ISSN: 2303-2162

Volume 4, Nomor 4 Desember 2015

UNIVERSITAS ANDALAS

Jurnal Biologi Universitas Andalas

Diterbitkan Oleh : Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas, Padang – Sumatera Barat

UNIVERSITAS ANDALAS

Jurnal Biologi Universitas Andalas

Volume 4, Nomor 4 – Desember 2015

Diterbitkan Oleh : Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas, Padang – Sumatera Barat

DEWAN REDAKSI

Penanggung Jawab Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas Ketua Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas

Dewan Editor Dr. Zozy Aneloi Noli Dr. Henny Herwina

Editor Pelaksana Ahmad Taufiq, M.Si.

Alamat Redaksi

Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengeahuan Alam Universitas Andalas Kampus UNAND Limau Manis Padang Sumatera Barat 25163 Telp. 0751-777427, Fax. 0751-71343 Email redaksi: [email protected] Homepage : http://jbioua.fmipa.unand.ac.id/index.php/jbioua/index

Gambar Sampul :

Rusa unicolor dan Sus scrofa. Gambar sesuai dengan makalah pada halaman 230. (Foto oleh Fikriya Rahma, Laboratorium Taksonomi Hewan, Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Andalas).

Desain sampul oleh Ahmad Taufiq

©Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas, 2015

Kami Ucapkan Terimakasih dan Penghargaan yang Setinggi-tingginya Kepada Mitra Bestari (Reviewer) Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. U.A.) Vol. 4 No. 4, Desember 2015

Prof. Dr. Dahelmi Dra. Izmiarti, MS. Dr. Tesri Maideliza Dr. Dewi Imelda Roesma Dr. Anthoni Agustien Dr. Mairawita Dr. Djong Hon Tjong Dr. Henny Herwina Dr. Resti Rahayu Dr. Rizaldi Dr. Jabang Nurdin Nofrita, M.Si.

Kata Pengantar

Dewan Redaksi menyampaikan ucapan terimakasih kepada para penulis yang telah mempercayakan hasil penelitiannya untuk dipublikasikan di Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) Volume 4 Nomor 4, Desember 2015. Dewan Redaksi juga mengucapkan terimakasih kepada Mitra Bestari (Reviewer) yang telah memberikan kontribusi dalam menelaah hingga artikel pada nomor ini bisa diterbitkan.

Pada edisi ini, Redaksi menyajikan 7 artikel hasil penelitian yang berkaitan dengan Biologi secara umum. Artikel yang diterbitkan meliputi bidang; Fisiologi Tumbuhan, Ekologi Hewan dan Taksonomi Hewan. Untuk penerbitan berikutnya, Dewan Redaksi terus mengundang para peneliti bidang Biologi untuk mengirimkan artikel ilmiahnya.

Akhirnya, dengan kerendahan hati, Dewan Redaksi menyajikan Jurnal Biologi Universitas Andalas ini ke hadapan pembaca dengan harapan semoga bermanfaat. Jurnal ini dipublikasi secara online pada website http://jbioua.fmipa.unand.ac.id/index.php/jbioua/index serta versi cetak yang diterbitkan oleh Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas.

Dewan Redaksi DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

Halaman Induksi PLB Anggrek Vanda sumatrana Schltr. Liar Pada Media MS dengan Penambahan BAP dan NAA serta Ploidisasi dengan Kolkisin Hanifah Aini, Mansyurdin dan Suwirmen...... 208-215

Induksi kalus Artemisia vulgaris L. dengan Pemberian Beberapa Konsentrasi 2,4-Dichlorophenoxyacetic Acid (2,4-D) Nazhira Fadhilah, Zozy Aneloi Noli dan Suwirmen...... 216-222

Jenis - Jenis Mamalia Di Koto Baru Nagari Paninggahan Kabupaten Solok Sumatera Barat Fikriya Rahma, Wilson Novarino dan Rizaldi…………………………...... 223-232

Studi Populasi Serangga Sebagai Upaya Konservasi Biodiversitas Sungai Oyo, di Desa Wisata Bleberan Gunung Kidul Eka Sulistiyowati……………………………………………………...... 233-241

Intensitas Serangan Semut pada Tanaman Buah Naga (Hylocereus sp.) di Kota Pariaman, Sumatera Barat Halimah Tus Sakdiah, Henny Herwina dan Mairawita…………………...... 242-247

Semut Subfamili di Suaka Alam Maninjau Utara Selatan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat Susan Septriani, Henny Herwina dan Mairawita……………………...... 248-257

Agresi Provokasi dan Non-Provokasi pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis, Raffles 1821) Terhadap Pengunjung di Kawasan Gunung Meru 258-263 Ainul Mardiah, Rizaldi dan Wilson Novarino…………………………......

208 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 208-215 (ISSN : 2303-2162)

Induksi PLB Anggrek Vanda sumatrana Schltr. Liar Pada Media MS dengan Penambahan BAP dan NAA serta Ploidisasi dengan Kolkisin PLB Induction of Wild Vanda sumatrana Schltr. on MS Media Suplement with BAP and NAA and Ploidisation by Colchicine Treatment

Hanifah Aini1)*), Mansyurdin1), dan Suwirmen2)

1)Laboratorium Riset Genetika dan Biologi Sel, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Kampus UNAND Limau Manis, Padang, 25163 2)Laboratorium Riset Fisiologi Tumbuhan dan Kultur Jaringan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Kampus UNAND Limau Manis, Padang, 25163 *)Koresponden : [email protected]

Abstract

The study about PLB induction of wild Vanda sumatrana Schltr. on MS media suplement with BAP and NAA and ploidisation by colchicine treatment was conducted from December 2014 until November 2015 at the Laboratory of Genetics and Cell Biology and Laboratory of Plant Physiology and Tissue Culture, Biology department, Faculty of Mathematic and Natural Science, Andalas University, Padang. The study aimed to 1) knowing the best concentration of 6-Benzyl amino purin (BAP) and α-Naphtalene acetic acid (NAA) for Protocorm Like Bodies (PLB) induction from shoot tip of V. sumatrana, 2) knowing the PLB response of V. sumatrana to concentrations and soak period of colchicine and 3) find the effective concentrations and soak period of colchicine to induce tetraploid on PLB of V. sumatrana. Shoot tips from in-vitro cultured of V. sumatrana were subcultured on Murashinge and Skoog (MS) medium supplement with 3 mg/l BAP + 0,5 mg/l NAA, 3 mg/l BAP and 1,5 mg/l BAP. PLB of diploid V. sumatrana from the best treatment were soaked in 0.05% and 0.1% colchicine for 24 and 48 hours respectively in MS liquid medium, as control were set PLB without colchicine treatment. The results showed that MS medium supplemented with 1.5 mg/l BAP was the best formula to induce PLB. The highest percentage of survival rate of PLB and percentage of survived PLB regenerated shoot was obtained from 0.05% colchicine with 24 hours soak period treatment. The effective treatment to induce tetraploid on PLB of V. sumatrana Schltr. was obtained from 0.05% colchicine solution for 24 hours soak period.

Keywords: chromosome, colchicine, PLB, polyploidy, Vanda sumatrana

Pendahuluan Untuk domestifikasi anggrek ini, perlu dilakukan perbanyakan secara in Vanda sumatrana Schltr. merupakan salah vitro. Perbanyakan secara in vitro pada satu dari 20 jenis anggrek Vanda yang anggrek dapat dimulai dengan induksi terdapat di Indonesia (Purwanto dan pembentukan Protocorm Like Bodies Endang, 2009) dan termasuk endemik (PLB) dengan pemberian zat pengatur Pulau Sumatera (Comber, 2001). Jenis ini tumbuh seperti Auksin, Sitokinin serta memiliki potensi untuk dijadikan sebagai kombinasi antara keduanya pada media tanaman hias karena bentuk dan warnanya perlakuan. Zat pengatur tumbuh yang yang menarik, namun ukuran bunganya umum digunakan adalah 6-benzyl amino relatif kecil jika dibandingkan dengan jenis purine (BAP), N6-benzyladenine (BA), Vanda budidaya lain yang sudah umum Thidiazuron (TDZ), Kinetin (KN) dan dikomersialkan. Zeatin dari kelompok Sitokinin serta Indole-3-aceticacid (IAA), Indole-3-butyric 209 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 208-215 (ISSN : 2303-2162) acid (IBA), 2,4-dichlorophenoxyaceticacid menghasilkan tetraploid dengan konsentrasi (2,4-D) dan α-naphthalene acectic acid 0,05-0,1% selama 4 hari (Silva et al., (NAA) dari kelompok Auksin (Colli dan 2000), 0,05% kolkisin selama satu hari Kerbauy. 1993; Park et al., 2002; Park, pada PLB anggrek D. secundum (Bl.) Murthy dan Paek, 2003; Sheelavanthmath Lindl. (Atichart dan Bunnag, 2007), et al., 2005). Dari sekian banyak zat 0,075% kolkisin selama 14 hari pada PLB pengatur tumbuh yang digunakan, BAP anggrek D. scabrilingue L. (Sarathum et diketahui lebih efektif untuk pembentukan al., 2010), dan 0,02% kolkisin dengan lama PLB (Colli dan Kerbauy, 1993) serta perendaman 6 jam pada akar Dendrobium kombinasinya dengan NAA hybrida (Sulistianingsih, et al., 2004). (Sheelavanthmath et al., 2005), dengan Dalam upaya perbanyakan tanaman konsentrasi yang berbeda-beda pada setiap secara in vitro dan mendapatkan tanaman tanaman anggrek yaitu berkisar antara poliploid dilakukan penelitian ini yang 0,0005 mg/l hingga 8,0 mg/l. bertujuan untuk; 1) mengetahui konsentrasi Selain perbanyakan secara in vitro, BAP dan NAA terbaik untuk pembentukan upaya lain yang tak kalah pentingnya PLB dari ujung tunas V. sumatrana Schltr., adalah dengan meningkatkan ukuran 2) mengetahui respon PLB anggrek V. bunga. Menurut Charanasri (1984) cit. sumatrana Schltr. terhadap konsentrasi dan Nurmalinda et al. (2011), konsumen lebih lama perendaman dengan kolkisin dan 3) menyukai bunga yang berukuran besar mengetahui konsentrasi dan lama untuk kelompok anggrek Vanda. Upaya perendaman PLB dengan kolkisin yang peningkatan ukuran bunga pada anggrek efektif menginduksi tetraploid pada dapat dilakukan melalui induksi poliploidi anggrek V. sumatrana Schltr. (penggandaan kromosom). Atichart dan Bunnag (2007), melaporkan induksi Metoda Penelitian poliploidi pada tanaman anggrek dapat memperbesar ukuran bunganya Penelitian ini dilakukan dengan metoda dibandingkan dengan tanaman diploid. eksperimen yang dimulai dengan induksi Selanjutnya menurut Singh (2003), pada pembentukan PLB anggrek V. sumatrana umumnya tanaman autotetraploid secara in vitro, media perlakuan terdiri atas menghasilkan fenotip gigas yaitu lebih MS + 3 mg/l BAP + 0,5 mg/l NAA, MS + 3 besar dari diploidnya. Upaya ini telah mg/l BAP dan MS + 1,5 mg/l BAP. Induksi dilakukan pada anggrek jenis Cattleya poliploidi dilakukan dengan merendam intermedia (Silva et al., 2000), PLB pada media MS + 1 mg/L BAP tanpa Dendrobium scabrilingue L., (Sarathum et agar (media cair), yang mengandung al., 2010), dan Dendrobium strebloceras larutan kolkisin dengan konsentrasi 0,05% (Luvina, 2011). dan 0,1% yang sudah di sterilkan menggunakan srynge filter berdiameter Induksi poliploidi pada sel-sel 0 tanaman lebih banyak menggunakan 0,20 µm. PLB diinkubasi pada suhu 25 C kolkisin karena mudah larut dalam air dengan pengocokan 80 rpm, lama (Suryo, 1995). Misalnya pada anggrek C. perendaman 24 jam dan 48 jam untuk intermedia (Silva et al., 2000), masing-masing perlakuan (modifikasi Dendrobium secundum (Atichart dan Atichart dan Bunnag, 2007), dan inisiasi Bunnag, 2007) dan D. scabrilingue L. tunas PLB pada media MS + 1 mg/L BAP (Sarathum et al., 2010). Konsentrasi + 0,5 mg/L IBA (modifikasi dari Kabir et kolkisin untuk induksi poliploid bervariasi al., 2013). Sebagai kontrol digunakan PLB pada setiap tanaman dan setiap organ yang anggrek yang tidak diberi perlakuan diperlakukan, umumnya berkisar dari kolkisin. Sampel yang diinduksi dengan 0,02% sampai 0,1%. Lama waktu kolkisin berjumlah 25 PLB dengan masing- perlakuan kolkisin juga bervariasi yaitu masing perlakuan ada lima ulangan. dari 3 jam sampai 14 hari tergantung Pengamatan sitologi terhadap jumlah dengan cara perlakuan. Misalnya pada PLB kromosom dilakukan dengan pembuatan anggrek C. intermedia efektif 210 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 208-215 (ISSN : 2303-2162) preparat ujung akar menggunakan metoda Untuk persentase pembentukan PLB, squash (Singh, 2003). tingkat kelulusan hidup dan tingkat ploidi Parameter pengamatan meliputi dianalisa secara deskriptif, sementara persentase pembentukan PLB dan lama ukuran sel dan ukuran planlet dianalisis waktu pembentukan PLB, tingkat kelulusan dengan uji-t pada p= 5%. hidup (persentase kelulusan hidup PLB dan persentase PLB hidup yang membentuk Hasil dan Pembahasan tunas), tingkat ploidi (jumlah kromosom), ukuran sel (panjang sel, lebar sel dan Persentase pembentukan PLB diameter inti sel) pada ujung akar planlet, Persentase terbentuknya PLB tertinggi serta beberapa ukuran planlet (tinggi empat minggu setelah ingkubasi diperoleh planlet, diameter batang, jumlah daun dan dari media MS + 1,5 mg/l BAP dengan jumlah tunas) pada planlet anggrek V. persentase PLB yang terbentuk yaitu 87.5 sumatrana yang berumur 14 minggu % (Tabel 1). setelah subkultur pada media inisiasi tunas. Tabel 1. Persentase pembentukan PLB pada Media MS dengan penambahan BAP dan NAA yang berbeda empat minggu setelah ingkubasi Perlakuan Jumlah Tunas yang Pembentukan PLB Diperlakukan (%) MS + 3 mg/l BAP + 0,5 mg/l NAA 8 0 MS + 3 mg/l BAP 8 0 MS + 1,5 mg/l BAP 8 87,5

Pemberian BAP dalam konsentrasi Sitokinin (BAP) mempercepat serta rendah efektif menginduksi pembentukan meningkatkan pembentukan PLB pada PLB (Gambar 1) dibandingkan dengan anggrek Catasetum namun tidak berefek pemberian dalam konsentrasi tinggi serta pada pembentukan kalus, perlakuan terbaik penggabungan dengan NAA. Hal ini diperoleh pada BAP dengan konsentrasi 2 disebabkan karena BAP memiliki peranan mg/l setelah 30 hari ingkubasi dengan yang sangat besar dalam pembelahan sel pencahayaan yaitu sebesar 4.18 PLB per serta bekerja optimum pada konsentrasi eksplan dari eksplan ujung akar. Sementara yang rendah, sehingga dapat memacu pemberian Auksin exogen (IAA, IBA dan pembelahan sel dengan cepat pada eksplan 2,4 D) menurunkan pembentukan PLB pada yang diperlakukan. Colli dan Kerbauy anggrek tersebut namun meningkatkan (1993) melaporkan bahwa pemberian pembentukan kalus.

Gambar 1. PLB (bagian yang dilingkari) yang terbentuk pada media MS + 1,5 mg/l BAP 211 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 208-215 (ISSN : 2303-2162)

Sheelavanthmath et al. (2005) dua hingga enam PLB per eksplan pada melaporkan bahwa konsentrasi 0,001 mg/l anggrek Doritaenopsis. BA efektif menginduksi PLB pada anggrek Aerides crispum dari eksplan protocorm Tingkat kelulusan hidup dan daun, PLB yang terbentuk 49.1 PLB per eksplan, dengan waktu pembentukan 5 Persentase kelulusan hidup PLB anggrek V. – 6 minggu. Perlakuan tersebut merupakan sumatrana tertinggi setelah diperlakukan perlakuan optimum dibandingakan dengan dengan kolkisin yaitu pada perlakuan penggunaan Sitokinin lain seperti TDZ dan 0,05% kolkisin dengan lama perendaman Kinetin serta kiombinasinya dengan 24 jam (Tabel 2). Atichart dan Bunnag Auksin. Sementara Park, Murthy dan Paek (2007) melaporkan bahwa persentase (2003) melaporkan bahwa medium MS kelulusan hidup tertinggi mencapai 78% yang ditambahkan dengan 0,0023 mg/l pada PLB anggrek D. secundum yang TDZ menghasilkan persentase diperlakukan dengan 0,05% kolkisin selama pembentukan PLB tertinggi (47,2%) dari 24 jam. eksplan ujung akar dengan pembentukan Tabel 2. Persentase kelulusan hidup PLB dan persentase PLB membentuk tunas pada anggrek Vanda sumatrana Schltr. yang diperlakukan dengan kolkisin 14 minggu setelah subkultur pada media inisiasi tunas Perlakuan Jumlah PLB Kelulusan PLB yang Hidup PLB Membentuk (%) Tunas (%) Kontrol 5 100 100 0,05% kolkisin selama 24 jam 5 40 100 0,05% kolkisin selama 48 jam 5 0 0 0,1% kolkisin selama 24 jam 5 20 0 0,1% kolkisin selama 48 jam 5 0 0

Semakin tinggi konsentrasi kolkisin oleh Sarathum et al. (2010) bahwa dan semakin lama waktu perendaman pemberian kolkisin pada konsentrasi 0,1% dengan kolkisin terhadap PLB anggrek V. memberikan efek toksik yang sangat nyata sumatrana menyebabkan persentase pada PLB anggrek D. scabrilingue L., kelulusan hidupnya semakin rendah (Tabel konsentrasi tersebut menimbulkan kematian 2). Atichart dan Bunnag (2007) melaporkan PLB yang diperlakukan hingga lebih dari bahwa pemberian kolkisin pada konsentrasi 60%. Pemberian kolkisin pada konsentrasi 0,1% selama 24 jam menyebabkan yang tinggi dan waktu perendaman yang kematian PLB anggrek D. secundum lama memberikan efek letal terhadap PLB hingga 25%, 35% pada konsentrasi 0,15%, anggrek Dendrobium scabrilingue dengan dan 60% pada konsentrasi 0,2%. Sun et al. ciri terjadinya perubahan warna PLB dari (2009) melaporkan bahwa perlakuan hijau menjadi kuning atau kecoklatan. kolkisin 0,4% menurunkan tingkat Persentase PLB anggrek V. kelulusan hidup eksplan daun tanaman pear sumatrana yang hidup dan membentuk (Pyrus communis L.) hingga 11% pada tunas 14 minggu setelah subkultur pada perlakuan selama 24 jam, 19% pada media inisiasi tunas tertinggi diperoleh dari perlakuan selama 48 jam dan 37% pada perlakuan kontrol dan 0,05% kolkisin perlakuan selama 72 jam. dengan lama perendama 24 jam yaitu Konsentrasi kolkisin 0,1% berefek 100%. Pada perlakuan 0,1% kolkisin sangat toksik terhadap PLB anggrek V. dengan lama perendaman 24 jam, PLB sumatrana. Adanya PLB yang mengalami yang hidup tidak mampu beregenerasi keracunan ditandai dengan perubahan membentuk tunas (Tabel 2). Hasil yang warna PLB menjadi kecoklatan dan didapatkan menunjukkan bahwa semakin akhirnya mati. Hal serupa juga dilaporkan tinggi konsentrasi kolkisin dengan lama 212 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 208-215 (ISSN : 2303-2162) perlakuan yang sama menyebabkan menimbulkan dampak negatif pada persentase PLB membentuk tunas semakin tanaman, diantaranya kerusakan sel dan rendah. Hal ini diduga karena konsentrasi bahkan kematian tanaman. kolkisin yang terlalu tinggi menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu sehingga Tingkat ploidi tanaman tidak mampu beregenerasi dan berkembang ke tahap selanjutnya. Pada Hasil pengamatan mikroskopis terhadap PLB anggrek Dendrobium Serdang Beauty jumlah kromosom sel ujung akar planlet yang beregenerasi membentuk tunas, 16 anggrek V. sumatrana pada perlakuan minggu setelah kultur dalam media dengan kontrol (Gambar 2. A) menunjukkan bahwa penambahan kolkisin yaitu, 88% pada dari lima sel yang diamati jumlah konsentrasi kolkisin 0,0005%, 85% pada kromosom yang dihitung pada masing- 0,001%, 80% pada 0,0015%, 40% pada masing sel yaitu 38 dengan demikian dapat 0,002%, dan 45% pada 0,0025% (Khosravi dikatakan bahwa jumlah kromosom et al., 2009). Chaicharoen et al. (1995) tanaman diploid (2n) adalah 38. Kamemoto melaporkan bahwa peningkatan konsentrasi et al. (1964) melaporkan bahwa beberapa kolkisin dan waktu perendaman semakin spesies dari genus Vanda pada anggrek lama menyebabkan persentase kalus Morus spesies memiliki jumlah kromosom diploid alba var. S54 yang berkembang (2n) sebanyak 38, diantaranya Vanda. membentuk tunas semakin menurun. corulea Griff., V. corulescens Griff., V. Konsentrasi 0,025% kolkisin selama 3 hari denisoniana Bens. & Rchb. f. (green to kalus yang membentuk tunas sebanyak yellow), V. lautica Guill., V. teres Ldl., V. 44.20%, konsentrasi yang sama selama 5 (Vanda) parishii (Veitch & Rchb. f.) dan 7 hari turun menjadi 32.70% dan Schltr.. Spesies lain dari genus Vanda yang 32.00%. Demikian juga pada konsentrasi dilaporkan oleh Utami dan Hartati (2012), 0,05% selama 3 hari adalah 42.760%, yaitu V. tricolor juga memiliki jumlah konsentrasi yang sama selama 5 dan 7 hari kromosom 2n = 38. Sedangkan pada V. turun menjadi 35.40% dan 32.50%. denisoniana Bens. & Rchb. f. (brown) 10 Menurut Suryo (1995), perlakuan dengan tanaman jumlah kromosomnya 2n = 76 dan kolkisin pada konsentrasi terlalu tinggi atau empat tanaman 2n = 38 (Kamemoto et al., waktu perlakuan terlalu lama akan 1964).

