami kejadian yang berhubungan dengan leluhur. Berdasarkan hal tersebut, masyarakat Hindu di Desa Pakraman Penganggahan Tengkudak, baik yang Hindu dan Katolik masih memiliki akar yang kuat terhadap ideologi Hindu yang selama ini mengakar dalam setiap individu. Ideologi Hindu tentang eskatologi, bahwa kematian adalah bukan akhir dari kehidupan, seperti yang diuraikan Sivananda (2011: 32) menjelaskan bahwa kematian adalah pelepasan jiwa (roh) dari badan kasarnya, dan jiwa mengembara sesuai dengan karma wasana

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 207 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. yang dibuat semasih Hidup, dan akan terlahir kembali (tumimbal) sampai dengan manunggal dengan Tuhan (Brahman). Kitab suci Bhagavadgita menjelaskan bahwa kematian, merupakan pergantian badan yang usang, dan jiwa tetap abadi sampai sang jiwa mengalami pencerahan dan kembali kepada Paramatman. Jiwa tidak akan terbunuh, dan abadi tetapi badan hanyalah materi yang mudah usang, jika sudah waktunya. Hal tersebut secara eskplisit dijelaskan dalam Bhagavadgita II.2 berikut. Vasamsi jirnani yatha vihaya navani grhnahti naro parani, Tatha sarirani vihaya jirnany anyani samyati navani dehi.

Terjemahan: Bagaikan seseorang yang menanggalkan pakaian yang usang dan menggenakan pakian lain yang baru, demikiannlah roh yang berwujud mencampakkan badan lama yang telah usang dan menggenakan badan jsamani yang baru (Maswinara,1999: 177).

Merujuk pada sloka tersebut, demikianlah kematian bahwa jiwa tidak akan hancur tetapi badanlah yang usang dan hancur. Dalam kepercayaan agama Hindu di Bali, setelah kematian jasad diupcarai sedemikian rupa agar roh atau jiwa pemiliki badan mendapatkan tempat yang baik, yakni sorga. Demikian juga untuk menyatu dengan Bhatara Siwa, sang roh dan jasadnya diberikan upacara pengabenan sehingga sang roh menjadi tersucikan. Segala kekotoran yang melekat pada jasad dan jiwanya harus dibersihkan demi kebaikan sang roh, seperti disebutkan dalam lontar Yama Purana Tattwa berikut. ...,ling nira, uduh sang pandhita, ring jana loka, yan ann wang mati, susmusuping siwidhara, aja sira mrteka, ngarepang tawulaning wangke, ika phalanya tan prasida, nora ilang letuhing atma, tan prasida kaprateka, apan wangke ika mulih maring jroning garban sanghyang prthiwi, waluya sampun gseng, mawak tanah, seletuhing pretiwi rumaket ring ika. Mangke yan angarcanna hayu sang atma, sang kapretaka tka wnang sang pandhita nugraha byomantara siwwa, amnggih ayu, sida nirmala, tustan letuhing atma tkaning twanya,....

208 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Terjemahan: ...,ucapan beliu, wahai para pendeta di dunia, jika ada orang mati dikubur, janganlah pendeta mengupacarai langsung tulang jenasah tersebut, karena pahalanya tidak akan hilang kotoran atmanya. Tidak dibenarkan diupacarai karena mayat itu kembali ke perut bumi, seperti sudah hancur jasadnya menjadi tanah, segala kekotoran tanah melekat pada mayat itu. Jika akan mengupacarainya demiki kebaikan sang roh, sang pandhita dapat mengupacarainya dengan cara dibuat perwujudan. Dengan cara ini sang roh akan kembali ke sorga (Siwa Loka), menemukan kebahagiaan, mencapai kesucian, hilang kotoran roh yang sudah meninggal dan menjadi Hyang Pitara,...(Tim Penyusun,1997: 71).

Merujuk petikan teks Yama Purana Tattwa tersebut jelas dinyatakan bahwa orang yang sudah meninggal akan diupacarai sedemikian rupa sehingga menjadi Hyang Pitara atau leluhur yang diyakini memiliki peran dalam kehidupan. Demikian pula warga Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak sangat meyakini bahwa leluhur dipuja untuk memberikan anugrah agar hidup dapat berjalan dengan baik. Ideologi yang dilandasi dengan kepercayaan itulah memberikan pengaruh yang kuat terhadap warga Katolik untuk kembali ke Hindu. Suderi (wawancara, 12 Agustus 2014) menjelaskan sebagai berikut. “tityang sangat yakin dengan leluhur tityang yang selalu memberikan tuntunan. Tityang tau selama ini tityang engsap sama leluhur sehingga tityang sering diberikan sakit, masalah dalam kehidupan yang tidak pernah putus. Banyak tentangga yang menyuruh saya kembali ke Hindu, dan tidak saja itu ini kemauan saya pula yang kuat. Secara tidak langsung leluhur, Hyang Pitara yang menyuruh tiyang untuk kembali menjadi Hindu, dan memberikan persembahan kepada leluhur”.

Kepercayaan terhadap leluhur merupakan keimanan yang fundamental dimiliki agama Hindu, dan penganutnya. Ideologi tersebut diyakini sebagai sebuah doktrin agar Hindu tetap bertahan. Tidak saja itu, warga Hindu di Desa Pakraman Penganggahan juga meyakini bahwa Sang Hyang Pitara bersthana di Sanggah Kamulan. Secara etimologi kata, Sanggah Kamulan terdiri dari dua buah kata yaitu Sanggah dan Kamulan. Sanggah adalah perubahan ucapan dari pada “sanggar”, arti sanggar menurut pengertian

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 209 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. lontar keagamaan di Bali adalah tempat memuja. Lontar Sivagama disebutkan “nista sapuluhing saduluk sanggar pratiwi wangun” (Rontal Sivagama, lembar 328). Kamulan berasal dari kata “mula” (samkrit), yang berarti; akar, umbi, dasar, permulaan, asal. Awalan ka-, dan akhiran –an menunjukkan tempat pemujaan asal atau sumber. Sanggah Kamulan adalah tempat pemujaan asal atau sumber, Hyang Kamulan atau Hyang Kamimitan. Kamimitan berasal dari Kawawit, (huruf m adalah sekeluarga huruf W). Kamimitan adalah lain ucapan dari kata kawiwitan, berasal dari kata wit, yang berarti asal atau sumber pula (Wikarman, 1998: 2). Mengenai fungsi masing-masing ruang adalah sebagai berikut: (1) ruang samping kanan adalah pemujaan untuk purusa atau bapanta, (2) ruang samping kiri untuk pradana atau ibunta, (3) ruang di tengah adalah untuk raganta atau Siwatma. Pertemuan antara purusa dan pradana menghasilkan ciptaan di mana di dalamnya terdapat unsur kekuatan yang disebut atma. Menurut Titib (2003: 109) bentuk rong tiga pada umumnya sama seperti gedong, yakni empat persegi panjang. Bangunan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu pada dasarnya terbuat dari batu padas (bahan lain yang keras), di atas dasar masih terdapat 4 atau 8 buah tiang sebagai kaki bangunan (bila 8 tiang, biasanya tiang bagian depan ditengah-tengah adalah tiang semu sebanyak 2 buah), badan bangunan agak ke atas sama halnya seperti tiang terbuat dari kayu dengan tiga buah ruangan menghadap ke depan (rong tiga/ruang tiga), sedang bagian atasnya terbuat dari konstruksi kayu dengan atasp ijuk, alang-alang atau bahan yang lain, yang bentuknya seperti bangunan rumah. Bangunan/ palinggih rong tiga ini biasanya ditempatkan di merajan atau kemulan. Fungsinya untuk memuja roh leluhur dan Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi-Nya sebagai Brahma, Wisnu dan Siwa. Bentuk sanggah kamulan yang terdapat di Bali, tentunya memiliki banyak macamnya, berikut jenis sanggah kamulan (Wikarma, 2008: 23- 24) turus lumbung adalah sanggah kamulan darurat, karena satu dan lain hal belum mampu membuat yang permanen. Bahannya dari turus kayu dapdap (kayu sakti). Fungsinya hanyalah untuk ngelumbung atau ngayeng Hyang Kamulan atau Hyang Kawitan. Satu tahun setelah membuka karang baru diharapkan sudah membangun Kamulan yang permanen. Sanggah Penegtegan adalah Kamulan yang berfungsi hanya sebagai tempat negtegang (membuat ketentraman) dengan memuja Hyang Kawitan bagi mereka yang baru berumah tangga. Kamulan sejenis ini banyak dijumpai di

210 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. daerah Kabupaten Bangli bagian utara. Setiap penduduk yang baru kawin diwajibkan membangun sebuah Sanggah Rong Tiga, sehingga dalam satu pekarangan akan berdiri beberapa yang telah berumah tangga. Kamulan jajar. Sesuai dengan namanya, Kamulan ini memiliki dua saka (tiang) yang berjajar dimuka yang menancap langsung pada bebaturan (palih batur). Disamping itu, Kamulan jenis ini, disamping mempunyai ruang tiga yang berjajar, juga terdiri dari tiga bagian, yaitu bebaturan, ruang lepitan dan ruang gedong sampai atapnya. Ruang lepitan letaknya dibawah rong tiga yang berjajar itu. Jadi kalau disimpulkan Kamulan jajar ini terdiri dari jajar horisontal dan jajar vertikal, sebagai simbolis dari Hyang Murti dan Tri Purusa. Batur Kamulan sthana atma yang masih kotor, yang baru mendapat pengentas pendem (lontar Tattwa Kapatian) Rong tiga, terutama kiri dan kanan adalah tempat Atma suci yang telah dilinggihkan. Kemungkinan ruang lepitan adalah tempat yang dapat dicapai oleh Atma yang sudah diaben. Jadi dengan demikian dapatlah dikatakan, sanggah kamulan terdiri dari tiga bagian kosmos, yakni bebaturan sebagai Bhur Loka atau pitra loka alamnya para pitara, yaitu Atma yang sudah diaben, sedangkan Rong tiga sebagai swah loka alamnya para dewa, yang dapat dicapai oleh atma yang mencapai alam kedewaan setelah melalui proses upacara memukur. Berdasarkan etimologinya, kata memukur berasal dari kata bukur berarti pintu sorga. Kata bukur dijadikan kata kerja menjadi mukur mendapat penganter ma- menjadi mamukur yang berarti menuju atau mengarah pintu sorga, yaitu alam dewa, swahloka. Bukur juga berarti bangunan kecil. Mamukur dalam pengertian dari pelaksana upacaranya adalah tahapan proses peningkatan kesucian sang roh untuk mencapai tingkat paling atas yang disebut dewa, berada pada alam dewa di swah loka sebagai tujuan terakhirnya. Dari pengertian di atas, upacara memukur dapat disimpulkan sebagai upacara setelah ngaben untuk meningkatkan kesucian arwah sang menuju pintu sorga guna mencapai alam dewa diswah loka (Arwati, 2007:5). Upacara memukur juga disebut dengan nyekah atau atma wedana yaitu upacara yajna yang bertujuan untuk menyucikan sang atma setelah prosesi ngaben atau sawa wedana selesai yang dilaksanakan dengan upacara nyekah atau mamukur. Melalui upacara atma wedana ini yang diawali dengan dilaksanakannya upacara ngangget don bingin sebagai sarana ngawi sekah utawi puspa sarira sajeroning upacara mamukur sehingga

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 211 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. nantinya roh atau atman leluhur kita itu menjadi dewa untuk selanjutnya dapat menstanakannya di sanggah kemulan. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit, upacara memukur telah dilaksanakan. Hal ini termuat dalam kitab Nagarakertagama pupuh 63.4 dan pupuh 66.1 (dalam Titib, 2007: 19-20) sebagai berikut. “…………….. dudwang malad wawan bhojana, buku-bukuran mwang tapel sprakara (63.4)” “…………….. mwang sang ksatriya sang padadhika penuh yasa buku-bukuran rinembat asusun” (66.1).

Terjemahan: “………….. bukan saja melagukan malat, namun juga membawa makanan, bukur-bukuran dan topeng selengkapnya” (63.4) “………… juga para ksatriya dan pejabat tinggi memberikan penghormatan sepenuhnya dengan membawa bukur-bukur yang atapnya bersusun-susun serta membentang” (66.1)

Kata bukur-bukur pada zaman majapahit di atas dimaksud adalah sarana untuk mengususng puspa sarira simbol dari roh yang disucikan yang berbentuk bangunan dengan atap bertumpang tampaknya seperti sebuah meru yang sifatnya sementara. Upacara Atma wedana adalah sang menglupasi suksmaga-sarira yang merupakan kulit dirinya atau fisiknya sebagaimana udang yang telah menglongsong. Dari sang lahirlah sang baru yang keberadaanya sangat lembut, sebagaimana lembutnya kulit udang yang baru menglongsong, sehingga pada saat penyucian badan halus ini, maka upacaranya harus dilakukan secara hati-hati dan tidak terkena kasebelan (Kaler, 1997: 117). Setelah upacara memukur ini kemudian dilanjutkan dengan menstanakan pitara yang telah menjadi para dewa, dilakukan upacara ngelinggihang dewa pitara atau atma pratista. Upacara ini dilakukan langsung setelah memukur distanakan di sanggah kamulan dengan sarana daksina palinggih dan tulup. Upacara diawali dengan ngajum daksina linggih, kemudian nuntun daksina linggih menuju sanggah kamulan, sebelumnya dilakukan prosesi mengelilingi sanggah kamulan tiga kali kearah kanan. Kemudian daksina linggih distanakan di sanggah kamulan, sebagai simbol sang pitara berstana sebagai Hyang Guru (Arwati, 2007: 52). Ditambahkan lagi oleh arwati dalam bukunya berjudul Upacara Mamukur (2007) dengan

