Latar Belakang Penciptaan Novel Opera Bulu Tangkis 1995 karya Titi Nginung: Tinjauan Sosiologi Sastra

Alzhou Pramudya, MamanSoetarman Mahayana

Program Studi , Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia

[email protected]

Abstrak Artikel jurnal ini membahas latar belakang penciptaan novel Opera Bulu Tangkis 1995 karya Titi Nginung. Novel ini pertama kali terbit dalam bentuk cerita bersambung, dimuat di harian Kompas, 3 Mei 1985 -- 8 Juli 1985, kemudian PT Gramedia menerbitkannya dalam bentuk novel, Desember 1985. Latar belakang itu meliputi analisis peristiwa-peristiwa dihadapi pengarang dalam membuat novel dan gagasan yang ingin disampaikannya. Novel ini berjenis “futuristik” atau menceritakan masa depan karena ditulis pada tahun 1985 tetapi menceritakan peristiwa tahun 1995. Di dalamnya, pengarang menyampaikan gagasan-gagasan terhadap perbulutangkisan Indonesia agar mampu kembali meraih kejayaan yang sempat memudar.

Kata kunci: Bulu tangkis; futuristik; novel Opera Bulu Tangkis 1995; sosiologi sastra; Titi Nginung.

Background of Creating the novel Opera 1995 by Titi Nginung: A Review on Sociology of Literature

Abstract

This articel is about the background of creating the novel Opera Badminton 1995 by Titi Nginung. The novel was firstly published in a form of serialized was published in the daily newspaper Kompas on May 3 1985 until July 8 1985, before Gramedia published the story in a form of a novel in December 1985. The background consists of analysis towards events faced by the author when writing the novel and the notions he wanted to covery. This novel is the "futuristic" one for it projects upcoming events in the future. The novel was written in 1985 but the events told in the novel take 1995 as the setting, which is ten years later. In his novel, the author conveys his ideas regarding Indonesian badminton, so that Indonesia can regain its glory, which had faded. Intrinsic aspects are analyzed by comparing events hapened in 1995 as they are written in the novel with the ones happened in real life in the same year.

Keywords: badminton; futuristic; Opera Bulu Tangkis 1995; sociology of literature; Titi Nginung.

Pendahuluan

Penelitian dalam artikel jurnal ini membahas novel berjudul Opera Bulu Tangkis 1995 yang ditulis oleh Titi Nginung. Secara tematik novel ini mengangkat permasalahan yang baru, yaitu dunia perbulutangkisan. Tema tersebut belum pernah diangkat oleh pengarang-

1

Latar belakang..., Alzhou Pramudya, FIB UI, 2015 pengarang lain sebelumnya. Hal itu menjadi salah satu alasan peneliti mengambil novel tersebut sebagai bahan penelitian. Selain itu, bulu tangkis merupakan olahraga yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat Indonesia karena begitu banyak atlet-atlet bulu tangkis profesional dari Indonesia yang memiliki prestasi di tingkat internasional. Karena didukung oleh faktor tersebut, Indonesia menjadi salah satu kiblat bulu tangkis dunia. Hal tersebut juga menjadikan bulu tangkis memiliki kedekatan dengan masyarakat Indonesia dan menjadi sebuah kebanggan, bukan hanya sekadar cabang olahraga biasa. Salah satu hal menarik dari novel Opera Bulu Tangkis 1995 adalah dalam latar cerita, yaitu peristiwa tahun 1995, sementara Titi Nginung menulis novel ini pada tahun 1985. Berdasarkan hal tersebut, sebagai hipotesis awal, novel ini berjenis “futuristik”, atau novel yang menggambarkan peristiwa di masa mendatang. Oleh sebab itu, salah satu aspek penelitian dalam jurnal ini adalah aspek “ramalan”, yaitu mendeskripsikan bagaimana pengarang menggambarkan peristiwa di masa mendatang dan membandingkan peristiwa di dalam novel dengan kehidupan nyata yang terjadi. Hal menarik lainnya dari novel ini adalah nama pengarang, yaitu Titi Nginung. Titi Nginung adalah nama pena dari Arswendo Atmowiloto, pengarang prolifik yang memiliki tulisan bernada humor, fantastis, spekulatif, dan suka bersensasi. Sebagai seorang pengarang, nama Arswendo Atomowiloto telah cukup dikenal karena telah menghasilkan berbagai banyak tulisan, baik artikel, cerpen, novel, maupun drama. Dalam menulis novel, Arswendo memiliki beberapa nama pena, seperti Said Saat, Sukmo Sasmito, Lani Biki, dan Titi Nginung. Alasan penggunaan nama-nama tersebut dimaksudkan untuk menguji kualitas tulisannya karena Arswendo ingin karya-karyanya dinilai dari isinya, bukan nama penulisnya. Nama Titi Nginung telah digunakan oleh Arswendo untuk menulis novel-novel bertemakan olahraga. Selain tema bulu tangkis yang ditulis dalam Opera Bulu Tangkis 1995, Titi Nginung juga menulis novel lain yang bertemakan sepak bola, tinju, dan voli. Dalam menghasilkan suatu karya, pengarang memiliki gagasan yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Gagasan tersebut dimasukan ke dalam novel menjadi unsur-unsur cerita. Di dalam novel Opera Bulu Tangkis 1995, bulu tangkis tidak hanya menjadi sekadar tema, tetapi juga gagasan yang ingin disampaikan pengarang. Pada tahun 1985, perbulutangkisan Indonesia sedang mengalami berbagai permasalahan, seperti penurunan dan pembinaan pemain yang tidak berjalan maksimal. Selain itu, pada tahun 1985, negara-negara lain mulai melakukan peningkatan dalam cabang bulu tangkis, baik itu dari segi pembinaan maupun prestasi. Oleh sebab itu, deskripsi terhadap gagasan pengarang menjadi salah satu aspek penelitian ini.

