Dr.Azrita, S.Pi., M.Si Gurami Sago (OsphronemusgoramyLac) TentangPenulis Komoditi Unggulan Perikanan Air Tawar Untuk Pangan dan Ikan Hias. Dr. Azrita, S.Pi, M.Si, lahir di Palembang 31 Juli 1975. Sebagai seorang akuakulturis Gurami Sago dalam bidang Bioteknologi dan Genetika Dr.Azrita, S.Pi., M.Si Ikan, dia menjadi dosen tetap Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bung Hatta. Disamping itu juga sebagai dosen di Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Bung Hatta.

Pengelolaan budidaya perikanan dengan memanfaatkan bioteknologi juga menjadi objek (OsphronemusgoramyLac) penelitiannya. Dari hasil riset yang didanai Kementerian Riset dan Teknologi RI dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), dia sudah mempublikasikan karya ilmiahnya pada jurnal internasioanl bereputasi. Dari hasil- hasil risetnya dia menyumbangkan ilmu pengetahuannya dalam menyusun buku tentang Gurami Sago Gurami Sago (Osphronemus goramy Lac) Komoditi Unggulan Perikanan Air Tawar Untuk Pangan dan Ikan Hias..

GURAMI SAGO (Osphronemus goramy Lac)

Komoditi Unggulan Perikanan Air Tawar Untuk Pangan dan Ikan Hias

Dr. Azrita, S.Pi., M.Si

Kata Pengantar | i Sanksi pelanggaran pasal 44: Undang-undang No. 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang hak cipta. 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Iima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

ii | D a f t a r I s i

GURAMI SAGO (Osphronemus goramy Lac)

Komoditi Unggulan Perikanan Air Tawar Untuk Pangan dan Ikan Hias

Dr. Azrita, S.Pi., M.Si

LPPM UNIVERSITAS BUNG HATTA 2020

Kata Pengantar | iii Judul : Gurami Sago (Osphronemus goramy Lac) : Komoditi Unggulan Perikanan Air Tawar Untuk Pangan dan Ikan Hias Penulis : Dr. Azrita, S.Pi., M.Si

Sampul: Azrita

Ilustrasi dan Tata Letak : Azrita

Diterbitkan oleh LPPM Universitas Bung Hatta, Mei 2020

Alamat Penerbit:

Badan Penerbit Universitas Bung Hatta

LPPM Universitas Bung Hatta, Gedung Rektorat Lt. III (LPPM) Universitas Bung Hatta Jl. Sumatera Ulak Karang Padang, Sumbar, Indonesia Telp. (0751) 7051678 Ext. 323, Fax. (0751) 7055475 e-mail: [email protected]

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruhnya isi buku ini tanpa izin tertulis penerbit Isi di luar tanggung jawab percetakan Cetakan Pertama: Mei 2020

Gurami Sago (Osphronemus goramy Lac) : Komiditi Unggulan Perikanan Air Tawar Untuk Pangan dan Ikan Hias Oleh : Dr.Azrita, S.Pi.,M.Si, LPPM Universitas Bung Hatta, Mei 2020 163 Hlm + xii ; 18,4 cm ISBN 978-623-93573-3-7

iv | D a f t a r I s i

KATA PENGANTAR

Buku Gurami Sago (Osphronemus goramy Lac) : Komoditi Unggulan Perikanan Air Tawar Untuk Pangan dan Ikan Hias dimaksudkan sebagai bahan informasi dan pedoman bagi akademisi dan praktisi perikanan untuk mengembangkan plasma nutfah ikan gurami sago sebagai komoditi unggulan perikanan air tawar untuk pangan dan ikan hias.

Ikan gurami yang menjadi unggulan spesifik lokal dan memiliki tingkat kestrategisan lebih karena sebagai plasma nutfah asli; sebagai ikan konsumsi dengan permintaan tinggi dan) sebagai komoditas ikan hias yang bernilai ekonomis tinggi karena warnanya yang indah. Ikan ini telah menjadi salah satu spesies utama yang dibudidayakan dan sangat diminati dalam industri akuakultur. Buku ini memuat tentang sejarah dan distribusi ikan gurami secara umum, keragaman genetik ikan secara morfologi dan molekuler, potensi budidaya dan hibridisasi ikan gurami sago serta bioteknologi pakan buatan bersumber bahan baku nabati.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kemenristek Dikti melalui pendanaan penelitian skim Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi Tahun 2019. Semoga buku Gurami Sago (Osphronemus goramy Lac) : Komoditi Unggulan Perikanan Air Tawar Untuk Pangan dan Ikan Hias ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan pembaca.

Padang, Mei 2020 Penulis

Dr. Azrita, S.Pi., M.Si

Kata Pengantar | v

vi |Kata Pengantar DAFTAR ISI

Halaman KATAPENGANTAR ...... DAFTAR ISI ...... PENDAHULUAN ...... 1 CHAPTER 1: SEKILAS TENTANG IKAN GURAMI SAGO ...... 5 Sejarah dan distribusi ikan gurami ...... 5 Silsilah induk dan klasifikasi ikan gurami sago ...... 10 Domestikasi ikan gurami sago ...... 14 Kesimpulan ...... 17 Daftar pustaka ...... 18 CHAPTER 2: KERAGAMAN GENETIK IKAN GURAMI BERDASARKAN MORFOMETRIK &MERISTIK ...... 21 Truss morfometrik strain ikan gurami ...... 21 Truss morfometrik ikan gurami sago ...... 28 Truss meristik ikan gurami sago ...... 31 Warna ikan gurami sago ...... 32 Kesimpulan ...... 35 Daftar pustaka ...... 36 CHAPTER 3: KERAGAMAN GENETIK IKAN GURAMI SECARA MOLEKULER ...... 41 Variasi genetik strain ikan gurami di Kabupaten Lima Puluh Kota..... 41 Barcode DNA dari ikan gurami di Kabupaten Lima Puluh Kota ...... 42 Hibridasi induk berdasarkan pemetaan fenotip dan molekuler ...... 47 Kesimpulan ...... 54 Daftar pustaka ...... 56 CHAPTER 4: BIOLOGI DAN PEMBENIHAN IKAN GURAMI SAGO ...... 63 Pemeliharaan induk dan Pemijahan Ikan Gurami Sago ...... 63 Fekunditas, derajat pembuahan telur, daya tetas dan sintasan juvenil ...... 72

D a f t a r I s i | vii Jenis pakan dan kebiasaan makan ikan gurami sago ...... 83 Toleransi benih ikan gurami sago terhadap salinitas ...... 87 Toleransi benih ikan gurami terhadap temperatur...... 89 Toleransi ikan gurami sago terhadap pH ...... 90 Kesimpulan ...... 92 Daftar pustaka ...... 93 CHAPTER 5: BIOTEKNOLOGI PAKAN BUATAN UNTUK IKAN GURAMI SAGO ...... 101 Bioteknologi pemanfaatan sumber protein nabati untuk pakan ikan gurami sago ...... 101 Bioteknologi pemanfaatan tepung daun apu-apu sebagai sumber protein pakan ikan gurami sago ...... 114 Kesimpulan ...... 130 Daftar pustaka ...... 131 CHAPTER 6: PRODUKSI DAN PEMASARAN IKAN GURAMI SAGO ...... 139 Produksi benih ikan guramo sago ...... 139 Pemasaran benih ikan gurami sago ...... 144 Aspek teknologi dan ekonomi ...... 144 Aspek social dan lingkungan ...... 149 Kesimpulan ...... 150 Daftar pustaka ...... 152 Daftar Glosarium ...... 153 Daftar Indek ...... 165

viii | D a f t a r i s i DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Koleksi ikan gurami sago di kelompok pembudidaya ikan Ingin Maju Nagari Mungo Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota ...... 11 Tabel 1.2 Roadmap kegiatan domestikasi ikan gurami sago ...... 16 Tabel 2.1 Deskripsi 16 karakter truss morfometrik ikan gurami yang diukur ...... 24 Tabel 2.2 Data morfomerik ras-ras ikan gurami di kabupaten lima Puluh kota ...... 25 Tabel 2.3 persentase perbedaan karakter morfometrik antar strain ikan gurami ...... 26 Tabel 2.4 Karakter dominan pembeda sifat strain ikan gurami ...... 27 Tabel 2.5 Deskripsi ukuran tubuh ikan gurami sago umur 300 hari asal lokasi dari Nagari Mungo Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota [ Sumatera Barat ] ...... 29 Tabel 2.6 Persentase perbandingan ukuran ikan gurami sago asal lokasi dari Nagari Mungo Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota [ Sumatera Barat ]...... 29 Tabel 2.7 Karakter dominan pembeda sifat gurami sago ...... 30 Tabel 2.8 Deskripsi meristik ikan gurami sago dari Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota ...... 32 Tabel 2.9 Warna ikan gurami sago ...... 34 Tabel 3.1 Jumlah total pita setiap strain gurami ...... 42 Tabel 3.2 Variasi genetik pada beberapa strain ikan gurami berdasarkan fragmen RAPD dengan primer OPA 2 ...... 42 Tabel 3.3 Hasil Uji Fst Berpasangan ...... 44 Tabel 3.4 Jarak genetik antar ras ikan gurami asal Kab. Lima Puluh Kota .. 45 Tabel 3.5 Nilai rataan fekunditas, diameter telur, derajat pembuahan telur, derajat penetasan telur dan sintasan larva ...... 49 Tabel 4.1 Data hasil pemijahan alami induk ikan gurami sago ...... 68 Tabel 4.2 Ukuran produksi benih ikan gurami di Kecamatan Luak ...... 71 Tabel 4.3 Potensi reproduksi induk ikan gurami strain tambago berdasarkan tingkatan umur ...... 72 Tabel 4.4 Jumlah larva yang dihasilkan dari induk betina ikan gurami strain palapah berbeda umur ...... 75 Tabel 4.5 Data jumlah telur,pembuahan dan daya tetas induk ikan gurami sago ...... 77 Tabel 4.6 Laju pertumbuhan panjang mutlak dan bobot spesifik larva ikan gurami ...... 80 Tabel 4.7 Kelangsungan hidup larva ikan gurami dari induk betina berbeda umur ...... 81

Daftar Tabel | ix Tabel 4.8 Deskripsi pertumbuhan ikan gurami sago asal lokasi Nagari Mungo Kecamatan Luak [Sumatera Barat] berdasarkan penamaan lokal ...... 82 Tabel 4.9 Kadar proksimat daun talas sebagai pakan induk ikan gurami sago ...... 85 Tabel 4.10 Nilai proksimat batang talas sebagai pakan induk ikan gurami sago ...... 85 Tabel 4.11 Jenis pakan dan kebiasaan makan ikan gurami sago dari hasil percobaan ...... 86 Tabel 4.12 Data uji toleransi salinitas pada benih ikan gurami sago selama masa pemeliharaan 60 hari ...... 88 Tabel 4.13 Data uji toleransi suhu pada benih ikan gurami sago selama masa pemeliharaan 60 hari ...... 90 Tabel 4.14 Data uji toleransi pH pada benih ikan gurami sago selama masa pemeliharaan 60 hari ...... 91 Tabel 5.1 Analisis proksimat tepung daun apu-apu sebelum dan setelah fermentasi ...... 108 Tabel 5.2 Analisis proksimat tepung daun kangkung sebelum dan setelah fermentasi ...... 109 Tabel 5.3 Analisis proksimat tepung daun eceng gondok sebelum dan setelah fermentasi ...... 110 Tabel 5.4 Analisis proksimat tepung daun keladi sebelum dan setelah fermentasi ...... 111 Tabel 5.5 Analisis proksimat tepung daun lamtoro sebelum dan setelah fermentasi ...... 112 Tabel 5.6 Kadar protein bahan baku ...... 113 Tabel 5.7 Data sekunder komposisi karkas benih ikan gurami sago ...... 114 Tabel 5.8 Kadar nutrisi bahan baku ...... 116 Tabel 5.9 Komposisi ransum dari kadar protein pakan 25%...... 116 Tabel 5.10 Laju pertumbuhan benih ikan gurami sago ...... 117 Tabel 5.11 Laju pertumbuhan panjang mutlak benih ikan gurami sago ...... 121 Tabel 5.12 Rasio konversi pakan dan rasio efisiensi protein benih ikan gurami sago ...... 123 Tabel 5.12 Rata – rata kelangsungan hidup benih ikan gurami sago ...... 127 Tabel 5.13 Komposisi karkas benih ikan gurami sago pada akhir penelitian [berat basah]...... 129 Tabel 6.1 Data pemijahan induk ikan gurami sago G0,G1,dan G2 ...... 141 Tabel 6.2 Data prndederan benih ikan gurami sago G0,G1,dan G2 ...... 142 Tabel 6.3 Ukuran produksi benih ikan gurami sago di Kecamatan Luak ..... 144 Tabel 6.4 Kelayakan usaha pembenihan ikan gurami sago ...... 146 Tabel 6.5 Kelayakan usaha budidaya ikan gurami dengan KJA di Danau Maninjau [ Lama Pemeliharaan 7 Bulan ] ...... 147

x | Daftar tabel Tabel 6.6 Kelayakan usaha budidaya Ikan gurami pada kolam terpal [lama pemeliharaan 7 bulan] ...... 148

Daftar Tabel | xi DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Distribusi ikan gurami di Asia Tenggara ...... 6 Gambar 1.2 Sampel ikan gurami dari berbagai wilayah-*- ...... 8 Gambar 1.3 Lokasi budidaya ikan gurami sago di Nagari Mungo Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota ...... 12 Gambar 1.4 Kolam pembesaran ikan gurami di Kecamatan Suliki ...... 13 Gambar 2.1 Strain ikan Gurami yang dibudidayakan petani ikan di Kabupaten Lima Puluh Kota ...... 23 Gambar 2.2 Pengukuran morfologi ikan gurami dengan menggunakan metode truss morfmetric berdasarkan metode Blezinsky dan Doyle [1988]...... 24 Gambar 2.2 Hasil analisis diskriminan yang mengelompokkan strain ikan gurami dalam 3 kelompok ...... 28 Gambar 2.3 Dendogram morfologi berdasarkan cluster analisis ...... 28 Gambar 2.4 Karakter morfometrik ikan gurami sago ...... 30 Gambar 2.5 Meristik ikan gurami sago ...... 32 Gambar 2.6 Pola warna ikan gurami sago berdasarkan ukuran ...... 33 Gambar 3.1 Fragmen hasil amplifikasi RAPD dengan menggunakan primer OPA 2 asal Kab. Lima Puluh Kota ...... 43 Gambar 3.2 Dendogram jarak genetik Nei [1972] dari gurami strain jepun, sago, krista, tambago dan palapah berdasarkan RAPD menggunakan primer OPA2 ...... 45 Gambar 3.3 Strain induk ikan gurami yang digunakan...... 49 Gambar 3.4 Diameter Telur ...... 51 Gambar 4.1 Siklus produksi ikan gurami, O. goramy ...... 64 Gambar 4.2 Induk ikan gurami sago ...... 65 Gambar 4.3 Kolam pemeliharaan induk gurami sago ...... 65 Gambar 4.4 Kolam pemijahan ikan gurami sago ...... 69 Gambar 4.5 Kolam tanah untuk pemijahan induk gurami sago ...... 70 Gambar 4.6 Kolam pembenihan ikan gurami di kecamatan Luak dan Lareh Sago Halaban ...... 71 Gambar 4.7 Perkembangan embrio, larva dan benih ikan gurami sago...... 79 Gambar 4.8 Nama dan tingkatan ukuran benih gurami sago produksi Nagari Mungo Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh

Daftar Gambar | xii Kota...... 83 Gambar 4.9 Tanaman talas sente [Alocasia macrorrhiza Schott] yang digunakan untuk mematangkan telur ikan gurami sago ...... 84 Gambar 5.1 Berbagai sumber bahan baku nabati ...... 106 Gambar 5.2 Pemanfaatan pakan buatan oleh gurami sago ...... 107 Gambar 5.3 Bardiagram pertumbuhan berat mutlan benih ikan gurami sago ...... 117 Gambar 5.4 Grafik laju pertumbuhan berat benih ikan gurami sago selama 90 hari pengamatan ...... 117 Gambar 5.5 Hubungan persentase pemberian pakan terhadap pertumbuhan berat mutlak dan berat relatif benih ikan gurami sago ...... 118 Gambar 5.6 Bardiagram pertumbuhan berat relatif benih ikan gurami sago ...... 119 Gambar 5.7 Bardiagram pertumbuhan spesifik benih ikan gurami sago ..... 120 Gambar 5.8 Bardiagram pertumbuhan panjang mutlak benih ikan gurami sago ...... 121 Gambar 5.9 Grafik laju pertumbuhan panjang benih ikan gurami sago selama 90 hari pengamatan ...... 121 Gambar 5.10 Hubungan persentase pemberian pakan terhadap pertumbuhan panjang mutlak benih ikan gurami sago ...... 122 Gambar 5.11 Bardiagram rasio konversi pakan benih ikan gurami sago ...... 124 Gambar 5.12 Bardiagram rasio efisiensi protein benih ikan gurami sago ..... 126 Gambar 5.13 Bardiagram tingkat kelangsungan hidup benih ikan gurami sago ...... 128 Gambar 6.1 Waring sebagai wadah pemeliharaan benih ikan gurami sago ...... 143 Gambar 6.2 Benih ikan gurami sago awal pendederan dan setelah pendederan ...... 143 Gambar 6.3 Benih ikan gurami sago awal dan akhir penelitian selama 120 hari di dalam kolam terpal ...... 143

Daftar Gambar | xiii

PENDAHULUAN

eranan akuakultur sebagai sumber protein hewani untuk pangan manusia di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia menjadi semakin penting P selama dekade terakhir. Alasannya adalah karena ikan merupakan sumber protein hewani yang sangat baik dan relatif lebih murah, memiliki nilai biologis tinggi. Oleh karena itu penggunaannya dapat membantu menjembatani kesenjangan protein karena berbagai keuntungan ekonomis dan signifikansi nutrisinya. Untuk memenuhi permintaan sumber protein hewani dari produksi akuakultur muncul persaingan menggunakan sumber daya alam seperti tanah dan air. Namun produksi akuakultur juga tergantung pada banyak faktor, termasuk spesies ikan yang dibudidayakan. Pada tahun 2016 sebanyak 598 spesies ikan telah berhasil dibudidayakan di berbagai negara seperti China, India, Indonesia, Vietnam, Bangladesh, Egypt, Norway, Chile, Myanmar, dan Thailand. Spesies common carp, pangasius, tilapia dan salmon merupakan komoditi yang dominan dibudidayakan [FAO, 2018]. Oleh karena itu pertumbuhan jangka panjang dari operasional akuakultur membutuhkan praktek yang berwawasan lingkungan dan pengelolaan sumberdaya berkelanjutan untuk spesies ikan budidaya.

Indonesia pada tahun 2018 telah memproduksi ikan dari sektor akuakultur sebanyak 16.032.122 ton, terdiri dari 3.374.924 ton [21,05%] diperoleh dari akuakultur ikan air tawar, 9.884.670 ton [61,65%], termasuk rumput laut dari akuakultur air asin, dan 2.772.528 ton [17,29%] dari akuakultur air payau. Sementara itu, jenis komoditas akuakultur air tawar yang telah dikembangkan di Indonesia adalah tilapia, clarias catfish, pangasius catfish, common carp, dan giant gourami. Spesies ini telah berkontribusi masing-masing 37,93%, 33,35%, 12,38%, 9,28% dan 6,96% dari total produksi akuakultur air tawar [Pusat Data Perikanan-Kementarian Kelautan dan Perikanan RI, 2018].

Banyak strain ikan gurami seperti dengan nama lokal ikan gurami tambago, palapah, galunggung, soang dan banyumas telah dibudidyakan secara intensif. Namun kontribusi dari ikan gurami masih rendah dibandingkan spesies budidaya ikan air tawar lainnya. Oleh karena itu sudah sepatutnya para ahli perikanan

Pendahuluan | 1 budidaya mengembangkan teknologi budidaya ikan gurami, termasuk mengembangkan strain gurami komoditi lokal unggulan daerah. Gurami sago merupakan komoditi unggulan daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat belum dibudidayakan secara intensif. Spesies ini merupakan hasil domestikasi yang telah dilepas sebagai ikan budidaya pada tahun 2018 oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dengan Keputusan No.56/KEPMEN- KP/2018.

Gurami sago di daerah Kabupaten Lima Puluh Kota sangat penting artinya bagi masyarakat pedesaan karena ikan ini memiliki nilai ekonomis tinggi, terutama sebagai komoditi ikan hias dan hanya sebagian kecil hasil produksi yang digunakan sebagai sumber pangan untuk masyarakat. Nilai ekonomis ikan gurami sago tergantung pada ukuran [size] ikan, semakin besar bobot dan panjang ikan maka semakin mahal harga jualnya. Gurami sago adalah spesies herbivora yang dapat mengkonsumsi berbagai tanaman seperti daun sente, kale, daun singkong dan tanaman muda lainnya. Selain itu spesies ini juga dapat memakan pelet komersial, dan mentolerir sistem produksi akuakultur yang beragam.

Ikan gurami sago mempunyai beberapa keunggulan untuk dibudidayakan secara intensif. Keunggulan dalam bidang teknologi, spesies ini dapat dipelihara pada lingkungan lahan sempit dan memiliki toleransi pada sumber daya air yang terbatas. Dapat dipelihara di kolam sawah, kolam terpal, kolam beton dan keramba jaring apung. Selain itu proses deseminasi budidaya tidak membutuhkan fasilitas yang tinggi.

Semenjak orang meningkat hobinya memelihara ikan hias, maka ikan gurami sago banyak diminati oleh pedagang ikan hias tidak hanya yang berasal dari Provinsi Sumatera Barat, tetapi juga yang berasal dari daerah Riau, Jambi dan Sumatera Utara. Hal ini tidak lain disebabkan karena ikan gurami sago memiliki warna badan seperti merah sago yang indah dipandang. Peluang ini telah dimanfaatkan oleh para pembenih ikan untuk meningkatkan produksi sehingga dapat membuka lapangan usaha baru bagi masyarakat di pedesaan di daerah Kabupaten Lima Puluh Kota.

Aspek lain dari teknologi budidaya ikan gurami sago yang berhubungan dengan aspek lingkungan adalah strain gurami sago dapat dipelihara pada lingkungan perairan dengan karakteristik salinitas air yang lebih tinggi daripada air tawar,

2 | Pendahuluan mempunyai toleransi terhadap pH air yang sangat ekstrim sehingga dapat dipelihara pada lingkungan perairan di lahan marginal air tawar dan payau. Keunggulan lain adalah spesies ini dapat tumbuh dan berkembangbiak pada rentang elevasi lahan yang bervariasi antara 1 hingga 463 m di atas permukaan laut. Berdasarkan aspek biologi, teknologi, ekonomis, sosial dan lingkungan, maka ikan gurami sago memiliki peluang untuk dikembangkan dimasa depan.

Pendahuluan | 3

4 | Pendahuluan

Chapter : : 1 SEKILAS TENTANG IKAN GURAMI SAGO

Sejarah dan distribusi ikan gurami

kan gurami, Osphronemus goramy, Lacepède [1801] adalah ikan komersial air tawar penting yang merupakan ikan asli Indonesia. Spesies ini telah I diperkenalkan dan menyebar ke wilayah Asia Tenggara dan wilayah Cina [Welcomme., 1985; Setijaningsih et, al 2007; Nugroho et al, 2007; Low and Lim, 2012] termasuk dalam subordo Anabantoidei, famili Osphronemidae. Di Indonesia, distribusi geografis ikan gurami mulai dari Jawa, Sumatera dan Kepulauan Kalimantan [Nuryanto et al., 2018]. Sitanggang dan Sarwonodaya [2007] membedakan ikan gurami yang terdapat di Propinsi Jawa Barat menjadi enam strain gurami berdasarkan produksi telur, kecepatan tumbuh dan ukuran atau bobot maksimal gurami dewasa. Keenam strain tersebut adalah soang, jepang, blue saphire, paris, bastar dan porselin.

Di pulau Sumatera pada beberapa provinsi ikan gurami dapat ditemukan dengan karateristik morfologi yang berbeda. Di sungai Batanghari Propinsi Jambi ditemukan strain ikan gurami yang kemudian diberi nama Gurami Batanghari. Gurami Batanghari memiliki warna hitam dan bentuk moncong yang lebih mengarah ke atas. Dalam taksonomi hewan, populasi geografis yang menunjukkan divergensi [penyebaran] morfologis disebut sebagai subpopulasi atau sub spesies [Mayr and Ashlock, 1991]. Namun, divergensi [penyebaran] morfologi antara gurami dari Jawa dan Sumatera masih belum jelas apakah berasal dari spesies yang berbeda atau pada tingkat subspesies atau galur. Penjelasan mengenai perbedaan genetik baik morfologis maupun molekuler di antara genus maupun strain Osphronemus akan dibahas pada bab-bab berikutnya. Namun akhir-akhir ini karena kecenderungan manusia akan hobi memelihara ikan hias, maka ikan gurami sudah dijadikan sebagai komoditi ikan hias [Ornamental fishes], sehingga permintaan pedagang ikan hias terhadap berbagai ukuran benih ikan gurami semakin meningkat. Ikan ini telah menjadi salah satu spesies utama yang dibudidayakan dan

Sekilas Tentang Ikan Gurami Sago | 5 sangat diminati dalam industri akuakultur [Amornsakun et al, 2014]. Industri ikan hias dianggap bernilai tinggi dan volume rendah [FAO, 2016]. Negara-negara yang secara tradisional mengkhususkan diri dalam pemuliaan dan perbanyakan ikan hias air tawar adalah Thailand, Indonesia, Singapura, Cina, Malaysia dan Jepang. Sejauh ini, dengan perkiraan produksi lebih dari 145.000 ton pada tahun 2017. Indonesia adalah produsen ikan gurami dan produksinya mewakili lebih dari 98 persen dari total produksi dunia [FAO, 2019]. Hanya lima negara lain yang melaporkan produksi ikan gurami [Thailand, Myanmar, Malaysia, Filipina dan Singapura] ke FAO; namun, negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam dan Republik Demokratik Rakyat Laos diketahui menghasilkan jumlah ikan gurami yang tidak dilaporkan.

Gambar 1.1 Distribusi ikan gurami di Asia Tenggara [Stephanie, 2016]

6 | Sekilas Tentang Ikan Gurami Sago Ikan gurami memiliki prospek yang bagus untuk pemeliharaan karena memiliki nilai ekonomi tinggi, spesies juga dapat berkembang biak secara alami dan hidup di perairan stagnan [Nugraho et al, 2020]. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Indonesia, ikan gurami adalah satu dari potensi komoditas akuakultur untuk dikembangkan. Terdapat peningkatan produksi ikan gurami dari 2013 hingga 2017 sebesar 55,98% per tahun. Pada tahun 2013 produksi ikan gurami adalah 94.604 ton dan meningkat pada 2017 menjadi 405.304 ton.

Berdasarkan pola distribusi ikan gurami dapat dinyatakan bahwa:

1. Ikan gurami tersebar di berbagai tipe habitat perairan umum daratan dengan kisaran curah hujan berfluktuasi sepanjang tahun

2. Kriteria suhu air permukaan yang relatif lebih hangat, berbagai Distribusi ikan gurami tidak dipengaruhi oleh kepadatan populasi manusia.

3. Distribusi ikan gurami tidak akan banyak berubah mengingat pemanasan iklim yang dapat diprediksi.

Metode pengambilan sampel ikan gurami dari setiap lokasi secara terpisah dikemas dalam kantong plastik berlabel menurut tanggal, waktu, waktu, dan lokasi. Setiap spesimen diberi label dengan nomor tertentu secara manual. Klasifikasi dan identifikasi taksonomi spesimen sampel diselesaikan menggunakan kunci standar Weber dan Beufor [1916] berdasarkan karakter morfometrik dan meristik. Spesimen diangkut dalam kotak dingin [10ºC] ke Laboratorium Biologi dan Ichthyologi Ikan, Departemen Akuakultur, Universitas Bung Hatta untuk pengukuran panjang spesimen, berat, dan karakteristik morfometrik. Panjang, berat badan dan karakteristik morfometrik hanya dikumpulkan untuk 10 spesimen individu dari masing-masing strains.

Beberapa jenis ikan gurami yang terindentifikasi dari berbagai wilayah seperti pada Gambar 1.2 .

Sekilas Tentang Ikan Gurami Sago | 7

Gambar 1.2. Sampel ikan gurami dari berbagai wilayah [A. O. trichopterus dari Sungei Buloh Wetland Reserve, Singapura; B. gurami soang dari Jawa Barat; C. gurami Batanghari dari Jambi; D. gurami Kampar dari Riau; E. O. septemfasciatus dari Kalimatan Barat; F. gurami sago dari Sumatera Barat]

Di Sumatera Barat khususnya di Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan salah satu daerah penghasil benih ikan gurami terbesar di Sumatera Barat. Sentra penghasil benih ikan gurami tersebut adalah di Nagari Mungo dan Nagari Andaleh, Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota. Ikan gurami yang terdapat di Kecamatan Luak terdiri atas ras merah, tambago, palapah, jepun dan krista [Azrita and Syandri, 2015].

Ikan gurami sago selain ikan konsumsi juga mempunyai nilai ekonomis dan daya saing yang cukup tinggi dan sangat diminati oleh pasar lokal, regional, nasional maupun pasar ekspor sebagai komoditi ikan hias. Ikan gurami sago pada awalnya tidak begitu banyak dibudidayakan masyarakat, karena kurang disukai oleh

8 | Sekilas Tentang Ikan Gurami Sago konsumen dan pertumbuhannya agak lambat jika dibandingkan dengan gurami strain tambago dan strain palapah.

Budidaya ikan gurami di Nagari Mungo dan Andaleh sudah dilakukan secara turun temurun selama puluhan tahun yang lalu, Nama lokal ikan ―gurami‖ adalah ʺkaluiʺ diambil dari nama seseorang yang pertama menemukan ikan Kalui di Batang Sinamar yaitu Datuak Marajo Malikan Nan Panjang [sehari-hari dipanggil dengan Datuk Kalui], Selanjutnya pada zaman penjajahan Jepang di Indonesia, terutama di daerah Mungo Kabupaten Lima Puluh Kota ikan ini diberi nama oleh orang Jepang yang bernama Furami, sehingga ikan kalui diberi nama ―gurami‖. Ikan gurami merah yang selanjutnya diberi nama ʺgurami sagoʺ merupakan salah satu ikan spesifik lokal perairan tawar yang hanya terdapat di Nagari Mungo dan Andaleh Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota. Namun sudah populer dalam masyarakat Minangkabau.

Sago adalah nama sejenis tanaman berbuah berwarna merah yang banyak tumbuh di suatu pergunungan yang wilayahnya mencakup Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat. Pergunungan tersebut oleh masyarakat pada waktu masa lampau diberi nama ʺGunung Sagoʺ. Air yang bersumber dari Gunung Sago tersebut sejak dahulu telah dimanfaatkan oleh masyarakat di Kecamatan Luak untuk mengairi areal persawahan dan kolam ikan, termasuk untuk membudidayakan ikan gurami sago.

Klasifikasi

Berdasarkan pendapat Kottelat et al [1993], ikan gurami dikelompokkan ke dalam Ordo Perciformes dan Famili Osphronemidae. Ikan ini mempunyai ciri-ciri seluruh tubuh dan kepala ditutupi sisik sikloid dan stenoid. Bentuk badan hampir pipih, di bagian depan dagu ikan gurami sago jantan terdapat benjolan. Ikan gurami sago termasuk dalam golongan ikan yang memiliki sirip mengkilat/bersinar []. Taksonomi ikan gurami sago menurut Kotellat et al, [1993] dalam www.fishwise.co.za adalah:

Sekilas Tentang Ikan Gurami Sago | 9 Domain : Eukaryota Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Super kelas : Gnathostomata Gade : Teleostomi Kelas : Actinopterygii Sub kelas : Neopterygii Divisi : Teleostei Sub divisi : Euteleostei Super ordo : Acanthopterygii Seri : Percomorpha Ordo : Perciformes Gurami sago [Sumber: Sub Ordo : Anabantoidae Dokumentasi Azrita, 2018] Famili : Osphronemidae Genus : Osphronemus Spesies : Osphronemus goramy Lacepede, 1801

Silsilah induk awal

Kegiatan domestikasi ikan gurami sago diawali dengan mengumpulkan ikan uji yang berasal dari hasil penangkaran petani ikan di Nagari Mungo dan Andaleh daerah Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2001. Ikan tersebut selanjutnya dipelihara dan diadaptasikan di kolam petani ikan di daerah Mungo Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota dan disebut induk G0 yang digunakan untuk produksi benih dan induk generasi pertama [G1]. Secara lengkap data jumlah dan ukuran ikan gurami sago hasil koleksi tertera pada Tabel 1.1.

10 | Sekilas Tentang Ikan Gurami Sago Tabel 1.1. Koleksi ikan gurami sago di kelompok pembudidaya ikan Ingin Maju Nagari Mungo Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota

Jumlah Ukuran Umur Waktu Asal Habitat [ekor] [cm] [hari] 2001 Nagari Sungai 2000 2-3 dan 3- 30-45 Mungo Sinamar 5 45-75 Kec,Luak dan kolam Kabupaten air tenang Lima di Nagari Puluh Kota Mungo 2005 Nagari kolam air 3000 5-8 dan 75-105 Mungo tenang di 8-10 125-140 Kec,Luak Nagari Kabupaten Mungo Lima Puluh Kota

Ikan gurami sago merupakan jenis ikan perairan umum dengan habitat utama di sungai Sinamar dan kolam air tenang [KAT]. Ikan gurami sago bahkan dapat hidup dalam kondisi kualitas air yang buruk sampai jernih karena memiliki alat pernapasan tambahan yang disebut labyrinth.

Gurami sago saat ini sudah dipelihara pada kolam ikan rakyat di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota. Wilayah secara geografis terletak antara 0 derajat 25'28,71''LU dan 0 derajat 22'14,52'' LS serta antara 100 derajat 15'44,10" - 100 derajat 50'47,80'' BT. Luas daratan mencapai 3.354,30 km2 yang berarti 7,94 persen dari daratan Provinsi Sumatera Barat yang luasnya 42.229,64 Km2. Kabupaten Lima Puluh Kota diapit oleh 4 Kabupaten dan 1 Provinsi yaitu : Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Sijunjung dan Kabupaten Pasaman serta Provinsi Riau. Kabupaten Lima Puluh Kota terdiri dari 13 kecamatan, yang terluas adalah Kecamatan Kapur IX sebesar 723,36 Km2 dan yang terkecil adalah Kecamatan Luak yaitu 61,68 Km2.

Sekilas Tentang Ikan Gurami Sago | 11 Topografi daerah Kabupaten Lima Puluh Kota bervariasi antara datar, bergelombang dan berbukit-bukit dengan ketinggian dari permukaan laut antara 110 meter dan 2,261 meter. Didaerah ini terdapat 3 buah gunung berapi yang tidak aktif yaitu Gunung Sago [2,261 m], Gunung Bungsu [1,253 m], Gunung Sanggul [1,495 m] serta 13 buah sungai besar dan kecil yang mengalir dan telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pengairan/irigasi. Karakteristik fisik wilayah dapat ditemukan melalui keadaan topografi, geologi, morfologi wilayah, jenis tanah, iklim, hidrologi, dan sebagainya. Wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki variasi topografi dimana lebih dari setengah wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki topografi yang bergunung [dengan kelerengan lebih dari 40%] yaitu sekitar 56,3% dari luas wilayah kabupaten. Sedangkan kelerengan yang dapat dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya yaitu dibawah 40% sekitar 46,7% dari luas wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota.

Lokasi budidaya ikan

Gambar 1.3. Lokasi budidaya ikan gurami sago di Nagari Mungo Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota [Sumber : Syandri et al , 2016]

12 | Sekilas Tentang Ikan Gurami Sago

Gambar 1.4. Kolam pembesaran ikan gurami di Kecamatan Suliki

Ditinjau dari segi geomorfologi regional daerah Kabupaten Lima Puluh Kota berada pada rangkaian perbukitan yang dikenal dengan ―Bukit Barisan‖ dan merupakan bagian dari tatanan ―Volcanis Arc‖ atau kerangka tektonik lempeng di daerah Sumatera. Struktur geologi regional sangat dipengaruhi oleh tatanan geologi Sumatera. Dari struktur geologi, daerah ini termasuk ke dalam daerah cekungan Payakumbuh, yang memiliki struktur sesar atau patahan berupa struktur sesar normal [sesar turun] dan sesar geser yang merupakan refleksi dari basement daerah berupa Block Faulting System [Sistem Sesar Bongkah]. Sesar yang berkembang di daerah Kabupaten Lima Puluh Kota adalah Sesar Normal Kelok Sembilan – Solok

Sekilas Tentang Ikan Gurami Sago | 13 Bio Bio, selain itu juga terdapat Sesar Normal lainnya yaitu Sesar Normal Batu Balang, Sesar Normal Bukik Bulek Banjar Laweh, Sesar Normal Koto Alam, Sesar Normal Bukik Bapanasan, Sesar Geser Taratak dan Sesar Geser Suliki.

Akibat pengaruh pembatas alamiah terutama topografi dan morfologi daerah yang berada di jalur perbukitan Bukik Barisan, yang memberikan pengaruh terhadap kemiringan lahan yang cukup tinggi, kondisi hidrologi dengan curah hujan dengan intensitas tinggi serta kualitas fisika kimia tanah, maka daerah Kabupaten Lima Puluh Kota sangat rentan terhadap gerakan tanah, Struktur geologi yang berupa patahan juga berakibat rentannya wilayah ini dari bahaya gerakan tanah.

Gambaran mengenai keadaan curah hujan di Kabupaten Lima Puluh Kota terlihat dari jumlah curah hujan setiap bulan dan jumlah hari hujan dalam setiap tahunnya. Menurut hasil pendataan dari Stasiun Klimatologi Sicincin menunjukkan perkembangan jumlah curah hujan yang menurun dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 dengan tingkat penurunan 1,09%. Pada tahun 2012, jumlah curah hujan setiap bulannya relatif bervariasi antara 63 - 360 mm dengan jumlah hari hujan berkisar antara 5 - 22 hari per bulan. Kondisi tersebut telah mengakibatkan berkurangnya sumber air untuk kolam - kolam pembenihan ikan Gurami, terutama di Kenagarian Mungo Kecamatan Luak.

