1

Sistem Sewa Tanah di Karesidenan Cirebon (1811-1830)

Hurun’in Qurrotul’aini, Mohammad Iskandar

1. Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas , Depok, Indonesia 2. Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini membahas tentang kebijakan sewa tanah di Karesidenan Cirebon pada masa Raffles sampai Du Bus de Gisignies tahun 1811 – 1830. Sewa tanah pertama kali diterapkan Raffles di Karesidenan Cirebon pada Juni 1813 yang kemudian diperbaharui pada Pebruari 1814. Cita-cita yang ingin dicapai adalah melalui liberalisasi ekonomi tersebut dapat menghapus penindasan dan mencapai kesejahteraan untuk petani. Sistem sewa tanah dilandasi dari gagasan bahwa tanah tidak lagi menjadi milik sultan, tetapi menjadi milik Pemerintah Inggris. Rakyat yang dianggap sebagai penyewa yang harus membayar pajak kepada Pemerintah Inggris. Kemudian, Pemerintah Belanda tetap melanjutkan sistem sewa tanah hingga tahun 1830 dengan disertai berbagai perbaikan dan penyesuaian. Namun, penetapan pajak di Karesidenan Cirebon terlampau tinggi serta tidak mengindahkan kondisi petani ketika gagal panen. Hal itu mengakibatkan bertambah beban yang ditanggung petani sehingga menimbulkan perlawanan (resistensi). Sistem sewa tanah ini berakhir pada tahun 1830 karena tanah-tanah di Karesidenan Cirebon terkena peraturan tanam paksa. The Land Rent System in Karesidenan Cirebon (1811-1830) Abstract

This research describes the land rent policy during the Raffles era until Du Bus de Gisignies era in Karesidenan Cirebon in 1811-1830. This policy was first administered by Raffles in Karesidenan Cirebon on June 1813, and later renewed on February 1814. The governmet wished to abolish oppression and reached prosperity for farmers trough economic liberation. The system was based on an idea that the land in , including Karesidenan Cirebon, were no longer the Sultan Possesion, but had now become the possession of the (British) government. Thus, the people (farmers) had to rent land and pay taxes to (British) Government. The Hindia Belanda government then carried on the system with some adjustments. However, the tax in Karesidenan Cirebon was higher than the previous tax and didn’t consider the farmer’s condition if the harvest failed. This increased pressure was what led to the resistance of the people. The land rent ended when cultuur stelsel was administered in Karesidenan Cirebon in 1830.

Key words : Land rent, Cirebon, The Impact of land rent, Resistance

Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 2

1. Pendahuluan

Sampai akhir abad ke-18, Cirebon merupakan wilayah Kesultanan, tetapi waktu Inggris berkuasa di Jawa, Cirebon diubah oleh Gubernur Letnan Thomas menjadi Karesidenan yang dipimpin seorang Residen. Raffles menghapus juga kekuasaan dan hak para Sultan. Pada masa Daendels, para Sultan masih diperkenankan untuk turut serta dalam urusan politik pemerintahan dengan jabatan sebagai sebagai kepala regentschap (kabupaten), sedangkan pada masa Raffles para sultan tidak lagi memiliki hak dalam urusan pemerintahan di Cirebon. Sejak masa Raffles inilah mulai dilaksanakan kebijakan sistem sewa tanah. Sewa tanah merupakan kebijakan yang mengatur tentang perpajakan dan kepemilikan tanah. Sebelum sistem sewa tanah ini diterapkan di Karesidenan Cirebon dan Jawa pada umumnya, terkait perpajakan atas sebidang tanah sudah ada peraturan yang mengatur sejak Cirebon berdiri. Di Kesultanan Cirebon sudah ada pajak tahunan atau dalam bahasa lokal disebut pajak Gantang, yakni pajak tahunan untuk hasil sawah yang ditetapkan 10-20 % dari hasil kotor padi. Kemudian ketika Raffles berkuasa, ia mengubah pajak tahunan tetap tersebut dari 10-20% menjadi 25 % hingga mencapai 50 % untuk sawah kelas I atau sawah kualitas bagus. Raffles mendasari kebijakan sewa tanah dari teori yang ia ciptakan, yang terkenal dengan sebutan “Teori Domein Raffles”. Menurut teori tersebut tanah yang mulanya menurut kepercayaan tradisional merupakan milik raja atau sultan beralih menjadi milik Pemerintah Inggris semenjak Inggris berkuasa. Kemudian ia mengaktualisasikan teorinya dalam sebuah kebijakan sewa tanah. Latar belakang, ia merombak sistem pajak yang telah berlaku di Jawa khususnya Cirebon adalah karena menurutnya sistem sewa tanah yang telah ada memberatkan petani, karena petani hanya mendapat bagian yang sedikit dari hasil produksi tanahnya. Raffles menganggap pemerintahan feodal saat itu depostik dan tidak adil. Terjadinya pemungutan pajak semena-mena yang dilakukan dan pengambilalihan tanah sewaktu-waktu oleh penguasa lokal. Melalui sistem sewa tanah ini Raffles ingin memberikan kesejahteraan bagi petani, tetapi tetap beriringan dengan keuntungan yang besar bagi finansial negara induk. Sistem sewa tanah terus dilanjutkan oleh Pemerintah Belanda dengan berbagai penyesuaian. Lalu apakah sistem ini memang berhasil memberikan kesejahteraan bagi para

Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 3

petani—pihak yang menanggung pajak sesuai dengan tujuannya liberalisme sewa tanah yang dianut Raffles dan pemimpin-pemimpin Belanda —atau hanya menambah beban bagi para petani?

2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan penulisan deskriptif analitis dengan menggambarkan berjalannya kebijakan sewa tanah di Karesidenan Cirebon dan dampak dari kebijakan tersebut bagi para petani Cirebon. Metode yang digunakan adalah metode sejarah, yakni heuristik (pengumpulan data), kritik (verifikasi data), interpretasi, dan terakhir adalah historiografi.