A 10 µm B 10 µm

Gambar 2. Kromosom pada sel ujung akar planlet anggrek V. sumatrana Schltr.; A) Kontrol, B) Hasil perlakuan 0,05% kolkisin selama 24 jam. Perlakuan 0,05% kolkisin selama 24 yang efektif menginduksi tetraploid pada jam mampu menghasilkan tanaman anggrek PLB anggrek V. sumatrana secara in vitro. V. sumatrana tetraploid (Gambar 2. B). Jika Atichart dan Bunnag (2007) melaporkan dibandingkan dengan perlakuan lain maka bahwa 0,05% kolkisin dengan perendaman perlakuan tersebut merupakan perlakuan selama 24 jam merupakan perlakuan terbaik 213 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 208-215 (ISSN : 2303-2162) untuk menghasilkan tanaman tetraploid berdasarkan uji-t taraf kepercayaan 5% pada anggrek D. secundum. Silva et al. (Tabel 3). Hasil tersebut merupakan (2000) juga melaporkan bahwa konsentrasi indikasi terjadinya peningkatan ploidi pada 0,05% dan 0,1% kolkisin selama 4 hari tanaman. Hal serupa juga dilaporkan oleh merupakan perlakuan yang efektif Daryono (1998), pada tanaman melon menginduksi poliploid pada anggrek C. kultivar Sky Rocket yang diberi perlakuan intermedia. Sarathum et al. (2010) kolkisin dapat memperbesar luas melaporkan bahwa kolkisin 0,075% dengan permukaan sel ujung akar hingga 1,7 perlakuan 14 hari merupakan perlakuan sampai 3,4 kali ukuran sel kontrol, yang terbaik untuk menghasilkan tanaman diperoleh pada konsentrasi 0,1%; 0,5% dan tetraploid pada anggrek Dendrobium 1% dengan lama perendaman 6 jam, pada scabrilingue. konsentrasi 0,05%; 0,1%; 0,5% dan 1% dengan lama perendaman 12 jam. Ukuran sel dan ukuran planlet Setyowati et al. (2013) melaporkan bahwa konsentrasi 0,0001% kolkisin selama tiga Ukuran panjang sel, lebar sel dan diameter hari nyata meningkatkan panjang, lebar dan inti sel yang diamati pada sel ujung akar diameter inti sel ujung akar bawang wakegi tanaman hasil perlakuan 0,05% kolkisin kultivar lembah palu dibandingkan dengan selama 24 jam meningkat dibandingkan tanaman kontrol. dengan tanaman kontrol dan berbeda nyata Tabel 3. Ukuran sel ujung akar planlet anggrek Vanda sumatrana Schltr. kontrol dan hasil perlakuan 0,05% kolkisin selama 24 jam Ukuran Kontrol 0,05% kolkisin selama 24 jam Panjang Sel (µm) ± sd 20,5 ± 5.7 b 35.8 ± 6.8 a Lebar Sel (µm) ± sd 15.1 ± 4.8 b 26.1 ± 4.3 a Diameter Inti Sel (µm) ± sd 9.3 ± 3.8 b 16.0 ± 4.9 a Keterangan: Angka pada baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji-t pada p=5%

Planlet V. sumatrana hasil perlakuan 5% (Tabel 4). Meningkatnya jumlah daun kolkisin 0,05% selama 24 jam memiliki pada perlakuan tersebut merupakan indikasi jumlah daun lebih banyak dibandingkan morfologi terjadinya peningkatan ploidi tanaman kontrol dan berbeda nyata pada tanaman dan memperkuat hasil berdasarkan uji-t pada taraf kepercayaan pengamatan sitologi. Tabel 4. Ukuran planlet anggrek Vanda sumatrana Schltr. kontrol dan hasil perlakuan 0,05% kolkisin selama 24 jam 14 minggu setelah subkultur pada media inisiasi tunas Ukuran Kontrol 0,05% kolkisin selama 24 jam Tinggi Planlet (cm) ± sd 0.87 ±0,11a. 1.12 ±0,16 a Diameter Batang (cm) ± sd 0,21 ±0,03 a 0,18 ±0,04 a Jumlah Daun ± sd 2.2 ± 0,45b 5.0 ± 0 a Jumlah Tunas ± sd 1.4 ± 0,55 a 4.5 ± 3.54 a Keterangan: Angka pada baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji-t pada p=5% Ukuran tinggi tanaman, diameter belum mampu meningkatkan ukuran tinggi batang dan jumlah tunas antara tanaman tanaman, diameter batang, serta jumlah kontrol dengan hasil perlakuan 0,05% tunas tanaman anggrek V. sumatrana secara kolkisin dengan lama perendaman 24 jam nyata dibandingkan dengan tanaman tidak berbeda nyata berdasarkan uji-t pada kontrol. Hal ini diduga karena waktu taraf kepercayaan 5%. Hasil yang pengamatan yang relatif pendek, selain itu didapatkan ini menunjukkan bahwa juga diduga karena peningkatan jumlah peningkatan jumlah kromosom pada kromosom didalam inti sel memperlama tanaman hasil perlakuan dengan kolkisin fase interfase sehingga proses pembelahan 214 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 208-215 (ISSN : 2303-2162) sel juga berlangsung lambat. Sulistianingsih Jurusan Biologi Universitas Andalas atas et al. (2004) melaporkan bahwa tanaman fasilitas yang diberikan selama penelitian. anggrek Dendrobium Hibrida yang Kepada Dr. Tesri Maideliza, Prof. Dr. diperlakukan dengan kolkisin Syamsuardi, Dr. Dewi Imelda Roesma, Dr. memperlihatkan pengaruh nyata pada Tjong Hon Tjong, M. Idris, M.Si atas peningkatan diameter batang, ukuran bantuan dan saran-saran selama penelitian bunga, ketebalan sepal, ketebalan labellum ini berlangsung. dan jumlah kromosom kecuali ketebalan petal. Pada anggrek Dendrobium Daftar Pustaka scablrilingue yang dilaporkan oleh Sarathum et al. (2010) diketahui bahwa Atichart, P dan S. Bunnag. 2007. Polyploid tanaman tetraploid hasil perlakuan kolkisin induction in Dendrobium secundum memperlihatkan ukuran planlet menjadi (Bl.)Lindl. by in vitro techniques. lebih lebar, 2-3 kali lebih tebal, diameter Thai Journal of Agricultural Science., batang serta akar lebih meningkat 40(1-2): 91-95. dibanding tanaman kontrol setelah kultivasi Chaicharoen, S., A. Satrabhandhu dan M. selama delapan bulan. Khuatrachue. 1995. In vitro induction Kesimpulan of poliploidy in white mulberry (Morus alba var. s54) by colchicine Berdasarkan hasil penelitian induksi treatment. J. Sci. Soc. Thailand. 21: Protocorm Like Bodies (PLB) dan 229-242. ploidisasi pada anggrek Vanda sumatrana Schltr. liar dengan kolkisin secara in vitro Chulalaksananukul, W dan W. Chimnoi. didapatkan kesimpulan sebagai berikut : 1999. Polyploid Induction in Centella 1. Perlakuan terbaik untuk menginduksi asiatica (L.) Urban by Colchicine pembentukan PLB pada anggrek Vanda Treatment. J. Sci. Res. Chula. Univ. sumatrana Schltr. adalah media MS + 24 (2): 55-65. 1,5 mg/l BAP dengan PLB yang Colli, S dan G. B. Kerbauy. 1993. Direct terbentuk 87.5%, empat minggu setelah root tip conversion of Catasetum into subkultur. protocorm-like bodies. Effects of 2. Persentase kelulusan hidup PLB dan auxin and cytokinin. Plant Cell, persentase PLB hidup yang Tissue and Organ Culture. 33: 39-44. membentuk tunas tertinggi diperoleh dari perlakuan 0,05% kolisin selama 24 Comber, J. B. 2001. Orchids of Sumatra. jam. Untuk perlakuan kolkisin dengan The Royal Botanic Gardens. Kew. konsentrasi 0,05% selama 48 jam dan 0,1% selama 48 jam semua PLB yang Daryono, B. S. 1998. Pengaruh kolkisin diperlakukan mengalami kematian. terhadap pembentukan sel-sel melon 3. Konsentrasi kolkisin 0,05% dengan tetraploid. Buletin Agro Industri, (5): perendaman PLB selama 24 jam efektif 2 – 11. untuk menginduksi PLB anggrek V. sumatrana menjadi tanaman tetraploid. Kabir, M. F., M. S. Rahman., A. Jamal., M. Rahman dan M. Khalekuzzaman. Ucapan Terimakasih 2013. Multiple shoot regeneration in Dendrobium fimbriatum Hook An Terimakasih penulis ucapkan kepada Team ornamental orchid. The Journal of Manajemen Dikti yang telah memberi dana & Plant Sciences, 23(4): awal dalam penelitian ini melalui Program 1140-1145 Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKM-P), kepada kepala Lab. Riset Genetika dan Kamemoto, H., R. Sagarik dan S. Biologi Sel serta Kepala Lab. Riset Kasemsap. 1964. Chromosome Fisiologi Tumbuhan dan Kultur Jaringan numbers of sarcanthine orchid spesies 215 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 208-215 (ISSN : 2303-2162)

of Thailand. Nat. Hist. Bull. Siam wakegi (Allium x wakegi Araki). Ilmu Soc. 20: 235-241. Petanian. 16(1); 58-76.

Khosravi, A. R., M. A. Kadir., S. B. Sheelavanthmath, S. S., H. N. Murthy., B. Kadzemin., F. Q. Zaman dan A. E. P. Hema., E. J. Hahn dan K. Y. Paek. De Silva. 2009. RAPD analysis of 2005. High frequency of protocorm colchicine induced variation of the like bodies (PLBs) induction and Dendrobium Serdang beauty. African plant regeneration from protocorm Journal of Biotechnology, 8(8): 1455- and leaf sections of Aerides crispum. 1465. Scientia Horticulturae. 106: 395-401.

Luvina W.S, R. 2011. Induksi poliploidi Silva, P. A. K. X. d. M. e., S. C. Jacques pada anggrek Dendrobium dan M. H. B. Zanettini. 2000. strebloceras dengan kolkhisin. Induction and identification of Universitas Brawijaya. Malang polyploids in Cattleya intermedia (Abstr). LINDL. (Orchidaceae) by in vitro techniques. Ciencia Rural, Santa Nurmalinda., S. Kartikaningrum., N. Q. Maria, 30(1): 105-111. Hayati dan D. Widyastoety. 2011. Preferensi konsumen terhadap Singh, R. J. 2003. Plant cytogenetics. anggrek Phlaenopsis, Vanda dan Second Edition. CRC PRESS, Boca Dendrobium. J. Hort. 21(4): 372-384 Raton, London, New York, Washington, D.C. Park, S. Y., E. C. Yeung., D. Chakrabarty dan K. Y. Paek. 2002. An efficient Sulistianingsih, R., Z.A. Suyanto dan E. N. direct induction of protocorm-like Anggia. 2004. Peningkatan kualitas bodies from leaf subepidermal cells anggrek Dendrobium hibrida dengan of Doritaenopsis hybrid using thin- pemberian kolkisin. Ilmu Pertanian, section culture. Plant Cell Rep. 21: 11(1): 13-21. 46-51. Sun, Q., H. Sun., L. Li dan R. L. Bell. Park, S. Y., H. N. Murthy dan K. Y. Paek. 2009. In vitro colchicine-induced 2003. Protocorm-like body induction polyploid plantlet production and and subsequent plant regeneration regeneration from leaf explants of the from root tip cultures of diploid pear (Pyrus communis L.) Doritaenopsis. Plant Science. 164: cultivar, ‘Fertility’. Journal of 919-923. Horticultural Science & Biotechnology, 84(5): 548–552. Purwanto, A. W dan S. Endang. 2009. Pesona kecantikan anggrek vanda. Suryo. 1995. Sitogenetika. Gadjah Mada Kasinus. Yogyakarta University Press. Yogyakarta.

Sarathum, S., M. Hegele., S. Tantiviwat Utami, D. S dan S. Hartati. 2012. Perbaikan dan M. Nanakorn. 2010. Effect of genetik anggrek melalui persilangan concentration and duration of intergenerik dan perbanyakan secara colchicine treatment on polyploiy in vitro dalam mendukung induction in Dendrobium perkembangan anggrek di Indonesia. scabrilingue L. Europ.J.Hort.Sci. 75 Agrineca. 12(2). (3): 123-127.

Setyowati, M., E. Sulistyaningsih dan A. Purwanto. 2013. Induksi poliploidi pada kultur meristem batang bawang 216 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 216-222 (ISSN : 2303-2162)

Induksi kalus Artemisia vulgaris L. dengan Pemberian Beberapa Konsentrasi 2,4-Dichlorophenoxyacetic Acid (2,4-D)

Callus Induction of Artemisia vulgaris L. by Addition of Several Concentration of 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D)

Nazhira Fadhilah*) Zozy Aneloi Noli dan Suwirmen

Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Kultur Jaringan, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas *Koresponden: [email protected]

Abstract

The research about callus induction Artemisia vulgaris L. by giving several concentration 2,4- Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D), has been done from May to August 2015 in Plant Physiology Laboratory and Tissue Culture, Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Science, University of Andalas. The aim of this study was found the effective concentration of 2,4-D to induce callus of A. vulgaris. The research used Completely Randomized Design (CRD) with 7 treatments and 4 replications. The treatments were : without 2,4-D (control); 0.25 mg/L 2,4-D; 0.50 mg/L 2,4-D; 0.75 mg/L 2,4-D; 1.00 mg/L 2,4-D; 1.25 mg/L 2,4-D; 1.5 mg/L 2,4-D. The result showed that 0.25-1,5 mg/L 2,4-D were able induction callus of A. vulgaris, with compact until the friable texture, color of the resulting callus is yellowish green, brownish-green, yellow-brown, white yellowish and greenish white. 2,4-D 1.5 mg/L was the best concentration to increase fresh weight of callus.

Keywords : Artemisia vulgaris L.,Callus 2,4-D

Pendahuluan menjadi harapan besar dalam penanganan penyakit ini, senyawa tersebut adalah Malaria merupakan salah satu penyebab artemisinin yang terdapat pada tanaman utama tingginya angka kematian diberbagai Artemisia (Ebadi, 2007). negara. Diperkirakan 1,5 juta hingga 2,7 Saat ini Artemisia annua L. juta jiwa meninggal setiap tahunnya akibat merupakan tumbuhan yang satu-satunya penyakit malaria diseluruh dunia. Daerah mempunyai kadar artemisinin yang cukup subtropis dan tropis merupakan daerah yang tinggi di alam yaitu 0,1-1,8 % bahkan beresiko tinggi terhadap penyakit malaria. dengan menggunakan klon Cina dan Indonesia merupakan salah satu negara di Vietnam kandungannya dapat mencapai 2 kawasan tropis dan merupakan daerah % (Ferreira et al., 2005). Tanaman ini endemis untuk malaria serta memiliki merupakan tanaman subtropis yang telah resiko penyebaran yang cukup signifikan tersebar di Malaysia dan Vietnam (Ishak, 2005). (Kardinan, 2006). Meskipun demikian Selama ini penanganan terhadap terdapat jenis artemisia yang tersebar di penyakit malaria menggunakan pil kina, Indonesia, salah satunya Artemisia senyawa klorokuin dan sulfadoksin- vulgaris L. namun, sejauh ini belum banyak pirimetamin. Akan tetapi, telah terjadinya dilakukan penelitian. Padahal tanaman ini resistensi Plasmodium falciparum yaitu berpotensi mengandung berbagai senyawa protozoa penyebab penyakit malaria metabolit sekunder salah satunya terhadap senyawa tersebut (Harijanto, artemisinin (Kasmiyati, Herawati dan 2011). Ditemukannya alternatif senyawa Kristiana, 2008). baru sebagai anti malaria yang lebih efektif 217 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 216-222 (ISSN : 2303-2162)

Masalah yang dihadapi dalam dan Indrianto (2012) menggunakan pembudidayaan tanaman obat ini adalah biji konsentrasi 2 mg/L 2,4-D efektif dalam Artemisia mempunyai viabilitas yang induksi kalus pada Daucus carota. sangat rendah dan tidak mempunyai masa Penelitian ini dilakukan dengan tujuan dormansi. Selain itu tanaman ini hanya menginduksi kalus A. vulgaris dengan diperbanyak secara konvensional melalui beberapa konsentrasi 2,4-D. stek anakan atau secara generatif melalui biji (Kardinan, 2006). Hal ini berdampak Metode Penelitian terhadap bibit yang tidak seragam, variasi bibit yang dihasilkan dengan biji juga sangat mempengaruhi kandungan zat Penelitian ini menggunakan metode bioaktif yang dihasilkan (Ermayanti et al., eksperimen dengan Rancangan Acak 2002). Lengkap (RAL) 7 perlakuan yaitu : kontrol Perbanyakan A. vulgaris dapat (tanpa 2,4-D), 2,4-D 0,25 mg/L, 2,4-D dilakukan melalui teknik kultur jaringan. 0,50 mg/L, 2,4-D 0,75 mg/L, 2,4-D 1,00 Dengan teknik kultur jaringan ini, dapat mg/L, 2,4-D 1,25 mg/L, 2,4-D 1,50 mg/L. dihasilkan bibit bermutu, seragam dan Masing-masing perlakuan dilakukan bebas penyakit dalam jumlah banyak dan pengulangan sebanyak 4 ulangan. Total unit waktu yang singkat (Wulansari et al., percobaan adalah 7 x 4 = 28 2013). Beberapa cara dalam teknik kultur Alat dan Bahan jaringan adalah dengan, kultur sel, kultur protoplas, kultur organ dan embriogenesis somatik dan kultur kalus (George dan Alat dan bahan yang digunakan dalam Sherrington, 1984). penelitian adalah alat dan bahan yang Kalus merupakan jaringan yang standar digunakan dalam kultur jaringan. belum terdiferensiasi dan terbentuk ketika Eksplan yang digunakan adalah bagian sel tanaman mengalami pembelahan yang pucuk dari daun A. vulgaris. tidak teratur, sebagai akibat dari perlukaan pada permukaan eksplan dan pengaruh Cara Kerja perlakuan zat pengatur tumbuh yang Cara kerja terdiri dari beberapa tahap yaitu diberikan pada media kultur (Zulkarnain, sterilisasi alat, pembuatan larutan stok, 2009). Dalam budidaya kultur jaringan, pembuatan media tanam, persiapan eksplan, menginduksi kalus merupakan salah satu penanaman eksplan, pengamatan, dan langkah penting karena, kalus mempunyai analisis data pertumbuhan yang abnormal dan berpotensi untuk berkembang menjadi akar, tunas dan Pengamatan embrioid lebih cepat, yang nantinya akan dapat membentuk plantlet (Suryowinoto, Pengamatan dilakukan setelah 12 minggu 1996). masa tanam meliputi : Menurut Sumardi (1996) beberapa a. Persentase hidup eksplan faktor diketahui mampu mempengaruhi Pengamatan dilakukan setelah eksplan dalam induksi kalus seperti ketersediaan berumur 12 minggu setelah tanam (mst) energi, tempat eksplan tumbuh dan dengan kriteria kalus yang tumbuh dan kehadiran zat pengatur tumbuh terutama tidak mati pada masing-masing auksin golongan 2,4-D. Penelitian perlakuan, dihitung dengan mengenai induksi kalus sebelumnya telah menggunakan persamaan : dilakukan oleh Bustami (2011) konsentrasi efektif untuk induksi kalus kacang tanah Persentase hidup dengan menggunakan 1,5 mg/L 2,4-D, = Jumlah eksplan yang hidup x 100 % sedangkan Rahayu, Solihatun dan Jumlah ulangan Anggarwulan (2003), dengan menggunakan konsentrasi 0,5 mg/L 2,4-D efektif dalam induksi kalus Acalipta incica, Rusdianto 218 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 216-222 (ISSN : 2303-2162) b. Tekstur dan warna kalus Tabel 1. Persentase hidup eksplan daun A. Pengamatan tekstur kalus dilakukan vulgaris pada medium MS dengan secara visual diakhir pengamatan 12 mst pemberian 2,4-D pada 12 minggu baik kalus embriogenik maupun kalus setelah tanam non embriogenik. Warna kalus diamati secara visual meliputi hijau, hijau Persentase kekuningan, coklat dan putih. hidup Perlakuan c. Berat basah kalus eksplan Berat basah kalus ditimbang dengan (%) timbangan analitik pada akhir A. Kontrol (tanpa 2,4-D) 0 pengamatan 12 mst. B. 0,25 mg/L 2,4-D 100 Analisis data C. 0,50 mg/L 2,4-D 100 D. 0,75 mg/L 2,4-D 100 Analisis data secara deskriptif meliputi E. 1,00 mg/L 2,4-D 100 persentase hidup eksplan tekstur dan warna F. 1,25 mg/L 2,4-D 100 kalus. Sedangkan data kuantitatif berupa G.1,50 mg/L 2,4-D 100 berat basah kalus dianalisis dengan menggunakan analisis ragam berdasarkan Lizawati, Neliyati Dan Desfira uji F taraf 5% dan 1% dan apabila terdapat (2012) menyatakan konsentrasi zat pengatur beda nyata dilanjutkan dengan uji DNMRT tumbuh 2,4-D yang diberikan ke dalam taraf 5% dan 1%. media kultur tersebut mampu menginduksi Hasil dan Pembahasan sel-sel yang berpotensi untuk melakukan pembelahan secara terus menerus. Tanpa Dari penelitian yang telah dilakukan pemberian zat pengatur tumbuh 2,4-D mengenai induksi kalus A. vulgaris dengan eksplan tidak memperlihatkan respons pemberian beberapa konsentrasi 2,4- hidup, ditandai dengan tidak adanya bagian Dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) sel yang berkembang dan eksplan berubah didapatkan hasil sebagai berikut. warna menjadi kehitaman. Pierik (1987) menjelaskan mekanisme kerja 2,4-D dalam Persentase hidup eksplan pembentukan kalus yaitu disebabkan adanya rangsangan luka, rangsangan Persentase hidup eksplan daun A. vulgaris tersebut menyebabkan kesetimbangan pada pada medium MS dengan pemberian 2,4-D dinding sel berubah arah, sebagian diamati pada 12 minggu setalah tanam protoplas mengalir keluar sehingga mulai disajikan pada Tabel 1. terbentuk kalus yang berisi sel-sel aktif Tabel 1 menunjukan bahwa eksplan mengadakan pembelahan seperti jaringan berupa daun A. vulgaris dapat hidup pada penutup luka. medium MS yang diberikan zat pengatur Menurut Collin dan Edward (1998), tumbuh berupa 2,4-D didalamnya, karena level zat pengatur tumbuh merupakan pemberian zat pengatur tumbuh dianggap faktor yang sangat menentukan cukup untuk pertumbuhan eksplan. keberhasilan hidup eksplan berupa Pengamatan terhadap eksplan A. vulgaris pertumbuhan kalus, suspensi sel dan sampai 12 minggu setalah tanam diferensiasi. Selain itu, keberhasilan menunjukan bahwa pemberian 2,4-D eksplan untuk dapat hidup dalam kegiatan memberikan pengaruh berbeda kultur jaringan juga dipengaruhi oleh jenis, dibandingkan tanpa pemberian 2,4-D. umur dan ukuran eksplan yang digunakan. Dengan pemberian 2,4-D respons hidup A. Eksplan yang digunakan adalah bagian vulgaris mencapai 100 %, sedangkan pucuk dari A. vulgaris yang merupakan perlakuan kontrol yang tanpa diberi 2,4-D salah satu bagian meristematik, menunjukan tidak adanya respons hidup. Krisnamoorthy (1981) menyatakan daerah meristematik yang mengandung hormon endogen berupa auksin, giberelin, dan 219 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 216-222 (ISSN : 2303-2162) sitokinin yang tinggi, dapat digunakan Pengamatan terhadap tekstur dan warna sebagai sumber eksplan karena sel nya kalus eksplan daun A. vulgaris pada masih aktif membelah. medium MS dengan pemberian 2,4-D diamati pada 12 minggu setelah tanam. Tekstur dan warna kalus Tekstur dan warna kalus disajikan pada tabel berikut:

Tabel 2. Tekstur dan warna kalus eksplan daun A. vulgaris pada medium MS dengan pemberian 2,4-D pada 12 minggu setelah tanam

