PENDAFTARAN KAIN TAPIS MOTIF TRADISIONAL SEBAGAI PRODUK INDIKASI GEOGRAFIS DAERAH LAMPUNG DALAM UPAYA MEMPEROLEH PELINDUNGAN HUKUM

TESIS

Oleh

NORA SYAFNETTA 157011174 / M.Kn

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020

Universitas Sumatera Utara

PENDAFTARAN KAIN TAPIS MOTIF TRADISIONAL SEBAGAI PRODUK INDIKASI GEOGRAFIS DAERAH LAMPUNG DALAM UPAYA MEMPEROLEH PELINDUNGAN HUKUM

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

NORA SYAFNETTA 157011174 / M.Kn

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Telah diuji pada : Tanggal : 27 Oktober 2020

PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Prof. Dr. O.K. Saidin, SH, M.Hum Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 2. Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum 3. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum 4. Dr. Edy Ikhsan, SH, M.A

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

Kain tapis Lampung merupakan suatu produk hasil kerajinan tangan tradisional masyarakat daerah Lampung yang telah berlangsung selama ratusan tahun dan merupakan produk kerajinan tangan yang menjadi ciri khas daerah Lampung. Meskipun kain tapis Lampung sudah di produksi secara tradisional oleh masyarakatdaerah Lampung selama ratusan tahun namun pada kenyataannya kain tapis Lampung sebagai produk indikasi geografis di Direktorat Jenderal HKI. Subtansi permasalahan belum terdaftarnya kain tapis Lampung sebagai produk indikasi geografis ke Direktorat Jenderal HKI di duga akibat kurangnya dukungan dan promosi yang diberikan oleh pemerintah daerah Lampung dalam memasyarakatkan produk tradisional kain tapis Lampung tersebut ke seluruh masyarakat maupun ke masyarakat mancanegara. Perumusan penelitian adalah bagaimana kain tapis sebagai produk kerajinan tradisional masyarakat Lampung, bagaimana dampak negatif yang dialami para pengrajin di lampung apabila kain tapis tidak didaftarkan sebagai produk indikasi geografis dan bagaimana peranan dan upaya hukum pemerintah daerah lampung sebagai salah satu pihak yang berhak mengajukan permohonan pendaftaran produk indikasi geografis dalam memberikan pelindungan hukum terhadap produk kerajinan tradisional kain tapis Lampung. Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis dimana penelitian ini berupaya untuk menggambarkan, memaparkan dan menganalisis permasalahan yang timbul, lalu mencari jawaban yang benar sebagai solusi dari permasalahan tersebut.Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dan analisis data kualitatif. Hasil pembahasan dari permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah kain tapis Lampung sudah diproduksi secara turun temurun dalam jangka waktu yang sudah cukup lama. Selain itu kain tapis Lampung sudah cukup dikenal di Indonesia dan di manca negara (internasional) sebagai produk yang memiliki kualitas yang baik dan reputasi yang tinggi hasil karya kerajinan tangan masyarakat pengrajin di daerah Lampung. Para pengrajin kain tapis tersebut secara hukum HKI tidak terlindungi karya nya baik secara nasional maupun secara internasional, sehingga rentan menimbulkan perbuatan melawan hukum oleh pihak lain dalam mengambil alih HKI kain tapis Lampung untuk diproduksi dan diperdagangkan di daerah atau di negara lain, yang dapat merugikan kerugian ketentuan hukum adalah menerbitkan peraturan perundang-undangan dalam bentuk Perda Provinsi, Perda kabupaten/kota di Provinsi Lampung dan juga peraturan kepala daerah untuk melindungi dan melestarikan kain tapis Lampung dalam penggunaannya di masyarakat daerah Lampung, dan juga perda provinsi yang sedang dalam proses pembahasan akhir di DPR Provinsi Lampung mengenai pelindungan hukum khusus terhadap kain tapis Lampung dan Upaya hukum pemerintah provinsi Lampung dalam mengajukan permohonan pendaftarannya sebagai produk indikasi geografis.

Kata Kunci : Pendaftaran, Kain Tapis Lampung, dan Perlindungan Hukum

i Universitas Sumatera Utara ABSTRACT

Tapis (Indonesian weaving style form Lampung Province) is a traditional weaving product from Lampung Province that has been produced for hundreds of years and has become the characteristic of Lampung. Although tapis has been produced traditionally by Lampung people for hundreds of years, but it is not yet registered as the geographical indication at the General directorate HKI (Intellectual Property Rights). This problem is presumably caused by the lack of support from the government of Lampung Province to promote its traditional cloth either throughout Indonesia of to foreign countries. The research problems are how tapis is considered as the society’s traditional weaving product, how about the negative impacts encountered by the weavers in Lampung if tapis is not registered as the geographical indication product and how about the role and legal efforts of the government of Lampung as one of the parties who is rightful to submit application to register tapis as a geographical indication product in providing legal protection for the traditional weaved cloth, tapis Lampung. This is a normative juridical research. It is analytically descriptive in which it describes, explains, and analyzes the problems, and finds the solutions to the problems. The results find out the problem of this research; that tapis Lampung has been produced from generations to generations for a long time. In addition, it has also quite known in Indonesia and foreign countries (internationally) as a product with good quality and high reputations produced by the weavers in Lampung. The products produced by the weavers of tapis Lampung are not legally protected by HKI, either nationally or internationally, so that it is susceptible to be taken over and traded in other regions or countries, which may couse loss. The legal provisions that can be made is publishing the laws and regulations in form of Provincial Perda (provincial regulations), Municipal regulations in Lampung, and regulations issued by heads of regions in Lampung to protect and preserve tapis Lampung in its usage within the society in Lampung, and the provincial regulations is in final disccusion at the People’s Representative Council in Lampung concerning special legal protection for tapis Lampung. The effort that can be made by the government of Lampung Province is submitting and application to register tapis Lampung as a geographical indication product.

Keywords : Registration, Tapis Lampung, Legal Protection

ii Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “PENDAFTARAN KAIN TAPIS MOTIF TRADISIONAL SEBAGAI

PRODUK INDIKASI GEOGRAFIS DAERAH LAMPUNG DALAM

UPAYA MEMPEROLEH PELINDUNGAN HUKUM”. Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar

Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat Prof. Dr.

O.K. Saidin, SH, M.Hum, Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum dan Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum, selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tesis sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah. Kepada

Dosen penguji Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum dan Dr. Edy

Ikhsan, SH, M.A, yang telah memberikan masukan/arahan sehingga memperkaya tesis ini.

Selanjutnya di dalam penelitian tesis ini penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan, arahan dan bahan informasi dari

iii Universitas Sumatera Utara semua pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara,

atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti

dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Magister Kenotariatan

(M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum., selaku Ketua Program

Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH, MA, selaku Sekretaris Program Studi Magister

Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para

karyawan Biro Administrasi pada Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara Medan.

6. Para narasumber atas segala informasi yang telah diberikan untuk melengkapi

isi penulisan tesis ini.

Terima kasih yang teramat besar kepada kedua orang tua Ayahanda dr. H.

Syafnir Chazwan, dan Ibunda Akp. Hj. Netti Wati Pohan, SH, MH terima kasih atas dukungannya. Terima kasih kepada Suami tercinta Muhammad Jose

Rizal, Sstp dan anakku tercinta Madeena La Vallee Kara, yang tidak hentinya memberikan dukungan dan kesabaran tanpa batas serta menjadi semangat bagi penulis untuk segera menyelesaikan studi secepat mungkin.

iv Universitas Sumatera Utara Tidak lupa pula saya mengucapkan terima kasih kepada para sahabat- sahabat penulis yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan tesis ini.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha

Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan, dan rezeki yang berlimpah kepada kita semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun tidak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, Oktober 2020 Penulis

Nora Syafnetta

v Universitas Sumatera Utara

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Nora Syafnetta

Tempat / Tgl. Lahir : Medan / 04 November 1991

Alamat : Jalan Saleh No. 15 Lk. I Kec. Tanjungkarang Timur Bandar Lampung

Status : Menikah

Agama : Islam

Ayah : dr. H. Syafnir Chazwan

Ibu : Akp.Hj.Netti Wati Pohan, SH, MH

PENDIDIKAN FORMAL

1. SDNegeri 060837 Medan

2. SMP Negeri 7 Medan

3. SMA Negeri 3 Medan

4. S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

vi Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...... i ABSTRACT ...... ii KATA PENGANTAR ...... iii DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...... vi DAFTAR ISI ...... vii DAFTAR TABEL ...... ix DAFTAR GAMBAR ...... x DAFTAR ISTILAH ...... xi BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang ...... 1 B. Perumusan Masalah ...... 16 C. Tujuan Penelitian ...... 16 D. Manfaat Penelitian ...... 17 E. Keaslian Penulisan ...... 17 F. Kerangka Teori dan Konsepsi ...... 20 1. Kerangka Teori ...... 20 2. Konsepsi ...... 22 G. Metode Penelitian ...... 24 1. Jenis dan Sifat Penelitian ...... 24 2. Sumber Data ...... 25 3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ...... 26 4. Analisis Data ...... 27 BAB II KAIN TAPIS SEBAGAI PRODUK KERAJINAN TRADISIONAL MASYARAKAT LAMPUNG ...... 28

A. Tinjauan Umum Tentang Indikasi Geografis ...... 28 B. Landasan Historis Kain Tapis Lampung ...... 34 C. Potensi Kain Tapis Lampung Sebagai Suatu Produk Kerajinan Tradisional Masyarakat Untuk Dapat Didaftarkan Sebagai Produk Indikasi Geograsis Ke Direktorat Jenderal HKI ...... 51

vii Universitas Sumatera Utara BAB III DAMPAK NEGATIF YANG DIALAMI PARA PENGRAJIN DI LAMPUNG APABILA KAIN TAPIS TIDAK DIDAFTARKAN SEBAGAI PRODUK INDIKASI GEOGRAFIS ...... 60

A. Konsep Pelindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Melalui Pendaftaran Indikasi Geografis ...... 60

B. Mekanisme Pendaftaran Pelindungan Hukum Indikasi Geografis ...... 71

C. Dampak Negatif Yang Dialami Para Pengrajin Kain Tapis Lampung Apabila Produk Tradisional Tersebut Tidak Memperoleh Pelindungan Hukum Melalui Pendaftaran Produk Indikasi Geografis ...... 75

BAB IV PERANAN DAN UPAYA HUKUM PEMERINTAH DAERAH LAMPUNG SEBAGAI SALAH SATU PIHAK YANG BERHAK MENGAJUKAN PERMOHONAN PENDAFTARAN PRODUK INDIKASI GEOGRAFIS DALAM MEMBERIKAN PELINDUNGAN HUKUM TERHADAP PRODUK KERAJINAN TRADISIONAL KAIN TAPIS LAMPUNG ...... 94

A. Urgensi Pelindungan Hukum Terhadap KainTapis Sebagai Hasil Kerajinan Tangan Tradisional Masyarakat Pengrajin Daerah Lampung ...... 94

B. Upaya Pemerintah Daerah di Provinsi Lampung Dalam Melindungi Kain Tapis Lampung ...... 100

C. Kebijakan Hukum Yang Seharusnya Ditempuh Pemerintah Daerah di Provinsi Lampung Dalam Melindungi KainTapis Lampung ...... 106

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...... 112 A. Kesimpulan ...... 112 B. Saran ...... 113 DAFTAR PUSTAKA ...... 116

viii Universitas Sumatera Utara DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jenis dan Asal Daerah Kain Tapis ...... 38

Tabel 2 Potensi Kain Tapis Lampung dalam Pendaftaran Indikasi Geografis ...... 110

ix Universitas Sumatera Utara DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kain Tapis Jung Sarat ...... 7

Gambar 2. Kain Tapis Raja Medal ...... 7

Gambar 3. Kain Tapis Balak ...... 7

Gambar 4. Kain tapis Linau ...... 7

Gambar 5. Kain tapis Rebung ...... 8

Gambar 6. Tapis Laut Andak ...... 8

x Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISTILAH

A contrario : jika tidak diakui secara hukum maka eksistensi masyarakat adat itu dianggap lenyap atau tidak ada. Adoq : gelar adat Anak benulung : isteri adik Bilik : suku Caeselpiniasappan : getah buah sepang Cepalo : sanksi adat Communal right : tetapi hak komunal Curcuma domestica : warga kuning menggunakan kunyit Fashion : model Folklore : cerita rakyat Indigenous communities : masyarakat asli Indigofera : indigo Mepahao : orang tua Morinda citriflora : akar mengkudu Muli cangget : gadis penari Nuwow balak : rumah adat. Orkshop : pelatihan Panthok : alat tenun gedongan Primary rules : komunitas masyarakat Private right : hak individual Right to use : merupakan hak untuk menggunakan Secondary rules : menata kehidupan bernegara Tamarindus indica : asam jawa Tersendiri : suigeneris Teukang : alat pengencang kain Tiyuh : kampung Traditional and popular culture : pelestarian budaya tradisional Traditional ecological knowledge : pengetahuan ekologitradisional Traditionalknowledge : pengetahuan tradisional Tuho penyimbang : isteri kerabat paling tua

xi Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kain tapis adalah kain hasil tenunan dan sulaman dari masyarakat pengrajin di Lampung yang ditenun dari bahan dasar kapas dan benang emas dan benang perak berbentuk kain sarung yang juga memiliki motip tradisional dan digunakan oleh wanita Lampung sebagai kain penutup tubuh bagian pinggang ke bawah.1 Pengertian kain tapis Lampung dapat diartikan sebagai kain hasil kerajinan tangan tradisional masyarakat pengrajin di daerah Lampung berbentuk sarung yang bermotif tenunan dan sulaman dari benang emas dan benang perak yang telah berlangsung secara turun temurun selama ratusan tahun. Kain tapis berbentuk sarung tersebut menjadi pakaian khas suku Lampung. Kain tapis memiliki motif seperti motif alam, flora dan fauna yang disulam dengan benang emas dan benang perak.2

Kain tapis Lampung termasuk kerajian tradisional karena peralatan yang digunakan dalam membuat kain dasar dan motif-motif hiasnya masih sederhana dan dikerjakan oleh pengerajin. Kerajinan ini dibuat oleh wanita, baik ibu rumah tangga maupun gadis-gadis (muli-muli) yang pada mulanya untuk mengisi waktu senggang dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan adat istiadat yang dianggap sakral. Kain Tapis saat ini diproduksi oleh pengrajin dengan ragam hias yang

1Suwarti Kartiwa, Tenun Ikat : Ragam Kain Tradisional Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal. 6 2 Rizani Puspawidjaja, Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran, Penerbit Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2006, hal. 32 1

Universitas Sumatera Utara 2

bermacam-macam sebagai barang komoditi yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.3

Masyarakat Lampung di bagi menjadi dua rumpun besar yaitu masyarakat

Lampung Saibatin dan masyarakat Lampung Pepadun. Pada kedua rumpun masyarakat Lampung tersebut menggunakan kain tapis Lampung dalam acara- acara adat istiadat terutama untuk mengindikasikan kedudukan pihak laki-laki dalam kekerabatan baik masyarakat Lampung Pesisir maupun masyarakat

Lampung Pepadun.4

Tapis Jung Sarat

Dipakai oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat. Dapat juga dipakai oleh kelompok isteri kerabat yang lebih tua yang menghadiri upacara mengambil gelar, pengantin serta muli cangget (gadis penari) pada upacara adat.

Tapis Raja Tunggal

Dipakai oleh isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara perkawinan adat, pengambilan gelar pangeran dan sutan.Di daerah Abung

Lampung Utara dipakai oleh gadis-gadis dalam menghadiri upacara adat.

Tapis Raja Medal

Dipakai oleh kelompok isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara adat seperti: mengawinkan anak, pengambilan gelar pangeran dan sutan.

Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini digunakan oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat.

3 Lili Hartono, Kain Tapis Lampung : Perubahan Fungsi, Motif dan Makna Simbolis, Surakarta : LPP, UPT dan UNS Press, Universitas Sebelas Maret, 2009, hal. 63 4Endang Purwaningsih, Partisipasi Masyarakat Dalam Perlindugan Hukum Terhadap Kekayaan Intelektual Warisan Bangsa, MMH, 2012, hal. 21

Universitas Sumatera Utara 3

Tapis Laut Andak

Dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada acara adat cangget. Dipakai juga oleh Anak Benulung (isteri adik) sebagai pengiring pada upacara pengambilan gelar sutan serta dipakai juga oleh menantu perempuan pada acara pengambilan gelar sutan.

Tapis Balak

Dipakai oleh kelompok adik perempuan dan kelompok isteri anak seorang yang sedang mengambil gelar pangeran pada upacara pengambilan gelar atau pada upacara mengawinkan anak. Tapis ini dapat juga dipakai oleh muli cangget

(gadis penari) pada upacara adat.

Tapis Silung

Dipakai oleh kelompok orang tua yang tergolong kerabat dekat pada upacara adat seperti mengawinkan anak, pengambilan gelar, khitanan dan lain- lain. Dapat juga dipakai pada saat pengarakan pengantin.

Tapis Laut Linau

Dipakai oleh kerabat isteri yang tergolong kerabat jauh dalam menghadiri upacara adat. Dipakai juga oleh para gadis pengiring pengantin pada upacara turun mandi pengantin dan mengambil gelar pangeran serta dikenakan pula oleh gadis penari (muli cangget).

Tapis Pucuk Rebung

Tapis ini dipakai oleh kelompok ibu-ibu/para isteri untuk menghadiri upacara adat. Di daerah Menggala tapis ini disebut juga tapis balak, dipakai oleh wanita pada saat menghadiri upacara adat.

Universitas Sumatera Utara 4

Tapis Cucuk Andak

Dipakai oleh kelompok isteri keluarga penyimbang (kepala adat/suku) yang sudah bergelar sutan dalam menghadiri upacara perkawinan, pengambilan gelar adat. Di daerah Lampung Utara tapis ini dipakai oleh pengantin wanita dalam upacara perkawinan adat.

Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini dipakai oleh ibu-ibu pengiring pengantin pada upacara adat perkawinan.

Tapis Limar Sekebar

Tapis ini dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat serta dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin dalam upacara adat.

Tapis Cucuk Pinggir

Dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat dan dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin pada upacara perkawinan adat.

Tapis Tuho

Tapis ini dipakai oleh seorang isteri yang suaminya sedang mengambil gelar sutan. Dipakai juga oleh kelompok orang tua (mepahao) yang sedang mengambil gelar sutan serta dipakai pula oleh isteri sutan dalam menghadiri upacara pengambilan gelar kerabatnya yang dekat.

Tapis Agheng/Areng

Dipakai oleh kelompok isteri yang sudah mendapat gelar sutan (suaminya) pada upacara pengarakan naik pepadun/pengambilan gelar dan dipakai pula oleh pengantin sebagai pakaian sehari-hari.

Universitas Sumatera Utara 5

Tapis Inuh

Kain tapis ini umumnya dipakai pada saat menghadiri upacara-upacara adat. Tapis ini berasal dari daerah Krui, Lampung Barat.

Tapis Dewosano

Di daerah Menggala dan Kota Bumi, kain tapis ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat menghadiri upacara adat.

Tapis Kaca

Tapis ini dipakai oleh wanita-wanita dalam menghadiri upacara adat. Bisa juga dipakai oleh wanita pengiring pengantin pada upacara adat. Tapis ini di daerah Pardasuka Lampung Selatan dipakai oleh laki-laki pada saat upacara adat.

Tapis Bintang

Tapis Bintang ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat upacara adat.

Tapis Bidak Cukkil

Model kain Tapis ini dipakai oleh laki-laki pada saat menghadiri upacara- upacara adat.

Tapis Bintang Perak

Tapis ini dapat dipakai pada upacara-upacara adat dan berasal dari daerah

Menggala, Lampung Utara.

Beberapa jenis kain tapis yang umum digunakan masyarakat Lampung

Pepadun dan Lampung Saibatin adalah:5

Tapis Lampung dari PesisirSunting yaitu : 1. Tapis Itsuka 2. Tapis Cucuk Andak 3. Tapis Semaka

5Hery Suhersono, Desain Bordir Motif Geometris, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,2013, hal. 43

Universitas Sumatera Utara 6

4. Tapis Kuning 5. Tapis Cukkil 6. Tapis Jinggu 7. Tapis Paksi Pak

Tapis Lampung dari Pubian Telu SukuSunting yang memiliki jenis seperti: 1. Tapis Jung Sarat 2. Tapis Balak 3. Tapis Linau 4. Tapis Raja Medal 5. Tapis Pucuk Rebung 6. Tapis Cucuk Handak 7. Tapis Tuho 8. Tapis Sasap 9. Tapis Lawok Silung 10. Tapis Lawok Handak

TapisLampung dari Sungkai Way Kanan Sunting memiliki jenis seperti : 1. Tapis Jung Sarat 2. Tapis Balak 3. Tapis Pucuk Rebung 4. Tapis Halom/Gabo 5. Tapis Kaca 6. Tapis Kuning 7. Tapis Lawok Halom 8. Tapis Tuha 9. Tapis Raja Medal 10. Tapis Lawok Silung

Tapis Lampung dari Tulang Bawang Mego PakSunting, jenisnya terdiri dari: 1. Tapis Dewosano 2. Tapis Limar Sekebar 3. Tapis Ratu Tulang Bawang 4. Tapis Bintang Perak 5. Tapis Limar Tunggal 6. Tapis Sasab 7. Tapis Kilap Turki 8. Tapis Jung Sarat 9. Tapis Kaco Mato di Lem 10. Tapis Kibang 11. Tapis Cukkil 12. Tapis Cucuk Sutero.

Universitas Sumatera Utara 7

Contoh gambar kain tapis Lampung yang cukup di kenal di masyarakat

Lampung baik di rumpun Lampung Pesisir maupun di Lampung Pepayun

Gambar 1. Kain Tapis Jung Sarat Gambar 2. Kain Tapis Raja Medal Sumber : https://kreasilampung. Sumber : https://kreasilampung. wordpress.com/tapis/jenis-jenis-tapis/wordpress.com/tapis/jenis-jenis-tapis/

Gambar 3. Kain Tapis Balak Gambar 4. Kain tapis Linau Sumber : https://kreasilampung. Sumber : https://kreasilampung. wordpress.com/tapis/jenis-jenis-tapis/wordpress.com/tapis/jenis-jenis-tapis/

Universitas Sumatera Utara 8

Gambar 5. Kain tapis Rebung Gambar 6. Tapis Laut Andak Sumber : https://kreasilampung. Sumber : https://kreasilampung. wordpress.com/tapis/jenis-jenis-tapis/wordpress.com/tapis/jenis-jenis-tapis/

Kain tapis bagi masyarakat adat Lampung memiliki makna simbolis sebagai lambang kesucian yang dapat melindungi pemakainya dari segala kotoran dari luar. Selain itu dalam pemakaiannya kain tapis juga melambangkan status sosial pemakainya. Makna simbolis kain tapis terdapat pada kesatuan utuh bentuk motif yang diterapkan, serta bidang warna kain dasar sebagai wujud kepercayaan yang melambangkan kebesaran Pencipta Alam. Kain tapis merupakan pakaian resmi masyarakat adat Lampung dalam berbagai upacara adat dan keagamaan, dan merupakan perangkat adat yang sama dengan pusaka keluarga.6

Terkait dengan pemerintahan adat, masyarakat Lampung yang beradat

Pepadun memakai sistem kepunyimbangan berdasarkan garis keturunan laki-laki

(patrilineal). Pada masyarakat Lampung Pepadun tingkatan punyimbang ada tiga, yaitu: (1) punyimbang marga atau paksi yang membawahi tiyuh (kampung), (2)

6Junaidi Firmansyah, Mengenal Sulam Tapis Lampung, Gunung Pesagi, Bandar Lampung, 2007, hal. 43

Universitas Sumatera Utara 9

punyimbang tiyuh yang membawahi beberapa suku atau bilik, dan (3) punyimbang suku yang membawahi beberapa nuwow balak (rumah adat). 7

Susunan masyarakat yang bertingkat-tingkat mengkondisikan adanya aturan yang mengatur pemakaian kain tapis sebagai busana adat yang menyesuaikan status sosialnya dalam masyarakat. Aturan yang berlaku tersebut juga disertai hukuman atau sanksi adat (cepalo) bagi anggota masyarakat yang melanggarnya.8 Kerajinan tangan tradisional masyarakat pengrajin daerah

Lamoung berupa kain tapis berbentuk kain sarung bersulam benang emas dan benang perak yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu tersebut sudah cukup dikenal tidak saja di Indonesia tapi juga di manca negara seperti

Australia, Amerika Serikat, Belanda, Jerman dan negara negara Eropa lainnya yang pada prinsipnya sudah menjadi ciri khas kerajinan tradisional daerah

Lampung. Kain tapis sudah dikenal cukup luas sebagai hasil kerajinan tangan tradisional daerah Lampung dan telah menjadi ciri khas daerah Lampung. Apabila suatu produk kerajinan tangan tradisional sudahmenjadi ciri khas suatu daerah maka produk tersebut telah dapat digolongkan sebagai suatu produk yang melambangkan sekaligus sebagai penunjukan khas daerah/wilayah tertentu yang disebut dengan indikasi geografis.9

Produk indikasi geografis merupakan suatu produk yang dihasilkan atas dasar sumber daya alam, sumber daya manusia maupun kombinasi antara sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Kain tapis Lampung sebagai suatu

7Ria Intani, Tapis Lampung, Laporan Perekaman BPSNT, Bandung, 2006, hal. 21 8Stephanus, Sulam Tapis Lampung, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, hal. 4 9Onong Effendy Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, hal. 74

Universitas Sumatera Utara 10

produk kerajinan tangan tradisional masyarakat daerah Lampung merupakan suatu produk yang dihasilkan dari suatu keterampilan sumbmer daya manusia masyarakat pengrajin kain tapis di Kota Lampung yang dapat mengolah kapas, benang menjadi suatu produk yang punya nilai seni dan ekonomi yang tinggi berupa kain tapis Lampung yang sudah dikenal oleh masyarakat di Indonesia bahkan masyarakat di mancanegara. Oleh karena itu maka kain tapis Lampung telah memenuhi syarat sebagai suatu produk indikasi geografis berdasarkan sumber daya yang dimilikinya yaitu sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang menimbulkan suatu produk ciri khas daerah Lampung yaitu kain tapis Lampung.

