BUNGA RAMPAI TEKNOLOGI TERKINI TANAMAN PALMA

Penyunting: Novarianto Hengky Meldy L.A. Hosang Noli L. Barri Nurhaini Mashud Abner Lay Rindengan Barlina Elsje T. Tenda

IAARD PRESS BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 1

BUNGA RAMPAI : TEKNOLOGI TERKINI TANAMAN PALMA

Cetakan 2015

Hak cipta dilindungi undang-undang @Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2015

Katalog dalam terbitan

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma/Penyunting: Novarianto Hengky……[et al.].-Jakarta, IAARD Press, 2015 Viii, 109 hlm., bibl: ill.; 25 cm 633.853.55 1. Palma 2. Teknologi 3. Terkini I. Judul

ISBN ………………………..

Penanggung Jawab: Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Dewan Redaksi Ketua : Novarianto Hengky

Anggota : Meldy L.A. Hosang Noli L. Barri Nurhaini Mashud Lay Abner Rindengan Barlina Elsje T. Tenda

Redaksi Pelaksana : Djunaid Akuba Fandy Fardian Perancang Kover : Fandy Fardian

IAARD Press Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jalan Ragunan No. 29, Pasarminggu, Jakarta 12540 Telepon: +62 21 7806202, Faks.: +62 21 7800644

Alamat Redaksi: Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian Jalan Ir. H. Juanda No. 20, Bogor 16122 Telepon: +62 251 8321746, Faks.: +62 251 8326561 E-mail: [email protected]

Anggota IKAPI No. 445/DKI/2012

2 Pendahuluan

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas semua limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga Buku Bunga Rampai Teknologi Terkini Tanaman Palma dapat diterbitkan. Bunga Rampai ini memuat 10 makalah ilmiah, terdiri dari 3 makalah pemuliaan, 3 makalah ekofisiologi, 1 makalah hama dan penyakit, dan 3 makalah pasca panen. Penerbitan Bunga Rampai Teknologi Terkini Tanaman Palma ini diharapkan dapat menambah pengetahuan stakeholder yang berkecimpung dalam tanaman palma baik langsung maupun tidak langsung antara lain: petani, penyuluh, pengusaha, dinas terkait, perguruan tinggi, dan para peneliti serta pengambil kebijakan.

Kami sampaikan terima kasih kepada tim penyunting, para peneliti yang telah bersusah payah menyusun artikel, dan semua pihak yang telah membantu penyusunan buku bunga rampai ini. Semoga buku bunga rampai ini bermanfaat bagi pengembangan tanaman palma di .

Bogor, Agustus 2015

Kepala Puslitbang Perkebunan

Ttd.

Dr.Ir. Fadjry Djufry, M.Si

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 3

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...... v DAFTAR ISI ...... vii

PENDAHULUAN Hengky Novarianto ...... 1-5

Prospek dan Tantangan Perbanyakan Kelapa Kopyor Melalui Kultur Embrio Meyti A. Tulalo, Sukmawati Mawardi dan Nurhaini Mashud ...... 6-14

Pohon Induk Terpilih yang Berpeluang untuk Dilepas Sebagai Varietas Kelapa Unggul Hengky Novarianto ...... 15-23

Pelepasan Varietas Unggul Tanaman Palma Elsje T. Tenda dan Weda Makarti Mahayu ...... 24-36

Potensi Pengembangan Gula Kelapa dari Varietas Genjah Nurhaini Mashud ...... 37-43

Pengendalian Penyakit Layu Kalimantan pada Tanaman Kelapa A.A. Lolong dan Salim ...... 44-53

Pemanfaatan Tanah Bekas Tambang Batubara yang Telah Direklamasi untuk Tanaman Sagu di Sangatta, Kutai Timur Nurhaini Mashud ...... 54-62

Sintesis Human Milk Fat Analog dari Stearin Sawit Steivie Karouw, Suparmo, Pudji Hastuti dan Tyas Utama ...... 63-70

Diversifikasi Produk Pangan dari Pati Sagu Rindengan Barlina, Jane Palit, dan Steivie Karouw ...... 71-82

Produksi dan Viabilitas Benih Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr) Yulianus R. Matana ...... 83-92

Alat dan Mesin Pengolahan Produk Kelapa dan Aren A. Lay ...... 93-108

Penutup ...... 109-110

Indeks/Index ...... 111-111

4 Pendahuluan

PENDAHULUAN

Hengky Novarianto

Balai Penelitian Tanaman Palma Jalan Raya Mapanget, Kotak Pos 1004 Manado 95001 E-mail: [email protected]

Tanaman palma diantaranya kelapa, kelapa sawit, sagu, aren, dan pinang memegang peranan ekonomi cukup penting bagi sebagian masyarakat tani Indonesia. Komoditi ini pada umumnya sebagai penghasil pangan (karbohidrat, gula) dan energi (etanol, biofuel, kayu bakar), maupun papan, yaitu bahan baku untuk rumah, meubelair, dan berbagai peralatan rumah tangga yang beraneka ragam. Penelitian dan pengembangan teknologi tanaman palma yang dilaksanakan di Balai Penelitian Tanaman Palma (Balit Palma) terdiri dari penelitian bahan tanaman seperti keanekaragaman plasma nutfah, pemuliaan tanaman, sumber benih unggul, bioteknologi, teknologi budidaya, pengendalian hama dan penyakit, pasca panen, pengolahan hasil, alat-alat prosesing hasil, dan sosial ekonomi dan aspek pasar. Buku ini menginformasikan hasil-hasil penelitian dari beberapa komoditi palma dan berbagai aspek penelitian pada kurun waktu 10 tahun terakhir. Salah satu yang sedang banyak permintaan dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi adalah varietas kelapa kopyor yang merupakan kelapa mutan yang bersifat letal tetapi memiliki nilai ekonomi tinggi. Dalam buku ini disampaikan perkembangan teknologi terakhir metode perbanyakan kelapa kopyor menggunakan teknologi kultur jaringan. Perbanyakan kelapa kopyor dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara konvensional dan non konvensional. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa komposisi media tumbuh in vitro yang tepat untuk menunjang pertumbuhan embrio menjadi planlet adalah media Eeuwens formulasi ke-3 (Y3) dengan penambahan zat pengatur tumbuh NAA. Komposisi media tumbuh ex vitro untuk aklimatisasi, yaitu campuran pasir, tanah dan vermikulit. Meskipun demikian kendala yang ditemukan adalah kurangnya produksi benih hasil kultur embrio karena satu embrio hanya menghasilkan satu kecambah, sehingga perlu dicari alternatif untuk perbanyakan benih kopyor hasil kultur embrio. Penelitian di Balit Palma yang sementara dilakukan, menunjukkan bahwa embrio yang dibelah dua pada titik tumbuh yang tepat dan ditumbuhkan pada media Murashige and Skoog (MS) mampu membentuk bakal daun dan akar. Dalam buku ini juga disampaikan hasil teknologi terbaru, yaitu penyediaan benih kelapa unggul. Produktivitas kelapa dapat ditingkatkan secara optimal melalui penggunaan benih unggul dan perbaikan kultur teknis. Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 5

Hasil inventarisasi sumber benih kelapa di 32 Provinsi sepanjang tahun 2015 menunjukkan bahwa sebagian sumber benih dalam bentuk Pohon Induk Terpilih dari Blok Penghasil Tinggi (BPT) masih tersedia dan layak dijadikan sumber benih. Sumber benih kelapa Dalam yang secara alami telah mengalami proses seleksi secara tidak langsung oleh petani, ternyata memiliki produksi dan produktivitas hasil yang tinggi dibandingkan populasi kelapa Dalam lainnya, sehingga dapat dipertimbangkan untuk diteliti lebih lanjut kestabilan hasilnya. Hasil inventarisasi dan penilaian BPT dan PIT kelapa di 32 provinsi diketahui terdapat 16 lokasi BPT dan PIT kelapa yang memiliki potensi produksi kopra di atas 3 ton/ha/tahun. Beberapa sumber benih berpotensi ini berpeluang diobservasi lebih lanjut dan diusulkan dilepas sebagai varietas unggul lokal. Sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2015 varietas tanaman palma yang telah dilepas sebanyak 11 varietas unggul oleh Menteri Pertanian terdiri dari kelapa Genjah, kelapa Dalam, aren, sagu, dan pinang. Dalam kurun waktu tersebut telah dilepas enam varietas kelapa, yaitu tiga varietas kelapa genjah kopyor, diantaranya Genjah Kuning Kopyor, Genjah Hijau Kopyor dan Genjah Coklat Kopyor yang berasal dari Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah dan tiga varietas kelapa Dalam, yaitu Kelapa Dalam Panua berasal dari Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, Varietas Kelapa Buol ST-1 berasal dari Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah dan varietas Kelapa Dalam Adonara berasal dari Kabupaten Flores Timur, Provinsi NTT. Selain itu juga telah dilepas dua varietas Aren, yaitu varietas aren Genjah Kutim berasal dari Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur, dan Aren Dalam varietas Akel Toumuung berasal dari Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara. Dua varietas Sagu unggul yang telah dilepas adalah varietas sagu Selatpanjang Meranti berasal dari Kabupaten Meranti, Provinsi Kepulauan Riau dan varietas sagu Baruq berasal dari Kabupaten Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara. Adapun satu varietas pinang yang dilepas adalah Pinang Betara yang berasal dari Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Gula kelapa adalah salah satu produk kelapa yang banyak permintaan di pasar dalam negeri, terutama sebagai bahan baku kecap. Gula kelapa memiliki kandungan nutrisi yang cukup dibanding dengan gula tebu. Gula kelapa dapat menjadi pemanis yang aman bagi penderita diabetes karena nilai indeks glikemiknya rendah, yaitu 35. Selama ini gula kelapa diolah dari nira kelapa Dalam. Kelapa Dalam memiliki batang yang tinggi sehingga mem-butuhkan waktu penyadapan nira yang lebih lama dengan resiko kecelakaan yang tinggi. Kelapa Genjah lebih ekonomis disadap niranya dibanding kelapa Dalam, karena batangnya lebih pendek dengan diameter yang lebih kecil sehingga lebih mudah disadap. Selain itu, kelapa Genjah memiliki buah ber-ukuran kecil dan apabila diolah menjadi kopra kualitasnya rendah karena bersifat rubbery. 6 Pendahuluan

Hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Palma menunjukkan bahwa produktivitas nira kelapa Genjah tidak berbeda dengan kelapa Dalam, dengan kadar gula lebih tinggi (13,51-14,56 %) dari kelapa Dalam (12,61- 12,92%). Hama dan penyakit tanaman kelapa masih sangat mengganggu petani kelapa di beberapa daerah di Indonesia., seperti penyakit Layu Kalimantan yang menyerang kelapa di Kalimantan Tengah yang kemudian dikenal secara internasional dengan nama ”Penyakit Layu Kalimantan” (Kalimantan wilt). Penyakit tersebut merupakan salah satu penyakit berbahaya yang menyerang tanaman kelapa karena setiap pohon yang terserang dipastikan akan mati. Penyebabnya adalah dua jenis Phytoplasma, yaitu Phytoplasma Australiense (16SrXII kelompok) yang menyerang berbagai jenis tanaman di Australia, dan Phytoplasma oryzae (kelompok 16SrXI) yang menyerang padi dan tebu di Thailand dan Papua Nugini. Penularan Phytoplasma dari satu tanaman ke tanaman lain terjadi secara alami melalui vektor serangga yang umumnya dari ordo Homoptera yang menusuk dan mengisap dengan periode laten 4-31 bulan. Pengendalian terhadap penyakit Layu Kalimantan lebih banyak pada tindakan pencegahan dengan membersihkan kebun serta tanaman yang kena penyakit ditebang dan bakar. Disamping itu dapat dilakukan penekanan gulma dan penyemprotan insektisida untuk serangga vector dan melakukan injeksi batang dengan Hydrooxytetracyclin untuk tanaman kelapa yang ada disekitar sumber penyakit. Ijin pertambangan batubara PT. Kaltim Prima Coal (KPC) di Sangatta, Kutai Timur akan berakhir tahun 2021. Pemanfaatan tanah bekas tambang batubara untuk perluasan areal perkebunan merupakan peluang, setelah tanah tersebut direklamasi untuk meningkatkan daya dukung dan daya guna untuk produksi biomasa. Dari aspek kualitas tanah, kendala utama rehabilitasi tanah adalah rendahnya unsur hara dan bahan organik, toksisitas unsur tertentu, kemampuan tanah menyerap unsur hara dan air, pH tanah dan sifat kimia tanah yang buruk, sehingga tanaman yang sesuai untuk tanah bekas tambang adalah tanaman yang memiliki daya adaptasi tinggi pada tanah marjinal. Salah satu jenis tanaman tersebut adalah sagu, baik sagu rumbia (Metroxylon rumphii, Rottb) maupun sagu Baruq (Arenga microcarpa, Becc). Tanah di Danau Kembar dengan pH 6,46 sesuai untuk tanaman sagu. Dua jenis tanaman sagu ini telah ditanam di Danau Kembar, sagu rumbia (Metroxylon rumphii, Rottb) berumur satu tahun telah memiliki anakan 1-3 anakan/pohon, jumlah daun 7,15-8,40 pelepah/pohon, dan sagu Baruq memiliki daun sebanyak 6,0 pelepah/pohon. Stearin sawit adalah fraksi padat hasil ikutan pengolahan minyak sawit. Asam lemak utama yang terdapat pada stearin sawit adalah asam

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 7 palmitat (49,6-58,8%) dan sekitar 58,3% teresterifikasi pada posisi sn-2. Asam palmitat merupakan asam lemak utama yang terdapat pada Air Susu Ibu (ASI) dan sekitar 44,80% terdistribusi pada posisi sn-2 dari triasilgliserol. Stearin sawit merupakan salah satu sumber asam palmitat potensial yang dapat digunakan untuk sintesis HMF Analog. Dua tahap utama pada pengolahan HMF Analog berbahan stearin sawit, yaitu preparasi 2-monogliserida dari stearin sawit dan interesterifikasi 2- monogliserida dengan ester metil asam lemak. Proses sintesis menggunakan lipase dari Rhizomucor miehei yang spesifik mengkatalisis posisi sn-1,3 dari triasilgliserol. Pati sagu merupakan makanan pokok hanya pada sebagian daerah di Indonesia, sehingga secara nasional konsumsi pati sagu di kawasan perkotaan hanya 0,08 kg per kapita per tahun, sedangkan di pedesaan 0,71 kg per kapita per tahun. Dibandingkan dengan konsumsi terigu tahun 2009 mencapai 12,88 kg/ kapita/tahun di kota, sementara di desa 9,05 kg/kapita/tahun. Upaya diversifikasi produk pangan dari pati sagu diperlukan untuk menjadi produk yang disukai dan dapat dikonsumsi oleh seluruh lapisan konsumen, antara lain biskuit dan roti sagu. Hasil penelitian menujukkan, bahwa pengolahan biskuit dan roti sagu, masing- masing dengan substitusi pati sagu sampai 80% dan 30%, secara organoleptik masih dapat diterima konsumen. Sedangkan pengolahan “bagea Amurang” dan beras analog, sumber pati utama hanya dari pati sagu. Jika potensi pati sagu dapat dimanfaatkan dengan maksimal, maka konsumsi pati sagu di Indonesia akan meningkat. Umumnya penyadapan mayang bunga jantan yang dilakukan bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan buah aren yang diman-faatkan sebagai sumber benih. Dikuatirkan penyadapan dapat mempengaruhi perkembangan buah sehingga mempengaruhi viabilitas benih aren. Hasil penelitian menunjukkan bahwa viabilitas benih aren yang dihasilkan dari penyadapan tandan bunga jantan tidak mempengaruhi viabilitas benih aren yang dihasilkan. Oleh karena itu, penyadapan pada tandan bunga jantan tetap dapat dilaksanakan dan benih yang dihasilkan tetap memiliki viabilitas yang tinggi dan tidak mengganggu penyediaan benih aren. Pinang merupakan salah satu komoditi palma yang memiliki nilai ekspor, terutama ke negara-negara Asia Selatan. Penyebaran pinang cukup luas namun potensi ini belum diimbangi dengan kegiatan eksplorasi untuk menemukan varietas-varietas unggul baru dalam memperkaya keragaman genetik dan sumber benih unggul pinang Indonesia. Dari 33 provinsi di Indonesia yang memiliki populasi tanaman pinang, 7 provinsi telah dilakukan kegiatan eksplorasi dengan koleksi 41 aksesi pinang, salah satu diantaranya adalah Pinang Betara asal

8 Pendahuluan

Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi telah dilepas sebagai varietas pinang unggul. Peluang untuk eksplorasi harus segera dilakukan untuk memperkaya keragaman genetik pinang Indonesia. Untuk meningkatkan nilai tambah produk perkebunan, maka alat dan mesin pengolahan yang efektif, efisien dan terjangkau kelompok tani sangat penting sebagai teknologi prosesing baik kelapa maupun aren yang diharapkan mampu meningkatkan produktivitas kerja, mutu produk, dan menekan tingkat kehilangan hasil pertanian. Alat pengolahan produk kelapa dan aren hasil rancangan Balit Palma tahun 2010-2015, terdiri dari (a) pemarut kelapa sistem pemarut ganda, (b) pengepres santan sistem hidrolik, (c) pengeringan kopra putih, (d) pengolah pupuk organik limbah kelapa, terdiri dari pencacah daun kelapa, penghancur bahan organik, ayakan berputar, pencampur bahan baku pupuk organik dan bak fermentasi, dan (e) pengolah etanol sistem evaporator-destilator ganda. Diharapkan alat-alat ini, dapat diaplikasikan para petani/kelompok tani untuk pengolahan aneka produk kelapa dan aren, yang dapat menunjang peningkatan kapasitas kerja, nilai tambah komoditas dan peningkatan pendapatan petani.

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 9

PROSPEK DAN TANTANGAN PERBANYAKAN KELAPA KOPYOR MELALUI KULTUR EMBRIO PROSPECTS AND CHALLENGES PROPAGATION KOPYOR COCONUT THROUGH EMBRYO CULTURE

Meity A. Tulalo, Sukmawati Mawardi, dan Nurhaini Mashud

Balai Penelitian Tanaman Palma Jalan Raya Mapanget, Kotak Pos 1004 Manado 95001 E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Kelapa kopyor merupakan kelapa mutan yang berifat letal tetapi memiliki nilai ekonomi tinggi. Perbanyakan kelapa kopyor dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara konvensional dan non konvensional. Secara konvensional kelapa kopyor diperbanyak dengan menanam buah normal yang dipanen dari pohon yang menghasilkan buah kopyor, tetapi buah kopyor yang dihasilkan pertandan sangat rendah yaitu untuk kelapa Dalam 3-25% dan kelapa Genjah 5-50%. Secara non konvensional menggunakan teknik kultur embrio, dengan persentase buah kopyor mencapai 100%. Keberhasilan kultur embrio sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah media tumbuh dan iklim mikro baik pada tahap in vitro maupun ex vitro. Hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Palma telah menemukan komposisi media tumbuh in vitro yang tepat untuk menunjang pertumbuhan embrio menjadi planlet, yaitu media Eeuwens formulasi ke-3 (Y3) dengan penambahan zat pengatur tumbuh NAA. Komposisi media tumbuh ex vitro untuk aklimatisasi yaitu campuran pasir, tanah dan vermikulit. Meskipun demikian kendala yang di-temukan adalah kurangnya produksi bibit hasil kultur embrio karena satu embrio hanya menghasilkan satu bibit, sehingga perlu dicari alternatif untuk perbanyakan bibit kopyor hasil kultur embrio. Penelitian Balit Palma yang sementara dilakukan, menunjukkan bahwa embrio yang dibelah dua pada titik tumbuh yang tepat dan ditumbuhkan pada media Murashige and Skoog (MS) mampu membentuk bakal daun dan akar.

Kata kunci : Kopyor, embrio, in vitro, ex vitro, aklimatisasi.

ABSTRACT

Kopyor is lethal mutant coconut which has a high economic value. Kopyor coconut multiplication can be done by two ways: i.e. conventional and non-conventional. Conventionally, kopyor coconut’s propagated by planting normal fruit that harvested from trees which produce kopyor fruit. However, the percentage of kopyor produced per bunch is very low at 3-25% for tall coconut and 5-50% for dwarf coconut. Non-conventional for embryo culture technique, is applied in which the percentage of fruit kopyor reaches 100%. The success of embryo culture is influenced by several factors, including the growing medium and micro-climate both at in vitro and ex vitro stage. Indonesian Palmae Research Institute has found the best growing media to support the growth of embryos into plantlets, namely Eeuwens formulation 3 (Y3) media with the addition of NAA. Whereas for the ex vitro growth, media composition for acclimatization is a mixture of sand, soil and vermiculite. Nevertheless problems found is the lack of seed production as a result of embryo culture embryo produced only one seed, so it is necessary to find an alternative breakthrough for seed multiplication kopyor embryo culture. The result of Indonesia Palmae

6 Prospek dan Tantangan Perbanyakan Kelapa Kopyor Melalui Kultur Embrio

Research Institute that is being made, showed that embryo cut halved at the right growing point and grown on Murashige and Skoog (MS) media capable of forming leaves and roots. Keywords: Kopyor, embryos, in vitro, ex vitro, acclimatization.

PENDAHULUAN

Kelapa kopyor merupakan komoditas andalan yang bernilai ekonomi tinggi dan dicirikan oleh daging buah yang bertekstur gembur dan sebagian besar tidak melekat di tempurungnya, serta rasa yang gurih pada buah yang muda. Buah kopyor dihasilkan dari tanaman kelapa yang diduga mengalami penyimpangan genetik (mutasi alami). Kelapa berbuah kopyor adalah mutan kelapa yang ditemukan di antara populasi kelapa normal. Kelapa kopyor ditemukan pada dua tipe, yaitu tipe Dalam dan tipe Genjah. Sifat kopyor dipengaruhi oleh gen resesif, dan mutasi pada endosperm menyebabkan kelapa kopyor bersifat letal jika diperbanyak secara konvensional melalui biji. Perbanyakan secara konvensional dilakukan dengan cara menanam buah normal dari tandan yang menghasilkan buah kopyor pada pohon yang membawa sifat kopyor. Tetapi buah kopyor yang dihasilkan per tandan sangat rendah, yaitu 3- 25% untuk kelapa Dalam dan 5-50% kelapa Genjah (Novarianto dan Maskromo, 2007), bahkan ada yang tidak meng-hasilkan buah kopyor. Hal ini tergantung peluang bertemunya gen resesif yang menentukan sifat kopyor. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk memperbanyak kelapa kopyor adalah melalui teknik kultur embrio. Kultur embrio merupakan salah satu teknik in vitro yang dilakukan dalam kondisi aseptik. Dalam kultur aseptik, embrio dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman muda yang normal melalui beberapa tahap pemeliharaan. Teknik kultur embrio pada tanaman kelapa pertama kali dilakukan untuk menyelamatkan embrio kelapa yang mempunyai nilai ekonomis tetapi tidak dapat tumbuh secara alami karena abnormalitas endospermnya (Tulalo et al., 2006), selanjutnya berkembang dan dimanfaatkan dalam kegiatan eksplorasi, koleksi dan konservasi serta pertukaran plasma nutfah dan perbanyakan aksesi eksotik seperti kelapa kopyor (Mashud dan Tulalo, 1999). Melalui teknik kultur embrio, dapat dihasilkan buah kopyor hingga 100% jika kelapa kopyor hasil kultur embrio ditanam secara terisolasi dari kelapa normal, sehingga meminimalisir adanya perkawinan silang dengan kelapa normal.

1. Prospek Ekonomi Kelapa Kopyor

Bunga Rampai : Teknologi Terkini Tanaman Palma 7

Kelapa kopyor merupakan salah satu plasma nutfah bernilai ekonomi tinggi yang dimiliki Indonesia. Endosperm yang bertekstur gembur, gurih dan memiliki cita rasa yang khas menjadikan kopyor banyak diminati oleh konsumen baik jika dikonsumsi sebagai buah segar maupun jika diolah menjadi es kopyor, es krim, koktail, klapertart, dan selai. Saat ini target pemasaran daging buah kopyor tidak hanya sebatas industri rumah tangga dan restoran, tetapi juga telah masuk ke industri besar seperti perusahaan es krim dan memiliki peluang menjadi komoditi ekspor. Hal ini menyebabkan permintaan kelapa kopyor dari waktu ke waktu akan semakin meningkat. Namun demikian jumlah dan produksinya yang masih terbatas karena rendahnya persentase jumlah buah kopyor yang dihasilkan, sehingga harga jualnya menjadi relatif mahal. Menurut Maskromo et al. (2015), harga kelapa kopyor per butir pada tahun 2014 berkisar Rp20.000-30.000 di tingkat petani. Sumber lain menye-butkan harga kelapa kopyor di petani berkisar Rp25.000-60.000 tergantung ukuran buah, dan di Kota Jakarta bisa mencapai Rp150.000 per butir. Harga tersebut biasanya naik hingga dua kali lipat di bulan Ramadhan. Harga kelapa kopyor yang cukup mahal menjadi daya tarik bagi petani untuk membudidayakan kelapa kopyor. Sentra perkebunan kelapa kopyor di Kabupaten Pati tidak hanya menjadi pemasok buah kopyor, namun juga memasarkan bibit kelapa kopyor alami sehingga keuntungan yang diperoleh lebih besar. Harga bibit kelapa Genjah kopyor alami berkisar antara Rp20.000 - Rp30.000. Jika petani memiliki lahan seluas 1 hektar dan ditanami kelapa kopyor alami dengan jarak tanam 8 m x 8 m, maka terdapat 156 pohon/ha. Berdasarkan deskripsi tiga varietas kelapa kopyor yang telah dilepas, potensi produksi buah berkisar antara 80-150 butir/pohon/tahun, dengan rata-rata 115 butir/pohon/tahun dan persentase rata-rata buah kopyor 28%. Bila 50% dari buah normal dijadikan bibit, maka estimasi penghasilan bruto yang diperoleh petani dari penjualan bibit dan buah kopyor sebesar Rp280.800.000/ha/thn.

2. Masalah dan Tantangan Perbanyakan Kelapa Kopyor Potensi ekonomi kelapa kopyor yang cukup besar menjadi daya tarik tersendiri bagi petani untuk mengembangkan kelapa kopyor. Meskipun demikian budidaya tanaman kelapa tipe ini belum optimal. Salah satu kendala yang dihadapi adalah belum tersedianya bibit kelapa kopyor dengan kualitas yang memadai dengan harga yang terjangkau (Sisunandar, 2014). Perbanyakan kelapa kopyor dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara konvensional dan non konvensional. Perbanyakan secara konvensional dilakukan dengan cara menanam kelapa normal dari tandan

8 Prospek dan Tantangan Perbanyakan Kelapa Kopyor Melalui Kultur Embrio

buah yang meng-hasilkan buah kopyor. Sedangkan secara non konvensional dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu transplantasi embrio dan kultur embrio. Perbanyakan secara konvensional membutuhkan biaya yang lebih murah dan dapat dilakukan oleh petani karena tidak membutuhkan teknologi yang cukup rumit dibandingkan secara non konvensional karena perlakuan benih, pembibitan dan perawatannya sama dengan kelapa normal. Namun saat seleksi calon benih yang dibutuhkan keahlian khusus untuk membedakan kelapa yang daging buahnya kopyor dan yang normal. Kelemahan perbanyakan secara alami adalah tidak ada jaminan bibit tersebut dapat menghasilkan buah kopyor seperti tetuanya, karena secara morfologi tidak dapat dibedakan antara kelapa normal dan kelapa kopyor yang heterozigot. Kelapa kopyor hanya dapat diidentifikasi melalui buah yang dihasilkan, sehingga dibutuhkan waktu hingga 4-5 tahun untuk kelapa Genjah dan 5-6 tahun untuk kelapa Dalam untuk mengetahui bahwa kelapa tersebut menghasilkan buah kopyor. Selain itu buah kopyor per tandan yang dihasilkan hanya berkisar antara 3-25% pada tipe dalam dan 5-50% pada tipe Genjah. Kelapa kopyor yang dikembangkan secara non konvensional meskipun membutuhkan biaya yang lebih besar dan teknik yang lebih rumit, tetapi bisa memberikan jaminan bahwa bibit yang dihasilkan merupakan kelapa kopyor yang bisa menghasilkan buah kopyor 90-100% (Tulalo dan Maskromo, 2007). Sistem perbanyakan dengan transplantasi embrio tidak membutuhkan waktu dan biaya yang besar seperti teknik kultur embrio, akan tetapi tingkat keberhasilan yang masih cukup rendah. Transplantasi embrio dapat dilakuan pada kelapa mutan yang memiliki endosperm yang hancur dan tidak dapat mendukung pertumbuhan embrio dengan cara memindahkan embrio dari kelapa donor (kelapa mutan) ke batok penerima (kelapa normal). Teknik ini dapat dilakukan pada tipe kelapa yang sama yaitu kelapa Dalam dengan kelapa Dalam atau kelapa Genjah dengan kelapa genjah. Kendala yang dihadapi untuk transplantasi embrio, yaitu sulit dilakukan dalam jumlah besar, rendahnya kemampuan embrio berkecambah akibat kontaminasi, tidak ada kontak antara embrio donor dengan endosperm penerima sebagai sumber energi untuk berkecambah dan mudahnya tempurung retak karena pada transplantasi embrio yang digunakan adalah kelapa tanpa sabut, sehingga mempengaruhi kemampuan bibit menghadapi tekanan dan cekaman air menjadi lebih rendah (Mashud dan Matana, 2006; Adkins et al., 2008). Teknik non konvensional lain yang bisa digunakan untuk perbanyakan kelapa kopyor yang berkualitas, yaitu dengan teknik kultur embrio. Namun kendala yang dihadapi yaitu biaya yang dibutuhkan untuk perbanyakan cukup besar dan ketersediaannya masih terbatas karena dari satu embrio hanya

Bunga Rampai : Teknologi Terkini Tanaman Palma 9

dihasilkan satu bibit, sehingga harga bibit kelapa kopyor menjadi mahal. Selain itu waktu produksi yang dibutuhkan cukup lama, yaitu 6-8 bulan di tahap in vitro dan 6-8 bulan di tahap ex vitro. Salah satu cara untuk mengatasi keterbatasan jumlah bibit yang dihasilkan adalah dengan menggunakan teknik pembelahan embrio tepat pada titik tumbuh embrio menjadi dua atau empat bagian dan ditumbuhkan pada media tumbuh yang tepat. Namun beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan keberhasilan teknik ini masih sangat rendah dalam pembentukan bibit secara sempurna.

3. Perbanyakan dengan Teknik Kultur Embrio Perbanyakan tanaman melalui teknik kultur embrio dilakukan melalui dua kondisi pertumbuhan yaitu kondisi in vitro (aseptik/terkontrol) dan kondisi ex vitro (lingkungan di luar laboratorium). Keberhasilan kultur embrio sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah media tumbuh dan iklim mikro baik pada tahap in vitro maupun pada tahap ex vitro. Hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Palma pada kultur embrio kelapa kopyor telah menemukan komposisi media tumbuh in vitro yang tepat untuk menunjang pertumbuhan embrio menjadi planlet yang lengkap. Media tumbuh tersebut adalah media Eeuwens formulasi ke-3 (Y3) dengan penambahan zat pengatur tumbuh NAA. Embrio yang digunakan berasal dari buah berumur 10-11 bulan. Secara umum teknik kultur embrio kelapa kopyor adalah sebagai berikut : embrio kelapa kopyor dipisahkan dari endospermnya dengan meng-gunakan sendok kecil selanjutnya disterilkan dan dikultur dalam media Y3 padat kemudian diinkubasi dalam ruang terang (Gambar 1).

Gambar 1. Embrio kelapa kopyor yang dikulturkan pada media tumbuh Y3.

Selanjutnya dilakukan pemeliharan dengan melakukan sub kultur setiap bulan sampai terbentuk daun dan akar (Gambar 2). Pemeliharaan kultur in vitro dilakukan selama 6-8 bulan. Pada tahap akhir

10 Prospek dan Tantangan Perbanyakan Kelapa Kopyor Melalui Kultur Embrio

pemeliharaan kultur in vitro, planlet yang terbentuk di sub kultur pada media cair (Gambar 3). Planlet yang telah memiliki 2-4 daun terbuka dan akar lateral (masih dalam botol kultur) dipindahkan ke screen house untuk hardening selama 3-4 minggu yang merupakan tahap awal aklimatisasi. Hasil penelitian terdahulu sudah berhasil mendapatkan planlet kelapa kopyor secara in vitro namun planlet yang dihasilkan belum dapat bertahan pada tahap aklimatisasi. Aklimatisasi merupakan titik krusial dalam kultur in vitro karena pada tahap ini merupakan masa adaptasi tanaman hasil kultur in vitro dengan lingkungan yang terkendali, bersifat aseptik dan heterotrof menjadi kondisi alami yang tidak terkendali dan bersifat autotrof. Aklimatisasi perlu dilakukan untuk memperbaiki fungsi akar dan daun pada planlet.