Perlakuan Tekstur kalus Warna kalus A. Kontrol (tanpa 2,4-D) - - B. 0,25 mg/L2,4-D Kompak Hijau kekuningan C. 0,50 mg/L2,4-D Kompak Hijau kekuningan dan hijau kecoklatan D. 0,75 mg/L2,4-D Remah Hijau kekuningan dan hijau kecoklatan E. 1,00 mg/L2,4-D Remah Hijau kekuningan dan putih kekuningan F. 1,25 mg/L2,4-D Remah Kuning kecoklatan, putih kekuningan, dan putih kehijauan G.1,50 mg/L2,4-D Remah Hijau kekuningan, putih kekuningan, putih kehijauan,

Berdasarkan Tabel 2, diperoleh embriogenik. Menurut Fatmawati (2008) tekstur dan warna kalus yang cukup kalus yang sebagian besar bertekstur remah bervariasi. Zat pengatur tumbuh dapat pada eksplan daun A. annua disebabkan mempengaruhi kualitas dan kuantitas yang oleh penggunaan 2,4-D dalam media kultur. terbentuk untuk menginduksi embriogenesis somatik daun A. vulgaris. Hasil pengamatan menunjukan semakin tinggi konsentrasi 2,4-D yang diberikan semakin cerah warna kalus yang terbentuk dan kalus bertekstur remah (friabel). Hal ini diduga oleh pemberian konsentrasi 2,4-D mempengaruhi tekstur kalus, dimana auksin ini akan merangsang sel-sel untuk terus (a) (b) berkembang, akibatnya semakin tinggi pemberian 2,4-D semakin cepat Gambar 1. Tekstur dan warna kalus A. kemampuan sel untuk membelah vulgaris pada 12 minggu membentuk kalus yang remah. Rahayu, setelah tanam : (a) kalus Solichatun dan Anggarwulan (2003) dengan tekstur remah warna menyatakan peningkatan konsentrasi auksin putih kekuningan pada akan meningkatkan friabilitas kalus. Hal ini perlakuan E (1,00 mg/L 2,4-D) sejalan dengan penelitian Yelnititis dan (b) kalus dengan tekstur remah Bermawie (2000) yang mendapatkan hasil dan warna hijau pertumbuhan kalus yang diberikan zat kekuningan pada perlakuan C pengatur tumbuh 2,4-D akan menghasilkan (0,50 mg/L 2,4-D). kalus yang bertekstur kompak sampai bertekstur remah (friabel) dan subkultur Menurut Fatmawati, Nurhidayati kalus kedalam media tumbuh yang sama dan Jadid (2008), warna dan tekstur kalus mendorong terbentuknya kalus merupakan indikasi dimulainya respons organogenesis, karena sebagai akibat 220 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 216-222 (ISSN : 2303-2162) perlukaan pada permukaan eksplan, massa 2,4-D, jika diberikan konsentrasi 2,4-D sel mengalami proliferasi menjadi kalus rata-rata berat basah kalus semakin tinggi. yang kemudian nantinya membentuk Perlakuan terbaik untuk jaringan parenkim atau jaringan dasar yang peningkatan berat basah kalus terdapat pada dapat bersifat meristematik dan konsentrasi 1,25 mg/L 2,4-D dan 1,50 berdiferensiasi ke bentuk yang lebih mg/L 2,4-D, hal ini disebabkan karena spesifik. aktifitas 2,4-D yang mempengaruhi Warna putih hingga kekuningan pertumbuhan eskplan. Wattimena (1988) merupakan salah satu sebagai ciri kalus menyatakan mekanisme kerja auksin salah yang dapat berkembang menjadi satunya adalah pemanjangan sel. Auksin embriogenik (Yelnititis, 2012). Warna hijau mendorong elongasi sel pada koleoptil dan pada kalus mengindikasikan keberadaan ruas-ruas tanaman. Elongasi sel terutama klorofil dalam jaringan. Kalus bewarna terjadi pada arah vertikal dan diikuti dengan kekuningan, putih kekuningan serta putih pembesaran sel dan peningkatan bobot dan bertekstur friabel merupakan ciri kalus basah. yang membentuk embrio somatik (Riyadi Ajijah et al. (2010), menyatakan dan Tirtoboma, 2004). bobot berat basah eksplan digunakan untuk mengukur petumbuhan tanaman baik secara Berat basah kalus in vitro maupun in vivo. Peningkatan bobot basah ini sejalan dengan penelitian Rahayu, Hasil perhitungan rata-rata berat basah Solichatun dan Anggarwulan (2003), yang kalus eksplan daun A. vulgaris pada mendapatkan hasil yaitu penambahan zat medium MS dengan pemberian 2,4-D pengatur tumbuh 2,4-D dapat meningkatkan diamati pada 12 minggu setelah tanam. rerata berat basah kalus yang berbeda nyata Rata-rata berat basah kalus disajikan pada dari tanaman Acalypha indica. Dewita Tabel 3. (2015) juga melaporkan pengaruh pemberian konsentrasi 2,4-D terhadap Tabel 3. Berat basah kalus eksplan daun A. pertambahan rata-rata berat segar kalus A. vulgaris pada medium MS dengan vulgaris. Semakin tinggi penambahan pemberian 2,4-D pada 12 minggu konsentrasi 2,4-D, maka akan semakin setelah tanam tinggi peningkatan rata-rata berat segar kalus. Peningkatan tersebut dipicu oleh Rata-rata daya aktifitas 2,4-D yang sangat tinggi, Perlakuan berat basah sehingga jaringan menjadi stres dan akan menyebakan terjadi pembelahan sel secara (g) terus-menerus di dalam jaringan yang akhirnya berpengaruh terhadap ukuran A. Kontrol (tanpa 2,4-D) 0,00 a kalus. B. 0,25 mg/L 2,4-D 0,17 b Santoso dan Nursandi (2004) C. 0,50 mg/L 2,4-D 0,31 c menyatakan arah perkembangan kultur D. 0,75 mg/L 2,4-D 0,37 c ditentukan oleh interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diproduksi E. 1,00 mg/L 2,4-D 0,50 d oleh sel tanaman secara endogen, di dalam F. 1,25 mg/L 2,4-D 0,57 de eksplan itu sendiri sudah ada zat pengatur G.1,50 mg/L 2,4-D 0,70 e tumbuh endogen, akan tetapi dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman Berdasarkan hasil analisis data pada Tabel secara in vitro zat pengatur tumbuh eksogen 3, penambahan berbagai konsentrasi 2,4-D masih dibutuhkan. memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap peningkatan rata-rata berat basah kalus A. vulgaris, perlakuan tanpa 2,4-D memberikan hasil yang berbeda dengan perlakuan yang ditambahkan konsentrasi 221 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 216-222 (ISSN : 2303-2162)

Kesimpulan Ermayanti, T. M., Y. Andri., D. R. Wulandari dan E. Al Hafiidz. 2002 Dari penelitian yang telah dilakukan Mikropropagasi Artemisia cina dan mengenai induksi kalus daun A. vulgaris Artemisia annua. Seminar Nasional dengan pemberian beberapa konsentrasi Pemanfaatan dan Pelestarian 2,4-D dapat disimpulkan bahwa pemberian Plasma Nutfah. Bogor 3-4 konsentrasi 2,4-D 0,25-1,5 mg/L mampu September 2002. menginduksi kalus A.vulgaris, dengan Fatmawati, A. 2008. Kajian tekstur kompak sampai dengan remah, dan Konsentrasi BAP dan 2,4-D warna kalus yang dihasilkan adalah hijau terhadap Induksi Kalus kekuningan, hijau kecoklatan, kuning kecoklatan, putih kekuningan dan putih Tanaman Artemisia annua L. kehijauan. Konsentrasi 1,5 mg/L 2,4-D secara In Vitro. Skripsi. UNS. efektif dalam peningkatan bobot basah Surakarta. kalus A. vulgaris. Fatmawati, T. A., T. Nurhidayati dan N. Jadid. 2008. Pengaruh Ucapan Terima Kasih Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh IAA dan BAP pada Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Zozy Aneloi Noli, Suwirmen, MS, Dr. Kultur Jaringan Tembakau Anthoni Agustien, Zuhri Syam, MP, Dr. Nicotiana Tabacum L. Var. Tesri Maideliza yang telah memberi banyak Prancak 95. Institut Teknologi masukan dan saran dalam penulisan artikel Sepuluh November. Surabaya ini. Ferreira, J. F. S., J. C. Laughlin., N. Delabays and P. M. de Magalhaes. Daftar Pustaka 2005. Cultivation and genetics of Artemisia annua L. for Increase Ajijah N., I. Darwati., Yudiwanti dan Production of The Antimalarial Roostika. 2010. Pengaruh Suhu Artemisinin. Plant Genetic Inkubasi Terhadap Pertumbuhan Resources III (2) : 206-229. dan Perkembangan Embrio Somatik George, E. F. dan Sherrington. 1984. Plant Purwoceng (Pimpinella Propagation by Tissue Culture. pruatjan Molk.) Jurnal LITRI 16 Eastern Press. Reading Berks. (20) : 56-6. Harijanto, P.N. 2011. ACT Sebagai Obat Bustami, U. M. 2011. Penggunaan 2,4-D Pilihan Malaria Ringan di untuk Iinduksi Kalus Kacang Indonesia. Hasil Penelitian SMF Tanah. Media Litbang Sulteng IV Ilmu Penyakit Dalam RSU (2) : 137-141 Bethesda Tomohon, Sulawesi Collin, H.A dan S. Edwad. 1988. Plant Cell Utara. CDK 183. 38 (2). Culture. BIOS Scientific Publisher. Ishak. 2005. Analisis Bibliometrika United Kingdom. Terhadap Artikel Penyakit Malaria Dewita, R. 2015. Respons Eksplan Daun di Indonesia tahun 1970-April 2004 Artemisia Vulgaris Menggunakan Database Online L.Terhadap Pemberian Beberapa Pubmed. Jurnal Studi Konsentrasi Benzyl Amino Perpustakaan dan Informasi 1 (2) Purine (BAP) Dan2,4- Kardinan, A. 2006. Tanaman Artemisia Dichlorophenoxyacetic Acid (2,4- Penakluk Penyakit Malaria. D). Skripsi Sarjana Biologi. http://www.kompas.com/kompascet Universitas Andalas. Padang. ak/0604/20/ilpeng/2592372.htm.Di Ebadi, N. 2007. Pharmacodynamic Basic of akses tanggal 22 Januari 2015. Herbal Medicine. CRC Press. Kasmiyati., S. Herawati dan M. M. London New York Washington Kristiana. 2008. Pertumbuhan D.C.726 p. Artemisia vulgaris Secara Kultur 222 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 216-222 (ISSN : 2303-2162)

Pucuk pada Medium dengan Pusat Antar Universitas Kandungan Mioinositol dan Bioteknologi IPB. Bogor. Ekstrak Khamir. Biota Vol. 13 (2). Wulansari, A., A.F Martin., D.E Rantau dan Krishnamoorthy. 1981. Plant Growth T.M Ermayanti. 2013. Perbanyakan Subtances. Aplications and Beberapa Aksesi Talas (Colocasia Agriculture. MC Graw esculenta L.) Diploid Secara Kultur Hill Books CO. New York Jaringan dan Konservasinya Lizawati, Neliyati, R. Desfira. 2012. Mendukung Diversifikasi Pangan. Induksi Kalus Eksplan Daun Seminar Nasional Riset Pangan, Durian (Durio zibethinus Murr cv Obat-obatan dan Lingkungan Selat Jambi) pada beberapa Kesehatan. LIPI. kombinasi 2,4-D dan BAP. Yelnititis. 2012. Pembentukan Kalus 2012. ISSN : 2302-6472 1 (1) Remah dari Eksplan Daun Pierik, R.L.M., 1987. In Vitro Culture of Ramin (Gonystylus bancanus Higher Plants. Martinus Nijhaf (Miq) Kurz.). Jurnal Publisher, Dorroocht. The Pemuliaan Tanaman Hutan. 6 : Netherland. 181 194. Rahayu, B,. Solichatun, dan E. – Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Anggarwulan. 2003. Pengaruh 2,4- Tanaman. Bumi Aksara. Jakarta D Terhadap Pembentukan dan PertumbuhanKalus Serta Kandungan Flaponoid Kultur Kalus Acalipta Indica L. Biofarmasi 1(1) : 1-6. Riyadi, I dan Tirtoboma. 2004. Pengaruh 2,4-D Terhadap Induksi Embrio Somatik Kopi Arabica. Buletin Plasma Nutfah 10 (2) : 82-89. Rusdianto dan Indrianto. 2012. Induksi Kalus Embriogenik pada Wortel (Daucus carota) dengan menggunakan 2,4-D. Jurnal Bionature 13 (2) : 136-140 Santoso dan F. Nursandi. 2004. Kultur Jaringan Tanaman. Universitas Muhammadiyah Malang Press. Malang. Suryowinoto, M., 1996. Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. UGM. Yogyakarta 252 h. Sumardi. 1996. Penggunaan Arang Aktif pada Beberapa Komposisi NAA dan BAP dalam Kultur Durian (Durio Zibethinus Murr.) secara In Vitro. Tesis S2. Program Pascasarjana Universitas Andalas. Padang. Wattimena, G.A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Pada Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan 223 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 216-222 (ISSN : 2303-2162)

Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 223-232 (ISSN : 2303-2162)

Jenis - Jenis Mamalia Di Koto Baru Nagari Paninggahan Kabupaten Solok Sumatera Barat

An Inventory of Mammalian Species from Koto Baru Paninggahan Solok West Sumatra

Fikriya Rahma1)*), Wilson Novarino1), Rizaldi2)

1) Laboratorium Taksonomi Hewan, Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Andalas, Limau Manis Padang, 25163 2) Laboratorium Ekologi Hewan, Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Andalas, Limau Manis Padang, 25163 *) Koresponden : [email protected]

Abstract

An inventory of mammalian species from Koto Baru Paninggahan Solok West Sumatera was conducted from August to October and continued from November to December 2015. The were identified through photographes from camera traps, personal encounters as well as indirect observations including foot prints and interviews to local inhabitants. This study has documented 15 species of mammals which belong to 11 families and 6 orders. From a total 511 identified photograps, it was known that pig-tailed macaque (Macaca nemestrina) was the most frequently photographed (212 images) and sambar deer (Rusa unicolor) was the least frequently photographed (3 images).

Keywords: camera traps, Koto Baru Paninggahan, mammalian species

Pendahuluan kelompok hewan yang sensitif terhadap perubahan habitat seperti akibat perubahan Indonesia memiliki kekayaan fauna sangat penggunaan lahan dan kebakaran hutan serta besar, kekayaan fauna diantaranya adalah akibat perubahan iklim. Keberadaan Mamalia 1.531 spesies burung, 511 spesies Reptilia, besar memiliki peranan penting sebagai 515 spesies Mamalia. 270 spesies Amphibia indikator kondisi ekosistem (Lamberck, (Departemen Kehutanan, 2005). Salah satu 1997). Peranan mamalia antara lain sebagai dari kekayaan fauna Indonesia yaitu Mamalia pemencar biji, pengendali hama secara yang mendiami pulau Sumatera sebanyak 196 biologi, penyerbuk dan penyubur tanah jenis (Anwar, Damanik, Hisyam dan Whitten, (Suyanto, 2002). Selain itu, mamalia 1984). Berdasarkan penelitian yang telah memiliki peranan yang cukup besar terutama dilakukan oleh Junaidi (2012) diperoleh hasil dari ordo Karnivora sebagai predator 10 jenis Mamalia yang digolongkan ke dalam (Primack et al., 1998). 10 famili dan 6 ordo. Selain itu, pada Upaya melakukan pemantauan hadirnya penelitian yang dilakukan oleh Hariadi binatang terutama dari kelompok mamalia di (2012) diperoleh hasil 23 jenis mamalia yang hutan sangat penting dilakukan, berguna tergolong ke dalam 15 famili dan 7 ordo. untuk melihat binatang apa yang beradaptasi Keanekaragaman mamalia akhir-akhir terhadap aktivitas manusia (Novarino et al., ini terancam mengalami kehilangan dan 2007). kerusakan habitat. Mamalia besar termasuk

224

Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 223-232 (ISSN : 2303-2162)

Nagari Paninggahan merupakan jejak kaki, suara, kotoran serta bekas kawasan yang representatif untuk melakukan makanan satwa. Wawancara juga dilakukan upaya pemantauan. Keadaan alam Nagari terhadap masyarakat setempat untuk Paninggahan sangat kaya dengan topografi mengetahui keberadaan spesies yang sulit berupa dataran rendah dan berbukit-bukit diketahui melalui metode diatas. (Leimona et al., 2013). Nagari Paninggahan memiliki kearifan Lokasi penelitian lokal dalam menjaga hutan. Masyarakat membagi hutan yaitu Rimbo Tuo dan Palak. Penelitian dilakukan sejak bulan Agustus Rimbo Tuo merupakan hutan larangan sampai bulan Oktober 2015 dan dilanjutkan berfungsi sebagai kawasan konservasi untuk pada November sampai Desember 2015. keberlangsungan hidup masyarakat terutama Lokasi penelitian terletak di Jorong Koto sumber air dan keanekaragaman hayati yang Baru Nagari Paninggahan Kecamatan ada. Sementara Palak dipergunakan Junjung Sirih, Kabupaten Solok, Propinsi masyarakat untuk kepentingan ekonomi dan Sumatera Barat. Penelitian ini dilakukan di kebutuhan keluarga, namun dalam Rimbo Tuo dan Palak. pemanfaatannya tetap secara wajar dan tidak Paninggahan mempunyai hutan seluas mengekploitasi secara berlebihan. Nilai-nilai 3848 ha atau 37,54 % dari luas nagari. kearifan lokal dipahami masyarakat dan Kawasan Hutan merupakan wilayah yang berimplikasi terhadap kelestarian hutan serta paling luas di Nagari Paninggahan. Hutan keanekaragaman jenis di Nagari Paninggahan Nagari Paninggahan masih berada dalam yang relatif tinggi (Gadis, 2013). kondisi alami (Gadis, 2013). Berdasarkan uraian mengenai kategori Analisis Data hutan yang terbagi menjadi Rimbo Tuo dan Palak dengan sistem penggunaan lahan yang Jenis–jenis mamalia ditampilkan dalam tetap mempertahankan keanekaragaman serta bentuk tabel dan dideskripsikan berdasarkan adanya peranan penting mamalia besar foto serta lokasi ditemukan hewan mamalia, terhadap kondisi ekosistem hutan, maka kemudian didukung dengan deskripsi jenis dilakukan penelitian keanekaragaman pada Buku Panduan Lapangan Mamalia di mamalia di daerah Paninggahan. Kalimantan, Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam (Payne et al., 2000) dan Mammal Metode Penelitian of the World 4th Edition, Field Guide to The Mammals of Borneo (Payne dan Francis, Inventarisasi hewan mamalia terutama 1985). dilakukan melalui pemasangan perangkap kamera (camera trap). Kamera diletakkan pada jalur yang dilewati hewan mamalia (Hariadi 2012; Junaidi, 2012). Perangkap kamera dipasang pada lokasi yang berbeda yaitu di jalur masuk hutan, dekat ladang masyarakat, lembah dan di pinggang bukit. Disamping itu dilakukan pengamatan langsung secara ad libitum dan mencari bukti-bukti keberadaan jenis mamalia berupa

225 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 223-232 (ISSN : 2303-2162)

Gambar 1. Lokasi penelitian yang terletak di Jorong Koto Baru, Nagari Paninggahan, Kabupaten Solok, Sumatera Barat

Hasil dan Pembahasan melalui perangkap kamera dan 5 jenis mamalia melalui metode wawancara (Tabel Berdasarkan hasil penelitian yang telah 1). dilakukan, didapatkan 15 jenis mamalia terdiri dari 10 jenis mamalia diperoleh

Tabel 1. Jenis-jenis mamalia yang ditemukan di Jorong Koto Baru Paninggahan Kabupaten Solok Sumatera Barat.

Hasil Perangkap Cara Taksa No Nama Indonesia Kamera Pengamatan di (Ordo/Famili/Spesies) Jumlah Foto lapangan Carnivora Felidae Panthera tigris sumatrae Pocock, Harimau W 1 - 1929 sumatera Ursidae Helarctos malayanus Raffles, W 2 Beruang madu - 1821 Mustelidae Musang leher K 3 Martes flavigula Boddaert, 1785 4 kuning Viverridae Prionodon linsang Hardwicke, K 4 Linsang 4 1821 Cetartiodactyla Cervidae

226 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 223-232 (ISSN : 2303-2162)

Muntiacus muntjak K 5 Kijang 165 Zimmermann, 1780 6 Rusa unicolor Kerr, 1792 Rusa sambar 2 K Suidae 7 Sus scrofa Linnaeus, 1758 Babi hutan 62 KJ Primata Cercopithecidae Presbytis melalophos F, Cuvier LK 8 Simpai 3 1821 Macaca fascicularis Raffles Monyet ekor LK 9 54 1821 panjang Macaca nemestrina Linnaeus, LK 10 Beruk 207 1766 Hylobatidae 11 Hylobates agilis F, Cuvier 1821 Ungko - W Hylobates syndactylus Raffles, W 12 Siamang - 1821 Insectivora Erinaceidae Echinosorex gymnura Raffles, K 13 Tikus bulan 6 1822 Perissodactyla Tapiridae 14 Tapirus indicus Desmarest, 1819 Tapir - W Rodentia Hystricidae Hystrix brachyura Linnaeus, K 15 Landak 4 1758 TOTAL 511 Keterangan : K (Kamera), L (langsung), J (Jejak), W (Wawancara) Jenis–jenis mamalia ini ditemukan pada Mamalia dari ordo Rodentia yaitu Hutan Rimbo tuo dan Palak. Adapun Hystrix brachyura ditemukan hanya pada mamalia dari ordo Carnivora yaitu Martes perangkap kamera yang terletak di pinggang flavigula dan Prionodon linsang ditemukan bukit saja. Mamalia dari ordo Primata yaitu pada perangkap kamera yang terletak di Presbytis melalophos ditemukan di dekat pinggang bukit. Mamalia dari ordo ladang masyarakat, Macaca fascicularis Cetartiodactyla seperti Muntiacus muntjak ditemukan pada lokasi pemasangan kamera di ditemukan pada perangkap kamera yang dekat pintu hutan, sementara Macaca dipasang di pintu hutan, dekat ladang nemestrina ditemukan pada jalur menuju masyarakat, lembah, dan pinggang bukit, hutan, dekat ladang masyarakat, lembah, dan Rusa unicolor ditemukan pada pinggang pinggang bukit. Keberadaan Helarctos bukit, sedangkan Sus scrofa ditemukan pada malayanus, Hylobates agilis, Hylobates area dekat ladang masyarakat dan lembah. syndactylus, Panthera tigris sumatrae, Ordo Insectivora yaitu Echinosorex gymnura Tapirus indicus diketahui melalui wawancara ditemukan dekat ladang masyarakat, lembah, dengan masyarakat. dan pinggang bukit.

