PERAN MEDIA MASSA DALAM MENYUARAKAN KEBIJAKAN ORDE BARU: STUDI KASUS HARIAN SUARA KARYA 1971-1974

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S, Hum.)

Oleh Dicky Prastya 11140220000033

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 1440 H / 2019 M

ii

PERAN MEDIA MASSA DALAM MENYUARAKAN KEBIJAKAN ORDE BARU: STUDI KASUS HARIAN SUARA KARYA 1971-1974

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S, Hum.)

Oleh Dicky Prastya 11140220000033

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H / 2019 M

iii

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Dicky Prastya NIM : 11140220000033 Jurusan : Sejarah dan Peradaban Islam Judul Skripsi : Peran Media Massa dalam Menyuarakan Kebijakan Orde Baru: Studi Kasus Harian Suara Karya 1971-1974

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri yang merupakan hasil penelitian, pengolahan dan analisis saya sendiri serta bukan merupakan replikasi maupun saduran dari hasil karya atau hasil penelitian orang lain. Apabila terbukti skripsi ini merupakan plagiat atau replikasi maka skripsi dianggap gugur dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skripsi baru dan kelulusan serta gelarnya dibatalkan. Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul dikemudian hari menjadi tanggung jawab saya.

Ciputat, 26 April 2019

Dicky Prastya

v

vi

PERAN MEDIA MASSA DALAM MENYUARAKAN KEBIJAKAN ORDE BARU: STUDI KASUS HARIAN SUARA KARYA 1971-1974

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S, Hum.)

Oleh Dicky Prastya 11140220000033

Pembimbing

Prof. Dr. Jajat Burhanuddin, M.A. NIP. 19670119 199403 1 001

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H / 2019 M

vii

viii

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi berjudul Peran Media Massa dalam Menyuarakan Kebijakan Orde Baru: Studi Kasus Harian Suara Karya 1971-1974 telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 27 Mei 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S. Hum) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam. Ciputat, 27 Mei 2019 Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

H. Nurhasan, M.A. Sholikatus Sa’diyah, M.Pd. NIP: 19690724 199703 1 001 NIP: 19750417 200501 2 007 Anggota Penguji I Penguji II

Prof. Budi Sulistiono, M.Hum. Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag. NIP: 19541010 198803 1 001 NIP: 19590115 199403 1 002 Pembimbing

Prof. Dr. Jajat Burhanuddin, M.A. NIP. 19670119 199403 1 001

ix

x

ABSTRAK

DICKY PRASTYA. Peran Media Massa dalam Menyuarakan Kebijakan Orde Baru: Studi Kasus Harian Suara Karya 1971-1974 Penelitian ini membahas tentang peran Suara Karya dalam pusaran politik era Presiden Soeharto. Suara Karya terbit pertama kali pada tanggal 11 Maret 1971 yang juga bertepatan dengan perayaan Surat Perintah 11 Maret 1966 (). Tujuan diterbitkannya media ini didasari untuk menaikkan elektabilitas Golongan Karya () selaku kendaraan politik Soeharto dalam memenangkan Pemilihan Umum 1971. Kehadiran Suara Karya mampu menjadikan Golkar sebagai pemenang dengan raihan suara 62,8%. Usai pemilu, Suara Karya kemudian berperan sebagai surat kabar yang berfungsi sebagai mediator antara pemerintah dengan masyarakat. Melalui rubrik Tajuk Rencana, Suara Karya menyuarakan berbagai kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan yang juga menjadi jargon Orde Baru, mulai dari kebijakan politik dan ekonomi. Selain itu, media ini juga menjawab kritikan yang beredar di masyarakat melalui rubrik Tajuk Rencana. Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana dari Tajuk Rencana Suara Karya dari Agustus 1971 hingga Januari 1974. Dari Tajuk Rencana ini kemudian membentuk sebuah narasi yang menganalisis tentang sikap Suara Karya dalam menanggapi kebijakan Orde Baru. Melalui narasi ini, ditemukan kesimpulan bahwa Suara Karya termasuk ke dalam kategori media partisan karena sikapnya cenderung membela pemerintah. Pembahasan penelitian ini dibatasi hingga terjadinya peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) yang sekaligus menjadi akhir dari masa Rancangan Pembangunan Lima Tahun (Repelita) Jilid I.

Kata Kunci: Suara Karya, Pers, Pembangunan, Golkar, Soeharto, Orde Baru.

xi

KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan hidayah kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa pujian kepada Nabi Muhammad Saw beserta keluarga, sahabat yang turut memberikan pengaruh besar kepada umat Islam di seluruh penjuru dunia. Skripsi yang telah hadir di depan pembaca sekalian, merupakan hasil karya penulis yang merupakan kebanggaan besar. Sejak November 2018 silam, penulis telah menyempatkan waktu untuk mengerjakan sebuah maha karya yang menjadi sebuah hasil dialektika di bangku perkuliahan. Dengan lika-liku kehidupan yang tiada akhir, akhirnya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Peran Media Massa dalam Menyuarakan Kebijakan Orde Baru: Studi Kasus Harian Suara Karya 1971-1974. Penyelesaian skripsi ini tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak. Banyak nasihat dan masukkan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih sebesar-besarnya ke para kalangan, terutama: 1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta saat ini, Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A dan Rektor sebelumnya, Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. 2. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) saat ini, Saiful Umam, M.A., Ph.D. dan Dekan sebelumnya, Prof. Dr. Syukron Kamil, MA. 3. Ketua Jurusan (Kajur) Sejarah dan Peradaban Islam (SPI) saat ini, Dr. Awalia Rahma, MA. dan Sekretaris Jurusan (Sekjur) Dr. Imas Emalia, M.Hum. dan Kajur SPI periode sebelumnya,

xiii

Nurhasan, MA dan Sekjur SPI, Sholikatus Sa’diyah M,Pd. Terima kasih telah memberikan pelayanan akademik selama saya berkuliah di jurusan ini. 4. Seluruh Dosen Jurusan SPI yang tak mampu disebut namanya satu per satu. Terima kasih saya ucapkan kepada mereka yang telah membentuk penulis sebagai akademisi SPI di bangku perkuliahan. 5. Prof. Dr. Jajat Burhanuddin, MA, selaku Dosen Pembimbing Skripsi dan Akademik penulis. Tanpa arahan dan masukkan beliau, mungkin sampai sekarang saya masih terlena dengan status mahasiswa. 6. Kedua Dosen Penguji Skripsi, Prof. Dr. H. Budi Sulistiono, M.Hum. dan Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag. Terima kasih telah memandu penulis dalam untuk menjadikan skripsi lebih baik lagi. 7. Seluruh Staf FAH dan Universitas. Terima kasih telah membantu penulis dalam menyelesaikan administrasi di UIN Jakarta. 8. Pihak Perpustakaan, baik itu tingkat universitas maupun fakultas. Terima kasih telah membantu penulis dalam menemukan wawasan baru melalui aset buku perpustakaan. 9. Kedua orang tua penulis, Bapak Warto dan Ibu Umiyati, yang telah mengizinkan penulis untuk mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Semoga mereka tetap sehat dan sabar dalam mendidik penulis yang selalu berusaha untuk menjadi manusia. 10. Seluruh mahasiswa SPI angkatan 2014, terutama kelas A dan kelas C. Mereka adalah teman-teman saya dalam menciptakan

xiv

nalar kritis di bangku perkuliahan. Terima kasih telah mau duduk dan berdiskusi dengan saya. 11. Keluarga Besar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut UIN Jakarta, baik itu dari senior maupun adik-adik junior. Dari sinilah saya dididik sebagai akademisi yang juga organisatoris. Terima kasih telah memberikan amanah kepada saya untuk memimpin lembaga ini pada periode 2017 lalu. Tanpa lembaga ini, bakat kepenulisan dan nalar kritis saya mungkin tak akan terbentuk. 12. 14 Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang tergabung dalam Forum UKM 2017. Terima kasih telah menciptakan pola pikir kritis terhadap kebijakan kampus. 13. Kawan-kawan Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ). Terima kasih telah mau duduk dan diskusi tentang kebijakan pers kampus, sekaligus isu-isu nasional yang membangkitkan gairah penulis. 14. Dua kawan jurusan, Abdurrahman Heriza dan Tri Raharjo. Terima kasih telah menjadikan penulis sebagai manusia yang beretika. Semoga ke depan masih bisa kumpul dan berdiskusi mengenai masalah kehidupan. 15. Erik Syarifuddin, teman jurusan di kelas C. Terima kasih telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi. 16. Aisyah Nursyamsi, Eko Ramdani, Eli Murtiana, Jannah Arijah, Lya Syam Arif, Yayang Zulkarnaen, dan Zainuddin. Terima kasih telah sudi menerima penulis sebagai bagian dari keluarga di LPM Institut angkatan 2015. Terkhusus Yayang dan Zain, terima kasih telah menjadi teman dalam bertukar pikiran di dalam satu atap indekos.

xv

17. Dua teman masa SMA saya, Irsyad Mohammad dan Wahyu Dwi Apriyanto. Terima kasih kepada Irsyad sebagai inspirasirator penulis dari masa SMA hingga perkuliahan. Terima kasih kepada Wahyu yang mau menjadi pendengar saya dalam menanggapi isu-isu kehidupan. Semoga kita masih bisa silaturahmi ke depannya. 18. Terima kasih kepada pihak Mokuton Coffee & Co. Berkat listrik dan fasilitas lain, penulis berhasil menyelesaikan dua bab skripsi di sana. Sering-seringlah kasih diskon biar bisa jadi decacorn.

Hanya itu yang bisa penulis sampaikan kepada para pihak yang sudah membantu saya dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh pihak di atas. Semoga Allah swt membalas semua kebaikan yang kepada seluruh pihak, dan juga alam semesta. Amin.

Ciputat, 26 April 2019 Penulis

Dicky Prastya

xvi

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ...... v LEMBAR PENGESAHAN ...... ix ABSTRAK ...... xi KATA PENGANTAR ...... xiii DAFTAR ISI ...... xvii BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 9 C. Batasan Masalah ...... 9 D. Rumusan Masalah ...... 9 E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 10 F. Metode Penelitian ...... 10 G. Sistematika Penulisan ...... 13 BAB II KAJIAN PUSTAKA ...... 15 A. Landasan Teori ...... 15 B. Kajian Pustaka ...... 17 C. Kerangka Berpikir ...... 20 BAB III PERS DAN POLITIK DI ...... 21 A. Pers Pra Kemerdekaan ...... 21 B. Pers Orde Lama ...... 30 C. Pers Orde Baru ...... 37 BAB IV ORDE BARU ...... 43 A. Lahirnya Sebuah Era Baru ...... 43 B. Menciptakan Stabilitas Politik ...... 56 C. Merancang Ekonomi...... 70

xvii

BAB V SIKAP SUARA KARYA DALAM MELEGITIMASI KEKUASAAN ORDE BARU ...... 85 A. Pandangan tentang Soeharto ...... 92 B. Menyuarakan Pembangunan...... 95 C. Mengulas Dinamika Politik ...... 113 D. Menanggapi Kritik ...... 122 BAB VI PENUTUP ...... 139 A. Kesimpulan ...... 139 B. Implikasi ...... 141 C. Saran ...... 141 DAFTAR PUSTAKA ...... 143 LAMPIRAN-LAMPIRAN ...... 155

xviii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Media massa menjadi unsur yang tidak bisa dilepaskan tatkala membahas pemerintahan. Media massa sendiri memiliki sikap terhadap kebijakan politik. Dalam pembagiannya, orientasi media massa sendiri terbagi menjadi dua. Di satu sisi, media bisa memihak kepada masyarakat. Sedangkan di sisi lain, media juga bisa menjadi corong pemerintahan atau negara. Media bisa dikatakan membela masyarakat apabila mereka cenderung memberitakan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat. Jika pers membela pemerintah, maka media itu condong pro terhadap segala bentuk kebijakan yang dijalankan oleh negara.1 Dalam sejarah Indonesia, satu periode penting yang menyaksikan pentingnya peran media dalam politik adalah masa awal pemerintah Orde Baru pada awal 1970-an. Sebagaimana diketahui, setelah memerintah selama kurang lebih 20 tahun, Soekarno digantikan Soeharto untuk menjadi Presiden Republik Indonesia. Pada 27 Maret 1968, kekuasaan Soeharto, yang dikenal sebagai Orde Baru, disahkan melalui ketetapan MPRS Nomor XLIV Tahun 1968.2 Ketetapan ini sendiri bermula dari kemunculan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang ditandatangani sendiri oleh Soekarno. Kemunculan

1 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, (: LKiS, 1995), 13-14. 2 Peter Kasenda, Sarwo Edhie dan Tragedi 1965, (Jakarta: Penerbit Buku , 2015), 168.

1

2

Supersemar sendiri bertujuan untuk memulihkan keadaan dari berbagai kekacauan yang terjadi di Indonesia.3 Peralihan dari Soekarno ke Soeharto menjadi titik awal dalam mengembalikan kondisi yang telah kacau. Saat itu, Soeharto memutuskan untuk memperbaiki keadaan ekonomi demi mencapai adanya keamanan, ketertiban, serta stabilitas politik ekonomi nasional.4 Pada 1966, Indonesia mengalami inflasi mencapai 660%. Tak hanya itu, Indonesia juga memiliki utang luar negeri yang jumlahnya US 2.357 juta.5 Soeharto harus memutar otak. Bagaimanapun juga, ini menjadi masalah serius dalam masa kepemimpinan awalnya. Dari sana, ia pun mengundang kalangan akademisi di bawah naungan Widjojo Nitisastro demi merancang sebuah strategi ekonomi Orde Baru. Tim ini sendiri terdiri dari Ali Wardhana, Mohammad Sadli, Emil Salim, Saleh Afiff, dan Johannes Baptista Sumarlin. Tim yang bertugas sebagai penasihat ekonomi Soeharto ini kemudian dikenal dengan nama Mafia Berkeley karena kebanyakan dari mereka adalah lulusan Universitas California, Berkeley.6 Para penasihat ekonomi ini memberi jawaban pertamanya lewat sebuah kebijakan landasan ekonomi keuangan dan pembangunan. Kebijakan ini berisi tentang program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi untuk jangka pendek dan program pembangunan untuk jangka panjang.

3 Peter Kasenda, Sarwo Edhie dan Tragedi 1965, 141. 4 Ali Moertopo, Strategi Pembangunan Nasional, (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1982), 32-34. 5 Aria Wiratma Yudhistira, Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970an, (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2010), 30. 6 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986- 1992, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2005), 53.

3

Nantinya, kebijakan ini dikenal sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang sesuai Ketetapan MPRS no. 23 tahun 1966.7 Dalam memulihkan stabilisasi ekonomi, syarat pertama untuk memenuhi kebutuhan itu ialah melakukan rehabilitasi dan stabilisasi, baik itu untuk masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Salah satu tindakan untuk memulihkan kepercayaan luar negeri ialah mengakhiri konflik dengan Malaysia yang digagas oleh Soekarno pada tahun 1962 hingga 1966. Selain itu, Soeharto juga mengirimkan utusannya kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk kembali menjadi anggota PBB. Hal ini dilakukan karena pada saat pemerintah Soekarno, Indonesia pernah menyatakan keluar dari PBB untuk agar tidak berada dalam kubu manapun.8 Selain pembenahan pada bidang ekonomi, Soeharto juga memfokuskan dirinya untuk mengendalikan kondisi politik. Pada masa pemerintahan Soekarno, masyarakat turut andil dalam pembangunan di bidang politik. Menurut Soekarno, masyarakat harus ikut serta dalam kegiatan berpolitik. Sebab, pembangunan politik adalah unsur utama dibandingkan pembangunan di bidang lain. Namun, Orde Baru memandang partisipasi masyarakat dalam politik akan menimbulkan ketidakstabilan baru. Alasannya, mereka belajar dari masa lalu bahwa

7 Ketetapan ini berisi tentang Kebijakan Landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat lewat laman http://www.jdih.kemenkeu.go.id/fullText/1966/XXIII~MPRS~1966TAP.HTM (Diakses pada 9 November 2018 pukul 03.06 WIB). 8 Frans Seda, Simponi Tanpa Henti: Ekonomi Politik Masyarakat Baru Indonesia, (Jakarta: Yayasan Atmajaya dan PT. Gramedia, 1992), 123-129.

4

konflik yang terjadi di masa Soekarno karena adanya pertentangan ideologi dan politik yang tak kunjung berhenti.9 Dari sana, Soeharto pun mencoba sebuah ideologi baru yang berbeda dengan ideologi-ideologi sebelumnya. Ideologi yang tidak disukai elit Orde Baru adalah Komunisme. Namun di sisi lain, mereka juga menolak ideologi baru yang muncul pada tahun 1950-an, yaitu Demokrasi Liberal, yang melibatkan terlalu banyak kelompok politis, seperti golongan islamis yang diwakili Masyumi dan Darul Islam, golongan Nasionalis seperti PSI dan PNI.10 Dalam menerapkan sistem baru, Soeharto merujuk pada Pembukaan UUD 1945, bahwa tujuan utama negara adalah menciptakan kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan kesejahteraan, demokrasi menjadi pilihan tepat dalam sebuah ideologi negara. Namun bedanya, Soeharto tak lagi menggunakan istilah Demokrasi Liberal maupun Terpimpin seperti yang digaungkan Soekano. Ia memperkanalkan istilah baru bernama Demokrasi .11 Kata Pancasila digunakan untuk membedakan sistem yang sebelumnya sudah diterapkan, seperti Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Istilah ini sendiri berdasarkan pada sila ke empat pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”12

9 Aria Wiratma Yudhistira, Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970an, 33-34. 10 Aria Wiratma Yudhistira, Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970an, 33-34. 11 Herbert Feith dan Lance Castles (ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945- 1965, (Jakarta: LP3ES, 1995), 132-135. 12 Krissantono (ed.), Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila, (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1984), 58-59.

5

Sebagai mantan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), Soeharto sendiri sudah tergabung dengan Golkar. Golkar sendiri bermula dari sebuah organisasi bernama Sekretaris Bersama (Sekber) Golkar yang digagas oleh Angkatan Darat pada 20 Oktober 1964. Sekber ini mewadahi berbagai organisasi yang terdiri dari berbagai kelompok, seperti organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan juga nelayan.13 Sekber Golkar ini ditujukan agar kelompok-kelompok di atas, bersama AD tentunya, bisa berpartisipasi dalam kegiatan berpolitik. Terlebih, mereka ingin meredam dominasi PKI dan menjadi alat ketika berhadapan dengan Presiden Soekarno. Namun setelah Soekarno tumbang dan penguasa baru berasal dari kalangan militer, maka Golkar menjadi sebuah legitimasi baru untuk menampung masyarakat sipil. Golkar juga berfungsi sebagai wadah untuk para kelompok yang pro terhadap Soeharto. 14 Menjelang Pemilu 1971, Soeharto memerlukan sebuah langkah agar bisa kembali menjadi Presiden RI. Sebagai partai baru, Golkar memerlukan sebuah cara untuk mendongkrak namanya di masyarakat. Hal ini bertujuan agar para politisi Golkar bisa duduk di kursi parlemen. Sebab, masih banyak anggota masyarakat yang masih condong kepada pemerintah Soekarno. Belum lagi, banyaknya partai-partai sejak awal kemerdekaan sudah memiliki pijakan yang jelas. Golkar sebagai partai baru harus bisa menang dari tantangan tersebut. 15

13 Partai Golkar, Sejarah Partai, https://partaigolkar.or.id/sejarah, (Diakses pada 4 Desember 2018 pukul 16.16). 14 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1968, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014), 126. 15 Saat itu beredar cerita bahwa kader Golkar memiliki reputasi yang kurang baik. Anggotanya ada yang terlibat kasus korupsi, memiliki klub malam, hingga

6

Saat itu, Golkar sendiri belum memiliki media untuk memperkenalkan eksistensinya di kalangan masyarakat Indonesia. Padahal, media sendiri memiliki peranan ketika menjadi alat kampanye politik. Kampanye lewat media cetak sendiri bisa disampaikan lewat berbagai unsur, seperti judul, isi, maupun narasumber. Selain itu, media juga bisa menyampaikan sikap melalui tajuk rencana atau editorial. Rubrik ini juga menjadi saluran yang berperan penting dalam melaksanakan kampanye politik.16 Demi menaikkan elektabilitas Golkar, pada 8 Maret 1971, Ali Moertopo memberikan usul agar Golkar memiliki sebuah koran sendiri. Dalam pertemuan yang dilaksanakan di Tanah Abang, Jakarta Pusat, usul ini memang tak langsung diterima. Salah satu pihak yang menolak adalah Rahman Tolleng. Menurut Rahman, jika partai memiliki media sendiri, maka tak ada bedanya dengan orde lama yang sudah mereka gulingkan.17 Namun Ali tetap kukuh dengan usul tersebut. Ia pun memberikan kucuran dana sebesar Rp50 juta untuk modal dalam pembuatan media. Terbentuklah Harian Umum Suara Karya sebagai media untuk menaikkan elektabilitas Golkar. Sumiskum terpilih sebagai Pemimpin Umum dan Djamal Ali sebagai Pemimpin Redaksi Harian Umum Suara Karya. Rahman Tolleng sendiri terpilih sebagai Wakil Pemimpin Redaksi. Sedangkan dalam jajaran redaksi ada beberapa tokoh seperti

bermain perempuan. Lihat lebih lengkap di Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1968, 127. 16 Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, (Bandung: Remadja Karya CV, 2010), 230. 17 Tempo, Koran 50 Juta Rupiah, dalam Majalah Tempo edisi Khusus Rahasia-Rahasia Ali Moertopo tanggal 14-20 Oktober 2013, 48.

7

Syamsul Bisri, Sayuti Melik, David Napitupulu, dan Cosmas Batubara. 18 Tiga hari setelah, Suara Karya terbit untuk pertama kalinya yang juga bertepatan dengan Peringatan Supersemar 1971. Pada terbitan pertama, Suara Karya membahas tentang berita utama yang berisi dukungan kepada Soeharto atas perannya dalam Supersemar. Dalam berita itu, Supersemar bermanfaat kepada Soeharto agar memberikan pembaruan setelah era Soekarno berakhir. Untuk Tajuk Rencana, Suara Karya menulisnya dengan judul Misi Suara Karya. Isinya tertulis bahwa Golkar akan memiliki peran dalam melakukan pembaharuan di segala bidang. Hal ini sesuai dengan cita-cita yang selaras dengan Orde Baru dengan berlandaskan pembangunan.19 Terciptanya Suara Karya mampu memberikan efek positif kepada Golkar dan Soeharto dalam Pemilu 1971. Dalam tahun itu, Golkar mampu mendulang suara hingga 62,8% dari total sepuluh partai politik yang turut berpartisipasi dalam pemilu.20 Di tahun pertama terbit, Suara Karya mampu menerbitkan sebanyak 25 ribu eksemplar. Tahun selanjutnya, permintaan akan Suara Karya melonjak tinggi. Di tahun 1972, Suara Karya berhasil mencetak lebih dari dua kali lipat, yakni 57,4 ribu eksemplar. Sedangkan di tahun 1973, terbitnya Suara Karya semakin naik mencapai 67,75 ribu

18 Tempo, Koran 50 Juta Rupiah, dalam Majalah Tempo edisi Khusus Rahasia-Rahasia Ali Moertopo tanggal 14-20 Oktober 2013, 48. 19 Rizal Mallarangeng, Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), 63. 20 Ilham Khoiri, Pemilu 1971, Demokrasi Semu, https://nasional.kompas.com/read/2014/01/11/1932246/Pemilu.1971.Demokrasi.Semu , (Diakses pada 4 Desember 2018 pukul 17.25).

8

eksemplar. Barulah pada tahun 1974, Suara Karya mengalami penurunan yang berjumlah 60,9 ribu eksemplar.21 Tak hanya menciptakan Suara Karya, Soeharto juga mampu mengonsolidasikan berbagai elemen di pemerintahan demi melanggengkan kekuasaannya. Ia memulainya dari menyingkirkan para pejabat yang simpati terhadap Soekarno dan menggantinya dengan yang pro terhadap Orde Baru. Selain itu, Soeharto juga membentuk Asisten Pribadi (Aspri) yang diisi oleh orang-orang kepercayaannya. 22 Namun sebelum pelaksanaan Repelita jilid II, kekuasaan Soeharto mengalami guncangan politik yang dikenal dengan peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974. Melihat uraian di atas, penulis ingin meneliti tentang peran Suara Karya dalam menaikkan elektabilitas Golkar dalam Pemilu 1971 sekaligus Soeharto. Kemudian, penulis ingin mengungkapkan tentang pikiran Suara Karya mengenai kondisi negara di bawah pemerintahan Orde Baru melalui Tajuk Rencana. Oleh karenanya, penulis memutuskan untuk mengkaji dan menjadikannya sebagai objek kajian skripsi dengan judul, “Peran Media Massa dalam Menyuarakan Kebijakan Orde Baru: Studi Kasus Harian Umum Suara Karya 1971-1974”.

21 Rizal Mallarangeng, Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya, 67-68. 22 Soeharto memadukan beberapa elemen di pemerintahan untuk melanggengkan kekuasaannya. Mulai dari menyingkirkan pejabat pro Soekarno, memasukkan para perwira untuk menjadi pejabat pemerintahan, hingga membentuk asisten pribadi yang juga dikenal sebagai Kabinet Bayangan Soeharto. Lihat lebih lengkap di Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 229-238.

9

B. Identifikasi Masalah Dari latar belakang masalah yang tertulis di atas, penulis ingin mengungkapkan beberapa permasalahan. Pertama, profil tentang Harian Umum Suara Karya. Kedua, kondisi politik negara Indonesia di masa pemerintahan Orde Baru, mulai dari kebijakan, pertentangan, hingga strategi pembangunan yang digencarkan oleh Soeharto pada 1971-1974. Ketiga, peran Harian Umum Suara Karya dalam menyikapi kebijakan Soeharto dari tahun 1971 hingga 1974. Sehingga dari sini penulis perlu mengkaji, apa yang sebenarnya terjadi pada masa itu sehingga dijadikan pembahasan oleh Harian Umum Suara Karya.

C. Batasan Masalah Dari tiga masalah yang telah diidentifikasi, penulis ingin membatasi permasalahan pada skripsi ini pada sikap Harian Umum Suara Karya melalui tajuk rencananya tentang kebijakan politik dan ekonomi di bawah pemerintahan Orde Baru pada tahun 1971-1974. Pembahasan penulis tak menyentuh keseluruhan berita yang tertulis pada Harian Umum Suara Karya.

D. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang sudah penulis paparkan, ada beberapa rumusan masalah yang dipaparkan sebagai berikut: 1. Bagaimana profil Harian Umum Suara Karya? 2. Bagaimana kondisi politik di masa pemerintahan Soeharto pada 1971 hingga 1974?

10

3. Bagaimana peran Harian Umum Suara Karya dalam menyikapi kebijakan Orde Baru melalui rubrik Tajuk Rencana?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis adalah: 1. Menjelaskan tentang profil Harian Umum Suara Karya. 2. Mengkaji tentang kondisi negara Republik Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru hingga 1974. 3. Melihat peran Harian Umum Suara Karya melalui Tajuk Rencana dalam menyikapi kebijakan pemerintahan Orde Baru dari tahun 1971 hingga 1974.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini diharapkan mampu memberi gambaran kepada pembaca untuk mengetahui kondisi perpolitikan di masa Orde Baru. 2. Diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai peranan Harian Umum Suara Karya di masa pemerintahan Soeharto. 3. Bisa menjadi salah satu sumber informasi kepada peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan dalam bidang Sejarah.

F. Metode Penelitian Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian Sejarah. Menurut Kuntowijoyo, terdapat lima tahap dalam melakukan penelitian sejarah. Tahapan-tahapan itu sendiri adalah

11

pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi atau kritik sejarah, interpretasi, dan penulisan atau historiografi.24

1. Pemilihan Topik Pemilihan topik adalah langkah pertama dalam melakukan penelitian. Nantinya, peneliti akan menemukan permasalahan yang akan menjadi kajian penelitiannya. Biasanya, pemilihan topik ditentukan berdasarkan ketertarikan si peneliti, baik itu kedekatan emosional maupun kedekatan intelektual.25 Oleh karena itu, penulis menentukan topik penelitian ini dengan judul “Peran Media Massa dalam Menyuarakan Kebijakan Orde Baru: Studi Kasus Harian Umum Suara Karya 1971-1974”. 2. Pengumpulan Sumber Dalam bentuknya, sumber dibagi menjadi dua. Ada sumber lisan dan sumber tulisan. Sumber tertulis merupakan sumber yang berbentuk dokumen maupun foto. Sedangkan sumber lisan terdiri dari narasumber yang berkaitan dengan topik yang akan ditulis peneliti. Nantinya, narasumber itu akan menceritakan pengalaman dia terkait pertanyaan yang ditanya si peneliti, kemudian argumen si narasumber akan disajikan ke dalam bentuk tulisan.26 Sedangkan dalam penyampaiannya, sumber dibagi ke dalam dua macam, yakni sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah hal yang disampaikan oleh si pelaku sejarah, seperti saksi mata. Sumber primer sendiri juga bisa berbentuk arsip, dokumen, maupun foto.

24 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), 69. 25 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, 70-72. 26 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, 73-76.

12

Sumber sekunder adalah sumber yang disampaikan namun bukan dari si saksi sejarah. Sumber sekunder biasanya sudah terbentuk ke dalam buku- buku bacaan yang membahas tentang topik si peneliti.27 Dalam penelitian ini, penulis mendapatkan beberapa sumber pendukung dari berbagai lokasi. Teruntuk sumber primer, penulis menemukan sumber koran Suara Karya dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang berlokasi di Salemba, Jakarta Pusat. Sedangkan sumber sekunder, penulis mendapat berbagai sumber dari Perpustakaan UIN Jakarta, Perpustakaan Universitas Indonesia, koleksi buku pribadi, koleksi buku teman, aplikasi daring Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang berisi kumpulan buku elektonik, hingga sumber artikel dari internet. 3. Verifikasi Verifikasi bisa juga dikatakan sebagai kritik sumber. Setelah sejarawan menemukan sumber pendukung, baik itu primer maupun sekunder, peneliti wajib untuk memilah sumber-sumber mana saja yang bisa digunakan untuk bahan penelitiannya. Terkadang, ada beberapa sumber yang belum otentik, belum akurat, ataupun kredibilitasnya masih diragukan. Oleh karenanya, verifikasi menjadi metode penting dalam menentukan sumber untuk dimasukkan ke dalam rujukan penelitian. 4. Interpretasi Interpretasi merupakan sebuah penafsiran dari sejarawan yang dilakukan setelah melakukan verifikasi sumber sejarah. Dari sana, sejarawan akan melaksanakan analisis berdasarkan temuan-temuan yang sudah diperoleh. Walaupun tentunya interpretasi penelitian yang

27 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, 75.

13

dilakukan sejarawan tetap tergolong subjektif. Akan tetapi, subjektivitas penelitian sejarah bisa dinilai dari hasil-hasil yang didapat oleh sejarawan. Tentunya, para pembaca bisa menilai apakah sejarawan yang menulis penelitian tersebut mampu mempertanggungjawabkan hasil penelitiannya.28 5. Penulisan atau Historiografi Penulisan atau historiografi merupakan langkah terakhir dalam metode penelitian. Penulisan ini adalah hasil dari kumpulan sumber yang sudah diolah dan dipadukan ke dalam bentuk penelitian.29 Pedoman yang digunakan dalam penelitian ini sendiri merujuk pada Surat Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor 507 Tahun 2017. Surat keputusan ini berisi tentang pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) untuk civitas academica UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

G. Sistematika Penulisan Untuk menjaga fokus penelitian ini, maka diperlukan suatu sistematika penulisan agar tidak terjadi kerancuan dan ambigu dalam penguraiannya. Oleh karenanya, penulis membaginya ke dalam enam bab. Adapun sistematika penulisan adalah sebagai berikut: Bab pertama, pendahuluan. Dalam bab ini penulis akan menguraikan latar belakang, permasalahan yang akan dijawab. Kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penelitian. Berikutnya sebagai pedoman dan arahan yang akan menjadi parameter sekaligus acuan dalam penelitian. Barulah yang terakhir sistematika penulisan.

28 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, 78. 29 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, 81.

14

Bab kedua, dalam bab ini akan diuraikan landasan teori, kajian pustaka, dan kerangka berpikir. Bab ketiga, diuraikan sejarah kemuculan pers di Indonesia. Dari awal kemunculannya pada masa pergerakan hingga di masa kepemimpinan Soekarno dan Soeharto. Namun, pembahasan pers ini hanya sampai pada tahun 1974 saja, yakni dimulainya Peristiwa Malapetaka 19 Januari 1974 yang berpengaruh kepada awal mula pembredelan pers. Bab keempat, bab ini membahas tentang kondisi sosial-politik yang terjadi di masa pemerintahan Soeharto. Dari transisi pemerintahan Soekarno menuju Soeharto, hingga masa kepemimpinannya pada tahun 1974. Bab kelima, bab ini berisi sikap media Harian Umum Suara Karya melalui rubrik Tajuk Rencana yang dimulai dari tahun 1971 hingga 1974. Bab ini membahas tentang Tajuk Rencana Suara Karya dalam menanggapi kebijakan pemerintah, seperti sikap terhadap Soeharto selaku penguasa, mewacanakan pembangunan, membahas politik, hingga menanggapi kritik yang dilakukan masyarakat terhadap pemerintah Soeharto. Bab keenam, bab penutup yang terdiri dari kesimpulan, implikasi, dan saran sebagai jawaban eksplisit atas apa yang dipersoalkan dalam rumusan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori Media massa merupakan salah satu dari unsur saluran komunikasi. Saluran komunikasi bisa terdiri dari berbagai alat, seperti mesin cetak, radio, telepon, atau komputer. Menurut sosiolog Charles Wright, media massa menyajikan jenis khusus komunikasi yang melibatkan tiga perangkat kondisi khusus, yakni sifat khalayak, pengalaman komunikasi, dan komunikator. 30 Hubungan pemerintah dan pers sendiri dibagi ke dalam empat teori komunikasi massa, yakni teori auteriter, teori libertarian, teori komunis, dan teori pertanggungjawaban sosial. Teori auteriter menyebut bahwa kekuasaan pemerintah harus dipusatkan pada satu orang atau elit politik, sedangkan pers berfungsi sebagai kontrol sosial untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Teori libertarian menulis bahwa pers tidak boleh terkekang, harus bebas, dan bertujuan untuk membentuk opini antara pemerintah dan rakyat secara bebas dan terbuka. Teori komunis menuliskan bahwa pers merupakan alat untuk menyampaikan kebijakan sosial demi kepentingan ideologi yang dibuat oleh partai komunis. Sedangkan teori pertanggungjawaban sosial berargumen bahwa prinsip pers adalah kebebasan. Namun pers tetap melaksanakan pelayanan

30 Wright berpendapat bahwa komunikasi massa menjadi salah satu faktor dalam unsur kampanye politik. Ia berpendapat bahwa pengalaman komunikasi itu bisa diperoleh dalam waktu singkat, secara sepintas, lalu serentak. Untuk lebih jelas liat kutipan Wright dalam karya Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, 185-186.

15

16

masyarakat melalui kritik sosial dan pendidikan masyarakat yang bertanggung jawab. 31 Untuk perihal kampanye, media cetak sendiri bertindak sebagai sarana yang membantu pembinaan citra dan penyajian masalah. Akan tetapi, peran utama dalam media cetak sebagai sarana kampanye adalah membangun citra dari lembaga yang terafiliasi dengan media tersebut. Doris Graber menyebutkan bahwa media cetak menyajikan informasi mengenai kandidat politik yang membahas kredibilitas, watak, gaya, hingga reputasinya. Penyampaiannya bisa lewat judul, isi, maupun sosok narasumber. Sedangkan dalam rubrik editorial atau tajuk rencana, dukungan lebih ditekankan pada profil si kandidat, bukan masalah yang dikemukakan dalam pidatonya.32 Rubrik editorial atau tajuk rencana ini menjadi saluran signifikan dalam persuasi kampanye.33 Dalam penelitian ini, penulis merujuk pada teori Eriyanto mengenai Analisis Wacana. Analisis Wacana merupakan sebuah kajian mengenai teks dalam media. Namun, bukan berarti jika Analisis Wacana hanya terfokus kepada kajian Ilmu Komunikasi. Analisis Wacana juga bisa mengungkapkan ideologi yang dianut oleh si media, yang kemudian menjadi landasan untuk mempresentasikan realitas sosial, budaya, dan alat perjuangan.34 Analisis Wacana digunakan tak hanya berpacu pada pertanyaan apa (what), namun lebih melihat pada poin bagaimana (how) dari sebuah pesan atau teks yang disampaikan dalam media tersebut.

31 Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, 294. 32 Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, 230. 33 Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, 232. 34 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Teks Analisis Media, (Yogyakarta: LKiS, 2006), xv-xvi.

17

Melalui Analisis Wacana, pembaca dapat mengetahui pesan yang disampaikan dari isi berita.

B. Kajian Pustaka Jika ditelisik, kajian tentang kiprah Harian Umum Suara Karya dalam kancah perpolitikan di masa Orde Baru memang tak banyak. Padahal, sebagai media yang memiliki afiliasi dengan Partai Golkar, partai penguasa, maka sangatlah naif apabila tak ada yang meneliti tentang media tersebut. Oleh karenanya, penelitian yang penulis lakukan menjadi sangat menarik karena belum ada yang fokus dengan kiprah Harian Umum Suara Karya. Walaupun demikian, masih ada beberapa literatur yang menyinggung sedikit mengenai Harian Umum Suara Karya dalam kancah Orde Baru. Di bawah ini, penulis akan menjabarkan berbagai referensi yang nantinya akan menjadi rujukan dalam penelitian ini, antara lain: 1. Buku 34 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman yang ditulis oleh tim penyusun Ricky Rachmadi dkk. Buku ini merupakan sebuah refleksi 34 tahun Harian Umum Suara Karya dari 1971 hingga 2005. Buku ini membahas tentang profil, sejarah, hingga perkembangan koran itu sampai tahun 2005.35 Di dalamnya juga tertulis beberapa mantan wartawan Harian Umum Suara Karya, dari Dahlan Iskan hingga Trias Kuncahyono. 2. Buku Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya yang ditulis Rizal Mallarangeng. Skripsi yang diolah menjadi

35 Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman, (Jakarta: Badan Litbang Harian Umum Suara Karya, 2005).

