METAFORA DALAM LIRIK LAGU C SASMI

(Analisis Semantik)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Pada Departemen Sastra Prancis Fakultas Ilmu Budaya

Oleh:

Sofianti Baharuddin

F311 13 011

DEPARTEMEN SASTRA PRANCIS

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2017 SKRIPSI

METAFORA DALAM LIRIK LAGU AI{GGTIN C SASMI

(ANALTSN SEMANTTK)

Disusun dan diajukan oleh

SOFIANTI BAHARUDDIN

F311 13 011

Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Skripsi

Pada tanggal 23 November 2017

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui

Komisi Pernbimbing

Ur, ttuirammaO gilvim. M. Si \IP. 19671028 199403 I 004

Dekan Fakultas Ilmu Budaya KetuaDepartemen

Un i versitas Hasanuddin, Sastra Prancis, -rlYA*lft" Dr. Ade Yolanda Latiuba. M.A.

19601015 198703 T}NIYERSITAS IIASANUDDIN

FAKTJLTAS IL1UU BT'DAYA

pada hari Kamis, 23 November 2017 Panitia Ujian Skipsi menerima dengan baik dnip.i yang berjudul:

Metafora Dalam Lirik Lagu Anggun C Sasmi (Analisis Semantik)

'': rng diajukan dalarn rangka memenuhi salah safu syarat ujian akhir guna r;mperoleh gelar Sarjana Sastra pada Departemen Sastra Prancis Fakultas Ilmu

ii 'l iar a Universitas Hasanuddin.

Makassar, 23 November 201 7

Panitia Ujian Skripsi:

l. Dr. Ade Yolanda Latjuba M.A. Ketua 1.

l. Drs. Hasbullah, M.Hum Sekretaris 2.

Dr. Prasuri Kuswarini, M.A. Penguji I 3.

A Masdiana, S.S., M.Hum. Penguji lI T. \-, 4 Dr. Muhammad Hasyim" M.Si. Pembimbing I 7

Drs. Hasbullah, M.Hum. Pembimbing II KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur senantiasa peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT,

Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Alhamdulillah syukur, akhirnya peneliti telah dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Metafora Dalam Lirik Lagu Anggun

C Sasmi (Analisis Semantik) guna memperoleh gelar sarjana pada Departemen Sastra

Prancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.

Empat tahun bukanlah waktu yang singkat, banyak suka dan duka perjalanan peneliti dalam menyelesaikan study di bangku perkuliahan sampai pada saat penyusunan skripsi. Namun, banyak bimbingan, dukungan serta do’a dari segenap pihak yang selalu menumbuhkan semangat buat peneliti dalam mengenyam pendidikan hingga saat ini. Oleh karena itu, dengan segala hormat dan kerendahan hati peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama:

1. Kedua orang tua (Ayahanda Baharuddin dan Ibunda Maryam Pelu), terima

kasih karena menjadi orang tua terbaik, terima kasih karena telah menjadi

sahabat yang selalu setia menemani dan mendukung peneliti dalam setiap

langkah peneliti, terima kasih karena telah menjadi motivator terbesar di

setiap langkah peneliti, dan terima kasih atas segala do’a dan dukungan

yang diberikan kepada peneliti selama ini. Semoga mama dan papa selalu

dalam lindungan Allah Swt. Amin.

i

2. Dr. Muhammad Hasyim, M. Si dan Drs. Hasbullah., M. Hum, selaku

pembimbing I dan pembimbing II peneliti. Terima kasih atas

bimbingannya kepada peneliti dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

3. Terima kasih kepada seluruh dosen Jurusan Sastra Prancis atas ilmu yang

telah dibagikan kepada peneliti selama peneliti menyelesaikan study di

kampus, juga kepada semua staf jurusan peneliti ucapkan terima kasih atas

bantuannya selama ini.

4. Kakak-kakak Peneliti (Brahma Kasim Baharuddin dan Pujiyanti

Baharuddin) terima kasih karena selalu setia memberikan dukungan dan

selalu mendo’akan peneliti. Semoga Allah SWT senantiasa menghimpun

kita dalam rahmat dan cinta-Nya.

5. Keluarga besar peneliti. Terima kasih untuk semua do’a dan dukungannya

kepada peneliti. Semoga semuanya selalu sehat.

6. Teman-teman Montesquieu 2013, Fina, Cece, Pipo, Dian, Pebi, Restu,

Vika, Nanda, Iting, Lulu, Kibo, Reza, David, Rial, Ratna, dan Bayu.

Terima kasih atas kebersamaanya selama peneliti menyelesaikan study,

terima kasih juga atas semua motivasi dan dukungannya kepada peneliti.

You are the best guys. Je Vous Aime.

7. Teman-teman Neptunus, terima kasih juga atas dukungannya kepada

peneliti selama ini dan terima kasih juga atas kebersamannya selama 3

tahun di SMA. Love You All.

ii

8. Muh.Iqbal, Ismi Kurniyanti, Hairia, Aprilia Palembang, Amirul. Terima

kasih karena sudah membawa teman-teman baru bagi peneliti dan terima

kasih karena atas waktunya yang selalu diluangkan untuk peneliti.

9. Senior-senior dan junior HIMPRA. Terima kasih atas bantuannya selama

masa kuliah.

10. Kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusinya namun tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu berbagai saran dan kritik membangun senantiasa diharapkan di masa datang. Akhir kata semoga skripsi ini memberi manfaat bagi kita semua, terlebih bagi penulis sendiri.

Wassalam.

Makassar, 28 November 2017

Penulis

Sofianti Baharuddin

iii

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan gaya bahasa metafora dalam lagu. Karena seperti halnya puisi, bahasa yang digunakan dalam lirik lagu seringkali bersifat ambigu dan menggunakan gaya bahasa. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk membahas penggunaan gaya bahasa dalam lirik lagu dengan judul “Metafora dalam Lirik Lagu Anggun C Sasmi (Analisis

Semantik)”.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu gaya bahasa metafora dan semantik. Metafora merupakan suatu gaya bahasa perbandingan yang terbagi menjadi

4 jenis. Sedangkan teori semantik dibutuhkan untuk menganalisis setiap makna metafora yang terdapat dalam lirik-lirik lagu Anggun C Sasmi sehingga lebih mudah dalam memahami setiap makna ungkapan metafora tersebut.

Dari hasil analisis, peneliti mengumpulkan 20 data metafora yang terdiri atas:

(1) 8 bentuk metafora antropomorfis, (2) 2 bentuk metafora binatang, (3) 9 bentuk metafora konkret-abstrak, dan (4) 1 bentuk metafora sinaestetik. Penggunaan gaya bahasa metafora dalam lagu-lagu Anggun bertujuan untuk memberi efek estetis juga memperkuat pesan yang disampaikan pencipta lagu.

iv

ABSTRACT

This research aims to analyze the use of metaphorical language styles in songs. Because like poetry, the language used in the song lyrics is ambiguous and uses the style of the language. Based on this, the researcher is interested to discuss the use of language styles in song lyrics with the title "Metaphors in the Lyrics of

The Song Anggun C Sasmi (Semantic Analysis)".

The theory used in this research is metaphorical and semantic style of language. Metaphor is a comparative language style that is divided into 4 types.

While semantic theory is needed to analyze every metaphoric meaning contained in the lyrics of the song Anggun C Sasmi so much easier in understanding every meaning of the expression metaphor.

From the analysis, the researchers collected 20 metaphorical data consisting of: (1) 8 forms of anthropomorphic metaphor, (2) 2 forms of animal metaphor, (3) 9 concrete-abstract metaphor form, and (4) 1 sinaesthetic metaphor form. The use of metaphorical language style in the songs Anggun C Sasmi aims to give the aesthetic effect also reinforces the message conveyed the songwriter.

v

RÉSUMÉ DU MEMOIRE

Cette étude vise à analyser l'utilisation des styles de langue métaphorique dans les chansons. Parce que, comme la poésie, la langue utilisée dans les paroles des chansons est ambiguë et utilise le style de la langue. En fonction de cela, le chercheur est intéressés à discuter de l'utilisation des styles de langue dans les paroles de chansons avec le titre “Les Métaphores dans Les Paroles des Chansons

Anggun C Sasmi (Analyse Sémantique).”

