Latar Belakang Penciptaan Novel Opera Bulu Tangkis 1995 Karya Titi Nginung: Tinjauan Sosiologi Sastra
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Latar Belakang Penciptaan Novel Opera Bulu Tangkis 1995 karya Titi Nginung: Tinjauan Sosiologi Sastra Alzhou Pramudya, MamanSoetarman Mahayana Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia [email protected] Abstrak Artikel jurnal ini membahas latar belakang penciptaan novel Opera Bulu Tangkis 1995 karya Titi Nginung. Novel ini pertama kali terbit dalam bentuk cerita bersambung, dimuat di harian Kompas, 3 Mei 1985 -- 8 Juli 1985, kemudian PT Gramedia menerbitkannya dalam bentuk novel, Desember 1985. Latar belakang itu meliputi analisis peristiwa-peristiwa yang dihadapi pengarang dalam membuat novel dan gagasan yang ingin disampaikannya. Novel ini berjenis “futuristik” atau menceritakan masa depan karena ditulis pada tahun 1985 tetapi menceritakan peristiwa tahun 1995. Di dalamnya, pengarang menyampaikan gagasan-gagasan terhadap perbulutangkisan Indonesia agar mampu kembali meraih kejayaan yang sempat memudar. Kata kunci: Bulu tangkis; futuristik; novel Opera Bulu Tangkis 1995; sosiologi sastra; Titi Nginung. Background of Creating the novel Opera Badminton 1995 by Titi Nginung: A Review on Sociology of Literature Abstract This articel is about the background of creating the novel Opera Badminton 1995 by Titi Nginung. The novel was firstly published in a form of serialized was published in the daily newspaper Kompas on May 3 1985 until July 8 1985, before Gramedia published the story in a form of a novel in December 1985. The background consists of analysis towards events faced by the author when writing the novel and the notions he wanted to covery. This novel is the "futuristic" one for it projects upcoming events in the future. The novel was written in 1985 but the events told in the novel take 1995 as the setting, which is ten years later. In his novel, the author conveys his ideas regarding Indonesian badminton, so that Indonesia can regain its glory, which had faded. Intrinsic aspects are analyzed by comparing events hapened in 1995 as they are written in the novel with the ones happened in real life in the same year. Keywords: badminton; futuristic; Opera Bulu Tangkis 1995; sociology of literature; Titi Nginung. Pendahuluan Penelitian dalam artikel jurnal ini membahas novel berjudul Opera Bulu Tangkis 1995 yang ditulis oleh Titi Nginung. Secara tematik novel ini mengangkat permasalahan yang baru, yaitu dunia perbulutangkisan. Tema tersebut belum pernah diangkat oleh pengarang- 1 Latar belakang..., Alzhou Pramudya, FIB UI, 2015 pengarang lain sebelumnya. Hal itu menjadi salah satu alasan peneliti mengambil novel tersebut sebagai bahan penelitian. Selain itu, bulu tangkis merupakan olahraga yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat Indonesia karena begitu banyak atlet-atlet bulu tangkis profesional dari Indonesia yang memiliki prestasi di tingkat internasional. Karena didukung oleh faktor tersebut, Indonesia menjadi salah satu kiblat bulu tangkis dunia. Hal tersebut juga menjadikan bulu tangkis memiliki kedekatan dengan masyarakat Indonesia dan menjadi sebuah kebanggan, bukan hanya sekadar cabang olahraga biasa. Salah satu hal menarik dari novel Opera Bulu Tangkis 1995 adalah dalam latar cerita, yaitu peristiwa tahun 1995, sementara Titi Nginung menulis novel ini pada tahun 1985. Berdasarkan hal tersebut, sebagai hipotesis awal, novel ini berjenis “futuristik”, atau novel yang menggambarkan peristiwa di masa mendatang. Oleh sebab itu, salah satu aspek penelitian dalam jurnal ini adalah aspek “ramalan”, yaitu mendeskripsikan bagaimana pengarang menggambarkan peristiwa di masa mendatang dan membandingkan peristiwa di dalam novel dengan kehidupan nyata yang terjadi. Hal menarik lainnya dari novel ini adalah nama pengarang, yaitu Titi Nginung. Titi Nginung adalah nama pena dari Arswendo Atmowiloto, pengarang prolifik yang memiliki tulisan bernada humor, fantastis, spekulatif, dan suka bersensasi. Sebagai seorang pengarang, nama Arswendo Atomowiloto telah cukup dikenal karena telah menghasilkan berbagai banyak tulisan, baik artikel, cerpen, novel, maupun drama. Dalam menulis novel, Arswendo memiliki beberapa nama pena, seperti Said Saat, Sukmo Sasmito, Lani Biki, dan Titi Nginung. Alasan penggunaan nama-nama tersebut dimaksudkan untuk menguji kualitas tulisannya karena Arswendo ingin karya-karyanya dinilai dari isinya, bukan nama penulisnya. Nama Titi Nginung telah digunakan oleh Arswendo untuk menulis novel-novel bertemakan olahraga. Selain tema bulu tangkis yang ditulis dalam Opera