Domestikasi Domestikasi sesungguhnya adalah suatu alat untuk memperkenalkan plasma nutfah yang hidup liar dan kurang terlindungi ke dalam jajaran ikan budidaya yang dapat diterima masyarakat sesuai fitur yang diharapkan [Sarkar et al, 2008; Krejszeff et al, 2009; Syandri et al, 2015]. Domestikasi ikan adalah strategi kunci untuk diversifikasi spesies yang dibudidayakan untuk memenuhi pilihan dan permintaan konsumen serta konservasi spesies untuk penyediaan manfaat dan ketersediaan nutrisi yang berkelanjutan [Aruho et al, 2018]. Upaya itu dapat dilakukan melalui pengembangan habitat buatan, data dasar tentang biologi reproduksi dan ekologi di alam sehingga diharapkan akan tercipta ruang optimal untuk proses siklus kehidupan yang lengkap dan mengamankan larva dari hasil pemijahan untuk memastikan kelangsungan hidup lebih baik [Syandri, 2001; Keys and Crocos, 2006; Azrita et al, 2015].

14 | Sekilas Tentang Ikan Gurami Sago Ikan yang didomestikasi adalah ikan yang telah dipelihara di tempat penetasan selama satu generasi atau lebih atau ikan asli / liar [ikan yang diperoleh di alam baik dari indukan alam atau yang ditebar secara buatan sebagai ikan induk [Yamashita et al, 2020]. Domestikasi dapat dimulai dari pemeliharaan larva, pemeliharaan benih, dan pemeliharaan induk sampai matang gonad dan dapat memijah seperti yang telah dilakukan terhadap ikan gabus, Chana striata [Muflikhah, 2007], dapat pula dimulai dari pemeliharaan calon induk, pematangan gonad, pemijahan, penetasan telur, pemeliharaan benih yang telah dilakukan terhadap ikan ide, Leuciscus idus [Krejszeff et al,, 2009], ikan bujuk, Channa lucius [Azrita et al,, 2014], ikan asang, vittatus [Syandri et al, 2015] dan Barbus altianalis [Aruho et al, 2018].

Menurut Balon [2004] alasan dilakukannya domestikasi pada suatu spesies ikan adalah [a] spesies ikan tersebut memiliki nilai ekonomi dan dipelihara untuk tujuan tertentu [b] pembiakannya dapat dilakukan secara terkontrol oleh manusia, [c] perilakunya berbeda dari yang spesies yang ada di alam, [d] morfologi dan fisiologinya menunjukkan variasi yang tidak pernah terlihat di alam dan [e] beberapa individu setidaknya tidak akan bertahan hidup tanpa peran manusia.

Indikator keberhasilan domestikasi ikan dapat diukur dari [1] ikan dapat beradaptasi dengan lingkungan terkontrol [2] dapat tumbuh dan sintasan tinggi, [3] dapat dipelihara dengan kepadatan yang tinggi [4] dapat memakan makanan tambahan, seperti pelet [5] gonad dapat berkembang dan benih dapat diproduksi [6] tahan terhadap penyakit [Krejszeff et al, 2009; Syandri, 2010].

Berdasarkan tingkat kesempurnaannya, ada empat tingkatan domestikasi yaitu : [1] Domestikasi sempurna yaitu apabila seluruh siklus hidup ikan sudah dapat dipelihara di dalam sistem budidaya, [2] Domestikasi hampir sempurna apabila seluruh siklus hidupnya sudah dapat dipelihara di dalam sistem budidaya tetapi keberhasilannya masih rendah, [3] Domestikasi belum sempurna apabila baru sebagian siklus hidupnya yang dapat dipelihara di dalam sistem budidaya dan [4] Belum terdomestikasi apabila seluruh siklus hidupnya belum dapat dipelihara di dalam sistem budidaya [Krejszeff et al, 2009].

Domestikasi adalah proses di mana manusia memilih beberapa fenotipe spesies hewan liar [misal ciri-ciri morfologis atau pertumbuhan], tetapi karena semua sifat

Sekilas Tentang Ikan Gurami Sago | 15 terkait, pemilihan spesies tertentu memiliki konsekuensi pada spesies lain, Domestikasi memberikan kondisi lingkungan baru untuk spesies ikan dimana mereka harus beradaptasi dengan lingkungan yang terbatas [Pasquet, 2018].

Kegiatan domestikasi ikan gurami sago dimulai sejak tahun 2001 sampai 2016, yaitu mengkoleksi ikan gurami sago dari alam [G0] sampai menjadi induk G2 pada tahun 2015, Secara lengkap roadmap pelaksanaan kegiatan domestikasi ikan gurami sago disajikan pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2 Roadmap kegiatan domestikasi ikan gurami sago

Komod itas 2001 2002- 2005 2006-2010 2011-2016 ikan Guram koleksi Pembesaran  Pemijahan induk  Pemijahan induk [G2] i ikan benih yang [G1] sago dari berasal dari  Produksi benih [G2]  Produksi benih alam alam dan  Uji toleransi [G1] [sungai produksi lingkungan benih Sinamar calon induk  Pembesaran [G2] ] dan di kolam air benih [G1] kolam tenang di  Uji pertumbuhan air Nagari  Produksi dengan feeding rate tenang Mungo Kec, galin/induk [G1] berbeda di dalam keramba jaring apung [GO] Luak Kab, Lima Puluh di Danau Maninjau Kota [G1] [G2]  Uji pertumbuhan dengan padat tebar berbeda di dalam bak beton di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Univ, Bung Hatta Padang [G2]  Persiapan rilis domestikasi

16 | Sekilas Tentang Ikan Gurami Sago Kesimpulan

Ikan gurami sago selain ikan konsumsi juga mempunyai nilai ekonomis dan daya saing yang cukup tinggi dan sangat diminati oleh pasar lokal, regional, nasional maupun pasar ekspor sebagai komoditi ikan hias [Ornamental fishes]. Ikan gurami sago sudah dijadikan sebagai komoditi ikan hias, sehingga permintaan pedagang terhadap berbagai ukuran benih ikan gurami sago semakin meningkat. Ikan ini telah menjadi salah satu spesies utama yang dibudidayakan dan sangat diminati dalam industri akuakultur, tetapi mempunyai permasalahan utama yaitu pertumbuhan yang agak lambat jika dibandingkan dengan ikan budidaya lainnya seperti nila, lele dan mas.

Sekilas Tentang Ikan Gurami Sago | 17 Daftar pustaka

Aruhoa, C; J.K. Walakiraa and J. Rutaisireb. 2018. An overview of domestication potential of Barbus altianalis [Boulenger, 1900] in Uganda. Aquaculture Reports 11 : 31–37.

Azrita; Y. Basri and H. Syandri. 2014. EA preliminary study on domestication of bluespotted snakehead [Channa lucius, Channidae] in concrete tank. Aquaculture Research & Development, 6[1]: 1-5.

Azrita and Syandri, H. 2015. Morphological character among five strains of giant gourami, Oshpronemus goramy Lacepede, 1801 [Actinopterygii: Perciformes: Osphronemidae] using a truss morphometric system. International Journal of Fisheries and Aquatic Studies, 2[6] : 344-356.

Azrita, Syandri, H dan Y. Basri. 2018. Laporan Hasil Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi Kemenristek Dikti. 87 hal.

Amornsakun, T; S. Kullai and A. Hassan. 2014. Feeding behavior of giant gourami, Osphronemus gouramy [Lacepede] larvae. Songklanakarin Journal of Science and Technololy, 36 [3]: 261-264.

Balon, E.K. 2004. About the oldest domesticates among fishes. Journal of Fish Biology, 65 [Supplement A]: 1–27.

FAO Fisheries and aquaculture technical paper. 2020. Data collection systems and methodologies for the inland fisheries of Europe.

Keys, S.J and Crocos,P.J. 2006. Domestication, growth and reproductive performance of wild, pond and tank-reared brown tiger shrimp Penaeus esculentus. Aquaculture, 257: 232–240.

Krejszeff; K. Targońska; D. Żarski and D. Kucharczyk. 2009. Domestication affects spawning of the ide [Leuciscus idus] preliminary study. Aquaculture, 295:145–147.

Low, B.W and Lim, K.K.P. 2012. Gouramies of the genus trichopodus in Singapore [Actinopterygii: Perciformes: Osphronemidae]. Nature in Singapore, 5: 83– 93.

18 | Sekilas Tentang Ikan Gurami Sago Nugraha, A.A; Yustiati, A; Bangkit, I and Andriani, Y. 2020. Growth performance and survival rate of giant gourami fingerlings [Osphronemus goramy Lacepede, 1801] with potassium diformate addition. World Scientific News 143 : 103-114.

Nugroho, E dan I. I. Kusmini. 2007. Evaluasi variasi genetik tiga ras ikan Gurame [Osphoronemus gouramy] dengan menggunakan isozyme. Jurnal Riset Akuakultur 2 [1] : 51-57.

Nuryanto, A; Amalia, G; Khairani, D; Pramono, H and Bhagawati, D. 2018. Molecular characterization of four giant gourami strains from Java and Sumatra. Biodiversitas, 19[2] : 578-584.

Mayr, E and Ashlock P.D. 1991. Principles of systematic zoology. Second Edition, McGraw-Hill, Inc. New York.

Pasquet , A. 2018. Effects of domestication on fish behaviour. Domestication Chapter, 5 : 91-108.

Sarkar, U.K; R.S. Negi; P.K. Deepak; W.S. Lakra; S.K. Paul. 2008. Biological parameters of the endangered fish Chitala chitala [Osteoglossiformes: Notopteridae] from some Indian rivers. Fisheries Research, 90 : 170–177.

Setijaningsih, L; Arifin, O.Z and Gustiano, R. 2007. Karakterisasi tiga strain ikan gurame [Osphronemus gouramy] berdasarkan metode truss morfometrik. Jurnal Iktiologi Indonesia, 7[1]: 23-30.

Sitanggang, M dan Sarwono. 2007. Budi daya gurami, Jakarta : Penebar Swadaya.

Stephani. 2016. Exploring giant gourami distribution in South East Asia, http://blogs,oregonstate,edusite.

Syandri, H. 2001. Penggunaan spirulina sp, artemia salina dan tubifek dalam pemeliharaan benih ikan bilih [Mytacoleucus padangensis Blkr]. Journal Garing, 1 [9] : 30-40.

Syandri, H. 2010. Domestikasi ikan. Bung Hatta University Press. 130 halaman.

Syandri, H; Azrita; Niagara and Junaidi. 2015. Preliminary study on the feeding schedule of laboratory reared of bonylip barb larva, Osteochilus vittatus . Journal of Aquaculture & Research Development, 6[10] : 1-5.

Sekilas Tentang Ikan Gurami Sago | 19 Syandri, H; Azrita and Junaidi. 2016. Fecundity of Bonylip barb [Osteochilus vittatus, Cyprinidae] in Different waters habitats. International Journal of Fisheries and Aquatic Studies, 2[4] : 157-163.

Yamashita, Y; Y. Iwasaki; T. Matsubaraa; K. Suzuki; Y. Kanzawa; T. Okuda; K. Nishina; C.A. Strüssmann. 2020. Comparison of survival rates between domesticated and semi-native char using Bayesian multi-variate state-space model. Fisheries Research, 221[105380] : 1-8.

Muflikhah, N. 2007. Domestikasi ikan gabus [Channa striata]. Bawal, 1 [5] : 169-175.

Welcomme, R.L. 1988. Rivers fisheries FAO Fish Tech Paper, 262. Rome. 376 p.

20 | Sekilas Tentang Ikan Gurami Sago

Chapter : 2 KERAGAMAN GENETIK IKAN GURAMI BERDASARKAN MORFOMETRIK DAN MERISTIK

Truss morfometrik strain ikan gurami

dentifikasi populasi ikan saat ini telah menjadi suatu bagian yang penting dalam upaya manajemen sumber daya perikanan perairan air tawar [Beacham, I Withler and Gould, 1985a; Beacham, T.D, R,E, Withler and A,P, Gould, 1985b; Lakra et al, 2010], dalam hal ini identifikasi populasi telah digunakan untuk berbagai tujuan antara lain memastikan struktur populasi [Sunarno, et al., 2007; Nicolas et al, 2009; Raghavana, Ali, Dahanukard and Rossera, 2011]. Karakteristik populasi ikan dapat dilakukan melalui pengukuran morfologi [meristik dan morfometrik] sebagai bentuk interaksinya dengan lingkungan [Arifin et al,, 2015; Turan et al, 2005; Wibowo et al., 2008; Ballagh et al, 2012].

Kondisi yang demikian berkemungkinan akan berimplikasi pada keragaman populasi suatu jenis ikan sebagai hasil dari tekanan silang dalam [inbreding depression ], efek leher botol [bottleneck effect ], keterbatasan aliran gen [gene flow dan genetic drift] dan pengaruh lingkungan. Faktor lingkungan dapat mempengaruhi genetik dan struktur morfologi ikan Liza abu pada tiga habitat yaitu di Sungai Orontes, Sungai Euphates dan Sungai Tigris [Turan et al, 2004]. Selanjutnya pada ikan Putak [Notopterus notopterus] yang hidup di Sungai Ogan, Kelekar, Bangka, Kota Bangun dan Tanah Ulu merupakan populasi yang terpisah akibat isolasi geografis [Wibowo dkk, 2009]. Karakter pembeda utama antar kelompok populasi tersebut adalah panjang moncong, tinggi rahang atas dan panjang adipose. Ketiga karakter morfometrik terdapat pada bagian kepala, hal ini diduga berhubungan dengan kebiasaan makanan. Selanjutnya pada ikan Belida [Chitala lopis ] yang hidup di perairan Sungai Kampar Riau, Sungai Tulang Bawang Lampung dan Sungai Kapus Kalimantan Barat terdapat perbedaan morfometrik dari spesies tersebut dan pembeda utamanya adalah tinggi pungguk dan lebar mulut [Sunarno et al, 2007].

Keragaman Genetik Ikan Gurami Berdasarkan.... | 21 Pembenihan ikan gurami yang dilakukan secara tradisional tingkat kematiannya masih cukup tinggi sekitar 50% [Khumaidi dan Hidayat., 2018]. Hal tersebut dapat saja disebabkan oleh hilang keragaman genetik populasi ikan di tingkat pembenihan [Ralls and Balaou, 1983], faktor lingkungan [Muiswinkel et al, 1999] dan ekoregion [Schonhuth et al, 2001]. Menurut Vrijenhoek [1998] kehilangan genetik dapat disebabkan oleh seks rasio dalam pemijahan, penampilan induk, poliandry, kawin silang dalam [inbreeding] dan pemijahan yang sering dilakukan pada setiap individu. Oleh karena itu diperlukan suatu teknik pembenihan yang efektif untuk mengatasi masalah tersebut. Selanjutnya Vrijenhoek [1998] menyatakan bahwa salah satu usaha untuk perbaikan pertumbuhan dan ketahanan terhadap lingkungan dan penyakit adalah dengan melakukan konservasi genetik.

Konservasi genetik tidak hanya menampilkan tingkat heterozigositas, namun juga terkait keragaman individu, ketahanan terhadap penyakit, perubahan lingkungan [Nivet et al, 2006]. Konservasi genetik sebaiknya dilakukan secara insitu dengan tujuan mengidentifikasi dan menggambarkan penampilan anakan dan indukan yang berbeda strain dan meningkatkan keragaman genetik populasi antar strain [Aliah et al, 2006], sehingga program perbaikan genetik tidak hanya berhubungan dengan efisiensi dari metode seleksi tetapi juga terkait dengan variabilitas genetik populasi. Penghitungan karakter morfometrik menggunakan analisis komponen utama bertujuan untuk memperoleh korelasi antar karakter serta pengelompokan individu berdasarkan karakter morfometrik [Syandri et al., 2014]. Hasil analisis karakterik morfologi ikan gurami pada 5 [lima] strain yang didapatkan di Nagari Andaleh, Nagari Mungo Kecamatan Luak, Nagari Balai Panjang dan Nagari Bukik Sikumpa Kecamatan Lareh Sago Halaban yaitu ras tambago, palapah, jepun,krista dan sago seperti Tabel 2.1.

Dari hasil survei lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota khususnya di khususnya di Kecamatan Luak, Kecamatan Lareh Sago Halaban dan Kecamatan Suliki didapatkan jenis-jenis strain ikan gurami yaitu strain tambago, strain palapah, strain sago, strain jepun dan strain krista seperti dicantumkan pada Gambar 2.1 di bawah ini.

22 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Berdasarkan....

Gambar 2.1 Strain ikan Gurami yang dibudidayakan petani ikan di Kabupaten Lima Puluh Kota

Keterangan Gambar : 1. strain tambago; 2. strain palapah; 3. strain sago; 4. strain jepun; 5. strain krista]

Keragaman Genetik Ikan Gurami Berdasarkan.... | 23

Gambar 2.2 Pengukuran morfologi ikan gurami dengan menggunakan metode truss morfometric berdasarkan metode Blezinsky dan Doyle [1988].

Tabel 2.1 Deskripsi 16 karakter truss morfometrik ikan gurami yang diukur

Bagian Kode Deskripsi tubuh A1 Ujung mulut - dahi A2 Dahi - pangkal sirip punggung A3 Pangkal sirip punggung - pangkal sirip perut Kepala A4 Ujung mulut - pangkal sirip perut A5 Dahi - pangkal sirip perut A6 Ujung mulut - pangkal sirip punggung B1 Pangkal sirip punggung - ujung sirip punggung B2 Ujung sirip punggung - ujung sirip anal Badan B3 Pangkal sirip perut - ujung sirip anal B4 Pangkal sirip punggung - ujung sirip anal B5 Pangkal sirip perut - ujung sirip punggung C1 Ujung sirip punggung - pangkal atas sirip ekor C2 Pangkal atas sirip ekor - pangkal bawah sirip ekor Batang C3 Ujung sirip anal - pangkal bawah sirip ekor Ekor C4 Ujung sirip punggung - pangkal bawah sirip ekor C5 ujung sirip anal - pangkal atas sirip ekor

24 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Berdasarkan....

Keragaman Genetik Ikan Gurami Berdasarkan.... | 25 Selanjutnya dari uji One Way Anova [Tabel 2.1] persentase perbedaan karakter morfometrik antar strains dicantumkan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 persentase perbedaan karakter morfometrik antar strain ikan gurami

Karakter morfometrik Jumlah karakter Angka persentase antar ras yang berbeda perbedaan [%] Tambago VS Palapah 1 6,25 Tambago VS Jepun 11 68,75 Tambago VS Krista 5 31,25 Tambago VS Merah 10 62,50 Palapah VS Jepun 10 62,50 Palapah VS Krista 5 31,25 Palapah VS Merah 9 56,25 Jepun VS Krista 10 62,50 Jepun VS Merah 10 62,50 Krista VS Merah 6 37,50

Dari Tabel 2.3 dapat dijelaskan bahwa perbedaan karakter morfometrik yang terkecil adalah antara strain tambago dengan strain palapah yaitu sebesar 6,25%. Kenyataan di lapangan petani dalam melakukan pembenihan ikan gurami tidak membedakan strain palapah dengan tambago sehingga menghasilkan keturunan yang memiliki karakter hampir sama. Sedangkan perbedaan karakter morfometrik yang paling besar adalah antara strain tambago dengan strain jepun yaitu 68,75%, demikian juga antara strain palapah dengan strain jepun yaitu 62,50%.

Secara morfologi berdasarkan pengamatan sampel kedua strain tersebut dapat dinyatakan berbeda yaitu strain tambago ukuran lebih besar, berwarna sao kekuningan, sedangkan ras jepun ukuran lebih kecil dan berwarna hitam. strain jepun ini tidak dipergunakan oleh petani ikan di Kabupaten Lima Puluh Kota dengan alasan pertumbuhannya lambat. Strain tambago dengan strain krista dan strain palapah dengan ras krista angka persentase perbedaannya sebasar 31,25%. Selanjutnya dari hasil analisis PCA dengan menggunakan program SPSS versi 17, didapatkan nilai pembeda dari masing-masing karakter yang diuji dicantumkan pada Tabel 2.3.

26 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Berdasarkan....

Tabel 2.4 Karakter dominan pembeda sifat strain ikan gurami

Nilai pembeda Faktor pembeda utama secara berurutan Kode di urut dari nilai tertinggi Pangkal sirip punggung - ujung sirip anal B4 0,963 Pangkal sirip punggung - pangkal sirip perut A3 0,932 Ujung mulut - pangkal sirip punggung A6 0,916 Pangkal sirip punggung - ujung sirip punggung B1 0,907 Pangkal sirip perut - ujung sirip punggung B5 0,903 Pangkal atas sirip ekor - pangkal bawah sirip ekor C2 0,903 Ujung sirip punggung - pangkal bawah sirip ekor C4 0,892 Ujung sirip anal - pangkal atas sirip ekor C5 0,889 Ujung mulut - pangkal sirip perut A4 0,879 Ujung sirip punggung-pangkal atas sirip ekor C1 0,971 Dahi - pangkal sirip perut A5 0,839 Ujung mulut - dahi A1 0,838 Dahi - pangkal sirip punggung A2 0,837 Pangkal sirip perut - ujung sirip anal B3 0,806 Ujung sirip anal - pangkal bawah sirip ekor C3 0,783 Ujung sirip punggung - ujung sirip anal B2 0,636

Dari 16 karater morfologi yang diukur, maka faktor pembeda utama dari strain ikan gurami adalah pangkal sirip punggung - ujung sirip anal serta pangkal sirip punggung - pangkal sirip perut. Berdasarkan analisis diskriminan mengisolasi tipe spesimen ikan gurami secara alami menjadi tiga kelompok yang berbeda [Gambar 2.2]. Pertama kelompok ikan gurami strain palapah, tambago dan jepun, kedua kelompok strain gurami sago dan ketiga kelompok strain gurami krista. Dendrogram yang dibentuk berdasarkan jarak genetik tersebut menunjukkan bahwa antara populasi ikan gurami strain krista dan strain sago mempunyai kekerabatan lebih dekat, demikian pula strain palapah lebih dekat dengan strain tambago, sedangkan strain jepun memiliki jarak genetik yang sangat jauh dengan empat ras. kedekatan jarak genetik antara populasi ikan gurami strain palapah dengan strain tambago mengindikasikan bahwa ikan gurami dari perairan tersebut masih berasal dari satu populasi. Hal ini diduga karena sudah terjadi perkawinan sekerabat antara beberapa strain ikan gurami di tingkat pembudidaya di Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota.

Keragaman Genetik Ikan Gurami Berdasarkan.... | 27 Canonical Discriminant Functions

4 Strain Tambago Palapah Jepun Krista 2 Merah Merah Group Centroid

Palapah Jepun

0

Tambago 2 Function Krista -2

-4

-4 -2 0 2 4 6 Function 1

Gambar 2.2 Hasil analisis diskriminan yang mengelompokkan strain ikan gurami dalam 3 kelompok

Gambar 2.3 Dendogram morfologi berdasarkan cluster analisis

Truss morfometrik ikan gurami sago

Pengujian morfometrik dilakukan pada ikan yang telah mengalami dewasa [umur 300 hari]. Jumlah ikan yang diukur masing-masing jenis kelamin adalah 30 ekor. Ikan gurami sago yang dijadikan sampel adalah ukuran panjang total berkisar

28 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Berdasarkan....

antara 16,4-20,4 cm, dan bobot tubuh berkisar antara 71,2-145 g. Hasil pengamatan karakter morfometrik disajikan pada Tabel 2.4 dan perbandingan antara karakter dipresentasikan pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Deskripsi ukuran tubuh ikan gurami sago umur 300 hari asal lokasi dari Nagari Mungo Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota [Sumatera Barat]

No Karakter Ikan betina Ikan jantan 1 Panjang Total [PT] [cm] 18,21±1,18 23,10±0,72 2 Panjang Standar [PS] [cm] 14,77±1,05 18,57±0,61 3 Bobot Badan [g] 101,94±24,16 105,75±35,10 4 Panjang Badan [PB] [cm] 10,69±0,00 13,10±0,49 5 Tinggi Badan [TB] [cm] 6,52±0,43 8,26±0,30 6 Tinggi Kepala [TK] [cm] 4,48±0,30 5,67±0,26 7 Panjang Kepala [PK] [cm] 4,12±0,26 5,47±0,21 8 Lebar Kepala [LK] [cm] 2,057±0,13 2,68±0,15

Tabel 2.6 Persentase perbandingan ukuran ikan gurami sago asal lokasi dari Nagari Mungo Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota [Sumatera Barat].

Bagian Kode Karakter Rerata±SD tubuh A1 Ujung mulut - dahi 0,1351±0,0001 A2 Dahi - pangkal sirip punggung 0,3764±0,0002 A3 Pangkal sirip punggung - pangkal sirip perut 0,4542±0,0002 Kepala A4 Ujung mulut - pangkal sirip perut 0,4332±0,0001 A5 Dahi - pangkal sirip perut 0,3899±0,0001 A6 Ujung mulut - pangkal sirip punggung 0,5404±0,0002 B1 Pangkal sirip punggung - ujung sirip punggung 0,3714±0,0001 B2 Ujung sirip punggung - ujung sirip anal 0,1676±0,0001 Badan B3 Pangkal sirip perut - ujung sirip anal 0,6302±0,0002 B4 Pangkal sirip punggung - ujung sirip anal 0,5200±0,0001 B5 Pangkal sirip perut - ujung sirip punggung 0,6197±0,0002 C1 Ujung sirip punggung - pangkal atas sirip ekor 0,0859±0,0001 C2 Pangkal atas sirip ekor - pangkal bawah sirip ekor 0,1188±0,0001 Batang Ekor C3 Ujung sirip anal - pangkal bawah sirip ekor 0,0129±0,0001 C4 Ujung sirip punggung - pangkal bawah sirip ekor 0,1626±0,0001 C5 ujung sirip anal - pangkal atas sirip ekor 0,1298±0,0001

Keragaman Genetik Ikan Gurami Berdasarkan.... | 29 Karakter morfometrik ikan gurami sago yang diukur dipresentasikan pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Karakter morfometrik ikan gurami sago

[Sumber : Azrita dan Syandri, 2016].

30 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Berdasarkan....

Dari hasil analisis PCA dengan menggunakan progam SPSS versi 17 didapatkan nilai pembeda karakter morfometrik ikan gurami sago seperti dicantumkan pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7 Karakter dominan pembeda sifat gurami sago

Nilai pembeda Faktor pembeda utama secara berurutan Kode di urut dari nilai tertinggi Pangkal sirip punggung - ujung sirip anal B4 0,963 Pangkal sirip punggung - pangkal sirip perut A3 0,932 Ujung mulut - pangkal sirip punggung A6 0,916 Pangkal sirip punggung - ujung sirip punggung B1 0,907 Pangkal sirip perut - ujung sirip punggung B5 0,903 Pangkal atas sirip ekor - pangkal bawah sirip ekor C2 0,903 Ujung sirip punggung - pangkal bawah sirip ekor C4 0,892 Ujung sirip anal - pangkal atas sirip ekor C5 0,889 Ujung mulut - pangkal sirip perut A4 0,879 Ujung sirip punggung-pangkal atas sirip ekor C1 0,971 Dahi - pangkal sirip perut A5 0,839 Ujung mulut - dahi A1 0,838 Dahi - pangkal sirip punggung A2 0,837 Pangkal sirip perut - ujung sirip anal B3 0,806 Ujung sirip anal - pangkal bawah sirip ekor C3 0,783 Ujung sirip punggung - ujung sirip anal B2 0,636

Keragaman genetik dan morfometrik yang tinggi akan memengaruhi kemampuan spesies untuk merespons perubahan lingkungan baik alami maupun buatan [Azrita et al, 2011; Aryani et al, 2013]. Genetik dan variasi morfometrik mungkin disebabkan oleh faktor lingkungan [Tzeng, 2004], penurunan stok secara keseluruhan, ukuran ikan rata-rata dan perubahan rasio jenis kelamin [Ruzafa et al, 2006].

Meristik ikan gurami sago

Pengujian meristik dilakukan pada ikan gurami sago yang telah dewasa umur 2,5 tahun. Jumlah ikan yang diukur sebanyak 30 ekor. Hasil pengamatan karakter meristik disajikan dalam Tabel 2.8 dan Gambar 2.5.

Tabel 2.8 Deskripsi meristik ikan gurami sago dari Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota

Keragaman Genetik Ikan Gurami Berdasarkan.... | 31 No Karakter Deskripsi 1 Sirip Punggung [dorsal fin] D,XI,10 2 Sirip dada [Pectoral fin] P,2,5-10 3 Sirip perut [Ventral fin] V,I,5 4 Sirip dubur [Anal fin] A,IX,19-20 5 Jari-jari sirip perut bermodifikasi menjadi bulu 1 pasang cambuk 6 Jumlah sisik linea lateralis 32-35 7 Bentuk badan pipih 8 Tulang tapis insang 4

Gambar 2.5 Meristik ikan gurami sago

Warna ikan gurami sago

Pengujian warna dilakukan pada ikan gurami sago umur 140 hari dengan ukuran 10 cm [± 4 inci] dan umur 180 hari dengan ukuran 8 inci [±20 cm] Jumlah ikan yang diuji masing-masing ukuran sebanyak 10 ekor. Penentuan warna ditetapkan dengan pengujian Toca Colour Finder. Hasil pengamatan karakter warna adalah bagian kepala berwarna merah kekuningan, badan atas berwarna merah tua dan

32 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Berdasarkan....

pekat, badan bagian bawah berwarna merah muda cenderung ke arah biru/silver dan sirip berwarna merah kekuningan [Gambar 2.6].

Gambar 2.6 Pola warna ikan gurami sago berdasarkan ukuran

Keragaman Genetik Ikan Gurami Berdasarkan.... | 33

34 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Berdasarkan....

4 Kesimpulan

Keragaman genetik dan morfometrik yang tinggi akan mempengaruhi kemampuan spesies untuk merespons perubahan lingkungan baik alami maupun buatan. Variasi genetik dan morfometrik dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, penurunan stok secara keseluruhan, ukuran ikan dan perubahan rasio jenis kelamin. Pembeda karakter morfometrik ikan gurami sago adalah pangkal sirip punggung - ujung sirip anal, pangkal sirip punggung - pangkal sirip perut dan ujung mulut - pangkal sirip punggung. Secara meristik ikan gurami sago memiliki sirip punggung [dorsal fin], sirip dada [pectoral fin] sirip perut [ventral fin] sirip dubur [anal fin] jari-jari sirip perut bermodifikasi menjadi bulu cambuk sebanyak satu pasang jumlah sisik linea lateralis bentuk badan pipih tulang tapis insang. Hasil pengamatan karakter warna ikan gurami sago pada bagian kepala berwarna merah kekuningan, badan atas berwarna merah tua dan pekat, badan bagian bawah berwarna merah muda cenderung ke arah biru/silver dan sirip berwarna merah kekuningan.

Keragaman Genetik Ikan Gurami Berdasarkan.... | 35 Daftar pustaka

Aliah, R.S, Wahidah, Sumantadinata, K, Nugroho. E, Carman, O. 2006. Genetic Characterization of domesticated F1 generation in Humpback Grouper [Cromileptes altivelis]. Jurnal Akuakultur Indonesia, 5 [1] : 87-95.

Arifin. O.Z, Jojo.S, Wartono, H. 2015. Karakterisasi biometrik tiga populasi ikan semah Tor douronensis [Valenciennes, 1842] dalam mendukung konservasi sumber daya genetic. Jurnal Ikhtiologi Indonesia, 15[2]: 143-154.

Aryani, N; Nuraini dan Suharman, N. 2013. Morphological characterization of baung fish [Hemibagrus nemurus] aquatic habitat on the different method based truss morfometrics. Journal of Fisheries and Aquaculture. 3[4], 139-142.

Azrita; Syandri, H; Nugroho, E; Dahelmi dan Syaifullah. 2011. Variasi genetik ikan bujuk [Channa lucius CV] berdasarkan RAPD dari Sumatera Barat, Jambi dan Riau. Berita Biologi, 10 [5] : 675 – 680.

Azrita; Syandri, H; Dahelmi; Syaifullah dan Nugroho, E. 2013. Karakterisasi Morfologi Ikan Bujuk [Channa lucius] pada Perairan Danau Singkarak Sumatera Barat, Rawa Banjiran Tanjung Jabung Timur Jambi dan Rawa Banjiran Kampar Riau. Jurnal Natur Indonesia 15[1]: 1-8.

Azrita and Syandri, H. 2015. Morphological character among five strains of Giant Gourami, Oshpronemus goramy Lacepede, 1801 [Actinopterygii: Perciformes: Osphronemidae] using a truss morphometric system. International Journal of Fisheries and Aquatic Studies, 2[6] : 344-356.

Azrita dan Syandri, H. 2015. Laporan Penelitian Fundamental Kemenristek Dikti Tahun 2. 51 hal.

Ballagh , A.C; Welch, D.J, Newman, S.J; Allsop, Q and Stapley, J.M. 2012. Stock structure of the blue threadfin [Eleutheronema tetradactylum] across northen Australia derived from life-history characteristics. Fish. Res, 121: 63- 72.

36 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Berdasarkan....

4 Beacham, T.D; R. E. Withler and A, P. Gould. 1985a. Biochemical genetic stock identification of Pink Salmon [Oncohynchus gorbuscha] in southern Bristish Columbia and Puget Sound. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 42 [1] : 474 – 483.

Beacham, T.D; R.E. Withler and A. P, Gould. 1985b. Biochemical genetic stock identification of Chum salmon [Oncohynchus keta] in southern Bristish Columbia and Puget Sound. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 42 [1] : 437- 448.

BPS Kabupaten Agam. 2010. Kecamatan Tanjung Raya Dalam Angka 2010.

Khumaidi, Ach dan Hidayat, A. 2018. Identification of causes of mass death of gurami fish [Osphronemus gouramy] in gurami fish cultivation sentra, Desa Beji, Kedung Banteng District, Banyumas District, Central Java. Journal of Aquaculture Science, 3 [2]: 145-153.

Lakra, W.S; M, Goswami; A, Gopalakrishnan; D.P, Singh; A, Singh and N.S, Nagpure. 2010. Genetic relatedness among fish species of Genus Channa using mitochondrial DNA genes. Biochemical Systematics and Ecology 38 : 1212- 1219.

Muiswinkel, W. B. V; G. F, Wiegertjes and R.J.M, Stet. 1999. The influence of environmental and genetic factors on the disease resistance of fish. Aquaculture 172 : 103-110.

Nivet, M. D; M.Vandeputte; P. Haffray; B. Chevassus. 2006. Effect of different mating designs on inbreeding, genetic variance and response to selection when applying individual selection in fish breeding programs. Aquaculture 252 : 161– 170.

Raghavana, R; A, Ali; N, Dahanukard and A, Rossera. 2011. Is the Deccan Mahseer, Tor khudree [Sykes, 1839] [Pisces: Cyprinidae] fishery in the Western Ghats Hotspot sustainable. A participatory approach to stock assessment. Fisheries Research, 110 : 29-38

Ruzafa A.P; Wangüemert M.G; Lenfant P; Marcos, C and Charton J.A.G. 2006. Effects of fishing protection on the genetic structure of fish populations. Biological Conservation, 129, 244-255.

Keragaman Genetik Ikan Gurami Berdasarkan.... | 37 Setijaningsih ,L; Arifin, O.T dan Gustiano, R. 2007 . Karakterisasi tiga strain ikan gurame [Osphronemus gouramy Lac.] berdasarkan metode truss morfometriks. Jurnal Ikhtiologi Indonesia, 7[I]: 23-30.

Sunarno, M.T.D; A. Wibowo dan Subagja. 2007. Identifikasi tiga kelompok ikan Belida [Chitala lopis] di sungai Tulang Bawang, Kampar dan Kapuas dengan pendekatan biometric. Jurnal Perikanan Indonesia 13 [2] : 87-94.

Strauss, R.E and F.L, Bookstein. 1982. The truss: Body form reconstruction in morphometrics. Systym Zoology 31:113-135.

Syandri, H dan Azrita. 2010 . Direktori ikan ekonomis penting di Danau Singkarak. Bung Hatta University Press.

Syandri, H; Azrita dan Aryani, N. 2013. Distribusi ukuran, reproduksi dan habitat pemijahan ikan bilih [Mystacoleucus padangensis Blkr] di Danau Singkarak. Bawal, 5 [1]: 1-8.

Syandri, H; Azrita and Junaidi. 2014. Morphological characterization of asang fish [Osteochilus vittatus, CYPRINIDAE] in Singkarak lake, Antokan river and Koto Panjang reservoir West Sumatra Province, Indonesia. Journal of Fisheries and Aquaculture, 5 [1] : 158-162.

Turan, C; E, Denis, F, Turan and M, Erguden. 2004. Genetic and morfometric structure of Liza abu [Heckel, 1843]. Population from the rivers Orontes. Eupharates and Tigris. Turkish Journal Vet Anim Science [28] : 729-734.

Turan, C and Oral, M. 2005. A computer package program for morphometric identifications of fish populations: MorFISH. In: ITAFE’05-International Congress on Information Technologies in Agriculture, Food and Environment, Cukurova University, Adana, Turkey, October 12–14, pp. 143–147.

Tzeng, T.D. 2004. Morphological variation between populations of spotted mackerel [Scomber australasicus] off Taiwan. Fisheries Research, 68 : 45–55.

Vrijenhoek, R.C. 1998. Conservation genetics of freshwater fish. Journal of Fish Biology, 53 [Supplement A]: 394–412.

38 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Berdasarkan....

4 Wibowo, A; M.T.D, Sunarno; S. Makmur dan Subagja. 2008. Identifikasi struktur stok ikan Belida [Chitala spp] dan implikasinya untuk manajemen populasi alami. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 14 [1] : 31-44.

Wibowo, A., M,T, D, Sunarno., Subagja dan T, Hidayah., 2009. Karakterisasi populasi ikan Putak [Notopterus notopterus] menggunakan analisis keragaman fenotipik dan DNA mitikondria . Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 15 [1] : 1-12.