Gambar 2. Planlet kelapa kopyor. Gambar 3. Planlet yang siap pra aklimatisasi. Pada tahap in vitro planlet memperoleh senyawa organik secara eksogenous, kelembaban terjaga, suhu stabil, intensitas cahaya rendah sehingga menyebab-kan rendahnya kemampuan akar menyerap unsur hara dari media. Fungsi stomata pada daun juga belum maksimal untuk menghindari evapotranspirasi tinggi dan beradaptasi dengan intensitas cahaya yang tinggi, serta tipisnya lapisan lilin dan kutikula. Masih rendahnya kemampuan akar dan daun sehingga perlu dilakukan perubahan iklim mikro, media tumbuh dan unsur hara dari kondisi in vitro ke kondisi ex vitro secara bertahap. Media tumbuh memberikan peranan yang cukup besar pada tahap aklimatisasi, karena selain harus bersifat porous juga bisa menyediakan unsur hara yang mudah diserap oleh akar. Balai Penelitian Tanaman Palma telah

Bunga Rampai : Teknologi Terkini Tanaman Palma 11

melakukan penelitian media aklimatisasi kelapa kopyor hasil kultur embrio dengan menggunakan beberapa kombinasi media tumbuh seperti pakis, pasir, tanah, dan vermikulit serta debu sabut dan arang sekam. Kendala yang dihadapi bervariasi pada masing-masing kombinasi media seperti besarnya tingkat kontaminasi pada planlet sehingga akar planlet menjadi rusak dan membusuk, selain itu ditemukan juga pangkal batang yang membusuk. Kondisi ini dapat disebabkan oleh adanya cendawan dan bakteri pada media tumbuh yang mengakibatkan busuknya akar maupun pangkal batang. Kemungkinan lain yaitu jaringan pembuluh antara akar dan daun yang belum sempurna sehingga dibutuhkan komposisi media yang aerasinya lebih baik lagi untuk mendukung pertumbuhan dan fungsi akar yang belum maksimal. Menurut Robinson et al. (2009), kondisi in vitro menyebabkan floem yang terbentuk pada tanaman hanya sedikit. Hasil penelitian tahun 2015 mendapatkan komposisi media tumbuh aklimatisasi, yaitu campuran pasir, tanah, vermikulit. Pada komposisi media tersebut tidak ditemukan lagi akar yang rusak atau busuk pada pangkal batang. Komposisi pasir yang lebih banyak memungkinkan aerasi yang lebih baik dan menyebabkan media tumbuh lebih remah. Adapun penggunaan vermikulit selain membuat media menjadi remah, juga berfungsi menjaga kelembaban karena kemampuannya menyimpan air. Vermikulit juga menjadi salah satu sumber hara anorganik. Meskipun unsur hara dapat diperoleh dari media tumbuh, namun kemampuan akar yang masih rendah sehingga planlet masih membutuhkan unsur hara dari sumber lain. Pupuk yang digunakan pada tahap aklimatisasi yaitu pupuk daun dan pupuk cair dengan kandungan unsur makro dan mikro yang cukup lengkap. Komponen yang penting selain media tumbuh pada tahap aklimatisasi, yaitu iklim mikro (cahaya, kelembaban dan suhu). Sebelum masuk pada tahap aklimatisasi, dilakukan pra aklimatisasi (hardening) yaitu menempatkan planlet pada tahap subkultur terakhir pada lingkungan ex vitro (screen house), sehingga planlet memiliki kemampuan untuk beradaptasi pada suhu yang tidak terkendali dengan sumber cahaya yang berasal dari cahaya matahari. Tahapan ini berlangsung selama 2-3 minggu. Pada saat aklimatisasi, planlet yang telah dipindahkan ke media ex vitro di screen house masih perlu disungkup secara individual dengan plastik (Gambar 4), dan dilakukan pengguntingan sungkup secara bertahap hingga planlet dapat beradaptasi dengan lingkungan ex vitro. Pada tahap ini dilakukan pemeliharaan dengan penyiraman dan pemupukan, kemudian setelah satu bulan semua sungkup plastik dibuka. Tahap selanjutnya bibit dipindahkan ke polibag besar (Gambar 5) untuk menunjang pertumbuhan akar yang lebih baik dan secara rutin dilakukan penyiraman dan pemupukan sesuai kebutuhan. Pada tahap aklimatisasi dibutuhkan watu 5-6 bulan sampai bibit siap dipindahkan ke lapangan. Untuk sementara bibit diberi naungan dengan daun kelapa untuk menghindari bibit terpapar langsung dari cahaya matahari dengan intensitas yang tinggi. Tanaman dipelihara secara intensif

12 Prospek dan Tantangan Perbanyakan Kelapa Kopyor Melalui Kultur Embrio

terutama pada tiga bulan pertama. Modifikasi media tumbuh dan perlakuan saat aklimatisasi meningkatkan persentase keberhasilan tahap ex vitro dari 20% (Mashud, 2007) menjadi 50%. Bibit kelapa kopyor tipe Dalam hasil perbanyakan melalui kultur embrio harus ditanam pada areal yang terpisah dari pertanaman kelapa biasa, karena kelapa tipe Dalam adalah tanaman menyerbuk silang. Sedangkan tipe Genjah dapat dikembangkan pada areal yang relatif sempit karena sifat kelapa Genjah yang menyerbuk sendiri (Mashud, 2007). Balit Palma saat ini sementara melakukan penelitian dengan teknik pembelahan embrio (splitting). Hasil sementara menunjukkan bahwa embrio yang dibelah dua pada titik tumbuh yang tepat dan ditumbuhkan pada media Murashige and Skoog (MS) mampu membentuk bakal daun dan akar (Gambar 6). Teknik tersebut diharapkan dapat meningkatkan jumlah bibit yang dihasilkan.

Gambar 4. Planlet yang sudah dipindahkan ke polibag dengan sungkup plastik.

Gambar 5. Bibit kelapa kopyor hasil kultur embrio.

Bunga Rampai : Teknologi Terkini Tanaman Palma 13

Gambar 6. Calon planlet hasil pembelahan embrio.

PENUTUP

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk memperbanyak kelapa kopyor yang berkualitas adalah menggunakan teknik kultur embrio. Perbanyakan tanaman melalui teknik kultur embrio dilakukan melalui dua kondisi pertumbuhan yaitu kondisi in vitro (aseptik/terkontrol) dan kondisi ex vitro (lingkungan di luar laboratorium). Keberhasilan kultur embrio sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah media tumbuh serta kondisi iklim mikro baik pada tahap in vitro maupun pada tahap ex vitro saat aklimatisasi. Dengan teknik kultur embrio dapat dihasilkan tanaman kelapa dengan prosentase buah kopyor 90-100%. Namun demikian, tantangan dalam aplikasi teknik kultur embrio untuk perbanyakan kelapa kopyor adalah lambatnya waktu produksi dan jumlah bibit yang dihasilkan sedikit karena satu embrio hanya dapat menghasilkan satu bibit, sehingga ketersediaannya masih terbatas serta harganyapun menjadi mahal. Salah satu cara untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan menggunakan teknik pembelahan embrio tepat pada titik tumbuh embrio menjadi dua atau empat bagian dan ditumbuhkan pada media tumbuh yang tepat. Teknik tersebut diharapkan dapat digunakan untuk produksi masal bibit kelapa kopyor. Dengan demikian penelitian untuk meningkatkan produksi bibit kopyor hasil kultur embrio perlu dilanjutkan untuk menjawab kendala perbanyakan bibit kelapa kopyor yang berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Adkins, S.W., E. Rillo, dan O. Orense, 2008. Final report Small Research and Development Activity : Development of an embryo transplantation technique for coconut germplasm movement and seedling production of elite coconut types. Aciar. Mashud, N. 2007. Perbanyakan kelapa kopyor dengn kultur in vitro. Monograf Kelapa Kopyor. Hal 19-26. Mashud, N. dan E. Manaroinsong. 2007. Teknologi kultur embrio untuk pengembangan kelapa kopyor. Buletin Palma 33 : 37-44. Mashud, N. dan M.A. Tulalo. 1999. Pengaruh GA3 terhadap perkecambahan embrio kelapa DMT umur 9 bulan. Buletin Palma 25 : 69-73. Mashud, N., I. Maskromo, R.T.P Hutapea, H. Novarianto. 2006. Potensi dan peluang pengembangan kelapa kopyor di Indonesia. Prosiding

14 Prospek dan Tantangan Perbanyakan Kelapa Kopyor Melalui Kultur Embrio

Konferensi Nasional Kelapa VI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Mashud, N. dan Y.R. Matana. 2006. Transplantasi embrio kelapa. Buletin Palma 31 : 19-27. Robinson, J.P., S.J. Britto, and S. Senthilkumar. 2009. Comparative anatomical studies on Emilia zeylanica C. B. Clarke with in vitro Regenerated Plants. Middle-East Journal of Scientific Research 4 (3):140-143 Sisunandar. 2014. Teknik embryo incision dapat meningkatkan produksi bibit kelapa kopyor true-to-type. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa VIII. Jambi, 21-22 Mei 2014. Hal 45-52. Tulalo, M.A., H. Novarianto dan N. Mashud. 2006. Teknik kultur embrio dan pemanfaatannya dalam pengelolaan plasma nutfah kelapa. Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman.Bogor, 1-2 Agustus 2006. Hal 22-24. Tulalo, M.A. dan I. Maskromo. 2007. Keanekaragaman genetik kelapa kopyor. Monograf Kelapa Kopyor. Hal 3-8.

Bunga Rampai : Teknologi Terkini Tanaman Palma 15

POHON INDUK TERPILIH YANG BERPELUANG UNTUK DILEPAS SEBAGAI VARIETAS KELAPA UNGGUL SELECTED MOTHER PALM AS AN OPPORTUNITY TO BE REALEASE LEGALY AS HIGH YIELDING COCONUT VARIETY

Hengky Novarianto

Balai Penelitian Tanaman Palma Jalan Raya Mapanget, Kotak Pos 1004 Manado 95001 E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Produktivitas kelapa dapat ditingkatkan secara optimal melalui penggunaan benih unggul dan perbaikan kultur teknis. Seleksi massa terhadap sifat-sifat fenotip superior untuk memperoleh genotip unggul pada tanaman kelapa sudah lama direkomendasikan. Sumber benih kelapa Dalam yang secara alami telah mengalami proses seleksi secara tidak langsung oleh petani, ternyata memiliki produksi dan produktivitas hasil yang tinggi dibandingkan populasi kelapa Dalam lainnya, sehingga dapat dipertimbangkan untuk diteliti lebih lanjut kestabilan karakter produksinya. Apabila hasil observasi terhadap produksinya tetap stabil setiap panen, tahan terhadap serangan hama dan penyakit kelapa utama, maka sumber benih tersebut dapat diusulkan untuk dilepas sebagai varietas unggul nasional dan menjadi sumber benih bina. Tulisan ini menyampaikan hasil evaluasi beberapa Pohon Induk Terpilih (PIT) di beberapa Kabupaten dan Provinsi yang berpeluang untuk diteliti lebih lanjut bisa diusulkan pelepasannya sebagai varietas unggul kelapa. Hasil inventarisasi dan penilaian Blok Penghasil Tinggi (BPT) dan PIT kelapa di 32 provinsi menunjukan bahwa terdapat 16 lokasi BPT dan PIT kelapa yang memiliki potensi produksi kopra di atas 3 ton/ha/tahun. Pohon Induk Kelapa (PIT) terpilih dari BPT tersebut dapat dilakukan observasi lebih lanjut untuk tujuan pelepasan varietas unggul nasional.

Kata kunci: Kelapa Dalam, seleksi, BPT, PIT, varietas.

ABSTRACT

Coconut productivity can be increased optimally through the use of improved seed and technical practices. Mass selection for superior phenotypic traits to obtain superior genotypes on coconut palms have been long recommended. In the coconut seed stock which naturally has been undergone a process of indirect selection by farmers, it has a higher production and productivity than that in other coconut populations, so it can be considered for further study on the stability of production. If the observations showed that production is remained stable in each harvest genotyper are resistant to pests and diseases of major pests, the genotyper can be proposed legally as new high yielding national varieties. This paper delivered result on evaluation of some Selected Mother Palm (SMP) in some districts and province that are likely to be further observed in order to be proposed for the released of superior coconut varieties. Evaluation on High Yielding Block (HYB) and assessment results of coconut in 32 provincial SMP showed that there are 16 locations of HYB and SMP which have coconut potential copra production potential above 3 tonnes/ha/year. Those selected Mother Palm (SMP) selected from the HYB can be further observed for the purpose of legally release of high yielding coconut national varieteis. Keywords: Tall coconut, selection, HYB, SMP, variety.

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 16

PENDAHULUAN

Produktivitas kelapa dapat ditingkatkan secara optimal melalui penggunaan benih unggul dan perbaikan kultur teknis. Kalau hanya salah satunya yang digunakan maka peningkatan produksi kelapa secara optimal tidak akan tercapai. Pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya menggunakan benih yang memenuhi standar mutu sesuai persyaratan relatif masih sangat rendah, sehingga orientasi pengadaan benih belum sepenuhnya pada mutu yang tinggi tetapi pada jumlah yang harus tercukupi. Pengadaan yang demikian mengakibatkan tidak seragamnya pertanaman dan produksi tanaman. Seleksi massa terhadap sifat-sifat fenotip superior untuk memperoleh genotip unggul pada tanaman kelapa sudah lama direkomendasikan. Cara tersebut berhasil meningkatkan produksi dibandingkan dengan populasi tanaman sebelumnya, tetapi tidak semua ekspresi sifat dapat dijadikan patokan kemajuan genetik dalam seleksi. Menurut Thampan (1981), seleksi tetua berdasarkan hasil buah tinggi dan kemudian buahnya digunakan sebagai bahan tanaman, maka keturunannya tidak semuanya berproduksi tinggi. Hal ini disebabkan karena kelapa Dalam pada umumnya 95% menyerbuk silang sehingga buah yang dipanen untuk benih adalah hasil penyerbukan dari berbagai tanaman disekitarnya. Liyanage (1973) menyatakan bahwa respons seleksi berdasarkan suatu sifat pada tanaman kelapa dapat positif ataupun negatif. Hasil percobaan seleksi massa di Sri Lanka berdasarkan berat buah tanpa sabut hasilnya meningkat. Seleksi 5% tanaman yang mempunyai berat buah tanpa sabut tertinggi, memberikan kenaikan berat buah tanpa sabut sebesar 14,4% pada populasi turunannya, sedangkan seleksi 10% dan 15% memberikan kenaikan berat buah tanpa sabut berturut-turut sebesar 10,1% dan 7,9% (Liyanage, 1973). Ini berarti bahwa semakin besar nilai seleksi diferensial maka semakin kecil kenaikan hasil populasi turunannya. Menurut Hukum Keseimbangan Hardy-Wiemberg apabila pohon induk kelapa sumber benih berasal dari hasil penyerbukan silang alami maka benih yang dihasilkan stabil secara genetik (Carpena et al., 1993). Ini berarti frequensi genotipe populasi tanaman tidak akan berubah dari generasi ke generasi, sehingga petani dapat menggunakan buah kelapa tersebut sebagai benih tanpa kuatir terjadinya penurunan kekekaran. Sumber benih kelapa Dalam yang secara alami telah mengalami proses seleksi secara tidak langsung oleh petani, ternyata genotype tersebut memiliki produksi dan produktivitas yang tinggi dibandingkan populasi kelapa Dalam lainnya, maka genotype tersebut dapat dipertimbangkan untuk diteliti lebih lanjut kestabilan hasilnya. Jika setelah dilakukan observasi ternyata genotype tersebut produksinya tetap stabil setiap panen, tahan terhadap serangan hama

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 17

dan penyakit kelapa utama, maka sumber benih tersebut dapat diusulkan untuk dilepas sebagai varietas unggul nasional dan menjadi benih bina.

SUMBER BENIH KELAPA DALAM UNGGUL

Pada dasarnya penentuan sumber benih kelapa Dalam unggul dilakukan dalam dua tahap, yakni : (1) Seleksi Blok Tanaman Kelapa (BPT), dan (2). Seleksi Pohon Terpilih (PIT).

1. Penilaian dan Penetapan Blok Tanaman Kelapa (BPT) Blok Tanaman Kelapa (BPT) adalah kebun kelapa yang tanamannya berada dalam satu hamparan (tidak terpencar) dengan luas minimal 2,5 ha dan maksimal 25 ha. Persyaratan blok pertanaman kelapa Dalam untuk dijadikan blok sumber benih harus memenuhi kriteria teknis sebagai berikut : a) umur tanaman minimal 15 tahun dan maksimal 60 tahun; b) pertanaman seragam, baik jenis, tinggi tanaman, jarak tanam dan tinggi tanaman, c) produksi minimal 2,0 ton kopra/ha/tahun; d) bebas dari serangan hama dan penyakit utama kelapa; dan e) blok pertanaman terletak didaerah sentra kelapa yang strategis sehingga mudah dijangkau. Penilaian dan penetapan suatu BPT kelapa apakah layak sebagai sumber benih kelapa unggul lokal dilakukan melalui suatu mekanisme dan tahapan pengamatan data morfologi, produksi dan komponen buah kelapa sesuai standar COGENT (Santos et al., 1997). Pengamatan data ini diamati pada 30 pohon contoh yang ditetapkan secara acak pada BPT kelapa tersebut. Pengamatan pada 30 pohon contoh kelapa dilakukan terhadap karakter-karakter generatif: Jumlah tandan buah/pohon, jumlah buah/tandan, jumlah buah/pohon/tahun, dan komponen buah kelapa, yaitu mulai dari Bentuk buah dan bentuk biji, berat buah total, berat biji, berat air biji, berat tempurung, dan berat daging buah segar. Sifat-sifat penting lainnya yang diamati adalah bentuk mahkota daun, jumlah daun/pohon, dan ada tidaknya serangan hama dan penyakit utama kelapa. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menghitung nilai rata-rata, simpangan baku, dan koefisien keragaman dari setiap karakter kelapa. Kemudian dilakukan perhitungan untuk estimasi produktivitas BPT kelapa tersebut melalui perkalian beberapa komponen karakter kelapa. Jika hasil diperoleh produksi kopra di atas 2,0 ton/ha/tahun, maka dengan terpenuhinya persyaratan lainnya, BPT kelapa tersebut dapat ditetapkan sebagai BPT yang layak sebagai sumber benih kelapa Dalam unggul lokal.

18 Pohon Induk Terpilih yang Berpeluang untuk Dilepas sebagai Varietas Kelapa Unggul

Jika dalam satu hektar terdapat 100 pohon tanaman maka produksi buah/ha/tahun = 100 x 73,9 butir = 7.390 butir dan apabila kopra rata-rata 220 g/butir maka produksi kopra/ha/tahun = 7.390 butir x 220 g = 1,63 ton kopra/ha/tahun. Oleh karena KK sifat jumlah buah/ha lebih kecil dari 20% dan produksi kopra/ha/tahun 1,63 ton maka blok tersebut masuk kategori BPT. Akan tetapi tidak semua pohon dalam blok dapat diambil buahnya untuk benih sehingga perlu dilakukan tahapan seleksi berikutnya yakni seleksi pohon induk. Untuk mendapatken benih kelapa Dalam unggul dari BPT kelapa tersebut, maka harus diikuti tahapan selenjutnya, yaitu melakukan seleksi atau pemilihan Pohon Induk Terpilih (PIT) kelapa.

2. Seleksi Pohon Induk Terpilih (PIT) Kelapa Pada saat akan dilakukan seleksi atau pemilihan Pohon Induk Terpilih (PIT) kelapa dari suatu BPT, maka perlu diperhatiakan benar persyaratan untuk suatu pohon kelapa dapat ditetapkan sebagai PIT. Jumlah PIT yang dipilih dari suatu BPT kelapa sebaiknya tidak lebih dari 15% dari total pohon kelapa pada BPT tersebut, agar benih kelapa yang dijadikan bahan tanaman untuk peremajaan dan atau pengembangan kelapa akan terjadi peningkatan nyata untuk produktivitas hasil dibandingkan tetua asalnya. Sifat-sifat penting yang perlu diperhatikan saat memilih PIT adalah : a) bentuk mahkota bulat atau setengah bulat; b) jumlah daun lebih dari 29 daun pada mahkota; c) tangkai daun pendek dan lebar agar kokoh menyanggah buah; d) tangkai tandan pendek dan kekar; e) menghasilkan paling sedikit 12 tandan buah/tahun dengan rata- rata 7 butir/tandan; f) bentuk buah bulat atau setengah bulat; g) bentuk biji bulat atau bulat telur; dan h) tidak terserang hama dan penyakit.

VARIETAS KELAPA UNGGUL

Pada tahun 2004 sampai tahun 2014 telah berhasil dilepas 19 varietas kelapa Dalam unggul, terdiri dari 11 varietas hasil seleksi PIT (Pohon Induk Terpilih) di kebun percobaan, Balai penelitian Tanaman Palma, dan sisanya 8 varietas kelapa Dalam hasil kerjasama dengan pemerintah daerah tingkat provinsi, dan atau kabupaten. Kesepuluh varietas kelapa Dalam unggul hasil seleksi PIT di Balai Penelitian Tanaman Palma, yaitu: (1) Dalam Mapanget (DMT), (2) Dalam Tenga (DTA), (3) Dalam Bali (DBI), (4) Dalam Palu (DPU), (5) Dalam Sawarna (DSA), (6) Dalam Kima Atas (DKA), (7) Dalam Banyuwangi (DBG), (8) Dalam Jepara (DJP), (9) Dalam Lubuk Pakam (DLP), (10) Dalam Rennel (DRL) dan (11) Dalam Takome. Selanjutnya kedelapan

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 19

varietas kelapa Dalam unggul lokal sebagai hasil kerjasama dengan pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten adalah: (11) Dalam Sikka asal Nusa Tenggara Timur, (12) Dalam Bojong Bulat asal Yogyakarta, (13) Dalam Kramat dan (14) Dalam Moluwahu, keduanya asal Gorontalo, (15) Dalam Adonara asal Nusa Tenggara Timur, (16) Dalam Panua asal Gorontalo, (17) Dalam Buol St-1 asal Sulawesi Tengah, dan (18) Dalam Mastutin asal Nusa Tenggara Barat. Potensi hasil varietas kelapa Dalam unggul ini antara 2,6 ton – 3,5 ton kopra/ha/tahun dengan kadar minyak 64-69%. Walaupun telah dilepas sebanyak 19 varietas kelapa Dalam unggul, tetapi sumber benih kelapa yang tersedia masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan setelah proses pelepasan varietas, belum diikuti dengan pembangunan Kebun Induk Kelapa Dalam (KIKD). Agar benih kelapa tersedia dengan mutu tinggi secara genetis, dan jumlah yang cukup memadai untuk kebutuhan program peremajaan dan pengembangan kelapa, maka setiap varietas kelapa yang telah dilepas sebagai varietas unggul harus diikuti dengan pembangunan Kebun Induk. Penyebaran benih tanaman harus mengikuti UU No. 12 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1995, yaitu benih/bibit yang disebar harus berlabel dan disertifikat. Penggunaan benih bermutu dari sumber BPT dan PIK adalah untuk menunjang program peremajaan jangka pendek. Penyediaan benih untuk program jangka panjang, tetap harus berasal dari kebun induk kelapa Dalam yang sudah dilepas, maupun membangun KIKD Komposit dari varietas kelapa yang telah dilepas (Benih bina). Sementara menunggu pembangunan kebun induk yang membutuhkan waktu cukup lama yaitu minimal 15 tahun untuk mulai berproduksi optimal, maka penyediaan benih kelapa unggul harus mencari solusi lain, dan tidak hanya bergantung pada sumber benih dari BPT dan PIK. Untuk itu disarankan kepada setiap provinsi dan kabupaten yang telah memiliki bahan tanaman unggul lokal, untuk melanjutkan dengan pengamatan dan evaluasi potensi hasil sedikitnya tiga tahun, pengumpulan data morfologi, data produksi dan komponen buah serta data penunjang lainnya. Jika data telah lengkap, maka dapat diusulkan dalam sidang TP2V Tanaman Perkebunan untuk dilepas sebagai varietas unggul lokal.

SUMBER BENIH KELAPA YANG MEMILIKI POHON INDUK TERPILIH PRODUKSI TINGGI

Metode inventarisasi dan penilaian dilakukan melalui observasi langsung dan wawancara dengan ketua kelompok tani, anggota pengurus lainnya, dan staf dinas perkebunan di Kabupaten masing-masing.

20 Pohon Induk Terpilih yang Berpeluang untuk Dilepas sebagai Varietas Kelapa Unggul

Observasi langsung terhadap BPT kelapa dengan mendatangi lokasi pertanaman dan melihat apakah populasi BPT tersebut masih lengkap, dan Pohon Induk Terpilih (PIT) masih ada dalam populasi. Kemudian dilakukan pengambilan PIK contoh sebanyak 5 pohon, kemudian diamati karakter produksi tanaman kelapa tersebut mulai dari jumlah tandan per pohon, jumlah buah 3 tandan terakhir, dan dipetik satu buah untuk pengamatan berat daging buah. Kelapa dikupas dan dikeluarkan tempurung dan air buah, lalu daging buah kelapa segar ditimbang untuk mengetahui berat melalui timbangan duduk 5 kg. Estimasi potensi produksi kopra PIK akan dilihat dari perkalian berbagai komponen produksi ini dan berat kopra per butir adalah 50% dari berat daging kelapa segar. Inventarisasi telah dilakukan pada 32 Provinsi di Indonesia sejak bulan Maret sampai Oktober 2015, dan hasilnya dapat disampaikan bahwa beberapa PIT dari BPT kelapa masih layak untuk dijadikan sumber benih kelapa Dalam unggul lokal, tetapi terdapat pula di beberapa daerah dan lokasi ternyata PIT sudah tidak memenuhi syarat sebagai sumber benih kelapa Dalam unggul lokal. Pada kenyataan di lapangan juga dijumpai pula bahwa semua PIT dan atau keseluruhan BPT kurang mendapat perhatian pemeliharaan blok pertanaman maupun PIT sebagai sumber benih, terutama pemupukan. Beberapa PIT dari BPT kelapa yang setelah diinventarisasi dan dievaluasi memiliki peluang untuk diteliti melalui observasi sedikitnya 3 tahun ke depan dalam rangka pelepasan varietas kelapa Dalam unggul. Tindak lanjut ini perlu mendapatkan perhatian khusus, karena sesuai Permentan RI Tahun Nomor 50 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa semua benih tanaman yang harus diedarkan sebagai benih bina. Benih bina adalah benih yang berlabel Biru dan sudah dilepas sebagai varietas unggul nasional. Hasil inventarisasi kelayakan yang dilaksanakan pada BPT dan PIT kelapa Dalam yang lama, dan penilaian serta penetapan BPT dan PIT kelapa yang baru sebagai sumber benih kelapa Dalam unggul lokal di 32 Provinsi disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan laporan hasil inventarisasi, penilaian dan penetapan BPT dan PIT kelapa ternyata terdapat 8 Provinsi yang memiliki kelapa Dalam dengan potensi produksi kopra di atas 3 ton/ha/tahun, yaitu Sumatera Barat, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan Maluku. Masing-masing provinsi memiliki berturut-turut 1, 4, 2, 5, 2, dan 2 BPT pada Desa yang berbeda. Berdasarkan jumlah lokasi ditemukan bahwa yang memiliki BPT kelapa dengan potensi produksi kopra tinggi tersebut adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur 5 lokasi, yaitu di Kabupaten Nagekeo dan Ende di Pulau Flores, dan Provinsi Benkulu memiliki 4 lokasi, yakni di Kabupaten

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 21

Bengkulu Selatan dan Bengkulu Utara, sedangkan Provinsi lainnya memiliki 1-2 lokasi..

22 Pohon Induk Terpilih yang Berpeluang untuk Dilepas sebagai Varietas Kelapa Unggul

Hasil pengamatan secara umum pada semua lokasi yang memiliki BPT kelapa dengan potensi hasil tinggi, yaitu setiap PIT dapat menghasilkan buah rata-rata di atas 100 butir/pohon. Bahkan dijumpai empat lokasi yang menghasilkan jumlah buah tertinggi, yaitu 133 butir/pohon di Desa Tanjung Aur dan Gindosuli, Kecamatan Bunga Mas, Kabupaten Bengkulu Selatan; 138 butir/pohon di Desa Selali, Kecamatan Pino Raya, Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu 149 butir/pohon dijumpai di Desa Kerliku Selatan, kecamatan Labuhan Haji, kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan 175 butir/pohon di Desa Wahai Negeri Air Besar, Kecamatan Seram Utara Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Berdasarkan estimasi potensi produksi kopra/pohon/tahun, maka diperoleh rata-rata di

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 23

atas 25 kg/ pohon, dengan keragaman hasil antara 25,28 kg – 48,83 kg kopra/pohon. Dengan mempertimbangkan data pengamatan jumlah buah per pohon dan potensi hasil kopra per pohon, maka dapat diestimasi produksi kopra PIT kelapa ini jika ditanam dengan jarak tanam 9 m x 9 m segi empat atau populasi 123 pohon/ha, maka akan diperoleh produksi rata-rata di atas 3 ton/ha/tahun. Beberapa lokasi bahkan dapat menghasilkan antara 5-6 ton kopra/ha/tahun, seperti PIT kelapa di Desa Wahai Negeri Air Besar, Kecamatan Seram Utara Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku dengan estimasi produksi 5,06 ton/ha; di Desa Bua, Kecamatan Tellulimpoe, Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan dengan estimasi produksi 5,07 ton/ha; ketiga di Desa Kerliku Selatan, Kecamatan Labuhan Haji, kabupaten Lombok Timur,

24 Pohon Induk Terpilih yang Berpeluang untuk Dilepas sebagai Varietas Kelapa Unggul

Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan potensi hasil 5,62 ton/ha; dan tertinggi di Desa Padang Lebar dan Padang, Kecamatan Dalam Pino, Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu, yakni 6,0 ton/ha (rata- rata estimasi produksi kopra per pohon, yaitu 48,83 kg/pohon). BPT dan PIT kelapa yang memperlihatkan potensi produksi tinggi tersebut di atas berpeluang untuk dilakukan penelitian lebih lanjut sedikitnya selama tiga tahun dengan tujuan untuk mengetahui kestabilan hasilnya. Jika potensi produksi hasilnya stabil, yaitu tetap tinggi selama observasi tiga tahun, dan dilengkapi dengan data dukung lainnya, maka PIT kelapa ini dapat diusulkan untuk dilepas sebagai varietas unggul nasional.

Tabel 1. Pohon Induk Terpilih (PIT) dari BPT kelapa yang berpeluang diobservasi untuk dilepas sebagai varietas kelapa Dalam unggul di beberapa Kabupaten dan Provinsi.

No. Provinsi*) Kabupaten Kecamatan Desa Estimasi Estimasi Estimasi potensi potensi produksi produksi produksi kopra/ buah/ kopra/ ha/tahun pohon/ pohon/ (ton)**) tahun tahun (butir) (kg) 1. Sumbar Padang V Koto Nagari 101,71 30,07 3,70 Pariaman Kampung Sikuncur 2. Bengkulu Bengkulu Dalam Padang Lebar 109 48,83 6,0 Selatan Pino dan Padang Mumpo 3. Bengkulu Bengkulu Pino Raya Selali 138 31,52 3,88 Selatan Tanjung Aur 4. Bengkulu Bengkulu Bunga Mas dan Gindosuli 133 31,25 3,84 Selatan Jago Boyo 5. Bengkulu Bengkulu Utara 3,31 Lais 114 26,93 Lombok Timur Kerliku Selatan

6. NTB Lombok Utara Genggelang 149 5,62 Labuhan Haji 45,71 Nagekeo Ladolima

7. NTB Nagekeo Pautola 112 3,40 Nagekeo Gangga Kotawuji Barat 27,64 8. NTT Kotawuji Timur 115,9 4,24 9. NTT Nagekeo Keo Tengah Wolotolo 101,0 34,48 3,53 10. NTT Keo Tengah Ulo 110,9 28,68 4,20 Ende Keo Tengah Bua 34,19 11. NTT Bone Wahai Negeri 96,0 3,64 Sinjai Keo Tengah Air Besar 29,59

12. NTT Maluku Tengah Malaku 110,2 3,77 Detusoko 13. Sulsel 94,52 30,66 3,11 Tellu 14. Sulsel Maluku Tengah 113,65 25,28 5,07 15. Maluku Tellulimpoe 175,14 5,06 Seram Utara 41,20 41,15 Barat

16. Maluku 140 4,13 Seram Utara Barat 33,6

Catatan: *) Sumber pustaka: (1) Miftahorrachman dan Mawardi (2015); (2) Novarianto dan Tulalo (2015); (3) Novarianto dan Sulistyowati (2015); (4) Tulalo (2015); (5) Tenda (2015); (6) Kumaunang (2015). **) 1 ha = 123 pohon (9 m x 9 m segi empat).

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 25

PENUTUP

Hasil inventarisasi dan penilaian BPT dan PIT kelapa di 32 Provinsi menunjukkan bahwa terdapat 16 lokasi BPT dan PIT kelapa yang memiliki potensi produksi kopra di atas 3 ton/ha/tahun. Pohon Induk Kelapa (PIT) terpilih dari BPT tersebut dapat dilakukan penelitian observasi lebih lanjut untuk tujuan pelepasan varietas unggul nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Carpena, A. L., R. R. C. Espino, T. L. Rosario and R. P. Laude. 1993. Genetics at population level. SEAMEO Regional Center for Graduate Study and Research in Agriculture (SEAMEO- SEARCA)-UPLB. Los Banos Philippines. Kumaunang, Jeanette. 2015. Laporan inventarisasi kelayakan BPT kelapa di Provinsi Maluku. Balit Palma, Manado. 12 pp. Liyanage, D.V.1973. Pemuliaan galur-galur kelapa berproduksi tinggi. Pemb. LPTI. 15-16: 23-27. Miftahorrachman dan Sukmawati Mawardi. 2015. Laporan pelaksanaan kegiatan inventarisasi BPT kelapa di Provinsi Sumatera Barat. Balit Palma, Manado. 11 pp. Novarianto, H. Dan E. Sulistyowati. 2015. Hasil pelaksanaan inventarisasi dan penilaian kelayakan kebun sumber benih kelapa di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Balit Palma, Manado. 6 pp. Novarianto, H. Dan M. Tulalo. 2015. Laporan hasil pelaksanaan inventarisasi dan penilaian kelayakan kebun sumber benih kelapa di Provinsi Bengkulu. 10 pp. Santos, G.A., P.A. Batugal, A. Othman, L. Baudouin and J.P. Labouisse. 1997. Manual on standardized research techniques in coconut breeding. IPGRI, Selangor-Malaysia. p.35. Tenda, E.T. 2015. Laporan inventarisasi kelayakan sumber benih kelapa Dalam di Provinsi Sulawesi Selatan. Balit Palma, Manado. 8 pp. Thampan, P.K. 1981. Handbook on coconut palm. Oxford and IBH Publishing Co. Calcutta. 311 p. Tulalo, Meity. 2015. Hasil pelaksanaan inventarisasi dan penilaian kelayakan kebun sumber benih kelapa di Kabupaten Nagekeo dan Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Balit Palma, Manado. 13 pp.

26 Pohon Induk Terpilih yang Berpeluang untuk Dilepas sebagai Varietas Kelapa Unggul

PELEPASAN VARIETAS UNGGUL TANAMAN PALMA OFFICIAL RELEASE OF SUPERIOR PALM VARIETY

Elsje T. Tenda dan Weda Makarti Mahayu Balai Penelitian Tanaman Palma Jalan Raya Mapanget, Kotak Pos 1004 Manado 95001 E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Benih yang beredar harus benih bina yaitu benih yang sudah dilepas oleh Menteri Pertanian sebagai varietas unggul. Penggunaan benih bina merupakan perlindungan terhadap petani atau konsumen dari penggunaan benih asalan (benih palsu). Sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2015 varietas tanaman palma yang telah dilepas sebagai varietas unggul oleh Menteri Pertanian adalah 3 varietas kelapa genjah kopyor, yaitu Genjah Kuning Kopyor, Genjah Hijau Kopyor dan Genjah Coklat Kopyor berasal dari Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah, 3 varietas Kelapa Dalam terdiri dari varietas Kelapa Dalam Panua berasal dari Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, Varietas Kelapa Buol ST-1 berasal dari Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah, varietas Kelapa Dalam Adonara berasal dari Kabupaten Flores Timur, Provinsi NTT dan Kelapa Dalam Mastutin yang berasal dari Kabupaten Sumbawa, NTB. Selain itu, 2 varietas aren, yaitu varietas aren Genjah Kutim berasal dari Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur, dan Aren Dalam varietas Akel Toumuung berasal dari Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara. Dua varietas sagu yang dilepas, yaitu varietas sagu Meranti berasal dari Kabupaten Meranti, Provinsi Kepulauan Riau dan varietas sagu Baruq berasal dari Kabupaten Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara. Satu varietas Pinang, yaitu Pinang Betara yang berasal dari Jambi. Kesalahan dalam pemilihan benih akan mengakibatkan kerugian yang sangat besar. Sebaliknya pemilihan benih dari varietas unggul yang telah dilepas merupakan langkah awal menuju sukses dalam budidaya tanaman palma.

Kata kunci: Varietas, unggul, kelapa, sagu, aren, pinang.

