<<

Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

Rumah Gadang 10 Minangkabau16

16 Tugas mahasiswa Arsitektur Nusantara - ITS 2017

197 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

1. Pengaruh Iklim dan Geografi a. Letak Geografis

Alam

Sumatera Barat terletak di pesisir barat bagian tengah pulau Sumatera yang terdiri dari dataran rendah di pantai barat dan dataran tinggi vulkanik yang dibentuk oleh Bukit Barisan. Seperti daerah lainnya di , iklim Sumatera Barat secara umum bersifat tropis dengan suhu udara yang cukup tinggi, yaitu antara 22,6 °C sampai 31,5 °C. Sumatera Barat merupakan salah satu daerah rawan gempa di Indonesia. Hal ini

198 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

disebabkan karena letaknya yang berada pada jalur patahan Semangko, tepat di antara pertemuan dua lempeng benua besar, yaitu Eurasia dan Indo-Australia. Oleh karenanya, wilayah ini sering mengalami gempa bumi. Gempa bumi besar yang terjadi akhir-akhir ini di Sumatera Barat di antaranya adalah gempa bumi 30 September 2009 dan gempa bumi Kepulauan Mentawai 2010. b. Topografi Keadaan topografi wilayah Sumatera Barat bervariasi, yaitu wilayah datar, bergelombang serta wilayah dengan kondisi alam yang curam dan berbukit. c. Iklim Seperti daerah lainnya di Indonesia, iklim Sumatera Barat secara umum bersifat tropis dengan suhu udara yang cukup tinggi, yaitu antara 22,6 °C sampai 31,5 °C. Provinsi ini juga dilalui oleh Garis Khatulistiwa, tepatnya di Bonjol, Pasaman. Di provinsi ini berhulu sejumlah sungai besar yang bermuara ke pantai timur Sumatera seperti Batang Hari, Siak, Indragiri (disebut sebagai Batang Kuantan di bagian hulunya), dan Kampar. Sementara sungai-sungai yang bermuara ke pesisir barat adalah Batang Anai, Batang Arau, dan Batang Tarusan.

199 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai d. Pola Pemukiman Pada masyarakat Minang, pola permukiman secara makro atau perkampungan disebut “”. Dan unsur-unsur pembentuknya antara lain adalah daerah taratak, yaitu daerah ladang dan hutan yang berada di sekitar nagari dan menjadi sumber penghasilan sehari-hari. Kemudian daerah mukim, yaitu daerah permukiman yang memiliki pusat orientasi pada pusat nagari.

Pusat nagari biasanya terbentuk dari beberapa fungsi bangunan umum, seperti balai , tempat para pemuka adat mengadakan pertemuan guna memecahkan masalah besar, balai nagari, masjid dan pasar. Susunan rumah, biasanya rnenghadap jalan, baik sejajar ataupun tegak lurus jalan. Terkadang ada pula yang rnenghadap matahari.

Secara mikro, pola permukiman masyarakat Minang berdasarkan sistem pemerintahannya disebut sebagai “Kampuang” atau kampung. Dan kampung ini terdiri dari beberapa paruik, yang bisa diartikan satu kaum besar tapi masih ada pertalian darah. Kampung ini sering pula disebut sebagai jorong. Secara kelompok, dapat dibagi menjadi dua kelompok hunian.Kelompok hunian kecil, adalah satu keturunan seibu. Kelompok lain adalah kelompok hunian hesar. Kelompok ini dalam sistem kekerabatan disebut paruik, atau artinya perut, yaitu suatu keturunan yang lebih luas/ besar dan keturunan langsung.

200 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

Secara tradisional masyarakat Minang tidak mengenal orientasi bangunan secara khusus. Bangunan-bangunan yang ada dibuat menyesuaikan dengan jalan, biasanya sejajar dengan arah jalan. Rumah lapis kedua biasanya membelakangi jalan dan rumah lapis ketiga berhadapan dengan rumah lapis kedua. Begitu seterusnya, tapi tergantung pula oleh kondisi tanah.

Di tanah Minang terdapat beberapa pedesaan yang tergabung dalam luhak-luhak. Hingga saat ini masih terdapat desa-desa dengan rumah tradisional dan pola tatanan yang masih utuh dan terawat. Dalam sebuah pedesaan terdapat balai adat, masjid, dan rumah tradisional lengkap dengan (lumbung padi). Rumah tradisional Minangkabau dikenal luas dengan sebutan .

Menurut Soeroto (Minangkabau, 2005), sejak zaman kerajaan Dusun Tuo telah disepakati berdirinya nagari dalam Luhak harus memiliki sejumlah sarana dan prasarana pokok sebagai persyaratan, meliputi :

 Bakorong bakampung (dusun dan kampung)  Babalai adat (balai adat)  Basawah-ladang (sawah-ladang)  Balabuah (jalan)  Batapian (sungai tempat mandi), dan  Bamasajik (masjid – tambahan sejak masuknya agama Islam abad ke-16)

201 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

Prototipe susunan rumah gadang dan rangkiang keluarga sekaum

Rumah gadang biasanya dibangun berdekatan dengan rumah keluarga sebelumnya sehingga dalam suatu area, biasanya masih ada hubungan kekerabatan. Pola tatanan massa memusat di tengah, yaitu pada jajaran rangkiang sedangkan jalan kampung berada di belakang rumah. Jalan masuk berada di tengah jajaran rumah gadang.

