5 Edit Atmadji

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

5 Edit Atmadji Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi PERS NASIONAL, PILAR SATU-SATUNYA YANG KONSISTEN ANTI-KORUPSI Atmadji Sumarkidjo Jurnalis senior; mantan wakil pemimpin redaksi RCTI; saat ini bekerja sebagai advisor pada MNC Group e-mail: [email protected] Abstract. The Media is called as The Fourth Estate, after the the executive power, legislative power and the judicary power; and national press in Indonesia for a long time may be the only institution of democracy among the four institutions that are consistent and consistently reported corruption cases, large or small, and never exhausted of calling for the eradication of corruption, despite facing many challenges from the state, ranging from verbal threats, arrests and imprisonment of journalists to closure (bredel) of the newspaper. At the time of President Soekarno, several newspapers were very critical toward the government and they were not able to hold up reform in 1998 because the authoritarian government shut down their licence. At the time of President Soeharto, the media policies against corruption was also considered anti-New Order, and with a variety of reasons, sooner or later, they can be banned by the government. Once the permit (SIUPP) was revoked, for any reason, then the newspaper can not republished again. In the end, the real freedom of the Press obtained when Act No. 40 in 1999 were issued which does not require the print media to have any license for publication. The Reform Movement in 1998 has also fostered television journalism just as hard against corruption, and since four or five years ago, new media dan social media joint the anti-corruption hipe in Indonesia. Abstrak. Media sering kali disebut sebagai pilar keempat demokrasi suatu negara. Setelah peristiwa Malari pada Januari 1974, untuk pertama kalinya kemerdekaan pers mengalami kemunduran yang sangat berarti karena ada sejumah media cetak yang dibredel dan tidak bisa terbit lagi. Penutupan tujuh surat kabar utama di Jakarta pada Januari 1978 telah mematahkan sebagian besar semangat anti-korupsi pers nasional. Pemberitaan pasca tahun 1978 cenderung memperhatikan keselamatan media itu ketimbang mempetimbangkan nilai jurnalistiknya mengenai sebuah informasi atau berita. Setelah reformasi, kemerdekaan pers dijamin oleh undang-undang, tetapi karena tumbuhnya era keterbukaan, kontrol sosial tidak menjadi monopoli pers lagi. Media baru (new media) dan media sosial (social media) mulai eksis, dan mendorong pembentukan opini publik dan sekaligus jadi benchmark surat kabar dan televisi dalam mengangkat isu anti-korupsi dan perbuatan ketidakadilan lainnya. Lahirnya lembaga KPK menjamin semacam “kendaraan utama” bagi media massa untuk mem- blow-up atau mengangkat berbagai isu korupsi besar. Keywords: pers, media, korupsi PENDAHULUAN Masalah korupsi belum menjadi Pada awal kemerdekaan negara pembicaraan masyarakat luas, namun ini Republik Indonesia, sekitar tahun 1950-an, bukan berarti bahwa pada waktu itu tidak belum dikenal istilah “korupsi” (Pudjiarto, ada praktik korupsi. Barangkali perbuatan RS, 1994: 18-34). Hal ini mungkin terjadi semacam itu cukup banyak, hanya saja karena negara dan masyarakat Indonesia belum begitu umum, atau memang pada masih miskin, sehingga kondisi tersebut waktu itu sudah ada perbuatan yang tidak memungkinkan membuka peluang sebenarnya dapat dikualifikasikan sebagai terhadap praktik terjadinya korupsi. tindak pidana korupsi, tetapi tertutup oleh Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 65 Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi gejolak perang kemerdekaan, nasional oleh Kepala Staf Angkatan Darat mempertahankan kemerdekaan serta (Kasad) Mayjen AH Nasution, selaku operasi-operasi TNI menumpas berbagai Penguasa Perang Pusat (Peperpu) menjadi pemberontakan. Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Perbuatan-perbuatan semacam itu PRT/PEPERPU/013/1958. Peraturan ini seperti gejala-gejala sosial lainnya yang dimaksudkan untuk memberantas tindak umumnya disebut sebagai penyerobotan, pidana korupsi yang merajalela saat itu, pengambilan jatah yang melebihi yang menimbulkan pikiran seolah-olah ketentuan, perbuatan-perbuatan yang tidak pemerintah sudah tidak berwibawa lagi. semestinya, tetapi tujuannya bukan Karena hal itulah maka Peraturan semata-mata untuk kepentingan diri Penguasa Militer diangkat pada skala sendiri, tetapi juga dilakukan untuk nasional, untuk mengusut, menuntut, dan kepentingan perjuangan kemerdekaan, di melakukan pemeriksaan tindak pidana tengah administrasi negara yang belum korupsi dan pemilikan harta benda. tertata secara tertib. Munculnya Tahun 1960, dengan dicabutnya ketidakpuasan antara lain dalam bentuk Undang-undang Keadaan Bahaya No. 74 munculnya Piagam Perjuangan Semesta tahun 1957, maka peraturan di atas (Permesta) di Sulawesi (1958) yang otomatis menjadi tidak berlaku, dan tadinya bermula dari rasa tidak puas para diganti dengan Perpu No. 24 tahun 1960. pemimpin di Indonesia Timur mengenai Seperti diketahui bahwa, bentuk peraturan pembangunan yang adil di kawasan perundang-undangan (Perpu) ini, tersebut dan meminta agar 70 persen dikeluarkan dalam keadaan mendesak oleh pendapatan devisa dari daerah pemerintah sendiri tanpa persetujuan DPR dikembalikan lagi ke daerah, sementara terlebih dahulu, dengan ketentuan bahwa, pemerintah pusat cukup mengambil 30 harus dimintakan persetujuan DPR pada persen sisanya. Ada kecurigaan kuat masa persidangan berikutnya, dan kalau bahwa uang dari ekspor Indonesia Timur tidak disetujui oleh DPR maka harus tersebut “hilang” alias dikorupsi di dicabut. Pada kenyataannya Perpu ini, Jakarta. (Harvey, 1984 : 70-71). dengan Undang-undang No. 1 tahun 1961 Kata “korupsi” itu sendiri, secara ditetapkan oleh pemerintah sebagai yuridis di Indonesia baru dikenal sekitar undang-undang, dalam arti DPR telah tahun 1957, bersamaan dengan menyetujui dan mengesahkannya, menjadi dikeluarkannya Peraturan Penguasa Undang-undang Nomor 24/Prp/1960. Militer No PRT/ PM/06/1957tahun 1957 Jadi selama pemerintahan Orde Lama yang dikenal dengan peraturan tentang tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Peraturan tersebut pemberantasan korupsi. Pertama, adanya dibuat oleh penguasa militer pada waktu Panitia Retooling Aparatur Negara itu, yakni Angkatan Darat dan Angkatan (Paran). Lembaga yang dibentuk melalui Laut untuk memberantas korupsi, karena perangkat aturan Undang-Undang KUHP sudah tidak mampu lagi Keadaan Bahaya ini dipimpin oleh A.H. menanggulangi meluasnya perbuatan Nasution dan dibantu oleh dua orang korupsi. Peraturan Penguasa Militer anggota, yaitu Prof. M. Jamin dan Dr. tersebut dalam pelaksanaannya dilengkapi Roeslan Abdulgani. Kedua, Pada tahun dengan Peraturan Penguasa Militer No. 1963, melalui Instruksi Presiden No. 275 PRT/PM/08/1957, mengenai pemilikan Tahun 1963 dibentuk lembaga baru yang harta benda, dan Peraturan Penguasa lebih dikenal dengan Operasi “Budhi”. Militer No. PRT/PM/011/1957 mengenai Pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, penyitaan dan perampasan barang. yang saat itu sudah menjabat sebagai Satu tahun kemudian, tahun 1958, Menteri Koordinator Pertahanan dan peraturan tersebut, diangkat pada skala Keamanan/Kepala Staf Angkatan Jurnal Visi Komunikasi/Volume XII, No. 01, Mei 2013 66 Sumarkidjo: Pers Nasional, Pilar satu-satunya yang konsisten anti Korupsi Bersenjata (Menko Hankam/Kasab) untuk (Kotrar) yang dipimpin sendiri oleh menjalankan tugas menyeret pelaku Presiden Soekarno, dengan wakilnya Dr. korupsi ke pengadilan. Soebandrio. Jenderal Nasution yang menempatkan Letjen TNI Soeharto atas nama anak buahnya menjadi pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi perusahaan Belanda yang dinasionalisir, ABRI/Mandataris MPRS pada tanggal 18 dan ia juga lah yang memerintahkan agar Maret 1966 telah memerintahkan diadakan pemeriksaan kepada para perwira penangkapan 15 orang Menteri Kabinet tersebut. Tindakannya dan staf Paran Dwikora yang Disempurnakan. ternyata menimbulkan ketidakpuasan di Penangkapan dengan kuasa Surat Perintah kalangan AD, dan secara tidak langsung 11 Maret 1966 (kemudian dikenal sebagai menentang operasi tersebut. Contoh yang “Super Semar”) adalah bagian dari paling jelas adalah mengenai Direktur pemenuhan tuntutan Tritura (Tri Tuntutan Utama Pertamina, Kolonel Ibnu Sutowo Rakyat: Bubarkan PKI, turunkan harga- yang dipanggil secara khusus untuk harga dan ganti menteri-menteri yang tidak diperiksa Operasi “Budhi”. Beberapa hari becus di Kabinet Dwikora). Salah satu sebelum ia diperiksa, seorang sekretaris diantaranya Menteri/Gubernur Bank dari Pertamina datang ke tim membawa Sentral, Jusuf Muda Dalam, yang diadili surat dari Ibnu Sutowo yang menyatakan karena “tindakan korupsi dan bermewah- bahwa ia tidak dapat memenuhi panggilan mewah menggunakan uang negara”. tim Operasi “Budhi” karena, Sejumlah mantan menteri lain diadili “diperintahkan Presiden Soekarno untuk dalam kasus keterlibatan mereka pada G- bertugas ke luar negeri”. Jadi walaupun dr. 30-S, dan Waperdam III Chairul Saleh Ibnu Sutowo mempunyai hubungan tadinya hendak diadili dalam kasus yang pribadi dengan Jenderal Nasution dan serupa dengan Jusuf Muda Dalam, tetapi ia sangat menghormatinya, tetapi ia secara meninggal dunia dalam tahanan. Kasusnya tidak langsung meremehkan lembaga tidak pernah dijelaskan secara terbuka Operasi “Budhi” tersebut. Tidak diketahui, (Hasibuan, 2011). mengapa Nasution sendiri tidak Penggunaan Super Semar itu bisa menggunakan pengaruh serta wibawanya dikatakan adalah langkah awal Orde Baru untuk memanggil para perwira militer memerangi
