BAB II

KAJIAN TEORI POKOK-POKOK PEMIKIRAN KH. ABDUL HALIM

TERHADAP PENDIDIKAN AGAMA DAN MOTIVASI BERAGAMA

A. Biografi KH. Abdul Halim

KH. Abdul Halim dilahirkan di desa Cibolerang, kecamatan

Jatiwangi, kabupaten Majalengka, propinsi Jawa Barat bertepatan pada hari

Sabtu Pon, tanggal 26 Juni 1887 M/ 4 Syawal 1304 H. Beliau berasal dari

keluarga santri yang taat beragama, ayahnya bernama KH. Muhammad

Iskandar bin KH. Abdullah Qomar, seorang penghulu di kawedanan

Jatiwangi dan ibunya bernama Siti Mutmainah binti Imam Safari (Mastuki,

2003: 181).

KH. Abdul Halim merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara

yaitu Iloh Mardiyah, Empon Kobtiyah, Empon Sodariyah, Jubaedi, Iping

Maesaroh, Hidayat, Siti Sa‟diyah dan Otong Syatori atau Abdul Halim.

Otong Syatori adalah nama kecil dari KH. Abdul Halim, sebelum beliau

menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Setelah berubah nama menjadi KH.

Abdul Halim, nama yang disandangnya dikenal lebih luas bahkan hingga saat

ini sebagai seorang ulama dan tokoh besar pembaharu Islam di .

KH. Abdul Halim menikah dengan Siti Murbiyah, anak dari KH.

Muhammad Ilyas bin Hasan Basyari, yang pada waktu itu berkedudukan

sebagai penghulu besar Kabupaten Majalengka. Pernikahan terjadi pada tahun

26

27

1907, pernikahan tersebut masih bersifat kawin gantung (Wawancara dengan

Ianah Rochimi, Cicalung 20 Oktober 2017).

Setelah menikah mereka tidak hidup dalam satu atap. Masing- masing masih tinggal di rumah orang tuanya sampai usianya cukup dewasa atau seluruh persyaratan dipenuhi. Kawin gantung dilakukan oleh mereka mengingat usia Siti Murbiyah masih sangat muda, sekitar 11 tahun (Miftahul

Falah, 2008: 11).

Sama seperti orang tuanya, pernikahan KH. Abdul Halim dengan Siti

Murbiyah pun masih menunjukkan adanya ikatan kekerabatan yang hubungannya masih dekat. Dari pernikahannya itu, KH. Abdul Halim dikarunia empat orang putra dan tiga orang putri, diantaranya :

1. Moh. Toha A. Halim.

2. Siti Fatimah.

3. Siti Mahriyah.

4. Abdul Aziz Halim.

5. Siti Halimah Halim.

6. Abdul Karim Halim.

7. Toto Taufik Halim (Wawancara dengan Ianah Rochimi, Cicalung 20

Oktober 2017).

Pada usia 22 tahun KH. Abdul Halim berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan mendalami ilmu agama. Beliau bermukim di sana selama 3 tahun. Pada kesempatan tersebut beliau mengenal dan mempelajari tulisan-tulisan Sayid Jamaluddin al-Afgani dan Syeikh

28

Muhammad Abduh. Untuk mendalami pengetahuan agama di sana, beliau

belajar kepada Syeikh Ahmad Khatib, imam dan khatib Masjidil Haram, dan

Syeikh Ahmad Khayyat. Ketika beliau berada di Mekkah, beliau bertemu

dengan KH. Mas Mansyur dari Surabaya (tokoh Muhammadiyah) dan KH.

Abdul Wahab Hasbullah (tokoh Nahdatul Ulama). Kemudian pada tahun

1328 H/1911 M, beliau kembali ke Indonesia (Miftahul Falah, 2008: 11).

B. Pendidikan Menurut KH. Abdul Halim

1. Tujuan Pendidikan

Sebelum penulis membahas tujuan pendidikan agama, terlebih

dahulu penulis akan membahas tujuan pendidikan secara umum. Tujuan

pendidikan merupakan faktor yang sangat penting, karena merupakan

arah yang akan dituju oleh pendidikan. Sedangkan pendidikan agama

Islam, yang tercakup mata pelajaran akhlak mulia dimaksudkan untuk

membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia

mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari

pendidikan agama (Rini Yuli Sectio, 2013: 11).

Tujuan pendidikan secara formal diartikan sebagai rumusan

kualifikasi, pengetahuan, kemampuan dan sikap yang harus dimiliki oleh

anak didik setelah selesai suatu pelajaran di sekolah, karena tujuan

berfungsi mengarahkan, mengontrol dan memudahkan evaluasi suatu

aktivitas, sebab tujuan pendidikan identik dengan tujuan hidup manusia

(Rini Yuli Sectio, 2013: 12).

29

Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba

Allah yang selalu beribadah kepada-Nya, Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT. Tujuan hidup manusia itu adalah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat Adz-

Dzariyat ayat 56 :

Artinya:“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka

beribadah kepada-Ku” (Departemen Agama RI, 2002: 524).

Dalam prespektif pendidikan Islam, tujuan hidup seorang muslim pada hakekatnya adalah mengabdi kepada Allah. Pengabdian kepada Allah sebagai realisasi dari keimanan yang diwujudkan dalam amal, tidak lain untuk mencapai derajat yang bertaqwa disisinya.

Beriman dan beramal soleh merupakan dua aspek kepribadian yang dicita-citakan dalam pendidikan Islam. Sedangkan tujuan pendidikan

Islam adalah terbentuknya insan yang memiliki dimensi religious dan berkemampuan ilmiah (Ramayulis; dkk, 2009: 137).

Secara lebih filosofis Muhammad Natsir dalam tulisan“ideology pendidikan Islam” menyatakan bahwa: “Yang dinamakan pendidikan adalah suatu pimpinan jasmani dan rohani menuju kesempurnaan dan kelengkapan atau kemanusiaan dengan arti sesungguhnya”. Sedangkan ibadah adalah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta

30

segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah (Azyumardi Azra, 2001: 4).

Ki Hajar Dewantara (dalam Rohimin, 2009: 4) menjelaskan secara terminologis bahwa:

“Pendidikan sebagai upaya memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya”. Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan karakter dan batin), pikiran (intellect), dan tubuh anak. Ki Hajar Dewantara pun menanamkan tentang konsep pendidikan yang utuh yakni ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, yang artinya mampu menjadi teladan, mampu menjaga keseimbangan dan mampu mendorong serta memotivasi peserta didik. Dalam prakteknya di Taman Siswa (lembaga pendidikan yang didirikan Ki Hajar Dewantara) bagian-bagian tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain sehingga dapat memajukan kesempurnaan hidup yakni kehidupan dan penghidupan anak yang selaras dengan dunianya (Rohimin; dkk, 2009: 5).

Kemudian penulis membagi tujuan pendidikan agama menjadi dua bagian, yaitu: a. Tujuan Umum

Tujuan umum pendidikan agama Islam adalah untuk usaha

mencapai kualitas pendidikan agama Islam. Fungsi pendidikan

nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak

serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi

31

tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan

nasional yang tercantum dalam Undang-undang Dasar No.20 Tahun

2003 (Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun

2003: 21).

Tujuan umum pendidikan agama Islam bertugas untuk

membimbing dan mengarahkan peserta didik supaya menjadi

muslim yang beriman teguh sebagai refleksi dari keimanan yang

telah dibina oleh penanaman pengetahuan agama yang harus

dicerminkan dengan akhlak yang mulia sebagai sasaran akhir dari

pendidikan agama Islam (Ahmad Tafsir, 2005: 10). b. Tujuan Khusus

Tujuan khusus pendidikan agama adalah tujuan yang

disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai

dengan jenjang pendidikan yang dilaluinya, sehingga setiap tujuan

pendidikan agama pada setiap jenjang sekolah mempunyai tujuan

yang berbeda-beda, seperti tujuan pendidikan agama di sekolah dasar

berbeda dengan tujuan pendidikan agama di SMP, SMA dan berbeda

pula dengan tujuan pendidikan agama di perguruan tinggi

(Http://ialfarisi.blogspot.com/2010/02/tujuan-pendidikan-agama-

islam html, 13Desember 2017: 19.30 WIB).

Tujuan khusus pendidikan adalah untuk meningkatkan

kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, keterampilan

untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut serta

32

meningkatkan tata cara membaca Al-Qur‟an dan tajwid sampai kepada tata cara menerapkan hukum bacaan mad dan waqaf.

Membiasakan perilaku terpuji seperti qana‟ah dan tasawuh dan menjauhkan diri dari perilaku tercela seperti ananiah, hasad, ghadab dan namimah serta memahami dan meneladani tata cara mandi wajib dan shalat-shalat wajib maupun shalat sunat (Riyanto, 2006: 160).

Tujuan pendidikan agama yaitu menjadikan anak didik agar menjadi pemeluk agama yang aktif dan menjadi masyarakat atau warga negara yang baik dimana keduanya itu terpadu untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan merupakan suatu hakekat, sehingga setiap pemeluk agama yang aktif secara otomatis akan menjadi warga negara yang baik, terciptalah warga negara yang pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa (Riyanto, 2006:

160).

Berdasarkan wawancara dengan bapak KH. Kholid

Fadlullah (10 Oktober 2017) bahwa Pendidikan Agama Islam dalam pandangan KH. Abdul Halim tidak memberikan pemahaman secara khusus, salah satu pemikiran penting KH. Abdul Halim dalam kapasitasnya sebagai ulama adalah membina keselamatan dan kesejahteraan umat melalui perbaikan delapan bidang yang disebut dengan Islah as-Samaniyah, yaitu islah al-aqidah (perbaikan bidang aqidah), islah al-ibadah (perbaikan bidang ibadah), islah at-tarbiyah

(perbaikan bidang pendidikan), islah al-ailah (perbaikan bidang

33

keluarga), islah al-adah (perbaikan bidang kebiasaan), islah al- mujtama (perbaikan masyarakat), islah al-iqtisad (perbaikan bidang perekonomian), dan islah al-ummah (perbaikan bidang hubungan umat dan tolong-menolong) (Departemen Da‟wah dan Tarbiyah PP

PUI, 2005: 13).

Secara bertahap, organisasi yang dipimpin beliau dapat memperbaiki keadaan masyarakat, khususnya masyarakat kecil.

Indikasi keberhasilan dari segi beribadah mampu menghilangkan tradisi kurafat (kebiasaan sesajen di tempat sunyi) seperti di desa

Pasirayu, dari segi ekonomi dapat memberikan motivasi untuk mau mandiri dan berusaha dengan memberikan keterampilan (life Skil) terhadap para santrinya dengan memberikan pelatihan pembuatan sabun, minyak kayu putih, balsem dan sapu yang kemudian di jual sendiri untuk membantu keperluan hidup (Wawancara dengan

Ustadz Abdul Fatah , Cicalung 23 Oktober 2017).

Melihat kemajuan dan hasil yang telah dicapainya, pemerintah kolonial Belanda mulai menaruh curiga. Secara diam- diam pemerintah kolonial mengutus polisi rahasia (Politiek

Inlichtingn Dienst/PID) untuk mengawasi pergerakan KH. Abdul

Halim dan setiap orang yang dicurigai. Pada tahun 1915 organisasi yang dipimpin beliau dibubarkan sebab dinilai oleh pemerintah

Belanda sebagai penyebab terjadinya beberapa kerusuhan (terutama antara pribumi dan China). Sejak itu Hayatul Qulub secara resmi

34

dibubarkan namun kegiatannya terus berjalan. (Wawancara dengan

Ustadz Abdul Fatah, Cicalung 23 Oktober 2017).

Pada tanggal 16 Mei 1916, KH. Abdul Halim mendirikan

Jam‟iyah I‟anah al-Muta‟alimin sebagai upaya untuk terus mengembangkan bidang pendidikan. Sistem pendidikan berkelas dengan lama belajar lima tahun. Sekolah ini mula-mula mendapat kritikan dari ulama setempat, kemudian mendapat sambutan baik.

Murid-murid datang bukan hanya dari Majalengka tetapi juga dari

Indramayu, Kuningan, Cirebon, dan Tegal. Alumninya kemudian mendirikan madrasah di tempat asalnya (Iksan Syah Gunawan, 2012:

59).

Untuk menjaga mutu pendidikan, K.H. Abdul Halim mengadakan kerjasama dengan Jam‟iat Khair dan Al-Irsyad di

Jakarta. Melihat sambutan yang cukup tinggi, sehingga dinilai oleh pihak kolonial Belanda dapat merongrong pemerintahan, maka pada tahun 1917 M organisasi tersebut dibubarkan. Dengan dorongan dari sahabatnya, HOS. Tjokroaminoto (Presiden Sarekat Islam pada waktu itu), pada tahun yang bersamaan beliau mendirikan

Persyarikatan Ulama. Organisasi ini diakui oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tanggal 21 Desember 1917. Pada tahun 1924 daerah operasi organisasi tersebut sampai ke seluruh pulau Jawa dan

Madura, dan pada tahun 1937 disebarkan ke seluruh wilayah

35

Indonesia (Wawancara dengan Ustadz Abdul Fatah, Cicalung 23

Oktober 2017).

Untuk mendukung organisasi tersebut, terutama pada sektor keuangan, KH. Abdul Halim mengembangkan usaha bidang pertanian dengan membeli tanah seluas 2,5 Ha pada tahun 1927, kemudian mendirikan percetakan pada tahun 1930 M. Pada tahun

1939 beliau mendirikan perusahaan tenun dan beberapa perusahaan lainnya, yang langsung di bawah pengawasannya. Untuk mendukung lajunya perusahaan di atas, kepada para guru diwajibkan menanam saham sesuai dengan kemampuan masing-masing. KH. Abdul Halim kemudian mendirikan sebuah yayasan yatim piatu yang dikelola oleh persyarikatan wanitanya, Fatimiyah (Iksan Syah Gunawan, 2012:

56).