18

buku ini membahas tentang isi pemberitaan yang diterbitkan oleh dua media Indonesia saat pemerintahan Soeharto, yakni Kompas dan Harian Umum Suara Karya. Rizal membandingkan tinjauan isi dua media tersebut lewat penulisannya di rubrik Tajuk Rencana. Fokusnya tertuju kepada bagaimana sikap kedua media itu terhadap kebijakan Orde Baru.36 Ia juga membandingkan oplah dan target pembaca dua media tersebut melalui data-data dengan bentuk statistik dan tabel. Namun, karya Rizal lebih memaparkan tentang jumlah pembaca, narasumber, hingga jenis tajuk rencana yang dibahas−baik itu politik, ekonomi, sosial−dalam bentuk tabel. Artinya, Rizal menggunakan penelitian kuantitatif sebagai penyelesaian masalah. Sedangkan penulis ingin menjabarkan isi tajuk rencana dengan bentuk deskriptif dan kualitatif yang nantinya akan terbagi ke dalam beberapa fokus pembahasan. 3. Buku Pers di Masa Orde Baru karya David T. Hill. Buku ini membahas tentang seluk beluk pers yang ada di Indonesia. Berawal dari sebuah pengantar tentang geliat pers sebelum era Soeharto sampai pada tahun 1990-an. Fokus kajian buku ini terletak pada masa-masa di mana kebijakan Orde Baru yang berujung pada pembredelan pers Indonesia selama 1974 hingga 1990-an.37 Selain itu, buku ini juga membahas tentang industrialisasi pers, pers kedaerahan, hingga pers alternatif semacam pers mahasiswa yang ada di era Soeharto.

36 Rizal Mallarangeng, Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010). 37 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011).

19

4. Buku 1966-1974: Kisah Pers Indonesia karya Akhmad Zaini Abar. Skripsi yang telah dibukukan ini membahas tentang fenomena sosio-politik yang terjadi dalam masa Orde Baru yang dimulai pada 1966 dan berujung pada Peritiwa Malari 1974.38 Dari fenomena itu, Akhmad kemudian menjabarkan dampak dari kebijakan orde baru kepada pers yang ada di Indonesia. Tak hanya itu, ia juga menjelaskan perkembangan mengenai sikap kritik yang dilontarkan pers Indonesia saat itu. 5. Buku Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia karya Abdurrahman Surjomihardjo dkk. Buku ini sendiri membahas tentang kiprah media massa yang ada di Indonesia. Buku ini dibagi menjadi beberapa pembahasan. Pembahasan pertama diawali dengan kiprah pers di masa pergerakan dan perkembangannya menuju kemerdekaan 1945. Setelahnya, buku ini mengkaji tentang zaman pembredelan pers di masa Orde Baru, yang dimulai dari Tragedi Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974. Tak hanya itu, buku ini juga membahas tentang kiprah pers daerah, seperti pers yang ada di wilayah Sulawesi Utara dan Kalimantan Selatan.39

38 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia. 39 Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004)

20

C. Kerangka Berpikir

Suara Karya dan Pemerintah

Bagaimana sikap Suara Karya Masalah dalam menanggapi kebijakan pemerintahan era Soeharto.

Analisis Pendekatan Wacana

Empat teori Sikap Suara Metodologi pers: auteriter, Karya sebagai libertarian, media partisan komunis, dan pemerintah Teori pertanggungja Orde Baru

waban sosial lewat Tajuk Rencana

Suara Karya menjadi corong kampanye Golkar dan Temuan Soeharto dalam menghadapi Pemilu 1971.

Usai memenangi

Suara Karya Suara Karya Pemilu 1971, menjawab menjelaskan Suara Karya berbagai kritik berbagai menyuarakan terhadap kebijakan politik pembangunan pemerintahan yang diterapkan yang menjadi yang beredar di pemerintah jargon masyarakat . Soeharto. Pemerintah Orde Baru.

BAB III PERS DAN POLITIK DI INDONESIA

Pers, atau media cetak, tak bisa lepas dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia (RI). Dalam perkembangannya, pers Indonesia terbagi ke dalam beberapa periode. Periode pertama dimulai di masa pemerintahan Hindia-Belanda. Era selanjutnya dimulai pada masa kemerdekaan Indonesia. Sedangkan periode ketiga dimulai sejak masa pemerintahan Orde Baru.40 Dalam bab ini, penulis ingin menjabarkan perkembangan pers di Indonesia yang dibagi ke dalam tiga poin. Poin pertama adalah perkembangan pers Indonesia sebelum merdeka. Kedua yakni perkembangan pers saat pemerintahan Soekarno. Sedangkan poin terakhir membahas tentang perkembangan pers di era Orde Baru, tepatnya hingga tahun 1974.

A. Pers Pra Kemerdekaan Awal mula perkembangan pers di Indonesia tak lepas dari pengaruh Belanda. Sejarah pers di Indonesia sendiri bercorak tentang keadaan masyarakat, kebudayaan, serta kondisi politik. Di masa itu, Indonesia sendiri memiliki ragam golongan penduduk yang terpisah, yakni Belanda, Tionghoa, Arab, hingga pribumi. Oleh karenanya, pers di Indonesia saat itu juga terbagi ke dalam berbagai kelompok, ada yang menggunakan bahasa Belanda, Tionghoa, hingga Indonesia.

40 Suf Kasman, Pers dan Pencitraan Umat Islam di Indonesia: Analisis Isi Pemberitaan Harian Kompas dan Republika, (Jakarta: Balai Litbang dan Diklat Kemenang, 2010), 72-73.

21

22

Dikarenakan pembagian kelompok itu, pers juga menyesuaikan bagaimana penyampaian informasi sesuai dengan ideologi yang dianut oleh masyarakat tersebut.41 Di masa pemerintahan Belanda, terbitnya pers berfungsi sebagai bagian dari usaha orang-orang Belanda. Pers saat itu hanyalah menjadi sarana untuk memberitakan kepentingan perusahaan perkebunan dan industri minyak yang dikuasai oleh Belanda. Media-media belum memberitakan tentang keadaan sosial politik yang terjadi di Indonesia. Pemerintah Hindia-Belanda sendiri memang mengorientasikan berita- berita yang terbit haruslah mendukung kebijakan pemerintah dan menghindari sikap-sikap yang menjurus pada tindakan berbahaya.42 Dari sana, pemerintah kemudian membuat kebijakan tentang pers yang bernama Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie tahun 1856. Dalam peraturan tersebut, tertulis bahwa sebelum semua karya cetak diterbitkan, pihak media itu harus mengirimkan satu contoh eksemplar kepada kepala pemerintahan setempat, pejabat justisi, dan Aglemene Secretarie (Lembaga Arsip).43 Media itu juga harus mencantumkan nama dan lokasi penerbitan. Apabila peraturan itu dilanggar, maka pihak media harus merelakan karya cetaknya untuk

41 Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), 6. 42 Bisa dibilang, awal mula pers di masa kolonial Belanda cenderung netral dalam sikap berpolitik. Sejak awal, pers Belanda merupakan pers resmi pemerintah dikarenakan isinya harus disetujui lebih dulu. Barulah sejak akhir abad 19, pers mulai menunjukkan sikapnya terhadap kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda. Lebih lanjut lihat Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, 30-31. 43 Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, 172.

23

disita dan memungkinkan adanya penyegelan yang akan dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda. 44 Pada tahun 1906, terjadi perubahan dalam Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie. Di aturan sebelumnya tertulis bahwa apabila media ingin mencetak terbitan, maka mereka wajib memberikan kompensasi sebesar f200-f5.000. Dalam aturan baru pada 1906, uang tanggungan itu dihilangkan. Kemudian, sanksi berupa penyitaan terhadap media yang sudah dicetak diganti menjadi denda f10- f100. 45 Berlanjut pada 1918, pemerintah menerbitkan peraturan bernama Haatzaai Artikeln. Peraturan ini berisi tentang hukuman kepada siapa saja yang menyebarkan permusuhan, kebencian, dan penghinaan terhadap pemerintah Hindia-Belanda. Dalam sanksinya, apabila melanggar akan mendapat hukuman penjara selama empat sampai tujuh tahun atau denda maksimal 300 gulden.46 Kemudian pada 7 September 1931, muncul peraturan Persbreidel Ordonantie. Aturan ini berisi tentang wewenang Gubernur Jendral untuk melarang percetakan, penerbitan, dan penyebaran pers yang dirasa akan mengganggu ketertiban umum. Sanksinya adalah pelarangan terbit dengan jangka waktu delapan hari. Namun, larangan

44 Wina Armada, Menggugat Kebebasan Pers, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), 51. 45 Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, 172. 46 Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, 173-174.

24

terbit ini bisa dicabut apabila media tersebut mengubah sikapnya menjadi lebih lunak kepada pemerintah Hindia-Belanda.47 Dalam perkembangan pers di Indonesia, media massa pertama yang dicetak oleh pemerintah Hindia-Belanda adalah Bataviasche Nouvelles pada 1744. Media cetak yang terbit di Jakarta ini tak berumur panjang, hanya berusia dua tahun.48 Adanya pers pertama ini berbuntut pada kelahiran media cetak baru yang muncul di berbagai daerah yang ada di Indonesia, seperti di Semarang (De Locomotief, 1851), Surabaya (Soerabajaasch Handelsblad, 1852), Surakarta (Vorstenlanden, 1871), Bandung (De Preanger Bode, 1895), Yogyakarta (Mataram, 1903), Sumatera Utara (Deli Courant, 1884), (Sumatra Bode, 1893), Palembang (Nieuws en Advertentie blad voor de Residentie Palembang, Djambi en Banka, 1898), hingga Makassar (Makassaarsche Courant, 1894).49 Pers-pers ini masih dalam bentuk bahasa Belanda. Seperti yang dijabarkan sebelumnya, kehadiran pers ini dimaksudkan untuk menjadi sumber informasi oleh pemerintah Hindia-Belanda. Dalam artian, pers ini merupakan pers resmi yang disetujui pemerintah. Teruntuk pers berbahasa Melayu, Douwes Dekker mengemukakan bahwa surat kabar pertama yang menggunakan bahasa Melayu adalah Bintang Soerabaja pada tahun 1861 dengan pemimpin redaksinya bernama Courant. Media ini sangat berpengaruh bagi kalangan orang Tionghoa di Jawa Timur. Hampir sama dengan Bintang

47 Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, 172-173. 48 Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, 25. 49 Lihat lebih lengkap di Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, 25-30.

25

Soerabaja, Pewarta Soerabaja juga menjadi konsumsi bagi kalangan orang Tioghoa di sekitar Jawa Timur. Media yang dipimpin oleh H. Hommer ini terbit pada 1902. Berpindah ke Sumatera Barat, muncul juga Sinar Soematra pada 1897 yang dinaungi Lim Soen Hin, R. Datoek Soetan Maharadja yang mengepalai Tjahaja Soematra, dan Pemberita Atjeh di bawah Dja Endar Moeda. Ada juga Pertja Barat yang dipimpin oleh Soetan Negeri. Di Jakarta, terbit juga Pemberita Betawi (1874) dinaungi J.Hendriks dan Taman Sari (1898) di bawah pimpinan F. Wiggers. Di Bandung ada Pewarta Hindia (1894) dibawahi Raden Ngabeho Tjitro Adiwinoto. Di Semarang ada Bintang Pagi (1907) dibawahi oleh The Mo Hoat dan Sinar Djawa (1899) yang dipimpin oleh Sie Hang Lang. Di Surakarta, ada Taman Pewarta (1901) dipimpin oleh Thjie Siang Liang dan Ik Po (1904) di bawah naungan Tan Soe Djwan. Di Bogor terdapat terbitan mingguan bernama Tiong Hoa Wie Sin Ho (1905) yang dikepalai Tan Soei Bing. Di Malang terdapat Tjahaja Timoer (1907) yang dikepalai Raden Djojosoediro.50 Pers yang diperuntukkan untuk penduduk Hindia-Belanda sendiri dimulai lewat cetaknya Bromartani pada tahun 1855. Bromartani adalah media pertama yang menggunakan bahasa lokal, khususnya bahasa Jawa, yang terbit di Surakarta. Tahun 1856, muncul juga Soerat Kabar Bahasa Melaijoe yang terbit di Surabaya. Pers ini menggunakan huruf Arab yang bahasanya adalah Melayu. Kemudian pada 1858,

50 Secara keseluruhan, perkembangan pers berbahasa Melayu di Indonesia pada 1861-1907 menurut Douwes Dekker berjumlah 33 media, yang tersebar di 12 kota. Lihat dalam bentuk tabel di Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, 77-79.

26

muncul juga Soerat Chabar Betawie di Jakarta yang menggunakan bahasa Melayu rendah.51 Dari penjabaran di atas, perkembangan pers di Indonesia tak bisa lepas dari peranan orang-orang Belanda dan Tionghoa. Awal mula kemunculan pers di Indonesia sendiri dinamakan babak putih.52 Hal ini dikarenakan pers berfungsi untuk memberikan informasi kepada orang- orang Belanda yang ada di Hindia-Belanda dan tak adanya kaitan dengan para kalangan pribumi Hindia-Belanda. Para petinggi media di atas kebanyakan diisi oleh orang-orang Belanda dan Tionghoa. Namun, ada juga orang asli Indonesia yang turut berperan dalam susunan redaksi, seperti Abdoel Rivai, Sosrokartono, Wahidin Soediro Hoesodo, R. Dirjoatmojo, Datoek Soetan Maharaja, dan lain-lainnya.53 Munculnya pers berbahasa Melayu yang juga dimiliki oleh orang asli Indonesia dipelopori oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo (1880- 1918). Kiprahnya dalam pembentukan pers nasional dimulai pada 7 Februari 1903 lewat terbitan Soenda Berita di Cianjur, Jawa Barat.54 Namun sayang, media ini tak bertahan lama. Pada 1905-1906, Soenda Berita mengalami krisis finansial yang kemudian berhenti cetak.55 Tak lama setelahnya, Tirto kembali menerbitkan sebuah media bernama Medan Prijaji (1907) dan Soeloeh Keadilan (1908). Medan Prijaji menjadi surat kabar mingguan pertama yang terbit di Jawa.

51 Teruntuk Soerat Kabar Bahasa Melaijoe dan Soerat Chabar Betawie, media ini tak mencantumkan struktur redaksi. Penjelasan lebih lanjut lihat di Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, 80. 52 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, (Jakarta: Hasta Mitra, 1985), 34. 53 Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, 52-54. 54 Jajat Burhanudin, “The Fragmentation of Religious Authority: Islamic Print Media in Early 20th Century Indonesia”, Studia Islamika 11, No. 1, 2004, 35. 55 Muhidin M. Dahlan dan Iswara N. Raditya, Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan, (Jakarta: I:Boekoe, 2008), 17.

27

Dibandingkan dengan Soenda Berita, Medan Prijaji jauh lebih radikal dalam mengkritisi kebijakan pemerintah Hindia-Belanda. Medan Prijaji berperan sebagai corong dalam mengekspresikan pandangan kaum terpelajar pribumi, khususnya pada isu-isu sosial dan politik yang ada di Hindia-Belanda. 56 Terbitnya Medan Prijaji menjadi peluang kepada para pribumi Hindia-Belanda untuk menerbitkan pers lain. Seperti yang dilakukan Sarekat Islam. Organisasi yang berdiri pada 1911 itu melahirkan beberapa media cetak, seperti Oetoesan Hindia (1913) di Surabaya, Sinar Djawa (1914) di Semarang, Pantjaran Warta (1913) di Betawi, Saroetomo (1913) di Surakarta, dan Sinar Hindia (pengganti Sinar Djawa, 1918). 57 Selain Sarekat Islam, organisasi pergerakan di Indonesia yang juga menerbitkan pers adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Organisasi yang lahir pada 1914 ini melahirkan beberapa pers, yakni di Semarang (Sinar Hindia, 58 Soeara Ra’jat, Si Tetap, dan Barisan

56 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, (Jakarta: Hasta Mitra, 2003), 188-189. 57 Perkembangan pers Sarekat Islam bisa dilihat di Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, 171-172 dan Dewi Yulianti, Semaoen, Pers Bumiputera, dan Radikalisasi Sarekat Islam Semarang, (Semarang: Bendera, 2000), 65-66. 58 Awal mulanya, Sinar Hindia memang menjadi media dari Sarekat Islam. Perpecahan SI Semarang dimulai ketika H.O.S Tjokroaminoto berselisih dengan Semaoen dan Sneevliet. Tjokro menilai gejolak muda dalam diri Semaoen terlalu radikal, terutama ketika mengkritik kebijakan pemerintah Hindia lewat Sinar Djawa. Karena tak bisa dikendalikan oleh Tjokro, Semaoen dan Sneevliet pun hengkang dari Sinar Djawa pada tahun 1922. Mereka pun dan bergabung dengan Sinar Hindia. SI Semarang yang berhaluan ‘merah’ itu kemudian turut mengambil alih penerbitan Sinar Hindia pada 1923. Setahun setelahnya, SI ‘merah’ pun mengganti namanya menjadi Sarekat Rakjat yang nantinya menjadi cikal bakal lahirnya PKI. Setelah berganti nama, otomatis Sinar Hindia juga otomatis menjadi bagian organisasi baru tersebut. Lihat lebih lanjut di Azhar Irfansyah dan Nella A. Puspitasari, “Tentang Pasang Surutnya Badai Itu: Riwayat Pers Kiri di Indonesia (Bagian I)”, Harian IndoPROGRESS, 16 Mei

28

Moeda), Surakarta (Islam Bergerak, Medan Moeslimin, Persatoean Ra’jat, Senopati, Humbromarkoto, dan Mowo), Surabaya (Proletar), Yogyakarta (Kromo Mardiko), Bandung (Matahari, Mataram, Soerapati, dan Titar), Batavia (Kijahi-Djagoer dan Nyata), Pekalongan (Senjata Ra’jat), Purwokerto (Doenia Merdeka), Padang (Petir dan Torpedo), Padang Panjang (Djago! Djago! dan Pemandangan Islam), Bukittinggi (Doenia Achirat), Solok (Sasaran Ra’jat), Sawahlunto (Signal), Langsa (Oetoesan Ra’jat dan Batterij), Sibolga (Persamaan), Medan (Goentoer), Palembang (Djam), Pontianak (Halilintar, Berani, dan Warta Borneo), Makassar (Pelita Ra’jat), dan Ternate (Bendera Merah).59 Muhammadiyah juga memiliki peran dalam perkembangan pers di Indonesia. Terbitan pertama organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah Majalah Bintang Islam (1923). Majalah ini membahas tentang kehidupan sosial-agama, khususnya Islam, yang terjadi di Indonesia. Selain itu, majalah ini juga menginformasikan berbagai kegiatan-kegiatan kaum Muslim yang tersebar di penjuru dunia. Dalam perkembangannya, Muhammadiyah terus mencetak berbagai pers, seperti Bendera Islam (1924), Adil (1932), Pantjaran Amal (1936), al-Kirom (1928), Ichtiyar (1938), Al-Chair (1926), Soengoenting Moehammadijah (1927), Swara Islam (1931). Selain Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis)60 juga memiliki beberapa terbitan pers. Di

2014, 9. Baca juga pengaruh Semaoen dalam SI di Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, (Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1999), 18. 59 Lihat dalam bentuk tabel di Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, 89. 60 Persis adalah sebuah organisasi Islam yang didirikan oleh H. Zamzam dan H. Muhammad. Persis terbentuk pada 12 September 1923 di Bandung, Jawa Barat.

29

antaranya adalah Pembela Islam (1929), al-Fatawa (1931), dan Sual- Djawab (1930). 61 Tahun 1942, Jepang pun menggantikan Belanda untuk menduduki pemerintahan Indonesia. Pers Belanda dan Pers Tionghoa pun diambil alih oleh Jepang. Pers Pribumi sendiri masih mendapat izin untuk diterbitkan, namun tetap diawasi oleh militer Jepang. Jepang sendiri memiliki kebijakan dalam pembagian kekuasaan. Secara teritori, Indonesia terbagi menjadi dua bagian wilayah. Daerah Sumatera dan Jawa dikuasai oleh Angkatan Darat, sedangkan untuk wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan daerah bagian timur lain dikuasai oleh Angkatan Laut. Mereka pun mendirikan media sendiri dalam penyaluran komunikasi. Di Sumatera ada Sumatera Shinbun, Jawa ada Jawa Shinbun, Kalimantan ada Borneo Shinbun, Sulawesi ada Celebes Shinbun, dan Pulau Seram, Maluku ada Ceram Shinbun.62 Selain itu, Jepang juga menerbitkan beberapa media yang berbahasa Indonesia. Media itu terbagi ke dalam beberapa daerah, di Jakarta ada Asia Raya (1942) dan Pembangoenan (1942), Bandung ada Tjahaja (1942), Yogyakarta ada Sinar Matahari (1942), Semarang terdapat Sinar Baroe (1942), Surabaya ada Pewarta Perniagaan (1942), lanjutan dari surat kabar Belanda Soerabajaasch Hendelsblad) dan Soeara Asia (1942), terusan dari surat kabar Tiongkok). Pengelolaannya

Persatuan Islam, Sejarah Persatuan Islam¸ http://persis.or.id/sejarah-persatuan-islam, (Diakses pada 18 Desember 2018 pukul 21.55 WIB). 61 Jajat Burhanudin, “The Fragmentation of Religious Authority: Islamic Print Media in Early 20th Century Indonesia”, 47-48. 62 Edward C. Smith, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1986), 71.

30

sendiri dikelola oleh serikat persuratkabaran di bawah pemerintah militer bernama Jawa Shimbun Kai. 63 Di masa pemerintahan militer Jepang, orang-orang Indonesia diberikan wewenang untuk menduduki jabatan staf redaksi senior yang menggantikan peran orang-orang Belanda. Sebab, kalangan terdidik Indonesia masih belum mampu menguasai bahasa Jepang dalam waktu yang singkat. Jepang juga memberikan program pelatihan bagi para jurnalis Indonesia. Dari sana, bahasa Indonesia kemudian menjadi sarana komunikasi dalam sektor birokrasi maupun pers. 64

B. Pers Orde Lama Sejak Soekarno-Hatta memproklamasirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, semua media massa seolah berhenti mendadak. Indonesia tak memiliki corong komunikasi untuk menyebarkan deklarasi kemerdekaan itu. Memang pada saat itu kemerdekaan Indonesia didukung oleh segelintir tokoh elit Jepang. Namun, menyebarkan peristiwa pembacaan naskah proklamasi menjadi hal yang tak disukai kalangan militer Jepang. 65 Di dalam kondisi seperti itu, muncul seorang pemuda Indonesia berusia 20 tahun bernama Burhanuddin Mohammad Diah. Bersama sekelompok orang lain, mereka menguasai percetakan Koran Asia Raya (Koran yang dibuat oleh pemerintah Jepang saat itu). Diah pun

63 Abdurrahman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, 101-102. 64 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 22. 65 Petrik Matanasi, Prabowo Harus Belajar Sejarah: Wartawan adalah Bidan Lahirnya RI, https://tirto.id/prabowo-harus-belajar-sejarah-wartawan-adalah-bidan- lahirnya-ri-da99, (Diakses pada 18 Desember 2018 pukul 19.06 WIB).

31

berencana menerbitkan sebuah surat kabar untuk menyebarkan peristiwa bersejarah ini. Sebelumnya, Indonesia memiliki Kantor Berita Nasional bernama Antara yang lahir pada tahun 1937. Namun, kantor itu diambil oleh oleh Jepang untuk dijadikan Kantor Berita DO-MEI. Setelah Antara direbut kembali, kantor ini pun dijadikan kebangkitan pers Indonesia. 1 Oktober 1945, terbit Harian Merdeka yang bertujuan untuk menyebarkan proklamasi kemerdekaan RI.66 Dalam penyebaran informasi kemerdekaan Indonesia, Merdeka menjadi satu-satunya sumber informasi yang menjadi bahan berita untuk media asing. 67 Selain Diah, muncul juga sosok yang membentuk harian Indonesia Raya (1949). Indonesia Raya menjadi media independen dan sangat keras terhadap komunis. Selain Indonesia Raya, Mochtar Lubis juga mendirikan media The Times of Indonesia (1952). Media ini kemudian diambil alih wartawan asal Sri Lanka Charles Tambu. The Times of Indonesia adalah media di Indonesia yang menggunakan bahasa Inggris.68 Tak hanya kemunculan pers Indonesia, Pers Belanda dan Pers Cina ikut muncul setelah dilarang di masa pendudukan Jepang. Tahun 1948, Belanda menerbitkan 13 media cetak. Sedangkan Cina menerbitkan harian Sin Po dan Keng Po.69

66 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 23. 67 Pada 3 Oktober 1955, The Times of Indonesia merayakan peringatan ulang tahun kesepuluh harian Merdeka. Lewat tajuk rencananya, media yang dipimpin oleh Mochtar Lubis menceritakan tentang sejarah lahirnya Merdeka dan menyampaikan terima kasih karena telah menyebarkan informasi kemerdekaan. Lihat di Edward C. Smith, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, 93. 68 Edward C. Smith, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, 93-94. 69 Edward C. Smith, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, 76.

32

Namun, seiring berjalannya waktu, pemerintahan Soekarno mulai menyikapi peredaran pers asing seperti Belanda dan Cina. Terlebih, saat itu kondisi pers nasional sedang mengalami ekonomi yang kembang-kempis. Di lain pihak, perusahaan Belanda tak mau menanamkan modalnya ke dalam perusahaan pers Indonesia. Hal ini menimbulkan kecemburuan dari perusahaan pers Indonesia yang saat itu tengah merintis modal, dengan pers Belanda yang kondisinya lebih stabil. 70 Puncaknya pun terjadi ketika Indonesia tengah gencar untuk merebut wilayah Irian Barat dari Belanda. Hal ini pun menjadi ancaman bagi pemerintah Belanda, termasuk perusahaan yang menangani kegiatan pers yang ada di Indonesia. Tak hanya Belanda, pers Cina pun turut terancam karena seringkali mengkritik kebijakan pemerintah Indonesia. Golongan pers Cina ini seringkali bergaung bahwa masyarakat Cina yang ada di Indonesia tak perlu berbaur dengan masyarakat Indonesia. Sebab, mereka menganggap diri mereka adalah minoritas. Pemerintah Indonesia pun merespons bahwa ideologi asing nantinya akan mengancam undang-undang dasar yang telah ditetapkan. Lambat laun, pers Belanda dan pers Cina pun tenggelam dan tak terbit lagi.71 Pascakemerdekaan menjadi era kejayaan pertumbuhan media cetak di Indonesia. Ketika Belanda mengakui pemerintahan Indonesia secara konstitusional pada 1949 hingga 1950an, tercatat ada 75 penerbitan dengan jumlah persebarannya yang mencapai 413 ribu untuk

70 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 24. 71 Merosotnya pers Cina di Indonesia bisa dilihat di Edward C. Smith, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, 76. Sedangkan mundurnya pers Belanda bisa dilihat di David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 24.

33

masing-masing terbitan.72 Hal ini dikarenakan kemunculan pers sebagai pendukung negara dalam menyebarkan informasi kemerdekaan ke berbagai penjuru. Pers pada zaman ini seolah mendapat angin segar untuk menyampaikan ide dan gagasannya. 73 Memasuki tahun 1949-1950an, pers Indonesia memasuki era baru. Pada tahun ini, pers menjadi bagian dari sebuah corong partai politik. Bisa dikatakan, pers zaman ini menjadi pers partisan partai politik. Sebab, mereka dengan terang-terangan mendukung partai yang seidelogi dengannya.74 Dimulai pada tahun 1947, Partai Masyumi75 menerbitkan harian Abadi. Harian ini ditujukan untuk membawakan ideologi pemikiran Masyumi.76 Pada 1948, muncul juga harian Pedoman yang dibawahi oleh Rosihan Anwar. Pedoman muncul sebagai media yang mendukung Partai Sosialis. Selain itu, ada juga Nahdatul Ulama (NU)77 yang turut meluncurkan Duta Masjarakat (1951) di Jakarta. Dari

72 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 24. 73 Kasiyanto Kasemin, Sisi Gelap Kebebasan Pers, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), 25. 74 A.S. Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature, Panduan Praktis Jurnalis Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 20. 75 Awalnya, Masyumi adalah sebuah kumpulan dari organisasi Islam bernama Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI). MIAI sudah terbentuk sejak September 1937. Organisasi ini sendiri memiliki anggota yang berasal dari Muhammadiyah, NU, Persis, Al-Irsyad, serta organisasi Islam lain. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah menganjurkan kepada masyarakat untuk mendirikan partai-partai politik sebagai penampung aspirasi masyarakat. MIAI pun memanfaatkan momentum ini dengan melaksanakan Muktamar Islam di Yogyakarta pada 7-8 November 1945. Muktamar yang dihadiri oleh para tokoh Islam ini kemudian melahirkan sebuah partai bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia dengan pemimpin pertama bernama Hasyim Asy’ari. Lihat Delian Noer, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1960, (Bandung: Mizan, 2000), 10. 76 Edward C. Smith, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, 76. 77 Nahdatul Ulama (NU) adalah organisasi Islam yang didirikan pada 31 Januari 1926 di Jawa Timur. Organisasi yang diinisiasi oleh Hasyim Asy’ari bertujuan untuk mewakili dan memperkokoh ajaran Islam tradisional di Hindia Belanda. Lihat lebih lengkap di Muhammad Iqbal, Nahdatul Ulama Didirikan untuk Membendung

34

PKI sendiri menerbitkan Harian Rakjat (1951). Sedangkan dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI)78 membuat Suluh Indonesia (1953) sebagai corong suaranya. 79 Selain pers partisan, di era ini juga melahirkan sebuah pers mahasiswa, yang dalam istilah David T. Hill adalah pers pinggiran. Sebenarnya, pers mahasiswa sendiri sudah muncul ketika zaman Hindia- Belanda oleh golongan terpelajar di luar negeri bernama Indonesia Merdeka. Pada tahun 1955, sebanyak 35 penerbitan pers mahasiswa muncul yang tersebar di berbagai fakultas, universitas, serta kelompok politik dan agama. Di tahun ini juga, muncul sebuah organisasi pers mahasiswa, yakni Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia dan Serikat Pers Mahasiswa Indonesia. Dua organisasi ini kemudian tergabung dalam Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) pada 1958.80 Pemerintah Indonesia juga membentuk organisasi bernama Dewan Pers pada 17 Maret 1950. Organisasi yang diisi oleh orang-orang berlatar media, cendekiawan, dan pejabat pemerintah ini berfungsi untuk menghadapi pertanyaan dan majalah-majalah pers. Dewan Pers ditugasi untuk mengajukan usul tentang pergantian undang-undang pers baru untuk mengganti undang-undang pers kolonial, memberikan dasar

Puritanisme Agama, https://tirto.id/nahdlatul-ulama-didirikan-untuk-membendung- puritanisme-agama-cDLL, (Diakses pada 18 Desember 2018 pukul 22.03 WIB). 78 PNI sendiri didirikan pada 4 Juli 1927 di Bandung. Partai yang ketua pertamanya Soekarno ini berdiri dengan tujuan menampung gagasan nasionalisme dan menyatukan berbagai perbedaan yang nantinya berujung pada kemerdekaan Indonesia dari pemerintah Hindia-Belanda. Lihat Bonnie Triyana, Riwayat Berdirinya PNI¸ https://historia.id/modern/articles/riwayat-berdirinya-pni-PGj0V, (Diakses pada 19 Desember 2018 pukul 02.15 WIB). 79 Edward C. Smith, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, 92-95. 80 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 138-139. Lihat juga pembentukan IPMI di Satrio Arismunandar, Zaman Bergerak! Peran Pers Mahasiswa dalam Penumbangan Rezim Soeharto, (Jakarta: Genta Press, 2005), 86.

35

sosial-ekonomis kepada pers Indonesia, meningkatkan mutu pers Indonesia, dan membuat aturan mengenai kedudukan wartawan, seperti gaji, perlindungan hukum, kode etik jurnalistik, dan lain sebagainya.81 Selain itu, peraturan Persbreidel Ordonnantie82 dicabut pemerintah pada Juni 1954. Para pers partisan ini mulai melancarkan kritiknya kepada pemerintah. Dimulai pada tahun Juni 1953 yang bertepatan dengan pernikahan Soekarno dengan seorang janda bernama Hartini. Kemudian, Soekarno dikritik karena condong terhadap ideologi Komunis. Kritik tak hanya kepada Soekarno, tetapi juga menyerang perdana menteri, kabinet, pejabat daerah yang korupsi, hingga kondisi perekonomian Indonesia yang mengalami inflasi tinggi. 83 Kritik yang terus digaungkan membuat pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang Darurat (yang dikenal sebagai Keadaan Bahaya dan Darurat Militer) pada Maret 1957. Sejak diberlakukan peraturan itu, pemerintah Indonesia melakukan tindakan keras kepada para punggawa pers, seperti interogerasi, penahanan, hingga pembredelan.84 Pada 1 Oktober 1958, muncul juga Surat Izin Terbit (SIT) yang kemudian diperbarui lagi pada 1960. Kemudian, Soekarno memunculkan sebuah aturan baru bernama Pedoman Penguasa Perang Tertinggi untuk Pers Indonesia pada 12 Oktober 1960. Isinya adalah aturan yang mengharuskan bahwa pers Indonesia harus mendukung

81 Edward C. Smith, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, 95. 82 Lihat penjelasan tentang peraturan ini di sub bab sebelumnya. 83 Lihat kritik-kritik yang dilontarkan oleh pers Indonesia dalam Edward C. Smith, Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, 126-145. 84 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 27.

36

manifesto politik yang diusung Soekarno.85 Soekarno mengakui bahwa revolusi Indonesia masih belum selesai karena umur negara ini masih sangat muda. Oleh karenanya, ia membatasi kritik-kritik yang dilontarkan oleh pers agar revolusi tidak berjalan kacau.86 Tak hanya itu, muncul juga izin yang dikeluarkan oleh militer Jakarta Raya pada 1 Oktober 1960 lewat Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No. 10/1960. Aturan yang tadinya berisi pelarangan menerbitkan berita sensasional, kemudian dirinci lagi dengan menambahkan ketentuan untuk menyesuaikan dengan syarat aspek ideologi dan kekuasaan lewat Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1963. Dalam Pasal 6, tertulis bahwa SIT wajib dimiliki oleh setiap media yang ada di Indonesia. Jika mereka tak memiliki izin terbit, maka media itu akan dikenakan sanksi berupa penjara maksimal setahun atau denda maksimal Rp50 ribu, juga aset yang dimiliki media itu bisa dihancurkan atau disita oleh negara. 87 Aturan yang diterapkan Soekarno ini pun berdampak pada pembredelan yang ada di Indonesia. Hal ini dialami oleh PSI dan Masyumi. Abadi pun bubar pada 1960. Sedangkan Pedoman terpaksa berhenti cetak pada 1961.88 Peran pers dalam Demokrasi Terpimpin ini pun terbagi ke dalam dua bagian. Di satu sisi, pers dibilang sebagai kawan ketika mereka menyampaikan berita-berita yang pro terhadap pemerintah. Sedangkan di sisi lain, pers dianggap sebagai lawan ketika mereka mengkritik

85 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 61-62. 86 Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, (Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2011), 338-339. 87 Kasiyanto Kasemin, Sisi Gelap Kebebasan Pers, 26. 88 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 27.

37

kebijakan pemerintah. Mereka pun harus siap menerima konsekuensi seperti dipenjara ataupun dipaksa berhenti cetak.89

C. Pers Orde Baru Pada masa akhir kepemimpinan Soekarno di tahun 1962-1965, pers sendiri terbagi menjadi beberapa kategori ideologi. Abar membaginya ke dalam dua kategori. Pertama ada Pers Komunis beserta simpatisannya. Kedua ada pers non-komunis yang disebut Abar sebagai pers periferal. Pers periferal ini terdiri dari pers agama, pers kelompok Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) dan pers militer.90 Pers ideologi Komunis beserta simpatisannya terbagi ke dalam beberapa wilayah. Di Jakarta ada Harian Rakyat, Bintang Timur, Warta Bakti, Suluh Indonesia, Gelora Indonesia, Ekonomi Nasional, Huo Chi Pao, dan Bintang Minggu. Sedangkan di Bandung ada Warta Bandung, di Semarang ada Gema Massa, di Surabaya ada Jalan Rakyat dan Jawa Timur, di Yogyakarta ada Waspada, di Pontianak ada Suara Khatulistiwa dan Kalimantan Membangun, di Medan ada Harian Harapan dan Gotong Royong, dan di Palembang ada Pikiran Rakyat. Pers ideologi Komunis kemudian hilang setelah 1 Oktober 1965. 91 Di sisi lain yakni pers non-Komunis, kelompok pertama seperti pers agama terdapat Duta Masyarakat (afiliasi dengan NU), Sinar Harapan (afiliasi dengan Partai Kristen Indonesia), serta Harian Kompas (afiliasi dengan Partai Katolik). Sedangkan untuk pers kelompok BPS, penyebarannya terbagi ke dalam berbagai wilayah. Di

89 Kasiyanto Kasemin, Sisi Gelap Kebebasan Pers, 26. 90 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 52. 91 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 54.

