ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144 117 Menggali dalam film dengan mise-en-scene

Herry Nur Hidayat1, Bani Sudardi2, Sahid Teguh Widodo3, Sri K Habsari4 1 Universitas Andalas, Padang, 2,3,4Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia ABSTRAK

Sejarah perkembangan industri perfilman Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari muatan lokalitas sebagai sumber penciptaan. Sebagai salah satu etnik di Indonesia, Minangkabau diketahui telah menjadi sumber penciptaan film, bahkan sejak awal pertumbuhan industri film di Indonesia. Oleh karena beragamnya unsur keminangkabauan, tidak mudah menampilkan unsur-unsur keminangkabauan yang telah dikenal khalayak penonton. Akan tetapi, kajian sebelumnya terhadap muatan keminangkabauan dalam film seolah mengabaikan citraan visual (visual image) ini. Melalui pendekatan mise-en-scene, artikel ini menguraikan unsur-unsur keminangkabauan yang ditampilkan dalam film, baik visual maupun unsur naratifnya. Di samping itu, artikel ini juga mencoba menjawab beragam kritik etnisitas atas film bermuatan Minangkabau. Analisis difokuskan pada citraan visual unsur keminangkabauan yang berhubungan dengan tokoh dan latar sebagai pembangun aspek naratif dalam tujuh film terpilih. Hasil analisis menunjukkan bahwa citraan visual ikon-ikon Minangkabau tampak mendominasi unsur keminangkabauan dalam film, yaitu , rangkiang, dan pakaian. Ikon visual tersebut muncul dalam bentuk desain pelataran dan propertinya. Beberapa adegan yang menampilkan rumah gadang menunjukkan pula peran dan kedudukan mamak rumah dalam sistem kekerabatan serta representasi demokrasi di Minangkabau. Tampaknya, aspek visual unsur keminangkabauan tersebut ditampilkan untuk memperkuat latar tempat dan sosial sebagai sarana penceritaan. Di samping itu, dapat pula disampaikan bahwa tampilnya unsur keminangkabauan tidak secara mutlak menggambarkan Minangkabau.

Kata-kata Kunci: Minangkabau; film;mise-en-scene ; visual; naratif

Capturing Minangkabau in the movie through mise-en-scene

ABSTRACT

Indonesian film industry’s history cannot avoid locality as a source of creation. As one of Indonesia’s ethnic groups, Minangkabau is known as the source of film creation, even since the early days of Indonesia’s film growth. Due to the various Minangkabau elements, it is not easy to present its aspects to the audience as a kind of representation. This article explored and described the Minangkabau features displayed in the film through a mise-en-scene approach, both visually and narrative elements. Apart from that, this article also tried to answer various ethnic criticisms for Minangkabau films. This article focused on the Minangkabau elements’ visual imagery related to the characters and settings as the builders of several selected films’ narrative aspects. The results showed that Minangkabau icons’ graphical images dominated the Minangkabau elements in the movie, namely ‘Rumah Gadang’, ‘Rangkiang’, and clothes. This visual icon appeared as a setting and displayed in the set design and its properties. Several scenes featuring the ‘Rumah Gadang’ also showed the role and position of the ‘Mamak Rumah’ in the kinship system and the representation of democracy in Minangkabau. It seemed that Minangkabau’s elements’ visual aspect was presented to strengthen the setting as a means of storytelling. In other words, the appearance of the component did not necessarily describe Minangkabau.

Keywords: Minangkabau; film; mise-en-scene; visual; narative

Korespondensi: Herry Nur Hidayat, S.S., M.Hum. Universitas Andalas. Kampus Unand Limau Manis Padang 25163. Email: [email protected]

Submitted: September 2020, Accepted: March 2021, Published: March 2021 ISSN: 2548-687X (printed), ISSN: 2549-0087 (online). Website: http://jurnal.unpad.ac.id/protvf 118 ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144

PENDAHULUAN film ini seolah diabaikan dalam pembicaraan film bermuatan keminangkabauan. Hal ini Minangkabau adalah salah satu suku besar diduga karena tidak ditemukannya kembali di Indonesia yang tidak hanya satu atau dua film ini untuk digunakan sebagai bahan kajian. kali diangkat dalam film. Selain menampilkan Menurut Heider (1991), sulit menyusun sejarah keindahan alam, tradisi dan folklor merupakan perfilman Indonesia karena banyak film yang subjek yang banyak diangkat dalam film. tidak lagi bisa ditemukan, terutama film-film Berdasarkan catatan hasil penelusuran penulis, yang dibuat sebelum tahun 1950. Oleh sebab hingga saat ini (1926 - 2018) terdapat lebih itu, tidak mengherankan jika film yang diyakini dari dua puluh judul film Indonesia yang mengandung muatan keminangkabauan mengangkat keminangkabauan. Catatan ini pertama adalah Harimau Tjampa (1953) yang tidak menghitung film-film independen yang disutradarai oleh R. Djajakusuma karena masih dibuat oleh lembaga atau komunitas. bisa ditemukan dan telah dialih wahana menjadi Film Indonesia dengan muatan bentuk digital oleh Sinematek Indonesia keminangkabauan pertama adalah Melati (Kamal, 2013). Mengedepankan aksi laga Van Agam (1930). Film ini dibuat dalam dua dan filosofi silek ( Minangkabau), film ini bagian (Melati Van Agam I dan II) yang masih meraih penghargaan FFI 1955 sebagai film dalam format film bisu. Film Melati Van Agam dengan skenario terbaik. ini diproduksi oleh Tan’s Film dan diangkat Sebagai sumber penciptaan, cukup banyak dari novel karya Parada Harahap dengan karya sastra bermuatan Minangkabau yang judul yang sama. Isi cerita layaknya cerita diangkat menjadi film. Selain adaptasi terhadap Romeo Juliet tetapi berlatar Sumatera Barat. novel Melati van Agam dan Siti Noerbaja, tahun Hoay (1930) dalam kritiknya terhadap film 1972 Asrul Sani mengangkat kisah roman Salah ini menyebutkan bahwa film ini mengubah Asuhan menjadi film dengan judul yang sama. cerita novel yang hambar menjadi film yang Pamusuk Eneste (Eneste, 1991) menyebut baik, rapi, dan menarik perhatian penonton. perbedaan novel dan film Salah Asuhan ini Selanjutnya, kisah fenomenal roman (novel) sebagai bentuk ekranisasi dan termasuk dalam Siti Nurbaya karya Marah Rusli juga diangkat perubahan bervariasi. Sementara itu, Heider menjadi film pada tahun 1941. Oleh Kristanto (1991) menyebut film Salah Asuhan ini adalah (2007), film ini disebut sebagai versi film bentuk kritik rasialisme dan diskriminasi sosial pertama novel Siti Nurbaya. Akan tetapi, kedua pada masa Kolonial Belanda.

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144 119

Film hasil adaptasi yang mengandung tradisional, khususnya Minangkabau, sebagai muatan Minangkabau yang termutakhir adalah sumber penciptaan film setelah masa-masa Tenggelamnya Kapal van der Wicjk. Film ini suram industri perfilman Indonesia. Terlepas diangkat dari novel Hamka yang juga berjudul dari adanya kritik terhadap film ini (Indah, Tenggelamnya Kapal van der Wicjk. Film 2009), tidak bisa dipungkiri bahwa Merantau ini dianggap sebagai fenomena yang cukup mengangkat unsur keminangkabauan. Dengan mencolok dalam perfilman Indonesia. Beberapa alur cerita yang sederhana, film Merantau kritik terhadapnya mengungkapkan bahwa film merangkai peristiwa keseharian dengan ini adalah puncak visualisasi keminangkabauan menyisipkan muatan lokalitas yaitu silek dan dalam era tahun 2010-an. Meskipun terdapat merantau (Ica, 2009; Miawruu, 2009). beberapa perbedaan layaknya sebuah ekranisasi, Cerita rakyat dan mitos Minangkabau melalui sinematografi, musik, akting, dan juga muncul menjadi film pemilihan latar, film ini seolah mencoba Anak Durhaka (1971), 7 Manusia Harimau memaksimalkan adaptasi terhadap cerita (1986), dan Palasik (2015). Perjuangan rakyat novel karya Hamka ini (Musyafir dkk., 2017). Minangkabau melawan kekuasaan kolonial Melalui strukturnya, Tenggelamnya Kapal Belanda ditampilkan dalam Para Perintis van der Wijck menampilkan identitas budaya Kemerdekaan (1977). Profil perantau dan nasional Indonesia (Thalib, 2017) sekaligus keturunan perantau Minangkabau pada era budaya matrilineal Minangkabau (Trisnawati & modern muncul dalam Cinta Tapi Beda (2012), Yesicha, 2018). Tabula Rasa (2014), Surga di Telapak Kaki Selain dari karya sastra dan latar alam, Ibu (2016), dan Me vs Mami (2016). Konflik sumber keminangkabauan yang diangkat dalam proses perkawinan di Minangkabau menjadi film juga diangkat dari cerita rakyat, muncul dalam Liam dan Laila (2018). mitos, tradisi, dan tatanan sosial masyarakat Keragaman muatan keminangkabauan Minangkabau. Pada tahun 2009, dirilislah dalam sejarah perfilman Indonesia secara tidak Merantau (2009) yang menjadi salah satu film langsung menunjukkan kekayaan lokalitas fenomenal dalam sejarah perfilman Indonesia. sebagai sumber penciptaan film. Pengetahuan Film yang dibintangi Iko Uwais ini dianggap tentang keminangkabauan pada akhirnya sebagai tonggak kebangkitan film laga Indonesia. tidak cukup menjadi bekal penciptaan film Di samping itu, film ini juga menandai kembali bermuatan Minangkabau. Penguasaan teknik diperhitungkannya muatan tradisi lokalitas dan kreativitas menjadi faktor penting bagi

