<<

J. Biol. Indon. Vol 7, No.2 (2011) ISSN 0854-4425 ISSNISSN 0854-44250854-4425 JURNAL BIOLOGI INDONESIA

Akreditasi: No 816/D/08/2009 Vol. 7, No. 2 Desember 2011 Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia 195 Suyadi Study of Pteridophyte Diversity and Vegetation Analysis in Jatikerep Legonlele and 207 Nyamplung, Karimunjawa Island Central Jawa Fahreza Saputra & Labibah Qotrunnada Javan Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) Movement in a Fragmented Habitat, at 213 Bromo Tengger Semeru National Park, East Java, Indonesia M.Hari Subarkah, Novianto Bambang Wawandono, Satyawan Pudyatmoko, Subeno , Sandy Nurvianto, & Arif Budiman

Impact of Invasive in Shaping Ant Community Structure on Small Islands in 221 Indonesia Akhmad Rizali, Abdul Rahim, Bandung Sahari, Lilik Budi Prasetyo, & Damayanti Buchori

Relationship Different Riparian Vegetation Cover with Stream Conditions in Cikapinis 231 Stream, West Jawa Della Kemalasari & Devi N. Choesin Affect of Canopy Stratum and Methods of Breaking Seed Dormancy on Seedling 243 Growth of Calliandra tetragona Beth. and Acacia tamarindifolia (L.) Willd. Indriani Ekasari Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl. In Vitro 251 Lazarus Agus Sukamto, Mujiono, Djukri, & Victoria Henuhili

Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung Kakatua Putih (Cacatua 263 alba dan C. moluccensis) Dwi Astuti

BOGOR, INDONESIA J. Biol. Indon. Vol 7, No. 2 (2011)

Jurnal Biologi Indonesia diterbitkan oleh Perhimpunan Biologi Indonesia. Jurnal ini memuat hasil penelitian ataupun kajian yang berkaitan dengan masalah biologi yang diterbitkan secara berkala dua kali setahun (Juni dan Desember).

Editor Pengelola

Dr. Ibnu Maryanto Dr. I Made Sudiana Deby Arifiani, S.P., M.Sc Dr. Izu Andry Fijridiyanto

Dewan Editor Ilmiah

Dr. Abinawanto, F MIPA UI Dr. Achmad Farajalah, FMIPA IPB Dr. Ambariyanto, F. Perikanan dan Kelautan UNDIP Dr. Aswin Usup F. Pertanian Universitas Palangkaraya Dr. Didik Widiyatmoko, PK Tumbuhan, Kebun Raya Cibodas-LIPI Dr. Dwi Nugroho Wibowo, F. Biologi UNSOED Dr. Parikesit, F. MIPA UNPAD Prof. Dr. Mohd.Tajuddin Abdullah, Universiti Malaysia Sarawak Malaysia Assoc. Prof. Monica Suleiman, Universiti Malaysia Sabah, Malaysia Dr. Srihadi Agungpriyono, PAVet(K), F. Kedokteran Hewan IPB Y. Surjadi MSc, Pusat Penelitian ICABIOGRAD Drs. Suharjono, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Dr. Tri Widianto, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI Dr. Witjaksono Pusat Penelitian Biologi-LIPI

Alamat Redaksi Sekretariat d/a Pusat Penelitian Biologi - LIPI Jl. Ir. H. Juanda No. 18, Bogor 16002 , Telp. (021) 8765056 Fax. (021) 8765068 Email : [email protected]; [email protected] Website : http://biologi.or.id

Jurnal ini telah diakreditasi ulang dengan nilai A berdasarkan SK Kepala LIPI 816/ D/2009 tanggal 28 Agustus 2009. J. Biol. Indon. Vol 7, No.2 (2011)

JURNAL BIOLOGI INDONESIA

Perhimpunan Biologi Indonesia. J. Biol. Indon. Vol 7, No. 2 (2011) J. Biol. Indon. Vol 7, No.2 (2011)

KATA PENGANTAR

Jurnal Biologi Indonesia yang diterbitkan oleh PERHIMPUNAN BIOLOGI INDONESIA edisi volume 7 nomer 2 tahun 2011 memuat 17 artikel lengkap, tujuh artikel diantaranya telah dipresentasi pada seminar ATCBC di Bali 2010. Penulis pada edisi ini sangat beragam yaitu dari Balai Penelitian Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber daya Genetik Pertanian Bogor, Balai Tanaman Sayuran Lembang, Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor Kementerian Pertanian, BATAN. Fak. MIPA-Biologi Universitas Indonesia, Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta, Fakultas Kehutanan dan Fakultas Pertanian IPB Bogor, Sekolah Tinggi Hayati dan Departemen Tehnik Kimia ITB Bandung, Fakultas Pertanian Universi- tas Borneo, Tarakan, Universitas Negeri Yogyakarta, Fakultas Sain dan Tehnologi Universitas Islam Hidayatullah Jakarta, Kebun Raya Cibodas LIPI, Puslit Biologi LIPI, Puslit Oseanografi LIPI, PEKA dan Asosiasi Pelestari Curik Bali, Taman Safari Cisarua Bogor. Topik yang dibahas pada edisi ini meliputi bidang Botani, mikrobiologi, zoologi, remote sensing.

Editor J. Biol. Indon. Vol 7, No. 2 (2011)

UCAPAN TERIMA KASIH

Jurnal Biologi Indonesia mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada para pakar yang telah turut sebagai penelaah dalam Volume 7, No 2, Juni 2011:

Drs. Roemantyo, Puslit Biologi-LIPI Dr. Dwi Astuti, Puslit Biologi-LIPI M.Fathi Royani, MA., Puslit Biologi-LIPI Dr. Iwan Saskiawan, Puslit Biologi-LIPI Drs. Ary Wahyono, Puslit Kemasyarakatan-LIPI Muhamad Irham MSc., Puslit Biologi-LIPI Dr. Enung Fuad, Puslit Bioteknologi-LIPI Drs. Boeadi, Puslit Biologi LIPI (Purna Bakti) Dr. Edi Mirmanto, Puslit Biologi-LIPI

Sebagian dari edisi ini dibiayai oleh DIPA Puslit Biologi-LIPI 2011 J. Biol. Indon. Vol 7, No.2 (2011)

DAFTAR ISI

Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia 195 Suyadi

Study of Pteridophyte Diversity and Vegetation Analysis in Jatikerep Legonlele and 207 Nyamplung, Karimunjawa Island Central Jawa Fahreza Saputra & Labibah Qotrunnada

Javan Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) Movement in a Fragmented Habitat, at 213 Bromo Tengger Semeru National Park, East Java, Indonesia M.Hari Subarkah, Novianto Bambang Wawandono, Satyawan Pudyatmoko, Subeno , Sandy Nurvianto, & Arif Budiman

Impact of Invasive Ant Species in Shaping Ant Community Structure on Small Islands in 221 Indonesia Akhmad Rizali, Abdul Rahim, Bandung Sahari, Lilik Budi Prasetyo, & Damayanti Buchori

Relationship Different Riparian Vegetation Cover with Stream Conditions in Cikapinis 231 Stream, West Jawa Della Kemalasari & Devi N. Choesin

Affect of Canopy Stratum and Methods of Breaking Seed Dormancy on Seedling Growth 243 of Calliandra tetragona Beth. and Acacia tamarindifolia (L.) Willd. Indriani Ekasari

Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl. In Vitro 251 Lazarus Agus Sukamto, Mujiono, Djukri, & Victoria Henuhili

Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung Kakatua Putih (Cacatua 263 alba dan C. moluccensis) Dwi Astuti

Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang Transgenik Katahdin RB 277 ke Tanaman Kentang Non Transgenik A. Dinar Ambarwati, M. Herman, Agus Purwito , Eri Sofiari,& Hajrial Aswidinoor

Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia 289 NLP Indi Dharmayanti, Atik Ratnawati, & Dyah Ayu Hewajuli

Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang Indigenus dari Tanah 299 Pertambangan Batubara di Sumatera Selatan Irawan Sugoro, Sandra Hermanto,D. Sasongko,D. Indriani & P. Aditiawati

J. Biol. Indon. Vol 7, No. 2 (2011)

Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 Sebagai Vaksin R. Indriani, NLP I Dharmayanti, R.M.A Adjid, & Darminto

Variasi dan kekerabatan genetik pada dua jenis baru belimbing (Averrhoa leucopetala Rugayah et Sunarti sp nov dan A. dolichorpa Rugayah et Sunarti sp nov., Oxalidaceae) berdasarkan profil Random Amplified Polymorphic DNA Kusumadewi Sri Yulita

Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran Horisontal dan Vertikal Katak Hellen Kurniati

Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912 di Bali Bagian Barat Mas Noerdjito, Roemantyo &Tony Sumampau

Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat Curik Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) di Kawasan Labuan Lalang, Taman Nasional Bali Barat Roemantyo

Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan Manusia dengan Tumbuhan dan Lingkungannya Eko Baroto Walujo

Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 195-206 (2011)

Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia

Suyadi Indonesian Institute of Sciences (LIPI), M.Sc in Information Technology for Natural Re- sources Management, Bogor Agricultural University (IPB)

ABSTRAK

Deforestasi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatra, Indonesia. Studi ini menerangkan deforestasi dan penyebabnya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang merupakan habitat bagi berbagai satwa liar yang terancam punah. Penelitian ini menghubungkan metode penginderaan jauh dengan metode wawancara untuk memperkirakan laju deforestasi dan mengetahui penyebab deforestasi. Hasil wawancara menunjukan bahwa penggundulan hutan di TNBBS di mulai sejak tahun 1960an, lebih awal dari perkiraan sebelumnya. Hasil tersebut di perkuat oleh hasil analisa citra-satelit yang menunjukan bahwa sebelum 1972 tutupan hutan seluas 46.100 ha atau sekitar 13% dari luas hutan di TNBBS telah hilang. Rata- rata laju deforestasi sejak 1972 hingga 2006 adalah 0,64% per tahun. Hanya sekitar 67.225 ha hutan yang tersisa pada 2006 dari 310.670 ha hutan pada tahun 1972, atau sekitar 22% tutupan hutan telah hilang sejak 1972 hingga 2006. Laju deforestasi di TNBBS paling tinggi di hutan perbukitan (9.01 km2/tahun), kemudian hutan dataran rendah (7.55 km2/tahun), and hutan pegunungan (3.43 km2/tahun). Deforestasi tertinggi terjadi pada dekade pertama (1972-1985), setiap tahunnya seluas 28 km2 hutan di babat habis, kemudian pada dekade berikutnya (1986- 1996) deforestasi hanya 15 km2/tahun, namun pada dekade terakhir deforestasi meningkat kembali (21 km2/tahun). Pelaku yang secara fisik membabat hutan di TNBBS adalah petani yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Meskipun demikian, yang menjadi penyebab terpenting deforestasi di TNBBS adalah penyebab tidak langsung seperti illegal logging, Hak Pengusahaan Hutan, tingginya harga kopi, lemahnya penegakan hukum, dan situasi sosial-ekonomi di tingkat lokal dan nasional. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor external yang mendorong petani untuk membuka hutan di TNBBS atau memperluas lahan garapannya.

Kata kunci: Deforestasi, Penyebab deforestasi, Survei wawancara, Penginderaan jauh, Taman Nasional Bukit Barisan

INTRODUCTION UNFCCC (2007) declared that the inter- national community faces the urgent task Bukit Barisan Selatan National Park of reducing tropical deforestation as one (BBSNP) is the third-largest protected of a suite of measures to reduce the im- area on the Indonesian island of Sumatra, pacts of global climate change and to and tropical deforestation constitutes one maintain biological diversity. One of many of the greatest threats to its conserva- responses of conservation biologists to tion. The United Nations Framework this threat has been to develop an array Convention on Climate Change/ of tools for measuring and monitoring

195 Suyadi deforestation, many of which use re- BBSNP was 1.69% per year. motely sensed data collected by satellites In addition, BBSNP is also a perfect (Saatchi et al. 2001). Satellite-based example of the complex causes of de- datasets can provide fine-scale measures forestation. BBSNP has a long border of of deforestation rates; however, many approximately 700 km, and the park is aspects of deforestation processes that there are villages, agriculture, and plan- are related to social phenomena (includ- tation forestry adjacent to the park ing causes of deforestation) cannot be (Kinnaird et. al. 2003). The high rates of measured using satellite sensors (Turner interaction between the people and the et al. 2001). Therefore, approaches that forest in the area that borders BBSNP link administrative and remote-sensing may induce humans to enter the park to data are important for understanding clear more forest. Consequently, wildlife trends in and causes of deforestation. such as tigers (Panthera tigris Most studies linking remote-sensing ob- sumatrae) and elephants (Elephas servations and administrative data have sumatranus) also travel outside the park been undertaken at the scale of the ad- borders and damage crops and livestock. ministrative units (Wood & Skole 1998). In addition, conflicts over land ownership However, Mertens et al. (2000) do inte- between Lampung-based local groups grate remote-sensing data and household and the government, as well as conflicts surveys to understand the impact of mac- among governmental institutions, have roeconomic change on deforestation pro- promoted further deforestation (Kusworo cesses in South Cameron. 2000; Verbist et al. 2004). BBSNP contains some of the larg- The dramatic loss of forest cover in est tracts of tropical forest remaining on BBSNP is attributed to variety of factors Sumatra and is a good example of the including illegal logging, timber conces- dramatic loss of tropical forest in Indo- sions (denoted HPHs in Indonesia), con- nesia. Although BBSNP was declared a version to agriculture (by opportunistic World Heritage site by UNESCO (deci- settlers and those arriving through sion 28COM 14B.5), in the past decade Indonesia's official transmigration pro- BBSNP's forest cover has declined dra- gram), development of estate crops, and matically. Since the early 1970s, much of forest fires (Sunderlin et al. 2001; the forest cover in BBSNP has been Suyanto et al. 2000; Holmes 2002). How- cleared, but there are conflicting esti- ever, information about the causes of mates of the scale and rates of loss. For deforestation in BBSNP is lacking. example, Kinnaird et al. (2003) found that Gaveau et al. (2007) reports that coffee between 1985 and 1999 the park lost prices, law enforcement, and rural pov- more than 661 km2 of forest (28%). On erty are the primary causes of defores- other hand, Gaveau et al. (2007) showed tation in southwest Sumatra (including that the average rate of deforestation from BBSNP). Suyadi & Gaveau (2007) show 1972 to 2002 in an area of 1.17 million ha that in a small area (Pemerihan) within in southwest Sumatra that includes BBSNP, the cause of deforestation is il-

196 Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park legal logging. land of Sumatra (Figure 1). Located in This study integrates a time series southwestern portion of the island (4o 31' of satellite images and interview data to to 5o 57' S and 103o 34' to 104o 43' E), it measure deforestation rates and to de- forms part of the provinces of Lampung termine the root causes of deforestation and Bengkulu. The park extends 150 km in BBSNP. The detailed objectives are along the Bukit Barisan mountain range to provide an estimate of deforestation and is composed of diverse topography rates and maps of deforestation patterns that ranges from the coastline in the south and to unravel the causes of deforesta- to forested mountains in the north. Rain- tion in BBSNP. This study documents the fall is seasonal, ranging from 3,000 mm extent of deforestation in the park from to 4,000 mm annually, and temperatures 1972 to 2006 and examines the causes fluctuate between 22oC and 35oC. The of deforestation using interview data. park is narrow in shape, with a perimeter This information is crucial for future con- greater than 700 km in length, and is bor- servation because BBSNP's forest is dered by villages, agriculture, and plan- home to some of the world's most en- tations (Kinnaird et al. 2003). Encroach- dangered large mammals and is within ments for agriculture and illegal logging the major watershed for southwestern are rife in BBSNP. Forest loss has be- Sumatra. come the greatest threat to the conser- vation of Bukit Barisan Selatan National MATERIALS AND METHODS Park. This study uses LANDSAT images Bukit Barisan Selatan National Park acquired in the years 1972, 1976, 1978, (BBSNP) is the third-largest protected 1982, 1985, 1989, 1994, 1997, 2000, 2002, area (356,800 ha) on the Indonesian is- 2004, and 2006 to detect forest-cover

Figure. 1. Study area in southern Sumatra showing Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP) and forest type based on elevation.

197 Suyadi change across Bukit Barisan Selatan The study used a 30-m resolution National Park. All images had cloud cover ASTER Digital Elevation Model (DEM) of less than 2.0% and the LANDSAT to categories forest types by elevation. images from 2006 are Scan Line Cor- Three elevation-based categories were rector (SLC) off which the gaps have selected using the classification system been filled by Wildlife Conservation So- of the Indonesian Ministry of Forestry ciety (WCS). The images were geo-ref- and Kinnarid et al. (2003). The classes erenced using 2006 scenes that were are lowland forest (0-500 m), hill forest verified with Ground Control Points (501-1000 m), and submontane forest (GCPs) collected in the field by staff of (>1001 m). The ASTER DEM was as- WCS using Global Positioning Systems sembled at the BBSNP office. The (GPS). All data were projected to the BBSNP boundary (at a scale of 1:25,000) Universal Transverse Mercator (UTM) was obtained from the BBSNP office and projection, Zone 48 South. was corrected in the field using GPS tech- Forest and non-forest land-cover nology by a team from the BBSNP Of- classes were classified using a supervised fice, WCS, and World Wildlife Fund Maximum Likelihood Classification (WWF). Logging trails, road networks, (MLC). I edited the classification results and villages were assembled from WCS by manual on-screen digitization (particu- data. Locations of illegal logging were larly in areas where the MLC algorithm manually interpreted through on-screen often produces misclassification errors). digitization and were verified in the field For land-cover change analyses, I used with a GPS. post-classification comparisons and time- This research used data from inter- series analyses (via transition matrixes), views conducted in 2005-2006 in 1384 with forest cover at each point in time households within selected villages in and used as the base forest cover for the next around the Park. Interviews were con- point in time. This method detected the ducted using Indonesian and local lan- area of deforestation and any fluctuations guages (Lampungnese and Javanese). in deforestation rates over time. Analy- Before interviewing in each village, the ses were conducted via spatial analyses WCS team and I conducted group dis- using a GIS software (ArcView 9.2) with cussions (focus groups) to identify the geo-processing extensions. In this paper, specific characteristics of the local soci- forest refers to non-modified forest ar- ety. The respondents were farmers who eas of old-growth vegetation dominated own cultivated land in or within 5 km of by closed-canopy tree cover (50%). De- the park boundary and villagers who la- forestation or forest loss is defined as bored on these farms. In order to avoid complete removal of forest cover over reticence, (especially in areas where con- an area equivalent to 1 ha. Non-forest flicts with park management are fre- comprises agricultural areas, grasslands, quent) the interviews began with non- village enclaves, and unknown, non-for- sensitive questions about conservation in ested vegetation types. general, progressively focused more spe-

198 Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park cifically on deforestation, and finally ad- these data were collected from the dressed issues concerning the respon- BBSNP office, the Directorate General dents' own farmland in Bukit Barisan of Forest Protection and Nature Conser- Selatan National Park. vation (PHKA), and provincial govern- Semi-open interview techniques ment. were used in this research with a stan- dardized questionnaire that addressed the RESULTS following: 1) personal details (including household demographics); 2) farming The Patterns of Deforestation in practices; 3) respondent origins (i.e., mi- Bukit Barisan Selatan National Park grants or indigenous residents); 4) land (BBSNP) ownership; 5) respondent expectations The household interview surveys about increased land scarcity; and 6) re- show that forest clearing in Bukit Barisan spondent attitudes towards the surround- Selatan National Park (BBSNP) began ing forest. The questions included when in the 1960s. The image analyses justify respondents first cleared forest cover for this finding and show that before 1972, farmland, for what reasons farmers approximately 46,100 ha of forest cover cleared forest cover, and the area of for- in BBSNP was lost representing a 13% est that was cleared. These questions loss of the total area of BBSNP (356,800 served to make the data more compa- ha). The image analyses also indicate that rable to forest-cover data from time-se- the majority (80%) of forest conversion ries of satellite images resulted from agricultural development. I assembled time-series statistics The interview data indicate that the first (1972 to 2006) on annual international (US forest clearing in BBSNP occurred in dollar) and local (Indonesian Rupiah, Rp) Sidorejo (Kaur, Bengkulu) in 1961, five coffee prices from the International Cof- years after transmigrants from Java came fee Organization's (ICO) indicator price to a village (Desa Trans Kulik) near reports and statistics on human popula- BBSNP (±2 km from the park boundary). tion from the provincial government. The Subsequently, deforestation began in local coffee price time-series data were Pemerihan (West Lampung) in 1966 and deflated by the Consumer Price Index in Way Nipah (Tanggamus) and Suoh (CPI, 2006=100) for southern Sumatra (West Lampung) in 1970. to account for the increase in local con- From 1972 to 2006, deforestation in sumer prices and agricultural input prices the BBSNP averaged 20 km2 (0.64%) over time. per year. In total, 67,225 ha of the origi- The study also used local and na- nal 310,670 ha of forest that was present tional historic records about government in 1972 were lost, representing a 22% policies, socio-economic issues, law en- loss from 1972 to 2006. The trends in forcement (including evictions of people forest loss from 1972 to 2006 are plotted from BBSNP), timber concessions (le- in Figure 2 and mapped in Figure 3. Fig- gal logging), and illegal logging. All of ure 2 showed that two peaks in forest

199 Suyadi loss occurred in 1978-1982 and 1997- forestation rates also vary with slope. On 2000. The average rate of deforestation relatively flat slopes (0-20°), forest loss is alarmingly high and results in declining averaged 16.5 km2/year but the rate forest cover. In contrast, the average rate dropped to 0.8 km2/year on the steepest of reforestation is only 1.13 km2 per year slopes (>40°). (representing 0.94% per year). Based on the temporal patterns of Forest loss in BBSNP began at the deforestation, the study period was di- buffer of the park and has progressed vided into three decades of deforestation. towards the park interior. The average The highest deforestation rate in BBSNP rate of deforestation in the 10-km buffer (about 28 km2 per year) occurred in the is 1.83% per year, and the rate is higher first decade (1972-1985). In the second inside the park. Deforestation rates in decade (1986-1996), the deforestation BBSNP vary with elevation. Deforesta- rate decreased to 15 km2 per year. In the tion rates in lowland forests (0-500 m), most recent decade (1997-2006), the de- which represent 43% of the area of forestation rate in the park increased and BBSNP, were 7.55 km2/year. In hill for- approximately 21 km2 of forest cover ests (501-1000 m), which represent 38% were lost per year (Figure 5). of the park area, they were 9.01 km2/ year, and in montane forests (>1001 m) The Causes of Deforestation in Bukit they were 3.43 km2/year. Figure 4 shows Barisan Selatan National Park that (as was the case for rates of total The agents who play the most im- forest loss in BBSNP) peak forest loss portant physical roles in forest-cover in all three forest types occurred during change in BBSNP are the farmers who 1978-1982 and 1997-2000. In the recent live in and around the park. These agents years (2004-2006), the rate of forest loss operate in separate locations and have in lowland forests has decreased gradu- little contact with one another; their few ally, but forest loss in hill forests and mon- interactions are not sufficient to drive tane forests has tended to increase. De- farmers to clear forest. Farmers them-

Figure 2. Forest loss in Bukit Barisan Selatan National Park, 1972-2006.

200 Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park

Figure 3. The spatial distribution of forest loss in Bukit Barisan Selatan National Park, 1972- 2006

Figure 4. Forest loss in the three types of forest in Bukit Barisan Selatan National Park, 1972- 2004

30

25

20

15

10 Forest loss (km²/year) loss Forest

5

0 1972-1985 1986-1996 1997-2006 Decades (Years) Figure 5. The three decades of deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park selves are not the primary cause of de- more forest in Sidorejo, BBSNP in 1961. forestation; instead, there are external This factor resulted in relatively more factors that drive farmers to clear forest open access to the forest. The other ex- cover in BBSNP. The external factors ternal factors that spurred farmers were are varied, and differ according to the the political crisis in 1965 and the actions location. The interview surveys showed of timber concession companies that transmigration was one of the exter- (Perusahaan HPH) in the 1970s. Linear nal factors that induced farmers to clear regression analyses indicate that logging

201 Suyadi trails that were built by concession com- DISCUSSION panies are significantly correlated with forest loss (r2= 0.771, p = 0. 085). These This research shows that defores- external factors drove farmer to clear tation in Bukit Barisan Selatan National more forest cover in the areas of Park has occurred since the 1960s. How- Pemerihan, Way Nipah, and Suoh. Im- ever, Kinnaird et al. (2003) report that age analyses indicate that deforestation deforestation in BBSNP began in 1985, rates caused by timber concessions in and Gaveau et al. (2007) show that de- these areas were higher than deforesta- forestation in BBSNP began in 1972. tion rates caused by transmigration (in These are two essential sides in the on- Sidorejo for example). going debate over the rate of deforesta- Image analyses also show that de- tion in BBSNP. On the one hand, forestation rates increased dramatically Kinnaird et al. (2003) estimate that the in 1978-1982 and 1997-2000 (54.28 km2 deforestation rate in BBSNP from 1985 and 44.48 km2 per year, respectively). to 1999 was 2.0% per year; they pre- The regression analyses indicate that the dicted that in 2010 about 70% of the causes of deforestation (the external fac- BBSNP would be agricultural lands or tor) in these years were high coffee village enclaves. On the other hand, prices in 1978 (r2 = 0.484, p = 0.058) and Gaveau et al. (2007) finds that the aver- high coffee prices again in 1997 (r2 = age rate of deforestation in BBSNP from 0.494, p = 0.061). A linear regression 1972 to 2002 was 0.63% per year. The model (Figure 6) indicates that local cof- current study shows that the average rate fee prices closely predicted deforestation of deforestation from 1997 to 2006 was rates inside BBSNP (P = 0.005, r2 = 0.47). 0.64% per year and that 69% of the area Thus, higher local prices for coffee in- of BBSNP is currently forest and 31% is duced faster deforestation (b = 0.029, P agricultural lands. = 0.028).

Figure 6. Results of the linear regression (solid line) between forest loss and local coffee prices.

202 Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park

Suyadi & Gaveau (1997) found that 1985) were timber concessions (r2 = the external cause that drives farmers to 0.771) and high coffee prices (r2 = clear forest in Pemerihan, BBSNP is il- 0.484); lack of law enforcement was an legal logging. They explain that illegal log- underlying cause. In areas where this se- ging causes limited damage to the forest, quence took place, farmers (the agents) but that this illegal activity prompted farm- merely filled a "vacuum" created by the ers to go inside the park and to clear more loggers. In the second decade (1986- forest for agricultural land. 1996), deforestation in BBSNP decreased The causes of deforestation in due to strong law enforcement after the BBSNP are complex and vary with place third World Parks Congress (WPC) held and time. Thus, this study does not only in Bali in 1982. During this time, hundreds focus on a single set of deforestation driv- of families were evicted from the ers, but recognizes several forms of de- Pemerihan area in BBSNP (including my forestation causes that each play a sig- family and myself). In the most recent nificant role in the process of forest con- decade (1997-2006), deforestation rates version. The three levels of deforesta- in the park increased because of the high tion causes suggested by Sunderlin & coffee prices that occurred as an effect Resosudarmo (1996) are agents, imme- of the Asian economic crisis of 1997-1998 diate causes, and underlying causes. In and because of illegal logging that was a BBSNP, the agents that physically clear result of lack of law enforcement after forest are farmers. The immediate causes the fall of President Suharto in 1998. Both of deforestation (which trigger agents to of these factors had had a direct influ- clear more forest cover) are timber con- ence on the behavior of the illegal log- cessions, illegal logging, and high coffee gers and farmers. Figure 7 illustrates the prices. Finally, the underlying causes of patterns of forest loss and the causes of deforestation (which directly influence the increase or decrease in deforestation behavior of the immediate causes) are rates. lack of law enforcement and local and national socio-economic conditions. The Management Implications most important causes of deforestation This study and two previous studies in BBSNP are the immediate and the (Kinnaird et. al. 2003) showed that de- underlying causes because these causes forestation is one of the greatest threats trigger more clearing of forest cover by to the conservation of BBSNP. Loss of farmers. forest has proven to be one of the most This study applies the three-levels difficult and complex problems facing explanation suggested by Sunderlin & Indonesia's conservation agencies. If we Resosudarmo (1996) to clarify the causes are to conserve the forests of BBSNP, of deforestation in the three decades dur- we must take immediate and dramatic ing which deforestation occurred (Figure actions and a holistic approach. Forest 5). The immediate causes of increasing management should focus on strategic deforestation in the first decade (1972- efforts such as conserving the remaining

203 Suyadi forests as well as forest restoration, law regrowth. I predict that deforestation in enforcement, increasing the participation the northern section of the park be will of local people, increasing financial sup- higher than deforestation in the southern port, and increasing the incomes of farm- section. Gaveau et al. (2007) classified ers around the park. the northern section of the park into a Forest management must concen- low law-enforcement zone in which ac- trate on conserving the remaining forest cessibility for rangers is difficult and within the park. Managers may also need ranger patrols are lacking. On other hand, to consider restoration of lost or heavily accessibility for farmers is easy (near). disturbed forest and of the forest edge. Therefore, the study suggests that ranger The strong law enforcement present in patrols should also be focused in the the early 1980s in BBSNP greatly re- northern section of the park. The park duced deforestation especially in the manager should reactivate the patrol of- southern portion of BBSNP. Therefore, fices or may also consider building new law enforcement is necessary to safe- patrol offices in the northern section of guard the integrity of BBSNP from farm- the park. This is important for creating ers who would otherwise clear the for- better accessibility of northern section for est. Keane et al. (2008) suggested that rangers. law enforcement interventions are also necessary to protect endangered species. CONCLUSIONS Law enforcement is also important for reducing illegal logging activities (Suyadi Deforestation in Bukit Barisan & Gaveau 2007). Selatan National Park began in the 1960s, This study found that in recent years, which is earlier than previous estimations. the deforestation rate in hill and montane Forest loss between 1972 and 2006 pro- forests has tended to increase. The ma- ceeded at an average rate of 20 km2 per jority of hill and montane forests located year or 0.64% per year. More than 22% in northern BBSNP that contain "active" of the forest in Bukit Barisan Selatan encroachments have experienced little National Park was lost from 1972 to

Figure 7. The trends in and causes of increase or decrease in deforestation over three decades.

204 Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park

2006. This indicates that deforestation is given to the interview teams from Wild- one of the greatest threats to the conser- life Conservation Society, Center for In- vation of BBSNP. Deforestation has oc- ternational Forestry Research, and LSM curred in lowland forests, higher-eleva- Ulayat. tion hill forests and montane forests, but in recent years, deforestation in hill and REFERENCES montane forests has tended to increase gradually. This study predicts that the Gaveau, DLA., Wandono, & H., F. deforestation rate in the northern section Setiabudi. 2007. Three decades of of the park (which contains a large area deforestation in southwest Sumatra: of hill forest and montane forest) will be have protected areas halted forest higher than deforestation in the southern loss and logging, and promoted re- section, which is dominated by lowland growth?. Biol.Cons 134: 495-504. forest. Holmes, DA. 2002. The predicted extinc- The agents that have the main physi- tion of lowland forests in Indone- cal role in forest clearing in BBSNP are sia. Pages 7-13 In E. Wickrama- farmers that live in and around the park. nayake, E. Dinerstein, C. J. However, the most important of the Loucks, D. M. Olson, J. Morrison, causes of deforestation are immediate J. Lamoreux, M. McKnight, & P. causes such as timber concessions, ille- Hedao, editors. Terrestrial ecore- gal logging, and high coffee prices; these gions of the Indo-Pacific: a con- causes induce farmers to cleared more servation assessment. Island forest. Finally, lack of law enforcement Press, Washington, D.C. and socio-economic conditions are the Keane, A., JPG. Jones, E. Jones, & G., important underlying causes that drive the Milner-Gulland. 2008. The sleeping immediate causes. policeman: understanding issues of enforcement and compliance in ACKNOWLEDGMENTS conservation. Cons 11: 75- 82. This study was supported by the Kinnaird, MF., EW. Sanderson, TG. Russell E. Train Education for Nature O'Brien, HT. Wibisono, & G. Program of the World Wildlife Fund, the Woolmer. 2003. Deforestation Royal Geographical Society (with IBG) trends in a tropical landscape and with a Royal Dutch Shell International implications for endangered large Leadership and Capacity Building mammals. Cons. Biol. 17: 245-257. Programme Bursary, and the Wildlife Kusworo, A. 2000. Perambah hutan atau Conservation Society. I would like to ex- kambing hitam? Potret sengketa press gratitude to Mr. Russel E. Train, to kawasan hutan di Lampung. Dr. Marion Adeney for review, and com- Pustaka Latin, Bogor. ments, to Dr. Margaret F. Kinnaird and Mertens, B., WD. Sunderlin, & O. Dr. David Gaveau. Special thanks are Ndoye. 2000. Impact of macroeco-

205 Suyadi

nomic change on deforestation in impact of fires in South-east Asia. South Camerron: Integration of Site 1. Sekincau, Lampung Prov- household survey and remotely- ince, Indonesia. CIFOR, ICRAF sensed data. World Development and USFS, Bogor, Indonesia. 28: 983-999. The United Nations Framework Conven- Saatchi, S., D. Agosti, K. Alger, J. Delabie, tion on Climate Change (UNFC & J. Musinsky. 2001. Examining CC). 2007. Decision2/CP.13: Re- fragmentation and loss of primary ducing emissions from deforesta- forest in the southern Bahian At- tion in developing countries: ap- lantic Forest of Brazil with radar proaches to stimulate actions. In: imagery. Cons. Biol. 15: 867-875. United Nations Climate Change Sunderlin, WD., A. Angelsen, DP. Conference. Bali, Indonesia. Resosudarmo, &A. Dermawan. Turner, W., EJ. Sterling, & AC. Janetos. 2001. Economic crisis, small farmer 2001. Contributions of remote sens- well-being and forest cover change ing to biodiversity conservation: a in Indonesia. World Development NASA approach. Cons. Biol. 15: 29: 767-782. 832-834. Sunderlin, WD. & IAP. Resosudarmo. Verbist, B., & G. Pasya. 2004. Perspektif 1996. Rates and causes of defor- sejarah status kawasan hutan, estation in Indonesia: towards a konflik dan negosiasi di resolution of the ambiguities. Oc- Sumberjaya, Lampung Barat- casional Paper No.9. Center for Propinsi Lampung. Agrivita 26: 20- International Forestry Research, 28. Bogor. Wood, CH., & D. Skole. 1998. Linking Suyadi, & DLA. Gaveau, 2007. Akar satellite, census and survey data to Penyebab Deforestati di Sekitar study deforestation in the Brazilian Sungai Pemerihan, Taman Nasional Amazon. Pages 70-93 In D. Bukit Barisan Selatan, Lampung Liverman, E. F. Moran, R. R. Barat. Jurnal Berita Biologi 8(4): Rinduss, & P. C. Stern, editors. 279-290 People and pixels: linking remote Suyanto, S., RA. Dennis, I. Kurniawan, sensing and social science. Na- F. Stolle, P. Maus,& G. Applegate. tional Academy Press, Washington, 2000. The underlying causes and DC.

Received: Juli 2010 Accepted: April 2011

206 Jurnal Biologi Indonesia 7 (2):207-212 (2011)

Study of Pteridophyte Diversity and Vegetation Analysis in Jatikerep Legonlele and Nyamplung, Karimunjawa Island Central Jawa

Fahreza Saputra & Labibah Qotrunnada

Department of Biology, University of Indonesia E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Kajian Diversitas Pteridofit dan Analisis Vegetasi di Jatikerep Legonlele dan Nyamplung, Pulau Karimunjawa, Jawa Tengah. Kajian Pteridofit dan analisis vegetasi dilakukan di tiga lokasi di Kep.Karimunjawa Jawa Tengah. Tujuan dari kajian ini untuk mendata Pterydofit yang dapat tumbuh di kawasan dataran rendah dengan kondisi tanah berpasir dan rendah jumlah curah hujannya. Tiga belas jenis Pteridofit dapat ditemukan di kawasan tersebut dengan jenis yang mendominasi adalah Lygodium flexuosurydom diikuti oleh Pteris vittata, Lygodium microphyllum, Lindsaea ensifolia, Pteris ensiformis, Nephrolepis brownii, Chelianthes tenuifolia, Nephrolepis hirsutula, Cyclosorus extensus, Blechnum finlaysonianum, Taenitis blechnoides, Abacopteris triphylla, dan Pteris semipinnata . Indeks diversitas dikawasan tersebut sanga rendah (Shannon-Wiener (H’) = 1.5462). Unsur tanah dan pH tidak banyak mempengaruhi signifikan diversitas Pterydofit.

Kata kunci: Karimunjawa; Pteridofit diversitas; dataran rendah.

INTRODUCTION the distribution and species diversity were found in the highest parts of the slopes Pteridophyte is a seedless vascular (Tuomisto & Poulsen 2000). plant which can be distributed in high and Several studies of pteridophyte low topographic positions (Sastrapradja diversity were conducted at high 1979). Several studies of tropical rain topographic position in Gunung Gede forest have documented that the Pangrango National Park. The result was distribution of plant group is correlated that pteridophyte diversity is affected by with topographic position (Tuomisto & topographic position. Asplenium Poulsen 2000). The distribution of caudatum, Polysticum proliticans, pteridophyte which is rooted in the hilly Athyrium montanum, Dryopteris topographic area, the highest number of hirtipes, and Pteris biuarita were found species and species diversity were found more abundance in the high slope (Djalil, in the valley or lower parts of the slopes 2000). In contrast, several studies and changed with bryophytes in the resulted that some genera of Lygodium higher slopes (Djalil 2000). When the mostly found in the low topographic topographic position was regularly flat, position. Lygodium can grow in the

207 Saputra & Qotrunnada ground which is lies 1.500 m asl, less The coverage was also measured. In canopy, and soil pH is mostly low (Siregar order to know the effect of environment et al. 2004). condition to the pteridophyte diversity, Study of pteridophyte diversity needs some abiotic factors were also recorded to be conducted in order to examine the in each plot. The soil moisture was value of the pteridophyte in the ecological recorded using soil meter and soil pH was system and also ethnobotany (Sastra- recorded using pH meter. pradja 1979; Siregar dkk. 2004 ). Study Number of relative frequency, of pteridophyte diversity has never been number of species density, and number conducted in lowland rain forest of of dominance were calculated in order Karimunjawa National Park. This study to measure indices of important value. needs to be conducted to examine the Species diversity was measured with pteridophyte diversity in lowland rain Shannon-Wiener diversity indices. forest, dry soil, and low amount of In order to know the correlation rainfall. We also recorded several abiotic between abiotic factor and pteridophyte factors to examine the correlation diversity, the diversity in each plot was between pteridophyte diversity and its measured. The diversity in each plot was environment. also correlated with pH and soil moisture using correlation analysis. MATERIALS AND METHODS RESULTS Field work was conducted at three sites of Karimunjawa Island: Jatikerep ( The total number of species of 5°52’3"S, 110°25’56" E), Legonlele terrestrial pteridophyte recorded within (5°51’37" S, 110°26’46" E), and Nyam- 30 plots was 13 species. Blechnum plungan (5°50’8"S, 110°25’46"E). There orientale, Dicranopteris linearis, are no soil differences in Jatikerep, Lyndsaea ensifolia, and Stenochlaena Legonlele and Nyamplungan. Karimun- palustris were also found outside the jawa soil texture is lithosol. The plots. The total number of pteridophyte topographic character is a range of hills individuals found within one plot varied with quartz sand, mica sand, and silt sand between 3 and 40 individuals per plot; as main soil composition. Karimunjawa the mean is 18 individuals per plot. Island lies in 0 – 506 m above sea level. The most abundance pteridophyte Annual average precipitation exceeds was Lygodium flexuosum which was 3000 mm and average temperature represented by 396 individuals in 30 plots ranges 30 — 31°C. with indices of important value 1.331. All pteridophytes which are rooted Then it is followed by Pteris vittata, in the ground were recorded following Lygodium microphyllum, Lindsaea the plot method. Thirty plots of 10 m x ensifolia, Pteris ensiformis, Nephro- 10 m were separated randomly in lepis brownii, Chelianthes tenuifolia, Jatikerep, Legonlele and Nyamplungan. Nephrolepis hirsutula, Cyclosorus

208 Study of Ptridophyte Diversity and Vegetation Analysis extensus, Blechnum finlaysonianum, Pteridophyte diversity was Taenitis blechnoides, Abacopteris correlated with soil conditions. The triphylla, and Pteris semipinnata diversity was not greater at sites with high respectively (Table 1). Based on the pH condition (Figure 1) and was greater numerical analysis, the diversity of at sites with high moisture (Figure. 2). pteridophyte in Karimunjawa is low with Although soil conditions have correlated indices of Shannon – Wiener = 1.54. with pteridophyte diversity, the

Table 1. Density (Den), Dominance (Dom), Frequency (F), Relative density (RDen), Relative dominance (RDom), Frequency Relative (FR) were calculated to measure Indices of Important Value (IIV). Indices of Important Value of Lygodium flexuosum was the highest. Species Den Dom F Rden Rdom FR IIV Abacopteris tryphilla 0.0003 0.00023 0.0333 0.0019 0.0022 0.0175 0.0217 Blechnum finlaysonianum 0.0007 0.00178 0.067 0.0039 0.0169 0.0358 0.0558 Cyclosorus 0.0053 0.0018 0.033 0.0313 0.0167 0.0175 0.0654 Lygodium flexsuosum 0.0973 0.0398 0.733 0.569 0.3762 0.3859 1.3313 Lindsaea microphylum 0.0133 0.0064 0.3 0.0779 0.0613 0.1578 0.2971 Lygodium microphylum 0.0047 0.0247 0.167 0.0273 0.2333 0.0877 0.3483 Nephrolepis brownii 0.011 0.004 0.067 0.0643 0.0379 0.0351 0.1372 Nephrolepis hirsitula 0.0036 0.00135 0.067 0.0215 0.0129 0.0351 0.0693 Pteris ensiformis 0.005 0.0085 0.067 0.0294 0.0801 0.0351 0.1445 Pteris semipinnata 0.0003 0.00004 0.033 0.0019 0.0004 0.0175 0.0199 Pteris vittata 0.0246 0.0138 0.167 0.1443 0.1301 0.0877 0.362 Cheilanthes tenuifolia 0.002 0.0015 0.133 0.0117 0.0137 0.0701 0.0955 Taenitis blechnoides 0.0027 0.00194 0.033 0.0156 0.0183 0.0175 0.0514 0.1707 0.10584 1.9003 1 1 1.0003 2.9994

Figure 1. The correlation between pteridophyte diversity (H') and soil pH was negative. Higher soil pH has a tendency to decrease pteridophyte diverstity. But, the correlation is not significant.

209 Saputra & Qotrunnada correlation was not significant. greater while the soil pH is high. Although Numerical analysis using SPSS 16 it was has a tendency, Pteridophyte resulted that there is no significant diversity in Karimunjawa was not correlation between pteridophyte affected significantly with environment diversity with soil pH and pteridophyte condition. Several studies also resulted diversity with soil moisture (Table 2). that there is no significant correlation between pteridophyte diversity and DISCUSSION environment condition: soil moisture and soil pH (Djalil 2000, Richard et al. 2000). On the study, pteridophyte diversity Next study need to be conducted in in Karimunjawa is low with H’ = 1.546. order to examine the correlation between The range of low indices of diversity is 1 pteridophyte diversity and its to 1.5 (Rasidi 2003). Lygodium environment. This study used Shannon flexuosum was measured to be the most – Wiener indices to measure the diversity abundance species in Karimunjawa. in each plot. Generally, Shannon – Lygodium can grow well in the lowland, Wiener indices is used to measure the less canopy, and dry soil (Darma et al. diversity in one area which is represented 2003). by severals sample. Thus, next study to Soil moisture and soil pH has a measure the correlation between tendency to affect diversity. Pteridophyte diversity and its environment condition diversity is greater while soil moisture is need to be conducted with another high while pteridophyte diversity is less method.

Figure. 2. The correlation between pteridophyte diversity (H') and soil moisture was posi- tive. Higher soil pH has a tendency to increase pteridophyte diverstity. But, the correlation is not significant.

210 Study of Ptridophyte Diversity and Vegetation Analysis

Table 2. The environment condition in each plot. H' is diversity in each plot correlated to soil pH and soil mositure. PLOT H’ pH Moist. 1 0.68709 7 3 2 0 7 1 3 0 7 1 4 1.1358 7 1 5 0.90026 7 1 6 0 7 1 7 0.34883 7 3 8 0.63651 7 1 9 0 7 1 10 0.26714 7.1 0.9 11 0.69315 7 1 12 0.68291 7 1 13 0.16794 7 1 14 0.27119 7 1 15 0 7 1 16 0.56234 7 1 17 0.69176 7 1 18 0.5402 7 1 19 0 7 1 20 0 7 1 21 0.26405 7 1 22 0.80806 7.2 1 23 0.63903 7 3.5 24 0 7.2 0.8 25 0 7.2 0.8 26 0 7.1 0.8 27 1.07338 7.2 0.9 28 0.62109 7 1 29 0.60017 7 1 30 0 7.2 0.8

ACKNOWLEDGEMENTS. Hartiningtyas, Sentot Tri Prabowo, Zulfa Hanif, Dhimar Adi Permana, Maulana We are grateful to persons who help Akbar, Tiara Dewi, Nabila Chairunnisa, in the field work: Abdul Rahim, Annisa Febrial Hikmah and help in the process Balqis, Bregas Adi Luhur, Diny of numerical analysis: Agung Sedayu.

211 Saputra & Qotrunnada

REFERENCES Rasidi, S. 2003. Ekologi Tumbuhan. Cetakan I Universitas Terbuka, Darma, IDP., HM. Siregar & M. Siregar. Jakarta 2003. Paku Ata (Lygodium Richard, M. T. Bernhardt, & G. Bell. circinatum (Burm.f.) Sw.) for 2000. Environmental heterogeneity handicraft production in Bali. ang the spatial structure of fern Botanic Garden International species diversity in one hectare of Conference, Bali Botanical old-growth forest. Ecography 23: Garden, Indonesia, July 15 – 18, 231 – 245. 2003. Sastrapadja, S., JJ. Afriastini, D. Djalil , A. 2000. Pola heterogenitas serta Daernaedi & E. Wijaya. 1979. perbandingan komposisi dan Jenis Paku Indonesia. Lembaga struktur komunitas tumbuhan Biologi Nasional. LIPI. Bogor. paku di hutan pegunungan Siregar, M., IM. Ardaka, IK. Sudiarka., bawah dan pegunungan atas IDP. Dharma, & HM. Siregar. lereng utara Gunung Gede, 2004. Penelitian pendahuluan Jawa Barat. Departemen Biologi kesesuaian tumbuh paku ata FMIPA UI (Lygodium circinatum (Burm.f.) Holtum, RE. 1959. Flora of Malesiana Sw.) pada ketinggian tempat yang Ser. II Pteridophyta 1. Martinus berbeda. Laporan Teknik “Eka Nijhoff/Dr.W. Junk Publishers, The Karya” Bali:129 – 134 Hague: xxiii + 62 Tuomisto, H.& AD. Poulsen. 2000. Pteridophyte diversity and species composition in four Amazonian rain forest. J. Veget. Sci. 11: 383 – 396.

Received: Juli 2010 Accepted: April 2011

212 Jurnal Biologi Indonesia 7(2):213-220 (2011)

Javan Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) Movement in a Frag- mented Habitat, at Bromo Tengger Semeru National Park, East Java, Indonesia

M.Hari Subarkah ¹, Novianto Bambang Wawandono ², Satyawan Pudyatmoko ³, Subeno ³, Sandy Nurvianto ³, & Arif Budiman ¹

¹ Wildlife researcher at Wildlife Laboratory Faculty of Forestry Gadjah Mada University, ² Biodiversity Conservation, Departement of Forestry ³Faculty of Forestry Gadjah Mada University. E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Pergerakan Lutung budeng (Trachypithecus auratus) didaerah habitat terfragmentasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur, Indonesia. Pergerakan lutung budeng di daerah habitat terfragmentasi diamati dengan metode transek. Hasil kajian menunjukkan bahwa ada empat kelompok masing masing beranggotakan 12 (grup A), 16 (grup B), 15 (grup C) dan 12 lutung (grup D). Penelitian yang dilakukan disekitar hunian penduduk, jalan, hutan terdegradasi dan jalan-jalan setapak mengindikasikan bahwa lutung dalam aktivitas hariannya memerlukan waktu 32,82% diantaranya digunakan untuk makan, 30,97% untuk istirahat dan sisanya 31,79 untuk pergerakan perpindahan. Lutung dalam aktivitasnya 50,53% menggunakan wilayah puncak kanopi tumbuhan, 41,99%menggunakan kanopi tumbuhan bagian tengah dan hanya 2,49 % yang menggunakan kanopi bawah.

Kata kunci: Lutung budeng (Trachypithecus auratus), habitat terfragmentasi

INTRODUCTION adapt to changes in order to survive; fail- ure to adapt dooms species to extinction Most primate species live in tropical (Isabirye-Basuta & Jeremiah 2008; forests, (Mittermeier & Cheney 1987; Sharkley1996, Newsome et al. 2005). Chapman et al. 2006) where 2 major Habitat loss and fragmentation are threats are habitat destruction and hunt- associated with fewer resources, greater ing by human (Mittermeier & Cheney isolation, and more intense and far-reach- 1987). Alteration of forests into agricul- ing edge effects (Laurance & Bierregaard tural land, degraded function of the con- 1997), and both are considered was ma- servation area, are several causes de- jor threats to wildlife. Unless the current creasing the primate population. Primate rate of forest conversion is halted, it is populations, like those other organisms, inevitable that more and more primate face the challenges of coping with the populations will live in an isolated frag- dynamic of their habitat, because habitat ment (Isabirye-Basuta & Jeremiah 2008). are continually changing and primate must Understanding the biology behind the dis

213 Subarkah et al. tinction between species at risk and more vegetation data collected using Point persistent species should help inform con- Centered Quarter-Method (Mueller- servation efforts (Gibbons & Harcourt Dumbois & Ellenberg 1974) only to the 2009). level of the tree with a minimum diam- Coban Trisula are an intensive used eter of 35cm, measured at breast height, areas in Bromo Tengger Semeru National and 3) observations of daily activity of Park, consist of 3 natural waterfalls, and Javan langurs using Focal Animal Sam- also the habitat for the vurnerable of javan pling method (Lehner 1976) by observ- leaf monkey (IUCN 2010). In addition to ing the feeding, social, resting and mov- tourism, this region is also intensively used ing. by local people to take the wood, fodder, mushrooms, honey, medicine and kinds RESULTS of forest fruits for consumption. The lo- cation immediatelies adjacent to the cul- Coban Trisula and surounding are tivation, split by a highway connecting intensif used areas, as ecotourism object. Bromo and district of Malang and located The object were consisting three natural between Gubugklakah and Ngadas vil- waterfalls, namely upper coban, middle lages. This condition has turned the area coban and down coban, flows in Lajing fragmented. This study aims to determine river. The management has created semi the daily movements in the area of Coban permanent trail to reach the object, about Trisula as forms of javan leaf monkey ad- 600 meters long. The object was opened aptation in fragmented habitat. only in weekend, and visited by tourist about 50 - 100 peoples a day. MATERIALS AND METHODS Coban Trisula located as the border of Bromo Tengger Semeru National The study sites was at Coban Trisula Park, directly connected with resort conservation area, Bromo Tengger localvillagers cultivation. The area is also Semeru National Park, at coordinate 08o cut by permanent road connecting Bromo 00'11.5"- 07o 59'52.3"LS and 112o mountain and district Malang and 3 vil- 51'51.6"-112o 52'21.4"BT, at 1335-1591 lages that are Ranu Pani village, Ngadas m asl, covering 89 hectares. Administra- village and Gubugklakah village. Inside tively it is located in the Gubugklakah vil- the area there are many trail used by lo- lage Malang, East Java. This research cal villagers taking any resources needed. was conducted in August-December These facilities make villagers and visi- 2009 and January 2010. tors can access freely. Inside the loca- The methods used during the study tion, there are three natural rivers that is were: 1) Population survey of Javan lan- Sadam river, Lajing river and Amprong gurs using Line Transect Method river. (Strukhsaker 1981) conducted onece Illegal cutting for cabin, firewood each month, and then calculated the av- and cattle food for cows and goat are erage number of individuals found; 2) the biggest contribution to the habitat loss

214 Javan Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) Movement

Figure 1. Habitat type of javan leaf monkey (Trachypithecus auratus) at Coban Trisula.

Figure 2. Ilegal cutting for cabin and cattle food. and habitat fragmentation inside and out- viduals that are divided into four groups. side the area. It was done by local vil- Group 1 was up to 12 individuals, group lagers from Gubugklakah village, Tosari 2 was 12 individuals, group 3 was 15 in- village and Duwet village. Illegal cutting dividuals and group 4 was16 individuals. is intensive in the dry season, and de- Sex ratio is 1:1.5 (19 males and 29 fe- creasing in rainy season. It was created males). The age structure and sex ratio a "hole" in the area and formed a liaison of each group are presented in the Table at each habitat corridor that is used for 1. moving by Javan leaf monkey to explore The table shows, density of javan the home range. leaf monkey at Coban Trisula is 0,6 The population survey was con- individu per hectare. The density was ducted a month over study period. It higher than in Blok Ireng-Ireng which showed a population density of 55 indi- consisted of 64 individuals at area 428

215 Subarkah et al.

hectars, means 0,1 individu per hectare. ranga sp), Dadap (Erythrina orien- The observation samples consist of group talis), Nyampuh Sentul (Actinodaphne 1 and group 2, while group 3 and group 4 sp) and Salam (Syzygium polyanthum). are considered equal. Observations were done on daily behavior, exploiting strata DISCUSSION canopies, canopy height and density of trees used in its daily activities. Canopy level used by javan leaf To determine the density of trees monkey were different from any activi- used for moving, feeding and other ac- ties. During the observations, canopy tivities, vegetation analysis was con- level used by javan leaf monkey is pre- ducted using the Centre Point-Quadrat sented in the Figure3 Method. The density of trees is 228.7 The charts shows (Table 2), canopy individuals per hectare, the average dis- used at top level are 50,53%, at middle tance between trees is 7.34 meters, the level are 41,99% and lower canopy used average tree height is 8.40 meters, av- 4,98%. It seems associated with the habit erage canopy width is 7.13 meters and of javan leaf monkey as arboreal primate. canopy density is 41.51% (scale 3 of Utilization of canopy level was associ- Braun-Blanquet Scale). Species found ated with the height and canopy density, include Danglo (Engelhardtia spicata), and diversity of tree species such as feed- Tritih (Nitrocous sp), Preh (Ficus spp), ing trees, shelter and so forth. For ex- Anggrung (Trema orientalis), Bodak ample, Preh (Ficus spp), was used as a (Nauclea orientalis), Blarang (Maca- feeding trees, resting and social activi-

Table 1. Population, age structure and sex ratio of javan leaf monkey at Coban Trisula and surrounding Population, age structure and sex ratio No Groups Adult Sub-adult Juvenile Total Male Female Male Female 1 Group 1 3 6 2 - 1 12 2 Group 3 2 4 1 1 4 12 3 Group 2 3 6 3 2 1 15 4 Group 4 3 6 2 4 1 16 Total 11 22 8 7 7 55

Table 2. Height and canopy density (in average) of trees at core area in home range.

Resting Feeding Social Sleeping Item/ Canopy Canopy Canopy Canopy Heigh Height Heigh Heigh Activities Density Density Density Density t (m) (m) t (m) t (m) (%) (%) (%) (%) Group 1 23.86 47.95% 24.77 53.33% 26.47 57.35% 27.67 58.33% Group 2 24.08 47.88% 20.87 45.00% 25.00 52.78% 25.57 52.86% Overlapping 25.11 53.42% 23.55 54.50% 28.92 55.00% 29.20 59.50%

216 Javan Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) Movement ties, also as moving trees to other areas. eral species of plants and shrubs around Equitable form of branching, 45% canopy the river, some areas where there are no density, 20 meters height and shape of human activities. the rounded canopy javan leaf monkey Daily activities of javan leaf monkey, used top, middle and lower canopy level. showed on Figure 4 But, Anggrung (Trema orientalis), av- Average percentage of daily activity erage height 20 meters and a canopy of javan leaf monkey for rest and social density 25%, more often utilized as a activities amounted to 30.97%. Both resting trees and social activities at the activities were performed in the same middle canopy. While types of Bodak span of time before afternoon (07.30 - (Nauclea orientalis), with the same 10.00 am) and in the afternoon (12.00 - height and canopy density 40%, more 14.30 pm). Social activities that were often utilized as resting trees social ac- found during the observation is grooming tivities on top, middle and lower canopy and playing, but no breeding activity had level. During observations, sometimes been found. Foraging and eating javan leaf monkey found above the approximately 31.82% & were ground to find , consuming sev- performed by all individuals' javan leaf

50.53%

41.99%

4.98% 2.49%

Top Canopy Middle Canopy Lower Canopy Above the Ground Canopy Level

Figure 3. Percentage of time budget in javan leaf monkey daily activity

Resting and Moving & Social Activity, Ranging, 31.79% 30.97%

Foraging & Eating, 31.82%

Figure 4. Canopy level used by javan leaf monkey

217 Subarkah et al. monkey in the morning (06.00 - 07.30 am) move easily to another tree and hide. The and afternoon periods (14.30 - 17.00 pm). average number of canopy density are While moving activity and ranging is 47.95% used by group 1, 47.88% used approximately 31.79%, which is by the Group 2 and 53.42% in overlapping performed in the morning, afternoon and home range, because Javan langurs are evening at the home range in each group. adequately shielded from sunlight, rain, Based on the observation and wind, low temperature and relatively calculation above, it is known that the hidden from predators. javan leaf monkey have good adaptability At feeding activity, the average to the state of the fragmented habitat. height of trees that was used by group 1 Utilization of trees were various in daily is 24.77 m, 20.87 m in group 2 and 23.55 activities formed important areas and m in overlapping home range. The frequently visited, known as core area. average number of canopy density was Core areas used by javan leaf monkey 53.33% in Group 1, 45.00% in group 2 are closely linked with the height and and 54.50% in overlapping home range. density of tree canopies. Height of trees Canopy height and density associated was used by Javan langurs to avoid with the volume of feed that is available, harassment and threats from both human although sometimes javan leaf monkey and predator. While the canopy density also moved above the ground to eat selected by javan leaf monkey was insects, several types of shrubs and plants mainly to protect themselves from such as kecubung (Brugmansia sp), sunlight, rain, wind and low temperatures. kaliandra (Calliandra calothyrsus), Utilization of core areas in resting, mencokan (Debregeasia sp). feeding, social activities and sleeping was Social activities carried out during different one to another, and are resting time such as grooming, playing presented in the Table 2 below. In the and mating. At the core areas, social observation of home range, there is activities are carried out on trees with overlapping between home range group an average height of 26.47 m in group 1, 1 and group 2. At each home range of 25.00 m in group 2 and in overlapping two groups, there are a core area used home range 28.92 m. Canopy density in jointly by the Group 1 and Group 2. Group 1 amounted to 57.35%, in Group Resting activities were spread on 2 was 52.78% and in overlapping home several trees on the top and middle range of 55.00%. While playing, javan canopy level, on average height of 23.86 leaf monkey used top and middle canopy meters in home range of Group 1, 24.08 level to practice running, jumping, meters in home range of Group 2 and wrestling and climbing. This activity was 25.11 meters in overlapping home range. carried out by sub-adult and juvenile, Higher trees were used by javan leaf occasionally watched by their mother. monkey in circumstances of potential Sometimes another adult female or males nuisance and threat. When interference occasionally join into. Grooming and or threat appears, javan leaf monkey can other social activities are often carried

218 Javan Leaf Monkey (Trachypithecus auratus) Movement out by two or more individuals, alternately, sunlight, wind, rain, low temperature as conducted on middle canopy level or a well as a place to hide from threats and branching tree or large tree trunks and predators and human disturbance. flat. Another social activity is breeding. In Coban Trisula Resort, conflict of However, during observations the social interest between human and javan leaf activity was not found. monkey could become a serious threat Javan leaf monkey stopped their to the existence or the preservation of activities by entering the aleeping trees these , which are death and/or at 17:30 to 18:00. Selection of trees to displacement to another areas or habitats sleep are very important because javan that are more supportive. Therefore, leaf monkey must ensure that the tree conservation action to conserve javan has well-height and high density leaf monkey has to be taken in the future. canopies. The average numbers of tree height are 27.67 m in group 1, 25.57 m in ACKNOWLEDGEMENTS group 2 and 29.10 m in overlapping home. Canopy density in sleeping tree Many thanks to Mr. Novianto of group 1 was 58.33%, group 2 was Bambang Wawandono, Director of 52.86% and in overlapping home range Biodiversity Conservation, Departement were 59.50%. Sleeping trees used were of Forenstry, The Nature Conservancy higher and more densely than the height (TNC), Directorate General of Higher and canopy density trees for other Education (DIKTI), Bogor Agricultural activities. Tree height based on a better University (IPB), The Indonesian sense of security from the threat of Biological Society (PBI), Association for predators, whereas high canopy density Tropical Biology and Conservation for shelter from the wind and cold air, (ATBC), Bromo Tengger Semeru and from the rain. National Park and all staff, and many many people are not name here. CONCLUSIONS REFERENCES These observations concluded that javan leaf monkey was able to adapt to Chapman, CA., MJ. Chapman & HAC. the fragmented habitat areas. Height and Eeley. 2006. What hope for canopy density of trees have important African Primate Diversity?. functions in supporting the daily activities African J. Ecol. 44: 116-133 of Javan langurs such as feeding Dumbois, DM. & H. Ellenberg. 1974. behavior, resting, social activities and Aims and Method of Vegetation moving. Tree height associated with a Ecology. John Wiley & Sons. New sense of preferential because they feel York, London, Sydney, Toronto safe from harassment and threat of Gibbons, MA. & AH. Harcourt. 2009. predators. While the density of the Biological correlates of extinction canopy allows protecting the body from and persistence of primates in small

219 Subarkah et al.

forest fragments: a global analysis. Tourism. Channel View Publica- Trop. Cons.Sci. 2 (4):388-403. tions. Clevedon. Buffalo. Toronto. IUCN. 2010. IUCN Red List of 152. Threatened Species. www.iucn Shackley, M. 1996. Wildlife Tourism. redlist.org. Downloaded on 20 June ITP. International Thomson 2010. Business Press. An International Isabirye, B., M. Gilbert & SL. Jeremiah. Publishing Company. London. 2008. Primate Population and Their Bonn. Boston. Singapore. Tokyo. Interaction with Changing habitat. 299. Int. J. Primatology. 18th, 2008. Struhsaker, TT. 1981. Census Methods Laurance, WF. & RO. Bierregaard. for Estimating Densities. In: 1997. Tropical Forest Remnants. Subcommittee on Conservation of Ecology, management, and Natural Population, Committee on conservation of fragmented Nonhuman Primates, Division of communities. Chicago: University Biological Sciences, Assembly of of Chicago Press. Life Sciences & National Research Lehner, PN. 1976. Handbook of Council (eds) Techniques for the Ethological Methods. Garlang study of primate population STPM Press, New York & ecology. Nation Academy Press, London. 395. Washington, pp 36-80 Mittermeier, RA. & DL. Cheney. 1987. Wawandono, BW. 2010. Pemodelan Conservation of Primates and Their Daya Dukung Habitat Lutung Habitat. In B. B. Smuts, DL Jawa (Modelling of Javan Langur Cheney, RM. Seyfarth, RW. Habitat Carrying Capacity). Wrangham, & TT. Struhsaker [Disertation]. Gadjah Mada (Eds.), Primate Societies. Chicago University. Yogyakarta. University Press. 475-490. Newsome D., D. Ross & M. Susan. 2005. Wildlife Tourism. Aspects of

Received: July 2010 Accepted: Aprl 2011

220 Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 221-230 (2011)

Impact of Invasive Ant Species in Shaping Ant Community Structure on Small Islands in Indonesia

Akhmad Rizali1,2*, Abdul Rahim3, Bandung Sahari2, Lilik Budi Prasetyo4, & Damayanti Buchori2

1Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University 2PEKA Indonesia Foundation (Indonesian Nature for Conservation Foundation) 3Department of Agrotechnology, Faculty of Agriculture, Borneo University, Tarakan 4Department of Forest Resources Conservation and Ecotourism, Bogor Agricultural University E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Dampak Invasiv Species Semut pada Pembentukan Struktur Komunitas Semut di Kawasan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Peneletian tentang pengaruh spesies invasif di kawasan pulau-pulau kecil menjadi perhatian konservasi yang sangat penting,teristimewa pengaruhnya terhadap fauna lokal dan teristimewa untuk semut-semut endemik yang menjadi kajian pada penelitian ini. Pada kajian ini penelitian dilakukan di tiga pulau yaitu Pulau Bokor, Rambut dan Untung Jawa. Semut diambil menggunakan metode pitfall trap. Metode penghitungan dengan model korelasi dan linier digunakan untuk mengukur penyebarannya secara acak di setiap pulau. Diperoleh tiga species invasif dua diantaranya yaitu Solenopsis geminata dan Paratrechina longicornis dapat dijumpai di ketiga pulau tersebut sedangkan untuk Anoplolepis gracilipes hanya dijumpai di Pulau Rambut. A. gracilipes dan S. geminata merupakan spesies yang melimpah dan komposisi keterdapatannya berkorelasi dengan faktor habitat (F2, 52 = 19.469, p<0.001).