38

Jakarta ada harian Merdeka, Berita Indonesia (simpatisan Partai Murba), Indonesian Observer, dan Warta Indonesia. Sedangkan di Medan ada Indonesia Baru dan Waspada, di Semarang ada Suara Merdeka, di Yogyakarta ada Kedaulatan Rakyat, di Surabaya ada Suara Rakyat, dan di Bandung ada Pikiran Rakyat. Teruntuk pers militer sendiri ada Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. 92 Keruntuhan Soekarno sekaligus hilangnya sistem Demokrasi Terpimpin yang dimulai lewat Gerakan 30 September 1965 menjadi awal mula kebangkitan pers di masa Orde Baru. Ketika masa akhir Demokrasi Terpimpin pada 1965, surat kabar yang beredar berjumlah 111 surat kabar harian dengan total 1,4 juta eksemplar dan 84 surat kabar mingguan dengan total 1,1 juta eksemplar. Sedangkan pada tahun 1966, jumlahnya naik menjadi 132 surat kabar harian dengan total 2 juta eksemplar dan 114 surat kabar mingguan dengan total 1,5 juta eksemplar.93 Kenaikan pers ini disebabkan adanya beberapa media yang kembali terbit setelah dibredel pada zaman Demokrasi Terpimpin. Media-media itu adalah Merdeka dan Indonesian Observer. Ada juga surat kabar baru seperti Harian Kami (1966), Angkatan Baru (1966), Angkatan 66 (1966), Mahasiswa Indonesia edisi Jakarta (1966), mingguan Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat (1966), Trisakti (1966), Harian Operasi (1966), dan mingguan Abad Muslimin (1966).94 Namun, kejayaan pers di masa ini tak bertahan lama. Saat peralihan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto, Indonesia

92 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 52-53. 93 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 45. 94 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 45-46.

39

mengalami inflasi yang cukup tinggi. Tahun 1966, inflasi di Indonesia mencapai kenaikan hingga 660%. Tak hanya itu, Indonesia juga memiliki utang luar negeri yang jumlahnya US 2.357 juta.95 Inflasi itu pun menjadi faktor pengaruh dalam penerbitan pers di Indonesia. Sebelumnya, Pemerintah Soekarno memang membantu biaya penerbitan yang dilakukan pers Indonesia. Namun sejak inflasi, Pemerintah Orde Baru sendiri mengurangi subsidi untuk pers.96 Di berbagai wilayah Indonesia, tepatnya pada 1967, pers harian berkurang menjadi 101 buah dengan total 893 ribu eksemplar. Sementara pers mingguan berkurang ke 20 buah dengan total 908 ribu eksemplar. Hal itu pun terus berlanjut sampai pada tahun 1968-1969.97 Selain dari perubahan eksemplar, pers Indonesia di masa Orde Baru juga mengalami perubahan orientasinya kepada pemerintah. Pada masa Demokrasi Terpimpin, hampir semua pers melancarkan kritikannya kepada pemerintah Soekarno. Di masa itu, memang pemerintah seolah menyatakan bendera perang dengan pers Indonesia lewat berbagai kebijakannya. Soekarno seolah menjadi musuh bersama bagi mayoritas pers di Indonesia.98 Turunnya Soekarno yang kemudian digantikan Soeharto menjadi momentum baru bagi pers Indonesia. Soeharto menggunakan pers

95 Aria Wiratma Yudhistira, Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970an, 30. 96 P.K Ojong menulis, subsidi yang dilakukan pemerintah kepada pers Indonesia adalah subsidi kertas. Semenjak dihapus, biaya percetakan pun ikut naik. Tak hanya itu, kenaikan biaya juga berdampak pada biaya distribusi dan biaya langganan dengan kantor berita itu sendiri. Lihat tulisan P.K Ojong dalam Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 47-48. 97 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 46. 98 Lihat kritik pers Indonesia terhadap rezim Soekarno di pembahasan sub bab sebelumnya.

40

Indonesia untuk membentuk opini publik bahwa pemerintahan Soekarno adalah merupakan pemerintahan terburuk. Mulai dari pers nasional hingga pers mahasiswa memandang bahwa Angkatan Darat menjadi penyelamat dari sebuah rezim otoriter. Pemerintah menjadikan pers sebagai mitra dalam menyelamatkan negara Indonesia, terutama dari cengkraman komunis yang waktu itu sangat kuat. Bahkan, Soeharto memuji peran pers karena sikapnya yang lebih dewasa dan mampu mewujudkan kekuatan keempat. 99 Sebagai bentuk dukungan, Pemerintah juga menerbitkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers. UU ini menyatakan bahwa pers nasional tak lagi dapat disensor. Selain itu, pers akan dijamin kebebasannya sebagai hak warga negara. Jika pada Demokrasi Terpimpin pers harus memiliki SIT, maka lewat UU ini surat izin itu dihapus. Akan tetapi, penerapan UU ini hanya sebatas omong kosong belaka. Pers di zaman itu tetap memerlukan SIT dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) dari lembaga Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).100 Seiring berjalannya waktu, pers Indonesia kembali memunculkan sikap kritisnya terhadap penguasa Orde Baru, tepatnya pada tahun 1967. Mereka mengkritik berbagai isu-isu nasional yang dijalankan pemerintah. Hal pertama yang menjadi bahan adalah isu korupsi yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan. Berlanjut pada tahun 1971, isu pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang digagas oleh Tien Soeharto tak luput pula dari kritik. Menurut kalangan pers, pembangunan TMII merupakan hal yang sia-sia karena menghambur-

99 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 65-69. 100 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 34-35.

41

hamburkan uang. Kebijakan Penanaman Modal Asing (PMA) pada akhir 1960-an juga menjadi sasaran kritik yang dilakukan pers. Puncak kritik terjadi ketika Perdana Menteri Tanaka ke Jepang yang berujung pada demo besar-besaran di tanggal 15 Januari 1974. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974. Setelah Malari 1974, Orde Baru mulai bersikap represif terhadap pers dan juga mahasiswa. 101 Dalam perkembangan pers di era Orde Baru, David T. Hill membaginya ke dalam enam kelompok. Kelompok pertama adalah pers yang berhaluan radikal, yakni pers mahasiswa (Harian KAMI dan Mahasiswa Indonesia), Nusantara, dan pers yang kembali terbit setelah dibredel oleh Soekarno, yaitu Pedoman dan Indonesia Raya. Dua media ini berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Kelompok kedua adalah kelompok media yang terbit dengan jumlah sirkulasi tinggi, seperti Kompas dan Sinar Harapan. Kelompok ketiga adalah pers di kalangan militer, yakni Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. Hill juga memasukan Harian Umum Suara Karya (afiliasi Golkar dan pemerintah) ke dalam kelompok ini. Kelompok keempat adalah koran- koran radikal berhaluan nasionalis, seperti El Bahar, Merdeka, dan Suluh Marhaen (afiliasi dengan PNI). Kelompok kelima adalah pers yang menyalurkan aspirasi kaum Muslim, yakni Abadi, Jihad, dan Duta Masyarakat (afiliasi dengan NU). Kelompok terakhir adalah koran bergenre hiburan dan apolitis, yakni Pos Kota. 102 Di tahun 1970, surat kabar Indonesia rata-rata hanya mampu menjual cetakannya sebanyak 20 ribu eksemplar. Beberapa media yang

101 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 163-208. 102 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 35-36.

42

menjual di atas 40 ribu hanya empat media saja, yakni Merdeka (82 ribu), Kompas (75 ribu), Sinar Harapan, yang kemudian mengubah namanya menjadi Sinar Pembaruan (65 ribu), dan Berita Yudha (75 ribu). Pada perkembangannya, hanya Kompas dan Sinar Pembaruan yang berhasil mengembangkan medianya menjadi sebuah industri pers yang berjaya di masa Orde Baru. Mereka berhasil mencapai masa keemasannya karena mengambil sikap berhati-hati dalam menyikapi urusan politik dan berpihak kepada kelas menengah sekuler yang tumbuh subur di masa itu. Sedangkan untuk Merdeka dan Berita Yudha kemudian berhenti terbit karena tak mampu memenuhi kebutuhan pasar.103 Hubungan pers dengan pemerintah Orde Baru pada 1965-1974 sendiri seolah menjadi dua sisi koin yang berlawanan. Di dua tahun pertama kepemimpinan Soeharto, pers menjadi sebuah koalisi untuk menggulingkan Soekarno dan melahirkan sebuah era yang bernama Orde Baru. Namun di sisi lain, pers kembali menjadi sebuah momok menakutkan bagi pemerintah karena kritiknya yang dianggap mengganggu proses pembangunan. Gelombang pembredelan pada peristiwa Malari 1974 secara dramatis menghancurkan hubungan antara pemerintah, pers, dan juga mahasiswa.104

103 David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, 36-37. 104 Suf Kasman, Pers dan Pencitraan Umat Islam di Indonesia: Analisis Isi Pemberitaan Harian Kompas dan Republika, 78.

BAB IV ORDE BARU

Naiknya Soeharto sebagai Presiden RI menjadi sejarah baru dalam narasi sejarah Indonesia. Bergantinya rezim Orde Lama (Orla) Soekarno ke Soeharto ini dikenal dengan nama Orde Baru (Orba). Dimulainya Orba sendiri terdiri dari beragam versi. Versi pertama yakni dari hasil Seminar Angkatan Darat (AD) di Bandung. Ada yang menyatakan Orba lahir setelah Peristiwa G30S 1965. Kemudian ada yang mengatakan Orba dimulai pada kemunculan Supersemar 1966. Ada pula yang berpendapat bahwa Orba lahir sejak Ketetapan MPRS 1967 yang isinya peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.105 Terlepas dari berbagai versi, pergantian kekuasaan Soekarno ke Soeharto adalah lahirnya sebuah era baru dalam sejarah Presiden RI. Bab ini akan membahas tentang kemunculan Soeharto di panggung politik Indonesia pada 1965-1971. Bab ini juga membahas terkait kebijakan politik dan ekonomi Soeharto untuk melakukan konsolidasi pemerintahan yang puncaknya terjadi pada 1974.

A. Lahirnya Sebuah Era Baru Di penghujung tahun 1965, terjadi sebuah peristiwa yang menggegerkan rakyat Republik Indonesia. Sebuah kelompok bernama Dewan Revolusi Indonesia beramai-ramai menuju kawasan Menteng, Jakarta Pusat. 1 Oktober 1965 pukul 03.15 WIB, kelompok ini menyasari

105 Martin Sitompul, Asal-usul Istilah Orde Baru, https://historia.id/politika/articles/asal-usul-istilah-orde-baru-DAoE7, (Diakses pada 29 Januari 2019 pukul 21.44 WIB).

43

44

rumah sekelompok pejabat pemerintahan. Incaran mereka adalah Menteri Pertahanan A.H Nasution, Panglima Angkatan Darat (AD) Letnan Jenderal (Letjen) Achmad Yani, dan lima Staf Umum AD, yakni Mayor Jenderal (Mayjen) S. Parman, Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono, Mayjen R. Suprapto, Brigadir Jenderal (Brigjen) Soetojo Siswomihardjo, dan Brigjen Donald Ishak Pandjaitan. Namun Nasution berhasil melarikan diri ke rumah Duta Besar Irak dan yang tertembak adalah putri Nasution dan ajudan pribadinya. 106 Pukul 07.15 WIB, Dewan Revolusi Indonesia mengumumkan penangkapan ini melalui siaran Radio Republik Indonesia (RRI) pusat. Mereka memaksa sang penyiar untuk membacakan sebuah dokumen tentang penangkapan para jenderal tersebut. Sang penyiar mengumumkan bahwa jenderal-jenderal ini (yang dikenal dengan nama Dewan Jenderal) diduga akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Dewan Jenderal ini juga akan melakukan pameran kekuatan pada hari Angkatan Bersenjata yang bertepatan pada 5 Oktober 1965.107 Peristiwa penculikan para jenderal ini kemudian dikenal dengan nama Gerakan 30 September 1965 (G30S). Dari sinilah, nama Soeharto selaku Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) muncul sebagai Panglima AD pengganti Letjen Achmad Yani. Penggantian Soeharto bukan disepakati sendiri. Pukul 08.00 WIB, Umar Wirahadikusumah selaku Panglima Kodam V Jaya yang memiliki pasukan terbesar di Jakarta langsung memosisikan dirinya di bawahan

106 John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, (Jakarta: Institut Sejarah dan Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008), 53-55. 107 John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, 52-53.

45

Soeharto. Kemudian, para Jendral AD yang selamat dari peristiwa penculikan itu melakukan rapat darurat di Gedung Kostrad yang menyimpulkan bahwa Soeharto akan mengisi jabatan sebagai Panglima AD. Sedangkan Nasution sendiri hadir di gedung itu pada pukul 18.00 WIB.108 Sebelumnya, Soeharto tak dikenal oleh para petinggi militer saat itu. Karir militer pertama Mayor Soeharto terjadi ketika ia ditugaskan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung pada Oktober 1959. Pada akhir 1960, ia naik pangkat menjadi Brigadir Jenderal dan ditempatkan di Markas Intelijen sebagai Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat. Kemudian pada 1961, Soeharto dilantik menjadi pemimpin satuan tentara bernama Kostrad. Januari 1962, ia naik pangkat menjadi Mayor Jenderal yang diberi tugas untuk memimpin Operasi Mandala yang tujuannya adalah merebut Irian Barat dari Belanda. Langkahnya sebagai Panglima AD pengganti Achmad Yani menjadi perhatian kalangan masyarakat.109 Langkah pertama Soeharto selaku pimpinan AD adalah menelepon para perwira ABRI, seperti Resimen Pangkalan Angkatan Laut (Men/Pangal) Laksamana Madya Laut R.E. Martadinata, Resimen Pangkalan Angkatan Udara (Men/Pangu) Laksamana Madya Udara Omar Dhani, Resimen Panglima Angkatan Kepolisian (Men/Pangak) Inspektur Jenderal Polisi Sutjipto Judodijardjo, untuk memberitahu bahwa perannya adalah mengambil alih kepemimpinan AD. Ia juga

108 John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, 79-80. 109 Julie Southwood dan Patrick Flanagan, Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum dan Propaganda 1965-1981, (Depok: Komunitas Bambu, 2013), 41-42.

46

memberitahu kepada mereka agar jangan menggerakkan pasukan masing-masing tanpa seizin Soeharto.110 Berbeda dengan Soeharto yang bergerak cepat, Soekarno menganggap bahwa peristiwa G30S adalah peristiwa yang biasa terjadi dalam revolusi. Langkah pertama yang dilakukan Soekarno bukanlah mencari tahu siapa dalang peristiwa ini.111 Soekarno memilih untuk memanggil para petinggi, seperti Men/Pangal, Men/Pangak, Panglima Kodam V Jaya, Jaksa Agung, dan Wakil Perdana Menteri II untuk melaporkan keadaan saat itu. Namun, Panglima Kodam V Jaya Umar Wirahasikusumah tak berada di kantor. Dirinya tengah menemui Soeharto selaku Pangkostrad di markasnya. Panggilan Soekarno pun lantas ditolak Soeharto ketika Komisaris Besar Polisi Sumirat menghadapnya. Soeharto menuturkan bahwa Panglima Kodam V Jaya tak bisa menghadap karena Panglima AD sedang tak ada di tempat. Oleh karenanya, Soeharto menyuruh Sumirat agar perintah Soekarno harus mendapat instruksi darinya. Presiden jelas tidak senang mendapat jawaban seperti itu dari Panglima Kostrad. Sebab berdasarkan Pasal 10 UUD 1945, Presiden Indonesia memegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, dan AU. 112 Setelah mengambil alih RRI dan menyampaikan pengumumannya pada pagi hari, kelompok G30S kembali menyiarkan pengumuman pada siang hari. Isinya adalah pembentukan Dewan Revolusi Indonesia yang terdiri dari orang-orang pendukung G30S.

110 Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Sukarno, (Depok: Komunitas Bambu, 2013), 81. 111 Salim Haji Said, Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto, (Bandung: Penerbit Mizan, 2016), 9. 112 Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Sukarno, 81-82.

47

Pengumuman ini sendiri berbentuk dokumen tertulis yang dibacakan dengan tanda tangan dari Ketua Dewan Revolusi Indonesia Letnan Kolonel Untung.113 Soeharto pun melancarkan serangan balik. Ia menuntut dua batalion di Lapangan Merdeka untuk menyerahkan diri. Dirinya mengancam jika G30S tidak menyerahkan diri pada 18.00 WIB, maka Soeharto bersama pasukannya akan menyerang batalion ini. Soeharto sendiri menggunakan pasukan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat yang berasal dari Cijantung, Jakarta Timur. Ancaman itu kemudian berhasil dan tak menggunakan senjata sama sekali. Selanjutnya, Soeharto melancarkan serangannya pada Gedung RRI, Telekomunikasi, dan Halim Perdana Kusuma sebagai markas kelompok G30S. Padahal, Soekarno saat itu tengah berdiskusi dengan kelompok G30S untuk menghindari pertikaian. Soekarno pun memilih menyingkir ke Istana Bogor demi menghindari gempuran yang dilancarkan Soeharto. Pada akhirnya, G30S tamat dan semua pelakunya berpencar melarikan diri menghindari serangan Soeharto.114 Peristiwa G30S ini menjadi awal peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Soeharto yang mulai menancapkan taringnya di kursi rezim memutuskan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dalang di peristiwa tersebut. Menurutnya, PKI mengadu domba pada kalangan AD agar turut ambil bagian dalam kudeta yang mengancam

113 Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Sukarno, 83-87. 114 John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, 80-84.

48

keamanan. Selain itu, Soeharto juga menuduh bahwa PKI lah yang menyiksa sekaligus membunuh enam jenderal di Lubang Buaya.115 Sebenarnya ada banyak versi mengenai dalang dari peristiwa G30S ini. Jusuf Wanandi dalam memoarnya bercerita, ada beberapa tafsiran terkait kejadian ini. Poin pertama, memang PKI-lah yang berperan dalam peristiwa tersebut. Ada juga yang bilang Soeharto adalah dalang dari peristiwa kudeta ini. Versi lain mengatakan bahwa G30S merupakan masalah internal yang terjadi di AD.116 Sedangkan ada juga teori yang menyebutkan bahwa Central Intelligence Agency (CIA, Badan Intelijen Amerika Serikat) turut andil dalam gerakan tersebut.117 Terlepas dari siapapun dalangnya, Soeharto terus memanfaatkan momen G30S untuk memunculkan namanya dalam sejarah Indonesia. Ia memulainya lewat pemberitaan propaganda yang disebarkan di media massa. 4 Oktober 1965, para wartawan ramai berkumpul di Lubang Buaya untuk menyaksikan pengangkatan mayat para jenderal. Soeharto menyatakan, luka sayatan yang terdapat pada mayat itu adalah ulah dari Pemuda Rakyat dan Gerwani (kelompok simpatisan PKI). Media massa pun gencar memberitakan bahwa sebelum jenderal wafat, mereka disiksa terlebih dulu oleh Gerwani dan Pemuda Rakyat. Macam-macam

115 Julie Southwood dan Patrick Flanagan, Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum dan Propaganda 1965-1981, 2. Lihat juga pengakuan Soeharto tentang peristiwa G30S dalam R.E. Elson, : Sebuah Biografi Politik, (Jakarta: Pustaka Minda Utama, 2005), 242-243. 116 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1968, 46-47. 117 Keterlibatan Amerika Serikat dalam gerakan tersebut terdiri dari beberapa faktor. Pertama, Amerika Serikat sangat tidak menyukai ideologi Komunis. Kedua, nasionalisme radikal Soekarno terhadap negara asing juga menjadi momok mengerikan bagi Amerika. Ketiga, hubungan AD dengan Amerika Serikat memang sudah terjalin. Lihat penjelasan keterlibatan Amerika Serikat yang dijabarkan oleh Julie Southwood dan Patrick Flanagan, Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum dan Propaganda 1965-1981, 1-46.

49

penyiksaannya sendiri berupa pencungkilan mata, sundutan rokok, hingga penyayatan alat kelamin. 118 Propaganda yang disulutkan media massa, terutama pers berlatar militer seperti Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha119, membuahkan hasil. Sebagian besar rakyat Indonesia ikut terpengaruh dan membenci PKI beserta simpatisannya. Aksi menentang PKI dimulai dari Aceh, kemudian berlanjut ke wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Rentetan pembunuhan terhadap kader PKI dan simpatisannya terus dilakukan hingga Jawa Barat, Bali, hingga Sumatera Utara.120 Sepanjang akhir 1965 hingga 1966, diperkirakan para tentara sudah menghabisi lebih dari 1,5 juta orang, baik kader PKI maupun simpatisannya.121 Soekarno bukan tak diam melihat ketika mendengar aksi pembunuhan besar-besaran terhadap kader dan simpatisan PKI. Dalam pidatonya pada 27 Oktober 1965, Soekarno menyatakan bahwa revolusi Indonesia seharusnya adalah revolusi kiri yang berarti adalah memenuhi kebutuhan rakyat. Setelah mendengar pembunuhan yang terjadi di daerah, ia menyatakan bahwa revolusi justru bergerak ke kanan.

118 Amurwani Dwi Lestariningsih, Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan, (Jakarta: Kompas, 2011), 69-70. 119 Pemberitaan tentang peristiwa G30S hanya dikabarkan oleh dua media tersebut. Sejak 1 Oktober 1965, terdapat 46 dari 163 surat kabar yang dilarang terbit. Alasannya, mereka dituduh terlibat dan mendukung kelompok G30S ini. Lihat di Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 55. Lihat juga peran AD dalam mengatur pemberitaan G30S di John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, 29-30. 120 Tragedi Pembantaian terhadap kader dan simpatisan PKI melibatkan banyak orang. Mulai dari pemuka agama, sipil, hingga tentara. Bahkan, keluarga sendiri juga menjadi target pembunuhan karena korban adalah simpatisan PKI. Narasi pembunuhan terhadap PKI ini bisa dilihat dalam Kurniawan et al., Pengakuan Algojo 1965: Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965, (Jakarta: Tempo Inti Media Tbk, 2013), 1-174. 121 John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, 5.

50

Menurutnya, itu merupakan sebuah awal dari malapetaka terbesar di Indonesia.122 Soekarno menilai, pembunuhan massal yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur turut melibatkan orang-orang yang tak bersalah. Ia menyatakan kepada para mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) untuk memperlakukan korban sesuai dengan nilai Islam. Menurutnya, banyak mayat-mayat dari simpatisan PKI yang tak sekadar dibunuh secara brutal, tetapi para jagal PKI ini meninggalkan saja mayat yang sudah dibunuh. Soekarno menyarankan kepada para mahasiswa HMI agar memberitahu masyarakat di daerah untuk memperlakukan mayat sesuai ajaran Islam, yakni dikuburkan secara layak.123 Keterlibatan media massa juga tak lepas dari pengamatan Soekarno. Lagi-lagi lewat pidatonya, ia mengkritik pemberitaan media yang menyantumkan peran Gerwani dalam menyilet alat vital para jenderal dan penyiksaan jenderal-jenderal lewat kursi listik. Menurutnya, pemberitaan itu tak masuk akal karena bisa menimbulkan kebencian terhadap PKI. Ia meminta para wartawan untuk menyebarkan peristiwa yang sebenarnya dan memberitakan hal-hal yang positif untuk membangun bangsa. Namun, peran AD dalam memblokade media massa jauh lebih kuat. Hingga akhirnya, kritik Soekarno pun tak menjadi bahan pemberitaan dalam media massa.124

122 Julius Pour, Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), 268-269. 123 Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), 169-174. 124 John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, 279-281.

51

Pembelaan mati-matian Soekarno terhadap PKI bukan tanpa alasan. Ia sadar, kekuasaannya sudah menemui ujung tanduk. Saat itu, AD sudah mulai berani melawan perintahnya. Padahal, status Soekarno sendiri adalah panglima tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Gagasannya tentang Nasionalis-Agamis-Komunis (Nasakom) masih dipegang kuat untuk menjaga keutuhan RI. Oleh karenanya, ia menilai bahwa PKI menjadi penyeimbang untuk menghadapi ABRI karena sikap loyalnya terhadap Presiden Soekarno.125 Namun, hubungan AD di bawah naungan Soeharto dengan Presiden Soekarno justru makin meruncing. Soeharto lewat militer memiliki koalisi baru dengan cara menggandeng mahasiswa untuk menyusun kekuasaan. Mahasiswa yang anti Komunis pun membentuk suatu kelompok bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Lewat KAMI, gerakan mahasiswa semakin gencar. Demonstrasi semakin menjadi ketika para mahasiswa menyatakan tiga tuntutan kepada Soekarno yang kemudian dikenal dengan nama Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) pada 12 Januari 1966. Isi dari tuntutan itu adalah bubarkan PKI, perombakan Kabinet Dwikora, dan turunkan harga barang. Tritura digerakkan secara masif lewat kertas selebaran, demonstrasi, hingga coretan-coretan di tembok.126 Melihat tuntutan mahasiswa yang semakin keras, Soekarno menerbitkan Keputusan Presiden No. 41/Kogam/1966 yang isinya

125 Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, 169-174. 126 Lihat tulisan Abdul Mun’im DZ, Gerakan Mahasiswa 1966 di Tengah Pertarungan Politik Elit dalam Muridan S. WIdjojo et al., Penakluk Rezim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa ‘98, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), 29-30. Lihat juga narasi tentang demonstrasi mahasiswa yang berisi kritikan terhadap pemerintah Soekarno sepanjang Januari 1966 dalam Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, (Jakarta: LP3ES, 1989), 159-209.

52

adalah pembubaran KAMI. Namun, gerakan mahasiswa semakin keras lewat pembentukan Laskar Arief Rahman Hakin yang terdiri dari gabungan 42 perguruan tinggi yang berada di Jakarta. Keadaan ini membuat Soekarno untuk menyelenggarakan sidang kabinet dengan tujuan mempertimbangkan tuntutan mahasiswa.127 Sidang untuk pembaruan Kabinet Dwikora pun dimulai pada 11 Maret 1966 yang bertempat di Istana Negara, Jakarta. Dalam sidang itu, semua anggota Kabinet dipanggil. Hanya Soeharto yang tak datang waktu itu dikarenakan sedang sakit flu. Saat sidang tengah berjalan, pengawal Soekarno melaporkan adanya sebuah pasukan tak dikenal dalam lingkaran demonstrasi. Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Soekarno pun meninggalkan sidang itu dan pergi meninggalkan Istana Merdeka menuju Istana Bogor. Sidang Kabinet pun diteruskan oleh Wakil Perdana Menteri II J. Leimena.128 Di Istana Bogor, Soekarno pun didampingi oleh Soebandrio, Chaerul Saleh, Hartini, dan dikawal oleh beberapa pasukan Tjakrabirawa (Pasukan Pelindung Presiden, sekarang disebut Paspampres). Adanya pasukan tak dikenal itu, Soeharto pun mengirimkan sebuah pesan lewat Pangdam Jaya Mayjen Amir Mahmud, Menteri Perindustrian Dasar Mayjen Muhammad Jusuf, dan Demobilisasi Mayjen Basuki Rahmat. Mereka diutus Soeharto untuk memberitahu Soekarno agar memberikan perintah untuk memulihkan keadaan yang semakin karut marut dan menemui Soekarno di Istana Bogor. Dari perkumpulan di Istana Bogor,

127 Suharsi dan Ign. Mahendra K, Bergerak Bersama Rakyat: Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia, (Yogyakarta: Resist Book, 2007), 72- 74. 128 James Luhulima, Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965: Melihat Peristiwa G30S dari Perspektif Lain, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), 169-170.

53

lahirlah sebuah keputusan yang sekarang dikenal dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang ditandatangani sendiri oleh Soekarno. Setelah mendapatkan Supersemar, ketiga jenderal itu pulang kembali ke Jakarta dan menyerahkan surat itu kepada Soeharto.129 Melalui Supersemar, langkah pertama yang dilakukan oleh Soeharto adalah membubarkan PKI. Kemudian, Soeharto juga mengganti anggota kabinet Dwikora yang disempurnakan dengan anggota baru versi Soeharto. Anggota Kabinet Dwikora yang diganti pada 17 Maret 1966 yakni: 1. Dr. Soebandrio (Wakil Perdana Menteri I/Menteri Kompartemen Luar Negeri) 2. Dr. Chaerul Saleh (Wakil Perdana Menteri III/Ketua MPRS) 3. Ir. Setiadi Reksoprodjo (Menteri Urusan Listrik dan Ketenagaan) 4. Sumardjono (Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan) 5. Oei Tjoe Tat SH (Menteri Negara yang diperbantukan pada Presidium Kabinet) 6. Ir. Surachman (Menteri Pengairan Rakyat dan Pembangunan) 7. Jusuf Muda Dalam (Menteri Urusan Bank Sentral/Gubernur Bank Indonesia) 8. Armunanto (Menteri Pertambangan) 9. Sutomo Mardopradoto (Menteri Perburuan) 10. Astrawinata SH (Menteri Kehakiman) 11. Mayjen Achmadi (Menteri Penerangan) 12. Drs. Moch. Achmadi (Menteri Transmigrasi dan Kooperasi)

129 Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, 208-213.

54

13. J. Tumakaka (Menteri/Sekjen Front Nasional) 14. Mayjen Dr. Sumarno (Menteri/Gubernur Jakarta Raya) 15. Letkol. Inf. Imam Sjafie (Menteri Khusus Urusan Keamanan)130 16. 17.

Kemudian Soeharto mengganti mereka dengan anggota baru yang terdiri dari: 1. Sri Sultan Hamengu Buwono IX (Wakil Perdana Menteri I) 2. Adam Malik (Wakil Perdana Menteri II/Menteri Luar Negeri dan Hubungan Ekonomi Luar Negeri) 3. Dr. Roeslan Abdulgani (Wakil Perdana Menteri III) 4. Idham Chalid (Wakil Perdana Menteri IV) 5. Dr. J. Leimena (Wakil Perdana Menteri V) 6. Wirjono Prodjodikoto SH (Menteri Kehakiman) 7. Sumarsono SH (Menteri Urusan Bank Sentral/Menteri Koordinator) 8. Drs. Frans Seda (Menteri Perburuhan) 9. Mayjen Dr. Ibnu Sutowo (Menteri Pertambangan) 10. Ir. Sutami (Menteri Listrk dan Ketenagaan/Menteri Koordinator) 11. Ir. PC Harjosudirdjo (Menteri Pengairan Rakyat) 12. Brigjen Drs. A. Sukendro (Menteri Transmigrasi dan Koperasi)

130 Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Sukarno, 152-153.

55

13. Sjarif Thajeb (Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan/Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan) 14. K.H. A. Sjaichu (Menteri/Sekretaris Jenderal Front Nasional) 15. Mayjen Basuki Rachmat (Menteri Dalam Negeri/Gubernur DKI Jakarta) 16. Letjen Hidajat (Menteri Pos dan Telekomunikasi)131

Perombakan Kabinet Dwikora yang dilakukan oleh Soeharto ini ditengarai karena 15 orang itu merupakan pendukung Soekarno dan juga simpatisan PKI. Dengan Supersemar yang ada di tangan Soeharto, para elit pemerintahan Soekarno tak bisa berbuat apa-apa. Sebab, Soekarno sendiri yang menandatanginya. Perlahan tapi pasti, peran Soekarno dan pendukungnya tergantikan oleh Soeharto.132 Kekuasaannya yang meningkat drastis tetap membuat Soeharto was-was. Ia mengganggap Supersemar belum cukup untuk melanggengkan kekuasaanya. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menyelenggarakan sebuah sidang pada 21 Juni 1966 untuk meninggikan keputusan Supersemar. Sebab, Supersemar sendiri berawal dari keputusan presiden yang bisa dicabut kapan saja. Mengingat, Supersemar adalah sebuah upaya khusus untuk melindungi pemimpin RI dari segala bahaya yang mengancam kekuasaan. Lewat sidang MPRS pada 21 Juni hingga 5 Juli 1966, status Supersemar dinaikkan ke dalam Ketetapan MPRS No.5/MPRS/1966. Ketetapan itu juga menuntut laporan pertanggungjawaban Soekarno dalam

131 Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Sukarno, 153-154. 132 Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Sukarno, 156.

56

Nawaksara133 yang tak mencantumkan sikapnya kepada peristiwa G30S.134 Enam bulan berlalu, Soekarno kembali membuat laporan khusus yang isinya adalah pendapatnya tentang G30S. Namun, tuntutan mahasiswa semakin menjadi lantaran mereka ingin Soekarno dicopot dari jabatannya sebagai Presiden RI. MPRS menganggap bahwa peran Soekarno gagal dalam menciptakan keamanan dan ketertiban di negara Indonesia. Pada 12 Maret 1967, MPRS mencabut status Soekarno sebagai Presiden RI seumur hidup lewat Ketetapan MPRS No.XXXIII/MPRS/1967.135 Setahun kemudian, berakhirlah sudah kepemimpinan Soekarno sebagai Presiden RI. Ia resmi digantikan Soeharto melalui Sidang MPRS pada 27 Maret 1968 dan ditetapkan dalam ketetapan MPRS Nomor XLIV Tahun 1968. 136

B. Menciptakan Stabilitas Politik Setelah resmi menjadi Presiden RI, Soeharto mulai membenahi lawan-lawan yang akan mengancam jalan politiknya. Langkah pertama yang dilakukan Soeharto adalah memberangus PKI dan simpatisannya. Sepanjang tahun 1965-1968, Soeharto, tentara, masyarakat sipil, hingga

133 Nawaksara adalah sebuah pidato Soekarno yang berisi laporan pertanggungjawaban kepada MPRS. Laporan itu terdiri dari sembilan poin yang isinya adalah peran Soekarno selama menjabat sebagai Presiden RI. Lihat Nawaksara dalam Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Soekarno, 158-164. 134 Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Soekarno, 167-168. 135 Peter Kasenda, Hari-Hari Terakhir Soekarno, 186-189. 136 Peter Kasenda, Sarwo Edhie dan Tragedi 1965, 168.

57

pemuka agama, menghancurkan simpatisan PKI hampir di seluruh Indonesia yang jumlahnya diperkirakan mencapai 1,5 juta orang.137 Perlu diketahui, penolakan AD terhadap PKI dimulai ketika adanya pergolakan pada 1948. Saat itu, PKI di bawah naungan Musso memberontak kepada Pemerintahan RI yang dipimpin Soekarno.138 AD pun menilai bahwa jika PKI sangat berbahaya. Prinsipnya adalah, membunuh atau dibunuh. Konflik antara PKI dengan AD pun berlanjut lewat isu agrarian. Pada 1965, wilayah tanah di bagian Jawa Tengah dan Jawa Timur dikuasai oleh kalangan pemuka agama, sedangkan petani miskin cenderung lebih abangan. Propaganda AD pun semakin larut ketika mereka menyatakan kepada masyarakat bahwa Komunis tak bertuhan. “PKI Anti Tuhan”, “Aidit Setan”. Slogan-slogan di dinding itu cukup untuk meruncingkan hubungan AD dengan PKI saat itu. Puncaknya pun terjadi ketika terjadinya G30S. AD menganggap bahwa peristiwa itu didalangi oleh PKI.139 Dampak dari peristiwa G30S terhadap PKI terus berlanjut. Di bawah naungan Soeharto, anti-komunis seolah menjadi sebuah agama resmi negara. Propaganda anti komunis terus dilekatkan lewat museum, monumen, upacara, film, buku, hingga tanggal-tanggal yang membuat rakyat membenci Komunis hingga akhir kepemimpinannya pada tahun 1998. 140

137 Julie Southwood dan Patrick Flanagan, Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum dan Propaganda 1965-1981, 79-99. Lihat juga narasi pemberangusan terhadap PKI di bahasan sub bab sebelumnya. 138 Julie Southwood dan Patrick Flanagan, Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum dan Propaganda 1965-1981, 28-30. 139 Julie Southwood dan Patrick Flanagan, Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum dan Propaganda 1965-1981, 83-90. 140 John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, 9-13.

58

Soeharto selaku pewaris kepemimpinan dari Orde Lama memang tak setuju dengan ideologi Komunisme. Namun, ia juga tak menyukai sistem Demokrasi Terpimpin yang diterapkan Soekarno. Selain itu, ia juga tak mau golongan Islam kembali berpolitik lewat Partai Masyumi, yang sebelumnya sudah dibubarkan oleh Soekarno. Soeharto lebih memilih kembali kepada Pancasila sebagai sebuah ideologi negara. Soeharto pun mengesahkannya lewat lobi politik yang kemudian tercantum dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Isinya adalah peranan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 sebagai sebuah cita-cita bangsa Indonesia yang menjadi dasar negara Indonesia. Pancasila tak boleh diubah oleh kelompok manapun karena akan bertentangan dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.141 Penegasan Soeharto terhadap Pancasila bukanlah sebuah alasan. Setelah menumpas Komunisme lewat G30S, ia mendapat sebuah usulan dari kelompok Islam yang berasal dari Partai Masyumi. Mereka menginginkan agar pembahasan mengenai penerapan syariat Islam dalam Pembukaan UUD 1945 kembali dikaji. Kelompok ini juga menginginkan untuk kembali mendirikan Partai Masyumi sebagai wadah berpolitik untuk umat Islam. Walaupun naiknya Soeharto menjadi Presiden RI dibantu oleh Kelompok Islam ini, Soeharto dengan tegas menolak usulan tersebut. Sebagai gantinya, Soeharto membentuk sebuah partai baru bernama Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).142 Soeharto juga melarang para petinggi Masyumi untuk kembali berpolitik dan terpilih ke dalam anggota parlemen di pemilu nanti. Dalam artian,

141 Peter Kasenda, Soeharto: Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun?, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2013), 90-93. 142 Martin van Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam, dan Politik, (Yogyakarta: Penerbit Gading, 2013), 291.

59

Soeharto tak menginginkan adanya wacana negara Islam yang digagas oleh kaum Islam. Soeharto lebih menginginkan prinsip negara sekuler ketimbang negara yang bersyariat Islam.143 Soeharto sendiri bukan berarti tak memiliki partai politik. Sebagai militer, ia tergabung ke dalam Sekretariat Bersama (Sekber) Golongan Karya (Golkar). Awalnya, Golkar bukanlah sebuah partai politik. Golkar hanyalah sebuah organisasi yang digagas oleh Angkatan Darat pada 20 Oktober 1964. Golkar mewadahi berbagai organisasi yang terdiri dari berbagai kelompok, seperti organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan juga nelayan.144 Sekber Golkar ini ditujukan agar bisa berpartisipasi dalam kegiatan berpolitik. Terlebih, mereka ingin meredam dominasi PKI dan menjadi alat ketika berhadapan dengan Presiden Soekarno. Namun setelah Soekarno tumbang dan penguasa baru berasal dari kalangan militer, maka Golkar menjadi sebuah legitimasi baru untuk menampung masyarakat sipil. Golkar juga berfungsi sebagai wadah untuk para kelompok yang pro terhadap Soeharto. 145 Pada 1966, Golkar masih diisi oleh orang-orang pro Soekarno, seperti Brigjen Djuhartono, Imam Pratignyo, dan JK Tumakaka, yang semuanya duduk di dalam Dewan Pengurus Pusat (DPP) Golkar. Karenanya, Golkar masih menggunakan istilah-istilah yang sering diagungkan Soekarno dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah

143 Peter Kasenda, Soeharto: Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun?, 74-75. 144 Partai Golkar, Sejarah Partai, https://partaigolkar.or.id/sejarah, (Diakses pada 4 Desember 2018 pukul 16.16). 145 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1968, 126.