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) 120 ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144

seniman film untuk merepresentasikan muatan disebut cerita visual (visual storytelling). Tentu lokal khususnya Minangkabau. saja, konsepnya tidak jauh dari teknik-teknik Film merupakan media yang sangat efektif pengolahan visual atau sinematografi. untuk menyampaikan pesan atau sebagai Memang tidak mudah untuk menampilkan sarana komunikasi karena memiliki banyak representasi Minangkabau dalam film. Hal ini penonton atau penikmat. Film juga merupakan bukan hanya terbatas pada konteks ekranisasi media yang lengkap karena dilengkapi dengan saja, melainkan juga representasi Minangkabau ilustrasi gambar bergerak dan suara. Pesan pada umumnya. Pengetahuan penonton tentang yang disampaikan dalam film berbentuk keminangkabauan tidak akan mudah dikelabui kisah atau cerita menjadi sarana bagi suatu hanya dengan aspek visual ikonik. Pengetahuan lembaga untuk menyebarluaskan suatu pesan kreator film tentang keminangkabauan, sebagai

atau informasi (Sutorini dkk., 2019). Film bagian proses resepsi dalam adaptasi, harus sebagai salah satu media massa yang menjadi juga mempertimbangkan pengetahuan calon saluran berbagai macam gagasan dan konsep penonton dalam proses produksi film. yang dapat memunculkan dampak tertentu Film bermuatan lokalitas Minangkabau dari penayangannya. Oleh karenanya, film bukan tidak pernah menjadi pembicaraan dan adalah salah satu alat untuk menghadirkan polemik. Film Titian Serambut Dibelah Tujuh realitas sosial yang direpresentasikan sebagai (1982) yang disutradarai Chaerul Umam realitas media (Roberts, 1998). Realitas media menjadi perbincangan hangat oleh karena latar yang dibangun oleh film merupakan hasil tempat dan sosial Minangkabau yang diangkat. pemikiran para pembuat film, yang di dalam Di samping menjadi diskusi sebagai model dan pengembangannya mengikuti tututan pasar contoh formal film Islami (Heeren, 2012), film (Yasmin dkk., 2017). ini menuai kritik dan protes karena membuka Seperti halnya karya sastra yang perilaku seksual yang menyimpang dalam menggunakan bahasa sebagai mediumnya, film kehidupan masyarakat Minangkabau (Arief, menggunakan “kosakata” dan struktur khusus 2016). Cinta Tapi Beda (2012) garapan Hanung berupa komposisi, desain visual, pencahayaan, Bramantyo menjadi pembicaraan karena kontrol gambar, keberlanjutan, pergerakan, dianggap menghina Minangkabau, Jawa, bahkan dan sudut pandang (Brown, 2012). Mencoba Islam. Film ini menceritakan tokoh Diana, asal mengenal film tidak bisa lepas dari pengetahuan Padang dan beragama Katolik, dengan Cahyo, akan bahasa film ini oleh karena film biasa juga asal Yogyakarta beragama Islam. Diceritakan

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144 121

lika-liku hubungan mereka yang berbeda dalam film oleh karena film merupakan bentuk keyakinan. Namun, khalayak cenderung tidak cerita visual. Menurut Brown, tugas utama menerima isi cerita film tersebut. Penonton pembuat film adalah mencipta dunia visual. menuduh film ini mendiskreditkan Minangkabau Dunia visual adalah bagian penting bagi dengan pernyataan “Minangkabau adalah penonton untuk dapat memahami cerita dan Islam”. Hanung sebagai sutradara akhirnya motivasi di dalamnya (Brown, 2012). Lewis memutuskan untuk menghentikan pemutaran menyebut aspek ini termasuk dalam mise-en- film tersebut (Noviandi, 2013). Bahkan, pada scene (Lewis, 2014). Mise-en-scene mengacu tahun 2018 lalu, film ini dituntut ke ranah pada semua elemen visual. Empat aspek mise- hukum (Priyambodo, 2018). en-scene adalah desain latar (setting), kostum, Artikel ini secara singkat memaparkan pencahayaan, dan pergerakan tokoh (Lathrop &

muatan keminangkabauan dalam film melalui Sutton, 2013). pendekatan mise-en-scene, yaitu melihat Dalam perkembangannya, pengertian tampilan visual sebagai wujud hasil produksi. mise-en-scene dipahami secara berbeda. Di satu Pendekatan ini merupakan bentuk analisis pihak mise-en-scene dipahami sebagai bagian formal terhadap unsur-unsur naratif dengan dari gaya (style) pembuat film. Di lain pihak, visualisasi keminangkabauan sebagai fokus mise-en-scene dipahami sebagai tampilan kajian. Hal ini juga mempertimbangkan sebagai hasil kreasi pembuat film. Mengingat komposisi visual elemen mise-en-scene yang aspek-aspek di dalam mise-en-scene ini, Mise- saling berhubungan dan turut berperan penting n-scene merupakan praktik estetik profesional dalam membangun pemahaman terhadap dan sebagai teori atau pendekatan. Namun tema cerita. Hasil analisis diharapkan dapat demikian, perlu ditekankan kembali bahwa digunakan sebagai data penelitian selanjutnya mise-en-scene mengandung seluruh aspek gaya terhadap muatan keminangkabauan dalam yaitu praproduksi dan pascaproduksi (Branigan film. Di samping itu, kajian ini juga mencoba & Buckland, 2014). menjawab beragam kritik bernada etnisitas Empat aspek mise-en-scene adalah desain terhadap film-film bermuatan Minangkabau. latar (setting), kostum, pencahayaan, dan Benarkah visualisasi Minangkabau dalam film pergerakan tokoh (Lathrop & Sutton, 2013). menggambarkan identitas etnik Minangkabau?. Pergerakan tokoh yang dimaksud adalah Tampilan visual sering dianggap sebagai tampilan perpindahan atau posisi aktor dalam bentuk representasi paling mudah dikenali sebuah ruang kamera (frame) atau lebih dikenal

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) 122 ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144

dengan blocking (Lewis, 2014). Dalam hal Kostum dan tata rias juga merupakan ini, blocking melibatkan akting aktor dengan elemen penting yang turut mendukung tema. kamera. Blocking dapat berupa posisi statis atau Kostum dalam film harus sesuai dengan latar pergerakan yang juga melibatkan ekspresi dan waktu, tempat, dan suasana. Di samping itu, gestur aktor. Dalam hal ini, aktor bukan hanya kostum juga turut membangun karakter tokoh, dipandang sebagai desain visual dalam film misalnya status sosial tokoh atau usia tokoh melainkan sebagai elemen penting yang turut (Lathrop & Sutton, 2013; Lewis, 2014). Sama membangun pesan naratif dalam film (Lathrop halnya dengan latar, dalam kostum juga kadang & Sutton, 2013). diperlukan properti. Tentunya, harus dibedakan Latar dan desainnya juga turut membangun properti latar dengan properti kostum. Kostum, interpretasi visual dan mendukung estetika tata rias, maupun propertinya, kesemuanya

pengadeganan (Sreekumar & Vidyapeetham, sangat berperan dalam keutuhan sebuah cerita. 2015). Aspek mise-en-scene ini memainkan Bagi sutradara, pencahayaan lebih dari peran penting dalam membangun cerita. sekadar penerangan. Seperti halnya aspek mise- Hubungannya dengan tokoh dan peristiwa en-scene lainnya, pencahayaan membutuhkan menjadikannya elemen yang perlu pengetahuan dan keterampilan yang tidak diperhitungkan dengan cermat terutama aspek mudah. Pencahayaan dalam proses produksi artistik dan dramatik. Dalam hal ini, latar dapat film akan turut membangun aspek-aspek naratif merepresentasikan tempat dan suasana yang yang akan disaksikan penonton (Lathrop & sama atau sebuah rekaan. Oleh karenanya, Sutton, 2013). desain latar memerlukan pendukung yaitu Desain pencahayaan dapat menciptakan properti (Lathrop & Sutton, 2013; Lewis, 2014). atau menghilangkan bayangan. Inilah yang Tidak jarang properti dalam film menjadi faktor akan ditangkap kamera. Melalui pencahayaan, penentu perubahan karakter bahkan jalan cerita kamera dapat menangkap kegelapan untuk dalam film. Properti dalam setting bukanlah menciptakan kengerian, atau hanya sekadar sekadar pelengkap melainkan turut menentukan pembeda waktu pagi, siang, sore, dan malam. dan membangun keutuhan cerita. Dalam aspek Pencahayaan dapat membentuk kesan penonton latar ini juga terdapat elemen ruang (space) kepada tokoh dan menciptakan suasana sebagai (Mochama, 2020). Elemen ini berhubungan aspek penting dari bahasa visual film (Lewis, dengan unsur sinematografi dalam membentuk 2014). ruang pelataran melalui tangkapan kamera. Artikel ini membahas muatan