Recommended publications
  • The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia: Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance
    Policy Studies 23 The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia: Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance Marcus Mietzner East-West Center Washington East-West Center The East-West Center is an internationally recognized education and research organization established by the U.S. Congress in 1960 to strengthen understanding and relations between the United States and the countries of the Asia Pacific. Through its programs of cooperative study, training, seminars, and research, the Center works to promote a stable, peaceful, and prosperous Asia Pacific community in which the United States is a leading and valued partner. Funding for the Center comes from the U.S. government, private foundations, individuals, cor- porations, and a number of Asia Pacific governments. East-West Center Washington Established on September 1, 2001, the primary function of the East- West Center Washington is to further the East-West Center mission and the institutional objective of building a peaceful and prosperous Asia Pacific community through substantive programming activities focused on the theme of conflict reduction, political change in the direction of open, accountable, and participatory politics, and American understanding of and engagement in Asia Pacific affairs. The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia: Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance Policy Studies 23 ___________ The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia: Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance _____________________ Marcus Mietzner Copyright © 2006 by the East-West Center Washington The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia: Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance by Marcus Mietzner ISBN 978-1-932728-45-3 (online version) ISSN 1547-1330 (online version) Online at: www.eastwestcenterwashington.org/publications East-West Center Washington 1819 L Street, NW, Suite 200 Washington, D.C.
    [Show full text]
  • Another Look at the Jakarta Charter Controversy of 1945
    Another Look at the Jakarta Charter Controversy of 1945 R. E. Elson* On the morning of August 18, 1945, three days after the Japanese surrender and just a day after Indonesia's proclamation of independence, Mohammad Hatta, soon to be elected as vice-president of the infant republic, prevailed upon delegates at the first meeting of the Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI, Committee for the Preparation of Indonesian Independence) to adjust key aspects of the republic's draft constitution, notably its preamble. The changes enjoined by Hatta on members of the Preparation Committee, charged with finalizing and promulgating the constitution, were made quickly and with little dispute. Their effect, however, particularly the removal of seven words stipulating that all Muslims should observe Islamic law, was significantly to reduce the proposed formal role of Islam in Indonesian political and social life. Episodically thereafter, the actions of the PPKI that day came to be castigated by some Muslims as catastrophic for Islam in Indonesia—indeed, as an act of treason* 1—and efforts were put in train to restore the seven words to the constitution.2 In retracing the history of the drafting of the Jakarta Charter in June 1945, * This research was supported under the Australian Research Council's Discovery Projects funding scheme. I am grateful for the helpful comments on and assistance with an earlier draft of this article that I received from John Butcher, Ananda B. Kusuma, Gerry van Klinken, Tomoko Aoyama, Akh Muzakki, and especially an anonymous reviewer. 1 Anonymous, "Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945: Pengkhianatan Pertama terhadap Piagam Jakarta?," Suara Hidayatullah 13,5 (2000): 13-14.