Bulu Tangkis 1995, Titi Nginung juga menulis novel lain yang bertemakan sepak bola, tinju, dan voli. Dalam menghasilkan suatu karya, pengarang memiliki gagasan yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Gagasan tersebut dimasukan ke dalam novel menjadi unsur-unsur cerita. Di dalam novel Opera Bulu Tangkis 1995, bulu tangkis tidak hanya menjadi sekadar tema, tetapi juga gagasan yang ingin disampaikan pengarang. Pada tahun 1985, perbulutangkisan Indonesia sedang mengalami berbagai permasalahan, seperti penurunan dan pembinaan pemain yang tidak berjalan maksimal. Selain itu, pada tahun 1985, negara-negara lain mulai melakukan peningkatan dalam cabang bulu tangkis, baik itu dari segi pembinaan maupun prestasi. Oleh sebab itu, deskripsi terhadap gagasan pengarang menjadi salah satu aspek penelitian ini. 2 Latar belakang..., Alzhou Pramudya, FIB UI, 2015 Tinjauan Teoritis Gagasan penelaahan karya sastra melalui pendekatan sosio-kultural pernah dituliskan oleh Grebstein. Di dalam berbagai esainya tentang pendekatan tersebut, Grebstein menjelaskan beberapa poin penting. Pertama, karya sastra tidak dapat dipahami selengkap- lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Kedua, gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya; bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan gagasan tersebut. Ketiga, karya sastra bukan ajaran moral dalam arti sempit, yakni yang sesuai dengan kode atau tindak-tanduk tertentu, melainkan dalam pengertian bahwa karya sastra terlibat dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif terhadap kehidupan tersebut. Keempat, masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah: pertama sebagai suatu kekuatan dan kedua faktor material istimewa dan sebagai tradisi, yaitu kecenderungan-kecenderungan spiritual maupun kultural yang bersifat kolektif. Kelima, kritik sastra adalah kegiatan yang harus mampu mempengaruhi penciptaan karya sastra, namun bukan dengan cara mendikte. Keenam, kritikus bertanggung jawab terhadap sastra masa silam dan masa yang akan datang dengan cara melakukan penafsiran yang dibutuhkan pembaca masa kini. Berdasarkan poin-poin pendekatan sosio-kultural terhadap sastra di atas, penelitian ini akan lebih menitikberatkan pada poin pertama, kedua, dan ketiga. Wellek dan Warren (1956) membuat klasifikasi masalah sosiologi sastra. Sosiologi sastra terbagi atas tiga bagian. Pertama, sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Ketiga, sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Penelitian ini memfokuskan pada bagian pertama dan kedua, namun tidak menutup kemungkinan terhadap bagian ketiga. Selain Wellek dan Werren, Ian Watt (1964) juga melakukan klasifikasi terhadap sosiologi sastra di dalam esainya yang berjudul “Literature and Society”. Pertama, konteks sosial pengarang, yaitu konteks yang menghubungkan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Yang perlu diperhatikan dari konteks ini adalah bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya, profesionalisme si pengarang dalam kepengarangannya, dan masyarakat seperti apa yang dituju oleh pengarang. Kedua, karya sastra sebagai cermin masyarakat. Namun, pengertian cermin dalam hal ini 3 Latar belakang..., Alzhou Pramudya, FIB UI, 2015 masih sangat kabur dan sering disalahtafsirkan. Dalam menggunakan sastra sebagai cerminan masyarakat, pandangan sosial pengarang harus pula diperhitungkan. Ketiga, fungsi sosial sastra. Untuk mengetahui pandangan sosial pengarang dapat dilihat dengan mengetahui gagasan yang disampaikan pengarang melalui karyanya. Menurut Raymond Williams (1973) terdapat tujuh macam cara yang digunakan sastrawan untuk memasukan gagasan sosialnya ke dalam novel. Pertama, gagasan disampaikan secara lugas, atau dengan kata lain dipropagandakan. Kedua, novel tidak sepenuhnya menyampaikan gagasan dengan lugas, tetapi tetap jelas menunjukkan niat untuk memikat orang lain ke arah gagasan tertentu. Ketiga, gagasan dimasukkan ke dalam novel lewat perbantahan di antara tokoh-tokoh yang bermain di dalamnya, yaitu di dalam perbincangan. Keempat, gagasan disampaikan dalam bentuk konvensi sehingga tampak sebagai sesuatu yang wajar. Kelima, gagasan dimunculkan sebagai tokoh. Keenam, melarutkan gagasan dalam keseluruhan dunia fiksi. Ketujuh, menampilkan gagasan sebagai superstruktur, yaitu kemungkinan bagi novelis untuk menyampaikan gagasan dengan cara menciptakan tokoh yang menyuarakannya, tetapi tindakan yang dilakukan dan ditimbulkan berlawanan. Damono (2010) membuat kesimpulan dari berbagai telaah terhadap sosiologi sastra, baik yang berupa buku maupun bunga rampai. Menurutnya ada dua kecenderungan