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144 123 keminangkabauan dalam film melalui aspek- kajian adalah aspek mise-en-scène yaitu latar aspek mise-en-scene tersebut di atas. Namun (setting), kostum dan tata rias, pencahayaan, dan demikian, visualisasi keminangkabauan yang pergerakan tokoh. Unsur-unsur ini digunakan muncul dalam film menjadi fokus kajian ini sebagai alat analisis untuk mengungkapkan tidak terbatas pada ikon-ikon Minangkabau. visualisasi Minangkabau yang terkandung Pengamatan juga dilakukan terhadap lakuan dalam film. dan praktik sosial yang muncul secara visual. Perlu disampaikan di sini bahwa hasil penelusuran dan pengumpulan sumber data METODE PENELITIAN (1926-2018) diperoleh dua puluh empat judul

Berdasarkan pengamatan terhadap film- film yang diasumsikan mengandung muatan film bermuatan keminangkabauan, material keminangkabauan. Namun demikian, artikel sumber data dibatasi pada judul-judul film ini hanya menampilkan analisis beberapa berikut: Harimau Tjampa (1953), Para Perintis judul terpilih. Pilihan sumber data didasarkan Kemerdekaan (1977), Titian Serambut Dibelah pada terjangkaunya sumber data (beberapa Tujuh (1986), Di Bawah Lindungan Ka’bah judul tidak ditemukan), intensitas muatan (2011), Tenggelamnya Kapal van der Wijck keminangkabauan (berdasar pengamatan), dan (2013), Me vs Mami (2016), dan Liam dan penentuan film sebagai wakil atau semangat Laila (2018). Film-film tersebut diasumsikan zaman (trend) perfilman Indonesia. mengandung muatan keminangkabauan yang Adapun konsep unsur keminangkabauan cukup intens. Di samping itu, tahun rilis dapat di sini dibatasi pada unsur ikonik yang telah digunakan sebagai indikator era yang membawa dikenal khalayak penonton, yaitu bangunan semangat zaman yang berbeda, baik dalam atau gedung sebagai bagian dari lanskap konteks artistik maupun industri. dan pakaian pemeran. Hal ini berhubungan Metode yang digunakan dalam penelitian dengan kecenderungan kritik etnisitas terhadap ini adalah metode deskriptif-kualitatif. film Minangkabau berdasar tampilan ikonik Dalam hal ini, data primer dianalisis melalui tersebut. Proses validasi data tidak hanya interpretasi dan diperkuat oleh perbandingannya dilakukan melalui pengamatan berulang tetapi dengan data sekunder. Data primer adalah juga melalui studi kepustakaan terhadap tulisan, tekstual naratif dalam ruang lingkup film yang artikel, resensi, dan pembicaraan tentang dihubungkan dengan material sumber data. material sumber data sebagai data sekunder. Adapun unsur-unsur naratif yang menjadi fokus

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) 124 ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144

HASIL DAN PEMBAHASAN mengangkat tema peran pergerakan Islam (di Minangkabau) dalam perjuangan kemerdekaan Telah disampaikan pada bagian Indonesia. Dalam hal ini, Junus (1984) sebelumnya, Harimau Tjampa dianggap sebagai mengatakan, Asrul memperlakukan cerita novel film dengan muatan keminangkabauan pertama menjadi film sesuai dengan penilaian kembali dalam sejarah perfilman Indonesia. Film ini suasana masa lampau berdasarkan pemikiran diproduksi oleh PERFINI dan disutradarai D. masa kini, masa ia mengerjakan film. Djajakusuma. Film ini bercerita tentang tokoh Film Tenggelamnya Kapal van der Wijck Lukman yang merantau dan menuntut ilmu dapat dikatakan sebagai puncak visualisasi silek (silat) untuk membalas dendam kematian keminangkabauan dalam film selama satu ayahnya yang dibunuh oleh Datuk Langit. dekade terakhir. Film yang diangkat dari novel Melalui berbagai peristiwa, akhirnya Lukman Hamka ini, melalui sinematografi maupun dapat menuntut balas dengan mengalahkan mise-en-scene, menunjukkan usaha maksimal Datuk Langit dalam pertarungan silek. Filosofi menampilkan muatan Minangkabau. Meskipun bela diri silek sangat kental dalam film ini. ada perbedaan dengan novelnya, sebagai Meskipun berlatar Minangkabau, film ini juga satu ciri bentuk ekranisasi, tema cerita novel banyak menampilkan seni tradisi Melayu. Di cukup tersampaikan secara jelas dalam film samping silek, film ini juga menampilkan musik ini. Film yang disutradarai Sunil Soraya ini tradisional Minangkabau, adat, serta pepatah tampil dalam latar waktu cerita tahun 1930-an petitih. sesuai dengan novelnya. Hubungan percintaan Pada tahun 1977 Asrul Sani menyutradarai Zainuddin dengan Hayati yang terhalang adat filmPara Perintis Kemerdekaan yang diadaptasi Minangkabau ditampilkan melalui konflik dari novel karya Hamka Di Bawah Lindungan antartokohnya. Ka’bah. Film ini meraih penghargaan sebagai Sebagai hasil ekranisasi, filmTenggelamnya Film Terbaik pada FFI 1981. Dalam filmnya Kapal van der Wijck menunjukkan beberapa ini, Asrul Sani merombak cerita novel sebagai bentuk perubahan. Musyafir, dkk. (2017) bentuk interpretasinya terhadap karya Hamka. menyebut terdapat 82 aspek penciutan, 64 aspek Bisa dikatakan, kesetiaannya pada cerita novel penambahan, and 38 aspek perubahan bervariasi. hanya terbatas pada tokoh dan penokohan Tampaknya, Musyafir, dkk. mengaplikasikan dalam cerita. Asrul Sani membangun alur kajian ekranisasi yang dikemukakan oleh melalui sudut pandang yang berbeda. Film ini Pamusuk Eneste. Namun, dilihat dari aspek

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144 125 sinematografi, film Tenggelamnya Kapal van Deskripsi singkat tiap-tiap film di atas der Wijck memiliki beberapa keunggulan dalam menunjukkan bahwa konflik tokoh selalu mengungkapkan optimisme tokoh (Harahap, menjadi pusat bangunan tema dan ide cerita. 2019). Aksi tokoh dalam sebuah peristiwa secara tidak Film Me vs Mami disutradarai Ody C langsung membangun alur yang juga merupakan Harahap dan dirilis tahun 2016. Film ini unsur utama cerita dan penceritaan. Dalam menampilkan muatan keminangkabauan hal ini, di samping aspek visual, tokoh juga melalui konflik antartokoh dalam konteks membawa indikator penanda keminangkabauan. kehidupan keseharian. Berlatar dunia modern, Selain bahasa yang digunakan, indikator film ini bercerita tentang perjalanan Maudy yang dapat dengan mudah dikenali dalam film (Mami) dan anaknya, Mira, pulang ke kampung adalah visualisasi latar. Latar dalam hal aspek halaman suami Maudy di Payakumbuh, mise-en-scene bukan hanya menunjukkan Sumatera Barat. Dalam perjalanan inilah tempat melainkan juga properti yang ada di muncul banyak konflik yang turut menampilkan dalam latar tersebut dan ruang (space) yang visualisasi keminangkabauan. dibatasi oleh tangkapan kamera (frame). Disebut terinspirasi dari kisah nyata, Liam Ikon tentang Minangkabau yang paling dan Laila juga mewarnai perfilman Indonesia dikenal hingga saat ini adalah rumah gadang. dengan muatan keminangkabauan. Film yang Bahkan, pada tahun 1973 dan 1978 Bank disutradarai Arief Malinmudo ini mengangkat Indonesia mencetak uang logam (koin) konflik yang muncul dalam proses perjodohan pecahan Rp100,00 bergambar rumah gadang. dan perkawinan antarsuku bangsa dan agama, Rumah gadang adalah salah satu Warisan Minangkabau dengan Perancis. Laila adalah Budaya Tak Benda (WBTB) dari Sumatera gadis Minangkabau berpendidikan tinggi yang Barat yang telah ditetapkan pada tahun 2013. terlanjur nyaman dengan status kesendiriannya, Karakteristik dan keunikan rumah gadang telah di samping karena keluarga kerabat yang sangat menarik banyak peneliti untuk mengkajinya. pemilih menentukan pasangannya. Tanpa Menurut bentuknya, rumah gadang biasa juga sengaja, dia berkenalan dengan Liam pemuda disebut rumah gonjong atau rumah bagonjong asal Perancis melalui media sosial. Perkenalan (bergonjong) oleh karena bentuk atapnya yang ini akhirnya membawa Liam untuk datang ke runcing menjulang (Navis, 1984). ranah Minang. Konflik pun muncul saat Liam mengutarakan niat untuk mempersunting Laila.

