Sistem Sewa Tanah Di Karesidenan Cirebon (1811-1830)
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
1 Sistem Sewa Tanah di Karesidenan Cirebon (1811-1830) Hurun’in Qurrotul’aini, Mohammad Iskandar 1. Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia 2. Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia Email: [email protected] Abstrak Penelitian ini membahas tentang kebijakan sewa tanah di Karesidenan Cirebon pada masa Raffles sampai Du Bus de Gisignies tahun 1811 – 1830. Sewa tanah pertama kali diterapkan Raffles di Karesidenan Cirebon pada Juni 1813 yang kemudian diperbaharui pada Pebruari 1814. Cita-cita yang ingin dicapai adalah melalui liberalisasi ekonomi tersebut dapat menghapus penindasan dan mencapai kesejahteraan untuk petani. Sistem sewa tanah dilandasi dari gagasan bahwa tanah tidak lagi menjadi milik sultan, tetapi menjadi milik Pemerintah Inggris. Rakyat yang dianggap sebagai penyewa yang harus membayar pajak kepada Pemerintah Inggris. Kemudian, Pemerintah Belanda tetap melanjutkan sistem sewa tanah hingga tahun 1830 dengan disertai berbagai perbaikan dan penyesuaian. Namun, penetapan pajak di Karesidenan Cirebon terlampau tinggi serta tidak mengindahkan kondisi petani ketika gagal panen. Hal itu mengakibatkan bertambah beban yang ditanggung petani sehingga menimbulkan perlawanan (resistensi). Sistem sewa tanah ini berakhir pada tahun 1830 karena tanah-tanah di Karesidenan Cirebon terkena peraturan tanam paksa. The Land Rent System in Karesidenan Cirebon (1811-1830) Abstract This research describes the land rent policy during the Raffles era until Du Bus de Gisignies era in Karesidenan Cirebon in 1811-1830. This policy was first administered by Raffles in Karesidenan Cirebon on June 1813, and later renewed on February 1814. The governmet wished to abolish oppression and reached prosperity for farmers trough economic liberation. The system was based on an idea that the land in Java, including Karesidenan Cirebon, were no longer the Sultan Possesion, but had now become the possession of the (British) government. Thus, the people (farmers) had to rent land and pay taxes to (British) Government. The Hindia Belanda government then carried on the system with some adjustments. However, the tax in Karesidenan Cirebon was higher than the previous tax and didn’t consider the farmer’s condition if the harvest failed. This increased pressure was what led to the resistance of the people. The land rent ended when cultuur stelsel was administered in Karesidenan Cirebon in 1830. Key words : Land rent, Cirebon, The Impact of land rent, Resistance Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 2 1. Pendahuluan Sampai akhir abad ke-18, Cirebon merupakan wilayah Kesultanan, tetapi waktu Inggris berkuasa di Jawa, Cirebon diubah oleh Gubernur Letnan Thomas Stamford Raffles menjadi Karesidenan yang dipimpin seorang Residen. Raffles menghapus juga kekuasaan dan hak para Sultan. Pada masa Daendels, para Sultan masih diperkenankan untuk turut serta dalam urusan politik pemerintahan dengan jabatan sebagai sebagai kepala regentschap (kabupaten), sedangkan pada masa Raffles para sultan tidak lagi memiliki hak dalam urusan pemerintahan di Cirebon. Sejak masa Raffles inilah mulai dilaksanakan kebijakan sistem sewa tanah. Sewa tanah merupakan kebijakan yang mengatur tentang perpajakan dan kepemilikan tanah. Sebelum sistem sewa tanah ini diterapkan di Karesidenan Cirebon dan Jawa pada umumnya, terkait perpajakan atas sebidang tanah sudah ada peraturan yang mengatur sejak Cirebon berdiri. Di Kesultanan Cirebon sudah ada pajak tahunan atau dalam bahasa lokal disebut pajak Gantang, yakni pajak tahunan untuk hasil sawah yang ditetapkan 10-20 % dari hasil kotor padi. Kemudian ketika Raffles berkuasa, ia mengubah pajak tahunan tetap tersebut dari 10-20% menjadi 25 % hingga mencapai 50 % untuk sawah kelas I atau sawah kualitas bagus. Raffles mendasari kebijakan sewa tanah dari teori yang ia ciptakan, yang terkenal dengan sebutan “Teori Domein Raffles”. Menurut teori tersebut tanah yang mulanya menurut kepercayaan tradisional merupakan milik raja atau sultan beralih menjadi milik Pemerintah Inggris semenjak Inggris berkuasa. Kemudian ia mengaktualisasikan teorinya dalam sebuah kebijakan sewa tanah. Latar belakang, ia merombak sistem pajak yang telah berlaku di Jawa khususnya Cirebon adalah karena menurutnya sistem sewa tanah yang telah ada memberatkan petani, karena petani hanya mendapat bagian yang sedikit dari hasil produksi tanahnya. Raffles menganggap pemerintahan feodal saat itu depostik dan tidak adil. Terjadinya pemungutan pajak semena-mena yang dilakukan dan pengambilalihan tanah sewaktu-waktu oleh penguasa lokal. Melalui sistem sewa tanah ini Raffles ingin memberikan kesejahteraan bagi petani, tetapi tetap beriringan dengan keuntungan yang besar bagi finansial negara induk. Sistem sewa tanah terus dilanjutkan oleh Pemerintah Belanda dengan berbagai penyesuaian. Lalu apakah sistem ini memang berhasil memberikan kesejahteraan bagi para Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 3 petani—pihak yang menanggung pajak sesuai dengan tujuannya liberalisme sewa tanah yang dianut Raffles dan pemimpin-pemimpin Belanda —atau hanya menambah beban bagi para petani? 