60

Tangga Organisasi (ADART). Waktu itu, Sekber Golkar adalah organisasi yang berdasarkan Pancasila dan Manifesto Politik (Manipol). Sedangkan dalam tujuannya, Sekber Golkar ditujukan kepada Masyarakat Sosialis Indonesia. Setelah diadakan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I Golkar pada 9-11 Desember 1966, Soeharto dan Nasution maju sebagai Pembina Sekber Golkar. Barulah pada Munas II yang diselenggarakan pada 2-7 November 1967, petinggi sebelumnya pun mulai diganti. Brigjen Djuhartono diganti oleh Mayjen Suparto Sukowati sebagai Ketua Umum. 146 Untuk menyelesaikan misinya dalam pemerintahan RI, Soeharto membutuhkan beberapa penasihat. Pada 1966, Soeharto membentuk sebuah Staf Pribadi (Spri) yang ditugaskan untuk membantu urusan ekonomi, politik, maupun intelijen di dalam atau luar negeri. Soeharto menunjuk Mayjen Alamsjah Ratu Perwiranegara sebagai Koordinator Spri. Alamsjah pun menambahkan draf untuk menambah anggota Spri. Dari sana, terpilih beberapa orang untuk membantu Soeharto, yakni: 1. Mayjen Alamsjah Ratu Perwiranegara (Koordinator Spri) 2. Mayjen Soenarso (Bidang Politik) 3. Kolonel Sudjono Humardani (Bidang Ekonomi) 4. Kolonel Slamet Danusudirjo (Bidang Pembangunan) 5. Kolonel Abdul Kadir (Staf Organisasi dan Administrasi) 6. Brigjen Surjo Wiryohadipuro (Bidang Keuangan 7. Kolonel Yoga Sugama (Urusan Intelijen Dalam Negeri) 8. Letkol Ali Moertopo (Urusan Intelijen Luar Negeri)147

146 Peter Kasenda, Soeharto: Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun?, 139-140. 147 David Jenkins, Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1973, (Depok: Komunitas Bambu, 2010), 27-28.

61

Penunjukan para perwira tentara bukan tanpa alasan. Soeharto menggunakan jasa mereka karena kedekatannya ketika masih bertugas sebagai tentara. Alamsjah misalnya, ia merupakan teman dekat Soeharto saat masih menjalankan misi di Markas Besar AD pada 1960. Sementara Yoga Sugama, Ali Moertopo, dan Sudjono Humardhani pernah menjadi pembantu Soeharto ketika masih bertugas sebagai Panglima Kodam Diponegoro, Jawa Tengah, pada akhir 1950 dan kembali bersama saat menjabat di Kostrad. Ali Moertopo sendiri pernah bertugas sebagai unit intelijen khusus untuk menyelesaikan konflik dengan Malaysia semasa menjadi Pasukan Operasi Khusus (Opsus) pada 1964.148 Tak hanya dari kalangan militer, Soeharto juga menambahkan orang-orang sipil untuk menjadi pembantu pribadinya. Mereka adalah Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Sadli, dan Emil Salim yang bertugas di bidang Ekonomi. Sedangkan di bidang politik ada Sarbini Sumawinata, Fuad Hasan, Hariri Hadi, Delian Noer, dan Sulaeman Sumardi. Pembantu Soeharto ini bertugas di Jalan Merdeka Barat Nomor 15 yang sebelumnya adalah Rumah Dinas Wakil Perdana Menteri di zaman Soekarno, Soebandrio. 149 Namun, keberadaan Spri Soeharto tak bertahan lama. Hal ini dikarenakan adanya kritik dari mahasiswa dan media massa. Walaupun

148 David Jenkins, Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1973, 27. Lihat juga keterlibatan Ali Moertopo dalam menyelesaikan hubungan diplomatik dengan Malaysia di Tempo, Intel Diplomat Modal Semangat, dalam Majalah Tempo edisi Khusus Rahasia-Rahasia Ali Moertopo tanggal 14-20 Oktober 2013, 58. 149 Petrik Matanasi, Pembantu-Pembantu Khusus daripada Soeharto, https://tirto.id/pembantu-pembantu-khusus-daripada-soeharto-cFxD, (Diakses pada 16 Januari 2019 pukul 23.32 WIB).

62

Spri dibubarkan pada Juni 1968, para anggotanya masih berada di lingkaran pemerintahan. Februari 1968, Alamsjah diangkat menjadi Sekretaris Negara yang bertugas untuk mengawasi kinerja staf resmi presiden. Yoga Sugama dialihkan menjadi Wakil Kepala Bakin yang kemudian naik menjadi Ketua Bakin di tahun yang sama. Sementara Surjo Wirjohadipuro, Sudjono Humardhani, dan Ali Moertopo kemudian dijadikan Asisten Pribadi (Aspri) Soeharto, yang sejatinya adalah perpanjangan tangan dari Spri.150 Polemik mengenai ideologi politik Soeharto kembali terjadi ketika ia memiliki perbedaan pendapat dengan Nasution selaku Ketua MPRS. Menjelang Sidang MPRS untuk menetapkan Soeharto sebagai Presiden RI secara penuh, pembahasan tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menjadi sebuah adu argument yang panjang. Isu-isu GBHN yang akan dibahas Nasution melalui Sidang MPRS adalah pelarangan orang untuk pindah agama, pembentukan kabinet bersama parlemen, dan kabinet harus mendapat dukungan penuh dari rakyat, dalam artian adalah partai politik. Fraksi Nasution memandang, apabila amandemen UUD 1945 bisa diterima ketika sidang umum, maka MPRS bisa melihat bagaimana kemampuan Soeharto saat menjabat sebagai Presiden RI. Oleh karenanya, apabila Soeharto gagal, maka pada tahun 1971 Soeharto bisa dicopot dari jabatannya selaku Presiden RI.151 Jusuf Wanandi dalam memoarnya menilai, GBHN yang digagas oleh Nasution akan menjadi beban terhadap Soeharto ketika resmi dilantik menjadi Presiden. Bersama Ali Moertopo dan Sudjono

150 David Jenkins, Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1973, 28. 151 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1968, 108-114.

63

Humardhani, Jusuf meyakinkan Soeharto bahwa ini akan menjadi perangkap apabila gagal untuk dijalankan. Jusuf memandang bahwa fraksi Nasution yang berhaluan kanan memang bertentangan dengan kubu Jusuf yang diisi oleh kelompok Nasionalis-Kristen. Akhirnya, Soeharto berhasil menang dan menolak gagasan yang diluncurkan oleh Fraksi Nasution pada Sidang MPRS tahun 1968 itu.152 Peran Aspri Soeharto lainnya terjadi saat perebutan Papua dari cengkraman Belanda melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Awal sengketa Papua antara Belanda dengan Indonesia sebenarnya dimulai pada 1962, yakni ketika Soekarno menjabat sebagai Presiden RI. Soeharto yang saat itu menjadi Panglima Pasukan Operasi Mandala.153 Pada 1967, Soeharto menunjuk Ali Moertopo selaku pihak intelijen untuk melihat kondisi di wilayah Irian Barat. Mei 1967, Ali pun mengirimkan Jusuf Wanandi beserta tim untuk mencari fakta di Irian Barat.154 Selama seminggu, Jusuf mendapati kondisi Irian Barat yang memprihatinkan. Di sana, ia mendapati bahwa kondisi penduduk mengalami krisis. Hal ini dikarenakan ulah Angkatan Bersenjata yang

152 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1968, 115. 153 Pasukan ABRI yang bertugas untuk merebut Irian Barat dari Belanda. Sebelumnya, Indonesia dan Belanda sudah melakukan perundingan untuk mengakui kedaulatan wilayah Indonesia lewat Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda pada 1949. Namun, perjanjian itu mengecualikan Irian Barat dari wilayah kedaulatan Indonesia. Sehingga terciptalah Operasi Perebutan Irian Barat. Istilah Tri Komando Rakyat (Trikora) dimunculkan dari Pidato Soekarno yang isinya adalah merebut Irian Barat. Lihat penjelasan tentang Operasi Mandala lewat laporan Petrik Matanasi, Sejarah Pidato Trikora dan Ambisi Sukarno Kuasai Papua, https://tirto.id/sejarah- pidato-trikora-dan-ambisi-sukarno-kuasai-papua-db2m, (Diakses pada 17 Januari 2019 pukul 2.19 WIB). 154 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1968, 119.

64

menjarah semua persediaan. Mulai dari makanan, alat-alat listrik, hingga botol bir dibawa ke luar Irian Barat. Laporan Jusuf tentang kondisi Irian membuat Ali Moertopo segera memutuskan untuk mengirimkan barang- barang untuk kebutuhan penduduk. Ali mencari bantuan dana lewat perusahaan perkapalan dengan cara menyelundupkan karet dan barang lain, baik itu yang masuk atau keluar dari Indonesia. Dari penyelundupan itu, Ali berhasil mengumpulkan U$17 juta yang uangnya tersimpan di bank Malaysia dan Singapura. Setelah mendapat restu dari Soeharto, Ali menggunakan dana ini untuk mengirimkan bantuan ke Irian Barat berupa makanan, tembakau, hingga merek bir yang disukai oleh penduduk Irian Barat.155 Selain mengirim bantuan, Jusuf juga melakukan berbagai konsolidasi demi menarik hati masyarakat Irian. Mula-mula, ia menggunakan pemuka Gereja Katolik Romo Jesuit Sunandar untuk menjembatani umat Protestan dan Katolik. Mereka diyakinkan oleh Romo Jesuit bahwa Indonesia adalah negara Pancasila yang nantinya akan merangkul mereka yang beragama minoritas. Selain itu, Jusuf juga menyuruh relawan mahasiswa untuk melakukan perbaikan fasilitas di Irian. Dengan bantuan Ali Moertopo, ia mengirimkan lebih dari 250 mahasiswa untuk memperbaiki rumah, membagikan kebutuhan pokok, mengkondisikan transportasi, hingga bersikap ramah kepada masyarakat Irian Barat.156 Hal ini terus menerus dilakukan selama kurang lebih dua tahun. Usaha Jusuf dan Ali Moertopo tak sia-sia. Pada Penentuan Pendapat

155 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1968, 119-120. 156 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1968, 120-121.

65

Rakyat (Pepera) 1969, sebuah dewan yang terdiri dari 1.025 orang yang mewakili setiap kabupaten di Irian memilih bergabung dengan Indonesia. Soeharto kemudian mengirimkan tim khusus untuk melobi negara anggota PBB agar setuju dengan keputusan Pepera sebelum disidangkan di Kantor PBB yang ada di New York, Amerika Serikat. Kemudian, Ali Moertopo selaku Intelijen Urusan Luar Negeri pergi ke New York untuk menemui sejumlah delegasi di New York dan Washington DC. Sidang PBB pun memutuskan bahwa Irian Barat kembali ke kedaulatan Indonesia dan disepakati oleh mayoritas negara anggota PBB.157 Pemilu pertama pada 1971 menjadi tantangan Soeharto selanjutnya. Soeharto membutuhkan dukungan masyarakat agar kembali dipilih. Dalam menghadapi pemilu itu, sebenarnya Soeharto menggaet militer yang pada dasarnya anti partai politik. Militer sendiri menganggap bahwa partai politik adalah sebuah pesaing dalam mencapai kekuasaan, menimbulkan keresahan pada rakyat, dan mengganggu integritas ABRI. Namun, Soeharto menyiasatinya dengan menggunakan Golkar sebagai kendaraan politik dalam melanggengkan kekuasaanya di Pemilu 1971 tersebut.158 Soeharto memulai pemanasan melalui perintahnya kepada sebuah kelompok yang terdiri dari kalangan mahasiswa Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Kelompok ini yakni Mashuri, Sumiskum, Soelistio, dan Jusuf Wanandi. Jusuf mengaku, kehancuran Soekarno karena tak adanya partai politik untuk melanggengkan kekuasaannya. Ia

157 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1968, 121-122. 158 Peter Kasenda, Soeharto: Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun?, 140.

66

tak mau hal itu kembali terjadi kepada Soeharto. Soeharto pun menyetujui ide kelompok ini. Ia menyarankan agar mereka tergabung ke dalam Golkar sebagai tim sukses kemenangan Soeharto. 159 Bersama tim itu, Jusuf Wanandi segera mengelola Badan Pengendalian Pemilu (Bappilu) Golkar. Jusuf menyaring 50 orang yang terdiri dari kelompok aktivis mahasiswa. Setelah diseleksi, mereka akan disebar ke beberapa daerah untuk mengkampanyekan Golkar. Tim ini merangkul kekuatan dari Pertahanan Sipil (Hansip) yang memang dikelola oleh militer. Hansip diarahkan untuk berkeliling dari rumah ke rumah untuk mengajak masyarakat. Mereka melakukan sosialisasi bahwa Golkar adalah jalan untuk menuju era pembangunan dan keamanan nasional. Tak hanya itu, para hansip ini juga mengatakan bahwa jika tidak ada yang memilih Golkar, maka akan dicap sebagai anti militer, bahkan juga dicap sebagai pro PKI. 160 Selain hansip, mereka juga menyelenggarakan hiburan dengan menggaet bintang film, penyanyi, hingga model. Sembari mengadakan acara hiburan, Bappilu tak lupa menyelipkan pidato pemimpin Golkar di sela-sela acara. Para pemimpin rakyat juga diberi kesempatan untuk menaiki pesawat terbang. Hal ini ditujukan demi menaikkan perhatian masyarakat kepada Golkar. Birokrasi juga tak luput dari pengawasan Bappilu Golkar. Mereka mengandalkan Departemen Dalam Negeri dan Departemen Pertahanan dan Keamanan untuk mengadakan kampanye pada Golkar. Para pegawai pemerintahan diharuskan untuk bergabung dengan Golkar lewat Korps Pegawai Negeri (Korpri). Golkar dianggap

159 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1968, 125-126. 160 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1968, 128-129.

67

sebagai organisasi alternatif yang ingin memajukan pembangunan untuk Republik Indonesia. 161 Usaha mereka tak sia-sia, Golkar berhasil meraup suara hampir 63% dalam Pemilu 1971 sekaligus mendapat jatah kursi sebanyak 236 dari 360 kursi yang ada di DPR.162 Golkar menang telak dari sembilan partai lainnya, yakni NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, Perti, IPKI, dan Murba.163 Kesuksesan Tim Bappilu yang diisi oleh Jusuf Wanandi dan kawan-kawannya ini jadi perhatian Soeharto. Setelah kemenangan Golkar, Soeharto membentuk sebuah lembaga think-tank yang bertujuan untuk membantu kebijakan Presiden RI. 1 September 1971, lahirlah sebuah lembaga bernama Centre for Strategic dan International Studies (CSIS) yang dipimpin oleh Hadi Soesastro dan Clara Joewono yang keduanya berlatar aktivis mahasiswa. Kendali Soeharto terhadap CSIS ini diwakili oleh Ali Moertopo dan Sudjono Humardhani selaku Aspri.164 Kemenangan Soeharto dan Golkar dalam Pemilu 1971 tak membuat Soeharto puas. Ia merasa harus kembali menang pada Pemilu 1977 nanti. Soeharto menganggap bahwa partai politik itu adalah biang dari kekacauan stabilitas politik, terutama pada saat sistem Demokrasi Parlementer yang terjadi di masa Soekarno. Soeharto pun membuat kebijakan baru yang bertujuan untuk membagi partai ke dalam dua

161 David Reeve, Golkar: Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran, dan Dinamika, (Depok: Komunitas Bambu, 2013), 313-317. 162 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1968, 129-130. 163 Hasil Pemilu 1971 bisa dilihat di laman KPU, Pemilu 1971, https://kpu.go.id/index.php/pages/detail/2018/9/PEMILU-1971/MzQz, (Diakses pada 18 Januari 2019 pukul 21.32 WIB). 164 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1968, 134-136.

68

kelompok. Kelompok pertama diisi oleh kelompok nasionalis yang terdiri dari PNI, Partai Katolik, IPKI, Parkindo, dan Murba. Sedangkan kelompok kedua diisi oleh kelompok agamis yang terdiri dari Parmusi, NU, PSII, dan Perti. Pada 1973, Soeharto pun membentuk dua partai yang terdiri dari kelompok tersebut. Kelompok Nasionalis melebur ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sedangkan Kelompok Agamis melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dari semuanya, hanya Golkar saja yang tak kebagian jatah fusi partai ala Soeharto tersebut. Dari kebijakan ini, Golkar hanya memiliki saingan yang lebih sedikit saat Pemilu 1977 dimulai.165 Strategi politik yang digencarkan Soeharto tak bisa lepas dari pengaruh militer. Peran militer yang diterapkan Soeharto sendiri karena konsep Dwifungsi ABRI yang digagas oleh A.H Nasution pada 18 November 1958 di Akademi Militer Nasional. Awalnya, gagasan Nasution ditujukan agar militer mampu mengendalikan situasi keamanan yang lewat lembaga politik, birokrasi politik, partai politik, hingga organisasi non politik, terutama untuk melawan PKI yang saat itu menjadi musuh bersama pihak militer.166 Hingga pertengahan 1970-an, komposisi pemerintahan Soeharto didominasi oleh militer. David Jenkins pun mendata mereka ke dalam berbagai jabatan pemerintah, yakni: 1. Jenderal Maraden Panggabean (Menteri Pertahanan dan Keamanan serta Panglima ABRI) 2. Letjen Amir Machmud (Menteri Dalam Negeri)

165 Mahrus Irsyam dan Lili Romli (ed), Menggugat Partai Politik, (Depok: Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI, 2003), 118-120. 166 Peter Kasenda, Soeharto: Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun?, 6-8.

69

3. Letjen Yoga Sugama (Kepala Badan Koordinasi Intelijen (Bakin)) 4. Letjen Ali Moertopo (Wakil Kepala Bakin) 5. Laksamana Sudomo (Panglima Kopkamtib) 6. Mayjen Leonardus Benyamin Moerdani (Asisten Intelijen Menteri Pertahanan) 7. Letjen Sudharmono (Menteri Sekretaris Negara) 8. Letjen Darjatmo (Kepala Staf Urusan Nonmiliter Menteri Pertahanan) 9. Letjen Ibnu Sutowo (Presiden Direktur Pertamina) 10. Jenderal Sumitro (sebelumnya Panglima Kopkamtib dan merangkap Wakil Panglima ABRI) 11. Letjen Sutopo Juwono (sebelumnya Kepala Bakin, dilengserkan setelah Malari 1974).167

Kemesraan Soeharto dengan militer mulai regang ketika memasuki awal 1990-an. Perubahan Soeharto dimulai ketika ia membuat organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada Desember 1990. Kemudian pada 1991, Soeharto melaksanakan ibadah haji bersama sang istri, Tien Soeharto. Hal inilah yang makin meruncingkan hubungan kubu sekuler-militer yang sudah terbentuk sejak 1970 hingga akhir 1980.168

167 David Jenkins, Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1973, 26. 168 Salim Haji Said, Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto, 122-127.

70

C. Merancang Ekonomi Setelah berhasil menduduki jabatan Presiden RI, misi pertama Soeharto adalah memperbaiki kondisi ekonomi. Di akhir pemerintahan Soekarno pada 1966, Indonesia mengalami inflasi mencapai 660% dan memiliki utang luar negeri yang jumlahnya US 2.357 juta.169 Melihat kondisi seperti itu, ia pun mengundang kalangan akademisi di bawah naungan Widjojo Nitisastro demi merancang sebuah strategi ekonomi Orde Baru. Tim ini sendiri terdiri dari Ali Wardhana, Mohammad Sadli, Emil Salim, Saleh Afiff, dan Johannes Baptista Sumarlin. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, tim yang bertugas sebagai penasihat ekonomi Soeharto ini kemudian dikenal dengan nama Mafia Berkeley karena kebanyakan dari mereka adalah lulusan Universitas California, Berkeley.170 Di masa pemerintahan Soeharto, para Mafia Berkeley ini menempati beberapa jabatan vital. Widjojo menjabat Kepala Bappenas (1967-1983); Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) pada 1973-1983; dan Penasihat Ekonomi Presiden (1983-1998). Ali Wardhana menjadi Menteri Keuangan (1973-1983) dan Menko Ekuin (1983-1988). Sementara itu, Emil Salim menjabat Menteri Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara merangkap Wakil Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (1971-1973), Menteri Perhubungan (1973-1978), Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1978-1983), serta Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup

169 Aria Wiratma Yudhistira, Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970an, 30. 170 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986- 1992, 53.

71

(1983-1993). Sedangkan Mohammad Sadli menjadi Menteri Tenaga Kerja (1971-1973) dan Menteri Pertambangan (1973-1978).171 Para penasihat ekonomi ini memberi jawaban pertamanya lewat sebuah kebijakan landasan ekonomi keuangan dan pembangunan. Kebijakan ini berisi tentang program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi untuk jangka pendek dan program pembangunan untuk jangka panjang. Nantinya, kebijakan ini dikenal sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang didasari Ketetapan MPRS no. 23 tahun 1966.172 Kebijakan pasar bebas menjadi awal mula terbukanya perekonomian Indonesia. Saat Soekarno menjadi Presiden RI, perekonomian Indonesia memang tertutup oleh investor asing. Di masa transisi ini, Soeharto berhasil menarik para investor untuk memulihkan kondisi ekonomi Indonesia. Sebelum modal asing kembali masuk, para pembuat kebijakan diharuskan membujuk kreditor dan investor asing yang potensial untuk memperbaiki hutang-hutang Indonesia. Dalam Konferensi Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI)173 pada 1967 di Amsterdam, Belanda, Delegasi Pemerintahan Indonesia yakni Sri

171 Husein Abdulsalam, Kwik Kian Gie, Prabowo Subianto, dan Benang Merah Mafia Berkeley, https://tirto.id/kwik-kian-gie-prabowo-subianto-dan-benang- merah-mafia-berkeley-cZTu, (Diakses pada 1 Februari 2019 pukul 17.47 WIB). 172 Ketetapan ini berisi tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan. Lebih jelas lihat dalam http://www.jdih.kemenkeu.go.id/fullText/1966/XXIII~MPRS~1966TAP.HTM(Diaks es pada 9 November 2018 pukul 03.06 WIB). 173 IGGI yang terbentuk pada tahun 1967 ini memiliki anggota yang terdiri dari Australia, Belgia, Jerman, Itali, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika, Austria, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB), United Nations Development Programs (UNDP), serta Organitation for Economic Co-operation and Development (OECD). Berdirinya IGGI diperuntukkan untuk memberikan bantuan pembangunan kepada Indonesia. Lihat lebih lengkap dalam M. Faisal, IGGI dan Asal-Usul Utang Luar Negeri Indonesia, https://tirto.id/iggi-dan-asal-usul-utang-luar-negeri-indonesia- cEW3, (Diakses pada 1 April 2019 pukul 23.56 WIB).

72

Sultan Hamengkubuwono IX memberikan beberapa pernyataan untuk meyakini para investor asing menanamkan modalnya, yakni: 1. Kekuatan pasar akan memainkan peran pokok dalam rehabilitasi 2. Perusahaan-perusahaan nasional (Indonesia) akan melakukan kompetisi bebas dengan perusahaan swasta, mengakhiri akses preferensi ke kredit dan alokasi valuta asing. Monopoli negara di bidang impor akan diakhiri. Sedangkan di pihak lain, perusahaan akan dibebaskan dari kewajiban menjual dengan harga rendah. Mereka dapat melakukan penjualan berdasarkan harga pasar dan bekerja secara ekonomis. Dengan demikian, para perusahaan nasional tak memerlukan subsidi dari negara. 3. Sektor swasta harus dirangsang dengan menghapuskan pembatasan lisensi impor bahan baku dan peralatan. 4. Investasi swasta asing akan digalakkan dengan dikeluarkannya undang-undang investasi baru yang akan menjamin insentif perpajakan dan lainnya.174

Dengan adanya pernyataan itu, mulailah langkah baru dalam penanaman modal asing di Indonesia. Pemerintah Indonesia pun mengembalikan sebagian besar aset milik asing yang disita pada 1963- 1965. Dari sana juga, pemerintah Indonesia membuka jaringan-jaringan ekonomi kepada para investor internasional, baik yang sumbernya dari pemerintah maupun dari sektor swasta. Demikian juga dengan institusi

174 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, (Depok: Komunitas Bambu, 2012), 107.

73

keuangan seperti Bank Dunia dan International Monatery Fund (IMF). Peminjaman modal kepada investor asing ini pun menjadi keberuntungan bagi pemerintahan Indonesia. Dalam jangka pendek, Indonesia mampu mengimpor berbagai kebutuhan pokok untuk mengendalikan inflasi. Sedangkan dalam jangka panjang, pinjaman luar negeri ini mampu menambah modal pemerintah dalam melakukan rehabilitasi infrastruktur lewat anggaran pembangunan yang kemudian dilaksanakan lewat Repelita I.175 Pernyataan itu pun benar-benar dibuktikan Soeharto. Pemerintah Indonesia segera membuat Undang-Undang (UU) yang mengatur tentang kebijakan investor di Indonesia. 1 Januari 1967, muncullah UU No. 1 Tahun 1967 yang dikenal dengan UU Penanaman Modal Asing (PMA). Dalam UU ini, ada bebebapa poin penting terkait kebijakan pemerintah terhadap para investor asing di Indonesia, yakni: 1. Jaminan tidak ada nasionalisasi aset perusahaan asing. Apabila terjadi, perusahaan itu akan mendapat kompensasi yang memadai. 2. Perusahaan asing mendapat izin operasi selama 30 tahun dan bisa diperpanjang. 3. Perusahaan asing mendapat kebebasan terhadap beban bea masuk serta pajak dalam periode tertentu. 4. Perusahaan asing mendapat jaminan untuk memilih sendiri manajemen dan pekerja teknis. Perusahaan asing juga bisa

175 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 107- 108.

74

membawa pulang keuntungan dan modal mereka dengan leluasa.176

UU baru ini dinilai sangat liberal jika dibandingkan dengan kebijakan ekonomi di masa pemerintahan Soekarno yang anti asing. Sekalipun menguntungkan, aturan itu masih dianggap berat terhadap investor asing. Rizal Mallarangeng mencontohkan, urusan perizinan masih menjadi kendala. Perizinan menanamkan modal memerlukan waktu selama enam hingga sembilan bulan. Tak hanya itu, beberapa poin yang berkaitan dengan investasi, perburuhan, perpajakan, hingga hak atas tanah juga tak menentu. Namun dari semua itu, UU PMA menjadi pintu utama dalam keterbukaan pemerintah untuk investor asing. Dari UU ini, nilai total investasi asing meningkat drastic. Dari yang awalnya hanya U$3 juta pada 1968, kemudian meningkat menjadi U$130 juta pada 1970 dan naik lagi menjadi U$302 juta pada 1972. Pada 1967, investasi asing yang disetujui di luar minyak, perbankan, dan asuransi hanya 13 proyek. Setelah adanya UU ini, investasi meningkat menjadi 63 proyek (1970) dan 84 proyek (1971). 177 Selain UU PMA, pemerintah Indonesia juga menerbitkan UU penenaman modal kepada perusahaan domestik. Agustus 1968, terbitlah sebuah aturan yang dikenal dengan nama UU Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Namun berbeda dengan UU PMA yang sudah jelas menguntungkan investor asing, UU PMDN lebih proteksionis. Para investor tetap masuk ke dalam posisi strruktural yang tidak

176 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986- 1992, 53-55. 177 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986- 1992, 53-55.

75

menguntungkan. Menurut persyaratan, perusahaan yang melakukan investasi harus menyisihkan depositonya sebesar 25% kepada bank negara sebagai bentuk jaminan. Sedangkan untuk bidang-bidang di luar kehutanan, pertanian, dan substitusi impor, jaminan deposito harus disisihkan sebesar 50%. Akibatnya, hanya sedikit saja perusahaan domestik yang asetnya lancar setelah diguncang inflasi tinggi 1957- 1967. Belum lagi, mereka juga harus berhadapan dengan bunga tinggi dan kebijakan barang impor dari asing yang tentu saja lebih murah. 178 Namun di sisi lain, UU PMDN juga memuat aturan yang menguntungkan untuk menarik investasi dalam negeri. Perusahaan domestik diberikan peluang pembebasan dan peringanan pajak apabila mereka sudah memenuhi persyaratan. Dari UU PMDN, jumlah investasi perusahaan domestik ikut tumbuh. Pada 1968, jumlah investasi yang disetujui pemerintah hanya U$13 juta. Investasi kemudian meningkat pada 1970 yang jumlahnya mencapai U$319 juta dan naik lagi menjadi U$1.465 juta pada 1973.179 Investasi Modal yang Disetujui PMA/PMDN Desember 1973180 Jumlah Investasi Sektor Disetujui (dalam U$ Persentase juta) PMA PMDN PMA PMDN Kehutanan 495,5 356,8 58 42 Pertanian dan Perikanan 113 232,5 33 67 Pertambangan 860 46,2 95 5

178 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 108- 109. 179 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986- 1992, 53-55. 180 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 111.

76

Manufaktur 1.045,1 1.740,9 38 62 Tekstil 436,9 749 37 63 Pariwisata, Hotel, Real 195,9 200 50 50 Estate Lainnya (termasuk 183,3 207 37 63 infrastruktur dan konstruksi) Jumlah Disetujui 2.828,3 2.978,5 49 51 Jumlah Realisasi 1.131,2 876 56 44 Keterangan: Kurs U$ pada Rupiah pada 1971-1973, U$1 = Rp415.

Dengan modal dari para investor baik dalam negeri maupun luar negeri itu, Soeharto kemudian mencanangkan sebuah konsep yang berisi tentang pembangunan RI selama lima tahun ke depan. Konsep ini kemudian dikenal dengan nama Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) periode pertama. Repelita I dimulai sejak tahun 1969. Dalam konsep ini, Repelita I diprioritaskan untuk perkembangan substitusi impor. Investasi yang digunakan dalam Repelita I digunakan ke dalam berbagai fokus, yakni Rp305 miliar untuk pertanian, Rp380 miliar untuk industri dan pertambangan, Rp265 miliar untuk komunikasi, Rp172 miliar untuk kesejahteraan sosial, Rp100 miliar untuk tenaga listrik, dan berbagai bidang lain yang jumlah keseluruhan anggarannya mencapai Rp1.420 miliar.181 Meskipun begitu, pembangunan yang gencar dilakukan Presiden Soeharto tak lepas dari kritik. UU PMA dan PMDN dianggap terlalu

181 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 109- 110..

77

menguntungkan investor asing. Sebab, UU PMDN dinilai lebih memberatkan industri pribumi sekaligus menciptakan pola masyarakat yang cenderung konsumtif terhadap produk asing. Belum lagi besarnya biaya politik, sosial, dan moral strategi untuk mengembangkan bisnis terlalu besar. Para kritikus yang berlatar ekonom itu menyarankan agar dana investor asing diintegrasikan ke dalam strategi pembangunan nasional yang menyeluruh dan juga ditentukan oleh orang Indonesia sendiri.182 Sasaran kritik juga dilancarkan kepada Direktur Pertamina Ibnu Sutowo. Dalam masa kepemimpinannya, Sutowo dianggap memperlakukan Pertamina sebagai kerajaan bisnis pribadi. Secara legal, Pertamina bertugas untuk mengatur sumber daya minyak Indonesia melalui alokasi konsesi pengeboran, melakukan administrasi kontak kerja dan kemitraan produksi, dan melakukan koordinasi industri minyak secara menyeluruh. Di bawah arahan Sutowo, Pertamina berkembang menjadi suatu pusat kekuatan ekonomi paling besar. Terlebih pada saat itu harga minyak dunia sedang meningkat. 183 Sumber Pendapatan Pemerintah RI184 Tahun Minyak Non Bantuan Jumlah Minyak 1969/1970 65,8 178,1 91,1 334,8 (19,7) (53,2) (27,2)

182 Yahya A. Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, (Jakarta: LP3ES, 1990), 64-65. Kritik juga dilancarkan oleh pers mahasiswa lewat media Mahasiswa Indonesia. Lihat dalam Francois Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966- 1974, (Jakarta: LP3ES, 1989), 310-311. 183 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 118. 184 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 133.

78

1970/1971 99,2 245,4 120,5 465,1 (21,3) (52,8) (25,9) 1971/1972 140,7 287,3 135,5 563,5 (25) (51) (24) 1972/1973 230,5 360,1 157,8 748,4 (30,8) (48,1) (21,1) 1973/1974 382,2 585,5 204 1.171,7 (32,6) (50) (17,4) 1974/1975 957,2 789,1 232 1.978,3 (48,4) (39,9) (11,7) Keterangan: Angka non-kurung dalam hitungan miliar rupiah, sedangkan angka dalam kurung dalam hitungan persentase.

Gebrakan Ibnu Sutowo dalam mengembangkan Pertamina dilakukan dengan dua cara. Pertama, ia meningkatkan kegiatan Pertamina lewat investasi ke bidang yang luas melalui anak perusahaan Pertamina, seperti bidang petrokimia, perusahaan logam, permesinan, telekomunikasi, perumahan, penerbangan, dan pelayaran. Salah satu yang menonjol adalah PT. Krakatau Steel yang memerlukan modal Pertamina sebanyak U$6 juta dari keselurahan modal berjumlah U$10 juta. Kedua dilakukan dengan cara memanfaatkan akses ke minyak dan gas alam Indonesia sebagai modal untuk mencari dana ke investor asing dalam melakukan proyek pembangunan di bidang petrokimia dan gas alam. Dalam hal ini, Sutowo mengandalkan investor Jepang dibanding IGGI, IMF, atau IBRD. Jepang lebih dipilih karena lebih simpatik dalam memberikan pinjaman modal. Peminjaman itu pun juga mendapat restu dari Presiden Soeharto. Namun momentum yang dilakukan Ibnu Sutowo

79

ini berhenti tiba-tiba pada 1975/1976. Alasannya, Pertamina tidak mampu membayar kebijakan yang tercantum dalam perjanjian utang jangka pendekya. Kebijakan IMF yang mendesak kuat bahwa korporasi negara Indonesia harus dibatasi untuk peminjaman utang luar negeri antara satu hingga 15 tahun memaksa Sutowo untuk memilih utang dengan jangka pendek. Pinjaman dana AS sebesar U$1.200 juta selama 20 tahun ini tiba-tiba gagal. Hal ini pun berujung pada pemecatan Sutowo dari jajaran petinggi Pertamina, juga bersama para pejabat yang memiliki hubungan dengan Sutowo.185 Sasaran kritik selanjutnya kemudian berlanjut kepada Tien Soeharto. Tien dikritik karena ia mengusulkan untuk membangun sebuah mega proyek miniatur Indonesia yang dikenal dengan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). TMII sendiri diibaratkan seperti Disneyland yang isinya adalah beberapa pulau Indonesia yang berbentuk kecil yang terpusat di danau. Di situ juga disediakan rumah tradisional Indonesia yang nantinya akan memamerkan unsur kebudayaan daerah masing- masing provinsi. Tien terinspirasi dari kunjungannya ke tempat wisata Thaiin-Miniature Land yang ada di Bangkok, Thailand. Usulan yang digagas pada 1971 ini memancing kemarahan mahasiswa Indonesia karena memakan biaya hingga U$50 juta.186 Meskipun proyek ini mempunya tujuan mulia yang sesuai dengan motto Bhineka Tunggal Ika¸ mahasiswa menilai bahwa negara terlalu menghambur-hamburkan uang.

185 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 119- 122. 186 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 180-181.

80

Menurut mereka, alangkah lebih bijak apabila uang tersebut digunakan untuk mengatasi kemiskinan yang tak kunjung selesai.187 Mendengar istrinya diserang, Soeharto berang. Dalam pidatonya pada Januari 1972, ia menuduh bahwa kritikus TMII bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Soeharto mengatakan bahwa aktivis itu sudah diorganisir oleh para oposisi yang sudah ada sejak 1968. Ia mengancam akan menggunakan kekuatan militer apabila protes terus digencarkan kepada istrinya. Peringatan ini pun dieksekusi oleh Kopkamtib. Jenderal Sumitro selaku Panglima Kopkamtib akan menindak semua demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan juga kritik yang digencarkan oleh media massa terkait isu pembangunan TMII.188 Langkah itu berhasil meredam gerakan mahasiswa selama 18 bulan dan berujung pada minggatnya Arief Budiman (pelopor gerakan mahasiswa) meninggalkan Indonesia.189 Kritik berlanjut pada tahun 1973. Namun, protes dan kritik tak hanya disampaikan oleh pers dan mahasiswa, cendekiawan, pebisnis, hingga pemimpin politik turut mengkritik pemerintahan. Kritik disasar pada strategi ekonomi Bappenas yang diduga akan membuat jurang kemiskinan untuk masyarakat Indonesia. Ditariknya investor Cina sebagai penanam modal menjadi pemicu kemarahan kelompok ini, selain perilaku korupsi para pejabat pemerintahan tentunya. Menurut kelompok ini, pemanfaatan sumber daya minyak tak selaras dengan role pembangunan Indonesia. Sebab, keuntungan yang didapat malah menambah penanaman investasi yang ditujukan untuk masyarakat-

187 Adrian Vickers, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Insan Madani, 2005), 252-255. 188 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 185. 189 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 125.