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) 126 ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144

Sumber: tangkapan layar filmHarimau Sumber: tangkapan layar filmTenggelamnya Kapal van Tjampa (1953) Der Wijck (2013)

Gambar 1 Rumah gadang dalam Harimau Gambar 3 Zainuddin, Muluk, dan rumah gadang Tjampa dalam Tenggelamnya Kapal van Der Wijck

Dalam film, rumah gadang muncul sebagai

latar tempat, yaitu rumah tinggal tokoh, dan bagian desain latar tempat. Rumah gadang yang ditampilkan dalam film secara tidak langsung Sumber: tangkapan layar filmTenggelamnya Kapal van Der Wijck (2013) menunjukkan status sosial pemiliknya, yaitu

Gambar 2 Rumah gadang dalam suku atau kaum bukan pribadi. Bagi masyarakat Tenggelamnya Kapal van Der Wijck Minangkabau, rumah gadang bukan semata

Bangunan rumah gadang ini sekaligus sebagai tempat kediaman keluarga. Rumah adalah ruang moral dan simbol adat gadang merupakan perlambang kehadiran Minangkabau. Walaupun bentuk-bentuk rumah satu kaum dalam satu , serta sebagai di Sumatera Barat selalu berubah-ubah, rumah pusat kehidupan dan kerukunan seperti tempat gadang tradisional itu terkonseptualisasi dan bermufakat keluarga kaum dan melaksanakan terkristal terutama selama periode sistem tanam upacara (Bahauddin dkk., 2012; Navis, 1984; paksa kopi (1847-1908) (Hadler, 2008). Rumah Prasetya & Adi, 2011). gadang memiliki bentuk yang unik. Atapnya Tampilan rumah gadang dalam Harimau berbentuk meruncing menyerupai bentuk Tjampa (Gambar 1), Di Bawah Lindungan tanduk kerbau. Bentuk tanduk kerbau ini sering Ka’bah (Gambar 2), dan Tenggelamnya dihubungkan dengan cerita rakyat kemenangan Kapal van der Wijck (Gambar 3) secara tidak Minangkabau saat invasi kerajaan Jawa ke langsung menunjukkan ragam bentuk rumah Sumatera (Franzia, 2017; Kato, 1978). gadang di Minangkabau. Rumah gadang yang ditampilkan dalam ketiga film ini adalah rumah

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144 127 gadang Luhak Tanah Datar. Rumah gadang ini diambil dari bentuk perahu sebagai kiasan luhak ini dikenal dengan nama gajah maharam mengarungi lautan kehidupan. Badan disebut karena volume yang besar (Nakamura, 2001) mirip dengan bentuk perahu, sedangkan gonjong dan memiliki ciri gonjong berjumlah enam atau adalah tajuk pada haluan dan buritan perahu. lebih (Navis, 1984). Di samping itu, rumah Tajuk yang ditengah adalah kajang ‘anjungan’ gadang memiliki anjuang ‘anjung’. Anjuang perahu. Pendapat ini dikuatkan dengan julukan merupakan ruangan kecil di bagian kanan dan yang diberikan kepada tukang kiri rumah gadang dengan lantai lebih tinggi. yang disebut nankodoh rajo ‘nahkoda raja’. Anjuang yang berada pada kedua bagian Pendapat lain mengemukakan bahwa motif samping rumah gadang ini adalah ciri rumah dasar atap rumah gadang berhubungan dengan gadang kelarasan Koto Piliang (Navis, 1984) sejarah Minangkabau. Dengan adanya kata dan dikenal dengan garudo tabang ‘garuda kabau ‘kerbau’, maka gonjong rumah gadang terbang’ (Ismael, 2007). Nakamura (2001) disebut diambil dari bentuk dasar tanduk kerbau menyebut anjuang ini sebagai bagian pinggul (Syafwandi, 1993). atap rumah yang runcing. Sementara itu, bentuk rumah gadang Luhak Agam dinamakan surambi papek ‘serambi pepat’ yang bentuknya seolah dipepat kedua ujungnya. Rumah gadang Luhak Lima puluh Koto dinamakan rajo babandiang ‘raja Sumber: tangkapan layar filmTenggelamnya Kapal van Der Wijck (2013) berbanding’ yang bentuknya serupa dengan Gambar 4 Perundingan pernikahan Hayati rumah gadang Luhak Tanah Datar tetapi tidak dalam Tenggelamnya Kapal van Der Wijck beranjung (Navis, 1984). Nakamura (2001) Rumah gadang juga muncul dalam space menambahkan terdapat sebelas variasi bentuk sebuah adegan. Di samping pendukung arsitektur rumah gadang dari ketiga luhak latar tempat, rumah gadang dalam space ini Minangkabau dari enam bentuk dasarnya memperkuat penokohan dan pesan cerita. yaitu pariangan, balimbiang, balai cancang, Hal ini juga didukung oleh posisi (blocking) payobasung, kudo batagak, dan koto gadang. aktor serta teknik pencahayaan yang turut Terdapat bermacam-macam keterangan mendukung suasana (Gambar 3). Tokoh mengenai bentuk dasar atau rumah adat ini. Zainuddin dalam Tenggelamnya Kapal van der Ada pendapat mengemukakan bentuk dasar

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) 128 ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144

Wijck dianggap bukan orang Minangkabau oleh sebagai tempat permufakatan kaum (Navis, penduduk Batipuh karena ayahnya menikah 1984). Posisi mamak (mengenakan saluak dengan wanita Makasar. Namun demikian, membelakangi kamera) menunjukkan peran Zainuddin tetap berusaha untuk dapat diterima dan kedudukannya sebagai pusat perundingan. menjadi bagian Minangkabau. Kesendirian dan Adegan ini juga memperlihatkan peran mamak perjuangan Zainuddin dalam tekanan kebesaran dalam kaumnya sebagai tempat bertanya dan Minangkabau direpresentasikan melalui berunding untuk memecahkan masalah. adegan pada Gambar 3. Komposisi blocking dengan tangkapan kamera menunjukkan usaha Zainuddin meraih Minangkabau dalam hidupnya. Hanya Muluk yang pada saat itu

menemani dan menyemangati agar tetap hidup

dan berusaha hingga berhasil. Sumber: tangkapan layar filmMe vs Mami (2016)

Gambar 6 Atap bagonjong dalam space dalam Me vs Mami

Sumber: tangkapan layar filmLiam dan Laila (2018)

Gambar 5 Perundingan pernikahan Laila Sumber: tangkapan layar film Me vs Mami (2016) dalam Liam dan Laila Gambar 7 Atap bagonjong dalam latar Dalam film Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Liam dan Laila, terdapat adegan Bentuk atap rumah gadang (gonjong) kini tangkapan kamera yang serupa (Gambar 4 & bisa ditemui sebagai bentuk lambang visual 5). Kedua adegan tersebut adalah peristiwa sosial Minangkabau yang cenderung stereotip, perundingan untuk perhelatan pernikahan misalnya lambang, logo, atau ikon yang yang dilaksanakan di dalam rumah gadang. Di berbentung gonjong (Couto, 2008). Bentuk atap samping menunjukkan peran dan kedudukan rumah tinggal, kantor, maupun gedung fasilitas mamak sebagai penghulu kaum, Gambar 4 umum juga dibuat sebagai gonjong rumah dan 5 juga menujukkan fungsi rumah gadang gadang (Azmi & Pane, 2018; Ralie dkk., 2019).

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144 129

Sumber: tangkapan layar filmDi Bawah Lindungan Sumber: tangkapan layar filmMe vs Mami (2016) Ka’bah (2011)

Gambar 8 Ikon atap gonjong Gambar 10 Rumah gadang dan rangkiang

Perkembangan teknik arsitektur rumah Setiap rumah gadang mempunyai rangkiang tinggal pada akhirnya juga berpengaruh pada yang ditegakkan di halaman depan. Rangkiang kebertahanan rumah gadang sebagai bangunan ialah bangunan tempat menyimpan padi milik tradisional Minangkabau (Damayanti, 2018). kaum. Ada empat macam jenisnya dengan fungsi Munculnya perubahan ini adalah bagian dari dan bentuk yang berbeda. Jumlah rangkiang perkembangan arsitektur sebagai sebuah perilaku yang terdapat di halaman memberikan tanda sosial. Kesetiaan masyarakat Minangkabau keadaan penghidupan kaum. Bentuk rangkiang pada tradisi dan budayanya melahirkan sesuai dengan gaya bangunan rumah gadang. kreativitas untuk merepresentasikannya. Ciri Atapnya bergonjong dan dibuat dari ijuk. Tiang khas atap gonjong inilah yang kemudian penyangganya sama tinggi dengan tiang rumah diadaptasi menjadi bentuk-bentuk visual yang gadang. Pintunya kecil dan terletak pada bagian diidentikkan sebagai Minangkabau (Soenarto & atas dari salah satu dinding singkok (singkap) Sudyarto, 1983). yaitu bagian segi tiga lotengnya. Tangga bambu untuk menaiki rangkiang dapat dipindah- pindahkan untuk keperluan lain dan bila tidak digunakan disimpan di bawah kolong rumah gadang (Navis, 1984; Rahman dkk., 2019). Rangkiang diyakini berasal dari kata Ruang Hiang , dewi padi (Navis, 1984), yang Sumber: tangkapan layar filmMe vs Mami (2016) merupakan lumbung tempat penyimpanan Gambar 9 Lukisan rangkiang sebagai properti latar hasil pertanian terutama padi (Marthala, 2013;

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) 130 ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144

Nakamura, 2001; Navis, 1984). Rangkiang dibuat berjajar di halaman rumah gadang. Jumlah rangkiang disesuaikan dengan hasil pertanian dan kekayaan yang dimiliki kaum. Rangkiang adalah lambang kemakmuran dan pengaturan harta benda. Semakin banyak hasil

panen, semakin bertambah jumlah rangkiang. Sumber: tangkapan layar filmHarimau Tjampa (1953) Soenarto & Sudyarto (1983) menyebut bahwa Gambar 11 Pedati sebagai properti dalam latar lumbung padi ini memegang perang simbolik

sebagai “pameran” kemakmuran rumah gadang Ikon Minangkabau lain adalah pedati yang memilikinya. Bentuk atap rangkiang yang (Wasana dkk., 2019). Dalam beberapa hal pedati

sama dengan rumah gadang yaitu gonjong pada cenderung dihubungkan dengan Minangkabau. akhirnya juga membawa rangkiang sebagai ikon Hal ini diduga karena pedati ditarik kerbau yang bangunan Minangkabau (Ralie dkk., 2019). juga dikenal identik dengan Minangkabau. Bentuk atap gonjong tunggal (terpotong) Motif batik Tanah Liek dari Minangkabau juga pada bagian pintu masuk rumah makan yang mengambil sumber dari pedati yang dikenal banyak ditemui kini diyakini berkaitan dengan sebagai motif kabau padati (Oktora & Adriani, atap rangkiang yang melambangkan fungsi 2019). menyediakan makanan bagi masyarakat (Franzia dkk., 2015). Atap gonjong adalah elemen kuat yang selalu menghiasi restoran-restoran Padang sebagai penanda kehadiran para perantau dari Minangkabau. Bagi pengunjung elemen ini sangat mudah dikenali sebagai penciri rumah makan Padang (Khamdevi, 2017). Uraian di atas menunjukkan bahwa bangunan, gedung, rumah tinggal, dan propertinya adalah bagian

dari lanskap yang juga merupakan wujud Sumber: tangkapan layar filmPara Perintis Kemerdekaan (1977) teks yang dominan membangun narasi cerita Gambar 12 Pedati sebagai properti dalam latar (Lukinbeal, 2005).

