BAB I

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Dalam tulisan ini, penulis akan membahas mengenai negosiasi identitas agama secara spesifik kekristenan dalam Kampetan di Watu Pinawetengan

Minahasa. Dari sejarah kepercayaan orang Minahasa, ada berbagai macam ritual yang dilakukan seperti Tu’motol1, Ma’wuaya2 dan Kampetan serta masih banyak ritual lain yang tersembunyi dari pengetahuan masyarakat. Namun, saat ini ritual

Kampetan menjadi ritual yang paling sering dilakukan oleh masyarakat.

Diketahui sebelumnya, sudah ada beberapa peneliti yang menulis persoalan kebudayaan di Minahasa. Peneliti sebelumnya menulis persoalan Mapalus3 mengkajinya dari salah satu sub etnis Minahasa4 dan Sumakey yang merupakan ritual kematian atau tradisi makan bersama, serta toleransi kekristenan dan budaya di Minahasa. Penelitian lainnya mengenai minahasa, membahas mengenai

1 Ritual Tu’Motol merupakan budaya ritual orang Minahasa dari semua sub etnis Minahasa yang dilaksanakan setiap tanggal 3 Januari atau awal bulan memasuki tahun yang baru. Tu’Motol adalah bahasa Tontemboan daerah orang Minahasa yang berarti akan mulai atau memulai. Itulah sebabnya ritual ini dilaksanakan pada awal tahun untuk memulai semua aktifitas masyarakat Minahasa ditahun yang baru. 2Ma’Wuaya artinya perkumpulan yang dalam arti luasnya, perkumpulan para pemimpin dan prajurit. Pada zaman dahulu, ritual ini adalah memohon kiranya diberikan ilmu pengetahuan dan kekuatan kepada para Waraney (Prajurit Perang) untuk berperang melawan pengacau negeri Minahasa. Pelaksanaan ritual Ma’Wuaya dilakukan di Watu Pinawetengan (Batu Pinabetangan). Batu ini adalah batu yang ukuran besar yang dipercayai oleh masyarakat sebagai tempat bermusyawarah para leluhur. Tempat ini juga diyakini sebagai tempat pembagian subetnis Minahasa oleh para pemimpin suku. 3 Sistem gotong royong dari orang Minahasa yang dilakukan secara bersama oleh semua masyarakat atau sub etnis di Minahasa. 4 Penduduk asli suku Minahasa terdiri dari suku Tombulu, Tonsea, Tontemboan dan Tolour, kemudian datang suku-suku yang lain seperti suku Tonsawang dari kepualauan Maju dan Tidore, suku Pasan dari teluk Tomini, suku Ponosakan dari Bolaang-Mongondow dan suku Bantik dari Toli-toli menuju Talaud yang menetap di Minahasa. Selain pemerintahan negeri dan penjaga negeri yang digelari Paendon Tua atau yang dituakan. Ada pula Teterusan yang berarti panglima perang dan Waranei atau prajurit perang. Pemerintahan negeri dipimpin oleh Paendon Tua yang dibantu oleh para kepala jaga atau kepala desa dan sekretaris desa (maweteng).

1 kebudayaan serta kekristenan yang ada di Minahasa khususnya wilayah Manado.

Selain itu, penelitian sebelumnya meneliti tentang ritual pengobatan Makatana5 yang ada di Minahasa dengan menganalisanya dari sudut pandang ke-Kristenan pada satu desa di Minahasa.6 Akan tetapi, belum ditemukan kajian tentang Ritual secara khusus kampetan di Watu Pinawetengan Minahasa yang di dalamnya nampak terjadi negosiasi identitas kekristenan. Oleh karena itu tulisan ini akan menggali lebih dalam tentang negosiasi identitas kekristenan yang terjadi dalam ritual kampetan.