ABSTRACT

Distribution of seeds have to use seeds that have been released by the Ministry of Agriculture as a superior variety. Using realeased seed aims to protect farmers or consumers from using un- superior seed (false seed). From 2010 to 2015, varieties of palm tree that have been released by the Minister of Agriculture namely are 3 varieties coconut kopyor i.e. Kopyor Yellow Dwarf, Green Dwarf and Kopyor Brown Dwarf, derived from Pati regency, Central Java Province, and 3 Tall superior varieties of coconut i.e. Panua Tall from Pohuwato Regency, Gorontalo Province, Buol ST-1 from Buol, Central Sulawesi and Adonara Tall from East Flores, NTT Province, and Mastutin Tall derived from Sumbawa regency, NTB Province. There are 2 varieties of sugar palm have been released, namely Kutim Dwarf Sugar Palm from East Kutai in East Kalimantan province, and Akel Toumuung Tall Sugar Palm varieties from Tomohon, North Sulawesi. There are 2 varieties, namely sago Meranti from Meranti regency, Riau Islands Province and sago Baruq from Sangihe, North Sulawesi Province. One variety arecanut, namely Betara Arecanut from Jambi is also realesed. Wrong selection of seeds will result big losses. On the contrary, selection of seed varieties that have been released will lead to first step towards success in the cultivation of palms. Keywords: Variety, superior, coconut, sago, sugar palm, arecanut. PENDAHULUAN

24 Pelepasan Varietas Unggul Tanaman Palma

Benih dari varietas tanaman hasil pemuliaan tanaman harus dilepas terlebih dahulu oleh Pemerintah sebelum diedarkan (UU No.12/92 pasal 1, 2 dan 3). Benih varietas unggul yang telah dilepas merupakan benih bina yang peredarannya harus melalui sertifikasi dan memenuhi standar mutu yang ditetapkan pemerintah (pasal 13 ayat 1 dan 2 UU 12/1992). Keunggulan varietas ditentukan berdasarkan potensi hasil tinggi yang dibuktikan oleh hasil pengujian adaptasi dan observasi. Persyaratan uji adaptasi dan observasi dilakukan oleh instansi pemerintah yang ditunjuk atau penyelenggara pemuliaan yang memenuhi persyaratan tertentu (PP No 44/95 pasal 18). Hasil uji adaptasi dan observasi harus dinilai oleh para ahli yang ditunjuk oleh Menteri. Untuk varietas yang sangat dipengaruhi oleh selera konsumen, Menteri Pertanian memberi pengecualian dari keharusan uji adaptasi atau observasi. Sumberdaya genetik kelapa di Indonesia diperkirakan lebih dari 1000 aksesi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia sedangkan aksesi yang telah berhasil dikoleksi belum mencapai 10% (Novarianto et al., 2008). Balai Penelitian Tanaman Palma sebagai instansi yang mempunyai tugas pokok melakukan penelitian tanaman palma telah melepas beberapa varietas hasil persilangan Kelapa Genjah x Kelapa Dalam yaitu KHINA-1 , KHINA-2, KHINA-3, KHINA-4 dan KHINA-5 serta beberapa kelapa hibrida Dalam x Dalam yaitu KB-1 , KB-2 , KB-3 dan KB-4 (Novarianto, 2005). Selain itu, beberapa varietas kelapa unggul lokal telah dilepas antara lain Dalam Tenga (DTA), Dalam Palu (DPU), Dalam Bali (DBI), Dalam Mapanget (DMT) dan Dalam Sawarna (DSA). Secara keseluruhan varietas unggul tanaman palma yang telah dilepas sebanyak 38 varietas. Perbaikan dan peningkatan produksi kelapa diterapkan melalui strategi penggunaan varietas kelapa unggul (Novarianto, 2005).

VARIETAS UNGGUL TANAMAN PALMA RILIS 2010-2015

Balai Penelitian Tanaman Palma telah melepas 7 varietas tanaman kelapa, 2 varietas tanaman aren, 2 varietas tanaman sagu dan 1 varietas tanaman pinang dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2010 - 2015). Beberapa varietas tanaman palma yang telah dilepas tersebut adalah:

1. Varietas Kelapa GenjahKopyor Kelapa kopyor yang telah dilepas sebagai varietas termasuk dalam jenis kelapa Genjah. Kelapa kopyor tergolong kelapa eksotik karena memiliki daging buah yang lunak dan rasa gurih sehingga sangat diminati oleh masyarakat. Hal ini mengakibatkan harga kelapa kopyor lebih mahal dari kelapa normal.

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 25

Kelapa kopyor memiliki endosperm yang berkembang tidak normal. Buah kelapa kopyor diduga berasal dari tanaman kelapa yang mengalami mutasi genetik secara alamiah. Menurut Samonthe et al. (1989), kelapa Makapuno di Filipina (sejenis kelapa kopyor) adalah mutan kelapa yang ditemukan diantara populasi kelapa normal. Dari hasil penelitian biokimia, dilaporkan terjadi defisiensi enzim α-D Galaktosidase pada endosperm buah makapuno, sehingga pembentukan endosperm tidak normal dan tidak mampu mendukung perkecambahan embrio. Gen letal pada buah kelapa makapuno menyebabkan daging buah mudah terlepas dari tempurung dan hubungan jaringan endosperm dengan embrio putus, sehingga buah kelapa tidak mampu berkecambah (Santos, 1999). Saat ini, telah dilepas tiga varietas kelapa genjah kopyor alami yang berasal dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Berdasarkan hasil penelitian Maskromo et al. (2012), keragaman genetik antara ketiga varietas tersebut relatif tinggi sehingga menjadi dasar pembeda dalam pelepasan ketiga varietas kelapa kopyor tersebut. Varietas kelapa Genjah kopyor yang dilepas adalah kelapa kopyor alami dengan persentase buah kopyor sekitar 30% per pohon. Ketiga varietas kelapa Genjah Kopyor tersebut adalah sebagai berikut: a. Kelapa Genjah Coklat Kopyor (GCK) Varietas kelapa Genjah Coklat Kopyor (GCK), merupakan varietas kelapa Genjah unggul lokal yang berasal dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Gambar 1). Varietas ini telah dilepas oleh Menteri Pertanian dengan SK. No. 3995/ Kpts/SR.120/12/ 2010 tanggal 29 Desember 2010. Varietas kelapa GCK merupakan populasi terpilih kelapa Genjah Kopyor di Kecamatan Tayu, Margoyoso dan Dukuh Seti, Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Anonim, 2013).

a b c

Gambar 1. a) Tanaman Genjah Coklat Kopyor, b) Buah Genjah Coklat kopyor, c) Tipe daging buah Genjah Coklat kopyor (Tebal).

Varietas kelapa GCK memiliki sifat seperti kelapa genjah normal yaitu berbatang pendek, mulai berbunga 42 bulan dihitung sejak tanam, jumlah buah pertandan rata-rata 11,4 butir, dan jumlah buah kopyor per tandan rata-rata 4

26 Pelepasan Varietas Unggul Tanaman Palma

butir (36% kopyor) dan jumlah buah per pohon per tahun 80 – 150 butir, dengan kadar minyak rendah, yaitu 7,88 – 8,02 %. Kelapa GCK toleran terhadap kekeringan sampai <6 bulan. Daerah pengembangan disarankan pada lahan kering dengan tinggi tempat < 500 m dpl dan curah hujan 1000 – 1500 mm/ tahun. b. Varietas Kelapa Genjah Hijau Kopyor (GHK) Varietas Kelapa Genjah Hijau Kopyor (GHK) merupakan varietas Kelapa Genjah unggul lokal yang berasal dari Kabupaten Pati Jawa Tengah (Gambar 2). Varietas ini telah dilepas oleh Menteri Pertanian dengan SK No. 3996/Kpts/ SR.120/ 12/2010 tanggal 29 Desember 2010. Varietas kelapa GHK merupakan populasi terpilih kelapa Genjah Kopyor di Kecamatan Tayu, Margoyoso dan Dukuh Seti, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

a b c

Gambar 2. a) Tanaman Genjah Hijau Kopyor, b) Buah Genjah Hijau Kopyor, c) Tipe daging buah Genjah Hijau Kopyor (penuh).

Varietas kelapa GHK memiliki sifat seperti kelapa genjah normal, yaitu berbatang pendek, mulai berbunga 42 bulan dan mulai panen 48 bulan sejak tanam, jumlah buah pertandan rata-rata 11,4 butir, jumlah buah kopyor per tandan rata-rata 4 butir (36% kopyor) dan jumlah buah per pohon pertahun 120 – 140 butir, dengan kadar minyak rendah, yaitu 8,16 – 8,42%. Kelapa GHK toleran terhadap kekeringan sampai < 6 bulan. Daerah pengembangan disaran- kan pada lahan kering dengan tinggi tempat < 500 m dpl dan curah hujan 1000 – 1500 mm/tahun (Anonim, 2013). c. Varietas Kelapa Genjah Kuning Kopyor (GKK) Varietas Kelapa Genjah Kuning Kopyor (GKK) merupakan varietas Kelapa Genjah unggul lokal yang berasal dari Kabupaten Pati Jawa Tengah (Gambar 3). Varietas ini telah dilepas oleh Menteri Pertanian dengan SK. No. 3998/Kpts/SR.120/12/2010 tanggal 29 Desember 2010. Varietas kelapa GKK merupakan populasi terpilih kelapa Genjah Kopyor di Kecamatan Tayu, Margoyoso dan Dukuh Seti Kabupaten Pati Jawa Tengah.

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 27

a b c

Gambar 3. a) Tanaman Genjah Kuning Kopyor, b) Buah Genjah Kuning Kopyor, c) Tipe daging buah Genjah Kuning Kopyor (tebal).

Varietas kelapa GKK memiliki sifat seperti kelapa genjah normal, yaitu berbatang pendek, mulai berbunga 42 bulan dan mulai panen 48 bulan sejak tanam, jumlah buah pertandan rata-rata 8,40 butir dengan jumlah buah kopyor per tandan rata-rata 3,16 butir (38% kopyor) dan jumlah buah per pohon pertahun 120 – 140 butir, dengan kadar minyak rendah, yaitu 8,16 – 8,42%. Kelapa GHK toleran terhadap kekeringan sampai < 6 bulan. Daerah pengem-bangan disarankan pada lahan kering dengan tinggi tempat < 500 m dpl dan curah hujan 1000 – 1500 mm/tahun (Anonim, 2013).

2. Varietas Kelapa Dalam Kelapa Dalam merupakan salah satu tipe kelapa yang paling banyak dikembangkan. Secara umum, kelapa Dalam memiliki sifat berbatang tinggi (lebih tinggi dibanding kelapa genjah), umur berbuah lambat, yaitu > 5 tahun, ukuran buah besar, produksi tinggi, kualitas kopra baik dan kadar minyak tinggi. Beberapa varietas kelapa Dalam yang sudah dilepas antara lain Kelapa Dalam Mapanget, Kelapa Dalam Tenga, Kelapa Dalam Palu, Kelapa Dalam Bali. Kelapa Dalam yang dilepas sejak tahun 2010 sampai dengan 2015 adalah sebagai berikut : a. Kelapa Dalam Varietas Adonara Kelapa Dalam Adonara dilepas sebagai varietas unggul Nasional pada tanggal 20 Pebruari 2012 oleh Menteri Pertanian dengan SK. No. 583/Kpts/ SR.120/2/2012. Kelapa Dalam Adonara berasal dari Adonara, Flores Timur, NTT. Kelapa tersebut adalah hasil seleksi pada populasi kelapa Dalam di Pulau Adonara, yang awalnya berasal dari populasi Kelapa Dalam di Pulau Seram, Maluku.

28 Pelepasan Varietas Unggul Tanaman Palma

Kelapa Adonara memiliki keunggulan sabut tipis dan ukuran buah sedang-besar. Umur mulai berbuah 5 tahun dengan potensi produksi buah/ha/ tahun 8.400-10.500 butir dan produksi kopra/pohon/tahun 28 kg. Kelapa Adonara toleran terhadap kekeringan sampai dengan 5-7 bulan berturut-turut. Kelapa tersebut sesuai dikembangkan pada lahan kering iklim kering dengan tinggi tempat < 500 m dpl, curah hujan < 1.000 mm/tahun dengan bulan kering < 6 bulan. b. Kelapa Dalam Varietas Panua Kelapa Dalam Panua berasal dari Desa Tehele, Kecamatan Popayato Timur, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo dan telah dilepas sebagai varietas unggul kelapa Dalam pada tanggal 18 Januari 2013 dengan SK. No. 197/Kpts/SR.120/1/2013 oleh Menteri Pertanian. Kelapa Dalam Panua memiliki ciri sabut tipis, umur mulai berbunga 48 bulan dengan potensi produksi buah/ha/tahun 14.876 butir dan berat kopra/butir 232 g. Kelapa Dalam Panua sesuai dikembangkan di lahan kering iklim basah dengan tinggi tempat < 500 m dpl, curah hujan 1000-1500 mm per tahun dengan bulan kering < 6 bulan. c. Kelapa Dalam Varietas Mastutin Kelapa Dalam Mastutin telah dilepas sebagai varietas unggul oleh Menteri Pertanian No. 434/Kpts/KB.120/7/2015 tanggal 6 Juli 2015 (Gambar 4). Awalnya kelapa Dalam Mastutin berasal dari Sulawesi Selatan yang dibawa oleh suku Bugis ke Labuan Mapin, Kecamatan Alas Barat, Kabupaten Sumbawa sekitar tahun 1925. Jadi varietas kelapa Dalam Mastutin ini merupakan hasil seleksi massa generasi kedua dari persilangan terbuka populasi asal pada Blok Penghasil Tinggi kelapa Dalam di Desa Labuan Mapin Kabupaten Sumbawa (Anonim, 2015). Secara umum karakter varietas kelapa Dalam Mastutin adalah tinggi batang rata-rata 13,65 meter, mulai berbunga sekitar 54 bulan dan umur mulai panen sekitar 66 bulan. Jumlah tandan bunga rata-rata 13,5 buah per tahun, jumlah buah rata-rata 9,35 butir per tandan dan jumlah buah 133 butir per pohon per tahun. Bentuk buah bulat dan ukuran besar. Berat daging buah rata-rata 480 g per butir dan berat kopra 240 g per butir dengan kadar minyak 61,88 %. Varietas Kelapa Dalam Mastutin telah dikembangkan di Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat, Kabupaten Dompu dan daerah lain di provinsi Nusa Tenggara Barat. Varietas ini sesuai dikembangkan pada lahan kering iklim kering sampai sedang dengan tinggi tempat < 450 m dpl, curah hujan > 1.500 - 2.000 mm per tahun dengan bulan kering < 5 bulan.

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 29

a b

Gambar 4. a) Produksi buah kelapa Dalam varietas Mastutin, b) Komponen buah kelapa Dalam varietas Mastutin.

3. Varietas Kelapa Semi Tall: Buol ST-1 Kelapa Semi Tall adalah tipe kelapa yang sifatnya berada diantara tipe kelapa Dalam dan Kelapa Genjah antara lain memiliki sifat cepat berbuah, batang pendek tapi memiliki bole seperti kelapa Dalam dan sifat buahnya seperti kelapa Dalam yaitu kualitas kopranya baik serta kadar minyak tinggi. Kelapa Buol ST-1 telah dilepas sebagai varietas kelapa unggul oleh Menteri Pertanian dengan SK. No. 1966/Kpts/SR.120/12/2013 tanggal 6 Desember 2013 (Gambar 5). Kelapa ini memiliki sifat morfologi antara kelapa Dalam dan Kelapa Genjah sehingga dikatagorikan sebagai kelapa Semi Dalam (Semi Tall), sebab itu dalam pelepasan namanya disebut kelapa Buol ST-1. Varietas kelapa Buol ST-1 berasal dari Desa Mokupo, Kecamatan Kramat, Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah, merupakan hasil seleksi pada populasi tanaman kelapa Dalam di BPT kelapa di Desa Mokupo. Varietas ini memiliki karakter tinggi tanaman 18 – 20 meter, umur berbunga sekitar 40 bulan dan umur panen sekitar 52 bulan dihitung sejak tanam. Bentuk buah bulat tergolong ukuran sedang. Rata-rata jumlah buah 10,7 butir per tandan dan jumlah buah/pohon/tahun 139 butir, berat kopra per butir 240 g dengan kadar minyak 61%. Varietas kelapa Buol ST-1 telah dikembangkan secara luas di Kabupaten Buol, Toli-Toli dan beberapa daerah lain di Sulawesi Tengah.

a b 30 Pelepasan Varietas Unggul Tanaman Palma

Gambar 5. (a) Tanaman kelapa Dalam Buol ST-1, (b) Tandan buah kelapa Dalam Buol-ST-1. VARIETAS PALMA LAIN

Beberapa varietas tanaman palma lain, seperti sagu dan aren yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia telah dilepas sebagai varietas unggul. Varietas tanaman aren yang telah dilepas adalah aren genjah Kutim dan Aren Dalam Akel Toumuung. Varietas tanaman sagu yang telah dilepas adalah sagu Selatpanjang Meranti dan Sagu Baruq. Varietas Pinang yang telah dilepas adalah Pinang Betara. Secara rinci, varietas unggul aren, sagu dan pinang yang telah dilepas diuraikan sebagai berikut:

1. Varietas Aren Genjah Kutim Aren Genjah Kutim telah dilepas oleh Menteri Pertanian sebagai varietas unggul dengan SK. No. 3879/Kpts/SR.120/9/2011 tanggal 14 September 2011 (Arisanti dan Fadlillah, 2014). Aren Genjah Kutim diduga merupakan tanaman asli Kabupaten Kutai Timur, dengan penyebaran yang luas terdapat di Kecamatan Teluk Pandan (Tenda et al., 2010). Sifat genjah, pohon yang pendek serta umur mulai berproduksi sekitar 5-6 tahun menjadi nilai tambah dan pembeda dengan Aren tipe Dalam (Gambar 6). Aren Genjah Kutim memiliki manfaat dan nilai ekonomi yang tinggi karena setiap mayang dapat menghasilkan nira > 12 liter/hari dengan lama penyadapan >2 bulan/mayang. Nilai tambah tersebut memberi peluang pengembangannya di daerah sentra aren lainnya di Indonesia untuk mening- katkan pendapatan petani. Seleksi sebaiknya dilakukan pada karakter aren yang memiliki keragaman tinggi, terutama yang berhubungan dengan produksi nira, yaitu jumlah tandan bunga jantan, panjang tangkai tandan bunga jantan, diameter tangkai tandan bunga jantan, lama berproduksi dan produksi nira (Tenda, 2009).

a b

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 31

Gambar 6. a) Tanaman aren Genjah Kutim, b) Tandan bunga aren genjah Kutim. Saat ini, varietas aren Genjah Kutim telah di kembangkan dibeberapa daerah di Indonesia, antara lain Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Jawa Barat dan Sulawesi Utara. Potensi produksi benih pohon induk aren Genjah Kutim adalah 4.032 butir/pohon, dan dapat digunakan untuk pengembangan aren seluas 12-13 ha (Tenda dan Maskromo, 2012).

2. Varietas Aren Dalam Akel Toumuung Aren Dalam yang sudah dilepas oleh Menteri Pertanian sebagai varietas unggul adalah varietas aren Akel Toumuung dengan SK. No. 1059/ Kpts/SR.120/10/2014 tanggal 13 Oktober 2014 (Gambar 7). Aren Dalam varietas Akel Toumuung penyebarannya di kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara, umum-nya tumbuh di hutan-hutan dan sudah lama dimanfaatkan masyarakat. Asal usul tanaman aren Dalam ini tidak diketahui. Varietas aren Akel Toumuung memiliki karakter tinggi tanaman sekitar 17,5 meter, tinggi batang bebas daun rata-rata 14,3 meter dan mulai berproduksi rata-rata 10 tahun sejak tanam (Arisanti dan Fadlilah, 2014). Hasil observasi menunjukkan bahwa populasi aren Dalam varietas Akel Toumuung menyebar secara merata di Tomohon. Produksi nira rata-rata 31 liter per tandan per hari dengan rata-rata lama penyadapan 3,7 bulan per tandan dengan kadar gula nira 13,61%. Produksi benih per tandan rata-rata 7.200 butir dan 54.700 butir per pohon (Tenda dan Mahayu, 2015). Ber- dasarkan hasil penelitian Matana et al. (2013), penyadapan nira tidak mem- pengaruhi mutu fisiologis benih tetapi mempengaruhi mutu fisik benih. Benih yang berasal dari pohon aren yang disadap memiliki ukuran yang lebih kecil. Aren varietas Akel Toumuung dapat dikembangkan pada lahan kering iklim basah, air tanah dangkal, dan ketinggian > 500 m dpl. Sejak dilepas sebagai varietas unggul, varietas Akel Toumuung ini telah dikembangkan secara luas di Kota Tomohon serta daerah-daerah lain di provinsi Sulawesi Utara serta di beberapa daerah di Indonesia seperti Kalimantan Timur dan Jawa Tengah.

a b

32 Pelepasan Varietas Unggul Tanaman Palma

Gambar 7. (a) Hamparan aren Dalam Akel Toumuung, (b) Penyadapan aren.

3. Varietas Sagu Unggul Indonesia merupakan daerah asal dan sentra penyebaran sagu dunia (Budianto, 2003 dalam Tulalo dan Novarianto, 2013). Di Indonesia, sagu dan sagu Baruq tersebar di beberapa daerah antara lain di Selatpanjang Meranti, Kepulauan Riau dan Kabupaten Kepulauan Sangihe. Varietas sagu unggul yang sudah dilepas oleh Menteri Pertanian adalah varietas sagu Meranti yang berasal dari Meranti Kepulauan Riau dan varietas sagu Baruq yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Sangihe Provinsi Sulawesi Utara.

3.a. Sagu Varietas Selatpanjang Meranti Sagu yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau telah dilepas pada tanggal 6 Desember 2013 oleh Menteri Pertanian dengan SK.No. 4965/Kpts/SR.120/12/2013. Sagu Meranti merupakan hasil seleksi pada populasi alam sagu Selatpanjang Meranti, Kecamatan Tebing Tinggi Barat dan Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau (Arisanti dan Fadlillah, 2014). Sagu varietas Selatpanjang Meranti memiliki rata-rata tinggi batang 9,37 m, tumbuh tegak, dengan habitus berkelompok. Produksi pati basah rata-rata berkisar 368,78 kg per pohon setara dengan 226,34 kg pati kering dan kandungan karbohidrat 88,19%. Berdasarkan hasil penelitian Tulalo dan Novarianto (2013), ternyata karakter vegetatif diameter batang bawah, panjang batang dan jumlah bekas daun memiliki korelasi positif yang nyata dengan produksi pati. Sagu varietas Selatpanjang Meranti agak tahan terhadap serangan hama babi hutan dan kera. Serangan hama Rhynchoporus dan Oryctes rhinoceros per individu pohon, dan karat daun tidak mempengaruhi secara nyata terhadap pertumbuhan, perkembangan dan produksi pati sagu. Sagu ini sesuai dikembangkan pada lahan basah iklim basah, topografi datar, pada ketinggian 100 m dpl, tergenang <6 bulan/tahun, jenis tanah mineral/gambut tipis dan gambut tebal.

3.b. Sagu Varietas Baruq Sagu Baruq asal kepulauan Sangihe telah dilepas oleh Menteri Pertanian sebagai varietas unggul dengan SK.No. 103/Kpts/SR.120/10/2014 tanggal 13 Oktober 2014 (Gambar 8). Sagu Baruq diperoleh dari hasil seleksi

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 33

populasi alam sagu Baruq di Kecamatan Manganitu, Kecamatan Tabukan Utara dan Kecamatan Tabukan Selatan, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Propinsi Sulawesi Utara (Arisanti dan Fadlillah, 2014). Di Kepulauan Sangihe sagu Baruq tumbuh pada ketinggian 1-500 m dpl yang menyebar pada 10 kecamatan dan 47 desa (Tenda dan Miftahorrachman, 2014).

a b c

Gambar 8. a) Populasi sagu Baruq di Kabupaten Kepulauan Sangihe, b) Batang empulur sagu Baruq, c) Tepung sagu Baruq basah.

Sagu varietas Baruq tumbuh tegak dan berkelompok, rata-rata tinggi tanaman 15,37 m. Ciri pembeda sekaligus kelebihan sagu Baruq dengan varietas sagu yang lain terdapat pada lingkungan tumbuhnya. Sagu Baruq tumbuh pada lahan kering dan iklim basah pada ketinggian 0 - 500 m dpl, topografi datar hingga curam (0 - 40%), jenis tanah liat berpasir dan mulai berproduksi rata-rata 10 tahun sejak tanam. Produksi pati basah 71,97 kg/ pohon atau setara dengan 43,18 kg pati sagu kering dengan kandungan karbohidrat 86,9 % dan kandungan pati 80,4%.

4. Pinang Varietas Betara Varietas pinang unggul yang telah dilepas oleh Menteri Pertanian adalah pinang Betara yang berasal dari Betara, Tanjung Jabung Barat, Jambi (Gambar 9). Pinang tersebut dilepas pada tanggal 18 Januari 2013 dengan SK. Mentan. No. 199/Kpts/SR.120/1/2013.

34 Pelepasan Varietas Unggul Tanaman Palma

Gambar 9. Buah pada pohon pinang Betara.

Pinang Betara mulai berbuah umur 4-5 tahun dengan ukuran buah sedang, warna buah hijau tua dan orange. Potensi kernel kering 5,7 kg/ pohon/tahun sehingga potensi kernel kering 7,81 ton/ha dengan kadar tanin 9,79% (Anonim, 2013). Berdasarkan hasil penelitian Miftahorrachman dan M. Nur (2013), peningkatan produksi pinang Betara dapat dilakukan dengan seleksi secara simultan melalui kombinasi antara karakter jumlah bekas daun (minimal 10 buah), jumlah tandan (minimal 6 buah) dan jumlah spikelet (minimal 20 buah). Menurut silsilahnya, pinang Betara berasal dari hasil seleksi pada populasi pinang di Kecamatan Betara yang berasal dari Purworejo, Jawa Tengah. Pinang Betara tahan terhadap penyakit yang disebabkan cendawan Phythoptora, toleran terhadap kekeringan <3 bulan kering, dan sesuai dikem- bangkan pada lahan gambut/pasang surut.

PENUTUP

Varietas unggul tanaman palma yang telah dilepas sebagai varietas unggul lokal sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2015 sebanyak 13 varietas yaitu kelapa Genjah kopyor 3 varietas, kelapa Dalam 4 varietas, aren 2 varietas, sagu 2 varietas dan pinang 1 varietas. Varietas unggul tanaman Palma dalam hal ini kelapa, sagu, aren dan pinang merupakan sumber benih unggul. Apabila dipadukan dengan tekhnologi budidaya yang tepat diharapkan dapat meningkatkan produksi tanaman Palma. Benih yang beredar harus merupakan benih bina yang berasal dari varietas yang telah dilepas oleh Menteri Pertanian sebagai varietas unggul. Pelepasan varietas dimaksudkan untuk melindungi petani atau konsumen lainnya dari penggunaan benih asalan (benih palsu). Kesalahan dalam pemilihan benih akan mengakibatkan kerugian yang sangat besar. Sebaliknya pemilihan benih dari varietas unggul yang telah dilepas merupakan langkah awal menuju sukses dalam budidaya tanaman Palma.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Varietas Unggul Kelapa, Pinang dan Aren di Indonesia. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Anonim. 2015. Proposal Pelepasan Kelapa Dalam Mastutin.

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 35

Arisanti, Y. dan Fadlillah. 2014. Kumpulan Deskripsi Varietas Benih Bina Tanaman Tahunan. Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian. Heliyanto, B., dan E.T. Tenda. 2010. Varietas Kelapa Dalam Unggul Spesifik Gorontalo. Buletin Palma No. 38: 73-87. Maskromo, I., E.T. Tenda, M.A. Tulalo, H. Novarianto, D. Sukma, Sukendah dan Sudarsono. 2012. Keragaman Fenotipe dan Genetik Tiga Varietas Kelapa Genjah Kopyor Asal Pati Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Tanaman Industri. 21(1): 1-8. Matana, Y.R., E. Murniati dan E. R, Palupi. 2013. Efek Penyadapan Bunga Jantan dan Letak Tandan Bunga Betina terhadap Mutu Benih Aren (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.). Buletin Palma 14 (1): 6-12. Miftahorrachman dan M. Nur. 2013. HUbungan Produksi Buah dengan Beberapa Karakter Vegetatif dan Generatif Populasi Pinang Betara melalui Analisa Koefisien Lintas. Buletin Palma 14 (1): 34-40. Novarianto, H. 2005. Plasma Nutfah dan Pemuliaan Kelapa. Manado. Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Novarianto, H., H. Motulo, R.T.P. Hutapea, J.S. Warokka, N Mashud, M.L.A. Hosang, E.T. Tenda, L. Abner. 2008. Profil Kelapa. Manado. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain. Novarianto H. 2011. Penampilan Bibit Kelapa Hibrida Genjah x Genjah. Buletin Palma 12 (1): 18-26. Samonthe, L.J.E.M.T. Mendoza, L.L.Ilag, N.D.De La Cruz, and D.A.Ramirez.1989. Galactomanan degrading enzyme in maturing normal and makapuno and germinating normal cococnut endosperm. Phytochemistry. 28(9):2269-2273 Santos, G.A. 1999. Potensial use of clonal propogation in coconut improvement program. In Oropeza C, Verdiel JL, Ashburner GR,Cardena R, Samantha JM. Editors.Current advances in coconut biotechnology. Current Plant Science and biotechnology in Agriculture Kluwer Academic Publisher London. Hlm 419 – 430. Tenda, E.T., dan Miftahorrachman. 2014. Hubungan antara Karakter Vegetatif dengan Produksi Pati sagu Baruq (Arenga macrocarpha Becc.) Asal Kabupaten Sangihe. Jurnal Penelitian Tanaman Industri. 20(4): 203-210. Tenda, E.T., I. Maskromo dan B. Heliyanto. 2010. Eksplorasi Plasma Nutfah Aren (Arenga pinnata Merr.) di Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Buletin Palma No.38: 88-94. Tenda, E.T. dan I. Maskromo. 2012. Karakteristik Morfologi dan Potensi Produksi Aren Genjah Kutim. Buletin Palma 13(2): 115-121.

36 Pelepasan Varietas Unggul Tanaman Palma

Tenda, E.T., dan W.M. Mahayu. 2015. Potensi Produksi Nira dan Benih Aren Varietas Akel Toumuung. Buletin Palma 16 (1): 40-48. Tenda E.T. 2009. Eksplorasi aren (Arenga pinnata Merr) di Tomohon, Sulawesi Utara. Buletin Palma No.37: 114-118. Tulalo, M.A., dan H. Novarianto. 2013. Keragaman Fenotipik dan Korelasi Antara Karakter Vegetatif dengan Produksi Pati Sagu Selatpanjang, Meranti. Buletin Palma 14 (1): 28-33.

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 37

POTENSI PENGEMBANGAN GULA KELAPA DARI VARIETAS GENJAH POTENTIAL DEVELOPMENT OF COCONUT SUGAR FROM DWARF COCONUT VARIETY

Nurhaini Mashud

Balai Penelitian Tanaman Palma Jalan Raya Mapanget, Kotak Pos 1004 Manado 95001 E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap gula tebu dan gula sintetis yang sebagian besar diimpor, perlu dilakukan diversifikasi industri gula nasional dengan cara mencari alternatif sumber gula alami non tebu, salah satunya adalah gula kelapa. Gula kelapa memiliki kandungan nutrisi yang cukup dibanding dengan gula tebu. Gula kelapa dapat menjadi pemanis yang aman bagi penderita diabetes karena nilai indeks glikemiknya rendah, yaitu 35. Selama ini gula kelapa diolah dari nira kelapa Dalam. Kelapa Dalam memiliki batang yang tinggi sehingga membutuhkan waktu penyadapan nira yang lebih lama dengan resiko kecelakaan yang tinggi. Kelapa Genjah lebih ekonomis disadap niranya dibanding kelapa Dalam, karena batangnya lebih pendek dengan diameter yang lebih kecil sehingga lebih mudah disadap. Selain itu, kelapa Genjah memiliki buah berukuran kecil dan apabila diolah menjadi kopra kualitasnya rendah karena bersifat rubbery. Hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Palma menunjukkan bahwa produktivitas nira kelapa Genjah tidak berbeda dengan kelapa Dalam, dengan kadar gula lebih tinggi (13,51-14,56%) dari kelapa Dalam (12,61-12,92%).

Kata kunci: Nira, kelapa, genjah.

ABSTRACT

In order to reduce people's dependence on cane sugar and synthetic sugar which is mostly imported, it is necessary to diversify the national sugar industry by finding alternative sources of non sugar cane, one of which is sugar palm. Coconut sugar possess sufficient nutrition than sugar cane. Palm sugar can become a safe sweetener for diabetics because the value of a low glycemic index, which is 35. During this time, sugar processed from the sap of tall coconut palm. Coconut has a high trunk so it takes a longer tapping sap with a high risk of accidents. Dwarf coconut sap tapped more economical than tall coconut, because the stem is shorter with a smaller diameter making it more easily tapped. In addition to the short stem, dwarf coconut has small sized fruit and when processed into copra is low quality because it is rubbery. Results of the Palm Research Institute research shows that the productivity of dwarf coconut sap no different with tall coconut, with a higher sugar content (13.51 to 14.56%) than tall coconut (12.61 to 12.92%).

Keywords: Sap, coconut, dwarf.

PENDAHULUAN

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 37

Diversifikasi industri gula nasional dapat dilakukan dengan cara mencari alternatif sumber-sumber gula alami non tebu, salah satunya adalah gula kelapa. Program diversifikasi gula nasional yang berbasis gula kelapa sangat strategis peranannya sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap gula tebu dan gula sintetis yang sebagian besar diimpor. Hasil utama tanaman kelapa adalah buah yang diolah menjadi berbagai produk pangan dan non pangan. Selain itu, kelapa dapat menghasilkan nira yang diperoleh dengan cara menyadap tandan bunga yang belum terbuka. Nira merupakan cairan bening yang memiliki rasa manis karena mengandung gula, Oleh karena itu, nira kelapa digunakan sebagai bahan baku pembuatan gula. baik gula cetak maupun gula semut. Selain gula, nira mengandung lemak dan protein. Ketiga komponen ini merupakan media tumbuh yang cocok untuk pertumbuhan mikroba sehingga nira sangat mudah mengalami kerusakan melalui proses fermentasi jika proses pengolahannya terlambat dilakukan. Proses fermentasi terjadi mulai dari proses penyadapan, penampungan nira dalam wadah penampung, sampai saat sebelum diolah lanjut. Menurut Karouw dan Lay (2006), fermentasi mengakibatkan perubahan warna nira dari jernih menjadi keruh, pada keadaan ini gula dirombak menjadi etanol atau alkohol. Nira kelapa diolah menjadi berbagai produk pangan dan non pangan, yaitu gula dan alkohol (Kadere et al., 2009), tetapi umumnya masyarakat memanfaatkan nira kelapa sebagai bahan baku pembuatan gula. Gula kelapa memliki kandungan nutrisi yang cukup dibanding dengan gula tebu. Gula kelapa dapat menjadi pemanis yang aman bagi penderita diabetes karena nilai indeks glikemiknya rendah, yaitu 35 (Anonim, (2012). Gula yang dalam perdagangan dikenal dengan istilah gula Jawa merupakan hasil pengolahan nira kelapa dengan cita rasa yang khas sehingga penggunaannya tidak dapat digantikan oleh jenis gula lain. Gula kelapa digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan kecap. Perkembangan industri kecap menyebabkan permintaan gula kelapa meningkat. Produk kecap 70% berbahan baku gula kelapa. Kebutuhan gula kelapa per tahun sebanyak 300.000 ton dengan kenaikan 10% per tahun. Menurut Aristya et al. (2013) tanaman kelapa yang lebih muda produksi niranya lebih tinggi dari tanaman yang tua. Setiap tandan dapat menghasilkan 2-4 liter nira per pohon per hari (Supomo, 2007). Saat ini, petani menggunakan nira kelapa Dalam sebagai bahan baku pembuatan gula. Hasil penelitian Balit Palma menunjukkan bahwa kadar gula nira kelapa Dalam lebih rendah, yaitu 12,61-12,92% dari nira kelapa Genjah, yaitu 13,51-14,77% (Mashud dan Matana, 2014). Kelapa Dalam memiliki batang yang tinggi sehingga membutuhkan waktu penyadapan nira yang lebih lama dengan resiko kecelakaan yang tinggi.