La théorie utilisée dans cette recherche est le style métaphorique et sémantique du langage. La métaphore est un style de langue comparée qui est divisé en 4 types. Bien que la théorie sémantique soit nécessaire pour analyser chaque signification métaphorique contenue dans les paroles de la chanson Anggun C Sasmi tellement plus facile à comprendre tous les sens de la métaphore d'expression.

À partir de l'analyse, le chercheur a recueilli 20 données métaphoriques consistant en: (1) 8 formes de métaphore anthropomorphique, (2) 2 formes de métaphore animale, (3) 9 forme métaphorique abstraite en concrete et (4) 1 forme métaphorique sénestèque. L'utilisation du style de langue métaphorique dans les chansons Anggun C Sasmi vise à donner l'effet esthétique renforce également le message transmis au compositeur.

vi

DAFTAR SINGKATAN

Adj. : Adjective. Kata ganti.

Adj. déf. : Adjective Défini. Kata ganti tentu.

Adj. indéf. : Adjective Indéfini. Kata ganti tak tentu.

Adj. poss. : Adjective Possessif. Kata ganti kepunyaan.

Adv. : Adverbia. Kata keterangan.

Conj. : Conjonction. Kata penghubung.

Nom. : Nomina. Kata benda.

Pl. : Pluriel. Jamak.

Prèp. : Prèposition. Kata depan.

Pron. pers. : Pronom Personnels. Kata ganti orang

Pron. rel. : Pronom Relatifs. Kata ganti berdasarkan rujukan.

S. : Sujet. Subjek.

V. : Verba. Kata kerja.

V. inf. : Verba Infinitif. Kata kerja bentuk dasar.

V. pron. : Verba Pronomina. Kata kerja

vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... i

ABSTRAK ...... iv

ABSTRACT ...... v

RÉSUMÉ DU MEMOIRE ...... vi

DAFTAR SINGKATAN ...... vii

DAFTAR ISI ...... viii

BAB I: PENDAHULUAN ...... 1

I. Latar Belakang ...... 1

II. Rumusan Masalah ...... 8

III. Tujuan Penelitian ...... 8

IV. Manfaat Penelitian ...... 9

V. Metode Penelitian ...... 9 a. Persiapan ...... 9 b. Pengumpulan Data ...... 9 c. Analisis Data ...... _ 11

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ...... 13

I. Semantik ...... 13

II. Makna ...... 15 viii

III. Metafora ...... 18

1. Metafora Antropomorfis ...... 22 2. Metafora Binatang ...... 23 3. Metafora Konkret ke Abstrak ...... 25 4. Metafora Sinaestetik ...... 26

IV. Teori Metafora ...... 27

a. Teori Perbandingan ...... 28 b. Teori Interaksi ...... 29 c. Teori Pragmatik ...... 32 d. Teori Kognitif ...... 33

BAB III: PEMBAHASAN ...... 38

I. Data ...... 38

II. Pembahasan ...... 40 a. Data I: Mon Meilleur Amour ...... 40 b. Data II: Je Partirai ...... 48 c. Data III: Être Une Femme ...... 58

BAB IV: PENUTUP ...... 68

I. Kesimpulan ...... 68

II. Saran ...... 69

DAFTAR PUSTAKA ...... 70

ix

BAB 1

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Lagu merupakan karya musik yang terdiri dari teks (lirik) dan

melodi yang diciptakan kemudian dinyanyikan oleh seorang penyanyi.

Lagu juga merupakan karya sastra yang disenangi oleh masyarakat. Hal ini

dikarenakan lagu mempunyai daya pikat dari segi keindahan bahasa, tema

dan susunan kalimat juga rangkaian musiknya. Unsur sastra yang dimiliki

sebuah lagu akan mampu menggugah jiwa seseorang karena pada dasarnya

setiap manusia mempunyai rasa keindahan. Oleh karena itu, unsur seni

yang ada pada lirik atau alunan lagu merupakan faktor yang menentukan.

Lirik dalam lagu biasanya mengandung pengalaman dan ide-ide

pengarang yang terangkum dalam suatu tema tertentu, diurai dan

disampaikan pada pendengar melalui bahasa. Lirik lagu adalah ungkapan

ekspresi perasaan, pemikiran dan gagasan-gagasan pengarangnya yang

direalisasikan dalam bentuk bahasa khusus. Bentuk bahasa khusus yang

dimaksud adalah bahasa yang cenderung tidak umum atau lazim

digunakan sehari-hari. Bahasa dalam lirik lagu identik dengan bahasa yang

indah dan puitis karena selain untuk mengungkapkan perasaan atau

gagasan-gagasan oleh pencipta lagu, lirik lagu juga ditujukan untuk

memberikan efek yang menghibur. Setiap pencipta lagu memiliki 1 | Page kebebasan dan cara tersendiri dalam memilih dan menyusun kata-kata sesuai suasana hati, pengimajinasian dan pengetahuan kebahasan yang dimilikinya. Oleh karena itu, bahasa dalam lirik lagu seringkali bersifat ambigu sama halnya bahasa dalam puisi dan cenderung menggunakan gaya bahasa.

Gaya bahasa atau bahasa kiasan merupakan bahasa yang digunakan secara khusus untuk menimbulkan efek tertentu, khususnya efek estetis

(Pradopo, 1997:40 dalam situs http://publikasiilmiah.ums.ac.id/ diakses pada tanggal 22 November 2016 pukul 14:31 WITA). Keraf (1990 :113) menegaskan, bahwa gaya bahasa disusun untuk mengungkapkan pikiran secara khas yang memperlihatkan perasaan jiwa dan kepribadian penulis.

Gaya bahasa itu adalah cara yang khas dipakai seseorang untuk mengungkapkan diri pribadi.

Salah satu bentuk gaya bahasa yang banyak dikenal adalah metafora. Metafora banyak digunakan dalam karya sastra baik itu dalam jenis puisi maupun novel. Metafora merupakan pemakaian kata-kata yang bukan dalam arti sebenarnya. Suatu ungkapan metaforis ditentukan oleh persamaan atau perbandingan kata-kata yang digunakan untuk melukiskan realitas yang sesungguhnya dengan gagasan-gagasan yang abstrak yang ingin dilukiskan.

2 | Page

Gaya bahasa metafora berkaitan langsung dengan tekstur tuturan manusia. Stephen Ullman (1962: 212) menyatakan bahwa:

Metaphor is so closely intertwined with the very texture of human speech that we have already encountered it in various guises : as amajor factor in motivation, as an expressive device, as a source of synonymy and polysemy, as an outlet for intens emotions, as a mean of filling gaps in vocabulary and in several other roles.

Artinya : metafora sangat tali-temali (berhubungan erat) dengan jaringan tekstur tuturan bahasa manusia yang beragam: sebagai faktor utama dalam motivasi, sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai sumber sinonimi dan polisemi, sebagai alat untuk menyatakan emosi yang kuat, sebagai alat untuk mengisi kekosongan dalam kosa kata dan beberapa fungsi yang lain.

Dalam hal semiotika, metafora adalah cara mengkonseptualisasikan atau menghubungkan tanda (topik) ke entitas lain melalui penggunaan analogi (perbedaan atau persamaan). Metafora bekerja dengan menggunakan dua tanda yaitu, yang pertama berfungsi sebagai sumber atau domain (topik) dan yang kedua berfungsi sebagai target (vehicle), yang melahirkan makna baru (ground). Pembangun makna metafora didasarkan pada tanda-tanda verbal yang sudah ada di masyarakat, yang berbentuk sebagai nilai sosial atau budaya, dan ditransformasikan menjadi pertanda yang berfungsi sebagai target untuk membangun makna baru. Sebagaimana dikemukakan oleh Lakoff dan

Johnson (1980 : 3) bahwa metafora sangat meresap dalam kehidupan

3 | Page sehari-hari, tidak hanya dalam bahasa tetapi juga dalam pemikiran dan tindakan (Hasyim, 2017: 524).

Gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara untuk mengungkapkan pikiran melalui bahasa. Metafora adalah gaya bahasa yang memperbandingkan suatu benda dengan benda yang lain yang keduanya mempunyai sifat yang sama. Seperti yang diungkapkan oleh Obadia dan

Calignon (1976) berikut: “La métaphore est un procédé d’expression qui consiste à donner à un mot. La valeur d’un autre presentant. Avec le premier une analogie”. Exemple: “Les etudes constituent un tremplin pour l‟avenir.” Seperti kalimat dalam contoh tersebut yang berarti “Pendidikan merupakan batu loncatan untuk masa depan”. Kata batu loncatan dalam kalimat ini merupakan inti metafora kalimat tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa metafora merupakan perbandingan antara suatu benda dengan benda yang lain, maka dalam kalimat ini kata batu loncatan digunakan untuk menyatakan bahwa pendidikan sangat dibutuhkan untuk meraih masa depan.

Dapat dikatakan bahwa sebagian besar penelitian tentang metafora yang telah ada hanya difokuskan pada suatu karya sastra yaitu puisi, hal tersebut dikarenakan metafora sering diidentikkan dengan puisi. Pada kenyataannya metafora tidak hanya terdapat pada karya sastra saja seperti puisi, cerpen atau novel, tetapi dalam gagasan-gagasan manusia sehari-hari

4 | Page pun sering digunakan ungkapan metafora, misalnya dalam humor atau lawak bahkan dalam lirik lagu pun sering orang menyanyikannya.

Metafora digunakan dalam lirik lagu bertujuan untuk memberikan kesan estetis, agar lagu tersebut indah, enak di dengar, dapat membawa pendengar ikut merasakan apa yang dirasakan pencipta lagu, serta membantu pendengar agar lebih mudah memahami makna sebuah lagu.

Hal inilah yang kemudian membuat peneliti tertarik untuk memilih metafora yang terdapat dalam lirik lagu sebagai objek penelitian.

Dalam penelitian ini, peniliti memilih lagu-lagu dari seorang penyanyi yang berasal dari Indonesia dan telah sukses melambungkan namanya di kancah internasional yaitu Anggun C Sasmi. Anggun C Sasmi atau yang lebih dikenal dengan Anggun yang mengawali karirnya pada usia yang sangat muda yaitu 12 tahun. Ia meluncurkan album rock pertamanya dengan judul “Dunia Aku Punya” pada tahun 1986 yang diproduseri oleh seorang gitaris Indonesia terkenal, Ian Antono. Namun, album ini tidak berhasil melejitkan namanya sebagai penyanyi terkenal.

Anggun baru meroket di blantika musik Indonesia setelah merilis single lagunya yang berjudul “Mimpi” pada akhir tahun 1989. Setelah sukses dengan singel, Anggun kembali merilis album studio dengan judul “Anak

Putih Abu-abu” (1991), yang disusul dengan “Nocturno” (1992). Album- albumnya terjual laris di pasaran dan singel-singelnya merajai tangga lagu

5 | Page

Indonesia. Meskipun telah sukses meraih karirnya sebagai penyanyi terkenal di Indonesia, Anggun merasa masih belum puas dan memimpikan karir sebagai penyanyi bertaraf Internasional dan memutuskan untuk pindah ke Eropa.

Dua tahun setelah meninggalkan Indonesia, Anggun akhirnya berhasil bertemu dengan Erick Benzi, salah seorang produser besar Prancis yang pernah menggarap album sejumlah penyanyi kenamaan seperti

Celine Dion, Jean-Jacques Goldman, dan Johny Halliday. Benzi terpikat oleh kemampuan vokal Anggun dan seketika menawarkannya untuk rekaman album. Anggun setuju dan memutuskan untuk mempelajari bahasa Prancis secara otodidak. Atas bantuan Benzi, Anggun kemudian direkrut oleh Columbia Records di Perancis. Tidak hanya itu, Anggun juga berhasil mendapat kontrak label induk Sony Music Internasional untuk album yang akan diedarkan secara internasional.

Anggun merupakan penyanyi Indonesia pertama yang berhasil menembus industri musik internasional dan album-albumnya telah meraih penghargaan gold dan platinum di beberapa negara Eropa. Beberapa penghargaan Anggun telah diraih atas pencapaiannnya, termasuk diantaranya anugrah prestisius “Chevaliers des Arts et Lettres” dari pemerintah Prancis dan “Word‟s Best Selling Indonesian Artist” dari

World Music Award sebagai artis Indonesia dengan penjualan album

6 | Page tertinggi di seluruh dunia (https://id.wikipedia.org/wiki/Anggun_C._Sasmi diakses pada tanggal 16 September 2017 pukul 16:40 WITA).

Setelah mendengarkan beberapa lagu Anggun C Sasmi dalam versi bahasa Prancis, peneliti menemukan adanya penggunaan gaya bahasa pada frasa dan kalimat lirik dalam lagu-lagunya. Berikut adalah salah satu contoh lirik lagu yang mengandung gaya bahasa pada lagu Anggun C

Sasmi.

Tes mots sur leurs passages Ont tout noyé, brisé “Kata-katamu dalam perbuatan mereka Semua telah mati, hancur” (Cesse la pluie – Anggun C Sasmi)

Contoh diatas merupakan lirik yang terdapat dalam bait kedua dari lagu yang bejudul Cesse La Pluie. Kutipan lirik tersebut mengindikasikan penggunaan gaya bahasa karena kata mots yang berarti “kata” dianalogikan dengan kata noyé “mati” dan brisé “hancur”. Seperti yang kita ketahui, kata “mati” dan “hancur” biasa digunakan untuk menggambarkan keadaan seseorang atau pun benda. Namun dalam lirik ini kata “mati” dan “hancur” digunakan untuk mewakili kata “kata” yang bersifat abstrak. Penggunaan gaya bahasa ini juga disebut sebagai metafora yang bertujuan untuk memberikan efek estetis dalam lagu dan juga untuk menekankan pesan yang ingin disampaikan pencipta lagu.

7 | Page

Selain dari lirik diatas, dalam lagu-lagu Anggun C Sasmi juga

peneliti menemukan banyak penggunaan gaya bahasa metafora sehingga

kemudian peneliti memilih data yang akan diteliti berasal dari lagu-lagu

Anggun C Sasmi yang berbahasa Prancis.

II. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan uraian di dalam latar belakang, rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana bentuk ungkapan metafora yang terdapat dalam lirik lagu

Anggun C Sasmi?

2. Bagaimana makna metafora yang digunakan dalam lirik lagu Anggun

C Sasmi?

III. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan.

1. Mengidentifikasi bentuk-bentuk metafora yang terdapat dalam lirik

lagu Anggun C Sasmi.

2. Menganalisis bagaimana makna metafora yang terdapat dalam lirik

lagu Anggun C Sasmi.

8 | Page

IV. Manfaat Penelitian

Penelitian ini akan memaparkan gaya bahasa metafora dalam lirik

lagu Anggun C Sasmi yang berbahasa Perancis sehingga hasilnya dapat

menjadi acuan dalam strategi pengajaran bahasa Perancis, khususnya pada

mata kuliah lingusitik dan menambah pengetahuan mahasiswa dalam

mempelajari gaya bahasa.

V. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode

deskriptif, yang dilakukan melalui beberapa tahap berikut ini:

a. Persiapan

Dalam tahap ini, peneliti mengumpulkan pengertian serta teori

tentang metafora, dan membaca secara keseluruhan lagu-lagu karya

Anggun C Sasmi untuk menemukan metafora dan menganalisisnya

sehingga mendapatkan pemahaman yang baik.

b. Pengumpulan Data

Dalam tahap ini, peneliti memilih lagu Anggun C Sasmi yang

berbahasa Prancis. Pemilihan lagu dilakukan dengan cara mencari

lirik lagu Anggun C Sasmi, kemudian lirik lagu yang telah

dikumpulkan ditulis atau diketik kembali sehingga memudahkan

peneliti untuk membaca serta memperhatikan kembali setiap unsur

9 | Page yang mengandung metafora dalam lirik lagu tersebut. Selanjutnya, peneliti juga mendownload lagu-lagu tersebut agar peneliti lebih mudah memahami makna secara keseluruhan lagu yang dipilih sebagai data penelitian ini.

