Bab Ii Kajian Teori Pokok-Pokok Pemikiran Kh
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
BAB II KAJIAN TEORI POKOK-POKOK PEMIKIRAN KH. ABDUL HALIM TERHADAP PENDIDIKAN AGAMA DAN MOTIVASI BERAGAMA A. Biografi KH. Abdul Halim KH. Abdul Halim dilahirkan di desa Cibolerang, kecamatan Jatiwangi, kabupaten Majalengka, propinsi Jawa Barat bertepatan pada hari Sabtu Pon, tanggal 26 Juni 1887 M/ 4 Syawal 1304 H. Beliau berasal dari keluarga santri yang taat beragama, ayahnya bernama KH. Muhammad Iskandar bin KH. Abdullah Qomar, seorang penghulu di kawedanan Jatiwangi dan ibunya bernama Siti Mutmainah binti Imam Safari (Mastuki, 2003: 181). KH. Abdul Halim merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara yaitu Iloh Mardiyah, Empon Kobtiyah, Empon Sodariyah, Jubaedi, Iping Maesaroh, Hidayat, Siti Sa‟diyah dan Otong Syatori atau Abdul Halim. Otong Syatori adalah nama kecil dari KH. Abdul Halim, sebelum beliau menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Setelah berubah nama menjadi KH. Abdul Halim, nama yang disandangnya dikenal lebih luas bahkan hingga saat ini sebagai seorang ulama dan tokoh besar pembaharu Islam di Indonesia. KH. Abdul Halim menikah dengan Siti Murbiyah, anak dari KH. Muhammad Ilyas bin Hasan Basyari, yang pada waktu itu berkedudukan sebagai penghulu besar Kabupaten Majalengka. Pernikahan terjadi pada tahun 26 27 1907, pernikahan tersebut masih bersifat kawin gantung (Wawancara dengan Ianah Rochimi, Cicalung 20 Oktober 2017). Setelah menikah mereka tidak hidup dalam satu atap. Masing- masing masih tinggal di rumah orang tuanya sampai usianya cukup dewasa atau seluruh persyaratan dipenuhi. Kawin gantung dilakukan oleh mereka mengingat usia Siti Murbiyah masih sangat muda, sekitar 11 tahun (Miftahul Falah, 2008: 11). Sama seperti orang tuanya, pernikahan KH. Abdul Halim dengan Siti Murbiyah pun masih menunjukkan adanya ikatan kekerabatan yang hubungannya masih dekat. Dari pernikahannya itu, KH. Abdul Halim dikarunia empat orang putra dan tiga orang putri, diantaranya : 1. Moh. Toha A. Halim. 2. Siti Fatimah. 3. Siti Mahriyah. 4. Abdul Aziz Halim. 5. Siti Halimah Halim. 6. Abdul Karim Halim. 7. Toto Taufik Halim (Wawancara dengan Ianah Rochimi, Cicalung 20 Oktober 2017). Pada usia 22 tahun KH. Abdul Halim berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan mendalami ilmu agama. Beliau bermukim di sana selama 3 tahun. Pada kesempatan tersebut beliau mengenal dan mempelajari tulisan-tulisan Sayid Jamaluddin al-Afgani dan Syeikh 28 Muhammad Abduh. Untuk mendalami pengetahuan agama di sana, beliau belajar kepada Syeikh Ahmad Khatib, imam dan khatib Masjidil Haram, dan Syeikh Ahmad Khayyat. Ketika beliau berada di Mekkah, beliau bertemu dengan KH. Mas Mansyur dari Surabaya (tokoh Muhammadiyah) dan KH. Abdul Wahab Hasbullah (tokoh Nahdatul Ulama). Kemudian pada tahun 1328 H/1911 M, beliau kembali ke Indonesia (Miftahul Falah, 2008: 11). B. Pendidikan Menurut KH. Abdul Halim 1. Tujuan Pendidikan Sebelum penulis membahas tujuan pendidikan agama, terlebih dahulu penulis akan membahas tujuan pendidikan secara umum. Tujuan pendidikan merupakan faktor yang sangat penting, karena merupakan arah yang akan dituju oleh pendidikan. Sedangkan pendidikan agama Islam, yang tercakup mata pelajaran akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama (Rini Yuli Sectio, 2013: 11). Tujuan pendidikan secara formal diartikan sebagai rumusan kualifikasi, pengetahuan, kemampuan dan sikap yang harus dimiliki oleh anak didik setelah selesai suatu pelajaran di sekolah, karena tujuan berfungsi mengarahkan, mengontrol dan memudahkan evaluasi suatu aktivitas, sebab tujuan pendidikan identik dengan tujuan hidup manusia (Rini Yuli Sectio, 2013: 12). 