Pada prinsipnya secara kriteria hukum HKI kain tapis Lampung memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat didaftarkan sebagai produk indikasi geografis mengingat kain tapis Lampung tersebut merupakan suatu hasil karya budaya masyarakat Lampung yang telah diusahakan secara turun temurun selama ratusan tahun dan telah menjadi ciri khas dari adat istiadat masyarakat Lampung baik dari rumpun Lampung Pesisir maupun rumpun Lampung Pepayun. Oleh karena itu kain tapis Lampung tersebut dapat diupayakan secara langsung agar memperoleh pelindungan hukum melalui pendaftaran pada Direktorat HKI sehingga melindungi masyarakat pengrajin kain tapis Lampung di daerah

Lampung terhadap sumber penghasilan baik pokok maupun tambahan dari masyarakat pengrajin di daerah Lampung tersebut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No.20 Tahun

2016 tentang merek dan indikasi geografis menyebutkan bahwa: “Indikasi

Universitas Sumatera Utara 11

Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan”.10 Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis menyebutkan bahwa,“Hak atas Indikasi Geografis adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemegang hak Indikasi

Geografis yang terdaftar, selama reputasi, kualitas, dan karakteristik yang menjadi dasar diberikannya pelindungan atas Indikasi Geografis tersebut masih ada”.11

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 6 dan angka 7 tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa kerajinan tangan tradisional tenunan kain tapis di daerah

Lampung yang sudah berlangsung secara turun temurun dan sudah cukup dikenal tersebut dapat digolongkan sebagai produk yang mengindikasikan suatu daerah/wilayah tertentu yang memproduksi kain tapis tersebut.12

Pasal 53 UU No.20 Tahun 2016 tentang merek dan indikasi geografis menyebutkan bahwa:

1. Indikasi Geografis dilindungi setelah Indikasi Geografis didaftar oleh Menteri. 2. Untuk memperoleh pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemohon Indikasi Geografis harus mengajukan Permohonan kepada Menteri.Pemohon pendaftaran indikasi geografis adalah: a. lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan geografis tertentu yang mengusahakan suatu barang dan/atau produk berupa: 1. sumber daya alam; 2. barang kerajinan tangan; atau 3. hasil industri; b. pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota.

10 Damsar, Pengantar Sosiologi Ekonomi, PT. Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2002, hal. 10 11Banon Eko Setyo, Mengenal Keberagaman Kain Tapis Lampung, Pelita Lestari, Jakarta, 2012, hal. 9 12Firman Suhaji, Lampung Sai Bumi Ruwa Jurai, Citra Insan Mandiri, Jakarta, 2012, hal. 3

Universitas Sumatera Utara 12

Berdasarkan ketentuan Pasal 53 Undang-Undang No.20 Tahun 2016 tentang merek dan indikasi geografis tersebut maka dapat dikatakan pada dasarnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku Produk kain tapis sebagai hasil kerajinan tangan tradisional masyarakat di daerah Lampung dapat dilindungi secara hukum dengan syarat adanya pengajuan permohonan pendaftaran indikasi geografis yang dilakukan oleh suatu lembaga yang mewakili masyarakat pengrajin tradisional yang memproduksi tenun kain tapis di daerah Lampung .13

Selain lembaga yang mewakili masyarakat pengrajin produk tenun kain tapis tersebut maka permohonan pendaftaran indikasi geografis dapat pula dilakukan oleh pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah Provinsi Lampung, atau pemerintah kabupaten/kota yang termasuk ke dalam bagian pemerintah provinsi Lampung yang di daerah kabupaten/kotanya terdapat masyarakat pengrajin tradisional yang memproduksi tenun kain tapis.14

Pentingnya pelindungan hukum terhadapkain Tapis Lampung, dikarenakan saatini pandangan masyarakat terhadap kain Tapis dan hanya sebatas karya seni tradisional yangmemiliki nilai ekonomis tinggi. Hal ini terlihat dari banyaknya motif kain Tapis yang diproduksi oleh para pengrajin hanya untuk diperdagangkan tanpa memperhatikan nilai-nilai filosofis yang terdapat dikain

Tapis tersebut. Begitu juga pemaknaanterhadap kain tapis Lampung hanya sebatas ciri khas masyarakatLampung sehingga pembuatannya tanpamemperhatikan simbol-simbol khusus MasyarakatAdat Lampung. Hal ini

13Mohammad Effendi, Kerajinan Tenun tradisional Lampung, Alumni, Bandung, 1995, hal. 21 14 Djunaedi, Firmansyah, Mengenal Sulaman Tapis Lampung, Grafika Aditama, Jakarta, 1999, hal. 10

Universitas Sumatera Utara 13

terlihat pada motif yang terdapat pada kain tapisyang dipajang di setiap toko di

Bandar Lampung dimana bentuknya berbeda-beda tanpamemperhatikan ketentuan bahwa motif kain tapis mlambangkan ciri khasmasyarakat adat masing-masing daerah, dimana pada masyarakat adat pepadun cirikhas kain tapis tersebut berlekuk sembilan,sedangkan pada Masyarakat Adat Saibatin ciri khas kain tapis tersebutberlekuk tujuh.15

Adanya perubahan pemaknaan terhadap kain Tapis Lampung tersebut akan berdampak hilangnya penghargaandan rasa memiliki terhadap hasil karya budaya tradisional masyarakat Lampung khususnya oleh generasi muda

Lampung. Hasil karya budaya leluhur masyarakat Lampung tersebut hanyadipandang sebagai hasil karya seni yang bernilai ekonomis, tanpa memperhatikan nilai-nilai kesakralannya. Cara pandang seperti ini rentan untuk terjadinya pengambilan Hak Cipta atas kain apis Lampung oleh pihak lain, apalagi saat ini kain Tapis Lamoung telah menembus pasar luar negeri.

Upaya pelindungan hukum harus segera dilakukan oleh pemerintah daerah

Lampung agar hasil karya warisan budaya bangsa tersebut diakui Negara atau pihak lain, seperti yang pernah dialami oleh Bangsa Indonesia yaitu kasus klaim

Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (PTdan EBT)

Indonesia oleh seperti tari Reog Ponorogo yang diklaim oleh negara

Malaysia sebagai produk budaya asli Malaysia Untuk itu berdasarkan ketentuan

Pasal 38 ayat (2) Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU

Hak Cipta), mewajibkan kepada negara termasuk pemerintah daerah untuk

15Rosida Rachmawati, Aktivitas Matemtaika Berbasis Budaya Pada Masyarakat Lampung, UIN Raden Intan Lampung, Jurnal Ajabar, 131-144, hal. 6

Universitas Sumatera Utara 14

menginventarisasi, menjaga, dan memelihara Ekspresi Budaya Tradisional.

Pemerintah Daerah.16

Provinsi Lampung memegang peranan penting dalam melindungi kain

Tapis agar tidak diklaim oleh negara lain sebagai milik negara tersebut.

Pemerintah daerah Provinsi Lampung wajib provaktif untuk melindungi kain tapis sebagai produk tradisional kekayaan budaya nusantara. Hal ini disebabkan karena sebagai produk kerajinan tangan tradisional yang sudah di produksi secara tradisional oleh masyarakat Lampung merupakan suatu kekayaan budaya tradisional masyarakat Lampung termasuk juga kekayaan budaya tradisional nusantara yang harus dipelihara dan dilestarikan oleh pemerintah daerah lampung dan juga pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena produk kerajinan tangan tradisional yang berupa kain tapis Lampung sudah merupakan ciri khas masyarakat daerah Lampung maka kain tapis Lampung dapat pula diajukan permohonan pelindungan hukumnya ke Direktorat Jenderal HKI, sehingga memperoleh pelindungan hukum yang kuat dari pemerintah negara

Republik Indonesia.

Kain tapis Lampung merupakan suatu bentuk karya tradisional masyarakat Lampung yang sudah dilaksanakan secara turun temurun selama ratusan tahun dan sudah dikenal di Indonesia maupun du manca negara. Kain

Tapis Lampung merupakan suatu bentuk hasil karya yang menunjukkan budaya masyarakat Lampung sekaligus menunjukkan suatu produk khas di daerah

16 Riski Achmad, Kain Tapis Lampung, Alumni, Bandung, 2010, hal. 65

Universitas Sumatera Utara 15

Lampung yang dapat dijadikan cindera mata bagi masyarakat yang berkunjung ke daerah Lampung.

Kain tapis Lampung merupakan hasil karya tradisional masyarakat daerah

Lampung yang bila tidak memperoleh pelindungan secara hukum dapat saja diklaim oleh suatu negara sebagai hasil karya dari masyarakat suatu daerah di negaranya. Seperti halnya karya seni tradisional Reog Ponorogo yang berasal dari

Indonesia (Jawa) yang kemudian diklaim sebagai budaya asli masyarakat di

Malaysia.

Beberapa produk yang sudah diterima pendaftarannya pada Direktorat

Jenderal HKI seperti kerajinan tangan tradisional Mebel Ukir Jepara, Timun

Gringsir Bali, Tenun Sutra Mandar, Sulawesi Selatan Tenun Ikat Tanimbar dari

Maluku. Sedangkan produk kerajinan tangan tradisional lainnya seperti songket silungkang, songket Palembang, songket Batubara, ulos Batak/Simalungun, Lis

Gara Karo, Tenun Ikat Bengkulu, Tenun Lombok, termasuk kain tapis Lampung, belum terdaftar sebagai produk indikasi geografis di Direktorat Jenderal HKI.

Oleh karena itu perlu suatu peran dan upaya hukum yang harus dilakukan oleh masyarakat pengrajin tradisional, lembaga masyarakat yang mewakili pengrajin tradisional tersebut atau pemerintah daerah tempat dimana pengrajin dan produk tradisional tersebut berada yang mewakili masyarakat untuk melaksanakan peranannya dalam memberi pelindungan hukum terhadap pengrajin maupun produk tradisional tersebut agar tidak diklaim oleh pihak lain, terutama dari luar

Negara Indonesia atau masyarakat pengrajin tradisional Internasional.

Universitas Sumatera Utara 16

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kain tapis sebagai produk kerajinan tradisional masyarakat

Lampung?

2. Bagaimana dampak negatif yang dialami para pengrajin di Lampung apabila

kain tapis tidak didaftarkan sebagai produk indikasi geografis?

3. Bagaimana peranan dan upaya hukum pemerintah daerah lampung sebagai

salah satu pihak yang berhak mengajukan permohonan pendaftaran produk

indikasi geografis dalam memberikan pelindungan hukum terhadap produk

kerajinan tradisional kain Tapis Lampung?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang tersebut diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kain tapis sebagai produk kerajinan tradisional

masyarakat Lampung

2. Untuk mengetahui dampak negatif yang dialami para pengrajin di

Lampung apabila kain tapis tidak didaftarkan sebagai produk indikasi

geografis

3. Untuk mengetahui peranan dan upaya hukum pemerintah daerah lampung

sebagai salah satu pihak yang berhak mengajukan permohonan

pendaftaran produk indikasi geografis dalam memberikan pelindungan

hukum terhadap produk kerajinan tradisional kain Tapis Lampung

Universitas Sumatera Utara 17

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu

sumbangan pemikiran dalam ilmu hukum kain tapis dan dalam hukum merek

serta indikasi geografis pada khususnya dimana produk-produk yang

dihasilkan oleh suatu kelompok masyarakat disuatu wilayah tertentu menjadi

suatu penunjuk dari suatu daerah yang disebut dengan indikasi geografis.

2. Secara praktis, bahwa penelitian ini adalah sumbangan pemikiran bagi ilmu

pengetahuan kain tapis pada khususnya dalam hal pelindungan hukum

terhadap produk yang dihasilkan oleh suatu kelompok masyarakat disuatu

wilayah tertentu yang merupakan penunjuk atau ciri khas dari suatu wilayah

geografis tertentu yang telah dikenal oleh masyarakat di luar wilayah

geografis penghasil produk tersebut.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan

Universitas Seluruh Indonesia. Dengan demikian penelitian ini asli adanya dan secara akademis dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun ada peneliti-peneliti pendahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai hak pencipta musik/lagu atau lagu yang diperjanjikan dengan perusahaan rekaman, namun secara judul dan substansi pokok permasalahan yang dibahas sangat jauh berbeda dengan penelitian ini. Adapun penelitian tesis yang berkaitan dengan pelaksanaan hak

Universitas Sumatera Utara 18

pencipta musik/lagu terhadap lagu yang diperjanjikan dengan perusahaan rekaman yang pernah dilakukan, yaitu :

1. Ruth Theresia Mika Pratiwi, (NIM. 121471369/MH Unila Lampung )

“Potensi Pelindungan Hukum Terhadap Kain Tapis Melalui Rezim

Pengetahuan Tradisional”, permasalahan yang diteliti adalah :

a. Bagaimana potensi pelindungan hukum terhadap kain tapis di Lampung ?

b. Bagaimana bentuk pelindungan hukum yang dapat diberikan kepada kain

tapis Lampung sebagai produk indikasi geografis?

c. Bagaimana hambatan yang dihadapi oleh pihak yang mengajukan

pendaftaran kain tapis Lampung ke Direktorat Jenderal HKI dalam upaya

memperoleh pelindungan hukum sebagai produk indikasi geografiis?

2. Asma Karim, (NIM. 097011021/M.Kn USU)” Pelindungan Hukum Dan

Pengembangan Potensi Indikasi Geografis Minyak Kayu Putih Pulau Buru”,

permasalahan yang diteliti adalah :

a. Bagaimana karakteristik minyak kayu putih pulau buru esbagai produk

potensi IG?

b. Bagaimana strategi penguatan ekonomi lokal berbasis HKI melali

pelindungan hukum dan pengembangan potensi IG minyak kayu putih

Pulau Buru?

3. Dikki Palma Kacaribu, (NIM. 157011125/M.Kn USU), dengan judul

“Analisis Yuridis Atas Minyak Karo Dukun Patah Pengendangen Sebagai

Produk Indikasi Geografis Kabupaten Karo”, permasalahan yang diteliti

adalah :

Universitas Sumatera Utara 19

a. Bagaimana prosedur dan tata cara tentang pelaksanaan pendaftaran atas

minyak karo dukun patah pergendangen sebagai produk indikasi geografis

Kabupaten Karo di Direktorat Merek?

b. Bagaimana pelindungan hukum terhadap minyak karo dukun patah

pergendangen sebagai produk indikasi geografis Kabupaten Karo yang

telah didaftarkan di Direktorat Merek?

c. Bagaimana peran dan fungsi minyak karo sebagai produk indikasi

geografis di Kabupaten Karo dalam mengajukan tingkat perekonomian

masyarakat di Kabupaten Karo?

4. Mery Natalia Simangunsong, (NIM. 067011070/M.Kn USU), dengan judul

“Analisis yuridis penyelesaian sengketa indikasi geografis” permasalahan

yang diteliti adalah :

a. Bagaimana pelindungan hukum terhadap indikasi geografis?

b. Bagaimana prosedur untuk memperoleh pelindungan hukum terhadap

indikasi geografis tentang Merek menurut Undang-Undang No. 15 Tahun

2011?

c. Bagaimana penyelesaian hukum dan sengketa indikasi geografis?

Berdasarkan karya-karya ilmiah yang telah disebutkan di atas tidak satupun penelitian tersebut yang sama dengan penelitian ini baik dari segi judul maupun dari segi subtansi permasalahan yang di bahas. Oleh karena itu penelitian ini secara akademis dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.

Universitas Sumatera Utara 20

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta- fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Fungsi teori dalam penelitian tesis adalah untuk memberikan arahan dan ramalan serta menjelaskan gejala yang diamati.17 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.18

Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori

Pelindungan Hukum dari Philipus M.Hadjon.

Pelindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon adalah pelindungan yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku kepada setiap warga negara agar setiap warga negara terlindungi hak-haknya dari perbuatan-perbuatan yang merugikan warga negara tersebut. Pelindungan hukum juga diberikan oleh para aparat penegak hukum dalam menegakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga hak-hak dan kewajiban setiap warga negara terlindungi secara baik dan tidak merugikan hak dan kewajibannya. Pelindungan hukum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu perbuatan hal melindungi subjek-subjek hukum dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pelaksanaanya dapat dipaksakan dengan

17 W. Friedman, Teori dan Filsafat Umum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal 2. 18 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Adtya Bakti, Bandung, 1991, hal 253.

Universitas Sumatera Utara 21

suatu sanksi.19 Di negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila maka negara wajib memberikan pelindungan hukum terhadap seluruh warga masyarakat sesuai dengan Pancasila. Oleh karena itu pelindungan hukum berdasarkan Pancasila berarti pengakuan dan pelindungan hukum akan harkat dan martabat manusia atas dasar nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan,

Persatuan, Permusyawaratan serta Keadilan Sosial. Nilai-nilai tersebut melahirkan pengakuan dan pelindungan hak asasi manusia dalam wadah kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dalam mencapai kesejahteraan bersama.20

Di dalam penelitian ini kerangka teori yang digunakan adalah teori pelindungan hukum dalam hal menetapkan kepastian hukum tentang pelaksanaan pelindungan hukum terhadap suatu produk yang dihasilkan oleh masyarakat tertentu yaitu produk kain tapis di suatu wilayah tertentu yaitu di Lampung yang merupakan penunjuk atau ciri khas dari wilayah geografis tersebut yang sudah dikenal di masyarakat umum di luar dari masyarakat yang menghasilkan produk indikasi geografis tersebut.21

Pelindungan hukum terhadap produk kain tapis Lampung yang merupakan indikasi geografis diberikan hak kepada pihak yang mengajukan permohonan pelindungan hukum baik daerah pemerintah Lampung maupun lembaga yang mengajukan pelindungan hukum terhadap kain Tapis Lampung tersebut. Bukti dari pengajuan dari pelindungan hukum yang telah diterima dan

19 Philipus M. Hadjon, Pelindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 2006, hal. 84 20 Donni Gusmawan, Pelindungan Hukum di Negara Pancasila, Liberty, Yogyakarta, 2007, hal. 38 21 Tim Lindsey, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2012, hal. 28

Universitas Sumatera Utara 22

disahkan oleh Direktorat Merek dan Indikasi Geografis yang berupa pemberian sertipikat indikasi geografis yang dikeluarkan oleh Direktorat Merek dan indikasi geografis yang telah mendaftarkan produk dengan indikasi geografis tersebut.

Pelindungan hukum tersebut dapat berupa pelindungan yang bersifat preventif maupun represif. Pelindungan hukum yang bersifat preventif dilakukan melaui pendaftaran merek, sedangkan pelindungan hukum yang bersifat represif dilakukan jika terjadi pelanggaran merek melalui gugatan perdata dan atau tuntutan ganti rugi.22

2. Konsepsi

Konsepsi adalah suatu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.23

Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu didefenisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi, yaitu sebagai berikut:

a. Pelindungan merek dan indikasi geografis adalah kekuatan hukum untuk

melindungi pemilik merek dan indikasi geografis untuk kepentingan suatu

merek dan indikasi geografis dan gangguan pihak lain yang berupaya

untuk mendaftarkan merek / indikasi geografis yang sama dengan itikad

tidak baik.24

22 Suyud Margono dan Lingginus Hadi, Pembaharuan Pelindungan Hukum Merek, Novirindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2002, hal. 14 23 Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal 3. 24 Margono Sutrisno, Indikasi Geografis Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2016, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2017, hal.73

Universitas Sumatera Utara 23

b. Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu

barang dan atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk

faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut

memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang

danjatau produk yang dihasilkan. 25

c. Hak atas Indikasi Geografis adalah hak eksklusif yang diberikan oleh

negara kepada pemegang hak Indikasi Geografis yang terdaftar, selama

reputasi, kualitas, dan karakteristik yang menjadi dasar diberikannya

pelindungan atas Indikasi Geografis tersebut masih ada.26

d. Kain Tapis adalah adalah produk kebudayaan dari masyarakat Lampung

berupa kain sarung bermotif tradisional yang dikerjakan berdasarkan

kerajinan tangan oleh masyarakat pengrajin kain tapi di Lampung .27

e. Kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta dari kelompok

masyarakat tertentu disuatu wilayah tertentu.28

f. Pelanggaran indikasi geografis adalah penggunaan indikasi geografis yang

mempunyai persamaan atau menyerupai dengan milik orang lain secara

tanpa hak untuk barang atau jasa yang sejenis yang dapat menimbulkan

kebingungan.29

g. Produk indikasi geografis adalah suatu produk yang dihasilkan dengan

menggunakan hasil karya tangan maupun mesin industri oleh kelompok

25Ibid, hal. 74 26 Reno Sudarwanto, Hak Indikasi Geografis Sebagai Hak Eksklusif Ditinjau dari Undang-Undang No. 20 Tahun 2016, Pradnya Paramita, Jakarta, 2017, hal. 36 27 Harry Radiman, Kain Tapis Lampung sebagai Produk Berpotensi Indikasi Geografis, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2018, hal. 69 28Ibid, hal. 70 29 Burhanuddin Djamal, Produk Budaya dan Potensi Pendaftarannya Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2016, Aneka Ilmu, Jakarta, 2018, hal. 26

Universitas Sumatera Utara 24

masyarakat tertentu disuatu wilayah tertentu yang menjadi ciri khas atau

petunjuk dari wilayah geografis dari tempat tersebut yang dikenal oleh

masyarakat lain di luar masyarakat daerah tersebut.30

h. Kemajuan budaya adalah suatu indikasi terjadinya pergerakan kebudayaan

kearah yang lebih baik terhadap produk-produk yang dihasilkan secara

tradisional berdasarkan kebudayaan tersebut yang juga berkaitan dengan

peningkatan kualitas dari produk budaya tersebut.31

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.32

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dan didukung dengan wawancara via telepon dengan pihak terkait yaitu :

a. Devayanti Arsyad, perwakilan masyarakat pengrajin kain tapis di Bandar

Lampung

b. Gamal Arifin, Kasub Sie Pendataan Dan Pemeliharaan objek wisata,

Dinas Pariwisata Provinsi Lampung.

c. Herwandi Rustam, staf dinas Pariwisata Provinsi Lampung

30Ibid, hal. 27 31 Reno Sudarwanto, Op.Cit, hal. 37 32 Sutrisno Hadi, Metodologi Riset, ANDI, Yogyakarta, 2000, hal. 4

Universitas Sumatera Utara 25

d. Ismed MH, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Tulang Bawang

e. Riana Sari Arinal, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda)

Provinsi Lampung

f. M.Yudhi, Kepala Dinas Pariwisata kota Bandar Lampung

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan dalam menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut.

2. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder dan didukung dengan data primer yang diperoleh dari wawancara dengan narasumber.

Data sekunder yang terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer

Sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya

adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang tentang Merek dan

Indikasi Geografis. b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti

misalnya buku-buku, atikel, jurnal, karya-karya ilmiah lainnya yang

membahas tentang masalah indikasi geografis dan pendaftarannya berdasarkan

Universitas Sumatera Utara 26

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang tentang Merek dan Indikasi

Geografis yang relevan dengan penelitian ini. c. Bahan Hukum Tertier

Bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terbadap bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus umum, kamus hukum.

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field reaserch) di Kota Bandar Lampung.33

Alat pengumpulan data yang digunakan adalah:

1. Studi dokumen untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca,

mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa peraturan

perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap kain tapis

berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang tentang Merek

dan Indikasi Geografis.

2. Pedoman wawancara yang digunakan dalam melakukan wawancara terhadap

para informan dan nara sumber yang terdiri dari :

a. Devayanti Arsyad, perwakilan masyarakat pengrajin kain tapis di Bandar

Lampung

b. Gamal Arifin, Kasub Sie Pendataan Dan Pemeliharaan objek wisata,

Dinas Pariwisata Provinsi Lampung.

c. Herwandi Rustam, staf dinas Pariwisata Provinsi Lampung

33 Suparman Hadi Nugroho, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris Suatu Pengantar, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2015, hal.73

Universitas Sumatera Utara 27

d. Ismed MH, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Tulang Bawang

e. Riana Sari Arinal, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda)

Provinsi Lampung

f. M.Yudhi, Kepala Dinas Pariwisata kota Bandar Lampung

4. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data dalam pola, kategori dan sataun uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data.34 Di dalam penelitian hukum normatif, maka maksud pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan- bahan hukum tertulis, sistematisasi yang berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.35 Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan baik melalui studi dokumen.

Setelah itu keseluruhan data tersebut akan dianalisis dan disistematisasikan secara kualitatif yang artinya menjelaskan semua kenyataan yang terungkap dari data sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, dengan tujuan untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu pelindungan hukum terhadap indikasi geografis terdaftar dari perbuatan pihak lain yang beritikad tidak baik.

34 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hal 106. 35 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal 25.

Universitas Sumatera Utara

28

BAB II

KAIN TAPIS SEBAGAI PRODUK KERAJINAN TRADISIONAL MASYARAKAT LAMPUNG

A. Tinjauan Umum Tentang Indikasi Geografis

Indikasi Geografis diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Menurut Pasal 1 angka 6 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi

Geografis disebutkan bahwaIndikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.36

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan arti dari kata Indikasi adalah tanda-tanda yang menarik perhatian. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa Indikasi juga menandakan sebuah potensi. Kemudian geografis berasal dari kata geografi berasal dari Bahasa Yunani yaitu geo adalah bumi dan graphein adalah tulisan atau menjelaskan. Menjadi hal yang sangat umum juga bahwa geografi adalah ilmu yang mempelajari dan menjelaskan tentang lokasi.