Kata kunci: Semut, keragaman jenis, spesies invasif

INTRODUCTION adaptive mechanism and high competitive ability, invasive have negative Alien invasive ant species are major impacts on the existence of local ants. threats to local biodiversity especially For example, invasive species indigeneous ants in certain area (Holway Linepithema humile (Argentine ant) has et al. 2002). As anthrophilic species, strongly affected native ant communities invasive ants have ability to occupy in fragmented coastal scrub habitats in human-modified habitats, e.g. in urban Southern California (Suarez et al. 1998). habitat (Gibb & Hochli 2002), ability for Habitat fragmentation facilitates the nesting in human structure (Schultz & establishment of invasive ants (Holway McGlynn 2000) and are easily dispersed et. al. 2002). In small island, habitat by humans. Therefore, with its rapid fragmentation and occurrence of invasive

221 Rizali et al ants can have a great negative impact in several small islands of Thousand on local species since the survival of Islands. species is very restricted by the availability of limited nature resource and MATERIALS AND METHODS space (Donlan & Wilcox 2008). Invasive species in small island are able to displace Ecological observation was indigeneous species and shape biotic conducted in three different islands of homogenization which makes populations Thousand Islands Archipelago (Figure 1) of native species especially prone to i.e. (1) Untung Jawa Island (represents extinction (e.g. Cole et al. (1992), the high populated island), (2) Rambut Island occurrence of Hypoponera opaciceps (represents as unique habitat where from and Solenopsis papuana caused 160 islands, only this island marine birds disappearing native ants in breed and live), and (3) Bokor Island Islands). As consequences, this invasion (represents as unexplored island may affect to change the ecological characterized by very diverse habitats function on whole ecosystem in the small and as a protected area) (Figure 1; detail island. see Table 1). To determined the habitat This research investigated the types on each island, Quick bird maps implication of invasive ant to local ant were used for mapping and quantify the community in Thousand Islands islands characteristics with GIS Archipelago, Indonesia that has never software. been conducted in this area. The To assess the impact of invasive ants archipelago is located in the northern sea on local ant species, pitfall trapping and of Jakarta Bay and consisted of 160 leaf litter sampling were carried out in 5 unique islands with size less than 1 km2 m x 5 m plots. The number of plots on (Alamsyah 2003). Although, this number each island differs based on habitat types does not include several islands that have (Table 1) and randomization using GIS been disappeared several years ago tool (with minimum distance among plots (UNESCO 1997). Several islands of the is 75 m). Sanctuary have been dramatically Plot observations were carried out modified and used for living and tourism two days on each island from March to and those will bring new threats for many May 2008 (Table 1). In each plot, four ant species (some of which may be pitfall traps were positioned 5 m apart endemic) through habitat modification on a diagonal line across the sample plot. and migration of invasive species from All specimens were stored in small vials other places. Previous study by Rizali with 70% alcohol and given a label in the et al. (2008) indicated that human field before being sorted and identified activities have aided the distribution of in the laboratory. Ants were identified invasive alien ant species Anoplolepis using relevant taxonomic literature (e.g. gracilipes and Solenopsis geminata Bolton 1994) and the reference collection of Seiki Yamane (Kagoshima University,

222 Impact of Invasive Ant Species in Shaping Ant

Table 1. Number of plots and description for each island in Thousand Island Archipelago

Island No. plot Description Date of sampling

Bokor 16 Natural forest with dense canopy dominating 17& 18 March 2008 with Dysoxylum amooroides, Sterculia futida, 8 & 9 April 2008 and Allophylus cobbe. Area 16,34 ha include sea shore 16 & 17 May 2008

Rambut 17 Natural forest with dominance mangrove 14 & 15 March 2008 plants (Dysoxylum amooroides, Guettarda 10 & 11 April 2008 speciosa, Allophylus cobbe. Area 45,80 ha but only around 20 ha that possible for plotting. 18 & 19 May 2008 This island is island marine birds

Untung 25 High populated island and tourist island. Area 12 & 13 March 2008 Jawa 39,12 ha, dominancy by settlement and with 12 & 13 April 2008 planted tree Annona squamosa, Thespesia populena and Artocarpus communis 13 & 14 May 2008

Figure 1. Map of study sites in the Thousand Islands Archipelago (Kepulauan Seribu) off Jakarta, Indonesia (inset). (a) Bokor Island (represents as unexplored island character- ized by very diverse habitats and as a protected area), (b) Rambut Island (represents as protected area with swamp forest), and (c) Untung Jawa Island (represents as high populated island).

223 Rizali et al

Japan) regarded as one of the most RESULTS complete collections of identified Asian ants in the world. Ant diversity partitioning between Diversity partitioning modified from islands Clough et al. (2007) was used to In total from three islands, we found determine the difference of ant 62,902 individual belongs to 32 species communities among islands. The total of ant (Table 2). The most abundance observed ã-obs, for each island can be and highest ant species richness was found in Untung Jawa (27 species). partitioned as ã-obs = á + âP + âI where á is the mean á-diversity per plot on each However, five other ant species were not found in this island and only found in island, âP is the between-plots â- diversity, and â the mean between- Bokor and Rambut. Based on diversity I partitioning shown similar pattern that the islands â-diversity highest mean á is also found in Untung The correlation between invasive Jawa (Figure 2). Although, Bokor has ant and ant diversity were assessed lowest mean á, the â between islands is using Spearman rank correlation. The highest compare with the others (Fig 2). occurrence of invasive ant (presence- This means that there still many of ant absence) was compared with number species in Bokor unexplored from this of individual and species richness of research. the other ants within island and between islands. Impacts of invasive Spatial distribution and abundance of ants and the habitat types (island) were invasive ant species tested simultaneously in general linear Three invasive ant species were re- models (GLMs) with island as a fixed corded during this observation i.e. variable and plots nested within island. Anoplolepis gracilipes, Paratrechina All analyses were done with STATISTICA longicornis, and Solenopsis geminata. 6.0 (StatSoft 2001). P. longicornis and S. geminata were Differences in ant community found in all islands, whereas A. structure were quantified using gracilipes was only found in Untung Sørensen’s index for similarity based on Jawa (Table 2 and 3). Based on the oc- presence/absence of species, which was currences of invasive ant per plot on calculated with the Biodiv97 macro for each island, P. longicornis seems to Microsoft Excel (Messner, pers. comm.). have ability to spread on whole habitat The similarity matrix was then reduced within island (Table 3). In contrast, S. to a two-dimensional ordination using geminata seems does not have ability to non-metric multidimensional scaling spread especially in Bokor which is only (NMDS) performed with STATISTICA 6.0 8 plots recorded from 16 plots in total (StatSoft 2001). (Table 3). The most abundance of invasive ant was found in Untung Jawa which is domi-

224 Impact of Invasive Ant Species in Shaping Ant

Table 2 Number of individual and ant species diversity per month in each island in Thousand Island Archipelago; Tramp species are printed in bold. SKY = from the reference collection of Seiki Yamane (Kagoshima University, ).

Bokor Rambut Untung Jawa Species Mar Apr May Tot Mar Apr May Tot Mar Apr May Tot Dolichoderinae 1. Dolichoderus thoracicus 5 2 9 16 2. Iridomyrmex anceps 3 3 9 31 9 49 30584 5476 8802 44862 3. Tapinoma melanocephalum 6 5 11 23 41 55 119 221 204 414 839 4. Anoplolepis gracilipes 1747 2559 1451 5757 5. Camponotus reticulatus 1 1 1 1 6. Camponotus sp.47 of SKY 40 30 48 118 23 35 56 114 26 41 17 84 7. Oecophylla smaragdina 1 1 1 3 6 3 6 15 8. Paratrechina longicornis 35 93 116 244 279 309 386 974 822 314 1101 2237 9. Paratrechina sp.17 of SKY 8 8 5 21 10. Paratrechina sp.24 of SKY 3 6 20 29 4 5 23 32 190 128 123 441 11. Polyrachis acuata 1 1 5 5 12. nuda 1 1 9 3 12 13. Crematogaster difformis 1 1 5 9 8 22 1 1 14. Crematogaster sp.10 of SKY 1 1 1 3 1 4 3 8 1 2 3 15. Monomorium destructor 28 14 54 96 117 94 209 420 150 36 70 256 16. Monomorium floricola 1 8 9 6 3 4 13 421 136 149 706 17. Monomorium monomorium 1 1 10 3 16 29 47 30 93 170 18. Monomorium sp.04 of SKY 4 1 5 19. Oligomyrmex sp.10 of SKY 1 1 1 2 3 2 3 2 7 20. Pheidole sp.01 117 143 194 454 191 164 254 609 93 26 49 168 21. Pheidole sp.02 2 4 6 22. Pheidole sp.03 3 3 23. Solenopsis geminata 11 6 12 29 31 29 30 90 2053 897 1057 4007 24. Solenopsis sp.02 12 16 7 35 8 1 6 15 17 3 7 27 25. Strumigenys emmae 1 2 3 1 1 2 1 1 2 26. pacificum 7 23 48 78 1 2 1 4 27. Tetramorium smithi 32 22 7 61 48 2 13 63 28. Tetramorium walshi 1 23 28 52 160 173 199 532 1014 833 1291 3138 Ponerinae 29. Anochetus graeffei 1 1 2 4 2 5 7 1 8 9 30. Hypoponera sp.01 2 2 2 3 5 31. Odontomachus similimus 33 56 60 149 220 228 283 731 11 16 19 46 32. Ponera 1 1

nated by A. gracilipes (Figure 3). Based which only 29 individual collected from on box-plot analysis, abundance of inva- three months sampling in this island. sive ant per plot every month in Untung Jawa is always higher than other islands. Impact the occurrence of invasive While, Bokor has lowest population of species invasive species especially S. geminata Within all islands, the occurrences

225 Rizali et al

Figure 2.Alpha and beta- (between-plot and between-islands) and ãobs-diversity values for the ant species richness in the Thousand Islands Archipelago; Error bars are ± 1 SE of the means.

Table 3. Proportion of (a) plots with and without invasive ant species, (b) species richness and (c) number of individual of invasive and non-invasive ant that found in each island in Thousand Island Archipelago.

Island Items Bokor Rambut Untung Jawa (a) Plot Total of plots 16 17 25 Plots with invasive ant 15 17 25 A. gracilipes 18 P. longicornis 14 15 25 S. geminata 8 14 22 (b) Species richness Total of species 22 26 27 Non-invasive 20 24 24 Invasive 2 2 3 (c) Number of individual Total of individual 1,330 3,843 62,902 Non-invasive 1,057 2,779 50,901 Invasive A. gracilipes 5,757 P. longicornis 244 974 2,237 S. geminata 29 90 4,007

226 Impact of Invasive Ant Species in Shaping Ant of invasive ant have correlations with ant From the GLM analysis, the occur- abundance and species richness on each rences of invasive species have no sig- plot within island. Based on Spearman nificant effects to ant communities rank correlation, the presence of A. (p>0.05). Island (habitat types) is the gracilipes has correlation with ant abun- main factor that affects ant species com- dance (r=0.71, p<0.05) and ant species position (F2, 52 = 19.469, p<0.001). richness (r=0.46, p<0.05) on each plot. However, based on NMDS analysis, the The similar pattern also found in S. similarities of ant species composition geminata that has correlation with ant between plots per month on each island abundance (r=0.51, p<0.05) and ant spe- are differed and unstable (Fig 4). There cies richness (r=0.38, p<0.05). We also are other factors that affect ant species found that A. gracilipes and S. geminata composition on the islands. can co-occur which has correlation both in abundance and ant species richness (r=0.38, p<0.05).

Figure 3. Box-plot of three invasive species on each island per month and all months sampling in the Thousand Islands Archipelago

227 Rizali et al

DISCUSSION search, this species was also only re- corded in the islands that have settlement Untung Jawa as high populated is- and human activities inside (Rizali et al. land consists of high population of inva- 2008). Even if the island have a lot of sive species. The highest abundance of Homopteran insects, this species could invasive species in this island depicted well adapt and will have high densities that habitats in Untung Jawa are suitable due to associations with them (Hill et for invasive species which can co-exist al. 2003). Agroforestry habitat such as with human. The human structure and cacao plantation was also possible as their activities can support the nesting suitable habitat for A. gracilipes due to sites and food for invasive species habitat disturbance and suitable of mi- (McKinney & Lockwood 2001; Olden et. croclimate (Bos et al. 2008). In Untung al. 2004). Although invaded by invasive Jawa, the occurrence of this species has species, Bokor and Rambut both as pro- correlation with other ant species. The tected area and with low intensity of hu- high abundance of this species in Untung man disturbance have very low abun- Jawa may have negative impact to local dance of invasive species. Habitat con- ant communities due to very competitive ditions on these islands may have contri- and has occupation mechanism. bution to protect from increasing popu- The different pattern was found for lation by invasive species. P. longicornis. Although this species is For example, S. geminata as hot cli- less abundance than other invasive spe- mate specialist, this species can well cies, they could widely spread in differ- adapt in habitat such as settlement area, ent habitat within island as well as dif- forest edge, and agriculture area (Ness ferent island. Based on McGlynn (1999) & Bronstein 2004), whereas Bokor and and Brown (2000), P. longicornis have Rambut have only few area suitable for ability to spread and well adapt in vari- this species due to covered by forest ous habitat condition. In Thousand Is- (Figure 1, Table 1). Therefore, this spe- land Archipelago, the occurrence of this cies is able to act efficiently in open area species seems have no effect to local ant (Perfecto & Vandermeer 1996), such as communities. Untung Jawa, S. geminata has correla- However, the occurrence of inva- tion with both abundance and species sive ant in certain habitat may have di- richness of other ants. It means that the rect and indirect effect to local ant com- occurrence of this species may affect the munities. Invasive ant that have ability other ant species. in occupying and dominating in new habi- Another finding, A. gracilipes was tat, as consequence cause disappearing only found in Untung Jawa. The exist- of local ant communities and even be- ence of settlements and human activi- come extinct due to can not compete with ties in this island may role as an impor- invasive species (Holway et al. 2002). tant factor for A. gracilipes to well adapt Habitat disturbance and habitat fragmen- and has high abundance. In previous re- tation also have important role in support-

228 Impact of Invasive Ant Species in Shaping Ant ing the existence of invasive ant (Suarez Donlan, CJ & C.Wilcox. 2008. Diversity, et. al. 1998). In conclusion, the combi- invasive species and extinctions in nation of both invasive species and habi- insular ecosystems. J. App. Ecol. tat fragmentation will significantly effect 45: 1-10 on decreasing local ant species. Eubanks MD, SA. Blackwell, CJ. Parrish, ZD. Delamar & HH. ACKNOWLEDGEMENTS Sanders. 2002. Intraguild preda- tion of beneficial by red We are grateful to Iyus Rahman and imported fire ants in cotton. Envir. Nina Herlina for support and coopera- Ento.31: 1168-1178 tion during field research. This research Gibb, H & DF.Hochuli, 2003. Coloniza- project was funded by the Biodiversity, tion by a dominant ant facilitated Ecology and Health Fund, Wildlife Trust, by anthropogenic disturbance: af- USA (Ref Log #: 07-08-259, 2006/2007 fect on assemblages composition, Grant Award). biomass and resource use. Oikos 103: 469-478 REFERENCES Hill, M., K. Holm, T.Vel, NJ. Shah & P. Matyot. 2003. Impact of the in- Bolton, B. 1997. Identification Guide troduced yellow crazy ant Anoplo- to the Ant Genera of the World. lepis gracilipes on Bird Island, London: Harvard University Press. Seychelles. J. Biod. Cons12: 1969- Bos, MM., JM. Tylianakis, I. Steffan- 1984 Dewenter& T. Tscharntke. 2008. Hölldobler B & Wilson EO, 1990. The The invasive Yellow Crazy Ant and Ants. Canada: Harvard University the decline of forest ant diversity Press in Indonesia cacao agroforest. Holway DA, L.Lach, AV.Suarez, ND. BioL. Invasion 10(8): 1399-1409. Tsutsui & TJ. Case. 2002. The Brown WL. 2000. Divesity of Ants. In: causes and consequences of ant in- Ants: Standard Methods for vasions. Ann. Rev. Ecol. Sys. 33: Measuring and Monitoring 181-233 Biodiversity (Agosti D, Mejer JD, McGlynn TE, 1999. The worldwide Alonso LE, Schultz TR, eds). transfer of ants: geographical dis- Washington: Smithsonian Institution tribution and ecological invasions. Press. J.Biogeo. 26: 535-538 Clough, Y., A. Holzschuh, D. Gabriel, T. McKinney ML & JL. Lockwood. 2001. Purtauf, D. Kleijn, A. Kruess, I. Biotic homogenization: a sequential Steffan-Dewenter&T. Tscharntke. and selective process. In: Biotic 2007. Alpha and beta diversity of Homogenization (Lockwood JL, arthropods and plants in organically McKinney ML, eds). New York: and conventionally managed wheat Kluwer Academic. fields. J.Appl. Ecol. 44: 804-812. Ness JH & JL. Bronstein, 2004. The Ef-

229 Rizali et al

fects of Invasive Ants on Prospec- myrmecofauna in a densely popu- tive ant Mutualists. Biological of lated area of Bogor, West Java, Invasions 6: 445-461 Indonesia. HAYATI J. Biosciences Olden JD, NL. Poff, MR. Douglas, ME. 15: 77-84 Douglas & KD. Faucsh. 2004. Schultz TR & TP. McGlynn. 2000. The Ecological and evolutionary conse- interactions of Ants with other or- quences of biotic homogenization. ganism. In: Agosti et al. eds. Ants: Trends. Ecol. Evol. 19 (1): 18-24 Standard Methods for Measur- Perfecto I & J. Vandermeer.1996. Mi- ing and Monitoring Biodiversity croclimatic changes and the indi- . Washington: Smithsonian Institu- rect loss of ant diversity in a tropi- tion Press cal agroecosystem. Cons. Ecol. Suarez AV, DT. Bolger & TJ. Case. 1998. 108 (3): 577-582. Effect of fragmentation and inva- Rizali A., MM. Bos, D.Buchori, S. sion on native ant communities in Yamane & CH.Schulze. 2008. Ants Coastal Southtern California. J. in tropical urban habitats: the Ecol. 79(6): 2041-2055.

Received: Juli 2010 Accepted: April 2011

230 Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 231-242 (2011)

Relationship Different Riparian Vegetation Cover with Stream Conditions in Cikapinis Stream, West Jawa

Della Kemalasari & Devi N. Choesin School of Life Sciences and Technology, Institut Teknologi Bandung Institute of Technology E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Hubungan antra Perbedaan Tutupan Vegetasi Riparian pada Kondisi Air mengalir di kawasan Cikapinis, Jawa Barat. Vegetasi memiliki peran sangat penting di kawasan perairan yang mengalir; banyak hubungan antara tutupan vegetasi dengan aliran air dan struktur makroinvertebrata yang menghuninya. Oleh sebab itu penelitian dirancang di kawasan aliran Cikapinis Jawa barat dengan mengambil contoh stasion penelitian yang terbagi menjadi tiga lokasi yaitu di hulu, tengah dan hilir. Kawasan tengah merupakan kawasan yang terbuka karena kebakaran 8 bulan sebelum penelitian. Kawasan hulu merupakan kawasan dengan kondisi banyak tertutup oleh tumbuhan perdu yang agak berbeda dengan kondisi kawasan hilir dan diikuti dengan kawasan tengah. Di kawasan tebangan, kandungan kimia air yaitu nitrat dan orthophosphat meningkat dan diikuti penurunan indeks diversitas makroinvertebrata, rendahnya kelimpahan teristimewa terjadi pada alga larva Petrophila sp. Analisis Komponen (PCA) yang digunakan pada penelitian ini mengindikasikan adanya pengaruh antara vegetasi riparian dan kondisi fisik kimia air. Keeratan hubungan terlihat antara rendahnya tutupan vegetasi, tingginya suhu udara, intensitas sinar, kondisi tanah, nitrat, dan orthophosphat.

Kata kunci: Vegetasi riparian, Aliran air, Kondisis fisik kimia, Makroinvertebrata, logging.

INTRODUCTION allochthonous (outside) sources of energy (Tabacchi et al. 1998 in Heartsill-Scalley Riparian vegetation is an important &Aide 2003). Riparian vegetation also feature of the landscape because it provides canopy coverage to the functions as a corridor (Forman 2001). streambank (Sweeney etal. 2004), thus Riparian vegetation affects stream reducing diurnal temperature fluctuation, processes as both sink and source of in both the terrestrial and aquatic matter and energy. As a sink, riparian habitats. vegetation dissipates energy of flowing As a consequence of the above, water, while retaining and absorbing deforestation in riparian areas may affect nutrients and particles from the upland the ecological assemblages in stream area. As a source, the production of leaf ecosystems, due to the lack of shade, litter and woody debris contributes matter which causes high level of solar radiation to the stream ecosystem, an important to the stream, leading to higher resource for organisms in first-order temperatures (Sweeney et al. 2004); and streams which depend mainly on loss of woody debris and leaf litter, which

231 Kemalasari & Choesin will alter the stream from being 07°35’51.5" (S) and 108°24’37.9" (E), allochthonous (terrestrial-based with the elevation of area sampled productivity) to autochthonous (algal- varying between 156 meters a.s.l. at the driven) (Heartsill-Scalley and Aide downstream to 170 meters a.s.l. at the 2003). The above changes, coupled with upstream area. Topography of the excess nutrients transported by runoff, landscape was characterized by hilly will result in organic enrichment and steep uplands consisting of mixed forest- changes in macroinvertebrate assem- tree plantation or rice paddy fields in areas blages (Iwata et al. 2003). In other that are less steep; all are relatively words, change in riparian vegetation due remote from settlements. Cikapinis is a to deforestation minimizes its potential to small first-order stream with a length of filter nutrients from uplands to streams. approximately 4 km and width between To date, numerous studies have 0.8 and 3.5 meters. Part of the riparian emphasized the importance of temperate area around the midstream of Cikapinis riparian ecosystems, but information on stream experienced extensive logging and tropical riparian ecosystems, is still very was deforested on July 2008. The logging limited (Iwata et al. 2003). One case itself eliminated a total forest area of example to study the effects of riparian approximately 5,700 ha (Perum Perhutani deforestation on tropical stream 2008) and most of the study area was ecosystems is to assess Cikapinis stream, burned until almost no vegetation was located in Ciamis Regency, southern part left. This condition lasted for about five of West Java, which has a recent history months; in a field survey conducted in of extensive riparian logging in 2008, December, only red-colored bare soil and eight months before this study was burned tree stumps remained. conducted. Cikapinis stream was sampled at The objective of this study was to three stations: upstream (station 1), assess the relationship between riparian midstream (station 2), and downstream vegetation and: (1) stream water quality, (station 3); with the general assumption and (2) stream macroinvertebrate that station 1 can be used as reference community, in Cikapinis stream. It is area without disturbance in terms of hypothesized that riparian vegetation logging, station 2 as a logged area, and condition is related to both stream water station 3 as an area with less logging quality and the macroinvertebrate disturbance. The initial design of the study community. was to compare the stream with a reference stream without logging MATERIALS AND METHODS impacts, located nearby, with similar upstream conditions. However, due to The study was conducted along field conditions and technical difficulties, Cikapinis stream in Ciamis Regency, in the study was then conducted on only the southern part of West Java province, one stream; this approach is still Indonesia. The upstream is located at

232 Relationship Different Riparian Vegetation Cover considered acceptable, as in the study of spectrophotometry method. Nitrate Osborne and Kovacic (1993). concentration was measured using Riparian vegetation was assessed Standard Methods for the Examination for structure and composition in four of Water and Wastewater 20th 1998 in plots, measuring 10 x 10 m, placed Environmental Engineering Water alternately on either side of the stream laboratory, Faculty of Civil and on each station. Vegetation structure Environmental Engineering, Institut assessment included measurements of Teknologi Bandung. herbaceous and shrub vegetation cover, Macroinvertebrate samples were density, and frequency; tree basal area collected from five sampling points at and density; and number of species. each station using a Surber net or Terrestrial physico-chemical factors Eykman grab, depending on the type of were also measured for microclimate and substrate. Macroinvertebrate samples soil characteristics. Microclimate were filtered with 35 nm mesh metal filter, parameters measured included light put into clear sample plastic bags intensity, air temperature, and relative measuring 60 x 100 cm, then preserved humidity, while soil characteristics with 40% formaldehyde. Species were measured were pH, temperature, and analyzed under a light microscope and relative humidity. All parameters were identified using Pennak (1953), Dharma measured with three times replication (2005), van Benthem Jutting (1953), and within each station. Merritt and Cummins (1996) as Streambank structures at the three references in the Aquatic Ecosystem stations were described based on Analysis laboratory, School of Life measurements of width, water depth and Sciences and Technology, Institut average stream water velocity. Teknologi Bandung. The macroin- Furthermore, stream physico-chemical vertebrate community was analyzed characteristics were measured three using the Shannon (H') diversity index times for replications, with temperature and Sørensen similarity coefficient (CS), and dissolved oxygen assessed on and percentage of Importance Value. location, while pH, orthophosphate, Vegetation coverage was analyzed biological oxygen demand, and dissolved statistically using non-parametric test of carbon dioxide concentrations were Kruskal Wallis, while the rest variables analyzed in the Aquatic Ecosystem except for macroinvertebrate were Analysis laboratory, School of Life analyzed using Principal Component Sciences and Technology, Institut Analysis (PCA) with SPSS 16 statistical Teknologi Bandung. Biological oxygen program. Macroinvertebrate analysis demand, pH, and dissolved carbon does not included in PCA due to its dioxide concentrations were measured complexity which could generate another using titration method, while PCA plot itself. orthophosphate concentration was PCA was used to identify underlying measured using stannous chloride- variables, or factors, that explain the

233 Kemalasari & Choesin pattern of correlations within a set of exhibited the highest value in all observed variables, and was thus used categories, i.e., herbaceous vegetation to generate hypotheses regarding causal cover, shrub cover, stem basal area, and mechanisms (SPSS 2004). The first number of species. Station 2 had the component has maximum variance and lowest vegetation cover, with herbaceous successive components explain vegetation and shrubs covering less than progressively smaller portions of the 50% of the area. Station 3 contained the variance. Prior to analysis, all data which lowest number of species from all have different measurement units were stations, but had an herbaceous coverage standardized using the Z-score method. of 100% (Figure 1). The Kaiser criterion was applied to retain In general, microclimate at station 1 all factors with eigenvalues exceeding a was relatively favorable, with value of 1 (Statistica 1991 cited in temperatures ranging between 27.2 to Rachmansah 2009). Using the first and 27.8 °C (Table 1), lower than the other second extracted components as axes, a two stations. On the other hand, Cartesian graph of variables was made temperatures in logged areas or station to assess detectable pattern in the data. 2 measured within the highest range (31.1 - 33.9°C), with a light intensity RESULTS range of (17,170 to 190,500 lux), therefore suggesting a positive relationship In general, riparian vegetation within between the two variables. a width of ten meters along Cikapinis Furthermore, soil temperature was stream was composed of herbaceous found highest at the logged area, and plants and shrubs. Station 1 exhibited the lowest at areas with no logging. This may highest Shannon diversity index (H') for be related to light intensity and air all categories (herbs=2.32; shrubs=0.75; temperature (Table 2) which may trees=0.99), indicating that riparian increase temperatures on exposed and vegetation at station 1 was more diverse less vegetated soil. than other stations with the presence of The area with highest coverage Cocos nucifera (coconut), the only exhibited the lowest average water species tree present among all other temperature (25.4°C), while the area stations. The Shannon diversity index for with lowest vegetation coverage stations 2 and 3 shrubs have zero values exhibited the highest water temperature because each station was only composed (29.9°C) (Table 3). This suggests the of a single species, i.e., Paraserianthes riparian vegetation function of shading the falcataria, with the same density. stream bank so that water temperature Riparian vegetation cover was does not fluctuate rapidly during the day. significantly different among all stations Nitrate measurements were found for herbaceous cover, shrub cover, and highest at the logged area, i.e., up to 0.779 tree basal area (non-parametric Kruskal- mg/L and averaged about 0.651 mg/L; Wallis test; P<0.05). Overall, station 1 while lowest nitrate concentration was

234 Relationship Different Riparian Vegetation Cover

found at the upstream area (0.090 mg/ Analysis (PCA) statistical test. The L), with an average of about 0.363 mg/L analysis yielded six principal components (Table 3). Contrary to the downstream from seventeen variables accounted. The accumulation effect, nitrate concentra- first principal component accounted for tions in station 3 were lower than in logged most of the total variance explained and area (0.229-0.464 mg/L). This may reached a value of 49.8 %; whereas the suggest that riparian vegetation cover at second component which accounted for the downstream area was able to absorb the next smaller progressive number excess nitrate from the logged area reached 14.5%. The relative position of located in midstream. Stream water the variables on the graph indicates the orthophosphate concentrations are low degree of similarity (Figure 2). on area that are relatively covered with The first component (Component 1) vegetation (station 1=0.952 to 1.160mg/ was positively correlated with water L; station 3=0.952-1.370 mg/L); while temperature, water alkalinity, dissolved area with less vegetation coverage oxygen concentration in water, soil pH exhibited highest level of orthophosphate and temperature; and negatively (1.056-1.797 mg/L) (Table 3). correlated with relative air humidity and Relationship analysis between riparian carbon dioxide concentration in water. vegetation cover and stream conditions Accordingly, the Component 1 axis was was examined by Principal Component regarded as a habitat character

Table 1. Range of microclimate measurements at the three stations

Station Microclimate parameters 1 2 3 Temperature (°C) 27.2 – 27.8 31.1 – 33.9 26.7 – 30.0 Relative humidity (%RH) 84 – 86 78 – 85 76.5 – 77 Light intensity (lux) 11,200 – 89,500 17,170 – 190,500 2,380 – 4,560

Figure 1. Percent cover of riparian vegetation in three stations

235 Kemalasari & Choesin associated with an open-to-shaded Meanwhile, inversely related values gradient. of soil organic and mineral content were Component 2 was positively largely separated by component 2, which correlated with soil organic content and suggests higher soil organic content in air temperature, and negatively with station 2 from clearance burning. Water water pH and soil mineral content. The temperature, alkalinity, and soil pH are axis was interpreted as a habitat gradient also somewhat grouped into a distinct of burned-area character. cluster. This suggests that all of the above On the other hand, less vegetated parameters are interlinked one to another. areas as represented by positive values In conclusion, PCA analysis of component 1, might be associated with generated two components that may the environmental characters of high light explain all of the variances in all of the intensity, high nitrate and orthophosphate, variables, i.e open-to-shaded area and and also higher bulk density, as relatively burned area characteristics. All variables evident from the previous discussion. On included in the analysis followed the two the center of the axes, variables such as characteristics above to explain general light intensity, bulk density, nitrate and relationship between riparian vegetation orthophosphate are clustered, indicating cover and stream condition. a strong association among those Furthermore, the relationship variables. This suggests that higher analysis between riparian vegetation nitrate and orthophosphate concentra- cover with macroinvertebrate communi- tions might concur with condition of high ties had to be done separately and is soil bulk density and light intensity. One summarized in Table 4, with increasing mechanism that may involve the condition Shannon diversity index in line with above is runoff, because increased light increasing vegetation cover. In addition, intensity will cause dryness of soil and the functional feeding groups for increased bulk density value, which in macroinvertebrate species that have turn may affect stream nutrient highest importance values differed from concentration, particularly during the one station to another (Table 4). rainy season. Macroinvertebrate community on station 2 had a higher abundance-to-

Table 2. Range of soil measurements at the three stations

Station Soil parameters 1 2 3 Temperature (°C) 22.0 – 26.0 30.0 – 32.0 29.0 – 30.0 pH 6.0 – 6.4 6.2 – 6.8 6.4 – 6.8 Humidity (%) 70.39 – 92.97 55.98 – 80.26 48.74 – 84.82 Organic content (%) 76.09 – 88.69 92.67 – 92.99 85.54 – 92.43 Mineral content (%) 11.31 – 23.91 7 – 7.33 7.57 – 14.45 Bulk density 0.71 – 0.76 0.80 – 0.87 0.59 – 1.00

236 Relationship Different Riparian Vegetation Cover richness ratio among all stations (A/ productivity, as assumed to be the case R=23.36) (Table 4). This suggests that at station 3. riparian vegetation logging may have had Highest measurement of soil bulk considerable impact on macroinver- density at station 2 may indicate more tebrate species. Stressed environments soil compaction in the logged area. will affect sensitive species that may Increased bulk density will also lead to potentially be eliminated, thus reducing decreased porosity and soil infiltration the richness of the community. rates (Prakoso 2005 in Syaufina 2008), thus becoming more susceptible to factors DISCUSSION causing erosion and floods. Soil organic content in the logged area also reached The shrubs at all stations were the highest value of up to 92.99%. dominated by Paraserianthes Organic carbon content tends to increase falcataria, herbaceous cover at stations eight months after clearance burning 2 and 3 were mainly composed of several (Yudasworo 2001 in Syaufina 2008). native species and a few species of grass This suggests that loss of riparian (e.g., Crassocephalum crepidioides vegetation decreased the potential of the and Paspalum conjugatum with riparian area to absorb nutrients before importance values of 20.04% and washing into the stream bank. Slight 29.85% respectively). Grass buffers can differences in concentration exceeding also intercept pollutants (Lee et al. 2003, normal levels may have to be considered in Sweeney et al. 2004), but not as because increasing water temperatures effective as trees or shrubs. The dense may amplify the reactivity of pollutants ground cover may be effective in and hence the effects of logging would trapping sediments from upland and be more severe. Increased levels of preventing the movement of debris during phosphorus in water often results in storm events, but it gives minimal shading immediate enhancements of rates of to streams that may support algal algal photosynthesis and growth (Hart and Robinson 1990 cited in Wetzel 2001),

Table 3. Stream water parameters at the three stations

Station Water parameters 1 2 3 Temperature (°C) 25.3 - 25.4 29.8 - 29.9 29.6 - 29.7 Dissolved oxygen (mg/L) 7.65 - 7.97 7.68 - 7.69 7.88 - 7.89 pH 7.13 - 7.18 8.13 - 8.15 8.10 - 8.13 Dissolved carbon dioxide (mg/L) 60 – 70 30 - 40 30 – 45 Alkalinity (m.eq/L) 76 – 83 258 - 266 274 – 277 Total suspended solid (g) 0.02 - 0.05 0.10 - 0.11 0.11 - 0.13 Nitrate concentration (mg/L) 0.090 - 0.603 0.43 - 0.779 0.229 - 0.464 Orthophosphate concentration (mg/L) 0.952 - 1.160 1.056 - 1.797 0.952 - 1.370

237 Kemalasari & Choesin

Table 4. Macroinvertebrate species abundance and richness in the three stations.

Macroinvertebrate Abun- Rich- Station Vegetation coverage A/R H’ Cs dance ness Species of Highest % Feeding Importance-Value IV Groups

Heptageniidae 2* 21 Algal scraper

1 28 17 1.65 2.56 Melanoides 18 Grazer Stat.1 tuberculata to Stat.2 (upstream - highest = vegetation coverage) 35.71

Petrophila sp.* 35 Algal Stat.1 scraper to 2 257 11 23.36 1.67 Stat.3 Heptageniidae 1* 23 Algal = scraper 26.08 Ephemerellidae 1* 19 Algal (midstream - lowest scraper vegetation coverage)

Stat.2 Melanoides maculata 18 Grazer to Stat.3 Syncera woodmasoniana** 17 Grazer 3 473 29 16.31 2.46 = 1.5 Lymnaea sp.2 14 Grazer (downstream - medium vegetation coverage)

as assumed to be the major factor for system of inorganic carbon. This high diatom productivity observed probably means that high cover of riparian (Asthary 2009). vegetation might affect the stream to Furthermore, vegetation cover is have lower water temperature, lower pH interpreted to have similar characteristics and high CO2 content. with soil humidity, water CO2 and relative PCA plot showed that vegetation air humidity, while on the other hand, is cover is related to soil humidity, water inversely related to soil and water CO2 and relative air humidity; while on temperature (Fig. 2). Stream water the other hand, is inversely related to soil values for CO2 indeed has an inverse and water temperature. Less vegetated relation to pH and air temperature areas might be associated with high light (Wetzel 2001) due to the water buffering intensity, bulk density, nitrate and

238 Relationship Different Riparian Vegetation Cover orthophosphate, as represented by scraper and grazer) but with the same clustered positive value in component 1, activities (herbivores) can coexist in one indicating a strong association among location. This might be due to the those variables. presence of predators that have a strong Increasing light intensity will cause interaction and effect on its prey, keeping increased soil dryness and bulk density, an overall balance of species abundance which in turn may affect nutrient runoff, and composition. The presence of fish particularly during the rainy season. as top predator (Kemalasari 2009, Higher nutrient runoff to the stream may unpublished data) suggests that stream be associated with high diatom biotic integrity is still preserved, along productivity, which supported the life of with diverse fauna found in station 1. aquatic community in logged area Paine (1969 in Molles 2005) concluded compared with other stations. In other that predators may increase species words, the alterations of riparian area are diversity. Therefore, the presence of fish indirectly associated with stream in station 1 as top-predator indicates a conditions and stream macroinvertebrate relatively good stream condition. communities. Diversity index was found highest Based on Table 4, station 1 with high in station 1 (H’=2.56), contrasts with the vegetation coverage is assumed to have lowest in station 2 or logged area a more diverse macro invertebrate (H’=1.67). Species composition in station community, so that species with different 2 was almost entirely aquatic insect functional feeding groups (e.g. algal larvae and dominated by aquatic moth

Figure 2. Principal Component Analysis plot for environmental variables and vegetation cover

239 Kemalasari & Choesin larvae Petrophila sp., a genus of environmental stress condition (Mason Lepidoptera which has an aquatic larval 1981). The absence or low number of stage (Merritt and Cummins 1996). The predators suggests a stressed or larvae have an exceptional importance imbalance environment where one or value of 35% and thus became a single several species takes advantage of dominant species on the community. The remaining abundant resources while the presence of Petrophila sp. is considered others cannot survive by reduction a subject to further study about its mechanisms of competitive exclusion. correlations with deforestation indicative. Increasing light penetration in station The abundance of the species was 3 due to lack of vegetation canopy also probably due to high supply of diatoms favored algae supply for gastropods and (Asthary 2009) as increasing light bivalves, coupled with more alkaline intensity favor the growth of abundant water that is crucial for shell growth periphytic algae, in addition to stream (Pennak 1953). Although the abundance orthopshosphate concentration. Sources of species was very high, it was relatively of nutrients from the adjacent area would comparable to its number if species (i.e. increase productivity of diatoms, which species richness) so that abundance-to- will further increase dissolved oxygen richness ratio is kept lower than that of content, as was evident during day the logged area in station 2. measurements. As the vegetation canopy In conclusion, vegetation cover on shades incident light and reduces water the three stations may have indirect temperatures thus inûuencing primary relationships with macroinvertebrate productivity (Boothroyd et al. 2001), the communities. Several factors may also absence of riparian vegetation will shade involve in determining the condition, i.e out the stream bank and increase light substrate, predators, and local penetration into stream, and thus increase microclimate conditions. But in general, aquatic primary production from algae riparian vegetation condition may be a (autochthonous source). The light good predictor of the stream condition penetration may also lead to high and its macroinvertebrate communities. fluctuation of diurnal temperature (Sweeney et.al 2004) that may not CONCLUSIONS support many species, as indicated by low diversity index in the logged area. Based on the results of this study, it Another possible explanation can be concluded that: regarding the distinct difference in macro Upstream riparian vegetation, invertebrate composition in station 2 was reaching 100% coverage of herbs, shrubs the difference in substrate type. Substrate and trees is associated with lower water plays an important role in determining temperature, nitrate and orthophosphate macro invertebrate composition on concentrations, and a more diverse stream (Molles 2005), although an macroinvertebrate community. oversimplified food chain may suggest an

240 Relationship Different Riparian Vegetation Cover

Low vegetation cover is associated Sarjana Program Studi Biologi with high stream nutrient concentration, SITH ITB. solar radiation (light intensity) and soil Boothroyd, IKG, Quinn JM, Langer ER, bulk density. One mechanism that may Costley KJ, Steward G (2004) connect all the above parameters is Riparian Buffers Mitigate Effects runoff, which becomes particularly of Pine Plantation Logging on New apparent in rainy season. Zealand Streams: 1. Riparian Riparian deforestation leads to Vegetation Structure, Stream higher water temperature and algal Geomorphology and Periphyton. productivity that may favor tolerant For. Ecol.Manag. 194:199-213. herbivorous macroinvertebrate species, Dharma, B. 2005 Recent and Fossil but on the contrary, reduces sensitive Indonesian Shells. Conchbooks, species as well as overall species Hackenheim. diversity. Forman, RTT (2001) Land Mosaics: The Stream macroinvertebrate assem- Ecology of Landscape and blages along the deforested riparian area Regions. Cambridge University is marked by the abundance of Press, Cambridge. Petrophila sp, an aquatic caterpillar Heartsill-Scalley, T & TM. Aide 2003. larvae, together with the abundance of Riparian Vegetation and Stream mayfly families (Heptageniidae and Condition in a Tropical Agriculture Ephemerellidae), which indicate logging - Secondary Forest Mosaic. Ecol. activities on the area. Appl. 13 (1) : 225 - 234. The relationship between riparian Iwata, T, S. Nakano, M. Inoue 2003. vegetation cover with stream condition Impacts of Past Riparian Defores- is largely explained by two factors or tation on Stream Communities in a characteristics, i.e., open-to-shaded area Tropical Rain Forest in Borneo. and burned area. All variables measured Ecol. Appl. 13 (2) : 461 - 473. follow those characteristics to explain the Merritt, RJ & KW. Cummins. 1996. An complex relationship found in Cikapinis Introduction to the Aquatic Insects stream and its riparian area. of North America. Taken from Riparian vegetation may be a good www.googlebooks.com [accessed predictor of the stream condition and its August 6, 2009]. macroinvertebrate communities. Molles Jr, MC. 2005. Ecology, 3rd edn. McGraw-Hill, New York. REFERENCES Osborne, LL. DA. Kovacic.1993. Riparian Vegetated Buffer Strips in Asthary, PB.2009. Struktur dan Water-Quality Restoration and Komunitas Diatom Perifiton di Stream Management. Freshwater Sungai Cikapinis, Kabupaten Bio. 29 : 243 - 258. Ciamis, Jawa Barat. Skripsi

241 Kemalasari & Choesin

Pennak, RW (1953) Freshwater Penyebab, dan Dampak Kebaka- Invertebrates of the United States. ran. Bayumedia Publishing, Ronald Press, New York: Malang. Sweeney, BW, TL. Bott, JK. Jackson, van Benthem Jutting, WSS. 1953. LA. Kaplan, JD. Newbold, LJ. Systematic Studies of the Non- Standley, WC. Hession, RJ. Marine Mollusca of the Indo- Horwitz. 2004. Riparian Defores- Australian Archipelago V. Critical tation, Stream Narrowing, and Loss Revision of the Javanese of Stream Ecosystem Services. Freshwater Gastropods. Treubia Proc. Nat. Acad. Sci 101 (39) : 22:19-73. 14132 - 14137. Wetzel, RG. 2001. Limnology : Lake and Syaufina, L. 2008. Kebakaran Hutan dan River Ecosystems, 3rd edn. San Lahan di Indonesia : Perilaku Api, Diego: Academic Press.

Received: Juli 2010 Accepted: April 2011

242 Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 243-249 (2011)

Affect of Canopy Stratum and Methods of Breaking Seed Dormancy on Seedling Growth of Calliandra tetragona Beth. and Acacia tamarindifolia (L.) Willd.

Indriani Ekasari Cibodas Botanical Garden- Indonesia Institute of Sciences, (LIPI). Email: [email protected].

ABSTRAK Pengaruh Strata Tajuk Pohon dan Metode Pemecah Dormansi Biji Terhadap Pertumbuhan Semai Kaliandra (Calliandra tetragona Benth.) dan Akasia (Acacia tamarindifolia (L.) Willd.) Fase semai merupakan langkah awal untuk pertumbuhan suatu pohon. Diduga terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan semai yang berasal dari biji. Beberapa faktor tersebut antara lain pengaruh penerimaan cahaya matahari terhadap letak buah pada strata tajuk pohon serta metode pemecahan dormansi biji pada tipe biji ortodok menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Sedangkan jenis-jenis pohon yang diuji pada studi ini adalah Kaliandra (Calliandra tetragona Benth.) dan Akasia (Acacia tamarindifolia (L.) Willd.). Kedua jenis pohon ini merupakan jenis tanaman multi fungsi karena dapat digunakan sebagai tanaman perintis (pioneer species). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan semai yang paling baik dengan menentukan letak buah pada posisi strata tajuk serta menentukan metode pemecah dormansi biji yang paling tepat untuk biji ortodok. Lokasi penelitian berada di wilayah UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas-LIPI. Pengujian pengambilan buah pada kedua jenis pohon dibagi menjadi 2 strata tajuk (atas dan bawah) dan metode pemecahan dormansi biji dibagi menjadi 3 (kontrol, fisik dan mekanis). Setiap satu jenis pohon terdapat 6 kombinasi perlakuan. Sedangkan setiap kombinasi perlakuan berisikan 100 biji dan hanya 20 semai yang dihitung untuk sample pada tiap kombinasi perlakuan. Penelitian ini dilakukan hingga semai berumur 3 bulan. Parameter pengamatan pertumbuhan semai ini adalah panjang batang dan panjang akar. Hasil ANOVA didapatkan hasil pertumbuhan batang kedua jenis pohon tersebut signifikan (0,026) pada level 5% untuk interaksi jenis pohon, strata tajuk pohon dan metode pemecahan dormansi. Hasil pada pertumbuhan panjang akar terlihat signifikan (4,239) pada level 5% untuk interaksi antara jenis tanaman dan strata tajuk pohon. Sedangkan interaksi antara metode pemecah dormansi dan jenis pohon signifikan (20,332) pada level 1%.

Kata kunci: Strata tajuk, Pemecah dormansi biji, Pertumbuhan semai.

INTRODUCTION seed contains the embryo from which a new plant will grow under proper Plant propagation is the important conditions. Seed also usually contain a point of species to survive and existence supply of stored energy and it is wrapped on the earth. Commonly, a species in the seed coat or testa. The seed coat reproduction process result a seed. A helps protect the embryo from

243 Indriani Ekasari mechanical injury and from drying out. tetragona species, which has white The seed coat also causes dormancy seed flowers, has proved to be slower growing viability such as seed on Fabaceae than C. calothyrsus. Kaliandra trees family. Fabaceae has an orthodox seed mature rapidly and usually flower and characteristic to storage. The orthodox bear fruit within their first year. In seed was has ability to be stored the seed Indonesia they set flower year-round but for years even though centuries. Seed most seed produced in June-September. dormancy stage has usually occurs so that Akasia leaves were used to in rations the seed metabolic on ripening stage was mixed with ammoniated rice straw and not active (Schmidt 2002). Seeds of maize hominy, it was evaluated for annual Fabaceae have physical growing goats in Venezuela. The role of dormancy level, which means that seeds legumes, with their nitrogen fixing need scarification method to open the capability, energy resources as fuel wood seed coat, but under natural conditions, and woodland understories, should be an germination occurs in response to rainfall important component of praire (Dauro et al. 1997 in Baskin & Baskin restoration or rangeland rehabilitation 2001). Some artificial softening of water- efforts in the future (Dittus & Muir impermeable seed coats are mechanical 2010). To obtain seed for planting, the scarification, acid scarification, enzymes, pods are collected when they turn brown. organic solvent, percussion, high After 1 or 2 days of drying in the sun, atmospheric pressures, wet heat, dry they open to expose the seed inside. The heat, etc. Sahupala (2007) said that seeds can be germinated without mechanical and physical scarification treatment, but they germinate more could be chosen to break the dormancy quickly if boiling water is poured over on Fabaceae seeds. Smith et al. (2003) them and they are allowed to cool and said that seed collection activity should soak for 24 hours or seed physical aim to ensure that seed had been scarification (Anonymous 1983). collected at peak quality such that their Seedling quality depends on the longevity in the seed bank is optimal. Seed ability to produce new roots quickly, a maturity was therefore an important well developed root system, a large root consideration; harvest too early and collar diameter and a balanced shoot: root losses may be incurred because the seeds ratio. The shoot : root ratio is an important have not yet acquired desiccation measure for seedling survival. It relates tolerance and because the seeds loose the transpiring area (shoot) and to the viability more rapidly in storage due to water absorbing area (root) (www.- impaired longevity. worldagroforestrycentre.org-/ Kaliandra (Calliandra tetragona NurseryManuals/Community/ Benth.) and Akasia (Acacia tamarin- SeedQuality.pdf). The reason to divide difolia (L.) Willd.), from Fabaceae canopy strata for seed procurement was family or well known as legumes, were the difference of sunlight absorbed by the chosen species in this study. C. canopy. van Noordwijk & Lusiana (2002)

244 Affect of Canopy Stratum and Methods of Breaking Seed said that sunlight as one of environmental design consisted of 2 legume species: 1) factors that might influence tree growth Kaliandra (Calliandra tertagona such as the growth of fruits, trunks, Benth.) and 2) Akasia (Acacia leaves and roots. The two other factors tamarindifolia (L.) Willd.), 2 canopy are nutrients and water. Sitompul (2002) stratification: 1) upper canopy and 2) also said that plant biomass production below canopy; and 3 breaking seed including the economical part (part for dormancy methods: 1) control, 2) harvesting) was resulted by photo- mechanical and 3) physical. The synthesis process. Sunlight is as an examined species were Kaliandra and important source for photosynthesis Akasia, from Fabaceae family, were process on plant. Also it influenced the selected for this study based on their production of seeds as photosynthesis potential for rehabilitation area result. Meanwhile, the canopy stratifi- (Anonymous 1983). To abrasive surface cation was the important point to know of seed coat on sand paper was applied which canopy strata has good seeds to for mechanical breaking seed dormancy germinate. The aims of this study were method. To soaking seed in to warm to compare 2 tree canopy stratum water (80º C) for 12 hours was done as position to collect the fruits and 3 methods physical scarification method. Each of breaking seed dormancy on Kaliandra experimental unit consisted of and Akasia seedlings growth as bio- combination between canopy energy resources. stratification and breaking seed dormancy. There are 6 treatment units MATERIALS AND METHODS on seed observation. Each treatment unit has 100 seeds and only 20 seedlings were The research was conducted in measured for shoot and root length. The Cibodas Botanical Garden (CBG) area shoot length was measured from bottom for 4 months from July until November point of stem until point of growth of stem. 2009. The activities included seed The root length was measured from upper procurement, seed selection, observation point of root growth until point of growth on seed germination and seedling growth of root. One Way ANOVA was used in measurements (shoot and root length). this data analysis to find the affect of The seeds were collected from stands canopy stratification and breaking seed on CBG. After seed selection has been dormancy to seedlings growth. done, the seeds were sowed into sand media in the pot-tray inside CBG’s glass RESULTS house. The data of seed viability were collected every 2 days. The The lowest seed viability was measurement of shoot and root length showed by Kaliandra’s seed on seed pro- were collected in the end of observation curement from below canopy and con- or when the seedlings was 3 months old trol breaking seed dormancy (14%). The after germination. The experimental highest percentage of seed viability

245 Indriani Ekasari

Figure 1. Graphic for percentage of seed viability versus treatment on seedling growth for Kaliandra and Akasia species

(93%) on Akasia’s seed is showed by The data of root growth interactions seed procurement from upper canopy between canopy stratification and two and control breaking seed dormancy. The examined species was significant. The lowest percentage of seed viability (50%) reason was seeds have diverse on Akasia’s seed is showed by seed pro- andcomplex responses to the environ- curement from lower canopy and physi- mental stress during seed development cal breaking seed dormancy. On aver- and it decreased seed quality. Dewley age the percentage of mechanical break- & Black (1994) said that stresses such ing seed dormancy method was lower as water deficits, low or high than physical and control methods for temperature, nutrient deprivation, and Acacia’s seed germination. shading can occur at any time during Figure 1 showed the percentage of seed development. The effect of these seed viability versus treatment on stresses on seed development may be seedling growth for Kaliandra dan Akasia magnified and greater than the sum of species. the individual stresses. Furthermore The data of shoot growth interac- interactions between breaking seed tions among canopy stratification, break- dormancy methods and two examined ing seed dormancy and two examined species was significant choosing the right species was significant. The data for breaking seed dormancy method was shoot growth of Kaliandra dan Akasia important for Fabaceae’s seeds. The data species can be seen on Table 1. Shoot for shoot growth of Kaliandra dan Akasia growth on seedlings of two species were species can be seen on Table 2. affected by different canopy strata of seed procurement and breaking seed dor- DISCUSSION mancy methods. The seeds which were harvested from different canopy strata Seed germination rates and have different ripen physiology. uniformity are important factors in establishing viable native species. Many legumes have high percentage of

246 Affect of Canopy Stratum and Methods of Breaking Seed

Table 1. One Way ANOVA for shoots growth of Kaliandra and Akasia species.

Source Df Mean F Square Canopy strata 1 4.219 1.470ns Breaking seed dormancy 2 81.389 28.358** Species 1 306.241 106.704** Canopy strata X Breaking seed dormancy 2 0.887 0.309ns Canopy strata X Species 1 37.744 13.151** Breaking seed dormancy X Species 2 68.909 24.010** Canopy strata X Breaking seed dormancy X Species 2 10.883 3.792* Error 108 2.870

Table 2. One Way ANOVA for shoots length of Kaliandra and Akasia species. Source Df Mean F Square Canopy strata 1 10.561 1.182ns Breaking seed dormancy 2 174.481 19.535** Species 1 140.833 15.768** Canopy strata X Breaking seed dormancy 2 7.899 0.884ns Canopy strata X Species 1 37.856 4.239* Breaking seed dormancy X Species 2 181.592 20.332** Canopy strata X Breaking seed dormancy X Species 2 17.980 2.013ns Error 108 8.931 hardseededness. The most common and condition was different to Akasia’s seeds, successful methods for increasing water they could break seed dormancy in upake by legume seed includes control method. the data showed that all mechanical (seedcoat abrasion), seeds which were collected from upper immersion in sulphuric acid, and soaking canopy have higher percentage on seed in hot water (Haferkamp and others viability than from the lower canopy. On 1984; Muir and Pitman 1987 in Dittus and Kaliandra’s seed, the unit for seed Muir 2010). Kaliandra (Calliandra procurement from upper canopy and tetragona Benth.) and Akasia (Acacia mechanical breaking seed dormancy tamarindifolia (L.) Willd.) have an showed the highest percentage of orthodox seed type and they also have viability (100%). Different canopy different ability to break the seed stratification has an affect on seed dormancy (Hong et al. 1998). germination on Kaliandra. The upper Kaliandra’s seeds have very low ability canopy has received more sunlight to breaking seed dormancy in control radiation than lower canopy, it increases method for breaking seed dormancy. This the ability of seed germination. Sitompul

247 Indriani Ekasari

(2002) said that the affect of sunlight Benth.) and Akasia (Acacia radiation on plant growth can be seen tamarindifolia (L.) Willd.) was on seed clearly on plant that grows below another procurement from upper canopy. plant. The plant growth was slower than 2.There were 3 breaking seed dormancy plant that grows upper the below plant. methods, they were control, physical and The mechanical breaking seed dormancy mechanical. The highest percentage for has the higher affect on seed viability than seed viability on Kaliandra was on other breaking seed dormancy for mechanical breaking seed dormancy Kaliandra’s seed. Baskin and Baskin method. And for Akasia seed was on (2001) said that is caused by mechanical control breaking seed dormancy method. breaking seed dormancy method will 3.The data of shoot growth interactions create a small hole in the seed coat and among canopy stratification, breaking water enters through this opening. seed dormancy and two examined Baskin & Baskin (2001) said that species was significant. The data of root the mechanical method did not work well growth interactions between canopy for thick-coated seeds like those of Aca- stratification and two examined species cia spp. was significant. Also for interactions It occurs when photosynthesis was between breaking seed dormancy not in good process in all canopy strata. methods and two examined species was Schmidt (2000) said that the high significant. physiology quality was needed to gain viability capacity and high seed vigor, and it will (Bewley & Black 1994) take a REFERENCES longer time for very young embryos to germinate than older ones and the former Anonymous. 1983. Calliandra: A Versatile dependent on the nutrient medium for Small Tree for the Humid Tropics. survival than the latter. This is because Innovations in Tropical Refores- early during development the embryos tation. Report of an Ad Hoc of the initially lack sufficient nutrients to support Advisory Committee on Techno- their development to the germination logy Innovation Board on Science stage, and also lack nutrients and stored and Technology for International reserves to support germination and post- Development Office of Internatio- germination growth. nal Affairs National research Council. National Academic Press. CONCLUSIONS Washington, D.C. USA. Baskin, CD. & JM. Baskin. 2001. Seeds. 1.There were 2 canopy strata division for Ecology, Biogeography, and seed procurement, they were upper Evolution of Dormancy and canopy and lower canopy. The highest Germination. Scool of Biological percentage for seed viability on Sciences. University of Kentucky. Kaliandra (Calliandra tetragona Academic Press. USA.

248 Affect of Canopy Stratum and Methods of Breaking Seed

Bewley, JD & M. Black. 1994. Seeds. Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Physiology of Development and Sosial. Departemen Kehutanan. Germination. Second Edition. Jakarta. Indonesia. Plenum Press. New York. USA. Smith, RD., JB. Dickie,SH. Linington, Dittus, DA. & JM. Muir. 2010. Breaking HW. Pritchard, &RJ. Probert. Germination Dormancy of Texas 2003. Seed Conservation. Turning Native Perennial Herbaceous Science Into Practice. Royal Legumes. J. Nat. Plants 11:5-10. Botanic Garden Kew. England. Hong, TD., S. Linington & RH. Ellis. Van Noordwijk. M & B.Lusiana. 2002. 1998. Compendium of Information WaNuLCAS. Model Simulasi on Seed Storage Behaviour. untuk Sistem Agroforestri. Volume Two I-Z. Royal Botanic International Centre for Research Gardens, Kew. England.http:// on Agroforestry. Southeast Asian dictionary.sensagent.com/seed/en- Regional Research Programme. en/, 2009 Bogor. Indonesia. Sahupala, A. 2007. Teknologi Benih. Sitompul, SM. 2002. Radiasi dalam Pelatihan Penanaman Hutan di Sistem Agroforestri. Bahan Ajar 5. Maluku dan Maluku Utara, WaNuLCAS. Model Simulasi Ambon. Panitia Implementasi untuk Sistem Agroforestri. Inter- Program NFP-FAO Regional national Centre for Research on Maluku dan Maluku Utara. Agroforestry. Southeast Asian Indonesia. Regional Research Programme. Schmidt, L. 2002. Pedoman Penanganan Bogor. Indonesia. Benih Tanaman Hutan Tropis dan www.worldagroforestry.org/ Sub Tropis. Direktorat Jendral NurseryManuals/Community/ SeedQuality.pdf, 2010.

Received: Juli 2010 Accepted: April 2011

249 Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 251-261 (2011)

Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl. In Vitro

Lazarus Agus Sukamto1, Mujiono2, Djukri2, & Victoria Henuhili2

1Research Center for Biology – Indonesian Institute of Sciences. Jl. Raya Jakarta - Bogor Km 46 Cibinong 16911, E-mail: [email protected] 2Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta

ABSTRAK

Kultur Pucuk Tanaman Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl. secara In Vitro. N. albomarginata adalah kantong semar kerah putih (white collared pitcher plant), salah satu tanaman pemakan serangga yang sangat menarik sebagai tanaman hias. Tanaman ini terancam punah karena pengambilan dan kerusakan habitatnya. Penelitian perbanyakan secara in vitro dilakukan dengan menggunakan pucuk tanaman N. albomarginata pada media formulasi setengah Murashige and Skoog (1/2 MS) dengan tambahan zat pengatur tumbuh 6- benzyladenine (BA) 1 mg l-1 dengan atau tanpa kombinasi dengan á-naphthalene acetic acid (NAA) atau 4 amino 3,5,6, trichloropicolinic acid (Picloram) 0.5, 1, 1.5, and 2 mg l-1. Perlakuan kombinasi BA 1 mg l-1 dengan NAA 0.5 mg l-1 menghasilkan pertambahan tinggi tanaman terbesar. Tanaman menghasilkan jumlah daun terbanyak pada kontrol. Perlakuan BA 1 mg l-1 menumbuhkan tunas aksilar terbanyak, sedangkan kombinasinya dengan NAA 1.5 mg l-1 merupakan perlakuan yang dapat menghasilkan tunas adventif. Kombinasi BA 1 mg l-1 dan NAA 2 mg l-1 menginduksi kalus terbaik. Tanaman yang dihasilkan belum membentuk akar, tetapi pertumbuhan lebih lanjut dapat membentuk perakaran dan dapat hidup di luar botol kultur setelah diaklimasi.