81

masyarakat konsumtif perkotaan. Solusi yang mereka tawarkan adalah menunjukan pembangunan dengan prinsip kesetaraan, pembukaan lapangan kerja, penggunaan teknologi yang cocok, hingga pembangunan bidang industri dan pertanian yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia.190 Demonstrasi masyarakat mencapai puncak saat kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia pada 15 dan 16 Januari 1974. Kedatangan Tanaka sendiri untuk menanamkan investasi dari dana Pemerintah Jepang yang mendominasi lewat organisasi Asian Development Bank (ADB). Para demonstran pun melancarkan protesnya di seluruh wilayah Jakarta. Huru-hara pun terjadi. 807 mobil dan motor buatan Jepang harus dibakar massa, sebelas orang meninggal dunia, 300 orang luka-luka, 114 bangunan rusak, juga 160 kg emas raib dari tokoh- tokoh perhiasan.191 Namun mereka tak hanya mengincar perusahaan Jepang, Perusahaan Coca-Cola, pasar-pasar di wilayah Senen dan Blok M juga turut dijarah. Kerusuhan ini kemudian dikenal dengan istilah Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974.192 Akibat Malari ini, pemerintah pun menanggapinya dengan represif. Mereka memberangus media massa yang dinilai terlalu kritis dengan pemerintahan, seperti Indonesia Raya, Nusantara, Harian Kami, Mahasiswa Indonesia, The Jakarta Times dan Pedoman. Selain itu, 775 aktivis juga turut ditangkap. Beberapa di antaranya yakni Pemimpin

190 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 125- 127. 191 Husein Abdulsalam, Malari 1974: Protes Mahasiswa yang Ditunggangi Para Jenderal, https://tirto.id/malari-1974-protes-mahasiswa-yang-ditunggangi-para- jenderal-cDe9, (Diakses pada 3 Februari 2019 pukul 17.09 WIB). 192 Peter Kasenda, Soeharto: Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun?, 53.

82

Gerakan Mahasiswa Hariman Siregar, Tokoh PSI Soebadio Sastrosatomo, Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Adnan Buyung Nasution dan J.C. Princen, dan akademisi Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.193 Beberapa sumber mengatakan, insiden ini bukan hanya protes akibat kebijakan ekonomi. Peristiwa Malari juga merupakan peristiwa yang berlatar belakang politik lantaran perseteruan dua jenderal berpengaruh saat itu, yakni Pangkopkamtib Soemitro dan Kepala Bakin Ali Moertopo. Gagasan-gagasan Soemitro mengenai kebijakan politik (seperti masa jabatan pejabat negara) dan ekonomi (mengorientasikan pejabat domestik ketimbang asing) dianggap berbahaya oleh Ali Moertopo. Ali menilai bahwa Soemitro bisa menjadi ancaman untuk menggulingkan kekuasaan Presiden Soeharto. Usai Malari, keduanya pun secara bertahap disingkirkan oleh Soeharto. Soemitro dicopot dari jabatannya sebagai Panglima Kopkamtib, sedangkan Ali Moertopo diturunkan sebagai Wakil Kepala Bakin dan Yoga Sugama naik menggantikan Ali.194 Kemudian secara berangsur, Benny Moerdani yang juga pernah menjadi anak buah Ali, dilantik Soeharto untuk memperbaiki intelijen Indonesia.195 Dampak dari Malari cukup mengguncang pemerintahan Indonesia dalam membangun kembali kebijakan ekonominya. Seminggu setelahnya, beberapa perubahan mengenai kebijakan investasi dan

193 Husein Abdulsalam, Malari 1974: Protes Mahasiswa yang Ditunggangi Para Jenderal, https://tirto.id/malari-1974-protes-mahasiswa-yang-ditunggangi-para- jenderal-cDe9, (Diakses pada 3 Februari 2019 pukul 17.09 WIB). 194 Salim Haji Said, Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto, 57-64. 195 Arif Zulkifli, dkk, Seri Buku Saku Tempo: Benny Moerdani yang Belum Terungkap, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018), 52-53.

83

perkreditan dibuat secara buru-buru oleh Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional. Perubahan itu yakni: 1. Saham kapital pada perusahaan patungan baru secara progresif dialihkan kepada mitra Indonesia hingga mencapai 51% dalam jangka sepuluh tahun. 2. Semua proyek investasi asing dalam bentuk patungan dengan mitra pribumi Indonesia. 3. Jika mitra lokal bukan pribumi Indonesia, maka 51% saham nasional harus dicapai lebih cepat melalui pasar saham dan 50% dari saham nasional harus ada di tangan kaum pribumi Indonesia. 4. Bidang investasi yang tertutup bagi modal asing bertambah jumlahnya dengan mempertimbangkan kejenuhan bidang tersebut serta menciptakan potensi investor domestik untuk mengambilalih investasi dan produksi. 5. Kredit investasi dari bank-bank pemerintah dialokasikan hanya kepada investor pribumi. 6. Proyek investasi domestik diminta memenuhi 75% saham kaum pribumi atau jika manajemen sebagian besar di tangan kaum pribumi, maka saham pribumi cukup 50%.196

Modifikasi kebijakan ekonomi oleh pemerintahan Indonesia memiliki dua tujuan. Pertama, untuk memperbaiki tekanan sosial dan ekonomi yang terus menerus meningkat selama masa pemerintahan Orde Baru. Pemerintah tak akan mengistimewakan investor asing untuk

196 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 130.

84

menanamkan modalnya di Indonesia. Bersama investor asing, pebisnis domestik kini ditarik masuk ke dalam penggerak ekonomi. Alasan kedua adalah untuk memperbaiki stabilitas sosial dan politik akibat kritik yang dilaksanakan oleh masyarakat, terutama cendekiawan, mahasiswa, hingga media massa. Sebab, pemerintahan Orde Baru tak ubahnya dengan pemerintahan Orde Lama yang memiliki budaya korupsi oleh para pejabatnya. 197

197 Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, 129.

BAB V SIKAP SUARA KARYA DALAM MELEGITIMASI KEKUASAAN ORDE BARU

Harian Umum Suara Karya merupakan sebuah surat kabar yang diterbitkan oleh Yayasan Suara Karya pada 11 Maret 1971. Seperti dijelaskan sebelumnya, kehadiran Suara Karya memang diperuntukkan untuk menaikkan elektabilitas Golkar dalam Pemilu 1971. Berawal dari usulan Ali Moertopo pada 8 Maret 1971, para punggawa Golkar pun melaksanakan pertemuan yang diadakan di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pertemuan itu pun menjadi asal muasal lahirnya Harian Umum Suara Karya. 198 Ali Moertopo, Sudjono Humardani, dan Sapardjo tercatat sebagai penggagas media ini. Sedangkan kader Golkar yang turut terlibat antara lain Sumiskum, David Napitupulu, Jusuf Wanandi, Moerdopo, Sugiharto, Rahman Tolleng, Djamal Ali, Cosmas Batubara, dan Soedjati Djiwandono.199 Edisi perdana Suara Karya bertepatan dengan Peringatan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1971 dan mencakup empat halaman. Pada halaman pertama, tertulis sambutan dari Presiden Soeharto yang berisi ucapan selamat atas terbitnya Suara Karya. Dalam isi sambutannya, Soeharto mengharapkan harian ini mampu membawa angin segar pembaruan untuk masyarakat, menggerakkan dan menggairahkan masyarakat, serta membuat masyarakat lebih paham

198 Tempo, Koran 50 Juta Rupiah, dalam Majalah Tempo edisi Khusus Rahasia-Rahasia Ali Moertopo tanggal 14-20 Oktober 2013, 48. 199 Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman, 4.

85

86

tentang paham demokratis. 200 Sedangkan Suara Karya sendiri memiliki alasan untuk menerbitkan media harian tersebut. Mereka menulisnya melalui Rubrik Tajuk Rencana dengan judul Missi Suara Karya.

Missi “Suara Karya”201 BERTEPATAN DENGAN HARI “SUPERSEMAR” 11 MARET 1971, Harian “SUARA KARYA” memulai pengabdiannja dalam perdjuangan bangsa Indonesia mencapai tjita²-nja seperti jang termaktub dalam Undang² Dasar 1945. Apakah mission jang hendak dibawakan oleh “SUARA KARYA”? Sedjak tahun 1966 sebagian dari lapisan kepemimpinan bangsa Indonesia telah memilih dan meletakkan trace baru atau strategi baru dalam memperdjuangkan pelaksanaan tjita² Bangsa Indonesia. Strategi baru ini melalui berbagai-bagai ketetapan MPRS dan perundang-undangan telah diterima dan mendjadi milik seluruh bangsa Indonesia. Tracee baru jang telah diletakkan itu adalah alternatif jang tepat dan merupakan konsekwensi logis dari proses perkembangan bangsa berdasarkan kondisi dan situasi, baik didalam maupun diluar negeri. Mendjadi pula suatu kejakinan, bahwa tracee baru itu akan memberikan hasil bagi bangsa dan rakjat, apabila dapat didjamin kontinuitasnja untuk djangka waktu jang tjukup lama. Sudah tiba saatnja lapisan kepemimpinan bangsa Indonesia berpikir dan berentjana dalam djangkauan waktu jang tjukup pandjang, sedikit-dikitnja seperempat abad. Pelaksanaan kebebasan, pelaksanaan Demokrasi jang telah diletakkan dalam Undang² Dasar 1945, mendjadi salah satu dasar atau tjiri dari Tracee

200 Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman, 5. 201 Pindaian Dokumen Tajuk Rencana edisi pertama Harian Suara Karya. Lihat dalam Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman, 6.

87

Baru. Pemilihan umum sebagai salah satu sisi pelaksanaan demokrasi akan mendjadi kenjataan dalam perdjalanan sedjarah bangsa Indonesia mendatang. Adalah mendjadi keharusan bagi setiap insan Indonesia, jang menghendaki kontinuitas Tracee Baru itu agar melalui pemilihan umum akan tetap pula terdjamin kontinuitas Tracee Baru. Golongan Karya adalah sarana untuk memperdjuangkan kontinuitas melaksanakan Tracee Baru jang telah diletakkan pada tahun 1966. Proses perkembangan sedjarah telah mendjadikan Golongan Karya untuk sarana guna mentjapai pembaharuan dan pembangunan disegala bidang, termasuk didalamnja Pembaharuan Struktur Politik, jaitu suatu Struktur jang meninggalkan sama sekali perdjoangan politik jang berpola pada pertentangan ideologi dan perebutan kekuasaan semata-mata, untuk digantikan mendjadi perdjoangan berdasarkan suatu program pembangunan. Demikianlah mission jang hendak dibawakan oleh Suara Karya jang kami namakan “Karya Restoration” atau Karya Restorasi.

Dari Tajuk Rencana itu, Suara Karya melancarkan misinya untuk menjadi corong Golkar dalam pelaksanaan pembangunan oleh pemerintah Orde Baru. Dalam artian, fungsi Suara Karya memang diperuntukkan untuk kemenangan Golkar dalam Pemilu 5 Juli 1971. Tak ayal, Golkar mampu mendulang suara hingga 62,8% dari total sepuluh partai politik yang turut berpartisipasi dalam pemilu tersebut.202 Selepas pemilu, Suara Karya menjadi media yang menjembatani antara pemerintah Orde Baru dengan masyarakat. Dengan motto “Suara Rakyat Membangun”, Suara Karya memberitakan berbagai kebijakan

202 Ilham Khoiri, Pemilu 1971, Demokrasi Semu, https://nasional.kompas.com/read/2014/01/11/1932246/Pemilu.1971.Demokrasi.Semu , (Diakses pada 4 Desember 2018 pukul 17.25 WIB).

88

yang dilakukan oleh pemerintahan, baik itu mengenai politik maupun ekonomi yang sesuai dengan slogan pemerintah, yakni pembangunan. Lewat kerja sama dengan lembaga think-thank CSIS, Suara Karya mencoba untuk memberikan berbagai perkembangan berita pemerintahan kepada masyarakat yang ada di berbagai pelosok negeri.203 “Untuk itu harian “Suara Karya” sebagai pembawa suara Golongan Karya tidak sadja berusaha menterdjemahkan kebidjaksanaan2 pemerintah, djuga sedjauh mungkin mentjoba menjuarakan aspirasi dan dinamik jang hidup dalam masjarakat. Apakah harian ini telah berhasil mengabdikan dirinja dalam pengertian itu tentulah para pembatja sendiri jang berhak menilainja.”204

Sebagai media partisan Golkar, Suara Karya juga menjadi penghubung antara pemerintahan pusat, yang dikuasai Golkar tentunya, dengan kader-kader Golkar yang berada di daerah. Sebab, Suara Karya sendiri memanglah menjadi corong utama dalam memberikan perkembangan kebijakan pemerintah pusat. Media harian ini menjadi lingkaran pertama dalam menyebarkan informasi dari pemerintah pusat, baik itu kebijakan politik maupun kebijakan ekonomi.205 Dengan modal politik seperti itu, Suara Karya mencoba merebut pasar pembaca. Seperti dijelaskan sebelumnya, pada tahun pertama terbit, Suara Karya mampu menerbitkan sebanyak 25 ribu eksemplar. Di tahun 1972, Suara Karya berhasil mencetak lebih dari dua kali lipat, yakni 57,4 ribu eksemplar. Sedangkan di tahun 1973, terbitnya Suara

203 Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman, 5. 204 Satu Tahun Mengabdi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 11 Maret 1972. 205 Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman, 23.

89

Karya semakin naik mencapai 67,75 ribu eksemplar. Barulah pada tahun 1974, Suara Karya mengalami penurunan yang berjumlah 60,9 ribu eksemplar. Persentase pembaca Suara Karya pun terbagi ke dalam dua kategori, yakni dari kalangan instansi dan masyarakat umum. Pada 1972, dari 57,4 ribu eksemplar, persebaran pembaca dari kalangan masyarakat umum mencapai 90,6%, sedangkan dari kalangan instansi mencapai 9,4%. Tahun 1973, pertumbuhan pembaca dari kalangan instansi pemerintahan meningkat m enjadi 16,4%, sedangkan dari pembaca umum menjadi 83,6%. Di tahun 1974, pembaca dari kalangan instansi bertambah mencapai 16,8% dan dari kalangan masyarakat berjumlah 83,6%.206 Seiring berjalannya waktu, Suara Karya mencoba untuk melepas citranya yang melekat kuat dengan Golkar. Pertumbuhan media massa dan semakin kritisnya masyarakat akan informasi membuat harian ini harus tetap bertahan hidup demi memenuhi kebutuhan pembaca. Sekitar tahun 1982 hingga 1987, Suara Karya mencoba menjaga jarak dengan Golkar. Menurut Pemimpin Redaksinya waktu itu, Syamsul Bisri, mengatakan bahwa Suara Karya memberikan kritiknya terhadap Partai Golkar. Lebih lagi, mereka juga memberikan porsi pemberitaan yang lebih banyak terhadap dua partai lainnya, yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). 207 Tak hanya itu, Suara Karya juga memisahkan pengelolaan media dari Partai Golkar. Sebelumnya, media ini dikelola oleh sebuah Yayasan Suara Karya, yang statusnya langsung di bawah naungan Partai Golkar.

206 Rizal Mallarangeng, Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya, 67-69. 207 Rizal Mallarangeng, Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya, 67-69.

90

Seperti dijelaskan di atas, Harian Suara Karya memang menjadi sebuah media yang menghubungkan antara petinggi dengan kader Golkar yang berada di bawahnya. Dengan demikian, rumus para pembaca Suara Karya adalah para kader Golkar yang mendominasi struktur pemerintahan. Hal ini kemudian disadari oleh para pengurus Suara Karya karena media ini tidak akan bisa bergantung terus menerus kepada para pembaca yang memiliki latar belakang partai. Perubahan orientasi pembaca ini yang menyebabkan harian Suara Karya mengganti manajemen organisasinya.208 Pada 1 Maret 1986,209 Yayasan Suara Karya selaku institusi yang membawahi media ini diganti dengan PT. Suara Rakyat Membangun. Perubahan ini diharapkan mampu untuk mengubah citra Suara Karya, yang awalnya merupakan media partisan menjadi media umum sekaligus independen, terhadap para pembacanya. 210 Selain media harian, Suara Karya juga memiliki beberapa produk jurnalistik lain. Beberapa bulan setelah edisi pertama terbit, Suara Karya menerbitkan media cetak mingguan bernama Suara Karya edisi Minggu (SKM). Berbeda dengan edisi harian yang cenderung lebih serius, SKM berisi kumpulan berita soft yang ditujukan untuk para remaja dan keluarga. Di dalamnya berisi kumpulan berita yang

208 Roos Anwar, Penampilan Informasi Pembangunan di Surat Kabar Indonesia (Suatu Perbandingan Melalui Analisis Isi Berita Pembangunan di Harian Suara Karya dan Harian ), (Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 1992), 66-67. 209 Arief Hidayat, Pemimpin Redaksi Suara Karya Bantah Korannya Akan Tutup, https://nasional.tempo.co/read/766858/pemimpin-redaksi-suara-karya-bantah- korannya-akan-tutup/full&view=ok, (Diakses pada 19 Maret 2019 pukul 16.35 WIB). 210 Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman, 23-24.

91

bertemakan olahraga, hiburan, sastra, hingga budaya.211 Selain cetak, Suara Karya juga melebarkan sayapnya ke media berbentuk daring. Pada 1999, Suara Karya membuat situs www.suarakarya-online.com atau yang dikenal dengan nama Suara Karya Online (SKO). SKO diharapkan mampu untuk beradaptasi dengan tuntutan zaman yang mengharuskan berbagai media untuk beralih ke ranah teknologi. Keberadaan SKO ini juga terpisah dari divisi media cetak Suara Karya. 212 Dari uraian di atas, penulis ingin mengemukakan peranan Suara Karya dalam periode pemerintahan Orde Baru, tepatnya pada tahun 1971 hingga 1974. Bab ini akan menjabarkan pandangan media Suara Karya terhadap berbagai kebijakan pemerintahan Soeharto, khususnya kebijakan politik dan ekonomi, melalui rubrik tajuk rencana. Dalam pembuatannya, Tajuk Rencana sendiri ditulis oleh pihak redaksi Suara Karya. Mereka bertanggungjawab ketika ada opini yang berisi tentang berita-berita yang bahasannya di luar partai. Namun jika Tajuk Rencana memuat opini tentang Partai Golkar, maka pembuatannya melibatkan pihak Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Golkar. Pihak DPP Golkar akan memberikan kisi-kisi terkait penulisan tajuk sebelum koran diterbitkan. Singkatnya, pihak DPP Golkar turut berperan dalam pembuatan Tajuk Rencana apabila bahasannya berisi tentang dinamika yang turut melibatkan partai.213 Setelah penulis telisik, Tajuk Rencana Suara Karya terbagi ke dalam berbagai topik, yaitu pandangan tentang Soeharto, isu

211 Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman, 5. 212 Ricky Rachmadi dkk, 32 Tahun Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman, 39-41. 213 Wawancara dengan Agoes Sofyan, Ciputat, 10 Juli 2019 pukul 22.00 WIB.

92

pembangunan, isu politik, hingga bagaimana Suara Karya menanggapi kritik. Namun, adanya keterbatasan sumber menjadi masalah tersendiri dalam penelitian ini. Sebelumnya dijelaskan, Harian Suara Karya sudah terbit sejak 11 Maret 1971. Namun, penulis hanya dapat menemukan cetakan harian itu pada terbitan Agustus 1971. Penulis menyadari, masih ada beberapa tema yang nantinya tidak terbahas dalam bab ini dikarenakan terbatasnya sumber dan minimnya penelitian khusus yang membahas Suara Karya. Terlepas dari masalah di atas, analisis mengenai Tajuk Rencana tersebut akan dijelaskan lewat penjabaran berbentuk sub bab di bawah ini.

A. Pandangan tentang Soeharto Masa transisi pemerintahan Orde Lama (Soekarno) ke Orde Baru (Soeharto) sebenarnya sudah dimulai sejak penandatanganan Supersemar 1966. Seperti dijelaskan bab sebelumnya, kepemimpinan Soekarno digantikan Soeharto disahkan melalui ketetapan MPRS Nomor XLIV Tahun 1968. 214 Sesuai amanat itu, Soeharto sendiri memiliki beberapa tugas dalam periode pemerintahannya, yakni menciptakan stabilitas politik dan ekonomi, menyusun dan melaksanakan repelita, melaksanakan pemilu sesuai TAP MPRS No. XLII/68, mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis G30S, serta melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan aparatur negara secara menyeluruh, baik di tingkat pusat maupun daerah.215 Kemudian,

214 Peter Kasenda, Sarwo Edhie dan Tragedi 1965, 168. 215 Pertanggungan Jawab Presiden, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 13 Maret 1973.

93

Soeharto kembali menjadi Presiden ketika dilaksanakannya Pemilu yang diselenggarakan pada 5 Juli 1971. Suara Karya menyebutkan, transisi pemerintahan melalui Supersemar 1966 ini menjadi sebuah hari bersejarah dalam tonggak kemenangan pemerintah Orde Baru. Soeharto dianggap sebagai jalan pembuka bagi bangsa Indonesia dalam meneruskan perjuangan, terutama di bidang pembaruan dan pembangunan.216 Menurutnya, Soeharto menjadi sebuah solusi untuk membangun kembali sebuah warisan yang ditinggalkan oleh pemerintahan Orde Lama. “Rongsokan jang diwarisi pemerintah Suharto dari redjim orde lama, tak memungkinkan kita untuk mentjiptakan kesempurnaan sekaligus dalam waktu pendek dengan kemampuan2 jang terbatas. Semua ini memerlukan suatu sistem prioritas jang sepenuhnya harus didasarkan pada data2 objektif tentang diri sendiri. Untuk itu perlu ada keberanian mengenal diri, sebagaimana adanja, dengan penuh kedjudjuran, sebagai salah satu sarana mutlak diperlukan guna mentjapai tudjuan2 selandjutnja. Dalam hal ini peranan mereka jang menamakan dirinja pemimpin rakjat adalah sangat menentukan.”217

Dari tulisan di atas, Suara Karya menunjukkan sikap optimisnya kepada Presiden Soeharto untuk memberikan kesempatan dalam memimpin Indonesia. Media ini menganggap bahwa sosok Soeharto mampu memberikan arah terhadap kebangkitan Indonesia, khususnya dalam unsur pembangunan. Suara Karya kembali mempertegas makna pembangunan yang digaungkan oleh Soeharto.

216 Satu Tahun Mengabdi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 11 Maret 1972. 217 26 Tahun Merdeka, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 16 Agustus 1971.

94

“Dalam sebuah pidato kenegaraan didepan Sidang Pleno DPRGR pada tanggal 16 Agustus Presiden Suharto untuk kesekian kalinja membitjarakan masalah pembangunan dengan menekankan bahwa proses pelaksanaannja harus dipertjepat, sebab rakjat sudah ingin segera menikmati hasil kemerdekaan, sedangkan djumlah dan kebutuhannjapun makin lama makin bertambah. Dalam pembangunan masjarakat, ekonomi merupakan faktor jang sangat penting, sebab itu dalam rangka dan proses pelaksanaannja Pemerintah sampai tahap tahun ini tetap memberikan prioritas dibidang ekonomi jang dianggap dapat mengambil peranan jang menentukan. Kebidjaksanaan jang memang tepat dan sudah mulai memperlihatkan hasil positifnja.”218

Dengan terpilihnya Soeharto sebagai pemimpin baru, Suara Karya berpandangan bahwa Soeharto adalah tonggak utama dalam pelaksanaan pembangunan dalam negeri. Suara Karya mengharapkan bahwa Soeharto menjadi sebuah tokoh yang akan menjalani era baru bagi pembangunan Indonesia. “Pemilu telah menundjukkan bahwa Pemerintah mampu menggerakkan rakjat dan berhasil mengadakan perubahan2 jang strukturil sifatnja dan mudah2an dalam rangka menudju kepada kesedjahteraan dan pendewasaan rakjat, Pemerintah djuga mampu mendorong masjarakat untuk melihat, menerima, dan menghajati nilai2 baru jang dibutuhkan untuk pelaksanaan dalam proses pembangunan serta modernisasi dalam djangka 25 tahun mendatang.”219

218 Pembangunan jang Menjeluruh, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 22 Agustus 1971. 219 Pembangunan jang Menjeluruh, Tajuk Rencana Suara Karya edisi 22 Agustus 1971.

95

B. Menyuarakan Pembangunan Seperti tujuan awalnya, Suara Karya memang difungsikan untuk menyuarakan kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan, baik itu mengenai politik maupun ekonomi kepada para pembacanya. Dalam tajuk rencana pertamanya yang berjudul Missi Suara Karya, jelas tertulis bahwa pembangunan menjadi poin penting bagi Suara Karya untuk melaksanakan cita-cita bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, ekonomi merupakan unsur terpenting dalam pelaksanaan pembangunan. Namun, Suara Karya berpendapat bahwa pembangunan tak hanya mengkhususkan terhadap poin ekonomi saja. Harian ini menuturkan bahwa pembangunan tidak mencakup bidang materi saja, tetapi juga melibatkan bidang spritiual, sosial, budaya, intelektual, serta kesusilaan. “Kita bertitik tolak dari filsafat Pantjasila, jang melihat manusia sebagai kesatuan harmonis antara badan dan djiwa, sehingga dalam hidup, aktivitas serta keputusannja selalu didasari dan digarisi oleh dua dimensi materiil dan spirituil jang saling kait-mengait, lagi pula sama esensiil dan fundamentilnja dalam pribadi manusia. Sebab itu dalam rangka perkembangan pribadi jang harmonis, pembangunan materiil setjara eksplisit harus diimbangi dengan pembangunan dibidang spirituil, dan peningkatan hidup materiil harus didjamin dengan peningkatan hidup spirituil (djadi hidup spirituil tidak terbatas dalam kehidupan keagamaan sadja, tetapi dalam arti jang lebih luas, jaitu mentjakup bentuk2 hidup intelektuil, kesusilaan, sosio-budaja, politis). Pembangunan jang diorientasikan pada peningkatan hidup ekonomi semata2 memang akan membawakan pengaruhnja dalam bidang mental-spirituil, akan tetapi tidak setjara otomatis mendatangkan

96

perbaikan serta peningkatan kesadaran mental-spirituil. Dan disinilah letak perbedaannja dengan pandangan marxistis, jang meredusir bentuk2 mental-spirituil (sosial dan politik) sebagai projeksi belaka dari relasi2 ekonomi.”220

Dalam hal ini, Suara Karya memaknai bahwa unsur-unsur non- materi juga merupakan hal yang penting. Bahkan, media ini berpendapat kemungkinan perombakan mengenai mental masyarakat juga perlu diubah. Karena pada hakikatnya, apabila mental masyarakat masih saklek, pembangunan secara ideal tak akan pernah terwujud. “Djelaslah bahwa untuk melaksanakan pembangunan dan modernisasi dibutuhkan adanja partisipasi rakjat, dan partisipasi hanja diberikan dengan sepenuhnja djika ada kesadaran dan penghajatan nilai2 jang tjukup dinamis. Perombakan sistim nilai2 bukanlah perhitungan matematis, tetapi proses rohani jang dialektis dan membutuhkan waktu jang lama. Proses perombakan nilai dapat dipertjepat apabila Pemerintah mengarahkan wewenang serta kekuasaannja dalam bentuk keputusan, tindakan, lagi pula memanfaatkan lembaga2 jang ada dalam bentuk perundang2an dan lain2. Tudjuan undang2 tidak hanja terdjadinja perbuatan2 jang taat pada undang2, tetapi djuga manusia2 jang taat, sebagai sumber dari perbuatan jang baik. Dengan demikian undang2 sekaligus mempunjai aspek pedagogis.”221

Dari unsur-unsur pembangunan di atas, kebijakan sosial juga menjadi perhatian dari Suara Karya. Unsur kebijakan sosial yang turut

220 Pembangunan jang Menjeluruh, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 22 Agustus 1971. 221 Pembangunan jang Menjeluruh, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 22 Agustus 1971.

97

disoroti harian ini adalah masalah pertumbuhan penduduk. Demi memperbaiki masalah itu, pada 6 September hingga 4 Oktober 1971, Pemerintahan Orde Baru akan melaksanakan sensus penduduk. Sensus penduduk, menurut Suara Karya, bertujuan untuk mendapatkan data kependudukan yang menjadi landasan untuk pembangunan, terutama di bidang kesejahteraan sosial. “Selama ini masalah penduduk dengan segala seginja, merupakan salah satu faktor utama penghambat pembangunan. Salah satu tjontoh, peningkatan produksi beras, umpamanja, jang tidak didasarkan pada djumlah penduduk dan peningkatannja jang rill (karena belum adanja sensus), dapat dikatakan selalu mengalami perhitungan jang kurang tepat. Demikian pula fasilitas2 pendidikan, dan lain2. Salah satu aspek sangat penting dari hasil sensus ini nanti adalah masalah man-power (ketenaga-kerdjaan). Banjak sinjalemen mengatakan, bahwa sekarang ini terdapat pengangguran para sardjana. Tapi dilain pihak kita merasa kekurangan tenaga2 ahli dan berpendidikan. Suatu paradox djustru pada saat kita sedang melaksanakan pembangunan. Untuk itu perlu adanja man-power planning jang menjeluruh. Dan ini hanja mungkin dilakukan dengan adanja keterangan2 jang lengkap dan terperintji mengenai kependudukan jang akan diperoleh melalui sensus.”222

Selain masalah sensus penduduk, Suara Karya turut berkomentar soal masalah transmigrasi. Transmigrasi sendiri merupakan sebuah program yang bertujuan untuk mengendalikan persebaran penduduk

222 Sensus Penduduk 1971, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 6 September 1971.

98

yang terlalu banyak berpusat di Pulau Jawa. Masalah persebaran penduduk yang tidak rata, menurut Suara Karya, sudah muncul sejak zaman kolonial Belanda. Pemerintahan Hindia-Belanda kemudian menerapkan kebijakan transmigrasi kepada penduduk yang berada di Pulau Jawa dengan cara mempekerjakan mereka di luar Pulau Jawa, demi kepentingan penjajah juga tentunya. Pada zaman kemerdekaan, transmigrasi tetap menjadi masalah utama pemerintahan Orde Lama. Suara Karya menyebut, transmigrasi saat itu masih belum memberikan hasil yang signifikan. Mereka mengganggap ada beberapa aspek yang kurang diperhatikan, seperti biaya, mental-sosiologis, hingga sarana pendukung transmigrasi. Masa pemerintahan Orde Baru, Soeharto melantik Prof. Dr. Subroto untuk memimpin Departemen Transmigrasi dan Koperasi. Dalam pelantikannya, Subroto mengatakan bahwa transmigrasi memerlukan niatan suka rela untuk pindah ke luar Pulau Jawa. Faktor kedekatan dengan daerah asal juga berperan penting dalam program transmigrasi tersebut. Dari pernyataan itu, Suara Karya turut angkat bicara lewat tulisannya di Tajuk Rencana. “Tentang unsur daja tarik, kiranja perlu mendapat perhatian pelbagai aspek jang menjangkut pembangunan sarana-sarana jang diperlukan, antara lain djenis2 projek; apakah dalam bentuk centra ekonomis jang berwudjud pabrik dll, ataukah sarana untuk membuka hutan dan lapangan baru. Dalam hal ini aspek menumbuhkan semangat pionir kiranja tak boleh diabaikan. Tentang unsur hubungan dengan daerah asal, hal ini perlu mendapat pemikiran dan pengolahan lebih landjut. Memang benar bahwa unsur tersebut selama ini tjukup banjak mempengaruhi usaha2 transmigrasi. Tapi selain dari bertudjuan mengurangi kepadatan penduduk Djawa,

99

transmigrasi djuga mempunjai aspek lain jang tak kurang penting, jaitu pembinaan bangsa sebagai kesatuan.”223

Dari tulisan di atas, bisa disimpulkan bahwa Suara Karya juga menyoroti masalah transmigrasi sebagai masalah yang serius. Oleh karenanya, media ini tetap optimis kepada pemerintahan selaku pelaksana kebijakan untuk bekerja secara maksimal. Selain transmigrasi, kebijakan pemerintah untuk mengatasi masalah kependudukan di Indonesia adalah program Keluarga Berencana (KB). Meledaknya jumlah penduduk dan meningkatnya permintaan lapangan pekerjaan menjadi alasan untuk pelaksanaan program ini. Bahkan pemerintah Orde Baru memprediksi, masalah ini juga bisa bermuara ke revolusi sosial yang nantinya bisa terjadi di Indonesia. Suara Karya sendiri memprediksi, program KB belum tentu bisa menyelesaikan masalah ledakan jumlah penduduk. Mereka mengatakan, apabila KB benar-benar dilaksanakan, maka hasilnya baru bisa menekan jumlah penduduk dari yang awalnya berjumlah 250 menjadi 238 juta orang. Mereka juga mengatakan bahwa angkatan kerja yang harus diserap adalah masyarakat yang lahir pada masa-masa saat itu. “Projek keluarga berentjana masih berada pada tahap lunturnja.”224 Suara Karya menganggap bahwa KB bukanlah satu-satunya solusi untuk menanggulangi masalah kependudukan. Mereka menganalisa bahwa masih ada unsur-unsur yang harus juga diperhatikan

223 Masalah Transmigrasi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 21 September 1971. 224 Mentjegah Revolusi Sosial, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 13 April 1972.

100

pemerintahan Orde Baru. Menurutnya, mencegah masalah itu diperlukan adanya pemerataan ekonomi di masyarakat. “Untuk berbitjara dalam bahasa jang sering dipakai, sementara itu perlu diingat bahwa memang supaja bisa dibagi merata, kue nasional harus ada dulu. Perekonomian sudah harus bisa memberikan hasil, supaja hasi itu bisa dibagi. Maka kalau diwaktu-waktu jang lalu Pemerintah kelihatannja tidak memperhatikan keharusan membagi-bagi pendapatan nasional itu, soalnja adalah karena kita masih para taraf membuat kue itu supaja ada dulu. Ditjiptakanlah iklim jang menjenangkan akumulasi modal, supaja ada penghasilan nasional jang bisa dibagi. Tetapi bahkan sementara itu, motif supaja hasil pembangunan nasional jang kita namakan kue itu bisa dinikmati oleh seluruh lapisan rakjat tidak pernah ditinggalkan oleh Pemerintah. Presiden djuga telah mengungkapkan bahwa motif itulah antara lain jang didukung ketika Pemerintah menetapkan untuk hanja menerima kredit2 djangka pandjang dengan sjarat2 ringan. Disamping itu, berbagai kebidjaksanaan Pemerintah jang lebih chusus dalam bidang perdagangan, industri, dan moneter, bahkan djuga pertanian, seperti bimbingan dan penjuluhan dalam koperasi, projek BIMAS, asuransi kredit Indonesia, dllsb, semuanja tidak sadja terarah kepada perataan penikmatan hasil pembangunan, tetapi djuga perataan partisipasi dalam pembangunan.”225

Walaupun demikian, Suara Karya mengakui bahwa Pemerintah Orde Baru bukan berarti pemerintahan yang sempurna. Pemerintah sudah melaksanakan tugas pembangunan dengan sebaik-baiknya.

225 Mentjegah Revolusi Sosial, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 13 April 1972.

101

Mereka menyarankan, masyarakat hanya tinggal menunggu apa yang nantinya dijalankan pemerintahan sebagai langkah selanjutnya dalam melakukan pembangunan ke arah yang lebih baik. Sebab, pembangunan manusia yang dilancarkan pemeritah memang belum bisa langsung dilaksanakan begitu saja. Pembangunan manusia memerlukan proses- proses tertentu yang juga sesuai dengan keadaan yang dialami masyarakat Indonesia.226 Masalah sosial-ekonomi lain yang dibahas Suara Karya adalah koperasi. Koperasi sendiri memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 menyebutkan, Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Kemudian dipertegas lagi dalam penjelasan Tajuk Rencana Suara Karya, bahwa bangunan perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Harian ini menyebutkan, pelaksanaan koperasi di masa Orde Lama masih menggunakan sistem secara komando yang menyingkirkan pembinaan pengertian dan kesadaran untuk para anggota koperasi itu sendiri. Menurutnya, koperasi zaman itu hanya dimanjakan dengan fasilitas-fasilitas istimewa yang keuntungannya hanya diperuntukkan untuk para anggotanya saja. Tak hanya itu, kebijakan koperasi juga sekadar kancah pertentangan politik yang cenderung bisa menghancurkan kepercayaan masyarakat. 227 Dari masalah di atas, pemerintah Orde Baru berusaha untuk menarik koperasi agar turut berperan penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Tahun 1972, Pemerintah mendirikan Lembaga Jaminan Kredit Koperasi yang telah menyediakan dana sebesar Rp840

226 Perentjanaan Sosial, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 18 Agustus 1972. 227 Pembinaan Koperasi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 15 Mei 1972.

