PERMUKIMAN KUNA DI KAWASAN WAY SEKAMPUNG, , PADA MASA ŚRIWIJAYA

Nanang Saptono Balai Arkeologi Bandung, Jl. Raya Cinunuk Km 17, Cileunyi, Bandung 40623 [email protected]

Abstrak. Lampung pernah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Śriwijaya. Hal ini ditandai oleh temuan Prasasti Palas Pasemah, Bungkuk, dan Batu Bedil yang merupakan prasasti dari masa Śriwijaya. Prasasti, terutama prasasti peringatan, pasti ditempatkan di areal permukiman. Selain lokasi prasasti, kawasan permukiman dapat dilacak melalui tinggalan arkeologis. Melalui pendekatan arkeologi keruangan dapat diperoleh gambaran tentang pola permukiman di sepanjang aliran Way Sekampung. Pada dasarnya kawasan di sepanjang sungai dapat dibedakan menjadi kawasan hulu dan hilir. Kawasan hulu cenderung merupakan kawasan masyarakat penganut Hindu, sedangkan di hilir merupakan masyarakat penganut Buddha. Pada kedua permukiman kelompok masyarakat tersebut juga terdapat jejak religi budaya megalitik. Kata kunci: Prasasti, Permukiman, Arca, Kawasan Hulu, Kawasan Hilir, Hindu, Buddha, Religi, Way Sekampung.

Abstract. Old Settlement in Way Sekampung Area, Lampung, during The Śrivijaya Period. Lampung had a Śrivijaya Empire. The inscriptions of Palas Pasemah, Bungkuk, and Batu Bedil are an inscriptions of the Śrivijaya Kingdoms. Inscriptions, especially inscriptions warning, definitely placed at the residential location. In addition to the location of the inscription, the settlement can be traced through the distribution of archaeological remains which have the same background with the inscription. Through spatial archaeological approaches settlement and community life along the Way Sekampung can be determined. Along the river there are two regions upstream and downstream areas. Upstream region end to be the Hindu community while downstream is a Buddhist society. Both groups are still running religious megalithic culture. Keywords: Inscriptions, Settlements, Statues, the upstream, Downstream, Hindu, Buddhist, Religions, Sekampung River.

1. Pendahuluan Munculnya istilah Lampung mungkin Perkembangan sejarah budaya masyarakat masih relatif baru. Asumsi ini didasari pada Lampung telah melalui beberapa babakan sejak kenyataan bahwa jarang didapatkan sumber dari masa prasejarah, klasik, hingga masa Islam sejarah masa klasik yang menyebut Lampung. sebagaimana umumnya terjadi di seluruh . Sumber sejarah yang menyinggung keberadaan Babakan sejarah budaya masa klasik menunjuk pada Lampung adalah Nāgarakrětāgama dan Amanat suatu babakan saat masyarakat Indonesia mendapat Galunggung. Prapanca pada pupuh XIII dan pengaruh budaya India. Di Lampung, pada masa XIV menyebut daerah-daerah Melayu yang klasik hampir tidak ditemukan adanya kerajaan berada di bawah kekuasaan Majapahit. Daerah- yang identik dengan pusat peradaban. Beberapa daerah itu adalah , Palembang, Toba, sumber tertulis dan data artefaktual yang ada hanya Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Minangkabau, sedikit sekali yang bisa mengungkap pusat budaya Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, klasik di Lampung. Mandailing, Tamihang, Parlak, Padang Lawas,

Naskah diterima tanggal 12 Februari 2013 dan disetujui tanggal 9iSeptember 2013.

125 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 31 No. 2, Desember 2013 : 81-150

Samudra, Lamuri, Batan, Lampung, dan Barus dagangan dikumpulkan kemudian dilakukan (Muljana, 1979: 146). Sumber sejarah lebih perdagangan antar pulau. Perjalanan dari muda yang menyebut Lampung adalah Amanat Tulangbawang ke Sunda menyeberangi lautan Galunggung (kropak, 632). Naskah ini terdiri dalam sehari, sedangkan ke Jawa memerlukan 6 lembar atau 13 halaman, ditulis dengan waktu dua hari (Cortesão, 1967: 158--9). menggunakan huruf dan bahasa Sunda Kuna. Sekampung merupakan daerah yang Isi naskah berupa ajaran hidup yang diwujudkan barang komoditasnya sangat melimpah. dalam bentuk nasehat-nasehat. Dalam hal ini Perdagangan antarpulau di Sekampung dilakukan adalah nasehat Rakeyan Darmasiksa (1175 – dengan Sunda dan Jawa. Barang dagangan 1297) kepada puteranya yang bernama Sang meliputi kapas, emas, madu, lilin, rotan, dan lada. Lumahing Taman, beserta cucu, cicit, dan Bahan makanan yang diperdagangkan berupa keturunannya. Pada pupuh II (4) disebutkan: beras, daging, ikan, minuman keras (wines), dan ...jaga dapetna pretapa dapetna buah-buahan. Penguasa (pate) dan masyarakat pegengeun sakti, beunangna (ku) Sekampung masih kafir. Dari Sekampung Sunda, Jawa, Lapung, ... (...waspadalah menyeberang ke Jawa dengan menggunakan kemungkinan direbutnya kemuliaan dan perahu (lancharas) dapat ditempuh dalam waktu pegangan kesaktian oleh Sunda, Jawa, tiga hari, sedangkan ke Sunda selama satu hari Lampung...). (Cortesão, 1967: 158). Selanjutnya pada pupuh III (3) disebutkan: Selain sumber tertulis, budaya masa ...jaga beunangna kabuyutan ku Jawa, ku klasik di Lampung juga ditunjukkan oleh Baluk, ku Cina, ku Lapung, ku sakalih... adanya beberapa tinggalan arkeologis. Prasasti (...cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh Palas Pasemah yang ditemukan pada tahun Jawa, oleh Baluk, oleh Lampung, oleh 1958 di tepi Way Pisang, Kalianda, Lampung yang lainnya...) (Danasasmita, 1987). Selatan dan Prasasti Bungkuk yang ditemukan Kedua sumber sejarah tersebut pada tahun 1985 di Desa Bungkuk, Lampung menggambarkan bahwa pada masa Kerajaan Timur menunjukkan bahwa Lampung pada Majapahit (abad ke-13--15) dan Kerajaan masa klasik merupakan wilayah kekuasaan Sunda (abad ke-10--16) masyarakat Lampung Śriwijaya (Boechari, 2012; Hardiati, 2010; sudah berinteraksi dengan kerajaan-kerajaan Purwanti, 1995: 98). Prasasti Batu Bedil di yang sudah mendapat pengaruh budaya India. Kabupaten Tanggamus juga menunjukkan

