INDONESIA HORTICULTURAL INNOVATION, TECHNOLOGY AND SCIENCE

Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Penerbit IPB Press Jalan Taman Kencana No. 3, Kota Bogor - Indonesia

C.01/01.2020 Judul Buku: INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial Penyunting Bahasa: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Korektor: Atika Mayang Sari Editor: Kuswanto Titut Yulistyarini Dita Agisimanto Dwi M. Nastiti Desain Sampul: Zainuri Hanif Penata Isi: Makhbub Khoirul Fahmi Jumlah Halaman: 122 + 14 hal romawi Edisi/Cetakan: Cetakan 1, Desember 2019

PT Penerbit IPB Press Anggota IKAPI Jalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128 Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: [email protected] www.ipbpress.com

ISBN: 978-623-256-049-9

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - Indonesia Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2019, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit KATA PENGANTAR

Tanaman buah subtropika merupakan salah satu komoditas hortikultura yang telah banyak dikenal masyarakat dan dibudidayakan oleh pelaku usaha di Indonesia. Beberapa tanaman subtropika yang berhasil dikembangkan di Indonesia adalah jeruk, apel, lengkeng, stroberi dan anggur. Lebih dari sebelas provinsi di Indonesia memiliki sentra-sentra produksi jeruk dengan variasi jenis seperti jeruk keprok, manis dan siam. Komoditas jeruk juga mempunyai posisi yang strategis pada perdagangan domestik dan internasional. Tingkat konsumsi masyarakat Indonesia meningkat dari tahun ke tahun dan mencapai 3,58 kg/kapita/tahun atau setara dengan 94,8 ribu ton per tahun pada tahun 2018. Sedangkan pada komoditas apel, lengkeng, stroberi dan anggur, nilai perdagangan Indonesia masih terbilang kecil sehubungan dengan masih terbatasnya pengusahaan tanaman buah tersebut di dalam negeri. Indonesia sebagai salah satu negara tropis, mempunyai potensi pengembangan agribisnis tanaman buah subtropika yang tinggi. Pengembangan komoditas tanaman buah subtropika ini tidak terbatas pada jenis-jenis asli Indonesia, tetapi juga tanaman-tanaman introduksi yang telah beradaptasi dan tumbuh baik pada kondisi tropis. Hasil-hasil penelitian yang telah dipublikasi mengenai tanaman buah subtropika sudah cukup banyak. Namun publikasi yang bersifat ilmiah dan populer serta mudah dicerna untuk para pelaku usaha tanaman buah atau masyarakat umum masih perlu ditingkatkan. Sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan komunikasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, promosi, dan komersialisasi hasil-hasil penelitian, memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat, serta percepatan diseminasi dan menginformasikan hasil-hasil penelitian kepada pengguna tanaman buah subtropika perlu dilakukan untuk mendorong pengembangan agribisnis hortikultura di Indonesia secara luas. Harapannya adalah dengan membaiknya perekonomian vi INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

nasional, maka agribisnis tanaman buah subtropika dapat terus berkembang dan manjadi komoditas unggulan hortikultura pada perdagangan nasional, regional dan internasional. Buku INDO HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) seri sumber daya genetik tanaman buah subtropika potensial menarik pembaca untuk lebih mengenal tentang jenis-jenis tanaman buah subtropika potensial mulai dari aspek morfologis, asal dan distribusi geografis, diversitas dan kekerabatan genetik serta kegunaan lain dari jenis-jenis tanaman buah subtropika yang masih sedikit dibudidayakan secara komersial di Indonesia. Buku ini juga dilengkapi dengan foto-foto untuk memberikan gambaran visual dan memudahkan pembaca untuk memahami isi buku. Penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada insitusi/lembaga seperti Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika, Kebun Raya Purwodadi, Universitas Brawijaya dan individu kolektor tanaman buah subtropika, serta pengelola situs-situs internet terkait seperti https://pixabay.com, https://unsplash.com, https://search.creativecommons. org, https://farm66.static.flickr.com yang telah memberikan izin penulis untuk melakukan studi dan pengambilan objek visual pada tanaman koleksinya. Buku INDO HITS seri sumber daya genetik tanaman buah subtropika potensial ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan masyarakat dan mendorong pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari. Peningkatan pemanfaatan sumber daya genetik diharapkan dapat mendorong materi tersebut menjadi bernilai ekonomi tinggi, sehingga dapat menjadi salah satu upaya dalam pemanfaatan dan pelestarian sumber daya genetik serta menjadi elemen pengungkit kesejahteraan masyarakat. Kritik dan saran serta berbagai masukan dari pembaca sangat kami nantikan untuk perbaikan selanjutnya.

Editor DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...... v PENDAHULUAN...... 1 Actinidia deliciosa (A.Chev) C. F. Liang & A. R. Ferguson(Actinidiaceae)...... 3 Diospyros kaki Thunb.(Ebenaceae)...... 17 Ficus carica L.()...... 35 Litchi chinensis Sonn()...... 51 Macadamia spp.(Proteaceae)...... 63 alba L.(Moraceae)...... 83 Passiflora edulis Sims(Passifloraceae)...... 97 Plinia spp.(Myrtaceae)...... 115 armeniaca L.()...... 127 Prunus avium L.(Rosaceae)...... 139 Prunus persica (L.) Batsch(Rosaceae)...... 153 Punica granatum L.(Lythraceae)...... 173 Rubus idaeus L.(Rosaceae)...... 189 corymbosum L. ()...... 207 INDEX...... 227

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tanaman kiwi yang telah berbuah (foto: pixabay.com)...... 4 Gambar 2. Bunga kiwi (foto: pixabay.com)...... 6 Gambar 3. Penampilan buah kiwi (Actinidia deliciosa) (foto: lizia_zamzami)...... 6 Gambar 4. (a) Pohon kesemek dan (b) morfologi daun kesemek (Foto: titistyas_gusti_aji) ...... 19 Gambar 5. (a) Buah kesemek pada pohon dan (b) penampang melintang buah kesemek (Foto: titistyas_gusti_aji & kurniawan_budiarto)...... 20 Gambar 6. Morfologi dan perkembangan daun tin; (a) daun muda, (b). daun tua (foto: rudy_harianto)...... 38 Gambar 7. Struktur buah tin masak fisiologis (foto: rudy_harianto)...... 39 Gambar 8. Morfologi buah tin pada tahap akhir perkembangan buah dan siap panen (foto: rudy_harianto)...... 40 Gambar 9. Pohon leci di kebun Balitjestro, Batu (foto : baiq_dina_mariana).....52 Gambar 10. Tipe bunga (I) dan (III) bunga jantan dan (II) bunga betina (foto : D. C. Menzel, 2002)...... 54 Gambar 11. Karakteristik buah leci (foto : D. C. Menzel, 2002)...... 54 Gambar 12. Penampilan buah leci (foto : baiq_dina_mariana)...... 55 Gambar 13. Karakteristik buah Macadamia a. buah masak fisiologis, b. biji di dalam testa (nut in shell) dan c. kacang (nut) Macadamia (foto: dita_agisimanto)...... 65 Gambar 14. Posisi daun Macadamia integrifolia yang membentuk posisi melingkar pada ranting (foto : dita_agisimanto)...... 66 x INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Gambar 15. Organ kluster bunga () Macadamia Integrifolia dan posisi keluarnya pada ujung apical tunas. a. kluster bunga (raceme) yang baru keluar, b. raceme yang sudah dipolinasi dan c. organ bunga individual yang mekar dan kuntum (foto : dita_agisimanto)...... 67 Gambar 16. Perkembangan buah Macadamia; (a) Buah kecil setelah penyerbukan, (b) perkembangan cepat buah menuju pematangan, (c) buah mulai masak dan retak, dan (d) kulit buah (husk) sudah pecah dan biji siap panen (foto : dita_agisimanto)...... 72 Gambar 17. Daun murbei (foto :anis_andrini)...... 85 Gambar 18. Bunga betina murbei (foto : anis_andrini)...... 86 Gambar 19. Buah murbei belum masak hingga masak (kiri ke kanan) (foto: anis_andrini, tiffany_anindya_arisanti)...... 87 Gambar 20. (a) Tanaman markisa yang merambat pada para-para, (b) merambat pada pucuk bambu, dan (c) merambat pada pohon (foto: karsinah)...... 99 Gambar 21. Bunga markisa dengan variasi korona: (a) bunga markisa ungu (P. edulis f. edulis Sims), (b) bunga markisa merah (P. edulis f. edulis Sims), dan (c) bunga markisa kuning (P. edulis Sims f. flavicarpa Deg.) (foto: karsinah)...... 100 Gambar 22. Buah markisa ungu (P. edulis f. edulis Sims) pada saat muda berwarna hijau dan berwarna ungu setelah tua atau masak, serta sari buahnya berwarna kuning orange (foto: karsinah)...... 101 Gambar 23. Buah markisa merah (P. edulis f. edulis Sims) pada saat muda berwarna hijau dan berwarna merah berbintik putih setelah tua atau masak, serta sari buahnya berwarna kuning orange (foto: karsinah)...... 101 Gambar 24. Buah markisa kuning (P. edulis Sims f. flavicarpa Deg.) pada saat muda berwarna hijau dan berwarna kuning berbintik putih setelah tua atau masak, serta sari buahnya berwarna kuning (foto: karsinah)...... 102 xi DAFTAR GAMBAR

Gambar 25. Sulur pengait (tendril) pada tanaman markisa yang berfungsi untuk mengait pada batang untuk menopang tegaknya tanaman (foto: karsinah)...... 105 Gambar 26. Keragaan tanaman Jaboticaba di Pasuruan (foto : emi_budiyati)....117 Gambar 27. Keragaan bunga dan buah muda Jaboticaba di Pasuruan (foto : emi_budiyati)...... 118 Gambar 28. Keragaan buah Jaboticaba (foto : emi_budiyati)...... 118 Gambar 29. Morfologi bunga aprikot (foto :Ugurtan & Gurc, 2012)...... 129 Gambar 30. Keragaman buah aprikot di Asia Tengah (foto : Zaurov et al., 2013)...... 130 Gambar 31. Kebun ceri di Belgia dengan tajuk tanaman yang dipertahankan dengan ketinggian 3.5 - 4.5 m dalam sistem budidaya trellis. (foto: oka_ardiana_banaty)...... 141 Gambar 32. Bunga ceri (foto: akhirta_atikana)...... 142 Gambar 33. Buah ceri manis (foto: oka_ardiana_banaty)...... 143 Gambar 34. Karakteristik bunga genus Prunus (Keterangan: putik tunggal dengan satu kepala dan tangkai putik dengan satu bakal biji (warna biru dan oranye) (foto : USDA)...... 144 Gambar 35. Aneka warna bunga persik (foto: zainuri_hanif)...... 155 Gambar 36. Biji buah persik (foto: Sara Cervera on Unsplash)...... 157 Gambar 37. Tanaman persik dalam kondisi matang optimal, siap petik (foto: Joshua Ness on Unsplash)...... 163 Gambar 38. (a) Tanaman delima dewasa dan (b) duduk daun pada tangkai yang saling berseberangan (foto : kurniawan_budiarto)...... 175 Gambar 39. (a) Bunga dan (b) buah delima (P. granatum L.) (foto : (a) kurniawan_budiarto, (b) www.pixabay.com)...... 176 Gambar 40. (a) Tanaman raspberry merah dan (b) variannya (kuning) (foto: oka_ardiana_banaty)...... 193 xii INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Gambar 41. Daun raspberry dengan 5 anak daun (pentafoliata) dan 3 anak daun (trifoliata) (foto : oka_ardiana_banaty)...... 194 Gambar 42. Buah raspberry merah (foto : oka_ardiana_banaty)...... 194 Gambar 43. Tanaman (foto : (a) https://search.creativecommons.org, (b) oka_ardiana_banaty)...... 210 Gambar 44. Bunga tanaman highbush blueberry (foto : https://farm66.static.flickr.com)...... 210 Gambar 45. Buah blueberry (foto : trifena_honestin)...... 211 PENDAHULUAN

Keanekaragaman hayati adalah keberagaman tumbuhan, hewan dan makhluk hidup lain yang tumbuh serta hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu. Keanekaragaman hayati pada satu daerah atau wilayah akan berbeda dengan daerah atau wilayah lainya, keadaan ini yang akan membedakan tiap daerah apabila dilihat dari keberagaman makhluk yang hidup pada tiap-tiap daerah tertentu dan menjadi ciri dari daerah itu tersebut. Keanekaragaman hayati penting dalam kehidupan manusia dan salah satu bagian penting dari keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman tanaman atau disebut agrobiodiversitas. Pemanfaatan tanaman tidak terbatas untuk bahan makanan, rumah dan kesehatan, namun juga bermanfaat sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dari sektor pertanian khususnya hortikultura dan berpeluang besar dalam meraih pangsa pasar, baik nasional maupun internasional. Tanaman buah subtropika merupakan tanaman yang umumnya berasal dari daerah yang mempunyai 3-4 musim klimatologis per tahun. Masuknya tanaman di Indonesia diduga dibawa oleh bangsa asing yang singgah di Indonesia sejak zaman dulu kala. Tanaman ini ada yang sengaja ditanam atau terbawa dan tersebar bijinya pada daerah-daerah yang memungkinkan tanaman ini untuk tumbuh dan berkembang. Penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari manusia juga diduga menjadi salah satu faktor tanaman-tanaman ini dikembangkan lebih lanjut dan bernilai ekonomi sehingga menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Pada perdagangan internasional, nilai ekspor tanaman buah subtropika memang terbilang masih sangat kecil, kecuali pada komoditas tertentu seperti jeruk. Kondisi peluang pasar yang masih sangat lebar ini tentunya merupakan suatu peluang yang besar dalam pengusahaan buah subtropika di dalam negeri, seiring dengan peningkatan areal tanaman dan kebijakan pertanian yang semakin kondusif. Sejak diintroduksi oleh bangsa asing ke Indonesia, tanaman buah subtropika ini ditanam secara terus-menerus dan diusahakan secara turun-temurun secara tradisional. Proses seleksi yang dilakukan oleh petani dari puluhan hingga ratusan 2 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

tahun, menjadikan tanaman-tanaman ini pada akhirnya mempunyai daya adaptasi dengan variasi yang spesifik di setiap lokasi. Variasi ini meliputi keberagaman pola pertumbuhan tanaman, ketahanan terhadap OPT dan cekaman abiotik, kandungan senyawa tertentu, penampakan, rasa hingga rasa buah hingga keberterimaan konsumen terhadap karakter tertentu pada buah. Kondisi ini sudah barang tentu sangat menguntungkan dalam upaya peningkatan kualitas buah subtropis melalui upaya perbaikan genetik tanaman. Pemanfaatan sumber daya genetik yang berasal dari Indonesia maupun hasil introduksi dari negara lain perlu ditingkatkan, tidak hanya untuk merangsang keterlibatan masyarakat luas dalam melakukan pelestarian sumber daya genetik dan pemanfaatannya, namun juga ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Langkah awal dari upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pemanfaatan dan pelestarian sumber daya genetik adalah dengan melakukan pengenalan dan sosialisasi sumber daya genetik tersebut yang meliputi deskripsi morfogenetik, adaptasi ekologis potensi ekonomi hingga pemanfaatannya. Buku INDO HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) seri sumber daya genetik tanaman buah subtropis berisi informasi populer dan semi ilmiah jenis-jenis tanaman yang umum digunakan dan memilki nilai ekonomis, dan dapat dijadikan untuk usaha komersial tanaman buah subtropis. Informasi yang diberikan meliputi penamaan ilmiah dan sinonim keterangan publikasi penamaan ilmiahnya, nama umum yang mungkin berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya, nama umum yang mungkin berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya, klasifikasi dan karakteristik botani, asal dan distribusi geografis, diversitas dan kekerabatan genetik, evolusi dan risiko erosi genetik, budidaya, kegunaan dan pemanfaatan pada bidang lain serta potensi ekonominya. Gambar, ilustrasi dan foto yang terkait juga disajikan untuk meningkatkan deskripsi visual terhadap informasi yang disajikan. Actinidia deliciosa (A.Chev) C. F. Liang & A. R. Ferguson (Actinidiaceae)

Protologue Actinidia deliciosa (A. Chev.) C. F. Liang & A. R. Ferguson, Guihaia 4(3): 181 (1984). Sinonim • Actinidia deliciosa var. chlorocarpa (C. F. Liang) C. F. Liang & A. R. Ferguson, Guihaia 4(3): 182 (1984). • Actinidia deliciosa var. coloris T. H. Lin & X. Y. Xiong, Guihaia 11(2): 117 (1991). • Actinidia deliciosa var. longipila (Liang & R. Z. Wang) C.F.Liang & A.R.Ferguson, Guihaia 4(3): 182 (1984). Nama umum Kiwi (Indonesia), kiwifruit (New Zealand), mihoutao (China).

I. Pendahuluan Kiwi (Actinidia deliciosa) merupakan sejenis buah beri yang dapat dimakan dari tanaman merambat berkayu dan berasal dari suku Actinidiaceae. Sebenarnya marga Actinidia terdiri atas banyak jenis, yaitu dilaporkan ada sekitar 75 spesies, namun hanya ada dua spesies utama yang penting yang telah dikembangkan secara komersial, yaitu A. deliciosa dan A. chinensis (Burdon & Lallu, 2011; Hu, Zhao, Li, & Shen, 2018). Perbedaan yang menonjol adalah A. deliciosa mempunyai daging buah yang berwarna hijau terang, yang disebabkan oleh keberadaan klorofil yang 4 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

tetap tertahan selama pematangan buah dan buah masak. Sedangkan A. chinensis mempunyai daging buah yang berwarna kuning keemasan, yang disebabkan oleh hilangnya sebagian atau seluruh klorofil, sehingga jenis ini lebih dikenal dengan sebutan golden kiwi (Padmanabhan & Paliyath, 2016; Ward & Courtney, 2013). Produksi kiwi dunia sebanyak 90% berasal dari kultivar A. deliciosa dan 10% dari kultivar A. chinensis (Huang, 2016d).

II. Klasifikasi dan deskripsi botani Kiwi termasuk dalam Kerajaan: Plantae, Divisi: Magnoliophyta, Kelas: Magnoliopsida, Bangsa: , Suku: Actinidiaceae, Marga: Actinidia, Jenis: Actinidia deliciosa. Kiwi merupakan tanaman merambat berkayu, yang vigoritas tanamannya bervariasi bergantung jenis dan ketinggian tempat (Ferguson, 2013).

Gambar 1. Tanaman kiwi yang telah berbuah (foto: pixabay.com)

Tanaman kiwi adalah tanaman berumah dua, di mana terdapat bunga jantan dan bunga betina pada tanaman yang berbeda, sehingga untuk memastikan terjadinya penyerbukan silang dan pembentukan set buah maka tanaman jantan dan betina harus ditanam secara berdekatan di dalam kebun dengan perbandingan delapan tanaman betina dan satu tanaman jantan (Ferguson, 2013; Padmanabhan & Paliyath, 2016). Penyerbukan dapat terjadi secara alami, seperti penyerbukan oleh angin maupun serangga, seperti lebah. Lebah dan serangga lain tertarik pada bunga karena warna dari mahkota bunga dan nektar yang dihasilkan oleh bunga. Bunga tanaman kiwi berwarna putih susu saat baru mekar, namun berubah warna Actinidia deliciosa (A.Chev) C. F. Liang 5 & A. R. Ferguson (Actinidiaceae) menjadi kuning atau cokelat kekuningan setelah beberapa hari (Huang, 2016a). Penyebaran alami biji kiwi jauh dari tanaman induknya diduga dilakukan oleh burung dan hewan mamalia. Di mana tanaman kiwi mampu melepaskan senyawa organik yang mudah menguap (Volatile Organic Compounds/VOC) seperti ester, aldehida dan lakton dari bagian buahnya, sehingga dapat menarik burung maupun hewan penyebar biji lainnya. Dengan cara demikian akan memungkinkan proses reproduksi dan evolusi tananam kiwi dapat terjadi (Rodriguez, Alquezar, & Pena, 2013). Selain itu, penyerbukan juga dapat dilakukan secara buatan oleh manusia dan mesin. Dua metode penyerbukan buatan tersebut sudah banyak dilakukan pada perkebunan kiwi modern di China, New Zealand dan Italia, namun biayanya memang sangat mahal (Huang, 2016b). Bunga betina dan jantan pada tanaman kiwi sebenarnya secara morfologi adalah bunga yang sempurna dan berkelamin ganda (hermaphrodite). Namun, tanaman betina mempunyai bunga dengan bakal buah (ovary) dan putik yang berkembang dengan baik, tapi benang sarinya tidak berkembang. Setelah penyerbukan, bakal biji (ovule) akan berkembang menjadi biji, dan bakal buah (ovary) berkembang menjadi buah. Sedangkan tanaman jantan mempunyai bunga dengan bakal buah (ovary) yang tidak berkembang dan tidak mengandung bakal biji(ovule) yang layak sehingga tidak dapat berkembang menjadi biji, dan bakal buah (ovary) tidak berkembang menjadi buah (Ferguson, 2013).

Gambar 2. Bunga kiwi (foto: pixabay.com) 6 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Buah kiwi yang normal berbentuk oval, kira-kira sebesar telur ayam (5-8 cm dan diameter 4,5–5,5 cm). Buah ini mempunyai kulit berwarna cokelat dan berambut. Namun saat buah dipanen, rambut-rambut ini akan mati dan mudah dihilangkan. Di dalam buah terdapat biji-biji kecil berwarna hitam dan bisa dimakan. Tekstur buah ini sangat halus dan rasanya unik (Burdon & Lallu, 2011; Ward & Courtney, 2013). Namun, rasa dan aroma buah dari jenis kiwi hijau dan kiwi kuning berbeda satu sama lain. Buah dari jenis kiwi kuning lebih beraroma dan rasanya lebih manis dari pada jenis kiwi hijau, serta mempunyai nilai komersial yang lebih tinggi (Li & Zhu, 2017).

Gambar 3. Penampilan buah kiwi (Actinidia deliciosa) (foto: lizia_zamzami)

III. Asal dan distribusi geografis Tanaman kiwi berasal dari China, yang mana tanaman ini tumbuh secara liar (Burdon & Lallu, 2011; Li & Zhu, 2017; Padmanabhan & Paliyath, 2016). Pada perkembangan selanjutnya, kiwi diintroduksi ke New Zealand pada awal abad ke- 20, di mana kiwi ditanam secara komersial di sana untuk pertama kalinya (Follett, Jamieson, Hamilton, & Wall, 2019). Pada saat itu tahun 1904, seorang guru sekolah di New Zealand bernama Isabel Fraser mengunjungi Yichang, Provinsi Hubei di China, dia mendapatkan benih kiwi dan membawanya kembali ke New Zealand. Pertanaman dari benih asli inilah yang kemudian menjadi produksi kiwi pertama di luar China. Selanjutnya banyak ahli tanaman dan pemburu tanaman dari Eropa yang mengintroduksi kiwi dari China ke negara-negara Eropa dan Amerika Utara selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 (Huang, 2016d). Actinidia deliciosa (A.Chev) C. F. Liang 7 & A. R. Ferguson (Actinidiaceae)

Sejak itu, penanaman dan produksi kiwi terus meningkat, terutama sejak akhir tahun 1970-an ketika produksi kiwi secara komersial telah menyebar ke seluruh penjuru dunia (Huang, 2016d). Hingga kini total area penanaman kiwi di seluruh dunia sekitar 170.000 ha, di mana beberapa negara yang menjadi produsen kiwi terbesar, di antaranya yaitu China, Italia dan New Zealand (Statista, 2017). Negara penghasil kiwi lainnya termasuk Chile, Yunani, Perancis, Jepang, Iran, USA dan Spanyol (Ward & Courtney, 2013).

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik Marga Actinidia sepertinya telah mengalami peristiwa poliploidisasi. Dalam marga ini ada yang diploid, tetraploid, heksaploid dan oktoploid. Marga Actinidia memiliki jumlah kromosom dasar yang tinggi (x = 29) dan variasi ploidi yang luas. Sebagai contoh, jenis A. kolomikta dipastikan adalah diploid, A. arguta ada yang diploid, tetraploid dan heksaploid, sedangkan A. melanandra ada yang diploid dan tetraploid (Bogacioviene et al., 2019). Hasil studi kromosom Actinidia menyimpulkan bahwa Actinidia diploid (2n = 58) kemungkinan adalah sebuah paleotetraploid (Shi, Huang, & Barker, 2010). Jumlah poliploid meningkat seiring dengan ketinggian tempat, di mana pola yang nyata tampak dalam penyebarannya berdasarkan ketinggian tempat, yaitu diploid pada wilayah dengan ketinggian yang paling rendah, tetraploid pada wilayah dengan ketinggian menengah dan heksaploid pada wilayah yang paling tinggi (Huang, 2016e). Adanya hubungan filogenetik dalam marga Actinidia dengan tiga marga terkait lainnya, yaitu Clematoclethra, Saurauia, dan Sladenia masih menjadi sebuah kontroversi. Namun, studi berdasarkan karakter mikromorfologi trikoma daun menunjukkan bahwa Actinidia merupakan sebuah kelompok monofiletik, sedangkan Clematoclethra, dan Saurauia membentuk kelompok monofiletik yang lain (He, Zhang, Zhong, & Ye, 2000). Adanya gen clpP yang hilang yang terdeteksi pada Clematoclethra dan Actinidia kemungkinan besar merupakan tanda yang mencolok terjadinya evolusi genom cp kedua marga tersebut, menunjukkan bahwa kejadian kehilangan gen clpP mungkin terjadi pada tetua mereka yang sama (W. Wang, Chen, & Zhang, 2016). 8 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Sementara itu, dalam marga Actinidia sendiri, sebuah studi pada kloroplas DNA menunjukkan bahwa A. deliciosa mempunyai kekerabatan yang dekat dengan A. chinensis. Bahkan literatur ada yang menyebutkan bahwa keduanya adalah dua varietas yang berbeda dari satu spesies, yaitu A. chinensis var. chinensis dan A. chinensis var. deliciosa, di mana ada kesepakatan umum bahwa A. chinensis var. chinensis diploid kemungkinan adalah tetua dari A. chinensis var. deliciosa heksaploid. Namun, masih ada perdebatan panjang tentang apakah A. chinensis var. chinensis sebagai tetua tunggal atau ada spesies Actinida lainnya yang terlibat dalam evolusi poliploid spesies tersebut (Guanglian et al., 2019; Huang, 2016e). Selain itu, sebuah studi lain dengan menggunakan polimorfisme nukleotida tunggal yang dideteksi dari genotip dengan cara sequencing (genotyping-by- sequencing/GBS) juga telah dilakukan, dan menunjukkan bahwa asesi-asesi A. deliciosa mempunyai keturunan campuran dengan A. chinensis. Dengan demikian, hasil ini juga mendukung kemungkinan bahwa A. chinensis merupakan induk dari A. deliciosa (Oh et al., 2019).

V. Evolusi dan risiko erosi genetik Sebuah studi terkait evolusi mitogenom dan mekanisme diversifikasi menyebutkan bahwa mitogenom kiwi dapat menunjukkan keadaan tetua dari mitogenom asteroid, karena kiwi mempunyai genom yang paling besar dan rangkaian gen yang paling lengkap di antara spesies-spesies asteroid. Adanya rekonstruksi filogenetik menunjukkan bahwa pertambahan maupun kehilangan garis keturunan spesifik dari gen mitokondria dan intron sering terjadi selama evolusi asterid (S. Wang et al., 2019). Ada beberapa cara poliploidi terlibat dalam evolusi Actinidia. Salah satu kemungkinannya yaitu adanya bencana alam ekstrem yang menyebabkan tetua diploid Actinidia menjadi punah, namun tetua-tetua yang mengalami poliploidisasi selamat dari kondisi yang keras tersebut. Kemungkinan lainnya adalah ketika lingkungan berubah, tetua Actinidia diploid dan poliploid menjadi terisolasi secara reproduktif, tetua Actinidia diploid berevolusi menjadi spesies lain dan tetua Actinida poliploid berevolusi menjadi spesies Actinidia (Huang, 2016e). Dengan adanya wilayah yang luas untuk terjadinya kontak antara A. deliciosa dan A. chinensis, maka pertukaran gen juga dapat terjadi secara alami. Berdasarkan data molekul inti, kloroplas dan mitokondria, diperkirakan bahwa cukup banyak taksa yang mengalami setidaknya satu kali kejadian persilangan dalam sejarah Actinidia deliciosa (A.Chev) C. F. Liang 9 & A. R. Ferguson (Actinidiaceae) evolusinya. Namun, relatif tingginya tingkat ketidaksuburan spesies yang mengarah ke alopoliploid atau bisa juga ke persilangan homoploid menyebabkan kesimpangsiuran taksonomi yang sampai saat ini masih terjadi (Chat, Jauregui, Petit, & Nadot, 2004). Sebuah studi dengan menggunakan primer kloroplas mikrosatelit menunjukkan bahwa A. deliciosa mempunyai keragaman genetik yang paling rendah, namun perbedaan genetik antar populasinya adalah paling tinggi. Selain itu, tidak ada hubungan yang signifikan antara jarak genetik dan jarak geografis pada kebanyakan spesies Actinidia (Zhang, Li, Liu, Jiang, & Huang, 2007). Berdasarkan analisis filogenetik homolog MPK6 menunjukkan bahwa penanda yang berasal dari A. deliciosa secara individu lebih terkait erat dengan penanda A. chinensis dari pada dengan satu sama lain (Fraser et al., 2015).

VI. Aspek budidaya Syarat tumbuh untuk tanaman kiwi agar dapat berkembang dengan baik adalah membutuhkan lahan yang cukup luas, mengandung bahan organik tanah yang tinggi, kondisi lingkungan cukup sinar matahari serta tanaman kiwi membutuhkan air yang cukup, sehingga jangan sampai tanaman mengalami kekeringan, terutama saat musim panas yang kering (Huang, 2016b). Suhu optimum bagi tanaman kiwi berkisar 20 – 30o C, namun beberapa jenis Actinidia yang lain bahkan tahan terhadap suhu dingin di bawah 0oC (Burdon & Lallu, 2011). Perbanyakan tanaman kiwi dapat dilakukan melalui perbanyakan generatif (melalui biji) dan vegetatif (melalui okulasi -grafting ), serta kultur jaringan (Huang, 2016b). Untuk biji diambil dari buah yang telah sepenuhnya matang dan dibersihkan dari daging buah, kemudian dikeringkan. Sebelum melakukan penyemaian, biji diberi perlakuan tertentu seperti stratifikasi pasir, fluktuasi suhu, maupun perlakuan hormon. Hal ini dilakukan untuk memecah dormansi, meningkatkan tingkat perkecambahan dan meningkatkan kualitas benih. Selanjutnya, penyemaian benih dapat dilakukan dengan ditanam menggunakan baris lebar dan sempit bergantian, maupun disebar secara merata pada bedengan penyemaian. Benih dapat dipindahtanamkan setelah muncul 3-5 daun sejati. Pada perbanyakan secara okulasi, hal-hal penting untuk keberhasilan okulasi adalah mengiris secara bersih dengan pisau okulasi yang tajam, menempelkan batang atas secara tepat, mengikat dan menutup tempelan secara rapat, serta menjaga tempelan tetap lembap dan batang bawah disiram dengan baik (Huang, 2016b). 10 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Untuk penanaman benih kiwi hasil okulasi perlu diperhatikan agar titik okulasi tidak tertutup oleh tanah (3 – 5 cm di atas permuakaan tanah). Kerapatan penanaman bergantung di antaranya pada kultivar kiwi yang ditanam, kondisi kebun, dan sistem pendukungnya (Huang, 2016b). Untuk pemupukan, kebun kiwi membutuhkan setidaknya 130 kg N, 50 kg P dan 210 kg K per hektare per tahun. Jumlah dan frekuensi pupuk yang diberikan ini bergantung pada umur tanaman, vigoritas tanaman, kebutuhan nutrisi pada berbagai tahap fenologis dan hasil buahnya. Pupuk tersebut diberikan tiga kali dalam setahun, yaitu untuk merangsang pertumbuhan tunas baru dan inisiasi bunga, saat perkembangan buah, dan setelah masa panen (Huang, 2016b). Pemeliharaan lain yang perlu dilakukan meliputi penyiangan, pengairan, dan pemangkasan. Penyiangan dilakukan secara rutin untuk mengurangi kompetisi nutrisi antara gulma dengan tanaman kiwi. Bisa juga dilakukan dengan memberikan mulsa organik dari jerami untuk mengatasi gulma. Tanaman kiwi sensitif terhadap kekeringan maupun genangan air, jadi lebih menyukai tanah yang lembap dan berdrainase baik. Oleh karena itu, dibutuhkan pengairan saat musim kering dan drainase yang baik saat musim hujan. Untuk pemangkasan, perlu dilakukan saat tanaman muda (pertumbuhan vegetatif) yang bertujuan untuk membentuk struktur kanopi. Pemangkasan selanjutnya saat tanaman dewasa, di mana semakin banyak percabangan untuk buah, sehingga pemangkasan bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara pertumbuhan vegetatif dan generatif. Selain itu, jenis tanaman kiwi yang sudah dibudidayakan secara komersial umumnya mempunyai sifat sangat vigor dan membutuhkan struktur penyangga yang kuat. Oleh karena itu, tanaman kiwi diberi struktur penyangga pergola atau palang T, sistem busur, struktur pagar sederhana, tiang dari batang pohon, dan sebagainya sehingga tanaman dapat diatur dengan mudah (Burdon & Lallu, 2011; Ferguson, 2013; Huang, 2016b). Untuk mendapatkan hasil buah dengan ukuran yang seragam dan kualitas yang baik maka perlu dilakukan penjarangan buah. Buah yang muncul di cabang lateral ukurannya lebih kecil, maka dibuang. Demikian juga dengan buah yang berkembang di kedua ujung tunas bunga harus dibuang, sedangkan buah yang berada di bagian tengah tetap dipertahankan. Selanjutnya pemberongsongan buah dilakukan untuk menjaga buah tetap bersih, bebas dari residu pestisida dan mencegah pembusukan buah (Huang, 2016b). Actinidia deliciosa (A.Chev) C. F. Liang 11 & A. R. Ferguson (Actinidiaceae)

Hama yang menyerang tanaman kiwi umumnya adalah kutu sisik, wereng daun, dan ngengat. Sedangkan penyakit utama yang menyerang tanaman kiwi adalah kanker bakteri (Pseudomonas syringae pv. actinidiae, PSA). Penyakit ini sangat merusak dan menjadi ancaman utama bagi pertanaman kiwi di dunia, karena sudah menyebar ke berbagai negara penghasil kiwi dunia. Sampai saat ini belum ada pengendalian yang efektif untuk mengatasi penyakit kanker bakteri. Oleh karena itu, pengendalian dilakukan dengan upaya preventif melalui pertahanan secara kimia maupun alami dan pengelolaan kebun secara baik. Sedangkan penyakit lain yang umumnya menyerang adalah penyakit akibat jamur, seperti busuk akar dan pangkal batang, serta busuk buah, dan penyakit akar simpul akibat nematoda (Huang, 2016b). Selain itu, busuk pada buah juga dapat terjadi tidak hanya di lapang, tapi juga dapat terjadi saat dalam masa penyimpanan (Pennycook, 1985). Pematangan buah kiwi tercapai pada 120 – 200 hari sejak bunga gugur, maka buah dapat dipanen ketika kandungan padatan terlarut telah mencapai 7 – 9%. Buah yang siap panen telah mencapai ukuran maksimal dan terasa lunak ketika disentuh. Tekstur kulitnya juga menjadi lebih lembut dan buah mengeluarkan bau harum yang khas (Huang, 2016c, 2016a). Buah kiwi termasuk buah klimaterik, sehingga proses pemasakan buah tetap berlangsung setelah buah dipetik (Hu et al., 2018).

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi ekonomi Buah kiwi mempunyai kandungan gizi yang penting, termasuk kaya akan vitamin C, serat, mineral dan sumber fitokimia, yaitu fenolik, flavonoid dan klorofil yang mana mempunyai manfaat kesehatan yang penting bagi konsumen, di antaranya sebagai anti karsinogen dan untuk sistem kekebalan tubuh (Fazayeli, Kamgar, Nassiri, Fazayeli, & De la Guardia, 2019; Hunter, Skinner, & Ferguson, 2016; Soquetta et al., 2016). Buah Kiwi juga merupakan sumber beberapa molekul bioaktif alami untuk antioksidan, seperti asam askorbat, fenolat, karotenoid dan tokol, sehingga mempunyai efek untuk meningkatkan kesehatan. Bahkan, mengonsumsi satu buah kiwi saja dapat memenuhi kebutuhan harian akan vitamin C yang direkomendasikan (D’Evoli et al., 2015). Selain dikonsumsi sebagai buah segar, kiwi juga bisa diolah menjadi jus, selai, es krim, buah kalengan, buah kering, keripik, dan sebagainya (Li & Zhu, 2017; Ward & Courtney, 2013). Sebuah studi menyebutkan bahwa irisan 12 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

buah kiwi kering dan selai kiwi mengandung elemen mineral yang tinggi. Dengan demikian, buah kiwi dapat memberikan suplai zat gizi yang paling lengkap (Ma et al., 2019). Sebanyak 70% dari total produksi kiwi dunia adalah dari jenis A. deliciosa dengan varietas Hayward (kiwi hijau). Meskipun buah kiwi kuning dari jenis A. chinensis telah diperkenalkan dan tersedia di pasar internasional, namun sampai saat ini buah kiwi hijau masih yang paling banyak diperdagangkan secara internasional (Ferguson, 2013). Produksi buah kiwi di seluruh dunia mencapai 4,04 juta ton, di mana negara-negara yang menjadi produsen utama buah kiwi yaitu China, Italia, New Zealand, Iran, Yunani, Chile, Perancis, Turki, Portugal dan USA (Statista, 2017). Bahkan buah kiwi menjadi komoditas untuk ekspor yang utama bagi New Zealand (Follett et al., 2019). Nilai ekspor buah kiwi dari New Zealand tiap tahunnya bisa mencapai lebih dari satu miliar dollar (Li & Zhu, 2017). Di Indonesia, buah kiwi masih menjadi buah impor. Volume impor kiwi pada tahun 2017 mencapai 4.908 ton (Pusdatin Pertanian, 2017). Pertanaman kiwi yang ada di Indonesia saat ini hanya bersifat setempat dan dalam skala kecil, seperti yang ada di Tangerang dan Tasikmalaya, sehingga hasilnya belum bisa memenuhi kebutuhan lokal dan belum dapat dirasakan dalam skala nasional. Oleh karena itu, peluang untuk mengembangkan kiwi di Indonesia dirasa cukup potensial. Meskipun tanaman ini berasal dari daerah subtropis, namun dapat tumbuh di daerah beriklim tropis termasuk Indonesia, seperti yang ada di Tangerang dan Tasikmalaya tersebut. Namun demikian, penanaman kiwi di Indonesia tetap perlu memperhatikan syarat tumbuh, serta perlu perlakuan khusus, seperti pemenuhan kebutuhan air yang cukup dan sangat dibutuhkan oleh tanaman kiwi. Pustaka 1. Bogacioviene S, Cesoniene L, Ercisli S, Valatavicius A, Jakstys B, Satkauskas S, & Paulauskas A. 2019. Ploidy levels and genetic diversity of Actinidia arguta (Siebold & Zucc.) Planch. ex Miq., A. kolomikta (Rupr. & Maxim.) Maxim., A. callosa Lindl., and A. melanandra Franch., accessions. Genetic Resources and Crop Evolution, 66(5), 1107–1118. https://doi.org/10.1007/s10722-019- 00775-9 Actinidia deliciosa (A.Chev) C. F. Liang 13 & A. R. Ferguson (Actinidiaceae)

2. Burdon J, Lallu N. 2011. Kiwifruit (Actinidia spp.). In Postharvest biology and technology of tropical and subtropical fruits: 3 (1904): 326–362). Cocona to mango Woodhead Publishing Limited. https://doi.org/10.1016/B978-1- 84569-735-8.50014-0 3. Chat J, Jauregui B, Petit R J, & Nadot S. 2004. Reticulate evolution in kiwifruit identified by comparing their maternal and paternal phylogenies. American Journal of , 91(5): 736–747. https://doi.org/10.3732/ajb.91.5.736 4. D’Evoli L, Moscatello S, Lucarini M, Aguzzi A, Gabrielli P, Proietti S, Lombardi- Boccia, G. 2015. Nutritional traits and antioxidant capacity of kiwifruit (Actinidia deliciosa Planch., cv. Hayward ) grown in Italy. Journal of Food Composition and Analysis, 37(2015): 25–29. https://doi.org/10.1016/j.jfca.2014.06.012 5. Fazayeli A, Kamgar S, Nassiri S M, Fazayeli H, & De la Guardia M. 2019. Dielectric spectroscopy as a potential technique for prediction of kiwifruit quality indices during storage. Information Processing in Agriculture, (xxxx). https://doi.org/10.1016/j.inpa.2019.02.002 6. Ferguson A R. 2013. Kiwifruit : The wild and the cultivated . InAdvances in Food and Nutrition Research Vol. 68: 15–32). https://doi.org/10.1016/ B978-0-12-394294-4.00002-X 7. Follett P A, Jamieson L, Hamilton L, & Wall M. 2019. New associations and host status : Infestability of kiwifruit by the fruit fly species Bactrocera dorsalis, Zeugodacus cucurbitae, and Ceratitis capitata (Diptera : Tephritidae).Crop Protection, 115(2019): 113–121. https://doi.org/10.1016/j. cropro.2018.09.007 8. Fraser L G, Datson P M, Tsang G K, Manako K I, Rikkerink E H, & McNeilage M A 2015. Characterisation, evolutionary trends and mapping of putative resistance and defence genes in Actinidia (kiwifruit). Tree Genetics & Genomes, 11(21). https://doi.org/10.1007/s11295-015-0846-1 9. Guanglian L, Zhangyun L, Chunhui H, Min Z, Junjie T, Xueyan Q, … Xiaobiao X. 2019. Genetic diversity of inner quality and SSR association analysis of wild kiwifruit (Actinidia eriantha). Scientia Horticulturae, 248(January): 241–247. https://doi.org/10.1016/j.scienta.2019.01.021 10. He Z, Zhang X, Zhong Y, & Ye L. 2000. Phylogenetic relationships of Actinidia and related genera based on micromorphological characters of foliar trichomes. Genetic Resources and Crop Evolution, 47(6): 627–639. 14 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

11. Hu H, Zhao S, Li P, & Shen W. 2018. Postharvest biology and technology hydrogen gas prolongs the shelf life of kiwifruit by decreasing ethylene biosynthesis. Postharvest Biology and Technology, 135(2018): 123–130. https://doi.org/10.1016/j.postharvbio.2017.09.008 12. Huang H. 2016a. Biology, genetic improvement, and cultivar development. In Kiwifruit: The Genus ACTINIDIA (pp. 211–237). https://doi.org/10.1016/B978- 0-12-803066-0.00005-8 13. Huang H. 2016b. Cultivation and management. In Kiwifruit: The Genus ACTINIDIA (pp. 265–295). China Science Publishing & Media Ltd. https://doi. org/10.1016/B978-0-12-803066-0.00007-1 14. Huang H. 2016c. Harvest and storage. In Kiwifruit: The Genus ACTINIDIA (pp. 297–307). https://doi.org/10.1016/b978-0-12-803066-0.00008-3 15. Huang H. 2016d. Introduction. In Kiwifruit: The Genus ACTINIDIA (pp. 1–7). https://doi.org/10.1016/B978-0-12-803066-0.09999-8 16. Huang H. 2016e. Systematics and genetic variation of Actinidia. InKiwifruit: The Genus ACTINIDIA. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-803066-0.00001-0 17. Hunter D C, Skinner M A, & Ferguson A R. 2016. Kiwifruit and health. In Fruits, Vegetables, and Herbs (pp. 239–270). Elsevier Inc. https://doi.org/10.1016/ B978-0-12-802972-5.00012-3 18. Li D, & Zhu F. 2017. Physicochemical properties of kiwifruit starch. Food Chemistry, 220, 129–136. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2016.09.192 19. Ma T, Lan T, Geng T, Ju Y, Cheng G, Que, Z., … Sun, X. 2019. Nutritional properties and biological activities of kiwifruit (Actinidia) and kiwifruit products under simulated gastrointestinal in vitro digestion. Food and Nutrition Research, 63(1674). 20. Oh S, Lee M, Kim K, Han H, Won K, Kwack Y, … Kim D. 2019. Genetic diversity of kiwifruit (Actinidia spp.), including Korean native A . arguta, using single nucleotide polymorphisms derived from genotyping ‑ by ‑ sequencing. Horticulture, Environment, and Biotechnology, 60: 105–114. https://doi. org/10.1007/s13580-018-0106-z 21. Padmanabhan P & Paliyath G. 2016. Kiwifruit. In Encyclopedia of Food and Health (pp. 490–494). https://doi.org/10.1016/B978-0-12-384947-2.00409-8 Actinidia deliciosa (A.Chev) C. F. Liang 15 & A. R. Ferguson (Actinidiaceae)

22. Pennycook S R. 1985. Fungal fruit rots of Actinidia deliciosa (kiwifruit), 13(4): 289–299. https://doi.org/10.1080/03015521.1985.10426097 23. Pusdatin Pertanian. 2017. Impor komoditi pertanian subsektor hortikultura (segar) tahun 2017. Retrieved from http://database.pertanian.go.id/ eksim2012asp/hasilimporSubsek.asp 24. Raharto S. 2016. Institutional development model cocoa farmers in east java province district blitar. Agriculture and Agricultural Science Procedia, 9: 95– 102. https://doi.org/10.1016/j.aaspro.2016.02.131 25. Rodriguez A, Alquezar B, & Pena L. 2013. Fruit aromas in mature fleshy fruits as signals of readiness for predation and seed dispersal. New Phytologist, 197. 26. Shi T, Huang H, & Barker M S. 2010. Ancient genome duplications during the evolution of kiwifruit (Actinidia) and related Ericales. Annals of Botany, 106: 497–504. https://doi.org/10.1093/aob/mcq129 27. Soquetta M B, Stefanello F S, Huerta K da M, Monteiro S S, da Rosa C S, & Terra N. N. 2016. Characterization of physiochemical and microbiological properties, and bioactive compounds, of flour made from the skin and bagasse of kiwi fruit (Actinidia deliciosa). Food Chemistry, 199(2016): 471–478. https://doi. org/10.1016/j.foodchem.2015.12.022 28. Statista. 2017. Global leading kiwi producing countries 2017. Retrieved from https://www.statista.com/statistics/812434/production-volume-of-leading- kiwi-producing-countries/ 29. Wang S, Li D, Yao X, Song Q, Wang Z, Zhang Q, … Huang H. 2019. Evolution and diversification of kiwifruit mitogenomes through extensive whole- genome rearrangement and mosaic loss of intergenic sequences in a highly variable region. Genome Biology and Evolution, 11(4): 1192–1206. https:// doi.org/10.1093/gbe/evz063 30. Wang W, Chen S, & Zhang X. 2016. Chloroplast genome evolution in Actinidiaceae : clpP loss , heterogenous divergence and phylogenomic practice. Plos One, 11(9): 1–17. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0162324 31. Ward C, & Courtney D. 2013. Kiwifruit : Taking its place in the global fruit bowl. In Advances in Food and Nutrition Research 68: 1–14. https://doi.org/10.1016/ B978-0-12-394294-4.00001-8 16 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

32. Zhang T, Li Z, Liu Y, Jiang Z, & Huang H. 2007. Genetic diversity, gene introgression and homoplasy in sympatric populations of the genus Actinidia as revealed by chloroplast microsatellite markers. Biodiversity Science, 15(1): 1–22. https:// doi.org/10.1360/biodiv.060277 Penulis: Lizia Zamzami dan Zainuri Hanif Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika Diospyros kaki Thunb. (Ebenaceae)

Protologue Diospyros kaki Thunb. -- Nova Acta Regiae Societatis Scientiarum Upsaliensis. 3: 208. 1780. Sinonim • Diospyros kaki L.f -- Supplementum Plantarum. 439. 1782 • Diospyros chinensis Blume -- Cat. Gew. Buitenzorg (Blume) 110. 1823 • Diospyros kaki Thunb., Fl. Jap. (Thunberg) 157 (1784). • Diospyros kaki L.f., Suppl. Pl. 439 (1782). • Diospyros kaki Blanco, Fl. Filip. [F.M. Blanco] 302 (1837). • Diospyros kaki Thunb., Nova Acta Regiae Soc. Sci. Upsal. iii. 208 (1780); Thunb. Fl. Jap. 157 (1784). • Diospyros kaki Thunb., Syst. Veg., ed. 14 (J. A. Murray). 918 (1784). • Diospyros kaki var. aurantium André. Rev. Hort. 59: 349 1887 • Diospyros kaki var. domestica Makino. Bot. Mag. (Tokyo) 22: 159 1908 • Diospyros kaki var. elliptica André. Rev. Hort. 59: 349 1887 • Diospyros kaki var. glabra A.DC. Prodr. 8: 22 1844 • Diospyros kaki var. macrantha Hand.-Mazz. Symb. Sin. 7: 802 1936. • Diospyros kaki var. sahuti André. Rev. Hort. 59: 349 1887. • Diospyros kaki var. silvestris Makino. Bot. Mag. (Tokyo) 22: 159 1908 18 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Nama umum Kesemek (Indonesia), Japanese persimmon, Chinese persimmon, oriental persimmon, kaki persimmon (Inggris), kakibaum, kakipflaume (Jerman), pisang kaki (Malaysia), caqui, caqui del Japón, placa minera (Spanyol), Japansk persimon, kakiplommon, kinesisk persimon (Swedia), kaki (Belanda, Slovenia, Italia, Perancis, Finlandia), 柿 (Mandarin)

I. Pendahuluan Tanaman kesemek termasuk ke dalam suku Ebenaceae dan marga Diospyros. Marga ini memiliki lebih dari 350 spesies dan merupakan marga yang paling penting secara ekonomi. Mayoritas spesies dari marga Diospyros terdistribusi di daerah tropis Asia, Afrika, dan Amerika. Hanya beberapa spesies yang merupakan tanaman dari daerah beriklim sedang, termasuk kesemek (Rauf et al., 2017; Wallnöfer, 2001; Yonemori, Sugiura, & Yamada, 2000). Spesies dalam marga Diospyros merupakan penghasil buah yang dapat dimakan serta kayu yang sangat berharga. Spesies Diospyros yang dikenal sebagai penghasil buah terbaik dan paling banyak dibudidayakan adalah Diospyros kaki Thunb (oriental persimmon), yang merupakan spesies yang berasal dari Asia. Spesies lain seperti D. virginiana L. (common persimmon) yang berasal dari Amerika juga dimanfaatkan buahnya untuk dikonsumsi. Spesies ini merupakan spesies sekunder penghasil buah dan digunakan sebagai batang bawah oriental persimmon di beberapa daerah budidaya (Tetsumura, Giordani, & Tao, 2008; Yonemori et al., 2000). Spesies penghasil buah penting lainnya adalah D. lotus (Asia Tengah dan Timur Tengah), D. mespiliformis (Afrika), D. blancoi (Filipina), D. digyna (Amerika Tengah) D. decandra, D. malabarica, D. glandulosa, D. rhodocalyx (Thailand) (Mallavadhani, Panda, & Rao, 1998; Utsunomiya et al., 1998; Wallnöfer, 2001). Adapun spesies dari marga Diospyros penghasil kayu adalah D. ebenum (Sri Lanka), D. melanoxylon (India), D. celebica (Indonesia), D. dendo dan D. mespiliformis (Afrika) (Rauf et al., 2017; Wallnöfer, 2001). 19 Diospyros kaki Thunb. (Ebenaceae)

II. Klasifikasi dan deskripsi botani Kesemek termasuk dalam Kerajaan: Plantae, Divisi: Magnoliophyta, Kelas: Rosopsida, Subkelas: Dilleniidae, Bangsa: Ericales, Subbangsa: Ebenineae, Suku: Ebenaceae, Marga: Diospyros, Jenis: Diospyros kaki Thunb. (Butt et al., 2015). Tanaman kesemek adalah tanaman tahunan berbentuk pohon berumur panjang yang tingginya bisa mencapai 18 meter bila tidak dipangkas (Gambar 4a). Kanopinya berbentuk tegak, semi tegak, atau menyebar dengan lebar kanopi mencapai 4.5 – 6 meter. Batangnya berwarna abu-abu hingga cokelat tua dengan banyak celah/ retakan tidak teratur. Tanaman ini memiliki tipe percabangan simpodial dengan ranting yang tegak, berliku, dan sering rapuh. Cabang berumur 1 tahun berwarna cokelat atau abu-abu dengan banyak lentisel yang pucat (Baswarsiati, Suhardi, & Rahmawati, 2006; Hanafiah, Sanggita, & Lubis, 2018; Intrigliolo et al., 2018; Morton, 1987; Orwa, Mutua, Kindt, Jamnadass, & Anthony, 2009; Tetsumura et al., 2008).

(a) (b)

Gambar 4. (a) Pohon kesemek dan (b) morfologi daun kesemek (Foto: titistyas_gusti_aji)

Daun kesemek berbentuk bulat lonjong (ovate), ellips (elliptic), hingga bulat lonjong dengan salah satu bagian lebih besar (obovate) dengan tata daun berseling (alternate). Ukuran daun bervariasi tergantung kultivar dengan lebar antara 5-10 cm dan panjang antara 7.5-25 cm (Gambar 4b). Daun kesemek kasar dan keras, 20 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

daun mudanya berwarna hijau muda atau hijau kebiruan kemudian berubah menjadi hijau gelap dan mengkilat seiring pertumbuhan daun. Pada saat musim gugur, kebanyakan daun berubah menjadi berwarna kuning, oranye, atau merah sebelum akhirnya gugur (Baswarsiati et al., 2006; Hanafiah et al., 2018; Intrigliolo et al., 2018; Morton, 1987; Orwa et al., 2009; Tetsumura et al., 2008). Kesemek memiliki sistem reproduksi yang sangat unik, yaitu berumah satu, berumah dua, dan hermafrodit. Mayoritas kultivar komersial termasuk ke dalam jenis berumah dua. Namun demikian, beberapa termasuk ke dalam jenis hermafrodit dan berfungsi sebagai pollinator (Garcia-Carbonell et al., 2002.) Bunga kesemek terletak di ketiak daun. Bunga betina berukuran besar, tunggal dan terjuntai, dengan mahkota kecil berwarna kuning keputihan dan kaliks berwarna hijau. Bunga jantan berukuran lebih kecil dan muncul dalam kluster berjumlah 3-5 bunga (Tetsumura et al., 2008). Buah kesemek adalah buah buni dengan bentuk bervariasi, mulai datar hingga bulat, atau memanjang, dengan bobot buah berkisar antara 50 hingga 500 g. Buah berwarna kuning-jingga dan berubah menjadi merah atau jingga gelap seiring proses pematangan. Daging buah tersusun atas struktur sel yang padat, berwarna jingga kekuningan hingga cokelat kemerahan tergantung jenisnya dan ada atau tidaknya biji pada buah (Gambar 5) (Hanafiah et al., 2018; Orwa et al., 2009; Tetsumura et al., 2008; Woolf & Ben-Arie, 2011).

(a) (b)

Gambar 5. (a) Buah kesemek pada pohon dan (b) penampang melintang buah kesemek (Foto: titistyas_gusti_aji & kurniawan_budiarto). 21 Diospyros kaki Thunb. (Ebenaceae)

III. Asal dan distribusi geografis Kesemek diyakini berasal dari China dan merupakan sumber makanan yang penting di China, Jepang, dan Korea sejak masa prasejarah (Tetsumura et al., 2008; Yonemori et al., 2000). Kesemek telah tumbuh di Vietnam, Indonesia dan Filipina sejak lama (Morton, 1987). Kesemek juga tumbuh di Amerika Serikat, Brasil, Australia, Rusia dan Uni Soviet, serta beberapa negara di Asia Tenggara (Orwa et al., 2009). Penyebaran kesemek ke benua lain disebabkan karena daya adaptasinya yang tinggi di daerah beriklim sedang dan tropis (Kluge & Tessmer, 2018). Secara alami, penyebaran kerabat kesemek, yaitu D. virginiana, dibantu oleh beragam mamalia. Tanaman yang tumbuh dari biji yang telah dicerna oleh rakun dan anjing hutan (coyote) memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan tanaman yang berasal dari biji pada buah utuh. Biji yang telah melewati sistem pencernaan gajah juga cenderung menghasilkan tanaman dengan kualitas yang lebih baik (Everitt, 1984; Rebein et al., 2017). Chavez-Ramirez & Slack (1993) mengamati penyebaran benih D. virginiana dengan bantuan karnivora. Frekuensi adanya biji D. virginiana pada feses karnivora yang diamati mengikuti pola kematangan buah, yaitu antara bulan September hingga Januari. D. virginiana lebih disukai oleh karnivora selama musim gugur ketika buah matang dan jumlahnya melimpah. Penurunan frekuensi adanya biji D. virginiana pada feses karnivora dimulai pada bulan Desember, menunjukkan penurunan buah di musim dingin. Kesemek menyebar ke daerah beriklim sedang yaitu, Jepang pada abad ke-7 dan Korea pada abad ke-14. Jepang dan Korea dapat dianggap sebagai pusat diversifikasi sekunder untuk tanaman kesemek. Catatan kuno tentang keberadaan kesemek di Jepang dilaporkan dalam Honzo-Wamei, ensiklopedia herbal tertua yang diterbitkan pada tahun 918 dan deskripsi pertama tentang kultivar kesemek “Zenjimaru”, bertanggal 1241 (Tetsumura et al., 2008). Pada awal abad ke-14, Marco Polo mencatat bahwa masyarakat China melakukan perdagangan kesemek (Morton, 1987). Kesemek dibawa ke benua Eropa antara abad ke-17 hingga ke- 19 karena kegunaannya sebagai kayu mebel. Sedangkan untuk area Mediterania, spesies dari marga Diospyros bercampur antara tanaman hias dan tanaman buah, dan banyak ditanam bersama jeruk dan zaitun untuk konsumsi lokal. Kesemek diintroduksi di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1800-an dan kultivarnya beradaptasi dan menyebar pada awal tahun 1900-an. Selanjutnya, kultivar kesemek juga diintroduksi di Australia dan Selandia Baru. Pada akhir abad ke-19, kesemek 22 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

juga diintroduksi di Brasil. Mulai tahun 1920-an, teknologi produksi dan varietas yang adaptif terhadap iklim di Brasil mulai berkembang seiring dengan kedatangan imigran Jepang (Kluge & Tessmer, 2018).

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik Tiga spesies dalam marga Diospyros dari daerah sedang, yaitu D. kaki, D. lotus, dan D. virginiana, bersifat monofiletik dengan spesies subtropis D. ehretioides. Hal ini menunjukkan hubungan evolusi yang erat di antara mereka (Giordani, 2002; Yonemori et al., 1998). Kesemek adalah tanaman hexaploid dengan jumlah kromosom 90 (2n = 6x = 90). Namun demikian, dilaporkan terdapat kultivar octoploid (2n = 8x = 120), yaitu Hasshu, dan nonaploid (2n = 9x = 135), yaitu Hiratanenashi dan Tonewase. Oleh karena itu, jumlah kromosom dasar pada marga Diospyros diperkirakan adalah 15 (Yonemori et al., 2008; Zhuang et al, 1990). Ukuran genom kesemek telah diuji dengan menggunakan flow cytometry. Kesemek memiliki kandungan DNA sekitar 5.00-5.21 pg/2C pada kultivar hexaploid dan 7.51-8.12 pg/2C pada kultivar nonaploid (Tamura et al., 1998). Walaupun kesemek adalah tanaman hexaploid, namun bunga betina bersifat cukup fertil. Berdasarkan pengamatan perilaku kromosom sel induk serbuk sari saat meiosis, Zhuang et al. (1990) berhipotesis bahwa kesemek Jepang bukan autohexaploid. Penulis ini juga melaporkan bahwa pembentukan bivalen terjadi secara teratur, dan beberapa multivalen dan asosiasi sekunder bivalen teramati pada meiosis. Namun, kurangnya multivalen tidak selalu menunjukkan poliploid disomic (Kanzaki, Yonemori, Sugiura, Sato, & Yamada, 2001). Hasil ini menunjukkan bahwa kesemek termasuk allopolyploid. Varietas kesemek dikelompokkan berdasarkan respons tanaman terhadap penyerbukan, perubahan warna daging buah, dan rasa sepat pada buah yang telah matang (Kluge & Tessmer, 2018; Yesiloglu, Cimen, Incesu, & Yilmaz, 2018). Pengelompokan tersebut adalah pollination constant (PC), yaitu daging buah tidak mengalami perubahan warna akibat penyerbukan, dan pollination variant (PV), yaitu daging buah berwarna cerah bila bersifat partenokarpik, dan berwarna gelap, terutama di sekitar biji, bila berbiji. Kedua kelompok ini dibagi menjadi berasa sepat/astringent (A) dan tidak berasa sepat/non astringent (NA) berdasarkan ada atau tidaknya rasa sepat pada buah yang telah matang (Tetsumura et al., 2008; Yonemori et al., 2000). Oleh karena itu, kultivar kesemek dapat dikelompokkan 23 Diospyros kaki Thunb. (Ebenaceae) menjadi PCA (pollination-constant astringent), PCNA (pollination-constant non- astringent), PVA (pollination-variant astringent), dan PVNA (pollination-variant non-astringent). Contoh varietas PCA antara lain Saijo, Atago, Hachiya, Pomelo, Rubi; varietas PCNA antara lain Fuyu, Jiro, Izu, Matsumotowase-Fuyu, Maekawa- Jiro; varietas PVA antara lain Hiratenashi, Aizumishirazu, Rama Forte, Giombo; dan PVNA yaitu Nishimurawase, Fudegaki, Zenjimaru, Shogatsu, Mizushima (Kluge & Tessmer, 2018; Sato & Yamada, 2003; Tetsumura et al., 2008; Yonemori et al., 2000). Analisis hubungan kekerabatan genetik buah kesemek dengan menggunakan penanda SSR pada 51 genotipe dalam marga Diospyros yang berasal dari China, Korea, dan Jepang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara D. kaki, D. oleifera, D. glaucifolia dan D. lotus (Yang, Jing, Ruan, & Cheng, 2015). Sedangkan 71 kultivar kesemek yang berasal dari Eropa, di mana di dalamnya sudah termasuk aksesi dari Jepang, Italia, dan Spanyol dianalisis menggunakan penanda 19 polimorfik mikrosatelit menunjukkan adanya variasi genetik yang signifikan sebesar 73,3% dan 85,2% berturut-turut untuk tipe astringent (berasa sepat) dan daerah asalnya (Naval et al., 2010).