Ritual kampetan bertujuan selain untuk menggali ingatan-ingatan lama mengenai nilai-nilai kehidupan yang penting dari para leluhur tapi sebagai bentuk identitas budaya masyarakat. Ritual ini diawali dengan doa memohonkan kekuatan, berkat dan kesehatan dalam bahasa Minahasa.7 Biasanya dalam ritul kampetan,

Tonaas8 akan mengalami trans atau kerasukan arwah leluhur dan menyampaikan ucapan-ucapan leluhur yang telah merasuki dirinya. Ucapan-ucapan itu diucap dengan menggunakan bahasa Minahasa dan diterjemahkan oleh seorang pelaku

5 Sebutan untuk pengobatan tradisional bahkan sebagai ucapan untuk pemilik tanah dalam bahasa di daerah Minahasa. 6 Christin Vika Mailakay, “Makaharuaan di Jemaat GMIM Syalom Tombatu” (Skripsi: Universitas Kristen Indonesia Tomohon, 2017), Daniel Benyamin Bastian, “Sumakey” (Tesis Universitas Kristen Indonesia Tomohon, 2014), Frangky Suleman, “Keberkekristenann Budaya dan Kekristenan di Kota Manado” Endogami: e-jurnal ilmiah kajian antropologi Vol.1 no 1 (Desember 2017), 55-62, Rina Pirasa “Studi Kekristenan-kekristenan Terhadap Praktek Pengobatan Tradisional Minahasa di Desa Tondey Satu Kecamatan Motoling” (Skrispsi: Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon, 2017). 7 Wawancara Masyarakat Tua Margo A , Via Telepon, 12 Maret 2017 8 Pada zaman dahulu, orang Minahasa mengenal para pengatur ibadah dan pengajaran dengan sebutan Walian artinya wali atau Pendeta dan orang yang memiliki keahlian tertentu disebut Tonaas.

2 ritual. Arti ucapan-ucapan tersebut biasanya merupakan arahan atau binaan leluhur untuk generasinya.9

Masyarakat Minahasa memiliki nilai-nilai sosial yang kuat, termasuk didalamnya adalah sistem kekerabatan. Batas-batas dari hubungan kekerabatan pada orang Minahasa ditentukan oleh prinsip-prinsip keturunan bilateral, dimana hubungan kekerabatan ditentukan berdasarkan garis keturunan pria maupun wanita.

Identitasnya dilihat dari fam atau marga. Jika seorang pria dan wanita telah menikah dan memiliki keturunan maka marga anaknya akan diambil dari marga ayahnya.10

Selain kekerabatan itu ada pula solidaritas dan kerukunan atau mapalus yakni gotong royong. Kini Minahasa telah terbagi dalam beberapa Kabupaten yakni,

Minahasa, Minahasa Selatan, Minahasa Utara dan Minahasa Tenggara.

Dalam mitologi orang Minahasa rupanya sistem kepercayaan dahulu mengenal banyak dewa, salah satunya dewa tertinggi. Dewa disebut Empung atau

Opo sedangkan dewa tertinggi disebut Opo Walian Wangko yang dipercayai sebagai dewa yang meciptakan seluruh alam dan dunia serta segala isinya.

Diketahui ada juga dewa yang lebih penting setelah dewa tertinggi yang disebut

Karema. Dewa ini adalah dewa yang mewujudkan diri sebagai manusia juga alat penunjuk jalan bagi nenek moyang Minahasa serta memberikan pemahaman khusus tentang cara-cara bertani atau dewa ini diartikan sebagai cultural hero11.

Kepada dewa-dewa yang dipercayai inilah, masyarakat melakukan ritual untuk memohonkan berkat melimpah dan kesehatan. Demikan hal ini terus dilakukan

9 Marhaeini Luciana Mawuntu, Redefinisi dan Rekonstruksi Tou (Disertasi: Fakultas Teologi UKSW, 2017), 129. 10 Keoentjaraningrat, Manusia dan kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2007), 155-156. 11 Keoentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan, 159.

3 beberapa masyarakat sampai sekarang melalui pemujaan atau ritual termasuk

Kampetan untuk memohonkan kesembuhan.

Pada pelaksanaan ritual kampetan, hal yang paling sering menjadi tujuan ritual adalah memohonkan wejangan untuk kesembuhan dari penyakit. Sudah sejak zaman bahari hingga dewasa ini, budaya pengobatan tradisional Minahasa sebagai salah satu warisan leluhur orang Minahasa, senantiasa diamalkan dengan penuh kasih sayang oleh para pemimpin adat atau juga (Walian) Minahasa kepada siapa saja yang membutuhkan pertolongan, secara cuma-cuma tanpa mengharapkan balas jasa. Pada umumnya praktik pengobatan tradisional Minahasa adalah bersifat tertutup terbatas pada keluarga dan kenalan dekat, karena di tiap kampung terdapat

Walian dengan keahlian yang berbeda-beda. Dalam pengobatan tradisional

Minahasa menggunakan 2 metode, yaitu metode supranatural dan metode natural.12

Dalam pengobatan supranatural, mereka percaya bahwa ada roh-roh nenek moyang yang membantu mereka atau berperan memberikan kesembuhan kepada mereka.