227 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 223-232 (ISSN : 2303-2162)

Hasil penelitian ini lebih beragam Status konservasi dari mamalia ini tergolong jika dibandingkan dengan penelitian yang LC (Least Concern) dalam IUCN telah dilakukan oleh Junaidi (2012) yang memperoleh 10 jenis mamalia tergolong ke 3.Muntiacus muntjak Zimmermann, 1780 dalam 10 famili dan 6 ordo, namun tidak ditemukan Echinosorex gymnura, Martes Tubuh bagian atas berwana kuning flavigula, Prionodon linsang, Rusa unicolor kecoklatan, agak lebih gelap sepanjang garis dan Macaca fascicularis. Kemudian pada punggung, bagian bawah keputih-putihan, penelitian yang telah dilakukan tidak sering berulas abu-abu (Payne et al., 2000). ditemukan empat jenis yaitu Hylomys suillus, Kijang aktif pada malam hari dan juga sangat Manis javanicus, Lariscus insignis dan sering aktif pada siang hari (Francis, 2008). Tragulus javanicus. Ditemukan di Sri Lanka, India sampai Cina bagian selatan, Taiwan, Asia Tenggara, Deskripsi Jenis Mamalia yang Teramati Sumatera, Jawa dan Kalimantan (Payne et al., 2000). Status konservasi hewan ini dalam 1. Martes flavigula Boddaert, 1785 IUCN yaitu LC (Least concern). Musang leher kuning berwarna kecokelatan. Kekuning–kuningan dan sedikit putih pada 4. Rusa unicolor Kerr, 1792 bagian dagu, tenggorokan dan dada. Bagian ekor panjang, tubuh ramping, dan terdapat Tubuh bagian atas berwarna coklat abu–abu, garis hitam pada bagian samping leher dengan variasi pola warna kemerahan, lebih (Francis, 2008). Aktif pada siang hari, tetapi gelap pada sepanjang garis punggung, bagian terkadang pada malam hari (Payne et al., bawah coklat pucat sampai putih krem. Ekor 2000). seluruhnya berwarna kehitaman. Anakan Musang leher kuning ditemukan di Korea kadang mempunyai bintik–bintik samar. Utara, Cina, Selatan Malaya, Sumatera, Jantan yang berusia dua tahun memiliki Bangka, Jawa, Kalimantan, Sepanjang barat rangga tanpa cabang, jantan usia tiga tahun Himalaya sampai Pakistan dan Afghanistan, rangganya bercabang dua sedangkan jantan daerah terpencil di bagian Selatan India, dan yang lebih tua memiliki rangga bercabang padan kawasan Hainan serta Taiwan jarang tiga atau empat (Payne et al., 2000). ditemukan (Cobert and Hill, 1992). Status Hewan ini terutama aktif pada malam konservasi hewan ini dalam IUCN yaitu LC hari, pagi hari hari, dan menjelang petang (Least Concern) Terserbar dari mulai Sri Lanka, India, Cina bagian Selatan, Asia tenggara, Filipina, 2. Prionodon Linsang Hardwicke, 1821 Sumatera dan pulau–pulau yang berdekatan (IUCN 2015). Status konservasi dari mamalia Berwarna keputih-putihan sampai keemasan ini dalam IUCN tergolong VU (Vurnerable). atau bungalan, bagian atas tubuh terdapat pola bintik–bintik dan belang–belang cokelat 5. Presbytis melalophos F, Cuvier, 1821 tua tebal serta ekornya gundul yang khas. Ekornya kecil, ramping dan seperti kucing. Simpai dewasa berwarna hitam dan putih atau Mamalia ini hidup arboreal dan terestrial. hitam, merah dan putih. Terdapat belang Pada siang hari berada di dalam sarang yang berwarna hitam melintang pada bagian pipi. terletak di bawah tanah atau di pohon. Bayi simpai berwarna putih dengan garis Penyebaran dari Prionodon linsang mulai hitam di bagian bawah punggung dan dari Semenanjung Myanmar, Thailand, melintang di sepanjang bahu. Hewan ini Malaysia, Sumatera sampai Jawa dan pulau- bersifat diurnal yaitu beraktifitas pada siang pulau yang berdekatan (Payne et al., 2000). hari, hidup pada pepohonan atau arboreal.

Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 228 4(4) – Desember 2015: 223-232 (ISSN : 2303-2162)

Mamalia ini tersebar mulai dari Semenanjung terdapat rambut coklat yang mengembang Myanmar, Thailand, Malaysia dan Sumatera dan lebih terang (Hamdani, 2005). (Payne et al., 2000). Status konservasi hewan Mamalia ini aktif beaktifitas pada ini dalam IUCN yaitu LC (Least concern). siang hari atau bersifat diurnal dan hidup berkelompok, tetapi sesekali jantan terlihat 6. Sus Scrofa Linnaeus, 1758 soliter. Distribusi mamalia ini mulai dari Warna tubuh ada yang kehitaman dan ada India bagian timur laut, Cina bagian barat yang kemerah-merahan. Moncong daya, Asia Tenggara, Sumatera dan pulau- memanjang tanpa janggut, memiliki jejak pulau yang berdekatan (Payne et al., 2000). dengan dua kuku yang lebar dan lebih bulat Status konservasi hewan ini yaitu VU daripada jejak rusa. Babi hutan hidupnya (Vurnerable) dalam IUCN. secara diurnal (Francis, 2008). Babi hutan digunakan sebagai babi ternak, oleh karena 9. Echinosorex gymnura Raffles, 1822 itu babi hutan tersebar di seluruh dunia Memiliki warna tubuh putih dengan rambut (Payne et al., 2000). Distribusinya dari hitam yang terpencar. Mamalia ini Semenanjung Malaysia, Sumatera dan mempunyai semacam bau khusus dan tajam. Kalimantan (Nowak and Paradiso, 1983). Mamalia ini aktif pada malam hari atau Status konservasi mamalia ini tergolong LC nokturnal serta hidupnya terestrial. Pada (Least Concern) dalam IUCN. siang hari hewan ini hidup di dalam liang 7. Macaca fascicularis Raffles 1821 (Payne et al., 2000). Tikus bulan ini hidup di hutan Hewan ini memiliki warna coklat abu-abu, dataran rendah primer dan sekunder, bagian bawah berwarna lebih pucat. Jambang termasuk juga pada wilayah yang sangat pada pipi sering terlihat mencolok. Hewan ini lembab seperti hutan bakau dan hutan rawa aktif secara teratur dari pagi sampai dengan serta ditemukan juga pada perbukitan petang (Payne et al., 2000). (Lekagul and McNeely, 1977). Distribusi dari Penyebaran monyet ekor panjang mamalia ini tersebar di Myanmar, meliputi Indocina, Thailand, Burma, Semenanjung Thailand, Malaysia dan Malaysia, Philipina, dan Indonesia. Di Sumatera (Payne et al., 2000). Status Indonesia, monyet ekor panjang terdapat di konservasi dari mamalia ini yaitu LC (least Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Concern) dalam IUCN. Kepulauan Lingga dan Riau, Bangka, Belitung, Banyak, Kepulauan Tambelan, 10. Hystrix brachyura Linnaeus, 1758 Kepulauan Natuna, Simalur, Nias, Matasari, Bawean, Maratua, Timor, Lombok, Sumba Pada bagian belakang tubuh dan sisi samping dan Sumbawa (Lekagul and McNeely, 1977). tertutup oleh rambut jarum yang panjangnya Status konservasi dari hewan ini tergolong mencapai 350 mm memiliki warna hitam dan LC (Least Concern) dalam IUCN. putih, ukuran pada bagian ekor lebih pendek. Hewan ini pada umumnya terestrial dan 8. Macaca nemestrina Linnaeus, 1766 nokturnal. Memakan buah-buahan yang jatuh, kulit pohon, akar–akaran, tunas, buah kelapa Hewan ini memiliki warna kuning kecoklatan sawit (Francis, 2008). bagian bawah keputih-putihan dan bagian Mamalia ini tersebar mulai dari atas kepala juga leher coklat tua. Beruk Semenanjung Thailand, Malaysia, dan mempunyai ekor yang pendek (Payne et al., Sumatera (Payne et al., 2000). Status 2000). Panjang ekor monyet beruk sepertiga konservasi dari mamalia ini tergolong LC panjang tubuh dan kepala. Sekeliling wajah (Least Concern) di dalam IUCN.

Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 229 4(4) – Desember 2015: 223-232 (ISSN : 2303-2162)

berbentuk huruf U di bagian atas dada. 11. Hylobates agilis F, Cuvier 1821 Bercak dada biasanya mencolok, tetapi kadang sangat samar. Beruang madu Ungko memiliki warna tubuh yang bervariasi memiliki ekor yang pendek, telapak kaki mulai dari cokelat hingga kemerah-merahan. lebar, kuku yang panjang dan bengkok Ciri khas dari spesies jantan yaitu memiliki (Leckagul dan Mcnelly, 1977). warna putih di sekeliling wajah dan betina Aktif beraktifitas pada siang dan malam memiliki warna putih di alis mata. Berat hari, hidup di permukaan tanah dan tidur pada tubuh ungko 4–8 kg, mempunyai panjang pepohonan yang tinggi. Penyebaran mulai tubuh berkisar antara 440–635 mm dan tidak dari Myanmar, Thailand, Semenanjung memiliki ekor (Nowak dan Paradiso, 1983). Malaysia, Sumatera dan Kalimantan (Payne Hylobates agilis hidupnya arboreal dan et al., 2000). Status konservasi dari hewan ini diurnal. Distribusi mulai dari bagian utara tergolong VU (Vulnerable) dalam IUCN. Semenanjung Malaysia, bagian selatan dan 14. Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929 tengah Sumatera (Payne et al., 2000). Status konservasi hewan ini tergolong EN (Endangered) dalam IUCN. Hewan ini mempunyai berat badan mencapai 140 kg untuk yang jantan dan 90 kg pada 12. Hylobates syndactylus Raffles, 1821 hewan betina. Tinggi pundaknya hanya 7500 mm (Mazak, 1981). Harimau merupakan Siamang merupakan anggota keluarga satwa yang soliter, jarang dijumpai Hylobatidae yang paling besar. Panjang berpasangan, kecuali pada harimau betina rentang tangan mencapai 1500 mm dengan beserta anak-anaknya (Slater dan Alexander, panjang badan berkisar antara 800-900 mm. 1986). Berat tubuh rata-rata siamang dewasa sekitar Satwa predator ini setiap hari harus 11, 2 kg. Rambut siamang berwarna hitam mengkonsumsi 5-6 kg daging (Sunquist, pekat baik jantan maupun betina, kecuali Karanth, and Sunquist, 1999). Rusa dan rambut pada muka berwarna kecokelatan kijang adalah hewan mangsa utama bagi (Supriatna dan Wahyono, 2000). mamalia ini, meskipun hewan yang lebih Aktifitas harian umumnya di tajuk- kecil juga menjadi pakannya (Ahearns, tajuk pohon (arboreal) yaitu mulai dari Smith, Joshi, and Ding. 2001). Status meninggalkan pohon ke pohon selanjutnya konservasi dari mamalia ini dalam IUCN (Chivers, 1978). Hewan ini tersebar hampir tergolong CR (Critically Endangered). diseluruh daratan Sumatera (Supriatna dan wahyono, 2000). Status konservasi mamalia 15. Tapirus indicus Desmarest, 1819 ini di dalam IUCN tergolong EN (Endangered). Tapir mudah dikenali berdasarkan pola warna tubuhnya. Bagian depan tubuh dari bagian 13. Helarctos malayanus Raffles, 1821 kepala, leher dan kaki berwarna hitam, sedangkan bagian belakang termasuk Warna tubuh seluruhnya berwarna hitam punggung serta panggul berwarna putih. kecuali mulut dan atas dada yang berwarna Sampai saat ini hanya dua catatan yang putih kecoklatan yang melebar hingga ke menunjukkan adanya tapir dengan tubuh bagian mata. Mata dan telinganya kecil. Di hitam seluruhnya. Tapir biasanya hidup di bagian kepala dan belakang telinga terdapat hutan secara sendiri (soliter) kecuali bagi rambut-rambut yang berbentuk seperti induk dan anaknya atau jantan dengan betina lingkaran. Ciri khas dari beruang madu pada waktu musim kawin. Tapir aktif pada terlihat adanya bercak putih atau kuning

230 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 223-232 (ISSN : 2303-2162)

malam hari (Peraturan Menteri Kehutanan Malaysia dan Indonesia (Novarino, 2005). Republik Indonesia, 2013). Status Konservasi dari mamalia ini tergolong Mamalia ini tersebar mulai dari EN (Endangered) dalam IUCN. Thailand, Vietnam, Myanmar, Semenanjung

a. Martes flavigula b.Prionodon linsang c.Muntiacus muntjak

d.Rusa unicolor e.Presbytis melalophos f.Sus scrofa

g.Macaca fascicularis h.Macaca nemestrina i.Echinosorex gymnura

j.Hystrix brachyura

Gambar 2. Jenis-jenis mamalia yang terinventarisasi di Jorong Koto Baru Paninggahan menggunakan perangkap kamera

Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 231 4(4) – Desember 2015: 223-232 (ISSN : 2303-2162)

Kesimpulan Departemen Kehutanan. 2005. Rencana Strategis Kehutanan 2006- Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan 2025.Departemen Kehutanan. menggunakan perangkap kamera diketahui Jakarta. sebanyak 15 jenis mamalia dari 11 famili dan 6 ordo terdapat di Jorong Koto Baru, Nagari Francis, C.M. 2008. A Field Guide to the Paninggahan, Kabupaten Solok. Keragaman Mamal of Thailand and South East jenis hewan mamalia yang ditemukan ini Asia. New Holland Publisher. UK. mengindikasikan dampak positif dari kearifan lokal masyarakat dalam mengelola kawasan Gadis, M. 2013. Nilai-nilai Lokal Masyarakat hutan. Nagari Paninggahan Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Ucapan Terimakasih Hutan. Thesis. Jurusan Ilmu Lingkungan Pascasarjana. Terima kasih kepada Walinagari Universitas Andalas. Padang. Paninggahan, Kepala jorong, Masyarakat Paninggahan dan tim yang telah membantu Hamdani, D. 2005. Kraniometri Beruk selama penelitian. (Macaca nemestrina). Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Daftar Pustaka Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Ahearns, S.C., J.L.D. Smith, A.R. Joshi, and J. Ding. 2001. TIGMOD: An individual Hariadi, B. 2012. Inventarisasi Mammalia di based spatially explicit model for Hutan Harapan Sumatera Selatan. simulating tiger/human Interaction in Skripsi Sarjana Biologi. multiple use forests. Ecological Universitas Andalas. Padang. Modelling 140: 81-97. IUCN 2015. The IUCN Red List of Anwar, J., S.J. Damanik, N. Hisyam dan A.J. Threatened Species. Version Whitten.1984. Ekologi Ekosistem 2015.4..Diakses Tanggal 20 December Press. Yogyakarta. 2015.

Chivers, D.J. 2001. The swinging singing Junaidi. 2012. Inventarisasi Jenis-Jenis apes : Fighting for food and family Mamalia di Hutan Pendidikan dan in fareast forest. The Apes : Penelitian Biologi (HPPB) Challenges for the 21st century. Universitas Andalas Dengan ConferenceProceedings; Brookfield Menggunakan Kamera Trap. Zoo. 2000. Brookfield: Chicago Skripsi Sarjana Biologi. Zoological Society. Universitas Andalas. Padang.

Corbet, G.B and J.E. Hill. 1992. The Lamberck, R.J. 1997. Focal Studies : A Mammals of the Indomalayan Multi–Species Umbrella for Nature Region: A Systematic review. Conservation Converse. Biol. Vol. Natural History Museum 11:849-856. Publications. Oxford University Press. New York. USA. Leimona B., Amanah S., Pasha R., dan Wijaya C.I. 2013. Gender dalam

Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 232 4(4) – Desember 2015: 223-232 (ISSN : 2303-2162)

skema Imbal Jasa Lingkungan. Society and Wildlife Conservation Studi kasus di Singkarak, Society. Malaysia. Sumberjaya,dan Sesaot. World Agroforestry Centre (ICRAF) Primack, R.B., Supriatna, J., Indrawan, M. Southeast Asia Regional Program. dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Bogor, Indonesia Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Lekagul, B. dan J.A. McNeely, 1977. Mammals of Thailand. Republik Indonesia. 2013. Peraturan Sahakarnbhat Co. Bangkok. Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.57. 2013 Tentang Mazak, V. 1981. Panthera tigris. The Strategi Dan Rencana Aksi American Society of Mammalogist. Konservasi Tapir (Tapirus Indicus) Mammalian Species. no. 152. 1-8 Tahun 2013-2022. Menteri pp. Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Novarino, W., S.N. Kamilah, A. Nugroho, M.N. Janra, M. Silmi dan M. Slater, P. dan R.M. Alexander. 1986. The Syafrie. 2007. Kehadiran Mamalia Encyclopedia of Animal Behaviour pada Sesapan (Salt lick) Di Hutan and Biology.Volume VIII. Equinox Lindung Taratak, Kabupaten (Oxford) Ltd. London. Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Biota. 12 (2) : 100-107. Sunquist, M.E, K.U. Karanth, and F.C. Sunquist. 1999. Ecology, behaviour Nowak, R.M. and J.L. Paradiso. 1983. and resilience of the tiger and its Mammals of the World 4th Edition. conservation needs. In: Volume II. The Johns Hopkins Siedensticker, J., S. Christie, and P. University Press. Baltimore and Jackson (eds.). Ridding the Tiger: London. Tiger Conservation in Human Dominated Landscape. Cambridge Payne J., C.M. Francis, K. Phillips dan S.N University Press. Cambridge, UK Kartikasari. 2000. Panduan Lapangan: Mamalia di Supriatna, J. dan E.H. Wahyono. 2000. Kalimantan, Sabah, Sarawak dan Panduan Lapangan Primata Brunei Darussalam. Prima Centra Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Indonesia. Jakarta.

Payne, J. and C.M. Francis. 1985. Field guide Suyanto A. 2002. Mamalia di Taman to The Mammals of Borneo. Sabah Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. BCP-JICA. Bogor.

Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 233-241 (ISSN : 2303-2162)

Studi Populasi Serangga Sebagai Upaya Konservasi Biodiversitas Sungai Oyo, di Desa Wisata Bleberan Gunung Kidul (Study of Population As An Effort to Biodiversity Conservation in the Oyo River, At the Ecotourism Village of Bleberan Gunung Kidul)

Eka Sulistiyowati*) *) Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta Email: [email protected]

Abstract

Bleberan Village has ecotourism potential in terms of insects biodiversity. Moreover, this village has some beautiful tourism objects, such as Sri Gethuk waterfall and Rancang Kencono cave. In the other hand, biodiversity in this village is yet to be explored, hence this research aims at studying insects biodiversity, especially of three orders: , Lepidoptera and Odonata. The final objective of this reseach is to provide information for studying and conserving biodiversity in this ecotourism region. The observation was conducted in 10 stations in both Kedung Poh (1st location) and Oyo River (2nd location ). Several ecological parameters were calculated such as density, diversity index, and distribution. In addition, enviromental parameters were also measured, i.e temperature, humidity, and light intesity. This research found 17 species of each order, with the highest number of individuals was observed in the member of Orthoptera, especially withPhlaeoba fumosa; 381 individuals (1st location 1) and 445 individuals (2nd location). In the order of Lepidoptera, species Catopsilia pomonahad the highest number of individuals, there were 31 and 46 individuals in 1st location and 2nd location, respectively. The latter is Odonata, had Orthetrum sabinawhich dominated the number with 252 individuals in 1st location and 188 individuals in 2nd location. This research also revealed that diversity index was varied between 0.79 and 0.99, with all orders were distributed in a clumped pattern. All the environmental factors had been observed and did not show any abnormality, therefore insects couldbe alive normally.

Keywords : Biodiversity,Insects, Orthoptera, Lepidoptera, Odonata, Bleberan, The Oyo River

Pendahuluan sungai ini membelah kawasan karst Gunung Kidul pada formasi Wonosari (Trisnawati, Potensi ekosistem daerah aliran sungai di 2009). Selain itu, Sungai Oyosebagai bagian berbagai wilayah umumnya sangat besar. Di utama DAS Oyo yang membentang sepanjang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), 35 km dari Kawasan Hutan Bunder di daerah ekosistem airnya secara geografis Gading Gunung Kidul merupakan sungai yang dikelompokkan dalam tiga Daerah Aliran unik yang terdiri atas sungai permukaan tanah Sungai (DAS) utama yaitu DAS Progo, DAS dan sungai bawah tanah.DAS Oyo sendiri Opak, dan DAS Oyo (Balai Besar Wilayah memiliki luas 75,473.20 hektar (Balai Sungai Serayu Opak, 2012). Ketiga DAS ini Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu merupakan sumber utama air di DIY yang Opak Progo, 2009). digunakan untuk berbagai keperluan seperti Keunikan DAS Oyo telah lama irigasi, mandi, mencuci, dan rekreasi. dikelola dalam konsep ekowisata. Pemerintah Sungai Oyo adalah salah satu sungai Kabupaten Gunung Kidul mengelola kawasan bagian dari DAS Oyoyang memiliki potensi desa-desa di DAS Oyo dalam bentuk kawasan ekonomi dan ekologi sebagai kawasan ekowisata dan desa wisata. Sampai dengan konservasi untuk perlindungan tahun 2014, ada tiga desa wisata di DAS Oyo biodiversitas.Sungai Oyo memiliki keunikan yaitu Desa Jelok, Desa Bobung, dan Desa dari segi geomorfologi dan ekologi, dimana Bleberan (Gunung Kidul Online, 2013). 234 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 233-241 (ISSN : 2303-2162)

Potensi wisata dari desa-desa tersebut sangat Diharapkan penelitian ini dapat menutup gap beragam, mulai dari wisata geologi dan minat tersebut. khusus seperti Goa Rancang Kencono dan Air Dengan mempertimbangkan bahwa Terjun Sri Gethuk di Desa Bleberan, sampai biodiversity health memiliki peran penting wisata hutan dan geomorfologi di wilayah dalam upaya awal pengembangan ekowisata, Patuk (Gunung Kidul Online, 2013; Pemkab maka penelitian ini akan mengungkapkan Gunung Kidul, n.d). mengenai potensi keragaman serangga di Potensi ekowisata yang besar di DAS Sungai Oyo Segmen Desa Wisata Bleberan. Oyo tentu perlu diimbangi dengan kemampuan Penelitian ini difokuskan untuk melihat untuk melakukan konservasi biota yang ada di keragaman serangga dari tiga ordo yaitu dalamnya. Langkah awal yang diperlukan Odonata, Lepidoptera dan Orthoptera. Ketiga dalam konsep konservasi adalah studi ordo ini merupakan ordo dengan biodiversitas mengenai populasi flora dan fauna yang ada paling besar, sehingga dapat memberikan didalamnya. Dalam konsep ekowisata studi gambaran tentang biodiversity helath di lokasi awal mengenai sistem ekologi dan Desa Wisata Bleberan. biodiversitas merupakan langkah penting untuk menentukan biodiversity health (WWF Metode penelitian Indonesia, 2009). Langkah awal inilah yang akan dilakukan dalam penelitian ini, yaitu Di dalam penelitian ini akan dilakukan melakukan studi populasi serangga sebagai beberapa langkah yaitu studi pendahuluan bagian dari pemetaan di kawasan ekowisata untuk penempatan lokasi sampling, DAS Oyo, khususnya di segmen Desa Wisata pengambilan sampel dan identifikasi sampel. Bleberan. Hal ini karena Desa Wisata Untuk memberikan batasan pada penelitian ini, Bleberan memiliki potensi ekologi dan natural sampling hanya dilakukan di tepi sungai, yaitu landscape yang unik dengan adanya Goa pada segmen Sungai Kedung Poh (sebagai Rancang Kencono, Air Terjun Sri Gethuk, dan anak sungai dari Sungai Oyo yang masuk ke hamparan hutan jati dan pinus. Sri Gethuk) dan segmen Sungai Oyo dekat Pemetaan biodiversitas pada penelitian dengan Jembatan Oyo, dengan 10 titik Sungai ini akan difokuskan pada pemetaan serangga, Oyo sendiri merupakan bagian dari Daerah karena jenis biota ini yang paling beragam. Aliran Sungai (DAS) Oyo. Lebih dari separuh (64% atau sekitar 950.000 spesies) fauna yang ada di bumi termasuk Titik pengamatan terletak pada transek dengan dalam golongan serangga. Keragaman spesies jarak antar masing-masing titik 10 m. Transek yang sangat besar dari kelompok ini membuat dibentangkan di bantaran sungai secara serangga memegang peranan yang sangat membujur mengikuti arah aliran air. Pada tiap- banyak dalam ekosistemnya, baik sebagai tiap 10 meter dibuat sebuah titik dan dilakukan herbivor, predator parasitis, dekomposer, pengamatan di titik tersebut (Van Swaay et polinator, dan sebagainya (Borror et al. 1992). al., 2012). Masing-masing titik di amati Daerah Karst Gunung Sewu yang selama 5 jam, sehingga jumlah jam membentang dari Gunung Kidul sampai pengamatan di Lokasi 1 adalah 50 jam, dan di Pacitan memiliki potensi keragaman biologi lokasi 2 juga selama 50 jam. yang sangat banyak. Namun, penelitian Pengambilan sampel serangga dilakukan mengenai biodiversitas di Gunung Kidul dengan menggunakan tiga teknik, yaitu: masih terbatas. Lala et al. (2003) mengkaji Transect Walk untuk eksplorasi awal keragaman serangga Ordo Orthoptera di mengenai jenis-jenis serangga yang wilayah Tanjung Sari, dihubungkan dengan ditemukan, dan metode penghitungan point preferensi pakan burung Lanius schach. count untuk mengestimasi jumlah individu Sementara itu keragaman Ordo Odonata Karst dalam populasinya. Identifikasi sampel Gunung Sewu di Pracimantoro sangat tinggi, dilakukan dengan cara melihat karakteristik yaitu 5 family dan 18 species capung morfologi dan merujuk kepada buku-buku (Rohman, 2012). Dari beberapa penelitian biologi serangga seperti Gillot (2005) dan tersebut, belum ada kajian khusus mengenai Borror et al. (1992). keragaman serangga di Sungai Oyo. Ada beberapa parameter yang menjadi bagian dari studi populasi serangga ini, yaitu