V. Evolusi dan risiko erosi genetik Kompleksitas hubungan kekerabatan tampaknya adalah fitur utama dalam marga Diospyros. Ketidaksesuaian taksonomi di antara spesies dalam marga Diospyros menunjukkan bahwa hibridisasi atau peristiwa introgresi selama pembentukan spesies ini mungkin terjadi. Pada marga Diospyros, walaupun tidak terdapat pola yang jelas, banyak sekuen teramati pada beberapa spesies, yaitu D. lycioides, D. oleifera, D. confertiflora, D. glandulosa, D. virginiana, D. rhodocalyx, tiga kultivarD. kaki, dan D. lotus cv. Kunsenshi. D. kaki sebagai spesies yang paling penting dalam marga Diospyros dan satu-satunya tanaman buah yang dibudidayakan, memberi kesan sebagai spesies dengan asal hibrida. Dengan demikian, ketidaksesuaian taksonomi mungkin merupakan hasil dari sejarah hibridisasi, introgresi, dan/atau poliploidisasi di antara spesies nenek moyang marga Diospyros di zona beriklim sedang (Yonemori et al., 2008). Beberapa tanaman yang berasal dari Amerika Utara diduga telah kehilangan penyebar benih alaminya, yang punah selama masa Pleistosen. Oleh karena itu tanaman ini dianggap sebagai tanaman anakronis (anachronistic plants). Biji 24 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

common persimmon (D. virginiana), yang merupakan kerabat kesemek, dapat melewati sistem pencernaan (usus) rakun, anjing hutan (coyote), dan gajah, yang merupakan spesies asli. Sistem pencernaan spesies asli ini tidak memengaruhi keberhasilan tumbuh biji-biji tersebut, malah cenderung mempercepat waktu berkecambah dan meningkatkan kualitas bibit. Pengamatan pada hewan pemakan common persimmon menunjukkan bahwa rusa berekor putih (Odocoileus virginianus) terdeteksi paling banyak memakan buah ini. Namun mereka bukan penyebar benih yang efektif karena termasuk ruminansia yang mengunyah dan memfermentasi makanan mereka. Sebaliknya, keberadaan penyebar benih yang potensial jarang ditemukan. Common persimmon diduga berevolusi untuk menarik berbagai penyebar benih dan dengan demikian tidak termasuk tanaman anakronis. Perubahan yang disebabkan oleh manusia pada komunitas mamalia juga mungkin memengaruhi keberhasilan penyebaran benih (Rebein et al., 2017). Kultivar kesemek Italia dan Spanyol memiliki kumpulan gen yang sama, sementara kultivar Jepang, China dan Korea membentuk kelompok yang berbeda. Keragaman dalam kelompok lebih besar daripada keragaman antar kelompok, di mana sebagian besar kultivar cukup polimorfik (hanya 0,60-0,80 kesamaan di antara kultivar). Di dalam kumpulan gen yang sama terdapat subset dari kultivar yang agak berbeda dan lebih beragam daripada sebagian besar kultivar, yaitu kultivar ‘Kaki Tipo’, yang banyak dibudidayakan di Eropa. Sampel ‘Kaki Tipo’ terpilih yang diuji secara genetik berbeda nyata dan tidak boleh diklasifikasikan sebagai kultivar tunggal. Tingkat keragaman di antara sampel ‘Kaki Tipo’ terpilih ini mirip dengan seluruh kelompok kultivar Eropa, menunjukkan bahwa ‘Kaki Tipo’ tidak memiliki asal yang sama dengan kelompok kultivar Eropa pada umumnya. Keragaman dalam ‘Kaki Tipo’ menunjukkan bahwa mereka mungkin telah diseleksi atau dikembangkan dari tetua yang berbeda. Selain itu, kehadiran beberapa kultivar Jepang dalam kelompok Eropa dan sekelompok kultivar Eropa dalam kelompok China dan Korea menunjukkan bahwa nenek moyang yang mirip tetapi berbeda digunakan dalam pengembangan kultivar Eropa saat ini. Kultivar baru dikembangkan melalui hibridisasi dan seleksi segera setelah introduksi awal tanaman kesemek ke Eropa (Yonemori et al., 2008). 25 Diospyros kaki Thunb. (Ebenaceae)

VI. Aspek budidaya Kesemek membutuhkan iklim sedang hingga sedang-ringan (mild temperate) untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Kesemek mungkin tidak dapat berbuah pada dataran rendah di daerah tropis. Di Brasil, kesemek dianggap cocok dan dapat ditanam pada semua zona yang menguntungkan bagi tanaman jeruk. Namun demikian, zona dengan suhu terdingin pada musim salju menginduksi hasil buah tertinggi (Orwa et al., 2009). Kesemek dapat tumbuh pada ketinggian 0-2500 meter di atas permukaan laut. Tanah yang paling baik untuk budidaya kesemek adalah tanah dengan tekstur medium dan dalam, namun kesemek dapat juga tumbuh pada tanah dengan kandungan liat dengan drainase yang baik. Kesemek menyukai tanah dengan tingkat keasaman 6.0 hingga 7.5 (Orwa et al., 2009; Tetsumura et al., 2008; Yesiloglu et al., 2018). Di Indonesia, kesemek tumbuh pada daerah dengan ketinggian 900 – 1500 m dpl. Produsen kesemek Indonesia termasuk Sumatera Utara (Brastagi, Toba, dan Karo), Sumatera Barat (Solok), Jawa Barat (Garut, Sumedang, Majalengka, dan Ciloto), dan Jawa Timur (Magetan, Malang, dan Batu) (Baswarsiati et al., 2006; Hanafiah et al., 2018; Ishaq & Noch, 2006; Kusumawati, Putri, Azhar, & Swasti, 2018; Ridwan & Ishaq, 2005). Kesemek adalah spesies yang mudah tumbuh dan mudah beradaptasi pada lingkungan yang bervariasi. Teknik perbanyakan kesemek tidak maju, perbanyakan dilakukan melalui biji, teknik stek dan sambung, serta mikropropagasi. Kepadatan penanaman tidak tinggi, karena saat ini belum ada batang bawah kerdil yang diperbanyak secara masif untuk kesemek (Bellini & Giordani, 2002). Petani kesemek di Kabupaten Garut melakukan perbanyakan kesemek menggunakan tunas akar yang keluar dari bagian bawah tanaman induk (Ridwan & Ishaq, 2005). Sistem pemangkasan yang paling umum dilakukan adalah palmette (pembentukan cabang menyerupai telapak tangan) dan vase (pemilihan dan pemeliharaan 3-4 cabang yang paling vigor dan selanjutnya dipangkas untuk merangsang tumbuhnya tunas yang menghasilkan buah). Pemangkasan cabang yang sudah menghasilkan buah dan tunas yang panjang juga dilakukan sebagai pemangkasan pemeliharaan (Bellini & Giordani, 2002). Sistem perakaran kesemek dalam dan sangat aktif dalam penyerapan air. Meskipun kesemek dapat beradaptasi pada kondisi kekeringan, ketersediaan air sangat penting terutama pada saat pembungaan,fruit set, dan pengisian buah. Sedangkan 26 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

untuk pemupukan, kesemek menunjukkan permintaan yang rendah dibandingkan dengan spesies pohon buah-buahan lainnya dari daerah beriklim sedang (Bellini & Giordani, 2002). Petani kesemek di Indonesia tidak melakukan sistem budidaya yang intensif untuk tanaman ini meskipun mereka memetik hasilnya setiap tahun. Namun demikian, petani memangkas cabang lateral dan membersihkan tanaman pengganggu saat kesemek menggugurkan daunnya. Selain itu, petani juga melakukan pemanenan tunas akar untuk dipelihara di dalam polybag pada masa gugur daun ini. Beberapa petani memanfaatkan lahan di bawah tegakan kesemek untuk budidaya sayuran. Pemupukan dan penyiraman sayuran secara tidak langsung akan memengaruhi pertumbuhan kesemek sehingga petani merasa tidak perlu melakukan teknik budidaya khusus untuk tanaman kesemek. Meskipun tanpa perawatan yang intensif, tanaman kesemek tetap menghasilkan buah setiap tahunnya (Kusumawati et al., 2018; Ridwan & Ishaq, 2005). Spesies berikut dianggap sebagai hama penting yang mengancam produksi kesemek di beberapa negara: Aceria diospyri (Brasil), Retithrips syriacus (Palestina), Pseudaulacaspis pentagona dan Onsideres cingulatus (Amerika Serikat), Ceroplastes japonicus Green (China dan Italia), C. pseudoceriferus Green (Korea), Coccus hesperidum L. (Australia) dan Parthenolecanium persicae (Fabricius) (Israel). Lalat buah juga banyak menyerang buah, terutama saat musim kering. Buah kesemek yang telah matang di pohon juga banyak diserang oleh burung dan mamalia kecil (Morton, 1987; Swirski, Ben-Dov, & Wysoki, 1997; Yesiloglu et al., 2018). Pembentukan buah dan produktivitas berkorelasi positif dengan penyerbukan, sedangkan gugur buah muda sebagian besar terkait dengan sifat partenokarpi pada sebagian besar kultivar kesemek, terutama pada kultivar PCNA. Namun demikian, kultivar Kaki Tipo (PVNA) dan Rojo Brillante (PVA), yang paling banyak dibudidayakan di Italia dan Spanyol, menunjukkan pembentukan buah tanpa biji yang sangat tinggi (Bellini & Giordani, 2002). Partenokarpi adalah faktor yang penting dalam mengendalikan produktivitas karena gugur buah pada tipe kesemek berbiji adalah masalah yang banyak dijumpai. Semakin tinggi sifat partenokarpi, maka semakin sedikit gugur buah muda. Partenokarpi juga menghilangkan masalah kebutuhan pollinator untuk kultivar dengan bunga betina. Selain itu, konsumen juga lebih menghendaki buah tanpa biji (Janick, 2010). 27 Diospyros kaki Thunb. (Ebenaceae)

Kesemek berbunga setahun sekali. Di Indonesia, kesemek berbunga sekitar bulan Oktober-Januari setelah beristirahat selama 4-7 bulan pada musim kemarau. Selama musim kemarau, tanaman menggugurkan daun dan tunas muda muncul di awal musim hujan (Baswarsiati et al., 2006). Banyak kultivar kesemek mulai berbuah pada umur 3-4 tahun setelah tanam, sisanya setelah 5-6 tahun. Pengguguran banyak bunga, buah yang belum matang dan hampir matang adalah karakteristik kesemek. Terdapat kecenderungan sifat alternate bearing pada kesemek (Orwa et al., 2009). Waktu panen berbeda-beda untuk setiap kultivar, dan dapat pula berubah bergantung kondisi lingkungan dan kultur teknis yang diterapkan. Pemanenan dilakukan pada 6 bulan pertama di negara belahan bumi selatan, seperti Brasil, Australia, dan Selandia Baru. Sedangkan di negara-negara Eropa dan Asia, panen dilakukan pada 6 bulan terakhir, yaitu antara Oktober dan Desember (Kluge & Tessmer, 2018). Di Indonesia, kesemek dipanen antara bulan April dan Juli, dengan buah paling banyak dipanen pada bulan Juni. Petani di Indonesia memanen buah kesemek saat buah belum masak. Sesudah dipanen, buah dibawa ke gudang penyimpanan untuk selanjutnya diberi perlakuan untuk menghilangkan rasa kelat. Perendaman dalam larutan kapur dengan konsentrasi 3-5% selama 48-72 jam umum dilakukan oleh petani. Saat dikeringkan, buah kesemek tampak seperti dibedaki (Baswarsiati et al., 2006). Penghilangan rasa kelat juga dapat dilakukan dengan menggunakan alkohol (Setiawan, 2014) dan gas karbon dioksida (Rauf et al., 2017).

VII. Kegunaan, karakteristik lain, dan potensi ekonomi Di Indonesia, kesemek merupakan salah satu buah subtropis yang semakin langka namun tetap memiliki potensi pasar. Hal ini terlihat dari tren impor buah kesemek dari tahun 2012 hingga tahun 2018, yang mengalami kenaikan 97,8%, dari 52 ton menjadi 102,9 ton. Di sisi ekspor, peluang yang terbuka belum dapat ditangkap sepenuhnya oleh Indonesia, salah satunya permintaan dari Singapura. Beberapa sentra kesemek di antaranya Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Kesemek di Indonesia memiliki kandungan tanin yang tinggi, di mana mengandung zat astringent, sehingga membuat rasanya sepat. Perendaman dengan air kapur merupakan praktik yang biasa digunakan di Indonesia untuk menghilangkan 28 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

kandungan tanin. Perendaman dilakukan selama 3-5 hari (Prabawati, 1985; Setiawan, 2014). Perbandingan antara kapur dengan jumlah buah yang direndam adalah 1:30, yakni 3-4 kg kapur untuk 100 buah kesemek (Baswarsiati et al., 2006). Hal ini membuat kesemek yang dijual di pasar sering dijumpai dalam kondisi berbedak. Kandungan lain dalam 100 g buah segar kesemek yaitu: kalori 88 kal; protein 0,80 g; lemak 0,40 g; karbohidrat 15 g; kalsium 6 mg; fosfor 26 mg; besi 0,30 mg; vitamin A 813 SI; vitamin B1 0,05 mg; vitamin C 20mg; air 78 g; serat tidak terlarut 3,7 g (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1996; Taylor & Kennedy, 1993). Serat tidak terlarut pada kesemek lebih tinggi dibandingkan blueberry 2,4 g, pir 2 g dan apel 1,8 g. Tingginya serat pada kesemek menjadikannya baik untuk kesehatan, mencegah kanker saluran pencernaan dan mencegah sembelit. Buah ini juga memiliki kandungan likopen dan polifenol yang berfungsi sebagai antioksidan kanker dan mencegah penyakit jantung serta menurunkan kolesterol jahat (Chen, Fan, Yue, Wu, & Li, 2007; Salunkhe, 1995). Produk olahan dari kesemek yang umum dibuat masyarakat Garut adalah sale (manisan), meski kesemek dapat juga dibuat menjadi puree, es krim, selai dan jeli. Di samping itu kesemek dapat digunakan sebagai bahan pewarna pakaian, kertas atau bahan kerajinan dan bahan baku industri kosmetik (Lin, Peng, & Ren, 2015; Ridwan & Ishaq, 2005).

Pustaka 1. Baswarsiati, Suhardi, & Rahmawati D. 2006. Potensi dan wilayah pengembangan kesemek Junggo. Buletin Plasma Nutfah, 12(2): 56. https://doi.org/10.21082/ blpn.v12n2.2006.p56-61 2. Bellini E, & Giordani E. 2002. Cultural practices for persimmon production. CIHEAM Options Mediterraneennes, (51): 39–52. 3. Butt M S, Sultan M T, Aziz M, Naz A, Ahmed W, Kumar N, & Imran M. 2015. Persimmon (Diospyros kaki) Fruit: Hidden Phytochemicals and Health Claims. EXCLI Journal, 14: 542–561. 4. Chavez-Ramirez F & Slack R. D. 1993. Carnivore fruit-use and seed dispersal of two selected species of the Edwards Plateau, Texas. The Southwestern Naturalist, 38(2): 141. https://doi.org/10.2307/3672066 29 Diospyros kaki Thunb. (Ebenaceae)

5. Chen X N, Fan J F, Yue X, Wu X R, & Li L T. 2007. Radical scavenging activity and phenolic compounds in persimmon (Diospyros kaki L. cv. Mopan). Journal of Food Science, 73(1): C24–C28. https://doi.org/10.1111/j.1750- 3841.2007.00587.x 6. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1996. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. 7. Everitt J H. 1984. Germination of Texas persimmon seed. Journal of Range Management, 37(2): 189–192. https://doi.org/10.2307/3898913 8. Garcia-Carbonell S, Yague B, Bleiholder H, Hack H, Meier U, & Agusti M. 2002. Phenological growth stages of the persimmon tree (Diospyros kaki). Annals of Applied Biology, 141(1): 73–76. https://doi.org/10.1111/j.1744-7348.2002. tb00197.x 9. Giordani E. 2002. Varietal assortment of persimmon in the countries of the Mediterranean area and genetic improvement. First Mediterraneennes Symposium on Persimmon, 37: 23–37. 10. Hanafiah D S, Sanggita S, & Lubis K. 2018. The phenotypic appearance of Japanese persimmon (Diospyros kaki L.f.) in Karo District, North Sumatra, Indonesia. Biodiversitas, 19(2): 509–514. https://doi.org/10.13057/biodiv/ d190226 11. Intrigliolo D S, Visconti F, Bonet L, Parra M, Besada C, Abrisqueta I, … de Paz J M. 2018. Persimmon (Diospyros kaki) trees responses to restrictions in water amount and quality. In Water Scarcity and Sustainable Agriculture in Semiarid Environment (pp. 149–177). https://doi.org/10.1016/B978-0-12-813164- 0.00008-9 12. Ishaq I & Noch M. 2006. Buah kesemek: potensi sumberdaya genetik Kabupaten Garut Jawa Barat. Lokakarya Nasional Pengelolaan Dan Perlindungan Sumber Daya Genetik Di Indonesia: Manfaat Ekonomi Untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional, 108–118. 13. Janick J. 2010. The origins of fruits, fruit growing, and fruit breeding. Plant Breeding Reviews, 25: 255–321. https://doi.org/10.1002/9780470650301. ch8 30 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

14. Kanzaki S, Yonemori K, Sugiura A, Sato A, & Yamada M. 2001. Identification of molecular markers linked to the trait of natural astringency loss of Japanese persimmon (Diospyros kaki) fruit. Journal of the American Society for Horticultural Science, 126(1): 51–55. https://doi.org/10.21273/ JASHS.126.1.51 15. Kluge R A, & Tessmer M A. 2018. Caqui — Diospyros kaki. In Exotic Fruits Reference Guide (pp. 113–119). https://doi.org/10.1016/B978-0-12-803138- 4.00016-2 16. Kusumawati A, Putri N E, Azhar N O, & Swasti E. 2018. Karakterisasi plasma nutfah buah lokal di Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kota Solok. Jurnal Agrosains Dan Teknologi, 3(1): 19–29. 17. Lin P M C, Peng K L, & Ren L. 2015. Xinpu persimmon dye: evolution from a local to a global industry. Journal of China Tourism Research, 11(2): 214–228. https://doi.org/10.1080/19388160.2015.1043066 18. Mallavadhani U V, Panda A K, & Rao Y R. 1998. Pharmacology and chemotaxonomy of Diospyros. Phytochemistry, 49(4): 901–951. https://doi. org/10.1016/S0031-9422(97)01020-0 19. Morton J. 1987. Japanese Persimmon (Diospyros kaki L.). In J. F. Morton (Ed.), Fruits of Warm Climates (pp. 411–416). Retrieved from https://hort.purdue. edu/newcrop/morton/japanese_persimmon.html 20. Naval M del M, Zuriaga E, Pecchioli S, Llácer G, Giordani E, & Badenes M L. 2010. Analysis of genetic diversity among persimmon cultivars using microsatellite markers. Tree Genetics & Genomes, 6(5), 677–687. https://doi.org/10.1007/ s11295-010-0283-0 21. Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadass R, & Anthony S. 2009. Diospyros kaki L. 22. Prabawati S. 1985.Pengaruh perendaman air kapur terhadap sifat sensori dan perubahan kimia buah kesemek. Jakarta Selatan. 23. Rauf A, Uddin G, Patel S, Khan A, Halim S A, Bawazeer S, … Mubarak M S. 2017. Diospyros, an under-utilized, multi-purpose plant genus: A review. Biomedicine & Pharmacotherapy, 91: 714–730. https://doi.org/10.1016/j. biopha.2017.05.012 31 Diospyros kaki Thunb. (Ebenaceae)

24. Rauf R F, Purwanto Y A, & Sobir. 2017. Perlakuan pascapanen buah kesemek Reundeu (Diosphyros kaki L.) menggunakan gas karbon dioksida. Comm. Horticulturae Journal, 1(1): 14–19. https://doi.org/10.29244/chj.1.1.14-19 25. Rebein M, Davis C N, Abad H, Stone T, del Sol J, Skinner N, & Moran M D. 2017. Seed dispersal of Diospyros virginiana in the past and the present: Evidence for a generalist evolutionary strategy. Ecology and Evolution, 7(11): 4035–4043. https://doi.org/10.1002/ece3.3008 26. Ridwan H & Ishaq I. 2005. Kajian sistem usahatani buah kesemek (Diosphyros kaki L.f) dan permasalahannya di Kabupaten Garut – Jawa Barat. Jurnal Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 8(1): 94–110. 27. Salunkhe D K. 1995. Handbook of fruit science and technology. In Handbook of Fruit Science and Technology. https://doi.org/10.1201/9781482273458 28. Sato A & Yamada M. 2003. Leading persimmon cultivars for commercial production and breeding targets in Japan. Acta Horticulturae, 601(601): 25– 30. https://doi.org/10.17660/ActaHortic.2003.601.2 29. Setiawan E. 2014. Perbaikan kualitas buah kesemek dengan penyemprotan alkohol. Agrovigor, 7 (September): 121–125. 30. Swirski E, Ben-Dov Y, & Wysoki M. 1997. Persimmon. In Y. Ben-Dov & C. J. Hodgson (Eds.), Soft Scale Insects - Their Biology, Natural Enemies and Control (pp. 265–270). Elsevier B.V. 31. Tamura M, Tao R, Yonemori K, Utsunomiya N, & Sugiura A. 1998. Ploidy Level and Genome Size of Several Diospyros Species. Journal of the Japanese Society for Horticultural Science, 67(3): 306–312. 32. Taylor D W, & Kennedy J F. 1993. Complex carbohydrates in foods. In Carbohydrate Polymers 21. https://doi.org/10.1016/0144-8617(93)90121-j 33. Tetsumura T, Giordani E, & Tao R. 2008. Persimmon (kaki). In C. Kole & T. C. Hall (Eds.), Compendium of Transgenic Crop Plants: Transgenic Legume Grain and Forages (pp. 235–257). Blackwell Publishing Ltd. 34. Utsunomiya N, Subhadrabandhu S, Yonemori K, Oshida M, Kanzaki S, Nakatsubo F, & Sugiura A. 1998. Diospyros species in Thailand: their distribution, fruit morphology and uses. Economic Botany, 52(4): 343–351. https://doi. org/10.1007/BF02862064 32 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

35. Wallnöfer B. 2001. The biology and systematics of Ebenaceae: a review. Annalen Des Naturhistorischen Museums in Wien. Serie B Für Botanik Und Zoologie, 485–512. 36. Woolf A B & Ben-Arie R. 2011. Persimmon (Diospyros kaki L.). In Postharvest Biology and Technology of Tropical and Subtropical Fruits 4: 166–194. https:// doi.org/10.1533/9780857092618.166 37. Yakushiji H & Nakatsuka A. 2007. Recent persimmon research in Japan. Japanese Journal of Plant Science, 1(2): 42–62. Retrieved from http://sir.lib. shimane-u.ac.jp/meta-bin/mt-pdetail.cgi?smode=1&edm=0&tlang=1&cd=00 026258 38. Yang Y, Jing Z B, Ruan X F, & Cheng J M. 2015. Development of simple sequence repeat markers in persimmon (Diospyros L.) and their potential use in related species. Genetics and Molecular Research, 14(1): 609–618. https://doi. org/10.4238/2015.January.30.2 39. Yesiloglu T, Cimen B, Incesu M, & Yilmaz B. 2018. Genetic diversity and breeding of persimmon. In Breeding and Health Benefits of Fruit and Nut Crops (pp. 21–46). https://doi.org/10.5772/intechopen.74977 40. Yonemori K, Honsho C, Kanzaki S, Ino H, Ikegami A, Kitajima A, … Parfitt D E. 2008. Sequence analyses of the ITS regions and the matK gene for determining phylogenetic relationships of Diospyros kaki (persimmon) with other wild Diospyros (Ebenaceae) species. Tree Genetics & Genomes, 4(2): 149–158. https://doi.org/10.1007/s11295-007-0096-y 41. Yonemori K, Honsho C, Kitajima A, Aradhya M, Giordani E, Bellini E, & Parfitt D E. 2008. Relationship of European persimmon (Diospyros kaki Thunb.) cultivars to Asian cultivars, characterized using AFLPs. Genetic Resources and Crop Evolution, 55(1): 81–89. https://doi.org/10.1007/s10722-007-9216-7 42. Yonemori K, Kanzaki S, Parfitt D E, Utsunomiya N, Subhadrabandhu S, & Sugiura A. (1998). Phylogenetic relationship of Diospyros kaki (persimmon) to Diospyros spp. (Ebenaceae) of Thailand and four temperate zone Diospyros spp. from an analysis of RFLP variation in amplified cpDNA. Genome, 41(2): 173–182. https://doi.org/10.1139/gen-41-2-173 33 Diospyros kaki Thunb. (Ebenaceae)

43. Yonemori K, Sugiura A, & Yamada M. 2000. Persimmon genetics and breeding. In J. Janick (Ed.), Plant Breeding Reviews 19: 191–225. https://doi. org/10.1002/9780470650172.ch6 44. Zhuang D H, Kitajima A, Ishida M, & Sobajima Y. 1990. Chromosome numbers of Diospyros kaki cultivars. Journal of the Japanese Society for Horticultural Science, 59(2): 289–297. https://doi.org/10.2503/jjshs.59.289 Penulis : Titistyas Gusti Aji, Norry Eka Palupi, dan Emi Budiyati Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika

Ficus carica L. (Moraceae)

Protologue Ficus carica L., Sp. Pl. 2: 1059 (1753). Sinonim • Ficus carica var. caprificus (Risso) Tschirch, Ber. Deutsch. Bot. Ges. 29(Heft 3): 90 (1911). • Ficus carica subsp. rupestris (Hausskn. ex Boiss.) Browicz, et in Fl. Turkey & E. Aegean Is. 7: 644 (1982): (1982). • Ficus carica subsp. rupestris (Hausskn. ex Boiss.) Browicz, Fl. Iranica [Rechinger] 153: 8 (1982). Nama Umum Tin (Indonesia), fig, fig tree (Inggris), higo, higuera, higuera comun (Spanyol), caprifiguier, carique, figuier, figuier commun (Perancis), teen (Arab), wu hua guo, wuhuagus (China), figueira (Portugal), figueira da Europa, figueira do reino (Brasil), monamona, suke (Cook Islands), higo extranjero (Republik Dominica), viikuna (Finlandia), Echter Feigenbaum, Essfeigenbaum, feige (Jerman), figuier blanc (Haiti),anjir (India), fico (Italia), te biku (Kiribati),muhwagwanamu (Republik Korea), wojke piik, wõjke-piik (Federated states of Micronesia), thinbaw-thapan (Myanmar), vijgeboom (Belanda), uosech (Palau), bebereira (Portugal), mati (Samoa), fikontraed, getfikon (Swedia) dan fiki (Tonga). 36 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

I. Pendahuluan Tin (Ficus carica L.) adalah salah satu spesies Mediterania tradisional yang termasuk dalam famili Moraceae (Ikten, Solak, & Yilmaz, 2018; Vallejo, Marin, & Tomas-Barberan, 2012). Berdasarkan catatan sejarah, tin termasuk tanaman buah tertua di dunia (Solomon et al., 2006) dan dianggap sebagai simbol kehormatan serta kesuburan (Leonel, 2008). Tanaman ini dapat beradaptasi di berbagai kondisi (kekeringan dan suhu dingin -9o0oC), bahkan di padang pasir sekalipun, sehingga terkadang disebut sebagai pohon kehidupan (Refli, 2012). Tanaman tin telah masuk ke Indonesia pada abad ke-19 dan beradaptasi. Salah satu keuntungan budidaya tin di wilayah tropis adalah kemampuannya berbuah sepanjang tahun (Masithah, 2018). Kandungan gizi dan fitokimia dari buah tin yang dibudidayakan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan produksi luar negeri, di mana bermanfaat bagi kesehatan dan memberi peluang untuk dibudidayakan secara luas (Damanik, 2014).

II. Klasifikasi dan deskripsi botani Famili Moraceae terdiri atas 60 genera dan lebih dari 2000 spesies tanaman pohon- pohonan, semak dan herbal (Ikten et al., 2018). Selanjutnya dijelaskan bahwa genus Ficus meliputi lebih dari 1000 spesies yang diklasifikasikan menjadi 48 subgenera. Namun, satu-satunya spesies Ficus yang dibudidayakan untuk menghasilkan buah adalah F. carica dan F. sycamorus. Ficus diyakini sebagai salah satu genera terbesar dari kelompok Angiospermae (Frodin, 2004). Berdasarkan Interagency Taxonomic Information System, taxonomi tanaman Ficus carica L. (Taxonomic Serial No. 19093) adalah sebagai berikut Kerajaan: Plantae, Divisi: Tracheophyta, Kelas: Magnoliopsida, Bangsa: , Suku: Moraceae dan Marga: Ficus. Di alam, tin hadir dalam 2 tipe seksual: 1) tin yang dibudidayakan yaitu tipe bunga betina yang menghasilkan buah dan 2) tipe caprifig yaitu pohon jantan yang menyediakan bunga jantan (pollen) untuk tin komersial (Lazreg-Aref, Gaaliche, Ladhari, Hammami, & Hammami, 2018). Pohon caprifig menghasilkan tanaman syconium seperti tanaman musim semi (spring crop), tanaman musim panas (summer crop) dan tanaman musim gugur (fall crop) (Gaaliche, Zarrouk, & Mars, 2017). Buah tin yang dapat dikonsumsi (edible fig) dapat berbuah dengan 37 Ficus carica L.(Moraceae) penyerbukan atau tanpa penyerbukan. Buah tin partenokarpi tidak menghasilkan biji-biji yang dapat digunakan (viable) untuk perkecambahan (Moniruzzaman, Yaakob, & Taha, 2017). Tin adalah pohon atau semak-semak yang menggugurkan daunnya pada musim gugur (deciduous), tingginya berkisar 3-6m dengan kayu cenderung lunak dan padat. Kulit kayu berwarna keabuan, halus dan tanpa retakan. Cabang dan batang tanaman tin cenderung besar. Akar menyebar dan halus (fibrous), di mana penyebarannya dangkal dipermukaan tanah (Crisosto et al., 2011). Daun tin berbentuk palmate, berukuran besar, dan memiliki petiol (petiolate). Daun menjadi karakter pembeda di antara varietas-varietas tin. Salah satu bentuk morfologi daun tin adalah seperti pada Gambar 6. Berdasarkan struktur morfologinya, tin adalah tanaman berumah dua (gynodioecious), namun secara fungsional adalah memiliki organ reproduksi tunggal (dioecious). Pembuahan atau polinasinya antara caprifig dan edible figs. Tanaman tin memiliki rongga penyimpanan (receptacle) yang disebut syconium. Berdasarkan kebiasaan polinasinya dan biologi bunga, tin dikelompokkan ke dalam 4 tipe berdasarkan kelamin dan polinasi, yaitu common fig( F. carica var. hortensis Shinn.), Smyrna (F. carica var. smyrnica Shinn.), San Pedro (F. carica var. intermedia Shinn.), dan caprifig (F. carica var. sylvestris Shinn.) (Crisosto et al., 2011). Tipe caprifig berperan sebagai tanaman jantan dan dikategorikan sebagai tipe utama, sementara common-type adalah tipe yang lebih maju dan varietas komersial yang memiliki organ pistil (pistillate) dan menghasilkan buah tanpa fertilisasi (buah partenokarpi). Sementara Smyrna dan San Pedro diketahui sebagai tipe intermediet yang memerlukan polinasi dari pollen tipe caprofig (caprification), untuk membentuk buah. San Pedro-type memiliki pengecualian yang membentuk buah partenokarpi pada cabang-cabang yang lebih tua (Aradhya, Stover, Velasco, & Koehmstedt, 2010) dan tanaman berikutnya melalui polinasi (Gaaliche, Saddoud, & Mars, 2012). 38 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Gambar 6. Morfologi dan perkembangan daun tin; (a) daun muda, (b). daun tua (foto: rudy_harianto).

Tipe Common fig dan San Pedro mengalami 2 kali panen, yang pertama buah partenokarpi pada musim semi (spring) dan partenokarpi atau non partenokarpi pada periode musim panas dan gugur (summer-autumn) dan tipe kedua, Smyrna, tanaman menghasilkan hanya pada periode summer-autumn (Hmimsa, Aumeeruddy-Thomas, & Ater, 2012). Sementara Caprifig berbuah 3 kali setahun (Crisosto et al., 2011). Domestikasi tin banyak dilakukan karena sifat partenokarpi ini. Buah tin berasal dari rangkaian bunga yang kompleks disebut syconium yang mengeliling ratusan buah. Buah yang terlihat merupakan perkembangan dari syconium, disebut false fruit. Buah yang sebenarnya adalah kumpulan daging buah “fleshy” yang berasal dari bunga-bunga di dalam syconium. Struktur buah tin dapat dilihat pada Gambar 7 berikut. 39 Ficus carica L.(Moraceae)

Gambar 7. Struktur buah tin masak fisiologis (foto: rudy_harianto)

Bentuk buah tin adalah membulat sedikit lonjong (oblong, oblate dan globose) dengan indeks berkisar 0,80 dan 1,22. Indeks buah diukur berdasarkan rasio lebar dan panjang. Buah mudah dikupas dengan ketebalan kulit buah berkisar sedang sampai tebal. Tekstur kulit berbeda mulai dari kasar, sedang sampai halus.

III. Asal dan distribusi geografis Meski asal tanaman prasejarah ini tidak diketahui dengan pasti, namun diyakini tin berasal dari sebelah barat Asia (Stover, Aradhya, Ferguson, & Crisosto, 2007). Informasi lain menyatakan bahwa tanaman tin adalah spesies tanaman yang berasal dari daerah cekungan (basin) Mediterania (Berg, 2003), ditemukan menyebar di daerah tropis dan subtropis. Kislev, Hartmann, and Bar-Yosef (2006) menjelaskan bahwa temuan tanaman tin yang tumbuh pada kisaran 11.200-11.400 tahun yang lalu, pada era awal Neolithik, di daerah lembah Jordania menunjukkan bahwa tanaman ini telah dibudidayakan pada masa itu mendahului domestikasi tanaman sereal. 40 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Gambar 8. Morfologi buah tin pada tahap akhir perkembangan buah dan siap panen (foto: rudy_harianto)

Penyebaran tin sudah berlangsung lama. Proses ini berawal dari kawasan Mediterania dan kemudian dibawa ke Selatan Arabia untuk dibudidayakan (Stover et al., 2007). Sejak itu proses domestikasi tanaman tin menyebar ke sebelah barat Asia, Negara-negara Timur Tengah dan seluruh dunia (Aradhya et al., 2010), Arab bagian selatan (Southern Arabia), Asia bagian timur (Western Asia) termasuk Mesopotamia, Anatolia, Transcaucasia, Persia, dan daerah Timur Tengah adalah pusat keragaman tanaman tin. Tin sudah dibudidayakan dengan baik di daerah Mediterania 6.000-an tahun yang lalu dan mencapai Inggris pada kisaran 500 M. Menariknya, Stover et al. (2007) menyebutkan bahwa fosil Ficus carica menunjukkan distribusi prasejarahnya di sepanjang selatan Eropa. Tanaman ini menyebar ke daerah Mediterania dan abad ke-5 sudah menyebar ke seluruh Mediterania dan sepanjang atlantik. Distribusi tanaman ini dipermudah karena buah tin dapat dikeringkan. Pada tahun 1520 tin masuk ke Amerika dibawa oleh orang-orang Spanyol (Spaniards) dan tahun 1769 masuk ke California melalui Meksiko oleh Misionaris Franciscan. 41 Ficus carica L.(Moraceae)

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik Tanaman Tin F. carica adalah spesies yang menyerbuk silang yang memiliki kromosom diploid 2n=26 (Ikten et al., 2018; Lazreg-Aref et al., 2018). Berbagai tanaman tin yang dibudidayakan atau liar ditemukan dengan berbagai keragaman. Sebagai contoh di Turki keragaman ditunjukkan pada warna, ukuran, bentuk dan aroma. Nama tanaman biasanya berdasarkan asal geografi daerah. Selain karakter morfologi itu, perbandingan gula dan asam menjadi faktor penting dalam mengukur keragaman kualitas buah. Rasio ini menjadi indikator pilihan konsumen dalam kualitas buah dan untuk penggunaan spesifik. Pada berbagai analisis genotipe tanaman tin dari berbagai daerah, genotipe- genotipe mengelompok berdasarkan asal tanaman. Diversitas ini diyakini bergantung pada seleksi dari populasi alamiahnya. Keluarga Ficus ini diyakini memiliki varietas dengan basis genetik yang sempit. Pembiakan vegetatif secara klonal hasil seleksi memberi sumbangan dalam rendahnya heterogenitas genetik (Caliskan & Polat, 2008). Analisis morfologi dan genetik 10 aksesi tin yang dikoleksi di Italia dilakukan untuk memperoleh kekerabatan di antara tin tersebut. Analisis morfologi dilakukan berdasarkan 24 karakter fenotipe mendapatkan kemiripan 10 aksesi di atas 98,1%. Sementara analisis molekuler menggunakan 16 primer RAPD menghasilkan 79,13% pita polimorfis dengan kemiripan genetik berkisar 0,149 hingga 0,921 (Ciarmiello, Piccirillo, Carillo, De Luca, & Woodrow, 2015). Sementara 47 aksesi lokal Turki dikarakterisasi secara genetik menggunakan 24 marker DNA SSR yang menghasilkan polymorphism information content (PIC) berkisar dari 0,42 hingga 0,98 (Sevin et al., 2017).

V. Evolusi dan risiko erosi genetik Pada bagian sebelumnya dijelaskan bahwa taksonomi dan klasifikasi tanaman tin cukup kompleks karena sejarah domestikasi yang panjang. Selain karena hubungan intraspesies yang kental dan diikuti dengan pembiakan vegetatif, perubahan genetik tin diperoleh dari aktivitas penyerbukan silang. Proses perubahan pada dioecious tin terjadi atas bantuan serangga pembantu penyerbukan (pollinator), sehingga meningkatkan keragaman genetik tanaman ini (Hmimsa et al., 2012). 42 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Di daerah sebaran tin dengan jumlah plasma nutfah (germplasm) tinggi, sejumlah kultivar dipilih oleh petani berdasarkan kebutuhan sosial budaya dan ekonomi mereka. Plasma nutfah yang telah didomestikasi dipelihara dalam kebun untuk produksi buah. Tipe yang disukai akan menyebar ke berbagai area dan mendapat tekanan perubahan eco-geographical sehingga terjadi erosi genetik karena faktor cekaman biotik dan abiotik (Ghada, Ahmed, Messaoud, & Amel, 2013). Di berbagai area negara, tanaman tin diperbanyak secara vegetatif seperti stek (cutting) yang menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi lingkungannya. Oleh karena itu, keragaman tanaman sangat sedikit pada beberapa dekade terakhir, menyebabkan hambatan dalam pengembangan budidaya. Penyebaran yang luas dan domestikasi yang panjang ini membuat akurasi varietas rendah karena “mis- labelling” yaitu nama sama (homonymy dan synonymy) sering ditemukan (Baraket, Abdelkrim, Mars, & Salhi-Hannachi, 2011), membuat taksonominya sama namun genetiknya berbeda dan adanya kompleksitas nama (Hmimsa et al., 2012). Karakter vegetatif tin memiliki keragaman rendah karena interaksi intraspesies sehingga evaluasi berdasarkan struktur eksternal menjadi sulit terutama berdasarkan karakteristik daun dan buah. Selain itu, karakter morfologi tin mungkin dapat beragam sepanjang tahun karena kondisi pertumbuhan dan lingkungan. Tanaman tin diketahui sangat rentan terhadap interaksi genotipe (genotype) dan lingkungan (Baziar, 2018).

VI. Aspek budidaya Tanaman tin sangat banyak dibudidayakan diberbagai belahan dunia, karena mudah beradaptasi pada tanah dan iklim setempat (Czaja, Moreira, Rozwalka, Figueiredo, & L.L.M. Mio, 2016). Kondisi ideal yang diinginkan adalah total hujan 500–550 mm, kelembapan udara rendah 40–45% selama musim kering dan rata- rata suhu 18°–20°C daerah Mediterania (Polat & Caliskan, 2008) yang musim dinginnya moderat (sejuk) dan musim panas yang kering dengan suhu 32–37°C, pencahayaan matahari yang kuat. Tanaman ini tumbuh di berbagai lingkungan dan tipe tanah (Vemmos, Petri, & Stournaras, 2013). Secara umum perbanyakan tin dilakukan dengan cara-cara vegetatif konvensional melalui stek (cutting) (Aljane & Nahdi, 2014; Chalfun, Pasqual, Norberto, Dutra, & Cavalcante-Alves, 2003), penyambungan (grafting) (Hosomia, 2017) dan perundukan (layering) (Dolgun & Tekintas, 2008). Metode konvensional ini 43 Ficus carica L.(Moraceae) memerlukan materi perbanyakan dan mengorbankan pohon induk (Moniruzzaman et al., 2017). Perbanyakan tin telah pula dilakukan menggunakan bioteknologi melalui mikropropagasi (Shatnawi, Shibli, Shahrour, Al-Qudah, & Abu-Zahra, 2019). Perbanyakan tin menggunakan metode grafting dapat meningkatkan produktivitas tanaman tin. Penggunaan kerabat liar Ficus (palmata, F. septica, F. pumila, and F. stipulate) sebagai batang bawah (rootstock) dapat menurunkan potensi penurunan hasil batang atas/mata tunas (scion) komersial karena serangan patogen, nematoda dan kondisi tanah yang tidak ideal (Boliani, Ferreira, Monteiro, Silva, & Rombola, 2019; Hosomia, 2017) Pertumbuhan tin menurut musim dan bergantung pada faktor-faktor klimatologi. Pertumbuhan vegetatif dan generatif yang menyelesaikan satu siklus pertumbuhan akan diikuti dengan masa dormansi yang dipengaruhi suhu rendah dan panjang musim dingin atau di periode musim dingin di kawasan tropikal (Flaishman, 2008). Kemampuannya beradaptasi dengan sejumlah faktor lingkungan ditunjukkan oleh berbagai indikator sebagai contoh perlambatan pertumbuhan (Rostami & Rahemi, 2013). Dalam hal pemangkasan, perlu dilakukan pada awal musim panas untuk induksi pertumbuhan. Pohon tin mulai belajar berbuah pada usia 12-15 bulan dan kemampuan produksi untuk komersial didapatkan pada usia 3-5 tahun setelah tanam (Stover et al., 2007). Tin termasuk tanaman berumah dua, di mana kedua pohon tin (jantan dan betina) dapat menghasilan buah, namun buah pohon betina lebih layak untuk dikonsumsi (Leonel, 2008). Berdasarkan hasil analisis kelayakan budidaya tin baik untuk produksi maupun untuk perbenihan memberikan keuntungan yang menjanjikan, dengan harga jual yang tinggi yakni Rp250.000/kg untuk buah dan Rp50.000 untuk benih ukuran 30 cm (Masithah, 2018). Proses pembentukan buah tin mengikuti pola tanaman dioecious. Pembentukan buah diawali dengan tahapan polinasi yang disebut caprification. Proses ini dilakukan melalui interaksi special dengan Blastophaga psenes L., serangga pembantu proses polinasi yang menghabiskan daur hidupnya pada tanaman tin jantan. Untuk keperluan komersialisasi, pohon-pohon Caprifig ditanam terpisah dengan tanaman Smyrna atau San Pedro untuk mengendalikan caprification dan menghindari penyakit. 44 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Potensi hasil buah tin dipengaruhi pula oleh ketersediaan nutrisional. Pada kondisi spesifik, penggunaan kalsium dan kalium berpengaruh penting terhadap proses pembentukan buah (fructification) (Orozco‐Rodríguez et al., 2017). Faktor lain yang memengaruhi adalah manajemen agronomis, kondisi tanah, dan keseimbangan air (Turk & Aksoy, 2011). Faktor-faktor ini umumnya menjadi karakteristik daerah pengembangan.

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi ekonomi Ficus termasuk tanaman sumber genetik yang memiliki nilai ekonomis dan nutrisional tinggi. Menurut data FAO (2012) luas tanam Tin mencapai 427.000 ha di seluruh dunia yang menghasilkan lebih dari 1 juta metrik ton buah. Luas ini tentu terus bertambah karena potensi ekonominya (Moniruzzaman et al., 2017). Lebih dari 82% produsen buah tin dan produk olahannya adalah Negara-negara Mediteran, dengan penghasil utama adalah Turki, Mesir dan Iran (Dessoky, Attia, & Mohamed, 2016). Dalam perkembangannya, pada dekade terakhir ini, Turki dan Mesir menjadi negara penghasil utama buah tin, yang berkisar 50% dari total produksi dunia. Produsen berikutnya adalah Iran, Algeria, dan Maroko yang bersama kedua negara di atas menyuplai 64% produksi dunia. Famili Ficus yang dibudidayakan ini (Ficus carica L.) diyakini sebagai sumber makanan yang sangat penting dan hanya menjadi satu-satunya spesies Ficus yang dibudidayakan untuk dipanen buahnya (Crisosto, Ferguson, & Bremer, 2011) . Tanaman ini menjadi populer karena rasanya, di samping itu tanaman ini kaya akan mineral, vitamin, polifenol, serat pangan, bebas lemak dan kolesterol serta aktivitas antioksidan yang tinggi (Solomon et al., 2006). Adanya kandungan nutrisional (Flaishman, 2008) dan potensinya sebagai bahan pengobatan (Barolo, Mostacero, & López, 2014), menjadikan tin sebagai buah konsumsi yang diminati sejak lama. Tanaman tin mulai dibudidayakan di Indonesia melihat permintaan yang cenderung mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari tren impor dari tahun 2009-2018, dari 1,7 ton menjadi 21 ton sehingga menyerap devisa sebesar 109 ribu US$ atau setara 297 juta rupiah. Sebaran pengusaha tin di Indonesia yaitu Jawa Timur enam orang, Jawa Tengah empat orang, Jawa Barat tiga orang, DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta masing-masing dua orang (Rahimah and Pujiastuti 2016). 45 Ficus carica L.(Moraceae)

Buah tin biasanya dikonsumsi dalam rentang waktu yang lama sebagai buah segar atau dikeringkan (Trad, Bourvellec, Gaaliche, Renard, & Mars, 2014). Pada jumlah yang lebih terbatas dikonsumsi dalam bentuk selai dan minuman alkohol (Gaaliche et al., 2012). Kandungan gizi dalam 100 g buah tin segar di antaranya energi 74 kkal, 2,9 g serat, 232 mg potasium, 35 mg kalsium, 0,4 mg besi. Kandungan gizi dalam 40 g buah tin kering 102 kkal, 4,9 g serat, 285 mg potasium, 57,6 mg kalsium dan 0,9 mg besi. Buah tin memiliki konsentrasi polifenol tinggi yakni 486 mg per 100 g buah segar dan 32 per 100 g buah kering, 5,8% (w/w) serat kasar (Vinson, Zubik, Bose, Samman, & Proch, 2005), bahkan menurut penelitian Vinson (1999), kandungan buah tin segar dapat mencapai 1.090-1.110 mg/100 g. Hasil ini membuat buah tin segar maupun kering menjadi salah satu sumber gizi yang baik dengan kandungan serat dan polifenol yang tinggi, dan baik untuk kesehatan, salah satunya untuk kanker (Joseph et al., 2011; Rubnov et al., 2001). Buah, akar dan daun tanaman tin juga dapat digunakan sebagai obat tradisional. Dalam pengobatan tradisional ini, akar tin digunakan untuk mengobatileucoderma dan ringworms sementara buahnya untuk antipyretic, purgative, aphrodisiac dan inflammations serta paralysis (Ross & Kasum, 2002). Dia juga memiliki aktivitas biologi sebagai antiviral, antibacterial, hypoglycemic, anthelmintic (Solomon et al., 2006), antimicrobial, antifungal (Lazreg-Aref et al., 2010), nematicidal (Liu et al., 2011), allelopathic (Gaaliche, Ladhari, Medeiros, Mimoun, & Hajlaoui, 2017). Peran ini disebabkan tin memiliki metabolit sekunder seperti flavonoids, phenolic compounds, phytosterols dan fatty acids pada ekstrak daun dan buahnya (Vallejo et al., 2012). Baik buah, akar dan daun tanaman tin juga dapat digunakan sebagai obat tradisional mengatasi gangguan pencernaan (kolik, kehilangan nafsu makan dan diare); pernafasan (sakit tenggorokan, batuk dan masalah pada bronkial; gangguan kardiovaskular serta sebagai obat anti inflamasi dan antipasmodik(Mawa et al., 2016; Lukitasari et al., 2014; Duke et al., 2002; Werbach 1993). 46 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Pustaka 1. Aljane F., & Nahdi, S. (2014). Propagation of some local Fig (Ficus carica L.) cultivars by hardwood cuttings under the field conditions in Tunisia. International Scholarly Research Notices, 1-5. 2. Aradhya, M. K., Stover, E., Velasco, D., & Koehmstedt, A. (2010). Genetic structure and differentiation in cultivated fig (Ficus carica L.). Genetica, 138, 681-694. 3. Baraket, G., Abdelkrim, A. B., Mars, M., & Salhi-Hannachi, A. (2011). Cyto- nuclear discordance in the genetic relationships among Tunisian fig cultivars (Ficus carica L.): Evidence from non coding trnL-trnF and ITS regions of chloroplast and ribosomal DNAs. Scientia Horticulturae, 130 203-210. 4. Barolo, M. I., Mostacero, N. R., & López, S. N. (2014). Ficus carica L. (Moraceae): an ancient source of food and health. . Food Chemistry, 164, 119-127. 5. Baziar, G. (2018). Evaluation of Genetic Diversity among Persian Fig Cultivars by Morphological Traits and RAPD Markers Hortscience, 53, 613-619. 6. Berg, C. C. (2003). Flora Malesiana precursor for the treatment of Moraceae 1: The main subdivision of Ficus: The subgenera. Blumea, 48, 166-177. 7. Boliani, A. C., Ferreira, A. F. A., Monteiro, L. N. H., Silva, M. S. a. C. d., & Rombola, A. D. (2019). Advances in propagation of Ficus carica L. Rev. Bras. Frutic., Jaboticabal, 41, 1-13. 8. Caliskan, O., & Polat, A. A. (2008). Fruit characteristics of fig cultivars and genotypes grown in Turkey. Scientia Horticulturae, 115 360-367. 9. Chalfun, N. N. J., Pasqual, M., Norberto, P. M., Dutra, L. F., & Cavalcante-Alves, J. M. (2003). Rooting of Fig (Ficus carica L.) Cuttings: Cutting Time and IBA. Acta Horticulturae, 605, 137-140. 10. Ciarmiello, L. F., Piccirillo, P., Carillo, P., De Luca, A., & Woodrow, P. (2015). Determination of the genetic relatedness of fig (Ficus carica L.) accessions using RAPD fingerprint and their agro-morphological characterization.South African Journal of Botany, 97, 40-47. doi: https://doi.org/10.1016/j.sajb.2014.11.012 11. Crisosto, H., Ferguson, L., & Bremer, V. (2011). Fig ( Ficus carica L.): Woodhead Publishing Limited. 47 Ficus carica L.(Moraceae)

12. Czaja, E. A. R., Moreira, R. R., Rozwalka, L. C., Figueiredo, J. A. G., & L.L.M. Mio. (2016). Gray mold in immature fig fruit: pathogenicity and growth temperature. Ciência Rural, Santa Maria, 46, 1524-1527. 13. Dessoky, E.-D. S., Attia, A. O., & Mohamed, E.-A. A. M. (2016). An efficient protocol for in vitro propagation of Fig (Ficus carica sp) and evaluation of genetic fidelity using RAPD and ISSR markers. Journal of Applied Biology & Biotechnology, 4 057-063. 14. Dolgun, O., & Tekintas, F. E. (2008). Production of fig (Ficus carica L.) nursery plants by stem layering method. Agriculturae Conspectus Scientificus, 73, 157- 160. 15. FAO. (2012). FAOSTAT agricultural data. 16. Flaishman, M. A. (2008). The Fig: Botany, Horticulture, and Breeding. Horticultural Reviews, 34, 113-197. 17. Frodin, D. G. (2004). History and concepts of big plant genera. Taxon, 53, 753- 776. 18. Gaaliche, B., Ladhari, A., Medeiros, A. G. d., Mimoun, M. B., & Hajlaoui, M. R. (2017). Relationship between phytochemical profiles and phytotoxic proprieties of Tunisian fig leaf cultivars. South African Journal of Botany, 112, 322-328. 19. Gaaliche, B., Saddoud, O., & Mars, M. (2012). Morphological and pomological diversity of fig (Ficus carica L.) cultivars in northwest of Tunisia.ISRN Agronomy, 1-9. 20. Gaaliche, B., Zarrouk, I., & Mars, M. (2017). Agro-phenological behaviour of several caprifigs grown in two different ecological areas in Tunisia. Acta Horticulturae, 1173, 149-156. 21. Ghada, B., Ahmed, B. A., Messaoud, M., & Amel, S.-H. (2013). Genetic diversity and molecular evolution of the internal transcribed spacer (ITSs) of nuclear ribosomal DNA in the Tunisian fig cultivars (Ficus carica L.; Moracea). Biochemical Systematics and Ecology, 48 20-33. 22. Hmimsa, Y., Aumeeruddy-Thomas, Y., & Ater, M. (2012). Vernacular , classification and varietal diversity of fig (Ficus carica L.) among Jbala cultivators in Northern Morocco. Hum Ecol, 40, 301-313. 48 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

23. Hosomia, A. (2017). Variation in graft compatibility of wild Ficus species as rootstock for common fig trees (Ficus carica). Acta Horticulturae, 1173, 199- 206. 24. Ikten, H., Solak, S. S., & Yilmaz, Y. (2018). Transferability of ssr markers from related Ficus species to Ficus Carica L. and assessment of effectiveness of the markers Applied Ecology And Environmental Research, 16, 1909-1918. 25. Kislev, M. E., Hartmann, A., & Bar-Yosef, O. (2006). Early domesticated fig in the Jordan Valley. Science, 312, 1372-1374. 26. Lazreg-Aref, H., Gaaliche, B., Ladhari, A., Hammami, M., & Hammami, S. O. (2018). Co-evolution of enzyme activities and latex in fig (Ficus carica L.) during fruit maturity process. South African Journal of Botany, 115 143-152. 27. Lazreg-Aref, H., Salah, K. B., Chaumont, J. P., Fekih, A., Aouni, M., & Said, K. (2010). In vitro antimicrobial activity of fourFicus carica latex fractions against resistant human pathogens (antimicrobial activity of Ficus carica latex). Pakistan Journal of Pharmaceutical Sciences, 23, 53-58. 28. Liu, F., Yang, Z., Zheng, X., Luo, S., Zhang, K., & Li, G. (2011). Nematicidal coumarin from Ficus carica L. Journal of Asia-Pacific Entomology, 14, 79-81. 29. Moniruzzaman, M., Yaakob, Z., & Taha, R. A. (2017). In vitro production of fig (Ficus carica L.) plantlets. Acta Horticulturae, 1173, 231-135. 30. Orozco‐Rodríguez, R., Chacón‐Cerdas, R., Rosales‐Flores, J., Arguello‐Delgado, F., Schmidt‐Durán, A., Alvarado‐Marchena, L., . . . Flores‐Mora, D. (2017). Description of the growth and development of the fig tree (Ficus carica) and its environmental interaction in Costa Rica. Acta Horticulturae, 1173, 221- 226. 31. Polat, A., & Caliskan, O. (2008). Fruit characteristics of table fig (Ficus carica) cultivars in subtropical climate conditions of the Mediterranean region. New Zealand Journal of Crop and Horticultural Science, 36, 107-115. 32. Ross, J. A., & Kasum, C. M. (2002). Dietary flavonoids: bioavailability, metabolic effects and safety. Annual Review of Nutrition, 22, 19-34. 33. Rostami, A. L., & Rahemi, M. (2013). Responses of caprifig genotypes to water stress and recovery. Journal Biology Environmental Science, 7, 131-139. 49 Ficus carica L.(Moraceae)

34. Sevin, T., Meryem, I., Umran, E., Nesrin Aktepe, T., Erdem, D., Erdogan, B., . . . Ahmet, I. (2017). Assessment of Genetic Relationship among Male and Female Fig Genotypes Using Simple Sequence Repeat (SSR) Markers. Notulae Botanicae Horti Agrobotanici Cluj-Napoca, 45(1). doi: 10.15835/nbha45110756 35. Shatnawi, M. A., Shibli, R. A., Shahrour, W. G., Al-Qudah, T. S., & Abu-Zahra, T. (2019). Micropropagation and Conservation of Fig (Ficus Carica L.). Journal of Advances in Agriculture, 10 1669-1679. 36. Solomon, A., Golubowicz, S., Yablowicz, Z., Grossman, S., Bergman, M., Gottlieb, H. E., . . . Flaishman, M. A. (2006). Antioxidant activities and anthocyanin content of fresh fruits of common fig (Ficus carica L.). Journal of Agricultural and Food Chemistry, 54, 7717-7723. 37. Stover, E., Aradhya, M., Ferguson, L., & Crisosto, C. H. (2007). The fig: Overview of an ancient fruit. Hortscience, 42 1083 - 1087. 38. Trad, M., Bourvellec, C. L., Gaaliche, B., Renard, C. M. G. C., & Mars, M. (2014). Nutritional compounds in figs from the Southern Mediterranean Region. International Journal of Food Properties, 17, 491-499. 39. Turk, F. H., & Aksoy, U. (2011). Comparison of organic, biodynamic and conventional fig farms under rainfed conditions in Turkey. Cell Plant Sci, 2, 22-33. 40. Vallejo, F., Marin, J., & Tomas-Barberan, F. (2012). Pheolic compound content of fresh and dried figs, (Ficus carica L.). Food Chemistry, 130, 485-492. 41. Vemmos, S., Petri, E., & Stournaras, V. (2013). Seasonal changes in photosynthetic activity and carbohydrate content in leaves and fruit three fig cultivars (Ficus carica L.). Sci Hortic, 160, 198-207. 42. Vinson, J. A., Zubik, L., Bose, P., Samman, N., & Proch, J. (2005). Dried fruits: Excellent in vitro and in vivo antioxidants. J. Amer. College Nutr, 24, 44-50. Penulis : Dita Agisimanto, Lyli Mufidah dan Harwanto Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika.

Litchi chinensis Sonn (Sapindaceae)

Protologue Litchi chinensis, Sonn. --Voy. Indes Orient. Chine 2: 230, t. 129 (1782). Sinonim ssp. chinensis : • litchi Lour. (1790), • Litchi sinense J. Gmelin (1791), • Nephelium litchi Cambess. (1829); ssp. philippinensis (Radlk.) Leenh. : • Euphoria didyma Blanco (1837) nom. illeg., • Litchi philippinensis Radlk. (1914); ssp. javensis Leenh.: • Litchi chinensis Sonn. f. glomeriflora Radlk. (1932). Nama umum ssp. chinensis : leci (Indonesia), lychee, litci (Inggris), Cerisier de la Chine, litchi de Chine (Perancis), laici (Malaysia), letsias (Filipina), kyet-mouk, lin chi, lam yai (Myanmar), kuléén (Kamboja), ngèèw (Laos), linchee, litchi (Thailand), vai, cây vai, tu hú (Vietnam). ssp. philippinensis : alupag, arupag (Filipina - Tagalog), mamata (Subanum). ssp. javensis : klengkeng (Indonesia - Jawa), lengkeng (Indonesia- Sunda), kalengkeng (Indonesia - Madura) 52 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

I. Pendahuluan Leci (Litchi chinensis, Sonn.) adalah salah satu buah yang berkerabat dekat dengan lengkeng dan rambutan. Diperkirakan leci yang ada di Indonesia saat ini pada awalnya berasal dari pohon induk yang ada di kebun Istana Tapaksiring di Bali. Asal pohon tersebut juga tidak diketahui (Winarno, 2002). Namun terdapat informasi dari beberapa penangkar buah menyebutkan bahwa ada upaya-upaya introduksi leci yang telah dilakukan namun belum banyak informasi keberhasilan pengembangan selanjutnya. Penanaman leci di Indonesia banyak dilakukan untuk tanaman pekarangan rumah dan peneduh di pinggir jalan. Di Batu, Jawa Timur, beberapa pohon leci tampak ditanam di pekarangan hotel dan tempat wisata sebagai peneduh. Balitjestro sendiri memiliki pohon leci di kebun dengan umur lebih dari 50 tahun sisa peninggalan Belanda (Gambar 9). Pada tahun 2009 lalu, pohon leci tersebut sempat berbunga namun sayangnya tidak sempat berkembang menjadi buah. Penyebab pastinya tidak diketahui karena hingga saat ini leci tersebut belum pernah lagi berbunga.

Gambar 9. Pohon leci di kebun Balitjestro, Batu (foto : baiq_dina_mariana). Litchi chinensis Sonn 53 (Sapindaceae)

Di Indonesia, konsumsi leci sebagai buah segar masih kurang populer dibanding lengkeng dan rambutan. Masyarakat lebih banyak mengenal olahan leci dalam kaleng yang pada umumnya lebih mudah diperoleh daripada leci segar. Hal ini berkaitan dengan daya simpan leci yang relatif pendek sehingga buah leci dalam bentuk olahan dipandang lebih menguntungkan. Selain sebagai buah kaleng, buah leci juga dapat dikeringkan. Olahan buah leci dalam bentuk buah kering merupakan metode pengolahan yang paling tua dan telah dikembangkan di China sebelum metode pengolahan lain ditemukan. Bentuk olahan leci lainnya antara lain jus buah dan buah beku (C. M. Menzel & Waite, 2005). Produsen buah leci terbesar dunia ada di Asia dengan produksi paling tinggi dari China, Taiwan, Thailand dan India dengan jumlah total lebih dari lima ratus ribu ton. Di luar itu, dari Afrika, Madagaskar dan Afrika Selatan masing-masing di tempat kelima dan keenam dengan total produksi mencapai enam puluh ribu ton (Sawe, 2018).

II. Klasifikasi dan deskripsi botani Leci termasuk Kerajaan Plantae, Sub Kerajaan Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh), Superdivisi Spermatophyta (tumbuhan berbiji), Divisi Magnoliophyta (tumbuhan berbunga), Kelas Magnolopsida (dikotil), Subkelas Rosidae, Suku Sapindaceae, Marga Litchi Sonn., Jenis Litchi chinensis Sonn (plants.usda.gov). Leci adalah tanaman tahunan dengan daun hijau sepanjang tahun yang dapat mencapai tinggi hingga 30 m. Bentuk tajuk bervariasi bergantung varietas dengan cabang menyebar mendatar atau tumbuh membentuk kanopi yang padat menyerupai mahkota. Daun leci adalah daun majemuk dengan jumlah mencapai 6-9 helai dengan letak berhadapan atau berseling. Daun berbentuk memanjang (oblong/lanceolate) dengan ujung runcing dan berukuran 5 – 15 cm. Daun muda berwarna merah kecokelatan dan daun tua berwarna hijau (Singh & Babita, 2002). Bunga tersusun dalam malai (panicle) dengan jumlah dapat mencapai 3.000 bunga. Bunga berukuran kecil dengan warna putih kehijauan. Dalam satu malai dapat ditemukan bunga jantan, betina maupun bunga banci yang mekar secara bergantian susul-menyusul. Bunga jantan dan banci berfungsi sebagai bunga jantan karena putik pada umumnya tidak berkembang (Gambar 10). 54 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Gambar 10. Tipe bunga (I) dan (III) bunga jantan dan (II) bunga betina (foto : D. C. Menzel, 2002).

Gambar 11. Karakteristik buah leci (foto : D. C. Menzel, 2002) Litchi chinensis Sonn 55 (Sapindaceae)

Gambar 12. Penampilan buah leci (foto : baiq_dina_mariana).

Buah leci berbentuk bulat atau bentuk hati dengan kulit yang tipis dan memiliki tonjolan-tonjolan kecil (Gambar 11). Warna kulit buah bervariasi dari merah hingga merah muda (Gambar 12). Daging buah berwarna putih dan sedikit bening dengan aroma yang manis dan rasa yang enak (Ibrahim & Mohamed, 2015). Ukuran biji proporsional dengan ukuran buah tetapi pada beberapa kultivar terdapat biji dengan ukuran kecil karena penyerbukan yang tidak sempurna. Kultivar jenis ini berharga lebih tinggi karena proporsi daging buah yang lebih banyak (Singh & Babita, 2002).

III. Asal dan distribusi geografis Leci komersial yang dibudidayakan saat ini berasal dari daerah China Selatan, Vietnam bagian utara dan Malaysia. Pohon leci yang tumbuh liar masih dapat ditemukan di dataran menengah dan hutan di dataran rendah, terutama Guangdong dan Hainan di mana leci adalah salah satu spesies utama (Fan, Chen, & Zhou, 2014). 56 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Leci sampai di India melalui Myanmar pada tahun 1789 dan kemudian menyebar ke Bangladesh dan Nepal. Sementara itu, penyebaran leci di Australia dimulai pada tahun 1850-an melalui biji (D. C. Menzel, 2002). Di Thailand, asal mula penanaman leci tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan telah ada sekitar 300 tahun yang lalu, dibawa oleh pedagang dan pelaut dari China. Dari benih yang dibawa tersebut, sebagian beradaptasi dengan iklim tropis Thailand bagian tengah dan kemudian diberi nama oleh penduduk lokal. Leci yang beradaptasi dengan iklim di dataran rendah tersebut dapat berbunga tanpa memerlukan paparan suhu dingin yang panjang. Di lain pihak, leci yang berkembang di Chiang Mai merupakan jenis leci subtropika yang memerlukan periode dingin selama beberapa waktu. Leci ini awalnya dibawa oleh imigran dari Yunnan yang berimigrasi melalui Laos atau Myanmar. Varietas-varietas leci tersebut masih dipertahankan dengan nama asal China meskipun dengan pelafalan dan cara penulisan yang sudah disesuaikan dengan kultur setempat (Subhadrabandhu & Yapwattanaphun, 2001). Pada periode antara 1760 dan 1860, varietas leci Chong Yun Hong dan Haak Yip diintroduksi dari daratan China ke Taiwan utara. Produksi berskala besar untuk tujuan komersial baru dimulai pada akhir 1920-an ketika buah leci dibawa dari utara ke bagian selatan Taiwan. Tanaman leci berkembang baik di daerah selatan karena terlindung dari angin Lautan Pasifik yang kuat. Saat ini leci berkembang terutama di daerah bagian selatan dan tengah Taiwan. Kultivar utama yang dikembangkan adalah Haak Yip, mencapai 80% dari total leci yang ditanam (Sawe, 2018). Di Indonesia sendiri, selain di Bali dan Jawa Timur, beberapa laporan menyebutkan adanya leci tumbuh di berbagai daerah lain, misalnya Ambon (Silahooy, 2013) dan Bogor, serta di Palembang, Balikpapan, dan Solo yang sebagian besar merupakan upaya pengembangan oleh kolektor/hobiis dengan jumlah tanaman yang terbatas (Syariefa, 2005). Sayangnya, tidak diketahui dengan jelas jenis atau varietas leci yang dikembangkan di daerah-daerah tersebut.

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik Marga Litchi Sonn. (Sapindaceae) hanya memiliki satu jenis spesies yaitu L. chinensis Sonn., yang terdiri atas tiga subspesies: L. chinensis subsp. Chinensis Forest&KimStarr, L. chinensis subsp. philippinensis Radlk, dan L. chinensis subsp. javensis Leenh (Ibrahim & Mohamed, 2015). L. chinensis subsp. chinensis adalah leci komersial. Subspesies ini bisa ditemukan tumbuh liar di hutan di daerah Litchi chinensis Sonn 57 (Sapindaceae) provinsi Yunnan, Guangxi, Pulau Hainan dan Guangdong bagian barat. Subspesies philippinensis berasal dari Filipina, Papua Nugini, Semenanjung Malaya dan Indonesia sedangkan subspesies javensis endemik di Jawa. Kedua subspesies ini tidak dibudidayakan secara komersial karena daging buah yang tidak dapat dimakan (D. C. Menzel, 2002). Kultivar leci memiliki variasi yang tinggi dari pola pertunasan, warna tunas dan pembungaan. Variasi agroklimat, pola pertumbuhan, warna buah, bentuk dan ukuran buah menyebabkan beragam nama muncul untuk kultivar yang sama. Keragaman genetik leci banyak ditemukan di China dan India yang menjadi sumber daya genetik untuk pengembangan varietas baru (Khurshid, Ahmad, & Anjum, 2004). Beberapa karakter utama sebagai pembeda varietas adalah bentuk segmen pada kulit dan tonjolan pada kulit karena stabil secara genetik. Namun hasil studi di China menggunakan marka SNP dengan 96 aksesi leci menunjukkan bahwa pengelompokan yang terbentuk menggambarkan adanya kesamaan karakter berdasarkan lama periode pemasakan buah (W. Liu et al., 2015). Hal ini mengindikasikan bahwa karakter tersebut lebih akurat untuk menunjukkan kekerabatan leci. Dalam penelitian tersebut terdapat empat kelompok leci yaitu early-ripening, mid-ripening, late-ripening, dan extremely early ripening. Ini sejalan dengan yang diperoleh Liu & Mei (2005) dengan marka RAPD dan Fu et al. (2011) dan marka SSR. Di Indonesia sendiri belum ada informasi keragaman leci yang berkembang, baik secara morfologi maupun genetik. Sementara itu, dari segi impor buah, leci yang didatangkan untuk buah segar semakin bervariasi penampilannya. Salah satunya adalah adanya Green lychee yang diperkirakan berasal dari China. Buah leci ini berwarna dominan hijau muda dengan sedikit semburat warna merah muda yang tidak beraturan.