Keragaman Genetik Ikan Gurami Berdasarkan.... | 39

40 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Berdasarkan....

Chapter : 3 KERAGAMAN GENETIK IKAN GURAMI SECARA MOLEKULER

Variasi genetik strain ikan gurami di Kabupaten Lima Puluh Kota

nalisis genetik ikan secara umum bertujuan untuk pelestarian plasma nutfah perikanan dalam upaya untuk memberikan data dasar kepada A program restoking [Vanina et al, 2019] dan program pemuliaan untuk ikan komersial penting [Flajshans, et al 1999; Mulyasari, 2007]. Program penelitian genetik ikan dapat berupa telaah mengenai level heterozigositas suatu populasi ikan di suatu perairan [Sumantadinata, 1999; Azrita et al, 2010; Nivet, 2006]. Variasi genetik memiliki pengertian keragaman struktur maupun fungsi dari kehidupan pada tingkat komunitas dan ekosistem, populasi, spesies, molekul DNA [ Wibowo, 2012; Azrita et al, 2011] dan morfologi [Azrita, et al 2013 ].

Variasi genetik dapat muncul karena pengaruh lingkungan, habitat hidup ikan yang terisolasi dalam waktu yang lama serta jumlah populasi yang relatif sedikit dikhawatirkan akan meningkatkan inbreeding yang intensif. Dunham [2004] menyatakan ikan yang berasal dari lokasi yang berbeda mempunyai karakter reproduksi yang berbeda karena adanya pengaruh interaksi antara genetik dan lingkungannya.

Umumnya variasi genetik pada ikan air tawar tergolong cukup rendah sebagai akibat keterbatasan migrasi secara alami, seperti pada ikan Batak, Tor sorro [Kurniawirawan, 2007], ikan Gurame ras Bastar, Bule dan Blusafir [Nugroho dan Kusmini, 2007], ikan Nila GIFT [Nugroho et al, 2002], ikan Betutu dari Waduk Penjalinan [Abulias dan Bhagawati, 2008], ikan hias Betta splendens [Meejui et al, 2005]. ikan Salvelinus alpinus yang dibudidayakan di Amerika Utara [Lundrigan et al, 2005], ikan Paralichthys olivaceus pada tiga populasi yang dibudidayakan [Liu et al, 2005].

Peristiwa perkawinan antar kerabat dekat [inbreeding] dapat menyebabkan peningkatan nilai homozigositas [Nugroho, 2011]. Oleh karena itu pada populasi

Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara Molekuler | 41 kecil dan terisolasi, biasanya variasi genetik akan turun drastis, mula-mula diawali dengan hilangnya keanekaragaman alel yang diikuti oleh penurunan heterozigositas [Suyono, 2000]. Rendahnya heterozigositas khususnya jika terdapat perkawinan antar kerabat dekat, dapat mengakibatkan turunnya viabilitas dan meningkatnya mortalitas juvenil [Kusumawaty dan Martarita, 2003].

Barcode DNA strain ikan gurami di Kabupaten Lima Puluh Kota

Hasil analisis molekuler DNA ikan gurami pada 5 [lima] ras yang didapatkan di Nagari Andaleh, Nagari Mungo Kecamatan Luak, Nagari Balai Panjang dan Nagari Bukik Sikumpa Kecamatan Lareh Sago Halaban yaitu ras Tambago, Palapah, Jepun, Krista dan Merah menggunakan metode RAPD. Dari 20 primer OPA yang ada tidak semuanya dapat menunjukkan hasil amplifikasi. Enam primer OPA yang diujicobakan yaitu OP A2, OP A3, OP A4, OP A7, OP A9 dan OP A20, hanya satu primer yang mempunyai hasil ampifikasi yang baik yaitu OPA 2. OPA 2 mempunyai fragmen yang dapat digunakan sebagai penganalisa antar lima strain ikan Gurami, sedangkan lima primer lainnya [OP A3, OP A4, OP A7, OP A9 dan OP A20 ] tidak mendapatkan hasil produk yang konsisten. Jumlah total pita yang diamati dari setiap ikan strain gurami yang berasal dari Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota seperti Tabel 3.1 dan Tabel 3.2, hasil amplifikasi dengan primer OPA 2 tercantum pada Gamber 3.1.

Tabel 3.1 Jumlah total pita setiap strain gurami

Strain Gurami Jepun Merah Krista Tembago Palapah Jumlah pita 9 14 19 9 13

Tabel 3.2 Variasi genetik pada beberapa strain ikan gurami berdasarkan fragmen RAPD dengan primer OPA 2

Strain gurami Parameter Jepun Merah Krista Tambago Palapah Heterozigositas 0,0594 0,1735 0,1756 0,0203 0,1480 Polymorphisme [%] 12,9032 35,4839 41,9355 9,6774 35,4839

42 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara Molekuler

Gambar 3.1 Fragmen hasil amplifikasi RAPD dengan menggunakan primer OPA 2 asal Kab. Lima Puluh Kota

Keterangan: Lajur 25-29= Jepun, Lajur 30-34=Merah, Lajur 35- 39=Krista, Lajur 40-44= Tembago,Lajur 45-49 = Palapah ; M=marker 100bp ladder

Secara umum strain ikan Gurami asal Kabupaten Lima Puluh Kota yang diteliti mempunyai nilai heterozigositas berkisar antara 0,0203 - 0,1756, dengan nilai tertinggi terdapat pada strain Krista [0,1756], kemudian diikuti oleh strain Sago [0,1735], strain Palapah [0,1480], ras Jepun [0,0594] dan ras Tambago [0,0203]. Nilai ini lebih rendah jika dibandingan dengan beberapa beberapa strain ikan gurami di daerah Parung Bogor Jawa Barat yaitu ras Bastar [0,2360], Paris [0,2832] dan Bluesafir [0,3050] [Nugroho, 2011]. Rendahnya variasi genetik beberapa strain gurami asal Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota disebabkan karena sudah terjadi proses perkawinan silang dalam [inbreeding] antar strain gurami yang sudah berlangsung cukup lama di tingkat pembudidaya dan jarang dilakukan pemuliaan induk. Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa nilai variasi genetik yang paling rendah diantara lima strain ikan gurami adalah strain tambago yaitu sebesar 0,0203. hal ini kemungkinan akibat induk ras tambago seringkali digunakan oleh petani dalam proses pemijahan untuk memproduksi benih. Menurut keterangan beberapa orang petani ikan di Nagari Mungo bahwa strain tambago merupakan induk yang sering digunakan dalam memproduksi anak ikan gurami. lain halnya dengan strain jepun sangat jarang sekali digunakan oleh petani untuk pembenihan dengan alasan pertumbuhan sangat lambat, ukurannya kecil dan tidak diminati oleh konsumen. Pernyataan petani tersebut dalam kajian variasi genetik terbukti bahwa nilai variasi genetik ikan strain jepun tergolong rendah hampir sama dengan strain tambago. Berdasarkan pengamatan dilapangan, hampir seluruh kegiatan budidaya ikan gurami menggunakan strain tambago ini. Sama halnya dengan rendahnya tingkat keragaman strain bastar dibandingkan dua strain gurami lainnya di daerah Parung

Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara Molekuler | 43 Bogor sebagai akibat dari preferensi masyarakat yang lebih tinggi dalam penggunaan strain bastar sebagai komoditas budidaya [Nugroho, 2011]. Dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi animo masyarakat menggunakan strain tambago, maka nilai variasi genetik semakin rendah.

Namun secara umum variasi genetik pada ikan air tawar tergolong cukup rendah sebagai akibat keterbatasan migrasi secara alami, seperti misalnya pada ikan garing [Tor sorro] berkisar antara 0,0909 - 0,1407 [Asih et al, 2008], ikan kelabau [Osteochilus kelabau] berkisar antara 0,0100 - 0,1651 [Kusmini et al, 2011], ikan bujuk [Channa lucius] berkisar antara 0.2186 - 0.3668 [Azrita et al., 2011], ikan asang [Osteochilus vittatus] berkisar antara 0,0431 – 0,1512 [Syandri et al., 2014].

Secara statistik dengan menggunakan AMOVA [Analysis Molecular Variance] menunjukkan bahwa sebagian besar menunjukan tidak terdapat perbedaan yang nyata secara genetik antara ras ikan gurami yang diuji [P>0,05] berdasarkan fragmen primer OP A2 [Tabel 8] pada ras tambago, palapah, jepun dan krista, sedangkan untuk ras sago berbeda nyata [p<0,05]. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan keempat ras tersebut yaitu tambago, palapah, jepun dan krista berasal dari nenek moyang populasi yang sama dari luar populasi di Kab. Lima Puluh Kota. Perbedaan yang ada secara fenotif yaitu berupa warna dan ukuran sisik kemungkinan adalah pengaruh lingkungan, sementara ikan gurami sago merupakan ikan asli yang berasal dari Kabupaten Lima Puluh karena jenis ini tidak dijumpai di luar Kabupaten Lima Puluh Kota.

Tabel 3.3 Hasil Uji Fst Berpasangan

Strain Jepun Sago Krista Tambago Palapah Jepun ***** Sago 0,1058ns ***** Krista 0,0051ns 0,0027* ***** Tambago 0,0996ns 0,0266* 0,6214ns ***** Palapah 0,2931ns 0,2283ns 0,8674 ns 1,000 ns *****

44 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara Molekuler

4 Tabel 3.4 Jarak genetik antar ras ikan gurami asal Kab. Lima Puluh Kota

Ras Jepun Sago Krista Tambago Palapah Jepun ***** Sago 0,3836 ***** Krista 0,5131 0,4703 ***** Tambago 0,4905 0,4777 0,3976 ***** Palapah 0,4209 0,4112 0,3277 0,1841 *****

Tambago

Palapah

Jepun

Krista

Sago

Gambar 3.2 Dendogram jarak genetik Nei [1972] dari gurami strain jepun, sago, krista, tambago dan palapah berdasarkan RAPD menggunakan primer OPA2

Dendrogram yang dibentuk berdasarkan jarak genetik tersebut menunjukkan bahwa strain jepun mempunyai jarak lebih dekat dengan strain sago dan strain tambago mempunyai jarak lebih dekat dengan strain palapah dibandingkan dengan strain krista. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, ikan gurami ras tambago dan palapah mempunyai corak yang serupa, dan yang membedakannya hanya dari warna sisiknya. Tambago mempunyai warna lebih gelap, sedangkan palapah mempunyai warna lebih terang dengan warna sisik lebih keabu- abuan. Hasil ini menunjukkan bahwa kemungkinan kawin silang antar strain yang mempunyai peluang terbaik untuk menghasilkan benih unggul untuk kegiatan budidaya adalah antara strain

Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara M o l e k u l e r | 45 palapah dengan strain sago atau strain sago dengan krista.

Dari hasil analisis karakter morfometrik dan molekuler DNA ikan gurami yang terdapat di tingkat petani di Kabupaten Lima Puluh Kota dapat dinyatakan bahwa lima ras ikan gurami yang ditemukan secara sistematika [kategori pedigri] tidak merupakan spesies yang berbeda, namun perbedaan hanya merupakan kategori strain sebagai berikut yaitu strain tambago, palapah, sago, jepun dan krista yang merupakan hasil silang perkawinan antar strain yang dilakukan oleh pembenih ikan. Hal yang sama juga terdapat di wilayah pembenihan ikan gurami di Provinsi Jawa Barat yang terdiri atas ras soang, jepang, paris, bastard dan porselen [Suseno et al., 1983; Sudarto, 1989]. Menurut Nugroho [2011] bahwa pada pengujian variasi genetik strain bastar, bule dan bluesafir yang dikoleksi dari daerah Parung, Jawa Barat dengan isozyme menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara ketiga strain tersebut.

Umumnya variasi genetik pada ikan air tawar tergolong cukup rendah sebagai akibat keterbatasan migrasi secara alami, seperti misalnya pada ikan Batak [Tor soro] dari populasi Sumedang Jawa Barat dengan memakai metode RAPD nilai heterozigositasnya adalah 0,0909 dan Tor soro populasi Tarutung Sumatera Utara 0,1407 [Kurniawirawan, 2007]. Fenomena tingginya nilai heterozigositas ikan Bujuk dimungkinkan karena ikan ini masih belum dalam taraf pembudidayaannya [belum dikembangkan secara luas] sehingga menurunnya tingkat keragaman genetik akibat ’inbreeding depression’ yang umumnya terjadi pada ikan air tawar masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan komoditas yang sudah berkembang secara luas dan lama, dimana peluang untuk ‖genetic introgression‖ menjadi lebih besar.

Relatif tingginya variasi genetik ini juga menunjukkan bahwa komoditas ini masih potensial dimanfaatkan sebagai calon ikan budidaya. Menurut Ambak et al, [2006] keragaman genetik yang tinggi pada ikan Channa striata akan mempengaruhi kemampuan spesies untuk dapat memberikan respon terhadap perubahan lingkungan baik buatan maupun alami. Terjadinya pembatasan pertukaran gen ini mengakibatkan peluang perkawinan sekerabat atau inbreeding sangat besar. Keadaan ini dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan rendahnya variasi genetik dan lambat laun akan muncul peluang homozigositas yang lebih tinggi.

46 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara Molekuler

4 Hasil yang sama juga diperoleh dengan menggunakan metoda isozyme terhadap ikan gurami ras bastar, bule dan blusafir [Nugroho dan Kusmini, 2007], ikan nila GIFT nilai heterozigositas sebesar 0,6 [Nugroho dkk, 2002], ikan betutu dari waduk Penjalinan nilai heterozigositas rata-rata adalah nol [Abulias dan Bhagawati, 2008], ikan hias Betta splendens nilai heterozigositas 0,065 [Meejui et al, 2005]. Nilai heterozigositas ikan Salvelinus alpinus yang dibudidayakan [0,543] lebih rendah dari populasi asli di Amerika Utara [0,712] [Lundrigan et al, 2005], ikan Paralichthys olivaceus pada tiga populasi yang dibudidayakan dengan memakai Amplified fragment length polymorphism [AFLP]nilai heterozigositas masing- masing 0,1656; 0,1609 dan 0.1586 [Liu et al, 2005].

Perbedaan secara fenotif yaitu warna dan ukuran tubuh, kemungkinan adalah pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan perairan yang berbeda dan pola migrasi yang terbatas dapat juga menyebabkan jauhnya kekerabatan antara populasi- populasi ikan tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada jarak genetik ikan baung [Mystus numerus] yang berasal dari Wonogiri, Jatiluhur dan Jambi yaitu 0,752 [Nugroho dkk, 2005].

Hibridisasi induk ikan gurami berdasarkan hasil pemetaan fenotip dan molekuler

Hibridisasi merupakan perkawinan antar jenis [dalam satu famili], atau antar strain yang bertujuan untuk mendapatkan benih hibrida yang lebih cepat pertumbuhannya daripada kedua induknya [hibrid vigor]. Heterosis tidak selalu terjadi bila dilakukan hibridisasi dan efeknya hanya dapat diketahui melalui serangkaian percobaan [Sucipto at al. 2003]. Heterositas adalah persentase kenampakan karakteristik seperti ukuran, pertumbuhan, kesuburan, sebagai tanda 12 terjadinya penurunan sifat induk terhadap organisme hasil persilangan [Robisalmi et al. 2009].

Selanjutnya Said [2011] menyatakan bahwa hibridisasi merupakan salah satu teknik rekayasa genom yang dapat dilaksanakan sebagai aplikasi bioteknologi dalam kegiatan seleksi. Ling [1980] dalam Syamsiah [2001] menyatakan bahwa keturunan hibrida tidak selamanya mempunyai sifat lebih baik dari induknya. Chnassus [1983] dalam Syamsiah [2001] menegaskan jika keduanya memiliki induk berbentuk tubuh dan ciri berbeda, maka persilangan keduanya seringkali

Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara M o l e k u l e r | 47 bersifat intermediet atau hampir menyerupai satu induknya bahkan tidak mungkin menyerupai kedua induknya. Menurut Yan dan Ozgunen [1993] faktor yang mempengaruhi keberhasilan persilangan salah satunya dipengaruhi oleh keterkaitan taksonomi induk ikan yang dipergunakan. Keterkaitan taksonomi induk yang digunakan akan menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan persilangan seperti tidak terjadinya pembuahan telur oleh sperma, kematian embrio, dan ada pula embrio yang bertahan hidup sampai menetas menjadi larva.

Induk ikan gurami yang di uji adalah strain gurami sago umur 6-10 tahun yang dari hasil pemetaan fenotip dan molekuler genetik memiliki perbedaan dalam tingkat keragaman genetik dari strain tambago, palapah, jepun dan krista yang terdapat di Kab. Lima Puluh Kota. Induk ikan uji berukuran panjang berkisar 300-350 mm dan bobot tubuh rata-rata 400-500 gram sebanyak 15 ekor per strain. Pemijahan secara hibridisasi intrastrain dilakukan secara alami di kolam pemeliharaan induk berupa kolam induk diberi yang tempat dan bahan sarang. Tempat sarang berupa wadah plastik bulat diameter 20-30 cm atau tempat lain yang serupa dan ditempatkan pada kedalaman 10-15 cm dibawah permukaan air. Bahan sarang berupa sabut kelapa, ijuk atau bahan lain yang dapat dibuat sarang yang ditempatkan di permukaan air sekitar tempat sarang. Ikan yang sudah siap memijah membuat sarang untuk menampung telur.

Azrita et al 2016 menyatakan bahwa hibridisasi induk berdasarkan hasil pemetaan fenotip dan molekuler genetik secara intrastrain pada populasi yang berbeda untuk peningkatan mutu genetik benih seperti masing - masing perlakuan diperoleh rata - rata fekunditas, diameter telur, derajat pembuahan telur, derajat penetasan telur, dan sintasan larva seperti pada Tabel 3.5.

48 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara Molekuler

4 Tabel 3.5 Nilai rataan fekunditas, diameter telur, derajat pembuahan telur, derajat penetasan telur dan sintasan larva.

Gambar 3.3 Strain induk ikan gurami yang digunakan A: gurami sago; B: gurami tambago dan C: gurami palapah [Sumber: Dokumentasi pribadi : Azrita, 2016]

Tingginya fekunditas pada persilangan gurami sago betina dengan gurami palapah jantan diduga karena ukuran diameter telurnya lebih kecil begitu juga dengan persilangan dengan strain yang sama yaitu gurami sago sedangkan pada persilangan gurami sago jantan dengan gurami tambago betina fekunditasnya rendah karena ukuran diameternya besar. Menurut Fujaya, [2001], menyatakan bahwa fekunditas pada setiap individu betina tergantung pada umur ,ukuran, spesies, dan kondisi lingkungan [ketersediaan makanan, suhu air dan musim].

Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara M o l e k u l e r | 49 Selanjutnya Djuhanda, [1981], menambahkan bahwa besar kecilnya fekunditas dipengaruhi oleh makanan, ukuran ikan , dan kondisi lingkungan, serta dapat juga dipengaruhi oleh diameter telur. Potensi reproduksi induk ikan gurami yang baik berdasarkan tingkat umur yaitu 10-12 tahun menghasilkan fekunditas sebesar 1.113±283 butir [Azrita dan Syandri, 2015]. Selanjutnya Azrita dan Syandri, [2015], menyatakan umur induk ikan yang berumur 6-7 tahun mampu menghasilkan fekunditas sebesar 883±105 butir.

Adanya perbedaan fekunditas pada masing – masing hibridisasi diduga karena adanya perbedaan kemampuan dari masing – masing strain ikan gurami dalam memproduksi telur, selain itu berat induk juga mempengaruhi jumlah telur yang dihasilkan dimana rata rata berat induk yang digunakan pada hibridisasi dengan strain yang sama yaitu gurami sago dengan 3 ulangan berkisar antara [1,9–2,0 kg/ekor] untuk induk betina dan berat induk jantan [2,0-2,2 kg/ekor], persilangan gurami sago betina dengan gurami palapah jantan berat induk betina berkisar [2,0 – 2,1 kg/ekor], dan berat induk jantan [2,3–2,5 kg/ekor] sedangkan pada persilangan gurami sago jantan dengan gurami tambago betina berat induk betina [2,1- 2,5 kg/ekor] dan berat induk jantan [2,6 – 3,0 kg/ekor].

Sesuai dengan pendapat Bardach, [1972] dalam Syafinal , [2000], perbedaan fekunditas disebabkan oleh ukuran, umur dan jenis makanan. Adanya perbedaan telur yang dihasilkan per induk ikan, selain dipengaruhi ukuran juga dipengaruhi perbedaan spesies Tucker dan Fitzgerald, [1994] dalam Syafinal, [2000]. Selanjutnya Radona dan Nafiqoh, [2014] menyatakan bahwa produksi telur hasil persilangan antara induk betina ikan gurame bastar dengan induk jantan ikan gurami bluesafir dengan rata-rata yaitu 3000 butir/kg bobot induk.

Berdasarkan data diameter telur pada Tabel 3.5 ikan gurami yang mempunyai diameter yang cukup besar akan memiliki kuning telur yang banyak dan mempunyai kesempatan lebih baik untuk hidup dari pada ikan yang mempunyai diameter telur yang kecil. Menurut Wootton , [1998] dalam Wendi, [2012], menyatakan bahwa ikan yang memiliki diameter telur lebih kecil biasanyan mempunyai fekunditas yang lebih banyak, sedangkan yang memiliki diameter telur yang besar cendrung memiliki fekunditas rendah.

50 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara Molekuler

4

Gambar 3.4 Diameter Telur

Diameter telur ikan gurami yang berumur 10-12 tahun memiliki diameter yang paling panjang yaitu 1,65±0,32 mm sedangkan diameter telur yang terkecil diperoleh pada umur induk 6-7 tahun yaitu sebesar 0,97±0,10 mm [Azrita dan Syandri, 2015]. Semakin besar ukuran diameter telur akan semakin baik, karena dalam telur tersebut tersedia makanan cadangan yang banyak sehingga larva ikan akan dapat bertahan lebih lama, ukuran diameter telur dapat menentukan kualitas larva. Selanjutnya Effendie [1979] menyatakan bahwa diameter telur setiap spesies ikan beragam antar individu karena diameter telur dipengaruhi oleh lingkungan dan kesediaan nutrien. Fekunditas dan diameter sel telur dapat juga dipengaruhi oleh faktor genetis, lingkungan, ketersediaan makanan dan musim [Syandri, 1996].

Tingginya derajat pembuahan telur pada hibridisasi dengan strain yang sama yaitu gurami sago diduga karena selisih ukuran kepala sperma dan lubang mikrofil terendah sehingga mencapai kesesuaian pemijahan yang lebih baik dibanding pasangan hibridisasi lain. Menurut Fallu, [1991], menyatakan bahwa proses pembuahan terjadi ketika sperma dan telur bercampur, gen-gen keduanya menyatu yang disebut zygot dan single sel tersebut disebut pembelahan. Setyono, [2009], menyatakan bahwa sinkronisasi pemijahan merupakan faktor yang amat penting untuk keberhasilan pembuahan sel telur oleh sperma. Hal ini diduga karena kualitas induk yang digunakan bagus, selain itu juga dipengaruhi oleh tingkatan umur. Derajat pembuahan telur pada ikan gurami yang baik berdasarkan tingkat umur [10- 12 tahun] yaitu sebesar 84,24±10,03% sedangkan yang terendah pada tingkat umur [6-7 tahun] yaitu sebesar 59,83±41,97% [Azrita dan Syandri, 2015].

Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara M o l e k u l e r | 51 Tanda-tanda telur yang tidak terbuahi yaitu pada waktu pengangkatan telur dari sarang minyaknya akan kelihatan banyak dan sebaliknya apabila minyaknya sedikit berarti telur yang tidak terbuahi sedikit. Telur yang dibuahi akan berwarna kuning cerah dan yang tidak dibuahi akan berwarna kuning keputih – putihan, telur yang tidak terbuahi harus segera dibuang agar tidak ditumbuhi jamur. Telur ikan gurami yang tidak terbuahi harus segera dibuang agar tidak ditumbuhi oleh jamur. Telur yang tidak terbuahi ini diduga karena suhu, dan faktor lingkungan [Hardaningsih, 1994].

Tingginya persentase derajat penetasan telur pada pada hibridisasi dengan strain yang sama yaitu gurami sago diduga dalam pertemuan sel telur dengan sperma terjadi kesesuaian atau kecocokan, sehingga proses mekanisme pembuahan lebih sempurna. Selain itu derajat penetasan telur pada pada hibridisasi dengan strain yang sama yaitu gurami sago diduga karena hibridisasi antara induk betina ikan gurami sago dengan induk jantan ikan gurami sago mempunyai hubungan kekerabatan yang lebih dekat [satu spesies dan strain yang sama]. Terjadinya perbedaan pesentase derajat penetasan telur hasil hibridisasi tersebut tidak terlepas dari faktor genetik yang mempengaruhinya [Sumantadinata, 1992]. Sedangkan hibridisasi dengan strain yang berbeda mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh faktor internal dari induk ikan dimana telur yang sudah dibuahi belum tentu seluruhnya menetas dengan baik. Kemungkinan lain menurunya derajat penetasan telur juga disebabkan oleh suhu, pH dan DO. Suhu selama penelitian berkisar antara 240C – 300C.

Menurut Anonimus, [1998 ] dalam Rezeki, [2004] , suhu yang optimal untuk penetasan telur ikan gurami berkisar antara 260C – 280C. Sedangkan pH selama penelitian yaitu berkisar antara 7-7,6. Menurut Anton, [1990], derajat keasaman [pH] merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi derajat penetasan telur, pH air dibawah 6,5 dan diatas 9,0 akan menyebabkan hasil penetasan yang kurang baik. Sedangkan kandungan oksigen [DO] selama penelitian berkisar antara 6,58 – 6,60 mg/L. Menurut Sitanggang dan Sarwono, [1978], kandungan oksigen yang terbaik bagi ikan gurami yaitu antara 4 – 6 mg/L. Sedangkan menurut Boyd, [1979], kelarutan oksigen dalam air memegang peranan penting dalam proses penetasan telur, dan semakin tinggi kelarutan oksigen dalam air maka daya tetas telur semakin meningkat.

52 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara Molekuler

4 Mortalitas telur hasil hibridisasi akan tinggi saat berlangsungnya periode perkembangan awal telur [perkembangan embrio, penetasan dan penyerapan kuning telur] [Chevassus, 1993]. Derajat penetasan telur juga dipengaruhi oleh tingkatan umur. Derajat penetasan telur pada ikan gurami yang baik berdasarkan tingkat umur [10-12 tahun] yaitu sebesar 98,95±0,65% sedangkan yang terendah terdapat pada tingkat umur [6-7 tahun ] yaitu sebesar 94,41±4,77% [Azrita dan Syandri, 2015].

Faktor-faktor yang dihipotesiskan untuk menentukan kualitas telur dan produksi benih yang layak meliputi: genetika, nutrisi induk, kualitas air, proses fisiologis awal dalam telur [Wright-Moore et al, 2019]. Sintasan larva dari penjenis tetuanya sejalan dengan pernyataan Lemarie [2001], yang berpendapat bahwa perkawinan beda kerabat diduga dapat menghasilkan perbaikan dan peningkatan sintasan larva, selanjutnya selain faktor gen dari induknya, sintasan larva juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Selain itu sintasan larva juga dipengaruhi oleh tingkatan umur. Menurut Azrita dan Syandri, [2015], sintasan larva ikan gurami yang baik yaitu pada tingkat umur 10 - 12 tahun yaitu sebesar 98,80±0,92% sedangkan yang terendah terdapat pada tingkat umur 6-7 tahun yaitu sebesar 85,98±2,72%. Kualitas air merupakan salah satu parameter lingkungan yang sangat penting untuk sintasan larva. Suhu air merupakan salah satu parameter lingkungan yang sangat penting yang mempengaruhi sintasan larva, sebab suhu mempengaruhi kecepatan metabolisme didalam tubuh ikan. Sehingga diperlukan suhu optimal agar fungsi biologis ikan berjalan secara optimal untuk sintasan larva yang baik [Lyytikainen, 1998]. Suhu yang diperoleh selama penelitian ini berkisar 240C– 300C sehingga dapat menyebabkan laju sintasan yang lebih tinggi.

Hasil pengamatan selama penelitian larva ikan gurami banyak mengalami kematian pada umur 1-8 hari karena pada fase post larva merupakan fase yang sangat kritis. Kematian ikan akan tinggi pada fase larva merupakan fase yang sangat kritis dalam daur hidup ikan, sehingga kematian atau tingkat mortalitas pada fase ini menjadi tinggi [Abbas, 1995]. Tingkat sintasan larva dianggap baik pada waktu pertengahan masa pemeliharaan sampai masa diatas sepuluh hari masa pemeliharaan, dimana dapat dilihat bahwa mortalitas larva akan menurun [Abbas, 1995]. Selanjutnya Abbas, [1995], menyatakan bahwa masa kritis dari daur hidup ikan terjadi pada saat sebelum dan sesudah penghisapan kuning telur [masa transisi mulai mengambil

Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara M o l e k u l e r | 53 makanan dari luar, sehingga kematian banyak terjadi pada minggu pertama]. Hal ini sesuai dengan pendapat Abbas, [1995], menyatakan masa yang paling kritis dalam daur hidup ikan adalah pada fase larva yang ditandai dengan tingginya kematian. Selanjutnya Effendie, [1979], menyatakan bahwa tingginya mortalitas disebabkan oleh faktor lingkungan yang tidak sesuai seperti pH, suhu, tidak tersedianya pakan baik kualitas maupun kuantitas serta kerusakan fisik.

Tingginya sintasan pada larva ikan gurami diduga karena dipengaruhi oleh kualitas air. Kualitas air pada media pemeliharaan sangat penting terutama dalam menunjang sintasan larva ikan. Mufidah et al, [2009] menyatakan bahwa sintasan larva ikan dipengaruhi oleh kualitas air, kebutuhan pakan, umur ikan dan lingkungan. Kualitas air yang optimal tersebut diduga dapat terjadi karena dilakukan penyiponan dan pergantian air. Penyiponan dan pergantian air dalam penelitian ini dilakukan tiga hari sekali sebanyak 50% setiap wadah. Seluruh parameter kualitas air yang diukur dapat mendukung sintasan larva ikan gurami dimana untuk setiap perlakuan selama pemeliharan sintasan larva ikan gurami sangat baik. Oksigen terlarut [DO] yaitu berkisar 6,58 - 6,60 mg/L, pH selama pemeliharaan rata – rata 7-7,6, parameter kualitas air lain seperti BOD yang berkisar antara 1,60 - 1,74 mg/L, padatan terlarut total [TDS] berkisar antara 9,62 - 9,65 mg/L, dan TSS berkisar antara 3,71 - 3,89 mg/L. Menurut Pescod, [1973] bila suatu badan air yang didalamnya tidak terdapat senyawa beracun [toxic] dapat mendukung proses pertumbuhan dan sintasan larva. Kualitas air merupakan faktor penting yang berpengaruh dalam budidaya perikanan karena kualitas air yang tidak baik dapat menimbulkan penyakit pada ikan dan berdampak pada turunnya produksi bahkan kerugian bagi petani ikan [Boyd, 1990].

Kesimpulan

Peristiwa perkawinan antar kerabat dekat [inbreeding] dapat menyebabkan peningkatan nilai homozigositas. Oleh karena itu pada populasi kecil dan terisolasi, biasanya variasi genetik akan turun drastis, mula-mula diawali dengan hilangnya keanekaragaman alel yang diikuti oleh penurunan heterozigositas. Rendahnya heterozigositas khususnya jika terdapat perkawinan antar kerabat dekat, dapat mengakibatkan turunnya viabilitas dan meningkatnya mortalitas juvenile.

Rendahnya variasi genetik beberapa strain gurami asal Kecamatan Luak Kabupaten

54 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara Molekuler

4 Lima Puluh Kota disebabkan karena sudah terjadi proses perkawinan silang dalam [inbreeding] antar strain gurami yang sudah berlangsung cukup lama di tingkat pembudidaya dan jarang dilakukan pemuliaan induk.

Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara M o l e k u l e r | 55 Daftar pustaka

Abbas, S. D. 1995. Pakan Ikan Alami. Kansius. Yogyakarta

Abulias, M.N dan D, Bhagawati. 2008. Studi awal keragaman genetik ikan Betutu [Oxyeleotris sp] di Waduk Penjalinan menggunakan lima macam Isozim. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi -II . Universitas Lampung 17-18 November 2008.

Ambak, M.A; A.M Bolong; P. Ismail and B.M, Tam. 2006. Genetic variation of snakehead fish [Channa striata] population using Random Amplified Polymorfic DNA. Biotechnology, 5[1]: 1004-1010.

Azrita; Syandri, H dan Aryani, N. 2010. Studi kadar nutrisi telur ikan Balingka [Puntius blinka] di Danau Singkarak. Makalah disampaikan pada seminar Limnologi IV LIPI di Bogor.

Azrita; Syandri, H; Nugroho, E; Dahelmi dan Syaifullah. 2011. Variasi genetik ikan bujuk [Channa lucius CV] berdasarkan RAPD dari Sumatera Barat, Jambi dan Riau. Berita Biologi, 10 [5] : 675 – 680.

Azrita; Syandri, H; Dahelmi; Syaifullah dan Nugroho, E. 2013. Karakterisasi morfologi ikan bujuk [Channa lucius] pada perairan danau Singkarak Sumatera Barat, Rawa Banjiran Tanjung Jabung Timur Jambi dan Rawa Banjiran Kampar Riau. Jurnal Natur Indonesia 15[1]: 1-8.

Azrita; Syandri, H and Junaidi. 2014. Genetic variation among asang fish [Osteochilus vittatus, Cyprinidae] population using Random Amplified Polymorphic DNA [RAPD] Markers. International Journal of Fisheries and Aquatic Studies, 1[6] : 213-217.

Azrita dan Syandri, H. 2015. Kualitas telur induk ikan gurami [Osphronemus gouramy Lac] berdasarkan perbedaan umur. Prosiding Seminar Nasional Tahun ke V Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan di Universitas Diponegoro, Semarang.

56 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara Molekuler

4 Azrita; Syandri, H dan A.M, Yopi. 2016. Viabilitas Hibridisasi Induk Ikan Gurami [Osphronemus goramy Lac, 1801]. Seminar Nasional Tahunan XIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 13 Agustus 2016, Departemen Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Boyd, 1990. Water Quality In Ponds For Aquaculture, Birmingham Publising Co, Birmingham, Alabama.USA.

Chevassus, B. 1983. Hybridization in fish. Aquaculture, 33: 245—262.

Djuanda, T. 1981. Dunia Ikan. Armico. Bandung Press.190 hal

Dunham, R.A. 2004. Aquaculture and fisheries biotechnology: genetic approach. CABI publishing, Cambridge, USA. 85-99

Effendie, M.F. 1979. Metode Biologi Perikanan. Cetakan I. Yayasan Dewi Sri. Bogor.112 hal

Fallu. R. 1991. Abalone Farming. Fishing News Book. Oshey Mead. Oxford Oxoel. Englang.

Flajshans, M; O. Linhart; V. Slechtova and V. Slechta. 1999. Genetic resources of commercially important fish species in the Czech Republic: present state and future strategy. Aquaculture 173 : 471–483.

Fujaya, Y. 2001. Biologi dan Teknologi Teleostei. IPB. Bogor

Gustiano, R. 1995. Prospek Perbaikan Mutu Ikan dengan Hibridisasi. Jurnal Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 17:11-12

Hardiningsih, I dan Ustadi. 1994. Penetasan Telur dan Pembenihan Ikan Gurami [Osphronemus gouramy lac] Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.18 hal.

Kurniawirawan A. 2007. Analisis keragaman genetik beberapa populasi ikan batak [Tor soro] dengan metode Random Amplified Polymorphism DNA [RAPD]. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor: 29 halaman.

Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara M o l e k u l e r | 57 Kusmini E.SII ; R. Gustiano dan Mulayasari, 2011. Karakterisasi genetic ikan kelabau [Osteochilus kelabau] dari berbagai lokasi di Kalimantan Barat menggunakan metode RAPD [Random Amplified Polymorphism DNA]. Berita Biologi 10 [4]: 449 – 454.

Kusumawaty, D dan M.M, Martgrita. 2003. Kajian awal studi keanekaragaman ikan Gurame [Osphronemus gouramy Lac] dengan menggunakan metode Random Amplified Polymorphic DNA [RAPD]. Laporan Kegiatan KPP Ilmu Hayati ITB. Tidak diterbitkan.

Liu, Y.G; S.L, Chen; B.F, Li; Z.J, Wang and Z, Liu. 2005. Analysis of genetic variation in selected stocks of hatchery flounder, Paralichthys olivaceus, using AFLP markers. Jurnal Biochemical Systematics and Ecology, 33 : 993-1005.

Lundrigan, T.A; J.D, Reist and M.M, Fergusona. 2005. Microsatellite genetic variation within and among Arctic charr [Salvelinus alpinus] from aquaculture and natural populations in North America. Aquaculture 244 : 63- 75.

Lyytikainen, T and M. Jobling. 1998. The effect of temperature fluctuation on oxyegen consumption and ammonia excretion of under year ling lake Inari Arctic charr. Journal of Fish Biology 52 [6]:1186 – 1198.

Meejuia, O; S, Sukmanomonb and U, Na-Nakornb. 2005. Allozyme revealed substantial genetic diversity between hatchery stocks of siamese fighting fish, Betta splendens, in the province of Nakornpathom, Thailand. Aquaculture 250 : 110-119.

Miller, M.P. 1997. Tools for population genetic analysis [TFPGA] [version 1.3]. A windows program for the analysis of allozyme and molecular population genetic data. Department of Biological Sciences, Northern Arizona University, Flagstaff, AZ.

Mulyasari, 2007. Beberapa teknik penentuan variasi genetik pada ikan untuk proses pemuliaan. Media Akuakultur 2[1]:177-182.

58 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara Molekuler

4 Mufidah,N; B.S, Budiatin; Rahardja dan W.H. Satyatini. 2009. Pengkayaan dapnia sp dengan viterna terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan lele dumbo [Clarias gariepinus]. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan,1[1] : 59-65.

Nei, M. 1972. Genetic distance between populations. American Nature, 106: 283- 292.