2

Latar belakang..., Alzhou Pramudya, FIB UI, 2015 Tinjauan Teoritis

Gagasan penelaahan karya sastra melalui pendekatan sosio-kultural pernah dituliskan oleh Grebstein. Di dalam berbagai esainya tentang pendekatan tersebut, Grebstein menjelaskan beberapa poin penting. Pertama, karya sastra tidak dapat dipahami selengkap- lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Kedua, gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya; bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan gagasan tersebut. Ketiga, karya sastra bukan ajaran moral dalam arti sempit, yakni yang sesuai dengan kode atau tindak-tanduk tertentu, melainkan dalam pengertian bahwa karya sastra terlibat dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif terhadap kehidupan tersebut. Keempat, masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah: pertama sebagai suatu kekuatan dan kedua faktor material istimewa dan sebagai tradisi, yaitu kecenderungan-kecenderungan spiritual maupun kultural yang bersifat kolektif. Kelima, kritik sastra adalah kegiatan yang harus mampu mempengaruhi penciptaan karya sastra, namun bukan dengan cara mendikte. Keenam, kritikus bertanggung jawab terhadap sastra masa silam dan masa yang akan datang dengan cara melakukan penafsiran yang dibutuhkan pembaca masa kini. Berdasarkan poin-poin pendekatan sosio-kultural terhadap sastra di atas, penelitian ini akan lebih menitikberatkan pada poin pertama, kedua, dan ketiga. Wellek dan Warren (1956) membuat klasifikasi masalah sosiologi sastra. Sosiologi sastra terbagi atas tiga bagian. Pertama, sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Ketiga, sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Penelitian ini memfokuskan pada bagian pertama dan kedua, namun tidak menutup kemungkinan terhadap bagian ketiga. Selain Wellek dan Werren, Ian Watt (1964) juga melakukan klasifikasi terhadap sosiologi sastra di dalam esainya yang berjudul “Literature and Society”. Pertama, konteks sosial pengarang, yaitu konteks yang menghubungkan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Yang perlu diperhatikan dari konteks ini adalah bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya, profesionalisme si pengarang dalam kepengarangannya, dan masyarakat seperti apa yang dituju oleh pengarang. Kedua, karya sastra sebagai cermin masyarakat. Namun, pengertian cermin dalam hal ini

3

Latar belakang..., Alzhou Pramudya, FIB UI, 2015 masih sangat kabur dan sering disalahtafsirkan. Dalam menggunakan sastra sebagai cerminan masyarakat, pandangan sosial pengarang harus pula diperhitungkan. Ketiga, fungsi sosial sastra. Untuk mengetahui pandangan sosial pengarang dapat dilihat dengan mengetahui gagasan yang disampaikan pengarang melalui karyanya. Menurut Raymond Williams (1973) terdapat tujuh macam cara yang digunakan sastrawan untuk memasukan gagasan sosialnya ke dalam novel. Pertama, gagasan disampaikan secara lugas, atau dengan kata lain dipropagandakan. Kedua, novel tidak sepenuhnya menyampaikan gagasan dengan lugas, tetapi tetap jelas menunjukkan niat untuk memikat orang lain ke arah gagasan tertentu. Ketiga, gagasan dimasukkan ke dalam novel lewat perbantahan di antara tokoh-tokoh yang bermain di dalamnya, yaitu di dalam perbincangan. Keempat, gagasan disampaikan dalam bentuk konvensi sehingga tampak sebagai sesuatu yang wajar. Kelima, gagasan dimunculkan sebagai tokoh. Keenam, melarutkan gagasan dalam keseluruhan dunia fiksi. Ketujuh, menampilkan gagasan sebagai superstruktur, yaitu kemungkinan bagi novelis untuk menyampaikan gagasan dengan cara menciptakan tokoh yang menyuarakannya, tetapi tindakan yang dilakukan dan ditimbulkan berlawanan. Damono (2010) membuat kesimpulan dari berbagai telaah terhadap sosiologi sastra, baik yang berupa buku maupun bunga rampai. Menurutnya ada dua kecenderungan dalam telaah sosiologi sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra; sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra. Pendekatan teks tidak dianggap utama dan hanya menjadi epiphenomenon (gejala kedua). Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang digunakan dalam kecenderungan ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra.1

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Metode kualitatif bertujuan memperoleh gambaran seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti. Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi pendapat atau kepercayaan orang yang diteliti, kesemuanya tidak dapat diukur dengan angka

1 Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas, (: Editum, 2010), 3.