Kata kunci: Nepenthes albomarginata, tanaman pemakan serangga, kantong semar, kultur pucuk tunas, in vitro

INTRODUCTION tips, consists of 129 species, the largest genus of carnivorous plant in the world Carnivorous plant has an adaptation (Anonym 2010). There are many new strategy to unfavorable conditions, mostly natural and artificial hybrids among the to low nutrient availability in wet and acid genus Nepenthes (D'Amato 1998; Ano- soils (Adamec 1997), considers having nym 2010; Merbach & Merbach 2010). criteria of catching or trapping prey, ab- The distribution of Nepenthes is restricted sorbs metabolites from prey, and utilizes to tropical areas of the old world. Its habi- these metabolites for growth and devel- tats are very diverse: limestone cliffs that opment (Lloyd 1942). The plants consist continually damp, sand areas that have of over 600 species, out of a total about wet and dry season, swamps that under 300,000 species of vascular plants in the water part of the year, sea shores, epi- world (Adamec 1997). The genus Ne- phytes on tree plants, and creepers on penthes produce pitchers from its leaf the surface of the soil (Pietropaolo &

251 Sukamto et al.

Pietropaolo 1986). propagation by cutting or layering takes These plants have been used for long time and low results. Vegetative medication, the fluid of unopened pitch- propagation by tissue culture (in vitro) is ers have been used as a laxative, rem- a good choice to get a lot number of uni- edy for burns, coughs, inflamed eyes, bed form plants in relatively short time in or- wetter's, fever, stomachache, dysentery, der to conserve, reduce exploitation on and various skin disorders. The open wild stocks, and replenish declining popu- pitchers have been used as pots to carry lations in the habitat. water and cook food, the vines have been Some carnivorous plants had been used as a cordage; and use for ornamen- propagated successfully by tissue culture, tal purposes (Perry & Metzger 1980; such as Cephalotus follicularis (Adams Pietropaolo & Pietropaolo 1986; Phillips et al. 1979a), Dionaea muscipula & Lamb 1996; D'Amato1998; (Teng1999; Jang et al. 2003), Drosera Puspitaningtyas & Wawangningrum intermedia, D. hilaris, D. brevifolia, D. 2007). rotundifolia, D. capensis, D. binata, N. albomarginata is one of the car- D. omissa, D. peltata, D. indica nivorous plants, a tropical plant native to (Kulkulczansa 1991; Anthony 1992; Borneo, Sumatra, and the Malay Penin- Sukamto 1999; Kim & Jang 2004; sular, characterized by coriaceous leaf in Jayaram & Prasad 2007), Drosophyllum texture and lack of petioles, tendrils are lusitanicum (Goncalves & Romano, up to 20 cm long, an attracted white col- 2005), Nepenthes khasiana (Latha & lar of velvety hairs directly beneath the Seeni 1994), Pinguicula moranensis, P. peristome, pitcher size can be up to 15 lusitanica (Adams et al. 1979b; cm high, the color usually is green, but Goncaves et. al. 2008), and Urticularia there are red, purple, and black forms. It inflexa (Ram et al. 1972). The best for- feeds mainly on termites (D'Amato 1998; mulation of culture medium was ½ MS Moran et. al. 2001; Merbach & Merbach (Anthony 1992; Kim & Jang 2004; 2010). Goncalves et al. 2008). There is no re- Nepenthes spp. in Southeast Asia port on N. albomarginata tissue culture; are in danger of extinction because of over those successes on other carnivorous exploitation, clear-cut deforesting, area plants could be used as references for in conversion to settlements, mount erup- vitro propagation of N. albomarginata. tion, climate change, and pollution (D'Amato 1998; Puspitaningtyas & MATERIALS AND METHODS Wawangningrum 2007). These plants could be propagated by seed, stem cut- Seeds of N. albomarginata origi- ting, air layering, and ground layering nated from West Sumatra, grown in vitro (Pietropaolo & Pietropaolo 1986). Sexual on half strength of macro and micro ele- propagation by seed has pollination prob- ments of MS basal medium formulation lem because male and female flowers (Murashige & Skoog 1962). Plantlets occurred on different plants. Vegetative grown from the seeds in vitro were cut

252 Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl. their 1 cm shoot tips with five leaves used period with TL lamp 40 watt. as explants. Each explant was grown on The parameter growth of increas- each culture bottles that contain 20 ml ing plantlet height, increasing leaf num- medium of ten series treatments with 12 ber, axillary shoot number, adventitious replications. There were 120 shoot tip shoot number, percentage of dried leaf, explants of N. albomarginata for experi- percentage of forming calli, quantitative mental study. and qualitative calli, and root formation Media culture based on MS basal were recorded every 2 weeks until 12 medium consisted of Mg SO4.7H2O 185 weeks of culture (WOC). Increasing mg l-1, CaCl2.2H2O 220 mg l-1, KNO3 plantlet height was measured by 950 mg l-1, NH4.NO3 825 mg l-1, substracting plantlet height to plantlet KH2PO4 85 mg l-1, FeSO4.7H2O 13.9 height 2 weeks before. This measure- mg l-1, MnSO4.7H2O 11.15 mg l-1, ment was also same for increasing leaf ZnSO4.7H2O 4.3 mg l-1, H3BO3 3.1 mg number. Axillary shoot is the shoot grown l-1, glycine 2 mg l-1, vitamin B1 0.1 mg l- from node, whereas adventitious shoot is 1, vitamin B6 0.5 mg l-1, nicotinic acid the shoot grown from other parts of the 0.5 mg l-1, KI 0.415 mg l-1, CoCl2.6H2O node. Good callus is white color, wet, and 0.0125 mg l-1, CuSO4.5H2O 0.0125 mg can grow further, whereas bad callus is l-1, NaMoO4.2H2O 0.0125 mg l-1, myo- black color, dry, and did not grow further. inositol 100 mg l-1, sucrose 20 g l-1, and Data were analyzed with analysis of vari- phytagel 2 g l-1 with addition of BA at 1 ance (ANOVA) to know differences mg l-1 with or without NAA or Picloram among treatments, followed with at 0.5, 1, 1.5, 2 mg l-1. The pH was ad- Duncan's multiple range test (DMRT), justed to 5.7 - 5.8, before it was auto- Procedure of Statistical Product and Ser- claved. The medium of 20 ml was poured vice Solution (SPSS) 12.00 for Windows. into 100 ml culture bottle, autoclaved at 1210C and 1 kg cm-2 pressure for ten RESULTS minutes. The experimental design was a ran- Increasing Plantlet Height and Leaf domized complete design (RCD) with one Number factor of hormone doses. There were ten Hormone treatments were not sig- treatments: (1) 0.5 MS (control), (2) BA nificantly different on increasing plantlet 1 mg l-1, (3) BA 1 mg l-1 + NAA 0.5 mg heights of N. albomarginata but the av- l-1, (4) BA 1 mg l-1 + NAA 1 mg l-1, (5) erage of plantlet height was higher in BA 1 mg l-1 + NAA 1.5 mg l-1, (6) BA 1 control than other treatments on 2 WOC. mg l-1 + NAA 2 mg l-1, (7) BA 1 mg l-1 The explants produced the highest plant- + Picloram 0.5 mg l-1, (8) BA 1 mg l-1 + lets on 4 WOC in media with addition of Picloram 1 mg l-1, (9) BA 1 mg l-1 + BA 1 mg l-1 or its combination with NAA Picloram 1.5 mg l-1, (10) BA 1 mg l-1 + 1 mg l-1. Later on, shoot tips of N. Picloram 2 mg l-1. The cultures were in- albomarginata produced the highest cubated at 26 ± 1 0C under 16:8 photo- plantlets on 6 - 12 WOC in media with

253 Sukamto et al.

addition of BA 1 mg l-1 + NAA 0.5 mg l- axillary shoot on 2 WOC. They started 1. Increasing plantlet height decreased by to produce axillary shoots at BA 1 mg l-1 increasing NAA doses combined with treatment or it's combined with NAA 0.5 BA; even combination of BA and Piclo- mg l-1 and NAA 1.5 mg l-1 on 4 WOC. ram at 1 - 2 mg l-1 did not have any in- Axillary shoot number at BA 1 mg l-1 creasing plantlets height (Figure 1 A; Table was significantly higher compared to 1). those other treatments on 6 - 12 WOC, N. albomarginata shoot tips pro- its combination with NAA inhibited pro- duced the highest leaf number in control ducing axillary buds. The combination of on 2 - 4 WOC. The addition of BA 1 mg BA and Picloram did not produce any l-1 + NAA 0.5 mg l-1 produced the high- axillary shoot (Figure 2 A; Table 1). est leaf number on 6 - 10 WOC. The Shoot tip explants of N. addition NAA at higher dose than 0.5 mg albomarginata started to produce adven- l-1 inhibited leaf growth (Figure 1 B). titious shoots in media with addition of Later on, N. albomarginata produced BA 1 mg l-1 + NAA 1.5 mg l-1 on 6 WOC the highest leaf number in control on 12 (Figure 2 B). The other treatments did WOC (Table 1). not produce any adventitious shoot (Table 1) Axillary and Adventitious Shoot Numbers Dried leaf Shoot tip explants of N. Explants had been cut and grown in albomarginata have not produced any media culture, became stress and showed

Table 1. Effects of BA, combined with NAA or Picloram on growth, dried leaf and callus formation of N. albomarginata shoot tip on 12 WOC Hormone Increasing Shoot Numbers Dried Callus Formation Treatments Leaf Height Leaf Axillary Adventi. % Quan Qualit. (l-1) (%) (mm) Number tit. 1/2 MS (Control) 3.50 ab 5.58 a 0.00 b 0.00 a 24.12 de 0.00 c - - BA 1.0 3.50 ab 4.92 ab 1.58 a 0.00 a 9.20 e 0.00 c - - BA 1.0+NA 0.5 4.08 a 5.42 a 0.17 b 0.00 a 12.02 e 8.33 bc + bad BA 1.0+NA 1.0 3.58 ab 4.92 ab 0.00 b 0.00 a 39.25 d 8.33 bc + bad BA 1.0+NA 1.5 2.83 b 3.83 bc 0.08 b 0.25 a 59.67 c 8.33 bc + good BA 1.0+NA 2.0 1.67 c 3.58 c 0.00 b 0.00 a 61.37 c 41.67 a ++++ good BA 1.0+Pic 0.5 1.18 c 1.64 d 0.00 b 0.00 a 80.62 b 0.00 c - - BA 1.0+Pic 1.0 0.00 d 0.27 e 0.00 b 0.00 a 94.15 ab 36.36 ab +++ good BA 1.0+Pic 1.5 0.00 d 0.00 e 0.00 b 0.00 a 100.00 a 25.00 abc ++ bad BA 1.0+Pic 2.0 0.00 d 0.00 e 0.00 b 0.00 a 100.00 a 33.33 ab ++ bad Notes: Means in the same group followed by the same letter in the columns are not significantly different based on DMRT test at the 5% level

254 Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl.

A) B)

Figure 1. Effect of hormone treatments on increasing plantlet height (A) and increasing leaf number (B) of N. albomarginata every 2 WOC A) B)

Figure 2. Effect of hormone treatments on axillary shoot number (A) and adventitious shoot number (B) of N. albomarginata every 2 WOC A) B)

Figure 3. Effect of hormone treatments on dried leaf percentage (A) and calli percentage (B) of N. albomarginata every 2 WOC 0.5 - 2 mg l-1 increased substantially the drying their leaves 24.12%. The addition dried leaf, even combination of BA 1 mg of BA 1 mg l-1 and its combination with l-1 with Picloram 0.5 - 2 mg l-1 caused NAA 0.5 mg l-1 could decrease dried leaf deadly the explants, especially all explants 9.20% and 12.02% consecutively, even died at Picloram 1,5 - 2 mg l-1 (Figure though it was not significantly different. 3a; Table 1). Combination of BA 1 mg l-1 with NAA

255 Sukamto et al.

Figure 4. N. albomarginata culture in vitro (left) and . N. albomarginata ac climatized in vivo (right)

Callus formation DISCUSSION Shoot tip explants of N. albomarginata started to produce cal- The average of plantlet height of N. lus in BA 1 mg l-1 + NAA 1.5 mg l-1 albomarginata was higher in control than on 6 WOC. Then, producing calli oc- other treatments on 2 weeks of culture. curred in BA 1 mg l-1 combined with It could be the shoot tip explants have NAA 1 - 2 mg l-1 or Picloram 1 - 2 mg not adapted on media with addition of exogenous hormones. Later on, shoot tips l-1 on 8 WOC (Figure 3b). The best calli of N. albomarginata produced the high- production occurred on combination BA est plantlets in media with addition of BA 1 mg l-1 with NAA 2 mg l-1 (Table 1). 1 mg l-1 + NAA 0.5 mg l-1 on 6 - 12 Resulted calli of N. albomarginata were weeks of culture. It showed the shoot tips wet, white color, and compact on BA 1 have adapted to BA and NAA hormones. mg l-1 + NAA 2 mg l-1, but white color Increasing plantlet height decreased by and friable on BA 1 mg l-1 + Picloram 1 increasing NAA doses combined with mg l-1 treatments. BA. It indicated that combination of BA 1 mg l-1 and low dose of NAA (0.5 mg l- Root formation 1) caused synergism effect. This result All plantlets derived from the treat- was agreed with Windasari (2004) on ments did not produce any root. How- shoot tip culture of Chrysanthemum ever, eventually, plantlets grew further morifolium; Goleniowski et. al. (2003) on could produce pitchers and roots in vitro meristem culture of Origanum vulgare x (Figure 4). These plantlets were accli- applii. The high dose of NAA greatly matized and could survive in mixture stimulate ethylene formation, which it in- media of soil, sand, compost, coco peat, hibits elongation of stems and roots and burned rice hulls in vivo. (Salisbury & Ross, 1978). Combination of BA and Picloram at 1 - 2 mg l-1 did

256 Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl. not have any increasing plantlets height. also inhibited producing axillary buds. It It because Picloram considers as hor- related to the ratio cytokinin to auxin that mone and also strong herbicide that is is an important to control morphogenesis, stronger than other auxins for inhibiting high values of ratio cytokinin to auxin organogenesis (Davis & Olson 1993) and stimulate shoot formation (Skoog & Picloram disturbs DNA transcription and Miller 1957). Combination of BA and Pi- RNA translation that inhibits producing cloram did not produce any axillary shoot. enzyme for growth regulator (Salisbury It showed that Picloram is stronger auxin & Ross 1978). than NAA that inhibited axillary shoot N. albomarginata plantlets pro- formation of N. albomarginata. duced the highest leaf number in control Plantlets of N. albomarginata pro- on 2 - 4 weeks of culture, but the addi- duced adventitious shoots only in media tion of BA 1 mg l-1 + NAA 0.5 mg l-1 with addition of BA 1 mg l-1 + NAA 1.5 produced the highest leaf number on 6 - mg l-1. It showed that combination of 10 weeks of culture. It showed the plant- BA 1 mg l-1 and NAA 1.5 mg l-1 was lets have adapted to BA and NAA hor- the right dose for initiating adventitious mones and caused synergism effect to shoots. This result has agreed with improve increasing leaf number on lower Bidwell (1979) that interaction of cytoki- dose of NAA. The same result had been nin with auxin at the right dose could in- reported by Chairunnisa (2004) on in- duce organ formation. creasing leaf number of Chrysanthemum. The addition of BA 1 mg l-1 and its NAA is an auxin that could increase leaf combination with 0.5 mg l-1 NAA inhib- number (Lyndon 1990). However, the ited leaf senescence, because cytokinins addition NAA at dose higher than 0.5 mg including BA could prevent chlorophyll l-1 inhibited leaf growth. The similar re- loss (Bidwell 1979) and inhibits leaf se- sult also reported by Windasari (2004) on nescence (Salisbury & Ross1978; De Chrysanthemum morifolium. Later on, Klerk 2010). Dried leaf of N. N. albomarginata produced the highest albomarginata explants decreased over leaf number in control on 12 weeks of twice by addition of BA 1 mg l-1. Differ- culture. It could be plantlets had been ex- ent result was obtained by Sukamto posure long enough to the hormones that (2001), which BA mg l-1 increased twice inhibited producing leaf number. dead explants. It happened because of Plantlets of N. albomarginata pro- media, micro-environment (light & tem- duced axillary shoots that was signifi- perature) and culture period differences. cantly higher at BA 1 mg l-1 compared Combination of BA 1 mg l-1 with NAA to those other treatments on 6 - 12 weeks or Picloram 0.5 - 2 mg l-1 increased sub- of culture. It showed that BA is an im- stantially the dried leaf. It happened be- portant cytokinin that releases apical cause auxins (NAA & Picloram) could dominance and stimulates outgrowth of increase ethylene, high ethylene accumu- axillary shoot (Bidwell 1979). The addi- lation in the bottle culture caused leaf tion of NAA inhibited activity of BA and senescence (George 1996; De Klerk

257 Sukamto et al.

2010). NAA and Picloram at high con- could be affected by inhibition of BA cy- centration could kill plants and catego- tokinin to auxin's function or MS strength, rize as effective herbicides (Salisbury & and the auxin type. This result confirmed Ross 1978). by Goncalves & Romano (2005) that the Shoot tip explants of N. albomar- highest rooting frequency was 0.25 MS ginata could produce callus at BA 1 mg and indole-3-butyric acid (IBA) at 0.2 mg l-1 + NAA 1.5 mg l-1, BA 1 mg l-1 + l-1 on Drosophyllum lusitanicum cul- NAA 1 - 2 mg l-1 or Picloram 1 - 2 mg l- ture; Goncalves et al. (2008) reported 1 but did not produced any callus on con- that 0.25 MS and indole acetic acid (IAA) trol, BA 1 mg l-1, BA + NAA or Piclo- at 0.2 mg l-1 produced the highest root- ram at doses 0.5 mg l-1. It showed shoot ing frequency, NAA at 0.5 mg l-1 sup- tip tissues of N. albomarginata did not pressed completely rooting response on have enough auxin endogen. Ratio cyto- Pinguicula lusitanica culture. kinin to auxin is an important to control This experiment revealed that shoot morphogenesis; low values of ratio cyto- tip culture of N. albomarginata could kinin to auxin stimulate callus formation grow on 0.5 MS media with or without (Skoog & Miller 1957). Plant tissues addition of hormones, but axillary and formed callus because of wounded tis- adventitious shoots could not formed on sue or stress (Kyte 1990). Resulted calli control. The highest increasing height of of N. albomarginata from BA 1 mg l-1 plantlets occurred on combination BA 1.0 + NAA 2 mg l-1 were wet, white color, mg l-1 and NAA 0.5 mg l-1, whereas the and compact, whereas from BA 1 mg l-1 highest increasing leaf number on con- + Picloram 1 mg l-1 were white color and trol. The best formation of axillary shoots friable. Calli structures are important for occurred on BA 1.0 mg l-1, whereas ad- further morphogenesis. Compact calli ventitious shoot only occurred on BA 1 structures are usually produce adventi- mg l-1 + NAA 1.5 mg l-1. The best cal- tious shoot, whereas friable structure in- lus occurred on BA 1 mg l-1 + NAA 2 dicated embryogenic calli (Torres 1989). mg l-1. All plantlets did not produce root The similar results of Picloram effect but eventually, plantlets grew further could were reported by Vaverde et al. (1987) produce pitchers and roots in vitro, also in embryogenesis of pejibaje palm; Omar survived after acclimatization in vivo. This & Novak (1990) in callogenesis of date successful propagation of N. palm; Davis & Olson (1993) in organo- albomarginata could be used for con- genesis of spurge. servation and increasing population. All plantlets derived from the treat- ments did not produce any root. This ex- ACKNOWLEDGMENTS periment was only use 0.5 MS and BA + NAA or Picloram but did not use NAA The authors thank to Dra. Hartuti- alone or other auxins. Adventitious root ningsih M. Siregar and Dr. Irawati who development is usually promoted by auxin gave fruits of N. albomarginata for ex- treatment (Salisbury & Ross 1978). It periments.

258 Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl.

Kors, F.T.M. (ed.), Plant Cell and REFERENCES Tissue Culture, Phytopathology, Biochemicals. Duchefa Cataloque Adams, RM., SS. Koenigsberg, & RW. 2010-2012. Duchefa Biochemie Langhans. 1979a. In vitro propa- B.V., The Netherlands. h. 18-23. gation of Cephalotus follicularis George, EF. 1996. Plant Propagation (Australian pitcher plant). Hort. by Tissue Culture. Part 2 In Prac- Sci. 144:512-513. tice. 2nd ed. Exegetics Limited. Adams, RM., SS. Koenigsberg, & RW. Great Britain. Langhans. 1979b. In vitro propa- Goleniowski, M., E. Flamarique, & P. gation of the butterwort Pinguicula Bima. 2003. Micropropagation of moranensis H.B.K. HortScience oregano (Origanum vulgare x applii 14(6):701-712. from meristem tips. In Vitro Cell Adamec, L. 1997. Mineral nutrition of Dev. Biol. Plant 39:125-128. carnivorous plants: a review. Bot. Goncalves, S. & A. Romano. 2005. Rev. 63(3): 272-299. Micropropagation of Drosophyllum Anonymous.2010.Nepenthes lusitanicum (Dewy pine), an endan- albomarginata. Wikipedia, the gered West Mediterranean en- Free Encyclopedia. http://en.wiki- demic insectivorous plant. Biod. pedia.org/wiki/Nepenthes_ Cons.14:1071-1081. albomarginata. Goncalves, S., AL. Escapa, Grevenstuk, Anthony, JL. 1992. In vitro propagation & A. Romano. 2008. An efficient of Drosera spp. HortScience in vitro propagation protocol for 27(7):850. Pinguicula lusitanica, a rare insec- Bidwell, RG.S. 1979. Plant Physiology. tivorous plant. Plant Cell Tissue 2nd ed. Macmillan Publishing Co., Organ Cult. 95:239-243. Inc. New York. Jang, GW., KS. Kim, & R.D. Park. 2003. Chairunnisa. 2004. Pengaruh Pemberian Micropropagation of Venus fly trap Zat Pengatur Tumbuh Terhadap by shoot culture. Plant Cell Tissue Pertumbuhan Chrysanthemum Organ Cult. 72:95-98. growth (Chrysanthemum sp. var. Jayaram, K. & MNV. Prasad. 2007. surf). [Skripsi]. Bogor: Institut Rapid in vitro multiplication of Pertanian Bogor. Drosera indica L.: a vulnerable, D'Amato, P. 1998. The Savage Garden, medicinally important insectivorous Cultivating Carnivorous Plants. plant. Plant Biotechnol. Rep. Ten Speed Press. California. 1:79-84. Davis, DG. & PA. Olson. 1993. Organo- Kim, KS. & GW. Jang. 2004. Micropro- genesis in leafy spurge (Euphorbia pagation of Drosera peltata, a tu- esula L.). In Vitro Cell Dev. Biol. berous sundew, by shoot tip culture. Plant 29:97-101. Plant Cell Tissue Organ Cult. De Klerk, GJ. 2010. Plant hormones. In: 77:211-214.

259 Sukamto et al.

Kukulczanka, K. 1991. Micropropagation nix dactylifera L.). Plant Cell Tis- and in vitro germplasm storage of sue Organ Cult. 20:185-190. Droseracea. Botanic Gardens Perry, LM. & J. Metzger. 1980. Medici- Micropropagation News 1(4):37- nal Plants of East and Southeast 42. Asia: Attributed Properties and Kyte, L. 1990. Plants from Test Tubes, Uses. The MIT Press. England. An Introduction to Micropropa- Phillips, A. & A. Lamb. 1996. Pitcher- gation. Timber Press. Oregon. plants of Borneo. Natural History Latha, PG. & S. Seeni. 1994. Multiplica- Publications (Borneo) Sdn. Bhd., tion of the endangered Indian Malaysia. Pitcher plant (Nepenthes khasiana) Pietropaolo, J. & P. Pietropaolo. 1986. through enhanced axillary branch- Carnivorous Plants of the World. ing in vitro. Plant Cell Tissue Or- Timber Press. Oregon. gan Cult. 38:69-71. Puspitaningtyas, DM. & H. Wawang- Lloyd, FE. 1942. The Carnivorous ningrum. 2007. Diversitas Nepen- Plants. Chronica Botanica Com- thes di Taman Nasional Sulasih pany. Waltham, Mass., USA. Talang-Sumatra Barat. Biodiver- Lyndon, RF. 1990. Plant Development, sitas 8(2):152-156. The Cellular Basis. Unwin Ram, MHY., H. Harada, & JP. Nitsch. Hyman Ltd. London. 1972. Studies on growth and flow- Merbach, M. & D. Merbach. 2010. Ne- ering in axenic cultures of insec- penthes from Borneo - Nepenthes tivorous plants: effects of photope- albomarginata. http://nepenthes. riod, ethrel, morphactin and a few merbach.net/english/_albomargi- other growth substances and meta- nata.html. bolic inhibitors on Urticularia Moran, JA., MA. Merbach, NJ. inflexa. Z. Pflanzenphysiol. 68: Livingston, CM. Clarke, & WE. 235-253. Booth. 2001. Termite prey special- Salisbury, F.B. & C.W. Ross. 1978. Plant ization in the pitcher plant Nepen- physiology. 3rd ed. Wadsworth thes albomarginata - evidence from Publishing Company. California. stable isotope analysis. Ann. Bot. Skoog, F. & CO. Miller. 1957. Chemical 88:307-311. regulation of growth and organ for- Murashige, T. & F. Skoog. 1962. A re- mation in plant tissues cultured in vised medium for rapid growth and vitro. Symp. Soc. Exp. Biol. bioassays with tobacco tissue cul- 11:118-140. tures. Physiol. Plant. 15:473-497. Sukamto, L.A. 1999. Kultur daun Omar, MS. & FJ. Novak. 1990. In vitro Drosera omissa Diels secara in plant regeneration and ethylmetha- vitro. Buletin Kebun Raya Indo- nesulphonate (EMS) uptake in so- nesia 9(1):1-6. matic embryos of date palm (Phoe- Sukamto, LA. 2001. Kultur Nepenthes

260 Shoot Tip Culture of Nepenthes albomarginata Lobb ex Lindl.

gracilis secara in vitro. Prosiding Vaverde, R., O. Arias, & TA. Thorpe. Symposium Nasional Pengelolaan 1987. Picloram-induced somatic Pemuliaan dan Plasma Nutfah. embryogenesis in pejibaye palm Bogor. 22 - 23 Agustus 2000. 685- (Bactris gasipaes H.B.K.). Plant 690. Cell Tissue Organ Cult. 10:149- Teng, WL. 1999. Source, etiolation and 156. orientation of explants affect in vitro Windasari, A. 2004. Pengaruh Kombinasi regeneration of Venus fly-trap Auksin dan Sitokinin pada (Dionaea muscipula). Plant Cell Perbanyakan Krisan Pot (Chrysan- Rep. 18:363-368. themum morifolium) Varietas Torres, KC. 1989. Tissue Culture Tech- Delano Red Secara In Vitro. niques for Horticultural Crops. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Chapman & Hall. New York. Bogor.

Received: January 2011 Accepted: Aprl 2011

261 Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 263-276 (2011)

Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung Kakatua Putih (Cacatua alba dan C. moluccensis)

Dwi Astuti Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Cibinong Science Centre, Jl. Raya Jakarta- Bogor, Cibinong-Indonesia. E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Variation in The Mitochondrial Cytochrome b Gene in The Two White Cockatoo Species (Cacatua alba and C. molucensis). DNA sequence variation in the 791-bp of mitochondrial cytocrome b gene in the two white cockatoo species (C. alba and C. moluccensis) were analyzed in this study. Two pairs of internal primers used to amplify two fragments of cytochrome b from 30 individuals cockatoo. The results show that there were genetic variations among individuals of C. alba and C. moluccensis. Twenthy eight haplotypes occured in 30 individuals studied; 14 haplotypes (Hca1-Hca14) in 16 individuals of C. alba, and 14 haplotypes (Hcm1-Hcm14)in 14 individuals of C. moluccensis. Hca5 was dominant and owned by 3 individuals (H37, KBS62, 28, BBP88). Within C. alba there were 18 variable sites, 0.00701 of nucleotide diversity (Pi), 0.975 ± 0.035 of haplotype diversity (Hd), and 0.005 ± 0.002 of mean genetic distance. Whitin C. moluccensis there were 18 variable sites, 0.00830 of Pi, and 0.9999 ± 0.028 of Hd, and 0,010 ± 0.002 (0.001-0.010) mean genetic distance. Divergence between C. alba and C. moluccensis was 0.064 ± 0.088 %. Neigbor-joining (NJ) analysis showed two main clusters consisted of : C. alba and C. moluccensis separately, and indicated that although there were some variations in the DNA sequences, but the individuals within a species remain clustered in the same cluster.

Key words: genetic variation, mitochndrial cytochrome b, cockatoo bird, Cacatua alba, Cacatua moluccensis

PENDAHULUAN panjang tubuh 52 cm. C. alba bulu tubuhnya putih dengan panjang tubuh 46 Di dunia terdapat 11 jenis kakatua cm. putih yg termasuk dalam marga Cacatua. Saat ini populasi kedua jenis kakatua Enam jenis diantaranya terdapat dan tersebut di alam cenderung mengalami endemik di kepulauan Indonesia, dan C. penurunan, sehingga tercatat dalam dan alba dan C. moluccensis merupakan menjadi prioritas dalam World kakatua yang endemik di kepulauan Conservation Union, IUCN 2006, dan Maluku. Menurut Forshaw (1989) termasuk ke dalam to appendics CITES; secara umum burung kakatua memiliki dimana C. moluccensis di dalam jambul di kepalanya dan paruh besar yang appendics I dan C. alba di dalam melengkung dan kuat. C. moluccensis appendics II. memiliki bulu tubuh dengan warna pink,

263 Dwi Astuti

Untuk tujuan conservasi dari kedua Cytochrome b adalah salah satu dari jenis kakatua ini, maka berbagai penelitian gen pada mitokondria yang mengkode dan kegiatan lain dilakukan baik secara protein dan diketahui sebagai penanda ex-situ maupun in-situ. Semenjak DNA dalam mengungkap sejarah evolusi penangkaran diketahui berperan penting hewan (Kocher et al. 1989; Montgelard di dalam mekanisme konservasi satwa et al. 1997; Prusak et al. 2004) bahkan langka, maka upaya koservasi kedua jenis untuk mempelajari variasi genetik pada kakatua ini dilakukan di beberapa Taman tingkatan jenis maupun marga pada Margasatwa dan penangkaran. Dari mamalia, burung, reptile, ikan dan hewan perspektif konservasi, harus diprioritas- vertebrata lainnya. Pada ikan marga kan pada kuantifikasi dan karakterisasi Cynolebia, cytochrome b menunjukkan tingkat diversitas genetiknya bagi semua tingkat divergensi sekuen yang tinggi (28 satwa terancam punah, karena ini dapat %) antara jenis-jenis ikan tersebut (Garci menuntun kita dalam mengevaluasi efek et al. 2000), namun pada Macruronus genetik dari perubahan populasi pada menujukkan kurangnya diferensiasi masa mendatang dan dapat dijadikan genetik (Olavarria et al. 2006). sebagai petunjuk dalam pengelolaan Pada penelitian ini dilakukan analisis konservasi yang bertujuan untuk menjaga pada sekuen DNA dari mitokondria tingkat diversitas saat sekarang (Roques cytochrome-b pada dua jenis burung & Negro 2005). Satwa terancam punah kakatua; Cacatua alba dan C. memiliki ciri dengan tingkat variasi genetik moluccensis untuk mengetahui variasi yang rendah, khususnya bila dibanding- genetik diantara individu dalam satu jenis kan dengan jenis kerabat yang tidak (intraspecies) maupun beda jenis terancam punah (Ardern & Lambert (interspecies). 1997; Spielman et al. 2004). Jadi diperlukan pengetahuan tentang variasi BAHAN DAN CARA KERJA ditingkat molekuler dengan menggunakan analisis penanda molekuler. Tiga puluh (30) sampel darah dari Penanda molekuler telah berguna masing-masing individu burung kakatua untuk menjawab berbagai pertanyaan (C. alba dan C. moluccensis) dikoleksi menyangkut upaya konservasi dan biologi dari taman Margasatwa, penangkaran, populasi pada berbagai jenis burung , maupun Taman Burung di Indonesia. misal pada S. albifrons (Whittier et al. Darah dipreservasi dengan etanol absolut 2006). DNA mitokondria adalah penanda di dalam tabung plastik 2 mL dan disimpan genetik yang sangat penting digunakan dalam almari es pada temperatus 4 ºC di dalam mempelajari evolusi, kekerabatan, Laboratorium Genetika, Bidang Zoologi- dan variasi genetik pada berbagai taxa Puslit Biologi_LIPI, Cibinong. DNA total hewan (Kocher et al. 1989, Ingman et diekstraksi dari masing-masing sampel, al. 2000) dan juga sering digunakan untuk dengan menggunakan DNA Extraction mengevaluasi diversitas genetik pada Mini Kid Qiagen. Larutan DNA yang berbagai jenis burung (Gill et al. 2005; didapat di simpan dalam almari es 4 ºC Martens et al. 2006). . dan untuk selanjutnya digunakan pada

264 Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung proses analisis berikutnya. Probociger seperti komposisi basa, subtitusi transisi- aterrimus digunakan sebagai outgroup transversi, jarak genetik, situs bervariasi, dalam mengkonstruksi pohon NJ. dan sekuen variasi dianslisis mengguna- Dua fragmen dari gen cytochrome kan perangkat lunak MEGA3 (Kumar et b diamplifikasi melalui proses PCR al. 2004) . Diversitas nukleotida dan dengan menggunakan dua pasang primer diversitas haplotipe dianalisis dengan internal: L14841 (Kocher et al. 1989) / perangkat lunak DnaSP4. Data tersebut H 15547 dan L15424/H15767 (Edwards juga dikonfirmasi ke asam amino untuk et al. 1991). Posisi primer-primer ini mengetahui apakah fragmen DNA yang digambarkan pada Figure 1. Larutan teramplifikasi adalah bener-benar target untuk PCR dibuat dalam volume 20 ìL , yang diinginkan. Untuk mengkonfirmasi dan dalam kondisi 35 siklus dari bahwa variasi genetik yang terdapat (denaturasi 94°C - 1 menit; penempelan diantara individu dalam satu spesies tidak 52°C -1 min; ekstensi 72°C -2 menit) dan mempengaruhi dalam pengelompoka- dilengkapi dengan 1 x siklus pada 72°C - nnya, maka dikonstruksi pohon neighbor- 10 min. Selanjutny 3 mL dari produk PCR joining (Saitou & Nei 1987) berdasarkan dielektroforesis pada 1 % gel agarose dan Kimura’s 2-parameter distance pada direndam dalam larutan ethidium bromide, MEGA3 dan nilai bootstrap dianalisis dan divisualisasi di bawah ultraviolet dengan 1000 x pengulangan. illuminator. Sisa larutan produk PCR dipurifikasi dengan QIAquick HASIL (QIAGEN) dan kemudian disekuen DNA-nya pada dua sisi (forward- Pasangan primer L14841/ H 15547 reverse) using the ABI Prism™ 3100 mengamplifikasi fragmen DNA automated sequencer. Primer yang sepanjang sekitar 760-bp, sedangkan digunakan sama dengan primer PCR. L15424-H15767 mengamplifikasi Proses mensejajarkan (aligment) fragmen 370-bp. Pada proses menseja- sekuen DNA dari semua individu yang jarkan data sekuen DNA (aligment), diteliti, dilakukan dengan dengan sepanjang sekitar 100-bp data sekuen menggunakan perangkat lunak ProSeq posisinya overlapping diantara dua set software. Karakter data sekuen DNA primer tersebut. Disamping itu,

L14841 L15424

791-bp

H15547 H15767 cytochrome b Gambar 1 Posisi dari primer-primer yang digunakan dalam mengamplifikasi gen cytochrome b. Garis tebal dengan angka 791- bp adalah posisi dan panjang sekuen DNA yang dianalisis pada penelitian ini.

265 Dwi Astuti beberapa data sekuen DNA dari antara dua basa pirimidin (timin dan beberapa individu kakatua yang diteliti sitosin). Tranversi merupakan substitusi tidak lengkap, sehingga hanya 791-bp basa antara purin dan pirimidin. Table 2 yang dianalisis pada penelitian kali ini. menampilkan frekuensi substitusi basa Hasil dari proses menterjemahkan data yang terjadi pada 30 data sekuen sekuen DNA menjadi asam amino, cytochrome b sepanjang 791-bp, menunjukkan bahwa fragmen ataupun terdapat 23 substitusi yang bersifat sekuen DNA yang teramplifikasi, benar- transisi, yang meliputi 11 purin (T <--> benar merupakan gen target, ini C) dan 12 pirimidin (A <--> G). ditunjukkan dengan tidak terdapatnya Sedangkan substitusi transversi hanya 5. stop codon sebagi ciri khas dari gen Jumlah transisi lebih banyak dari pengkode protein. transversi, ditunjukkan baik pada C. alba Komposisi basa timin, sitosin, adenin, maupun C. moluccensis. dan guanin pada sekuen DNA Pada 30 individu yang dianalisis, cytochrome b sepanjang 791-bp substitusi basa terjadi paling banyak pada ditampilkan dalam Tabel 1. Kompo- posisi codon 3 (20 substitusi) diikuti codon sisinya meliputi 40.3 % basa purine dan pertama (5 substitusi) dan kedua (4 59, 7 % basa pirimidin. Komposisi guanin substitusi). Begitu juga jika analisis paling rendah (14,2 %) dan sitosin dilakukan secara terpisah, baik pada C. tertinggi (34,2 %). Ini juga terlihat pada alba maupun C. moluccensis menunjuk- cytochrome b baik pada C. alba kan substitusi basa yang juga mengikuti maupun C. moluccensis jika kedua pola yang sama yaitu substitusi paling spesies ini dianalisa secara terpisah. banyak terjadi pada posis codon ketiga, diikuti posisi pertama dan kedua (Tabel Substitusi transisi dan transversi 2). Transisi merupakan substitusi antara Jarak genetik antara individu-individu dua basa purin (adenin dan guanin) atau C. alba dengan C. moluccensis

Tabel 1 : Komposisi basa di dalam 791-bp gen cytochrom b pada kakatua yang diteliti

Posisi Komposisi basa codon C. alba C. moluccensis (C. alba & C. moluccensis) T C A G T C A G T C A G

Total 25.8 34.0 26.5 13.7 25.5 34.4 25.7 14.4 25.5 34.2 26.1 14.2

ke-1 23.5 29.2 24.8 22.6 23.3 29.1 24.8 22.8 23.6 29.0 24.8 22.6

ke-2 38.6 28.0 20.0 13.4 38.4 28.0 20.3 13.3 38.5 27.6 20.1 13.7

ke-3 15.3 44.7 34.9 5.1 14.9 46.2 32.0 6.9 14.4 46.1 33.4 6.2

266 Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung

(between species) adalah 0.064 ± 0.088. haplotipe dari sekuen DNA gen Sedangkan jarak genetik di antara cytochrome b, baik dintara maupun individu-individu di dalam satu jenis antara jenis kakatua yang diteliti. (within species) kakatua adalah 0.005 ± Jumlah situs yang mengalami 0.002 (0.001 – 0.015) pada C. alba, dan subsitusi diantara dua jenis C. alba dan 0.010 ± 0.002 (0.001-0.010) pada C. C. moluccensis relatif sedikit bahkan moluccensis. kurang dari 10 %. Namun demikian dari sejumlah situs yang bervariasi itu Variasi sekuen DNA, diversitas mengahsilkan nilai diversitas nukleotida nukleotida, haplotipe, dan maupun diversitas haplotipe yang tinggi. diversitas haplotipe. Analisis dari seluruh 30 individu (16 Dari semua data sekuen DNA C. alba dan 14 C. moluccensis) yang sepanjang 791-bp pada 30 individu diteliti secara keseluruhan terdapat 28 kakatua, terjadi substitusi basa pada 63 haplotipe di dalam 791- bp cytochrome situs, ini menunjukkan adanya situs yang b. Haplotipe ini meliputi 14 haplotipe bervariasi (variable sites) sebesar sekitar (Hca1-Hca14) terdapat pada C. alba, 8,8 % . Di antara individu-individu C. dan 14 haplotipes (Hcm1-Hcm14) pada alba terdapat 18 (2,42 %) situs yang C. moluccensis. Tiga individu (H37, bervariasi , dan di antara individu-individu KBS62, dan BBP88) memiliki haplotipe C. moluccensis terdapat 19 (2,44 %) yang sama yaitu Hca5. Ini artinya bahwa situs yang bervariasi. Terdapatnya haplotipe Hca5 adalah paling dominan substitusi basa dintara sekuen DNA dan ketiga individu tersebut memiliki cytochrome b ini memperlihatkan adanya urutan sekuen DNA yang sama atau susunan basa yang bervariasi dan juga tidak tejadi substitusi basa diantara tipe substitusi basanya, sehingga pada ketiganya. Mengejutkan, bahwa di antara penelitian ini terdeteksi adanya haplotipe- individu-individu C. moluceensis, tidak

Table 2 : Rata-rata frekuensi substitusi basa di dalam 791-bp dari cytochrome b pada C. alba dan C. moluccensis

Positi C. alba C. moluccensis C. alba + C. moluccensis kodon

ii si sv ii si sv ii si sv

Total 785 4 2 783 5 3 763 23 5

Ke-1 263 1 0 262 1 1 259 4 1

Ke-2 263 0 1 263 0 1 261 2 2

Ke-3 259 3 1 258 4 1 243 18 2

Catatan : ii = pasangan identik, si = transisi, sv = transversi.

267 Dwi Astuti ada satupun individu yang memiliki urutan DISKUSI sekuen DNA yang sama. Sehingga ini memunculkan haplotipe yang berbeda Komposisi basa pada kedua kakatua satu dengan lainnya dan tidak ada ini sesuai dengan cytochrome b pada haplotipe yang dominan pada C. burung lain (e.g Turdus: Pan et al. 2007), moluccensis. Situs yang bervariasi, vertebrata lain (Prusak & Grzybowski variasi sekuen DNA, dan gambaran 2004) termasuk ikan (Abol-Munafi et al. haplotipe disajikan pada Tabel 3. 2007). Ciri khas dari gen pengkode Parameter diversitas meliputi ba- protein termasuk cytochrome b adalah nyaknya variasi, diversitas nukleotida, komposisi guanin menempati paling jumlah dan diversitas haplotipe yang rendah dan sitosin yang tertinggi terdapat pada sekuen DNA cytochrome (Avise1994). Seperti yang dikatakan oleh b pada semua individu (Tabel 4). Brown et al. (1982) bahwa biasanya Tabel 4 menunjukkan, bahwa substituti transisi lebih dominan terjadi diversitas nukleotida dan haplotipe dari dibandingan dengan transversi. Basa C. moluccensis relatif lebih tinggi dari purin (A ad G) memperlihatkan terjadinya C. alba. saturasi pada tingkat divergensi yang rendah dibandingkan pirimidin (T dan C), Analisis Neighbor-joining itu menyebabkan frekuensi A dan G Analisis pohon Neighbor-joining menjadi jauh berbeda dari frekuensi C (NJ) menghasilkan 2 kelompok yang dan T (Kocher & Carleton 1997). Pola terpisah secara jelas yaitu: 1) kelompok substitusi basa dimana substitusi paling yang terdiri dari individu-individu C. banyak terjadi pada posisi codon ketiga, alba, dan 2) kelompok individu-individu diikuti posisi pertama dan kedua, ini C. moluccensis, yang masing-masing sesuai dengan pola substitusi pada DNA didukung dengan nilai bootstrap 100 %. mitikondria khususnya gen cytochrome Kedua jenis dipisahkan dengan b pada beberapa kelompok burung divergensi sekuen 6,4 %. Kelompok C. lainnya misalkan Turdus (Pan et al. alba terbagi menjadi 2 kelompok utama, 2007). sedangkan pada C. moluccensis dua Hasil analisis terhadap jarak genetik individu Bn9 dan Bn10 terpisah dari menunjukkan dengan pasti, bahwa antara individu-individu lainnya. Individu-individu dua jenis yang berbeda memiliki jarak C. moluccensis dengan kode BBP genetik lebih tinggi dibandingkan dengan terpisah dari individu-individu TMR dan di antara individu-individu pada jenis yang KBY, namun pengelelompokan di dalam sama (intraspecies). Rata-rata jarak kelompok C. alba maupun kelompok C. genetik antara individu pada C. moluccensis hanya didukung nilai moluccensis (0.010 ± 0.002) lebih tinggi boostrap kurang dari 50 %. Pohon NJ dari C. alba (0.005 ± 0.002), dan jarak (Gambar 2) memperlihatkan bahwa di antara kedua jenis adalah 0.064 ± individu-individu satu jenis mengelompok 0.088. Jarak genetik pada Oryx 0.062 pada kelompok yang sama. (Khan et al. 2008). Dilaporkan Dai et

268 Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung pe i ot l Hca9 Hca10 Hca8 Hca11 Hca7 Hca6 Hca4 Hca5 Hca3 Hca2 Hca13 Hca14 Hca15 Hca16 Hca12 GHcm2 . . .. . T T GTGHcm11 GTGHcm10 GTGHcm9 G GTGHcm14 GTGHcm3 GTGHcm8 G . GTGHcm13 GTGHcm7 GTGHcm6 GTGHcm5 GTGHcm1 GTGHcm12 GTGHcm4 . . . . . A . . . . A A A .. A A A A ..... TA ... T ...... T ...... C C C CG C C CG CG CG C CGTA C CG C ...... AC AC AC ...... G GG G ...... A A A A A CTTACGG CTTACGG CTTACGG ...... CTTACGG CTTACGG CTTACGG CTTACGG CTTACGG ...... CTTACGG CTTACGG CTTACGG CTTACGG CTTACGG ... CTTACGG . . . T . . . . . T . . . . . T . 11111111122222333333Hap ...... G G G G G G G G G G G G GCTGACGA GCTGACGA GCTGACGA GCTGACGA GCTGACGA GCTGACGA ... GCTGACGA GCTGACGA GCTGACGA GCTGACGA GCTGACGA GCTGACGA AGCTGACGA A GCTGACGA A .... A ...... C ...... 22246678902335588901778004599 TC TC TC TC TC TC ...... TC ...... G GCTC . . . G G GCTC . G GCTC . . G GCTC G GCTC . GCTC G 23614843603629260329546178035706 AACTAGAAAAGTAGCTCCTGAAACTACGGACAHca1 . G GCTC G GC GC GC G GC C. moluccensisC. C. moluccensisC. C. alba C. alba C. alba C. C. alba C. C. moluccensisC. C. moluccensisC. C. alba C. C. moluccensisC. C. moluccensisC. C. alba C. alba C. C. moluccensisC. C. moluccensisC. C. alba C. C. moluccensisC. C. alba C. C. moluccensisC. C. moluccensisC. C. alba C. alba C. C. moluccensisC. C. moluccensisC. C. alba C. C. alba C. C. alba C. C. alba C. C. moluccensisC. C. alba C. Situs nukleotida yang bervariasi dan tipe haplotipe di dalam 791-bp sekuen DNA dari gen cytochrome b Situs nukleotida yang bervariasi dan tipe haplotipe di dalam 791-bp sekuen DNA 9KBS62 8KBY5 7 BPP6 5H37 6H38 4H36 3H35 1Bn11 2Bn12 28 TMR54 27 TMR53 10 KBS67 11 BBP88 12 BBP19 26 TMR52 20 BBP14 25 KBY2 19 BBP13 30 TMR56 24 BBP81 23 BBP80 22 BBP79 18 BN10 29 TMR55 21 BBP78 14 TMI16 15 TMR57 16 TMR58 17 BN9 13 BBP20 No Sampel Jenis Situs nukleotida yang bervariasi Table 3 : Table

269 Dwi Astuti pe i ot l Hca2 Hca3 Hca4 Hca5 Hca6 Hca7 Hca8 Hca9 Hca10 Hca11 Hca12 Hca13 Hca14 Hca15 Hca16 GHcm14 GHcm13 GHcm12 GHcm9 GHcm10 GHcm11 GHcm1 GHcm8 ...... ACT ACT ACT ACT ACT ACT ACT ACTAGHcm2 ACTAGHcm4 ACTAGHcm5 ACTAGHcm6 ACT ...... TACTAGHcm7 . G .. GTACTAGHcm3 . TG TG TG TG TG TG T ...... TG TG TG T TG T T ...... C ... C C ...... AAC AA AAC AA AA AA AA A AA AA AA AA ...... CC CC CC CCTA CC CC CC CC CCTAAC CC CC CC TCC ...... G G G G G GGG GGG GGG GGG GGG GGG GGG GGGC GGGC GGGC GGGCTCC GGGC ...... TGCTC TGCTC TGCTCAGGG TGCTC TGCTC TGCTC C C C C C TGCTC TTGCTC TTGCTC ...... TTGCTC TTGCTCAGGGC TTGCTC TTGCTC CTGCTC ...... 44444555555555666666666777777Hap .. . 23588334567789012234689233478 62939472841324054562864123596 CCAATCTTAAATCAACGGTACGCAGTCTAHca1 ...... T ...... T ...... C. moluccensisC. C. moluccensisC. C. moluccensisC. moluccensisC. moluccensisC. C. moluccensisC. C. moluccensisC. C. moluccensisC. C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. alba C. C. alba C. alba C. C. alba C. alba C. alba C. alba C. moluccensisC. C. moluccensisC. C. alba C. C. moluccensisC. C. moluccensisC. C. moluccensisC. C. moluccensisC. Lanjutan 3H35 4H36 5H37 6H38 7 BPP6 8KBY5 1Bn11 2Bn12 9KBS62 30 TMR56 29 TMR55 26 TMR52 27 TMR53 28 TMR54 18 BN10 25 KBY2 19 BBP13 10 KBS67 11 BBP88 12 BBP19 13 BBP20 14 TMI16 15 TMR57 16 TMR58 17 BN9 20 BBP14 21 BBP78 22 BBP79 23 BBP80 24 BBP81 Tabel 3. Tabel No Sampel Jenis Situs nukleotida yang bervariasi

270 Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung

Table 4. Parameter-parameter diversitas mitokondria DNA gen cytochrome b di dalam 791- bp pada dua jenis kakatua (C. alba dan C. moluccensis) Parameter genetika C. alba C. moluccensis Total

Jumlah individu (n) 16 14 30 Jumlah situs bervariasi (S) 18 19 63 Diversitas nukleotida/ asam amino (Pi) 0,00701 0,00830 0,03353 Jumlah haplotipe (h) 14 14 28 Diversitas haplotipe (Hd): 0.975 ± 0.035 0.9999 ± 0.027 0.991 ± 0.012

Bn11 C. alba KBS67 C. alba Bn12 C. alba BBP6 C. alba H35 C. alba H38 C. alba H37 C. alba KBS62 C. alba BBP88 C. alba 100 H36 C. alba KBY5 C. alba TMI16 C. alba BBP19 C. alba BBP20 C. alba TMR57 C. alba TMR58 C. alba

Bn10 C. moluccensis Bn9 C. moluccensis 100 BBP78 C. moluccensis BBP79 C. moluccensis BBP81 C. moluccensis BBP14 C. moluccensis BPP13 C. moluccensis BBP10 C. moluccensis TMR53 C. moluccensis KBY2 C. moluccensis TMR55 C. moluccensis TMR56 C. moluccensis TMR52 C. moluccensis TMR54 C. moluccensis P. aterrimus

Gambar 2. Pohon Neighbor-joining (NJ) dari 30 individu C. alba dan C. moluccensis yang dikonstruksi berdasarkan substitusi transisi dan transversi pada 791 bp sekuen DNA gen cytochrome b. Nilai-nilai bootsrap di bawah 50 % tidak ditampilkan.

271 Dwi Astuti al. (2010), bahwa divergensi sekuen mendukung retensi keanekaragaman DNA cytochrome b di antara individu- genetik yang sangat tinggi dalam populasi individu pada jenis burung yang sama kecil dan terisolasi (Kaeuffer et al. 2007), (within species) berkisar dari 0 (Parus kemungkinan kenyataan bahwa ada dichrous) hingga 2,8 % (Aegithalos burung yang belum ditemukan berbiak di concinnus), dan antara dua jenis dalam tempat lain, sehingga dapat meningkat- satu marga sebesar 8,10 ± 0.007 kan estimasi ukuran populasi. Keaneka- (Aegithalos) dan 0.077 ± 0.005 (Parus). ragaman genetik relatif tinggi pada jenis Individu-individu dari populasi yang sama langka dapat menunjukkan bahwa dibedakan oleh 1 % divergensi sekuen, penurunan jumlah populasi tersebut sedangkan divergensi sekuen antara terjadi relatif baru-baru ini (Moritz 1994). lokasi yang berbeda sebesar 0.25% - 8%, Tingginya keanekaragaman genetik dan antara dua jenis 3 %- 21 %. walaupun secara substansial ada Divergensi intraspesifik secara ekstrim penurunan populasi telah ditunujukkan bervariasi dari 0 hingga 1% pada pada satwa berumur panjang dengan sebagian besar kasus tetapi bisa lebih kematangan seksual tertunda seperti tinggi pada bebrapa jenis burung (4.1% burung Taiko (Lawrence & Taylor, antara dua individu S. collaris, dan 5.3%- 2008), Ornate Box Turtle Terrapene 6.3% di antara S. castaneiventris ornate (Kuo &Janzen 2004) ; Orang-utan (Lijtmaer et al. 2004). Pongo pygmaeus (Goossens et al. 2005), Jumlah situs yang bervariasi Copper Redhorse Moxostoma hubbsi diantara individu pada jenis yang sama (Lippe et al. 2006). Hal ini menunjukkan pada kedua kakatua ini tidak lebih dari bahwa ciri-ciri sejarah kehidupan 10 %, tetapi kedua kakatua ini memiliki generasi lama dan kematangan sexual nilai diversitas tinggi. Dilaporkan oleh yang tertunda dapat menjadi buffer Germin et al. ( 2007) bahwa di antara (penyangga) hilangnya variasi genetik, populasi burung Alectoris chukar terutama ketika penurunan terjadi baru- diversitas haplotipenya tinggi (0,85 %) baru ini. Teori genetika populasi demikian juga dengan diversitas memprediksi bahwa severe bottlenecks nukleotidanya di dalam populasi 0,17 % tidak dapat secara drastis mengurangi - 0, 25 %. Pada burung Taiko yang keragaman genetik ketika mereka berstatus terancam punah juga memiliki berakhir dengan jumlah populasi yang diversitas haplotipe (0,68 %) dan kecil (Amos & Balmford 2001). Kakatua nukleotida (0,13 %) (Lawrence & juga merupakan burung berumur panjang, Taylor 2008 ), dan pada mamalia kecil bisa hidup mencapai umur 80 tahun dan (Lontra felina) yang terancam punah reproduksi lambat dengan dewasa dengan diversitas haplotipe 0.86 dan kelamin dicapai paling cepat pada umur diversitas nukleotida 0.0117 (Valqui et al. 3-4 tahun (Forshaw 1989), sehingga bisa 2010). Tingginya nilai diversitas mengurangi tingkat pergeseran genetik dipengaruhi oleh beberapa faktor tetapi juga memperlambat pemulihan misalnya karena seleksi terkadang jumlah populasinya. Jadi wajar jika pada

272 Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung kakatua yang di teliti di sini memiliki nilai daan sejarah populasi dan hidup serta diversitas genetik yang tinggi, walau ekologi reproduksi hewan dapat berefek populasi di alam mengalami penurunan. pada kecepatan penurunan dan diversitas Dari hasil ini diharapkan dapat genetiknya (Kuo & Janzen 2004). memberikan informasi dasar dalam Nilai divergensi sekuen atau jarak program pelestarian burung kakatua baik genetik antara individu-individu satu jenis di alam maupun di penangkaran. Seperti dan antara individu-individu beda jenis dikatakan oleh Iyengar et al. ( 2007) kakatua, sangat jelas bedanya. bahwa perspectif yang memiliki nilai Perbedaan jarak genetik ini berimplikasi global tentang program penangkaran pada pengelompokan yang terjadi pada yang lebih efektif, adalah dengan hasil analisis neighbor-joining, dimana perlunya mengetahui dan merawat individu-individu beda jenis pada diversitas genetik untuk menjaga jenis- penelitian ini berada pada kelompok yang jenis terancam punah, dan dimungkinkan berbeda dan individu-individu sejenis dalam mendukung upaya konservasi ini, mengelokpok pada kelompok yang sama, karena secara nyata dapat berkontribusi seperti ditunjukkan pada pohon NJ. di dalam program penangkaran dan strategi reintroduksi untuk konservasi KESIMPULAN berbagai satwa yang terancam punah (Russello & Amato 2007). Jumlah situs yang mengalami Secara keseluruhan rata-rata jumlah substitusi basa dan bervariasi pada basa yang bervariasi (k) dan nilai individu-individu sejenis kurang dari 10 diferensiasi pada C. alba lebih rendah % dari panjang basa cytochrome b yang dari C. moluccensis. Demikian juga dianalisis, namun diversitas nukleotida/ untuk nilai diversitas nukleotida dan asam amino maupun haplotipe pada diversitas haplotipe. Pada penelitian ini individu-individu C. alba maupun C. tidak diketahui lokasi maupun populasi moluccensis yang diteliti, relatif tinggi. individu-individu tersebut, karena sampel Analisis neigbor joining memisahkan darah di koleksi dari individu-individu yang kelompok antara C. alba dan C. sudah berada di taman Margasatwa moluccensis, dengan nilai divergensi maupun tempat penangkaran. Ini sekuen 6,4 %. kemungkinan individu-individu berasal dari populasi yang berbeda, bahkan UCAPAN TERIMA KASIH mungkin dari pulau-pulau yang berbeda, atau berkaitan dengan isolasi Terima kasih disampaikan kepada geografiknya (Randi et al. 2006). Seperti sdr. Agus Kundarmasno dan Alwin dikatakan oleh Forshaw (1989) bahwa Marakamah yang telah membantu dalam C. moluccensis hanya tersebar di proses koleksi sampel darah, staf di Ceram, Saparua and Haruku, dan C. Laboratorium Genetika, Bidang Zoologi- alba terdistribusi Obi, Bacan, Puslit Biologi LIPI atas kerjasamanya. Halmahera. Dikatakan bahwa perbe- Penelitian ini didukung oleh JICA

273 Dwi Astuti

Konservation Project dan JSPS Core Edwards SV, P. Artander, & AC.Wilson. University Project. 1991. Mitochondrial resolution of a deep branch in the geneological DAFTAR PUSTAKA tree for perching birds. Proceedig Royal Society london. Science 243: Abol-Munafi AB, MA. Ambak, P.Ismail, 99-107. BM. Tam. 2007. Molecular data Forshaw JM. 1989. Parrots of the World. from the cytochrome b for Tird Edn. Lansdowne Editions, phylogeny of Channidae (channa Sydney, . sp.) in Malaysia. Biotechnology 6 Garci AG, G. Wlasiuk & EP. Lessa. (1): 22-27. 2000. High levels of mitochondrial Amos W, & A. Balmford. 2001. When cytochrome b divergence in annual does conservation genetics matter? killifishes of the genus Cynolebias Heredity 87:257– 265 (Cyprinodontiformes, Rivulidae). Ardern SL, DM.Lambert 1997. Is the Zool. J. Linnean Soc.129: 93–110 Black Robin in genetic peril? Mol Gill FB, B. Slkas, FH. Sheldon. 2005. Ecol 6:21–28 Phylogeny of titmice (Paridae): II. Avise JC. 2004. Molecular markers, Species relationships based on natural history, and evolution. sequences of the mitochondrial 2nd edn. Sinauer Associates, cytochrome-b gene. Auk. 122:121– Massa-chusetts 143. Brown WM, EM. Prager, A. Wang, & Goossens B, L. Chikhi, MF. Jalil, AC. Wilson. 1982. Mitochondrial M.Ancrenaz, I. Lackman Ancre- DNA sequences of primates: tempo naz, M. Mohamed, P. Andau, & and mode of evolution. J. Mol. MW. Bruford. 2005. Patterns of Evol. 18: 225–239. genetic diversity and migration in Crochet, PA., JD. Lebreton, & F. increasingly fragmented and Bonhomme. 2002. Systematics of declining Orang-utan (Pongo large white-headed gulls: patterns pygmaeus) populations from Sabah, of mitochondrial DNA variation in Malaysia. Mol. Ecol. 14:441–456 western European taxa. Auk 119: Guerrini, M., P. Panayides, P. Hadjigerou, 603-620. L.Taglioli, F. Dini,. & F. Barbanera. 2007. Lack of genetic structure of Dai C, K. Chen, R. Zhang, X. Yang, Z. Cypriot Alectoris chukar (Aves, Yin , H. Tian, Z. Zhang, Y. Hu, F. Galliformes) populations as Lei. 2010. Molecular phylogenetic inferred from mtDNA sequencing analysis among species of Paridae, data. Animal Biodiv. Cons. 30.1: Remizidae and Aegithalos based on 105–114. mtDNA sequences of COI and cyt Ingman M, H. Kaessmann, S. Paabo., b. Chinese Birds 1(2):112–123 & U. Gyllensten. 2000. Mitochon- drial genome variation and the

274 Variasi Gen Mitokondria Cytochrome b pada Dua Jenis Burung

origin of modern humans. Nature sequences for understanding the 408: 708-713. phylogenetic relationships in Oryx IUCN (The World Conservation Union). species. Cons.Gen. 9:1293–1301 2006. 2006 IUCN red list of Kumar S, K. Tamura, & M. Nei. 2004. threatened species. http://www. MEGA3. Integrated software for iucnredlist.org, Cited 13 Nov 2006 molecular evolutionary genetics Iyengar A, T. Gilbert, T. Woodfine, JM. analysis and sequence alignment. Knowles. 2007. Remnants of Briefings in Bioinformatics 5: ancient genetic diversity preserved 150-163 within captive groups of scimitar- Lijtmaer DA, NMM. Sharp, PL. Tubaro, horned oryx (Oryx dammah). Mol. SC. Lougheed. 2004. Molecular Ecol. 16: 2436-2449. phylogenetics and diversification Kaeuffer R, DW. Coltman, JL. Chapuis, of the genus Sporophila (Aves: D. Pontier, &D. Reale. 2007. Passeriformes). Mol.Phyl.Evol. Unexpected heterozygosity in an 33: 562–579 island Mouflon population founded Lippe C, P. Dumont, L. Bernatchez by a single pair of individuals. Proc 2006). High genetic diversity and Royal. Soc B 274:527–533. no inbreeding in the endangered Kocher TD, WK. Thomas, A. Meyer, Copper Redhorse, Moxostoma SV. Edwards, S. Paabo, FX. hubbsi (Catostomidae, Pisces): the Villablanca, & AC. Wilson. 1989. positive sides of a long generation Dynamics of mitochondrial DNA time. Mol Ecol 15:1769–1780 evolution in animals: amplification Martens J, DT. Tietze, & YH. Sun. 2006. and sequencing with conserved Molecular phylogeny of Parus primes. Proc. Nat. Acad. Sci (Periparus), a Eurasian radiation USA.86: 6196–200. of tits (Aves: Passeriformes: Kocher RD & KL Carleton. 1997. Base Paridae). Zool. Abh. Mus. Tierkd substitution in fish mitochondrial Dresden. 55:103–120. DNA: patters and rates. In Montgelard C, FM. Catzeflis, E. Douzery. Molecular systematics of Fish. 1997. Phylogenetic relationships of Kocher, TD and Ca Stepien (Eds.). artiodactyls and cetaceans as Academic Press: San Diego. deduced from comparison of Kuo C-H, & FJ. Janzen. 2004. Genetic cytochrome b and 12S rRNA effects of a persistent bottleneck mitochondrial sequences. Mol. Biol on a natural population of Ornate Evol. 14: 550–9. Box Turtles (Terrapene ornata). Moritz, C. 1994 Applications of Cons. Gen. 5:425–437 mitochondrial DNA analysis in Khan HA, IA. Arif, AA. Al Homaidan, conservation: a critical review. Mol & AH. Al Farhan. 2008. Ecol. 3:401–411 Application of 16S rRNA, Olavarria C, F. Balbontin, R.Bernal, &C. cytochrome b and control region Baker. 2006. Lack of divergence

275 Dwi Astuti

in the mitochondrial cytochrome b the Species-Rich Genus Sebastes gene between Macruronus (Teleostei, Scorpaenidae) and Its species (Pisces: Merlucciidae) in Utility in Testing the Monophyly of the Southern Hemisphere. Short the Subgenus Sebastomus. communication. New Zealand Molecular Phylogenetics and J.Mar. Freshwater Res. 40: 299– Evolution 11 (3): 426–440. 304. Roques S, & JJ. Negro. 2005. MtDNA Pan QW, FM. Lei, ZH. Yin, A. Kristin, genetic diversity and population & P. Kanuch. 2007. Phylogenetic history of a dwindling raptorial bird, realationships within Turdus the Red Kite (Milvus milvus). Biol species: mitochondrial cytochrome- Cons. 126:41–50 b gene analysis. Ornis Fennica Russello MA & G. Amato. 2007. On the 84: 1-11. horns of a dilemma: molecular Prusak B, G. Grzybowski, & G. Zieba. approaches refine ex situ 2004 Taxonomic position of Bison conservation in crisis. Mol. Ecol. bison (Linnaeus, 1758) and Bison 16: 2405-2406. bonasus (Linnaeus, 1758) based Spielman D, BW. Brook, & R. on analysis of cytb gene. Anim. Sci Frankham. 2004. Most species Pap Rep. 22: 27–35. are not driven to extinction before Prusak B & T. Grzybowski. 2004. Non- genetic factors impact them. Proc. random base composition in codons Natl Acad Sci USA 101:15261– of mitochondrial cytochrome b 15264 gene in vertebrates. Acta Saitou N & M. Nei. 1987 The neighbor- Biochimica Polonica 51 (4): 897– joining method: A new method for 905 reconstructing phylogenetic trees. Randi, E., C. Tabarroni. & S. Kark 2006. Mol Biol Evol 4: 406–425 The role of history vs. demography Whittier JB, JR. Leslie. RA.van Den in shaping genetic population Bussche. 2006. Genetic variation structure across an ecotone: chukar among subspecies of Least Tern partridges (Alectoris chukar) as (Sterna antillarum): implications for a case study. Diversity and conservation. Waterbirds 29:176– Distributions, 12: 714–724. 184. Rocha-Olivares A, CA. Kimbrell, BJ. Eitner & RD. Vetter. 1999. Evolution of a Mitochondrial Cytochrome b Gene Sequence in

Memasukkan: Desember 2010 Diterima: Mei 2011

276 Jurnal Biologi Indonesia 7(2): 277-287 (2011)

Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang Transgenik Katahdin RB ke Tanaman Kentang Non Transgenik

A. Dinar Ambarwati1, M. Herman1, Agus Purwito2 , Eri Sofiari3, & Hajrial Aswidinnoor2

1 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111 2 Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor 16680 3 Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang, Jl. Tangkuban Perahu 517, Lembang, Bandung 40391

ABSTRACT

Preliminary study: Gene transfer from transgenic potato Katahdin RB to non transgenic potato. One of the concerns associated with the release of transgenic crops, is the possibility of the gene flow from transgenic crops to neighboring crops of the same species or to related species. In plants, gene flow is a routine process occur through the natural hybridization. The opportunity for gene flow occur depends principally on two factors, the degree of sexual compatibility between donor and recipient species, and the physical distance between the two. The experiment was conducted to determine whether the gene flow from transgenic potato Katahdin RB to non transgenic was occurred, based on selection using a 50 mg/l kanamycin, and to estimate gene flow mediated by natural hybridization at different isolation distances. Preliminary result indicated that a rapid and simple method using MS0 liquid media with kanamycin 50 mg/l was effective for screening the seeds. There was a gene flow from transgenic potato Katahdin RB to non transgenic, based on a rapid and simple selection method using 50 mg/l of kanamycin as selectable marker. The isolation distance used in the study were 0.8, 1.6, 2.4, 3.2, 4.0, 4.8, 5.6, 6.4, 7.2, 8.0, 8.8, 9.6, 10.4, and 11.2 m from the row of transgenic potato Katahdin RB. The gene flow through natural hybridization at a isolation distances of (0.8 - 1.6 m), (2.4 – 4 m), and (4.8 – 6.4 m) from transgenic to non transgenic plants were 13.78, 10.92, and 3.82%, respectively. At a distance of 7.2 – 8 m, the frequency of gene flow was declined to 0%. The frequency of gene flow from transgenic potatoes to non transgenic potatoes markedly decreased by increasing the isolation distance, and was negligible at 7.2 m.