235 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 233-241 (ISSN : 2303-2162)

1) Kelimpahan didefinisikan sebagai A: luas area kajian (m2) jumlah individu yang ditemukan 3) Indeks keragaman dihitung dengan (Restu, 2002). rumus (Krebs, 1978):

Dimana N adalah jumlah individu dimana spesies ke-i. H’ : indeks keragaman Shannon-Wiener 2) Kerapatan dihitung dengan membagi S: jumlah spesies jumlah individu dengan luas area Pi: proporsi jumlah individu jenis ke-i penelitian.(Krebs, 1978) dengan individu total

Indeks keragaman tersebut mencerminkan kondisi ekologis sebagai berikut: Dimana Di : kerapatan individu spesies ke-i, ni:jumlah individu spesies ke-i

Tabel 1. Nilai Tolak Ukur Indeks Keragaman Iδ : Indeks Sebaran Morishita Indeks Keterangan Ni: Jumlah satuan pengambilan contoh H’ < Keanekaragaman rendah, N= jumlah total individu 1,0 miskin, Xi= Jumlah individu spesies pada produktivitas sangat rendah pengambilan contoh ke-i sebagai Jika indikasi adanya Iδ > 1: pola sebaran bersifat tekanan yang berat mengelompok danekosistem tidak stabil Iδ = 1 : pola sebaran bersifat acak 1,0< Keanekaragaman sedang, Iδ < 1 : pola sebaran bersifat seragam H’ < produktivitascukup, 3,2 kondisiekosistem Hasil dan pembahasan cukupseimbang, tekanan ekologis sedang Penelitian mengenai biodiversitas serangga H’ > Keanekaragaman tinggi, telah dilakukan di tepi Sungai Oyo di Segmen 3,2 Stabilitasekosistem mantap, Desa Bleleran dengan mengambil dua lokasi produktivitas tinggi. yaitu, lokasi 1 di belik Kedung Poh dan lokasi 2 di Sungai Oyo yang mengalir ke arah Sri (Restu, 2002) Gethuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 4) Distribusi dihitung dengan indeks kedua lokasi tersebut memiliki keragaman distribusi (sebaran) Morishita menurut spesies yang cukup baik, sehingga menjadi Krebs (19789) yaitu: modal potensi wisata biodiversitas dan ekoturisme. Tabel 2 menunjukkan jumlah spesies yang ditemukan dan jumlah individu dari ordo-ordo yang diamati di dua lokasi Dengan: penelitian, serta deskripsi lokasi penelitian.

Tabel 2. Jumlah Spesies, Jumlah Individu, dan Deskripsi Lokasi Hasil Pengamatan dari Kedung Poh (Lokasi 1) dan Sungai Oyo (Lokasi 2) Pengamatan Lokasi 1 Lokasi 2 Jumlah spesies - Ordo Orthoptera 16 15 - Ordo Lepidoptera 14 17 - Ordo Odonata 17 14 Jumlah Individu

236 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 233-241 (ISSN : 2303-2162)

Pengamatan Lokasi 1 Lokasi 2 - Ordo Orthoptera 956 1354 - Ordo Lepidoptera 183 158 - Ordo Odonata 705 814 Deskripsi lokasi Padang rumput di tepi sebuah belik Padang rumput di tepi sebuah yang mengalir menuju sungai kecil. sungai. Sungai tersebut merupakan Terdapat pohon beringin dengan sungai utama yang mengalir kanopi menutupi sebagian area menuju air terjun Sri Gethuk. penelitian. Selain itu, di tepi sungai Dominasi oleh rumput-rumputan, juga digunakan oleh warga untuk terutama ilalang. Di beberapa menanam sayur-sayuran seperti bagian dari lokasi penelitian, terong dan bayam. Rumput terdapat pohon-pohon Jati dan mendominasi area kajian, terutama semak-semak dari jenis Lantana ilalang, teki, dan kolonjono. camara. Ditemukan pula tanaman yang ditanam warga berupa ketela pohon dan kolonjono.

Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah konsisten dengan deskripsi lokasi penelitian spesies yang ditemukan di lokasi 1 dan lokasi yang tidak banyak ditumbuhi oleh tanaman 2 tidak berbeda jauh, berkisar antara 14 sampai berbunga sebagai feeding ground dari Ordo 17 spesies. Namun, jika dilihat dari jumlah Lepidoptera. yang diperoleh, maka Ordo Orthoptera dapat Hasil pengamatan dari dua lokasi dikatakan paling banyak, dengan 956 individu penelitian adalah ditemukannya 17 spesies di lokasi 1 dan 1354 individu di lokasi 2. anggota Ordo Orthoptera, 17 species anggota Sementara itu, Ordo Lepidoptera termasuk Ordo Lepidoptera, dan 17 anggota Ordo tidak melimpah jika dibandingkan dengan dua Odonata. Species serangga yang ditemukan, ordo yang lain, yaitu hanya 183 individu kerapatan, indeks keragaman dan persebaran (Lokasi 1) dan 158 individu (Lokasi 2).Hal ini pada dua lokasi disajikan di tabel 3 berikut.

Tabel 3. Kerapatan, Indeks Keragaman, dan Persebaran species anggota Ordo Orthoptera, Lepidoptera, dan Odonata dari Kedung Poh (Lokasi 1) dan Sungai Oyo (Lokasi 2)

Jumlah Kerapatan Indeks individu (/m2) Keragaman Persebaran No Spesies Loka- Loka- Loka- Loka- Loka- Loka- si 1 si 2 si 1 si 2 si 1 si 2 Lokasi 1 Lokasi 2 Ordo Orthoptera 1 Phlaeoba fumosa 381 445 0,381 0,445 2 Phlaeoba infumata 272 351 0,272 0,351 3 Trilophidia annulata 43 121 0,043 0,121 4 Oxya sinensis 53 129 0,053 0,129 5 Oxya japonica 18 40 0,018 0,04 6 Caryanda spuria 10 7 0,01 0,007 2,47 2,48 Atractomorpha 0,722 0,855 Mengelom- Mengelom- 7 crenulata 41 65 0,041 0,065 pok pok 8 Acrida cinerea 13 41 0,013 0,041 9 Conocephalus sp 7 12 0,007 0,012 10 simplex 4 0 0,004 0 11 Phaneroptera falcata 3 0 0,003 0 12 Locusta migratoria 26 14 0,026 0,014

237 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 233-241 (ISSN : 2303-2162)

13 Valanga nigricornis 9 10 0,009 0,01 14 Dissosteira carolina 19 35 0,019 0,035 15 Gryllus sp 51 65 0,051 0,065 16 Teleogryllus mitratus 6 2 0,006 0,002 17 Tetrix sp 0 17 0 0,017 Ordo Lepidoptera 1 Appias lyncida 3 5 0,003 0,005 2 Appias olferna 0 2 0 0,002 3 Catopsilia pomona 31 46 0,031 0,046 4 Eurema blanda 7 3 0,007 0,003 5 Acraea violae 0 3 0 0,003 6 Danaus chrysippus 14 7 0,014 0,007 7 Hypolimnas bolina 2 1 0,002 0,001 8 Junonia almana 9 3 0,009 0,003

9 Junonia atlites 46 1 0,046 0,001 10 Junonia orithya 6 1 0,006 0,001 11 Mycalesis mineus 2 1 0,002 0,001 12 Phalanta phalanta 8 33 0,008 0,033 0,99 0,81 13 Yoma sabina 0 1 0 0,001 14 Chilades pandava 10 4 0,01 0,004 15 Zizina otis 25 27 0,025 0,027 1,7 1,28 16 Zizula hylax 8 18 0,008 0,018 Mengelom- Mengelom- 17 Taractrocera archias 12 2 0,012 0,002 pok pok Ordo Odonata 1 Orthetrum sabina 252 188 0,252 0,188 2 Pseudagrion rubriceps 66 289 0,066 0,289 3 Ischnura senegalensis 1 74 0,001 0,074 4 Trithemis aurora 176 58 0,176 0,058 5 Pantala flavencens 10 37 0,01 0,037 6 Libellago lineata 33 39 0,033 0,039 7 Copera marginipes 8 4 0,008 0,004 Brachytemis 8 contaminata 23 38 0,023 0,038 1,17 2,01 9 Crocothemis servilia 106 0 0,106 0 Mengelom- Mengelom- 0,79 0,85 10 Rhynocypa fenestrata 1 9 0,001 0,009 pok pok 11 Diplacodes trivialis 6 45 0,006 0,045 Prodasineura 12 autumnalis 2 13 0,002 0,013 13 Neurothemis terminata 7 4 0,007 0,004 Ictinogomphus 14 decoratus 6 8 0,006 0,008 Paragomphus 15 reinwardtii 4 8 0,004 0,008 16 Potamarcha congener 2 188 0,002 0,188 17 Agriocnemis femina 2 289 0,002 0,289

238 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 233-241 (ISSN : 2303-2162)

Anggota ordo Orthoptera yang paling Diduga keberadaan eyespot berfungsi untuk banyak ditemukan pada 2 lokasi adalah mengusir predator (Valin et al., 2005 dalam Phlaeoba fumosadengan jumlah individu Kodandaramaiah, 2009). Hal ini diduga sebanyak 381 di lokasi 1 (kerapatan 0,381 menjadi penyebab mengapa banyak genus individu/ m2) dan 445 individu (kerapatan Junonia yang bisa ditemukan, karena mereka 0,445 individu/m2) di lokasi 2.Jumlah individu mampu menggunakan eyespotnya dan tersebut diikuti oleh Phlaeoba infumata menghindari predator. dengan jumlah individu 272 (kerapatan 0,272 Sementara itu, spesies anggota Ordo individu/m2) di lokasi 1 dan 351 (0,351 Odonata yang paling banyak ditemukan adalah individu/m2) di lokasi 2. Genus Phlaeoba Orthetrum sabina, yaitu 252 individu di lokasi dikenal sebagai short-horned grasshopper atau 1 dan 188 individu di lokasi 2.O. sabina serangga dengan ‘tanduk’ yang berukuran adalah spesies yang sangat mudah berkembang pendek. Serangga ini hidup secara terestrial biak dan tersebar dengan sangat luas di bagian dan diidentifikasi sebagai hama sayuran dan timur Indonesia (Watson, 1984). Dengan tanaman pangan (Mandal et al., 1991). kondisi ini tidak mengherankan bahwa O. Meskipun termasuk serangga yang polifaga, sabina bisa ditemukan dengan mudah di ketika dibiakkan di laboratorium, kawasan Desa Bleberan, Gunung Kidul, Phlaeobainfumata lebih menyukai Cyperus karena meskipun daerahnya kering, kawasan rotundus (rumput teki) (Mandal et al, 1991). pengambilan sampel masih memiliki sumber Hal ini sesuai dengan kondisi lokasi penelitian air sebagai tempat untuk bertelur dan hidupnya yang banyak ditumbuhi oleh rumput- nimfa capung. Selain di Indonesia timur, O. rumputan, termasuk teki. sabina juga umum ditemukan di Borneo Jumlah individu anggota Orthoptera (Samsudin, 2013). Kelimpahan ini diikuti oleh yang paling sedikit ditemukan adalah species Pseudagrion rubriceps dengan 66 individu Phaneroptera falcata. Spesies ini hanya (Lokasi 1) dan 289 individu (Lokasi ditemukan di lokasi 1 (Kedung Poh), dengan 2),sedangkan spesies Crocothemis servilia jumlah 3 individu (kerapatan 0,003 hanya ditemukan di lokasi 1 dengan 106 individu/m2). Spesies ini menyukai tempat individu. yang kering, temperatur hangat seperti padang Data indeks keragaman berkisar antara rumput, tepi hutan, perkebunan anggur, lahan 0,79 sampai dengan 0,99. Hal ini kering dan terbuka (Pygrus, n.d). Pengamatan menunjukkan bahwa ekosistem yang dikaji menunjukkan, lokasi penelitian merupakan berada pada kondisi keanekaragaman rendah, habitat yang baik bagi Phaneroptera, namun produktivitas sangat rendah sebagai indikasi vegetasi di lokasi penelitian sangat jarang yang adanya tekanan yang berat dan ekosistem tidak merupakan habitat terbuka, sehingga predator stabil (Krebs, 1978).Hal ini sesuai dengan Lee dapat dengan mudah menemukan dan melihat et al. (1975) dalam Wardhana (1995) yang berbagai macam serangga yang menjadi menyatakan bahwa suatu ekosistem yang pakannya. Salah satu jenis predator yang memiliki indeks keragaman < 1 maka tampak dalam pengamatan adalah burung ekosistem tersebut tercemar berat. Sedangkan Lanius shach yang merupakan insektivora menurut Fahrul (2007), apabila indeks pemakan belalang (Lala et al., 2003). keragaman berkisar antara 1 sampai 3 maka Anggota Ordo Lepidoptera yang kondisi ekosistem stabil dan apabila indeks sering dijumpai di 2 lokasi penelitian adalah keragaman kurang dari 1 (H’<1) maka Catopsilia pomona dengan 31individu (Lokasi ekosistem tidak stabil. Keanekaragaman 1) dan 46 individu (Lokasi 2).C. pomona tertinggi terdapat pada Ordo Lepidoptera di merupakan spesies kupu-kupu berwarna kecil, Lokasi 1. Hal ini terjadi karena keberadaan biasanya ditemukan secara berkelompok vegetasi yang lebih beragam di Lokasi 1, dengan kupu-kupu lain (CSIRO, 1992). Genus dimana sebagaian area dari Lokasi 1 adalah yang banyak ditemukan adalah Junonia, area pertanian dengan tanaman-tanaman yang dengan tiga spesies yaitu J. almana, J. atlites, mengandung nektar seperti terong dan kacang- dan J. orithya. Serangga ini ditandai dengan kacangan. Selain faktor keragaman, data lain adanya corak berwarna biru-hitam pada sayap yang diambil dari penelitian ini adalah data belakang yang menyerupai mata (eyespot). faktor lingkungan berupa suhu udara,

239 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 233-241 (ISSN : 2303-2162) kelembaban udara, dan intensitas cahaya (tabel 4).

Tabel 4. Pengukuran Parameter Suhu, Kelembaban, dan Intensitas Cahaya di Kedung Poh (Lokasi 1) dan Sungai Oyo (Lokasi 2)

Suhu (oC) Kelembaban (%) Cahaya (x100 lux) Titik Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 1 Lokasi 2 1 28,8 28 59 64,25 566,4 106 2 29,8 29,25 55,8 61,25 726,6 162,5 3 28,8 32,25 58,2 54,25 326,8 220 4 32,6 33,25 43,2 48,75 632,8 354,5 5 32,4 33 46,4 47 477,4 116 6 32,6 34 46,4 42 664,4 215,5 7 32,4 32,5 45,4 44,5 561 359 8 32 34,75 45,8 44,75 431,8 200 9 31,6 34,75 45,8 44,25 450,8 403,5 10 31,8 34,5 54,2 44,75 220,4 400,5 rata-rata 31,28 32,625 50,02 49,575 505,84 253,75

Tabel 4 merangkum semua rata-rata di lokasi 1 sebesar 50,02% dan di pengukuran faktor abiotik pada lokasi lokasi 2 sebesar 49,575 %. Meskipun penelitian. Pengukuran terhadap suhu tergolong memiliki kelembaban udara yang menunjukkan rata-rata suhu di Lokasi 1 yaitu rendah, kelembaban udara ini masih mampu 31,28 oC dan di lokasi 2 yaitu 32, 625 0C. mendukung kehidupan serangga (Borror et al., Kisaran suhu ini termasuk suhu normal yang 1992), sedangkan parameter intensitas cahaya dapat mendukung kehidupan serangga (Gillot, rata-rata 505,84 x 100 lux (Lokasi 1) dan 253, 2005). Demikian pula, hasil pengukuran 75 x 100 lux (Lokasi 2). kelembaban udara menunjukkan kisaran antara 43,2 % sampai 64,25 %, dengan kelembaban Ucapan Terima Kasih

Kesimpulan Ucapan terimakasih disampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Ditemukan masing-masing 17 spesies anggota Masyarakat (LP2M) UIN Sunan Kalijaga Ordo Orthoptera, Ordo Lepidoptera dan Ordo Yogyakarta atas bantuan dana yang diberikan Odonata di Lokasi 1 (Kedung Poh) dan Lokasi sehingga penelitian ini dapat terlaksana. 2 (Sungai Oyo). Spesies yang paling melimpah Peneliti juga menyampaikan terimakasih dari Ordo Orthoptera yaitu Phlaeoba fumosa, kepada tim pengambil data yaitu Fuzna Sumi Ordo Lepidoptera yaituCatopsilia pomona, Untari, Dis Setia dan Urwatul Wustqo dan Ordo Odonata yaitu Orthetrum sabina. Indeks keragaman semua stasiun nilainya Daftar Pustaka kurang dari 1 (H’ < 1) artinya ekosistem dalam keadaan tidak stabil, terdapat ancaman Alford, D. 1999. Agricultural Entomology. terhadap keragaman Gastropoda. Terdapat satu UK: Blackwell kategori persebaran (distribusi) serangga di lokasi peneltian yaitu mengelompok dan Balai Besar Wilayah Sungai. n.d. Wilayah seragam. Faktor lingkungan kimia dan fisika Kerja Bbws Serayu Opak. Diunduh yang terukur menunjukkan kisaran ideal bagi tanggal 11 November dari http://bbws- kehidupan serangga. so.net/sisda/wilayah_kerja.html

240 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 233-241 (ISSN : 2303-2162)

Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kodandaramaiah, U. 2009. Eyespot Evolution: Serayu Opak Progo. 2009. Diunduh 2 Phylogenetic Insights From Junonia November 2014 dari http://bpdas- And Related Butterfly Genera serayuopakprogo.dephut.go.id/kegiatan/ (Nymphalidae: Junoniini). Evolution & perencanaan/luas-das Development 11:5, 489–497

Borror, D.J., Triplehorn, C.A., and Johnson, Krebs, C.J. 1978. Ecology: The Experimental N.F. 1992. An Introduction to Study of Analysis of Distribution and , 6th ed. Sanders College Abundance.New York: Harper and Row Publication Publishers.

Byrd, J.H. & Castner, J.L. 2002. Forensic Lala, F., Wagiman, F.X., Putra, N.S. 2003. Entomology: The Utility of Keanekaragaman Serangga dan Struktur in Legal Investigation. Washington: Vegetasi pada Habitat burung CRC Press Insektivora Lanius schach Linn. di Tanjungsari, Yogyakarta. Jurnal CSIRO, 1991. The Insects of Austalia. Entomologi Indonesia (10): 2, p 70-77 Division of Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation. Mandal, S.K., Hazra, A.K., Tandon, S.K. 1992. On The Biology and The David, A. Fennell, P., Eagles, F.J. 1990. Nymphal of Phaleoba Ecotourism in Costa Rica: A Conceptual infumata Brunner (Acrididae) Under Framework. Journal of Park and Lab Condition. Rec. Zool. Surv. (91):1, Recreation Administration (8):1 p. 35-48

Fachrul, M..F. 2007.Metode Sampling Pemerintah Daerah Gunung Kidul, Bioekologi, Jakarta: Rineka Cipta n.d.diunduh tanggal 11 Oktober 2014 darihttp://gunungkidulkab.go.id/home.p Gillot, C. 2005. Entomology. 3rd ed. Canada: hp?mode=content&id=121 Springer Pygrus (n.d). Phaneroptera falcata. Diunduh Gunung Kidul Online. 2013. Inilah 15 Desa tanggal 24 November 2015 dari Wisata di Kabupaten Gunungkidul. http://www.pyrgus.de/Phaneroptera_falc Diunduh 2 November 2014 dari ata_en.html http://gunungkidulonline.com/inilah-15- desa-wisata-di-kabupaten-gunungkidul/ Restu, I.W. 2002. Kajian Pengembangan Wisata Mangrove di Taman Hutan Raya Jianxiong Qin, J., Zhang, P., Deng, G., Chen, Ngurah Rai Wilayah Pesisir Selatan L. 2014. A Study on Eco-Tourism and Bali. [Tesis]. Bogor: Program Pasca SustainableDevelopment of Sarjana, Institut Pertanian Bogor. EconomicUnderdevelopment Areas— Rohman, A. 2012. Keanekaragaman Jenis Dan An Examplefrom Kanas Nature Distribusi Capung(Odonata)Dikawasan Reserve, XingjiangProvince, Northwest Kars Gunung Sewu China. Smart Grid and Renewable KecamatanPracimantoro, Kabupaten Energy (5):170-179 Wonogiri, Jawa Tengah. Skripsi. Kiper, T. 2013. Role of Ecotourısm in PMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta Sustaınable Development. Dalam Samsudin, N. 2013. Morphological Variation Özyavuz , M. Advances in Landscape of Selected Species in the Genus of O. Architecture. Buku online diunduh sabina (Odonata: Anisoptera) in tanggal 12 November 2014 dari Sarawak. Bachelor of Science Thesis. http://www.intechopen.com/books/adva University Malaysia Sarawak. nces-in-landscape-architecture/role-of- ecotourism-in-sustainable-development Speight, M.R., Hunter, M.D., Watt, A.D., ISBN 978-953-51-1167-2 1999. Ecology of Insects, Concepts and

241 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 233-241 (ISSN : 2303-2162)

Applications.Blackwell Science,Ltd. 169 – 179

Van Swaay, C.A.M., Brereton, T., Kirkland, P. and Warren, M.S. (2012) Manual for Butterfly Monitoring. Report VS2012.010, De Vlinderstichting/Dutch Butterfly Conservation, Butterfly Conservation UK & Butterfly Conservation Europe, Wageningen.