Untuk mendapatkan bentuk metafora dalam lirik lagu Anggun C

Sasmi, peneliti melakukan beberapa tahap yang disebut Metaphor

Identification Procedure (MIP), yang dirancang khusus bagi para peneliti untuk mengenali metafora dalam bahasa lisan dan tulisan.

Prosedur ini bertujuan untuk menentukan apakah unit leksikan tertentu dalam wacana berperan sebagai metafora dengan melihat hubungan unit leksikal tersebut dalam wacana.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk merumuskan MIP sebagai berikut:

1. Membaca wacana secara menyeluruh untuk membangun

pemahaman umum tentang maknanya.

2. Menetukan unit leksikal dalam wacana.

3. (a) Untuk setiap unit leksikal dalam teks, dilihat maknanya

dalam konteks, yaitu, bagaimana makna itu berlaku sebagai

suatu entitas, relasi, atau atribut dalam situasi yang ditimbulkan

oleh teks (makna kontekstual). Memperhatikan apa yang

datang sebelum dan setelah unit leksikal.

10 | Page

(b) Untuk setiap unit leksikal, ditentukan apakah unit itu

memiliki makna kontemporer yang lebih mendasar dalam

konteks lain daripada dalam konteks tersebut. Dalam

identifikasi metafora ini, makna dasar cenderung: (i) lebih

nyata (apa yang diungkapkan lebih mudah dibayangkan,

dilihat, didengar, diraba, dicium, dan dirasakan); (ii) terkait

dengan tindakan fisik; (iii) lebih tepat (tidak samar-samar); (iv)

secara historis lebih tua. Makna dasar harus merupakan makna

yang paling sering muncul dari unit leksikal tersebut.

(c) Jika unit leksikal memiliki makna kontemporer yang lebih

mendasar dalam konteks lain dibandingkan dengan konteks

yang ada, kemudian diperiksa apakah makna kontekstual

berbeda dengan makna dasar tetapi dapat dimengerti melalui

perbandingan dengan makna dasar tersebut.

4. Jika ya, maka unit leksikal tersebut ditandai sebagai metafora.

c. Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian dilakukan analisis dengan

tahapan sebagai berikut :

11 | Page a. Menentukan data yang merupakan ungkapan metafora

dalam lirik lagu. b. Membagi setiap metafora yang telah diidentifikasikan

berdasarkan jenis-jenis ungkapan metafora. c. Menganalisis setiap makna ungkapan metafora. d. Menarik kesimpulan.

12 | Page

BAB II

LANDASAN TEORI

I. Semantik

Status tataran semantik dengan tataran fonologi, morfologi dan

sintaksis adalah tidak sama. Semantik dengan objeknya yakni makna,

berada di seluruh tataran, yaitu berada di tataran fonologi, morfologi dan

sintaksis. Kata semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang

mengacu pada studi tentang makna (arti, Inggris: sens). Istilah semantik

berpadanan dengan kata semantique dalam bahasa Perancis yang diserap

dari bahasa Yunani dan diperkenalkan oleh M. Breal. Di dalam kedua

istilah itu (semantics, semantique), sebenarnya semantik belum tegas

membicarakan makna atau belum tegas membahas makna sebagai

objeknya, sebab yang dibahas lebih banyak yang berhubungan dengan

sejarahnya.

Sehingga M. Breal (dalam Djajasudarma, 1993 : 2) menyebutnya

sebagai semantik historis (historical semantics). Semantik historis ini

cenderung mempelajari semantik yang berhubungan dengan unsur-unsur

di luar bahasa, misalnya latar belakang perubahan makna, hubungan

perubahan makna dengan logika, psikologi, dan perubahan makna itu

sendiri.

13 | Page

Pendapat yang berbunyi “semantik adalah studi tentang makna” dikemukakan oleh Lehrer (dalam Pateda, 2010 : 6) mengatakan bahwa semantik adalah studi tentang makna. Bagi Lehrer semantik merupakan bidang kajian yang sangat luas karena turut menyinggung aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi, filsafat dan antropologi.

Selain itu, Kambartel (dalam Pateda, 2010 : 7) mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia. Definisi yang sama dikemukakan pula oleh George (1964 : vii), sedangkan Verhaar

(1983 : 124) mengatakan bahwa semantik berarti teori makna atau teori arti (Inggris, semantics, kata sifatnya semantic yang dalam BI dipadankan dengan kata semantik sebagai nomina dan semantis sebagai kata sifatnya).

Batasan yang hampir sama ditemukan pula di dalam Ensiklopedia

Britanika (Encyclopedia Britanica, Vol. 20, 1965 : 313) yang terjemahannya “Semantik adalah studi tentang hubungan antara suatu pembeda linguistik dengan hubungan proses mental atau simbol dalam aktivitas bicara.”

Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari 2 komponen, yaitu komponen signifian (yang mengartikan) yang berwujud runtunan bunyi, dan komponen signifié (yang diartikan)

14 | Page

yang berwujud pengertian atau konsep (yang dimiliki signifiant). Menurut

teori yang dikembangkan Ferdinand de Saussure, makna adalah pengertian

atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Jika

tanda linguistik tersebut disamakan identitasnya dengan kata atau leksem,

berarti makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap kata

atau leksem. Jika disamakan dengan morfem, maka makna adalah

pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap morfem, baik morfem

dasar maupun morfem afiks.

Di dalam penggunaannya dalam pertuturan yang nyata, makna kata

atau leksem itu seringkali terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya

dan juga acuannya. Banyak pakar menyatakan bahwa kita baru dapat

menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam

konteks kalimatnya. Pakar itu juga mengatakan bahwa makna kalimat baru

dapat ditentukan apabila kalimat itu berada di dalam konteks wacananya

atau konteks situasinya. Bahasa bersifat arbitrer, sehingga hubungan antara

kata dan maknanya juga bersifat arbitrer.

II. Makna

Pada dasarnya para filsuf dan linguis mempersoalkan makna dalam

bentuk hubungan antara bahasa (ujaran), pikiran dan realitas. Lahirlah

15 | Page teori tentang makna yang berkisar pada hubungan antara ujaran, pikiran, dan realitas di dunia nyata.

Makna merupakan istilah yang paling ambigu dan paling kontroversial dalam teori tentang bahasa. Dalam The Meaning of Meaning,

Ogden dan Richards (dikutip dari Skripsi Yayuk Larasari “Pembentuka

Idion Dalam Kumpulan Lagu Racine Carée Karya Stromae (Suatu

Tinjauan Semantik) Universitas Hasanuddin 2015) dalam mengumpulkan tidak kurang dari 16 definisi yang berbeda – bahkan menjadi 23 jika tiap bagian kita pisahkan. Sejak itu, banyak penggunaan baru, implisit atau eksplisit, ditambahkan pada peningkatan keambiguan tersebut, dan di mata sejumlah pakar istilah itu telah menjadi tidak dapat dipakai lagi bagi tujuan-tujuan ilmiah. Misalnya, buku C. Morris yaitu (Sign, Language,

Behavior, 1946) tentang teori tanda mengemukakan: “Pernyataan- pernyataan akan makna biasanya membuang sejumput unsur yang ada pada sasaran gejala makna, sedangkan suatu semiotik ( = teori tentang tanda) yang bersifat teknis haruslah menyajikan kata-kata yang dipertajam maknanya...... ; karena itu diharapkan agar semiotik tidak menggunakan istilah (makna) itu dan agar mengintroduksikan istilah-istilah khusus bagi berbagai faktor yang tidak dapat dibedakan oleh „makna‟ tadi.