Key words : natural hybridization, transgenic potato RB, kanamycin selection

PENDAHULUAN kurun waktu empat tahun berikutnya, terdapat lebih dari 70 permohonan uji Kentang transgenik pertama kali kentang transgenik di LUT yang telah diuji di lapangan uji terbatas atau LUT disetujui di seluruh dunia (Chasseray & (confined field trial) di United Duesing 1992), hampir 2% dari seluruh Kingdom pada tahun 1987. Selama percobaan LUT kentang transgenik di

277 Ambarwati dkk.

dunia dilakukan di Amerika Tengah dan dengan mengidentifikasi suatu tanaman Selatan, kurang lebih 8% adalah untuk dalam suatu populasi, dengan marka sifat toleran herbisida, 58% untuk (marker) genetik (transgen) yang khas, ketahanan terhadap serangga hama, dan mengikuti keberadaan marka bakteri, cendawan patogen, dan sisanya tersebut pada generasi lebih lanjut melalui untuk sifat perbaikan kualitas dan gen- teknik molekuler (Latta et al.1998). gen penanda (Goy & Duesing 1995). Analisis perpindahan gen dengan metode Untuk tanaman transgenik yang seleksi secara cepat untuk suatu akan dikembangkan di Indonesia dan transgen, dianggap sebagai cara yang digunakan sebagai bahan pangan dan efisien untuk identifikasi tanaman. pakan seperti jagung, kedelai, kentang, Analisis laboratorium seperti Southern harus memenuhi persyaratan keamanan Blot, ELISA, uji aktivitas enzim hayati. Dalam rangka pengaturan merupakan metode yang mahal, keamanan hayati telah dikeluarkan memerlukan waktu lama, terutama ketika Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 menganalisis sejumlah besar populasi Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati tanaman (Howe & Feng 2004). Seleksi Produk Rekayasa Genetik (Herman cepat dan sederhana (simple) telah 2009). Dalam PP No. 21 Tahun 2005 dilakukan oleh Weide et al. (1989); De yang dimaksud dengan keamanan hayati Block et al. (1984) dan McPartlan & adalah keamanan lingkungan, keamanan Dale (1994). pangan, dan/atau keamanan pakan. Evaluasi perpindahan gen sehubu- Salah satu aspek yang perlu dikaji ngan dengan penanaman kentang sehubungan dengan tanaman transgenik transgenik telah dilakukan di Kanada dan adalah kemungkinan risiko terjadinya Amerika Serikat (Love 1994). Pengujian perpindahan gen (gene flow) ke tana- tingkat penyerbukan silang pada berbagai man sekerabat atau ke kerabat liar jarak isolasi dari tanaman kentang (McPartlan & Dale 1994; Messeguer transgenik toleran herbisida klorsulfuron 2003). Perpindahan gen merupakan dilakukan oleh Tynan et al. (1990); suatu peristiwa yang terjadi secara rutin McPartlan & Dale (1994), sedangkan melalui persilangan alami. Kemungkinan Skogsmyr (1994) mengkaji frekuensi terjadinya perpindahan gen tergantung penyebaran transgen dari tanaman dari dua faktor, yaitu tingkat kompatibi- kentang transgenik yang mengandung litas seksual dan jarak isolasi antara gen penanda gus dan nptII. Banyaknya spesies donor dan spesies penerima faktor yang mempengaruhi terjadinya (McPartlan & Dale 1994). Jarak isolasi perpindahan gen menyebabkan kuantifi- adalah jarak tanam antara baris tanaman kasi perpindahan gen tidak mudah transgenik ke kentang non transgenik. dilakukan (Messeguer 2003). Informasi Pada tanaman, perpindahan gen mengenai jarak isolasi minimal yang dapat terjadi melalui penyebaran serbuk disyaratkan dari tanaman transgenik ke sari (pollen), biji, atau organ vegetatif (Lu tanaman non transgenik diperlukan dalam 2008). Perpindahan gen dapat diukur strategi manajemen berkaitan dengan

278 Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang

perpindahan gen (Conner 2006), 70% dan dikecambahkan dalam cawan disamping faktor lain seperti isolasi fisik petri yang berisi media MS0 (MS tanpa atau biologis (Celis et al. 2004). penambahan zat pengatur tumbuh). Biji Di Indonesia, kajian perpindahan gen yang berkecambah ± 0.3 – 0.5 cm dari tanaman kapas transgenik Bt diseleksi, baik pada media MS0 padat (CryIAc) ke kapas non Bt sudah dengan penambahan 50, 75 dan 100 mg/ dilakukan di Sulawesi Selatan (Purwito l kanamisin maupun pada media MS0 cair et al. 2001), sedangkan analisis perpinda- dengan penambahan kanamisin 50 dan han gen untuk tanaman kentang transge- 75 mg/l. Biji berkecambah yang dapat nik RB belum pernah dilaporkan di tahan atau lolos pada seleksi kanamisin, Indonesia. Pada penelitian ini dilakukan ditanam dalam pot kecil berisi media studi pendahuluan untuk mengetahui campuran arang sekam, tanah dan pupuk terjadinya perpindahan dari tanaman kandang dalam perbandingan volume kentang transgenik RB ke tanaman 2:1:1. Untuk mengkonfirmasi terjadinya kentang non transgenik, menggunakan perpindahan gen pada tanaman yang lolos metode seleksi cepat dengan marka seleksi kanamisin, dilakukan analisis kanamisin 50 mg/l dan tingkat persila- PCR. Daun tanaman diambil untuk ngan alami pada berbagai jarak isolasi diisolasi DNAnya (Fulton et al. 1995) antara tanaman kentang transge-nik RB kemudian dilakukan analisis molekuler dengan tanaman kentang non transgenik, PCR, dengan primer 1-5(5’-CTCATTTT yang berkaitan dengan perpindahan gen. ACCCCTACAA-3’) dan primer 3-5 (5’- CGCAAAACCTGGGAAAAT-3’) serta BAHAN DAN CARA KERJA primer cf1 (5’-TAAGCATGAGTT GGAATAACT-3’) dan primer cr1 (5’- Kajian perpindahan gen dilakukan di CGGTCAGAAGAGGATAAGGGA-3'). Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Umbi kentang transgenik Katahdin Lembang, Oktober 2008-Mei 2009. SP951, Katahdin non transgenik, Granola Materi genetik yang digunakan adalah dan Atlantic ditumbuhkan sampai muncul tanaman kentang transgenik Katahdin tunas (± 2-3 cm) kemudian ditanam di SP951 yang membawa gen RB sebagai lapang. Tanah diolah dalam bedengan sumber serbuk sari, dan Katahdin non berukuran 0.4 x 6 m untuk setiap baris transgenik, Granola serta Atlantic. nomor tanaman yang akan diuji, kemudian Transgenik Katahdin SP951 dan Katahdin dibuat lubang tanam yang berjarak 40 cm non transgenik diperoleh dari Universitas pada tiap bedengan. Jarak antar baris Wisconsin, Amerika Serikat melalui bedengan adalah 0.8 m. Bibit tanaman kerjasama USAID - ABSP (Agricultu- ditanam pada setiap lubang, dan ral Biotechnology Support Project) II. pemupukan dilakukan dengan pupuk Materi yang digunakan adalah biji kandang 30 ton/ha, NPK (15-15-15) 800 hasil persilangan antara tanaman kentang kg/ha, dengan dosis ¾ diberikan pada saat transgenik Katahdin SP951 dengan tanam dan 1/4 bagian pada saat tanaman Atlantic. Biji disterilisasi dengan alkohol berumur 30 hari. Pemeliharaan terhadap

279 Ambarwati dkk.

organisme pengganggu tumbuhan (OPT) ke tanaman non transgenik, berdasarkan dilakukan dengan penyemprotan biji berkecambah yang lolos seleksi insektisida maupun fungisida. Tanaman kanamisin. transgenik Katahdin SP951 ditanam dalam satu baris bedengan, ditengah- HASIL tengah plot. Sedangkan tanaman non transgenik Katahdin, Granola, dan Uji pendahuluan introgresi gen Atlantic ditanam secara berseling pada melalui persilangan alami dengan satu baris bedengan, dengan berbagai metode seleksi secara cepat jarak isolasi mengikuti pola tanam pada Uji pendahuluan seleksi secara cepat budidaya kentang, yaitu 0.8, 1.6, 2.4, 3.2, untuk biji hasil persilangan, menunjukkan 4.0, 4.8, 5.6, 6.4, 7.2, 8.0, 8.8, 9.6, 10.4, bahwa semua biji yang diseleksi ternyata dan 11.2 m dari baris tanaman transgenik. semuanya tahan dan dapat tumbuh, Plot percobaan dan pertanaman di lapang setelah ± 3 minggu pada media MS0 disajikan pada Gambar 1. padat dengan kanamisin 50, 75, maupun Seleksi secara cepat dilakukan 100 mg/l (Gambar 2). Seleksi dengan cara menggunakan kanamisin sebagai marka ini ternyata tidak efektif karena tidak bisa seleksi. Semua buah yang terbentuk pada menyeleksi biji tahan dan tidak tahan, tanaman non transgenik pada berbagai sehingga perlu dicari alternatif lainnya. jarak isolasi, diproses untuk mendapatkan Seleksi pada media MS0 cair, baik biji. Semua biji disterilkan dengan alkohol dengan kanamisin 50 maupun 75 mg/l 70% dan direndam dalam larutan GA3 dapat menyeleksi biji berkecambah yang 1500 ppm selama satu malam untuk tahan dan tidak tahan. Biji berkecambah pematahan dormansi. Biji dikecambah- yang lolos seleksi kanamisin selanjutnya kan dalam cawan petri yang berisi media dianalisis secara molekuler untuk MS0 (MS tanpa penambahan zat memastikan ada tidaknya introgresi gen pengatur tumbuh) cair. Biji yang RB. Dari semua tanaman yang lolos berkecambah ± 0.3 – 0.5 cm dipindahkan seleksi kanamisin 50 mg/l maupun 75 mg/ ke media seleksi yaitu MS0 cair dengan l ternyata positif mengandung gen RB, penambahan kanamisin 50 mg/l, dengan munculnya produk amplifikasi sedangkan biji yang tidak berkecambah berukuran 619 bp untuk produk N-term dianggap tidak mempunyai viabilitas dan 840 bp untuk produk C-term (Gambar untuk tumbuh sehingga tidak diseleksi. 3). Untuk tahap selanjutnya seleksi Biji yang tahan dan tumbuh membentuk dilakukan menggunakan media MS0 cair tunas daun hijau atau tidak mengalami dengan kanamisin 50 mg/l karena sudah bleaching selama diseleksi dalam media bisa menyeleksi biji yang tahan dan tidak kanamisin, dianggap telah lolos seleksi. tahan. Perpindahan gen melalui tingkat persilangan alami diamati pada jarak Kajian perpindahan gen isolasi 0.8 – 1.6 m, 2.4 – 4 m, 4.8 – 6.4 m Penelitian pada berbagai jarak isolasi dan 7.2 – 8 m dari tanaman transgenik yaitu 0.8 - 11.2 m antara tanaman

280 Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang

0.8 m 0.8 m x x x x

6 m 40 cm 40

11.2 m 4.0 3.2 2.4 1.6 0.8 0.8 1.6 2.4 3.2 4.0 …… 11.2 m

x : Transgenik Katahdin SP951 -: Non transgenik

Gambar 1 Plot percobaan (atas) dan penanaman di lapang pada analisis perpindahan gen (bawah) transgenik Katahdin SP951 dengan non sedangkan tunas daun yang tidak tahan, transgenik menunjukkan bahwa buah akan berubah warnanya menjadi kuning hanya terbentuk pada jarak isolasi 0.8 pucat atau putih (Gambar 4b) atau sama sampai 8 m (Tabel 1). Sebanyak 6 buah sekali tidak tumbuh tunas daun (Gambar kentang sudah gugur sebelum masak 4 c) dan dianggap tidak lolos seleksi. sehingga tidak dapat diproses untuk Semaian tahan dapat ditanam dan seleksi lebih lanjut, karena belum dipelihara dalam media arang sekam dan terbentuk biji. Biji yang berasal dari 67 pupuk kandang (Gambar 4d). buah yaitu sebanyak 7772 biji diproses Tidak semua biji yang diproses dapat untuk diseleksi lebih lanjut. Seleksi biji berkecambah. Kemampuan biji untuk hasil persilangan alami dalam media dapat berkecambah berkisar dari 35.08 kanamisin 50mg/l ditampilkan pada sampai 60.52% (Tabel 1). Seleksi hanya Gambar 4. Biji dengan kecambah ± 0.3 dilakukan pada biji yang mempunyai sampai 0.5 cm (Gambar 4a) dipindahkan viabilitas untuk berkecambah. Hasil ke media seleksi. Setelah kurang lebih 4 seleksi dengan metode secara cepat – 6 minggu diseleksi, daun tanaman yang menggunakan kanamisin 50 mg/l, tahan akan tetap hijau segar dan menunjukkan bahwa 55 sampai 82% biji dianggap telah lolos seleksi kanamisin, berkecambah tidak tahan dalam seleksi,

281 Ambarwati dkk.

a b c

Gambar 2 Seleksi biji pada media MS0 padat, semua dapat tumbuh pada kanamisin 50 mg/l (a), 75 mg/l (b) dan 100 mg/l (c).

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 M 1 2 3 4 5 6 7 8 9

840 bp 619 bp

A B

Gambar 3 Hasil amplifikasi PCR: A) N-term end dan B) C term-end pada biji hasil persilangan yang lolos seleksi kanamisin. M: 1 Kb DNA ladder, 1-3: biji lolos seleksi kanamisin 50 mg/l, 4 – 6: biji lolos seleksi kanamisin 75 mg/l, 7: transgenik Katahdin SP951, 8: Atlantic, 9: H2O.

Tabel 1 Seleksi cepat biji hasil persilangan alami tanaman kentang transgenik dengan non transgenik pada berbagai jarak isolasi Seleksi kanamisin 50 mg/l Jarak Jumlah Jumlah Biji isolasi buah biji berkecambah Tunas Tunas Tunas Tidak tumbuh (m) yang daun daun daun tunas diseleksi* hijau** kuning** putih** daun**

1139 157 93 138 751 0.8 -1.6 20 2234 (50.98) (13.78) (8.17) (12.12) (65.94)

1639 179 184 212 1064 2.4 - 4.0 28 2708 (60.52) (10.92) (11.23) (12.93) (64.92)

996 38 50 89 819 4.8 - 6.4 24 2805 (35.08) (3.82) (5.02) (8.94) (82.23)

9 0 1 3 5 7.2 - 8.0 1 25 (36) (0) (11.11) (33.33) (55.56)

*: Persentase dihitung dari jumlah biji, **: Persentase dihitung dari biji berkecambah yang diseleksi

282 Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang

yang ditandai dengan tidak adanya setelah 4 sampai 6 minggu dalam media pertumbuhan lebih lanjut, dan tidak dapat seleksi kanamisin. membentuk tunas daun. Sebanyak 5 Persentase tingkat persilangan alami sampai 33% biji dapat tumbuh untuk mengetahui terjadinya perpindahan membentuk tunas daun hijau, namun gen dari tanaman kentang transgenik RB demikian dalam perkembangannya tunas ke tanaman kentang non transgenik daun mengalami bleaching menjadi dengan metode seleksi cepat, ditentukan kuning atau putih setelah 1 sampai 2 berdasarkan biji berkecambah yang dapat minggu dalam seleksi kanamisin. Hal ini tahan atau lolos seleksi kanamisin dengan mengindikasikan bahwa biji tersebut tidak membentuk tunas daun hijau. Pada jarak tahan. Sebaliknya, biji berkecambah yang isolasi 0.8 sampai 1.6 m dari tanaman mampu bertahan, akan tumbuh memben- transgenik ke tanaman non transgenik, tuk tunas daun yang tetap berwarna hijau, terjadi persilangan alami sebesar 13.78% (Tabel 2). Pada jarak isolasi 2.4 - 4 m

AB C D

Gambar 4. Seleksi biji hasil persilangan alami. Perkecambahan biji pada media MS0 cair (a), Biji berkecambah yang diseleksi dalam media MS0 cair + kanamisin 50 mg/l, dengan tunas daun hijau, kuning atau putih (b) atau tidak dapat membentuk tunas daun (c) dan semaian yang ditanam dan dipelihara dalam media arang sekam dan pupuk kandang (d).

Tabel 2 Perpindahan gen melalui persilangan alami berdasarkan seleksi kanamisin pada berbagai jarak isolasi

Jarak isolasi (m) Biji berkecambah yang Lolos seleksi Tumbuh jadi diseleksi kanamisin* tanaman** 0.8 -1.6 1139 157 (13.78) 5 (3.18)

2.4 - 4.0 1639 179 (10.92) 4 (2.23)

4.8 - 6.4 996 38 (3.82) 1 (2.63)

7.2 - 8.0 9 0 (0) 0 (0)

*: Persentase dihitung dari biji berkecambah yang diseleksi, **: Tanaman berasal dari tunas lolos seleksi kanamisin

283 Ambarwati dkk.

dan 4.8 - 6.4 m, berturut-turut terjadi kanamisin. Daun tanaman yang tidak persilangan alami sebesar 10.92% dan tahan berubah menjadi putih dalam waktu 3.82%, dan pada jarak isolasi 7.2 - 8 m 7 hari, sedangkan tanaman dengan daun tidak ada lagi persilangan alami karena tetap hijau dan tidak ada nekrosis tidak ada biji berkecambah yang lolos menunjukkan tanaman tahan dan seleksi kanamisin. Persentase tingkat mengandung produk gen seleksi. De persilangan alami semakin kecil dengan Block et al. (1984) menguji ketahanan bertambah jauhnya jarak isolasi. Pada biji F1 hasil penyerbukan tanaman Tabel 2 dapat dilihat bahwa tidak semua tembakau transgenik, yang diseleksi pada biji berkecambah yang lolos seleksi media padat B5 dengan penambahan 100 kanamisin dapat tumbuh menjadi mg/l kanamisin. Biji yang tahan dapat tanaman dengan akar dan daun. Dapat berkecambah dan membentuk semaian dikatakan bahwa terjadinya perpindahan setelah 3 minggu,biji yang peka meskipun gen melalui persilangan alami dapat dapat berkecambah, tetapi setelah 1 mempengaruhi viabilitas dan mengham- minggu kecambah tidak dapat tumbuh, bat pertumbuhan tanaman. mengalami etiolasi dan mati setelah 2 minggu dalam media seleksi. Skrining PEMBAHASAN ketahanan pada biji dari persilangan alami tanaman kentang transgenik varietas Seleksi introgresi gen melalui Desiree dengan non transgenik dilakukan persilangan alami dilakukan mengguna- oleh McPartlan & Dale (1994). Biji kan media MS0 cair dengan kanamisin disterilisasi dan ditanam pada media MS0 50 mg/l karena sudah bisa menyeleksi padat dengan 200 mg/l kanamisin. biji yang tahan dan tidak tahan. Pertimba- Semaian dikategorikan sebagai peka ngan pemakaian ini mengacu pada proses apabila mengalami bleaching atau transformasi tanaman kentang. Seleksi memutih, sedangkan tanaman yang tahan transforman RB dilakukan dengan media masih tetap hijau setelah 2 bulan dalam ZIG (Cheng & Veilleux 1991) yang media seleksi. mengandung kanamisin 50 mg/l. Plasmid Perpindahan gen melalui persila- biner pCLD04541 yang digunakan untuk ngan alami pada penelitian ini adalah trans-formasi kentang, selain mengan- sebesar 0 – 13.78%. Menurut Plaisted dung gen RB juga membawa gen nptII, (1980) perkiraan tingkat penyerbukan sehingga tanaman yang lolos seleksi silang tanaman kentang pada kondisi kanamisin akan mengandung gen RB lapang berkisar dari 0 sampai 20%, (Song et al. 2003). meskipun beberapa penelitian lain Seleksi cepat dan simpel untuk menunjukkan bahwa potensi terjadinya introgresi gen dilakukan oleh Weide et penyerbukan silang relatif kecil, dan al. (1989) di rumah kaca menggunakan penyebaran serbuk sari pada umumnya marka seleksi kanamisin. Tanaman terbatas (Harding & Harris 1994). transgenik tomat muda dengan tiga Kemungkinan terjadinya transfer gen sampai empat daun, disemprot larutan melalui persilangan alami ditentukan oleh

284 Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang

jarak fisik antara spesies donor dan 1.5 sampai 3 m frekuensi hibrida yang spesies penerima (McPartlan & Dale mengandung marka transgen sebesar 1994) serta sistem perkawinan dan model 1%, dan pada jarak 3-4.5 m, frekuensi- penyerbukan (Messeguer 2003; Lu nya turun menjadi 0.05%. Pada jarak 2008). Menurut Treu dan Emberlin isolasi 4.5 - 6 m dan 9 sampai 10 m tidak (2000) tingkat penyebaran serbuk sari dijumpai hibrida yang toleran klorsulfuron, pada tanaman kentang berhubungan atau tidak ada perpindahan gen. dengan jenis serangga penyerbuk atau Beberapa penelitian lapang pada tanaman polinator. Bumblebees, seperti Bombus kentang transgenik yang mengandung funebris di Peru dan Bombus impatiens transgen sebagai penanda, menunjukkan di Amerika Serikat merupakan polinator bahwa penyebaran transgen oleh serbuk yang baik untuk kentang (OECD 1997), sari ke tanaman kentang lainnya sangat yang bergerak atau berpindah hanya terbatas dan tidak terjadi pada jarak lebih pada jarak yang pendek diantara bunga, dari 10 m (Conner & Dale 1996). sehingga sebagian besar serbuk sari Tindakan manajemen untuk memini- tertahan atau tersimpan disekitar sumber malkan pindahnya transgen yang serbuk sari (Skogsmyr 1994). dimediasi serbuk sari, dapat dilakukan McPartlan & Dale (1994) menga- dengan pembatas fisik, meliputi isolasi mati frekuensi perpindahan gen pada spasial, yaitu menanam spesies lain berbagai jarak isolasi antara tanaman diantara plot tanaman transgenik dengan kentang transgenik Desiree toleran non transgenik, isolasi temporal yaitu herbisida dengan non transgeniknya. dengan perbedaan waktu tanam antara Pada kentang transgenik ditanam secara transgenik dengan non transgenik serta berseling dengan non transgenik, atau pembatas biologi, seperti penggunaan pada jarak tanam dimana daunnya saling tanaman transgenik mandul jantan (Lu bersinggungan, frekuensi progeni tana- 2008). Disamping itu, informasi mengenai man non transgenik yang mengandung jarak isolasi minimal yang disyaratkan dari gen ketahanan kanamisin berkisar dari tanaman transgenik ke non transgenik, 23.1 sampai 28.8%. Pada jarak isolasi 3 diperlukan untuk strategi manajemen dan 10 m, frekuensinya berkurang perpindahan gen (Conner 2006). masing-masing menjadi 2% dan 0.017%. Dengan bertambah jauhnya jarak isolasi KESIMPULAN sampai 20 m, tidak lagi terjadi penyerbukan silang antara tanaman Perpindahan gen terjadi melalui kentang transgenik dan non transgenik. persilangan alami dari tanaman kentang Pengujian dispersal transgen melalui transgenik RB ke tanaman kentang non serbuk sari dari tanaman kentang transgenik, berdasarkan metode seleksi transgenik toleran herbisida klorsulfuron secara cepat dengan marka kanamisin ke tanaman non transgenik yang 50 mg/l. dilakukan di New Zealand (Tynan et al. Perpindahan gen melalui persilangan 1990), menunjukkan pada jarak isolasi alami pada jarak isolasi (0.8 - 1.6 m), (2.4-

285 Ambarwati dkk.

4 m), dan (4.8–6.4 m) dari tanaman Zambryski. 1984. Expression of kentang transgenik RB ke tanaman non foreign genes in regenerated plants transgenik, berturut- turut s 13.78, 10.92, and in their progeny. The EMBO dan 3.82%. Pada jarak isolasi (7.2 – 8 J. 3(8):16 81-1689. m) sudah tidak terjadi persilangan alami Fulton, TM., J. Chunwongse, & SD. (0%). Tanksley. 1995. Microprep protocol Persentase perpindahan gen melalui for extraction of DNA from plants. persilangan alami semakin menurun Plant Mol. Biol. Rep. 13(3):207- dengan bertambah jauhnya jarak isolasi. 209. Goy, PA. & JH. Duesing. 1995. From DAFTAR PUSTAKA pots to plots: genetically modified plants on trial. Bio/Technology Celis, C., M. Scurrah, S. Cowgill, S. 13:454-458. Chumbiauca, J. Green, J. Franco, Harding, K. & PS. Harris. 1994. Risk G. Main, D. Kilzebrink, RGF. assessment of the release of Visser, & HJ. Atkinson. 2004. genetically modified plants. A Environmental biosafety and review. MAFF. transgenic potato in a centre of Herman, M. 2009. Pengaturan keama- diversity for this crop. Nature 432: nan tanaman PRG di Indonesia. 222-225. Dalam: Purwantara B & M. Conner, AJ. & PJ. Dale. 1996. Reconsi- Thohari (eds.). Tanaman Produk deration of pollen dispersal data Rekayasa Genetik dan Kebija- from field trials of transgenic pota- kan Pengembangannya. Volume toes. Theor. Appl. Genet. 92(5): 2. Status global tanaman produk 505-508. rekayasa genetik dan regulasi- Conner, AJ. 2006. Biosafety evaluation nya. Balai Besar Penelitian dan of transgenic potatoes: Gene flow Pengembangan Biotekno-logi dan from transgenic potatoes. Interna- Sumber Daya Genetik Pertanian. tional Symposium, Ecological and Badan Penelitian dan Pengemba- Environmental Biosafety of ngan Pertanian, Departemen Transgenic Plants.127-140. Pertanian. 105-132. Chasseray, E. & J. Duesing. 1992. Field Howe, AR. & PCC. Feng. 2004. Assay trials of transgenic plants an for the detection of selectable overview. Agro-Food-Industry marker expression in plants. Patent Hi-Tech 3(4):5-10. Application Publication. 1-10. Cheng, J. & RE. Veilleux . 1991. Genetic Latta, RG., YB. Linhart, D. Fleck, & M. analysis of protoplast cultureability Elliot. 1998. Direct and indirect esti- in Solanum phureja. Plant mates of seed versus pollen move- Science. 75: 257-265. ment within a population of ponde- De-Block, M., L. Herrera-Estrella, M. rosa pine. Evolution 52:61-67. Van Montagu, J. Schell, & P.

286 Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang

Love, SL. 1994. Ecological risk of Plaisted, RL. 1980. Potato. In : Fehr WR. growing transgenic potatoes in the & HH. Hadley (eds.). Hybridisa- United States and Canada. Amer. tion of crop plants. American Potato J. 71:647-658. Society of Agronomy, Madison. Lu, BR. 2008. Transgene escape from 483-494. GM crops and potential biosafety Song, J., JM. Bradeen, SK. Naess, JA. consequences: An environmental Raasch, SW. Wielgus, GT. perspective. Collection of Haberlach, J. Liu, H. Kuang, S. Biosafety Reviews 4:66-141. Austin-Phillips, CR. Buell, JP. Messeguer, J. 2003. Gene flow Helgeson, & J. Jiang. 2003. Gene assessment in transgenic plants. RB cloned from Solanum Plant Cell, Tissue and Organ bulbocastanum confers broad Culture 73:201-212. spectrum resistance to potato late McPartlan, HC. & PJ. Dale. 1994. An blight. Proc. Natl. Acad. Sci. USA assessment of gene transfer by 100: 9128-9133. pollen from field grown transgenic Skogsmyr, I. 1994. Gene dispersal from potatoes to non transgenic potatoes transgenic potatoes to conspe- and related species. Transgenic cifics: A field trial. Theor. App. Research 3:216-225. Gen. 88:770-774. [OECD] Organization for Economic Treu, R. & J. Emberlin. 2000. Pollen Cooperation and Development. dispersal in the crops Maize (Zea 1997. Consensus Document on the mays), Oil seed rape (Brassica Biology of Solanum tuberosum napus ssp oleifera), Potatoes subsp. tuberosum (Potato). OECD (Solanum tuberosum), Sugar beet Environmental Health Safety (Beta vulgaris ssp vulgaris) and Publications, Series on Harmoni- Wheat (Triticum aestivum). Soil zation of Regulatory Oversight Association. in Biotechnology. No 8. Envir- Tynan, JL., MK. Williams, & AJ. Conner. onment Directorate. Paris. 27. 1990. Low frequency of pollen Purwito, A., H. Aswidinnoor, & N. Amin. dispersal from a field trial of 2001. Gene flow kapas transgenik transgenic potatoes. J. Gen. di Sulawesi Selatan: Jarak dan Breed. 44:303-306. frekuensi persilangan luar pada Weide, R., M. Koornneef, & P. Zabel. kapas transgenik. Laporan Kajian 1989. A simple, nondestructive Kapas Bt sub bidang Analisis spraying assay for the detection of Risiko Lingkungan. Makalah an active kanamycin resistance dipresentasikan dalam Diskusi gene in transgenic tomato plants. Ilmiah tentang Evaluasi Pelepasan Theor. Appl. Genet.78:169-172. Terbatas Kapas Bt di Sulawesi Selatan. Bogor, 21 November 2001. Memasukkan: Maret 2011 Diterima: Juni 2011

287 Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 289-297 (2011)

Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia

NLP Indi Dharmayanti1, Atik Ratnawati1, & Dyah Ayu Hewajuli1 1Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. RE Martadinata 30, Bogor E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Novel H1N1 influenza virus in Swine in Indonesia. Novel H1N1 influenza virus occurred since April 2009 has caused mortality in human population. In Indonesia, this situation require intensive surveillance to prevent reassortant probability between the H5N1 virus and novel H1N1 virus. This study conduct preliminary surveillance of novel H1N1 virus circulation by using Real Time-Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (qRT-PCR), that validated by CDC to detect novel H1N1 virus. Result of this study revealed that the influenza novel H1N1 virus was detected in swine/pigs in Indonesia especially in Bulan island and two individual sample from Kapok slaughter house in Jakarta. These findings showed that in Indonesia the novel H1N1 virus is not only found in human but also has circulated in swine in Indonesia.

Key words: pig/swine, influenza novel H1N1 virus

PENDAHULUAN phase 5) (www.who.int/csr/disease/ swineflu/). Fase 5 mengindikasikan Virus influenza A/H1N1 pertama transmisi virus dari manusia ke manusia kali diisolasi dari babi pada tahun 1930 dari strain influenza yang berasal dari (Shope 1931). Mulai dari tahun 1930-an hewan dari satu bagian negara di dunia sampai akhir tahun 1990 virus swine dan dengan cepat menyebar ke bagian influenza pada babi yang bersirkulasi di lain di dunia. USA relatif stabil. Antigenisitas virus ini Pada akhir bulan April, genom relatif stasis sampai tahun 1998 dan komplit virus ini sudah diketahui dan selama waktu itu antigenic drift terjadi diketahui sebagai novel reassortant pada virus H1 manusia yang akhirnya (Dawood et al. 2009). Virus ini dengan menciptakan suatu jarak antara virus cepat menginfeksi populasi manusia swine influenza dengan virus seasonal hampir di seluruh negara dan mencipta- flu pada manusia (Garten et al. 2009). kan pandemi yang banyak menimbulkan Pada tanggal 29 April 2009, World kerugian akibat morbiditas dan mortalitas- Health Organization (WHO) mengu- nya pada populasi manusia. mumkan bahwa telah terjadi penyebaran Ratusan laporan penelitian, review yang sangat cepat (rapid global dan kesimpulan tentang virus ini telah spread) virus influenza strain H1N1 dipublikasi dalam waktu enam bulan. yang dideteksi pada minggu sebelumnya Semua studi menyimpulkan bahwa virus dan dengan cepat menjadi pandemi fase novel H1N1 yang menginfeksi populasi 5 (global pandemic alert level to manusia kemungkinan terjadi sekitar

289 Dharmayanti dkk. bulan Januari 2009 (Smith et al. 2009; reseptor sialyloligosac-charides yang Traser et al. 2009). Semua laporan memiliki reseptor avian yaitu N-acetyl- penelitian tersebut menyetujui bahwa neuraminic acid-a2,3-galactose dan N- enam dari gen virus yaitu yang mengkode acetylneuraminic acid-a2,6-galactose protein polimerase (PB2, PB1 dan PA), yang merupakan reseptor virus influenza hemaglutinin (HA), nukleoprotein (NP) untuk mamalia (Ito et al. 1998; Rogers dan non-struktural (NS) menunjukkan & Paulson 1983) atau salah satu peyebab tripple reassortant dari virus influenza babi diduga berperan sebagai mixing yang ditemukan pada babi di Amerika vessel virus influenza dari spesies Utara pada tahun 1998, sedangkan gen berbeda dan menyediakan tempat untuk lainnya yaitu yang mengkode protein reassortant adaptasi bagi inang neuraminidase (NA) dan protein matrix (Scholtissek 1990). (MP) dari Eurasian avian-like virus Babi yang dapat berperan sebagai lineage yang diisolasi di Eropa sekitar mixing vessel dari virus influenza ini, tahun 1979 (Brockwell et al. 2009; menjadi kunci utama untuk memulai Shinde et al. 2009; Olsen et al. 2002; surveilans, pendataan dan evaluasi Richt et al. 2003; Pensaert et al.1981; mengetahui situasi virus influenza yang Brown et al. 1997; Scholtissek et al. bersirkulasi di Indonesia. Pada penelitian 1983; Webster et al. 1992). ini dilakukan pengambilan sampel di Hampir semua negara di dunia beberapa lokasi sebagai upaya untuk melaporkan telah terinfeksi virus novel mengetahui penyebaran virus influenza H1N1 termasuk Indonesia. Di Indonesia, terutama virus influenza novel H1N1 data jumlah kumulatif infeksi Flu A H1N1 pada babi di Indonesia. Pada studi ini sampai dengan 23 Agustus 2009 dilakukan pendeteksian virus novel H1N1 sebanyak 1.005 orang dengan 5 orang di pada babi dari rumah potong hewan antaranya meninggal dunia. (www.dep- (RPH) Kapok, Jakarta, peternakan babi kes.go.id). Hal ini harus diwaspadai di pulau Bulan-Riau (pengekspor babi karena Indonesia masih mempunyai untuk Singapura) dan Kota Batam yang masalah dengan virus influenza H5N1 dekat dengan dengan Singapura. dan telah menjadi endemis, sehingga Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei dengan teridentifikasinya novel H1N1 2009 sampai Nopember 2010. pada manusia di Indonesia, tentu menjadi hal serius yang perlu diperhatikan BAHAN DAN CARA KERJA diantaranya adalah kemungkinan terjadinya reassortant antara virus H5N1 Pool/individual usapan nasal babi dengan virus influenza lainnya termasuk dilakukan isolasi RNA. RNA yang virus novel H1N1. dihasilkan kemudian dijadikan template Babi berperan penting dalam ekologi untuk uji RT-PCR dan qRT-PCR. virus influenza dikarenakan babi sensitif Pengujian RT-PCR menggunakan primer terhadap reseptor mamalia dan unggas. Nucleoprotein, primer H1, H5 dan Sel saluran nafas babi mengandung primer N1 untuk mendeteksi adanya virus

290 Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia avian influenza subtipe H1N1; pengujian sebagian besar memperoleh babi tersebut qRT-PCR dilakukan dengan mengguna- dari Jawa Tengah (Tabel 1). Seluruh babi kan primer dan probe sesuai dengan berumur sekitar 6-8 bulan berasal dari CDC protocol realtime RT-PCR untuk spesies lokal. influenza A (H1N1) (WHO 2009). Seratus tiga pool usapan nasal yang Prosesing sampel yang berasal dari diidentifikasi dengan primer influenza A usapan nasal dilakukan sesuai dengan dan subtipe H5 hanya dua sampel yang prosedur CDC (2009). Isolasi RNA positif terdeteksi adanya virus H5N1 dilakukan dengan menggunakan QIAmp yaitu kode pool sampel D19 dan D100 RNA mini kit (Qiagen) yang tersedia dari kongsi yang berbeda tetapi berasal secara komersial. Reaksi RT-PCR dari daerah yang sama yaitu Solo, Jawa dilakukan dengan menggunakan Tengah. Seratus satu sampel sisanya Superscript III one Step RT-PCR tidak terdeteksi adanya virus influenza A, system (Invitrogen). Primer NP, H5 dan sedangkan identifikasi virus yang H1 serta program RT-PCR yang dilakukan setahun kemudian tepatnya digunakan sesuai dengan Lee et al. pada bulan Mei 2010, memperlihatkan (2001). Prosedur dan program untuk sebanyak 102 pool swab nasal yang subtiping N1 yang digunakan sesuai dikoleksi dari 460 babi umur 6-8 bulan, dengan Wright et al. (1995). Hasil tidak terdeteksi adanya infeksi virus amplifikasi divisualisasi dengan uv influenza A (Tabel 1). Identifikasi transluminator. Pengujian qRT-PCR selanjutnya pada bulan Oktober- dilakukan dengan menggunakan primer Nopember 2010, delapan sampel dan probe sesuai dengan CDC protocol individual yang dikoleksi dari RPH Kapuk realtime RT-PCR for influenza A (H1N1) (kiriman dari BKHI Jakarta) (WHO 2009). menunjukkan 2 sampel positif teridenti- Swab nasal babi yang teridetifikasi fikasi virus influenza novel H1N1. positif virus influenza atau novel H1N1 dengan metode qRT-PCR dan RT-PCR Identifikasi virus novel H1N1 pada ditanam pada sel MDCK. Semua peternakan babi di pulau Bulan pekerjaan pembuatan inokulum dan Pool sampel nasal babi yang diduga inokulasi virus pada sel MDCK dilakukan terinfeksi virus novel H1N1 dari pulau di Laboratorium dengan fasilitas BSL-3. Bulan. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa pool sampel S1, S2, S10 dan S11 HASIL selain terdeteksi adanya virus swine flu H1 juga terdeteksi adanya virus novel Identifikasi virus novel H1N1 pada H1N1 yang merupakan virus pandemi RPH Kapuk Jakarta saat ini. Pool sampel S5 merupakan Pada bulan Mei 2009, sebanyak 103 pool sampel yang terdeteksi adanya pool sampel usapan nasal berhasil virus novel H1N1 dan subtipe H5, dan dikoleksi dari 558 babi dari beberapa Pada pool sampel S6 terdeteksi adanya suplier/kongsi babi di Jakarta yang virus H1 seasonal flu, H5 dan novel

291 Dharmayanti dkk.

Tabel 1. Identifikasi sampel swab nasal babi dari RPH Kapok dengan menggunakan RT-PCR konvensional dan RealTime RT-PCR menggunakan beberapa set primer Lokasi dan Bulan Pengambilan Jumlah babi/ Hasil RT-PCR/qRT- sampel Pool sampel PCR RPH Kapok (Mei 2009) 558/103 2 Pool sampel positif H5N1 RPH Kapok (Mei 2010) 460/102 Semua pool sampel negatif influenza A RPH Kapok (Okt-Nop 2010) 8 individual 2 individual sampel positif Novel H1N1

H1N1, sedangkan S7dan S8 kemung- bahwa sel MDCK yang membentuk CPE kinan terdeteksi adanya virus H1 positif terdeteksi adanya virus novel seasonal flu karena tidak dapat terdeteksi H1N1 (Gambar 1b). Hasil identifikasi ketika diamplifikasi dengan primer Swine ulang virus dari supernatan sel MDCK Flu A. Pool sampal S9 terdeteksi adanya menunjukkan positif virus novel H1N1. virus subtipe H5 dan H1 (Tabel 2). Penelitian ini menunjukkan bahwa Keberhasilan mengidentifikasi virus telah berhasil diidentifikasi virus novel influenza subtipe H1 seasonal flu dan H5 H1N1 pada babi di Indonesia meskipun pada babi mengindikasikan bahwa babi dalam lokasi yang terbatas. Mengapa hal dapat terinfeksi virus avian influenza dan ini terjadi masih belum diketahui dengan virus influenza manusia. pasti, apakah babi terinfeksi dari manusia Sampel swab nasal babi yang yang lebih dahulu terinfeksi oleh virus dikoleksi dari Kota Batam, Kepulauan novel H1N1. Hal ini memerlukan kajian Riau yang relatif dekat dengan Singapura lebih lanjut. menunjukkan bahwa tidak terdeteksi adanya virus novel H1N1 (Tabel 3). PEMBAHASAN

Infeksi sel MDCK dengan virus Sirkulasi virus novel H1N1 yang novel H1N1 tercatat sampai tanggal 13 Juni 2010, Sel MDCK yang diinfeksi oleh menunjukkan bahwa lebih dari 214 inokulum sampel positif virus novel H1N1 negara termasuk Indonesia melaporkan secara qRT-PCR memperlihatkan kasus konfirmasi pandemic influenza adanya Cythopathic Effect (CPE) yang H1N1 2009 dan lebih dari 18.172 menunjukkan adanya pertumbuhan virus meninggal dunia akibat infeksi virus ini (Gambar 1). Selanjutnya sel MDCK (WHO 2010). Di lain pihak sirkulasi virus yang membentuk CPE diidentifikasi ulang ini pada babi, khususnya di Indonesia dengan menggunakan metode qRT-PCR sampai penelitian ini di lakukan belum seperti yang telah dilakukan sebelumnya. pernah dilaporkan kejadian infeksi virus Hasil identifikasi ulang menunjukkan novel H1N1 pada babi. Pada penelitian

292 Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia

Tabel 2. Identifikasi sampel swab nasal babi dari pulau Bulan(*) dengan menggunakan RT- PCR konvensional dan RealTime RT-PCR menggunakan beberapa set primer

Hasil Identifikasi dengan RT-PCR dan qRT-PCR Kode dengan set primer pool SwFluA sampel SwH1(qRT- Flu A H5 N1 H1 (qRT-PCR) PCR) novel S1 + _ _ + + + S2 + _ _ + + + S3 + _ _ _ _ _ S4 + _ _ _ _ _ S5 ++ + _ _ _ + S6 + + _ + _ + S7 + _ _ + _ _ S8 + _ _ + _ _ S9 + + _ + _ _ S10 + _ _ + + + S11 + _ _ + + + (*) Kiriman dari BPPV Bukittinggi

(a) (b)

Gambar 1. Sel MDCK (a) normal (sel tampak penuh dan confluent) ; (b) Sel MDCK diinfeksi sampel S10 yang positif terdeteksi adanya virus influenza novel H1N1 (sel tampak terpisah-pisah dan bergerombol). ini virus novel H1N1 berhasil dideteksi (2009) menyebutkan bahwa penelitian pada babi di pulau Bulan dan beberapa ekperimental pada babi yang diinfeksi babi yang berasal dari rumah potong babi dengan virus novel H1N1 (A/ di Jakarta. Hasil pengamatan klinis Regensburg/D6/09/H1N1) secara memperlihatkan bahwa babi-babi intranasal menimbulkan gejala klinis khas tersebut tampak sehat dan tidak influenza berupa demam, bersin, menunjukkan gejala klinis influenza. keluarnya lendir dari hidung dan diare Berdasarkan data penelitian Lange et al. terjadi mulai satu hari setelah inokulasi

293 Dharmayanti dkk.

Tabel 3. Identifikasi sampel swab nasal babi dari Kota Batam (*) dengan menggunakan RT- PCR konvensional dan RealTime RT-PCR menggunakan beberapa set primer

Kode Hasil Identifikasi dengan RT-PCR dan qRT-PCR pool SwFluA SwH1 sampel Flu A H5 N1 H1 (qRT-PCR) (qRT-PCR) novel SA1 + _ _ _ _ _ SA2 + _ _ _ _ _ SA3 + _ _ _ _ _ SA4 + _ _ _ _ _ SA5 + _ _ _ _ _ SA6 + _ _ _ _ _ SA7 + _ _ _ _ _ SA8 + _ _ _ _ _ SA9 + _ _ _ _ _ SA10 + _ _ _ _ _ SA11 + _ _ _ _ _ SA12 + _ _ _ _ _ SA13 + _ _ _ _ _ SA14 + _ _ _ _ _ SA15 + _ _ _ _ _ SA16 + _ _ _ _ _ SA17 + _ _ _ _ _

(*) Kiriman dari BPPV Bukittinggi virus. Babi yang terinfeksi ini dapat bersirkulasi pada ayam di Indonesia, menulari babi lainnya tetapi tidak dapat setidaknya tidak bertambah buruk menginfeksi ayam yang ditandai dengan dengan hadirnya virus novel H1N1 ini. tidak adanya gejala klinis, sero konversi Pada hasil penelitian ini menunjukkkan ataupun ekskresi virus. Tidak dapat bahwa sebagian besar babi yang diteliti terinfeksinya ayam oleh virus novel H1N1 pada penelitian ini memperlihatkan tidak juga didukung oleh penelitian Babiuk et terdeteksinya virus novel H1N1 al. (2010) yang menyatakan bahwa virus menginfeksi babi di Indonesia kecuali novel H1N1 tidak patogen pada ayam. babi di pulau Bulan dan individual sampel Data yang menunjukkan bahwa ayam swab nasal babi dari RPH Kapuk yang tidak peka terhadap virus ini memberikan dikoleksi sekitar Oktober-Nopember sedikit keuntungan terhadap kita karena 2010. Terdeteksinya virus novel H1N1 situasi virus H5N1 yang masih dari babi di RPH Kapok pada akhir tahun

294 Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia

2010, menunjukkkan bahwa peran Suryana dan Teguh Suyatno atas bantuan surveilans dan monitoring virus ini masih teknisnya. harus terus dilakukan. Kekhawatiran akan terjadinya reassortant virus H5N1 DAFTAR PUSTAKA dan virus H1N1 atau dengan virus seasonal flu lainnya harus tetap Babiuk, S., R. Albrecht, Y. Berhene, P. diwaspadai, dikarenakan babi sangat peka Marszal, JA. Richt, A. Garcia- terhadap infeksi avian dan influenza virus Satre, J. Pasick, & Weingartl, H. manusia, genetic reaasortament antara 2010. 1908 and 2009 H1N1 avian dan influenza manusia dapat terjadi influenza viruses are not patho- ketika virus ini menginfeksi secara genic in birds. J. Gen Virol. 91 : bersama-sama pada seekor babi 339-342 (Scholtissek 1990). Potensi meningkat- Brockwell-Staats C., RG.Webster, & RJ. nya virulensi yang kemungkinan terjadi Webby. 2009. Diversity of reassortant antara highly patogenic H5N1 influenza viruses in swine and the dengan virus novel H1N1 khususnya di emergence of a novel human Indonesia membutuhkan suatu perenca- pandemic influenza A (H1N1). naan kemungkinan terjadinya pandemi Influenza and Other Respiratory reassortant virus-virus tersebut (Brock- Viruses. 3: 207-213 well-Staats et al. 2009). Brown IH., S. Ludwig, CW. Olsen, C. Hannoun, C. Scholtissek , VS. KESIMPULAN Hinshaw, PA. Harris, JW. McCau- ley, I. Strong, & DJ. Alexander. Hasil penelitian menunjukkan 1997. Antigenic and genetic bahwa di Indonesia telah terdeteksi virus analyses of H1N1 influenza A novel H1N1 pada babi pada salah satu viruses from European pigs. J. peternakan di Pulau Bulan pada tahun Gen. Vir. 78: 553-562 2009 dan dua sampel dari RPH Kapuk Dawood FS, S. Jain, L. Finelli, MW. juga berhasil diideteksi adanya virus novel Shaw, S. Lindstrom, RJ. Garten, H1N1. Hal ini memperlihatkan bahwa LV. Gubareva, X. Xu, CB. Bridges, sirkulasi virus influenza novel H1N1 TM. Uyeki. 2009. Emergence of masih harus diwaspadai. a novel swine-origin influenza A (H1N1) virus in humans. N Engl J UCAPAN TERIMA KASIH Med. 360 : 2605-615 Garten, RJ, CT. Davis, CA. Russell, B. Ucapan terima kasih kepada drh Shu, S. Lindstrom, A. Balish, WM. Yuli Miswati dan drh M Syibli (BPPV Sessions, X. Xu, E. Skepner, V. Bukittinggi) serta drh Irma Budiarti Deyde, M. Okomo-Adhiambo, L (BKHI Jakarta) atas kontribusinya. Gubareva, J Barnes, CB. Smith, Ucapan terima kasih juga kepada Nana SL. Emery, MJ. Hillman, P. Rivailler, J. Smagala, M. de Graaf,

295 Dharmayanti dkk.

D F. Burke, RAM. Fouchier, C Olsen, CW. 2002. The emergence of Pappas, CM. Alpuche-Aranda, H. novel swine influenza viruses in López-Gatell, H. Olivera, I. López, North America. Virus Res. 85:199- CA. Myers, D. Faix, PJ. Blair, C. 210. Yu, KM. Keene, PD Dotson, Jr., Pensaert, M., K. Ottis , J. Vanderputte, DBoxrud, AR. Sambol, SH. Abid, MM. Kaplan, & PA. Buchmann. K St. George, T. Bannerman, AL. 1981. Evidence for the natural Moore, DJ. Stringer, P. Blevins, transmission of influenza A virus Gail J. Demmler-Harrison, M. from wild ducks to swine and its Ginsberg, P. Kriner, S. Waterman, potential for man. Bulletin of the S. Smole, HF. Guevara, EA. World Health Organization. Belongia, PA. Clark, ST. Beatrice, 59:75-78 R. Donis, J. Katz, L. Finelli, CB. Richt, JA., KM. Lager, BH. Janke, RD. Bridges, M. Shaw, DB. Jernigan, Woods, RG. Webster,& RJ. Webby. TM. Uyeki, DJ. Smith, AI. Klimov, 2003. Pathogenic and antigenic & NJ. Cox. 2009. Antigenic and properties of phylogene-tically genetic characteristics of swine- distinct reassortant H3N2 swine origin 2009 A(H1N1) influenza influenza viruses cocircula-ting in viruses circulating in humans. the United States. J. Clin. Science. 325:197-201 Microbiol. 41:3198-3205 Ito T, JN. Couceiro JN, & S. Kelm. 1998. Rogers, GN., JC. Paulson. 1983. Molecular basis for the generation Receptor determinants of human in pigs of influenza A viruses with and animal influenza virus isolates: pandemic potential. J Virol. differences in receptor specificity 72:7367–7373. of the H3 hemagglutinin based on Lee, MS., PC. Chang, JH. Shien, MC. species of origin. Virol. 127:361– Cheng,& HP. Shieh. 2001. 373. Identification and subtyping of Scholtissek, C., H. Burger, PA. avian influenza viruses by reverse Bachmann, & C. Hannoun. 1983. transcription-PCR. J.Virol. Genetic relatedness of hemagglu- Methods. 97: 13-22. tinins of the H1 subtype of Lange, E., D. Kalthoff, U. Blohm, JP. influenza A viruses isolated from Teifke, A. Breithaupt, C. Maresh, swine and birds. Virology. 129:521- E. Starick, S. Fereidouni, B. 523 Hoffman, TC. Mettenleiter, M. Scholtissek C. 1990. Pigs as the ‘‘mixing Beer, & TW. Vahlenkamp. 2009. vessel’’ for the creation of new Pathogenesis and transsimission of pandemic influenza A viruses. Med the novel swine-origin influenza Principles Pract. 2:65–71 virus A/H1N1 after experimental Shinde V, Bridges CB, TM. Uyeki, B. infection of pigs. J. Gen Virol. 90: Shu, A. Balish, X. Xu, S.Lindstrom, 2119-2123 LV. Gubareva, V. Deyde, RJ.

296 Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia

Garten, M. Harris, S. Gerber, F. Webster, RG., WJ. Bean, OT. Gorman, Vagasky, F. Smith, MD, Neal TM. Chambers, & Y. Kawaoka. Pascoe, K. Martin, D. Dufficy, 1992. Evolution and ecology of K.Ritger, C. Conover, P. Quinlisk influenza A viruses. Microbiol. A. Klimov, JS. Bresee, & L. Rev. 56:152-179. Finelli. 2009. Triple-reassortant WHO, 2010. Pandemic (H1N1) 2009 - swine influenza A (H1) in humans update 105.http://www.who.int. in the United States, 2005-2009. N. diakses 20 Juni 2010. Engl. J. Med. 360: 2616-2625 WHO, 2009. CDC Protocol of realtime Shope, RE. 1931. Swine influenza. III. RT-PCR for influenza A (H1N1). Filtration experiments and etiology. Revision 30 April 2009. The WHO J. Exp. Med. 54 : 373–385 Collaborating Centre for influenza Smith, GJ., D. Vijaykrishna, J. Bahl, SJ. at CDC Atlanta, United States of Lycett, M. Worobey, OG. Pybus, America. SK. Ma, CL. Cheung, & J. Wright, KE., GAR. Wilson, GD. Raghwani. 2009. Origins and Novosad, C. Dimock, D. Tan, D evolutionary genomics of the 2009 & JM. Weber. 1995. Typing and swine-origin H1N1 influenza A subtyping of influenza viruses in epidemic. Nature. 459 : 1122–1125 clinical samples by PCR. J. Clin Microbiol. 33:1180–1184

Memasukkan: Februari 2011 Diterima: Juni 2011

297 Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 299-308 (2011)

Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang Indigenus dari Tanah Pertambangan Batubara di Sumatera Selatan

1),2)Irawan Sugoro, 3)Sandra Hermanto, 4)Dwiwahju Sasongko, 2)Dea Indriani & 2) Pingkan Aditiawati

1)Pusat Aplikasi Teknologi Radiasi – BATAN Pasar Jumat, 2)Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati - Institut Teknologi Bandung, 3) Program Studi Kimia FST UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 4)Departemen Teknik Kimia – Institut Teknologi Bandung Email: [email protected]

ABSTRACT

Characterization of Lignite Biosolubilization Products by Indigenous Moulds from Soil of Coal Mining in South Sumatera. Biosolubilization of coal is a potential technology of convert- ing solid coal to liquid fuel and chemicals at ambient condition. Our previous research has successfully isolated four moulds from soil at coal mining - South Sumatera and has potency as lignite biosolubilization agent, i.e. T1, T2, T4, T5. The objective of this research was to charac- terize of lignite biosolubilization products by four isolates. The method used was sub-merged culture. Cultivation medium was MSS+ (minimal salt + sucrose 0,1% + yeast extract 0,01% + lignite 5 %). Incubation was conducted at room temperature for 28 days. The result showed that all indigenos moulds have different ability in lignite biosolubilization. The highest biosolubilization occurred after 7 days of incubation belonging to T1 isolate. However, GC-MS analysis showed the largest percentage of hydrocarbon compound which equivalent to gaso- line and diesel was T5 after 7 days of incubation.

Key words: Biosolubilization, lignite, moulds, coal.

PENDAHULUAN Data pada akhir tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki Batubara menjadi sumber energi sumber daya dan cadangan batubara yang penting di dunia seiring dengan Indonesia sebesar 104,8 miliar dan 20,98 semakin terbatasnya cadangan minyak miliar ton. Cadangan batubara Indonesia dan gas alam. Data menunjukkan bahwa didominasi oleh jenis lignit (kandungan cadangan batubara, minyak dan gas alam kalori rendah) sebesar 59%, subbituminus hingga akhir tahun 2007 sebesar 462,6, (kandungan kalori sedang) sebesar 27%, 164,5 dan 163,3 triliun ton, dengan asumsi dan bituminus mencapai 14%, sedangkan tingkat konsumsi tahun 2007, cadangan antrasit kurang dari 0,5% (ESDM 2010). batubara akan memenuhi kebutuhan Secara alamiah. Atas dasar data tersebut energi untuk 146 tahun ke depan, maka penggunaan batubara yang efisien sedangkan minyak untuk 50 tahun dan menjadi sangat penting untuk diteliti. gas alam untuk 63 tahun (IEA 2009). Batubara banyak digunakan untuk

299 Sugoro dkk.

pembangkit tenaga listrik dan panas. selama proses pembakaran dan itulah Umumnya jenis batubara yang digunakan sumber energi bersih (Fakoussa & adalah kualitas rendah dari jenis lignit Hofrichter 1999). Batubara dicairkan sebesar 96,4 %. Hal tersebut dapat dengan cara menggunakan suhu dan mengakibatkan polusi udara yang cukup tekanan sangat tinggi. Disamping itu, serius. Emisi dari pembakaran lignit penelitian ini mendukung program terutama berupa sulfur oksida (SOx), ni- pemerintah melaui Peraturan Presiden. trogen oksida (NOx), karbon dioksida No.5 Tahun 2006 mengenai Kebijakan

(CO2) dan logam berat (Xu dkk 2000). Energi Nasional (KEN), dimana penggu- Oleh karena itu, pembakaran lignit secara naan batubara akan ditingkatkan menjadi langsung bukan merupakan teknologi 33% dan batubara yang dicairkan sebesar yang baik dilihat sisi perlindungan 2 % pada tahun 2025 untuk mengurangi lingkungan, sehingga dibutuhkan teknologi ketergantungan terhadap minyak bumi. baru untuk penanganannya. Biosolubilisasi batubara menjadi Biosolubilisasi adalah salah satu menarik untuk diteliti lebih dalam dengan teknologi yang menjanjikan dengan alas an yang telah dijelaskan di atas. Hasil memanfaatkan mikroba untuk mencair- solubilisasi yang rendah dan dibutuhkan- kan padatan batubara sehingga diperoleh nya waktu konversi yang lama menjadi sumber energi dengan produk bersih. hambatan pengembangan biosolubilisasi Produk biosolubilisasi yang berupa cairan batubara serta jenis batubara yang hitam menyimpan 97,5% dari nilai berbeda untuk setiap lokasi. Salah satu pemanasan lignit mentah (Shi dkk 2009). cara untuk mengatasi masalah tersebut Dibandingkan dengan liquefaksi termal adalah dengan memanfaatkan kapang batubara, biosolubilisasi memiliki indigenus di pertambangan batubara beberapa keuntungan, yaitu proses untuk memudahkan saat pengaplikasian dilakukan dalam kondisi suhu dan tekanan karena secara alami telah teradaptasi atmosfer, mikroba dapat menggunakan dengan substrat batubara. Hasil penelitian hidrogen dari air dan tidak membutuhkan sebelumnya menunjukkan telah diperoleh energi eksternal hidrogen untuk 8 isolat kapang dari tanah dan batubara. membentuk lignit tersolubilisasi. Mikroba Penelitian ini menggunakan 4 isolat dapat mencairkan batubara dengan kapang hasil isolasi dari tanah pertamba- bantuan enzim pada kondisi suhu dan ngan batubara di Tanjung Enim, Sumatera tekanan atmosfer, sedangkan proses Selatan, yaitu kapang kode T1, T2, T4 termal membutuhkan suhu dan tekanan dan T5 (Sugoro dkk. 2011). Kapang yang tinggi. Peningkatan rasio H/C tersebut memiliki kemampuan mengso- produk batubara cair diperoleh dengan lubilisasi batubara kualitas rendah seperti memanfaatkan hidrogen dari air, lignit, akan tetapi belum diketahui sedangkan proses termal perlu proses karakteristik produknya. Oleh sebab itu, hidrogenasi yang menyebabkan biaya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui operasi tinggi. Produk yang dihasilkan karakteristik produk biosolubilisasi dari pun tidak menghasilkan SOx dan NOx keempat kapang tersebut.