    [Show full text]
  • PART 2 Culture and the Nation
    PART 2 Culture and the nation Els Bogaerts - 9789004253513 Downloaded from Brill.com10/06/2021 10:22:01PM via free access Els Bogaerts - 9789004253513 Downloaded from Brill.com10/06/2021 10:22:01PM via free access 9 ‘Whither Indonesian culture?’ Rethinking ‘culture’ in Indonesia in a time of decolonization Els Bogaerts When Claire Holt returned to Indonesia in 1969 after an absence of twelve years,1 signs of ‘“cultural change,” “economic develop- ment or “modernization,”[...] could be seen and felt everywhere, not least in the sphere of the arts.’ The bitter debate between pro- ponents of nationalism and of internationalism was no longer rag- ing, she wrote. ‘If it continued simmering below the surface, signs of it were not discernible’ (Holt 1970:163). Recalling her observations of the world of the Indonesian arts in the 1950s and 1960s, Holt (1970:163) wrote: among individuals and groups consciously concerned with the cul- tivation of the arts [...], love of the past, awareness of the present, and aspirations for the future produced efforts in three different directions. There were those who strove to preserve traditional art forms in their classical purity, as in music, dance and dance drama; those who tried to meet the challenges of modern times by grafting new elements upon the solid body of tradition or even modifying some of its basic principles; and those who, turning away from tradi- tion entirely, were introducing new inventions or adapting borrow- ings from outside. (Sometimes all three of these directions were pursued by one individual or were the declared policy of one orga- nization.) This, as far as I could judge, remained true in the sixties, but the lines seemed more sharply drawn.
    [Show full text]
  • Jacob Oetama
    www.rajaebookgratis.com JACOB OETAMA Jakob Oetama, Pemimpin Umum Harian Kompas dan Chief Executive Kelompok Kompas-Gramedia, melampiaskan keharuannya pada saat Universitas Gadjah Mada, Kamis, 17 April 2003, secara resmi memberinya anugerah kehormatan berupa gelar Doktor Honoris Causa di bidang komunikasi. Dia adalah salah satu raksasa jurnalis di negeri ini yang menawarkan jurnalisme damai dan berhasil membuka horizon pers yang benar-benar modern, bertanggung jawab, non-partisan, dan memiliki perspektif jauh ke depan. Bulir air mata perlahan menetes di pipi tuanya yang mengeriput. Suaranya yang semula berat dan membahana di seisi ruangan, kontan berubah serak dan parau. Laki- laki tua yang siang itu berdiri di podium terhormat, tak lagi kuasa menahan rasa haru yang luar biasa. Dia menangis. Jakob Oetama, laki-laki tua itu, Pemimpin Umum Harian Kompas dan Chief Executive Kelompok Kompas-Gramedia, melampiaskan keharuannya. Pada saat Universitas Gadjah Mada, Kamis, 17 April 2003, secara resmi memberinya anugerah kehormatan berupa gelar Doktor Honoris Causa di bidang komunikasi. Dalam pidato promosi untuk memperoleh gelar doktor honoris causa (HC) itu, ia mengemukakan bahwa pencarian makna berita serta penyajian makna berita semakin merupakan pekerjaan rumah dan tantangan media massa saat ini dan di masa depan. http://rajaebookgratis.wordpress.com 1 www.rajaebookgratis.com Jurnalisme dengan pemaknaan itulah yang diperlukan bangsa sebagai penunjuk jalan bagi penyelesaian persoalan-persoalan genting bangsa ini. Jakob Oetama adalah penerima doktor honoris causa ke- 18-yang dianugerahkan UGM-setelah pekan lalu gelar yang sama dianugerahkan UGM kepada Kepala Negara Brunei Darussalam Sultan Hassanal Bolkiah. Promotor Prof Dr Moeljarto Tjokrowinoto dalam penilaiannya menyatakan, jasa dan karya Jakob Oetama dalam bidang jurnalisme pada hakikatnya merefleksikan jasa dan karyanya yang luar biasa dalam bidang kemasyarakatan dan kebudayaan.