Nivet, M.D; M. Vandeputte; P. Haffray and B. Chevassus. 2006. Effect of different mating designs on inbreeding, genetic variance and response to selection when applying individual selection in fish breeding programs. Aquaculture 252 : 161-170.

Nugroho, E. 2011. Evaluasi variasi genetik ras-ras ikan gurami dengan menggunakan marker DNA. J. Fish. Sci, XIII [2]: 86-90.

Nugroho, E; A. Widiati; Imron dan T. Kadarini. 2002. Keragaan genetik ikan Nila GIFT berdasarkan Polimorfism Mitokondria DNA D-loop. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 8 [3] :1-6.

Nugroho, E; W, Hadie; J, Subagja dan T, Kurniasih. 2005. Keragaman genetik dan morfometrik pada ikan baung [Mystus nemurus ] dari Jambi, Wonogiri dan Jatiluhur. Jurnal Penelitian Perikanan 11 [7] : 1-6.

Nugroho, E dan I.I, Kusmini. 2007. Evaluasi variasi genetik tiga ras ikan gurame [Osphoronemus gouramy] dengan menggunakan isozyme. Jurnal Riset Akuakultur 2 [1] : 51-57.

Nugroho, E; Azrita; Syandri, H dan Refilza. 2016. Evaluasi keragaman genetik ikan kalui [Osphronemus goramy] dari Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat berdasarkan marka Random Amplified Polymorphism [RAPD]. Jurnal Riset Akuakultur, 11[4] : 313-319.

Pescod, M. D. 1973. Investigation of Rational Effluen and Stream Standards for Tropical Countries. A.I.T. Bangkok, 59 pp

Rezeki, D. 2004. Pengaruh Suhu Terhadap Hasil Penetasan Telur Ikan Gurame [Osphronemus gouramy lac] Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Bung Hatta, Padang.

Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara M o l e k u l e r | 59 Robisalmi, A., Listiyowati, N., Ariyanto, D. 2009. Evaluasi Keragaman dan Nilai Heterosis Pada Persilangan Dua Strain Ikan Nila [Oreochromis niloticus]. Loka Riset Pemuliaan dan teknologi Budidaya perikanan Air Tawar. Sukamandi. Subang.

Setyono, D. E. D,. 2009. Abalon Biologi dan Reproduksi. Lipi Press. Mataram.

Said, D.S. 2011. Uji kemampuan hibridisasi intergenus dan interspesies ikan pelangi. Limnotek, 18[1]: 48-57.

Samidjan, I and Rachmawati, D. 2016. Technology engineering of aquaculture snakeheads [Channa Striatus, Bloch 1793]] using cross breeding from different waters for determining the genetic variation of superior seeds. Aquatic Procedia, 7: 136–145.

Sitanggang, M dan B, Sarwono. 1978. Budidaya gurami. Penebar Swadaya. Jakarta. 30 hal.

Sucipto, A; Hanif, S; Junaedi, D dan Yuniarti, T. 2003. Breeding program Produksi Nila Kelamin Jantan. BBAT. Sukabumi

Sudarto. 1989. Porselin, Blue Safir dan Paris yang bertelur. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 11[2] : 1-2.

Suseno, D; Rusmaedi; I. Iriana; L. Dharma dan O.Z. Arifin. 2000. Karakterisasi morfologi ikan gurame strain soang dan paris. Simposium Nasional Pengelolaan Pemuliaan dan Plasma Nutfah. Bogor: 589-595.

Sumantadinata K. 1992. Penampilan hibrida ikan-ikan air tawar. J. J,Ipert Indon, 2[1].

Sumantadinata, K. 1999. Program penelitian genetika ikan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Genetika Ikan. Indonesia Networks on Fish Genetic Research and Development bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan dan Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian. Jakarta, 8 Februari 1999. 63 hal

Syafinal, A. 2000. Fekunditas, fertilisasi dan daya tetas telur ukan kerapu bebek Cromileptes altivelis, Valencciennes. Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta. Padang

60 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara Molekuler

4 Syamsiah, H. 2001. Karakteristik Morfometrik dan Meristik benih Ikan Hibrida Antara Ikan Mas [Cyprinus carpio L] betina dan Ikan Nilem [Osteochilus hasselti C.V.] jantan. Skripsi. FPIK. IPB

Vanina, T; Gebauer, R; Toomey, L; Stejskal, V; Rutegwa, M; Kouřil, J and Lecocq, T. 2018. Genetic and aquaculture performance differentiation among wild allopatric populations of European perch [Percidae, Perca fluviatilis]. Aquaculture 503: 139-145.

Wibowo, 2012. Genetic diversity of masher [Tor tambroides BLEKER 1854] in Manna river, Bengkulu and Semanka river, Lampung. Bawal, 4[2]: 105-112.

Wootton, R.J. 1998. Ecology of Teleost Fishes. 2nd Edition, Kuwer Academic Publishers, Dordrecht.

Wright-Moore, W. D; Watanabe, W.O; Bourdelais, A. J; Alam, M. S; Rezek, T.C; Carroll, P. M and Woolridge, C.A. 2019. Spawning performance and egg quality of wild-caught and first generation southern flounder Paralichthys lethostigma broodstock induced with piscine and mammalian GnRH analogs. Aquaculture, 506, 367–379.

Yan, S.Y and Ozgunen, T. 1993. Fish Breeding and biotechnology. Institute of Development Biology. Chinese Academy of Science, Beijing. China.

Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara M o l e k u l e r | 61

62 | Keragaman Genetik Ikan Gurami Secara Molekuler

Chapter : 4 BIOLOGI DAN PEMBENIHAN IKAN GURAMI SAGO

Pemeliharaan induk dan pemijahan ikan gurami sago

ingginya permintaan terhadap benih ikan gurami sago sebagai komoditi ikan hias membuka peluang kepada petani ikan untuk mengembangkan T usaha pembenihan ikan gurami sago sehingga dapat meningkatkan pendapatannya. Hal ini didukung oleh mayoritas [61,90%] pendidikan pembenih ikan gurami sago di kawasan ini adalah tamat Sekolah Menengah Atas dan mayoritas [88,08%] bekerja penuh sebagai pembenih ikan. Di berbagai daerah ikan gurami sago mempunyai nilai ekonomis tinggi, di pasar ikan Kota Payakumbuh harga benih ukuran 5-8 cm berkisar antara Rp 1.200,- sampai dengan Rp 1.700- per ekor, sedangkan di Kota Padang berkisar antara Rp 1.500,- sampai dengan Rp 2.250,- per ekor, sementara di Kota Pekanbaru antara Rp 2.500,- sampai dengan Rp 3,000,- per ekor [Hasil Survei Pasar, 2016].

Di Kabupaten Lima Puluh Kota, khususnya di Kecamatan Luak dan Larah Sago Halaban perkembangan usaha pembenihan ikan gurami akhir-akhir ini terjadi penurunan produksi benih. Hal ini disebabkan karena kualitas induk semakin menurun karena tidak adanya proses pemuliaan induk di tingkat petani. Selain itu juga disebabkan petani ikan beralih ke usaha pembenihan ikan lele dombo. Sedangkan di daerah lain seperti Padang Pariaman dan di pulau Jawa pengembangan kawasan usaha budidaya gurami semakin luas, karena permintaan pasar terhadap benih dan ikan konsumsi semakin meningkat, maka kebutuhan induk dan benih juga semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan yang makin meningkat diperlukan pasokan benih dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang baik. Di sisi lain, teknik pendederan secara tradisional hanya mampu menghasilkan tingkat kelangsungan hidup ukuran larva sekitar 75%. Sehingga diperlukan adanya perbaikan teknik pembenihan ikan gurami agar kesinambungan produksi dan kualitasnya dapat dipenuhi.

Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago | 63

Gambar 4.1 Siklus produksi ikan gurami, O. goramy

Ciri khas perbedaan paling mencolok antara induk jantan dengan induk betina adalah tonjolan di bagian kepala [dahi], bibir bawah tebal dan memerah pada saat birahi dan tidak memiliki warna hitam pada ketiak sirip dada serta bila bagian perut diurut ke arah genital dapat mengeluarkan cairan sperma berwarna putih. Sedangkan pada ikan betina memiliki ciri-ciri sebaliknya.

Ikan jantan yang siap menjadi induk memiliki ciri-ciri: panjang standar 30-35 cm, berumur 24-30 bulan dan bobot 1,5-2 kg. Sedangkan induk betina memiliki ciri- ciri: panjang standar 30-35 cm, berumur 30-36 bulan dan bobot 2-2,5 kg. Dalam pemijahan sebaiknya digunakan induk yang sudah mencapai berat sekitar 3 kg [betina] dan 4-5 kg [jantan].

64 | Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago

Gambar 4.2 Induk ikan gurami sago

Induk dapat dipelihara pada kolam tembok/tanah baik secara masal maupun berpasangan dengan perbandingan jantan : betina = 1 : 4. Pakan yang diberikan berupa pelet terapung [kadar protein > 28%] sebanyak 2% biomass/hari dan daun sente/talas sebanyak 5% bobot biomass/hari.

Gambar 4.3 Kolam pemeliharaan induk gurami sago

Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago | 65 Pemijahan dilakukan secara alami di kolam pemeliharaan induk. Kolam induk diberi tempat dan bahan sarang. Tempat sarang berupa bamboo atau keranjang plastik bulat diameter 20-25 cm atau tempat lain yang serupa dan ditempatkan pada kedalaman 10-15 cm dibawah permukaan air. Bahan sarang berupa sabut kelapa, ijuk atau bahan lain yang dapat dibuat sarang yang ditempatkan di permukaan air sekitar tempat sarang. Ikan yang sudah siap memijah membuat sarang untuk menampung telur.

Jumlah induk ikan gurami sago yang digunakan dalam kegiatan pematangan induk sebanyak 50 ekor, terdiri atas 20 ekor jantan dengan rata-rata bobot 2,37±0,25 kg per ekor dan 30 ekor betina dengan rata-rata bobot 2,35±0,15 kg per ekor. Dalam kegiatan budidaya, keberhasilan suatu spesies ikan ditentukan oleh kemampuan ikan tersebut untuk bereproduksi dalam kondisi lingkungan yang berubah-ubah dan kemampuan untuk mempertahankan populasinya. Setiap spesies ikan mempunyai strategi reproduksi tersendiri sehingga dapat melakukan reproduksinya dengan baik, termasuk ikan gurami sago.

Percobaan pematangan gonad induk gurami sago yang dipelihara di dalam kolam sebanyak 30 ekor induk betina dengan menggunakan pakan daun talas sente yang diberikan secara ad-libitum dapat memberikan hasil tingkat kematangan gonad induk betina berkisar antara 66,66-76,66%. Setiap bulan sekali dilakukan pengamatan perkembangan gonad dengan cara memilih induk yang telah matang gonad untuk persiapan pemijahan dari total 50 ekor induk yang digunakan. Selanjutnya induk yang matang gonad dari hasil seleksi dipijahkan dalam bak beton dengan perbandingan 1 jantan : 1 betina.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa ikan gurami sago mencapai puncak musim pemijahan pada awal musim hujan sampai akhir musim hujan dan saat musim kemarau ikan gurami sago yang matang gonad mulai berkurang, namun masih dapat dipijahkan. Pada awal musim kemarau ikan gurami sago yang matang gonad lebih sedikit namun dapat memijah sepanjang tahun. Siklus reproduksi 1 ekor induk memaan waktu 1-2 bulan.

Ciri-ciri visual pada ikan gurami sago yang sudah matang gonad [TKG IV] ditentukan dengan cara melihat morfologi tubuh induk ikan. Induk jantan ditandai dengan tonjolan pada dahi agak lunak, adanya titik pada lubang kelamin yang agak

66 | Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago

kemerahan dan apabila ditekan keluar cairan bening. Induk betina yang matang gonad ditandai dengan bagian perut sedikit membesar [buncit] lembek dan lubang kelamin kemerah-merahan.

Hasil pengamatan perilaku pemijahan [mating behavior] induk ikan gurami sago dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Perilaku pemijahan ditandai induk jantan bergerak mendekati dan mengelilingi induk betina sebagai tanda mulai terjadi ovulasi.

b. Saat terjadi pemijahan induk jantan melengkungkan tubuh pada tubuh induk betina. Kemudian induk betina mengeluarkan telur diikuti induk jantan mengeluarkan sperma untuk membuahi telur .

c. Telur-telur yang mengandung lemak mengapung pada permukaan air dan setelah pemijahan selesai maka kedua induk ikan gurami sago mengambil telur yang terapung dengan mulut, selanjutnya telur dikumpulkan/dimasukkan ke dalam sarang yang tersedia dan sarang ditutup.

d. Setelah pemijahan selesai maka induk betina menjaga sarang yang telah berisi telur dan mengipas dengan ekor guna meningkatkan kadar oksigen.

e. Penetasan terjadi 24-48 jam setelah pembuahan telur pada suhu air 29-30 oC.

f. Ikan gurami sago bersifat partial spawning yaitu memijah sebagian dimana seluruh telur tidak dikeluarkan semua sehingga induk ikan akan memijah lagi hingga 1-2 kali dengan interval waktu yang tidak menentu, tergantung kepada pakan yang diberikan.

Data hasil pemijahan alami induk ikan gurami sago disajikan pada Tabel 4.1. Pemijahan alami meliputi kegiatan pemilihan induk matang gonad, pencampuran induk, proses pemijahan, dan penetasan telur.

Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago | 67 Tabel 4.1 Data hasil pemijahan alami induk ikan gurami sago

jumlah ekor bobot Induk No. interval waktu jantan betina keterangan kolam jantan betina pemijahan [kg] [kg] 1 1 1 2,2 2,0 memijah 4 hari 2 1 1 2,3 2,1 memijah 5 hari 3 1 1 1,9 1,2 memijah 6 hari 4 1 1 3,0 2,5 memijah 5 hari 5 1 1 2,7 2,1 memijah 7 hari 6 1 1 2,6 2,3 memijah 6 hari 7 1 1 2,4 2,2 memijah 8 hari 8 1 1 2,5 2,1 memijah 5 hari 9 1 1 1,8 1,4 memijah 6 hari

Pemilihan induk dilakukan dengan melihat ciri-ciri visual induk jantan dan betina yang telah matang gonad, kemudian induk yang matang gonad dikumpulkan di dalam bak beton ukuran 2x2x0,6 m [Gambar 13]. Pencampuran induk dilakukan dengan memasukkan induk pada tiap bak pemijahan sebanyak satu pasang induk sekitar pukul 16.00 WIB. Sepasang ikan tersebut akan saling menyesuaikan diri. Jika ada kesesuaian maka ikan akan membuat sarang, tetapi jika tidak ada kesesuaian maka ikan ini akan berkelahi, sehingga perlu dilakukan penggantian salah satu dari induk. Di dalam bak pemijahan sudah disediakan ijuk dan wadah waskom plastik diametar 20 cm yang ditempelkan pada kerangka kayu. Sebagian baskom sudah diisi dengan ijuk guna untuk mempercepat proses pembuatan sarang oleh induk jantan dan betina. Ikan yang telah dimasukan ke dalam bak pemijahan, maka proses pembuatan sarang akan berlangsung selama 2-3 hari. Setelah itu baru terjadi pemijahan. Pemijahan alami akan berlangsung paling cepat setelah 4 [empat] hari dan paling lama 8 [delapan] hari setelah induk jantan dan betina dimasukan ke dalam bak pemijahan.

68 | Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago

Gambar 4.4 . Kolam pemijahan ikan gurami sago

Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago | 69

Gambar 4.5 Kolam tanah untuk pemijahan induk gurami sago

Pengecekan telur dilakukan setiap pagi pada setiap sarang yang sudah dibuat induk ikan dengan cara menusuk sarang atau dengan menggoyangkannya. Bila keluar telur atau minyak maka pemijahan sudah terjadi dan sarang berisi telur. Sarang yang berisi telur di daerah Luak tidak dikeluarkan dari tempat sarang, telur dibiarkan menetas yang dijaga oleh induk sampai menetas. Pada saat larva sudah berumur sekitar sepuluh hari maka larva langsung didederkan pada kolam pendederan. Berbeda dengan system penetasan telur yang dilakukan di daerah lain seperti di daerah Padang Pariaman, telur yang telah tersedia di sarang secara perlahan untuk dipindahkanke dalam waskom plastik yang telah diisi air kolam induk. Secara perlahan sarang dibuka sampai telur keluar dan mengapung di permukaan air. Telur-telur tersebut dibiarkan menetas di dalam waskom plastik, dengan cara jika ada telur yang tidak dibuahi maka telur tersebut dibuang.

Benih gurami oleh petani ikan di Kecamatan Luak dan Lareh Sago Halaban dapat dipelihara di bak tembok atau ditebar langsung ke kolam pendederan. Pakan awal berupa Daphnia sp., Moina sp dan cacing rambut atau sumber protein hewani lainnya. Bahan-bahan nabati dapat mulai diberikan setelah larva berumur 36-40 hari. Sedangkan pakan buatan [pelet] dapat diberikan setelah berumur 80 hari. Ukuran pelet disesuaikan dengan bukaan mulut ikan. Lama pemeliharaan dan benih yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 4.2.

70 | Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago

Tabel 4.2 Ukuran produksi benih ikan gurami di Kecamatan Luak

No Istilah Penamaan*] Umur Harga SNI : 01- 6485.3 - [hari] [Rp]/ekor 2000 Kelas Ukuran benih sebar [cm] 1 Anak Gurami Larva 0,75- 5 70,- 1,0 2 Sakali Adiak 15-20 400,- Benih 1-2 3 Sakali Adiak Pas 25-30 750,- 4 Sandiang Api-Api 45 900,- 5 Sandiang Surya 60 1.200,- Benih 2-4 6 Sandian Komondor 90 1.400,- 7 Kewe Ketek 120 1.700,- 8 Kewe Gadang 150 2.000,- 9 Api-Api Gesek 180 3.000,- 10 Kotak Api-api 200 3.500,- benih 4-6 11 Ukuran Gepe 240 5.000,- 12 Surya 250-270 7.000,- Benih 8-11 Sumber : *Wawancara dengan petani ikan

Gambar 4.6 Kolam pembenihan ikan gurami di kecamatan Luak dan Lareh Sago Halaban

Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago | 71 Fekunditas, derajat pembuahan telur, daya tetas dan sintasan juvenil

Daya reproduksi pada beberapa jenis ikan dipengaruhi beberapa faktor diantaranya adalah induk, jenis kelamin, padat tebar, umur dan ukuran. Hasil pengamatan berdasarkan tingkatan umur induk ikan gurami yaitu umur 6-7 tahun, 10-12 tahun dan 27-30 tahun yang dipergunakan oleh para petani untuk kegiatan budidaya di nagari Mungo Kabupaten Lima Puluh terhadap potensi reproduksi meliputi diameter telur, jumlah telur [fekunditas], derajat pembuahan telur, daya tetas, dan sintasan sampai habis kuning telur disajikan pada Tabel 4.3 .

Tabel 4.3 Potensi reproduksi induk ikan gurami strain tambago berdasarkan tingkatan umur

Potensi reproduksi Umur Diameter Derajat Derajat Fekunditas Sintasan [tahun] telur pembuahan penetasan [butir] [%] [mm] telur [%] telur [%] 6 -7 0,97±0,10a 883±105a 59,83±41,97 a 94,41±4,77 a 85,98±2,72 a 10 -12 1,65±0,32b 1.113±283 b 84,24±10,03 a 98,95±0,65 a 98,80±0,92 b 27 - 30 1,18±0,14c 1099±109b 72,19±4,92 a 98,54±0,31 a 72,65±9,83 c Keterangan : Rataan ±SD [n = 3] dengan huruf superscript yang berbeda menunjukan berbeda nyata [p<0,05] dan huruf superscript yang sama menunjukan tidak berbeda nyata [p>0,05]

Adanya faktor internal dan eksternal mempengaruhi kualitas telur induk dimana faktor internal meliputi: umur induk, ukuran induk dan genetik, sedangkan faktor eksternal meliputi: pakan, suhu, cahaya, kepadatan dan populasi. Faktor internal genetika induk ikan juga akan mempengaruhi mutu telur yang akan dihasilkan. Dua faktor internal non genetik yang mempengaruhi mutu telur dan keturunan ikan yang penting adalah umur induk dan ukuran tubuh. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ikan betina yang memijah untuk pertama kali menghasilkan telur berukuran kecil. Diameter telur meningkat dengan jelas untuk pemijahan kedua dan laju peningkatan ini lebih lambat pada pemijahan-pemijahan selanjutnya. Bobot telur lebih bergantung kepada umur dibandingkan diameter telur.

72 | Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago

Hubungan antara umur induk betina dengan ukuran telur adalah kuadrat dimana induk betina muda yang 24 memijah untuk pertama kali memproduksi telur-telur berukuran kecil, induk betina yang berumur sedang menghasilkan telur-telur berukuran besar dan induk betina yang sudah tua kembali menghasilkan telur berukuran kecil. Hubungan ini memungkinkan untuk menentukan umur optimal. Pengaruh umur terhadap komposisi kimia telur juga telah dibuktikan oleh beberapa penelitian. Persentase protein dan lipida dalam telur ikan meningkat dengan meningkatnya umur ikan sampai nilai maksimum, sedangkan pada ikan mas [Cyprinus carpio] jumlah asam-asam amino paling rendah pada umur induk betina tiga tahun dan paling tinggi pada umur 7-8 tahun dan menurun lagi pada umur 11- 14 tahun. Hal yang sama terjadi juga pada laju pertumbuhan embrio yang lebih tinggi pada umur betina 6-8 tahun. Diameter telur ikan gurami berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan bahwa umur induk 10-12 tahun memiliki diameter yang paling panjang yaitu sebesar 1,65±0,32 mm diikuti umur induk 27-30 tahun yaitu sebesar 1,18±0,14 mm dan diameter yang terkecil diperoleh pada umur induk 6-7 tahun yaitu sebesar 0,97±0,10 mm. Fekunditas terbanyak diperoleh pada umur induk 10- 12 tahun yaitu sebesar 1.113±283 butir dan fekunditas terkecil diperoleh pada umur induk 6-7 tahun yaitu sebesar 883±105 butir. Pada ikan nila turunnya produktivitas induk karena faktor umur menyebabkan fekunditas kecil dan siklus pemijahan lambat, dan menjadi salah satu kendala yang paling signifikan pada produksi ikan nila secara komersial untuk eksistensi di masa depan [Tahoun et al, 2008]. Selanjutnya Tahoun et al, 2008 menyatakan umur induk nila 3 tahun yang dipelihara dengan ratio seks 3:1 menghasilkan fekunditas sebesar 1036,25±129,35 butir/induk betina. Pada ikan Siganus guttatus [Bloch] yang didomestikasi, fekunditas terbesar diperoleh pada umur induk 1-2 tahun yaitu sebesar 786,848 butir dimana hal ini menunjukkan bahwa efek domestikasi mempengaruhi terhadap kinerja reproduksi [Gorospe et al, 2011]. Selanjutnya Szczepkowski et al [2010] menyatakan bahwa ikan Coregonus lavaretus L yang diperoleh dari Danau Galaduś dan kemudian dipelihara secara terkontrol menghasilkan fekunditas tetinggi dan ukuran telur terbesar pada umur induk 3+ tahun. Induk ikan Clarias gariepinus berumur 24 dan 30 bulan dapat memproduksi telur sebanyak 260 dan 300 gram telur [Jokthan, 2013].

Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago | 73 Pasokan makanan yang melimpah umumnya dapat memproduksi telur yang lebih besar daripada spesies yang sama yang menerima lebih sedikit makanan. Namun pengaruh pasokan makanan tidak terlihat pada perubahan komposisi proksimat telur, persentase penetasan dan daya hidup larva. Jadi pengaruh pembatasan makanan terhadap mutu telur diimbangi oleh fakta bahwa ikan dapat mempertahankan mutu telurnya dengan mempengaruhi jumlahnya dan lipida yang ada dalam gonad dapat digunakan untuk tujuan metabolik hanya dibawah kondisi kekurangan makanan. Pengaruh kualitas makanan terhadap sifat-sifat telur seperti ukuran telur dan komposisi telur, dilaporkan bahwa induk betina yang diberi makan pelet memproduksi telur yang lebih kecil daripada yang diberi pakan basah, demikian juga pengaruh positif pakan yang berasal dari tepung ikan. Pada ikan red seabream yang diberi pakan protein rendah dan kekurangan posfor daya tetas telurnya rendah dan larva abnormal. Szczepkowski et al [2010] menyatakan bahwa nutrisi berperan penting dalam persiapan pertumbuhan dan pemijahan ikan Coregonus lavaretus L.

Persentase derajat pembuahan yang tinggi selain dipengaruhi persentase kematangan akhir telur juga dipengaruhi oleh kualitas sperma. Semakin tinggi persentase kematangan akhir dan semakin baik kualitas spermatozoanya semakin tinggi pula derajat pembuahannya. Kematangan akhir telur juga dipengaruhi dari pakan yang diberikan kepada induk. Induk ikan gurame yang dipelihara secara terkontrol dan pakannya di tambah vitamin E menunjukkan derajat pembuahan telur yang tinggi dibandingkan dengan yang tanpa diberi vitamin E. Dari kenyataan ini menunjukkan vitamin E mempunyai fungsi fisiologis dalam proses pemijahan, fertilisasi dan daya tetas telur. Hal tersebut menunjukkan bahwa E-tokoferol dibutuhkan dalam jumlah besar sebagai antioksidan. Vitamin E dengan aktif akan terikat pada lipoprotein selaput sel dan organella subseluler serta terlibat pada pencegahan peroksida phospholipid dari pada selaput mitokondria, mikrosom- mikrosom dan lisosom, juga menjaga integritas selaput subseluler. Pada penelitian ini umur induk ikan gurami 10-12 tahun dapat menghasilkan derajat pembuahan telur sebesar 84,24±10,03% dan terendah pada umur induk 6-7 tahun.

Kualitas telur yang baik dapat juga direfleksikan dengan peningkatan derajat tetas telur. Penambahan vitamin E dalam pakan sampai batas tertentu akan menghasilkan derajat tetas telur yang tinggi.Vitamin E berfungsi sebagai pemelihara

74 | Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago

keseimbangan metabolik dalam sel dan sebagai anti oksidan intraseluler. Komponen utama telur adalah kuning telur yang merupakan sumber energi material bagi embrio yang sedang berkembang, jumlah dan mutu kuning telur sangat menentukan keberhasilan perkembangan embrio dan pasca embrio. Vitamin E yang diberikan dalam pakan induk mempunyai suatu peranan penting dalam proses reproduksi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas telur, daya tetas telur dan kelangsungan hidup larva. Ikan yang tidak dalam kondisi terkontrol baik lingkungan dan nutrisinya dapat mengakibatkan terganggunya proses gametogenesis [Bogdanova, 2004]. Dari hasil kajian di lapangan dan pengamatan langsung ke lokasi pembenihan ikan gurami didapatkan data hubungan antara umur induk dengan jumlah telur ikan gurami strain palapah seperti dicantumkan pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Jumlah larva yang dihasilkan dari induk betina ikan gurami strain palapah berbeda umur

Umur induk Rata-rata jumlah larva [ekor] 4 tahun 1.128±417a 8 tahun 3.677±776b 12 tahun 4.649±628c

Perbedaan umur induk diduga menyebabkan berbedanya kualitas telur, sehingga mempengaruhi daya tetas telur. Dugaan ini berdasarkan pendapat Konovalov [1978] dalam Hardjamulia [1987] bahwa telur ikan mas [Cyprinus carpio] yang matang berasal dari induk umur lima sampai dengan delapan tahun kaya akan protein kelompok SH, daripada umur sembilan sampai empat belas tahun, demikian pula dengan total proteinnya. Apakah kondisi tersebut berlaku untuk telur ikan gurami yang berasal dari umur berbeda dalam kajian ini belum dapat diungkapkan. Perbedaan jumlah larva yang dihasilkan oleh induk ikan gurami, selain faktor umur, juga berhubungan dengan panjang dan bobot tubuh. Panjang total ikan gurami umur empat tahun adalah 30 cm dengan bobot rata-rata 1.250 gram, induk umur delapan tahun adalah 40 cm dengan bobot rata-rata 2.500 gram dan induk umur dua belas tahun adalah 40 cm dengan rata-rata bobot 3.000 gram. Hasil penelitian Syandri [1999] membuktikan bahwa semakin panjang dan semakin berat tubuh induk betina ikan Gurami maka jumlah telur yang dihasilkan semakin banyak. Sebagai

Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago | 75 contoh ikan Gurami dengan panjang tubuh 36 cm dan bobot 1.890 gram menghasilkan telur sebanyak 2.543 butir, sedangkan pada panjang 51 cm dengan bobot tubuh 4.110 gram menghasilkan telur sebanyak 3.885 butir. Menurut Bitner et al [1989] bahwa umur ikan juga mempengaruhi kemampuan induk untuk menghasilkan telur. Sebagai contoh ikan Catla [Catla catla] umur tiga tahun menghasilkan telur sebanyak 3.077.900 butir [Jhingran and Pullin, 1985]. Pertambahan umur ikan cenderung meningkatkan jumlah telur secara linear [Bagenal,1978]. Selanjutnya Sitanggang [1996] menyatakan bahwa induk ikan gurami yang produktif menghasilkan telur berumur lima sampai dengan sepuluh tahun dengan periode pemijahan tiga sampai empat kali setiap tahun. Pada hasil kajian ini induk betina umur dua belas tahun menghasilkan larva lebih banyak daripada umur empat tahun dan delapan tahun. Tetapi kemampuan induk umur dua belas tahun menghasilkan telur hanya satu sampai dua kali per tahun [komunikasi pribadi]. Telur yang tidak menetas dari induk umur empat tahun [37,44%], umur delapan tahun [0,79%] dan umur dua belas tahun [16,99%]. Kualitas telur yang berasal dari induk umur empat tahun lebih rendah daripada induk umur delapan tahun dan dua belas tahun, sedangkan kualitas telur induk umur dua belas tahun lebih rendah daripada umur delapan tahun. Menurut Hardjamulia [1987] umur induk ikan mas [Cyprinus carpio] berpengaruh terhadap sifat kimia telur, pada ikan yang sering dipijahkan dan mempunhyai umur lebih tua, maka persentase oosit yang mengalami atresia semkin meningkat. Pada ikan gurami belum dapat menjelaskan perubahan sifat kimia telur karena tidak melakukan analisis. Secara umum dapat dijelaskan semakin tua umur induk maka energi yang ada di dalam tubuh digunakan lebih dahulu untuk pemeliharaan tubuh, setelah itu digunakan untuk pembentukan gonad, sehingga kondisi tersebut akan mempengaruhi daya tetas telur [Eliot, 1979]. Telur ikan gurami yang mati berwarna kuning pucat, sedangkan yang hidup berwarna kuning cerah. Penulis beranggapan telur yang mati sudah mengalami kerusakan sebelum diovulasikan, penyebab utamanya disebabkan oleh umur induk. Faktor lain yang menyebabkan telur tidak dibuahi bukan karena kualitas spermatozoa, karena induk jantan mempunyai umur yang sama yaitu sekitar lima tahun.

76 | Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago

Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago | 77 Bobot induk jantan rata-rata 2,38±0,38 kg per ekor dan betina 2,04±0,26 kg per ekor. Hasil pengamatan fekunditas pada pemijahan alami memperlihatkan bahwa telur yang dihasilkan bervariasi tergantung bobot induk betinanya. Nilai fekunditas ikan gurami sago dari pemijahan secara alami berkisar antara 1.008-1.794 butir per kg berat badan. Nilai tersebut menunjukkan potensi telur yang dihasilkan untuk satu kali pemijahan. Bervariasinya jumlah fekunditas ikan gurami sago per kg bobot tubuh kemungkinan dapat disebabkan oleh kisaran umur induk betina, diametar telur dan faktor genetik. Menurut Nikolsky [1969] bahwa jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada saat ikan itu akan memijah dinamakan fekunditas individu atau fekunditas mutlak. Dalam hal ini ia memperhitungkan telur yang ukurannya berbeda.

Selanjutnya Nikolsky [1969] menyatakan bahwa fekunditas individu adalah jumlah telur dari generasi tahun itu yang akan dikeluarkan tahun itu pula. Dalam ovari biasanya ada dua macam ukuran telur, yang besar dan yang kecil. Telur yang besar akan dikeluarkan pada tahun itu dan yang kecil akan dikeluarkan pada tahun berikutnya. Namun apabila kondisi baik, telur yang kecilpun akan dikeluarkan menyusul telur yang besar. Sehubungan dengan hal ini maka perlu menentukan fekunditas ikan apabila ovari ikan itu sedang dalam tahap kematangan yang ke-IV dan yang paling baik sesaat sebelum terjadi pemijahan. Dari hasil penghitungan derajat pembuahan telur ikan gurami sago tergolong sangat baik berkisar antara 87,89% - 99,26%, dengan derajat penetasan telur berkisar antara 98,07%-99,32%.

78 | Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago

Gambar 4.7 Perkembangan embrio, larva dan benih ikan gurami sago

Selanjutnya nilai rata-rata pertumbuhan panjang mutlak dan bobot spesifik larva yang berasal dari induk berbeda umur selama pemeliharaan 18 hari dicantumkan pada Tabel 4.6.

Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago | 79 Tabel 4.6 Laju pertumbuhan panjang mutlak dan bobot spesifik larva ikan gurami.

Umur Induk Rata-rata panjang mutlak Rata-rata bobot [mm] spesifik [g] 4 tahun 3,834a 0,0496a 8 tahun 4,429a 0,0239a 12 tahun 5,333c 0,0956a Keterangan : angka supercrip yang berbeda dibelakang rata-rata menunjukkan berbeda nyata [p,0,05]

Dari hasil kajian dapat dijelaskan bahwa laju pertumbuhan panjang mutlak dan bobot spesifik larva selama 18 hari secara berurutan yang terbesar adalah pada larva yang berasal dari induk umur dua belas tahun yaitu sebesar 5,333 mm. Selanjutnya diikuti oleh larva yang berasal dari induk umur delapan tahun yaitu sebesar 4,429 mm dan induk umur empat tahun sebesar 3,834 mm. Untuk laju pertumbuhan bobot spesifik terbesar berasal dari induk umur dua bela tahun yaitu 0,0956, selanjutnya diikuti oleh larva yang berasal dari induk umur empat tahun yaitu 0,0496 dan umur delapan tahun sebesar 0,0239. Terjadinya perbedaan pertumbuhan tersebut disebabkan oleh perbedaan umur induk, pada kajian ini semakin meningkat umur induk , pertumbuhan larva semakin cepat. Menurut Bagenal [1978] bahwa perbedaan umur induk dapat menyebabkan perbedaan kualitas telur antara lain diameter telur sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan larva.

Diduga telur yang dihasilkan oleh induk ikan gurami yang berbeda umur mempunyai kualitas telur yang berbeda, yakni induk umur empat tahun yang baru mulai memijah telurnya mempunyai kualitas yang kurang baik, jika dibandingkan dengan telur yang dihasilkan oleh induk yang berumur delapan tahun dan dua belas tahun. Dugaan ini diperkuat oleh keterangan petani ikan gurami di wilayah Mungo, Andaleh yakni ikan gurami umur empat tahun belum baik menghasilkan larva dan benih, karena telur yang dihasilkan banyak yang busuk.

Pada kajian ini berdasarkan hasil pengamatan di lapangan pembenihan ikan gurami akhir-akhir ini di daerah Mungo mengalami kemunduran dalam memperoduksi benih, karena air kolam tempat pembenihan berasal dari air limpahan dari pembenihan ikan lele dumbo. Pada hal menurut ketrangan petani air limpahan dari kolam pembenihan ikan lele dumbo kurang baik kualitasnya.

80 | Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago

Kelangsungan hidup benih ikan gurami selama pemeliharaan 18 hari dari setiap tingkatan umur induk dicantumkan pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Kelangsungan hidup larva ikan gurami dari induk betina berbeda umur Umur Induk Rata-Rata Kelangsungan hidup [%] 4 tahun 81,33±1,53 8 tahun 89,66±1,53 12 tahun 77,33±2,52

Kelangsungan hidup larva yang terbaik berasal dari induk yang berumur delapan tahun, diikuti oleh larva yang berasal dari induk umur empat tahun dan dua belas tahun. Tingginya kelangsungan hidup larva yang berasal dari induk emur delapan tahun [89,66%] diduga disebabkan induk umur delapan tahun adalah induk yang sedang produktif untuk menghasilkan telur. Menurut Sitanggang [1996] bahwa induk ikan gurami yang produktif untuk melakukan pemijahan berumur antara lima tahun sampai dengan sepuluh tahun. Kelangsungan hidup larva yang berasal dari induk umur dua belas tahun lebih rendah daripada induk umur empat tahun dan delapan tahun. Hal ini disebabkan karena induk tersebut kurang produktif untuk menghasilkan telur. Berdasarkan komunikasi pribadi dengan petani ikan gurami di daerah Mungo bahwa induk umur dua belas tahun kualitas telurnya kurang baik, sehingga jumlah larva yang dihasilkan oleh satu ekor induk lebih sedikit dari induk umur delapan tahun. Menurut Effendie[1997] kelangsungan hidup larva dapat dipengaruhi oleh factor interbal dan eksternal. Faktor internal adalah ketersediaan kuning telur dalam tubuh, bukaaan mulut larva dan ukuran tubuh, sedangkan faktor eksternal adalah suhu air, cahaya, dan ketersediaan pakan alami di kolam atau wadah pemeliharaan.

Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago | 81

82 | Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago

Gambar 4.8 Nama dan tingkatan ukuran benih gurami sago produksi Nagari Mungo Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota. Jenis pakan dan kebiasaan makan ikan gurami sago

Berdasarkan pengamatan di lapangan diketahui bahwa ikan gurami sago pada fase benih yang dipelihara di kolam pendederan bersifat omnivora yaitu memakan plankton [moina dan dapnia] dan hewan air berukuran kecil. Namun berdasarkan hasil pengamatan di lapangan yang telah dilakukan mulai tahun 2013 sampai 2015 diketahui bahwa ikan gurami sago yang dipelihara dalam kolam dapat mengkonsumsi pakan komersial berupa pelet apung berdasarkan fase pemeliharaan.

Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago | 83 Hasil pengamatan di lapangan diperoleh data jenis makanan ikan gurami sago pada benih ikan ukuran 5-12 cm selain pakan alami juga memakan pelet. Dari hasil pengamatan isi lambung benih ikan gurami sago ukuran 3-5 cm yang berasal dari kolam budidaya dapat diketahui makanannya yaitu berupa pelet, serangga air, daphnia, moina, cyclop,chironomus, dan rotifer. Benih ikan gurami sago yang dipelihara /dibesarkan di kolam sawah, kolam terpal dan keramba jaring apung juga dapat memakan daun talas. Meskipun demikian untuk proses pematangan telur induk ikan gurami sago, pakan komersial [pelet] tidak diberikan. Pakan yang diberikan adalah daun talas dan batang talas [sente].

Gambar 4.9 Tanaman talas sente [Alocasia macrorrhiza Schott] yang digunakan untuk mematangkan telur ikan gurami sago

84 | Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago

Tabel 4.9 Kadar proksimat daun talas sebagai pakan induk ikan gurami sago

Daun talas No Parameter Bobot basah Bobot kering [%] [%] 1 Kadar air 92,00 0,00 2 Kadar abu 0,05 0,63 3 Protein kasar 0,40 5,00 4 Karbohidrat 3,88 48,46 5 Lemak kasar 3,41 40,51 6 Serat kasar 0,43 5,40

Tabel 4.10 Nilai proksimat batang talas sebagai pakan induk ikan gurami sago

Batang talas No Parameter bobot basah bobot kering [%] [%] 1 Kadar air 80,43 0,00 2 Kadar abu 1,12 5,72 3 Protein Kasar 1,07 5,47 4 Karbohidrat 10,86 55,49 5 Lemak Kasar 6,60 33,70 6 Serat Kasar 1,27 6,51

Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago | 85 Tabel 4.11 Jenis pakan dan kebiasaan makan ikan gurami sago dari hasil percobaan

Fase Pakan Proksimat pakan komersial Larva Pakan alami [moina, dhapnia & cacing tubifek] Sakali adiak pas Pakan udang [MS Kadar air maks 11%, protein min 40%, lemak [umur 12-30 hari] Pengli Nol] min 6%, serat kasar maks 3% dan Abu maks 11%. Sakali adiak lamo TP.80 Kadar air maks 11%, protein min 40%, lemak [umur 30-45 hari] min 6%, serat kasar maks 3% dan abu maks 11%. Sandiang korek api TP.80 Kadar air maks 11%, protein min 40%, lemak [45-60 hari ] min 6%, Serat kasar maks 3% dan abu maks 11%. Sandiang kotak TP.80 Kadar air maks 11%, protein min 40%, lemak rokok surya [umur min 6%, serat kasar maks 3% dan abu maks 60-75 hari ] 11%. Sandiang komondor [ TP.120 Kadar air maks 11%, protein min 38%, lemak umur 75-90 hari] min 6%, serat kasar maks 3% dan abu maks 11%. Kewe ketak [umur TP.120 Kadar air maks 11%, protein min 38%, lemak 90-105 hari] min 6%, serat kasar maks 3% dan abu maks 11%. Kewe gadang [umur Pakan komersial Kadar air maks 12%, protein min 33%, lemak 105-125 hari] Sinta Min-1 min 5%, serat kasar maks 6% dan abu maks 12%. Kotak api-Api [umur Pakan komersial Kadar air maks 12%, protein min 33%, lemak 125-140 hari] Sinta Min-2 min 5%, serat kasar maks 6% dan abu maks 12%. Kotak rokok GP Pakan komersial Kadar air maks 12%, protein min 29-31%, [umur 140-165 hari] Sinta Min-3 lemak min 5%, serat kasar maks 6% dan abu maks 12%. Kotak rokok Surya Pakan komersial Kadar air maks 12%, protein min 29-31%, [umur 165-180 hari Sinta Min-3 lemak min 5%, serat kasar maks 6% dan abu maks 12%. Ukuran konsumsi Pakan komersial Kadar air maks 12%, protein min 29-31%, Sinta Min-3 lemak min 5%, serat kasar maks 6% dan abu maks 12%.

Pada tahun 2001 dilakukan koleksi benih ikan gurami sago dari alam yaitu dari sungai Sinamar, selanjutnya dipelihara oleh petani ikan di dalam kolam air tenang di Kenagarian Mungo Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota. Ikan gurami sago yang dikumpulkan berukuran benih dengan panjang 2-3 cm sebanyak 2.000 ekor. Setelah itu benih ikan tersebut dipelihara di dalam happa dan di adaptasikan

86 | Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago

dengan pakan komersial pelet tepung crumble [protein minimal 40%, lemak minimal 6%, serat kasar maksimal 3%, abu maksimal 15%, kadar air maksimal 10%] selama 60 hari sampai mencapai ukuran 4,0 - 4,5 cm. Selanjutnya benih ikan dipelihara dalam kolam pendederan [sawah] selama 60 hari sampai mencapai ukuran 5-8 cm, dan dilanjutkan lagi dipelihara dalam kolom selama 125 hari sampai mencapai ukuran 8-10 cm dengan pemberian pakan pelet apung crumble ukuran 3 mm [protein 28%-30%, lemak minimal 5,5%, serat kasar maksimal 5%, abu maksimal 12%, kadar air maksimal 12%]. Selanjutnya benih ikan gurami sago dipelihara dalam di kolam sampai menjadi induk.

Ikan gurami sago termasuk kelompok ikan omnivora dan cenderung herbivora sehingga beberapa jenis pakan buatan berupa pelet komersial yang bersumber dari bahan nabati dan hewani diujicobakan. Pemberian pakan dilakukan sekenyangnya [satiasi], dua kali sehari [pagi dan sore]. Pada pengamatan awal digunakan ikan gurami sago dewasa, namun tidak memberikan respons terhadap pakan berupa pelet apung [protein sekitar 30%]. Oleh karena itu, adaptasi pakan buatan dalam pemeliharaan ikan gurami sago diganti dengan menggunakan benih ikan berukuran 3-5 cm dengan pemberian pakan pelet serbuk [protein 40%] sampai akhirnya menjadi ukuran induk [G0] yang sudah terbiasa memakan pakan buatan berupa pelet apung [protein 30%]. Adaptasi tersebut menjadikan ikan gurami sago terbiasa memakan pakan buatan.

Hasil pengamatan di lapangan diketahui adanya peningkatan jumlah pakan yang dikonsumsi benih ikan gurami sago setiap hari dari 4% bobot badan hingga meningkat 6% dari bobot badan per hari. Dengan demikian tingkat adaptasi terhadap pakan buatan telah berhasil dilakukan.

Toleransi benih ikan gurami sago terhadap salinitas

Sebelum ikan diuji dengan salinitas, akuarium ukuran 45x45x30 cm diisi dengan air tawar sebanyak 40 liter, selanjutnya dilakukan proses titrasi yaitu menaikan kadar salinitas air secara perlahan menggunakan air laut. Proses titrasi menggunakan botol air mineral bekas yang di isi air laut, selanjutnya dialirkan ke dalam akuarium menggunakan slang infus dengan menaikan salinitas 3‰ sesuai perlakuan. Setelah kadar salinitas masing-masing air di dalam wadah yaitu salinitas 0‰, salinitas 5‰, salinitas 10‰ dan salinitas 15‰, selanjutnya dilakukan pengukuran awal

Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago | 87 parameter ikan yang diuji dan masing-masing salinitas di dalam wadah akuarium dipertahankan konstan sampai penelitian berakhir.

Hasil uji toleransi salinitas pada ikan gurami sago disajikan pada Tabel 4.12. Ikan gurami sago termasuk ikan yang bersifat stenohaline, yaitu jenis organisme air yang kurang dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan budidaya yang bersalinitas tinggi. Ikan gurami hanya mampu beradaptasi sampai salinitas 10‰, sedangkan pada salinitas 15‰ sampai hari ke-15 masa pemeliharaan, benih sudah mati lebih dari 50%. Berdasarkan hal tersebut maka salinitas yang diuji adalah 0‰, 5‰ dan 10‰.

Tabel 4.12. Data uji toleransi salinitas pada benih ikan gurami sago selama masa pemeliharaan 60 hari.

Perlakuan Kelangsungan Bobot Bobot Panjang Panjang salinitas hidup [%] mutlak [g] spesifik mutlak spesifik [%] [%] [cm] A [0‰] 76,45±5,39a 10,85±1,97a 2,73±0,12a 2,85±0,42a 2.25± 0,08a B [5‰] 88,88±3,87a 12,61±3,6a 2,84±0,13a 3,05±0,62a 2.27± 0,06a C [10‰] 75,55±5,18a 11,10±4,07a 2,73±0,28a 2,83±0,81a 2.25± 0,08a

Kelangsungan hidup benih ikan gurami sago dengan perlakuan salinitas 0‰, 5‰ dan 10‰ secara statitik tidak berbeda nyata, namun secara biologi kelangsungan hidup yang lebih baik [88,88±3,87%] terdapat pada salinitas 5‰, sedangkan pada salinitas 10‰ kelangsungan hidup masih dapat mencapai 75,55±5,18%. Dengan demikian batas toleransi benih ikan gurami sago terhadap salinitas adalah 10‰.

Holliday [1996] menyatakan bahwa kemampuan ikan untuk bertahan pada media bersalinitas tergantung kepada kemampuan ikan untuk mengatur cairan tubuh, sehingga mampu mempertahankan tingkat tekanan osmotik yang mendekati normal. Wahyurini [2005], menyatakan ikan nila merah yang dipelihara pada salinitas 10‰ mengasilkan tingkat kelangsungan hidup 92%, pada salinitas 15‰ adalah 74,67 %, dan pada salinitas 20‰ adalah 59,33%, sedangkan yang terendah pada salinitas 25‰ yaitu 48%. Akbar [2012] menyatakan ikan betok yang dipelihara pada salinitas [0, 10, 20 ‰] tingkat kelangsungan hidup yang tertinggi terdapat pada perlakuan salinitas 20 ‰ yaitu sebesar 90%, diikuti perlakuan salinitas 0‰ yaitu 85%, sedangkan yang terendah pada perlakuan salinitas 10‰

88 | Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago

yaitu 82,5%. Mansuri et al. [1979] melaporkan bahwa toleransi salinitas dan periode kematian pada ikan stenohaline air tawar seperti ikan gabus [Channa punctatus] bergantung dengan ukuran kecil [6-8 cm] atau besar [20-30 cm], kematian akibat stres osmotik disebabkan adanya kenaikan salinitas lebih dari 6‰.

Pada Tabel 4.13 dapat dipresentasikan rata-rata pertumbuhan bobot mutlak pada salinitas 5‰ [12,61±2,36 g], diikuti salinitas 10‰ [11,10±4,07 g], dan salinitas 0‰ [10,85±1,97 g]. Tingginya pertumbuhan bobot mutlak pada salinitas 5‰ diduga karena tekanan osmotik media pemeliharaan mendekati tekanan osmotik tubuh benih ikan gurami sago sehingga energi lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan bobot tubuh. Menurut Guner et al. [2004], salinitas yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi pertumbuhan antar perlakuan akibat efek salinitas yang mempengaruhi metabolisme terhadap perubahan fungsi pada sel klorid epitel insang dan aktivitas Na+K+-ATPase. Pengaruh tersebut adalah berupa menyerap energi yangseharusnya digunakan untuk pertumbuhan, namun digunakan untuk perubahan proses metabolisme, sehingga faktor tersebut menyebabkan pertumbuhan ikan tidak optimal.

Toleransi benih ikan gurami sago terhadap temperatur

Hasil pengamatan dan pengukuran suhu di lapangan menunjukkan bahwa ikan gurami sago dapat memijah pada kisaran suhu antara 24,0-28,0°C. Tahap pendederan benih ikan gurami sago mulai dari ukuran 2,5 cm hingga mencapai ukuran 7-8 cm yang dipelihara selama 60 hari menghasilkan pertumbuhan yang baik pada kisaran suhu antara 26-32°C, sedangkan pada tahap pembesaran di kolam, di keramba jaring apung dan di bak terpal ikan gurami sago mampu hidup dan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25-32°C. Dengan demikian batas toleransi minimum suhu air untuk budidaya ikan gurami sago adalah 25oC dan batas maksimum suhu 32oC.

Untuk mengatur suhu air di dalam akuarium pada skala laboratorium digunakan Heater sebanyak 6 buah dan es batu yang dibungkus di dalam kantong plastik. Berdasarkan percobaan yang telah dilaksanakan, untuk menurunkan suhu 1ºC diperlukan es batu sebanyak 10 g/l air dan waktu yang diperlukan untuk menurunkan suhu 1ºC adalah 30 menit, sedangkan untuk menaikkan suhu digunakan Heater dengan cara mengatur skala suhu sesuai dengan suhu yang

Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago | 89 diinginkan, dan dari hasil percobaan untuk menaikkan suhu 1ºC diperlukan waktu 90 menit. Berdasarkan uji coba perbedaan suhu air [25oC, 28oC dan 31oC] media pemeliharaan pada akuarium terhadap benih ikan gurami sago ukuran 6,98±1,2 cm dan bobot rata-rata 5,35±07 g yang dipelihara selama 60 hari . Pada kondisi suhu 25oC benih ikan gurami sago kurang dapat bertahan hidup, angka kematian 55,55% didapatkan ketika benih sudah dipelihara selama 10 hari. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan gurami sago yang dipelihara pada suhu berbeda dipresentasikan pada Tabel 4.13.

Tabel 4.13 Data uji toleransi suhu pada benih ikan gurami sago selama masa pemeliharaan 60 hari.

Perlakuan Kelangsungan Bobot Bobot spesifik Panjang Panjang suhu hidup [%] mutlak [g] [%] mutlak [cm] spesifik [%] A [25oC] 55,55±3,85ᵃ 7,37±0,06ᵃ 2,53±0,01ᵃ 2,20±0,18ᵃ 2,20±0,01ᵃ B [28oC] 64,43± 0,17b 7,57±2,43ᵃ 2,53±0,20ᵃ 2,16±0,61ᵃ 2,19±0,07ᵃ C [31oC] 71,10±3,87c 8,29±1,89ᵃ 2,59±0,14ᵃ 2,56±0,37ᵇ 2,23±0,04ᵃ Ket. Huruf supercrip yang berbeda dibelakang angka rata-rata menunjukan berbeda nyata [p<0.05]

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa kelangsungan hidup dari awal sampai akhir percobaan berkisar antara 55,55%-71,10%. Hal ini menunjukan bahwa perlakuan suhu 28oC dan 31oC dapat mendukung kehidupan benih ikan gurami sago. Kelabora [2010] menyatakan bahwa kelangsungan hidup larva ikan mas [Cyprinus carpio] pada suhu 28ºC, dan 30ºC masing-masing adalah 65,33% dan 50,00%. Sedangkan pada benih ikan botia [Botia macracanthus Bleeker] pada perlakuan suhu 24ºC, 27ºC dan 30ºC pada saat pemeliharaan menunjukan hasil yang sama dan tidak ada yang mengalami kematian [Panjaitan, 2004].

Toleransi benih ikan gurami sago terhadap pH

Hasil pengamatan dan pengukuran pH di lapangan menunjukkan bahwa ikan gurami sago dapat memijah pada kisaran pH antara 7,0-7,6. Pada tahap pendederan benih ikan gurami sago mulai dari ukuran 2,5 cm hingga mencapai ukuran 7-8 cm yang dipelihara selama 105 hari menghasilkan pertumbuhan yang baik pada kisaran pH 7-8, sedangkan pada tahap pembesaran di kolam air tenang, di keramba jaring apung dan di kolam terpal ikan gurami sago mampu hidup dan

90 | Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago

tumbuh dengan baik dengan kisaran pH antara 7,0-8,3. Ujicoba pemeliharaan benih ikan gurami sago pada media air dengan pH berbeda pada skala laboratorium [akuarium]. Air yang digunakan adalah air rawa yang berasal dari wilayah Lubuk Buaya di Koto Padang yang mengandung pH 6. Masing-masing wadah akuarium diisi air sebanyak 40 liter. Untuk menurunkan air ke pH 5 dilakukan pentitrasian dengan larutan HCL. Untuk pH 7 dan pH 8 dilakukan pentitrasian dengan larutan NAOH. Hasil ujicoba pH terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan gurami sago dipresentasikan pada Tabel 4.14.

Tabel 4.14 Data uji toleransi pH pada benih ikan gurami sago selama masa pemeliharaan 60 hari.

Perlakuan Kelangsungan Bobot Bobot Panjang Panjang pH hidup mutlak [g] spesifik mutlak spesifik [%] [%] [%] [cm] A [pH 5] 36,66±20,81a 1,89±0,355a 1,00±0,36a 4,02±1,58a 0,18±0,072a b B [pH 6] 90,00±5,00b 3,18±0,36 1,55±0,36b 8,53±1,60b 0,38±0,065b C [pH 7] 96,66±3,77b 3,53±0,415b 1,69±0,41b 10,46±0,83b 0,46±0,032b D [pH 8] 43,33±10,81a 1,86±0,170a 0,99±0,17a 4,33±0,41a 0,20 ±0,017a

Kelangsungan hidup benih ikan gurami sago yang tertinggi terdapat pada pH 7 [96,66±3,77%], dan yang paling rendah pada pH 5 [36,66±20,81%], termasuk pH 8 [43,33±10,81%]. Hal ini terbukti bahwa pada pH 5 dan pH 8 kurang sesuai dengan kondisi fisiologis benih ikan gurami sago sehingga ikan tidak dapat bertahan hidup. Berdasarkan standar baku mutu air Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 [Kelas 2], pH yang baik untuk kegiatan budidaya ikan air tawar berkisar antara 6–9. Sedangkan menurut Wurts and Robert [1992] pH yang direkomendasikan untuk budidaya perikanan adalah 6,5-9. Walaupun demikian, kebutuhan pH optimal masing – masing spesies ikan berbeda. Menurut Bachtiar [2010], ikan gurami cocok hidup pada perairan dengan kisaran pH 6,7– 7,0. Sebagai pembanding ikan pelangi biru [Melanotaenea lacustris] yang dipelihara pada media pH yang berbeda menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang berbeda. Kelangsungan hidup yang tinggi terdapat pada pH 5-6 [100%], pH 7-8 [96.67%], pH 6-7 [95%] dan pH 4-5 [43.33%]. Tampaknya menurunnya nilai pH air dapat mengganggu proses pertumbuhan ikan M. lacustris. Oleh karena itu, kegagalan pada keseimbangan asam basa mengakibatkan stres pada organ pernafasan dan menurunkan konsentrasi

Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago | 91 darah yang menyebabkan gangguan osmotik, yang merupakan gejala fisiologi yang dominan pada stres pH.

Kesimpulan

Teknik pendederan secara tradisional hanya mampu menghasilkan tingkat kelangsungan hidup ukuran larva sekitar 75%. Sehingga diperlukan adanya perbaikan teknik pembenihan ikan gurami agar kesinambungan produksi dan kualitasnya dapat dipenuhi. Untuk itu diperlukan calon induk yang berkualitas secara genetik. Daya reproduksi pada beberapa jenis ikan termasuk ikan gurami sago dipengaruhi beberapa faktor diantaranya adalah induk, jenis kelamin, padat tebar, umur dan ukuran. Potensi reproduksi meliputi diameter telur, jumlah telur [fekunditas], derajat pembuahan telur, daya tetas, dan sintasan sampai habis kuning telur.

Adanya faktor internal dan eksternal mempengaruhi kualitas telur induk dimana faktor internal meliputi: umur induk, ukuran induk dan genetik, sedangkan faktor eksternal meliputi: pakan, suhu, cahaya, kepadatan dan populasi. Faktor internal genetika induk ikan juga akan mempengaruhi mutu telur yang akan dihasilkan. Dua faktor internal non genetik yang mempengaruhi mutu telur dan keturunan ikan yang penting adalah umur induk dan ukuran tubuh.

Ikan gurami sago pada skala laboratorium dapat dipelihara pada salinitas 5-10‰ dan optimal pada salinitas 5‰ selama 60 hari dengan memakai wadah akuarium dengan kelangsungan hidup 88,88±13,87%. Ikan gurami sago pada skala laboratorium dapat dipelihara pada suhu 25-31oC, optimal pada suhu 28oC selama 60 hari di akuarium ukuran 45x45x20 cm, volume air 40 liter diperoleh kelangsungan hidup 64,43±10,17%. Ikan gurami sago pada skala Lab. dapat dipelihara pada pH 5-8. optimal pada pH 7 selama 60 hari di akuarium ukuran 45x45x20 cm, volume air 40 liter.Kelangsungan hidup 96,66±5,77%. Ikan gurami sago pada skala lapangan di Danau Maninjau dapat dipelihara di keramba jaring apung dan tahan terhadap perairan dengan kadar oksigen ≥ 3,0 mg/L dan kadar belerang Sulfida [H2S] dipermukaan air mencapai angka maksimum 9 mikogam/L [batas toleransi nol].

92 | Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago

Daftar pustaka

Abdullo, R.K; Milusheva, R.Y; Rashidova, S.S and Kamilov, B.G. 2015. Effect of replacement of fish meal with silkworm [Bombyx mori] pupa protein on the gowth of Clarias gariepinus fingerling. International Journal of Fisheries and Aquatic Studies, 2[6]: 25-27.

Ahmad, M; T.A. Qureshi; A.B. Singh; S, Manohar; K, Borana and S.R, Chalko. 2012. Effect of dietary protein, lipid and carbohydrate contents on the gowth, feed efficiency and carcass composition of Cyprinus carpio communis fingerlings. International Journal of Fisheries and Aquaculture, 4 [3] : 30-40

Akbar, J. 2012. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan betok Anabas Testudineus yang dipelihara pada salinitas berbeda. Jurnal Bioscientiae, 9 [2] : 1-8.

Aksungur. N; Aksungur, M; Akbulut, B and Kutlu, I. 2007. Effects of stocking density on gowth performance, survival and food conversion ratio of Turbot [Psetta maxima] in the net cages on the Southeastern Coast of the Black Sea. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 7: 147-152.

Al Zahrani, A.W; A.H, Mohamed; A.E, Serrano and R.F.M. Traifalgar. 2013. Effects of feeding rate and frequency on gowth and feed utilization efficiency in the camouflage gouper [Epinephelus polyphekadion] fingerlings fed a commercial diet. European Journal of Experimental Biology 3[1]: 596-601.

AOAC. 2000. Official methods of analysis, 13th edition. Association of Official Analytical Chemists, Washington, DC, USA.

Asih S; E, Nugoho; A.H, Kristanto dan Mulyasari. 2008. Penentuan variasi genetik ikan batak [Tor sorro] dari Sumatera Utara dan Jawa Barat dengan metode analisis Randomly Amplified Polymorphism DNA [RAPD]. Jurnal Riset Akuakultur 3 [1], 91-97

Azrita; Syandri, H; Nugoho, E; Dahelmi dan Syaifullah. 2011. Variasi genetik ikan Bujuk [Channa lucius] berdasarkan RAPD dari Sumatera Barat, Jambi dan Riau. Berita Biologi 10 [5] : 675 – 680.

Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago | 93 Azrita; Syandri, H and Junaidi. 2014. Genetic variation among asang fish [Osteochilus vittatus] populations using random amplified polymorphic DNA [RAPD] markers. International Journal of Fisheries and Aquatic Studies,1 [6]: 213-217.

Azrita; Y, Basri and Syandri, H . 2015. EA Preliminary Study on Domestication of Bluespotted Snakehead [Channa lucius, Channidae] in Concrete Tank. Journal Aquaculture Research & Development. 6]2] 1-5.

Azrita dan Syandri, H. 2015. Morphological character among five strains of giant gourami, Osphronemuous goramy Lac 1801. Using a truss morphometric system. International Journal of Fisheries and Aquatic Studies, 6 [2] : 344-350.

APHA. 1995. Standard methods for the examination of water and wastewater, 17th Edn. APHA, New York, USA

Asih, S; E, Nugoho; A.H, Kristanto dan Mulyasari. 2008. Penentuan variasi genetic ikan batak [Tor sorro] dari Sumatera Utara dan Jawa Barat dengan metode RAPD. Jurnal Riset Akuakultur 3 [1] : 91-97.

Backiel, T. and LeCren, E.D. 1978. Some density relationship for the population parameters. In: Ecology of freshwater fish production [ed. S.D. Gerkings], pp. 279302.Blackwell Scientific Publications,Oxford.

Cokcek, C.K and I, Akyurt . 2007. The Effect of Stocking Density on Yield, Gowth, and Feed Efficiency of Himri Barbel [Barbus luteus] Nursed in Cages. The Israeli Journal of Aquaculture – Bamidgeh 59 [2], 99-103

Cho, S. H; S.M. Lee; B.H. Park; S. C, Ji; C.Y, Choi and J.H, Lee. 2007. Effect of daily feeding ratio on gowth and body composition of sub adult olive flounder [Paralichthys olivaceus], fed an extruded diet during the summer season. Journal of the World Aquaculture Society 38 : 68-73.

Gokcek, C. K and Y. Akyurt. 2007. The Effect of Stocking Density on Yield, Gowth and Feed Efficiency of Himri Barbel Barbus luteus [Heckel, 1843] Nursed in Cages. Israeli J. Aqua.,59: 99-103.

94 | Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago

de Oliveira,E.G; Pinheiro, A.B; de Oliveira,V.Q; Júnior, A.R.M.S; de Moraes, M.G.R; I.R.C.B, de Sousa,R.R and Costa, F.H.F. 2012. Effects of stocking density on the performance of juvenile pirarucu [Arapaima gigas] in cages. Aquaculture, 370-371: 96-101.

Du, Z.Y; Y. J, Liu; L. X, Tian; J.G, He; J.M, Coa and G. Y. Liang. 2006. The influence of feeding rate on gowth, feed efficiency and body composition of juvenile gass carp [Ctenopharyngodon idella]. Aquaculture International, 14 : 247-257.

Ellis, A.E. 1988. Fish vacsination. Departement of Aqriculture and Fisheries for Scotland. Marine Laboratory PO BOX 101. Victoria Road Aberden. Scotland.

Denji, K.A; M.R. Mansour; R, Akramil, S.H, Ghobadi; S.S, Jafarpour and S.K, Mirbeygi. 2015. Effect of dietary Prebiotic Mannan Oligosaccharide [MOS] on gowth performance, intestinal micro flora, body composition, hematological and blood serum biochemical parameters of Rainbow Trout [Oncorhynchus mykiss] juveniles. Journal of Fisheries and Aquatic Science 10 [4] : 255-265.

Haryanto, P; Pinandoyo and R.W, Ariyati. 2014. The Influence of different feeding dose on gowth of juvenile Tiger gouper [Epinephelus fuscoguttatus]. Journal of Aquaculture Management and Technology , 3 [4] : 58-66.

Holliday, F.G.T. 1969. The effects of salinity on the eggs and larvae of teleosts-In Hoar W.S and Randhal D.J [eds]. Fish Physiology, 1 : 293-311. Academic Press New York.

Keys, S.J and Crocos, P.J. 2006. Domestication, gowth and reproductive performance of wild, pond and tank-reared brown tiger shrimp Penaeus esculentus. Aquaculture, 257 [2006] 232–240.

Krejszeff, K; Targońska, D; Żarski and D, Kucharczyk. 2009. Domestication affects spawning of the ide [Leuciscus idus] preliminary study. Aquaculture, 295:145–147.

Kim, K.D; Y. J, Kang and K.W, Kim. 2007. Effects of feeding rate on gowth and body composition of juvenile Flounder [Paralichthys olivaceus]. Journal of the World Aquaculture Society, 38 : 169-173.

Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago | 95 Kusmini, E.S.I.I; R, Gustiano dan Mulayasari. 2011. Karakterisasi genetic ikan kelabau [Osteochilus kelabau] dari berbagai lokasi di Kalimantan Barat menggunakan metode RAPD [Random Amplified Polymorphism DNA]. Berita Biologi 10 [4]: 449 – 454.

Le Y.A; Yun, Y.S; Ming, Z.X; Min,L; Yi; L.J and Chang, W.K. 2011. Effects of temperature on survival, development, gowth and feeding of larvae of Yellowtail clownfish Amphiprion clarkii [Pisces: Perciformes]. Acta Ecologica Sinica, 31:241-245.

Mansuri, A; V, Bhatt and N, Bhatt. 1979. Studies on effects of salinity changes on freshwater murrels, Channa punctatus Bloch. 1. Salinity tolerance, tissue water and mineral levels. J. Inland Fish. Soc. India, 11: 74-82.

Marimuthu, K; R. Umah; S, Muralikrishnan; R, Xavier and S. Kathiresan. 2011. Effect of different feed application rate on gowth, survival and cannibalism of African catfish [Clarias gariepinus] fingerlings. Emirates Journal of Food and Agiculture, 23: 330-337.

Masiha A; E, Ebrahimi; M.N, Soofiani and M. Kadivar. 2013. Effect of dietary canola oil level on the gowth performance and fatty acid composition on fingerlings of rainbow trout [Oncorhynchus mykiss]. Iranian Journal of Fisheries Sciences 14 [2] : 336-349.

Marzuqi, M; N.W.W. Astuti and K. Suwirya. 2012. Effect on dietary protein and feeding rate on gowth of Tiger gouper [Epinephelus fuscoguttatus] juvenile. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 4 [1] : 55-65.

Mian, J and Siddiqul, P.Z.J. 2015. Effect of stocking density and protein level on behaviour, survival, gowth rate, gowding status, stress response, food consumption protein efficiency, and body composition of Hybrid [Oreochromis mossambicus × Oreochromis niloticus] in saline environment. International Journal of Fisheries and Aquatic Studies, 1[4]: 72-78.

Mihelakakis, A; T, Yoshimatsu and C, Tsolkas. 2001. Effect of feeding frequency on gowth, feed efficiency, and body composition in young common pandora. Aquaculture International, 9 : 197-204.

96 | Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago

Mukai, Y and Lim, L.S. 2011. Larval rearing and feeding behavior of African catfish, Clarias gariepinus under dark conditions. Journal of Fisheries and Aquatic Science, 1-7.

Narejo, N.T; Salam, M.A; Sabur, M.A and Rahmatullah, S.M. 2005. Effect of Stocking Density on Gowth and Survival of Indigenous Catfish, Heteropneustes fossilis [Bloch] Reared in Cemented Cistern Fed on Formulated Feed. Pakistan Journal of Zoology, 37[1]: 49-52.

Nikolsky, G.V. 1969. Theory of fish population dinamics. Otto Science Publishers, Koenigstein, 317 pp.

North, B.P; Turnbull, J.F; Ellis, T; Porter, M.J; Migaud, H; Bron, J and Bromage, N.R. 2006. The impact of stocking density on the welfare of rainbow trout [Oncorhynchus mykiss]. Aquaculture, 255: 466–479.

Nugoho, E. 2011. Evaluasi variasi genetik ras-ras ikan gurami dengan menggunakan marker DNA. J. Fish. Sci. XIII [2]: 86-90.

Oliva.D.A,. G, Herrera; Celis, A and Duran, L.R. 2014. Effect of stocking density and food ration on gowth annd survival of veliger and pediveliger larvae of the taquilla clam Mulinia edulis reared in the laboratory. Revista de Biologia y Oceanogafia, 3 [49] : 567-575.

Orire, A.M and T.N, Ozoadibe. 2015. Evaluation of gowth performance and body composition of Clarias gariepinus for gaded level inclusion of soybean waste. Journal of Fisheries and Aquatic Science 10 [5] : 384-391.

Panjaitan, E.F. 2004. Pengaruh suhu air yang berbeda terhadap laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan botia [Botia macracanthus Bleeker]. Skripsi. Progam Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institus Pertanian Bogor. Bogor.

Paray, B.A; Al-Sadoon, M.K and M.A, Haniffa. 2015. Impact of different feeds on gowth, survival and feed conversion in stripped snakehead Channa striatus [Bloch 1793] larvae. Indian J. Fish, 62[3] : 82-88, 2015.

Puvanendran, V; D.L, Boyce and J.A, Brow. 2003. Food ratio requirements of yellowtail flounder [Limanda ferruginea,Storer] juveniles. Aquaculture, 220: 459-475.

Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago | 97 Ramaswamy, B; B.T.N, Kumar; P.L, Doddamani; K, Panda and K.S, Ramesh. 2013. Dietary protein requirement of stunted fingerlings of the Indian major carp [Catla catla,Hamilton] during gow-out phase. Indian J. Fish, 60 [4] : 87- 91.

Ronald, N; Gladies,B and Gasper, E. 2014. The effects of stocking density on the gowth and survival of nile tilapia [Oreochromis niloticus] fry at son fish farm, Uganda. Journal Aquaculture Research & Development, 5:2.

Sarkar, U.K; R.S, Negi; P.K, Deepak; W.S, Lakra and S.K, Paul. 2008. Biological parameters of the endangered fish Chitala chitala [Osteoglossiformes: Notopteridae] from some Indian rivers. Fisheries Research, 90 : 170–177.

Silva, C.R; L.C, Gomes and F.R, Brandão. 2007. Effect of feeding rate and frequency on tambaqui [Colossoma macropomum] gowth, production and feeding costs during the first gowth phase in cages. Aquaculture, 264 : 135- 139.

Soto, M.Z and M.A.O, Novoa. 2015. Effect of different diets on body Biochemical composition of the Four-sided Sea Cucumber [Isostichopus badionotus], under culture conditions. Journal of The World Aquaculture Society, 46 [1] : 45-52.

Supriyadi, H. 1988. Vaksinasi benih ikan lele dumbo [Clarias batrachus] dengan cara perendaman. Buletin Penelitian Perikanan Darat, 7 [1] : 29-32.

Syandri, H. 2001. Penggunaan spirulina sp, artemia salina dan tubifek dalam pemeliharaan benih ikan bilih [Mytacoleucus padangensis Blkr]. Journal Garing, 1 [9] : 30-40.

Syandri, H . 2010. Domestikasi Ikan. Bung Hatta University Press, 130 halaman.

Syandri, H; Azrita and Junaidi. 2014. Morphological characterization of asang fish [Osteochilus vittatus, CYPRINIDAE] in Singkarak lake, Antokan river and Koto Panjang reservoir West Sumatra Province, Indonesia. Journal of Fisheries and Aquaculture, 5 [1] : 158-162.

Syandri, H; Azrita; Niagara and Junaidi. 2015. Preliminary study on the feeding schedule of laboratory reared of Bonylip barb larva, Osteochilus vittatus [Cyprinidae]. Journal Aquaculture Research & Development, 6[10]:1-4.

98 | Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago

Syandri, H; Azrita and Niagara. 2016. Trophic status and load capacity of water pollution waste fish culture with floating net cages in Maninjau lake, Indonesia. Journal Ecology, Environment and Conservation, 22 [1] : 469-476.

Teshima, S; Kanazaw, A and Koshio, S. 1987. Effects of feeding rate, fish size and dietary protein and cellulose levels on the gowth of [Tilapia nilotica]. Mem.Fac.Fish, 1 [36] : 7-15.

Turnbull, J; Bell, A; Adams, C; Bron, J and Huntingford, F. 2005. Stocking density and welfare of cage farmed Atlantic salmon: application of a multivariate analysis. Aquaculture, 243: 121–132.

Wahyurini, E.T. 2012. Pengaruh perbedaan salinitas air terhadap tingkat kelangsungan hidup benih nila merah Oreochromis niloticus. Jurnal Agomix, 1:87–97.

William A.W and Robert, M.D. 1992. Interactions of pH, carbon dioxide, alkalinity and hardness in fish ponds. SRAC Publication No. 464.

Yanto, R. 2009. Utilization of MS-222 and sal solution on the transportasi of Jelawat [Leptobarbus hoevenii] fingerling. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 16 [1] : 47-54.

Yuliati, P; Kadarini, T; Rusmaedi dan Subandyah, S. 2003. Pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan dan sintasan dederan ikan nila gift [Oreochromis niloticus] di kolam. Jurnal Ikhtiologi Indonesia, 3 [2] : 63-65.

Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago | 99

100 | Biologi dan Pembenihan Ikan Gurami Sago

Chapter : 5 BIOTEKNOLOGI PAKAN BUATAN UNTUK IKAN GURAMI SAGO

Bioteknologi pemanfaatan sumber protein nabati untuk pakan ikan gurami sago

akan memiliki peran yang sangat penting dalam proses pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Ketersediaan pakan selama proses budidaya P harus terpenuhi, namun untuk jenis ikan tertentu yang memiliki waktu pemeliharaan lebih dari enam bulan tentu akan menjadi kendala bagi para pembudidaya karena akan meningkatkan biaya produksi. Dalam kegiatan budidaya perlu adanya alternatif bahan pakan yang lebih murah sehingga diharapkan dapat mengurangi biaya pakan [Warasto, 2013].

Menurut hasil survei, pakan buatan yang beredar dipasaran saat ini memiliki harga yang relatif mahal. Pada tahun 2017 harga pakan buatan komersil berkisar Rp 8.000/kg dan pada tahun 2019 harga pakan buatan komersil dengan berbagai merk dagang rata-rata berkisar Rp 12.000/kg. Mahalnya harga pakan buatan tersebut disebabkan mahalnya tepung kedelai yang merupakan komoditas impor serta tepung ikan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu dicari bahan baku nabati alternatif baru yang berkualitas baik, murah, tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, dan mudah didapat. Pencarian teknologi meningkatkan kemampuan retensi nutrient dan sumber protein yang murah diperlukan untuk menjaga kesinambungan akuakultur.

Sebagai alternatif pengganti tepung kedelai yang dapat digunakan tepung daun apu- apu [Pistia stratiotes L] hasil fermentasi dengan kandungan protein 39,21%, tepung daun kangkung [Ipomoea aquatica forssk.] hasil fermentasi dengan kandungan protein 25,62%, tepung daun eceng gondok [Eichornia crassipes solms] hasil fermentasi dengan kandungan protein 25,11%, tepung daun keladi [Alocasia macrorrhiza] hasil fermentasi dengan kandungan protein 9,60%. Penggunaan tepung dari tumbuhan yang berbeda [daun apu-apu, daun kangkung, daun eceng gondok, daun keladi dan lontoro gung] sebagai sumber protein pakan nabati dapat

Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago | 101 dijadikan sebagai salah satu langkah menuju pembentukan strain unggul ikan gurami sago [Osphronemus goramy Lac] sebagai komoditi unggulan Kabupaten Lima Puluh Kota , Sumatera Barat.