Rumah Gadang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan pada kaum tersebut. Di halaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjung (Bahasa

202 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

Minang: anjuang) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Tidak jauh dari komplek Rumah Gadang tersebut biasanya juga dibangun sebuah kaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan dan juga sekaligus menjadi tempat tinggal lelaki dewasa kaum tersebut yang belum menikah.

Keluarga sekaum di desa Balubus dengan 7 rangkiang e. Pengaruh dari Geografi dan Ancaman Bencana Wilayah Minangkabau berada di pegunungan Bukit Barisan yang rawan gempa. Menyikapi hal tersebut, Rumah Gadang memakai pondasi batu umpak dengan seluruh

203 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

tiang bertumpu di atas batu yang lebar. Selain itu, seluruh sambungan antara kolom dan balok menggunakan sistem pasak, yaitu sambungan tanpa menggunakan paku, tetapi disambung menggunakan pasak yang terbuat dari kayu. Sehingga pada saat terjadi gempa, seluruh tiang Rumah Gadang akan bergeser secara fleksibel di atas batu tempat tiang berdiri. Begitu pula dengan sambungan antar balok dan kolom.

204 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai f. Pengaruh dari Iklim

Lantai Rumah Gadang yang berupa lantai panggung menggunakan material papan kayu. Penggunaan material kayu untuk lantai sangat cocok dengan kondisi iklim wilayah pesisir dengan suhu panas dan lembab. Pada saat musim hujan, kayu bersifat hangat dan dapat menyimpan panas yang cukup baik, sehingga suhu ruang tetap terjaga. Sedangkan di musim kemarau yang panas, susunan papan kayu di lantai yang masih ada rongga di celah-celah kayu dapat berfungsi sebagai ventilasi ruang untuk mengalirkan udara dari bawah panggung ke lantai hunian di atasnya, sehingga terjadilah pergantian udara dan ruang hunian terhindar dari kelembaban. Rumah Gadang yang berbentuk panggung juga menghindarkan penghuninya dari binatang buas.

Material penutup atap Rumah Gadang menggunakan ijuk, yaitu serat kasar warna hitam yang berasal dari batang pohon aren (Arengan Saccarifera) yang disusun menjadi papan-

205 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

papan ijuk menggunakan teknik ikatan. Pemilihan ijuk sebagai bahan penutup atap adalah upaya untuk merespon iklim tropis yang panas dan lembab.Ijuk bersifat menyerap panas, sehingga pada saat musim panas, panas sinar matahari tidak langsung masuk ke ruangan. Dan, pada musim hujan, sifat ijuk yang menyerap panas menjaga suhu ruangan agar tetap hangat. Hal ini didukung dengan bentuk atap pelana dengan kemiringan yang cukup terjal, sehingga terhindar dari tampias dan air yang mengendap ke dalam rumah

Rumah Gadang Minangkabau Bangunan dengan bubungan yang ujungnya melengkung mencuat ke atas dengan sangat dramatis tak ada alain kecuali bagian atap dari arsitektur Minangkabau, disebut pula Rumah Gadang Minangkabau. Tampilan bangunannya sangat mencengangkan, hampir tidak tertampilkan kesan tenang, bersahaja atau pun kesan menahan diri. Sebaliknya, bangunan demikian ceria, gembira, bahkan bisa menjebak menjadi dikesankan meriah

206 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

yang berlebihan. Tampilan bangunan yang kaya dengan hiasan bukan dimaksud agar bangunan menjadi bersolek

Dengan menggunakan teknik perulangan bangun, kelihatannya kemeriahan tampilan Rumah Gadang ini bukan sebuah kesengajaan untuk tampil meriah. Cobalah kita cermati bagian tengah dari Rumah Gadang, bagian yang menjadi tempat masuk ke dalam bangunan. Cobalah dikesampingkan keberadaan canopy yang menaungi tangga masuk, lalu jejerkanlah bagian tengah ini dengan sebarang rangkiang. Tiba-tiba saja bagian tengah Rumah Gadang ini tidak berbeda dari rangkiang dalam bentukannya. Bahwa bagian tengah rumah gadang ini memiliki loteng, dan memiliki canopy, kedua tambahan ini juga tidak banyak berbeda dari rangkiang. Keserupaan yang tinggi antara bagian tengah rumahgadang dengan rangkiang ini sebenarnya saja tidak perlu dilakukan, karena di Minangkabau juga ada bangunan-bangunan rumah tinggal yang hanya memiliki dua gonjong seperti yang dipunyai oleh rangkiang. Perbedaan rangkiang dengan rumah yang