212 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. tegas mengatakan apabila setelah ngaben tidak dilanjutkan dengan upacara mamukur, maka tetap berada dalam alam pitara dan tidak dapat reinkarnasi kembali karena jiwatmanya masih dikurung oleh stula sarira. Dalam hal itulah arwahnya akan dapat menyakiti keturunanya karena belum tuntas membayar pitra rnam kepada orang tua atau leluhurnya, sehingga terjadilah gangguan-gangguan dalam keluarganya. Sebelum membahas implikasi teologi pada rekonversi, berikut dijelaskan tentang konsep ketuhanan Hindu dalam kajian Saguna Brahman, yang terdiri dari dewa, bhattara, preta, pitara dan bIhuta, sehingga dapat dipahami implikasi teologi dalam rekonversi agama di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan terhadap umat Hindu yang melakukan konversi agama. Kata Deva adalah kata Sanskerta yang berasal dari akar kata “div” yang berarti sinar, cahaya, berkilauan. Menurut Vasudeo Goind Apte dalam The Concise Sanskrit English Dictionary “Deva (divine, A deity, bràhmana; A king) Deva adalah sinar suci dan diciptakan oleh Tuhan untuk mengendalikan alam semesta. Oleh karena itu Dewa adalah bukan Tuhan, melainkan sebagai semua makhluk Tuhan yang lainnya pula diciptakan untuk maksud tujuan tetrtentu. Tuhan yang telah menciptakan tingkat- tingkat dari dewa-dewa yang memiliki sifat hidup dan mempunyai sifat gerak serta beliau juga menciptakan sadhya yang berbadan halus. Dewa- dewa dihubungkan untuk satu satu aspek tertentu dari khusus fenomena alam semesta. Tiap aspek dikuasai oleh satu dewa atau lebih dengan ciri dan lambangnya yang khusus pula, tiap-tiap dewa mempunyai sakti yang tak dapat dipisahkan dari padanya sebagaimana halnya api dengan panasnya (positif dan negatif/suami dan istri). Sakti dewa ini diwujudkan dalam bentuk dewi yang dianggap sebagai kekuatan atau istrinya Dewa. Di dalam mitologi Hindu dewa yang merupakan manifestasi Tuhan, sebagai penguasa dan penjaga alam semesta, masing-masing Dewa itu dilengkapi dengan senjata, kendaraan dan juga disimbulkan dengan akûara suci. Seperti: (1) Dewa Brahma dengan sakti- Nya Dewi Saraswati, kendaraan-Nya Angsa, senjata-Nya Gada dan aksara suci-Nya: Ang. (2) Dewa Wisnu dengan saktinya Dewi Sri (Lakûmì), kendaraan-Nya Burung Garuda, senjata-Nya Cakra dan aksara suci-Nya: Ung. (3) Dewa Siwa dengan saktinya dewi Durgha (Uma ), kendaraan-Nya Lembu, senjata-Nya Padma dan aksara suci-Nya : Mang. Demikian juga Dewa-Dewa yang lain.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 213 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Dalam kitab Nirukta VII.15. dijelaskan bahwa Dewa adalah yang memberikan sesuatu kepada manusia. Tuhan disebut dewa oleh karena Ia memberikan segala isi alam ini. Matahari, Langit dan Bulan adalah dewa – dewa oleh karena mereka memberikan cahaya kepada semua ciptaannya. Acarya atau Rsi adalah juga dewa karena ia memberikan ilmu kepada murid-muridnya. (Titib, 2001: 66) Selanjutnya dalam Taittirìya Upanisad. I.11. disebutkan sebagai berikut. Matå devobhava pitå devobhava, àcàrya devo bhava atithi devo bhava.

Terjemahannya : Seorang ibu adalah Dewa, seorang bapak adalah Dewa, seorang guru adalah juga Dewa dan para tamupun adalah Dewa.

Menurut Vasudeo Goind Apte dalam The Concise Sanskrit English Dictionary kata “(A soldier; A tittle of respect; a learned man) ”Kata Bhattara adalah kata sanskerta yang berasal dari kata Bhatta / akar kata Bhatt yang berarti yang melindungi, Tuan, atau Raja. Kata bhattara berarti mereka yang sangat dihormati karena fungsinya sebagai pemimpin adan pelindung umat manusia. Di Indonesia khususnya umat Hindu di Bali kata bhattara ini adalah ditujukan kepada para Dewa yang merupakan manifestasi dari kekuatan Sang Hyang Widhi untuk memberikan perlindungan terhadap ciptaannya. Misalnya: Bhattara Brahma, Bhattara Wisnu, Bhattara Siwa, Bhattara Mahadewa, Bhattara Iswara dan lain-lain. Jadi dewa adalah sinar atau percikan kecil dari Hyang Widhi. Dewata adalah dari pada Dewa-Dewa dan Bhattara adalah manifestasi dari kekuatan Sang Hyang Widhi untuk memberikan perlindungan atau sebagai pelindung (Cudamani 1986 ). Pada penelitian ini penyebutan kata Bhattara dalam pemujaan sanggah kamulan adalah merupakan teologi lokal masyarakat Hindu di Bali sehingga ajaran Hindu dapat mudah dipahami oleh masyarakat lokal. Preta dan Pitara, Preta adalah adalah leluhur. Leluhur adalah nenek moyang atau orang tua yang telah meninggal. Mereka masih mempunyai hubungan rohani dengan yang masih hidup. Mereka merupakan asal mulanya keluarga tersebut yang lazim disebut dengan pitara. Sebagai asal itu disebut kemudian kawitan, kemimitan. Kata tersebut berasal dari akar kata “Wit “ yang berarti “asal mula “. Ibu Bapak yang mengadakan kita, kalau telah meninggal ia dikatakan leluhur kita nyata.

214 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Kakek dan nenek yang telah meninggal juga leluhur kita. Biasanya leluhur ditarik sampai tiga tingkat. Menurut kepercayaan Agama Hindu mereka yang ada hubungannya dengan menurunkan kita dari pihak laki- laki dan keluarga laki-laki disebut Leluhur. Leluhur yang laki-laki disebut dengan pitara dan yang perempuan disebut pitari. Semua Roh orang tua yang telah meninggal diupacarakan untuk dapat disebut pitara atau pitari. Arwah inilah yang dimintai ikut melindungi keturunan-Nya. Menurut Manawadharmasastra, III; 192 –193 dan 201, sebagai berikut. 1. Akrodhanah úaucaparah satatam brahmacarinah, Nyasta úastram majabhagah h purvadevatah. Terjemahan : Rokh leluhur adalah dewa-dewa yang pertama bebas dari kemarahan, hati-hati terhadap kesuciannya, selalu jujur, tidak suka bertengkar, dan kaya akan kewbajikan. 2. Yasmad utpattirestesam sarvesamapyaúesatah, Ye ca yairupacarya syuniyamaistannibodhata. Terjemahan : Sekarang pelajarilah dengan baik dari siapa datangnya Rokh leluhur ini, dari mana asalnya dan dengan upacara apa mereka hendaknya disembah. 3. Åûibhyah pitaro jatah pitåbhyo devo manawah, Devebhyastu jagatsarvam caram stanvanu purvaúah. Terjemahan : Dari pada Åûi lahirlah para leluhur dari leluhur lahirlah para Dewa dan Danawa, tetapi dari para Dewata muncullah seluruh dunia yang bergerak maupun yang tidak bergerak sesuai dengan urutanya. (Pudja dan Sudharta, 2002;186 ).

Berdasarkan kutipan di atas bahwa pitara adalah dewa. Pengertian pitara atau Pita artinya bapak atau leluhur. Pengertian pitara pada umumnya adalah arwah leluhur yang telah selesai diprabukan dalam upacara pitra yajna. Tanpa adanya upacara pitra yajna, arwah itu tetap sebagai preta. Preta hakekatnya adalah calon pitara. Preta ini didudukkan masih terlalu dekat dengan manusia dan digambarkan sebagai roh-roh yang sering mengganggu. Upacara Pitra Yajna atau Pretakåtyani dapat

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 215 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. mempercepat peningkatan kedudukan preta menjadi pitara dan menduduki alam kedewataan (alam dewa-dewa). Sebagai umat Hindu, lahir ke dunia adalah anugrah dari para leluhur, maka wajib berkarma untuk menyelesaikan kewajiban dalam tri rna, yaitu tiga hutang kepada para dewa, Rsi dan leluhur (Pitra Rna), oleh karena itu, patutlah membalas segala anugrah yang diberikan. Bentuk penghormatan kepada Tri Rna melalui upacara panca yajna, khusus kepada Pitra Rna dilakukan dengan upacara pitra yajña. Manawadharmasatra, III. 202 , 207, 232 dan 279, disebutkan pahala melaksanakan penghormatan kepada roh leluhur, yaitu: 1. Rajatairbhajanairesamatho va raja tanvaryapi, Varyapi sraddhaya dattam aksayayopakalpate. Artinya: Walaupun hanya air yang dipersembahkan dengan ketulusan hati, kepada leluhur dalam kendi perak atau dihiasi dengan perak akan menghasilkan ketentraman yang tak terhingga. 2. Avakaúeûu cokûeûu nadi tiresu caiva hi, Viviktesu ca tusyanti dattena h sada. Artinya : Rokh leluhur selalu senang dengan persembahan yang dilakukan di alam terbuka, pada tempat suci yang alamiah, pada tepi sungai dan pada tempat-tempat yang terpencil. 3. Svadhyayam sravayet pirtye dharmaúastrani caiva hi, Akhyananiti hasamsca pùranani khilani ca. Artinya : Pada waktu upacara menghormati Rokh leluhur ia harus memperdengarkan kepada tamu –tamunya ajaran-ajaran Veda , ketentuan-ketentuan hukum suci, dongeng-dongeng, cerita Purana dan Khila. (Pudja dan Sudharta, 2002;196 ). 4. Pracinavitina samyag apasavyamatandrina, Pitåyamanidhanat karyam vidhivad darbha panina. Artinya : Hendaknya yang melakukan upacara menghormati rokh Leluhur, sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan, tidak lelah-lelahnya memindahkan kalung benang sucinya dari bahu kiri ke bahu kanan dengan memegang ruput kusa sampai upacara itu berakhir (Pudja dan Sudharta, 2002: 209).

216 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Implikasi teologi yang merupakan kepercayaan terhadap roh leluhur mengakibatkan rekonversi agama di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan. Adanya kepercayaan yang kuat terhadap leluhur, Pitara dan Ida Bhatara meupakan bentuk kepercayaan yang didasari atas pemhaman bahwa Tuhan yang niskala disekalakan agar pemujaan menjadi lebih mudah. Pensekalaan Tuhan yang niskala dimunculkan melalui emiksitas yangkuat terhadap peran leluhur yang begitu dominan mengatur kehidupan manusia. Sebagaimana hal tersebut dijelaskan Suderi (wawancara, 11 Agustus 2014), bahwa ketika konversi menjadi Katolik, sering bermimpi tentang leluhurnya, seperti memimpikan kakeknya maupun keluarganya yang telah meninggal. Pada mimpi itulah mendapatkan kesadaran kembali menjadi Hindu dan membangun sanggah kemulan yang menjadi stana leluhur. Sebab ketika konversi menjadi Katolik, sanggah kemulan telah dibongkar, namun setelah rekonversi agama, sanggah kemulan kembali dibangun bersama keluarganya. Hal tersebut menjadi isyarat bahwa peran leluhur yang diyakini sudah memiliki kemampuan setingkat dewa memiliki andil dalam kehidupan warga di desa Pakraman Penganggahan. Hal tersebut dibenarkan oleh istri Suderi, Puji (wawancara, 10 Agustus 2014) ketika konversi menjadi Katolik, sanggah kemulan yang berada di rumahnya telah dibongkar, karena tidak sesuai dengan ajaran Katolik, namun ketika pada tahun 2010, sanggah kemulan yang dipercaya sebagai stana para leluhur, kembali didirikan pada posisi terdahulu. Begitu pula pada saat upacara mlaspas, Jro Dasaran di Desa Adat Penganggahan, Penebel, Tabanan mengalami kerauhan (trance) dan mengatakan bahwa para leluhurnya merasa bahagia dan bersyukur karena keluarga Suderi kembali menjadi Hindu. Bentuk implikasi teologi atas rekonversi agama di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan juga dibenarkan oleh keluarga Jro Dasaran Bedra (wawancara, 15 Agustus 2014) selama konversi menjadi Katolik, Bedra sering mendapatkan petunjuk untuk kembali menjadi Hindu, agar bahagia dan tenang. Hal ini terjadi berkali-kali, dengan pembuktian Bedra mengalami kerauhan atau trance dan selalu menyebut-nyebut leluhurnya serta memberikan petunjuk agar segera kembali menjadi Hindu, karena anaknya mengalami kebingungan, namun petunjuk itu tidak dihiraukan, akibatnya anaknya pun meninggal.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 217 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Hal ini juga dibenarkan oleh istri Jro Dasaran Bedra, Ni Nyoman Suderi (wawancara, 16 Agustus 2014) bahwa petunjuk itu memang benar dan selama ini telah mengalami kebingungan, tetapi karena kepercayaan yang berbeda, maka petunjuk dari leluhurnya diabaikan begitu saja. Namun setelah beberapa tahun kemudian, akhirnya anaknya meninggal. Setelah itulah, Bedra dan keluarga mempercayai petunjuk dari leluhurnya dan segera kembali menjadi Hindu dengan membangun sanggah kamulan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur. Meskipun sanggah kemulan dibangun sangat sederhana, namun leluhurnya merasa senang dan bahagia yang dibuktikan adanya trance saat membangun palinggih kamulan di pakarangan rumahnya.

