Bab V. MEMPERKUAT JARINGAN KEMITRAAN
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Bab V. MEMPERKUAT JARINGAN KEMITRAAN 443 444 MEMPERKUAT JARINGAN KEMITRAAN Telah banyak kebijakan dan program pembangunan pertanian yang dikembangkan melalui model/pola kemitraan yang melibatkan pemerintah, perusahaan swasta, BUMN, lembaga internasional dan petani dengan tujuan untuk mengembangkan inovasi pertanian, meningkatkan produksi pangan dan kesejahteraan petani serta daya saing produk pertanian. Berdasarkan tahapan bisnis, pola kemitraan diawali dari kemitraan sederhana yang banyak dijumpai di daerah khususnya petani sayuran yang bermitra dengan perusahaan pengolahan/pedagang, kemudian akan berkembang menjadi kemitraan madya dan utama. Kemitraan juga dapat dilaksanakan secara formal dengan adanya perjanjian secara resmi dan secara tidak formal yang umumnya didasarkan atas saling percaya. Kemitraan antara pemerintah dengan pihak swasta dimana petani sebagai obyek yang mendapatkan manfaat dalam berbagai program dan kegiatan di sektor pertanian seperti program asuransi pertanian yang saat ini telah dikembangkan di semua daerah dan diperuntukkan terutama petani padi. Kemitraan terkait skim pembiayaan, pemerintah menjalin kemitraan dengan gapoktan yang telah membentuk lembaga Keuangan Mikro Agribisnis/LKM-A. Skim pembiayaan ini dengan persyaratan agunan yang ringan dan prosedur yang sederhana, telah direspon sangat positif oleh masyarakat petani. Pada tahun 2015 dibangun kemitraan di bidang pangan dengan Instansi Pemerintah Lain yang melibatkan TNI. Pola kemitraan perlu terus dibangun dibangun secara berkelanjutan dengan cakupan usaha yang lebih luas. Dalam upaya memperkuat kemitraan, upaya yang dilakukan dengan menetapkan prioritas kerjasama dalam berbagai tahapan usaha pertanian, mulai dari kemitraan di bidang budidaya, pengolahan, sampai pada pemasaran. Kerjasama bidang budidaya dilakukan dalam: a) upaya peningkatan nilai tambah dan daya saing produk-produk dengan cara perbaikan pengelolaan budidaya pertanian; dan (b) pengembangan sumber daya manusia dan teknologi serta pemanfaatan sumber daya alam secara optimal. Dalam bidang pengolahan, empat aspek perlu diprioritaskan yaitu: a) keberlanjutan produk dan peluang pasar melalui keunggulan kompetitif dan komparatif, b) pengembangan usaha pengolahan produk pertanian, c) peluang .dan kesempatan investasi dengan luar negeri (bekerjasama dengan pelaku usaha pengolahan dalam negeri dengan mematuhi peraturan yang berlaku di Indonesia), dan d) peningkatan kapasitas produk untuk dapat memanfaatkan peluang pasar yang baru. Khusus untuk memperkuat kemitraan petani ekoregion di lahan kering diperlukan penggalian sumber daya alternatif yang mampu memenuhi kebutuhan kolektif masyarakat petani lahan kering. Alternatif tersebut dapat berupa sumber Pembangunan Pertanian Wilayah Berbasis Kearifan Lokal Dan Kemitraan 445 445 daya teknis eksploratif untuk menemukan atau merekayasa sumber daya ekosistem baru (inovasi), atau sumber daya non-teknis yang dapat dihimpun secara internal ataupun eksternal. 446 Pembangunan Pertanian Wilayah Berbasis Kearifan Lokal Dan Kemitraan 446 MENJALIN KEMITRAAN USAHATANI EKOREGION LAHAN KERING Kedi Suradisastra, Nono Sutrisno, dan Ai Dariah PENDAHULUAN Ekoregion lahan kering sering diasosiasikan sebagai lahan marginal atau ekoregion lahan tadah hujan. Secara sosio-historis, lahan kering dan lahan tadah hujan di wilayah tropis terjadi secara gradual karena peningkatan kegiatan ladang berpindah, terutama di daerah di mana hak ulayat tidak didefinisikan dengan jelas sehingga tidak ada konsensus dan kontrol terhadap penggunaan sumber daya. Hal ini berbeda dengan kegiatan bersawah yang umumnya dilakukan di sekitar lembah di mana sumber air berada dan air tersedia (hampir) sepanjang tahun. Lereng-lereng gunung umumnya ditanami palawija atau tanaman keras dengan input rendah. Namun demikian apabila upaya konservasi lahan melalui penerapan teknik terasering jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan, maka beban lahan pesawahan juga semakin meningkat dan dapat berakhir pada pengurasan kesuburan lahan dengan cepat. Selain itu, tradisi mengambil kayu bakar dan pakan ternak dari hutan sekitar turut pula menyumbang degradasi dan penurunan kualitas lahan. Seiring dengan peningkatan populasi, semakin meningkat pula kebutuhan pangan, sedangkan produktivitas lahan semakin menurun, terutama di lahan kering dan lahan tadah hujan yang semakin terdegradasi. Untuk tetap bertahan hidup dalam kondisi marginal yang semakin memburuk, masyarakat setempat mengembangkan berbagai upaya yang sering diimplementasikan dalam bentuk kelembagaan sosial yang berfungsi teknis (lembaga tekno-sosial). Salah satu contoh upaya sosio-teknis guna mengurangi resiko kegiatan usahatani adalah dengan mengembangkan kerjasama kemitraan antar