4

Latar belakang..., Alzhou Pramudya, FIB UI, 2015 (Basuki, 2006: 78). Selain itu, metode kualitatif menggunakan peneliti sebagai instrumen penelitian. Oleh sebab itu, peneliti akan melakukan observasi, pencarian data melalui studi pustaka, dan melakukan wawancara mendalam, dalam hal ini wawancara dengan pengarang. Metode deskriptif bertujuan untuk menjabarkan dan memaparkan objek penelitian berdasarkan teori-teori yang digunakan dalam penelitian tersebut. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa karya sastra dan pengarang memiliki konteks dengan masyarakat. Menurut Mahayana (2005), posisi pengarang yang terikat dengan situasi sosio-budaya dan tidak dapat melepaskan diri daripadanya, maka pendekatan sosio-budaya diperlukan untuk menjelaskan karya sastra. Daiches (dalam Damono: 2010) mengatakan sosiologi dapat membantu kritikus agar terhindar dari kekeliruan tentang hakikat karya sastra yang ditelaah. Bantuan itu berupa keterangan tentang fungsi karya sastra, atau tentang beberapa aspek sosial lain yang harus diketahui sebelum penelitian dilakukan. Kritik sosiologis berfungsi deskriptif; dan karena deskripsi semacam itu penting untuk mendahului penelitian, maka kritik sosiologis dapat disebut sebagai pembantu kritik sastra.2 Pendapat lain terkait peranan sosiologi terhadap karya sastra diungkapkan oleh Mahayana (2005: 336) yang mengatakan bahwa sosiologi tetap mempunyai arti penting bagi kritik sastra sejauh tetap menempatkan karya itu bukan sebagai objek sosiologi. Sosiologi berfungsi cuma sebagai alat bantu agar lebih memahami aspek sosial yang menjadi muatan karya sastra. Anggapan bahwa karya sastra sebagai cermin masyarakat, harus pula ditafsirkan sebagai masyarakat dalam karya yang bersangkutan yang berkaitan dengan latar sosio-budaya pengarang.3 Ada empat langkah yang dilakukan dalam melakukan penelitian ini. Pertama, membaca novel Opera Bulu Tangkis 1995 dengan cermat sebagai objek penelitian. Kedua, mencari sumber-sumber informasi, baik itu media cetak maupun elektronik, mengenai situasi dan kondisi perbulutangkisan Indonesia pada saat novel tersebut diciptakan. Ketiga, melakukan wawancara dengan pihak terkait, dalam hal ini Titi Nginung sebagai pengarang, untuk mengetahui gagasan apa dan ideologi apa yang dimiliki dan hendak disampaikannya melalui karyanya tersebut. Langkah terakhir adalah melakukan pengkajian teks dengan mencari kesesuaian di dalam teks terhadap informasi yang didapatkan di dalam langkah kedua dan ketiga.

2 Damono, Op.Cit, 18.

3 Maman S. Mahayana, Sembilan Jawaban Sastra Indonesia: sebuah Orientasi Kritik, (Jakarta: Bening Publishing, 2005), 336.

5

Latar belakang..., Alzhou Pramudya, FIB UI, 2015 Latar Peristiwa dalam Opera Bulu Tangkis 1995

Novel Opera Bulu Tangkis 1995 karya Titi Nginung menggunakan peristiwa dunia perbulutangkisan Indonesia sebagai referensinya karena novel tersebut bertemakan bulu tangkis. Fakta-fakta yang menjadi referensi adalah fakta perbulutangkisan Indonesia pada tahun 1985, khususnya, dan beberapa tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan novel Opera Bulu Tangkis 1995 pertama kali diterbitkan dalam bentuk cerita bersambung yang dimuat di harian Kompas pada tanggal 3 Mei 1985 sampai 8 Juli 1985, kemudian dijadikan novel oleh PT Gramedia pada Desember 1985. Peristiwa-peristiwa yang menjadi referensi antara lain mengenai prestasi dan pembinaan bulu tangkis Indonesia. Bulu tangkis merupakan salah satu olahraga yang banyak menarik perhatian masyarakat Indonesia karena berbagai prestasi yang telah diraih oleh bulu tangkis Indonesia melalui PBSI. Namun, pada tahun 1985 prestasi bulu tangkis Indonesia mengalami penurunan. Berbagai kejuaraan bulu tangkis internasional tak mampu dimenangkan oleh atlet-atlet Indonesia. Awal penurunan prestasi tahun 1985 adalah dengan tidak adanya satu pun gelar yang didapatkan pada Hongkong Terbuka.4 Para atlet bulu tangkis Indonesia bahkan tidak ada yang sampai pada tingkat final. Hanya Lius Pongoh dari tunggal putra yang mampu menempatkan diri di tingkat empat besar sebelum akhirnya dikalahkan dari Cina. Atlet lainnya sudah gugur di berbagai tingkat sebelumnya. Kegagalan meraih gelar juara pada juga terjadi pada kejuaraan tahunan yang lebih bersejarah, All England. Pada All England 1985, atlet Indonesia tidak ada yang mampu menjadi juara di nomor apa pun. Hal tersebut merupakan hasil yang sangat ironis mengingat sebelumnya, secara keseluruhan, bulu tangkis Indonesia telah meraih 25 gelar di ajang All England –termasuk gelar juara 8 kali oleh di nomor tunggal putra.5 , andalan Indonesia di nomor tunggal putra, hanya mampu mencapai semifinal sebelum akhirnya dikalahkan oleh pemain Cina, , yang akhirnya menjadi juara pada kejuaraan tersebut. Hasil kurang memuaskan bulu tangkis Indonesia pada All England tidak hanya terjadi pada tahun 1985. Sejak PBSI dipimpin oleh empat tahun sebelumnya, penurunan prestasi dan tradisi juara di All England tampak memudar. Hasil kurang memuaskan terhadap prestasi bulu tangkis Indonesia dilengkapi dengan kegagalan meraih gelar di kejuaraan dunia yang diselenggarakan di Calgary, Kanada.6 Enam

