Sengketa Tiada Putus Matriarkat, Reformisme Agama, Dan Kolonialisme Di Minangkabau
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
ISI Sengketa new.indd 1 22/09/2010 23:03:28 ISI Sengketa new.indd 2 22/09/2010 23:03:28 SENGKETA TIADA PUTUS Matriarkat, Reformisme Agama, dan Kolonialisme di Minangkabau JEFFREY HADLER Pengantar TAUFIK ABDULLAH FREEDOM INSTITUTE ISI Sengketa new.indd 3 22/09/2010 23:03:28 SENGKETA TIADA PUTUS Matriarkat, Reformisme Agama, dan Kolonialisme di Minangkabau Judul asli Muslim and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism (Cornell University Press, 2008). JEFFREY HADLER ISBN 978-979-19466-5-0 Penerjemah dan editor Samsudin Berlian Pengantar Taufik Abdullah Sampul diolah dari foto gempa Padang 1926, S. W. Visser dan M. E. Akkersdijk, “De Aardbevingen in de Padangsche Bovenlanden”, Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indië 87 (1927). Tataletak Sijo Sudarsono Penerbit FREEDOM INSTITUTE Jl. Proklamasi No. 41, Menteng - Jakarta 10320 Tel: (021) 31909226 Fax: (021) 31909227 Website: http://www.freedom-institute.org E-mail: office[at]freedom-institute.org Cetakan pertama Oktober 2010 ISI Sengketa new.indd 4 22/09/2010 23:03:29 DAFTAR ISI Pengantar untuk Edisi Indonesia .......................................................... vii Pernyataan Terimakasih .......................................................................... xvii Pengantar Taufik Abdullah ..................................................................... xxiii Pendahuluan: Budaya Paradoks .................................................... 1 1 Sengketa Tiada Putus ...................................................................... 29 2 Bentuk-Bentuk Rumah ................................................................... 55 3 Interior dan Bentuk-Bentuk Keluarga .......................................... 95 4 Mendidik Anak-Anak ..................................................................... 145 5 Sengketa Pribadi ............................................................................... 187 6 Gempa Bumi ..................................................................................... 239 7 Keluarga-Keluarga dalam Gerak ................................................... 269 Kesimpulan: Kerbau yang Menang, Matriarkat Berdaya Tahan ...................... 305 Daftar Pustaka .................................................................................. 313 Daftar Kata ........................................................................................ 345 Indeks ................................................................................................ 347 Tentang Penulis ................................................................................ 373 ISI Sengketa new.indd 5 22/09/2010 23:03:29 vi SENGKETA TIADA PUTUS ISI Sengketa new.indd 6 22/09/2010 23:03:29 PENGANTAR UNTUK EDISI INDONESIA Jeffrey Hadler I Sumatra Barat pada pertengahan 1990-an sejarah bukanlah Dpokok penelitian yang populer. Diskursus pembangunan Soeharto melemahkan penelitian mendalam tentang masa lalu, dan sejarah resmi dipelintir agar sesuai dengan maksud tujuan negara. Disiplin-disiplin elite di universitas-universitas adalah sains, keinsinyuran, dan bidang-bidang yang diperkirakan akan menyumbang pada masa depan cerah suatu bangsa sedang mem- bangun. Masa lalu itu memalukan, menghantui, dan berbahaya, disederhanakan dalam buku-buku teks ke dalam periode- periode kolonialisme suram, revolusi jaya, Orde Lama penindas, dan akhirnya Orde Baru pembebas. Orang-orang Indonesia cerdas membangun masa depan. Peneliti-peneliti asing adalah antropolog dan etnomusikolog. Sejarawan sangat jarang sehingga banyak orang terheran-heran ketika saya memberitahu mereka siapa saya sebenarnya: sejarawan. Antropolog? Demikian mereka mencoba menolong saya memperbaiki kata. Saya tiba di Padang pada 1994 berbekal satu surat katebelece dari Taufik Abdullah dan satu proposal disertasi dengan studi berpusat rantau mengenai keluarga-keluarga empat laki-laki terkenal Minangkabau. Surat itu terbukti berguna luar biasa. Sedangkan proposal disertasi saya segera putar haluan. Pada 1985 saya tinggal dengan satu keluarga Minangkabau- Mandailing di Jakarta, bersekolah di SMA 3 Setia Budi, dan ter- pengaruh oleh sikap perantau terhadap mereka yang ditinggalkan di desa-desa di Sumatra—campuran nostalgia dan cemooh. Patriot isme Minangkabau yang hancur pada era pasca-PRRI ISI Sengketa new.indd 7 22/09/2010 23:03:29 viii SENGKETA TIADA PUTUS ber dampak pada bayangan awal saya tentang Sumatra Barat. Selama awal 1960-an rakyat Minangkabau, termasuk keluarga sipangkalan saya, meninggalkan Sumatra Barat menuju Jakarta dan Medan, tidak kembali lagi. Inilah masa rantau cino yang permanen, ketika orang Minangkabau memberikan nama Jawa kepada anak-anak mereka dan mengeluh bahwa di kampung halaman di