Trisnawati, D. 2009. Analisis Indeks Geomorfik Dalam Menentukan Pengaruh Tektonik Pada Sub Daerah Aliran Sungai Oyo. Universitas Diponegoro. Diunduh 11 November 2014 dari http://eprints.undip.ac.id/20994/1/Devin a_T.pdf

Wardhana, W.A., 1995, Dampak Pencemaran Lingkungan, Yogyakarta: Andi Offset Watson, J.A.L., 1984. A Second Australian Species in the Orthethrum sabina Complex (Odonata: Libellulidae). J. Aust. Ent. Soc 23: 1-10

242 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 242-247 (ISSN : 2303-2162)

Intensitas Serangan Semut pada Tanaman Buah Naga (Hylocereus sp.) di Kota Pariaman, Sumatera Barat

The Intensity Attack of on Dragon Fruit (Hylocereus sp.) in Pariaman City, West Sumatera

Halimah Tus Sakdiah*), Henny Herwina dan Mairawita

Laboratorium Taksonomi Hewan, Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat 25163 *) koresponden: [email protected]

Abstract

A study about the intensity attact of ant in dragon fruit (Hylocereus sp.) plantation was conducted on September 2015 in Pariaman City, West Sumatera. The were collected by using free collection method with purposive sampling techniques. About 10% of the dragon fruit plant in the study location was observed. The result showed that the intensity attack on dragon fruit was caused by fire ant Solenopsis geminata (25%).

Keywords: ant, Intensity attack, dragon fruit

Pendahuluan Mairawita (2002) melaporkan adanya indikasi yang kuat bahwa serangga berperan Buah naga (Hylocereus) merupakan kaktus penting dalam penyebaran penyakit pada liar yang berasal dari wilayah di Amerika beberapa tanaman perkebunan. Herwina dan Tengah dan Amerika Latin (Meksiko dan Yaherwandi (2102) melaporkan jenis-jenis Kolombia). Saat ini spesies ini telah semut pada perkebunan kakao dan (Herwina menyebar ke seluruh dunia terutama daerah et al., 2013) mengenai jenis-jenis semut pada tropis dan subtropis (Zee, Yen, dan Nishina, tanaman pisang yang terjangkit gejala 2004). Tanaman buah naga mulai masuk ke Banana Bunchy-top Virus (BBTV). Sumatera Barat sejak lima tahun terakhir. Semut tergolong hama pada tanaman Tempat yang menjadi sentra penanaman buah naga karena menyebabkan kerusakan adalah Kabupaten Padang Pariaman, pada masa pembungaan dan pembuahan Pasaman, Kabupaten Solok dan Padang (Bellec, Vailant dan Imbert, 2006). Data (Jumjunidang, Riska dan Muas, 2012). Department Agriculture of US (2011) Menurut McMahon (2003) buah naga menemukan empat spesies semut hama untuk tidak luput dari serangan hama dan penyakit. buah naga di Thailand. Merten (2003) Terdapat dua penyakit yang paling sering melaporkan bahwa semut yang menjadi hama dijumpai yaitu busuk lunak batang dan di perkebunan buah naga berasal dari genus antraknosa. Penyakit pada buah naga Solenopsis yang tergolong semut invasif. Di disebabkan oleh infeksi dimulai dari area luka Sumatera Barat Herwina et al., (2014) (khususnya jaringan batang) yang disebabkan menemukan lima jenis semut hama pada oleh gigitan serangga, namun sampai saat ini perkebunan buah naga yaitu: Monomorium belum teridentifikasi jenis serangganya. floricola, Solenopsis geminata, Pheidole sp., 243 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 242-247 (ISSN : 2303-2162)

Tapinoma melanocephalum, dan Paratrechina longicornis. Menurut Invasive Database (2016), kelima jenis semut ini tergolong semut invasif. Perkebunan buah naga Sumatera Barat terdapat diantaranya di Nagari Kurai Taji, Keterangan : Kecamatan Pariaman Selatan, Kota Pariaman dengan luas 600 m2. Lahan perkebunan ini P = intensitas kerusakan tanaman buah naga terganggu oleh kehadiran semut yang n = Jumlah tanaman yang memiliki nilai v menyerang tanaman buah naga. Informasi yang sama mengenai intensitas serangan semut pada v = nilai skala tiap kategori serangan tanaman buah naga di Nagari Kurai Taji, Z = nilai skala kategori serangan tertinggi Kecamatan Pariaman Selatan, Kota Pariaman N = banyaknya tanaman buah naga yang belum pernah dilaporkan sebelumnya. diamati.

Penilaian tingkat kategori serangan Metode Penelitian menggunakan skoring 0 sampai 5 (Mohammed et al., 1999) yaitu : Sampel tanaman dikoleksi dari kebun buah 0 = tidak ada kerusakan naga di di Nagari Kurai Taji, Kecamatan 1 = tingkat kerusakan > 0 - 20% Pariaman Selatan, Kota Pariaman, Sumatera 2 = tingkat kerusakan > 20 - 40% Barat. Metode yang digunakan dalam 3 = tingkat kerusakan > 40 - 65% penelitian ini adalah metoda free collection 4 = tingkat kerusakan > 65 - 80% dengan teknik porposive sampling. 5 = tingkat kerusakan > 80 - 100% Pengamatan dilakukan pada 10% dari total jumlah tanaman yang terdapat pada dengan kriteria serangan sebagai berikut: perkebunan buah naga Semut yang diamati 0 %= Tidak ada serangan; 1%-20%= pada tanaman sampel, dikoleksi kemudian serangan ringan; 20,1%-40%= serangan agak diidentifikasi di laboratorium untuk diketahui berat; 40,1%-60%= serangan berat, >60%= jenisnya. Pengidentifikasian sampel semut serangan sangat berat. dilakukan di Laboratorium Taksonomi Hewan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Hasil dan Pembahasan Universitas Andalas, Padang dengan merujuk pada buku (Jaitrong, Weeyawat and J. Pada penelitian mengenai intensitas serangan Nabhitabhata, 2005). semut pada tanaman buah naga, ditemukan sebanyak 6 jenis semut yang mengunjungi Pengamatan intensitas serangan semut pada tanaman buah naga, jenis tersebut adalah perkebunan buah naga Tapinoma melanocephalum (Fabricus, 1793), pacificum (Mayr, 1870), Data persentase serangan semut pada Polyrachis (Cyrtomyrma) sp. of HH, perkebunan buah naga didapatkan dengan Solenopsis geminata (Fabricus, 1804) dan menghitung tanaman yang menunjukkan Monomorium florica (Jerdon, 1851), terdapat gejala bintik hitam akibat gigitan semut. dua jenis semut yang tidak didapatkan oleh Persentase tanaman terserang dihitung Herwina et al., (2014) pada perkebunan buah dengan menggunakan rumus Mohammed et naga di Sumatera Barat yaitu dari genus al. (1999): Polyrachis dan Tetramorium. Hal tersebut disebabkan karena adanya perbedaan vegetasi pada masing-masing kebun buah naga. 244 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 242-247 (ISSN : 2303-2162)

S. geminata ditemukan dengan terjadinya kontaminasi pestisida pada jumlah individu paling banyak, diikuti oleh T. ekosistem (Matlock dan Cruz, 2003). melanocephalum. T. melanocephalum ditemukan pada tanaman buah naga akan Tabel 1. Persentase serangan semut pada tetapi tidak menimbulkan kerusakan pada buah naga di Nagari Kurai Taji, Kecamatan tanaman buah naga, sedangkan S. geminata Pariaman Selatan, Pariaman, Sumatera Barat. merusak tanaman dengan cara menggigit serta menimbulkan lubang pada tanaman Nilai skala Intensitas Buah buah naga. kategori kerusakan Naga serangan (V) tanaman (%) Intensitas serangan semut S. geminata pada 1 2 20 tanaman buah naga Nagari Kurai Taji, 2 3 30 Kecamatan Pariaman Selatan, Kota 3 2 20 Pariaman, Sumatera Barat. 4 2 20 5 3 30 Persentase rata-rata intensitas 6 3 30 serangan semut S. geminata pada perkebunan 7 2 20 buah naga adalah 25% (Tabel 1). Data ini 8 2 20 menunjukan bahwa persentase serangan dapat dikatakan agak berat pada perkebunan buah 9 3 30 naga. Menurut Agrios (1997), intensitas 10 3 30 serangan semut dipengaruhi oleh faktor 11 3 30 lingkungan di sekitar area pertanaman 12 2 20 tersebut yang mendukung semut untuk Rata-rata 25 menyerang, termasuk suhu dan kelembaban. Lakshmikantha et al., (1996) Kondisi tanah kemungkinan melaporkan bahwa semut ini menimbulkan merupakan salah satu faktor penyebab kerugian karena mengerogoti batang dari tingginya jumlah S. geminata pada umbi kentang. S. geminta juga memakan biji perkebunan buah naga. Tanah yang kering gulma dalam beberapa kasus pertanian di merupakan sarang yang baik untuk semut ini Eropa (Way and Khoo, 1992). Penelitian menyimpan makanan. Menurut Carroll and yang dilakukan di Eropa oleh Bellec et al., Risch (1983) S. geminata menyimpan (2006) melaporkan semut yang menjadi hama makanannya didalam lubang yang dibuat di di pertanaman buah naga biasanya berasal dalam tanah yang kering, semakin tinggi dari genus Atta dan Solenopsis. Semut gundukan sarang berarti semakin banyak terkadang ditemukan pada buah dan bunga makanan yang disimpan. tanaman buah naga yang masih kuncup Berdasarkan pengamatan di lapangan (Mizrahi and Nerd, 1999). Sebagai jika satu tunas muda dalam satu batang buah perbandingan Pheidole megacephala dan naga diserang oleh S. geminata maka tunas Linepithema humile hanya menyebabkan muda yang lainnya juga akan terserang. kerusakan ringan pada tanaman buah naga di Hama semut ini biasanya muncul ketika Hawai (Chang and Ota, 1976). tanaman buah naga mulai muncul kuntum S. geminata adalah semut predator bunga yang mengakibatkan kulit buah yang banyak ditemukan baik di ekosistem menjadi berbintik–bintik. Jika serangan yang telah dikelola manusia (Agroekosistem) semut ini parah maka akan mengakibatkan maupun ekosistem asli (Wetterer dan pentil buah naga menjadi kerdil bahkan Snelling, 2006). Selain berfungsi sebagai mudah rontok dan semut ini biasanya juga predator, semut dapat juga dijadikan indikator muncul pada saat tumbuh tunas atau cabang baru. 245 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 242-247 (ISSN : 2303-2162)

sehingga apabila perkebunan buah naga diserang dalam intensitas yang tinggi oleh semut ini, dapat menyebabkan masalah yang serius bagi perkebunan buah naga.

Gambar 1. Morfologi lateral tubuh semut Solenopsis geminata Fabricius, 1804) yang ditemukan pada perkebunan buah naga di Nagari (A) (B) Kurai Taji, Kecamatan Pariaman Selatan, Pariaman, Sumatera Barat.

Data Departement of Agriculture of US, 2011; FAO, 2015; PPD, 2006) melaporkan S. geminata sebagai salah satu jenis semut yang menjadi hama diperkebunan buah naga yang menyerang bagian buah, bunga dan juga bagian akar, hal ini juga (C) (D) sejalan dengan yang dilaporkan Cuc (2000) bahwa kerusakan yang disebabkan oleh semut akan meimbulkan bintik-bintik putih yang dikelilingi oleh warna hijau kegelapan, akan tetapi kondisi ini tidak sampai merusak kedalam daging buah. Dalam kasus lain, kerusakan yang ditimbulkan oleh gigitan semut akan menimbulkan bintik-bintik hitam pada buah yang hampir matang. (E) (F) Serangan semut ini kemungkinan disebabkan oleh sistem budidaya tanaman Gambar 2. Tanaman buah naga dan semut yang secara monokultur, jarak tanam yang rapat menyerang perkebunan buah naga di Nagari Kurai yang menyebabkan semut dapat berpindah Taji, Kecamatan Pariaman Selatan, Pariaman, dengan mudah. Chou (2006), menyatakan Sumatera Barat (A) Bakal calon buah yang digigit S. geminata; (B) penampilan batang buah naga bahwa monokultur yang merupakan cara setelah digigit S. geminata; (C) Bintik hitam pada budidaya perkebunan dengan menanam satu buah yang digigit S. geminata; (D) S. geminata jenis spesies pada satu areal yang luas, dapat sedang menggigit batang buah naga; (E) Tunas menimbulkan resiko penyakit yang besar baru yang sedang dikelilingi oleh S. geminata; (F) karena dapat memudahkan penyebaran hama Bagian batang yang berlendir disebabkan oleh penyakit pada tanaman. gigitan S. geminata. Jumjunidang (komunikasi pribadi) juga menemukan serangan semut S. geminata pada beberapa perkebunan buah naga di Sumatera Barat, bekas gigitan dari S. geminata dapat menjadi sumber infeksi bagi patogen penyakit untuk berkembang, 246 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 242-247 (ISSN : 2303-2162)

Kesimpulan of Economic Entomology 69: 447- 450. Intensitas serangan semut pada kebun buah naga di Kecamatan Pariaman Selatan, Padang Chou, C. K. S. 2006. Monoculture, Species Pariaman didapatkan dengan rata-rata 25% Diversification and Disease Hazards (termasuk dalam kategori agak berat) yang in Forestry. N.Z. Journal of disebabkan oleh serangan semut Solenopsis Forestry 2(2): 20-34. geminata. Cuc, N.T.T. 2000. Cay Thang Long – Ucapan Terima Kasih Hylocereus undatus Haw. – Cactaceae. In: Insect Pests and Ucapan terima kasih disampaikan kepada Mites of Fruit Plants in the Mekong Prof. Dahelmi, Dr. Resti Rahayu dan Izmiarti Delta of Viet Nam and their M.S atas semua masukan dan sarannya untuk Management, pp. 292-296. Nha penelitian ini, Rijal Satria M.Sc, Robby Xuat Ban Nong Nhgiep, Ho Chi Janatan M.Si, Jumjunidang dari BALITBU, Minh City. Solok, Sumatera Barat yang telah membantu selama proses penelitian, serta staf Kantor [FAO] Food and Agriculture Organization. UPT BPP Kecamatan Pariaman Selatan, Kota 2015. Fruit of Vietnam. FAO Pariaman, Sumatera Barat. Corporate Document Repository. http://www.fao.org . 6 Januari 2016. Daftar Pustaka

Department of Agriculture United States. Herwina dan Yaherwandi. 2012. Study of 2011. Pest list for the importation Ants (: Formicidae) in of Dragon Fruit (multiple genera Solok District Cacao Plantation, and species) into the Continental West Sumatera. Proseeding United Stated from Thailand. Semirata BKS-PTN B. Medan. http://www.acfs.go. Pdf. 6 Januari ISBN 978-602-9155-20-8 2016. Herwina, H., N. Nasir, Jumjunidang, dan Agrios G. N. 1997. Plant Pathology. Yaherwandi. 2013. The Academic Press. New York. composition of ant species on banana plants with Banana Bunchy- Bellec, F. L., F. Vaillant and E. Imbert. 2006. top virus (BBTV) symptoms in Pitahaya (Hylocereus spp.) A New West Sumatera, Indonesia. Jurnal Fruit Crop a Market with a Future. Asian Myrmicology 5: 151-161 http:/www.caribfruits. pdf. Diakses pada 6 Januari 2016. Herwina. H., R. Satria., D. Putri and Ranny. 2014. Ant Species (Hymenoptera: Carroll, C. R. and S. J. Risch. 1983. Tropical Formicidae) in Dragon Fruit annual cropping systems: ant Plantation (Hylocereus spp.) of ecology. Environmental West Sumatra, Indonesia. The Management 7: 51-57. Asian Conference on the Life Sciences and Sustainability Official Chang, V. C. S. and A. K. Ota. 1976. Fire ant Proceedings. Hiroshima, Japan. damage to polyethylene tubing used in drip irrigation systems. Journal Jaitrong, Weeyawat and J. Nabhitabhata. 2005. A List of Known Ant Species of 247 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 242-247 (ISSN : 2303-2162)

Thailand (Formicidae: Hymenoptera). Banana Plants at Nursery Stage for National Science Museum. Thailand. Fusarium Wilt Tolarance. dalam Banana Fusarium with Jumjunidang, Riska dan Muas. 2012. Manageman. Towards substainable Outbreak Penyakit Busuk Batang cultivation. Proceedings of the pada Tanaman Buah Naga di International workshop of the Sumatra Barat. Balittro. Solok. banana Fusarium wilt disease, Malaysia 18-20 October 1999. Lakshmikantha, B. P., N. Lakshminarayan, p147-186. G.T. Musthakali and G. K. Veeresh. 1996. Fire-ant damage to potato in PPD. 2006. Vietnam Ministry of Agriculture Bangalore. Journal of the Indian and Rural Development, Plant Potato Association 23: 75-76. Protection Department. List of pests associated with Dragon Fruit in Mairawita. 2012. Pola Penyebaran Penyakit Vietnam, in Draft of PRA report on dan Karkterisasi serta Mekanisme Importation of Dragon fruit from Transmisi Serangga Vector dalam Vietnam into the United States. Penyebaran Penyakit Darah http://www.pra.us 6 Januari 2016. Bakteri (Ralstonia Solanacearum Phylotipe IV) pada Tanaman Way, M. J. and K. C. Khoo. 1992. Role of Pisang. Disertasi Pasca Sarjana ants in pest management. Annual Universitas Andalas. Padang. Review of Entomology 37: 479-503.

Matlock, R. B. Jr. and R. D. Cruz 2002. An Wetterer, J.K. and R.R. Snelling, 2006. The Inventory of Parasitic Hymenoptera Red Imported Fire Ant, Solenopsis in Banana Plantation Under Two invicta, in The Virgin Islands Pesticide Regimes. Agric Ecosyst (Hymenoptera: Formicidae). and Environ 93: 147-164. Florida Entomologist 89(4): 431– 434. McMahon, G. 2003. Pitaya (Dragon Fruit). Northern Territory Government. Zee, F., C. R. Yen and M. Nishina. 2004. Department Of Primary Industry, Pitaya (dragon fruit, strawberry Fisheries And Mines. pear). Fruit and Nuts (9) 1-3. http://www.Nt.Gov 6 Januari 2016.

Merten, S. 2003. A Review of Hylocereus Production in USA. http://www.jpacd.org.pdf 6 Januari 2016.

Mizrahi, Y and A. Nerd. 1999. Climbing and Columnar Cacti: New Arid Land Fruit Crops. In: Janick J. (Ed.), Perspective on New Crops and New Uses. USA. ASHS Press. Pp. 358- 366.

Mohammed, A. A., C. Mak, K. W. Liew and Y. W. Ho. 1999. Early Evaluation 248 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 248-257 (ISSN : 2303-2162)

Semut Subfamili Myrmicinae di Suaka Alam Maninjau Utara Selatan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat Ant subfamily Myrmicinae at Maninjau Utara Selatan Nature Reserve, Agam District, West Sumatra

Susan Septriani*), Henny Herwina dan Mairawita

Laboratorium Riset Taksonomi Hewan, Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Andalas, Limau Manis Padang 25163 *)Koresponden: [email protected]

Abstract

Research about inventory of ants Myrmicinae (Hymenoptera: Formicidae) in Nature Reserve Maninjau Utara-Selatan, Agam, West Sumatra was conducted from June to December 2015 by using the "Quadra protocol" which consist of a combination of four methods: free collection, leaf litter sampling, soil sampling, honey bait. A total of 19 species, 9 genera, 5 tribe were collected. Pheidole was found as genus with the highest number of species (9 species), followed by Crematogaster (3 species).

Keywords: Ants, Myrmicinae, Quadra protocol, Maninjau Nature Reserve

Pendahuluan 900 spesies di dunia yang telah dideskripsikan. Subfamili Myrmicinae Semut merupakan kelompok serangga yang tersebar di seluruh dunia baik di daerah memiliki peranan penting dalam ekosistem tropis, subtropis maupun daerah temprate. (Kaspari, 2000) diantaranya berasosiasi Suaka Alam Maninjau Utara Selatan dengan organisme lain, menjadi predator dan merupakan kawasan hutan yang secara pemangsa (Schultz dan McGlynn, 2000; administratif terletak di Kabupaten Agam Folgarait, 1998). Selain berperan dalam dengan luas ± 22.106 Ha. Kawasan hutan ini ekologi, keberadaan semut di suatu area dapat sebagian tumbuh di bukit-bukit yang curam digunakan sebagai biomonitoring konservasi yang mengelilingi danau Maninjau (BKSDA, dan pengelolaan kawasan (Agosti et al., 2007). Jenis-jenis tumbuhan di Kawasan 2000). Semut adalah kelompok serangga Suaka Alam Maninjau Utara Selatan sosial dan memiliki jumlah yang berlimpah didominasi oleh jenis-jenis seperti surian (Hansen dan Art, 2011). Keberadaannya yang (Tonna sureni), bayur (Pterospermum banyak dan penyebarannya yang sangat luas javanicum) dan medang (Litsea spp) menyebabkan semut dapat ditemukan di (Munawaroh, 2009). Selain itu kawasan ini habitat darat dengan jumlah individu yang memiliki keanekaragaman yang tinggi baik melebihi kebanyakan hewan-hewan di darat itu flora maupun faunanya yang belum lainnya (Borror et al., 2005). Salah satu dari terungkap dan belum pernah dilaporkan salah subfamili semut yang memiliki jumlah dan satu diantaranya adalah semut. Oleh karena penyebaran yang luas adalah subfamili itu, hal ini menjadi suatu kajian yang menarik Myrmicinae. untuk dibahas dan dikaji lebih jauh. Menurut Eguchi (2001), Myrmicinae merupakan subfamili semut yang memiliki jumlah genera yang paling banyak, lebih dari 249 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 248-257 (ISSN : 2303-2162)