Gambaran masyarakat Lampung pada bahwa Lampung merupakan bagian dari abad ke-16 juga diceritakan oleh berita asing wilayah Śriwijaya (Soekmono, 1985: 49- dari Portugis. Perjalanan Tomé Pires dari Laut 50). Berdasarkan sumber sejarah dan data Merah ke Jepang pada tahun 1512 hingga 1515 arkeologis berupa prasasti, kawasan sepanjang memberikan gambaran tentang keadaan dua Way Sekampung merupakan kawasan yang lokasi di Lampung yaitu Tulangbawang dan cukup ramai pada masa klasik khususnya ketika Sekampung. Lokasi Tulangbawang berbatasan Śriwijaya menguasai Lampung. dengan Sekampung dan Andalas. Sebagian Prasasti dibuat untuk memperingati masyarakat Tulangbawang masih kafir atau sesuatu atau untuk memberikan suatu seruan, penyembah berhala. Daerah ini merupakan baik itu yang bersifat ajaran atau perintah. penghasil lada, emas, kapas, lilin, rotan, beras, Dengan demikian keberadaan prasasti erat ikan, dan buah-buahan. Jalan masuk satu- hubungannya dengan keberadaan suatu satunya hanya melalui sungai. Perdagangan kelompok masyarakat. Prasasti-prasasti yang dilakukan dengan Jawa dan Sunda. Barang terdapat di Lampung Selatan dan Tanggamus

126 Nanang Saptono, Permukiman Kuna di Kawasan Way Sekampung, Lampung pada Masa Śriwijaya. ditulis pada batu besar yang sangat mungkin berapi. Di bagian timur laut blok pegunungan ini tidak mengalami pemindahan tempat terlalu berupa pegunungan yang terbentuk oleh suatu jauh. lipatan geosinklin, yang kemudian melandai Selain prasasti, bukti arkeologis yang di bagian tenggara. Secara regional, Sumatera memperlihatkan adanya kehadiran budaya klasik Selatan dapat dibagi menjadi beberapa unit di kawasan Way Sekampung adalah arca-arca geomorfologi, yaitu blok Bengkulu, median khususnya arca Hindu dan Buddha. Beberapa graben, pegunungan median graben timur, arca yang ditemukan sekarang tersimpan di dan dataran rendah Sumatera Timur (Mangga Museum “Ruwa Jurai”. Berdasarkan bukti-bukti etial., 1994; Verstappen, 1973). yang ada, permasalahan yang akan dikaji adalah Provinsi Lampung memiliki luas bagaimana persebaran permukiman masyarakat 35.376,50 km² dan terletak di antara 105°45’- di kawasan Way Sekampung masa Śriwijaya. 103°48” BT dan 3°45’-6°45” LS. Daerah ini Untuk membahas permasalahan itu di sebelah barat berbatasan dengan Samudera dilakukan melalui pendekatan arkeologi Hindia, di sebelah selatan dengan Selat Sunda, keruangan. Arkeologi keruangan pada dasarnya di sebelah timur dengan Laut Jawa, serta mempelajari ruang tempat ditemukannya hasil- di sebelah utara dengan Provinsi Sumatera hasil kegiatan manusia masa lampau, sekaligus Selatan dan Provinsi Bengkulu. Keadaan alam mempelajari pula hubungan antar ruang dalam daerah Lampung sebelah barat dan selatan, satu situs, sistem situs, beserta lingkungannya di sepanjang pantai, merupakan daerah yang (Clarke, 1977). Untuk membahas permasalahan berbukit-bukit sebagai sambungan dari jalur ini langkah pertama adalah membangun pegunungan Bukit Barisan; di tengah-tengah beberapa asumsi berkaitan dengan permukiman merupakan dataran rendah; sedangkan ke dekat yaitu situs tempat ditemukannya prasasti, pantai di sebelah timur, di sepanjang tepi Laut khususnya masa Śriwijaya, merupakan lokasi Jawa terus ke utara, merupakan daerah rawa- permukiman dengan corak budaya sesuai rawa perairan yang luas. dengan tinggalan yang ada di situs itu. Asumsi Daerah Lampung dapat dibagi dalam 5 selanjutnya adalah lokasi temuan artefak yang (lima) unit topografi, yaitu (1) daerah topografis mempunyai ciri sebagai tinggalan dari masa berbukit sampai bergunung; (2) daerah klasik termasuk dalam kawasan permukiman. topografis berombak sampai bergelombang; Langkah selanjutnya adalah melakukan plotting (3) daerah dataran alluvial; (4) daerah rawa lokasi situs dan temuan artefak. Berdasarkan dataran pasang surut; dan (5) daerah river plotting lokasi kemudian dilakukan analisis basin. Di kawasan Lampung terdapat beberapa kontekstual terhadap ciri budaya yang terdapat sistem aliran sungai, yaitu Way Sekampung pada artefak dan situs. (panjang 265ikm), Way Semangka (panjang 90 km), Way Seputih (panjang 190 km), Way 2. Gambaran Umum Lampung Jepara (panjang 50 km), Way Tulangbawang Pulau Sumatera berdasarkan sifat- (panjang 136 km), dan Way Mesuji (panjang sifat geomorfologisnya dapat dibagi dalam 220 km). Daerah river basin Sekampung tiga bagian utama, yaitu Sumatera Selatan, terletak di sebagian besar wilayah Kabupaten Sumatera Tengah, dan Sumatera Utara. Daerah Tanggamus, Pesawaran, Lampung Tengah, Lampung berada pada bagian Sumatera Selatan. Lampung Selatan bagian utara, hingga ke arah Ciri geomorfologis sebagian besar Sumatera timur. Luas river basin ini mencapai 5.675 km2 Selatan dapat digambarkan seperti blok-blok dengan panjang 6.223ikm meliputi 12 cabang pegunungan yang dipuncaki oleh gunung sungai.

127 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 31 No. 2, Desember 2013 : 81-150

tersebut telah mengalami penyempitan. Aliran sungai kemudian masuk ke Rawa Sragi yang selanjutnya mengalir ke Way Sekampung. Objek yang terdapat pada lahan taman purbakala adalah prasasti. Prasasti berada pada bangunan tanpa dinding yang terletak di bagian selatan lahan. Prasasti ini dahulu berada di aliran sungai. Bahan prasasti berupa batuan andesit. Bagian yang tampak sekarang berukuran tinggi 59 cm, lebar 76 cm. Bagian atas tebalnya 9icm, sedangkan bagian bawah 30icm. Sebelum disemen tinggi prasasti adalah 65icm (Utomo, 2007: 10).

Gambar 1. Relief Lampung (Sumber: Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung, 1999).