102

juta. Dari kebijakan ini, Suara Karya mengharapkan bahwa pemerintah bisa mencapai sasaran jangka panjang dalam pelaksanaan ekonomi. “Mengingat tingkat perkembangan sosial ekonomis masjarakat chususnja dan perekonomian pada umumnja, sudah barang tentu tjara2 mengembangkan perkoperasian disegala sektor kegiatan ekonomi masjarakat seperti dimasa lalu tidak pada tempatnja lagi dilaksanakan, apalagi setjara besar2an dan sekaligus. Seharusnjalah sekarang ini dipilih djenis2 koperasi jang sesuai dengan kegiatan ekonomi dan lingkungan masjarakat tertentu. Dilingkungan pegawai negeri dan buruh misalnja, akan sukar diharapkan koperasi konsumsi jang menjediakan barang2 jang kini banjak dan beraneka ragam dipasar dengan harga jang stabil. Mungkin koperasi simpan pindjam, terutama dikaitkan pembangunan perumahan bagi anggotanja, akan lebih menarik bagi kedua lingkungan tersebut. Sedangkan bagi kaum tani jang lemah kedudukannja terhadap pasar, kiranja koperasi pemasaran dan pengolahan hasillah jang kini lebih mungkin untuk tepat berkembang.”228

Wacana pembangunan lain yang dibahas oleh Suara Karya adalah proyek miniatur Indonesia yang dikenal dengan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Seperti dibahas sebelumnya, TMII merupakan sebuah ide yang digagas oleh Tien Soeharto, istri Presiden Soeharto. Menurut Suara Karya, pembangunan TMII sarat dengan nilai kebudayaan yang menjadi harapan nantinya di masa mendatang. Indonesia sendiri merupakan negara dengan hasil perpaduan budaya- budaya daerah yang disatukan ke dalam satu negara. Kebudayaan daerah, lanjut Suara Karya, harus dilestarikan. Sebab kebudayaan daerah

228 Pembinaan Koperasi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 15 Mei 1972.

103

merupakan sebuah ciri khas yang melekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia.229 Selain dengan sarat budaya dan ciri khas Indonesia, proyek TMII juga dianggap Suara Karya sebagai proyek yang menunjang dalam segi ekonomi. TMII bisa digunakan sebagai unit industri pariwisata yang akan melibatkan prospek ekonomi. Walaupun proyek ini memakan dana yang besar, Suara Karya menganggap bahwa dana itu tak akan sia-sia karena nantinya akan kembali lagi kepada masyarakat.230 Dalam Tajuk Rencana lain, Suara Karya turut membahas tentang peran pengusaha-pengusaha lokal yang berpartisipasi dalam pembangunan pemerintahan Orde Baru. Suara Karya berpandangan, peran pengusaha memanglah bertujuan untuk menumpuk kekayaan secara individu. Namun di sisi lain, media ini menganggap bahwa pengusaha lokal menjadi sebuah gerbang baru dalam menciptakan era pembangunan. Pengusaha nasional, lanjutnya, menjadi sesuatu yang dibutuhkan dalam kebijakan pembangunan Orde Baru. Dari pengusaha- pengusaha ini, mereka bisa memberikan pengaruh langsung kepada masyarakat lain untuk segera terlibat dalam proses kemajuan dalam negeri. 231 Tak hanya pada pengusaha, Suara Karya juga memberikan apresiasinya pada Pertamina. Pertamina sendiri merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan

229 J.A. Dungga, Projek Miniatur “Indonesia Indah”, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 15 November 1971. 230 Projek Miniatur “Indonesia Indah”, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 16 November 1971. 231 Tanda Penghargaan untuk Pengusaha2 Swasta, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 2 September 1972.

104

sumber daya minyak di Indonesia. Pada Januari 1973, Pemerintah menerbitkan sebuah Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Tambang Minyak dan Gas Bumi Negara. UU itu mengatur tentang neraca dan perhitungan laba rugi perusahaan yang telah disahkan oleh Dewan Komisaris Pemerintah, termasuk Pertamina sendiri. Pertamina menjadi salah satu badan usaha yang menunjukkan prestasi gemilang dalam pelaksanaan pembangunan. Terbukti dari hasil ekspor pada tahun 1972, Pertamina berhasil memperoleh U$1.000juta dari total neraca ekspor yang keseluruhan pendapatan mencapai U$1.77,5 juta. Dari perannya itu, Suara Karya mengemukakan bahwa Pertamina memerlukan sebuah pertanggungjawaban kepada masyarakat demi terciptanya stabilitas pembangunan. Dari UU itu, tambah Suara Karya, masyarakat bisa optimis tentang kinerja Pertamina dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia.232 Pelaksanaan pembangunan era Soeharto tak hanya melibatkan unsur dalam negeri. Pemerintahan Orde Baru juga memanfaatkan investor-investor yang berasal dari luar negeri. Kebijakan itu sendiri tertuang dalam UU Penanaman Modal Asing yang disahkan sejak tahun 1967 lalu. UU inilah yang menjadi landasan pemerintah untuk menggaet investor asing dalam rangka melaksanakan pembangunan.233 Dalam hal ini, Suara Karya berpandangan bahwa modal asing bukan menjadi persoalan kepada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Media ini berkaca dari pengalaman-pengalaman di luar negeri bahwa modal asing menjadi unsur penting dalam pelaksanaan pembangunan.

232 Pertanggungan Jawab Pertamina, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 24 Januari 1973. 233 Perlu Investment Board Tunggal, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 8 September 1971.

105

“Memang meningkatnya kecenderungan sekarang ini untuk menggunakan modal asing bukanlah terbatas pada negara2 sedang berkembang seperti Indonesia, tapi negara2 yang menurut prinsip ideologinya semula dengan keras menentang modal asing seperti Uni Soviet dan RRC umpanya, kinipun membuka pintunya. Walaupun belum ada pemastian secara konkrit, tapi kabarnya Soviet Uni mulai menjajagi kemungkinan membuka Siberia untuk modal Amerika Serikat. Demikian pula RRC mulai mengadakan penjagagan yang sama untuk mengekploitir potensi perminyakan buminya. Dengan demikian prinsip2 politik dan ideologi yang betapapun ketatnya terpaksa mengalah terhadap kenyataan2 yang dihadapi, bila hal itu sudah menyangkut masalah bagaimana memanfaatkan sebanyak mungkin kekayaan alaminya demi untuk dapat memberikan taraf kehidupan yang lebih baik dan maju kepada rakyatnya.”234

Kecenderungan Suara Karya dalam mendukung kebijakan PMA dibuktikan dengan pandangannya lewat Tajuk Rencana yang berisi langkah-langkah pemerintah dalam menggaet investor asing. Dalam beberapa edisi, Suara Karya berkali-kali menulis tentang metode menggaet investor luar negeri, seperti kedatangan petinggi negara ke Indonesia, kunjungan Presiden Soeharto ke luar negeri, kerja sama pemerintahan Indonesia dengan berbagai organisasi. Pada Agustus-September 1971 misalnya, Suara Karya menulis Tajuk Rencana yang berisi tentang kunjungan kenegaraan Pemerintah Belanda ke Indonesia. Mereka menulis empat edisi tentang kedatangan negara tersebut. Dari keempat tulisannya, Suara Karya sepakat bahwa

234 Penanaman Modal Asing, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 1 September 1972.

106

kerja sama dengan Belanda membutuhkan kepercayaan lebih, terutama dalam hal tentang sejarah. Sebab sebelum Indonesia merdeka, Belanda pernah menjajah pemerintahan Indonesia. Kedua negara harus menyingkirkan stigma masa lalu dan berani berpandangan ke depan agar bisa kerja sama lebih lanjut.235 Kemudian, Suara Karya juga menuliskan kerja sama pihak Indonesia dengan Amerika Serikat. Kerja sama ini diawali dengan adanya penemuan ladang minyak di Aceh dengan persediaan yang diduga lebih banyak dari ladang minyak Minas. Penemuan ini membuat pihak Amerika Serikat untuk memberikan bantuan dana kepada Indonesia sebesar U$45,7 juta. Suara Karya menganggap bahwa kerja sama ini tak perlu ditanggapi secara panik. Sebab dengan adanya bantuan dana, maka sumber kekayaan alam yang ada di Indonesia akan bisa diolah secara efisien. 236 Esoknya, Suara Karya menuliskan sebuah tajuk yang berisi tentang kedatangan Menteri Keuangan Amerika Serikat saat itu, John Conally. Kedatangan yang memakan waktu tiga hari ini dianggap Suara Karya sebagai kesempatan pemerintah untuk menjalankan misinya dalam pelaksanaan pembangunan. Pemerintah bisa belajar dari negara maju seperti Amerika Serikat untuk menjalankan kebijakan pembangunan ke arah yang lebih baik. “Dalam rangka kerdjasama jang saling menguntungkan ini, tentu pula akan dapat dibitjarakan persoalan2 tradisionil, antara lain problem hubungan dengan antara negara2 sedang berkembang dengan negara2

235 Edisi kerja sama pemerintah Belanda dengan Indonesia tertuang dalam lima judul Tajuk Rencana Suara Karya dengan judul Selamat Datang edisi 25 Agustus 1971, Tamu Agung dari Nederland edisi 29 Agustus 1971, Pembitjaraan Schmelzer- Adam Malik edisi 30 Agustus 1971, dan Selamat Djalan edisi 4 September 1971. 236 Memang Tak Perlu Panik, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 4 November 1971.

107

madju jang selama ini masih selalu berada dalam keadaan pintjang. Bahkan malah memperbesar gap antara negara2 industri dan negara2 sedang berkembang.”237

Kerja sama ekonomi Indonesia dengan negara lain juga melibatkan beberapa negara dan organisasi yang tergabung dalam Inter- Governmental Group on Indonesia (IGGI). Organisasi yang terbentuk pada tahun 1967 ini memiliki anggota yang terdiri dari Australia, Belgia, Jerman, Itali, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika, Austria, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB), United Nations Development Programs (UNDP), serta Organitation for Economic Co- operation and Development (OECD). Berdirinya IGGI diperuntukkan untuk memberikan bantuan pembangunan kepada Indonesia.238 Pada tahun 1967, IGGI memberikan dana U$200 juta, 1968 berjumlah U$320 juta, 1969 mencapai U$500 juta, 1970 sebanyak U$600 juta, 1971 berjumlah U$640 juta, dan pada 1972 bantuannya mencapai U$670 juta.239 Suara Karya menganggap bahwa bantuan dana dari IGGI merupakan komponen yang menentukan dalam perkembangan pembangunan Indonesia. Semua bantuan ini, tambahnya, merupakan bagian dari proses penggerak pembangunan. Bantuan ini memberikan

237 Kedatangan Menkeu AS, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 5 November 1971. 238 M. Faisal, IGGI dan Asal-Usul Utang Luar Negeri Indonesia, https://tirto.id/iggi-dan-asal-usul-utang-luar-negeri-indonesia-cEW3, (Diakses pada 1 April 2019 pukul 23.56 WIB). 239 Kepertjajaan Tambah Besar, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 16 Desember 1971.

108

proyek-proyek yang sudah selesai maupun bantuan yang masih terus berjalan.240 Dengan demikian, Suara Karya turut mengapresiasi langkah pemerintah dalam mencari bantuan dana untuk pelaksanaan pembangunan. Sorotan Suara Karya dalam proses kebijakan pembangunan tak hanya dalam bentuk apresiasi. Media ini juga memberikan saran dan masukkan kepada pemerintah untuk melaksanakan cita-cita pembangunan yang lebih ideal. Menjelang akhir pelaksanaan Pelita I pada 1973, Suara Karya menganggap bahwa pembangunan yang dilakukan pemerintahan Soeharto masih sebatas di wilayah perkotaan. Pembangunan belum mencakup ke bagian-bagian pedesaan. Suara Karya pun menilai bahwa gejala desentralisasi pembangunan ini yang menjadi penyebab banyaknya urbanisasi yang dilakukan penduduk dari desa ke kota karena pelaksanaan pembangunan yang tidak seimbang.241 Suara Karya juga menyorot masalah tentang peran industri kecil yang ada di dalam negeri. Menurutnya, peran industri kecil, terutama yang sifatnya industri rumahan, memiliki peran yang penting. Sayangnya, industri kecil di masa itu belum terlihat menonjol. Pemeritah sendiri memiliki solusi terhadap masalah tersebut, yakni pembentukan Panitia Pembiayaan Tekstil Kecil dan Industri Tenun Tangan. Kebijakan ini diharapkan mampu untuk memperbaiki usaha yang dialami oleh pihak-pihak industri kecil untuk meningkatkan perusahaannya dengan baik dengan cara memberikan pinjaman. Dari kebijakan itu, Suara Karya menilai bahwa solusi kredit bukanlah satu-satunya masalah yang

240 Sidang IGGI jang Akan Datang, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 8 Desember 1971. 241 Renungan 17 Agustus, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 16 Agustus 1973.

109

dihadapi oleh pengusaha kecil tersebut. Mereka mengatakan bahwa masih ada unsur yang lebih penting, yakni pemasaran dan mutu barang. “Mengembangkan industri kecil melalui pembinaan pemasaran dan mutu ini agaknya akan lebih mempunya hari depan dengan menggunakan lembaga koperasi. Berbeda dengan pengertian koperasi yang menjadi kurang begitu menarik selama ini, koperasi2 produksi semacam itu, disamping dapat menjadi wadah pembinaan dari segi permodalan, juga harus mampu membina dari segi management pada umumnya, terutama pemasaran dan peningkatan serta standarisasi mutu. Agaknya hal ini dapat dimulai dengan menerapkan prinsip semacam apa yang dilakukan dengan BUUD untuk mengembangkan Koperasi Unit Desa, dengan membimbing pengusaha2 industri kecil ini sehingga mereka menyadari bahwa adanya unit2 koperasi seperti ini memang diperlukan demi perkembangan industri mereka sendiri.”242

Topik selanjutnya yang dibahas Suara Karya adalah masalah inflasi yang terjadi di Indonesia. Berkaca dari masa lalu, Indonesia mengalami gejolak inflasi yang cukup besar. Pada 1972, inflasi mencapai 25%. Kemudian Suara Karya memprediksi bahwa pada 1973, inflasi nantinya akan mencapai 20%. Media ini berpandangan, faktor terjadinya inflasi adalah karena sifat ekonomi Indonesia yang cenderung terbuka dengan internasional. Apabila situasi dunia tengah mengalami inflasi, maka kondisi ekonomi Indonesia juga akan terpengaruh. Selain itu, timbulnya inflasi juga disebabkan keadaan negara sendiri, terutama masalah produksi dan distibusi bahan makanan. Dari masalah di atas,

242 Pengembangan Industri Kecil, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 30 Agustus 1973.

110

Suara Karya mencoba menyalurkan pandangannya kepada pemerintah untuk menghadapi inflasi ke depannya. “Bahwa pembangunan dalam suatu jangka waktu tertentu membawa pengaruh inflatoir, memang sudah tidak menjadi persoalan. Yang menjadi masalah adalah, sampai seberapa jauh tenggang waktu antara peningkatan arus barang selalu bisa diperkecil sehingga pada akhirnya ia jatuh pada suatu titik yang sama, yang akan menandai tercapainya stabilisasi. Masalah lain yang timbul adalah, bagaimana mengatur agar golongan masyarakat berpendapatan tetap yang biasanya banyak dirugikan karena terjadinya inflasi, dapat ditolong. Memang dengan menaikkan gaji pegawai negeri dan upah golongan berpendapatan tetap secara periodeik misalnya, mereka ini banyak sedikitnya tertolong. Akan tetapi bila diingat bahwa kenaikan gaji dan upah ini biasanya pula selalu diikuti dengan kenaikan harga2 yang terjadi dalam pelbagai sektor kehidupan ekonomi lainnya, maka dalam ukuran daya beli, kenaikan gaji dan upah itu lambat laun semakin berkurang.”243

Dari berbagai solusi di atas, Suara Karya memberikan saran kepada pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang terjadi selama pelaksanaan Repelita I. Sebab tahun 1973 menjadi tahun terakhir periode Repelita I. Pada 1974 nanti, barulah pemerintah memasuki periode kedua dalam pelaksanaan pembangunan yang dikenal dengan Repelita II. Suara Karya sendiri menganalisa poin-poin yang terjadi dalam pelaksanaan Repelita II dan membaginya ke dalam lima poin. Pertama, Repelita II merupakan kelanjutan dan peningkatan dari

243 Menghadapi Kenaikan2 Harga, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 23 Oktober 1973.

111

Repelita I. Kedua, Repelita II akan melaksanaan pembangunan yang lebih seimbang, baik dalam sektor ekonomi maupun non-ekonomi. Ketiga, perataan hasil pembangunan mendapat perhatian lebih besar. Keempat, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup akan lebih diperhatikan. Kelima, aparatur negara akan lebih dikembangkan melalui peningkatan kesejahteraan, kemampuan, pengawasan, dan penertiban administrasi. “Dari ciri2 pokok dan sasaran2 yang hendak dicapai dengan Repelita II, agaknya dapat dilihat, bahwa pembangunan yang hendak dilakukan dalam lima tahun mendatang ini mempunya perbedaan yaf mendasar dari Repelita I. Bila Repelita I, sesuai dengan mandat yang diberikan MPRS waktu itu kepada Presiden/Mandataris, adalah bertujuan pokok rehabilitasi kehidupan ekonomi, maka Repelita II bertujuan, disamping melanjutkan apa yang telah dikerjakan, juga dan terutama sekali menjadikan hasil pembangunan bisa dinikmati secara merata.”244

Dari pandangan di atas, bisa dilihat bahwa Suara Karya tetap optimis dengan kebijakan yang akan dilaksanakan oleh pemerintahan Soeharto. Media ini berpandangan bahwa nantinya, pelaksanaan Repelita II haruslah mendapat perhatian khusus dari masyarakat. Dengan demikian, pemerintah bisa melaksanakan pembangunan masyarakat Indonesia secara ideal. Walaupun Suara Karya sendiri menilai bahwa pemerintah sudah melaksanakan tugasnya secara maksimal, namun program pemerintah tetap perlu mendapatkan apresiasi lebih dari masyarakat.

244 Rancangan Repelita II dan RAPBN 1974/75, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 8 Januari 1974.

112

“Berhasil atau tidaknja pekerdjaan “institutionalization” ini pertama2 tentulah ditentukan oleh “intensitas menanam” jang dilakukan, tetapi sementara itu masih ada faktor lain jang turut menentukan, dalam hal ini faktor “kekuatan melawan dari masjarakat” dan faktor “waktu”. Ketiga faktor ini tidaklah berdiri sendiri2, tetapi harus dilihat dalam interaksinja satu sama lain. “Intensitas menanam” misalnja mungkin masih bisa lebih ditingkatkan, tetapi harus pula diingat bahwa peningkatan “intensitas menanam” bisa mengakibatkan “kekuatan melawan dari masjarakat” mendjadi lebih besar jang djustru mempunjai efek negatip terhadap proses penanaman dan penguatan pranata2 jang dikehendaki. Begitu pula halnja dengan faktor “waktu”, semakin tergesa2 pekerdjaan pembangunan pranata2 dilakukan, maka semakin baik hasilnja, namun sebaliknja bila “waktu” penanaman itu terlalu diulur2 akan bisa sangat memperlemah “intensitas menanam” jang dalam keseluruhan proses institutionalization berakibat negatip karenanja. Maka masalahnja bagaimana mengkombinasikan ketiga faktor tersebut sebaik2nja, sehingga dapat diperoleh hasil jang seoptimal2nja dalam proses “institutionalization” dalam rangka pembaharuan dan pembangunan tadi. Dan ini adalah tugas dari semua komponen masjarakat untuk terus menerus mendjaga agar kombinasi ketiga faktor itu dalam kedudukan jang betul2 optimal, hal mana hanja mungkin dipenuhi apabila kita berdiri diatas realitas masjarakat sebagai pangkalan bertolak serta selalu memahami perkembangan masjarakat dalam dinamiknja.”245

245 Satu Tahun Mengabdi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 11 Maret 1972.

113

C. Mengulas Dinamika Politik Seperti dijelaskan di awal, tujuan dibentuknya Harian Suara Karya memang diperuntukkan untuk menerjemahkan kinerja pemerintah kepada masyarakat selaku pembaca. Selain condong kepada pemerintah, Suara Karya juga condong kepada Golkar sebagai kendaraan Soeharto menuju tahta kekuasaan. Dari latar belakang itu, beberapa tajuk rencana Suara Karya pun tak luput untuk membahas Golkar. Pascapemilu 1971, Suara Karya menuliskan kepercayaan masyarakat terhadap Golkar lewat tulisan berikut. “Dalam hubungan ini kiranja perlu ditjatat, bahwa Golkar tentunja commited untuk memperdjuangkan kepentingan seluruh rakjat sesuai dengan program djangka pendek maupun djangka pandjang (25 tahun) jang telah berulang kali dikemukakannja. Tapi bukan hanja kepentingan sebagian sadja, atau sebagian mereka jang menganggap dirinja berjasa. Karena seperti dikatakan Presiden Suharto, jang menang dalam pemilu jang lalu adalah rakjat seluruhnja.”246

Menurut Suara Karya, tujuan Golkar adalah menyukseskan pembangunan yang tengah dijalankan oleh pemerintah. Dari pembangunan ini, maka pemerintah sedang menciptakan kehidupan ekonomi dan demokrasi yang sehat. Apabila pembangunan tak sukses, maka pemerintah tak bisa menjamin akan terciptanya perbaikan dan peningkatan kehidupan masyarakat. Dari tujuan inilah, masyarakat memilih Golkar dalam Pemilu 1971 lalu.

246 Kelesuan & Overacting, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 3 September 1971.

114

Untuk melaksanakan program pembangunan berjangka panjang itu, Golkar selaku pemenang membutuhkan langkah-langkah. Selepas pemilu, Suara Karya menyebut bahwa Golkar tengah melakukan konsolidasi di internal pemerintahan. Menurutnya, Golkar tengan menata kembali organisasi yang nantinya akan disusul dengan pembentukan lembaga pemerintahan (DPD) di beberapa daerah. Langkah Golkar ini dinilai Suara Karya sebagai langkah politik yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.247 Geliat Golkar selanjutnya kemudian tertuju pada pembentukan Korps Pegawai Negeri (Korpri). Korpri sendiri dibentuk pada 29 November 1971 lewat Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971. 248 Pembentukkan Korpri diperuntukkan untuk menghimpun segenap pegawai negeri untuk tidak memosisikan dirinya sebagai partisan politik. Suara Karya berpandangan, terbentuknya Korpri sendiri dikarenakan agar para pegawai negeri tidak berafiliasi dengan partai politik sekaligus menanamkan ideologi Pancasila yang didengungkan oleh pemerintah saat itu. Deparpolisasi pegawai negeri, lanjutnya, menjadi suatu langkah awal dalam proses permulaan yang dinamakan dengan istilah monoloyalitas. “Pembinaan monoloyalitas tersebut penting sekali artinya demi terpeliharanja kontinuitas kegiatan administrasi negara jang sekaligus mewujudkan terselenggaranja fungsi pemersatu bangsa (integrative

247 Golkar sebagai Akselerator Pembangunan, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 20 Maret 1972. 248 Petrik Matanasi, Sejarah Korpri dan Cara Soeharto Mempolitisasi Pegawai Negeri, https://tirto.id/sejarah-korpri-dan-cara-soeharto-mempolitisasi-pegawai-negeri-c97N, (Diakses pada 9 April 2019 pukul 00.44 WIB).

115

function) dari lembaga administrasi negara tersebut. Tidak boleh tidak monoloyalitas ini mengandung makna lebih landjut sebagai suatu usaha untuk meningkatkan pengabdian pegawai negeri pada tugas dan djabatannya melalui merit system dan career service planning jang dimasa lalu di abaikan.”249

Walaupun dalam kenyataannya, para anggota Korpri ini diwajibkan berafiliasi terhadap Golkar. Semua pegawai negeri diwajibkan untuk memilih Golkar dalam pelaksanaan pemilu mendatang. Apabila pegawai negeri ini tidak patuh, maka mereka diancam akan dimutasi ke daerah terpencil di Indonesia. 250 Tak hanya di dalam instansi pemerintahan, Golkar juga melebarkan sayapnya ke dalam lingkungan masyarakat lewat mengaktifkan kembali program Rembug Desa. Suara Karta menulis, pembentukan kembali Rembug Desa dikarenakan berkaca dari pandangan masa lalu. Saat itu, banyak masyarakat desa yang memiliki kecenderungan terhadap partai-partai politik. Rembug Desa ini diharapkan mampu menyalurkan aspirasi dalam lingkungan pedesaan, membina mastarakat, serta menghayati asas-asa dan tujuan kehidupan bersama pada ruang lingkup nasional.251 “Ini berarti, lebih daripada sekedar menginginkan pengaktipan lembaga rebug-desa itu, jang ditudju adalah membuat lembaga itu kreatif berpartisipasi dalam pembangunan, suatu hal jang sulit untuk

249 Pantjasilaisasi Pegawai Negeri, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 18 April 1972. 250 Petrik Matanasi, Sejarah Korpri dan Cara Soeharto Mempolitisasi Pegawai Negeri, https://tirto.id/sejarah-korpri-dan-cara-soeharto-mempolitisasi- pegawai-negeri-c97N. 251 Demi Kontinuitas Kehidupan Nasional, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 10 April 1972.

116

ditjapai dalam suatu suasana politisasi oleh organisasi2 politik. Maka adalah sangat kekanak2an, djika ada sementara pihak jang beranggapan bahwa pengaktipan rembug-desa jang menjertai gagasan floating mass jang ditjetuskan Golkar adalah sebagai suatu usaha jang bertjorak politik. Djustru sebaliknja, Golkar menghendaki de-politisasi masjarakat pedesaan dari pola dan tjara berpolitik lama, de-politisasi jang mungkin lebih tepat disebut de-polarisasi masjarakat pedesaan dari ideologi politik golongan.”252

Gagasan Golkar di atas dalam mewacanakan depolitisasi masyarakat, baik itu dalam lingkungan pemerintahan maupun lingkungan sosial masyarakat, dikenal dengan istilah floating mass atau massa mengambang. Konsep massa mengambang yang sudah diperkenalkan pada Pemilu 1971 lalu ini dianggap Suara Karya sebagai gagsaan pembaruan kehidupan politik, terutama tentang masyarakat di wilayah pedesaan. Sebab, 85% penduduk Indonesia menempati wilayah pedesaan. “Istilah floating mass semakin penting dan berarti lagi setelah diambil alih dan diutjapkan pula oleh beberapa pedjabat pemerintahan, jang dalam hal ini memberikan indikasi jang tjukup kuat, bahwa usaha pembinaan the floating mass itu bukanlah sekedar issue politik belaka, melainkan setjara sadar telah ditetapkan untuk dilaksanakan, -- tentu sadja dengan melalui proses per-undang2an. Terlebih2 setelah masalah pembinaan floating mass tersebut setjara resmi ditjantumkan dalam strategi politik Golkar dalam rapat kerdjanya baru2 ini.”253

252 Pengaktipan Rembug-Desa, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 19 April 1972. 253 Kenapa Floating Mass, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 23 Maret 1972.

117

Suara Karya menyambut baik gagasan massa mengambang yang dicanangkan Golkar dalam rapat kerjanya tersebut. Menurutnya, konsep ini sangat diperlukan lantaran masyarakat harus fokus kepada strategi pembangunan yang dijalankan pemerintah. Masyarakat, terutama di wilayah pedesaan, harus dijauhkan dari sikap-sikap simpati partai politik agar terhindar dari konflik ideologis seperti di masa pemerintahan Soekarno. Dari gagasan ini, masyarakat tidak lagi dijadikan target utama sasaran partai politik demi memperkokoh kekuasaan. Kebijakan politik lain yang disoroti Suara Karya lainnya yakni tentang fusi partai. Seperti dijelaskan di bab sebelumnya, fusi partai adalah suatu peleburan berbagai partai yang kemudian disatukan ke dalam satu partai. Peleburan partai ini terdiri dari dua kelompok, yakni kelompok agamis (PPP) dan kelompok nasionalis (PDI). Hanya Golkar saja yang kebagian jatah dalam konsep fusi partai tersebut. Dalam kebijakan ini, Suara Karya mendukung apa yang sudah dicanangkan oleh Menteri Dalam Negeri Amir Machmud tersebut. Menurutnya, kebijakan ini sudah sesuai dengan pelaksanaan Ketetapan MPRS No. XXII/1966 yang menuntut adanya penyederhanaan partai agar keadaan politik menjadi lebih stabil.254 Namun, Suara Karya juga menambahkan bahwa kebijakan fusi partai ini belm tentu dengan sendirinya menciptakan iklim politik yang sehat. “Untuk itu agaknya diperlakukan adanya kondisi kompetitif dalam bidang program, yang selain akan merupakan proses pengalihan orientasi yang bersifat edukatif, juga memungkinkan dihasilkannya program2 yang lebih teruji dengan spectrum yang lebih luas dipandang dari pelbagai segi. Sudah tentu kompetisi program ini jangan sampai

254 Tentang Fusi Partai, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 5 April 1972.

118

mengganggupenentuan prioritas, tapi justru disatu pihak hendaknya dapat memperkuat penentuan prioritas itu, sedangkan dilain pihak lebih menggairahkan partisipasi masyarakat dalam melaksanakan pembangunan sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan bersama.”255

Unsur elemen pemerintahan yang disorot Suara Karya adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI sendiri termasuk ke dalam bagian pemerintahan Soeharto. Ini dikarenakan adanya hak berpolitik dalam ABRI yang dikenal dengan nama Dwifungsi ABRI. Seperti dijelaskan bab sebelumnya, gagasan Dwifungsi ABRI dicetuskan oleh Abdul Haris Nasution pada 18 November 1958 di Akademi Militer Nasional. Gagasan Nasution ditujukan agar militer mampu mengendalikan situasi keamanan yang lewat lembaga politik, birokrasi politik, partai politik, hingga organisasi non politik, terutama untuk melawan PKI yang saat itu menjadi musuh bersama pihak militer. 256 Dalam memandang dwifungsi, Suara Karya berpendapat bahwa kebijakan ini menjadi salah satu yang terpenting dalam masa pemerintahan Soeharto. Berkaca dari masa lalu, Suara Karya menuliskan bahwa ABRI menjadi unsur penting dalam menjaga kehidupan aman, damai, adil, bahagia, dan sejahtera. Dwifungsi ABRI menjadi kekuatan sosial dalam menjaga stabilitas politik, entah di masa kemerdekaan maupun di masa pemerintahan Soekarno. Dalam hal ini,

255 Lahirnya Partai Persatuan Pembangunan, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 8 Januari 1973. 256 Peter Kasenda, Soeharto: Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun?, 6-8.

119

Dwifungsi ABRI merupakan manifestasi dari keatuan batin, kebulatan tekad, keinginan, dan kemampuan untuk berjuang membentengi Republik Indonesia.257 “Kita saksikan ABRI dengan sadar, telah dan sedang membina terus landasan yang stabil bagi pembangunan, dan mendorong maju pembangunan itu dengan tidak lupa menyerakan sektor2 pembangunan kepada ahli2 yang bersangkutan. Seluruh perhatian Bangsa didorongnya dan diarahkannya kepada pembangunan.”258

Peranan ABRI dalam dwifungsi tak terlepas dari pertentangan ideologi yang terjadi di masa Soekarno. Saat itu, terjadi pertempuran horizontal di masyarakat lewat pedebatan ideologis. Di zaman Orde Baru, satu-satunya ideologi yang masih membekas dan masih dijadikan perbincangan adalah pengaruh Komunis yang diinisiasi oleh PKI. Terlebih, masa transisi dari Soekarno ke Soeharto diawali dengan peristiwa G30S. Dari peristiwa ini, Soeharto menyuarakan bahwa di masa jabatannya masih ada sisa-sisa dari simpatisan PKI dan para pelaku G30S. Hal itu turut pula diamini oleh Suara Karya. Media ini berkali- kali menyuarakan bahwa masyarakat harus selalu waspada dengan gejala kebangkitan PKI, baik yang menginisiasi G30S maupun simpatisannya. Menurutnya, Kaum Komunis bukanlah Komunis apabila mereka mundur hanya karena kegagalan seperti yang dilakukan ketika adanya peristiwa G30S. Kaum Komunis akan selalu mencari peluang untuk

257 Perlu Penilaian Berdjangkauan Djauh, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 8 Oktober 1971. 258 Hari Sumpah Pemuda, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 28 Oktober 1972.

120

menciptakan perjuangan baru dan akan terus menerus hingga mereka berhasil. 259 “Sesuai dengan cara kerja sisa2 PKI ini agaknya perlu pula diambil langkah2 yang lebih intensif untuk mengurangi gejala2 yang isa berkembang menjadi kontradiksi sosial itu. Misalnya gejala2 di mana dirasakan jurang antara mereka yang masih hidup miskin cenderung membesar. Gejala yang menunjukkan bahwa generasi muda semakin tidak mempunya pegangan menghadapi hari depannya, pengusaha2 ekonomi lemah yang merasa semakin terpojok, peranan modal asing yang dirasakan cenderung melebihi proporsi sebagai pelengkap, dan sebagainya.”260

Cara lain untuk menangkal ideologi Komunis yakni dengan menanamkan ideologi yang sering diserukan Soeharto, Pancasila. Pancasila sendiri, menurut Suara Karya, merupakan prinsip yang sudah tertanam dalam masyarakat Indonesia sejak kemerdekaan. Media ini mengatakan, Pancasila sejak dulu menjadi sebuah ideologi sakti yang tak bisa dilawan oleh Komunis. Sejak dulu, kaum Komunis selalu gagal dalam menanamkan ideologinya, mulai dari peristiwa Madiun, Sidang Konstituante 1956, hingga G30S. Kehancuran Komunis pada 1 Oktober 1965 pun dinamakan dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila. 261 “Dibawah panji2 Pancasila, semua kekuatan yang anti G30S bersatu dengan melupakan perbedaan2 yang ada di antara mereka sendiri. Daya pemersatu yang berhasil menyatukan pelbagi kekuatan yang anti G30S

259 Djauhkan Sikap Konfrontatif, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 27 Desember 1971. 260 Menghadapi Sisa2 G30S/PKI, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 29 November 1973. 261 Hari Kesaktian Pantjasila, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 1 Oktober 1971.

121

inilah yang dinamakan “kesaktian” yang hari ini kita peringati kembali. Kesaktian dalam arti bahwa pengalaman2 cukup teruji yang kita lalui membuktikan, bahwa Pancasila yang dapat menampung semua aspirasi yang hidup dalam masyarakat Indonesia itu, merupakan satu2nya ideologi yang sampai demikian jauh mampu mempersatukan semua kekuatan dan golongan yang ada dalam masyarakat.”262

Dari ideologi Pancasila ini, Suara Karya menganggap bahwa sampai di mana penerapan ideologi ini yang menampung semua aspirasi masyarakat. Cita-cita masyarakat Indonesia sendiri sudah tertampung dalam sila ke lima, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari sana, Suara Karya meyakini bahwa ideologi Pancasila tak akan terganti dengan ideologi lain. Tinggal masyarakatnya saja yang betul- betul menerapkan sesuai dengan yang tertanam dalam lima sila tersebut.263 Dalam menyikapi dinamika politik Orde Baru, Suara Karya menyatakan bahwa kehidupan politik ideal adalah terciptanya stabilitas politik. Dari kehidupan politik yang stabil inilah, maka pembangunan yang dijalankan pemerintahan akan bisa terwujud. Terlebih, pemerintah juga harus menerapkan prinsip dalam tata cara kehidupan di masyarakat, seperti pembaruan budi pekerti, moral, serta menciptakan tanggung jawab demi melaksanakan program-program nasional. Dari sana, maka

262 Hari Kesaktian Pancasila, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 1 Oktober 1973. 263 Hari Kesaktian Pancasila, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 1 Oktober 1973.

122

rakyat akan turut berpartisipasi dan berkontribusi dalam pelaksanaan pembangunan yang sesuai dengan kepentingan rakyat itu sendiri.264 “Akhirnya ingin kita tegaskan di sini bahwa jangalah hendaknya kita mempunyai ilusi yang bukan-bukan, karena kemantapan Pimpinan Nasional tidak boleh diragukan. Jalan masih panjang bagi kita untuk membawa kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi rakyat. Kemantapan dalam Pimpinan Nasional dan kemantapan dalam kehidupan politik adalah prasyarat bagi berhasilnya pembangunan untuk membina hari esok yang lebih cerah dan berguna bagi masyarakat kita. marilah kita buka tahun baru ini dengan menghabskan isyu2 yang jahat dan kejam dan mengkonsentrasikan pikiran kita pada penyempurnaan Pelita Kedua.”265

D. Menanggapi Kritik Seperti dijelaskan sebelumnya, terbitnya Suara Karya memang ditujukan untuk menjadi corong Golkar. Selain itu, media ini juga memberitakan capaian-capaian pemerintahan, baik itu mengenai politik maupun ekonomi yang sesuai dengan slogan pembangunan. Lewat tajuk rencana, Suara Karya menyampaikan pikirannya lewat awak redaksi mengenai kebijakan pemerintah agar mudah dicerna masyarakat. Dalam menyampaikan misi itu, Suara Karya tetap tak lepas dari kritik. Kritikan terhadap Suara Karya sendiri dilakukan dari berbagai golongan, seperti partai politik non Golkar, media, hingga mahaasiswa. Berbagai kritikan ini juga dijawab oleh Suara Karya melalui rubrik tajuk rencananya.

264 Kehidupan Politik yang Kita Inginkan, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 5 September 1973. 265 Membuka Tahun Baru dengan Menutup Isyu, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 3 Januari 1974.

123

Kritik pertama yang menjadi sorotan Suara Karya adalah mengenai pembangunan TMII. Protes terhadap proyek ini datang dari kalangan mahasiswa. Dalam tajuk rencana tanggal 30 Desember 1971, Suara Karya menyimpulkan ada tiga tuntutan yang disuarakan mahasiswa. Poin pertama adalah pembangunan TMII yang tidak sesuai dengan prioritas pembangunan pemerintah. Kedua, cara pemerintah pusat untuk meminta bantuan dana kepada pemerintah daerah akan berakibat berkurangnya amunisi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Sedangkan poin ketiga berisi tentang akan adanya penyelewangan terhadap dana sumbangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada para pengusaha. Menurut mahasiswa, para pengusaha ini memungkinkan adanya tindakan manipulasi, terutama pada sistem fasilitas.266 Dalam tajuk rencana ini, Suara Karya juga mencantumkan poin- poin penjelasan yang dijawab oleh pemerintah. Media ini mengutip perkataan dari Ketua dan Wakil Ketua Project Officer TMII, Ali Sadikin dan Ali Moertopo. Penjelasan kedua tokoh ini dirangkum Suara Karya menjadi enam kesimpulan. Pertama, pemerintah tidak menjadikan proyek TMII sebagai pembangunan prioritas. Maka dari itu, pemerintah tidak menjadikan anggaran negara sebagai sumber dana proyek itu. Kedua, pemerintah daerah (Pemda) tidak dipaksa untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan TMII. Hal ini diperkuat Suara Karya dengan pernyataan Gubernur Nusa Tenggara Timur yang tidak ikut serta dalam pembangunan tersebut. Ketiga, pemda juga tidak dipaksa untuk menyumbangkan dana daerah terhadap pembangunan TMII. Namun

266 Sekarang Sudah Djelas, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 30 Desember 1971.

124

apabila mereka bersedia, maka pemerintah pusat siap menerima sumbangan. Keempat, investor tidak terikat dengan keputusan mengenai pembentukan fasilitas. Investor hanya ditawarkan untuk menyumbangkan dana terhadap pembangunan TMII. Kelima, pembangunan tidak ditargetkan selesai dalam jangka waktu tertentu. Selesainya pembangunan TMII tergantung dari persediaan dana yang telah dikumpulkan. Poin terakhir, investor swasta diperbolehkan menerapkan kebijakan yang sekiranya sesuai dengan tujuan pembangunan.267 Namun, pernyataan ini tetap tidak membuat mahasiswa puas. Mahasiswa terus menerus menganggap bahwa proyek yang digagas Tien Soeharto tidak berguna. Dijelaskan dalam bab sebelumnya, Soeharto menuduh bahwa kritikus TMII bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Ia mengancam akan menggunakan kekuatan militer apabila protes terus digencarkan kepada istrinya. 268 Pidato ini lantas mendapat sorotan dari Suara Karya. Media ini menganggap bahwa celoteh Soeharto diibaratkan cara seorang ayah dalam mengomeli anaknya. Sebagai presiden, apa yang diucapkan Soeharto adalah untuk membendung gelombang kritik demi tujuan pembangunan. Suara Karya menyerukan agar semua pihak yang kontra terhadap pembangunan TMII harus mampu menahan diri.269 “Achirnja suasana berkembang begitu rupa, sehingga Presiden merasa bahwa demi kepentingan umum wibawanja perlu ditegakkan dengan keras, bahkan dirasakan orang teramat keras. Ketika Presiden

267 Sekarang Sudah Djelas, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 30 Desember 1971. 268 Akhmad Zaini Abar, 1966-1974: Kisah Pers Indonesia, 185. 269 Seruan Ali Sadikin, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 13 Januari 1972.