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144 131

Sumber: tangkapan layar filmDi Bawah Lindungan Sumber: tangkapan layar filmTitian Serambut Dibelah Ka’bah (2011) Tujuh (1986) Gambar 15 Rangkiang dan marawa sebagai Gambar 13 Pedati sebagai properti dalam latar properti latar

Sumber: tangkapan layar filmTenggelamnya Kapal van Der Wijck (2013)

Sumber: (Oktora & Adriani, 2019) Gambar 16 Marawa sebagai properti dalam latar

Gambar 14 Motif batik kabau padati

Unsur keminangkabauan yang ditampilkan Di samping turut menjelaskan latar dalam space dan latar lainnya adalah marawa. tempat, ditampilkannya pedati dalam Harimau Marawa dapat disamakan dengan bendera Tjampa, Para Perintis Kemerdekaan dan Titian atau umbul-umbul yang menandakan adanya Serambut Dibelah Tujuh juga mendukung latar perhelatan di wilayah Minangkabau (Franzia waktu. Dalam hal ini, pedati turut menegaskan dkk., 2015; Rahman dkk., 2019). Warna hitam, moda transportasi yang ada sesuai latar waktu kuning (emas), dan merah adalah ciri khas cerita. mawara yang melambangkan harmonisasi kehidupan masyarakat Minangkabau.

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) 132 ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144

gong jo , dilapeh jo latuih badia, bapakaian adaik salangkoknyo ‘panggilan sisik pelepahan, dipanggil sampai datang, dengan tombak dan gendola, serta pedang jenawi berapitan, dikembang payung ubur- ubur, dipanjang merawa di halaman, lengkap dengan gong dan telempong. dilepas dengan Sumber: tangkapan layar filmLiam dan Laila (2018) letusan bedil berpakaian kebesaran lengkap

Gambar 17 Marawa sebagai properti dalam latar semuanya’. Maksudnya semua orang diundang dengan cara sesuai dengan kedudukan mereka Dapat dikatakan bahwa marawa merupakan masing-masing sehingga tidak seorang pun

lambang Minangkabau. Marawa adalah yang terlupakan (Navis, 1984). umbul-umbul adat Minangkabau yang juga Kostum, pakaian, dan aksesorisnya juga melambangkan wilayah budaya Minangkabau merupakan elemen visual yang penting dalam (Luhak Nan Tigo) (Franzia, 2017). Hitam film. Melalui kostum, film dapat menunjukkan melambangkan Luhak Limo Puluah Koto, latar waktu dan latar sosial cerita. Dalam kuning melambangkan Luhak Tanah Datar, dan hal ini, bagian kostum yang menunjukkan merah melambangkan Luhak Agam. Di samping keminangkabauan adalah penutup kepala itu, ketiga warna tersebut juga mengandung yang dikenal sebagai saluak, suntiang, dan makna adat Minangkabau yaitu hitam tangkuluak. bermakna kepemimpinan dan tahan tempa, kuning bermakna kebesaran, keagungan, dan kehormatan, serta merah bermakna keberanian dan tahan uji (Franzia, 2016). Salah satu fungsi marawa adalah sebagai penanda perhelatan besar terdapat dalam pantun ungkapan berikut. Panggilan sisiak pelapahan, dipanggia sampai tabao, pakai tombak pakai gandaio, sarato padang jinawi Sumber: tangkapan layar filmHarimau Tjampa (1953)

baapikan, dikambang payuang ubua-ubua, Gambar 18 Saluak Datuk Langit tapancang marawa di halaman. langkok jo

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144 133

Padangpanjang (Maresa, 2009). Di beberapa daerah lain, saluak terbuat dari kain batik katun dengan hiasan motif flora, fauna, atau geometris (Yunus dkk., 2014).

Sumber: tangkapan layar filmPara Perintis Kemerdekaan (1977)

Gambar 19 Saluak Tuan Demang

Saluak merupakan penutup kepala yang dikenal dikenakan oleh penghulu Minangkabau. Sumber: tangkapan layar filmTenggelamnya Kapal van Der Wijck (2013) Saluak, pada bagian depan ditata berkerut-kerut Gambar 21 Pakaian adat pernikahan laki-laki yang berbentuk jenjang dan bagian atasnya datar, sedangkan bagian belakang berbentuk Di samping itu, busana pengantin wanita bundar dan melingkar di bagian belakang dalam Liam dan Laila yang juga menunjukkan (Anwar dkk., 2019). muatan keminangkabauan adalah asuntiang. Suntiang adalah hiasan kepala yang dikenakan anak daro (mempelai wanita) (Yunus dkk., 2014). Suntiang berarti pengantin wanita yang dilambangkan dengan bunga yang sedang mekar. Suntiang ini memiliki fungsi untuk Sumber: tangkapan layar filmLiam dan Laila (2018) memukau atau menarik perhatian para tamu Gambar 20 Saluak mamak Laila yang hadir dalam upacara pernikahan, agar mendapat pengakuan sebagai suami istri. Bahan Selain dikenakan oleh penghulu, saluak yang dipergunakan untuk suntiang adalah emas, juga dikenakan oleh marapulai (mempelai perak atau imitasi yang berwarna kuning emas laki-laki) saat upacara pernikahan. Mempelai (Maresa, 2009) (Gambar 15). laki-laki di beberapa daeraah di Minangkabau Suntiang ini berbahan emas dan dikenakan mengenakan saluak yang terbuat dari balapak, untuk membangun kesan anggun dan megahnya yaitu kain kain tenun dari Pandai Sikek

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) 134 ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144

mempelai perempuan (Azami dkk., 1997). Dalam film Liam dan Laila (Gambar 22), tampak pula pengiring pengantin mengenakan hiasan kepala suntiang dan tingkuluak. Tingkuluak adalah kain penutup kepala wanita yang berpakaian adat (Hurahmi, 2015). Sumber: tangkapan layar filmTenggelamnya Melalui bentuknya, tingkuluak yang dikenakan Kapal van Der Wijck (2013) oleh pengiring dalam Liam dan Laila adalah Gambar 23 Hayati menjelang pernikahan tingkuluak tanduak. Tingkuluak tanduak memiliki ciri ujung meruncing menyerupai Dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck, tanduk kerbau. Suntiang yang dikenakan pada upacara pernikahannya, Hayati tampak oleh pengiring pengantin disebut suntiang mengenakan tangkuluak. Tangkuluak adalah ketek (kecil) (Mustika & Budiwirman, 2019). salah satu pakaian adat bundo kanduang yang Warna merah dan kuning keemasan dalam lazim dikenakan pada upacara perhelatan. adegan pernikahan tokoh juga mendukung Menurut Ernanda, dkk. (2018), tangkuluak pembangunan latar tempat film Liam dan ini melambangkan kebangsawanan dan tidak Laila, yaitu Bukittinggi. Merah melambangkan bolehnya bundo kanduang menjunjung beban keberanian dan kuning keemasan memberikan yang berat serta menggambarkan bahwa kesan mewah kepada pemakainya (Yunus dkk., demokrasi lebih diutamakan di kawasan 2014). kenagarian tetapi berada pada batas-batas tertentu. Berbeda dengan suntiang yang dikenakan oleh mempelai perempuan, tingkuluak oleh masyarakat Minangkabau dikenal dikenakan oleh perempuan dalam upacara adat. Terdapat beragam jenis dan fungsi tingkuluak yang Sumber: tangkapan layar film Liam dan Laila dikenal masyarakat Minangkabau. Salah (2018) satunya dikenal sebagai tingkuluak yang Gambar 22 Pakaian adat pernikahan Liam dan Laila dikenakan hanya oleh bundo kanduang, yaitu tingkuluak balapak (Ernanda dkk., 2018).