300 Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang

BAHAN DAN CARA KERJA 7, 14, 21, dan 28 untuk pengukuran pH medium, kolonisasi, kadar asam humat Alat utama yang digunakan adalah dan fulvat, analisis gugus fungsi batubara Gas Chromatograph Mass Spectrometer dengan FTIR dan analisis produk (GC-MS) untuk analisa hidrokarbon hasil biosolubilisasi dengan GC-MS. biosolubilisasi, Fourier Transform Infra Pengukuran asam humat dan fulvat Red (FTIR) Spectrum One Perkin Elmer dilakukan dengan menambahkan asam untuk identifikasi profil gugus fungsi klorida (HCl) 4 N ke dalam supernatan batubara sebelum dan setelah sampel hingga pH mencapai 1. Setelah biosolubilisasi, Spektrofotometer UV-Vis pH mencapai nilai yang diinginkan Spectronic Genesys, mikroskop, Laminar kemudian dilakukan sentrifugasi selama Air Flow Cabinet (LAFC), pH meter 20 menit (8000) rpm. Dari proses tersebut HANNA Instruments HI 8520 dan didapatkan supernatan dan pelet yang saringan berukuran 100 mesh. Bahan terpisah di dasar tabung sentrifugasi. yang digunakan adalah batubara jenis Supernatan yang didapatkan kemudian lignit dengan ukuran 100 mesh, 4 jenis dipindahkan ke dalam tabung terpisah dan isolat kapang berasal dari tanah diukur absorbansinya menggunakan pertambangan Tanjung Enim - Sumatera spekrofotometer pada panjang gelombang Selatan (kode T1, T2, T4, dan T5), me- 280 nm. Setelah proses asidifikasi dium Minimal Salt (MS/1g NH4(SO4), menggunakan HCl 4 N, maka endapan

0,52 g MgSO4.7H2O, 5 g KH2PO4, 0,005 yang didapatkan dari hasil sentrifugasi g FeSO4.7H2O, 0,003 g MnCl2.4H2O dan diperlakukan lebih lanjut yakni dengan

0,003 g ZnSO4.7H2O lalu ditambah membilasnya menggunakan aquades akuades hingga volumenya mencapai hingga pH-nya mencapai nilai 4. Setelah 1000 ml dan pH 5,5), medium PDMA itu dilakukan pengukuran absorbansinya (Potatoes Dextrose Agar : MS (1 : 1) + dengan menggunakan spektrofotometer serbuk batubara 0,1%), medium MSS+ pada panjang gelombang 450 nm (MS + sukrosa 0,1 % + ekstrak ragi (Fakuosa & Frost 1998). 0,01% + batubara 5%), benzena, Analisis gugus fungsi batubara heksana, dietil eter dan serbuk KBr sebelum dan setelah biosolubilisasi kering. dilakukan dengan FTIR pada kisaran Kapang diremajakan dalam medium frekuensi 4000- 450 cm-1 resolusi 4 cm-1. PDMA dan diinkubasi selama 4 hari Batubara hasil biosolubilisasi terlebih hingga dihasilkan spora. Kemudian spora dahulu dioven pada suhu 55oC. Sampel dilepaskan dari miselia dan sebanyak 5% dicampurkan dengan serbuk KBr kering v/v (106 sel spora/ml) diinokulasikan ke dengan lumpang agate dengan perban- dalam 30 ml medium MSS. Kultur dingan 1:100 hingga benar-benar diinkubasi menggunakan shaking incu- homogen. Campuran tersebut dicetak bator dengan kecepatan 150 rpm dan dengan handy press. Cakram KBr yang suhu ruang selama 28 hari. Pencuplikan sudah terbentuk dimasukkan ke dalam sampel kultur dilakukan pada hari ke - 0, KBr disc holder dan direkam dengan alat

301 Sugoro dkk.

spektrofotometer FTIR (Shi dkk 2009). antara 3,49 - 3,55 (Tabel 1). Hal ini, Analisis hasil solubilisasi batubara didukung pula hasil pengamatan oleh kapang dengan menggunakan GC- mikroskopis yang menunjukkan terjadinya MS. Supernatan hasil biosolubilisasi interaksi berupa kolonisasi miselia kapang ditambahkan pelarut dengan perbandi- pada batubara (Gambar 1). Kolonisasi ngan 1:1. Pelarut yang digunakan adalah kapang setelah 7 hari inkubasi campuran benzena : heksana : dietil eter menunjukkan hasil berbeda-beda dan dengan perbandingan 3:1:1. campuran lalu kolonisasi terbaik dilakukan oleh kapang diaduk, didiamkan beberapa saat sampai T2. terbentuk fase atas dan bawah. Fase atas selanjutnya dimasukkan ke dalam vial Kandungan Asam Humat dan Fulvat untuk dianalisis dengan alat GC-MS. pada Produk Solubilisasi Batubara Kontrol yang digunakan adalah batubara Pengukuran asam humat dan fulvat yang dilarutkan dalam medium MSS+, pada produk solubilisasi batubara kemudian diekstrak dengan pelarut yang dilakukan melalui penentuan absorban- sama (Silva dkk 2007). sinya secara kualitatif pada panjang gelombang 450 nm (asam humat) dan 280 HASIL nm (asam fulvat). Pada Gambar 2 terlihat grafik perubahan absorbansi asam humat Perubahan pH Medium dan Koloni- dan fulvat yang menunjukkan kecenderu- sasi ngan pola perubahan yang sama antar Biosolubilisasi yang dilakukan oleh isolat. Peningkatan asam humat terjadi keempat isolat kapang pada penelitian ini setelah hari ke-7 dan cenderung stasioner menghasilkan pH yang asam. Nilai pH setelah hari ke-14 untuk isolat kapang T1 awal seluruh kapang pada hari ke-0, yaitu dan T4, sedangkan kandungan asam berkisar antara 4,25 - 4,5. Selanjutnya humat isolat kapang T2 dan T4 hingga hari ke 21 inkubasi, pH mengalami mengalami peningkatan lebih lanjut. Hasil penurunan berkisar antara 3,31-4,5. berbeda terjadi pada kandungan asam Setelah hari ke 28 inkubasi pH cenderung fulvat yang mengalami kenaikan hingga mengalami sedikit peningkatan berkisar hari ke-7 untuk semua isolat kapang dan

Tabel 1. Nilai perubahan pH Medium untuk isolat kapang T1, T2, T4, dan T5 kapang dalam medium MSS yang diinkubasi pada suhu kamar dan agitasi 150 rpm. Rata-rata nilai pH Hari T1 T2 T4 T5 0 3,93 3,84 3,92 3,94 7 3,26 3,41 3,35 3,265 14 3,02 2,24 3,13 3,035 21 3,085 3,31 3,245 3,125 28 3,08 3,315 3,195 3,12

302 Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang

T1 T2

T4 T5

Gambar 1. Kolonisasi batubara oleh isolat kapang TI, T2, T4, dan T5 dalam medium MSS yang diinkubasi pada suhu kamar dan agitasi 150 rpm (miselia; tanda panah hijau; batubara: tanda panah kuning ; perbesaran 400 x).

0.2 1 0.18 0.9 0.16 0.8 Absorbansi Absorbansi 0.14 0.7 as. humat as.fulvat 0.12 0.6 T1 T1 0.1 0.5 T2 T2 0.08 0.4 0.06 T4 0.3 T4 0.04 T5 0.2 T5 0.02 0.1 0 0 0 7 14 21 28 0 7 14 21 28 waktu (hari) waktu (hari)

Gambar 2. Perubahan nilai absorbansi asam humat dan fulvat supernatan medium hasil biosolubilisasi batubara oleh kapang hasil T1, T2, T4 dan T5 dalam medium MSS yang diinkubasi pada suhu kamar dan agitasi 150 rpm setelahnya mengalami penurunan. pada daerah serapan 3200-3550 cm-, Kandungan asam fulvat tertinggi terjadi gugus alkana (C-H) 2850-3000 cm-, pada isolat kapang T5 dengan nilai gugus (C=C) aromatik pada daerah 1500- absorbansi 0,74. 1600 cm-, gugus fosfor (P-H) di daerah 2440-2280 cm-, dan gugus alkohol (C-O) Spektrum FTIR Batubara Hasil pada daerah serapan 970-1250 cm. Biosolubilisasi Setelah terjadi proses solubilisasi, Identifikasi gugus fungsi batubara spektrum yang dihasilkan pada sampel hasil degradasi dengan menggunakan dibandingkan dengan spektrum kontrol FTIR digunakan untuk mengkarakterisasi batubara lignit. Gugus O-H fenol, C-O lignit mentah (kontrol) dan lignit yang telah fenol C-H alkana, dan C=C aromatik diberi perlakuan selama proses pada semua kapang mengalami biosolubilisasi (Gambar 3). Hasil analisa penurunan sedangkan gugus P-H posfor FTIR menunjukkan, batubara lignit pada sampel T1 meningkat. mengandung gugus hidroksil fenol (O-H)

303 Sugoro dkk.

Gambar 3. Pola spektrum endapan batubara hasil biosolubilisasi oleh keempat isolat kapang hasil analisis dengan FTIR. Hasil Analisis GCMS Produk persentase area pada rantai karbon Biosolubilisasi Batubara pendek. Peningkatan persentase area

Sampel yang digunakan adalah terjadi pada senyawa C9H18, C10H8 , perwakilan dari setiap kapang yang C12H26, dan C14H30. Senyawa baru memiliki hasil absorbansi solubilisasi seperti senyawa C11H24 dan C15H35 terbesar yaitu T1, T4, dan T5 pada hari terbentuk pada perlakuan menggunakan ke-7 inkubasi serta T2 pada hari ke-4 kapang T4 dan T2. inkubasi. Kontrol yang digunakan adalah batubara yang dilarutkan dalam medium PEMBAHASAN minimal salt. Hasil identifikasi mengguna- kan GC-MS (Tabel 2) menunjukkan pada Perubahan pH medium merupakan kontrol terdeteksi 18 senyawa hidrokar- indikator terjadinya pertumbuhan atau bon, sedangkan kapang T1 terdeteksi 11 metabolisme kapang selama proses senyawa, T4 terdeteksi 17 senyawa, T5 biosolubilisasi. Hal ini didukung hasil terdeteksi 11 senyawa, dan T2 terdeteksi pengamatan mikroskopis setiap kapang 13 senyawa. Pada kontrol terdapat yang mampu tumbuh dan mengkolonisasi senyawa dengan rantai karbon panjang batubara (Gambar 1). Penurunan pH yang yang tidak terdapat pada ke-4 sampel terjadi dapat disebabkan terbentuknya asam-asam organik dan juga dapat yaitu n-heneikosil siklopen-tana (C26H52) disebabkan telah terjadinya desulfurisasi. dan n-nonakosana (C29H60). Senyawa Dimana sulfur dalam batubara terlarut ke napthalene (C10H8) baik pada kontrol maupun perlakuan pada masing-masing dalam medium cair dalam bentuk ion kapang memiliki persentase area yang sulfat (SO42-) sehingga terbentuk asam tertinggi dibandingkan dengan senyawa sulfat. Jenis asam organik diantaranya lain yang terdeteksi. Jika dibandingkan adalah asam karboksilat dan asam fulvat dengan kontrol, analisis terhadap keempat yang merupakan senyawa humat yang sampel menunjukkan terjadi peningkatan terdapat dalam batubara (Hammel 1996).

304 Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang

Tabel 2. Senyawa Hasil Biosolubilisasi Batubara Menggunakan GC-MS. % Area Kode isolat No. Nama Senyawa Kontrol T1 T2 T4 T5

1 2,4-dimetil-1-heptena (C9H18 ) 0,64 0,960,72 - - 2 2,4-dimetilheptana(C9H 20 ) - 4,712,26 3,33 2,69 3 4-metiloktana (C9H20 ) 1,04 1,471,00 2,15 - 4 3-etil-2-metilheksana (C9H20)1,82---- 5 Naptalena ( C10H8 ) 30,38 45,2327,34 61,22 52,15 6 Undekana,3,7-dimetil (C11H24)----0,99 7 3,7-Dimetildekana (C12H26 ) 3,42 9,454,19 6,83 4,30 8 Dekana,3,7,-dimetil (C12H26) - 2,88- - - 9 n-dodekana (C12H26) 0,67 -0,69 1,44 0,87 10 4-metildodekana (C13H28) - 3,27- - - 11 5-metil-5-propilnonana(C13H28) - -1,06 1,60 1,33 12 5-isobutilnonana(C13H28 ) - 6,661,83 1,49 5,87 13 5-sek-butilnonana (C13H28 )---1,03- 14 5-butilnonana (C13H28)0,93---- 15 n-tetradekana (C14H30) 2,45 8,178,78 5,15 3,22 16 4,6-dimetildodekana (C14H30)4,00---- 17 Dodekana,4,6-dimetil (C14H30)----4,06 18 4,6-dimetildodekana (C14H30 ) 1,70 -- - - 19 n-Pentadekana(C15H35)---2,07- 20 2,6,10-trimetiltetradekana(C17H36)0,48---0,33 21 2,6,10-trimetiltetradekana(C17H36)----1,57 22 n-heptadekana(C17H36 ) 7,56 -- - 2,88 23 2-metilheksadekana (C17H36) 2,42 -- 10,88 - 24 n-oktadekana (C18H38) 2,43 14,3811,15 1,92 2,18 25 n-nonadekana (C19H40) 11,69 -- - 18,64 26 9-metilnonadekana (C20H42)----0,56 27 2,6,10,14-tetrametilheksadekana(C20H42)6,6-- -- 28 2,6,11,15-tetrametilheksadekana(C20H42 ) - 2,81- - 2,77 29 2,6,10,14-tetrametilheptadekana (C21H44)- -1,56 -- 30 n-dokosana (C22H46) - -- 4,00 - 31 n-trikosana(C23H48)----31,91 32 n-heneicosylcyclopentana (C26H52)3,05---- 33 n-nonakosana (C 29H60) 18,73 -- - - Total % Area100 100 100 100 100 Total senyawa18 11 17 11 13 Penurunan nilai pH tidak terjadi kenaikan pH medium disebabkan secara terus-menerus sampai akhir masa terbentuknya senyawa amonia hasil inkubasi. Setelah memasuki hari ke-28 solubilisasi senyawa piridin dalam inkubasi nilai pH mengalami sedikit batubara kemudian larut dalam medium kenaikan (Tabel 1). Kemungkinan dan bereaksi dengan air membentuk

305 Sugoro dkk.

amonium hidroksida (NH4OH) yang mengalami peningkatan. Setelah hari ke- bersifat basa lemah (Ying dkk 2010). 7 inkubasi, kadar asam humat mengalami Terjadinya penurunan pH didukung kenaikan, sedangkan asam fulvat pula dengan hasil pengukuran absorbansi mengalami penurunan hingga akhir asam humat dan fulvat yang terlarut. inkubasi. Kemungkinan yang terjadi Menurut Stevenson (1982) batubara adalah pelepasan asam humat di batubara terutama jenis lignit, merupakan senyawa yang tinggi karena aktivitas kapang dan organik yang berpotensi kaya akan asam fulvat yang terlarut dalam medium substansi humat. Substansi humat mengalami proses degradasi lanjut. memiliki kontribusi besar sebagai mantel Terjadinya biosolubilisasi batubara suatu partikel. Kondisi itu kemungkinan dapat dilihat dari adanya perubahan gugus besar proses solubilisasi batubara ditandai fungsi batubara. Menurut Scott & Lewis dengan melarutnya beberapa lapisan (1990), perubahan ini disebabkan substansi humat tersebut ke dalam me- biosolubilisasi yang dilakukan oleh kapang dium. Oleh karena itu pengukuran terhadap batubara yang merupakan terhadap keberadaan substansi humat proses oksidatif. Struktur lignit didegra- berupa asam humat dan asam fulvat dasi menjadi senyawa fenolik dan alifatik dalam medium dapat dijadikan sebagai lignin hasil degradasi cincin aromatik. acuan atau faktor uji dalam memastikan Peningkatan P-H posfor dan penurunan terjadinya biosolubilisasi batubara. gugus O-H, C-O fenol, C-H alkana dan Tingginya nilai absorbansi asam C=C aromatik pada sampel yang humat pada awal inkubasi karena dibandingkan dengan kontrol menunjuk- batubara masih mengandung banyak kan bahwa telah terjadi perubahan senyawa aromatik yang memiliki ikatan struktur lignit menjadi senyawa yang lebih terkonjugasi yang merupakan komponen sederhana atau terlarut dalam medium. utama penyusun asam humat dalam Hal ini didukung pula dari hasil batubara. Penurunan kadar asam humat analisis GC-MS supernatan medium yang pada awal inkubasi (hari ke-7) diikuti menunjukkan adanya senyawa-senyawa dengan kenaikan kadar asam fulvat baru yang berasal dari batubara. (Gambar 2). Penurunan nilai absorbansi Penurunan komposisi dan konsentrasi asam humat yang berimplikasi pada senyawa mengindikasikan terjadinya peningkatan nilai asam fulvat disebabkan biosolubilisasi. Proses biosolubilisasi ini oleh penguraian ikatan konjugasi pada menyebabkan pemutusan rantai karbon senyawa aromatik dimana naftasena yang oleh kapang menjadi rantai yang lebih merupakan penyusun utama asam humat sederhana dan sebagian digunakan untuk terurai menjadi senyawa yang lebih proses metabolisme kapang dimana sederhana seperti naftalena yang selama masa inkubasi kapang mengguna- merupakan penyusun utama asam fulvat kan sumber karbon pada senyawa (Zylstra & Kim 1997). Kondisi tersebut batubara tersebut untuk proses metabolis- menyebabkan konsentrasi asam fulvat menya. Bukti terjadinya biosolubilisasi yang terlarut dalam medium mulai adalah terdeteksinya senyawa napthalene

306 Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang

(C10H8) pada medium yang lebih tinggi indigenus ini, memiliki potensi sebagai dibandingkan kontrol. Senyawa ini energi alternatif penganti bahan bakar merupakan komponen utama asam fulvat minyak yang setara dengan bensin dan dan sesuai dengan hasil pengukuran solar. absorbansi asam fulvat yang menunjuk- kan terjadinya peningkatan pada hari ke- KESIMPULAN 7 (Gambar 3). Hasil berbeda ditunjukkan oleh Sugoro dkk (2009), produk biosolubili- Keempat isolat kapang indigenus sasi oleh kapang Penicillium sp. tidak memiliki kemampuan yang berbeda dalam mendeteksi adanya senyawa naftalene mensolubilisasi batubara. Hasil analisis karena batubara yang digunakan adalah FTIR menunjukkan terjadinya penurunan dari jenis subbituminus. absorbansi gugus O-H fenol, C-O fenol Jika dibandingkan dengan komposisi C-H alkana, dan C=C aromatik pada senyawa hidrokarbon yang terdapat pada semua kapang yang mengindikasikan bensin dengan jumlah atom karbon terjadinya reaksi oksidasi enzimatik sebanyak 4 sampai 12, dan minyak solar selama proses biosolubilisasi. Hasil yang memiliki panjang rantai karbon 10 analisis GC-MS menunjukkan bahwa sampai 13 (American Petroleum Institute kapang T5 pada hari ke-7 inkubasi 2001). Senyawa hidrokarbon yang menghasilkan persentase senyawa terdapat pada keempat sampel hasil hidrokarbon terbesar dengan komposisi solubilisasi batubara lignit memiliki karbon yang setara dengan bensin dan kemiripan dengan jumlah atom karbon solar. pada bensin dan solar. Produk tertinggi yang setara dengan bensin dihasilkan oleh UCAPAN TERIMAKASIH kapang T5 dengan persentase area sebesar 74,97, disusul oleh T1,T2 dan T4 Ucapan terima kasih kami dengan persentase area berturut-turut sampaikan kepada DIKTI melalui pro- sebesar 64,7; 60,01 dan 37,19. Produk gram Hibah Stranas 2010 yang telah tertinggi yang setara dengan solar mendanai penelitian ini. dihasilkan oleh kapang T5 dengan (72,58%), disusul oleh T1,T2 dan T4 DAFTAR PUSTAKA berturut-turut sebesar 64,49; 65,52 dan 36,1%. American Petroleum Institute. 2001. Dari keempat kapang yang Properties of Fuels. http:// digunakan untuk proses biosolubilisasi www.afdc.energy.gov.pdf. ternyata yang terbaik mendegradasi ESDM. 2011. Lokakarya Energi Baru batubara kompleks menjadi senyawa dan Terbarukan. ITB. Bandung yang setara dengan komponen bensin dan Fakoussa R & M Hofrichter. 1999. Bio- solar adalah kapang T5 pada hari ke-7 technology and Microbiology of inkubasi. Dengan demikian hasil Coal Degradation. Appl. Micro- degradasi batubara oleh keempat kapang biol. Biotech. 52: 25-40.

307 Sugoro dkk.

Fakuosa RM &J Frost. 1998. Production Stevenson, FJ. 1982. Humus Chemistry, of Water-Soluble Coal-Substance Genesis, Composition, Reaction. by Partial Microbial Liquefaction of John Willey dan sons Inc. New Untreated Hard Coal. Resor. Con- York. Hlm. 443 serve. Recycle.251-60. Sugoro I, T Kuraesin, MR. Pikoli, S Hammel KE. 1996. Extracelluler Free Hermanto & P Aditiawati. 2009. Radicalbiochemistry of Ligninolytic Isolasi dan Seleksi Fungi Pelaku Fungi. New J Chem. 20:195-198. Solubilisasi Batubara Subbituminus. IEA 2009. International Energy Outlook. J. Biologi Lingkungan Al- http : www.ieo.org. Kaunyah. (3):75-87 Scott CD & SN Lewis. 1990. Solubiliza- Sugoro I, D Sasongko, D Indriani & P tion of Coal by Microbial Action. Aditiawati. 2010. Isolasi dan In: Wise, L..D. (editor). Bioproces- Seleksi Fungi dari Pertambangan sing and Biotreatment of Coal. Batubara sebagai Agen Biosolubili- Marcel Dekker Inc.New York sasi Batubara dalam Laporan Selvi V.A. & R Banerje. 1982. Coal bio- Penelitian Hibah Unggulan technology : Bio-conversion of Dif- Strategis Nasional Tahap I. ITB. ferent Rank Indian Coal for The Xu XH, CH Chen & HY Qi. 2000. De- Extraction of Liquid Fuel and Fer- velopment of Coal Combustion tilizer. Appl. Biochem. Biotech. 7: Pollution Control for SO2 and NOx 16-21. in . Fuel Proces. Tech. 62(2/ Shi K Y, XX. Tao, SD.Yin & YLvZP. 3): 153-160. Du. 2009. Bio-solubilization of Ying D, T Xiuxiang, K Shi, & L Yang. Fushun lignite. The 6th Proceeding 2010. Degradation of Lignite Model Conference on Mining Science dan Compounds by the Action of White Technology in Procedia Earth Rot Fungi. Mining Sci. Tech. 20: Planet. Sci. I. 627-633. 0076-0081 Silva, ME, CJ. Vengadajellum, HA Janjua, Zylstra GJ & E Kim. 1997. Aromatic STL Harrison, SG Burton & DA Hydrocarbon Degradation by Cowan. 2007. Degradation of low Sphingomonas yanoikuyae B1. J. rank coal by Trichoderma atroviride Indus. Microbiol. Biotech. 408- ES11. J. Indus. Microbiol. 414. Biotech. 34:625-631.

Memasukkan Januari 2011 Diterima: Mei2011

308 Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 309-320 (2011)

Potensi Virus A/Ck/West Java/PWT-Wij/2006 Sebagai Vaksin

R. Indriani, NLP. I. Dharmayanti, R.M.A Adjid, & Darminto Balai Besar Penelitian Veteriner, PO Box 151, JL. RE Martadinata 30 , Bogor 16114

ABSTRACT

Potential virus A/Ck/West Java/PWT-Wij/06 for Vaccin. Vaccination program for controlling avian influenza (AI) virus infection in poultry have been emerged during the past 5 years in Indonesia. However, due to the mutation character of this virus the available vaccines were no longer effective. Therefore a new local isolate of avian influenza virus A/Ck/West Java/Pwt- Wij/2006 was studied. The virus, formulated as inactive vaccine, was injected in to 3 weeks old of layer chickens intramuscularly. At 3 weeks after vaccination, vaccinated chickens were challenged against seven local isolates of HPAI H5N1 intranasaly. Unvaccinated chickens were included in the challenge test as control. Results showed that the vaccine produced 100% protection against A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 (homologous), A/Ck/West Java/1067/ 2003, A/Ck/West Java/Hj-18/2007, and A/Ck/Payakumbuh/BPPVRII/2007; produced 90% protection against A/Ck/BB149/5/2007, and 80% protection against A/Ck/West Java/Hamd/ 2006 isolates. The vaccine also stoppped viral shedding by day 5 to 7 after challange. This study indicate that the new local isolate of avian influenza A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 has good potency as vaccine with broad spectrum against a range of AI viruses available in Indonesia.

Key words: avian influenza, HPAI, H5N1,vaccine, poultry.

PENDAHULUAN dapat lagi memberikan proteksi atau perlindungan yang baik. Banyak vaksin Penyakit avian influenza (AI) telah inaktif AI subtype H5 komersial yang dibuktikan ada di Indonesia sejak akhir ditawarkan dan merupakan wujud tahun 2003 (Dharmayanti dkk. 2004; kontribusi dalam penanggulangan Wiyono dkk. 2004) dan, disebabkan oleh penyakit AI di Indonesia, namun virus yang termasuk dalam famili keberadaan dan kemampuannya di dalam Orthomyxoviridae. Informasi dari memproteksi ayam (unggas) dan lapangan menunjukkan kasus penyakit AI penurunan sheeding virus dari infeksi AI masih sering terjadi pada peternakan subtype H5 lapang belum diketahui pasti. unggas baik komersial (sektor 2 dan 3) Swayne (2007) menegaskan bahwa maupun unggas peliharaan (sektor 4) vaksin yang beredar di Indonesia tidak (Komunikasi pribadi 2010). Kejadian ini efektif lagi terhadap isolat virus AI yang diduga karena vaksin-vaksin AI yang diketahui telah bermutasi. Beberapa virus dipergunakan untuk pencegahan vaksin yang beredar di Indonesia seperti terhadap serangan virus AI sudah tidak H5N2 (StrainA/Ck/Mexico/232/ 94/

309 Indriani dkk.

CPA), H5N2 (A/Turkey/England /N28/ yang dapat digunakan sebagai kandidat 73) dan H5N9 (A/Turkey/ Wisconsin/ vaksin baru, salah satunya adalah 68(H5N9)/ LSPV-4H5N9OA01) tidak kelompok yang didalamnya terdapat virus lagi mampu menahan serangan virus AI AI A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006. A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006. Ayam Temuan-temuan Swayne (2007) dan yang telah divaksin tersebut mengalami Dharmayanti dkk. (2008) inilah yang kematian antara 60 – 100%. Sementara mendorong untuk dilakukan penelitian ini, itu vaksin AI yang terbuat dari isolat lokal yaitu untuk mengetahui dan membuktikan H5N1 tahun 2003 memperlihatkan potensi isolat virus A/Ck/West Java/Pwt- tingkat kematian antara 40 - 50 %. Wij/2006 jika digunakan sebagai vaksin Virus AI H5N1 yang menyebabkan yang kemudian ditantang dengan berbagai outbreak pertama pada tahun 2003 isolat virus AI yang beredar pada kondisi mempunyai motif asam amino lapangan di Indonesia. PQRERRRKKR//G pada cleavage site Pembuatan vaksin AI di Indonesia gen HA. Pada tahun 2005 dan 2006, virus bukanlah hal yang baru, Indriani dkk. AI (khususnya dari daerah Jawa Barat) (2006) dari penelitiannya telah diketahui telah mengalami mutasi pada menghasilkan prototipe vaksin AI yang cleavage site gen HA, yaitu sekuen dibuat dari virus AI A/Ck/West Java/ asam aminonya telah mengalami 1067/2003. Namun virus AI di Indonesia perubahan menjadi PQRESRRKKR//G, masih dan terus mengalami mutasi dimana posisi R/arginin digantikan oleh sehingga vaksin yang ada tidak efektif S/serin (Dharmayanti dkk. 2006). lagi menahan varian virus AI yang baru, Adanya perubahan tersebut mem- maka secara berkala perlu dilakukan buktikan bahwa telah terjadi antigenic evaluasi atas keputusan dan kebijakan drift pada isolat virus AI yang ada di program vaksinasi yang telah diambil Indonesia, termasuk virus AI A/Ck/West oleh pemerintah. Salah satunya adalah Java/Pwt-Wij/2006 yaitu pada epitope A mengevaluasi dan mencari virus AI baru (posisi asam amino 124, 131, dan 137) yang tepat untuk digunakan sebagai (Dharmayanti dan Darminto, 2009). vaksin di Indonesia. Selanjutnya virus ini disebut sebagai varian virus AI. Berdasarkan clade BAHAN DAN CARA KERJA prediction pada Gen Bank, virus AI A/ Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 ini termasuk Hewan coba pada uji vaksin adalah dalam clade 2.1.3 (WWW. fluegenome. ayam layer komersial yang induknya org). divaksin, bukan ayam SPF. Hal ini Dharmayanti dkk. (2008) menyata- dimaksudkan agar kondisi ayam sama kan bahwa terdapat enam keragaman seperti kondisi ayam yang ada di genetik pada virus-virus AI Indonesia lapangan, namun ayam tersebut yang telah berhasil diisolasi dari tahun diupayakan tidak lagi memiliki antibodi AI 2003-2007, dan dari hasil tersebut pada saat divaksin dengan cara terdapat 3 kelompok keragaman genetik membiarkan ayam tersebut sampai

310 Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/ berumur 3 minggu. Sejumlah ayam minggu. Sementara itu pemeriksaan dikelompokan menjadi 2 kelompok besar, antibodi juga dilakukan pada ayam yaitu: (1) Kelompok 1: ayam divaksinasi berumur nol hari (DOC), 3 minggu (saat dengan vaksin AI isolat lokal A/Ck/West vaksinasi), dan pada saat ayam berumur Java/Pwt-Wij/2006 dan (2) Kelompok umur 6 minggu (3 minggu setelah 2: yang tidak divaksinasi sebagai kontrol. vaksinasi atau pada saat akan diuji Isolat lokal virus AI dengan identitas tantang). Serum ayam yang dihasilkan A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 diguna- kemudian periksa dengan uji Haemag- kan sebagai bahan dasar vaksin. Virus glutinasi Inhibisi (HI) menggunakan ini berasal dari wabah AI pada tahun antigen terbuat dari isolat AI A/Ck/West 2006 yang terjadi pada peternakan ayam Java/Pwt-Wij/2006 dengan kadar 4 HA petelur di Purwakarta, Jawa Barat, unit (OIE, 2004; Indriani dkk. 2004). diisolasi dan telah diidentifikasi oleh Untuk mengetahui tingkat proteksi Dharmayanti dkk. (2008). Vaksin dibuat vaksin, ada 7 isolat virus AI H5N1 yang 8 dengan kandungan virus 10 ELD50 per digunakan sebagai virus tantang. Virus- 0,1 ml, diinaktivasi dengan Beta- virus tantang tersebut adalah virus AI propiolacton (1:2000-4000) sesuai isolat lokal dengan kode 1) A/Ck/West prosedur OIE (2004), dan selanjutnya Java/Pwt-Wij/2006; 2) A/Ck /West Java/ diformulasikan dalam bentuk vaksin Hamd/2006; 3) A/Ck/ West java/HJ-18/ emulsi. Adapun formula vaksin adalah 2007; 4) A/Ck/West Java/1067/2003; 5) air-minyak dengan perbandingan 30 : 70, A/Ck/Payakumbuh/BPPVRII/2007; 6) yaitu 30% cairan virus (dalam phosphate A/Ck/BB149/ 5/07; dan 7) A/Ck/ Maros buffer saline) dan 70% Montanide Isa /BBVM/44(17)/2008. Pada setiap uji 70 VG Adjuvant (Seppic SA, FRANCE). tantang dengan isolat virus AI, 10 ekor Dalam penggunaannya vaksin inaktif AI ayam dari Kelompok 1 dan 10 ekor ayam ini dicampur secara hati-hati, kemudian dari Kelompok 2 digunakan dalam vaksin ini disuntikkan secara intra pengujian. muskular ke hewan coba dengan dosis Uji tantang hewan coba dilakukan 0,3 ml per ekor (konsentrasi massa pada minggu ke 6 (pada saat 3 minggu antigen AI setara 480 HAU). Vaksinasi setelah hewan coba divaksinasi). Uji hewan coba dilakukan pada saat ayam tantang dilakukan dengan cara menetes- berumur 3 minggu. kan virus tantang pada setiap ayam 6 Untuk mendapatkan gambaran dan dengan kandungan virus 10 ELD50 per dinamika antibodi AI dalam hewan coba 0,1 ml secara intranasal (Swayne, 2007). akibat vaksinasi secara lengkap, maka Uji tantang dilaksanakan di Laboratorium pemeriksaan antibodi AI dalam tubuh BSL-3 (Lab. Zoonosis) menggunakan ayam dilakukan pada saat sebelum dan fasilitas kandang isolator BSL-3. setelah ayam divaksinasi. Darah ayam Setelah hewan coba diuji tantang, diambil secara berkala (setiap dua dilakukan pengamatan setiap hari selama minggu) mulai dari ayam berumur nol hari 2 minggu terhadap gejala klinis, patologis (DOC) sampai dengan ayam berumur 20 dan pemeriksaan shedding virus. Gejala

311 Indriani dkk.

klinis yang diamati adalah kelesuan, HASIL membungkuk, enggan atau sulit berdiri tegak, sayap menggantung, dan kematian Kandungan Antibodi AI pada Hewan (Damayanti dkk. 2004). Bedah bangkai Coba Sebelum dan Setelah Vaksinasi dilaksanakan pada ayam yang mati Hasil pemeriksaan kandungan untuk mengamati perubahan patologis antibody AI pada hewan coba sebelum makroskopik, termasuk melihat kemung- dilakukan vaksinasi seperti terlihat dalam kinan terjadinya lesi lokal pada tempat Gambar 1. Pada saat ayam berumur satu dilakukannya vaksinasi. Pengambilan hari (DOC) kandungan antibody AI sampel dari oropharingeal dan kloaka adalah 4,8±0,97 log2, kemudian menjadi dilakukan secara berkala menggunakan 0,1±0,39 log2 pada saat ayam berumur 2 kapas bertangkai (cotton swab) dimulai minggu, dan mendekati nilai nol pada saat pada hari ke 2 setelah tantang, selanjut- ayam berumur 3 minggu (pada saat nya pada hari ke 5, 7, 9, 12 dan 14 untuk ayam divaksinasi). mengetahui adanya shedding virus. Setelah ayam divaksin dengan virus Pemeriksaan shedding virus dilakukan A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006, maka dengan cara isolasi virus pada telur ayam terlihat adanya peningkatan kandungan tertunas specific pathogenic free (SPF) antibody AI secara bertahap, yaitu berumur 9-11 hari. 8,36±0.73log2 (ayam berumur 6 minggu, Sampel dari oropharingeal dan atau 3 minggu setelah vaksinasi). Rataan kloaka hewan coba pertama-tama di titer antibodi kemudian menurun secara sentrifugasi pada kecepatan 1.000 x g, perlahan menjadi 7,23±0,42 log2 (ayam selanjutnya cairan atas (supernatant) dari umur 8 minggu) , 6,96±0,57 log2 (ayam hasil sentrifugasi tadi diambil dan umur 10 minggu), 6,06±0,73 log2 (ayam diinokulasikan ke telur ayam SPF umur 12 minggu), 5,65±0,65 log2 (ayam tertunas berumur 9-11 hari. Telur ayam umur 14 minggu), 5,0±0,83 log2 (ayam SPF tertunas yang telah di infeksi umur 16 minggu), 4,95±0,77 log2 (ayam tersebut kemudian disimpan pada alat umur 18 minggu) dan 4,5±0,66 log2 (ayam pengeram telur dengan suhu 36-370C umur 20 minggu). Sementara itu pada untuk selama 3 hari. Telur yang mati ayam kontrol (tidak divaksinasi) akibat infeksi diambil cairan allantiosnya kandungan antibodi maternal terhadap dan selanjutnya dilakukan pembuktian AI H5N1 sangat rendah atau nol hingga adanya virus AI dengan uji agglutinasi sel ayam berumur 20 minggu. darah merah ayam. Jika dalam pengujian Pengamatan klinis pada ayam yang hasilnya negative maka cairan tersebut divaksinasi tidak menunjukkan adanya diinokulasikan lagi ke dalam telur ayam kelainan, baik dalam bentuk lesi lokal SPF tertunas sedikitnya 2 kali lintasan, pada tempat vaksinasi maupun gejala kemudian diuji lagi terhadap adanya virus klinis umum lainnya seperti kelesuan dan AI dengan cara yang sama. demam. Selain itu ayam masih lincah dan segar tidak terlihat penurunan nafsu makan.

312 Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/

Tingkat Proteksi, Gejala Klinis, tegak, berbaring dan lesu/sayapnya turun. Patologis, Shedding Virus dan Kandu- Kematian hewan terlihat mulai pada hari ngan Antibodi AI Setelah Uji Tantang ke 1 hingga 2 hari setelah uji tantang Pada saat ayam berumur 6 minggu dengan mean dead time (MDT) 1,4 – (3 minggu setelah vaksinasi), hewan 1,8 hari (Tabel 1.). Perubahan patologi coba (hewan yang divaksin, hewan tidak anatomi atau makroskopik memeperli- divaksin/control) ditantang dengan virus hatkan adanya odem pada kepala dan AI. Tingkat proteksi vaksin terhadap uji muka, hemoragi dan necrosis pada tantang dengan 7 isolat virus AI dapat daerah pial dan jengger, adanya cyanosis dilihat pada Gambar 2. di bawah kulit didaerah kepala dan kaki. Hewan coba yang tidak divaksin Pada organ jantung, limpa dan proventri- (kontrol) mengalami gejala klinis dan kulus terlihat adanya hemoragi kematian setelah dilakukan uji tantang (petechia), pada paru-paru terjadi dengan tingkat kematian sebesar 100%. kongesti, serta adanya cairan disekitar Sebaliknya hewan coba yang divaksin jantung, ureter dan ginjal. dan ditantang masing-masing oleh 7 isolat Sementara itu pada hewan coba virus AI tingkat kematiannya antara 0 - yang divaksin, gejala klinis seperti 20%, atau proteksinya 80-100%, dengan tersebut pada hewan kontrol tidak begitu gejala klinis yang bervariasi. tampak, kecuali pada kelompok hewan Hewan yang tidak divaksin (kontrol) coba yang ditantang dengan virus A/Ck/ memperlihatkan gejala klinis kelesuan, BB149/5/2007, dan virus A/Ck/West membungkuk, enggan atau sulit berdiri Java/Hamd/2006. Secara lebih rinci

Titer antibodi (log2) 9 8

7 6 5 4 3 2 1 0

c g g g g g g g g g g g o g g g g g g g g g g g D m m m m m m m m m m m 1 2 3 6 8 0 2 4 6 8 0 1 1 1 1 1 2

Umur ayam (minggu) Gambar 1: Kandungan antibodi AI pada hewan coba sebelum dan setelah vaksinasi yang diukur dengan uji HI menggunakan antigen AI homolog A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006

313 Indriani dkk.

Gambar 2. Tingkat proteksi ayam yang divaksin dengan virus A/Ck/West Java/ Pwt- Wij/2006 masing-masing terhadap uji tantang 7 isolat virus AI pada saat ayam berumur 6 minggu (3 minggu setelah vaksinasi) sebagai berikut: ayam yang divaksin tidak PwtWij/06 9/06, A/Ck/West Java/HJ-18/ memperlihatkan gejala klinis dan tidak 2007 dan A/Ck/West Java/1067/2003 tidak ada kematian setelah di tantang dengan memperlihatkan adanya shedding virus virus AI A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006, tantang baik melalui oropharingeal A/Ck/West Java/HJ-18/2007, A/Ck/West maupun kloaka. Sementara kelompok Java/1067/2003, A/Ck/BPPVRII/ ayam yang ditantang dengan virus A/Ck/ Payakumbuh/ 2007, dan A/Ck/Maros/ Payakumbuh/ BPPVRII/2007, AI A/Ck/ BBVM/44 (17)/2008. Sementara pada West Java/Hamd/2006, serta A/Ck/BB/ hewan coba yang divaksin dan diuji 149/5/2007 shedding virus terdeteksi tantang dengan virus AI A/Ck/BB/149/ pada hari ke 2 baik melalui oropharingeal 5/2007, 1 dari 10 ekor ayam atau 10% dan kloaka. Pada ayam yang ditantang mati pada hari ke 2 setelah tantang dengan virus A/Ck/Maros/BBVM/ dengan gejala klinis kelesuan. Demikian 44(17)/2008 shedding virus terdeteksi halnya dengan hewan coba yang divaksin pada hari ke 2 melalui oropharingea dan diuji uji tantang dengan virus AI A/ maupun kloaka serta pada hari ke 5 Ck/West Java/Hamd/2006, terjadi melalui kloaka (Tabel 1). kematian pada 2 dari 10 ekor ayam dengan gejala klinis kelesuan (Gambar 3). Ayam PEMBAHASAN yang mati setelah uji tantang terbukti mati akibat oleh virus AI tantang yang Dari 6 kelompok virus AI di ditunjukkan dengan berhasilnya isolasi Indonesia diprediksi ada kelompok virus ulang virus AI pada telur SPF tertunas. yang memiliki potensi sangat tinggi untuk Pada pemeriksaan adanya shedding digunakan sebagai vaksin, yaitu kelompok virus dari ayam yang divaksin kemudian 1, 5 dan 6. Kelompok 1 terdiri dari virus- ditantang dengan virus A/Ck/West Java/ virus A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 dan

314 Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/

1 2

4 3

Gambar 3. Perubahan Pathologi anatomi berupa; cyanosis di bawah kulit didaerah kaki (1) dan kepala (2), odem pada daerah muka dan kepala (2), hemoragi dan necrosis pada daerah pial dan jengger (2), hemoragi didalam lemak jantung, spleen dan proventiculus juga adanya cairan disekitar jantung (3), kongesti pada paru, uretes di dalam uneteas dan ginjal (4)

A/Ck/West Java/HJ-18/ 2007, kemudian 8,36±0.73log2) kemudian menurun Kelompok 5 terdiri dari virus A/Ck/ secara perlahan dan pada saat ayam BBPVRII/ Payakumbuh/2007, berumur 20 minggu kandungan Kelompok 6 terdiri dari virus A/Ck/ West antibodinya 4,5±0,66 log2. Sementara itu Java/Hamd/2006, A/Ck/BB/149/5/2007, pada hewan coba yang tidak divaksinasi dan A/Ck/Maros/BBVM /44(17)/2008. (kontrol) antibodinya tetap rendah Swayne (2007) membuktikan bahwa mencapai nol sampai ayam berumur 20 virus AI A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 minggu. Tidak adanya antibodi pada sangat virulen dan ketika digunakan hewan control menunjukkan bahwa sebagai virus tantang pada uji vaksin, selama percobaan berlangsung tidak maka tidak satupun vaksin yang diuji terjadi infeksi alam oleh virus AI di mampu menahan serangan virus ini lingkungan tersebut. Dengan demikian dengan tingkat kematian mencapai 50- maka antibodi yang dihasilkan setelah 60%, atau proteksi vaksin berkisar 40- vaksinasi adalah antibodi yang dirangsang 50%. Vaksin-vaksin tersebut adalah oleh vaksin dan kekebalan yang vaksin yang beredar di Indonesia. ditimbulkan adalah kekebalan akibat Uji vaksin menunjukkan adanya vaksinasi, bukan karena kontaminasi atau peningkatan antibodi AI dalam tubuh infeksi alam. Indriani dkk. (2005) juga hewan coba. Antibodi ini terus meningkat melaporkan hal yang serupa pada hewan mencapai puncaknya pada saat ayam coba yang divaksin pada umur 3 minggu, berumur 6 minggu atau minggu ke 3 tidak ada antibodi pada saat tersebut, setelah vaksinasi (kandungan antibodi 315 Indriani dkk. . Oropharingeal kloaka Oropharingeal kloaka Oropharingeal kloaka Kesakitan Kematian Isolasi Virus Hari 2ke Isolasi Virus Hari 5ke Isolasi Virus Hari 7ke : td= tidak dilakukan/hewan ada karena telah mati . Data tingkat kesakitan, kematian dan shedding virus pada hewan coba setelah uji tantang sinasi sinasi 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10

yk/2007 yk/2007 wan Coba td td td td 10/10 10/10 ntrol td td td td 10/10(1,4) 10/10 10/10 10/10 ntrol td td td td 10/10(1,8) 10/10 (MDT) 10/10 10/10 ntrol 10/10(1,7) td td td td 10/10 10/10 10/10 ntrol td td td td 10/10(1,7) 10/10 10/10 10/10 ntrol td td td td 10/10(1,8) 10/10 10/10 10/10 ntrol td td td td 10/10(1,8) 10/10 10/10 10/10 ntrol 10/10(1,7) 10/10 ksinasi ksinasi 0/10 ksinasi 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 2/10 2/10 2/10(2,0) 2/10 ksinasi 0/10 ksinasi 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 1/10 1/10 0/10 0/10 0/10 0/10 2/10 1/10 1/10(2,0) ksinasi 1/10 0/10 ksinasi 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 0/10 1/10 0/10 2/10 1/10 0/10(2,0) 0/10

rus Tantang sakit/total mati/total (positif/total) (positif/total) (positif/total) (positif/total) (positif/total) (positif/total) mati/total Tantang sakit/total rus Keterangan Tabel 1 Tabel ck/wj/Pwt-Wij/2006 ck/wj/Pwt-Wij/2006 ck/wj/Hamd/2006 ck/Hj-18/2007 ck/BPPV ck/BB/149/5/2007 ck/wj/1067/2003 ck/BBM/44(17)2008 P e i a o a o ak o a o a o a o a o / / / / / / /

316 Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/ antibodi kemudian terus meningkat secara persyaratan untuk dapat digunakan di bertahap hingga mencapai puncaknya Indonesia. 4,14 log2 pada minggu ke delapan dan Selanjutnya, meskipun vaksin kemudian menurun hingga mencapai memberikan proteksi 80% terhadap kandungan antibodi 2,38 log2 pada minggu infeksi virus AI dari kelompok A/Ck/West ke duabelas setelah vaksinasi. Perbedaan Java/Hamd/2006, penggunaannya pada tingginya titer antibodi pasca vaksinasi tingkat lapangan dapat dipertimbangkan dalam studi ini disebabkan formulasi mengingat vaksin ini memiliki tingkat adjuvant yang digunakan di dalam vaksin proteksi yang baik dan spektrum yang yaitu, adjuvant komersial Montanide Isa luas terhadap kelompok virus AI lainnya, 70 VG Adjuvant (Seppic SA, FRANCE), termasuk kelompok virus AI tahun 2003 sementara pada studi pengembangan bila masih ada di lapangan. prototipe vaksin AI H5N1 (Indriani Hewan yang tidak divaksin (kontrol) dkk.,2005) menggunakan adjuvant memperlihatkan kematian hewan mulai dengan formulasi (4 bagian Drakeol 6VR pada hari ke 1 hingga 2 hari setelah uji yang mengandung 10% arlacel 80 dan tantang dengan mean dead time (MDT) 1% Tween 80) 1,4 – 1,8 hari (Tabel 1.), keadaan ini mirip Pada saat uji tantang ayam-ayam seperti yang pernah di lakukan oleh yang divaksinasi memiliki tingkat proteksi Swayne dan Patinn (2006) ayam yang tinggi, yaitu e” 90%, kecuali terinfeksi oleh virus HPAI antara 1,5 – terhadap virus A/Ck/West Java/Hamd/ 5,5 MDT. Selanjutnya perubahan 2006. Waktu shedding virus diketahui patologi anatomi atau makroskopik yang tidak melebihi 7 hari setelah uji tantang. terlihat, seperti odem pada kepala dan Hal ini membuktikan bahwa vaksin muka, hemoragi dan necrosis pada menginduksi kekebalan sehingga dapat daerah pial dan jengger, adanya cyanosis mencegah kematian tinggi serta mampu di bawah kulit didaerah kepala dan kaki, menahan replikasi virus yang hemoragi (petechia) di organ jantung, berkepanjangan pada tempat predileksi limpa dan proventrikulus, kongesti di paru- tumbuhnya, baik pada saluran pencer- paru terjadi kongesti, adanya cairan naan (kloaka) maupun pada saluran disekitar jantung, ureter dan ginjal. pernafasan (oropharingeal). Keadaan ini bisa saja disebabkan oleh Dengan demikian dari hasil uji agen virus lain, namun hasil isolasi dan tantang ini maka vaksin AI yang dibuat identifikasi virus membuktikan bahwa dari isolat virus AI A/Ck/West Java/Pwt- penyebabnya adalah virus AI yang Wij/2006 telah memenuhi persyaratan digunakan dalam uji tantang, termasuk dimana proteksinya minimal 90% kematian pada beberapa hewan coba terhadap 6 isolat virus AI berbeda dengan yang divaksinasi. waktu shedding virus tidak lebih dari 7 OIE (2004) menetapkan batas titer hari. Berdasarkan ketentuan FOHI antibodi yang dianggap protektif yaitu e” (2007) vaksin ini dikategorikan sebagai 4log2, sementara Indriani dkk. 2004 vaksin yang baik dan memenuhi dalam studi deteksi respon antibodi

317 Indriani dkk.

dengan uji hemagglutinasi inhibisi dan mengkontaminasi lingkungan dan titer proteksi terhadap virus Avian memberikan peluang terjadinya penularan Influenza subtipe H5N1, memperlihatkan virus ke unggas lain dalam waktu yang ayam yang memiliki titer antibodi 3log2 cukup lama (komunikasi Dr Varkentin mampu memberikan proteksi terhadap Andres (2008); Indriani dkk. 2009). infeksi virus tantang H5N1 homolog. Swayne dkk. (1997) juga menjelaskan Dengan demikian maka ayam yang telah bahwa efektifitas immunisasi dapat divaksinasi dengan virus AI isolat A/Ck/ diartikan adanya kemampuan mengura- West Java/Pwt-Wij/2006 ini diperkirakan ngi transmisi secara kontak langsung akan memiliki proteksi terhadap infeksi virus HPAI diantara unggas dalam suatu virus AI homolog sampai dengan ayam peternakan komersial di lapangan berumur 20 minggu. Meskipun proteksi vaksin nilainya KESIMPULAN DAN SARAN ada yang tidak mencapai 100% pada kasus uji tantang dengan virus A/Ck/ Hasil penelitian ini telah membukti- West Java/Hamd/2006 dan virus A/Ck/ kan bahwa virus AI isolat A/Ck/West BB149/5/07, vaksin tadi mampu Java/Pwt-Wij/2006 yang digunakan mengurangi dan memberhentikan sebagai vaksin mampu memberikan daya shedding virus tantang dari ayam-ayam proteksi tinggi dengan spectrum luas tersebut sampai dengan hari ke 5 dan hari terhadap berbagai virus AI yang ke 7 pasca tantang. Swayne dkk.( 2006) digunakan dalam penelitian ini yang juga menjelaskan adanya penurunana berasal dari di berbagai daerah di shedding virus HPAI tantang sebesar Indonesia. Virus ini direkomendasikan 4-5 10 ELD50 per ml pada 2 hari pasca untuk digunakan sebagai seed vaksin infeksi. Hal ini tentunya dapat oleh produsen vaksin nasional dan menggambarkan kondisi di lapangan digunakan dalam pengendalian penyakit dimana hewan yang divaksin tadi dapat AI di Indonesia. mengurangi kontaminasi lingkungan dari virus HPAI H5N1 yang menginfeksinya UCAPAN TERIMA KASIH serta tentunya dapat mengurangi transmisi virus AI ini ke unggas lainnya Penelitian ini terlaksana atas (Swayne dkk. 2006). anggaran DIPA Bbalitvet 2008. Sebagai contoh gambaran yang lebih Penghargaan dan ucapan terimakasih buruk yaitu pada ayam-ayam yang disampaikan kepada semua kolega di mendapat vaksin AI H5N2. Meskipun BPPV Bukittinggi, Banjarbaru dan vaksin dapat mencegah kematian yang BBVet Maros atas kontribusi isolat virus tinggi terhadap virus tantang HPAI AI. Terimakasih juga diberikan kepada H5N1, namun waktu shedding virus Heri Hoerudin, Apipudin, Teguh Suyatno, tantang mencapai lebih dari 30 hari Nana Suryana teknisi Kelompok Peneliti setelah uji tantang. Keadaan ini tentu saja Virologi Bbalitvet. akan lebih berbahaya, yaitu dapat

318 Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/

DAFTAR PUSTAKA 2004. Deteksi Respon Antibodi dengan Uji Hemagglutinasi Inhibisi Dharmayanti, NLP. I., R. Damayanti, A. dan titer proteksi terhadap virus Wiyono, R. Indriani, dan Darminto. Avian Influenza subtipe H5N1. 2004. Identifikasi Virus Avian JITV. 9(3):204 - 209 Influenza Isolat Indonesia dengan Indriani, R., NLP.I. Dharmayanti, Reverse Transcriptase-Polyme- T.Syafriati, A.Wiyono, dan RMA rase Chain Rection (PT-PCR). Adjid. 2005. Pengembangan JITV. 9(3):136 - 142 Prototipe Vaksin Inaktif Avian Damayanti R., NLP. I. Dharmayanti, A. Influenza (AI) H5N1 Isolat Lokal Wiyono, R. Indriani, dan Darminto. dan Aplikasinya Pada Hewan Coba 2004. Gambaran klinis dan di Tingkat Laboratorium. JITV patologis pada ayam yang 10(4): 315 - 321 terserang Flu Burung sangat Indriani, R., NLP.I. Dharmayanti, RMA patogenik (HPAI) di beberapa Adjid dan Darminto. 2009. Efikasi peternakan di Jawa timur dan Jawa vaksin AI yang beredar di Indone- barat. JITV. 9(3):128 - 135 sia. Laporan Akhir Penelitian tahun Dharmayanti, NLP. I, R. Indriani & 2009. Bbalit-vet.Bogor. Indonesia Darminto. 2006. Dinamika Virus Office International des Epizooties. 2004. Avian Influenza Setelah 2 tahun Manual Of Standards for Diagnos- bersirkulasi di Indonesia. Laporan tik tests and vaccines. pp 212– 219 Akhir Penelitian tahun 2006. Swayne, DE. 2007. Progress report of Bbalitvet.Bogor. Indonesia vaccine efficacy. International Dharmayanti, NLP. I., R. Indriani, R Avian Influenza vaccination. Hartawan, DA. Hewajuli, A. Jakarta 11-12 Juni 2007. FMPI, Ratnawati dan Darminto. 2008. DEPTAN, USDA. Pemetaan Genetik Virus Avian Swayne, DE., JR. Beek, & TR. Mickle. Influenza di Indonesia 2007. J. Biol 1997. Efficacy of recombinant fowl Indonesia. 5 (2) : 155-171 pox vaccine in protecting chickens Dharmayanti, NLP. I dan Darminto. against highly pathogenic Mexican- 2009. Mutasi Virus AI di Indonesia origin H5N2 avian influenza virus. Antigenic Drift Protein Hemaglu- Avian Dis. 41: 910-922 tinasi (HA) Virus Influenza H5N1 Swayne, D. E, Chang-Wong Lee and E Tahun 2003 – 2006. Media Spackman. 2006. Inactivated Kedokteran Hewan 25(1): 1 - 8 North American and European Direktorat Jendral Bina Produksi H5N2 avian Influneza virus Peternakan. 2004. Farmakope vaccines protect chickens from Obat Hewan Indonesia. Edisi 2. Asian H5N1 high pathologenicity Vaksin Influenza Inaktif. 73-74. avaian influenza virus. Avian Indriani, R., NLP.I. Dharmayanti, L. Patho. 35(2), 141_/146 Parede, A.Wiyono, dan Darminto.

319 Indriani dkk.

Swayne, D.E., & M. Patinn-Jackwood. Pathogenic Avian Influenza 2006. Pathogenicity of avian subtipe H5 dari ayam asal Wabah influenza viruses in poultry. Dev di Indonesia. JITV. 9(3):61 – 71. Biol (Basel). 124:61-67. WWW.fluegenome.org. 2007. Genoty- Wiyono, A., R. Indriani, NLP.I. ping Influenza A Viruses with Full Dharmayanti, R. Damayanti, dan Genome Seguences. Darminto. 2004. Isolasi dan Karakterisasi Virus Highly

Memasukkan: Februari 2011 Diterima: Mei 2011

320 Jurnal Biologi Indonesia 7(2): 321-330 (2011)

Variasi dan kekerabatan genetik pada dua jenis baru belimbing (Averrhoa leucopetala Rugayah et Sunarti sp nov dan A. dolichorpa Rugayah et Sunarti sp nov., Oxalidaceae) berdasarkan profil Random Amplified Polymorphic DNA

Kusumadewi Sri Yulita

Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi- LIPI, Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong 16911, Email: [email protected]

ABSTRACT

Genetic variation and relatedness of two new species of star fruit (Averrhoa leucopetala Rugayah et Sunarti sp nov and A. dolichorpa Rugayah et Sunarti sp nov., Oxalidaceae) based on Random Amplified Polymorphic DNA. Two wild species of Averrhoa from Papua and Gorontalo respectively has recently been described. These two species were previously treated as ‘intermediate species’ between A. carambola and A. blimbi on the basis of morphological characters. This present study aimed to assess genetic variation and genetic relatedness of the two species compared to their relatives (A. carambola and A. blimbi) by using Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Five RAPD primers (OPA 9E, OPA 13, OPB 7, OPB 18 dan OPN 12) were used to amplify total DNA genom and produced 31 bands to which 90.32% were polymorphic. These bands were ranging in size from 300-1700 bp. DNA fingeprints for each species was indicated by differences in RAPD profiles resulted from amplification of five primers. Clustering analysis was performed based on RAPD profiles using the UPGMA method. The genetic similarity range between 0.25-1.00 indicating wide range of genetic variations observed. Results also indicated that the two species were genetically distant from A. carambola and A. blimbi, thus supported the recent morphological treatment.

Key words: Averrhoa, RAPD profiles, genetic variations.

PENDAHULUAN Tenggara, namun ada yang menduga berasal dari Amerika Selatan (Brasil) Belimbing (Averrhoa L.) merupakan walaupun adapula dugaan bahwa asal buah yang cukup populer di Indonesia dan usul belimbing adalah Asia Tenggara sudah lama dibudidayakan untuk (Samson 1997). dimanfaatkan sebagai buah meja, sayur Selain kedua jenis belimbing ini, dan obat. Ada dua jenis belimbing yang beberapa ahli taksonomi tumbuhan dikenal oleh masyarakat luas, yaitu (Kooders & Valeton 1903; Kunth 1931) belimbing wuluh (A. blimbi L.) dan telah mengenal beberapa taksa belimbing belimbing manis (Averrhoa carambola dibawah tingkat jenis, yaitu A. L). Belimbing tersebar luas di Asia carambola var angusticepala Projek

321 Kusumadewi Sri Yulita

(dari Amerika Selatan), A. carambola f. 2002; Shasany et al. 2005), spesies acida K. & V. dan A. carambola f. kompleks (Stammers et al. 1994; dulcis K. & V (dari Jawa), serta A. Sebastiani et al. 2001; Zervakis et al. blimbi f. papuana Kunth. (dari Papua). 2001) dan kekerabatan genetik Rugayah & Sunarti (2008) mendes- (Ferdinandez & Coulman 2002; Martin kripsikan dua jenis baru belimbing, yaitu et al. 2002 ). RAPD dilakukan dengan Averrhoa leucopetala Rugayah et menggunakan teknik amplifikasi PCR Sunarti sp nov dan Averrhoa terhadap total DNA genom dengan dolichorpa Rugayah et Sunarti sp nov. menggunakan primer tunggal yang dibuat berdasarkan koleksi hidup belimbing yang secara random. Kelebihan utama dari ada di Kebun Raya Bogor yang masing- RAPD adalah proses yang cepat dan masing berasal dari Gorontalo (Sulawesi) efesiensi biaya dalam hal operasional. dan Papua. Sebelumnya kedua jenis Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui belimbing ini dinyatakan sebagai jenis keragaman dan kekebaratan genetik A. ‘intermedia’ antara belimbing manis dan leucopetala dan A. dolichorpa dengan belimbing wuluh karena memiliki kerabatnya yaitu belimbing manis dan karakter morfologi yang merupakan belimbing wuluh berdasarkan profil campuran antara belimbing manis dan RAPD. belimbing wuluh. Berdasarkan penga- matan morfologi yang telah mereka BAHAN DAN CARA KERJA lakukan, mereka menemukan perbedaan karakter daun, perbungaan, bunga dan Sampel belimbing yang dianalisis buah kedua jenis baru ini dengan sejumlah delapan aksesi (Tabel 1), yang belimbing wuluh dan belimbing manis. terdiri atas A. leucopetala (1 aksesi) Berdasarkan karakter vegetatif, A. yang berasal dari Gorontalo dan A. leucopetala dan A. dolichorpa mirip dolichorpa (2 aksesi) yang berasal dari dengan A. carambola, sedangkan Papua dikoleksi dari Kebun Raya Bogor. berdasarkan karakter generatif kedua Selain dua jenis ini juga dilakukan koleksi jenis tersebut lebih mirip dengan A. blimbi terhadap belimbing wuluh (2 aksesi) dan (Rugayah & Sunarti 2008). belimbing manis (3 kultivar) dari Kebun Penggunaan karakter selain Plasma Nutfah LIPI (cv Dewi dan morfologi, misalnya anatomi, sitologi dan Rawasari) dan dari Kabupaten Demak molekuler sudah umum dilakukan untuk (cv Kunir). Sampel dikoleksi dalam mengklarifikasi status taksonomi suatu bentuk daun yang dikeringkan dalam takson. Random Amplified Polymor- silica gel. phic DNA (RAPD) merupakan salah Total DNA genom diisolasi dengan satu marka molekuler yang telah banyak menggunakan protokol CTAB (Doyle & digunakan sebagai tool untuk memecah- Doyle 1990) yang dimodifikasi dengan kan dan mengklarifikasi masalah perlakuan RNAse 200 μg/mL. Lima μL taksonomi, seperti deteksi hibrid (Allan total DNA genom dielektrophoresis et al. 1997; Ferdinandez & Coulman dalam 0.7% gel agarosa dalam larutan

322 Variasi dan Kekerabatan Genetik pada Dua Jenis Baru

Tabel 1. Daftar nama sampel belimbing.