3. Prasasti-prasasti Śriwijaya di Daerah Aliran Way Sekampung 3.1 Prasasti Palas Pasemah Situs Palas Pasemah berada di Desa Palas Pasemah, Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan. Lokasi situs berada di tepi Way Pisang sebelah utara. Di sebelah utara Foto 1. Prasasti Palas Pasemah (Dok. Balai Arkeologi merupakan kawasan permukiman sedangkan Bandung, 2009). di sebelah selatan lahan perkebunan. Lahan situs merupakan taman purbakala yang Huruf-huruf pada prasasti dalam kondisi luasnya sekitar 15 x 15 m. Di sebelah barat sudah sangat aus, berukuran tinggi rata-rata dan utara terdapat jalan setapak, sedangkan di 3icm. Tulisan yang ada sebanyak 13 baris, huruf sebelah timur kebun dan sebelah selatan situs yang dipakai adalah huruf Pallawa dengan merupakan aliran Way Pisang. Kondisi lahan menggunakan bahasa Melayu Kuna. Menurut miring ke arah selatan, Way Pisang. Menurut Boechari (2012), berdasarkan perbandingan informasi juru pelihara situs, ketika dilakukan bentuk huruf dengan prasasti-prasasti lainnya, pembangunan pagar situs banyak ditemukan prasasti Palas Pasemah diperkirakan ditulis cangkang kerang laut. Kondisi sungai yang pada akhir abad ke-7 Masehi. Isi prasasti terlihat sekarang berupa sungai kecil yang merupakan peringatan ditaklukannya daerah lebarnya sekitar 4 m. Namun demikian di Lampung Selatan oleh Śriwijaya dan kutukan sebelah selatan sungai masih dijumpai adanya kepada siapa saja di daerah Bhumi Jawa dan tanggul alam. Jarak antara tanggul alam yang Lampung yang berbuat jahat dan tidak mau berada di sisi utara hingga sisi selatan sekitar tunduk kepada datu Śriwijaya (Boechari, 2012; 25 m. Dengan demikian kemungkinan sungai Hardiati, 2010: 79).

128 Nanang Saptono, Permukiman Kuna di Kawasan Way Sekampung, Lampung pada Masa Śriwijaya.

3.2 Prasasti Bungkuk

Foto 3. Tinggalan megalitik di Situs Batu Bedil (Dok. Balai Arkeologi Bandung, 2009). Foto 2. Prasasti Bungkuk (Dok. Balai Arkeologi Bandung, 2009). aliran sungai ini selanjutnya bersatu dengan Prasasti Bungkuk ditemukan di tepi Way aliran Way Sekampung. Sekampung. Pada saat ini sudah tidak berada Situs Batu Bedil berada di dataran tinggi di tempat asalnya tetapi tersimpan di Rumah + 370 m dpl. Dataran ini merupakan rangkaian Informasi Taman Purbakala Pugung Raharjo. paling ujung selatan dari Bukit Barisan yang Kondisi huruf-huruf pada prasasti sudah aus membentang di atas patahan Way Semangka. Di sehingga sulit dibaca tetapi diketahui bahwa sebelah selatan situs mengalir Way Ilahan yang aksara yang dipakai untuk menuliskannya adalah merupakan anak Way Sekampung, sedangkan Pallawa terdiri 13 baris berbahasa Melayu Kuna di sebelah utara situs mengalir sungai kecil (Utomo, 2007: 9). Bagian yang terbaca memuat yang disebut Way Anak. Di antara situs dan kutukan sebagaimana prasasti Śriwijaya yang kedua sungai tersebut terdapat lereng curam lain. Prasasti ini menyebut datu Śriwijaya. dengan kemiringan 45° – 60°. Situs Batu Bedil Dengan adanya prasasti ini menunjukkan terletak di tepi jalan desa yang menghubungkan bahwa jangkauan wilayah Śriwijaya meliputi Desa Talang Padang dan Desa Air Bakoman. Way Sekampung (Hardiati, 2010: 79 – 80). Sekitar situs pada umumnya merupakan kebun penduduk yang ditanami kopi. 3.3 Prasasti Batu Bedil Situs Batu Bedil merupakan kompleks Situs Batu Bedil secara administratif megalitik memiliki luas sekitar 100 x 500 m. berada di Desa Gunung Meraksa, Kecamatan Situs terbagi menjadi Kompleks Batu Bedil Pulau Panggung, Kabupaten Tanggamus. I berada di sebelah barat dan Kompleks Batu Secara geografis lokasi ini berada di wilayah Bedil II berada di sebelah timur. Kedua lokasi hulu Way Sekampung. Bentang alam daerah tersebut berjarak sekitar 100 m.Kompleks Batu berupa pedataran bergelombang. Secara umum Bedil I berada pada lahan seluas 100 x 50 m. ketinggian berkisar antara 300 – 400 m dpl. Kompleks ini berada di lahan datar yang lebih Pemanfaatan lahan selain untuk pemukiman tinggi dari daerah sekitarnya. Pada lahan ini juga digunakan untuk lahan perkebunan, ladang, terdapat prasasti dan sekelompok menhir yang dan sawah. Sungai yang mengalir di daerah membentuk formasi segi empat. Selain itu juga ini antara lain adalah Way Ulok Ngaherong terdapat sebaran batu-batu besar. beserta anak-anak sungainya dan Way Ilahan. Prasasti dituliskan pada sebongkah batu Aliran Way Ulok Ngaherong dengan anak-anak berukuran panjang 185 cm, lebar 72 cm, tebal sungainya bersatu dengan Way Ilahan. Sistem 55 cm. Tulisan prasasti digoreskan pada bagian

129 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 31 No. 2, Desember 2013 : 81-150

Selain itu di dekat Batu Lesung juga terdapat 3 batu datar. Di sebelah selatan pagar berjarak sekitar 50 m pada kebun kopi terdapat sebaran batu alam yang mengelompok. Kompleks Batu Bedil II berada di sebelah timur, luas lahan sekitar 50 x 40 m dengan tinggalan berupa batu bergores, dolmen, batu lumpang, dan menhir.

4. Benda-benda Koleksi Museum Ruwa Jurai Di Museum Ruwa Jurai tersimpan beberapa benda, di antaranya merupakan benda berlatarkan Hindu-Buddha yang ditemukan dari kawasan Way Sekampung. Benda-benda tersebut adalah sebagai berikut.