38 Potensi Pengembangan Gula Kelapa dari Varietas Genjah

Sebaliknya, kelapa Genjah lebih ekonomis disadap niranya dibanding kelapa Dalam, karena batangnya lebih pendek dengan diameter yang lebih kecil sehingga lebih mudah disadap. Selain batangnya pendek, kelapa Genjah memiliki buah berukuran kecil yang apabila diolah menjadi kopra kualitasnya rendah karena bersifat rubbery. Berdasarkan sifat-sifat tersebut maka disarankan kelapa Genjah dimanfaatkan sebagai penghasil nira yang selanjutnya diolah menjadi gula.

PROSES PENYADAPAN NIRA KELAPA GENJAH

Nira kelapa diperoleh dari tandan bunga yang belum terbuka dengan cara penyadapan. Proses penyadapan nira kelapa Genjah seperti penyadapan nira kelapa Dalam yaitu melalui beberapa tahapan kegiatan, yaitu: a. Penentuan tandan yang akan dijadikan sebagai sumber nira Tandan bunga yang akan disadap niranya harus bebas dari hama dan penyakit. Tandan diikat kemudian dimemarkan dengan cara memukul tandan tersebut secara perlahan-lahan dari bagian pangkal ke bagian ujung, menggunakan kayu selama 5-8 menit. Tandan ditarik ke bawah, apabila posisinya agak tegak dengan tujuan untuk mempermudah penampungan nira. b. Penyayatan tandan Untuk mengeluarkan nira, tandan disayat beberapa kali setebal 0,5 cm pada waktu dilakukan pememaran. Pememaran dan penyayatan tandan dilakukan secara bergantian hingga hari ke 10, saat ini tandan mulai mengeluar-kan nira dan penyadapan mulai dilakukan. c. Penyadapan nira Penyadapan dilakukan dua kali dalam satu hari, yaitu pagi dan sore hari. Volume nira pada awal penyadapan sedikit, namun makin lama penya-dapan volume nira makin bertambah dan biasanya volume nira berkurang setelah hari ke 15. Untuk wadah penampung nira digunakan botol plastik volume 2 liter (Gambar 1) atau jerigen plastik volume 5 liter yang telah dicuci bersih. Untuk mempertahan pH nira digunakan pengawet alami sabut kelapa sebanyak 5 g/wadah penampung. Nira harus segera diolah/dimasak menjadi gula, karena nira kelapa mudah mengalami fermentasi. Nira yang telah mengalami proses fermentasi tidak digunakan sebagai bahan baku pembuatan gula, karena terjadi penurunan pH yang disebabkan adanya perombakan gula menjadi asam

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 39

organik oleh mikroba seperti khamir Saccharomyces sp dan bakteri Acetobacter sp (Agustinus dan Halim, 2009).

Gambar 1. Penyadapan nira menggunakan wadah penampung botol plastik.

NIRA KELAPA GENJAH

1. Produktivitas nira Hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Palma menunjukkan bahwa produktivitas nira kelapa Genjah berbeda menurut varietas. Produktivitas nira dari tujuh varietas kelapa Genjah yang diuji bervariasi, yaitu 829,78-2172,38 ml/pohon/hari. Selain varietas, perbedaan produktivitas nira kelapa Genjah ini disebabkan oleh musim, umur tanaman dan keterampilan penyadap. Tenaga penyadap yang terampil biasanya membutuhkan waktu menyadap nira lebih cepat, volume nira lebih banyak dan waktu penyadapan setiap tandan lebih lama. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kelapa Genjah GTT (Genjah Tebing Tinggi) menghasilkan nira paling banyak (2172,38 ml/pohon/hari) dari enam varietas kelapa Genjah lainnya (<1689,34 ml/pohon/hari). Enam varietas kelapa Genjah lainnya adalah GKB (Genjah Kuning Bali), GKN (Genjah Kuning Nias), GHJ (Genjah Hijau Jombang), GOS (Genjah Orange Sagerat), GSK (Genjah Salak) dan GRA (Genjah Raja) (Tabel 1). Dari setiap pohon dapat disadap dua tandan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama penyadapan berbeda menurut varietas kelapa Genjah, dengan kisaran 12,50-19,00 hari. Dari tujuh varietas yang duji

40 Potensi Pengembangan Gula Kelapa dari Varietas Genjah

ternyata varietas GTT paling lama disadap, yaitu 19,00 hari. Hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa satu tandan dapat disadap selama 10-35 hari tergantung kondisi pohon dan jenis kelapa, namun produksi optimal hanya 15 hari. Saat ini, umumnya petani pengrajin gula menggunakan nira kelapa Dalam. Hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Palma menunjukkan bahwa produksi nira kelapa Dalam 2,0 liter/tandan/hari tidak berbeda dengan kelapa Genjah 0,83-2,17 ml/pohon/hari dengan kadar gula nira kelapa Dalam 12,61-12,92% dan kelapa Genjah 13,51-14,56% (Josep dan Darwis, 1987).

Tabel 1. Produksi nira per pohon per hari dan lama penyadapan beberapa varietas kelapa Genjah. Varietas kelapa Genjah Produksi nira Lama penyadapan (ml/pohon/hari) nira/tandan (hari) GTT 2172,38 a 19,00 a GKB 1689,34 b 17,33 b GKN 1333,52 c 17,00 b GHJ 1261,48 d 12,50 c GOS 954,16 e 13,00 d GSK 855,78 f 14,00 e GRA 829,78 g 15,00 f Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama, berbeda pada taraf uji BNJ 5%.

2. Kadar gula dan pH nira Nira segar memiliki komposisi kimia yang beragam dengan kandungan air 75-90% (Suwardjono, 2001). Nira segar memiliki rasa manis karena mengandung sukrosa yang tinggi dengan pH berkisar 6-7. Kadar gula nira kelapa Genjah berkisar antara 13,l51-14,77%. Pengukuran oleh Xia et al. (2011) men-dapatkan kandungan sukrosa sebesar 14% pada nira kelapa segar yang baru disadap. Nira kelapa GTT memiliki kadar gula paling tinggi. Hasil penelitian Barh dan Mazumdar (2008) menyatakan bahwa kandungan gula nira kelapa adalah 9,3 g per 100 ml. Kandungan sukrosa yang dominan di antara kandungan bahan kimia non-air lainnya menjadikan nira sebagai sumber gula yang sangat potensial. Komposisi kimia nira kelapa disajikan dalam Tabel 2. Nira yang keluar dari tandan adalah steril dengan pH netral, tetapi beberapa waktu setelah penyadapan akan terjadi proses fermentasi, apabila terlambat diolah menjadi gula. Naufalin et al. (2013) menyatakan bahwa dalam proses fermentasi sukrosa dirombak menjadi glukosa dan fruktosa, kemudian menjadi etanol dan CO2 diakhiri dengan pembentukan asam asetat. Warna nira menjadi keruh dengan bau yang menyengat. Nira yang telah menjadi asam tidak memenuhi syarat sebagai bahan baku

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 41

pembuatan gula. Untuk mencegah nira menjadi asam, maka diperlukan pemberian bahan pengawet dalam wadah penampung nira sesaat sebelum penyadapan. Derajat kemasaman (pH) nira tidak dipengaruhi oleh kultivar kelapa, tetapi dipengaruhi oleh kebersihan wadah penampung nira, penggunaan bahan pengawet dalam hal ini pengawet alami, antara lain buah same (Macaranga speciosa), kulit buah dan kulit batang manggis serta sabut kelapa (Rindengan et al., 2006). Hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Palma menunjukkan bahwa pH nira segar kelapa Genjah berkisar antara 6,17-6,41 memenuhi syarat sebagai bahan baku pembuatan gula (gula cetak maupun gula semut). Nurlela (2002) menyatakan bahwa pH nira sangat berperan dalam pembentukan warna gula. Gula kelapa yang diolah dari nira dengan pH ≥ 6 berwarna coklat muda kekuning-kuningan, sedangkan gula yang diolah dari nira dengan pH 7 ber-warna coklat tua yang makin gelap dengan makin tingginya pH nira (Naufalin, 2013).

Tabel 2. Komposisi kimia dalam 100 ml nira kelapa. No. Komposisi Kimia Kandungan 1. Gula Total (g) 9,30 2. Protein (mg) 13,30 3. Lemak (g) 0,03 4. Ca mg) 1,62 5. Mg (mg) 2,15 6. Fe (mg) 1,20 7. Na (mg) 6,95 8. K (mg) 3,16 9. Cu (mg) 0,03 10. Zn (mg) 0.03 11. P (mg) 1,55 12. Niacin (mg) 0,02 13. Thiamin (mg) 0,02 14. Riboflavin (mg) 0,03 15. Asam askorbat 2,93 16. Vitamin A (IU) 43,00 17. pH 7,40 Sumber: Barh dan 2008.

PENUTUP

Produktivitas nira kelapa Genjah sekitar 829,78-2172,38 ml/pohon/ hari dengan lama penyadapan 12,50-19,00 hari/tandan. Kelapa Genjah GTT menghasilkan nira paling banyak, yaitu 2172,38 ml/pohon/hari. Kadar gula nira segar 13,51-14,77% dan pH 6,17-6,41.

42 Potensi Pengembangan Gula Kelapa dari Varietas Genjah

Nira kelapa mudah mengalami fermentasi yang mengakibatkan nira berubah warna menjadi keruh dan rasanya menjadi asam sehingga tidak dapat digunakan lagi sebagai bahan baku untuk pembuatan gula. Oleh karena itu, harus digunakan bahan pengawet, yaitu sabut kelapa. Bahan pengawet dimasukkan ke dalam wadah penampung nira sesaat sebelum penyadapan. Nira kelapa genjah dapat diolah menjadi gula cetak sebagai bahan baku industri kecap di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Agstinus, A.P dan A. Halim. 2009. Pembuatan bioetanol dari nira siwalan secara fermentasi fase cair menggunakan fermipan. Tugas Akhir S1 Teknik Kimia. Universitas Diponegoro. Semarang. Anonim. 2012. Profitability analysis: Coconut sap sugar production module. Philippine Council for Agriculture, Forestry and Natural Resources Research and Development, Department of Science and Technology. Aristya, V.E., Prajitno, D. Supriyatna dan Taryono. 2013. Kajian aspek budidaya dan identifikasi keragaman morfologi tanaman kelapa (Cocos nucifera, L) di Kabupaten Kebumen. Jurnal ugm.ac.id/jbp/article. [diakses 9 Nopember 2014]. Barh, D., and B.C. Mazumdar. 2008. Comparative Nutritive Values of Palm Saps Before and after Their Partial Fermentation and Effective Use of Wild Date (Phoenix sylvestris Roxb.) Sap in Treatment of Anemia. Research Journal of Medicine and Medical Sciences, 3(2): 173-176, 2008. Kaldere, T.T., R.K. Oniang, O.P.M. Kutima dan S.M. Njoroge. 2009. Production, marketing and economic importance of Mnazi and other coconut-based products in Kenya. Research Journal of Agriculture and Biological Sciences 5: 815-822. Karouw, S., dan A. Lay. 2006. Nira aren dan teknik pengendalian produk olahan. Buletin Palma No. 2. Naufalin, R., T. Yanto dan A. Sulistyaningrum. 2013. Pengaruh jenis dan konsentrasi pengawet alami terhadap mutu gula kelapa. Jurnal teknologi Pertanian. 14(3):165-174. Rindengan, B., S. Karouw dan P. Pasang. 2006. Pengaruh sabut kelapa terhadap kuslitas nira aren dan . Jurnal LITTRI. 12(4):166-167.

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 43

Supomo. 2007. Meningkatkan kesejahteraan pengrajin gula kelapa di Wilayah Kabupaten Purbalingga. Jurnal Ekonomi Pembangunan 12:149-162. Suwardjono. 2001. Pengaruh penggunaan bahan pengawet alami terhadap kuslitas nira kelapa yang digunakan untuk pembuatan gula kelapa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Terbuka.

44 Potensi Pengembangan Gula Kelapa dari Varietas Genjah

PENGENDALIAN PENYAKIT LAYU KALIMANTAN PADA TANAMAN KELAPA CONTROL OF KALIMANTAN WILT DISEASE ON COCONUT PALM

A.A. Lolong dan Salim

Balai Penelitian Tanaman Palma Jalan Raya Mapanget, Kotak Pos 1004 Manado 95001 E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penyakit layu yang menyerang kelapa di Kalimantan Tengah yang kemudian dikenal secara internasional dengan nama ”Penyakit Layu Kalimantan” (Kalimantan wilt) merupakan salah satu penyakit berbahaya yang menyerang tanaman kelapa karena setiap pohon yang terserang dipastikan akan mati. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1935, menyerang tanaman kelapa di Kalimantan Barat dekat Pontianak dan menyebabkan 30.000 tanaman kelapa mati. Selain itu, di Kalimantan Tengah mulai dilaporkan menyerang tanaman kelapa pada tahun 1988. Penyebab penyakit adalah Phytoplasma; terdapat dua jenis, yaitu Phytoplasma Australiense (16SrXII kelompok) yang menyerang berbagai jenis tanaman di Australia, dan Phytoplasma oryzae (kelompok 16SrXI) yang menyerang padi dan tebu di Thailand dan Papua Nugini. Penularan Phytoplasma dari satu tanaman ke tanaman lain terjadi secara alami melalui vektor serangga yang umumnya menusuk dan mengisap dari ordo Homoptera dengan periode laten 4-31 bulan. Gejala yang muncul adalah pelepah daun bagian bawah menguning dan lama kelamaan kering, jatuh dan akhirnya tanaman mati. Buah gugur dan tidak terbentuk endosperm serta bakal bunga tidak terbuka dan kering. Pengendalian terhadap penyakit layu Kalimantan lebih banyak pada tindakan pencegahan dengan membersihkan kebun serta tanaman yang kena penyakit ditebang dan bakar. Disamping itu dapat dilakukan penekanan gulma dan penyemprotan insektisida untuk serangga vektor dan melakukan injeksi batang dengan Hydrooxytetracyclin untuk tanaman kelapa yang ada disekitar sumber penyakit.

Kata kunci: Penyakit, Layu Kalimantan, Phytoplasma, kelapa.

ABSTRACT

Wilt disease attacking coconut in Central Kalimantan which internationally known as "Kalimantan Wilt Disease" (Kalimantan wilt) is one of the dangerous diseases that attack coconut palm, because every tree that was attacked will be certainly died. The disease was first reported in 1935, attacking coconut plantations in West Kalimantan near Pontianak and there are 30,000 coconut plants died. In Central Kalimantan it was reported that the disease attacked coconut palm in 1988. The cause of the disease is Phytoplasma. There are two types, i.e. Phytoplasma Australiense (16SrXII group) that attacks different types of plants in Australia, and Phytoplasma Oryzae (16SrXI group) that attacks rice and sugarcane in Thailand and Papua New Guinea. Phytoplasma transmission from one crop to others occurs naturally through insect vectors that are piercing and sucking the Homoptera order with a latent period of 4-31 months. The symptoms are yellowing of midrib bottom leaf which gradually dry, fall and eventual plant death. Fruits are fall, and not forming endosperm, and flowers are not open and then dry. Control of Kalimantan wilt disease consist of preventive measures i.e. clean up of the garden infected are plants cut down and burn. In addition other measures that can be done are suppression of weeds, spraying of insecticides for

45 Pengendalian Penyakit Layu Kalimantan pada Tanaman Kelapa

killing of insect vectors and inject the stem with Hydro oxytetracyclin for coconut plants that exist around the source of the disease.

Keywords: Disease, Kalimantan Wilt, phytoplasma, coconut.

PENDAHULUAN

Penyakit layu “wilt/Lethal yellowing disease” (LY) adalah nama yang diberikan untuk penyakit kelapa yang pertama kali dilaporkan pada tahun 1830-an di kepulauan Cayman (Karibia). Setelah lebih dari 100 tahun penyelidikan maka LY ini diidentifikasi penyebabnya adalah Mycoplasma Like organisme (MLO), yang kemudian sekarang disebut Phytoplasma (Mollicutes yang hidup dalam floem tanaman dan ditularkan oleh serangga). Selanjutnya, penyakit LY telah menyebar di Florida, dan di tahun 80-an di Amerika Tengah dan pada tahun 1930, gejala yang sama ditemukan di Afrika Timur (Tanzania), serta di Afrika Barat: Togo, Ghana, Nigeria dan Kamerun. Di Afrika penyakit yang memiliki nama yang berbeda sesuai dengan negara masing-masing yaitu Cape St. Paul di Ghana-CSPW, penyakit Awka di Nigeria, Maladie de kaincope di Togo. Semuanya menampakkan gejala khusus yang sama degan MLO. Pada tahun 1978 dilaporkan bahwa gejala penyakit LY ditemukan di Indonesia yang dikenal dengan nama Penyakit Layu Kalimantan (PLK). Namun sebelumnya oleh Muller (1935) melaporkan bahwa penyakit ini menyerang tanaman kelapa di Kalimantan Barat dekat Pontianak dan mengakibatkan 30.000 tanaman kelapa mati. Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa penyakit LY juga menyerang per-tanaman kelapa di Srilanka ”Weligama wilt” (Prijanti Fernando,. 2011) di India “Kerala wilt atau Root wilt” (Thomas, 2011), “Cadang-cadang” di Filipina, (Rodrigues, 2011), dan Bogia wilt di Papua New Guinea (Ovasuru dan Kaiulo, 2011). Penyakit layu yang menyerang kelapa di Kalimantan Tengah yang kemudian dikenal secara internasional dengan nama ”Penyakit Layu Kalimantan” (Kalimantan Wilt Disease) merupakan salah satu penyakit berbahaya yang menyerang tanaman kelapa karena setiap pohon yang terserang dipastikan akan mati. Penyakit ini pertama kali dilaporkan ke Balitka pada tahun 1988, menyerang kelapa di Kalimantan Tengah. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari petani di daerah serangan penyakit bahwa penyakit layu Kalimantan sudah terlihat sekitar tahun 1978 (Sitepu et al., 1988). Serangan penyakit layu kelapa di Kalimantan Tengah telah mematikan tanaman kelapa kurang lebih 103.000 pohon masing-masing 58.000 pohon di Kecamatan Mentaya Hilir Selatan dan 45.000 pohon di Kecamatan Pulau Hanaut (Warokka dan Jones, 1999). Kemudian pada sekitar tahun 2000 muncul laporan adanya serangan penyakit di Kalimantan timur yakni di pulau Derawan, Berau

46 Pengendalian Penyakit Layu Kalimantan pada Tanaman Kelapa

(Prasetyo, 2012). Berdasarkan pengamatan di lapang, penyakit ini sudah menyebar ke beberapa desa lainnya tetapi belum diperoleh angka pasti jumlah tanaman yang terserang dan mati.

Perkembangan Penyakit Layu Kalimantan Penyakit Layu Kalimantan merupakan salah satu kendala pada program pengembangan tanaman kelapa di Indonesia. Kematian tanaman dalam jumlah banyak telah mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi ekonomi petani karena petani sangat menggantungkan hidupnya dari hasil kelapa (Lolong, 2011). Data kerusakan tanaman yang diakibatkan oleh penyakit Layu Kalimantan dilaporkan bahwa pada tiga tahun terakhir penyakit ini telah menyerang tanaman kelapa di Propinsi Kalimantan timur (pulau Derawan, Kabupaten Berau) dan Kalimantan Selatan. Hal ini sangat berbahaya terutama pada daerah pengembangan kelapa maupun kelapa sawit karena penyakit ini dapat menyerang tanaman kelapa sawit (Lolong dan Motulo, 2014). Serangan penyakit layu Kalimantan mengakibatkan terhambatnya pembentukan mayang, pelepah dan buah. Hasil analisa terhadap data pengamatan awal sebelum dilakukan perlakuan menunjukkan bahwa terdapat 2,0-3,83 mayang/pohon, 4,08-5,73 butir/tandan/pohon, dan 10,6- 12,03 pelepah/ pohon. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat serangan penyakit layu pada daerah/pohon percobaan sangat tinggi. Produksi mayang dan buah dapat menurun sampai 50%. Demikian juga berkurangnya jumlah pelepah disebabkan oleh layunya pelepah bagian bawah dan kering dan selanjutnya jatuh dan kurangnya pelepah dapat mencapai lebih dari 50% dan lama kelamaan tanaman mati (Anonim, 2013). Selain menyerang kelapa, Phytoplasma dilaporkan telah menyerang lebih dari 35 spesies tanaman palma lainnya, termasuk kelapa sawit. Pada kelapa sawit Phytoplasma dilaporkan menyerang perkebunan kelapa sawit di Papua Nugini, India (Rethinam, 2000), dan Columbus (Alvarez dan Claroz, 2003), menyerang pertanaman kelapa sawit di Papua New Guinea, India (kerala wilt), dan Kolombia (Marchitez letal). Sampai saat ini phytoplasma diketahui menyebabkan penyakit pada ratusan spesies tanaman dan terkait dengan beberapa jenis serangga. Lolong dan Motulo (2014) menyatakan bahwa serangan penyakit layu Kalimantan di Propinsi Kalimantan Timur pertama kali dilaporkan menyerang tanaman kelapa di Kabupaten Berau pada tahun 1994. Disamping itu telah dilakukan pengamatan penyakit untuk 5 Kabupaten di Propinsi Kalimantan timur pada tahun 2013. Pengamatan dilakukan dengan mengamati terhadap profil gejala yang muncul dan identifikasi secara molukuler. Hasil identifikasi secara molekuler diperoleh bahwa

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 47

terdapat 9 preparat yang menunjukkan Phytoplasma dari 20 preparat yang diperiksa. Kesembilan preparat terdiri dari 3 preparat dari lokasi Desa Nipah-Nipah, 1 preparat dari Desa Sungai Parit,

1 preparat dari Desa Suka Damai, 1 preparat dari Derawan, 2 preparat dari Desa Long Ikis dan 1 preparat dari Desa Sungai Tua. Sedangkan 3 preparat dari Desa Rantau Panjang dan 2 preparat asal Desa Teluk Penida tidak teridentifikasi adanya Phytoplasma. Hingga saat ini pengendalian terhadap penyakit ini belum dapat dilakukan secara tuntas dilapangan karena pola sebaran penyakit di lapangan sangat cepat, yang juga diakibatkan karena ketidakteraturan petani dalam mengelola kebun yang terserang penyakit. Hal ini nampak di lapangan masih ditemukan banyak sarang penyakit yang dibiarkan, serta kebun nampak kotor dan tidak dirawat dengan baik. Untuk mengurangi masalah ini diperlukan adanya sosialisasi terhadap pengelolaan penyakit secara langsung pada petani serta melibatkan petugas perkebunan yang ada dilokasi rawan serangan.

Penyebab dan Gejala penyakit Serangan penyakit ini terjadi pada tingkat umur tanaman produktif dan perkembangannya sangat cepat (Sitepu, 1989). Penyebab penyakit tersebut baru diketahui tahun 1998, disebabkan oleh Phytoplasma (Mycoplasma Like Organism (MLO)). Infeksi Phytoplasma pada tanaman dapat diketahui dengan cara pemeriksaan jaringan tanaman sakit, menggunakan mikroskop elektron, uji serologi dengan antiserum khusus, dan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) (Seal, 1995; Cordova et al., 2003). Identifikasi awal penyebab penyakit layu Kalimantan dengan menggunakan teknik konvensional diperoleh beberapa patogen seperti bakteri, jamur, virus, dan patogen tanah seperti nematoda tetapi hasil ini tidak konsisten terkait dengan jaringan tanaman yang sakit. Oleh karena itu, diidentifikasi dengan menggunakan teknik marka molekuler dengan melakukan ekstraksi DNA, amplifikasi DNA dan analisis RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism). Phytoplasma adalah patogen dari kelompok prokariota yang tidak memiliki dinding sel yang hidup sebagai parasit obligat dan menginfeksi jaringan floem tanaman. Phytoplasma terkait dengan penyakit Layu Kalimantan terdiri dari dua jenis, yaitu phytoplasma Australiense (kelompok 16SrXII) yang menyerang berbagai jenis tanaman di Australia, dan Phytoplasma oryzae (kelompok 16SrXI) yang menyerang padi dan tebu di Thailand dan Papua Nugini (Warokka, 2005 ). Gejala yang muncul adalah pelepah daun bagian bawah menguning dan lama kelamaan kering, jatuh dan akhirnya tanaman mati. Buah gugur dan tidak

48 Pengendalian Penyakit Layu Kalimantan pada Tanaman Kelapa

terbentuk endosperm serta bakal bunga tidak terbuka dan kering (Gambar 1).

D

a b

c d

Gambar 1. a) Gejala serangan penyakit layu Kalimantan, b) Buah kena penyakit, c) Daun tombak membusuk, d) Tangkai bunga busuk dan tidak terbuka. (Sumber: Warokka, 2005).

Distribusi dan Transmisi Inokulum Phytoplasma Pola distribusi penyakit cenderung menyebar awalnya secara acak pada satu pohon dalam plot dan membentuk sarang. Setelah sarang penyakit terbentuk, ledakan penyakit terjadi di seluruh hamparan kebun, dan proses ini akan terus berkembang dari satu tempat ke tempat lain.

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 49

Penularan Phytoplasma dari satu tanaman ke tanaman lain terjadi secara alami melalui vektor serangga yang umumnya mempunyai tipe alat mulut menusuk dan mengisap dari ordo Homoptera. Dibeberapa negara yang mempunyai penyakit Phytoplasma dinyatakan bahwa inokulum Phytoplasma penyebab penyakit layu disebarkan oleh serangga terutama dari keluarga Cicadellidea (leafhoppers), Cixiidae, Psyllidae, Cercopidae, Delphacidae, Derbidae, Menoplidae dan Platidae (Rojas-Martines, 2012).

Phytoplasma mengandung protein antigenik utama yang membentuk protein pada permukaan selnya. Protein ini berinteraksi dengan serangga melalui kompleks microfilament dan diyakini menjadi faktor penentu dalam interaksi serangga-phytoplasma (Weintraub dan Beanland, 2006). Phytoplasma dapat bertahan pada musim dingin karena berada dalam vektor (serangga), dan dapat memiliki berbagai efek pada serangga inang. Phytoplasma memasuki tubuh serangga melalui stylet, bergerak melalui usus, dan kemudian diserap ke dalam haemolymph. Selanjutnya bergerak ke kelenjar liur, proses ini memakan waktu hingga tiga minggu. Waktu antara masuknya Phytoplasma ke tubuh serangga dan mencapai kelenjar liur dan siap untuk ditularkan disebut periode laten (Rojas-Martines, 2012). Hasil penelitian Warokka dan Jones (1999) mendapatkan bahwa penyakit layu Kalimantan ditularkan oleh serangga dengan periode laten berkisar 4 - 31 bulan. Beberapa serangga yang diduga sebagai pembawa inokulum Phytoplasma penyebab penyakit layu Kalimantan disajikan pada Gambar 2.

a b

c d

50 Pengendalian Penyakit Layu Kalimantan pada Tanaman Kelapa

Gambar 2. Vektor pembawa inokulum Phytoplasma dari Ordo Homoptera. a) Myndus sp; b) Amritodus sp; c) Nephothettix sp; d) Cemus sp.

Phytoplasma juga dapat menyebar melalui dodders Cascutaceae dan perbanyakan vegetatif misalnya penempelan tanaman terinfeksi ke tanaman yang sehat (Carraro et al., 1991). Hasil pertemuan dan konsultasi tentang penyakit yang disebabkan oleh Phytoplasma pada bulan Juni 2011 di Kolombo disarankan penyakit layu Kalimantan yang disebabkan oleh Phytoplasma dapat dilakukan penelitian ulang tentang uji klinis konfirmasi hasil identifikasi dengan menggunakan antibiotik serta pengamatan secara detail pada tanaman kelapa dan kelapa sawit yang ada di Indonesia. Disamping itu disarankan pula perlu dilihat kembali Phytoplasma penyebab penyakit layu Kalimantan sudah ada pada tanaman kelapa sawit atau belum dan apakah sama strainnya. Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang sudah ada maka perlu secara jelas untuk mengetahui identitas inokulum penyebab penyakit antar dan intern tanaman, dengan mengunakan teknik uji klinis dengan terapi antibiotik. Diharapkan data yang diperoleh dapat disusun satu konsep cara pengendalian terhadap penyakit layu pada tanaman kelapa dan kelapa sawit yang disebabkan oleh Phytoplasma serta dapat menekan kehilangan hasil. Informasi tentang keberadaan penyakit Phytoplasma ini sangatlah penting dan bahkan perlu untuk didapatkan cara pengendalian yang efektif dan efisien. Terapi dengan antibiotika merupakan teknik yang baik untuk menganalisis penyebab penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus ataupun Phytoplasma.

PENGELOLAAN PENYAKIT LAYU KALIMANTAN DI LAPANGAN

Teknologi pengendalian penyakit Layu Kalimantan belum tersedia secara permanen yang mudah dilaksanakan oleh petani, kecuali menebang dan membakar pohon yang terserang penyakit, karena belum dikuasainya aspek etiologi dan epidemiologi penyakit. Salah satu cara pengendalian yang dapat menekan serangan penyakit dalam waktu lama dan aman terhadap lingkungan adalah penggunaan varietas resisten. Penggunaan varietas resisten mempunyai banyak keuntungan antara lain membantu mengurangi kehilangan hasil, mengurangi biaya operasional pengendalian, menghindari bahaya terhadap manusia, polusi udara, tanah dan air oleh racun kimia dan residunya, serta bagi petani merupakan metode yang mudah dan murah. Penggunaan varietas tahan diarahkan

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 51

untuk mengurangi sumber inokulum di lapang dan mencegah penularan penyakit (Warokka, 2005). Di Amerika dan Afrika, penggunaan varietas tahan terhadap penyakit Layu Kelapa merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan. Beberapa kultivar kelapa seperti Genjah Sri Lanka, Genjah Indiana dan kelapa Raja, kelapa Dalam resisten terhadap penyakit Lethal Yellowing di Jamaika (Been, 1981). Hasil penelitian di Ghana menunjukkan bahwa kultivar Genjah Hijau Sri Lanka dan Dalam Vanuatu tergolong agak tahan sedangkan Genjah Hijau Equatorial, Genjah Kuning Malaysia lebih tahan dibandingkan dengan kelapa Dalam Afrika Barat (Dery et al., 1995). Kegiatan penelitian penyakit Layu Kalimantan sudah dimulai mulai tahun 2005 dengan melakukan pendederan dan pembibitan 35 kultivar kelapa dan saat ini masih dilakukan pengujian tingkat ketahanannya terhadap penyakit layu Kalimantan. Pada tahun 2006 dilakukan penanaman 35 kultivar kelapa, dan dideteksi penularan penyakit melalui benih kelapa. Hingga akhir tahun 2013, tanaman yang ada sudah mulai berbuah dan belum menunjukkan gejala serangan penyakit layu Kalimantan (Anonim, 2013). Pertemuan para peneliti membahas penyakit layu se-Asia Pasifik yang dilakukan di Srilanka pada tahun 2011, menyarankan untuk meneliti kembali penyebab penyakit layu Kalimantan dan disarankan untuk mulai dengan terapi antibiotik Oxytetracyclin HydroChloride. Cara ini telah banyak diterapkan dibebrapa negara yang mempunyai masalah penyakit layu seperti penyakit layu di Florida, penyakit lethal yellowing di Tanzania, Srilanka dan India (Mc. Coy, 1982).

Pengendalian Penyakit Layu Kalimantan secara Terpadu Sampai saat ini belum ada teknologi pengendalian yang efektif untuk memberantas penyakit layu Kalimantan dan penyakit lainnya yang disebabkan oleh Phytoplasma. Ini lebih banyak diakibatkan karena Phytoplasma sebagai penyebab penyakit belum dapat dikulturkan pada media tumbuh sehingga menyulitkan dalam pengujian laboratorium. Tindakan pengendalian yang saat ini dianjurkan adalah : 1. Membersihkan kebun dan tanaman kelapa secara berkala agar kebun selalu bersih, dan sedapat mungkin dilakukan pemupukan. 2. Tanaman kelapa yang kena penyakit layu harus segera ditebang, dikeluarkan dari kebun, dan dibakar. 3. Melakukan pembersihan gulma yang ada dalam kebun terlebih gulma yang berada disekitar tanaman kelapa. Untuk memperkecil ruang hidup serangga vektor, atau melakukan penyemprotan dengan insektisida.

52 Pengendalian Penyakit Layu Kalimantan pada Tanaman Kelapa

4. Bila terdapat serangan baru maka semua pohon yang menunjukkan gejala penyakit harus ditebang dan dibakar untuk mengurangi sumber penyakit di kebun. 5. Untuk mencegah berkembangnya penyakit dapat dilakukan dengan menyuntik dengan antibiotik hydro oxytetracyclin 3-6 cc/pohon dan dapat dilakukan setiap periode 1 tahun. 6. Untuk penanaman baru dapat dilakukan dengan menggunakan varietas kelapa yang tahan seperti Dalam Mapanget (DMT), dan Dalam Tenga (DTA) yang saat ini belum menunjukkan gejala walaupun telah berumur 14 tahun dan ditanam didaerah rawan serangan penyakit layu Kalimantan. 7. Mengingat berbahayanya penyakit Layu Kalimantan, maka dipandang perlu untuk mendisiplinkan terhadap peredaran keluarnya benih kelapa dari daerah rawan serangan. Pengawasan ini harus lebih diintensifkan bagi petugas karantina yang ada di daerah tersebut.

PENUTUP

Penyakit Layu Kalimantan (Kalimantan Wilt Disease) yang disebabkan Phytoplasma adalah penyakit penting tanaman kelapa karena akibat yang ditimbulkan dapat secara langsung menurunkan produktivitas kelapa. Serangan penyakit layu Kalimantan dapat mengakibatkan tanaman kelapa mati secara massal. Penyebab penyakit adalah Phytoplasma dengan masa periode laten penyakit 4-31 bulan. Pengelolaan penyakit di lapangan dapat dilakukan secara terpadu dengan memanfaatkan teknik pengendalian yang ada, eradikasi dengan menebang tanaman sakit, bobokor, pembabatan rerumputan serta melakukan penyuntikan dengan antibiotika untuk tanaman kelapa disekitar tanaman sakit. Karantina tanaman sangat penting untuk diperhatikan dalam mengurangi kerusakan yang terjadi akibat adanya serangan penyakit layu Kalimantan. Phytoplasma penyebab penyakit layu Kalimantan, tercatat juga dapat menginfeksi banyak tanaman termasuk kelapa sawit.

DAFTAR PUSTAKA

Alvarez, E. dan J.L. Claroz. 2003. Characterization and Clasification of Phytoplasmas associated with oil palm (Elaeis guineensis). International Centre for Tropical Agricultural. A.A. 6713, Cali, Colombia. Anonim. 2013. Laporan Tahunan Balai Penelitian Tanaman Kelapa. 2013.