Maka, geografis adalah menunjukkan suatu letak. Berdasarkan uraian singkat tersebut maka Indikasi Geografis merupakan sebuah tanda yang menarik perhatian di suatu daerah. Dalam penulisan ini tanda yang menarik yang dapat dijadikan ciri dari produk indikasi geografis ini adalah produk kerajinan tangan tradisional

36Hendra Djaja, Perlindungan Indikasi Geografis Pada Produk Lokal Dalam Sistem Perdagangan Internasional, Jurnal Cakrawala Hukum, Vol.18, No.2 Desember 2013, hal.13

28 Universitas Sumatera Utara 29

masyarakat daerah Lampung yaitu kain tenun tapis Lampung yang sudah ditekuni secara turun temurun oleh masyarakat daerah Lampung .37

Indikasi Geografis merupakan salah satu rezim Hak Kekayaan Intelektual

(HKI). Menurut kepustakaan Anglo Saxon mengenal Hak Atas Kekayaan

Intelektual dengan sebutan Intellectual Property Rights, dalam terjemahan yang berarti hak milik intelektual. Secara konseptual Hak Kekayaan Intelektual memiliki tiga kata kunci yaitu hak, kekayaan, dan intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli maupun dijual. Adapun yang dimaksud dengan kekayaan intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, karya tulis dan lain sebagainya. Hal ini berarti bahwa Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak-hak (wewenang/kekuasaan) untuk berbuat sesuatu atas kekayaan intelektual tersebut yang diatur oleh norma-norma atau hukum yang berlaku.

Indikasi Geografis telah memberikan pengaruh bagi perkembangan hukum

HKI di Indonesia dan telah diakui secara Internasional sejak tahun 1994, seiring disepakatinya Agreement Establishing The World Trade Organization (WTO).

Faktor Geografis suatu daerah atau wilayah tertentu dari suatu negara dan/atau daerah merupakan unsur penentu dalam membentuk kualitas, reputasi atau karateristik tertentu dari suatu barang atau produk yang akan memperoleh pelindungan Indikasi Geografis.

Indikasi Geografis merupakan suatu bentuk pelindungan hukum terhadap nama daerah asal barang. Inti dari pada pelindungan hukum Indikasi Geografis

37Nenny Dwi Ariani1, Kholis Roisah, Upaya Pemerintah Dalam Melindungi Kain Tapis Dan Siger Lampung Sebagai Ekspresi Budaya Tradsional, Jurnal Law Reform2, (1), hal.74

Universitas Sumatera Utara 30

ialah bahwa pihak yang tidak berhak, tidak diperbolehkan menggunakan Indikasi

Geografis bila penggunaan tersebut cenderung dapat menipu masyarakat konsumen tentang daerah asal produk, disamping itu Indikasi Geografis dapat dipakai sebagai jembatan demi mencapai nilai tambah dalam komersialisasi terhadap produk Indikasi Geografis.

Sejauh ini, Indikasi Geografis umumnya dikenal sebagai rezim Hak

Kekayaan Intelektual yang banyak memproteksi produk-produk pertanian. Di bidang produk-produk pertanian, Indikasi Geografis tampak dari hubungan terkuat produk dengan karakter tanah yang menghasilkan bahan mentah dari produk tersebut. Singkatnya, secara sekilas, bahwa produk Indikasi Geografis seolah tampak bergantung kepada tanah. Namun, meskipun demikian, aspek-aspek yang mempengaruhi karakter suatu barang yang bisa dilindungi dalam rezim Indikasi

Geografis sebetulnya dapat juga berasal dari unsur lain alam yang bukan hanya tanah, seperti misalnya kerajinan tangan tradisional yang menghasilkan suatu barang tradisional yang sudah diproduksi secara turun temurun oleh suatu kelompok masyarakat di daerah tertentu dengan kualitas dan reputasi yang cukup baik sehingga cukup dikenal luas di luar masyarakat daerah tersebut sebagai produk yang berasal dari daerah tersebut. Setiap melihat produk tersebut, maka masyarakat akan mengidentikkan produk tersebut terhadap daerah yang menghasilkan produk tersebut. Antara produk yang dihasilkan, masyarakat dandan daerah yang menghasilkan produk tersebut menyatu padu satu dengan yang lain dan tidak terpisahkan sebagai satu kesatuan komponen.38

38Siti Marwiyah. Perlindungan Hukum Atas Merek Terkenal”. De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum. Volume 2, Nomor 1, hal. 2

Universitas Sumatera Utara 31

Indikasi Geografis, bertitik tolak dari segi lingkup pengaturan :39

1. Dari segi defenisi atau pengertian bahwa Indikasi Geografis merupakan

nama daerah yang digunakan sebagai indikasi yang menunjukkan

wilayah/daerah asal produk.

2. Dari segi sifat bahwa Indikasi Geografis menunjukkan kualitas, reputasi

dan karakteristik suatu produk.

3. Dari segi kepemilikan bahwa Indikasi Geografis dimiliki secara komunal.

4. Dari segi jangka waktu pelindungan bahwa Indikasi Geografis tidak

mempunyai batas waktu pelindungan selama terjaganya reputasi, kualitas

dan karateristik yang menjadi dasar diberikannya perlindungan. Atau

pelindungan Indikasi geografis berakhir apabila wilayah tersebut tidak

dapat menghasilkan lagi produk indikasi geografis.

Kain tapis Lampung pada dasarnya merupakan suatu produk yang memiliki potensi Indikasi Geografis di Provinsi Lampung.Hal ini disebabkan karena kain tapis Lampung merupakan produk hasil kerajinan tangan tradisional yang dihasilkan oleh para pengrajin masyarakat Lampung secara turun temurun dan sudah cukup dikenal oleh masyarakat di luar daerah Lampung bahkan sudah dijadikan cindra mata oleh wisatawan baik lokal maupun manca negara sebagai ciri khas daerah Lampung. 40

Pada dasarnya secara hukum syarat keberhasilan suatu produk memperoleh pengakuan dan pelindungan hukum sebagai suatu produk Indikasi geografis adalah harus memenuhi syarat antara lain adalah:

39Ibid, hal. 3 40 Darwan Hamidi, Pelestarian Kain Tapis Lampung Sebagai Kekayaan Budaya Nusantara, Media Ilmu, Lampung, 2016, hal.59

Universitas Sumatera Utara 32

1. Syarat Objektif

Suatu produk dapat dikatakan berpotensi sebagai produk Indikasi

Geografis ditentukan syarat yang mendasari. Syarat tersebut digunakan sebagai tolok ukur apakah suatu produk dapat dikatakan berhasil untuk ditetapkan sebagai produk Indikasi Geografis atau tidak layak dikatakan sebagai produk Indikasi

Geografis. Syarat keberhasilan tersebut diatur oleh Direktorat Jenderal Kekayaan

Intelektual yang dituang di dalam Buku Indikasi Geografis Indonesia.

Adapun syarat tersebut adalah bahwa Pemilik Indikasi Geografis antara lain harus memiliki :41

a. Sistem manajemen yang kuat dan efektif

b. Kualitas produk yang prima dan terjaga konsistensinya dengan baik

c. Sistem pemasaran termasuk promosi yang kuat

d. Mampu memasok kebutuhan pasar dalam jumlah cukup secara

berkelanjutan

e. Kemauan menegakkan ketentuan hukum terkait Indikasi Geografis

Semua aspek Indikasi Geografis yang telah diuraikan diatas tersebut sangat membantu sebagai tolok ukur yang digunakan dalam penelitian dan mendorong mengapa diperlukannya upaya pelindungan hukum terhadap kain tapis

Lampung sebagai Indikasi Geografis di daerah Lampung.

Pelindungan hukum terhadap Indikasi Geografis memiliki dua karakter kepemilikan yakni kepemilikan yang komunal atau kolektif. Karakter kepemilikan yang komunal artinya menjadi milik bersama masyarakat yang mencakup dalam

41Tomy Pasca Rifai, Kesiapan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN.”Fiat Justisia Journal of Law. Vol. 10, Issue 4, hal. 53

Universitas Sumatera Utara 33

wilayah Indikasi Geografis terdaftar. Setelah mendaftarkan produk yang memilikipotensi Indikasi Geografis dan memperoleh pelindungan hukum melalui

Indikasi geografis masyarakat tersebut memiliki hak eksklusif untuk mengedarkan dan memperdagangkan produknya sehingga masyarakat daerah lain dilarang untuk menggunakannya pada produk mereka.

Berdasarkan analisis bahwa syarat objektif sebagaimana yang telah diuraikan diatas adalah merupakan unsur-unsur yang akan menandakan reputasi, kualitas, dan karateristik yang harus ditunjukkan melalui sebuah produk berpotensi Indikasi Geografis. Unsur-unsur tersebut diteliti dengan tujuan untuk proses perolehan pelindungan hukum Indikasi Geografis. Syarat subjektif merupakan syarat yang menerangkan siapa saja yang dapat mendaftarkan pelindungan hukum terhadap Indikasi Geografis. 42

2. Syarat Subjektif

Untuk melindungi Indikasi Geografis atas sebuah produk agar tidak diambil oleh pihak lain, maka Pasal 53 ayat (1), (2), (3) dan (4) Undang Undang

Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis tegas menjelaskan bahwa untuk memperoleh pelindungan hukum sebagai suatu Indikasi Geografis haruslah didaftarkan dengan mengajukan permohonan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada Pasal 53 ayat (1) Undang Undang Nomor 20 Tahun

2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Adapun pihak yang dapat mengajukan pendaftaran ialah Lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan geografis tertentu yakni:43

42Tomy Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, hal. 32 43Henry Soelistyo, Hak Kekayaan Intelektual, Konsepsi, Opini, dan Aktualisasi, Jakarta, Penaku, 2014, hal. 10

Universitas Sumatera Utara 34

a. Pihak yang mengusahakan barang yang merupakan hasil alam atau kekayaan

alam, seperti Produsen barang hasil pertanian, Pembuat barang-barang

kerajinan tangan atau hasil industri, atau Pedagang yang menjual barang

tersebut, Lembaga yang diberi kewenangan untuk itu atau Kelompok

konsumen barang tertentu; dan b. Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/KotaPasal tersebut mengatur

pihak yang dapat mendaftarkan Indikasi Geografis dan menjadi syarat

subjektif. Dalam kajian penulisan ini lebih menempatkan pembahasan

terhadap peran Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota daerah Lampung.

B. Landasan Historis Kain Tapis Lampung

Masyarakat Indonesia telah mengenal tenunan dengan cara ikat lungsi

(sistem kait ikat dan kunci) sejak ratusan tahun yang lalu. Masyarakat Kalimantan,

Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur telah menguasai cara penenunan, menciptakan alat-alat tenun sampai pewarnaan dengan berbagi jenis getah tanaman. Kala itu corak kain tenunannya sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai relijiusitas masyarakat yang memuja para leluhur dan keagungan alam dan sistem sosialnya. Kain tenun menjadi lambang ikatan solidaritas dan sarana identifikasi bagi setiap masyarakat adat agar selalu menyadari kesamaan asal-usul atau leluhur mereka. Selain itu, coraknya mengandung pesan-pesan moral dan sosial.

Demikian pula di Provinsi Lampung, menurut Van der Hoop, masyarakat

Lampung juga mulai mengenal tenun sejak abad ke-2 SM.

Kain tenun sistem kait dan kunci (key and rhomboid shape). Sedangkan kerajinan tenun dengan menggunakan kapas, diperkirakan sejarawan orientalis

Universitas Sumatera Utara 35

Robyin dan John Maxel, diperkenalkan oleh para musafir dan pedagang asing ke

Lampung pada Abad ke-7. Awalnya corak kain tapis dipengaruhi oleh nuansa maritim serta ekspresi pemujaan terhadap para leluhur dan kekuatan alam.

Kerajaan-kerajaan di Indonesia sangat kental dengan sistem relejiusitas yang diusung dari lewat Samudera Hindia. Pelayaran menjadi pintu interaksi antar daerah dan antar negara. Kain tapis identik dengan masyarakat adat Lampung

Pepadun sedangkan, adat Lampung Sebatin lebih identik dengan kain kapal. Pada masa itu kain tapis dan kapal bermotif kapal serta berbagai mahkluk hidup: manusia, hewan, tanaman. Berbagai corak tersebut membentuk mitologi.

Beberapa pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa para pedangang juga dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk legenda, kepercayaan, dan ragam hias flora dan fauna yang berhubungan dengan agama Hindu. Menurut Van Heekeren masa penggunaan besi dan perunggu melalui pengaruh Dongson maupun Chou tampak dalam ragam hias yang digunakan di Lampung.

Pada waktu Agama Islam masuk sekitar abad ke-16 dan abad ke-17, corak kain tenun menampilkan corak baru. Ada motif lama, seperti tumpal, dengan pemaknaan baru. Motif tumpal sering berbentuk sederhana berupa pucuk rebung yang melambangkan suatu kekuatan yang tumbuh dari dalam. Ada pula yang berpendapat motif berbentuk segi tiga itu merupakan abstraksi manusia.Kuatnya pengaruh Islam terhadap kebudayaan masyarakat Lampung tercermin dari tulisan-tulisan menjelang abad ke-19 dan awal abad ke-20, antara lain mengenai kewajiban sembayang waktu pada pengantar Kitab Ketara Raja Niti. Selain pengaruh Islam, masyarakat Lampung juga berhubungan dengan kebudayaan

Universitas Sumatera Utara 36

negara lain, seperti tercermin pada Pasal 46, Kitab Ketara Raja Niti yang artinya sebagai berikut :

“Pokok manusia ada tiga perkara: Islam, Sarani, dan Kapir. Turunan marga kita (Lampung), ia mengutamakan segala hukum. Turunan anak Puranggi, dia mengutamakan segala bukti. Turunan bagus tulisan dan gambar dan segala harta. Turunan anak Melayu menggunakan dedok punita (?) bagus bahasa banyak bicara. Turunan anak Jawa yang mengutamakan tata titi Bumi Keraton. Turunan anak Arab memagang Rukun Islam Negeri Mekkah.”

Karena pengaruh Islam itu, masyarakat adat Lampung Pepadun juga perlahan-lahan mengurangi motif kain berbau pemujaan terhadap para dewa dan alam. Kain tapis banyak yang akhirnya bercorak geometris. Benang emas makin memperindah kain tapis seiring dengan meningkatnya perekonomian masyarakat pada mada itu. Lada menjadi komoditas ekspor sehingga masyarakat mampu mengimpor berbagai produk negara lain, termasuk benang emas.44

Adanya pengakuan Belanda terhadap masyarakat adat (marga-marga) menumbuh kembangkan kebudayaan. Kain tapis yang dipakai untuk upacara adat atau upacara adat atau prosesi siklus kehidupan masyarakat Lampung makin indah. Benang emas dan kaca menambah kemilau kain tapis. Kain tapis makin meriah dengan akasesoris uang ringgit di tepi bawahnya. Kemewahannya semakin menyala saat disanding dengan siger dan aksesoris lainnya. Pada abad ke-19,

Islam semakin kuat mewarnai kebudayaan Lampung, terutama semakin seringnya masyarakat Lampung berdagang lada dengan Kesultanan Banten. Misalnya, pada tahun 1960-an di Menggala, Tulang Bawang, masih ada tradisi nyubuk, yaitu calon mempelai wanita berada di tempat keluarga pria beberapa hari sebelum pesta adat dengan menutup seluruh tubuhnya, hanya mata yang kelihatan.

44 Arwandi Hariyanto, Potensi Perlindungan Hukum Kain Tapis Lampung Sebagai Produk Indikasi Geografis, Suluh Pustaka, Lampung, 2017, hal.48

Universitas Sumatera Utara 37

Kain tapis pada masa-masa tahun 1960-an berupa kain sarung bermotif tenun garis polos yang membentuk bidang-bidang warna dan diberi sulaman benang hias berwarna terang. Kain tapis tersebut dipakai pada acara-acara adat kebuwaiyan atau marga, yaitu acara begawei, cakak pepadun, turun cangget, menyambut tamu, dan pakaian mempelai pada saat upacara perkawinan. Kain dasar tapis, merupakan hasil tenunan benang kapas pada alat tenun gedongan yang disebut pattek (panthok). Warna yang digunakan pada kain dasar tapis umumnya merah dan coklat dari getah buah sepang (caeselpiniasappan), akar mengkudu

(morinda citriflora), dan asam jawa (tamarindus indica). Warga kuning menggunakan kunyit (curcuma domestica), kapur sirih, dan asam jawa.

Sedangkan warna biru dari indigo (indigofera), daun talom atau buah dadukuk.

Lebar kain tenun yang didapatkan kurang lebih 60 cm. Sedangkan garis dan bidang warna yang diperoleh adalah mendatar pada saat dijadikan sarung.

Penyulaman benang emas pada kain tapis dilakukan dengan meletakkan kain pada alat pengencang kain yang disebut teukang. Penyulaman dilakukan dengan menyisipkan benang hias pada benang kain atau dengan teknik sawat, yaitu mengikatkan benang hias pada kain dasar dengan benang penyawat untuk membentuk ragam hias dan tekstur yang diinginkan pada kain yang telahdikencangkan pada teukang. Keindahan kain tapis muncul dari perpaduan bidang warna kain dasar, bentuk ragam hias, dan tekstur serta kilau benang emas.45

45Ibid, hal. 49

Universitas Sumatera Utara 38

Berdasarkan motif-motif pada kerajinan tenun kain tapis, di bawah ini beberapa jenis tapis yang memiliki fungsi bagai kelompok masyarakat, antara lain

Tabel 1 Jenis dan Asal Daerah Kain Tapis

No Jenis Asal daerah Ragam Hias & fungsi Gambar tapis 1 Tapis Telukbetung, Penuh disulam benang Jung Bandar emasmotif pucuk rebung, Sarat Lampung sasabbesar tekstur benang penyawat iluk keris, mata kibau,dan pucuk rebung digayakan & dipakai oleh gadis- gadis dalam menghadiri upacara adat.

2 Tapis Kuripan, Ragam hias penuh Jung Kecamatan disulam benang emas Sarat Telukbetung motif pucuk rebung pada Barat, Bandar bagian bawah dan sasap Lampung dengan penyawat benang katun membentuk tekstur belah ketupat & di pakai pengantin wanita saat upacara adat, kelompok istri kerabat yang paling tua saat upacara pengambilan gelar, pengantin serta muli cangget(gadis penari) pada upacara adat.

Universitas Sumatera Utara 39

3 Krui, Ragam hias penuh Lampung disulam benang emas Barat motif pucuk rebung, sasap besar tekstur benang penyawat iluk keris dan belah ketupat & dipakai oleh pengantin wanita saat upacara adat, kelompok istri kerabat yang paling tua saat upacara pengambilan gelar, pengantin serta muli cangget (gadis penari) pada upacara adat. 4 Tapis Desa Bandar Ragam hias penuh Jung Sakti, disulam benang emas Sarat Kecamatan motif pucuk rebung, Termanggi sasap tekstur benang Besar, penyawat mata kibau, Lampung iluk keris, dan belah Tengah. ketupat & dipakai oleh pengantin wanita saat upacara adat, kelompok istri kerabat yang paling tua saat upacara pengambilan gelar, pengantin serta muli cangget (gadis penari) pada upacara adat. 5 Tapis Desa Cahaya Ragam hias penuh di Kaca Negeri, sulam benang emas motif Kecamatan lajur kecil kecil dan Abung Barat, sulaman benang sutera Lampung motif pucuk rebung, Utara. sulur bunga, dan sulur daun serta tempelan kaca kecil berbentuk bulat yang diikat dengan benang katun pada kain dasar & dipakai oleh wanita pengiring pengantin pada upacara adat.

Universitas Sumatera Utara 40

6 Tapis Tanjungkarang, Ragam hias penuh di Kaca Bandar sulam serat nanas motif Lampung bunga matahari, sulur, dan tempelan kaca & dipakai oleh wanita suku Lampung saat upacara adat.

7 Tapis Desa Kota Ragam hias penuh motif Kaca Negara, bunga matahari sulam Bekandan Kecamatan benang emas dengan g Sungkai penyawat serat nanas, Utara, iluk keris, kepingan kaca Kabupaten dan lajur lajur vertical Lampung dari benang emas & Utara. dipakai oleh istri penyimbang dalam upacara pengambilan gelar, terutama di daerah Abung, Pubai, dan Sungakai 8 Tapis Kecamatan Ragam hias disulam Abung Pringsewu, dengan benang emas Kabupaten motif pucuk rebung, Tanggamus bunga, dan tempelan moci & dipakai saat upacara adat, dikenakan oleh wanita yang sudah menikah.

9 Tapis Tanjungkarang, Ragam hias sulaman Akheng Bandar benang kapas berwarna Lampung biru, putih motif pucuk rebung kecil & dipakai oleh wanita yang suaminya sudah mendapatkan gelar sutan pada saat upacara naik pepadun.

Universitas Sumatera Utara 41

10 Tapis Balambangan Ragam hias disulam Akheng Pagra, dengan benang emas dan Pesisir Lampung benang sutera Utara. membentuk motif burung, bunga, pucuk rebung, dan naga, serta tempelan kaca & dipakai oleh istri penyombang pada saat upacara pengambilan gelar kerabat dekat. 11 Tapis Desa Bumi Pada lajur-lajur warna Cucuk Agung,Keca biru dibentuk motif tali Pinggir matan Abung disulam denga benang Timur, sutera, pada bagian Lampung bawah terdapat sulaman Utara. benang emas motif pucuk rebung kecil, dan tempelan moci & dipakai oleh pengantin wanita pada acara turun way. 12 Tapis Sukau, Ragam hias penuh di Pucuk Lampung sulambenang emas, motif Rebung Barat tajukberayun, sasap, pucuk rebungdan tempelan moci &dipakaioleh wanita pada saat upacaraadat.

13 Tapis Kecamatan Ragam hias disulam Pucuk Cukuh Balak, benang emas motif Rebung Lampung pucuk rebung, sasab, Selatan tajuk berayun, dan nama pemilik tapis ditulis diatas sulaman & dipakai oleh wanita pada upacara mengiringi pengantin.

Universitas Sumatera Utara 42

14 Tapis Kecamatan Ragam hias penuh Sungkai Pringsewu, disulam benang emas Kabupaten motif pucuk rebung Tanggamus susun, pucuk rebung bolak-balik dan sasab besar dengan tekstur benang penyawat motif belah ketupat serta tempela moci & dipaki oleh pengantin wanita pada saat upacara adat. 15 Tapis Desa Ragam hias penuh Cucuk Sukadana, berupa sasab dengan Andak Kecamatan tekstur benang penyawat Sukadana, membentuk motif Lampung iluk keris dan belah Timur ketupat. Di bagian bawah pucukrebung dan diberi gantunganuang ringgit, pada empatbidang terdapat motif ayam, burung, pohon hayat, dan

tempelan moci &dipakai olehistri penyimbang yang sudahbergelar suttan sewaktu menghadiri upacara perkawinan dan pengambilangelar, terutama di daerah Abung, Pubian, Sungkai, danWay Kanan. 16 Tapis Desa Gunung Ragam hias penuh Laut Sugih , disulam Linau Kecamatan benang emas motif tajuk Kedondong, berayun, pucuk rebung Pesawaran susun,sasab, belah ketupat, danbunga & dipakai oleh kerabatistri yang tergolong kerabatjauh saat menghadiri upacaraadat, juga oleh para gadispengiring pengantin dan penari cangget.

Universitas Sumatera Utara 43

17 Ragam hias penuh disulambennag emas motif pucukrebung, sasab, belah ketupat, dan kupu-kupu & digunakanoleh gadis- gadis pengiringpengantin dan pada saat menari cangget. 18 Tapis Desa Ragam hias penuh Tuho Simpang, disulambenang emas Kecamatan sasab tegakpada Kalianda, pembatas bidang Lmapung warnadan motif binatang Selatan pada bagian atas kain, sulamanbenang kapas warna putihmotif pucuk rebung, bagianbawah

tempelan moci dankaca & dipakai oleh wanita sudah menikah (mirul) saat mengiringi pengantin padaupacara adat Lampung 19 Tapis Desa Pagar Ragam hias penuh Sasab Dewa, disulambenang emas Mata Kecamatan motif sasabmata kibau, Kibau Pagar Dewa, tabur belahketupat dan Tulang pinggir pucukrebung & Bawang dipakai oleh wanita Barat saat upacara adat.

20 Tapis Terbanggi Ragam hias penuh Sasab Besar, disulambenang emas Lampung motif sasabtekstur Tengah benang penyawat iluk keris, belah ketupat diselingbahan dasar, bagian bawahmotif pucuk rebung susun, tajuk beketik, bagian atas motif belah ketupat dan

Universitas Sumatera Utara 44

pucuk rebuung kecil- kecil &dipaki oleh wanita saatupacara adat. 21 Tapis Kecamatan Ragam hias penuh Balak Tegineneng, disulambenang emas Pesawaran motif sasab,pucuk rebung kecil pada pinggir kain dan bunga &dipakai oleh wanita saatupacara adat perkawinan padamasyarakat Lampung Pubian.