4.1 Arca Dewi Sri (1) Arca dengan nomor koleksi 2634 (No. Inventaris 04.104; No. Registrasi 2201), Foto 4. Prasasti Batu Bedil (Dok. Balai Arkeologi ditemukan di Desa Banjar Agung, Kecamatan Bandung, 2009). Talang Padang, Kabupaten Tanggamus. Arca batu yang menghadap ke utara. Prasasti terdiri berukuran tinggi keseluruhan 23,5 cm terbuat atas 10 baris dengan tinggi huruf sekitar 5 cm. dari bahan perunggu, pada beberapa bagian Tulisan tersebut berada dalam satu bingkai. berlapis emas. Pada bagian bawah bingkai terdapat goresan Arca digambarkan dengan sikap badan membentuk padma atau bunga teratai. Kondisi berdiri tegak (samabangga) di atas lapik teratai huruf sudah aus sehingga banyak huruf yang (padmāsana). Tangan kanan ditekuk hingga sudah tidak terbaca lagi. siku kemudian diarahkan ke depan. Telapak Di sebelah barat prasasti terdapat 14 tangan mengarah ke atas dengan beberapa menhir yang membentuk formasi segi empat. jari dilipat. Sikap seperti ini merupakan Menhir-menhir tersebut merupakan batu penggambaran sedang memberi petuah atau alam yang tidak menunjukkan tanda-tanda disebut sikap vitarkamūdra. Tangan kiri di pengerjaan oleh manusia. Selain menhir di samping memegang setangkai padi (sikap lahan ini juga terdapat sejumlah batu besar. kastarimūdra). Dilihat dari bentuknya batu-batu tersebut Mahkota yang dikenakan berbentuk kemungkinan sebagai menhir maupun dolmen. dan bersusun mengecil ke atas (jaṭamakuta). Pada permukaan lahan sering terlihat adanya Di bawah mahkota terdapat ikat dahi berhias benda artefaktual berupa pecahan keramik dan permata. Hiasan telinga berupa sesumping tembikar. dan anting-anting berbentuk panjang hingga Sebaran batu juga dapat dijumpai di mencapai pundak. Kalung yang dikenakan beberapa lokasi di luar lahan berpagar. Di dilengkapi dengan hiasan di dada berbentuk sebelah barat pagar Kompleks Megalitik I kelopak bunga. Gelang tangan dan gelang berjarak sekitar 50 m terdapat batu lumpang, lengan (kelat bahu) juga dihias dengan kelopak yang oleh masyarakat dinamakan Batu Lesung. bunga. Upavita menjulur di bahu kiri lurus ke

130 Nanang Saptono, Permukiman Kuna di Kawasan Way Sekampung, Lampung pada Masa Śriwijaya.

Mahkota yang dikenakan berbentuk dan bersusun mengecil ke atas (jaṭamakuta). Di bawah mahkota terdapat ikat dahi berhias tiga tonjolan dilengkapi permata. Hiasan telinga berupa sumping dan anting-anting panjang hingga mencapai pundak. Kalung yang dikenakan dilengkapi dengan hiasan di dada berbentuk kelopak bunga. Gelang tangan dan gelang lengan juga dihias dengan kelopak bunga. Upavita menjulur di bahu kiri menyilang ke pinggang kanan. Bagian badan mengenakan semacam baju tidak berlengan dari bahan kain tipis. Dari pinggang hingga atas mata kaki juga mengenakan kain tipis. Ikat pinggang berhias permata. Pada bagian pinggul terdapat sabuk berhias kelopak bunga.

4.3 Arca Durgāmahisāsuramardinȋ Arca dengan nomor koleksi 3685 (No. Foto 5. Dewi Sri (Dok. Balai Arkeologi Inventaris. 04.287; No. Registrasi 3858) ini Bandung, 2009). ditemukan di Desa Wana, Kecamatan Labuhan bawah hingga pinggang kemudian mengarah Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Arca ke kanan. Bagian badan mengenakan berukuran tinggi 20,5 cm, terbuat dari bahan semacam baju tidak berlengan dari bahan kain perunggu. tipis. Dari pinggang hingga atas mata kaki Durgāmahisāsuramardinȋ diwujudkan juga mengenakan kain tipis. Ikat pinggang dalam sikap berdiri di atas kerbau dengan berhias permata. Pada bagian pinggul terdapat kaki terbuka, badan agak miring (sikap sabuk berhias kelopak bunga. Seluruh hiasan alidha). Mahkota yang dikenakan berbentuk kelopak bunga, permata, dan bagian bibir bertingkat semakin ke atas semakin kecil dilapisi emas. (jaṭamakuta). Pakaian digambarkan lengkap dengan kain panjang, ikat pinggang, kalung, 4.2 Arca Dewi Sri (2) hiasan dada, dan kelat bahu. Perlengkapan Arca Dewi Sri (2) dengan nomor koleksi tersebut digambarkan penuh dengan hiasan 3976 ditemukan di Pekon Rantau Tijang, ukiran. Tangan berjumlah delapan, tangan Kecamatan Pugung, Kabupaten Tanggamus. kanan paling atas memegang vajra, ke bawah Ukuran arca, tinggi keseluruhan 19 cm selanjutnya memegang busur (dhanu), siput berbahan perunggu, pada beberapa bagian (śangkha), dan ekor kerbau. Tangan kiri paling berlapis emas. Arca digambarkan dengan sikap atas memegang cambuk (camara), ke bawah badan berdiri tegak (samabangga) di atas lapik selanjutnya memegang perisai (kheṭaka), teratai (padmāsana). Tangan kanan menjulur ke triśula, dan rambut raksasa Aśura. Tangan bawah dengan telapak tangan terbuka mengarah kanan raksasa Aśura memegang gada. Kerbau ke atas. Sikap seperti ini disebut varahasta atau yang diinjak Durgā dalam posisi keempat kaki varadahasta. Tangan kiri menjulur ke bawah tertekuk, posisi kepala lurus ke depan. Arca telapak mendatar menjepit tangkai padi. ini dilengkapi lapik berbentuk segi empat.

131 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 31 No. 2, Desember 2013 : 81-150

Foto 6. Durgamahisasuramrdini (Dok. Balai Arkeologi Foto 7. Buddha (Dok. Balai Arkeologi Bandung, 2009). Bandung, 2009).

4.4 Arca Buddha 4.5 Arca Avalokiteśwara Arca Buddha dengan nomor koleksi 3044 Arca dengan nomor koleksi 695 (No. (No. Inventaris 04.2789) ditemukan di Desa Inventaris 04.2775) ditemukan di Desa Ketapang, Kecamatan Penengahan, Kabupaten Ketapang, Kecamatan Penengahan, Kabupaten Lampung Selatan. Arca yang terbuat dari Lampung Selatan. Arca setinggi 34,5 cm terbuat bahan perunggu berukuran tinggi 16 cm ini dari bahan perunggu. digambarkan dalam posisi duduk sedang Arca dalam posisi berdiri di atas lapik bersemedi di atas lapik berbentuk kubus. Kedua padma. Di belakang arca dilengkapi sandaran kaki bertumpu pada bantalan padma. Posisi (stella) berbentuk persegi semakin melebar tangan ditekuk di depan dada dalam sikap ke atas dan membulat pada bagian puncak. Di memutar roda dunia (dharmacakramūdra). bagian atas stella terdapat hiasan bulan sabit Arca berpakaian kain tipis yang menutup bahu di kiri dan bulan purnama di kanan. Mahkota kiri hingga pergelangan lengan kiri. Pundak di berbentuk jatamatuka dengan hiasan relief bagian kanan dibiarkan terbuka. Selain itu juga arca Dhyani Buddha Amitabha di bagian depan mengenakan tali kasta (upavita). Sebagaimana tengah. Di belakang kepala dilengkapi hiasan arca Buddha, arca ini digambarkan dengan prabha berbentuk lidah api. Arca digambarkan rambut keriting. Pada atas kepala terdapat bertangan delapan. Tangan kanan paling atas usnisa, pada dahi terdapat ūrna. Daun telinga memegang tasbih (aksamala), tangan kedua panjang dalam posisi tergantung (menggelayut). dari atas memegang tangkai padma yang pada Pada bagian belakang kepala terdapat prabha kelopaknya terdapat arca Buddha dengan kedua berbentuk meruncing ke puncak seperti kelopak telapak bertemu di depan dada, tangan ketiga bunga. dari atas memegang kuncup bunga, tangan

132 Nanang Saptono, Permukiman Kuna di Kawasan Way Sekampung, Lampung pada Masa Śriwijaya.

Hiasan berupa arca Buddha pada kelopak padma ini seperti pada bunga yang tangkainya dipegang arca utama.