KH. Abdul Halim berpendapat bahwa perlunya memberikan bekal keterampilan kepada peserta didik agar kelak hidup mandiri tanpa harus tergantung pada orang lain atau menjadi pegawai pemerintah. Ide ini diwujudkan dengan cara mendirikan sekolah dan pesantren bernama Santi Asromo pada bulan April tahun

1942, yang bertempat di desa Pasirayu, kecamatan Sukahaji

(sekarang kecamatan Sindang), kabupaten Majalengka.

Santi Asromo berarti “tempat pendidikan yang sunyi dan damai”, Pendiri pesantren modern yang mencetak santri plus, yang saat itu belum terpikir oleh orang lain. Nama Santi Asromo diambil

36

dari bahasa Kawi (Jawa Kuno) yang artinya “tempat yang sunyi dan damai”. (Wawancara dengan Ustadz Abdurrohman, Cicalung 25

Oktober 2017).

Pesantren ini merupakan tindaklanjut dari hasil Kongres

Persyarikatan Ulama di Majalengka yang dilatar belakangi oleh ketidakpuasan KH. Abdul Halim terhadap hasil pendidikan pesantren pada masa itu. Selain itu, pendirian pesantren didorong oleh kenyataan banyaknya orang pribumi yang sulit mengenyam pendidikan di sekolah. Pondok Mufidah Santi Asromo termasuk pembaharu kurikulum pesantren, karena sejak didirikan, telah meninggalkan sistem pendidikan tradisional yang khusus memberikan pelajaran agama (Wawancara dengan KH. Kholid

Fadlullah, Cicalung 27 Oktober 2017).

Puncak pemikiran K.H. Abdul Halim di bidang pendidikan.

Pesantren Santi Asromo dibangun di tempat yang jauh dari keramaian Kota Majalengka. Para santri diberi pelajaran agama, pelajaran umum dan dibekali pendidikan keterampilan seperti bercocok tanam, bertukang kayu, kerajinan tangan, dan lain-lain.

Peserta didikdiharuskan di asrama selama lima sampai sepuluh tahun. Pendidikan tersebut memiliki tiga unsur: yaitu akhlak, sosial, dan ekonomi, sehingga banyak menarik minat masyarakat dan dermawan mengalir memberi dukungan. Santri yang dihasilkan adalah santri lengkap yang memiliki bekal ilmu agama, ilmu

37

pengetahuan, dan keterampilan (Wawancara dengan KH. Kholid

Fadlullah, Cicalung 27 Oktober 2017).

Sebelum mendirikan Pondok Mufidah Santi Asromo, KH.

Abdul Halim telah mendirikan Kweekschool, yaitu PO (Persatuan

Oelama) untuk mencetak tenaga guru. Kemudian pada tahun 1932, nama sekolah tersebut diubah menjadi Madrasah Darul Ulum

(Wawancara dengan Amin Ridwan, Cicalung 27 Oktober 2017).

KH. Abdul Halim mengembangkan ilmu pendidikan sekaligus memperluas usaha dalam bidang dakwah. Beliau selalu menjalin hubungan dengan beberapa organisasi lainnya di Indonesia, seperti: Muhammadiyah di Yogyakarta, Sarekat Islam, dan Ittihad al-Islamiyah (AII) di Sukabumi. Inti ajaran dakwahnya adalah mengukuhkan ukhuwah Islamiah (kerukunan Islam) dengan penuh cinta kasih, sebagai usaha menampakkan syiar Islam, untuk mengusir penjajah Belanda. Dalam bidang aqidah dan ibadah amaliah, KH. Abdul Halim menganut paham ahlussunnah waljama‟ah, ilmu fiqihnya mengikuti paham Syafi‟iyah.

Pada tahun 1942 beliau mengubah Persyarikatan Ulama menjadi Perikatan Umat Islam (PUI), dan pada tahun 1952 melakukan fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), menjadi Persatuan Umat Islam (PUI), yang berkedudukan di

Bandung (Iksan Syah Gunawan, 2012: 59).

38

KH. Abdul Halim aktif berperan dalam berbagai kegiatan politik menentang pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1912 beliau menjadi pemimpin Sarekat Islam cabang Majalengka. Pada tahun 1928 beliau diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat Islam bersama-sama dengan KH. M. Anwaruddin dari Rembang dan KH. Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Pada waktu yang bersamaan, KH. Abdul Halim menjadi anggota pengurus MIAI

(Majlis Islam A‟la Indonesia) yang didirikan pada tahun 1937 di

Surabaya. Pada tahun 1943, setelah MIAI diganti dengan Masyumi

(Majlis Syuro Muslimin Indonesia), beliau menjadi salah seorang pengurus Masyumi.

KH. Abdul Halim adalah salah satu anggota Badan

Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI/Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai) pada tahun 1945, anggota

Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan anggota Konstituante pada tahun 1955. Di kalangan kawan-kawannya, beliau dikenal sebagai orang yang sederhana, pengasih, dan mengutamakan jalan damai dalam menyelesaikan persoalan daripada melalui kekerasan

(Iksan Syah Gunawan, 2012: 59-60).

Pada tahun 1940, beliau bersama KH. A. Ambari menghadap Adviseur Voor Indische Zaken, yaitu Dr. GF. Pijper, di

Jakarta untuk mengajukan beberapa tuntutan yang menyangkut kepentingan umat Islam. Ketika terjadi agresi militer Belanda pada

39

tahun 1947, beliau bersama rakyat dan tentara mundur ke pedalaman untuk menyusun strategi melawan Belanda. KH. Abdul

Halimmenentang keras berdirinya negara Pasundan yang didirikan pada tahun 1948 oleh pemerintah Belanda (Wawancara dengan

H. Masyhudi, Cicalung 28 Oktober 2017).

Pada masa perang kemerdekaan, KH. Abdul Halim bergerilya bersama pejuang lainnya mempertahankan kemerdekaan dengan basis di sekitar Gunung Ciremai. KH. Abdul Halim langsung memimpin anak buahnya menghadang gerakan militer Belanda

(NICA). Pada waktu itu beliau diangkat menjadi "Bupati

Masyarakat" Majalengka dan memimpin rakyat melawan NICA.

Lokasi Santi Asromo dianggap NICA sebagai pusat pertahanan TNI dan laskar sehingga sebagian hancur karena dibom oleh NICA. Kemudian KH. Abdul Halim ditangkap oleh Belanda, beserta anak dan menantunya. Tetapi KH. Abdul Halim tidak mau menyerah atau bekerja sama dengan NICA dan berhasil meloloskan diri. Beliau juga menentang gerakan Haji Sarip yang mendukung pemerintah Belanda. KH. Abdul Halim yang anti gerakan separatis dari NKRI, kemudian diangkat menjadi panitia penggempuran

Negara Pasundan hasil rekayasa dari Van Mook (Iksan Syah

Gunawan, 2012: 62-63).

40

Setelah perang kemerdekaan usai dan negara aman, perjuangan melalui organisasi PUI dilanjutkan kembali. Pada tahun

1952, dilakukan fusi antara Persatuan Umat Islam (PUI) dan

Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), meskipun KH. Ahmad

Sanusi sahabatnya, sudah wafat waktu itu. Fusi dilakukan tepatnya pada tanggal 5 April 1952 di Bogor. Hasil dari fusi lahirlah

Persatuan Ummat Islam (PUI) dan KH. Abdul Halim terpilih sebagai ketua organisasi (S.Wanta, 1991: 4-5).

Sejak tahun 1951, KH. Abdul Halim terpilih sebagai anggota DPRD Tingkat I Jawa Barat dan pada tahun 1956 diangkat menjadi anggota Konstituante. KH. Abdul Halim aktif sebagai wartawan dan pernah menjadi pemimpin redaksi dan penanggung jawab majalah Soeara PO, majalah As-Sjuro, majalah Pelita dan mengisi kolom Roeangan Hadits di majalah Soeara MIAI. Selain itu, beliau menulis sembilan buah buku.

Dalam buku-bukunya, KH. Abdul Halim berusaha menyebarkan pemikirannya yang penuh toleransi, menganjurkan menjunjung tinggi akidah, akhlak masyarakat dan tidak menolak untuk mengambil contoh kemajuan dunia Barat. Pada tahun-tahun berikutnya kegiatan PUI banyak mendapat hambatan. Kondisi kesehatan KH. Abdul Halim semakin menurun, pada tahun 17 Mei

1962 beliau meninggal dunia di Pondok Mufidah Santi Asromo

(Wawancara dengan H. Masyhudi, Cicalung 30 Oktober 2017).

41

Mengenai pemikiran dan hasil karyanya, KH. Abdul Halim adalah ulama dan merangkap sebagai seorang penulis yang produktif. Banyak hasil karya tulisan beliau yang sempat diterbitkan.

Karya tulisan tersebut dipublikasikan di kalangan anggota

Persyarikatan Ulama dalam bentuk brosur dan buku kecil, tetapi sebagian besar tulisannya sudah terbakar pada saat agresi Belanda ke dua. Hasil karya KH. Abdul Halim antara lain:

1) Risalah petunjuk bagi sekalian manusia.

2) Ekonomi dan koperasi dalam islam.

3) Ketetapan pengajaran di sekolah ibtidaiyah persyarikatan

oelama (Sebagai Tim Penyusun).

4) Da‟watu al‟amal.

5) Tarikh Islam.

6) Neraca hidup.

7) Risalah.

8) Ijtima‟iyah waIlajuha.

9) Kitab tafsir tabarak.

10) Kitab 262 hadits Indonesia.

11) Babu al Rizqi, dan lain sebagainya (Wawancara dengan

H. Masyhudi, Cicalung 30 Oktober 2017).

42

Dari sejumlah karya-karya KH. Abdul Halim, ada tiga hasil karya

yang masih tersisa, yaitu:

1. Kitab Petunjuk bagi Sekalian Manusia.

2. Ekonomi dan Koperasi dalam Islam.

3. Ketetapan Pengajaran di Sekolah Ibtidaiyah Persyarikatan

Oelama (Wawancara dengan H. Masyhudi, Cicalung 30 Oktober

2017).

Selain itu, hasil karya tulisan KH. Abdul Halim dimuat dalam

beberapa majalah, seperti Suara Persyarikatan Ulama, as-Syuro, al-

Kasyaaf dan Pengetahuan Islam. KH. Abdul Halim aktif menulis di

Suara Muslimin Indonesia, Suara MIAI (Majelis Islam A'la

Indonesia) sebagai pengisi artikel Ruangan Hadits, dan aktif menulis

dalam lembaran-lembaran lain yang beredar dalam bentuk tercetak

atau stensil, terutama untuk kalangan organisasi Persyarikatan

Ulama.

Di dalam hasil karya tulisan tersebut, dapat dilihat pemikiran

KH. Abdul Halim tentang gagasan dan cita-citanya. Meski pun

uraiannya dihubungkan dengan masalah keagamaan, tetapi pokok-

pokok pikirannya dapat dipahami dari interpretasi yang diungkapkan

(S.Wanta, 1991: 5).

2. Hakekat Pendidikan

Hakikat pendidikan adalah humanisasi. Suyitno (2009: 2)

mengungkapkan bahwa pendidikan adalah upaya memanusiakan

43

manusia. Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 (2003: 4) disebutkan bahwa:

“Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Landasan yuridis di atas senantiasa mengindikasikan pendidikan sebagai faktor esensial dalam kemajuan suatu bangsa. Pendidikan yang mampu memfasilitasi perubahan adalah pendidikan yang merata, bermutu, relevan serta signifikan dengan kebutuhan masyarakat.

Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaannya. Pendidikan didefinisikan dalam arti luas dan arti sempit, Robandi (2005:4) menjelaskan bahwa, “Dalam arti luas hidup adalah pendidikan, dan pendidikan adalah hidup (life is education, education is life)”. Ungkapan tersebut mengandung pengertian bahwa pendidikan merupakan segala pengalaman hidup yang memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan hidup individu serta berlangsung sepanjang hayat.

Pendidikan adalah suatu proses yang dilakukan secara sadar atau disengaja guna untuk menambah pengetahuan, wawasan serta pengalaman untuk menentukan tujuan hidup sehingga bisa memiliki

44

pandangan yang luas untuk ke arah masa depan lebih baik dan dengan pendidikan itu sendiri dapat menciptakan orang-orang berkualitas.

Pendidikan Islam berarti sistem pendidikan yang memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya, dengan kata lain pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikannya yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia baik duniawi maupun ukhrawi.

Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada istilah al-tarbiyah, al-ta‟dib, dan al-ta‟lim. Dari ketiga istilah tersebut yang paling populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam adalah istilah al-tarbiyah. Sedangkan istilah al-ta‟dib dan al-ta‟lim jarang sekali digunakan. Padalah kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam (Samsul Nizar, 2002: 25).

Pada garis besarnya, pokok-pokok pikiran KH. Abdul Halim bersumber dari penafsirannya tentang konsep al-Salam. Menurut pemahamannya, agama Islam memuat ajaran-ajaran yang bertujuan untuk membimbing manusia agar mereka dapat hidup selamat di dunia, dan memperoleh kesejahteraan hidup di akhirat. Kedua macam keselamatan hidup ini disebut al-Salam (Wawancara dengan

H. Masyhudi, Cicalung 30 Oktober 2017).

45

Berdasarkan penjelasan tersebut, KH. Abdul Halim melihat

bahwa kesejahteraan hidup di akhirat erat kaitannya dengan keselamatan

hidup di dunia, karena untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera di

akhirat, terlebih dahulu manusia mesti hidup selamat di dunia, yaitu

hidup yang sejalan dengan tuntutan agama (Abdul Halim: 1938).

Sehingga menurut KH. Abdul Halim bahwa kedua macam kehidupan

tersebut, terhadap hubungan kausalitas (timbal-balik).

3. Prinsip Pendidikan

Dari sejumlah tulisan-tulisannya tersebut, dapat dilihat

kecenderungan pemikiran KH. Abdul Halim tentang gagasan dan cita-

citanya. Secara garis besar, pokok-pokok pemikiran KH. Abdul Halim

bersumber dari penafsirannya tentang konsep al-Salam. Menurut

pemahamamnya, agama Islam memuat ajaran-ajaran yang bertujuan

untuk membimbing manusia agar mereka dapat hidup selamat di dunia

dan memperoleh kesejahteraan hidup di akhirat. Kedua macam konsep

keselamatan hidup tersebut dinamakan dengan istilah al-Salam

(Mastuki, 2003: 186).