22 Tapis Desa Buyut, Ragam hias penuh Balak Kecamatan disulambenang emas Tuho Gunung motif sasabdengan Sugih , tekstur tajuk pada Lampung sasab kecil, motif pilin, Tengah naga,tajuk berayun serta tempelankaca dengan benang warnamerah dan hijau & dipakaioleh wanita yang sudah tua dan penyimbang saat upacaraadat. 23 Tapis Desa Bumi Ragam hias disulam Raja Agung, benang emas motif orang Medal Kecamatan diatas rato ditarik orang, Abung ayam nyecak konci dan Timur, pucuk rebung, bagian Lampung bawah terdapat sasab Utara dengan penyawat benang katun membentuk tekstur pucuk rebung dan belah ketupat (motif mato egal) serta pucuk rebung dipergaya & dipakai oleh kelompok kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara adat seperti mengawinkan anak atau pengambilan gelar.

Universitas Sumatera Utara 45

24 Tapis Desa Bumi Ragam hias disulam Raja Agung, benang emas dan benang Tunggal Kecamatan kapas motif orang diatas Abung perahu, orang sedang Timur, menunggang kuda, Lampung pucuk rebung bintang Utara dan pilin & dipakai oleh istri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara adat. 25 Tapis Desa Mulang Ragam hias disulam Raja Maya, benang emas dan benang Tunggal Kecamatan kapas motif orang diatas Kota Bumi rato ditarik orang, pucuk Selatan, rebung, tajuk beketik Lampung empat susun dan Utara sasab dipakai oleh kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara adat seperti mengawinkan anak pengambilan gelar pangiran, suttan dan lain- lain. 26 Tapis Tanjungkarang Ragam hias penuh Ratu ,Bandar disulam benang emas Tulang Lampung motif pucuk rebung, Bawang tajuk berayun, orang bermahkota atau bertanduk diatas rato, pucuk rebung dipergaya, naga, perahu, dan belah ketupat selang- seling sampai ketas & dikenakan saat upacara adat pada masyarakat Lampung Pepadun, diapaki oleh istri penyimbang.

Universitas Sumatera Utara 46

27 Tapis Desa Kota Ragam hias disulam Binatang Negara , benang emas motif Kecamatan burungterbang, sasab Sungkai kecil, dan tempelan Utara, kaca & dipakai oleh Lampung wanita tua saat upacara Utara adat.

28 Tapis Desa Ragam hias penuh Binatang Bumiratu, disulam bennag emas Kecamatan motif burung, ayam, dan Bumiratu ikan selang-seling motif Nuban, pucuk rebung, tajuk Lampung berayun dan pucuk Tengah rebung digayakan, bagian bawah diberi hiasan tempelan moci & dikenakan oleh gadis- gadis pada saat upacara adat. 29 Tapis Desa Kibang, Ragam hias disulam Bintang Kecamatan bennag emas motif tabur Perak Menggala, bentuk bintang dan Tulang geometris selangseling Bawang bagian bawah motif bunga dan belah ketupat & dipakai oleh wanita pada saat menghadiri upacara adat.

30 Tapis Kecamatan Ragam hias disulam serat Kuning Sukadana, nenas warna putih motif Lampung pucuk rebung dan belah Timur ketupat dan tempelan kaca & dikenakan istri penyimbang pada saat menghadiri upacara adat.

Universitas Sumatera Utara 47

31 Tapis Desa Gedong Ragam hias berupa Kuning Raja, tempelan kaca kecil, Kecamatan sulaman benang suera Hulu Sungkai, motif pohon hayat, Lampung pilin, dan pucuk rebung Utara & dikenakan oleh wanita pada saat upacara adat

32 Tapis Tanjungkarang Ragam hias sulam Limar ,Bandar benang emas motif Sekebar Lampung pucuk rebung, belah ketupat dan sasab, dengan tekstur benang penyawat dari benang katun membentuk bketpat, pada sisi bawah terdapat tempelan moci & dikenakan oleh istri penyimbang beradat Pepadun pada saat menghadiri upacara adat 33 Tapis Desa Ragam hias disulam Limar Wiralaga, dengan benang emas Belamba Kecamatan bentuk sasab besar ngan Mesuji, dengan tekstur iluk Kabupaten keris, diagonal, bunga, Mesuji belah ketupat (limar), siger dan sasab bertajuk & dikenakan oleh istri penyimbang saat menghadiri upacara adat atau oleh para gadis pengiring pengantin pada saat upacara perkawinan Lampung Pepadun.

Sebagai salah satu alat perlengkapan hidup manusia, kerajinan tenun tapis

Lampung mempunyai fungsi dalam kehidupan masyarakatnya. Fungsi itu antaralain:46 a. Sosial

46 Darwan Hamidi, Loc. Cit, hal. 60

Universitas Sumatera Utara 48

Secara sosial dalam penggunaanya menunjukan status sosial anggota masyarakat dari kelompok sosial dalam masyarakatnya. Kain ini dianggap bernilai tinggi, dan merupakan lambang status dan dari kelompok keluarga tertentu yang menunjukkan perbedaan penggunanya antara lain kain tapis yang hanya boleh dipakai keluarga pemimpin adat/pemimpin suku pada upacara perkawinan adat, pengambilan gelar (naik Pepadun). Sebaliknya, kain tapis tertentu hanya dapat dipakai oleh keluarga masyarakat biasa. Terdapat juga jenis kain tapis yang hanya boleh dipakai orang tertentu pada upacara adat tertentu misalnya kain tapis untuk pengantin wanita berbeda dengan kain tapis yang tidak sesuai dengan statusnya akan mendapat sanksi atau teguran dari anggota masyarakat telah banyak berubah fungsi-fungsi yang demikian telah mulai mengalami pergeresaran. b. Ekonomi

Secara ekonomis, bahwa kerajinan kain tapis pada masa lampau merupakan kebutuhan sosial yang diproduksi untuk kepentingan adat kelompok keluarga sendiri. Pada masa kini kain tapis mulai dipasarkan. Hasil kerajinan ini telah banyak diperjual belikan kepada masyarakat. Hal ini karena perkembangan zaman yang menjadikan kepentingan ekonomis yang berkaitan dengan kepentingan sosial. Namun setelah dijual dan dipakai oleh masyarkat sekarang simbolisnya mulai diabaikan.Hak-hak masyarakat adat merupakan hak alamiah

(natural rights) yang lahir dari proses sosial dan diwariskan dari generasi ke generasi. Ketika masyarakat adat dinaungi oleh sebuah negara, maka tantangannya adalah kebutuhan untuk mempositivisasi hak tersebut ke dalam konstitusi tertulis.

Universitas Sumatera Utara 49

Postivisasi hak-hak masyarakat merupakan upaya untuk mendamaikan antara hukum modern yang dipakai untuk menata kehidupan bernegara

(secondary rules) dengan hukum asli yang ada didalam komunitas masyarakat

(primary rules). Meskipun pada dasarnya keberadaan hak asasi itu bergantung kepada positivisasinya ke dalam hukum tertulis, namun perkembangan kehidupan bernegara yang bersandar pada hukum tertulis menjadikan positivisasi hak asasi menjadi persoalan yang sangat penting.

Keberadaan masyarakat adat dan hak tradisionalnya menjadi dilematis.

Pada satu sisi karena membutuhkan positivisasi maka keberadaan dan hak tradisionalnya hanya akan diakui apabila diatur di dalam hukum tertulis yang dibuat oleh institusi negara. Secara a contrario, dapat dikatakan bahwa, jika tidak diakui secara hukum maka eksistensi masyarakat adat itu dianggap lenyap atau tidak ada. Padahal keberadaan masyarakat adat dan hak tradisionalnya sebagaimana hak asasi yang lain adalah hak yang melekat pada diri masyarakat adat.

Hak tradisional masyarakat adat bukanlah hak berian. Sehingga tanpa dituliskan di dalam konstitusi maupun dalam bentuk hukum tertulis lainnya yang dibuat oleh negara, hak tradisional masyarakat adat tetapi menjadi lembaga yang hidup di dalam masyarakat adat. Begitu juga dengan masyarakat adat Lampung yang sampai saat ini keberadaanya, dapat dilihat pada acara-acara adat seperti pada prosesi perkawinan, hitanan anak, penobatan punyimbang adat, pertemuan tokoh-tokoh adat dan lain sebagainya. Masyarakat adat Lampung tersebut terdiri dari dua kelompok besar yaitu:

Universitas Sumatera Utara 50

Pertama, masyarakat beradat Pepadun yang terdiri dari Abung Siwo Mego,

Pubian Telu Suku, Raem Mega Pak, Bunga Mayang Sungkai, Way Kanan Lima,

Kebuwaiyan serta Melinting dan Jabung; kedua, masyarakat beradat Sebatin di wilayah Lampung Barat, Pesisir Barat, Semaka Tanggamus dan Kalianda.Terkait dengan pemerintahan adat, masyarakat Lampung yang beradat Pepadun memakai sistem kepunyimbanga berdasarkan garis keturanan laki-laki (patrilineal). Di dalam masyarakat adat Lampung Pepadun tingkatan punyimbang ada tiga, yaitu:

(1) punyimbang marga atau paksi yang membawahi tiyuh(kampung),

(2) punyimbang tiyuh yang membawahi beberapa suku atau bilik, dan

(3) punyimbang suku yang membawahi beberapa tingkat mengkondisikan adanya

aturan yang mengatur pemakaian kain tapis sebagai busana adat yang

menyesuaikan status sosialnya dalam masyarakat. Aturan yang berlaku

tersebut juga disertai hukuman atau sanksi adat (cepalo) bagi anggota

masyarakat yang melanggarnya.

Busana tradisional Lampung identik dengan warna gemerlap, khususnya warna emas. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aksesorisnya, antara lain Siger, gelang kano, gelang bukhung, dan tanggai yang amat menonjolkan sentuhan warna emas. Selain aksesoris, sentuhan warna emas juga dapat ditemukan dalam produk tekstil tradisional Lampung. Salah satu di antaranya adalah kain Tapis, yang kini menjadi produk tekstil unggulan provinsi ini. Kain Tapis merupakan produk tradisional Lampung dengan pola motif khusus dari benang emas atau perak. Bahan dasar dari kain ini adalah benang kapas yang ditenun secara tradisional. Motif-motif dekorasi benang emas atau perak dibuat dengan tekhnik

Universitas Sumatera Utara 51

sulam (cucuk dalam bahasa setempat) tradisional atau teknik bordir (modern).

Kain ini bisanya digunakan kaum perempuan sebagai penutup tubuh bagain bawah, dari pinggang hingga mata kaki.47

Ternyata di dalam perkembangannya tidak semua suku Lampung menggunakan Tapis sebagai sarana perlengkapan hidup. Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa yang umum memproduksi dan mengembangkan tenun Tapis adalah suku Lampung yang beradat Pepadun. Sedangkan suku Lampung Saibatin yang juga disebut masyarakat Lampung Saibatin, hanya sedikit yang memproduksi jenis kain ini sebagai perlengkapan adatnya.

Pembuat kain Tapis banyak ditemukan dalam masyarakat adat Lampung.

Adapun tempat asal yang dikenal adalah Abung Siwo Mego, Mego Pak Tulang

Bawang, Sungkai Way Kanan, Pubian Telu Suku dan Pesisir. Beberapa nama kain tapis yang umum digunakan masyarakat Lampung Pepadun dan Lampung

Saibatin.

C. Potensi Kain Tapis Lampung Sebagai Suatu Produk Kerajinan Tradisional Masyarakat Untuk Dapat Didaftarkan Sebagai Produk Indikasi Geograsis Ke Direktorat Jenderal HKI

Pasal 56 UU No.20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis menyebutkan bahwa

(1) Permohonan Indikasi Geografis tidak dapat didaftar jika: a. bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang- undangan, oralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum; b. menyesatkan atau memperdaya masyarakat mengenai reputasi, kualitas, karakteristik, asal sumber, proses pembuatan barang, dan/atau kegunaannya; dan

47 Turunde Lukman, Menata Manajemen Perlindungan Hukum Kain Tapis Lampung Sebagai Produk Kerajinan Tangan Tradisional, Rineka Cipta Jakarta, 2017, hal.65.

Universitas Sumatera Utara 52

c. merupakan nama yang telah digunakan sebagai varietas tanaman dan digunakan bagi varietas tanaman yang sejenis, kecuali ada penambahan padanan kata yang menunjukkan faktor indikasi geografis yang sejenis. (2) Permohonan Indikasi Geografis ditolak jika: a. Dokumen Deskripsi Indikasi Geografis tidak dapat dibuktikan kebenarannya; dan/atau b. memiliki persamaan pada keseluruhannya dengan Indikasi Geografis yang sudah terdaftar.

Berdasarkan ketentuan Pasal 56 UU No.20 Tahun 2016 tersebut dapat dikatakan bahwa permohonan pendaftaran indikasi geografis akan ditolak oleh

Direktorat Jenderal HKI apabila:

a. Bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, motlralitas agama, kesusilaan dan ketertiban umum b. memperdaya dan menyesatkan masyarakat dari segi kualitas dan reputasi produk c. Menggunakan nama varietas tanaman sejenis (sama) untuk produk pertanian dan nama yang sama secara keseluruhan dengan produk yang sudah terdaftar lebih dahulu d. Memiliki persamaan/kemiripan bentuk dengan produk yang sudah terdaftar lebih dahulu. e. Dokumen Deskripsi Indikasi Geografis tidak dapat dibuktikan kebenarannya

Undang-Undang No.20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi

Geografis tidak menyebutkan secara spesifik mengenai produk yang dapat didaftarkan sebagai produk indikasi geografis. Di dalam ketentuan Pasal 56

Undang-Undang No.20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis hanya menyebutkan tentang kualitas, reputasi, karakteristik, asal sumber, proses pembuatan dan/atau kegunaan produk dan juga Dokumen Deskripsi Indikasi

Geografis yang terbukti benar, sebagai persyaratan utama dapat didaftarkannya suatu produk sebagai produk indikasi geografis ke Direktorat Jenderal HKI.48

48 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Raja Grafindo, Persada, Jakarta, 2007, hal. 62

Universitas Sumatera Utara 53

Kualitas produk dapat dimaknai sebagai kemampuan suatu produk/barang untuk melaksanakan fungsinya dengan baik dan dalam jangka waktu yang lama yang menimbulkan kepuasan bagi pengguna dari produk tersebut. Sedangkan reputasi produk adalah berkaitan dengan kualitas yang cukup baik dan memuaskan dari suatu produk dan sudah dikenal oleh masyarakat luas sebagai produk yang bagus.

Karakteristik adalah merupakan ciri pembeda anatara satu produk dengan produk yang lainnya yang dapat berupa pemilihan kualitas bahan yang digunakan, tekstur bentuk, struktur, pola yang khusus dan menjadi ciri khas tersendiri dari produk tersebut. Selain itu terdapat pula dokumen deskripsi indikasi geografis yang dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmu pengetahuan, sehingga dapat dijadikan alat bukti yang autentik bahwa produk tersebut benar diproduksi oleh masyarakat di wilayah tersebut dan sudah berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama secara turun temurun.49

Kain tapis Lampung sebagai suatu produk kerajinan tangan masyarakat daerah Lampung merupakan suatu hasil karya dari masyarakat daerah Lampung secara turun temurun melakui suatu pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat daerah Lampung. Pengetahuan tradisional tersebut dimiliki secara turun temurun oleh masyarakat Lampung dan pengetahuan tradisional tersebut sudah dimiliki sejak dalam jangka waktu yang cukup lama hingga ratusan tahun yang lalu, disaat ilmu pengetahuan dan teknologi belum berkembang maju seperti sekarang ini. Oleh karena itu pengetahuan tradisional yang sudah lama dimiliki

49Syafrinaldi, Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam Menghadapi Era Globalisasi, Jakarta: UI Press, 2010, hal. 52

Universitas Sumatera Utara 54

oleh masyarakat Lampung secara turun temurun tersebut memiliki nilai yang tinggi karena tidak semua kelompok masyarakat di Indonesia memiliki pengetahuan tradisional dalam membuat kain tenun tapis Lampung yang memiliki kualitas, reputasi yang baik dan memiliki karakteristik yang spesifik sesuai adat istiadat masyarakat Lampung tersebut.

Pelindungan pengetahuan tradisional dalam lingkup Hak Kekayaan

Intelektual (HKI) pada hakekatnya adalah sistem pelindungan serta penghargaan terhadap pelindungan serta penghargaan terhadap karya dari hasil intelektual manusia. Perkembangan HKI ini telah membawa berbagai kepentingan khususnya kepentingan kehidupan moderen dan industri, sehingga meluapkan kepentingan masyarakat asli. Masing-masing bidang HKI memberikan pokok-pokok pemikiran terhadap isu perkembangan bagi pelindungan terhadap pengetahuan tradisional.

Munculnya terminologi tentang pengetahuan tradisional karena adanya kebutuhan untuk mengidentifikasi syarat-syarat yang akan memudahkan pembahasan mengenai lingkup pokok masalah yang akan diberikan perlindungan.

Penggunaan serangkaian istilah yang lazim diterapkan pada pokok masalah

Pengetahuan Tradisional, karena terdapat beberapa istilah berbeda yang digunakan untuk istilah tersebut, yaitu: pengetahuan tradisional (traditional knowledge), masyarakat asli (indigenous communities), cerita rakyat (folklore), pengetahuan ekologi tradisional (traditional ecological knowledge), pelestarian budaya tradisional (traditional and popular culture). “Pengetahuan tradisional adalah karya intelektual di bidang pengetahuan dan teknologi yang mengandung unsur karakterisitik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan, dan

Universitas Sumatera Utara 55

dipelihara oleh komunitas atau masyarakat tertentu.”Meskipun diskusi terkait pelindungan terhadap pengetahuan tradisional telah dilakukan lebih dari empat puluh tahun silam, namun secara internasional hingga saat ini belum ada keseragaman definisi pengetahuan tradisional yang disepakati.

World Intellectual Property Organization (WIPO) mendefinisikan pengetahuan tradisional adalah“Knowledge, know-how, skills and practices that are developed, sustained and passed on from generation to generation within a community, often forming part of its cultural or spiritual identity”.(Pengetahuan yang bagaimana yang dapat dikembangkan keterampilan dan praktik, berkelanjutan dan diteruskan dari generasi ke generasi dalam komunitas, sering membentuk bagian dari strategi identitas budaya atau spiritual).

Masyarakat tradisional juga memiliki pemahaman sendiri mengenai pengetahuan tradisional. Menurut mereka pengetahuan tradisional adalah:50 a. Pengetahuan Tradisional merupakan hasil pemikiran praktis yang didasarkan

atas pengajaran dan pengalaman dari generasi ke generasi; b. Pengetahuan Tradisional merupakan pengetahuan di daerah perkampungan,

dan c. Pengetahuan Tradisional tidak dapat dipisahkan dari masyarakat

pemegangnya, meliputi kesehatan, spiritual, budaya dan bahasa dari

masyarakat pemegang. Pengetahuan Tradisional memberikan kredibilitas

pada masyarakat pemegangnya.

Penduduk asli mendefinisikan pengetahuan tradisional sebagai:

50 Rismauddin, IlmuPengetahuan Tradisional dalam Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 2017, hal. 32

Universitas Sumatera Utara 56

a. Pengetahuan yang mereka terima berasal dari akal sehat yang praktis, yaitu

berdasarkan ajaran dan pengalaman yang diwariskan dari gerenasi ke generasi. b. Pengetahuan umum yang dikenal oleh seluruh anggota suatu masyarakat,

misalnya pengetahuan tentang lingkungan pangan, hortikultura, dunia hewan,

salju, es, cuaca, sumber daya, dan hubungan di antara hal-hal itu. c. Pengetahuan yang bersifat holistik, artinya pengetahuan tentang “suatu hal”

berkaitan dengan “hal lain” pengetahuan yang saling kait mengkait dan

berakar tradisi, spiritualitas, budaya dan bahasa rakyat yang semuanya

merupakan persoalan cara hidup. d. Pengetahuan tradisional ini merupakan persoalan cara hidup ada

kebijaksanaan untuk menggunakan pengetahuan tradisional dengan cara yang

baik, semacam spirit agar para anggotanya dapat bertahan hidup. e. Pengetahuan tradisional ini berada dalam suatu sistem otoritas, karena ada

aturan-aturan yang mengatur penggunaan sumber daya, kewajiban untuk

berbagi. Jadi sifatnya pengetahuan itu dinamis, kumulatif, dan stabil ini adalah

persoalan kebenaran.

Pengetahuan tradisional terdiri atas pertama, pengetahuan tradisional dan bahan-bahan tumbuhan asli/lokal, kedua, menyangkut seni seperti yang dinyatakan foklor. Pelindungan pengetahuan tradisional dalam lingkup HKI pada hakekatnya adalah sistem terhadap pelindungan serta penghargaan terhadap karya dari hasil intelektual manusia. Perkembangan HKI ini telah membawa berbagai kepentingan khususnya kepentingan kehidupan moderen dan industri, sehingga melupakan kepentingan masyarakat tradisional. Padahal banyak hasil yang

Universitas Sumatera Utara 57

digunakan masyarakat moderen dan industri adalah merupakan pengetahuan dan teknologi tradisional masyarkat asli. Masing-masing bidang HKI di atas setidaknya memberikan pokok-pokok pemikiran terhadap isu perkembangan bagi pelindungan terhadap pengetahuan dan teknologi tradisional.51

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa kain tapis

Lampung sebagai produk kerajinan tangan tradisional yang dihasilkan melalui pengetahuan tradisional masyarakat Lampung secara turun temurun sejak ratusan tahun lalu merupakan suatu produk yang mengindikasikan kekayaan pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat daerah Lampung pada khususnya yang dipandang memenuhi syarat secara hukum hak kekayaan intelektual dan memiliki potensi untuk dapat didaftarkan sebagai produk indikasi geografis daerah Lampung. Potensi kain tapis Lampung untuk dapat didaftarkan sebagai produk indikasi geografisdengan menilai kain Tapis Lampung merupakan:52

1. Hasil karya pengetahuan tradisional masyarakat daerah Lampung secara

turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu

2. Produk yang memiliki kualitas yang baik dan reputasi yang tinggi dan

memiliki karakteristik yang spesifik dan memiliki ciri khas sendiri sebagai

produk tradisional tenun ikat tradisional yang dikerjakan melalui manual

dengan tangan.

3. Memiliki dokumen deskripsi yang jelas dapat dibuktikan kebenarannya

51 Muhammad Racmad, Pengantar HKI, Penerbit Pustaka Magister, Semarang, 2018, hal. 49 52 CarlitoYusuf, Peran Pemerintah Daerah Lampung Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Kain Tapis Lampung, Kencana Media, Jakarta, 2017, hal.50.

Universitas Sumatera Utara 58

4. Produk yang sudah cukup dikenal oleh masyarakat di kuar Lampung di

Indonesia dan juga di manca negara.

5. Memiliki nilai budaya yang tinggi dan hanya dapat dikerjakan oleh

kelompok masyarakat yang memiliki keahlian khusus dan pengetahuan

tradisional yang baik.

Persyaratan yang harus dipenuhi agar kain tapis Lampung dapat dimohonkan pendaftaran ke Direkotrat Jenderal HKI sebagai produk indikasi geografis terhadap kain tapis Lampung secara yuridis formal telah memenuhi persyaratan, namun pada pelaksanaannya perlu dilakukan upaya dukungan oleh pemerintah daerah Lampung untuk lebih mempromosikan produk kain tapis

Lampung tersebut ke seluruh Indonesia dengan melaksanakan program – program promosi budaya masyarakat Lampung ke seluruh wilayah Indonesia untuk lebih mempopulerkan kain tapis Lampung sebagai ciri khas kerajinan tangan masyarakat daerah Lampung kepada seluruh masyarakat Indonesia, sehingga masyarakat Indonesia dapat lebih mengenal dan memahami secara lebih detail tentang produk kain tapis Lampung sebagai produk kerajinan tangan asli masyarakat daerah Lampung tersebut. Promosi dapat pula dilakukan oleh pemerintah daerah kota Lampung ke ajang promosi mancanegara khususnya di wilayah Asia Tenggara untuk memperkenalkan produk kerajinan tangan tradisional masyarakat Lampung berupa kain tapis tersebut. Dengan dukungan penuh dari pemerintah daerah Lampung dalam mempromosikan kain tapis ke seluruh Indonesia dan mancanegara maka proses hukum pelaksanaan pengajuan permohonan pendaftaran kain tapis sebagai produk indikasi geografis dari daerah

Universitas Sumatera Utara 59

Lampung akan lebih mudah diterima di Direktorat Jenderal HKI, karena produk kain tapis Lampung tersebut sudah terlebih dahulu dikenal oleh masyarakat

Indonesia maupun masyarakat mancanegara sebagai produk kerajinan tangan ciri khas masyarakat daerah Lampung.

Apabila dikaitkan dengan teori perlindungan hukum yang digunakan dalam penelitian ini maka pengajuan permohonan pendaftaran kain tapis

Lampung sebagai produk indikasi geografis merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah Lampung untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kain tapis Lampung sebagai produk kerajinan tangan tradisional dari masyarakat Lampung dan dapat terlindungi hak dan kepentingannya dari gangguan pihak lain.

Berdasarkan kriteria tersebut di atas mengenai kain Tapis Lampung tersebut secara persyaratan hukum pendaftaran produk Indikasi geografis sudah memenuhi syarat dan memiliki potensi yang cukup besar untuk didaftarkan sebagai produk Indikasi Geografis ke Direktorat Jenderal HKI.