2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan penulisan deskriptif analitis dengan menggambarkan berjalannya kebijakan sewa tanah di Karesidenan Cirebon dan dampak dari kebijakan tersebut bagi para petani Cirebon. Metode yang digunakan adalah metode sejarah, yakni heuristik (pengumpulan data), kritik (verifikasi data), interpretasi, dan terakhir adalah historiografi. 3. Analisis dan Interpretasi Data Karesidenan Cirebon berdasarkan Arsip “Detailed Settlement 1815/1816” dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dibagi dalam 13 Sub Division, yaitu Raja Galuh, Panjalu, Ciamis, Talaga, Sindang Kasih, Belandong, Cikaso, Kuningan, Linggajati, Cirebon, Bengawan, Gebang, dan Losari.1 Setelah Rafles pergi, kekuasan di Hindia Belanda dipimpin oleh Komisaris Jendral. Pada saat itu wilah Karesidenan Cirebon diganti lagi. Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda tanggal 5 Januari 1819, Nomor 23, berisikan ketetapan tentang pembagian Karesidenan Cirebon menjadi beberapa regenschappen (kabupaten) dan lingkup wilayah masing-masing regenschappen tersebut.2 Secara garis besar terdiri dari Kabupaten Cirebon, Bengawan Wetan, Maja, Galuh, dan Kuningan. Pada 1823, Karesidenan Cirebon menerima kembali Indramayu dan Kandanghaur. Tiga tahun kemudian Kabupaten Bengawan Wetan dihapuskan.3 Untuk itu spasial yang menjadi penelitian penulis adalah Karesidenan Cirebon dengan meliputi Kabupaten Cirebon, Begawan Wetan, Maja, Galuh, Kuningan, Indramayu, dan Kandanghaur. Sementara periode dimulai dari 1811 karena merupakan awal dari 1 Berdasarkan Arsip “Cheribon Detailed Settlement 1815-1816” dari ANRI. 2 Staatblad: 5 Januari 1819, Nomor 23 3 Nugraha, Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Fakultas Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), hlm. 26. Sistem Sewa ..., Hurun'in Qurrotul'aini, FIB UI, 2016 4 pemerintahan Raffles dan berhenti pada masa 1830 karena semenjak tahun itu mulai diberlakukan tanam paksa. Sistem sewa tanah tak lepas dari unsur pajak dan kepemilikan tanah. Untuk itu perlu dibahas terlebih dahulu sistem perpajakan dan kepemilikan tanah sebelum era Raffles di Jawa, khsusunya Cirebon. Jan Breman dalam bukunya yang berjudul Keuntungan Kolonial Dari Kerja Paksa: Sistem Priangan Dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870, menjelaskan bahwa dalam tradisi Hindu-Jawa, raja adalah pusat atau perwujudan dari seluruh kekuasaan.4 Breman melambangkan raja sebagai sumber cahaya. Hubungan yang yang terjalin antara penguasa (raja) dan rakyatnya didasari oleh nilai-nilai mistis. Hal tersebut telah mengaburkan batas-batas teritorial karena kepatuhan rakyat bukan berdasar dari peraturan tulis sebagai bagian dari kekuasaan, tetapi dari nilai-nilai keyakinan yang tidak diwujudkan dalam hukum tertulis. Keutuhan suatu kerajaan beserta vasal-vasalnya tergantung dari kemampuan raja untuk mempertahankan kedudukannya sebagai pusat dari kekuasaan atau sumber cahaya. Ketika Islam berkembang di Jawa, kultus tersebut tidaklah hilang, tetapi hanya mengalami penyesuaian. Cirebon sebagai sebuah kerajaan Islam memiliki ciri khas pemerintahan yang sama dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Jawa. Pemimpin tertinggi disematkan gelar Panembahan Ratu atau Sultan. Sultan merupakan khalifatullah (wakil Tuhan di dunia) yang memiliki otoritas mutlak. 5 Dalam menjalankan pemerintahannya di wilayah kekuasaannya yang luas, raja atau sultan menggunakan jasa dari pejabat bangsawan. Misalnya untuk wilayah provinsi yang dipimpin oleh seorang bupati (pada masa VOC, VOC memanfaatkan Bupati untuk pengumpulan kontingent dan penyerahan wajib). Atas nama raja, para birokrat lokal memimpin wilayah-wilayah kekuasaan raja bahkan kekuasaannya hampir menyamai raja. Walaupun pejabat tersebut dipilih dari pengikut raja, tetapi mereka tidak dibayar oleh raja. Mereka menerima pengangkatannya dengan syarat mereka sendirilah yang mengurus pemerintahan dan eksploitasi dengan cara selain penyetoran pajak dan penyediaan tenaga 4 Jan Breman, Keuntungan Kolonial Dari Kerja Paksa: Sistem Priangan Dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870 (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 16. 5 Harto Juwono. 2011. “Persewaan Tanah di Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta 1818-1912: Penerapan Prinsip Konkordansi di Wilayah Projo Kejawen”, dalam disertasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Progam Studi Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia. hlm 39-41.