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 53

Been, B.O. 1981. Observation of field resistance to lethal yellowing in coconut varieties and hybrids in Jamaica. Oleagineaux, 36:9-12. Cordova, I., P. Jones, N.A. Harrison and C. Oropeza. 2003. In situ PCR detection of phytoplasma DNA in embryos from coconut palms with lethal yellowing disease. Molecular Plant Pathology Vol. 4(2)99-108. Dery, S.K., Y.P. N'cho, A. Sangare dan E.D. Arkhurst. 1995. Cape st paul wilt disease : Resistance screening and Porspects for rehabilitating the Coconut industry in Ghana. Fernando, P.L.C. 2011. Research and development update on the Weligama coconut leaf wilt disease in Srilanka. Report of the APCC/MCD&JED/CRI Consultative meeting on Phytoplasma/wilt diseses in coconut. CRI, Lunuwila, Sri Lanka, 15-17 June 2011. Lolong, A.A. 2011. The Integrated Management of Major Diseases of Coconut and other Palms in Indonesia. Report of the APCC/MCD&CRI Consultative Meeting on Phytoplasma/Wilt diseases in Coconut. Coconut Research Institute, Lunuwila, Sri Lanka, 15-17 June 2011.p176-187. Lolong. A.A. dan H.F.J. Motulo. 2014. Penyakit Layu Klaimantan pada Tanaman Kelapa Rakyat di Kalimantan Timur. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa VIII. Jambi, 21-22 Mei 2014. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. McCoy, R.E. 1982. Use of tetracycline antibiotics to control yellows diseases. Plant disease (6) 7. P 539-542 Ovasuru, T., dan J.V. Kaiulo. 2011. The Bogia wilt disease in Papua new guinea: R&D approaches and strategies to control and prevent the spread of the disease. Report of the APCC/MCD&JED/CRI Consultative meeting on Phytoplasma/wilt diseses in coconut. CRI, Lunuwila, Sri Lanka, 15-17 June 2011. Phyllis., G. Weintraub dan LeAnn Beanland (2006). Insect vectors of phytoplasmas. Annual Review of Entomology; ( 51): 91-111. Prasetyo, A.E. 2012. Deteksi dan identifikasi fitoplasma yang berasosiasi dengan penyakit layu kelapa di Pulau Derawan, Kalimantan Timur. [Disertasi] Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Rethinam, P. 2000. Diseases of Oilpalm and their management In. Oilpalm-diseases pest and nutrient defisiences. National aresearch Centre for oil palm, Andhra Pradesh, India. Rodriguez, M.J. 2011. The nature of the cadang-cadang disease of coconut in the Phylippines and review of the R&D programme : strategies and accomplishments. Report of the

54 Pengendalian Penyakit Layu Kalimantan pada Tanaman Kelapa

APCC/MCD&JED/CRI Consultative meeting on Phytoplasma/wilt diseses in coconut. CRI, Lunuwila, Sri Lanka, 15-17 June 2011. Rojas-Martinez. R.I. 2012. Insect vectors of Phytoplasma. Tropical biology and conservation management. Vol VII. Encyclopedia of life support system (EOLSS). Seal, S. 1995. DNA-based diagnostic tests for Pseudomonas solanacearum causal agent of bacterial wilt. In: A manual for workshop on detection of bacterial plant patogens using serological, bactid, biolog and PCR techniques. RIFCB. Sitepu, D. 1989. Penyakit kelapa yang belum jelas penyebabnya, dampak dan statusnya. Prosiding Seminar Hama dan Penyakit Kelapa, Maret 1988. 106-115. Thomas, G.V. 2011. Practical strategies, good agriculture practices and regulatory measures adopted in the control, management and containment of the Kerala wilt diseases. Report of the APCC/MCD&JED/CRI Consultative meeting on Phytoplasma/wilt diseses in coconut. CRI, Lunuwila, Sri Lanka, 15-17 June 2011. Warokka, J.S. and P. Jones. 1999. Distribution and epidemiology of Kalimantan wilt disease. P39-47. In: D. Allorerung, H.C. Harries, P. Jones and J.S. Warokka (eds). Proceedings of the workshop on lethal diseases of coconut caused by phytoplasma and their importance in Southeast Asia. APCC. Jakarta. Weintraub, P.G. dan L. BeanlandL. 2006. Insect vectors of Phytoplasma. Review article. Annual Revised Entomology. (51): 91-111. Warokka, J.S. 2005. Studies on the etiology and epidemiology of Kalimantan wilt disease of coconut in Indonesia. PhD thesis University of Nothingham, UK. 179p

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 55

PEMANFAATAN TANAH BEKAS TAMBANG BATUBARA YANG TELAH DIREKLAMASI UNTUK TANAMAN SAGU DI SANGATTA, KUTAI TIMUR UTILIZATION OF RECLAMATION FORMER COAL MINE WITH SAGO PALM IN SANGATTA, EAST KUTAI

Nurhaini Mashud

Balai Penelitian Tanaman Palma Jalan Raya Mapanget, Kotak Pos 1004 Manado 95001 E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tanah bekas tambang memiliki sifat fisik, kimia dan biologi yang kurang sesuai digunakan sebagai lahan perkebunan. Tanah bekas tambang berkualitas rendah yang ditandai oleh tekstur tanahnya yang kurang baik, unsur hara dan bahan organik yang rendah karena lapisan tanah bagian atas yang hilang, pH tanah rendah dan terdapatnya residu mineral beracun. Jenis tanaman yang dapat dibudidayakan di lahan seperti ini adalah tanaman yang memiliki daya adaptasi tinggi pada tanah marjinal. Salah satu jenis tanaman dimaksud adalah sagu, baik sagu rumbia (Metroxylon rumphii, Rottb) maupun sagu baruq (Arenga microcarpa, Becc). Peluang pemanfaatan lahan bekas tambang untuk ditanami tanaman sagu cukup tinggi setelah lahan marginal ini direklamasi untuk meningkatkan daya dukung dan daya guna untuk produksi biomasa. Hasil analisis tanah di Danau Kembar menunjukkan bahwa pH tanah 6,46 atau sesuai untuk tanaman sagu. Sagu rumbia yang ditanam di Danau Kembar yang telah berumur satu tahun sudah memiliki 1-3 anakan per pohon, jumlah daun 7,15-8,40 pelepah per pohon, sedangkan sagu baruq memiliki daun sebanyak 6,0 pelepah per pohon.

Kata Kunci: Tanah, bekas tambang, batubara, tanaman, sagu.

ABSTRACT

Ex-mining land typically has unsuitable physical, chemical and biological properties for agricultural land. Low quality of the ex-mining land is characterized by the bad soil texture, deficiency of nutrient and organic matter due to the los of top soil, soil acidity, and the residue of the toxic materials. The crops, that are suitable for ex-mining land are those that have high adaptability on marginal land. One of those crops is sago palm, either Metroxylon rumphii Rottb or Arenga microcarpa Becc. There is an opportunity to utilize ex-mining land for agricultural purposes after the land is reclaimed to increase the carrying capacity and efficiency for mass production. Soil pH types of sago palms have been planted in this location. One year after planting, M. rumphii Rottb palms produced 1-3 suckers/palm and 7.15-8.40 leave/palm; while A. microcarpa produced 6.0 leaves/palm.

Keywords: Soil, former mine, coal, sago, palms.

PENDAHULUAN

56 Pemanfaatan Tanah Bekas Tambang Batubara……….

Pengendalian pelaksanaan penambangan terbuka yang berorientasi pada pelestarian sumberdaya lahan dan hayati tanah dapat dilakukan, antara lain dengan reklamasi/penimbunan lahan setelah selesai penambangan (Subowo, 2011). Tanah bekas tambang memiliki masalah fisik, kimia dan biologi. Masalah fisik antara lain tekstur tanah, dan masalah kimia tanah berhubungan dengan kemasaman (pH) tanah, kekurangan unsur hara dan sisa mineral beracun. Kerusakan lahan pasca tambang terbagi atas kerusakan fisik, kimia dan biologi (Pattimahu, 2004). Penambangan batubara dapat juga menyebabkan kerusakan ekosistem, yaitu flora, fauna, hidrologi dan sifat biologi tanah. Penambangan memiliki dampak negatiif pada topografi tanah, tanah menjadi kurang subur karena hilangnya tanah lapisan atas (top soil), dan kerusakan tanah melalui kegiatan peledakan terkendali. Tanah dapat kehilangan kemampuannya untuk menahan air melalui peledakan (Nzimande dan Chauke, 2012). Pemanfaatan lahan bekas tambang untuk perluasan areal pertanian merupakan suatu peluang setelah lahan tersebut direklamasi untuk meningkatkan daya dukung dan daya guna untuk produksi biomasa (Mulyanto, 2008). Reklamasi lahan bekas tambang adalah usaha untuk memperbaiki lahan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan kemampuannya (Zulkarnain, 2014). Jika telah dilakukan perbaikan kondisi lahan, areal bekas tambang dapat digunakan untuk budidaya pertanian. Kendala utama rehabilitasi lahan bekas tambang adalah rendahnya kandungan unsur hara dan bahan organik, toksisitas unsur hara tertentu, kemampuan tanah menyerap unsur hara dan air, pH tanah dan sifat fisik tanah yang buruk (Dariah et al., 2010), sehingga tanaman yang sesuai untuk lahan bekas tambang adalah tanaman yang memiliki daya adaptasi tinggi pada lahan marginal. Salah satu tanaman perkebunan yang memiliki daya adaptasi tinggi adalah sagu (Suryana, 2007). Sagu dapat tumbuh pada lahan yang tanaman lain tidak dapat tumbuh. Hasil tanaman pangan seperti padi, jagung, umbi-umbian dan palawija membusuk apabila terendam air, tetapi hasil sagu (pati) dalam batang tidak rusak pada kondisi yang sama selama beberapa hari. Sagu merupakan tanaman low-input crop, sehingga sesuai ditanam pada lahan marginal. Sagu merupakan salah satu sumber karbohidrat dan sebagai bahan baku pangan dan non pangan. Selain pati, ampas sagu kering dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, sehingga mengurangi pencemaran lingkungan di sekitar tempat pengolahan sagu. Selain itu, tanaman sagu dapat memperbaiki efek rumah kaca dari atmosfer yang menyebabkan pemanasan global, karena tanaman ini memilki efisiensi fotosintesis yang tinggi. Hal ini disebabkan tanaman sagu memiliki 1000 stomata (mulut daun) per mm2 daun. Di daerah tropis seperti Indonesia,

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 57

tanaman sagu menyerap CO2 sepanjang tahun dan dikonversi ke dalam bentuk karbohidrat dalam jumlah banyak kemudian disimpan dalam bentuk pati dalam batang. Kemampuan penyerapan CO2/ha/tahun tanaman sagu lebih tinggi dibanding dengan tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Penyerapan CO2 tanaman sagu 1445 ton, tebu 1123 ton, jagung 1080 ton, ubi kayu 842 ton, ubi jalar 442 ton dan padi 405 ton/ ha/tahun.

KONDISI LAHAN BEKAS TAMBANG BATUBARA

Kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah pada lahan bekas tambang batubara di Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur tergolong sangat rendah hingga sedang berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah Pusat Penelitian Tanah Bogor. Kandungan bahan organik tergolong rendah hingga tinggi (1,85-8,30%), dan N-total tanah sangat rendah hingga sedang (0,08-0,21%). Sudaryono (2009) menyatakan bahwa bahan organik merupakan sumber utama N dalam tanah dan berperan dalam proses perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Ratio C/N tanah tergolong rendah hingga tinggi (10,40-22,93). Hasil penelitian yang dilakukan Balai Penelitian Tanaman Palma bekerjasama dengan PT. KPC (Kaltim Prima Coal) menunjukkan bahwa lima lokasi bekas tambang batubara memiliki sifat fisik dan kimia yang berbeda dengan vegetasi yang berbeda (Gambar 1). Lima lokasi ini terdiri atas 4 lokasi lahan berair dan satu lokasi lahan kering di Sepaso Selatan. Tekstur tanah di Panel 7 Surya adalah lempung berliat 53%, liat 33%, liat berdebu 7% dan lempung berdebu 7%. Pada waktu dilaksanakan penelitian tahun 2012, reklamasi di lokasi ini berumur lima tahun, dengan vegetasi semak dan tanaman penutup tanah Centrocema pubecens. Tanah bersifat masam dengan pH 4,57; C-organik dan bahan organik rendah (1,07% dan 1,85%); ratio C/N sedang (10,40); N-total rendah (0,10%); P tersedia rendah (7,37 ppm); dan K tersedia rendah (46,27 ppm). Sifat kimia tanah di Panel 7 Surya mengindikasi-kan bahwa tanah memiliki kesuburan rendah. Kandungan logam berat Pb (timbal) dalam tanah rendah, yaitu 13,40 ppm. Kandungan Pb total dalam tanah 16,27 ppm (Balai Penelitian Tanah, 2002) dan 16,00 ppm (Anonim, 2012). Jadi kandungan Pb di lokasi ini tergolong rendah. Keadaan ini diduga disebabkan lokasi ini telah lama direklamasi (lima tahun). Kemasaman (pH) tanah antara lain dipengaruhi oleh umur reklamasi. Lokasi ini telah lima tahun direklamasi tetapi pH tanahnya masih rendah. Ratio C/N mengindikasikan dekomposisi bahan organik. Ratio C/N 12-14 menun-jukkan kandungan bahan organik baik untuk

58 Pemanfaatan Tanah Bekas Tambang Batubara……….

pertumbuhan tanaman. Ratio C/N 11 menunjukkan bahan organik dalam kondisi sangat melapuk dan sebaiknya pada tanah tersebut ditambahkan bahan organik, sedangkan ratio C/N > 15 menunjukkan bahwa bahan organik belum terdekomposisi sehingga membutuhkan waktu untuk siap dimanfaatkan tanaman. Ratio C/N 10,40 di Panel 7 Surya mengindikasikan di lokasi ini perlu ditambahkan bahan organik, antara lain kompos atau kotoran ayam. Menurut Sheoran et al. (2010) bahan organik adalah sumber unsur hara seperti N dan P tersedia dan K dalam tanah.

a b

c d

Gambar 1. Lokasi bekas tambang batubara dengan lahan berair: (a). Panel 7 surya; (b). Danau Kembar Surya; (c). Gajah Hitam dan (d). Dirty Coal.

Tekstur tanah di Danau Kembar didomiasi oleh liat berdebu 80%, lempung liat berdebu 13% dan debu 7%. Vegetasi di lokasi ini terdiri atas alang-alang dan tumbuhan hutan. Tanah di lokasi ini agak netral dengan pH 6,46; C-organik dan bahan organik tinggi (4,82% dan

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 59

8,32%); ratio C/N tinggi (22,93), N-total cukup (0,10%); P dan K tersedia sangat rendah (3,52 ppm-11,47 ppm). Sifat kimia tanah di Danau Kembar mengindikasikan bahwa tanah agak subur, kandungan logam berat Pb dalam tanah rendah, yaitu 10,82 ppm. Berdasarkan ratio C/N maka bahan organik tanah di Danau Kembar dalam kondisi belum melapuk sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk siap dimanfaatkan tanaman. Oleh karena itu, tanah di lokasi ini perlu ditambahkan pupuk organik (kompos atau pupuk kandang) dan anorganik. Tekstur tanah di Gajah Hitam adalah lempung berliat 33%, liat berdebu 20%, lempung berdebu 13,33%, liat 13,33%, lempung 13,33 % dan lempung liat berdebu 7%. Reklamasi di lokasi ini berumur 13 tahun, dengan vegetasi semak, alang-alang dan tanaman penutup tanah Centrocema pubecens. Oleh karena lokasi ini direklamasi delapan tahun lebih lama dari Panel 7 Surya maka tanah di Gajah Hitam bersifat agak netral dengan pH (6,08) lebih tinggi dari tanah di Panel 7 Surya. Tanah bekas tambang batubara yang telah lama direklamasi memiliki pH lebih tinggi dari tanah yang baru direklamasi. Menurut Ferry et al. (2010) pH tanah bekas tambang yang direklamasi selama 10 tahun lebih tinggi dari tanah yang direklamasi selama satu tahun. Kandungan C-organik dan bahan organik cukup (3,24 dan 5,59%); ratio C/N sedang (15,80), N-total cukup (0,21%); P dan K tersedia rendah (7,72-79,87 ppm). Berdasarkan sifat kimia, maka tanah di Gajah Hitam tergolong agak subur. Kandungan logam berat Pb dalam tanah tergolong rendah, yaitu 11,65 ppm. Ratio C/N > 15 di Gajah Hitam mengindikasikan bahwa bahan organik dalam kondisi belum melapuk sehingga membutuhkan waktu untuk siap dimanfaatkan tanaman. C-organik dan bahan organik dalam kondisi cukup. Oleh karena itu, tanah bekas tambang batubara di Gajah Hitam perlu ditam-bahkan pupuk organik (kompos atau pupuk kandang) dan anorganik untuk meningkatkan kesuburan tanah. Tekstur tanah di Dirty Coal didominasi oleh lempung berliat (80%), sedangkan sisanya adalah lempung (20%). Tanah di lokasi tambang batubara ini bersifat masam dengan pH 4,76, C-organik rendah (1,88%), bahan organik cukup (3,25%), ratio C/N 15,67, N-total, P tersedia dan K tersedia rendah, berturut-turut 0,12%, 6,26 ppm dan 92,80 ppm. Sifat kimia tanah seperti ini mengindikasikan bahwa kesuburan tanah di Dirty Coal rendah. Kandungan logam berat Pb rendah, yaitu 12,77 ppm, sehingga tidak menyebabkan pen-cemaran dalam tanah yang berpengaruh negatif pada pertumbuhan tanaman. Vegetasi di lokasi ini adalah alang-alang dan jenis tumbuhan rumput lainnya.

60 Pemanfaatan Tanah Bekas Tambang Batubara……….

Ratio C/N tanah di Dirty Coal mengindikasikan bahwa bahan organik belum melapuk yang ditandai oleh ratio C/N > 15, sehingga membutuhkan waktu lama agar unsur hara yang terkandung dalam bahan organik tersedia untuk pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, tanah bekas tambang batubara di lokasi ini perlu ditambahkan pupuk organik, pupuk anorganik N, P dan K untuk meningkatkan kesuburan tanah serta pengapuran untuk memperbaiki pH tanah. Sifat fisik tanah di lahan kering bekas tambang batubara di Sepaso Selatan adalah Lempung berliat (87%) dan lempung (13%). Sifat kimia tanah menunjukkan bahwa tanah bersifat sangat masam dengan pH 4,10, C-organik dan bahan organik rendah, yaitu 0,48% dan 1,69%, N- total sangat rendah (0,08), P dan K tersedia rendah (7,26 ppm dan 83,80 ppm). Sifat kimia ini menunjukkan bahwa tanah di Sepaso Selatan memiliki kesuburan rendah. Kandungan logam berat Pb tergolong rendah (4,87 ppm) sehingga tidak memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan tanaman. Vegetasi yang tumbuh di lokasi ini adalah tanaman buah-buahan, yaitu . Ratio C/N tanah di Sepaso Selatan 12,47 mengindikasikan bahwa kandungan bahan organik rendah. Tanah di lokasi ini perlu dilakukan pemberian pupuk organik, pupuk anorganik N, P dan K untuk meningkatkan kesuburan tanah serta pengapuran untuk meningkatkan pH tanah.

PEMANFAATAN TANAH BEKAS TAMBANG BATUBARA UNTUK TANAMAN SAGU

Lima lokasi tanah bekas tambang batubara yang telah direklamasi di Sangatta, Kutai Timur, dua lokasi diantaranya, yaitu Danau Kembar dan Gajah Hitam memiliki kesuburan sedang, serta Panel 7 Surya, Dirty Coal dan Sepaso Selatan memiliki kesuburan rendah. Untuk budidaya tanaman sagu, kelima lokasi ini kesuburannya harus diperbaiki. Semua lokasi perlu diberi pupuk organik, tanah di tiga lokasi, yaitu Panel 7 Surya, Dirty Coal dan Sepaso Selatan tanahnya harus dipupuk dengan pupuk yang mengandung unsur hara N, P dan K, sedangkan Danau Kembar dan Gajah hitam tanahnya harus dipupuk dengan pupuk yang mengandung unsur hara P dan K. Selain pemupukan, tanah di Panel 7 Surya, Dirty Coal dan Sepaso Selatan harus dikapur untuk menaikkan pH sehingga unsur hara tersedia untuk pertumbuhan tanaman. Walaupun dilakukan pemupukan baik organik maupun anorganik apabila pH tanah rendah maka unsur hara yang diberikan tidak tersedia untuk pertumbuhan karena terikat dengan unsur lain, yaitu Al dan Fe.

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 61

Dua jenis tanaman sagu telah ditanam di Danau Kembar yang memiliki kesuburan sedang, yaitu sagu rumbia (Metroxylon rumphii, Rottb) asal Kolaka, Sulawesi Tenggara dan sagu baruk (Arenga microcarpa, Becc) asal Lembean, Sulawesi Utara. Pertumbuhan kedua jenis tanaman sagu tersebut sangat baik. Tanaman sagu rumbia umur satu tahun telah memiliki 1-3 anakan, jumlah daun 7,15-8,40 pelepah/pohon (Gambar 2). Permukaan bawah pelepah daun sagu rumbia berwarna keunguan. Pada umur yang sama, jumlah daun sagu baruk 6,0 pelepah/pohon (Gambar 3).

Gambar 2. Penampilan pertumbuhan sagu rumbia (Metroxylon rumphii, Rott) umur satu tahun.

Gambar 3. Penampilan pertumbuhan sagu baruk (Arenga microcarpa, Becc).) umur satu tahun.

62 Pemanfaatan Tanah Bekas Tambang Batubara……….

PENUTUP

Lima lokasi tanah bekas tambang batubara di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur memiliki sifat fisik dan kimia yang berbeda. Umumnya, tanah di Panel 7 Surya dan Gajah Hitam lempung berliat, Danau Kembar dan Dirty Coal liat berdebu serta di Sepaso Selatan lempung berpasir. Tanah bekas tambang batubara bersifat sangat masam hingga agak netral dengan ph 4,10-6,46. Kandungan C-organik rendah hingga tinggi (1,07-4,82%), kandungan bahan organik rendah hingga tinggi (1,85-8,30%), unsur hara N dalam tanah sangat rendah hingga cukup (0,08-0,21%), unsur hara P dan K sangat rendah hingga rendah (3,52-7,72 ppm dan 11,47-92,80 ppm). Kandungan logam berat Pb (timbal) rendah (4,87-13,40 ppm) sehingga tidak menyebabkan pencemaran tanah. Kandungan normal Pb dalam tanah adalah 16,00-16,27 ppm. Tanah bekas tambang batubara di Gajah Hitam dan Danau Kembar memiliki kesuburan sedang, sedangkan di Panel 7 Surya, Dirty Coal dan Sepaso Selatan memiliki kesuburan rendah. Oleh karena itu, tanah di Panel 7 Surya, Gajah Hitam, dan danau Kembar harus diberi pupuk yang mengandung unsur hara P dan K, sedangkan di Dirty Coal dan Sepaso Selatan perlu diberi pupuk yang mengandung N, P dan K. Selain itu, pengapuran perlu dilakukan di Panel 7 Surya, Dirty Coal dan Sepaso Selatan untuk meningkatkan pH tanah sehingga unsur hara yang diberikan dapat tersedia untuk pertumbuhan tanaman termasuk tanaman sagu. Tanah di Danau Kembar dengan pH 6,46 sesuai untuk tanaman sagu. Dua jenis sagu ini telah ditanam di lokasi Danau Kembar, yaitu sagu rumbia (Metroxylon rumphii, Rottb) dan sagu baruk (Arenga microcarpa, Becc). Tanaman sagu rumbia umur satu tahun telah memiliki anakan 1-3 anakan, jumlah daun 7,15-8,40 pelepah/pohon, dan sagu baruk memliki daun sebanyak 6,0 pelepah/pohon.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Analisa kadar logam berat secara SNI, aplikasi serta toksikologi timbal. ikasuryaagustiani.blokspot.com. Download Mei 2014. Dariah, A., A. Abdurachman dan D. Subardja. 2010. Reklamasi lahan eks-penambangan untuk perluasan areal pertanian. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No.1:1-12. ISSN 1907-0799.

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 63

Ferry, Y.,Y. Towaha dan K.D. Sasmita. 2010. Perbaikan lahan bekas tambang timah Studi Kasus: Uji Media Tanah Bekas Tambang dengan Berbagai Macam Kompos untuk Budidaya Lada. Buletin Riset Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri Vol. 1 No. 6. Mulyanto, R. 2008. Hubungan fungsi tanah dan kelembagaan pengelolaan kawasan pasca tambang. Makalah disampaikan dalam Seminar Kawasan Tambang Pasca Penutupan Tambang. Pusat Studi Reklamasi dan Pengelolaan Tambang. LPPM-Institut Pertanian Bogor. Bogor 22 Mei 2008. Ntzimande, Z dan H. Chauke, 2012. Sustainability through responsible environmental mining. Journal of the Southern African Institute of Mining and Moetallurg Vol. 112 No. 2. Johannesburg.3 . Pattimahu, D.V. 2004. Restorasi lahan kritis pasca tambang sesuai kaidah ekologi. http://www.rudyct.com/PPS702ipb/09145/debby_ pattimahu. pdf. [diakses tanggal 15 Juli 2014]. Sheoran, V., A.S. Sheoran dan P. Poonia. 2010. Soil reclamation of abandoned mine land by revetation: A review. International Journal of Soil, Sedimen and Water. Vol 3. Iss. 2 Art. 13. ISSN: 1940-3259. Produced by The Berkeley Electronic Press. Subowo, G. 2011. Penambangan system terbuka ramah lingkungan dan upaya reklamasi pasca tambang untuk memperbaiki kualitas sumberdaya lahan dan hayati tanah. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 5 No.2:83-94. Sudaryono. 2009. Tingkat kesuburan tanah Ultisol pada lahan pertambangan batubara Sangatta, Kalimantan Timur. Jurnal Tek. Ling. Vl. 10 No. 2:337-346. Suryana, A. 2007. Arah dan strategi pengembanguan sagu di Indonesia. Prosiding Lokakarya Pengembangan Sagu di Indonesia. Batam 25-26 Juli 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Bogor. ISBN:978-979-8451-50-8. Zulkarnain. 2014. Status sifat kimia tanah pada lahan bekas tambang batubara yang telah direklamasi. Media sains Vol. 7 No. 1:96-99. ISSN 2085-3548.

64 Pemanfaatan Tanah Bekas Tambang Batubara……….

SINTESIS HUMAN MILK FAT ANALOG DARI STEARIN SAWIT SYNTHESIS OF PALM STEARIN-BASED HUMAN MILK FAT ANALOG

Steivie Karouw1, Suparmo2, Pudji Hastuti2 dan Tyas Utami2

1Balai Penelitian Tanaman Palma Jalan Raya Mapanget, Kotak Pos 1004 Manado 95001 E-mail: [email protected] 2Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada Jalan Flora No.1, Bulaksumur Yogyakarta 55281

ABSTRAK

Stearin sawit adalah fraksi padat hasil ikutan pengolahan minyak sawit. Asam lemak dominan pada stearin sawit adalah asam palmitat (49,6-58,8%) dan sekitar 58,3% teresterifikasi pada posisi sn-2. Asam palmitat merupakan asam lemak utama yang terdapat pada Air Susu Ibu (ASI) dan sekitar 44,80% terdistribusi pada posisi sn-2 dari triasilgliserol. Penelitian untuk meng-hasilkan lemak baru yang memiliki profil asam lemak mirip ASI atau Human Milk Fat Analog (HMF Analog) telah banyak dilakukan. Sumber asam palmitat yang digunakan adalah lemak babi dan tripalmitin. Lemak babi terbatas penggunaannya dan tripalmitin sangat mahal harganya. Oleh karena itu stearin sawit merupakan salah satu sumber asam palmitat potensial yang dapat digunakan untuk sintesis HMF Analog. Dua tahap utama pada pengolahan HMF Analog berbahan stearin sawit yaitu preparasi 2-monogliserida dari stearin sawit dan interesterifikasi 2- monogliserida dengan ester metil asam lemak. Proses sintesis menggunakan lipase dari Rhizomucor miehei dan lipase pangkreas yang spesifik mengkatalisis posisi sn-1,3 dari triasilgliserol.

Kata kunci: Sintesis, stearin sawit, human milk fat analog, lipase.

ABSTRACT

In processing of crude palm oil, some products can be obtained and the main products are palm oil and palm stearin. Palmitic acid was the major fatty acid in palm stearin (49.6-58.8%), in which 58.3% mainly located in the sn-2 position. Palmitic acid is the major fatty acid in human milk fat, reach to 44.80%, that predominantly located in the sn-2 position of the triglycerides. In recent years, there have been a considerable researches conducted on stuctured lipids containing fatty acid profile similarly to that of human milk or Human Milk Fat analog (HMF analog). Generally, tripalmitin or lard oil were used as sources of palmitic acid in sn-2 position. Thus, palm stearin was good source of 2-monopalmitin which could be hydrolyzed enzimatically using specific 1,3 lipase such as pancreatic lipase. The 2-monopalmitin was then interesterified enzimaticcally with fatty acid methyl ester using spesific 1,3 lipase such as lipase from R. Miehei and pancreatic lipase.

Keywords: Synthesis, palm stearin, human milk fat analog, lipase.

Bunga Rampai : Teknologi Terkini Tanaman Palma 65

PENDAHULUAN

Proses pengolahan minyak sawit dihasilkan produk utama minyak sawit atau disebut fraksi olein dan produk ikutan yaitu stearin sawit dan palm mid fraction (PMF). Stearin sawit adalah fraksi padat yang memiliki melting point relatif tinggi sekitar 44-56oC (Ming et al., 1998). Minyak sawit didominasi oleh asam lemak tak jenuh sebanyak 62,4% dengan proporsi tertinggi oleat 51,3% dan linoleat 11,4%, sedangkan asam palmitat 31,4%. Pada stearin sawit asam lemak tak jenuh (oleat dan linoleat) sekitar 33,4-33,8% dan asam lemak palmitat mencapai 49,8- 58,8% (Mounika dan Reddy, 2012; Zou et al., 2012). Distribusi asam palmitat pada posisi sn-2 dari stearin sawit lebih tinggi yaitu 58,3% (Zou et al., 2012), sedang pada minyak sawit hanya 7,2 % (Berry et al., 2007). Kandungan asam palmitat yang tinggi pada posisi sn-2 dari stearin sawit memungkinkan pemanfaatannya sebagai sumber asam palmitat untuk sintesis HMF analog. HMF analog adalah lemak yang memiliki profil asam lemak mirip asam lemak Air Susu Ibu (ASI). Asam oleat dan palmitat adalah asam lemak utama pada ASI masing-masing berkisar 21,9-40,2% dan 21,0 -22,6%. Pada posisi sn-2 asam palmitat merupakan asam lemak dengan proporsi tertinggi yaitu 44,8-54,2% (Innis et al., 1994; Lien et al., 1997; Yuhas et al., 2006). Sintesis HMF analog umumnya menggunakan tripalmitin atau lemak babi sebagai sumber asam palmitat pada posisi sn-2nya. Lemak babi mengandung asam palmitat pada trigliseridanya sekitar 23,9-28,5% dan pada posisi sn-2 67,3-78,9% (Lien et al., 1997; Wang et al., 2010). Lemak babi terbatas penggunaannya karena sebagian masyarakat tidak dapat meng-konsumsinya. Oleh karena itu penggunaan sumber minyak atau lemak tinggi palmitat dari bahan alami sangat potensial untuk dilakukan. Berdasarkan kandungan asam lemaknya, maka stearin sawit merupakan salah satu bahan alami yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber asam palmitat yang potensial untuk pengolahan HMF analog (Karouw, 2014). Makalah ini akan menyajikan sintesis HMF analog menggunakan stearin sawit sebagai sumber asam palmitat.

KOMPOSISI ASAM LEMAK STEARIN SAWIT

Asam lemak dominan pada minyak sawit adalah asam palmitat (31,8- 56,0%) disusul asam oleat (29,9-48,9%), asam linoleat (6,3-12,0%) dan asam stearat 4,1-5,2% (Hui, 1996). Asam lemak dominan pada posisi sn-2 dari minyak sawit adalah oleat 70,9%, asam linoleat 19,0% dan asam palmitat 7,2% (Berry et al., 2007). Minyak inti sawit asam lemak dominannya adalah laurat sekitar 50%

66 Sintesis Human Milk Fat Analog dari Stearin Sawit

(Haard dan Chism, 1996). Profil dan distribusi asam lemak minyak sawit disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Profil dan distribusi asam lemak minyak sawit. Asam Lemak Total sn-2 (mol %) ( mol %) C16:0 (Palmitat) 31,4 7,2 C18:0 (Stearat) 4,8 1,1 C18:1n-9 (Oleat) 51,3 70,9 C18:2n:6 (Linoleat) 11,1 19,0 Lainnya 1,4 1,8 Sumber : Berry et al. (2007).

Proses pengolahan minyak sawit dihasilkan produk utama minyak sawit atau disebut fraksi olein dan produk ikutan seperti stearin sawit dan palm mid fraction (PMF). Stearin sawit adalah fraksi padat yang memiliki melting point relatif tinggi sekitar 44-56oC (Ming et al., 1998). Profil asam lemak stearin sawit disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan data pada Tabel 1 dan 2 terlihat bahwa asam palmitat dan oleat merupakan asam lemak dominan pada minyak sawit dan stearin sawit. Minyak sawit didominasi oleh asam lemak tak jenuh sebanyak 62,4% dengan proporsi tertinggi asam oleat 51,3% dan asam linoleat 11,4%, sedangkan asam palmitat 31,4%. Pada stearin sawit asam lemak tak jenuh (oleat dan linoleat) hanya sebanyak 33,4-33,8% dan asam palmitat realtif lebih tinggi yaitu 49,8-58,8%. Distribusi asam palmitat pada posisi sn-2 dari stearin sawit lebih tinggi, yaitu 58,3%, sedang pada minyak sawit hanya 7,2%. Kandungan asam palmitat yang tinggi pada stearin sawit terutama pada posisi sn-2nya, memungkinkan pemanfaatan stearin sawit sebagai sumber asam palmitat yang potensial untuk sintesis HMF analog kaya palmitat. Monogliserida kaya palmitat dapat dihasilkan melalui proses hidrolisis menggunakan enzim spesifik sn-1 dan sn-3.

Tabel 2. Profil dan distribusi asam lemak stearin sawit. Total (%) Posisi sn-2 (%) Asam Lemak Zou et al. Mounika dan Zou et al. (2012) (2012) Reddy (2012) C12:0 (Laurat) 0,9 1,3 0,7 C14:0 (Miristat) 1,7 1,2 1,5 C16:0 (Palmitat) 58,8 49,6 58,3 C18:0 (Stearat) 4,8 3,0 4,9 C18:1n-9 (Oleat) 25,9 35,6 26,5 C18:2n:6 7,5 8,2 7,7

Bunga Rampai : Teknologi Terkini Tanaman Palma 67

(Linoleat) C18:3n-3 0,3 - 0,2 (Linolenat)

SINTESIS HMF ANALOG

Human Milk Fat Analog (HMF analog) adalah lemak yang memiliki profil asam lemak mirip Air Susu Ibu (ASI) dan disintesis melalui proses interesteri-fikasi enzimatis. Reaksi interesterifikasi menggunakan lipase yaitu enzim yang spesifik mengkatalisis posisi sn-1,3 dari triasilgliserol. Pada sintesis HMF analog, sumber asam palmitat yaitu tripalmitin dan lemak babi. Tripalmitin harganya mahal, sedangkan lemak babi tidak dapat dikonsumsi oleh sebagian masyarakat. Stearin sawit merupakan sumber asam lemak palmitat yang dapat digunakan untuk sintesis HMF analog. Sintesis HMF analog dilakukan melalui 2 tahap reaksi yaitu: 1) hidrolisis stearin sawit menjadi 2-monogliserida dan 2) interesterifikasi 2-monogliserida dan ester metil asam lemak Virgin Coconut Oil (VCO). Tahapan sintesis HMF analog akan diuraikan sebagai berikut:

Preparasi 2-monogliserida Preparasi 2-monogliserida dilakukan melalui proses hidrolisis meng-gunakan lipase dari Rhizomucor miehei dan lipase pankreas (Karouw et al., 2013). Lipase dari R. miehei dan pankreas memiliki kemampuan yang spesifik untuk mengkatalisis reaksi hidrolisis stearin sawit. Proporsi fraksi monogliserida tertinggi dengan lipase dari R. miehei diperoleh pada rasio substrat : buffer fosfat 10:1 dalam waktu 18 jam sebesar 21,59 % (Gambar 1). Lipase pankreas menghasilkan fraksi monogliserida lebih tinggi dari lipase dari R. miehei dalam waktu inkubasi 42 jam pada rasio substrat : buffer fosfat 10:4 menghasilkan 37,83% (Gambar 2).