Universitas Sumatera Utara

60

BAB III

DAMPAK NEGATIF YANG DIALAMI PARA PENGRAJIN DI LAMPUNG APABILA KAIN TAPIS TIDAK DIDAFTARKAN SEBAGAI PRODUK INDIKASI GEOGRAFIS

A. Konsep Pelindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Melalui Pendaftaran Indikasi Geografis

Konsep pelindungan hukum secara umum adalah memberikan pengayoman dan pelindungan kepada hak hak manusia baik perorangan maupun kelompok yang dirugikan orang lain dan pelindungan tersebut diberikan kepada manusia sebagai anggota atau kelompok masyarakat agar masyarakat dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan Perkataan lain pelindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan juga oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman dan nyaman, baik secara pikiran maupun fisik kepada setiap individu maupun kelompok dalam masyarakat dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.53

Pelindungan hukum adalah pelindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak yang dimiliki oleh subyek hukum bersumber dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelindungan hukum terhadap berbagai macam produk yang mencirikan Indikasi Geografis di

Indonesia harus dapat menjawab tantangan global (perdagangan bertaraf internasional) yakni dengan memberikan aturan hukum yang memadai sehingga dapat memberikan kepastian hukum terhadap produk asli Indonesia di luar

53 Rismadi Rafyanto¸Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, Alumni, Bandung, 2016, hal. 92

60 Universitas Sumatera Utara 61

negeri. Kepastian hukum tersebut berkaitan dengan substansi tentang pengaturan

Indikasi Geografis dalamsuatu peraturan perundang-undangan di bidang Merek dan Indikasi Geografis yang lebih memberikan jaminan pelindungan hukum bagi pemegang hak sehingga responsif terhadap pelanggaran oleh pihak lain.

Hal tersebut dibuktikan dengan adanya contoh dua kasus mengenai pelanggaran Indikasi Geografis, yaitu kasus pelanggaran Kopi Toraja dan Kopi

Gayo. Kasus pendaftaran merek Kopi dengan nama Toraja oleh Key Coffee Co. diawali pada saat pemilik merek “Toarco Toraja” tersebut mengajukan permohonan pelindungan atas merek kopi yang mulai populer di Jepang.

Ancaman adanya pesaing yang menggunakan merek dagang dengan nama yang sama menjadi dasar permohonan pelindungan mereknya pada 1974 dan kemudian pendaftarannya dikabulkan pada 1976. Kasus kedua, Kopi Gayo sebagai merek dagang di klaim milik sebuah perusahaan asal Belanda sebagai pemegang haknya, dimana pada dasarnya Kopi Gayo adalah produk hasil pertanian yang sudah terdaftar sebagai produk indikasi geografis yang berasal dari daerah gayo Nangroe

Aceh Darussalam (NAD). Perusahaan asal Belanda tersebut (Holland Coffe B.V) mengklaim bahwa perusahaan tersebut merupakan pemilik dari hak merek dagang kopi tersebut dan terdaftar di dunia internasional dengan nama Gayo Mountain

Coffee.

Pada dasarnya produk yang sudah terdaftar sebagai produk indikasi geografis di direktorat Jenderal HKI Indonesia, masih dapat diambil alih hak mereknya secara melawan hukum oleh negara asing seperti Belanda, apalagi produk yang sudah cukup dikenal luas seperti kain tapis Lampung yang masih

Universitas Sumatera Utara 62

belum terdaftar sebagai produk indikasi geografis, akan lebih mudah diklaim baik hak atas mereknya maupun hak atas indikasi geografis nya oleh negara lain yang menyadari nilai budaya dan nilai ekonomi dari produk kain tapis Lampung tersebut begitu tinggi, sehingga memungkin negara lain tersebut memproduksi kain tapis Lampung tersebut dengan membayar/memberi modal kepada pengrajin kain tapis Lampung untuk dibawa keluar negeri.

Para pengrajin kain tapis Lampung tersebut dapat saja dibawa ke luar negeri dan diberi fasilitas yang bagus di luar negeri, dengan satu tujuan memproduksi kain tapis Lampung dalam jumlah besar dan memperdagangkannya di dunia perdagangan internasional. Apabila proses produksikain tapis tersebut berlangsung terus menerus di luar negeri dan memperdagangkannya dengan harga yang mahal di dunia internasional, serta memperoleh keuntungan yang besar bagi penyandang dana, maka dapat saja produk kain tapis Lampung tersebut suatu waktu diklaim oleh negara lain sebagai produk asli dari negara tersebut dan mengambil alih proses produksi, dan proses perdagangannya di ldalam perdagangan internasional. Indonesia pada umumnya, dan Lampung pada khusus dapat kehilangan produk tradisionalnya yaitu kain tapis Lampung bila tidak dapat melindungi produk tersebut baik secara hukum nasional, melalui pendaftaran indikasi geografis di Direktorat Jenderal HKI maupun mendaftarkannya di organisasi HKI internasional World Intellectual Property Organization (WIPO).54

Pada dasarnya pelindungan hukum terhadap indikasi geografis dalam sistem hukum hak kekayaan intelektual adalah upaya untuk melindungi produk-

54 Mulyanto, Hukum Hak Cipta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2016, hal. 12.

Universitas Sumatera Utara 63

produk masyarakat lokal dalam negeri karena merek yang dipakai oleh pelaku bisnis untuk memperkenalkan produk, biasanya menggunakan nama tempat atau lokasi geografis yang menjelaskan dari mana barang tersebut berasal. Namun demikian, Indonesia belum memiliki instrumen yang mengatur IIndikasi

Geografis sebagai komponen Kekayaan Intelektual hingga tahun 2001, sehingga substansi hukum, indikasi geografis tidak dicantumkan dalam ketentuan umum

Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor

51 Tahun 2007. Hal ini menunjukkan bahwa substansi hukum di bidang Indikasi

Geografis tidak memadai, karena itu beralasan apabila kemudian disahkan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis untuk mengubah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.55

Selain itu, faktor kultur dan kebiasaan perilaku masyarakat juga sangat berpengaruh terhadap pendaftaran Indikasi geografis oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena para pejabat yang terkait di bidang HKI tersebut belum melakukan sosialisasi yang optimal dan ini berakibat pada faktor kultur yaitu masyarakat tidak melakukan pendaftaran terhadap indikasi geografis karena tidak mengetahui konsep IG tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, didapati masalah kepastian hukum tentang IG yang menyangkut aspek budaya hukum, di samping aspek pengaturan norma hukum yang disebut sebelumnya. Permasalahan budaya hukum seperti itu memang tidak mungkin dilepaskan dari konteks pembangunan sistem hukum nasional yang, dalam kaitannya dengan kepentingan Indikasi geografis, terkait erat dengan penguatan arus globalisasi ekonomi.

55Ibid, hal. 13

Universitas Sumatera Utara 64

Lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 sebagai implementasi dari ketentuan internasional mengatur Indikasi Geografis secara leih komprehensif daripada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dalam mengembangkan potensi indikasi geografis yang bernilai ekonomi tinggi, sehingga Undang-Undang No.20 Tahun 2016 tersebut diharapkan memiliki implikasi positif terhadap pengembangan ekonomi terhadap masyarakat pengrajin tradisional di daerah dan mendorong kesadaran masyarakat dan juga

Pemda untuk mendaftarkan produk indikasi geografis tersebut.

The Convention for the Protection of Industrial Property 1883

(Konvensi Paris 1883), mengatur tentang Appellation of Origin (AO) sebagai berikut:“… the geographical name of a country, region, or locality, which serves to designate a product originating therein, the quality and characteristic of which are due exclusively or essentially to the geographical environment, including natural and human factor.”Bersama dengan Indikasi Asal (Indication of Source),

AO termasuk dalam aturan nama dagang yang memakai nama tempat untuk produk dagangnya. Nama tempat berfungsi sebagai tanda pembeda. Lebih luas pengertiannya dari AO yang harus sama persis dengan produknya, Indikasi

Geografis merujuk tidak hanya pada nama tempat, tetapi juga tanda-tanda kedaerahan atau lambang dari lokasi bersangkutan yang mengidentifikasikan asal produk khas bersangkutan.

Ketentuan Pasal IX: 6 GATT 194713 tidak diberlakukan sebagai ketentuan hukum yang mengikat dan ditetapkan sebagai syarat wajib yang diberlakukan, tetapi ketentuan tersebut lebih cenderung ditetapkan sebagai kerjasama antar

Universitas Sumatera Utara 65

negara anggota untuk menangkal terjadinya penyesatan. Juga kewajiban antar negara anggota untuk melaksanakan kerjasama dalam merumuskan ketentuan hukum dalam peraturan hukumnya masing-masing terhadap pelindungan nama geografis.

Perjanjian Lisabon 1958 menjelaskan Appellation of Origin sebagai berikut:

“In this Agreement, “appellation of origin” means the geographicalde Nomormination of a country, region, or locality, which serves todesignate a product originating therein, the quality or characteristics ofwhich are due exclusively or essentially to the geographicalenvironment, including natural and human factors.”

Perjanjian Lisabon bertujuan dalam rangka merespon kebutuhan hukum internasional dan memfasilitasi dalam hal pelindungan terhadap indikasi

Geografis seperti Appellation of Origin (AO) di beberapa negara selain negara asal indikasi geografis tersebut melalui sistem single registration di Biro

Internasional WIPO.

Pada tahun 1974 dan 1975 WIPO berinisiatif menyelenggarakan persidangan untuk dibentuknya suatu perjanjian internasional dengan merevisi ketentuan terkait dengan indikasi geografis dalam Konvensi Paris sehingga menjadi perjanjian internasional yang baru. Sebagai bagian dalam taraf negoisasi dalam rangka merevisi Konvensi Paris pada tahun 1980. Awal tahun 1990, negara anggota mempertimbangkan untuk mengadopsi ketentuan tambahan (additional articles) quateraddressing geographical indications. Ketentuan tentang

Appellation of Origin dalam Konvensi Paris dikembangkan melalui Perjanjian

TRIPs (TRIPs Agreement) sebagai IG (Geographical Indication).

Universitas Sumatera Utara 66

Article 22 TRIPsAgreement mengatakan bahwa:

“Geographical indications are for the purposes of this agreement,indications which indentify a good as originating in the territory of amember, or a region or locality in that territory, where a given quality,reputation or other characteristics of the good is essentially attributable to its geographical origin.”

Sesuai dengan standar minimum yang dianut dalam Perjanjian TRIPs, maka pengaturan indikasi geografis diserahkan pada masing-masing Negara peserta, apakah bersifat “suigeneris” (tersendiri) atau diatur bersama dengan merek meskipunTRIPs mengakui bahwa merek dan Indikasi geografis merupakan rezim kekayaan intelektual yangberbeda.

TRIPs menyatakan ”for the purpose of this agreement” berarti, unsur- unsur definisi indikasi geografis merupakan sifat khas yang berbeda dengan rezim

KI lain. Setidaknya, ada empat unsur pokok indikasi geografis dalam Perjanjian

TRIPs, yaitu, pertama, unsur nama geografis untuk mengidentifikasi, tidak bersifat mutlak karena dapat menggunakan nama Nomorn-geografis; kedua, unsur wilayah dalam negara sebagai tempat produksi tidak identik dengan wilayah administratif namun disesuaikan dengan kondisi faktual; ketiga, unsur kepemilikan dalam indikasi geografis bukan merupakan hak individual (private right) tetapi hak komunal (communal right), maka IG merupakan hak untuk menggunakan (right to use); dan keempat, unsur kualitas, reputasi, atau karakteristik lain yang bersifat alternatif, sehingga barang sudah cukup memenuhi salah satu dari unsur tersebut.56

56 Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, PT. Alumni, Bandung, 2011, hal. 31

Universitas Sumatera Utara 67

Perjanjian Madrid atau Madrid Agreement Concerning The International

Registration of Marks yang ditandatangani tahun 1981, dalam Pasal 1 menyeburkan bahwa: “All goods bearings a false or deceptive by wich one of the countries to wichthis agreement applies or a place situated therein, is directly indicated asbeing the country or palce of origin hsall be seized in importation into any ofthe said countries.”

Ketentuan ini sebenarnya telah memberikan pelindungan informasi yang menyesatkan darimana barang tersebut berasal. Namun dalam perjanjian ini tidak secara spesifik mengatur konsep indikasi geografis. Perjanjian ini hanya mengatur terhadap adanya keharusan untuk menyita setiap barang indikasi geografis yang salah atau menyesatkan. Perjanjian ini tidak menambah level atau keterangan tentang pelindungan Indikasi Asal sebagaimana yang telah diatur di dalam

Konvensi Paris.

Pengaturan terkait indikasi geografis sangat beragam di berbagai Negara, tetapi Indonesia memilih digabungkan bersama-sama dengan merek sebagaimana tertuang dalam UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek tetapi pengaturan tersebut bersifat sumir sehingga ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah

No. 51 Tahun 2007. Indikasi geografis diatur lebih lengkap setelah pemerintah mengganti Undang-Undang No.15 Tahun 2001 dengan Undang-Undang No. 20

Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.57

Indikasi Geografis dilindungi setelah didaftarkan dengan terlebih dahulu harus mengajukan permohonan kepada Menteri. Pemohon merupakan: 58

57 Bernard Nainggolan, Komentar Undang-Undang Hak Cipta, PT. Alumni, Bandung, 2016, hal. 10 58Maria Alfons, Implentasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas ProdukProduk Masyarakat Lokal Dalam Prespektif Hak kekayaan Intelektual, Universitas Brawijawa, Malang, 2010, hal. 32

Universitas Sumatera Utara 68

a. lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan geografis tertentu yang

mengusahakan suatu barang dan/atau produk berupa:

1. sumber daya alam;

2. barang kerajinan tangan; atau

3. hasil industri. b. Pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota

Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 memperluas pemohon pelindungan

Indikasi Geografis, yaitu Pemerintah Daerah provinsi atau kabupaten/kota yang tidak diatur dalam Undang-Undang No.15 Tahun 2001 tetapi Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2016 tidak mencantumkan kelompok konsumen yang mengajukan permohonan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.15

Tahun 2001. Adanya ketentuan Pemerintah Daerah dapat mengajukan permohonan merupakan langkah yang tepat mengingat IG merujuk daerah asal barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk alam, manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Undang-Undang No.20 Tahun 2016 mengatur Permohonan yang diajukan oleh pemohon yang bertempat tinggal atau berkedudukan tetap di luar wilayah

NKRI wajib diajukan melalui Kuasanya di Indonesia. Permohonan tersebut hanya dapat didaftar apabila indikasi geografis telah memperoleh pengakuan dari pemerintah negaranya dan/atau terdaftar sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara asalnya. Ketentuan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang No.15

Tahun 2001, padahal dapat terjadi permohonan indikasi geografis diajukan oleh

Universitas Sumatera Utara 69

pihak pemohon yang berada diluar wilayah Indonesia tetapi untuk memastikan bahwa indikasi geografis yang diajukan tersebut memiliki legalitas kepemilikan, maka harus memperoleh pengakuan dari pemerintah Negara asalnya. Undang-

Undang No. 20 Tahun 2016 mengatur indikasi geografis yang dapat didaftarkan berdasarkan perjanjian internasional. Ketentuan ini akan lebih praktis dan memudahkan secara teknis administrasi permohonan pelindungan IG di Negara- negara lain. Ketentuan tersebut tidak diatur dalam Undang-UndangNo. 15 Tahun

2001, sehingga apabila pemohon mengajukan pendaftaran di negara-negara lain dilakukan melalui hak prioritas. Hak prioritas diatur juga dalam Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2016, sehingga pengembangan ekonomi melalui indikasi geografis lebih terbuka karena bagi pemohon yang akan mengajukan permohonan indikasi geografis di Negara lain mempunyai pilihan atau alternatif.59

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 mensyaratkan adanyapemeriksaan substantif yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun2001.

Ketentuan ini penting dilihat dari aspek “kepastian hak” dalam arti pemohon

Indikasi geografis memang pemohon yang berhak atas Indikasi geografis yang dimohonkan pendaftarannya dan adanya pemeriksaan substantif untuk memastikan bahwakreasi yang diajukan memenuhi persyaratan sebagai indikasi geografis (kepastian hukum) sehingga komersialisasi terhadap Indikasi geografis tersebut merupakan pengembanganekonomi yang sehat. d. Jangka Waktu Pelindungan dan Penghapusan Indikasi geografis

59Tomy Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, hal. 14

Universitas Sumatera Utara 70

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tidak mengatur tentang

Penghapusan indikasi geografis, berbeda dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2016 sebagaimana tercantum dalam Pasal 61 yang berbunyi:

(1) indikasi geografis dilindungi selama terjaganya reputasi, kualitas, dan karak-teristik yang menjadi dasar diberikannya pelindungan indikasi geografis pada suatu barang. (2) Indikasi geografis dapat dihapus jika: a. tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) huruf a. e. Pelanggaran atas Indikasi geografis

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 menjelaskan Pelanggaran atas indikasi geografis mencakup: a. pemakaian Indikasi geografis baik secara langsung maupun tidak langsung atas barang dan/atau produk yang tidak memenuhi Dokumen Deskripsi indikasi geografis; b. suatu tanda indikasi geografis baik secara langsung maupun tidak langsung atas barang dan/atau produk yang dilindungi atau tidak dilindungi dengan maksud untuk: 1. menunjukkan bahwa barang dan/atau produk tersebut sebanding kualitasnya dengan barang dan/atau produk yang dilindungi oleh indikasi geografis; 2. mendapatkan keuntungan dari pemakaian tersebut; atau 3. mendapatkan keuntungan atas reputasi indikasi geografis c. pemakaian indikasi geografis yang dapat menyesatkan masyarakat sehubungan dengan asal-usul geografis barang itu; d. pemakaian indikasi geografis oleh bukan pemakai indikasi geografis terdaftar; e. peniruan atau penyalahgunaan yang dapat menyesatkan sehubungan dengan asal tempat barang dan/atau produk atau kualitas barang dan/atau produk yang terdapat pada: 1. pembungkus atau kemasan; 2. keterangan dalam iklan; 3. keterangan dalam dokumen mengenai barang dan/atau produk tersebut; atau 4. informasi yang dapat menyesatkan mengenai asal-usulnya dalam suatu kemasan. f. tindakan lainnya yang dapat menyesatkan masyarakat luas mengenai kebenaran asal barang dan/atau produk tersebut. UUNo. 15 Tahun 2001 tidak secara tegas menjelaskan pelanggaran atas indikasi geografis, tetapi pemegang hak Indikasi geografis dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.

Universitas Sumatera Utara 71

B. Mekanisme Pendaftaran Pelindungan Hukum Indikasi Geografis

Mekanisme yang harus di tempuh dalam pendaftaran pelindungan hukum indikasi geografis diatur di dalam Undang-Undang No 20 tahun 2016 tentang

Merek dan Indikasi Geografis serta diatur di dalam Buku Indikasi Geografis

Indonesia. Adapun mekanisme yang harus disiapkan dan harus ditempuh diatur di dalam Buku Indikasi Geografis Indonesia yang dikeluarkan oleh Direktorat

Jenderal Kekayaan Intelektual yaitu, sebagai berikut tata cara pengajuan permohonan pendaftaran Indikasi Geografis:

a. Permohonan pendaftaran diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau melalui Kuasanya dengan mengisi formulir dalam rangkap 3 (tiga) kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. b. Pemohon sebagaimana dimaksud harus mencantumkan persyaratan administrasi sebagai berikut: 1) Tanggal, bulan dan tahun; 2) Nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat Pemohon; 3) Nama lengkap dan alamat Kuasa, apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa. c. Permohonan sebagaimana yang dimaksud pada point a harus dilampiri: 1) Surat kuasa khusus, apabila permohonan melalui kuasa; 2) Bukti pembayaran biaya pendaftaran dan pemeriksaan substantif kepada Kantor Kas Negara; d. Permohonan sebagaimana dimaksud pada point a harus dilengkapi dengan Buku Persyaratan. e. Permohonan dapat diajukan kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual: 1) Dengan alamat : Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jl. H.R. Rasuna Said Kav.8-9, Kuningan, Jakarta Selatan 12190, atau 2) Melalui Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang ada di seluruh provinsi Indonesia, atau 3) Melalui Kuasa Hukum Konsultan Kekayaan Intelektual yang terdaftar. f. Permohonan diajukan dengan menggunakan formulir permohonan resmi Indikasi Geografis dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual.

Adapun Buku Persyaratan yang dimaksud harus dilengkapi dalam pendaftaran Indikasi Geografis adalah sebuah dokumen yang memuat informasi

Universitas Sumatera Utara 72

tentang kualitas dan karakteristik yang khas dari barang yang dapat digunakan untuk membedakan barang yang satu dengan barang yang lainnya yang memiliki kategori yang sama. Buku persyaratan dari barang yang didaftarkan untuk mendapatkan sertifika Indikasi Geografis harus mencantumkan beberapa hal berikut:60

a. Nama Indikasi Geografis yang dimohonkan pendaftarannya b. Nama barang yang dilindungi oleh Indikasi Geografis c. Uraian mengenai karateristik dan kualitas yang membedakan barang yang bersangkutan dengan barang lain yang memiliki kategori sama, dan menjelaskan tentang hubungannya dengan daerah asal barang tersebut d. Uraian mengenai lingkungan geografis serta faktor alam dan faktor manusia yang merupakan satu kesatuan dalam memberikan pengaruh terhadap kualitas atau karateristik dari barang yang dihasilkan e. Uraian batas-batas daerah dan/atau peta wilayah yang dicakup oleh Indikasi Geografis dan harus mendapatkan rekomendasi dari instansi yang berwenang f. Uraian mengenai sejarah dan tradisi yang berhubungan dengan pemakaian Indikasi Geografis untuk menandai barang yang dihasilkan daerah tersebut, termasuk pengakuan dari masyarakat mengenai Indikasi Geografis tersebut. g. Uraian yang menjelaskan mengenai proses produksi, proses pengolahan dan proses pembuatan yang digunakan sehingga memungkinkan setiap pembudidaya di daerah tersebut untuk memproduksi, mengolah atau membuat barang tersebut h. Uraian megenai metode yang digunakan untuk menguji kualitas barang yang dihasilkan i. Label yang digunakan pada barang dan memuat Indikasi Geografis

Kemudian, ada proses sebagai tanggapan dari Direktorat Jenderal

Kekayaan Intelektual, yakni bahwa berkas permohonan pendaftaran Indikasi

Geografis yang diajukan kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual akan dilakukan pemeriksaan secara administratif dan substantif. Pemeriksaan administratif paling lama dalam waktu 14 hari. Apabila memenuhi persyaratan, maka Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual memberikan tanggal penerimaan

60 Eddy Damian, Glosarium Hak Cipta dan Hak Terkait, PT. Alumni, Bandung, 2012, hal. 18.

Universitas Sumatera Utara 73

Permohonan pendaftaran. Apabila permohonan pendaftaran telah memenuhi persyaratan, dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan Direktorat Jenderal

Kekayaan Intelektual meneruskan permohonan pendaftaran kepada Tim Ahli

Indikasi Geografis (TAIG) dan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak menerima permohonan pendaftaran dari Direktorat Jenderal Kekayaan

Intelektual, Tim Ahli Indikasi Geografis melakukan pemeriksaan substantif. Bila permohonan tersebut telah memenuhi kebutuhan substantif, Tim Ahli Indikasi

Geografis mengusulkan kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual agar didaftarkan dalam Daftar Umum Indikasi Geografis.61

Berdasarkan usulan tersebut, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari akan mengumumkan informasi terkait dalam Berita Resmi Indikasi Geografis selama 3 (tiga) bulan.

Setelah itu masa pengumuman selesai, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual akan menerbitkan sertifikat Indikasi Geografis.Jangka waktu pelindungan pada

Indikasi Geografis berbeda dengan aspek Hak Kekayaan Intelektual lainnya, misalnya pada pelindungan merek jangka waktu pelindungan adalah 10 (Sepuluh) tahun. Untuk Indikasi Geografis, bahwa Indikasi Geografis terdaftar mendapat pelindungan hukum yang berlangsung selama ciri dan/atau kualitas masih bertahan yang menjadi dasar dalam pemberian pelindungan hukum Indikasi

Geografis. Dengan kata lain bahwa Indikasi Geografis dilindungi selama terjaganya reputasi, kualitas, dan karakteristik yang menjadi dasar diberikannya

61 Endang Purwaningsih, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi, CV. Mandar Maju, Bandung, 2012, hal. 82

Universitas Sumatera Utara 74

pelindungan Indikasi Geografis pada suatu barang, diatur dalam Undang Undang

Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dalam Pasal 61.

Berdasarkan hal tersebut, maka pelindungan Indikasi Geografis di

Indonesia ialah sistem konstitutif yang mensyaratkan adanya pendaftaran untuk mendapatkan pelindungan dari negara. Pasal tersebut menunjukkan bahwa

Indikasi Geografis tidak dapat dimiliki oleh satu orang, namun dimiliki secara kolektif oleh masyarakat penghasil barang Indikasi Geografis. Hal tersebut membedakan Indikasi Geografis dari tata cara kepemilikan Hak Kekayaan

Intelektual lainnya, seperti merek, paten, hak cipta, desain industri, dan rahasia dagang yang dimiliki secara individual. Masyarakat di daerah Indikasi Geografis dapat menunjuk lembaga untuk mewakili mereka untuk mendaftarkan Indikasi

Geografis. Setiap orang yang menghasilkan suatu barang atau produk dengan

Indikasi Geografis yang berada di wilayah asal barang Indikasi Geografis dapat mempergunakan tanda Indikasi Geografis apabila barang yang dihasilkannya sesuai dengan persyaratan pendaftaran Indikasi Geografis. Pengaturan penggunaan tanda Indikasi Geografis diatur oleh masing-masing lembaga yang mewakili daerah tersebut. 62

Langkah selanjutnya setelah pendaftaran indikasi geografis ialah pengumuman. Tujuan pengumuman permohonan Indikasi Geografis adalah sebagai informasi dan/atau tanda sahnya kepemilikan atas suatu produk dan menghindari agar pihak lain tidak dapat merebut hak kepemilikan tersebut serta kedepannya pemilik Indikasi Geografis yang sudah terdaftar tersebut dapat

62 Henry Soelistyo, Hak Cipta tanpa Hak Moral, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 3

Universitas Sumatera Utara 75

memberikan keberatan atau sanggahan atas pendaftaran Indikasi Geografis yang sama apabila ada. Pendaftaran diterima, maka pelindungan Indikasi Geografis diberikan selama ciri dan/atau kualitas Indikasi Geografis tersebut masih ada dan sesuai dengan persyaratan saat diajukan pendaftarannya.