Ada dua jenis penyakit yang memenuhi alam pikiran manusia purba

Minahasa. Pertama ialah penyakit alam, yaitu penyakit yang lepas dari pengaruh dewa. Kedua ialah penyakit yang dipengaruhi oleh dewa atau juga dikenal Opo.

Dalam pengobatan supranatural, dukun yang arif dengan segera dapat menguraikan penyakit yang sedang diderita oleh pasiennya. Jika dewa yang dipuja oleh dukun lebih berkuasa dari dewa yang memberikan penyakit kepada pasiennya, maka si pasien dengan segera akan sembuh. Ada dukun yang hanya memakai bahasa rahasia, dan dapat menyembuhkan si pasien, walaupun berada sangat jauh dari

12 J. Turang, dkk, Profil Kebudayaan Minahasa (Tomohon: Majelis Kebudayaan Minahasa, 1997), 237, 247.

4 tempatnya. Ada dukun yang memakai daun-daunan, kulit kayu, akar-akar dan berbagai bahan sebagai obat. Ada dukun yang memakai batu, ditenggelamkan ke dalam segelas air mentah, dan air mentah itu diminum sebagai obat. Ada yang membawa pengorbanan ke tempat yang keramat. Untuk luka terpotong, ada dukun yang memakai jahe (goraka), atau semacam daun, dengan jaminan luka sembuh sebelum tiga hari. Pada luka yang terpotong kecil, ada yang hanya mengisap atau menjilatnya sendiri. Pada luka yang agak lama seringkali disuruh jilat oleh seekor binatang. Juga untuk mata yang sedang dikungkung oleh sesuatu selaput, ada dukun yang mengobatinya dengan memakai goraka. Orang yang jatuh dan hancur tulangnya, diobati dengan goraka, kemiri dan bahan-bahan lain, dijamin kesehatannya akan kembali seperti semula. Semuanya ini selalu menggunakan bahasa rahasia.13

Ritual kampetan berdasarkan pandangan sosial masyarakat saat ini tidak lagi tertutup namun, dapat diikuti oleh semua orang dari berbagai sub etnis di

Minahasa. Dari pengamatan penulis bahwa tidak menutup kemungkinan juga ritual ini diikuti semua golongan kekristenan di Minahasa. Alasannya, penduduk

Minahasa kini memang mayoritas masyarakatnya telah memeluk kekristenan

Kristen namun sudah ada Katolik, , Hindu dan Budha. Keberadaan kekristenan-kekristenan di Minahasa didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Kelli Alicia Swazey dalam disertasinya A Place For Harmonious Difference:

Christianity and the Mediation of Minahasan Identity in the North Sulawesi Public.

13 J.F. Malonda, Membuka Tudung Filsafat-Filsafat Purba Minahasa, (Manado: Yayasan Badan Budaya Wongken-Werun, 1952), 53.

5

Kelli melihat bahwa identitas Minahasa ada pada kerukunan umat berkekristenan.14

Oleh karena itu, dapat dikatakan dalam ritual kampetan dapat diikuti oleh semua kalangan masyarakat yang di dalamnya terjadi bentuk negosiasi identitas termasuk kekristenan. Negosisasi ini antara kekristenan dan masyarakat Minahasa yang masih melakukan ritual kampetan. Sekilas kekristenan memberikan kelonggaran kepada masyarakat untuk melakukan ritual kekristenan kesukuan tersebut. Pada sisi lain masyarakat Minahasa telah memiliki identitas kekristenan saat ini, misalnya

Kristen atau Islam namun, identitas kekristenan suku Minahasa masih ada dalam diri mereka yang diperlihatkan melalui ritual kampetan.

Dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan beberapa literatur untuk menjelaskan negosiasi identitas kekristenan yang terjadi dalam ritual kampetan.

Akan tetapi, literatur utama yang akan penulis gunakan ialah karya Roy A.