125

menundjukkan sikap ini, kita pertjaja banyak kalangan merasa tersinggung. Tetapi kita pertjaja sepenuhnja bahwa dalam mengemukakan semua itu, Presiden membedakan mereka jang mempunjai iktikad baik dari mereka jang mempunjai iktikad buruk. Generalisasi tidak pernah masuk dalam proses berfikir orang jang biasa menundjukkan kebidjaksanaan seperti beliau.”270

Tak hanya Soeharto, Suara Karya juga menjawab berbagai kritikan terhadap Golkar. Tuduhan ini disuarakan oleh Harian Abadi lewat tajuk rencananya dengan judul Golkar Berdebat Kusir? Dalam tulisannya, Abadi mengatakan bahwa permainan politik massa mengambang yang dimainkan Golkar adalah cara politik yang mematikan iklim demokrasi di masyarakat. 271 Dalam menanggapi kritikan massa mengambang itu, Suara Karya beberapa kali menjelaskan mengenai esensi kebijakan tersebut lewat rubrik Tajuk Rencana. Tuduhan yang dijawab Suara Karya adalah gagasan massa mengambang sama dengan prinsip negatif yang dipakai oleh negara dengan paham liberal. Media ini tak menyangkal bahwa kebijakan massa mengambang memanglah dipakai oleh negara liberal seperti Amerika Serikat. Namun, Suara Karya menyebutkan bahwa masih ada negara liberal yang menerapkan sistem partai massa, seperti Jerman Barat dan Belanda. Sistem partai massa inilah yang diterapkan di Indonesia dan diterapkan oleh Golkar.272

270 Kehendak Baik Sadja Tidak Tjukup, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 8 Januari 1972. 271 Debat Kusirnya “ABADI”, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 11 April 1972. 272 Sekali Lagi Floating Mass, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 27 Maret 1972.

126

Kemudian, Suara Karya juga menjawab tuduhan bahwa gagasan massa mengambang tidak sesuai dengan pasal 27 dan 28 UUD 1945. Dalam pasal 27 tertulis bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Sedangkan pasal 28 berbunyi bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya, ditetapkan dengan Undang-Undang. Suara Karya menjelaskan bahwa Golkar tidak setuju dengan kepengurusan organisasi-organisasi politik yang berada di tingkat II seperti wilayah pedesaan. Mereka menganggap bahwa peniadaan organisasi-organisasi partai politik di wilayah pedesaan tidak bertentangan dengan dua pasal tersebut.273 Suara Karya menegaskan bahwa gagasan massa mengambang diterapkan untuk mencegah ketegangan-ketegangan konflik ideologi yang terjadi di masa pemerintahan Soekarno. Menurutnya, jumlah partai yang besar mampu memberikan doktrin yang akan menghancurkan stabilitas politik di wilayah pedesaan. Bahkan, perbedaan politik juga bisa menyebabkan adanya perebutan jabatan yang dilakukan oleh pemimpin partai di wilayah pemerintahan pusat. “Boleh sadja “Abadi” berbitjara tentang hak2 azasi dari rakjat desa jang banjak itu untuk berserikat dan berkumpul, bahkan untuk memperoleh kepemimpinan dari luar desa sekalipun. Tetapi jang samasekali tak dapat dimengerti adalah kalau eksistensi hak2 asasi itu selalu dihubungkan dengan, dan seolah2 tergantung kepada kehadiran organisasi2 politik di desa2. Padahal fakta selama 20 tahun lebih membuktikan bahwa kehadiran partai2 didesa hanja menundjukkan

273 Hak Berserikat dan Floating Mass, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 6 April 1972.

127

inkompetensi dan penjalahgunaan tingkat kesadaran rakjar desa jang masih sederhana.”274

Kritik lain yang disuarakan Abadi yakni tentang hubungan Golkar dengan ABRI. Lewat tulisan di Tajuk Rencana, Abadi menuliskan bahwa Golkar adalah badan penyalur aspirasi strategi dan politik yang dikehendaki oleh ABRI. Media ini juga berpendapat bahwa Golkar adalah suatu organisasi politik yang dibina dan dipimpin oleh ABRI, mirip dengan sistem yang diterapkan oleh Adolf Hitler di Jerman dan Franco di Spanyol. Mendapat tuduhan itu, Suara Karya menuding bahwa tuduhan Abadi sangat naif dan tidak berdasarkan argumen yang jelas. Bahkan, tindakan Abadi seolah sama dengan yang propaganda yang dilakukan oleh PKI atau pun Darul Islam (DI). Apabila Suara Karya mengikuti cara Abadi dalam menyampaikan tuduhan, maka Suara Karya juga menganggap bahwa Abadi adalah koran yang menjadi corong dari partai PKI atau pun DI. Walaupun Suara Karya mengakui bahwa tuduhan seperti ini akan ditolak juga oleh Abadi karena sama-sama tidak menggunakan argumen yang logis. “Begitu pula halnja dengan program dan strategi Golkar, adanja suatu kesamaan dengan kehendak ABRI tidak dengan sendirinja berarti bahwa Golkar adalah badan penjalur dan pelaksana dari keinginan ABRI. Dan djika kesamaan itu ada, hal itu memang sudah semestinja, karena ABRI sendiri merupakan salah satu komponen dari keluarga besar Golongan Karya. Dalam konperensi persnja baru2 ini, Sekdjen Golkar Sapardjo telah menerangkan bahwa hubungan antara Golkar

274 Debat Kusirnja “ABADI”¸Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 11 April 1972.

128

dengan ABRI “bukan semata-mata sebagai partner tetapi lebih dari itu, sebab Golongan Karya terdiri dari komponen2 ABRI, Pegawai Negeri, dan komponen non-ABRI, non-pegawai negeri.” Maka adalah logis djika persamaan itu ada karena setiap sikap dan pendirian jang diambil oleh Golkar adalah merupakan suatu interaksi diantara komponen2nja, dimana ABRI termasuk didalamnja.”275

Kritik yang selanjunya disorot Suara Karya adalah isu tentang investor asing yang disebut cukong. Istilah cukong sendiri berasal dari bahasa cina yang berarti seseorang dengan pemilik modal tinggi. Dalam tajuk rencananya, Suara Karya menganggap istilah cukong ditujukan untuk seorang Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Cina yang kebetulan mempunyai modal yang masuk ke dalam kategori modal domestik. Dalam hal ini, Suara Karya mengakui bahwa modal domestik dari kalangan tersebut juga menjadi potensi yang perlu dimanfaatkan untuk pembangunan pemerintah. Menurut media ini, tak masuk akal apabila pemerintah pusat hanya mengandalkan modal asing lewat UU PMA tanpa memikirkan adanya peluang pembangunan lewat modal domestik yang sudah diatur dalam UU PMDN No. 6 Tahun 1968. “Kini munculnya kembali soal percukongan ini menjadi masalah, bisa saja karena dalam proses pelaksanaan ketentuan2 yang diterapkan UU bersangkutan terjadi praktek2 yang dirasakan kurang adil dipandang dari segi pembinaan golongan ekonomi lemah, atau memang UU itu sendiri belum mencakup ketentuan2 yang secara konkrit memungkinkan pembinaan tersebut. Dan bila memang demikian keadaannya, agaknya sudah waktunya pula dipikirkan untuk mengadakan penyempurnaan2 dalam pelaksanaan atau UU itu sendiri,

275 Inilah Posisi Golkar, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 24 Maret 1972.

129

hingga kecuali pemberian kelonggaran2 itu dirasakan cukup adil, juga golongan ekonomi lemah merasa mendapat kesempatan yang wajar.”276

Timbulnya isu ini dianggap Suara Karya sebagai sebuah pintu ancaman baru terhadap stabilitas politik. Media ini menyarankan agar pemerintah segera bersikap dengan isu yang berkembang di tengah masyarakat tersebut. Walaupun sikap berdiam diri dan menunggu apa yang terjadi selanjutnya masih menjadi tindakan yang wajar. Namun Suara Karya menganggap bahwa isu ini harus menjadi perhatian agar tidak menjalar kepada isu horizontal yang menimbulkan perpecahan di masyarakat. “Dalam hubungan ini peninjauan kembali peraturan2 pelaksanaan penanaman modal yang sedang dilakukan pemerintah seyogyanya harus dapat menjamin berkurangnya ketidak selarasan, umpamanya dalam soal perkreditan. Selain itu, perbaikan dan penertiban aparatur negara yang sedang dilakukan, disamping bertujuan memperbaiki struktur, prosedur dan personalia, juga harus memungkinkan terlaksananya pengawasan intern yang memperkecil kemungkinan terjadinya penyelewangan2, karena pada akhirnya kontrol yang lemahlah yang lebih banyak menimbulkan kesempatan yang menjadikan seseorang, pencuri. Efektivitas dari pengawasan intern ini, disatu pihak harus dijamin dengan sanksi2 yang cukup berat, dan dilain pihak dengan kepastian hukum bagi mereka yang memegang teguh ketentuan2 yang ada.”277

276 Issue Percukongan, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 15 November 1972. 277 Cegah Emosi Rasialisme, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 23 November 1972.

130

Kritik selanjutnya terhadap pemerintahan ditujukan kepada isu korupsi. Suara Karya dalam Tajuk Rencananya menjelaskan, isu korupsi diawali dengan kedatangan Ketua IGGI/Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda, JP. Pronk berkunjung ke Indonesia. Dalam kunjungan itu, ia mengatakan bahwa penggunaan bantuan IGGI yang diberikan kepada pemerintah Indonesia telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun di sisi lain, muncul sebuah pernyataan Pronk dalam berita di Singapura bahwa Pronk menuduh 30% bantuan IGGI telah disalahgunakan Indonesia. Berita ini kemudian ditanggapi oleh beberapa pihak di Indonesia, termasuk Pronk sendiri. Pronk mengatakan bahwa ia sama sekali tidak mengatakan apa pun lewat keterangan pers. Kemudian Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara Indonesia, J.B Sumarlin, mengatakan apabila korupsi telah menjamur, maka pembangunan di Indonesia tak ada gunanya. Kemudian muncul juga pernyataan Direktur Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Management (PPM), Dr. Kadarman yang menanggapi pernyataan Sumarlin. Dalam kutipannya di Kompas, ia mengatakan bahwa korupsi di Indonesia lebih merajalela dibandingkan masa-masa sebelumnya. Kadarman mengatakan bahwa sebanyak 30% anggaran dari pendapatan nasional telah dikorupsi oleh para pejabat. Pernyataan Kadarman kemudian ditanggapi kembali oleh Jaksa Agung yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Ali Said. Menurutnya, volume korupsi tahun ini relatif mengecil dibandingkan sebelumnya. Ia melihat dari jumlah uang yang beredar dibandingkan dengan uang yang dikorupsi. Selain itu, Ali juga

131

menyatakan bahwa kasus korupsi di Indonesia hingga Juni 1973, telah ditangani oleh TPK dengan jumlahnya yang mencapai 362 kasus.278 Dari penjelasan di atas, Suara Karya pun turut menanggapi isu korupsi yang ada di Indonesia. Dalam penjelesannya, media ini mengemukakan bahwa korupsi memang terbukti ada dan menjadi hal yang biasa terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Untuk memberantas korupsi, Suara Karya menganjutkan bahwa pemerintah harus memenahi sistem pemerintahan dan menertibkan aparatur negara. Tak hanya itu, para pengkritik korupsi juga perlu menjabarkan data secara khusus dan bisa dipertanggungjawabkan. Dari data itu, pemberantasan korupsi akan mampu diberantas oleh pemerintah dan tidak membingungkan masyarakat.279 Berbagai kritik di atas kemudian berpuncak pada diskusi panel yang diselenggarakan Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) di Student Center Universitas Indonesia pada 24 Oktober 1973. Diskusi ini ditujukan untuk memperingati Sumpah Pemuda sekaligus mengundang berbagai tokoh lintas generasi. Para hadirin tersebut yakni Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik, Mantan Walikota DKI Jakarta Sudiro, Tokoh Pers sekaligus Pendiri Harian Merdeka BM Diah, Tokoh PSI Soebadio Sastrosatomo, Mantan Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia Sjafruddin Prawiranegara, Tokoh PNI Ali Sastroamidjojo, Mantan Kepala Staf Angkatan Perang TB Simatupang, dan Dosen Fakultas Ekonomi UI Dorodjatun Kuntoro-Djakti.

278 Isyu2 tentang Korupsi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 19 Desember 1973. 279 Isyu2 tentang Korupsi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 19 Desember 1973.

132

Usai diskusi, para peserta kemudian menutup acaranya dengan kegiatan ziarah ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Timur. Di sana, mereka membacakan ungkapan ketidakpuasan dan tuntutan pada pemerintah yang dikenal dengan nama Petisi 24 Oktober 1973. Petisi itu berisi beberapa poin yang di antaranya: meninjau kembali strategi pembangunan dan menyusun satu strategi yang di dalamnya terdapat keseimbangan di bidang sosial, politik, dan ekonomi yang anti- kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan; segera bebaskan rakyat dari cekaman ketidakpastian dan pemerkosaan hukum, merajalelanya korupsi dan penyelewengan kekuasaan, kenaikan harga, dan pengangguran.280 Dalam menyoroti petisi itu, Suara Karya menjelaskan bahwa masalah yang tercantum sudah berulangkali diucapkan oleh Presiden Soeharto. Menurut media ini, masalah yang tertulis dalam petisi sudah dilaksanakan oleh pemerintah lewat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN sendiri menetapkan bahwa pembangunan juga memerlukan aspek keadlian dan perataan demi mewujudkan konsep pembangunan ideal. Selain itu, Suara Karya juga menyarankan bahwa partisipasi mahasiswa juga diperlukan dalam memperlancar konsep pembangunan. Dalam kata lain, partisipasi mampu memberikan umpan balik terhadap penerapan konsep, juga mampu memperbaiki masalah- masalah yang terjadi dalam pelaksanaan. “Betapapun perlunya kita setiap kali sama2 mengingatkan kembali pokok2 masalah yang tercantum dalam Petisi, agaknya lebih perlu lagi sama2 menginsyafi, bahwa kita sama2 bertanggungjawab memecahkan masalah dengan cara2 dengan cara2 pelaksanaan yang

280 M.F. Mukthi, Petisi 24 Oktober, historia.id/politik/articles/petisi-24- oktober-D8Joo, (Diakses pada 12 April 2019 pukul 18.08 WIB).

133

terbaik. Menekankan kembali apa2 yang telah digariskan dalam GBHN dengan perincian yang terkait dengan kenyataan2 yang belum memuaskan seperti dinyatakan Petisi, adalah tanggunghawab setiap warga negara termasuk generasi muda. Tetapi adalah tanggungjawab bersama –jadi juga tanggungjawab generasi muda– untuk secara kreatif menemukan jalan2 pelaksanaannya, baik secara makro maupun mikro.”281

Kritik mahasiswa mencapai puncaknya pada Peristiwa Malari 1974. Seperti dijelaskan bab sebelumnya, Malari 1974 adalah proses mahasiswa terhadap kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakei Tanaka ke Indonesia pada 15-16 Januari 1974. Kedatangan Tanaka sendiri untuk menanamkan investasi dari dana Pemerintah Jepang yang mendominasi lewat organisasi Asian Development Bank (ADB) kepada pemerintah Indonesia. Suara Karya sendiri sudah membahas Tanaka sejak kemenangannya menjadi Perdana Menteri pada 1972. Menurut media ini, pemimpin muda seperti Tanaka akan lebih berani dalam mencari prospek-prospek baru terhadap peluang kerja sama dengan pemerintah Indonesia. Dari pemerintahan Tanaka yang muda, gesit, dan dinamis, Suara Karya mengharapkan bahwa akan ada sebuah gagasan baru dan serta dalam pembangunan untuk Indonesia, juga untuk negara-negara lain yang ada di Asia Tenggara.282 Setahun kemudian, Suara Karya kembali menuliskan tajuk rencana tentang peluang kerja sama dengan pemerintah Jepang. Pada 1973, Jepang memang sudah membuka gerbang kerja sama dengan

281 Petisi 24 Oktober dan Partisipasi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 30 Oktober 1973. 282 Kemenangan Tanaka, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 6 Juli 1972.

134

negara-negara yang ada di Asia Tenggara. Suara Karya menyoroti peristiwa demonstrasi yang terjadi di Thailand. Masyarakat Thailand melakukan protes dengan memboikot barang-barang buatan Jepang. Ini disebabkan karena kemajuan besar-besaran yang dilakukan oleh Jepang mendapat sorotan dari berbagai negara di dunia. Negara ini menganggap perlunya pembatasan terhadap kebutuhan barang-barang impor dari perusahaan Jepang. Dalam peristiwa itu, Suara Karya menganggap bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan perusahaan Jepang adalah sesuatu yang wajar untuk dilakukan. Sebab, bisnis adalah kegiatan moral yang biasa terjadi dalam kerja sama antar negara. Selama tidak menyimpang dari aturan yang disepakati, bisnis tetaplah harus berjalan demi kemajuan pembangunan. “Hal tersebut tentulah bukan karena kecurangan Jepang, tapi selain karena posisi obyektif kita waktu itu, juga karena belum seimbangnya kemampuan bisnis, hingga persoalan kita selanjutnya adalah bagimana meningkatkan kemampuan bisnis ini. Umpamanya kerjasama exploitasi hasil2 laut, yang karena posisi kita sewaktu persetujuan kerjasama ini dimulai, agaknya memang merupakan pilihan yang paling mungkin diambil. Tapi pengalaman hingga sekarang menunjukkan, bahwa perlu diadakan penyempurnaan2 yang bukan saja dapat menjamin kelanjutan persediaan kekayaan laut itu sendiri, tapi juga sekaligus memberi kesempatan untuk menanggulangi korban2 yang memang tidak terelakkan, seperti terdesaknya nelayan2 kita sendiri. Demikian pula di bidang2 lain.” 283

283 Sorotan Terhadap Jepang, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 19 April 1973.

135

Sehari sebelum kedatangan Tanaka, Suara Karya turut menuliskan apresiasinya lewat Tajuk Rencana. Menurutnya, kedatangan Tanaka nanti akan membahas tentang pertukaran pikiran antara situasi Indonesia dengan Jepang, baik itu di masalah ekonomi dan perdagangan maupun masalah politik dan keamanan yang menyangkut kepentingan bersama. Media ini berharap bahwa kedatangan Tanaka nantinya akan menjadikan suatu hubungan antar negara yang serasi, tentunya dengan konsep hidup saling membutuhkan antar negara-negara di dunia.284 Namun, demonstrasi tetap tak terelakkan. Pada peristiwa Malari itu, para demonstran pun melancarkan protesnya di seluruh wilayah Jakarta. Huru-hara pun terjadi. 807 mobil dan motor buatan Jepang harus dibakar massa, sebelas orang meninggal dunia, 300 orang luka-luka, 114 bangunan rusak, juga 160 kg emas raib dari toko-toko perhiasan.285 Menanggapi peristiwa ini, Suara Karya menyatakan prihatin atas apa yang terjadi. Media ini menganggap bahwa peristiwa kerusakan yang dilakukan para demonstran tak bisa ditolerir. Mereka mencela sekeras- kerasnya terhadap perusakan dan tindakan anarkis yang hakikatnya adalah mengganggu ketentraman dan keamanan masyarakat.286 “Sebagai mahasiswa, yang seyogyanya telah terlatih didalam berpikir secara analitis dan tidak berdasarkan emosi, seharusnya telah dapat memperhitungkan apa yang mungkin akan timbul dan terjadi dari tindakannya. Seharusnya disadari dan diperhitungkan akibat-akibat

284 Membina Pola Hubungan yang Serasi, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 14 Januari 1974. 285 Husein Abdulsalam, Malari 1974: Protes Mahasiswa yang Ditunggangi Para Jenderal, https://tirto.id/malari-1974-protes-mahasiswa-yang-ditunggangi-para- jenderal-cDe9, (Diakses pada 3 Februari 2019 pukul 17.09 WIB). 286 Suatu Malapetaka Nasional, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 16 Januari 1974.

136

yang mungkin secara ekstrim akan terjadi dari setiap tindakan. Dan setiap kemungkinan yang sampai betapa jatuhnya dan betapa ekstrimnya haruslah diperhitungkan.”287

Akibat peristiwa Malari 1974 ini, pemerintah Soeharto mengambil tindakan cepat. Mereka menertibkan pelaksanaan hak-hak dalam berdemokrasi, pers, hingga melakukan penertiban terhadap kehidupan di dalam universitas maupun sekolah dari berbagai kegiatan politik. Mereka juga menindak tegas terhadap orang-orang yang bertindak sebagai provokator dalam kerusuhan Malari.288 Seperti dijelaskan dalam bab sebelumnya, pemerintah menertibkan beberapa media massa seperti Indonesia Raya, Nusantara, Harian Kami, Mahasiswa Indonesia, The Jakarta Times dan Pedoman. Selain itu, 775 aktivis juga turut ditangkap. Beberapa di antaranya yakni Pemimpin Gerakan Mahasiswa Hariman Siregar, Tokoh PSI Soebadio Sastrosatomo, Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Adnan Buyung Nasution dan J.C. Princen, dan akademisi Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.289 Tak hanya itu, pemerintah juga mengambil beberapa langkah dalam pembenahan struktur politik. Soeharto mencopot Soemitro selaku Panglima Kopkamtib dan menggantinya dengan Laksamana Soedomo. Kemudian, Soeharto juga membubarkan lembaga aspri yang diisi oleh Ali Moertopo dan Soedjono Humardani. Menurut Suara Karya, dengan

287 Pertanyaan kepada Hati Nurani Bangsa, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 17 Januari 1974. 288 Menegakkan Demokrasi dengan Tanggung Jawab dan Disiplin, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 18 Januari 1974. 289 Husein Abdulsalam, Malari 1974: Protes Mahasiswa yang Ditunggangi Para Jenderal, https://tirto.id/malari-1974-protes-mahasiswa-yang-ditunggangi-para- jenderal-cDe9, (Diakses pada 3 Februari 2019 pukul 17.09 WIB).

137

peralihan jabatan itu, maka penanganan akibat peristiwa Malari bisa dilakukan secara efektif dan praktis, serta dapat dipertanggungjawabnkan sesuai dengan konstitusi yang berlaku.290 Usai terjadinya Malari, Suara Karya pun beranggapan bahwa masalah terpenting yang harus dihadapi pemerintah adalah mengembalikan kehidupan ekonomi di atas puing kehancuran. Dalam Tajuk Rencananya, Suara Karya mengajak masyarakat untuk introspeksi dari kesalahan yang terjadi. Dari sana, maka Indonesia akan lebih bersiap dalam menghadapi Rencana Pelita periode II dan menjamin stabilitas nasional demi pelaksanaan pembangunan. 291 “Kita menyambut gembira keputusan yang diambil Presiden ini, karena dalam waktu singkat Presiden sudah turun tangan untuk memulihkan kembali mekanisme Pemerintahan. Dengan adanya dua keputusan penting ini, jelas sekali bahwa Presiden bertekad untuk melaksanakan tugas pembangunan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dengan kemantapan nasional yang tetap terpelihara.”292

290 Memulihkan Kembali Mekanisme Pemerintahan, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 29 Januari 1974. 291 Membangun Diatas Puing2 Kehancuran, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 19 Januari 1974. 292 Memulihkan Kembali Mekanisme Pemerintahan, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 29 Januari 1974.

138

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan Media massa menjadi unsur yang tidak bisa dilepaskan tatkala membahas pemerintahan. Media massa sendiri memiliki sikap terhadap kebijakan politik. Orientasi media dalam kekuasaan pemerintah terbagi ke dalam dua jenis, bisa membela masyarakat (oposisi) ataupun menjadi media partisan pemerintah. Salah satu media di Indonesia yang terlibat dalam pusaran politik pemerintah adalah Suara Karya. Awalnya, Suara Karya sendiri merupakan media yang berfungsi untuk menaikkan elektabilitas Golkar. Media yang digagas oleh Ali Moertopo dan beberapa tokoh Golkar lain mampu menjadi faktor dalam mengkampanyean gagasan Golkar dan Soeharto untuk memenangkan Pemilu 1971. Alhasil, Golkar mampu mampu menguasai suara terbanyak dengan capaiannya mencapai 62,8%. Selepas pemilu, mereka tetap menjadi corong pemerintah dalam gagasan dan kinerja. Namun dalam pelaksanaan pemerintahan, berbagai dinamika kritik dan kekecewaan memang tak bisa dibantah. Kebijakan Soeharto selaku Presiden Indonesia tetap tidak bisa dianggap sempurna. Masih banyak lubang yang perlu dibenahi dalam penerapan kebijakan pembangunan. Dari Suara Karya inilah, suara pemerintah kepada masyarakat menjadi wadah dalam menjelaskan apa yang terjadi dalam lingkungan dalam pemerintahan. Melalui tulisannya di Tajuk Rencana, Suara Karya berusaha menyuarakan apa yang dilakukan pemerintah dengan bahasa yang dimengerti masyarakat. Bahkan, Suara Karya menganggap bahwa

139

140

peranan pers dalam pemerintahan adalah menyuarakan pembangunan demi berlakunya stabilitas dalam negeri. Pers, menurut Suara Karya, harus menjadi penghubung antara pemerintahan dan masyarakat sebagai dialog pelaksanaan pembangunan. “Dalam hubungan ini maka ingin dipetikkan disini bahwa bagi negara- negara berkembang pers mempunyai pula tugas sebagai penunjang pembangunan. Ia tidak hanya merupakan alat untuk “entertainment” dan informasi, akan tetapi jauh daripada itu, ia juga merupakan alat memberikan motivasi kepada rakyat, supaya tumbuh partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Ia haruslah merupakan dinamisator dan katalisator perusahaan.”293

Pemerintahan Soeharto masih dianggap stabil sebelum terjadinya peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974. Sifat Soeharto sebagai harapan dari pemerintahan Soekarno tetap tak bisa disembunyikan. Dengan latarnya yang militer, Soeharto semakin bertindak agresif dalam membuktikan kekuasaan terhadap lawan politiknya. Ia membuktikannya dengan kebijakan membredel pers, mengganti sejumlah pejabat, hingga menertibkan mahasiswa sebagai pelopor peristiwa tersebut. Suara Karya sebagai corong pemerintah tetap menyatukan kepalanya demi pelaksanaan stabilitas dalam negeri. Seperti yang dijelaskan dalam penelitian ini, Suara Karya memfokuskan fungsinya sebagai sarana dialog antara pemerintah dengan masyarakat untuk pelaksanaan pembangunan. Dari sana, media ini tak keberatan dengan berbagai tindakan repreif yang dilakukan pemerintah, selama tujuan

293 Pers, Sarana Dialog Pemerintah-Rakyat, Tajuk Rencana, Suara Karya edisi 1 Desember 1973.

141

pembangunan tetap berjalan sesuai fungsinya. Suara Karya bahkan mengajak masyarakat agar fokus dan tetap menatap masa depan lewat rencana Repelita II. Seiring berjalannya waktu, kekuasaan Soeharto kemudian berhenti pada Mei 1998. Turunnya Soeharto hampir sama dengan Soekarno, yakni adanya krisis moneter dan minimnya kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Bersama Soeharto, Suara Karya turut kena dampaknya. Kekuasaan Soeharto, Golkar, tenggelam bersama Suara Karya yang kemudian media ini berhenti cetak pada 2017 lalu.

B. Implikasi Penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan gambaran mengenai peranan pers dan pemerintahan. Menurut penulis, penelitian mengenai pers partisan dalam melanggengkan kekuasaan pemerintah masih minim. Banyak penelitian yang membahas tentang pers sebagai anjing penjaga untuk menyoroti kebijakan penguasa (oposisi). Dari penelitian mengenai Suara Karya ini, penulis berharapkan agar pembaca mampu memiliki gambaran tentang peranan pers partisan kepada penguasa sebagai pelaksana kebijakan pemerintahan.

C. Saran Penulis sendiri tak memungkiri bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna. Sebagai contoh, penulis hanya menemukan sumber yang ditulis pada Agustus 1971. Padahal, peranan Suara Karya menjadi hal penting dalam awal-awal penerbitannya. Mengingat Suara Karya sudah terbit sejak 11 Maret 1971. Padahal jika dokumen Suara Karya

142

sudah ada sejak awal penerbitan, maka para pembaca sekalian akan lebih mengetahui bagaimana peranan media dalam mengkampanyekan penguasa pada Pemilu 1971 lalu. Oleh karenanya, tersedianya sumber menjadi hal yang penting menurut pribadi penulis. Dari sumber yang ada, maka para sejarawan akan mampu mengkonstruksikan wacana yang dilakukan dalam penelitiannya. Selain itu, para pembaca akan mampu membayangkan apa yang sebenarnya terjadi di saat awal-awal pemerintahan Soeharto, terutama pada awal 1971. Kemudian, masih ada beberapa kejadian saat pemerintahan Soeharto. Konsolidasi yang dilaksanakan pemerintah Soeharto berjalan sempurna ketika menjelang masa 1980-an. Di masa itu, Soeharto sudah melakukan pembredelan terhadap pers, pengawasan terhadap mahasiswa, hingga pelaksanaan pemilu 1977. Menurut penulis, apabila ada yang mengingkan terusan dari penelitian ini, maka penulis menyarankan agar penelitian Suara Karya selanjutnya dilaksanakan pada tahun-tahun tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Koran Dungga, J.A. Projek Miniatur “Indonesia Indah”. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 15 November 1971. 26 Tahun Merdeka. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 16 Agustus 1971. Cegah Emosi Rasialisme. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 23 November 1972. Debat Kusirnja “ABADI”. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 11 April 1972. Demi Kontinuitas Kehidupan Nasional. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 10 April 1972. Djauhkan Sikap Konfrontatif. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 27 Desember 1971. Golkar sebagai Akselerator Pembangunan. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 20 Maret 1972. Hak Berserikat dan Floating Mass. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 6 April 1972. Hari Kesaktian Pancasila. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 1 Oktober 1973. Hari Kesaktian Pantjasila. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 1 Oktober 1971. Hari Sumpah Pemuda. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 28 Oktober 1972. Inilah Posisi Golkar. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 24 Maret 1972. Issue Percukongan. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 15 November 1972. Isyu2 tentang Korupsi. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 19 Desember 1973.

143

144

Kedatangan Menkeu AS. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 5 November 1971. Kehendak Baik Sadja Tidak Tjukup. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 8 Januari 1972. Kehidupan Politik yang Kita Inginkan. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 5 September 1973. Kelesuan & Overacting. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 3 September 1971. Kemenangan Tanaka. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 6 Juli 1972. Kenapa Floating Mass. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 23 Maret 1972. Kepertjajaan Tambah Besar. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 16 Desember 1971. Lahirnya Partai Persatuan Pembangunan. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 8 Januari 1973. Masalah Transmigrasi. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 21 September 1971. Memang Tak Perlu Panik. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 4 November 1971. Membangun Diatas Puing2 Kehancuran. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 19 Januari 1974. Membina Pola Hubungan yang Serasi. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 14 Januari 1974. Membuka Tahun Baru dengan Menutup Isyu. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 3 Januari 1974. Memulihkan Kembali Mekanisme Pemerintahan. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 29 Januari 1974. Menegakkan Demokrasi dengan Tanggung Jawab dan Disiplin. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 18 Januari 1974.

145

Menghadapi Kenaikan2 Harga. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 23 Oktober 1973. Menghadapi Sisa2 G30S/PKI. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 29 November 1973. Mentjegah Revolusi Sosial. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 13 April 1972. Pantjasilaisasi Pegawai Negeri. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 18 April 1972. Pembangunan jang Menjeluruh. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 22 Agustus 1971. Pembinaan Koperasi. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 15 Mei 1972. Pembitjaraan Schmelzer-Adam Malik. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 30 Agustus 1971. Penanaman Modal Asing. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 1 September 1972. Pengaktipan Rembug-Desa. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 19 April 1972. Pengembangan Industri Kecil. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 30 Agustus 1973. Perentjanaan Sosial. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 18 Agustus 1972. Perlu Investment Board Tunggal. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 8 September 1971. Perlu Penilaian Berdjangkauan Djauh. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 8 Oktober 1971. Pers, Sarana Dialog Pemerintah-Rakyat. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 1 Desember 1973. Pertanggungan Jawab Pertamina. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 24 Januari 1973.

146

Pertanggungan Jawab Presiden. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 13 Maret 1973. Pertanyaan kepada Hati Nurani Bangsa. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 17 Januari 1974. Petisi 24 Oktober dan Partisipasi. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 30 Oktober 1973. Projek Miniatur “Indonesia Indah”. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 16 November 1971. Rancangan Repelita II dan RAPBN 1974/75. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 8 Januari 1974. Renungan 17 Agustus. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 16 Agustus 1973. Satu Tahun Mengabdi. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 11 Maret 1972. Sekali Lagi Floating Mass. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 27 Maret 1972. Sekarang Sudah Djelas. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 30 Desember 1971. Selamat Datang. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 25 Agustus 1971. Selamat Djalan. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 4 September 1971. Sensus Penduduk 1971. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 6 September 1971. Seruan Ali Sadikin. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 13 Januari 1972. Sidang IGGI jang Akan Datang. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 8 Desember 1971. Sorotan Terhadap Jepang. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 19 April 1973. Suatu Malapetaka Nasional. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 16 Januari 1974.

147

Tamu Agung dari Nederland. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 29 Agustus 1971. Tanda Penghargaan untuk Pengusaha2 Swasta. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 2 September 1972. Tentang Fusi Partai. Tajuk Rencana. Suara Karya edisi 5 April 1972.

Buku Abar, Akhmad Zaini. 1995. 1966-1974: Kisah Pers Indonesia. Yogyakarta: LKiS. Adam, Ahmat. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan. Jakarta: Hasta Mitra. Adams, Cindy. 2011. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Jakarta: Yayasan Bung Karno. Arismunandar, Satrio. 2005. Zaman Bergerak! Peran Pers Mahasiswa dalam Penumbangan Rezim Soeharto. Jakarta: Genta Press. Armada, Wina. 1993. Menggugat Kebebasan Pers. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Bruinessen, Martin van. 2013. Rakyat Kecil, Islam, dan Politik. Yogyakarta: Penerbit Gading. Crouch, Harold. 1986. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan. Dahlan, Muhidin M. dan Iswara N. Raditya. 2008. Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan. Jakarta: I:Boekoe. Elson, R.E. 2005. Suharto: Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Pustaka Minda Utama. Eriyanto. 2006. Analisis Wacana: Pengantar Teks Analisis Media. Yogyakarta: LKiS.

148

Feith, Herbert dan Lance Castles (ed.). 1995. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES. Gie, Soe Hok. 1989. Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES. Gie, Soe Hok. 1999. Di Bawah Lentera Merah. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya. Hill, David T. 2011. Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Irsyam, Mahrus dan Lili Romli (ed). 2003. Menggugat Partai Politik. Depok: Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI. Jenkins, David. 2010. Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1973. Depok: Komunitas Bambu. Kasemin, Kasiyanto. 2014. Sisi Gelap Kebebasan Pers. Jakarta: Prenadamedia Group. Kasenda, Peter. 2013. Hari-Hari Terakhir Sukarno. Depok: Komunitas Bambu. Kasenda, Peter. 2013. Soeharto: Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun?. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Kasenda, Peter. 2015. Sarwo Edhie dan Tragedi 1965. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Kasman, Suf. 2010. Pers dan Pencitraan Umat Islam di Indonesia: Analisis Isi Pemberitaan Harian Kompas dan Republika. Jakarta: Balai Litbang dan Diklat Kemenang. Krissantono (ed.). 1984. Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies. Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Kurniawan, et al. 2013. Pengakuan Algojo 1965: Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965. Jakarta: Tempo Inti Media Tbk. Lestariningsih, Amurwani Dwi. 2011. Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan. Jakarta: Kompas.

149

Luhulima, James. 2007. Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965: Melihat Peristiwa G30S dari Perspektif Lain. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Mallarangeng, Rizal. 2005. Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Mallarangeng, Rizal. 2010. Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Harian Umum Suara Karya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Moertopo, Ali. 1982. Strategi Pembangunan Nasional. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies. Muhaimin, Yahya A. 1990. Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980. Jakarta: LP3ES. Nimmo, Dan. 2010. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung: Remadja Karya CV. Noer, Delian. 2000. Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1960. Bandung: Mizan. Pour, Julius. 2010. Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Rachmadi Ricky, dkk. 2005. 32 Tahun Harian Umum Suara Karya: Berlayar Menembus Zaman. Jakarta: Badan Litbang Harian Umum Suara Karya. Raillon, Francois. 1989. Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974. Jakarta: LP3ES. Reeve, David. 2013. Golkar: Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran, dan Dinamika. Depok: Komunitas Bambu. Robison, Richard. 2012. Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.