Adapun pendaftaran Indikasi Geografis tidak dapat dilakukan secara eksplisit tertuang dalam Pasal 56 ayat (1) huruf a sampai huruf c Undang Undang

Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yaitu permohonan

Indikasi Geografis yang tidak dapat didaftar jika:

a. Bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan dan ketertiban umum. b. Menyesatkan atau memperdaya masyarakat mengenai reputasi, kualitas, karakteristik, asal sumber, proses pembuatan barang, dan/atau kegunaannya; dan c. Merupakan nama yang telah digunakan sebagai varietas tanaman dan digunakan bagi varietas tanaman yang sejenis, kecuali ada penambahan padanan kata yang menunjukkan faktor Indikasi Geografis yang sejenis.

Berdasarkan analisis menunjukkan bahwa pada umumnya mekanisme pendaftaran mengandung syarat tertentu, ada syarat yang harus dipenuhi dan ada syarat yang harus dihindari. Demikian pula dengan mekanisme pendafataran

Indikasi Geografis, ditentukan syarat untuk objek yang tidak dapat didaftarkan.

Adapun tujuan syarat tersebut adalah untuk menghindari terjadinya sengketa dikemudian hari atas sebuah objek Indikasi Geografis.

C. Dampak Negatif Yang Dialami Para Pengrajin Kain Tapis Lampung Apabila Produk Tradisional Tersebut Tidak Memperoleh Pelindungan Hukum Melalui Pendaftaran Produk Indikasi Geografis

Hak atas Indikasi Geografis adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemegang hak Indikasi Geografis yang terdaftar, selama reputasi,

Universitas Sumatera Utara 76

kualitas, dan karakteristik yang menjadi dasar diberikannya pelindungan hukum atas Indikasi Geografis tersebut masih ada.

Berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang No. 20 Tahun

2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, permohonan pendaftaran Indikasi

Geografis dapat diajukan oleh:

1. Lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan geografis tertentu yang mengusahakan suatu barang dan/atau produk berupa: (1). sumber daya alam; (2). barang kerajinan tangan; atau (3). hasil industri. 2. Pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota

Indonesia juga merupakan anggota sab TRIPs melalui ratifikasi WTO

Agreement dengan Undang-Undang No.7 Tahun 1994 yang kemudian diimplementasikan dalam Undang-Undang HKI Nasional, termasuk Undang-

Undang No.20 Tahun 2016 tentang Merek Dan Indikasi Geografis.

Pasal 22 TRIPs mensyaratkan bahwa setiap anggota persetujuan wajib menyediakan sarana pelindungan khusus untuk indikasi geografis. Disamping itu juga harus menyediakan cara untuk menghindari penggunaan indikasi geografis dengan cara apapun dengan memberi tanda atau dengan menampilkan barang yang dapat mengindikasikan penggunaan barang. Atau mencitrakan bahwa barang yang diperdagangkan berasal dari suatu wilayah geografis yang bukan dari tempat asal yang sebenarnya. Setiap penggunaan indikasi geografis yang mengandung indikasi tindakan kompetisi curang tunduk pada ketentuan Pasal 10 b Paris

Convention bahwa indikasi geografis pada dasarnya memiliki kesamaan fungsi dengan merek yaitu untuk mengidentifikasi asal dan menjamin kualitas produk yang diwujudkan dalam nerek. Perbedaan utama dengan merek adalah bahwa asal

Universitas Sumatera Utara 77

dan kualitas produk mempunyai indikasi geografis yang dipengaruhi oleh lingkungan geografis tempat produk itu dihasilkan63

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa negara-negara anggota TRIPs yang telah meratifikasi perjanjian WTO dan telah sah menjadi anggota persetujuan wajib melindungi produk indikasi geografis yang diperdagangkan di negaranya masing-masing, dari penyimpangan yang dilakukan terhadap produk indikasi geografis tersebut.

Saat ini, kesadaran hukum pelindungan indikasi geografis belum terfokus, kurang serius dan belum disenergikan dengan program yang dikerjakan oleh pemerintah di daerah (pemerintahan propinsi dan pemerintah kabupaten/kota).

Program yang dikerjakan untuk melindungi indikasi geografis cukup minim.

Secara normatif aturan indikasi geografis sudah cukup baik. Permasalahan hukumnya adalah adalah sampai saat ini belum banyak indikasi geografis yang terdaftar di Indonesia, termasuk di luar negeri. Hal ini terjadi karena belum muncul kesadaran dari masyarakat dan pemerintah (Pemerintah Pusat dan

Pemerintah daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) akan arti penting dari pelindungan indikasi geografis baik dilihat dari aspek ekonomi, budaya dan kebanggaan sebagai pemilik indikasi geografis. Selama ini kesadaran tersebut muncul karena adanya perlakuan tidak adil bagi negara berkembang karena indikasi geografis milik negara berkembang tersebut, diakui dan dimanfaatkan secara ekonomi oleh pihak asing (negara maju) tanpa adanya benefit sharing. Di sisi lain masyarakat

63 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) Edisi Revisi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015, hal. 32

Universitas Sumatera Utara 78

lokal Indonesia belum memahami pelindungan melalui sistem pelindungan hukum hak kekayaan intelektual.

Sistem nilai yang dianut oleh masyarakat tidak mendukung gagasan pelindungan hukum hak kekayaan Intelektual. Orientasi anggota masyarakat lokal yang tidak sepenuhnya menitikberatkan pandangannya kepada profit oriented atau komersial, tetapi lebih pada kebahagiaan spiritual.Indikasi geografis

Indonesia yang telah terdaftar pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual

(DJKI) masih berjumlah 35 produk Indikasi geografis antara lain adalah: Kopi

Arabika Kintamani Bali oleh MPIG (Masyarakat Pelindungan Indikasi Geografis)

IDG 000000001 (5 Desember 2008), Mebel Ukir Jepara oleh Jepara Indikasi

Geografis ID G 000000003 (28 April 2010), Lada Putih Muntok oleh Badan

Pengelola, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) Provinsi Kepulauan

Bangka Belitung ID G 000000004 (28 April 2010), Kopi Arabika Gayo

Masyarakat Pelindungan Kopi Gayo (MPKG) ID G 000000005 (28 April 2010),

Susu Kuda, Asosiasi Pengembangan Susu Sumbawa Kuda Sumbawa ID G

000000010 (15 Desember 2011), Madu Sumbawa oleh Jaringan Madu Hutan

Sumbawa ID G 000000012 (15 Desember2011), Kopi Arabika Arabika Flores

Bajawa oleh Masyarakat Pelindungan Flores Bajawa Indikasi Geografis (MPIG)

Kopi ID G 000000014 (28 Maret 2012), Ubi Cilembu Sumedang oleh Asosiasi

Agrobisnis Ubi Cilembu (ASAGUCI)ID G 000000019 (24 April 2013), Minyak

Nilam Aceh oleh Forum Masyarakat Pelindungan Nilam Aceh (FMPNA) ID G

000000021(10 September 2013), Beras Pandanwangi oleh Masyarakat Pelestari

Padi Pandanwangi Cianjur (MP3C) ID G 000000034 (16 Oktober 2015), Teh Java

Universitas Sumatera Utara 79

Preanger oleh Masyarakat Pelindungan Indikasi Geografis (MPIG) Teh Java

Preanger ID G 0000000387 (23 Desember 2015), Garam Amed Bali Masyarakat

Pelindungan Indikasi Geografis (MPIG) Garam Amed Bali ID G 000000038 (23

Desember 2015).

Indikasi geografis terdaftar didominasi oleh produk hasil pertanian.

Padahal masih sangat banyak potensi indikasi geografis yang tersedia di seluruh

Indonesia, baik dari hasil pertanian, pengolahan pangan, dan kerajinan tangan.

Ketua Tim Ahli Indikasi. Tantangan terberat adalah penguatan organisasi masyarakat sebagai produsen barang yang dilindungi rezim indikasi geografis.

Sebab, proses pendaftaran produk indikasi geografis tidak tergantung pada individu, melainkan pada masyarakat. Misalnya pendaftaran Kopi Kintamani dilakukan Masyarakat Pelindungan Indikasi Geografis (MPIG), Minyak Nilam

Aceh oleh Forum Masyarakat Pelindungan Nilam Aceh (FMPNA). Pelindungan indikasi geografis, butuh dukungan bukan hanya dari produsen, tetapi juga dari

Pemerintah.

Dukungan politik yang minimal dari pemerintah bisa menjadi hambatan.

Jika pelindungan dan dukungan politik tak maksimal, Indonesia akan ketinggalan.

Setidaknya, tertinggal dari India dan . Kesadaran hukum pelindungan indikasi geografis harus dimulai dengan melakukan tindakan strategis, yaitu:

1. Edukasi kesadaran hukum indikasi geografis

Kesadaran hukum terhadap indikasi geografis tidak hanya ditujukan kepada masyarakat, tetapi juga terhadap aparatur pemerintah pusat dan daerah yang berkaitan dengan persoalan indikasi geografis. Pemerintah pusat dan daerah

Universitas Sumatera Utara 80

harus mulai membuat perencanaan yang matang dalam program pembangunan dan menyediakan anggaran yang cukup dalam APBN/APBD, dan dilaksanakan sesuai dengan potensi indikasi geografis di wilayah masing-masing. Tentu saja, pertama kali adalah memberikan pemahaman terhadap Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, urgensi, manfaat dan tantangannya dalam skala nasional dan internasional melalui pelatihan/workshop, pendampingan, seminar, focus group discussion (FGD), studi banding, pemantauan, evaluasi, dan pembinaan, memberikan pelindungan hukum, dan memfasilitasi pengembangan, pengolahan, dan pemasaran barang dan/atau produk indikasi geografis.64

2. Identifikasi potensi indikasi geografis

Identifikasi potensi indikasi geografis harus dilakukan oleh masing-masing pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota). Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain: pemetaan dan inventarisasi potensi produk indikasi geografis.

3. Melakukan pendaftaran indikasi geografis, pengenalan kepada publik

(nasional dan internasional), produksi, dan komersialisasi indikasi geografis.

Indikasi geografis dilindungi hukum setelah didaftarkan melalui permohonan yang dapat diajukan oleh: (a) lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan geografis tertentu yang mengusahakan suatu barang dan/atau produk, (b) pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota.

1. Tata cara pendaftaran mengikuti pendaftaran indikasi geografis

64 Suyud Margono, Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Pustaka Reka Cipta, Bandung, 2015, hal. 12

Universitas Sumatera Utara 81

Diatur pada Pasal 56-69 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang

Merek dan Indikasi Geografis dan Pasal 5-14 Peraturan Pemerintah Nomor

Nomor 51 Tahun 2007. Secara ringkas tata cara pendaftaran adalah:65 a. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon

atau melalui kuasanya dengan mengisi formulir dalam rangkap 3 (tiga)

kepada direktorat jenderal. Harus mencantumkan persyaratan administrasi

(tanggal, bulan, dan tahun; nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat

pemohon; dannama lengkap dan alamat kuasa, apabila permohonan diajukan

melalui kuasa). Permohonan melampirkan surat kuasa khusus apabila

permohonan diajukan melalui kuasa dan bukti pembayaran biaya. b. Permohonan harus dilengkapi dengan buku persyaratan yang terdiri atas: 66

1) Nama indikasi geografis yang dimohonkan pendaftarannya;

2) Nama barang yang dilindungi oleh indikasi geografis;

3) Uraian mengenai karakteristik dan kualitas yang membedakan barang

tertentu dengan barang lain yang memiliki kategori sama, dan menjelaskan

tentang hubungannya dengan daerah tempat barang tersebut dihasilkan.

4) Uraian mengenai lingkungan geografis serta faktor alam dan faktor

manusia yang merupakan satu kesatuan dalam memberikan pengaruh

terhadap kualitas atau karakteristik dari barang yang dihasilkan;

5) Uraian tentang batas-batas daerah dan/atau peta wilayah yang dicakup oleh

indikasi-geografis berdasarkan rekomendasi dari instansi yang berwenang.

65 Aling, D. F. Sistem Perlindungan Indikasi Geografis sebagai Bagian dari Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. Universitas Sam Ratulangi. Manado, 2010, hal. 21 66Ibid, hal. 22

Universitas Sumatera Utara 82

6) Uraian mengenai sejarah dan tradisi yang berhubungan dengan pemakaian

indikasi-geografis untuk menandai barang yang dihasilkan di daerah

tersebut, termasuk pengakuan dari masyarakat mengenai indikasi-

geografis tersebut;

7) Uraian yang menjelaskan tentang proses produksi, proses pengolahan, dan

proses pembuatan yang digunakan sehingga memungkinkan setiap

produsen di daerah tersebut untuk memproduksi, mengolah, atau membuat

barang terkait;

8) uraian mengenai metode yang digunakan untuk menguji kualitas barang

yang dihasilkan; dan

9) label yang digunakan pada barang dan memuat Indikasi-geografis. c. Pemeriksaan administratif

Direktorat Jenderal melakukan pemeriksaan administratif atas kelengkapan persyaratan Permohonan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterimanya Permohonan dan memberikan Tanggal

Penerimaan jika permohonan lengkap. Apabila terdapat permohonan tidak lengkap Direktorat Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau

Kuasanya agar kelengkapan persyaratan tersebut dipenuhi dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan surat pemberitahuan. Jika kelengkapan persyaratan tidak dipenuhi Direktorat Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon atau melalui Kuasanya bahwa Permohonan dianggap ditarik kembali dan mengumumkannya dalam Berita Resmi Indikasi- geografis.

Universitas Sumatera Utara 83

d. Pemeriksaan substantif

Dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal dipenuhinya kelengkapan persyaratan direktorat jenderal meneruskan permohonan kepada tim ahli indikasi-geografis untuk melakukan pemeriksaan substantif terhadap permohonan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan. Dalam hal tim ahli indikasi geografis menyatakan memenuhi ketentuan persyaratan, tim ahli indikasi geografis menyampaikan usulan kepada direktorat jenderal agar indikasi-geografis didaftarkan di daftar umum indikasi geografis.

Pemeriksaan substantif dikenakan biaya dan harus dibayar sebelum berakhirnya jangka waktu pengumuman permohonan. Jika biaya tidak dibayarkan permohonan dianggap ditarik kembali. Dalam hal tim ahli indikasi-geografis menyetujui suatu indikasi-geografis dapat didaftar, tim ahli indikasi-geografis mengusulkan kepada direktorat jenderal untuk mengumumkan informasi yang terkait dengan indikasi-geografis tersebut termasuk buku persyaratannya dalam berita resmi indikasi-geografis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya usulan dari tim ahli indikasi-geografis. Dalam hal tim ahli indikasi-geografis menyatakan bahwa permohonan ditolak, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya usulan dari tim ahli indikasi- geografis, direktorat jenderal memberitahukan secara tertulis kepada pemohon atau melalui kuasanya dengan menyebutkan alasannya.

Dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan surat pemberitahuan, pemohon atau kuasanya dapat menyampaikan

Universitas Sumatera Utara 84

tanggapan atas penolakan tersebut dengan menyebutkan alasannya. Jika pemohon atau kuasanya tidak menyampaikan tanggapan atas penolakan tersebut, Direktorat

Jenderal menetapkan keputusan tentang penolakan permohonan tersebut dan memberitahukannya kepada pemohon atau melalui kuasanya. Jika pemohon atau kuasanya menyampaikan tanggapan atas penolakan tersebut, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya tanggapan atas penolakan tersebut, direktorat jenderal menyampaikan tanggapan penolakan tersebut kepada tim ahli indikasi-geografis dan tim ahli indikasi-geografis melakukan pemeriksaan kembali dan mengusulkan keputusan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya tanggapan. Jika tim ahli indikasi geografis menyetujui tanggapan tersebut, direktorat jenderal mengumumkan indikasi geografis dan buku persyaratan dalam berita resmi indikasi-geografis. e. Pengumuman

Dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari sejak tanggal disetujuinya indikasi-geografis untuk didaftar maupun ditolak, direktorat jenderal mengumumkan keputusan tersebut dalam berita resmi indikasi-geografis.

Pengumuman memuat nomor permohonan, nama lengkap dan alamat pemohon, nama dan alamat kuasanya, tanggal penerimaan, indikasi-geografis dimaksud, dan abstrak dari buku persyaratan.Pengumuman dilakukan selama 3 (tiga) bulan. f. Keberatan dan sanggahan

Selama jangka waktu pengumuman setiap pihak dapat mengajukan keberatan secara tertulis atas permohonan kepada direktorat jenderal dalam

Universitas Sumatera Utara 85

rangkap 3 (tiga), dengan membayar biaya.Keberatan memuat alasan dengan disertai bukti yang cukup bahwa permohonan seharusnya tidak dapat didaftar atau ditolak berdasarkan peraturan pemerintah ini. Keberatan dapat pula diajukan berkenaan dengan batas daerah yang dicakup oleh indikasi-geografis yang dimohonkan pendaftarannya.Dalam hal terdapat keberatan direktorat jenderal dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penerimaan keberatan, mengirimkan salinan keberatan tersebut kepada pemohon atau kuasanya dan pemohon atau kuasanya berhak menyampaikan sanggahan terhadap keberatan kepada direktorat jenderal dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan salinan keberatan dimaksud. g. Pemeriksaan substantif ulang

Dalam hal terdapat, tim ahli indikasi-geografis melakukan pemeriksaan substantif ulang terhadap indikasi-geografis dengan memperhatikan adanya sanggahan dan diselesaikan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu penyampaian sanggahan. Dalam hal hasil pemeriksaan substantif ulang menyatakan bahwa keberatan dapat diterima, direktorat jenderal memberitahukan secara tertulis kepada pemohonatau melalui kuasanya bahwa indikasi-geografis ditolak dan dalam jangka waktu paling lama 3

(tiga) bulan terhitung sejak diterimanya keputusan penolakan, pemohon atau kuasanya dapat mengajukan banding kepada komisi banding merek. Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diputuskannya hasil pemeriksaan substantif ulang, direktorat jenderal mengumumkan keputusan tersebut dalam berita resmi indikasi geografis.

Universitas Sumatera Utara 86

2. Jangka waktu pelindungan hukum

Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007, menyatakan bahwa indikasi geografis dilindungi selama karakteristik khas dan kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya pelindungan atas Indikasi-geografis tersebut masih ada.

3. Pelanggaran indikasi geografis

Pelanggaran indikasi geografis mencakup:67

a. pemakaian Indikasi geografis yang bersifat komersial, baik secara

langsung maupun tidak langsung atas barang yang tidak memenuhi

buku persyaratan;

b. pemakaian suatu tanda indikasi geografis yang bersifat komersial, baik

secara langsung maupun tidak langsung atas barang yang dilindungi

atau tidak dilindungi dengan maksud:

1) untuk menunjukkan bahwa barang tersebut sebanding kualitasnya

dengan barang yang dilindungi oleh indikasi geografis;

2) untuk mendapatkan keuntungan dari pemakaian tersebut; atau

3) untuk mendapatkan keuntungan atas reputasi indikasi geografis;

c. pemakaian Indikasi-geografis yang dapat menyesatkan masyarakat

sehubungan dengan asal usul geografis barang itu;

d. pemakaian Indikasi-geografis secara tanpa hak sekalipun tempat asal

barang dinyatakan;

67Ayu, Miranda Risang. Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual, Indikasi Geografis. Bandung: PT Alumni, 2010, hal. 32

Universitas Sumatera Utara 87

e. peniruan atau penyalahgunaan lainnya yang dapat menyesatkan

sehubungan dengan asal tempat barang atau kualitas barang yang

tercermin dari pernyataan yang terdapat pada:

1) pembungkus atau kemasan;

2) keterangan dalam iklan;

3) keterangan dalam dokumen mengenai barang tersebut;

4) informasi yang dapat menyesatkan mengenai asal usulnya (dalam

hal pengepakan barang dalam suatu kemasan); atau

f. Tindakan lainnya yang dapat menyesatkan masyarakat luas mengenai

kebenaran asal barang tersebut.

4. Gugatan

Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007, pemegang hak atas indikasi-geografis dapat mengajukan gugatan terhadap pemakai indikasi-geografis yang tanpa hak berupa permohonan ganti rugi dan penghentian penggunaan serta pemusnahan etiket indikasi-geografis yang digunakan secara tanpa hak tersebut.

Mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan pembuatan, perbanyakan, serta memerintahkan pemusnahan etiket indikasi-geografis yang digunakan secara tanpa hak tersebut. Gugatan dapat dilakukan oleh:

a. setiap produsen yang berhak menggunakan Indikasi-geografis;

b. lembaga yang mewakili masyarakat; atau

c. lembaga yang diberi kewenangan untuk itu.

5. Pemakai terdahulu indikasi geografis

Universitas Sumatera Utara 88

Pasal 27 Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 mengatur bahwa apabila adanya pemakaian suatu tanda, apabila sebelum atau pada saat dimohonkan pendaftaran sebagai Indikasi-geografis atas barang sejenis atau yang sama suatu tanda telah dipakai dengan itikad baik oleh pihak lain yang tidak berhak menggunakan Indikasi-geografis, maka pihak lain tersebut dapat menggunakan tanda dimaksud untuk jangka waktu 2 (dua) tahun sejak tanda dimaksud terdaftar sebagai Indikasi-geografis dengan syarat pihak lain tersebut menyatakan kebenaran mengenai tempat asal barang dan menjamin bahwa pemakaian tanda dimaksud tidak akan menyesatkan Indikasi-geografis terdaftar.Dalam hal suatu tanda telah terdaftar atau dipakai sebagai merek sebelum atau pada saat permohonan suatu Indikasi-geografis atas barang sejenis atau yang sama dan tanda tersebut kemudian dinyatakan terdaftar sebagai Indikasi-geografis, maka pemakaian tanda sebagai merek dengan itikad baik oleh pihak lain yang tidak berhak menggunakan Indikasi-geografis tetap dimungkinkan dengan syarat pemakai merek tersebut menyatakan kebenaran mengenai tempat asal barang dan menjamin bahwa pemakaian merek dimaksud tidak akan menyesatkan Indikasi- geografis terdaftar.68

Indikasi geografis yang sudah terdaftar menghasilkan hak atas indikasi geografis. Pasal 1 angka 7 UUMIG menyatakan hak atas indikasi geografis adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemegang hak indikasi geografis yang terdaftar, selama reputasi, kualitas, dan karakteristik yang menjadi dasar diberikannya pelindungan atas indikasi geografis tersebut masih ada. Hak atas

68Ibid, hal. 34

Universitas Sumatera Utara 89

indikasi geografis tersebut memiliki arti strategis secara hukum dan secara ekonomi kepada pemiliknya dalam memanfaatkan produk indikasi geografis. Hal ini merupakan keunggulan kompetitif yang dapat meningkatkan daya saing produk indikasi geografis yang bersangkutan. Apalagi berdasarkan Pasal 61 ayat

(1) UUMIG, indikasi geografis dilindungi selama terjaganya reputasi, kualitas, dan karakteristik yang menjadi dasar diberikannya pelindungan indikasi geografis pada suatu barang. Artinya mendapat pelindungan hukum selama-lamanya sepanjang memenuhi dapat menjaga reputasi, kualitas, dan karakteristik dari indikasi geografis tersebut.69

Di era persaingan global ini, hak atas indikasi geografis sangat penting karena pemegangnya terlindungi dari pelanggaran sebagaimana tercantum pada

Pasal 66 UUMIG, yaitu:

a. pemakaian indikasi geografis, baik secara langsung maupun tidak langsung atas barang dan/atau produk yang tidak memenuhi dokumen deskripsi indikasi geografis; b. pemakaian suatu tanda indikasi geografis, baik secara langsung maupun tidak langsung atas barang dan/atau produk yang dilindungi atau tidak dilindungi dengan maksud untuk: 1. menunjukkan bahwa barang dan/atau produk tersebut sebanding kualitasnya dengan barang dan/atau produk yang dilindungi oleh indikasi geografis; 2. mendapatkan keuntungan dari pemakaian tersebut; atau 3. mendapatkan keuntungan atas reputasi indikasi geografis. c. pemakaian indikasi geografis yang dapat menyesatkan masyarakat sehubungan dengan asal-usul geografis barang itu; d. pemakaian indikasi geografis oleh bukan pemakai indikasi geografis terdaftar; e. peniruan atau penyalahgunaan yang dapat menyesatkan sehubungan dengan asal tempat barang dan/atau produk atau kualitas barang dan/atau produk yang terdapat pada: 1. pembungkus atau kemasan; 2. keterangan dalam iklan;

69 Eddy Damian, Hak Kekayaan Intelektual (Dalam Suatu Pengantar), Alumni, Bandung, 2013, hal.106

Universitas Sumatera Utara 90

3. keterangan dalam dokumen mengenai barang dan/atau produk tersebut; atau 4. informasi yang dapat menyesatkan mengenai asal-usulnya dalam suatu kemasan. f. tindakan lainnya yang dapat menyesatkan masyarakat luas mengenai kebenaran asal barang dan/atau produk tersebut.

Pelanggaran terhadap hak atas indikasi geografis tersebut dapat diselesaikan secara perdata dan pidana. Secara perdata pihak yang merasa telah dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada pihak yang melakukan pelanggaran. Gugatan ganti rugi dapat diselesaikan di luar pengadilan (negosiasi, mediasi, arbitrase), dan di pengadilan melalui Pengadilan Niaga.