5. Permukiman dan Kehidupan Masyarakat 5.1 Permukiman di Hulu dan Hilir Pada masa klasik, saat pengaruh Hindu- Buddha sangat kuat, di Lampung tidak ada bukti adanya suatu pusat kerajaan (kingdom). Beberapa prasasti yang ditemukan di Lampung kebanyakan merupakan prasasti yang dikeluarkan oleh Śriwijaya. Dengan asumsi bahwa prasasti ditempatkan pada permukiman masyarakat, maka pada masa Śriwijaya berkuasa di Lampung terdapat tiga lokasi permukiman yang berada di tepi aliran Way Sekampung. Permukiman di sekitar Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Bungkuk berada di wilayah hilir, serta permukiman di sekitar Prasasti Batu Foto 8. Dhyani Bodhisatwa Avalokiteśwara (Dok. Balai Arkeologi Bandung, 2009). Bedil berada di wilayah hulu. Secara geografis kedua kawasan tersebut mempunyai bentang kanan paling bawah terbuka. Tangan kiri paling alam yang berbeda. Kawasan hulu bergunung- atas menggenggam gulungan kertas, tangan kiri gunung dan bergelombang, sedangkan kawasan kedua dari atas memegang tangkai padma yang hilir berupa pedataran berawa-rawa. Pemilihan pada kelopaknya terdapat arca Buddha dengan lokasi dengan bentang lahan tertentu untuk kedua telapak bertemu di depan dada, tangan permukiman bukan tanpa alasan. kiri ketiga dari atas memegang kuncup bunga, Kehidupan manusia banyak dipengaruhi dan tangan kiri paling bawah membawa kendi. dan mempengaruhi lingkungan alam tempat Arca digambarkan dengan hiasan yang tinggalnya. Hubungan saling mempengaruhi raya seperti ikat dahi, anting-anting, kalung, atau hubungan timbal balik antara manusia selempang, gelang lengan, gelang kaki, dan ikat dengan lingkungan sekitarnya bagi manusia pinggang. Bagian pinggul hingga pergelangan sendiri sangat dipengaruhi oleh sistem budaya kaki mengenakan kain berkesan tipis. Kepala yang dimilikinya. Dalam kehidupan sehari- ikat pinggang digambarkan berhias kuntum hari, sistem budaya terwujud nyata dalam bunga. Di bawah kepala ikat pinggang juga sistem budaya yang ideal dan faktual1. Aktivitas terdapat hiasan bermotif bunga. Pada kedua manusia dikendalikan oleh sistem budaya sisi arca, di samping kaki, terdapat dua pasang ideal dan faktual, dalam hal hubungan timbal arca kecil, arca lelaki memegang kendi dan balik dengan lingkungannya menunjukkan piring sedangkan dua arca putri bersikap tangan bahwa manusia mengelola lingkungan sekitar. menangkup. Di belakang kedua pasang arca Lingkungan manusia didefinisikan sebagai terdapat hiasan bunga yang keluar dari bonggol. segala sesuatu yang berada di sekeliling

Pada bagian atas latar arca terdapat empat 1 Sistem budaya ideal adalah pedoman bagi orang untuk kuntum padma yang dilengkapi empat arca berperilaku sesuai dengan yang diharapkan. Sistem budaya faktual hanya berbentuk hal-hal yang dianggap sesuai dengan Buddha kecil duduk pada bagian kelopaknya. kondisi yang mereka hadapi sehari-hari.

133 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 31 No. 2, Desember 2013 : 81-150 manusia yang berpengaruh kepada kehidupan Bungkuk yang ditemukan di Desa Bungkuk, manusia itu sendiri. Faktor-faktor sistem biofisik Jabung, Lampung Timur juga berisi peringatan (ekosistem) di sekitar manusia sangat beragam atas kekuasaan Śriwijaya di Lampung. termasuk di dalamnya iklim, udara, air, tanah, Penempatan prasasti pada suatu tempat tanaman, dan binatang. Hubungan timbal balik pasti tidak tanpa alasan. Prasasti dikeluarkan yang erat antara dua subsistem dapat berjalan untuk memberi informasi kepada siapa saja baik dan teratur karena adanya arus energi, yang membacanya. Dengan demikian prasasti materi, dan informasi (Iskandar, 2001: 7–8). tidak mungkin ditempatkan pada daerah Sistem budaya ideal misalnya tampak pada kosong tanpa masyarakat yang bermukim. hubungan manusia dengan lingkungan dalam Kondisi lokasi Prasasti Palas Pasemah masih kaitannya dengan penempatan bangunan suci bisa diketahui. Keadaan situs yang terlihat yang diatur dalam kitab Manasara Vastusastra sekarang berupa perkampungan yang cukup dan Śilpasāstra. Sumberdaya lingkungan padat. Artefak atau tinggalan benda arkeologis merupakan hal yang penting diperhatikan lain yang menunjukkan bekas pemukiman bahkan bersifat menentukan dalam pengambilan tidak ditemukan namun ada informasi dari juru keputusan mengenai penempatan bangunan suci pelihara bahwa ketika pembuatan bangunan (Mundardjito, 2002). untuk tempat prasasti, di lokasi itu banyak Dalam rangka mempertahankan hidup terdapat kulit kerang. Fakta berupa prasasti dan sehari-hari manusia akan memilih lokasi untuk sangat sedikitnya artefak memberikan gambaran bermukim pada wilayah yang menyediakan bahwa permukiman di tepi Way Pisang sumberdaya melimpah untuk mencukupi ketika Prasasti Palas Pasemah ditempatkan kehidupan. Manusia juga memilih lokasi yang merupakan perkampungan yang tidak begitu dianggap aman. Lokasi permukiman dipilih besar. Kondisi ini menyiratkan bahwa daerah pada bentang alam yang bisa memenuhi aktivitas Lampung Selatan, dalam hal ini Palas Pasemah, budaya dan kebutuhan hidup. Permukiman merupakan daerah yang sekedar dijadikan titik biasanya mengelompok pada lokasi tertentu antara untuk menyerang Bhumijawa. seperti lembah yang subur, dataran rendah, Berbeda dengan Prasasti Palas Pasemah, atau daerah perbukitan yang sesuai dengan isi Prasasti Batu Bedil menggambarkan adanya budayanya (Trigger, 1968: 61). persentuhan religi masyarakat dengan Buddha. Kawasan hulu Way Sekampung tempat Prasasti Palas Pasemah berisi tentang peringatan prasasti Batu Bedil berada memperlihatkan penaklukan oleh Śriwijaya sedangkan Prasasti kecenderungan adanya pemilihan lokasi dalam Batu Bedil berisi mantra. Tulisan pada Prasasti kaitannya dengan aspek religi, sedangkan Batu Bedil sudah sangat aus sehingga sulit permukiman di kawasan hilir cenderung lebih dibaca. Berdasarkan perbandingan hurufnya, berkaitan dengan pola mata pencaharian. Prasasti Batu Bedil diperkirakan berasal dari Prasasti Palas Pasemah di Kalianda dan Prasasti akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10. Beberapa Bungkuk di Jabung serta Prasasti Batu Bedil kata yang terbaca adalah Namo Bhagawate di Pulau Panggung merupakan prasasti dari pada baris pertama dan Swāhā pada baris ke Śriwijaya yang berbeda karakter. sepuluh. Menurut Soekmono, berdasarkan kata- Prasasti Palas Pasemah yang ditemukan kata tersebut menunjukkan bahwa Prasasti Batu di Kalianda, Lampung Selatan berisi peringatan Bedil berisi tentang mantra agama Buddha penaklukan daerah Lampung dan Bhumijawa (Soekmono, 1985: 49 – 50). oleh Śriwijaya. Bhumijawa yang dimaksud Lokasi Prasasti Batu Bedil berada di lahan adalah Tarumanegara (Boechari, 2012). Prasasti yang dibatasi dua sungai. Tinggalan arkeologis