    [Show full text]
  • Data Implikatur
    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI IMPLIKATUR PERCAKAPAN ANTARTOKOH DALAM NOVEL PROJO & BROJO KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Disusun oleh, Hery Susanto Andreas 061224003 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2011 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI IMPLIKATUR PERCAKAPAN ANTARTOKOH DALAM NOVEL PROJO & BROJO KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Disusun oleh, Hery Susanto Andreas 061224003 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2011 i PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI iii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI HALAMAN PERSEMBAHAN Karya yang sederhana ini saya persembahkan kepada: 1. Yesus Kristus 2. Kedua orang tuaku, Ignatius Suprapto dan Cecilia Sukiyem 3. Kakakku Edi Susilo Albertus iv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan dalam daftar pustaka,
    [Show full text]
  • Kajian Intertekstual Dan Nilai Pendidikan Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto Dengan Para Priyayi Karya Umar Kayam
    CORE Metadata, citation and similar papers at core.ac.uk Provided by Sebelas Maret Institutional Repository KAJIAN INTERTEKSTUAL DAN NILAI PENDIDIKAN NOVEL CANTING KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO DENGAN PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM Skripsi Oleh: Atik Hendriyati NIM K1205008 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009 2 Kajian intertekstual dan nilai pendidikan novel canting karya arswendo atmowiloto dengan para priyayi karya Umar Kayam Oleh: Atik Hendriyati NIM K.1205008 Skripsi Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009 PERSETUJUAN ii 3 Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Persetujuan Pembimbing Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd. Drs. H. Purwadi NIP 130692078 NIP 130902522 PENGESAHANiii 4 Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan selar Sarjana Pendidikan. Pada hari : Tanggal : Tim Penguji Skripsi Nama Terang Tanda Tangan Ketua : Dra. Ani Rakhmawati, M. A. 1. ……….. Sekretaris : Drs. Slamet Mulyono, M. Pd. 2. ………. Anggota I : Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd. 3. ……….. Anggota II : Drs. H. Purwadi 4. ............. Disahkan Oleh: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan, Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. NIP 131658563 ABSTRAK iv 5 Atik Hendriyati, NIM K1205008. KAJIAN INTERTEKSTUAL DAN NILAI PENDIDIKAN NOVEL CANTING KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO DENGAN PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juni 2009.
    [Show full text]
  • International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding (IJMMU) Vol
    Comparative Study of Post-Marriage Nationality Of Women in Legal Systems of Different Countries http://ijmmu.com [email protected] International Journal of Multicultural ISSN 2364-5369 Volume 6, Issue 4 and Multireligious Understanding September, 2019 Pages: 469-477 Cultural Education Values of Canting by Arswendo Atmowiloto and Canting by Fissilmi Hamida Elok Harisma Kartikasari; Suyitno; Andayani Sebelas Maret University, Surakarta, Indonesia http://dx.doi.org/10.18415/ijmmu.v6i4.1025 Abstract This research aims to explain and describe the values of cultural education contained in the Canting novel by Arswendo Atmowiloto and the Canting novel by Fissilmi Hamida. This research is a qualitative descriptive research with all citations related to the purpose of the research as the object of research. The data were collected using content analysis. They were then analyzed using interactive analysis techniques. The results of the analysis obtained from this research are Canting novels, both by Arswendo Atmowiloto and by Fissilmi Hamida, have similar educational values that teach to always obey and respect culture in terms of three elements, namely (1) rules in life related to marriage and the position of women, (2) action activities related to language patterns, performing traditional ceremonies and accepting fate, and (3) human products including canting and clothing used by Javanese for marriage. The difference is that Arswendo Atmowiloto’s Canting presents the priyayi culture which has a tradition of not saying much, but actively holding meetings to develop Javanese culture. Meanwhile, in the Canting novel by Fissilmi Hamida, it explains that various batik motifs from Yogyakarta and gending kodhok ngorek are the results of human works.