68 Sintesis Human Milk Fat Analog dari Stearin Sawit

Gambar 1. Profil gliserida hasil hidrolisis stearin sawit dengan lipase dari R. miehei.

Gambar 2. Profil gliserida hasil hidrolisis stearin sawit dengan lipase pankreas.

Hidrolisis dengan lipase dari R. miehei setelah 18 jam terjadi kecenderungan penurunan fraksi monogliserida, sehingga hidrolisis dengan R. miehei hanya dilakukan sampai 24 jam. Pada hidrolisis dengan lipase pankreas, fraksi monogliserida cenderung naik dan tertinggi pada 42 jam (37,83%) sehingga proses hidrolisis terus dilakukan sampai 48 jam. Berdasarkan jumlah monogliserida yang terbentuk maka lipase pankreas dengan waktu lebih panjang dapat menghasilkan monogliserida yang lebih banyak dibandingkan lipase R. miehei.

Bunga Rampai : Teknologi Terkini Tanaman Palma 69

Sintesis HMF analog Sintesis HMF analog dilakukan melalui reaksi interesterifikasi enzimatis menggunakan biokatalis lipase dari R. miehei. HMF analog yang dihasilkan meningkat secara tajam pada 6 jam pertama mencapai 57,18% dan cenderung terus meningkat menjadi 60,24% sampai 12 jam. HMF analog yang dihasilkan menurun secara tajam menjadi 52,41% pada 24 jam. Akan tetapi mono-gliserida sedikit meningkat dari 14,76% pada 12 jam dan menjadi 15,58% pada 24 jam (Karouw, 2013). HMF analog yang dihasilkan cenderung mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya konsentrasi enzim yaitu berturut-turut 48,21; 53,06; 59,38 dan 62,25% masing-masing pada konsentrasi enzim 2,5; 5,0; 7,5 dan 10,0% (b/b). Hasil HMF analog tertinggi, yaitu 62,25% diperoleh pada konsentrasi enzim 10,0% (b/b). Selama reaksi enzimatis, enzim dan substrat akan membentuk kompleks. Pada konsentrasi enzim yang rendah, semua enzim berikatan dengan substrat. Jika konsentrasi enzim meningkat maka akan lebih banyak substrat yang berikatan dengan enzim hingga pada konsentrasi enzim tertentu semua substrat sudah berikatan dengan enzim dan selanjutnya peningkatan konsentrasi enzim tidak akan meningkatkan hasil esterifikasi. Kondisi terbaik untuk sintesis HMF analog melalui esterifikasi 2-monogliserida dan ester metil asam lemak menggunakan biokatalis lipase dari R. miehei, yaitu pada suhu 50oC selama 12 jam dan konsentrasi enzim 10,0% (b/b) (Karouw, 2013).

KOMPOSISI ASAM LEMAK HMF ANALOG

Komposisi asam lemak HMF analog yang disintesis dari 2-mono- gliserida berbahan sterain sawit dibandingkan dengan ASI disajikan pada Tabel 3. HMF analog yang disintesis menggunakan 2-monogliserida dari stearin sawit melalui proses interesterifikasi enzimatis dengan VCO memiliki kandungan asam lemak palmitat mirip ASI. Asam palmitat tersebut teresterifikasi pada posisi sn-2. Kandungan asam lemak oleat pada HMF analog lebih rendah dibanding ASI. Asam lemak rantai medium (laurat dan kaprat) yang teresterifikasi pada posisi sn-1,3 pada HMF analog relatif tinggi (39,37%). Kandungan asam lemak rantai medium tersebut lebih tinggi dibandingkan yang dilaporkan oleh Ilyasoglu et al. (2010) hanya 23,4 g/100 g. HMF analog yang disintesis menggunakan stearin sawit dan VCO memiliki karakteristik yang berbeda dibanding HMF analog yang disintesis dari minyak nabati dan minyak hewani lainnya. HMF analog dari stearin sawit dan VCO mengandung ALRM (laurat dan kaprat) yang lebih tinggi, yaitu 43,86%, sedangkan kandungan asam lemak palmitatnya

70 Sintesis Human Milk Fat Analog dari Stearin Sawit

hampir sama. ALRM pada posisi sn-2 sebanyak 32,78 dan sisanya teresterifikasi pada posisi sn-1,3. Distribusi asam lemak pada posisi sn- 1,3 akan berbeda sesuai distribusi asam lemak bahan bakunya. Perbedaan bahan baku yang digunakan untuk sintesis HMF analog sangat mempengaruhi profil asam lemak yang dihasilkan.

Tabel 3. Komposisi asam lemak HMF analog dan ASI. % Asam lemak

Asam lemak HMF analog ASI (Karouw et al., 2014) (Yuhas et al., 2006) Total Posisi sn-2 C10:0 (Kaprat) 4,49+0,43 5,43 + 0,87 2,35 C12:0 (Laurat) 39,37+0,92 27,35 + 4,99 13,82 C14:0 (Miristat) 16,06+0,39 12,41 + 1,89 12,12 C16:0 (Palmitat) 24,33+1,59 39,71 + 1,67 23,02 C18:0 (Stearat) 5,37+0,69 3,24 + 0,65 4,75 C18:1 (Oleat) 8,98+0,74 10,49 + 1,13 21,85 C18:2 (Linoleat) 1,40+0,11 1,37 + 0,49 ND Total ALRM (Laurat & Kaprat) 43,56 16,17

PENUTUP

Kandungan asam palmitat yang relatif tinggi pada posisi sn-2 dari stearin sawit memungkinkan stearin sawit sebagai salah satu sumber asam palmitat yang potensial untuk sintesis HMF analog. Asam palmitat yang teresterifikasi pada posisi sn-2 menyerupai distribusi asam palmitat pada ASI. Berdasarkan potensi stearin sawit sebagai sumber asam palmitat dan ketersediaan yang melimpah, maka membuka peluang penelitian preparasi 2-monogliserida dengan reaksi non enzimatis (kimiawi). Reaksi kimiawi secara ekonomis lebih murah dibandingkan reaksi enzimatis, karena enzim komersial sangat mahal harganya.

DAFTAR PUSTAKA

Berry, E.E., R. Woodward, C. Yeoh, G.J. Miller, dan T.A.B. Sanders. 2007. Effect of interesterification of palmitic acid-rich triacylgliserol on postpandrial lipid and factor VII response. Lipids 42: 315-323. Haard, N.F. dan G.W. Chism. 1996. Characteristic of edible plant tissues.

Bunga Rampai : Teknologi Terkini Tanaman Palma 71

Dalam : Fennema, O.R. (Ed.). Food Chemistry. Third Ed., Marcel Dekker, Inc. New York, Basel. p 842-878. Hui, Y.H. 1996. Edible oil and fat products : Oils and oilseeds In Bailey’s Industrial oil and fat products. Fifth Edition Volume 2. John Wiley & Sons, Inc., Canada. Ilyasoglu, H., M. Gultekin-Ozguven, and B. Pzcelik. 2011. Production of human milk fat substitute with medium chain fatty acids by lipase- catalyzed acidolysis: optimization by responese surface methodology. LWT-Food Science and Technology 44: 999-1004. Innis, S.M., R. Dyer, dan C.M. Nelson. 1994. Evidence that palmitic acid is absorbed as sn-2 monoacylglycerol from human milk by breast- fed infants. Lipids 29(8): 541-545. Karouw, S., Suparmo, P. Hastuti, dan T. Utami. 2013. Hidrolisis enzimatis stearin sawit menjadi monogliserida oleh lipase dari Rhizomucor miehei dan pankreas. Agritech Jurnal Teknologi Pertanian 33(1): 53-59. Karouw, S. 2013. Pemurnian 2-monogliserida dari stearin sawit. Buletin Palma Vol 14(1): 41-46. Karouw, S., Suparmo, P. Hastuti, dan T. Utami. 2014. Fatty acids profile, oxidative and hydrolysis stabilities of Virgin Coconut Oil and palm stearin based Human Milk Fat Analog. Cord. International Journal on Coconut R & B 30(2): 1-9. Karouw, S. 2014. Pemanfaatan stearin sawit dan minyak kelapa untuk formulasi asam lemak mirip ASI. Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri 13(2): 63-74. Lien, E.L., F.G. Boyle, R. Yuhas, R.M. Tomarelli, dan P. Quinlan. 1997. The effect of triglyceride positional distribution on fatty acid absorption in rats. Journal of Pediatric Gastroenterology & Nutritions 25: 167-174. Ming, L.O., H.M. Ghazali, dan C.C. Let. 1998. Effect of enzymatic transesterification on the fluidity of palm stearin-palm kernel olein mixtures. Food Chemistry 63(2): 155-159. Mounika, C. dan S.Y. Reddy. 2012. Specialty fats enriched with behenic and medium chain fatty acids from palm stearin by lipase acidolysis. Journal of the American Oil Chemists’ Society (89)9: 1691-1697. Wang, Y.H., X.L. Qin, Q.S. Zhu, R. Zhou, B. Yang, dan L. Li. 2010. Lipase-catalyzed acidolysis of lard for the production of human milk fat substitute. Europe Food Research Technology 230: 769- 777. Yuhas, R., K. Pramuk, dan E.L. Lien. 2006. Human milk composition from nine countries. Lipids 41(9): 851-858.

72 Sintesis Human Milk Fat Analog dari Stearin Sawit

Zou, X., J. Huang, Q. Jin, Y. Liu, Z. Song, X. Wang. 2012. Lipase- catalyzed synthesis of human milk fat substitutes from palm stearin in a continuous packed bed reactor. Journal of the American Oil Chemists’ Society. 89:1463-1472.

Bunga Rampai : Teknologi Terkini Tanaman Palma 73

DIVERSIFIKASI PRODUK PANGAN DARI PATI SAGU DIVERSIFICATION OF FOOD PRODUCTS FROM SAGO STARCH

Rindengan Barlina, Jeanne Palit dan Steivie Karouw

Balai Penelitian Tanaman Palma Jalan Raya Mapanget, Kotak Pos 1004 Manado 95001 E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tanaman sagu merupakan komoditas potensial, karena sekitar 1,1 juta hektar atau sekitar 51% dari total areal sagu dunia berada di Indonesia. Setiap batang sagu mengandung sekitar 200 kg pati sagu, sehingga setiap hektar tanaman sagu memproduksi 20-25 ton. Potensi ini belum dimanfaatkan secara maksimal, dibanding dengan negara Malaysia yang hanya memiliki luasan 1,5% dan Thailand 0,2% dari 2,2 juta lahan sagu dunia. Pati sagu merupakan makanan pokok hanya pada sebagian daerah di Indonesia, sehingga secara nasional konsumsi pati sagu di kawasan perkotaan hanya 0,08 kg per kapita per tahun, sedangkan di pedesaan 0,71 kg per kapita per tahun. Berbeda dengan konsumsi sagu yang masih rendah Dibandingkan dengan konsumsi terigu tahun 2009 mencapai 12,88 kg/ kapita/tahun di kota, sementara di desa 9,05 kg/kapita/tahun. Oleh karena itu diperlukan upaya diversifikasi produk pangan dari pati sagu menjadi produk yang disukai dan dapat dikonsumsi oleh seluruh lapisan konsumen, antara lain biskuit dan roti sagu. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pengolahan biskuit dan roti sagu, masing-masing dengan substitusi pati sagu sampai 80% dan 30%, secara organoleptik masih dapat diterima konsumen. Sedangkan pengolahan “bagea Amurang” dan beras analog, meng-gunakan sagu sebagai sumber pati utama. Jika potensi pati sagu dapat dimanfaatkan dengan maksimal, maka konsumsi pati sagu di Indonesia akan meningkat.

Kata kunsi: Pati sagu, diversifikasi, pengolahan, produk.

ABSTRACT

Sago is a potential commodity in Indonesia because with the total of 2.2 millions ha of sago land in the world, about 51% or 1.1 millions ha is in Indonesia. Unlike sago consumption, which is still low, wheat flour consumption per year in cities and villages in the year of 2009 can reach 12.88 kg/capita and 9.05 kg/capita, respectively. Therefore, diversification of sago-based food products such as biscuits and bread, which are preferred by all consumers are needed. The organoleptic analysis sowed that biscuits and bread, which have been substituted their wheat flour with 80% ad 30% sago, respectively, were still acceptable and preferred by the consumers. Bagea Amurang and analog rice processing used 100% of sago as the major starch source. If the potential use of sago can be maximized, sago consumption in Indonesia might increase.

Keywords: Sago starch, diversification, processing, product.

PENDAHULUAN

Bunga Rampai : Teknologi Terkini Tanaman Palma 74

Di Indonesia, sagu yang dihasilkan dari pohon sagu telah menjadi bahan pangan utama (Staple food) bagi sebagian masyarakat Papua, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Mentawai di Sumatera Barat (Anonim, 2003). Diperkirakan luas areal sagu di dunia mencapai lebih dari 2 juta hektar dan Indonesia merupakan negara dengan areal sagu yang terluas, yaitu sekitar 1,1 juta hektar atau sekitar 51% dari total area sagu dunia. Tetapi pemanfaatanya masih jauh tertinggal dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia yang hanya memiliki luasan 1,5% dan Thailand 0,2% dari 2,2 juta lahan sagu dunia (Anonim, 2010a). Berdasarkan data Perhimpunan Pendayagunaan Sagu Indonesia (PPSI), produksi sagu nasional saat ini mencapai 200.000 ton per tahun atau baru mencapai sekitar 5 persen dari potensi sagu nasional. Rendahnya produksi nasional juga diakibatkan oleh teknologi pemanfaatannya yang masih sangat sederhana dan tradisional. Setiap batang sagu mengandung sekitar 200 kg sagu, sehingga setiap hektar tanaman sagu memproduksi 20-25 ton per hektar (Plantus, 2008). Pada daerah-daerah tertentu di Indonesia, seperti Papua dan Maluku, pati sagu telah dimanfaatkan sebagai sumber pangan utama, namun kontribusi-nya masih rendah secara nasional. Seiring dengan terjadinya perubahan sosial di masyarakat, peran sagu sebagai pangan pokok mulai tergeser. Ada anggapan bahwa sebagai pangan pokok, sagu berada pada posisi yang lebih rendah di-banding beras atau terigu (Hutapea et al., 2003). Menteri Pertanian menyata-kan, bahwa dibandingkan dengan konsumsi terigu, konsumsi sagu semakin tertinggal, dimana konsumsi terigu tahun 2009 mencapai 12,88 kg/kapita/ tahun di kota, sementara di desa 9,05 kg/kapita/tahun (Anonim, 2010a). Konsumsi sagu di kawasan perkotaan 0,08 kg per kapita per tahun lebih rendah dibanding pedesaan 0,71 kg per kapita per tahun. Oleh karena itu, Kementerian Pertanian mengusulkan agar penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin), dicampur sagu atau lainnya (Anonim, 2010b) sebagai sumber karbohidrat.

KARAKTERISTIK DAN KEUNGGULAN PATI SAGU

1. Karakteristik pati sagu Sagu mengandung karbohidrat yang cukup penting di Indonesia dan menempati urutan keempat setelah ubikayu, jagung dan ubi jalar (Widaningrum et al., 2005). Berat molekul dan ukuran butir pati sagu lebih besar dibanding bahan pati lainnya. Komposisi kimia sagu per 100 gram bahan adalah sebagai berikut kalori (Kal) 326,82, protein 0,43 g, lemak 0,26 g, karbohidrat 81,19 g, kadar air 18,10 g, abu 0,14 , pati 62,59 g (Lawalata, 2004) dan vitamin B1 0.1 mg, kalsium (Ca) 10 mg, fosfor (P) 95 mg dan besi (Fe)

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 75

1,5 mg (Mahmud et al., 2005) serta mengandung 35,13-38,65% amilosa (Polnaya et al., 2008).

2. Keunggulan pati sagu Ditinjau dari kandungan gizinya, sagu memang tergolong berkadar protein rendah, namun daya terima sagu sebagai bahan substitusi pada beberapa produk makanan olahan (, noodles, gel dan lain-lain) cukup baik. Ini mengidentifikasikan, bahwa potensi sagu dapat ditingkatkan melalui teknologi pengolahan makanan. Pati sagu dalam keadaan basah dengan kadar air sekitar 33% dapat tahan simpan selama 2 sampai 3 bulan (Gambar 1), keunggulan ini tidak dimiliki pati dari tanaman lain. Selain itu sagu mengandung pati resisten (Resistant Starch, RS) yang sangat bermanfaat untuk kesehatan, antara lain: a) kesehatan saluran pencernaan (memperbaiki kesehatan kolon dengan cara mendorong per-kembangan sel-sel sehat yang kuat); b) manfaat prebiotik (menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas bakteri menguntungkan (seperti bifidobacteria), serta menurunkan konsentrasi bakteri patogen (misal Escherichia coli dan Clostridia); c). pengelolaan energi dan respon glisemik (dapat menurunkan ketersediaan karbohidrat tercerna, yang hasilnya adalah tingkat respon glisemik yang rendah, sehingga pemanfaatan pati resisten dapat diarahkan pada pengembangan pangan untuk penderita diabetes maupun untuk mereka yang melakukan diet (Munarso, 2004; Sajilata et al., 2006). Selain itu, pati resisten memiliki nilai kalori rendah, yaitu 1,9 Kkal/g, sehingga dapat dijadikan sebagai ingredien untuk pangan rendah kalori (Taggart, 2004).

a b

Gambar 1. Pati sagu basah (a) dalam kemasan tradisional dan pati sagu kering (b) dalam kemasan plastik.

76 Diversifikasi Produk Pangan dari Pati Sagu

PEMANFAATAN PATI SAGU PADA PENGOLAHAN BEBERAPA PRODUK PANGAN

A. Biskuit Biskuit merupakan salah satu jenis produk pangan yang paling sering dikonsumsi, sebagai makanan selingan atau makanan tambahan. Produk ini dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar tepung terigu, lemak dan bahan pengembang, dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diizinkan dan diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu biskuit keras, crackers, cookies dan wafer (SII.0177-90, 1990). Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit dibedakan menjadi bahan pengikat (binding material) dan bahan pelembut (tenderizing material). Bahan pengikat terdiri dari tepung, air, susu bubuk, putih telur, dan cocoa. Sedangkan bahan pelembut terdiri dari gula, lemak atau minyak (shortening), bahan pengembang dan kuning telur. Lemak nabati (margarin) lebih banyak digunakan karena memberikan rasa yang lembut dan halus (Sitorus, 2004). Pengolahan biskuit yang disubstitusi pati sagu dan menggunakan bahan pelembut minyak nabati/Virgin Coconut Oil (VCO) telah dilakukan Balit Palma. Awal tahun 2003, Virgin Coconut Oil (VCO) menjadi salah satu produk yang diminati konsumen, karena memiliki keunikan tersendiri, yakni memiliki kandungan asam laurat (C12) yang tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lain. Berbagai hasil penelitian di era 1990-an berhasil membuktikan berbagai manfaat VCO untuk kesehatan (Bruce Fife, C.N.,N.D, 2004., Price, 2004., Darmoyuwono, 2006), dimana manfaat VCO bagi manusia dapat digolongkan dalam 5 kategori sebagai berikut: a) sebagai sumber energi tubuh, b) sebagai penyembuh penyakit akibat virus, mikroba, protozoa, jamur dan cacing, c) dapat mengatasi berbagai penyakit akibat gangguan metabolisme dan degeneratif, d) sebagai bahan kecantikan/kesehatan kulit, dan e) dapat mengatasi berbagai penyakit kelamin seperti gonore dan keputihan. Pada beberapa tahun terakhir, minat konsumen terhadap VCO mulai menurun, sehingga perlu solusi penggunaannya dalam pengolahan produk makanan agar manfaatnya masih dapat dinikmati konsumen. Salah satu cara adalah dengan memanfaatkan sebagai bahan baku pada pengolahan biskuit.

1. Deskripsi pengolahan biskuit sagu Bahan yang digunakan terdiri dari pati sagu, VCO, margarin/bebas

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 77

lemak trans, tepung terigu berprotein tinggi, gula, telur dan bahan tambahan lainnya. Peralatan yang digunakan adalah mixer, cetakan , oven, timbangan kasar, dan alat bantu lainnya. Prosedur pengolahan adalah sebagai berikut: kuning telur, margarin/VCO dan gula diaduk sampai homogen, kemudian ditambah baking powder dan maizena. Selanjutnya pati sagu dan tepung terigu ditambahkan secara bertahap sambil diaduk membentuk adonan. Kemudian adonan dicetak, lalu dipanggang dalam oven bersuhu 130oC, selama 20 menit. Gambar 2, adalah penampilan biskuit sagu (substitusi pati sagu 80%).

Gambar 2. Biskuit menggunakan 80% pati sagu dan 20% terigu. (Rindengan et al., 2012b).

2. Nilai gizi biskuit sagu Standar Nasional Indonesia-SNI 01-2973-1992 untuk biskuit adalah sebagai berikut: kadar air (maksimum) 5%, protein (minimum) 9%, lemak (minimum) 9%, abu (maksimum) 1,5%, serat kasar (maksimum) 0,5%, karbo-hidrat (minimum) 70%. Rindengan et al. (2012), melaporkan bahwa ber-dasarkan hasil analisa fisikokimia, uji organoleptik dan tingkat substitusi pati sagu serta kandungan asam lemak rantai medium pada biskuit, maka yang baik adalah formula biskuit yang disubstitusi pati sagu 80% yang bahan baku lemak dari VCO, sehingga mudah dikembangkan karena VCO mudah diolah petani/ industri rumah tangga. Komposisi gizi formula tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi biskuit sagu dengan penambahan VCO dan margarin (Rindengan et al. (2012b). No. Uraian Biskuit 80% pati Biskuit 80% pati sagu + VCO sagu + Margarin 1. Kadar air (%) 0,25 0,21 2. Kadar protein (%) 6,19 7,02 3. Kadar lemak (%) 19,68 18,52 4. Kadar abu (%) 1,35 1,57 5. Kadar Karbohidrat/ 72,50 72,51

78 Diversifikasi Produk Pangan dari Pati Sagu

by difference (%) 6. Kadar serat kasar (%) 8,23 4,68 7. Asam lemak rantai 42,51 0,38 medium /C10+C12 (%) 8. Nilai kalori (Kal) 491,88 484,20 Berdasarkan Tabel 1, nilai kalori pada formula biskuit sagu yang ditambah VCO lebih tinggi dari formula yang ditambah margarin. Tetapi sebagain besar lemak pada yang terkandung pada biskuit yang ditambah VCO tergolong asam lemak rantai medium, sehingga tidak terdeposit sebagai cadangan lemak karena mudah ke sistem peredaran darah langsung ke hati dan segera diubah menjadi energi seperti karbohidrat (Bruce Fife, 2004; Price, 2004; Timoti, 2005; Darmoyuwono, 2006).

B. Roti Roti berdasarkan rasanya ada dua macam, yaitu roti manis dan roti tawar. Roti manis adalah roti yang mempunyai cita rasa manis yang menonjol, bertekstur empuk, dan diberi bermacam- macam isi. Selain rasa, daya tarik roti manis terletak pada bentuk yang menarik. Sedangkan roti tawar adalah roti yang dibuat dari adonan dengan sedikit gula atau tidak sama sekali (Mudjajanto dan Yuliati, 2004). Dari segi bahan dan penam-pilannya, roti dapat dibedakan atas roti putih (white bread) dan roti cokelat (whole wheat bread). Roti putih dibuat dari tepung terigu, sedang roti cokelat dibuat dari tepung gandum utuh. Roti termasuk salah satu produk pangan yang paling sering dikon- sumsi, baik sebagai selingan sebelum makan siang ataupun makan malam atau karena alasan praktis. Produk ini umumnya diolah dengan menggunakan tepung terigu, sehingga secara nasional konsumsi tepung terigu setiap tahun meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Pada tahun 2012, telah diprediksi konsumsi tepung terigu Indonesia naik 6% mencapai 5 juta ton, peningkatan ini terjadi karena meningkatnya permintaan terigu dari golongan menengah yang gemar mengkonsumsi roti (Mahatama dan Afrianto, 2012). Menurut data dari Biro Pusat statistik (BPS) pada periode Januari sampai Juli 2013, impor terigu mencapai 92.754 ton atau setara dengan US$ 40.9 juta (Jefriando, 2013), sehingga secara tidak langsung kita telah mensubsidi petani gandum di berbagai negara. Tingginya impor terigu disebabkan juga oleh meningkatnya produk-produk makanan yang menggunakan bahan baku terigu. Selanjutnya hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada Tahun 2005, menunjukkan bahwa konsumsi nasional roti tawar sekitar 460 juta bungkus, angka ini meningkat sebesar 61% pada tiga tahun berikutnya sehingga menjadi sekitar 742 juta bungkus. Sedangkan konsumsi roti manis pada tahun 2005 diperkirakan sekitar 4,2 miliar potong, kemudian meningkat sebesar 53% pada tahun 2008 sehingga menjadi sekitar 6,4 miliar potong. Dapat diprediksi,

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 79

seiring dengan perkembangan dan perubahan gaya hidup modern dimasa mendatang, konsumsi roti nasional akan terus meningkat (Mulyadi, 2011). Saksono dan Monalisa (2011) melaporkan bahwa, nilai konsumsi roti per kapita masyarakat Indonesia pada 2010 tumbuh tertinggi dibandingkan 11 negara Asia Pasifik lainnya. Nilai konsumsi roti di Indonesia naik 25% pada 2010 menjadi US$ 1.5 per kapita per tahun, dari konsumsi US$ 1.2 per kapita per tahun pada 2009. Pertumbuhan itu menjadi yang tertinggi dibanding kenaikan nilai konsumsi roti di negara-negara seperti Korea Selatan, Singapura, China, Taiwan, dan India pada periode yang sama. Dengan melihat kecenderungan konsumsi roti masyarakat Indonesia yang setiap tahun meningkat, maka perlu memanfaatkan bahan baku lokal untuk menggantikan sebagian dari bahan baku tepung terigu.

1. Deskripsi pengolahan roti Bahan baku sagu yang digunakan memiliki kadar protein 1,32-1,73%, kadar abu 0,54-0,60%, kadar lemak 0,82-0,85%, kadar air 15-18%, kadar serat kasar 3,35-3,47% dan karbohidrat berkisar 78,82-82,32% (Rindengan, 2013). Bahan lainnya yang lazim digunakan dalam pembuatan roti, yaitu margarin, tepung terigu, gula, telur dan ragi. Tepung terigu yang digunakan memiliki komposisi sebagai berikut (dalam 100 g): lemak 1 g, protein 11 g, karbohidrat 74 g (sesuai yang tertera pada label kemasan). Peralatan yang digunakan: mixer, oven, timbangan kasar dan timbangan analitik, dan bahan pembantu lainnya. Pengolahan roti mengikuti proses yang sudah umum dilakukan. Prosedur pengolahan adalah sebagai berikut: margarin, gula dan garam diaduk selama 5 menit lalu tambah susu cair dan diaduk lagi. Selanjutnya tambah adonan ragi dan kuning telur yang masing-masing telah mengembang. Campuran bahan diaduk lagi sampai homogen. Selanjutnya campuran pati sagu dan terigu dimasukkan dalam adonan sedikit demi sedikit sambil diaduk homogen dan diamkan sekitar 15 menit. Adonan dibentuk bulat, ditempatkan dalam wadah, diamkan selama 60 menit lalu dipanggang dalam oven bersuhu 130oC, selama 20 menit. Gambar 3 adalah penampilan roti manis (substitusi pati sagu 20%) sebelum dan sesudah dipanggang.

80 Diversifikasi Produk Pangan dari Pati Sagu

Gambar 3. Penampilan roti manis substitusi pati sagu 20% sebelum dan sesudah dipanggang (Rindengan, 2013).

2. Nilai gizi roti manis (substitusi pati sagu 20%) Syarat mutu roti manis (SNI 01-3840-1995), antara lain sebagai berikut: kadar air maksimum 40%, kadar abu maksimum 3%, kadar gula minimum 8%, lemak maksimum 3%, total mikroba maksimum 106 coloni/g, bau dan rasa normal (SNI, 1995). Sedangkan komposisi gizi roti putih (/100g) adalah sebagai berikut: air 40 g, kalori 248 kkal, protein 8 g, lemak 1,2 g, karbohidrat 50 g, abu 0,8 g, calsium 10 mg, fosfor 95 mg, besi 1,5 g, tiamin, 0,1 g (Mahmud et al., 2005). Pengolahan roti manis dengan substitusi pati sagu sampai 30%, secara organoleptik masih diterima panelis. Formula tersebut memiliki kadar air 17,24%, protein 10,11%, karbohidrat 60,86%, serat kasar 4,04%, lemak 10,49%, abu 1,29%, Indeks Pengembangan 83,91% dan total mikroba sampai penyimpanan 6 hari hanya 2,02x101 (Rindengan, 2013). Roti yang diperoleh dapat dikategorikan sebagai roti manis berserat tinggi. Sedangkan substitusi pati sagu 20% karakteristiknya tidak jauh berbeda dengan substitusi pati sagu 30%.

C. “Bagea” Amurang Kue kering yang disebut “Bagea”, merupakan usaha turun temurun yang sudah berlangsung lebih dari 30 tahun di Amurang, Kabupaten Minahasa. Proses pengolahannya masih secara tradisional, tetapi produknya telah dipasarkan di beberapa pasar swalayan dan toko souvenir di kota Manado-Provinsi Sulawesi Utara.

1. Deskripsi pengolahan “Bagea”-Amurang Bahan yang digunakan terdiri dari pati sagu, santan, gula pasir, telur, kenari, kayumanis, dan daun sagu (untuk kemasan). Pati sagu berasal dari Buroko, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Alat yang digunakan parutan kelapa, pengepres santan, tungku, dan alat bantu lainnya. Untuk satu kali proses dibutuhkan 100 kg pati sagu. Proses pengolahannya adalah sebagai berikut: daging buah kelapa diparut lalu dibungkus kain saring dan diperas menggunakan alat pengepres, sehingga diperoleh santan. Telur ayam diaduk sehingga membentuk adonan yang homogen. Selanjutnya masukkan santan secara perlahan dan gula pasir. Pengadukan dilakukan terus menerus sampai membentuk adonan yang kental. Adonan dibentuk silinder secara manual,

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 81

seukuran jari telunjuk dengan panjang kurang lebih 5 cm, kemudian dibungkus daun sagu yang sudah dikeringkan dan diberi penjepit dari lidi daun sagu. Adonan yang sudah terbungkus diletakkan pada baki aluminium dengan kapasitas sekitar 90 bungkus, kemudian dipanggang dalam tungku (kapasitas 12 baki), menggunakan kayu bakar atau kulit kayu kelapa. Proses pemanggangan pertama, dilakukan sampai timbul aroma yang harum. Selanjutnya didinginkan, lalu dilanjutkan pemanggangan kedua pada alat pemanggang lain menggunakan bahan bakar tempurung. Proses pemang-gangan dilakukan agar tekstur produk lebih keras/padat dan warna lebih kuning-keemasan. Selanjutnya dikemas menggunakan plastik yang sudah diberi logo, berisi 30 buah. Gambar 4 proses pemanggangan dan produk yang sudah dikemas.

Gambar 4. Proses pemanggangan dan produk bagea yang dikemas.

2. Nilai gizi kue kering “Bagea” Amurang Pada kemasan kue “Bagea” produksi Amurang belum dicantumkan nilai gizinya. Informasi gizi berikut diperoleh dari daftar komposisi bahan makanan yang dikeluarkan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), yaitu dalam 100 g bahan (kue “Bagea”), mengandung energi sebesar 416 Kkal, air 7,2 g protein 6,5 g, karbohidrat 76,3 g, lemak 9,4 g, serat 0,4g, abu 0,6 g, kalsium 49 mg, fosfor 77 mg, dan zat besi 4,9 mg. Selain itu terkandung karoten total 312 µg, niasin 2,6 mg, dan vitamin B1 0,08 mg (Mahmud et al., 2005).

D. Beras analog Beras analog adalah produk yang memiliki bentuk dan karakteristik mirip dengan beras, tetapi dibuat dari bahan non beras. Pembuatan beras sagu diawali dengan pembuatan binder. Binder dibuat dengan melakukan gelatinisasi pati dengan rasio pati sagu:air 1:3. Gel yang dihasilkan ditambah pati kering sebanyak 300 g dan difortifikasi dengan protein. Adonan dicampur sampai homogen kemudian dicetak menggunakan ekstruder. Hasil cetakan dikukus selama 2 menit kemudian

82 Diversifikasi Produk Pangan dari Pati Sagu

dikeringkan dalam oven pada suhu 40oC selama 4-5 jam (Rindengan et al., 2012a). Produk beras analog dari sagu dan hasil analisisnya disajikan pada Gambar 5 dan Tabel 2.

Gambar 5. Beras analog dari sagu yang diperkaya protein (1=0%, 2= 2.5%, 3= 5%, 4= 7.5% dan 5=10%) (Rindengan et al., 2012a).

Tabel 2. Hasil analisa sifat fisikokimia beras analog dari sagu. Perlakuan Air Abu Lema Protein Karbohidrat Kekerasan Warna (Penambahan (%) (%) k (%) (%) (%) (Newton) protein) 0.0% 10.35 0.40 0.49 1.29 87.55 9.24 50.57 2.5% 8.97 0.43 0.56 1.66 88.62 4.22 58.24 5.0% 9.51 0.47 0.58 2.01 87.43 3.03 55.15 7.5% 9.80 0.48 0.61 2.22 86.87 2.18 58.10 10.0% 8.62 0.54 0.56 2.57 87.57 1.00 56.62 Beras C4 4.21 61.25 Delangu* Pati sagu 92.70 Keterangan : *)Dari Pasar Sentul Jogja. Sumber: Rindengan et al., (2012).

PENUTUP

Luas areal sagu yang mencapai 1,1 juta hektar atau sekitar 51% dari total area sagu dunia, merupakan potensi yang besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber pati pada pengolahan berbagai produk pangan. Teknologi pengolahan berbagai produk pangan dengan memanfaatkan pati sagu, telah dihasilkan sehingga dapat diterapkan untuk dikembangkan. Pengembangan pangan berbahan pati sagu, sebaiknya pada produk pangan yang sering dikonsumsi oleh berbagai lapisan konsumen, sehingga lebih

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 83

banyak konsumen yang mengkonsumsi pati sagu. Dengan demikian peman- faatan pati sagu pada berbagai produk pangan lebih berkembang.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Laporan Tahunan. Balai Penelitian Pascapanen Pertanian. 22 hal. Anonim. 2010a. Mentan: Orang Kota Masih Jarang Makan Sagu. href='http://openx.detik.com/delivery/ck.php?n=a3db6179&. Anonim. 2010b. Pemerintah Usul Raskin Dicampur Sagu. http://seafast.ipb. ac.id/index.php/articles/38-foodanutrition/130- pemerintah-usul-raskin -dicampur-sagu. Bruce Fife, C.N.N.D. 2004. The Coconut Oil Miracle. Penguin Group (USA) Inc. New York. 239p. Darmoyuwono, W. 2006. Gaya hidup sehat dengan Virgin Coconut Oil. PT. Indeks Kelompok Gramedia. 108 Hal. Hutapea, R.T.P., P.M. Pasang., D.J. Torar dan Abner Lay. 2003. Keragaan sagu menunjang diversifikasi pangan. Prosiding Seminar Nasional Sagu. Hal. 165-173. Lawalata, V.N. 2004. Kajian pemanfaatan kenari (Canarium ovatum) untuk meningkatkan nilai gizi sagu mutiara. Tesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 93 hal. Munarso, S.J. 2004. Pati resistan dan peluang perbaikan mutu pangan tradisional. Prosiding Seminar Nasional. Peningkatan Daya Saing Pangan Tradisional. Mudjajanto, E.S. dan L.N. Yuliati. 2004. Membuat aneka roti. Penebar Swadaya. Mahmud, M.K., Hermana., N.A. Zulfianto., R. Rossana., I. Ngadiarti., B. Hartati, Bernadus dan Tinexcelly. 2005. Daftar komposisi bahan makanan (DKBM). Ed. Atmarita. Diterbitkan oleh Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), Jakarta. 95 Hal. Mulyadi, J. 2011. Tren konsumsi roti sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia.Dninisbakery.webs.com./apps/blog/show/5980696. [diakses 19 Desember 2013]. Mahatama dan Afrianto. 2012. Tinjauan pasar tepung terigu. Edisi: 01/TRG/ TKSPP/2012.Ews.kemendag.go.id/downloadaspx?. Kementerian Per-dagangan Republik Indonesia. [diakses 19 Desember 2013]. Plantus, 2008. Sagu sumber karbohidrat. http://anekaplanta. Wordpress.

