5 Edit Atmadji
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi PERS NASIONAL, PILAR SATU-SATUNYA YANG KONSISTEN ANTI-KORUPSI Atmadji Sumarkidjo Jurnalis senior; mantan wakil pemimpin redaksi RCTI; saat ini bekerja sebagai advisor pada MNC Group e-mail: [email protected] Abstract. The Media is called as The Fourth Estate, after the the executive power, legislative power and the judicary power; and national press in Indonesia for a long time may be the only institution of democracy among the four institutions that are consistent and consistently reported corruption cases, large or small, and never exhausted of calling for the eradication of corruption, despite facing many challenges from the state, ranging from verbal threats, arrests and imprisonment of journalists to closure (bredel) of the newspaper. At the time of President Soekarno, several newspapers were very critical toward the government and they were not able to hold up reform in 1998 because the authoritarian government shut down their licence. At the time of President Soeharto, the media policies against corruption was also considered anti-New Order, and with a variety of reasons, sooner or later, they can be banned by the government. Once the permit (SIUPP) was revoked, for any reason, then the newspaper can not republished again. In the end, the real freedom of the Press obtained when Act No. 40 in 1999 were issued which does not require the print media to have any license for publication. The Reform Movement in 1998 has also fostered television journalism just as hard against corruption, and since four or five years ago, new media dan social media joint the anti-corruption hipe in Indonesia. Abstrak. Media sering kali disebut sebagai pilar keempat demokrasi suatu negara. Setelah peristiwa Malari pada Januari 1974, untuk pertama kalinya kemerdekaan pers mengalami kemunduran yang sangat berarti karena ada sejumah media cetak yang dibredel dan tidak bisa terbit lagi. Penutupan tujuh surat kabar utama di Jakarta pada Januari 1978 telah mematahkan sebagian besar semangat anti-korupsi pers nasional. Pemberitaan pasca tahun 1978 cenderung memperhatikan keselamatan media itu ketimbang mempetimbangkan nilai jurnalistiknya mengenai sebuah informasi atau berita. Setelah reformasi, kemerdekaan pers dijamin oleh undang-undang, tetapi karena tumbuhnya era keterbukaan, kontrol sosial tidak menjadi monopoli pers lagi. Media baru (new media) dan media sosial (social media) mulai eksis, dan mendorong pembentukan opini publik dan sekaligus jadi benchmark surat kabar dan televisi dalam mengangkat isu anti-korupsi dan perbuatan ketidakadilan lainnya. Lahirnya lembaga KPK menjamin semacam “kendaraan utama” bagi media massa untuk mem- blow-up atau mengangkat berbagai isu korupsi besar. Keywords: pers, media, korupsi PENDAHULUAN Masalah korupsi belum menjadi Pada awal kemerdekaan negara pembicaraan masyarakat luas, namun ini Republik Indonesia, sekitar tahun 1950-an, bukan berarti bahwa pada waktu itu tidak belum dikenal istilah “korupsi” (Pudjiarto, ada praktik korupsi. Barangkali perbuatan RS, 1994: 18-34). Hal ini mungkin terjadi semacam itu cukup banyak, hanya saja karena negara dan masyarakat Indonesia belum begitu umum, atau memang pada masih miskin, sehingga kondisi tersebut waktu itu sudah ada perbuatan yang tidak memungkinkan membuka peluang sebenarnya dapat dikualifikasikan sebagai terhadap praktik terjadinya korupsi. tindak pidana korupsi, tetapi tertutup oleh Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 65 Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi gejolak perang kemerdekaan, nasional oleh Kepala Staf Angkatan Darat mempertahankan kemerdekaan serta (Kasad) Mayjen AH Nasution, selaku operasi-operasi TNI menumpas berbagai Penguasa Perang Pusat (Peperpu) menjadi pemberontakan. Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Perbuatan-perbuatan semacam itu PRT/PEPERPU/013/1958. Peraturan ini seperti gejala-gejala sosial lainnya yang dimaksudkan untuk memberantas tindak umumnya disebut sebagai penyerobotan, pidana korupsi yang merajalela saat itu, pengambilan jatah yang melebihi yang menimbulkan pikiran seolah-olah ketentuan, perbuatan-perbuatan yang tidak pemerintah sudah tidak berwibawa lagi. semestinya, tetapi tujuannya bukan Karena hal itulah maka Peraturan semata-mata untuk kepentingan diri Penguasa Militer diangkat pada skala sendiri, tetapi juga dilakukan untuk nasional, untuk mengusut, menuntut, dan kepentingan perjuangan kemerdekaan, di melakukan pemeriksaan tindak pidana tengah administrasi negara yang belum korupsi dan pemilikan harta benda. tertata secara tertib. Munculnya Tahun 1960, dengan dicabutnya ketidakpuasan antara lain dalam bentuk Undang-undang Keadaan Bahaya No. 74 munculnya Piagam Perjuangan Semesta tahun 1957, maka