Nomor Nama jenis Asal aksesi IP3 A. leucopetala Gorontalo VI.C.310ª A. dolichorpa Papua (Koleksi KRB) VII.D.96 A. dolichorpa Papua (Koleksi KRB) B3 A. carambola cv Dewi KPN-CSC B4 A. carambola cv Rawasari KPN-CSC B20 A. carambola cv Kunir Kabupaten Demak, Jawa Tengah TT401 A. blimbi Jawa Barat TT402 A. blimbi Jawa Barat penyangga TAE, kemudian diwarnai 2% gel agarosa yang direndam dalam dengan ethidium bromida dan difoto larutan penyangga TAE 1X pada dengan menggunakan gel documen- tegangan listrik 50 Volt selama 120 menit. tation system (Atto Bioinstrument). Gel agarosa kemudian diwarnai dalam 0.5 DNA yang telah diisolasi disimpan dalam mg/ml larutan etidium bromida dan -20ºC. divisualisasi serta difoto menggunakan gel documentation system (Atto Bioinstru- Amplifikasi RAPD dilakukan ment). Reaksi PCR diulang sebanyak dengan menggunakan lima primer RAPD dua kali untuk memastikan keberulangan (Operon Technologies Almeda, Calif., dan konsistensi hasil PCR. USA) dalam mesin PCR Takara Pita RAPD diskor secara manual thermocycler mengikuti protokol berdasarkan profil RAPD hasil foto gel Williams et al. (1990), sebagai berikut: elektroforesis. Setiap pita RAPD denaturasi pada 94°C selama 2 menuit, dianggap sebagai satu lokus putatif. diikuti oleh 45 siklus amplifikasi yang Hanya lokus yang menunjukkan pita yang terdiri atas fase denaturasi pada suhu jelas yang digunakan untuk diskor 1 bila 94°C selama 1 menit, fase penempelan ada pita dan 0 bila tidak ada pita. Analisis primer pada suhu 36°C selama 1 menit data dilakukan dengan menggunakan dan tahap pemanjangan pada suhu 72°C program NTSys-PC (Numerical selama 2 menit. Siklus ini dilanjutkan System, versi 2.02i, Rohlf dengan tahap pemanjangan pada suhu 1998). Data yang telah diskor kemudian 72°C selama 2 menit yang diakhiri dengan dikelompokkan hingga membentuk tahap pendinginan hasil PCR pada suhu matriks binari di program Microsoft 25°C. Volume reaksi total PCR adalah Excel. Matriks tersebut kemudian diolah 15 ml yang terdiri atas 1x PCR PCR menggunakan program SIMQUAL Green Master Mix (Promega), 2 μM (Similarity for qualitative data) untuk primer (Operon Technologies Almeda, menghitung koefisien kesamaan Jaccard. Calif., USA), dan ~10 ng DNA template. Matriks kesamaan ini kemudian Hasil amplifikasi PCR kemudian digunakan untuk membuat dendrogram dipisahkan secara elektroforesis dalam

323 Kusumadewi Sri Yulita

UPGMA (unweighted pair group pada seluruh aksesi (Gambar 1a-e). Pita method with aritmethical average) dan umum yang dijumpai pada seluruh aksesi Principal coordinate analysis. adalah OPA 9E ukuran 900 bp, OPA 13 ukuran 800 bp dan OPB 18 ukuran 600 HASIL bp (Tabel 2; Gambar 1a, b dan d). Selain itu, dijumpai pula pita spesifik yang hanya Profil Umum Pita RAPD dijumpai pada jenis atau aksesi tertentu (Tabel 2; Gambar 1a-e) yang dapat Amplifikasi PCR-RAPD terhadap digunakan untuk karakterisasi jenis atau total DNA genom dari kedelapan aksesi kultivar tertentu dapat digunakan untuk belimbing dengan menggunakan lima karakterisasi jenis A. carambola dan A. primer (OPA 9E, OPA 13, OPB 7, OPB blimbi karena terdapat pita spesifik 18 dan OPN 12) menghasilkan 31 pita ukuran 1100 pada jenis A. carambola DNA yang dapat diskor. Jumlah pita yang serta pita ukuran 350 dan 650 bp pada dihasilkan berkisar antara 2 (OPB 18) jenis A. blimbi (Gambar 1a). Sedangkan hingga 11 (OPN 12) dengan ukuran pita primer OPA 13 dapat digunakan untuk berkisar antara 300 pb hingga 1700 bp karakterisasi jenis A. carambola dan A. (Tabel 2). Dari keseluruhan pita ini, 90.32 dolichorpa karena terdapatnya pita % adalah pita polimorfik dengan rata-rata spesifik ukuran 1200, 1500, 1700 pada jumlah pita polimorfik 5.4 per primer. A. carambola cv Rawasari, serta pita Variasi genetik yang dijumpai pada ukuran 600 bp pada A. dolichorpa seluruh aksesi belimbing umumnya (Gambar 1b). OPB 7 dapat digunakan diperoleh dari perbedaan profil RAPD. untuk karakterisasi kultivar belimbing Sebagian besar 31 pita RAPD dijumpai

Tabel 2. Nama primer, urutan DNA, pita polimorfik dan sebarannya pada setiap jenis / kultivar. Huruf cetak tebal adalah nukleotida tambahan. 1) A. leucopetala, 2) A. dolichorpa, 3) A. carambola, 4) A. blimbi. Nama Urutan DNA primer Jumlah dan Ukuran Ukuran pita unik pada setiap jenis primer ukuran pita pita belimbing (bp) terpendek- umum 1 2 3 4 terpanjang (bp) (bp) OPA 9E 5′ TTGGGTAACGCC 3′ 4 (350-1100) 900 - - 1100 350 650 OPA 13 5′CAGCACCCAC 3′ 6 (600-1700) 800 - 600 1200, 1500, 1700 (cv Rawasari) OPB 7 5′ GGTGACGCAG 3′ 7 (350-1700) - - - 350 (cv - Kunir) 1200 (cv Dewi) OPB 18 5’ CCACAGCAGT 3’ 2 (600-1500) 600 - - 1500 - OPN 12 5′ CACAGACACC 3′′ 11 (300-1400) - - 110 900 300, 600 0

324 Variasi dan Kekerabatan Genetik pada Dua Jenis Baru

manis dengan terdapatnya pita spesifik Analisis pengelompokkan ukuran 350 bp pada A. carambola cv Analisis kluster menunjukkan Kunir dan 1200 bp pada A. carambola pemisahan tanaman belimbing ke dalam cv Dewi (Gambar 1c). Sedangkan OPB kluster yang mengelompok berdasarkan 18 hanya dapat digunakan untuk jenisnya (Gambar 2). Nilai koefisien karakterisasi ketiga kultivar belimbing kesamaan genetik kedelapan aksesi duku manis (Gambar 1d). Primer OPN dapat berkisar antara 25% hingga 100%. Hasil digunakan untuk karakterisasi A. analisis kluster menunjukkan adanya tiga carambola (pita ukuran 900 bp) dan A. kluster (A, B dan C). Kluster A (koefisien blimbi (pita ukuran 300 dan 600 bp) kesamaan 42%) terdiri atas A. (Gambar 1e).

3000 bp 2000 bp 1500 bp 1000 bp 900 bp 800 bp 500 bp

100 bp M 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 M

a b 3000 bp 2000 bp 1500 bp 1200 bp 1000 bp

500 bp 600 bp 100 bp M 1 2 3 4 5 6 7 8 M 1 2 3 4 5 6 7 8

c d

3000 bp 2000 bp 1500 bp

1000 bp

500 bp

100 bp M 1 2 3 4 5 6 7 8 M

Gambar 1. Profil sidik RAPD delapan aksesi belimbing dengan menggunakan primer OPA 9E (a), OPA 13 (b), OPB 7 (c), OPB 18 (d) dan OPN 12 (e). M: GeneRuler 100 bp plus (Fermentas), 1: A. leucopetala, 2-3: A. dolichorpa, 4-6: A. carambola, 7-8: A. blimbi. Anak panah garis putus-putus: pita umum. Anak panah garis solid: pita spesifik. Ukuran pita spesifik sesuai dengan Tabel 2.

325 Kusumadewi Sri Yulita

leucopetala dan A. dolichorpa, kluster dengan PCR sangat bergantung pada B (koefisien kesamaan 51%) terdiri atas bagaimana primer mengenal daerah tiga kultivar blimbing manis (A. komplemennya pada cetakan (template) carambola) dan kluster C (koefisien DNA yang digunakan. Semakin banyak kesamaan 85%) terdiri atas dua aksesi situs penempelan dari primer yang belimbing wuluh (A. blimbi) (Gambar 2). digunakan, maka semakin banyak jumlah Sementara itu, diagram ordinasi 3- pita DNA yang dihasilkan (Tingey et al. dimensi menunjukkan pengelompokkan 1994). yang serupa dengan hasil analisis kluster Secara umum, hasil amplifikasi total (Gambar 3). DNA genom sampel belimbing dengan menggunakan primer terpilih menghasil- PEMBAHASAN kan serangkaian pita-pita, diantaranya ada pita-pita yang umum dijumpai pada Pengamatan terhadap pola pita seluruh sampel dan adapula pita spesifik DNA hasil amplifikasi menunjukkan profil yang hanya ditemukan pada spesies/ DNA yang berbeda-beda. Perbedaan ini kultivar tertentu. Keseluruhan profil pita disebabkan oleh perbedaan urutan yang dihasilkan dari amplifikasi primer nukleotida pada keempat primer yang RAPD inilah yang merupakan sidik DNA digunakan, sehingga menyebabkan setiap jenis/kultivar. perlekatan primer di sepanjang DNA Hasil amplifikasi dengan menggu- genom sampel juga berbeda. Pita yang nakan lima primer RAPD menunjukkan dihasilkan setelah amplifikasi DNA bahwa terdapat kemiripan yang cukup

1

2

3

4

5

6

7

8

0.25 0.44 0.63 0.81 1.00 Coefficient

Gambar 2. Diagram pengelompokkan UPGMA berdasarkan koefiesien kesamaan Jaccard pada delapan aksesi belimbing. 1: A. leucopetala, 2-3: A. dolichorpa, 4-6: A. carambola, 7-8: A. blimbi. Garis putus-putus vertikal: garis referensi.

326 Variasi dan Kekerabatan Genetik pada Dua Jenis Baru

1

6 32 5 4

7 8

Gambar 3. Diagram tiga-dimensi PCA pada delapan aksesi belimbing. 1-2: A. leucopetala, 2- 3: A. dolichorpa, 4-6: A. carambola, 7-8: A. blimbi. Lingkaran menunjukkan pengelompokkan yang sesuai dengan diagram UPGMA pada Gambar 6. tinggi antara profil RAPD pada A. ukuran 350 dan 650 bp, serta primer OPN leucopetala dan A. dolichorpa. Namun 12 pada ukuran 300 dan 600 bp (Gambar tidak ada pita spesifik yang dapat 1d dan 1e). Ada atau tidaknya pita DNA digunakan untuk mengkarakterisasi A. spesifik sangat dipengaruhi oleh situs leucopetala. Sedangkan A. dolichorpa penempelan primer pada cetakan DNA. dapat dikarakterisasi dengan menggu- Weising et al. (1995) berpendapat bahwa nakan primer OPA 13 pada ukuran 600 ada beberapa hal yang menyebabkan bp dan primer OPN 12 pada ukuran 1100 perbedaan pita DNA yang teramplifikasi, bp (Gambar 1b dan 1e). Selain itu, yaitu (1) perubahan nukleotida pada belimbing manis (A. carambola) dapat sampel yang mencegah terjadinya dikarakterisasi dengan menggunakan amplifikasi, (2) delesi pada pelekatan primer OPA 9E pada ukuran 1100 bp, primer, (3) insersi yang menyebabkan OPB 18 pada ukuran 1500 bp, serta OPN daerah pelekatan primer terlalu jauh 12 pada ukuran 900 bp (Gambar 1a, c untuk menyokong terjadinya amplifikasi dan e). Karakterisasi kultivar pada dan (4) insersi dan delesi yang mengubah belimbing manis ini dapat dideteksi produk amplifikasi. dengan menggunakan primer OPA 13 Setiap primer juga menghasilkan (Gambar 1b). Belimbing wuluh (A. produk amplifikasi yang berbeda blimbi) dapat dikarakterisasi dengan spesifitasnya untuk setiap jenis/kultivar. menggunakan primer OPA 9E pada

327 Kusumadewi Sri Yulita

Dalam hal ini primer OPB 7 sangat terpisah dari cv Dewi dan cv Rawasari polimorfik sehingga tidak menghasilkan yang membentuk kelompok dengan pita umum untuk semua jenis yang koefisien kesamaan 64%. Untuk diamplifikasi, sehingga primer ini kurang mengetahui apakah perbedaan ini cocok bila digunakan untuk karakterisasi disebabkan oleh intraspesifik hibrid pada jenis/kultivar belimbing (Gambar 1c). cv Kunir, memerlukan studi lebih lanjut. Sebaliknya primer OPB 18 (Gambar 1d) A. leucopetala dan A. dolichorpa menghasilkan produk PCR dengan membentuk kelompok tersendiri (42%) polimorfisme yang cukup rendah dan yang terpisah dari kelompok belimbing hanya berguna untuk karakterisasi wuluh-belimbing manis (B&C, koefisien belimbing manis. Dengan demikian, kesamaan 32.5%). Sesuai dengan hasil primer ideal yang direkomendasi untuk pengamatan morfologi yang dilakukan digunakan pada karakterisasi jenis dan oleh Rugayah & Sunarti (2008), kedua kultivar belimbing adalah OPA 9E, OPA jenis ini memang berbeda secara 13 dan OPN 12 (Gambar 1a, b dan e). morfologi dari belimbing wuluh dan Hasil analisis pengelompokkan belimbing manis. Perbedaan properti menunjukkan rentang kesamaan genetik genetik kedua jenis belimbing tersebut antara 25-100% mengindikasikan adanya dapat mengindikasikan proses radiasi variasi genetik yang cukup tinggi diantara adaptif tersendiri di wilayah perseba- keempat jenis belimbing. Kelompok rannya di Pulau Papua dan Sulawesi. belimbing wuluh memiliki nilai koefiesien Secara geografi, kawasan Sulawesi dan kesamaan yang lebih tinggi (85%) Papua serta pulau-pulau diantaranya dibanding belimbing manis (51%). Nilai memang memiliki sejarah geologi yang koefisien kesamaan genetik yang tinggi berbeda dengan kawasan Malesia diantara belimbing wuluh artinya bagian Barat, dipisahkan oleh garis keragaman genetik yang lebih sempit. Wallacea. Hal ini mungkin karena belimbing manis Dengan demikian, hasil penelitian ini memiliki banyak lebih kultivar hasil mendukung hasil penelitian Rugayah & budidaya yang lebih intensif dibandingkan Sunarti (2008) yang mendeskripsikan A. belimbing wuluh, sehingga memiliki leucopetala dan A. dolichorpa menjadi keragaman genetik belimbing manis lebih jenis baru yang terpisah dari A. averrhoa luas daripada belimbing wuluh. Kisaran dan A. blimbi. Hasil penelitian juga koefisien sekitar 50% dengan marka menunjukkan bahwa marka RAPD RAPD dapat menunjukkan adanya cukup potensial untuk karakterisasi jenis interspesifik hibrid, sedangkan kisaran dan kultivar belimbing, serta memecah- 61%-99% merupakan kesamaan genetik kan permasalahan taksonomi seperti dalam tingkat spesies pada tumbuhan spesies kompleks yang ada pada jenis- Lilac (Marsolais et al. 1993), 56% pada jenis belimbing. Untuk kerja lanjutan, Mentha spicata dan 49% pada M. penggunakan data molekuler yang lebih Arvensis (Shasany et al. 2005). Di dalam sensitif mendeteksi polimorfisme pada kluster belimbing manis (B), cv Kunir tingkat nukleotida seperti DNA

328 Variasi dan Kekerabatan Genetik pada Dua Jenis Baru

sequencing kemungkinan besar akan lingen uit’s Land Plantentuin 61: menghasilkan resolusi hasil analisis 106-113. G. Kolff & Co. Batavia. kluster yang lebih baik. Kunth, R. 1930. Oxalidaceae (Averr- hoa). Dalam: Engler, A.(ed.). Pfl. UCAPAN TERIMAKASIH R. Verlag von Wilhem Engelmann. Leipzig. 95: 417-419. Penelitian ini sepenuhnya didukung Marsolais, JV., JS. Pringle & BN. White. oleh dana proyek DIPA tahun 2009 yang 1993. Assessment of random berjudul “Kajian genetika plasma nutfah amplied polymorphic DNA buah-buahan Indonesia” Pusat Penelitian (RAPD) as genetic markers for Biologi-LIPI. Terima kasih kepada Ibu determining the origin of inter- Dra. Inggit, Dr. Rugayah, Dr Siti Sunarti, specific lilac hybrids. Taxon 42: Dr. Teguh Triono, dan Dr. Marlina 531-537. Ardiyani yang telah berbaik hati Martin, C., E. Uberhuaga & C. Perez. memberikan material DNA belimbing 2002. Application of RAPD wuluh, belimbing A. dolicharpa dan A. markers in the characterisation of leucopetala. Terima kasih juga kepada Chrysanthemum varieties and the Herlina dan Fajarudin Ahmad atas assessment of somaclonal varia- bantuan teknis yang telah diberikan. tion. Euphytica 127: 247-253. Rohlf, FJ. 1998. NTSYS-PC. Numerical DAFTAR PUSTAKA Taxonomy and Multivariate Analysis. Version 1.8. Exeter Allan, GJ., C. Clark & LH. Reiseberg. Software, New York. 1997. Distribution of parental Rugayah & S. Sunarti. Two new wild DNA markers in Encelia virgi- species of Averrhoa (Oxalidaceae) nensis (Asteraceae: Helian-theae), from Indonesia. Reinwardtia a diploid species of putative hybrid 12(4): 325-334. origin. Pl. Syst. Evol. 205: 205- Samson, JA. 1997. Averrhoa L. Dalam:. 221. Verheij, E.W.M & R.E. Coronel Doyle, JJ. & JL. Doyle. 1990. Isolation (eds). Buah-buahan yang dapat of plant DNA from fresh tissue. dimakan. PROSEA Sumber Daya Focus. 12: 13-15. Nabati Asia Tenggara 2. PT Ferdinandez, YSN. & BE. Coulman. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2002. Evaluating genetic variation 109-112. and relationships among two Shasany, AK., MP. Darokar, S. Dhawan, bromegrass species and their AK. Gupta, S. Gupta, AK. Shukla, hybrid using RAPD and AFLP NK. Patra & SPS. Khanuja. 2005. markers. Euphytica 125: 281-291. J. Heredity 96(5): 542-549. Kooders, SH. & TH. Valeton. 1903. Sebastiani, F., RR. Meiswinkel, LM. Oxalidaceae. Bijdrage No.9 Gomulski, CR. Guglielmino, PS. Boomsroten op Java. Mededee- Mellor, AR. Malacrida & G.

329 Kusumadewi Sri Yulita

Gasperi. 2001. Molecular differen- (eds). Plant Mol. Biol. Pringer. tiation of the Old World Culicoides Berlin. 491-498. imicola species complex (Diptera, Williams, JGK., AR. Kubelik, KJ. Livak, Ceratopogonidae), inferred using JA. Rafalski & SV. Tingey. 1990. random amplified polymorphic DNA DNA markers. Mol.Ecol. 10(7): polymorphisms amplified by arbitrary 1773-1786. primers are useful as genetic Stammers, M., J. Harris, GM. Evans, markers. Nuc. Acids Res. 18: 6531- MD. Hayward & JW. Forster. 6535. 1995. Use of PCR (RAPD) Zervakis, GI., G. Venturella & K. technology to analyse phylogenetic Papadopoulou. 2001. Genetic relationships in the Lolium/Festuca polymorphism and taxonomic complex. Heredity 74: 19-27. infrastructure of Pleurotus Tingey, SV., JA. Rafalski & MK. eryngii species-complex as Hanafey. 1994. Genetic analysis determined by RAPD analysis, with RAPD markers. Dalam: isozyme profiles and ecomorpho- Coruzzi C. & P. Puidormenech logical characters. Microbiology 147: 3183-3194.

Memasukkan Maret 2011 Diterima: Juli 2011

330 Jurnal Biologi Indonesia 7(2): 331-340 (2011)

Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran Horisontal dan Vertikal Katak

Hellen Kurniati Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI, Gedung Widyasatwaloka-LIPI, Jalan Raya Cibinong km 46, Cibinong 16911, Jawa barat, Email: [email protected]

ABSTRACT

The Effect of Environmental Factors on the Horizontal and Vertical Movement of Frogs. Four environmental factors (moon phase, air temperature, water temperature and air humidity) were measured to determine the impact of environmental factors on the dynamics of horizontal and vertical spread of the frog Rana erythraea, R. nicobariensis and Occidozyga lima in a wetland area of Ecology Park, LIPI Campus Cibinong. Observation was done follows transect line (100 meters long) and set along the edge of the lake where the habitat was more diverse compared to the other sites. Observations were carried out from July to November 2009. The position of individual frogs (distance from water’s edge and height from the ground or water) was recorded and then grouped into intervals of 100 cm distance and height each. Correlation analysis between the number of individuals per unit distance or height with environmental factors was measured using the statistical program SPSS version 16.0. The results of this study proved that the air and water temperature as well as air humidity have significant effect on horizontal and vertical ecological distribution of R. erythraea and R. nicobariensis; whereas four environmental factors had no impact on horizontal distribution of O. lima. The movement of R. erythraea was strongly positively correlated with air temperature, but strongly negatively correlated with air humidity; however the abundance of R. nicobariensis was strongly negatively correlated with air temperature and strongly positively correlated with air humidity. Mixed vegetation of species Leerxia hexandra and Eleocharis dulcis at a distance between 0-100 cm from the edge of the water and height between 0-100 cm from the ground constituted the preferred microhabitat of frog species R. erythraea and R. nicobariensis.

Key words: Environmental factors, Rana erythraea, Rana nicobariensis, Occidoziga lima, Ecology Park, wetland.

PENDAHULUAN han tempat sampai lebih dari 200 meter dari perairan, sedangkan jenis yang Jenis-jenis katak yang bersifat bersifat semi-arboreal dapat berada lebih akuatik ataupun semi-akuatik selalu dari satu meter di atas vegetasi sekitar melakukan pergerakan pindah tempat perairan. Dari penelitian Inger (2009) untuk menjauhi atau mendekati perairan. pada tujuh jenis katak asli hutan yang Berdasarkan penelitian Inger (2009), kerap dijumpai yang bersifat akuatik, jenis-jenis katak asli hutan yang bersifat semi-akutik dan semi-arboreal di Borneo semi-akutik dapat melakukan perpinda- tidak mengkaitkan faktor-faktor

331 Hellen Kurniati lingkungan terhadap distribusi horizontal pengaruh lingkungan (fase rembulan, dan vertikal. Untuk mengetahui dampak kelembaban dan suhu udara dan suhu air) faktor lingkungan terhadap pergerakan terhadap penyebaran horizontal dan individu katak, maka dilakukan vertikal katak R. erythraea, R. pengamatan terhadap jenis-jenis non- nicobariensis dan O. lima di lahan basah hutan yang hidup di lahan basah Ecology Ecology Park. Park, Kampus LIPI, Cibinong yang Digunakan metode transek Jaeger terletak pada posisi LS 060 29’ 40.2" ; (1994) dengan kerja sebagai berikut: BT 1060 51’ 06.3" dengan ketinggian a. Transek sepanjang 100 meter tempat 165 meter dari permukaan laut dibentang di bagian tepi danau yang (dpl). mempunyai habitat paling beragam. Tali Tiga jenis katak mendominasi lahan rafia digunakan sebagai pengukur jarak basah Ecology Park, yaitu Rana transek. Tali rafia sepanjang 100 meter erythraea, R. nicobariensis dan diberi nomor sebanyak 10 untuk Occidozyga lima (Kurniati, 2010). menandakan jarak setiap 10 meter. Awal Kelimpahan ketiga jenis katak tersebut dari nomor pada 10 meter pertama adalah sangat berasosiasi kuat dengan beberapa 1. Tali rafia dibentang satu jam sebelum jenis vegetasi lahan basah yang tumbuh pengamatan dimulai pada satu sisi di sekitar dan di dalam perairan danau perairan dengan mengikuti alur dari tepi (Kurniati 2010). Bila dilihat dari danau. habitatnya, R. erythraea dan R. b. Pengamatan dilakukan dengan nicobariensis bersifat semi-akuatik dan berjalan perlahan menyusuri tepi danau; semiarboreal, mereka kadang kala antara pukul 20.30-23.00 malam hari dijumpai pada habitat tanpa air atau di menggunakan lampu senter yang atas vegetasi yang tumbuh di sekitar bersinar kuat untuk menyilaukan matanya danau, sedangkan O. lima bersifat supaya katak tetap diam ditempat. akuatik penuh (Kurniati 2010). Jumlah c. Luas areal yang diamati adalah 10 individu, penyebaran horizontal dan meter ke lebar kanan kiri tepi danau. vertikal ketiga jenis katak tersebut penuh d. Tiap katak yang dijumpai dicatat di dinamika. Berdasarkan dinamika atas lembar data; jaraknya dari tepi tersebut maka dilakukan penelitian untuk danau dan tingginya dari air atau tanah. mengetahui pengaruh faktor lingkungan e. Posisi katak dalam lembar data (fase bulan, suhu udara, suhu air dan kemudian dikelompokkan menurut satuan kelembaban udara) terhadap pergerakan jarak dari tepi danau untuk mengetahui katak. penyebarannya secara horizontal, yaitu dengan pengelompokan: 1) <0 cm: untuk BAHAN DAN CARA KERJA yang tercatat di dalam air; 2) 0-100 cm, >100-200 cm, >200-300 cm, >300-400 Penelitian ini dilakukan selama lima cm, >400-500 cm, >500-600 cm dan bulan (Juli-November 2009) dengan 14 >600-700 cm: untuk yang di luar areal kali pengamatan untuk mengetahui perairan. Pengelompokan secara vertikal

332 Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran berdasarkan tinggi dari tanah atau air, (Tabel 1). Faktor lingkungan yang nyata yaitu: 0-100 cm, >100-200 cm dan >200- mempengaruhi jumlah kehadiran individu 300 cm. R. erythraea adalah suhu udara (r = Catatan tentang fase rembulan, 0.681; p = 0.018); pada R. nicobariensis kelembaban udara, suhu udara dan suhu adalah suhu udara (r = -0.573; p = 0.032) air melengkapi data lingkungan yang dan kelembaban udara (r = 0.572; p = kemungkinan besar mempengaruhi 0.033); tetapi keempat faktor lingkungan penyebaran horizontal dan vertikal yang diukur (fase rembulan, suhu udara, individu ketiga jenis katak tersebut pada suhu air dan kelembaban udara) tersebut mikrohabitatnya. Alat yang digunakan tidak berpengaruh nyata pada kehadiran untuk mengukur suhu udara dan suhu air: O. lima. thermometer digital (ketelitian satu digit Hasil dari pengelompokan jumlah dibelakang koma) merk SATO model individu ketiga jenis katak tersebut SK-2000 MC; pengukur kelembaban berdasarkan penyebarannya secara udara: thermo-hygrometer merk Isuzu horizontal dan vertikal terhadap faktor model 3-1167-01; untuk fase rembulan lingkungan memperlihatkan indikasi yang selama pengamatan berpedoman kepada: kuat untuk jarak dan tinggi tertentu. Hasil http://www.timeanddate.com/ analisis statistik setiap jenis adalah sebagai worldclock/moonrise.html. berikut: Semua data yang diperoleh diuji dengan program statistik SPSS versi R. erythraea 16.0. Analisis korelasi dipakai untuk Faktor lingkungan yang menguji pengaruh dinamika parameter berpengaruh nyata pada penyebaran lingkungan (fase rembulan, kelembaban horizontal individu R. erythraea adalah dan suhu udara dan suhu air) terhadap suhu udara, suhu air dan kelembaban jumlah individu yang dijumpai pada satuan udara. Suhu udara berkorelasi positif jarak dari tepi danau dan satuan tinggi kuat pada jumlah individu untuk jarak dari tanah atau air. Hasil analisis berbeda >100-200 cm dan >200-300 cm (Tabel nyata pada taraf kepercayaan 95% (p 2), semakin naik suhu udara selama d” 0.05). pengamatan maka jumlah individu pada jarak tersebut semakin banyak. Jarak HASIL tersebut sangat terkait dengan lebarnya bagian tepi danau yang ditumbuhi Jumlah kehadiran individu tiga jenis vegetasi lahan basah. Jumlah rata-rata katak yang mendominasi lahan basah individu paling banyak adalah pada jarak Ecology Park sepanjang 100 meter 0-100 cm (42.71±19.71 individu; Tabel panjang transek selama 14 kali 2); pada jarak ini tidak ada faktor pengamatan sangat bervariasi. Jumlah lingkungan berpengaruh nyata pada R. erythraea berkisar antara 48-151 kehadiran individu R. erythraea. Suhu individu, R. nicobariensis antara 10-35 udara berkorelasi positif kuat pada jumlah individu dan O. lima antara 2-18 individu individu untuk ketinggian 0-100 cm (Tabel

333 Hellen Kurniati

Tabel 1. Jumlah individu tiga jenis katak dominan di Ecology Park selama 14 kali pengamatan beserta empat faktor lingkungan yang diukur.

Waktu Jumlah Individu Fase Bulan Suhu Udara Suhu Air Kelembaban Pengamatan (sepanjang transek 100 meter) (%) (0C) (0C) Udara(%) (2009) R. erythraea R. nicobariensis O. lima 9 Juli 104 12 5 98.4 27.5 26.7 63 16 Juli 151 14 7 44.3 26.5 26.0 72 23 Juli 137 15 4 2.0 26.4 26.1 94 6 Agustus 118 11 2 100 27.3 28.8 73 13 Agustus 131 16 18 59.6 27.7 28.2 77 20 Agustus 118 16 17 0.1 27.8 28.4 68 3 September 111 10 11 99.0 27.3 29.3 73 10 September 116 26 7 73.8 25.8 28.0 90 24 September 120 19 11 32.8 24.7 27.8 96 15 Oktober 79 35 9 12.4 25.3 26.8 90 29 Oktober 91 17 11 81.3 26.6 29.3 84 12 November 77 25 8 24.7 25.4 27.9 88 19 November 64 17 7 6.2 25.3 26.1 91 25 November 48 20 7 55.5 23.7 27.2 97 Rataan±SD 104.64±29.25 18.07±6.74 8.86± 49.29±37.21 26.24±1.24 27.61±1.15 82.57±11.28 4.50

2); pada ketinggian ini rata-rata jumlah mengindikasikan menurunnya individu paling banyak (102.79±27.74 kelembaban udara memicu jumlah individu; Tabel 2). Ketinggian ini individu meningkat pada jarak <0 cm. sepertinya merupakan mikrohabitat yang Untuk mengatasi turunnya kelembaban disukai individu R. erythraea, karena udara, individu R. erythraea yang berada daun rumpun vegetasi paling padat yang pada areal terbuka bergerak mendekati kemungkinan besar menjaga kestabilan air. suhu mikroklimat dari dinamika suhu Hasil penelitian ini mengindikasikan udara lingkungan. Suhu air berkorelasi penyebaran horizontal dan vertikal positif kuat pada jumlah individu untuk individu R. erythraea dipengaruhi oleh jarak >100-200 cm; sedangkan faktor suhu udara dan suhu air yang kelembaban udara berpengaruh negatif berkorelasi positif, sedangkan kuat pada kehadiran individu R. kelembaban udara berkorelasi negatif. erythraea pada jarak <0 cm (di dalam Untuk meminimalkan faktor lingkungan perairan danau). Jarak <0 cm merupakan yang dinamis, individu R. erythraea areal yang terbuka, sedikit sekali rumpun mencari mikrohabitat yang nyaman yang vegetasi yang tumbuh di sini, tersedia di rumpun vegetasi lahan basah kemungkinan besar dinamika di sekitar perairan danau (Kurniati 2010). kelembaban udara sangat terasa bagi Fungsi rumpun vegetasi ini sangat penting individu R. erythraea. Kondisi ini bagi kehidupan katak R. erythraea

334 Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran

cm cm (jumlah r = 0.292 0.292 = r r = 0.038 0.038 = r p = 0.312 p = 0.181 p = 0.897 p = 0.198 individu) >200-300 r = -0.379 r = -0.366 cm cm r = 0.168 0.168 = r r = 0.105 0.105 = r p = 0.567 p = 0.128 p = 0.721 p = 0.332 (jumlah r = -0.427 r = -0.280 individu) >100-200 . Tinggi Dari Tanah Atau Air (jumlah r = 0.098 0.098 = r r = 0.635 0.635 = r r = 0.153 0.153 = r p = 0.077 p = 0.740 p = 0.601 0-100 cm r = -0.488 individu) p = 0.015** R. erythraea cm cm (jumlah individu) >600-700 r = -0.39 r = 0.061 0.061 = r p = 0.351 p = 0.152 p = 0.835 p = 0.896 r = -0.270 r = -0.404 cm (jumlah (jumlah individu) individu) >500-600 r = 0.273 0.273 = r r = 0.112 0.112 = r r = 0.167 0.167 = r p = 0.345 p = 0.703 p = 0.494 p = 0.568 r = -0.199 cm cm (jumlah individu) >400-500

r = 0.352 0.352 = r p = 0.216 p = 0.514 p = 0.329 p = 0.210 r = -0.191 r = -0.282 r = -0.357 cm cm (jumlah individu) >300-400 r = 0.323 = 0.323 r p = 0.260p = p = 0.850p = p = 0.367p = p = 0.495p = r = -0.058r = r = -0.261r = r = -0.199r = cm cm p = p = (jumlah individu) >200-300 0.028** 0.028** r = 0.346 0.346 = r r = 0.586 0.586 = r r = 0.161 0.161 = r p = 0.198 p = 0.226 p = 0.583 r = -0.366 Jarak Dari Tepi Perairan (danau) Perairan Tepi Dari Jarak cm cm p = p = p = p = (jumlah individu) >100-200 0.030** 0.030** 0.039** 0.039** r = 0.580 0.580 = r r = 0.557 0.557 = r r = 0.236 0.236 = r p = 0.144 p = 0.416 r = -0.412 (jumlah 0-100 cm individu) r = 0.514 0.514 = r r = 0.039 0.039 = r p = 0.230 p = 0.639 p = 0.060 p = 0.894 r = -0.343 r = -0.138 <0 cm <0 cm (jumlah individu) p = 0.281 p = 0.153 p = 0.209 r = -0.628 p=0.016** p=0.016**

Korelasi antara faktor lingkungan dan jumlah individu pada setiap satuan jarak tinggi jenis Udara Suhu Air r = -0.310 Fase Bulan 0.358 r = Rataan±SD 3.71±5.30 42.71±19.71 20.50±6.05 24.07±8.81 7.64±5.57 5.36±3.82 1.00±2.45 0.29±1.07 102.79±27.74 1.79±4.30 0.07±0.27 Suhu Udara 0.403 r = Kelembaban Korelasi Korelasi Dengan Faktor Lingkungan Tabel 2. Tabel ** berbeda nyata pada p = 0.05 335 Hellen Kurniati dalam menghadapi perubahan alami hexandra dan Eleocharis dulcis yang faktor lingkungan. juga merupakan mikrohabitat yang disukai R. nicobariensis dan R. R. nicobariensis erythraea (Kurniati 2010). Faktor lingkungan yang Kelembaban udara berkorelasi berpengaruh nyata terhadap dinamika positif kuat terhadap jumlah individu R. jumlah individu R. nicobariensis adalah nicobariensis pada ketinggian 0-100 cm suhu udara pada jarak 0-100 cm dengan (Tabel 3), jumlah individu bertambah nilai korelasi negatif kuat, kemudian sejalan dengan naiknya kelembaban kelembaban udara pada jarak yang sama udara. Pada ketinggian ini rata-rata dengan nilai korelasi positif kuat (Tabel jumlah individu R. nicobariensis 3). Kondisi yang terjadi pada individu R. terbanyak (18.07±6.74 individu; Tabel 3), nicobariensis terhadap suhu udara dan begitu pula jumlah rata-rata individu R. kelembaban udara merupakan kebalikan erythraea (lihat Tabel 2). Antara individu dari individu R. erythraea; pada R. R. erythraea dan R. nicobariensis nicobariensis, semakin rendahnya suhu terjadi persaingan untuk mendapatkan udara selama pengamatan menyebabkan mikrohabitat di sepanjang 100 meter bertambahnya individu pada jarak 0-100 panjang transek yang terdapat rumpun cm. Rendahnya suhu udara biasanya vegetasi. Berdasarkan hasil analisis, diikuti dengan naiknya kelembaban korelasi jumlah individu dua jenis ini adalah udara, karena kedua faktor ini negatif, tetapi tidak cukup kuat (r = - berhubungan dengan kondisi lingkungan 0.423; p = 0.132). Hasil regresi linier yang basah setelah hujan. Rata-rata (Rn=28.28-0.09753Re) memperlihatkan jumlah individu pada jarak 0-100 cm dari bahwa terjadi kecenderungan tepi perairan adalah terbanyak (7.79±4.56 menurunnya jumlah individu R. individu; Tabel 3); di dalam jarak ini nicobariensis bila jumlah individu R. terdapat rumpun vegetasi Leerxia erythraea bertambah (Gambar 1). Tabel 3. Korelasi antara faktor lingkungan dan jumlah individu pada setiap satuan jarak dan tinggi jenis R. nicobariensis.

Korelasi Jarak Dari Tepi Perairan (danau) Tinggi Dari Dengan Faktor Tanah/Air Lingkungan <0 cm 0-100 cm >100-200 cm >200-300 cm >300-400 cm >400-500 cm 0-100 cm

Rataan±SD 0.07±0.27 7.79±4.56 5.00±2.99 3.57±2.50 1.29±1.20 0.36±0.50 18.07±6.74 Fase Bulan r = 0.080 r = -0.417 r = -0.368 r = -0.019 r = 0.194 r = -0.217 r = -0.430 p = 0.786 p = 0.138 p = 0.195 p = 0.947 p = 0.507 p = 0.456 p = 0.124 Suhu Udara r = 0.339 r = -0.656 r = -0.400 r = 0.193 r = -0.095 r = -0.271 r = -0.573 p = 0.236 p = p = 0.157 p = 0.508 p = 0.748 p = 0.349 p = 0.032** 0.011** Suhu Air r = 0.147 r = -0.227 r = 0.063 r = -0.228 r = 0.319 r = -0.373 r = -0.175 p = 0.617 p = 0.436 p = 0.831 p = 0.434 p = 0.266 p = 0.189 p = 0.550 Kelembaban r = -0.142 r = 0.556 r = 0.475 r = -0.217 r = 0.270 r = 0.317 r = 0.572 Udara p = 0.628 p = p = 0.086 p = 0.456 p = 0.350 p = 0.269 p = 0.033** 0.039** ** berbeda nyata pada p d” 0.05

336 Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran

O. lima tubuhnya di dalam air, hanya matanya Faktor-faktor lingkungan yang terlihat di permukaan air (Iskandar 1998; diukur tidak ada yang berpengaruh nyata Kurniati 2010). Katak ini biasanya aktif kepada dinamika jumlah individu O. lima mengeluarkan suara dan duduk di atas (Tabel 4). Kemungkinan karena sifat daun Teratai yang mengapung tidak jauh katak ini yang akuatik penuh dapat dari tepi danau. mengatasi kondisi tidak nyaman dari Penyebaran horizontal individu O. dinamika faktor lingkungan dengan lima maksimum pada jarak >100-200 cm. berendam diri di dalam air. Jenis O. lima Jarak 0-200 cm merupakan perairan yang mempunyai kebiasaan membenamkan dangkal dengan kedalaman sekitar 40 cm

Rn = 28.28 - 0.09753 Re

35

30

25

20 R. nicobariensis R.

15

10

50 75 100 125 150 R. erythraea

Gambar 1. Grafik regresi linier antara jumlah individu R. erythraea dan R. nicobariensis pada 100 meter panjang transek.

Tabel 4. Korelasi antara faktor lingkungan dan jumlah individu pada setiap satuan jarak untuk jenis O. lima.

Korelasi Dengan Faktor Jarak Dari Tepi Perairan (danau) Lingkungan <0 cm 0-100 cm >100-200 cm (jumlah individu) (jumlah individu) (jumlah individu) Rataan±SD 6.00±4.42 2.57±3.01 0.29±0.61 Fase Bulan r = 0.013 r = -0.288 r = -0.120 p = 0.964 p = 0.318 p = 0.682 Suhu Udara r = 0.418 r = -0.115 r = -0.409 p = 0.137 p = 0.696 p = 0.146 Suhu Air r = 0.236 r = 0.276 r = -0.039 p = 0.416 p = 0.340 p = 0.894 Kelembaban Udara r = -0.318 r = 0.142 r = 0.343 p = 0.268 p = 0.629 p = 0.230 ** berbeda nyata pada p d” 0.05

337 Hellen Kurniati dan dasar perairan berlumpur. Jenis ini dulcis yang juga dihuni individu R. banyak dijumpai di persawahan (Iskandar erythraea (Kurniati 2010). Ke- 1998) yang berair dangkal dan dasar mungkinan besar fenomena ini berlumpur. Kemungkinan besar katak ini merupakan strategi kedua jenis katak ini tidak dijumpai lebih dari 200 cm di dalam untuk meminimalkan persaingan dalam perairan danau Ecology Park mendapatkan mikrohabitat yang nyaman disebabkan dalamnya air pada bagian pada rumpun vegetasi yang disukai pertengahan danau. mereka. Jenis O. lima mempunyai relung terpisah dengan R. erythraea dan PEMBAHASAN R. nicobariensis; mikrohabitat juga berbeda, O. lima bersifat akuatik penuh, Suhu udara berpengaruh nyata sedangkan R. erythraea dan R. pada kehadiran individu R. erythraea dan nicobariensis bersifat semi-akuatik dan R. nicobariensis, tetapi pada R. semi-arboreal. Kehadiran O. lima tidak erythraea suhu udara berkorelasi positif, banyak dipengaruhi faktor-faktor makin tinggi suhu udara selama lingkungan yang diukur kemungkinan pengamatan maka jumlah kehadiran besar karena sifatnya yang akuatik individu makin bertambah; sedangkan penuh. pada R. nicobariensis berkorelasi Penyebaran horizontal individu R. negatif, makin rendah suhu udara selama erythraea lebih jauh (Tabel 2) pengamatan maka kehadiran individu dibandingkan individu R. nicobariensis makin banyak. Bertambahnya jumlah (Tabel 3), mereka dapat mencapai jarak individu R. erythraea sejalan dengan >600-700 cm dari tepi perairan, meningkatnya suhu udara mengindika- sedangkan R. nicobariensis hanya sikan jenis ini aktif bergerak menyebar mencapai jarak >400-500 cm; selain itu pada lokasi transek yang diamati. penyebaran vertikal individu R. Sebagian besar individu aktif berada pada erythraea (Tabel 3) juga lebih tinggi rumpun vegetasi lahan basah L. dapat mencapai >200-300 cm dari hexandra dan E. dulcis yang tumbuh di permukaan tanah (Tabel 5), sedangkan bagian tepi danau (Kurniati 2010). R. nicobariensis maksimum hanya 0- Kemungkinan besar rumpun vegetasi ini 100 cm. Jumlah individu yang banyak merupakan mikrohabitat yang nyaman pada R. erythraea kemungkinan besar bagi individu R. erythraea dalam menjadi penyebab utama lebarnya menjaga kestabilan suhu mikroklimat. pergerakan individu R. erythraea untuk Kondisi sebaliknya terjadi pada R. meminimalkan kompetisi antar individu; nicobariensis, semakin rendah suhu kondisi ini membuat individu R. lingkungan dan bertambahnya ke- nicobariensis harus berkompetisi agar lembaban udara maka jumlah individu mendapatkan mikrohabitat yang nyaman yang hadir semakin bertambah. Jenis ini di rumpun vegetasi. juga terlihat aktif bersuara di sela-sela Sifat biologi R. erythraea yang rumpun vegetasi L. hexandra dan E. aktif sejalan dengan meningkatnya suhu

338 Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran udara, sedangkan R. nicobariensis aktif erythraea dan R. nicobariensis pada sejalan dengan menurunnya suhu udara areal transek sepanjang 100 meter. kemungkinan basar berpengaruh besar Korelasi pada R. erythraea positif kuat, terhadap distribusi vertikal kedua jenis sedangkan pada R. nicobariensis katak ini. Di Kalimantan distribusi negatif kuat; (2) Penyebaran horizontal vertikal R. erythrae mulai dari 0-500 dan vertikal individu R. erythraea meter dpl, sedangkan R. nicobariensis dipengaruhi oleh faktor suhu udara dan antara 100-1150 meter dpl (Inger 2005). suhu air yang berkorelasi positif kuat, Di Jawa R. erythraea dapat dijumpai sedangkan kelembaban udara berkorelasi mulai dari dataran rendah sampai negatif kuat; (3) Penyebaran horizontal ketinggian 1110 meter dpl, sedangkan R. dan vertikal individu R. nicobariensis nicobariensis mulai dari daerah pantai dipengaruhi oleh faktor suhu udara yang sampai ketinggian 1500 meter dpl berkorelasi negatif kuat, sedangkan (Iskandar 1998; Kurniati dkk 2000; kelembaban udara berkorelasi positif Kurniati 2003; Liem 1973). kuat; (4) Rumpun vegetasi lahan basah Berdasarkan ukuran tubuh, jantan pada jarak dan ketinggian 0-100 cm dewasa R. erytrhraea asal Jawa merupakan mikrohabitat yang disukai R. berkisar antara 30-45 mm, betina antara erythraea dan R. nicobariensis; (5) 50-75 mm; sedangkan jantan dewasa R. Faktor lingkungan (fase bulan, suhu nicobariensis asal Jawa berkisar antara udara, suhu air dan kelembaban udara) 35-45 mm, betina antara 45-50 mm tidak berpengaruh nyata pada (Iskandar, 1998). Kisaran ukuran tubuh penyebaran horizontal O. lima. jantan dewasa kedua jenis katak ini tidak jauh berbeda, sedangkan kisaran ukuran UCAPAN TERIMA KASIH tubuh betina dewasa berbeda nyata, betina R. erythraea lebih besar Ucapan terima ksih kepada Wahyu dibandingkan betina R. nicobariensis. Tri Laksono dan Saiful yang telah Kemungkinan lebih besarnya ukuran membantu sepenuhnya penelitian di tubuh pada betina R. erythraea menjadi lapangan. Ucapan terima kasih juga penyebab jenis ini merasa nyaman hidup diberikan kepada Proyek Kegiatan pada daerah dataran rendah dengan suhu Insentif Bagi Peneliti Dan Perekayasa lingkungan yang hangat. Untuk DIKTI-LIPI tahun 2009 yang telah membuktikan ini perlu dilakukan membiayai seluruh kegiatan penelitian penelitian yang lebih mendalam mengenai ini. Terakhir kali ucapan terima kasih fisiologi katak R. erythraea. diberikan kepada Dr. Arjan Boonman yang telah membantu dalam KESIMPULAN memperbaiki abstrak bahasa Inggris.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan: (1) Suhu udara berpengaruh nyata pada dinamika jumlah individu R.

339 Hellen Kurniati

DAFTAR PUSTAKA nian Institution Press. Washington. 103-107 Inger, RF. 2005. The systematics and Kurniati, H. W. Crampton, A. Goodwin, zoogeography of the amphibians A. Locket & S. Sinkins. 2000. of Borneo. Natural History Herpetofauna diversity of Ujung Publication (Borneo). Kota kulon National Park: An inventory Kinabalu. results in 1990. J. Biol. Res. 6 (2): Inger, RF. 2009. Contributions to the 113-128. natural history of seven species of Kurniati, H. 2003. Amphibians and bornean frogs. Fieldiana Zool. reptiles of Gunung Halimun (116): 1-25. National Park, West Java, Iskandar, DT. 1998. Amfibi Jawa dan Indonesia. Research Center for Bali. Puslitbang Biologi-LIPI. Biology-LIPI. Cibinong. Bogor. Kurniati, H. 2010. Keragaman dan Jaeger, RG. 1994. Transect sampling. kelimpahan jenis katak serta Dalam : Heyer, WR., MA. hubungannya dengan vegetasi pada Donnely, RW. McDiarmid, LC. lahan basah “Ecology Park”, Hayek & MS. Foster (editors). Kampus LIPI Cibinong. Berita Measuring and monitoring Biologi. 10 (3):283-296 biological diversity, standard Liem, DSS. 1973. The frogs and toads method for amphibians Smithso- of Tjibodas National Park, Mt. Gede, Java, Indonesia. The Philippine J. Sci. 100 (2): 131-161.

Memasukkan: April 2011 Diterima: Juli 2011

340 Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 341-359 (2011)

Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912 di Bali Bagian Barat

Mas Noerdjito 1,3), Roemantyo 1), &Tony Sumampau 2,3)

1)Research Centre for Biology – LIPI, CSC, jl Raya Jakarta Bogor, Km 46, Cibinong 2) Taman Safari Indonesia, Cisarua-Bogor 3) Asosiasi Pelestari Curik Bali, TSI, Cisarua-Bogor

ABSTRACT

Habitat Reconstruction of Bali Starling Leucopsar rothschildi Stresemann 1912 in Western Part of Bali Island. Bali Starling Leucopsar rothschildi Stresemann 1912 is an endemic species of north western part of lowland of Bali Island. The land use changes of original habitat Bali Straling to resettlement and agriculture area since the year 1980, has caused this species moved to the marginal habitat in the Prapatagung Peninsula and resided in Telukkelor areas. In wet season this bird in Prapatagung Peninsula can have enough food from vegetation in the monsoon forest in Telukkelor, but in dry season the birds must look for the food in evergreen forest near Prapatagung. At the end of 2005, this species was categorized as an extinct species in the wild, but population in captured are still abundant. In 2007 and 2008, the release of this bird in the nature has been done in Prapatagung peninsula area. In following year bird monitoring showed that some pairs of these birds can breed sucessfully. The development of Bali province has caused the end of adding more the electrical power supply from Java electrical power system. To transmite the electrical power to Bali, extra high voltage electrical power transmission infrastructure (SUTET) that will be passing and cutting the lowland forest ecosystem in Prapatagung Peninsula is needed. Other infrastructures such as Jawa–Bali bridge and high way were under studied to develop in similar area. The infrastructures were assumed will decrease the carrying capacity of evergreen forest in supporting Bali Starling food especially during dry season. Based on the recent condition, study on the habitat recovery of Bali Starling should was conducted especially on the original habitat that already changed. The results showed that local state land tenure of Sumberklampok, Sumberbatok, Tegalmuara and Tanjunggelap as in the past known as Bali Starling habitat should be returned back their function as home of Bali Starling. To support this action plant inventarisation has been conducted to understand the rest of plant diversity in supporting Bali Starling conservation.

Key words: Bali starling, Leucopsar rothschildi, reconstruction, habitat.

PENDAHULUAN di dataran rendah pulau Bali bagian barat laut, antara Bubunan dengan Gilimanuk Burung Curik bali Leucopsar (Paardt 1926); namun tidak terdapat di rothschildi (Stresemann, 1912) semenanjung (Sem.) Prapatagung (Balen merupakan satwa endemik Indonesia. dkk. 2000). Pertambahan penduduk Secara alami, spesies ini hanya terdapat

341 Noerdjito dkk.

menyebabkan hampir seluruh habitat Batulicin – Prapatagung; (2) melalui Curik bali dialihfungsikan untuk Telukbrumbun – Tanjungkotal - mendukung kehidupan masyarakat; Tegalbunder. Oleh karena itu, adanya antara Bubunan dengan Banyuwedang hutan mala hijau yang cukup luas sangat diubah menjadi lahan pertanian dan diperlukan bagi kelestarian Curik bali di pemukiman sedangkan kawasan alam. Sumberklampok dan Sumberbatok Oleh berbagai sebab, pada saat diubah menjadi perkebunan kelapa dan melakukan survei pada Desember 2005, kapuk. Perubahan tersebut, diduga, Noerdjito bersama beberapa wartawan menyebabkan berkurang atau terputus- anggota Forum Komunikasi Satwa Liar nya daur ketersediaan pakan dan/ atau Indonesia (FOKSI, tidak dipublikasikan) hilangnya tempat persarangan bagi Curik sama sekali tidak dapat menemukan bali sehingga pada tahun 1980 populasi Curik bali yang hidup bebas di Sem. Curik bali yang tersisa tergeser ke Sem. Prapatagung. Kenyataan ini dikuatkan Prapatagung (Balen dkk. 2000). oleh keterangan beberapa petugas Perpindahan ke tempat yang tidak pernah lapangan TN Bali Barat. Sadar akan mereka huni sebelumnya dapat diartikan fungsi penting Curik bali bagi (a) bahwa Sem. Prapatagung sebenarnya kelestarian alam, (b) kebanggaan bukan kawasan yang sepenuhnya dapat masyarakat Bali, (c) hubungan diplomatik mendukung kehidupan Curik bali; atau dengan negara sahabat, serta (d) masih sebenarnya hanya merupakan daerah adanya Curik bali di berbagai lembaga “marginal” bagi kehidupan Curik bali. konservasi maupun di tangan masyarakat Di Sem. Prapatagung, Curik bali maka pada tahun 2006 dibentuklah menempati hutan musim (monsoon Asosiasi Pelestari Curik Bali (APCB). forest) di sekitar pos Telukkelor sampai Misi utama APCB adalah membantu pos Lampumerah. Pada musim hujan, Dep Kehutanan untuk memulihkan hutan musim bersemi dan diikuti dengan populasi Curik bali di alam. Sejak awal meledaknya populasi serangga pakan APCB bekerjasama dengan berbagai Curik bali di berbagai spesies tumbuhan Instansi Pemerintah (terutama Puslit yang sedang menghijau. Pada musim Biologi – LIPI yang telah melakukan kemarau, pada saat daun-daun di hutan penelitian lebih dahulu) serta lembaga musim berguguran, serangga pakan konservasi eks-situ (terutama Taman maupun buah-buahan tidak lagi tersedia Safari Indonesia) lainnya. Disepakati di daerah ini. Akibatnya, Curik bali bahwa pemulihan populasi Curik bali terpaksa harus mencari pakan di hutan akan dilakukan di Sem. Prapatagung. mala hijau (evergreen forest) dan Pemulihan diawali dengan mengembali- sekitarnya di daerah antara pos kan kemampuan individu-individu Curik Prapatagung dengan pos Tegalbunder. bali yang telah beberapa generasi hidup Dikenal 2 jalur terbang Curik bali dari di dalam sangkar sehingga dapat hutan musim menuju hutan mala hijau, bertahan hidup di alam bebas. Tempat yaitu: (1) melalui Lampumerah – pelepasliaran dipilih di tempat perkem-

342 Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi

bangbiakannya, yaitu di hutan musim di Namun untuk menghindari hal-hal dekat pos Telukbrumbun, Telukkotal dan yang tidak diinginkan, yang mungkin baru di Tanjunggelap. Pada tahun 2007 dan akan timbul dikemudian hari, maka dinilai 2008 sebagian dari hasil penangkaran perlu untuk segera melakukan kajian lembaga konservasi dilepasliarkan di tiga ulang dampak pembangunan SUTET tempat tersebut dan beberapa di serta kemungkinan jalur jalan tembus dari antaranya berhasil berkembang biak. pos Lampumerah ke pos Sumberklampok Kenyataan menunjukkan bahwa, terhadap fungsi hutan mala hijau sebagai bagi manusia, setiap jengkal lahan bersifat sumber kehidupan Curik bali di musim multiguna. Hal ini berlaku juga bagi kemarau. Jika pembangunan tersebut kawasan Sem. Prapatagung. Di satu sisi, diperkirakan akan berdampak negatif sampai dengan tahun 2008, peruntukan maka perlu segera dilakukan penyediaan Sem. Prapatagung masih “mutlak” habitat baru atau merestorasi bekas sebagai kawasan pelestarian Curik bali. habitat Curik bali di lahan yang masih Namun di sisi lain, untuk mendukung memungkinkan. Penelusuran bekas pariwisata, Pulau Bali memerlukan habitat Curik bali dapat dilakukan dengan pasokan listrik dari pembangkit di Jawa. mengumpulkan data habitat di masa Pada akhir tahun 2010 telah disepakati lampau serta mengobservasi beberapa bahwa pasokan listrik dari Jawa akan kawasan yang diperkirakan masih dilakukan melalui saluran udara tegangan memiliki komponen habitat yang mirip tinggi (SUTET). Menara di ujung Jawa dengan habitat Curik bali di masa lampau akan dibangun di Watudodol sedangkan untuk ditelaah struktur, komposisi dan tipe di ujung Bali akan dibangun di dekat pos vegetasinya. Dengan modal data Lampumerah. Kedua menara tersebut tersebut diharapkan model dan konstruksi dibangun setinggi 375 meter. Listrik habitat Curik bali dapat dibangun kembali. kemudian dialirkan melalui jalur pos Lampumerah, Batulicin, pos Prapatagung BAHAN DAN CARA KERJA kemudian diseberangkan ke gardu induk Gilimanuk. Selain SUTET, menurut Menelusuri pengaruh SUTET dan rencana, antara Watudodol di Jawa Timur rencana jalan tembus terhadap eko- dengan pos Lampumerah di Bali juga sistem dataran rendah yang dilalui, akan dibangun jembatan penghubung terutama hutan mala hijau. Jawa Bali. Direncanakan pula, untuk 1.Melakukan pencitraan (analisis spasial) menghubungkan ujung jembatan di pos di Sem. Prapatagung untuk menggam- Lampumerah dengan jalur jalan barkan tipe ekosistem dan batas hutan Gilimanuk – Singaraja di Sumberklampok mala hijau. akan dibangun jalan penghubung melalui 2. Memperkirakan kemungkinan jalur Batulicin, pos Prapatagung dan pos jalan tembus berdasarkan kekerasan Tegalbunder. Secara rinci, rencana jalur batuan dasar serta topografi yang tidak belum ada. terlalu berbukit-bukit.