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144 135

Jenis ini tampak pada citraan visual tingkuluak Kostum yang dikenakan dalam film-film yang dikenakan Hayati saat pernikahaannya bermuatan Minangkabau ternyata berhubungan (Gambar 23). Tingkuluak adalah pakaian erat dengan bangunan struktur naratif lainnya. adat bundo kanduang sebagai pemimpin satu Saluak yang dikenakan tokoh, tidak hanya kaum yang lazim dikenakan pada upacara menunjukkan muatan keminangkabauan, perhelatan (Ernanda dkk., 2018). Tengkuluk tetapi juga mendukung tokoh dan penokohan. melambangkan rumah gadang karena anggota Dalam Harimau Tjampa dan Para perintis masyarakat beranggapan bahwa rumah adat Kemerdekaan, saluak yang biasanya dikenakan itu adalah milik kaum wanita/ibu. Dataran saat perhelatan, oleh tokoh dikenakan dalam yang terdapat di atas tengkuluk melambangkan keseharian. Tampilan ini dimunculkan bahwa dalam memutuskan sesuatu harus tampaknya untuk memperkuat peran status melalui musyawarah mufakat dengan hasil sosial dan keangkuhan tokoh Datuk Langit yang adil (datar) (Ibrahim dkk., 1985). (Gambar 18) dan Angku Demang (Gambar 19). Warna merah dan kuning keemasan dalam adegan pernikahan tokoh juga mendukung pembangunan latar tempat film Liam dan Laila, yaitu Bukittinggi. Merah melambangkan keberanian dan kuning keemasan memberikan kesan mewah kepada pemakainya (Yunus dkk.,

Sumber: (Anwar dkk., 2019) 2014). Pakaian tradisional acara pernikahan

Gambar 24 Saluak yang berbeda ditunjukkan dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Pemilihan dan penentuan kostum juga memperhitungkan latar cerita yaitu di Batipuh Payakumbuh dan penokohan. Tokoh Azis adalah anak Sutan Mantari, orang terpandang di nagari Batipuh. Oleh karenanya, baju yang dikenakan saat pernikahannya dengan Hayati tidak jauh berbeda dengan pakaian Sumber: Ernanda dkk., 2018 seorang penghulu yang menunjukkan bahwa Gambar 25 Tangkuluak tokoh adalah orang terpandang (Gambar 21).

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) 136 ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144

sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dari Sumatera Barat pada tahun 2020 dalam domain pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta. Proses tawar menawar morosok ini dilakukan dengan isyarat jari tangan dengan bersalaman dan ditutup dengan kain sarung. Sumber: tangkapan layar film Me vs Mami (2016) Hal ini dilakukan agar tidak terjadi persaingan Gambar 26 Marosok harga antar penjual (Fadhilah & Dewi, 2017). Dalam Me vs Mami, terdapat satu adegan Dengan demikian dapat dicapai kesepakatan yang menunjukkan penguatan terhadap latar harga yang sesuai (Umassari, 2018) dan tidak cerita. Peristiwa itu terjadi di pasar hewan terjadi penjual lain menyela transaksi untuk saat transaksi jual beli kerbau oleh tokoh Pak menyaingi harga (Putri, 2015). Nurdin dengan seorang penjual ternak (Gambar Aspek mise-en-scene lainnya yaitu teknik 26). Proses tawar menawar dilakukan dengan pencahayaan dan posisi aktor (blocking) isyarat jari tangan yang ditutup dengan kain yang secara tidak langsung juga menguatkan sarung. Adegan peristiwa ini secara langsung visualisasi unsur-unsur keminangkabauan. menunjukkan latar cerita yaitu di Payakumbuh, Pencahayaan dalam teknik mise-en-scene Sumatera Barat. Adapun proses tawar menawar tidak hanya berfungsi menerangi latar maupun ini disebut marosok (Fadhilah & Dewi, 2017; tokoh. Teknik pencahayaan dimanfaatkan untuk Umassari, 2018). Akting Maudy (Cut Mini) mendukung pembentukan karakter tokoh dan menunjukkan ketidaktahuannya tentang tradisi latar suasana cerita (Lathrop & Sutton, 2013). itu. Marosok dalam tradisi ini dapat diartikan sebagai meraba tanpa melihat. Marosok adalah tawar menawar antara penjual dan pembeli dilakukan tanpa suara menggunakan bahasa isyarat. Tradisi marosok adalah suatu bentuk Sumber: tangkapan layar film Tenggelamnya Kapal perilaku budaya masyarakat Minangkabau van Der Wijck (2013) yang dilakukan di beberapa daerah di Sumatera Gambar 27 Datuak Marajo mamak Hayati Barat. Karena kekhasannya, marosok ditetapkan

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144 137

Pada umumnya, teknik pencahayaan yang high backlight dapat dilihat dalam Gambar digunakan dalam film adalah pencahayaan 23. Cahaya utama yang rendah dengan cahaya utama (key/main light), pencahayaan pengisi (fill belakang yang tinggi memperjelas sosok Hayati light), dan pencahayaan belakang (backlight) dan adiknya dalam tangkapan kamera. Di (Lewis, 2014). Dalam praktiknya, variasi teknik samping membangun suasana adegan, teknik pencahayaan adalah salah satu keahlian kreator pencahayaan ini juga memperjelas garis dan film dalam menyajikan adegan kamera. Gambar lekuk kostum hiasan kepala yang digunakan 16 menunjukkan variasi teknik pencahayaan tokoh, yaitu tingkuluak. Tingkuluak merupakan antara low-key light dengan under backlight perlengkapan pakaian adat bundo kanduang yang menghasilkan penguatan karakter tokoh. di Minangkabau (Ernanda dkk., 2018). Di Pencahayaan utama yang rendah menghasilkan beberapa daerah di Sumatera Barat, di samping

terang yang kontras dengan sekelilingnya. suntiang sebagai hiasan kepala, mempelai Adanya cahaya belakang dari posisi bawah wanita diketahui mengenakan tingkuluak ini. didukung blocking dan akting aktor, karakter Teknik pencahayaan menggunakan natural tokoh menjadi semakin kuat. light menguatkan adegan marosok yang Di Minangkabau, mamak merupakan terjadi secara alami (Gambar 26). Menurut pemimpin. Oleh karena itu, pengertian mamak Lewis (Lewis, 2014), teknik pencahayaan pada setiap laki-laki yang lebih tua juga berarti natural banyak dan baik digunakan untuk pernyataan bahwa yang muda memandang pencahayaan adegan baik di luar maupun di yang lebih tua menjadi pimpinannya (Navis, dalam ruangan untuk meraih efek alami sebuah 1984). Kepemimpinan dan ketegasan seorang adegan. Pencahayaan dalam teknik ini biasa mamak dalam suatu kaum di Minangkabau menggunakan cahaya matahari atau bulan pada Gambar 27 tampak diperkuat dengan secara alami. teknik pencahayaan tersebut. Blocking dan akting aktor dalam film Secara umum dapat dikatakan film sangat penting dalam pembentukan karakter Tenggelamnya Kapal van der Wijck tokoh cerita. Aktor dan sutradara menjadi memanfaatkan teknik low light untuk faktor penting dalam aspek ini. Dalam hal pencahayaan. Di samping pertimbangan ini, akting dan blocking tidak hanya merujuk artistik, teknik low light digunakan untuk pada posisi aktor dalam tangkapan kamera, memperkuat kesan terhadap tampilan kamera. tetapi juga meliputi ekspresi dan gestur dalam Teknik pencahayaan low-key light dengan membawakan peran dalam film. Di samping

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) 138 ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144

itu, aspek mise-en-scene ini juga pada akhirnya adegan pada Gambar 3. Komposisi blocking turut membangun pesan cerita melalui kamera. dengan tangkapan kamera menunjukkan usaha Zainuddin meraih Minangkabau dalam hidupnya. Hanya Muluk yang pada saat itu menemani dan menyemangati agar tetap hidup dan berusaha hingga berhasil. Melalui beberapa temuan di atas, dapat dilihat bahwa tiap aspek mise-en-scene dalam sebuah film selalu berhubungan dengan aspek lainnya dalam membangun struktur naratif, khususnya Sumber: tangkapan layar filmHarimau Tjampa (1953) menampilkan muatan keminangkabauan. Gambar 28 Datuk Langit dan istrinya Selain membangun suasana, pemilihan tempat Sebagai tokoh antagonis dalam Harimau sebagai latar dan blocking aktor menjadi faktor Tjampa, Datuk Langit ditampilkan sebagai penting dalam memperkuat karakter tokoh tokoh kaya dan angkuh. Baik gestur maupun (Gambar 28). Demikian pula perancangan posisinya dalam kamera (Gambar 28) sengaja kostum aktor yang juga turut membentuk ditampilkan untuk mendukung karakterisasi karakter maupun watak tokoh. Di samping tokoh ini. Di samping itu, penyajian tokoh Datuk itu, kostum juga mendukung jalinan peristiwa Langit (Gambar 28) dapat dikatakan sebagai dalam membentuk keutuhan tema (Gambar 21 representasi mamak yang tidak ideal menurut dan 22). Di sisi lain, posisi (blocking) dan akting adat Minangkabau dengan meninggikan posisi pemeran turut pula berperan menyampaikan dan derajatnya dari istrinya (Navis, 1984). muatan keminangkabauan. Kombinasi blocking Tokoh Zainuddin dalam Tenggelamnya dengan latar serta teknik pencahayaan (Gambar Kapal van der Wijck dianggap bukan orang 3) membentuk suasana dan kekuatan karakter Minangkabau oleh penduduk Batipuh karena tokoh dalam tangkapan kamera. Adegan ayahnya menikah dengan wanita Makasar. perundingan yang dilakukan di dalam rumah Namun demikian, Zainuddin tetap berusaha gadang (Gambar 4 dan 5) menjadi representasi untuk dapat diterima menjadi bagian demokrasi masyarakat Minangkabau. Minangkabau. Kesendirian dan perjuangan Secara umum, tampilnya rumah gadang, Zainuddin dalam tekanan kebesaran rangkiang (lumbung), dan bentuk atap gonjong Minangkabau direpresentasikan melalui dalam film merupakan dukungan terhadap

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144 139 bangunan latar tempat dan sosial Minangkabau. Perlu digarisbawahi bahwa film tidak hanya Secara visual, bentuk-bentuk ini muncul sekilas dilihat sebagai media massa belaka, tetapi juga sebagai bagian dari ruang latar (space) sebuah dilihat sebagai institusi bisnis (Permana dkk., adegan peristiwa. Dalam film Me vs Mami, 2019). Tampilnya muatan Minangkabau dalam munculnya rumah gadang dan rangkiang film, baik disadari maupun tidak, merupakan hanya sebagai pembangun latar cerita, terutama wujud representasi industri. Kekayaan latar tempat. Disesuaikan dengan alur cerita, Minangkabau dipandang oleh kekuatan industri visualisasi atap gonjong dalam desain latar sebagai komoditas yang menguntungkan. tempat yang dibangun tampak hanya sebagai Perlu kearifan untuk menyikapi munculnya pelengkap untuk memperkuat latar cerita citraan visual sebagai wujud etnisitas, terutama di wilayah Minangkabau (Sumatera Barat). Minangkabau.