3. Analisis dan Interpretasi Data

Karesidenan Cirebon berdasarkan Arsip “Detailed Settlement 1815/1816” dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dibagi dalam 13 Sub Division, yaitu Raja Galuh, Panjalu, Ciamis, Talaga, Sindang Kasih, Belandong, Cikaso, Kuningan, Linggajati, Cirebon, Bengawan, Gebang, dan Losari.1 Setelah Rafles pergi, kekuasan di Hindia Belanda dipimpin oleh Komisaris Jendral. Pada saat itu wilah Karesidenan Cirebon diganti lagi. Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda tanggal 5 Januari 1819, Nomor 23, berisikan ketetapan tentang pembagian Karesidenan Cirebon menjadi beberapa regenschappen (kabupaten) dan lingkup wilayah masing-masing regenschappen tersebut.2 Secara garis besar terdiri dari Kabupaten Cirebon, Bengawan Wetan, Maja, Galuh, dan Kuningan. Pada 1823, Karesidenan Cirebon menerima kembali Indramayu dan Kandanghaur. Tiga tahun kemudian Kabupaten Bengawan Wetan dihapuskan.3 Untuk itu spasial yang menjadi penelitian penulis adalah Karesidenan Cirebon dengan meliputi Kabupaten Cirebon, Begawan Wetan, Maja, Galuh, Kuningan, Indramayu, dan Kandanghaur. Sementara periode dimulai dari 1811 karena merupakan awal dari

1 Berdasarkan Arsip “Cheribon Detailed Settlement 1815-1816” dari ANRI. 2 Staatblad: 5 Januari 1819, Nomor 23 3 Nugraha, Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Fakultas Sastra. : Yayasan Obor Indonesia), hlm. 26.

Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 4

pemerintahan Raffles dan berhenti pada masa 1830 karena semenjak tahun itu mulai diberlakukan tanam paksa. Sistem sewa tanah tak lepas dari unsur pajak dan kepemilikan tanah. Untuk itu perlu dibahas terlebih dahulu sistem perpajakan dan kepemilikan tanah sebelum era Raffles di Jawa, khsusunya Cirebon. Jan Breman dalam bukunya yang berjudul Keuntungan Kolonial Dari Kerja Paksa: Sistem Priangan Dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870, menjelaskan bahwa dalam tradisi Hindu-Jawa, raja adalah pusat atau perwujudan dari seluruh kekuasaan.4 Breman melambangkan raja sebagai sumber cahaya. Hubungan yang yang terjalin antara penguasa (raja) dan rakyatnya didasari oleh nilai-nilai mistis. Hal tersebut telah mengaburkan batas-batas teritorial karena kepatuhan rakyat bukan berdasar dari peraturan tulis sebagai bagian dari kekuasaan, tetapi dari nilai-nilai keyakinan yang tidak diwujudkan dalam hukum tertulis. Keutuhan suatu kerajaan beserta vasal-vasalnya tergantung dari kemampuan raja untuk mempertahankan kedudukannya sebagai pusat dari kekuasaan atau sumber cahaya. Ketika Islam berkembang di Jawa, kultus tersebut tidaklah hilang, tetapi hanya mengalami penyesuaian. Cirebon sebagai sebuah kerajaan Islam memiliki ciri khas pemerintahan yang sama dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Jawa. Pemimpin tertinggi disematkan gelar Panembahan Ratu atau Sultan. Sultan merupakan khalifatullah (wakil Tuhan di dunia) yang memiliki otoritas mutlak. 5 Dalam menjalankan pemerintahannya di wilayah kekuasaannya yang luas, raja atau sultan menggunakan jasa dari pejabat bangsawan. Misalnya untuk wilayah provinsi yang dipimpin oleh seorang bupati (pada masa VOC, VOC memanfaatkan Bupati untuk pengumpulan kontingent dan penyerahan wajib). Atas nama raja, para birokrat lokal memimpin wilayah-wilayah kekuasaan raja bahkan kekuasaannya hampir menyamai raja. Walaupun pejabat tersebut dipilih dari pengikut raja, tetapi mereka tidak dibayar oleh raja. Mereka menerima pengangkatannya dengan syarat mereka sendirilah yang mengurus pemerintahan dan eksploitasi dengan cara selain penyetoran pajak dan penyediaan tenaga

4 Jan Breman, Keuntungan Kolonial Dari Kerja Paksa: Sistem Priangan Dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870 (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 16. 5 Harto Juwono. 2011. “Persewaan Tanah di Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta 1818-1912: Penerapan Prinsip Konkordansi di Wilayah Projo Kejawen”, dalam disertasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Progam Studi Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia. hlm 39-41.

Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 5

kerja bagi raja, tetapi juga menyediakan keuntungan yang cukup bagi penguasa provinsi itu dan lingkungannya.6 Breman menyebut para pejabat tersebut sebagai raja mini di wilayah yang dipimpinnya. Para pemimpin daerah (bupati) dan sultan inilah yang dianggap menjadi sumber kesewenang-wenangan dalam penarikan pajak. itulah yang menjadi alasan mengapa Raffles mencabut hak sultan dan juga tidak lagi melibatkan peran bupati dalam penarikan pajak pada saat diberlakukannya sistem sewa tanah. Ketika Cirebon masih berupa desa dan belum menjadi kesultanan, tanah merupakan kepunyaan bersama persekutuan rakyat (desa). Namun, ketika Kesultanan berdiri, tanah adalah milik sultan. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa konsep bahwa raja adalah wakil Tuhan atau khalifatullah dimanfaatkan raja untuk melegitimasi kekuasaannya. Sebagai wakil Tuhan, sultanlah pemilik dari apa yang ada di dunia, termasuk tanah yang bagi kaum petani merupakan hal vital dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hubungan raja dan rakyatnya menurut Soemarsaid Moertono bersifat kawula-gusti (hamba dan tuan).7 Secara mistik atau gaib, hubungan tersebut bersifat akrab, dan saling hormat dan bertanggung jawab. Akan tetapi, bila melihatnya sebagai kenyataan sosial belum tentu demikian. Seperti, terkait tanah, apabila raja menginginkan tanah itu, maka petani yang awalnya menggarap tanah tersebut mau tidak mau harus memberikannya pada raja. Bila dipandang dari nilai-nilai sosial hal tersebut nampak menindas, tetapi bila melihat dari sudut pandang mistis, petani dengan rela menyerahkan tanahnya karena selain ia menghormati raja ia pun menganggap raja adalah titisan dewa. Jadi, apapun titah raja wajib diikuti bila ingin selamat dunia akhirat.8 Ketidakpastian kepemilikan tanah dan penarikan pajak yang dipenuhi kecurangan inilah yang melandasi Raffles untuk mengubah sistem pajak tanah yang telah lama berlangsung, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sistem sewa tanah pun dimaksud untuk memperoleh keuntungan finansial bagi Pemerintah Inggris. Lalu siapa pihak yang paling terpengaruh akan penerapan pajak tanah masa kesultanan dan sistem sewa tanah pada masa Inggris serta pemerintah Belanda? Dalam struktur masyarakat petani Jawa umumnya, Petani terdiferensiasi lagi berdasarkan cara ia

6 Jan Breman, op. cit., hlm. 17. 7 Soemarsaid Moertono,, Negara Dan Usaha Bina-Negara Di Jawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II Abad XVI Sampai XIX (Jakarta: Yayasan Obor, 1985), hlm 17. 8 Ibid, hlm. 18.

Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 6

menguasai tanah. Petani penguasa tanah disebut sikep (mereka yang memeluk atau menanggung beban tanah). Petani sikep mempunyai numpang (tanggungan) juga disebut bujang yang merupakan lingkungan terendah dalam lingkungan desa. Diantara keduanya, terdapat golongan petani menengah, yakni petani numpang yang menikah dan telah cukup lama melayani sikep-nya diberi pembagian dari tanah desa atau persekutuan (tanah- lanyah).9 Merekalah yang benar-benar merasakan dampak dari penerapan pajak. Merekalah petani sesungguhnya. Walaupun tanah dikuasi oleh kaum priyayi, tapi kaum tersebut tak pernah menyentuh langsung dalam proses penggarapan. Priyayi sendiri bukan menguasai dalam bentuk tanah tapi cacah. 10 Tanah itu diserahkan penggarapannya kepada para petani, tetapi para petani tidak punya hak milik akan tanah yang ia garap—dibanding hak milik, lebih sesuainya hak untuk menggarap suatu bidang tanah. Tekanan atas tuntuntan pajak inilah benar-benar langsung dirasakan para petani. Oleh karena itu, penerapan sewa tanah akan berdampak langsung bagi para petani. Ide sistem land rent (sewa tanah) yang diterapkan Raffles di Jawa tak lepas dari penerapan sistem sewa tanah atau pajak tanah (land revenue) yang diterapakan pemerintah Inggris di India. Ada dua sistem sewa tanah yang diterapkan Raffles, yakni sistem sewa tanah village settlement dan sistem sewa tanah detailed settlement. Walaupun memiliki nama yang berbeda, tetapi pada dasarnya sama dengan sistem yang diterapkan di India. Village settlement merupakan perwujudan dari zamindari system di India, sementara detailed settlement merupakan ryotwari system di India. Awalnya Raffles menerapkan sewa tanah village settlement atau sewa tanah perdesa sesuai petunjuk dari Lord Minto. Raffles pertama kali menerapkan di Banten. Penyewaan tanah diberikan pada para békél 11,

9 Harto Juwono, Op Cit, hlm, 9. 10 Cacah merupakan suatu rumah tangga bersama yang merupakan unit dasar bagi masyarakat petani di sebagian besar di Jawa. Cacah ialah sekelompok dari beberapa rumahtangga yang dapat mencakup sekitar 20 anggota paling besar, yang dipimpin oleh seorang sikep (juga disebut cacah). Cacah ini di bawah pengampuan seorang bangsawan supra-lokal yang, berdasar keterpandangannya, memperoleh kekuasaan atas sejumlah besar atau kecil rumah tangga bersama petani tersebut, tanpa harus diikuti dengan pemusatan territorial. Dalam Jan Breman, Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial (Jakarta: LP3ES,), hlm.15. 11 Dalam buku Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Status Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920 (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991), hlm. 1., dijelaskan mula-mula cikal bakal atau primus inter pares yang berhasil membuka tanah desa disebut sebagai pemimpin desa. Oleh karena ia bertugas membagi-bagi tanah desa itu untuk calon penggarap, ia kemudian disebut kepala desa. Setelah adanya tanah apanage

Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 7

demang, lurah, atau kepala desa karena dianggap sebagai orang yang memiliki klaim kuat atas penguasaan tanah. Mereka diangkat sebagai tuan tanah atau penyewa utama. Mereka bertanggung jawab atas penarikan pajak dari petani di bawah kepemimpinan langsung pemerintaha Inggris. Sistem sewa tanah village settlement ini kemudian diterapkan juga di wilayah transferred district, wilayah yang diberikan oleh Sultan Yogyakarta, Amanģku Buwana III, berdasarkan kesepakatan dengan pihak Inggris, yaitu Distrik Kedu, Patjitan (Pacitan), Djapan, Djipan, dan Grobogan. Kemudian, Wirasaba, Wirosari, dan Pekalongan. Sementara, ketika Raffles mulai melaksanakan sewa tanah village settlement di wilayah- wilayah tersebut, negeri-negeri pesisir umumnya masih membiarkan sistem perpajakan sebelumnya berlaku hingga tahun 1813, seperti yang terjadi di Cirebon yang masih menerapkan penyerahan wajib dan contingents. Jadi, pada saat Raffles memimpin di Jawa hingga 1813, penerapan pajak masih beragam. Untuk melaksanakan tugasnya itu, Raffles dibantu oleh Komisi McKenzie, yang terdiri dari Komisi tersebut terdiri dari Letnan Kolonel Colin Mackenzie sebagai ketua dan 3 orang pejabat tinggi Belanda sebagai anggotanya, yaitu P. H. van Lawick van Pabst, J. Knops dan F. J. Rothenbühler12. Ketentuan penting dari sistem sewa tanah dapat dilihat dari “Proclamation declaring the principles of the intended change of system” yang keluar pada 15 Oktober 1813. Isinya secara garis besar adalah pengaruh dan kekuasaaan para bupati (Native Chief) yang berlebihan dibatasi; tanah pemerintah akan diserahkan kepada kepala desa; tanah dibiarkan kembali kepada pembudidaya; penyewa di bawah pemerintah akan dilindungi; sistem feodal (vassalge) dan penyerahan paksa hasil bumi dihapus di seluruh pulau, kecuali di daerah Batavia, Priangan dan daerah “Blandong” (kayu jati).13 Selanjutnya berdasarkan “keberhasilannya” (menurut laporannya ia sukses melaksanakan sewa tanah) menjalankan sewa tanah di transferred ditricts dan Banten, Raffles mulai melebarkan pelaksanaan ke wilayah coastal district (distrik pesisir), dimulai

diangkatlah seorang békél dari kepala-kepala desa itu yang bertugas sebagai penebas pajak. Sedikit demi sedikit békél diberi kekuasaan sebagai kepala desa sehingga kemudian peranannya berubah dari penebas pajak menjadi pemegang kekuasaan desa. 12R. Sa’ban, op. cit.,hlm. 88. 13Ibid.,hlm. 94.

Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 8

dengan pertama kali dilaksanakan di Karesidenan Cirebon.Di Karesidenan Cirebon, Raffles mulai menerapkan sistem sewa tanah village settlement atau sewa tanah perdesa pada 9 Juli 1813 dengan ditandai dihapusnya kontingent dan pengiriman paksa ketika masa Residen Cirebon Mayor W. Raban.14 Pemerintah akan menarik pajak langsung, sementara Sultan diberi kepemilikan tanah pribadi mereka, dan gaji.15 Namun, kemudian Raffles mengubah sistem sewa tanah menjadi detailed settlement atau sistem sewa tanah perorang dengan keluarnya Intruksi Pajak pada tanggal 11 Pebruari 1814. Berubahnya kebijakan Raffles tak lepas dari laporan yang ia terima dari Hopkins (dan memang diakui Raffles bahwa sejak awal diterapkannya sistem village settlement hanyalah sebuah tahapan menuju sewa tanah yang sesungguhnya dikehendaki). Dari laporan Hopkins yang ditunjuk untuk mengunjungi wilayah bekas Distrik China di Banyuwangi/ ujung timur pulau jawa (Oosthoek), dijelaskan bahwa di wilayah yang pernah dikuasai China tersebut berbeda dengan wilayah Jawa lainnya. Seperti di wilayah Surabaya dan Cirebon yang kepala desa dipilih oleh masyarakat setempat. Serta beberapa tanah dimiliki oleh orang yang menempatinya. Selain itu orang Cina membiarkan kepemilikan perorang di tanah mereka. Di Cirebon, lanjut Hopkins dalam laporannya, “That the right of private property in the soil is generally acknowledge, and tolerably well understood”16—di samping tanah perseorangan terdapat juga tanah komunal. Laporan tersebut memperjelas bahwa klaim terkuat atas pengusaan tanah bukanlah dipegang oleh kepala desa tetapi para petani itu sendiri. Bila ia tetap melaksanakan village settlement yang kepala desa sebagai Zamindar diangkat oleh pemerintah Inggris, maka hal tersebut akan mengingkari hak rakyat untuk memilih kepala desanya sendiri serta mengingkari adanya penguasaan tanah oleh petani. Ternyata pun kepala desanya menurut Raffles bertindak sewenang-wenang. Sementara kepemilikan tanah perorang mendukung kebijakan Raffles apabila ia menerapkan sistem detailed settlement.17 Hal tersebut kemudian memotivasi Raffles untuk segera menerapkan sistem detailed settlement di seluruh Jawa.

14 John Bastin, op. cit., hlm. 128. 15Ibid., hlm. 128. 16John Bastin, op. cit., hlm 155-158. 17R. Sa’ban, op. cit., hlm 100

Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 9

Perlu digaris bawahi perbedaan dengan sistem sewa tanah sebelumnya (village settlement) adalah terletak pada penarikan pajak perorang. Selanjutnya, seperti halnya sistem sewa tanah village settlement, dalam detailed settlement tugas Bupati sebagai bagian dari penarik pajak dihapus serta pembayaran pajak dalam bentuk uang. Pemerintah Inggris langsung menarik pajak dari petani tanpa perantara kepala desa dan Bupati. Oleh karena itu, untuk mendukung sistem sewa tanah dibentuk perangkat baru yang khusus mengurus langsung penarikan pajak dari petani. Ia juga memerlukan informasi yang rinci mengenai luas dan mutu tanah (kadaster), serta peri kehidupan penggarap. Sehubungan dengan itu, di bawah koordinasi 12 orang yang merancang pengumpulan informasi, Raffles menunjuk semua residen sebagai pelaksana. Para residen dibantu oleh pemungut pajak (collector) untuk satu atau lebih Kabupaten. Koletor akan dibantu oleh “officer of Division” di tiap Kawedanan, yang masing-masing membawahi para kepala desa dalam daerah tugasnya. Untuk pengukuran dan penetapan luas tanah di lapangan, Kolektor dibantu oleh pegawai teknis pengukuran/pemetaan (Officer of survey). Dalam Lampiran L. No. II Instruksi Pajak poin nomor 6 dijelaskan bahwa para pegawai untuk urusan pajak tidak hanya berasal dari orang-orang Eropa tetapi juga pegawai-pegawai pribumi. Para Kolektor yang merupakan orang Eropa akan dibantu oleh pembantu pribumi dan sejumlah penulis (orang-orang Jawa dan Inggris) opas, dan pembantu lainnya.18 Dalam Revenue-Instruction van den 11en Februarij 1814, ditetapkan:19 Untuk Sawah Basah - Sawah kelas I : 1/2 dari hasil produksi yang ditaksir - Sawah Kelas II : 2/5 dari hasil produksi yang ditaksir - Sawah Kelas III : 1/3 dari hasil produksi yang ditaksir Untuk Tanah Tegalan - Tegalan Kelas I : 2/5 dari hasil produksi yang ditaksir - Tegalan Kelas II : 1/3 dari hasil produksi yang ditaksir - Tegalan Kelas III : 1/4 dari hasil produksi yang ditaksir

18 Thomas Stamford Raffles,op. cit., hlm. 887. 19Van Deventer. 1866. Bijdragen Tot De Kennis Van Het. Zalt-Bommel, Bij Joh. Noman En Zoon.

Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 10

Berdasarkan wilayahnya yang telah ditetapkan oleh pemerintah Hindia-Belanda, Cirebon dibagi dalam tiga wilayah, yakni wilayah pesisir, pedalaman, dan wilayah partikelir. Wilayah partikelir tidak terkena penerapan sistem sewa tanah dikarenakan karena sulitnya memutus kontrak yang sudah terjalin dengan pihak swasta serta keharusan mengeluarkan untuk membayar kompensasi dianggap tidak menguntungkan.20 Tanah partikelir ini biasanya ditanami dengan tanaman dagang seperti tebu dan di bangun pula pabrik-pabrik gula di dalamnya. Tanah Partikelir (Particuliere Landerijen) terdapat di Kabupaten Indramayu dan Kandanghaur yang dimiliki oleh beberapa orang Eropa.21 Pada zaman Raffles tanah-tanah tersebut dijual ke Mutinghe.22 Wilayah Cirebon yang diterapkan sewa tanah pada ada 13 subdivision Raja Galuh, Ciamis, Panjalu, Talaga, Sindang Kasih, Belandong, Cikaso, Kuningan, Lingga Jati, Cirebon, Bengawan, Gebang, dan Losari.23 Dalam pelaksanaanya sistem sewa tanah tak sebagus konsepnya. Sartono Kartodirdjo (1977) menjelaskan dengan hanya 12 orang tenaga inti, sekedar pengawasan pun sudah jelas susah dilaksanakan, apalagi pekerjaan yang begitu luas, rumit, dan rinci. Pejabat yang orang Eropa termasuk residen tidak mengenal lapangan., sementara pengumpulan pajak tak mungkin ditunda sampai petugas mahir di lapangan akibatnya pelaksanaannya berlangsung sekenanya saja. Akibatnya, pencatatan kacau dan sistem Belanda pun sering terpaksa dilakukan.24 Sementara itu, petugas bumi putra tak bisa melaksanakan lebih baik, hamper semua kepala desa buta huruf sehingga memungkinkan adanya indikasi kepala desa lebih sering mengarang data, menggampangkan tugas dengan menggabungkan beberapa desa sekaligus, bahkan menyelewengkan kekuasaan. 25