134 Nanang Saptono, Permukiman Kuna di Kawasan Way Sekampung, Lampung pada Masa Śriwijaya. lainnya yang ditemukan adalah bangunan dalam upacara pemujaan kepada arwah leluhur. megalitik. Di Batu Bedil I terdapat sekumpulan Susunan dolmen ada yang berdiri sendiri, menhir, batu datar, dan prasasti sedangkan di dilengkapi dengan menhir, dan ada pula yang Batu Bedil II ditemukan menhir, dolmen, batu tersusun dengan tinggalan megalitik lain seperti bergores, dan lumpang batu. Di antara tinggalan menhir, sebaran batuan, tahta batu, dan batu monumental tersebut tersebar pecahan keramik temu gelang (stone enclosure). Dolmen yang dan gerabah yang menunjukkan bekas tersusun dengan tinggalan megalitik lainnya permukiman. Berdasarkan kondisi seperti ini menunjukkan bahwa dolmen tersebut merupakan memperlihatkan bahwa pada permukiman perangkat penting yang dipergunakan dalam masyarakat terdapat juga monumen-monumen kegiatan yang berhubungan dengan pemujaan untuk sarana pemujaan kepada arwah nenek arwah leluhur (Laili, 2004: 18 – 19). Batu datar moyang. Lahan berupa punggungan bukit atau tahta batu berfungsi sebagai altar untuk yang diapit dua aliran sungai merupakan lokasi menempatkan persembahan dan perlengkapan ideal untuk permukiman karena secara alami dalam upacara pemujaan. sungai dapat dijadikan benteng pertahanan dan Batu bergores juga merupakan sekaligus menyediakan keperluan air. tinggalan budaya megalitik tetapi mungkin Kehidupan religi masyarakat ketika tidak berhubungan dengan pemujaan kepada itu terlihat dari isi prasasti dan tinggalan arwah leluhur. Batu bergores biasanya berupa monumental. Antara isi prasasti Batu Bedil bongkah yang pada permukaannya terdapat dengan tinggalan arkeologis lain terlihat ada goresan. Namun demikian ada juga yang berupa kesamaan watak yaitu menyangkut aspek religi. dinding batu atau batu besar monolith yang Isi prasasti berupa mantra dalam ajaran Buddha digores. Batu bergores merupakan objek yang sedangkan tinggalan monumental yang ada digunakan sebagai sarana pemberian kekuatan merupakan bangunan untuk sarana ritual dalam gaib terhadap suatu perkakas, biasanya tradisi megalitik. Menhir, dolmen, batu datar, dan senjata tajam, yang akan digunakan dengan batu bergores menunjukkan tinggalan yang ada jalan mengasahkan perkakas tersebut pada kaitannya dengan kepercayaan tradisi megalitik. batu sehingga terdapat bekas berupa goresan. Menhir ialah batu tegak yang sudah dikerjakan Kebiasaan seperti ini masih berlangsung di atau belum dan diletakkan dengan sengaja di Desa Woro, Rembang, Jawa Tengah dan Desa suatu tempat untuk memperingati arwah nenek Takirin, Timor. moyang dan pengharapan kesejahteraan bagi Berdasarkan telaah terhadap tinggalan yang masih hidup (Bintarti, 2010: 255). Menhir monumental di Situs Batu Bedil memperlihatkan dapat berdiri tunggal maupun berkelompok bahwa masyarakat penghuninya merupakan membentuk formasi tertentu. masyarakat pendukung budaya megalitik. Dolmen susunan batu dengan bentuk Masyarakat pada waktu itu melakukan aktivitas umum adalah satu batu besar dan lebar yang ritual dalam kaitannya dengan pemujaan ditopang beberapa batu lainnya sebagai kepada arwah leluhur. Hal ini terlihat dari penyangga. Dengan susunan yang demikian, adanya tinggalan berupa dolmen dan menhir. dolmen sering kali disebut juga meja batu. Di samping itu, aktivitas religi masyarakat Menurut H.R. van Heekeren, dolmen merupakan juga terlihat sudah mendapat sentuhan agama tinggalan masyarakat pendukung budaya Buddha. Penulisan prasasti mantra pada menhir megalitik yang bisa dikaitkan dengan upacara memperlihatkan bahwa ritual yang dilakukan penguburan. Selain itu dolmen juga berfungsi sudah mendapat sentuhan ajaran dalam agama sebagai tempat duduk yang dipergunakan Buddha.

135 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 31 No. 2, Desember 2013 : 81-150

Gambar 2. Persebaran tinggalan arkeologis masa klasik di Way Sekampung.