    [Show full text]
  • Kisah Tiga Jenderal Dalam Pusaran Peristiwa 11-Maret
    KISAH TIGA JENDERAL DALAM PUSARAN PERISTIWA 11‐MARET‐1966 Bagian (1) “Kenapa menghadap Soeharto lebih dulu dan bukan Soekarno ? “Saya pertama‐tama adalah seorang anggota TNI. Karena Men Pangad gugur, maka yang menjabat sebagai perwira paling senior tentu adalah Panglima Kostrad. Saya ikut standard operation procedure itu”, demikian alasan Jenderal M. Jusuf. Tapi terlepas dari itu, Jusuf memang dikenal sebagai seorang dengan ‘intuisi’ tajam. 2014 Dan tentunya, juga punya kemampuan yang tajam dalam analisa June dan pembacaan situasi, dan karenanya memiliki kemampuan 21 melakukan antisipasi yang akurat, sebagaimana yang telah dibuktikannya dalam berbagai pengalamannya. Kali ini, kembali ia Saturday, bertindak akurat”. saved: Last TIGA JENDERAL yang berperan dalam pusaran peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret Kb) 1966 –Super Semar– muncul dalam proses perubahan kekuasaan dari latar belakang situasi (89 yang khas dan dengan cara yang khas pula. Melalui celah peluang yang juga khas, dalam suatu wilayah yang abu‐abu. Mereka berasal dari latar belakang berbeda, jalan pikiran dan 1966.docx ‐ karakter yang berbeda pula. Jenderal yang pertama adalah Mayor Jenderal Basuki Rachmat, dari Divisi Brawijaya Jawa Timur dan menjadi panglimanya saat itu. Berikutnya, yang kedua, Maret ‐ 11 Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, dari Divisi Hasanuddin Sulawesi Selatan dan pernah menjadi Panglima Kodam daerah kelahirannya itu sebelum menjabat sebagai menteri Peristiwa Perindustrian Ringan. Terakhir, yang ketiga, Brigadir Jenderal Amirmahmud, kelahiran Jawa Barat dan ketika itu menjadi Panglima Kodam Jaya. Pusaran Mereka semua mempunyai posisi khusus, terkait dengan Soekarno, dan kerapkali Dalam digolongkan sebagai de beste zonen van Soekarno, karena kedekatan mereka dengan tokoh puncak kekuasaan itu. Dan adalah karena kedekatan itu, tak terlalu sulit bagi mereka untuk Jenderal bisa bertemu Soekarno di Istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966.
    [Show full text]
  • INDO 56 0 1106968954 1 36.Pdf (2.004Mb)
    I s l a m , S t a t e , a n d C iv il S o c i e t y : I C M I a n d t h e S t r u g g l e f o r t h e I n d o n e s ia n M id d l e C l a s s Robert W. Hefner On December 6,1990, television viewers across Indonesia were treated to the image of President Muhammad Suharto,1 clad in distinctive mosque attire, striking a large mosque drum (bedug) to call to order the first-ever meeting of the Association of Indonesian Muslim intellectuals (ICMI, Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia). It was a poignant moment in the political and cultural history of New Order (post-1966) Indonesia. For many Muslim Indonesians, the president's act was merely the latest in a series of overtures the Suharto government has made over the past few years to the Muslim community. For other Indone­ sians, the president's blessing of ICMI seemed to represent a dangerous departure from the non-sectarian principles of the New Order. For Western observers unfamiliar with the gov­ ernment's openings to the Muslim community, finally, the scene appeared rich with irony. Here was a man regarded by many foreign scholars as an abangan2 mystic unsympathetic to 1 It is not unusual for Muslims who have completed the pilgrimage (haj) to the Holy Land to take a new or addi­ tional name, as a symbol of the significance of the event for their personal identity.