Selanjutnya melalui pemikirannya tersebut, KH. Abdul Halim

menyimpulkan tiga hal konsep kehidupannya, baik mengenai konsep

keagamaan, konsep pendidikan dan konsep kesejahteraan. Ketiga konsep

tersebut adalah sebagai berikut:

46

a. Konsep al-Salam

Menurut pendapat KH. Abdul Halim, al-Salām merupakan

upaya untuk membina keselamatan hidup di dunia dan memperoleh

kesejahteraan hidup diakhirat. KH. Abdul Halim menyusun langkah-

langkah perbaikannya meliputi delapan bidang perbaikan yang

disebut dengan Islāh al-Tsamāniyah (Mastuki, 2003: 183).

Kedelapan bidang tersebut antara lain:

1) Perbaikan aqidah (Islāh al-Aqīdah), bertujuan agar masyarakat

terhindar dari perbuatan yang cenderung menyembah selain

Allah SWT. Dalam menjalankan aktivitasnya, KH. Abdul Halim

senantiasa menanamkan aqidah ketauhidan untuk membentuk

suatu keyakinan bahwa di dunia ini tidak ada Tuhan selain Allah

SWT (Dartum Sukarsa, 2007: 37).

2) Perbaikan ibadah (Islāh al-„Ibādah)menurut pandangan KH.

Abdul Halim lebih erat kaitannya dengan kedudukan manusia

sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki kebebasan

terbatas dan wajib beribadash kepada-Nya. Dalam upaya

perbaikan ibadah, beliau memberikan contoh dan teladan

tentang bagaimana cara melakukan ibadah seperti yang telah

diajarkan oleh nabi Muhammad saw (Dartum Sukarsa, 2007:

39).

3) Perbaikan pendidikan (Islāh al-Tarbiyah) yang ideal menurut

KH. Abdul Halim yaitu suatu pendidikan yang berhasil

47

memadukan sistem pendidikan pesantren tradisional dengan

pendidikan modern, yakni pendidikan yang diterapkan

disekolah-sekolah pemerintah. Perpaduan dua sistem pendidikan

tersebut akan mencetak anak-anak muslim yang berharga di

dunia maupun akhirat. Karena dengan pendidikan kebodohan

dan kemiskinan akan segera hilang (Samsul Nizar, 2005: 160).

4) Perbaikan Keluarga (Islāh al-ā‟ilah) Menurut KH. Abdul Halim,

keluarga adalah sebagai salah satu unsur penting dalam usaha

memperbaiki umat. Perbaikan pada bidang keluarga adalah jalan

yang baik dalam mewujudkan dan menciptakan perbaikan

masyarakat dan bangsa. Dan penghidupan berkeluarga adalah

lapangan yang baik bagi menghidupkan jiwa beragama dan

semangat beragama (Dartum Sukarsa, 2007: 49).

5) Perbaikan kebiasaan atau adat istiadat (Islāh al-ādah) adalah

upaya untuk melestarikan adat istiadat dilakukan sesuai dengan

ajaran agama. KH. Abdul Halim mengenalkan kebiasaan

berpakaian terhadap para santri, pelajar dan masyarakat. Bagi

pria dikenakan berpakaian celana panjang, kemeja, sarung dan

peci. Sedangkan bagi wanita pakaian yang dikenakan antara lain

kain samping, kebaya dan penutup kepala atau jilbab (Dartum

Sukarsa, 2007: 161).

6) Perbaikan masyarakat (Islāh al-Mujtama‟) menurut KH. Abdul

Halim adalah perbaikan kepada masyarakat dalam bidang

48

sosialsebagai suatu gerakan perubahan yang mengupayakan

terwujudnya tatanan sosial umat yang lebih adil, teratur,

harmonis dan manusiawi.

7) Perbaikan perekonomian (Islāh al-Iqtishād). Melihat kondisi

perekonomian yang memprihatinkan, KH. Abdul Halim bercita-

cita untuk memperbaiki nasib umat Islam.

Beliaumengembangkan ide pembaharuan dalam bidang sosial

dan ekonomi. Dalam bidang ekonomi KH. Abdul Halim

memberikan dorongan untuk melawan kebiasaan malas.

Perbaikan ekonomi yang dilakukan oleh KH.Abdul Halim

antara lain: menanamkan kesadaran kepada masyarakat agar

berusaha secara layak, menumbuhkan tekad untuk dapat hidup

sejajar melebihi kolonial, menambah atau meningkatkan

pendapatan keluarga, mendirikan pabrik tenun, percetakan, dan

mendirikan koperasi (Deliar Noer, 1980: 82).

8) Perbaikan hubungan umat dan tolong menolong (Islāh al-

Ummah) menurut pandangan KH. Abdul Halim, bahwa orang

yang beriman tidak boleh membiarkan saudaranya menanggung

beban hidup yang berat diantara sesama mereka. Antara orang-

orang beriman satu sama lain harus saling bantu membantu

dalam menghadapi segala persoalan hidup. Sehingga upaya

utama dalam perbaikan umat, yaitu memperbaiki budi pekerti

49

sesuai dengan tuntunan agama baik secara individu maupun

bermasyarakat. b. Konsep Santi Asromo

Konsep Santi Asromo merupakan pemikiran KH. Abdul

Halim tentang perbaikan pendidikan. Konsep Santi Asromo

merupakan perwujudan dari pemikiran tentang pendidikan Islam

yang mengarah pada pembentukan manusia seutuhnya. Untuk

mencapai kehidupan dunia yang layak dan berupaya untuk meraih

kehidupan yang bahagia di akhirat, tidak hanya dapat dilakukan

dengan mencari dan memperdalam ilmu keagamaan saja, tetapi

ilmu-ilmu duniawi pun penting dipelajari dan didalami secara

seimbang dengan ilmu-ilmu keagamaan. (Haidar Putra Daulay,

2007: 100).

KH. Abdul Halim tidak hanya memberikan pendidikan

kepada murid-muridnya yang bertujuan membentuk kepribadinnya,

tetapi beliau memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk

meraih suatu jabatan dengan bekal keterampilan yang terlatih.

Karena pengaruh Rabindranath Tagore dengan Shantini ketan-nya,

KH. Abdul Halim memilih daerah pedesaan sebagai lingkungan

yang ideal untuk sekolahnya. Sebagai kenangan terhadap

Rabindranath Tagore, nama sekolahnya pun diberi nama-nama yang

mirip dengan Shantiniketan, yaitu Santi Asromo (Karel A.

Steenbrink, 1994: 75).

50

Konsep Santi Asromo ini berarti tempat yang sesuai untuk

menimba ilmu pengetahuan yakni tempat yang sunyi dari keramaian

kota (tempat yang khusus untuk berlangsungnya proses

pembelajaran). c. Konsep Santri Lucu (Santri yang Terampil)

KH.Abdul Halim mencetuskan ide bahwa pendidikan harus

diperbaharui sehingga akan mampu melahirkan anak didik mandiri

yang tidak bergantung kepada orang lain. Untuk mencapai kondisi

tersebut, para peserta didik harus dibekali ilmu pengetahuan agama,

ilmu pengetahuan umum dan ilmu keterampilan sesuai dengan

minat dan bakatnya masing-masing. Konsep yang dikemukakan oleh

KH. Abdul Halim tersebut kemudian dikenal dengan istilah Santri

Lucu (Miftahul Falah, 2008: 70).

Konsep tersebut lahir dari pemahaman KH. Abdul Halim

terhadap ajaran Islam bahwa apabila pendidikan agama dijadikan

pedoman secara benar, umat muslimin akan mencapai tingkat

kesejahteraan hidup yang tinggi, baik kehidupan duniawi maupun

kehidupan di akhirat kelak. Untuk menyebarkan ide atau

pemahamannya tersebut, KH. Abdul Halim membuat sebuah tulisan

yang merupakan tafsir dari Al-Qur‟an Surat Al Mu‟minun ayat 12-

14. Firman Allah SWT inilah yang dijadikan pedoman bagi KH.

Abdul Halim untuk mencari kehidupan dunia yang layak sekaligus

51

sebagai bekal bagi kesejahteraan hidup di akhirat kelak (Wawancara dengan H. Masyhudi, Cicalung 30 Oktober 2017).

KH. Abdul Halim menyimpulkan bahwa ada tiga faktor penting yang menopang usaha untuk meningkatkan kehidupan manusia didunia yaitu ilmu pertanian dan ilmu pertukangan. Dari kedua ilmu tersebut, dapat menghasilkan ilmu perdagangan. KH.

Abdul Halim menginginkan adanya perubahan dalam sistem pendidikan agar menghasilkan lulusan yang mandiri, memberikan kemampuan mencari penghasilan yang halal dan mampu memberikan bantuan kepada orang lain (Dartum Sukarsa, 2007:

161).

Pada tahun 1937, KH. Abdul Halim juga terpilih sebagai anggota pengurus Majelis Islam A‟la Indonesia (MIAI). Tetapi organisasi-organisasi yang bergabung dalam MIAI (Persyarikatan

Oelama, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Persis, Al-Ittihadiyatul

Islamiyah, dan organisasi Islam lainnya) adalah organisasi yang bergerak dalam bidang sosial, keagamaan dan pendidikan. Pada masa kependudukan pemerintahan Jepang, organisasi MIAI terpaksa menghentikan kegiatannya, karena semua partai politik dan perkumpulan sosial harus dibubarkan dan pemerintah Jepang tidak mengijinkan adanya perkembangan demokrasi (S. Wanta, 1991: 22).

52

Beberapa waktu kemudian organisasi-organisasi yang tergabung dalam MIAI tersebut diijinkan oleh pemerintah Jepang untuk melakukan kegiatannya kembali. Pada tahun 1943 organisasi

MIAI diubah menjadi organisasi Masyumi dan KH. Abdul Halim tetap duduk dalam kepengurusannya (Miftahul Falah, 2008: 104).

Pada tanggal 01 Februari 1944, Persyarikatan Oelama berganti nama menjadi Perikatan Oemat Islam, dengan perubahan

Ejaan Bahasa Indonesia sistem Soewandi (1947), nama itu menjadi

Perikatan Umat Islam (PUI). Adapun juga organisasi yang didirikan pada tahun 1931 oleh KH. Ahmad Sanusi di Sukabumi bernama Al-

Ittihadiyatul Islamiyah (AII) yang berganti nama menjadi Persatuan

Umat Islam Indonesia (PUII) (Deliar Noer, 1987: 23).

Organisasi tersebut merupakan organisasi yang bergerak di bidang sosial pendidikan, sehingga menurut Mr. Syamsudin bahwa kedua organisasi tersebut memiliki visi dan misi yang sama yaitu mempersatukan umat Islam Indonesia untuk masa dapan namun berdiri dalam wadah organisasi yang berbeda. Mr. Syamsudin menyatukan kedua organisasi tersebut dalam suatu pertemuan.

Pertemuan pertama pada bulan Agustus 1951 dan pertemuan kedua pada bulan November 1951.

Kemudian pada 5 April 1952 secara resmi kedua organisasi tersebut menjadi satu dengan nama Persatuan Umat Islam (PUI) di

Bandung untuk menindaklanjuti cita-cita yang dirilis oleh KH.

53

Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi dan Mr.Syamsudin. Pada masa pendudukan pemerintah Jepang, KH. Abdul Halim diangkat sebagai anggota Giinchuoo Sangi in di Jakarta dan diangkat sebagai anggota

Dokuritsu Zyunbi Choosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, KH. Abdul Halim diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berfungsi sebagai parlemen dan menjadi pelopor berdirinya

Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (Sambutan KH.

Kholid Fadlullah, 25 April 2017).

Adapun prinsip-prinsip pendidikan Islam meliputi: prinsip integrasi, prinsip keseimbangan, prinsip persamaan, prinsip pendidikan seumur hidup, dan prinsip keutamaan (Hitami, Munzir,

2000: 24-31).

1) Prinsip Integral

Pendidikan Islam tidak mengenal adanya pemisahan

antara sains dan agama. Keduanya harus terintegrasi secara

harmonis. Dalam ajaran Islam, Allah SWT adalah pencipta alam

semesta termasuk manusia. Allah yang menurunkan hukum-

hukum untuk mengelola dan melestarikannya (Ramayulis, 2009:

100).

54

Hukum-hukum mengenai alam fisik disebut sunnatullah, sedangkan pedoman hidup dan hukum-hukum untuk kehidupan manusia telah ditentukan dalam ajaran agama yang disebut dinnullah yang mencakup akidah dan syariah.Dalam ayat Al-Qur‟an yang pertama kali diturunkan,

Allah SWT memerintahkan agar mansuia untuk membaca yaitu dalam QS Al-„Alaq ayat-1-5. Dan ditempat lain ditemukan ayat yang menafsirkan perintah membaca tersebut, seperti dalam

Firman Allah QS Al-Ankabut ayat 45, yang artinya:

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu

Al kitab (Al Quran) (QS. Al-Ankabut : 45)Di sini, Allah memberikan penjelasan bahwa Al-Qur‟an yang harus dibaca. Ia merupakan ayat yang diturunkan Allah (ayat tanziliyah, qur‟aniyah) Selain itu, Allah memerintahkan agar manusia membaca ayat Allah yang berwujud fenomena-fenomena alam

(ayat kauniyah, sunatullah), anatara lain, “Katakanlah, perhatikanlah apa yang ada dilangit dan dibumi” (QS. Yunus :

101).

Dari ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah memerintahkan agar manusia membaca Al-Qur‟an (ayat-ayat quraniyah) dan fenomena alam (ayat kauniyah) tanpa memberikan tekanan terhadap slah satu jenis ayat yang

55

dimaksud. Hal itu berarti bahwa pendidikan Islam harus

dilaksanakan secara terpadu (Ramayulis, 2009: 101).