4 Ian Situmorang, “Awal Penampilan Bulutangkis 85: Tanpa Gelar di Hongkong Terbuka.”

5 Sumohadi Marsis, “Pemain MPP Lawan Terminator, Mana Tahan?”

6 Ian Situmorang, “Setelah Calgary: Bulutangkis Kita Perlu Revolusi?”

6

Latar belakang..., Alzhou Pramudya, FIB UI, 2015 pemain putra terbaik Indonesia tak mampu meraih gelar apa pun pada kejuaraan dunia 1985. , sebagai juara bertahan, hanya mampu sampai tingkat delapan besar, sedangkan Liew Swie King yang turun di nomor ganda bersama Kartono hanya bisa sampai empat besar. Pasangan ganda Heryanto dan Hadiwiboto serta Hendri Saputra di nomor tunggal putra sudah gugur terlebih dulu. Pada kejuaraan ini, Cina, salah satu negara yang sedang mengalami peningkatan prestasi dalam bulu tangkis saat itu, kembali meraih banyak gelar juara, yaitu nomor tunggal putra dan tunggal putri serta ganda putri. Untuk nomor ganda putra dan ganda campuran gelar juara diraih oleh Korea Selatan, negara yang masih tergolong pendatang baru. Ada beberapa faktor yang menyebabkan prestasi bulu tangkis Indonesia menurun pada tahun 1985. Faktor yang paling mendapat banyak perhatian adalah pembinaan atlet. Masalah pembinaan atlet ini terkait dengan kebijakan-kebijakan yang dilakukan PBSI dalam mengurusi pembinaan atlet bulu tangkis Indonesia. Sejak awal tahun 1985, tepatnya pada kejuaraan Hongkong Terbuka, para pemain muda telah diberikan kesempatan untuk ikut serta dengan tujuan menambah pengalaman bertanding.7 Karena sebagai sarana untuk mencari pengalaman, maka tidak bisa diharapkan bahwa mereka harus mendapatkan gelar juara pada kejuaraan tersebut. Hal ini juga telah dilakukan dalam beberapa tahun sebelumnya, selain juga dengan mengadakan pelatnas. Namun bagi beberapa pihak, pembinaan yang dilakukan oleh PBSI dinilai terlambat. Salah satu buktinya adalah masih adanya kesenjangan antara pemain senior dengan pemain muda. Hal ini terlihat ketika All England 1985, yaitu PBSI masih mengandalkan pemain-pemain yang sudah mulai memasuki usia pensiun, seperti Liem Swie King, Kartono, Christian, dan Heryanto8. Hasil yang didapatkan pun tidak maksimal karena faktor usia tersebut. Di lain pihak, negara-negara lain mulai menyusun regenerasi atlet bulu tangkis, seperti Korea Selatan dan Cina. Hasilnya terbukti dengan Cina meraih gelar juara tunggal putra melalui pemain yang terbilang masih baru, Zhao Jianhua. Selain Cina dan Korea Selatan, negara Eropa seperti Denmark dan Inggris juga mulai menunjukkan peningkatan prestasi bulu tangkis meski belum terlihat signifikan.

Dunia Perbulutangkisan dalam Opera Bulu Tangkis 1995

Menurut Stanton (1965: 88) dan Kenny (1966: 20) tema (theme) adalah makna yang terkandung di dalam cerita. Menurut Harmoko dan Rahmanto (1986: 142) tema adalah

7 Op. Cit, “Awal Penampilan Bulutangkis 85: Tanpa Gelar di Hongkong Terbuka.”

8 Op. Cit, “Pemain MPP Lawan Terminator, Mana Tahan?”

7

Latar belakang..., Alzhou Pramudya, FIB UI, 2015 gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan- perbedaan. Tema novel Opera Bulu Tangkis 1995 adalah perbulutangkisan pada tahun 1995. Perbulutangkisan yang diangkat di dalam novel secara khusus adalah perbulutangkisan Indonesia, yang menyangkut masalah prestasi dan pembinaan, dan perbulutangkisan dunia secara umum, yang menyangkut masalah teknis pertandingan dan kejuaraan serta kebanggaan. Tahun 1995 diangkat ke dalam novel sebagai momentum kebangkitan bulu tangkis Indonesia dan bertepatan dengan setengah abad Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Menurut Titi Nginung, dalam wawancara dengan penulis, bulu tangkis merupakan satu-satunya olahraga yang paling membanggakan bagi bangsa Indonesia karena mampu mengharumkan nama Indonesia di tingkat olahraga internasional. Pengarang menyebutkan, dengan menggunakan perumpamaan, “biarlah prestasi olahraga lain menurun, tetapi bulu tangkis jangan.” Di dalam novel, pengarang mengisahkan bulu tangkis sebagai salah satu cabang olahraga yang mengalami kemajuan menjelang akhir abad. Kutipan di bawah ini menggambarkan bagaimana pengarang menggambarkan kondisi bulu tangkis pada tahun 1995.

“Bulu tangkis, dalam penutup tahun abad dua puluh ini mengalami kemajuan yang tiada taranya. Dunia tenis yang selama sepuluh tahun terakhir mendominir perhatian dunia olahraga dengan mahabintang dan uang bergelimang, ternyata menjadi tontonan urutan keempat, setelah bola, tinju, dan bulu tangkis. Sebabnya pasti adalah hadiah yang makin lama makin besar. Kita tak bisa meramal sampai penutup abad ini, apakah hadiahnya sama dengan sejumlah bank besar yang digabung menjadi satu. Tetapi lebih dari itu, bulu tangkis adalah cabang olahraga massa. Saya menyebutkan bahwa permainan ini bisa dimainkan di bagian belahan dunia mana pun, negara super-kaya dan miskin. Tidak terlalu sulit untuk memulai. Ketenaran bulu tangkis yang selama ini kita kenal sebagai Tujuh Pusat Dunia –maaf sekarang menjadi delapan– bulu tangkis menyadari apa yang dulu disebut sebagai nasionalisme baru (Nginung, 1985: 9-10).