    [Show full text]
  • INDO 89 0 1273069454 1 36.Pdf (733.6Kb)
    Imagining an Islamic State in Indonesia: From Darul Islam TO JEMAAH ISLAMIYAH Sometime in September 1962, S. M. Kartosoewirjo,* 1 the leader of a once formidable insurgency that had proclaimed an Islamic State of Indonesia (Negara Islam Indonesia, Nil), was executed by a firing squad of the Indonesian Republic. This act has been recorded as the beginning of the end of the Islamic State and its so-called Darul Islam (Abode of Islam) rebellion.2 Forty years later, however, a young man called Iqbal wrote the following before he blew himself up along with hundreds of others at the Sari Club in Bali on October 12, 2002: Today I say: that I am a child of DI/NII [Darul Islam/Negara Islam Indonesia] who is ready to sacrifice myself for Islam. Remember, o mujahideen of Malingping,3 how our imam, S. M. Kartosuwirjo, built and upheld and proclaimed the independence of the Islamic State of Indonesia with the blood and lives of martyrs, not by relaxing and fooling around the way we do today. If you are serious about seeing the glory of the buried Islamic State of Indonesia rise My thanks to Greg Fealy, Sidney Jones, Kit Collier, Ken Ward, Solahudin, Ed Aspinall, Robert Cribb, Ahmad Muhajir, Martin van Bruinessen, David Jenkins, Marcus Mietzner, Jajat Burhanudin, and Sita Dewi 11 have spelled Indonesian names in accordance with the preference of the individual concerned except for direct quotations from published sources, in which the original has been preserved. 2 See, for example, B. J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), p.
    [Show full text]
  • 1996 Indonesian Middle-Class Opposition in The
    Downloaded from <arielheryanto.wordpress.com> 9 Indonesian middle-class opposition in the 1990s Ariel Heryanto Indonesia’s sustained economic growth since the mid-1970s has unwittingly helped to revitalise two urban-based oppositional forces. They are the industrial workers and the middle-class professionals and activists (students, lawyers, non-government organisation (NGO) activists, journalists, artists, and religious leaders). Notwithstanding their dynamism, such oppositions encounter obstacles that constrain them as movements for far-reaching social change. Having been born out of, and having to operate within, the social structure they try to challenge, these oppositional groups find themselves in a position full of dilemmas and contradictions. What follows is a brief account of these new oppositional forces in the 1990s, and the difficulties they have to overcome before any radical transformation of the existing social order can be imagined. The main thrust of this chapter can be outlined as follows. The New Order regime achieved a hegemonic status on the basis of the extra-ordinary political violence in 1965– 6, and the continued reproduction of widespread fear in its protracted aftermath. The 1965–6 massacre took the lives of around one million people and jeopardised the lives of millions of survivors.1 That massive violence and subsequent terrorism provided the fundamental basis for sustained ‘political stability’ and successful economic development. However, the same events have generated new phenomena that increasingly undermine that basis. A new generation of middle classes and industrial workers has emerged. World capitalism incorporated Indonesia further into its structural relationships politically and economically, as well as culturally. Despite its continued success in keeping the economy of the nation growing, the New Order regime has been in steady political decline since the mid-1980s and more obviously in the 1990s.
    [Show full text]
  • Peran Media Massa Dalam Menyuarakan Kebijakan Orde Baru: Studi Kasus Harian Suara Karya 1971-1974
    PERAN MEDIA MASSA DALAM MENYUARAKAN KEBIJAKAN ORDE BARU: STUDI KASUS HARIAN SUARA KARYA 1971-1974 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S, Hum.) Oleh Dicky Prastya 11140220000033 JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H / 2019 M ii PERAN MEDIA MASSA DALAM MENYUARAKAN KEBIJAKAN ORDE BARU: STUDI KASUS HARIAN SUARA KARYA 1971-1974 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S, Hum.) Oleh Dicky Prastya 11140220000033 JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H / 2019 M iii iv LEMBAR PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Dicky Prastya NIM : 11140220000033 Jurusan : Sejarah dan Peradaban Islam Judul Skripsi : Peran Media Massa dalam Menyuarakan Kebijakan Orde Baru: Studi Kasus Harian Suara Karya 1971-1974 Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri yang merupakan hasil penelitian, pengolahan dan analisis saya sendiri serta bukan merupakan replikasi maupun saduran dari hasil karya atau hasil penelitian orang lain. Apabila terbukti skripsi ini merupakan plagiat atau replikasi maka skripsi dianggap gugur dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skripsi baru dan kelulusan serta gelarnya dibatalkan. Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul dikemudian hari menjadi tanggung jawab saya. Ciputat, 26 April 2019 Dicky Prastya v vi PERAN MEDIA MASSA DALAM MENYUARAKAN KEBIJAKAN ORDE BARU: STUDI KASUS HARIAN SUARA KARYA 1971-1974 Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S, Hum.) Oleh Dicky Prastya 11140220000033 Pembimbing Prof. Dr. Jajat Burhanuddin, M.A.
    [Show full text]