2) Prinsip Keseimbangan

Pendidikan Islam selalu memperhatikan keseimbangan

di antara berbagai aspek yang meliputi keseimbangan antara

dunia dan akhirat, antara ilmu dan amal, urusan hubungan

dengan Allah dan sesama manusia, hak dan kewajiban.

(Ramayulis, 2009: 102).

Keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat dalam

ajaran Islam harus menjadi perhatian. Rasul diutus Allah untuk

mengajar dan mendidik manusia agar mereka dapat meraih

kebahagiaan kedua alam itu. implikasinya pendidikan harus

senantiasa diarahkan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan

akhirat. hal ini senada dengan FirmanAllah SWT yang artinya

dibawah ini:

Artinya:“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamumelupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (Al-Qashas : 77).

Dalam dunia pendidikan, khususunya dalam

pembelajaran, pendidik harus memperhatikan keseimbangan

dengan menggunakan pendekatan yang relevan. selain

mentrasfer ilmu pengetahuan, pendidik perlu mengkondisikan

secara bijak dan profesional agar peserta didik dapat

56

mengaplikasikan ilmu yang telah didapat di dalam maupun di

luar kelas (Ramayulis, 2009: 102).

3) Prinsip Persamaan

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu

dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan

kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling

kenal-menganal. Sesungguhnya orang yang paling mulia

diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa

diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi

maha mengenal” (QS: Al-Hujuraat 13).

Prinsip ini berakar dari konsep dasar tentang yang

mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan derajat, baik

antara jenis kelamin, kedudukan sosial, bangsa, suku, ras,

maupun warna kulit, sehingga siapapun orangnya tetap

mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan (Ramayulis,

2009: 102-103).

4) Prinsip Pendidikan Seumur Hidup

Prinsip pendidikan seumur hidup bukanlah hal yang

baru, di kalangan umat Islam ada ungkapan seperti “tuntutlah

ilmu mulai dari ayunan sampai keliang lahad”. Sesungguhnya

prinsip ini bersumber dari pandangan manusia mengenai

kebutuhan dan keterbatasan di dalam hidupnya yang selalu

57

berhadapan dengan tantangan dan godaan yang dapat

menjerumuskan manusia itu sendiri kedalam jurang kehinaan.

Dengan demikian, manusia dituntut untuk menjadi

pendidik bagi dirinya sendiri agar dapat mempaerbaiki dan

meningkatkan kualitas dirinya serta menyesali perbuatan yang

menyimpang dari jalan lurus. Manusia berkewajiban mendidik

dirinya sendiri dengan senantiasa mengabdi kepada Tuhannya

dengan penuh kesadaran serta berusaha untuk menambah

ilmunya (Ramayulis, 2009: 103).

“Dan apabila dikatakan: „Berdilah kamu‟, maka

berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang –orang yang

beriman dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa

derajat. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”

(QS: Al-Mujadilah 11).

5) Prinsip Keutamaan

“Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku

ilmu pengetahuan” (QS : Thaahaa 114). Dengan prinsip

keutamaan ini, pendidik bukan hanya bertugas menyediakan

kondisi belajar bagi subjek didik, tetapi lebih dari itu turut

membentuk kepribadiannya dangan perlakuan dan keteladanan

yang ditunjukkan pendidik tersebut. Penerapan prinsip

keutamaan ini adalah tindakan nyata seperti, perlakuan dan

keteladanan. karena itu prinsip keutamaan sebagai landasan

58

penerapan konsep-konsep pendidikan sekaligus menjadi tujuan

pendidikan itu sendiri, yakni merupakan sesuatu yang

diharapkan terbentuk dan tertanam pada diri setiap hasil didik.

(Ramayulis, 2009: 104).

6) Prinsip Dinamis

Pendidikan Islam menganut prinsip dinamis yang tidak

beku dalam tujuan-tujuan, kurikulum dan metode-metodenya,

tetapi berupaya untuk selalu memperbaharuhi diri dan

berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pendidikan

Islam seyogyanya mampu memberikan respon terhadap

kebutuhan-kebutuhan zaman dan tempat dan tuntutan

perkembangan dan perubahan social. Hal ini sesuai dengan

prinsip-prinsip pendidikan Islam yang memotivasi untuk hidup

dinamis (Ramayulis, 2009: 104).

4. Fungsi dan Tujuan Pendidikan

Fungsi dan tujuan pendidikan menurut KH. Abdul Halim

menghendaki antara kehidupan dunia dan akhirat menjadi seimbang

dalam arti tidak mementingkan salah satunya. Cita-cita ini sampai

dituliskan dalam salah satu bait sair lagu mars santi asromo dengan

kalimat “dunia dan akhirat harus satu”. Yang berarti bahwa seseorang

jangan hanya mengejar kehidupan dunia belaka lupa terhadap kehidupan

akherat, pun sama jangan hanya mengejar kehidupan akherat saja

59

sehingga kehidupan di dunia dilupakan (Wawancara dengan

H. Asep Zaki Mulyatno, Cicalung 30 Oktober 2017).

Fungsi Pendidikan Islam adalah sebagai berikut: a. Untuk menumbuhkan kreativitas. Secara antropologik dan sosial,

masyarakat manusia adalah masyarakat yang berkebudayaan dan

berperadaban serta membutuhkan generasi-generasi pelanjut sebagai

pengembang kebudayaan peradaban mereka. Dalam hal ini,

Pendidikan Islam menciptakan generasi yang memiliki kreativitas

sehingga mampu membangun dan mengembangkan kebudayaan dan

peradaban di masa mendatang. Dari segi ini maka pendidkan

menjadi sangat penting bagi pengembangan potensi-potensi qiwam

pada diri manusia sehingga benar-benar menjadi “ahsanu taqwim”

bagi pembangunan masa depan manusia yang lebih berperadaban. b. Untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai insan dan ilahy.

Kehidupan bersama dan interaksi dalam masyarakat membutuhkan

nilai-nilai yang disepakati antar manusia: saling percaya, kejujuran

dan amanah, saling tolong menolong, tanggung jawab, keadilan, dll.

Dalam fungsi ini, pendidikan merupakan usaha yang mampu

menanamkan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik yang

merupakan nilai-niali dasar yang diperlukan dalam merealisasikan

visi kekhalifahan dan misi manusia sebagai hamba Allah. c. Untuk menyiapkan tenaga kerja produktif. Pendidikan berfungsi

untuk menyiapkan subyek didik menjadi calon tenaga kerja

60

produktif, dengan pengertian: 1) tidak hanya dalam arti ekonomi

tetapi juga dalam arti sosial kultural; 2) tidak hanya dalam rangka

menyesuaikan dengan prediksi ekonomik, melainkan mengantisipasi

masa depan lebih terstruktur. Hal ini sejalan dengan prinsip umat

Muslim yang menekankan kepentingan dunia dan akhirat secara

harmoni.

C. Motivasi Beragama

Sesuai dengan fitrahnya bahwa manusia mempunyai kecenderungan

mengabdi kepada Sang Pencipta. Dengan kecenderungannya tersebut dia

akan mencari jalan untuk dapat menunjukkan pengabdiannya tersebut melalui

beragama. Karena satu-satunya cara agar penghambaannya sampai kepada

sang Pencipta adalah melalui beragama.

Manusia mengenal agama sejak ia mulai berinteraksi dengan

lingkungan sekitarnya yakni lingkungan keluarga, dimana kedua orang tuanya

yang mengajarkan tentang keagamaan. Sejalan dengan perkembangan jiwa, ia

mulai merasakan dorongan-dorongan lain yang berkaitan tentang proses

keberagamaannya. Artinya dorongan tersebut tidak lagi hanya sekedar karena

orang tua tetapi karena hal-hal di luar itu. Proses perubahan dorongan dari

faktor keluarga ke faktor lainnya antara seseorang yang satu dengan yang

lainnya berbeda. Ada yang prosesnya secara bergejolak, ada pula yang

perubahan itu berjalan tanpa disadari. Dorongan untuk memeluk satu agama

inilah yang disebut dengan motivasi beragama.

61

Motivasi beragama sesorang dipengaruhi oleh berbagai faktor intern dalam diri manusia itu sendiri dan faktor ekstern di luar diri manusia.Beragama apapun tidak dapat terlepas dari motivasi tertentu, meskipun pada satu tingkatan kualitas beragama sesorang, motivasi tersebut tidak lagi menjadi satu-satunya alasan seseorang untuk memeluk satu agama.

1. Jenis Motivasi Beragama

Motivasi beragama sangat berkaitan langsung dengan perjalanan rokhani

seseorang untuk mencari keridhaan Allah. Secara garis besar motivasi

beragama dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Motivasi Intrinsik.

Motivasi intrinsik adalah motivasi yang berasal dari diri

seseorang tanpa dirangsang dari luar. Dalam beragama seseorang

merespon ajaran (Islam) melalui pemahaman yang mendalam lewat

kitab suci (Al-Qur‟an) dan Hadits untuk mendapatkan kebenaran

yang haqiqi setelah melalui perjalanan rohani yang panjang.

Motivasi intrinsik ini sering diperoleh oleh para muallaf sehingga

sehingga dia yakin tentang kebenaran Islam.

b. Motivasi Ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang datang karena

adanya perangsangan dari luar.Seseorang beragama (Islam) karena

memang dari keturunan atau lingkungannya memilih Islam. Dapat

juga dipengaruhi oleh hal-hal lain di luar dari nilai yang terkandung

62

dalam ajaran (Islam) itu sendiri.Motivasi ini terdapat pada masyarakat secara umum termasuk kita sendiri.

Kedua macam motivasi tersebut pada tahap-tahap awal seseorang beragama sangat diperlukan.Kelanjutannya perlu mendapat pembinaan agar tujuan mencapai ridha Allah benar-benar terwujud. Pada akhirnya nanti seseorang beragama (Islam) benar- benar bersih dari bentuk-bentuk motivasi yang jahat.Sehingga tidak ada lagi agama (Islam) dijadikan dasar legalisasi penghancuran terhadap yang tidak beragama (Islam).

Pada kenyataannya motivasi beragama (Islam) merupakan motif azasi yang dimiliki setiap manusia sejak dia dilahirkan, yakni yang disebut dengan fitrah.”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetapkan atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu.Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum ayat 30).

Secara fitrah motivasi dalam diri manusia dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1) Motivasi Spiritual, hal ini terdiri dari keinginan manusia untuk

terhindar dari sifat-sifat buruk yang mampu merusak keimanan:

a) Motivasi memelihara diri dari kemusyrikan.

b) Motivasi memelihara diri dari kekufuran.

c) Motivasi memelihara diri dari kemunafikan.

63

2) Motivasi Fisiologis (yang bersifat jasmaniah) yang terdiri dari:

a) Motivasi pemeliharaan diri.

b) Motivasi kepada kelangsungan jenis (berkeluarga dan

berketurunan).

3) Motivasi Psikologis yang terdiri dari:

a) Motivasi memiliki.

b) Motivasi agresif (dalam kajian sifat, kata-kata maupun

fisik) (Hamdani, 2005: 358 - 360).

2. Peranan Motivasi

Kata motivasi berasal dari kata “motif”, diartikan sebagai daya

yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat

dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan didalam subyek untuk

melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai tujuan. Bahkan

motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan).

Berawal dari kata motif itu, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya

penggerak yang elah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat

tertentu, terutama bila kebutuhn untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/

mendesak (Sardiman, 2012: 73).

Menurut Mc. Donald, motivasi adalah perubahan energi dalam

diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului

dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian yang

dikemukakan Mc. Donald ini mengandung tiga elemen penting, yaitu:

64

a. Bahwa motivasi itu mengawali perubahan energi pada diri setiap

individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa

perubahan energi di dalam sistem “neorophysiological” yang ada

pada organisme manusia. Karena menyangkut perubahan energi

manusia (walaupun motivasi itu muncul dari dalam diri manusia),

penampakkannya akan menyangkut kegiatan fisik manusia. b. Motivasi ditandai dengan munculnya, rasa ”feeling”, afeksi

seseorang. Dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan-

persoalan kejiwaan, afeksi dan motivasi yang dapat menentukan

tingkah laku manusia. c. Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi motivasi dalam

hal ini sebenarnya merupakan respon dari suatu aksi, yakni tujuan.

Motivasi memang muncul dari dalam diri manusia tetapi

kemunculannya karena terangsang/terdorong oleh adanya unsur lain,

dalam hal ini tujuaan. Tujuan ini akan menyangkut soal kebutuhan

(Sardiman, 2012: 73-74).

Dengan tiga hal diatas, maka dapat diartikan bahwa motivasi itu sebagai sesuatu yang kompleks. Motivasi akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan energi yang ada pada diri manusia, sehingga akan bergayut dengan persoalan gejala kejiwaan, perasaan juga emosi, untuk kemudian bertindak atau melakukan sesuatu. Semua ini didorong karena adanya tujuan, kebutuhan atau keiginan (Sardiman, 2012: 73-74).

65

Hasan Ranggulung berpendapat bahwa motivasi merupakan suatu keadaan psikologis yang merangsang dan memberi arah terhadap aktivitas manusia. Dialah kekuatan yang menggerakkan dan mendorong aktivitas seseorang. Motivasi itulah yang membimbing seseorang ke arah tujuan-tujuannya. Demikianlah tujuan-tujuan dan aktivitas seseorang itu berkaitan dengan motifasinya. Sedangkan tujuan dalam hal ini merupakan apa yang terdapat pada lingkungan yang mengelilingi seseorang yang pencapainya membawa kepada pemuasan motivasi tertentu. Disini jelaslah bagaimana tujuan-tujuan itu berkaitan dengan motivasi. Kita perlu mengetahui apa yang mendorong manusia dalam aktivitas-aktivitas yang dikerjakannya (Ramayulis, 2009: 100-101).

Kaitannya dengan tingkah laku keagamaan motivasi tersebut penting untuk dibicarakan dalam rangka mengetahui apa sebenarnya latar belakang suatu tingkah laku keagamaan yang dikerjakan seseorang.