84 Diversifikasi Produk Pangan dari Pati Sagu

com/2008/03/28/sagu-sumber karbohidrat. 28 Maret 2008. Polnaya, E,F., J. Talahatu., Haryadi., D.W. Marseno dan H.C.D. Tuhumury. 2008. Karakterisasi sifat fisikokimia beberapa pati sagu (Metroxylon sp). Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Ambon. Price, M. 2004. Terapi minyak kelapa. Judul asli: Coconut Oil for Your Health. Diterjemahkan oleh Ulum B. Penerbit Prestasi Pustaka, Jakarta.

Rindengan, B., D. Torar, S. Karouw dan P. Pasang. 2012a. Diversifikasi sagu menjadi beberapa produk pangan untuk menekan konsumsi terigu sekitar 20-30 persen. Laporan Akhir Penelitian Ristek. Kode judul: X.21. 22 Hal. Rindengan, B., P. Pasang, D. Torar dan S. Karouw. 2012b. Substitusi tepung sagu dan Virgin Coconut Oil (VCO) pada pengolahan biskuit. Buletin Palma 13(1):54-59. Rindengan, B. 2013. Roti. Substitusi pati sagu pada penglahan roti manis. Buletin Palma 14(2):117-124. Saksono dan Monalisa. 2011. Konsumsi roti Indonesia tumbuh tertinggi dibanding 11 negara. www.indonesiafinancetoday.com. [diakses 19 Desember 2013]. Sajilata, M.G., R.S. Singkal and P.R. Kulkarni. 2006. Resistant starch: a review. Compre-hensive Reviews in Food Science and Food Safety. Vol 5. SII. 0177-90. 1990. Syarat dan mutu biskuit. Standar Industri Indonesia. Departemen Perindustrian, Jakarta. Sitorus, S.R. 2004. Pembuatan biskuit untuk makanan sapihan dari pati garut. Fateta IPB. Bogor. 71 hal. Standar Nasional Indonesia-SNI 01-2973-1992. Syarat mutu biskuit. Departemen Perindustrian, Jakarta. Standar Nasional Indonesia (SNI). 1995. Roti. SNI 01-3840-1995. Dewan Standardisasi Nasional-DSN. Timoti, H. 2005. Aplikasi Teknologi Membran pada Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO). PT. Nawapanca Adhi Cipta. 43 hal. Taggart, P. 2004. Starch as Ingredients: Manufacture and applications. Di dalam: Eliason A.C. (Ed). Starch in Food: Structure, Function, and Aplication, CRC Press, Baco Raton, Florida. Widaningrum, B.A. Santoso, E.Y. Purwanti. 2005. Penelitian pengaruh suhu pemeraman terhadap kualitas mi sagu dan kadar resistant starch (RC). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 85

Pascapanen untuk pengembangan industri berbasis pertanian. Hal 432-443.

86 Diversifikasi Produk Pangan dari Pati Sagu

PRODUKSI DAN VIABILITAS BENIH AREN (Arenga pinnata (Wurmb) Merr) PRODUCTION AND VIABILITY OF AREN SEEDS (Arenga pinnata (Wurmb) Merr)

Yulianus R. Matana

Balai Penelitian Tanaman Palma Jalan Raya Mapanget, Kotak Pos 1004 Manado 95001 E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Umumnya penyadapan mayang bunga jantan dilakukan pada saat pertumbuhan dan perkembangan buah aren yang dimanfaatkan sebagai sumber benih. Masalah yang dihadapi dalam penyadapan tandan bunga jantan adalah penyadapan dapat mempengaruhi per-kembangan buah sehingga mempengaruhi viabilitas benih aren yang akan dihasilkan. Diharapkan kedepan bahwa penyediaan benih benih aren tidak mengalami gangguan akibat adanya proses penyadapan mayang tandan bunga jantan. Selain itu, penyediaan benih aren juga harus mempertimbangan pohon induk aren. Viablitas benih aren yang dihasilkan dari penyadapan tandan bunga jantan tidak mempengaruhi viabilitas benih aren yang dihasilkan. Oleh karena itu, penyadapan pada tandan bunga jantan tetap dapat dilaksanakan dan benih yang dihasilkan tetap memiliki viabilitas yang tinggi dan tidak mengganggu penyediaan benih aren.

Kata kunci : Penyadapan, benih, viabilitas, arenga pinnata.

ABSTRACT

Generally process of tapping male flower of palm is together with the growth and development of palm fruit which is used as a seed source. There are problem in tapping the male flower of palm is able to influence the development of the fruit of palm seed. In the future supply of seeds of the palm is not impaired as a result of the process of tapping male flower of palm. In addition, the supply of palm seed should also take into consideration the mother tree of Arenga Pinnata. The viability of the seed Arenga Pinnata produced from tapping the male flower of palm is not used effects produced palm seed viability. Therefore, process tapping of male flower can still do for produced sap and seeds produced still have high viability and do not interfere with the supply of palm seeds.

Keywords: Tapping, seed, viability, arenga pinnata.

PENDAHULUAN

Tanaman aren tersebar secara menyeluruh di Indonesia, hasil utama adalah berupa nira yang dapat diolah menjadi gula merah. Namun tanaman aren kurang mendapatkan perhatian untuk dikembangkan hanya sebagian kecil petani yang telah membudidayakan tanaman ini. Hal ini

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 87

disebabkan teknologi budidaya tanaman aren belum berkembang pada tingkat petani. Selain itu sifat benih aren sehingga memiliki masa dormansi yang lama sehingga proses regenerasi tanaman menjadi lambat. Selama ini petani menggunakan benih dan bibit aren sapuan yang telah tumbuh di bawah pohon-pohon aren yang mutu bibit aren yang digunakan tidak diketahui. Hal ini menyebabkan viabilitas benih yang akan di hasilkan menjadi rendah. Tanaman aren banyak tumbuh secara spot-spot dan berkembang di lahan yang miring sehingga sangat sesuai untuk dimanfaatkan sebagai tanaman konservasi lahan. Seiring dengan pertambahan luas lahan pertanian dengan alih fungsi lahan hutan menjadi pertanian dan pemukiman maka populasi tanaman aren semakin berkurang. Menurut Rofik (2006), terjadi kelangkaan tanaman aren di Desa Rubit, Kecamatan Kewapante, Nusa Tenggara Timur akibat penebangan pohon aren untuk pembuatan tepung aren sebagai bahan pangan pengganti beras. Tanaman aren menghasilkan tandan bunga betina dan bunga jantan. Masing-masing bunga memiliki karakter yang berbeda dan fungsi yang berbeda. Tandan bunga betina aren menghasilkan buah yang memiliki warna hijau muda, mempunyai tiga ruang yang masing-masing ruang terdapat satu bakal biji (Gambar 1). Benih aren berasal dari tandan bunga betina, dimana bunga betina menghasilkan biji/benih yang akan berkembang menjadi tanaman baru. Tandan bunga betina mempunyai fungsi lain selain menghasilkan benih yaitu kalau masih muda diambil buahnya untuk dibuat kolang kaling dan kalau sudah tua digunakan sebagai sumber benih aren. Satu pohon aren yang produktif dapat memproduksi empat hingga tujuh tandan bunga betina (rata-rata enam) dan setiap tandan dapat menghasilkan 5000 buah aren dan terdapat tiga karpel (biji) yang bisa dijadikan benih atau dalam satu pohon aren dapat menghasilkan 90.000 benih yang bisa tumbuh sebagai tanaman baru (Maliangkay, 2007).

PEMBENTUKAN BUAH DAN PRODUKSI BENIH AREN

Tanaman aren dapat menghasilkan tandan bunga betina yang dapat berkembang menjadi buah aren jika terjadi penyerbukan, sedangkan bunga betina yang tidak mengalami penyerbukan akan rontok. Ukuran buah umur 6 bulan setelah penyerbukan mencapai 22 x 28 mm dan pada saat umur 10 bulan testanya berwarna kuning, tebalnya 1,5 mm, endosperma berbentuk bulat lonjong, lunak dan telah menempati 80% dari ukuran benih (Mogea, 1991). Buah aren akan mengalami perubahan warna buah dari hijau muda ke hijau tua atau kekuningan membutuhkan waktu lebih dari dua tahun atau dua puluh delapan bulan . Pada saat

88 Produksi dan Viabilitas Benih Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.)

masih muda umur 18-20 bulan buah aren dapat dimanfaatkan sebagai kolang kaling. Penyedian bibit aren dengan teknologi benih (true seed), juga dapat dilakukan dengan teknologi kultur jaringan. Buah aren yang masih muda, dapat dimanfaatkan untuk teknologi kultur embrio rescue. Embrio rescue adalah teknik dengan menumbuhkan embrio muda pada kondisi optimal secara in vitro sehingga dapat mempercepat memperoleh tanaman muda dan berpotensi memperpanjang umur produktif pohon induk aren (Arsyad et al., 2013). Teknologi ini sangat tepat untuk pengembangan aren secara luas dan cepat sehingga dapat mengatasi permasalah penyediaan benih aren. Buah aren terdiri dari kulit buah (eksocarp), daging buah (mesocarp) dan tiga buah biji. Benih aren memiliki ukuran panjang kira- kira 3 cm, penampang melintang bagian tengahnya berbentuk segitiga, garis tengahnya 2,5 cm kulit benih berupa lapisan yang berwarna hitam dan bersifat hardseed. Salah satu kriteria yang digunakan dalam pemilihan benih aren yaitu endospermanya padat keras dan berwarna putih bening. Benih aren yang endospermanya tidak keras, menunjukkan bahwa benih belum matang secara fisiologis, sehingga tidak dapat digunakan sebagai benih. Posisi embrio terletak di bagian lateral ujung benih pada sisi kiri atau kanan benih, bentuknya seperti kerucut dengan ukuran 1,5 x 0,8 mm. Benih disebut berkecambah bila terlihat adanya seludang keping biji yang bentuknya seperti tabung keluar dari embrionya (apokol). Apokol tersebut tumbuh secara vertikal ke dalam tanah, sampai pada batas tertentu yang ditandai dengan pembengkakan pada ujung apokol sehingga terdapat batas antara ujung apokol dan awal pembentukan akar primer.

Gambar 1. Buah aren yang terdiri atas 3 biji.

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 89

A B

Gambar 2. Bentuk buah (A) dan benih aren (B) yang disadap dan tidak disadap. (Sumber : Dokumen Y. Matana).

Di daerah Tomohon, Sulawesi Utara terdapat dua kelompok pohon aren yaitu pohon aren yang disadap dan pohon tidak disadap (Gambar 2). Petani produsen benih tetap menyadap pohon arennya, sementara Mujahidin et al. (2003) menyatakan bahwa buah aren yang terbaik untuk benih berasal dari pohon aren yang tidak disadap. Oleh karena itu, diperlukan informasi tentang mutu benih aren yang berasal dari pohon yang disadap dan pohon yang tidak disadap. Maliangkay et al. (1998) melaporkan terdapat perbedaan daya berkecambah benih aren antar pohon, yang diduga disebabkan oleh adanya pengaruh penyadapan nira terhadap perkembangan buah pada pohon tertentu sehingga daya berkecambah benih menjadi rendah. Pohon aren yang disadap terus menerus akan menghasilkan buah yang kelihatannya utuh tetapi menghasilkan biji yang berkerut dan kempes sehingga akan menghasilkan bibit aren yang tidak baik (Maliangkay 2007).

A B

90 Produksi dan Viabilitas Benih Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.)

Gambar 3. Bentuk tandan bunga betina (A) dan tandan bunga jantan (B). (Sumber : Dokumen Y. Matana).

PENYADAPAN NIRA AREN

Nira aren diperoleh melalui penyadapan tandan bunga jantan. Pada saat tandan bunga jantan belum mekar, tandan dibersihkan lalu dibiarkan selama 10-14 hari, setelah itu tandan bunga jantan di pukul-pukul secara perlahan-lahan selama seminggu sambil mayang di goyang-goyang dan arah tandan dilengkukan kearah bawah, diketuk sehingga memudahkan nira keluar serta akan memudahkan untuk penampung nira yang keluar. Tandan bunga jantan diiris, lalu nira ditampung dengan menggunakan wadah. Umumnya petani menggunakan wadah berupa bambu atau galon. Nira yang telah keluar dari tandan bunga jantan harus dipertahankan pH niranya agar tidak menjadi asam. Untuk mempertahankan pH nira, penggunaan sabut kelapa 50 g/tandan bunga jantan dapat digunakan karena dapat mempertahankan mutu nira aren selama 3 jam setelah penyadapan (Rindengan et al., 2006). Selain penggunaan sabut kelapa segar, pemberian asap cair sebanyak 5 ml/l nira dapat memper-tahankan kadar gula sebesar 12,67 brix selama 8 jam (Muttakin dan Muharfiza, 2012).

Gambar 4. Proses pembuatan gula merah dari nira aren. (Sumber : Dokumen Y. Matana)

Penyadapan tandan bunga jantan akan menghasilkan produksi nira yang berbeda antar lokasi dan ketinggian. Di daerah Papua, aren dapat memproduksi nira aren rata-rata 11-15 liter/pohon/hari, di daerah Tomohon pada ketinggian yang sama tetapi lokasi yang berbeda dapat menghasilkan produksi nira yang beragam, yaitu 25-38 liter/pohon/hari di daerah Tara-tara sedangkan di daerah Woloan sekitar 24-30

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 91

liter/pohon/hari (Tenda, 2009). Demikian juga antar aksesi di daerah Kalimatan, aksesi Dalam Jambu Hilir dapat menghasilkan nira 11,78 liter/pohon /hari dengan kadar gula 11,84%, jumlah tandan bunga betina sebanyak 6 tandan dan tandan bunga jantan yang disadap 3 tandan. Aksesi Dalam Anduhum dapat menghasilkan nira yang lebih tinggi, yaitu 17,2 liter/pohon/hari dengan kadar gula 13.3%, jumlah tandan bunga betina sebagai penghasil benih sebanyak 7 tandan dan tandan bunga jantan sebanyak 3 tandan (Tenda et al., 2008). Penyadapan tandan bunga jantan menimbulkan dampak negatif terhadap mutu benih yang dihasilkan. Menurut Maliangkay (2007) pohon aren yang disadap terus-menerus akan menghasilkan buah aren dengan benih yang berkerut dan kempes sehingga tidak dapat dimanfaatkan sebagai sumber benih.

VIABILITAS BENIH AREN

Benih aren memiliki masa dormansi yang cukup panjang sekitar dua bulan hingga tiga bulan. Masalah lain yang dihadapi adalah benih aren tidak dapat disimpan lama karena sifatnya rekalsitran. Oleh sebab itu diperlukan cara untuk mempertahankan kadar air benih yang tinggi pada saat penyimpanan. Namun benih dengan kadar air yang tinggi pada saat penyimpanan akan menurunkan viabilitas benih. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah penyedian benih aren unggul yang berasal dari bibit bermutu. Selain itu, penyedian benih aren tidak dapat dihasilkan pada pohon yang sama secara berkelanjutan karena tanaman aren memiliki sistem pembungaan Hapaxantic, yaitu tandan bunga jantan akan keluar dari atas sampai ke bawah hingga tanaman aren mati (Novarianto et al., 2012). Viabilitas benih adalah kemampuan benih untuk dapat tumbuh dan berkembang secara normal pada kondisi tumbuh yang ideal sehingga dapat menjadi tanaman baru. Benih aren memiliki masa dormansi yang panjang yaitu dua bulan hingga satu tahun, sehingga dapat menghambat pengembangan tanaman aren. Oleh karena itu, diperlukan tindakan pematahan dormasi benih aren. Viabilitas benih aren yang dihasilkan akibat penyadapan tandan bunga jantan tidak mengalami penurunan sehingga penyadapan pada tandan bunga jantan untuk mendapatkan nira tetap dapat dilaksanakan. Daya kecambah yang merupakan salah satu tolok ukur viabilitas benih menggambarkan kemampuan benih untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman baru pada kondisi optimum. Daya berkecambah benih aren pada perlakuan penyadapan sebesar 84% dibandingkan dengan tanpa penyadapan sebesar 79,77% (Tabel 1). Penyadapan tandan bunga jantan mampu menghasilkan viabilitas benih

92 Produksi dan Viabilitas Benih Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.)

yang lebih tinggi jika dibandingkan tanpa penyadapan (Matana et al., 2013). Suatu lot benih dikategorikan mempunyai viabilitas tinggi jika daya berkecambahnya diatas 80% (Ilyas, 2010).

Tabel 1. Kadar air, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum benih aren pada perlakuan penyadapan dan posisi tandan. Kadar air benih Daya berkecambah Potensi tumbuh Perlakuan (%) (%) maksimum (%) Tanpa Penyadapan 29,95 79,77 100 Dengan Penyadapan 30,87 84,00 100 Sumber : Matana et al. (2013).

Benih yang dipanen dari pohon yang disadap maupun tidak disadap karena perlakuan penyadapan tidak memengaruhi daya kecambah benih. Oleh karena itu, hasil penelitian ini sangat mendukung tindakan yang dilakukan petani. Umumnya petani mengumpulkan benih dan menggunakan sumber benih berasal dari pohon-pohon yang disadap. Perlakuan penyadapan pada tandan bunga jantan tidak memberikan dampak negatif terhadap viabilitas benih pada tandan bunga betina. Oleh karena itu, tindakan pemisahan pohon yang berfungsi untuk menghasilkan nira dan benih tidak perlu dilaksanakan karena tidak adanya perbedaan viabilitas benih (Matana et al., 2013). Benih yang normal mengandung bahan makanan yang cukup untuk menyediakan kebutuhan energi pada saat perkecambahan, hal ini ditunjukkan dari peubah Potensi Tumbuh Maksimum (PTM). PTM menunjukkan potensi benih untuk tumbuh, walaupun terdapat benih yang tumbuh tidak normal. Benih yang digunakan dalam penelitian ini memiliki potensi tumbuh sangat baik sebesar 100 % dapat tumbuh (Tabel 1). Viabilitas benih aren berdasarkan tandan, tidak menunjukkan adanya perbedaan seperti halnya perlakuan penyadapan (Tabel 2). Hal ini membukti-kan bahwa semua posisi tandan bunga betina dapat dijadikan sebagai sumber penghasil benih aren sehingga dapat menghasilkan benih dalam jumlah yang banyak pada waktu yang bersamaan. Nilai Potensi Tumbuh Maksimum (PTM) benih memberikan petunjuk kemampuan benih yang dikecambah untuk dapat tumbuh melalui proses perkecambah baik secara normal maupun abnormal. Nilai PTM yang tinggi dari benih aren, diduga disebabkan oleh teknik deoperkulasi yang baik untuk

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 93

perkecambahan aren, kondisi dan media perkecambahan yang optimum. Hasil ini berbeda dengan yang telah disampaikan oleh Setyanigrum (2006) bahwa perlakuan skarifikasi pada bagian punggung dekat posisi embrio menghasilkan nilai PTM yang sangat rendah <20% yang diduga karena perlakuan skarifikasi yang tepat baik dari posisi maupun intensitas yang rendah yaitu mengkikis sedikit jaringan pada operkulum tanpa melukai embrio. Pengikisan jaringan yang terlalu banyak akan menyebabkan imbibisi terjadi dengan cepat yang mengakibatkan benih membusuk. Hal ini didukung oleh Widyawati et al. (2009) yang menyatakan bahwa pengemplasan pada seluruh permukaan benih aren akan menyebabkan embrio membusuk. Perlakuan penyadapan dan posisi tandan tidak memengaruhi potensi tumbuh maksimum benih aren. Benih aren termasuk benih rekalsitran. Salah satu sifat benih rekalsitran adalah kadar air yang tinggi pada saat panen (Quan et al., 2003). Tabel 2 menunjukkan kadar air panen benih aren yang cukup tinggi berkisar 30-31% dengan daya berkecambah sekitar 80-84% dan potensi tumbuh maksimum 100%. Kadar air yang tinggi dan daya berkecambah yang tinggi setelah panen merupakan salah satu karakter benih rekalsitran. Hal ini mendukung penelitian yang telah dilakukan oleh Rabaniyah (1997) menyatakan penurunan kandungan air benih aren dapat menurunkan daya berkecambah benih aren.

Tabel 2. Kadar air, Daya kecambah dan Potensi Tumbuh Maksimum benih aren pada perlakuan posisi tandan. Kadar air benih Daya kecambah Potensi tumbuh Perlakuan (%) (%) maksimum (%) Tandan Pertama 30.24 81.75 100 Tandan Ketiga 30.49 81.75 100 Tandan Kelima 30.51 82.00 100 Sumber : Matana et al. (2013).

Benih aren yang telah mencapai masak fisiologi mempunyai kandungan lignin dan tanin yang lebih tinggi sehingga menyebabkan benih bersifat impermeable terhadap air (Widyawati et al., 2009). Berdasarkan perlakuan posisi tandan, semua tandan mempunyai kadar air tinggi diatas 30% dan tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kematangan benih pada semua posisi tandan tidak berbeda. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut tentang penyimpanan benih aren yang dapat mempertahankan viabilitas benih tetap tinggi dalam jangka waktu lama.

PENUTUP

94 Produksi dan Viabilitas Benih Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.)

Viabilitas benih aren harus dapat dipertahankan untuk mendapatkan benih dan bibit yang unggul. Benih dan bibit yang unggul sangat menunjang secara berkesinambungan pengembangan tanaman aren. Viabilitas benih aren akibat penyadapan tandan bunga jantan tidak memberikan dampak negatif terhadap viabilitas benih aren. Tandan bunga jantan tetap dapat disadap dan tandan bunga betina tetap dapat dimanfaatkan sebagai sumber benih. Teknologi pematahan dormansi benih aren menunjang perbanyakan benih aren secara cepat. Salah satu teknologi benih aren yang dapat dilakuan dengan pengunaan benih aren (True seed) yang memiilki viabilitas yang tinggi. Selain itu, teknologi kultur jaringan dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan bibit dalam jumlah yang massal dan cepat. Bibit aren yang dihasilkan dapat dalam jumlah yang banyak dan waktu yang relative singkat.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, A.M., Sudarsono, A. Purwito, dan D. Dinarti. 2013. Pengaruh umur embrio dan jenis media dasr terhadap keberhasilan embrio Rescue Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr) secara in vitro. Buletin Palma 14 No 1 : 20-27. Ilyas, S. 2010. Ilmu dan teknologi Benih Teori dan hasil-hasil penelitian. Institut Pertanian Bogor. 95 Hal. Maliangkay, R.B., D. Allorerung, C.M. Polnaja, A. Ilat, Z. Mahmud. 1998. Kriteria buah aren untuk dijadikan benih. Di dalam: Seminar Regional Hasil Penelitian Kelapa dan Palma Lain. Prosiding Seminar Regional Kelapa dan Palama Lain 25-26 Febuari 1998. Manado : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain. hlm 188-197. Maliangkay, R.B. 2007. Teknik budidaya dan rehabilitasi tanaman aren. Buletin Palma 33: 67-77. Matana, Y., E. Murniati dan E.R. Palupi. 2013. Efek penyadapan bunga jantan dan letak bunga betina terhadap mutu benih Aren (Arenga pinnata, (Wurmb) Merr). Buletin Palma 14 (1) : 6-12. Mujahidin, Sutrisno, L. Dian, T. Handayani, A.F. Izu. 2003. Aren budidaya dan prospeknya. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. 35 hal. Muttakin, S. dan Muharfiza. 2012. Pengaruh pemberian bahan pengawet asap cair dan perlakuan penaganan terhadap kualitas nira aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr). Prosiding Seminar Nasional Aren 26-27 September 2012. Hal : 23-32.

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 95

Mogea, J.P. 1991. Revisi marga Arenga (Palmae) [Disertasi]. Jakarta: Fakultas Pascasarjana. Universitas Indonesia. Novarianto, H., R.B. Malinagkay dan A.A. Lolong. 2012. Strategi pembangun kebun induk aren. Prosiding Seminar Nasional Aren 26-27 September 2012. Hal : 95-100. Quan, S.S., P. Berjak, N. Pammeter, T.M. Ntuli, and Fu Jia Rui. 2003. Seed Recalcitrance : a Current Assessment. Acta Botanica Sinica 45 : 638-643. Http// www.chineseplantscience.com, [diakses 22 Oktober 2012]. Rabaniyah, R. 1997. Pengaruh cara penyimpanan terhadap daya simpan dan perkecambahan benih aren. Ilmu Pertanian 6: 33-38. Rindengan, B., S. Karouw dan P. Pasang. 2006. Pengaruh sabut kelapa terhadap kualitas nira aren dan palm wine. Jurnal penelitian Tanaman Industri 12 (4) : 166-171. Rofik, A. 2006. Pengaruh perlakuan pematahan dormansi benih dan media perkecambahan terhadap viabilitas benih aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr). Skripsi Institut Pertanian Bogor. Tenda, T., I. Maskromo, dan Miftahorrahman. 2008. Karakterisastik empat aksesi baru aren (Arenga pinnata Merr) dari Kalimatan Selatan. Buletin Palma 35: 67-76. Tenda, T. 2009. Eksplorasi Aren (Arenga pinnata Merr) di Tomohon, Sulawesi Utara. Buletin Palma 37: 114-118. Widyawati, N., Tohari, P. Yudono, I. Soemardi. 2009. Permeabilitas dan perkecambahan benih aren. Jurnal Agronomi Indonesia 37 :152- 158.

96 Produksi dan Viabilitas Benih Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.)

ALAT DAN MESIN PENGOLAHAN PRODUK KELAPA DAN AREN EQUIPMENTS AND MACHINERIES FOR PROCESSING OF COCONUT AND PALM SUGAR PRODUCTS

A. Lay

Balai Penelitian Tanaman Palma Jalan Raya Mapanget, Kotak Pos 1004 Manado 95001 E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Dalam upaya peningkatan produktivitas kerja, mutu produk, dan menekan tingkat kehilangan hasil pertanian, dukungan peralatan pengolahan yang efektif, efisien dan terjangkau kelompok tani sangat diperlukan. Alat pengolahan produk kelapa dan aren hasil rancangan Balit Palma tahun 2010-2015, yakni: (a) pemarut kelapa sistem pemarut ganda, (b) pengepres santan sistem hidrolik, (c) pengeringan kopra putih, (d) pengolah pupuk organik limbah kelapa, terdiri dari pencacah daun kelapa, penghancur bahan organik, ayakan berputar, pencampur bahan baku pupuk organik dan bak fermentasi, dan (e) pengolah etanol sistem evaporator-destilator ganda. Diharapkan alat-alat ini, dapat diaplikasikan para petani/kelompok tani untuk pengolahan aneka produk kelapa dan aren, yang dapat menunjang peningkatan kapasitas kerja, nilai tambah komoditas dan peningkatan pendapatan petani. Kata kunci: Alat pengolahan, produk kelapa, pupuk organik.

ABSTRACT

As an effort to increase labor productivity and product quality, as well as to reduce the level of yield loss of agriculture products the support of processing equipment that is effective, efficient and affordable for farmer groups is indispensable. Processing equipments of coconut and palm products designed by Indonesian Palme Research Institute in 2010-2015, namely : (a ) coconut grater dual system, (b) coconut milk presse hydraulic system, (c) dryed of white copra, (d) processor of coconut waste for organic fertilizer, consists of grinder, crusher, rotating sieve, mixer of raw materials of organic fertilizer and fermentation tanks, and (e) dual evaporator system distillator of ethanol. Those equipments can be applied to farmers/farmer groups for processing of various products of coconut and palm, which can increase working capacity , value-added commodities, and farmers' income.

Keywords : Processing equipment, coconut products, organic fertilizers.

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 97

PENDAHULUAN

Produk hasil olahan kelapa dan aren serta hasil-hasil ikutannya memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Pengolahan produk-produk tersebut di tingkat petani umumnya masih dilakukan secara manual dengan kapasitas olah terbatas dan mutu yang rendah. Disamping itu, hasil ikutan dari hasil pengolahankelapa dan aren biasanya tidak diproses lanjut untuk menghasilkan produk-produk komersial. Oleh sebab itu, pengolahan kelapa dan aren secara manual kurang menunjang peningkatan nilai tambah komoditas dan perbaikan pendapatan petani. Untuk meningkatkan kapasitas olah dalam menghasilkan produk- produk komersial dengan standard mutu yang lebih baik, maka sistem pengolahan tradisional atau manual perlu diubah menjadi sistem mekanis. Lambatnya perubahan ini diakibatkan antara lain oleh: (a) keterbatasan pendapatan petani/kelompok tani untuk membeli atau mengadakan peralatan-peralatan dimaksud, (b) terbatasnya dana instansi teknis/pemerintah daerah, untuk penyediaan peralatan pengolahan bagi petani, dan (c) kurang berkembang penanganan produk perkebunan untuk tujuan komersial yang penanganannya oleh kelompok tani. Oleh karena itu, peran kelompok tani dalam menjamin kontinuitas pengolahan dan dukungan pemerintah perlu diting-katkan.

ALAT DAN MESIN PENGOLAHAN

Pemarut kelapa Pemarut daging kelapa secara tradisional dengan alat manual Cukuran, memakan waktu dan tenaga yang cukup besar, sehinga tidak efisien. Oleh karena itu, tersedianya alat pemarut sistem mekanis akan sangat membantu petani dalam proses pengolahan minyak kelapa, santan dan produk kelapa lainnya. Balai Penelitian Tanaman Palma telah mengembangkan alat pemarut sistem mekanis. Alat pemarut sistim mekanis terdiri atas kerangka alat, bidang pemarut, motor penggerak 3,5 Hp; 3600 rpm, bidang pemasukan bahan olah, bidang pengeluaran bahan olah, dan penampung hasil olah. Ukuran dimensi alat: panjang 100 cm, lebar 50 cm dan tinggi 90 cm. Pada bagian atas kerangka dipasang rangka bidang pemasukan bahan olah dengan ukuran panjang 100 cm, lebar 36 cm dan tinggi 40 cm. Komponen-komponen alat yang kontak dengan bahan olah dan hasil olah (kelapa parut) terbuat dari alumunium 1,2 mm dengan rangka penahan dari besi siku 3 cm x 3 cm dan 4 cm x 4 cm (Gambar 1).

98 Alat dan Mesin Pengolahan Produk Kelapa dan Aren

Alat pemarut kelapa ini digerakkan oleh satu motor penggerak dan dioperasikan oleh dua orang operator dengan menggunakan dua mata pemarut. Hasil parutan akan jatuh pada bidang pengeluaran bahan olah yang di buat miring sehingga kelapa parut akan jatuh pada tempat penampungan. Pada proses pengolahan dengan dua operator, kapasitas olah meningkat (100 butir kelapa/jam), sedangkan penggunaan bahan bakar (0,5 L/jam bensin). Keunggulan alat pencukur kelapa mekanis, antara lain: (a) praktis dioperasikan, (b) hasil pemarutan halus, (c) pemarutan lebih efisien, dan (d) Portable (50 kg) sehingga mudah dipindah-pindahkan. Alat ini, lebih sesuai digunakan oleh petani pada skala keluarga dan kelompok tani.

a b

Gambar 1. a) Pemarut kelapa; kondisi stasioner dan b) operasional.

Pengepres Santan Sistem Hidrolik Alat pengepres ini lebih sesuai penggunaannya untuk menghasilkan santan yang akan diproses menjadi minyak kelapa segar atau produk santan untuk pengolahan sayur dan kue. Pengepresan hancuran daging kelapa secara manual menggunakan tangan yang umum dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga dalam pengolahan minyak dan berbagai produk makanan. Alat ini merupakan modifikasi dari berbagai jenis pengepresan santan sistem hidrolik dengan dongkrat sebagai sumber tenaga dorong. Modifikasi dilakukan terhadap: (a) silinder pengepresan yang dibuat dari pelat stainless steel, (b) poros ulir dari pipa stainless steel 31 cm tanpa menggunakan ulir, (c) alat silinder dari pelat stainless steel, yang didesain terpisah dari silinder pengepresan. Alat pengepres santan berukuran panjang 50 cm, lebar 50 cm, tinggi 82,5 cm, dan berat sekitar 40 kg. Komponen utama peralatan terdiri atas: (a) rangka besi UMP 6,5 dan 8, (b) landasan silinder pres stainles steel 2 mm yang dilengkapi rangka dari besi holo 4x4, (c) silinder pres dari pelat stainless steel 2 mm, (c) torak dari pelat stainless steel 4

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 99

mm, (d) poros stainless steel diameter 31 mm, dan (e) dongkrat hidrolik dengan daya 3 ton. Cara pengoperasian alat pengepres sebagai berikut: (a) penyiapan alat dan bahan yang akan diolah, (b) dongkrat ditekan secara manual pada saat bahan sudah dimasukkan dalam silinder pres, (c) dongkrat dinaikkan atau ditekan ke atas untuk mengalirkan santan hasil pengepresan, (d) dongkrat diturunkan dan silinder dikeluarkan dari dudukannya, (e) pengepresan dilakukan sebanyak dua kali, dengan perbandingan bahan (daging kelapa parut) dan air adalah 1:2, dan untuk pengepresan kedua ditambahkan air sebanyak dengan volume air yang digunakan pada pengepresan pertama. Pengoperasian alat menggunakan 1 orang tenaga kerja (Gambar 2).

a b

Gambar 2. a) Pengepres, kondisi stasioner dan b) operasional.

Keunggulan alat pengepres ini, sebagai berikut: (a) konstruksi alat pres santan kelapa secara hidrolik tidak menggunakan poros ulir daya, untuk mengurangi masalah keausan ulir poros dan ulir mur yang umum pada alat pres santan kelapa secara mekanis, (b) konstruksi alas silinder yang dapat dipisahkan dari silinder pres, sehingga memberi kemudahan pada saat mengeluarkan ampas setelah dipres, dan (c) lebih praktis dalam pengoperasian alat, (d) kapasitas olah cukup tinggi (80 butir kelapa atau 32 kg kelapa parut/jam) (Takaheghesang, 2015).

Pengering Kopra Putih Desain alat pengeringan kopra putih didasarkan pada prinsip desain unit pengeringan kopra putih yang dikembangkan di Filipina (Rethinam dan Bosco, 2003) dan alat pengeringan kopra skala perkebunan di Minahasa Sulawesi Utara, dengan modifikasi komponen pengantar panas yang sebelumnya menggunakan batu-bata tahan panas, kemudian diubah menggunakan pelat besi tebal 4 mm, dan pengaliran asap sisa pembakaran dengan pipa galvanis ukuran 4 inci (Gambar 3).