343 Noerdjito dkk.

3.Menumpangsusunkan jalur SUTET Berdasarkan pertimbangan bahwa dan rencana jalan di atas peta citra ad. membuat jalan di atas pantai berlumpur, A.1. hutan bakau atau pun perbukitan akan Menelusuri tipe habitat Curik bali di memerlukan biaya yang sangat tinggi masa silam. maka diperkirakan jalur jalan tembus pos 1. Mencari dan merekonstruksi peta Lampumerah - Batulicin - pos Prapat- lama yang memuat gambaran ekosistem agung - pos Tegalbunder akan melawati Bali masa lalu. jalur sebagaimana tergambarkan pada 2. Menumpangsusunkan titik-titik Gambar 2. koleksi spesimen Curik bali ke atas peta Setelah peta citra di tumpang- lama ad. B.1. susunkan dengan peta rencana pemasa- 3. Menelusur tipe tanah serta curah ngan SUTET dan peta kemungkinan hujan kawasan Bali bagian barat. jalan tembus terlihat bahwa dataran 4. Menentukan kawasan bekas rendah antara pos Lampumerah dengan habitat Curik bali yang memiliki pos Sumberklampok terpotong-potong kemungkinan untuk direhabilitasi. menjadi beberapa segmen; sedangkan hutan mala hijau akan terpotong oleh jalan Penelusuran spesies tumbuhan di tembus. habitat Curik bali. 1. Menelusur spesies tumbuhan di Menelusuri tipe habitat Curik bali di kawasan bekas ekosistem savana masa silam. maupun hutan mala hujau di Bali bagian Diperoleh beberapa peta topografi barat. lama yang diterbitkan sebelum tahun 2. Metoda yang dipakai adalah 1950 (van Carnbee, P. Baron Melvill transek. 1856; Topographisch bureau, 1905; Koninklijke Vereeniging Java Motor Club, HASIL 1922; Topographische Dienst 1932; Topographische Dienst 1935 dan Army Pengaruh SUTET dan rencana jalan Map Service 1950). Dari peta-peta terhadap ekosistem dataran rendah tersebut, Topographische Dienst (1935) serta hutan mala hijau: dinilai cukup menggambarkan ekosistem Dari peta Citra Ikonos May 20, 2009 Bali bagian barat dimasa lampau. Peta (Space Imaging 2000) yang telah diberi tersebut kemudian diberi referensi referensi geografi: WGS1984 UTM geografi: WGS1984 UTMZone 50S Zone 50S dalam Proyeksi Transverse dengan Projection Transverse Mercator, Mercator, Datum: DWGS 1984 Datum: DWGS1984. digambarkan tempat-tempat penting yang Data keterdapatan Curik bali dimasa terkait dengan konservasi Curik bali di lampau hasil kompilasi titik temuan oleh kawasan hutan Bali bagian barat Balen dkk. (2000) yang ditumpangsu- (Gambar 1) serta hutan mala hijau sunkan di atas Topographische Dienst (Gambar 2). menunjukkan bahwa pada masa lampau

344 Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi

Gambar 1. Citra Ikonos May 20, 2009 (Space Imaging 2000) dengan tempat-tempat penting di kawasan hutan Bali bagian barat. Citra Ikonos telah di beri referensi geografi: WGS1984 UTM Zone 50S. Projection: Transverse Mercator, Datum: DWGS1984

Gambar 2. Peta rencana SUTET, perkiraan letak jembatan Jawa- Bali dan perkiraan jalan tembus dari pos Lampumerah sampai pos Sumberklampok. Citra Ikonos May 20, 2009 (Space Imaging 2000) dan Shuttle Radar Topography Mission (USGS 2004) dengan kawasan hutan mala hijau (evergreen forest). Citra Ikonos telah di beri referensi geografi: WGS1984 UTMZone 50S. Projection: Transverse Mercator, Datum: DWGS 1984

345 Noerdjito dkk.

Curik bali umumnya hidup di savana dan Bagian utara Bali bagian barat hutan campuran basah. memiliki iklim kering dengan curah hujan Secara teoritis, seluruh savana dan yang sangat rendah, sehingga hutan campuran basah di Bali bagian dikelompokkan ke dalam kategori D4 (3 barat yang telah dialihfungsikan dapat - 4 bulan basah dan lebih dari 6 bulan dipulihkan kembali; namun biaya kering). Sedangkan bagian selatan pembebasan lahan diperkirakan akan memiliki iklim yang lebih basah sehingga sangat tinggi. Ekosistem savana dan dikelompokkan ke dalam kategori D3 (3 hutan campuran basah yang seharusnya - 4 bulan basah dan 4 - 6 bulan kering). dapat dipulihkan tanpa melakukan Dari peta tanah (RePPProt 1989) terlihat pembebasan lahan adalah lahan milik bahwa sebaran utama Curik bali, di pantai negara. Lahan tersebut terdapat di utara berada di atas tanah andosol dan Sumberklampok, Sumberbatok, regosol sedangkan di bagian selatan Tegalmuara dan Tanjunggelap. Keempat berada di atas tanah aluvial. Dengan kawasan ini menjadi sangat penting perbedaan tipe tanah masih sangat sulit artinya bagi kelestarian Curik bali untuk untuk mempersempit pemilihan sehingga dapat disebutkan sebagai lokasi rehabilitasi lahan. Namun dengan kawasan penting keanekaragaman memperhatikan peta sistem lahan hayati. (RePPProt 1989) diketahui bahwa

Gambar 3. Sebaran alami curik bali (Leucopsar rothschildi Stresemann 1912) sebelum tahun 1950. Sumber: Topografische dienst, Batavia 1935). Peta telah di beri referensi geografi: WGS1984 UTMZone 50S. Projection: Transverse Mercator, Datum: DWGS1984

346 Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi

hampir seluruh daerah sebaran Curik bali Perubahan struktur ini diperkirakan akan berada di atas batuan aluvium. Kawasan menyebabkan ekosistem lebih terbuka yang berada di atas batuan aluvium yang sehingga dapat mempermudah burung- kepemilikannya masih berada di tangan burung pemangsa menyambar Curik bali Negara c.q. Pemerintah Daerah yang sedang terbang atau pun yang Kabupaten Buleleng hanyalah sedang hinggap untuk beristirahat. Selain Sumberklampok - Sumberbatok. Dengan itu, dalam proses pembuatannya, demikian, Sumberklampok - Sumber- tentunya semua bahan akan diangkut batok merupakan lokasi prioritas untuk melalui jalan yang telah ada sehingga ada direkonstruksi menjadi habitat Curik bali kemungkinan perlu dilakukan pelebaran kembali. atau pelurusan jalan yang memiliki peluang timbulnya gangguan terhadap Penelusuran spesies tumbuhan di kehidupan berbagai jenis satwa. habitat Curik bali. Gangguan mungkin juga dapat timbul dari Dari hasil penelusuran dijumpai 146 pancaran medan listrik yang cukup besar spesies tumbuhan; termasuk walikukun dari SUTET terhadap berbagai spesies (Schoutenia ovata), kaliombo satwa yang beraktivitas di dekatnya. (Terminalia microcarpa), kemloko Bagi manusia, medan listrik dari SUTET (Phyllanthus emblica) serta talok sangat merugikan kesehatan. (Grewia koordensis) yang biasa Memperkirakan jalur jalan tembus dimanfaatkan Curik bali untuk bersarang. dilakukan berdasarkan pertimbangan Hasil selengkapnya dapat dilihat di bahwa pembangunan jalan akan lampiran. menghindari hutan mangrove, lahan berlumpur serta tempat-tempat dengan PEMBAHASAN topografi berbukit-bukit. Hasil perkiraan, jalan tembus akan memotong ujung hutan SUTET dan jalan tembus mala hijau sebagaimana tersaji dalam Peta keberadaan jalur kabel serta Gambar 2. Dampak negatif yang timbul letak tiang SUTET yang ditumpang- bukan hanya munculnya akibat susunkan pada peta citra menunjukkan pengalihfungsian tegakan hutan menjadi bahwa bakal jaringan ini berada cukup badan jalan beserta sempadannya tetapi jauh dari hutan mala hijau sehingga, juga dampak fragmentasi yang timbul. berdasarkan jarak, seolah-olah Dampak fragmentasi adalah tergeser- pembangunan SUTET tidak akan nya ekotone menjauhi badan dan berpengaruh negatif bagi keberlanjutan- sempadan jalan sehingga akan nya hutan mala hijau (Gambar 2). mempersempit luasan hutan mala hijau. Namun dengan dibangunnya SUTET Ekotone yang mungkin timbul diperkira- maka akan terjadi perubahan struktur kan dapat mencapai 500 meter dari sisi dan komposisi vegetasi di kawasan jalur sempadan jalan sehingga luas hutan mala terbang Curik bali yang melalui hijau yang efektif fungsinya diperkirakan Lampumerah – Batulicin – Prapatagung. hanya akan tersisa sekitar 0,6 sampai 0,5

347 Noerdjito dkk.

bagian; secara tepat, lebar ekotone yang penduduk. Sejak tahun 1922, pemerintah mungkin akan timbul perlu diteliti lebih (Belanda) mulai membuka kesempatan lanjut. dengan menyewakan beberapa kawasan Kompilasi data yang disampaikan (persil/lahan) untuk diusahakan oleh oleh Balen (2000) menunjukkan bahwa pihak swasta di Sem Prapatagung. Sejak sejak tahun 1991 - 1994 jumlah Curik bali awal tahun 1926 dan 1930 an, kawasan yang dapat bertahan hidup di Sem hutan di Telukterima - Sumberrejo dan Prapatagung hanya berkisar antara 34 – sekitarnya telah dibuka oleh pemerintah 55 ekor. Dengan demikian dapat Belanda untuk dijadikan perkebunan diperkirakan bahwa pada musim hujan, kelapa, hutan jati dan pemukiman hutan musim hanya dapat menyediakan penduduk (Voogd 1937). Sejak saat itulah tempat persarangan maksimal bagi 27 didatangkan banyak pekerja, baik dari pasang Curik bali; atau pada musim Madura maupun Bali sendiri. Pada tahun kemarau, hutan mala hijau hanya dapat 1936 hutan di daerah Celukan bawang, mendukung pakan bagi sekitar 55 ekor terutama yang cukup air, juga dibuka Curik bali. Padahal untuk dapat lestari dijadikan sawah. Sedangkan di bagian populasi optimal (minimum viable baratnya, mulai dari Grogak, dibuka untuk population) burung produktif adalah 500 kawasan pemukiman dan usaha ekor. Oleh karena itu, ada atau pun tidak pertanian lahan kering (Voogd 1937). adanya program pemasangan SUTET Pada tahun 1950 an kawasan ini menjadi maupun pembuatan jalan penghubung, lebih ramai karena meningkatnya untuk melestarikan Curik bali di alam kegiatan perkebunan dan bertambahnya perlu dicarikan atau dibuatkan habitat pemukiman akibat dibuatnya infrastruktur yang lebih luas. jalan. Dari penumpangsusunan daerah Menelusuri tipe habitat Curik bali di sebaran Curik bali masa lampau dengan masa silam. peta topografi lama (Topografische Tampilan kawasan Bali bagian barat Dienst 1935) terlihat bahwa tempat yang disajikan pada beberapa seri peta- didapatnya spesimen koleksi di Bubunan, peta topografi lama yang diterbitkan Celukanbawang, Grogak, Pulaki, Goris, sebelum tahun 1950 (van Carnbee, Labuhanlalang, Sumberbatok, Sumber- P.Baron Melvill 1856; Topographisch klambok, Sumberrejo dan Gilimanuk bureau 1905; Koninklijke Vereeniging semuanya berada di ekosistem savana Java motor club 1922; Topographische dan hutan campuran basah (Gambar 3). dienst 1932; Topographische dienst 1935 Jika sebaran Curik bali masa lampau dan Army Map Service 1950), ditumpangsusunkan pada citra satelit menunjukkan bahwa sampai sekitar tahun 2009 (Space Imaging 2000), tahun 1930 an kawasan pulau Bali bagian tampak bahwa habitat Curik bali barat belum banyak dihuni oleh umumnya sudah berubah fungsinya. masyarakat; bahkan masih merupakan Kawasan Gilimanuk sudah menjadi hutan yang belum banyak disentuh oleh kawasan pemukiman padat; kawasan

348 Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi

Sumberklampok, Telukterima sampai ke Lantana camara, Mimosa invisa, Bubunan merupakan desa yang cukup Melanolephis glandulosa, Zanthoxyl- padat; kawasan hutan produksi di sebelah lum rhetza, Schoutenia ovata. Di timur Sumberklampok dan Sumberbatok kawasan sekitar G Prapatagung (300 m) telah dibuka dijadikan hutan kemasyara- terdapat tegakan Manilkara kauki katan; kawasan Tegalmuara telah murni; di daerah pantai tumbuh Pemphis menjadi hutan tanaman; kawasan acidula, Premna integrifolia, Tanjunggelap telah ditetapkan sebagai Guettarda speciosa dan juga beberapa zona pemanfaatan yang dikelola oleh spesies tumbuhan mangrove seperti pihak swasta. Dengan demikian terlihat Rhizophora apiculata, Avicienia spp., bahwa perombakan habitat Curik bali Luminitzera sp., Ceriops tagal, telah dimulai oleh penjajah Belanda sejak Ceriops decandra. Di sekitar tahun 1922 dan terus dilanjutkan sampai Gilimanuk tercatat ada Borassus 2 - 3 tahun lalu dengan mengubah flabellifer, Ziziphus nummularia, kawasan hutan produksi di sebelah timur Acacia leucophloea dan Phyllanthus Sumberklampok dan Sumberbatok emblica. Umumnya spesies-spesies menjadi hutan kemasyarakatan. tersebut juga terdapat di kawasan savana Sebagaimana disebutkan di atas, dekat Sumberbatok, Sumberklampok, ekosistem savana dan hutan campuran hingga sampai di sekitar Telukterima. basah yang seharusnya dapat dipulihkan Kemudian ditemukan juga tumbuh di tanpa melakukan pembebasan lahan sepanjang pantai utara pulau Bali bagian adalah lahan milik negara. Lahan barat mulai dari Labuanlalang, sekitar tersebut terdapat di Sumberklampok, Banyuwedang, Pegametan, Pamuteran Sumberbatok, Tegalmuara dan Tanjung- sampai di sekitar Bubunan dekat gelap. Sedangkan berdasarkan batuan Singaraja. Spesies-spesies herba yang pendukungnya Sumberklampok - banyak ditemukan adalah dari suku Sumberbatok merupakan lokasi prioritas Poaceae dan didominasi oleh rumput untuk direkonstruksikan menjadi habitat (Isachne globosa) sehingga tampak Curik bali kembali. seperti karpet hijau. Sedangkan di pinggirnya lebih banyak ditumbuhi alang- Penelusuran spesies tumbuhan di alang (Imperata cylindrica). habitat Curik bali. Observasi lapangan yang dilakukan Penelusuran pustaka terhadap di hutan Tanjunggelap ditemukan sekitar spesies tumbuhan di kawasan hutan 146 spesies tumbuhan yang tergolong musim habitat Curik bali menunjukkan dalam 119 marga dan 45 suku (lihat komposisi tumbuhan dengan perawakan lampiran). Spesies yang dilaporkan ini herba, perdu/semak dan pohon. TN Bali baru berasal dari kawasan hutan Barat sendiri memiliki daftar tumbuhan Tanjunggelap yang luasnya kira-kira dengan jumlah sekitar 175 spesies. kurang dari sepertiga dari seluruh Beberapa spesies tumbuhan hutan sekitar kawasan TN Bali Barat. Suku-suku dari Prapatagung (Voogd 1937) antara lain kelompok Fabaceae, Euphorbiaceae,

349 Noerdjito dkk.

Poaceae, Rutaceae dan Malvaceae Schleichera oleosa, Vitex pubescens, adalah yang paling sering dijumpai Ziziphus nummularia, Phyllanthus anggota spesiesnya. Beberapa spesies emblica, Manilkara kauki, Sterculia tumbuhan yang terdapat di kawasan ini foetida, Erythrina variegata, Tamarin- tergolong dalam spesies yang sudah dus indica. Namun kemung-kinan besar semakin sulit ditemukan, antara lain struktur dan komposisinya telah berbeda Rauvolfia serpentina, Santalum sp. karena ada kemungkinan beberapa (cendana), Strychnos lucida, Zizyphus spesies sudah semakin terbatas horsfieldii, Zizyphus rotundifolia, populasinya. Walaupun demikian, untuk Brucea javanica, Protium javanicum, memulihkan kawasan Sumberklampok, Flacourtia indica dan Zanthoxylum Sumberbatok, Tegalmuara dan Tanjung- rhetsa. Sedangkan beberapa spesies gelap menjadi savana dan hutan ternyata memiliki assosiasi dengan Curik campuran basah, di kawasan ini masih bali baik sebagai penyedia pakan, tempat tersedia cukup banyak spesies sebagai- bersarang dan mengasuh anak. Spesies- mana dihasilkan dalam inventarisasi ini. spesies tersebut antara lain adalah Tercatat pula bahwa terdapat spesies Acacia leucophloea, Lantana camara, pendatang seperti Acacia nilotica, Erythrina variegata, Passiflora Acacia auriculiformis (akasia), Cissus foetida, Strychnos lucida, Sterculia sp, Dalbergia latifolia (sonokeling), foetida, Deeringia sp., Zizipus sp. dan Tectona grandis (jati), Pterocarpus beberapa spesies Ficus spp. (Sieber indicus (angsana), Gliricidia sepium 1978.; Sungkawa dkk. 1974; Helvoort (gamal), Leucaena leucocephala dkk. 1986; Soewelo 1976). (lamtoro) dan Widelia biflora, tampak Jika ditinjau dari kondisi alam mulai berkembang di kawasan ini. kawasan yang memiliki curah hujan yang Spesies-spesies pendatang ini perlu rendah vegetasi kawasan ini menunjuk- segera dikendalikan pertumbuhannya kan keragaman yang cukup tinggi karena dapat menjadi sangat dominan (Oldemann 1980). Jumlah yang sehingga dapat mengalahkan spesies mencapai 146 spesies tumbuhan di tumbuhan asli kawasan ini. sebuah kawasan hutan semusim disebuah hutan Tanjunggelap dengan luas sekitar KESIMPULAN 600 hektar menunjukkan keanekaraga- man yang cukup tinggi. Jika dibanding- Baik SUTET maupun (rencana) kan dengan spesies-spesies vegetasi yang jalan penghubung antara jembatan Jawa- dilaporkan oleh Voogd (1937), tampak Bali dengan jaringan jalan yang telah ada banyak di antara spesies yang masih dapat dipastikan akan berdampak dapat ditemukan di kawasan observasi terpotong-potong (fragmentasi) dan seperti Acacia leucophloea, Corypha menyempitnya berbagai ekosistem utan, Borassus flabelifer, Schoutenia dataran rendah antara pos Lampumerah ovata, Grewia eriocarpa, Albizia dengan pos Sumberklampok di Sem lebbeckoides, Azadirachta indica, Prapatagung. Salah satu tipe ekosistem

350 Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi

yang akan terganggu adalah satu-satunya Waluyo SHut yang banyak memberi hutan mala hijau yang saat ini merupakan penjelasan tentang rencana tapak satu-satunya penyedia pakan Curik bali SUTET serta Sdr Putu Yasa yang banyak di musim kemarau. membantu kegiatan di hutan mala hijau. Baik pembangunan SUTET maupun Penelitian ini dibiayai oleh Proyek jalan penghubung antara jembatan Jawa- DIKTI – LIPI di Pusat Penelitian Biologi Bali dengan jaringan jalan yang telah ada tahun 2010 dengan tambahan dana dari harus tetap terlaksana namun Curik bali APCB. juga harus tetap lestari dan berfungsi di dalam ekosistem hutan Bali bagian barat. DAFTAR PUSTAKA Untuk melestarikan Curik bali perlu merevitalisasi habitat Curik bali yang Army Map Service 1954. Singaradja T - masih merupakan tanah negara. Habitat 503, Indonesia, scale 1:250.000. paling sesuai untuk di-revitalisasi adalah Corps of Engineer US Army, Sumberbatok, Sumberklampok, Tegal- Washington DC. Army Map muara dan Tanjunggelap. Service, Corps of Engineer. Telah teridentifikasi 146 spesies Bakosurtanal 1999. Peta Rupa Bumi dan tumbuhan yang diperlukan untuk Topografi Digital, Skala 1:250.000. mendukung kehidupan Curik bali; baik Bakosurtanal 1999. sebagai tempat penyedia pakan secara Balen, van S., IWA. Dirgayusa, IMWA. berkelanjutan maupun tempat untuk Putra & Herbert H.T. Prins.2000. bersarang. Status and distribution of the Berbagai spesies tumbuhan endemic Bali Starling Leucopsar pendatang telah teridentivikasi kebera- rothschildi. Oryx 34 (3): 188-197. daannya di hutan Bali bagian barat. Jika Hadiwidjojo, MMP., H. Samodra & dibiarkan, hal ini sangat membahayakan TC.Amin 1998. Peta Geologi kelestarian ekosistem, termasuk Lembar Bali, Nusatenggara. P3 kelestarian Curik bali. Geologi. Noerdjito, M. 2005. Pola Persarangan UCAPAN TERIMAKASIH Curik Bali Leucopsar rothschildi Stresemann 1912 dan Kerabatnya Penulis mengucapkan terima kasih di Taman Nasional Bali Barat. kepada Dr. Balgooy, Dr. Welzen, Dr. de Berita Biologi 7(4): 215-222. Wilde, Dr. Adema, dan Dr. Berg dari Paardt, Th. van der 1926. Manoek Herbarium Leyden Belanda yang telah Poetih; Leucopsar rothschildi. membantu dalam mengidentifikasi Tropische Natuur 15(5): 169-173. beberapa spesies spesimen koleksi yang USGS 2004, Shuttle Radar Topography telah dikumpulkan. Ucapan terimakasih Mission, 3 Arc Second scene juga kami sampaikan kepada Joko SRTM_ffB03_p117r066, Unfilled Unfinished 2.0, Global Land Cover Facility, University of Maryland,

351 Noerdjito dkk.

College Park, Maryland, February 2000. RePPProt 1989. Land System, Land Use. Review of phase I results. Java and Bali. Land Resources Departement, Overseas Develop- ment Administration, United Kingdom and Derektorat Jendral Bina Program - Direktorat Jenderal Penyiapan Pemukiman, Depar- temen Transmigrasi. Sungkawa, W., D. Natawirya, RS. Amongprawira & F. Kurnia 1974. Pengamatan Jalak Putih (Leuco- psar rothschildi) di Taman Perlin- dungan Alam Bali Barat. Laporan No. 95. Lembaga Penelitian Hutan. (ii + 29) hlm. Voogd, CNA. 1937. Botanische aantekeningen van de Kleine Soenda. Eilanden III. Bali Zoals een toerist het niet ziet. Trop. Natuur 26: 1-9, 37-40. Space Imaging (2000), IKONOS, Level Standard Geometrically Corrected, GeoEye, Dulles, Virginia, May 20, 2009

352 Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi r r r r r r r r r r r r r r r r r r i i Hutan/beluka Hutan/beluka Hutan/beluka Hutan/beluka Hutan/beluka Hutan/beluka n n k k n l ipa Panta N (L.f.) Pohon(L.f.) Jaran Kayu Hutan/beluka L. Herba Kirinyuh Tekelan, Hutan/beluka L. Herba Pengukan Hutan/beluka (L.) Bth. Ex Bth. Ex (L.) Perdupanda Pule Miq. Pohon (Willd.) (Raufulfia) Pule Perdu Hutan/beluka Callotropis Tanah (Pers.) Perdu Kontol semar Hutan/beluka Burm. f. Burm. Pohon Trengulu L. Pohon Jeruju Panta Forst.f. Pohon alas Kendal Kendal, Hutan/beluka (L.) Less. Herba Vernonia Tanah terbuka (Vahl) Masamune (Vahl) Perdu Kesingen/kesinen Hutan/beluka sp. Pohon trompet Bunga Hutan/beluka (L.) DC. (L.) Herba Widelia Buch-Ham. Pohon terbuka Tanah Kayu sono Wurmb M angrove (Burm. f.) DC. f.) (Burm. Herba Blumea Hutan/beluka sp Herba antananMidosari, besar, Hutan/beluka Linn Pohon banyu Kendal Hutan/beluka Bl. M erambat Bayem angi sp Herba Spilanthes Hutan/beluka sp M erambat Bayem angi sp Perdu Acanthaceae (landep ?) Tanah Terbuka sp. Pohon Kenda eeringia ydrocotyle spathacea olichandrone arleria serpentina auvolfia lumea lacera uphatorium odoratum adermachera javanicum rotium B D H R B E D R P Acanthus ilicifolius Uvaria rufa Alstonia angustifolia Thevetia peruviana fruticans Nypa Callotropis gigantea Ageratum conyzoides Spilanthes Vernonia cinerea Widelia biflora Carmona retusa dichotoma Cordia Cordia mixa Cordia odora Crateva 1: Spesies tumbuhan yang ditemukan di kawasan hutan musim Tanjunggelap TN Bali Barat. Tanjunggelap 1: Spesies tumbuhan yang ditemukan di kawasan hutan musim Amarantaceae SukuAcanthaceae Acanthaceae Anonaceae SpesiesApiaceae Apocynaceae Apocynaceae Apocynaceae Arecaceae Asclepiadaceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Perawakan Nama DaerahAsteraceae Bignoniaceae Tempat tumbuh Boraginaceae Boraginaceae Boraginaceae Boraginaceae Burseraceae Capparidaceae Asteraceae Asteraceae Bignoniaceae Lampiran

353 Noerdjito dkk. r r r r r r r r r r r r r r r r Hutan/beluka Hutan/beluka terbuka Tanah Hutan/beluka Hutan/beluka Pantai en n g g n k i atikan mas Tanah terbuka uta/menen p b Buta-buta, Kayu buta- Kayu Buta-buta, Desv Merambat Kacangan terbuka Tanah L. Pohon (L.) Hallier.f. (L.) Merambat Hutan/beluka L. Pohon Kemloko Hutan/beluka (Roxb.) Willd. (Roxb.) Pohon (DC.) Bth. Pilang Pohon Tekik Hutan/beluka Hutan/beluka L. M erambat Saga, Saga manis Hutan/beluka L. Herba Meniran terbuka Tanah (Lour.) Merr.(Lour.) Pohon Asuli Hutan/beluka Bl. Pohon Putiha Burm.f. Merambat Bun dingin-dingin Hutan/beluka M err. M erambat Bligo, Gambas alas Hutan/beluka L. Herba (Bl.) Muel.Arg. (Bl.) Perdu Katu hutan Hutan/beluka (L.) Del.Willd ex Pohon Akasia Hutan/beluka sp. Pohon Amer terbuka Tanah sp Perdu kancu Bauhinia/Tiga Hutan/beluka sp. Herba Kopi-kopia sp Perdu Jara sp. Pohon Patikalah Hutan/beluka sp. Pohon Kibihan sp. Pohon Sul erremia tridentata orana volubilis aegyptiaca uffa virgata reynia monoica ridelia uphorbia hirta emblica hyllanthus niruri hyllanthus auhinia atropa pomoea Abrus precatorius Abrus I M P L B B E J P P B Croton argytatus Croton nilotica Acacia Acacia leucophloea Acasia Albizia lebekkoides Albizia mucunoides Calopogonium Excoecaria agallocha Glochidion . Lanjutan Fabaceae SukuConvolvulaceae Convolvulaceae Convolvulaceae Cucurbitaceae SpesiesEuphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Perawakan Nama DaerahEuphorbiaceae Fabaceae Fabaceae Tempat tumbuh Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Lampiran 1

354 Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi r r r r r r r r r r r r r r i Tanah terbuka Tanah terbuka Tanah terbuka Tanah Hutan/beluka Hutan/beluka Hutan/beluka Hutan/beluka Hutan/beluka Panta Hutan/beluka g g m m g i i m u m Perdu Hutan/beluka Pohon Sonokeling Hutan/beluka Perdu paksa Sida terbuka Tanah (L.) W.& A. W.& (L.) Pohon Hutan/beluka (Retz.) Poir. Perdu Gereng-gereng,enceng- Hutan/beluka L. Herba Lampes Tanah terbuka Burm.f. Perdu kunin Kembang L. Pohon Ase L. Pohon War (Burm.f.) Merr.(Burm.f.) Pohon kem/ruke L. Herba Sidagori terbuka Tanah (L.) Sweet. Perdu Kapasan Hutan/beluka J.R.& G.Forst. J.R.& Perdu Sentig R.Br. Pohon Kayu pahit, Kipahit Hutan/beluka L. Perdu Mimosa terbuka Tanah (Bl. Ex Korth.) Bth. Ex (Bl. Merambat Ketepen Bun L. Perdu Ketepen sp Herba Desmodiu sp Perdu Boehmeria terbuka Tanah sp. Perdu Busta sp. Pohon Kuanj sp. Perdu Gamal laut Tanah terbuka laut Tanah sp. Perdu Gamal sp Pohon Hutan/beluka sp Pohon Girang-girang Hutan/beluka imosa pudica albergia latifolia esmodium ichrostachys cineria ibiscus tiliaceus rythrina variegata variegata rythrina hanera fulfa ongamia lacourtia indica lacourtia itsea eea emphis acidula oehmeria D D D E M P P F F L L P B H Cassia surattensis Cassia cannabina Sesbania Tamarindus indica Ocimum basillicum Strychnos lucida indicum Abutilon rhomboidea Sida Ormocarpum sennoides Cassia alata Cassia . Lanjutan M alvaceae SukuFabaceae SpesiesFabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Flacoutiaceae Perawakan Nama DaerahFlacoutiaceae Lamiaceae Leeaceae Tempat tumbuh Loganiaceae Lythraceae M alvaceae Urticaceae M alvaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Lauraceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Lampiran 1

355 Noerdjito dkk. r r r r r r r r r r r r r r r r r r r Hutan/beluka Hutan/beluka Hutan/beluka Hutan/beluka Hutan/beluka Hutan/beluka Hutan/beluka Hutan/beluka g n n m k i k k yirih Hutan/beluka ahitan (Axonopus)ahitan terbuka Tanah entawas (nyirih)entawas Hutan/beluka N b p (Lamk) Herba(Lamk) Pring-pringanterbuka Tanah (L.) L.(L.) Pohon Kayu Putih Hutan/beluka (Lamk) (Lamk) Pohon Vent. Perdu kasiha Kecubung (Swartz) Herba Koen. Pohon F.v. M. F.v. Pohon Gelam-gela (L.) Soland.ex Soland.ex (L.) Pohon Rami-ramia laut, waru R.& S. Perdu Cabe-cabe/pisang-pisan Juss. Mangrove Intaran Hutan/beluka (Cav.) Dalz. & Perdu Thespesia Hutan/beluka (L.) Pers.(L.) Herba rumput kawatan terbuka Tanah L. Pohon Apa L. Merambat Santiet Hutan/beluka Dandy Herba keling/pring- Alang terbuka Tanah Vahl Perdu Lemp en (L.) Gaertn. (L.) Herba (jampang) Andropogon? terbuka Tanah Roxb M erambat melati hutan Hutan/beluka Lour. Pohon Serut Pungut, Hutan/beluka Miq. Pohon Krese Aiton. Pohon Hutan/beluka sp Merambat Fibraurea Hutan/beluka sp Pohon Kelampo sp Pohon Bunut Hutan/beluka elaleuca leucadendron ylocarpus granatum ylocarpus moluccensis ibraurea icus microcarpaicus icus virens superbaicus assiflora foetida leusine indica oganatherum paniceum osephinia imperatricis osephinia Otochloa nodosa Otochloa X X F F F F F M P J E P Thespesia populnea Thespesia lampas Thespesia Azadirachta indica Streblus asper floridum Aegiceras Ardisia humilis Osbornea octodonta Syzygium imbricata Olax compresus Axonophus Cynodon dactyton Cynodon . Lanjutan Lampiran 1 Poaceae Poaceae SukuM alvaceae M alvaceae M eliaceae M Spesies eliaceae M eliaceae M enispermacea M oraceae M oraceae M oraceae M oraceae M oraceae M yrsinaceae M yrsinaceae M yrtaceae Perawakan Nama DaerahM yrtaceae M yrtaceae Olacaceae Passifloraceae Tempat tumbuh Pedaliaceae Poaceae Poaceae Poaceae

356 Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi r r r r r r r r r i i i i i i i i i i Tanah terbuka/ terbuka/ Tanah Hutan/beluka Panta Panta Panta Panta Hutan/beluka Hutan/beluka l n k g k g g l Mangrove Tanjan Mangrove Tanjan Mangrove Tingi Panta (L.) Lmk(L.) Mangrove Tinjang (bakau), Panta Tinjang Lmk M angrove Panta (Fortst.f.) Pohon Kayu bo Willd. M angrove Kedukdu Bl. M angrove Tanjang slengkreng Panta Lamk Perdu Beko (L.) Bl. (L.) Mangrove putih Tinjang Panta Bl. Perdu Landepan terbuka Tanah Bl. Merambat Ketketbukal Hutan/beluka Griff. Mangrove gandu Tinjang (L.) Hack.(L.) Herba merak Padang terbuka/ Tanah L. Pohon Tibah Hutan/beluka (Burm. f.) Merr. (Burm. Herba jukut lararia (Perr.) C.B.Robins. Mangrove Tingi Panta (King &Gamble) Perdu Delimoan Hutan/beluka sp Perdu(jeruk- Duri-durian Hutan/beluka l sp. Perdu Tanah terbuka sp. Perdu Kemuning alas Hutan/beluka sp Perdu Kengken sp. Perdu Klau Hutan/beluka sp Herba Borreria terbuka Tanah eyna grisea eyna orinda citrifolia usaenda icromelum minutum icromelum iziphus horsfieldii iziphus rotundifolia ruguiera cylindrica ruguiera gymnorrhiza racemosa umnitzera anamalayana hizophora hizophora apiculata hizophora lamarckii hizophora mucronata hizophora stylosa orreria eroniella Clausena Canthium horridum Z Z B B L R R R R R B M M M F M M Spinifex littorius australis Ceriops taga Ceriops Glycosmis Themeda arguens Themeda . Lanjutan Lampiran 1 Rutaceae Rubiaceae Rubiaceae SukuPoaceae Rhamnaceae SpesiesRhizoporaceae Rhizoporaceae Rhizoporaceae Rhizoporaceae Rhizoporaceae Rhizoporaceae Rhizoporaceae Rhizoporaceae Rhizoporaceae Rhizoporaceae Perawakan Nama DaerahRubiaceae Rubiaceae Tempat tumbuh Rubiaceae Rutaceae Rutaceae Rutaceae Rutaceae Poaceae Rhamnaceae

357 Noerdjito dkk. r r r r r r r r r r r r r r r r r r r r r r Hutan/beluka Hutan/beluka Hutan/beluka Hutan/beluka r m g n angkal buaya Hutan/beluka p Pohon Kitejo Hutan/beluka Pohon Gua suma (jati Belanda) Hutan/beluka (Roxb.) Pohon(Roxb.) Kilayu Hutan/beluka k (Roxb.) DC. (Roxb.) Pohon (Lour.) Oken(Lour.) Pohon Lm kesambi Hutan/beluka Jacq. Pohon wase Kayu Dryand.ex PohonDryand.ex Dungu Juss. Pohon Trengayunan,Kantabibi/ Hutan/beluka Lour. Perdu Hutan/beluka (Willd.)Burr. Pohon Kapalan Hutan/beluka Korth. Pohon Walikukun Hutan/beluka L. PohonL. Tanjung Hutan/beluka (L.) Merr.(L.) Perdu Kayu makasa L. Pohon Kepuh Hutan/beluka BI. BI. Pohon anggerun L. Perdu Tapen-tapen (ulir-ulir) Hutan/beluka J.E.Smith Mangrove Prapat/Pidada Hutan/beluka e sp. Perdu Hutan/beluka sp Perdu Boehmeria terbuka Tanah sp. Pohon Cendana Hutan/beluka sp. Perdu Hutan/beluka sp. Perdu Hutan/beluka sp. Pohon Hutan/beluka imusops elengi endromyza viscosa odonaea elicteres ixora eritiera littoralis anthoxylum rhetsa rubiginosum episanthes rucea javanica errya cordifolia oehmeria Z D D L M B H H B B Todalia Santalum Guioa oleosa Schleichera alba Sonneratia Guazuma ulmifolia Sterculia Sterculia foetida Grewia eriocarpa ovata Schoutenia Celtis philipensis Trema cannabina Trema oriental . Lanjutan Lampiran 1 SukuRutaceae Rutaceae Santalaceae Santalaceae SpesiesSapindaceae Sapindaceae Sapindaceae Sapindaceae Sapotaceae Simaroubaceae Sonneratiaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Perawakan Nama DaerahSterculiaceae Sterculiaceae Tiliaceae Tiliaceae Tempat tumbuh Tiliaceae Ulmaceae Ulmaceae Ulmaceae Urticaceae

358 Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi r r r r r i i Tanah terbuka Tanah Hutan/beluka Hutan/beluka i i i M erambat Girang-girang Hutan/beluka Pohon Jat (L.)Gaertn. Perdu laut Gambir Hutan/beluka e L. Mangrove Api-api Panta k (Forsk.)Vierh. Mangrove Api-api Panta L. Perdu Keras Vahl Pohon Klipe/laban Hutan/beluka L. Lam PohonLiligund Laban, antana camara L Avicennia marinaAvicennia Avicennia officinalis inerm Clorodendrum pubescens Vitex trifoliataVitex repens Cissus Tectona grandisTectona . Lanjutan

Memasukkan Juli 2010 Diterima: Agustus 2011 SukuVerbenaceae Verbenaceae Verbenaceae Verbenaceae SpesiesVerbenaceae Verbenaceae Vitaceae Perawakan Nama Daerah Tempat tumbuh Verbenaceae Lampiran 1

359 Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 361-374 (2011)

Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat Curik Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) di Kawasan Labuan Lalang, Taman Nasional Bali Barat

Roemantyo Pusat Penelitian Biologi – LIPI, Cibinong Science Centre, Jl Raya Jakarta – Bogor, Km 46. Cibinong, Bogor. E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Vegetation structure and composition of Bali Starling (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) Habitat at Labuan Lalang monsoon forest, Bali Barat National Park. Research was conducted in Labuan Lalang monsoon forest, Bali Barat National Park in May 2010 to identify their vegetation structure and composition of plant species communities in this area. This information was important as basic data for developing model for habitat reconstruction of endemic Bali starling birds (Leucopsar rothschildi Stresemann 1912). Several ecological parameters information such as name species, frequency, density and abundance of individual species were collected for qualitative an quantitative analyses. The result showed that 93 species belonging 84 genera and 37 families were found in this area. Some plant species were recorded as endangered such as Strycnos lingustrina, Helicteres ixora, Protium javanicum, Rauvolfia serpentina, Zanthoxylum rhetza, Ziziphus rotundifolia, Ceriops tagal, Flacourtia indica, and Santalum album. The important species that composed in this forest were dominated by Grewia ericocarpa , Schoutennia ovata (Tiliaceae) and followed by Vitex trifoliata and Abutilon indicum. The species diversity and evenness index of Shannon-Wiener indicated that species diversity in this forest were not too high and the populations on unstable condition. Principal Coordinat Analyses (PCO) on the tree height and altitude data of every tress showed that tree species associated to Bali starling were found on the 10 – 25 m tree hiehgt community and occupied in the area of 40 – 60 m asl. The problems and real condition of the area as the habitat of Bali starling were discussed in this paper.

Key words: vegetation, species diversity, Bali starling, Bali Barat National Park

PENDAHULUAN Barat. Secara taksonomi karagaman daerah tersebut cukup tinggi, mengingat Penelitian eksplorasi yang dilakukan kawasan tersebut tergolong kering oleh Arinasa dkk. (2010), menunjukkan dengan curah hujan rendah dan bulan tidak kurang 146 jenis tumbuhan yang hujan yang pendek (Oldemann 1980). digolongkan dalam 45 suku dan 119 Disamping itu kawasan hutan zona marga telah dicatat terdapat di kawasan pemanfaatan Labuan lalang yang luasnya hutan semusim zona pemanfaatan hanya sekitar 600 hektar ini merupakan Labuan lalang Taman Nasional Bali zona pemanfaatan yang dikelola sebagai

361 Roemantyo tempat ekowisata bersama pihak swasta komposisi dan struktur vegetasi (Taman Nasional Bali Barat 2005). dikumpulkan berdasarkan parameter Dari catatan sebelumnya diperoleh yang mudah diukur. Parameter tersebut informasi bahwa jenis-jenis tumbuhan adalah nama dan jumlah jenis, jumlah yang berassosiasi dengan Curik bali individu tiap jenis, luas tajuk tiap jenis, (Leucopsar rothschildi Stresemann serta tinggi dari tiap individu. Semua 1912) ditemukan di kawasan ini; seperti parameter yang dikumpulkan kemudian pohon Acacia leucophloea, Schoutenia diperhitungkan dengan membanding- ovata, Grewia eriocarpa, Albizia kannya dengan satuan luas kawasan lebbeckoides, Azadirachta indica, sebagai cuplikan yang diteliti. Untuk Schleichera oleosa, Vitex pubescens, keperluan tersebut maka penelitian Ziziphus nummularia, Phyllanthus dilakukan dengan membuat petak pada emblica, Manilkara kauki, Sterculia kawasan hutan Labuan lalang (600 foetida, Erythrina variegata, Tama- hektar). Ada enam transek yang dibuat rindus indica (Helvoordt 1987, Balen sesuai dengan metode “point –centered et al. 2000, Arinasa dkk. 2011). Quarter Analyses” (Meuller-Dombois & Berdasarkan kajian Noerdjito (2005) Ellenberg 1974) sepanjang kira-kira 1 km kondisi lingkungan kawasan ini telah di seluruh kawasan. Penempatan transek ditelaah sebelumnya menunjukkan bentuk ditentukan secara acak dari batas pinggir “miniatur” habitat asli Curik bali salah kawasan ke bagian tengah kawasan satunya dapat dilihat di kawasan ini hutan zone pemanfaatan Labuan lalang. meskipun tidak lengkap. Hingga saat ini Untuk memudahkan pembuatan transek memang sudah sulit ditemukan habitat digunakan peta kawasan hutan zona Curik bali di alam, mengingat kawasan pemanfaatan Labuan lalang (Taman habitat Curik bali umumnya telah beralih Nasional Bali Barat 2005) dan di tumpang fungsi. Namun demikian gambaran susunkan pada citra Ikonos (Space struktur dan komposisi vegetasi habitat Imaging 2000) dengan referensi geografi “miniatur” curik bali ini belum berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia, diungkapkan secara rinci sehingga layak Provinsi Bali, Digital (Bakosurtanal untuk diteliti lebih lanjut. 2004). Posisi awal pembuatan cuplikan Hasil kajian struktur dan komposisi dilakukan pada lembar peta dengan vegetasi ini diharapkan dapat dipakai menentukan koordinatnya. Ada 6 posisi sebagai dasar dalam pembuatan model koordinat yang kemudian dengan GPS konsep rekonstruksi habitat curik bali koordinat tersebut dicari untuk dibuat (Leucopsar rothschildi Stresemann petak pengamatan. Posisi cuplikan yang 1912) di Taman Nasional Bali Barat. dibuat transeknya digambarkan seperti pada peta pada Gambar 1. BAHAN DAN CARA KERJA Pada masing-masing transek kemudian dibuat sub petak yang Data kualitatif dan kuantitatif berbentuk kuadran dengan ukuran 20 x tentang keanekaragaman jenis, 20 m2. Jarak antar kuadran adalah 50 m,

362 Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat sehingga pada transek sepanjang kira-kira Dari enam transek (A s/d F) telah 1 km diharapkan dapat dibuat sekitar 8 – dibuat sebanyak 46 kuadran dengan 10 kuadran yang disesuaikan dengan ukuran 20 x 20 m. Sebaran vertikal dan kondisi lapangan. Untuk menentukan horisontal masing-masing transek dapat jalur digunakan GPS yang mengacu pada dilihat pada Gambar 2. Seluruh peta dasar yang profilnya dapat dilihat parameter yang akan diukur baik jumlah pada Gambar 2. jenis, jumlah individu tiap jenis, luas tajuk

Gambar 1:.Peta Lokasi pembuatan transek petak pengamatan. (Sumber peta: Citra Ikonos 29 September 2008. Citra Ikonos telah di beri referensi geografi: WGS1984 UTM Zone 50S. Projection: Transverse Mercator, Datum: DWGS 1984)

Gambar 2. Profil vertikal dan horisontal dari masing-masing transek (A – F) yang dibuat pada lokasi pengamatan di zona pemanfaatan Labuan lalang Taman Nasional Bali Barat.

363 Roemantyo

tiap jenis, serta tinggi dari tiap individu (PCO) dengan perangkat lunak dilakukan di masing-masing kuadran Multivariate Statistical Package-MVSP yang dibuat. Pengukuran dilakukan pada 3.2 (Kovack Computing Service 2010). semua tipe perawakan tumbuhan baik Diharapkan dari analisis ini didapatkan berupa pohon, perdu, semak dan herba. gambaran struktur dan komposisi Tumbuhan yang memiliki perawakan vegetasi yang terdapat di kawasan ini pohon (diameter > 10 cm) termasuk anakan (diameter 2- 10 cm) dicatat HASIL masing 4 tegakannya yang memiliki jarak terdekat dengan titik awal kuadran, diukur Keanekaragaman takson pada petak dengan kriteria diameter setinggi dada pengamatan dan ukuran tinggi pohonnya. Sedangkan Pengamatan terhadap pencacahan untuk perdu dan semak dibuat sub petak jenis-jenis tumbuhan (pohon, anak pohon, ukuran 2 x 2 m2 di dalam kuadran 20 x semak/perdu dan herba) yang ditemukan 20 m2 dihitung jenisnya dan luas pada petak pengamatan ada sebanyak 93 penutupan terhadap sub petak dalam jenis dengan keaneragaman taksonnya persen (%) luas. Sedangkan untuk herba meliputi 37 suku, 84 marga. Jika dan semai (seedling) dibuat subpetak dibandingkan dengan hasil eksplorasi yang lebih kecil 1 x 1 m2 di dalam sub (Arinase dkk. 2010), tampak bahwa petak 2 x 2m2, dihitung jenisnya dan luas secara taksonomi jenis-jenis yang penutupannya terhadap sub petak dalam ditemukan di petak pengamatan tidak persen (%) luas. berbeda jauh jumlah sukunya yaitu 37 Berdasarkan parameter tersebut suku di petak pengamatan dan 45 suku dihitung frekuensi keterdapatan, di kawasan yang dieksplorasi. Namun kerapatan dan dominasi dari masing- jika ditinjau dari jumlah marga dan masing jenis dari setiap transek yang jenisnya, terdapat perbedaan jumlah, yaitu dibuat dihitung nilai penting (Meuller- 84 marga dan 93 jenis di petak Dombois & Ellenberg 1974), indek pengamatan dan 119 marga dan 146 jenis keragaman Shannon Wieners, dan di kawasan yang dieksplorasi. Hasil kemerataan (Magurran 1998; Ludwig & pecacahan dan eksplorasi (Arinase dkk. Reynolds 1988). Data potensi kawasan 2010) ini menunjukkan adanya indikasi ini dalam menjaga kemampuan untuk secara takson keanekaragaman jenis mempertahankan diri dari perubahan tumbuhan yang mampu tumbuh di struktur dan komposisi secara alami kawasan ini relatif cukup tinggi, namun dilakukan dengan menghitung keterda- tidak semua kelompok takson mampu patan semai dan anak pohon dari masing- beradaptasi dengan baik. Hanya masing jenis. Berdasarkan parameter kelompok takson tertentu saja dengan rata-rata tinggi dan posisi masing-masing jumlah terbatas yang mampu hidup pada jenis pohon pada transek terhadap habitat kawasan hutan musim ini. ketinggian dari muka laut (Gambar 2) Jenis tumbuhan yang terdapat di dibuat analisis ordinasinya dengan dalam petak pengamatan didominasi oleh metoda Principal Coodinate Analyses 364 Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat jenis-jenis yang berperawakan pohon tumbuhan yang berperawakan pohon termasuk mangrove (48,3 %), disusul dipisahkan dengan tumbuhan perdu oleh tumbuhan dengan perawakan herba semak dan merambat. (25,8%), perdu (19.3%), sisanya 6,6 % merupakan tumbuhan liana/climber yang 1.Tumbuhan berperawakan pohon tumbuh merambat pada pohon lain. Satu Dari hasil pengamatan pada 6 hal yang menarik di kawasan ini jarang transek yang dibuat tercatat ada sekitar ditemukan jenis tumbuhan efifit (paku- 41 jenis tumbuhan berperawakan pohon pakuan, anggrek, dll.). (termasuk jenis mangrove) yang terdapat di dalam petak pengamatan. Jika Struktur dan komposisi vegetasi dibandingkan dengan jumlah pohon hasil Analisis struktur dan komposisi eksplorasi (Arinase dkk. 2011), jumlah vegetasi dilakukan dengan cara pohon yang ditemukan di dalam petak pencacahan jenis, jumlah serta ukuran pengamatan ada sekitar 75 %. Artinya atau luas penutupan masing-masing bahwa masih ada sekitar 25 % jenis individu tumbuhan baik yang berpera- tumbuhan pohon lagi yang jumlahnya wakan pohon, perdu semak dan terbatas sehingga tidak terhitung, karena merambat maupun herba (tumbuhan terdapat di luar petak yang diamati. yang tidak berkayu). Dalam perhitungan, Berdasarkan kelas diameter tercatat ada

Gambar 3. Diagram sebaran Nilai Indek Penting masing-masing takson serta jumlah pohon dalam kelompok suku. Keterangan: 1. Tiliaceae. (G. eriocarpa, S. ovata); 2. Fabaceae (A. lebekkoides, T. indica, I. fagiferous); 3. Verbenaceae (V. trifoliata); 4. Euphorbiaceae (C. argytatus, M. paniculatus); 5. Rhamnaceae (Z. rotundifolia) 6. Moraceae (F. microcarpa, F. virens); 7. Malvaceae (A. indicum ); 8. Sonneratiaceae (S. alba); 9. Rhizophoraceae (R. apiculata); 10. Myrtaceae (M. leucadendron); 11. Meliaceae (A. indica); 12. Loganiaceae (S. lucida).

365 Roemantyo

18 jenis yang tergolong dalam 12 suku indica. Jenis tersebut kanopinya cukup dan 17 marga yang memiliki diameter di melebar dan tampak menonjol di antara atas 10 cm dengan nilai penting di atas jenis-jenis pohon yang lain dengan tinggi 10 %. Sebarannya takson dan Nilai Indek sekitar 20 – 25 m. Tercatat juga jenis- Penting dari jenis-jenis dengan nilai diatas jenis pohon dengan ukuran sedang 10 % digambarkan pada diagram dengan tinggi antara 10 – 19 m (Gambar 3.) merupakan jenis pohon lapis kedua Tampak bahwa komposisi tumbuhan seperti Azadirachta indica, Croton pohon kawasan ini dikuasai oleh jenis- argytatus, Inocarpus fagiferous, jenis dari suku Tiliaceae dengan jenis G. Melaleuca leucadendron, Strychnos ericocarpa dan S. ovata. Selain itu juga lucida, Vitex trifoliata, Ziziphus suku Verbenaceae dengan jenis V. rotundifolia dll. Sedangkan beberapa trifoliata menduduki lapis kedua yang jenis merupakan pohon dengan ketinggian mendominasi di kawasan ini dan di bawah 10 m seperti Phyllanthus kemudian disusul oleh Abutilon indicum emblica, Schleichera oleosa dan (kapasan) dan jenis-jenis dari suku Flacourtia indica. Secara umum rata- Moraceae seperti Ficus microcarpa dan rata tinggi pohon kawasan ini berkisar F. virens. antara 7 – 14 m. Analisis terhadap keragaman jenis pohon di masing masing petak 3. Rekruitmen jenis-jenis pohon pengamatan (A – F) di Labuan lalang Proses rekruitmen alami jenis-jenis dengan kisaran nilai 1,7 – 2,51 pohon di kawasan ini dianalisis dengan mengindikasikan bahwa kawasan ini menggunakan parameter seberapa berdasarkan klasifikasi Shannon-Wiener banyak anak pohon dan semainya yang termasuk dalam kelas sedang. Sedangkan ditemukan di kawasan ini. Perhitungan Indek kemerataannya berkisar antara terhadap jenis-jenis anak pohon (diameter 0,48 – 0,68 yang mengindikasikan bahwa 2 – 9 cm) menunjukkan bahwa ada 26 kawasan ini berdasarkan klasifikasi jenis tumbuhan yang tergolong dalam 16 Shannon-Wiener termasuk dalam suku dan 24 marga. Beberapa individu kategori populasi jenisnya tidak begitu anak pohon (11 jenis) hanya tercatat seimbang (Gambar 4). ditemukan di dalam petak pengamatan seperti Alstonia angustifolia, Bauhinia 2. Profil tinggi pohon diameter > 10 cm hirsuta, Bruguiera gymnorrhiza, Secara umum profil tinggi pohon Ficus superba, Guazuma ulmifolia, dengan diameter >10 cm menunjukkan Micromelum sp., Osbornea octodonta, ada sekitar 16 jenis pohon yang memiliki Rhizophora stylosa, Syzygium sp., tinggi antara 2 sampai sekitar 25 m. Jenis- Thespesia populnea, Xylocarpus jenis pohon yang tinggi antara lain Acasia moluccensis. Sedangkan ada pula leucophloea, Ficus microcarpa, beberapa jenis pohon yang anak Abutilon indicum, Grewia eriocarpa, pohonnya tidak ditemukan dalam petak Schoutenia ovata, dan Tamarindus pengamatan seperti Tamarindus indica,

366 Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat

Azadirachta indica, Ficus microcarpa, bulan. Sedangkan musim basahnya dan Ficus virens. hanya 3-4 bulan. Rendahnya curah hujan Sedangkan pengamatan terhadap dan pendeknya musim hujan di kawasan semai pohon yang ditemukan di kawasan ini menjadikan kendala bagi pertumbuhan ini ada sekitar 32 jenis yang tergolong berbagai jenis tumbuhan. Karena itu dalam 13 suku dan 30 marga. Ada sekitar hanya takson-takson tertentu saja yang 9 jenis semai pohon yang tidak ditemukan bisa tumbuh di kawasan ini. Dengan pohon induk maupun anak pohonnya di keterbatasan ekologis, kawasan ini petak pengamatan yaitu Ceiba pentan- cenderung mendorong jenis-jenis yang dra, Dalbergia latifolia, Flacourtia tumbuh adalah yang mampu beradaptasi indica, Hibiscus tiliaceus, Litsea sp., pada kondisi dengan spesifikasi kering. Trema orientalis, Vitex trifoliata, Dari catatan temuan di kawasan ini, Xylocarpus sp., dan Zanthoxylum beberapa jenis tergolong langka dan sulit rhetsa. Sebaliknya ada sekitar 20 jenis ditemukan di tempat lain seperti Strycnos pohon dan anak pohon yang tidak lingustrina, Helicteres ixora, Protium ditemukan semainya pada petak javanicum, Rauvolfia serpentina, pengamatan. Jenis tersebut diantaranya Zanthoxylum rhetza, Ziziphus rotundi- adalah Inocarpus fagife-rous, Alstonia folia, Ceriops tagal, Flacourtia angustifolia, Bruguiera gymnorrhiza, indica, Santalum album. Cordia dichotoma, Excoecaria Dari data yang diperoleh tampak agallocha, Ficus micro-carpa, Ficus bahwa jenis-jenis yang dahulu pernah virens, Flacourtia indica, Guazuma dicatat sebagai tumbuhan yang banyak ulmifolia, Melaleuca leucadendron, terdapat di kawasan ini, saat ini sudah Mimusops elengi, Phyllanthus emblica, tidak menjadi jenis tumbuhan yang utama, Sonneratia alba, Rhizophora apicu- seperti Schoutennia ovata, Grewia lata, Thespe-sia populnea, Rhizo- eriocarpa, Phyllantus emblica, Albizia phora stylosa, Protium javanicum, lebbekoides, Azidirachta indica, Vitex trifoliate, Xylocarpus moluccen- Schleicera oleosa, Vitex pubescens, sis, Syzygium sp. Zizyphus nummularia, Acasia leuco- phloea, Corypha utan dan Borassus PEMBAHASAN flabellifer (Paardt 1929 dan Voogd 1937). Perubahan komposisi tumbuhan Keterbatasan keberadaan tumbuhan di kawasan ini bisa diakibatkan oleh efifit mengindikasikan bahwa perubahan status lahan yang sering kelembaban kawasan di sini sangat terjadi di kawasan ini (Roemantyo, dkk. rendah. Kawasan ini memiliki musim 2010). Padahal kondisi alami kawasan ini kering yang lebih panjang dibandingkan sangat ekstrem, dimana musim keringnya dengan musim basah. Kawasan ini sangat pendek (Oldeman dkk. 1980). tergolong dalam Klassifikasi “Agro- Dari hasil penelitian beberapa jenis masih Climatic” D4 (Oldemann dkk. (1980), terlihat mampu bertahan mendominasi dimana musim keringnya lebih dari 6 kawasan ini seperti Schoutennia ovata,

367 Roemantyo

Grewia eriocarpa, Azidirachta indica, populasinya (Gambar 4), petak D adalah Vitex trifoliata. Sedangkan jenis-jenis petak yang paling rawan, dengan lain seperti Phyllantus emblica, Albizia keragaman jenis yang terrendah dan lebbekoides, Schleicera oleosa, tingkat tekanan yang paling tinggi. Zizyphus nummularia, Acasia leuco- Sedangkan petak F adalah kawasan phloea masih ditemukan terdapat di yang memiliki keragaman jenis yang tinggi kawasan ini meskipun tidak mendominasi dengan populasi yang paling stabil jika kawasan. Jenis-jenis seperti Corypha dibandingkan dengan lokasi lain. utan dan Borassus flabellifer sudah Observasi di lapangan menunjukkan jarang tampak tumbuh di kawasan ini. bahwa petak D memiliki mikro-habitat Beberapa tegakan masih terlihat namun yang berupa savanna yang didominasi tergolong sangat jarang. oleh jenis-jenis dari suku Poaceae. Di Berdasarkan parameter jumlah jenis beberapa tempat memiliki substrat yang dan individunya, tampak bahwa keaneka- berbatu karang dengan jenis-jenis semak ragaman jenisnya tidak terlalu tinggi. belukar. Jarangnya tumbuhan pohon yang Populasi dari masing-masing jenis yang melindungi lantai dasar menyebabkan tumbuh di kawasan ini berada pada posisi kawasan ini mudah mengering pada saat yang rentan terhadap keseimbangan dan musim kemarau dan rawan terbakar. mudah sekali untuk berubah. Artinya jika Sedang pada petak pengamatan F kondisi ada tekanan terhadap kawasan ini mikro-habitatnya lebih lembab karena (perubahan iklim, pemanfaatan lahan, terletak berdekatan dengan pantai yang bencana alam dll) maka jenis maupun landai dengan substrat tanah yang jumlah populasi akan mudah menurun. terpengaruh pasang surut air laut. Jika dibandingkan diantara lokasi petak Sebagian kawasan ini tertutupi oleh pengamatan berdasarkan nilai indeks endapan lumpur. Banyak jenis pohon keanekaragaman jenis dan kemerataan yang mendominasi di kawasan ini seperti

Gambar 4. Diagram sebar nilai indek keragaman dan kemerataan jenis pohon dengan diameter > 10 cm.

368 Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat

Sonneratia alba, Abutilon indicum, Kondisi ini dapat dipahami, karena Grewia eriocarpa, Tamarindus kondisi alam yang sangat berat dimana indica, Schoutenia ovata, Rhizophora musim hujan sangat pendek dan musim apiculata, Croton argytatus, Vitex kemarau lebih dari 6 bulan (Oldeman dkk. trifoliata yang memiliki tajuk yang luas 1980.) Kondisi ini juga diperparah oleh besar menaungi lantai dasar hutan. tipisnya lapisan tanah yang subur, Bahkan jenis-jenis pohon mangrove di terbatasnya unsur hara tanah dimana kawasan ini selain kedua jenis kawasan ini memiliki struktur berbatu (Sonneratia alba dan Rhizophora lepas dan berkapur (RePPProt 1989). apiculata ) masih banyak dijumpai. Berdasarkan analisis ordinasi Secara umum memang tidak banyak dengan menggunakan parameter rata- jenis pohon yang berukuran tinggi, dan rata tinggi pohon didapatkan gambaran juga jenis-jenis tersebut sebagian bukan bahwa dari sekitar 41 jenis pohon yang merupakan jenis yang dominan, seperti terdapat diseluruh petak pengamatan Acasia leucophloea, Ficus micro- umumnya (33 jenis) merupakan carpa, Abutilon indicum, Grewia komunitas pohon dengan profil rata-rata eriocarpa, Schoutenia ovata, dan ketinggian yang hampir seragam Tamarindus indica. Namun kemungki- (Gambar 5). Hanya sekitar 8 jenis yang nan jenis-jenis tersebut merupakan pohon memiliki profil yang berbeda. Jenis-jenis “kunci” untuk kawasan ini sebagai habitat tersebut sebagain besar merupakan curik bali “miniatur” seperti yang kelompok komunitas mangrove seperti dinyatakan oleh Noerdjito (2000). Jenis Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora tersebut tercatat sebagai pohon yang apiculata, Rhizophora mucronata, cukup kuat relatif masih hijau tajuknya Rhizophora stylosa, dan Sonneratia meskipun musim kemarau melanda alba, dengan tinggi pohonnya kurang dari kawasan ini. Acasia leucophloea 3 m. Terdapat 2 jenis mangrove yaitu merupakan tempat persarangan, Rhizophora mucronata dan Bruguiera sedangkan jenis lain merupakan tempat gymnorhiza yang memisah jauh dari jenis sumber pakan curik bali mangrove lain. Dari catatan lapangan Ditemukannya semai dari jenis-jenis kedua jenis mangrove tersebut memiliki pohon yang terdapat di dalam petak tinggi pohon 3 – 4 m, meskipun terdapat pengamatan memberikan indikasi bahwa di antara jenis-jenis mangrove lain. proses permudaan alam jenis-jenis Tercatat 3 jenis yang merupakan komuni- tumbuhan di kawasan hutan ini dapat tas jenis pohon yang tergolong memiliki berjalan secara alami. Masalahnya ketinggian sedang (3 – 5 m) seperti adalah apakah semua jenis yang Phyllanthus emblica, Schleichera ditemukan mampu bertahan sehingga oleosa dan Flacourtia indica. sampai menjadi pohon yang besar. Dari Jenis pohon Acacia leucophloea catatan anak pohon yang ditemukan (pilang) yang biasa dipakai sebagai tampak bahwa tidak semua semai tempat bersarang curik bali tampak mampu tumbuh menjadi anak pohon. berada dalam satu komunitas dengan

369 Roemantyo

Gambar 5. Pengelompokan jenis pohon pada kawasan Labuan lalang menggunakan parameter rata-rata tinggi pohon dengan analisis ordinasi Principal Coodinate Analyses (PCO). Keterangan: 1 A.indicum; 2 A.leucophloea; 3 A.nilotica; 4 A.lebekkoides; 5 A angustifolia; 6 A. indica; 7 B. gymnorrhiza; 8 Caesalpinia sp.; 9 C. alata; 10 C. dichotoma; 11 C. argytatus; 12 E. agallocha; 13 F. virens; 14 F. superba; 15 F. indica; 16 G. eriocarpa; 17 Grewia sp.; 18 G. ulmifolia; 19 Leea sp. 20 Mallotus paniculatus; 21 M. leucadendron; 22 Micromelum sp.; 23 M. elengi; 24 O.octodonta; 25 P. emblica; 26 P. javanicum; 27 R. apiculata; 28 R. mucronata; 29 R. stylosa; 30 S. oleosa; 31 S. ovata; 32 S. alba; 33 S. asper; 34 S. lucida; 35 S. pycnanthum; 36 T. indica; 37 T. populnea; 38 V. trifoliata; 39 X. moluccensis; 40 Z. rhetsa; 41 Z. rotundifolia. struktur dan komposisi pohon seperti kurang dari 2 km dari komunitas ini (lihat jenis-jenis Ficus spp. (kresek dan apak), Gambar 2) merupakan kombinasi yang Tamarindus indica (asem), Abutilon baik, mengingat jenis ini akan selalu hijau indicum (kapasan), Grewia eriocarpa sepanjang tahun dan juga merupakan (talok), Schoutenia ovata (walikukun) sumber pakan bagi satwa burung yang diketahui menghasilkan buah pakan termasuk curik bali. burung serta bunga dan daunnya disukai Analisis ordinasi dengan mengguna- serangga. Peran dari kehadiran serangga kan parameter rata-rata ketinggian perlu diteliti lebih mendalam, mengingat tempat tumbuh dari permukaan laut pada saat musim hujan datang populasi (altitut) menunjukkan adanya pengelom- serangga ini cukup melimpah (Noerdjito pokan yang lebih rinci. Ada 5 kelompok 2000). Dari data profil pohon jenis-jenis lokasi ketinggian pada masing-masing tersebut tergolong dalam kelompok pohon komunitas pohon yang menunjukkan yang tingginya di atas 10 m. Adanya jenis adanya komposisi jenis pohon yang mangrove yang tumbuh mengelompok berbeda (Gambar 6). Komunitas yang sebagai komunitas mangrove berada terdapat pada 0 – 10 m dpl umumnya

370 Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat

Gambar 6. Pengelompokan jenis pohon pada kawasan Labuan lalang menggunakan parameter rata-rata ketinggian dari muka laut dengan analisis ordinasi Principal Coordinate Analyses (PCO). Keterangan: Lihat Gambar 5

merupakan jenis-jenis mangrove dan – 60 m merupakan kawasan dengan jenis-jenis yang mampu beradaptasi struktur dan komposisi pohonnya sangat tumbuh di pinggir pantai seperti beragam. Ada sekitar 13 jenis pohon yang Excoecaria agallocha (buta-buta), menyusun komunitas pada kawasan ini, Streblus asper (serut), yang umumnya diantaranya adalah jenis-jenis pohon tinggi terdapat pada petak transek F (Gambar dan bertajuk lebar seperti Acasia 2). Komunitas selanjutnya merupakan leucophloea, Albizia lebeckoides, jenis pohon yang tumbuh pada 10 – 20 m beberapa jenis Ficus spp., Abutilon dpl. seperti Osbornea octodonta, indicum, Grewia eriocarpa, Schoute- Guazuma ulmifolia, Cordia dichotoma nia ovata, dan Tamarindus indica. (kendal), Leea sp. dan Strychnos lucida Hampir semua jenis pohon yang terdapat (kayu pahit). Pada ketinggian 20 – 30 m di dalam kelompok ini memiliki asosiasi dpl terdapat struktur dan komposisi dari dengan curik bali seperti yang disebutkan Protium javanicum (trengulun), Cassia oleh Helvoordt, 1987 dan Balen et al. alata, Mimusops elengi (tanjung), 2000 terdapat pada komunitas ini. Grewia sp. dan Thespesia populnea Pada kawasan petak pengamatan di (waru laut). Pada ketinggian 30 – 40 m atas 40 m dpl ini juga ditemukan jenis terdapat komposisi pohon Melaleuca pohon Acacia nilotica yang tumbuh leucadendron, Caesalpinia sp. dan bersama-sama dengan jenis-jenis Micromelum. Pada ketinggian di atas 40 memiliki asosiasi dengan curik bali.