Pemahaman makna (bahasa Inggris: sense/sens) dibedakan dari arti

(bahasa Inggris: meaning) di dalam semantik. Istilah makna (sense)

16 | Page merupakan kata dan istilah yang membingungkan. Bentuk makna diperhitungkan sebagai istilah sebab bentuk ini mempunyai konsep dalam bidang ilmu tertentu, yakni dalam bidang linguistik. Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata- kata). Makna menurut Palmer (dalam Djajasudarma, 1993 : 7) hanya menyangkut intrabahasa. Sejalan dengan pendapat tersebut, Lyons (dalam

Djajsudarma, 1993: 7) menyebutkan bahwa mengkaji atau memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan makna yang membuat kata tersebut berbeda dari kata- kata lain.

Ada tiga (3) hal yang coba dijelaskan oleh para filsuf dan linguis sehubugan dengan usaha menjelaskan istilah makna. Ketiga hal itu, yakni

(i) menjelaskan makna kata secara ilmiah, (ii) mendeskripsikan kalimat secara alamiah, dan (iii) menjelaskan makna dalam proses komunikasi

(Kempson dalam Pateda, 2010: 79). Dalam hubungan ini Kempson berpendapat untuk menjelaskan istilah makna harus dilihat dari segi: (i) kata; (ii) kalimat; dan (iii) apa yang dibutuhkan pembicara untuk berkomunikasi.

Pendekatan makna dari segi hubungan pengertian dapat dilihat dari hubungan makna yang ada didalam strukturnya. Hubungan antara tanda yang berupa lambang bunyi ujaran dengan hal (peristiwa) atau barang

17 | Page

yang dimaksudkan disebut arti. Arti leksikal adalah arti kata yang sesuai

dengan apa yang kita jumpai di dalam leksikon (kamus). Secara

operasional di dalam kalimat, arti-arti leksikal dapat bergeser, berubah,

atau menyimpang. Karena hal tersebut beberapa ahli bahasa berpendapat

bahwa arti (bahasa Inggris: meaning) dibedakan dari makna (bahasa

Inggris: sense). Arti adalah apa yang disebut arti leksikal (dapat dicari

dalam kamus), dan makna adalah hubungan yang ada di antara satuan

bahasa. Makna didapatkan dengan meneliti hubungannya di dalam struktur

bahasa (arti struktural).

Terdapat beberapa pendapat mengenai jenis makna, salah satunya

yaitu makna kiasan. Makna kiasan (transfered meaning atau figurative

meaning) adalah pemakaian kata yang maknanya tidak sebenarnya

(Kridalakasana dalam Pateda, 2010 : 108). Makna kiasan tidak lagi sesuai

dengan konsep yang terdapat di dalam kata tersebut. Makna kiasan sudah

bergeser dari makna sebenarnya, namun kalau dipikir secara mendalam,

masih ada kaitan dengan makna sebenarnya. Makna kiasan banyak

terdapat didalam idiom, peribahasa dan ungkapan.

III. Metafora

Secara leksikologis yang dimaksud dengan gaya bahasa, yakni: (i)

pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau

18 | Page menulis; (ii) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu; (iii) keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra; (iv) cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan (Depdikbud dalam Pateda, 2010 : 233).

Gaya bahasa memang banyak dan biasanya dibicarakan di dalam bidang sastra. Sebenarnya bukan soal gaya bahasa yang dipentingkan, tetapi makna atau kalimat yang menggunakan gaya bahasa tersebut yang perlu dibicarakan. Salah satu gaya bahasa yang sering digunakan yaitu metafora (metaphor). Metafora termasuk majas figure of speech. Majas adalah kata atau frasa yang digunakan untuk mendapat dampak khusus dan biasanya tidak memiliki makna literal yang biasa.

“A metaphor, according to I.A.Richards, is “a shift, a carrying over of a word from its normal use to a new use. “

The point of metaphor is to bring different associations, more dramatic connotations, into the reader minds.”

Artinya: “Menurut I.A.Richards, metafora adalah sebuah pergeseran makna, sebuah pengalihan kata dari makna yang biasanya ke makna yang baru. Intinya metafora berfungsi untuk membawa perubahan asosiasi dan konotasi ke dalam pikiran pembaca.”

Metafora sangat bertali-temali dengan jaringan tutur manusia; sebagai faktor utama motivasi, sebagai perabot ekspresi, sebagai sumber sinonim dan polisemi, sebagai saluran emosi yang kuat, sebagai alat untuk mengisi senjang dalam kosakata, dan beberapa peran yang lain.

19 | Page

Metafora adalah penggunaan sebuah kata atau frasa yang menunjukkan perbedaan makna literal atau harfiah, seperti yang dinyatakan oleh Cruse (dalam Djajasudarma, 1993 : 84) bahwa di dalam

Oxford Learner Dictionary dikatakan metafora adalah: “The use of a word or phrase to mean something different from litteral meaning”; kemudian dipertimbangkan dari argumentasi Lakoff dan yang lainnya secara persuasif metafora meresap di dalam bahasa, dan kebanyakan bagiannya tanpa kesulitan dapat diinterpretasi, karena itu patut lebih mendapat pertimbangan secara konstruktif.

Struktur dasar metafora sangat sederhana. Di sana selalu ada 2 hal: sesuatu yang sedang kita bicarakan (yang dibandingkan) dan sesuatu yang kita pakai sebagai bandingan. Dalam terminologi Dr. Richards, sesuatu yang kita bicarakan itu tenor (makna atau arah umum) dan bandingannya disebut wahana (vehicle), sedangkan unsur atau unsur-unsur yang biasa mereka pakai membentuk dasar metafora. Contoh konkret kata Latin musclus „tikus kecil‟, yaitu bentuk diminutif dari mus „tikus‟, juga dipakai dalam makna kias „otot‟; dalam bahasa Inggris kata itu menjadi muscle

(baca: [musl]) „otot‟. Dalam metafora ini, „otot‟ adalah tenor, sedangkan

„tikus kecil‟ adalah wahana, dan kesamaan yang dibayangkan atau diciptakan antara keduanya membentuk dasar bayangan itu, yaitu suatu unsur umum yang melandai transfer. Dalam bentuk perbandingan,

20 | Page daripada secara eksplisit menyatakan bahwa suatu otot itu „menyerupai‟ tikus kecil, kita dapat menyatakan bahwa tenor itu diidentikkan dengan wahana oleh semacam terobosan verbal, atau jalan pintas (verbal shorthand). Dalam pengertian ini bisa kita katakan bahwa metafora adalah

“suatu perbandingan yang dipadatkan yang mengandung identitas intuitif dan konkret.”

Suatu faktor penting dalam keefektifan metafora adalah jarak antara tenor dan wahana, atau yang oleh Dr. Sayce disebut “sudut bayang”

(angle of the image). Jika dua hal yang dibandingkan itu sangat berdekatan – misalnya bunga dibandingkan dengan bunga lain- maka metafora akan muncul juga tetapi mutu ekspresifnya tidak ada sama sekali.

Sebaliknya, jika jarak antara dua objek yang dibandingkan itu cukup jauh, metafora itu makin efektif. Dr. Richards mengatakan, “Jika ada dua hal yang dipertautkan itu makin jauh jaraknya, tentunya tensi yang diciptakan lebih besar. Tensi merupakan tekukan busur, merupakan sumber energi dari tembakan (anak panah)...”

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, ada sesuatu yang dibicarakan dan ada sesuatu sebagai pembandingnya. Kedua benda yang diperbandingakan mempunyai sifat yang sama. Misalnya kata jago yang mengacu kepada ayam yang baik ketika diadu. Pengertian kata jago kita ambil, kemudian dibandingkan dengan seorang pelari. Pelari itu tentu

21 | Page

pelari yang baik dan karena itu kita katakan, ia jago lari. Kata matahari

dikatakan raja siang, dan bulan dikatakan raja malam atau dewi malam.

Urutan kata api berkobar, kita katakan si jago merah, dan kata

gelandangan kita katakan sampah masyarakat.