Implikasi Teologi Kahyangan Desa Selain implikasi teologi sang hyang pitara yang merupakan leluhur dari umat Hindu di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan, rekonversi juga membawa implikasi teologi terhadap keyakinan masyarakat terhadap Kahyangan Desa sebagai sthana dari Ida Bhatara yang memberikan tuntunan kehidupan. Seperti halnya desa pada umumnya memiliki beberapa pura yang diyakini sebagai manifestasi Tuhan melindungi masyarakat di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan. Pura Kahyangan Tiga di masing-masing desa adat berdasarkan historisnya, yaitu penyatuan sekte-sekte yang dilakukan oleh Mpu Kuturan pada abad X yang telah berjasa menerapkan konsep Tri Murti (tiga perwujudan dewa) yang dipuja dalam manifestasi-Nya sebagai Brahma, Wisnu dan Siwa pada kehidupan masyarakat Hindu di Bali (Putrawan, 2008: 47). Pura Desa atau Pura Baleagung adalah tempat pemujaan Tuhan dalam prabawanya sebagai Brahma sang pencipta (Utpati). Pura Puseh, tempat pemujaan Tuhan dalam prabawanya sebagai Wisnu sang pemelihara (Sthiti). Pura Dalem adalah tempat memuja Tuhan dalam prabawanya sebagai Siwa sang pelebur (Pralina). Berdasarkan konsep kahyangan tiga di atas menunjukan keberadaaan Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak, Penebel, Tabanan telah dilaksanakan sesuai dengan konsep pembangunan sebuah desa Pakraman, yaitu dibangunya tempat suci bernama Kahyangan Tiga. Seperti yang telah disampaikan oleh Bendesa Adat Penganggahan, Yasadharma (wawancara, 7 Agustus 2014) mengatakan keberadaan kahyangan tiga di

218 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Desa Penganggahan telah diwariskan oleh para leluhur terdahulu, namun beberapa tahun yang lalu telah mengalami perbaikan secara fisik dengan dana swadaya dari masyarakat dan bantuan beberapa pihak. Ada beberapa Pura Kahyangan Desa di Desa Pakraman Penganggahan, yaitu Pura Tri Kahyangan (Pura Desa, Puseh, Dalem), Pura Pecatu, Pura Ulun Suwi atau pura Subak,dan Pura Manik Bayu. Dalam pura tersebut, terjadi berbagai macam event ritus dan perayaan yang selalu menunjukan kekuatan magis. Hal tersebut menjadi faktor yang kuat bagi warga Hindu atau warga rekonversi untuk kembali meyakini Hindu sebagai agama dan kepercayaan warga. Pertunjukan ritus sakral tersebut, pada kenyataanya selalu memperlihatkan kekuatan-kekuatan yang tidak dapat dinalar. Namun, kekuatan tersebut ada dalam kehidupan dan dunia nyata. Pertunjukan kekuatan gaib yang menurut Frezer (dalam Koentjaraningrat,1987: 39) merupakan asas kehidupan religi, yang mana suatu benda sering dihadrikan kekuatan gaib sebagai kekuatan Tuhan maka benda tersebut akan memiliki keuatan gaib sebagai yang abadi. Pura Kahyangan Tiga yang ada di desa Pakraman Penganggahan Tengkudak dapat dikatakan sebagai media sakral tempat pertunjukan tersebut. Salah satu pertunjukan tersebut dapat dilihat pada saat prosesi upacara yajña, dan pada saat prosesi upacara pemilihan Pemangku. Setiap pura tentu pula ada seorang pemangku yang memangku seluruh tugas dalam upacaya menjaga dan melestarikan eksistensi Kahyangan Tiga terutama pada religiusitasnya berupa kegiatan upacara keagamaan. Pada umumnya warga Penganggahan yang menjadi pemangku di Kahyangan Tiga dilakukan dengan upacara nyanjan. Menurut Jro Mangku Guru Antara (wawancara, 13 Agustus 2014) mengatakan pelaksanaan upacara pemilihan pemangku di Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak Penebel, Tabanan adalah dilakukan dengan upacara nyanjan, yaitu upacara yang dilakukan dengan memberikan hak sepenuhnya dari Ida Bhatara untuk memilih pemangkunya, dimana para warga masyarakat yang telah berkumpul pada hari yang disepakati, kemudian salah satu atau lebih mengalami trance. Menguji kebenaran dari trance itu dilakukan pembuktian berupa dibakar dengan api atau ditikam senjata tajam. Jika mereka kebal dari api dan senjata tajam berarti kekuatan Tuhan telah memilih mereka menjadi seorang pemangku. Biasanya dari prosesi upacara nyanjan yang mengalami trance adalah mereka yang berasal dari keturunan pemangku di pura tersebut.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 219 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Hal inilah yang kemudian terjadi pada Jro Mangku Nari (wawancara, 25 Agustus 2014) ketika menjadi Katolik dirinya selalu didatangi oleh para leluhur terdahulu, kemudian megingatkanya untuk menjadi seorang pemangku di Pura Puseh Desa Adat Penganggahan. Tentunya hal ini membuatnya menjadi bingung, akhirnya meminta pertimbangan terhadap Guru Antara. Berdasarkan informasi yang diterima dari Guru Antara, membulatkan tekad untuk kembali menjadi Hindu. Ketika Jro Mangku Nari bersembahyang di Pura Puseh, mengalami trance dan kebetulan pada waktu itu pula desa tidak memiliki pemangku untuk Pura Puseh yang merupakan bagian dari Kahyangan Desa. Berdasarkan hal tersebut, pada saat trance, Ida Bhattara yang dipercaya masyarakat sebagai kekuatan Tuhan yang berstana di Pura Puseh menyatakan senang telah memilih jan banggul atau pemangku, sebab Jro Mangku Nari adalah keturunan langsung dari pemangku di Pura Puseh tersebut sehingga sejak kecil telah dipingit oleh para dewa yang berstana di Pura Puseh, Desa Pakraman Penganggahan. Berbeda halnya dengan Jro Mangku Bedra (wawancara, 15 Agustus 2014) pada saat sebelum menjadi Katolik dirinya memang sering mangalami trance, begitu pula pada saat menjadi Katolik. Pada waktu trance dirinya selalu mengucapkan kalimat, “ne nak mula dasaran di desa lan jan banggul nira di Pura Manik Bayu” (ini (Bedra) adalah dasaran di desa dan Pemangku di Pura Manik Bayu). Kejadian ini terus terjadi, sehingga ketika memutuskan kembali menjadi Hindu. Jro Dasaran Bedra, mengalami trance dalam trancenya mengatakan memang telah dipingit sejak lahir untuk menjadi pemangku di Pura Manis Bayu dan menjadi dasaran dengan gelar Jro Dasaran, yaitu pemangku yang dipercaya dapat menghubungkan atau mengkomunikasikan alam esoterik Tuhan dalam wujud para dewa kepada para umatnya, sehingga setiap permasalah upacara yang dilaksanakan di kahyangan tiga maupun merajan atau sanggah kemulan mesti mendatangkan Jro Dasaran Bedra. Begitu implikasi teologi dalam kahyangan tiga memberikan restu kepada Jro Dasaran Bedra, secara adat ditanggapi masyarakat dan menobatkannya menjadi jro dasaran dengan upacara yang semuanya ditanggung oleh masyarakat di Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak, Penebel, Tabanan. Seperti yang dikatakan mantan Bendesa Adat Penganggahan, Senayasa (wawancara, 5 September 2014) sebagai berikut.

220 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

“memang benar Ketut Bedra dinobatkan menjadi Pemangku dengan gelar Jro Dasaran dan segala upacaranya pewintennya, semuanya dibebankan pada adat. Jadi apabila ada upacara di Kahyangan Tiga, maka Jro Dasaran Bedra bertugas sebagai penghubung antara yang berstana di Desa Adat Penganggahan terhadap masyarakat, sehingga masyarakat lebih meyakini kemahakuasaan Tuhan beserta manifestasi-Nya”

Ketika ditanya istri Jro Dasaran Bedra, Ni Nyoman Suderi (wawancara, 16 Agustus 2014) membenarkan suaminya terus mengakami trance, sehingga membuatnya menjadi serba salah, apalagi saat menjadi Katolik. Tapi dengan tuntunan dari Ida Bhattara di Pura Manis Bayu dan juga dukungan masyarakat Desa Adat Penganggahan, sampai saat ini kehidupanya berjalan dengan baik. Hal ini dipercaya saat trance, Ida Bhattara membuktikan janjinya mendapat kebahagiaan, karena telah mengorbankan dirinya dengan iklas menjadi pelayan Tuhan di Pura Manis Bayu dan juga sebagai dasaran. Selain Jro Mangku Nari dan Dasaran Bedra, salah satu umat yang melaksanakan rekonversi agama, yaitu Jro Mangku Kandel (wawancara, 13 Agustus 2014) mengatakan dirinya adalah keturunan dari pemangku di Pura Kahyangan Desa, yaitu Pura Dalem. Berdasarkan kisahnya Jro Mangku selama konversi agama di Katolik sempat sekolah di SD Katolik selama 1 tahun, berhenti dan transmigrasi ke Sulawesi. Akhirnya kembali ke Bali dan menjadi Hindu, ketika menjadi Hindu Jro Mangku Kandel telah diingatkan oleh neneknya, bahwa dia adalah keturunan dari pemangku di Pura Dalem, Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak, sehingga setiap hari-hari tertentu Jro Mangku melakukan persembahyangan di Pura Dalem. Berdasarkan hasil pemilihan pemangku, akhirnya Jro Mangku Kandel mengalami trance dan pada saat trance, Tuhan sebagai manifestasi Siwa dan Durga menyampaikan bahwa Jro Mangku Kandel adalah jan banggul (istilah lain dari Pemangku) dan wajib disucikan dengan upacara pawintenan pemangku, sehingga sampai saat ini menjadi pemangku di Pura Dalem dan lebih menekuni ajaran Hindu sebagai bentuk tanggung jawab kehadapan Ida Bhattara secara niskala dan masyarakat secara sekala. Keikhlasan dan pengorbanan yang dilakukan oleh Jro Mangku Nari, Jro Mangku Kandel dan Jro Dasaran Bedra beserta keluarga adalah

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 221 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. implikasi teologis berdasarkan garis keturunan telah dipingit sejak dalam kandungan untuk meneruskan kembali melayani Tuhan dalam manifestasi- Nya sebagai Ida Bhattara yang berstana di kahyangan desa. Sebagai pelayan Tuhan tentunya mendapat perlakuan khusus dari Tuhan. Disamping itu implikasi teologis mampu meningkatkan sradha dan bhakti umat Hindu, khususnya para aktor rekonversi agama. Hal ini pula disampaikan dalam kitab Bhagavadgita XVIII, 65: Man-manà bhava mad bhakto mad-yàji màý namaskuru, màý evaiûyasi satyaý te pratijàne priyo’si me.

Terjemahannya : Pusatkanlah pikiranmu pada-Ku, jadilah bhakta-Ku; berkurbanlah untuk-Ku; bersujud kepada-Ku, dengan demikian engkau akan tiba pada-Ku; Aku berjanji setulusnya padamu, sebab engkau terkasih bagi-Ku (Pudja,1999: 440).

Janji Tuhan kepada umatnya tidaklah bohong, pasti ditepati, karena Beliaulah yang patut dipercaya di dunia ini. Jika mengabaikan perintah- Nya dan melakukan larangan-Nya berdampak tidak baik dalam kehidupan sehari-hari, karena ini adalah hukum dari alam. Ditambahkan Artika (12 September 2014) sebagai Prajuru Adat Peganggahan, mengamati seluruh umat rekonversi agama sebagian besar sradha dan bhaktinya meningkat ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Terbukti saat upacara di kahyngan desa, banyak umat rekonversi agama mengalami trance dan menari-nari begitu indahnya. Hal ini adalah bentuk religiusitas yang diekpresikan dari dalam diri, maupun bukti kemahakuasaan Tuhan sudah menyatu dengan keluarga yang selama ini konversi agama ke Katholik. “… saya mengamati keluarga yang telah kembali menjadi Hindu, mereka begitu antusias mengikuti setiap kegiatan upacara yajna yang diadakan di Desa Pakraman Penganggahan. bahkan saat upacara yajna berlangsung keturunanya mangalami trance. Inilah bentuk ekspresi terhadap kemahakuasaan Tuhan dan pembuktian kepada umat Hindu bahwa Tuhan itu benar adanya, terlepas dari pemikiran rasional yang kita miliki. saya contohkan, keluarga dari Pak Robed, yaitu menantunya bernama I Made Suwirya dan cucunya bernama Ni Putu Enik Eka Pertiwi, setiap ada upacara yajna di Desa Pakraman Penganggahan, pastilah trance dengan menari-nari dan juga berekpresi seperti naga maupun macan. Hal inilah yang

222 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

membuat saya berpikir, inilah pembuktian bahwa Tuhan selama ini tidak mengizinkan mereka konversi agama” (wawancara: Artika, 12 September 2014)

Pendapat di atas membuktikan implikasi teologis dari rekonversi agama adalah meningkatnya keyakinan dan kepercayaan aktor rekonversi agama maupun umat Hindu sehingga tidak ada lagi konversi agama di Desa Pakraman Penganggahan, Tengkudak, Tabanan. Deskripsi tersebut di atas yang bersandar pada wawancara menjadi bukti emperis bahwa peran kekuatan Tuhan yang terjadi dalam media sakral menajadi salah satu implikasi teologi yang berdampak pada peningkatan keyakinan warga terhadap agama Hindu. Berdasarkan uraian tersebut pula, dapat diketahui bahwa agama Hindu agama yang sangat kaya dengan pementasan ritus yang sakral sebagai sebuah pembuktian bahwa Tuhan melalui kekuatannya eksis dan memberikan vibrasi spsiritual kepada waraga rekonversi sehingga tetap mengajegkan Hindu sebagai agama leluhur.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 223 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

10

Peran Ajaran Tri Hita Karana dalam Rekonversi

etiap masyarakat adalah berbudaya, dengan demikian masyarakat Sdapat melakukan kreatifitas dalam kehidupanya. Begitu pula kehidupan masyarakat di Bali terkenal dengan budaya Bali yang melekat dengan Agama Hindu. Kebudayaan masyarakat inilah kemudian dijiwai oleh Agama Hindu sehingga bentuk kebudayaan terus mengalami kreatifitas. Agama Hindu dan budaya Bali adalah sekeping mata uang yang selalu melekat, Agama Hindu tidak dapat diterima oleh umatnya tanpa budaya masyarakat, begitu pula sebaliknya. Salah satu unsur-unsur kebudayaan adalah agama, dan agama sebagai keyakinan hidup rohani manusia kepada panggilan ilahi di dunia maupun akhirat. Keyakinan ini memuat sikap sembah, rasa hormat, rasa taobat dan syukur atas anugrah Tuhan kepada manusia (Bakker, 1984: 47). Bentuk dari rasa syukur terhadap Tuhan, dilakukan umat di seluruh Indonesia maupun di Bali pada khususnya, yang dilaksanakan dengan upacara syukuran, seperti

224 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. budaya ngusabha, sebagai bentuk perhormatan kepada Dewi Sri, karena telah memberikan hasil panen yang berlimpah. Bentuk, konsep dan tata cara pelaksankaan upacara ngusabha dilakukan secara berbeda-beda dalam suatu wilayah. Hal itu dilakukan karena adanya perbedaan budaya, namun memiliki makna yang sama. Bentuk-bentuk penghormatan kepada Tuhan yang dilakukan oleh seluruh umat Hindu di Bali, dilaksanakan atas dasar konsep ajaran Hindu yaitu Tri Hita Karana. Konsep ajaran Tri Hita Karana berasal dari kata “Tri” berarti tiga, “Hita” berarti kebahagian, dan “Karana” berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana adalah tiga penyebab terciptanya kebahagian. Hakekat mendasar Tri Hita Karana mengandung pengertian 3 (tiga) penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan (Parhyangan), manusia dengan alam sekitarnya (Pelemahan), manusia dengan sesamanya (Pawongan). Pemahaman umat Hindu terhadap konsep ajaran Tri Hita Karana merupakan implikasi budaya yang menjadi dasar rekonversi umat Hindu khususnya di Desa adat Penganggahan, Tengkudak, Penebel, Tabanan. Karena adanya hubungan Tuhan, manusia dan lingkungan, menciptakan sebuah budaya yang dijiwai oleh agama, sehingga pola pikir manusia sebenarnya telah dibentuk berdasarkan kebudayaanya yang membuat umat Hindu konversi agama ke Katolik dan rekonversi agama kembali menjadi Hindu. Bila dikaji dalam teori praktik generative Bourdieu (Gambar 10.1), maka dapat digambarkan sebagai berikut.