Secara pidana, pihak yang merasa telah dirugikan dapat melaporkan pihak pelanggar ke Kepolisian Republik Indonesia setempat sesuai dengan ketentuan

Pasal 101 UU No. 20 Tahun 2016 tentang Metek Dan Indikasi Geografis yang menyatakan:

(1) setiap orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai persamaan pada keseluruhan dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau produk yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Setiap orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau produk yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Selain pendaftaran indikasi geografis secara lokal di Direktorat Jenderal

HKI Indonesia, maka produk indikasi geografis tersebut dapat juga dilaksanakan secara Internasional untuk dapat menghindari dampak negatif tidak didaftarkannya produk indikasi geografis tersebut dari pengambil alihan hak atau

Universitas Sumatera Utara 91

pendomplengan produk indikasi geografis tersebut seolah olah produk indikasi geografis tersebut asli dari daerah asalnya, namun sebenarnya telah disalahgunakan/digunakan secara melawan hukum.

Pengambil alihan hak produk indikasi geografis tersebut oleh pihak lain secara melawan hukum tidak dapat digugat atau dituntut apabila produkindikasi geografis tersebut belum/tidak didaftarkan secara lokal ataupun internasional, karena prinsip pendaftaran produk indikasi geografis tersebut adalah sistem first to file, yang artinya produk indikasi geografis yang sudah terdaftar lebih dahulu akan memperoleh pelindungan secara hukum baik secara nasional maupun secara internasional oleh masing-masing negara atau oleh negara-negara yang telah menyetujui perjanjian TRIPs sebagai negara anggota WTO. 70

Ada beberapa manfaat yang didapatkan dari adanya sistem Pendaftaran

Internasional, diantaranya:

1) Negara-negara lain akan mengetahui secara tepat terhadap barang yang

telah dilindungi,

2) Negara-negara yang tergabung akan dimintakan untuk menghormati dan

melindungi terhadap produk tersebut,

3) Pelindungan terhadap produk tersebut akan dilindungi selama di negara

asalnya masih dilindungi tanpa ada pembaruan pendaftaran. (pasal 7),

4) Bagi produsen barang yang sudah dilindungi dan terdaftar di sistem

Lisabon dapat meningkatkankualitas dan harga barang tersebut di negara

lain,

70 Siswanto Armando, Geografis terhadap Daftar Merek Usaha Dagang Industri, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hal. 19

Universitas Sumatera Utara 92

5) Bagi konsumen, barang yangsudah dilindungi dan terdaftar dapat

memberikan jaminan keaslian dan kualitas, sehingga tidak

membingungkan asal barang tersebut.

Dari beberapa manfaat yang diambil, Indonesia sudah seharusnya dapat mempertimbangkan untuk meratifikasi perjanjian Lisabon ini demi meningkatkan pelindungan terhadap barang Indikasi Geografisnya. Ditjen HKI sebagai stakeholder, harus merespon kebutuhan hukum global sehingga dapat mengharmonisasikan ketentuan hukum nasional.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatan bahwa dampak negatif tidak didaftarkannya kain tapis Lampung sebagai produk indikasi geografis ke

Direktorat Jenderal HKI antara lain adalah:71

a. Timbulnya praktek persaingan curang yang merugikan para pengrajin kain

tapis Lampung dan juga merugikan konsumen karena penyalahgunaan

reputasi dan kualitas produk Indikasi Geografis yang diedarkan baik di

pasar nasional maupun di pasar internasional.

b. Timbulnya kerugian materil terhadap para pengrajin kain tapis Lampung

karena terjadinya perbuatan curang dari pihak lain yang memproduksi

produk indikasi geografis kain tapis Lampung secara melawan hukum

seolah-olah produk kain tapis Lampung tersebut asli menunjukkan

indikasi geografis dari Lampung, namun kenyataannya telah

disalahgunakan/dipalsukan

71 Jurwanto, Potensi Kain Tapis Lampung Sebagai Produk Indikasi Geografis, Gema Ilmu, Lampung, 2018, hal.35

Universitas Sumatera Utara 93

c. Dapat menimbulkan perbuatan pengambilalihan secara permanen produk

kain tapis Lampung oleh pihak lain secara melawan hukum, dengan

mengubah nama kain tapis Lampung tersebut dengan nama lain, namun

pada dasarnya bentuknya sama persis, sehingga dapat menimbulkan

kebingungan/penyesatan terhadap produk kain tapis Lampung tersebut,

baik baik di pasar nasional maupun di pasar Internasional. d. Dapat menimbulkan terjadinya kehilangan hasil kekayaan budaya

masyarakat Indonesia terhadap produk kerajinan tangan tradisional kain

tapis Lampung, karena telah diambilalih oleh pihak lain yang mengklaim

kain tapis Lampung tersebut adalah hasil kekayaan budaya dari negara

pihak lain yang mengambil alih oroduk kain tapis Lampung tersebut dan

mendaftarkannya secara nasional maupun internasional, serta

memproduksi dan memasarkan produk kain tapis Lampung tersebut. e. Timbulnya penurunan nilai ekonomi dan spesifikasi dari produk kain tapis

Lampung, karena terjadinya produksi kain tapis Lampung dari berbagai

pihak dan dipasarkan di pasar nasional dan internasional, sehingga tidak

lagi mencerminkan suatu produk budaya tradisional yang memiliki nilai

artistik, dan nilai seni yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara 94

BAB IV

PERANAN DAN UPAYA HUKUM PEMERINTAH DAERAH LAMPUNG SEBAGAI SALAH SATU PIHAK YANG BERHAK MENGAJUKAN PERMOHONAN PENDAFTARAN PRODUK INDIKASI GEOGRAFIS DALAM MEMBERIKAN PELINDUNGAN HUKUM TERHADAP PRODUK KERAJINAN TRADISIONAL KAIN TAPIS LAMPUNG

A. Urgensi Pelindungan Hukum Terhadap KainTapis Sebagai Hasil Kerajinan Tangan Tradisional Masyarakat Pengrajin Daerah Lampung

Keanekaragaman suku bangsa diIndonesia menyebabkan adanya berbagai macam kreasi intelektual yang diciptakan oleh leluhur bangsa dalam ruang lingkup seni, sastra dan ilmu pengetahuan yang terwujud dalam berbagai bentuk produk yang berbasis budaya dari masing-masing suku bangsa tersebut. Salah satu wujud nyata dari hasil pemikiran dan ide kreatif leluhur bangsa Indonesia yang dituangkan dalam bentuk karyaseni adalah Kain Tapis dan Siger Lampung. Kain

Tapis bagi Masyarakat Adat Lampung memiliki makna simbolis sebagai lambang kesucian yang dapat melindungi pemakainya dari segala kotorandari luar. Selain itu dalam pemakaiannya Kain Tapis juga melambangkan status social pemakainya. Pada setiap Upacara Perkawinan Adat mempelai wanita diwajibkan menggunakan kain Tapis dan Siger dalam bentuk tertentu sebagai ciri bagi

Masyarakat Adat dan Kasta dari mempelai yang bersangkutan.

Kain Tapis Lampung merupakan salahsatu hasil karya leluhur Bangsa

Indonesia yang merupakan Ekspresi Budaya Tradisional sebagai bagian dari Hak

Kekayaan Intelektual (HKI) yang harus dilindungi secara hukum, mengingat karya-karya intelektual tersebut selain mencerminkan keanekaragaman budaya bangsa, juga terdapatnilai-nilai kesakralan yang terkandung di dalamnya yang

94 Universitas Sumatera Utara 95

sampai saat ini tetap diakui dan dipatuhi oleh masyarakat adat Lampung, di samping mempunyai nilai ekonomi tinggi.72

Pelindungan hukum terhadapkain Tapis Lampung dipandang penting untuk segera dilaksanakan khusnya oleh pemerintah daerah Lampung dikarenakan saatini pandangan masyarakat terhadap kain Tapis Lampung hanya sebatas karya seni tradisional yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal ini terlihat dari banyaknya motif kain Tapis yang diproduksi oleh para pengrajin di daerah

Lampung, hanya untuk diperdagangkan tanpa memperhatikan nilai-nilai filosofis yang terdapat dikain Tapis Lampung tersebut. Dimana bentuknya produksi kerajinan tangan kain tapis Lampung sudah tidak lagi memperhatikan ketentuan bahwa bentuk kain tapis Lampung Masyarakat Adat Pepadun berlekuk sembilan, sedangkan pada Masyarakat Adat Saibatin berlekuk tujuh.

Adanya perubahan pemaknaan terhadap kain Tapis Lampung tersebut akan berdampak hilangnya penghargaan dan rasa memiliki terhadap hasil karya budaya tradisional masyarakat Lampung khususnya oleh generasi muda

Lampung. Hasil karya budaya leluhur masyarakat Lampung tersebut hanya dipandang sebagai hasil karya seni yang bernilai ekonomis tinggi, tanpa memperhatikan nilai-nilai kesakralannya. Cara pandang seperti ini rentan untuk terjadinya pengambilan Hak Cipta dan hak Indikasi geografis atas kain tapis

Lampung tersebut oleh pihak lain, apalagi saat ini kain tapis Lampung sudah menembus pasar internasional.73

72 Arfan Rahadi Mulyo, Perlindungan Hukum Merek Terdaftar di Indonesia (Suatu Tinjauan Yuridis Praktis), Citra Ilmu, Surabaya, 2012, hal. 56 73Ibid, hal. 57

Universitas Sumatera Utara 96

Pelindungan hukum terhadap kain Tapis Lampung sangat penting baik dilihat dari aspek filosofis, sosiologis dan yuridis. Secara filosofis berkaitan dengan adanya corak/motif pada kain Tapis Lampung yaitu selain terdapat nilai seni, juga terdapat simbol-simbol yang melambangkan pandangan hidup seseorang atau masyarakat adat Lampung sebagai konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan, disamping nilai-nilai kesakralannya. Kain Tapis

Lampung juga memiliki makna simbolik yaitu jumlah lekukannya melambangkan jumlah marga dalam adat Pepadun atau jumlah adoq (gelar adat) pada adat Saibatin.

Seiring perkembangan zaman, ternyata kain Tapis Lampung juga mengalami perkembangan dan perubahan, baik pada aspek makna simbolis- filosofis yang terkandung dalam kain, maupun pada bentuk fisikdan ragam motifnya. Perubahan makna simbolis-filosofis motif kain Tapis merupakan perubahan hal yang paling esensial. Jika pada awalnya pembuatan motif disesuaikan dengan keperluan- keperluan adat yang spesifik atau mengungkapkan pesan-pesan tertentu, maka saat ini motif KainTapis hanya dilihat dari aspek keindahannya semata. Siger merupakan simbol khas Provinsi Lampung. Kain

Tapis Lampung saat ini telah menjadi lambang Lampung dan merupakan simbolisasi sifat feminin. Bagi masyarakat Lampung, Perempuan sangat berperan dalam segala kegiatan, khususnya dalam kegiatan rumah tangga.

Secara sosiologis urgensi pelindungan terhadap kainTapis Lampung yaitu berkaitan dengan adanya fungsi kain Tapis Lampung secara empiris/faktual di masyarakat adat Lampung sejakzaman dahulu sampai sekarang. Saat ini kain

Universitas Sumatera Utara 97

Tapis Lampung masih digunakan oleh masyarakat adat Lampung, terlihat pada acara-acara yang bernuansa adat, para keluarga punyimbang dalam hal ini istri dan anak-anaknya menggunakan kain Tapis Lampung sesuai dengan strata kepunyimbangannya atau kedudukannya di dalam masyarakat, baik itu

Punyimbang Marga, Punyimbang Tiyuh, atau Punyimbang Suku. Kain Tapis dalam adat budaya masyarakat Lampung biasanya dipergunakan dalam beberapa keperluan, yaitu sebagai kain/pakaian resmi penari wanita dan sebagai hiasan pada upacara adat. Pemakaian Tapis Lampung pada acara adat selalu disesuaikan dengan derajat pemakai dan acara adat yang didatangi, misalnya pada acara

Perkawinan dan Cakak Pepadun, Tapis yang dipakai adalah Jung Sarat, Raja

Medal, Raja Tunggal, Dewasano, Limar Sekebar, Ratu Tulang Bawang, Cucuk

Semako. Pada acara Cangget dan menerima tamu, Tapis yang dipakai adalah

Bintang Perak, Tapis Balak, Pucuk Rebung, LawekLinau, dan Kibang.74

Sedangkan Siger merupakan mahkotakhas Lampung yang merupakan simbol keagungan Budaya Lampung yang dikenakan oleh Kebayan (Pengantin) dan Bangsawan Lampung. Sigokh dikenakan saat Tayuhan seperti Pernikahan dan acara Adat lainnya. Siger sebagai symbol masyarakat Lampung digunakan pada berbagai upacara-upacara adat terutama Upacara Adat Begawi. Saat ini kain

Tapis Lampung masih digunakan oleh masyarakat adat Lampung dalam berbagai acara adat seperti pernikahan, hitanan, kematian dan acara pertemuan tokoh adat, walau pun jumlahnya sangat terbatas dikarenakan biaya penyelenggaraannya mahal. Mengingat secara empiris kain Tapis dan Siger Lampung masih eksis

74 Lili Hartono, Op.Cit, hal. 66

Universitas Sumatera Utara 98

ditengah-tengah masyarakat Lampung, maka sudah seharusnya keberadaan kain

Tapis dan Siger Lampung tersebut sebagai EBT untuk segera mendapat pelindungan hukum oleh Pemerintah Daerah di Provinsi melalui pembuatan suatu kebijakan yang tertuang di dalam sebuah Peraturan Daerah baik di tingkat

Provinsi Lampung, maupundi tingkat Kabupaten dan Kota se Provinsi Lampung.

Sedangkan secara yuridis perlunya pelindungan terhadap kain Tapis dan Siger

Lampung berkaitan dengan adanya ketentuan yang mengatur secara khusus tentang eksistensi kainTapis dan Siger di masyarakat Lampung, baikbentuk peraturan perundang-undangan di tingkat nasional, maupun di tingkat Provinsi

Lampung.75

Peraturan perundang-undangan tingkat nasional yang menjadi payung hukum pelindungan terhadap kain Tapis Lampung adalah UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, khususnya ketentuan Pasal 38 yang mengatur tentang Ekspresi

Budaya Tradisional(EBT). Kain Lampung dikatakan sebagai Ekspresi Budaya

Tradisional karena padamotif/corak yang ada pada kain Tapis Lampung, serta bentukdan lambangnya selain terdapat nilai seni, juga terdapat simbol-simbol yang mengandung makna filosofis yang dianut masyarakat Lampung. Demikian pula payung hukum lainnya yang termuat dalam UU No.20 Tahun 2016 Tentang

Merek Dan Indikasi Geografis yang juga memberikan pelindungan kepada hasil karya tradisional, sebagai kekayaan budaya nasional Indonesia dengan mendaftarkannya sebagai produk indikasi geografis.76

75 Nurmaruddin, Kain Tapis Lampung, Grafika Aditama, Jakarta, 2014, hal. 33 76 Muhammad Nico, Kain Tapis dan Indikasi Geografis, Andi, Yogyakarta, 2017, hal. 52

Universitas Sumatera Utara 99

Hal ini sejalan dengan pengertian Ekspresi Budaya Tradisional yaitu

“karya intelektual dalam bidangseni, termasuk ekspresi sastra yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan dan dipelihara oleh kustodiannya”. Di tingkat daerah, sampai saat ini belum ada

Peraturan Daerah (Perda) baik di tingkat Provinsi Lampung maupun di tingkat

Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung yang mengatur secara khusus tentang eksistensi kain Tapis Lampung.

Produk legislasi daerah di Lampung yang digunakan sebagai upaya melindungi dan melestarikan kain Tapis Lampung saat ini dipandang belum dapat dijadikan dasar hukum untuk melindungi keberadaan kain Tapis dan Siger.

Produk legislasi tersebut yaitu :

(1) Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 2Tahun 2008 tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung ; (2) Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 5 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Agama dan Budaya; (3) Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 5 Tahun2013 tentang Kelembagaan Masyarakat Adat Lampung, dan (4) Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 27 Tahun 2014 tentang Arsitektur Bangunan Gedung Berornamen Lampung.

Berdasarkan uraian di atas, oleh karena saat ini belum ada Peraturan

Daerah di tingkat Provinsi Lampung maupun di tingkat Kabupaten dan Kota se-

Provinsi Lampung yang mengatur secara khusus tentang eksistensi kain Tapis dan

Siger, maka keberadaan Peraturan Daerah sebagai bentuk pelindungan secara yuridis terhadap kain Tapis dan Siger Lampung dirasakan sudah sangat mendesak. Keberadaan Perda tersebut di Provinsi Lampung akan berfungsi sebagai dasar hukum untuk melindungi dan melestarikan kain Tapis dan Siger

Universitas Sumatera Utara 100

yang merupakan salah satu bentuk peninggalan leluhur bangsa khususnya masyarakat Lampung yang bersifat ekspresi budaya tradisional.77

B. Upaya Pemerintah Daerah di Provinsi Lampung Dalam Melindungi Kain Tapis Lampung

Kain tapis Lampung sebagai produk hasil kerajinan tangan tradisional masyarakat darrah Lampung yang memiliki nilai budaya dan ekonomi yang tinggi, hingga saat ini belum terdaftar sebagai produk indikasi geografis di

Direktorat Jenderal HKI. Belum dilaksanakannya upaya hukum pendaftaran kain tapis Lampung hingga saat sekarang ini bisa mengakibatkan timbulnya kerugian bagi masyarakat pengrajin itu sendiri dan juga bagi daerah Lampung sebagai tempat diproduksinya kain tapis Lampung tersebut. Selain itu belum didaftarkannya kain tapis Lampung sebagai produk indikasi geografis dapat mengakibatkan pihak lain memanfaatkan celah hukum ini untuk mengambil alih pelaksanaan produksi kain tapis Lampung tersebut yang dapat membuat kain tapis Lampung kehilangan ciri khas kedaerahan, adat istiadat dan karakteristik produk kain tapis Lampung yang tidak lagi bersendikan nilai-nilai budaya dan adat istiadat masyarakat daerah Lampung baik rumpun masyarakat Lampung

Pepadun, maupun rumpun masyarakat adat Saibatin. 78

Oleh karena itu upaya hukum dengan melaksanakan tindakan nyata dengan mendaftarkan kain tapis Lampung sebagai produk indikasi geografis perlu segera dilaksanakan, sebelum terjadinya permasalahan hukum di kemudian hari yang mengakibatkan timbulnya dampak hukum negatif terhadap kain tapis

77Ibid, hal. 53 78 Wawancara dengan, M.Yudhi, Kepala Dinas Pariwisata kota Bandar Lampung, pada hari Rabu, 20 Mei 2020, pkl.14.30 WIB di ruang Kerjanya

Universitas Sumatera Utara 101

Lampung, masyarakat pengrajin maupun pemerintah daerah Lamoung serta daerah Lampung sebagai penghasil kain tapis Lampung tersebut. Pemerintah pusat melalui direktorat jenderal HKI harus mendorong pemerintah daerah

Lampung untuk melakukan upaya hukum nemberikan pelindungan terhadap kain tapis Lampung, agar tidak diambil alih oleh pihak lain dengan cara melawan hukum.79

Upaya Pemerintah Daerah di Provinsi maupun kabupaten/kota di

Lampung dalam melindungi kain Tapis Lampung berupa kebijakan secara hukum dan non-hukum telah dilaksanakan antara lain dalam bentuk kebijakan hukum berupa:

(1) Membuat dan memberlakukan Peraturan Daerah(Perda) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung ; (2) Mewajibkan motif kain Tapis Lampung sebagai unsur dekoratif dan elemen bangunan gedung berornamen Lampung, sebagaimana diatur di dalam Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 27 Tahun 2014 tentang Arsitektur Bangunan Gedung Berornamen kain tapis Lampung ; (3) Membuat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pelindungan Kekayaan Intelektual tahun 2019 yang hingga tahun 2020 ini masih dalam proses pembahasan akhit di DPRD Provinsi Lampung .

Sedangkan kebijakan non-hukum yaitu mengadakan dan mendukung acara-acara atau kegiatan-kegiatan yang bernuansa budaya Lampung seperti: 80

(a) menggelar acara Karnaval Budaya Lampung dan Tapis Carnival V di

halaman Mahan Agung (rumah dinas Gubernur Lampung) pada tanggal 30

Agustus 2019

79 Soedjono Dirdjosisworo, AnritAntisipasi Terhadap Bisnis Curang (Pengalaman) Negara Maju dalam Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan Pengaturan E-Commerce serta Penyesuaian Undang-Undang HKI Indonesia, Utomo,Bandung, 2015, hal. 23 80 Wawancara dengan Ismed MH, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Tulang Bawang, pada hari Jumat, 22 Mei 2020, pkl.11.00 Wib di ruang kerjanya.

Universitas Sumatera Utara 102

(b) membangun Menara Siger sebagai ‘ikon’ khas Provinsi Lampung yang

berada tepat di titik 0 km Pulau Sumatera yaitu dilahan dekat Pelabuhan

Penyeberangan Kapal Ferry Bakauheni Kabupaten Lampung Selatan;

(c) mendukung acara penggunaan kain Tapis pada acara tertentu seperti dalam

ajang di Polandia dimana Putri Indonesia

Pariwisata 2019 Clara Mawarni memakai kain tapis Lampung, dan di

ajang 2018 di Las Vegas Nevada Amerika Serikat dimana

Putri Indonesia 2018, Sonia Fergina Citra menggunakan busana

bermaterikan kain Tapis Lampung.

Pelaksanaan pemberian dukungan oleh pemerintah provinsi Lampung terhadap kegiatan pariwisata tersebut di atas, bertujuan untuk menjadi sarana melestarikan kain Tapis Lampung melalui kegiatan promosi budaya. Sedangkan upaya Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung dalam melindungi kain Tapis Lampung, tidak ditemukan dalam bentuk kebijakan legislasi. Hal ini dapat diketahui karena belum ada kabupaten/kota di Provinsi

Lampung yang memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang berkaitan dengan upaya pelindungan dan pelestarian kain Tapis Lampung. Upaya Pemerintah Daerah

Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung melindungi dan melestarikan produk kerajinan tradisional kain tapis Lampung dilakukan dengan mengadakan kegiatan-kegiatan seperti Festival Adat Mego Pak, acara Begawi Adat, dan acara

Pemberian Gelar Adat kepada para tokoh daerah dan nasional.

Sedangkan upaya Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung, Provinsi

Lampung dalam rangka melindungi dan melestarikankain Tapis Lampung yaitu

Universitas Sumatera Utara 103

membangun beberapa monumen/tugu pengantin. Tugu Pengantin adat Pepadun menggunakan kain tapis Lampung berada di Perempatan Jalan Dr. Susilo Bandar

Lampung. Selain itu pada setiap kantor Bupati dan Walikota di Provinsi Lampung selalu ada Ruang Pertemuan/Rapat yang diberi nama Tapis dan begitu juga selalu terdapat ornamen yang bercirikan budaya Lampung khususnya motif kain Tapis

Lampung. Adanya kebijakan penggunaan nama Tapis dan Siger seperti tersebut di atas berkaitan dengan adanya Perda Provinsi Lampung No. 27 Tahun 2014 tentang Arsitektur Bangunan Gedung Berornamen Lampung, yang mewajibkan pada setiap bangunan milik pemerintah baik pusat maupun daerah di Provinsi

Lampung harus terdapat elemen bangunan yang berbentuk ornamen yang terdapat pada kain tapis dan unsur dekoratif berbentuk motif Tapis. 81

Upaya Pemda Kabupaten dan Kota yang lain dalam melindungi dan melestarikan kain Tapis yaitu seperti Pemkab Pringsewu yang mengadakanpelatihan kerajinan kain Tapis Lukis Khas Pringsewudi Pekon

Ambarawa Barat Pringsewu pada tanggal 6 Agustus 2018. Sedangkan Pemkab

Tulang Bawang Barat mengundang Tim Desainer Batik Khas Indonesia pada tanggal 18 Agustus 2018, untuk memilih corak dan motif Tapis yang akan dipatenkan menjadi batik khas Tuba Barat. Faktor kendala pelaksanaan kebijakan

Pemerintah Daerah di Provinsi Lampung dalam melindungi Kain Tapis Lampung yakni berkaitan aspek substansi, struktur dan kultur hukum masyarakat

Lampung.82

81 Wawancara dengan Gamal Arifin, Kasub Sie Pendataan Dan Pemeliharaan objek wisata, Dinas Pariwisata Provinsi Lampung, pada hari Rabu, 25 Maret 2020, pkl.10.00 Wib di ruang kerjanya. 82Wawancara, ibid

Universitas Sumatera Utara 104

Secara substansi hukum bentuk kendalanya yaitu saat ini kebijakan

Pemerintah Daerah Provinsi Lampung yang secara tidak langsung berkaitan dengan pelindungan kain Tapis Lampung terdapat didalam Peraturan Daerah

(Perda) Pemerintah Daerah Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun 2008 tentang

Pemeliharaan Kebudayaan Lampung dan Perda Pemerintah Daerah Provinsi

Lampung Nomor Nomor 27 Tahun 2014 tentang Arsitektur Bangunan Gedung

Berornamen Kain Tapis Lampung. Kedua peraturan daerah tersebut tidak secara khusus mengatur mengenai eksistensi kain Tapis dan Siger Lampung, melainkan hanya berkaitan dengan upaya pelestarian budaya Lampung secara keseluruhan.83

Sedangkan di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten dan Kota yangada di

Provinsi Lampung juga belum memiliki peraturan daerah yang mengatur tentang kainTapis Lampung tersebut. Konsekuensi yang timbul dengan kondisi seperti itu yaitu walau punada berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten dan Kota untuk melindungi keberadaan kain

Tapis Lampung namun di sisilain masih ditemukan adanya tindakan atau sikap sebagian anggota masyarakat di Lampung yang menggunakan dan memanfaatkan kain Tapis Lampung tidak pada tempatnya yang semata-mata dilihat dari kepentingan ekonomis, sepert ilain Tapis Lampung digunakan untuk penutup sepatu, tasdan lain sebagainya.84

Kondisi di atas telah direspon oleh Pemerintah Daerah Provinsi Lampung bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Lampung

83 Wawancara dengan Herwandi Rustam, staf dinas Pariwisata Provinsi Lampung Pada hari Selasa, 19 Mei 2020, pkl.14.00 Wib di ruang kerjanya. 84 Wawancara dengan Riana Sari Arinal, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi Lampung pada hari Rabu, 20 Mei 2020, pkl.15.00 Wib di ruang kerjanya

Universitas Sumatera Utara 105

dengan cara mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Provinsi

Lampung tentang Pelindungan Kekayaan Intelektual dan Raperda tentang

Pelestarian Warisan Budaya Lampung, walaupun telah diusulkan sejak tahun

2017, namun hingga saat ini belum juga disahkan menjadi Peraturan Daerah.