207 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

paling mencolok adalah dalam hal rumah maka bubungan yang rata masih cukup kuat terlihat; tetapi, tidak demikian halnya dengan rangkiang, bahkan ada rangkian yang bubungannya melengkung. Dengan ringkas dapat dipastikan bahwa bentukan rangkiang merupakan bentukan dasar dari arsitektur Minangkabau. Dengan dipastikannya bangun dasar ini, bagaimanakah Rumah Gadang itu terbentuk sebagai bangunan dengan banyak gonjong? Tidak susah untuk mengenali cara pembentukan Rumah Gadang itu. Lakukanlah pengulangan menyamping, maka dengan pengulangan ke kiri dan ke kanan akan didapatkanlah rumah dengan empat gonjong. Tambahkan lagi pengulangan maka didapatlah Rumah Gadang dengan enam gonjong. Perlu dicatat di sini bahwa pengulangan ini tidak harus setangkup (simetri) ke kiri dan ke kanan; pengulangan yang hanya satu sisi saja dibolehkan, dan itu akan menghasilkan rumah dengan gonjong yang gasal jumlahnya. Teknik pengulangan ini dapat diberlakukan pula bagi canopy maupun loteng dari rumah Minang ini.

Prinsip pengulangan di rumah Minangkabau ini ternyata digunkan pula untuk menggarap dinding bangunan. Ada dua macam dinding bangunan yaitu yang pertama dinding bangunan yang memiliki lubang, dan yang kedua adalah dinding yang tidak memiliki lubang. Lubang ini dihadirkan untuk mendapatkan terang matahari serta semilirnya angin yang berhembus. Dinding yang tanpa lubang ditempatkan di ujung rumah, sehingga seolah-olah ingin mengatakan bahwa bagian ini adalah pengulangan yang terakhir, tidak ada penambahan lagi. Lubang yang sekaligus adalah jendela ini menjadi berirama dalam perletakannya yang berjejer. Kesan tertata dan rapi kuat sekali tertampilkan di tampilan

208 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

rumah ini. seterusnya, melengkapi pekerjaan perdindingan ini adalah penghadiran hiasan di sekujur dinding bangunan rumah MInangkabau ini. tiga sisi dinding bangunan yang dipenuhi dengan hiasan yakni di sisi depan, sisi samping kiri dan samping kanan. Dinding belakang lazimnya merupakan dinding anyaman bambu, dan dengan begitu tidak dihias. Mengenai hiasan ini, nampaknya cukup kuat pertimbangan untuk menegaskan bahwa hiasan ini tidak hadir demi kecantikan atau estetika keindahan bangunan. Setiap hiasan dengan corak yang tersendiri juga menyandang maksud yang tertentu. Setidaknya dapat dikenali empat puluh macam hiasan yang bisa hadir di tampang rumah. Beberapa dari hiasan itu adalah sebagai berikut ini.

Aka Cino , yang berarti akar terikat, merupakan pola ukiran flora, yaitu akar. Motif akar ini mempunyai makna kehalusan dan keserasian. Biasanya diletakkan di pintu, juga di tempe-tempe panjang.

Kuciang Lalok, pola ukiran fauna, yang menggambarkan keadaan orang malas yang seperti kucing tidur. Biasanya pola ukiran ini diletakkan di kamar tidur, sehingga cocok dengan fungsi dari ruangan tersebut.

Ada maksud yang tertentu dari pemilik sehingga pemilik mengungkapkan maksud itu dengan menghadirkan hiasan. Tidak hanya maksud yang tertentu, tetapi juga dapat

209 Arsitektur Nusantara: Jelajah yang Belum Usai

menetapkan hiasan yang tertentu karena pemilik berhasrat untuk mengatakan cita-citanya, harapan dalam hidup berkeluarga, pandangan dalam bertetangga dan sudah barang tentu dalam beragama. Bangunan Minang lalu dapat dipandang seperti sebuah lembaran halaman buku yang dapat dibaca apa sajakah maksud dan hasrat dari pemilik. Secara bersama-sama hiasan ini lalu seakan mengatakan apa dan siapa dan bagaimanakah pandangan hidup dari pemiliknya. Bahwa dengan hiasan ini bangunan lalu menjadi estetik, itu bukanlah tujuan utama; tampilan yang estetik hanyalah akibat semata. Yang estetik adalah masing-masing ragam hias; dan dalam kebersamaan tampil dengan hiasan- hiasan lainnya menjadikan bangunan itu terlihat estetik. Mengenai hiasan ini, seiring perjalanan waktu, dapat terjadi bahwa hiasan ini lalu kehilangan maksud dan hasrat pemilik. Tampilnya hiasan yang sangat Eropa diduga kuat telah menjadi petunjuk menyurutnya hiasan sebagai pembawa maksud dan harapan.

210