Berdasarkan kutipan tersebut, dapat terlihat bahwa pengarang menggambarkan olahraga bulu tangkis sebagai salah satu cabang olahraga yang menarik perhatian dunia, tidak hanya Indonesia. Faktor-faktor yang menyebabkan kemajuan bulu tangkis sebagai cabang olahraga yang digemari di dunia antara lain lahirnya bintang-bintang lapangan dan jumlah hadiah yang diperebutkan dalam kejuaraan. Peluang lahirnya bintang lapangan membuat pamor bulu tangkis mengalahkan olahraga tenis, tetapi masih di bawah sepak bola dan tinju. Selain itu, jumlah hadiah yang hadiah yang didapatkan dari bulu tangkis sangat besar, sehingga diumpamakan dengan ‘sejumlah bank besar yang digabung menjadi satu’. Akan

8

Latar belakang..., Alzhou Pramudya, FIB UI, 2015 tetapi, faktor utama yang menyebabkan bulu tangkis menarik minat masyarakat dunia adalah karena olahraga tersebut dapat diselenggarakan sederhana sehingga dapat dimainkan di mana pun. Pengarang menjelaskan lebih lanjut mengenai kondisi perbulutangkisan tahun1995 di dalam novel. Pengarang menggambarkan bahwa pada tahun 1995 bulu tangkis hanya didominasi oleh tunggal putra saja. Bulu tangkis seakan menjadi cabang olahraga yang sejenis dengan tinju, yaitu pertandingan satu lawan satu antarpria. Oleh sebab itu, pertandingan bulu tangkis nomor tunggal putra mendapatkan perlakuan khusus, seperti stadion pertandingan yang istimewa dan liputan yang lebih banyak. Efek dari keistimewaan nomor tunggal putra membuat nomor ganda atau pun putri menjadi sekadar tambahan saja. Bahkan, di dalam nomor tunggal putra terdapat delapan peringkat teratas atlet bulu tangkis yang dikenal sebagai Delapan Dewa Bulu Tangkis Dunia. Atlet yang menduduki peringkat tersebut berasal dari berbagai negara.

Memang tak akan ada yang berani berteriak lantang. Tidak juga Owen Edward yang tahun lalu berjaya di tiga turnamen besar. Tidak juga Patrick Hou yang dianggap manusia ajaib dari Cina, yang tiga tahun terakhir mengumpulkan duit lebih dari borjuis mana pun di negeri tirai bambu. Tidak juga Abdul Mahdun yang dianggap simbol kebangkitan Timur Tengah, atlet kesayangan Pangeran Khoirom yang memberinya sebutan: “yang terbesar dan terakhir, selalu dari daerah kami. Itulah Abdul Mahdun”. Teguh Bondowoso dari Indonesia, yang mempopulerkan permainan “tusuk rusuk”, jenis permainan yang membuat mati langkah dan tangan lawan pun, tidak mengeluarkan ramalan. Naughton, si bakat besar dari Swedia, memang dianggap bakal menjadi multijutawan baru, namun untuk dicalonkan sebagai yang paling akbar, masih memerlukan keberanian dalam memperhitungkannya. Kerena, meskipun mereka selalu masuk dalam apa yang disebut Delapan Dewa Bulu Tangkis Dunia, lawan yang selama ini menduduki urutan di bawah dua puluh pun bisa menjegal (Nginung, 1985: 8-9).

Pada tahun 1985 bulu tangkis Indonesia mengalami penurunan dalam bidang prestasi. Berbagai turnamen yang diikuti tidak mampu mencapai hasil yang maksimal. Hal tersebut menyebabkan bulu tangkis Indonesia mengalami kemunduran dan memudarnya kebanggan bulu tangkis bagi masyarakat Indonesia. Padahal, berdasarkan sejarah, bulu tangkis Indonesia merupakan salah satu andalan di tingkat internasional. Indonesia merupakan salah satu kiblat bulu tangkis Indonesia dengan berbagai atlet yang dimiliki dan prestasi yang diraih. Kebangkitan bulu tangkis menjadi sesuatu yang diharapkan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, termasuk oleh pengarang. Oleh sebab itu pengarang menyampaikan harapannya tersebut melalui kutipan di bawah ini, yaitu harapan terjadinya kebangkitan bulu tangkis Indonesia pada tahun 1995.

9

Latar belakang..., Alzhou Pramudya, FIB UI, 2015

Bisa dimengerti sekarang ini kalau Turnamen Jepang Terbuka, menyulut dan membakar semua kebanggaan yang telah tertahankan sekian tahun. Harapan serta keinginan mencapai puncak optimal. Surat kabar, televisi, radio, tak pernah berhenti sehari pun mengulas kemenangan. Masing-masing membicarakan dari segi berbeda. Dengan kesimpulan yang sama: masa keemasan datang lagi (Nginung, 1985: 169).

Pengarang menggambarkan bahwa kemajuan perbulutangkisan dunia didukung oleh kemajuan teknologi yang digunakan untuk mendukung pertandingan bulu tangkis. Salah satu perkembangan teknologi yang digambarkan di dalam novel adalah teknologi garis lapangan dengan menggunakan sensor komputer. Garis lapangan tersebut memungkinkan untuk mendeteksi jatuhnya bola dengan lebih tepat, apakah bola jatuh di dalam atau di luar lapangan. Jika bola jatuh di dalam lapangan maka akan dinilai in sehingga pemain mendapatkan angka tambahan atau terjadi pindah bola. Kemudian sensor komputer akan mengeluarkan lampu berwarna hijau sebagai tanda bahwa bola dalam posisi in. Namun sebaliknya, jika bola jatuh di luar lapanngan maka akan dinilai sebagai out sehingga pemain lawan mendapat tambahan angka atau terjadi pindah bola. Kemudian sensor komputer akan mengeluarkan lampu berwarna merah sebagai tanda bahwa bola dalam posisi out. Selain itu, ada pula tirai kedap suara untuk menghalangi teriakan penonton ke dalam lapangan sehingga teriakan sekeras apa pun tidak mengganggu wasit dan pemain. Namun, teknologi tersebut bersifat opsional, yaitu dapat digunakan atau tidak karena teriakan penonton merupakan salah satu penyemangat bagi pemain untuk menampilkan permainan terbaiknya dan membangkitkan semangat. Dalam wawancara dengan penulis, pengarang mengakui bahwa teknologi garis lapangan adalah salah satu gagasannya terhadap perkembangan dunia bulu tangkis agar permainan bulu tangkis dapat berjalan dengan lebih adil. Hal ini disebabkan, dalam beberapa kasus pertandingan bulu tangkis, penentuan bola in atau out dinilai kurang adil atau kekeliruan karena hanya berdasarkan pengamatan manusia, atau biasa disebut human error. Diharapkan dengan bantuan teknis yang dikendalikan melalui komputer penilaian bola in atau out dapat berjalan dengan lebih adil sehingga tidak lagi menjadi perdebatan dalam penentuan posisi jatuh bola. Dengan adanya teknologi tersebut pertandingan bulu tangkis pun dapat berjalan dengan lebih lancar. Tirai kedap suara merupakan salah satu unsur yang dianggap cukup penting oleh pengarang. Penilaian terhadap kepentingan tersebut terkait beberapa kasus pertandingan yang dihentikan akibat teriakan penonton yang gaduh, salah satunya adalah kejadian pada final 1967.