PARHYANGAN PRAKTIK (ritual) PALEMAHAN BELIEF RANAH

MODAL STRUKTUR

PAWONGAN HABITUS

Gambar: 10.1 Tri Hita Karana Bentuk Implikasi Budaya Masyarakat Bali dan Analisis Teori Praktik Generatif Bourdieau (Sumber: Pradnya, 2014)

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 225

STRUKTUR

MODAL Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Habitus sebagai produk dari sejarah, menciptakan tindakan individu dan kolektif serta sesuai dengan pola yang ditimbulkan oleh sejarah. Kebiasaan individu diperoleh melalui pengalaman hidupnya dan mempunyai fungsi tertentu dalam sejarah dunia sosial atas kebiasaannya. Pengalaman hidup individu yang didapat dari hasil sejarah tersebut, kemudian terinternalisasi dalam dirinya, kemudian mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari dan menilai dunia sosial. Melalui pola- pola itulah individu memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya (habitus mengendalikan pikiran dan pilihan tindakan individu) (Ritzer- Godman, 2008: 519). Pembahasan tentang individu dalam habitus yang merupakan aktor dalam kehidupan sosial dalam konsep Tri Hita Karana adalah pada bagian pawongan atau manusianya (aktor). Pawonganlah yang dapat mengendalikan kegiatan sosial keagamaan dan yang dapat mengendalikan lingkungan dan parhyangan, sehingga pawongan memiliki kebiasaan-kebiasaan dalam lingkungan, termasuk pula warga masyarakat di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan yang memiliki aturan untuk menjaga nilai sosial dalam melaksanakan kegiatan bermasyarakat. Menurut Bordieu, habitus semata-mata mengusulkan apa yang sebaiknya dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk dilakukan. Dalam menentukan pilihan, aktor menggunakan pertimbangan mendalam berdasarkan kesadaran, meski proses pembuatan keputusan ini mencerminkan berperannya habitus. (Ritzer-Godman, 2008: 524). Dengan demikian pada kehidupan masyarakat di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan telah memiliki suatu habit atau kebiasaan dalam beragama yang telah diwariskan oleh leluhur terdahulu dan menjadi suatu budaya yang melekat sampai saat ini. Kebiasaan yang telah diwariskan dibuat dengan kesadaran sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan maupun leluhur suci terdahulu. Pawongan atau aktor yang dimaksudkan dalam sejarahnya di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan adalah seluruhnya beragama Hindu. Hal ini dikatakan Subagiastra (wawancara, 9 Agustus 2014) bahwa masyarakat di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan dari tradisi terdahulu adalah beragama Hindu dengan pelaksanaan adat dan istiadatnya yang didukung oleh seluruh warga masyarakat yang terhimpun dalam kelompok yang lebih kecil, yaitu banjar dan bagi para pemudanya tergabung dalam Sekaa Teruna Teruni. Semuanya bertanggung jawab atas tradisi budaya yang telah diwariskan.

226 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Ranah diartikan sebagai sesuatu yang dinamis, dimana ranah merupakan kekuatan yang bersifat otonom dan didalamnya berlangsung perjuangan posisi-posisi. Perjuangan ini di pandang mentransformasikan atau mempertahankan ranah kekuatan. Posisi-posisi ditentukan oleh pembagian modal untuk para aktor yang berlokasi di ranah tersebut. Ketika posisi telah dicapai, maka mereka dapat melakukan interaksi dengan habitus untuk menghasilkan sikap-sikap yang berbeda dan memiliki efek tersendiri pada ekonomi, pengambilan posisi di dalam ranah tersebut. Pada konsep Tri Hita Karana, bagian ranah atau arena yang dimaksudkan adalah Palemahan yang merupakan lingkungan atau tempat dimana para aktor melakukan interaksinya, sehingga dapat melaksanakan kegiatan termasuk di dalamnya kegiatan keagamaan, sehingga budaya menjadi lebih mengkhusus karena dibatasi oleh kreatifitas masyarakat dalam ranah itu sendiri. Hubungan aktor terhadap ranah diatur dalam struktur, yang mengatur para aktor dalam melaksanakan palemahan dengan sebaik-baiknya. Struktur yang dimaksud pada penelitian ini adalah aturan yang diberlakukan di Desa Tengkudak atau dalam Desa Pakraman Penganggahan, yaitu seluruh umat Hindu wajib melaksanakan kegiatan keagamaan dalam upaya menjaga lingkungan maupun tradisi yang dilaksankan secara turun temurun. Pada struktur juga terdapat pengurus adat yang disebut dengan Bendesa adat yang bertanggungjawab melindungi warganya, serta melaksanakan kegiatan Agama Hindu dalam wilayahnya. Pelaksanaan pawongan yang didasarkan atas struktur dalam palemahan jika dikaitkan dengan parhyangan yang merupakan objek pemujaan terhadap Tuhan, dalam hal ini adalah manifestasi-Nya pada suatu wilayah dilaksanakan dalam bentuk pelaksanaan praktik keagamaan. Salah satu munculnya suatu agama adalah disebabkan praktik keagamaan yang disebut ritual, dimana ritual adalah prosedur perilaku yang tetap dan teratur; ada cara-cara baku untuk mengekpresikan emosi; ada kesaksian-kesaksian iman yang diekspresikan dengan cara tertentu, sehingga keyakinan itu tersusun ke dalam suatu sistem yang memiliki koherensi internal dan koheren dengan keyakinan lainya. Dalam perspektif ini jelas bahwa ritual merupakan asal usul agama karena ritual merangsang emosi dan ritual menjadi kebiasaan (budaya) yang berkembang menjadi agama, tergantung dari kualitas emosi yang ditimbulkan (Whitehead, 2009: 6 & 9). Praktik keagamaan yang dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan, menurut Wardana (wawancara, 3 Agustus

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 227 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

2014) adalah ritual yang diwariskan oleh leluhur terdahulu dan wajib dilaksanakan sampai saat ini. Pada tahun 1969/1970 beberapa umat Hindu melakukan konversi agama ke Katolik, namun karena terikat dengan budaya masyarakat, maka berlahan-lahan kembali menjadi Hindu (rekonversi agama), salah satu bentuk budaya adalah ngejot atau memberikan hasil olahan untuk persembahan yajna, sebagai bentuk mengikat persaudaraan antar warga masyarakat yang diatur dalam struktur masyarakat. Meskipun beberapa Umat Hindu konversi ke Katolik, tetap dianggap saudara oleh mereka yang Hindu, sehingga setiap pelaksanaan yajna atau ritual yang bersifat pribadi maupun adat, dilaksanakan budaya ngejot. “….. budaya dari masyarakat di Desa Pakraman Penganggahan adalah dengan melaksanakan upacara ngejot atau memberikan hasil olahan pada saat pelaksanaan upacara yajna. Upacara ngejot diberikan kepada mereka yang juga konversi agama, karena ada ikatan darah yang menyatukan warga masyarakat. Pernah dahulu budaya ngejot dihentikan karena ada sesuatu, tapi sekarang kembali diberlakukan dan kebiasaan ngejot ini juga membuat umat yang telah menjadi Katolik, ketika ada upacara juga melaksanakan budaya ngejot. Hal inilah yang kemudian menjadikan mereka tetap merasa menjadi Hindu dan keterlibatan dari budaya ini pula menyebabkan mereka kembali menjadi Hindu” (Wawancara Wardana, 3 Agustus 2014)

Selain budaya ngejot, beberapa praktik keagamaan Hindu yang terbungkus dalam budaya Bali juga dilaksanakan oleh mereka yang telah melaksanakan konversi agama ke Katolik. Menurut Suderi (wawancara, 11 Agustus 2014) mengatakan salah satu bentuk praktik kegamaaan yang dilaksanakan adalah membuat penjor yang dipasang di depan Gereja, selain itu arsitektur Gereja berbentuk ukiran khas Bali, serta beberapa sarana ritual dalam bentuk budaya Bali juga dipergunakan dalam pemujaan. Bahkan istilah-istilah budaya Bali dalam menyebut Tuhan dalam teologi lokal, yaitu Sang Hyang, dipergunakan untuk mengkultuskan juru selamat mereka, yaitu Yesus Kristus menjadi Sang Hyang Yesus. Termasuk cara berpakaian yang dipergunakan adalah budaya Bali, yaitu mekamen, meudeng dan lain sebagainya, sesuai dengan pakaian adat umat Hindu yang sembahyang ke Pura. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Surpi dan telah dibukukan (2011) mengutip dari Donder bahwa ada tiga perangkat strategi Katolik

228 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. sebagai alat atau metode yang dipergunakan oleh para misionaris atau zending dalam menyebarkan keyakinanya maupun teologi Kriten, yaitu (1) Metode elenktik, (2) metode evangelis dan (3) metode ewekumenikal. Metode elenktik berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata ‘elencho’ yang berarti membantah, meyakinkan tentang kesalahan. Metode ini merupakan bantahan terhadap ajaran non-Katolik dan meyakinkan bahwa hanya Tuhan Katolik, ajaran dan keyakinanya yang paling benar serta masuk akal. Para misionaris Katolik telah menyusun metode elenktik yang isinya adalah sebagai berikut. 1. Mula-mula mempelajari dengan seksama semua agama yang non- Katolik beserta budayanya, kemudian membuat uraian teologis non- Katolik sebagai usaha persiapan pengkabaran injil 2. Menelaah agama non Katolik dengan dasar filsafat dan ilmu jiwa untuk mengetahui motif dan dorongan masyarakat melaksanakan budaya atau keyakinan yang dianutnya 3. Setelah dipelajari, kemudian dibuatkan dasar teologis, yang isinya adalah menjelaskan keyakinan Katolik yang paling unggul dan benar. Selain dengan metode elenktik, metoda yang dipergunakan adalah evangelis, yaitu mengajak umat non-Katolik berdialog, yang didiskusikan tentunya pada konsep teologis beragamanya. Hal inilah salah satu yang menyebabkan umat Hindu di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan konversi agama ke Katolik. Karena tidak mampu melakukan dialog keagamaan, masyarakat hanya memahami agama Hindu dalam dimensi esoteriknya, ketika diajak berdebat atau berdialog tentang dimensi eksoterik beragamanya, mereka tidak mampu menjelaskan karena agama Hindu baru sah diakui di Indonesia pada tahun 1969, sehingga buku-buku agama Hindu belum banyak diterbitkan seperti saat ini (Lama dalam Nurkancana, 2009: 155). Strategi lainya adalah uekumenikal, yaitu melalui jalur menanam simpati pada masalah kemanusiaan, dengan cara memberikan bantuan kepada orang-orang miskin. Hal ini pula salah satu penyebab umat Hindu konversi agama di desa tengkudak, Penebel, Tabanan. Dimana efek dari gunung agung meletus pada tahun 1963 dan masyarakat mengalami paceklik, sehingga terjadi gagal panen berakibat kesulitan memenuhi kebutuhan, karena masyarakat bermatapencarian sebagai petani. Keyakinan atau belief adalah sesuatu yang di pegang oleh aktor yang memiliki nilai atau di anggap bernilai. Keyakinanlah yang menggerakkan

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 229 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. dan memaksa tubuh untuk mewujudkan keyakinan itu, sehingga peran dari keyakinan adalah sebagai dasar untuk melakukan tindakan atau praktek dalam suatu ranah. Keyakinan terhadap Tuhan dalam konsep Tri Hita Karana adalah parhyangan, yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya yang dipuja dan diyakini oleh umat Hindu sebagai pemberi anugrah dan pelindung umat Hindu, begitu pula di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan. Menurut Senayasa (wawancara, 5 September 2014) mengatakan dasar dari kepercayaan umat Hindu di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan adalah keyakinan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi- Nya termasuk dalam memahami keberadaanya-Nya dilaksanakan dengan budaya, sehingga para indidvidu atau masyarakat dalam menjalani kehidupan tentunya berharap mendapat anugrah dari Tuhan yang berstana di sanggah atau Kahyangan Tiga. Modal dalam Gambar di atas (Gambar 7.1), merupakan aset yang dimiliki individu dalam lingkungan sosialnya yang digunakan untuk menentukan posisi dalam suatu ranah. Modal itu harus selalu di produksi dan direproduksi kembali. Menurut Bourdieu terdapat empat jenis modal, yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal kultural, dan modal simbolik. 1) Modal ekonomi: segala bentuk modal yang dimiliki yang berupa materi, misalnya uang, emas, mobil, tanah, dan lain-lain. 2) Modal sosial: terdiri dari hubungan sosial yang bernilai antara individu, atau hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumberdaya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. 3) Modal kultural: meliputi berbagai pengetahuan yang sah. 4) Modal simbolik: berasal dari kehormatan dan prestise seseorang.