Ikan dapat tumbuh optimal jika memperoleh makanan yang cukup dan gizi seimbang. Zat gizi bagi ikan diperlukan untuk menghasilkan tenaga, mengganti sel- sel rusak dan untuk pertumbuhan. Zat-zat gizi yang dibutuhkan antara lain :

Protein

Lemak

Karbohidrat

Vitamin, mineral dan air.

Pakan merupakan salah satu faktor penunjang perkembangan budidaya ikan [baik ikan air tawar, ikan air payau, maupun ikan laut]. Pakan sangat dibutuhkan oleh ikan sejak awal [mulai hidup] dari ukuran larva [burayak], dewasa sampai ukuran induk.

Pakan yang memiliki keseimbangan protein, lemak, dan serat untuk kebutuhan ikan tertentu akan memacu pertumbuhan ikan yang cepat besar, akan tetapi bila nutrisi yang dibutuhkan ikan kurang maka pertumbuhan ikan akan lambat berakibat pada biaya dan waktu panen yang cukup lama.

Kebutuhan gizi bagi ikan adalah untuk kelangsungan hidup ikan, kemudian untuk pertumbuhannya. Dalam meningkatkan hasil produksi ikan secara sangat perlu diberikan pakan yang berkualitas tinggi, artinya pakan ikan yang diberikan mencukupi kebutuhan nutrisi [gizi] ikan dan bermutu baik. Mengenal kebutuhan nutrisi ikan merupakan landasan dalam pembuatan pakan ikan, setiap ikan membutuhkan nilai gizi [protein, lemak, dan serat] yang berbeda.

Kebutuhan nutrisi pada ikan secara alami sudah tersedia, baik di kolam maupun diperairan lain. Pada usaha agribisnis budidaya ikan yang dilakukan secara tradisional, kebutuhan pakan ikan dapat dipenuhi oleh pakan alami yang tumbuh di kolam. Akan tetapi pada skala usaha agribisnis budidaya ikan yang dilakukan secara intensif, ketersediaan pakan alami tersebut sudah tidak mampu lagi menopang pertumbuhan dan perkembangan ikan secara optimal, mengingat

102 | Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago

kepadatan populasi pemeliharaan ikan sangat tinggi. Oleh karena itu, kebutuhan nutrisi pada ikan ini harus disediakan melalui pemberian pakan buatan.

PROTEIN

LEMAK

KARBOHIDRAT

VITAMIN

Fungsi utama protein pada ikan:

Berperan dalam pembentukan antibodi, hormon, enzim, vitamin.

Berperan dalam pertumbuhan maupun pembentukan jaringan tubuh.

Sebagai sumber gizi.

Sebagai sumber energi utama, terutama apabila komponen lemak dan karbohidrat yang terdapat di dalam pakan tidak mampu memenuhi kebutuhan energi.

Berperan dalam perbaikan jaringan tubuh yang rusak.

Turut berperan dalam pembentukan gamet.

Berperan dalam proses osmoregulasi di dalam tubuh.

Fungsi lemak pada ikan :

Sebagai cadangan energi dalam bentuk sel lemak.

Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago | 103 Menopang fungsi senyawa organik sebagai penghantar sinyal.

Menjadi suspensi bagi vitamin A, D, E dan K yang berperan penting dalam proses biologis.

Berfungsi sebagai penahan goncangan terutama dalam melindungi organ vital dan melindungi tubuh dari suhu luar yang kurang bersahabat.

Sebagai sarana sirkulasi energi di dalam tubuh dan komponen utama yang membentuk membran semua jenis sel.

Fungsi karbohidrat pada ikan :

Karbohidrat dalam tubuh ikan disimpan di dalam hati dan otot dalam bentuk glikogen, dan berfungsi sebagai cadangan energy.

Peningkatan pertumbuhan dan perkembangan ikan secara optimal.

Fungsi vitamin pada ikan :

Vitamin merupakan senyawa yang berfungsi sebagai katalisator [pemacu] dalam proses metabolisme ikan. Sebagai bagian dari enzim atau koenzim vitamin sangat berperan dalam pengaturan berbagai proses metabolisme tubuh ikan. Selain itu, vitamin mampu mempercepat proses perombakan pakan tanpa mengalami perubahan.

Vitamin berfungsi untuk membantu protein dalam memperbaiki dan membentuk sel baru.

Vitamin berperan dalam mempertahankan fungsi berbagai jaringan tubuh ikan sehingga mekanisme jaringan tubuh tersebut tetap bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Vitamin turut berperan dalam pembentukan senyawa-senyawa tertentu di dalam tubuh.

104 | Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago

Fungsi mineral pada ikan :

Natrium [Na], Kalium [K], Kalsium [Ca], dan Klor [Cl] berfungsi untuk mengatur keseimbangan asam basa dan proses osmosis antara cairan tubuh ikan dan lingkungannya.

Ferum [Fe], Cuprum [Cu], dan Cobalt [Co], memegang peranan penting dalam proses pembekuan darah dan pembentukan hemoglobin pada tubuh ikan.

Klor [Cl], Magnesium [Mg], dan Phosphor [P], memegang peranan penting dalam proses metabolisme tubuh ikan.

Cuprum [Cu] dan Zinc [Zn] berperan untuk mengatur fungsi sel; Sulfur [S] dan Phosphor [P] berperan untuk membentuk fosfolipid dan bahan inti sel, Bromine [Br] berperan untuk mematangkan kelenjar kelamin, dan Iodin [I] berperan untuk membentuk hormon tiroid.

Pada kegiatan usaha budidaya ikan, kebutuhan pakan ikan adalah hal mutlak yang harus dipenuhi, namun demikian faktor pakan menjadi hal yang sangat membebani pembudidaya, karena harga pakan ikan buatan atau pellet ikan yang begitu mahal. Oleh karena itu, membuat pakan ikan/pellet ikan sendiri adalah keputusan yang sangat baik untuk menekan modal usaha budidaya ikan. Pakan buatan [pellet] adalah makanan yang di ramu dari beberapa macam bahan yang diolah dan menjadi bentuk khusus sesuai standar gizi yg dibutuhkan ikan.

Pada kegiatan pembuatan pakan ikan/pellet ikan hal-hal yang perlu diperhatikan adalah pemilihan bahan baku. Pada proses pembuatan pakan ikan/pellet ikan yang terpenting yaitu bahwa bahan-bahan pakan ikan haruslah:

Bergizi tinggi

Mudah didapat

Mudah dibuat

Harga relatif murah

Tidak mengandung racun

Bukan merupakan makanan pokok manusia

Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago | 105 Nilai nutrisi bahan-bahan hewani lebih baik dibandingkan dengan bahan nabati, karena selain kandungan proteinnya lebih tinggi, juga lebih mudah dicerna oleh ikan. Bahan pakan ikan sebagai sumber protein nabati kebanyakan berasal dari biji-bijian dan daun-daunan yang banyak mengandung serat kasar, diantaranya adalah tepung jagung, dedak, tepung tapioka, tepung sagu, tepung biji-bijian dan tepung daun-daunan. Sedangkan sebagai sumber protein hewani biasanya berasal dari : tepung ikan, tepung tulang, tepung darah, dan tepung bekicot.

Beberapa informasi nilai gizi penting dari bahan-bahan baku yang banyak terdapat dilingkungan sekitar kita [sumberdaya lokal] yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ikan dan memiliki nilai gizi yang cukup baik. Untuk mengetahui nilai gizinya, pemeriksaan kimia dan laboratorium harus dilakukan.

Bahan pakan ikan sebagai sumber protein nabati yang dapat dimanfaatkan untuk bahan baku pakan buatan ikan gurami sago kebanyakan berasal dari daun-daunan seperti Gambar 2 berikut .

Gambar 5.1 Berbagai sumber bahan baku nabati [Sumber : Dokumentasi Azrita dan Syandri, 2019]

106 | Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago

Pembuatan pakan dari bahan lokal yang murah namun dapat meningkatkan kualitas pertumbuhan dari ikan gurami sehingga mampu menghasilkan pertumbuhan ikan yang optimal [Lucas et al., 2015]. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk menekan biaya produksi adalah dengan membuat pakan buatan serta dapat memanfaatkan sumber-sumber bahan baku lokal [Habibah et al., 2013].

Gambar 5.2 Pemanfaatan pakan buatan oleh gurami sago

[Sumber : Ilustrasi : Azrita dan Syandri, 2020]

Apu-apu

Klasifikasi apu-apu menurut Safitri [2009], adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae Sub kingdom : Tracheobionta Superdivisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Sub Kelas : Arecidae Ordo : Arales Famili : Araceae Genus : Pistia Dokumentasi : Azrita, 2019) Spesies : Pistia stratiotes L.

Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago | 107 Tabel 5.1 Analisis proksimat tepung daun apu-apu sebelum dan setelah fermentasi

Daun apu-apu [%] No. Parameter Sebelum Setelah fermentasi fermentasi 1. Kadar air 0,00 0,00 2. Kadar abu 10,97 4,67 3. Protein kasar [N x 6,25] 26,30 39,21 4. Lemak kasar 6,16 4,37 5. Karbohidrat 56,49 51,58 6. Serat kasar 12,89 9,94 Sumber : Azrita dan Syandri, 2019

Kangkung Air

Menurut Depkes RI [2000], taksonomi tumbuhan kangkung sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Sub kingdom : Viridiplantae

Superdivisi : Embryophyta

Divisi : Tracheophyta

Sub Divisi : Spermatophytina

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Solanales

Famili : Convolvulaceae Dokumentasi : Azrita, 2019) Genus : Ipomoea

Spesies : Ipomoea aquatica Forssk.

108 | Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago

Tabel 5.2 Analisis proksimat tepung daun kangkung sebelum dan setelah fermentasi

Daun kangkung [%] No. Parameter Sebelum Setelah fermentasi fermentasi 1. Kadar air 0,00 0,00 2. Kadar abu 11,00 8,83 3. Protein kasar [N x 6,25] 19,09 25,62 4. Lemak kasar 1,60 1,29 5. Karbohidrat 67,93 63,94 6. Serat kasar 2,84 1,23 Sumber : Azrita dan Syandri, 2019

Eceng gondok

Klasifikasi Eceng gondok menurut VAN Steenis, [1978] sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Sub Kingdom : Viridiplantae

Superdivisi : Embryophyta

Divisi : Magnoliophyta

Sub Divisi : Spermatophytina

Kelas : Liliopsida

Ordo : Alismatales Dokumentasi : Azrita, 2019) Family : Butomaceae

Genus : Eichornia

Spesies : Eichornia crassipes solms

Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago | 109 Tabel 5.3 Analisis proksimat tepung daun eceng gondok sebelum dan setelah fermentasi

Daun eceng gondok [%] No. Parameter Sebelum Setelah fermentasi fermentasi 1. Kadar air 0,00 0,00 2. Kadar abu 21,91 18,24 3. Protein kasar [N x 6,25] 18,96 25,11 4. Lemak kasar 4,42 4,03 5. Karbohidrat 54,62 52,61 6. Serat kasar 16,06 15,79 Sumber : Azrita dan Syandri, 2019

Keladi

Klasifikasi ilmiah tanaman keladi adalah sebagai berikut [Srivastava et al., 2010] :

Kingdom : Plantae

Sub Kingdom : Viridiplantae

Super Divisi : Embryophyta

Division : Magnoliophyta

Sub Divisi : Spermatophytina

Kelas : Liliopsida

Orda : Arales

Family : Araceae Dokumentasi : Azrita, 2019)

Genus : Alocasia

Species : Alocasia macrorrhiza

110 | Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago

Tabel 5.4 Analisis proksimat tepung daun keladi sebelum dan setelah fermentasi

Daun keladi [%] No. Parameter Sebelum Setelah fermentasi fermentasi 1. Kadar air 0,00 0,00 2. Kadar abu 5,66 7,15 3. Protein kasar [N x 6,25] 6,95 9,60 4. Lemak kasar 6,02 5,83 5. Karbohidrat 80,91 77,00 6. Serat kasar 9,21 7,75 Sumber : Azrita dan Syandri, 2019

Lamtoro

Klasifikasi ilmiah tanaman lamtoro adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Sub Kingdom : Viridiplantae

Super Divisi : Embryophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub kelas : Rosidae

Ordo : Fabales

Famili : Mimosaceae Dokumentasi : Azrita, 2019)

Genus : Leucaena

Spesies : Leucaena leucocephala L.

Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago | 111 Tabel 5.5 Analisis proksimat tepung daun lamtoro sebelum dan setelah fermentasi

Daun lamtoro [%] No. Parameter Sebelum Setelah fermentasi fermentasi 1. Kadar air 0,00 0,00 2. Kadar abu 5,24 4,07 3. Protein kasar [N x 6,25] 25,55 28,53 4. Lemak kasar 12,02 9,31 5. Karbohidrat 45,48 27,57 6. Serat kasar 21,48 16,50 Sumber : Azrita dan Syandri, 2019

Teknis Pembuatan Pakan Fermentasi

Proses fermentasi

Mempersiapkan Rhizopus oligoporus sebagai fermentor dan air gula sebagai makanan fermentor.

Tepung nabati dimasukan kedalam plastik tahan panas dalam keadaan anaerob, kemudian dikukus selama ± 15 menit.

Setelah dikukus, plastik tepung nabati dibuka lalu dikering-anginkan.

Tepung daun apu-apu, tepung daun kangkung, tepung daun eceng gondok, tepung daun keladi diaduk rata dengan fermentor 20 g Rhizopus oligoporus untuk 1.000 g tepung daun nabati .

Kemudian beri sedikit demi sedikit air gula hingga tepung daun tidak terlalu lembab dan tidak terlalu kering.

Setelah tercampur, masukan kembali kedalam plastik dan dilubangi dalam keadaan aerob.

Simpan dalam ruangan dan tunggu ± 1 minggu hingga mulai tercium bau tape.

Buka plastik dan kering-anginkan tepung.

Proses pembuatan pakan

Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago | 112

Menyiapkan bahan untuk dijadikan sebagai pakan buatan yaitu tepung ikan, tepung daun apu-apu, tepung daun kangkung, tepung daun eceng gondok, tepung daun keladi, lamtoro, dedak halus, tepung tapioka, minyak jagung, dan mineral mix.

Sebelum dibuat menjadi pakan, tepung daun [apu-apu, kangkung, eceng gondok, keladi dan lamtoro] difermentasi selama ± 1 minggu dengan menggunakan Rhizopus oligosporus.

Masing-masing bahan dihaluskan dengan cara diblender, bagian yang tidak bisa diblender dihaluskan dengan cara ditumbuk dengan lumpang kayu kemudian diayak.

Setelah itu semua bahan baku ditimbang, sesuai dengan berat masing- masing bahan yang sudah ditentukan.

Kemudian masing-masing bahan yang telah ditimbang digabungkan lalu diaduk, seterusnya, sedikit-demi sedikit diberi adonan tepung tapioka agar semua bahan dapat menyatu.

Pakan dicetak menggunakan alat pencetak pelet.

Pakan dikering-anginkan selama 1 – 2 hari.

Tabel 5.6 Kadar protein bahan baku

Protein [%] Bahan pakan Sebelum Setelah Protein kasar fermentasi fermentasi [%] Tepung daun apu-apu* 26,30 39,21 39,21 Tepung daun kangkung* 19,09 25,62 25,62 Tepung daun eceng gondok* 18,96 25,11 25,11 Tepung daun keladi* Tepung daun lamtoro* 6,95 9,60 9,60 Tepung ikan** 25,55 28,53 28,53 Dedak halus*** - - 75,77 - - 8,96 Keterangan: * Azrita dan Syandri, 2019 ** Data Sekunder PT.Saraswanti Indo Genetech, Bogor, 2018. *** Data Sekunder Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Kimia Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN SUSKA Riau, 2010.

Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago | 113 Bioteknologi pemanfaatan tepung daun apu-apu sebagai protein pakan ikan gurami sago

Efek persentase pemberian pakan dengan pemanfataan tepung daun apu apu sebagai sumber protein pakan ikan gurami memberikan dampak terhadap pertumbuhan dan kualitas karkas ikan gurami. Aryani et al [2017] menyatakan bahwa pengaruh tingkat pemberian pakan pada pertumbuhan ikan gurami dengan berat awal 14,17 g dan panjang 9,88 cm yang dipelihara selama 120 hari dengan pemberian pakan sebanyak 2%, 4%, dan 6%. Pertumbuhan terbaik pada benih ikan gurami terdapat pada pemberian pakan 6% dengan berat mencapai 310,38 g.

Komposisi karkas dipengaruhi beberapa faktor seperti lingkungan, umur, jenis kelamin, tingkat kematangan gonad, dan kondisi pakan. Solomon et al., [2007] menyatakan bahwa pemberian nutrisi berupa protein kedalam pakan ikan dapat mempengaruhi kualitas dari karkas ikan. Komposisi dari karkas terdiri dari kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar abu, dan karbohidrat [Aryani et al., 2017]. Sedangkan menurut Oktasari et al., [2015] karkas ikan gurami berupa energi total 3,340,50 kcl/kg, terdiri dari yaitu protein kasar 30%, lemak kasar 7%, serat kasar 6%, abu 12%, dan kadar air 12%. Hasil menunjukkan bahwa komposisi karkas berupa protein dan lemak dari ikan gurami mengalami kenaikan yang signifikan setelah penelitian [Aryani et al., 2017]. Selanjutnya Syandri dan Azrita [2016], menyatakan bahwa komposisi karkas benih ikan gurami sago yang didapatkan dari Nagari Mungo Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota dapat dilihat pada Tabel 5.7.

Tabel 5.7 Data sekunder komposisi karkas benih ikan gurami sago.

Sampel Awal No. Parameter Satuan [%] Berat basah Berat kering 1 Kadar air [g/100g] 97,47 0 2 Kadar abu [g/100g] 0,4 1,95 3 Protein kasar [g/100g] 18,05 87,92 4 Lemak kasar [g/100g] 0,57 2,77 5 Karbohidrat [g/100g] 1,65 8,05 6 Serat kasar [g/100g] 0,68 3,3 Sumber : Syandri dan Azrita 2016

114 | Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago

Pakan ikan adalah campuran dari berbagai bahan pangan [biasa disebut bahan mentah], baik nabati maupun hewani yang diolah sedemikian rupa sehingga mudah dimakan dan dicerna sekaligus merupakan sumber nutrisi bagi ikan yang dihasilkan akan disimpan dalam bentuk daging yang dipergunakan untuk pertumbuhan [Djarijah, 1996]. Selanjutnya Setyono [2012] menyatakan bahwa pakan buatan dapat diartikan secara umum sebagai pakan yang berasal dari olahan beberapa bahan baku pakan yang memenuhi nutrisi yang diperlukan oleh ikan.

Iskandar [2015], menyatakan bahwa penggunaan tepung tanaman apu-apu yang memiliki kandungan protein nabati bisa menjadi nutrisi yang baik untuk ikan nila sehingga pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan relatif ikan ini menjadi maksimal, artinya tingkat kelangsungan hidup ikan ini semakin baik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Warasto [2013], menyatakan bahwa tepung tanaman apu- apu terfermentasi dalam pakan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan laju pertumbuhan harian ikan nila.

Apu-apu merupakan salah satu tanaman yang hidup mengapung di permukaan air. Biasanya tanaman ini banyak terdapat pada air yang tergenang seperti persawahan, kolam, sungai, danau, dan saluran air [Cilliers, 1991; Venema, 2001]. Tanaman apu-apu dapat tumbuh dengan baik didaerah tropis maupun subtropis [Harley dan Mitchell, 1981]. Struktur tubuhnya memiliki kemampuan tertentu untuk menjalankan proses adaptasi terhadap lingkungannya sehingga mampu bertahan hidup dengan kondisi tertentu [Robert, 2000].

Oliver [1993] menyatakan bahwa tanaman apu-apu memiliki diameter daun dengan kisaran rata-rata 2-4 cm, tetapi memiliki perakaran yang lebat dan panjang serta mampu beradaptasi pada lingkungan dengan kondisi nutrisi dan salinitas rendah. Selanjutnya Landprotection [2006], menyatakan bahwa tangkai daun apu-apu sangat pendek, daun berwarna hijau, tebal, lembut bila sudah tua warna daun berubah kekuningan dengan ujung membulat dan pangkal sedikit runcing. Akar membentuk suatu struktur seperti keranjang dan dikelilingi gelembung udara, sehingga meningkatkan daya apung tumbuhan tersebut. Akar dapat tumbuh panjang hinga mencapai 80 cm [Langeland, 2008]. Namun pemanfaatan tanaman apu-apu sebagai bahan pakan terkendala pada tingginya serat kasar sehingga menurunkan tingkat kecernaan ikan.

Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago | 115 Edriani [2011] menyatakan bahwa teknologi yang dapat digunakan untuk menurunkan kandungan serat kasar dan meningkatkan kecernaan protein yaitu fermentasi. Fermentasi merupakan teknik yang dapat mengubah senyawa kompleks seperti protein, serat kasar, karbohidrat, lemak, dan bahan organik lainnya menjadi senyawa yang lebih sederhana [Zidni, 2017].

Berdasarkan uji laboratorium dari masing-masing bahan baku dapat dilihat pada Tabel 5.8.

Tabel 5.8 Kadar nutrisi bahan baku.

Protein [%] Protein kasar Bahan pakan Sebelum Setelah [%] fermentasi fermentasi Tepung apu-apu* 26,30 39,21 39,21 Tepung ikan** - - 75,77 Dedak halus*** - - 8,96 Sumber :

* Data primer, hasil analisis Laboratorium Dasar kimia Universitas Bung Hatta. Padang, 2018. ** PT. Saraswanti Indo Genetech. Bogor, 2018. *** Data sekunder laboratorium Ilmu Nutrisi dan Kimia Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN SUSKA Riau, 2010. Berdasarkan kadar protein dan ransum maka untuk menentukan kadar protein pakan 25%, diuji dengan metoda trial and error.

Tabel 5.9 Komposisi ransum dari kadar protein pakan 25%.

Bahan pakan Jumlah [g] Sumbangan protein [%] Tepung apu-apu 350 13,72 Tepung ikan 100 7,57 Dedak halus 490 4,39 *Tepung tapioka 58 0 **Mineral mix 1 0 ***Minyak jagung 1 0 Jumlah [g] 1.000 25,68 Ket : * Tepung tapioka berfungsi sebagai perekat. ** Mineral mix berfungsi sebagai penambahan mineral pada pakan. *** Minyak jagung berfungsi sebagai penambahan sumber lemak.

116 | Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago

Pakan buatan berupa pellet dengan sumber protein berasal dari tepung daun apu- apu dengan persentase pemberian 3%, 5%, 7%, dan 9% / hari dari berat biomassa benih ikan gurami sago dengan komposisi ransum dari kadar protein pakan 25% menunjukkan laju pertumbuhan seperti Tabel 5.10.

Tabel 5.10 Laju pertumbuhan benih ikan gurami sago.

Perlakuan Berat Berat Berat Berat relatif Pertumbuh [%] Awal [g] Akhir [g] Mutlak [g] [%] an spesifik [%] 3 2,57±0,73 6,48±1,24 3,91±0,24a 151,94±9,03a 3,08±0,11a 5 2,57±0,73 7,5±0,87 4,93±0,45b 191,45±17,49b 3,56±0,20b 7 2,57±0,73 7,57±1,00 4,99±0,33b 194,04±13,26b 3,59±0,15b 9 2,57±0,73 7,38±1,13 4,81±0,90b 186,92±23,50b 3,15±0,27b

Gambar 5.3 Bardiagram pertumbuhan berat mutlan benih ikan gurami sago

Gambar 5.4 Grafik laju pertumbuhan berat benih ikan gurami sago selama 90 hari pengamatan.

Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago | 117

6 250 R² = 0,4989

5 200

4 150 3

2 100 relatif mutlak 1 50

0 Pertumbuhan Pertumbuhan berat

Pertumbuhan Pertumbuhan berat 0 3% 5% 7% 9% 3% 5% 7% 9% Persentase pemberian pakan Persentase pemberian pakan R² = 0,4967

Gambar 5.5 Hubungan persentase pemberian pakan terhadap pertumbuhan berat mutlak dan berat relatif benih ikan gurami sago.

Hartoyo dan Sukardi [2007], menyatakan bahwa yang mempengaruhi pertumbuhan adalah jumlah dan komposisi pakan yang sesuai dengan kebutuhan ikan itu sendiri. Sedangkan Sudarman [1988], menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan tergantung pada jumlah pakan yang dikonsumsikan, kualitas air dan faktor lain seperti keturunan, umur, daya tahan serta kemampuan ikan tersebut memanfaatkan pakan, selanjutnya Supranto [1997], menyatakan bahwa jumlah pakan yang dikonsumsi harus lebih banyak dari pada jumlah yang digunakan untuk pemeliharaan tubuh dan aktivitas agar ikan dapat melangsungkan pertumbuhannya.

Jika persentase pemberian makanan yang diberikan kepada ikan kurang, maka ikan akan mengalami gangguan dalam pertumbuhannya dimana makanan yang dikonsumsikan oleh ikan hanya untuk mempertahankan kondisi dan sumber tenaga [Susanto, 2008]. Jumlah pakan yang dikonsumsi oleh seekor ikan secara umum berkisar antara 5-10% / hari dari berat tubuhnya [Mudjiman, 1984]. Pemberian makanan untuk benih ikan jelawat [Leptobarbus hoeveni] sebesar 3-7% [Dinas Perairan. 1987]. Selanjutnya Sahwan [1999], menyatakan bahwa setiap jenis ikan memiliki persentase pakan yang berbeda, misalnya ikan bandeng [Chanos-chanos] persentase 5-10%, ikan nila [Oreochromis nilotica] 3-7%, kakap [Lates calcaliver] 5-10%, Udang windu [Panaeus monodon] 4-10%, lele dumbo [Clarias gariepinus] 5-10% dan gurami [Osphreonemus gouramy] sebesar 5-7% dari berat tubuhnya / hari.

118 | Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago

Setelah ikan gurami dipelihara selama 90 hari, terjadi penambahan berat rata-rata individu pada akhir pemeliharaan pada semua perlakuan [Tabel 5.10]. Sedangkan Lovell [1989], menyatakan bahwa sebelum terjadi pertumbuhan, kebutuhan energi untuk pemeliharaan harus terpenuhi terlebih dahulu. Terjadinya pertumbuhan pada ikan uji pada semua perlakuan menunjukkan bahwa energi pakan yang diberikan telah melebihi kebutuhan ikan itu sendiri untuk pemeliharaan sehingga selebihnya untuk pertumbuhan. Hal ini juga diduga karena jumlah ini sudah sesuai dengan kebutuhan ikan akan energi yang dibutuhkan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhannya.

Gambar 5.6 Bardiagram pertumbuhan berat relatif benih ikan gurami sago.

Suhaili [1983], menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan ikan tergantung kepada sejumlah makanan yang diberikan, ruang, suhu dan dalamnya air. Jenis dan umur ikan menentukan jumlah kebutuhan protein. Ikan karnivora membutuhkan protein yang lebih banyak dari pada ikan herbivora, sedangkan ikan omnivora berada diantara keduanya, umumnya ikan membutuhkan protein sekitar 20-90% dan baiknya sekitar 30-35% [Chumaidi, et al., 1990]. Sedangkan Nematipour, et al., [1992], menyatakan bahwa imbangan energi protein yang optimum untuk ikan sejenis karnivora hybrid striped bass adalah sebesar 8 kkal/g protein.

Pemberian pakan sebanyak 7% / hari dari berat biomassa, ikan mampu tumbuh dengan baik karena memperoleh energi yang cukup untuk menunjang fungsi organ tubuh ikan secara maksimal sehingga pertumbuhan ikan juga maksimal. Sebaliknya pertumbuhan terendah dicapai pada perlakuan A [pemberian pakan sebanyak 3% / hari dari berat biomassa]. Hal ini diduga karena jumlah pemberian pakan ini terlalu sedikit dan kurang sesuai dengan kebutuhan ikan. Akibatnya energi yang diperoleh ikan untuk kehidupan dan pertumbuhannya juga kecil. Energi yang diperoleh dari

Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago | 119 pakan hanya cukup untuk menopang kehidupan ikan, tetapi tidak cukup untuk memberikan pertumbuhan dengan baik, sehingga pertumbuhan yang dihasilkan juga rendah [Sunarto dan Sabariah 2009]. Meningkatnya pertumbuhan ikan uji ketika persentase pemberian pakan dinaikkan diduga berhubungan dengan makin banyaknya jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ikan maka jumlah energi yang diperoleh ikan juga makin meningkat dan porsi energi yang digunakan untuk pertumbuhan juga makin besar [Sunarto dan Sabariah 2009].

Gambar 5.7 Bardiagram pertumbuhan spesifik benih ikan gurami sago

Selanjutnya Sunarto dan Sabariah [2009] menyatakan bahwa perbedaan persentase pemberian pakan berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan semah, dimana pemberian pakan dengan persentase 6% / hari menghasilkan laju pertumbuhan harian tertinggi sebesar 8,28 dibandingkan dengan persentase 3% [6,37], 9% [7,02] dan 12% [6,12] / hari. Mardani [2017] menyatakan bahwa pengaruh pemberian pakan dengan persentase yang berbeda terhadap pertumbuhan ikan patin [Pangasius pangasius] yang dipelihara di bak plastik rata-rata kecepatan pertumbuhan relatif ikan patin yang tertinggi [253,83 %] terjadi pada persentase pemberian makanan 7% dan yang terendah terdapat pada persentase pemberian makanan 3% sebesar [140,07 %]. Sedangkan Sunarto dan Sabariah [2009], menyatakan bahwa pemberian pakan buatan dengan persentase berbeda terhadap pertumbuhan dan konsumsi pakan benih ikan semah [Tor douronensis] dalam upaya domestikasi persentase pemberian pakan dengan persentase 6% merupakan perlakuan terbaik di banding dengan persentase pemberian pakan [3%], [9%], dan [12%], dengan penambahan berat badan ikan sebesar 4,25 g selama pemeliharaan harian berturut-turut yaitu 1,99%, 1,58%, 1,46%, dan 1,44%.

120 | Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago

Tabel 5.11 Laju pertumbuhan panjang mutlak benih ikan gurami sago

Perlakuan Panjang awal Panjang akhir Panjang mutlak [%] [cm] [cm] [cm] 3 5,77±0,55 9,33±5,45 3,57±0,66a 5 5,77±0,55 14,30±5,61 8,54±2,59b 7 5,77±0,55 14,35±6,03 8,58±0,79b 9 5,77±0,55 14,01±6,07 8,25±2,49b

Gambar 5.8 Bardiagram pertumbuhan panjang mutlak benih ikan gurami sago.

20,00 A ( 3%/hari dari berat 15,00 biomassa ) B ( 5%/hari dari berat 10,00 biomassa ) 5,00 C ( 7%/hari dari berat Panjang(cm) biomassa ) 0,00 0 30 60 90 Pengamatan ke-hari

Gambar 5.9 Grafik laju pertumbuhan panjang benih ikan gurami sago selama 90 hari pengamatan

Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago | 121

12 10 R² = 0,5967 8

6

4 mutlak 2

0 Pertumbuhan panjang 3% 5% 7% 9% Persentase pemberian pakan

Gambar 5.10 Hubungan persentase pemberian pakan terhadap pertumbuhan panjang mutlak benih ikan gurami sago

Pada Gambar 5.9 pertambahan panjang dari awal penelitian sampai akhir penelitian selalu meningkat, hal ini diartikan bahwa pakan yang dimakan oleh ikan mempengaruhi pertumbuhannya. Terutama tulang ikan yang menjadi faktor pertambahan panjang ikan, diduga komposisi pakan seperti kalsium dan kalium yang berada dalam pakan sudah memenuhi kebutuhan ikan Zainuddin, [2010]. Berdasarkan Gambar 5.10, di dapatkan hasil uji R2 dimana hubungan pemberian pakan terhadap pertumbuhan panjang mutlak sebesar 0,5967, jika nilai R2 mendekati 1 yang artinya adanya hubungan yang erat atau semakin besarnya pengaruh pemberian pakan terhadap pertumbuhan panjang mutlak.

NRC [1993], menyatakan bahwa pakan yang diberikan harus benar-benar mempertimbangkan kuantitasnya, karena jika pakan yang diberikan terlalu sedikit akan menghasilkan pertumbuhan ikan kurang, sedangkan jika terlalu banyak maka akan menyebabkan metabolisme tidak efisien sehingga tidak tercerna dengan baik dan terbuang yang memungkinkan pencemaran kualitas air, oleh sebab itu frekuensi pemberian pakan yang tepat sangat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi pakan.

Terjadinya pertambahan panjang pada setiap perlakuan juga diduga disebabkan oleh mineral – mineral yang terdapat pada pakan yang diberikan seperti fosfor dan kalsium yang berfungsi untuk petumbuhan tulang bagi ikan. Mineral, fospor dan kalsium didapatkan berasal dari tepung ikan yang digunakan dalam bahan pembuatan pakan. Tepung ikan menunjukkan bahwa kandungan air sebesar

122 | Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago

32,57%, abu sebesar 7,81%, protein sebesar 55,02%, lemak sebesar 1,77% dan kalsium sebesar 2,48% [Moeljanto, 1992].

Kandungan kalsium dan fosfor yang terdapat dalam pakan berpengaruh baik dalam proses pertumbuhan ikan. Kalsium berguna untuk pembentukan tulang pada ikan hal ini sebagai indikasi bahwa ikan dapat tumbuh karna adanya pembentukan tulang yang mana pembentukan ini membutuhkan energi yang berasal dari pakan sehingga pakan yang digunakan perlu mengandung kalsium yang baik untuk pertumbuhan panjang tubuh ikan. Sedangkan Tucker dan Hargreaves dan Tucker [2004], menyatakan bahwa kebutuhan ikan akan fosfor berkisar antara 0,33−0,40 % untuk pertumbuhan normal dan mineralisasi tulang. Hal ini menunjukkan bahwa jika fosfor tidak tersedia maka penambahan kalsium juga tidak akan mampu memperbaiki proses mineralisasi tulang atau deposit Ca dan P. Ca dan P merupakan mineral yang saling sinergis [Zainuddin, 2010].

Rasio konversi pakan dan rasio efisiensi protein [%] dengan persentasi pemberian pakan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.12.

Tabel 5.12 Rasio konversi pakan dan rasio efisiensi protein benih ikan gurami sago.

Perlakuan [%] Rasio konversi pakan Rasio efisiensi protein 3 3,62±1,02a 0,20±0,052a 5 3,86±0,76ab 0,18±0,032ab 7 4,45±0,43ab 0,15±0,020ab 9 5,29±0,84b 0,12±0,023b

Tingginya rasio konversi pakan pada perlakuan B, C, dan D dimana semakin tinggi persentase yang diberikan maka semakin tinggi pula nilai rasio konversi pakan, hal ini disebabkan karena pakan yang diberikan tidak termanfaatkan dan banyak yang terbuang ke media pemeliharaan, sehingga menyebabkan rasio konversi pakan besar. Hal ini dikarenakan pakan yang diberikan harus sesuai dengan perlakuan yaitu persentase/ hari dari berat biomassa ikan.

Khalil et al., [2015] menyatakan bahwa benih ikan gurami yang diberi tambahan pakan daun kelor [Moringa oleifera] memiliki nilai rata-rata konversi pakan terbaik [5,41 ± 0,4] dibandingkan dengan pemberian tambahan pakan daun pegagan

Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago | 123 [Centella astiatica] dengan nilai rata-rata konversi pakan terendah [8,90 ± 0,5], sedangkan nilai konversi pakan yang diberi pakan komersial [6,78 ± 0,13 g]. Selanjutnya Thaiin, [2016] mengemukakan bahwa ikan gurami yang diberi perlakuan pemberian pakan komersial memiliki nilai FCR [5,05 ± 1,55]. Bentuk fisik pakan sangat dipengaruhi oleh jenis bahan yang digunakan, ukuran pencetak, jumlah air, tekanan, metode setelah pengolahan, dan penggunaan bahan perekat untuk menghasilkan pakan ikan dengan tekstur yang kuat, kompak dan kokoh sehingga tidak mudah pecah [Jahan et al., 2006]. Hal ini didukung oleh Yulfiperius [2014], menyatakan bahwa tingkat efisiensi pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lingkungan, umur, dan bahan yang digunakan. Penentuan kualitas pakan yang tepat untuk ikan adalah modal karena menentukan nutrisi dan ketersediaan energi dalam subjek [Godome et al., 2018].

Mudjiman [1989] menyatakan bahwa efisiensi pemanfaatan pakan merupakan persentase pertambahan berat dalam periode tertentu yang diperoleh dari sejumlah pakan yang diberikan setiap harinya. Selanjutnya Hoar et al., [1979], menyatakan bahwa nilai efisiensi pemanfaatan pakan menunjukkan pakan yang diberikan dapat digunakan oleh ikan dengan baik, dimana energi dari pakan yang masuk pertama- tama akan digunakan untuk proses metabolisme basal, pemeliharaan tubuh dan pertumbuhan. Efisiensi pemanfaatan pakan juga dapat di artikan bahwa penggunaan energi dari pakan tepat, dimana energi yang berasal dari karbohidrat dan lemak digunakan untuk proses metabolisme basal dan pemeliharaan tubuh sehingga energi dari protein akan digunakan sepenuhnya untuk pertumbuhan.

Gambar 5.11 Bardiagram rasio konversi pakan benih ikan gurami sago.

124 | Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago

Hariati [1989], menyatakan bahwa tingkat efisiensi penggunaan pakan yang terbaik akan dicapai pada nilai perhitungan konversi pakan terendah, dimana pada perlakuan tersebut kondisi kualitas pakan lebih baik dari pada perlakuan yang lain. Kondisi kualitas pakan yang baik mengakibatkan energi yang diperoleh pada ikan gurami sago lebih banyak untuk pertumbuhan, sehingga ikan dengan pemberian pakan yang sedikit diharapkan laju pertumbuhan meningkat. Penggunaan pakan oleh ikan menunjukkan nilai persentase pakan yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh ikan. Faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya efisiensi pakan adalah jenis sumber nutrisi dan jumlah dari masing-masing komponen sumber nutrisi dalam pakan tersebut. Jumlah dan kualitas pakan yang diberikan kepada ikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan. Semakin tinggi nilai efisiensi pakan maka respon ikan terhadap pakan tersebut semakin baik yang ditujukan dengan pertumbuhan ikan yang cepat [Hariyadi et al., 2005].

