Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi

PERS NASIONAL, PILAR SATU-SATUNYA YANG KONSISTEN ANTI-KORUPSI

Atmadji Sumarkidjo Jurnalis senior; mantan wakil pemimpin redaksi RCTI; saat ini bekerja sebagai advisor pada MNC Group e-mail: [email protected]

Abstract. The Media is called as The Fourth Estate, after the the executive power, legislative power and the judicary power; and national press in for a long time may be the only institution of democracy among the four institutions that are consistent and consistently reported corruption cases, large or small, and never exhausted of calling for the eradication of corruption, despite facing many challenges from the state, ranging from verbal threats, arrests and imprisonment of journalists to closure (bredel) of the newspaper. At the time of President Soekarno, several newspapers were very critical toward the government and they were not able to hold up reform in 1998 because the authoritarian government shut down their licence. At the time of President Soeharto, the media policies against corruption was also considered anti-, and with a variety of reasons, sooner or later, they can be banned by the government. Once the permit (SIUPP) was revoked, for any reason, then the newspaper can not republished again. In the end, the real freedom of the Press obtained when Act No. 40 in 1999 were issued which does not require the print media to have any license for publication. The Reform Movement in 1998 has also fostered television journalism just as hard against corruption, and since four or five years ago, new media dan social media joint the anti-corruption hipe in Indonesia.

Abstrak. Media sering kali disebut sebagai pilar keempat demokrasi suatu negara. Setelah peristiwa Malari pada Januari 1974, untuk pertama kalinya kemerdekaan pers mengalami kemunduran yang sangat berarti karena ada sejumah media cetak yang dibredel dan tidak bisa terbit lagi. Penutupan tujuh surat kabar utama di pada Januari 1978 telah mematahkan sebagian besar semangat anti-korupsi pers nasional. Pemberitaan pasca tahun 1978 cenderung memperhatikan keselamatan media itu ketimbang mempetimbangkan nilai jurnalistiknya mengenai sebuah informasi atau berita. Setelah reformasi, kemerdekaan pers dijamin oleh undang-undang, tetapi karena tumbuhnya era keterbukaan, kontrol sosial tidak menjadi monopoli pers lagi. Media baru (new media) dan media sosial (social media) mulai eksis, dan mendorong pembentukan opini publik dan sekaligus jadi benchmark surat kabar dan televisi dalam mengangkat isu anti-korupsi dan perbuatan ketidakadilan lainnya. Lahirnya lembaga KPK menjamin semacam “kendaraan utama” bagi media massa untuk mem- blow-up atau mengangkat berbagai isu korupsi besar.

Keywords: pers, media, korupsi

PENDAHULUAN Masalah korupsi belum menjadi Pada awal kemerdekaan negara pembicaraan masyarakat luas, namun ini Republik Indonesia, sekitar tahun 1950-an, bukan berarti bahwa pada waktu itu tidak belum dikenal istilah “korupsi” (Pudjiarto, ada praktik korupsi. Barangkali perbuatan RS, 1994: 18-34). Hal ini mungkin terjadi semacam itu cukup banyak, hanya saja karena negara dan masyarakat Indonesia belum begitu umum, atau memang pada masih miskin, sehingga kondisi tersebut waktu itu sudah ada perbuatan yang tidak memungkinkan membuka peluang sebenarnya dapat dikualifikasikan sebagai terhadap praktik terjadinya korupsi. tindak pidana korupsi, tetapi tertutup oleh

Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 65

Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi

gejolak perang kemerdekaan, nasional oleh Kepala Staf Angkatan Darat mempertahankan kemerdekaan serta (Kasad) Mayjen AH Nasution, selaku operasi-operasi TNI menumpas berbagai Penguasa Perang Pusat (Peperpu) menjadi pemberontakan. Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Perbuatan-perbuatan semacam itu PRT/PEPERPU/013/1958. Peraturan ini seperti gejala-gejala sosial lainnya yang dimaksudkan untuk memberantas tindak umumnya disebut sebagai penyerobotan, pidana korupsi yang merajalela saat itu, pengambilan jatah yang melebihi yang menimbulkan pikiran seolah-olah ketentuan, perbuatan-perbuatan yang tidak pemerintah sudah tidak berwibawa lagi. semestinya, tetapi tujuannya bukan Karena hal itulah maka Peraturan semata-mata untuk kepentingan diri Penguasa Militer diangkat pada skala sendiri, tetapi juga dilakukan untuk nasional, untuk mengusut, menuntut, dan kepentingan perjuangan kemerdekaan, di melakukan pemeriksaan tindak pidana tengah administrasi negara yang belum korupsi dan pemilikan harta benda. tertata secara tertib. Munculnya Tahun 1960, dengan dicabutnya ketidakpuasan antara lain dalam bentuk Undang-undang Keadaan Bahaya No. 74 munculnya Piagam Perjuangan Semesta tahun 1957, maka peraturan di atas (Permesta) di Sulawesi (1958) yang otomatis menjadi tidak berlaku, dan tadinya bermula dari rasa tidak puas para diganti dengan Perpu No. 24 tahun 1960. pemimpin di Indonesia Timur mengenai Seperti diketahui bahwa, bentuk peraturan pembangunan yang adil di kawasan perundang-undangan (Perpu) ini, tersebut dan meminta agar 70 persen dikeluarkan dalam keadaan mendesak oleh pendapatan devisa dari daerah pemerintah sendiri tanpa persetujuan DPR dikembalikan lagi ke daerah, sementara terlebih dahulu, dengan ketentuan bahwa, pemerintah pusat cukup mengambil 30 harus dimintakan persetujuan DPR pada persen sisanya. Ada kecurigaan kuat masa persidangan berikutnya, dan kalau bahwa uang dari ekspor Indonesia Timur tidak disetujui oleh DPR maka harus tersebut “hilang” alias dikorupsi di dicabut. Pada kenyataannya Perpu ini, Jakarta. (Harvey, 1984 : 70-71). dengan Undang-undang No. 1 tahun 1961 Kata “korupsi” itu sendiri, secara ditetapkan oleh pemerintah sebagai yuridis di Indonesia baru dikenal sekitar undang-undang, dalam arti DPR telah tahun 1957, bersamaan dengan menyetujui dan mengesahkannya, menjadi dikeluarkannya Peraturan Penguasa Undang-undang Nomor 24/Prp/1960. Militer No PRT/ PM/06/1957tahun 1957 Jadi selama pemerintahan Orde Lama yang dikenal dengan peraturan tentang tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Peraturan tersebut pemberantasan korupsi. Pertama, adanya dibuat oleh penguasa militer pada waktu Panitia Retooling Aparatur Negara itu, yakni Angkatan Darat dan Angkatan (Paran). Lembaga yang dibentuk melalui Laut untuk memberantas korupsi, karena perangkat aturan Undang-Undang KUHP sudah tidak mampu lagi Keadaan Bahaya ini dipimpin oleh A.H. menanggulangi meluasnya perbuatan Nasution dan dibantu oleh dua orang korupsi. Peraturan Penguasa Militer anggota, yaitu Prof. M. Jamin dan Dr. tersebut dalam pelaksanaannya dilengkapi Roeslan Abdulgani. Kedua, Pada tahun dengan Peraturan Penguasa Militer No. 1963, melalui Instruksi Presiden No. 275 PRT/PM/08/1957, mengenai pemilikan Tahun 1963 dibentuk lembaga baru yang harta benda, dan Peraturan Penguasa lebih dikenal dengan Operasi “Budhi”. Militer No. PRT/PM/011/1957 mengenai Pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, penyitaan dan perampasan barang. yang saat itu sudah menjabat sebagai Satu tahun kemudian, tahun 1958, Menteri Koordinator Pertahanan dan peraturan tersebut, diangkat pada skala Keamanan/Kepala Staf Angkatan

Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 66

Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi

Bersenjata (Menko Hankam/Kasab) untuk (Kotrar) yang dipimpin sendiri oleh menjalankan tugas menyeret pelaku Presiden Soekarno, dengan wakilnya Dr. korupsi ke pengadilan. Soebandrio. Jenderal Nasution yang menempatkan Letjen TNI Soeharto atas nama anak buahnya menjadi pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi perusahaan Belanda yang dinasionalisir, ABRI/Mandataris MPRS pada tanggal 18 dan ia juga lah yang memerintahkan agar Maret 1966 telah memerintahkan diadakan pemeriksaan kepada para perwira penangkapan 15 orang Menteri Kabinet tersebut. Tindakannya dan staf Paran Dwikora yang Disempurnakan. ternyata menimbulkan ketidakpuasan di Penangkapan dengan kuasa Surat Perintah kalangan AD, dan secara tidak langsung 11 Maret 1966 (kemudian dikenal sebagai menentang operasi tersebut. Contoh yang “Super Semar”) adalah bagian dari paling jelas adalah mengenai Direktur pemenuhan tuntutan Tritura (Tri Tuntutan Utama Pertamina, Kolonel Ibnu Sutowo Rakyat: Bubarkan PKI, turunkan harga- yang dipanggil secara khusus untuk harga dan ganti menteri-menteri yang tidak diperiksa Operasi “Budhi”. Beberapa hari becus di Kabinet Dwikora). Salah satu sebelum ia diperiksa, seorang sekretaris diantaranya Menteri/Gubernur Bank dari Pertamina datang ke tim membawa Sentral, Jusuf Muda Dalam, yang diadili surat dari Ibnu Sutowo yang menyatakan karena “tindakan korupsi dan bermewah- bahwa ia tidak dapat memenuhi panggilan mewah menggunakan uang negara”. tim Operasi “Budhi” karena, Sejumlah mantan menteri lain diadili “diperintahkan Presiden Soekarno untuk dalam kasus keterlibatan mereka pada G- bertugas ke luar negeri”. Jadi walaupun dr. 30-S, dan Waperdam III Chairul Saleh Ibnu Sutowo mempunyai hubungan tadinya hendak diadili dalam kasus yang pribadi dengan Jenderal Nasution dan serupa dengan Jusuf Muda Dalam, tetapi ia sangat menghormatinya, tetapi ia secara meninggal dunia dalam tahanan. Kasusnya tidak langsung meremehkan lembaga tidak pernah dijelaskan secara terbuka Operasi “Budhi” tersebut. Tidak diketahui, (Hasibuan, 2011). mengapa Nasution sendiri tidak Penggunaan Super Semar itu bisa menggunakan pengaruh serta wibawanya dikatakan adalah langkah awal Orde Baru untuk memanggil para perwira militer memerangi korupsi, meskipun nuansanya seperti Sutowo dan Suhardiman. amat sarat pertimbangan politik dan Dirut PT Berdikari Kolonel keamanan ketimbang pembersihan Suhardiman sebaliknya merasa nama tindakan korupsi namun Super Semar baiknya dicemarkan karena ada informasi hanya digunakan dua kali dalam bahwa ia juga diperiksa oleh Operasi sejarahnya, meskipun kemudian surat ”Budhi”. (Tim PDAT Tempo, 1998 : perintah tersebut dikukuhkan menjadi 142-146). Usia Operasi “Budhi” relatif Ketetapan MPRS, artinya mempunyai singkat, tetapi dalam periode waktu tiga kedudukan hukum yang sangat legitimate bulan, tim operasi mengklaim telah untuk melakukan tindakan politik apa pun. menangani 49 kasus dan menyelamatkan Pada masa awal Orde Baru di mana uang negara sekitar Rp 11 milyar atau masih berlaku Undang-undang Nomor sepertujuh dari hasil pemeriksaan yang 24/Prp/1960, muncul berbagai reaksi dilakukan oleh tim. Meskipun diakui sosial, seperti aksi Komite Anti Korupsi sendiri oleh Nasution, tidak satu pun kasus (KAK), Bergerak, Mahasiswa sempat dibawa ke pengadilan. Operasi Menggugat yang umumnya para anggota “Budhi” kemudian dibubarkan oleh atau penggeraknya adalah para aktivis Waperdam I Dr Soebandrio, dan tugas- mahasiswa Angkatan 66; dibentuknya Tim tugas Paran diambilalih oleh Komando Pemberantasan Korupsi (TPK) dengan Tertinggi Retooling Aparatur Negara Keppres No. 228 tahun 1967 dan masih

Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 67

Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi

banyak yang lain (Sudjono Dirdjosisworo, parlementarian, tetapi ditengah riuh-rendah 1984 : 84-89) suasana demokratis tersebut, media masa Tahun 1969 muncul lagi suara-suara tetap saja gencar memberitakan soal-soal tidak puas karena ternyata korupsi masih yang menyangkut korupsi atau ada. Undang-undang korupsi telah ada, penyelewengan. Setidaknya ada empat namun dianggap tidak efektif dalam surat kabar dan pemimpin redaksi yang menanggulangi korupsi. Suara-suara dianggap punya integritas tinggi: tersebut semakin berkembang menjadi Indonesia Raya (dipimpin , ketidakpuasan yang kian meluas menjadi Pedoman (dipimpin Rosihan Anwar), suatu gerakan anti-korupsi yang pada Abadi (dipimpin S. Tasrif) dan Merdeka tahun 1970 mencapai klimaksnya. Media (dikendalikan BM Diah); sehingga sering masa nasional yang baru saja menikmati disebut sebagai “empat serangkai tahun era kemerdekaan pers juga aktif 1950-an”. memberitakan mengenai kelompok- Salah satu penjuru yang tajam dan kelompok yang melancarkan aksi anti- konsisten memberitakan berbagai kasus korupsi lengkap dengan foto-foto, “penyelewengan” oleh para pejabat dan sehingga benar-benar dapat diketahui politisi kita adalah harian Indonesia Raya secara fisik bahwa ada reaksi sosial yang (IR). Surat kabar yang dipimpin oleh alm. mengehendaki korupsi diberantas dengan Mochtar Lubis menjadi istimewa karena sungguh-sungguh dan tuntas. hidup di dua era kekuasaan yang berbeda Gerakan-gerakan anti-korupsi tersebut (era Presiden Soekarno dan era Orde Baru) meningkat di tahun 1970 dan memusatkan dan di kedua era tersebut IR pula pernah kegiatannya di Jakarta sebagai Ibukota ditutup akibat pemberitaan gencar Republik Indonesia dan pusat mengenai korupsi di Indonesia. pemerintahan, di mana gerakan-gerakan Harian Indonesia Raya terbit pada fisik tersebut dapat menyampaikan akhir tahun 1949, hanya dua hari setelah aspirasinya. Demikian juga di Bandung Pengakuan Kedaluatan oleh belanda sebagai Ibukota provinsi Jawa Barat, dan kepada Republik Indonesia. Karena dekat dengan Jakarta. sikapnya yang semakin lama semakin Gerakan anti korupsi dilancarkan keras dan kritis terhadap Presiden dalam berbagai bentuk kegiatan, seperti Soekarno, maka pada 2 Januari 1959, surat diantaranya pemasangan pamflet kabar itu ditutup oleh pemerintah. Mochtar (selebaran-selebaran) dan gambar-gambar Lubis sendiri pada tahun 1960 ditangkap yang dipampang di tempat-tempat ramai. dan dipenjarakan hingga tahun 1966. Cara-cara demikian dilancarkan pada awal Sejumlah surat kabar nasional memang gerakan fisik. Tetapi semakin lama muncul sesudah kemerdekaan dan gerakan anti korupsi tersebut menjadi melengkapi era demokrasi parlementer semakin terarah dan terpadu, yakni dengan kita dengan sikapnya yang independen, cara menghadap dan berdialog dengan tetapi seperti diungkap oleh sejumlah para pejabat dari lingkungan eksekutif dan pengamat, surat kabar IR menempati legislatif, serta pimpinan partai politik dan kedudukan yang unik yang oleh Dr. organisasi-organisasi massa. Mansyur Semma dikatakan sebagai “kontroversial” karena cara penyajian KAJIAN TEORI beritanya yang tegas dan berani, karena Pers nasional sejak tahun 1950 lebih kritik-kritiknya yang tajam, terbuka dan banyak didominasi oleh media (surat langsung. Bahasa yang digunakannya kabar) politik, sesuai dengan era merupakan bahasa populer tanpa banyak demokrasi liberal yang dianut, dimana menggunakan eufemisme (Semma, 2008 : partai politik berperan penting dalam hal 164). Karena itu, tidak mengherankan sistem kenegaraan berbasis IR digolongkan sebagai muckracking

Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 68

Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi

paper, sebutan surat kabar yang selalu masih menunjukkan simpati dan harapan berusaha membongkar praktik-praktik kepada Presiden Soeharto (Atmakusumah, korupsi politik maupun ekonomi (Oey 1997: hal 82). Ujarn Mochtar Lubis dalam Hong Lee, 1971: 165). tajuk tersebut: Salah satu berita IR yang menonjol

adalah berita mengenai rencana akan “...rasanya Presiden Soeharto akan ditangkapnya Menteri Luar Negeri dicatat dalam sejarah nanti sebagai Roeslan Abdulgani sebelum mengadakan seorang Presiden Indonesia yang perjalanan ke luar negeri oleh aparat pertama dengan secara sadar militer karena menerima uang dari Wakil mengerahkan teknokrat-teknokrat Direktur Percetakan Negara Kementerian Indonesia untuk menyusun Penerangan bernama Lie Hok Thay. First- kebijaksanaan-kebijaksaan hand information itu diterbitkan dalam pemerintah melancarkan bentuk “buletin kilat”, semacam edisi pembangunan kemakmuran rakyat terbaru pada 13 Agustus 1956. Hanya ...” beberapa jam setelah “buletin kilat”

memuat rencana penangkapan tersebut, Memang “perubahan” sikap Indonesia Menlu Roeslan Abdulgani tidak jadi Raya bukan berlaku untuk seterusnya. ditangkap karena campurtangan Perdana Dalam Tajuk Rencana yang ditulis oleh Menteri Ali Sostroamidjojo dan Kasad Mochtar Lubis ketika surat kabar tersebut Mayjen AH Nasution. terbit kembali tahun 1968, ia sudah

menyebutkan dan mengingatkan semua Media Massa dan Pemberantasan pihak akan hal tersebut : Korupsi Era Orba (1966 – 1998). Setelah harian Indonesia Raya terbit lagi tahun “Harian ini memberikan dukungan 1968, surat kabar tersebut pada awalnya pada pemerintahan Soeharto dan memberikan dukungan kepada pemerintah akan memberikan sumbangan Orde Baru dan Jenderal Soeharto. sebesar mungkin menciptakan iklim Alasannya, pemerintah Orba telah yang sehat dan konstruktif di negara bertekad untuk memenuhi Tritura, kita agar program-program sehingga Indonesia Raya, atau dalam hal pembangunan ekonomi untuk ini Mochtar Lubis bertekad akan kemakmuran rakyat yang merata memberikan sumbangan sebesar mungkin dan adil mendapat sukses sebesar pada usaha-usaha tersebut. “...tetapi kalau mungkin. Akan tetapi kami juga di Jakarta ada presiden baru yang baik, akan memberikan kritik-kritik di yang progresif, yang membina suatu mana dan apabila kami anggap kehidupan politik baru yang demokratis, perlu dengan tujuan senantiasa yang cinta dan mengabdi kepada rakyat...” supaya pemerintah yang sekarang tulis Lubis dalam tulisan berjudul: Orang- pimpinan nasional kita yang baru orang ‘lama’ dan Mentalitas Lama yang berhasil dalam tugas berat...” dimuat dalam Mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Bandung. Menurut Rum Tahap selanjutnya Harian Indonesia Ali, jelas pada awalnya Lubis sangat Raya menjalankan pemberitaan “gaya mengharapkan peran Jenderal Soeharto, keras” terhadap korupsi sudah terlihat pada tetapi dalam perjalanannya, ia menjadi Tajuk Rencana yang ditulis oleh Lubis salah satu pengkritik keras terhadap pada akhir tahun 1969 untuk mengawal korupsi yang terjadi pada era Orde Baru serial liputan investigasi yang dilakukan (Ali, 2007: 299 – 300). Hal ini terlihat surat kabar tersebut menyangkut PT dalam Tajuk Rencana pada edisi 16 Pertamina (Atmakusumah, 1997: hal 115) Agustus 1969, dimana Mochtar Lubis

Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 69

Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi

yang berjudul “Lagu Lama, Mentalitas mengangkat Dr. Mohammad Hatta sebagai Lama” : Penasihat Presiden yang antara lain bertugas, memberikan pertimbangan- “...beberapa suara telah diangkat kini pertimbangan kepada Presiden dalam soal- oleh orang-orang bayaran bahwa soal yang berhubungan dengan usaha- pengungkapan-pengungkapan hal-hal usaha pemberantasan korupsi. Serta juga yang tidak becus di dalam Pertamina memberikan saran-saran kepada Komisi-4 oleh harian ini telah kami lakukan atas untuk kelancaran tugas. Dalam masalah- bayaran perusahaan-perusahaan asing masalah khusus, Komisi Empat telah yang hendak menghancurkan memberikan pendapat dan pertimbangan Pertamina. Bukan saja tuduhan ini untuk penanganan masalah, antara lain suatu lelucon yang buruk (karena kasus PN Pertamina dan Bulog (Badan pendirian dan tujuan kami Urusan Logistik). Setelah Presiden RI mengungkapkan persoalan-persoalan memandang bahwa Komisi-4 telah Pertamina ini cukup jelas, yakni agar menyelesaikan tugas-tugasnya, maka pada sumber-sumber minyak Indonesia bulan Juli 1970 Komisi-4 tersebut kembali ke bawah pengawasan dibubarkan dengan Keppres Nomor 50 pemerintah Indonesia yang ketat), akan Tahun 1970. Tidak ada tindakan yang tetapi juga tidak didukung diambil oleh pemerintah terhadap kenyataan....” Pertamina, Bulog atau terhadap pimpinan kedua lembaga tersebut. Dan pada edisi tanggal 30 Januari 1970 Peristiwa ‘Malapetaka 15 Januari’ koran tersebut memberitakan bahwa (Malari) tahun 1974 merubah peta arah simpanan Ibnu Sutowo saat itu mencapai pemberitaan media massa cetak nasional. Rp 90,48 milyar (kurs rupiah saat itu Rp Hanya beberapa hari setelah kerusuhan 400/dolar), dan melaporkan kerugian reda dan keamanan ditegakkan, sejumlah negara akibat kongkalikong Ibnu dan media cetak dicabut SIC dan SIT nya. Ini pihak Jepang mencapai US$1.554.590,28. mengakibatkan media yang survive Sikap keras dan pemberitaan Indonesia cenderung berhati-hati, karena mereka Raya bukan tidak mendapat perhatian menangkap “pesan” yang dikirim pemerintah Orde Baru. Pada akhir Januari pemerintah; yaitu pers secara langsung 1970, dengan pertimbangan agar segala atau tidak ikut bertanggungjawab atas usaha pemberantasan korupsi dapat terjadinya peristiwa kerusuhan sosial berjalan dengan lebih efektif dan efisien, tersebut, atau paling tidak dianggap turut perlu diadakan tindak lanjutan dari hasil- memanaskan situasi politik yang hasil yang telah dicapai pada waktu itu. berpuncak pada peristiwa itu (Haryanto, Untuk keperluan tersebut, Presiden RI 2006 : 204). mengeluarkan Keppres Nomor 12 Tahun Ini memang diakui oleh para 1970 guna membentuk Komisi-4 yang penanggungjawab media yang masih anggotanya terdiri dari: Wilopo, SH selamat. Menurut Tjipta Lesmana sebagai Ketua, I.J. Kasimo, Prof. Ir. (Lesmana, 1986: 374) pers waktu itu Johannes dan H. Anwar Tjokroaminoto. berubah menjadi institusi yang Berdasarkan Keppres itu pula diangkat berkarakteristik cukup menyedihkan. Mayjen TNI Sutopo Juwono sebagai Yang pertama adalah munculnya daya Sekretaris Komisi-4. kritis yang minim, kedua, daya ingat Di samping itu, dengan tujuan untuk (collective historical memory) yang nyaris melaksanakan tugas-tugas kenegaraan, tumpul, ketiga, keringnya inisiatif, dan terutama yang berhubungan dengan usaha terakhir, tidak jalannya fungsi pers sebagai pemberantasan korupsi, maka dengan watch dog. Menurut Lesmana, keempat Keppres Nomor 13 Tahun 1970, Presiden karakteristik di atas bukan disebabkan oleh

Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 70

Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi

sikap pengelola media, tetapi lebih dimasukkan ke halaman dalam koran, dan disebabkan oleh faktor di luar kemampuan tidak pernah menjadi berita utama. pers. Sebaliknya, koran-koran kampus Diperlukan waktu antara satu hingga secara mencolok dan lengkap memuat dua tahun sampai karakter “asli” pers kita seluruh isu yang diusung oleh para pulih atau mendekati normal, meskipun mahasiswa. Koran kampus menjadi bacaan sulit dikatakan bahwa mereka kembali yang populer tidak hanya di kalangan menemukan karakteristik pemberitaan mahasiswa, tetapi masyarakat umum yang seperti masa pra-Malari. Meminjam kritik tidak puas dengan pemberitaan koran tajam Lesmana, tingkatan daya kritis nasional. Tidak mengherankan, sejumlah menjadi lebih menurun, dan posisi sebagai koran kampus juga dicabut izinnya, dan watch dog ditonjolkan pada isu-isu yang karena mereka terbit dengan hanya satu dipilih secara hati-hati. surat izin (izin cetak), otomatis media- Walaupun pers nasional bersikap media tersebut tidak pernah bisa terbit esktra hati-hati, tahun 1978, datang lagi. pukulan kedua pada kemerdekaan pers. Ketika menganggap bahwa Pada 21 Januari 1978, sebanyak tujuh gerakan mahasiswa itu sudah memasuki media nasional dicabut SIC nya secara tahapan yang membahayakan stabilitas, mendadak karena pemberitaan- maka disiapkanlah sebuah rencana operasi pemberitannya mengenai gerakan-gerakan penangkapan para tokoh mahasiswa di mahasiswa dianggap menggangu stabilitas sejumlah kota dan perguruan tinggi nasional. Gerakan mahasiswa yang negeri/swasta. Berbareng dengan itu, berlangsung semenjak Oktober 1977 sejumlah surat kabar nasional yang terbit tadinya memang ditujukan sebagai bentuk di Jakarta yang dianggap bersimpati pada keprihatinan mereka mengenai mahasiswa dicabut SIC nya. Ada dua kemungkinan Presiden Soeharto pada tujuan utama dengan pencabutan SIC tahun 1978 akan terpilih lagi menjadi tersebut. Pertama, agar operasi Presiden RI untuk ketiga kalinya penangkapan para tokoh mahasiswa yang (Budiyarso, 2000: hal 294). Isu mengenai berjalan seperti operasi militer tersebut korupsi pada waktu itu memang tidak tidak diberitakan media massa mainstream terlalu “seksi” dijadikan isu sentra gerakan yang mempunyai pembaca serta pengaruh mereka karena belum terlalu mencolok, luas pada masyarakat. Kedua, meskipun bukan berarti tidak ada sama memberikan “pelajaran” kepada pers agar sekali. Meskipun demikian, dalam tidak melakukan kritik keras terhadap berbagai acara diskusi atau seminar yang pemerintah. diselenggarakan para mahasiswa; para Meskipun yang dilakukan adalah pembicara tamu ada yang mengemukakan mencabut izin mencetak (berarti surat- hal tersebut, seperti Prof. Ismail Suny surat kabar tersebut masih bisa terbit), yang diundang berbicara pada panel tetapi ketika bredel itu berjalan beberapa diskusi di kampus IKIP Jakarta. hari, para pengelola media dan wartawan Pers nasional yang berpengalaman menjadi gelisah. Pihak Kopkamtib untuk dengan bentuk liputan pra-Malari, tentu pertama kalinya bersikap sangat keras saja tidak berani mengangkat secara kepada ke tujuh media tersebut. Dalam penuh, berbagai isu yang diusung oleh pertemuan pimpinan media dengan para mahasiswa. Bahkan foto yang Presiden Soeharto (Budiyarso, 2001: 60) menggambarkan para mahasiswa beberapa hari setelah tidak terbit, mereka membawa poster pun tidak berani dimuat. “dengan memelas” mengajukan Porsi unjuk-rasa mahasiswa tanpa permintaan, “...kiranya Bapak Presiden menonjolkan isu yang sensitif tersebut berkenaan mengizinkan terbit kembali dengan mengindahkan, memenuhi dan

Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 71

Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi menjalankan segala ketentuan dikenang, namun tidak akan mungkin sebagaimana telah digariskan dalam diajak berjuang. Sedangkan peraturan perundang-undangan, Dewan perjuangan masih panjang dan Pers, Kode Etik Jurnalistik serta membutuhkan sarana, antara lain ketentuan-ketentuan lainnya...” media massa. Dalam kata-kata Jakob, Meskipun Presiden akhirnya “secara ‘Saya segera mengambil-alih prinsipiil” menyetujui usul tersebut, tetapi persoalan. Saya maju ke depan, pimpinan ke tujuh koran nasional itu baru memikul risiko, menandatangani bisa terbit kembali setelah masing-masing pernyataan minta maaf serta janji menandatangani semacam surat tertulis yang diminta...” permintaan maaf dan menyetujui persyaratan-persyaratan yang terdiri dari Pada 6 Februari 1978, ke tujuh surat empat pokok penting, yang pada intinya, kabar tersebut terbit kembali. Masyarakat “sanggup bertanggungjawab memelihara umum wajar saja tidak mengetahui proses stabilitas nasional, keamanan, dan yang terjadi di belakang layar oleh aparat ketertiban, kepentingan umum dan ikut keamanan terhadap pimpinan media cetak meredakan ketegangan masyarakat...” tersebut. Bagi mereka yang penting surat- Apabila para pengamat menyatakan surat kabar yang menjaid bacaan mereka bahwa peristiwa Malari tahun 1974 adalah sehari-hari sudah bisa dibaca kembali. “era hitam” kemerdekaan pers nasional, Sejak Februari 1978, pers menjadi maka bisa dikatakan bahwa penutupan media massa yang separuh kakinya sementara tujuh surat kabar pada Januari dibelenggu untuk taat pada ketentuan 1978 adalah awal dari era “hitam di atas pemerintah, dan ini terlihat sekali ketika hitam” kemerdekaan pers. Sejak tahun munculnya Petisi 50 yang merupakan 1978, ada adigium yang mengatakan kumpulan sejumlah tokoh yang bersikap bahwa kita masih bisa melakukan kritik kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. apa saja, asalkan tidak menyangkut atau Pemikiran atau opini mereka tidak pernah mengarah pada pimpinan nasional dan muncul secara terbuka di media cetak. keluarganya dan pers juga tidak bebas lagi Tidak ada wawancara dengan mereka, para melakukan wawancara dengan atau pendiri dan aktivis Petisi 50. Secara sosial, terhadap tokoh masyarakat yang oleh Petisi 50 dikucilkan dari masyarakat, dan aparat keamanan dimasukkan pada daftar salah satu kunci utama keberhasilan hitam. pengucilan tersebut adalah karena pers Persyaratan permintaan maaf adalah “patuh” pada pemerintah. buah simalakama : ditandatangani, Sikap kehati-hatian tersebut dilukiskan kemerdekaan dan kebebasan pers mati. oleh wartawan senior Rosihan Anwar yang Tidak menandatangani, berarti surat kabar mengutip ucapan dalam tidak bisa terbit lagi (mungkin) untuk suatu karya latihan wartawan. “Ibarat selamanya. Ini tergambar dalam proses orang yang sedang berjalan di dasar sungai yang terjadi pada pucuk pimpinan harian dan kakinya meraba-raba apakah ada Kompas, yaitu antara PK Ojong bahaya di depan. Jika ada kepiting (Pemimpin Umum) dan Jakob Oetama dirasakannya menggigit kakinya, maka (Sularto, 2007: 128-129): cepat-cepat ia mundur selangkah. Kalau kepiting sudah tidak ada lagi, barulah dia “...menghadapi kenyataan ini, Ojong maju ke depan”. Tamzil tersebut oleh dengan tegar mengambil sikap, Rosihan diulangi lagi kepada para peserta ‘Jangan minta maaf, mati dibunuh pelatihan, dan dikatakannya bahwa Jakob hari ini, nanti atau tahun depan, sama Oetama mempraktikkan “jurnalistik saja...’ Tetapi Jakob mempunyai kepiting”, suatu julukan yang sarkastis dan pandangan lain. Mayat hanya bisa juga tidak disukai Jakob ketika

Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 72

Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi

mendengarnya (Sularto, ST, 2001: 39-40) Indonesia dicabut SIUPP nya setelah bahwa kata-kata “jurnalistik kepiting” menerbitkan sebah headline mengenai disebarluaskan oleh Rosihan. rencana pencabutan 44 monopoli di bidang Dalam bahasa yang lebih “resmi” ekonomi. Berita tersebut memicu Jakob Oetama menurut Sabam Leo kemarahan penguasa sehingga Menteri Batubara dalam sebuah tulisan Penerangan langsung mencabut menyebutkan bahwa, “Kompas memilih SIUPP koran itu. Media massa menyadari eksis dulu agar mampu merealiasi visi dan betapa hebatnya pengaruh pencabutan cita-citanya. Kompas terpaksa meramu SIUPP tersebut bagi mereka: sekali SIUPP kontrol sosialnya dengan bahasa dicabut, maka tidak ada lagi kemungkinan eufemisme demi eksistensi” (Sularto, St, koran itu diterbitkan lagi. Selamanya. 2001: 51). Pada tahun 1987, giliran surat kabar Tidak hanya ke tujuh surat kabar Prioritas yang dipimpin oleh pengusaha tersebut yang mencoba hati-hati, tetapi Golkar Surya Paloh mendapat giliran seluruh media massa nasional mengambil dicabut SIUPP nya. Tahun 1990, tabloid sikap yan sama. Penggunaan gaya Monitor dbawah pimpinan seniman jurnalistik “baru” muncul demi Arswendo Atmowiloto dicabut SIUPP “mempertahankan” hidup dan eksistensi nya, dan Arwendo malahan diadili dan yaitu jurnalistik dengan bahasa eufemisme dipenjara karena berita yang dimuat di dalam penulisan Tajuk Rencana dan juga media pimpinannya. Pada 21 Maret 1990, menulisan berita. Istilah read between the tiga majalah sekaligus dicabut SIUPP nya, lines menjadi ejekan yang tidak yaitu majalah Tempo, majalah Editor dan terbantahkan kebenarannya dalam pers tabloid Detik. kita, bahkan sampai ada pengamat yang Seluruh media cetak yang dicabut mengatakan bahwa jurnalistik Indonesia SIUPP nya tidak pernah terbit kembali pasca 1978 tidak saja mengharuskan sampai berakhirnya Orde Baru. Sinar pembaca to read between the lines, tetapi Harapan berhasil “reinkarnasi” dan terbit lebih parah lagi menjadi, to read between tahun 1987 dengan nama baru dan the lies (mencoba membaca arti pimpinan yang baru pula. Namanya sesunggunya diantara kata-kata atau berita menjadi , karena yang tidak benar). pemerintah tidak membolehkan Ternyata waktu membuat pers untuk penggunaan kata-kata “Sinar” atau lupa atau melupakan bahwa mereka “Harapan” atau “Sinar Kasih” (nama sesungguhnya masih terbelenggu oleh janji penerbitnya) pada penerbitan koran yang patuh yang ditandatangani tahun 1978. baru itu. Majalah Tempo baru terbit Rentang waktu yang cukup panjang kembali setelah memasuki era reformasi. mungkin saja membuat media tidak sadar bahwa dua tahun setelah disahkannya UU Media Massa dan Pemberantasan baru mengenai pers (UU Nomor 21 tahun Korupsi Masa Reformasi (1998 - 1982) yang menjamin “hak pers Sekarang). Lahirnya UU Nomor 40 tahun melakukan kontrol, kritik dan koreksi yang 1999 tentang Pers serta dibentuknya bersifat konstruktif” dan juga bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) “sensor dan pembredelan tidak dikenakan telah mengubah peta industri media terhadap pers nasional”, keluarlah nasional, jiwa dan sifat pers nasional, gaya Peraturan Menteri Penerangan No serta politik pemberitaannya. Media cetak 01/Per/Menpen/1984 tentang Surat Izin secara perlahan mulai surut sebagai Usaha Penerbitan Pers. sumber informasi utama publik karena Korban pertama adanya SIUPP televisi dengan kekuatan audio-visualnya, tersebut adalah harian sore Sinar Harapan kemampuan menjangkau wilayah yang (SH). Koran terbesar nomor dua di sangat luas serta kecepatan pemberitannya

Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 73

Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi mampu mengalahkan koran. Lebih-lebih atau jurnalistik liputan mendalam. karena daya beli masyarakat kelas Investigasi, terutama pada media televisi, menengah–bawah yang rendah akibat terkendala dalam sinkronisasi antara upaya terkena krisis ekonomi 1997-1998 serta penggalian data serta mendapatkan gambar rendahnya reading habit menyebabkan yang mampu mendukung hal itu. televisi menjadi pilihan utama, dan dalam Media yang bukan harian, seperti banyak kasus, satu-satunya sumber majalah Tempo yang terbit mingguan informasi masyarakat. harus diakui mampu mengembangkan Kemerdekaan pers yang dijamin oleh jurnalistik investigasi dalam jumlah yang UU sebenarnya membuka peluang seluas- lebih banyak, serta kedalaman informasi luasnya bagi media untuk melaksanakan yang patut dipuji. Bahkan media baru (new hak kontrol dan kritiknya, antara lain media) dan media sosial (social media) memberitakan masalah korupsi melalui menjadi indikator bagi media cetak atau teknik jurnalistik investigasi. Tetapi berita- televisi untuk mengetahui seberapa jauh berita hasil investigasi mengenai korupsi sebuah isu menyangkut korupsi menjadi relatif tidak banyak dibanding masa-masa perhatian atau menjadi isu pembicaraan. sebelumnya. Karena semua hal di era Surat kabar dan TV dalam kasus seperti reformasi menjadi “terbuka”, pers seolah- kriminalisasi pimpinan KPK (Sumarkidjo, olah dimanjakan oleh tersedianya sumber- 2012: 284-286) mampu bersinerji dengan sumber terbuka yang tidak perlu dicari media sosial serta membentuk opini publik atau digali dengan susah payah. yang begitu meluas sehingga lembaga Pada sisi lain, berbagai kasus korupsi eksekutif tidak bisa mengabaikannya, dan yang menyangkut sejumlah petinggi partai sampai tertentu mengikuti opini politik yang ditangani oleh KPK sejak masyarakat tersebut. tahun 2011 lalu diberitakan secara gencar oleh media massa (termasuk media baru), METODE dan sering pula paralel dengan opini yang Penelitian ini menggunakan metode muncul pada sejumlah media sosial yang sejarah yaitu suatu metode yang dilakukan populer. Media dengan tingkat secara kritis terhadap keadaan-keadaan, kepercayaan masyarakat yang tinggi perkembangan, serta pengalaman di masa mampu menciptakan opini publik yang mampu mengalahkan pengaruh institusi lampau dan menimbang secara cukup teliti hukum atau keputusan hukum atau dan hati-hati bukti validitas dari sumber pengadilan (Pariangu: 2012). Isu sejarah serta interpretasi dari sumber- pemberantasan korupsi mudah sekali sumber keterangan tersebut. Secara umum dikembangkan media, karena tidak dapat dimengerti bahwa penelitian sejarah diperlukan “seni” khusus untuk merupakan penelaahan sumber-sumber menggalinya karena seolah-olah bisa “menumpang” pada isu yang yang berisi informasi mengenai masa dikembangkan oleh KPK. lampau dan dilaksanakan secara Media cetak yang ada kemudian sistematis. Dengan kata lain penelitian mengembangkan jurnalistik investigasi sejarah bertugas mendeskripsikan gejala, pada isu non-korupsi, seperti masalah tetapi bukan yang terjadi pada waktu yang menyangkut HAM atau menyangkut penelitian dilakukan. lingkungan yang sebenarnya memang penting bagi masyarakat. Tetapi banyak Penelitian sejarah di dalam pendidikan juga pengamat yang mengatakan bahwa merupakan penelitian yang sangat penting klaim reportase investigasi yang atas dasar beberapa alasan. Penelitian dikemukakan sejumlah besar media lebih sejarah bermaksud membuat rekontruksi cocok pada tingkatan in-deph reporting masa latihan secara sistematis dan

Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 74

Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi objektif, dengan cara mengumpulkan, sistematis dan objektif; 3) Merupakan mengevaluasi, mengverifikasikan serta serentetan gambaran masa lalu yang mensintesiskan bukti-bukti untuk mengintegrasikan manusia, peristiwa, mendukung bukti-bukti untuk mendukung ruang dan waktu; 4) Dilakukan secara fakta memperoleh kesimpulan yang kuat. interktif dengan gagasan, gerakan dan Dimana terdapat hubungan yang benar- intuiasi yang hidup pada zamannya. benar utuh antara manusia, peristiwa, waktu, dan tempat secara kronologis HASIL DAN PEMBAHASAN dengan tidak memandang sepotong- Situasi pers nasional menghadapi tantangan tidak ringan (Kompas, sepotong objek-objek yang diobservasi. Tantangan Pers Nasional, 8 Februari Menurut E.H. Carr (dalam Gall, Gall 2016). Sering disebut sebagai pilar & Borg, 2007), penelitian sejarah sebagai keempat demokrasi setelah eksekutif, proses sistematis dalam mencari data agar legislatif, dan yudikatif, pers sungguh dapat menjawab pertanyaan tentang dihadapkan pada situasi yang turbulen. fenomena dari masa lalu Turbulensi itu bisa dipandang dari sisi industri, perkembangan teknologi untuk mendapatkan pemahaman yang komunikasi, dan dari jurnalistik itu sendiri. lebih baik dari suatu Kemunculan media sosial dan pelapor institusi, praktik, tren, keyakinan, dan isu- warga di berbagai belahan dunia, termasuk isu dalam pendidikan. Selain itu Jack. R. Indonesia, memunculkan apa yang disebut Fraenkel & Norman E. Wallen (2005), Bill Kovach sebagai "tsunami" informasi. penelitian sejarah adalah penelitian yang Gerakan Reformasi 1998 membuka keran kebebasan berpendapat. Pengusaha dan secara eksklusif memfokuskan kepada politisi pun masuk industri pers. Data Pers masa lalu. Penelitian ini mencoba Nasional 2015 yang diterbitkan Dewan merenkonstruksi apa yang terjadi pada Pers menunjukkan, terdapat 320 masa yang lalu selengkap dan seakurat perusahaan pers cetak (177 harian, 112 mungkin, dan biasanya menjelaskan mingguan, 31 bulanan). Jumlah ini mengapa hal itu terjadi. Dalam mencari menurun dibandingkan tahun 2014 yang mencapai 509 media cetak. Sementara data dilakukan secara sistematis agar untuk perusahaan pers radio, televisi, dan mampu menggambarkan, menjelaskan, siber jumlahnya mencapai 1.265 dan memahami kegiatan atau peristiwa perusahaan berbadan hukum dengan yang terjadi beberapa waktu lalu. rincian 674 radio, 523 televisi, dan 68 Penelitian sejarah menetapkan fakta siber. Jumlah perusahaan pers siber dan mencapai simpulan mengenai hal-hal diperkirakan lebih banyak dari yang sudah didata Dewan Pers. Jumlah pers itu yang telah lalu, yang dilakukan secara tersebar di seluruh Indonesia. sistematis dan objektif oleh ahli sejarah Perkembangan perusahaan pers berbadan dalam mencari, mengvaluasi dan hukum ataupun tak berbadan hukum menafsirkan bukti-bukti untuk memunculkan pertanyaan, untuk apa itu mempelajari masalah baru tersebut. semua? (Kompas, Tantangan Pers Dengan demikian penelitian sejarah Nasional, 8 Februari 2016) Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud mengandung beberapa unsur pokok, yaitu: Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), 1) Adanya proses pengkajian peristiwa mengungkap secara sekilas bahwa sejak atau kejadian masa lalu (berorientasi pada abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah masa lalu); 2) Usaha dilakukan secara berkala dan surat kabar. Dikatakannya,

Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 75

Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi

bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah Namun memasuki abad 20, tepatnya di terbit sebuah berkala bernama Kort tahun 1903, koran mulai menghangat. Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Masalahnya soal politik dan perbedaan Berkala yang memuat berbagai berita dari paham antara pemerintah dan masyarakat Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, mulai diberitakan. Parada Harahap, tokoh Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak pers terkemuka, dalam bukunya di Batavia oleh Abraham Van den Eede “Kedudukan Pers Dalam Masyarakat” tahun 1676. Setelah itu terbit pula (1951) menulis, bahwa zaman Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober menghangatnya koran ini, akibat dari 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei adanya dicentralisatie wetgeving (aturan 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale yang dipusatkan). Akibatnya beberapa Courant tercatat sebagai surat kabar kota besar di kawasan Hindia Belanda pertama yang terbit di Batavia tahun 1810. menjadi kota yang berpemerintahan Dengan kata lain media masa di masa otonom sehingga ada para petinggi itu telah dipandang sebagai alat pencatat pemerintah, yang dijamin oleh hak atau pendokumentasian segala peristiwa onschenbaarheid (tidak bisa dituntut), yang terjadi di negeri kita yang amat perlu berani mengkritik dan mengoreksi diketahui oleh pemerintah pusat di kebijakan atasannya. Nederland maupun di Nederlandsch Indie Kritik semacam itu biasanya serta orang-orang Belanda pada umumnya. dilontarkan pada sidang-sidang umum Dan apabila kita membuka kembali arsip yang diselenggarakan oleh pemerintah majalah dan persuratkabaran yang terbit di pusat atau daerah. Kritik dan koreksi ini Indonesia antara awal abad 20 sampai kemudian dimuat di berbagai surat kabar masuknya Tentara Jepang, bisa kita dalam ruangan Verslaag (Laporan) agar diketahui bahwa betapa cermatnya orang diketahui masyarakat. Berita-berita Belanda dalam pendokumentasian ini. Verslaag ini tentu saja menjadi “santapan Dalam majalah Indie, Nedelandch Indie empuk” bagi para wartawan. Berita itu Oud en Nieuw, Kromo Blanda, Djawa, kemudian telah mereka bumbui dan berbagai Verslagen (Laporan) dan masih didramatisasi sedemikian rupa sehingga banyak lagi, telah memuat aneka berita jadilah suatu berita sensasi yang dari mulai politik, ekonomi, sosial, menggegerkan. Namun, cara membumbui sejarah, kebudayaan, seni tradisional berita Verslaag semacam ini, lama- (musik, seni rupa, sastra, bangunan, kelamaan menjadi hal biasa. Bahkan, cara- percandian, dan lain-lain) serta seribu satu cara demikian akhirnya disukai oleh para macam peristiwa penting lainnya yang pengelolanya karena bisa mendatangkan terjadi di negeri kita. keuntungan dan berita sensasi memang Sampai akhir abad ke-19, koran atau disukai pembacanya. berkala yang terbit di Batavia hanya Para petinggi pemerintah yang kena memakai bahasa Belanda. Dan para kritik juga tidak merasa jatuh martabatnya. pembacanya tentu saja masyarakat yang Bahkan, ada yang mengubah sikapnya dan mengerti bahasa tersebut. Karena surat membuat kebijaksanaan baru yang kabar di masa itu diatur oleh pihak menguntungkan penduduk. Keberanian Binnenland Bestuur (penguasa dalam menyatakan saran dan kritik ini akhirnya negeri), kabar beritanya boleh dikata menular ke masyarakat. Tidak sedikit kurang seru dan “kering”. Yang koran yang menyajikan ruangan surat diberitakan cuma hal-hal yang biasa dan pembaca yang menampung “curhat” ringan, dari aktivitas pemerintah yang tentang berbagai hal dari para monoton, kehidupan para raja, dan sultan pembacanya. Bahkan, setelah dibentuknya di Jawa, sampai berita ekonomi dan Volksraad (DPR buatan Belanda) pada kriminal.

Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 76

Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi

tahun 1916, kritik yang menyerempet soal Menurut Mochtar Lubis, harus ada politik mulai marak. kekuatan bersama untuk memberantas Dunia pers semakin menghangat ketika korupsi. Kekuatan bersama itu adalah dari terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun masyarakat sendiri bersama dengan 1903, sebuah surat kabar pertama yang birokrasi yang bersih, pers yang bebas dan dikelola kaum pribumi. Munculnya surat para ulama. Pers, demikian Lubis lagi, kabar ini bisa dikatakan merupakan masa harus lebih berani menghadapi gejala- permulaan bangsa kita terjun dalam dunia gejala korupsi (Ramadhan, 1995: 65). pers yang berbau politik. Pemerintah Dalam hal ini, sikap Lubis diikuti pula Belanda menyebutnya Inheemsche Pers oleh Sinar Harapan sejak tahun 1970. (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya Kedua surat kabar tersebut yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki mengungkapkan berbagai masalah Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa berdasarkan informasi nara sumber di surat kabar adalah alat penting untuk dalam institusi, atau dari aparat penyelidik menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia yang bersimpati dan percaya pada surat boleh dikata merupakan bangsa kita yang kabar itu walaupun terdapat perbedaan memelopori kebebasan Pers kaum pribumi teknik inverstigasi dan juga cara Sikapnya ini telah memengaruhi surat pemberitaan yang dilakukan oleh kabar bangsa pribumi yang terbit sesudah Indonesia Raya dan Sinar Harapan. itu. Hal ini terbukti dari keberanian dia Meskipun demikian, kedua surat kabar itu menulis kalimat yang tertera di bawah mempunyai gaya pemberitaan yang judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa hampir serupa: straight-forward, fakta jang terperintah di Hindia Olanda tempat keras dan lead yang langsung ke inti membuka suaranja. Kata terperintah di pokok dan tidak pernah menggunakan atas konon telah membuka mata eufemisme. Persamaan gaya tersebut masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah mungkin saja terbentuk karena bangsa yang dijajah. Boleh jadi Tuan Tirto “penggerak” kedua koran tersebut adalah terinspirasi oleh kebebasan berbicara para orang non-Jawa: Mochtar Lubis dari pembesar pemerintah tersebut di atas. Sumatra, sementara Aristides Katoppo Rupanya dia berpendapat, bahwa yang (Managing Editor SH) adalah orang bebas buka suara bukan beliau-beliau saja, Sulawesi Utara yang sebelumnya bekerja namun juga rakyat jelata alias kaum di kantor berita negara Barat. pribumi. Harus pula dikatakan bahwa gaya jurnalistik kedua surat kabar tersebut amat Pembahasan. Dalam keseharian, berbeda dengan gaya yang dianut oleh pengungkapan realitas oleh wartawan acap Harian Kompas, lebih-lebih Kompas pasca kali diwarnai oleh kecenderungan- tahun 1978 dimana Pemimpin Redaksinya, kecenderungan tertentu. Obsesi media atau dan para pemimpin koran lainnya harus wartawan acap kali muncul dalam wujud menandatangani sebuah pernyataan tertulis usaha menciptakan atau mengubah suatu yang secara tersirat “mengunci” prinsip realitas tertentu. Wartawan misalnya, kemerdekaan pers itu sendiri seperti mempersepsikan dirinya sebagai “penegak diuraikan sebelumnya. moral sosial” akan cenderung untuk Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi menggali dan menyajikan berita-berita dari Kompas, Jakob Oetama, bukannya tidak sisi kerusakan sosial (Budiarto, 2012: 77). mengapresiasi gaya jurnalistik yang dianut Pada setiap era, terlihat bahwa sikap oleh Indonesia Raya yang disebutnya “penegak moral sosial” tetap ada, sebagai “jurnalistme jihad”. Ujarnya, meskipun “korban” jatuh pada setiap masa kelebihan jurnalisme jihad (sering pula yang berbeda. Harian Indonesia Raya, siap disebut crusading journalism) terletak menanggung konsekuensi sikap kerasnya. pada keberanian, kejelasan dari sikap

Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 77

Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi

berpihak dalam meliput suatu peristiwa. yang cerdik “memanfaatkan” kerja KPK Kecenderungannya ialah melihat suatu yang melakukan penangkapan terhadap persoalan dengan kacamata dan konteks oknum atau perorangan yang melakukan hitam-putih. Kompleksitas persoalan korupsi secara optimal. Investigasi kurang mendapat perhatian. Gayanya lanjutan dilakukan didasarkan teman atau diakui lebih konfrontatif daripada dialog tangkapan KPK yang terkadang atau persepsi (Oetama, 2001: 189). Seperti menghasilkan liputan yang berbobot. diakui oleh Jakob Oetama sendiri, cara- Tetapi pada sisi lain, media atau jurnalis cara IR tidak digunakan dan tidak cocok kehilangan inisiatifnya melakukan dengan karakter harian seperti Kompas. investigasi jurnalistik dan memilih Sejak sebelum IR ditutup, maka SH menunggu “bola muntah” dari KPK tetap mencirikan teknik investigasi karena ada semacam jaminan bahwa berdasarkan rumus “satu berita, banyak liputan lanjutan tersebt akan mendapat sumber” sehingga surat kabar sore itu perhatian besar dari pembaca atau pemirsa tetap kredibel di hadapan penguasa dan TV. pembacanya. Tidak ada berita yang ditulis Namun di lain pihak sebagian atau diterbitkan sebelum informasi kalangan menilai liputan pers tentang tersebut dicek pada dua atau lebih nara korupsi masih terpusat pada aspek sumber yang dapat dipercaya. penegakan hukum. Pers masih Dengan teknik demikian, SH mampu mengabaikan upaya penghapusan korupsi terus hidup, atau setidak-tidaknya melalui cara preventif. Pembicaraan “hukuman” yang dijatuhkan kepada SH mengenai pemberantasan korupsi lebih “lebih ringan” karena tidak ditemukan banyak ke soal proses hukum terhadap alasan yang tepat untuk menutup lebih pelakunya. Padahal, proses hukum tidak lama koran tersebut. Pemberitaan SH lagi sangat efektif menghilangkan setelah IR ditutup tahun 1974 mengenai perbuatan melanggar hukum. Pers pada korupsi yang dilakukan oleh Kepala Depo tataran preventif harus senantiasa Logistik (Kadolog) Kalimantan Timur, mensinyalir potensi korupsi dari setiap Budiadji, senilai Rp 7,6 milyar; korupsi kegiatan pemerintahan, tetapi tidak oleh pengusaha Endang Widjaja (14 sekedar menduga-duga. Sesuai pula milyar rupiah) dan; penyelundupan mobil dengan sistem keterbukaan informasi mewah oleh Robby Tjahjadi adalah publik, pers harus dapat memanfaatkan jurnalistik investigasi yang mengandalkan berbagai sumber informasi untuk sumber-sumber yang kuat di Kejaksaan mencegah korupsi. Agung (Nababan, 2009) sehingga tidak Pencegahan korupsi yang didorong dianggap membahayakan oleh pemerintah. dan diintegrasikan dengan penindakan Setidaknya ada semacam clearance dari hasilnya dinilai akan jauh lebih baik. Jaksa Agung Ali Said, SH yang amat Pemberantasan korupsi harus juga bersimpati pada fungsi pers (Said, 1997: dilakukan melalui gerakan sosial anti 382). korupsi. Banyak hal yang bisa dilakukan Pada era reformasi kini, pers dalam hal pencegahan. Namun sayangnya menikmati kemerdekaan pemberitaan yang tindakan pencegahan korupsi yang sangat dijamin oleh UU. Tetapi meskipun para dibutuhkan itu tidak cukup menarik bagi wartawan mendapat peluang besar untuk pers. Sering persoalan itu tidak dianggap melakukan investigasi jurnalistik terhadap bernilai berita sehingga jarang diberitakan. berbagai perbuatan korupsi, tetapi Sebagian kalian menilai saat ini ada meluasnya pemberitaan anti-korupsi amat stagnasi dalam pemberantasan korupsi. ditolong oleh kelahiran Komisi Terkait jurnalisme investigasi yang Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun diharapkan dapat ikut mengungkap 2003. Pada satu sisi, media atau jurnalis korupsi, liputan itu menurutnya belum

Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 78

Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi cukup laku di Indonesia. Terhambatnya booming yang berpengaruh pada industri perkembangan jurnalisme investigasi media. Iklan bertambah secara signifikan, disebabkan antara lain faktor dan berpengaruh besar pada pendapatan ketidakpedulian, tidak tersedia sumber (income) pada surat-surat kabar utama di daya, sikap berpuas diri, konflik Jakarta. Pers menjadi industri yang secara kepentingan, dan masih rendahnya tidak langsung mendorong pimpinan apresiasi khalayak. Tidak banyak media media tersebut menjadi lebih hati-hati (di Indonesia) yang menjadikan jurnalisme dalam kebijakan redaksionalnya untuk investigasi sebagai andalan utama. Saat ini tidak dikatakan menjadi sangat pragmatis. media bukan faktor determinan tunggal Bagaimana pun kelangsungan bisnis atau penentu satu-satunya dalam media menjadi pertimbangan ketimbang keberhasilan pemberantasan korupsi. Pers sikap “jihad” seperti di masa sebelumnya hanya syarat yang mesti ada tapi tidak (4) Penutupan tujuh surat kabar utama di mencukupi. Harus ada tindaklanjut dari Jakarta pada Januari 1978 telah lembaga resmi serta politik yang jelas dari mematahkan sebagian besar semangat pemerintah dan juga tekanan dari publik. anti-korupsi pers nasional. Pemberitaan Hal penting dari pers lainnya, selain pasca tahun 1978 cenderung jurnalisme investigasi, adalah terus memperhatikan keselamatan media itu menggonggongi lembaga resmi dan ketimbang mempetimbangkan nilai mendidik masyarakat untuk jurnalistiknya mengenai sebuah informasi pemberantasan korupsi. Peran pers dalam atau berita. pemberantasan korupsi belum optimal. Saran yang dapat dikemukakan adalah Namun, semangat investigasi dalam diri bahwa setelah reformasi, kemerdekaan wartawan Indonesia semakin mengental. pers dijamin oleh undang-undang, tetapi Liputan investigasi yang serius atas kasus karena tumbuhnya era keterbukaan, korupsi membutuhkan keterlibatan banyak kontrol sosial tidak menjadi monopoli pers wartawan dan waktu yang lama. Hal itu lagi. Media baru (new media) dan media tidak mudah diatasi oleh pers. sosial (social media) mulai eksis, dan mendorong pembentukan opini publik dan SIMPULAN & SARAN sekaligus jadi benchmark surat kabar dan Berdasarkan uraian yang dikemukakan televisi dalam mengangkat isu anti-korupsi sebelumnya maka dapatlah ditarik dan perbuatan ketidakadilan lainnya. beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) Lahirnya lembaga KPK menjamin Pers Nasional sejak setelah kemerdekaan semacam “kendaraan utama” bagi media secara konsisten dan konsekuen massa untuk mem- blow-up atau menjalankan fungsinya memberitakan mengangkat berbagai isu korupsi besar. masalah-masalah korupsi, meskipun banyak menghadapi kendala, terutama dari pemerintah atau penguasa yang tidak DAFTAR PUSTAKA menghendaki adanya kemerdekaan pers (2) Setelah peristiwa Malari pada Januari Ali, Rum dan OC Kaligis, et.al. (2007), 1974, untuk pertama kalinya kemerdekaan Simtom Politik 1965, PKI dalam pers mengalami kemunduran yang sangat Perspektif Pembalasan dan berarti karena ada sejumah media cetak Pengampunan, Jakarta: Kata Hasta yang dibredel dan tidak bisa terbit lagi. Pustaka. Media cetak lain yang “beruntung” masih survive memilih untuk mengurangi sikap Ali Said, Sri Murni. (1997), Ali Said Di kritis mereka terhadap pemerintahan Orde Antara Sahabat, Jakarta: Pustaka Sinar Baru (3) Pada tahun 1980-an Harapan. perekonomian Indonesia mengalami

Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 79

Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi

Atmakusumah dan Sri Rumiati dan Perpektifnya, Jakarta : Pustaka Sinar Atmakusumah. (1997), Tajuk-tajuk Harapan. Mochtar Lubis di Harian Indonesia MacDonell, R. & Pesic, M. The Role of Raya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. the Media in Curbing Corruption, dalam Budianto, Heri. Media Massa: Perang R. Stapenhurst, N. Johnson & R. Pellizo, Melawan Korupsi dan Penguatan editors. (2006), The Role of Parliament Integritas, dalam Diah Wardhani & in Curbing Corruption, Washington Afdal Makkuraga Putra, editors. (2012), DC: The World Bank. The Repotition of Communication in the Nababan, Panda. (2009), Menembus Fakta, Dynamic of Covergence. Jakarta : Otobiografi 30 tahun seorang jurnalis Kencana Prenada Media Group. investigatif, Jakarta: Q Communication. Budiyarso, Edy. (2000), Menentang Oetama, Jakob. (2001), Pers Indonesia Tirani, Aksi Mahasiswa 77/78, Jakarta: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak PT Grasindo. Tulus, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Dhakidae, Daniel. (1991), The State, the Tim PDAT Tempo. (1998), AH Nasution, Rise of Capital and the Fall of Political Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Journalism, Political Economy of Partai, Jakarta: Grafiti Pers. Indonesian News Industry, doctor tesis, Pudjiarto RS, St. Harum. (1994), Politik New York : Cornel University. Hukum Undang-Undang Pemberantasan Dirdjosisworo, Sudjono. (1994), Fungsi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Perundang-Undangan Pidana Dalam : Penerbitan Universitas Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Atma Jaya. Bandung : Sinar Baru. Pudjomartono, Susanto, Pers Indonesia Hakim, Baihaki. (2009), The Lone Pasca Soeharto, dalam Ery Sutrisno, Ranger,, Lekak-liku Transformasi editor. (1998), Reformasi Media Massa, Pertamina, Jakarta: Kata Hasta Pustaka. Jakarta : Aliansi Jurnalis Independen. Haryanto, Ignatius. (2006), Indonesia Rianto, Bibit Samad. (2009), Koruptor go Raya Dibredel, Yogyakarta : LKiS. to Hell! Mengupas Anatomi Korupsi di Hasibuan, Albert. (2010), Memoar Indonesia, Jakarta : Penerbit Hikmah. Perjalanan Penemuan Diri, Jakarta : Semma, Mansyur. (2008), Negara dan Kata Hasta Pustaka. Korupsi : pemikiran Mochtar Lubis atas KH, Ramadhan. (1995), Mochtar Lubis negara, manusia Indonesia dan perilaku Bicara Lurus, Menjawab Pertanyaan politik, Jakarta : Yayasan Obor Wartawan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Indonesia. Sen, Krishna & Hill, David T. (2001), Lee, Oey Hong. (1971), Indonesian Media, Budaya dan Politik di Indonesia, Goverment and Press During Guided Jakarta : Institut Studi Arus Informasi Democracy, London : University of bekerjasama dengan Media Lintas Inti Hull. Nusantara. Lesmana, Tjipta, Pers Indonesia dalam Siregar, RH. Kiat Pers Indonesia Teori dan Praktik dalam Subagyo PR, Menghindari Ancaman Hukuman, dalam et.al. (1986), Persuratkabaran St. Sularto, editor. (2001), Humanisme Indonesia dalam Era Informasi : dan Kebebasan Pers, Jakarta : Penerbit Perkembangannya, Permasalahannya Buku Kompas.

Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 80

Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi

Sularto, St, editor. (2007), Kompas, Dari Wijayanto & Ridwan Zachrie. (2009). Belakang ke Depan, Jakarta: Penerbit Korupsi Mengkorupsi Indonesia: Sebab, Buku Kompas. Akibat dan Prospek Pemberantasan. Sumarkidjo, Atmadji, Media & Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Pembentukan Opini Publik: Benarkah Televisi Tersandera dan Media Lain Media cetak: masih Independen? dalam Diah Muhtadi, Burhanuddin. 14 Mei 2012. Wardhani & Afdal Makkuraga Putra, Dilema Partai Demokrat dan Konvensi editor. (2012), The Repotition of Capres 2014. Jakarta: Harian Media Communication in the Dynamic of Indonesia. Convergence, Jakarta: Kencana Prenada Pariangu, Umbu TW. 26 Juni 2012. Kartu Media Group. Mati Demokrat. Jakarta: Harian Media Indonesia.

***

Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 81