Distribusi kapital menentukan struktur objektif kelas-kelas di dalam sistem sosial. Kelas yang dominan adalah kelas yang memiliki jumlah (akumulasi) terbesar dari keempat bentuk kapital, sedangkan kelas bawah atau kaum marginal adalah pemilik kapital yang paling sedikit. Secara logis, maka kelas pemilik kapital adalah kelas yang paling dominan. Peranan aktor terhadap parhyangan didasarkan atas modal di atas, sehingga eksistensi umat Hindu tetap dapat bertahan dan semakin berkembang, meskipun sebelumnya telah mengalami permasalahan dengan

230 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. adanya beberapa umat Hindu yang konversi agama, yang disebabkan modal yang dimiliki umat Hindu pada saat itu (1969) mengalami anomie, namun pada tahun 1980-an berlahan-lahan modal umaat Hindu semakin meningkat, sehingga berimplikasi terhadap keyakinan para umat Hindu terhadap kekuatan Tuhan yang berstana di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan. Bahkan mereka yang telah konversi agama ke Katolik, kembali menjadi Hindu. Adanya kemajuan umat Hindu dalam modal ekonomi dibuktikan dengan banyaknya umat yang telah mampu membeli mobil, sepeda motor dan lain sebagainya. Modal sosial yang dimiliki umat Hindu telah berkembang tidak lagi bergaul di desa, namun pergaulanya telah ke Kota, maupun ke luar negeri. Hal ini menambah pengetahuan dan wawasan tentang beragama yang eksoterik. Modal kultur, umat Hindu telah mampu berpikir fleksibel terhadap tradisi yang diwariskan, sehingga ketika melaksanakan praktik keagamaan dapat dilakukan dengan cara yang sederhana, tanpa meninggalkan maknanya. Modal simbolik, adalah sebuah bentuk pengakuan yang berdasarkan legalitas, sehingga memiliki kemampuan untuk berkuasa. Dengan kekuasaanya dapat melakukan pembenahan dari segala bidang termasuk pada keyakinan beragama Hindu. Dengan modal simbolik yang dimiliki dapat mencegah atau mengantisipasi kegiatan beragama yang tidak sesuai dengan peraturan berlaku di desa adat. Budaya adalah bentuk penghormatan terhadap Tuhan atas segala yang telah diberikan kepada manusia, sehingga umat manusia menunjukan sikap bhaktinya dengan melaksanakan ritual upacara. Hal ini tertuang dalam kitab Bhagawadgita III. 12, “Para dewa akan memelihara manusia dengan memberikan kebahagiaan. Karena itu manusia yang mendapatkan kebahagiaan bila tidak membalas pemberian itu dengan yajna pada hakikatnya adalah pencuri”. Bagi umat Hindu yang telah konversi ke Katolik, tidak mampu mempertahankan modal yang dimilikinya, sehingga menganggap modal terhadap keyakinan beragama kepada Tuhan (Parhyangan) dianggap sebagai keyakinan semu, karena terikat dengan budaya masyarakat di sekitarnya, yang terus mempertahankan modal kulturnya, serta modal lain. Dengan demikian, implikasi budaya di Bali yang menyatu dengan Hindu memberikan stimulus kepada mereka yang telah konversi ke Katolik, untuk kembali menjadi Agama Hindu.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 231 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

11

Esoterik versus Eksoterik

asuknya Katolik ke Bali seperti apa yang banyak ditulis dalam Mbuku maupun hasil penelitian, hanya berkaitan dengan misi dalam menyebarkan ajaran Yesus. Setelah menjadi Katolik diharapkan umat menjadi lebih sadar dan berjalan di jalan yang benar, sesuai ajaran Katolik. Tujuan misi Yesus menyatakan dengan tegas (Yunani; Dei) bahwa tujuan (Yunani, epi touto) pengutusan-Nya adalah mengabarkan kerajaan Allah. Yesus mengabarkan kabar baik bahwa Allah sekarang menggenapi janji yang diberikan-Nya kepada nabi-nabi tentang kedatangan-Nya kembali kepada umat-Nya. Pengutusan misi yang dilakukan Yesus dalam injil Yohanes menuntut murid-murid-Nya untuk terlibat pada misi yang sama, seperti yang dilakukan Allah kepada-Nya, “Damai Sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu” (Yoh.20.21) (Schnabel, 2010: 5-6). Kabar baik yang disampikan kepada umat ditulis berdasarkan kitab, yaitu Injil, dimana Injil adalah sutau turunan dari kata yunani euanggelion dan diperkirakan lewat bahasa Ethiopia masuk ke dalam bahasa Arab dan alquran. Dalam Bahasa Inggris diterjemahkan dengan Gospel yang artinya

232 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. good news (kabar baik). Injil adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Isa atau Yesus sebagai kitab suci orang-orang Katolik (Purnomo, 2012: 175). Ketika misi Katolik berada di Bali Tsang To Hang memberikan pemahaman bahwa perpindahan dari Agama Hindu ke Agama Katolik, telah mengubah tata perilaku mereka, melepaskan kebiasaan-kebiasan buruk yang tidak relevan dengan peri kehidupan Katolik. Akan tetapi hal ini belum memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai perubahan psikologi, karena tidak pernah disebutkan dapatkah setelah memeluk agama baru mereka begitu saja melupakan tradisi yang sudah mendarah daging seperti kepercayaan terhadap roh leluhur, leak, atau ajaran karmaphala (Wijaya, 2003: 5). Hal ini yang patut untuk dikaji dan dianalisis, ternyata ketika seseorang yang dikonversi menjadi Katolik di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan secara psikologinya merasakan ketidaknyamanan seperti yang dijanjikan sehingga mereka memutuskan kembali menjadi Hindu dan menyakini ajaran Hindu (rekonversi agama) sebagai agamanya. Berikut Gambar yang dapat menggambarkan rekonversi agama dari implikasi psikologi

REKONVERSI AGAMA

Gambar: 11.1 Implikasi Psikologi Terhadap Rekonversi Agama (Sumber: Pradnya, 2014)

Secara etimologi, esoterisme berasal dari kata Yunani esotero lalu menjadi esoterikos yang kata dasarnya adalah eso, berarti di dalam atau suatu hal yang bersifat batin bahkan mistik. Dictionary of philosophy menjelaskan bahwa kata esoterik (Yunani, esoterikos = di dalam) bermakna ritual, puasa, doktrin. Istilah ini ditemukan pada catatan dialog Plato, Alcibiades sekitar tahun 390 SM. Ia menggunakan kata tae so yang berarti sesuatu yang ada di dalam. Dalam diskursus filsafat perennial, esoterisme adalah dimensi dalam atau inti agama (Bahri, 2011: 16-17).

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 233 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Esoterisme yang menghayati Tuhan dengan magi atau kebatinan adalah yang dilakukan umat Hindu di Desa Tengkudak, sejak zaman dahulu. Para umat Hindu melaksanakan ajaranya selalu percaya bahwa di dunia ini ada suatu kekuatan yang mengendalikan alam semesta, sehingga setiap ritual yang dilaksanakan dilakukan dengan tulus ikhlas. Ilmu kebatinan pada umumnya bermaksud untuk menemukan jalan yang dapat menempatkan manusia pada tempat yang sewajarnya di tengah masyarakat dan dalam hubunganya dengan Tuhan. Ilmu kebatinan memberikan ajaran kepada para panganutnya tentang cara mereka harus mengatur hidupnya dan cara mereka dapat hidup secara harmonis yang mengandung ketenangan dan rasa damai dengan masyarakat serta dengan Tuhanya melalui pengalaman syarat-syarat ilmunya. Selain itu dalam ilmu kebatinan pelaksanaan syarat- syarat ilmu tergantung dari individu masing-masing (Jalaludin, 2010: 138- 139). Menurut Puji (wawancara, 10 Agustus 2014) mengatakan bagi umat Hindu di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan mempercayai bahwa roh leluhur selalu bersama dan juga kekuatan Ida Bhattara yang bersemayam di desa Pakraman selalu memberikan anugrahnya. Keyakinan dan kepercayaan masyarakat juga mempercayai bahwa Tuhan berada dalam diri manusia. “Tiang yakin lan percaya sareng leluhur lan Ida Bhattara sane melinggih ring Pura Desa, Puseh, Dalem pacang mapaica kerahayuan. Kenten masih Ida Bhattara melinggih ring raga sareng sami”

Kitab Weda menyimpulkan semua ini dengan ucapan agungnya (mahavakya) yaitu Atman Brahman Aikyam (Atman dan Brahman itu adalah satu), Atman Brahman Asmi (Aku adalah Brahman), Tat Twam Asi (Engkau juga adalah Brahman), Sarwa Brahman mayam (segalanya adalah Brahman). Untuk menyadari diri sebagai atman secara sempurna dan mutlak, maka terlebih dahulu kita harus menghancurkan semua ilusi dan exsist dengan atman secara mutlak tahap ini disebut nirvikalpa Samadhi (Kamajaya; Sanjaya, 2001: xxvii, xxix). Menurut I Ketut Kandel (wawancara, 23 Agustus 2014) mengatakan bahwa beragama bagi dirinya adalah mengenal Tuhan. Sejak kecil selalu diajarkan oleh orang tuanya bahwa apapun yang kita kerjakan pasti Tuhan tahu, karena Tuhan selalu ada dalam diri manusia. Tuhan yang di dalam

234 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. diri manusia inilah yang membuat umat Hindu harus berpikir, berbuat dan berkata yang baik. Karena pada saat berbuat salah pasti merasakan hati nurani yang bertentangan. Begitu pula ketika konversi ke Katolik, hati nurani tidak dapat dibohongi yang dirasakan saat itu adalah rasa bersalah pada leluhur karena meninggalkan cara persembahyangan dan juga metode yang telah mendarah daging dalam perjalanan mencari hakekat Tuhan. Jujur saja pada saat itu tidak merasakan kebahagiaan melainkan beban, terlebih lagi ketika banyak godaan yang diberikan Tuhan kepadanya. Sekarang dengan kembali menjadi Hindu merasa plong dan lega. Hal ini dibenarkan juga oleh Ni Nyoman Suderi ( waancara, 19 Agustus 2014) pertama, pemikiran tentang Tuhan adalah yang memberikan anugrah dan bhakti terhadap Ida Bhattara dan menganggap semua Tuhan itu sama dan tidak ada yang membedakan, begitu juga mengangap semua agama sama. Berdasarkan pemikiran itulah memutuskan konversi agama yang menganggap Agama Katolik sama dengan Hindu, namun ketika dijalani justru merasakan ada sesuatu yang mengganjal, biasanya setiap hari raya Galungan dan Kuningan membuat sarana upacara. Begitu juga pada perayaan dengan melaksankan brata penyepian. Disamping itu rindu dengan Ida Bhattara yang berstana di sanggah dahulu dan di desa adat. Lawan dari Esoterik adalah eksoterik yang juga berasal dari bahasa Yunani exoterikos yang kata dasarnya adalah exo yang berarti aspek luar (external) atau yang diluar (outside). Dalam sebuah catatan, theaetetus sekitar tahun 360 SM, Plato menggunakan kata ta ekso yang berarti sesuatu yang ada di luar. Webster menjelaskan bahwa eksoterisme adalah suatu pengetahuan yang diajarkan bagi masyarakat luas dan tidak dikhususkan bagi murid-murid yang terpilih dan yang telah diinisiasi. Menurut Ditionary of philosophy juga menjelaskan bahwa kata eksoterik digunakan untuk menyebut pengajaran yang dimaksud untuk dapat dipahami dan disampaikan pada khalayak umum, sebagai kebalikan dari yang bersifat esoterik. Eksoterisme biasanya diartikan sebagai aspek luar, ekternal, formal, dogma, ritual, etika atau moral (Bahri, 2011: 17-18). Masyarakat Hindu di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan pada tahun 1960-an belum mengenal istilah kitab suci apalagi membaca Weda dan bahkan sampai saat ini pula banyak umat yang tidak tahu kitab sucinya. Tidak mengherankan juga lembaga pendidikan yang berbasis agama Hindu pun belum terlalu mendalami kitab sucinya. Karena kajian terhadap teks

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 235 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. tidak tercantum dalam mata kuliah atau dikaji dalam kajian hermaneutika dan semiotikanya. SDM untuk membaca weda pun belum fasis dinyanyikan apalagi dihafal. Karena adanya dikotomi antara teks Hindu dari India dengan teks lontar sebagai kitab lokal. Dikalangan sulinggih di Bali pun hanya menggunakan acuan lontar, sehingga Weda yang fure belum maksimal disosialisasikan. Akibatnya, pemahaman doktrin dan dogma dalam eksoteriknya tidak mampu memberikan jawaban atas dialog keagamaan yang dilakukan agama lain dan inilah kelemahan, sehingga umat Hindu di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan dapat di konversi ke Katolik. Soul atau jiwa, dari seseorang dalam beragama terjebak dalam pilihan terhadap beragama yang esoterik atau eksoterik. Beragama yang memahami kedua dimensi tersebut atau beragama yang tidak memahami kedua dimensi itu. Kejiwaan yang terjebak inilah yang menyebabkan mereka mesti berpindah-pindah keyakinan sampai akhirnya mereka menemukan kesadaran beragama. Menurut Rudolf Otto mengatakan sumber kejiwaan agama adalah rasa kagum yang berasal dari the wholly other (yang sama sekali lain). Jika seseorang dipengaruhi rasa kagum terhadap sesuatu yang dianggapnya lain dari yang lain, maka keadaan mental, seperti itu disebut numinous (Jalaludin, 2010: 55). Rasa kagum yang dipercaya umat Hindu di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan ketika para misionaris memberikan ajaran tentang Katolik, menyebabkan warga konversi agama. Kekaguman seseorang terhadap sesuatu tentunya tidak dapat bertahan, apabila jiwanya tidak merasa bahagia, karena kekaguman seseorang yang berdasarkan pancaindra, tidak membawa keyakinan yang mutlak dalam hati, namun hanya sebatas kekaguman eksoterik saja. Waraga yang tidak pernah terpuaskan dengan sesuatu yang berhingga. Dikatakan dalam bahasa sansekerta, Nalpe sukhamasti bhuaneva sukhamasti (dahaga manusia tak dapat dipuaskan dengan sesuatu yang terbatas, lapar manusia tidak terpuaskan dengan sesuatu yang berhingga). Dengan demikian manusia dalam mencari kebahagiaan tertinggi, pertama mereka harus kontak dengan spiritualitas, selanjutnya begitu spiritualitas bertemu nirbatas inilah yang disebut kaum mistis sebagai yoga yaitu kemanunggalan. Bagi umat Hindu yang telah konversi agama ke Katolik yang berharap mendapatkan kebahagiaan dengan menghilangkan sesuatu yang selama ini ditakuti yaitu adanya hal gaib, leak dan sebagainya adalah sebagai bentuk pelarian terhadap ketakutan itu sendiri. Ketika telah merasa nyaman dalam