Di antara sekian banyak metafora yang diekspresikan oleh

manusia, ada empat kelompok utama yang terjadi dalam berbagai bahasa

dan gaya bahasa.

1. Metafora Antropomorfis

Salah seorang pemikir yang memperhatikan metafora jenis ini

adalah filosof Italia abad ke- 18, Giambattista Vico. Dalam tulisannya

berjudul Scienza nuova, yang dikutip oleh Gombocz (Jelentestan, Pecs,

1926), ia mengatakan, „dalam semua bahasa sebagian besar ekspresi yang

mengacu kepada benda-benda tak bernyawa dibandingkan dengan cara

pengalihan (transfer) dari tubuh dan anggota badan manusia, dari indera

dan perasaan manusia.” Kecenderungan ini dibuktikan dalam berbagai

bahasa dan peradaban, dan terletak pada akarnya ekspresi yang tak

terhitung jumlahnya dalam pemakaian. Contohnya punggung bukit, mulut

sungai, jantung kota, dan masih banyak lagi ekspresi yang menggunakan

kaki dan tangan.

Sebenarnya ada juga banyak transfer yang menjadi kebalikan dari

yang di atas itu, yaitu bagian dari tubuh kita dinamakan dengan binatang

22 | Page

atau benda tak bernyawa. Dalam bahasa Inggris kita mengenal muscle

‟otot‟, dari kata Latin musclus „tikus kecil‟, Adam’s apple „jakun‟ (secara

harfiah berarti „apelnya Adam‟, terambil dari cerita kitab Injil tentang

Adam yang memakan buah larangan). Dalam bahasa Indonesia kita

mengenal istilah bola mata, gendang telinga, buah dada, tali pusar.

Dalam terminologi Sperber, tubuh manusia itu adalah pusat perluasan

metafora dan pusat atraksi yang kuat. Tetapi secara keseluruhan dapat

dikatakan bahwa metafora yang berasal dari cara ini (yaitu dari manusia ke

benda tak bernyawa) tampaknya lebih umum dibandingkan dengan yang

sebaliknya (ke arah manusia).

2. Metafora Binatang

Sumber utama imajinasi atau metafora yang lain adalah dunia

binatang. Metafora jenis ini bergerak dalam dua arah utama. Sebagian

diterapkan untuk binatang atau benda tak bernyawa. Banyak tumbuhan

menggunakan nama binatang, sering juga kocak atau lucu, misalnya dalam

bahasa Inggris ada tumbuhan dengan nama goat’s-beard „jenggot

kambing‟, dog’s tail „ekor anjing‟, cock’s foot „kaki jago‟. Dalam bahasa

Indonesia ada lidah buaya, kumis kucing, jambu monyet, kuping gajah,

cocor bebek. Banyak juga benda-benda tak bernyawa menggunakan nama

binatang. Dalam bahasa Inggris alat berat untuk mengangkut atau

memindahkan barang disebut crane „nama sejenis burung bangau‟, yang di

23 | Page

Indonesia disebut derek. Ada makanan yang disebut hot dog, secara harfiah berati „anjing panas‟. Di Indonesia kita mengenal telur mata sapi, mata kucing (instrumen pada radio atau televisi), fondasi cakar ayam, rambut ekor kuda, si jago merah (untuk api).

Kelompok lain dari imajinasi terhadap binatang ini ditransfer kepada manusia di mana ada konotasi humor, ironis, pejoratif

(melemahkan nilai) atau fantastik. Seseorang dapat diserupakan dengan berbagai binatang: si babi, si belut, si belut, si jago (untuk ayam), si beo, si kucing, dan sebagainya. Seseorang dapat disebut pembeo, pembebek.

Pengekor, karena watak atau perilakunya seperti binatang atau bagian dari tubuh binatang tersebut. Tindakan orang juga bisa diserupakan tindakan binatang. Dalam bahasa Indonesia ada istilah membeo, membabi buta, membebek dengan awalan me-dalam arti „berbuat atau bertingkah laku seperti‟. Ada pula ungkapan seperti si macan bola, si jago tembak, buaya kroncong, di samping kata atau ungkapan seperti mangoceh (untuk orang yang banyak bicara), menggerogoti uang negara (kata menggerogoti biasa untuk bajing, tikus), menggondol piala, nyengir kuda, kata-katanya masih menyengat, menanduk bola, mengasi rezeki.

Benda-benda tak bernyawa juga ada yang bisa bertingkah, dan tingkah ini dimetaforakan dengan sumber binatang: truk itu menyeruduk

24 | Page

mobil dari belakang, panas matahari yang menyengat, generasi muda telah

menelurkan kreativitasnya.

3. Dari Konkret ke Abstrak

Salah satu kecenderungan besar dalam metafora adalah

menjabarkan pengalaman-pengalaman abstrak ke dalam hal yang konkret.

Dalam banyak hal, pengalihan atau transfer itu masih jelas, tetapi sebagian

lagi masih memerlukan penelitian etimologis untuk melacak citra konkret

yang mendasari kata yang abstrak itu, misalnya menemukan hubungan

kata Latin finis „batas; akhir‟, di balik define „menentukan‟ dan finance

„keuangan‟; limen „ambang; batas‟ di balik eliminate „memindahkan;

menyisihkan‟; sidus‟bintang‟ di bali desire „keinginan‟. Transfer semacam

ini terjadi sepanjang waktu; dan rasanya tak akan mungkin membicarakan

hal yang abstrak tanpa menjamah transfer-transfer (dari yang konkret

tersebut). Ambillah contohnya, misalnya, metafora-metafora bahasa

Inggris yang berhubungan dengan light „sinar, cahaya; lampu‟. Begitu

banyak ungkapan metaforis yang menggunakan kata light dengan berbagai

cirinya yang melekat. Jika dibandingkan dengan bahasa Indonesia,

kondisinya sama juga. Artinya, dari kata sinar, cahaya, atau lampu,

(termasuk suluh, pelita) yang konkret kita temukan banyak ungkapan

metaforis yang abstrak. Misalnya, sorot mata, sinar mata, sinar wajah,

hidupnya yang bersinar, ajarannya menyinar dunia, otak cemerlang,

25 | Page

menyoroti perilaku pemimpin, dunia gemerlap, harta yang menyilaukan,

kejayaannya mulai meredup, penyuluh pertanian, dan senyumnya berseri.

4. Metafora Sinaestetik

Suatu jenis metafora yang sangat umum didasarkan kepada transfer

dari satu indra ke indra yang lain: dari bunyi (dengan indra dengar) ke

penglihatan, dari sentuhan ke bunyi, dan sebagainya. Jika kita berbicara

tentang suara yang hangat atau dingin maka kita menyadari adanya sejenis

kesamaan antara temperatur yang hangat atau dingin dan kualitas suara-

suara tertentu. Begitu pula kalau kita berbicara tentang warna yang keras,

bau yang manis, pandangan yang tajam, bicaranya manis. Hubungan

sinaestetik ini juga mempunyai nilai etimologis, misalnya dalam bahasa

Jerman, adjektiva hell‟terang; jelas‟ dihubungkan dengan verba hallen

„bergema‟. Kata Yunani barytone „bariton‟ (jenis suara laki-laki di antara

tenor dan bas; bas adalah jenis suara yang “terbesar”) didasarkan pada

sebuah kata yang berarti „berat‟. Penjelajahan yang sistematis terhadap

sumber-sumber metafora ini dalam gaya sastra mulai dengan kebangkitan

simbolisme. Shakespeare sendiri menyadari betul akan teknik ini, seperti

tampak pada salah satu karyanya.

I see a voice; now will I to think the chink, To spy an I can hear my Thisby’s face.

(perhatikan ungkapan I see a voice „saya melihat suara‟ dan I hear my

Thisby‟s face „saya mendengar wajah Thisby). 26 | Page

Sinaestesia dibangkitkan ke dalam doktrin estetika dalam soneta

yang ditulis oleh Beaudelaire yang berjudul Correspondances.