V. Evolusi dan risiko erosi genetik Evolusi adalah salah satu cara makhluk hidup termasuk tanaman untuk bertahan hidup pada lingkungan tumbuhnya. Evolusi menghasilkan keragaman yang kaitannya dengan variasi genetik dan memunculkan spesies baru. Menilik dari jenis (Genus) Litchi Sonn. yang hanya memiliki satu spesies, diperkirakan leci tidak banyak mengalami evolusi yang dapat menimbulkan keragaman dan memunculkan spesies baru. 58 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Erosi genetik pada leci tidak banyak diketahui. China sebagai daerah asal subspesies chinensis memiliki sumber daya genetik leci komersial yang lebih lengkap, ditambah lagi aktif dalam melakukan pemuliaan untuk menghasilkan varietas-varietas baru. Demikian juga halnya dengan Vietnam, India dan Thailand yang awalnya mendapatkan materi tanaman dari China (C. Menzel, 2002). Dengan asumsi bahwa sumber daya genetik yang ada diperlukan untuk keperluan perakitan varietas, maka erosi genetik khusus untuk subspesies chinensis dapat dikatakan rendah. Sebaliknya, kondisi terkini dari leci subspesies philippinensis dan javensis tidak banyak diketahui. Hingga tulisan ini dibuat, tidak ditemukan literatur khusus terkait kedua subspesies ini.

VI. Aspek budidaya Leci adalah buah subtropika dan tumbuh paling baik pada iklim subtropika yang lembap dengan curah hujan merata. Leci dapat tumbuh hingga ketinggian 800 m dpl dan menghendaki tanah berlempung dengan drainase baik, kaya bahan organik dengan pH 5-7. Suhu yang diperlukan untuk tumbuh berkisar 30-32°C tetapi diperlukan suhu rendah untuk merangsang pembungaan. Hujan terus-menerus juga tidak diinginkan saat leci berbunga karena akan menghambat penyerbukan bunga. Leci pada umumnya diperbanyak dengan cara vegetatif melalui cangkok. Cara lain yang juga dilakukan yaitu okulasi dan stek. Perbanyakan dengan biji tidak disarankan karena memerlukan waktu 7-10 tahun untuk mulai berbunga (Agrifarming, n.d.) Cangkokan pada umumnya ditanam langsung di lahan. Lahan yang hendak digunakan harus diratakan terlebih dahulu dan dibersihkan dari sisa-sisa tanaman lain. Tanaman penghalang angin di tepi-tepi lahan diperlukan jika lahan rawan terkena angin kencang yang kering selama musim panas. Tanaman border yang dapat digunakan adalah tanaman yang memiliki tajuk tinggi seperti mangga. Jarak tanam yang digunakan berkisar antara 12 m x 12 m, 70-80 tanaman/ha. Di India, Australia, Thailand, dan China kebun leci yang sudah tua memiliki populasi 80 - 150 tanaman/ha. Kebun-kebun yang lebih baru menggunakan jarak lebih pendek 6 m x 8 m atau 4 m x 6 m atau 7 m x 3 m, setara 200 - 600 tanaman/ha (C. Menzel, 2002). Litchi chinensis Sonn 59 (Sapindaceae)

Ukuran lubang tanam 1 m x 1 m x 1 m dan dibiarkan terlebih dahulu beberapa minggu sebelum ditanami. Tanaman diberi pupuk kandang 25kg/lubang ditambah pupuk NPK 100g/pohon. Pupuk NPK dengan takaran 200-300 gram/tahun perlu diberikan untuk tanaman muda hingga umur 3-4 tahun. Pada lingkungan asam, unsur mikro seperti Mn, Zn dan Fe perlu ditambahkan (Mitra, 2002). Di China, pekebun biasanya memberikan 0,6 kg urea, 1,2 kg super-phosphate dan 0,6 kg KCL pada tanaman umur 5 tahun dengan rasio N:P:K 1:0.96:1.3. Pupuk perlu diberikan pada tiga tahapan yaitu, saat tunas bunga muncul, pembesaran buah dan setelah panen. Panduan umum yang digunakan untuk tanaman berumur 10 - 11 tahun dengan lebar kanopi 4 - 4,5 m adalah 500 g N, 170 g P2O5 and 700 g K2O. Pupuk diberikan sebagian saat bunga muncul dan sebagian lagi setelah fruit set. Pupuk kandang 40-50kg/pohon diberikan setelah panen. Tanaman muda harus disiram secara teratur untuk mendukung pertumbuhannya. Setelah tanaman mulai berbunga pada umur 3-4 tahun, penyiraman dilakukan dari saat muncul bunga hingga panen. Pada kondisi alami di daerah temperate, bunga leci muncul setelah terpapar suhu dingin di bulan November-Februari di belahan bumi utara atau April-Agustus di belahan bumi selatan. Selain itu, leci dapat dirangsang berbunga dengan perlakuan mekanis, misalnya dengan pelukaan batang. Pelukaan batang dilakukan saat daun mulai berubah menjadi hijau (daun muda menjadi tua). Pelukaan batang dibuat dengan bentuk spiral dengan lebar 2-4 mm pada batang berukuran diameter 10cm. Kemudian untuk meningkatkan jumlah fruitset, pelukaan batang dilakukan pada cabang dengan ukuran diameter 5 cm setelah bunga muncul (Mitra, 2002). Di Indonesia, musim berbunga leci pada umumnya serupa dengan musim berbunga lengkeng lokal di dataran tinggi yaitu pada bulan September-Oktober. Stimulasi bunga terjadi karena adanya periode suhu dingin pada bulan Juni-Agustus yang umum ditemui di dataran tinggi Indonesia. Suhu pada periode ini dapat turun hingga 16-18ºC pada malam hingga pagi hari. Leci dapat dipanen saat buah berumur 80-112 hari setelah bunga mekar bergantung varietasnya. Panen dilakukan dengan memotong cabang yang menyangga malai buah beserta beberapa daun. Standar masak buah diukur dengan rasio TPP/asam, berat buah, warna kulit dan lain-lain (Mitra, 2002). 60 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi ekonomi Buah leci dapat dikonsumsi sebagai buah segar atau buah olahan. Bijinya dapat digunakan sebagai obat tradisional untuk sakit perut. Riset farmakologi menyebutkan biji leci mengandung khasiat untuk melawan tumor, diabetes, kolesterol, virus dan juga berkhasiat sebagai antioksidan (Ibrahim & Mohamed, 2015; S. Liu, Lin, Wang, Chen, & Yang, 2009). Leci merupakan salah satu buah dengan kandungan gizi yang memadai untuk karbohidrat, vitamin C dan kalium, masing-masing senilai 16,5 g, 71,5 mg, dan 171 mg per 100 g buah. Selain itu leci juga mengandung mineral kalsium, besi, magnesium, fosfor, natrium dan serat buah (Crane, Balerdi, & Maguire, 2016). Data BPS tahun 2018 menunjukkan nilai perdagangan leci Indonesia terutama untuk impor cukup besar, mencapai total 2,6 juta US dolar untuk buah segar dan 3,7 juta US dolar untuk olahan, sedangkan nilai ekspor tidak signifikan. Dengan nilai impor cukup besar, maka masih ada peluang menguntungkan untuk pengembangan leci di Indonesia. Karena Indonesia bukanlah negara native leci, maka diperlukan introduksi varietas-varietas unggul leci untuk diadaptasi di Indonesia. Menilik keberhasilan Thailand mengembangkan leci dataran rendah, maka tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan sumber daya genetik yang sama untuk dikembangkan di Indonesia. Leci yang berkerabat dekat dengan lengkeng memiliki syarat tumbuh dan teknik budidaya yang mirip dengan lengkeng. Oleh karena itu petani dan pekebun yang sudah memiliki keahlian dalam pengembangan lengkeng memiliki peluang keberhasilan yang lebih baik untuk mengembangkan leci sebagai alternatif komoditas di daerah pengembangan lengkeng. Selain itu, karena olahan leci lebih banyak diminati oleh masyarakat, maka potensi pengembangan produk pascapanen menjadi terbuka lebar. Dengan pengolahan produk, buah leci mendapatkan nilai tambah yang berguna untuk meningkatkan pendapatan bagi petani, pekebun dan produsen produk olahan. Untuk itu, diperlukan kerja sama dan dukungan pihak- pihak terkait agar potensi ekonomi yang ditawarkan dari pengembangan leci dapat tercapai. Litchi chinensis Sonn 61 (Sapindaceae)

Pustaka 1. Agrifarming. (n.d.). Litchi Fruit Farming Information Guide | Agri Farming. Retrieved June 30, 2019, from https://www.agrifarming.in/litchi-fruit- farming 2. Crane, J. H., Balerdi, C. F., & Maguire, I. (2016). Lychee Growing in the Florida Home Landscape 1, 1–10. 3. Fan, Q., Chen, S., & Zhou, R. (2014). Genetic variation of wild litchi (Litchi chinensis Sonn . subsp. chinensis) revealed by microsatellites, (June). https:// doi.org/10.1007/s10592-011-0182-4 4. Fu, J.-X., Wang, Y., Zhou, J., Zhao, H.-Y., Huang, S.-S., Hu, Y., … Liu, C.-M. (2011). Genetic diversity of germplasm resources of litchi and using SSR analysis. Acta Hort, 918, 363–370. 5. Ibrahim, S. R. M., & Mohamed, G. A. (2015). Litchi chinensis : Medichinal uses, phytochemistry, and pharmacology. Journal of Ethnopharmacology, 174, 492–513. https://doi.org/10.1016/j.jep.2015.08.054 6. Khurshid, S., Ahmad, I., & Anjum, M. A. (2004). Genetic diversity in different morphological characteristics of litchi (Litchi chinensis Sonn.). International Journal of Agriculture and Biology, 6(6), 1062–1065. 7. Liu, C., & Mei, M. (2005). Classification of lychee cultivar with RAPD analysis. Acta Hort, 665, 149–160. 8. Liu, S., Lin, J., Wang, C., Chen, H., & Yang, D. (2009). Antioxidant properties of various solvent extracts from lychee (Litchi chinenesis Sonn .) flowers. Food Chemistry, 114(2), 577–581. https://doi.org/10.1016/j. foodchem.2008.09.088 9. Liu, W., Xiao, Z., Bao, X., Yang, X., Fang, J., & Xiang, X. (2015). Identifying litchi (Litchi chinensis Sonn.) cultivars and their genetic relationships using single nucleotide polymorphism (SNP) markers.PLoS ONE. https://doi.org/10.1371/ journal.pone.0135390 10. Menzel, C. (2002). Lychee Production in Australia. In M. K. Papademetriou & F. K. Dent (Eds.), Lychee Production in the Asia-Pacific Region (pp. 14–27). Retrieved from http://www.fao.org/docrep/005/ac684e/ac684e09.htm 62 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

11. Menzel, C. M., & Waite, G. K. (2005). Litchi and longan: botany, production and uses. Wallingford: CABI Publishing. https://doi.org/10.1079/9780851996967.0000 12. Menzel, D. C. (2002). the Lychee Crop in Asia and the Pacific. Bangkok: FAO United Nations. 13. Mitra, S. K. (2002). Overview of lychee production in the Asia- Pacific region. In M. K. Papademetriou & F. K. Dent (Eds.), Lychee Production in the Asia- Pacific Region (pp. 5–13). FAO United Nations. 14. Sawe, B. E. (2018). Top Lychee Producing Countries in the World - World Atlas. com. Retrieved August 16, 2019, from https://www.worldatlas.com/articles/ top-lychee-producing-countries-in-the-world.html 15. Silahooy, C. (2013). Penentuan kesesuaian lahan tanaman leci di Desa Naku Kota Ambon. Agrologia, 2(1), 17–24. 16. Singh, H. P., & Babita, S. (2002). Lychee production in India. In M. K. Papademetriou & F. K. Dent (Eds.), Lychee Production in the Asia-Pacific Region (pp. 55–77). FAO United Nations. 17. Subhadrabandhu, S., & Yapwattanaphun, C. (2001). Lychee and longan production in Thailand. Acta Horticulturae, (558), 49–57. https://doi. org/10.17660/ActaHortic.2001.558.5 18. Syariefa, E. (2005). Leci Manis & Genjah di Tepi Laut | Majalah Pertanian. Retrieved June 30, 2019, from https://www.trubus-online.co.id/leci-manis-a- genjah-di-tepi-laut/ 19. Winarno, M. (2002). Lychee production in Indonesia. In M. K. Papademetriou & F. K. Dent (Eds.), Lychee Production in the Asia-Pacific Region (pp. 78–80). FAO United Nations. Penulis : Baiq Dina Mariana dan Hidayatul Arisah Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika Macadamia spp. (Proteaceae)

Protologue 1. Macadamia integrifolia Maiden & Betche, Proc. Linn. Soc. New South Wales Ser. II, xi. 624 (1896). 2. Macadamia tetraphylla L.A.S.Johnson, Proc. Linn. Soc. New South Wales lxxxix. 15(1954). Nama Umum: Macadamia (Indonesia), Macadamia nut, the Queensland nut, Australian nut, bopple nut, bauple nut, popple nut, kindal, boombera, dan burrawang, nut-in-husk and nut-in-shell (Inggris)

I. Pendahuluan Macadamia adalah tanaman dari keluarga Proteaceae yang paling bernilai ekonomi. Tanaman ini tumbuh evergreen, yang tunas barunya selalu tumbuh. Macadamia adalah tanaman kawasan asli subtropika dari bagian pantai timur Australia. Ada dua spesies Macadamia yang dibudidayakan yaitu spesies Macadamia integrifolia Maiden dan Betche dan Macadamia tetraphylla Johnson. Keduanya banyak dipelihara sebagai tanaman produktif di Australia dan daerah tropika serta subtropika di berbagai belahan dunia lainnya untuk didapatkan bijinya (John D. Wilkie, Sedgley, Morris, Muldoon, & Olesen, 2009). Tanaman Macadamia memiliki potensi untuk dikembangkan di Indonesia, merujuk iklim dan jenis tanah di Indonesia yang sesuai dengan daerah sentra produksi Macadamia yang berada di Australia dan Hawai (Hasanah, 1998). Macadamia yang berasal dari sambungan belajar berbuah pada usia dua sampai tiga tahun 64 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

dan dapat berbuah sepanjang tahun. Tanaman ini masuk ke Indonesia pada tahun 1971 dan di telah dibudidayakan di kebun PTPN XII di Blawan, Bondowoso, Jawa Timur.

II. II. Klasifikasi dan deskripsi botani Suku dari Macadamieae terdiri atas 91 spesies., 16 genera; Proteaceae (Mast, Willis, Jones, Downs, & Weston, 2008). Genus Macadamia terdiri atas banyak spesies yaitu antara lain: Macadamia integrifolia, Macadamia tetraphylla, Macadamia ternifolia, Macadamia jansenii, Macadamia whelani, Macadamia claudiensis dan Macadamia grandis, Macadamia neurophylla dan Macadamia hildebrandii (Abubaker et al., 2017; C. M. Hardner et al., 2009; Peace, Ming, Schmidt, Manners, & Vithanage, 2008). Berdasarkan The Integrated Taxonomic Information System klasifikas lengkap Macadamia adalah Kerajaan: Plantae, Divisi: Tracheophyta, Kelas: Magnoliopsida, Bangsa: Proteales, Suku: Proteaceae dan Marga: Macadamia, Jenis: Macadamia F. Muell. Secara botani, buah Macadamia di pohon adalah folikel dan kacang-kacangan merupakan bijinya. Buah Macadamia memiliki tiga komponen dasar yaitu pericarp (kulit atau kulit hijau luar) dengan ketebalan 2-4mm, testa (kulit biji atau kulit cokelat bagian dalam) dengan ketebalan 2-3 mm, embrio (daging kacang atau kernel/inti). Buah Macadamia secara populer disebut dengan kacang dalam kulit (nut in husk), sedangkan secara komersial disebut dengan istilah kacang dalam cangkang (nut in shell). Kacang adalah biji yang sebenarnya pada Macadamia; mantel biji mengandung kernel (Wallace & Walton, 2011). Pada tahap matang, sekitar 69% dari berat yang membentuk buah Macadamia merupakan penutup luar dan dalam, sedangkan 31% sisanya tetap sebagai kernel yang dapat dikonsumsi. Gambaran kacang Macadamia ditunjukkan oleh Gambar 13. Macadamia spp. 65 (Proteaceae)

Gambar 13. Karakteristik buah Macadamia a. buah masak fisiologis, b. bijidi dalam testa (nut in shell) dan c. kacang (nut) Macadamia (foto: dita_ agisimanto).

Buah Macadamia memiliki hilum yang lokasinya di dekat embrio. Micropyle di sisi yang bersebrangan dengan embrio. Micropyle ditandai dengan titik putih pada bagian kacang Macadamia. Bagian luar integumen memiliki bagian epidermis dalam yang kuat, terdiri atas 5-7 lapisan tebal testa. Embrio yang sudah dewasa kemungkinan menempel ketat pada lapisan yang keras ini. Embrio Macadamia yang sudah dewasa terdiri atas dua cotyledons dan embrio berada di antara keduanya. Wallace and Walton (2011) menjelaskan bahwa spesies Macadamia dapat dibedakan dari daun dan bunganya. Daun M. integrifolia memiliki ukuran panjang 20 - 25 cm, melingkar di cabang pohon dan sedikit tulang daunnya (Gambar 14 ). Daun tumbuh membentuk posisi mengelilingi ranting atau cabang yang tumbuh dan berkembang selama periode pertunasan. Sementara M. tetraphylla memiliki daun dengan panjang hingga 50 cm, melingkar di cabangnya dan memiliki banyak tulang daun. Bunga M. integrifolia berwarna putih krem, memiliki kluster bunga lengkap dengan panjang 15 - 30 cm, sedangkan bunga M. tetraphylla berwarna krem atau merah muda dengan panjang kluster hingga 38 cm. Bunga Macadamia dapat melakukan polinasi sendiri atau bersilangan dengan bantuan lebah sebagai agen penyerbuk. 66 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Gambar 14. Posisi daun Macadamia integrifolia yang membentuk posisi melingkar pada ranting (foto : dita_agisimanto).

Bunga-bunga Macadamia keluar dalam bentuk kluster (inflorescences) yang disebut pendant , panjangnya bervariasi dari 6 - 30 cm (Huett, 2004). Tanaman dewasa dapat menghasilkan bunga berkisar 2.500 racemes yang masing-masing raceme memiliki 100–300 tangkai bunga. Bunga Macadamia dipolinasi oleh lebah penyengat (stingless bees) dan lebah madu Eropa (European honeybees) (Howlett, Nelson, Pattemore, & Gee, 2015; Trueman, 2013). O’Connor, Hayes, and To (2018) menjelaskan bahwa Macadamia secara umum tidak dapat melakukan penyerbukan sendiri (self-incompatible) melalui beberapa mekanisme di antaranya protandri. Meskipun ada fakta bahwa tanaman ini melakukan penyerbukan sendiri (self- compatibility) pada beberapa kultivar.Self-incompatibility pada beberapa tanaman dapat dikendalikan oleh beberapa gen multi-allelic yang bekerja pada berbagai tahapan perkembangan bunga. Sebagai contoh self-fertility pada (Prunus dulcis) dikendalikan oleh gen-gen mayor. Varietas M. integrifolia memiliki kualitas pertumbuhan tabung polen yang lebih rendah dari polennya sendiri dibandingkan dengan polen bunga lain dan pembentukan buahnya lebih sedikit. Macadamia tetraphylla juga menunjukkan sejumlah self-compatibility, meski penyerbukan silang (cross pollen) menghasilkan lebih banyak biji per raceme (Pisanu, Gross, & Flood, 2009). Macadamia spp. 67 (Proteaceae)

Gambar 15. Organ kluster bunga (raceme) Macadamia Integrifolia dan posisi keluarnya pada ujung apical tunas. a. kluster bunga (raceme) yang baru keluar, b. raceme yang sudah dipolinasi dan c. organ bunga individual yang mekar dan kuntum (foto : dita_agisimanto).

Pembungaan memainkan peran penting pada produksi buah. Oleh karena faktor- faktor yang memengaruhi perkembangan bunga perlu dipahami. Trueman (2013) mengatakan bahwa Macadamia menghasilkan banyak bunga pada musim semi dan memerlukan penyerbukan silang untuk pembuahan dan pembentukan buah. Bunga yang muncul pada setiap gugusan (raceme) berkisar 200–300 bunga dan hanya satu atau dua buah dewasa pada setiap raceme. Macadamia memiliki ovari yang terdiri atas dua orthotropous ovules pada saat anthesis. Setelah penyerbukan, tabung polen tumbuh ke bawah menuju ovari, dan menyerbuki satu dari kedua ovul itu. Kadang kedua ovul pun diserbuki menghasilkan dua kacang kembar. Pada saat terjadi penyerbukan hanya ovul yang berukuran besar yang dibuahi, jika kedua ovul mengalami pembuahan maka akan terbentuk buah yang memiliki dua hemispherical. Diameter buah Macadamia akan meningkat dengan cepat setelah usia buah berkisar antara 2–3 minggu setelah anthesis hingga 12–15 minggu 68 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

kemudian. Pertumbuhan buah melambat setelah 15 minggu, diikuti dengan pengerasan integumen bagian luar. Sekitar 20 minggu setelah antesis, bagian selular endosperma digantikan seutuhnya oleh cotyledons. Ini menunjukkan akhir dari pembesaran buah dan akumulasi minyak akan dimulai. Pengisian minyak akan dilakukan pada setiap sel-sel embrio. Akumulasi minyak pada inti (kernel) embrio akan berakhir segera sebelum buah itu lepas dari induknya (Wallace & Walton, 2011). Akumulasi minyak berakhir pada umur 80 sampai 165 hari setelah anthesis. Kulit buah dapat pecah pada saat di atas pohon dan kacang (nuts) Macadamia jatuh ke tanah atau semua buah jatuh ke tanah (C. M. Hardner et al., 2009). Secara ekonomi sangat menguntungkan bila kacangnya jatuh dari pohon.

III. Asal dan distribusi geografis Macadamia adalah tanaman yang unik dibandingkan dengan tanaman hortikultura lainnya. Macadamia adalah satu-satunya tanaman dari Australia yang sudah dibudidayakan pada skala komersial sebagai tanaman pangan (Wallace & Walton, 2011). Spesies Macadamia integrifolia, M. tetraphylla, M. ternifolia, and M. jansenii asli dari dataran rendah hutan basah subtropika di sepanjang pantai timur Australia di antara gunung Bauple, Queensland, dan Lismore, New South Wales Australia (C. M. Hardner et al., 2009; Mast et al., 2008; Peace et al., 2008) dan penyebarannya terputus dari sebelah tenggara sampai timur laut New South Wales (Powell, Accad, & Shapcott, 2014). M. integrifolia dianggap sebagai Macadamia bercangkang halus sedangkan M. tetraphylla bercangkang kasar. Macadamia tetraphylla L.A.S. Johnson dibudidayakan untuk diambil kacangnya (C. M. Hardner et al., 2009). Wallace and Walton (2011) merangkum bahwa M. integrifolia memiliki karakteristik kacang bundar dengan cangkang halus, tiga daun di setiap simpul dan margin daun tanpa duri. Tanaman ini hanya ditemukan di pantai timur 25.5° dan 28.3°S. Distribusi M. tetraphylla lebih mengarah ke selatan (27.6°-29°S) dan dibedakan oleh spindle, kacang yang dikupas kasar, memiliki empat daun pada setiap node serta bergerigi dan margin daun berduri. Penyebaran M. integrifolia dari Australia ke Hawaii terjadi pada tahun 1880-an dan 1890-an oleh W. Purvis dari Kukuihaele, Hawaii. Pada kisaran tahun yang sama (1882-1885) E.W. Jordan dan R.A. Jordan membawa Macadamia ke Honolulu, Oahu. Kultivar Macadamia Hawaiian kemudian diseleksi dari material-material Macadamia spp. 69 (Proteaceae) yang telah dibawa dari hasil anakan penyerbukan bebas. Industri Macadamia di California dan Australia berkembang belakangan dengan menggunakan tanaman yang diseleksi dari varietas yang dikembangkan di Hawaii (Denise L. Steiger, Moore, Zee, Liu, & Ming, 2003). Hingga saat ini kultivar yang dikembangkan di Hawaii masih menjadi varietas yang dikembangkan untuk industri Macadamia di seluruh dunia. Sebagaian besar industri ini menggunakan M. integrifolia atau hibrida M. integrifolia dan M. tetraphylla. Kultivar M. integrifolia yang dikembangkan di Hawaii menjadi pilihan utama dan sebagai genotipe induk untuk program pemuliaannya (C. Hardner, 2016). Saat ini Macadamia dibudidayakan secara komersial di Australia, Hawaii, California, Afrika Selatan, Brasil, Guatemala, Kenya, serta di New Zealand, Malawi, China, Asia Tenggara dan Paraguay (C. Hardner, 2016; Wallace & Walton, 2011). Kenya adalah produsen Macadamia terbesar keempat setelah Australia, Hawaii dan Afrika Selatan dengan produksi tahunan mencapai 10.000 ton (J.D. Wilkie, Sedgley, & Olesen, 2008) (Wilkie, 2008).

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik Proteaceae adalah kelompok besar keluarga tanaman Gondwanan yang termasuk dalam kelompok basal eudicot. Tanaman ini termasuk anggota kelompok paraphyletic yang terdiri atas beberapa lineage yang menyimpang dari kelompok asalnya kelompok angiospermae berbunga ‘core ’ (Nock, Baten, & King, 2014; Soltis et al., 2011). Tanaman Macadamia modern saat ini memiliki tipe kromosom diploid (2n = 28), bersifat heterozigot tinggi dan memiliki kekerabatan yang dekat dengan tetua liarnya (Nock, Elphinstone, et al., 2014). Kultivar modern ini berasal dari silangan M. integrifolia dan M. tetraphylla (C. Hardner, 2016; C. M. Hardner et al., 2009). Macadamia memiliki ukuran genom berkisar dari 652 Mb (Nock et al., 2016) hingga 780 Mb (Chagné, 2015). Kultivar Macadamia dan materi pemuliaannya berdasarkan gene-pool yang terbatas dan keragaman genetik dibatasi oleh sumber-sumber yang terbatas itu (Denise L. Steiger et al., 2003). Namun demikian level variasi di antara kultivar cukup tinggi (Denise L. Steiger et al., 2003) dibandingkan dengan kopi (D.L. Steiger et al., 2002). Denise L. Steiger et al. (2003) menyimpulkan bahwa keragaman ini disebabkan oleh terciptanya heterozigositi yang tinggi pada populasi alamiah dan 70 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

metode seleksi. Sudah diketahui bahwa kultivar berkembang dari penyerbukan sendiri dan silang serta kultivar terpilih yang diperbanyak secara vegetatif untuk menghindari segregasi (C. M. Hardner et al., 2009).

V. Evolusi dan risiko erosi genetik Domestikasi Macadamia tergolong baru untuk tanaman keras. Sejak budidaya Macadamia mulai dilakukan di sekitar akhir 1800-an masehi (C. Hardner, 2016; C. M. Hardner et al., 2009; Peace et al., 2008), tanaman ini mulai diseleksi dari populasi leluhurnya. Di negeri leluhurnya, Macadamia mulai dikebunkan di Lismore, NSW berkisar tahun 1880, dan di Queensland pada tahun 1910 (C. M. Hardner et al., 2009). Periode ini diyakini menjadi awal evolusi Macadamia selain perubahan natural akibat tekanan biotik dan abiotik di kawasan hutan hujan tropika. Seleksi gen-gen yang bermanfaat dilakukan untuk mendapatkan kultivar terbaik dalam memperbaiki kualitas tanaman (Nock et al., 2016). Wall (2010) menyatakan bahwa kultivar Macadamia diseleksi berdasarkan karakter pertumbuhan seperti vigor dan tegakan pohon, ketahanan terhadap penyakit dan serangga hama, keseragaman, berat kacang nut, ketebalan kulit kernel, berat kernel, persentase total kernel, karakter olahan buah dan kualitas kernel. Variabel genetik yang diperhatikan adalah termasuk karakter panen per pohon dan persentase kernel terbaik dan total per pohon (C. M. Hardner, Winks, Stephenson, Gallagher, & Mcconchie, 2002). Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa M. integrifolia dan M. tetraphylla adalah spesies unggul Macadamia yang menjadi perhatian industri buah Macadamia. Keduanya mengalami evolusi menjadi hibrida-hibrida unggul dan erosi genetik terjadi dalam proses seleksi keunggulan sifat agronomis tanaman. Sementara spesies lain Macadamia seperti Macadamia whelani, Macadamia claudiensis dan Macadamia grandis yang berasal dari Australia, Macadamia neurophylla yang berasal dari New Caledonia dan Macadamia hildebrandii yang berasal dari Sulawesi di Indonesia (Abubaker et al., 2017; C. M. Hardner et al., 2009; Peace et al., 2008) semakin jarang ditemukan dan terancam punah (Mast et al., 2008; Powell et al., 2014). Spesies M. jansenii pada tahun 2011 hanya berkisar kurang dari 50 individu yang tumbuh liar (Wallace & Walton, 2011). Macadamia spp. 71 (Proteaceae)

VI. Aspek budidaya Struktur pohon Macadamia umumnya berukuran besar, periode juvenilnya panjang, kayunya berwarna hijau dan cukup keras, dan dapat tumbuh hingga 20 m (Abubaker et al., 2017; O’Connor et al., 2018). Kultivar Macadamia diperbanyak menggunakan metode grafting untuk memastikan keseragaman mata tempel. Macadamia mulai berbuah pada umur 4-5 tahun setelah tanam, dan pohon memasuki tahap dewasa setelah berumur 10-15 tahun. Pohon dapat berproduksi dengan produktivitas tinggi hingga berumur 60 tahun (C. M. Hardner et al., 2009). Buah-buah tua akan jatuh ke tanah pada saat matang, dipungut tangan atau mesin. Segera setelah panen (kurang dari 24 jam) kulit harus segera dikupas untuk mencegah panas akibat respirasi, pertumbuhan mikroba dan mencegah reaksi- reaksi biokimia lain yang menurunkan kualitas panen (Munro & Garg, 2008). Tanaman Macadamia tumbuh hijau (evergreen) sepanjang tahun. Pertumbuhan vegetatif tunas yang terus-menerus bergantung kepada suhu, cahaya matahari dan kelembapan tanah. Siklus pertumbuhan tunas bergantung pada faktor-faktor lingkungan tadi (Olesen, Whalan, Muldoon, Robertson, & Meyer, 2006). Suhu ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan Macadamia berkisar 15°C - 25°C. Proporsi pertumbuhan kanopi menurun selama periode cekaman air (R. A. Stephenson, Gallagher, & Doogan, 2003). Selama pertumbuhan tunas, mata tunas tumbuh dan berkembang diikuti oleh pemanjangan cabang/ranting dan ekspansi daun. Periode dormansi mata tunas terjadi di antara periode pertumbuhan tunas baru. Pada dasarnya tunas baru dapat tumbuh setiap saat setelah dormansi, namun mayoritas terjadi pada awal musim semi dan akhir musim panas. Di perkebunan Australia pemangkasan rutin dilakukan pada sisi tanaman atau bagian atas kanopi. Pengelolaan kanopi ini penting untuk Macadamia. Pertunasan diikuti dengan pemangkasan ini akan menghilangkan penghambat pertumbuhan bakal tunas (apex). Waktu pertunasan dan karakter Macadamia itu sendiri, akan memengaruhi produktivitasnya (J.D. Wilkie, Sedgley, & Olesen, 2009). Lebih lanjut J.D. Wilkie et al. (2009) menjelaskan bahwa pemangkasan akan merangsang pertumbuhan tunas samping (axillary buds) di bawah bagian yang dipotong. Jumlah tunas yang tumbuh dan berkembang menjadi percabangan baru akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu dari 15 hingga 25°C, meskipun ada 72 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

pendapat yang menyatakan bahwa pemotongan kanopi ini akan menurunkan total panen Macadamia. Namun demikian diyakini bahwa panen Macadamia akan meningkat sejalan dengan volume kanopi yang mampu ditembus cahaya hingga 94% (McFadyen et al., 2004). Pemotongan kanopi pada bulan September berkisar pada waktu anthesis, biasa dilakukan di perkebunan Macadamia di Australia. Hasil yang lebih rendah terjadi pada tanaman yang dipangkas pada bulan April. Hal ini dikarenakan kompetisi antara pertumbuhan tunas baru dengan perkembangan buah yang pesat di bulan Oktober dan November. Keseluruhan fotosintesis di kanopi juga akan lebih rendah

pada tanaman yang kanopinya ternaungi berikut asimilasi CO2 dibandingkan dengan tanaman yang dipangkas (Huett, 2004). Tahapan perkembangan buah dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Perkembangan buah Macadamia; (a) Buah kecil setelah penyerbukan, (b) perkembangan cepat buah menuju pematangan, (c) buah mulai masak dan retak, dan (d) kulit buah (husk) sudah pecah dan biji siap panen (foto : dita_agisimanto). Macadamia spp. 73 (Proteaceae)

Sejak awal budidaya modern Macadamia, McFadyen et al. (2004) menyatakan bahwa isu utama perkebunan Macadamia adalah pohon-pohon yang rapat dan percabangan yang tidak beraturan. Peningkatan kepadatan tanaman per luasan seperti dari 200 tanaman/ha menjadi 357 tanaman/ha menyebabkan kepadatan kanopi pada tahun ke-11 setelah tanam. Kanopi yang padat akan menutup rapat tanah di bawah pohon, menyebabkan erosi karena hilangnya vegetasi di bawah pohon, risiko tinggi infeksi penyakit karena berkurangnya aliran udara dan keringnya bunga dan buah. Kepadatan daun menyebabkan mereka saling menaungi, menyebabkan pengaruh negatif dalam distribusi atau aliran cahaya di dalam kanopi. Hasil penelitian pada tanaman muda menunjukkan bahwa pertumbuhan pohon yang ditumbuhkan di bawah naungan akan mendapatkan cahaya matahari (photosynthetic photon flux atau PPF) di bawah 1.300 µmol/ m2.s. Hal ini menyebabkan penurunan pembungaan, jumlah kacang, kernel dan kandungan minyak. Sementara pada tanaman dewasa, bila hanya 25% PPF yang mencapai bagian bawah kanopi akan menurunkan produktivitas cabang, jumlah raceme per cabang dan jumlah kacang per raceme. Disimpulkan bahwa peningkatan volume kanopi hingga 42.500 m3/ha dan intersep cahaya mencapai 94% akan menaikkan produksi, sementara jika volume kanopi lebih dari 43.500 m3/ha akan menyebabkan efek negatif dalam produksi. Bunga Macadamia muncul sebagai respons atas musim dingin. Di luar faktor ini pembungaan kadang ditemukan pula. Kemunculan tunas aksilar diperlukan untuk produksi raceme. Kadang raceme juga muncul dari ujung tunas apikal (Olesen & Mcphan, 2003; John D. Wilkie et al., 2009). Bunga akan tumbuh pada setiapraceme (Olesen, 2005). Pembungaan Macadamia ini terjadi dalam dua tahapan proses yaitu, keluarnya tunas aksilar dan diferensiasi bagian floral atas pengaruh suhu dingin (Olesen, 2005). Kehadiran tunas aksilar dapat dikendalikan oleh a flushing secara keseluruhan (Olesen et al., 2006), dan dipengaruhi pula oleh posisinya di dalam kanopi (John D. Wilkie et al., 2009).

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi ekonomi Macadamia integrifolia and M. tetraphylla dan hibrida mereka, dibudidayakan di seluruh dunia untuk produksi komersial akan kacang (biji) yang dapat dikonsumsi (C. Hardner, 2016; C. M. Hardner et al., 2009; Nock et al., 2016), terutama M. 74 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

integrifolia (R. Stephenson, 2005). Macadamia integrifolia adalah salah satu tanaman utama di dunia. Selain nilai gizinya, Macadamia juga mengandung sejumlah phytochemicals yang bertanggung jawab untuk berbagai bioaktivitas (Abubaker et al., 2017). Kernel adalah bagian yang dapat dimakan dari Macadamia. Kernel berwarna putih krem dan hampir membentuk bola dengan dua bagian kotidon. Mereka memiliki rasa halus yang unik, tekstur renyah dan kandungan minyak yang tinggi. Kacang ini kaya kalori, sumber nutrisi yang baik seperti protein, vitamin dan mineral juga kandungan fitokimia, sehingga dapat mengurangi kolesterol serum ketika dimasukkan dalam diet sehat (Abubaker et al., 2017; Wall, 2013). Macadamia yang kaya kalori sebagian besar disebabkan oleh kandungan lemak (lipid) yang tinggi (Abubaker et al., 2017). Ini menunjukkan bahwa kernel adalah sumber energi yang kaya (718.244 Kcal /100 g) dan mampu memasok kebutuhan energi harian tubuh (Abubaker et al., 2017). Biji Macadamia disiapkan sebagai buah segar (dimakan mentah), digoreng, dipanggang dan dapat juga diberikan garam (sebagai asinan). Komoditas ini juga digunakan untuk hidangan penutup dan makanan ringan serta sebagai bahan dalam berbagai permen, es krim dan cokelat. Minyak Macadamia juga diekstraksi dari kernel dan digunakan untuk salad (Abubaker et al., 2017), minyak goreng dan sebagai bahan makanan dan kosmetik (Wallace & Walton, 2011). Kacang Macadamia mengandung phytochemical yang mungkin memiliki efek positif pada kesehatan manusia dan sementara itu melindungi kernel dari reaksi oksidasi selama penyimpanan dan pemasaran. Perlindungan oksidasi akan membantu memperpanjang umur simpan. Fitokimia adalah senyawa aktif biologis yang terdapat dalam makanan alami termasuk pada buah-buahan, sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan, yang berpotensi mencegah atau menunda timbulnya penyakit kronis, seperti penyakit kanker dan kardiovaskular (CVD) (Wall, 2010). Secara umum, kernel Macadamia tersusun oleh kelembapan (moisture) (1,4-2,1%), lemak (lipid) (66,2-75,8%), protein (7,9-8,4%), abu (1,1-1,2%), dan gula (1,4-4,6%), pada kacang yang dapat dikonsumsi (edible nuts) (Abubaker et al., 2017; Sathe, Monaghan, Kshirsagar, & Venkatachalam, 2008). Sekitar 70% dari berat kernel adalah lemak, menyediakan jumlah kalori yang tinggi dan diindikasikan sebagai sumber minyak nabati yang baik (Abubaker et al., 2017). Lemak pada kacang Macadamia kaya akan asam lemak tak jenuh tunggal (MUFAs). Lemak ini dapat membantu mengurangi kolesterol serum, sehingga dapat menurunkan risiko Macadamia spp. 75 (Proteaceae) penyakit kardiovaskular. Konsumsi lemak tak jenuh tunggal secara teratur dikaitkan dengan penurunan kolesterol darah, di mana ada bukti yang menunjukkan bahwa konsumsi kacang Macadamia secara teratur dapat mengurangi kolesterol dan membantu mengurangi risiko penyakit arteri koroner (Wallace & Walton, 2011). Bahkan konsumsi jangka pendek dapat meningkatkan biomarker dari stres oksidatif, trombosis dan peradangan serta menurunkan kolesterol (Garg, Blake, Wills, & Clayton, 2007). Konsentrasi serum total kolesterol dan kolesterol LDL dari penelitian Griel et al. (2008) menunjukkan nilai yang lebih rendah untuk subjek dengan diet yang menggunakan kacang macadamia sebagai asupan dibandingkan dengan diet tanpa kacang macadamia sebagai asupan. Hal ini menunjukkan bahwa kacang Macadamia dapat membantu mengurangi risiko penyakit kardiovaskular (Griel et al., 2008). Kandungan protein yang terdapat pada kacang Macadamia mampu berkontribusi pada kebutuhan protein harian orang dewasa, seperti yang direkomendasikan untuk asupan program diet. Namun, kernel Macadamia menunjukkan jumlah karbohidrat yang lebih rendah (5.801%) daripada daun dan pericarp, yang masing- masing mengandung (72,352%) dan (77,581%) (Abubaker et al., 2017). Minyak Macadamia adalah salah satu minyak paling tak jenuh tunggal. Minyak ini mengandung 83–85% asam lemak tak jenuh dan 15–17% asam lemak jenuh (Robbins, Shin, Shewfelt, Eitenmiller, & Pegg, 2011). Asam lemak dominan adalah asam oleat (56–65%), palmitoleat (18–23%), dan palmitat (7–9%). Kernel Macadamia dianggap matang setelah akumulasi minyak selesai (Wall, 2013). Macadamia integrifolia memiliki minyak yang punya kemiripan dengan minyak zaitun. Minyaknya disusun oleh monounsaturated fatty acids (MUFA) dengan persentase hingga 58,2% dengan kandungan dominan asam oleat (oleic acid)

(~60%) dan asam palmitoleat (palmitoleic acids) (~20%). Oleh karena itu, biji tanaman ini diyakini sebagai sumber makanan sehat karena tidak mengandung kolesterol dan menurunkan level kandungan kolesterol LDL. Minyak Macadamia mampu meningkatkan keseimbangan asam lemak omega 6 dan omega 3 sehingga memudahkan sirkulasi darah melalui arteri koroner. Kehadiran tokoferol, fitosterol dan squalene di dalam buah Macadamia juga berperan menurunkan kolesterol (Wall, 2010). Minyak dari Macadamia ini juga digunakan dalam pembuatan kosmetik. Dengan seleksi varietas superior, teknik pembiakan vegetatif yang tepat dan dilengkapi dengan paket agronomis lainnya, nilai penting ekonomi Macadamia akan berlanjut (Abubaker, Hawary, Mahrous, & El-Kader, 2017). 76 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Kernel Macadamia mengandung tokoferol, tokotrienol, fenolat, pitosterol, dan squalene. Kernel buah ini juga menghadirkan α –tokoferol dan δ -tokoferol (0,6 hingga 2,8 μ g/g minyak) yang lebih rendah untuk sebagian besar jenis kacang lainnya (Franke, Murphy, Lacey, & Custer, 2007; Robbins et al., 2011; Wall, 2010). Tokotrienol memadamkan reaksi radikal bebas lebih mudah daripada tokoferol (Packer, Weber, & Rimbach, 2001), hal ini memungkinkan dapat meningkatkan stabilitas oksidatif kernel Macadamia. Tokotrienol memiliki sifat penurun kolesterol, anti-karsinogenik dan nueroprotektif, selain sifat antioksidan yang ditingkatkan (Packer et al., 2001; Sen, Khanna, & Roy, 2007). Kacang Macadamia mengandung tiga homolog tokotrienol, dengan jumlah total berkisar antara 20 to 92 μ g/g minyak (Franke et al., 2007; Wall, 2010). Macadamia mengandung setidaknya 3 bentuk utama vitamin E yang terbentuk secara alami. Vitamin ini disentesis oleh tanaman dari asam homogentistic. Alfa dan gamma tokoferol adalah dua bentuk utama vitamin, dengan proporsi relatif bergantung pada sumbernya (Rizvi et al., 2014). Daun, kernel dan pericarp Macadamia mengandung vitamin E dan nutrisi makro seperti natrium, kalium dan kalsium dalam jumlah yang cukup banyak. Makanan yang kaya kalsium dan kalium sangat direkomendasikan American Heart Association sebagai tindakan perlindungan terhadap hipertensi (Alasalvar & Shahidi, 2008; He & MacGregor, 2009). Kandungan vitamin E pada Macadamia integrifolia dalam daun, kernel dan pericarp masing-masing adalah (133,18, 61,49 dan 98,78 mg/100gm). Di sini terlihat daun mengandung vitamin E yang tertinggi diikuti pericarp dan kernel. Vitamin E diterima dengan baik sebagai antioksidan alami yang paling mudah larut dalam lemak, sebagai rantai pemecah dan melindungi membran sel dari kerusakan peroksidatif. Jumlah nutrisi dalam biji Macadamia dapat bervariasi sesuai dengan kultivar mereka, tingkat kematangan saat panen dan lokasi penanaman serta kondisi (Munro & Garg, 2008). Kernel Macadamia integrifolia dan M. tetraphylla memiliki konsentrasi tokoktrienol yang cukup signifikan (Franke et al., 2007; Wall, 2010) Robbins et al., 2011;). Kernel Macadamia integrifolia mengandung 68–79% minyak dan dianggap sebagai kacang yang memiliki kandungan minyak tinggi seperti kacang pinus (68–75%), pecan (70–73%), dan kacang walnut (63–70%) (Robbins et al., 2011; Wall, 2010). Kernel M. tetraphylla mengandung lebih sedikit minyak dari pada M. integrifolia (Wall, 2013). Kandungan serat makanan dari biji macadamia yang dibudidayakan di Australia (6,4%) sedikit lebih rendah dari kernel yang dibudidayakan di Amerika Serikat (8,6%) (Munro & Garg, 2008). Macadamia Macadamia spp. 77 (Proteaceae) integrifolia pericarp dianggap sebagai sumber kalium yang baik dengan nilai sejumlah 7.803,68 mg/kg, diikuti bagian kernelnya (3.458,4 mg/kg). Sedangkan daun macadamia mengandung konsentrasi kalium terendah, yakni sebesar 838,16 mg/kg. Macadamia merupakan tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi karena biji yang dihasilkan menjadi bahan baku dalam industri makanan serta dapat digunakan untuk kesehatan. Potensi pasar Indonesia untuk produk ini cukup menjanjikan, dilihat dari pertumbuhan impor yang terjadi pada tahun 2009-2018 yakni sebesar 62%. Dari 9,4 ton pada tahun 2009 menjadi 15,3 ton pada tahun 2018, meski sempat terjadi penurunan impor di antara tahun 2012 hingga 2016. Peluang budidaya terlihat dari ekspor yang dilakukan oleh Perkebunan Kopi Kalisat Jampit, PT Perkebunan Nusantara XII, yang terletak di Pegunungan Ijen, Jawa Timur. Peningkatan harga per kg ekspor dari tahun 2016 yang bernilai 3,2$ menjadi 20$ pada tahun 2018 dapat menjadi indikasi peningkatan kualitas dari produk biji Macadamia yang dihasilkan. Tanaman Macadamia memiliki manfaat mulai dari batang sebagai kayu, biji yang dapat dikonsumsi dan diambil minyaknya serta cangkang kulit pembungkus biji dapat digunakan sebagai arang. Kandungan dari biji Macadamia di antaranya lemak 57,90%, protein 13,45%, pati 9,55%, air 5,89%, gula 5,05% dan abu 2,22% (Sukmasari et al. 2004). Lemak yang terkandung lebih dari 77% merupakan lemak tak jenuh yang didominasi lemak tak jenuh tunggal, sehingga baik untuk kesehatan (USDA, 2009). Beberapa studi menunjukkan bahwa kacang macadamia dapat mengurangi risiko penyakit kardiovaskular, meliputi hiperkolesterolmia, stres oksidatif, dan peradangan (Garg et al., 2007; Griel et al., 2008)(Wood and Garg 2011; Griel et al., 2008; Garg et al., 2003; Hiraoka-Yamamoto et al., 2004). Di samping itu Macadamia kaya akan zat besi, magnesium, fosfor, kalsium dan thiamin. Hal ini membuat Macadamia dapat digunakan untuk membantu mengatasi anemia, gangguan hati dan kecanduan alkohol, memperbaiki kekebalan tubuh dan meningkatkan kesehatan secara umum. Tiga produsen terbesar kacang Macadamia adalah Australia, Amerika Serikat dan Afrika Selatan. Dari sisi volume produksi secara global selama tahun panen 2006- 2007, dibandingkan pohon kacang sejenis, Macadamia menduduki peringkat ke delapan. Peringkat pertama hingga kelima adalah almond, hazelnut, mete, walnut, dan pistachio (Alasalvar & Shahidi, 2008). 78 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Pustaka 1. Abubaker, M., Hawary, S. S. E., Mahrous, E. A., & El-Kader, E. M. A. (2017). Study of nutritional contents of Macadamia integrifolia Maiden and Betche leaves, kernel and pericarp cultivated in Egypt. International Journal of Pharmacognosy and Phytochemical Research, 9, 1442-1445. 2. Alasalvar, C., & Shahidi, F. (2008). Tree nuts: Composition, phytochemicals, and health effects: An overview. In C. Alasalvar & F. Shahidi (Eds.), Tree Nuts: Composition, Phytochemicals, and Health Effects (pp. 1-10). Boca Raton: CRC Press. 3. Chagné, D. (2015). Whole genome sequencing of fruit tree species. In P. Christophe & A. B. Anne-Françoise (Eds.), Advances in botanical research (Vol. 74, pp. 1-37): Academic Press. 4. Franke, A. A., Murphy, S. P., Lacey, R., & Custer, L. J. (2007). Tocopherol and tocotrienol levels of foods consumed in Hawaii. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 55, 769-778. 5. Garg, M. L., Blake, R. J., Wills, R. B. H., & Clayton, E. H. (2007). Macadamia nut consumption modulates favourably risk factors for coronary artery disease in hypercholesterolemic subjects. Lipids, 42, 583-587. 6. Griel, A. E., Cao, Y. M., Bagshaw, D. D., Cifelli, A. M., Holub, B., & Kris-Etherton, P. M. (2008). A macadamia nut-rich diet reduces total and LDL-cholesterol in mildly hypercholesterolemic men and women. Journal of Nutrition, 138 761- 767. 7. Hardner, C. (2016). Macadamia domestication in Hawai’i. Genetic Resources and Crop Evolution, 63, 1411-1430. 8. Hardner, C. M., Peace, C., Lowe, A. J., Neal, J., Pisanu, P., Powell, M., . . . Williams, K. (2009). Genetic resources and domestication of Macadamia. Hortic Rev, 35, 1-126. 9. Hardner, C. M., Winks, C. W., Stephenson, R. A., Gallagher, E. G., & Mcconchie, C. A. (2002). Genetic parameters for yield in macadamia. Euphytica, 225 255 - 264. 10. He, F. J., & MacGregor, G. A. (2009). A comprehensive review on salt and health and current experience of worldwide salt reduction programmes. Journal of Human Hypertension, 23, 363-384. Macadamia spp. 79 (Proteaceae)

11. Howlett, B. G., Nelson, W. R., Pattemore, D. E., & Gee, M. (2015). Pollination of macadamia: review and opportunities for improving yields. Scientia Horticulturae, 197, 411-419. 12. Huett, D. O. (2004). Macadamia physiology review: a canopy light response study and literature review. Australian Journal of Agricultural Research, 55, 609–624. 13. Mast, A. R., Willis, C. L., Jones, E. H., Downs, K. M., & Weston, P. H. (2008). A smaller Macadamia from a more vagile tribe: Inference of phylogenetic relationships, divergence times, and diaspore evolution in Macadamia and relatives (tribe Macadamiae; Proteaceae). American Journal of Botany, 95, 843-870. 14. McFadyen, L. M., Morris, S. G., Oldham, M. A., Huett, D. O., Meyers, N. M., Wood, J., & McConchie, C. A. (2004). The relationship between orchard crowding, light interception, and productivity in macadamia. Australian Journal of Agricultural Research, 55, 1029-1038. 15. Munro, I. A., & Garg, M. L. (2008). Nutrient composition and health beneficial effects of macadamia nuts. In C. Alasalvar & F. Shahidi (Eds.), Tree nuts: Composition, phytochemicals, and health effects (pp. 249-258). Boca Raton: CRC Press. 16. Nock, C. J., Baten, A., Barkla, B. J., Furtado, A., Henry, R. J., & King, G. J. (2016). Genome and transcriptome sequencing characterises the gene space of Macadamia integrifolia (Proteaceae). BMC Genomics, 17, 937. 17. Nock, C. J., Baten, A., & King, G. J. (2014). Complete chloroplast genome of Macadamia integrifolia confirms the position of the Gondwanan early- diverging eudicot family Proteaceae. BMC Genomics, 15 Suppl 9:1. 18. Nock, C. J., Elphinstone, M. S., Ablett, G., Kawamata, A., Hancock, W., Hardner, C. M., & King, G. J. (2014). Whole genome shotgun sequences for microsatellite discovery and application in cultivated and wild Macadamia (Proteaceae). Appl Plant Sci, 2, 1300089. 19. O’Connor, K., Hayes, B., & To, B. (2018). Prospects for increasing yield in macadamia using component traits and genomics. Tree Genetics & Genomes () 14:7, 14, 7. 80 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

20. Olesen, T. (2005). The timing of flush development affects the flowering of avocado (Persea americana) and macadamia (Macadamia integrifolia x tetraphylla). Australian Journal of Agricultural Research, 56, 723-729. 21. Olesen, T., & Mcphan, A. (2003). Some observations on the flowering of macadamia. Australian Macadamia Society News Bulletin, 30, 38-40. 22. Olesen, T., Whalan, K., Muldoon, S., Robertson, D., & Meyer, R. (2006). On the control of bud release in macadamia (Macadamia integrifolia). Australian Journal of Agricultural Research, 57, 939-945. 23. Packer, L., Weber, S. U., & Rimbach, G. (2001). Molecular aspects of α -tocotrienol antioxidant action and cell signaling. Journal of Nutrition, 131, 369S-373S. 24. Peace, C., Ming, R., Schmidt, A., Manners, J., & Vithanage, V. (2008). Genomics of Macadamia, a recently domesticated tree nut crop. In P. Moore & R. Ming (Eds.), Genomics of tropical crop plants, vol 1. Plant genetics and genomics: crops and models (pp. 313-332). New York: Springer. 25. Pisanu, P. C., Gross, C. L., & Flood, L. (2009). Reproduction in wild populations of the threatened tree Macadamia tetraphylla: interpopulation pollen enriches fecundity in a declining species. Biotropica, 41, 391-398. 26. Powell, M., Accad, A., & Shapcott, A. (2014). Where they are, why they are there, and where they are going: using niche models to assess impacts of disturbance on the distribution of three endemic rare subtropical rainforest trees of Macadamia (Proteaceae) species. Aust J Bot., 62, 322-334. 27. Rizvi, S., Raza, S. T., Ahmed, F., Ahmad, A., Abbas, S., & Mahdi, F. (2014). The role of vitamin E in human health and some diseases. Sultan Qaboos University Med J, 14, e157-165. 28. Robbins, K. S., Shin, E., Shewfelt, R. L., Eitenmiller, R. R., & Pegg, R. B. (2011). Update on the healthful lipid constituents of commercially important tree nuts. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 59, 12083-12092. 29. Sathe, S. K., Monaghan, E. K., Kshirsagar, H. H., & Venkatachalam, M. (2008). Chemical composition of edible nutcseeds and its implications in human health. In C. Alasalvar & F. Shahidi (Eds.), Tree nuts: Composition, phytochemicals, and health effects (pp. 11-36). Boca Raton: CRC Press. Macadamia spp. 81 (Proteaceae)

30. Sen, C. K., Khanna, S., & Roy, S. (2007). Tocotrienols in health and disease: the other half of the natural vitamin E family. Molecular Aspects of Medicine, 28, 692-728. 31. Soltis, D. E., Smith, S. A., Cellinese, N., Wurdack, K. J., Tank, D. C., Brockington, S. F., . . . Carlsward, B. S. (2011). Angiosperm phylogeny: 17 genes, 640 taxa. Am J Bot, 98, 704-730. 32. Steiger, D. L., Moore, P. H., Zee, F., Liu, Z., & Ming, R. (2003). Genetic relationships of macadamia cultivars and species revealed by AFLP markers. Euphytica, 132, 269-277. 33. Steiger, D. L., Nagai, C., Moore, P. H., Morden, C. W., Osgood, R. V., & Ming, R. (2002). AFLP analysis of genetic diversity within and among Coffea arabica cultivars. Theor Appl Genet, 105, 209-215. 34. Stephenson, R. (2005). Macadamia: Domestication and commercialisation. Horticultural Science Focus, 45, 11-15. 35. Stephenson, R. A., Gallagher, E. C., & Doogan, V. J. (2003). Macadamia responses to mild water stress at different phonological stages. Australian Journal of Agricultural Research, 54, 67-75. 36. Trueman, S. J. (2013). The reproductive biology of macadamia. Scientia Horticulturae, 150, 354-359. 37. Wall, M. M. (2010). Functional lipid characteristics, oxidative stability, and antioxidant activity of macadamia nut (Macadamia integrifolia) cultivars. Food Chemistry, 121, 1103-1108. 38. Wall, M. M. (2013). Improving the quality and safety of macadamia nuts: Woodhead Publishing Limited. 39. Wallace, H. M., & Walton, D. A. (2011). Macadamia (Macadamia integrifolia, Macadamia tetraphylla and hibrids): Woodhead Publishing Limited. 40. Wilkie, J. D., Sedgley, M., Morris, S., Muldoon, S., & Olesen, T. (2009). Characteristics of flowering stems and raceme position in macadamia.Journal of Horticultural Science & Biotechnology, 84 387-392. 41. Wilkie, J. D., Sedgley, M., & Olesen, T. (2008). Regulation of floral initiation in horticultural trees. Journal of Experimental Botany, 59, 3215-3228. 82 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

42. Wilkie, J. D., Sedgley, M., & Olesen, T. (2009). A model of vegetative flush development and its potential use managing macadamia (Macadamia integrifolia) tree canopies. Crop & Pasture Science, 60, 420-426. Penulis : Dita Agisimanto dan Lyli Mufidah Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika Morus alba L. (Moraceae)

Protologue Morus alba Linnaeus - Species Plantarum. 2: 986 (1753) Sinonim • Morus alba vulgaris f. pendula Dippel, Handb. Laubholzk. 2: 8 (1892) • Morus alba Bureau, Prodr. [A. P. de Candolle] 17: 243, partim (1873). • Morus alba pendula Sudw., Bull. Div. Forest. U.S.D.A. 14: 189 (1897). • Morus alba var. emarginata Y.B.Wu, Acta Bot. Yunnan. 16(2): 120, as ‘emargenata’ (1994). • Morus alba var. laciniata Beissn., Mitt. Deutsch. Dendrol. Ges. no. 12: 127 (1903). • Morus alba f. skeletoniana (C.K.Schneid.) Rehder, Bibliogr. Cult. Trees 147 (1949). Nama umum Murbei (Indonesia), Walot (Sunda), Malur (Batak), Andalas (Sumatera Barat), nagas (Ambon) dan tambara merica (Makassar), Besaran (Jawa), mulberry (Inggris), Sangye (China), morera/mora (Spanyol), moreira (Portugis), Murier (Prancis)

I. Pendahuluan Murbei merupakan tanaman berkayu yang awalnya masuk ke dalam bangsa Urticales. Linnaeous (1753) membagi bangsa Urticales, suku Moraceae, marga Morus menjadi 7 spesies yaitu Morus alba, Morus indica, Morus nigra, Morus papyrifera, Morus rubra, Morus tartarica, Morus tinctoria. Namun tahun 1873 84 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Bureau meringkasnya hanya menjadi 5 spesies berdasarkan keragaan daun dan pistillate catkins (bentuk buah). Terdapat 12 spesies yang sebelumnya merupakan spesies tersendiri berdasarkan Linnaeous, dikelompokkan menjadi spesies Morus alba, di antaranya spesies Morus tartarica dan Morus indica (Empat spesies yang diidentifikasi sebagai spesies tersendiri yaitu Morus nigra, Morus rubra, Morus celtidofolia, dan Morus insignis. Greene (1910) membagi bangsa Urticales menjadi 14 spesies, menjadikan Morus alba var mongolica menjadi Morus notabilis. Pada tahun 1930, Dr. Koidzumi dari Jepang mengklasifikasikan genus Morus L menjadi 30 spesies. Pada tahun 2009, Botanical Journal of Linnean Society mengganti klasifikasi bangsa Urticales menjadi bangsa Rosales, suku Moraceae, dan marga Morus L (Jian et al., 2012) Di Indonesia sendiri, murbei merupakan tanaman yang dikenal luas sebagai pakan ulat sutera. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No.P.35/Menhut-II/2007 tentang HHBK, bahwa tanaman murbei merupakan salah satu jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) (Isnan & Muin, 2015). Murbei di Indonesia terdapat 7 spesies yang cukup dikenal yaitu Morus alba, Morus nigra, Morus cathayana, Morus Australis, Morus multicaulis, Morus indica, dan Morus macroura (Andadari et al., 2013; Nurhaedah et al., 2012) Awalnya tanaman murbei hanya dikenal masyarakat sebagai pakan ulat sutera. Namun, atas perkembangan teknologi dan penelitian menunjukkan bahwa tanaman murbei ternyata memiliki ragam manfaat baik sebagai bahan pangan, obat-obatan/kesehatan dan lingkungan. Buah murbei dapat dimakan sebagai buah meja, jus maupun minuman olahan lainnya. Minuman teh murbei telah diproduksi dan dipasarkan secara komersial. Beberapa di antaranya sudah dapat ditemukan di pasaran maupun di apotek. Kegunaan murbei sebagai minuman kesehatan dapat menambah nilai guna bagi petani murbei yang selama ini hanya memanfaatkan tanaman murbei sebagai pakan ulat sutera (Isnan & Muin, 2015)

II. Klasifikasi dan deskripsi botani Murbei termasuk dalam Kerajaan: Plantae, Divisi: Tracheophyta, Bangsa: Rosales, Marga: Morus, Jenis: Morus alba (ITIS, 2011). Tanaman Morus alba merupakan tanaman tahunan (perennial) dengan tipe habitus menyebarspreading ( ) dan ada yang tegak dengan tinggi 3 – 10 m dengan kulit batang sedikit berkerut dan Morus alba L. 85 (Moraceae) berwarna abu-abu. Cabang pohon berbulu halus, tunas pada musim dingin cokelat kemerahan dengan bentuk ovoid dan berbulu halus. Stipula berbentuk lanceolate 2-3,5 cm tertutup rapat dengan bulu halus pendek (Krishna et al., 2018, Shu, 2003) Tata letak daun Morus alba berseling/tidak saling berhadapan (alternate). Tangkai daun Morus alba berwarna sedikit merah, berukuran 1,5 -5,5 cm dan berbulu. Helai daun berbentuk bulat telur (ovate/bagian terlebar dekat pangkal daun) sampai bulat telur melebar (broadly ovate) dengan lekukan tepi daun (lobus) tidak beraturan berukuran 5-30 cm x 5 x 12 cm. Pangkal daun berbentuk membulat sampai seperti jantung (cordate), dengan tepi daun kesat, serrate (tepi daun dengan sinus dan annulus tajam) sampai crenate (tepi daun dengan sinus tajam dan angulus tumpul), ujung daun acute (runcing), acuminate (meruncing) atau obtuse (membulat). Tulang daun berwarna hijau cerah. Sepanjang tulang daun di permukaan bawah daun terdapat bulu halus tidak rapat tetapi tulang daun dipermukaan daun bagian atas mengkilap (tidak berbulu). Tulang daun berwarna hijau cerah. Daun Morus alba var multicaulis seperti Morus alba, berbeda pada helaian daun lebih tebal dan berkerut (Andadari, Pudjiono, Suwandi, & Rahmawati, 2013; Krishna et al., 2018a; Shu, 2003).

Gambar 17. Daun murbei (foto :anis_andrini)

Morus alba merupakan tanaman subdioceous dengan rasio tanaman uniseksual dengan tanaman hermaprodit rata-rata 8:1. Rata-rata 10% dari tanaman Morus alba berganti seksualnya setiap tahun (Nepal, 2008). Bunga murbei merupakan bunga berbentuk untaian (catkins). Catkins jantan menggantung (pendulous) 86 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

dengan panjang 2-3,5 cm berambut putih rapat.Catkins bunga betinainflorescentia dengan panjang 1-2 cm, berbulu pendek dan halus (pubescent), tangkai bunga 5-10 mm berbulu halus dan pendek (pubescent). Kuntum bunga jantan berkelopak hijau pucat berbentuk elip meluas, tangkai benang sari tertanam di dalam tunas; kepala benang sari terdiri atas 2 lokulus (ruangan) berbentuk globose (bulat) sampai reniform (bentuk ginjal). Kuntum bunga betina tidak bertangkai (sessile); bentuk kelopak bulat telur (ovoid) sampai gepeng (compressed), berbulu pendek dan halus (pubescent), ovarium tidak bertangkai (sessile), berbentuk bulat telur (ovoid), tanpa tangkai putik (stilus); kepala putik (Stigma) berupa tonjolan (mastoidlike protuberance), percabangan memencar, berpapila (modifikasi jaringan epidermis, berupa tonjolan yang ada pada bagian mahkota bunga) (Shu, 2003).

Gambar 18. Bunga betina murbei (foto : anis_andrini)

Buah morus merupakan buah Syncarp (karpel bersatu) berwarna merah saat mentah, ungu tua, ungu atau putih kehijauan saat masak, berbentuk ovoid, elips atau silinder berukuran 1-2,5 cm (Shu, 2003). Biji Morus alba berdasarkan hasil karakterisasi 5 varietas Morus alba di Cuba (Reino-molina et al., 2017) menunjukkan biji berbentuk bulat telur (ovate) sampai dengan membulat (rounded), warna cokelat terang dengan permukaan kulit seperti pasir (granulated) sampai berbentuk bulat-bulat rapat (colliculated). Di dalam biji terdapat lapisan tipis endosperm yang menyelimuti embrio. Morus alba L. 87 (Moraceae)

Gambar 19. Buah murbei belum masak hingga masak (kiri ke kanan) (foto: anis_andrini, tiffany_anindya_arisanti).