236 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. keyakinan Katolik, justru menimbulkan masalah yang baru yaitu jiwa atau psikis yang berkonflik. Secara kultur dan sosial masyarakat adalah Hindu dan eksis sampai saat ini, dengan demikian emosi keagamaanya mengalani permasalahan yang lebih besar. Dampak dari itu adalah terganggunya fungsi suatu organ yang bisa menjadi kacau yang disebabkan oleh faktor-faktor psikis, misalnya prasangka kecemasan, kekhawatiran yang berlebih-lebihan dan kebimbangan kronis, misalnya oleh rasa takut yang hebat, orang menjadi lumpuh, jantung bergerak cepat, peluh dingin mengalir diseluruh tubuh dan terkadang muntah-muntah atau diare. Ketegangan-ketegangan batin bisa mempengaruhi sentra regulative dari otak dan juga mempengaruhi serta mengganggu irama jantung, disamping itu orang yang mengalami hipokondris akan mudah membuat dirinya menjadi sakit. betapa banyaknya orang pergi ke dokter dengan macam macam keluhan sakit, namun tanpa menderita suatu penyimpangan jasmani, atau tanpa satu gangguan fungsi jasmaniah. Mereka selalu lesu, lelah, gelisah, resah, tidak bisa tidur, cemas, pusing-pusing, sering mau muntah, mederita gangguan perut, merasakan detak aneh pada jantung, merasa impoten secara seksual, dan lain sebagainya. Maka gangguan psikis demikian itu disebabkan oleh: (1) konflik batin sendiri dan (2) kondisi sosial yang sangat sulit, lingkungan sosial yang sangat tidak menguntungkan, dan tidak bisa diatasinya (Kartono, 2011: 14 dan 16). Implikasi psikologi inilah yang mempengaruhi seseorang rekonversi agama, mereka yang telah konversi ke Katolik di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan ketika menjadi Katolik mengalami sakit yang berkepanjangan dan ini telah dibuktikan dengan wawancara terhadap warga yang rekonversi agama ke Hindu. Dengan terang mereka mengatakan bahwa tujuan kembali menjadi Hindu adalah mendapatkan kebahagian dan ketenangan batin teruatma kesehatan dan kehilangan sakit dari seluruh keluarganya. Warga rekonversi merasakan kutukan dari leluhur dan lingkungan sekitar, meskipun secara sosial sangat baik, tetapi psikis tidak dapat disembunyikan. Apalagi melihat saudara-saudara lainnya beragama Hindu, tentu ada gangguan psikis yang mempengaruhi fisik. Hal ini dikatakan oleh Suderi (wawancara, 15 Agustus 2014) bahwa ketika menjadi Katolik, memang merasa dihantui oleh hal-hal yang bersifat magis, bahkan anak-anak tidak mendapat pekerjaan yang layak.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 237 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Disamping itu perasaan tidaklah nyaman dan terus mengalami kesakitan yang kemungkinan disebabkan karena pemikiran yang tidak pernah tenang, memang betul merasa kecemasan dan terkadang susah tidur. Daripada hal ini terjadi berlarut-larut, dengan meminta petunjuk dari orang yang mengetahui, diwajibkan untuk kembali menjadi Hindu. meskipun dengan banyak pertimbangan lainya, termasuk saat meninggalkan diri dari Katolik. Setelah kembali menjadi Hindu inilah perasaan beragama menjadi lebih tenang, namun mesti mengulang lagi untuk memahami Tuhan dan bersyukurlah sampai saat ini tidak lagi kesakitan seperti yang telah berlalu. Berbeda lagi dengan yang dikatakan oleh Bedra (wawancara, 11 Agustus 2014) bahwa perasaan yang terlalu didalami, memang sering menjadi trauma atau phobia jika mengingat masa lalu, karena ketika menjadi Katolik didasarkan sakit oleh orang tua terdahulu, karena ada ancaman leak dan sebagainya. Setelah menjadi Katolik, sakit yang telah disembuhkan justru kambuh kembali dan menjadi lebih parah sampai seorang anak laki-laki meninggal, karena tidak kembali menjadi Hindu. Hal inilah membuat stress dan galau, namun setelah diingatkan kembali menjadi Hindu, merasakan kedamiaan dan berharap tidak ada cobaan lagi. Hal inilah ynag menyebabkan soul atau jiwa seseorng terganggu akibat konversi agama, maka esoterik dan eksoterik pada agama barunya (Katolik) menjadi tidak masuk akal dan janji yang diberikan tidak diyakini kembali. Apalagi pembinaan terhadap agama barunya tidak ada, sehingga mereka bagaikan kehilangan spiritual dalam dirinya. Dengan demikian mereka memutuskan kembali ke agama lamanya dan kembali memilih keyakinan sebagai Hindu, dengan kembali menjadi Hindu mereka merasakan kenyamanan dalam diri dan kebahagian dalam keluarga. Hal ini adalah obat yang sangat mujarab dari gangguan psikis. Hal ini juga disampaikan dalam patologi sosial, yaitu orang dapat sembuh dari psikis apabila ada uluran keramahan yang spontan dan rasa pri kemanusiaan yang hangat untuk menyembuhkan (Kartono, 2011: 15). Inilah yang dilakukan umat Hindu, ketika melihat saudaranya telah sadar beragama dengan kembali menjadi Hindu, secara spontan para tokoh agama dan adat menberikan keringan kepada aktor rekonversi untuk kembali menjadi Hindu, termasuk hak-hak mereka dikembalikan dalam desa adat. Menurut Yasadharma, Bendesa Adat Penganggahan, (wawancara, 10 Agustus 2014) mengatakan beberapa bentuk keringanan yang diberikan

238 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. adalah dalam membangun tempat suci, memberikan pembinaan tentang cara beribadat dan mereka yang telah ditunjuk sebagai pemangku di Pura seluruh upacaranya ditanggung oleh desa. Serta perlakukan yang toleransi kepada keluarga mereka, sehingga mereka merasakan hidup yang baru. Inilah soul dalam bingkai dimensi eksoterik beragama Hindu, mereka tidak terlalu mendapatkan doktrin untk selalu mengatakan agama Hindu adalah agama benar dan kemudian mengajak orang lain masuk menjadi Hindu, karena Hindu bukanlah agama misi seperti Agama Katolik. Hindu juga secara eksoterik memberikan kebebasan pada soul untuk berkreatifitas dalam melakukan religiutasnya kepada Tuhan atau manifestasi-Nya, karena Hindu adalah agama yang universal dan fleksibel serta Agama Hindu adalah agama pertama dan tertua jadi sudah banyak pengalaman beragama yang dilakukan Hindu untuk kebagaiaan umatnya. Soul yang berada dalam dimensi esoterik Hindu adalah umat diberikan kebebasan dan untuk berbicara dalam batinnya, karena Hindu mengajarkan tentang Tuhan ada dalam diri masnusia, salah satunya pada filsafat Wedanta yang merupakan bagian dari sad dasrsana, dikatakan engkau adalah satu dengan keberadaan universal dan karenanya setiap jiwa yang ada adalah kebenaran universal dan karenanya setiap jiwa yang ada adalah jiwamu dan setiap badan yang ada adalah tubuhmu dan pada saat kau menyakiti orang lain berarti kau menyakiti dirimu sendiri. Mencintai orang lain berarti kau mencintai dirimu sendiri. Karena diri sebenarnya adalah alam semesta dan alam semesta adalah tubuhku juga. Aku adalah yang tak terbatas tapi aku tidak menyadarinya. Tetapi aku berusaha untuk mendapatkan kesadaran ini dan kesempatan akan tercapai ketika kesadaran penuh terhadap ketakterbatasan ini muncul (Kamajaya dan Sanjaya, 2001: 20). Umat Hindu yang telah rekonversi agama, dapat merasakan Tuhan dalam batinya dengan merasakan kedamaian. Terlebih mereka yang langsung ditunjuk sebagai Pemangku di Pura Kahyangan Desa merupakan bentuk dari implikasi psikologi yang berkaitan dengan psikis mereka yaitu kedamaian yang mendalam dari esoterik dalam dimensi Hindu. Mereka langsung dapat berinteraksi dengan Tuhan yang berada dalam dirinya dan juga merasakan komunikasi dengan Tuhannya yang berstana dalam dirinya. Mereka tidak lagi berkomunikasi dengan Tuhan yang jauh disana dan dibatasi oleh ruang dan waktu, serta Tuhan yang ikhlas tanpa ada misi

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 239 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. apapun. Kerinduan inilah yang memberikan mereka obat luar biasa dalam mengahyati keberadaan Tuhan dengan segala manifestasi-Nya. Tuhan sebagai kekuatan jiwa dan dia juga menemukan bahwa kualitas yang paling memuaskan dan mengasuh jiwa juga adalah yang paling menyerupai Tuahan- daivi sampad dari Gita. Disini dewata tidak mngmbil kebanggaan sebagai ada yang tunggal dan objek yang digandakan, karena dia tahu itu adalah kedua-duanya. Disini tidak ada tuhan “cemburu” yang menyatakan perang terhadap Tuhan lain; disini para dewa berteman, dan masing-masing menggambarkan semuanya, disini jiwa menemukan bahwa ia sebagai anak family dewata, dan seperti apa yang dipujanya. Tetapi teologi Katolik menyatakan bahwa sementara Yesus adalah satu bersama Tuhan, yang lainnya satu dengan adam. Ke-Ekslusif-an sebagai putra Tuhan adalah sesuatu yang serampangan dan non-spiritual (Swarup, 2008: 63). Ketika jiwa umat Hindu yang telah rekonversi agama, dapat melihat Tuhan yang damai dalam dirinya, maka otomastis mereka merasakan kebahagiaan dalam dirinya. Inilah yang menajdi dasar untuk melihat jiwa yang damai dan terseyum. Osho (1992; 1-7) menambahkan dalam psikologi alam gaib, tentang evolusi jiwa bahwa semua mahluk berevolusi termasuk manusia yang kolektif maupun individu. Evolusi tandasar bersifat kolektif dan ketika evolusi sadar ia menjadi individual. Evolusi kolektif yang berlangsung otomatis berhenti pada manusia. Setelah itu evolusi menjadi proses individu, kesadaran kemudian membentuk individualitas, sebelum kesadaran berkembang tidak ada individualitas yang ada hanyalah kelompok dan spesies. Pada kasus rekonversi agama di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan adalah suatu evolusi yang dilaksanakan secara kolektif dalam beragama, karena adanya dogma-dogma yang menghantarkan mereka pada ketidaksadaran. Begitu mereka memahami jiwa yang sadar inilah yang disebut revolusi batin dalam diri manusia yang bersifat individual. Bahwa sesungguhnya yang telah terjadi harus kembali lagi untuk mencari ilahi yang sejati. Evolusi dan revolusi yang disampikan Osho disebabkan adanya pilihan dalam kehidupanya. Binatang tidak dapat hidup selalin dari kebiasaanya, termasuk tidak dapat melakukan bunuh diri. Berbeda dengan manusia yang selalu hidup dengan pilihan dan pilihan inilah yang menyebakan mereka mengalami penderitaan, jika tidak kuat iman, mereka memilih untuk berbuat yang dilarang oleh agama, termasuk bunuh diri.

240 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Osho juga memberikan kesadaran bahwa segala sesuatu ditentukan oleh kita sebagai manusia. Dewa apapun tergantung pada anda, akhirnya semua kembali pada anda dan anda bertanggung jawab untuk itu. Tidak aka nada yang mendengarkan alasan anda, tidak ada pengadilan untuk mengadu. Seluruh tanggungjawab ada pada anda dan anda berdiri sendiri. Pada saat seseorang menjadi sadar, jadilah ia mandiri. Makin tinggi kesadaran, maka makin kuat kepekaan akan kemandirian anda, sebab hanya dengan kesendirian, anda mengalami pencerahan. Ketika Jro Mangku Nari (Geledeg) beserta istrinya (wawancara, 25 Agustus 2014) merenungkan kehidupanya yang konversi agama ke Katolik tidak mengalami perubahan seperti yang telah dijanjikan, maka dia merasakan hidup dalam kesendirian, sebab keluarganya yang masih Hindu, tentu tidak dapat ikut campur dalam masalah pribadinya maupun masalah keyakinan yang dianutnya. Dalam kesendirian merenung dalam diri, dalam hasil renungan itu, memutuskan kembali menjadi Hindu dan mengikuti apapun yang diamanatkan oleh masyarakat dan Tuhan terhadap dirinya. Kesendirian itu memberikanya sebuah keyakinan yang mendalam bahwa yang dicari dalam kehidupan ini adalah sesuatu yang memberikan kedamaian dalam diri dan keluarganya. Hal yang sama juga disampikan oleh istri Mangku Dalem (wawancara, 13 Agustus 2014) yang mengikuti suami dan sering juga menasehati suaminya, bahwa dalam keadaan yang seharusnya dilakukan adalah mencari hakikat dalam diri dengan melakukan perubahan dengan tidak lagi tergoda dengan janji dan dogma yang diberikan. Meskipun kedua orang tuanya berpindah keyakinan, namun jika tidak sesuai dengan kehidupan saat ini, jadi lebih baik memutuskan dengan tidak melakukan pilihan lagi dalam hidup dan siap menjalankan apapun yang diamanatkan dan memohon dengan Tuhan jalan yang terbaik agar diberikan kedamaian dan kenyamanan dalam melaksanakan kehidupan beragama. Termasuk pada saat ini ditunjuk sebagai Jro Mangku Dalem di Desa adat Penganggahan, Tengkudak, Penebel, Tabanan tetap menjalani dengan ikhlas tanpa ada lagi keinginan untuk berpindah ke agama lain, yang belum tentu memberikan kedamaian seperti yang dirasakan saat ini.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 241 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

12

Kondisi Ekonomi yang Menguat

enurut perspektif teori utilitarianisme, salah satu hukum dasar Mmanusia menyatakan bahwa setiap orang selalu berusaha menghindari penderitaan (mengurangi biaya-biaya) dan memaksimalkan kesenangan (atau imbalan lainya). Manusia akan banyak bertindak apabila diperkirakan dia akan mendapatkan imbalan (reward). Pencitraan tentang manusia seperti ini direfleksikan dalam pandangan bahwa seluruh organisasi masyarakat selalu berbasiskan pada kesepakatan kontaktual yang dinegosiasikan (Haryanto, 2012: 63). Berdasarkan konteks teori pertukaran sosial di atas umat Hindu yang konversi agama ke Katolik di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan, terjadi karena adanya pertukaran sosial antara misionaris terhadap umat Hindu, sehingga terjadilah kesepakatan diantara keduanya. Kesepakatan terjadi karena umat Hindu pada tahun 1960-an mengalami krisis pangan disebabkan paceklik panjang, sehingga mereka rela konversi agama, untuk mendapatkan imbalan atau reward dari misisonaris tersebut. Hal ini sesuai perndapat Jro Mangku Antara atau Kandel (wawancara, 15 Agustus 2014) pada saat masih muda sering membantu orang tuanya

242 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. mengerjakan bangunan, atau sebagai tukang bangunan, termasuk pada saat membangun gereja di Desa Adat Penganggahan, Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan. Ketika itu diberikan beras, gula dan kebutuhan hidup sehari-hari. Karena masalah ekonomi itulah mereka akhirnya konversi menjadi Katolik, seperti berikut. “Pada saat itu sangat susah, apalagi mencari kebutuhan pokok, seperti beras dan gandum, serta pakaian sangat sulit meskipun ada harganya sangat mahal, sehingga kami tidak bisa membeli. Oleh karena itu, ya, kami menjadi Katolik dan saya pun disekolahkan pada saat itu”.