Hal ini ditunjukkan melalui tampilan atap SIMPULAN gonjong sebagai bagian dari space latar tempat.

Sepanjang cerita film ini, tidak ditampilkan Secara umum, munculnya Minangkabau fungsi rumah gadang maupun rangkiang dalam dalam film masih didominasi dengan bentuk konteks sosial Minangkabau. Demikian pula visual yang cenderung telah dikenal khalayak munculnya rumah gadang dan rangkiang pada penonton. Bentuk visual rumah gadang, film Di Bawah Lindungan Ka’bah yang hanya rangkiang, atap gonjong, saluak, suntiang, sebatas upaya pembangunan latar cerita, baik marawa, dan pedati masih menjadi pilihan tempat maupun sosial serta suasana. Munculnya utama representasi Minangkabau. Akan tetapi, arak-arakan pengantin dalam Para Perintis kesadaran akan etnisitas tidak serta merta Kemerdekaan juga hanya sebatas pendukung menjadi ukuran penghakiman terhadap muatan bangunan latar cerita tanpa membawa etnisitas identitas etnik dalam film. Sebagai sebuah Minangkabau sebagai muatan utama adegan.

Tabel 1 Hubungan Visualisasi Unsur Minangkabau dengan Struktur Penceritaan Film

No Citraan visual Struktur penceritaan 1 Rumah gadang, rangkiang, atap gonjong Latar tempat dan sosial Tematik 2 Pakaian/kostum Penokohan, latar tempat dan sosial Tematik 3 Properti: marawa, pedati Latar tempat dan sosial - 4 Marosok Latar tempat dan sosial, alur -

Sumber: Hasil penelitian, 2020

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) 140 ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144

representasi dan karya fiksi, film merupakan dalam kerangka pemaknaan baik aspek visual sebuah produk sekaligus proses sosial. Di maupun aspek naratifnya. satu sisi, film menggambarkan sebuah proses DAFTAR PUSTAKA sosial dengan kemungkinan perubahan dan perbedaan. Di sisi lain, film merupakan produk Anggraini, S. N. (2016). “Aku Yang Galau”: Refleksi Film Masa Kolonial Hingga Awal proses sosial tersebut dalam bentuk karya seni. Kemerdekaan. REKAM: Jurnal Fotografi, Artikel ini merupakan kajian awal terhadap Televisi, Dan Animasi, 11(2), 79. https:// muatan keminangkabauan yang ditampilkan doi.org/10.24821/rekam.v11i2.1295 Anwar, R., Sastra, A. I., & Zebua, E. (2019). dalam film. Secara visual, bukan tidak mungkin Pakaian Panghulu di Nagari Gunuang Kota unsur-unsur keminangkabauan tersebut juga Padangpanjang Provinsi Sumatera Barat. membawa pesan untuk penonton. Munculnya Jurnal Seni Rupa, 08(2), 332–336. Arief, M. (2016). Analisis Konteks Islam dan kritik etnisitas terhadap film bermuatan Budaya Minangkabau dalam Skenario Minangkabau justru akan menjadi pemicu Film Titian Serambut Dibelah Tujuh. kreativitas kreator film untuk berkarya. Menara Ilmu, X(2), 213–216. https://doi. org/10.33559/MI.V10I73.66 Tidak bisa dipungkiri bahwa kekuatan Azami, Nurdin, B., Abizar, Darwis, A., Bustami, lokalitas dalam film masih didominasi oleh Atarmizi, … Naim, S. (1997). Adat dan visualisasi ikon dan kecenderungan stereotip. Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan Pengetahuan kolektif penonton sebagai dan Kebudayaan. konsumen seolah menjadi pertimbangan Azmi, A., & Pane, I. F. (2018). Penerapan pertama ditampilkannya unsur-unsur lokalitas. Arsitektur Tradisional Minangkabau pada Bangunan Perkantoran Bukittinggi. Jurnal Masih banyak muatan keminangkabauan Arsitektur Dan Perkotaan “KORIDOR,” yang bisa dijadikan sumber penciptaan 09(02). film. Namun demikian, keragaman lokalitas Bahauddin, A., Hardono, S., Abdullah, A., & Maliki, N. Z. (2012). The Minangkabau Indonesia masih belum sepenuhnya diolah dan house: Architectural and cultural elements. ditampilkan. Kekayaan muatan lokal inilah WIT Transactions on Ecology and the yang bisa menjadi alternatif sebuah penciptaan Environment, 165, 15–25. https://doi. org/10.2495/ARC120021 karya seni, terutama film. Teknologi dan Branigan, E., & Buckland, W. (Eds.). (2014). kreativitas seniman perfilman menjadi modal The Routledge Encyclopedia of Film perwujudannya. Hasil kajian ini diharapkan Theory. London - New York: Routledge. Brown, B. (2012). Cinematography: membuka peluang untuk kajian lanjutan Theory and Practice, Image Making terhadap muatan keminangkabauan dalam film for Cinematographers and Directors.

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144 141

Amsterdam • Boston • Heidelberg • London Franzia, E., Piliang, Y. A., & Saidi, A. I. (2015a). • New York • Oxford Paris • San Diego Manifestation of Minangkabau Cultural • San Francisco • Singapore • Sydney • Identity through Public Engagement in Tokyo: Elsevier - Focal Press. Virtual Community. Procedia - Social and Couto, N. (2008). Budaya Visual Seni Tradisi Behavioral Sciences, 184, 56–62. https:// Minangkabau. Padang: Universitas Negeri doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.05.053 Padang Press. Franzia, E., Piliang, Y. A., & Saidi, A. I. Damayanti, R. A. (2018). Kebertahanan Atap (2015b). Rumah Gadang as a Symbolic Gonjong Dan Perubahan Arsitektur Di Representation of Minangkabau Ethnic Wilayah Sumatera Barat. Jurnal Dimensi Identity. International Journal of Social Seni Rupa Dan Desain, 15(1), 31. https:// Science and Humanity, 5(1), 44–49. https:// doi.org/10.25105/dim.v15i1.4195 doi.org/10.7763/IJSSH.2015.V5.419 Eneste, P. (1991). Novel dan Film. Flores: Nusa Hadler, J. (2008). Sengketa Tiada Putus: Indah. Matriarkat, Reformisme Agama, dan Ernanda, E., Syafwandi, & Jupriani. (2018). Kolonialisme di Minangkabau. Jakarta: Studi Bentuk, Fungsi, dan Makna Freedom Institute. Tingkuluak Adat di Sungayang. Serupa Harahap, S. R. (2019). Teknik Sinematografi Journal of Art Education, 6(2). Retrieved Dalam Menggambarkan Pesan Optimisme from http://ejournal.unp.ac.id/index.php/ Melalui Film Tenggelamnya Kapal Van serupa/article/view/9132 Der Wijck. Pena Cendikia, 1(1). Everett, W. (Ed.). (2005). European Identity in Heeren, K. Van. (2012). Contemporary Cinema. Bristol - Portland: Intelect Ltd. Indonesian Film: Spirits of Reform and Fadhilah, S., & Dewi, E. A. S. (2017). Pola Ghost from The Past. Leiden: KITLV Press. Komunikasi Tradisi Marosok antara Heide, W. van der. (2002). Malaysian Cinema, Sesama Penjual dalam Budaya Dagang Asian Film: Border Crossings and National Minangkabau. Jurnal Kajian Komunikasi, Cultures. Amsterdam: Amsterdam 5(2), 222. https://doi.org/10.24198/jkk. University Press. v5i2.10464 Heider, K. G. (1991). Indonesian Cinema: Franzia, E. (2016). Identitas Virtual Masyarakat National Culture on Screen. Honolulu: Etnis Minangkabau sebagai Wujud University of Hawaii Press. Eksistensi Budaya Nusantara. Proceeding Hoay, K. T. (1930). Melati van Agam: Produksi Seminar Seni Budaya Antarbangsa: Paling Baru dari Tan’s Film. Panorama, Koeksistensi Seni Budaya Nusantara Untuk 182, 27–28. Retrieved from https:// Memperkokoh Identitas Kebangsaan, 397. jurnalfootage.net/v4/melati-van-agam- Malang: Universitas Negeri Malang. produksi-paling-baru-dari-tans-film/ Franzia, E. (2017). Cultural Wisdom of Hurahmi, I. M. (2015). Tingkuluak di Nagari Minangkabau Ethnic Community for Local Koto Nan Gadang Kota Payakumbuh – Global Virtual Identity. Mediterranean (Tesis). Universitas Negeri Padang, Padang. Journal of Social Sciences, 8(1), 325– Ibrahim, A., Sati, D. D. L., Bafirman, Yanis, 329. https://doi.org/10.5901/mjss.2017. M., Alimunar, Ilyas, M., & Akbar, R. v8n1p325 (1985). Pakaian Adat Tradisional Daerah