5.2 Gambaran Masyarakat di Kawasan Buddha selalu digambarkan duduk di atas Permukiman Hulu dan Hilir padmasana dalam sikap meditasi. Kaki dalam Kehidupan religi masyarakat yang sikap vajrasana atau vajraparyankasana. Mata bermukim di sepanjang Way Sekampung bila setengah tertutup dengan pusat pandangan ke dilihat berdasarkan persebaran lokasi temuan ujung hidung. Penggambaran Bodhisattwa tinggalan arca yang ditemukan akan semakin dengan sikap tangan dharmacakramuda jelas lagi. Di kawasan hulu Way Sekampung adalah untuk Bodhisattwa Wairocana yang tempat Situs Batu Bedil ditemukan dua arca merupakan perwujudan dari pengetahuan baik Dewi Sri. Di dalam mitologi Hindu, Dewi Sri dan menggambarkan musim gugur. Dengan atau Laksmi adalah śakti Dewa Wiṣṇu. Dewi ditemukannya arca Buddha menunjukkan bahwa Sri dianggap sebagai dewi pemberi kebahagiaan di Desa Ketapang pernah hadir masyarakat yang dan kemakmuran. Dewi Sri juga dihubungkan menganut ajaran Buddha. dengan usaha mencapai moksa atau kebahagiaan Selain arca di Ketapang pada lahan di tepi di alam sana. Dewi Sri juga dianggap sebagai pantai yang oleh masyarakat disebut Keramat dewi penguasa tumbuh-tumbuhan khususnya Batu atau ada juga yang menyebut Kuta padi. Gegelang, terdapat runtuhan bangunan. Unsur Sementara itu, di kawasan hilir sekitar bangunan yang tampak di permukaan berupa Situs Palas Pasemah dan Bungkuk telah runtuhan batu karang dan bata. Penggalian yang ditemukan arca Buddha dan Awalokiteswara dilakukan memperlihatkan struktur batu karang di Ketapang, Lampung Selatan serta Durga di berukuran lebar sekitar 1,5 m. Ekskavasi yang Labuhan Maringgai, Lampung Timur. Arca dilakukan pada struktur bata memperlihatkan yang ditemukan di Desa Ketapang merupakan bahwa di bawah bata terdapat batu putih (tufa) arca Buddha dan Bodhisattwa2. Pengarcaan untuk mengambil jalan kebenaran. Dhyani Bodhisattwa digambarkan sebagaimana dewa dengan pakaian dan perhiasan 2 Dhyani Bodhisattwa adalah seseorang yang telah mendapat sebagaimana layaknya seorang raja. Jumlah Bodhisattwa sangat penerangan dan pengetahuan tetapi kemudian menolak banyak tetapi yang terkenal adalah Avalokiteçvara dan Manjuçri memasuki Nirwana karena ingin membimbing semua orang (Gupte 1972: 110).

136 Nanang Saptono, Permukiman Kuna di Kawasan Way Sekampung, Lampung pada Masa Śriwijaya.

Jejak kehidupan masyarakat yang berlatarkan pada ajaran Buddha juga terlihat di Situs Pugungraharjo. Di situs ini terdapat arca yang diduga merupakan arca Boddhisattwa (Soekatno, 1985: 165–166). Arca digambarkan dalam posisi duduk tegak di atas padmasana ganda yang berbentuk bulat dalam sikap vajrasana yaitu sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki menghadap ke atas. Pada bagian belakang terdapat bantalan dengan Foto 9. Runtuhan struktur bata di situs Ketapang (Dok. motif karang. Posisi tangan berada di depan Balai Arkeologi Bandung, 1995). dada, telunjuk kiri mengarah ke atas sedangkan yang dibentuk seperti bata. Bata utuh yang telunjuk kanan dibengkokkan di atas telunjuk ditemukan berukuran 40 x 18 x 8 cm. kiri, jari-jari tangan yang lain dilipat. Beberapa bata yang ditemukan jejak Selain arca bercorak Buddha, di kawasan pengerjaan yang meliputi pengukiran, hilir Way Sekampung juga terdapat arca bercorak pemangkasan, dan pemotongan. Pengukiran Hindu yaitu arca Durgāmahiśasuramardinȋ dari dilakukan pada bagian salah satu sisi ketebalan Desa Wana, Kecamatan Labuhan Maringgai. berupa motif sulur-suluran. Pemangkasan Durga merupakan salah satu pantheon agama juga dilakukan pada sisi ketebalan, dilakukan Hindu yang dikenal sebagai śakti Civa. untuk membuat bentuk miring, melengkung, Secara geografis, posisi Desa Wana bukan dan kombinasi antara melengkung dan tegak. termasuk dalam kawasan river basin Way Pemotongan juga dilakukan untuk membentuk Sekampung. Meskipun demikian, secara lebih pengunci antar bata. Pengerjaan pada bagian luas menunjukkan bahwa di kawasan pesisir ketebalan bata bila dihubungkan antara timur Lampung terdapat tinggalan arkeologis pemangkasan, pemotongan, dan pengukiran bercirikan Hindu. Di kawasan hilir tampak bahwa menunjukkan adanya penyiapan bagian kawasan masyarakat penganut Buddha lebih bangunan pada sisi dinding untuk membuat luas dibandingkan dengan masyarakat penganut profil. Dengan adanya bagian profil dinding Hindu. Masyarakat penganut Buddha kebanyakan dapat disimpulkan bahwa bangunan di Situs berada pada kawasan tempat prasasti-prasasti Ketapang tidak sekedar lantai atau fondasi tetapi Śriwijaya berada. Hal ini menunjukkan bahwa merupakan bangunan yang benar-benar berdiri Śriwijaya dalam menaklukkan Lampung tidak setidak-tidaknya berupa batur yang ditinggikan. sekedar secara politis tetapi juga memperkuat Temuan penting selain tinggalan pengaruhnya melalui ajaran Buddha. Kehidupan monumental, di Situs Ketapang juga ditemukan masyarakat dengan latar ajaran Buddha tidak artefak berupa fragmen arca bagian betis hanya berlangsung pada masa Śriwijaya tetapi terbuat dari batu. Dalam penggambarannya, berlanjut hingga masa-masa sesudahnya yang arca tersebut mengenakan pakaian panjang dibuktikan dengan arca di Situs Pugungraharjo. hingga di atas pergelangan kaki. Arca demikian Meskipun ajaran Buddha dan Hindu ini merupakan arca Buddha dalam posisi berdiri. berkembang di kawasan hulu dan hilir namun Dengan adanya fragmen arca Buddha dan kepercayaan asli (budaya megalitik) tetap struktur bangunan semakin menunjukkan bahwa berlangsung secara bersamaan. Prasasti Batu di Situs Ketapang pernah berlangsung kehidupan Bedil dan arca klasik (Boddhisattwa) di masyarakat yang menganut ajaran Buddha. Pugungraharjo berada satu konteks dengan