Rappaport mengenai ritual, Bethan Benwell dan Elizabeth Stokoe tentang identitas,

Peter J. Burke dan Jan E. Stets tentang teori identitas serta Stella Ting-Toomey tentang teori negosiasi identitas. Roy Rappaport menekankan hal-hal yang dilakukan dalam pelaksanaan ritual. Hal tersebut mencakup, bahasa, pesan yang akan disampaikan baik tampaknya tidak berubah yang berkaitan dengan aspek tatanan sosial dan kosmologi, juga pesan yang dibutuhkan dalam ritual seperti persembahan-persembahan. Dalam pelaksanaan ritual, memerlukan penggunaan simbol sebagai penanda ritual.15 Kebutuhan lainnya dalam ritual yakni tatanan liturgis sebagai penghubung antara pelaku ritual dengan apa yang mereka

14 Kelli Alicia Swazey, A Place For Harmonious Difference: and the Mediation of Minahasan Identity in the North Sulawesi Public (Disertasi: University Of Hawai at Manoa: ProQuest, 2013), 37. 15 Roy A. Rappaport, Ritual and Religion in The Making of Humanity, (Cambrige University Press, 1999), 29-54.

6 lakukan.16 Pada saat melakukan ritual kampetan, oleh masyarakat tercipta satu kesatuan kelompok masyarakat sebagai pengungkapan dari nilai budaya Minahasa sehingga menimbulkan kepercayaan mistis kepada roh leluhur. Akan terjadi transfigurasi roh leluhur kepada pemimpin ritual. Roh leluhur akan merasuki tubuh pemimpin ritual dan mulai berbahasa menggunakan bahasa daerah Minahasa.

Bahasa ini sebagai komunikasi antara pelaku ritual dengan roh leluhur seperti yang dikatan Rappaport, dengan memberikan persembahan berupa ayam, telur, tabako

(rokok), pinang, cap tikus (alkohol) sebagai pesan yang dibutuhkan secara nampak dalam ritual. Simbol-simbol yang digunakan biasanya melalui kain juga baju yang berwarna merah namun, dibalik persembahan itupun memiliki simbol tersembunyi.

Liturgis pelaksanaannya diawali dengan tarian, pujian serta doa sampai pada ritual penyembuhannya. Demikian, oleh Catherin Bell mengatakan bahwa Ritual digunakan untuk menjelaskan eksistensi sosial dan pengaruh gagasan kekristenan.17

Rappaport juga memberikan penjelasan bahwa, ritual dapat mewujudkan kontak sosial. Kewajiban yang telah disepakiti dalam masyarakat harus dilakukan.18

Masyarakat pelaku ritual kampetan harus menyetujui beberapa hal yang akan terus dilakukan berdasarkan adat dan kepercayaan leluhur Minahasa.

Bethan Benwell dan Elisabeth Stokeo mengutip bahwa identitas adalah masalah agensi dan penentuan nasib sendiri: bahwa individu adalah subjek penafsiran diri. Selain itu, dikonsepkan bahwa identitas diri sebagai suatu proyek diri yang menempatkan individu secara reflektif dalam konteks sosial. Diri sendiri

16 Richard Bauman, Folklore Cultural Performances and Popular Entertainments, (New York: Oxford University Press, 1992), 255. 17 Catherin Bell, Ritual Theory Ritual Practice (New York: Oxford University Press, 2009), 14. 18 Richard Bauman, Folklore Cultural, 254.

7 yang menentukan posisinya dalam konteks sosial. Seseorang tidak tidak bisa menjadi diri sendiri.19 Serupa dengan Peter Burke dan Jan. E. Stets bahwa identitas adalah hal yang mendefinisikan diri seorang individu dalam masyarakat.20 Pelaku ritual Kampetan merupakan individu yang menentukan identitas mereka. Identitas pelaku ritual dalam hal ini sebagai orang Minahasa yang masih melakukan pengobatan tradisional melalui ritual Kampetan.

Berbeda dengan konsepsi identitas pribadi, Bethan dan Elisabeth menguraikan identitas sosial mengeksplorasi fenomena dalam dan diluar kelompok. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa identitas terbentuk dari sebuah proses perbedaan yang ditentukan dengan cara yang relatif atau fleksibel bergantung pada kegiatan di seseorang terlibat. Identitas adalah sesuatu yang tidak aktif, siap untuk 'diaktifkan' di hadapan orang lain.21 Hal ini juga sama dengan yang dikatakan oleh Pater Burke dan Jan. E. Stets bahwa Identitas tergantung pada keberadaan masyarakat saat itu dan satu individu punya lebih dari satu identitas.22

Pelaku ritual kampetan yakni masyarakat dalam satu kelompok budaya Minahasa.