Faktor Struktur Hukum yakni belum adanya lembaga tertentu yang mempunyai tugas khusus untuk melindungi budaya Lampung, khusus kain Tapis

Lampung sebagai peralatan perkawinan adat. Saat ini lembaga yang melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan budaya Lampung baik ditingkat provinsi maupun kabupaten dan kotadalam praktiknya adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta lembaga swasta yang bernama Dewan Kerajinan Nasional

Daerah (Dekranasda). 85

Namun koordinasi diantara kedua lembaga ini dipandang masih kurang, hal ini dapat diketahui bahwa kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak

Dekranasda Provinsi Lampung yang tidak atau belum dilaporkan kepada pihak

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung. Sedangkan faktor budaya hukum yaitu adanya sikap sebagian penduduk asli Lampung yang tidak lagi mempertahankan penggunaan kain Tapis Lampung dengan motif tertentu yang semata-mata untuk kepentingan upacara adat, serta hanya dipakai oleh orang- orang tertentu saja. Sikap seperti inisebagai pengaruh heterogenitas masyarakat

Lampung di samping adanya pengaruh perkembangan zaman, yaitu lebih mementingkan untuk kepentingan model (fashion) dan ekonomi semata.86

85 Wawancara, Ibid 86 Wawancara dengan Devayanti Arsyad, perwakilan masyarakat pengrajin kain tapis di Bandar Lampung, pada hari Jumat, 22 Mei 2020, pkl.09.30 Wib di ruang kerjanya.

Universitas Sumatera Utara 106

C. Kebijakan Hukum Yang Seharusnya Ditempuh Pemerintah Daerah di Provinsi Lampung Dalam Melindungi KainTapis Lampung

Kebijakan hukum yang seharusnya ditempuh oleh pemerintah daerah di

Provinsi Lampung untuk memberikan pelindungan hukum terhadap produk kerajinan tangan tradisional kain Tapis Lampung yakni berupa kebijakan khusus yang dituangkan di dalam Peraturan Daerah Provinsi Lampung dan Peraturan

Daerah serta Peraturan Kepala Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung.

Kebijakan hukum melalui Peraturan daerah Provinsi Lampung substansinya harus berisikan:

(a) Kain Tapis dengan motif-motif tertentu dan Siger sebagai perlengkapan

Upacara Adat Lampung yang digunakan oleh Masyarakat Adat Lintas

Kabupaten dimiliki oleh Pemerintah Daerah Provinsi Lampung ;

(b) Terhadap kain Tapis dengan motif-motif umum bukan untuk Upacara Adat

Lampung menjadi milik Pemerintah Kabupaten atau kota tempat asal kain

Tapis tersebut;

(c) memuat ketentuan hukum tentang larangan dengan menerapkan sanksi

administrasi, perdata, atau pidana terhadap perbuatan yang menggunakan

kain Tapis dengan motif-motif tertentu di luar kepentingan Upacara Adat

Lampung ;

(d) Dalam rangka pelindungan dan pelestarian kain Tapis Lampung,

Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten dan Kota di Provinsi

Lampung agar mengoptimalkan peran serta Lembaga Masyarakat Adat

Lampung sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi

Universitas Sumatera Utara 107

Lampung Nomor 5 Tahun 2013 tentang Kelembagaan Masyarakat Adat

Lampung ;

(e) untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Lampung pada umumnya,

maka terhadap kain Tapis dengan motif- motif yang umum dapat

digunakan untuk kepentingan di luar Upacara Adat dengan ketentuan

apabila penggunaannya untuk kepentingan bisnis maka harus membayar

royalti kepada Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota tempat asal kain

Tapis yang bersangkutan sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selain

itu jika memungkinkan Pemerintah Daerah Provinsi, untuk memanfaatkan

jenis-jenis Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang dapat disesuaikan

dengan karakteristik Ekspresi Budaya Trdisional (EBT).

Ada 3 (tiga) jenis HKIyang dapat digunakan untuk keperluan ini, yaitu

Merek, Indikasi Geografis dan Rahasia Dagang. Sedangkan kebijakan melalui

Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah Kabupaten/Kota berkaitan dengan otonomi daerah diwujudkan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota hanya berwenang untuk mengkoordinir pemanfaatan dan pelestarian kain Tapis

Lampung yang diatur secara khusus dalam Perda Kabupaten/Kota. Di dalam

Perda tersebut diatur tentang kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengatur pemanfaatan dan pelestarian kain Tapis Lampung. Pengertian pemanfaatan termasuk juga upaya Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mendukung para pengrajin kain Tapis Lampung untuk melakukan pengembangan kain Tapis

Kreasi untuk kepentingan ekonomi masyarakat.87

87 Banon Eko, Mengenal Ragam Sulaman Tapis Lampung. Penerbit : Pelit, Bandar Lampug, 2012, hal. 65

Universitas Sumatera Utara 108

Sehubungan dengan itu dituntut adanya kebijakan Pemerintah

Kabupaten/Kota diantaranya adalah mematenkan hak cipta atas kain Tapis Kreasi, sosialisasi kain tapis, dan eksplorasi nilai ekonomis kain Tapis. Berkaitan dengan hal-hal di atas, perlu adanya kebijakan dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk:

1. Mencatatkan hak cipta Kain Tapis Kreasi.

2. Sosialisasi Kain Tapis dalam berbagai bentuk kegiatan.

Minimnya referensi tentang Kain Tapis Lampung ternyata juga pararel dengan minimnya orang-orang Lampung, khususnya generasi mudanya yang mengetahui kain ini. Kondisi ini tentu cukup memprihatinkan dan berbahaya terhadap kelangsungan eksistensi Kain Tapis Lampung sebagai produk kerajinan tangan tradisional masyarakat daerah Lampung yang sudah diproduksi dalam jangka waktu ratusan tahun lamanya secara turun temurun. Oleh karena itu, perlu segera dilakukan sosialisasi, khususnya kepada siswa- siswa sekolah. Misalnya dengan menjadikan Kain Tapis Lampung sebagai salah satu mata pelajaran muatan lokal. Melalui cara ini, para siswa tidak hanya mengetahui bentuk formal

(fisik) Kain Tapis Lampung, tetapi juga nilai-nilai yang dikandungnya.88

3. Masyarakat mempunyai ketertarikan untuk melestarikan dan

mengembangkan Kain Tapis Lampung maka keberadaan Kain Tapis

Lampung harus memberikan manfaat bagi peningkatan kesehjateraan

masyarakat. Oleh karena itu pemerintah daerah kabupaten dan lembaga

terkait harus bekerjasama untuk menciptakan lingkungan usaha yang

88Stephanus Hamy, Sulam Tapis Lampung, Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, hal. 73

Universitas Sumatera Utara 109

kondusif dan memberikan kemudahan dalam bidang produksi, permodalan,

distribusi, dan pemasaran. Untuk mengoperasionalkan kebijakan-kebijakan

sebagaimana tersebut di atas, maka diperlukan adanya peraturan lebih lanjut

berupa Peraturan Kepala Daerah dalam hal ini Peraturan Bupati dan Peraturan

Walikota.

4. Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota di Lampung melakukan

koordinasi dengan Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum Dan HAM

dalam upaya mengupayakan pelindungan hukum terhadap kain tapis

Lampung sebagai produk kerajinan tangan tradisional agar dapat didaftarkan

sebagai produk indikasi geografis di Direktorat Jenderal HKI, Kementerian

hukum dan HAM. Untuk itu pemerintah daerah Provinsi/Kabupaten/Kota di

Lampung wajib berperan aktif menjalin kerjasama dengan Direktorat

Jenderal HKI, untuk memenuhi seluruh persyaratan yang telah ditentukan

oleh Direktorat Jenderal HKI, agar produk kerajinan tangan tradisional Kain

Tapis Lampung dapat didaftarkan sebagai produk Indikasi geografis. Advis

hukum secara berkesinambungan perlu diketahui dan dipahami oleh

pemerintah daerah Lampung, untuk dapat mengupayakan pemenuhan

persyaratan agar kain tapis Lampung dapat didaftarkan sebagai produk

indikasi Geografis.

Pemerintah daerah Lampung wajib mengundang personil dari Direktorat

Jenderal HKI untuk melihat secara langsung pelaksanaan pembuatan kain tapis

Lampung di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Lampung oleh masyarakat pengrajin tradisional kain tapis Lampung tersebut. Hal ini dimaksudkan agar

Universitas Sumatera Utara 110

personil Direktorat Jenderal HKI dapat memberi arahan dan masukan kepada para pengrajin, dan aparatur pemerintah daerah di Provinsi Lampung, sehingga kain tapis Lampung dapat memenuhi seluruh persyaratan yang telah ditentukan untuk dapat didaftarkan sebagai produk indikasi geografis di direktorat Jenderal HKI.

Setelah terdaftar sebagai produk indikasi geografis di Direktorat HKI, maka pemerintah daerah Provinsi Lampung bekerjasama dengan Direktorat Jenderal

HKI dapat saling bekerja sama untuk dapat mendaftarkan kain tapis Lampung secara internasional melalui TRIPs, sehingga dapatpula memperoleh pelindungan hukum secara internasional di negara-negara yang relah menyetujui TRIPs dan dapat dilindungi sebagai produk indikasi geografis dalam organisasi perdagangan dunia (WTO).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat digambarkan mengenai potensi kain tapis Lampung untuk dapat didaftarkan sebagai produk indikasi geografis di

Direktorat Jenderal HKI sebagaimana termuat di dalam tabel di bawah ini :

Tabel 2 Potensi Kain Tapis Lampung dalam Pendaftaran Indikasi Geografis

No Kriteria Produk Indikasi Penilaian untuk kain tapis Keterangan Geografis Lampung 1 Sistem manajemen yang kuat Diproduksi oleh masyarakat Berdasarkan dan efektif hukum adat Lampung wawacara dengan secara turun temurun dan Herwandi telah berlangsung dalam Rustam, Staf jangka waktu yang cukup Dinas Pariwisata lama (> 100 tahun) Provinsi Lampung 2 Kualitas produk yang prima Menggunakan bahan-bahan Berdasarkan dan terjaga konsistensinya tradisional yang telah wawacara dengan dengan baik terbukti kualitas tinggi dan Riana Sari Arinal, ketahanan produk yang Ketua Dewan cukup baik Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda)

Universitas Sumatera Utara 111

Provinsi Lampung 3 Sistem pemasaran termasuk Telah diproduksi dan Berdasarkan promosi yang kuat dipasarkan > 100 tahun di wawacara dengan wilayah Indonesia bahkan Devayanti manca negara dan telah Arsyad, dipromosikan oleh perwakilan pemerintah daerah Lampung masyarakat dalam berbagai acara pengrajin kain promosi baik di dalam tapis di Bandar negeri maupun di luar Lampung negeri hingga Australia dan Amerika Serikat. 4 Mampu memasok kebutuhan Diproduksi dalam jumlah Berdasarkan pasar dalam jumlah cukup yang cukup banyak oleh wawacara secara berkelanjutan masyarakat pengrajin dan denganIsmed merupakan oleh-oleh khas MH, Kepala para wisatawan baik lokal Dinas Pariwisata maupun mancanegara serta Kabupaten memiliki stok produk yang Tulang Bawang cukup banyak 5 Kemauan menegakkan Telah dibuat suatu aturan Berdasarkan ketentuan hukum terkait khusus untuk penggunaan wawacara dengan Indikasi Geografis kain tapis Lampung pada M.Yudhi, Kepala masyarakat Lampung dan Dinas Pariwisata juga menggunakan motif kota Bandar kain tapis Lampung pada Lampung bangunan-bangunan milik Pemerintah maupun swasta di seluruh wilayah Lampung. Sumber : Kriteria Produk Indikasi Geografis dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (diolah)

Berdasarkan penjelasan yang termuat di dalam Tabel 2 di atas maka dapat dikatakan bahwa kain tapis Lampung berpotensi untuk dapat didaftarkan sebagai produk indikasi geografis ke Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum dan

HAM.

Universitas Sumatera Utara

112

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Potensi kain tapis Lampung sebagai suatu produk kerajinan tangan

tradisional masyarakat untuk didaftarkan sebagai produk indikasi geografis ke

Direktorat Jenderal HKI adalah cukup besar karena kain tapis Lampung

dihasilkan berdasarkan sumber daya manusia yaitu keterampilan dari

masyarakat pengrajin kain tapis Lampung dalam mengolah kain tapis

Lampung menjadi suatu produk yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi,

sehingga kain tapis Lampung sudah cukup dikenal di Indonesia dan di manca

negara (internasional) sebagai produk yang memiliki kualitas yang baik dan

reputasi yang tinggi hasil karya kerajinan tangan masyarakat pengrajin di

daerah Lampung. Kain tapis Lampung juga memiliki nilai ekonomi yang

tinggi untuk diperdagangkan di pasar nasional dan di pasar Internasional.

2. Dampak negatif yang dialami para pengrajin di Lampung apabila kain tapis

tidak didaftarkan sebagai produk Indikasi Geografis adalah bahwa para

pengrajin kain tapis tersebut secara hukum HKI tidak terlindungi karya nya

baik secara nasional maupun secara internasional, meskipun kain tapis

Lampung sudah memenuhi persyaratan sebagai suatu produk indikasi

geografis, sehingga rentan menimbulkan perbuatan melawan hukum oleh

pihak lain dalam mengambil alih HKI kain tapis Lampung untuk diproduksi

dan diperdagangkan di daerah atau di negara lain, yang dapat merugikan

112 Universitas Sumatera Utara 113

kerugian materil bagi masyarakat pengrajin tradisional kain tapis di daerah

Lampung.

3. Peranan dan upaya hukum Pemerintah daerah Lampung sebagai salah satu

pihak yang berhak nengajukan permogonan pendaftaran produk indikasi

geografis dalam memberikan pelindungan hukum terhadap produk kerajinan

tangan tradisional kain tapis Lampung adalah secara ketentuan hukum

adalah menerbitkan peraturan perundang-undangan dalam bentuk Perda

Provinsi, Perda kabupaten/kota di Provinsi Lampung dan juga peraturan

kepala daerah untuk melindungi dan melestarikan kain tapis Lampung dalam

penggunaannya di masyarakat daerah Lampung, dan juga perda provinsi yang

sedang dalam proses pembahasan akhir di DPR Provinsi Lampung mengenai

pelindungan hukum khusus terhadap kain tapis Lampung dan Upaya hukum

pemerintah provinsi Lampung dalam mengajukan permohonan

pendaftarannya sebagai produk indikasi geografis. Sedangkan kebijakan

diluar hukum yang ditempuh oleh pemerintah daerah Lampung adalah

dengan mengadakan acara-acara promosi terhadap penggunaan kain tapis

Lampung baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat internasional,

sehingga masyarakat baik nasional maupun internasional dapat lebih

mengenal secara lebih dekat kain tapis Lampung sebagai produk kerajinan

tangan tradisional masyarakat di daerah Lampung

B. Saran

1. Hendaknya pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota Lampung

memanfaatkan semaksimal mungkin potensi kain tapis Lampung sebagai

Universitas Sumatera Utara 114

kekayaan budaya masyarakat daerah Lampung dan juga kekayaan budaya

nasional Indonesia, dan karena itu wajib diupayakan pelindungan hukumnya

secara maksimal untuk menghindari penyalahgunaan dan perbuatan melawan

hukum terhadap produk kerajinan tangan tradisional kain tapis Lampung,

sehingga merugikan masyarakat pengrajin, daerah Lampung maupun negara

Indonesia baik material maupun immaterial.

2. Hendaknya pemerintah daerah Provinsi/kabupaten/kota Di Lampung harus

saling bekerja sama dengan masyarakat pengrajin tradisional kain tapis

Lampung dan juga lembaga swadaya masyarakat dibidang karya seni dan

karya tradisional untuk bersinergi segera mengajukan permohonan

pendaftaran kain tapis Lampung sebagai produk kerajinan tangan

tradisional menjadi produk indikasi geografis khas daerah Lampung dengan

berupaya memenuhi seluruh persyaratan yang telah ditentukan peraturan

perundang-undangan yang berlaku di bidang Merek dan indikasi geografis

untuk menghindari dampak negatif tidak didaftarkannya produk kerajinan

tangan tradisional sebagai produk indikasi geografis ke Direktorat Jenderal

HKI.

3. Hendaknya pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota Lampung segera

melakukan upaya hukum dalam bentuk melakukan sosialisasi yang lebih

intensif kepada masyarakat daerah Lampung tentang kain tapis Lampung

sebagai produk kerajinan tangan tradisional yang harus dilindungi dan

dilestarikan oleh seluruh masysrakat di daerah Lampung. Selain itu

pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota segera melakukan koordinasi dan

Universitas Sumatera Utara 115

komunikasi yang intensif dengan Direktorat Jenderal HKI agar dapat mengetahui dan memahami secara lebih detail tentsng seluruh persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat menjadikan kain tapis sebagai produk indikasi geografis yang terdaftar di direktorat Jenderal HKI.

Universitas Sumatera Utara

116

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Achmad, Riski, Kain Tapis Lampung, Alumni, Bandung, 2010

Alfons, Maria, Implentasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas ProdukProduk Masyarakat Lokal Dalam Prespektif Hak kekayaan Intelektual, Universitas Brawijawa, Malang, 2010

Armando, Siswanto, Geografis terhadap Daftar Merek Usaha Dagang Industri, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014

Ayu, Miranda Risang. Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual, Indikasi Geografis. Bandung: PT Alumni, 2010

D. F,Aling. Sistem Perlindungan Indikasi Geografis sebagai Bagian dari Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. Universitas Sam Ratulangi. Manado, 2010

Damian, Eddy, Glosarium Hak Cipta dan Hak Terkait, PT. Alumni, Bandung, 2012

Damian,Eddy, Hak Kekayaan Intelektual (Dalam Suatu Pengantar), Alumni, Bandung, 2013

Damsar, Pengantar Sosiologi Ekonomi, PT. Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2002

Dirdjosisworo,Soedjono, AnritAntisipasi Terhadap Bisnis Curang (Pengalaman) Negara Maju dalam Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan Pengaturan E-Commerce serta Penyesuaian Undang-Undang HKI Indonesia, Utomo,Bandung, 2015

Djunaedi, Firmansyah, Mengenal Sulaman Tapis Lampung, Grafika Aditama, Jakarta, 1999

Effendi, Mohammad, Kerajinan Tenun tradisional Lampung, Alumni, Bandung, 1995

Eko, Banon, Mengenal Ragam Sulaman Tapis Lampung. Penerbit : Pelit, Bandar Lampug, 2012

Firmansyah, Junaidi, Mengenal Sulam Tapis Lampung, Bandar Lampung : Gunung Pesagi, 2007

Friedman, W., Teori dan Filsafat Umum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996

116 Universitas Sumatera Utara 117

Hadi, Sutrisno, Metodologi Riset, ANDI, Yogyakarta, 2000

Hamidi, Darwan, Pelestarian Kain Tapis Lampung SebagaiKekayaan Budaya Nusantara, Media Ilmu, Lampung, 2016

Hamy,Stephanus, Sulam Tapis Lampung, Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011

Hariyanto, Arwandi, Potensi Perlindungan Hukum Kain Tapis Lampung Sebagai Produk Indikasi Geografis, Suluh Pustaka, Lampung, 2017

Hartono, Lili, Kain Tapis Lampung : Perubahan Fungsi, Motif dan Makna Simbolis, . Surakarta : LPP, UPT dan UNS Press, Universitas Sebelas Maret, 2009

Ibrahim, Jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyu Media, Malang, 2005

Intani, Ria, Tapis Lampung, Laporan Perekaman BPSNT, Bandung, 2006

Jurwanto, Potensi Kain Tapis Lampung Sebagai Produk Indikasi Geografis, Gema Ilmu, Lampung, 2018

Kartiwa, Suwarti, Tenun Ikat : Ragam Kain Tradisional Indonesia., Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007

Lindsey, Tim, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2012

Lukman, Turunde, Menata Manajemen Perlindungan Hukum Kain Tapis Lampung Sebagai Produk Kerajinan Tangan Tradisional, Rineka Cipta Jakarta, 2017

Margono, Suyud dan Lingginus Hadi, Pembaharuan Pelindungan Hukum Merek, Novirindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2002

Margono, Suyud, Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Pustaka Reka Cipta, Bandung, 2015

Martiara, Rina, Cangget: Identitas Kultural Lampung Sebagai Bagian Dari Keragaman Budaya Indonesia. Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Departemen Pendidikan, 2014

Mulyanto, Hukum Hak Cipta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2016

Mulyo, Arfan Rahadi, Perlindungan Hukum Merek Terdaftar di Indonesia (Suatu Tinjauan Yuridis Praktis), Citra Ilmu, Surabaya, 2012

Universitas Sumatera Utara 118

Nainggolan, Bernard, Komentar Undang-Undang Hak Cipta, PT. Alumni, Bandung, 2016

Nico, Muhammad, Kain Tapis dan Indikasi Geografis, Andi, Yogyakarta, 2017

Nurmaruddin, Kain Tapis Lampung, Grafika Aditama, Jakarta, 2014

Purba, Achmad Zen Umar, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, PT. Alumni, Bandung, 2011

Purwaningsih, Endang, Partisipasi Masyarakat Dalam Perlindugan Hukum Terhadap Kekayaan Intelektual Warisan Bangsa, MMH, 2012

Purwaningsih, Endang, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi, CV. Mandar Maju, Bandung, 2012

Puspawidjaja, Rizani, Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran. Bandar Lampung : Penerbit Universitas Lampung, 2006

Racmad, Muhammad, Pengantar HKI, Penerbit Pustaka Magister, Semarang, 2018

Rafyanto, Rismadi¸Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, Alumni, Bandung, 2016

Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Citra Adtya Bakti, Bandung, 1991.

Rifai,Tomy Pasca, Kesiapan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN.”Fiat Justisia Journal of Law. Vol. 10, Issue 4

Rismauddin, IlmuPengetahuan Tradisional dalam Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 2017

Saidin, OK., Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Raja Grafindo, Persada, Jakarta, 2007

Saidin, OK., Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) Edisi Revisi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015, hal. 32

Setyo, Banon Eko, Mengenal Keberagaman Kain Tapis Lampung, Pelita Lestari, Jakarta, 2012

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986

Soelistyo, Henry, Hak Cipta tanpa Hak Moral, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011

Universitas Sumatera Utara 119

Soelistyo, Henry, Hak Kekayaan Intelektual, Konsepsi, Opini, dan Aktualisasi, Jakarta, Penaku, 2014

Stephanus, Sulam Tapis Lampung, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011

Suhaji, Firman, Lampung Sai Bumi Ruwa Jurai, Citra Insan Mandiri, Jakarta, 2012

Sunggono Bambang, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002

Suryabrata, Samadi, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998

Syafrinaldi, Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Dalam Menghadapi Era Globalisasi, UIR Press, 2010

Syafrinaldi, Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam Menghadapi Era Globalisasi, Jakarta: UI Press, 2010

Uchjana, Onong Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005

Utomo, Tomy Suryo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010

Utomo, Tomy Suryo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010

Wahyu, Muhammad, Pelindungan Kain Tapis Lampung, Gramedia, Jakarta. 2016

Yusuf, Carlito, Peran Pemerintah Daerah Lampung Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Kain Tapis Lampung, Kencana Media, Jakarta, 2017

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang tentang Merek dan Indikasi Geografis

JURNAL

Ariani, Nenny Dwi, dan Kholis Roisah. Upaya Pemerintah Dalam Melindungi Kain Tapis dan Siger Lampung sebagai Ekspresi Budaya Tradisional, Vol 12 no 1.

Ariani1,Nenny Dwi, Kholis Roisah, Upaya Pemerintah Dalam Melindungi Kain Tapis Dan Siger Lampung Sebagai Ekspresi Budaya Tradsional, Jurnal Law Reform2, (1)

Universitas Sumatera Utara 120

Djaja, Hendra, Perlindungan Indikasi Geografis Pada Produk Lokal Dalam Sistem Perdagangan Internasional, Jurnal Cakrawala Hukum, Vol.18, No.2 Desember 2013

Marwiyah,Siti. Perlindungan Hukum Atas Merek Terkenal”. De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum. Volume 2, Nomor 12

Rachmawati, Rosida, Aktivitas Matemtaika Berbasis Budaya Pada Masyarakat Lampung, UIN Raden Intan Lampung, Jurnal Ajabar, 131-144

Universitas Sumatera Utara