Kualitas pakan yang baik untuk ikan adalah jika nilai konversi pakannya di bawah 5, namun konversi pakan ikan gurami tinggi dan efisiensinya rendah ini bukan disebabkan karena kualitas pakan yang rendah namun di sebabkan susunan biologis ikan Susanto, [2008]. Kecilnya nilai efisiensi pakan harian yang rendah dengan jumlah pakan yang tinggi menunjukkan bahwa tingkat konsumsi pakan pelet kecil karena pakan yang dimakan bukan untuk pertumbuhan melainkan untuk adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Berdasarkan data pada tabel 5 juga menerangkan bahwa efisiensi pakan yang relatif kecil pada ikan gurami. Hal ini diduga disebabkan karena energi yang diperoleh dari pakan digunakan untuk mempertahankan tubuh dan hidupnya. Sedangkan menurut Buwono [2000] dalam Sukoso [2002], efisiensi pemanfaatan pakan oleh ikan menunjukkan nilai persentase makanan yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh ikan. Jumlah dan kualitas makanan yang diberikan kepada ikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan. Selanjutnya Sudarman [1988], menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan tergantung pada jumlah pakan yang dikonsumsikan, kualitas air dan faktor lain seperti keturunan, umur, daya tahan serta kemampuan ikan tersebut memanfaatkan pakan.

Efisiensi protein dipengaruhi oleh kualitas protein yang ada dalam pakan. Kebutuhan ikan akan protein dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ukuran ikan, suhu air, kadar pemberian pakan, energi dalam pakan dan kualitas protein

Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago | 125 [Watanabe, 1988]. Selanjutnya Cowey [1979], menyatakan para ahli perikanan Jepang telah membuktikan bahwa ikan karnivora lebih banyak memanfaatkan protein menjadi energi dibandingkan dengan lemak dan karbohidrat. Pakan harus memiliki kandungan energi yang cukup agar ikan dapat tumbuh secara normal untuk memenuhi kebutuhan energi metabolisme sehari-hari dan memiliki kandungan protein yang cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan sel-sel tubuh yang baru. Keseimbangan antara energi dan kadar protein sangat penting dalam laju pertumbuhan, karena apabila kebutuhan energi kurang maka protein akan dipecah dan digunakan sebagai sumber energi. Pemakaian sebagian protein sebagai sumber energi ini akan menghambat pertumbuhan ikan, mengingat protein sangat berperan dalam pembentukan sel baru. Pemberian pakan yang tepat dengan kisaran nilai kalori/energi yang memenuhi persyaratan bagi pertumbuhan ikan dan dengan kandungan gizi yang lengkap akan dapat meningkatkan pertumbuhan [Gusrina, 2008].

Gambar 5.12 Bardiagram rasio efisiensi protein benih ikan gurami sago

Berdasarkan hasil analisis varian menunjukkan bahwa persentase pemberian pakan yang berbeda memberikan pengaruh nyata [p<0,05] terhadap rasio efisiensi protein benih ikan gurami sago. Rasio efisiensi protein pakan benih ikan gurami sago yang terbaik terdapat pada perlakuan A [pemberian pakan sebanyak 3% / hari dari berat biomassa sebesar 0,20±0,052]. Hariati [1989], menyatakan bahwa protein yang sempurna yaitu yang mengandung asam amino esensial yang lengkap macam dan jumlahnya.

126 | Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago

Protein yang termasuk golongan ini dapat menjamin pertumbuhan disamping untuk mempertahankan jaringan yang sudah ada. Selanjutnya Tacon [1987], menyatakan bahwa organisme menggunakan protein sebagai sumber energi bersama karbohidrat, kelebihan tingkat protein atau protein efficiency ratio yang tinggi dalam pakan menghasilkan penekanan laju pertumbuhan, energi yang tersisa untuk pertumbuhan, akan naik secara proporsional dengan meningkatnya energi pakan yang diberikan sampai akhirnya mencapai titik keseimbangan, sehingga energi pakan yang akan digunakan untuk pertumbuhannya. Apabila ketersedian protein dalam pakan tidak mencukupi maka pertumbuhan ikan gurami akan berkurang atau terjadinya penurunan berat tubuh, karena protein dalam jaringan tubuh akan dimanfaatkan kembali untuk mempertahankan fungsi jaringan yang lebih penting. Sebaliknya apabila protein dalam pakan terlalu tinggi akan melebihi kebutuhan ikan, maka kelebihan protein tersebut akan dikatabolisme untuk menghasilkan energi, sehingga protein yang digunakan membangun tubuh hanya sedikit.

Kelangsungan hidup benih ikan gurami sago dengan persentase pemberian pakan yang berbeda dipresentasikan pada Tabel 5.12 dan Gambar 5.13

Tabel 5.12 Rata – rata kelangsungan hidup benih ikan gurami sago.

Ulangan Perlakuan [%] 3 5 7 9 1 100 100 66,67 83,33 2 100 100 83,33 100 3 66,67 66,67 83,33 66,67 Jumlah 266,67 266,67 233,33 250 Rata – rata[sd] 88,89±19,24a 88,89±19,24a 77,78±9,61a 83,33±16,66a

Berdasarkan hasil analisis varian menunjukkan bahwa persentase pemberian pakan yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata [p>0,05] terhadap kelangsungan hidup benih ikan gurami sago. Kelangsungan hidup benih ikan gurami sago yang tertinggi terdapat pada perlakuan A dan B [pemberian pakan sebanyak 3% dan 5% / hari dari berat biomassa yaitu sebesar 88,89±19,24] dan yang paling rendah terdapat pada perlakuan C [pemberian pakan sebanyak 7% / hari dari berat biomassa sebesar 77,78±9,61].

Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago | 127

Gambar 5.13 Bardiagram tingkat kelangsungan hidup benih ikan gurami sago.

Berdasarkan Tabel 5.12 dan Gambar 5.13 dapat dilihat bahwa rendahnya kelangsungan hidup benih ikan gurami sago pada perlakuan C [pemberian pakan sebanyak 7% / hari dari berat biomassa sebesar 77,78±9,61%] dibandingkan dengan perlakuan lainnya itu diduga disebabkan oleh ikan mengalami stress, dikarenakan tingkat kematian tertinggi terjadi pada saat awal penelitian, dimana ikan harus beradaptasi dengan lingkungan baru, mengingat tidak semua ikan mengalami kematian, maka dapat dipastikan bahwa daya toleransi pada populasi ikan dalam wadah berbeda-beda. Hal ini diduga karena perbedaan kondisi tubuh saat sebelum dimasukkan dalam media termasuk intensitas parasit, tingkat stress dan lain-lain. Wardoyo [1985], menyatakan bahwa kelangsungan hidup ikan sangat ditentukan oleh kualitas air.

Untuk komposisi karkas benih ikan gurami sago pada akhir penelitian di presentasikan pada Tabel 5.13.

128 | Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago

Tabel 5.13 Komposisi karkas benih ikan gurami sago pada akhir penelitian [berat basah].

No. Parameter 3% 5% 7% 9% 1 Protein kasar 19,29 21,68 22,74 20,30 2 Lemak kasar 1,18 1,35 1,43 1,28 3 Serat kasar 0,23 0,25 0,27 0,24 4 Karbohidrat 2,07 2,18 2,22 2,02 5 Kadar air 75,44 73,80 71,18 72,10 6 Kadar abu 2,00 2,30 2,42 2,18 Keterangan : Hasil Analisis Laboratorium Dasar Kimia Universitas Bung Hatta. Padang, Juli 2018.

Berdasarkan hasil analisis varian menunjukkan bahwa persentase pemberian pakan yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata [p>0,05] terhadap karkas benih ikan gurami sago.

Djuanda [1981], menyatakan bahwa sebagian dari makanan yang dimakan berubah menjadi energi yang digunakan untuk aktivitas hidup dan sebagian keluar dari tubuh. Jadi tidak semua protein makanan yang masuk diubah menjadi daging. Selain itu, pembentukan protein daging juga tergantung kemampuan fisiologis ikan. Protein yang diberikan, yang dapat diserap dan dimanfaatkan untuk membangun ataupun memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak, serta dimanfaatkan tubuh ikan bagi metabolisme sehari-hari. Cepat tidaknya pertumbuhan ikan itu ditentukan oleh banyaknya protein yang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh ikan sebagai zat pembangun. Oleh karena itu, agar ikan dapat tumbuh secara normal, pakan yang diberikan harus memiliki kandungan energi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan energi metabolisme dan memiliki kandungan protein yang cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan sel-sel tubuh yang baru.

Sel memiliki batas tertentu dalam menimbun protein, apabila telah mencapai batas ini, setiap penambahan asam amino dalam cairan tubuh dipecahkan dan digunakan untuk energi atau disimpan sebagai lemak, yang dimulai dengan proses yang dikenal sebagai deaminasi [pembuangan gugus amino dari asam amino] dan diekskresi sebagai amoniak [NH3] atau ion ammonium [NH4] [Fujaya, 2002]. Hal ini diduga juga disebabkan karena kekurangan atau kelebihan protein pakan yang diberikan tidak semuanya digunakan dalam sintesis protein akan tetapi kelebihan

Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago | 129 kadar protein ini dikatabolisme yang akhirnya diekskresikan menjadi amonia. Semakin banyak protein yang dikatabolisme maka akan meningkatkan energi untuk mengoksidasi kelebihan asam amino yang akhirnya akan meningkatkan amonia yang diproduksi [Ming, 1985]. Kesimpulan

Pencarian teknologi meningkatkan kemampuan retensi nutrient dan sumber protein yang murah diperlukan untuk menjaga kesinambungan akuakultur. Pakan yang memiliki keseimbangan protein, lemak, dan serat untuk kebutuhan ikan tertentu akan memacu pertumbuhan ikan yang cepat besar, akan tetapi bila nutrisi yang dibutuhkan ikan kurang maka pertumbuhan ikan akan lambat berakibat pada biaya dan waktu panen yang cukup lama. Kebutuhan gizi bagi ikan adalah untuk kelangsungan hidup ikan, kemudian untuk pertumbuhannya. Dalam meningkatkan hasil produksi ikan secara sangat perlu diberikan pakan yang berkualitas tinggi, artinya pakan ikan yang diberikan mencukupi kebutuhan nutrisi [gizi] ikan dan bermutu baik

Penggunaan tepung dari tumbuhan yang berbeda (daun apu-apu, daun kangkung, daun eceng gondok, daun keladi dan lontoro gung) sebagai sumber protein pakan nabati dapat dijadikan sebagai salah satu langkah menuju pembentukan strain unggul ikan gurami sago [Osphronemus goramy Lac.] sebagai komoditi unggulan Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

130 | Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago

Daftar pustaka

Agus. 2001. Beberapa metode pembenihan ikan air tawar. Yogyakarta. Kanisius.

AOAC, 1998. Official methods of analysis of AOAC international, volume 1: agricultural chemicals, contaminants, drugs. 16th Edn., AOAC International, Arlington, VA., USA., ISBN: 0935584544.

Aryani. N; Azrita. Mardiah. A; and Syandri. H. 2017. Influence of feeding rate on the growth, feed efficiency and carcass composition of the giant goramy (Osphronemus goramy). Pakistan Journal of Zoology, 49(5): 1775-1781.

Azrita and Hafrijal Syandri. 2015. Morphological character among five strain of giant goramy, Oshpronemus goramy Lacepede, 1801. (Actinopterygii:Perciformes:Oshpronemidae) using a truss morphometric system. International Journal of Fisheries and Aquatic Studies, 2(6) : 344- 350.

Boyd, C.E. 1982. Water quality in management for pond fish culture. Elsevier Science Publishing Co. Birmigham, Alabama.

Cahyono, B. 2000. Budidaya ikan air tawar ikan gurami, ikan nila, ikan mas. Kanisius. Yogyakarta. hal 113.

Chong, A.S.C., S.D. Ishak, Z. Osman and R. Hashim. 2004. Effect of dietary protein level on the reproductive performance of female swordtails Xiphophorus helleri (Poeciliidae). Aquaculture, 234: 381-392.

Chumaidi. 1990. Petunjuk teknis budidaya pakan alami ikan dan udang puslitbangkan PHP/KAN/PT/12/Rep/1990. Jakarta.

Cilliers, CJ. 1991. Biological control of water lettuce, P. stratiotes (Araceae), in South Africa. Agriculture, ecosystems and environment, 37, 225–229.

Cowey, C.B. 1979. Protein and amino acid requirement of finfish. institute of marine biochemistry. Aberdeen United Kingdom.

Darmawangsa, G.M. 2008. Pengaruh padat tebar 10, 15, dan 20 ekor/l terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan gurami Osphronemus goramy Lac. Ukuran 2 Cm. [Skripsi]. Program Studi Teknologi Dan Manajemen Akuakultur. Institut Pertanian Bogor.

Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago | 131 Djuanda, T. 1981. Dunia ikan. Armico, Bandung. hal 190.

Dinas Perairan. 1987. Budidaya ikan jelawat. Balai Informasi Pertanian Sumatera Selatan. Djarijah, A. S. 1996. Pakan ikan alami. Kanisius, Yogyakarta. Edriani, G. 2011. Evaluasi kualitas dan kecernaan biji karet, biji kapuk, kulit singkong, Palm kernel meal, dan kopra yang difermentasi oleh saccharomyces cerevisiae pada pakan juvenil ikan mas Cyprinus carpio. Skripsi. Departmen budidaya perairan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. (tidak dipublikasikan).

Effendi, Hefni. 2000. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Bogor. Jurusan sumberdaya perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.

Effendi, H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan dan lingkungan perairan. Kanisus, Yogyakarta. hlm 78.

Effendi, I. 2004. Pengantar akuakultur. Penebar Swadaya, Jakarta.

EPPO, European and Mediterranean Plant Protection Organization (EPPO) 2017. Pest risk analysis pistisia stratiotes eppo, Paris. [accessed on 2nd November 2017].

Fujaya, Y. 2002. Fisiologi lkan. Dasar pengembangan teknik perikanan. Rineka cipta. Jakarta.

Godome, T; E, Tossavi; N.I, Ouattara and Emile Didier Fiogbe. 2018. Determination of the optimal feed ration for best growth of hoplobatrachus occipitalis (Gunther, 1858) tadpoles reared in controlled medium. International Journal of Fisheries and Aquatic Studies. 6(2): 376-380.

Gusrina. 2008. Budidaya ikan jilid 2. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Habibah, R; Teti, R dan Deisi, H. 2013. Pengaruh komposisi gulma air hydrilla (Hydrilla verticillata) dalam ransum ikan gurami terhadap pertumbuhan ikan gurami (Osphronemus goramy Lac.). Jurnal Biologos, 1 (1): 1-7.

132 | Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago

Hanief, S dan Pinandoyo. 2014. Pengaruh frekuensi pemberian pakan terhadap pertumbuhan dan kelulushidupan benih tawes (Puntius javanicus). Journal of Aquaculture Management and Technology, 3(4): 67-74.

Hargreaves, J.A., and Tucker, C.S. 2004. Managing amonia in fish pond. Southern Regional Aquaculture Center, SRAC publication 4603.

Hariati, A. M. 1989. Makanan ikan. UNIBRAW / LUW / fishries product Universitas Brawijaya. Malang.

Hariyadi; B, Haryono, A dan U, Susilo 2005. Evaluasi efisiensi protein pada ikan karper rumput (Ctenopharryngodom idella Val) yang diberi pakan dengan kadar karbohidrat dan energi yang berbeda. Fakultas Biologi Unseod. Purwokerto.

Harley, K. L.S. and D.S, Mitchell, 1981. The biologi of australian weeds. 6. pistisia stratiotes linn. Journal of the Australian Institute of Agriculture Science. 47:67-76.

Hartoyo dan P. Sukardi. 2007. Alternatif pakan ternak ikan. Pusat ahli teknologi dan kemitraan (Pattra). Lembaga penelitian Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

Hevroy, E.M.M; Espe, R; Waagbo, K; Sandnes, M; Ruud and G.I. Hemre. 2005. Nutrient utilization in atlantic salmon (Salmo salar L.) fed increased levels of fish protein hydrolysate during a period of fast growth. aquacult. nutr., 11: 301-313.

Hoar, W.S.D; J, Randall dan J.R. Brett. 1979. Fish physiologi volume VIII. Academic Press. Inc.

Iskandar, R dan Elrifadah. 2015. Pertumbuhan dan efisiensi pakan ikan nila (Oreochromis niloticus) yang diberi pakan buatan berbasis kiambang. Jurnal Ziraa’ah. Vol. 40(1) : 18-24.

Jahan, M.S; Asaduzzaman, M and Sarkar, A. 2006. Performance of broiler fed on mash, pellet, and crumble. Inc J. Poultry Sci. 5(3): 265-270.

Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago | 133 Johnson, G and A, Gill. 2002. Perches and their allies. Pp. 193 in w eschmeyer, J Paxton, eds. Encyclopedia of fishes – second edition. San diego, CA: Academic Press.

Khairuman dan Amri. 2002. Buku pintar budidaya 15 ikan konsumsi. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Khalil, M; Zahmila dan Hartami, P. 2015. Studi penggunaan pakan pelet hasil formulasi dari bahan baku nabati untuk meningkatkan pertumbuhan benih ikan gurami (Osphronemus goramy). Berkala perikanan terubuk. 43(1): 32- 44.

Kim, M.K; J.P, Dubacq; J.C, Thomas and G, Giraud. 1996. Seasonal variations of triacylglycerols and fatty acids in Fucus serratus. Phytochemistry. 43: 49- 55.

Kordi, K. 2014. Panen untung dari akuabisnis ikan gurami. Yogyakarta. Andi publisher.

Landprotection. 2006. In Asive plants. Century crafts : New York.

Langeland, G, 2008. Code for practice for powdered formula for plants. PT. Gramedia pustaka utama. Jakarta.

Lovell, T. 1989. Nutrition and feeding of fish. An A VI Book. Published by van nostrand reinhold, New York. pp hlm 260.

Mahyuddin, K. 2009. Panduan lengkap agribisnis ikan gurami. Penebar swadaya, Jakarta. Hlm 252.

Mardani. 2017. Pengaruh pemberian pakan dengan presentase yang berbeda terhadap pertumbuhan ikan patin (Pangasius pangasius) yang dipelihara di bak plastik.

Ming, F. W. 1985. Ammonia excretion rate as an index for comparing efficiency of dietary protein utilization among rainbow trout, Salmo gairdneri different strains. Aquaculture, 46 : 27 – 35 pp.

Mudjiman, A. 1989. Cetakan makanan ikan. Penerbit penebar swadaya. Jakarta.

134 | Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago

Nematipour, G. R., M.L. Brown, dan D.M. Gatlin III. 1992. Effects of dietary energy protein ratio on growth characteristic and body consumption of hybrid striped bass. Aquaculture, 107 : 359-368.

NRC (National Research Council). 1993. Nutrient requirements of fish. National Academy Press, Washington, DC.102.

Nugroho, E; Jojo. S. dan Sulhi, M. 2010. Optimasi budidaya ikan gurami (Osphronemus goramy Lac.). [Laporan Akhir Kegiatan Research]. Balai penelitian dan pengembangan kelautan dan perikanan balai research perikanan budidaya air tawar. Bogor.

Oktasari, T. Suparmi, dan Rahma, K. 2015. Pembuatan isolat protein ikan gurami (Osphronemus goramy Lac). Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau.

Oliver J. D. 1993. A review of the biology of giant salvinia (Salvinia molesta Mitchell). Journal of aquatic plant management 31:227-231.

Prabowo, B. 2011. Statistik tanaman sayuran dan buah semusim indonesia. Jakarta. Indonesia.

Prihartono, RE. 2004. Permasalahan gurami dan solusinya. Penebar swadaya. Jakarta.

Rahmat, P. 2013. Budidaya gurami. Agromedia pustaka. Jakarta. (96).

Romero, P. 2002. An Etymological dictionary of . Madrid.

Rosani, U. 2002. Performa itik lokal jantan umur 4-8 minggu dengan pemberian kayambang (Salvinia molesta) dalam ransumnya. Skripsi. Jurusan ilmu nutrisi dan makanan ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor (tidak dipublikasikan).

Sari, G.S. 2009. Budidaya dan peternakan ikan gurami (Osphronemus goramy). Sastra Hudaya Jakarta.

Sahwan, M. F. 2002. Pakan ikan dan udang. Jakarta. Penebar swadaya.

Tirta, S.J 2002. Pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan gurami (Osphronemus goramy) Sistem resirkulasi. Skripsi. Budidaya perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.

Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago | 135 Setijaningsih L; O.Z, Arifin and R, Gustiano. Characterization of three strains of giant goramy (Osphronemus goramy Lac.) based on truss morphometries method. Indonesian Journal of Ichtiologi. 2007; 7(1):23-30.

Setyono, B. 2012. Pembuatan pakan buatan. Unit pengelola air tawar. Kepanjen. Malang.

Sitanggang, M. dan B Sarwono. 2007. Budidaya gurami. Penebar swadaya. Jakarta.

Slavin, R.E 2000. Educational phsycology: Theory and practice. Pearson education. New jersey.

Solomon. SG. Tiamiyu LO. Agaba. UJ. Effect of feeding different grain source on growth performance and body composition of tilapia (Oreochromis niloticus) fingerlings fed in out-doorhapas. Pakistan Journal of Nutrition. 2007. 6(3): 271-275.

Standar National Indonesia (SNI): 01-6485.2-2000.

Steel, R.G.D dan JH Torrie. 1989. Prinsip dan prosedur statistika. Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri. Gramedia pustaka. Jakarta.

Stickney, R.R. 1979. Principle of warmwater aquaculture. Jhon Willey and Sons Inc. New York. 375.

Sudarman, 1988. Budidaya udang windu. Pembesaran di tambak, Agricultural Tehnical Boston W.D.C Surabaya.

Suhaili, A. 1983. Pemeliharaan ikan dalam keramba. Penerbit Gramedia, Jakarta.

Sukoso. 2002. Pemanfaatan mikroalga dalam industri pakan ikan. Agritek YPN. Jakarta.

Sumiati, I.K. Amrullah dan A.N. Setiawati. 2001. Pengukuran nilai energy metabolis kayambang (Salvinia molesta) pada itik local dengan modifikasi metode McNab dan Blair. Prosiding seminar nasional 111 ilmu nutrisi dan makanan ternak. Asosiasi ilmu nutrisi dan makanan ternak indonesia (AINI) dan Fakultas Peternakan IPB. Bogor.

136 | Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago

Sunarto dan Sabariah. 2009. Pemberian pakan buatan dengan dosis berbeda terhadap pertumbuhan dan konsumsi pakan benih ikan semah (Tor douronensis) dalam upaya domestikasi. Jurnal Akuakultur Indonesia, 8(1); 67-76.

Suprihatin. 2010. Teknologi Fermentasi. Surabaya: UNESA Pres.

Susanto, H. 2008. Budidaya ikan dipekarangan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sutrisno, U. 2011. Pengaruh padat tebar berbeda terhadap pertumbuhan ikan gurame padang (Osphronemus gouramy Lac). Skripsi. Universitas Raspati. Jakarta.

Syandri, H dan Azrita 2016. Naskah akademik ikan gurami (Osphronemus goramy, Lac). Kerjasama Kabupaten Lima Puluh Kota dengan LPPM Universitas Bung Hatta. Tidak dipublikasikan.

Tacon, A.G.J 1987. The nutrition and feeding of farmed fish and shrimp. A Training Manual, FAO, Rome.

Takeuchi, T. 1988. Laboratory work chemical evaluation of dietary nutrient, 179- 232. In: T. Watanabe, ed. Fish nutrition and mariculture. Kanagawa fisheries training Centre; Japan International Cooperation Agency. Tokyo.

Thaiin, A. 2016. Pengaruh pemberian lisin pada pakan komersial terhadap retensi energi dan rasio konversi pakan ikan gurami (Osphronemus goramy). Skripsi. Fakultas perikanan dan kelautan, Universitas Airlangga Surabaya.

Venema, P. 2001. Snelle Uitbreiding van watersla (P. stratiotes L.) rond meppel. gorteria 27, 133–135.

Warasto; Yulisman; M. Fitriani. 2013. Tepung kiambang (Salvinia molesta) terfermentasi sebagai bahan ikan nila (Oreochromis niloticus). Jurnal akuakultur rawa Indonesia. Vol. 1(2) : 173-183.

Wardoyo, S.T.H. 1985. Pengelolaan kualitas air. Proyek peningkatan mutu perguruan tinggi IPB. Bogor. hal 41.

Watanabe, T. 1988. Fish nutrition and marine culture. JICA texbook. The general of aquaculture course. Departemen of aquatic. Biosciense. Tokyo. Pp. 238.

Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago | 137 Welcome RL. 1988. International introductions of inland aquatic species. Food and agriculture organization of the United Nations, Fisheries Technical Paper Rome, Italy 1988; 294:1-318.

Wedemeyer, G. A. 1996. Physiology of fish in intensive culture systems. Chapman and Hall, New York, 232.

Zainuddin. 2010. Pengaruh kalsium dan fosfor terhadap pertumbuhan efisiensi pakan kandungan mineral dan komposisi tubuh juvenil ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 2 : 1–9.

Zidni, I. 2017. Fermentasi (Lemna Sp) sebagai bahan pakan ikan untuk meningkatkan penyediaan sumber protein hewani bagi masyarakat. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjajaran.

138 | Bioteknologi Pakan Buatan Untuk Ikan Sago

Chapter : 6 PRODUKSI DAN PEMASARAN IKAN GURAMI SAGO

Produksi benih ikan gurami sago

omestikasi ikan gurami sago yang telah dilakukan oleh kelompok Pembudidaya ikan di Nagari Mungo Kecamatan Luak Kabupaten Lima D Puluh Kota di mulai tahun 2001 dengan mengumpulkan benih gurami sago dari Sungai Sinamar di Nagari Mungo Kec. Luak Kab. Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat berukuran panjang 2-3 cm dan 3-5 cm masing-masing sebanyak 2000 ekor. Selanjutnya benih ikan gurami tersebut diadaptasikan pada lingkungan budidaya dengan cara dipelihara di dalam kolam tanah [kolam air tenang] dengan memanfaatkan pakan alami, dedak, sisa rumah tangga dan daun talas sampai menjadi induk awal G0 pada tahun 2005.

Induk awal yang berasal dari benih G0 telah dipijahkan sebanyak 5 [lima] pasang pada tahun 2005 dan menghasilkan benih ikan G1 umur 30 hari rata-rata 849±98 ekor per induk yang selanjutnya dibesarkan sampai menjadi induk [G1]. Pada tahun 2010 dilakukan pemijahan induk G1 sebanyak 9 [sembilan] pasang dan menghasilkan benih [G1] umur 30 hari rata-rata 973±76 ekor per induk untuk memperoleh benih ikan gurami sago G2 yang akan dibesarkan sampai menjadi induk G2. Pemijahan induk ikan gurami sago G2 dimulai pada tahun 2015 sebanyak 9 [sembilan] pasang dan menghasil benih umur 30 hari rata-rata sebanyak 1064±85 ekor per induk dan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 6.1. Pendederan benih ikan gurami sago G1 dari hasil pemijahan induk G0 pada tahun 2010 dan pendederan benih G2 dari hasil pemijahan induk G1 secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 6.1.

Produksi dan Pemasaran Ikan Gurami Sago | 139 Metodologi

Pemijahan induk

Setelah terlihat tanda-tanda sekunder kematangan gonad dari induk-induk ikan, selanjutnya dilakukan pemijahan secara alami pada kolam pemijahan. Setiap kolam pemijahan dimasukan 1 pasang induk dan dilengkapi dengan sarang dari bahan ijuk [Basri, 1997].

Penetasan telur dan pemeliharaan larva

Telur ikan yang telah diovulasikan ke dalam sarang selanjutnya dibersihkan dari kotoran yang menempel dengan cara membuka tutup sarang. Dari sini akan keluar telur-telur bercampur dengan butiran minyak. Telur yang baik dan bakal menetas berwarna kuning cerah dan yang tidak baik berwarna putih keruh [Komunikasi pribadi dengan petani pemebnih ikan].

Pengukuran parameter bobot dilakukan dengan mempergunakan timbangan Ohous ketelitian 1 g, sedangkan panjang ikan diukur dengan papan ukur dengan ketelitian 1 mm. Fekunfitas dihitung dengan metode menghitung secara keseluruhan telur dari setiap induk ikan dengan formula Effendie [2007].

Diameter telur di ukur dengan metode Krejszef et al [2009] yaitu dengan memakai mikroskop E-510 digital camera mounted on a binocular microscope Olympus BX51. Laju petumbuhan harian digunakan analisi Mokoro et al. 2014, Budi et al,

2015: [SGR,% dayˉ1]= [lnW1-lnW2/T x 100]. Kelayakan usaha pembenihan ikan gurami dianalisis dengan metode Osofer0 et al. [2009]

140 | Produksi dan Pemasaran Ikan Gurami Sago

Produksi dan Pemasaran Ikan Gurami Sago | 141 142 | Produksi dan Pemasaran Ikan Gurami Sago

0

Gambar 6.1 Waring sebagai wadah pemeliharaan benih ikan gurami sago

Gambar 6.2 Benih ikan gurami sago awal pendederan dan setelah pendederan

Gambar 6.3 Benih ikan gurami sago awal dan akhir penelitian selama 120 hari di dalam kolam terpal.

Produksi dan Pemasaran Ikan Gurami Sago | 143 Pemasaran benih ikan gurami sago

Pemasaran ikan benih ikan gurami sago dapat dipasarkan di dalam dan luar negeri dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Di Kota Padang benih ukuran 5-8 cm harga Rp 2.000- Rp.2500/ekor. Di Kota Pekanbaru ukuran yang sama harganya berkisar antara Rp 3.500- Rp.4000/ ekor. Harga ditingkat pembudidaya ikan dipresentasikan pada Tabel 6.3.

Tabel 6.3 Ukuran produksi benih ikan gurami sago di Kecamatan Luak

Jenis produk & Umur Ukuran Harga No Distribusi penamaan*] [hari] [cm] [Rp]/ekor 1 Anak gurami 5 1,5 70,- Area Kab 2 Sakali adiak 15-20 2,5 400,- Lima 3 Sakali adiak pas 25-30 3,5 750,- Puluh 4 Sandiang korek api 45 4,5 900,- Kota, 5 Sandiang surya 60 5,3 1.200,- Area Kota 6 Sandiang komondor 90 6,5 1.400,- Padang, 7 Kewe ketek 120 7,5 1.700,- Area Kota 8 Kewe gadang 150 9,4 2.000,- Pekanbaru 9 Api-api gesek 180 10,5 3.000,- , Area 10 Kotak api-api 200 12,5 3.500,- Kota 11 Ukuran gepe 240 17,5 5.000,- Batam, 12 Kota rokok surya 250- 20 Singapura 7.000,0- 270 13 Konsumsi [g] 35.000,- 300 /kg Sumber : *Wawancara dengan petani ikan Aspek teknologi dan ekonomi

Pembudidaya ikan di Nagari Mungo Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota pada masa awal telah menerapkan teknologi tradisional dalam pemeliharaan ikan gurami sago. Dalam hal ini pembudidaya selalu mengandalkan benih hasil tangkapan dari alam dan menerapkan penggunaan pakan alami [daun talas, ampas kelapa, dedak] selama pemeliharaan. Penerapan budidaya ikan gurami sago secara tradisional berdampak pada ketidak efisiean lahan dan pemeliharaan ikan tanpa manajemen budidaya ikan yang baik, karena harga benih dari ikan ini pada masa lalu lebih rendah daripada ikan gurami ras lainnya seperti tambago, dan palapah.

144 | Produksi dan Pemasaran Ikan Gurami Sago

Hal ini disebabkan karena pertumbuhannya lambat dan kurang diminati oleh masyarakat sebagai ikan konsumsi. Masyarakat pada waktu itu belum mengenal ikan gurami sago berpotensi untuk dijadikan sebagai ikan hias [Ornamental fishes].

Budidaya ikan gurami sago secara semi intensif mulai dilakukan masyarakat setelah ditemukan teknologi pemijahan alami di kolam ukuran 2x2x1 m sehingga produksi larva dapat terkontrol dengan baik dan ada yang menetaskan telur secara terkontrol di dalam baskom. Teknologi produksi benih dengan mudah dapat dilakukan dengan melakukan pendederan di lahan sawah petani.Sumber ketersediaan benih yang berkesinambungan mempermudah masyarakat untuk melakukan kegiatan budidaya. Selain itu, teknologi pembenihan ikan gurami sago merupakan teknologi aplikatif dan sangat mudah untuk aplikasikan ke masyarakat karena pemijahan ikan gurami sago dapat dilakukan secara alami dengan biaya relatif murah.

Teknologi budidaya ikan gurami sago yang sudah diterapkan oleh masyarakat terdiri dari teknologi pembenihan dan pembesaran. Hingga saat ini terdapat kelompok pembudidaya ikan [Unit Pembenihan Rakyat] yang memproduksi benih ikan gurami sago sebagai komoditi ikan hias yang tersebar di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota. Seiring dengan terdapatnya panti benih pada beberapa wilayah di Kabupaten Lima Puluh Kota, maka kegiatan pembenihan ikan gurami sago juga ikut berkembang di masyarakat dengan menerapkan padat tebar optimal sesuai dengan ukuran ikan. Wadah pendederan benih ikan gurami sago yang digunakan masyarakat adalah kolam sawah, kolam terpal dan wadah waring yang ditempatkan di dalam kolam. Keunggulan dari aspek teknologi adalah ikan gurami sago dapat dipelihara di kolam sawah, kolam terpal dan keramba jaring apung. Selain itu proses deseminasi budidaya tidak membutuhkan fasilitas yang tinggi.

Nilai ekonomis ikan gurami sago tergantung pada ukuran [size] ikan, semakin besar bobot dan panjang ikan maka semakin mahal harga jualnya. Sebagai contoh, harga jual benih ikan gurami sago ukuran 2,5 cm adalah Rp400 per ekor, ukuran 3,5 cm Rp. 750 per ekor, dan ukuran 10-12 cm Rp.3000 – Rp.3500 per ekor.

Berdasarkan harga jual tersebut, teknologi pembenihan ikan gurami sago dapat diatur sedemikian rupa sehingga nilai biaya produksi dapat disesuaikan untuk mencapai keuntungan semaksimal mungkin. Hal tersebut sangat berkaitan dengan manajemen produksi benih maupun budidaya. Dari hasil perhitungan analisa usaha

Produksi dan Pemasaran Ikan Gurami Sago | 145 pada Tabel 6.4 diketahui bahwa usaha pembenihan ikan gurami sago layak dan menguntungkan. Dengan memijahkan 5 pasang induk gurami sago [nilai B/C rasio = 2,67] dengan investasi sebesar Rp. 3.805.000,- mendapatkan keuntungan [provit] sebesar Rp. 2.516.667,- selama 1 bulan pemeliharaan. Pendapatan ini berada di atas Upah Minimum Regional [UMR] Kabupaten Lima Puluh Kota Rp 1.800.000/bulan.

Tabel 6.4 Kelayakan usaha pembenihan ikan gurami sago

No Jenis pengeluaran Total Biaya A. Modal Tetap [Investasi] 1 Kolam 500.000 2 Bakul 200.000 3 Tangguk/seser 50.000 4 Cangkul 150.000 Jumlah 900.000 B. Modal tidak tetap [modal kerja] 1 Induk ikan Gurami sago 5 pasang 1.250.000 2 Pakan komersial Pengli O 100.000 3 Pupuk urea untuk kolam pendederan 8x8 25.000 m [64 m2]x 1 g/m2 4 Pupuk Kandang 250 g/m2 x 64 m 20.000 5 Kapur dolamit 50 g/m2 x 64 m 10.000 6 Upah tenaga kerja Rp.50000 x 30 hari 1.500.000 Jumlah 2.905.000 Investasi [MT+MK] 3.805.000 C. Penyusutan alat dan bahan KJA Penyusutan bakul selama 2 bulan 20.000 Penyusutan seser selama 2 bulan 8.333 Penyusutan cangkul selama 2 bulan 25.000 Jumlah 53.333 D. Total biaya 3.858.333 Kelayakan usaha E. Total pendapatan kotor produksi benih 6.735.000 ukuran 3,5 cm 8.500 ekor x Rp 750,. G. Pendapatan bersih [Provit] 2.516.667 H. BCR = Pendapatan kotor : biaya total 2,67 I. IRR [%] = Pendapatan bersih/ Investasi 66,14% [ >dari bunga Bank x 100% 12%] J. PBP = investasi/ pendapatan bersih 1,51 periode pemeliharaan

Selanjutnya usaha pembesaran ikan gurami sago pada keramba jaring apung di Danau Maninjau dengan 1 kantong KJA diperoleh rasio B/C rasio = 1,26 dengan investasi Rp 65.770.000,- mendapatkan keuntungan Rp 17.745.000,- dan 4 kantong rasio B/C rasio 1,38, dengan investasi Rp 240.000.000,- mendapatkan keuntungan

146 | Produksi dan Pemasaran Ikan Gurami Sago

Rp 94.135.000,-. [Tabel 6.4]. Budidaya ikan gurami sago di kolam terpal diperoleh rasio B/C rasio = 1,43, IRR= 43,19% dan PBP = 2,31.