137 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 31 No. 2, Desember 2013 : 81-150 tinggalan budaya megalitik. Masyarakat Bedil tidak diketahui isinya secara lengkap tetapi megalitik merupakan masyarakat yang sudah berdasarkan kalimat yang terbaca berisi mantra mengenal sistem organisasi sosial. Keberadaan Buddha dan Hindu. Prasasti Bungkuk dan Palas masyarakat demikian ini juga disebut-sebut Pasemah berisi tentang peringatan kekuasaan dalam tradisi lisan. Pada masa sebelum Islam Śriwijaya di Lampung dan kutukan bagi siapa masuk ke Lampung, masyarakat terkelompok saja yang tidak mau tunduk kepada Śriwijaya. berdasarkan keturunan dan asal. Kondisi Selain itu juga menyebut bahwa Śriwijaya demikian ini berlangsung terus hingga masa akan menyerang Bhumijawa. Berangkat Islam. Dalam catatan Tomé Pires mengenai dari pemikiran bahwa prasasti peringatan kawasan Lampung dilaporkan terdapat dua nama pasti ditempatkan pada lokasi permukiman yaitu Sekampung dan Tulangbawang. Dua nama masyarakat, maka di Lampung setidak-tidaknya ini disebutnya sebagai suatu negeri (state) dalam terdapat dua kawasan permukiman yang dinilai arti bukan kerajaan (Cortesão, 1967: 136). penting pada masa Śriwijaya. Lokasi tersebut Sekampung dapat diidentifikasikan sebagai berada di kawasan pedataran Sungai Way kawasan di sekitar Way Sekampung sekarang, Sekampung. Di kawasan hulu berada di sekitar lokasinya berdekatan dengan Tana Malaio dan Batu Bedil dan di kawasan hilir berada di sekitar Tulangbawang. Meskipun Sekampung dikatakan Prasasti Palas Pasemah. Secara geomorfologis, bukan suatu kerajaan, tetapi diberitakan oleh kawasan hulu berupa perbukitan dan di hilir Tomé Pires sebagai negeri yang berlimpah ruah. berupa dataran rendah berawa. Sekampung sudah menjalinan hubungan dagang Latar kehidupan religi masyarakat yang dengan Sunda dan Jawa. Beberapa barang bermukim di kedua kawasan tersebut terlihat komoditasnya antara lain kapas, emas, madu, dari sebaran temuan arca-arca klasik. Di lilin, rotan, lada, beras, dan hasil bumi lainnya. kawasan hulu merupakan kawasan mayoritas Pemimpin di Sekampung ketika itu (antara tahun masyarakat penganut Hindu, sedangkan di hilir 1512 – 1515) masih kafir (cafre). Masyarakat mayoritas masyarakat merupakan penganut terutama yang tinggal di daerah hulu juga masih Buddha. Kuatnya Buddha di kawasan hilir Way kafir (Cortesão, 1967: 158). Sekampung bila dikaitkan dengan keberadaan Situs-situs permukiman yang terdapat di Prasasti Bungkuk dan Palas Pasemah sepanjang Way Sekampung sangat banyak. Situs menunjukkan bahwa Śriwijaya ketika berkuasa terbesar yang ditemukan adalah Pugungraharjo. di Lampung tidak hanya sekedar secara politis Tinggalan arkeologis di situs ini menunjukkan tetapi juga menguasai secara ideologis. Baik adanya perpaduan antara tradisi megalitik yang di hulu maupun hilir sudah berkembang religi kemudian mendapat sentuhan ajaran Buddha. Hindu dan Buddha namun masyarakat masih Mungkin masyarakat pada waktu itu di samping mempertahankan sistem religi terdahulu yaitu sudah mempraktekkan ajaran Buddha tetapi sistem religi pada budaya megalitik. juga masih menjalankan ritual pemujaan kepada arwah leluhur. Masyarakat seperti inilah yang oleh Tomé Pires disebut sebagai masyarakat cafre. *****

6. Penutup Di Lampung telah ditemukan prasasti dari masa Śriwijaya yaitu Prasasti Batu Bedil, Bungkuk, dan Palas Pasemah. Prasasti Batu

138 Nanang Saptono, Permukiman Kuna di Kawasan Way Sekampung, Lampung pada Masa Śriwijaya.

Daftar Pustaka Muljana, Slamet. 1979. Nāgarakrětāgama dan Tafsir Sejarahnya. : Bhratara Karya Bintarti, D.D. (ed.). 2010. “Zaman Prasejarah di Aksara. Indonesia”, dalam R.P. Soejono dan R.Z. Leirissa (ed.). Sejarah Nasional Indonesia Mundardjito. 2002. Pertimbangan Ekologis: I. Jakarta: Balai Pustaka. Penempatan Situs Masa Hindu-Buda di Daerah Yogyakarta. Jakarta: Wedatama Boechari, 2012. “An Old Malay Inscription Widya Sastra dan EFEO. of Śriwijaya at Palas Pasemah (South Lampung)”, dalam Melacak Sejarah Purwanti, Retno. 1995. “Perang Pada Masa Kuno Indonesia Lewat Prasasti.Jakarta: Śriwijaya: Tinjauan terhadap Prasasti- Kepustakaan Populer Gramedia: 361-84. prasasti Abad VII Masehi”, dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. Clarke, David L. 1977. Spatial Information 3: 98-103. Bandung: Balai Arkeologi in Archaelogy, in Spatial Archaeology. Bandung. London: Academic Press. Soekatno, Endang Sri Hardiati. 1985. “Catatan Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tentang Arca dari Masa Klasik dari Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Pugungraharjo, Lampung”, dalam Rapat Reprint Limited. Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi II, hal Danasasmita, Saleh. 1987. Sewaka Darma, 163-7. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Sanghyang Siksakanda ng Karesian, Nasional. Amanat Galunggung. Transkripsi dan Soekmono, R.1985. “Kisah Perjalanan ke Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Selatan dan Jambi”, dalam Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Satyawati Suleiman dkk. Amerta 3. Sunda (Sundanologi). Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Hardiati, Endang Sri (ed.). 2010. “Zaman Kuno”, Nasional. dalam R.P. Soejono dan R.Z. Leirissa (ed.). Trigger, Bruce G. 1968. “The Determinants of Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Settlement Pattern”, dalam Kuang Chih Balai Pustaka. Chang (ed.). Settlement Archaeology, hal Iskandar, Johan. 2001. Manusia, Budaya, dan 5-78. California: National Press. Lingkungan. Bandung: Humaniora Utama Utomo, Bambang Budi. 2007. Prasasti-prasasti Press. Sumatera. Jakarta: Pusat Penelitian dan Laili, Nurul. 2004. “Pola Penempatan Dolmen Pengembangan Arkeologi Nasional. Pada Situs-situs Megalitik Lampung”. Verstappen, H. Th. 1973. A Geomorphological dalam Agus Aris Munandar (ed.), Reconnaissance of Sumatra and Adjacent Teknologi dan Religi dalam Perspektif Islands (Indonesia). Wolters-Noordhoff Arkeologi, hal. 12-21. Bandung: Ikatan Publishing Groningen. Ahli Arkeologi Indonesia. Mangga, Andi S., Amiruddin, T. Suwardi, D. Gafoer, dan Sidarto. 1994. Geologi Lembar Tanjungkarang Sumatra. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

139 AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 31 No. 2, Desember 2013 : 81-150

140