20Sukaryaditisna, Asiswa, “Pengaruh Liberalisme di Belanda Dan Lahirnya Agrarische Wet 1870 di Daerah Koloni,” dalam Tesis, Program Pasca Sarjana, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2006. Hlm 3. 21 Merennage Radin Fernando, loc. Cit., 17. 22 John Bastin, op. cit., hlm 85. 23 Berdasarkan Arsip “Chirebon Detailed settlement 1815/1816 “di ANRI. 24Sartono Kartodirjo dkk. Sejarah Nasional Indonesia, jilid V, Dep. P dan K, (Jakarta: Balai Pustaka, 1977),hlm 103. 25Sartono Kartodirjo dkk. Sejarah Nasional Indonesia, jilid V, Dep. P dan K, (Jakarta: Balai Pustaka, 1977),hlm 103.

Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 11

Tabel 3 Pendapatan dari Cirebon dan Kabupaten Timur dengan pengecualian dari pemerintah dan madura untuk tahun 1814 Sewa Tanah diserahkan ke Kepala sewa tanah murni sewa dan pajak pendapatan tanah garam candu Regten Total Cirebon 218736 34270 184466 4840 189306 13290 13200 9600 225306 Tegal 180489 21111 159378 24235 183613 6600 15840 39600 2445653 Pekalongan 260338 13103 247235 26400 273635 6600 34320 31621 346176 Semarang 345917 25266 320651 188179 508830 200000 124080 200000 1032910 Jepara & 267139 33988 233151 44000 277151 14266 44880 6600 342902 Juana Rembang 243868 15000 228868 ~ 228868 14266 6358 6600 256092 Surabaya 605404 72302 533102 134076 667178 50000 100000 50000 867178 Pasuruan 550000 Probolinggo 584000 5000 1187000 11000 1198000 15000 13000 20000 1246000 Banyuwangi 58000 Kedu 419760 ~ 419760 529760 ~ 55704 ~ 585454 110000 Grobogan 15000 ~ 150000 150000 ~ 40404 ~ 190404 rupee 3883651 220040 3663611 542730 4206341 319932 447786 394021 5368085

Sumber: Buku karya Sir Thomas Stamford Raffles, Extract-vertalingeenermemorie den 11 februarij 1814,bij de invoering van een verbeterd stelsel van administratiestelsel van administratie, en be instelling van eene landrente op java, waaraan eenige documenten bijgevoegd zijn, op welke beroepen is geworden (Amsterdam: M.westerman, 1828), hlm. 156. Dilihat di google book.

Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 12

Tabel di atas penulis menemukan pula sumber primernya dari Arsip Nasional, beriku ini:

Sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia

Akan tetapi, dari hasil primer yang merupakan laporan dari Batavia Accountants office jumlah hasil sewa tanahnya jauh lebih banyak dibanding tabel di atas. Misal, untuk wilayah Cirebon hasil sewa tanah pada tabel di atas yang merupakan laporan dari Raffles adalah 218. 736 J. Rs atau Java Rupees. Sementara, dari sumber primer yang penulis dapatkan dari ANRI hasil sewa tanah di Cirebon pada tahun yang sama adalah 314.106 J. Rs. Bila penulis berinterpretasi, apakah mungkin Raffles memalsukan data pendapatan sewa tanah, mungkin adanya indikasi korupsi. Namun, bisa saja kesalahan penulis dalam menginterpretasi data.

Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 13

Dan ini Rincian hasil sewa tanah di Karesidenan Cirebon pada tahun 1815/1816:26 Tabel 4 Abstract of the Land Settlement in 1815. 16 in the District of Cheribon

Total Rented Average Rent Poppulation Occlusion of Rented Total Poppulation Paddy Money In Cach Rented Under 10 Years oldUnder 20 Years OldAbove 20 Years Old Including Rented No. Name of Sub DivisionNumber of Rented Amet Gedeng Ruppe Shen Ruppe Shen male female male female male female male female 1 Raja Galloo 1562 17620 13 1/2 23494 27 15 1 1/2 581 580 233 515 720 1973 3096 3067 2 Chiamis 1173 9503 17 1/2 12671 25 10 24 1012 1147 370 473 1271 1616 3826 3236 3 Panjaloo 1002 7497 8 1/4 9496 21 1/2 9 14 1/2 1250 1585 50 134 274 899 2576 2618 4 Talaga 1615 10838 14 1/2 14451 19 8 28 4/9 945 973 294 513 764 2066 3618 3552 5 Sindang Kasei 1115 7083 15 9445 19 8 14 677 625 288 526 849 1474 2929 2625 6 Belandong 2273 10129 15 13505 10 5 27 327 364 156 345 368 1738 3124 2447 7 Chikajso 2787 17612 10 23483 10 8 16 977 1053 306 660 614 2986 4614 4699 8 Kooningan 2417 13215 10 17620 10 7 8 1/8 1031 1163 269 663 603 2918 4320 4744 9 Lingga Jatti 1928 11642 10 15523 10 8 1 1/2 446 447 303 349 830 2460 3507 3256 10 Cheribon 3021 17038 10 1/2 22718 1 7 15 2/5 3297 2075 888 1017 3539 6851 9848 9943 11 Bengawan 10435 68833 19 1/4 91778 18 4/5 8 23 4/5 3497 3480 1055 2308 2923 11980 17910 17768 12 Gebbang 2171 10129 16 1/4 13506 12 1/4 6 6 2/3 798 639 239 332 886 1452 3587 3673 13 Losari 1507 5773 13 1/4 7698 7 1/4 5 31/4 1158 1159 165 281 257 1660 3087 3104 Total 33006 206013 78 1/4 275393 11 1/8 8 10 1/3 15996 13340 4609 8316 13398 41072 66109 64733

Sumber: dalam Arsip Chirebon, “Detailed Settlement 1815-1816, ANRI (Lihat Lampiran)