peraturan di atas (Permesta) di Sulawesi (1958) yang otomatis menjadi tidak berlaku, dan tadinya bermula dari rasa tidak puas para diganti dengan Perpu No. 24 tahun 1960. pemimpin di Indonesia Timur mengenai Seperti diketahui bahwa, bentuk peraturan pembangunan yang adil di kawasan perundang-undangan (Perpu) ini, tersebut dan meminta agar 70 persen dikeluarkan dalam keadaan mendesak oleh pendapatan devisa dari daerah pemerintah sendiri tanpa persetujuan DPR dikembalikan lagi ke daerah, sementara terlebih dahulu, dengan ketentuan bahwa, pemerintah pusat cukup mengambil 30 harus dimintakan persetujuan DPR pada persen sisanya. Ada kecurigaan kuat masa persidangan berikutnya, dan kalau bahwa uang dari ekspor Indonesia Timur tidak disetujui oleh DPR maka harus tersebut “hilang” alias dikorupsi di dicabut. Pada kenyataannya Perpu ini, Jakarta. (Harvey, 1984 : 70-71). dengan Undang-undang No. 1 tahun 1961 Kata “korupsi” itu sendiri, secara ditetapkan oleh pemerintah sebagai yuridis di Indonesia baru dikenal sekitar undang-undang, dalam arti DPR telah tahun 1957, bersamaan dengan menyetujui dan mengesahkannya, menjadi dikeluarkannya Peraturan Penguasa Undang-undang Nomor 24/Prp/1960. Militer No PRT/ PM/06/1957tahun 1957 Jadi selama pemerintahan Orde Lama yang dikenal dengan peraturan tentang tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Peraturan tersebut pemberantasan korupsi. Pertama, adanya dibuat oleh penguasa militer pada waktu Panitia Retooling Aparatur Negara itu, yakni Angkatan Darat dan Angkatan (Paran). Lembaga yang dibentuk melalui Laut untuk memberantas korupsi, karena perangkat aturan Undang-Undang KUHP sudah tidak mampu lagi Keadaan Bahaya ini dipimpin oleh A.H. menanggulangi meluasnya perbuatan Nasution dan dibantu oleh dua orang korupsi. Peraturan Penguasa Militer anggota, yaitu Prof. M. Jamin dan Dr. tersebut dalam pelaksanaannya dilengkapi Roeslan Abdulgani. Kedua, Pada tahun dengan Peraturan Penguasa Militer No. 1963, melalui Instruksi Presiden No. 275 PRT/PM/08/1957, mengenai pemilikan Tahun 1963 dibentuk lembaga baru yang harta benda, dan Peraturan Penguasa lebih dikenal dengan Operasi “Budhi”. Militer No. PRT/PM/011/1957 mengenai Pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, penyitaan dan perampasan barang. yang saat itu sudah menjabat sebagai Satu tahun kemudian, tahun 1958, Menteri Koordinator Pertahanan dan peraturan tersebut, diangkat pada skala Keamanan/Kepala Staf Angkatan Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 66 Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi Bersenjata (Menko Hankam/Kasab) untuk (Kotrar) yang dipimpin sendiri oleh menjalankan tugas menyeret pelaku Presiden Soekarno, dengan wakilnya Dr. korupsi ke pengadilan. Soebandrio. Jenderal Nasution yang menempatkan Letjen TNI Soeharto atas nama anak buahnya menjadi pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi perusahaan Belanda yang dinasionalisir, ABRI/Mandataris MPRS pada tanggal 18 dan ia juga lah yang memerintahkan agar Maret 1966 telah memerintahkan diadakan pemeriksaan kepada para perwira penangkapan 15 orang Menteri Kabinet tersebut. Tindakannya dan staf Paran Dwikora yang Disempurnakan. ternyata menimbulkan ketidakpuasan di Penangkapan dengan kuasa Surat Perintah kalangan AD, dan secara tidak langsung 11 Maret 1966 (kemudian dikenal sebagai menentang operasi tersebut. Contoh yang “Super Semar”) adalah bagian dari paling jelas adalah mengenai Direktur pemenuhan tuntutan Tritura (Tri Tuntutan Utama Pertamina, Kolonel Ibnu Sutowo Rakyat: Bubarkan PKI, turunkan harga- yang dipanggil secara khusus untuk harga dan ganti menteri-menteri yang tidak diperiksa Operasi “Budhi”. Beberapa hari becus di Kabinet Dwikora). Salah satu sebelum ia diperiksa, seorang sekretaris diantaranya Menteri/Gubernur Bank dari Pertamina datang ke tim membawa Sentral, Jusuf Muda Dalam, yang diadili surat dari Ibnu Sutowo yang menyatakan karena “tindakan korupsi dan bermewah- bahwa ia tidak dapat memenuhi panggilan mewah menggunakan uang negara”. tim Operasi “Budhi” karena, Sejumlah mantan menteri lain diadili “diperintahkan Presiden Soekarno untuk dalam kasus keterlibatan mereka pada G- bertugas ke luar negeri”. Jadi walaupun dr. 30-S, dan Waperdam III Chairul Saleh Ibnu Sutowo mempunyai hubungan tadinya hendak diadili dalam kasus yang pribadi dengan Jenderal Nasution dan serupa dengan Jusuf Muda Dalam, tetapi ia sangat menghormatinya, tetapi ia secara meninggal dunia dalam tahanan. Kasusnya tidak langsung meremehkan lembaga tidak pernah dijelaskan secara terbuka Operasi “Budhi” tersebut. Tidak diketahui, (Hasibuan, 2011). mengapa Nasution sendiri tidak Penggunaan Super Semar itu bisa menggunakan pengaruh serta wibawanya dikatakan adalah langkah awal Orde Baru untuk memanggil para perwira militer memerangi