III. Asal dan distribusi geografis Tanaman murbei (Morus alba) berasal dari China yang menyebar ke beberapa daerah Temperate (iklim sedang) dan Tropis Africa, Indonesia, Amerika Selatan (Shu, 2003). Tanaman murbei mempunyai daya adaptasi terhadap tanah yang subur maupun tidak subur sehingga penyebarannya luas dan vigor tanamannya tinggi. Sebagai spesies dengan distribusi geologi yang luas, murbei dapat hidup pada berbagai tipe ekologi. Di negara China, tanaman murbei terdistribusi merata dan dibudidayakan dari dataran tinggi dengan ketinggian 3.600 m, dari Xinjiang di barat China ke pantai di timur China, dan dari selatan Hainan ke utara Heilongjiang (Jian et al., 2013). Murbei terdistribusi secara alami di India, daerah sub-Himalayan sepanjang 3.000 meter dari sungai Indus sampai dengan sungai Bramasta dengan agroklimat temperate sampai dengan tropis. Terdapat 4 spesies di India yang salah satunya merupakan tipe liarMorus serrate, 3 spesies lainnya yaitu Morus alba, Morus indica, dan Morus laevigata. Koleksi Murbei di India barat laut terdapat 261 aksesi terdiri atas 4 spesies. Morus alba tersebar di daerah terendah pegunungan Himalaya dan terdapat di 10 distrik di India Barat Laut (Tikader, 2011). Koleksi Murbei di Rajastahan, India terdapat 75 aksesi dari 3 spesies di antaranya Morus alba, Morus laevigata, Morus indica, dan 8 aksesi merupakan hibrid. Koleksi tersebut diperoleh dari 19 distrik di Rajastan (Rao et al., 2011). Murbei di Indonesia banyak dikembangkan di Jawa Barat sebagai bagian usaha persuteraan alam. Spesies Murbei di Jawa Barat yang berkembang antara lain M bombycs, M alba, M multicaulis, M nigra dan M cathayana (Andadari et al., 2013, 88 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Dalimarta, 1999). Selain 5 spesies di atas terdapat spesies Morus macraura yang terdapat daerah Sumatera Barat; di lembah gunung Merapi dan gunung Sago Batu Sangkar, di kaki gunung Talang, di sekitar Maninjau, Sungai Puar dan Batang Barus (Syamsuardi, 2015)

IV. Diversitas dan keragaman genetik Secara umum, murbei merupakan tanaman diploid dengan 28 kromosom (2n=28). Namun demikian murbei kaya akan varietas ploidy dan triploid alami di antaranya Morus bombysis Koidz. Di Jepang terdapat 4 varietas triploid secara alami yang tersebar di daerah Tohoku (Jepang bagian utara). Morus serrate Roxb (asal india) dan Morus tiliaefolia Makino yang asli Jepang dan Korea bersifat hexaploid. Morus bininensis Koidz bersifat tetraploid. Hasil Pemuliaan poliploidi di Jepang menunjukkan sampai dengan tahun 2003 terdapat 5 varietas triploid (Machii et al., 2002). Morus nigra bersifat decosaoploid 2n= 22x (2n = 308), merupakan jumlah kromosom terbesar di antara phanerogams ((Basavaiah et al., 1990). Studi keragaman genetik berbasis penanda molekuler telah banyak dilakukan. Keragaman genetik berdasarkan penanda RAPD, ISSR, AFLP telah dianalisis di antara varietas dan beberapa spesies Morus sp. Sebelas genotype Morus alba yang dikoleksi dari populasi alami India, Jepang dan Italia dianalisis dengan 10 primer RAPD dan 10 primer ISSR menunjukkan kemiripan genetik 0,73 – 0,89. Phenogram yang diperoleh dari keseluruhan data dengan UPGMa menunjukkan ada 2 kelompok. Kelompok 1 terdiri atas genotipe dari India dan China sedangkan kelompok lainnya genotipe-genotipe dari Jepang, Italia dan 1 genotipe dari Filipina (Srivastava et al., 2004). Keragaman genetik 43 aksesi Murbei (Morus alba, Morus nigra dan Morus rubra) dari 4 daerah ekogeografi Turki diuji dengan 6 primer AFLP dan dianalisis dengan UPGMA. Berdasarkan dendogram, kemiripan genetik dari 43 aksesi yaitu 0,38 – 0,99% dan mengelompok menjadi 3 berdasarkan spesies. Hasil penelitian ini juga menunjukkan keragaman genetik Morus nigra sangat rendah (Kafkas et al., 2008). Analisis keragaman genetik 26 genotipe murbei (Morus alba, Morus nigra dan Morus rubra) di Turki dengan 10 primer RAPD menunjukkan pengelompokan berdasarkan spesies. Dendogram menunjukkan 26 genotipe murbei yang dianalisis terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok 1 terdiri atas 3 genotip dari spesies Morus nigra, Kelompok 2 terdiri atas 21 genotip dari spesies Morus alba L. 89 (Moraceae)

Morus alba, Kelompok 3 terdiri atas 1 genotipe dari Morus alba dan Kelompok 4 yaitu 1 genotipe dari Morus rubra yang paling jauh jarak genetiknya (Orhan & Ercisli, 2010).

V. Evolusi dan risiko erosi genetik Domestikasi murbei sudah dimulai beberapa tahun yang lalu untuk pemenuhan kebutuhan pangan ulat sutera (FAO, 1990). Spesies M. alba, M. australis dan M. nigra sudah lama menjadi objek domestikasi dan seleksi artifisial. Spesies-spesies tersebut di introduksi, di domestikasi dan tidak melalui budidaya (penyebaran biji oleh burung dan kelelawar) (Tang et al., 2007). Spesies yang populer di dunia diketahui adalah Morus alba dan Morus indica. Kedua spesies menjadi subjek seleksi secara intensif dari penyerbukan terbuka, hibridisasi terkontrol, seleksi terkontrol, pemuliaan mutasi di beberapa negara, menghasilkan ratusan varietas, termasuk beberapa poliploidi. Di Brasil terdapat 90 varietas yang termasuk Morus alba (de Almeida dan Fonseca, 2000). Sementara di Indonesia, terdapat ratusan spesies murbei dari genus Morus namun hanya beberapa yang dikenal seperti Morus alba, Morus nigra, Morus cathayana, Morus macraura (Andadari et al., 2013). Persilangan juga telah dilakukan untuk meningkatkan performa tanaman murbei dengan tujuan mendapatkan pakan yang produksi dan kualitas daunnya lebih baik daripada spesies yang telah ada. Persilangan antara Morus cathayana x Morus amakusaguwa, Morus shiwasuguwa x Morus tsukasuguwa, Morus australis x Morus indica menghasilkan 5 hibrid unggul untuk pakan ulat sutera (Andadari et al., 2016). Program-program pemuliaan yang menghasilkan kultivar baru dapat menghilangkan ras baru yang berkembang secara alami melalui penyerbukan dengan bantuan angin dan penyebaran benih oleh burung. Kemungkinan besar ada ancaman terhadap integritas spesies asli dan juga memperumit taksonomi (Nepal, 2008). Dampak dari persilangan itu sendiri menyebabkan salah satu spesies yaitu Morus bininensis Koidz terancam punah akibat persilangan dengan Morus acidosa Griff. Di Indonesia sendiri terdapat spesies Morus macroura (Andalas) yang mempunyai daerah penyebaran dan habitat yang agak khusus di daerah Sumatera Barat dan keberadaannya di alam semakin sedikit. Jarak tanaman jantan dan betina yang jauh menjadi faktor yang menyebabkan sulitnya terjadi penyerbukan yang berarti 90 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

berkembangbiaknya menjadi terbatas. Status tumbuhan Andalas menurut kategori yang ditetapkan oleh Survival service Commision for Plants and Animals The World Conservation Union tergolong ke dalam “vulnerable status” yaitu kategori untuk taksa yang sedang menuju status terancam (endangered)(Gusmailina, 2014).

VI. Aspek budidaya Murbei dapat tumbuh baik di Indonesia dengan ketinggian tempat pada 400- 800 meter di atas permukaan laut, Curah hujan berkisar antara 800-3.500 mm/ tahun. Kondisi curah hujan yang baik tersebar sepanjang tahun selama musim pertumbuhan murbei (CH ±150 mm/bulan). Tanah bertekstur lempung, lempung berliat, dan lempung berpasir, serta banyak mengandung mineral dengan komposisi 40% mineral, 30% air, 20% udara dan 10% bahan organik dengan pH 6,5-7. Kebun murbei yang mendapatkan sinar matahari penuh dari pagi hingga sore hari dapat menghasilkan kualitas daun yang baik, suhu 12-40°C dan suhu optimum24- 28°C, kelembapan antara 80-95% (Andadari et al.,2013). Hasil penelitian Sasmita et al. ( 2019) bibit Morus alba yang diuji di Cianjur (ketinggian 1.200 mdpl, suhu 15-20oC dan rata-rata hujan per tahun 3.000-3.600 mm), BPTH Bali (ketinggian 100 mdpl, suhu 26-32oC and rata-rata hujan per tahun 1.900-2.600 mm), dan Kutai Timur (ketinggian 300 m dpl, suhu 27-35oC dan rata-rata hujan per tahun 1.700- 2.000 mm) menunjukkan pertumbuhan terbaik di Cianjur. Perbanyakan generatif menggunakan biji dihasilkan dari peleburan dua sel kelamin jantan dan betina yang sudah matang. Selanjutnya, biji ditumbuhkan dalam media semai dan dilakukan perawatan hingga menjadi bibit siap tanam. Bibit dari biji telah siap tanam setelah berumur 3-4 bulan dari persemaian biji (Andadari et al., 2013). Teknik perbanyakan vegetatif dapat dilakukan melalui 4 cara, yaitu stek, merunduk (layering), penyambungan (grafting) dan menempel tunas (okulasi). Stek cabang yang digunakan berumur 4-6 bulan dengan panjang stek 20-25 cm (3-4 mata stek). Stek dapat dipindahkan ke kebun setelah berumur 3 bulan. Teknik layering (merunduk) dilakukan dengan memangkas tanaman murbei sebelumnya, kemudian setelah berumur 2,5-3 bulan, cabang dibengkokkan dan dimasukkan ke dalam tanah. Setelah bertunas dan sudah mencapai tinggi ±50 cm (berumur2-3 bulan), tanaman tersebut dapat dipindahkan. Teknik Grafting (penyambungan) dimaksudkan untuk mengganti kebun murbei yang sudah tidak produktif (M. Morus alba L. 91 (Moraceae) nigra) dengan jenis murbei unggul tanpa membongkar tanaman yang sudah ada. Teknik okulasi dilakukan untuk memperbanyak jenis murbei yang dianggap unggul tetapi sukar untuk diperbanyak dengan stek (misalnya jenis M. ichinose) dan memperbanyak dalam waktu singkat. Sebagai batang bawah dapat dipergunakan tanaman yang sudah ada, mempunyai perakaran kuat, tahan terhadap pengaruh dari luar tetapi produksi daunnya relatif lebih rendah atau yang tidak begitu disukai oleh ulat sutera (misalnya M. macroura) (Andadari et al., 2013). Pada pembibitan dengan stek, pertumbuhan dapat dipacu dengan pemupukan NPK 20% dalam bentuk pupuk slow release 9 gram/bibit yang telah berumur 15 hari dari stek, terutama pada tanah podzolik merah (Suwandi et al., 2005). Tanah yang akan ditanami murbei terlebih dahulu dilakukan pencangkulan, pembuatan guludan dan pembuatan drainase. Tanaman murbei tidak akan tahan terhadap kekeringan, sehingga sebaiknya penanaman dilakukan pada awal musim hujan. Dengan demikian, tanaman murbei pada musim kemarau sudah cukup kuat menahan kekeringan karena perakarannya sudah menjalar. Tanaman murbei dapat ditanam di lahan bukaan baru, lahan bekas tebangan atau lahan bekas tanaman murbei yang sudah tidak produktif. Jarak tanam bergantung varietas yang digunakan antara lain 0,5 x 0,5 m (40.000 pohon/hektare), 1x0,5 m (20.000 pohon/ha) dan jarak tanam 1 x 1 m (10.000 pohon/hektare). Penanaman dapat dilakukan dengan system lubang tanam dengan ukuran 40 x 40 x 40 em atau 50 x 50 x 50 cm atau dengan system rorakan dengan jarak 1 m lubang memanjang seperti penanaman tebu, dengan ukuran rorakan sedalam 50cm dan lebar 40 cm. Murbei memerlukan air yang cukup untuk pertumbuhan dan menjaga kelembapan tanah agar porositas tanah menjadi baik. Bila kelembapan tanah kurang, maka pertumbuhan murbei akan terhambat, bahkan kalau sudah parah, pertumbuhan akan terhenti (Andadari et al., 2013). Pemupukan adalah salah satu faktor yang dapat menentukan keberhasilan pertumbuhan dan produksi murbei. Saat ini di Indonesia budidaya murbei lebih diutamakan untuk diambil daunnya sebagai pakan ulat sutera sehingga pemupukan anjuran lebih kepada peningkatan kualitas dan produktivitas daun. Pemupukan dilakukan 3 kali setahun yaitu setelah tanaman murbei dipangkas. Saat yang tepat adalah 2 minggu setelah pemangkasan. Jenis pupuk yang sering diberikan pada tanaman murbei adalah Urea, KCI dan SP-36 serta pupuk organik seperti kompos dan pupuk kandang. Adapun banyaknya pupuk yang diberikan adalah Urea 350 92 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

kg/ha, KCl 150 kg/ha dan SP-36 sebanyak 50 kg/ha. Pupuk organik berupa pupuk kandang diberikan sebanyak 15 ton/ha (Andadari et al., 2013). Pemupukan yang digunakan (Krishna et al., 2018b) di India dalam penelitiannya untuk studi karakter vegetatif sampai dengan buah 10 genotipe murbei digunakan pupuk yang seimbang antara N, P dan K. Pada dasarnya teknologi budidaya mulbery yang sudah banyak diterapkan petani di Indonesia merupakan budidaya yang lebih banyak kepada budidaya murbei untuk diambil daunnya sebagai pakan ulat sutra. Namun demikian, pembungaan dan pembuahan murbei ini di Indonesia hampir tidak mengenal musim. Sebagai gambaran di daerah Batu, Jawa Timur, murbei yang tumbuh dan/atau ditumbuhkan di tepi jalan dapat berbuah lebat seperti halnya di daerah persawahan yang subur. Jenis hama yang paling menyebabkan kerusakan yaitu kutu daun (Maconellicoccus hirsutus Green) dan belalang (Valanga sp.), sedang jenis penyakit yang banyak menyebabkan kerusakan adalah bercak daun (Septogleum mori Briosi et Cavapa) dan karat (Aecideum mori Barclay) (Prayudyaningsih et al., 2006).

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi ekonomi Tanaman Murbei di Indonesia lebih banyak digunakan daunnya sebagai pakan ulat sutera. Namun demikian hasil penelitian (Ginting et al., 2013), menunjukkan murbei juga berpotensi sebagai pakan ruminansia yaitu M. multicaulis memiliki palatabilitas paling tinggi seperti diindikasikan oleh tingginya taraf konsumsi dan M. chatayana memiliki taraf kecernaan paling tinggi. Morus alba L merupakan tanaman yang bagus untuk mengurangi polusi udara karena termasuk tanaman sink karbon yang baik. 1 mu murbey dapat menyerap

sekitar 4.162 kg Co2 setara dengan 135 kg karbon dan melepas 3.064 kg oksigen dalam 1 tahun (1ha = 15 mu). Tanaman Morus alba sangat menyerap polusi udara sepertichlorine , hidrogen florida dan sulfur dioksida. Selama 6 jam fumigasi sulfur dioksida dengan konsentrasi 0,79×10-6, 1 kg daun kering murbei menyerap 5,77 gram sulfur dioksida dan 1 m3 hutan murbei menyerap 20m l sulfur dioksida setiap hari (Lu & Jiang, 2003 cit Jian et al., 2012). Morus alba L. 93 (Moraceae)

Tanaman murbei dapat digunakan sebagai obat, baik daun, kayu batang, kayu akar maupun buahnya. Jus buah dan biji Morus alba berpotensi sebagai anti virus influenza. Hasil penelitian Kim & Chung (2018) menunjukkan jus dan biji Morus alba dapat melawan virus influenza BR59 (A/Brisbane/59/2007 (H1N1), KR01 (A/ Korea/01/2009(H1N1)) (KR01), dan FL04 (B/Florida/4/2006). Ekstrak buah dan daun murbai juga dapat dimanfaatkan sebagai anti disentri. Hasil penelitian Hastuti, Oktantia, & Khasanah menunjukkan ekstrak daun dengan konsentrasi 95% dan ekstrak buah murbei (M. alba L.) dengan konsentrasi 85% efektif dalam menghambat pertumbuhan Shigella dysenteriae secara in vitro. Ekstrak daun dan buah Murbei dengan konsentrasi 85% menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus secara in vitro. Buah Morus nigra di Negara Turki mempunyai kandungan total flavonoid dan fenol lebih tinggi dari pada Morus alba. Morus nigra mengandung total flavonoid 276 mg QE/100 g berat segar dan total fenol 0,16 mg GAE/100 g berat segar. Sementara itu Morus alba mengandung total flavonoid 181 mg QE/100 g berat segar dan total fenol 0,16 mg GAE/100 g berat segar. Total ascorbic kedua spesies tidak terlalu berbeda yaitu Morus alba 22,4 mg/100ml, Morus nigra 21,8 mg/100ml (Ercisli & Orhan, 2007). Kandungan buah murbei kaya antioksidan karena kandungan antosianin yang banyak. Hasil penelitian pada Morus alba dan Morus cathayana di Indonesia menunjukkan kedua spesies tersebut mengandung 2 antosianin dominan yaitu sianidin-3-O-glukosida dan sianidin-3-O-rutinosida (Sitepu et al., 2016). Hasil penelitian dan Hakim dkk. 2008), menyimpulkan bahwa senyawa-senyawa oksiresveratrol, andalasin A, dan andalasin B yang diisolasi sebagai komponen utama tumbuhan Andalas (M Macroura), dan senyawa resveratrol yang banyak ditemukan pada spesies Dipterocarpaceae, merupakan senyawa-senyawa yang sangat potensial sebagai bahan antioksidan atau inhibitor tirosinase (bahan pemutih kosmetik). Selaian sebagai obat, Andalas (M. macroura) di kenal oleh masyarakat Minang sebagai kayu yang bagus dalam pembangunan rumah adat di Minangkabau. Kayu Andalas sudah menjadi tradisi sejak lama dipakai dalam pembuatan rumah, baik sebagai tiang utama, balok untuk landasan lantai rumah, papan lantai dan dinding rumah. Sering pula kayunya dipakai sebagai bahan perabot rumah tangga (Gusmailina, 2014). 94 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Pustaka 1. Andadari, L., Dewi, R., & Pudjiono, S. (2016). Uji adaptasi lima tanaman murbei hibrid baru untuk meningkatkan produktivitas persutraan alam. Widyariset, 2(2), 96–105. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.14203/ widyariset.2.2.2016.96-105 2. Andadari, L., Pudjiono, S., Suwandi, & Rahmawati, T. (2013).Budidaya Murbei dan Ulat Sutera (M. Kaomini, N. F. Haneda, & T. Herawati, Eds.). Bogor: Forda Press. 3. Basavaiah, L., Dandia, S. B., Dhar, A., & Sengupta, K. (1990). Meiosis in natural Decosaploid (22x) Morus nigra. Cytologia, 55(3), 505–509. https://doi. org/10.1508/cytologia.55.505 4. Ercisli, S., & Orhan, E. (2007). Chemical composition of white (Morus alba), red (Morus rubra) and black (Morus nigra) mulberry fruits. Food Chemistry, 103, 1380–1384. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2006.10.054 5. Ferlinahayati, Hakim, E. H., Syah, Y. M., & Juliawaty, L. D. (2012). Senyawa Morusin dari tumbuhan murbei hitam (Morus nigra). Jurnal Penelitian Sains, 15(April), 70–73. 6. Ginting, S. P., Hutasoit, R., & Yuliastiani, D. (2013). Seminar nasional teknologi peternakan dan veteriner. Karateristik Morfologik Dan Agronomik Serta Kualitas Nutrisi Beberapa Spesies Murbei, 468–477. 7. Gusmailina. (2014). Seminar Nasional XVII Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) 11 November 2014. ANDALAS (Morus Macroura Miq) ; PROFIL DAN PROSPEK SEBAGAI TUMBUHAN OBAT DAN KOSMETIKA ASAL HUTAN. Medan. 8. Hastuti, U. S., Oktantia, A., & Khasanah, H. N. (n.d.). Seminar Nasional IX Pendidikan Biologi FKIP UNS 529. Daya Antibakteri Ekstrak Daun Dan Buah Murbei (Morus Alba L)Terhadap Staphylococcus Aureus Dan Shigella Dysenteriae, 529–534. 9. Isnan, W., & Muin, N. (2015). Tanaman Murbei : Sumber Hutan MultiManfaat. Info Teknis Eboni, Vol. 12(2), 111–119. 10. ITIS. (2011). ITIS Standard Report Page: Morus. Retrieved from https:// www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_ value=825867#null Morus alba L. 95 (Moraceae)

11. Jian, Q., Ningjia, H., Yong, W., & Zhonghuai, X. (2012). Ecological issues of Mulberry and sustainable development. Journal of Resources and Ecology, 3(4), 330–339. https://doi.org/10.5814/j.issn.1674-764x.2012.04.006

12. Kafkas, S., Özgen, M., Doǧan, Y., Özcan, B., Ercişli, S., & Serçe, S. (2008). Molecular characterization of mulberry accessions in Turkey by AFLP markers. Journal of the American Society for Horticultural Science, 133(4), 593–597. https://doi.org/10.21273/JASHS.133.4.593 13. Kim, H., & Chung, M. S. (2018). Antiviral activities of mulberry (Morus alba) juice and seed against influenza viruses. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, 2018, 1–10. https://doi.org/10.1155/2018/2606583 14. Krishna, H., Singh, D., Singh, R. S., Kumar, L., Sharma, B. D., & Saroj, P. L. (2018a). Morphological and antioxidant characteristics of mulberry (Morus spp.) genotypes. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences Xxx. https://doi.org/10.1016/j.jssas.2018.08.002 15. Krishna, H., Singh, D., Singh, R. S., Kumar, L., Sharma, B. D., & Saroj, P. L. (2018b). Morphological and antioxidant characteristics of mulberry (Morus spp.) genotypes. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences. https:// doi.org/10.1016/j.jssas.2018.08.002 16. Machii, H., Koyama, A., & Yamanouchi, H. (2002). Mulberry breeding, cultivation and utilization in Japan.FAO Electronic Conference on Mulberry For Animal Production (Morus 1-L), 1–10. 17. Nepal, M. P. (2008). Systematics and reproductive biology of the genus morus l. (Moraceae). Kansas State University. 18. Orhan, E., & Ercisli, S. (2010). Genetic relationships between selected Turkish mulberry genotypes (Morus spp) based on RAPD markers. Genetics and Molecular Research : GMR, 9(4), 2176–2183. https://doi.org/10.4238/vol9- 4gmr958 19. Prayudyaningsih, R., Tikupadang, H., & Santosa, B. (2006). Hama dan penyakit jenis murbei eksot dan tingkat kehilangan daunnya pada akhir musim kemarau. Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, 3(4), 429–435. 20. Rao, A. A., Chauhan, S. ., Radhakrishnan, R., Tikader, A., Borpuzari, M. ., & Kamble, C. . (2011). Distribution, variation and conservation of Mulberry (Morus spp.) genetic resources in the arid zone of Rajasthan, India. Bioremediation, Biodiversity and Bioavaiilability, 5(1), 52–62. 96 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

21. Reino-molina, J. J., Montejo-valdés, L. A., Sánchez-rendón, J. A., & Martín, G. J. M. (2017). Seed characteristics of five mulberry (Morus alba L.) varieties harvested in Matanzas, Cuba. Pastos y Forrajes, 40(4), 259–263. 22. Sasmita, N., Purba, J. H., & Yuniti, I. G. A. D. (2019). Adaptation of Morus alba and Morus cathayana plants in a different climate and environment conditions in Indonesia. Biodiversitas, 20(2), 544–554. https://doi.org/10.13057/biodiv/ d200234 23. Shu, S. (2003). 2. MORUS Linnaeus, Sp. Pl. 2: 986. 1753. In Flora of China 5 (pp. 22–26). 24. Sitepu, R., Brotosudarmo, T. H. P., & Limantara, L. (2016). Karakterisasi antosianin buah murbei spesies Morus alba dan Morus cathayana di Indonesia (Anthocyanin characterization ofMorus alba and Morus cathayana in Indonesia). Online Journal of Natural Science, 5(2), 158–171. 25. Srivastava, P. P., Vijayan, K., Awasthi, A. K., & Saratchandra, B. (2004). Genetic analysis of Morus alba through RAPD and ISSR markers. Indian Journal of Biotechnology, 3, 527–532. 26. Suwandi, Novriyanti, & Janneta, S. (2005). Aplikasi pupuk lambat tersedia terhadap pertumbuhan beberapa jenis stek Murbei (Morus spp.) pada media tanah podzolik merah kuning. Journal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, 2(6), 631–637. 27. Syamsuardi (Laboratorium Systematika Tumbuhan Jurusan Biologi, FMIPA, U. A. (2015). Prosiding Workshop : Improving appreciation and awareness on conservation of high vaue indegenous wood spesies of Sumatera. In K. B. P. T. S. T. Hutan, D. Rahmanto, R. G. H. Rahmanto, A. Subiakto, A. Susilowati, Sudarmalik, … Sulastri (Eds.), Diversitas morfologis & genetik pohon andalas (Morus macroura miq.), flora identitas Sumatera Barat, dan pemanfaatannya secara berkelanjutan (pp. 42–53). Pekanbaru: Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Pekanbaru. 28. Tikader, A. (2011). Distribution , Diversity , Utilization and Conversation of Mulberry (Morus spp.) in North West of India. Penulis : Anis Andrini, Yunimar dan Chaireni Martasari Balai Penelitiah Jeruk dan Buah Subtropika Passiflora edulis Sims (Passifloraceae)

Protologue Passiflora edulis Sims – Botanical Magazine. 45/48 t. 1989. 1818. Sinonim : • Passiflora edulis Sims var. kerii (Spreng.) Mast. -- Transactions of the Linnaean Society of London. London. 27: 637. 1871. • Passiflora edulis var. pomifera (Roem.) Mast. -- Transactions of the Linnaean Society of London. London. 27: 637. 1871. • Passiflora edulis var. rubricaulis (Jacq.) Mast. -- Transactions of the Linnaean Society of London. London. 27: 637. 1871. • Passiflora edulis var. verrucifera (Lindl.) Mast. -- Transactions of the Linnaean Society of London. London. 27: 637. 1871. Nama umum Markisa (Indonesia), Maracujá (Portugis), maracuyá (Spanyol), passion fruit (Inggris), granadilla (Amerika Selatan dan Afrika Selatan), pasiflora (Israel), liliko’i (Hawaii), lc tiên, chanh dây, chanh leo (Vietnam).

I. Pendahuluan Markisa (Passiflora edulis Sims) merupakan salah satu spesies pada marga Passiflora pada Suku Passifloraceae. Nama Passiflora diberikan Carl Linnaeus (1753) dari Bahasa latin ‘flos passionis’ yang berarti bunga penderitaan. Marga Passiflora dilaporkan mempunyai lebih dari 520 spesies yang merupakan marga dengan anggota spesies terbesar pada Suku Passifloraceae (Rome & D’Eeckenbrugge, 98 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

2017). Keragaman genetik marga Passiflora terbesar terdapat di daratan Amerika Tropis terutama Amerika bagian Selatan yang mencapai 95% dari total spesies marga Passiflora. Kolombia merupakan daerah dengan diversitas tertinggi dengan 164 spesies, diikuti Brasil dengan 127 spesies (Mendoza et al., 2018). Hanya sekitar 24 spesies dari marga Passiflora yang mempunyai habitat asli di daerah Asia Tenggara, Australia hingga Pasifik. Secara umum, spesies-spesies Passiflora ditemukan dan beradaptasi baik pada daerah dengan rentang lintang hingga 40o Utara atau Selatan, rentang ketingggian tempat 0 – 4500 m dpl dan rentang ekosistem dari hutan basah tropis hingga kering (De Giovanni & Bernacci, 2015). Marga Passiflora terbagi menjadi 4 submarga yaitu : submarga Passiflora yang memiliki anggota spesies terbanyak sekitar lebih dari 230 spesies, submarga Decaloba dengan 214 spesies, dan Astrophaea serta Deidamiodes yang masing- masing beranggotakan 57 dan 13 spesies (Cutri et al., 2013). Semua spesies Passiflora berasal dan beradaptasi baik pada lingkungan di bawah tegakan hutan pada intensitas cahaya rendah. Pertumbuhan merambat merupakan pola adaptasi untuk mencapai suatu ketinggian atau ruang untuk mendapatkan cahaya. Kemampuan tumbuh merambat ditopang oleh organ sulur pengait (tendril) yang tumbuh dari buku pada batang (Godinho et al., 2010). Sulur pengait juga dipunyai tanaman tanaman lain pare/peria (Momordica charantia) dan kelompok Cucurbitaceae. Berbeda dari pare/peria dan kelompok Cucurbitaceae, sulur pengait pada markisa merupakan organ modifikasi dari inflorensens/bunga (Patel et al., 2011). Di Indonesia, terdapat 2 jenis markisa yang umum dibudidayakan yaitu jenis markisa dengan kulit buah berwarna ungu dan berwarna kuning. Menurut Karsinah et al. (2010), markisa berkulit ungu merupakan salah satu forma P. edulis, yaitu P. edulis f. edulis bersama-sama dengan jenis markisa asam berkulit merah atau hitam (black granadilla). Markisa berkulit ungu umumnya tumbuh dan berkembang baik di daerah subtropis dan dataran tinggi tropis, sedangkan markisa berkulit merah dapat berdaptasi pada dataran rendah tropis. Jenis markisa berkulit buah kuning termasuk dalam forma flavicarpa atau sering disebut yellow passion fruit (P. edulis Sims. f. flavicarpa Deg.). Jenis markisa pada forma ini dapat beradaptasi di dataran rendah tropis (Marpaung et al., 2016). Passiflora edulis Sims 99 (Passifloraceae)

II. Klasifikasi dan deskripsi botani Markisa termasuk dalam Kerajaan: Plantae, Divisi: Magnoliphyta, Bangsa: Violales, Suku: Passifloraceae, Marga: Passiflora, Jenis: Passiflora edulis Sims. (Fauza et al., 2015). Jenis P. edulis Sims mempunyai dua forma yaitu forma flavicarpa dan forma edulis yang telah dijelaskan sebelumnya. Markisa merupakan tanaman tahunan (perennial) dengan tipe pertumbuhan merambat (Gambar 20) hingga mencapai ketinggian 20 m dengan bantuan sulur pengait (tendril). Tanaman markisa sangat jarang mempunyai tipe pertumbuhan seperti pohon atau menyemak. Duduk daun berseling dan daun mempunyai banyak variasi dari tipe tunggal dengan bentuk bulat memanjang dengan ujung runcing atau tunggal yang umumnya dijumpai saat tanaman masih dalam fase juvenil, hingga daun tunggal dengan 2-5 belahan (lobe) (Patel et al., 2011). Batang tanaman sedikit berkayu, berbuku tempat duduk daun serta berwarna hijau saat muda dan berubah menjadi hijau kecokelatan saat dewasa (Hutabarat et al., 2016).

(a) (b) (c)

Gambar 20. (a) Tanaman markisa yang merambat pada para-para, (b) merambat pada pucuk bambu, dan (c) merambat pada pohon (foto: karsinah).

Bunga markisa bertipe tunggal, sempurna (hermaphrodite) dengan diameter hingga 7 cm. Petal bunga berwarna putih dengan korona berwarna putih hingga ungu bergantung jenis dan mempunyai filamen dengan panjang sekitar 2,5-4,0 cm berwarna putih dari pangkal hingga ujung, putih dengan pangkal berwarna ungu (Gambar 21). Kelopak bunga berkembang seperti helaian membentuk 3-5 sepal dengan pangkal saling melekat atau terpisah. Bakal buah sangat menonjol dan putik terletak di atas tangkai sari (Rendón et al., 2013). 100 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

(a) (b) (c) Gambar 21. Bunga markisa dengan variasi korona: (a) bunga markisa ungu (P. edulis f. edulis Sims), (b) bunga markisa merah (P. edulis f. edulis Sims), dan (c) bunga markisa kuning (P. edulis Sims f. flavicarpa Deg.) (foto: karsinah).

Bakal buah akan berkembang menjadi buah setelah terjadi penyerbukan. Bunga umumnya mekar saat menjelang siang atau saat suhu lingkungan hangat. Mekarnya bunga pada saat lingkungan hangat diduga berhubungan dengan meningkatnya aktivitas serangga penyerbuk yang umumnya dari kelompok lebah Xylocopa spp., burung kelompok Trochillidae (Rendón et al., 2013) dan kelelawar (Sazima & Sazima, 1987). Buah yang terbentuk dari penyerbukan alami umumnya berasal dari pernyerbukan silang sehubungan dengan sifat tanaman yang tidak bisa menyerbuk sendiri (self incompatibility) (Do Rêgo et al., 1999; Madureira et al., 2014). Kedua forma spesies P. edulis yaitu P. edulis f. edulis Sims dan P. edulis Sims f. flavicarpa Deg. yang umum terdapat di Indonesia mempunyai karakteristik morfologis yang berbeda. P. edulis f. edulis Sims mempunyai daun berbentuk menjari dengan helaian lebih tipis dan berukuran lebih kecil dari P. edulis Sims f. flavicarpa Deg., dengan dimensi 9-12 x 7-9 cm. Panjang tangkai daun sekitar 2-3 cm dengan tangkai berwarna hijau muda. Dibandingkan P. edulis Sims f. flavicarpa Deg., ruas batang P. edulis f. edulis Sims juga lebih pendek dengan sulur pengait (tendril) berwarna hijau muda, ukuran bunga lebih kecil dan berwarna hijau saat muda dan berubah menjadi ungu saat mekar. Buah berwarna hijau dengan bintik putih saat muda dan berwarna ungu-merah berbintik putih saat tua atau masak dengan kulit buah agak tipis dan keras (Gambar 22-23). Buah berbentuk bulat sampai bulat agak lonjong atau oval, sari buah berwarna kuning oranye, berasa asam hingga asam manis dengan aroma kuat (Karsinah et al., 2010). Passiflora edulis Sims 101 (Passifloraceae)

Gambar 22. Buah markisa ungu (P. edulis f. edulis Sims) pada saat muda berwarna hijau dan berwarna ungu setelah tua atau masak, serta sari buahnya berwarna kuning orange (foto: karsinah).

Gambar 23. Buah markisa merah (P. edulis f. edulis Sims) pada saat muda berwarna hijau dan berwarna merah berbintik putih setelah tua atau masak, serta sari buahnya berwarna kuning orange (foto: karsinah).

Sementara P. edulis Sims f. flavicarpa Deg. mempunyai ukuran daun lebih besar dari P. edulis f. edulis Sims dengan dimensi 10-13 x 9-12 cm dengan tangkai berwarna kecokelatan. Ruas batang sekitar 7-10 cm berwarna kecokelatan. Ukuran bunga besar dengan diameter mencapai 7-8 cm. Buah muda berwarna hijau dan berubah menjadi kuning muda hingga kuning berbintik putih saat tua atau masak (Gambar 24). Kulit buah tebal dan agak keras. Sari buah berwarna kuning dengan rasa asam manis beraroma seperti jambu biji (Karsinah et al., 2010). 102 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Gambar 24. Buah markisa kuning (P. edulis Sims f. flavicarpa Deg.) pada saat muda berwarna hijau dan berwarna kuning berbintik putih setelah tua atau masak, serta sari buahnya berwarna kuning (foto: karsinah).

III. Asal dan distribusi geografis Tanaman markisa ungu (P. edulis f. edulis Sims) diperkirakan berasal dari Brasil bagian Selatan, Paraguay hingga bagian Utara Argentina. Sementara asal markisa kuning (P. edulis Sims f. flavicarpa Deg.) belum diketahui secara pasti. Beberapa studi menyebutkan markisa kuning adalah hibrid dari P. edulis dengan P. ligularis, namun demikian studi sitologi mengindikasikan bahwa markisa kuning bukan turunan keduanya (Cerqueira-Silva et al., 2014). Tanaman markisa paling banyak ditemukan pada kisaran ketinggian 100 – 2000 m dpl dan merupakan salah satu tanaman yang telah lama dikenal dalam kehidupan manusia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa tanaman markisa telah dibudidayakan sejak zaman suku Aztecs dan dikonsumsi buahnya dan pengobatan, terutama jenis P. edulis (Mendoza et al., 2018). Tanaman markisa diperkenalkan dan diintroduksi ke wilayah Eropa pada tahun 1629 oleh pelaut Spanyol (Bernacci et al., 2008). Tanaman markisa tersebut diintroduksikan ke sejumlah daerah di dunia dan hingga kini banyak pertanaman intensif markisa ungu ditemukan di daerah-daerah seperti Hawaii, Australia, Afrika Selatan, Venezuela, Peru, Ekuador, dan Kolombia, terutama. Masuknya markisa ke Indonesia diduga juga dibawa oleh orang-orang Spanyol termasuk ke daerah- daerah Malaysia, Thailand dan Amerika Selatan (Mezzonato-Pires et al., 2017). Di Kolombia, spesies-spesies Passiflora menyebar dari daratan dengan ketinggian 100 hingga 5.400 m dpl (Ocampo et al., 2010). Selain manusia, hewan-hewan primata diduga menjadi agen penyebaran alami markisa. Hewan-hewan ini memakan buahnya dan tanaman baru tumbuh dari biji yang tidak tercerna yang keluar bersama dengan kotoran (Ocampo Pérez & Coppens d’Eeckenbrugge, 2017). Passiflora edulis Sims 103 (Passifloraceae)

Di Indonesia, markisa ungu (P. edulis f. edulis Sims) banyak dibudidayakan di dataran tinggi. Pusat penghasil markisa ungu yaitu Provinsi Sumatera Utara, yaitu Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi dan Tapanuli Utara, serta Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Gowa, Sinjai, Tator, Enrekang dan Polmas. Di sisi lain, markisa kuning (P. edulis Sims f. flavicarpaDeg .) umumnya ditanam di pekarangan di daerah Jawa Barat seperti Pelabuhan Ratu, Sukabumi, dan Bogor serta Provinsi Sumatera Utara seperti Simalungun, Langkat dan Medan. Beberapa daerah seperti Kotanopan, Mandailing Natal, Pematang Siantar juga merupakan sentra produksi markisa merah (Karsinah et al., 2010).

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik Studi sitogenetika spesies-spesies Passiflora dilaporkan pertama kali dengan kisaran jumlah kromosom 2n = 12 (P. puchella) hingga 84 (P. lutea) pada tahun 1940-an (Storey, 1950). Secara umum marga Passiflora terbagi menjadi 4 kelompok karyologi yaitu dengan jumlah basis kromosom x= 6, 9, 10 dan 12. Hampir semua spesies Passiflora adalah diploid dengan jumlah kromosom somatis 2n = 12, 2n = 18 atau 2n = 20. Namun demikian, beberapa studi juga melaporkan keberadaan asesi alami dengan jumlah kromosom tetraploid (2n = 24), heksaploid (2n = 36) dan oktoploid (2n = 72) (De Melo & Guerra, 2003). Spesies-spesies pada submarga Passiflora kebanyakan mempunyai jumlah kromosom 2n = 18 (n = 9) sedangkan pada submarga Decaloba, speses-spesiesnya kebanyakan mempunyai jumlah kromosom somatik 2n = 24 (n = 12). Tanaman markisa jenis P. edulis mempunyai jumlah kromosom 2n = 18 (n = 9) (Silva et al., 2018). Studi kekerabatan dan diversitas genetik pada marga Passiflora telah banyak dilakukan di antaranya dengan menggunakan analisis hubungan morfologi-ITS DNA ribosome (Ramaiya et al., 2014b), marka RAPD (Pereira et al., 2010), SSR (Pio Viana et al., 2014; Wu et al., 2018), dan SARP (Oluoch et al., 2018). Kajian genom Passiflora dengan menggunakan deteksi mikro satelit DNA pun telah dilakukan (Araya et al., 2017). Studi kekerabatan genetik menggunakan ITS DNA ribosom mengindikasikan bahwa P. edulis (submarga Passiflora) mempunyai jarak genetik terdekat dengan P. incarnata, P. vitifolia, dan P. caerulea (Ramaiya et al., 2014b). Analisis kekerabatan antara spesies-spesies Passiflora juga telah dilakukan melalui studi persilangan (pre breeding). Amorim et al. (2013) melaporkan bahwa keberhasilan persilangan resiprokal P. rubra x P. capsularis mencapai kurang dari 50%. Pada spesies-spesies lain yang melibatkan P. cincinnata, P. maliformis, P. 104 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

caerulea, P. mucronata, P. vitifolia, P. alata dan P. edulis f. flavicarpa menunjukkan bahwa keberhasilan persilangan mencapai 22,2 – 60% bila P. vitifolia, P. mucronata, P. edulis f. edulis dan P. edulis f. flavicarpa menjadi tetua betina. Rendahnya perkecambahan biji disebabkan oleh hambatan pasca pembentukan zigot (post zygotic barriers) yaitu gagalnya pembentukan endosperm (Ocampo et al., 2016). Studi persilangan antar spesies Passiflora yang melibatkanP. alata, P. cincinnata, P. caerulea, P. amethystine, P. edulisf. edulis dan hibrida P. ‘violacea’ mengungkapkan bahwa P. alata dan P. caerulea dapat disilangkan secara resipokral dengan keberhasilan yang tinggi. Sedangkan persilangan P. caerulea x P. amesthystina dan P. caerulea x P. alata menunjukkan inkompatibilitas yang tinggi yang disebabkan oleh hambatan perkecambahan lanjut serbuk sari pada tabung putik (Bugallo et al., 2011).

V. Evolusi dan risiko erosi genetik Studi evolusi pada marga Passiflora hingga kini masih terfokus pada jumlah basis kromosom, perbedaan bentuk daun serta pembentukan sulur pengait (tendril). Hingga kini jumlah basis kromosom pada marga Passiflora masih menjadi perdebatan para ahli. Hasil studi saat ini, jumlah kromosom basis yaitu n= x = 3, 6, 9, dan 12. Pada spesies-spesies kelompok n= 6, kromosom mempunyai jumlah intron yang lebih sedikit dibandingkan kelompok n = 9. Namun demikian, secara morfologi, kelompok n = 9 mempunyai keseragaman pada bentuk bunga seperti lonceng atau tabung, pelindung bunga berbentuk filamen, braktea yang berbentuk helaian dan serbuk sari yang berpelindung dan mempunyai 3 sisi. Sedangkan kelompok n= 12 diduga merupakan hasil penambahan kromosom (aneuploidy) dari kelompok n = 11. Spesies-spesies dengan n = 11 dan n = 12 umumnya merupakan anggota submarga Decaloba (Hansen et al., 2006). Bentuk daun pada setiap spesies marga Passiflora sangat variatif. Studi pada bentuk daun 40 spesies Passiflora merujuk pada penggolongan bentuk daun menjadi beberapa kelompok berdasarkan bentuk bentangan helaian dan lekukan (Chitwood & Otoni, 2017). Perbedaan bentuk daun pada marga Passiflora tidak hanya terlihat antar spesies, namun juga tahapan pertumbuhan. Pada beberapa spesies termasuk P. edulis, bentuk daun tanaman saat fase juvenil dan dewasa juga mengalami perubahan. Saat tanaman dewasa yang ditandai dengan munculnya bunga pada buku, bentuk daun yang awalnya oval dengan ujung meruncing berubah menjadi trifoliate dengan 3 ujung meruncing dan 2 lekukan. Kondisi ini Passiflora edulis Sims 105 (Passifloraceae) berhubungan dengan aktivasi gen pengatur pembungaan APETALA1 AP1/FUL homolog (PeAP1 dan PeFUL). Aktivasi gen ini juga berhubungan dengan munculnya sulur pengait (Scorza et al., 2017). Tumbuhnya sulur pengait (tendril) juga menarik perhatian para ahli botani. Sulur pengait pada Passiflora muncul pada buku batang hasil modifikasi dari pembentukan bakal bunga, tidak seperti keluarga Cucurbitaceae yang berasal dari modifikasi tunas. Pembentukan suatu organ dengan fungsi yang sama namun dari asal organ yang berbeda ini merupakan bukti adanya evolusi konvergen pada angiospermae (Sousa-Baena, Sinha, Hernandes-Lopes, & Lohmann, 2018). Pada markisa, pembentukan sulur pengait berkorelasi dengan respons pertumbuhan merambat apikal pucuk untuk memperoleh ruang dan sinar (Sousa-Baena et al., 2018). Respons perkembangan ini dilaporkan berhubungan dengan aktivitas gen homolog APETALA1/FRUITFULL (Scorza et al., 2017). Pada kondisi ternaungi (intensitas cahaya rendah), tunas aksiler ini akan berkembang lebih lanjut menjadi sulur pengait (tendril) yang berfungsi menopang pertumbuhan tanaman lanjut untuk memperoleh ruang dengan kondisi lingkungan lebih kondusif. Sedangkan pada cahaya matahari cukup, maka bakal tunas aksiler akan berkembang menjadi bunga (Cutri et al., 2013). Sulur pengait umumnya tumbuh lurus awalnya, kemudian membengkok membentuk spiral dan mengait batang/ranting tanaman lain (Gambar 25) sebagai penopang tegaknya tubuh tanaman dari terpaan angin atau faktor lainnya (Godinho et al., 2010).

Gambar 25. Sulur pengait (tendril) pada tanaman markisa yang berfungsi untuk mengait pada batang untuk menopang tegaknya tanaman (foto: karsinah). 106 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Tanaman markisa umumnya diperbanyak secara vegetatif melalui stek batang dan okulasi. Perbanyakan dengan biji akan menghasilkan keturunan yang tidak sama dengan induknya karena fenomena outcrossing yang tinggi. Saat ini belum ada laporan mengenai proses kepunahan jenis ini di alam. Hal ini diduga karena penggunaan tanaman tersebut sebagai tanaman penghasil buah konsumsi maupun keperluan lain di kehidupan manusia masih sangat intensif.

VI. Aspek budidaya Tanaman markisa tumbuh baik pada ketinggian 600 hingga 1.500 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan minimal 1200 mm/tahun, kelembapan nisbi antara 80- 90%, suhu lingkungan antara 20-30 °C, dan sedikit berangin. Tanaman markisa dapat tumbuh di berbagai jenis tanah dengan kandungan bahan organik tinggi dan mempunyai pH antara 6,5-7,5 serta berdrainase baik. Perbanyakan tanaman markisa dapat melalui perbanyakan generatif (melalui biji) dan vegetatif melalui stek batang dan sambung pucuk (grafting). Tanaman induk yang digunakan sebagai bahan perbanyakan dipilih dari tanaman produktif varietas unggul yang telah berumur lebih dari 3 tahun, dalam kondisi sehat dan berpenampilan optimal. Tanaman muda hasil perbanyakan generatif dan vegetatif kemudian ditanam pada polybag (wadah tunggal) dan dipelihara hingga berumur 3-4 bulan bulan (Suswati et al., 2015). Tanaman muda hasil perbanyakan ditanam di lahan setelah berumur 4-6 setelah penyemaian biji atau 3 bulan setelah sambung pucuk. Tanaman ditanam pada lobang tanam berukuran 50 x 50 x 50 cm dengan jarak tanam 3-4 hingga 4-5 meter. Dua minggu sebelum tanam, media penanaman berupa campuran humus dan pupuk kandang 1:1 (v/v) disiapkan. Setelah ditanam, tanaman muda diberi air secukupnya untuk mengurangi stres awal tanam (Karsinah et al., 2010). Tanaman diberi penegak berupa lanjaran kayu dan para-para untuk media rambatan tanaman. Agar tanaman tumbuh dan berproduksi optimal, pemupukan dilakukan dengan pupuk organik berupa pupuk kandang dengan dosis 10 kg/tanaman pada saat tanam dan setiap 6 bulan hingga tanaman tidak lagi produktif. Pemupukan dengan menggunakan pupuk anorganik dilakukan dengan Urea sebanyak 50 g/ tanaman, SP-36 100 g/tanaman, KCl 100 g/tanaman dan NPK (15-15-15) 50 g/ tanaman setiap 3 bulan sekali. Pemeliharaan lain meliputi pengairan, penyiangan, dan pemangkasan. Markisa umumnya mulai berbunga saat berumur 3-6 bulan Passiflora edulis Sims 107 (Passifloraceae) setelah tanam. Pengairan yang dilakukan secara teratur terutama saat musim kemarau dapat menjaga pembungaan dan pembentukan buah secara terus- menerus. Pemangkasan tanaman dilakukan pertama kali saat fase awal setelah tanam. Pemangkasan awal tanam dilakukan dengan menyisakan 2 cabang utama. Pemangkasan lanjutan ditujukan untuk menjaga tajuk agar tidak terlalu rimbun. Pemangkasan lanjutan umumnya dilakukan pada cabang-cabang tua, karena bunga markisa muncul dari percabangan yang muda (Karsinah et al., 2010). Hama utama yang menyerang buah markisa adalah lalat buah yang umumnya menyerang saat stadia perkembangan buah. Sedangkan penyakit yang umum dijumpai adalah bercak cokelat (Altenaria passiflorae), layu Fusarium (Fusarium oxysporum f. sp. passiflorae). Pengendalian dilakukan dengan upaya preventif melalui sanitasi kebun dan pembuangan bagian/organ tanaman yang bergejala. Bila serangan meningkat, upaya kuratif dilakukan dengan menggunakan pestisida hayati dan sistemik sesuai dosis anjuran (Karsinah et al., 2010). Buah markisa dapat dipanen pada umur 85 hingga 95 hari dari bunga mekar. Tanda- tanda buah markisa ungu yang siap dipanen adalah warna buah ungu kehijauan. Sedangkan indikator buah masak pada markisa kuning adalah bila warna buah telah berubah menjadi kuning. Begitu juga markisa merah, panen buah dilakukan saat warna buah sudah berubah menjadi merah (Karsinah et al., 2010).

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi ekonomi Markisa merupakan salah satu tanaman yang telah dekat dengan kehidupan manusia sejak dulu kala. Buah markisa dapat dikonsumsi baik sebagai buah segar maupun olahan dalam bentuk jus. Kini buah markisa pun sudah dapat dikonsumsi dalam bentuk sirup dalam kemasan (Dewayani et al. 2004). Total produksi buah markisa Indonesia mencapai 2 juta ton menduduki peringkat ke-3 di Asia setelah India dan Filipina. Buah markisa asal Indonesia kini telah merambah pasar internasional dan telah diekspor ke sejumlah negara seperti Australia dan negara- negara Timur Tengah dalam bentuk buah segar dan sirup (Susanti & Putri, 2014). Buah markisa telah lama digunakan sebagai bahan obat-obatan dan mengandung beberapa senyawa kimia yang berguna untuk kesehatan manusia. Saat bangsa Eropa melakukan misi ke Amerika Utara, mereka mencatat suku Indian Algokian dan Creek di Florida menggunakan buah markisa untuk obat penenang. Hal yang 108 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

sama juga dilakukan penduduk asli Benua Amerika terutama di Peru, Argentina dan Brasil (Dhawan et al. 2004). Di beberapa negara, pemanfaatan tanaman markisa tidak hanya pada buahnya saja, tapi juga organ lainnya. Ekstrak daun digunakan untuk pengobatan kecanduan alkohol, migrain, dan insomnia. Bagian bunga juga digunakan untuk pengobatan asma, bronchitis dan batuk menahun (Sharan Patel, 2009). Buahnya banyak dikonsumsi dan dimanfaatkan untuk pengobatan diare, disentri, darah tinggi, gejala menopause dan gangguan pencernaan. Minyak bijinya pun banyak digunakan untuk pijat (Ingale & Hivrale, 2010). Tanaman markisa juga dikenal mengandung berbagai senyawa kimia seperti kelompok flavonoid, alkaloid, fenol, senyawa sianogenik, glikosida, vitamin, mineral dan senyawa terpenoid. Senyawa-senyawa flavonoid yang terkandung dalam buah markisa antara lain isoskatosida, orientin, isoviteksin, luteolin-6-cinovosida dan luteolin-6-C-fokosida. Senyawa kelompok glikosida yang terdeteksi di antaranya siklopentenoid sianohodrin glikosida, passicapsin, passibiflorin, sianogenik glikosida, passikoriasin, apipasikoriasin, epitetrapilin B sianogenik -ß-rutinosida, amigdalin, prunasin, mandelonitril, rhamnopiranosil-ßd-glucopiranosida, sambunigrin, benzil alkohol, 3 methyl-but-2en-1-ol, metil salisilat, eugenol, apigenin, benzoflavone, homoorientin, kaempferol, lucenin, luteolin, passiflorine, quercetine, rutin, saporanin, vicenin, viteksin dan chrysin. Buah markisa juga mengandung senyawa dalam kelompok alkaloid seperti harmalin, harmalol, harmin, harmol dan beta- carbolin harmala alkaloid serta senyawa terpenoid seperti 4-hidroxi-ß-ionol, 4-oxo-ß-ionol, 4-hidroxi-7,8-dihidro-ß-ionol, 4-oxo-7,8-dihidroß-ionol, 3-oxo-a- ionol, isomeric 3-oxo retro-a-ionols, 3-oxo-7,8-dihidro-a-ionol, 3-hydroxi-1,1,6- trimethyl-1,2,3,4-tetra hidro nafthalen vomifoliol dehydrovomifoliol, terpene alkohol linalool, a-terpeneol, terpen diols (E), (Z)-2,6-dimethylocta-2,7-diene- 1,6-diol, 2,6-dimethyl-octa-3,7-dien-2,6-diol, 2,6-dimethyl-1,8-octanediol, 2,6- dimethyl-octa-1,7-diene-3,6-diol, dan 2,5-dimethyl-4-hydroxy-3-(2H)-furanone (Sakalem et al. 2012). Selain senyawa alkaloid, fenol, senyawa sianogenik, glikosida, vitamin, mineral dan senyawa terpenoid, tanaman markisa juga banyak mengandung senyawa organik seperti formik, butirat, linoleat, linolenik, malik, miristik, olek, asam palmitate serta asalm amino α-alanin. Aroma buah yang khas berasal dari etil butirat, etil kaproat, n-hexil butirat, dann -hexil kaproat. Senyawa gula yang terkandung dalam buah berasal dari senyawa D-fruktosa, D-glukosa dan rafinosa. Buah markisa juga mengandung enzim-enzim seperti katalase, pectin metil esterase dan fenolase. Passiflora edulis Sims 109 (Passifloraceae)

Senyawa-senyawa organik lain yang terkandung dalam buah antara lain koumarin, maltol, fitosterol, dan saponin (Ramaiya et al., 2014; Asadujzaman et al. 2014; Macoris et al. 2011; Chóez-Guaranda et al. 2017).

Pustaka 1. Amorim, J. dos S., Souza, M. M., Viana, A. J. C., & Freitas, J. C. de O. (2013). Self-, cross- and interspecific pollinations in Passiflora capsularis and P. rubra. Revista Brasileira de Botanica, 34(4), 537–544. https://doi.org/10.1590/ s0100-84042011000400007 2. Araya, S., Martins, A. M., Junquiera, N. T. V, Costa, A. M., Faleiro, F. G., & Ferreira, M. E. (2017). Microsatellite marker development by partial sequencing of the sour passion fruit genome (Passiflora edulis Sims). BMC Genomics, 18(1), 549. https://doi.org/10.1186/s12864-017-3881-5 3. Asadujzaman, M., Mishuk, A. U., Hossain, M. A., & Karmakar, U. K. (2014). Medichinal potential of Passiflora foetida L. plant extracts: biological and pharmacological activities. Journal of Integrative Medicine, 12(2), 121–126. https://doi.org/10.1016/S2095-4964(14)60017-0 4. Bernacci, L. C., Soares-Scott, M. D., Junqueira, N. T. V., Passos, I. R. D. S., & Meletti, L. M. M. (2008). Passiflora edulis Sims : The correct taxonomic way to cite the yellow passion fruit (and of others colors). Revista Brasileira de Fruticultura, 30(2), 566–576. https://doi.org/10.1590/s0100-29452008000200053 5. Bugallo, V., Cardone, S., Gabriela, P., & Facciuto, G. (2011). Breeding advances in Passiflora spp. (Passion flower) native to Argentina.Floriculture and Ornamental Biotechnology, 5(1), 23–34. Retrieved from http://www.globalsciencebooks. info/Online/GSBOnline/images/2011/FOB_5(1)/FOB_5(1)23-34o.pdf 6. Cerqueira-Silva, C. B. M., Jesus, O. N., Santos, E. S. L., Correa, R. X., & Souza, A. P. (2014). Genetic breeding and diversity of the genus Passiflora: Progress and perspectives in molecular and genetic studies. International Journal of Molecular Sciences, 15(8), 14122–14152. https://doi.org/10.3390/ ijms150814122 7. Chitwood, D. H., & Otoni, W. C. (2017). Morphometric analysis of Passiflora leaves: The relationship between landmarks of the vasculature and elliptical Fourier descriptors of the blade. GigaScience, 6(1), 1–13. https://doi. org/10.1093/gigascience/giw008 110 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

8. Chóez-Guaranda, I., Ortega, A., Miranda, M., & Manzano, P. (2017). Chemical composition of essential oils of Passiflora edulis f. flavicarpa agroindustrial waste. Emirates Journal of Food and Agriculture, 29(6), 458–462. https://doi. org/10.9755/ejfa.2016-10-1542 9. Cutri, L., Nave, N., Ami, M. Ben, Chayut, N., Samach, A., & Dornelas, M. C. (2013). Evolutionary, genetic, environmental and hormonal-induced plasticity in the fate of organs arising from axillary meristems in Passifloraspp. Mechanisms of Development, 130(1), 61–69. https://doi.org/10.1016/j.mod.2012.05.006 10. De Giovanni, R., & Bernacci, L. C. (2015). Progressively approaching the distribution ofPassiflora ischnoclada(Passifloraceae) from a single occurrence record. Check List, 11(4), 1717. https://doi.org/10.15560/11.4.1717 11. De Melo, N. F., & Guerra, M. (2003). Variability of the 5S and 45S rDNA sites in Passiflora L. species with distinct base chromosome numbers. Annals of Botany, 92(2), 309–316. https://doi.org/10.1093/aob/mcg138 12. Dewayani, W., Muhammad, H., Armiati, & Nappu, M. B. (2004). Uji teknologi pembuatan sirup markisa skala rumah tangga. Jurnal Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 7(1), 69–75. 13. Dhawan, K., Dhawan, S., & Sharma, A. (2004). Passiflora: A review update. Journal of Ethnopharmacology, 94(1), 1–23. https://doi.org/10.1016/j. jep.2004.02.023 14. Do Rêgo, M. M., Bruckner, C. H., Da Silva, E. A. M., Finger, F. L., De Siqueira, D. L., & Fernandes, A. A. (1999). Self-incompatibility in passion fruit: Evidence of two locus genetic control. Theoretical and Applied Genetics, 98(3–4), 564– 568. https://doi.org/10.1007/s001220051105 15. Fauza, H., Sutoyo, & Putri, N. E. (2015). Status keberadaan plasma nutfah markisa ungu (Passiflora edulis) di Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. In Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas Indonesia (Vol. 1, pp. 1559– 1564). https://doi.org/10.13057/psnmbi/m010703 16. Godinho, M. H., Canejo, J. P., Feio, G., & Terentjev, E. M. (2010). Self-winding of helices in plant tendrils and cellulose liquid crystal fibers.Soft Matter, 6(23), 5965–5970. https://doi.org/10.1039/c0sm00427h Passiflora edulis Sims 111 (Passifloraceae)

17. Hansen, A. K., Gilbert, L. E., Simpson, B. B., Downie, S. R., Cervi, A. C., & Jansen, R. K. (2006). Phylogenetic relationships and chromosome number evolution in Passiflora. Systematic Botany, 31(1), 138–150. https://doi. org/10.1600/036364406775971769 18. Hutabarat, R. C., Tarigan, R., Barus, S., & Nasution, F. (2016). Karakterisasi morfologi dan anatomi markisa F1 di kebun percobaan Berastagi. Jurnal Hortikultura, 26(2), 189–196. 19. Ingale, A. G., & Hivrale, A. U. (2010). Pharmacological studies of Passiflora sp . and their bioactive compounds. African Journal of Plant Science, 4(10), 417–426. 20. Karsinah, Hutabarat, R. C., & Manshur, A. (2010). Markisa asam (Passiflora edulis Sims), Buah eksotik kaya manfaat. IPTEK Hortikultura, 6(6), 30–35. 21. Macoris, M. S., Janzantti, N. S., Garruti, D. dos S., & Monteiro, M. (2011). Volatile compounds from organic and conventional passion fruit (Passiflora edulis f. flavicarpa) pulp. Ciência e Tecnologia de Alimentos, 31(2), 430–435. https://doi.org/10.1590/s0101-20612011000200023 22. Madureira, H. C., Pereira, T. N. S., Da Cunha, M., Klein, D. E., de Oliveira, M. V. V., de Mattos, L., & de Souza Filho, G. A. (2014). Self-incompatibility in passion fruit: Cellular responses in incompatible pollinations.Biologia (Poland), 69(5), 574–584. https://doi.org/10.2478/s11756-014-0353-0 23. Marpaung, A. E., Karsinah, & Karo, B. B. (2016). Karakterisasi dan evaluasi markisa asam hibrid hasil persilangan markisa asam ungu dan merah (Passiflora sp.). Jurnal Hortikultura, 26(2), 163–170. 24. Mendoza, C. H. G., Cerón-Souza, I., & Arango, L. V. (2018). Agronomic evaluation of a colombian passion fruit (Passiflora edulis sims) germplasm collection. Agronomy Research, 16(4), 1649–1659. https://doi.org/10.15159/AR.18.190 25. Mezzonato-Pires, A. C., Mendonça, C. B. F., Milward‑de-Azevedo, M. A., & Gonçalves-Esteves, V. (2017). Distribution extensions for species of the Passiflora subgenus Astrophea (DC.) masters from Brasil (Passifloraceae s.s.). Check List, 13(5), 467–473. https://doi.org/10.15560/13.5.467 26. Ocampo, J., Arias, J. C., & Urrea, R. (2016). Interspecific hibridization between cultivated and wild species of genus Passiflora L. Euphytica, 209(2), 395–408. https://doi.org/10.1007/s10681-016-1647-9 112 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

27. Ocampo, John, d’Eeckenbrugge, G. C., & Jarvis, A. (2010). Distribution of the genus Passiflora L. Diversity in Colombia and its potential as an indicator for biodiversity management in the coffee growing zone. Diversity, 2(11), 1158– 1180. https://doi.org/10.3390/d2111158 28. Ocampo Pérez, J., & Coppens d’Eeckenbrugge, G. (2017). Morphological characterization in the genus Passiflora L.: an approach to understanding its complex variability. Plant Systematics and Evolution, 303(4), 531–558. https:// doi.org/10.1007/s00606-017-1390-2 29. Oluoch, P., Nyaboga, E. N., & Bargul, J. L. (2018). Analysis of genetic diversity of passion fruit (Passiflora edulis Sims) genotypes grown in Kenya by sequence- related amplified polymorphism (SRAP) markers. Annals of Agrarian Science, 16(4), 367–375. https://doi.org/10.1016/j.aasci.2018.08.003 30. Patel, S. S., Soni, H., Mishra, K., & Singhai, A. K. (2011). Recent updates on the genus Passiflora : A review. Int. J. Res. Phytochem. Pharmacol., 1(1), 1–16. 31. Pereira, A. S., Santos, E. S. L., Cardoso-Silva, C. B., Conceição, L. D. H. C. S., Cerqueira-Silva, C. B. M., Corrêa, R. X., & Oliveira, A. C. (2010). Genetic diversity in yellow passion fruit (Passiflora edulis Sims) based on RAPD. Crop Breeding and Applied Biotechnology, 10(2), 154–159. https://doi.org/10.12702/1984- 7033.v10n02a08 32. Pio Viana, A., Lougon Paiva, C., Azevedo Santos, E., de Oliveira, E. J., Oliveira Silva, R. N., & de Oliveira Freitas, J. C. (2014). Genetic variability assessment in the genus Passiflora by SSR marker. Chilean Journal of Agricultural Research, 74(3), 355–360. https://doi.org/10.4067/s0718-58392014000300015 33. Ramaiya, S. D., Bujang, J. S., & Zakaria, M. H. (2014a). Assessment of total phenolic, antioxidant, and antibacterial activities of Passiflora apecies. The Scientific World Journal, 2014, ID 167309. https://doi.org/10.1155/2014/167309 34. Ramaiya, S. D., Bujang, J. S., & Zakaria, M. H. (2014b). Genetic diversity in passiflora species assessed by morphological and ITS sequence analysis. Scientific World Journal, ID 589313. https://doi.org/10.1155/2014/598313 35. Rendón, J. S., Ocampo, J., & Urrea, R. (2013). Study of pollination and floral biology of Passiflora edulis f. edulis Sims. as a basis for pre-breeding. Acta Agronómica, 62(3), 232–241. https://doi.org/10.15446/acag Passiflora edulis Sims 113 (Passifloraceae)

36. Rome, M., & D’Eeckenbrugge, G. C. (2017). Delimitation of the series Laurifoliae in the genus Passiflora (Passifloraceae). Phytotaxa, 309(3), 245–252. https:// doi.org/10.11646/phytotaxa.309.3.5 37. Sakalem, M. E., Negri, G., & Tabach, R. (2012). Chemical composition of hydroethanolic extracts from five species of the Passiflora genus. Brasilian Journal of Pharmacognosy, 22(6), 1219–1232. https://doi.org/10.1590/ S0102-695X2012005000108 38. Sazima, M., & Sazima, I. (1987). Additional observations on Passiflora mucronata, the bat-pollinated passion flower. Ciência e Cultura, 39(3), 310– 312. 39. Scorza, L. C. T., Hernandes-Lopes, J., Melo-de-Pinna, G. F. A., & Dornelas, M. C. (2017). Expression patterns of Passiflora edulis APETALA1/FRUITFULL homologues shed light onto tendril and corona identities. EvoDevo, 8(1), 1–15. https://doi.org/10.1186/s13227-017-0066-x 40. Sharan Patel, S. (2009). Morphology and pharmacology of Passiflora edulis: A review. Journal of Herbal Medicine and Toxicology, 3(1), 1–6. Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/228485208 41. Silva, G. S., Souza, M. M., de Melo, C. A. F., Urdampilleta, J. D., & Forni- Martins, E. R. (2018). Identification and characterization of karyotype in Passiflora hibrids using FISH and GISH.BMC Genetics, 19(1), 1–11. https://doi. org/10.1186/s12863-018-0612-0 42. Sousa-Baena, M. S., Sinha, N. R., Hernandes-Lopes, J., & Lohmann, L. G. (2018). Convergent evolution and the diverse ontogenetic origins of tendrils in Angiosperms. Frontiers in Plant Science, 9(April), 1–19. https://doi. org/10.3389/fpls.2018.00403 43. Storey, W. B. (1950). Chromosome numbers of some species of Passiflora occurring in Hawaii. Pasific Science, 4(1), 37–42. 44. Susanti, Y. I., & Putri, W. D. R. (2014). Pembuatan minuman serbuk markisa merah (Passiflora edulis f . edulis) (kajian konsentrasi Tween 80 dan suhu pengeringan). Jurnal Pangan Dan Agroindustri, 2(3), 170–179. 45. Suswati, Indrawati, A., & Masitoh, B. (2015). Sosialisasi dan pelatihan budidaya tanamanan markisa kuning pemanfaatan pekarangan di Kota Medan. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 21(82), 1–10. 114 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

46. Wu, Y., Tian, Q., Liu, J., Huang, Y., Huang, W., Xia, X., … Mou, H. (2018). High-throughput identification and marker development of perfect SSR for cultivated genus of Passion fruit (Passiflora edulis). Molecular Plant Breeding, 9(13), 92–96. https://doi.org/10.5376/mpb.2018.09.0013 Penulis : Kurniawan Budiarto1), Hardiyanto2), Djoko Sudarso3) dan Karsinah3) 1) Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika 2) Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura 3) Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Plinia spp. (Myrtaceae)

Protologue Plinia cauliflora (Mart.) Kausel -- Ark. Bot. a.s. 3:508. 1956 Sinonim • Eugenia cauliflora (Mart.) DC -- Prodr. 3: 273. 1828. • Eugenia jaboticaba Kiaersk -- Enum. Myrt. Bras. 185 • Myrcia jaboticaba Baill -- Hist. Pl. 6: 345 1876. • Myrciaria cauliflora (Mart.) O. Berg -- Fl. Bras. 14(1): 361.1857. • Myrciaria jaboticaba (Vell.) O.Berg -- Fl. Bras. 14(1): 361 1857. • Myrtus cauliflora Mart. (basionimo) -- Reise Bras. 1: 285 1823. • Myrtus jaboticaba Vell -- Fl. Flumin. 5: 214, t. 62 1829. • Plinia jaboticaba (Vell.) Kausel -- Ark. Bot. a.s., 3: 508 1956. Nama umum Anggur Brasil, jaboticaba (Indonesia), Brasilian grapetree, jaboticaba (Inggris), jabuticaba, jabuticaba-açu jabuticaba-de-sabará, jabuticaba-murta, jabuticaba- paulista, Portuguese (Brasil), stamjaboticaba (Swedia)

I. Pendahuluan Anggur pohon atau jaboticaba (Plinia cauliflora (Mart.) Kausel) merupakan salah satu anggota spesies dari suku Myrtaceae. Nama jaboticaba berasal dari istilah“Tupi term, jabotim, for turtle”yang berarti “like turtle fat”, yang mungkin merujuk pada istilah bubur buah (Morton en Morton, 2004). Tanaman anggur 116 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

pohon dibudidayakan dalam sedikit oleh petani di wilayah selatan Brasil. Buah ini biasanya panen satu hingga dua kali dalam satu tahun (S. Wu, Long en Kennelly, 2013). Tanaman ini memerlukan waktu 5 – 6 bulan untuk proses pertumbuhan dan satu bulan untuk proses pengerasan (hardening) sebelum tanaman cukup kuat untuk dipindahkan ke kebun (Basir et al., 2018). Jaboticaba memiliki tinggi 10-15 meter dengan daun tunggal yang memiliki panjang hingga 7 cm. Jaboticaba akan berbunga saat musim semi dan musim panas, bunga dan buah tumbuh berkelompok di sepanjang batang dan cabang saat berbunga tanaman ini sangat diminati untuk menjadi tanaman hias (Junior, Souza en Aparecida, 2019).