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) 142 ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144

Sumatera Barat. Jakarta: Departemen (2), 1–7. Retrieved from http://www. Pendidikan dan Kebudayaan. proseproductionsink.com/1102_Licata_ ica. (2009). Angkat Pencak Silat Lewat Film Elements_of_Mise-en-scene_modified.pdf “Merantau.” Retrieved from Entertainment Lewis, J. (2014). Essential Cinema: An JPNN.com website: https://www.jpnn. Introduction to Film Analysis. Boston: com/news/angkat-pencak-silat-lewat-film- Wadsworth. merantau Lukinbeal, C. (2005). Cinematic Landscapes. Iles, T. (2008). The Crisis of Identity in Journal of Cultural Geography, 23(1), Contemporary Japanese Film: Personal, 3–22. Cultural, National. Leiden - Boston: Brill. Maresa, A. (2009). Estetika Simbolis Dalam Indah, N. (2009). “MERANTAU” Kurang Busana Pengantin Adat Minangkabau Di Filosofi Silat. Retrieved from KapanLagi. Padang. Jurnal Filsafat, 19(3), 255–272. com website: https://www.kapanlagi.com/ Marthala, A. E. (2013). Rumah Gadang: Kajian showbiz/film/indonesia/merantau-kurang- Filosofi Arsitektur Minangkabau. Bandung: filosofi-silat.html Humaniora. Ismael, S. (2007). Arsitektur Tradisional Miawruu. (2009). Film Merantau dan Silat Minangkabau Nilai-nilai Budaya dalam Harimau. Retrieved from no world website: Arsitektur Rumah Adat. Padang: Bung http://kucingtengil.blogspot.com/2009/08/ Hatta University Press. film-merantau-dan-silat-harimau.html Junus, U. (1984). Di Bawah Lindungan Ka’bah: Mochama, A. (2020). Interpretations of Dialog Antara Film dan Novel. Masyarakat Television Aesthetics : A Mise-En-Scene Indonesia, XI(2). Analysis in Audio- Visual Coca-Cola Kamal, M. (2013). “Harimau Tjampa”; Commercials. International Journal of Film Berlatar Minangkabau Pertama. Research and Scholarly Communication, Retrieved from Kompasiana website: 3(1), 18–37. Retrieved from https:// https://www.kompasiana.com/ royalliteglobal.com/ijoras/article/view/54 alchemist/552e1a116ea834ee3c8b456a/ Mustika, W. G., & Budiwirman, B. (2019). harimau-tjampa-film-berlatar- Analisis Fungsi dan Makna Suntiang minangkabau-pertama dalam Pakaian Adat Minangkabau. Gorga : Kato, T. (1978). Change and Continuity in Jurnal Seni Rupa, 8(2), 315–319. https:// the Minangkabau Matrilineal System. doi.org/10.24114/gr.v8i2.14712 Indonesia, 25(25), 1–16. https://doi. Musyafir, Lembah, G., & Kangiden, N. (2017). org/10.2307/3350964 Ekranisasi Novel Tenggelamnya Kapal Khamdevi, M. (2017). Studi Karakteristik van der Wijck ke dalam Film (Pendekatan Arsitektur Khas Pada Rumah Makan. Struktural). BAHASANTODEA, 5(2), 76– Jurnal Ilmiah Penelitian MarKa, 1(1), 33– 84. 38. Nakamura, S. (2001). A Study of Regional Kristanto, J. (2007). Katalog Film Indonesia Variations of Rumah Gadang Types in the 1926 - 2007. Jakarta: Nalar. Core of Minangkabau Area. Journal of Lathrop, B. G., & Sutton, D. O. (2013). Elements Architecture Planning Environment, (550), of mis-en-scene. Film Study Journal, 185–192.

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144 143

Navis, A. A. (1984). Alam Terkembang Karya Seni Lukis. Serupa The Journal Jadi Guru: Adat Dan Kebudayaan of Art Education, 6(1). Retrieved from Minangkabau. Jakarta: Grafiti Press. http://ejournal.unp.ac.id/index.php/serupa/ Noviandi, F. (2013). Hanung Bramantyo: Stop article/view/8242 Pemutaran Film Cinta Tapi Beda. Retrieved Ralie, S. S. C., Winandari, M. I. R., & Handjajanti, October 20, 2019, from Liputan6.com S. (2019). Arsitektur Kontekstual di website: https://www.liputan6.com/ Bangunan Pusat Budaya Sumatera Barat. showbiz/read/481065/hanung-bramantyo- Prosiding Seminar Intelektual Muda #1, stop-pemutaran-film-cinta-tapi-beda Inovasi Ilmu Pengetahuan, Teknologi Oktora, N., & Adriani, A. (2019). Studi Batik Dan Seni Dalam Perencanaan Dan Tanah Liek Kota Padang. Gorga Jurnal Seni Perancangan Lingkungan Terbangun, Rupa, 8(1), 129. https://doi.org/10.24114/ (April), 233–238. Jakarta. gr.v8i1.12879 Roberts, M. (1998). Baraka : World Cinema Permana, R. S. M., Puspitasari, L., & Indriani, and the Global Culture Industry. Cinema S. S. (2019). Industri film Indonesia dalam Journal, 37(3), 62–82. perspektif sineas Komunitas Film Sumatera Soenarto, & Sudyarto, S. (1983). Arsitektur Utara. ProTVF, 3(2), 185–199. https://doi. Tradisional Minangkabau Selayang org/10.24198/ptvf.v3i2.23667 Pandang. Jakarta: Proyek Media Prasetya, L. E., & Adi, S. M. (2011). Makna Kebudayaan Direktorat Jenderal dan Filosofi Ragam Hias Pada Rumah Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Tradisional Minangkabau di Nagari Kebudayaan. Pariangan Tanah Datar. Seminar Nasional Sreekumar, J., & Vidyapeetham, A. V. (2015). “Kearifan Lokal Dalam Keberagaman Creating Meaning through Interpretations : Untuk Pembangunan Indonesia“, 59–70. A Mise-En-Scene Analysis of the Film ‘ Medan: Departemen Aarsitektur, Fakultas The Song of Sparrows .’ Online Journal of Teknik, Universitas Sumatera Utara. Communication and Media Technologies, Priyambodo, A. (2018, November 13). (Special Issue September 2015), 89–97. Film Cinta Tapi Beda Diseret ke Sutorini, M. P., Alif, M., & Sarwani, S. (2019). Jalur Hukum, Ada Apa? Retrieved Semiotika Gender dalam Film Brave. October 20, 2019, from okecelebrity ProTVF, 3(1), 101–112. https://doi. website: https://celebrity.okezone.com/ org/10.24198/ptvf.v3i1.21246 read/2018/11/17/206/1979281/film-cinta- Syafwandi. (1993). Arsitektur Tradisional tapi-beda-diseret-ke-jalur-hukum-ada-apa Sumatera Barat. Jakarta: Departemen Putri, J. D. (2015). Konstruksi Makna Marosok Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam Transaksi Jual Beli Ternak di Desa Thalib, A. A. (2017). Isu-Isu Identitas Budaya Cubadak Kabupaten Tanah Datar. Jom Nasional dalam Film “ Tenggelamnya FISIP, 2(1), 1–15. Retrieved from https:// Kapal Van der Wijck .” Satwika, 1(2). jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/ Retrieved from http://ejournal.umm.ac.id/ view/4917 index.php/JICC Rahman, A., Sami, Y., & Hafiz, A. (2019). Trisnawati, T., & Yesicha, C. (2018). Representasi Simbol-Simbol Minangkabau dalam Budaya Matrilineal Minangkabau dalam

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari) 144 ProTVF, Volume 5, No. 1, 2021, hlm. 117-144

Film Tenggelamnya Kapal van der Wijck. On Instagram. Proceeding of INCOLWIS Jurnal Riset Komunikasi, 1(2), 276–284. 2019. Padang: EAI - EUDL. https://doi. https://doi.org/10.24329/jurkom.v1i2.40 org/10.4108/eai.29-8-2019.2289025 Umassari, A. R. (2018). Interaksi Simbolik Yasmin, Setianti, Y., & Agung, F. A. (2017). dalam Proses Komunikasi Jual Beli Ternak Representasi Eksploitasi Satwa dalam Film “Marosok” di Payakumbuh Sumatera Rise of the Planets of the Apes. ProTVF, Barat. Jurnal Ilmu Komunikasi, 8(3), 258– 1(2), 151–161. 271. Yunus, R. R., Efi, A., & Yuliarma, Y. (2014). Wasana, Hidayat, H. N., Immerry, T., Dahlan, Studi tentang Busana Pengantin Tradisional F., Pramono, Meigalia, E., & Sari, M. N. Kurai Bukittinggi. E-Journal Home (2019). Pepatah Petitih: Its Interpretation Economic and Tourism, 6(2).

Menggali Minangkabau dalam film denganmise-en-scene (Herry Nur Hidayat, Bani Sudardi, Sahid Teguh Widodo, Sri K Habsari)