Disini peranan motivasi itu sangat besar artinya dalam membimbing dan mengarahkan seseorang terhadap tingkah laku keagamaan. Namun demikian motivasi tertentu yang sebenarnya timbul dalam diri manusia karena terbukanya hati manusia terhadap hidayah Allah. Sehingga orang tersebut menjadi orang yang beriman dan kemudian dengan iman itulah ia lahirkan tingkah laku keagamaan.

Kajian psikologi telah menunjukkan bahwa timbulnya kesadaran beragama (religius counsciossness) disebabkan adanya berbagai faktor, baik dalam diri seseorang misalnya motif, kesediaan, dan harapan,

66

sedangkan faktor luar berasal dari suatu obyek luar mempengaruhinya.

Kemudian dalam mekanismenya, kesadaran beragama akan menimbulkan pengalaman beragama (religious exprerience), dan demikian seterusnya terkait secara timbal balik. Kesadaran dan pengalaman beragama ini sangat erat kaitannya dengan tingkah laku keagamaan (Zakiah Daradjat, 2009: 6).

Dalam perkembangan jiwa seseorang, pengalaman kehidupan beragama sedikit demi sedikit makin mantap, sebagai suatu unit yang otonom dalam kepribadiannya. Unit itu merupakan suatu organisasi yang disebut kesadaran beragama sebagai hasil peranan fungsi kejiwaan terutama motivasi, emosi, dan intelegensi.

Motivasi berfungsi sebagai daya penggerak mengarahkan kehidupan mental. Emosi berfungsi melandasi dan mewarnainya, sedangkan intelegensi yang mengorganisasi dan mempolakannya. Bagi seseorang yang memiliki kesadaran beragama yang matang, pengalaman kehidupan beragama yang terorganisasi tadi merupakan pusat kehidupan mental yang mewarnai seluruh aspek kepribadiannya.

Kesadaran beragama merupakan dasar dan arah dari kesiapan seseorang mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan, dan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang datang dari dunia luar. Semua tingkah laku dalam kehidupannya dan hubungannya dengan bermasyarakat diwarnai oleh sistem kesadaran beragamanya. Kesadaran beragama tidak hanya melandasi tingkah laku yang tampa, tetapi juga mewarnai sikap, i‟tikad,

67

niat, kemauan, dan tanggapan terhadap nilai-nilai abstrak yang ideal seperti keadilan, perdamaian dan kebahagiaan.

Walaupun kesadaran beragama itu melandasi berbagai aspek kehidupan mental dan terarah pada bermacam objek, akan tetapi tetap merupakan suatu sistem yang terorganisasi sebagai bagian dari sistem mental seseorang. Dapat dikatakan bahwa kesadaran beragama yang mantap ialah suatu disposisi dinamais dari sistem mental yang terbentuk melaui pengalaman serta diolah dalam kepribadian untuk mengadakan tanggapan yang tepat, konsepsi pandangan hidup, penyesuaian diri dan bertingkah laku. tanggapan yang tepat, konsepsi pandangan hidup dan penyesuaian diri merupakan suatu proses yang tidak pernah berhenti

(Abdul Aziz Ahyadi, 2010: 49-50).

Dengan demikian kesadaan beragama seseorang tidak pernah mencapai kesempurnaan. Seseorang yang memiliki kesadaran beragama yang telah mantap masih merasakan bahwa kehidupan beragamanya belum sesuai dengan yang dicita-citakan. Ia pun masih berusaha mencari kehidupan beragama yang diidealkan. Kehidupan beragama yang diidealkan selalu ada di depan kesadaran beragama, yang mampu direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari. Makin mantap kesadaran beragamanya, maka realisasi praktis dengan konsep idealnya semakin dekat.

68

G.W. Allport memberikan tanda-tanda sentimen beragama yang matang, yaitu adanya differensiasi, dinamis, produktif, komprehensif, integral dan keikhlasan pengabdian. Sedangkan ciri-ciri kesadaran beragama yang matang ialah sebagai berikut: (1) sifferensiasi yang baik

(2) motivasi kehidupan beragama yang dinamis (3) pelaksanaan ajaran agama secara konsisten dan produktif (4) pandangan hidup yang komprehensif (5) pandangan hidup yang integral dan (6) semangat pencarian dan pengabdian kepada Tuhan (Abdul Aziz Ahyadi, 2010: 50).

Fuad Hasyim berpendapat motivasi beragama ialah merupakan dorongan psikis yang mempunyai landasan ilmiah dalam watak kejadian manusia. Dalam relung jiwanya manusia meraskan adanya dorongan untuk mencari dan memikirkan sang pencipta-Nya dan pencipta alam semesta, dorongan untuk menyembahnya meminta pertolongan kepada-

Nya setiap kali ditimpa becana.Motivasi ternyata sangat penting peranannya dalam meningkatkan kualitas seorang manusia. Dengan motivasi orang bisa gemilang dan berhasil dalam menjalani hidup dan kehidupan (Fuad Hasyim.wordpress.com, 26 Juli 2017).

Cita-cita atau tujuan hidup ini hanya bisa diraih jika anda memiliki motivasi yang kuat dalam diri anda. Tanpa motivasi apapun, sulit sekali anda menggapai apa yang anda cita-citakan. Tapi tak dapat dipungkiri, memang cukup sulit membangun motivasi di dalam diri sendiri. Bahkan mungkin anda nggak tahu pasti bagaimana ”cara membangun motivasi di dalam diri sendiri”. Setiap orang mendambakan

69

masa depan yang lebih baik, kesuksesan dalam karir, rumah tangga dan hubungan sosial, namun seringkali kita terbentur oleh berbagai kendala.

Dan kendala terbesar justru ada pada diri kita sendiri.

Motivasi diri berawal dari dorongan keyakinan dalam diri sendiri untuk menang. Ini dibentuk oleh cita-cita dan impian besar yang akan memotivasi orang untuk meraihnya. Kisah orang-orang sukses bermula dari sebuah impian yang diimplementasikan dalam serangkaian aktivitas sehari-hari. Impian pun akan bermanfaat juga untuk orang banyak. Nilai-nilai spiritualitas memancar dengan baik dalam diri orang tersebut dan menambah keyakinan bahwa Allah dekat dengan dirinya.

Seseorang harus mempunyai cita-cita besar yang disertai keyakinan bahwa Allah dekat dan mendampingi melalui hati nurani.

Dorongan hati nurani inilah akan mudah diketahui apabila kita mempunyai hati yang bersih. Keyakinan bahwa Allah dekat dan sayang kepada kita akan memberikan dorongan hati nurani yang sangat besar yang pada gilirannya lahir optimisme kita untuk meraih cita-cita. Hati merupakan pembimbing terhadap apa yang harus dituju dan apa yang harus diperbuat.

Robert K. Cooper Phd memaparkan bahwa hati mengaktifkan nilai-nilai kita yang terdalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikir menjadi yang kita jalani. Hati mampu mengetahui hal-hal mana yang tidak boleh, atau tidak dapat diketahui oleh pikiran kita. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas serta komitmen. Hati adalah

70

sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita untuk melakukan pembelajaran, menciptakan kerjasama, memimpin dan melayani.

Motivasi yang berasal dari dorongan suara hati atau hati nurani dan keyakinan bahwa Allah senantiasa dekat ini akan memancarkan nilai-nilai spiritualitas. Nilai-nilai spiritualitas dalam motivasi akan melahirkan motivasi yang positif, motivasi yang sarat dengan serangkaian langkah-langkah spiritual dan optimisme terhadap keberhasilan.

Prof. Danah Zohar dan Prof. Ian Marshall dari Harvard

University dan Oxford University memaparkan tentang kecerdasan spiritual dalam bukunya “Spiritual Questiont (SQ)”. Mereka berdua menjelaskan kecerdasan spiritual berkaitan erat dengan persoalan makna hidup. Menurutnya, kecerdasan spiritual dapat menilai langkah-langkah hidup seseorang lebih bermakna dibanding orang lain. Jadi hidup tidak hanya kosong tanpa makna yang jelas.

Kemudian, Wolf Singer, Michael Persinger dan V.S

Ramachandran menemukan fungsi God Spot yang terintegrasi dalam otak manusia. God Spot sebagai pembimbing manusia untuk terus menerus mencari makna hidup. Manusia yang berhasil memaknai hidup ini dengan spiritualitas akan memotivasi dirinya untuk mengambil aktivitas yang terbaik, jauh dari perbuatan mendholimi orang lain, menebarkan kebaikan dan kemakmuran dalam mencapai impian.

71

Sedangkan menurut Stephen P. Robbins dalam bukunya

“Organizational Behavior”, dalam motivasi terdapat tiga elemen utama

yaitu intensitas, arah, dan ketekunan individu dalam mencapai sasaran.

Jadi motivasi diri akan tumbuh positif apabila integritas antara intensitas,

arah dan ketekunan dalam mencapai sasaran dapat terwujud.

Selain itu keyakinan bahwa Allah dekat akan melahirkan sikap

optimisme yang positif terhadap keberhasilan serta menumbuhkan nilai-

nilai spiritualitas yang memberikan manfaat bagi orang banyak. Impian

yang dicapai pun menebarkan kemaslahatan. Direktur Eksekutif

Integrative Medicine Initiative di Michigan AS, Patricia Megregan

mengatakan, “Spirituality is where people find meaning in their lives. It‟s

something higher than thems

3. Pandangan Islam terhadap Motivasi

Di dalam ajaran agama Islam ada istilah motivasi beragama yang rendah

dan motivasi beragama yang tinggi. Motivasi beragama yang rendah

yaitu:

a. Motivasi beragama karena didorong oleh perasaan jah dan riya,

seperti motivasi orang dalam beragama karena ingin kepada

kemuliaan dan keriyaan dalam kehidupan masyarakat.

b. Motivasi beragama karena ingin mematuhi orang tua dan menjauhi

larangannya.

c. Motivasi beragama karena demi gengsi atau prestise, seperti ingin

mendapat predikat alim atau taat.

72

d. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk

mendapatkan sesuatu atau seseorang, seperti motivasi seseorang

dalam shalat untuk menikah e. Motivasi karena didorong oleh keinginan untuk melepaskan diri dari

kewajiban agama (Ramayulis, 2009: 106).

Dalam hal ini orang menganggap agama itu sebagai suatu beban, sesuatu yang wajib, dan tidak menganggapnya sebagai suatu kebutuhan yang penting dalam hidup. Jika dilihat dari psikologi agama, sikap seseorang yang demikian terhadap agama, akan buruk dampaknya secara kejiwaan karena ia rasakan agama itu sebagai tanggungan atau beban dan bukan dirasakan sebagai kebutuhan. Untuk itu perlu diubah kesan wajib, beban atau tanggungan terhadap agama itu menjadi kebutuhan, agar agama menjadi berkah dan rahmat dalam kehidupan.

Sedangkan motivasi beragama yang tinggi antara lain: a. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk

mendapatkan surga dan menyelamatkan diri dari azab neraka. b. Motivasi beragamakarena didorong oleh keinginan untuk beibdah

dan mendekatkan diri kepada Allah. c. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk

mendapatkan keridhaan dalam hidupnya. d. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk

mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup.

73

e. Motivasi karena didorong ingin hulul (mengambil tempat untuk

menjadi satu dengan tuhan. f. Motivasi beragama karena didorong oleh kecintaan (mahabbah)

kepada Allah SWT. g. Motivasi beragama karena ingin mengetahui rahasia Tuhan dan

peraturan Tuhan tentang segala yang ada (ma‟rifah). h. Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk al-ittihad

(bersatu dengan Tuhan) (Ramayulis, 2009: 106-107).

Dari sudut psikologi perkembangan, motivasi kehidupan beragama pada mulanya berasal dari dorongan biologis seperti lapar, rasa haus dan kebutuhan jasmaniah lainnya. Dapat pula dari kebutuhan psikologis seperti kebutuhan akan kasih sayang, pengembangan diri, kekuasaan, rasa ingin tahu, harga diri dan berbagai macam ambisi pribadi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut jika mendapat pemuasan dalam kehidupan beragama dapat menimbulakn dan memperkuat motivasi keagamaan yang lama-lama akan menjadi otonom (Ramayulis, 2009:

107).

Derajat kekuatan motif beragama dipengaruhi oleh pemuasaan yang diberikan oleh agama, makin kokoh dan makin otonom motif tersebut akhirnya merupakan motif yang berdiri sendiri dan secara konsisten dan dinamis mendorong manusiauntuk bertingkah laku keagamaan. Salah satu perbedaan antara orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang dengan orang yang belum matang terletak pada

74

derajat otonom motivasi keagamaanya. Makin matang kesadaran beragama seseorang akan semakin kuat energi motivasi keagamaannya, sedangkan orang yang belum melikiki kesadaran beragama yang matang maka motivasi keaagamaannya masih berhubungan erat dengan dorongan-dorongan jasmaniah atau kebutuhan-kebutuhan yang berhubungan dengan ambisi pribadinya.

Seseorang yang memiliki kesadaran beragama yang matang akan mampu mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu, dorongan materi, ambisi pribadi dan motif-motif rendah lainnya, kearah tujuan yang sesuai dengan motivasi keagamaan yang tinggi. Apabila kesadaran beragama telah menjadi kuat sistem mental kepribadian yang mantap, ia akan mendorong, mempengaruhi, mengarahkan, mengolah serta mewarnai semua sikap dan tingkah laku seseorang. Peranan kesadaran beragama itu merasuk ke dalam asfek mental lainnya. Tanggapan, pengamatan, pemikiran, perasaan dan sikapnya akan dwarnai oleh rasa keagamaan.

Dalam hubungannya dengan tuhan, orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang benar-benar menghayati hubungan tersebut dan tiap kali terjadi penghayatan yang baru, ibadahnya bersikap subjektif, kreatif dan dinamis. Ia selalu berusaha mengharmoniskan hubungannya dengan tuhan, manusia lain dan lam sekitarnya melalui sikap dan tingkah lakunya.

75

a) Motivasi menurut Perspektif Psikologi Islam

Sebenarnya kata Motivasi banyak disebutkan di dalam

bahasa Al-Qur‟an, yang salah satunya adalah fitrah yang artinya

adalah potensi atau pembawaan manusia yang dibawa sejak ia lahir.