Les parfums, les couleurs et les sons se répondent. Il est des parfums frais comme des chairs d’enfants, Doux comme les hautbois, verts comme les prairies “Parfum, bunyi dan warna saling bersambut. Ada parfum yang segar dan dingin seperti tubuh bayi, Merdu seperti seruling, hijau seperti ladang.” (Correspondence – Charles Baudelaire)

Sejak itu imajinasi sinaestetik sepenuhnya dieksploitasi dalam

puisi maupun prosa. Upaya-upaya dilakukan untuk mensistematisasikan

korespondensi antara berbagai indera; percobaan yang paling terkenal

dalam hal ini ialah soneta Rimbaud tentang warna bunyi-bunyi vokal: “A

noir, E blanc, I rouge, O bleau...”, yang mungkin disugesti oleh memori-

memori tentang buku-eja yang dipakai pada masa kanak-kanaknya”. Pada

masa sekarang transposisi semacam itu sudah begitu umum sehingga tidak

seorang pun dikejutkan ketika seorang novelis berbicara tentang “rasa atau

selera yang kuning” atau “hijaunya bau”.

IV. Teori Metafora

Metafora merupakan sebuah topik kajian utama berbagai disiplin

ilmu, terutama linguistik, teori kesusastraan, filsafat, dan psikologi,

konsep-konsep metafora, termasuk definisinya, sangat beragam. Hingga

27 | Page

saat ini, paling tidak empat teori metafora yang mengungkapkan metafora

dengan berbagai sudut pandang.

Berikut ini adalah uraian singkat tentang keempat teori tersebut,

yang secara khusus ditinjau dari perspektif penerjemahan.

1. Teori perbandingan

Teori perbandingan, yang identik dengan definisi etiomologis di

atas, digagas oleh Aristoteles pada abad keempat masehi. Menurut

Aristoteles, metafora merupakan sarana berpikir yang sangat efektif untuk

memahami suatu konsep abstrak, yang dilakukan dengan cara memperluas

makna konsep tersebut dengan cara membandingkannya dengan konsep

lain yang sudah dipahami.

Bagi Aristoteles, fungsi utama metafora adalah sebagai stilistika

atau ornamen retoris, khususnya majas. Danesi (2004:118 dalam

http://www.dinus.ac.id/wbsc/assets/dokumen/majalah/Artikel_Asep1.pdf

diakses pada tanggal 22 November 2016) menambahkan bahwa majas

tersebut digunakan untuk memperindah ungkapan-ungkapan dalam puisi.

Dengan kata lain, Aristoteles lebih mementingkan metafora sebagai

konsep berpikir yang menghasilkan ekspresi tersebut.

Teori perbandingan ini didukung oleh Larson (1998: 271) yang

menekankan bahwa, seperti simile, metafora merupakan ungkapan

figuratif yang didasarkan pada perbandingan. Dia menjelaskan bahwa

28 | Page

metafora dan simile merupakan bentuk-bentuk gramatikal yang mewakili

dua proposisi dalam struktur semantik. Sebuah proposisi terdiri dari

sebuah topik dan penjelasan mengenai topik itu. Dalam ungkapan “Guru

adalah matahari bangsa”, “guru” merupakan topik dan “adalah matahari

bangsa” merupakan penjelasan. Hubungan antara kedua proposisi tersebut

merupakan sebuah perbandingan yang terdapat dalam bagian penjelasan.

Penjelasan tersebut mengungkapkan kemiripan atau menunjukkan titik

kesamaan tertentu. Dalam contoh di atas, bagian penjelasan

mengungkapkan kemiripan antara “guru” dan “matahari” sebagai pemberi

„terang‟ dan kehangatan‟.

2. Teori Interaksi

Pemunculan konsep metafora yang berbeda dengan konsep

Aristoteles diawali oleh Richards. Perbedaan itu terlihat paling tidak dalam

dua poin. Poin pertama, Richards (1936: 90) menyatakan bahwa metafora

sesuatu yang istimewa dan hanya digunakan oleh orang-orang berbakat

sebagai ornamen retoris. Dengan kata lain, dia menolak pandangan bahwa

metafora digunakan secara khusus hanya dalam karya sastra.

Kedua, Richards menekankan bahwa metafora merupakan proses

kognitif yang dilakukan untuk memahami suatu gagasan yang asing

(vehicle) melalui interaksi gagasan tersebut dengan gagasan lain yang

maknanya secara harfiah sudah lebih dikenal (tenor), bukan melalui

29 | Page pemindahan makna. Gagasan baru yang dihasilkan melalui interaksi vehicle dan tenor disebut ground. Secara grafis, proses kognitif yang menghasilkan metafora ini dapat digambarkan dalam bagan dibawah ini.

Gambar 1. Proses kognitif.

Guru Matahari (vehicle) (tenor)

Pada bagan tersebut, tampak dua lingkaran yang disatukan, masing-masing menampilkan wilayah makna “guru” dan wilayah makna

“matahari”. Sebahagian dari kedua wilayah makna itu bertumpang tindih

(bagian tengah gambar), dan hal itu menunjukkan adanya sekumpulan komponen makna penyama (ground) atau makna yang sama-sama dimiliki kedua wilayah makna. Dalam konteks metafora ini, makna penyama tersebut terdiri dari „hangat‟ dan „menerangi‟. Meskipun wilayah makna itu menyatu, makna harfiah „guru‟ dan „matahari‟ tidak menghilang, melainkan ada di latar belakang makna metaforis. Itulah sebabnya Richard menekankan bahwa dalam metafora tidak terjadi substitusi makna melainkan interkasi makna.

30 | Page

Istilah vehicle yang diajukan Richard ini mirip dengan „topik‟, istilah tenor mirip dengan „citra‟, dan istilah ground mirip dengan „titik kesamaan‟. Menurut Stockwell (2002: 106), dalam ungkapan stilistik posisi vehicle selalu mendahului tenor, meskipun dalam skema kognitifnya tenor diletakkan sebelum vehicle. Jadi dalam metafora “Guru adalah matahari bangsa”, „Guru‟ merupakan vehicle dan „matahari‟ merupakan tenor. Fitur umum yang terdapat diantara keduanya, seperti „hangat‟ dan

„menerangi‟, disebut ground.

Berdasarkan gagasan Richards, Black mengembangkan teori interaksi dengan menekankan bahwa metafora pada hakikatnya merupakan instrumen kognitif yang tidak dapat berlangsung tanpa adanya interaksi antar elemen-elemen pembentuknya, yang terdiri dari aspek konteks, situasi, pembicara/pendengar, penulis/pembaca, dan tema pertuturan.

Jika konsep Aristoteles dibandingkan dengan konsep Richards dan

Black, akan terlihat bahwa konsep metafora Aristoteles dilandaskan pada perbandingan antara tenor (citra) dan vehicle (topik), sedangkan konsep metafora Richards dan Black didasarkan pada interaksi kedua ranah tersebut. Namun, walau berbeda dalam hal hubungan antara tenor dan vehicle, konsep Aristoteles, Richards, dan Black sama-sama menekankan bahwa konteks yang terdapat dalam ungkapan metafora mengandung dua sisi makna: makna metaforis di satu sisi dan makna harfiah di sisi yang

31 | Page

lainnya. Selain itu, ketiga konsep itu juga sama-sama menekankan fungsi

metafora sebagai bahasa figuratif.

3. Teori Pragmatik

Teori pragmatik merupakan penolakan terhadap konsep adanya

perubahan makna pada topik karena adanya pemindahan makna dari citra,

atau karena adanya interaksi vehicle dengan tenor. Dengan kata lain, teori

pragmatik membantah konsep teori perbandingan dan teori interaksi.