100 Alat dan Mesin Pengolahan Produk Kelapa dan Aren

a b

Gambar 3. (a) Unit pengeringan kopra putih tampak depan dan (b) tampak belakang. Pada proses pengeringan kopra dengan tiga kali pengujian menun- jukkan bahwa suhu pengeringan bervariasi antar bagian pengeringan. Suhu pengeringan optimal adalah 40-60oC, suhu pengeringan diatas 60oC yang menyebabkan kopra menjadi agak coklat sampai coklat. Pengeringan kopra putih dengan sistem oven menggunakan bahan bakar sabut kelapa kering, dengan sebaran panas tidak merata antar bagian para-para pengeringan kopra. Pada pengeringan kopra putih dengan menggunakan tungku desain Filipina, membutuhkan bahan bakar cukup banyak yakni seluruh sabut dari kelapa yang diolah menjadi kopra ditambah kayu bakar, jumlahnya setara dengan 120-125% dari sabut kelapa yang diolah menjadi kopra. Sedangkan pengeringan sistem oven Tipe Balit Palma dengan bahan baku 1660 butir kelapa, menghasilkan kopra 345 kg, kadar air 5%, membutuhkan bahan bakar sabut sebanyak 411,6 kg atau 88,6% dan bahan baku sabut. Unit proses pengeringan kopra putih tipe Balit Palma dikategorikan cukup efisien dalam memanfaatkan energi panas dari bahan bakar sabut (Lay, 2014). Karakteristik kopra dan minyak kopra tertera pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Karakteristik kopra putih. No. Warna kopra Kadar air Kadar lemak Kadar FFA (%) (%) 1. Putih bercampur 4,97 61,19 0,06 sedikit coklat 2. Agak coklat 4,88 68,12 0,05 3. Coklat 4,36 63,58 0,12 Sumber: Lay (2014).

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 101

Tabel 2. Karakteristik minyak kopra putih. No. Warna kopra Minyak Warna Kadar air Kadar Bil.Peroks Timbal (%) FFA (mg oks./kg) (ppm) (%) 1. Putih Putih 0,05 0,06 0,13 0,0 bercampur sedikit coklat 2. Agak coklat Kuning 0,11 0,05 0,17 0,0 muda 3. Coklat Kuning 0,19 0,12 0,31 0,0 muda Sumber: Lay (2014).

Kualitas kopra yang dihasilkan dengan cara ini, masih baik setelah disimpan selama 9 bulan. Sebaliknya kopra gudang yang dikeringkan dengan cara tradisional akan menjadi busuk dan berbau tengik setelah disimpan selama 3-4 bulan. Mutu kopra putih ekspor: Kadar FFA 0,04-1,5%, kadar minyak minimum 61%, kadar air maksimum 6% dan tidak ada cendawan (Anonim, 2007). Berdasarkan mutu ini, kopra putih yang dihasilkan dari unit pengolahan kopra putih tipe Balit Palma memenuhi syarat mutu ekspor. Karakteristik mutu VCO menurut APCC (2005) adalah sebagai berikut: kadar air 0,1 – 0,5%, FFA 0,5%, bilangan Perioksida maks. 3 mg oks./kg, warna minyak bening. Dengan demikian kopra putih bercampur sedikit coklat memenuhi syarat mutu sebagai bahan baku pembuatan VCO. Umumnya kopra yang berwarna agak coklat sampai coklat disebabkan pengeringan pada suhu tinggi, berkisar 60-75 0C. Belahan kelapa yang mengalami suhu pengeringan yang cukup tinggi dalam proses pengeringan terletak pada bagian tengah-pinggir lapisan bawah dari bagian lantai pengeringan, sedangkan contoh No. 1 pada Tabel 2, dengan warna kopra putih dan agak putih terletak dibagian tengah dan pinggiran pada lapisan tengah dan lantai pengeringan kopra, dengan suhu pengeringan berkisar 40-600C. Karakteristik minyak berdasarkan kadar air, kadar FFA, bilangan peroksida dan kontaminasi logam berbahaya seperti Timbal, menunjukkan bahwa minyak yang dihasilkan dari kopra yang diolah menggunakan sistem oven, berupa kopra putih bercampur sedikit coklat, agak coklat dan coklat, menghasil minyak kelapa berwarna bening sampai kuning muda, ternyata memenuhi standar mutu minyak kelapa yang telah dimurnikan, yakni kadar air kurang dari 0,5%, asam lemak bebas kurang dari 5% dan bilangan peroksida kurang dari 5%.

102 Alat dan Mesin Pengolahan Produk Kelapa dan Aren

Permasalahan yang dihadapi saat ini terkait dengan pengolahan VCO dari kopra putih, perlu disiapkan unit penghancur kopra putih, pengepres hancuran kopra putih dan unit saringan. Unit-unit proses ini sebaiknya terbuat dari stainless steel, agar produk yang dihasilkan higienis, dan alat-alat pengolahan ini sebaiknya di desain sedemikian rupa agar layak dioperasikan oleh kelompok tani, sehingga teknologi memungkinkan diaplikasikan oleh kelompok tani.

Pengolah Pupuk Organik Limbah Kelapa Prinsip desain alat pengolahan pupuk organik sebagai berikut: pencacah daun kelapa dimodifikasi dari alat pencacah daun/jerami model BB-Mektan (Anonim, 2010), penghancur bahan organik dimodifikasi dari penyerat sabut sistem drum tunggal, ayakan berputar menggunakan desain ayakan sentrifugal, pencampur bahan baku pupuk organik menggunakan desain mixer dengan arah horisontal, dan bak fermentasi dimodifikasi dari bak fermentasi kakao, yang dilengkapi kontrol aliran udara dan suhu. Pengolahan pupuk organik menggunakan metode pengolahan pupuk organik Bokashi (Simamora dan Salundik, 2006). Bahan olah adalah serbuk daun kelapa, serbuk sabut dan serbuk kotoran ayam. Pada proses pengolahan, daun kelapa kering dan pelepah dicacah dan digiling, debu sabut disaring, kotoran ayam dikeringkan dan digiling, bahan baku diproses menjadi serbuk agar mudah dicampurkan dan difermentasi. Fermentasi pupuk menggunakan bak fermentasi dengan suhu terkontrol, sehingga dalam proses fermentasi tidak dilakukan pembongkaran bahan olah yang difermentasi, karena suhu terkontrol. Pada pembuatan alat pengolahan pupuk organik limbah kelapa, telah dibuat lima unit, yakni: pencacah daun kelapa, penghancur bahan organik, ayakan sentrifugal, pencampur bahan olah dan bak fermentasi (Gambar 4).

Pencacah Daun Kelapa Pencacahan secara mekanis, akan mempercepat pencacahan bahan baku terutama berupa daun kelapa. Pencacahan berfungsi untuk memperkecil ukuran bahan olah 2-10 cm, untuk memudahkan proses pengolahan lanjut. Ukuran bahan olah yang terlalu besar akan memperlambat proses penguraian, sedangkan jika terlalu kecil akan menghambat pergerakan udara dalam pengolahan selama proses fermentasi.

Ayakan Berputar

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 103

Kapasitas olah dan proporsi hasil ayakan beragam tergantung pada jenis bahan yang diolah. Pengayakan kotoran ayam kering dengan menggunakan ayakan 6 mesh memberikan hasil olah sebesar 69% dari total bahan olah 600 kg/jam. Kotoran ayam dalam bentuk bongkahan biasanya tidak akan lolos dalam saringan yang digunakan. Kemiringan ayakan berputar sekitar 4-5o, dan kecepatan rotasi poros silinder ayakan 18 rpm.

Penghancur Bahan Organik Alat penghancur bahan organik berfungsi untuk lebih memperkecil bahan olah dalam bentuk potongan bahan organik dengan ukuran 2-10 cm2 menjadi 0,1 cm2. Pengecilan ukuran bahan baku ini untuk memudahkan dalam pencampuran dengan bahan organik lainnya dan mempercepat proses fermentasi. Selain itu, pupuk organik yang akan dihasilkan lebih mudah larut dalam tanah sehingga memudahkan penyerapan unsur hara oleh tanaman.

Pencampur Bahan Olah Pengadukan atau pencampuran secara mekanis berlangsung dalam silinder pencampur, dengan kecepatan rotasi silinder 30-34 rpm. Bahan olah akan tercampur dan didorong kecorong pengeluaran. Ukuran diameter silinder pada bagian belakang 42 cm dan bagian depan 32 cm, panjang silinder 160 cm. Pencampuran secara mekanis akan mempercepat pekerjaan pengadukan bahan organik dan memudahkan dalam proses pengolahan pupuk organik.

Pengolahan pupuk organik selama ini dikerjakan secara manual pada tingkat kelompok tani sehingga tidak efektif, dan berdampak pada kurang berkembangnya usaha pengolahan pupuk organik pada tingkat petani/ kelompok tani.

Bak Fermentasi Bak fermentasi berukuran panjang 252 cm, lebar 70 cm dan tinggi 125 cm. Bak ini dilengkapi komponen pengaliran udara, berupa 12 buah pipa plastik ukuran 2 inci yang diberi masing-masing 6 buah lubang pada bagian bawah dan tengah bak. Masing-masing 6 buah lubang berfungsi dalam pengendalian udara dan suhu dalam bak fermentasi. Thermo- koppel dipasang pada bagian bawah, tengah dan atas dari bak fermentasi untuk mendeteksi perubahan suhu bahan olah selama proses fermentasi. Volume bak 1,816 dm³, dan berat jenis pupuk organik 0,44 akan

104 Alat dan Mesin Pengolahan Produk Kelapa dan Aren

menghasilkan pupuk organik sekitar 0,8 ton. Untuk memenuhi kapasitas olah 1,5 ton/hari, diperlukan bak fermentasi dengan ukuran yang sama sebanyak dua unit. Waktu fermentasi pupuk organik limbah kelapa selama 9 hari. Suhu fermentasi berkisar 30 - 45oC, dikategorikan suhu optimal. Spesifikasi dan kinerja alat pengolahan pupuk organik limbah kelapa tertera pada Tabel 4 dan 5.

a b c

d e

Gambar 4. (a) Unit pencacah daun kelapa, (b) unit penghancur bahan organik, (c) Unit ayakan mekanis, (d) unit pencampur bahan olah, (e) Bak fermentasi pupuk organik.

Tabel 4. Spesifikasi umum alat pengolahan pupuk organik limbah kelapa. No U r a i a n Pencacah Ayakan Penghancur Pencampur Bak . daun kelapa sentrifugal bahan organik bahan olah fermentasi 1. Dimensi - Panjang (cm) 90 225 90 280 252 - Lebar (cm) 60 68 60 87 70 - Tinggi (cm) 119 131 119 100 125 2. Motor penggerak - Jenis Motor Motor Motor bensin Motor bensin - - Daya (Hp)/rpm bensin bensin 10/4000 6/3600 - 10/4000 6/3600 - 3. Unit operasional - Komponen alat Poros Poros Poros silinder Poros silinder - - Rpm silinder ayakan 1800 34 1800 30 -

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 105

4. Komponen Silinder Silinder Silinder Silinder Bak, kontrol Utama pencacah & ayakan penghancur & pencampur & suhu & pisau berputar & palu sirip pengaduk aliran udara pemotong saringan 5. Bahan bakar - Jenis Bensin Bensin Bensin Bensin - - Konsumsi 0,8 L 0,5 0,5 0,8 - (L/jam) 6. Operator (org) 2 2 2 2 1 Sumber: Lay (2011).

Tabel 5. Kinerja alat pengolahan pupuk organik limbah kelapa. No. Jenis alat Bahan baku Kap.olah Kondisi Produksi (jam/kg) hasil olah harian 1. Unit Pencacah Daun kelapa 91 Hancuran daun dan 728 kg pelepah kelapa 2. Unit Penghancur/ Hancuran 38 Serbuk daun kelapa 304 kg Penghalus daun kelapa, Bongkahan 305 Serbuk kotoran ayam 2.440 kg kotoran ayam

3. Unit Ayakan Debu sabut 540 Debu sabut; kasar 4.320 kg 11,1 %, halus 88,9 %. Hancuran 215 Hancuran daun kelapa; 1.720 kg daun Kelapa Kasar 66 %, Halus 34 %. Bongkahan 600 Hancuran kotoran 4.800 kg kotoran ayam ayam; kasar 30,7 %, halus 69,3 %.

4. Pengering manual Debu sabut Debu sabut kering 600 kg ( pengeringan udara Daun kelapa Hancuran daun kelapa 600 kg dan sinar matahari) Hancuran/ bongkahan Kotoran ayam kotoran ayam 300 kg

5. Pencampur bahan Bahan organik 300 Adonan pupuk organik 2.400 kg olah dan pereaksi limbah kelapa

6. Bak fermentasi Bahan organik 800 Fermentasi bahan 2.400 kg dan pereaksi organik 9 hari Sumber: Lay (2011). Formulasi pupuk organik limbah kelapa dibuat dengan ratio serbuk daun kelapa/pelepah: serbuk sabut : serbuk kotoran ayam = 4:2:6. Untuk menghasilkan pupuk organik sebanyak 2 ton, diperlukan serbuk pelepah/daun kelapa sebanyak 534,0 kg, serbuk sabut 266,0 kg, serbuk kotoran ayam 800 kg, dan bahan pereaksi larutan EM4 1,6 L, larutan gula 8,0 L (gula = 1,6 kg), dan air 800 L. Pengolahan pupuk organik limbah kelapa, sebagai berikut: (a) Penyiapan bahan olah: Pencacahan daun/pelepah daun kelapa kering, penghancuran hasil pencacahan, pengayakan debu sabut dan kotoran ayam, diolah menjadi bentuk serbuk. Bahan baku serbuk pelepah/daun kelapa, serbuk sabut, serbuk kotoran ayam dicampur, agar campuran merata.

106 Alat dan Mesin Pengolahan Produk Kelapa dan Aren

(b) Larutan fermentasi: Gula putih dilarutkan dalam air, diaduk sampai gula larut dalam air, kemudian larutan EM4 ditambahkan kedalam larutan gula, diaduk hingga merata. (c) Pencampuran bahan olah: Larutan gula + EM4 di tuangkan ke dalam campuran bahan olah secara merata, selanjutnya ditambahkan air 50% dari berat bahan olah, diaduk secara mekanis sampai merata dan berupa adonan, kemudian dimasukkan ke dalam wadah fermentasi untuk difermentasi. (d) Fermentasi: Bahan olah dalam bak fermentasi ditutup dengan terpal plastik, dengan proses fermentasi secara semi aerob. Fermentasi berlangsung selama 9 hari dengan suhu fermentasi berkisar 30- 45oC, dan suhu ruang 29-31oC. Selama fermentasi pupuk organik tidak memerlukan pembalikan dan pengadukan, karena suhu terkontrol. (e) Produk pupuk organik limbah kelapa hasil fermentasi dengan kondisi fisik gembur, berwarna coklat gelap dan tidak berbau. Kondisi bahan baku dan produk pupuk organic tertera pada Gambar 5-7.

Peranan pupuk organik, antara lain: (a) memperbaiki kondisi kesuburan tanah permukaan (top soil) yang mengandung mikroorganisme yang berperan bagi kesuburan tanah, (b) Mengandung unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tanaman karena abu dari kayu dan arang sebagai bahan pencampur tanah kaya unsur hara mikro seperti P, K, Zn, Fe dan Mg, dan (c) kotoran ternak merupakan sumber N, sumber unsur hara mikro, tempat berkembang mikroba tanah, yang berperan bagi kesubunan tanah (Mugwe et al., 2009). Aplikasi pupuk organik berbasis kotoran unggas, daun Gliricidia dan pupuk anorganik akan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman bila dibandingkan dengan tanpa pemupukan. Pupuk organik dapat digunakan untuk memberikan nutrisi ke tanaman dan mencapai hasil yang optimal jika dilakukan dengan pupuk organik yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik (Akande et al., 2012).

a b c

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 107

Gambar 5. (a) Daun kelapa, (b) debu sabut, dan (c) kotoran ayam.

a b

Gambar 6. a) Serbuk daun kelapa dan b) serbuk sabut kelapa.

a b

Gambar 7. a) Serbuk kotoran ayam dan b) pupuk organik limbah kelapa.

Pengolah Etanol Sistem Evaporator-Destilator Ganda Alat pengolahan etanol terdiri dari tangki evaporator dua buah, kolom destilator dua buah dan dehidrator satu buah. Alat ini, merupakan modifikasi dari alat pengolahan etanol sistem Sinambung. Modifikasi meliputi; penambahan unit operasi yang terdiri dari: tangki evaporasi-2 yang dirancang dengan dinding ganda (double jacket), pipa alir hasil destilasi dipasang antara destilator-1 dengan tangki evaporasi-2 (Gambar 8).

108 Alat dan Mesin Pengolahan Produk Kelapa dan Aren

Gambar 8. Alat pengolah etanol sistem evaporator-destilator ganda

Alat pengolahan etanol sistem evaporator-destilator ganda, dengan komponen peralatan dan fungsinya sebagai berikut : (1) Tangki evaporator; tangki evaporator-1, berfungsi untuk penguapan awal etanol, tangki evaporator-2 menguapkan etanol hasil dan destilasi-1. (2) Destilator; destilator terdiri dua buah, destilator-1 berfungsi mendinginkan dan mencairkan uap etanol dari tangki evaporator-1, destilator-2 berfungsi mengkondensasi uap etanol dari evaporator-2 dan dehidrator, produk yang keluar dari corong pengeluaran merupakan produk etanol akhir. (3) Dehidrator; kolom penampung hidrat berfungsi menyerap air dari etanol, agar diperoleh etanol kadar tinggi. (4) Menara air; berfungsi menyediakan air dan kontrol pengaliran destilasi agar sesuai dengan kebutuhan. (5) Kompor; kompor dengan bahan bakar minyak tanah atau bahan bakar lainnya, berfungsi sebagai sumber panas untuk menguapkan etanol pada tangki evaporator-2 sumber panas berasal dari air destilasi yang berasal dari kolom destilator-1.

Pengolahan etanol pada alat pengolahan sistem evaporator- destilator ganda, sebagai berikut: (1) Persiapan peralatan dan komponen pendukung lainnya, etanol kasar (kadar 25-35 %) sebagai bahan baku dimasukkan ke dalam tangki evaporator-1, kompor dihidupkan, dan tangki evaporator-1 dipanaskan pada suhu ≥ 82°C. Pada suhu 78-79°C, dimulai

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 109

penguapan etanol ke destilator-1, etanol akan berkondensasi, dan mengalir secara gravitasi ke tangki evaporator-2. (2) Dalam tangki evaporator-2, etanol dipanaskan lagi dengan panas dari air destilasi yang akan dibuang, etanol akan menjadi uap dan terdorong ke kolom dehidrator, air dari etanol akan diabsorbsi, etanol relatif murni akan di dorong ke luar kolom dehidrator ke destilator-2, pada destilator-2 uap etanol akan berkondensasi dan menjadi cairan etanol sebagai produk akhir. (3) Unit proses didinginkan, etanol pada tangki evaporator-2 dikeluarkan dengan membuka keran evaporator-2. (4) Residu pada tangki evaporator-1 dikeluarkan, jika kadar etanol residu 5% dapat didestilasi ulang pada destilasi tunggal, namun jika kadar etanol 2% tidak diproses lagi, karena akan membutuhkan banyak panas yang tidak sebanding nilai ekonomi dari etanol yang akan dihasilkan.

Penggunaan alat pengolahan etanol sistem evaporator-destilator ganda, sebagai berikut: (a) Pengolahan tahap pertama, menggunakan bahan baku etanol kasar (25-35%), yang diproses tanpa menggunakan saringan molekuler 3 Å, akan menghasilkan etanol kadar 70-90%. Etanol ini dapat digunakan sebagai bahan bakar kompor, (b) Pengolahan tahap kedua, bahan baku etanol kadar 70-90%, diproses dengan menggunakan saringan molekuler pada dehidrator, akan menghasilkan etanol kadar 95- 99%. Etanol dapat digunakan sebagai bahan farmasi, obat-obatan dan pelarut dan etanol kadar ≥ 98 % sebagai bahan bakar motor atau mesin bensin. Aspek teknis yang patut diperhatikan; (a) suhu optimal untuk unit operasi tangki evaporator, kolom destilator dan kolom dehidrator, dan (b) debit air destilasi adalah 8-12 L/jam untuk kestabilan suhu unit operasi. Keunggulan alat pengolahan etanol sistim evaporator-destilator ganda adalah: (a) dalam satu kali proses dapat menghasilkan etanol kadar 98- 99%, dan (b) kapasitas olah 100 L/ periode proses, dapat dioperasikan kelompok tani dan UKM. Untuk penggunaan skala industri besar, diperlukan peningkatan kapasitas olah, dengan modifikasi ukuran dan volume dari masing-masing unit operasi (Lay, 2012).

SISTEM PENGEMBANGAN ALAT DAN MESIN PERTANIAN

Pendekatan Pengembangan Beberapa pendekatan yang patut dipertimbangkan dalam pengem- bangan teknologi, termasuk alat dan mesin pertanian antara lain

110 Alat dan Mesin Pengolahan Produk Kelapa dan Aren

penggunaan teknologi tepat guna, pendekatan kelembagaan dan peningkatan kualitas sumber daya petani. Menurut Saragih (2002) teknologi tepat guna adalah inovasi yang memenuhi kriteria: (a) secara teknis dapat diterapkan, (b) secara ekonomi memberi nilai tambah dan insentif memadai, (c) secara sosial budaya diterima pengguna, dan ( d) ramah lingkungan. Dilaporkan Snodgrass dan Wallace (1970) bahwa perubahan teknologi akan memberikan pengaruh positif pada perubahan harga di satu pihak, dan di lain pihak akan meningkatkan kuantitas, kualitas dan memperkecil biaya produksi. Permasalahan penggunaan teknologi seperti introduksi alat peng-olahan hasil pertanian membutuhkan biaya cukup besar, namun secara keseluruhan pemanfaatan teknologi akan membantu peningkatan produk-tivitas pengolahan, perbaikan mutu hasil dan meningkatkan nilai tambah bagi pendapatan petani. Pendekatan kelembagaan dan peningkatan kualitas sumber daya petani perlu ditangani secara sistematis yang diarahkan pada kegiatan peningkatan pendapatan petani sekaligus pengentasan kemiskinan. Untuk memperbesar peluang keberhasilan, perlu koordinasi dan konsolidasi semua potensi, sumber daya dan teknologi ke dalam kegiatan usaha yang ber-wawasan pasar, dengan kegiatan yang bersifat massal pada wilayah sebagai sentra produksi. Untuk efektifnya pembinaan dan pengendalian kegiatan pengembangan dibutuhkan wadah permanen, yakni kelompok tani dengan unit pengolahannya. Peran petani dalam wadah ini adalah menyediakan bahan baku, mengolah dan memasarkan produk yang dihasilkan, dengan bimbingan teknis dan manajemen usaha dari instansi teknis dan usaha swasta. Dengan demikian petani secara bertahap akan termotivasi bekerja sambil belajar dalam mengembangkan usaha dengan pola pikir bisnis-komersial.

Pengembangan Produk Pengembangan produk berupa alat dan mesin atau hasil olahan produk pertanian merupakan aktivitas lintas disiplin yang membutuhkan kontribusi dari semua fungsi. Fungsi penentu bagi pengembangan produk adalah pemasaran, perancangan dan manufaktur. Fungsi pemasaran menjembatani interaksi antara unit pengolahan dengan pelanggan dan proses identifikasi peluang pasar produk, segmen pasar dan kebutuhan pelanggan. Fungsi ini secara khusus merancang komunikasi antara produsen dengan konsumen dan menetapkan harga. Fungsi perancangan berperan dalam menentukan bentuk fisik, estetika dan mutu produk agar dapat memenuhi pelanggan. Fungsi manufaktur bertanggung jawab dalam merancang dan mengoperasikan sistem proses produksi dan pengendalian mutu dengan harga rendah (Urlich dan Eppinger, 2001).

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 111

Menurut Urlich dan Eppinger (2001) bahwa dalam pengembangan perlu diperhatikan: (a) produk harus aman dan mudah digunakan, (b) penampilan produk meliputi kombinasi bentuk, proporsi, warna produk yang menyenangkan, (c) bersifat komunikatif; desain, mutu produk, dan sifat spesifik produk tervisualisasi dengan baik, dan (d) skala usaha senantiasa memperhatikan standar mutu yang berlaku. Pengembangan dikatakan sukses jika produk dapat dijual dengan menghasilkan laba. Lima dimensi spesifik yang berhubungan dengan laba dan digunakan untuk menilai kinerja usaha pengembangan produk, yaitu kualitas produk, biaya produk, waktu pengembangan, biaya pengembangan dan kapabilitas pengembangan. Ketersediaan bahan dan komponen peralatan secara lokal sangat menentukan dalam pengembangan produk. Alat dan mesin semakin diperlukan dalam rangka peningkatan produktivitas, peningkatan mutu hasil, mengurangi resiko kehilangan hasil, mengatasi kesulitan tenaga kerja, menekan biaya produksi dan biaya lainnya (Muljodihardjo, 1997).

PENUTUP

Beberapa pendekatan yang patut dipertimbangkan dalam pengembangan teknologi, termasuk alat dan mesin pertanian antara lain penggunaan teknologi tepat guna, pendekatan kelembagaan dan peningkatan kualitas sumber daya petani. Pengembangan produk berupa alat dan mesin atau hasil olahan produk pertanian merupakan aktivitas lintas disiplin yang membutuhkan kontribusi dari semua fungsi. Penyediaan peralatan pengolahan produk kelapa dan aren, sulit dilakukan kelompok tani sendiri. Selama ini pengadaannya dilakukan oleh instansi terkait, namun jumlahnya sangat terbatas pada setiap kabupaten sebagai sentra produk perkebunan, sehingga kurang menunjang pengem-bangan produk perkebunan secara massal. Diperlukan dukungan yang lebih besar agar semakin banyak kelompok tani yang memiliki peralatan pengolahan yang dapat menunjang peningkatan kapasitas pengolahan, mutu hasil olah secara luas dan massal, yang akan berdampak pada peningkatan nilai tambah komoditas dan produktivitas daerah serta pendapatan petani. Efektifnya kegiatan pengembangan produk, dibutuhkan wadah permanen yakni kelompok tani dengan unit pengolahannya, disertai bim- bingan teknis dan manajemen usaha dari instansi teknis. Apabila penanganan-nya dilakukan kontinu, secara bertahap petani akan termotivasi bekerja sambil belajar dalam mengembangkan usaha dengan pola pikir bisnis-komersial.

112 Alat dan Mesin Pengolahan Produk Kelapa dan Aren

DAFTAR PUSTAKA

Akande, M.O., F.I. Oluwatoyinbo., E.A. Makinde., A.S. Adepoju., dan I.S. Adepoju. 2012. Response of okra to organic and inorganic fertilization. Nature and Science; 8(11):261-266. Anonim. 2005. Cocoinfo International. Asian and Pacific Coconut Community. 12(1): 39. APCC. Jakarta. Anonim. 2007. White copra. Taktis.com. Anonim. 2010. Alat pengolahan pupuk organik (APPO)/mesin pencacah sampah organik Model MPO 500 HD (kapasitas 500-700 kg/jam). Balai Besar Mekanisasi Pertanian Serpong. Lay, A. 2011. Perancangan alat pengolahan pupuk organik limbah kelapa. Program penelitian Koordinatif Balai Besar Mekanisasi Pertanian Serpong dan Balai Penelitian Tanaman Palma, Manado. Lay, A. 2012. Rekayasa alat pengolahan etanol dari aren sistem evaporator-destilator ganda. Buletin Palma; 13(2):92-102. Lay, A. 2014. Pengolahan VCO dari kopra putih. Laporan Tahunan Balai Penelitian Tanaman Palma tahun 2014. Mugwe, J., D. Mugendi., M. Mucheru-Muna., D. Odee., dan F. Mairura. 2009. Effect of selected organic materials and inorganic fertilizer on the soil fertility of humid nitisol in central highlands of Kenya. Soil use management;(25): 434-440. Muljodihardjo, S. 1997. Aspek kelembagaan dan organisasi pengembangan enjiniring pertanian. Makalah pada Diskusi Alsintan/Enjiniring Pertanian Dalam Rangka Menunjang Pembangunan Pertanian Modern. Jakarta, 4 Desember 1997. Rethinam, A.T., dan S. J. Bosco. 2003. Production of white copra good quality endible copra and coconut oil. Cocoinfo International; 10 (1):25-32. Saragih, B. 2002. Peranan teknologi tepat guna dalam pengembangan sistem agribisnis kerakyatan dan berkelanjutan. Analisis kebijaksanaan: Pendekatan pembangunan dan kebikasanaan pengembangan agribisnis. PAE Litbang Pertanian Bogor. Simamora, S dan Salundik. 2006. Meningkatkan kualitas kompos. Penerbit AgroMedia Pustaka, Jakarta. Snodgrass, M.M., dan L.T. Wallace. 1970. Agriculture economics and growth. Second Edition. Meredith Corporation, New York; p. 123. Takaheghesang, N. 2015. Pembuatan alat pres santan kelapa secara hidrolik. Tugas akhir Program Diploma III Program Studi Teknik Mesin. Politeknik Negeri Manado.

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 113

Ulrich, K.T., dan S.D. Eppinger. 2001. Product design and development (Perancangan dan pengembangan produk). Diterjemahkan N. Azmi dan I.A. Marie. Penerbit Salemba Teknika, Jakarta.

114 Alat dan Mesin Pengolahan Produk Kelapa dan Aren

PENUTUP

Hengky Novarianto

Balai Penelitian Tanaman Palma Jalan Raya Mapanget, Kotak Pos 1004 Manado 95001 E-mail: [email protected]

Kelapa kopyor memiliki nilai ekonomi tinggi, dan dapat meningkatkan pendapatan petani kelapa. Masalah utama pada kelapa kopyor adalah mendapatkan benih bermutu dengan harga yang terjangkau untuk tingkat petani dengan luas lahan sangat terbatas. Perbanyakan kelapa kopyor melalui kultur jaringan diharapkan akan menghasilkan benih kelapa kopyor dalam jumlah banyak, bermutu tinggi secara genetis, dan harga benih lebih murah dan mudah didapat. Peremajaan kelapa terhadap kelapa tua dan kurang produktif harus dilakukan setiap tahun, agar produksi kelapa nasional dapat ditingkatkan. Salah satu strategi untuk percepatan penyediaan benih unggul adalah menggunakan benih kelapa Dalam unggul lokal. Provinsi dan Kabupaten yang telah diidentifikasi memiliki BPT dan PIT kelapa dengan potensi produksi kopra di atas 3 ton/ha/tahun, sebaiknya dilanjutkan dengan kegiatan penelitian untuk pelepasan varietas unggul nasional. Sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2015 telah dilepas sebanyak lima varietas kelapa Genjah dan Dalam, selain varietas tanaman aren dan pinang. Gula kelapa memiliki prospek yang baik, karena ternyata lebih sehat dikonsumsi oleh penderita diabetes dibandingkan dengan gula tebu. Beberapa tahun terakhir ini produksi gula kelapa cendrung stagnan dan agak menurun, disebabkan berkurangnya pasokan gula dari penderes. Hal ini disebabkan petani muda enggan menjadi penderes karena resiko pohon kelapa Dalam berbatang tinggi, dan sering terjadi kecelakaan jatuh dari pohon. Kelapa Genjah yang memiliki batang lebih pendek memiliki peluang penghasil gula kelapa, karena lebih mudah disadap niranya. Hasil penelitian sementara diperoleh beberapa varietas kelapa Genjah berpeluang sebagai penghasil nira dan gula kelapa. Teknologi palma lainnya yang telah dihasilkan selama lima tahun terakhir adalah kelapa sawit, aren dan sagu. Pada kelapa sawit telah dihasilkan penelitian tentang stearin sawit sebagai hasil ikutan pengolahan minyak sawit. Stearin sawit merupakan salah satu sumber asam palmitat potensial yang dapat digunakan untuk sintesis HMF Analog, melalui proses enzimatis. Dalam upaya peningkatan produktivitas kerja, mutu produk, dan menekan tingkat kehilangan hasil pertanian, telah dihasilkan alat pengolahan kelapa dan aren. Alat pengolahan ini diperkirakan lebih efektif, efisien dan terjangkau kelompok tani.

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 115

Diharapkan alat-alat ini, dapat diaplikasikan para petani/kelompok tani untuk pengolahan aneka produk kelapa dan aren, yang dapat menunjang peningkatan kapasitas kerja, nilai tambah komoditas dan peningkatan pendapatan petani. PT. Kaltim Prima Coal (KPC) di Sangatta, Kutai Timur adalah salah satu tambang batubara yang besar di Kalimantan Timur dan ijinnya akan berakhir tahun 2021. Pemanfaatan tanah bekas tambang batubara telah diuji coba dan ternyata cukup berhasil dengan tanaman sagu, rumbia (Metroxylon rumphii, Rottb) dan sagu baruk (Arenga microcarpa, Becc). Pati sagu merupakan makanan pokok hanya pada sebagian daerah di Indonesia. Upaya diversifikasi produk pangan dari pati sagu diperlukan untuk menjadi produk yang disukai dan dapat dikonsumsi oleh seluruh lapisan konsumen, antara lain biskuit dan roti sagu. Hasil penelitian menujukkan, bahwa pengolahan biskuit dan roti sagu, masing-masing dengan substitusi pati sagu sampai 80% dan 30%, secara organoleptik masih dapat diterima konsumen. Pada tanaman aren telah diteliti viabilitas benih aren dari pohon yang sedang disadap niranya, dan ternyata tidak berpengaruh nyata. Terhadap kecambah benih aren dan penyadapan nira dapat berlangsung terus. Pinang merupakan salah satu komoditi palma yang memiliki nilai ekspor, terutama ke negara-negara Asia Selatan. Untuk memperkaya dan memperbesar keanekaragaman plasma nutfah pinang perlu dilakukan eksplorasi ke daerah yang belum pernah diteliti. Hasil penelitian sebelumnya memperlihatkan masih banyak jenis pinang yang potensial belum dilakukan koleksi dan konservasi genetik.

116 Penutup

INDEKS/INDEX A Pati sagu/Sago starch 88 Aklimatisasi/Acclimatization 6 Pengolahan/Processing 88 Alat pengolahan/ Processing Penyadapan/Tapping 100 equipment 54, Penyakit/Disease 44 Aren/Sugar palm 31 Pinang/Arecanut 31 PIT/SMP 15 B Phytoplasma/Phytoplasma 44 Batubara/Coal 79 Produk/Product 88 Benih/Seed 100 Produk kelapa/Coconut products BPT/HYB 15 54 Pupuk organic/Organic fertilizers D 54 Diversifikasi/ Diversification 88 S E Sagu/Sago 31 Embrio/ Embryos 6 Seleksi/Selection 15 Ex vitro/Ex vitro 6 Sintesis/Synthesis 71 Stearin sawit/Palm stearin 71 G Genjah/Dwarf 24 T Tanah bekas tambang/Former H mine land 79 Human milk fat analog/Human Tanaman sagu/Sago palms 79 milk fat analog 71 U I Unggul/Superior 31 In vitro/in vitro 6 V K Varietas/Variety 15, 31 Kelapa/Coconut 24, 31, 44 Viabilitas/ Viability 100 Kelapa Dalam/Tall Coconut 15 Kopyor/Kopyor 6

L Layu Kalimantan/Kalimantan Wilt 44 Lipase/Lipase 71 N Nira/Sap 24

P

Bunga Rampai: Teknologi Terkini Tanaman Palma 111