Mantan Bendesa Adat Penganggahan (wawancara Senayasa, 5 September 2014) membenarkan kehadiran Katolik adalah membantu masyarakat, sakit dan tidak mampu secara ekonomi, namun kedatanganya memberikan rasa ketakutan karena banyaknya umat Hindu dikonversi menjadi Katolik. Para misisonaris mengetahui permasalahan yang terjadi di masyarakat, sehingga dengan mudahnya mendapatkan anggota menjadi Katolik. Terlebih lagi banyak umat Hindu mendapatkan fasilitas mendapatkan kebutuhan sehari-hari maupun sekolah yang menjadi hal pokok dalam masyarakat. Jro Mangku Nari (wawancara, 25 Agustus 2014) bahwa saat dirinya masih kanak-kanak biasa lancong-lancong ke Gereja, karena di sana banyak diberikan makanan dan minuman, serta kasih sayang luar biasa. Hal seperti itu biasa saja, sampai akhirnya sering diajak bernyanyi dan mendengar cerita tentang Kristus, maka memutuskan untuk konversi agama. Pernyataan disampaikan di atas sesuai subsansi teori pertukaran sosial yang dikutip dalam bukunya Haryanto (2012, 164-165) secara khusus menyatakan teori pertukaran sosial dikembangkan berdasarkan tiga asumsi yaitu (1) perilaku sosial merupakan sebuah rangkaian pertukaran; (2) individu-individu selalu berusaha untuk memaksimalkan imbalan dan meminimalkan biaya yang harus dikeluarkan; (3) ketika individu menerima imbalan dari pihak lain, mereka merasa mempunyai kewajiban untuk membalasnya (mengembalikanya). Substansi ketiga dari teori pertukaran sosial adalah balasan, hal inilah yang sulit dilakukan oleh umat Hindu, karena telah banyak menerima imbalan dari misisonaris Katolik. Ketika diminta menjadi Katolik sebagai bentuk balasan, umat Hindu tidak dapat menolaknya. Karena secara

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 243 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. tidak langsung masyarakat di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan telah di konversi agama yang berakar dari ekonomi mikro. Selain itu pula pertukaran sosial memiliki perbedaan karakteristik dengan pertukaran ekonomi dalam berbagai aspek. Salah satunya objek yang dipertukarkan tidak lagi berupa uang, kredit maupun kontrak, melainkan tindakan egois dari sifat murah hati (selfish act of generosity) yang berdampak kebutuhan untuk membalasnya bagi penerimanya dengan pembalasan tertentu, sesuai dengan yang diinginkan pemberinya. Pengusaan modal ekonomi menjadi sangat penting dilakukan oleh para zending, ketika mengkonversi beberapa warga Penganggahan, Tengkudak. Bourdieu (dalam Haryanto,2014: 40) menjelaskan bahwa modal ekonomi sangat penting, karena modal ekonomi akan mempu mereduksi segala bentuk pertukaran ke dalam ranah jual- beli. Zending begitu memahami deskripsi postulat teoretis tersebut shingga menjadi ekonomi sebagai penguasaan modal, dan banyak warga Desa Pakraman Penganggahan mengalami konversi agama. Blau (dalam Ritzer-Godman, 2007: 369) memiliki pemikiran bahwa pertukaran sosial terbatas pada tindakan yang tergantung pada reaksi pemberian hadiah dari orang lain, tindakan segera berhenti bila reaksi yang diharapkan tidak kunjung datang. Bila satu orang membutuhkan sesuatu dari orang lain, tetapi tidak memberikan apapun yang sebanding sebagai tukaranya, maka akan tersedia empat kemungkinan. Pertama, orang itu dapat memaksa orang lain untuk membantunya. Kedua, orang itu akan mencari sumber lain untuk memenuhi kebutuhanya. Ketiga, orang itu dapat mencoba terus bergaul dengan baik tanpa mendapatkan apa yang dibutuhkannya dari orang lain. Keempat, dan paling penting, orang itu menundukan diri terhadap orang lain dan memberikan orang lain itu penghargaan yang sama dalam antarhubungan mereka. Orang lain kemudian dapat menarik penghargan yang diberikan itu, ketika menginginkan orang yang ditundukan itu melakukan sesuatu. Masyarakat di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan mayoritas bermata pencaharian sebagai petani merasakan pemberian yang diterima dari missionaris adalah sesuatu yang sangat membantu kehidupan masyarakat, ketika umat Hindu menerima bantuan dan imbalan, tentu tidak disadari menjadi bagian dari propaganda, sehingga umat Hindu konversi menjadi Katolik, namun setelah pemberian yang diberikan tidak sesuai perlahan menjadi beban. Hal ini disebabkan karena berkurangnya imbalan yang

244 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. diberikan misionaris kepada mereka yang telah menjadi Katolik, akibatnya mereka yang terbiasa menerima imbalan, menjadi kebingungan berakibat umat yang menjadi katolik berlahan-lahan memundurkan diri meninggalkan kelompok barunya. Pernyataan ini disampaikan pula oleh Blau (dalam Ritzer-Godman, 2007: 369) ketika hadiah atau imbalan tak mencukupi, ikatan sosial dapat melemah dan bahkan hancur. Orang yang terlibat dalam ikatan kelompok tak selalu dapat saling memberikan hadiah secara setara. Bila terjadi ketimpangan dalam pertukaran hadiah, maka akan timbul perbedaan kekuasaan dalam kelompok. Inilah yang menjadikan implikasi ekonomi yang berakibat rekonversi agama di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan. Menurut Kepala Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan (wawancara Subagiastra, 9 Agustus 2014) bahwa pada tahun 1960-an membenarkan terjadi pemberian bantuan kepada masyarakat di Desa Pakraman Penganggahan, Penebel, Tabanan oleh missionaries kepada umat Hindu. Pemberian itu antara lain gandum, beras, pakaian, susu dan lain sebagainya, sehingga masyarakat datang untuk mendapatkan bantuan, karena situasi ekonomi saat itu kacau. Pernyataan Kepala Desa di atas dibenarkan Sekretaris Bendesa Adat Penganggahan (wawancara Wardana, 3 Agustus 2014) bahwa umat Hindu atau warga masyarakat mendapat bantuan secara material maupun moril, sehingga inilah alasan warga masyarakat konversi ke Katolik. Belakangan bantuan yang mereka berikan tidak berlanjut, sehingga umat yang telah konversi agama, justru berbalik mepunia setiap minggunya. Hal inilah menyebabkan rekonversi agama, kembali menjadi Hindu. Karena imbalan tidak sesuai dengan yang diharapkan dan umat Hindu di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan menerima dengan senang hati dan memberikan aktor rekonversi agama kemudahan melakukan ritual keagamaan. Hal itu dibenarkan oleh Suderi (wawancara, 11 Agustus 2014) bahwa mereka yang telah menjadi Katolik memang diwajibkan melakukan punia, pada saat melakukan doa setiap hari Minggu yang disebut Kolekte, karena dipergunakan untuk keperluan dan operasional dari pihak Gereja. Tentunya yang dilakukan oleh umat waktu itu adalah dalam bentuk keiklasan dan tanpa paksaan. Pendapat tersebut, memberikan suatu hal bahwa perubahan sosial tidak serta merta terjadi begitu saja. Hal ini juga disampaikan Blau (dalam Poloma, 2004: 97) yang mengakui bahwa perubahan sosial berjalan lambat.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 245 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Hal ini disebabkan resistensi dari kepentingan dan kekuasaan yang telah berakar (vested interest and power), nilai-nilai tradisional, organisasi yang telah mapan, serta lembaga-lembaga yang telah berakar. Resistensi yang dimaksudkan Blau pada rekonversi agama di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan merupakan bentuk resistensi dari pihak penguasa yang memiliki otoritas di desa. Tentunya para pemimpin di Desa Tengkudak maupun Bendesa Adat Penganggahan tidak respek terhadap misisonaries yang melakukan konversi terhadap warga masyarakatnya. Karena memiliki perbedaan nilai-nilai tradisional yang telah diwariskan oleh leluhur yang adi luhung. Disamping itu pula, telah ada organisasi kemasyarakatan yang melekat dan mengakar dengan aturan yang berlangsung secara turun temurun, termasuk organisasi subak yang mengatur sistem pengairan di sawah menjadi mata pencaharian utama masyarakat di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan. Adanya oragnisasi kemasyarakat di tingkat desa pakraman, banjar maupun sekaa teruna teruni semuanya berasaskan dan berpedoman pada spirit Hindu. Bentuk resistensi yang dilakukan para pemimpin Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan sebenarnya adalah proteksi keberlangsungan umat Hindu, karena memanggap propaganda adalah bentuk dari kapitalisme. Sebuah pernyataan dari Profesor Parsudi Suparlan yang dikutip dari Buku Genealogi Kapitalisme (2012: 4) memiliki pandangan bahwa kapitalisme merupakan inti kebudayaan modern. Pernyataan ini sesuai dengan tokoh kapitalisme pemikir besar abad-19 Karl Marx. Sebagai bentuk dari pernyataan tersebut, tentunya propaganda dengan media ekonomi yang berusaha mengajak umat melakukan konversi agama adalah gaya dari bentuk kebudayaan modern yang dapat mengubah nilai-nilai tradisional yang terdapat dalam kehidupan masyaraakat di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikutip dalam buku Genealogi Kapitalisme (2012: 6-7), seperti berikut. Penetrasi kapitalisme telah dan terus terjadi hingga sekarang sejak abad ke- 19 di wilayah nusantara. Penetrasi ini tidak hanya memperkenalkan kebudayaan material baru, seperti pakaian, kendaraan, transportasi, pabrik dan perkotaan modern. Penetrasi kapital juga merombak tatanan sosial serta menyemai nilai-nilai baru di dalam kehidupan bermasyarakat melalui lembaga pendidikan, politik, perekonomian dan keagamaan modern.

246 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Ketakutan terhadap konversi agama, justru memotivasi pemikiran para tokoh adat meningkatkan kebutuhan hidup dari warga masyarakatnya. Berbagai cara dilakukan termasuk melakukan regenerasi kepada anak muda agar bekerja dan melanjutkan cita-cita, sehingga menjadi sukses dan mampu membantu ekonomi masyarakat. Dengan demikian semangat kerja masyarakat menjadi lebih meningkat, dibuktikan pekerjaan warga masyarakat tidak saja menjadi petani tapi juga pedagang. Menurut Bendesa Adat Penganggahan (wawancara Yasadharma, 13 Agustus 2014) bahwa kehidupan masyarakat di Desa Adat Penganggahan, sangat berbeda jauh, dari zaman dulu. Dimana anak-anak telah mengenal sekolah, bahkan diangkat menjadi PNS atau Guru. “saat ini mata pencaharian masyarakat di Desa Adat Penganggahan, Penebel, Tabanan tidak saja sebagai petani, melainkan telah banyak menjadi pegawai negeri maupun swasta, serta Guru. Disamping itu dengan anak sekolah, para orang tua menjadi lebih giat kerja keras untuk dapat memenuhi kebutuhan anaknya, sampai akhirnya anaknya menjadi sukses dengan modal pendidikan yang dimiliki” (wawancara, 13 Agustus 2014)

Kemajuan ekonomi yang dimiliki oleh masyarakat di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan berimplikasi dalam rekonversi agama, terlebih lagi pemberian materi kepada masyarakat yang telah di konversi saat ini berkurang bahkan tidak ada sama sekali. Oleh karena itu, mereka memutuskan kembali menjadi Hindu. Bentuk inovasi yang dilakukan desa Pakraman terhadap krama adat adalah membangun lembaga keuangan desa, yaitu LPD (Lembaga Perkreditan Desa) didirikan tahun 1994, salah satu tujuanya adalah memberikan modal usaha kepada krama adat Desa Pakraman Penganggahan, dengan demikian yang dapat meminjam uang di LPD adalah mereka yang bergabung menjadi krama adat Penganggahan. Senayasa (Wawancara, 5 September 2014) adalah pendiri dan ketua LPD Penganggahan, proses desa Pakraman memiliki lembaga keuangan desa, yaitu pertama. dilakukan kesepakatan prajuru adat, salah satu tujuanya membantu krama adat terutama masalah modal usaha, agar kesejahteraan krama adat meningkat. Kedua, dilakukan pengajuan adminitrasi kepada Bupati Tabanan, BPD, dan beberapa pihak, setelah disurvey dan lain

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 247 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. sebagainya, akhirnya tahun 1994 izin mendirikan LPD diturunkan langsung oleh Bupati Tabanan. “… LPD di Desa Pakraman Penganggahan, mendapat izin dari Bupati Tabanan pada tahun 1994, dengan SK Ketua, Sekretaris dan Bendahara, sedangkan untuk pengawas SK nya berasal dari Gubernur Bali. Banyak krama adat dibantu oleh LPD bahkan sampai saat ini keberadaanya masih tetap eksis dan stabil, karena krama adatnya dispilin. Selama ini yang meminjam uang di LPD adalah krama adat beragama Hindu dan salah satu pembuktian ekonomi meningkat krama adat yang meminjam uang dapat melunasi hutang piutangnya, karena setelah panen, hutangnya dilunasi. Bahkan ada krama adat di luar Penganggahan meminjam uang di LPD Penganggahan, asalkan mendapat izin dan diketahui oleh Bendesa adat tempat tinggalnya dan jaminan” (wawancara Senayasa, 5 September 2014)

Inovasi prajuru adat Penganggahan di atas, sesuai dengan konsep Blau tentang pertukaran sosial terbatas kepada tingkah laku yang mendatangkan imbalan, yakni tingkah laku akan berhenti kalau dia berasumsi bahwa tidak bakal ada imbalan lagi (Upe, 2010: 183). Pernyataan Blau dapat digambarkan sebagai berikut.

Individu-individu Membentuk Imbalan intrinsic kelompok baru dan ekstrinsik

Kelompok bubar karena Konversi agama, bentuk tidak ada lagi imbalan balasan dari imbalan

Individu-individu REKONVERSI Kembali pada kelompok lamanya AGAMA

Gambar: 12.1 Implikasi Ekonomi dalam Teori Pertukaran Sosial terhadap Rekonversi Agama Di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan (Sumber: Pradnya, 2014)

Berdasarkan pada Gambar 12.1 tersebut Hal inilah yang kemudian memberikan pandangan kepada masyarakat di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan untuk kembali menjadi Hindu. Implikasi ekonomi yang memberikan prinsip-prinsip mendatangkan hasil berupa imbalan intrinsik

248 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. berupa cinta, kasih sayang dan rasa hormat dan imbalan ekstrinsik berupa uang dan tenaga kerja fisik (Upe, 2010: 182), ternyata tidak diperoleh lagi oleh individu maupun kelompok. Akibat dari hal itulah melahirkan pemikiran dan keputusan untuk mencari organisasi yang mapan dan dapat mengayomi mereka. Solusi dari permasalahan yang dihadapi oleh umat yang telah konversi agama adalah kembali pada kelompoknya terdahulu yang dengan cara rekonversi agama ke Hindu. Menurut Bedra (wawancara, 15 Agustus 2014) bahwa telah berkali- kali pindah agama, pertama Hindu kemudian menjadi Katolik dalam waktu beberapa tahun, kembali ke Hindu kemudian konversi lagi Ke Katolik dan sekarang telah memutuskan secara bulat kembali menjadi Hindu, apalagi telah terpilih sebagai Jro dasaran di Desa Adat Penganggahan, Tengkudak, Penebel, Tabanan ketika menjadi Katolik ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup sangat kurang, apalagi hanya menjadi tukang bangunan dan petani, terlebih lagi bantuan yang diberikan dari Katolik tidak ada lagi. Oleh karena itu, memutuskan kembali menjadi Hindu, berlahan-lahan ekonominya meningkat, bahkan telah mampu memperbaiki rumah. “…..,dugas tiang nu dadi Katolik, kaden tiang aluh idup. Jeg ngancan nyukehang. Konden panak tiang gelem-geleman lantas mati, tiang ba bingung apa anggon mayah obatne. Mangkin tiang sampun dados Hindu, sampun desa adat driki ne ngaenang upacarane lan nerima tiang, sampai mangkin dadi dasaran, yen anggon ngajeng tiang ajak keluarga lan cucu, suba ngidang mangkin”

Terjemahanya: “….Pada waktu saya menjadi Katolik, saya mengira hidup saya menjadi lebih mudah, ternyata tambah ruwet, belum lagi ketika anak saya sakit-sakitan dan meninggal, saya bingung mencari biaya untuk berobatnya. Sekarang saya sudah menjadi Hindu dan desa adat juga menerima saya bahkan sampai membuatkan saya upacara dan terpilih sebagai dasaran. Sekarang hidup saya jadi lebih tenang apalagi sekarang bisa membelikan makan bersama keluarga dan cucu”.