Secara kelompok mereka melakukan eksplorisasi identitas kelompok mereka secara terbuka melalui ritual.

Berdasarkan apa yang hendak diangkat, bahwa dalam ritual kampetan masyarakat melakukan negosiasi identitas mereka. Identitas dalam hal kekristenan juga menjadi bagian dari identitas pribadi maupun kelompok dalam tatanan

19 Bethan Benwell & Elisabeth Stokeo, Discourse and Identity, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2006), 18, 23. 20 Peter J. Burke, Jan E. Stets, Identity Theory, (New York: Oxford University Press, 2009), 3 21 Bethan Benwell & Elisabeth Stokeo, Discourse and Identity, 25. 22 Peter J. Burke, Jan E. Stets, Identity Theory, 130

8 masyarakat. Stela Ting-Toomey memberikan definisinya mengenai negosiasi identitas bahwa ini merupakan aktivitas komunikasi, karena dalam proses negosiasi identitas tersebut terdapat sebuah proses interaksi dan transaksional dari para pelakunya. Setiap manusia tentunya secara sadar maupun tidak sadar telah melakukan proses tersebut ketika berada dalam suatu lingkup budaya tertentu, sehingga kemudian terjadi pembentukan konsep diri atau identitas diri mereka.23

Keadaan masyarakat yakni pelaku ritual, menempatkan diri dan identitas mereka dalam interaksi yang terjadi dalam ritual tersebut, baik dalam keadaan mereka mengetahui hal tersebut ataupun secara spontan terjadi. Interaksi yang terjadi adalah munculnya komunikasi budaya yang dilakukan dalam bentuk ritual kampetan.

Konsep-konsep di atas mengarahkan bahwa pelaksanaan ritual kampetan menggunakan bahasa, simbol dan pesan yang dibawakan secara liturgis. Selain itu menimbulkan kotrak-kontrak sosial pada masyarakatnya. Kesatuan dan kontrak sosial itu akan terwujud dalam pelaksanaan ritual kampetan. Para pelaku ritual merasa bahwa mereka memiliki identitas masyarakat Minahasa yang pada zaman dahulu melakukan pemujuaan melalui ritual kekristenan yakni kekristenan suku

Minahasa. Mereka melakukan ritual kampetan sampai sekarang sebagai wujud menujukkan identitas orang Minahasa. Namun pada sisi lain, saat ini pelaku ritual telah memiliki identitas kekristenan yang tersebar di tanah Minahasa. Para pelaku ritual ini, menggunakan identitas mereka secara fleksibel tergantung konteks keberadaan mereka. Jika dalam pelaksanaan ritual kampetan identitas mereka ada

23 Stella Ting-Toomey, Communicating Across , (New York: The Guilford Press, 1999), 220

9 pada budaya kesukuan Minahasa, akan tetapi jika diluar komunitas itu mereka punya identitas kekristenan . Hal ini dilakukan oleh pelaku ritual kampetan tanpa halangan dari luar. Dapat dikatakan bahwa, kekristenan di Minahasa saat ini memberikan negosiasi terhadap pelaku ritual untuk menunjukkan identitas kesukuan yang diwujudkan melalui ritual kampetan. Berdasarkan latar belakang di atas penulis mengamati bahwa negosiasi dalam ritual kampetan yang dilakukan oleh masyarakat Minahasa memerlukan penelitian lebih lanjut dengan rumusan judul, NEGOSIASI IDENTITAS AGAMA DALAM RITUAL KAMPETAN DI

WATU PINAWETENGAN MINAHASA.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang ada, maka yang dapat menjadi masalah utama dalam tulisan ini yakni:

1. Mengapa masyarakat Minahasa yang sudah menganut

kekristenan tetap melakukan ritual kampetan di Watu

Pinawetangan ?

2. Bagaimana negosiasi identitas kekristenan terjadi dalam ritual

kampetan ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menganalisa dan menjelaskan mengapa masyarakat Minahasa

yang telah menganut kekristenan tetap melakukan ritual

kampetan di Watu Pinawetengan.

2. Menganalisa negosiasi identitas kekristenan dalam ritual

kampetan di Watu Pinawetengan Minahasa.

10

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah serta tujuan penelitian, tulisan ini bermanfaat untuk:

1. Memberikan pemahaman kepada masyarakat Minahasa bahkan

juga pemerintah serta kelompok adat di Minahasa tentang

bagaimana negosiasi identitas kekristenan dalam masyarakat

yang telah menganutnya dan tetap saja melakukan ritual

kampetan sebagai budaya leluhur orang Minahasa yang terus

berhatan hingga kini.