Sumatra “yang Minang pergi, yang tinggal Kabau”. Restoran-restoran Padang di Jakarta menjamur dan perantau- perantau dari Sumatra ini, orang seberang yang menyembunyikan etnisitas mereka, menyesuaikan diri dengan kehidupan jauh dari dataran tinggi nenek moyang dan ingatan-ingatan yang menyedihkan. Di samping pengalaman-pengalaman perantauan saya sendiri di Jakarta, untuk proposal disertasi saya itu saya membaca karya-karya intelektual Kaum Muda dan novelis- novelis Balai Pustaka. Lewat tulisan-tulisan itu saya pun tiba pada kesimpulan bahwa adat Minangkabau itu bersifat menindas, desa-desa Minangkabau bagaikan cangkang-cangkang kosong tradisionalisme, dari kedua-duanya orang perlu melarikan diri. Kemudian, Cornell University, tempat saya mengejar PhD saya, membiasakan para mahasiswanya pada nasionalisme di atas segala-galanya. Kami secara obsesif berpihak pada orang dan gerakan yang bergerak dari kolonialisme ke revolusi nasionalis. Jadi saya tiba di Sumatra dengan memakai kacamata kuda yang membutakan saya dari apa saja yang tidak mengikuti jalan lurus ke 1945. Untuk proposal saya itu saya berharap menjejaki keadaan keluarga luas Hamka, Haji Agus Salim, Adinegoro, dan Datuk Sutan Maharaja setelah mereka meninggalkan darek (jantung) Minangkabau yang mandek itu, terusir keluar dari suatu pusat kosong yang tidak dapat mempertahankan orang-orang penting dan besar. Dalam proposal awal itu saya bilang hanya butuh satu bulan di Sumatra Barat (berapa lamakah saya mau mengalami penindasan jiwa dan kebosanan di kalangan Kerbau?). Kemudian, dengan mengikuti para perantau pahlawan saya, saya akan pergi ke Medan, kemudian Jakarta, dan akhirnya Leiden, mengulang, ISI Sengketa new.indd 8 22/09/2010 23:03:29 PENGANTAR ix dalam riset saya sendiri, perjalanan-perjalanan yang dilakukan oleh para pahlawan nasional era kolonial. Tapi begitu tiba di Sumatra Barat, langsung saya sadari bahwa sejarah lokal ditandai dengan dinamisme yang tak terduga. Dan saya mulai memahami bahwa ada mesin-mesin sejarah yang sama sekali tidak nasionalis tapi toh pernah dan masih sangat penting: gagasan-gagasan yang berubah-ubah tentang rumah, keluarga, hubungan gender, dan masa kanak-kanak. Jadi saya mengubah rencana riset saya dan saya tidak meninggalkan tempat itu. Riset pertama saya, dilakukan pada akhir periode Orde Baru, berupaya menjawab satu pertanyaan yang sering diajukan pada saya di Sumatra Barat: mengapakah generasi orang Minangkabau yang lahir pada peralihan abad ke-20 begitu inovatif luar biasa dan secara politis sangat penting? Jawaban atas pertanyaan itu menjadi bagian utama buku ini—fenomena dinamisme budaya Minangkabau terjalin dengan kondisi ketidakpastian yang luas dan tak terhindarkan, dan ketidakpastian itu pada gilirannya adalah akibat faktor-faktor budaya dan sejarah spesifik pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ketika saya mulai berusaha menjawab pertanyaan ini ada juga motivasi politik. Rumah gadang dan keluarga dianggap oleh sebagian besar orang di ranah Minang punya kualitas kekal dan tak berubah. Dengan meneliti “penciptaan tradisi” (invention of tradition, ungkapan Eric Hobsbawm) lokal di belakang kebenaran-kebenaran sakral rumah dan keluarga, saya mau peneliti-peneliti Minangkabau lantas bisa mempertanyakan beberapa mitos sentral negara Orde Baru—bahwa orang Indonesia sangat merindukan otoritas patriarkat yang kuat (seorang Bapak sebagai presiden), sehingga mereka lebih suka musyawarah mufakat daripada debat terbuka, dan bahwa mereka begitu takut pada hal-hal yang asing sehingga mereka bereaksi dengan kekerasan. Kini, pada 2010, Soeharto memang sudah wafat, tapi momok negara Orde Barunya masih terus hidup, mencoba membuat diri mereka relevan lagi, dan bahkan tampaknya tumbuh pesat. Jadi ISI Sengketa new.indd 9 22/09/2010 23:03:29 x SENGKETA TIADA PUTUS baik pertanyaan sentral tentang kepahlawanan-kepahlawanan Minangkabau, maupun motivasi sekunder, keduanya haruslah masih bergaung bagi para pembaca. Bagaimanapun adalah kelegaan besar bahwa kini sudah bisa ada diskusi politik secara langsung dan terbuka di Indonesia, padahal dulu kita harus berjingkat-jingkat di seputar undang-undang SARA yang penin- das itu. Ada seni Orba untuk memecahkan sandi transkrip- transkrip politik tersembunyi dalam teks-teks yang tampaknya apolitis dan historis. Tapi jauh lebih bagus bisa mengatakan apa yang mau anda katakan, blak-blakan dan terus terang. Untuk penulisan buku ini saya tahu bahwa saya perlu bergerak melampaui disertasi itu, untuk menarik minat penerbit Amerika dan sidang pembaca yang akan menginginkan lebih banyak daripada sekadar Studi Indonesia. (Menyedihkan bahwa negeri ke-4 terbesar di dunia, pada dan dari dirinya sendiri, tidak cukup menarik buat orang Amerika.) Merevisi buku ini ketika George W. Bush di Gedung Putih memotivasi saya dengan cara yang sama seperti halnya Soeharto—saya