II. Klasifikasi dan deskripsi botani Jaboticaba termasuk dalam kerajaaan: Plantae, Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil), Sub Kelas: Rosidae, Ordo: Myrtales, Suku: Myrtaceae (suku jambu-jambuan), Genus: Myrciaria, Spesies: Plinia cauliflora (Mart.) Kausel (Ark. Bot., a.s., 3:508. 1956). Jaboticaba atau yabuticaba untuk istilah buah, dan jaboticabeira untuk istilah pohon, memiliki 4 spesies pohon yang sangat mirip yaitu : M. cauliflora, sabará jaboticaba, dikenal juga sebagai jabuticaba sabará, jabuticaba de Campinas, guapuru, guaperu, hivapuru, atau ybapuru; M. jaboticaba Berg., jaboticaba besar, dikenal sebagaijaboticaba de Sao Paulo, jaboticaba do mato, jaboticaba batuba, jaboticaba grauda; M. tenella Berg., Jaboticaba macia, dikenal sebagai guayabo colorado, cambui preto, murta do campo, camboinzinho; M. trunciflora Berg., long-stemmed jaboticaba, yang juga memiliki nama jaboticaba de Cabinho, atau jaboticaba do Pará (Morton & Morton, 2004). Tanaman Jaboticaba tergolong tanaman yang memiliki pertumbuhan lambat, varietas M. tenella memiliki tinggi 1-1,35 m; varietasM. trunciflora4-7 atau 12 m; pada spesies lain biasanya memiliki tinggi 10,5-12 m. Jaboticaba memiliki cabang yang banyak, terdapat cabang yang dekat dengan tanah dan miring ke atas dan ke luar hingga ke puncak, bisa berbentuk bulat dan padat, dapat mencapai sebaran lebar 13,7 m (Morton en Morton, 2004). Spesies Kausel (Myrtaceae) endemik di Amerika Selatan. Buahnya banyak ditemukan di daerah Brasil, seperti Cerrado, Caatinga, Hutan Atlantik, Hutan Amazon, dan Pampa (Alan et al., 2019). Plinia spp. 117 (Myrtaceae)

Gambar 26. Keragaan tanaman Jaboticaba di Pasuruan (foto : emi_budiyati).

Plinia cauliflora (DC.) Kausel merupakan spesies dengan sistem reproduksi menyerbuk sendiri (Vieira en Ferreira, 2013). Pohon jabuticaba di Brasil biasanya mekar dua kali setahun, pada bulan Juli dan Agustus dan November dan Desember, dengan buah masak antara Agustus - September serta Januari – Februari (Suguino et al., 2013). Karakterisasi yang dilakukan oleh (Danner et al., 2011) pada 9 genotype Japoticaba (Plinia cauliflora, P. trunciflora, dan P. jaboticaba) umur 35- 40 tahun pada tahun 2007-2008 di Parana Brasil menunjukkan bahwa fase awal mekar sampai buah masak berlangsung selama 35-50 hari, bergantung kondisi agroklimat tahun berjalan. Tahun 2008, fase awal mekar sampai dengan buah masak lebih lama 8 hari. Hal itu disebabkan pada tahun 2008 rerata suhu lebih rendah (2007 ; 18oC, 2008 = 20oC) dan rerata curah hujan lebih tinggi (2007 = 234 mm, 2008 = 547 mm) dari pada tahun 2007. Fase pembungaan berlangsung 7-10 hari, sedangkan fase pemasakan buah 10-15 hari. 118 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Gambar 27. Keragaan bunga dan buah muda Jaboticaba di Pasuruan (foto : emi_budiyati).

Gambar 28. Keragaan buah Jaboticaba (foto : emi_budiyati).

III. Asal dan distribusi geografis Jaboticaba merupakan tanaman yang termasuk dalam keluarga Myrtaceae dan merupakan tanaman endemik di daerah Brasil tengah, selatan dan tenggara (Barcellos et al., 2015). Jaboticaba ditemukan di wilayah Barat Daya Negara Bagian Paraná (Brasil), di sebagian Hutan ‘Araucaria’. Tanaman dewasa Jaboticaba pada area ini setidaknya berjumlah 4.000 tanaman dengan rata-rata ketinggian mencapai 15 meter dan diameter 41 cm (Danner et al., 2011). Tanaman jaboticaba banyak dibudidayakan di kota Casa Branca di State of São Paulo (Brasil) yang tercatat terdapat lebih dari 41.000 tanaman (Vieira en Ferreira, 2013). Di Brasil Plinia spp. 119 (Myrtaceae) jaboticaba bekembang mulai daerah tepi pantai sampai dengan ketinggian 3000 kaki. Beberapa spesies dapat bertahan pada suhu 24oF atau kurang tetapi yang lain tidak bertahan pada suhu 27oF. Di California, Jaboticaba sukses berkembang di San Diego, Spring Valley, Bostonia, Encitasm Los Angeles Selatan, San Jose dan San Fransisco (Morton, 1987). Tren mengoleksi anggur pohon di Indonesia bermula saat terdengar kabar ada kebunnya di Taiwan. Sebanyak 50 Plinia cauliflora ditanam Pan Liang Hwa di Chou Zhou, Ping Tung, Taiwan, di lahan seluas 4,3 ha. Sejak itu banyak penangkar berburu bibit ke berbagai negara. Kisaran tahun 2010 diketahui ada anggur pohon berumur lebih 100 tahun di Kebun Raya Cibodas, Cianjur. Tanaman itu diduga sebagai asal tanaman-tanaman bonsai Jaboticaba di Indonesia. Anggur pohon di Indonesia dikembangkan oleh kolektor-kolektor buah sebagai bahan bonsai, landscaping, dan produksi buah hanya 1-50 tanaman dan tersebar di berbagai daerah. Kebun Jaboticaba yang terbanyak jumlah tanamannya pada tahun 2010 ada di Blitar sebanyak 3.500 tanaman, dan di Bandung 1.000 tanaman (www.trubusonline. co.id. 2010). Namun demikian, sampai dengan saat ini belum ada info lebih lanjut tentang pengembangan anggur pohon ini.

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik Studi keragaman 33 genotype Jaboticaba Plinia cauliflora berdasarkan kualitas buah menunjukkan terdapat 5 kelompok besar Jaboticaba. Hasil analisis terpilih 20% genotipe yang lebih baik menunjukkan frekuensi superioritas tertinggi dalam karakteristik dan evaluasi melalui diversitas genetik tetua potensial (Junior et al., 2018) Keragaman genetik 35 genotype Plinia sp di Recôncavo da Bahia, Brasil telah dianalisis berdasarkan penanda Molekuler ISSR. Hasil dendogram menunjukkan bahwa 35 genotype terbagi menjadi 5 kelompok besar. Selain itu berdasarkan penelitian pada 35 genotype Plinia sp. tersebut ternyata bahwa jarak genetik tidak berkorelasi dengan jarak geografi karena terdapat 2 genotype yang mempunyai jarak genetik yang dekat (0,11) berada dilokasi yang berbeda (Cruz et al., 2016). 120 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

V. Evolusi dan risiko erosi genetik Tanaman Plinia cauliflora berasal dari Brasil, banyak ditemukan di hutan antara lain hutan Araucaria (wilayah Barat Daya Negara Bagian Paraná). Penyebaran tanaman ini kemungkinan besar dibantu oleh binatang di dalam hutan tersebut. Namun demikian, karena perluasan pengembangan jaboticaba dan pemilahan hutan diduga sebagian spesies Jaboticaba telah punah (Vieira en Ferreira, 2013). Benih dari biji Jaboticaba dapat ditransplanting kisaran 10 bulan dan benih yang ditanam baru dapat mencapai tinggi 2 meter dan dapat berproduksi setelah berumur 10 tahun (Suguino et al., 2013). Pada jenis yang berbeda yaitu Plinia cauliflora x aureana produksi buah lebih cepat yaitu 3-4 tahun sudah dapat berproduksi (Regina & Gobato, 2018).

VI. Aspek budidaya Syarat tumbuh anggur pohon (Jaboticaba) dapat tumbuh pada ketinggian 500- 1500 m dpl, tanah yang dibutuhkan subur, gembur, porous dan agak basah. Iklim yang cocok pada Tropis-Sub Tropis, sedangkan suhu yang dibutuhkan 18-250 C. Tanaman ini membutuhkan sinar matahari penuh, berdrainase baik, namun dapat tetap tumbuh dan berbuah pada jenis tanah pasir, dan alkali sekalipun, pH masam, tanaman ini toleran terhadap angin tapi tidak tehadap udara asin laut (Balerdi & Rafie, 2006). Perbanyakan tanaman Jaboticaba terdiri atas perbanyakan tanaman secara seksual dan aseksual (vegetatif). Perbanyakan seksual yang umum dilakukan terutama untuk batang bawah yaitu dengan biji. Biji yang digunakan merupakan biji yang masih terdapat dalam buah (biasanya buah yang telah masak dan jatuh) tanpa membuang daging buahnya. Satu kilogram terdiri atas 3.900 biji dengan viabilitas benih yang rendah. Biji yang telah diperoleh harus segera ditanam ke dalam media organo-claysubstrate dengan sedikit naungan. Untuk biji yang telah disimpan, perlu dilakukan perlakuan dengan perendaman dalam air jeruk nipis selama 24 jam kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikeringanginkan. Benih yang ditanam ditutupi dengan media kemudian disiram 2 kali sehari sampai berumur 1 bulan (Suguino et al., 2013). Perbanyakan tanaman spesies ini secara seksual dengan biji merupakan perbanyakan yang efisien dan sederhana karena dapat mencapai keberhasilan 100%. Kelemahan dengan perbanyakan dengan biji yaitu adanya fase juvenil yang panjang dan segregasi genetic (Cruz et al., 2016) Plinia spp. 121 (Myrtaceae)

Tanaman yang diperbanyak dengan biji baru dapat berproduksi setelah berumur 3-5 tahun. Perbanyakan dengan klon dapat menghasilkan buah lebih cepat dan berkualitas sama dengan induknya. Penyambungan dan pencangkokan merupakan perbanyakan yang umum dilakukan. Tingkat efisiensi penyambungan mencapai lebih dari 70% sedang pencangkokan menghasilkan akar rata-rata 80%. Perbanyakan dengan stek hanya dapat menghasilkan perakaran sekitar 10% (da Silva et al., 2019). Teknik kultur jaringan dapat dijadikan solusi untuk mendapatkan jumlah bibit yang banyak dan dalam kurun waktu yang relatif cepat. Jaboticaba dapat ditanam dengan jarak tanam 9 meter. Petani Jaboticaba secara tradisional di Brasil tidak memberikan pupuk pada tanaman karena mereka percaya bahwa sistem perakaran Jaboticaba sangat sensitif sehingga pemberian pupuk justru dapat berakibat buruk pada perakaran. Beberapa agronomis menyarankan pemupukan dengan membuat lubang di sekitar pangkal pohon dan memberikan bahan organik diperkaya dengan 1 bagian ammonium sulfat, 2 bagian superfosfat dan 1 bagian kalium klorat. Lubang tersebut dapat menyimpan nutrisi, melepaskan nutrisi dan menyimpan air saat musim hujan. Air yang berlimpah sangat penting untuk kelangsungan pertumbuhan tanaman Jaboticaba. Untuk menginduksi pembungaan penyiraman dapat dilakukan di musim kemarau karena pembungaan pada musim hujan akan merugikan (terjadi kerontokan bunga, serangan penyakit) (Morton, 1987). Penyakit yang menyerang Jaboticaba hingga sampai menyebabkan kematian dan masih sulit dikendalikan yaitu penyakit busuk akar (Rosellinia sp.). Penyakit utama lainnya yang umumnya menyerang tanaman Jaboticaba yaitu karat (Puccinia psidii). Penyakit tersebut terjadi pada kondisis panas dan hujan dan menyerang buah. Pembungaan yang terjadi saat hujan deras biasanya terserang penyakit karat dengan gejala awal bintik melingkar kuning kemudian menjadi cokelat gelap. Pengendalian penyakit dengan meningkatkan aerasi di kebun dengan memangkas ranting-ranting tanaman. Sementara pengendalian dengan pestisida dapat dilakukan penyemprotan dengan pestisida Curprit (Suguino et al., 2013). Serangan hama yang banyak dialami petani Jaboticaba di Brasil yaitu hama burung yang banyak memakan buah Jaboticaba. Sementara itu, di Florida, Jaboticaba banyak diserang oleh rakun dan opossum. Penanggulangan hama burung dapat dilakukan dengan menutupi cluster buah dengan koran yang diikat di atasnya. Apabila burungnya terlalu agresif atau angina terlalu kencang, koran dapat diikat pula dibagian bawahnya (Morton, 1987). 122 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi ekonomi Jaboticaba dapat dikonsumsi segar sebagaimana buah anggur, di Amerika Serikat biasa difermentasi 3 sampai 4 hari setelah panen, sehingga sering digunakan untuk membuat selai, kue tar, wine, dan minuman (Reynertson et al., 2008). Buah Jaboticaba mengandung banyak mineral dan polifenol yang baik untuk kesehatan (Bolson et al., 2015; Paz et al., 2018). Buah Jaboticaba mempunyai kandungan mineral yang tinggi yaituMn (1,8–2,7 mg/100 g DW) dan Cu (1,0 mg/100 g DW). Buah Jaboticaba sangat kaya akan polifenol khususnya antosianin dan sumber ellagitannins setara buah beri (S. B. Wu & Long 2013). Kandungan antioksidan yang tinggi membuat Jaboticaba potensial untuk dijadikan bahan untuk pembuatan obat dan pangan fungsional (Borges, Conceição en Silveira, 2014; Lima et al., 2017; Teixeira et al., 2019). Jaboticaba dapat diolah menjadi produk pangan seperti selai, sari buah, manisan permen (Alezandro et al., 2013; Farinazzi-Machado en Fiorini, 2017; Inada et al., 2018; Monalisa-Francisco & Ramos, 2019). Anggur pohon yang sesuai untuk buah konsumsi dipilih dari segi kadar gula tinggi, total asam rendah, dan juga produksi yang tinggi. Sementara itu, karakteristik pada kandungan flavonoid yang tinggi terutama pada kulit buah disertai dengan kulit buah yang tebal lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan industri (Guedes et al., 2014). Buah anggur pohon ini dapat dimanfaatkan sebagai obat untuk diabetes, kanker, stroke, dan penyakit paru obstruktif kronik (S. Wu, Long en Kennelly, 2013). Dengan banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dari tanaman dan buah jaboticaba, membuat tanaman ini memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Akan tetapi peluang besar ini memiliki kendala dalam teknik pembudidayaannya karena hingga saat ini perbanyakan tanaman anggur pohon baru dilakukan melalui sistem budidaya konvensional yaitu (stek akar, layering dan cangkok) maupun melalui benih biji. Selain itu, tanaman jaboticaba merupakan tanaman yang pertumbuhannya lambat dan baru akan berbuah setelah usia 8 – 18 tahun. Dengan jumlah tanaman dewasa yang terbatas perbanyakan melalui teknik ini hanya mampu menghasilkan bibit dengan jumlah sedikit. Plinia spp. 123 (Myrtaceae)

Pustaka 1. Alan, Rhanany Palozi, Calloi Guarnier, Lucas Pires Vitor, Paulo Romão, Moreira Requena, Samara Calixto, Carlos Luiz, Emerson Lourenço, Botelho Brentan, Denise Mourão, Francielly Gasparotto, Arquimedes (2019) “Pharmacological safety of Plinia cauli flora ( Mart .) Kausel in rabbits”, Toxicology Reports. Elsevier, 6(October 2018), bll 616–624. doi: 10.1016/j.toxrep.2019.06.017. 2. Alezandro, Marcela Roquim Dubé, Pascal Desjardins, Yves Lajolo, Franco Maria Genovese, Maria Inés (2013) ѐComparative study of chemical and phenolic compositions of two species of jaboticaba: Myrciaria jaboticaba (Vell.) Berg and Myrciaria cauliflora (Mart.) O. Berg”, Food Research International. Elsevier B.V., 54(1), bll 468–477. doi: 10.1016/j.foodres.2013.07.018. 3. Balerdi, C., Rafie, R. en Crane, J. (2006) “Jaboticaba ( Myrciaria Cauliflora, Berg. ) a Delicious Fruit With an Excellent Market Potential”, Proc. Fla. State Hort. Soc, 119, bll 66–68. Available at: www.fao.org/docrep/t0646e/T0646E. 4. Barcellos, Tamirys Beatriz, Ana Martins, Neves Cristina, Ellen Lacerda, Quirino Soares, Aline 5. Ferreira, Bernardo Erthal, Ricardo Guedes, Alexandre Perrone, Daniel Monteiro, Mariana C (2015) “Screening of the chemical composition and occurring antioxidants in jabuticaba ( Myrciaria jaboticaba ) and jussara ( Euterpe edulis ) fruits and their fractions”, Journal of Functional Foods. Elsevier Ltd, 17, bll 422–433. doi: 10.1016/j.jff.2015.06.002. 6. Basir, Mohamed Hafeifi Sayuti, Zulhazmi Ahmad, Hanim Shafawi, Norsyuhaida Ahmad Sabrina, Erny Noor, Mohd (2018) “Jabuticaba : Tanaman eksotik Cameron Highlands”, 14, bll 69–74. 7. Bolson, Mônica Hefler, Sonia Regina Dall’Oglio Chaves, Elisiane Inês Gasparotto Junior, Arquimedes Cardozo Junior, Euclides Lara (2015) “Ethno-medichinal study of plants used for treatment of human ailments, with residents of the surrounding region of forest fragments of Paraná, Brasil”, Journal of Ethnopharmacology, 161, bll 1–10. doi: 10.1016/j.jep.2014.11.045. 8. Borges, L. L., Conceição, E. C. en Silveira, D. (2014) “Active compounds and medichinal properties of Myrciaria genus”, Food Chemistry. Elsevier Ltd, 153, bll 224–233. doi: 10.1016/j.foodchem.2013.12.064. 124 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

9. Cruz, Elaine Silva Da Dantas, Ana Cristina Vello Loyola Carmo, Catia Dias Do Bastos, Lucimario Pereira (2016) “Molecular Characterization of Jaboticaba Tree Genotypes Located in the Municipalities of Recôncavo of Bahia”, Revista Brasileira de Fruticultura, 38(3). doi: 10.1590/0100-29452016510. 10. Danner, M. A., Citadin, I., Sasso, S. A. Z., et al. (2011) “Germplasm characterization of three jabuticaba tree species”, Revista Brasileira de Fruticultura. FapUNIFESP (SciELO), 33(3), bll 839–847. doi: 10.1590/s0100- 29452011005000095. 11. Danner, M. A., Citadin, I., Aparecida, S., et al. (2011) “Germplasm characterization of three jabuticaba tree species 1”, bll 839–847. 12. Guedes, M. N, S., Azevedo, A., Rufini, J.C.M., Dessimoni-Pinto, N.A.V. 2014. Fruit quality of jabuticaba progenies cultivated in a tropical climate of altitude. Fruits, vol. 69 (6) doi: 10.1051/fruits/2014030 13. Farinazzi-Machado, F. M. V en Fiorini, A. M. R. (2017) “Jabuticaba Fruit Peel: Better Than the Pulp?”, International Journal of Health Sciences & Research (www.ijhsr.org), 7(9), bl 282. Available at: www.ijhsr.org. 14. Inada, Kim Ohanna Pimenta Duarte, Paula Andrés Lapa, Jacqueline Miguel, Marco Antônio Lemos Monteiro, Mariana. (2018) “Jabuticaba (Myrciaria jaboticaba) juice obtained by steam-extraction: phenolic compound profile, antioxidant capacity, microbiological stability, and sensory acceptability”, Journal of Food Science and Technology, 55(1), bll 52–61. doi: 10.1007/ s13197-017-2769-3. 15. Junior, A. G., Souza, P. De en Aparecida, F. (2019) “( Mart .) Kausel”, Journal of Ethnopharmacology. Elsevier B.V., bl 112169. doi: 10.1016/j. jep.2019.112169. 16. Junior, Americo Wagner Paladini, Marcos Villy Danner, Moeses Andrigo Radaelli, Juliana Cristina De Moura, Gisely Correa Neto, Carlos Kosera. (2018) “Genetic divergence of native jaboticaba fruit tree (Plinia cauliflora) based on fruit quality”, Semina:Ciencias Agrarias, 39(6), bll 2409–2424. doi: 10.5433/1679-0359.2018v39n6p2409. 17. Lima, Maria G.A. Dias-Pini, Nívia S. Lima, Élison F.B. Maciel, Gabriela P.S. Vidal- Neto, Francisco C. (2017) “Identification and pest status of Holopothrips fulvus (Thysanoptera: Phlaeothripidae) on dwarf-cashew crops in northeastern Plinia spp. 125 (Myrtaceae)

Brasil”, Revista Brasileira de Entomologia. Elsevier Editora Ltda., 61(4), bll 271–274. doi: 10.1016/j.rbe.2017.07.007. 18. Monalisa-Francisco, N. en Ramos, F. N. (2019) “Composition and Functional Diversity of the Urban Flora of Alfenas-MG, Brasil”, Floresta e Ambiente, 26(3). doi: 10.1590/2179-8087.111017. 19. Morton, J. F. (1987) Fruits of Warm Climates, Julia F. Morton. Miami, Florida. Available at: http://www.hort.purdue.edu/newcrop/morton/index.html. 20. Morton, J. F. en Morton, J. F. (2004) Fruits of Warm Climates. 21. Paz, Weider H.P. de Almeida, Richardson A. Braga, Neila A. da Silva, Felipe M.A. Acho, Leonard D.R. Lima, Emerson S. Boleti, Ana Paula A. dos Santos, Edson L. Angolini, Célio F.F. Bataglion, Giovana A. Koolen, Hector H.F. (2018) “Remela de cachorro (Clavija lancifolia Desf.) fruits from South Amazon: Phenolic composition, biological potential, and aroma analysis”, Food Research International. Elsevier Ltd, 109, bll 112–119. doi: 10.1016/j. foodres.2018.04.019. 22. Regina Risso Gobato, M., Gobato, R. en Alireza, H. (2018) “Planting of Jaboticaba Trees for Landscape Repair of Degraded Area”, Landscape Architecture and Regional Planning, 3(1), bll 1–9. doi: 10.11648/j.larp.20180301.11. 23. Reynertson, Kurt A. Yang, Hui Jiang, Bei Basile, Margaret J. Kennelly, Edward J. (2008) “Quantitative analysis of antiradical phenolic constituents from fourteen edible Myrtaceae fruits”, Food Chemistry, 109(4), bll 883–890. doi: 10.1016/j.foodchem.2008.01.021. 24. da Silva, José Antonio Alberto, Teixeira, Gustavo Henrique de Almeida, Martins, Antonio Baldo Geraldo, Citadin, Idemir Junior, Americo Wagner Danner, Moeses Andrigo (2019) “Advances in the propagation of Jabuticaba tree”, Revista Brasileira de Fruticultura. FapUNIFESP (SciELO), 41(3), bll 1–10. doi: 10.1590/0100-29452019024. 25. Suguino, Eduardo Martins, Adriana Novais Turco, Terezinha Monteiro dos Santos De Faria, Ana Maria (2013) “A Cultura da Jabuticabeira”, Pesquisa & Tecnologia, 9(1). doi: 10.1017/CBO9781107415324.004. 26. Teixeira, Nayane Melo, Jean C.S. Batista, Luiz F. Paula-Souza, Juliana Fronza, PãmellaBrandão, Maria G.L. (2019) “Edible fruits from Brasilian biodiversity: A review on their sensorial characteristics versus bioactivity as tool to select 126 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

research”, Food Research International. Elsevier Ltd, 119, bll 325–348. doi: 10.1016/j.foodres.2019.01.058. 27. www.trubusonline.co.id. 2010. Mereka Tergila Jabuticabeira. 4 Juli 2019. 28. Vieira, V. L. L. de P. en Ferreira, W. R. (2013) “A Festa da Jabuticaba E O empreendedorismo Feminino no municipio de sabara / MG The Jabuticaba party and the female entrepreneurship in the municipality of sabara / MG ( 1996 ), em dezembro de 1993 , a Assembleia Geral das Nações Unidas aprovou por princi”, in Revista Brasileira de Gestao e Engenharia. Sao Gotardo, bll 1–28. 29. Wu, S., Long, C. en Kennelly, E. J. (2013) “Phytochemistry and health-benefits of jaboticaba, an emerging fruit crop from Brasil”, FRIN. Elsevier B.V. doi: 10.1016/j.foodres.2013.06.021. Penulis : Emi Budiyati, Anis Andrini, Imro’ah Ikarini Balai Penelitian Jeruk dan Buah Subtropika Prunus armeniaca L. (Rosaceae)

Protologue Prunus armeniaca L. - Sp. Pl. 1: 474 (1753). Sinonim • Amygdalus armeniaca (L.) - Fl. Belg. 91. 1827 • Armeniaca armeniaca (L.) - Helios, 11: 133. 1893 • Armeniaca batavica - Poit. Pomol. Franc. 1: t. 359. 1846 • Armeniaca communis - Cat. Jard. Bot. Krz.. 1810 • Armeniaca communis - Poit. Pomol. Franc. 1: t. 355. 1846 • Armeniaca cordifolia - Rouy & Fouc. Fl. France, 6: 28. 1900 • Armeniaca epirotica - Fl. Wett. 2: 167. 1800 • Armeniaca macrocarpa - Poit. Pomol. Franc. 1: t. 104. 1846 • Armeniaca malus - Fig. Pl. Anim. Med, t. 153 (1764), Descr. Pl. Anim. 108. 1767 • Armeniaca mongametia - Poit. Pomol. Franc. 1: t. 273. 1846 • Armeniaca praecox - Poit. Pomol. Franc. 1: t. 265. 1846 • Armeniaca tardiflora - Poit. Pomol. Franc. 1: t. 266. 1846 • Armeniaca vulgaris var. meixianensis - Bull. Bot. Res. North-East. Forest. Inst., 9(3): 66. 1989 • Armeniaca vulgaris var. rushanica Korsh - Byull. Vses. Ord. Lenina Inst. Rast. N.I. Vavilova, 166: 54. 1986 128 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

• Armeniaca vulgaris var. xiongyueensis - Bull. Bot. Res. North-East. Forest. Inst., 9(3): 65. 1989 • Prunus nepalensis Hort. - Dendrol. 1: 89. 18. 1869 • Prunus tiliifolia - Prodr. 350. 1796 • Prunus xanthocarpos Hort. - Dendrol. 1: 89. 1869 Nama umum Aprikot (Indonesia), Apricot tree (Inggris), albaricoquero; chabacano; damasco (Spanyol), abricotier; apricotier (Perancis), abrikos (Rusia), xing shu (China), dan albicoqueiro; alpercheiro; damasqueiro (Portugis).

I. Pendahuluan Nama ‘aprikot’ (albicocco, albericocco) diperkirakan berasal dari kombinasi kata Arbor precox dari bahasa Latin praecocia (dewasa sebelum waktunya) atau precocious dalam bahasa lain. Ini karena buah aprikot temasuk buah yang masak lebih awal. Aprikot adalah buah yang lezat dengan rasa dan aroma yang enak. Sebaliknya, daun, bunga, kulit kayu dan biji aprikot mengandung senyawa beracun yang menghasilkan sianida dan pada dosis tinggi dapat mematikan. Kernel mengandung jumlah tertinggi senyawa penghasil sianida (laetrile). Ini telah digunakan untuk melawan sel-sel tumor (Roussos, Denaxa, Tsafouros, Efstathios, & Intidhar, 2015). Di beberapa negara, buah aprikot dikonsumsi sebagai buah segar, dan olahan seperti buah kering, selai, nektar, dan bahkan acar. Biji aprikot yang manis digunakan sebagai bahan tambahan dalam kue, dan biji yang pahit untuk keperluan kosmetik dan farmasi (Asma, Mısırlı, Bilgin, & Yanar, 2018). Aprikot umum tumbuh di daerah yang beraneka ragam geografis mulai dari musim dingin yang dingin di Siberia hingga iklim subtropis Afrika Utara dan dari padang pasir Asia Tengah hingga daerah lembap di Jepang dan China bagian timur. Namun, area produksi komersial masih sangat terbatas. Budidaya aprikot paling berhasil berada di iklim Mediterania (Hormaza, Yamane, & Rodrigo, 2007). Produsen utama aprikot di dunia adalah Turki, Iran, Uzbekistan, Aljazair, Pakistan, dan Maroko (Krška, 2018). Beberapa negara besar di Eropa juga telah membudidayakan aprikot secara komersial, di antaranya Spanyol, Italia, Prancis, Yunani, Ukraina, Moldova, dan lainnya. Prunus armeniaca L. 129 (Rosaceae)

II. Klasifikasi dan deskripsi botani Nama ilmiah Apricot adalah Prunus armeniaca. Nomenklatur ini didasarkan pada Klasifikasi Ilmiah Aprikot. Aprikot termasuk dalam Kingdom Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Rosales, famili Rosaceae, genus Prunus L. dan jenis Prunus armeniaca L. (USDA, 2019). Aprikot termasuk tanaman buah yang mengalami gugur daun dengan habitus menyebar atau tegak. Pohon apricot berukuran kecil hingga sedang. Tanaman ini umumnya mencapai ketinggian sekitar 4 m (tanaman budidaya), tetapi di alam mereka dapat mencapai ketinggian bahkan 10-15 m. Warna kulit kayu kemerahan hingga abu-abu, dengan ranting muda dan daun tampak kemerahan. Daun aprikot berbentuk ovate atau round-ovate memiliki ujung runcing dengan ukuran 5-12 × 5-10 cm. Daun memiliki petiol berwarna merah keunguan dengan bentuk dasar, truncate atau subcordate dengan ukuran 2-4 cm (Roussos et al., 2015). Bunga terdiri atas satu putik, dua ovul dan lebih dari 50 benang sari. Warna mahkota bunga bervariasi (putih, merah muda atau merah) dengan jenis kelopak bunga bervariasi (tunggal atau ganda) (Gambar 29). Beberapa kultivar memiliki sifat male sterile atau self incompatibility(Hormaza et al., 2007). Bunga umumnya muncul pada musim semi (awal Maret hingga awal April) (Roussos et al., 2015).

Gambar 29. Morfologi bunga aprikot (foto :Ugurtan & Gurc, 2012) 130 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Buah aprikot adalah buah klimakterik yang membutuhkan waktu 3-6 bulan untuk proses perkembangan buah, namun ini tetap bergantung pada kultivar. Buah matang lembut jika disentuh (Hormaza et al., 2007). Kulit buah umumnya berwarna oranye dengan semburat merah pada beberapa kultivar. Buah berbentukoval dan glabrous dengan ukuran 3,5–8 cm (Gambar 30) (Roussos et al., 2015; Zaurov et al., 2013). Buah aprikot terdiri atas endocarp yang mengelilingi biji, mesocarp berdaging, dan exocarp (kulit buah). Daging buah manis atau asam dengan warna daging buah sebagian besar adalah oranye, tetapi ada beberapa kultivar berdaging putih. Aprikot harus dipanen dalam kondisi masak fisiologis. Jika tidak demikian, rasa buah sangat asam dan sangat tidak enak (Hormaza et al., 2007).

Gambar 30. Keragaman buah aprikot di Asia Tengah (foto : Zaurov et al., 2013) Prunus armeniaca L. 131 (Rosaceae)

III. Asal dan distribusi geografis Tiga wilayah yang diyakini sebagai pusat asal untuk aprikot yang dibudidayakan adalah China bagian tengah (China dan Tibet), Asia Tengah (dari Taiwan hingga Kashmir), dan Timur tengah (Iran, Kaukasus dan Turki). Kelompok Asia Tengah termasuk Xinjiang, Afghanistan, Pakistan dan Kashmir adalah kelompok tertua dengan keanekaragaman genetik tertinggi (Ali Khan et al., 2008; Badenes & Byrne, 2012; Ugurtan & Gurc, 2012). Hingga saat ini, asal-usul aprikot masih belum sepenuhnya jelas. Para penulis umumnya meyakini bahwa aprikot pertama dibudidayakan di Tiongkok (Badenes & Byrne, 2012). Budidaya aprikot diperkenalkan di wilayah Mediterania dari Iran atau Armenia sekitar abad pertama sebelum Masehi oleh bangsa Arab (Hormaza et al., 2007). Aprikot menyebar ke Eropa dari Asia Tengah, melalui Iran dan ke wilayah trans-Kaukasus dan kemudian lebih jauh ke Barat. Pergeseran aprikot ke arah barat terjadi dalam dua tahap. Aprikot dikenal di Italia dan Yunani sebagai hasil dari perang Romawi-Persia pada abad pertama SM. Spesies Armeniaca pertama kali dibawa ke Italia dan Yunani oleh pedagang Armenia (Krška, 2018). Aprikot diperkenalkan ke Inggris dan Amerika Serikat (Virginia) pada abad ke-17, kemudian, aprikot diperkenalkan ke California oleh orang Spanyol pada abad ke-18 (Hormaza et al., 2007). Keyakinan bahwa China sebagai asal-usul tanaman aprikot didukung oleh kegiatan survei plasma nutfah dan analisis struktur populasi aprikot liar di lembah (Tian- Ming et al., 2007) dan data molekuler tentang keragaman plasma nutfah aprikot (Zhebentyayeva, Reighard, Gorina, & Abbott, 2003) menunjukkan bahwa China merupakan sumber gen aprikot di Asia Tengah dan bertanggung jawab atas penyebarannya ke daerah-daerah lain. Peta penyebaran aprikot dijelaskan dalam Gambar 32.

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik Ahli botani membedakan spesies aprikot dalam beberapa spesies, yaitu P. ansu, P. armeniaca, P. brigantina, P. mandshurica, P. x dasycarpa, P. holosericea, P. mume dan P. Siberica. Aprikot yang paling banyak dibudidayakan, termasuk dalam spesies P. armeniaca L. 132 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Saat ini, aprikot diklasifikasikan ke dalam enam kelompok ekogeografi utama: Asia Tengah, China Timur, China Utara, Dzhungar-Zailij, Irano-Kaukasia, dan Eropa. Kelompok Asia Tengah adalah yang tertua. Sebagian besar aprikot milik grup ini bersifat self-incompatible dan tidak toleran terhadap iklim beku. Kelompok Dzhungar-Zailij sebagian besar terdiri atas kultivar berbuah kecil yang juga memiliki karakter self-incompatible. Kelompok Irano-Kaukasia sebagian besar terdiri atas genotipe yang tidak tahan terhadap iklim beku dari daerah Kaukasia, Iran, Irak, Afrika Utara dan beberapa kultivar dari Eropa Selatan. Kelompok Eropa adalah yang terbaru dan paling tidak bervariasi, terdiri atas genotipe yangself-incompatible dan termasuk kultivar komersial Eropa, Amerika, Afrika Selatan dan Australia. Kultivar- kultivar aprikot yang banyak dibudidayakan di berbagai negara dengan nama yang beragam, di antaranya kultivar Hunter, Moonpark, Story, Trevatt, Pannach, dan Watkins di Australia, kultivar Goldcot, Goldrich, Harcot, Harglow, Hargrand, Harlayne, Harogem, Veecot, Velvaglo, dan Vivagold di Kanada, kultivar Bak-Ta-Sin, Caoxing, Chu-In-Sin, Dahongxing, GulotiLochak, Hongjing zhen, Huax-iandjiexing, Hvang-Sin, Isko-Dari, Liganmeix-ing, Nan zhoudajiexing, Konak Doraz, Kzil Kumet, Luotao xhuang, Maj-Ho-Sin, Manti-Rujuk, Shi-Sin, Shoyinhouz, dan Tulaki di China, kultivar Bergeron, Canino, Earlyblush, Fantasme, Goldrich, Hatif Colomer, Helena du Roussillon, Ivresse, Luizet, Malice, Modesto, Orange Red, Polonais, Rouge de Roussillon, Rouge de Fournes, Tirynthos, dan Tomcot di Perancis, kultivar Bebeco, Tirynthos, dan Luizet di Yunani, kultivar Bergeron, Ceglédi Bìborkajszi, Ceglédi Orìas, Gönci Magyar Kajszi, Magyar Kajszi (Hungarian Best), dan Mandula Kajszi di Hungaria, kultivar Baracca, Bella di Imola, Boccuccia, Cafona, Canino, Ceccona, Fracasso, Goldrich, Monaco Bello, Palummella, Portici, Reale di Imola, San Castrese, Tirynthos, dan Vitillo di Italia, kultivar Tabarza, Tokbam, Damavand, Malayer, dan Lasgherdi di Iran, kultivar Bulida, Empress, Imperial, Lady Sun, Palsteyn, Peeka, Royal, Soldonné, dan Super Gold di Afrika Selatan, dan kultivar Aprikoz, Cataloglu, Cologlu, Darende, Hacihaliloglu, Hasanbey, Kabaasi, Sekerpare, Soganci,Tokaloglu, Yegen di Turki (Hormaza et al., 2007). Kultivar yang berkembang di masing-masing negara terus bertambah seiring dengan program pemuliaan tanaman di negara- negara tersebut. Kajian keragaman genetik tanaman aprikot telah banyak dilakukan. Secara sistematis, tanaman aprikot dapat dikelompokkan dalam delapan kelompok ekogeografis dan tiga belas kelompok regional. Kelompok regional Fergana, Zeravshan, Semerkand-Shahrisiabz, Horezm dan Kopet-Dagh termasuk kelompok Prunus armeniaca L. 133 (Rosaceae) kelopok ekogeografis Asia Tengah. Kelompok regional Iran-Caucasus, Dagestan dan Afrika Utara termasuk kelompok ekogeografis Irano-Caucasian. Kelompok regional Eropa Barat, Eropa Timur, dan Eropa Utara termasuk kelopok ekogeografis Eropa. Kelompok regional Dzhungar dan Zailig termasuk dalam kelompok ekogeografis Dzhungar-Zailig. Kelompok ekogeografis China Utara, China Timur, Tibet dan China Utara tidak memiliki kelompok regional (Ugurtan & Gurc, 2012).

V. Evolusi dan risiko erosi genetik Aprikot merupakan salah satu dari lima tanaman asli China yang dibudidayakan secara tradisional bersama dengan , plum, jujube, dan chestnut. Hingga awal tahun 1980-an, tanaman aprikot tidak boleh ditanam untuk tujuan komersial. Sejak adanya reformasi ekonomi, tanaman aprikot mulai ditanam secara besar besaran. Hingga saat ini, tanaman aprikot di China telah mengalami tiga tahap evoluasi budidaya, yaitu: 1) rekoleksi kultivar lokal yang dipilih dari aprikot asli China, 2) introduksi kultivar dari negara-negara barat, dan 3) merilis kultivar aprikot baru hasil pemuliaan (Liu et al., 2012). Aktivitas pemuliaan tanaman aprikot pada awalnya difokuskan pada seleksi dari keanekaragaman hayati di alam. Kegiatan koleksi dan karakterisasi plasma nutfah adalah tahap awal yang penting untuk memulai program pemuliaan. Aktivitas koleksi dan karakterisasi plasma nutfah dilakukan untuk mendapatkan karakteristik fenologis, pomologis dan morfologis seperti kekuatan pohon dan kebiasaan tumbuh, kualitas buah, daun, stone, bunga, stigma dan stylus dan serbuk sari. Dalam dua dekade terakhir, studi molekuler telah diintegrasikan ke dalam penelitian karakterisasi plasma nutfah konvensional dan keanekaragaman genetik dalam aprikot (Ugurtan & Gurc, 2012). Di Turki, program ini seleksi plasma nutfah aprikot dimulai pada tahun 1933 di daerah Malatya oleh Profesor Ülkümen, dengan fokus kegiatan identifikasi karakater morfologis, fisiologis, dan biologis dari populasi aprikot yang ada di alam. Kegiatan ini menghasilkan 63 jenis aprikot yang berbeda dari Malatya (kabupaten Darende), 14 jenis dengan karakter masak lambat dari Erzincan, satu jenis yang cocok sebagai buah kering dari Elazığ (kabupaten Baskil), 28 jenis toleran terhadap embun beku pada musim semi dari Van (distrik Gevaş), dan tujuh jenis yang cocok digunakan sebagai buah kering dan enam jenis baru di Malatya dan sekitarnya. Semua jenis tersebut telah dikarakterisasi dan dipelihara di kebun koleksi plasma nutfah the Malatya Apricot Research Station (Asma et al., 2018). 134 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Selain kegiatan seleksi dan karaktersasi tanaman aprikot di alam, kegiatan pemuliaan juga telah dilaksanakan. Secara umum, tujuan pemuliaan tanaman aprikot adalah: (1) Meningkatkan kemampuan beradaptasi untuk daerah dingin dan hangat. Adaptasi terhadap suhu dingin dan hangat berkaitan dengan karakter periode dormansi yang lama atau pendek, perkembangan mikrosporogenesis serbuk sari yang lambat selama periode pascadormansi, periode berbunga lambat, sifat tahan beku dan autogami, (2) Menghasilkan tanaman dengan ideotipe buah unggul. Beberapa karakteristik paling penting untuk pasar segar adalah ukuran besar (lebih dari 60 g), penampilan menarik (warna kulit), daging renyah, tahan terhadap keretakan kulit, dan pemasakan yang seragam. Untuk aprikot kaleng, warna kulit oranye dan daging yang baik lebih disukai serta ukuran sedang yang seragam, bentuk yang teratur, tekstur yang baik, kandungan gula yang tinggi, sedikit keseimbangan dan gula asam yang baik. Untuk tujuan pengeringan, padatan yang larut tinggi. (3). Menghasilkan tanaman tahan terhadap penyakit dan kematian dini. Di ​​Eropa, tujuan utamanya adalah menghasilkan aprikot yang resisten terhadap Sharka — PPV, European stone fruit yellows (ESFY), busuk cokelat oleh Cytospora dan bakteri seperti Pseudonamas spp. dan Xantonomas spp. dan kematian dini sebagai akibat dari faktor patologis dan lingkungan (Hormaza et al., 2007; Krška, 2018). Namun demikian, proses domestikasi dan seleksi tanaman dalam pemuliaan berdampak pada keanekaragaman tanaman. Proses domestikasi dan seleksi dapat berdampak pada hilangnya tanaman atau berkurangnya keanekaragaman sifat tanaman. Secara umum, terdapat dua dampak utama domestikasi terhadap keanekaragaman tanaman. Pertama, perubahan sifat yang dipilih untuk digunakan manusia, disebut “sindrom domestikasi” yang menyebabkan tanaman tidak dapat bereproduksi atau bertahan hidup tanpa campur tangan manusia. Kedua, domestikasi dan seleksi pergeseran genetik melalui efekbottleneck . Efek bootleneck terdeteksi dengan penanda mikrosatelit pada aprikot di Mediterania. Hilangnya keragaman genetik yang signifikan terdeteksi dari kumpulan gen ‘Irano-Kaukasia’, yang dianggap sebagai pusat diversifikasi sekunder, ke Cekungan Mediterania utara dan barat daya (Bourguiba et al., 2012). Prunus armeniaca L. 135 (Rosaceae)

VI. Aspek budidaya Tanaman aprikot merupakan tanaman yang umumnya tumbuh pada daerah dengan drainase baik dan air yang cukup. Aprikot rentan terhadap cekaman genangan dan memiliki ketahanan sedang terhadap pH dan salinitas tinggi. Pada aspek budidaya, USAID mengeluarkan panduan budidaya aprikot (USAID, 2016). Pemilihan varietas didasarkan pada kesesuaian untuk zona pertumbuhan, periode pematangan buah, warna yang bagus, ukuran buah, preferensi konsumen dan resistensi terhadap penyakit dan hama. Tanaman aprikot tumbuh baik di zona beriklim temperate dan membutuhkan periode dorman selama 300 - 800 jam (suhu di bawah 70 C) untuk induksi pembungaan. Tanaman aprikot dapat ditanam dengan jarak tanam 5 x 5 m atau 6 x 6 m bergantung pada varietas yang digunakan. Pemangkasan dilakukan dengan memotong cabang dan tunas secara selektif, yaitu memotong cabang yang tidak produktif, mati, rusak atau rusak/berpenyakit dan menciptakan ruang untuk penetrasi cahaya dan sirkulasi udara. Pemangkasan bertujuan untuk membantu membentuk kanopi yang lebih baik. Pemangkasan ringan juga dapat dilakukan setelah panen. Penjarangan buah dilakukan pada 40-45 hari setelah bunga mekar atau saat buah berdiameter ¾ -1 inci. Pengairan didasarkan pada water holding capacity tanah, curah hujan dan laju transpirasi tanaman. Penanggulangan gulma dan hama dilakukan secara rutin. Hama utama aprikot adalah aphids, sedangkan penyakit utama aprikot adalah shot hole dan Gummosis. Pemupukan disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Tanaman aprikot membutuhkan enam belas elemen penting untuk pertumbuhan: (1) Unsur makro (N, P, K, Ca, Mg, S) dan (2) unsur mikro (boron, klorin, tembaga, besi, mangan, molibdenum, seng, dan nikel).

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi ekonomi Aprikot memiliki peranan penting dalam pemenuhan nutrisi manusia. Umumnya, aprikot dikonsumsi sebagai buah segar, aprikot kering, aprikot beku, selai, jeli, selai, pure, jus, nektar, dll. Selain itu, biji aprikot digunakan dalam produksi minyak, benzaldehyde, kosmetik, karbon aktif, dan parfum. Selain itu, aprikot juga berperan dalam pemeliharaan kesehatan. Aprikot kaya akan mineral seperti kalium dan vitamin seperti β-karoten, yang merupakan zat pro vitamin yang diperlukan oleh jaringan epitel yang menutupi tubuh dan organ kita, kesehatan mata, 136 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

pengembangan tulang dan gigi. Selain itu, vitamin A memainkan peran penting dalam reproduksi dan pertumbuhan fungsi tubuh kita, dalam meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi (Haciseferoǧullari, Gezer, Özcan, & Murat Asma, 2007). Buah aprikot merupakan sumber karbohidrat yang kaya (baik mono dan polisakarida), polifenol, karotenoid (ß-karoten), vitamin C dan K, tiamin, niasin, zat besi, asam organik, fenol, dan senyawa volatil, benzaldehyde, ester, norisoprenoids, dan terpenoid. Minyak biji aprikot dilaporkan mengandung cyanogenic glycoside amygdalin (vitamin B17) yang jika dihidrolisis oleh enzim β-glukururididase dalam lingkungan basa di dalam usus halus akan menjadi glukosa, benzaldehid, dan asam hidrosianat dan diserap dengan cepat dan bersirkulasi dalam tubuh. Pure mengandung total padatan (12,4 - 16,7%), padatan tidak larut (2,1 - 3,1%), asam sebagai asam malat (0,7-2,2%), total gula sebagai gula invert (5,3-8,6%), glukosa (3,2-4,8) %), fruktosa (1,4-4,25%), sukrosa (1,4-5,4%) dan tanin (0,06-0,10%) (Raj, Jian, & Chaudhary, 2012). Selain aspek nutrisi, kelebihan buah aprikot juga terletak pada kandungan fitokimianya. Beberapa kandungan fitokimia penting dalam buah aprikot adalah chlorogenic acid, caffeic acid, p-coumaric acid, ferulic acid, cinnamic acid, catechin, epicatechin, quercetin 3-rutinoside, kaempferol 3-rutinoside, procyanidins, flavonols, β-carotene, γ-carotene, β-cryptoxanthin, phytofluene, lutein dan zeaxanthin. Komponen bioaktif tersebut telah terbukti secara farmakologis efektif melawan gastritis kronis, kerusakan usus oksidatif, steatosis pada hati, aterosklerosis, penyakit jantung koroner, dan pembentukan tumor (Ali et al., 2015). Minyak biji aprikot baik yang pahit maupun manis menunjukkan aktivitas anti bakteri terhadap bakteri Gram-positif Staphylococcus aureus dan bakteri Gram- negatif Escherichia coli dan aktivitas anti jamur terhadap Candida albicans dan Candida glabrate. Kandungan glikosida sianogenik (terutama amigdalin) dalam biji dilaporkan dapat digunakan sebagai obat untuk pengobatan kanker. Di Inggris, minyak biji aprikot digunakan melawan tumor, pembengkakan, dan bisul bahkan sejak abad ketujuh belas (Raj et al., 2012). Hingga saat ini, produk olahan aprikot telah banyak dipasarkan di Indonesia dalam bentuk buah kering selai, jeli, dan pure. Namun demikian tanaman aprikot belum dapat dibudidayakan di Indonesia karena keterbatasan varietas yang mampu beradapasi di daerah tropis. Pengembangan varietas baru yang mampu Prunus armeniaca L. 137 (Rosaceae) beradaptasi terhadap suhu yang lebih hangat dan periode dormansi yang lebih pendek hasil program pemuliaan (Hormaza et al., 2007; Krška, 2018) diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan aprikot di Indonesia.

Pustaka 1. Ali Khan, M., Maghuly, F., Borroto-Fernandez, E. G., Pedryc, A., Katinger, H., & Laimer, M. (2008). Genetic diversity and population structure of apricot (Prunus armeniaca L.) from Northern Pakistan using simple sequence repeats. Silvae Genetica, 57(3), 157–164. https://doi.org/10.1515/sg-2008-0024 2. Ali, S., Masud, T., Abbasi, K. S., Mahmood, T., Hussain, A., Shah, P. A., & Cell, Q. E. (2015). Apricot: nutritional potentials and health benefits-a review.Annals. Food Science and Technology, 16, 175–189. 3. Asma, B. M., Mısırlı, A., Bilgin, N. A., & Yanar, M. (2018). Apricot culture and breeding studies in Turkey. In XXX International Horticultural Congress (pp. 15–21). 4. Badenes, M. L., & Byrne, D. H. (2012). Fruit breeding. Fruit Breeding. https:// doi.org/10.1007/978-1-4419-0763-9 5. Bourguiba, H., Audergon, J.-M., Krichen, L., Trifi-Farah, N., Mamouni, A., Trabelsi, S., … Khadari, B. (2012). Loss of genetic diversity as a signature of apricot domestication and diffusion into the Mediterranean Basin. BMC Plant Biology, 12(1), 49. https://doi.org/10.1186/1471-2229-12-49 6. Haciseferoǧullari, H., Gezer, I., Özcan, M. M., & MuratAsma, B. (2007). Post- harvest chemical and physical-mechanical properties of some apricot varieties cultivated in Turkey.Journal of Food Engineering, 79(1), 364–373. https://doi. org/10.1016/j.jfoodeng.2006.02.003 7. Hormaza, J. I., Yamane, H., & Rodrigo, J. (2007). Apricot. In Genome Mapping and Molecular Breeding in Plants, Volume 4 Fruits and Nuts (Vol. 4, pp. 171– 187). 8. Krška, B. (2018). Genetic apricot resources and their utilisation in breeding. In Breeding and Health Benefits of Fruit and Nut Crops (pp. 63–82). InTech. https://doi.org/10.5772/intechopen.77125 138 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

9. Liu, W., Liu, N., Zhang, Y., Yu, X., Sun, M., Xu, M., … Liu, S. (2012). Apricot cultivar evolution and breeding program in China. Acta Horticulturae, 966, 223–228. https://doi.org/10.17660/ActaHortic.2012.966.35 10. Raj, V., Jian, A., & Chaudhary, J. (2012). Prunus armeniaca (Apricot): An overview. Journal of Pharmacy Research, 5(8), 3964–3966. 11. Roussos, P. A., Denaxa, N. K., Tsafouros, A., Efstathios, N., & Intidhar, B. (2015). Apricot (Prunus armeniaca L.). Nutritional Composition of Fruit Cultivars. Elsevier Inc. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-408117-8.00002-7 12. Tian-Ming, H., Xue-Sen, C., Zheng, X., Jiang-Sheng, G., Pei-Jun, L., Wen, L., … Yan, W. (2007). Using SSR markers to determine the population genetic structure of wild apricot (Prunus armeniaca L.) in the Ily Valley of West China. Genetic Resources and Crop Evolution, 54(3), 563–572. https://doi. org/10.1007/s10722-006-0013-5 13. Ugurtan, K., & Gurc, K. (2012). Genetic diversity in Apricot.Genetic Diversity in Plants. https://doi.org/10.5772/33361 14. USAID. (2016). Best practices for production and marketing in Afganistan. CHAMP Farm to Market Guide. 15. USDA. (2019). Classification for Kingdom Plantae Down to Species Prunus armeniaca L. Retrieved June 25, 2019, from https://plants.usda.gov/java/Clas sificationServlet?source=display&classid=PRAR3 16. Wikipedia. (2019). List of countries by apricot production. Retrieved June 25, 2019, from https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_apricot_ production 17. Zaurov, D. E., Molnar, T. J., Eisenman, S. W., Ford, T. M., Mavlyanova, R. F., Capik, J. M., … Goffreda, J. C. (2013). Genetic resources of apricots (Prunus armeniaca L.) in Central Asia. HortScience, 48(6), 681–691. 18. Zhebentyayeva, T. N., Reighard, G. L., Gorina, V. M., & Abbott, A. G. (2003). Simple sequence repeat (SSR) analysis for assessment of genetic variability in apricot germplasm. Theoretical and Applied Genetics, 106(3), 435–444. https://doi.org/10.1007/s00122-002-1069-z Penulis: Farida Yulianti dan Anang Triwiratno Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika Prunus avium L. (Rosaceae)

Protologue Prunus avium (L.) L., Fl. Suec., ed. 2 (Linnaeus) 165 (1755). Sinonim • Prunus avium subsp. durachina (L.) D.Rivera, Obón, S.Ríos, Selma, F.Méndez, Verde & F.Cano, Varied. Trad. Frut. Cuenca Río Segura Cat. Etnobot. 1: 306 (1997) (1997). • Prunus avium var. durachina Arechav., Anales Mus. Nac. Montevideo 3: 449 (1901). • Prunus avium subsp. juliana (L.) D.Rivera, Obón, S.Ríos, Selma, F.Méndez, Verde & F.Cano, Varied. Trad. Frut. Cuenca Río Segura Cat. Etnobot. 310 (1997). • Prunus avium subsp. juliana (L.) Schübl. & G.Martens, Fl. Wurtemberg (ed. 1) 311 (1834). • Prunus avium var. macrocarpa (Ser.) D.Rivera, Obón, S.Ríos, Selma, F.Méndez, Verde & F.Cano, Varied. Trad. Frut. Cuenca Río Segura Cat. Etnobot. 1: 305 (1997) (1997). Prunus avium f. nigricans (Ehrh.) P.D.Sell, Fl. Gr. Brit. Ireland 2: 520 (2014). • Prunus avium var. silvestris Kirschl., Fl. Alsace 1: 210 (1842). • Prunus avium f. silvestris (Kirschl.) P.D.Sell, Fl. Gr. Brit. Ireland 2: 520 (2014). Nama umum Ceri (Indonesia), ceri (Melayu), seresa (Filipina), anh đào (Vietnam), chex r̒ rī̀ p̀ā (Thailand), cherry (Kamboja), cheli (Korea), kers (Belanda), bird cherry, sweet cherry, wild cherry (Inggris), cerisier des oiseaux (Perancis), herzkirsche (Jerman), ciliegio (Italia), seiyō-mizakura (Jepang), cerejeira (Portugis), cerezo (Spanyol). 140 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

I. Pendahuluan Ceri termasuk dalam genus Prunus dalam famili Rosaceae. Genus Prunus mencakup sekitar 430 spesies tumbuhan deciduous, evergreen, dan semak yang tersebar luas di seluruh daerah beriklim sedang (temperate) (Vicente, Manganaris, Cisneros-zevallos, & Crisosto, 2011). Tidak semua spesiesnya menghasilkan buah yang dapat dimakan dan hanya digunakan untuk dekorasi (segi estetika). Beberapa spesies lainnya ditanam secara komersil untuk produksi buah dan kacang (almond). Sebagian besar spesies ini berasal dari Asia atau Eropa Selatan (Vicente et al., 2011). Hingga saat ini terdapat lebih dari 30 spesies ceri asli Eropa dan Asia yang telah diidentifikasi, namun hanya buah ceri yang berasal dari spesiesPrunus avium (ceri manis) dan Prunus cerasus (tart ceri/ceri asam) yang diperdagangkan secara global (Blando & Oomah, 2019). Ceri disebut sebagai sumber makanan untuk penghuni awal benua Eropa dengan ditemukannya biji ceri dari sebuah gua dan diperkirakan berasal dari masa 4.000- 5.000 sebelum Masehi. Ceri juga dibudidayakan pada masa Kerajaan Yunani, sekitar 300 SM, dan beberapa abad sebelumnya untuk diambil kayunya. Orang-orang Romawi memperkenalkan budidaya ceri di Inggris pada abad I (Iezzoni, 2008). Produsen ceri utama dunia adalah Uni Eropa dengan total produksi 730 ribu ton di tahun 2017 diikuti Turki dan Amerika Serikat dengan masing-masing produksi sebanyak 525ribu ton dan 458ribu ton (Chepkemoi, 2017). Di Eropa, ceri manis lebih banyak diproduksi di Eropa Barat dan ceri asam diproduksi di Eropa Timur. Sementara di Amerika Utara, produksi ceri segar banyak di bagian barat laut sedangkan ceri olahan diproduksi di Michigan (Iezzoni, 2008). Ceri manis paling baik dikonsumsi dalam keadaan segar. Warna kulit dan daging buah ceri bervariasi dari merah gelap hingga merah muda dan kuning. Ceri asam digunakan untuk produk olahan dan biasanya digunakan pada pai, selai, jus dan produk pastri. Ceri yang dikeringkan dengan biji yang sudah dibuang juga dapat digunakan untuk salad dan makanan yang dipanggang (Iezzoni, 2008).

II. Klasifikasi dan deskripsi botani Ceri manis diklasifikasikan dalam Kingdom: Plantae, Divisi: Magnoliophyta, Kelas: Magnoliopsida, Ordo: Rosales, Famili: Rosaceae, Subfamili: Prunoidea, Genus: Prunus, Jenis: Prunus avium L. Ceri manis (Prunus avium) memiliki pohon yang kuat/kokoh, batang pohon yang lurus (Russell, 2003; Welk, de Rigo, & Caudullo, Prunus avium L. 141 (Rosaceae)

2016) dengan kanopi berbentuk piramida tegak yang mampu mencapai tinggi hingga 50 kaki. Dalam kegiatan budidaya, ketinggiannya dipertahankan pada 12- 15 kaki (Gambar 31). Daunnya relatif besar (yang terbesar di antara spesiesPrunus yang dibudidayakan), berbentuk eliptik dengan tepian agak bergerigi dan ujung berbentuk acute, memiliki petiol (tangkai daun), dan tulang daun yang tampak jelas (Rieger, 2006). Warnanya hijau muda saat musim semi, hijau gelap saat musim panas, lalu menguning, oranye-merah, merah scarlet atau pink saat musim gugur (Welk et al., 2016).

Gambar 31. Kebun ceri di Belgia dengan tajuk tanaman yang dipertahankan dengan ketinggian 3.5 - 4.5 m dalam sistem budidaya trellis. (foto: oka_ardiana_banaty).

Bunga ceri manis berdiameter 2-2,5 cm (Welk et al., 2016), berwarna putih (Rieger, 2006; Russell, 2003; Welk et al., 2016) dengan tangkai bunga yang panjang dan berada dalam gugusan kluster yang terdiri atas dua hingga lima bunga pada satu cabang bunga (spurs) yang pendek (Rieger, 2006; Welk et al., 2016) (Gambar 32). Cabang bunga ini mampu memproduksi bunga hingga 10-12 tahun. 142 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Gambar 32. Bunga ceri (foto: akhirta_atikana)

Berdasarkan letak bakal buahnya, bunga ceri termasuk dalam bunga perigynous sebagaimana halnya karakteristik dari buah batu. Secara individu, bunga ceri asam sama dengan bunga ceri manis yaitu bunga majemuk yang terdiri atas dua hingga empat bunga pada satu cabang bunga dengan tangkai bunga yang panjang. Cabang bunganya memiliki masa produktif yang lebih pendek dari ceri manis yaitu tiga hingga lima tahun. Ceri manis berbunga lebih awal dari ceri asam. Ceri manis berbunga sekitar akhir musim semi, sedang ceri asam memiliki waktu berbunga yang lebih lambat (Rieger, 2006). Bunga ceri manis tidak dapat menyerbuk sendiri karena bersifatself incompatibility (SI) (Rieger, 2006; Russell, 2003; Welk et al., 2016), namun ada beberapa kultivar yang dapat menyerbuk sendiri seperti kultivar Stella da Lapins. Selainself incompatibility, ceri manis juga memiliki tingkat cross incompatibility yang tinggi. Terdapat sekitar 12 grup incompatibility ceri manis yang telah diidentifikasi. Tingginya tingkat incompatibility ini dapat mengakibatkan rendahnya tingkat produktivitas buah sehingga dibutuhkan pollinizer untuk membantu proses penyerbukan. Pollinizer diletakkan pada setiap pohon ketiga dalam setiap baris ketiga atau dengan rasio 8-9:1. Lebah madu adalah pollinator utama pada penyerbukan ceri manis. Tidak seperti pada ceri manis, ceri asam bersifat self fertile sehingga tidak memerlukan pollinizer (Rieger, 2006). Ceri manis adalah buah berbiji/buah batu (drupe) dengan ukuran berkisar antara ½ - 1 ¼ inci, berbentuk bulat atau hati dan kulitnya tidak berbulu dengan tangkai buah yang panjang (Gambar 33). Pada umumnya kulitnya berwarna merah tua atau ungu (seringkali disebut sebagai hitam), kuning, atau putih (jarang). Buah yang berwarna kuning seringkali memiliki semburat warna merah. Warna daging Prunus avium L. 143 (Rosaceae) buahnya bervariasi dari putih hingga merah gelap. Ceri adalah jenis stone fruit yang paling awal masak dengan waktu masak 2-3 bulan setelah berbunga pada sebagian besar kultivarnya. Sebagaimana ceri manis, ceri asam adalah buah berbiji/ buah batu (drupe). Ceri asam memiliki ukuran, bentuk dan waktu perkembangan buah yang sama dengan ceri manis. Ceri asam memiliki kandungan asam organik yang lebih tinggi dan memiliki kandungan gula yang lebih rendah dari ceri manis. Pada umumnya sebagian besar kultivar ceri asam berwarna merah terang dan menunjukkan variasi warna yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan ceri manis (Rieger, 2006).