Manusia selain sebagai makhluk rasionalistik juga sebagai makhluk

metafisik, yaitu makhluk yang digerakkan oleh sesuatu di luar nalar

yang biasanya disebut naluri atau insting.

Setiap perbutan yang dilakukan manusia baik yang disadari

atau (rasional) maupun yang tidak disadari (mekanikal atau naluri)

pada dasarnya merupakan sebuah wujud untuk menjaga sebua

keseimbangan hidup. Jika kesimbangan tubuh ini terganggu, maka

akan timbul suatu dorongan untuk melakukan aktivitas guna

mengembalikan keseimbangan tubuh. Islam sebagai agama yang

sesuai dengan fitrah manusia, sangat memperhatikan konsep

kesimbangan.

Sehingga dapat diketahui bahwa motivasi adalah

keseluruhan dorongan, keinginan, kebutuhan, dan daya yang sejenis

yang mengarahkan perilaku. Motivasi sudah diartikan suatu variabel

penyelang yang digunakan untuk menimbulkan faktor-fakor tertentu

di dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola,

mempertahankan, dan menyeluruh tingkah laku menuju satu sasaran.

Motivasi juga dapat diartikan sebagai semangat.Pengertian inilah

yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat.

76

Berikut ini beberapa pengertian motivasi, antara lain:

1) Menurut Abraham Maslow dan Douglas Mc Gregor, motivasi

adalah alasan yang mendasari sebuah perbuatan yang

dilakukan oleh seorang individu.

2) Menurut Mitchell, motivasi adalah proses yang menjelaskan

intensitas, arah, ketekunan seorang individu untuk mencapai

suatu tujuan.

3) Motivasi adalah proses pengembangan dan pengarahan

perilaku individu atau kelompok, agar individu atau kelompok

itu menghasilkan keluaran yang diharapkan, sesuai dengan

sasaran atau tujuan yang ingin dicapai.

4) Menurut Wirawan Sarwono, motivasi adalah istilah yang lebih

umum, yang menunjuk pada seluruh proses gerakan, termasuk

di dalamnya situasi yang mendorong timbulnya tindakan atau

tingkah laku individu. (Ramayulis, 2009: 200).

Seberapapun perbedaan para ahli dalam mendefinisikan motivasi, namun dapat dipahami bahwa motivasi merupakan akumulasi daya dan kekuatan yang ada dalam diri seseorang untuk mendorong, merangsang, menggerakkan, membangkitkan dan memberi harapan pada tigkah laku. Motivasi menjadi pengarah dan pembimbing tujuan hidup seseorang, sehingga ia mampu mengatasi inferioritas yang benar-benar dirasakan dan mencapai superioritas yang lebih baik. semakin tinggi motivasi hidup seseorang, maka

77

makin tinggi pula intensitas tingkah lakunya, baik secara kualitatif

maupun kuantitatif. b) Motivasi Beragama Bagi Seorang Muslim

Agama berperan sebagai motivasi dalam mendorong

individu untuk melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan yang

dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai

mempunyai kesucian, serta ketaatan. Keterkaitan ini akan memberi

pengaruh diri seseorang untuk berbuat sesuatu. sedangkan agama

sebagi nilai etik karena dalam melakukan sesuatu tindakan seseorang

akan terikat kepada ketentuan antara mana yang boleh dan mana

yang tidak boleh menurut ajaran yang dianutnya.

Sebaliknya agama juga sebagai pemberi harapan bagi

pelakunya. Seseorang yang melaksanakan perintah agama umumnya

karena adanya suatu harapan terhadap pengampunan atau kasih

sayang dari suatu harapan terhadap pengampunan atau kasih sayang

dari sesuatu yang gaib.

Motivasi mendorong seseorang untuk berkreasi, berbuat

kebajikan maupun berkorban.Sedangkan nilai etik mendorong

seseorang untuk berlaku jujur, menepati janji menjaga amanat dan

sebagainya.Sedangkan harapan mendorong seseorang untuk bersikap

ikhlas, menerima cobaan yang berat ataupun berdo‟a. Sikap seperti

itu akan lebih terasa secara mendalam jika bersumber dari keyakinan

terhadap agama (Baharuddin, 2005: 21).

78

Di dalam Al-Qur‟an ditemukan beberapa statement baik secara eksplisit maupun implisit menunjukkan beberapa bentukan dorongan yang memengaruhi manusia. Dorongan-dorongan yang dimaksud dapat berbentuk insting dan dorongan naluriah, maupun dorongan terhadap hal-hal yang memberikan kenikmatan.Hal ini dijelaskan dalam QS. Ali-Imron ayat 14 dan QS. Al-Qiyammah ayat

20. Ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki kecintaan yang kuat terhadap dunia dan syahwat (sesuatu yang bersifat kenikmatan pada badan) yang terwujud dalam kesukaan terhadap perempuan, anak, dan harta kekayaan.

Dalam surat Al-Qiyammah ayat 20 dijelaskan larangan untuk menafikan kehidupan dunia, karena sebenarnya manusia diberikan keinginan dalam dirinya untuk mencintai dunia itu, hanya saja kesenangan hidup itu tidak diperbolehkan semata-mata hanya untuk kesenangan saja, yang sebenarnya lebih bersifat biologis dari pada bersifat psikis. Padahal motivasi manusia harus terarah pada suatu qiblah, yaitu arah masa depan yang disebut Al-akhirah, sebuah kondisi yang situasi yang sebenarnya lebih bersifat psikis

(Baharuddin, 2005: 21-22).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan potensi dasar atau fitrah beragama.

Semua manusia pasti membutuhkan agama, sekalipun orang atheis secara aktual tidak meyakini adanya Tuhan. Tetapi sebenarnya,

79

secara filosofi, mereka tetap mencari pegangan hidup yang

diwujudkan dalam aturan-aturan kesepakatan bersama atau semacam

undang-undang yang dibuat mereka. Aturan yang dibuat mereka

terkadang lebih fanatik daripada aturan dari seorang penganut agama

yang mengakui aturan yang dibuat oleh Tuhan.

Dalam menjalankan aturan itu seakan-akan atheis mengakui

aturan itu sendiri sebagai Tuhannya. Hal ini menunjukkan bahwa

manusia tidak dapat memisahkan diri denagn Tuhan sekalipun

manusia tidak menyadari hubungan itu. Inilah yang dimaksud

motivasi beragama (Baharuddin, 2005: 22). c) Analisa

Sejak awal manusia diciptakan oleh Allah, sebenarnya

manusia memilki fitrah atau potensi untuk beragama. Beragama

dalam hal ini adalah beragama Islam. Menurut orang orientalis,

kedatangan Islam adalah sebagai solusi, karena menurut mereka

rujukan yang utama adalah adalah psikologi umum yang

dikembangkan oleh kaumnya sendiri. Kemudian baru merujuk pada

psikologi dalam perspektif Islam.

Manusia selain disebut sebagai makhluk rasionalistik juga

disebut sebagai makhluk mekanistik, yang mana keduanya harus

dalam keadaan seimbang. Apabila keduanya tidak seimbang maka

manusia butuh adanya suatu dorongan atau motivasi, baik motivasi

yang berasal dari diri sendiri juga yang berasal dari orang lain.

80

Motivasi adalah dorongan yang muncul dari diri seseorang untuk mencapai sasaran yang hendak dicapai. Manusia memiliki dorongan untuk memeluk agama yang diyakininya, hal ini berkenaan dengan fitrah atau potensi dasar yang disebut dengan Ruh sehingga hal ini disebut sebagai dimensi Ruh. Dimensi Ruh menyebabkan manusia memiliki sifat illahiyyah atau sifat ketuhanan dan mendorong manusia untuk mewujudkan sifat tuhan itu dalam kehidupan sehari- hari.

Dari sinilah, sebenarnya butuh dengan agama sebagai pengatur kehidupan yang mereka jalani. Manusia butuh agama, karena agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan

(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.

Manusia sejak awal lahirnya telah membawa fitrah (potensi) yang berbeda.Salah satu potensi yang dibawa manusia itu adalah potensi agama. Segala tingkah laku yang diperbuatnya baik dan buruknya tingkah laku itu tergantung pada mahusia yang menjalaninya, karena pada dasarnya segala sesuatu yang diperbuat manusia akan kembali pada agama.

81

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi

Motivasi sebagai proses batin atau proses psikologis dalam diri

seseorang, sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor

tersebut antara lain:

a. Faktor Ekstern

1) Lingkungan kerja.

2) Pemimpin dan kepemimpinannya.

3) Tuntutan perkembangan organisasi atau tugas.

4) Dorongan atau bimbingan atasan.

b. Faktor Intern

1) Pembawaan individu.

2) Tingkat pendidikan.

3) Pengalaman masa lampau.

4) Keinginan atau harapan masa depan.

Sumber lain mengungkapkan, bahwa di dalam motivasi itu terdapat suatu

rangkaian interaksi antar berbagai faktor. Berbagai faktor yang

dimaksud meliputi :

a. Individu dengan segala unsur-unsurnya: kemampuan dan

keterampilan, kebiasaan, sikap dan sistem nilai yang dianut,

pengalaman traumatis, latar belakang kehidupan sosial budaya dan

tingkat kedewasaan.

b. Situasi dimana individu bekerja akan menimbulkan berbagai

rangsangan: persepsi individu terhadap kerja, harapan dan cita-cita

82

dalam keja itu sendiri, persepsi bagaimana kecakapannya terhadap

kerja, kemungkinan timbulnya perasaan cemas, perasaan bahagia

yang disebabkan oleh pekerjaan.

c. Proses penyesuaian yang harus dilakukan oleh masing-masing

individuterhadap pelaksanaan pekerjaannya.

d. Pengaruh yang datang dari berbagai pihak : pengaruh dari sesama

rekan, kehidupan kelompok maupun tuntutan atau keinginan

kepentingan keluarga, pengaruh dari berbagai hubungan di luar

pekerjaan.

e. Reaksi yang timbul terhadap pengaruh individu.

f. Perilaku atas perbuatan yang ditampilkan oleh individu.

g. Timbulnya persepsi dan bangkitnya kebutuhan baru, cita-cita dan

tujuan.

D. Kurikulum Pendidikan Agama menurut KH Abdul Halim

1. Pengertian Kurikulum

Kurikulum adalah suatu program pendidikan yang berisi tentang

bahan ajar dan pengalaman belajar yang sudah diprogramkan,

direncanakan, dan dirancangkan secara sistematis atas dasar norma yang

berlaku dan dijadikan pedoman dalam proses belajar mengajar bagi

pendidik atau guru untuk mencapai tujuan dari pendidikan. Sehingga

kurikulum ini menjadi acuan sejumlah mata pelajaran yang harus

ditempuh oleh peserta didik untuk memperoleh ijazah.

83

2. Pengertian Kurikulum Pendidikan Agama Islam

Pendidikan agama Islam sebagai salah satu mata pelajaran di

sekolah adalah merupakan bagian dari kurikulum yang tidak dipisahkan

dari mata pelajaran lain. Kurikulum menurut konsepsi yang baru adalah

sebagai berikut: “Kurikulum adalah semua pengetahuan, kegiatan-

kegiatan atau pengalaman-pengalaman belajar yang diatur dengan

sistematis metodis, yang diterima anak untuk mencapai suatu tujuan

(Zuhairini, 1983: 59).

Secara tradisional kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran

yang diajarkan disekolah. Sedangkan difinisi kurikulum yang populer

ialah segala pengalaman anak di sekolah di bawah bimbingan sekolah.

Sesuai dengan pengertian kurikulum secara umum, maka dapatlah

diambil suatu pengertian kurikulum pendidikan agama Islam yaitu

bahan-bahan pendidikan agama Islam berupa kegiatan, pengetahuan dan

pengalaman yang dengan sengaja dan sistematis yang diberikan kepada

anak didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan agama Islam

(Zuhairini, 1983: 60).

Dengan demikian kurikulum pendidikan agama Islam adalah

merupakan totalitas dari suatu lembaga pendidikan baik di dalam kelas

maupun di luar kelas yang berdasarkan ajaran agaman Islam.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kurikulum Pendidikan

Sekolah mendapatkan pengaruh dari kekuatan-kekuatan yang ada dalam

masyarakat, terutama dari perguruan tinggi dan masyarakat.

84

a. Perguruan Tinggi

Kurikulum minimal mendapat dua pengaruh dari perguruan

tinggi. Pertama, dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

yang dikembangkan di perguruan tinggi umum. Kedua, dari

pengembangan ilmu pendidikan dan keguruan serta penyiapan guru-

guru diperguruan tinggi keguruan (lembaga pendidikan tenaga

kependidikan). Telah diuraikan terdahulu bahwa pengetahuan dan

teknologi banyak memberikan sumbangan bagi isi kurikulum serta

proses pembelajaran.

Jenis pengetahuan yang dikembangkan di perguruan tinggi

akan mempengaruhi isi pelajaran yang akan dikembangkan di

perguruan tinggi akan mempengaruhi isi pelajaran yang akan

dikembangkan di perguruan tinggi akan mempengaruhi isi pelajaran

yang akan mempengaruhi isi pelajaran yang akan dikembangkan

dalam kurikulum. Perkembangan teknologi selain menjadi isi

kurikulum juga mendukung pengembangan alat bantu dan media

pendidikan (Nana Syaodih Sukmadinata, 2013: 158). b. Masyarakat

Sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan

mempersiapkan anak untuk kehidupan di masyarakat. Sebagai

bagian dan agen dari masyarakat, sekolah sangat dipengaruhi oleh

lingkungan masyarakat di mana sekolah tersebut berada. Isi

kurikulum hendaknya mencerminkan kondisi dan dapat memenuhi

85

tuntutan dan kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat yang

ada di sekitar sekolah mungkin merupakan masyarakat homogen

atau heterogen, masyarakat kota atau desa, petani, pedagang atau

pegawai, dan sebagainya. Sekolah harus melayani aspirasi-aspirasi

yang ada di masyarakat (Nana Syaodih Sukmadinata, 2013: 159). c. Sistem Nilai

Dalam kehidupan masyarakat terdapat sistem nilai, baik

nilai moral, keagamaan, sosial, budaya maupun nilai politis. Sekolah

sebagai lembaga masyarakat juga bertanggung jawab dalam

pemeliharaan dan penerusan nilai-nilai. Sistem nilai yang akan

dipelihara dan diteruskan tersebut harus terintegrasikan dalam

kurikulum. Masalah utama yang dihadapi para pengembang

kurikulum menghadapi nilai ini adalah, bahwa dalam masyarakat

nilai itu tidak hanya satu. Masyarakat umumnya heterogen dan

multifaset. Masyarakat memiliki kelompok-kelompok etnis,

kelompok vokasional, kelompok intelek, kelompok sosial, ekonomi,

politik, fisik, estetika, etika, religius, dan sebagainya (Nana Syaodih

Sukmadinata, 2013: 160).