Metode Penelitian menyatakan bahwa Pheidole adalah kelompok yang dominan di dunia. Penelitian ini dilakukan di Suaka Alam Hilmi, Herwina dan Dahelmi (2015) Maninjau Utara Selatan, Kabupaten Agam, di Cagar Alam Rimbo Panti, Sumatera Barat Sumatera Barat. Pengambilan sampel menemukan 25 jenis semut yang tergolong ke dilakukan dengan mengikuti standar dalam subfamily Myrmicinae, dimana pengumpulan semut “Quadra Protocol” Pheidole juga merupakan genus yang paling dengan menggunakan kombinasi empat banyak didapatkan jenisnya (11 jenis). metode yaitu Hand collection (HC), Leaf Jumlah jenis yang didapatkan pada kawasan litter sifting (LLS), Soil sampling (SS), ini lebih sedikit dibandingkan dengan yang Honey bait (HB) (Hashimoto, Yamane dan ditemukan Hilmi et al., (2015). Hal ini diduga Mohamed, 2001). Penelitian ini dilakukan di karena adanya perbedaan lokasi, pengaruh dua lokasi yaitu di pinggir hutan dan di dalam dari keadaan lingkungan seperti keragaman hutan, dimana pada masing-masing lokasi jenis tumbuhan, suhu dan kelembaban. dibuat satu transek sepanjang 180 m yang Jenis semut yang didapatkan ini bisa dibagi menjadi 3 subtransek, masing-masing ditemukan di pohon, ranting kayu, di bawah subtransek berukuran 60 meter. batu, serasah, ditumpukan kayu lapuk, dan di Beberapa parameter yang diukur saranngnya dengan metoda hand collecting, mengacu kepada Eguchi (2000): Panjang honey bait trap, soil core sampling dan leaf Total (PT), Lebar Kepala (LK), Panjang litter sifting, pada dua tipe area (pinggir dan Kepala (PK), Panjang Scape (PS), Panjang dalam hutan). Deskripsi dari setiap jenis yang Alitrunk (PA), Panjang Femur (PF). didapatkan adalah sebagai berikut: Pengidentifikasian diupayakan sampai tingkat spesies demgan menggunakan buku panduan: Tribe Attini, Genus Pheidole Westwood, (Bolton, 1994; Hashimoto, 2003 dan 1839. Karakteristik dari genus Pheidole Jaitrong, 2011). Sampel yang hanya adalah antenna terdiri dari 12 segmen teridentifikasi sampai genus diberi kode termasuk scape; tiga segmen pada ujung dibelakang genus sesuai collector (SKY: antenna berukuran lebih besar (segmen club); collector adalah Seiki Yamane, Kagoshima mandibula dengan tipe triangularis; thorak University dan HH: collector adalah Henny dilihat dari bagian lateral, sisi dorsal dari Herwina, Universitas Andalas). propodeum lebih rendah dari pronotum (mengalami penyempitan pada bagian Hasil dan Pembahasan mesonotum); propodeum memiliki sepasang duri; petiole mempunyai dua nodus; genus ini Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada umumnya bersifat dimorphisme dimana mengenai jenis-jenis semut Subfamili minor dan major worker dapat dibedakan Myrmicinae di Kawasan Suaka Alam dengan jelas (Hashimoto, 2003). Maninjau Utara-Selatan, Kabupaten Agam Pheidole aristoteles Forel, 1911. Sumatera Barat didapatkan 19 jenis, 5 tribe, 9 Deskripsi dari jenis ini adalah memiliki genera, dan 1.824 individu (Tabel 1). mandibula dengan tipe triangularis; mata Pheidole merupakan genus yang paling kecil; frontal carinae lurus; sisi dorsal banyak didapatkan yaitu sebanyak 9 jenis, pronotum berbentuk cembung dan diikuti oleh genus Crematogaster sebanyak 3 permukaannya licin; sisi dorsal mesonotum jenis. Menurut Eguchi (2000), genus sedikit cembung; propodeum cembung dan Pheidole merupakan kelompok yang memiliki duri; gaster berbentuk oval; tubuh memiliki jenis yang beragam di dunia. Pada ditutupi oleh rambut-rambut halus yang kawasan Indo-Malaya terdapat 52 spesies panjang; petiole lebih kecil daripada dari genus Pheidole. Wilson (2005) postpetiole; tubuh berwarna kuning kecoklatan. Pengukuran parameter tubuh 250 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 248-257 (ISSN : 2303-2162)

(n=6); panjang tubuh 2,00-2,20 mm; lebar 0,70 mm (Gambar 1, A). kepala 0,50-0,50 mm; panjang alitrunk 0,60-

Tabel 1. Subfamili Myrmicinae, Tribe, Jenis dan jumlah individu semut yang didapatkan di Suaka Alam Maninjau Utara Selatan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Subfamili No. Tribe Total Jenis Myrmicinae Attini 1. Pheidole aristoteles Forel, 1911 6 2. Pheidole longipes (Latreille, 1802) 882 3. Pheidole quadrensis (Forel, 1900) 1 4. Pheidole sp. 1 of HH 16 5. Pheidole sp. 3 of HH 4 6. Pheidole sp. 5 of HH 5 7. Pheidole sp. 12 of HH 314 8. Pheidole sp. 17 of HH (Mayor) 3 9. Pheidole sp. 18 of HH 1 10. Strumygenis sp. 2 of HH 2 Crematogastrini 11. Acanthomyrmex ferox Emery, 1893 50 12. Crematogaster (Decacrema) borneensis 8 Andre, 1896 13. Crematogaster(Orthocrema) longipilosa 8 Forel, 1907 14. Crematogaster (Paracrema) modigliani 16 Emery, 1990 15. Pheidogleton sileneus Smith, 1858 149 16. Tetramorium pacificum Mayr, 1870 1 Pheidolini 17. Lophomyrmex bedoti Emery, 1893 11 Solenopsidini 18. Myrmicaria sp. of HH 344 Stenammini 19. Aphaenogaster (Deromyrma) cf. feae 3 Emery, 1889 Total Individu 1824 Total Jenis 19 Total Genus 9

Pheidole longipes (Latreille, 1802). Deskripsi panjang daripada pospetiole; permukaan dari jenis ini adalah kepala berbentuk oval; kepala dan pronotum mengkilap; kepala dan antenna terdiri dari 12 segmen termasuk gaster memiliki bulu-bulu halus yang jarang; scape; mandibula memiliki tipe triangularis; femur, tibia dan tarsus ditutupi oleh bulu-bulu mata terletak dibagian pinggir atas kepala; halus yang banyak. Pengukuran parameter kepala dan thoraks jelas terpisah; sisi dorsal tubuh (n=10); panjang tubuh 5,00-5,00 mm; dari pronotum cembung; sisi dorsal dari lebar kepala 0,90-1,00 mm; panjang alitrunk mesonotum cekung; propodeum memiliki 1,80-2,00 mm (Gambar 1, B). sepasang duri yang pendek; petiole lebih 251 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 248-257 (ISSN : 2303-2162)

Pheidole quadrensis (Forel, 1900). kepala; mandibula dengan tipe triangularis; Deskripsi dari jenis ini adalah mandibula memiliki antennal socket; sisi dorsal triangularis; sisi dorsal pronotum cembung; pronotum lebih cembung dibandingkan pronotum memiliki sepasang duri yang bagian mesonotum; propodeum memiliki panjang; propodeum memiliki sepasang duri sepasang duri; petiole dengan dua nodus yang yang lebih pendek dari pronotum; petiole jelas; permukaan kepala, pronotum, petiole dengan dua nodus yang jelas; memiliki dan gaster licin dan mengkilap; mesonotum peduncle; petiole membulat pada bagian atas; dan propodeum sedikit kasar dengan bintik- postpetiole berukuran lebih besar bintik kecil; tubuh ditutupi oleh bulu-bulu dibandingkan petiole; permukaan kepala, halus yang jarang. Pengukuran parameter mesosoma dan petiole tidak licin dan tubuh (n=5); panjang tubuh 1,50-2,00 mm; mengkilap seperti gaster; tubuh ditutupi oleh lebar kepala 0,50 mm; panjang alitrunk 0,60- bulu-bulu halus; seluruh tubuh berwarna 0,80 mm (Gambar 1, G). coklat kemerahan. Pengukuran parameter Pheidole sp. 12 of HH. Deskripsi dari tubuh (n=1); panjang tubuh 3,00 mm; lebar jenis ini adalah mandibula triangularis; tidak kepala 1,80 mm; panjang alitrunk 1,80 mm memiliki antennal socket; memiliki clypeus (Gambar 1, C). dan frontal carinae lurus; sisi dorsal dan Pheidole sp. 1 of HH. Deskripsi dari mesonotum cembung; propodeum cembung jenis ini adalah kepala berbentuk persegi dan tetapi lebih kecil dibandingkan pronotum; pipih bila dilihat dari arah lateral; mata kecil propodeum memiliki sepasang duri yang yang terletak di bagian pinggir tengah kepala; kecil; petiole dengan dua nodus yang terpisah tidak memiliki antennal scrobe; antenna jelas; petiole lebih kecil dibandingkan dengan terdiri dari 12 segmen; memiliki antennal postpetiole; permukaan tubuh licin dan socket; thorak dilihat dari bagian lateral, sisi mengkilap serta ditutupi oleh bulu-bulu dorsal dari pronotum dan mesonotum halus; kepala, thorak berwarna kuning; gaster cembung; propodeum memiliki duri; petiole berwarna kuning kehitaman. Pengukuran lebih lebar dibandingkan post petiole; parameter tubuh (n=10); panjang tubuh 2,50- permukaan kepala licin dan berwarna coklat; 3,00 mm; lebar kepala 0,50-0,70 mm; tubuh ditutupi oleh bulu-bulu yang halus. panjang alitrunk 0,70-1,00 mm (Gambar 1, Pengukuran parameter tubuh (n=10); panjang F). tubuh 2,00-2,20 mm; lebar kepala 0,50-0,60 Pheidole sp. 17 of HH. Deskripsi dari mm; panjang alitrunk 0,60-0,70 mm (Gambar jenis ini adalah memiliki mata kecil; memiliki 1, D). antennal socket; frontal carinae melebar Pheidole sp. 3 of HH. Deskripsi dari kesamping; sisi dorsal pronotum cembung; jenis ini adalah kepala berbentuk oval; scape mesonotum terlihat menyatu dengan lebih panjang dari kepala; memiliki tiga propodeum; propodeum memiliki sepasang segmen club; tipe mandibula berbentuk duri; gaster berbentuk oval; petiole membulat triangular; pada propodeum terdapat duri; keatas; permukaan tubuh ditutupi oleh bulu- petiole dengan tipe squamiform; petiole bulu halus. Pengukuran parameter tubuh memiliki ukuran yang kecil dibandingkan (n=3); panjang tubuh 2,00-2,20 mm; lebar postpetiole; gaster membulat dan ditutupi kepala 0,80-0,80 mm; panjang alitrunk 0,60- oleh bulu-bulu halus; tubuh berwarna coklat 0,70 mm (Gambar 1, H). kemerahan. Pengukuran parameter tubuh Pheidole sp. 18 of HH. Deskripsi dari (n=4); panjang tubuh 3,50-4,40 mm; lebar jenis ini adalah mandibula dengan tipe kepala 0,90-1,00 mm; panjang alitrunk 1,10- triangularis; memiliki antennal socket dan 1,40 mm (Gambar 1, E). clypeus; antennal scrobe tidak terlihat jelas; Pheidole sp. 5 of HH. Deskripsi dari sisi dorsal pronotum dan mesonotum jenis ini adalah kepala berbentuk oval pipih; cembung; propodeum cembung, lebih kecil mata kecil terdapat di bagian pinggir tengah dibandingkan dengan pronotum; propodeum 252 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 248-257 (ISSN : 2303-2162) memiliki sepasang duri yang panjang; petiole bagian petiole memiliki sepasang duri; dengan dua nodus yang jelas; petiole permukaan tubuh kasar dengan pola berukuran kecil dibanding postpetiole; post berlubang; permukaan gaster licin; mata petiole berbentuk bulat; memiliki peduncle terletak dibagian pinggir tengah kepala; yang panjang; permukaan kepala, petiole dan kepala dan mesosoma memiliki warna merah gaster licin dan mengkilap; bagian mesosoma kecoklatan; gaster memiliki warna coklat. agak kasar; tubuh berwarna coklat kehitaman. Pengukuran parameter tubuh (n=10); panjang Pengukuran parameter tubuh (n=1); panjang tubuh 4,00-4,10 mm; lebar kepala 1,00-1,10 tubuh 2,80 mm; lebar kepala 1,60 mm; mm; panjang alitrunk 1,10-1,20 mm (Gambar panjang alitrunk 1,20 mm (Gambar 1, I). 2, K). Genus Strumygenis Smith, 1860. Genus Crematogaster Lund, 1831. Karakteristik dari genus Strumygenis adalah Karakteristik dari genus Crematogaster kepala berbentuk segitiga atau hati; antenna adalah memiliki antenna 10-11 segmen; pendek terdiri dari 4-6 segmen; dua segmen terdapat sepasang duri pada propodeum; pada bagian ujung antenna berukuran lebih memiliki dua nodus yaitu petiole dan besar; memiliki rahang panjang dan postpetiole dimana postpetiole berada pada melengkung; terdapat duri pada bagian permukaan atas dari gaster; bagian ujung propodeum; petiole mempunyai dua nodus gaster meruncing (Hashimoto, 2003). (Hashimoto, 2003). Crematogaster (Decacrema) Strumygenis sp. 2 of HH. Deskripsi borneensis Andre, 1896. Deskripsi dari jenis dari jenis ini adalah kepala berbentuk segitiga ini adalah kepala bulat; tidak memiliki (triangular) pipih; mandibula panjang dan antennal scrobe; memiliki antennal socket; menyempit; propodeum memiliki sepasang pronotum dan mesonotum cembung dilihat duri yang kecil; mesonotum terlihat menyatu dari arah lateral; propodeum memiliki duri dengan pronotum; scape lebih pendek dari yang kecil; postpetiole bersambung dengan kepala; mempunyai dua nodus petiole yang gaster segmen pertama; gaster memanjang berbentuk bulat; tubuh berwarna coklat dan memiliki sting; tubuh ditutupi oleh bulu- keemasan; tubuh ditutupi oleh makro setae bulu halus; seluruh tubuh berwarna coklat yang jarang. Pengukuran parameter tubuh kehitaman. Pengukuran parameter tubuh (n=2); panjang tubuh 2,00-3,00 mm; lebar (n=8); panjang tubuh 2,00-2,80 mm; lebar kepala 0,50-0,80 mm; panjang alitrunk 0,70- kepala 0,40-0,50 mm; panjang alitrunk 0,05- 1,00 mm (Gambar 1, J). 0,07 mm (Gambar 2, L). Genus Acanthomyrmex Emery, 1893. Crematogaster (Orthocrema) Karakteristik dari genus Acanthomyrmex longipilosa Forel, 1907. Deskripsi dari jenis adalah antenna terdiri dari 12 segmen; bentuk ini adalah memiliki 3 segmental club; tidak mandibula triangularis; memiliki 2 nodus memiliki frontal carinae dan lobe; mandibula (petiole dan postpetiole); terdapat sepasang lebar dengan tipe triangularis; kepala duri pada bagian mesonotum yang berukuran berbentuk bulat; mata besar terletak di bagian pendek; propodeum dan pronotum memiliki piggir tengah kepala; sisi dorsal pronotum satu pasang duri (Bolton, 1994) dan dan mesonotum cembung dengan adanya (Hashimoto 2003). bulu-bulu halus; propodeum memilki duri; Tribe Crematogastrini, gaster oval memanjang dengan bagian Acanthomyrmex ferox Emery, 1893. terakhir segmen yang meruncing di ujungnya; Deskripsi dari jenis adalah antenna terdiri tubuh berwarna coklat kekuningan. dari 12 segmen; tipe mandibula berbentuk Pengukuran parameter tubuh (n=8); panjang triangularis; pronotum dan propodeum tubuh 1,90-3,20 mm; lebar kepala 0,50-0,70 memiliki sepasang duri yang panjang; mm; panjang alitrunk 0,05-0,08 mm (Gambar memiliki 2 nodus (petiole dan postpetiole), 2, M). 253 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 248-257 (ISSN : 2303-2162)

(L) (FK) (L) (FK)

(A) (B)

(L) (FK) (L) (FK

(C) (D))

(L) (FK) (L) (FK)

(E) (F)

(L) (FK) (L) (FK)

(G) (H)

(L) (FK) (L) (FK)

(I) (J) Gambar 1. Semut subfamily Myrmicinae yang ditemukan di Suaka Alam Maninjau Utara Selatan, Kab. Agam, Sumatera Barat. Sisi lateral (L) dan frontal kepala (FK): (A) Pheidole aristoteles Forel, 1911, (B) Pheidole longipes (Latreille, 1802), (C) Pheidole quadrensis (Forel, 1900), (D) Pheidole sp. 1 of HH, (E) Pheidole sp. 3 of HH, (F) Pheidole sp. 12 of HH, (G) Pheidole sp. 5 of HH, (H) Pheidole sp. 17 of HH, (I) Pheidole sp.18of HH, (J) Strumygenis sp. 2 of HH.

254 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 248-257 (ISSN : 2303-2162)

(Lanjutan Gambar 1.)

(L) (FK) (L) (FK)

(K) (L)

(L) (FK) (L) (FK)

(M) (N)

(L) (FK) (L) (FK) 1 mm (O) (P)

(L) (FK) (L) (FK)

(Q) (R)

(L) (FK)

(S) (K) Acanthomyrmex ferox Emery, 1893, (L) Crematogaster (Decacrema) borneensis Andre, 1896, (M) Crematogaster (Orthocrema) longipilosa Forel, 1907, (N) Crematogaster (Paracrema) modigliani Emery, 1990, (O) Pheidogleton sileneus Smith, 1858, (P) Tetramorium pacificum Mayr, 1870, (Q) Lophomyrmex bedoti Emery, 1893, (R) Myrmicaria sp. of HH, (S) Aphaenogaster (Deromyrma) cf. feae Emery, 1889. 255 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 248-257 (ISSN : 2303-2162)

Crematogaster (Paracrema) propodeum memiliki sepasang duri; petiole modigliani Emery, 1990. Deskripsi dari jenis mempunyai dua nodus (Hashimoto, 2003). ini adalah mandibula berbentuk triangularis; Tetramorium pacificum Mayr, 1870. memiliki antennal socket; antennal scrobe Deskripsi dari jenis ini adalah antenna terdiri tidak jelas terlihat; pronotum dan mesonotum dari 12 segmen; mandibula berbentuk cembung dari sisi dorsal; propodeum triangularis; terdapat sepasang duri pendek memiliki duri; petiole dengan dua nodus yang pada propodeum; permukaan kepala dan terlihat jelas dimana pospetiole berada di thorak agak kasar dan ditutupi oleh bulu-bulu permukaan atas gaster; gaster membesar pada halus; permukaan gaster licin dan ditutupi segmen pertama dan mengecil pada segmen oleh bulu-bulu halus; memiliki dua nodus selanjutnya; tubuh ditutupi oleh bulu-bulu petiole; kepala dan thorak berwarna hitam; halus; tubuh berwarna coklat kehitaman. gaster berwarna coklat dan hitam. Pengukuran parameter tubuh (n=10); panjang Pengukuran parameter tubuh (n=1); panjang tubuh 3,00-4,30 mm; lebar kepala 0,90-1,00 tubuh 4,40 mm; lebar kepala 1,00 mm; mm; panjang alitrunk 1,00-1,20 mm (Gambar panjang alitrunk 1,20 mm (Gambar 2, P). 2, N). Genus Lophomyrmex Emery 1892. Tribe Pheidolini, Genus Karakteristik dari genus Lophomyrmex adalah Pheidogleton Mayr, 1862. Karakteristik dari antenna terdiri dari 12 segmen; tiga segmen genus Pheidogleton adalah antenna pendek antenna berukuran lebih besar; pada thorax, terdiri dari 11 segmen; clypeus halus tanpa segmen pertama merupakan tuberkulum ada daerah longitudinal; memiliki sepasang berduri; bentuk pronatum tinggi seperti duri yang menyerupai tanduk pada pronatum busur; postpetiole dekat dengan pusat anterior dan propodeum; permukaan ventral petiole pada segmen pertama gastral (Hashimoto, dan postpetiole tanpa ada bagian yang lunak; 2003). pekerja memiliki banyak ukuran yang Lophomyrmex bedoti Emery, 1893. berbeda-beda (Bolton, 1994) dan (Hashimoto, Deskripsi dari jenis ini adalah kepala 2003). berbentuk bulat; mata terletak di bagian Pheidogleton sileneus (Smith, 1858). tengah pinggir kepala; tipe mandibula Deskripsi dari jenis ini adalah kepala triangularis; sisi dorsal dari pronotum berbentuk bulat lonjong; terdapat celah pada cembung; sisi dorsal mesonatum cekung; sisi bagian anterior kepala; mata kecil terletak dorsal propodeum cembung serta memiliki dibagian pinggir tengah kepala; antenna sepasang duri; permukaan kepala dan gaster terdiri dari 10 segmen; tipe mandibula licin serta ditutupi oleh rambut-rambut halus; triangularis; pronotum dan propodeum tubuh memiliki warna kuning kecoklatan. memiliki sepasang duri yang pendek; Pengukuran parameter tubuh (n=10); panjang mempunyai dua nodus petiole; kepala tubuh 1,50-2,40 mm; lebar kepala 0,50-0,80 berwarna hitam; thorak dan gaster berwarna mm; panjang alitrunk 0,50-0,80 mm (Gambar coklat dan hitam dan permukaannya ditutupi 2, Q). oleh bulu-bulu halus. Pengukuran parameter Tribe Solenopsidini, Genus tubuh (n=10); panjang tubuh 2,90-3,00 mm; Myrmicaria Saunders, 1842. Karakteristik lebar kepala 0,50-0,70 mm; panjang alitrunk dari genus Myrmicaria adalah antenna terdiri 0,90-1,00 mm (Gambar 2, O). dari 7 segmen termasuk 3 segmental club; Genus Tetramorium Mayr, 1855. terdapat sepasang duri pada propodeum; Karakteristik dari genus Tetramorium adalah peduncle pada petiole panjang; mata besar antenna terdiri dari 11-12 segmen dengan 3 dan seluruh tubuh ditutupi oleh bulu-bulu segmental club; memiliki antennal scrobe; yang jarang (Hashimoto, 2003). mata majemuk terletak di bagian tengah Myrmicaria sp. of HH. Deskripsi dari kepala; mandibula berbentuk triangularis; jenis ini adalah antenna terdiri dari 7 segmen termasuk 3 segmental club; mata besar 256 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 248-257 (ISSN : 2303-2162) terletak di bagian tengah pinggir kepala; Kesimpulan mandibula berbentuk triangularis; Dari penelitian yang telah dilakukan protothorak menyatu (thorak dan kepala mengenai semut dari subfamily Myrmicinae terlihat menyatu); sisi dorsal dari pronotum di Kawasan Suaka Alam Maninjau Utara dan mesonotum cembung dengan pola yang Selatan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat bergerigi; sisi dorsal propodeum cembung didapatkan 19 jenis yang tergolong ke dalam dengan sepasang duri; peduncle panjang; 9 genus dan 5 tribe. Semut yang dominan kepala, thorak, kaki, petiole dan gaster didapatkan adalah genus Pheidole (9 jenis), ditutupi oleh bulu-bulu halus yang banyak; diikuti oleh genus Crematogaster (9 jenis). gaster memiliki sting; tubuh berwarna coklat kehitaman. Pengukuran parameter tubuh Ucapan Terimakasih (n=10); panjang tubuh 5,00-6,00 mm; lebar kepala 1,00-1,50 mm; panjang alitrunk 1,50- Ucapan terimakasih disampaikan kepada 1,90 mm (Gambar 2, R). Rijal Satria M.Sc (Tokyo Metropolitan, Tribe Stenammini, Genus University) dan Diyona Putri M.Si yang telah Aphaenogaster Mayr, 1853. Karakteristik membantu dalam identifikasi sampel semut. dari genus Aphaenogaster adalah memiliki Bapak Prof. Dr. Dahelmi, Zuhri Syam, M.P jumlah antenna 12 segmen dengan 4 dan Ibu Dr. Resti Rahayu atas masukan dan segmental club; permukaan atas kepala saran dalam penulisan dan BKSDA Sumatera memiliki antennal scrobe; bagian mesonotum Barat. Penelitian ini didanai oleh pendanaan dan propodeum seperti tertekan sehingga Hibah Kerjasama Luar Negeri DIKTI 2015 bagian mesosoma tidak sejajar; memiliki dua (SK NO: 09/H.16/KLN-PI/LPPM/2015) nodus petiole yang terlihat jelas; mandibula dengan ketua Dr. Henny Herwina. berbentuk triangularis; pada leher terdapat Daftar Pustaka cincin. (Bolton, 1994) dan (Hashimoto, 2003). Agosti, D., J.D. Majer, L. E. Alonso and T.R. Aphaenogaster (Deromyrma) cf. feae Schultz. 2000. Ants Standard Emery, 1889. Deskripsi dari jenis ini adalah Methods For Measuring and kepala berbentuk bulat; mata besar terletak di Monitoring Biodiversity. Smithonian bagian pinggir tengah kepala; antenna terdiri Institutio Press. Washington, U. S. A. dari 12 segmen termasuk 4 segmental club; BKSDA Sumatera Barat. 2007. Buku memiliki antennal socket; mandibula Informasi Kawasan Konservasi. berbentuk triangularis; mesosoma BKSDA Sumatera Barat. memanjang dan ramping; scape lebih panjang Bolton, B.O.1994. Identification guide to the daripada kepala; sisi dorsal pronotum lebih ant genera of the world. Harvard cembung dibandingkan dengan sisi dorsal University Press, Cambridge, MA. mesonotum dan propodeum; propodeum 222 pp. memiliki bagain yang meruncing seperti duri; Borror, J.D., A.C. Triplehorn and F.N. petiole dan postpetiole terlihat dengan jelas; Johnson. 2005. Pengenalan kepala, mesosoma, petiole dan gaster ditutupi Pelajaran Serangga, Edisi ketujuh. oleh bulu-bulu halus dan memiliki Gadjah Mada University permukaan tubuh yang licin; kepala, Press.Yogyakarta. mesosoma, kaki, petiole dan gaster berwarna Eguchi, K. 2000. Two New Pheidole Species kuning kecoklatan. Pengukuran parameter With A-5 segmented Antennal Club tubuh (n=3); panjang tubuh 5,00 mm; lebar (Hymenoptera: Formicidae). kepala 0,80 mm; panjang alitrunk 1,90-2,00 Entomological Science 3 (4): 687- mm (Gambar 2, S). 692. Eguchi, K. 2001. A Revision of Borneoan Species of the Ants Genus Pheidole 257 Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 248-257 (ISSN : 2303-2162)