10

Latar belakang..., Alzhou Pramudya, FIB UI, 2015 Analisis Unsur Futuristik

Seperti yang sudah dituliskan dalam bagian pendahuluan, karya sastra berfungsi untuk mencatat peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi, yang belum terjadi, dan yang mungkin akan terjadi.9 Sebagai pencatat peristiwa yang belum terjadi dan yang mungkin akan terjadi, karya sastra berupa “ramalan” yang dituliskan oleh pengarang. Ramalan tersebut dapat dibuat berdasarkan pengalaman-pengalaman dan fakta yang sudah terjadi serta gagasan yang diproyeksikan pengarang akan terjadi di masa mendatang. Hal ini disebabkan karena karya sastra juga dapat membentuk pandangan masyarakat sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Di dalam novel Opera Bulu Tangkis 1995 –novel yang ditulis pada tahun 1985– pengarang menyampaikan gagasan terhadap permasalahan bulu tangkis Indonesia dan memproyeksikan kejadian bulu tangkis dalam waktu sepuluh tahun mendatang. Sebagai hipotesis dalam penelitian ini, usaha pengarang memproyeksikan kejadian yang mungkin akan terjadi di masa mendatang disebut sebagai “futuristik”. Analisis terhadap karya yang berjenis “futuristik” adalah apakah proyeksi yang diberikan pengarang benar- benar terjadi atau hanya berupa angan-angan. Analisis terhadap hal tersebut hanyalah sebagai identifikasi karena terjadi atau tidaknya proyeksi pengarang tidak mempengaruhi kualitas suatu karya secara langsung. Ada unsur-unsur lain yang dapat dijadikan penilaian untuk menilai kualitas karya sastra yang berjenis “futuristik”. Contohnya adalah novel Nineteen Eighty-Four (1984) yang ditulis oleh George Ortwell pada tahun 1949. Apa yang diproyeksikan oleh George Ortwell di dalam novelnya tidak benar-benar terjadi, namun bukan berarti novel tersebut bermutu rendah. Menjelang akhir abad dua puluh olah raga bulu tangkis memang mengalami kemajuan. Salah satu bukti kemajuan tersebut adalah untuk pertama kalinya cabang olahraga bulu tangkis dipertandingkan dalam olimpiade, tepatnya Olimpiade 1992 yang berlangsung di Barcelona.10 Pada olimpiade tersebut Indonesia berhasil meraih medali emas pada cabang bulu tangkis tunggal putra dan tunggal putri melalui Alan Budi Kusuma (tunggal putra) dan Susi Susanti (tunggal putri). Pencapaian medali emas tersebut merupakan salah satu tonggak kebangkitan bulu tangkis Indonesia di tingkat internasional. Selain itu, hadiah uang berbagai kejuaraan bulu tangkis pada tahun 1990–an mengalami peningkatan. Pada tahun 1985, kejuaraan All England memberikan total hadiah sekitar Rp 15.000.000,00 dan meningkat sebanyak 15 kali lipat menjadi sekitar Rp 225.000.000,00 di tahun 1988. Kemudian, pada

9 Mahayana, Op.Cit., 130.

10 Ignatius Sunito, “Setelah 15 Tahun Berjuang, Bulutangkis Masuk Olimpiade.” BOLA, 19 Juni 1985, 7.

11

Latar belakang..., Alzhou Pramudya, FIB UI, 2015 tahun 1992, total hadiah All England berjumlah US$ 125.000 atau pada masa itu lebih dari Rp 250.000.000,00. Pada kejuaraan grand prix lainnya hadiah juara yang diberikan berjumlah lebih besar.11 Pada tahun 1995, bulu tangkis kembali menjadi kebanggan masyarakat Indonesia karena telah mengalami peningkatan prestasi di tingkat internasional. Salah satu prestasi yang menandakan kebangkitan prestasi bulu tangkis Indonesia adalah meraih medali emas dalam Olimpiade 1992 cabang bulu tangkis nomor tunggal putra dan tunggal putri melalui Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti. Pada tahun 1995 prestasi bulu tangkis Indonesia sedang berada pada titik yang tinggi sehingga menimbulkan optimisme dalam berbagai kejuaraan. Optimisme tersebut membuat PBSI menargetkan menyapu bersih semua gelar pada Jepang Terbuka 1995, meskipun pada akhirnya Indonesia “hanya” meraih gelar di nomor tunggal putra, tunggal putri, dan ganda putra.12 Namun, prestasi tersebut mengalami fluktuatif karena Indonesia hanya mampu meraih gelar juara di nomor ganda putra pada kejuaraan All England 1995. Hasil tersebut diluar target karena Indonesia menargetkan meraih gelar juara di nomor tunggal putra dan tunggal putri, selain di nomor ganda putra.13 Kebangkitan bulu tangkis di berbagai negara juga terjadi pada tahun 1995 di kehidupan nyata, yaitu kebangkitan bulu Denmark (Eropa) dan Korea Selatan (Asia). Pada tahun 1995 beberapa atlet bulu tangkis Denmark mampu menorehkan berbagai prestasi di tingkat internasional. Di nomor tunggal putra, Denmark memiliki Poul Erik Hoyer Larsen, juara tunggal putra All England 1995, sedangkan di nomor tunggal putri terdapat Camilla Martin, runner-up tunggal putri All England 1995.14 Selain itu, di nomor ganda campuran Denmark memiliki pasangan yang menjadi peringkat nomor 1 IBF, yaitu Thomas Lund/Marlene Thomsen.15 Kekuatan utama Korea Selatan terletak pada nomor ganda dengan pemain-pemain yang dapat dipasangkan dengan siapa saja. Salah satu pasangan yang menjadi andalan Korea Selatan adalah pasangan ganda putri Gil Young-ah/Jang Hye-ock, yang berhasil meraih gelar