pemilik ternak seperti yang dijumpai di Nusa Tenggara Timur (NTT). Beberapa peternak tradisional berhimpun dalam kelompok penggembalaan ternak secara komunal. Seluruh ternak milik anggota kemitraan penggembalaan kolektif tersebut digembalakan secara sistematis oleh anggota himpunan kerjasama kemitraan secara bergilir. Tradisi ini, walaupun semakin berkurang, namun merepresentasikan fungsi kerjasama kemitraan dalam kesetaraan guna mengatasi masalah komunal. Kondisi lahan di NTT yang didominasi oleh tanah liat (clay) secara teknis sulit diolah dengan bajak atau alsintan. Tradisi penggembalaan ternak sapi secara komunal sekaligus dimanfaatkan untuk mengatasi masalah pengolahan lahan dengan menggunakan kawanan sapi untuk menginjak-injak lahan sehingga tanah menjadi lunak dan siap ditanami. Tradisi ini dalam bahasa lokal disebut rencak, dan merupakan suatu implementasi kelembagaan kemitraan tekno-sosial yang mampu mengatasi masalah tertentu (Suradisastra, Yusron dan Saefudin, Pembangunan Pertanian Wilayah Berbasis Kearifan Lokal Dan Kemitraan 447 447 1990a). Secara teknis, rencak merupakan gabungan kegiatan teknis berupa menggembala sapi untuk merumput di lahan usahatani yang telah dipanen (aftermath grazing), sekaligus memanfaatkan aspek sosial kemitraan dalam pengelolaan usahaternak secara komunal.Bahasan tulisan ini mencakup potensi dan masalah , kemitraan dan kelembagaan, peran kearifan lokal dan upaya menjalin kemitraan di ekoregion lahan kering. POTENSI DAN MASALAH LAHAN KERING Perubahan status lahan menjadi lahan kering terjadi karena pertalian dan interaksi elemen-elemen teknis-ekologis, sosial dan ekonomi. Dipandang dari konteks kegiatan ekonomi usahatani, perlakuan terhadap lahan usaha sangat menonjolkan aspek keuntungan ekonomi (economic profit), dan hanya sedikit pertimbangan terhadap kemungkinan memperolah keuntungan sosial (social benefit). Sikap dan perilaku demikian sangat mudah dipahami karena keuntungan finansial yang dapat diraih dari kegiatan usahatani atau bercocok tanam relatif mudah dilaksanakan dan dapat menghasilkan dampak ekonomi untuk memenuhi kebutuhan keluarga tani. Pelaku kegiatan usahatani lebih tertarik mengusahakan jenis tanaman yang cepat berkembang dan memiliki nilai pasar yang tinggi dan hanya sedikit atau bahkan tidak memikirkan aspek sosial yang dapat diberikan oleh komoditas yang diusahakannya. Sering terjadi dan terbukti, petani mengembangkan komoditas tertentu disertai dengan pemanfaatan teknologi yang tidak menguntungkan lahan sehingga mempercepat proses pemiskinan lahan usaha. Salah satu contoh adalah penanaman komoditas di lahan berlereng dilakukan searah dengan kemiringan lahan sehingga meningkatkan erosi lahan, baik berupa erosi oleh air maupun erosi angin. Proses pemiskinan lahan yang menarik ditunjukkan oleh pola usahatani tradisional di lembah Baliem, pegunungan Jayawijaya, Papua. Lahan basah di lembah dekat sungai dimanfaatkan sebagai usahatani mina-ubi (wen hipere). Tanaman ubijalar (hipere, batatas) ditanam pada guludan-guludan, dan diantara guludan dibuat selokan untuk memelihara ikan, sedangkan di lereng-lereng diterapkan kegiatan usahatani ubi tanpa konservasi (wen wanggawi) berupa penanaman ubi dalam guludan yang searah dengan kemiringan lahan. Kondisi ini telah berlangsung ribuan tahun dan pemahaman masyarakat akan pentingnya teknologi konservasi tidak berkembang karena lahan ulayat masih sangat luas dibandingkan dengan populasi setempat (Dimyati et al., 1991). Proses pemiskinan lahan juga terjadi karena sistem kegiatan ladang berpindah yang menerapkan teknik tebang-bakar (slash-and-burn agriculture), perambahan hutan untuk mengambil kayu bakar, dan sifat usahatani tradisional yang berupa ”leisure technology agriculture” yang mencerminkan kegiatan tanpa input (zero-input agriculture), atau usahatani input teknologi rendah (low-input agriculture). Dari aspek sosiologis, proses pemiskinan lahan menjadi lahan kering 448 Pembangunan Pertanian Wilayah Berbasis Kearifan Lokal Dan Kemitraan 448 sangat erat kaitannya dengan status lahan dan sangsi terhadap pelanggaran norma dan tata peraturan setempat. Hal ini disebabkan hak ulayat atas lahan tidak didasari hukum formal yang berlaku, sehingga sangat rentan terhadap peralihan kontrol dan akses terhadap lahan tersebut. Lebih jauh lagi dalam mengelola lahan ulayat juga tidak ada kontrol dan sangsi yang tegas terhadap pelanggaran norma yang berlaku. Faktor demografi yang antara lain dicirikan oleh peningkatan populasi juga memberikan aspek negatif terhadap konversi lahan usahatani menjadi lahan non-usahatani. Dari sisi teknis terlihat nyata degradasi lahan dalam bentuk penurunan air tanah dan persediaan air alam untuk memenuhi kebutuhan berusahatani. Setelah lahan terdegradasi menjadi lahan yang berstatus sebagai lahan kering, pengabaianpun terjadi lebih jauh lagi. Ketersediaan