(Insecta: Hymenoptera: Formicidae: Kaspari, M. 2000. A Primer on Ant Ecology. Myrmicinae. Tropics, Monograpics In: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, No. 2 ISSN 0917: 415X. Schultz TR (ed.), Ants: Standard Folgarait, P.J. 1998. Ant Biodiversity And Its Methods for Measuring and Relationship To Ecosystem Monitoring Biodiversity. Washington: Functioning: A Review. Biodiversity Smithsonian Institution Press Pr.p 9- and Conservation 7: 1221-1244. 24. Hansen, L and A. Art. 2011. Identification Munawaroh, E. 2009. Eksplorasi and Habits of Key Ant Pests in the Keanekaragaman Tumbuhan Di Pacific Northwest. A Pacific Kawasan Suaka Alam Maninjau Utara- Northwest Extension Publication: Selatan. Kab. Agam, Prop. Sumatera Washington State University. Barat. Seminar Nasional Biologi XX http://cru.cahe.wsu.edu/CEPublicatio dan Kongres PBl XIV UIN Maliki ns/PNW624/PNW624.pdf. Diakses Malang. tanggal 22 Februari 2015. Schultz, T.R and T.P. McGlynn. 2000. The Hashimoto, Y., S. Yamane and M. Mohamed. Interctions of Ants with other 2001. How to design an inventory Organism. In: Agosti D, Majer JD, method for ground-level ants in Alonso LE, Schultz TR (ed.), Ants: tropical forest. Nature and Human Standard Methods for Measuring and Activities 6: 25-30. Monitoring Biodiversity. Washington: Hashimoto,Y. 2003. Identification Guide To Smithsonian Institution Press Pr.p 35- The Ant Genera Of Borneo In: 44. Hashimoto, Y., R, Homathevi (ed.), Wilson, E.O. 2005. Pheidole in the New Inventory and Collection Total World: A Dominant, Hyperdiverse Ant protocol For Understanding of Genus. Rev. Biol. Trop. (Int. J. Trop. Biodiversity. Reseach and Education Biol. 53 (1-2): 297-304. Component BBEC Programme. Hilmi, L., H. Herwina dan Dahelmi. 2015. Semut Subfamily Myrmicinae di Cagar Alam Rimbo Panti, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Jurnal Natural Science 4 (2): 1-9. Jaitrong, W. 2011. Identification Guide to the Ant Genera of Thailand. Thailand National Science Museum Press. PathumThani. 1-115pp.

258

Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 258-263 (ISSN : 2303-2162)

Agresi Provokasi dan Non-Provokasi pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis, Raffles 1821) Terhadap Pengunjung di Kawasan Gunung Meru

Provocated and Non-Provocated Aggressions of Long-tailed Macaques (Macaca fascicularis, Raffles 1821) to Human Visitors at Gunung Meru

Ainul Mardiah1)*, Rizaldi1) dan Wilson Novarino2)

1)Laboratorium Ekologi Hewan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas 2)Museum Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas *Koresponden: [email protected]

ABSTRACT

The study on aggressive behavior of long-tailed macaques has been conducted from May to July 2016 at Gunung Meru, Padang, West Sumatra. This study aimed to compare between provocated and non-provocated aggressive behaviors of the macaques toward human visitors at Gunung Meru feeding site. This study used all-occurrence sampling method to record aggressive interactions from the macaques along the visitors behavior. One or more visitors were followed for ten minutes at the monkey feeding ground for a total 78.5 hours. The aggressive behaviors of long-tailed macaques either provocated or non-provocated were considerably high intensity level, including body contact and biting. Feeding contexts (i.e. food exposure, feeding, and contact feeding) become the main situation resulting provocative aggressions. This study suggest that monkeys and human visitors have a potential close contact and could be pathogen transmission.

Keywords: aggressive, long tailed macaque, provocated and non-provocated

Pendahuluan

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis, Monyet dapat berhabituasi dan bahkan Raffles 1821) dapat hidup berdampingan masuk ke pemukiman masyarakat. Tidak dan berinteraksi dengan manusia. Interaksi adanya pembatas fisik atau pagar antara interspesies ini sering terjadi di tempat yang monyet dengan pengunjung menyebabkan disakralkan atau disebut dengan istilah pengunjung dapat berinteraksi langsung monkey temples atau monkey forest. Monkey dengan monyet ekor panjang. forest tersebar di Asia Selatan dan Asia Pengunjung sering memberikan Tenggara, dan beberapa diantaranya telah makanan dan berinteraksi dalam jarak dekat berubah menjadi destinasi wisata, yang dengan monyet. Interaksi yang sangat dekat berkontribusi dalam pendapatan ekonomi ini berpotensi menyebabkan terjadinya masyarakat lokal (Schilaci, et al., 2010; peningkatan agresifitas monyet ekor panjang Fuentes dan Gamerl, 2005). terhadap pengunjung (Fa, 1992). Sumatera Barat memiliki beberapa Monyet ekor panjang bisa tempat wisata (monkey forest) yang tersebar menularkan SFV (simian foamy virus) dan di beberapa lokasi yaitu di Panorama Kota Herpes B yang berasal dari mukosa monyet Bukittinggi, Lembah Anai, Gunung Padang, tersebut melalui gigitannya ketika Gunung Pangilun dan Gunung Meru. menyerang pengunjung. Pengunjung juga Gunung Meru merupakan daerah wisata berpotensi tertular penyakit flu A dan B, alam yang terletak di Teluk Nibung, dekat serta campak. Tingkah laku pengunjung dengan pantai. Terdapat tiga kelompok seperti kontak mata, kontak fisik, menginjak monyet ekor panjang di Gunung Meru ekor, mengusik, atau membiarkan monyet (Koyama, 1984; Ilham 2013; Ilham, 2016). memanjat tubuh mereka, berpotensi 259

Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 258-263 (ISSN : 2303-2162) menimbulkan kemarahan monyet, karena tinggi. Pengamatan dilakukan hanya saat monyet dapat terprovokasi (Fuentes dan cuaca cerah. Gamerl, 2005). Tingkah laku agresif monyet ekor Minimnya pengetahuan masyarakat panjang dikelompokkan kedalam 5 kategori tentang cara yang tepat berinteraksi dengan merujuk kepada Altmann (1962) dan Cords, monyet dari jarak dekat dapat menimbulkan (1992), meliputi: kerugian dikedua belah pihak. Oleh karena 1. Open mouth threat (menyeringai) itu, dilakukan penelitian untuk mengetahui adalah monyet ekor panjang yang agresifitas monyet ekor panjang yang menampakkan giginya dan menaikkan diprovokasi dan non-provokasi di Gunung kelopak matanya terhadap pengunjung. Meru. Hasil penelitian ini dapat menjadi 2. Lunging adalah tingkah laku monyet informasi tentang bagaimana mencegah yang bergerak cepat dengan berlari atau timbulnya agresif monyet terhadap melompat kearah pengunjung namun pengunjung. tidak terjadi kontak fisik. 3. Chasing (mengejar) adalah monyet ekor panjang berlari ke arah Metode Penelitian pengunjung. 4. Body contact (kontak fisik) adalah Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei monyet ekor panjang memegang dan sampai bulan Juli 2016 di Gunung Meru, merenggut pengunjung. Padang, Sumatera Barat. Terdapat 3 5. Biting (menggigit) adalah intensitas kelompok monyet ekor panjang di kawasan agresif yang paling tinggi dimana Gunung Meru yaitu kelompok A (35 monyet menggigit pengunjung. individu), kelompok B (29 individu) dan Kategori tingkah laku provokasi kelompok C (68 individu) (Ilham, 2016). dari pengunjung yang menginisiasi Kelompok yang sama merupakan subjek terjadinya tingkah laku agresif monyet ekor penelitian ini. panjang adalah sebagai berikut Pengamatan tingkah laku agresif (dimodifikasi dari O’Leary dan Fa, 1993): monyet ekor panjang baik yang terprovokasi 1. Food exposure (memperlihatkan/ maupun non-provokasi oleh pengunjung membawa makanan) yaitu pengunjung dikumpulkan melalui metoda all-occurences memperlihatkan atau membawa sampling (Altmann, 1974; Martin dan makanan di dekat monyet ekor panjang. Bateson, 1993; Beisner, et al., 2014) yaitu 2. Feeding (memberi makanan) yaitu mencatat semua kejadian provokasi atau memberi makan monyet tanpa ada non-provokasi dan agresif yang terjadi kontak fisik dengan cara meletakkan antara satu atau sekelompok pengunjung atau melempar makanan kepada dengan monyet ekor panjang. monyet. Pengkoleksian data tingkah laku 3. Contact feeding (memberi makan pengunjung dan monyet ekor panjang ditangan) yaitu memberi makanan mengacu pada Fuentes dan Gamerl (2005) dengan menggunakan tangan kepada dengan cara mengikuti pengunjung yang monyet sehingga jari tangan bisa terdiri dari 1 atau lebih selama 10 menit bersentuhan dengan monyet. dengan total pengamatan 78,5 jam. Selama 4. Threat (mengancam) yaitu pengunjung pengamatan, dicatat interaksi provokasi atau melakukan tindakan berupa memfoto non-provokasi yang dilakukan pengunjung atau berfoto dengan monyet dari jarak terhadap monyet dan kategori tingkah laku dekat (±1 m), gerakan lain yang agresif monyet terhadap pengunjung. menyebabkan monyet terancam. Jika terjadi lebih dari satu kategori 5. Direct contact (menyentuh) yaitu tingkah laku agresif dari monyet ekor meletakkan tangan ketubuh monyet. panjang kepada pengunjung secara 6. Close contact (berdekatan) yaitu berurutan, maka tingkah laku agresif monyet memposisikan tubuh dekat monyet yang dicatat adalah yang levelnya paling dalam jarak ≤1 m. 260

Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 258-263 (ISSN : 2303-2162)

7. Eye contact (kontak mata) menatap ancaman. Kemudian, frekuensi setiap jenis tajam ke arah monyet sehingga agresif provokasi monyet dibandingkan berhadap-hadapan. dengan bentuk provokasi pengunjung. 8. Hiting (memukul) yaitu memukul atau menendang monyet dengan tangan atau Hasil dan Pembahasan kaki atau benda lain. Intensitas agresif monyet ekor panjang di Analisis Data Gunung Meru. Agresifitas provokasi dan non-provokasi monyet ekor panjang terhadap pengunjung Agresif monyet ekor panjang terhadap dikelompokkan menjadi tiga kategori yang pengunjung akibat provokasi lebih tinggi dimodifikasi dari Fuentes dan Gamerl, dibandingkan agresif tanpa adanya (2005) yaitu: provokasi (Gambar 1). Kontak fisik 1. Ringan yaitu open mouth threat. merupakan bentuk agresif yang paling sering 2. Sedang yaitu lunging dan chasing. terjadi akibat provokasi pengunjung. Hal ini 3. Tinggi yaitu body contact dan biting. seringkali berkaitan dengan usaha monyet Frekuensi aggresif provokasi monyet dalam mendapatkan makanan dari dibandingkan terhadap bentuk provokasi pengunjung. oleh pengunjung yang dikelompokkan pada tiga situasi yaitu makanan, jarak, dan

450 406 400 350 300 250 182 188 200

Frekuensi 150 100 50 1 7 10 0 Rendah (open mouth threat) Sedang (lunging dan chasing) Tinggi (body contact dan biting)

Kategori agresif monyet ekor panjang Provokasi Non-Provokasi Gambar 1. Perbandingan frekuensi agresifitas provokasi dan non-provokasi monyet ekor panjang terhadap pengunjung di Gunung Meru.

Agresif non-provokasi monyet sering agresif tanpa provokasi pengunjung sangat jarang terjadi yaitu 18 kali dari total adalah monyet jantan dewasa. 794 kejadian (0,02%). Namun kejadian tersebut berlangsung dengan intensitas Tingkah laku provokasi oleh pengunjung. sedang dan tinggi. Agresif non-provokasi terjadi pada pengunjung yang tidak Tingkah laku provokasi pengunjung yang melakukan interaksi dengan monyet secara menghasilkan agresif dari monyet ekor langsung, namun dengan keberadaan atau panjang terkait dengan 3 faktor utama yaitu tingkah laku pengunjung bisa saja makanan (food exposure, feeding, contact mengganggu monyet seperti berlari atau feeding), jarak (close contact, direct melintas dekat monyet. Monyet yang paling contact), dan ancaman (threat, eye contact, hiting. 261

Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 258-263 (ISSN : 2303-2162)

Makanan Jarak Ancaman

100% 90% 80% 70% 60% 50%

40% Frekuensi Frekuensi 30% 20% 10% 0% Food Feeding Contact Direct Close Threat Eye contact Hitting exposure feeding contact contact adanya agresif monyet tidak adanya agresif monyet Gambar 2. Jenis provokasi pengunjung dan frekuensi agresi monyet ekor panjang pada tiga situasi (makanan, jarak, dan ancaman dari pengunjung).

Tingkah laku agresif monyet ekor Bali melaporkan bahwa pemberian makanan panjang terhadap pengunjung merupakan oleh pengunjung secara signifikan hasil dari kompetisi terhadap sumber berkolerasi dengan peningkatan kontak makanan (Gumert, Fuentes, dan Engel, antara pengunjung dengan monyet namun 2011). Interaksi agresif monyet umumnya tidak termasuk kasus menggigit, dan terjadi ketika pengunjung membawa kehadiran makanan juga berkolerasi signifikan dengan total frekuensi agresi oleh makanan, dan karena provokasi atau monyet terhadap pengunjung. Hal ini juga serangan balik dari pengunjung itu sendiri terjadi pada penelitian ini, dimana disaat (Sha, 2009). Doenier, Delgiudice, dan Riggs ketersediaan makanan dari pengunjung lebih (1997) menyatakan bahwa ketersediaan banyak, maka kasus kontak fisik yang terjadi makanan merupakan faktor penting dalam antara monyet dan pengunjung juga semakin aktifitas harian hewan. Pengunjung yang tinggi. Monyet lebih sering melakukan memberi makanan terhadap hewan membuat usaha untuk mendapatkan makanan dari hewan menghabiskan sedikit waktu untuk pengunung dengan cara merebut makanan mencari makan alami, dan memiliki banyak tersebut dari pengunjung. waktu untuk aktifitas lainnya, seperti Berdasarkan hal tersebut, untuk bersosialisasi, itirahat, dan menjelajah. menghindari agresi monyet yang lebih tinggi Saputra, et al. (2014) juga mengatakan terhadap pengunjung, maka sebaiknya monyet ekor panjang terlihat lebih banyak pemberian makanan terhadap monyet dikurangi. Upaya ini bisa dilakukan oleh berkumpul dan aktif di tempat yang sering pihak pemerintah wisata setempat dengan dikunjungi oleh pengunjung, karena cara mengeluarkan suatu aturan atau mengharapkan untuk mendapatkan makanan larangan kepada pengunjung terhadap dari pengunjung. monyet. Seperti yang telah dilakukan di Makanan juga penyebab tingginya Padangtegal, Bali yaitu adanya papan kontak fisik yang terjadi antara monyet dan informasi yang berisi himbauan kepada pengunjung. Monyet yang menggigit pengunjung untuk tidak menyentuh atau pengunjung beresiko menularkan suatu virus menggertak monyet, meminta bantuan melalui mukosanya. Virus herpes B dan SFV kepada pemandu dalam pemberian makanan merupakan virus yang ditularkan melalui kepada monyet, atau dilarang me- mukosa (Fuentes dan Gamerl, 2005). nyembunyikan makanan didepan monyet Penelitian serupa yang dilakukan (Fuentes, 2006). Fuentes dan Gamerl (2005) di Padangtegal, 262

Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 258-263 (ISSN : 2303-2162)

Tingkah laku pengunjung yang Provokasi pengunjung yang berkaitan dengan bentuk ancaman (threat) berkaitan dengan makanan (food exposure, lebih beresiko tinggi menimbulkan tingkah feeding, contact feeding) menghasilkan laku agresif monyet ekor panjang. Menatap agresif monyet yang lebih sering dalam tajam kearah monyet merupakan bentuk bentuk kontak fisik (seperti memegang provokasi pengunjung yang paling sering tubuh pengunjung, merebut makanan dari menimbulkan agresif. Berfoto dengan tangan pengunjung, dan memanjat tubuh monyet juga menjadi penyebab timbulnya pengunjung). Sedangkan provokasi yang agresif monyet. Namun biasanya bentuk terkait jarak (direct contact) dan ancaman provokasi seperti ini terjadi setelah (threat, eye contact dan hiting) pengunjung melakukan provisioning menghasilkan agresif monyet yang lebih terhadap monyet. sering dalam bentuk open mouth threat (Gambar 3).

160 140 120 100 80

Frekuensi Frekuensi 60 40 20 0 food feeding contact direct close contact threat eye contact hiting exposure feeding contact Jenis provokasi pengunjung open mouth threat lunging chasing body contact biting Gambar 3. Frekuensi agresif monyet ekor panjang akibat diprovokasi pengunjung

Direct contact dan close contact dibandingkan non-provokasi dari merupakan bentuk provokasi lanjutan dari pengunjung. Kategori agresifitas provokasi provokasi pengunjung yang terkait dengan dan non-provokasi monyet ekor panjang di makanan. Pengunjung yang memberi Gunung Meru termasuk kedalam kategori makanan kepada monyet, selanjutnya akan tinggi (kontak fisik dan menggigit). mendekati dan menyentuh monyet untuk Provokasi pengunjung terkait makanan keperluan hiburan (seperti memfoto atau menjadi penyebat seringnya terjadi agresif berfoto dengan monyet) atau kepuasan monyet dalam bentuk kontak fisik. tersendiri karena telah berhasil menaklukkan monyet (Ilham, et al., 2016). Hal ini juga Ucapan Terima Kasih diungkap oleh Orams (2002), bahwa berdekatan dengan binatang merupakan hal Terima kasih kepada Ruhama Maya Sari dan yang sangat berarti bagi pengunjung dimana Afdhal Tisyan yang telah membantu dalam pengunjung akan merasa dekat dengan alam. pengambilan data, dan Ibu Mawar yang telah memberikan akomodasi selama penelitian. Kesimpulan Daftar Pustaka Berdasarkan hasil yang telah didapatkan, bisa disimpulkan bahwa intensitas agresif Altmann, S. A. 1962. A Field Study of The monyet terhadap pengunjung lebih banyak Sociobiology of Rhesus Monkey, terjadi akibat provokasi dari pengunjung Macaca mulatta. Annals New York 263

Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 4(4) – Desember 2015: 258-263 (ISSN : 2303-2162)

Academy of Sciences, Vol. 102: 338- Cambridge University Press. New 435. York. Altmann, J. 1974. Observational Study of Ilham, K. 2013. Pengaruh Peringkat Jantan Behavior: Sampling Methods. Alle Dewasa terhadap Aktivitas Laboratory of Animal Behavior. Grooming. Skripsi Sarjana Biologi. University of Chicago. Chicago, FMIPA Universitas Andalas. Illinois, USA. Ilham, K., Rizaldi, Nurdin, J., Tsuji, Y. Beisner, B. A., Heagerty, A., Seil, S. K. 2016. Status of Urban Populations of Balasubramaniam, K. N., Atwill, E. The Long-Tailed Macaque (Macaca R., Gupta, B. K., Tyagi, P. C., fascicularis) in West Sumatra, Chauhan, N. P. S., Bonal, B. S., Sinha, Indonesia. Primates. P. R., dan McCowan. 2014. Human- Koyama, N. 1984. Socio-Ecologycal Study Wildlife Conflict: Proximate of the Crab-Eating Monkeys at Predictors of Aggression between Gunung Meru, Indonesia. Kyoto Humans and Rhesus Macaques in University Overseas Research Report India. American Journal of Physical of Studies on Asian Non-Human Anthropology 00:01-09. Primates, 3: 17-36. Cords, M. 1992. Post-Conflict Reunions and Martin, P., dan P. Bateson. 1993. Measuring Reconciliation in Long-Tailed Behaviour an Introductory Guide Macaque. Animal Behaviour, 44: 57- Second Edition. The Press Syndicate 61. of the University of Cambridge. The Doenier, P. B., Delgiudice, G. D., dan Riggs, Pitt Building, Trumpington Street, M. R. 1997) Effects of Cambridge, United Kingdom. Winter Supplemental Feeding on O’Leary H., dan J. E. Fa. 1993. Effects of Browse Consumption by Whitetailed Tourists on Barbary Macaque at Deer. Wildlife Society Bulletin, 25, Giblartar. Folia Primatol 61: 77-91. 235–243. Orams, M. B. 2002. Feeding wildlife as a Fa, J. E. 1992. Visitor-Directed Aggression tourism attraction: a review of among the Gibraltar Macaques. Zoo issues and impacts. Tourism Biology 11:43-52. Management, 23: 281-293. Fuentes, A. and S. Gamerl. 2005. Saputra, K.G. W., N. L.Watiniasih, I. K. Disproportionate Participation by Ginantra. 2014. Aktivitas Harian Kera Age/Sex Classes in Aggressive Ekor Panjang (Macaca Fascicularis) Interactions Between Long-Tailed di Taman Wisata Alam Sangeh, Macaques (Macaca fascicularis) and Kabupaten Badung, Bali. Jurnal Human Tourists at Padangtegal Biologi XVIII (1): 14-18. ISSN: 1410- Monkey Forest, Bali, Indonesia. 5292. American Journal of Primatology 66: Schilaci, M. A., et al., 2010. The Not-So- 197-204. Scared Monkeys of Bali: A Fuentes, A. 2006. Human Cultural and Radiographic Study of human Primate Monkey Behavior: Assessing the Commensalism. Indonesian Contexts of Potential Pathogen Primates. Developments in Transmission between Macaque Primatology: Progress and Prospects, and Humans. American Journal of pp 249-256. Sha, J. C. M., Gumert, M. D., Lee, B. P. Y- Primatology 68:880-896. H., Engel, L. J., Chan, S., Fuentes, A. Gumert, M. D., A. Fuentes, L. J. Engel. 2009. Macaque–Human Interactions 2011. Monkeys on the Edge Ecology and the Societal Perceptions of and Management of Long-Tailed Macaques in Singapore. American Macaques and Their Interface with Journal of Primatology, 71: 825-839. Humans. United States of America by