Aspek-aspek tersebut sering juga mengandung nilai-nilai

yang berbeda. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru dalam

mengajarkan nilai: (1) guru hendaknya mengetahui dan

memperhatikan semua nilai yang ada dalam masyarakat, (2) guru

hendaknya berpegang pada prinsip demokrasi, etis, dan moral, (3)

86

guru berusaha menjadikan dirinya sebagai teladan yang patut ditiru,

(4) guru menghargai nilai-nilai kelompok lain, (5) memahami dan

menerima keragaman kebudayaan sendiri (Nana Syaodih

Sukmadinata, 2013: 160).

E. Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam

1. Pendidikan Agama Islam Jaman Awal Penjajahan

Kedatangan Bangsa Belanda seperti bangsa Eropa lainnya ke

Nusantara pada mulanya adalah untuk berdagangdan mencari rempah-

rempah. Di Asia Barat orang-orang Kristen Eropa dilarang berdagang

setelah Konstantinopel dikuaai Islam Turki Usmani yang dipimpin oleh

Muhamad al-Fatih. Dengan demikian putuslah hubungan dagang antara

Eropa dan Asia Barat. Untuk menghadapi kekuasaan Islam, pedagang

Kristen yang dipelopori oleh orang-orang Portugis kemudian mencari

jalan lain ke Indonesia dengan menempuh jalur baru yaitu menyusuri

pantai Barat Afrika.

Keberhasilan Portugis dan Spanyol dalam menemukan pulau-

pulau “rempah-rempah” membangkitkn minat Belanda dan Inggris. Pada

tahun 1595 dimulailah pelayaran pertama di bawah pimpinan Cornelis

De Houtman. Armadanya tiba di pelabuhan Banten pada tahun 1596.

Sikap awak kapal De Houtman yang merendahkan rakyat menyebabkan

penguasa-penguasa pelabuhan di Jawa merasa tidak senang. Sebaliknya

di Bali mereka diizinkan berlabuh dan membeli barang dagangan.

87

Mereka kembali ke Belanda dengan keuntungan sedikit (Denys Lombard,

2008: 11).

Selanjutnya dilakukan kebijakan yang dilakukan pemerintah

Belanda. Ketika kebijakan dikaitkan dengan Pendidikan Islam dapat

diartikan sebagai seperangkat aturan yang dirumuskan melalui proses

pengambilan keputusan oleh pejabat publik (pemerintah) mengenai

pendidikan Islam dalam rangka mencapai tujuan tertentu

(Efendi, 2012: 42).

2. Pendidikan Agama Islam Jaman Penjajahan Belanda

Sejak zaman VOC (perusahaan swasta Belanda), kedatangan

mereka ke Indonesia sudah bermotif ekonomi, politik dan agama. Dalam

hak actroi VOC terdapat suatu pasal yang berbunyi: “Badan ini harus

berniaga di Indonesia dan bila boleh berperang, dan harus

memperhatikan perbaikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah”

(Haidar Putra Daulay, 2009: 36).

Sehingga dengan begitu mereka menerapkan berbagai peraturan dan

kebijakan, antara lain:

a. Ketika Van Den Boss menjadi Gubernur Jendral di Jakarta pada

tahun 1831, keluarlah kebijaksanaan bahwa sekolah-sekolah gereja

dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintahan. Departemen

yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu.

b. Gubernur Jendral Van Den Capellen pada tahun 1819 mengambil

inisiatif merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk

88

pribumi agar dapat membantu pemerintahan Belanda. Pendidikan

agama Islam yang ada di pondok pesantren, masjid, musholla, dan

lain sebagainya dianggap tidak membantu pemerintahan Belanda.

Para santri pondok masih dianggap buta huruf latin.

Jadi jelaslah bahwa madrasah pesantren dianggap tidak

berguna. Dan tingkat sekolah pribumi adalah rendah sehingga

disebut sekolah desa, dan dimaksudkan untuk menandingi madrasah,

pesantren atau pengajian yang ada di desa itu. Politik pemerintah

Belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas Islam didasari

oleh rasa ketakutan, dan rasa kolonialismenya (Hasbullah, 1995: 51). c. Pada tahun 1882, pemerintah Belanda membentuk suatu badan

khusus yang bertugas untuk mengawasi kehidupan beragama dan

pendidikan Islam yang disebut Priesterraden. Dari badan ini inilah

pada tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan baru

yang isinya bahwa orang memberikan pengajaran atau pengajian

agama Islam harus terlebih dahulu meminta izin kepada pemerintah

Belanda. d. Tahun 1925 keluar lagi peraturan yang lebih ketat terhadap

pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak semua orang (Kyai)

boleh memberikan pelajaran mengaji terkecuali telah mendapatkan

semacam rekomendasi atau persetujuan pemerintah Belanda.

Peraturan itu mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi

Pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti

89

Muhammadiyyah, Partai Syarikat Islam, Al-Irsyad, Nahdatul Ulama,

dan lain-lain.

e. Kemudian pada tahun 1932 keluar lagi peraturan yang isinya berupa

kewenangan untuk memberantas dan menutup madrasah atau

sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang

tidak disukai oleh pemerintah Belanda yang disebut Ordonansi

Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie). Peraturan ini dikeluarkan

setelah munculnya grakan nasionalisme-Islamisme pada tahun 1928

berupa Sumpah Pemuda. Selain itu untuk lingkungan kehidupan

agama Kristen di Indonesia yang selalu menghadapi reaksi dari

rakyat, untuk menjaga dan menghalangi masuknya pelajaran agama

Islam di sekolah umum yang kebanyakan muridnya beragam Islam,

maka pemerintah mengeluarkan peraturan yang disebut netral

agama, yakni bahwa pemerintah agama dan pemerintah melindungi

tempat peribadatan (Hasbullah, 1995: 52).

3. Pendidikan Agama Islam Jaman Penjajajahan Jepang

Jepang masuk ke Indonesia pada tanggal 11 Januari 1942

menduduki Tarakan, Kalimantan Timur, Kemudian terus memasuki

daerah-daerah lain di Indonesia. Dalam tempo yang sangat singkat telah

menguasai seluruh wilayah Hindia-Belanda (Mansur Mahfud Junaedi,

2005: 60).

90

Pada awalnya pemerintahan Jepang mengambil siasat merangkul umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia. Sikap penjajah Jepang terhadap pendidikan Islam ternyata lebih lunak, sehingga ruang gerak Pendidikan Islam lebih bebas ketimbang pada zaman kolonial Belanda. Hal ini disebabkan Jepang tidak begitu menghiraukan kepentingan agama, yang penting bagi Jepang adalah demi keperluan memenangkan perang, dan kalau perlu para pemuka agama lebih diberi keleluasaan dalam mengembangkan kepentingan pendidikannya (Mansur

Mahfud Junaedi, 2005: 60).

Dengan mendekati dan mengambil hati umat Islam, mereka dapat memperkut kekuasaannya. Untuk itu mereka menempuh beberapa kebijakan, antara lain: a. Kantor Urusan Agama (KUA) pada zaman Belanda disebut: Kantor

Voor Islamistische Saken yang dipimpin oleh orang-orang Orientalis

Belanda, diubah oleh Jepang menjadi Kantor Sumubi yang dipimpin

oleh ulama Islam sendiri yaitu K.H. Hasyim Asy‟ari dari Jombang

dan di daerah-daerah dibentuk Sumuka. b. Pondok pesantren yang besar-besar sering mendapat kunjungan dan

bantuan dari pembesar-pembesar Jepang. c. Sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik

dengan ajaran agama.

91

d. Pemerintahan Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hisbullah

untuk memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam.

Barisan ini dipimpin oleh K.H. Zainul Arifin. e. Pemerintahan Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam

di Jakarta yang dipimpin oleh K.H. , Kahar Muzakir,

dan Bung Hatta. f. Para Ulama Islam bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin

nasionalis diizinkan membentuk barisan Pembela Tanah Air

(PETA).

Tokoh-tokoh santri dan pemuda Islam ikut dalam latihan kader militer itu, antara lain: , Abdul Khaliq Hasyim, Iskandar

Sulaiman, Yusuf Anis, Aruji, Kartawinata, Kasman Singodimejo,

Mulyadi Joyomartono, Wahib Wahab, Sarbini Saiful Islam dan lain-lain.

Tentara Pembela Tanah Air inilah yang menjadi inti dari TNI sekarang.

Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut

Majelis Islam A‟la Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan

(Fatah Syukur, 2012: 136).

Maksud dari pemerintahan Jepang adalah supaya kekuatan umat

Islam dan nasionalis dapat dibina untuk kepentingan perang Asia Timur

Raya yang dipimpin oleh Jepang. Dari segi militer dan sosial politik di

Indonesia Jepang menampakkan diri sebagai penjajah yang sewenang- wenang dan lebih kasar dari pada penjajah Belanda. Dunia pendidikan secara umum terbengkalai, karena murid-murid sekolah tiap hari hanya

92

di suruh gerak badan, baris berbaris, bekerja bakti (romusha), bernyanyi

dan lain sebagainya. Yang masih beruntung adalah madrasah-madrasah

yang berada dalam lingkungan pondok pesantren yang bebas dari

pengawasan langsung pemerintah Jepang. Pendidikan dalam pondok

pesantren masih dapat berjalan agak lancar (Zuhairini, 2004: 150-151).

4. Pendidikan Agama Islam Jaman Kemerdekaan

a. Pendidikan Agama Islam Masa Orde Lama

Pada periode Orde Lama (Orla), berbagai peristiwa dialami oleh

bangsa Indonesia dalam dunia pendidikan, yaitu:

1) Dari tahun 1945-1950 Landasan Idiil pendidikan adalah UUD

1945 dan falsafah Pancasila.

2) Pada permulaan tahun 1949 dengan terbentuknya Negara

Republik Indonesia Serikat (RIS) dinegara bagian Timur dianut

suatu sistem pendidikan yang diwarisi dari zaman pemerintah

Belanda.

3) Pada tanggal 17 Agustus 1950, dengan terbentuknya kembali

Negara Kesatuan RI, Landasan Idiil UUDS RI.

4) Pada tahun 1959 Presiden mendekritkan RI kembali ke UUF

1945 dan menetapkan Manifesta Politik RI menjadi Haluan

Negara. Dibidang pendidikan ditetapkan Sapta Usaha Tama dan

Panca Wardana.

93

5) Pada tahun 1965, sesuai peristiwa G.-30-S/PKI kembali lagi

melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan

konsekwen (Samsul Nizar, 2005: 347).

Di tengah-tengah berkobarnya revolusi fisik, pemerintah RI tetap membina pendidikan agama. Pembinaan pendidikan agama tersebut secara formal institusional dipercayakan kepada

Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan kebudayaan.Oleh karena itu dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama antara kedua Departemen tersebut untuk mengelola pendidikan agama di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta.

Khusus untuk mengelola pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah umum, maka pada bulan Desember 1946, dikeluarkanlah Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri PP dan K dengan menteri agama, yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama pada sekolah-sekolah umum (negeri dan swasta), berada di bawah Kementerian PP dan K (Samsul Nizar, 2005: 348).

Sejak itulah terjadi semacam dualisme pendidikan di

Indoneseia, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Di satu pihak Departemen Agama mengelola semua jenis pendidikan agama baik di sekolah-sekolah agama maupun di sekolah -sekolah umum.

Dan di lain pihak Departemen Pendidikan Pengajaran dan

Kebudayaan mengelola pendidikan pada umumnya serta

94

mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan sistem Pendidikan

Nasional (Samsul Nizar, 2005: 348-349).

Selanjutnya Pendidikan Agama ini diatur secara khusus dalam UU

Nomor 4 Tahun 1950 pada Bab XII pasal 20, yaitu:

(1) Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang

tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran

tersebut.

(2) Cara penyelanggaraan pengajaran agama di sekolah-sekolah

negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri

Pendidikan Pengajaran dan Kebudayan, bersama-sama dengan

Menteri Agama (Hasbullah, 2005: 77).

Sementara itu pada Peraruran Bersama Menteri PP dan K dan Menteri Agama Nomor; 1432/kab. tanggal 20 Januari 1951

(pendidikan), Nomor K 1/652 tanggal 20 Januari (agama), diatur tenyang Peraturan Pendidikan Agama di sekolah-sekolah, yaitu:

1) Pasal 1: Di tiap-tiap sekolah rendah dan sekolah lanjutan (umum

dan kejuruan) diberi pendidikan agama.

2) Pasal 2:

a) Di sekolah-sekolah rendah pendidikan agama dimulai pada

kelas 4, banyaknya 2 jam dalam satu minggu.

b) Di lingkungan yang istimewa, pendidikan agama dapat

dimulai pada kelas 1, dan jamnya dapat di tambah menurut

kebutuhan.

95

3) Pasal 3: Di sekolah-sekolah lanjutan tingkat pertama dan

tingkatan atas, baik sekolah-sekolah umum maupun sekolah-

sekolah kejuruan, diberi pendidikan agama 2 jam dalam tiap-tiap

minggu.