371 Roemantyo

Pohon Acacia nilotica termasuk dalam struktur dan komposisinya sudah kelompok invasif yang dapat tumbuh berbeda, dimana beberapa jenis sudah mendominasi suatu kawasan. Pertumbu- menjadi sulit menjadi jarang ditemukan hannya sangat cepat, mudah berkembang di kawasan ini seperti Strycnos biak dan memiliki kemampuan tumbuh lingustrina, Helicteres ixora, Protium bersaing dengan jenis-jenis lokal. Indikasi javanicum, Rauvolfia serpentina, pertumbuhannya sudah tampak dari Zanthoxylum rhetza, Ziziphus cukup banyaknya semai dan anakan jenis rotundifolia, Ceriops tagal, Flacourtia ini tumbuh di kawasan ini. Pengendalian indica, dan Santalum album. jenis ini perlu segera dilakukan mengingat Berdasarkan pada analisis ordinasi pertumbuhannya terdapat di komunitas Principal Coordinate Analyses (PCO), di di mana masih ditemukannya struktur dan dapatkan gambaran bahwa jenis-jenis komposisi pohon yang berasosiasi dengan yang berasosiasi dengan jurik bali Curik bali. umumnya merupakan komunitas pohon memiliki profil dengan tinggi di atas 10 UCAPAN TERIMA KASIH m. Selain itu berdasarkan pada tempat hidupnya komunitas ini terletak pada Penulis mengucapkan terima kasih ketinggian di atas 40 – 60 m dpl. Adanya kepada Dr. Balgooy, Dr. Welzen, Dr. de komunitas mangrove yang selalu hijau di Wilde, Dr. Adema, dan Dr. Berg dari kawasan ini yang terletak tidak jauh dari Herbarium Leyden Belanda yang telah komunitas pohon yang berasosiasi membantu dalam mengidentifikasi dengan curik bali akan memberikan nilai beberapa jenis koleksi yang telah ekologis yang tinggi dalam daya dikumpulkan. Penelitian ini dibeayai dari dukungnya terutama pada saat musim Proyek DIKTI – LIPI di Pusat Penelitian kemarau terhadap habitat curik bali yang Biologi tahun 2010. hidup liar maupun dilepasliarkan di kawasan ini. KESIMPULAN Tampak jenis-jenis pendatang “baru” muncul di kawasan ini seperti Acacia Jenis-jenis tumbuhan yang hidup nilotica, Mimusops elengi, Ceiba sewaktu curik bali masih ditemukan hidup pentandra, Dalbergia latifolia dan liar di habitat aslinya, tampak masih Pterocarpus indicus yang tampak ditemukan hidup dikawasan ini seperti berkembang di antara jenis-jenis asli. Schoutennia ovata, Grewia eriocarpa, Jenis-jenis tersebut perlu diperhatikan Phyllantus emblica, Albizia keberadaan dan perkembangbiakannya, lebbekoides, Azidirachta indica, mengingat termasuk jenis yang mudah Schleicera oleosa, Vitex pubescens, tumbuh dan memiliki potensi untuk Zizyphus nummularia, Acasia mendominasi suatu kawasan, terutama leucophloea, Corypha utan dan Acacia nilotica. Borassus flabellifer. Namun dari hasil Keterbatasan akan kondisi dan penelitian di kawasan ini menunjukkan lingkungan yang kurang menguntungkan

372 Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat bagi pertumbuhan jenis-jenis tumbuhan 2010 Laporan perjalanan internal, mengakibatkan tidak terlalu tinggi tidak dipublikasikan. keanekaragaman jenis. Jenis-jenis Balen, van S., IWA. Dirgayusa, IMWA. tumbuhan yang tumbuh di kawasan ini Putra & HT. Prins Herbert. 2000. cenderung rawan terhadap perubahan Status and distribution of the lingkungan dan alih fungsi lahan. Dengan endemic Bali Starling Leucopsar demikian struktur dan komposisi rothschildi. Oryx 34 (3): 188-197. vegetasinya juga mudah berubah. Ada Helvoort, van BE., MN. Soetawidjaya & beberapa jenis (11 jenis) yang tidak P. Hartojo, 1985. The Rothschild’s ditemukan pohon besarnya, namun Mynah (Leucopsar rothschildi): semainya ditemukan di dalam petak a Case for Captive or Wild pengamatan memberikan indikasikan pula Breeding ? ICBP, Cambridge. bahwa terdapat jenis pohon yang tidak Kovack Computing Service. 2010. melimpah namun kemampuan MultiVariate Statistic Package. regenerasinya cukup baik. Copyright 1985 - 2010. http:// Jenis-jenis asli kawasan ini yang www.kovcomp.com perlu diperhatikan karena semakin sulit Ludwig, JA. & JF. Reynolds. 1988. ditemukan seperti Strycnos lingustrina, Statistical Ecology: A Primer Helicteres ixora, Protium javanicum, Methods and Computing. John Rauvolfia serpentina, Zanthoxylum Willey & Sons, New York 337 p. rhetza, Ziziphus rotundifolia, Ceriops Magguran, AE.1988. Ecological tagal, Flacourtia indica, Santalum Diversity and Its Measurement. Chapman and Hall London. album perlu dipantau pertumbuhannya Meuller-Dombois and Ellenberg, 1974. di alam. Selain memiliki potensi ekonomi Aim and Methods of Vegetation (obat, tanaman hias, adat) peran ekologi Ecology. John Wiley and Sons, di kawasan yang kering ini sangat berarti Inc. Canada. dalam menyususun system habitat hutan Noerdjito, M. 2005. Pola Persarangan semusim yang merupakan habitat curik Curik Bali Leucopsar rothschildi bali. Stresemann 1912 dan Kerabatnya di Taman Nasional Bali Barat. DAFTAR PUSTAKA Berita Biologi 7(4): 215-222. Oldemann, LR. L. Irsal & Muladi. 1980. Arinasa, IBK., Roemantyo & M. Agro-Climatic Map of Bali Nusa Ridwan. 2010. Eksplorasi Flora Tenggara Barat and Nusateng- Taman Nasional Bali Barat: gara Timur. Scale 1 : 2.250.000. Keanekeragaman Flora Kawasan Central Research Institute for Hutan Zona Pemanfaatan Labuan Agriculture. Bogor. Lalang. Laporan Perjalanan Paardt, 1929. Manoek putih: Leucopsar Eksplorasi Flora di Taman rothschildi. Tropisce Natuur 15: Nasionla Bali Barat. Proyek Dikti 169 -173.

373 Roemantyo

Roemantyo, HIP. Utaminingrum & M. GeoEye, Dulles, Virginia, 29 Ridwan. 2010. Peta keragaman September 2008 ekosistem serta tataguna lahan Taman Nasional Bali Barat 2005. Peta semenanjung Prapat Agung dan batas dan sarana prasarana Taman sekitar Bali barat sebelum 1950. Nasional Bali Barat (digital). Laporan Perjalanan Eksplorasi Taman Nasional Bali Barat, Flora di Taman Nasionla Bali Departemen Kehutanan. Barat. Proyek Dikti 2010 Laporan Voogd, C.N.A. 1937. Botanische perjalanan internal, tidak aantekeningen van de Kleine dipublikasikan. Soenda. Eilanden III. Bali Zoals Space Imaging. 2000. IKONOS, Level een toerist het niet ziet. Trop. Standard Geometrically Corrected, Natuur 26: 1-9, 37-40.

Memasukkan: Mei 2011 Diterima: Agustus 2011

374 Jurnal Biologi Indonesia 7 (2): 375-391 (2011)

Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan Manusia dengan Tumbuhan dan Lingkungannya

Eko Baroto Walujo Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi – LIPI

Ethnobotany Contributes to The Understanding Human Relationship with Plant and Their Environment. The scope of ethnobotanical research has been developed to a broader scope from the originated word of ethnobotany was coined.. This discipline attempts to explain reciprocal relationships which occur between local societies and its natural world, in extant, between local societies and their cultures that reflected in the archeological records. Ethnobotany is also very closely related to the domestication of plants such as the species domesticated, where these species domesticated, the purpose of domestication, the manner, and the status of the domesticated plants today. Etnobothany also concerns to the role of plants in ecology, environment and phytogeography as conceived by tradition or by the local communities. In addition to its traditional role in economic botany and the exploration of human cognition, ethnobotanical research has been applied to the practical areas such as biodiversity prospecting and vegetation management. Thus ideally, ethnobotany should includes rules and categorization acknowledged by local communities. Rules and categorization are use to appropriately facing daily social situations in recognizing, interpreting and utilizing plant resources in their environment. In summary, the scope of research in ethnobotany is interdisciplinary and ethnoscience as mentioned earlier and these scopes will be the main focus of discussion in this article. In particular, in its relation to the strategic position of Indonesia based on wealth, diversity of plants, species and ecosystems and socio-cultural life.

Key Words: Ethnobotany, Localknowledge, Wisdom

PENDAHULUAN bagian dari penghuni alam itu diketahui paling mudah menyesuaikan diri dengan Studi tentang hubungan manusia dan lingkungan dimana ia tinggal tumbuhan atau tanaman adalah domain dibandingkan dengan makluk lainnya. ethnobotani yang mempelajari peranan Tanpa disadari bahwa manusia, baik manusia dalam memahami hubungannya sebagai individu atau dalam berkelompok dengan lingkungan-tempat mereka secara bertahap tumbuh dan saling tinggal, baik di lingkungan masyarakat bergantung dengan perkembangan sosial tradisional maupun masyarakat industri. dan budayanya. Ini semua disebabkan Dalam konteks hubungan manusia dan karena manusia memiliki daya cipta, rasa alam, lingkungan alam pada dasarnya dan karsa. Berkat daya tersebut, menyediakan sumber daya agar dapat manusia mampu menyesuaikan diri dimanfaatkan oleh penghuninya untuk dengan lingkungan dimana mereka kelangsungan hidup. Manusia sebagai tinggal. Melalui daya itu pula maka

375 Eko Baroto Walujo manusia berupaya memanfaatkan ketergantungan manusia pada tumbuhan sumber daya alam dan lingkungan untuk pangan, papan, pemeliharaan berdasarkan pengalaman dan kesehatan maupun keperluan lainnya pengetahuannya. Pada gilirannya semakin meningkat. Terjadinya pengetahuan mereka lambat laun juga peningkatan kebutuhan inilah yang mengalami perkembangan sesuai dengan mendorong dilakukan usaha untuk perubahan pola berfikir, perubahan memudahkan pemanfaatan dan lingkungan sosial, ekonomi dan peningkatan produk hasil dari tumbuh- ekologinya. tumbuhan. Konsekuensinya adalah Perubahan semacam ini melahirkan semakin tinggi tingkat pengetahuan dan berbagai tuntutan yang acapkali pemahaman terhadap lingkungan alam mendorong eksploitasi sumber daya alam yang kemudian didukung oleh teknologi meningkat secara signifikan. Artikel ini dikuasahi, semakin nyata pengaruhnya mengulas hubungan antara manusia dan terhadap pengetahuan pemanfaatan tumbuhan, yang menjadi “domain tumbuhan. Dalam kaitannya dengan penelitian etnobotani”. Peranan etno sejarah pemanfaatan tumbuhan, proses botani disini menjadi sangat penting. domestikasi dan bercocok tanam, Karena, melalui penelitian etnobotani, disinilah disiplin ilmu etnobotani itu diperoleh pemahaman tentang menjadi sangat penting untuk keberhasilan maupun kekeliruan dikembangkan. masyarakat tradisional dalam memahami Memahami ilmu etnobotani, berarti lingkungannya, dan dapat menghindari juga memahami tentang sejarah kesalahan yang sama pada masa kini pemanfaatan dan domestikasi tumbuhan. atau yang akan datang. Untuk menelusuri sejarah pemanfaatan, budidaya dan domestikasi tumbuhan, para Etnobotani dan Sejarah Domesti- ahli etnobotani sering menggunakan bukti kasi Tumbuhan kultural tidak langsung (non-kultural) Disiplin ilmu etnobotani berasosiasi dengan mengungkapkan melalui sangat erat dengan ketergantungan penelitian paleoetnobotani. Penelitian ini manusia pada tumbuh-tumbuhan, baik menggunakan sisa kultigen tumbuhan secara langsung maupun tidak langsung yang terawetkan dalam proses dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. karbonisasi, cetakan pada batu, kerangka Bukti-bukti arkeologi sering dimanfaatkan silikat, tulang gigi, tanduk hewan dll. untuk menunjukkan bahwa pada awal Melalui material paleoetnobotani itu juga peradaban dan ketergantungan manusia kekerabatan suatu jenis tumbuhan yang pada tumbuh-tumbuhan terbatas pada didomestikasi dapat ditelusuri, yaitu pemanfaatan untuk mempertahankan dengan cara mengiden-tifikasi sifat atau hidup, yaitu dengan mengambil dari karakter morfologi (Renfrew 1976; Smith sumber alam untuk pangan, sandang dan 1986). Contoh temuan hasil penelitian sekedar penginapan (Walujo 2009). palaeo-etnobotani tentang pendataan Semakin tinggi peradaban manusia, radiokarbon Phaseolus vulgaris yang

376 Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan dideteksi berangka tahun 7000 SM., Fakta lain yang dipelajari Harlan & Phaseolus acutifolius (5000 SM), de Wet (1965) mengenai kelompok Phaseolus coccineus (2200 SM) yang tertentu tumbuhan liar yang telah kesemuanya ditemukan di Tehuachan- mengalami proses domestikasi sebagian Mexico, dan Phaseolus lunatus besar adalah jenis dari suku Gramineae berangka tahun 5300 SM di Chili, Peru. dan Leguminosae, dan merupakan Pendataan ini membawa pada suatu tanaman budidaya utama. Sedangkan kesimpulan tentang awal waktu pertanian suku Cyperaceae, Ranunculaceae, di Amerika. Dalam penelitian tersebut Cactaceae, Caryophyllaceae, Portula- juga diketengahkan bahwa karakter caceae, Berberidaceae, Papaveraceae, morfologi material biji dan polong Saxifagraceae, Geraniaceae, Onagra- P.vulgaris yang ditemukan pada ceae, Apocynaceae, Asclepiadaceae, dasarnya sama dengan buncis-buncis Plantaginaceae dll, merupakan suku-suku modern yang ada pada saat ini. Ini yang dimanfaatkan sebagai tanaman memperlihatkan bahwa perkembangan budidaya sampingan. buncis yang dibudidayakan dan Domestikasi tumbuhan tidak dimanfaatkan sekarang ini masih mirip terlepas dari sejarah dan asal usul dengan tipe-tipe pada awal budidaya. tanaman budidaya. De Candolle (1855) Di Indonesia, hasil temuan di Gua mempertegas bahwa sejarah pertanian Ulu Leang1 (Maros-Sulawesi Selatan) juga terkait erat dengan sejarah yang dilaporkan oleh Poesponegoro & domestikasi tumbuhan menjadi tanaman. Notosusanto (2008) membuktikan Menurutnya, pertanian diawali dengan tentang domestikasi tanaman padi domestikasi jenis-jenis utama, yang (Oryza sativa) melalui temuan sisa-sisa tersebar di tiga daerah utama, yaitu Cina, butiran padi dan sekam padi yang Asia Barat Daya (termasuk Mesir), berasosiasi dengan gerabah. Temuan ini Inter-Tropikal Amerika. Masing-masing berangka tahun 2160 – 1700 SM. daerah utama membudidayakan jenis- Diperkirakan bahwa domestikasi jenis tertentu, dan bahwa penyebaran tanaman padi telah dimulai di kawasan tanaman budidaya tidak merata seperti beriklim muson, yang memanjang dari yang diperkirakan banyak orang. Ada bagian timur laut, sebelah utara beberapa kawasan yang kaya dengan hingga mencapai sebelah keragaman tanaman budidaya, namun selatan China. Bukti awal domestikasi demikian tidak sedikit pula yang miskin tanaman padi ditemukan di situs Kiangsu dengan keanekaragaman jenisnya. dan Chekiang di China, berangka tahun Sebagai contoh diketengahkan ketidak 3300 – 4000 SM. Bukti lain berupa sekam merataan kultivar gandum yang tersebar padi yang digunakan sebagai temper di seluruh dunia. Di benua Eropa dan gerabah yang ditemukan di Siberia, gandum yang ditanam umumnya tahun 3500 SM turut memperkuat dugaan hanya beberapa kultivar saja. Berbeda tentang domestikasi tanaman padi. dengan di Timur Tengah, terutama di Anatoli, Palestina dan Syria, diketemukan

377 Eko Baroto Walujo sejumlah kultivar gandum mulai yang kemampuan tumbuhan itu sendiri dalam berkromosom diploid, tetraploid sampai mempertahankan dirinya. Tumbuhan dengan heksaploid. Kemudian di telah dikumpulkan dari berbagai tempat hanya ditemukan kultivar untuk bahan pangan yang mula-mula gandum yang heksaploid saja, di sebagai tumbuhan liar, akan tumbuh Mediterania hanya yang tetraploid saja. meliar ditempat-tempat pembuangan atau Sebaliknya di Ethiopia ditemukan ratusan disekitar tempat pemukiman manusia kultivar gandum. Pada akhir studinya purba di dekat dapur dan tumpukan Vavilov (1926), mempertimbangkan sampah. Jenis itu kemudian tumbuh dan pandangan ini dengan menggambarkan beradaptasi terhadap lingkungan yang bahwa awal tanaman budidaya utama baru dan dipanen kembali. Terkait dengan adalah daerah tropik dan sub-tropik, yang hipotesa ini, menguatkan pandangan terdiri atas 11 atau 12 pusat awal, yang Kaplan et.al (2003) bahwa didalam didasarkan pada konsep bahwa pusat disiplin etnobotani terdapat seperangkat keanekaragaman ditetapkan sebagai asumsi hubungan antara pola perilaku pusat awal/ asal-usul. Pusat-pusat awal dengan penataan sosio-kultural yang atau asal-usul tanaman budidaya tersebut terintegrasi dalam bahasa, sistem kognitif, berada di Cina, India, Indo-Malaya, Asia kaidah dan kode etik budaya tempatan. Tengah, Timur Tengah, Mediteran, Dengan demikian maka didalam disiplin Abesinia, Meksiko-Amerika Tengah, etnobotani, harus ada keterpaduan antara Amerika Selatan, Chili dan Brasil- ranah etnologi dan botani untuk saling Paraguay. mengisi dan menguatkan. Menurutnya, Semua fakta yang terkait dengan kajian etnobotani dapat melakukan pusat-pusat awal tanaman budidaya tadi evaluasi terhadap tingkat pengetahuan senantiasa bersentuhan dengan aktifitas dan fase-fase kehidupan masyarakat manusia. Sehingga dengan berkem- dalam kaitan dengan pemaknaan dan bangnya tingkat sosial dan moral penggunaan tetumbuhan di dalam lingkup manusia purba, mereka mulai memilih kehidupan sehari-hari. jenis-jenis yang mereka sukai. Tumbuhan Filosofi yang mendasari pemikiran tersebut kemudian akan berubah dari ahli etnobotani tentu bagaimana cara status liar akan mengalami penjinakan pandang seorang ahli tumbuh-tumbuhan dan karena adanya seleksi alam, akan (botanis) berlaku sebagai seorang menurunkan variasi yang ada tetapi akan etnograf dan sebaliknya seorang etnolog meningkatkan variasi baru karena mampu memahami tumbuhan, bagaikan hibridisasi dan mutasi. seorang ahli botani. Oleh karena itu Hipotesa “rubbish-heap hypo- bidang etnobotani sangat berkepentingan these” yang diperkenalkan oleh mengikuti dari dekat perkembangan yang Engelbrecht (1916) menganggap bahwa berlangsung baik di seputar persoalan domestikasi tidak diciptakan manusia etnik maupun dalam ranah botani (Putra, pertama, tetapi terjadi secara kebetulan 1985). Seterusnya Rifai & Walujo (1992), yang berawal dari berkembangnya lebih merinci tentang pengertian disiplin

378 Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan etnobotani harus mampu mengung- Kehutanan maupun Hortikultura yang kapkan keterkaitan hubungan budaya banyak memperhatikan persoalan masyarakat, terutama tentang persepsi perbanyakan, budidaya, pemanenan, dan konsepsi masyarakat dalam pengolahan, ekonomi produksi, dan pasar. memahami sumber daya nabati di Dengan demikian maka etnobotani lingkungan dimana mereka bermukim. yang ideal harus mencakup semua aturan Dengan demikian maka data etnobotani dan kategori yang pasti dikenali oleh adalah data tentang pengetahuan botani masyarakat warga tempatan guna masyarakat dan organisasi sosialnya, bertindak tepat dalam berbagai situasi bukan data botani taksonomi, dan bukan sosial yang dihadapi sehari-hari dalam pula data botani ekonomi atau cabang memahami, mengenali, memaknai dan botani lainnya. Sasarannya adalah memanfaatkan sumber daya nabati di membuat hasil-hasil penelitian etnobotani lingkungannya. Ekspresi dan pemaknaan menjadi lebih akurat dan lebih replikabel pengetahuan masyarakat tentang sumber dalam kerangka mereproduksi realitas daya botani tadi dilakukan guna budaya seturut pandangan, penataan, dan menggambarkan suatu kebudayaan yang penghayatan warga budaya dalam berimplikasi kepada definisi kebudayaan mengenali, memaknai dan memanfaatkan sebagai suatu sistem pengetahuan atau sumber daya nabati di lingkungan sistem ide. budayanya. Ini berarti bahwa pemaparan Sejalan dengan pandangan Sturte- etnobotani harus diungkapkan sehubu- vant (1961), kecenderungan pengetahuan ngan kaidah konseptual, kategori, kode, masyarakat tersebut banyak berkaitan dan aturan kognitif “tempatan” (emik) dengan struktur bahasa, aturan kognitif, untuk kemudian secara taat asas kaidah dan kode di satu pihak, dengan dibuktikan sehubungan dengan kategori pola perilaku serta penataan sosio-kultural konseptual yang diperoleh dari latar di lain pihak. Disadari atau tidak belakang ilmiah (etik). Sekalipun emik dan pengetahuan tadi pada hakikatnya etik itu dibedakan atas dasar epistemologi, merupakan pusaka leluhur hasil uji coba namun keduanya tidak ada kaitan dengan ratusan tahun yang tidak ternilai harganya, metode penelitian, melainkan dengan karena memiliki banyak keunggulan sifat. struktur penelitian. Dengan demikian Sayangnya pengeta-huan yang didasari maka pengujian emik dan etik bukanlah kearifan masyarakat seringkali dianggap bagaimana pengetahuan itu diperoleh, sebagai “ilmu tua” yang disakralkan melainkan bagaimana pengetahuan itu sehingga tidak boleh diubah, diperbaiki, divalidasi (Walujo 2009). Itulah sebabnya dikembangkankan, apalagi diinovasi. penelitian etnobotani merupakan studi Kekonservatifan demikian membentuk multidisiplin yang tidak hanya menyangkut opini bahwa masyarakat tradisional disiplin Botani murni, seperti taksonomi, seolah-olah berjiwa statis, dan menolak ekologi, sitologi, biokimia, fisiologi, tetapi dibawa maju apalagi berindustri yang juga ilmu sosial terutama antropologi sarat dengan pengetahuan, ilmu, dan budaya dan ilmu-ilmu lain dari Pertanian, teknologi (Rifai 2006).

379 Eko Baroto Walujo

Kerancuan Pengertian: etnobotani, Erat kaitan dengan kehidupan Botani Ekonomi dan Etnoekologi masyarakat, terutama di pedesaan, upaya Pada dasarnya etnobotani, botani penggunaan lahan, baik yang diolah ekonomi dan etnoekologi memiliki satu secara langsung ataupun tidak langsung bagian tinjauan yang sama yaitu manusia pada dasarnya berhubungan dengan dengan lingkungan dalam sebuah pemanfaatan dan pelestarian keane- kehidupan. Akan tetapi masing-masing karagaman hayati tumbuhan. Dari memiliki cakupan, tujuan dan sudut pengertian ini, ketiga penelitian itu dapat pandang yang berbeda. Etnobotani lebih dijalankan (penelitian enobotani, memfokuskan penelitian pada perspektif penelitian botani ekonomi dan peneltian manusia, alam dan tumbuh-tumbuhan etnoekologi). Hasil penelitian etnobotani dalam konteks budayanya. Sedangkan di berbagai kebun, pekarangan dan sudut pandang Botani Ekonomi, adalah tegalan dapat dipergunakan untuk mempelajari bagaimana tumbuhan atau membuktikan kekerabatan berbagai tanaman memiliki sifat dan kegunaan kultivar primitif pohon buah-buahan. secara ekonomi bagi kehidupan Misalnya jenis-jenis kultivar lokal yang masyarakat (Wickent 1990). Melalui dijumpai pada sistem huma di pedalaman penelitian ini masing-masing jenis Sumatera dan Kalimantan. Beberapa tumbuhan atau tanaman dikembangkan jenis diantaranya selain memiliki sesuai dengan potensinya hingga kekerabatan yang cukup banyak, mencapai hasil sesuai dengan yang ternyata juga memiliki nilai ekonomi diinginkan. Dari sinilah pendekatan penting yang berguna untuk penelitian ekonomi botani dijalankan. botani ekonomi. Jenis-jenis itu adalah Keinginan manusia kadang-kadang durian (Durio zibethinus), rambutan berlebihan, lebih sering tidak puas dengan (Nephelium lappaceum), duku (Lan- apa yang dihasilkan oleh tumbuhan atau sium domesticum), mundu (Garcinia tanaman. Sifat seperti ini mendorong dulcis), sentul (Sandoricum koetjapi), manusia untuk mengeksploitasi tumbuhan perdu-perduan seperti rukam (Fla- dan tanaman secara berlebihan. Semakin courtia rukam), pisang (Musa x meningkat peradaban manusia, semakin paradisiaca), buni (Antidesma bunius), meningkat pula kebutuhan dan tuntutan- tumbuhan liana, misalnya ubi-ubian nya. Tanpa disadari manusia mengeks- (Dioscorea alata, D. penthaphylla, D. ploitasi sumber dayanya secara hispida) dan kacang-kacangan, misalnya berlebihan. Dampak negatif karena ulah kecipir (Psopocarpus tetragonolobus), manusia ini akhirnya menimbulkan krisis kacang panjang (Vigna sinensis) serta lingkungan yang pada beberapa dekade paria (Momordica charantia) dan terna belakangan menawarkan sebuah rerumputan seperti jahe-jahean, jahe pendekatan, yaitu etnoekologi. Tujuannya (Zingiber officinale), kunyit (Curcuma adalah membuktikan keabsahan secara domestica), dan serai (Cymbopogon ekologi tentang pengelolaan alam nardus). lingkungan oleh masyarakat.

380 Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan

Dalam berbagai penelitian Leubagat Koat layaknya Dewa Syiwa etnoekologi, pola-pola adaptasi bercocok dalam agama Hindu. Ketiga, “Tai tanam masyarakat tempatan di berbagai Kamanua”, dewa langit, sang pemberi tipologi lingkungan alam atau lansekap hujan dan kehidupan. Ketiga dewa itulah adalah contoh yang mudah dipahami. yang dipercaya oleh masyarakat Siberut Lansekap hutan bagi masyarakat yang dalam menjaga keseimbangan alam tinggal sekitarnya merupakan lingkungan (Romana 2006). yang sangat penting bagi kehidupan. Jika orang Siberut lebih mengutama- Oleh karena itu secara ekologi budaya, kan pengelolaan berdasarkan atas asas hutan merupakan lingkungan fisik yang kepercayaan (religius), maka orang keberadaannya perlu dikelola dengan baik Dawan di Pulau Timor, orang Dayak Iban karena dipercaya merupakan tumpuan di pedalaman Kalimantan, dan orang hidup dan wadah berkembangnya sistem Melayu Belitung dalam merepresen- ekonomi, sosial dan budaya. Sesuai tasikan keseimbangan dengan cara dengan prinsip yang ditetapkan secara mengenali dan membagi-bagi lingkungan bersama, tidak hanya pada pengelolaan dalam satuan-satuan lansekap berdasar- hutan, akan tetapi seluruh lansekap yang kan atas asas kepentingan, yaitu untuk mereka kenali akan dikelola berdasarkan kegiatan bertani, berburu, dan meramu. ketetapan bersama pula. Oleh karena itu pengenalan dan Pengetahuan tentang “sabulu- pembagian satuan-satuan lingkungan itu ngan” bagi masyarakat Siberut adalah mereka lakukan dengan sangat rinci. salahsatu contoh kearifan lokal yang Masyarakat Atoni yang berbahasa mewakli sebuah gambaran menyatunya Dawan di pulau Timor, mengenali kehidupan manusia dengan alam. lingkungannya dengan membagi ke dalam Kebersamaan dalam menetapkan tata satuan-satuan lansekap yang diciri oleh aturan tentang pengelolaan lingkungan wanda (fisiognomi) vegetasi penutupnya tidak sekedar membagi-bagi kawasan (Walujo 1990). Etnik Dawan mengenal untuk berbagai kepentingan, semisal perlindungan hutan alami secara adat, kawasan untuk pertanian, peternakan, yang dalam bahasa Dawan disebut nasi. perburuan, dan pemukiman, akan tetapi Kawasan hutan yang menyatu dan juga bermakna religius. Menurut orang dikeramatkan disebut kiuk tokok). Siberut, ada tiga dewa yang dihormati Kedua lansekap tadi memberi cerminan dalam ajaran sabulungan. Pertama “Tai tipe vegetasi asli di daerah itu. Di antara Kaleleu”, yakni dewa hutan dan gunung. pola sebaran vegetasi asli ini terdapat Pesta adat atau punen mulia yang mosaik lansekap lain yang berupa lahan dilakukan sebelum berburu dipersembah- pertanian (lele dan po’an), padang kan kepada dewa ini. Kedua adalah “Tai sabana (hu sona), dan pemukiman Leubagat Koat”, yang merupakan dewa (kintal dan kuan). laut atau dewa air. Air dihormati karena Setiap mosaik lansekap memiliki memberikan kehidupan, tetapi kadang- karakter vegetasi penutup yang berbeda- kadang juga menimbulkan badai. Tai beda. Pada lansekap yang asli, yang

381 Eko Baroto Walujo dilindungi oleh kekuatan adat, vegetasi di manfaatkan kecuali hanya untuk asli di dominansi oleh keluarga jeruk- kepentingan upacara adat. (2) Katuan jerukan (Rutaceae) terutama Micro- atau hutan alas yang memang disediakan mellum pubescens dan keluarga jarak- untuk tempat berburu, mencari gaharu, jarakan (Euphorbiaceae) terutama damar dan kayu. (3) Lasi atau pelasian Mallotus philippensis dan jenis adalah hutan yang khusus diperuntukkan penunjang lain Ervatamia orientalis, untuk berladang, berkebun dan beternak. Allophyllus cobbe, Paveta indica, (4) Hutan milik, adalah merupakan kebun Ehretia accuminata, Wrightia calycina tanaman buah, pohon kayu, bambu, rotan dan Schleichera oleosa. Diantara milik pribadi. ratusan jenis yang dikenali oleh Praktik pengelolaan dan peng- masyarakat Dawan beberapa jenis kayu organisasian satuan-satuan lansekap dari memiliki nilai kultural dan ekonomi berbagai kelompok etnik yang diuraikan penting. Jenis itu adalah matani di atas adalah menjadi bagian norma (Ptrerocarpus indicus), haumeni kehidupan masyarakat lokal yang (Santalum album), usapi (Schleicera terbentuk dari pengalaman empirik yang oleosa), nunuh tili (Ficus benjamina), diulang-ulang kemudian berkembang kabesak (Acacia leucophloea), kiu menjadi sistem religi dan pranata sosial (Tamarindus indica) dan nek fui masyarakat. Pemaknaan terhadap (Bombac ceiba). Bagian ini merupakan satuan-satuan lansekap tadi dilandasi kajian yang sangat baik dalam perspektif atas keyakinan bahwa alam semesta penelitian botani ekonomi. dengan segala isinya adalah ciptaan Yang Dalam pengelolaan satuan lansekap, Maha Agung. Berdasarkan keyakinan masyarakat Dayak juga mengenali terhadap alam semesta yang dihayati, istilah-istilah yang menggambarkan maka mengembangkan pola-pola sikap satuan-stauan lansekap, misalnya empaq perilaku memelihara, memanfaatkan dan yang berarti hutan primer dan jekau mengelola alam yang berkelanjutan dan berarti hutan sekunder (Soepardiyono lestari. Di kalangan komunitas etnik yang 1998). Di dalam kategori jekau ini masih harmonis ini, manusia merupakan terdapat beberapa sub-kategori, yaitu bagian integral dari alam, serta perilaku jekau jue (hutan sekunder tua), jekau penuh tanggung jawab, penuh sikap buet (hutan sekunder muda ), jekau hormat dan peduli terhadap kelangsungan metan (belukar), kelimeng (ladang kecil), kehidupan di alam semesta. bekan (ladang yang baru ditinggalkan). Berdasarkan pengertian dan contoh Sedikit berbeda sistem yang diprak- diatas maka ditinjau dari obyek yang tekkan masyarakat Dayak Meratus di dipelajari oleh tiga disiplin keilmuan tadi Kalimantan Selatan. Etnik ini membagi adalah sama yaitu manusia, alam, wilayah hutan kedalam satuan-satuan lingkungan dan tumbuh-tumbuhan. lansekap berdasarkan fungsinya, yakni: Ketiga tiganya memiliki keterkaitan satu (1) pariyun, adalah hutan tempat hewan sama lain dan keterkaitan itu tidak dan tumbuhan yang dilindungi, tidak boleh menunjuk pada hubungan satu cabang

382 Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan ilmu merupakan bagian cabang ilmu Indonesia adalah sebuah Negara lainnya. Botani ekonomi bukan yang memiliki karakteristik yang sangat merupakan bagian dari etnobotani. Begitu unik. Selain kaya sumber daya alam, pula bukan merupakan bagian dari Indonesia juga memiliki keanekaragaman etnoekologi atau sebaliknya. Dalam kelompok etnis yang memiliki kehidupan konteks ke Indonesiaan, prinsip dasar sosial yang unik dan budaya yang semacam ini hendaknya menjadi berbeda. Kebhinekaan suku-suku bangsa pegangan cara pandang para peneliti jika dipadukan dengan keanekaragaman etnobotani, botani ekonomi dan hayati yang terdapat di berbagai etnoekologi untuk melihat keaneka- kepulauan Indonesia, maka tidak ragaman etnik di Indonesia. Cara mengherankan jika tumbuh berkembang pandang seperti ini tidak hanya berbagai sistem pengetahuan tentang memberikan pemahaman kita terhadap alam dan lingkungan. Keragaman sistem flora yang khas Indonesia yang semakin pengatahuan lokal ini bergantung pada banyak dikenali, tetapi yang lebih penting tipe ekosistem alam dan ekologi budaya adalah bahwa perlu adanya kesadaran masyarakat, iklim terutama curah hujan, bahwa pluralitas masyarakat Indonesia dan adat-istiadat yang dipercaya oleh justru merupakan potensi tumbuhnya berbagai kelompok suku di Indonesia ketahanan sosial dan budaya bangsa (Walujo et.al 1991). Indonesia. Meskipun bangsa Indonesia sejak dahulu kala hidup ditengah-tengah Memahami Keanekaragaman Penge- kekayaan sumber daya alam, akan tetapi tahuan dan Pemaknaan Tumbuhan. sejarah juga mencatat bahwa keba- Disiplin ilmu etnobotani dan botani nyakan tanaman pangan dan tanaman ekonomi memberi wawasan bahwa perdagangan berasal dari negara lain. sumber daya tumbuhan memegang Kekayaan dan keanekaragaman jenis peranan penting dalam memenuhi yang dimiliki bangsa Indonesia ini belum kebutuhan dasar manusia, baik untuk memberikan dampak positif terhadap mencukupi kebutuhan sandang, pangan, kesejahteraan masyarakatnya. Jumlah kesehatan maupun papan. Dalam hal tumbuhan, hewan maupun mikroba yang pangan, misalnya tercatat tidak kurang sudah diketahui potensi, kegunaan dan dari 3000 jenis dari 200.000 jenis dimanfaatkan oleh masyarakat masih tumbuhan berbunga dilaporkan ternyata sedikit. Baru sekitar 10% dari jumlah sangat bermanfaat untuk pangan. Dari spesies tumbuhan di Indonesia yang jumlah tersebut baru kira-kira 200 jenis telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang telah didomestikasi menjadi sebagai bahan pangan, tanaman hias, tanaman budidaya. Sayangnya, pendu- obat-obatan, bahan bangunan, bahan duk dunia saat ini hanya mengandalkan industri, dan lain-lainnya. gandum, padi, jagung dan kentang Berbicara mengena jenis tumbuhan sebagai pangan utama (Swaminathan berguna, Indonesia dan Indo-China 1981; Hawkes 1983; Sastrapradja 2006). dicatat sebagai pusat-pusat dunia tempat

383 Eko Baroto Walujo asal tanaman budidaya. Vavilov, menurut selalu tersedia sepanjang tahun dan dapat catatan Zeven & Zhukovsky (1967) langsung dipanen dari jenis liarnya. Indonesia merupakan kawasan yang Dalam hal pangan, masyarakat banyak ditemukan kerabat jenis-jenis liar Indonesia, mengenal padi sebagai sumber yang berpotensi ekonomi. Jauh sebelum pangan utama, selain jagung dan ubi penelitian Vavilov mengenai pusat asal kayu. Namun di berbagai tempat masih tanaman budidaya, de Candolle telah ada yang mengandalkan sagu, ubi jalar, menunjukkan bahwa terdapat tiga talas dan pisang sebagai sumber pangan kawasan pertanian utama yaitu, Asia penting. Terkait dengan keanekaragaman Selatan Barat, China, dan Amerika dalam pembudidayaan, ternyata Tropika. Setelah itu Vavilov melanjutkan beberapa jenis tanaman pangan telah penelitiannya mengenai pusat-pusat dunia mengalami evolusi, sejalan dengan tentang tempat asal tanaman budidaya perkembangan budayanya. Dari sini yaitu, Asia Selatan-Barat, Asia Tenggara terungkap bahwa perbaikan mutu (termasuk Indonesia), Mediteranian, tanaman tadi nampaknya disesuaikan Abisinia, dan Amerika. Indonesia, sebagai dengan kehendak dan kebutuhan salahsatu pusat Asia Tenggara, versi masyarakat. Pada kasus masyarakat Vavilov, atau pusat Indochina-Indonesia, tradisional, para “pembudidaya versi Zeven dan Zhukovsky, atau lingkar tradisional” secara tidak sengaja telah pulau-pulau selatan, versi Li Hui-Lin memilah-milah kultivar-kultivar unggul (1970). untuk dibudidayakan secara turun Menurut Vavilov, kawasan yang temurun. Contohnya, bermacam-macam disebut di atas kaya akan jenis jahe- varietas padi lokal telah berkembang di jahean, pisang, padi tebu, kacang- berbagai lahan di seluruh Indonesia sejak kacangan (kara pedang, Canavalia ratusan tahun lalu. Tiap daerah memiliki gladiata; benguk, Mucuna pruriens; varietas andalan, misalnya masyarakat kecipir, Psophocarpus tetragonolobus; Dayak paling tidak mengenal varietas petai, Parkia speciosa; jengkol, lokal pare bentian, pare kenyah, Pithecellobium jiringa), bambu, kelapa, masyarakat Jawa Barat mengenal padi ubi-gembili, mangga dll. Li juga sepakat varietas cianjur, Jawa Tengah dengan dengan Vavilov bahwa di pulau-pulau rojo lele dan Jawa Timur dengan beras nusantara merupakan pusat buah-buahan mentiknya (Sastrapraja 1998). seperi manggis (Garcinia mangostana), Sementara itu hasil penelitian Walujo rambutan (Nephelium lappaceum), dan (1994) menyebutkan bahwa di Wamena- durian (Durio zibethinus), jeruk nipis Pegunungan tinggi Jayawijaya, Papua, (Citrus aurantica). Li juga menambah- para pembudidaya tradisional, suku Dani, kan bahwa, karena pada umumnya di sejak ratusan tahun melakukan kegiatan kawasan pulau-pulau di lingkar selatan budidaya tanaman pangan. Dengan selalu menghijau sepanjang tahun maka, segala aktivitas bertaninya, secara tidak masyarakat tidak ada dorongan untuk sengaja mereka telah melahirkan membudidayakan sayur-sayuran, karena berbagai kultivar lokal tanaman budidaya,

384 Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan diantaranya 10 kultivar lokal pisang kemudian maju dengan pesat berkat (Musa sp.), 4 kultivar lokal ubi yang ditemukannya teknik-teknik kromatografi terdiri atas 3 jenis (Dioscorea alata, dan penentuan struktur molekul secara Dioscorea aculeata, Dioscorea spektroskopi. bulbifera), 3 kultivar lokal keladi yang Di Indonesia, penggunaan tumbuhan dibedakan berdasarkan warna umbinya untuk obat tradisional merupakan salah (Colocasia esculenta), 2 kultivar lokal satu mata rantai penting dalam membantu buah merah (Pandanus conoideus), meningkatkan kesehatan masyarakat. kelapa hutan (Pandanus juliatinus, Menyadari hal itu perlu diadakan Pandanus brosimos), dan paling tidak penelitian secara ilmiah dan sistematis. ada 5 kultivar lokal kecipir (Psopho- Data yang dicatat oleh Eisei Indonesia carpus tetragonolobus). Variasi (1986) dalam bukunya Medicinal Herb kultivar ini merupakan sumber plasma Index in Indonesia, disebutkan ada 7000 nutfah yang tidak ternilai harganya untuk jenis tanaman dan tumbuhan memiliki kepentingan pengembangan sumber daya kasiat obat dan aromatik. Catatan pangan lokal dan untuk pengembangan Koorders yang disitasi oleh Alrasyid ilmu pengetahuan khususnya dalam (1991), juga menyebutkan bahwa hutan bidang pertanian. Indonesia memiliki tidak kurang dari 9606 Sejalan dengan penggunaan jenis tumbuhan yang dikelompokkan ke tumbuhan pangan, tumbuhan untuk dalam tanaman obat. Dari jumlah tersebut kesehatan juga telah berlangsung sejak ternyata baru 3-4% yang telah berhasil munculnya peradaban manusia dimuka dibudidayakan dan dimanfaatkan secara bumi. Tradisi pengobatan ini dapat komersial. Selanjutnya menurut dokumen ditelusuri kembali lebih dari lima milenia yang dimiliki Direktorat POM- yang silam dengan munculnya dokumen Departemen Kesehatan RI (1991), baru tertulis dari peradaban kuno Cina, India sekitar 283 jenis tanaman obat yang dan di Timur Tengah. Dengan kata lain terdaftar dan digunakan oleh Industri penggunaan tumbuhan untuk memenuhi Obat Tradisional di Indonesia (Pranoto kebutuhan umat manusia dalam bidang 1999). pengobatan adalah budaya yang sama Seiring dengan kemajuan zaman dan tuanya dengan sejarah peradaban umat toleransi masyarakat terhadap masuknya manusia. Penggunaan ramuan tumbuhan kebudayaan luar menyebabkan secara secara empirik, berlangsung selama perlahan jenis-jenis tanaman asing beberapa abad diiukuti oleh penemuan melebur dalam kehidupan sehari-hari beberapa senyawa bioaktif. Penemuan pelbagai suku bangsa kita. Masuknya alkaloid morfin, striknin dan kuinin pada kebudayaan Hindu dan Budha membuat awal abad ke 19 merupakan era baru leluhur bangsa Indonesia mulai dalam penggunaan tumbuh-tumbuhan menyadari gatra estetika tetumbuhan. sebagai bahan obat dan hal ini merupakan Mereka mencoba memperkenalkan titik awal penelitian tumbuh-tumbuhan makna dan arti tanaman seroja obat secara modern. Dunia kefarmasian (Nelumbium nuciferae) dan pohon bodi

385 Eko Baroto Walujo

(Ficus religiosa) sebagai pohon suci. terangkum dalam ekosistem pekarangan Bagi orang Hindu, tumbuh-tumbuhan dan taman-taman kota, turut andil dalam hampir selalu hadir dalam dunia ritualnya. pengembangan tanaman hias. Karena Tiga komponen bagian tumbuhan yang factor-faktor itu maka elemen pendukung digunakan sebagai sarana upacara ritual tanaman menjadi pertimbangan yang pemujaan. Segala bunga yang dipersem- penting. Menurut Hasim (2009), bahkan saat uacara merupakan simbol keindahan visual tanaman dapat dilihat kesucian dan ketulusan saat melakukan berdasarkan bentuk percabangan, bentuk yajna, segala dedaunan yang dirangkai keseluruhan, tekstur, warna, dan aroma. dalam bentuk banten merupakan simbol Misalnya ketapang (Terminalia tumbuh dan berkembangnya pikiran yang catappa), yangliu (Salix babylonica), suci, dan berbagai buah dan makanan kecubung (Datura sp.) adalah contoh yang disajikan di dalam banten tanaman dengan system percabangan merupakan simbol para ilmuwan surga yang menarik. Tanaman dengan aroma (Miartha, 2004). Tidak hanya Hindu, daun yang segar, misalnya daun dilem kebudayaan Islampun memperkenalkan (Pogostemon cablin), pandan wangi delima (Punica granatum), kurma (Pandanus amarillifolius). Tanaman (Phoenix dactylifera), salam koja dengan bunga harum, misalnya mawar (Clausena sp.) dan kemudian orang (Rosa hybrida), melati (Jasminum China membawa shio (Michelia figo), sambac), cempaka (Michelia champa- lobak (Raphanus sativus), dan teh ca). Belum lagi dengan pohon-pohon (Camelia sinensis). Sedangkan pinggir jalan seperti kiara payung kedatangan bangsa Eropa membawa (Filicium decipiens), tanjung (Mimu- tidak kurang dari 2000 jenis seperti sops elingi), mahoni (Switenia jagung, buncis, kentang, cabai, ubi kayu, mahagoni), angsana (Pterocarpus kelapa sawit, karet, kopi dan tanaman indicus), kenari (Canarium spp.), asam hias (Rifai 1988, 1988a, 1989). jawa (Tamarindus indica) dan banyak Akhir-akhir ini, penggunaan tumbu- lagi jenis lainnya. Tidak terkecuali han dan tanaman untuk tanaman hias tanaman hias di pekarangan yang jenis- meningkat secara drastis, sejalan dengan jenis tanaman hias yang dikembangkan tumbuhnya kesadaran akan lingkungan erat kaitannya dengan individu hidup yang sehat. Upaya untuk pemiliknya. mempopulerkan dan mengembang-kan Akhirnya, praktik pengorganisasian tanaman hias disadari bahwa komodite satuan-satuan lansekap dan pemanfaatan ini mendatangkan nilai ekonomi yang tetumbuhan merupakan pengetahuan cukup menggembirakan. Kehadiran dan yang telah teruji secara empirik dan perkembangan keanekaragaman tana- menjadi bagian norma kehidupan man hias tidak luput dari perkembangan masyarakat lokal. Pemaknaan terhadap lingkungan hijau di perkotaan dan satuan-satuan lansekap beserta pekarangan. Faktor estetika, kenikmatan, keanekaragaman sumber daya hayati tadi kebahagiaan, kenyamanan yang dilandasi atas keyakinan bahwa alam

386 Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan semesta dengan segala isinya adalah kemanusiaan, terutama bagi pemba- ciptaan Yang Maha Agung. Berdasar- ngunan bangsa. Jenis-jenis tumbuhan kan keyakinan terhadap alam semesta baik liar maupun budidaya, merupakan yang dihayati, menumbuhkan pola-pola sumber seluruh sumber daya biologi, sikap perilaku memelihara, meman- tempat manusia mendapatkan seluruh faatkan dan mengelola alam yang kebutuhan hidup, baik untuk kebutuhan berkelanjutan dan lestari. Di kalangan makan, kesehatan maupun produk komunitas etnik yang masih harmonis ini, industri. Oleh karena itu penelitian manusia merupakan bagian integral dari etnobotani dilakukan dalam kaitan dengan alam, serta perilaku penuh tanggung konservasi (pemanfaatan berkelanjutan) jawab, penuh sikap hormat dan peduli yang menjadi bagian prinsip hidup hakiki terhadap kelangsungan kehidupan di alam karena mampu menghasilkan manfaat semesta. ekonomi dan pembangunan bangsa Dalam konteks inilah maka (national building). keseluruhan satuan-satuan lansekap Opini masyarakat yang memper- beserta keanekaragaman unsurnya akan tentangkan kekhasan dan keunikan mampu menjaga kestabilan ekosis- pengetahuan masyarakat lokal dengan temnya. Ini semua akan menghasilkan kemajuan spektakuler ilmu pengetahuan ketahanan lingkungan yang menjamin dan teknologi perlu disikapi penuh terjelmanya pertumbuhan kesejahteraan kearifan. Logika berfikir yang mendasari mayarakat serta dalam jangka panjang penelitian etnobotani, etnoekologi dan memapankan kemajuan kebudayaan botani ekonomi diharapkan mampu bangsanya. Prinsip seperti ini sebaiknya mempersandingkan dan bahkan menjadi cara pandang melihat keaneka- menguak pengetahuan masyarakat untuk ragaman etnik di Indonesia yang tidak dijadikan sebagai dasar dalam hanya memberikan pemahaman pengembangan ilmu pengetahuan dan terhadap flora yang khas Indonesia yang teknologi. Oleh karena itu bidang semakin banyak dikenali, tetapi yang keilmuan etnobotani, etnoekologi dan lebih penting adalah bahwa perlu adanya botani ekonomi harus dikembangkan kesadaran bahwa pluralitas masyarakat menjadi sebuah bidang kajian interdisiplin Indonesia justru merupakan potensi yang menggambarkan gabungan tumbuhnya ketahanan sosial dan budaya etnoscience dan ilmu pengetahuan alam bangsa Indonesia. untuk meninjau hubungan antara manusia dan lingkungannya terutama yang KESIMPULAN menyangkut sumber daya tumbuhan. Oleh sebab itu, dalam mensikapi hal ini Prinsip dasar ekologi dalam perlu ada kesepakatan bahwa penelitian etnobotani menjadi bagian memahami budaya pengetahuan, ilmu, penting dalam konteks pengungkapan dan teknologi merupakan sebuah prasarat keanekaragaman hayati tumbuhan bagi untuk pengembangan inovasi teknologi kelangsungan hidup manu-sia dan dan pembangunan ekonomi. Dengan

387 Eko Baroto Walujo demikian kekhasan masing-masing han Obat dan Aromatik. Kehati, kelompok etnis dengan keunikan LIPI, APINMAP, UNESCO, pengetahuannya tidak perlu diperten- JICA. tangkan dengan kemajuan spektakuler Cuff, EC. & GCF. Payne. 1980. pengetahuan, ilmu dan teknologi yang Perspective in Sociology. London: dewasa ini sedang mengemuka. George Allen and Unwin. Bab I Kearifan lokal yang tumbuh dalam dan V. interaksi manusia dengan manusia, atau Castetter, EF.1944. The domain of manusia dengan lingkungan dan Etnobiology. American Naturalist: sebaliknya, pada hakekatnya adalah demi 1 – 78. mencari solusi konstruktif jangka Engelbrecht, T. 1916. Über die panjang. Keseluruhan proses ini sejalan Entstehung eineger feldmässig dengan para ilmuwan dalam meniliti angebauter Kulturpflanzen, Geogr. melakukan kegiatan mengamati, Z, pp. 328-334; quoted by menirukan, dan memberikan nilai tambah Darlington, C.D. (1963). Chromo- terhadap persoalan lingkungan beserta some Botany and the Origins of fenomena yang ada di dalamnya. Bila Cultifated Plants. (2nd ed). kesadaran/kognitif seperti ini dipertajam London. dengan hasil kerja Iptek “modern”, Harlan, JR. & de Wet. 1965. Some sangat diyakini bahwa pola relasi dan thoughts about weeds, Econ. Bot. rekayasa manusia Indonesia dengan 19. Pp. 16-24. lingkungan bisa berlangsung secara lebih Hawkes, J.1983. The Diversity of Crop mantap dan langgeng. Bumi tidak akan Plants. Harvard University Press, melupakan keramahan bila kita tidak lupa Cambridge Mass. 184 pp. untuk mengembangkan kearifan leluhur Harshberger, JW.,1895. Some ideas. saat hidup menumpang di dalamnya. Oleh Philadelphia Evening Telegram. karena itu terdapat beberapa sumber December 5 pokok intelektual yang diketahui memiliki Harshberger, JW. 1896. The purpose of andil dalam penelitian etnobotani, yaitu Ethnobotany. Amer. Antiquarian . etnoscience, etnoekologi, ekologi manusia 17:2. dan geografi lingkungan. Hasim, Iin (2009). Tanaman Hias Indonesia. Penerbit Penebar Swadaya. Cimanggis, Depok. DAFTAR PUSTAKA IBSAP.2003. Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plant. Achmad, SA, EH. Hakim, L. Makmur, BAPPENAS. D. Mujahidin, YM Syah &LD. Kaplan, D & RA. Manners 2003. Teori Yuliawati. 2002. Strategi Untuk Budaya (terjemahan) Landung Obat-obatan yang Berasal dari Simatupang. Pustaka Pelajar. Edisi Tumbuh-tumbuhan. Prosiding III. 294 hal. Simposium Nasional II Tumbu-

388 Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan

Li, Hui-Lin. 1970. The Origin of Majalah Interior, Taman & Cultivated Plants in Southeast Lingkungan. 66: 57-59. Asia. Econ. Bot. 24: 3-19. Rifai, MA. 1988. Landasan Citra dan Miartha, IW. 2004. Dunia Flora dalam Jatidiri Kebun Indonesia: Modal Perspektif Ajaran Hindu. Prosiding Sumber Daya yang Tersedia. Seminar Konservasi Tumbuhan ASRI, Majalah Interior, Taman & Upacara Agama Hindu. UPT Balai Lingkungan. 66: 87-90. Konservasi Tumbuhan Kebun Rifai, MA. 1989. Landasan Citra dan Raya Eka Karya Bali. 7 Oktober Jatidiri Kebun Indonesia: Pengaruh 2004. Dari Tamadun Timur. ASRI, Plotkin, MJ. 1991. Traditional knowledge Majalah Interior, Taman & of medicinal plants the search for Lingkungan. 76: 34-35. new jungle medicines. In Akerele, Rifai, MA. 2006. Pengembangan Praktik O.Heywood, H.& Synge, H. (Eds). Iptek dalam Kehidupan Tradisional: The conservation of medicinal Kasus Manusia Madura. Doc. plants. Cambride University. Rifai. Herbarium Bogoriense. Press, Cambride. Romana, F. 2006. “Sabulungan”, Keari- Poesponegoro, MD & N.Notosusanto. fan Mentawai Menjaga Hutan. 2008. Sejarah Nasional Indo- www.kompas.com/kompas-cetak/ nesia I. Edisi Pemutakhiran. 0605/22/tanahair. Cetakan ke 2. Jakarta: Balai Sastrapradja, D, S. Adisoemarto, K. Pustaka. Kartawinata., S. Sastrapradja, & Pranoto, G. 1999. Potensi dan strategi MA. Rifai. 1989. Keanakeragaman industrialisasi obat tradisional Hayati untuk Kelangsungan Hidup Indonesia. Makalah dalam Seminar Bangsa. Puslitbang Bioteknologi- Nasional Pendayagunaan potensi LIPI. Obat Tradisional Indonesia sebagai Setijati, S. 1998. Sumber Daya Hayati Unsur dalam Sistem Pelayanan untuk Ketahanan Pangan Indo- Kesehatan. BPPT, 9 Maret 1999. nesia, dalam Sumber Daya Alam Putra, HSA. 1985. Etnosians dan sebagai Modal dalam Pemba- etnometodologi: sebuah perban- ngunan Berkelanjutan. LIPI. dingan. Masyarakat Indonesia. Setijati, S. 2006. Mengelola Sumber Majalah Ilmu-ilmu Sosial Daya Tumbuhan di Indonesia, Indonesia. 12 (2): 103-134. Mampukah Kita?. Enam Dasa- Renfrew, JW 1976. Palaeoethnobotany. warsa Ilmu dan Ilmuwan di The prehistoric food plants of the Indonesia. Naturindo. 209 – 232. near East and Europe. Columbia Soepardiyono. 1998. Pengetahuan Univ. Press, New-York. Keanekaragaman Tumbuhan dan Rifai, MA. 1988. Landasan Citra dan Pemanfaatan Satuan Lansekap Jatidiri Kebun Indonesia:Akar Masyarakat Etnis Dayak di Taman Sejarah Pertamanan Kita. ASRI, Nasional Bentuan Karimun dan

389 Eko Baroto Walujo

Sekitarnya. [Thesis]. Program Pendidikan dan Kebudayaan, Studi Biologi, Program Pasca Dirjen Pendidikan Tinggi, Direkto- Sarjana. Universitas Indonesia rat Pembinaan Penelitian dan Smith, C.E.Jr. 1986. Import of Pengabdian Masyarakat. 173 – 176 palaeo ethnobotanical facts. Econ. Walujo, EB. 1994. Masyarakat Mukoko Bot. 40 : 267-278. di Lembah Balim Irian Jaya: Suatu Sturtevant, WC. 1961. Taino agricul- Tinjauan Etnobotani. Dalam ture in J. Wilbert (ed) The Pembangunan Masyarakat evolution of horticultural pedesaan: Suatu Telaah Analitis systems in native South America, Masyarakat Wamena, Irian Antropologica Supplement Public, Jaya. Pustaka Sinar Harapan 119 2, Caracas: Soc. De Ciencias – 130 p. Naturales La Salla, 69-82. Walujo, EB. 2004. Pengumpulan Data Swaminathan, MS. 1981. Building a Etnobotani. Pedoman Pengum- National Food Security System. pulan Data Keanekaragaman Indian Environment Society, New Flora. Pusat Penelitian Biologi – Delhi. 138 pp. LIPI. Bogor. Vavilov, NI. 1926. Studies on the Origin Walujo, EB. 2007. Penggalian Kearifan of Cultivated Plants. Bull. Budaya Lokal dalam Pengemba- Appl.Bot. 16 (2): 139 – 248. ngan Ilmu Pengetahuan dan Walujo, EB. 1989. Sili, Rumah Tinggal Teknologi. Paper dipresen- Suku Dani di Lembah Baliem. tasikan dalam Seminar Bahasa ASRI, Majalah Interior, Taman & dan Sastera, Sidang ke 46 Lingkungan. 76: 36-39. MABBIM dan Sidang ke 12 Walujo, EB. 1990. The Spatial Envir- MASTERA. Kuala Lumpur- onmental Organization and the Life Malaysia, 13-14 Maret 2007. of Dawan People in Timor, Walujo, EB., AP. Keim & MJ. Indonesia. Makalah dalam Second Satsuitoeboen. 2007. Kajian International Conggress of Etnotaksonomi Pandanus conoi- Ethnobiology. Kunming (China), deus Lamarck untuk Menjem- 22-26 Oktober 1990. batani Pengetahuan Lokal dan Walujo, EB., H.Soedjito, EA. Widjaja & Ilmiah. Berita Biologi 8 (5): 391- MA. Rifai. 1991. Penguasaan 404. Etnoekologi Secuplikan Masyara- Walujo, EB. 2009. Etnobotani: Memfa- kat Etnis di Indonesia. Makalah silitasi penghayatan, pemutakiran Utama pada KIPNAS V. LIPI pengetahuan dan kearifan lokal 1991. dengan mengguna-kan prinsip- Walujo, EB.1992. Keterintegrasian Ilmu prinsip dasar ilmu pengetahuan. Sosial dengan Ilmu-ilmu Lain di Prosiding Seminar Enobotani IV. Indonesia. Bunga Rampai Meto- Cibinong Science Center-LIPI, 18 dologi Penelitian. Departemen Mei 2009.

390 Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan

Wikens, GE. 1990. What is economic botany. Econ. Bot. 44 (1): 12-28 Zeven, AC. & PM. Zhukovsky. 1967. Dictionary of the Cultivated Plants and Their Centre of Diversity. Centre for Agricultural Publishing and Documentation. Wageningen 219 pp.

Memasukkan: Juni 2011 Diterima: Agustus 2011

391 J. Biol. Indon. Vol 7, No.2 (2011)

PANDUAN PENULIS

Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah disusun dengan urutan: JUDUL (bahasa Indonesia dan Inggris), NAMA PENULIS (yang disertai dengan alamat Lembaga/ Instansi), ABSTRAK (bahasa Inggris, maksimal 250 kata), KATA KUNCI (maksimal 6 kata), PENDAHULUAN, BAHAN DAN CARA KERJA, HASIL, PEMBAHASAN, UCAPAN TERIMA KASIH (jika diperlukan) dan DAFTAR PUSTAKA.

Naskah diketik dengan spasi ganda pada kertas HVS A4 maksimum 15 halaman termasuk gambar, foto, dan tabel disertai CD. Batas dari tepi kiri 3 cm, kanan, atas, dan bawah masing- masing 2,5 cm dengan program pengolah kata Microsoft Word dan tipe huruf Times New Roman berukuran 12 point. Setiap halaman diberi nomor halaman secara berurutan. Gambar dalam bentuk grafik/diagram harus asli (bukan fotokopi) dan foto (dicetak di kertas licin atau di scan). Gambar dan Tabel di tulis dan ditempatkan di halam terpisah di akhir naskah. Penulisan simbol α, β, χ, dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, tanpa mengubah jenis huruf. Kata dalam bahasa asing dicetak miring. Naskah dikirimkan ke alamat Redaksi sebanyak 3 eksemplar (2 eksemplar tanpa nama dan lembaga penulis). Penggunaan nama suatu tumbuhan atau hewan dalam bahasa Indonesia/Daerah harus diikuti nama ilmiahnya (cetak miring) beserta Authornya pada pengungkapan pertama kali. Daftar pustaka ditulis secara abjad menggunakan sistem nama-tahun. Contoh penulisan pustaka acuan sebagai berikut :

Jurnal : Hara, T., JR. Zhang, & S. Ueda. 1983. Identification of plasmids linked with polyglutamate production in B. subtilis. J. Gen. Apll. Microbiol. 29: 345-354. Buku : Chaplin, MF. & C. Bucke. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University Press. Cambridge. Bab dalam Buku : Gerhart, P. & SW. Drew. 1994. Liquid culture. Dalam : Gerhart, P., R.G.E. Murray, W.A. Wood, & N.R. Krieg (eds.). Methods for General and Molecular Bacteriology. ASM., Washington. 248-277. Abstrak : Suryajaya, D. 1982. Perkembangan tanaman polong-polongan utama di Indonesia. Abstrak Pertemuan Ilmiah Mikrobiologi. Jakarta . 15 –18 Oktober 1982. 42. Prosiding : Mubarik, NR., A. Suwanto, & MT. Suhartono. 2000. Isolasi dan karakterisasi protease ekstrasellular dari bakteri isolat termofilik ekstrim. Prosiding Seminar nasional Industri Enzim dan Bioteknologi II. Jakarta, 15-16 Februari 2000. 151-158. Skripsi, Tesis, Disertasi : Kemala, S. 1987. Pola Pertanian, Industri Perdagangan Kelapa dan Kelapa Sawit di Indonesia.[Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Informasi dari Internet : Schulze, H. 1999. Detection and Identification of Lories and Pottos in The Wild; Information for surveys/Estimated of population density. http//www.species.net/primates/loris/ lorCp.1.html. J. Biol. Indon. Vol 7, No. 2 (2011)

Kajian Pendahuluan: Perpindahan Gen dari Tanaman Kentang Transgenik Katahdin RB 277 ke Tanaman Kentang Non Transgenik A. Dinar Ambarwati, M. Herman, Agus Purwito , Eri Sofiari,& Hajrial Aswidinoor Virus Influenza Novel H1N1 Babi di Indonesia 289 NLP Indi Dharmayanti, Atik Ratnawati, & Dyah Ayu Hewajuli Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang Indigenus dari Tanah 299 Pertambangan Batubara di Sumatera Selatan Irawan Sugoro, Sandra Hermanto,D. Sasongko,D. Indriani & P. Aditiawati Potensi Virus Avian Influenza H5NI Isolat A/Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 Sebagai 309 Vaksin R. Indriani, NLP I Dharmayanti, R.M.A Adjid, & Darminto Variasi dan kekerabatan genetik pada dua jenis baru belimbing (Averrhoa leucopetala 321 Rugayah et Sunarti sp nov dan A. dolichorpa Rugayah et Sunarti sp nov., Oxalidaceae) berdasarkan profil Random Amplified Polymorphic DNA Kusumadewi Sri Yulita Pengaruh Dinamika Faktor Lingkungan Terhadap Sebaran Horisontal dan Vertikal Katak 331 Hellen Kurniati Merekonstruksi Habitat Curik Bali Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912 di Bali 341 Bagian Barat Mas Noerdjito, Roemantyo &Tony Sumampau Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Semusim Habitat Curik Bali (Leucopsar 361 rothschildi Stresemann, 1912) di Kawasan Labuan Lalang, Taman Nasional Bali Barat Roemantyo Sumbangan Ilmu Etnobotani dalam Memfasilitasi Hubungan Manusia dengan Tumbuhan 375 dan Lingkungannya Eko Baroto Walujo