11 Tyas Soemarto, “Muara Sejarah Bulutangkis.” BOLA, Minggu Kedua Maret 1995, 22.

12 Broto Happy W., “Sejarah Baru di Komazawa Park.” BOLA, Minggu Pertama Februari 1995, 27.

13 Broto Happy W., “Tiada Air Mata di NIA.” BOLA, Minggu Keempat Maret 1995, 22.

14 Broto Happy W. “Denmark, Ancaman Baru.” BOLA, Minggu Ketiga April 1995, 28.

15 Broto Happy W. “Satu Angka dari Thomas Lund/Marlene Thomsen.” BOLA, Minggu Ketiga April 1995, 28.

12

Latar belakang..., Alzhou Pramudya, FIB UI, 2015 juara pada All England 1995.16 Selain itu, di nomor tunggal putra Korea Selatan memiliki pemain yang diproyeksikan menjadi kekuatan baru bulu tangkis Korea Selatan, yaitu Park Sung-woo. Pemain tunggal putra bertubuh jangkung tersebut telah menjuarai Swedia Terbuka dan Kejuaraan Asia.17 Dengan adanya fakta-fakta tersebut, proyeksi pengarang terhadap kebangkitan bulu tangkis di berbagai dunia telah terbukti, meski tidak sepenuhnya tepat. Permasalahan bulu tangkis Indonesia pada tahun 1985 adalah kesenjangan antara pemain utama dengan pemain muda atau pemain lapis kedua dan penurunan prestasi bulu tangkis Indonesia. Permasalahan tersebut juga menjadi salah satu unsur cerita, seperti kutipan di atas. Berdasarkan hal tersebut pengarang membayangkan bahwa masalah pembinaan dan kesenjangan antara pemain senior dengan pemain lapis kedua belum terselesaikan selama sepuluh tahun, namun hal itu tidak demikian adanya. Pada tahun 1995, Indonesia memiliki sejumlah nama yang menjadi punggawa utama bulu tangkis yang mampu meraih prestasi gemilang dari berbagai nomor. Di nomor tunggal putra terdapat Hariyanto Arbi, , , Ardy B. Wiranta, dan Alan Budi Kusuma. Di nomor tunggal putri terdapat Susi Susanti, peraih medali emas Olimpiade 1992. Di nomor ganda putra terdapat pasangan /Rexy Maniaky, ganda putra peringkat satu bulu tangkis dunia, dan /Antonius Irianto. Nama-nama tersebut merupakan atlet-atlet yang pernah meraih gelar juara di berbagai kompetisi, mulai dari kejuaraan terbuka yang menjadi rangkaian grand prix hingga All England dan Olimpiade. Pemain andalan bulu tangkis Indonesia tidak hanya satu atau dua orang saja tetapi cukup banyak hingga merata di setiap nomor. Namun, atlet yang berprestasi bukan hanya pemain-pemain senior tetapi juga pemain lapis kedua. Contoh pemain bulu tangkis lapis kedua yang telah meraih juara adalah George Rimarcdi yang menjadi juara tunggal putra pada Prancis Terbuka dan pasangan Sigit/Dicky Sugiono yang menjadi juara di nomor ganda putra pada kejuaraan yang sama.18 Hasil tersebut merupakan salah satu dari usaha perbaikan sektor kepelatihan dan pembinaan, yaitu dengan memecah beberapa pemain yang dilatih oleh satu pelatih. Satu orang pelatih melatih pemain-pemain dalam jumlah tertentu sehingga latihan dapat dijalankan dengan lebih fokus. Selain itu, setiap satu orang pelatih ditugaskan untuk melatih pemain