Bila penulis membandingkan hasil sewa tanah tahun 1814 dan tahun 1815, terlihat adanya peningkatan pemasukan sewa tanah. Bila tahun 1814 sewa tanah sebesar 218.736 J. Rs sedangkan pada 1815 meningkat menjadi 275.393 J. Rs. Namun bila mengacu sumber primer, pajak justru menurun, pada tahun 1814 sebesar 314.106 menjadi hanya 275.393 J. Rs. pada 1815. Berbanding terbalik dengan pernyataan Raffles yang mengklaim bahwa pajak di Cirebon meningkat. Namun bisa saja abstract sewa tanah 1815 menjadi lebih sedikit nominalnya karena adanya perhitungan yang dipisahkan antara pajak natura dan pajak berupa uang. Namun tidak ada penjelasan pula di abstract 1814 apakah itu sudah perhitungan total pajak berupa uang dan natura. Ataukah memang pada tahun itu pemerintah tegas menjalankan peraturan pajak dibayarkan dengan uang sehingga tidak ada

26 Keterangan tabel: Amet = Ukuran seratus gapan (berkas )hasil padi yang dipanen dengan ani-ani. Gedeng = 3 pucung = 5 kg.

Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 14

laporan perhitungan dalam natura. Sementara, pada tahun 1815 peraturan pemerintah terkait sewa tanah menjadi lebih longgar sehingga penerimaan pajak dalam bentuk natura diperbolehkan. Hal tersebut benar seperti itu, adanya indikasi bahwa penghasilan penarikan pajak dalam bentuk uang tidak seperti yang diharakan pemerintah sehingga pada periode berikutnya peraturan tidak seketat tahun sebelumnya. Hasil penelitian Komisaris Jendral pada 1816, ketika kekuasaan Belanda dipulihkan, menunjukkan tidak adanya pola yang jelas dalam pemungutan pajak. Pemungutan pajak Di Cirebon, mula-mula taksiran pajak berjumlah 156.000 rupiah, oleh pejabat yang baru datang taksiran naik menjadi 399.000 rupiah. Pajak yang nyata terkumpul cuma 89.000 rupiah.27 Terlihat adanya indikasi penyelewengan pajak dari para pejabatnya. Pajak yang ditarik lebih besar dari yang seharusnya telah ditaksir. Selain itu, pajak ½ hingga 1/3 diterapkan Raffles terlampau tinggi. Di Cirebon serta Banten pajak yang sebelumnya berlaku sebelum sewa tanah adalah 10-20 % dari hasil panen,28 tetapi pajak yang diterapkan Raffles dapat mencapai 50 % dari hasil panen, ditambah pula itu masih merupakan hasil panen kotor. Dalam hal ini Vollenhouven dalam tulisannya “Antiroufer” (1917) menyatakan Raffles sebagai serakah dan mempertanyakan Raffles mengapa justru mengoper tarif pajeg bumi Mataram yang memberatkan rakyat, dan tidak mencontoh sistem pungutan di daerah Jawa lainnya, seperti di Banten,Cirebon, atau Priangan yang berlaku tarif pungutan lebih rendah.29 Sistem sewa tanah yang ditetapkan Raffles mirip dengan sistem pungutan hasil bumi pada zaman Mataram, yaitu sistem maron dan sistem majegan. Raffles mengambil keuntungan dari dua sistem tersebut disatukan menjadi satu sistem sewa tanah. Raffles mengambil ukuran besarnya pajak dari sistem maron, dan pungutan pajak yang tetap dari sistem majegan. Sehingga walaupun misal terjadi kegagalan panen yang biasanya dua pihak baik penyewa dan yang menyewakan menanggung bersama semua kerugian, tapi karena sewa tanah ini juga mengambil ketentuan juga dari sistem pajeg (pasokan yang tetap) maka pungutan tetap tidak berubah.30

27Suhartono W Pranoto, op. cit., hlm. 104. 28 R. Sa’ban, op. cit., hlm. 107. 29 Ibid., hlm. 107. 30 Ibid., hlm. 108.

Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 15

Tidak ada perubahan dan perbedaan yang mendasar dari sistem Barat dengan sistem yang telah lama berlaku di Jawa. Perbedaan yang jelas hanya terletak dari perubahan siapa pusat atau ujung dari penerima pajak, yang dulu adalah para sultan atau raja sekarang adalah pemerintah Inggris yang selanjutnya adalah pemerintah Belanda. Serta perubahan terjadi dalam cara memungut pajak, yang dulunya diserahkan kepada para bekel ataupun kepala desa dan menjadi tanggung jawab Bupati berubah menjadi perorang dan mengutamakan pajak uang. Pejabat Eropa dikerahkan di dalamnya untuk berhubungan langsung dengan petani berdampingan dengan pejabat pribumi yang digaji. Namun, siapa yang menjamin kalau pejabat-pejabat Eropa tersebut juga tidak akan berbuat curang seperti yang dituduhkan Raffles terhadap para kepala pribumi. Lalu, yang paling penting di sini adalah besaran pajak yang sama, malah untuk beberapa daerah jauh lebih tinggi dari sebelumnya berlaku, seperti yang terjadi di Cirebon. Untuk melihat bagaimana efektivitas sewa tanah berjalan tak cukup hanya melihat dari periode Raffles yang terbilang singkat, sementara kebijakan yang dibuat cukup radikal. Untuk itu perlu dilihat perkembangan setelahnya, ketika sewa tanah itu tetap dilaksanakan oleh Pemerintah Belanda.

Antara tahun 1816 sampai tahun 1819 daerah koloni Belanda ini diperintah oleh tiga Komisaris Jenderal yaitu, Baron Van der Capellen, C.T. Ellout dan H.W. Muntinghe yang kemudian Muntinghe digantikan oleh Buyskes, karena dianggap memihak dan bekerjasama dengan raffles.31 Sama halnya dengan Raffles, mereka juga menginginkan adanya kebebasan bagi para petani untuk tetap menanam tanaman yang menguntungkan dengan membayar sewa tanah pada pemerintah. Mereka mendapat tugas untuk membawa Jawa ke dalam politik liberal kolonial yang akan memberikan manfaat finansial yang dibutuhkan Negara induk atau mother country.32 Dalam menjalankan tugasnya mereka berpedoman pada RR (Regeringsreglement) yang diresmikan pada 3 Januari 1815 oleh Raja Willem I atau Pangeran Willem VI. Dalam salah satu pasalnya dijelaskan pelaksanaan pertanian

31Daniel Wilco van Welderen Rengers, The Failure of a Liberal Colonial Policy East Indies, 1816-1830 (The Hague: Martinus Nijhoff, 1947), hlm. 51. 32Ibid.,hlm 49.

Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 16

bebas (vrije cultuur) di Hindia-Belanda, dijelaskan pula bahwa sudah saatnya pemerintah jajahan dilakukan untuk kesejahteraan umum, baik orang Belanda maupun Bumiputra.33 Berbeda dengan Raffles yang menerapkan pembayaran pajak perorang, Komisaris Jenderal mengembalikan pembayaran pajak perdesa.34 Namun, jumlah pajak sama seperti pada masa Raffles. Pajak dibayar ½, 2/5, dan 1/3 dari hasil panen. Pembayaran pajak berupa uang, hal itu ditetapkan sebagai upaya bertahap mengenalkan ekonomi moneter. Dalam penentuan pajak masih dapat disesuaikan karena seperti halnya Raffles, pajak sebesar ½, 2/5, dan 1/3 hanya ketetapan penarikan maksimum. Pegawai pemerintah akan turun langsung ke desa untuk berdiskusi menentukan pajak yang mampu dibayar desa. Sementara, di Cirebon dalam perjalanan pertemuan Komisaris Jenderal ke wilayah- wilayah di Jawa seperti Batavia, Cirebon, Semarang, Rembang, Madura, dan wilayah lainnya, mereka memperoleh informasi tentang jumlah keluarga dan produksi dari tanaman-tanaman seperti beras, dan kopi. Di Cirebon dan Tegal, Van der Capellen, Elout dan Reinwardt menyepakati sistem sewa tanah, produk dari pemerintahan sementara Inggris.35 Setelah Komisaris Jenderal habis masa tugasnya Jawa dipimpin oleh Gubernur Jenderal Van Der Capellen. Ia mengambil kebijakan yang berbeda dengan kedua pemimpin sebelumnya. Ketika Raffles dan Komisaris Jenderal menghilangkan peran Bupati dalam penarikan pajak, sedangkan Capellen justru menggunakan kembali para bupati dan para pejabat bumiputra dalam pengawasan pajak tanah yang masih mengutamakan peran mereka. Ia pun menutup investasi asing, Pada masa Du Bus Gisignies diperkenalkan cara pembayaran baru yaitu dengan pembayaran pajak dalam bentuk baru yakni pelunasan dalam bentuk penyerahan sebagian luas lahan pertanian desa beserta tenaga kerjanya.36 Dalam rangka untuk memperbaiki situasi tersebut, Du Bus menawarkan petani dengan membuat kepemilikan tanah individu, memperkenalkan modal asing tanpa pembatasan di Cirebon, umumnya Jawa, dan memungkinkan Eropa untuk sewa tanah yang belum dibuka. Pada masa Raffles dan Du

33Ibid.,hlm 109. 34Ibid., hlm. 61. 35Andreas Weber, “ Forging a New Identity”, dalam Jurnal, di undul di Jstor, hlm 150. 36 R. Sa’ban, op. cit., hlm 136.

Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 17

Bus di Karesidenan Cirebon terjadi penjualan tanah-tanah woeste gronden, atau tanah yang tidak diolah kepada beberapa pengusaha besar.37 Selain menyewakan tanah yang belum diolah kepada pengusaha-pengusaha besar rupanya Du Bus masih melakukan penjualan tanah Pertikelir di Cirebon. Perang Jawa menyebabkan anggaran pengeluaran pemerintah semakin besar ini berakibat juga di Karesidenan Cirebon, yakni diteruskannya penjualan- penjualan tanah partikelir di wilayah Indramayu. 38

1. Kesimpulan Perubahan radikal ini telah mengakibatkan berbagai dampak bagi para petani. Penggunaan uang dalam pembayaran pajak telah menyuburkan berkembangnya para tengkulak yang memborong hasil panen petani dengan harga yang murah. Ataupun penjualan diwalikan kepada kepala desa, di sanalah timbul kecurangan oleh para kepala desa. Pemerintah pun memberikan insentif atau upah pungut pajak sebesar 81/2 sampai 20% pada pemungut pajak telah meningkatkan terjadinya tekanan yang diberikan kepada petani untuk membayar pajak agar memperoleh hasil yang banyak sehingga upah yang diterima semakin tinggi. Adanya sewa tanah menyebabkan terjadinya pergeseran kepemilikan tanah. Dapat dilihat pada tahun 1818, lurah-lurah desa di Cirebon diperintahkan agar memberikan tanah- tanah pertanian pada kaum tani, tujuannya adalah untuk memberikan jaminan agar semua tanah pertanian bisa tergarap dengan memberikan hak penggunaan tanah secara bebas pada setiap orang.39 Pertukaran dan pergeseran tanah semacam ini dilakukan oleh pemerintah setempat. Usaha pemerintah untuk meningkatkan jumlah penduduk yang berkedudukan sebagai pemilik tanah yang dimaksudkan agar dapat meningkatkan jumlah wajib penarikan pajak tanah.40 Di sumber lain disebutkan bahwa terjadi peningkatan yang sangat baik penduduk di Karesidenan Cirebon. Populasi 140.000 orang pada tahun 1813, meningkat menjadi

37 Thomas Limbald, Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru (Jakarta: LP3ES, 2000), hlm 86. 38 Dasuki, Sejarah Indramayu (Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu, 1977), 39 Jan Breman, Op. Cit., hlm. 11. 40 Ibid., hlm. 77.

Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 18

400.000 orang pada tahun 1830. Di tahun 1816, lebih dari 60% total populasi tinggal di pesisir utara Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Sisanya, 40 % tinggal di bagian selatan, yakni Kabupaten Majalengka, Kuningan, dan Galuh. Pada tahun 1830 hanya 39 % yang menetap di Kabupaten Cirebon, dan 5% di Indramayu. Di Majalengka mengalami kenaikan menjadi 36%, Kuningan dan Galuh hnya 10 %. Lalu, terjadinya perluasan lahan pertanian diseluruh Karesidan, terutama di bagian utara. Disebutkan luas sawah mengalami peningkatan dari 25,315 ha pada 1813 menjadi 43,210 ha 1830. Pada akhir 1820, Cirebon menghasilkan lebih dari cukup beras untuk dikonsumsi, dan jumlah yang banyak untuk di ekspor dari Kabupaten Cirebon dan Indramayu terutama.41 Namun, penulis meragukan apakah memang peningkatan itu membuktikan kesejahteraan, taraf hidup petani semakin membaik. Peningkatan jumlah penduduk dapat dikarenakan semakin berkurangnya jumlah pengolahan sawah berpindah, lebih banyak petani yang menetap sehingga pencacatan jumlah penduduk dapat dilakukan dengan lebih lengkap serta semakin baiknya kinerja pemerintah dalam urusan pendataan penduduk. Kemudian berkurangnya angka kematian penduduk Cirebon akibat perang yang sering terjadi pada masa Kesultanan. Selain itu pada masa Raffles dan setelahnya dilakukan vaksinasi besar-besaran untuk mencegah penyebaran wabah penyakit. Lagi pula tidak dijelaskan perhitungan penduduk itu dari kalangan mana saja, status mana saja, apakah orang Eropa, Cina, India, pribumi, dan sebagainya. Lalu, apakah golangan bangsawan, petani, nelayan, pedagang, dan sebagainya. Dan bisa saja angka yang besar dari jumlah penduduk merupakan permainan angka yang dilakukan pejabat kolonial untuk membesarkan masa kepemimpinan mereka. Selain itu walaupun terjadi perluasan lahan sawah, apakah berarti diiringi juga dengan kepemilikan lahan yang merata kepada semua petani. Sehingga diragukan apakah peningkatan pajak dirasakan langsung manfaatnya oleh petani atau malah membebani petani. Lebih lanjut perlu diingat bahwa pajak yang ditetapkan Raffles dan Pemerintah Belanda jauh lebih tinggi dari pajak yang berlaku sebelumnya. Justru dibeberapa tempat di Cirebon pajak malah membebani petani seperti

41 Merennage R. Fernando, 1982. “Peasants And Plantation Economy (The Social Impact of The European Plantation Economy in Cirebon Residency From The to The End of First Decade of The Twentieth Century,” dalam Thesis submitted of the Degree of Doctor of Phisophy, Departement of History, at Monash University, hlm 36-38.

Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 19

yang terjadi di distrik Belandong yang dikenal dengan pemberontakan Kedongdong. Saat itu sawah-sawah di desa Kedondong, bagian dari distrik Belandong mengalami paceklik sehingga mereka tidak mampu membayar pajak. Namun, pihak Belanda tidak mau memberikan keringanan. Akibatnya, rakyat Kedongdong menolak membayar pajak. Perlawanan ini terus berlanjut hingga konflik fisik pun tak terelakan. Perlawanan ini tidak hanya dari masyarakat desa Kedongdong, tapi terus meluas hingga ke desa-desa sekitarnya. Bila memang Pemerintah Eropa ingin mensejahterakan rakyat, seharusnya mereka tidak menutup mata pada tanah-tanah partikelir yang justru di sanalah kesewenang- wenangang paling tinggi terjadi. Pemerintah Eropa justru menambah daftar jumlah tanah- tanah partikelir. Seperti di Cirebon, Raffles menjual tanah Indramayu dan Kandanghaur kepada Mutinghe yang tak lain adalah penasihat Raffles.

Daftar Acuan

Sumber Sezaman

Arsip “Cheribon Detailed Settlement 1815-1816” dari ANRI. Staatblad: 5 Januari 1819, Nomor 23. Arsip “Revenue Statement 1814” dari ANRI.

Buku Breman, Jan, Keuntungan Kolonial Dari Kerja Paksa: Sistem Priangan Dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870 (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014). Bastin, John, Raffles’ Ideas on The Land Rent System in Java And The Mckenzie Land Tenure Comission, (Verhandelingen, van het Koninklijk Instituut Voor Taal, Land En Volkenkunde, ‘S. Gravenhage, Martinus Nijhoof, 1954). Daniel Wilco van Welderen Rengers, The Failure of a Liberal Colonial Policy Netherlands East Indies, 1816- 1830 (The Hague: Martinus Nijhoff, 1947). Dasuki, Sejarah Indramayu (Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu, 1977). Deventer, M.L Van, Bijdragen Tot De Kennis Van Het. Zalt-Bommel, Bij Joh. Noman En Zoon, 1866. Kartodirjo, Sartono, dkk, Sejarah Nasional Indonesia, jilid V, Dep. P dan K, (Jakarta: Balai Pustaka, 1977). Limbald, Thomas, Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru (Jakarta: LP3ES, 2000), Moertono, Soemarsaid, Negara Dan Usaha Bina-Negara Di Jawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II Abad XVI Sampai XIX (Jakarta: Yayasan Obor, 1985).

Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 20

Palmier, Leslie H, Social Status and Power in Java (New York: Humanities Press Inc, 1960), Saban, Pajak Bumi Dari Masa ke Masa: Sejarah Lahir dan Berkembangnya (Jakarta: Yayasan Bina Artha) . Sutherland, Heather, Terbentuknya sebuah Elite Birokrasi (, 1978). Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Status Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920 (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991). Raffles, Thomas Stamford, The History of Java. ( Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2008). ___, Penerbitan Naskah Sumber Arsip: Menjelang Hari jadi Pemerintahan Kabupaten Cirebon.(Kab Cirebon: Kantor Kerasipan dan dokumen Kabupaten Cirebon, 1988).

Jurnal

Nugraha, Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Fakultas Sastra (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia). Sarwar, Firoj High “Comparative Study of Zamindari, Raiyatwarim and Mahalwari Land Revenue Settlements: The Colonial Mechanism of Surplus Extraction in 19th Century Britsh India”, (in Research Scholar, Departement of History (CAS), AMU, Aligrh, India, dalam IOS Journal of Humanities and Social Science (JHSS).

Weber, Andreas “ Forging a New Identity”, dalam Jurnal, di undul di Jstor.

Skripsi, Tesis, Disertasi

Harto Juwono. 2011. “Persewaan Tanah di Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta 1818-1912: Penerapan Prinsip Konkordansi di Wilayah Projo Kejawen”, dalam disertasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Progam Studi Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia. Fernando, Merennage R. 1982. “Peasants And Plantation Economy (The Social Impact of The European Plantation Economy in Cirebon Residency From The Cultivation System to The End of First Decade of The Twentieth Century,” dalam Thesis submitted of the Degree of Doctor of Phisophy, Departement of History, at Monash University, 1982. Iskandar, Mohammad “Aksi Kolektif Petani Ciomas tahun 1886: Dampak Politis Bagi Pemerintah Hindia Belanda”, dalam Disertasi Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2007, Sukaryaditisna, Asiswa, “Pengaruh Liberalisme di Belanda Dan Lahirnya Agrarische Wet 1870 di Daerah Koloni,” dalam Tesis, Program Pasca Sarjana, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2006.

Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016