Gambar 33. Buah ceri manis (foto: oka_ardiana_banaty).

III. Asal dan distribusi geografis Prunus avium muncul secara alami di seluruh kawasan hutan beriklim subtropis di daerah Eropa, Anatolia, dan daerah yang berdekatan di Maghribi Afrika Utara, dan Asia Barat. Wilayah distribusi meluas ke utara yaitu Kepulauan Inggris dan Skandinavia selatan, di mana sulit untuk membedakan tanaman asli dari populasi yang dinaturalisasi. Batas jangkauan alam utara mencapai 55o Lintang Utara. Di selatan, rentang meluas ke Afrika Utara, Spanyol Selatan, Italia tengah, dan Balkan. Di wilayah ini, ceri tumbuh terbatas pada populasi dataran tinggi yang lembap. Bagian paling timur dari rentang distribusi termasuk Kaukasus dan pegunungan Elburs di Iran Utara, di mana spesies ini dilaporkan terdapat hingga ketinggian 2.000 m. Di pegunungan Alpen ceri dapat ditemukan hingga 1.700 m dan mencapai 1.900 m di Prancis Tenggara (Welk et al., 2016). 144 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Secara umum, distribusi ceri, dilihat dari ketinggian tempat, membentang dari dataran rendah hingga dataran tinggi (sub-montane). Di daerah pegunungan tinggi, ceri liar sering tumbuh berupa semak belukar. Faktor pembatas untuk distribusi ceri liar terutama terkait dengan curah hujan pada periode musim panas di selatan dan kondisi yang lebih dingin di Eropa Utara dan Timur. Selain di daerah aslinya, ceri ditanam secara luas dan berhasil tumbuh secara alami di habitat hutan gugur dan tanah semak, terutama di daerah subtropis Asia Utara dan Amerika Utara (Welk et al., 2016).

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik Kajian tentang genus Prunus (Liu et al., 2013) menyebutkan bahwa Genus Prunus awalnya diklasifikasi oleh de Tournefort berdasarkan morfologi buah di mana terdapat 6 subgenus terdiri atas Prunus, Armeniaca Miller, Cerasus Miller, Persica Miller, Amygdalus L. dan Laurocerasus Tournefort ex Duh. Selanjutnya Linnaeus membagi subgenus tersebut hanya menjadi dua, yaitu Amygdalus (termasuk Persica Miller dan Amygdalus) dan Prunus (termasuk Prunus, Armeniaca Miller, Cerasus Miller, Laurocerasus, dan subgenus tambahan Padus).

Gambar 34. Karakteristik bunga genus Prunus (Keterangan: putik tunggal dengan satu kepala dan tangkai putik dengan satu bakal biji (warna biru dan oranye) (foto : USDA)

Genus Prunus diidentifikasi dengan adanya kombinasi karakter berupa adanya kelenjar pada daun, putik tunggal, kedudukan bakal buah menumpang (superior) (Gambar 4), bentuk buah batu dan empulur yang padat. Ceri menempati subgenus Prunus avium L. 145 (Rosaceae)

Cerasus di dalam genus Prunus yang membedakannya dari kerabat stone fruit yang lain (plum, apricot, peach dan almond). Subgenus cerasus dibagi lagi menjadi tujuh kelompok yang masing-masing terdiri atas dua hingga 10 spesies. Prunus avium (ceri manis) dan Prunus cerasus (tart ceri/ceri asam) berada dalam satu kelompok yang sama (Rieger, 2006). Prunus avium memiliki kromosom 2n=16 sedangkan Prunus cerasus adalah tetraploid 2n=32. Karakterisasi morfologi merupakan langkah awal dalam pendeskripsian dan klasifikasi plasma nutfah, termasuk diversitas. Studi pada pada plasma nutfah ceri liar di Serbia (Rakonjac, Mratinić, Jovković, & Fotirić Akšic, 2014) menunjukkan adanya keragaman pada 33 aksesi yang diamati dengan variasi tertinggi pada karakter kualitatif berkaitan dengan warna eksternal dan internal buah (termasuk kulit, daging buah dan warna jus). Untuk karakter kuantitatif, variasi tertinggi ditunjukkan oleh berat buah dan biji. Sementara itu evaluasi kuantitatif dan kualitatif terhadap koleksi ceri di bank plasma nutfah Portugal (Rodrigues, Morales, Fernandes, & Ortiz, 2008) menunjukkan adanya perbedaan yang jelas antara ceri manis dan asam, dengan variabilitas yang lebih nyata dalam kelompok ceri manis yang mungkin disebabkan oleh proses domestikasi yang lebih intens.

V. Evolusi dan risiko erosi genetik Pada tanaman berbunga, sistem self incompatibility (SI) menjadi salah satu metode untuk mencegah pernyerbukan sendiri sehingga berperan dalam menghindari tekanan inbreeding (Vieira, Ferreira, Aguiar, Fonseca, & Vieira, 2010). Mekanisme SI dikontrol oleh multialel pada lokus S yang mencegah terjadinya penyerbukan sendiri di mana putik dapat menolak serbuk sari dari individu tanaman yang berkerabat dekat. Proses evolusi dari Genus Prunus salah satunya dapat diamati dari evolusi dari alel S dengan diperolehnya 33 spesifisitas dari sampel yang diamati. Genus Prunus disebut mengalami proses trans-spesifik evolusi yaitu alel dari satu spesies lebih dekat ke alel spesies lain daripada alel dari spesies yang sama (Vieira et al., 2008). Perubahan ukuran populasi dapat menjadi salah satu sebab hilangnya alel S karena jumlah alel yang dapat dipertahankan dalam populasi tersebut bergantung pada ukuran populasi yang efektif. Oleh karena itu, dengan membandingkan jumlah spesifitas pada Genus Prunus dan nenek moyangnya terdapat indikasi terjadinya 146 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

perubahan ukuran populasi (leher botol pupulasi) pada sejarah evolusi Genus Prunus. Nenek moyang Genus Prunus yang paling dekat diasumsikan setidaknya memiliki 64 spesifisitas (Vieira et al., 2008).

VI. Aspek budidaya Pohon ceri paling baik ditanam di tanah dalam, drainase baik, berkerikil hingga lempung berpasir. Aerasi yang baik sangat penting dalam menunjang sistem perakaran ceri yang luas. Tanah tergenang atau basah dan dominan liat dapat memperlambat pertumbuhan dan menurunkan produktivitas tanaman (Rieger, 2006). Tanaman ceri memiliki toleransi yang luas terhadap pH tanah (5,5-8,5), namun lebih menyukai kondisi tanah yang sedikit asam (Russel, 2003). Ceri manis lebih baik ditanam di daerah dengan iklim yang dingin dan kering di mana bahaya embun beku pada musim semi (spring frost) terbatas, tekanan penyakit berkurang, dan hujan tidak turun pada saat panen (Rieger, 2006). Tanaman ini cukup tahan terhadap musim dingin yang kuat, namun bunganya dapat rusak oleh spring frost (Russel, 2003). Penyakit, suhu dan kelembapan yang tinggi membuat budidaya ceri manis sangat sulit. Suhu panas yang intens selama fase pembentukan dan perkembangan bunga menyebabkan terbentuknya bakal buah ganda sehingga dapat memicu pembuahan yang berlipat (meningkatakan produksi). Ceri asam baik di tanam di daerah dengan iklim lebih dingin dan lembap (Rieger, 2006). Baik ceri manis maupun ceri asam memiliki syarat berada pada suhu dingin yang cukup tinggi, yaitu sekitar 1.000-1.500 jam. Hal ini menghalangi produksi di daerah dengan iklim yang lebih hangat. Ceri asam lebih toleran terhadap hawa dingin daripada ceri manis. Hujan dan kelembapan yang tinggi selama musim tanam terutama saat berbunga atau panen adalah faktor pembatas terjadinya serangan penyakit yang disebabkan oleh jamur dan dapat mengakibatkan kerusakan (kematian) bunga atau tunas dan busuk buah. Turunnya hujan terutama pada masa panen sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan kondisi yang disebut dengan pecah buah. Oleh karena itu sebagian besar ceri manis ditanam di daerah beriklim kering. Selain itu hujan dan kelembapan yang tinggi saat mendekati masa panen juga memperparah serangan busuk cokelat (brown rot) yang sangat merusak ceri (Rieger, 2006). Prunus avium L. 147 (Rosaceae)

Perbanyakan ceri dilakukan dengan cara melakukan grafting (T budding) batang atas (scion) pada batang bawah (rootstock) selama musim panas untuk kemudian ditanam pada musim selanjutnya. Sampai tahun 1990 terdapat 2 tipe rootstock utama untuk ceri yaitu Mazzard dan Mahaleb. Mazzard adalah hasil seleksi ceri manis liar yang menghasilkan pohon yang besar dan kuat sedangkan Mahaleb merupakan spesies berbeda (Prunus mahaleb) yang tumbuh dengan sangat baik di tanah dengan drainase yang baik. Di Amerika, Mazzard dijadikan rootstock untuk sebagian besar ceri manis dan Mahaleb untuk ceri asam. Perbanyakan keduanya dilakukan baik dengan biji maupun dengan cara klonal. Saat ini telah dikembangkan beberapa jenis rootstock dengan karakter dwarf, cepat dewasa (berbuah) dan memiliki efisiensi hasil yang tinggi seperti seri Gisela/Geissen (Rieger, 2006). Penyebaran biji ceri dilakukan oleh burung-burung, terutama merpati, jalak dan burung jay juga oleh mamalia kecil. Dormansi biji biasanya terjadi untuk satu musim dingin tetapi dapat bertahan hingga dua tahun. Tingkat perkecambahan benih yang disimpan dapat ditingkatkan dengan menerapkancold and warm stratification (perlakuan suhu). Ceri juga sering beregenerasi dengan tunas adventif akar yang membentuk rumpun pohon yang rapat (Russell, 2003). Ceri manis dapat tumbuh sangat besar, sehingga jumlah pohon per hektarenya hanya sedikit saja. Ceri dengan rootstock standar dapat ditanam dengan kerapatan sekitar 100 tanaman per hektare. Ceri dapat ditanam dengan kerapatan lebih (ratusan tanaman per hektare) bila menggunakan rootstock Gisela. Pollinizer dapat tersebar di seluruh area pertanaman. Sebagai contoh pada pohon ketiga di setiap baris ketiga (rasio 8:1) atau dalam satu baris berseling dengan kultivar utamanya. Untuk produksi buah segar, penanaman pollinizer yang berpencar-pencar/tersebar bukan merupakan masalah karena panen dilakukan dengan tangan. Pohon ceri membutuhkan pemangkasan paling sedikit bila dibanding pohon buah yang lain. Hal ini karena buahnya dihasilkan oleh cabang buah yang berumur panjang di mana semua titik berbuahnya dibutuhkan untuk produksi penuh. Selama masa pertumbuhan vegetatif dan tanaman belum menghasilkan, beberapa tajuk dorman diperlukan untuk mendorong percabangan karena pohon yang masih muda menghasilkan cabang scaffold(cabang utama yang membetuk kanopi pohon) yang vertical, sukulen dan panjang. Sebaliknya, cabang yang mati atau mengganggu diambil secara rutin dan hanya 10% dari cabang buah (fruiting wood) yang diperbarui setiap tahun. 148 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Hama yang menyerang tanaman ceri yaitu kutu (aphid) ceri hitam, lalat buah ceri/ lalat buah ceri hitam, plum curculio, kutu sisik, ngengat buah oriental, dan tungau. Selain hama terdapat pula beberapa penyakit yang seringkali dijumpai menyerang tanaman ceri di antaranya ialah busuk cokelat/hawar bunga, bercak daun ceri, embun tepung, kanker tahunan, kanker bakteri, dan virus. Secara tradisional, perubahan warna dan kandungan padatan terlarut (soluble solid) digunakan sebagai tanda kemasakan. Kandungan padatan terlarut pada ceri manis yang telah masak mendekati 23%. Akhir-akhir ini food removal force sering digunakan untuk memprediksi kemasakan dan lebih dapat dipercaya. Pengukuran ini didasarkan pada absisi progresif buah dari dimulai sekitar 2 minggu sebelum masak. Buah ditarik dari pedicel dan diukur dengan menggunakan alat pengukur gaya tarik untuk mengukur gaya yang diperlukan untuk memindahkan buah dari pedicel. Baik ceri manis maupun ceri asam termasuk buah non klimaterik. Ceri manis untuk konsumsi segar dipanen dengan tangan bersama dengan gagang buahnya. Pemanenan dilakukan pada fase buah masak namun masih keras untuk mengurangi kerusakan pada buah. Ceri manis yang dipanen untuk olahan juga dipanen dengan menggunakan tangan, namun tidak bersama gagang buahnya. Pemanenan ceri asam untuk olahan, dilakukan dengan menggoyangkan pohon ceri ketika masak. Dua alat yang diperlukan untuk memanen yaitu penggoyang batang pohon (trunk shaker) untuk mencengkeram dan menggoyang pohon dan bingkai penangkap (catch frame) untuk menangkap dan menyalurkan buah yang jatuh ke dalam conveyor untuk dikumpulkan. Seluruh pohon dipanen dalam waktu beberapa detik. Senyawa ethepon (senyawa pelepas ethylene) diaplikasikan 2 minggu sebelum panen untuk mengurangi pengambilan buah secara paksa dan untuk meningkatkan prosentase buah yang akan dipanen. Batang pohon sering kali rusak karena alat panen, jika tidak digunakan dengan benar. Pohon yang mengalami pertumbuhan yang cepat lebih cenderung mengalami kerusakan. Baik ceri manis maupun ceri asam memiliki umur simpan yang sangat pendek sehingga harus ditangani dengan hati-hati untuk mengurangi memar dan oksidasi. Untuk prosesing, ceri asam dimasukkan ke dalam air dingin segera setelah panen. Kemudian segera dipindahkan ke pabrik pengolahan di mana akan dilakukan proses pencucian, pembuangan batang buah, pengambilan biji, dan pengemasan untuk dibekukan. Semua dilakukan hanya dalam hitungan jam setelah panen. Prunus avium L. 149 (Rosaceae)

Ceri manis didinginkan atau dimasukkan ke dalam air dingin oleh pemetik dan dikemas dalam wadah pengemasan setelah disortir berdasarkan warna dan ukurannya. Seringkali besarnya 15 atau 16 inci atau lebih. Pengiriman untuk pemasaran dilakukan segera setelah pengemasan dan untuk buah ekspor seringkali melalui jalur udara. Umur simpan ceri segar hanya beberapa hari dalam suhu ruang dan hingga 3 minggu pada suhu 32 F (0 0C). Ceri manis dapat disimpan lebih lama daripada ceri asam. Ceri asam yang dikalengkan atau dibekukan dapat disimpan selama beberapa bulan. Ceri adalah subjek bagi penyakit pascapanen yang sama (brown rot, grey mold, blue mold, Rhizopus, Alternaria, dll) sebagaimana stone fruit yang lain. Ceri tidak sensitif terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh suhu dingin (chilling injury).

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi ekonomi Buah ceri telah dijadikan sumber makanan bagi manusia selama ribuan tahun. Ceri banyak dibudidayakan di daerah beriklim sedang di seluruh dunia untuk diambil buahnya. Ceri manis biasanya dikonsumsi dalam bentuk buah segar ataupun dalam bentuk olahan (dikeringkan, dibuat maraschino, dll). Ceri asam dikonsumsi dalam bentuk olahan yaitu dengan cara dikalengkan atau dibekukan untuk kemudian digunakan sebagai fiiling dalam pembuatan kue atau dibuat selai maupun jeli. Selain itu ceri asam juga diolah dengan cara dikeringkan (Janick, 2005). Penduduk lokal di barat laut Anatolia terbiasa menggunakan ceri manis baik sebagai makanan maupun obat-obatan. Di Turki, tangkai buah ceri manis liar direbus dalam air dan dijadikan sebagai obat diuretic dan penyakit kandung kemih. Selain dikonsumsi manusia, ceri juga memilili peran penting dalam ekosistem hutan sebagai sumber makanan bagi burung, mamalia dan serangga (Ercisli et al., 2011). Buah ceri merupakan sumber sejumlah vitamin dan mineral. Warna merah atau ungu pada ceri disebabkan oleh kandungan antosianin. Antosianin merupakan salah satu golongan senyawa flavonoid yang merupakan fenolat makanan yang bersifat antioksidan (Verma, 2015). Buah ceri juga mengandung senyawa bioaktif yang memiliki banyak manfaat untuk kesehatan (Chockchaisawasdee, Golding, Vuong, Papoutsis, & Stathopoulos, 2016). 150 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Selain sebagai buah konsumsi, pohon ceri juga merupakan salah satu pohon berkayu yang sangat penting di Eropa. Pohon ceri memiliki kayu yang solid, padat dan banyak dicari untuk pembuatan panel dan kabinet serta cocok untuk produksi parket lantai dan alat musik). Saat ini, kegunaan utama dari kayu ceri adalah sebagai bahan produksi veneer. Selain penggunaannya untuk estetika, pohon ceri juga merupakan sumber makanan penting bagi banyak spesies burung dan serangga (Ducci, Cuyper, Rogatis, Dufour, & Santi, 2013). Ceri adalah salah satu tanaman buah yang cukup dikenal di Indonesia. Buah ceri biasa digunakan sebagai bahan dalam pembuatan kue atau sebagai hiasan pada makanan ataupun minuman. Buah ceri pada umumnya dijual dalam bentuk olahan yaitu berupa maraschino atau buah kaleng. Ceri segar maupun olahan yang tersedia di Indonesia adalah produk impor. Ceri merupakan tanaman asli daerah subtropis, namun demikian tidak menutup kemungkinan buah ceri dapat ditanam di Indonesia yang beriklim tropis. Indonesia memiliki beberapa tanaman introduksi yang berasal dari daerah subtropis dari famili Rosaceae yang mampu beradaptasi dengan baik di iklim Indonesia seperti apel (Malus sp.) sehingga tidak menutup kemungkinan ceri pun bisa berkembang dengan baik di Indonesia.

Pustaka 1. Blando, F., & Oomah, B. D. (2019). Trends in food science & technology sweet and sour cherries : Origin, distribution, nutritional composition and health benefits.Trends in Food Science & Technology, 86(February), 517–529. https:// doi.org/10.1016/j.tifs.2019.02.052 2. Chepkemoi, J. (2017). The Leading Producers Of Cherries In The World - WorldAtlas.com. Retrieved August 26, 2019, from https://www.worldatlas. com/articles/the-leading-producers-of-cherries-in-the-world.html 3. Chockchaisawasdee, S., Golding, J. B., Vuong, Q. V, Papoutsis, K., & Stathopoulos, C. E. (2016). Trends in food science & technology sweet cherry : Composition, postharvest preservation, processing and trends for its future use. Trends in Food Science & Technology, 55, 72–83. https://doi.org/10.1016/j. tifs.2016.07.002 Prunus avium L. 151 (Rosaceae)

4. Ducci, F., Cuyper, B. De, Rogatis, A. De, Dufour, J., & Santi, F. (2013). Chapter 10 Wild Cherry Breeding (Prunus avium L.). https://doi.org/10.1007/978-94- 007-6146-9 5. Ercisli, S., Agar, G., Yildirim, N., Duralija, B., Vokurka, A., & Karlidag, H. (2011). Genetic diversity in wild sweet cherries (Prunus avium) in Turkey revealed by SSR markers. Genetics and Molecular Research : GMR, 10(2), 1211–1219. https://doi.org/10.4238/vol10-2gmr1196 6. Iezzoni, A. F. (2008). Cherries. In Temperate Crop Breeding (pp. 151–176). Michigan. 7. Liu, X. L., Wen, J., Nie, Z. L., Johnson, G., Liang, Z. S., & Chang, Z. Y. (2013). Polyphyly of the Padus group of Prunus (Rosaceae) and the evolution of biogeographic disjunctions between eastern Asia and eastern North America. Journal of Plant Research, 126(3), 351–361. https://doi.org/10.1007/s10265- 012-0535-1 8. Rakonjac, V., Mratinić, E., Jovković, R., & Fotirić Akšic, M. (2014). Analysis of morphological variability in wild cherry (Prunus avium L.) genetic resources from central Serbia. Journal of Agricultural Science and Technology, 16(1), 151–162. 9. Rieger, M. (2006). Introduction to Fruit Crops. New York: Haword Food and Agricultural Product Press. 10. Rodrigues, L. C., Morales, M. R., Fernandes, A. J. B., & Ortiz, J. M. (2008). Morphological characterization of sweet and sour cherry cultivars ina germplasm bank at Portugal. Genetic Resources and Crop Evolution, 55(4), 593–601. https://doi.org/10.1007/s10722-007-9263-0 11. Russell, K. (2003). Technical guidelines for genetic conservation and use wild cherry (Prunus avium). Euforgen, 6. 12. Verma, M. K. (2015). Cherry production Technology, (January 2014). 13. Vicente, A. R., Manganaris, G. A., Cisneros-zevallos, L., & Crisosto, C. H. (2011). Prunus. In L. A. Terry (Ed.) (pp. 238–259). CABI International. 14. Vieira, J., Ferreira, P. G., Aguiar, B., Fonseca, N. A., & Vieira, C. P. (2010). Evolutionary patterns at the RNase based gametophytic self - Incompatibility system in two divergent Rosaceae groups (Maloideae and Prunus). BMC Evolutionary Biology, 10(1). https://doi.org/10.1186/1471-2148-10-200 152 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

15. Vieira, J., Fonseca, N. A., Santos, R. A. M., Habu, T., Tao, R., & Vieira, C. P. (2008). The number, age, sharing and relatedness of S-locus specificities in Prunus. Genetics Research, 90(1), 17–26. https://doi.org/10.1017/ S0016672307009044 16. Welk, E., de Rigo, D., & Caudullo, G. (2016). Prunus avium in Europe: distribution, habitat, usage and threats. In A. San-Miguel-Ayanz, J., de Rigo, D., Caudullo, G., Houston Durrant, T., Mauri (Ed.), European Atlas of Forest Tree Species (pp. 140–141). Luxembourg, EU. Penulis : Tiffani Nindya Arisanti dan Baiq Dina Mariana Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika Prunus persica (L.) Batsch (Rosaceae)

Protologue Prunus persica (L.) Batsch -- Beytr. Entw. Pragm. Gesch. Nat. Reiche .1. 1801 Sinonim • Prunus persica Stokes, Bot. Mat. Med. iii. 100. (1812). • Prunus persica (L.) Batsch, Beytr. & Entwurfe Pragm. Gesch. Naturr. 30 (1801); cf. E. H. Wilson in Journ.Arn. Arb. 1927, viii. 125. • Prunus persica var. aposarca Burkart, Darwiniana 17: 451 (1972). • Prunus persica subsp. davidiana (Carrière) D.Rivera, Obón, S.Ríos, Selma, F.Méndez, Verde & F.Cano, Varied. Trad. Frut. Cuenca Río Segura Cat. Etnobot. 1: 299 (1997) (1997). • Prunus persica subsp. davidiana (Carrière) Dippel, Handb. Laubholzk. 3: 606 (1893). • Prunus persica subsp. domestica (Risso) D.Rivera, Obón, S.Ríos, Selma, F.Méndez, Verde & F.Cano, Varied. Trad. Frut. Cuenca Río Segura Cat. Etnobot. 1: 293 (1997) (1997). • Prunus persica subsp. ferganensis Kostina & Rjabov, Trudy Prikl. Bot., Ser. 8, Polodovye Jagodnye Kul’t. 1: 323 (1932). • Prunus persica subsp. floriplena Burkart, Darwiniana 17: 447 (1972). • Prunus persica var. nucipersica (Suckow) C.K.Schneid., Illustriertes Handw?rterbuch der Botanik (1905). • Prunus persica subsp. nucipersica (Suckow) D.Rivera, Obón, S.Ríos, Selma, F.Méndez, Verde & F.Cano, Varied. Trad. Frut. Cuenca Río Segura Cat. Etnobot. 1: 296 (1997). 154 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

• Prunus persica var. nucipersica (Suckow) C.K.Schneid., Ill. Handb. Laubholzk. [C.K.Schneider] 1(5): 594 (1906). • Prunus persica subsp. nucipersica (Suckow) Dippel, Handb. Laubholzk. 3: 606 (1893). • Prunus persica var. persica (L.) Batsch, Illustriertes Handw?rterbuch der Botanik (1905). • Prunus persica subsp. platycarpa (Decne.) D.Rivera, Obón, S.Ríos, Selma, F.Méndez, Verde & F.Cano, Varied. Trad. Frut. Cuenca Río Segura Cat. Etnobot. 1: 298 (1997) (1997). • Prunus persica subsp. vulgaris (Mill.) Dippel, Handb. Laubholzk. 3: 605 (1893). Nama Umum Persik (Indonesia), momo (Jepang), malum persicum (Romawi kuno), Persian plum (Inggris), khukh (Mesir).

I. Pendahuluan Persik adalah salah satu buah yang paling bervariasi dari semua spesies buah- buahan. Ada beberapa tipe buah persik berdasarkan bentuknya (bulat, lonjong, pipih dengan daging buah berwarna putih, merah, atau kuning; dengan daging buah yang lengket dan tidak lengket; dan kulit dengan berbulu halus dan tidak (Faust & Timon, 2010). Biji buah persik ada yang manis dan pahit. Bentuk bunganya besar, sedang atau kecil dengan bunga tunggal atau ganda yang sering mekar pada awal musim semi. Persik dikenal sebagai buah musim panas yang lezat dan sehat di sebagian besar daerah beriklim sedang di seluruh dunia. Buah ini memang mudah rusak tetapi dengan penanganan yang profesional sejak di petani, buah persik mampu menjadi buah meja favorit (Layne & Bassi, 2008). Produksi buah persik dunia mencapai 24,7 juta ton, dan sebagai produsen utama buah persik di dunia yaitu China (57,9%), Spanyol (7,3%), Italia (5,1%), Yunani (3,8%), Amerika serikat (3,1%), Turki (3,1%), Iran (1,7%), Mesir (1,5%), Chile (1,3%) dan Korea Selatan (1,2%), serta negara lainnya 14% (FAO, 2017). Prunus persica (L.) Batsch 155 (Rosaceae)

II. Klasifikasi dan deskripsi botani Nama botani persik (Prunus persica (L.) Batsch) mengacu pada negara yang diduga merupakan asal buah ini yaitu Persia (sekarang Iran), dan Linnaeus (1758) adalah orang yang pertama menyebutkan spesies ini (Amygdalus persica). Pada abad ke-19 mulai mengemuka pendapat bahwa asal geografis buah persik berasal dari Timur Jauh (barat China) yang akhirnya diakui oleh banyak ahli dunia (Hedrick, Howe, Taylor, & Tubergen, 1917); catatan tertulis persik dengan bukti domestikasi arkeologis setidaknya dapat dilacak sejauh 3000 SM (Zai Long, 1984). Argumen tentang nama ilmiah persik akhirnya ditetapkan oleh klasifikasi Bailey and French (1932) yang mengelompokkan semua stone fruits di bawah genus Prunus. Bailey and French (1932) menyatakan tidak rasional bila klasifikasi spesies persik hanya berdasarkan pada ciri-ciri morfologi buah secara eksklusif. Akibatnya, klasifikasi spesies berdasarkan sifat buah atau kebiasaan pertumbuhan pohon harus dianggap sebagai upaya awal, sebelum hukum Mendel mencerahkan sifat intraspesifik dari sifat-sifat yang diwarisi secara tunggal. Spesies persik yang diklasifikasikan di bawah Amygdalus subgenus dalam genus Prunus dan termasuk dalam subfamili Prunoideae dari Rosaceae yang dibedakan dari subgenera lain oleh kulit biji bergelombang (Hesse, 1975). Taksonomi persik yaitu kerajaan: Plantae, divisi: Magnoliophyta, kelas: Magnoliopsida, ordo: Rosales, famili: Rosaceae, genus: Prunus, dan spesies: P. persica.

Gambar 35. Aneka warna bunga persik (foto: zainuri_hanif). 156 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Prunus davidiana (Carr.) Franch. adalah spesies liar asli China timur laut. Spesies persik ini biasa digunakan sebagai batang bawah. Keunggulannya sebagai batang bawah yaitu toleransi terhadap kekeringan, meskipun sangat sensitif terhadap nematoda. Asesi spesies ini telah dihibridisasi dengan persik untuk meningkatkan ketahanan penyakit pada kultivar batang atas plum cacar, embun tepung, keriting daun, dll atau untuk mengembangbiakkan batang bawah interspesifik yang dapat beradaptasi dengan tanah marginal atau untuk masalah penanaman kembali (Moing, Poëssel, Svanella-Dumas, Loonis, & Kervella, 2003). Prunus ferganensis (Kost. Dan Rjab) Kov. & Kost. adalah bentuk liar yang ditemukan di China barat yang diklasifikasikan sebagai subspesies P. persica; variabilitas yang luas dalam hal jenis buah dapat ditemukan (persik kuning dan daging putih, nektarin, dll.); daun memiliki urat paralel dan ada alur paralel di biji, keduanya mempunyai sifat Mendel tunggal, benih bebas cyanogenik glikosida (tidak pahit). Hal ini membuatnya memiliki ketahanan terhadap embun tepung. (W. R. Okie & Rieger, 2003). Rehd. adalah spesies liar yang ditemukan di China timur laut, juga digunakan sebagai batang bawah di China. Spesies ini pohonnya lebat dengan kuncup musim dingin yang gundul, mekar lebih awal, meskipun demikian bunga ini dianggap agak tahan terhadap embun beku (Meader dan Blake, 1939); daunnya, terutama epitel ditutupi dengan vili sepanjang pelepah dekat pangkal, terluas di bawah bagian tengah; lebih panjang dari benang sari. Koehne adalah spesies liar yang ditemukan di China barat (Tibet timur); pohonnya dapat mencapai tinggi (hingga 20 m) dan berumur panjang, hingga 1.000 tahun, daunnya lanset, bunganya putih (Y. Wang, Reighard, Scorza, Jenkins, & Line, 2003). Buahnya sangat bervariasi dalam bentuk, warna, dan ukuran; bijinya halus, meskipun dalam beberapa jenis menyerupai P. persica. Beberapa bentuk dibudidayakan di Tibet dan juga digunakan sebagai batang bawah di beberapa daerah di India. Spesies terkenal sebagai nenek moyang P. persica, yang telah menyebar ke selatan dan timur dari pegunungan Himalaya (R. Scorza & Okie, 1991). Prunus persica (L.) Batsch 157 (Rosaceae)

Gambar 36. Biji buah persik (foto: Sara Cervera on Unsplash)

III. Asal dan distribusi geografis Persik (Prunus persica L.) adalah tanaman asli Tiongkok dan telah dibudidayakan di China selama 4.000 hingga 5.000 tahun terakhir (Ahmad et al., 2011; Maynard, 2008). Persik terkait dengan lima spesies liar: Prunus mira Koehne, Franch, Prunus davidiana var. potaninii Rehd., Prunus kansuensis Rehd., dan Prunus ferganensis Kost. & Riab. Spesies ini menghasilkan buah yang lebih baik untuk olahan dan tidak dikonsumsi langsung sebagai buah meja, meskipun spesies- spesies ini bisa berharga sebagai sumber tanaman yang lebih tahan penyakit atau sebagai batang bawah (K. Cao et al., 2014). Faust and Timon (2010) memberi rincian kemungkinan genetik dan asal geografis dan penyebaran buah persik dan spesies terkait. Mempertimbangkan sejarah panjang budidaya buah persik, spesies dan perannya terus berkembang di beberapa negara selama berabad-abad, banyak peneliti mencoba mengklasifikasikan spesies dan bentuk terkait. Pada awalnya almond dan persik diklasifikasikan di bawah spesies yang sama, tetapi kemudian diklasifikasikan sebagai terpisah entitas meskipun mungkin berasal dari leluhur diduga sama. Asal geografis yang berdekatan dapat menjelaskan hipotesis ini: Persik adalah tanaman asli dari Cekungan Tarim di utara pegunungan Kun Lun, sedangkang almond adalah tanaman asli di selatan gunung yang sama (di samping perbatasan utara Afghanistan dan Pakistan). Perkembangan persik ke arah barat telah membawanya ke Persia (Iran) di Abad ke-2 sampai ke-1 SM, tak lama sebelum abad kedatangan pasukan Romawi. Para pelajar Latin menyebutkan Persik sampai di Italia pada abad ke-1 SM. Persik 158 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

‘Gallik’, dijelaskan berasal dari Prancis, menjelaskan kemungkinan kedua yaitu kedatangan tanaman ini secara independen ke Eropa. Dengan demikian, buah persik bisa mencapai Prancis melalui rute Balkan hampir bersamaan ke jalurnya yang tiba di Italia, di sepanjang sungai Danube dan wilayah Laut Hitam. Selain itu, di Abad Pertengahan, Prancis menjadi kemungkinan titik asal persik kedua utama setelah China, menurut banyak catatan. Persik dibawa ke benua Amerika dalam dua gelombang yang berbeda. Pertama dipimpin oleh orang-orang Spanyol, mulai di Amerika Tengah dari paruh pertama abad ke-16. Di utara Amerika, buah persik kemudian dibudidayakan oleh penduduk asli dan diperbanyak dengan biji (Layne & Bassi, 2008). Pengenalan awal di Amerika telah diberikan ke banyak tuan tanah, sebagian besar menampilkan buah yang tidak meleleh. Beberapa masih dibudidayakan untuk pasar segar lokal atau bahkan dieksploitasi sebagai sumber berharga untuk sifat-sifat menarik seperti ‘Evergreen’ dan ketahanan terhadap penyakit, misalnya embun tepung atau karat (Diaz, 1974). Menariknya, bahkan sampai hari ini, kultivar lokal yang tidak meleleh sangat populer untuk pasar segar di selatan Eropa (Yunani, Italia selatan, dan Spanyol). Gelombang kedua pengenalan buah persik di AS adalah impor langsung dari China pada tahun pertengahan 1850-an, ketika ‘Chinese Cling’ ditanam di Delaware Experimental Station. Pohon ini berasal ‘Elberta’, salah satu nenek moyang utama dari kultivar modern yang tumbuh di Amerika Serikat dan di tempat lain di Amerika Serikat yang menjadi sentra utama tanaman buah persik (W. Okie, Ramming, & Scorza, 1985). Perkembangan alami persik terjadi dengan biji. Tanaman persik menyebar dari asal lokasi di Tiongkok ke seluruh penjuru dunia karena peran manusia yang tertarik membudidayakannya. Perkembangan yang cepat dalam budidaya buah muncul di Eropa selama revolusi industri abad ke-16, ketika kelas menengah ke atas mulai tumbuh dan memperoleh kekayaan besar, kemudian mulai berkebun. Banyak kultivar dilepaskan selama periode ini oleh pemulia tanaman buah-buahan yang aktif seperti John Rivers. Banyak dari kultivar ini dilepaskan sebagai klon, meskipun banyak juga yang mungkin telah didistribusikan dari biji. Pemuliaan persik dimulai sekitar 100 tahun yang lalu di koloni Amerika Utara, menggunakan dua sumber utama plasma nutfah, bibit alami dari Amerika Serikat bagian tenggara dan Meksiko, dan kultivar berasal dari Inggris. Sampai Revolusi Amerika, buah persik sebagian besar diproduksi di tegakan semai dengan buah yang kecil dan lengket. Prunus persica (L.) Batsch 159 (Rosaceae)

Pohon tunas pertama ditawarkan untuk dijual oleh Robert Prince di Long Island tepat sebelum Perang Revolusi dan oleh John Kenrick dari Massachusetts pada 1790-an (Hancock, Scorza, & Lobos, 2008; Hedrick, 1950).

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik Persik (Prunus persica L.), adalah anggota Rosaceae. Spesies tanaman Rosaceae lainnya yaitu ceri, aprikot, prem, almond, stroberi, raspberry, dan mawar (Ahmad et al., 2011). Persik adalah tanaman model untuk keluarga Rosaceae karena ukuran genomnya yang kecil ~ 230 Mb dengan delapan kromosom haploid (Pozzi & Vecchietti, 2009). Sejumlah peta penanda molekuler telah dihasilkan untuk spesies Prunus, beberapa dengan cakupan yang cukup lengkap dari semua kromosom. Delapan peta persik, dijelaskan oleh Zhebentyayeva et al. (2008) dan Sosinski et al. (2009), semuanya menggunakan penanda kelas yang berbeda. Dalam banyak kasus kurang lebih dari 220 penanda telah dipetakan pada masing-masing peta buah persik, untuk interval penanda rata-rata 0,82 Mb. Tambahan penanda diperlukan untuk generasi pemetaan dan penemuan gen selanjutnya di kandidat daerah bunga. Seperti banyak tanaman buah pohon lainnya, produksi buah persik bergantung pada susunan genetik dan interaksi dua genotipe yang berbeda keturunan dan batang bawah (Baird, Estager, & Wells, 1994). Pengembangan plasma nutfah diperlukan untuk memperluas kemampuan adaptasi buah persik ke daerah produksi baru dan untuk menahan tekanan biotik dan abiotik secara tradisional di area produksi. Namun, karena keterbatasan basis data plasma nutfah buah persik, keberhasilannya sangat terbatas (R Scorza, Mehlenbacher, & Lightner, 1985). Akibatnya, banyak pemulia yang beralih ke kerabat liar dan plasma nutfah eksotis terkait untuk mencari sifat-sifat yang berguna untuk mengembangkan kultivar yang lebih baik (Reighard, Cain, & Newall Jr, 1989; Reighard, Newall Jr, & Cain, 1988; Westcott, Zehr, Newall, & Cain, 1994). Homogenitas persik baru-baru ini mengakibatkan erosi keanekaragaman genetik. Faktanya, varietas komersial utama merepresentasikan keragaman genetik yang sempit, dan ada kekhawatiran bahwa basis genetik yang sempit dari varietas komersial merupakan hambatan serius untuk meningkatkan produksi (Meng, Peng, & Guan, 2015). Penelitian untuk meningkatkan keaneragaman buah persik melalui plasma nutfah persik liar saat ini mulai menjadi topik hangat. Plasma nutfah persik 160 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

liar bermanfaat dalam pengendalian penyakit dan kualitas dan hasil buah (Staudt et al., 2010; Yu-Lin, 1984). Selain itu, plasma nutfah persik liar telah ditemukan mengandung sifat-sifat yang terkait dengan toleransi terhadap dingin, kekeringan, suhu tinggi, dan ketahanan terhadap nematoda(), kutu daun (Myzus persicae), dan empedu mahkota (Agrobacterium tumefaciens) (Tsipouridis & Thomidis, 2005; Ying Wang et al., 2002). Dengan demikian, sumber daya yang beragam ini memberikan alel yang berguna untuk gen persik yang dibudidayakan, yang sangat diperlukan dalam pemuliaan persik. Meskipun penting, informasi tentang hubungan genetik dengan persik liar perlu terus dipelajari. Penelitian yang dilakukan oleh Villagomez et al. (2009) menjelaskan bahwa dua puluh empat genotipe persik dari Wilayah Tengah Utara Meksiko telah dikarakterisasi berdasarkan sifat morfofisiologis. Bobot buah dari genotipe Roxana (135g), San Gabriel C-167 (141,9g) dan landrace Zacatecas (162,3g) lebih tinggi, masing- masing dalam kelompoknya karena semua genotipe dikelompokkan berdasarkan 52 monomorf dan 93 fragmen polimorfik yang terkait untuk karakteristik yang diinginkan dari genotipe Prunus. Informasi ini memberi alat untuk identifikasi individu awal pohon yang berkinerja tinggi ketika masih tumbuh di pembibitan. Oleh karena itu, petani dapat menggunakan teknik ini untuk program pemuliaan berbantuan pada genotipe Prunus mereka.

V. Evolusi dan risiko erosi genetik Sebuah studi terkait hubungan hubungan evolusi gen squamosa promoter binding protein (SBP)-box dan ekspresi divergensi, peristiwa duplikasi gen berdasarkan analisis tekanan seleksi lingkungan dan microsynteny dilakukan dengan analisis komprehensif dan sistematis gen SBP-box dari empat spesies Rosacea, termasuk stroberi (Fragaria vesca), pir China (Pyrus bretschneideri), persik (Prunus persica), dan mei (Prunus mume) merekomendasikan bahwa pemilihan pemurnian mungkin kekuatan utama selama proses evolusi dan mendominasi konservasi gen SBP pada spesies Rosacea menurut analisis tekanan seleksi lingkungan (Abdullah et al., 2018). Dari empat spesies Rosacea yang diteliti tersebut, menunjukkan kesamaan dengan Arabidopsis thaliana. Arabidopsis thaliana adalah tanaman dari famili Brassicaceae yang dipilih menjadi tanaman yang paling sesuai untuk menjadi model studi perkembangan tanaman. SBP keluarga gen dapat didistribusikan ke dalam tujuh kelompok berdasarkan kesamaan struktural. Prunus persica (L.) Batsch 161 (Rosaceae)

Zhang et al. (2016) melaporkan bahwa gen SBP keluarga lada (pepper) dapat dibagi menjadi enam kelompok berdasarkan analisis filogenetik. Organisasi struktural intron-exon menunjukkan rentang variasi tinggi dari 1 hingga 11 dalam satu gen, mirip dengan Arabidopsis. Jumlah maksimum intron yang dilaporkan dalam lada berkisar dari 0 hingga 11 dan di Moso Bomboo berkisar dari 0 hingga 10 (Pan et al., 2017). Kemiripan dan variasi struktural di antara motif-motif ini dapat dipelajari lebih lanjut. Duplikasi gen (segmental dan tandem) adalah kekuatan pendorong utama untuk pemuliaan gen dan ekspansi keluarga gen yang dapat mendukung organisme untuk beradaptasi lingkungan kompleks yang berbeda. Abdullah et al. (2018) mengidentifikasi segmental dan tandem duplikasi gen SBP dalam empat spesies rosacea yang diteliti. Sebanyak 3, 13, dan 2 terkonfirmasi adanya duplikasi di stroberi, pir, dan mei. Kebanyakan dari tanaman tersebut terduplikasi segmental dan hanya satu duplikasi tandem PbSBP4 / PbSBP5 yang diketahui. Banyak duplikasi diamati di pir dibandingkan dengan stroberi dan mei, dan tidak ada peristiwa duplikasi yang teridentifikasi di persik (Y. Cao et al., 2017; Velasco et al., 2010).

VI. Aspek budidaya Pohon persik dapat tumbuh dari biji atau stek. Biji persik batang bawahnya umum digunakan dalam budidaya persik di seluruh dunia karena biaya produksi yang rendah, persyaratan tanah yang rendah dan kompatibilitas yang tinggi dengan varietas cangkok (Beckman & Lang, 2003; Rubio-Cabetas, 2012). Dalam budidaya persik, banyak perawatan teknis perlu dilakukan dan beberapa yang paling krusial adalah pemangkasan musim panas dan penjarangan buah (Lesičar, Šindrak, Šic Žlabur, Voća, & Skendrović Babojelić, 2017). Pemangkasan adalah praktik budaya penting dalam produksi buah persik (Singh & Saini, 2013). Norton (2001) melaporkan bahwa pemangkasan intensif merangsang proses regenerasi serta memodifikasi ukuran mahkota pohon, terutama mengurangi ketinggian pohon yang berlebihan. Pemangkasan diperlukan untuk membuat bentuk struktur pohon. Seiring bertambahnya usia pohon, pemangkasan diperlukan untuk menghilangkan kayu yang rusak dan sakit, merangsang pertumbuhan baru, dan memberikan distribusi cahaya yang penting ke seluruh pohon, untuk pembentukan tunas buah yang kuat dan untuk mendukung kualitas buah yang dapat diterima pasar dengan warna buah dan kematangan yang sesuai. 162 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Pemangkasan berkontribusi terhadap peningkatan tunas muda dan pertumbuhan buah persik dan meningkatkan pasokan nutrisi untuk tunas oleh akar (Bussi, Lescourret, Genard, & Habib, 2005). Namun, pemangkasan berat yang diterapkan setiap tahun mengakibatkan lemahnya kekuatan pohon dan selanjutnya menurunkan kualitas dan hasil buah. Beban struktur tanaman telah ditunjukkan sebagai faktor utama variasi ukuran buah dalam apel (Malus domestica) dan persik (Blanco, Pequerul, Val, Monge, & Gomez Aparisi, 1995; Marini, 1985). Faktor yang berbeda dapat memengaruhi ukuran dan kualitas buah dalam buah persik. Lingkungan cahaya di kanopi pohon persik tampak menentukan karena naungan berkontribusi terhadap penurunan pertumbuhan buah (Chartzoulakis, Therios, & Noitsakis, 1993). Buah persik adalah buah berbiji (buah batu) yang terdiri atas mesokarp berdaging yang mengelilingi biji (endokarp keras yang mengandung biji). Endokarp tebal mendorong dormansi panjang sehingga pemulia persik telah mengembangkan teknik untuk mematahkan dormansi termasuk skarifikasi benih untuk merangsang perkecambahan (Loreti & Morini, 2008). Biji persik pahit dan biasanya tidak dimakan karena adanya sianida glukosida (Layne & Bassi, 2008). Persik adalah tanaman diploid tanpa duplikasi seluruh genom baru-baru ini (The International Peach Genome et al., 2013). Bunga tanaman ini bersifat biseksual dan bisa menyesuaikan diri, menyilang dengan kecepatan sekitar lima persen. Penipisan buah karena tingkat kesuburan yang tinggi diperlukan agar buah mencapai ukuran komersial (Layne & Bassi, 2008). Kompos organik telah digunakan sebagai sumber nutrisi dalam pemupukan pra-tanam, pemupukan selama pertumbuhan, khususnya, pemupukan untuk menjaga kebun buah persik (Prunus persica [L.] Batsch) (Brunetto, de Melo, Kaminski, & Ceretta, 2007; Melo et al., 2016). Domestikasi tanaman tahunan, yang sebagian besar (sekitar 75%) diperbanyak dengan kloning, telah menerima perhatian terbatas dibandingkan dengan tanaman semusim (Goldschmidt, 2013; Kislev, Hartmann, & Bar-Yosef, 2006; Miller & Gross, 2011; Zohary & Spiegel-Roy, 1975). Domestikasi buah tanaman tahunan terutama melibatkan taksa kayu berumur panjang yang menghasilkan buah yang dapat dimakan (Miller & Gross, 2011). Persik yang didomestikasi yang melakukan penyerbukan sendiri, hanya P. davidiana di antara anggota subgenus Amygdalus di China yang melakukan penyerbukan silang (Loreti & Morini, 2008). Prunus persica (L.) Batsch 163 (Rosaceae)

Sifat-sifat persik yang disukai dapat dipilih tanpa reproduksi vegetatif jika nenek moyang dari persik juga melakukan penyerbukan sendiri, maka sifat-sifat yang disukai dapat dipilih tanpa reproduksi vegetatif. Persik matang dengan cepat, menghasilkan buah yang dimulai pada tahun kedua atau ketiga, jadi seleksi untuk sifat-sifat yang diinginkan berdasarkan sifat ini memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk memberi hasil yang cepat. Populasi yang berbuah lebih besar, misalnya, dapat dengan mudah dipisahkan dan seleksi lebih lanjut ditingkatkan oleh produksi dan pencangkokan batang bawah. Selanjutnya, Prunus spp. umumnya tahan api sehingga seleksi awal dengan pembakaran lokal mungkin telah mendorong terbentuknya persik yang tahan api (Li, 1983).

Gambar 37. Tanaman persik dalam kondisi matang optimal, siap petik (foto: Joshua Ness on Unsplash).

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi ekonomi Buah persik dikonsumsi segar atau dalam bentuk cair dan produk olahan lainnya. Dalam pengobatan tradisional, obat ini digunakan dalam pengobatan disentri dan diare, rheumatoid arthritis, dan amenore (Gangwar, Singh, & Mandal, 2008). Namun, daun tanaman diketahui memiliki berbagai sifat farmakologis, 164 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

misalnya, diuretik, pencahar, astringen, obat penurun panas, parasitisida, demulen, ekspektoran, dan obat penenang (Santamour, 1998). Minyak lemak yang diperoleh dari kernel digunakan dalam persiapan berbagai kosmetik dan produk farmasi (Him-Che, 1985). Minyak ini kaya akan asam lemak tak jenuh, senyawa fenolik, dan minyak makanan yang kaya nutrisi (Gangwar et al., 2008). Tanaman ini dilaporkan memiliki antioksidan (Wu et al., 2011), antiacetylcholinesterase (Liu & Ng, 2000), antiinflamasi (Suh et al., 2006), hypermenorrhea (Lokesh Deb et al., 2010; Deb, Tripathi, Bhowmik, Dutta, & Sampath, 2010), dismenore, leiomyoma, infertilitas, antitumor promotor dan sindrom antioketsu, anthelmintik, pencahar, obat penenang, antimalaria, hepatoprotektif (Kim et al., 2003), antiastatik, antikoagulan, antijamur, kolinomimetik, antagonis kalsium, antimit (Gilani, Aziz, Ali, & Saeed, 2000), antibakteri (Sung, Kim, Lee, & Lee, 2004), dan sifat inflamasi anti alergi (Rakesh, Harpreet, Bahuguna, Sati, & Badoni, 2011). Selain itu, berbagai glikosida sianogen, gliserida, sterol, dan asam lemak telah dilaporkan di tanaman ini. (Fukuda et al., 2003; Shin et al., 2010; Wu et al., 2011). Menurut studi yang dilakukan Verma et al. (2017), kandungan minyak atsiri dan benzaldehid ditemukan lebih tinggi pada musim hujan dan musim gugur. Karena itu, setelah memanen buah di musim panas, petani dapat memanen daun di musim hujan atau musim gugur untuk ekstraksi minyak atsiri. Dengan demikian, benzaldehyde alami, produk sampingan dari budidaya persik, dapat menjadi sumber pendapatan tambahan bagi petani persik. Penelitian yang dilakukan mengenai fungsi bunga Prunus persica (L.) Batsch, sebagai nutrisi penting untuk terapi menunjukkan bahwa karakteristik morfo-anatomi spesifik yang terdeteksi yaitu trikoma multiseluler runcing (sepal), epidermis dengan kutikula lurik dan papila dengan ujung bulat (petal). Bunga persik memiliki kandungan flavon sedang dan kandungan asam polifenolkarboksilat yang tinggi, dengan efek antioksidan yang cukup besar (Hovanet et al., 2018). Studi lainnya menyatakan bahwa pulp persik segar dan kupas mengandung efek antioksidan dan antiinflamasi yang tinggi. Penilaian efek antioksidan dan antiinflamasi pada irisan korteks hati, ginjal dan otak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara produk yang diturunkan dari buah persik (Gasparotto et al., 2014). Buah persik berpotensi dikembangkan di Indonesia yang mempunyai musim kemarau (panas). Hal ini karena di negara subropika, buah persik matang optimal dapat ditemui di musim panas setelah mengalami pruning di musim gugur secara alami. Penelitian lebih lanjut diperlukan apakah tanaman persik sesuai untuk Prunus persica (L.) Batsch 165 (Rosaceae) dataran rendah, menengah, dataran tinggi atau bahkan sesuai untuk berbagai wilayah dari dataran rendah sampai tinggi. Dan apakah perlu perlakuan pruning sebagaimana yang dilakukan pada tanaman apel.

Pustaka 1. Abdullah, M., Cao, Y., Cheng, X., Shakoor, A., Su, X., Gao, J., & Cai, Y. (2018). Genome-wide analysis characterization and evolution of SBP genes inFragaria vesca, Pyrus bretschneideri, Prunus persica and Prunus mume. Frontiers in genetics, 9, 64. 2. Ahmad, R., Parfitt, D. E., Fass, J., Ogundiwin, E., Dhingra, A., Gradziel, T. M., . . . Crisosto, C. H. (2011). Whole genome sequencing of peach (Prunus persica L.) for SNP identification and selection. BMC genomics, 12(1), 569. 3. Bailey, J., & French, A. (1932). The inheritance of certain characters in the peach. Paper presented at the Proceedings of the American Society of Horticultural Science. 4. Baird, W. V., Estager, A. S., & Wells, J. K. (1994). Estimating nuclear DNA content in peach and related diploid species using laser flow cytometry and DNA hibridization. Journal of the American Society for Horticultural Science, 119(6), 1312-1316. 5. Beckman, T. G., & Lang, G. A. (2003). Rootstcok breeding for stone fruits. 6. Blanco, A., Pequerul, A., Val, J., Monge, E., & Gomez Aparisi, J. (1995). Crop- load effects on vegetative growth, mineral nutrient concentration and leaf water potential in ‘Catherine’ peach. Journal of Horticultural Science, 70(4), 623-629. doi:10.1080/14620316.1995.11515335 7. Brunetto, G., de Melo, G. W., Kaminski, J., & Ceretta, C. A. (2007). Adubação nitrogenada em ciclos consecutivos e seu impacto na produção e na qualidade do pêssego. Pesquisa Agropecuária Brasileira, 42(12), 1721-1725. 8. Bussi, C., Lescourret, F., Genard, M., & Habib, R. (2005). Pruning intensity and fruit load influence vegetative and fruit growth in an early-maturing peach tree (cv. Alexandra). Fruits, 60(2), 133-142. 166 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

9. Cao, K., Zheng, Z., Wang, L., Liu, X., Zhu, G., Fang, W., . . . Wang, J. (2014). Comparative population genomics reveals the domestication history ofthe peach, Prunus persica, and human influences on perennial fruit crops.Genome Biology, 15(7), 415. doi:10.1186/s13059-014-0415-1 10. Cao, Y., Han, Y., Meng, D., Li, D., Jin, Q., Lin, Y., & Cai, Y. (2017). Genome-wide analysis suggests high level of microsynteny and purifying selection affect the evolution of EIN3/EIL family in Rosaceae. PeerJ, 5, e3400. doi:10.7717/ peerj.3400 11. Chartzoulakis, K., Therios, I., & Noitsakis, B. (1993). Effects of shading on gas exchange, specific leaf weight and chlorophyll content in four kiwifruit cultivars under field conditions. Journal of Horticultural Science, 68(4), 605- 611. doi:10.1080/00221589.1993.11516391 12. Deb, L., Gupta, R., Dutta, A. S., Yadav, A., Bhowmik, D., & Kumar, K. S. (2010). Evaluation of antioxidant activity of aqueous fraction of prunus persica L aqueous extract. Der Pharmacia Sinica, 1(3), 157-164. 13. Deb, L., Tripathi, A., Bhowmik, D., Dutta, A., & Sampath, K. (2010). Anti- inflammatory activity of n-butanol fraction of prunus persica L. aqueous extract. Pharma Research, 4, 74-78. 14. Diaz, M. (1974). Vegetative and reproductive growth habits of evergreen peach trees in Mexico. Paper presented at the Proceedings from the XIX International Horticulture Congress. 15. FAO. (2017). Top 10 country production of and nectarines. Retrieved from http://www.fao.org/faostat/en/#rankings/countries_by_commodity 16. Faust, M., & Timon, B. (2010). Origin and dissemination of peachHorticultural Reviews. 17. Fukuda, T., Ito, H., Mukainaka, T., Tokuda, H., Nishino, H., & Yoshida, T. (2003). Anti-tumor promoting effect of glycosides from“Prunus persica” seeds. Biological and Pharmaceutical Bulletin, 26(2), 271-273. doi:10.1248/ bpb.26.271 18. Gangwar, L. S., Singh, D., & Mandal, G. (2008). Economic evaluation of peach cultivation in north indian plains21, 123-129. Retrieved from doi:doi.10.22004/ ag.econ.47369 Prunus persica (L.) Batsch 167 (Rosaceae)

19. Gasparotto, J., Somensi, N., Bortolin, R. C., Moresco, K. S., Girardi, C. S., Klafke, K., . . . Gelain, D. P. (2014). Effects of different products of peach (Prunus persica L. Batsch) from a variety developed in southern Brasil on oxidative stress and inflammatory parameters in vitro and ex vivo. Journal of Clinical Biochemistry and Nutrition, 55(2), 110-119. doi:10.3164/jcbn.13-97 20. Gilani, A. H., Aziz, N., Ali, S. M., & Saeed, M. (2000). Pharmacological basis for the use of peach leaves in constipation.Journal of Ethnopharmacology, 73(1), 87-93. doi:https://doi.org/10.1016/S0378-8741(00)00288-9 21. Goldschmidt, E. E. (2013). The evolution of fruit tree productivity: a review. Economic Botany, 67(1), 51-62. doi:10.1007/s12231-012-9219-y 22. Hancock, J. F., Scorza, R., & Lobos, G. A. (2008). Peaches. In J. F. Hancock (Ed.), Temperate Fruit Crop Breeding: Germplasm to Genomics (pp. 265-298). Dordrecht: Springer Netherlands. 23. Hedrick, U. P. (1950). A history of horticulture in America to 1860.A history of horticulture in America to 1860. 24. Hedrick, U. P., Howe, G. H., Taylor, O. M., & Tubergen, C. B. (1917). The peaches of New York (Vol. 2): JB Lyon Company, printers. 25. Hesse, C. O. (1975). Peaches. Advanced in fruit breeding., 285-335. 26. Him-Che, Y. (1985). Handbook of Chinese herbs and formulas. Institute of Chinese Medicine, Los Angeles, 1, S219-S224. 27. Horn, R., Lecouls, A.-C., Callahan, A., Dandekar, A., Garay, L., McCord, P., . . . Abbott, A. G. (2005). Candidate gene database and transcript map for peach, a model species for fruit trees. Theoretical and Applied Genetics, 110(8), 1419- 1428. doi:10.1007/s00122-005-1968-x 28. Hovanet, M.-V., Oprea, E., Ancuceanu, R. V., Dinu, M., Anghel, A. I., Morosanu, E., & Dutu, L. E. (2018). Contributions to the pharmacognostical and phytobiological study of prunus persica (l.) Batsch flowers. FARMACIA, 66(1), 78-82. 29. Kim, Y.-K., Koo, B.-S., Gong, D.-J., Lee, Y.-C., Ko, J.-H., & Kim, C.-H. (2003). Comparative effect of Prunus persica L. BATSCH-water extract and tacrine (9-amino-1,2,3,4-tetrahydroacridine hydrochloride) on concentration of extracellular acetylcholine in the rat hippocampus. Journal of Ethnopharmacology, 87(2), 149-154. doi:https://doi.org/10.1016/S0378- 8741(03)00106-5 168 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

30. Kislev, M. E., Hartmann, A., & Bar-Yosef, O. (2006). Early domesticated fig in the Jordan Valley. Science, 312(5778), 1372-1374. doi:10.1126/science.1125910 31. Layne, D. R., & Bassi, D. (2008). The peach: botany, production and uses: CABI. 32. Lesičar, J., Šindrak, Z., Šic Žlabur, J., Voća, S., & Skendrović Babojelić, M. (2017). Influence of fruit thinning and summer pruning on the yield and fruit quality of peach cultivar ‘royal gem’. Agriculturae Conspectus Scientificus, 81(3), 155- 159. 33. Li, H.-l. (1983). The domestication of plants in China: ecogeographical considerations. The origins of Chinese civilization, 21, 64. 34. Linnaeus, C. v. (1758). Systema naturae, vol. 1. Systema naturae, Vol. 1. 35. Liu, F., & Ng, T. B. (2000). Antioxidative and free radical scavenging activities of selected medichinal herbs. Life Sciences, 66(8), 725-735. doi:https://doi. org/10.1016/S0024-3205(99)00643-8 36. Loreti, F., & Morini, S. (2008). Propagation techniques. The peach: botany, production and uses. Cambridge, CAB International, 221-243. 37. Marini, R. (1985). Vegetative growth, yield, and fruit quality of peach as influenced by dormant pruning, summer pruning, and summer topping. Journal of the American Society for Horticultural Science (USA). 38. Maynard, D. N. (2008). Underutilized and underexploited horticultural crops. HortScience, 43(1), 279a-279a. 39. Melo, G. W. B. d., Sete, P. B., Ambrosini, V. G., Freitas, R. F., Basso, A., & Brunetto, G. (2016). Nutritional status, yield and composition of peach fruit subjected to the application of organic compost.Acta Scientiarum. Agronomy, 38(1), 103-109. 40. Meng, F., Peng, M., & Guan, F. (2015). Amplified fragment length polymorphism analysis of genetic diversity and relationships of wild and cultivated peach (Prunus persica L.). 50(1), 44. doi:10.21273/hortsci.50.1.44 41. Miller, A. J., & Gross, B. L. (2011). From forest to field: Perennial fruit crop domestication. American Journal of Botany, 98(9), 1389-1414. doi:10.3732/ ajb.1000522 Prunus persica (L.) Batsch 169 (Rosaceae)

42. Moing, A., Poëssel, J.-L., Svanella-Dumas, L., Loonis, M. l., & Kervella, J. (2003). Biochemical basis of low fruit quality of Prunus davidiana, a pest and disease resistance donor for peach breeding. 128(1), 55. doi:10.21273/ jashs.128.1.0055 43. Norton, M. (2001). Fruit wood rejuvenation by reducing tree height and shoot removal year 2 progress report. Paper presented at the V International Peach Symposium 592. 44. Okie, W., Ramming, D., & Scorza, R. (1985). Peach, nectarine, and other stone fruit breeding by the USDA in the last two decades. HortScience (USA). 45. Okie, W. R., & Rieger, M. (2003). Inheritance of Venation Pattern in Prunus Ferganensis x Persica Hibrids. 46. Pan, F., Wang, Y., Liu, H., Wu, M., Chu, W., Chen, D., & Xiang, Y. (2017). Genome-wide identification and expression analysis of SBP-like transcription factor genes in Moso Bamboo (Phyllostachys edulis). BMC genomics, 18(1), 486. doi:10.1186/s12864-017-3882-4 47. Pozzi, C., & Vecchietti, A. (2009). Peach Structural Genomics. In K. M. Folta & S. E. Gardiner (Eds.), Genetics and Genomics of Rosaceae (pp. 235-257). New York, NY: Springer New York. 48. Rakesh, R., Harpreet, S., Bahuguna, P., Sati, S. C., & Badoni, P. P. (2011). Antibacterial and antioxidant activity of methanolic extract of bark of Prunus persica. Journal of Applied and Natural Science, 3(2). doi:10.31018/jans. v3i2.205 49. Reighard, G., Cain, D., & Newall Jr, W. (1989). Relationship of chilling requirement in Prunus persica (L.) Batsch to peach tree short life. Fruit varieties journal (USA). 50. Reighard, G., Newall Jr, W., & Cain, D. W. (1988). Screening Prunus germplasm for potential rootstocks for South Carolina replant sites. Paper presented at the II International Peach Symposium 254. 51. Rubio-Cabetas, M. J. (2012). Present and future trends in peach rootstock breeding worldwide. 52. Santamour, F. S. (1998). Amygdalin in Prunus leaves. Phytochemistry, 47(8), 1537-1538. doi:https://doi.org/10.1016/S0031-9422(97)00787-5 170 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

53. Scorza, R., Mehlenbacher, S., & Lightner, G. (1985). Inbreeding and coancestry of freestone peach cultivars of the eastern United States and implications for peach germplasm improvement. Journal of the American Society for Horticultural Science (USA). 54. Scorza, R., & Okie, W. R. (1991). Peaches (Prunus). 55. Shin, T.-Y., Park, S.-B., Yoo, J.-S., Kim, I. K., Lee, H.-S., Kwon, T. K., . . . Kim, S.-H. (2010). Anti-allergic inflammatory activity of the fruit of Prunus persica: Role of calcium and NF-κB. Food and Chemical Toxicology, 48(10), 2797-2802. doi:https://doi.org/10.1016/j.fct.2010.07.009 56. Singh, G., & Saini, S. P. (2013). Effect of pruning and fruit thinning on yield and fruit weight of peach (Prunus persica (L) Batsch) cv. Shan-i-Punjab in sub- mountain zone of Punjab? An on-farm study. Journal of Applied Horticulture, 15(1), 65-68. 57. Sosinski, B., Shulaev, V., Dhingra, A., Kalyanaraman, A., Bumgarner, R., Rokhsar, D., . . . Abbott, A. G. (2009). Rosaceaous genome sequencing: perspectives and progress. In K. M. Folta & S. E. Gardiner (Eds.), Genetics and Genomics of Rosaceae (pp. 601-615). New York, NY: Springer New York. 58. Staudt, M., Jackson, B., El-Aouni, H., Buatois, B., Lacroze, J.-P., Poëssel, J.-L., & Sauge, M.-H. (2010). Volatile organic compound emissions induced by the aphid Myzus persicae differ among resistant and susceptible peach cultivars and a wild relative. Tree Physiology, 30(10), 1320-1334. 59. Suh, S.-J., Koo, B.-S., Jin, U.-H., Hwang, M.-J., Lee, I.-S., & Kim, C.-H. (2006). Pharmacological characterization of orally active cholinesterase inhibitory activity ofPrunus persica L. Batsch in rats. Journal of Molecular Neuroscience, 29(2), 101-107. doi:10.1385/jmn:29:2:101 60. Sung, B. K., Kim, C., Lee, C., & Lee, H. S. (2004). Antimite effect of essential oils derived from 24 Rosaceae and Umbelliferae species against stored food mite. Food Science and Biotechnology. 61. The International Peach Genome, I., Verde, I., Abbott, A. G., Scalabrin, S., Jung, S., Shu, S., . . . Rokhsar, D. S. (2013). The high-quality draft genome of peach (Prunus persica) identifies unique patterns of genetic diversity, domestication and genome evolution. Nature Genetics, 45, 487. doi:10.1038/ng.2586 Prunus persica (L.) Batsch 171 (Rosaceae)

62. Tsipouridis, C., & Thomidis, T. (2005). Effect of 14 peach rootstocks on the yield, fruit quality, mortality, girth expansion and resistance to frost damages of May Crest peach variety and their susceptibility on Phytophthora citrophthora. Scientia Horticulturae, 103(4), 421-428. 63. Velasco, R., Zharkikh, A., Affourtit, J., Dhingra, A., Cestaro, A., Kalyanaraman, A., . . . Viola, R. (2010). The genome of the domesticated apple (Malus × domestica Borkh.). Nature Genetics, 42, 833. doi:10.1038/ng.654 64. Verma, R. S., Padalia, R. C., Singh, V. R., Goswami, P., Chauhan, A., & Bhukya, B. (2017). Natural benzaldehyde from Prunus persica (L.) Batsch. International Journal of Food Properties, 20(sup2), 1259-1263. doi:10.1080/10942912.201 7.1338728 65. Villagomez, C. M., Espino, H. S., Cedillo, A. N., Montero, L. V., Segovia, C. P., Guerra, C. M., . . . López, O. P. (2009). Identification of peach genotypes (Prunus persica (L.) Batsch) in the north-central region, mexico. International Journal of Botany, 5(2), 160-165. 66. Wang, Y., Georgi, L. L., Zhebentyayeva, T. N., Reighard, G. L., Scorza, R., & Abbott, A. G. (2002). High-throughput targeted SSR marker development in peach (Prunus persica). Genome, 45(2), 319-328. 67. Wang, Y., Reighard, G. L., Scorza, R., Jenkins, T. C., & Line, M. J. (2003). Characterizing the evergrowing phenotype in peach. 68. Westcott, S., Zehr, E., Newall, W., & Cain, D. (1994). Suitability of Prunus selections as hosts for the ring nematoda (Criconemella xenoplax). Journal of the American Society for Horticultural Science, 119(5), 920-924. 69. Wu, H., Shi, J., Xue, S., Kakuda, Y., Wang, D., Jiang, Y., . . . Subramanian, J. (2011). Essential oil extracted from peach (Prunus persica) kernel and its physicochemical and antioxidant properties.LWT - Food Science and Technology, 44(10), 2032-2039. doi:https://doi.org/10.1016/j.lwt.2011.05.012 70. Yu-Lin, W. (1984). Peach growing and germplasm in China. Paper presented at the International Conference on Peach Growing 173. 71. Zai Long, L. (1984). Peach germplasm and breeding in China. HortScience. 72. Zhang, H.-X., Jin, J.-H., He, Y.-M., Lu, B.-Y., Li, D.-W., Chai, W.-G., . . . Gong, Z.-H. (2016). Genome-wide identification and analysis of the SBP-box family genes under phytophthora capsici stress in pepper (Capsicum annuum L.). Frontiers in Plant Science, 7(504). doi:10.3389/fpls.2016.00504 172 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

73. Zhebentyayeva, T. N., Swire-Clark, G., Georgi, L. L., Garay, L., Jung, S., Forrest, S., . . . Abbott, A. G. (2008). A framework physical map for peach, a model Rosaceae species. Tree Genetics & Genomes, 4(4), 745-756. doi:10.1007/ s11295-008-0147-z 74. Zohary, D., & Spiegel-Roy, P. (1975). Beginnings of fruit growing in the old world. Science, 187(4174), 319-327. doi:10.1126/science.187.4174.319 Penulis: Zainuri Hanif, Lizia Zamzami dan Agus Sugiyatno Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika Punica granatum L. (Lythraceae)

Protologue Punica granatum L. -- Species Plantarum 1. 472. 1753 (1 May 1753). Sinonim • Punica florida Salisb -- Prodr. Stirp. Chap. Allerton. 354. 1796. • Punica grandiflora Steud – Nomenclature Botanicus. 1: 669. 1821. • Punica nana L. – Species Plantarum. Pl. ed. 2. 676. 1762. • Punica spinosa Lam -- Fl. Franç. 3: 483. 1779. • Rhoea punica St.-Lag. -- Annales de la Société Linnéenne de Lyon 7: 133. 1880. Nama umum Delima (Indonesia), chinese apple, love apple, pomegranate (Inggris), Anar (Hindi, Urdu), dalim, bedana (Bangladesh), granada (Spanyol), grenade (Perancis), thale, talebin, salebin (Myanmar), melograne, granato, melogranate (Italia), totum (Vietnam), sinotibetan, phiilaa(Laos), daarim, oriya (Nepal), darabhte-naiy (Arab), granatapple (Swedia)

I. Pendahuluan Delima (Punica granatum L.) merupakan salah satu anggota spesies dari suku Lythraceae. Nama Punica granatum berasal dari kata ‘Pomum’ yang berarti apel dan ‘granatus’ yang berarti berbiji. Tanaman delima mempunyai habitus tumbuh pohon dengan percabangan banyak dan menyemak hingga 5-10 meter. Marga Punica hanya mempunyai 2 spesies yaitu P. granatum dan P. protopunica (La Malfa, 174 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Gentile, Domina, & Tribulato, 2009). P. protopunica diketahui tumbuh endemik di Kepulauan Socotra (Yaman). Tidak seperti P. granatum yang mempunyai bunga berwarna merah, P. protopunica mempunyai bunga berwarna pink (merah muda) dengan ukuran lebih kecil dan berbentuk teropet. P. protopunica juga mempunyai buah yang tidak semanisP. granatum (Sakagami et al., 2001). Terdapat suatu nama spesies, yaitu P. nana yang sering disebut-sebut sebagai spesies ketiga marga Punica, walaupun belum mendapatkan kesepakatan para ahli taksonomi dan botani (P. Melgarejo, Martínez-Valero, Guillamón, Miró, & Amorós, 1997). Marga Punica awalnya termasuk dalam suku Myrtaceae, namun beberapa ahli menolaknya sehubungan dengan perbedaan mendasar pada karakteristik morfofisiologi marga Punica di antaranya tidak terdapatnya kelenjar pada daun dan tulang daun bagian tepi, kelopak bunga yang menyatu dan tidak terdapatnya aroma khas pada bagian daun. Beberapa ahli kemudian mengelompokkan marga ini pada suku Lythraceae, sehubungan dengan kemiripan karakteristik anatomi seperti terdapatnya bagian floem intraksiler (Rana, Narzary, & Ranade, 2010). Beberapa ahli lain juga dapat menunjukkan perbedaan mendasar pada marga Punica dari karakter umum Lythraceae sensu strico, yaitu kulit buah yang keras, biji yang diselimuti cairan (pulpy) dan bagian bunga betina (ovule) yang mempunyai lapisan intergumen lebih dari satu serta arkesporium yang bersel satu dan mengusulkan agar marga Punica dipisahkan menjadi suku tersediri, Punicaceae (Rana et al., 2010). Namun demikian, hasil pengamatan anatomi batang, kromosom dan mofologi tepung sari (pollen) menunjukkan bahwa marga Punica mempunyai koherensi dengan suku Lythraceae (Martinez-Nicolas, Melgarejo, Legua, Garcia-Sanchez, & Hernández, 2016) atau setidaknya mempunyai kemiripan dengan beberapa spesies Lythanceae sensu lato. Dapat disimpulkan bahwa marga Punica sendiri mempunyai plastisitas morfologi tinggi sebagai indikasi penyebaran geografis yang luas.