16 Broto Happy W., “Korea Selatan, Kuat di Ganda.” BOLA, Minggu Keempat April 1995, 26.

17 Broto Happy W., “Park Sung-woo, Macan Baru Korea.” BOLA, Minggu Keempat April 1995, 26.

18 Broto Happy W. “Gelar Adi buat Ultah Bapaknya.” BOLA, Minggu Kelima Maret 1995, 28.

13

Latar belakang..., Alzhou Pramudya, FIB UI, 2015 senior dan pemain lapis kedua sebagai upaya regenerasi.19 Hal ini menjadi bukti bahwa “ramalan” pengarang terhadap permasalahan bulu tangkis Indonesia tidak tepat karena permasalahan tersebut sudah dapat dicari solusinya pada tahun 1995. Selain itu, sejumlah nama yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu pemain-pemain peringkat atas bulu tangkis di berbagai nomor, menunjukkan bahwa pada tahun 1995 bulu tangkis tidak hanya berpusat pada nomor tunggal putra seperti yang diproyeksikan oleh pengarang. Perkembangan teknologi lapangan bulu tangkis sampai saat ini belum mampu menyamai apa yang dikisahkan pengarang di dalam novel. Teknologi garis lapangan bulu tangkis dan tirai kedap suara lapangan sampai saat ini belum ditemukan. Sampai saat ini penentuan garis in atau out masih ditentukan oleh wasit, namun dibantu oleh reka ulang komputer untuk menentukan titik jatuh bola jika dianggap meragukan. Pemain dapat mengajukan challange untuk meminta reka ulang apabila bola jatuh tipis di dekat garis lapangan sehingga sulit ditentukan apakah in atau out. Perkembangan teknologi garis lapangan saat ini baru ditemukan dalam olahraga sepakbola, yaitu teknologi garis gawang yang dapat menentukan apakah bola telah masuk melewati garis gawang atau belum. Teknologi tersebut terhubung dengan jam tangan wasit untuk mengetahui perlintasan bola terhadap garis gawang sehingga wasit dapat memberikan penilaian dengan lebih adil.

Kesimpulan

Bulu tangkis merupakan olahraga kebanggan masyarakat Indonesia karena mampu mengharumkan nama Indonesia di tingkat internasional dengan prestasi-prestasi yang membanggakan. Akan tetapi, pada tahun 1985 kebanggan tersebut mulai memudar karena prestasi-prestasi bulu tangkis Indonesia mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada beberapa kejuaraan bulu tangkis internasional. Atlet bulu tangkis Indonesia tidak mampu meraih gelar juara. Bahkan untuk mencapai partai final pun dirasa sangat sulit. Selain itu, terdapat jarak kesenjangan yang cukup lebar antara pemain senior dengan pemain muda sehingga ketika pemain senior sudah mulai mendekati masa pensiun dan menurun, pemain muda belum mampu menggantikannya. Pembinaan terhadap pemain-pemain muda dinilai cukup terlambat oleh beberapa pihak, sehingga PBSI mendapatkan banyak kritik. Penurunan prestasi tersebut juga membuat munculnya gagasan untuk melakukan revolusi

19 Broto Happy W., “Indra Gunawan: Demi Prestasi, Perlu Spesialisasi.” BOLA, Minggu Keempat Februari 1995, 24.

14

Latar belakang..., Alzhou Pramudya, FIB UI, 2015 terhadap bulu tangkis Indonesia. Di samping itu, negara-negara lain mulai menunjukkan peningkatan prestasi dalam bulu tangkis. Pada saat seperti itu Titi Nginung menyampaikan gagasannya terhadap bulu tangkis Indonesia melalui karyanya yang berjudul Opera Bulu Tangkis 1995. Titi Nginung menyampaikan gagasannya dengan memproyeksikan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi terhadap bulu tangkis Indonesia dalam waktu sepuluh tahun ke depan. Melalui novelnya, pengarang telah menyampaikan gagasannya dengan memproyeksikan peristiwa yang akan datang, tetapi tidak seluruh peristiwa tersebut terjadi dalam kehidupan nyata. Peristiwa yang terjadi sesuai dengan ramalan pengarang di dalam novelnya yaitu kebangkitan bulu tangkis Indonesia dan perkembangan bulu tangkis di dunia, sedangkan hal yang belum terjadi dalam kehidupan nyata adalah perkembangan teknologi lapangan untuk mendukung pertandingan bulu tangkis.

Daftar Referensi

Pustaka Sumber Nginung, Titi. Opera Bulu Tangkis 1995. Jakarta: PT Gramedia, 1985.

Buku Referensi Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas. Jakarta: Editum, 2010. Kenney, William. How To Analyze Fiction. New York: Monarch Press, 1966. Mahayana, Maman S. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta: Bening Publishing, 2005. ______. Kitab Kritik Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995. Stanton, Robert. An Introduction to Fiction. New York: Holt Renehart and Widnston Inc., 1965. Sulistiyo-Basuki. Metode Penelitian. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006. Teeuw, A.. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: Pustaka Jaya, 2013. Wellek, Rene, dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014.

15

Latar belakang..., Alzhou Pramudya, FIB UI, 2015 Artikel Koran, Majalah Marsis, Sumohadi. “Pemain MPP Lawan Terminator, Mana Tahan?” BOLA, 12 April 1985, 8. Situmorang, Ian. “Awal Penampilan Bulutangkis 85: Tanpa Gelar di Hongkong Terbuka.” BOLA, 18 Januari 1985, 7. ______. “Setelah Calgary: Bulutangkis Kita Perlu Revolusi?” BOLA, 19 Juni 1985, 7. Soemarto, Tyas. “Muara Sejarah Bulutangkis.” BOLA, Minggu Kedua Maret 1995, 22. Sunito, Ignatius. “Setelah 15 Tahun Berjuang Bulutangkis Masuk Olimpiade.” BOLA, 19 Juni 1985, 7. W., Broto Happy. “Sejarah Baru di Komazawa Park.” BOLA, Minggu Pertama Februari 1995, 27. ______. “Tiada Air Mata di NIA.” BOLA, Minggu Keempat Maret 1995, 22. ______. “Denmark, Ancaman Baru.” BOLA, Minggu Ketiga April 1995, 28. ______. “Satu Angka dari Thomas Lund/Marlene Thomsen.” BOLA, Minggu Ketiga April 1995, 28. ______. “Korea Selatan, Kuat di Ganda.” BOLA, Minggu Keempat April 1995, 26. ______. “Park Sung-woo, Macan Baru Korea.” BOLA, Minggu Keempat April 1995, 26. ______. “Gelar Adi buat Ultah Bapaknya.” BOLA, Minggu Kelima Maret 1995, 28. ______. “Indra Gunawan: Demi Prestasi, Perlu Spesialisasi.” BOLA, Minggu Keempat Februari 1995, 24.

16

Latar belakang..., Alzhou Pramudya, FIB UI, 2015