4) Pasal 4:

a) Pendidikan agama diberikan menurut agama murid masing-

masing.

b) Pendidikan agama baru diberikan pada sesuatu kelas yang

mempunyai murid sekurang-kurangnya sebanyak 10 orang,

yang menganut suatu agama.

c) Murid dalam suatu kelas yang memeluk agama lain dari

pada agama yang sedang diajarkan pada suatu waktu, boleh

meninggalkan kelasnya selama pelajaran itu (Hasbullah,

2005: 78).

Dalam bidang kurikulum pendidikan agama diusahakan penyempurnaan-penyempurnaan, dalam hal ini telah di bentuk suatu kepanitiaan yang dipimpin oleh KH.Imam Zarkasyi dari pondok

Gontor Ponogoro. Kurikulum tersebut disahkan oleh menteri Agama pada tahun 1952 (Hasbullah, 2005: 78-79).

Dalam ketatanegaraan RI dinyatakan bahwa Negara berdasarkan UUD 1945.Kedaulatan di tangan rakyat yaitu di tangan

MPR.Sebelumnya di bentuknya MPR menurut UUD 1945, di

Indonesia pernah dibentuk MPRS (sementara) pada tahun 1959.

96

Begitulah keadaan Pendidikan Islam dengan segala kebijaksanaan pemerintah pada zaman Orde Lama. Pada akhir Orde

Lama tahun 1965 lahir semacam kasadaran baru bagi ummat Islam, di mana timbulnya minat yang mendalam terhadap masalah-masalah pendidikan yang dimaksudkan untuk memperkuat ummat Islam, sehingga sejumlah oganisasi Islam dapat dimantapkan (Hasbullah,

2005: 79).

Dalam hubungan ini Kementerian Agama telah mencanangkan rencana-rencana program pendidikan yang akan dilaksanakan dengan menunjukan jenis-jenis pendidikan serta pengajaran Islam sebagai berikut:

1) Pesantren Indonesia Klasik, semacam sekolah swasta

keagamaan yang menyediakan asrama, yang sejauh mungkin

memberikan pendidikan yang bersifat pribadi, sebelumnya

terbatas pada pengajaran keagamaan serta pelaksanaan ibadah.

2) Madrasah Diniyah, yaitu sekolah-sekolah yang memberikan

pengajaran tambahan bagi murid sekolah negeri yang berusia 7

sampai 20.

3) Madrasah-madrasah swasta, yaitu pesantren yang dikelola

secara modern, yang bersamaan dengan pengajaran agama juga

diberikan pelajaran umum. Tujuannya adalah menyediakan

60% - 65% dari jadwal waktu untuk mata pelajaran umum, dan

35% - 40% untuk mata pelajaran agama.

97

4) Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), yaitu Sekolah Dasar Negeri

enam tahun, di mana perbandingan umum kira-kira 1:2

pendidikan lanjutan dapat diikuti pada MTs N, murid-murid

dapat mengikuti pendidikan keterampilan, misalnya pendidikan

Guru Agama untuk Sekolah Dasar Negeri, setelahnya dapat

diikuti latihan lanjutan dua tahun menyelesaikan kursus guru

agama untuk sekolah menengah.

5) Suatu percobaan baru telah ditambahkan pada Madrasah

Ibtidaiyah Negeri (MIN) 6 tahun, dengan menambahkan kursus

selama dua tahun, yang memberikan latihan keterampilan

sederhana.

6) Pendidikan Teologi tertinggi, pada tingkat Universitas diberikan

sejak tahun 1960 pada IAIN yang dimulai dengan dua bagian

atau dua Fakultas di Yogyakarta dan dua Fakultas di Jakarta

(Hasbullah, 2005: 80). b. Pendidikan Agama Islam Masa Orde Baru

Orde baru bukan merupakan golongan tertentu, sebab orde

baru bukan berupa pengelompokkan fisik. Perubahan orde lama

(sebelum 30 September 1965) ke orde baru berlangsung melalui

kerja sama erat antara pihak ABRI atau Tentara dan gerakan-gerakan

pemuda, disebut angkat 1966. Para pemuda itu bergabung dalam

KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan

Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia). Dalam KAMI yang memegang

98

peran penting khususnya adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang amat kuat serta mempunyai hubungan yang tidak resmi dengan masyumi dan organisasi islam lainnnya (Hasbullah, 2005: 82).

1) Makna Orde Baru

Sejak ditumpasnya peritiwa G.30 S/PKI pada tanggal 1 Oktober

1965, bangsa Indonesia telah memasuki fase baru yang diberi

nama orde baru, yaitu:

a) Sikap mental yang positif untuk menghentikan dan

mengoreksi segala penyelewengan terhadap pancasila dan

UUD 1945.

b) Memperjuangkan adanya suatu masyarakat yang adil dan

makmur, baik material maupun spiritual melalui

pembangunan.

c) Sikap mental mengabdi kepada kepentingan rakyat dan

melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan

konsekuen.

Dengan demikian, orde baru bukanlah merupakan

dolongan tertentu, sebab orde baru bukan berupa

pengelompokan fisik. Perubahan orde lama (sebelum 30

September 1965) menjadi orde baru berlangsung melalui kerja

sama erat antara pihak ABRI dan Gerakan-Gerakan Pemuda,

yang disebut Angkatan 1966 (Hasbullah, 2005: 83).

99

2) Kebijaksanaan Pendidikan Secara Umum

Pada ketetapan MPRS No.XXVII/MPRS/1966, Bab II

pasal 3 disebutkan tentang tujuan pendidikan nasional Indonesia

yang dimaksudkan untuk membentuk manusia pancasila sejati

berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh

pembukaan UUD 1945.

Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk

mengembangkan kepribadian kemampuan di dalam dan diluar

sekolah berlangsung seumur hidup. Oleh karenanya maka

pendidikan adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan

pemerintah (Hasbullah, 2005: 83-84).

Menurut UU No.2 Tahun 1989, pendidikan nasional

bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan

manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan

bertakwa terhadap tuhan yang maha esa dan budi pekerti luhur,

memilki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan

rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung

jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Landasan pemikiran tersebut, pendidikan nasional

disusun sebagai usaha sadar untuk memungkinkan bangsa

Indonesia mempertahankan kelangsungan hidupnya dan

mengembangkan dirinya secara terus menerus dari satu generasi

ke generasi berikutnya (Hasbullah, 2005: 84).

100

3) Keberadaan Pendidikan Agama Islam

Sejak tahun 1966 telah terjadi perubahan besar pada

bangsa Indonesia baik itu menyangkut kehidupan sosial, agama

maupun politik, hal ini didukung dengan adanya keputusan

sidang MPRS yang dalam keputusannya dalam bidang

pendidikan agama mengatakan, pendidikan agama menjadi hak

yang wajib mulai dari sekolah dasar sampai pergutruan tinggi.

Dengan adanya keputusan tersebut keberadaan pendidikan

agama semakin mendapatkan tempat dan akses yang luas untuk

dijangkau setiap masyarakat.

4) Tujuan Pendidikan Islam pada Masa Kemerdekaan

Tujuan pendidikan Islam pada masa kemerdekaan meliputi:

a) Tujuan yang bersifat individu, mencakup perubahan, yaitu

perubahan pengetahuan.

b) Tujuan yang mencakup masyarakat, yaitu perubahan

kehidupan masyarakat serta memperkaya pengalaman

masyarakat.

c) Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan

pengajaran sebagai ilmu, seni profesi dan kesertaan

masyarakat.

Dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Islam pada masa merdeka

diarahkan sebagai upaya integrasi pendidikan Islam dalam

sistem pendidikan nasional (Hasbullah, 2005: 90).

101

5) Pengelolaan Pendidikan Islam di Indonesia

Setelah Indonesia merdeka, pendidikan Islam

dilaksanakan dilembaga pendidikan Islam diserahkan

pengelolaannya kepada Departemen Agama. Secara bertahap

Departemen Agama memberdayakan pengelolaan lembaga-

lembaga pendidikan pesantren dan madrasah, di bawah asuhan

dirijen pendidikan Islam hingga saat sekarang ada tiga badan

yang berada di bawah koordinasi Dirjen tersebut, yaitu:

a) Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Islam.

b) Direktorat Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada

sekolah umum.

c) Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam.

Direktorat Pendidikan Agama Islam pada sekolah

umum, membina pendidikan agama Islam yang dilaksanakan di

sekolah-seloah umum, pada tingkat pendidikan dasar dan

menengah. Pembinaan ketenagaan, kurikulum, sarana dan lain-

lain. Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, membina

pendidikan Islam pada jenjang perguruan tinggi negeri dan

suasta, IAIN, STAIN, UIN dan Perguruan Tinggi Islam Swasta.

Pembinaan ketenagaan, kurikulum, sarana, mahasiswa,

perpustakaan dan lain-lain (Haidar Putra Daulay, 2009: 171).

102

c. Pendidikan Islam Zaman Modern

Pendidikan Islam era modern keadaannya jauh lebih baik

dari keadaan pemerintah pada masa orde baru, karena dibentuknya

beberapa kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pendidikan Islam

era modern, antara lain:

1) Kebijakan tentang pemantapan pendidikan Islam sebagai bagian

dari sistem pendidikan nasional.

2) Kebijakan tentang peningkatan anggaran pendidikan.

3) Program wajib belajar 9 tahun, yaitu setiap anak Indonesia wajib

memilki pendidikan minimal sampai 9 tahun.

4) Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Nasional (SBN), Sekolah

Bertaraf Internasional (SBI).

5) Kebijakan sertifikasi bagi semua guru dan dosen sekolah negeri

dan swasta.

6) Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK/tahun

2004) dan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP/tahun

2006) serta kompetensi 2013 .

7) Pengembangan pendekatan pembelajaran yang tidak hanya

terpusat pada guru (teacher centris) melalui kegiatan teaching,

melainkan juga berpusat pada murid (student centris) melalui

kegiatan learning (belajar) dan research (meneliti) dalam

suasana yang partisipatif, inovatif, aktif, kreatif, efektif, dan

menyenangkan.

103

8) Penerapan manajemen yang berorientasi pada pemberian

pelayanan yang baik dan memuaskan (to give good service and

satisfaction for all customers).

9) Kebijakan mengubah sifat madrasah menjadi sekolah umum

yang berciri khas keagamaan (Abuddin Nata, 2006: 352-353).

5. Organisasi Islam dan Pendidikan Islam di Indonesia

Lahirnya beberapa organisasi Islam di Indonesia lebih banyak

karena didorong oleh mulai tumbuhnya sikap patriotisme dan rasa

nasionalisme serta sebagai respon terhadap kepincangan-kepincangan

yang ada dikalangan masyarakat Indonesia pada akhir abad ke-19 yang

kemunduran total sebagai akibat eksploitasi politik pemerintahan

kolonial belanda. Langkah pertama diwujudkannya dalam kesadaran

berorganisasi (Abuddin Nata, 2006: 353-354).

Para pemimpin gerakan nasional dengan kesadaran penuh ingin

mengubah keterbelakangan rakyat Indonesia. Mereka sadar bahwa

penyelenggaraan pendidikan yang berfisat nasional harus segera

dimasukkan ke dalam agenda perjuangannya. Maka lahirlah sekolah-

sekolah yang memiliki dua corak, yaitu:

a. Sesuai dengan politik, meliputi:

1) Taman siswa, yang mula-mula didirikan di Yogjakarta.

2) Sekolah serikat rakyat di Semarang, yang berhaluan komunis.

3) Ksatria institut, yang didirikan oleh Douwes Dekker

(Dr. Setiabudi) di Bandung.

104

4) Perguruan rakyat, di Jakarta dan Bandung. b. Sesuai dengan tuntutan/ ajaran agama (Islam), meliputi:

1) Sekolah-sekolah serikat Islam.

2) Sekolah-sekolah Muhammadiyah.

3) Sumatera Tawalib di Padang Panjang.

4) Sekolah-sekolah NU.

5) Sekolah-sekolah Persatuan Umat Islam (PUI).

6) Sekolah-sekolah Al-Jami‟atul Wasliyah.

7) Sekolah-sekolah Al-Irsyad.

8) Sekolah-sekolah normal Islam (Abuddin Nata, 2006: 354).

Selain itu, ada organisasi yang berlandaskan sosial keagamaan yang banyak melakukan aktivitas kependidikan Islam, antara lain: a. Al-Jami‟at Al-Khairiyah.

Organisasi yang lebih dikenal dengan nama Jami‟at Kahir

ini didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Anggota

organisasi ini mayoritas orang-orang Arab, tetapi tidak menutup

kemungkinan untuk setiap muslim menjadi anggota tanpa

diskriminasi asal usul.

Dua bidang kegiatan yang sangat diperhatikan oleh organisasi ini

adalah:

1) Pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar.

2) Mengirimkan anak-anak muda ke negara Turki untuk

melanjutkan studi. Bidang kedua ini sering terhambat karena

105

kekurangan biaya dan juga karena kemunduran khilafat, dengan

pengertian tidak seorangpun dari mereka yang dikirim ke Timur

Tengah kemudian memainkan peran yang penting setelah

mereka kembali ke Indonesia (Abuddin Nata, 2006: 355). b. Al-Islah Wal Irsyad.

Syekh Ahmad Surkati, yang sampai di Jakarta pada bulan

Februari 1912, seorang alim yang terkenal dalam agama Islam,

beberapa lama kemudian meninggalkan Jami‟at Kahir dan

mendirirkan gerakan agama sendiri bernama Al-Islah Wal Irsyad,

dengan haluan mengadahkan pembaruan dalam Islam (reformisme).

Pada tahun 1914 berdirilah perkumpulan Al-Islah Wal

Irsyad, kemudian terkenal dengan sebutan Al Irsyad, yang terdiri

dari golongan-golongan Awali. Tahun 1915 berdirilah sekolah

Al-Irsyad yang pertama di Jakarta, kemudian disusul oleh beberapa

sekolah dan pengajian lain yang sehaluan dengan itu.

Pendiri-pendiri Al-Irsyad kebanyakannya adalah pedagang,

guru sebagai tempat meminta fatwa ialah Syekh Ahmad Sukarti yang

sebagian besar umurnya dicurahkannya untuk penelaahan

pengetahuan (Abuddin Nata, 2006: 356).