Davidson (1978: 32) mempertanyakan asumsi standar tentang keberadaan

makna metaforis yang berbeda dengan makna harfiah. Menurut Davidson,

metafora pada hakikatnya tidak berbeda dengan ungkapan linguistik

lainnya. Metafora mengungkapkan makna kata-kata sesuai dengan makna

harfiahnya, tidak lebih dari itu. Bagi Davidson, persoalan metafora

merupakan ranah pragmatik, bukan semantik. Metafora tidak membentuk

makna-makna yang berbeda karena metafora tidak berkreasi; metafora

merupakan kata-kata yang makna harfiahnya digunakan untuk membentuk

pemahaman. Dengan kata lain, makna sebuah metafora ditentukan oleh

makna harfiah kata-kata maupun kalimat yang membentuknya, dan

bagaimana makna tersebut digunakan. Jadi, metafora tidak memiliki

makna khusus. Metafora adalah penggunaan ungkapan untuk

menyarankan, mengakrabkan, atau mengarahkan penutur kepada makna

yang mungkin diabaikannya.

32 | Page

Sumbangan utama teori pragmatik terhadap konsep metafora

adalah pemahaman bahwa proses pembentukan makna metaforis tidak

hanya ditentukan oleh pemindahan makna dari citra ke topik atau oleh

interaksi antara kedua ranah tersebut. Makna metaforis itu juga dibentuk

oleh hubungan internal elemen-elemen kontekstual tuturan tersebut,

termasuk makna yang disampaikan penutur.

4. Teori Kognitif

Wilayah kajian metafora yang dulu cenderung mengacu pada

ungkapan figuratif mulai berubah sejak Lakoff dan Jonhson menerbitkan

Metaphors We Live By pada tahun 1980. Dalam buku ini mereka

menegaskan bahwa metafora tidak hanya digunakan dalam karya sastra

tetapi dalam kehidupan sehari-hari. Menurut mereka, “metaphors are

pervasive in our ordinary everyday way of thinking, speaking, and

acting”. Pendapat ini merupakan penolakan mereka terhadap pendapat

umum dalam linguistik konvensional bahwa ungkapan metaforis

merupakan alternatif bagi penuturan harfiah. Danesi (2004: 120),

menjelaskan bahwa secara khusus mereka menentang asumsi Grice bahwa

seseorang akan mencoba mendahulukan interpretasi jika dia mendengar

sebuah kalimat. Jika konteks kalimat tersebut tidak memungkinkan

baginya untuk memperoleh pemahaman, barulah dia mencoba interpretasi

metaforis. Menurut Lakoff dan Johnson, asumsi ini terkesan benar hanya

33 | Page karena pengguna bahasa tidak menyadari bahwa banyak ungkapan- ungkapan yang biasa mereka gunakan sebenarnya didasarkan pada struktur metaforis. Sebagai contoh, kalimat yang lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari, seperti: “Pendapatmu tidak dapat dipertahankan”,

“Aku berhasil menghancurkan argumentasinya” dan “Dia selalu menang dalam perdebatan”, sebenarnya merupakan variasi metafora linguistik yang dibentuk berdasarkan metafora konseptual ARGUMEN

MERUPAKAN PERANG, seperti terlihat dari uraian yang diadopsi dari penjelasan Lakoff dan Johnson berikut.

Metafora konseptual : ARGUMEN MERUPAKAN PERANG

Metafora linguistik : a. Pendapatmu tidak dapat dipertahankan.

b. Aku berhasil mematahkan argumentasinya.

c. Dia selalu menang dalam perdebatan.

Selain itu, berbagai kalimat sering diinterpretasikan secara metaforis tanpa memperhatikan makna sebenarnya. Sebagai contoh, kalimat “Pembunuhnya adalah binatang” cenderung diinterpretasikan secara metaforis. Biasanya, setelah dijelaskan bahwa kata “binatang” dalam kalimat itu adalah hewan sesungguhnya (singa, beruang, dan sebagainya), barulah pendengar menginterpretasikannya secara harfiah.

Menurut Ortony (1993: 208-209), prinsip utama dalam teori kognitif Lakoff dan Johnson adalah bahwa metafora berlangsung dalam

34 | Page tataran proses berpikir. Metafora menghubungkan dua ranah konseptual yang disebut ranah sumber (source domain) dan ranah sasaran (target domain). Ranah sumber terdiri dari sekumpulan entitas, atribut atau proses yang terhubung secara harfiah, dan secara semantis terhubung dan tersimpan dalam pikiran. Hal-hal itu diungkapkan dalam pertuturan melalui seperangkat kata atau ungkapan yang dianggap terhimpun dalam kelompok-kelompok yang serupa dengan kumpulan tersebut – yang sering disebut oleh linguis sebagai „kelompok leksikal‟ (lexical sets) atau

„bidang-bidang leksikal‟ (lexical fields). Ranah sasaran cenderung bersifat lebih abstrak dan mengikuti struktur yang dimiliki ranah sumber melalui pemetaan ontologis. Pemetaan inilah yang disebut metafora konseptual.

Oleh karena itu, entitas, atribut, dan proses dalam ranah sasaran diyakini berhubungan satu sama lain seperti pola yang dipetakan dari hubungan antara entitas, atribut, dan proses dalam ranah sumber. Pada tataran bahasa, seluruh entitas, atribut, dan proses dalam ranah sasaran dileksikalkan melalui kata-kata dan ungkapan dari ranah sumber. Kata- kata atau ungkapan inilah yang disebut dengan metafora linguistik.

Berdasarkan berbagai teori dan definisi yang cukup beragam tersebut, terlihat bahwa pengertian metafora relatif sama sejak zaman

Aristoteles. Meskipun dinyatakan melalui ungkapan-ungkapan yang cukup variatif, definisi-definisi itu tetap bermuara kepada dua tataran,

35 | Page yakni: metafora konseptual dan metafora linguistik. Metafora konseptual merupakan proses pemindahan sebuah konsep yang dikenal kepada konsep lain yang masih asing agar konsep yang asing itu dapat dipahami.

Pemindahan konsep itu biasa melalui perbandingan, interaksi, atau pemetaan. Metafora linguistik merupakan ekspresi linguistik yang diperoleh dari sebuah metafora konseptual.

Perbedaan yang terdapat dalam berbagai definisi dan teori metafora di atas terletak pada penekanan esensi dan fungsi kedua jenis metafora tersebut. Bagi Aristoteles, metafora linguistik lebih penting dari metafora konseptual dan sangat diperlukan sebagai bahasa figuratif (majas) dalam puisi dan kajian sastra. Bagi Lakoff dan Johnson, metafora yang paling esensial adalah metafora konseptual, dengan alasan bahwa metafora linguistik merupakan manifestasi linguistis dari metafora konseptual

(sebagai sistem berpikir yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari manusia). Krennmayr (2011 : 11) menegaskan bahwa berbeda dengan pandangan filsuf dan linguis terdahulu, yang memandang bahasa terpisah dari pikiran, linguis kontemporer sejak pemunculan linguistik kognitif memandang bahasa berinteraksi dengan persepsi, memori, dan pikiran.

Karena dilandaskan pada perbandingan antara sebuah benda, ide, atau tindakan dengan sebuah benda, ide, atau tindakan lain, metafora juga mencakup personifikasi, karena personifikasi juga didasarkan pada

36 | Page perbandingan benda atau binatang dengan manusia. Dalam personifikasi

“Nyiur melambai-lambai” terdapat perbandingan antara gerakan daun nyiur dengan gerakan tangan manusia. Perbandingan itu menghasilkan titik kesamaan berupa “gerakan gemulai dari kanan ke kiri atau sebaliknya”. Jadi, proses pembuatan personifikasi sama dengan metafora.

Mendukung konsep ini, Alm-Arvius (2003: 129) menegaskan bahwa personifikasi merupakan sub-kategori metafora yang bersifat lebih umum dan komprehensif. Dengan kata lain, metafora merupakan atasan personifikasi, dan personifikasi merupakan subordinat metafora.

Penjelasan Alm-Arvius ini menjelaskan bahwa perbedaan di antara metafora dan personifikasi terletak hanya pada ruang lingkup. Metafora membandingkan semua benda, ide, atau tindakan dengan sebuah benda, ide, atau tindakan lain, sedangkan personifikasi khusus membandingkan benda atau hewan sebagai manusia.

37 | Page