29 Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu beribadah kepada-Nya, Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT. Tujuan hidup manusia itu adalah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat Adz- Dzariyat ayat 56 : Artinya:“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku” (Departemen Agama RI, 2002: 524). Dalam prespektif pendidikan Islam, tujuan hidup seorang muslim pada hakekatnya adalah mengabdi kepada Allah. Pengabdian kepada Allah sebagai realisasi dari keimanan yang diwujudkan dalam amal, tidak lain untuk mencapai derajat yang bertaqwa disisinya. Beriman dan beramal soleh merupakan dua aspek kepribadian yang dicita-citakan dalam pendidikan Islam. Sedangkan tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya insan yang memiliki dimensi religious dan berkemampuan ilmiah (Ramayulis; dkk, 2009: 137). Secara lebih filosofis Muhammad Natsir dalam tulisan“ideology pendidikan Islam” menyatakan bahwa: “Yang dinamakan pendidikan adalah suatu pimpinan jasmani dan rohani menuju kesempurnaan dan kelengkapan atau kemanusiaan dengan arti sesungguhnya”. Sedangkan ibadah adalah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta 30 segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah (Azyumardi Azra, 2001: 4). Ki Hajar Dewantara (dalam Rohimin, 2009: 4) menjelaskan secara terminologis bahwa: “Pendidikan sebagai upaya memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya”. Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan karakter dan batin), pikiran (intellect), dan tubuh anak. Ki Hajar Dewantara pun menanamkan tentang konsep pendidikan yang utuh yakni ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, yang artinya mampu menjadi teladan, mampu menjaga keseimbangan dan mampu mendorong serta memotivasi peserta didik. Dalam prakteknya di Taman Siswa (lembaga pendidikan yang didirikan Ki Hajar Dewantara) bagian-bagian tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain sehingga dapat memajukan kesempurnaan hidup yakni kehidupan dan penghidupan anak yang selaras dengan dunianya (Rohimin; dkk, 2009: 5). Kemudian penulis membagi tujuan pendidikan agama menjadi dua bagian, yaitu: a. Tujuan Umum Tujuan umum pendidikan agama Islam adalah untuk usaha mencapai kualitas pendidikan agama Islam. Fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi 31 tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-undang Dasar No.20 Tahun 2003 (Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003: 21). Tujuan umum pendidikan agama Islam bertugas untuk membimbing dan mengarahkan peserta didik supaya menjadi muslim yang beriman teguh sebagai refleksi dari keimanan yang telah dibina oleh penanaman pengetahuan agama yang harus dicerminkan dengan akhlak yang mulia sebagai sasaran akhir dari pendidikan agama Islam (Ahmad Tafsir, 2005: 10). b. Tujuan Khusus Tujuan khusus pendidikan agama adalah tujuan yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan jenjang pendidikan yang dilaluinya, sehingga setiap tujuan pendidikan agama pada setiap jenjang sekolah mempunyai tujuan yang berbeda-beda, seperti tujuan pendidikan agama di sekolah dasar berbeda dengan tujuan pendidikan agama di SMP, SMA dan berbeda pula dengan tujuan pendidikan agama di perguruan tinggi (Http://ialfarisi.blogspot.com/2010/02/tujuan-pendidikan-agama- islam html, 13Desember 2017: 19.30 WIB). Tujuan khusus pendidikan adalah untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut serta 32 meningkatkan tata cara membaca Al-Qur‟an dan tajwid sampai kepada tata cara menerapkan hukum bacaan mad dan waqaf. Membiasakan perilaku terpuji seperti qana‟ah dan tasawuh dan menjauhkan diri dari perilaku tercela seperti ananiah, hasad, ghadab dan namimah serta memahami dan meneladani tata cara mandi wajib dan shalat-shalat wajib maupun shalat sunat (Riyanto, 2006: 160). Tujuan pendidikan agama yaitu menjadikan anak didik agar menjadi pemeluk agama yang aktif dan menjadi masyarakat atau warga negara yang baik dimana keduanya itu terpadu untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan merupakan suatu hakekat, sehingga setiap pemeluk agama yang aktif secara otomatis akan menjadi warga negara yang baik, terciptalah warga negara yang pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa (Riyanto, 2006: 160). Berdasarkan wawancara dengan bapak KH. Kholid Fadlullah (10 Oktober 2017) bahwa Pendidikan Agama Islam dalam pandangan KH. Abdul Halim tidak memberikan pemahaman secara khusus, salah satu pemikiran penting KH. Abdul Halim dalam kapasitasnya sebagai ulama adalah membina keselamatan dan kesejahteraan umat melalui perbaikan delapan bidang yang disebut dengan Islah as-Samaniyah, yaitu islah al-aqidah (perbaikan bidang aqidah), islah al-ibadah (perbaikan bidang ibadah), islah at-tarbiyah (perbaikan bidang pendidikan), islah al-ailah (perbaikan bidang 33 keluarga), islah al-adah (perbaikan bidang kebiasaan), islah al- mujtama (perbaikan masyarakat), islah al-iqtisad (perbaikan bidang