150

Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. Jakarta: Institut Sejarah dan Sosial Indonesia dan Hasta Mitra. Said, Salim Haji. 2016. Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto. Bandung: Penerbit Mizan. Seda, Frans. 1992. Simponi Tanpa Henti: Ekonomi Politik Masyarakat Baru Indonesia. Jakarta: Yayasan Atmajaya dan PT. Gramedia. Smith, Edward C. 1986. Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia. Jakarta: Pustaka Grafiti Pers. Southwood, Julie dan Patrick Flanagan. 2013. Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum dan Propaganda 1965-1981. Depok: Komunitas Bambu. Suharsi dan Ign. Mahendra K. 2007. Bergerak Bersama Rakyat: Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia. Yogyakarta: Resist Book. Sumadiria, A.S. Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature, Panduan Praktis Jurnalis Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Surjomihardjo, Abdurrahman dkk. 2004. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Toer, Pramoedya Ananta. Sang Pemula. 1985. Jakarta: Hasta Mitra. Vickers, Adrian. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Insan Madani. Wanandi, Jusuf. 2014. Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1968. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014. Widjojo, Muridan S. et al. 1999. Penakluk Rezim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa ’98. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Yudhistira, Aria Wiratma. 2010. Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970an. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

151

Yulianti, Dewi. 2000. Semaoen, Pers Bumiputera, dan Radikalisasi Sarekat Islam Semarang. Semarang: Bendera. Zulkifli, Arif, dkk. 2018. Seri Buku Saku Tempo: Benny Moerdani yang Belum Terungkap. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Tesis Anwar, Roos. 1992. Penampilan Informasi Pembangunan di Surat Kabar Indonesia (Suatu Perbandingan Melalui Analisis Isi Berita Pembangunan di Harian Suara Karya dan Harian Suara Pembaruan). Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Indonesia.

Jurnal Burhanudin, Jajat. “The Fragmentation of Religious Authority: Islamic Print Media in Early 20th Century Indonesia”. Studia Islamika 11. No. 1. (2004). 35, 47-48. Juga dapat diunduh di http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia- islamika/article/view/652. Irfansyah, Azhar dan Nella A. Puspitasari, “Tentang Pasang Surutnya Badai Itu: Riwayat Pers Kiri di Indonesia (Bagian I)”. Harian IndoPROGRESS (16 Mei 2014). 9. Juga dapat diunduh di https://indoprogress.com/2014/05/tentang-pasang-surutnya- badai-itu-riwayat-pers-kiri-di-indonesia-bagian-i/.

Majalah Majalah Tempo edisi Khusus Rahasia-Rahasia Ali Moertopo tanggal 14- 20 Oktober 2013.

152

Internet Abdulsalam, Husein. Kwik Kian Gie, Prabowo Subianto, dan Benang Merah Mafia Berkeley. https://tirto.id/kwik-kian-gie-prabowo- subianto-dan-benang-merah-mafia-berkeley-cZTu. Diakses pada 1 Februari 2019 pukul 17.47 WIB. Abdulsalam, Husein. Malari 1974: Protes Mahasiswa yang Ditunggangi Para Jenderal. https://tirto.id/malari-1974-protes-mahasiswa- yang-ditunggangi-para-jenderal-cDe9. Diakses pada 3 Februari 2019 pukul 17.09 WIB. Faisal, M. IGGI dan Asal-Usul Utang Luar Negeri Indonesia. https://tirto.id/iggi-dan-asal-usul-utang-luar-negeri-indonesia- cEW3. Diakses pada 1 April 2019 pukul 23.56 WIB. Golkar. Sejarah Partai. https://partaigolkar.or.id/sejarah. Diakses pada 4 Desember 2018 pukul 16.16. Hidayat, Arief. Pemimpin Redaksi Suara Karya Bantah Korannya Akan Tutup. https://nasional.tempo.co/read/766858/pemimpin-redaksi-suara- karya-bantah-korannya-akan-tutup/full&view=ok. Diakses pada 19 Maret 2019 pukul 16.35 WIB. Iqbal, Muhammad. Nahdatul Ulama Didirikan untuk Membendung Puritanisme Agama. https://tirto.id/nahdlatul-ulama-didirikan-untuk-membendung- puritanisme-agama-cDLL. Diakses pada 18 Desember 2018 pukul 22.03 WIB. Ketetapan MPRS No. XXIII Tahun 1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan. Diakses dari laman Kemenkeu Http://www.jdih.kemenkeu.go.id/fullText/1966/XXIII~MPRS~ 1966TAP.HTM pada 9 November 2018 pukul 03.06 WIB. Khoiri, Ilham. Pemilu 1971, Demokrasi Semu.

153

https://nasional.kompas.com/read/2014/01/11/1932246/Pemilu. 1971.Demokrasi.Semu. Diakses pada 4 Desember 2018 pukul 17.25. KPU. Pemilu 1971. https://kpu.go.id/index.php/pages/detail/2018/9/PEMILU- 1971/MzQz. Diakses pada 18 Januari 2019 pukul 21.32 WIB. Matanasi, Petrik. Pembantu-Pembantu Khusus daripada Soeharto. https://tirto.id/pembantu-pembantu-khusus-daripada-soeharto- cFxD. Diakses pada 16 Januari 2019 pukul 23.32 WIB. Matanasi, Petrik. Prabowo Harus Belajar Sejarah: Wartawan adalah Bidan Lahirnya RI. https://tirto.id/prabowo-harus-belajar- sejarah-wartawan-adalah-bidan-lahirnya-ri-da99. Diakses pada 18 Desember 2018 pukul 19.06 WIB. Matanasi, Petrik. Sejarah Korpri dan Cara Soeharto Mempolitisasi Pegawai Negeri. https://tirto.id/sejarah-korpri-dan-cara- soeharto-mempolitisasi-pegawai-negeri-c97N. Diakses pada 9 April 2019 pukul 00.44 WIB. Matanasi, Petrik. Sejarah Pidato Trikora dan Ambisi Sukarno Kuasai Papua. https://tirto.id/sejarah-pidato-trikora-dan-ambisi- sukarno-kuasai-papua-db2m. Diakses pada 17 Januari 2019 pukul 2.19 WIB. Mukthi, M.F. Petisi 24 Oktober. historia.id/politik/articles/petisi-24- oktober-D8Joo. Diakses pada 12 April 2019 pukul 18.08 WIB. Persatuan Islam, Sejarah Persatuan Islam. http://persis.or.id/sejarah-persatuan-islam. Diakses pada 18 Desember 2018 pukul 21.55 WIB. Sitompul, Martin. Asal-usul Istilah Orde Baru. https://historia.id/politika/articles/asal-usul-istilah-orde-baru- DAoE7. Diakses pada 29 Januari 2019 pukul 21.44 WIB. Triyana, Bonnie. Riwayat Berdirinya PNI.

154

https://historia.id/modern/articles/riwayat-berdirinya-pni- PGj0V. Diakses pada 19 Desember 2018 pukul 02.15 WIB.

LAMPIRAN-LAMPIRAN a. Suara Karya edisi harian.

155

156

b. Suara Karya edisi mingguan

157

c. Profil Suara Karya

158

d. Struktur Redaksi Suara Karya

Penasehat: Sapardjo Pemimpin Umum: Sumiskum Wakil Pemimpin Umum: Djamal Ali

Pemimpin Redaksi: A. Rachman Tolleng Wakil Pemimpin Redaksi: A. Sjamsul Basri

Dewan Redaksi: Sajuti Melik, Hendro Budijanto (non-aktif), Pintor Simandjuntak, A. Rachman Rangkuti, Kadjat Hertojo, B. Massora, Herutjahjo.

Staf Redaksi: Breyman Purwoto, Harris Sjarnaun, Yop Pandie, Saptari K, Herman Roempoko

Staf Ahli: Midian Sirait, Sudjati, Cosmas Batubara, David Napitupulu.

159

e. Tajuk Rencana Suara Karya

Tajuk Rencana edisi 1 Desember 1973

Tajuk Rencana edisi 11 Maret 1972

160

Tajuk Rencana edisi 20 Maret 1972 (kiri).

Tajuk Rencana edisi 16 Agustus 1971 (kanan).

161

Tajuk Rencana edisi 16 November 1971.

Tajuk Rencana edisi 16 November 1971.

162

Tajuk Rencana edisi 16 Januari 1974

163

Tajuk Rencana edisi 29 Januari 1974.

164

TRANSKRIP WAWANCARA

Nama : Agoes Sofyan Jabatan : Jurnalis Senior di www.suarakarya.id (sekarang) Media Support di Harian Umum Suara Karya Tempat, Waktu: Ciputat, 10 Juli 2019 pukul 22.00 WIB.

Keterangan Wawancara: M: Moderator (Dicky Prastya) R: Responden (Agoes Sofyan)

R : Sekarang masuk tiga tahun. M : Berarti 2016 Suara Karya (edisi cetak) sudah tidak ada? R : Lalu yang validnya saya tidak tahu ya. Ada yang menyatakan berhenti itu ada memang. M : Waktu saya cari di google itu ada, tapi dia bicarakan tentang bantahan. Jadi (pihak) Suara Karya itu membantah kalau sudah tidak ada.

165

R : Jadi waktu itu sempat berhenti. M : Vakum jatuhnya ya? R : Vakum. Kemudian dibantah sama tim redaksinya. M : Iya saya sudah baca tentang itu. R : Bangkit lagi Suara Karya. M : Akhirnya berhenti total? R : Iya berhenti. Kalau Suara Karya sebetulnya kamu tau kan awal mulanya suara karya itu ada bagaimana? M : Iya tau. R : Mulanya dari partai kan, kamu sudah diulas ya? M : Sudah, tapi tidak apa-apa kalau mau diulas kembali. R : Jadi berdirinya suara karya itu tidak terlepas dengan Partai Golkar, di tahun itu ya. Karena saya masuknya di saat zaman reformasi. Saya ini kan kuliah sejarah dulu. Saya ketika zaman reformasi itu, Ketua Umum Partai Golkar Pak Akbar. M : Siapa? R : Akbar Tanjung M : Akbar Tanjung? oh iya. R : Kemudian pemimpin umunya suara karya Teo Sandiaga. M : Nanti Saya google aja. R : Pemimpin Redaksinya Bambang Sadono. Kemudian Pemimpin Perusahaannya Ms Hidayat. Itu setalah pasca reformasi, tapi sebelumnya kalau kilas balik antara tahun 1970 dan 1972 itu suara karya untuk menopang Partai Golkar inti dari pemberitaannya. Pemberitaan pemerintahlah sebutnya. Untuk menopang Partai Golkar, berita Golkar tapi pemerintah. Artinya ditunjukkan kepada pemerintah Soeharto. Selang berjalannya waktu, reformasi terjadi kan. Hal itu mengakibatkan yang namanya turbulensi pada Partai Golkar dan Suara Karya tentunya terkena dari dampaknya. Bukan hanya dari rezim yang lama saja tapi Suara Karya ikut juga mendapatkan imbas pascareformasi. Apa imbasnya? Ya ini seperti oplah koran, dari oplah iklan dan dari kerjasama yang

166

menjadi penopang Suara Karya dulu adalah kementerian, departemen, dan semuanya terkait pemerintah saat itu. M : Berarti orang pemerintah semuanya? R : Semuanya, jadi untuk setiap PNS itu mendapatkan koran tersebut secara gratis. Tiap hari itu mereka tidak mengeluarkan duit. M : Tapi lembaganya atau bagaimana? R : Lembaganya sebenarnya tidak secara merta-merta melanggankan koran kepada PNS nya. Misal kementerian perdagangan semua pegawainya dilanggankan koran Suara Karya. Maka kementerian itu yang membayar kepada pihak Suara Karya. Dan Suara Karya kan tidak pernah meminta kepada kementerian itu untuk berlangganan korannya. Mereka sendiri. Hebatnya di situ mengapa Suara Karya kuat. Jadi orang Suara Karya tugasnya hanya mengurus administrasi, jadi tidak perlu meyakinkan kepada klien. Karena dengan sendirinya mereka dihubungi oleh lembaga terkait. Bahkan Suara Karya pernah dihubungi menteri. M : oh iya. R : Jadi kekuatannya Suara Karya sangat dahsyat pengaruhnya terhadap Partai Golkar. Bisa kita katakanlah orang-orang yang duduk di pemerintahan zaman reformasi, otomatis tidak berani. Karena Pak Harto lengser maka dikurangi, berhenti tidak. Mereka zaman reformasi tidak enak jadi akhirnya dikurangi, termasuk segi iklannya. Kalau dahulu itu loyal. Kita malah tidak meminta mereka memberi. Sekarang reformasi malah kebalikannya, kita yang meminta. M : Semenjak tahun 1998 ya? R : Iya berdekatanlah. Dengan Suara Karya itu jaga jarak karena mereka berkaitan dengan rezim Soeharto duitnya itu kan. Dia takut itu diganti. Namun masih eksis sampai tahun 2016. M : Terakhir terbit pada 2016, apakah masih ingat dengan jumlah halaman saat itu? Ada 16 halaman atau tetap delapan halaman? R : Jadi sebelumnya koran Suara Karya berjumlah 32 halaman hingga 36 halaman saat pada zaman keemasannya ya. Bahkan

167

Suara Karya punya anak media lain yang namanya Suara Karya Mingguan (SKM). M : Itu saya lihat pada tahun 1971. R : Dulu eksis itu. Jadi SKM lebih nuansa beritanya entertaiment. Atau hiburan walaupun ada sedikit-sedikit berita tentang kriminalnya. Dan juga ada bintang-bintang film lah dalam SKM itu. M : Artis-artis ya? R : Iya. Bahkan SKM oplahnya malah lebih tinggi pada koran Suara Karya sendiri. Suara Karya itu bahkan pernah 15ribu exemplar lho. M : Tahun berapa itu mas? R : Di zaman orba, baru setelah orde baru lengser hanya bertahan 7ribu eksemplar. Tapi SKM ketika saya masuk itu sudah tidak ada. M : Tidak ada SKM itu dari kapan? R : Ketika saya masuk ke suara karya itu antara 1999, 2000, 2001, atau 2002. M : itu udah tidak ada tuh 2001? R : Saya tidak tau ya, sebenarnya SKM itu sudah tidak ada sejak kapan. M : Kalau sekarang sebagai apa mas? Maksudnya jabatan terakhir di Suara Karya sebagai apa? R : Saya sebetulnya begini. Jadi ketika saya masuk Suara Karya, saya menginginkan masuk ke dalam redaksi karena menarik di sini. Zaman dahulu kan bagian redaksi sama bagian usaha/iklan. Redaksi itu murni mencari berita, sedangkan usaha kan urusannya mengenai iklan, kerja sama, dan promo-promo lain- lain. Lalu kenapa ketika saya masuk pemred kala itu namanya Mas Sadono. M : Bambang Sadono namanya ya? R : Iya, dulu wakil pemimpin Suara Merdeka di semarang. Suara Merdeka kala itu saling merajai tirasnya di daerah Jawa Tengah. Ketika dia masuk menjadi anggota DPR, maka dia

168

diminta menjadi Pimred Suara Karya oleh Teo sama Akbar, supaya membenahi Suara Karya. Dia Bambang Sadono dianggap telah mewakili dari kalangan pers. Dia merupakan Ketua PWI Jawa Tengah. Bahkan dia juga punya kans menjadi Ketua PWI pusat saat itu. Namun ternyata setelah kontestasi tersebut, dia menjadi Sekjennya Pak Bambang dan membenahi Suara Karya. Pertanyaan anda kan apa jabatan saya di Suara Karya itu di mana? Pada saat itu kan saya menginginkan menjadi wartawan Suara Karya. Karena saya sudah lama bersama dengan Pak Bambang. Saya sudah sering membantu Suara Merdeka dan juga medianya dia. Baik media internal atau yang kita bikin seperti buku, majalah, indomagazine. Saya sendiri merupakan anak buahnya dia. M : Oh anak buahnya. Oke. R : Jadi dia punya perusahaan sendiri dengan istilahnya menopang dari Suara Merdeka. Suara Merdeka kan koran, tapi ini majalahnya, bukunya, kumpulan-kumpulan tokoh perusahaannya Pak Bambang berada di bawah benderanya yakni citra almamater. Ketika saya masuk di Suara Karya, saya sudah mengerti petanya ataupun targetnya dari Bambang Sadono yakni untuk menyehatkan kembali Suara Karya, dan ditargetkan sama bos-bos ini untuk mengembalikkan Suara Karya. Ini tidak otomatis, tidak bisa serta merta. Maka saya pun diposisikan antara di keduanya. Yakni saya juga bisa masuk ke bagian redaksi karena sudah profesi. Kita ini istilahnya berbeda dengan media-media mainstream pada saat itu, karena modal kelompok-kelompok seperti Dahlan Iskan. Kalau di sini jadi wartawan itu juga harus bisa mencari iklan. Karena ia harus survive. Sedangkan Jawa Pos tidak seperti itu. Jadi belum menyentuh. Untuk independensi redaksi sendiri tidak boleh dipengaruhi oleh pemimpin pusatnya. Kalau itu saja tidak boleh apalagi saya kan. Saya bisa saja, semisal ada peliputan terkait itu segala macam, bisa saja saya mengambil berita tersebut tanpa koordinasi dengan redaksi. Misalnya isu politik, saya bisa masuk di politik atau ekonomi juga bisa masuk. Meskipun ya di situ ada orang-orang redaksi juga tapi sudut pandangnya yang saya buat itu adalah kerja sama. Istilahnya tidak terkait isu sentralnya. M : Paham-paham.

169

R : Misalkan kementerian ini ada isu terkait impor beras. Maka saya itu tidak masuk ke dalam ranah itu. Di kementrian itu baik- baiknya aja yang kita blow up. Tapi kita akan masuk misalnya ketika kawan di desk redaksi tidak bisa menembus di situ. Namun selanjutnya apakah nanti itu produk beritanya atau karya jurnalistiknya dibuat oleh kawan-kawan saya di redaksi atau sebaliknya saya tetap diperbolehkan tau kan. M : Iya. R : Itu dinamakan dengan sebutan Media Support. Sekarang saya bisa dikatakan sebagai Senior dalam Media Support. Itu dulu ya. Tapi sekarang sudah di redaksi. Intinya saya lebih kepada redaksi online. Jadi kami media online itu tidak se-intens pada bidang usahanya sekarang. Melainkan berita-berita yang kalau ada pertanyaan online sama cetak. M : Online itu dari tahun 2000-an ya mas? Saya sempat baca buku yang judulnya 34 Tahun Suara Karya. R : Itu online-nya sudah ada. Jadi online sama cetak sudah ada, tapi online persisnya hanya menempatkan begitu saja. Bedanya, dia digital, sedangkan ini tidak. Pada saat itu Suara Karya sudah ada online secara masif. M : Tapi sekarang nama web-nya apa? R : suarakarya.id M : suarakarya.id? Nyambung berarti ya? Soalnya saya nyari saat itu ada tiga yang mengatasnamakan Suara Karya. R : Apa iya? M : Suara strip karya, terus suara dot karya. Kalau sekarang saya tidak tau, waktu saya mengerjakan skripsian, saya juga pusing mencari yang online mana web-nya yang benar. R : Sekarang sudah tidak ada ya? Perlu saya ceritakannya tidak? M : Oh sudah mas, sudah ketemu. Dari cetak kan terakhir. Sedangkan cetaknya berapa jumlah halamannya? R : Pada saat jatuhnya itu ya berjumlah 12 halaman. M : Oh 12 halaman, selanjutnya edisi terakhir kan mas di bagian redaksi. Itu ada rubrik editorial atau tajuk rencana. Apa saja

170

yang terlibat dalam editorial, apakah pihak redaksi aja? dari tadi mas sempet bilang marketing juga. Apakah marketing juga terlibat? Dari Petingginya Golkar mungkin apakah masih berafiliasi atau tidak? Saya tidak tau mengenai siapa pihak di balik tajuk rencana? Peran orang di balik itu siapa aja? R : Jadi namanya tajuk rencana itu didasarkan atas isu yang muncul. Kita kan punya isitilah rapat redaksi dari pagi. Kalau zaman era saya masuk ke Suara Karya itu ada empat pimrednya. Zaman masa Sadono, Bambang Soesatyo sekarang Ketua DPR, dia bertanggung jawab. Ketiga Ricky Rachmadi. Kemudian Lalu Mara di posisi keempat. Itu yang akhirnya Suara Karya menjadi bubar. Kalau Pimrednya sekarang, Atal S. Depari, ini membidangi online dan mereka semuanya ini orang Golkar. M : Oh semuanya orang Golkar? R : Komisaris. Pengurus 2,3,4 selain Atal. Dia eksnya Suara Karya. M : Berarti bisa dibilang kalau pengurus, anggota atau apapun sebutan, mereka anggota Partai Golkar? R : Jadi begini lazimnya, Suara Karya sejak era sebelumnya saya yang mewakili Pak Bambang ini. Profesional tidak ada pengurus Golkar. Bedanya, Bambang Sadono bukan pengurus DPP. Dia hanya sebagai fungsionaris, dan bisa menjadi pengurus DPP di provinsi. Bambang Sadono itu rumahnya di daerah. Tapi juga bisa sebagai DPP tapi anggota juga. Ia tidak punya peran penting, baru kemudian pas Bambang Soesatyo jadi. Dia pengurus sebagai sesuatu experience. Biasanya menjadi Pemimpin Suara Karya adalah mereka yang menjadi pengurus DPP Golkar. Sehingga jalur komando itu nanti memengaruhi tajuk rencana. Dan setelah Bambang Soesatyo ke Ricky Rachmadi, mereka terikat Pengurus eks DPP. Kenapa dijadikan mereka itu ketimbang Bambang Sadono sebagai Pemimpin Redaksi. Setelah itu Golkar pecah. Akbar waktu itu dia membela pak Harto, angkatan darat, Habibi yang kemudian ini menjadi pecah. Suara Karya yang menjadi medianya Golkar menyatakan keluar. Yang memuat berita-berita PKPI Pak Bambang mendapat teguran. Ini koran golkar mengapa anda memuat PKPI? Jadi mereka sudah melanggar terkait

171

profesional. Karena ini melihat iklan selama ini dari Bambang Sadono harus menjadi pengurus DPP Golkar. Sehingga dia tidak bisa tidak untuk menyuarakan Golkar. Menceritakan berita Golkar terus menerus. Agar jalur komando Golkar menjadi jelas serta misi-misinya Golkar. Sudah bisa dikolaborasikan oleh redaksi dan jadi cita-citanya Golkar harus diberitakan oleh Suara Karya gagasan Golkar. Berita-berita miring-miriing tidak dipublikasikan, kecuali kalau dia mau terkena sanksi. M : oh kena sanksi juga? R : Dicopot dari Suara Karya sanksinya. Kalau dari Golkar tidak diganti, tapi selama ini sanksi tidak pernah terjadi. Hanya misalnya ada mohon maaf, kasus dari bupati berasal dari Golkar. Kemudian selagi itu tidak bersinggungan dengan DPP itu tidak ada masalah meskipun itu tidak cantumkan. Misalnya nama mas? M : Saya Dicky R : Misalnya Bupati Dicky tidak menjadi Ketua DPP Serang, untuk diberitakan akan menjadi warning. Itu sudah ada pertanyaan dan ada batasan-batasan kalau si x boleh dipublikasi. Ada juga saatnya lagi tidak boleh. DPP harus nurut terkait ini. Ini bicara berita. Sekarang tentang tajuk rencana kalau yang isinya redaksi dari kontennya. Misal politik itu bagian redaksi sendiri yang membuat tajuk rencana. Dan bergilir membuatnya, mulai dari Redpel, kemudian redaksi, serta masing-masing desk. Misalnya tentang kegiatan Sea Games, tajuk rencananya ya Sea Games. Misalnya lagi tentang fenomena k-pop atau hiburan atau masalah mengenai ada penyakit malari. Maka dari pihak redaksi atau dari masing- masing desk itu politik ya politik yang membuat tajuk rencana. Itu kan tidak bersinggungan dengan kepentingan Golkar. Tapi ada berkepentingan dengan Golkar terkait tajuk rencana tapi itu pesan dari DPP saja. Hanya kisi-kisi saja. Misalnya sekarang ini munas Golkar, tau kan sekarang ini pertarungan dari kubu Airlangga sama kubu Bambang Soesatyo? Itu Suara Karya harus hati-hati kalau berkaitan dengan raksasa-raksasa ini jadi Suara Karya harus hati-hati membuat tajuk rencana.

172

M : Oh gitu. Berarti dari dahulu pun waktu Golkar pecah juga kan kubu-kubuan, Habibie sama yang kubu satu lagi, Suara Karya hati-hati juga tuh berarti? Maksudnya Golkar pecah, Suara Karya di pihak mana gitu? R : Begini, Akbar dengan Edi Sudrajat sudah keluar dari partai berarti sudah keluar dari Golkar itu tidak masalah ya. Misalnya Suara Karya memuat tentang partai Golkar saja tidak ada hubungannya jadi problem itu ketika masih abu-abu jadi pertarungannya belum final. Misalnya tajuk rencana tidak boleh menohok kepada salah satu kandidat, baik itu Bambang atau Airlangga. Dan hati-hati kejadian yang tragis ketika perpecahan Agung Laksono dengan Aburizal Bakrie tragis karena pimred kita harus di-banned. M : Maksudnya di-ban itu? R : Ya dilengserkan. M : Siapa pimrednya? R : Ricky Rachmadi itu. M : Oke ini contoh kasus ya? R : Beritanya itu lucu, unik, aneh. Suara Karya pun terkena imbasnya yang padahal tidak ada urusannya dengan politik. Kenapa pimred ini lebih condong ke salah satu calon ketua? Jadi saya ceritakan ya, Ricky itu menjadi pimred pada dua periode zaman Jusuf Kalla. Dia pimred dan Airlangga itu sebagai pemimpin perusahaan pada periode pertamanya JK. Periode keduanya JK, Ricky menjadi lagi sebagai pimred. Kemudian JK jadi wakil presiden. Ketika JK lengser, dijadikanlah Aburizal Bakrie sebagai ketua. Masih sama dengan Airlangga. Ketika Prabowo dan Jokowi bertarung pada periode pertama itu. Kemudian suara Golkar kan ke Prabowo, dan kemudian ada ketidakpuasan di dalam internal Golkar, seperti Agung Laksono yang istilahnya ingin Jokowi. Berita- beritanya Suara Karya karena pimred kita berafiliasinya ke Agung Laksono. Jokowi kan bukan kader Golkar, makanya dia diwakili oleh Agung, kemudian lebih seringnya Agung Laksono menyuarakan jokowi akan masa depan sama JK. Ini menjadi pertanyaannya mengapa harus kena ban dan ketuanya saat itu masih Aburizal Bakrie, dan istilah menurut mereka

173

anda melanggar. Ternyata terkena pada saat munas Golkar akhirnya pak Ricky diganti dan dinonaktifkan tidak di bagian redaksi lagi. Dia dicopot sebagai redaktur pelaksana. Fatalnya itu pernah depannya ada Aburizal Bakrie tapi belakangnya Agung Laksono. Satu hari pernah gara-gara konflik itu, terjadi pertarungan antar dua orang ini. Gara-gara konflik di atas sehari tidak terbit. M : Mengerikan juga. R : Ini bukan bohong, tapi betul itu. Namun tidak ada konflik yang tidak bisa diselesaikan. Buktinya mereka kemudian bergabung kembali dengan Aburizal Bakrie di DPP Golkar. Suara Karya belum, nyatanya belum di fase kita-kita. M : Berarti di zamannya Airlangga tidak ada berhubungan dengan Golkar ya? R : Oh iya tidak ada. M : Berarti sudah putus sama Golkar? R : Tidak putus secara hukum. Tapi secara ini istilah begini ya. Saya menggambarkan anda sudah suami istri tapi tidak satu rumah. M : Tidak se-ranjang gitu ya analoginya? R : Kita masih terikat secara emosional Baik kultural ya secara legal masih tidak ada SK-nya. Secara serta-merta kawan ini besok tidak dibayar jadi tidak usah ada biaya cetak. Risiko- risiko pemimpin itu belum ada kasih keputusan berhenti secara tertulis baik itu pemegang sahamnya. Berhenti aja gitu aja bahkan bukti otentiknya tidak ada. Sekarang ini perlawanan kita di situ. M : Kalau untuk sekarang kan online sudah ada. Tapi masih ini kan, dan siapa aja yang turut berpengaruh dari investor baik Golkar pasti, atau dari yang lain? Semisal lembaga masih menyokong atau masih memberikan sumbangan sebagai pemasukan seperti dulu untuk online ini? R : Sekarang ini tidak ada keterikatan, secara struktural tidak ada. Namun secara emosional, secara pertemanan, dan juga mungkin kultural yang bisa menjadi hubungan alamiah antara awak media dengan narasumber. Yang biasa memberi

174

kontribusi tidak hanya pemerintah, atau BUMN, dan kemeterian saja. Terserah dari apapun. Jadi tidak ada hubungan dan tidak ada pengaruh dari partai Golkar. Pengaruhnya lebih kepada hubungan emosional. Bisa saja dari faktor-faktor lain. Semisal di online ketemu sama dirjen atau Direktur BUMN, atau swasta, mereka memandangnya ada kepentingan politik ini yang di cetak ya. Karena memang dalam box/kotak itu masih ada nama-nama petinggi dari partai Golkar. Mulai dari Ali Moertopo, atau Pak JK, semua ada di situ. Sekarang mah tidak ada, buat apa? Mereka juga tidak ada. Jadi pertanyaan apakah masih kan gitu? Tidak melihat secara emosional, tingkat Garuda Food, sektor ya dirjen ini. Atau direktur ini, menteri ini. Juga pernah bersentuhan sebagai narasumber dan sebagai jurnalis. Itu aja, tidak ada faktor-faktor teknis. Tapi dia kalau bertanya, saya jawab, kalau tidak ada maka dia mikir sendiri. Pasti kalo ada hubungannya. M : Tapi emang berubah ya secara ini? R : Berubah. Sekarang lebih profesional. Kemudian ini kan boxnya tidak ada lagi. Ada yang bertanya, seperti yang saya ceritakan. Tapi masih ada tidak secara institusi saya masih ketemu para petinggi Golkar. M : Tapi iya secara struktural tidak ya? R : Tidak. Malahan tidak ada. Tapi kita ada positif dan negatifnya. Apa itu positifnya? Ya kita independen, tidak terikat sama mereka. Ada berita yang menyerang kasus hukum kita pernah memuat di Suara Karya. Saya ketawa saja, ini baru aja karena apa website Suara Karya temen saya sendiri, Suara Karya ya dari kemarin itu. M : Maksudnya berarti Suara Karya yang kemarin saya cari ada tiga mas? R : Pernah Suara Karya ada cetak, pada saat kelompok asli saya kan bilang menyatakan berhenti semuanya taruh kata ada 80 awak. Malah kita terbit kan mereka tidak mau tau. Yaudah kita begini saja. Selanjutnya gimana bos awal Suara Karya saja. Awal-awal Suara Karya begitu saja, kita menunggu saja bagaimana situasi Golkar akan membaik mulai dari pecah zaman Agung dengan Bakrie. Itu zamannya Novanto sempet

175

adem. Namun bergejolak lagi, tidak selesai lagi. Jadi cobaan yang menimpa Golkar dan Suara Karya. Kita sempat kaget terbitlah itu. Loh kita tidak tau di antara kawan kita ini yang mendirikan itu juga dibiayai oleh partai Golkar. Malah mereka mengambil keuntungan di antara orang lain, bahasanya gitu. Tadinya mayoritas ada 80 orang yang harusnya ini yang diajak bicara. Ini yang tidak jelas nasibnya, apakah PHK juga tidak kan? Namun pesangon juga tidak dikasih. Semua tidak dikasih. Kita pun menunggu status dari pemegang saham ya itu Golkar maksudnya. Kita kan tidak seperti orang yang sedang marah- marah. Tapi kita legowo dulu lah, sabar. Tapi ada tidak sabar itu di antara 80? Ya mereka tujuh orang yang tidak sabar. Misalnya ini si X. Kita juga berkomunikasi dengan orang orang Golkar. Tiba-tiba, Dia dikasih amanah Setya Novanto, Ketua Golkar kan? Misalkan si orang ini, si x ini tidak ada jabatan di Golkar struktural media seperti Ace Hasan di bidang redaksi, bidang opini informasi golkar lah misalnya. Si x tidak ada hubungannya karena dia punya banyak. Novanto memberikan mandat sama si x, tiba-tiba 7 orang ini bermanuver, muncullah koran Suara Karya, Harian Suara Karya namanya. Otomatis kan kita berkomunikasi dengan tujuh orang ini, bahasanya pengkhianat kali ya. Anda tidak ada memperjuangkannya dengan kita. Orang ini perwakilan tim di Suara Karya untuk berkomunikasi di DPR-RI. Sekarang ia berkhianat, ada tujuh orang, alasannya dia bilang bahwa bos besar tidak bisa mem-backup kalian semua. Jadi berdasarkan ceritanya begitu. Tapi tidak dikomunikasikan dengan ini saya tidak tau. Iyakan yang jelas faktanya kita tidak diajak. Hanya bertahan tujuh bulan apa setahun gitu. M : Tujuh bulan? Masih ingat tidak terakhir 2018 atau apa? R : 2016, selang tujuh bulan kemudian terbit itu Suara Karya baru, cukup lama juga tapi persisnya tidak tau ya. M : Setelah tujuh bulan? R : Di Google ada kok. Tapi tidak mempublikasikan secara terang- terangan. Ini kesannya koran jadi nih kan anggap tujuh orang di bidang redaksi, tapi beredarnya hanya di DPR sama DPP Golkar, di internal gitu. Kemudian akhirnya bubar koran itunya si bandarnya itu masuk penjara sama novanto.

176

M : Oke saya tau mas. Hahaha. R : Anda sudah tau lah. terkena kecipratan mereka. Terkena dosanya jadi orang itu ketika kita ya, mohon maaf ketika di lapangan kita bingung. M : Berarti yang fix suarakarya.id ya? R : Ada sebuah kebingungan. Ini isinya tentang Golkar aja. Kok ada kebingungan juga beda dengan Suara Karya dulu? Karena ini anak kemarin sore. M : Belum berpengalaman gitu ya? R : Iya, mereka ini orang-orang baru. Jadi kita era lama lah, jadul begitu. Jadi sentuhan milenialnya tidak ada. Mesti kalau anda baca Suara Karya yang beredar itu tidak ada jiwanya tentang seperti dulu. Dan ke Golkaran biasanya menampilkan, katakanlah orang Golkar itu sangat sarkas. M : Di Suara Karya yang lama itu maksudnya? R : Jadi keliatan banget orang Golkar kok narasinya begitu. M : Oke. Jadi media baru ini beda dengan Suara Karya gitu ya mas? Oke saya paham. Pertanyaan terakhir nih mas mungkin minum dulu aja, ada nggak kans buat Suara Karya untuk cetak atau terbit lagi. Ada harapan atau ada peluang? R : Sebetulnya kita hanya kembali bersumber pada kapitalisasi ya. Bisa mengganti ini. Itu faktor logistik iya kan. Ada lah kans sebetulnya ada. Seharusnya megapa saya mengatakan ada. Ini dapat ditarik sebagai orang yang pernah dilahirkan oleh partai dan sekarang masih ada. Berbeda dengan partai politik lain loh, tidak ada, taruh seperti punya Demokrat, bubar kan? Kemudian orang-orangnya juga tidak merasa peduli. M : Bodo amat gitu ya? R : Pragmatis aja, padahal dia di Demokrat hanya sebagai kepentingan politiknya. Berbeda dengan Golkar, mereka unik, ini Suara Karya tidak pernah bisa diambil oleh satu orang. Orang kaya zamannya pernah memimpin Sriwijaya, konglomerat. Dia bendahara Golkar, jadi Pemimpin di Suara Karya. Dari bendehara Golkar, biasanya jadi selama saya di Suara Karya, satu bendehara Golkar, kedua jadi Pemimpin

177

Perusahaan Suara Karya. Jadi istilah menurut saya, bandarnya urusan duit. Suara karya itu. ya sisi negatif bergantung pada itu tapi cost-nya selalu tinggi makanya seperti menyusui. Mungkin ada yang mau, tapi Suara Karya dominasi satu orang tidak boleh, sehingga tidak dimiliki satu orang, semisal Aburizal Bakri, dia Ketua Umum. Jadi semacam ada hukum tidak tertulis kenapa seperti itu kayanya. Saya bisa menganalisa jangan samapi seperti tadi, dikuasai satu fraksi. Sama aja ini bukan pengaruhnya, lebih baik kalau mau bikin aja sendiri, kamu kan orang kaya konglomerat begitu, tapi tau negatif kita tidak bisa menuntut siapa. M : Tak bisa menuntut itu seperti apa? R : Misal Trans TV bangkrut itu kemudian grupnya Hari Tanoe tidak gajian, tidak dibayar, yang tanggung jawabn kan Hari Tanoe. Sedangkan kita tidak jelas. Saking bingungnya Suara Karya itu siapa kita, ya kembalikan ke partai. Secara hukum tidak ada partai. Tidak ada notaris itu partai Golkar tidak ada. Rumit tidak itu? Kebaikannya, pemimpin tunggal itu golkar. Pertanyaan anda terjawab. Berarti bola di tangannya Ketua Umum, dia mau menghidupkan apa tidak? Semua dikumpulkan, bukannya hanya yang mau pengurus partai Golkar. Tapi ini masih statusnya tidak jelas. M : Bisa terbit lagi kalau Ketua Umum Golkar bilang iya? R : Iya asal ketua umum. Tapi tidak tau apakah ketua umum masih berpihak pada 80 orang itu? Atau kah tidak? Wallhualam. Yakan bisa aja dia mengambil orang tidak jelas. Kalau begitu, ini tidak jelas pasti hancur.