Tabel 6.5 Kelayakan usaha budidaya ikan gurami dengan KJA Di Danau Maninjau [Lama Pemeliharaan 7 Bulan]

No Jenis pengeluaran Total Biaya Total Biaya Kategori I Kategori II [1 kantong] [4 kantong] A. Modal Tetap [Investasi] 1 Kerangka KJA 1.500.000 6.000.000 2 Jaring ukuran 1 inci 1.200.000 4.800.000 3 Drum plastik 1.350.000 5.400.000 4 Tali pengikat 100.000 400.000 5 Papan 450.000 450.000 6 Tangguk 20.000 70.000 7 Rakit 150.000 550.000 8 Gudang Pakan /pondok 1.000.000 1.000.000 9 Jangkar 100.000 100.000 10 Cat dan Tiner 450.000 475.000 Jumlah 6.320.000 19.2 45.000 B. Modal tidak tetap [modal kerja] 1 Benih ikan gurami 5.000 ekor/petak 15.000.000 60.000.000 2 Pakan ikan gurami [5 ton/petak x 39.000.000 156.000.000 Rp 7.800.000 3 Upah Tenaga kerja 5.250.000 5.250.000 4 Biaya listrik 200.000 400.000 Jumlah 59.450.000 221.650.000 Investasi [MT+MK] 65.770.000 240.895.000 C. Penyusutan alat dan bahan KJA Penyusutan KJA selama 7 bulan 250.000 500.000 Penyusutan bambu 7 bln/petak 157.600 315.200 Penyusutan perahu 7 bulan/petak 41.600 83.200 Penyusutan perahu 7 bulan/petak 35.800 71.600 Jumlah 485.000 970.000 D. Total biaya 66.255.000 241.865.000 Kelayakan usaha E. Total pendapatan kotor [produksi 2,8 84.000.000 336.000.000 ton x Rp 30.000.000/petak G. Pendapatan bersih [Provit] 17.745.000 94.135.000 H. BCR = Pendapatan kotor : biaya total 1,26 1,38 I. IRR [%] = Pendapatan bersih/ 26,98% [ >dari 39,07% Investasi x 100% bunga Bank 12%] J. PBP = investasi/ pendapatan bersih 3,7 periode 2,5 periode pemeliharaan pemeliharaan [2 tahun 1,5 [1 tahun 4,5 bulan] bulan]

Produksi dan Pemasaran Ikan Gurami Sago | 147 Tabel 6.6 Kelayakan usaha budidaya Ikan gurami pada kolam terpal [lama pemeliharaan 7 bulan]

No Jenis pengeluaran Total Biaya [Rp] A. Modal Tetap [Investasi] 1 Bak beton 3 unit ukuran 2x2x0,6 m 1.500.000 2 Terpal 18 meter 90.000 3 Mesin Pompa air 1 unit 675.000 4 Paralon ½ inci 5 batang 250.000 5 Sokat dan Lem 100.000 6 Tangguk/seser 1 unit 20.000 7 Kran air 2 unit 60.000 Jumlah 2.695.000 B. Modal tidak tetap [modal kerja] 1 Benih ikan gurami 450 ekor [padat tebar 1.350.000 150 ekor/petak] x Rp.3000/ekor 2 Pakan ikan gurami [500 kg x Rp 7.800,-] 3.900.000 3 Upah Tenaga kerja 2.100.000 4 Biaya listrik 200.000 Jumlah 7.550.000 Investasi [MT+MK] 10.245.000 C. Penyusutan Penyusutan terpal selama 7 bulan 30.000 Jumlah 30.000 D. Total biaya 10.275.000 Kelayakan usaha E. Total pendapatan kotor [produksi 490 kg x 14.700.000 Rp 30.000 G. Pendapatan bersih [Provit] 4.425.000 H. BCR = Pendapatan kotor : biaya total 1,43 I. IRR [%] = Pendapatan bersih/ Investasi x 43,19% [ >dari 100% bunga Bank 12%] J. PBP = investasi/ pendapatan bersih 2,31 periode pemeliharaan [1 tahun 3 bulan]

148 | Produksi dan Pemasaran Ikan Gurami Sago

Aspek sosial dan lingkungan

Diawali dari pengembangan teknologi pembenihan maupun pembesaran ikan gurami sago di Kelompok Pembudidaya Ikan Ingin Maju yang difasilitasi oleh Dinas Perikanan Kabupaten Lima Puluh Kota. Petani pembenih ikan yang selama ini berusaha di bidang pembenihan ikan lele dumbo dan ikan nila di Nagari Mungo, Nagari Andaleh di Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota, kini petani pembenih ikan telah mengadopsi pembenihan ikan gurami sago hingga menjadi sebuah alternatif usaha baru di bidang pembenihan ikan. Sebagai contoh pembudidaya ikan gurami sago di Desa Andaleh dan Mungo Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat telah berhasil melakukan usaha pembenihan dan pembesaran ikan gurami sago sebagai komoditas alternatif yang lebih menguntungkan disamping komoditas ikan yang lain. Kelebihan komoditas ikan gurami sago dibanding komoditas ikan yang lain diantaranya adalah kemudahan dalam memijahkan, pakan yang diberikan tidak terlalu banyak, permintaan pasar secara kontinyu, dan tingginya harga jual ikan di pasaran. Hal ini memicu banyaknya pembudidaya yang tertarik untuk melakukan budidaya, terutama pembenihan ikan gurami sago di di Kecamatan Luak dan Kecamatan Guguak Kabupaten Lima Puluh Kota. Belum termasuk dari sejumlah pembudidaya yang tersebar di wilayah lain di Sumatera Barat dan Riau.

Pada saat sekarang ikan gurami sago banyak diminati oleh pedagang ikan hias tidak hanya yang berasal dari Provinsi Sumatera Barat, tetapi banyak juga yang berasal dari luar Sumatera Barat seperti dari daerah Riau, Jambi dan Sumatera Utara. Hal ini tidak lain disebabkan karena ikan gurami sago sudah dijadikan sebagai salah satu komoditi ikan hias bagi para penggemar ikan hias sehingga usaha pembenihan gurami sago dapat membuka lapangan usaha baru bagi pemuda putus sekolah di Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota. Manfaat budidaya ikan gurami sago terhadap lingkungan adalah terciptanya kelestarian ikan tersebut pada wilayah geogafisnya. Akhir-akhir ini sudah banyak petani ikan yang beralih usaha kepada pembenihan ikan lele dumbo, dan ikan nila sehingga berdampak negatif terhadap lingkungan budidaya ikan gurami sago. Mayoritas kendala petani dalam membenihkan ikan gurami sago adalah masalah permodalan, sedangkan dari faktor lingkungan adalah kesulitan untuk mendapatkan air pada musim kemarau. Faktor lingkungan lain yang berdampak negatif terhadap pembenihan ikan gurami sago

Produksi dan Pemasaran Ikan Gurami Sago | 149 adalah sumber air untuk mengairi kolam pembenihan ikan gurami sago sudah tercemar oleh air yang melewati peternakan ayam dan pertenakan pembenihan ikan lele dumbo di lahan atas. Namun dengan ditingkatkan kembali pembenihan ikan gurami sago karena harga pasar relatif tinggi, meskipun masa pemeliharaan lebih lama [4-5 bulan], maka petani ikan sudah mulai kembali membenihkan ikan gurami sago dan secara bertahap sudah mulai mengurangi usaha pembenihan ikan lele dumbo dan nila.

Aspek lain dari teknologi budidaya ikan gurami sago yang berhubungan dengan aspek lingkungan adalah melakukan percobaan pemeliharan benih ikan gurami sago dengan salinitas berbeda dan pH berbeda. Hasilnya menunjukan bahwa benih ikan gurami sago mempunyai toleransi terhadap salinitas hingga 10‰, berarti ikan gurami sago dapat dipelihara diperairan payau.

Selain itu benih ikan gurami sago mempunyai toleransi pula terhadap perairan pH rendah, sehingga ikan ini mempunyai peluang pula dibuidayakan diperairan rawa- rawa seperti di daerah Riau. Teknologi baru adalah ikan gurami sago dapat dibudidayakan di dalam keramba jaring apung di Danau Maninjau. Ikan ini tahan terhadap parameter kualitas air yang sangat ekstrim, misalnya ketika terjadi kematian massal ikan Nila dan Majalaya akibat kualitas air yang buruk [Oksigen rendah, ≤ 3 mg/L dan kadar Sulfur meningkat sampai 9 mg/L], ikan gurami sago tidak mengalami kematian. Selain itu ikan gurami sago dapat pula dibudidayakan di dalam kolam terpal. Dapat disimpulkan bahwa ikan gurami sago mempunyai toleransi terhadap lingkungan. Kesimpulan

Teknologi pembenihan dan pembesaran ikan gurami sago bersifat aplikatif dan sangat mudah diterima oleh masyarakat. Pemijahan dapat dilakukan secara alami, dapat dipijahkan sepanjang tahun, mudah mendapatkan sumber pakan untuk mematangkan telur yaitu daun talas [Alocasia macrorrhiza Schott]. Dapat dibudidayakan di kolam sawah pada elevasi 650 m.dpl, dan pada keramba jaring apung di danau Maninjau pada elevasi 461-463 m.dpl. Selian itu dapat pula dibudidayakan di kolam terpal pada Hatchery Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Univ. Bung Hatta Padang pada elevasi 1-2 m.dpl.

150 | Produksi dan Pemasaran Ikan Gurami Sago

Usaha pembenihan ikan gurami di lahan sawah menguntungkan dengan skala B/C rasio = 2,67, IRR = 66,14%, PBP = 1,51 periode, selanjutnya budidaya di keramba jaring apung dengan B/C rasio = 1,38, IRR=39,07%, PBP = 2,5 periode, sedangkan budidaya di kolam terpal dengan B/C rasio = 1,43, IRR=43,19%, PBP = 2,31 periode.

Aspek sosial ikan gurami sago banyak diminati oleh pedagang ikan hias tidak hanya yang dari Provinsi Sumatera Barat, tetapi juga dari daerah Riau, Jambi dan Sumatera Utara Pembenihan gurami sago dapat membuka lapangan usaha baru bagi pemuda putus sekolah di Kecamatan Luak Kabupaten Lima Puluh Kota.

Aspek lingkungan memiliki toleransi terhadap lingkungan perairan [salinitas o ≤10‰], [pH 5-8], [suhu air 25-32 C], [oksigen ≥3 mg/L dan [H2S ≤9 mikogam/L]. Dapat dipelihara pada daerah dataran rendah elevasi 1-2 m.dpl dan dataran tinggi elevasi 670 m.dpl.

Produksi dan Pemasaran Ikan Gurami Sago | 151 Daftar pustaka

Basri. Y. 1997. Penambahan vitamin E pada pakan buatan dalam usaha meningkatkan potensi reproduksi induk ikan gurame [Osphronemus gourami Lecepede]. Tesis Program Pascasarjanan IPB Bogor [tidak dipublikasikan].

Budi, D.S; Alimuddin, M.A and Suprayudi. 2015. Growth response and feed utilization of giant gourami [Osphronemus goramy] juvenile feeding different protein levels of the diets supplemented with recombinant growth hormone. HAYATI Journal of Biosciences, 1 [22] : 12-19.

Effendie. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama: Yogyakarta. 163 hal.

Krejszeff, S; K, Targonska; D, Zarski and D, Kucharczyk. 2009. Domestication affects spawning of the ide [ Leuciscus idus] preliminary study. Aquaculture, 295: 145-14

Mokoro, A; E, Oyoo-Okoth; C.C, Ngugi; J, Njiru; J, Rasowo; V, Chepkirui Boit and D, Manguya-Lusega. 2014. Effects of stocking density and feeding duration in cage-cum-pond-integrated system on growth performance, water quality and economic benefits of Labeo victorianus [Boulenger 1901] culture. Aquaculture Research 45:1672–1684.

Osofero, S.A; Otubusin, S.O and Daramola, J. 2009. Effect of stocking density on tilapia [Oreochromis niloticus Linnaeus 1757] growth and survival in bamboo – net cages trial. African Journal of Biotechnology Vol. 8 [7], 1322-1325.

152 | Produksi dan Pemasaran Ikan Gurami Sago Daftar Glosarium

1. Ad Libitum adalah metode pemberian pakan pada ikan sampai ikan tersebut kenyang. 2. Ad Satiation adalah salah satu cara pemberian pakan sekenyangnya. 3. Akuakultur adalah upaya manusia, melalui masukan tenaga kerja dan enerji, untuk meningkatkan produksi hewan air ekonomis penting dengan memanipulasi laju pertumbuhan, mortalitas dan reproduksi. 4. Benih ikan adalah tahapan pertumbuhan ikan setelah larva hingga dara; anak ikan yang memiliki bentuk morfologi tubuh sudah definitif seperti induknya. 5. Bioteknologi adalah penerapan prinsip-prinsip ilmiah dan rekayasa untuk memproses bahan dengan menggunakan perantaraan biota untuk menghasilkan barang dan jasa. 6. Breeding adalah segala perlakuan ataupun treatment-treatment terhadap induk sehingga menghasilkan larva. 7. Budidaya adalah usaha yang bermanfaat dan memberi hasil, suatu sistem yang digunakan untuk memproduksi sesuatu dibawah kondisi buatan. 8. Budidaya ikan adalah kegiatan terkendali sebagai upaya mengoptimalisasi perairan dalam rangka peningkatan produktivitas dan produksi ikan. 9. Budidaya Perairan adalah usaha produksi biota akuatik dalam lingkungan (aquaculture) terkontrol untuk tujuan komersil dan berwawasan lingkungan. 10. Crossbreeding adalah program persilangan yang dapat diaplikasikan pada ikan, udang, kerang-kerangan maupun rumput laut. 11. Domestikasi adalah memberikan perlakuan khusus pada pemindahan suatu organisme dari habitat lama ke habitat baru dalam ikan dengan cara mengambil dari alam kemudian dipelihara dalam kolam pemeliharaan. 12. Domestikasi spesies adalah menjadikan spesies liar (wild species) menjadi spesies akuakultur. 13. Dorsal adalah bagian punggung. 14. Ekor (Caudal) adalah dari anus sampai bagian ujung sirip ekor. 15. Embriogenesis adalah proses perkembangan embrio yang mencakup pembelahan sel sigot (cleavage), blastulasi, gastrulasi, dan neurulasi.

Daftar Glosarium | 153 16. Embriologi adalah mencakup proses perkembangan setelah fertilisasi sampai dengan organogenesis sebelum menetas atau lahir. 17. Enrichment adalah memperkaya, suatu cara untuk meningkatkan kandungan gizi zooplankton dengan memberikan pakan yang bergizi tinggi terhadap zooplankton tersebut beberapa jam sebelum diberikan sebagai jasad pakan ke larva. 18. Estrogen adalah hormon seks steroid betina yang utama. 19. Estimasi adalah penghitungan untuk pendugaan kondisi fisik, ukuran, jumlah ikan dan hasil produksi yang dihasilkan. 20. Feed Additive adalah bahan makanan atau suatu zat yang ditambahkan dalam komposisi pakan untuk meningkatkan kualitas dari pakan tersebut. 21. Feed Convertion Rate (FCR) adalah perbandingan jumlah pakan yang diberikan dengan daging yang terbentuk; suatu ukuran yang menyatakan rasio jumlah pakan yang dibutuhkan oleh ikan untuk menghasilkan 1 Kg daging. 22. Feeding frekuensi adalah jumlah waktu ikan untuk makan dalam sehari. 23. Fekunditas adalah jumlah telur pada ikan yang akan dikeluarkan sebelum proses pemijahan; jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada saat ikan akan memijah. 24. Fekunditas individu adalah jumlah telur yang dikeluarkan selama satu kali pemijahan; jumlah telur dari generasi tahun itu yang akan dikeluarkan tahun itu pula. 25. Fekunditas relatif adalah jumlah telur per satuan berat atau panjang. 26. Fekunditas total adalah jumlah telur yang dihasilkan ikan selama hidupnya. 27. Fermentasi adalah segala macam proses metabolik dengan bantuan enzim dari mikroba (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu, dan menyebabkan terjadinya perubahan sifat bahan tersebut. 28. Frekuensi pemberian pakan adalah berapa kali pakan yang diberikan dalam waktu sehari. 29. Gonad adalah bagian dari organ reproduksi pada ikan yang menghasilkan telur pada ikan betina dan sperma pada ikan jantan.

154 | Daftar Indek

30. Gurami adalah ikan air tawar herbifora yang makanannya adalah plankton dan daun-daunan. 31. Habitat adalah tempat atau lingkungan luar dimana tumbuh-tumbuhan dan hewan hidup. 32. Hibridisasi atau persilangan adalah suatu upaya untuk mendapatkan kombinasi antara populasi yang berbeda untuk menghasilkan keturunan yang memiliki sifat unggul. 33. Hormon adalah bahan kimia pembawa sinyal yang dibentuk dalam sel-sel khusus pada kelenjar endokrin; suatu zat kimia yang dihasilkan secara alami oleh kelenjar endokrin dan langsung masuk ke dalam sistem peredaran darah serta secara khusus dapat mempengaruhi proses fisiologis organ tubuh di tempat ia dibutuhkan. 34. Ikan adalah hewan berdarah dingin, ciri khasnya adalah mempunyai tulang belakang, insang dan sirip, dan terutama ikan sangat bergantung atas air sebagai medium dimana tempat mereka tinggal. 35. Indeks Kematangan Gonad (IKG) adalah suatu nilai dalam persen sebagai hasil dari perbandingan berat gonad dengan berat tubuh ikan termasuk gonad dikalikan 100%. 36. Induk betina adalah tetua yang mampu menghasilkan telur . 37. Induk ikan adalah ikan yang telah matang gonad atau matang kelamin, pada betina telah menghasilkan telur dan jantan telah mengasilkan sperma. 38. Induk jantan adalah tetua yang mampu menghasilkan sperma. 39. Induk pokok (Parent Stock, PS) adalah induk keturunan pertama dari induk dasar atau induk penjenis. 40. Intraspecipik hibridisasi adalah perkawinan dalam satu species. 41. Interspecifik hibridisasi adalah perkawinan antara spesies yang berbeda. 42. Introduksi adalah istilah untuk menyebut pendatang baik penyakit, ikan maupun yang lainnya, baik yang berasal dari luar daerah endemik maupun luar negeri. 43. Introduksi spesies adalah mendatangkan spesies akuakultur dari kawasan lain untuk meningkatkan jumlah jenis komoditas dan perbaikan genetis. 44. Jari-jari sirip keras adalah jari jari sirip yang tidak berbuku-buku dan keras.

Daftar Indek | 155 45. Jari-jari sirip lemah adalah jari-jari sirip yang dapat ditekuk, lemah dan berbuku-buku. 46. Jari-jari sirip lemah mengeras adalah jari jari sirip yang keras tetapi berbuku- buku. 47. Jaring insang (Gillnet) adalah alat penangkapan ikan berbentuk lembaran jaring empat persegi panjang, yang mempunyai ukuran mata jaring merata. 48. Juvenil adalah anak ikan yang memiliki bentuk tubuh seperti induknya, tetapi lebih kecil dan organ reproduksinya masih dalam perkembangan sehingga belum berfungsi; individu yang masih muda. 49. Juwana (Juvenile) adalah tingkat perkembangan antara pasca larva dan dewasa. 50. Kakaban adalah salah satu media yang digunakan untuk menempelkan telur pada saat pemijahan yang terbuat dari ijuk dan bambu. 51. Kelangsungan hidup ikan adalah persentase ikan yang hidup dari jumlah seluruh ikan yang dipelihara dalam suatu wadah. 52. Kematangan Gonad adalah tahapan tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah memijah. 53. Kepadatan adalah tinggi rendahnya jumlah individu populasi suatu spesies hewan yang merupakan besar kecilnya ukuran populasi atau tingkat kepadatan populasi itu. 54. Kolam air tenang adalah wadah pemeliharaan ikan yang didalamnya terdapat air bersifat menggenang (stagnant). 55. Kolam intensif adalah kolam yang digunakan adalah kolam yang keseluruhan bagian kolam terdiri dari tembok. 56. Kolam pemberokan adalah kolam yang digunakan untuk menyimpan induk- induk ikan yang akan dipijahkan atau ikan yang akan dijual/angkut ke tempat jauh. 57. Kolam pemijahan adalah kolam yang sengaja dibuat sebagai tempat perkawinan induk-induk ikan budidaya. 58. Kolam semi intensif adalah kolam yang dipergunakan sebagai tempat budidaya ikan dengan pengelolaan kombinasi antara modern dan tradisional/alami.

156 | Daftar Indek

59. Komoditas adalah sesuatu benda nyata yang relatif mudah diperdagangkan, dapat diserahkan secara fisik, dapat disimpan untuk suatu jangka waktu tertentu dan dapat dipertukarkan dengan produk lainnya dengan jenis yang sama, yang biasanya dapat dibeli atau dijual oleh investor melalui bursa berjangka. 60. Kolam tradisional (ekstensif) adalah kolam yang digunakan adalah kolam tanah yaitu kolam yang keseluruhan bagian kolamnya terbuat dari tanah. 61. Kualitas air adalah suatu keadaan dan sifat-sifat fisik, kimia dan biologi suatu perairan yang dibandingkan dengan persyaratan untuk keperluan tertentu, seperti kualitas air untuk air minum, pertanian dan perikanan, rumah sakit, industri dan lain sebagainya. 62. Labirin adalah alat pernapasan tambahan pada ikan gurame yang terdapat dalam rongga insang. 63. Laju tetas adalah perbandingan jumlah telur yang menetas dengan yang tidak menetas. 64. Latency time adalah selang waktu antara waktu penyuntikan dengan stripping (Rumus = 300/T). 65. Linea lateralis adalah garis yang dibentuk oleh barisan sisik yang berpori atau berlubang di mana bermuara ujung cabang-cabang urat saraf yang terletak di bawah baris sisik itu, gurat sisi ini antara lain berfungsi sebagai indera untuk merasakan perubahan-perubahan dalam tekanan hidrostatis. 66. Luteinizing Hormon (LH) adalah hormon perangsang ovulasi yang kuat, kan merangsang PGE (prostaglandin) dan PGF2 dari asam arachidonad. 67. Luteinizing Hormon Releasing Hormon (LHRH) adalah hormon dari golongan protein yang dihasilkan oleh hipotalamus. 68. Luteotrofic Hormone (LTH) atau Prolactin adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa anterior yang berfungsi merangsang pertumbuhan kelenjar susu dan proses laktasi induk betina. 69. Matang gonad adalah kondisi ikan yang sudah siap untuk dikawinkan (dipijahkan) yang ditandai oleh perut membesar dan bila diraba terasa lembek (ikan betina). 70. Morfologi ikan adalah ilmu yang mempelajari bentuk luar ikan.

Daftar Indek | 157 71. Morfometrik adalah ciri-ciri yang berkaitan dengan ukuran tubuh atau bagian tubuh ikan misalnya panjang total, panjang baku, panjang cagak; ukuran dalam satuan panjang atau perbandingan ukuran bagian-bagian tubuh luar organisme. 72. Mortalitas adalah kematian yang terjadi pada suatu populasi organisme yang dapat menyebabkan berkurangnya jumlah individu di dalam kolam populasi tersebut. 73. Mulut terminal adalah posisi mulut berada di bagian ujung kepala. 74. Mulut inferior adalah posisi mulut berada di bagian agak bawah ujung kepala. 75. Mulut superior adalah posisi mulut berada di bagian agak atas ujung kepala. 76. Outbreeding adalah perkawinan antara individu-individu yang tidak sekerabat (berbeda induknya), masih dalam satu varietas atau beda varietas. 77. Ovulasi adalah proses terlepasnya sel telur dari folikel proses keluarnya sel telur (oosit) yang telah matang dari folikel dan masuk ke dalam rongga ovarium atau rongga perut. 78. Padat tebar adalah jumlah benih yang ditebarkan per luas permukaan air kolam dengan memperhatikan ukuran dan atau umur benih sehingga terjadi hubungan antara berat total benih per luas permukaan air kolam. 79. Pakan alami adalah jasad hidup yang diberikan sebagai pakan pada organisme air. 80. Pakan buatan adalah pakan yang dibuat dari berbagai macam bahan baku hewani dan nabati dengan memperhatikan kandungan gizi, sifat dan ukuran ikan yang akan mengkonsumsi pakan tersebut dengan cara dibuat oleh manusia dengan bantuan peralatan pakan. 81. Pakan suplemen (Suplementary Feed) adalah pakan yang dalam konstribusinya hanya menghasilkan penambahan berat badan kurang dari 50%. 82. Panjang dasar sirip dada/perut adalah panjang terbesar menurut arah jari-jari sirip, dari pangkal sirip dada/sirip perut sampai puncak tertinggi sirip tersebut.

158 | Daftar Indek

83. Panjang hidung atau Snout length (SntL) adalah diukur dari bagian kepala paling anterior sampai kelopak mata paling anterior. 84. Panjang kepala atau Head length (HdL) adalah diukur dari bagian kepala paling anterior sampai tutup insang paling posterior, 85. Panjang mata atau Eve length (EyeL) adalah diukur garis tengah dari rongga mata. 86. Panjang orbital atau Orbital Length (OrbL) adalah diukur jarak diantara kedua bagian terluar kelopak mata. 87. Panjang orbital belakang atau Post Orbital Length (Post- orbL) adalah diukur dari bagian kelopak mata paling posterior sampai bagian tutup insang paling posterior. 88. Panjang pangkal ekor atau Caudal Penducle Length (CPedL) adalah diukur dari posterior dasar sirip anal sampai bagian pangkal batang ekor. 89. Panjang predorsal atau Pre-Dorsal Length (PreDL) adalah diukur dari bagian kepala paling anterior sampai bagian anterior dasar sirip dorsal. 90. Panjang rahang atas/bawah adalah jarak yang diukur dari ujung paling anterior sampai ujung paling posterior bertemu dengan badan, diukur melalui dasar sirip. 91. Pelet adalah pakan buatan kering-lengkap, dengan ukuran ± 2 cm dan diameter 2 mm. 92. Pembenihan (hatchery) adalah usaha budidaya yang menghasilkan benih. 93. Pembenihan ikan adalah salah satu tahap kegiatan on farm yang sangat menetukan tahap selanjtunya yaitu pembesaran. 94. Pemberokan adalah kegiatan pelemahan ikan dengan tidak memberikan pakan selama beberapa hari. 95. Pembesaran (growing) adalah usaha budidaya yang menghasilkan produk berupa biota pada ukuran konsumsi atau ukuran final lainnya. 96. Pembesaran ikan adalah pemeliharaan anak ikan setelah periode pendederan hingga ukuran konsumsi. 97. Pembudidayaan Ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasiInya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,

Daftar Indek | 159 mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau mengawetkannya. 98. Pemijahan (spawning) adalah proses perkawinan antara ikan jantan dan betina hingga ikan mengeluarkan telur dan terbuahi oleh sperma; proses pengeluaran gamet jantan (sperma) dan atau betina (telur) ke media. 99. Pemijahan ikan secara alami adalah pemijahan ikan tanpa campur tangan manusia, terjadi secara alamiah (tanpa pemberian rangsangan hormon). 100. Pemijahan ikan secara semiintensif adalah pemijahan ikan yang terjadi dengan memberikan rangsangan hormon untuk mempercepat kematangan gonad, tetapi proses ovulasinya terjadi secara alamiah di kolam. 101. Pemijahan ikan secara intensif adalah pemijahan ikan yang terjadi dengan memberikan rangsangan hormon untuk mempercepat kematangan gonad serta proses ovulasinya dilakukan secara buatan dengan teknik stripping atau pengurutan. 102. Pendederan Ikan adalah kegiatan pemeliharaan ikan untuk menghasilkan benih yang siap untuk ditebar di unit produksi pembesaran atau benih yang siap dijual; pemeliharaan anak ikan setelah periode larva hingga ukuran tertentu, contoh untuk ikan mas hingga ukuran 5-8 cm. 103. Penebaran (stocking) adalah kegiatan penempatan benih pada media pemeliharaan. 104. Penetasan adalah perubahan intracapsular (tempat yang terbatas) ke fase kehidupan (tempat luas), hal ini penting dalam perubahan-perubahan morfologi hewan; saat terakhir masa pengeraman sebagai hasil beberapa proses sehingga embrio keluar dari cangkangnya. 105. Pengayaan (enrichment) adalah kegiatan menambah nilai gizi pada pakan alami dengan menambahkan bahan-bahan tertentu ke dalam kultur pakan alami. 106. Penyiponan : pembersihan air dalam wadah pemeliharaan dengan cara mengeluarkan kotoran bersama sejumlah air di dalamnya. 107. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.

160 | Daftar Indek

108. Pertumbuhan adalah perubahan ukuran baik bobot maupun panjang dalam suatu periode atau waktu tertentu. 109. Pertumbuhan allometrik adalah apabila pertumbuhan panjang atau berat bpada ikan lebih cepat bila dibandingkan dengan pertumbuhan berat atau panjangnya (b ˂ 3 atau b ˃ 3). 110. Pertumbuhan allometrik (+)adalah apabila pertumbuhan berat lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan panjangnya (b ˃ 3) seperti ikan mas koki dan ikan buntal. 111. Pertumbuhan allometrik (-)adalah apabila pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan beratnya (b ˂ 3) seperti ikan belut dan sidat. 112. Pertumbuhan isometrik adalah apabila pertumbuhan berat dan panjangnya seimbang (b=3) seperti ikan nila. 113. Pertumbuhan mutlak/absolut adalah perubahan ukuran baik berat atau panjang yang sebenarnya diantara dua umur atau dalam waktu satu tahun. 114. Pertumbuhan nisbi/relatif adalah persentase pertumbuhan pada tiap interval waktu (perbedaan ukuran pada waktu akhir interval dengan ukuran pada waktu awal interval dibagi dengan ukuran pada waktu akhir interval). 115. Pinna analis (Anal Fin) adalah sirip yang berada pada bagian ventral tubuh di daerah posterior anal . yang berfungsi membantu dalam stabilitas berenang ikan. 116. Pinna caudalis (Caudal Fin) adalah sirip ikan yang berada di bagian posterior tubuh dan biasanya disebut sebagai ekor yang berfungsi sebagai pendorong utama ketika berenang (maju) dan juga sebagai kemudi ketika bermanuver. 117. Pinna dorsalis (Dorsal Fin) adalah sirip yang berada di bagian dorsal tubuh ikan dan berfungsi dalam stabilitas ikan ketika berenang serta bersama-sama dengan pinna analis membantu ikan untuk bergerak memutar. 118. Pinna pectoralis (Pectoral Fin) adalah sirip yang terletak di posterior operculum atau pada pertengahan tinggi pada kedua sisi tubuh ikan yang berfungsi untuk pergerakan maju, ke samping dan diam (mengerem).

Daftar Indek | 161 119. Pinna ventralis (Ventral Fin) adalah sirip yang berada pada bagian perut ikan dan berfungsi dalam membantu menstabilkan ikan saat berenang dan membantu untuk menetapkan posisi ikan pada suatu kedalaman. 120. Produktivitas budidaya adalah produksi budidaya per satuan luas RTP (rumah tangga pembudidaya) dan waktu. 121. Protein adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida. 122. Sampling adalah kegiatan untuk mengetahui pertumbuhan ikan dan udang baik berat maupun panjang tubuhnya. 123. Seksualitas adalah ciri karakteristik jenis kelamin pada ikan, ikan jantan akan mengeluarkan sperma (cairan putih) dan betina mengeluarkan telur. 124. Seksualitas primer adalah alat/organ yang berhubungan langsung dengan proses reproduksi seperti testes dan salurannya pada ikan jantan serta ovarium dan salurannya pada ikan betina. 125. Seksualitas sekunder adalah ciri seksual yang terlihat dari luar tubuh ikan, meskipun kadangkala tidak memberikan hasil yang nyata, dimana seksual sekunder terdiri dari dikromatisme dan dimorfisme. 126. Seleksi adalah pemisahan populasi dasar yang digunakan ke dalam kedua kelompok, yaitu kelompok terpilih dan kelompok yang harus terbuang. 127. Seleksi breeding adalah program breeding yang memanfaatkan phenotipic variance (keragaman fenotipe) yang diteruskan dari tetua kepada keturunannya. 128. Seleksi famili adalah seleksi dengan mempergunakan performans dari saudaranya baik saudara tiri sebapak (half sib) atau saudara sekandung (full sib). 129. Seleksi induk adalah kegiatan menyeleksi induk yang bertujuan untuk mendapatkan induk yang mempunyai produktivitas tinggi dengan ciri morfologi yang dikehendaki dan dapat diturunkan. 130. Seleksi masa (individu) adalah seleksi buatan terhadap keturunan hasil pemijahan induk-induk yang mempunyai fenotipe yang baik.

162 | Daftar Indek

131. Selective breeding adalah suatu program breeding yang mencoba untuk memperbaiki nilai pemuliabiakan (breeding value) dari suatu populasi dengan melakukan seleksi dan perkawinan hanya pada ikan-ikan yang terbaik. 132. Sirip adalah organ yang berfungsi untuk mengatur kedudukan, gerakan, arah gerakan maupun menjaga keseimbangan pada posisi diam. 133. Sirip anal adalah sirip yang berfungsi untuk membantu keseimbangan. 134. Sirip dada (Pectoral Fins) adalah sirip yang berfungsi untuk membantu arah gerakan, berhenti atau keseimbangan. 135. Sirip dorsal adalah sirip yang berfungsi untuk membantu keseimbangan. 136. Sirip perut (Pelvic Fins) adalah sirip yang berfungsi untuk membantu arah gerakan, berhenti atau keseimbangan. 137. Sistem reproduksi adalah sistem untuk mempertahankan/melestarikan spesies dengan menghasilkan keturunan yang fertil. 138. Sistem teknologi akuakultur adalah sebagai wadah produksi beserta komponen lainnya dan teknologi yang diterapkan pada wadah tersebut serta bekerja secara sinergis dalam rangka mencapai tujuan akuakultur. 139. SNI adalah singkatan dari Standar Nasional Indonesia. 140. Standar Lenght (SL) adalah ukuran panjang dari ujung anterior pada keadaan mulut terkatup hingga pangkal sirip ekor. 141. Sungut adalah salah satu organ luar pada ikan seperti kumis yang memiliki fungsi sebagai alat peraba saat berenang dan sebagai sensor ketika mencari makan. 142. Survival rate (%)adalah tingkat kelangsungan hidup yang dinyatakan dengan persentase (%), dengan perbandingan antara jumlah tebar awal dibagi dengan saat panen dan dikali 100%. 143. Testes adalah gonad jantan bersifat internal dan memanjang (longitudinal), pada umumnya berpasangan yang tersusun atas folikel-folikel tempat spermatozoa berkembang, beratnya dapat mencapai 12% atau lebih dari bobot tubuhnya dengan warna umum putih kekuningan atau halus. 144. Testis adalah gonad jantan yang berperan menghasilkan sperma; organ reproduksi jantan yang terdapat berpasangan dan terletak di bawah tulang belakang.

Daftar Indek | 163 145. Tinggi badan adalah jarak terbesar antara dorsal dan ventral. 146. Tinggi kepala adalah panjang garis tegak antara pertengahan kepala sebelah atas dengan pertengahan kepala sebelah bawah. 147. Tinggi pipi adalah jarak antara ringga mata dan bagian paling anterior dari keeping tutup insang terdepan (praeoperculum). 148. Tinggi sirip punggung adalah jarak antara pangkal sirip sampai puncak sirip. 149. Tingkat Kematangan Gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan itu berpijah. 150. Total Lenght (TL) adalah ukuran panjang maksimum ikan dari ujung anterior pada keadaan mulut terkatup dan sirip ekor terkatup. 151. Vitellogenesis adalah proses deposisi kuning telur, dicirikan oleh bertambah banyaknya volume sitoplasma yang berasal dari vitelogenin eksogen yang membentuk kuning telur. 152. Wadah adalah suatu tempat pemeliharaan ikan bisa berupa kolam, fiber, tambak, akuarium dll. 153. Yolk Egg adalah kuning telur yang terdapat pada larva ikan digunakan sebagai cadangan makanan.

164 | Daftar Indek

Daftar Indek A

Akuakultur 1,2,5,6,7,16,17,19,36,58,59,95,96,99,103,132,133,134,139 Apu-apu 103,109,110,116,117,119

B

Benih ikan 2,5,8,17,19,46,60,63,72,81,81,86,88,89,90,91,92,93,99,100,116,119,120,121,122,1 23,124,125,126,128,130,131,33,136,137,139,141,145,146,147,149,150,151,152 Bioteknologi 47,103,109,110,116 Budidaya ikan 1,2,9,11,12,43,91,93,104,133,134,137,139,141,146,147,149,150,151,152

D

Domestikasi 2,10,14,15,16,19,20,75,100,122,139,141 Diameter telur 48,49,50,51,73,74,82,94,142

F

Fekunditas 49,50,51,74,75,80 Fermentasi 103,110,111,112,113,114,115,117,118,134,139,140

G

Gonad 15,67,68,69,75,78,84,116,142

Daftar Indek | 165

H Hibridisasi 47,48,50,51,52,53,56,57,60

I Induk ikan 47,48,49,50,52,56,65,67,68,69,71,73,74,75,76,77,78,82,83,86,87,94,141,142,148, 152

J

Juvenil

55,73,97,98,99,134,140,154

K

Kelangsungan hidup ikan 97,103,104,117,130,132 Kolam 2,9,10,11,13,14,16,48,65,66,67,70,71,73,82,83,85,86,88,89,91,92,101,104,141,142, 145,147,148,149,150,152,153 Komoditi 1,2,5,8,17,63,104,132,147,151

L

Larva 14,18,19,48,49,51,53,54,58,63,71,72,75,76,77,81,82,83,84,88,92,94,97,98,99,100, 104,142,147 M

Morfometrik 7,19,21,22,24,26,28,29,30,31,35,38,39,40,59,60 Mortalitas 42,53,54,55

166 | Daftar Indek

O

Ornamental Fish 5,17,147 Osphronemidae 5,9,10,18,36

P

Pakan buatan 71,89,103,104,105,107,108,109,115,117,110,122,135,138,139,154 Pelet 2,15,65,71,75,85,86,89,115,127,136 Pembenihan ikan 14,22,26,46,57,63,71,72,73,76,82,94,133,142,147,148,151,152,153 Pemijahan 14,15,16,22,38,43,48,51,63,64,66,67,68,69,70,71,74,75,76,77,80,83,141,142,147, 152

S

Strain 1,2,5,7,8,18,19,21,22,23,26,27,28,36,38,41,42,43,44,45,46,47,48,49,50,51,52,55,59 ,60,74,76,77,96,104,132,133,136,138

V

Variasi genetik 19,35,36,41,42,43,44,46,55,56,58,59,95,99 Viabilitas 42,55,56

Daftar Indek | 167