II. Klasifikasi dan deskripsi botani Delima termasuk dalam Kerajaan: Plantae, Divisi: Angiospermae, Bangsa: Myrtales, Suku: Lythraceae, Marga: Punica, Jenis: Punica granatum L. (Kumari, Dora, Kumar, & Kumar, 2012). P. granatum sendiri diketahui mempunyai dua subspesies Punica granatum L. 175 (Lythraceae) berdasarkan warna ovari yaitu subsp. chlorocarpa yang banyak dijumpai dan dibudidayakan di daerah Transcaucasus dan subsp. porphyrocarpa yang juga banyak dibudidayakan di Asia Tengah (Verma, Mohanty, & Lal, 2010). Tanaman delima mempunyai pertumbuhan menyemak dengan tingkat percabangan yang masif (Gambar 38a). Jarang ditemukan tipe tanaman delima yang kecil (dwarf). Batang tanaman mempunyai permukaan yang halus dan kulit kayu berwarna abu- abu tua. Pada percabangan terkadang terdapat duri, terutama jika umur tanaman masih muda. Pada tangkai, duduk daun saling berseberangan (opposite) atau sedikit berseberangan (sub opposite) dengan tangkai daun pendek (Gambar 38b). Daun berukuran 2-8 cm dengan bentuk memanjang rata dari pangkal hingga ujung atau agak mengecil di bagian pangkalnya. Permukaan daun mengkilap berwarna hijau muda (Karimi & Mirdehghan, 2013).

(a) (b) Gambar 38. (a) Tanaman delima dewasa dan (b) duduk daun pada tangkai yang saling berseberangan (foto : kurniawan_budiarto).

Bunga delima mempunyai bentuk simeteris radial (actinomorphic) dan dapat muncul pada ujung (terminal) atau tengah (axillary) tangkai (Gambar 39a). Bunga terbentuk secara soliter dan jarang bergerombol, berbentuk terompet dan mempunyai mahkota (petal) berjumlah 5 dengan tepi saling bersinggungan (overlapping) (Dhinesh Babu, 2010; Manju, Bisht, Rawat, & Thakur, 2015). Delima mempunyai 3 macam bunga yaitu jantan, betina danhermaphrodite . Kelopak bunga hermaphrodite berbentuk seperti kendi (urceolate) dengan organ ovari besar dan sempurna. Buah umumnya terbentuk dari bunga hermaphrodite. Sedangkan pada bunga jantan, ukuran kelopak lebih kecil berbentuk seperti bel (campanulate) dengan bagian ovari tidak berkembang (P. Melgarejo et al., 1997). 176 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Fenomena heterostili sering terjadi pada pembentukan bunga delima. Bunga sempurna umumnya mempunyai putik lebih besar dengan tangkai putik yang panjang dan lebih besar dari bunga bertipe intermediate. Proporsi ketiga macam bunga dalam satu tanaman atau varietas bervariasi pada setiap musim (Derin & Eti, 2001). Bunga dengan tangkai putik panjang akan terbuahi dan membentuk buah hingga dapat berkembang lebih lanjut hingga masak, sedangkan bunga dengan tangkai putik intermediate umumnya membentuk buah dan rontok sebelum matang, demikian pula bunga dengan tangkai putik pendek yang umumnya tidak pernah terbuahi dan rontok pada stadia bunga (Mira Devi, Arulvasu, & Ilavarasan, 2015). Bunga dengan tangkai putik panjang umumnya terbentuk pada percabangan batang yang tua, sedangkan bunga dengan tangkai putik pendek umumnya berada pada pucuk pertumbuhan baru. Buah yang terbentuk juga umumnya banyak dari bunga-bunga yang muncul saat awal musim yang diduga berhubungan dengan kondisi meteorologi yang kondusif. Pembungaan delima bervariasi dan sangat dipengaruhi iklim. Pada daerah beriklim tropis, tanaman dapat menghasilkan bunga sepanjang tahun. Sedangkan pada daerah subtropis yang terletak di sebelah utara katulistiwa, pembungaan sporadis umumnya terjadi pada bulan Maret hingga Mei (Cizmovic, Popovic, Adakalic, Lazovic, & Perovic, 2016).

(a) (b)

Gambar 39. (a) Bunga dan (b) buah delima (P. granatum L.) (foto : (a) kurniawan_ budiarto, (b) www.pixabay.com). Punica granatum L. 177 (Lythraceae)

Penyerbukan bunga delima dapat melalui penyerbukan sendiri (self pollination) dan penyerbukan silang (out-crossing). Penyerbukan sendiri umumnya terjadi pada tipe bunga hermaphrodite. Penyerbukan silang terjadi umumnya melalui bantuan serangga seperti Camponotus spp., Apis spp. dan Papilio demoleus (Cizmovic et al., 2016). Pada delima, lebih dari seratus ovary dalam satu ovul yang dapat berkembang lebih lanjut menjadi embrio biji (Dhinesh Babu, 2010). Buah delima berbentuk bulat berdiameter 5 – 12 cm dengan ujung dihiasi mahkota kelopak yang tebal (Gambar 39b). Kulit buah mengkilap dan halus berwarna kuning kecokelatan hingga merah saat masak. Bagian dalam buah (mesocarp) berongga terbagi dalam beberapa segmen. Setiap segmen dibatasi jaringan seperti kertas berisi biji-biji yang mempunyai membran plasenta. Biji-biji diselimuti selaput berair (juicy aril) yang merupakan bagian buah yang dapat dimakan (edible). Selaput berair ini terdiri atas sel-sel epidermis yang berwarna merah hingga bening (Yazici, Kaynak, & Cevik, 2011). Jumlah biji dalam setiap buah bervariasi sekitar 1300 biji perbuah. Buah delima umumnya masak setelah berumur 6-7 bulan dari saat bunga terbuahi (Amiryousefi, Zarei, Azizi, & Mohebbi, 2012; Babu et al., 2017).

III. Asal dan distribusi geografis Delima (P. granatum L.) merupakan salah satu jenis buah-buahan (edible fruit) tertua yang pernah ditemukan. Delima merupakan salah satu tanaman buah yang telah lama dikenal seiring dengan perkembangan peradaban manusia, terutama pada daerah-daerah beriklim agak kering hingga kering. Namun demikian, tanaman delima juga dapat tumbuh baik pada daratan berhawa sejuk hingga sangat panas. Beberapa penelitian menunjukkan tanaman delima juga toleran pada tanah dengan kadar salinitas tinggi, namun tidak tahan dengan penurunan suhu hingga di bawah -110C (Martinez-Nicolas et al., 2016). Tanaman delima diperikirakan berasal dari daratan Persia dan daerah sekitarnya. Spesies-spesies liarnya banyak tumbuh alami di daerah Transcaucasia dan Asia Tengah dari Iran, Turkmenistan hingga bagian utara India. Setidaknya terdapat 3 pusat diversitas genetik (primer, sekunder dan tersier) serta 5 daerah penyebaran utama (Timur Tengah, Mediterania, Asia Timur, Amerika dan Afrika Selatan). Pusat diversitas primer termasuk wilayah Timur Tengah yang mencakup Iran, Afganistan, dan daerah sekitarnya. Pusat penyebaran dan diversitas sekunder mencakup wilayah Mediterania dan Asia Timur yang merupakan pintu penyebaran ke arah Asia dan Eropa. Wilayah pusat diversitas tersier mencakup wilayah-wilayah di 178 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

mana spesies delima didomestikasi/dinaturalisasi maupun diintroduksi. Daerah penyebaran tersier ini mencakup Afrika Utara, cekungan Mediterania, daratan Arab, Mesopotamia, India, Pakistan dan daerah pusat penyebaran lainnya (Chandra, Babu, Jadhav, & Teixeira da Silva, 2010). Proses domestikasi/naturalisasi tanaman diperkirakan pada era Neolitikum di daerah-daerah pusat keragaman genetik tinggi seperti wilayah Transcaucasia- Danau Kaspia hingga sebelah utara Turki. Diperkirakan 13% persilangan bebas terjadi selama proses domestikasi. Persilangan bebas antara kultivar progenitor dengan varietas lokal serta proses seleksi ini diduga menyebabkan variasi pada tanaman yang ada di setiap daerah (Ibrahim Oguz, 2012). Delima diketahui mulai ditanam di Persia (Iran) pada 3.000 SM dan menyebar ke Israel hingga sekarang. Pada tahun 2.000 SM, penduduk Pheonesia berkoloni di Afrika Utara dan membawa dan menanam tanaman delima di tempat tersebut sehingga menyebar hingga kini ke wilayah Tunisia, Mesir, Turki dan Yunani. Penyebaran kemudian merambah ke daerah China sekitar 100 SM. Pada tahun 800, tanaman diketahui telah mencapai wilayah kekaisaran Romawi termasuk Spanyol dan India. Tahun 1.400, tanaman delima masuk ke Indonesia dibawa oleh orang-orang Spanyol dan Portugis termasuk ke wilayah Amerika Tengah, Mexico dan Amerika Selatan dan hingga tahun 1.700-an, delima telah ditanam di wilayah Amerika Serikat (Stover & Mercure, 2007).

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik Tanaman delima dikenal mempunyai daya adaptasi pada kisaran iklim yang luas, sehingga mempunyai distribusi geografis yang beragam pula. Pemanfaatan buah delima dalam kehidupan manusia sejak lama dan kisaran persilangan bebas alami (out-crossing) yang tinggi diduga telah menginduksi keragaman genetik tanaman, walaupun tanaman delima tergolong tanaman menyerbuk sendiri (self-pollinated). Kondisi ini menyebabkan, tanaman yang dihasilkan dari biji umumnya tidak sama dengan induknya. Hingga kini diperikirakan terdapat lebih dari 500 varietas delima di seluruh dunia. Namun demikian, hanya sekitar 50 varietas yang diketahui ditanam secara komersial (Hota & Dahiya, 2017; Venkatesha & Yogish, 2016). Studi filogenetik delima pada ordo Myrtales dengan menggunakan ITS (internal transcribed spacer) menunjukkan bahwa delima (P. granatum) mempunyai kekerabatan yang dekat anggota marga Punica lainnya yaitu P. protopunica. Punica granatum L. 179 (Lythraceae)

Sedangkan marga Punica sendiri mempunyai jarak genetik yang sempit dengan Woodfodia dan Pemphis dibandingkan dengan marga lainnya dalam ordo Myrtales (Narzary, Ranade, Divakar, & Rana, 2016). Studi molekuler menggunakan AFLP, RAPD dan SNP juga telah dilakukan pada asesi atau kultivar delima di beberapa tempat. Secara umum hasil studi menunjukkan bahwa kultivar delima menunjukkan variasi genetik yang tinggi. Namun demikian, variasi genetik yang ada hanya merujuk pada 2 struktur kelompok penyebaran yaitu kelompok 1 yang mencakup India, China dan Iran serta kelompok 2 yang mencakup daerah Mediterania, Asia Tengah, California, Spanyol hingga daratan Eropa (Ercisli et al., 2011; Kathuria, Bhargava, Yadav, & Gurjar, 2017; Ophir et al., 2014). Beberapa penulis melaporkan jumlah kromosom yang berbeda pada delima. Beberapa laporan menyatakan bahwa jumlah kromosom somatik, 2n = 16 (n = 8), sedangkan laporan lain menyebutkan 2n = 18 (n = 9). Tanaman dengan struktur kromosom tetraploid juga ditemukan dengan jumlah kromosom somatik, 2n = 32. Pada kultivar diploid dengan 2n = 16 diketahui bahwa 7 pasang kromosom tergolong metasentrik dan 1 pasang kromosom submetasentrik dengan kandungan DNA sebesar 1,4 pg (1412 Mbp) (Masoud, Khandan, & Nasre-Esfahani, 2005; Hassan & Gawad, 2013). Beberapa laporan juga menunjukkan 8 pasang kromosom yang terdapat pada asesi-asesi 2n = 16 mempunyai variasi pada frekuensi chiasma, pola berpasangan dan segregasi yang menandakan perbedaan genom antarkultivar yang ada. Keberadaan B-kromosom dan rendahnya kuadrivalen juga mengindikasikan sumber rekombinan (Shedai, Kolahizadeh, Noormohammadi, Azani, & Nikoo, 2013; Sheidai, 2007).

V. Evolusi dan risiko erosi genetik Studi evolusi pada delima hingga kini masih terfokus pada tingkat genom. Pada tingkat ini setidaknya tiga karakteristik yang menjadi fokus studi yaitu biosintesis dan kandungan senyawa antioksidan kelompok ellagitannin dan derivatifnya, perubahan warna pada selaput biji (konsentrasi antocyanin) dan perkembangan biologi ovul (Yuan et al., 2018). Sejumlah gen terlibat dalam biosintesis senyawa ellagitannin pada delima. Namun demikian, ekspresi gen-gen ini cenderung menurun seiring perkembangan buah dibandingkan dengan tanaman lain seperti jeruk, anggur dan apel. Hal ini mengindikasikan proses biosintesis senyawa ellagitannin pada delima mempunyai proses reaksi biokimia lanjutan yang divergen (Qin et al., 2017). 180 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Antocyanin merupakan pigmen utama yang memengaruhi intensitas warna merah pada delima. Tidak seperti lecthii dan anggur, kulit dan daging buah (aril) delima berubah berwarna merah saat masak. Delima dan Arabidopsis mempunyai sejumlah duplikat gen yang mengatur proses biosintesis antocyanin. Namun aktivasi dan ekspresi gen-gen duplikat pada setiap proses biokimia berbeda. Hal ini mengindikasikan mekanisme biosintesis antocyanin pada delima dan Arabidopsis mempunyai alur yang berbeda (Zhao, Yuan, Feng, & Fang, 2015). Pada buah delima, lebih dari seratus ovul dapat berkembang dalam satu ovari hingga membentuk biji dengan selaputnya. Dibandingkan dengan buah yang mempunyai karakteristik biji yang sama seperti mentimun dan tomat yang hanya mempunyai satu generasi pertumbuhan pada dua plasenta, pertumbuhan plasenta pada biji delima mempunyai 2 hingga 3 lapisan pertumbuhan yang berbeda pada dua tipe plasenta. Hal ini diduga berhubungan dengan ekspansi ekspresi sejumlah gen yang berhubungan dengan perkembangan ovul pada delima dibandingkan dengan gen duplikatnya pada mentimun dan tomat (Yuan et al., 2018). Hingga kini belum terdapat laporan adanya erosi genetik tanaman delima dari daerah- daerah pusat keragaman dan penyebaran genetik. Namun demikian, sedikitnya kultivar yang beredar secara komersial (sekitar 50 kultivar) di dunia dibandingkan dengan asesi delima yang dapat dikonsumsi (500 kultivar) mengindikasikan adanya potensi asesi-asesi yang kurang komesial akan semakin jarang dibudidayakan sehingga berpotensi terjadi kepunahan (Karimi & Mirdehghan, 2013). Saat ini di beberapa negara telah diupayakan konservasi terhadap delima, di antaranya di Azerbaijan, China, India, Iran, Israel, Rusia, Tajikistan, Thailand, Turkmenistan, Tunisia, Turki, Ukraina, Amerika Serikat dan Uzbekistan.

VI. Aspek budidaya Delima dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah kecuali pada tanah-tanah dengan pH terlalu tinggi atau tanah salin. Tanaman delima menghendaki tanah dengan drainase baik dan tidak telalu padat untuk perkembangan akar yang optimal. Delima umumnya diperbanyak melalui biji, pemisahan anakan maupun pembiakan vegetatif lain seperti cangkok dan setek batang (Andjarikmawati, Mudyantini, & Marusi, 2005). Tanaman muda hasil perbanyakan umumnya dipelihara dulu dalam wadah tunggal/polybag selama 2-3 bulan sebelum ditanam di lapang. Punica granatum L. 181 (Lythraceae)

Tanaman muda yang telah mempunyai tinggi sekitar 50-60 cm ditanam dengan jarak tanam 4 x 5 meter. Tanaman umumnya diberi penegak untuk membentuk tajuk tanaman dan menahan pertumbuhan tajuk menggantung. Pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk organik dan anorganik. Pupuk organik berupa pupuk kandang dengan dosis 10 kg/tanaman diberikan saat awal tanam dan setiap 6 bulan. Pupuk anorganik yang diberikan meliputi urea sebanyak 100 g/tanaman, 50 g/tanaman SP-36 dan 100 g/tanaman KCl yang diberikan pada saat tanam dan setiap 4 bulan (Blumenfeld, Shaya, & Hillel, 2000). Pemeliharaan lainnya meliputi pemangkasan tajuk yang dilakukan 6 bulan sekali. Pemangkasan dilakukan untuk membuang cabang/ranting yang telah mati. Pemangkasan juga bertujuan untuk menjarangkan tajuk agar penetrasi sinar matahari dapat masuk ke dalam tajuk dan merangsang pertumbuhan tunas baru (Hiremath, Patil, Hipparagi, Gandolkar, & Gollagi, 2018). Hama yang menyerang tanaman delima umumnya busuk buah yang disebabkan oleh serangga Virachola livia, Criptoblabos gnidiella dan Planoccocus citri, aphid (Aphis punica) yang menyerang bagian pucuk apikal, dan Tenupalpus granati yang menyebabkan kerusakan pada daun (Blumenfeld et al., 2000). Sedangkan penyakit utama yang menyerang buah adalah bercak dan busuk buah yang disebabkan cendawan Cercospora sp., Aspergillus foetidus, Colletotrichum gloesporioides, Pseudocercospora punicae, Curvularia lunata, Cercospora punicae and Alternaria alternate (Ezra, Kirshner, Hershcovich, Shtienberg, & Kosto, 2014). Buah dapat dipanen setelah 6 bulan dari masa berbunga. Buah masak ditandai dengan pertumbuhan maksimal dengan permukaan kulit buah mengkilap. Buah masak fisiologis juga akan terdengar nyaring bula ditepuk dengan menggunakan jari secara perlahan. Buah dipanen dengan memotong tangkai buah sedekat mungkin dengan cabangnya untuk menghindari rusaknya buah. Setelah buah dipanen, buah kemudian dibersihkan dari ranting dan direndam pada larutan disinfektan. Setelah dikeringanginkan, buah kemudian dikemas dan dipasarkan (Stein, Kamas, & Nesbitt, 2011) 182 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi ekonomi Delima umumnya disajikan dalam bentuk buah segar maupun minuman. Buah delima mempunyai kandungan senyawa kimia yang beragam dan berguna untuk pengobatan dan kesehatan manusia. Buah yang sudah masak mengandung sejumlah asam organik seperti asam sitrat, malat, oksalat, asetat, fumarat, tartarat dan laktat dan gula seperti glukosa, fruktosa, sukrosa dan maltosa (Pablo Melgarejo, Salazar, & Artés, 2000). Buah delima juga dideteksi mengandung senyawa antioksidan seperti kelompok senyawa ellagiatannin dan gallotannin, asam ellagik dan derivatnya, catecin dan procyanidin, kelompok antocyanin dan antocyanidin (Rahimi, Arastoo, & Ostad, 2012) serta kelompok fenolik seperti asam benzene dekarbosilat, asam benzoate, asam propinonat (Al-Huqail, Elgaaly, & Ibrahim, 2018). Dalam tubuh manusia, senyawa-senyawa organik yang dikandung dalam buah delima bermanfaat dalam meningkatkan fungsi hati, mengurangi potensi hepatitis, meningkatkan produksi hormon reproduksi seperti testosteron, mengurangi risiko hypoglikemik, bersifat antibakteri, antiviral, anti cendawan (antibiotik) termasuk mengurangi risiko kanker, penyakit malaria hingga serangan jantung, meningkatkan serapan energi dan menurunkan obesitas, serta mengurangi plak pada gigi (Rahmani, Alsahli, & Almatroodi, 2017). Delima banyak diusahakan di daerah-daerah yang dekat dengan pusat penyebaran utamanya. Sekitar 90% pertanaman delima berada di Asia dan Eropa, 9% di Afrika Utara dan sekitar 1% di wilayah Amerika Utara. Spanyol merupakan negara produsen delima terbesar dengan kapasitas lebih dari 22 ribu ton disusul Amerika Serikat dengan kapasitas produksi sekitar 20 ribu ton. Namun demikian dalam skala ekspor, Iran merupakan negara eksportir terbesar dengan volume 60 ribu ton disusul India (35 ribu ton)(Chandra et al., 2010). Hingga kini belum terdapat data yang akurat perihal luasan tanam dan panen tanaman delima di Indonesia. Tanaman delima umumnya masih dibudidayakan secara sederhana dalam pekarangan dan tidak dalam skala besar, sehingga potensi pengembangan secara lebih komersial masih sangat luas. Punica granatum L. 183 (Lythraceae)

Pustaka 1. Al-Huqail, A. A., Elgaaly, G. A., & Ibrahim, M. M. (2018). Identification of bioactive phytochemical from twoPunica species using GC–MS and estimation of antioxidant activity of seed extracts. Saudi Journal of Biological Sciences, 25(7), 1420–1428. https://doi.org/10.1016/j.sjbs.2015.11.009 2. Amiryousefi, M. R., Zarei, M., Azizi, M., & Mohebbi, M. (2012). Modelling some physical characteristics of pomegranate (Punica granatum L.) fruit during ripening using artificial neural network. Journal of Agricultural Science and Technology, 14(4), 857–867. 3. Andjarikmawati, D. W., Mudyantini, W., & Marusi. (2005). Perkecambahan dan pertumbuhan delima putih (Punica granantum L.) dengan perlakuan Asam Indol Asetat dan Asam Giberelat. BioSMART, 7(2), 91–94. 4. Babu, K. D., Singh, N. V., Gaikwad, N., Maity, A., Suryavanshi, S. K., & Pal, R. K. (2017). Determination of maturity indices for harvesting of pomegranate (Punica granatum). Indian Journal of Agricultural Sciences, 87(9), 1225– 1230. 5. Blumenfeld, A., Shaya, F., & Hillel, R. (2000). Cultivation of pomegranate. Options Méditerranéennes Ser. A, 42, 143–147. 6. Chandra, R., Babu, D. K., Jadhav, V. T., & Teixeira da Silva, J. A. (2010). Origin, history and domestication of pomegranate.Fruit, Vegetable and Cereal Science and Biotechnology, 4(October 2016), 1–6. 7. Cizmovic, M., Popovic, R., Adakalic, M., Lazovic, B., & Perovic, T. (2016). Characteristics of flowering and fruit set of main pomegranate varieties (Punica granatum L.) in Montenegro. Agriculture and Forestry, 62(1), 83–90. https://doi.org/10.17707/AgricultForest.62.1.10 8. Derin, K., & Eti, S. (2001). Determination of pollen quality, quantity and effect of cross pollination on the fruit set and quality in the pomegranate. Turkish Journal of Agriculture and Forestry, 25(3), 169–173. https://doi.org/10.3906/ tar-9911-13 9. Dhinesh Babu, K. (2010). Floral Biology of Pomegranate (Punica granatum L.). Global Science Books, 4(2), 45–50. Retrieved from http://www. globalsciencebooks.info/Online/GSBOnline/images/2010/FVCSB_4(SI2)/ FVCSB_4(SI2)45-50o.pdf 184 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

10. Ercisli, S., Kafkas, E., Orhan, E., Kafkas, S., Dogan, Y., Esitken, A., … Red, L. (2011). Genetic characterization of pomegranate (Punica granatum L.) genotypes by AFLP markers. Biological Research, 44, 345–350. 11. Ezra, D., Kirshner, B., Hershcovich, M., Shtienberg, D., & Kosto, I. (2014). Heart rot of pomegranate: Disease etiology and the events leading to development of symptoms. Plant Disease, 99(4), 496–501. https://doi.org/10.1094/pdis- 07-14-0707-re 12. Hassan, N. A., & Gawad, M. H. A. (2013). Morphological karyotype analysis of eleven pomegranate cultivars. American-Eurasian Journal of Agricultural & Environmental Sciences, 13(11), 1562–1567. https://doi.org/10.5829/idosi. aejaes.2013.13.11.11263 13. Hiremath, A., Patil, S. N., Hipparagi, K., Gandolkar, K., & Gollagi, S. G. (2018). Influence of pruning intensity on growth and yield of pomegranate (Punica granatum L.) cv . Super Bhagwa under organic conditions. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry, 7(2), 1027–1031. 14. Hota, M., & Dahiya, D. S. (2017). Physico-chemical properties of some varieties of pomegranate (Punica granatum L.). International Journal of Pure and Applied Bioscience, 5(5), 979–983. https://doi.org/10.18782/2320-7051.2671 15. Ibrahim Oguz, H. (2012). Diversity of local pomegranate types (Punica granatum L.) in eastern Turkey. Journal of Food, Agriculture and Environment, 10(2), 683–686. 16. Karimi, H. R., & Mirdehghan, S. H. (2013). Correlation between the morphological characters of pomegranate (Punica granatum) traits and their implications for breeding. Turkish Journal of Botany, 37(2), 355–362. https:// doi.org/10.3906/bot-1111-14 17. Kathuria, Ko., Bhargava, R., Yadav, P. K., & Gurjar, K. (2017). Molecular studies ascertaining the phylogenetic relationships in pomegranate (Punica granatum L.) cultivars using RAPD markers.International Journal of Current Microbiology and Applied Sciences, 6(9), 1282–1291. https://doi.org/10.20546/ ijcmas.2017.609.154 18. Kumari, A., Dora, J., Kumar, A., & Kumar, A. (2012). Pomegranate (Punica granatum) - Overview. International Journal of Pharmaceutical and Chemical Sciences, 1(4), 1218–1222. Punica granatum L. 185 (Lythraceae)

19. La Malfa, S., Gentile, A., Domina, F., & Tribulato, E. (2009). Primosole: A new selection from sicilian pomegranate germplasm. Acta Horticulturae, 818, 125–132. https://doi.org/10.17660/ActaHortic.2009.818.17 20. Manju, Bisht, I., Rawat, S. S., & Thakur, N. (2015). Studies on floral biology in pomegranate cv. Ganesh and Kandhari under valley conditions of Srinagar (Garhwal) (bearing habit, time and duration of flowering, bud development, flower characterters and anthesis). International Journal of Research in Applied, Natural and Social Science, 5(3), 41–46. 21. Martinez-Nicolas, J. J., Melgarejo, P., Legua, P., Garcia-Sanchez, F., & Hernández, F. (2016). Genetic diversity of pomegranate germplasm collection from Spain determined by fruit, seed, leaf and flower characteristics. PeerJ, 4, e2214. https://doi.org/10.7717/peerj.2214 22. Masoud, S., Khandan, M., & Nasre-Esfahani, S. (2005). Cytogenetical study of some Iranian pomegranate (Punica granatum L.) cultivars. Caryologia, 58(2), 132–139. https://doi.org/10.1080/00087114.2005.10589443 23. Melgarejo, P., Martínez-Valero, R., Guillamón, J. M., Miró, M., & Amorós, A. (1997). Phenological stages of the pomegranate tree (Punica granatum L.). Annals of Applied Biology, 130(1), 135–140. https://doi.org/10.1111/j.1744- 7348.1997.tb05789.x 24. Melgarejo, Pablo, Salazar, D. M., & Artés, F. (2000). Organic acids and sugars composition of harvested pomegranate fruits. European Food Research and Technology, 211(3), 185–190. https://doi.org/10.1007/s002170050021 25. Mira Devi, S. P., Arulvasu, C., & Ilavarasan, R. (2015). Morphological and anatomical studies on ornamental flowers of Punica granatum Linn. Journal of Pharmaceutical & Scientific Innovation, 4(1), 44–51. https://doi. org/10.7897/2277-4572.04111 26. Narzary, D., Ranade, S. A., Divakar, P. K., & Rana, T. S. (2016). Molecular differentiation and phylogenetic relationship of the genusPunica (Punicaceae) with other taxa of the order Myrtales. Rheedea, 26(1), 37–51. 27. Ophir, R., Sherman, A., Rubinstein, M., Eshed, R., Schwager, M. S., Harel- Beja, R., … Holland, D. (2014). Single-nucleotide polymorphism markers from de-novo assembly of the pomegranate transcriptome reveal germplasm genetic diversity. PLoS ONE, 9(2), e88998. https://doi.org/10.1371/journal. pone.0088998 186 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

28. Qin, G., Xu, C., Ming, R., Tang, H., Guyot, R., Kramer, E. M., … Xu, Y. (2017). The pomegranate (Punica granatum L.) genome and the genomics of punicalagin biosynthesis. Plant Journal, 91(6), 1108–1128. https://doi.org/10.1111/ tpj.13625 29. Rahimi, H. R., Arastoo, M., & Ostad, S. N. (2012). A comprehensive review of Punica granatum (Pomegranate) properties in toxicological, pharmacological, cellular and molecular biology researches. Iranian Journal of Pharmaceutical Research, 11(2), 385–400. 30. Rahmani, A. H., Alsahli, M. A., & Almatroodi, S. A. (2017). Active constituents of pomegranates (Punica granatum ) as potential candidates in the management of health through modulation of biological activities.Pharmacognosy Journal, 9(5), 689–695. 31. Rana, T., Narzary, D., & Ranade, S. A. (2010). Systematics and taxonomic disposition of the genus Punica L. Pomegranate. Fruit, Vegetable and Cereal Science and Biotechnology, 19–25. 32. Sakagami, Y., Murata, H., Nakanishi, T., Inatomi, Y., Watabe, K., Iinuma, M., … Lang, F. A. (2001). Inhibitory effect of plant extracts on production of verotoxin by enterohemorrhagic Escherichia coli O157 : H7. Journal of Health Science, 47(5), 473–477. https://doi.org/10.1248/jhs.47.473 33. Shedai, M., Kolahizadeh, S., Noormohammadi, Z., Azani, N., & Nikoo, M. (2013). Correlation between geography and cytogenetic diversity in Pomegranate (Punica granatum L.) cultivars in Iran.Acta Botanica Brasilica, 26(4), 953–965. https://doi.org/10.1590/s0102-33062012000400025 34. Sheidai, M. (2007). B-chromosome variablity in pomegranate (Punica granatum L.) cultivars.Caryologia , 60(3), 251–256. https://doi.org/10.1080/0 0087114.2007.10797944 35. Stein, L., Kamas, J., & Nesbitt, M. (2011). Pomegranates. Texas Fruit and Nut Production, Texas Agrilife and Extension, E-613(2–13), 1–6. 36. Stover, E., & Mercure, E. W. (2007). The pomegranate: A new look at the fruit of paradise. HortScience, 42(5), 1088–1092. 37. Venkatesha, H., & Yogish, S. N. (2016). High-yielding varieties of pomegranate. International Journal of Applied Research, 2(2), 73–75. Punica granatum L. 187 (Lythraceae)

38. Verma, N., Mohanty, A., & Lal, A. (2010). Pomegranate genetic resources and germplasm conservation : A review. Fruit, Vegetable and Cereal Science and Biotechnology, 4(2), 120–125. 39. Yazici, K., Kaynak, L., & Cevik, M. S. (2011). Anatomy of pomegranate (Punica granatum L. ’Hicaznar’) fruit exocarp. Acta Horticulturae, 890(August 2011), 215–220. 40. Yuan, Z., Fang, Y., Zhang, T., Fei, Z., Han, F., Liu, C., … Zheng, H. (2018). The pomegranate (Punica granatum L.) genome provides insights into fruit quality and ovule developmental biology. Plant Biotechnology Journal, 16(7), 1363– 1374. https://doi.org/10.1111/pbi.12875 41. Zhao, X., Yuan, Z., Feng, L., & Fang, Y. (2015). Cloning and expression of anthocyanin biosynthetic genes in red and white pomegranate.Journal of Plant Research, 128(4), 687–696. https://doi.org/10.1007/s10265-015-0717-8 Penulis : Kurniawan Budiarto1), Harwanto1), Agus Sugiyatno1) dan Hardiyanto2) 1)Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika 2)Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura

Rubus idaeus L. (Rosaceae)

Protologue Rubus idaeus L., Sp. Pl. 1: 492 (1753). Sinonim • Rubus idaeus Blanco, Fl. Filip. [F.M. Blanco] 428 (1837). • Rubus idaeus Vell., Fl. Flumin. 220 (1829). • Rubus idaeus Pursh, Fl. Amer. Sept. (Pursh) 1: 346 (1813). • Rubus idaeus Thunb., Fl. Jap. (Thunberg) 216 (1784). • Rubus idaeus var. acalyphaceus (Greene ex Fedde) Fernald, Rhodora 21: 98 (1919). • Rubus idaeus f. albus Fernald, Rhodora 21: 96 (1919). • Rubus idaeus f. albus Fernald, Rhodora 10: 50 (1908). • Rubus idaeus var. americanus Torr., Ann. Lyceum Nat. Hist. New York 2: 196 (1827). • Rubus idaeus var. arizonicus (Greene ex Fedde) Fernald, Rhodora 21: 98 (1919). • Rubus idaeus var. borealisinensis T.T.Yu & L.T.Lu, Acta Phytotax. Sin. 20(3): 297 (1982) (1982). • Rubus idaeus var. canadensis Richardson, Bot. App. (Richardson) 747 (1823). • Rubus idaeus var. caudatus (B.L.Rob.) Fernald, Rhodora 52: 71 (1950). • Rubus idaeus f. caudatus Fernald, Rhodora 21: 97 (1919). • Rubus idaeus var. egglestonii Fernald, Rhodora 21: 97 (1919). 190 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

• Rubus idaeus f. erythrochlamydeus B.Boivin, Bull. Soc. Bot. France 102: 238 (1955). • Rubus idaeus var. eucyclus Fernald & Weath., Rhodora 33: 237 (1931). • Rubus idaeus var. glabratus T.T.Yu & L.T.Lu, Acta Phytotax. Sin. 20(3): 297 (1982) (1982). • Rubus idaeus var. gracilipes M.E.Jones, Bull. Montana State Univ., Biol. Ser. ser. 15: 35 (1910). • Rubus idaeus var. heterolasius Fernald, Rhodora 21: 97 (1919). • Rubus idaeus subsp. komarovii (Nakai) Vorosch., in A.K. Skvortsov (ed.), Florist. issl. v razn. raĭonakh SSSR 176 (1985): (1985). • Rubus idaeus subsp. maritimus Focke, Abh. Naturwiss. Vereins Bremen 13(3): 473 (1896). • Rubus idaeus f. marmoratus (Level. & Vaniot) Kitam., Acta Phytotax. Geobot. 26(1-2): 3 (1974). • Rubus idaeus subsp. melanolasius (Dieck) Focke, Abh. Naturwiss. Vereins Bremen 13(3): 473 (1896). • Rubus idaeus var. melanolasius (Dieck) R.J.Davis, Contr. Fl. Idaho Leafl. 15: 22 (1946). • Rubus idaeus subsp. melanotrachys Focke, Abh. Naturwiss. Vereins Bremen 13(3): 473 (1896). • Rubus idaeus var. melanotrachys Fernald, Rhodora 21: 97 (1919). • Rubus idaeus var. nesophilus Hodgdon & R.B.Pike, Rhodora 66: 148 (1964). • Rubus idaeus subsp. nipponicus Focke, Abh. Naturwiss. Vereins Bremen 13(3): 473 (1896). • Rubus idaeus f. niveus J.W.Moore, Rhodora 52: 57 (1950). • Rubus idaeus var. peramoenus (Greene ex Fedde) Fernald, Rhodora 21: 98 (1919). • Rubus idaeus subsp. sachalinensis (H.Lév.) Focke, Biblioth. Bot. 72(2): 210 (1911). • Rubus idaeus var. sachalinensis (H.Lév.) C.L.Hitchc., Univ. Wash. Publ. Biol. 17(3): 175 (1961). Rubus idaeus L. 191 (Rosaceae)

• Rubus idaeus var. shikokianus (Ohwi & Inobe) Kitam. & Naruh., Acta Phytotax. Geobot. 26(1-2): 4 (1974). • Rubus idaeus subsp. strigosus (Michx.) Focke, Abh. Naturwiss. Vereins Bremen 13(3): 473 (1896). • Rubus idaeus var. strigosus (Michx.) Maxim., Bull. Acad. Imp. Sci. Saint- Pétersbourg 17: 161 (1872). • Rubus idaeus f. succineus Rehder, J. Arnold Arbor. 23: 377 (1942). • Rubus idaeus f. succineus (Rehder) B.Boivin, Bull. Soc. Bot. France 102: 238 (1955). • Rubus idaeus f. tonsus Fernald, Rhodora 21: 96 (1919). • Rubus idaeus f. tonsus (Fernald) B.Boivin, Bull. Soc. Bot. France 102: 238 (1955). • Rubus idaeus var. viburnifolius A.Berger, New York Agric. Exp. Sta. Bull. 1925, pt. 2: 51 (1925). • Rubus idaeus subsp. vulgatus Focke, Abh. Naturwiss. Vereins Bremen 13(3): 473 (1896). • Rubus idaeus f. warei W.Deane & Fernald, Rhodora 22: 112 (1920). Nama umum Raspberry (Indonesia), Raspberry (Inggris), Framboise (Prancis), Raspberry (Spanyol), Framboos (Belanda, Afrika), Himbeere (Jerman), RazuberÌ (Jepang), Lampone (Itali), Hindberjum (Islandia), Santtalgi (Korea), RasabharÌ (Punjabi), Malina (Rusia), Hallon (Swedia), Framboesa (Portugis), tawatu alealiq (Arab), Bringebair (Swedia), ‘O Ka Hua (Hawaii)

I. Pendahuluan Raspberry (Rubus idaeus L.) merupakan salah satu tanaman buah subtropika yang banyak dikaitkan dengan pengobatan dan dunia kesehatan sejak dahulu kala. Hal ini disebabkan isu kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam perjalanan peradaban manusia. Pengobatan zaman dahulu menggunakan bahan alami kembali menjadi tren kesehatan di satu dekade terakhir. Hal ini disebabkan bahan kimia terbukti mempunyai efek samping yang berbahaya. Hummer et al. (2010) melaporkan bahwa raspberry telah digunakan dalam pengobatan tradisional untuk penyembuhan luka. 192 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Bagian tanaman yang mempunyai khasiat untuk kesehatan adalah buah dan daun. Bagian tersebut telah biasa digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, termasuk penyakit saluran pencernaan dan sistem kardiovaskular, serta demam, influenza, dan diabetes. Daun juga dapat diaplikasikan secara eksternal sebagai agen antibakteri, anti-inflamasi, dan sudorific. Ekstrak daun raspberry telah dilaporkan memiliki sifat antispasmodik dan relaksan otot (Hummer, 2010). Raspberry adalah spesies yang termasuk ke dalam genus Rubus. Menurut Bobinaitė, Viškelis, & Venskutonis (2016), spesies rubus asli berada di belahan bumi bagian utara; namun pusat keragaman utama terletak di Asia. Subgenus yang didomestikasi di antaranya adalah raspberry, blackberry, arctic raspberry, dan flowering raspberry, yang semuanya telah digunakan dalam program pemuliaan. Idaeobatus (raspberry) adalah yang paling penting dari subgenus yang didomestikasi, sedangkan spesies raspberry yang banyak dibudidayakan secara komersial adalah raspberry merah Eropa (R. idaeus L. subsp. Idaeus), raspberry merah Amerika Utara (R. idaeus subsp. strigosus (Michx.)), dan rasberry hitam (R. occidentalis L.).

II. Klasifikasi dan deskripsi botani Raspberry termasuk ke dalam Kerajaan Plantae, Divisi Angiospermae, Kelas: Magnoliopsida, Bangsa: Rosales, Suku Rosaceae, Marga Rubus, Submarga Idaeobatus, Jenis R. idaeus. Raspberry adalah kelompok beragam tanaman berbunga yang terkait erat dengan blackberry. Baik raspberry dan blackberry termasuk dalam marga Rubus. Ahli taksonomi menyatakan bahwa terdapat 12 submarga dalam Rubus, tetapi hanya raspberry (Idaeobatus) dan blackberry (Eubatus) yang mempunyai nilai komersial tinggi (Pritts, 2003). Dua belas submarga Rubus tersebut di antaranya; submarga Idaeobatus, Dalibarda, dan Anoplobatus sebagian besar diploid, sedangkan Dalibardastrum, Malachobatus, dan Orobatus secara eksklusif poliploid (Thompson, 1995, 1997). Raspberry merah (Rubus idaeus L.) adalah semak beriklim sedang yang berumur pendek, dengan sistem perakaran yang berumur panjang. Spesies ini mempunyai buah lunak penting dan banyak ditanam di seluruh wilayah beriklim sedang dan dingin di dunia. Secara alami, spesies raspberry mempunyai tipe pertumbuhan yang membentuk koloni pucuk yang lebat. Pucuk-pucuk baru itu umumnya tumbuh dan berasal dari batang dan akar pohon induknya. Banyaknya tunas yang tumbuh Rubus idaeus L. 193 (Rosaceae) menyebabkan kompetisi dan mengakibatkan banyak tunas yang mati. Tunas yang dominan dapat bertahan hidup dan berkembang menjadi percabangan dengan pertumbuhan akar baru. Percabangan ini kemudian dapat memisahkan diri dari pohon induknya dan menjadi individu baru setelah didahului dengan kematian akar yang menghubungkan individu baru dengan induknya (Hudson, 1959). Penjelasan rinci tentang struktur morfologis tanaman raspberry dan fase musiman pengembangannya disajikan oleh Hudson (1959), yang juga mendefinisikan sejumlah istilah untuk merujuk pada berbagai bagian dan struktur tanaman. Tunas raspberry dapat muncul dalam tiga cara berbeda: (a) tunas adventif yang terbentuk pada akar; (b) tunas aksiler terletak pada tunas tahunan di permukaan tanah atau, lebih jarang, (c) sebagai cabang lateral yang keluar dari tunas ketiak. Setiap jenis berperilaku dengan cara berbeda dalam menanggapi lingkungannya.

(a) (b)

Gambar 40. (a) Tanaman raspberry merah dan (b) variannya (kuning) (foto: oka_ardiana_banaty).

Menurut Hummer (1996), sebagian besar spesies Rubus adalah semak tahunan. Kebiasaan tanaman bervariasi dari tegak sampai menjalar. Beberapa tanaman merambat naik, seperti bush lawyers (R. cissoides Cunn.) di Selandia Baru. Contoh lainnya, cloudberry (R. chamaemorus L.), adalah bentuk kerdil alpine yang berkembang melalui stolon di bawah tanah. Sebagian besar spesies rontok berganti 194 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

daun, tetapi ada pula yang selalu hijau. Panjang daun berbeda dari 1-20 cm. Daun dapat berupa daun utuh, menjari, helaian dengan 3 anak daun (trifoliata), 5 anak daun (pentifoliata, atau pinnately). Diameter batang bervariasi dari 2 hingga 7 cm. Spesies rubus dapat mempunyai duri besar yang berulang hingga panjang 1,5 cm.

Gambar 41. Daun raspberry dengan 5 anak daun (pentafoliata) dan 3 anak daun (trifoliata) (foto : oka_ardiana_banaty)

Raspberry mempunyai warna buah beberapa macam yaitu putih, kuning, oranye, merah, ungu dan hitam (Hummer, 1996). Raspberry yang merah lebih banyak dibudidayakan karena mempunyai nilai ekonomis yang tinggi disebabkan kandungan fenolik yang tinggi (Anttonen & Karjalainen, 2005). Buah Raspberry merah (Rubus idaeus L.) dapat dikonsumsi, baik dalam bentuk segar dan olahan. Selain rasa dengan warna yang khas, manfaat yang terkandung dalam buah menjadikan konsumsi buah raspberry meningkat dari tahun ke tahun (Carvalho, Fraser, & Martens, 2013).

Gambar 42. Buah raspberry merah (foto : oka_ardiana_banaty) Rubus idaeus L. 195 (Rosaceae)

III. Asal dan distribusi geografis Raspberry menurut beberapa sumber dikonsumsi selama berabad-abad sebagai sumber makanan dan berasal dari Asia kecil dan Amerika Utara. Palladius seorang petani Romawi menulis tentang budidaya raspberry di abad yang ke-4. Temuan ekologis di benteng Romawi di Inggris salah satunya biji raspberry, menyebabkan asumsi bahwa Romawi menyebarkan budidaya raspberry di Eropa. Raja Edward I (1272-1307) merupakan orang pertama yang memberikan nama buah, dan akhirnya banyak dibudidayakan di kebun- kebun di Inggris. Pada abad ke-18 budidaya raspberry telah menyebar ke Eropa. Para penjajah membawa raspberry yang dibudidayakan ke Amerika dan William Price menjual tanaman pembibitan komersial pertama pada tahun 1771. Pada tahun 1867, ada lebih dari 40 varietas tanaman raspberry yang berbeda. Setelah perang saudara budidaya raspberry menyebar hingga sekitar 2.000 hektare di daerah New York, Michigan,Washington, Oregon, Pennsylvania, Illinois, Indiana, dan Ohio. Pada tahun 1949 ada sekitar 60.000 hektare budidaya raspberry. Saat ini Negara bagian Washington memproduksi hampir 70 juta pon (3.500 ton) raspberry per tahun, yang merupakan 60% dari produksi raspberry Amerika Serikat. California dan Oregon juga merupakan produsen utama. Raspberry hitam berlimpah di Amerika Serikat sebelah timur, yang aslinya dari dari Amerika Utara (Nutritiousfruit, http://www.nutritiousfruit.com/raspberries.html). Distribusi geografis raspberry mencakup Eropa ke Asia Utara dan sebagian besar wilayah beriklim sedang (Blumenthal M, dalam Zhang Ying et al., 2011). Di daerah di mana spesies Rubus tumbuh, spesies liar ditemukan di daerah pertumbuhan sekunder yaitu batas hutan dan sepanjang tepi jalan. Tanaman yang dibudidayakan dan liar memiliki potensi untuk berinteraksi dalam berbagai cara. Budidaya mempengaruuhi keanekaragaman genetik dari populasi alami melalui hilangnya gen dan transfer oleh serbuk sari. Populasi liar dapat berfungsi sebagai tanaman inang hama dan predator alami mereka. Selain itu, populasi liar merupakan sumber potensial untuk perbaikan pemuliaan tanaman tersebut. Namun informasi tentang sifat dan tingkat interaksi serta hubungan antara populasi liar dan spesies Rubus yang dibudidayakan sangat sedikit (Graham et al, 1997). 196 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Di Indonesia sudah ada penanaman raspberry hutan, namun masih dibudidayakan sebagai koleksi di Kebun Raya Cibodas. Surya (2015) melakukan inventarisasi dan karakterisasi 12 jenis dari 25 jenis raspberry asal pegunungan yang tersebar di Indonesia antara lain R. alpestris, R. rosifolius, R. pyrifolius, R. moluccanus, R. lineatus, R. fraxinifolius, R. chrysophylius, R. ellipticus, R. sundaicus, R. beccarii, R. benguetensis, R. glomeratus, R. sumatranus, R. alceifolius, R. niveous, R. smithii, R. calycius, R. elongatus, R. clementis, R. malvaceus, R. macregorii, R. banghamii, R. acuminatissimus, R. plicatus, dan Rubus sp. Penelitiannya menunjukkan bahwa buah raspberry yang ada di Indonesia memiliki keragaman yang cukup luas mulai dari warna, bentuk, ukuran dan rasa.

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik Menurut Hummer (1996) Rubus memiliki jangkauan perkecualian level ploidi (x = 7) dari diploid, 2n = 14, ke tetradecaploid, 2n = 98. Sementara sebagian besar spesies dalam kelompok gen raspberry primer dan sekunder adalah diploid ploidi blackberry bervariasi dari 2n = 14 hingga 2n = 84. Raspberry dan perkawinan silang blackberry bergantung pada ploidi, sehingga pemulia mencari level tertentu dalam materi liar. Hasil penelitian Thompson (1995) dari 41 aksesi Subgenus Idaeobatus (raspberry), 38 aksesi mempunyai struktur kromosom diploid. Hitungan baru dilaporkan untuk 10 taksa: R. eustephanos (2x), R. hoffmeisterianus (2x), R. lasiostylus var. hubeiensis (2x), R. mcvaughianus (2x), R. microphyllus var. subcrataegifolius (2x), R. muelleri (4x), R. palmatus var. coptophyllus (2x), R. pinfaensis (2x), R. rosifolius var. coronarius (2x), dan hibrida yang diduga dari R. thibetanus (2x). Peta genetik Rubus digunakan sebagai penanda dan studi mendalam pada analisis kuantitatif. Peta genetik Rubus juga mengindikasikan kekerabatan Rubus dan Fragaria dengan jarak genetik yang lebih dekat dibandongkan ke Malus atau Prunus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa RLG1 dan RLG6 telah mengalami penyusunan ulang relatif terhadap Fragaria LG homolog. Analisis kromosom tetua berkontribusi menunjukkan bahwa dari empat genera, Prunus menunjukkan penataan ulang paling sedikit dari asal tetua. Wawasan tentang konservasi genom seluruh famili diperoleh dengan komparatif yang secara ekonomi genera penting memberikan informasi yang berguna untuk ahli genetika dan pemulia tanaman Rubus idaeus L. 197 (Rosaceae)

Rosaceae. Misalnya, keseragaman gen asal dapat diekstrapolasi dari dipetakan ortologis penanda dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi gen yang diminati dengan sedikit mempelajari tanaman Rosaceae sebelum ketersediaan urutan genom. Perbandingan kromosom berkembang di sini akan memfasilitasi perakitan dan penjelasan proyek urutan genom Rosaceae di masa depan (Bushakra et al., 2012). Secara umum semua aksesi raspberry bisa dibedakan dari DNA nya. Dendrogram dengan jelas menunjukkan keberadaan 2 kelompok utama. Pengelompokan aksesi yang berasal dari berbagai wilayah geografis yang diamati. Semua raspberry Bulgaria dikelompokkan dalam satu kelompok bersama-sama dengan 2 negara Eropa (Schonemone dan Veten), Kanada (Tulameen) dan satu lagi Varietas Amerika (Willamette). Hibrida - cv. Samodiva (Bulgarski Rubin x Shopska Alena) dan salah satu tetuanya (B. Rubin) adalah pengelompokan di salah satu subkluster yang diperoleh. Disarankan menggunakan alur khusus yang perlu dipelajari di daerah kromosom (alel) dari salah satu tetua ke dalam genom cv. Samodiva. Garis mutan No23006 dan No23005 (Samodiva 8000 Ro) yang dikarakterisasi dengan tingkat kemiripan genetik tertinggi dikelompokkan dekat satu sama lain di salah satu subclusters (Badjakov, Todrovska, Kondakova, Boicheva, & Atanassov, 2006).