Inilah salah satu pembuktian dengan kemajuan iptek tanpa dilandasi spiritual, kehidupan ekonomi tidak dapat berkembang. Kemajuan ekonomi

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 249 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. yang dirasakan oleh mereka yang rekonversi agama menjadi Hindu adalah ketenangan saat mencari nafkah, dengan kebahagian dan ketenangan, maka segala pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik. Dengan demikian peningkatan ekonomi pun pasti terjadi. Hal ini juga tertuang dalam Kitab Suci Agama Hindu, yaitu Tasmad asaktah satatam karyam karma samacara asakto hy acaran karma param apnoti purusah Bhagawadgita (III-19)

Terjemahannya: Oleh karena itu laksanakan segala kerja Sebagai kewajiban tanpa terikat (pada akibatnya), Sebab kerja yang bebas dari keterikatan bila melakukan pekerjaan itu orang itu akan mencapai (tujuan) yang tertinggi.

Brahmany adhaya karmani Sangam tyaktva karoti yah Lipyate na sa papena Padma-patram-ivambhasa Bhagawadgita (V. 10)

Terjemahannya: ”Mereka mempersembahkan semua kerjanya kepada Brahman dan, bekerja tanpa motif keinginan apa-apa, mereka tak terjamah oleh dosa, laksana daun teratai tak basah oleh air”

Berdasarkan kitab suci Bhagawadgita di atas, menjelaskan bahwa untuk mendapatkan suatu hal yang baik adalah dengan bekerja yang tanpa motif atau kepentingan, sebab jika bekerja hanya mengharapkan imbalan dari orang lain, maka selamanya mereka merasakan penderitaan. Bekerja untuk mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan adalah bekerja yang ditujukan tidak berdasarkan imbalan tapi dipersembahkan kepada Tuhan. Dengan demikian seluruh kerjanya hanya dipersembahkan kepada Tuhan, maka dia bebas dari penderitaan. Tuhan pula tahu cara memnyenangkan umat-Nya, asalkan yang dikerjakan berdasarkan karma yoga. Bentuk kesenangan yang diberikan Tuhan atas kerja yang dilakukan dengan yajna, dibuktikan dengan peningkatan ekonomi dirasakan umat yang telah rekonversi agama.

250 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Begitu pula sesuai kutipan teks Sarasamuccaya menerangkan bahwa mereka yang hidupnya bekerja dalam jalan dharma, maka mendapatkan artha yang berlimpah. Berikut kutipan Kitab Sarasamuccaya, 12: Yan Paramarthanya, yan arthakama sadhyan, dharma juga lekasakena rumuhun, niyata katemwaning artha kama mene tan paramartha wi katemwaning arthakama dening anasar sakeng dharma (12)

Terjemahan: Kalau artha dan kama yang dituntut, maka seharusnya dharma dilakukan lebih dahulu, tak tersangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti, tidak akan ada artinya jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma.

Kutipan Sarasamuccaya di atas menegaskan kepada umat Hindu untuk selalu melaksanakan dharma atau jalan kebenaran dalam melaksanakan kehidupan. Dengan melaksankaan dharma terlebih dahulu, maka segala keinginan (kama) dan uang (artha) datang dengan sendirinya. Janji yang tertuang dalam kitab suci di atas dibuktikan oleh mereka yang telah rekonversi agama Hindu. Suderi (wawancara, 11 Agustus 2014 ) bahwa ketika rekonversi menjadi Hindu dan sanggah telah diupacarai, dirinya berkeingingan membangun rumah bertingkat, kemudian meminjam uang di salah satu Bank di Tabanan. Padahal dia membutuhkan dana Rp. 200.000.000, namun sertifikatnya hanya mampu meminjam Rp. 100.000.000, tapi ada suatu keajaiban dari Tuhan. Tiba-tiba pada saat pencairan, Suderi mendapatkan dana Rp. 200.000.000. kemudian dana itu pun dipergunakan sesuai rencana. “…..Saya telah pensiun menjadi kepala sekolah di SD 3 Tengkudak dan telah menjadi Hindu kembali. Saya berkeinginan memperbaiki rumah, agar bertingkat. Kemudian pergi mencari kredit dengan jaminan SK Pensiun. Dari SK itu hanya mendapat Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah), sedangkan untuk membangun diperlukan Rp. 200.000.000. saya terus berdoa, agar Tuhan dapat membantunya, agar rumahnya bisa segera di bangun. Pada saat mengambil uang di Bank, tiba-tiba diberikanlah dana Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Inilah yang saya percaya kepada Ida Bhattara dan uang itu saya pergunakan untuk membangun. Beberapa bulan kemudian petugas

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 251 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Bank datang ke rumah dan mengatakan ada kesalahan adminitrasi, tentang kelebihan uang itu, namun dari pihak Bank meminta maaf dan memberikan pinjaman sebesar Rp. 200.000.000 untuk dikredit dalam jangka waktu yang lama.”

Inilah pembuktian dari kitab suci Hindu yang telah memberikan janji kepada umatnya, asalkan tetap berjalan di jalan dharma dan segala kerjanya hanya untuk Ida Sang Hyang Widhi Wasa, maka mereka mendapatkan rejeki yang berlimpah dan tidak tergoyahkan imannya. Bekerjalah jangan mengharapkan imbalan atau motif, sebab imbalan dari Tuhan menjadi lebih baik dari apa yang manusia rencanakan.

252 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

13

Penutup

Kesimpulan Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penyebab dari rekonversi agama di Desa Tengkudak, Penebel, Tabanan terdiri atas: 1) Kuatnya tradisi dalam desa Pakraman, memiliki peran penting dalam rekonversi agama. Desa Pakraman tetap melaksanakan tradisi para leluhur dengan penguatan terhadap awig-awig, hak setra (kuburan), penghormatan pada Sang Hyang Tiga Sakti di Kahyangan Tiga, penghormatan pada leluhur dan Bhattara Hyang Guru dalam merajan/sanggah kamulan dan pengaturan organisasi pengairan sawah melalui subak sehingga warga konversi agama menjadi Katolik takut kehilangan haknya di desa Pakraman dan juga takut kualat (kapongor) oleh leluhur. 2) Melalui pendidikan dan pengetahuan, dalam artian adanya penguasaan modal kognitif ajaran Hindu. 3) Adanya ritual dan kesadaran Spiritual, adalah memahami Tuhan dalam catur marga, terdiri dari Jnana, Raja, Karma dan Bhakti. Memahami Tuhan melalui Jnana dan Raja Marga

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 253

366 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

adalah pemahaman bersifat niskala dalam bentuk pencerahan. 4) Melalui kesehatan dan Kapongor. 5) Melalui perkawinan yang didasari rasa cinta kasih, umat Hindu yang telah konversi menjadi Katolik, kemudian memutuskan mencari sentana (budaya Bali adalah patrilinear. 6) Adanya interaksi sosial pengaruh pergaulan dan juga hubungan dengan saudara atau keluarga. 2. Adapun proses rekonversi, yaitu: 1) Transaksi individu dan kelompok sosial, artinya rekonversi terjadi berawal dari adanya sebuah bentuk transaksional atau pertukaran antara individu dengan individu lainnya, demikian juga antar kelompok dalam ruang sosial. 2) Bendesa Adat Penganggahan sebagai pemegang status kekuasaan sehingga memiliki wewenang untuk mengakakan aturan adat. 3) Paruman Desa Pakraman sebagai legitimasi dan pengorganisasian sehingga warga Katolik ke Hindu menjadi lebih dimudahkan. 4) Melalui tempat suci dan yajña sebagai reproduksi identitas kehinduan. 5) Melakukan upacara sudhi wadani. 6) Mengurus administrasi Kependudukan. 3. Rekonversi agama di desa Tengkudak, Penebel tentunya berimplikasi bagi kehidupan masyarakat, antara lain: 1) Menguatnya relasi sosial antar warga Hindu Tengkudak; krama adat yang konversi menjadi Katolik mendapat respon dari prajuru dan krama adat sehingga terjadi konflik sosial yang pada akhirnya memutuskan kembali ke Hindu (rekonversi agama). 2) Menguatnya keyakinan warga Hindu Tengkudak terhadap leluhur dan Ida Bhatara Kahyangan Tiga, pengaruh teologi terutama dari Sang Hyang Pitara/ leluhur membuat kesadaran bagi umat Hindu rekonversi agama dan kemudian mendapat kebahagian. 3) Menguatnya ajaran Tri Hita Karana sebagai modal budaya; adanya budaya yang telah diwariskan oleh leluhur umat Hindu yang menjadi struktur masyarakat dan modal bagi umat Hindu di Desa Pakraman dalam menjalankan ritual Hindu. 4) Meningkatnya kesadaran warga Hindu Tengkudak terhadap ajaran agama Hindu, umat Hindu yang konversi agama menjadi Katolik, sering sakit dan sulit ekonomi. Hal ini disebabkan karena psikologi yang merasa bersalah. 5) Terjadinya penguatan ekonomi warga Hindu Tengkudak, dengan melakukan rekonversi agama, menjadikan batin warga bahagia dan damai sehingga meningkatkan kesejahteraan di bidang ekonomi.

254 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Saran Pertama, kepada seluruh bendesa adat dan prajuru dalam desa Pakraman atau kepada Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Propinsi Bali sebagai lembaga tertinggi di desa Pakraman. Agar dapat menegakkan segala aturan dalam desa Pakraman yang tertuang dalam awig-awig, serta mengawasi lingkunganya masing-masing agar misisonaris maupun zending tidak merubah keyakinan umat Hindu dalam desa Pakraman. Memberikan informasi dan memberikan pengarahan pada seluruh Bendesa se-Bali, agar dapat memberikan solusi kepada krama adat terutama dalam urusan pelaksanaan ritual keagamaan, terutamanya sanksi kasepekang, sedapat mungkin dihapuskan. Desa Pakraman dapat memberikan pasraman bagi para yowana, maupun krama adatnya tentang eksistensi desa pakraman yang dijiwai Agama Hindu. Kedua, kepada Parisadha Hindu Dharma Negeri (PHDI) Bali, untuk dapat memberikan pembinaan dan penyuluhan agama secara kontinyu, terutama kepada desa-desa yang menjadi sasaran dari para misisonaris dan zending. Hal ini terjadi setelah umat kembali menjadi Hindu di desa Tengkudak, Penebel, Tabanan tidak mendapatkan pembinaan secara khusus. Oleh karena itu, dalam penelitian ini disarankan agar PHDI membentuk tim khusus yang mendatangi para umat Hindu yang telah rekonversi agama dengan sistem door to door untuk masalah data dan biaya dapat dikoordinasikan kepada Bendesa adat maupun Kepala Desa dalam suatu wilayah. Ketiga, kepada pimpinan perguruan Tinggi Hindu, seperti IHDN Denpasar, STAH, UNHI dan perguruan tinggi lainya, untuk dapat melaksanakan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kantong-kantong umat yang telah disasar untuk dikonversi agama, dengan demikian mahasiswa dapat merasakan dan memiliki tantangan secara langsung untuk memberikan pembinaan kepada umat Hindu maupun yang telah konversi agama atau yang telah kembali lagi menjadi Hindu. pengalaman ini membiasakan mahasiswa untuk dapat melatih keilmuanya dan di aplikasikan kepada umat dalam situasi yang berbeda-beda. Keempat, kepada Pemerintah, khususnya Dirjen Bimas Hindu, untuk dapat memberikan terobosan program pasraman ataupun sekolah-sekolah berbasis Hindu, sehingga dapat memperkuat desa pakraman di Bali. Pembinaan sejak dini terhadap Hindu dapat menghasilkan bibit Hindu yang

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 255 Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H. berkualitas. Gubernur Bali, bersinergi dengan pusat agar dapat memberikan otonomi khusus kepada Bali, karena memiliki keunikan dalam budaya, adat, tradisi dan Agama Hindu yang menjadi spirit masyarakatnya. Hal inilah yang kemudian mengundang pariwisata dan mampu mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga berkontribusi bagi Bangsa Indonesia. Pemerintah Propinsi Bali, mesti memberikan kebebasan otonom kepada desa pakraman untuk mengurus rumah tangga secara adat. Kelima, kepada umat Hindu, bagi umat Hindu yang belum konversi agama, agar dapat lebih memahami agamanya dan meningkatkan sradha dan bhaktinya pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, agar selalu dalam perlindungan-Nya. Bagi umat Hindu yang telah konversi agama, semoga dapat dijadikan perbandingan, dengan membaca penelitian ini, semoga saja memiliki kejadian dan kasus yang sama, sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik seperti kasus dalam objek penelitian ini. Bagi umat Hindu yang akan konversi agama, semoga dapat memberikan refrensi dari dampak dan implikasi yang terjadi ketika konversi agama seperti dalam penelitian ini, sehingga mengurungkan diri untuk konversi agama.

256 Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag., M. Fil. H.

Biodata Penulis

Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag.,M. Fil.H adalah Dosen IHDN Denpasar, dilahirkan di Denpasar, 18 mei 1986. Putra kedua dari Drs. I Nyoman Suadi (Alm) dengan Ni Ketut Caturwati dan suami dari Ni Putu Enik Ernawati. Penulis aktif mengisi ceramah di berbagai tempat dan menulis artikel di majalah, media massa dan media online. kini penulis aktif meneliti tempat suci unik yang terdapat di Bali.

Rekonversi Agama Kembali ke Jalan Dharma 257