2. Penelitian ini juga memberikan pemahaman kepada semua

subetnis Minahasa bagaimana memaknai ritual kampetan melaui

negosiasi identitas kekristenan yang ada di Minahasa.

1.5 Metode Penelitian

Keinginan untuk mengetahui sesuatu yang didorong oleh rasa ingin tahu untuk mencari kebenaran dari manusia, dapat dikatakan sebagai penelitian.

Ketidakpuasan akan realitas yang ada mendorong manusia untuk terus melakukan penelitian. Karena itu proses penelitian tidak akan pernah berhenti selama manusia hidup.24 Dalam penulisan ini, penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah salah satu metode penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang kenyataan melalui proses berpikir

24 Koetjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia Pustaka Jaya, 1993), 1.

11 induktif. Penelitian kualitatif juga merupakan penelitian yang dilakukan berdasarkan paradigma, strategi, dan implementasi model secara kualitatif.25

Menurut Bogdan dan Taylor, metode ini sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dari perilaku yang diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar belakang secara menyeluruh atau utuh, jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu ataupun organisasi kedalam variabel atau hipotesis.

Menurut Kirk dan Miller ini merupakan tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan pengistilaannya.26

Metode penelitian kualitatif-deskriptif. Kata deskriptif berasal dari bahasa

Inggris, descriptive, yang berarti bersifat menggambarkan atau melukiskan sesuatu hal. Menggambarkan atau melukiskan dalam hal ini dapat dalam arti sebenarnya

(harfiah), yaitu berupa gambar-gambar atau foto-foto yang didapat dari data lapangan atau peneliti menjelaskan hasil penelitian dengan gambar-gambar dan dapat pula berarti menjelaskannya dengan kata-kata.27 Dengan kata lain, metode penelitian ini adalah untuk mengungkap fakta, fenomena, situasi dan keadaan yang terjadi ketika melakukan penelitan.

25 Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rineka Cipta, 2008) 1,20. 26 Suryana, Metodelogi Penelitian (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2010), 20. 27 Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial Edisi Kedua (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 129

12

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Minahasa tepatnya di Watu

Pinawetengan dengan teknik pengumpulan data wawancara dan observasi lapangan. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian dan penulisan karya ilmiah ini adalah teknik wawancara terbuka yaitu wawancara yang menggunakan seperangkat pertanyaan yang sama untuk setiap responden, dan dengan tidak menutup kemungkinan juga wawancara (percakapan) dapat berkembang sesuai kebutuhan.28Informan yang akan diwawancarai yakni para pemuka adat, masyarakat, tokoh-tokoh kekristenan dan beberapa pelaku ritual Kampetan.

Dalam teknik obeservasi penulis akan melihat, mengamati dan mencatat suatu realitas yang sedang terjadi di tempat penelitian dalam hal ini ritual Kampetan seperti yang diakatakan oleh Winarno Surakmand tentang pengertian observasi, yaitu: ”teknik ini bermaksud untuk mengamati dan mencatat secara sistematis terhadap fenomena yang sedang diteliti.”29 Observasi akan dilakukan jika ada masyarakat yang akan melakukan ritual. Setelah wawancara dan observasi penulis akan melakukan analisa. Teknik analisis deskriptif yaitu memberi gambaran tentang keadaan dua substansi yang berbeda (subjek) dan permasalahan yang diteliti (objek). Dengan demikian metode ini tidak terbatas pada deskripsi data, tetapi juga meliputi analisis dan interpretasi data.30

28 Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Gajah Mada University, 1991), 63 29 Winarno Surakmand, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1988), 13. 30 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University, 2001), 63

13

1.6 Sistematika Penulisan

BAB I Bab ini akan membahas mengenai pendahuluan diantaranya

latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Bab ini akan membahas mengenai teori yang digunakan

yakni ritual dan negosiasi identitas kekristenan.

BAB III Bab ini akan membahas hasil penelitian tentang ritual

Kampetan Watu Pinawetengan di Minahasa.

BAB IV Bab ini akan menganalisa bagaimana negosiasi identitas

kekristenan terjadi dalam ritual Kampetan.

BAB V Bab ini sebagai bagian akhir berisi kesimpulan dan saran

berdasarkan hasil penelitian.

14