V. Evolusi dan risiko erosi genetik Studi evolusi pada Raspberry sudah sampai pada tingkat spesies, termasuk pada genus Rubus yang mempunyai lebih dari 250 spesies heterozigot dan terbagi dalam 12 subgenerasi (Mabberley,2008). Raspberry termasuk spesies R.idaeus yang dibudidayakan mempunyai sekitar 200 spesies yang menunjukkan diferensiasi cukup besar. Raspberry paling komersial adalah red Raspberry Eropa, Raspberry merah Amerika dan Raspberry hitam. Raspberry merah dan hitam varian alami warna kuning atau apricot yang dihasilkan dari alel resesif yang menekan produksi pigmen merah. Produksi etilen meningkat dalam buah ketika buah mulai berubah warna dan mencapai maksimum saat buah masak. Variasi genetik yang tinggi bisa memaksimalkan kelayakan populasi dan potensi evolusi tanaman. Erosi genetik pada Raspberry terutama karena ulah manusia yang dalam waktu lama bisa memengaruhi kelangsungan hidup populasi varietas yang disebabkan perubahan iklim (Young, Boyle, & Brown, 1996). Graham et al. (2009) melaporkan bahwa hanya ditemukan 18 varietas Raspberry yang dibudidayakan dari 80 varietas 198 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

yang ada di alam liar. Secara genetik populai Raspberry merah liar berbeda dengan Raspberry yang dibudidayakan (J Graham et al, 2003). Tanaman Raspberry merah liar Skotlandia ada penurunan jumlah populasi (Julie Graham et al., 2009) dan habitat yang menyebabkan erosi keragaman genetik (Young et al., 1996). Tanaman Raspberry ini selama periode 10 tahun jumlahnya mengalami penurunan drastis yang disebabkan oleh sebagian besar intervensi manusia seperti penggalian tanah dan penggembalaan domba. Setiap tanaman mempunyai bentuk alel yang unik di mana apabila tanaman kehilangan populasinya maka sama dengan kehilangan alelnya. Dari banyaknya populasi R. ideaus hanya Clova B merupakan populasi yang mempunyai ekspansi jumlah tanaman selama peiode 10 tahun, Glen Clova merupakan populasi yang ada di sekitar hutan yang terisolasi dalam dua batas yaitu aliran sungai dan dinding. Populasi yang ada di Clova A dan Glen Clova juga mengalami penurunan jumlah tanaman yang disebabkan oleh adanya penyakit akar dalam taraf rendah bukan disebabkan oleh intervensi manusia (Julie Graham et al., 2009). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ketinggian daerah pertanaman menunjukkan variasi yang signifikan pada periode berbunga dan berbuah di lingkungan yang sesuai dengan pertumbuhannya sehingga bisa mengurangi populasi tanaman yang tidak sesuai daerah tumbuhnya. Keadaan tersebut bisa mengurangi jumlah populasi dan jumlah alel tanaman (Marshall et al., 2001). Tanaman Rapberry di Skotlandia dari 13 multilokus genotype 46 turunan tanaman liar ada 27 turunan tanaman yang sama sekali tidak menghasilkan buah dan ada 19 turunan lainnya semuanya menghasilkan buah. Daerah pertumbuhan yang sama mewakili genotipe yang sama, tetapi di daerah yang berbeda ketinggiannya telah terbukti sangat mengurangi keragaman genetik (Lowe, Boshier, Ward, Bacles, & Navarro, 2005). Jumlah tanaman berkurang dari 150 menjadi 46 selama periode 10 tahun disebabkan adanya gangguan habitat dan pengurangan ukuran populasi alel langka yang cenderung hilang pertama kali diikuti oleh hilangnya alel umum selama beberapa generasi (Lande,1988). Hilangnya plasma nutfah akan memiliki pengaruh serius untuk produksi raspberry merah komersial jangka panjang, dan juga untuk keberlanjutan populasi alami, yang juga merupakan sumber makanan yang berharga bagi satwa liar. Sebagian besar kerugian tanaman telah dijelaskan oleh dampak manusia, dan, akibatnya, pergantian populasi dapat terjadi dalam siklus yang relatif singkat. Rubus idaeus L. 199 (Rosaceae)

VI. Aspek budidaya Dalam budidaya raspberry ada beberapa kondisi ekologi dalam mendukung pertumbuhan tanaman ini. Tanah yang sesuai digunakan untuk pada penanaman raspberry adalah tanah dengan kedalama lapisan lebih dari 1 meter, berpori dan memiliki kelembapan 75%, keasaman rendah, tanah liat, dan subur. Hutan dan tanah aluvial yang dalam adalah jenis yang paling sesuai untuk penaman raspberry. Tanaman raspberry sering ditemukan di daerah pegunungan, tempat yang penuh cahaya tetapi juga teduh, dengan kelembapan udara tinggi, dan suhu sedikit panas. Meskipun raspberry ditemukan pada ketinggian hingga 2.000 m di atas permukaan laut (dpl), dianjurkan untuk daerah yang menguntungkan untuk budidaya raspberry yang harus dipilih adalah pada ketinggian hingga 1.000 m(dpl). Daerah dengan iklim sedang, dengan suhu rata-rata 10 °C dengan curah hujan tahunan dari 800 hingga 1000 mm, dengan distribusi yang teratur. Desain yang bagus untuk kebun raspberry direkomendasikan pada posisi timur laut atau bara laut dengan kemiringan tanah hingga 10% (Initiative for Agricultural Development of Kosovo, 2015). Raspberry tumbuh paling baik di bawah sinar matahari yang penuh dan terlindung dari angin yang bertiup secara langsung, namun tidak dapat tumbuh pada iklim yang curah hujanya tinggi. Sirkulasi udara dan pengairan yang baik dapat membantu dalam proses penanaman. Idealnya raspberry harus ditanam di lereng bukit sehingga udara dingin dapat mengalir ke daerah yang lebih rendah. Raspberry sebagian besar dapat tumbuh baik pada tanah mineral yang cukup subur, tanah lempung berpasir dalam yang mengandung bahan organik 5-7%. Tanah berpasir ringan juga dapat diterima jika irigasinya tersedia. Raspberry paling baik digunakan di tanah yang sedikit asam dengan pH 6,0- 6,8. Pada musim dingin raspberry mudah rusak, sedangkan pada musim panas raspberry dapat tumbuh dengan baik (Smith, Mahr, Manus, & Roper, 2007) Pemberian pupuk bisa dilakukan pada tanaman pada 10-14 hari setelah tanam. Pupuk diatur 3 sampai 4 inchi dari tunas baru dan batang. Untuk mengurangi kerusakan pada musim dingin karena tunas yang lembut, perlu dihindari aplikasi pupuk pada akhir musim panas. Mengaplikasikan pupuk dengan jumlah yang sesuai dengan pertumbuhan dan hasil tanaman sangat penting. Pemeliharaan lain yang diperlukan adalah pemangkasan yang dilakukan secara teratur (Bordelon, 2012). 200 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Sistem penanaman raspberry menggunakan naungan seperti bentuk terowongan dapat lebih menekan pertumbuhan penyakit seperti embun tepung dan karat daun dibandingkan yang ditanaman di lapang secara langsung. Teknik ini dapat melindungi tanaman dari curah hujan yang bisa memicu berkembangnya penyakit. Powdery mildew yang disebabkan oleh jamur Sphaerotheca macularis, muncul dengan gejala bubuk putih (miselium jamur) yang menutupi permukaan tanaman S. macularis merupakan parasite obligat yang dapat tumbuh pada tanaman inangnya, jamur ini menyerang pada batang, daun, tangkai daun, dan buah. Perkembangan miselium jamur menghasilkan spora yang tertular angina (konidia) yang terus menyebabkan infeksi baru. Penanaman yang jauh dari semak belukar dapat mengurangi perkembangan dan penyebaran penyakit (Heidenreich, Pritts, Kelly, & Demchak, 2009). Tiga penyakit penting yang paling umum adalah virus mosaik, antraknose, dan layu vetilicium. Untuk mengendalikan virus hal yang perlu dilakukan adalah menanam tanaman yang bebas penyakit dan berjarak 300 kaki (91,5 m) bila memungkinkan. Untuk mengontrol antraknosa bisa dilakukan dengan melakukan sanitasi yang baik dan penyemprotan menggunakan cairan kapur. Untuk mengontrol layu verticilium bisa dilakukan dengan menghindari tanah yang terinfeksi. Serangga pada budidaya tanaman raspberry merupakan masalah kecil. Serangga penggerek batang dapat menyebabkan ujung tunas baru menjadi layu. Terkadang cacing buah merupakan gangguan, namun dapat dikendalikan dengan penyemprotan teratur. Getah kumbang dan kumbang terbang yang terjadi ketika buah terlalu masak. Kumbang jepara juga menyerang buah matang. Panen secara teratur dan tuntas dapat meminimalisasi kerusakan (Bordelon, 2012). Berdasarkan syarat tumbuh tersebut, raspberry berpotensi dikembangkan pada dataran tinggi di Indonesia karena faktor kecocokan suhu. Suhu menjadi faktor pembatas utama untuk budidaya tanaman ini, di mana rata-rata suhu yang cocok adalah 10 °C. Daerah pegunungan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur serta Sumatera berpotensi sebagai lokasi budidaya. Namun, serangan hama dan penyakit akan lebih variatif jika dibudidayakan di Indonesia dikarenakan suhu optimal yang dibutuhkan tanaman hanya terjadi pada musim tertentu, tidak sepanjang tahun. Alternatif solusinya adalah dibudidayakan di dalam screen house yang terkontrol suhu dan kelembapannya. Rubus idaeus L. 201 (Rosaceae)

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi ekonomi Raspberry biasa disajikan dalam bentuk segar maupun diproses secara komersial menjadi buah-buahan cepat saji IQF (Individually Quick Frozen), block frozen, purée, jus, konsentrat, buah kalengan, atau sebagai buah kering yang digunakan dalam berbagai produk seperti pai, yogurt, es krim, dan topping makanan penutup. Bahkan jus raspberry dijadikan salah satu campuran ke anggur/wine untuk mendapatkan anggur rasa raspberry. Raspberry kaya akan sumber senyawa bioaktif seperti fenolik, antosianin, asam organik, mineral, dan lainnya. Selain itu juga memiliki jumlah senyawa antioksidan yang sangat tinggi. Telah dikonfirmasi bahwa aktivitas antioksidan dari buah raspberry berasal dari kontribusi senyawa fenolik dalam raspberry (Liu et al., 2002). Aktivitas antioksidan raspberry terutama didasari oleh antosianin dan ellagitannin yang memberikan kontribusi sekitar 25% dan 52% terhadap total aktivitas antioksidan (Beekwilder, Hall, & De Vos, 2005). Ludwig et al., (2015) mengkarakterisasi kandungan antosianin dari raspberry merah komersial terdiri atas cyanidin-3-O-sophoroside, cyanidin-3-O- (2 “-O-glucosyl) rutinoside, cyanidin-3- O-glucoside, dan cyanidin-3-O-rutinoside. Menurut Teng et al., (2017), saat ini kepentingan antosianin raspberry untuk industri makanan dan farmasi terutama didasarkan pada beberapa karya ilmiah yang yang membuktikan efek potensial mereka pada kemoprevensi (Seeram et al., 2006; Wang & Stoner, 2008), peradangan (Park et al., 2006), dan kekebalan tubuh. Manfaat kesehatan ini termasuk pencegahan penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, obesitas, dan penyakit Alzheimer yang menyangkut hubungan antara metabolisme kritis, oksidatif, dan peradangan (Burton-Freeman et al., 2016). Krauze-Baranowska et al., (2013) mempelajari aktivitas antimikroba pada beberapa varietas raspberry, dan dihasilkan bahwa senyawa dalam ekstrak raspberry terbukti aktif melawan semua bakteri yang dianalisis, baik gram positif maupun gram negatif. Hal ini dikaitkan dengan adanya peran dari sanguiin H-6 (ellagitannin utama dalam raspberry), asam ellagic bebas dan antosianin. Rubus idaeus yang biasa dikonsumsi di Eropa, kaya akan polifenol, termasuk anthocyanin cyanidin 3-O-sophoroside dan cyanidin 3-O-glucoside serta ellagitannins sanguiin H-6 dan sanguiin H-10 (Borges, et al., 2010; González-Barrio et al., 2010). 202 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Hummer (2010) mengemukakan bahwa tradisi rakyat dari penduduk asli di seluruh dunia seperti Yunani, Romawi, Asia (China dan India) juga telah menerapkan Rubus sebagai obat. Meskipun di zaman modern ini Rubus ditanam untuk dikonsumsi buahnya yang lezat dan kaya vitamin, namun di zaman dahulu mereka menggunakan seluruh tanaman dan bagian-bagiannya. Di Australia, penduduk asli menggunakan rebusan daun raspberry sebagai pengobatan tradisional untuk diare (Symons & Symons, 1994). Menurut Pritts (2003), tiga wilayah produksi raspberry yang terbesar adalah (1) Rusia, (2) Eropa (sebagian besar di Polandia, Hongaria, Serbia, Jerman, dan Inggris), dan (3) Pantai Pasifik Amerika Utara dan Kanada (Kolumbia Inggris, Washington, dan Oregon). Banyak buah yang diproduksi di wilayah ini dipanen secara mekanis dan diproses. Di daerah produksi lain, seperti Amerika Utara bagian timur, hampir semua produksinya untuk pasar segar. Banyak negara lain, seperti Chili, Selandia Baru, dan Australia, memiliki produksi yang signifikan karena mereka memasok pasar segar selama musim dingin di belahan bumi utara. Produksi dunia diperkirakan mencapai lebih dari 400.000 ton. Di Serbia, buah Raspberry banyak tumbuh dan dikonsumsi dalam bentuk segar maupun olahan yang diawetkan, seperti selai atau yogurt buah dan lain-lain. Raspberry dipasok ke pasar sebagian besar melalui saluran perdagangan yang terorganisasi, pembelian khusus, dan organisasi perdagangan, maupun pasar langsung. Pada tahun 2006, di Serbia terdapat 220 pabrik pendingin dengan kapasitas penyimpanan mulai dari 100 ton hingga 10.000 ton dan Serbia merupakan pengekspor raspberry terbesar di dunia (Radosavljević, 2008). Indonesia yang mempunyai junlah penduduk yang banyak maka kebutuhan di bidang farmasi juga besar. Dengan kandungan raspberry yang baik untuk kesehatan maka berpotensi mempunyai pasar jika dikembangkan. Tanaman yang mempunyai kelebihan untuk kesehatan akan bernilai ekonomi tinggi jika dapat dibuktikan secara ilmiah dan dikemas dengan baik. Nilai ekonomi yang tinggi juga akan berdampak pada ketertarikan investor untuk mengembangkannya. Rubus idaeus L. 203 (Rosaceae)

Pustaka 1. Anttonen, M. J., & Karjalainen, R. O. (2005). Environmental and genetic variation of phenolic compounds in red raspberry.Journal of Food Composition and Analysis, 18, 759–769. https://doi.org/10.1016/j.jfca.2004.11.003 2. Badjakov, I., Todrovska, E., Kondakova, V., Boicheva, R., & Atanassov, A. (2006). Assessment the genetic diversity of bulgarian raspberry germplasm collection by microsatellite and RAPD marker. Journal of Fruit and Ornamental Plant Research, 14, 61–75. 3. Beekwilder, J., Hall, R. D., & De Vos, C. H. R. (2005). Identification and dietary relevance of antioxidants from raspberry.BioFactors , 23(4), 197–205. https:// doi.org/10.1002/biof.5520230404 4. Bobinaitė, R., Viškelis, P., & Venskutonis, P. R. (2016). Chemical composition of raspberry ( Rubus spp .) cultivars. Nutritional Composition of Fruit Cultivars. Elsevier Inc. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-408117-8.00029-5 5. Bordelon, B. (2012). Raspberries. Purdue University Cooperative Extension Service, 1–4. 6. Borges, G., Degeneve, A., Mullen, W., & Crozier, A. (2010). Identification of flavonoid and phenolic antioxidants in black currants, , raspberries, red currants, and cranberries. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 58(7), 3901–3909. https://doi.org/10.1021/jf902263n 7. Burton-Freeman, B. M., Sandhu, A. K., & Edirisinghe, I. (2016). Red Raspberries and Their Bioactive Polyphenols: Cardiometabolic and Neuronal Health Links. Advances in Nutrition, 7(1), 44–65. https://doi.org/10.3945/an.115.009639 8. Bushakra, J. M., Stephens, M. J., Atmadjaja, A. N., Lewers, K. S., Symonds, V. V, Udall, J. A., … Chagne, D. (2012). Construction of black ( Rubus occidentalis ) and red (R . idaeus) raspberry linkage maps and their comparison to the genomes of stroberi, apple, and peach. Journal Theor Appl Genet. https://doi. org/10.1007/s00122-012-1835-5 9. Carvalho, E., Fraser, P. D., & Martens, S. (2013). Carotenoids and tocopherols in yellow and red raspberries. Food Chemistry, 139(1-4), 744–752. https://doi. org/10.1016/j.foodchem.2012.12.047 204 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

10. González-Barrio, R., Borges, G., Mullen, W., & Crozier, A. (2010). Bioavailability of anthocyanins and ellagitannins following consumption of raspberries by healthy humans and subjects with an ileostomy. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 58(7), 3933–3939. https://doi.org/10.1021/jf100315d 11. Graham, J., Marshall, B., Squire, G. R., & Graham, J. (2003). Genetic differentiation over a spatial environmental gradient in wild Rubus ideaus populations, 667–675. 12. Graham, J., Woodhead, M., Smith, K., Russell, J., Marshall, B., Ramsay, G., & Squire, G. (2009). New insight into wild red raspberry populations using simple sequence repeat markers, 134(1), 109–119. 13. Heidenreich, A. C., Pritts, M., Kelly, M. J., & Demchak, K. (2009). High tunnel raspberries and blackberries (Vol. 47). 14. Hudson, J. P. (1959). Effects of environment on Rubus idaeus L .: I . morphology and development of the raspberry plant. Journal of Horticultural Science, 34, 163–169. https://doi.org/10.1080/00221589.1959.11513955 15. Hummer, K. E. (1996). Rubus diversity. HortScience, 4, 182–183. 16. Hummer, K. E. (2010). Rubus pharmacology : antiquity to the present. HortScience, 45(July 2009), 1587–1591. 17. Initiative for Agricultural Development of Kosovo. (2015). Cultivation of raspberry. 18. Krauze-Baranowska, M., Majdan, M., Hałasa, R., Głód, D., Kulaa, M., Fecka, I., & Orzeł, A. (2013). Antimicrobial activity of fruits from some cultivar varieties of Rubus idaeus and Rubus ocidentalis. Food and Function. https://doi. org/10.1039/x0xx00000x 19. Liu, M., Li, X. Q., Weber, C., Lee, C. Y., Brown, J., & Liu, R. H. (2002). Antioxidant and antiproliferative activities of fruits. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 50, 2926–2930. 20. Lowe, A. J., Boshier, D., Ward, M., Bacles, C. F. E., & Navarro, C. (2005). Genetic resource impacts of habitat loss and degradation ; reconciling empirical evidence and predicted theory for neotropical trees, 255–273. https://doi. org/10.1038/sj.hdy.6800725 Rubus idaeus L. 205 (Rosaceae)

21. Ludwig, I. A., Pedro, M., Calani, L., Borges, G., Pereira-Caro, G., Bresciani, L., … Crozier, A. (2015). New insights into the bioavailability of red raspberry anthocyanins and ellagitannins. Free Radical Biology and Medicine, 89(February), 758–769. https://doi.org/10.1016/j.freeradbiomed.2015.10.400 22. Marshall, B., Harrison, R. E., Graham, J., Mcnicol, J. W., Wright, G., Squire, G. R., & Marshall, B. (2001). Spatial trends of phenotypic diversity between colonies of wild raspberry Rubus idaeus, 671–682. 23. Nutritiousfruit. (2019). Raspberries : Origins - Consumption - Nutrition Facts - Health Benefits. 24. Park, J. H., Oh, S. mee, Lim, S. S., Lee, Y. S., Shin, H. K., Oh, Y. S., … Kim, J. K. (2006). Induction of heme oxygenase-1 mediates the anti-inflammatory effects of the ethanol extract of Rubus coreanus in murine macrophages. Biochemical and Biophysical Research Communications, 351(1), 146–152. https://doi.org/10.1016/j.bbrc.2006.10.008 25. Pritts, M. P. (2003). Raspberries and related fruits. In Rapberries and Related Fruits (pp. 4916–4921). 26. Radosavljević, K. (2008). The market chain of fruit production in Serbia - A case study of raspberry and sour cherry cultivation.Economic Annals, 53(177), 103–121. https://doi.org/10.2298/EKA0877103R 27. Seeram, N. P., Adams, L. S., Zhang, Y., Lee, R., Sand, D., Scheuller, H. S., & Heber, D. (2006). Blackberry, black raspberry, blueberry, cranberry, red raspberry, and stroberi extracts inhibit growth and stimulate apoptosis of human cancer cells in vitro. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 54(25), 9329–9339. https://doi.org/10.1021/jf061750g 28. Smith, B. R., Mahr, D. L., Manus, P. S. M., & Roper, T. R. (2007). Growing Raspberries in Wisconsin. 29. Surya, M. I, Ismaini, L, Destri. (2015). Keragaman buah Raspberries (Rubus spp.) Asal Indonesia. Prosiding seminar nasional Biologi 2014. ISBN: 978-602- 17170-2-8. F MIPA Universitas Negeri Semarang. Hal 296-305.­ 30. Symons, P., & Symons, S. (1994). Bush heritage : an introduction to the history of plant and animal use by Aboriginal people and colonists in the Brisbane and Sunshine Coast areas. P. and S. Symons. 206 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

31. Teng, H., Fang, T., Lin, Q., Song, H., Liu, B., & Chen, L. (2017). Red raspberry and its anthocyanins: Bioactivity beyond antioxidant capacity. Trends in Food Science & Technology. https://doi.org/10.1016/j.tifs.2017.05.015 32. Thompson, M. M. (1995). Chromosome Numbers of Rubus Species at the National Clonal Germplasm Repository. HortScience, 30(7), 1447–1452. 33. Thompson, M. M. (1997). Survey of Chromosome Numbers in Rubus ( Rosaceae : Rosoideae ). Annals of the Missouri Botanical Garden, 84(1), 128– 164. 34. Wang, L.-S., & Stoner, G. D. (2008). Anthocyanins and their role in cancer prevention. Cancer Letters, 269(2), 281–290. https://doi.org/10.1016/j. canlet.2008.05.020 35. Young, A., Boyle, T., & Brown, T. (1996). The population genetic consquences of habitat fragmentation for plants. Tree, 11, 413–418. Penulis : Buyung Al Fanshuri, Unun Triasih, Dina Agustina, dan Trifena Honestin Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika Vaccinium corymbosum L. (Ericaceae)

Protologue Vaccinium corymbosum L. -- Species Plantarum 1: 350. 1753 [1 May 1753] Sinonim • Cyanococcus corymbosus (L.) Rydb. – Brittonia 1: 94. 1931 • Cyanococcus cuthbertii Small – Man. S.E. Fl. [Small] 1015, 1507 (1933) • Vaccinium constablaei A. Gray – Amer. J. Sci. Arts 42:42. 1842 • Vaccinium corymbosum L. var. albiflorum (Hook.) Fernald – Rhodora 51: 104. 1949 • Vaccinium corymbosum L. var. glabrum A. Gray – Manual (Gray), ed. 2. 250 (1856) Nama umum Blueberry (Indonesia), Beri Biru (Melayu), Neelbadri नील बद्री (Hindi), Việt quất (Vietnam), Blūbexr̒rī̀ บลูเบอร ์รี่ (Thailand), Beullu beli 블루 베리 (Korea), Lánméi توت 藍莓 (China), Burūberī ブルーベリー (Jepang), Arándano (Spanyol), Tawt (Arab), Brusnica (Bulgaria), Mirtilo (Portugal), Mirtillo (Italia), Myrtille (Perancis), Bosbes (Belanda), Blaubeere (Jerman), Mustikka (Finlandia), Fenjabláber (Islandia), Borówka amerykańska (Polandia), blåbær (Norwegia), Blåbär (Swedia).

I. I. Pendahuluan Blueberry merupakan salah satu kelompok tanaman dari family Ericaceae khususnya genus Vaccinium, bagian Cyanococcus. Genus Vaccinium mengandung lebih dari 450 spesies dan mempunyai karakteristik seperti semak, beberapa di antaranya 208 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

menghasilkan buah yang dapat dimakan. Menurut Song & Hancock (2011), spesies tanaman Vaccinium yang paling penting ditemukan padaCyanococcus (blueberry), Oxycoccus (cranberry), Vitis-Idaea (lingonberry), Myrtillus (dwarf bilberry), dan Vaccinium (bog bilberry). Blueberry diklasifikasikan sebagaihighbush blueberry atau blueberry semak tinggi (Vaccinium corymbosum), lowbush blueberry atau blueberry semak rendah (V. angustifolium), dan rabbiteye blueberry (V. ashei). Menurut Song & Hancock, (2011), Belakangan ini hampir semua blueberry komersial dipanen dari tiga spesies (1) highbush (V. corymbosum L.), (2) rabbiteye [V. ashei Reade (syn. V. virgatum Ait.)], dan (3) lowbush (V. angustifolium dan V. myrtilloides). Untuk tujuan komersial dan praktis,highbush blueberry adalah spesies yang paling populer karena ukuran buah yang besar dan matang lebih cepat (Lee et al., 2013). Highbush dan lowbush blueberry yang merupakan bagian cyanococcus hanya memiliki pigmen dalam kulit buah, namun pada beberapa anggota bagian myrtillus memiliki pigmen antosianin, baik dalam kulit maupun daging buah (W. Kalt et al., 2001). Highbush Blueberry termasuk tanaman bernilai ekonomi tinggi yang berasal dari wilayah subtropis dan beriklim sedang di sepertiga bagian timur Amerika Utara. Bahkan blueberry jenis ini juga merupakan jenis tanaman utama yang dibudidayakan dan ditanam di Amerika Utara serta di dunia (Boches, Bassil, & Rowland, 2006). Blueberry varietas highbush diperkenalkan ke Eropa pada tahun 1930-an dimulai dari Jerman dan Belanda (Naumann, 1993). Produksi highbush blueberry cukup banyak di Amerika Utara khususnya Pasifik barat laut, wilayah Great Lakes, dan negara bagian Atlantik di Amerika Serikat, sedangkan produksi lowbush blueberry terlokalisasi di Kanada bagian timur dan Amerika Serikat bagian timur laut (W. Kalt et al., 2001). Highbush blueberry dibagi menjadi tiga jenis yaitunorthern highbush blueberry (Vaccinium corymbosum L.), southern dan intermediate. Pembagian ini bergantung pada suhu dingin yang dibutuhkan untuk perkembangan bunga normal dan tingkat toleransinya terhadap suhu dingin (Hancock, 2010). Varietas northern highbush blueberry dapat beradaptasi dengan suhu pertengahan musim dingin yang cukup rendah di bawah -20 0C, tetapi tumbuh dengan baik di daerah dengan suhu dingin selama 800 – 1.000 jam. Sedangkan varietas southern highbush blueberry tidak dapat mentoleransi suhu musim dingin jauh di bawah titik beku dan hanya dapat bertahan pada suhu dingin kurang dari 350 jam. Varietas lainnya yaitu intermediate highbush blueberry dapat tumbuh baik pada suhu dingin selama 400 Vaccinium corymbosum L. 209 (Ericaceae)

- 800 jam. Menurut Mainland (2012), lebih dari 75% dari luas tanam blueberry saat ini masih menggunakan hibrida yang dihasilkannya, terutama varietas ‘Bluecrop’, ‘Jersey’, ‘Weymouth’, ‘Croatan’, ‘Blueray’, ‘Bluelay’, ‘Rubel’ dan ‘Berkeley’.

II. Klasifikasi dan deskripsi botani Blueberry merupakan tanaman semak berbunga yang tumbuh di daerah subtropis termasuk dalam kingdom: Plantae, subkingdom: Viridiplantae, Divisi: Tracheophyta, subdivision: Spermathophytina, Kelas: Magnoliopsida, Ordo: Ericales, Famili: Ericaceae, Genus: Vaccinium, section: Vaccinium sect. Cyanococcus (Gary D. Wallace, 2013). Ada beberapa tanaman yang termasuk Vaccinium yaitu blueberry, cranberry, lingonberry, bilberry, dan huckleberry (Richard E. Litz, 2005). Pada tahun 1886, Gray hanya menemukan 2 macam spesies yaitu V. corymbosum dan V. formosum Andr. Kemudian pada tahun 1897, Chapman menemukan 5 spesies dan 3 varietas, namun pada tahun 1945 Camp membaginya menjadi 12 spesies yaitu V. fuscatum Aiton, V. atrococcum (Gray) Heller, V. caesariense Mackenzie, V. elliottii Chapman, V. australe, V. corymbosum, V. arkansanum, V. marianum, V. simulatum, V. constable Gray, V. ashei, dan V. amoenum Aiton (Kloet, 1980). Di Portugal dilaporkan ada dua kelompok yang berbeda dari dua spesies yang berbeda, yaitu dari 28 penanda spesifik yang digunakan ada 6 band spesifik V. corymbosum dan 22 band spesifikV. myrtillus (Carvalho et al., 2018). Vaccinium myrtillus L. yang disebut sebagai bilberry atau blueberry liar, merupakan semak liar abadi yang tumbuh di tanah asam, pengunungan bermineral, hutan organik, dan rawa gambut dari utara hingga Eropa tengah (Thierry Albert, Raspé, & Jacquemart, 2004). Tinggi tanaman Blueberry bervariasi antara 10 cm sampai 4 meter. Lowbush blueberry yang dikenal sebagai blueberry liar biasanya mempunyai ukuran lebih kecil dibandingkan highbush blueberry yang dibudidayakan, sementara jenis highbush blueberry mempunyai tinggi 1,8 – 4 meter dan bersemak membentuk mahkota. Ranting tanaman blueberry berwarna kuning-hijau (kemerahan di musim dingin) dan ditutupi dengan titik-titik seperti kutil (Nesom & Davis, 2002). Daun blueberry berwarna hijau berbentuk bulat telur atau elips dengan panjang 1-3 cm dan lebar 0,5 sampai 3,5 cm. Sedangkan bunganya berbentuk lonceng putih, merah muda pucat atau merah dan kadang-kadang ada yang berwarna kehijauan. 210 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

(a) (b)

Gambar 43. Tanaman blueberry (foto : (a) https://search.creativecommons.org, (b) oka_ardiana_banaty).

Gambar 44. Bunga tanaman highbush blueberry (foto : https://farm66.static.flickr. com)

Buah blueberry berdiameter 5-16 mm dengan mahkota yang melebar di ujungnya, awalnya berwarna pucat kehijauan menjadi merah keunguan dan akhirnya berwarna ungu pekat saat matang serta dilapisi lapisan pelindung bubuk epicuticular atau Vaccinium corymbosum L. 211 (Ericaceae) lapisan bubuk putih yang merupakan lapisan lilin pelindung buah dari kerusakan eksternal. Buah blueberry mempunyai rasa manis dengan keasaman yang beragam. Organoleptik ini bergantung kepada ketinggian lokasi dari permukaan laut dan garis lintang.

Gambar 45. Buah blueberry (foto : trifena_honestin)

Blueberry bagian Cyanococcus dapat dibedakan dari bilberry yang terlihat hampir identik dengan warna dagingnya saat dipotong menjadi dua. Blueberry yang matang memiliki daging hijau muda, sedangkan bilberry, whortleberry, dan huckleberry berwarna merah atau ungu. Berbeda dengan buah blueberry abu (Blueberry ash), buahnya berbentuk bulat oval, berwarna biru gelap berukuran kecil dengan diameter 7 mm. Buah blueberry abu mempunyai ukuran 10 kali lebih kecil dibandingkan blueberry genus Vaccinium yang dibudidayakan secara komersial, beratnya sekitar 0.2 gram dengan berat biji berdiameter sekitar 5 mm (Cortés-Rojas et al., 2016).

III. Asal dan distribusi geografis Highbush blueberry (Vaccinium corymbosum) pada awalnya dideskripsikan oleh Linnaeus pada 1753 dari bahan-bahan yang dikumpulkan oleh Peter Kalm di Amerika Utara bagian Timur. Highbush blueberry (V. corymbosum L.) adalah tanaman asli dari Florida tengah hingga Michigan tengah, suatu daerah di mana suhu terendah yang diperkirakan dalam satu tahun rata-rata berkisar dari 0°C di Florida hingga 212 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

-30°C di Michigan. Jenis northern highbush blueberry ditanam terutama di Australia, Prancis, Jerman, Michigan, New Jersey, Selandia Baru, Pasifik Barat Laut, Polandia dan Chili. Kebanyakan blueberry highbush utara tidak tumbuh dengan baik di Amerika Serikat bagian selatan karena mereka membutuhkan lebih dari 700 jam dingin untuk mematahkan dormansi di musim semi. Southern highbush blueberry tumbuh terutama di Australia, Argentina, California, Florida, Chili dan Spanyol selatan. Sedangkan jenis intermediate highbush blueberry ditanam terutama di Arkansas, Chili, Carolina utara dan Pasifik Barat Laut (Hancock, 2010). Tahun 1911, blueberry masih dipanen dari alam atau semak-semak liar dan kemungkinan tidak dapat hidup ditempat lain. Perbanyakan bluberry dilakukan oleh petani untuk memperbaiki sifat-sifat yang diinginkan, hal ini membuat blueberry sebagai tanaman yang ingin dikembangkan di Amerika Utara, juga di seluruh dunia. A.S. Frederick Coville adalah pakar botani pertanian yang mengatur produksi komersial dan memecahkan misteri besar pertama tentang mengapa blueberry tidak dibudidayakan dengan baik ketika ia menunjukkan pada tahun 1910, bahwa tanaman ini harus ditanam di tanah lembap dan sangat asam. Kemudian dibuatlah palang-palang pertama yang dirancang untuk meningkatkan sifat penting, seperti ukuran dan rasa buah (USDA, 2011).

IV. Diversitas dan kekerabatan genetik Blueberry merupakan kelompok tanaman kayu yang tersebar luas kecuali di Indonesia. Berdasarkan morfologi vegetatif dan bunganya, blueberry memiliki lebih dari 1000 spesies, yang sebagian besar dapat ditemukan di daerah tropis (Luteyn, 2002). Menurut P. M. Lyrene & Perry (1988) V. corymbosum mencakup ras diploid (2n = 2x = 24) dan tetraploid (2n = 4x = 48). Spesies-spesies pada submarga Vaccinium memiliki jumlah ploid yang bervariasi, misalnya spesies V. arboerum memiliki jumlah ploid 2x, V. agustifoluim memiliki jumlah ploid 4x (Ehlenfeldt & Polashock, 2014) bahkan V. ashei memiliki jumlah ploid 6x (P. M. Lyrene & Perry, 1988). Spesies Cyanococcus sulit didiskripsikan karena poliploidi dan kromosomnya kurang dari 3 diferensiasi. Semua spesies berbentuk mahkota dimasukkan ke dalam V. corymbosum dengan tiga tingkat kromosom. Sebagian besar kalangan hortikultura dan pemulia blueberry merasa bahwa pola variasi dalam V. corymbosum cukup berbeda untuk mempertahankan diploid V. elliottii Chapm. dan V. fuscatum Ait., Vaccinium corymbosum L. 213 (Ericaceae) tetraploid V. simulatum V. ashei kecil dan heksaploid V. constablaei A. Gray (J. R. Ballington, 1990; James R. Ballington, 2001; Galleta & Ballington, 1996; P. Lyrene, 2008). Berdasarkan filogenetik morfologis, Vander Kloet & Dickinson (2009) membagi genus Vaccinium menjadi 46 Jenis. Karakter yang digunakan untuk membatasi pembagiannya berdasarkan taksonominya adalah bunga, buah, biji, dan bagian vegetatif gagal (Kron, Powell, & Luteyn, 2002). Ratusan spesiesVaccinium yang asli di dataran tinggi tropis telah diketahui, meskipun banyak yang memiliki potensi sebagai tanaman hias atau untuk produksi buah. Studi kekerabatan dan diversitas genetik pada marga Vaccinium dilakukan. Berbagai penanda berbasis DNA telah digunakan untuk analisis keragaman dalam genus Vaccinium (Debnath, 2005). Haghighi dan Hancock (1992) merupakan yang pertama menggunakan AFLP sebagai penanda DNA. Albert et al. (2003) menggunakan penanda RAPD dan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP). Belakangan, teknik Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD) dan Inter Simple Sequence Repeat (ISSR) juga digunakan (Gawroński, Kaczmarska, & Dyduch-Siemińska, 2017). Studi Vaccinium corymbosum menggunakan primer ISSR tunggal menghasilkan pita polimorfik berkisar dari 5 hingga 9 dengan rata-rata 7,64 per primer dan 4,42 per genotip. Nilai-nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian lain pada spesies Vaccinium lainnya; Debnath (2007) dalam V. vitis-idaea - 23,7 pita polimorfik, Debnath (2009) dalam V. angustifolium - 17 pita polimorfik. Meskipun berasal dari spesies yang sama namun perbedaan kultivar menjadi faktor berbedaan jumlah pita polimorfik.

V. Evolusi dan risiko erosi genetik Studi evolusi pada blueberry sudah sampai pada tingkat spesies di mana genus Vaccinium sudah mempunyai spesies yang banyak di Himalaya, New Guinea, dan wilayah Andes Amerika Serikat. Jumlah spesies yang ada diperkirakan sudah mencapai 150-450 (Luby et al., 1991). Dari berbagai macam spesies tersebut ada empat macam spesies yang komersial yaitu Cyanococcus, Oxycoccus, Vitis-Idaea dan Myrtillus. Identifikasi spesies dan kultivar yang tepat bisa menggunakan spesifik band atau penanda molekuler yang tepat sebagai penanda potensial untuk genotype suatu kultivar. 214 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

Erosi genetik suatu tanaman dapat disebabkan oleh adanya rekayasa genetika dan adanya penggantian tanaman varietas lokal yang menyebabkan tanaman tidak dapat berkembang biak secara alami. Selain itu pertanian modern yang mendorong petani untuk menanam varietas komersial saja sehingga varietas yang ditanam jadi terbatas. Salah satu penyebab utama erosi genetik suatu tanaman juga disebabkan oleh upaya pemuliaan tanaman modern, perubahan iklim dan degradasi lingkungan, efek urbanisasi, praktik pertanian modern, bencana alam dan konflik antar manusia (Richards et al., 1997). Ada beberapa penelitian yang melaporkan bahwa terjadi erosi genetik terhadap blueberry. Adanya penurunan keragaman genetik antara blueberry yang dibudidayakan dan blueberry yang liar terbukti berdasarkan penelitian dari Brevis et al. (2008) bahwa southern highbush blueberry kurang beragam secara genetik dari yang sebelumnya. Heterozigositas highbush blueberry yang dibudidayakan terus menurun sebagai konsekuensi dari pemuliaan selektif (Brevis et al., 2008). Di Portugal, blueberry semak rendah (liar) telah mengalami beberapa peristiwa erosi genetik dalam beberapa dekade terakhir hanya tersisa beberapa populasi di kawasan lindung di Portugal Utara (Carvalho et al., 2018). Kultivar V. corymbosum yang ada di Portugal merupakan hasil pengembangan dua persilangan dengan kultivar Bluecrop.

VI. Aspek budidaya Tanaman blueberry di Argentina biasanya mulai berbunga dari akhir Juni hingga awal Agustus (suhu rata-rata harian 10,4 °C) dengan mekar yang berlangsung selama 4 hingga 6 minggu, bergantung pada kultivar, wilayah tumbuh, dan kondisi iklim (terutama suhu). Panen buah terjadi dari Oktober hingga Desember (musim semi), dengan puncak produksi pada Oktober- November. Setelah panen buah, pada awal musim panas, tanaman tetap vegetatif sampai musim gugur, ketika tanaman memasuki dormansi (Pescie et al., 2011). Blueberry dapat tumbuh dengan baik pada tanah asam dan pengairan yang baik, dengan keasaman optimal berkisar pada pH 4,3 sampai 4,8 (Eck et al., 1990). Menurut Sideman (2016), tanah berpasir dan kaya akan organik cocok untuk budidaya blueberry, sedangkan tanah liat cocok digunakan bila ditambahkan bahan organik seperti lumut gambut dan pasir. Blueberry Vaccinium corymbosum L. 215 (Ericaceae) memiliki sistem perakaran yang dangkal (kedalaman kurang dari 60 cm), dan jika ditanam pada tanah liat maka perlu diberi mulsa organik dengan lapisan kurang lebih 10 cm, seperti kulit kayu, serbuk gergaji atau dedaunan. Pemberian mulsa dapat meningkatkan jumlah bahan organik di tanah, menjaga kelembapan di tanah, melindungi akar dari panas dan membantu pengendalian gulma (Prodorutti et.al., 2007). Mulsa organik dari kulit pinus dapat digunakan namun harganya cukup mahal, sehingga dilakukan eksplorasi penggunaan mulsa yang lebih murah. Mulsa plastik hitam-putih ternyata memiliki kemiripan fungsi seperti kulit pinus dalam hal pertumbuhan tanaman dan hasil buah (Magee & Spiers, 1996). Kombinasi penggunaan abu batubara, limbah kompos dan kompos daun juga memberikan hasil yang baik (Black & Zimmerman, 2002). Tetapi mulsa organik juga dapat menjadi sumber inokulum patogen busuk akar, atau dapat meningkatkan pertumbuhan patogen ini. Misalnya, Armillaria spp. telah ditemukan pada kulit pohon jenis konifera yang digunakan sebagai mulsa dalam penanaman highbush blueberry (D. Prodorutti et.al., 2006). Sistem perakaran blueberry tidak hanya dangkal, tetapi juga memiliki kapasitas perairan yang dangkal. Oleh sebab itu jumlah air yang diterapkan dan waktu pengairan secara signifikan akan memengaruhi produksi. Parameter ekonomi dan teknis, seperti jenis tanah, jarak tanam, ketersediaan dan kualitas air, tenaga kerja yang tersedia dan biaya, semua harus dipertimbangkan untuk pemilihan irigasi yang paling tepat (Holzapfel et al., 2004). Dalam penanaman blueberry pengairan yang umum digunakan adalah mikrojet dan sistem pengairan tetes, sementara pengairan menggunakan sprinkler digunakan untuk melindungi tetap basah dan lembap (Caruso & Ramsdell, 1995; Holzapfel et al., 2004). Penggunaan sprinkler overhead tidak dianjurkan di daerah yang memiliki masalah penyakit jamur yang parah, karena tingkat kelembapan yang terlalu tinggi pada dedaunan menyebabkan infeksi oleh beberapa patogen. Penggunaan jamur mikoriza dapat berasosiasi simbiosis dengan akar. Sedangkan penggunaan bahan kimia dan pemupukan mineral secara intensif, serta pemadatan tanah mencegah perkembangan dan pembentukan populasi jamur mikoriza di penanaman blueberry (Koron & Gogala, 2000). Pengembangan jamur mikoriza secara komersial untuk industri pembibitan 216 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

merupakan aspek inovatif dari budidaya blueberry. Inokulasi menggunakan jamur mikoriza ericoid telah terbukti meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman pembibitan, dan juga mengurangi kebutuhan pupuk tambahan (Scagel, 2005). Studi tentang patologi highbush blueberry terutama berfokus pada masalah yang ada di Amerika Utara, di mana spesies tersebut berasal. Di wilayah lain, seperti Eropa, Amerika Selatan dan Jepang, hanya ada beberapa laporan saja tentang patogen yang parah. Hal ini menyimpulkan bahwa penyakit pada blueberry di daerah budidaya baru hanya membutuhkan pestisida yang terbatas. Perawatan yang intensif harus dilakukan untuk menghindari adanya serangan penyakit baru, dengan menerapkan langkah- langkah phytosanitary yang baik dan menggunakan benih yang bebas penyakit. Sebelum mulai menanam di daerah baru sebaiknya dilakukan survei di daerah tersebut untuk inang alternatif dan vector potensial pada V. corymbosum, sebab resistensi atau toleransi penyakit merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan (Prodorutti et al., 2007). Beberapa penyakit highbush blueberry tersebar luas. Sebagian besar penyakit tanaman ini terkait dengan lingkungan tertentu, atau terjadi hanya sesekali. Berbeda dengan tanaman hortikultura lainnya, pengendalian penyakit pada blueberry relatif sederhana, namun jika terjadi penyakit bercak daun dan kanker, termasuk mumi daun dan antraknose, yang sangat merusak. Penggunaan patogen jamur dan bakteri telah banyak diteliti dan memiliki dampak yang baik, namun varietas yang tahan belum dapat dikembangkan. Bakteri Bacillus subtilis QRD137 berhasil diterapkan pada penyakit mumi daun (Scherm et al., 2004) dan Gliocladium virens dapat meningkatkan luas dan jumlah daun, serta bobot tunas dan akar kering (de Silva, Patterson, Rothrock, & Moore, 2000). Diagnosis patogen jamur terutama didasarkan pada identifikasi morfologi, sedangkan virus umumnya menggunakan metode serologis (ELISA). Hama utama blueberry di Amerika Utara selain kumbang jepang (Popillia japonica Newman) adalah belatung blueberry (Rhagoletis mendax Curran) dan cacing buah (Acrobasis vaccinii Riley) (O’Neal et al., 2005). Menurut Sholikhah, Aryani Dian, & Listyorini, (2017), di Indonesia ditemukan tanaman endemik yang memiliki similaritas dengan billberry (V. myrtillus) dan blueberry (V. corrymbosum) yang disebut Mentigi Gunung atau Cantigi Vaccinium corymbosum L. 217 (Ericaceae)

Ungu (V. varingiaefolium (Blume) Miq.). Di Jawa, tanaman ini tumbuh secara alami di sekitar lereng gunung berapi seperti Gunung Batok dan Bromo pada ketinggian di atas 1.800 sampai 2.000 mdpl. Di daerah sekitar Bandung, Jawa Barat, mentigi gunung mendominasi vegetasi sekitar kawah gunung Tangkuban Perahu dan sekitarnya (Bandung Utara), pegunungan Patuha (Bandung Selatan), serta Gunung Papandayan. Tanaman ini memiliki daun muda berwarna merah dan berubah menjadi hijau, bunganya berwarna ungu dan memiliki buah berbentuk bulat yang awalnya berwarna hijau dan berubah menjadi hitam ketika sudah matang. Di Indonesia juga sudah mulai ada penanaman blueberry namun masih dalam jumlah sedikit dan belum terdata secara nasional baik luas area penanaman maupun produksinya. Diketahui sejak tahun 2014 Blueberry sudah dibudidayakan di Cipanas, Kabupaten Cianjur, dalam rumah kaca dengan merekayasa iklim. Kondisi rumah kaca dibuat optimum untuk tanaman, yaitu meliputi suhu, intensitas cahaya, kelembapan dan lain-lain (“Menanam blueberry, blackberry, ghooseberry, stroberi di Indonesia | Berbagi Tak Pernah Rugi,” n.d.). Dengan adanya kedua informasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa blueberry berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia, yaitu dengan membudidayakan mentigi gunung yang sudah tumbuh secara alami di Indonesia untuk tujuan konservasi, maupun dengan membudidayakan blueberry varietas highbush, lowbush, maupun rabbit eye, dengan melakukan rekayasa iklim untuk memperoleh kondisi optimal penanaman blueberry. Di antara ketiganya varietas yang paling adaptif adalah rabbit eye karena dapat ditanam di habitat yang berbeda dan beradaptasi dengan baik di lahan terbuka daripada varietas highbush, selain itu juga karena toleransi yang tinggi terhadap kekeringan, suhu tinggi dan berbagai tingkat pH tanah, dibandingkan dengan spesies Vaccinium lainnya (Daniele Prodorutti et al., 2007). Pada bulan Maret 2019, Kementerian Pertanian memberikan informasi bahwa dalam waktu dekat, Ezawa, Ketua Asosiasi Petani Blueberry di Jepang, akan berkunjung ke Indonesia menyampaikan 10 varietas terbaik benih rabbit eye blueberry (Vaccinium virgatum Aiton) di Jepang untuk dibudidayakan di tiga lokasi Indonesia, yaitu Bandung (Jawa Barat), Kaliurang (Yogyakarta) dan Soe (NTT). Dalam setahun penanaman, dari tiga lokasi ini 218 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

akan diteliti manakah varietas yang tumbuhnya paling baik, dan selanjutnya akan diperbanyak (“Kementerian Pertanian - Blueberry Organik Kisarazu Siap Dibudidayakan di Indonesia,” n.d.).

VII. Kegunaan, karakteristik lain dan potensi ekonomi Tanaman blueberry telah muncul secara internasional karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Konsumsi blueberry meningkat di seluruh dunia karena banyak penelitian tentang efek menguntungkan terhadap kesehatan manusia. Manfaat kesehatan utama termasuk pengurangan risiko penyakit kardiovaskular dan neurodegeneratif (Zifkin et al., 2012). Blueberry biasanya tersedia dalam bentuk buah segar, beku, maupun olahan makanan dan minuman, seperti puree, buah yang dikeringkan, jus, jeli, selai, pai, muffin, serta makanan ringan. Menurut Reque et al., (2014)b lueberry dan produk turunannya memiliki nilai pH rendah, yang berarti bahwa blueberry bersifat asam, salah satu faktor penting dalam proses pengawetan. Buah blueberry seperti kebanyakan buah beri yang lain, kaya akan flavonoid, tannin dan asam fenolik (Reque et al., 2014). Blueberry memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi dan dianggap sebagai sumber utama antioksidan (Prior et al., 1998). Genus Vaccinium merupakan buah yang dikenal mempunyai antosianin tinggi yang bisa memberikan warna biru, merah, ungu dan hitam pada buah blueberry (Moyer et al., 2002). Antosianin yang dihasilkan tidak stabil biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH, suhu penyimpanan, struktur kimia, konsentrasi, oksigen, cahaya, pelarut dan keberadaan enzim, protein dan ion logam. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwablueberry memiliki beberapa manfaat untuk kesehatan karena memiliki senyawa bioaktif terutama antosianin (Heinonen et al., 1998; Seeram, 2008; Smith et al., 2000). Manfaat kesehatan itu antara lain dapat mencegah penyakit seperti kanker (Katsube et al., 2003; Smith et al., 2000), diabetes mellitus (Martineau et al., 2006; Stull et al., 2010) dan kardiovaskular (Basu et al., 2010; Heinonen et al., 1998) serta neurodegenerative (Joseph et al., 2003; Krikorian et al., 2010). Selain itu, blueberry juga dilaporkan memiliki efek menguntungkan pada penglihatan (Kalt et al., 2010). Vaccinium corymbosum L. 219 (Ericaceae)

Pada tahun 2010, Amerika Serikat memiliki area penanaman highbush blueberry terbesar dengan jumlah 46% dari total dunia, diikuti oleh Chili (17%), Kanada (12%), serta Argentina, Polandia, dan China (masing-masing 4-5%) (Strik, 2014). Berdasarkan data dari US Highbush Blueberry Council yang dihimpun oleh Brazelton (2011), area penanaman highbush blueberry di dunia meningkat dalam kurun waktu 2 tahun dari tahun 2008 sampai 2010 dengan perkiraan 27.001 acre setara dengan 10.926,92 hektare dari 162.483 acre menjadi 189.484 acre. Perubahan ini mewakili peningkatan sekitar 17% selama 2 tahun. Penanaman blueberry tetap berlanjut selama krisis ekonomi global karena didorong oleh meningkatnya permintaan lokal dan global. Produksi highbush blueberry di dunia baik dalam bentuk segar maupun sudah diproses selama tahun 2008 sampai 2010 meningkat sebanyak 146,24 juta lbs atau setara dengan 66,33 ribu ton dari 606,63 (275,16 ribu ton) menjadi 752,87 juta lbs (341,50 ribu ton), yang berarti meningkat 24% selama 2 tahun (Brazelton, 2011). Sejak penurunan di pasar olahan, pengalihan segar dan konsumsi telah tumbuh pada tingkat yang luar biasa. Konsumsi blueberry di Asia sangat besar selama dekade tersebut. Dari negara-negara kecil Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan, konsumsi Jepang yang mapan dan China yang besar, produk blueberry untuk pasar Asia siap dikembangkan. Dengan tradisi budaya yang meluas, yang berfokus pada kesehatan dan kecantikan, blueberry sangat cocok untuk meningkatkan pendapatan, kesadaran akan produk yang bernilai tinggi, sehingga blueberry akan berkembang karena keinginan untuk sehat, bertambah usia, dan menikmati makanan yang diinginkan terus meningkat. Produksi dan konsumsi berkembang di seluruh dunia. Sebagian besar pertumbuhan produksi di daerah baru didorong oleh pertumbuhan permintaan di tempat-tempat baru. Blueberry ditanam di lebih banyak tempat dan akan lebih banyak orang mengkonsumsinya di seluruh dunia (Brazelton, 2011). Di Indonesia juga sudah mulai ada penanaman blueberry namun masih dalam jumlah sedikit dan belum terdata secara nasional baik luas area penanaman maupun produksinya.

Pustaka 1. Albert, T., Raspé, O., & Jacquemart, A. ‐L. (2003). Clonal structure in Vaccinium myrtillus L. revealed by RAPD and AFLP markers. International Journal of Plant Sciences, 164(4), 649–655. https://doi.org/10.1086/375373 220 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

2. Albert, Thierry, Raspé, O., & Jacquemart, A.-L. (2004). Clonal diversity and genetic structure in Vaccinium myrtillus populations from different habitats. Belgian Journal of Botany, 137(2), 155–162. https://doi.org/10.2307/20794549 3. Ballington, J. R. (1990). Fruit varieties journal. Fruit Varieties Journal, 44(2), 54–62. Retrieved from https://www.cabdirect.org/cabdirect/ abstract/19901616805 4. Ballington, James R. (2001). Collection, utilization, and preservation of genetic resources in Vaccinium. HortScience, 36(2), 206–213. https://doi. org/10.21273/HORTSCI.36.2.206 5. Basu, A., Du, M., Leyva, M. J., Sanchez, K., Betts, N. M., Wu, M., … Lyons, T. J. (2010). Blueberries decrease cardiovascular risk factors in obese men and women with metabolic syndrome 1 – 3, 10–15. https://doi.org/10.3945/ jn.110.124701.chokeberries 6. Black, B. L., & Zimmerman, R. H. (2002). Industrial and municipal by-products as substrates for highbush blueberry production. Acta Horticulturae, (574), 267–272. https://doi.org/10.17660/actahortic.2002.574.40 7. Boches, P., Bassil, N. V., & Rowland, L. (2006). Genetic diversity in the highbush blueberry evaluated with microsatellite markers. Journal of the American Society for Horticultural Science, 131(5), 674–686. https://doi.org/10.21273/ jashs.131.5.674 8. Brazelton, C. (2011). 2010 World blueberry acreage & production.US Highbush Blueberry Council, 51. 9. Brevis, P. A., Bassil, N. V., Ballington, J. R., & Hancock, J. F. (2008). Impact of wide hibridization on highbush blueberry breeding. Journal of the American Society for Horticultural Science, 133(3), 427–437. https://doi.org/10.21273/ jashs.133.3.427 10. Caruso, F. L., & Ramsdell, D. C. (1995). Compendium of blueberry and cranberry diseases. APS Press; Retrieved from http://www.sidalc.net/cgi-bin/ wxis.exe/?IsisScript=zamocat.xis&method=post&formato=2&cantidad=1&ex presion=mfn=031021 11. Carvalho, M., Matos, M., & Carnide, V. (2018). Short communication: Identification of cultivated and wild Vaccinium species grown in Portugal. Spanish Journal of Agricultural Research, 16(3). https://doi.org/10.5424/ sjar/2018163-12502 Vaccinium corymbosum L. 221 (Ericaceae)

12. Cortés-Rojas, M. E., Mesa-Torres, P. A., Grijalba-Rativa, C. M., & Pérez- Trujillo, M. M. (2016). Yield and fruit quality of the blueberry cultivars Biloxi and Sharpblue in Guasca, Colombia. Agronomia Colombiana, 34(1), 33–41. https://doi.org/10.15446/agron.colomb.v34n1.54897 13. de Silva, A., Patterson, K., Rothrock, C., & Moore, J. (2000). Growth promotion of highbush blueberry by fungal and bacterial inoculants. HortScience, 35(7), 1228–1230. https://doi.org/10.21273/HORTSCI.35.7.1228 14. Debnath, S. C. (2005). Differentiation of Vaccinium Cultivars and Wild Clones Using RAPD Markers. Journal of Plant Biochemistry and Biotechnology, 14(2), 173–177. https://doi.org/10.1007/BF03355954 15. Debnath, S. C. (2007). Inter simple sequence repeat (ISSR) to assess genetic diversity within a collection of wild lingonberry (Vaccinium vitis-idaea L.) clones. Canadian Journal of Plant Science, 87(2), 337–344. https://doi. org/10.4141/P06-059 16. Debnath, S. C. (2009). Development of ISSR markers for genetic diversity studies in Vaccinium angustifolium. Nordic Journal of Botany, 27(February), 141–148. https://doi.org/10.1111/j.1756-1051.2009.00402.x 17. Eck, P., Gough, R. E., Hall, I. V., & Spiers, J. M. (1990). Blueberry management. In G. J. Galleta & D. G. Himelrick (Eds.), Small Fruit Crop Management (1st ed., pp. 273–301). New Jersey, USA: Prentice Hall. 18. Ehlenfeldt, M. K., & Polashock, J. J. (2014). Highly fertile intersectional blueberry hibrids of Vaccinium padifolium section Hemimyrtillus and V. corymbosum section Cyanococcus.Journal of the American Society for Horticultural Science, 139(1), 30–38. https://doi.org/10.21273/jashs.139.1.30 19. Galleta, G. J., & Ballington, J. . (1996). Blueberries, cranberries, and lingonberries. In Fruit Breeding Volume II. Vine and small fruit crops. John Wiley and Sons, Inc., N Y. 20. Gary D. Wallace. (2013). Ericaceae. In B. G. Baldwin, D. H. Goldman, D. J. Keil, R. Patterson, T. J. Rossati, & D. H. Wilken (Eds.), The Jepson Manual : Vascular Plants of California (Second, pp. 2–5). California: University of California. 21. Gawroński, J., Kaczmarska, E., & Dyduch-Siemińska, M. (2017). Assessment of genetic diversity betweenVaccinium corymbosum L. cultivars using RAPD and ISSR markers. Acta Scientiarum Polonorum, Hortorum Cultus, 16(3), 129–140. https://doi.org/10.24326/asphc.2017.3.13 222 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

22. Haghighi, K., & Hancock, J. F. (1992). DNA Restriction fragment length variability in the genomes of highbush blueberry. HortScience, 27(1), 44–47. https://doi. org/10.21273/HORTSCI.27.1.44 23. Hancock, J. (2010). Highbush blueberry breeding. Latvian Journal of Agronomy, (12), 35–38. 24. Heinonen, I. M., Meyer, A. S., & Frankel, E. N. (1998). Antioxidant activity of berry phenolics on human low-density lipoprotein and liposome oxidation. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 46(10), 4107–4112. https://doi. org/10.1021/jf980181c 25. Holzapfel, E. A., Hepp, R. F., & Mariño, M. A. (2004). Effect of irrigation on fruit production in blueberry. Agricultural Water Management, 67(3), 173–184. https://doi.org/10.1016/j.agwat.2004.02.008 26. Joseph, J. A., Denisova, N. A., Arendash, G., Gordon, M., Diamond, D., Shukitt-Hale, B., & Morgan, D. (2003). Blueberry supplementation enhances signaling and prevents behavioral deficits in an Alzheimer disease model. Nutritional Neuroscience, 6(3), 153–162. https://doi. org/10.1080/1028415031000111282 27. Kalt, W., Ryan, D. A. J., Duy, J. C., Prior, R. L., Ehlenfeldt, M. K., & Vander Kloet, S. P. (2001). Interspecific variation in anthocyanins, phenolics, and antioxidant capacity among genotypes of highbush and lowbush blueberries (Vaccinium section cyanococcus spp.).Journal of Agricultural and Food Chemistry, 49(10), 4761–4767. https://doi.org/10.1021/jf010653e 28. Kalt, Wilhelmina, Hanneken, A., Milbury, P., & Tremblay, F. (2010). Recent research on polyphenolics in vision and eye health. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 58(7), 4001–4007. https://doi.org/10.1021/jf903038r 29. Katsube, N., Iwashita, K., Tsushida, T., Yamaki, K., & Kobori, M. (2003). Induction of apoptosis in cancer cells by bilberry (Vaccinium myrtillus) and the anthocyanins. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 51(1), 68–75. https://doi.org/10.1021/jf025781x 30. Kementerian Pertanian - Blueberry Organik Kisarazu Siap Dibudidayakan di Indonesia. (n.d.). Retrieved December 4, 2019, from https://www.pertanian. go.id/home/?show=news&act=view&id=3648 Vaccinium corymbosum L. 223 (Ericaceae)

31. Kloet, S. P. Vander. (1980). The taxonomy of the highbush blueberry, Vaccinium corymbosum. Canadian Journal of Botany, 58(10), 1187–1201. https://doi. org/10.1139/b80-148 32. Koron, D., & Gogala, N. (2000). The use of mycorrhizal fungi in the growing of blueberry plants (Vaccinium corymbosum L.). Acta Horticulturae, (525), 101– 106. https://doi.org/10.17660/ActaHortic.2000.525.11 33. Krikorian, R., Shidler, M. D., Nash, T. A., Kalt, W., Vinqvist-Tymchuk, M. R., Shukitt-Hale, B., & Joseph, J. A. (2010). Blueberry supplementation improves memory in older adults. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 58(7), 3996–4000. https://doi.org/10.1021/jf9029332 34. Kron, K. A., Powell, E. A., & Luteyn, J. L. (2002). Phylogenetic relationships within the blueberry tribe (Vaccinieae, Ericaceae) based on sequence data from matK and nuclear ribosomal ITS regions, with comments on the placement of Satyria. American Journal of Botany, 89(2), 327–336. https:// doi.org/10.3732/ajb.89.2.327 35. Lee, J. I., Yu, D. J., Lee, J. H., Kim, S. J., Lee, H. J., Yu, D. J., & Lee, H. J. (2013). Comparison of mid-winter cold-hardiness and soluble sugars contents in the shoots of 21 highbush blueberry (Vaccinium corymbosum) cultivars. The Journal of Horticultural Science and Biotechnology, 88(June), 727–734. https://doi.org/10.1080/14620316.2013.11513031 36. Luby, J. J., Ballington, J. R., Draper, A. D., Pliszka, K., & Austin, M. E. (1991). Blueberries and cranberries (Vaccinium). In Moore JN, Ballington JR (eds) Genetic resources of temperate fruit and nut crops. International Society for Horticultural Science, Wageningen, Netherlands (pp. 393–456). 37. Luteyn, J. L. (2002). Diversity, adaptation, and endemism in neotropical Ericaceae: biogeographical patterns in the Vaccinieae. The Botanical Review, 68(1), 55–87. https://doi.org/10.1663/0006-8101(2002)068[0055:daaein]2.0 .co;2 38. Lyrene, P. (2008). Breeding southern highbush blueberries. In J. Janick (Ed.), Plant Breeding Reviews (pp. 353–414). Hoboken, NJ, USA: John Wiley & Sons, Inc. https://doi.org/10.1002/9780470380130.ch8 39. Lyrene, P. M., & Perry, J. L. (1988). Blueberries. In Y. P. S. Bajaj (Ed.), Crops II (Vol. 6). Berlin. 224 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

40. Magee, J. B., & Spiers, J. M. (1996). Influence of mulching systems on yield and quality of southern highbush blueberries. Journal of Small Fruit & Viticulture, 3(2–3), 133–141. https://doi.org/10.1300/J065v03n02_14 41. Martineau, L. C., Couture, A., Spoor, D., Benhaddou-Andaloussi, A., Harris, C., Meddah, B., … Haddad, P. S. (2006). Anti-diabetic properties of the Canadian lowbush blueberry Vaccinium angustifolium Ait. Phytomedicine, 13(9–10), 612–623. https://doi.org/10.1016/j.phymed.2006.08.005 42. Menanam blueberry, blackberry, ghooseberry, stroberi di Indonesia | Berbagi Tak Pernah Rugi. (n.d.). Retrieved December 3, 2019, from https://isroi. com/2014/09/13/menanam-blueberry-blackberry-ghooseberry-stroberi-di- indonesia/ 43. Moyer, R. A., Hummer, K. E., Finn, C. E., Frei, B., & Wrolstad, R. E. (2002). Anthocyanins, Phenolics, and antioxidant capacity in diverse small fruits: vaccinium, rubus, and ribes. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 50(3), 519–525. https://doi.org/10.1021/jf011062r 44. Naumann, W. D. (1993). Overview of the Vaccinium industry in Western Europe. Acta Horticulturae. https://doi.org/10.17660/actahortic.1993.346.6 45. Nesom, G., & Davis, K. (2002). Plant fact sheet blueberry (p. 2). United States Department of Agriculture Natural Resources Conservation Service. Retrieved from https://plants.usda.gov/factsheet/pdf/fs_vaco.pdf 46. O’Neal, M. E., Mason, K. S., & Isaacs, R. (2005). Seasonal abundance of ground beetles in highbush blueberry (Vaccinium corymbosum) fields and response to a reduced-risk insecticide program. Environmental Entomology, 34(2), 378– 384. https://doi.org/10.1603/0046-225x-34.2.378 47. Pescie, M., Lovisolo, M., De Magistris, A., Strik, B., & López, C. (2011). Flower bud initiation in southern highbush blueberry cv. O’Neal occurs twice per year in temperate to warm temperate conditions. Journal of Applied Horticulture, 13(1), 8–12. 48. Prior, R. L., Cao, G., Martin, A., Sofic, E., McEwen, J., O’Brien, C., … Mainland, C. M. (1998). Antioxidant capacity as influenced by total phenolic and anthocyanin content, maturity, and variety of Vaccinium species. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 46(7), 2686–2693. https://doi.org/10.1021/ jf980145d Vaccinium corymbosum L. 225 (Ericaceae)

49. Prodorutti, Daniel, Palmieri, L., Gobbin, D., & Pertot, I. (2006). First report of Armillaria gallica on highbush blueberry (Vaccinium corymbosum) in Italy. Plant Pathology, 55(4), 583. https://doi.org/10.1111/j.1365-3059.2006.01411.x 50. Prodorutti, Daniele, Pertot, I., Giongo, L., & Gessler, C. (2007). Highbush blueberry: cultivation, protection, breeding and biotechnology. The European Journal of Plant Science and Biotechnology, 1(1), 44–56. Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/228547443 51. Reque, P. M., Steffens, R. S., Silva, A. M. Da, Jablonski, A., Flôres, S. H., Rios, A. de O., & Jong, E. V. De. (2014). Characterization of blueberry fruits (Vaccinium spp.) and derived products. Food Science and Technology (Campinas), 34(4), 773–779. https://doi.org/10.1590/1678-457x.6470 52. Richard E. Litz (Ed.). (2005). Biotechnology of fruit and nut crops. CABI Publishing. https://doi.org/10.1079/9780851996622.0000 53. Richards, P., Ruivenkamp, G., Longley, C., Mcguire, S., Drift, R. Van Der, Gonowolo, M., & Jusu, M. S. (1997). Seeds and survival : crop genetic resources in war and reconstruction in Africa. Wageningen. 54. Scagel, C. F. (2005). Inoculation with ericoid mycorrhizal fungi alters fertilizer use of highbush blueberry cultivars. HortScience, 40(3), 786–794. https://doi. org/10.21273/HORTSCI.40.3.786 55. Scherm, H., Ngugi, H. K., Savelle, A. T., & Edwards, J. R. (2004). Biological control of infection of blueberry flowers caused by Monilinia vaccinii- corymbosi. Biological Control, 29(2), 199–206. https://doi.org/10.1016/ S1049-9644(03)00154-3 56. Seeram, N. P. (2008). Berry fruits: Compositional elements, biochemical activities, and the impact of their intake on human health, performance, and disease. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 56(3), 627–629. https:// doi.org/10.1021/jf071988k 57. Sholikhah, A., Aryani Dian, F., & Listyorini, D. (2017). Anatomy and morphological study of mentigi gunung (Vaccinium varingiaefolium (Blume) Miq.) in area of Mount Batok-Indonesia. KnE Life Sciences, ICBS Proceeding, 3(4), 36–45. https://doi.org/10.18502/kls.v3i4.685 58. Sideman, B. (2016). Growing fruit : highbush blueberries (p. 4). University of New Hampshire Education Center. Retrieved from http://extension.unh.edu 226 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

59. Smith, M. A. L., Marley, K. A., Seigler, D., Singletary, K. W., & Meline, B. (2000). Bioactive properties of wild blueberry fruits. Journal of Food Science, 65(2), 352–356. https://doi.org/10.1111/j.1365-2621.2000.tb16006.x 60. Song, G., & Hancock, J. F. (2011). Vaccinium. In C. Kole (ed.), Wild Crop Relatives: Genomic and Breeding Resources, Temperate Fruits, Springer-Verlag Berlin Heidelberg. https://doi.org/10.1007/978-3-642-16057-8 61. Strik, B. C. (2014). Organic blueberry production systems - Advances in research and industry. Acta Horticulturae, 1017(September), 257–268. https://doi. org/10.17660/ActaHortic.2014.1017.33 62. Stull, A. J., Cash, K. C., Johnson, W. D., Champagne, C. M., & Cefalu, W. T. (2010). Bioactives in blueberries improve insulin sensitivity in obese, insulin-resistant men and women. The Journal of Nutrition, 140(10), 1764–1768. https://doi. org/10.3945/jn.110.125336 63. USDA. (2011). The delightful domesticated American Blueberry : some research challenges for its next 100 years. Agricultural Research, 59(June). 64. Vander Kloet, S. P., & Dickinson, T. A. (2009). A subgeneric classification of the genus Vaccinium and the metamorphosis of V. section Bracteata Nakai: More terrestrial and less epiphytic in habit, more continental and less insular in distribution. Journal of Plant Research, 122(3), 253–268. https://doi. org/10.1007/s10265-008-0211-7 65. Zifkin, M., Jin, A., Ozga, J. A., Zaharia, L. I., Schernthaner, J. P., Gesell, A., … Constabel, C. P. (2012). Gene expression and metabolite profiling of developing highbush blueberry fruit indicates transcriptional regulation of flavonoid metabolism and activation of abscisic acid metabolism. Plant Physiology, 158(1), 200–224. https://doi.org/10.1104/pp.111.180950 Penulis : Trifena Honestin, Dina Agustina, Unun Triasih, Imro’ah Ikarini Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika INDEX

A Actinidia deliciosa 3, 4, 6, 13, 15 Adaptif 22, 217 Anakronis 23, 24 Anggur pohon 115, 119, 122 Antioksidan 11, 28, 44, 60, 76, 93, 122, 149, 164, 179, 182, 201, 218 Antocyanin 179, 180, 182 Apricot 128, 129, 133, 137, 138 Astrophaea 98

B Blueberry 207, 208, 209, 211, 212, 214, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 226 Buah batu 142, 143, 144, 162 Buah subtropika 16, 33, 49, 62, 82, 96, 114, 126, 138, 152, 172, 187, 206, 226 Bunga betina 4, 22, 26, 36, 54, 86, 174 Bunga jantan 4, 36, 53, 54, 86, 175

C Caprifig 36, 37, 48 Cherry 139, 150, 151, 205 Cyanococcus 207, 208, 209, 211, 212, 213, 221

D Decaloba 98, 103, 104 Deidamiodes 98 Delima 173, 174, 175, 177, 178, 180, 182 Dioecious 37, 41, 43 Diospyros kaki 17, 18, 19, 28, 29, 30, 32, 33 Domestikasi 38, 70, 89, 162 228 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

E Edible figs 37, 39 Edulis 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 123, 169 Ellagitannin 179, 201

F Farmakologis 136, 163 Ficus carica 35, 36, 40, 44, 46, 47, 48, 49 Filogenetik 7, 8, 9, 161, 178, 213 Fitokimia 11, 36, 74, 136 Flavicarpa 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 110, 111

H Heterostili 176 Hexaploid 22, 88 Highbush 208, 209, 210, 212, 214, 215, 216, 217, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226

I Intermediate 176, 208, 212 Introduksi 2, 24, 52, 60, 89, 133, 150

J Jaboticaba 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125

K Kolesterol 28, 44, 60, 74, 75, 76 Kromosom somatik 103, 179

L Leci 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 62 Lemak tak jenuh 74, 75, 77, 164 Litchi chinensis 51, 52, 53, 61

M Macadamia tetraphylla 63, 64, 66, 68, 80, 81 Morus alba 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 92, 93, 94, 95, 96 Murbei 83, 84, 87, 88, 90, 91, 92, 93, 94, 96 229 INDEX

O Obat 45, 60, 84, 93, 107, 122, 136, 149, 163, 164, 202

P Partenokarpi 26, 37, 38 Passiflora edulis 97, 99, 109, 110, 111, 112, 113, 114 Pertumbuhan lambat 116 Pistillate catkins 84 Plinia cauliflora (mart.) 115, 116 Kausel Polifenol 28, 44, 45, 122, 136, 201 Poliploidisasi 7, 8, 23 Prunus armeniaca 127, 129, 137, 138 Prunus avium 139, 140, 143, 145, 151, 152 Prunus persica 153, 154, 155, 157, 159, 160, 162, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171 Punica granatum 173, 174, 183, 184, 185, 186, 187

R Raspberry 191, 192, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 201, 202 Rosaceae 127, 129, 139, 140, 150, 151, 153, 155, 159, 166, 169, 170, 172, 189, 192, 197, 206 Rubus idaeus 189, 190, 191, 192, 194, 201, 204, 205

S Sapindaceae 51, 53, 56 Self-incompatibility 66, 110, 111 Self pollination 177 Senyawa bioaktif 149, 201, 218 Sepat 22, 23, 27 Serat 11, 28, 44, 45, 60, 76 Stone fruits 155, 165 Subtropika 16, 33, 49, 62, 82, 96, 114, 126, 138, 152, 172, 187, 206, 226 Sulur pengait 98, 99, 100, 104, 105 Syncarp 86

T Tanin 27, 28, 136 Tendril 98, 99, 100, 104, 105, 113 Tokoferol 75, 76 230 INDO-HITS (Indonesian Horticultural Innovation, Technology and Science) : Sumber Daya Genetik Tanaman Buah Subtropika Potensial

V Vaccinium 207, 208, 211, 213, 221, 223, 224, 225 corymbosum Vitamin E 76, 80, 81