Konsep Keabadian, Serta Kajian Tektonika Arsitektur Candi Di Jawa Timur Yang Disandingkan Dengan Gereja Puh Sarang Kadiri

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Konsep Keabadian, Serta Kajian Tektonika Arsitektur Candi Di Jawa Timur Yang Disandingkan Dengan Gereja Puh Sarang Kadiri Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 1, A 161-170 https://doi.org/10.32315/sem.1.a161 Konsep Keabadian, Serta Kajian Tektonika Arsitektur Candi di Jawa Timur Yang Disandingkan dengan Gereja Puh Sarang Kadiri R.Bambang Gatot Soebroto1, Nuffida2 1,2 Lab. Perkembangan Jurusan Arsitektur, FTSP ITS Surabaya Korespondensi : [email protected] Abstrak Pusat kerajaan berpindah ke wilayah Timur Jawa, diikuti munculnya arsitektur candi memakai bahan baku baru; dari batu andesit ke bata merah. Bahan baku candi beralih seolah adanya perobahan konsep keabadian. Permasalahannya kalau demikian berakibat berobah pada; pengolahan bahan hingga tektonikanya. Penelitian ini betujuan mengaji konsep keabadian yang berhubungnya dengan tektonika arsitektur candi di Jawa Timur, disandingkan dengan Gereja Puh Sarang di Kadiri. Metodenya Kualitatif; kajian literatur, wawancara, pengamatan langsung lalu dianalisis. Dilakukan analisis tektonikanya, kemudian dibuatkan diagram. Lalu disusun menjadi kritik deskriptif arsitektur. Hasilnya, perobahan konsep keabadian berpengaruh terhadap tektonika candi maupun gereja. Kata kunci : arsitektur, candi, gereja, keabadian, tektonika Pendahuluan Pendahuluan berisikan; latar belakang judul yang penulis ambil yaitu kajian konsep keabadian. Latar belakang mengandung motivasi, konsep, dan tektonika candi. Percandian dibuat memakai batu andesit di wilayah tengah pulau Jawa. Di daerah Timur pulau Jawa muncul candi berbahan baru yakni tanah liat atau bata merah. Batu andesit yang ditambang, dibawa, dibentuk persegi, disusun (membentuk candi), digambar (sesuai arahan pendeta) lalu batu diukir atau ditatah , Tjahjono,(2002). Bahan baku percandian perobahan karena konsep keabadian; batu andesit tak lekang terhadap cuaca – abadi. Batu bata (tanah liat) digali, dibentuk persegi, dikeringkan lalu dibakar dan disusun (mungkin masih di tatah atau ukir). Percandian bata merah tersebut di sandingkan dengan gereja Puh Sarang Kadiri, gereja yang dirancang oleh arsitek Henry Macline Pont. Bagunan yang Memanfaatkan batu-batu bundar, lonjong dan gepeng untuk penataannnya. Batu-batu dipilah dan dipilih kemudian disusun sesuai bentuk menyesuaikan fungsinya. Mcline Pont memanfaatkan tanah liat sekitar dengan membuat berbagai kelengkapan sebuah bangunan gereja; bata untuk dinding altar, tegel untuk lantai gereja, patung serta relief untuk hiasan altar dan genting yang tipis dengan bentuk serta peletakannya yang unik. Beberpa contoh peralihan bahan dalam pembangunan candi, dan gereja Puh Sarang penyandingnya. Kemudian mengkaji Tektonikanya sebagai sentuhan akhir. Pengolahan serta pemanfaatan bahan-bahan pembangun tersebut tidak lepas dari pemakaian peralatan yang aneka ragam dan memungkinkan tidak sama penggunaannya; mengolah batu dan membuat bata merah. Kemudian permasalahan yang dihadapi tidak mudah mendapatkan literatur yang sebidang jurusannya; di Seni keramik dan tektonika arsitektur, melainkan beberapa jurusan yang berada diluar arsitektur; Sipil, atau Mesin. Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon, Universitas Indraprasta, Universitas Trisakti Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 161 ISBN 978-602-17090-5-4 E-ISBN 978-602-17090-4-7 Konsep Keabadian, Serta Kajian Tektonika Arsitektur Candi di Jawa Timur Yang Disandingkan dengan Gereja Puh Sarang Kadiri Latar Belakang Percandian didirikan memakai batu andesit (di Jawa Tengah- candi-candinya dibangun memakai batu andesit). Percandian dibangun disekitar lereng gunung Merapi (gunung berapi) menurut buku Indonesian Heritage . Bahan bakunya diambil dari dua kawasan; perbukitan Menoreh dan sungai Progo”, Miksic(2002) Percandian yang dibangun di wilayah Timur pulau Jawa, masih terdapat candi berbahan batu andesit. Candi-candinya dibuat lebih langsing, tidak ‘tambun’, Priotomo, (2008), akan tetapi sudah muncul bahan lain, yakni bata merah. Batu andesit bisa bertahan ratusan tahun, berbeda dengan batu merah dibuat memakai tanah liat kemungkinan jauh lebih rapuh, tidak bertahan lama, terkena panas terik, angin maupun hujan. Tektonika hubungannya dengan ‘ketukangan’ Frampton (1995) dalam pembuatan candi. Tukang berhubungan dengan alat-alat kerja yang digunakan. Tektonika adalah kerja sentuhan akhir memakai estetika, tepatnya sebuah upaya tertentu pada sebuah teknologi, atau olah suatu bahan. Batu – batu andesit ditatah kemudian disambung , batu bundar - batu bundar, batu andesit dengan bata merah atau bata merah dengan bata merah. Didalam bukunya Sopandi, Setiadi (2013), Sejarah Arsitektur, sebuah pengantar, di halaman 33,34,35 ‘menumpuk’ batu andesit pada candi dilakukan tektonika berbagai cara sambungan; menggunakan purus, takikan, batu berbentuk ekor burung, menggunakan pasak, dinding pelapis serupa cor beton”. Gereja Puh Sarang Kadiri memakai sentuhan tektonika tampak perpaduan bahannya. Henry Mcline Pont melakukan; pengolahan, pemilihan dan pemanfaatan batuan bulat dan lonjong, kemudian disusun membentuk terasan, gapura, tiang atau kolom, ‘sculpture’ menara lonceng, dinding gereja dan termasuk gua Maria dan Josep. Batu bundar di pilih dan di pilah dengan rinci menyesuaikan bentuk dan fungsi nya. Batu yang kecil setelapak hingga seukuran rantang, disusun sedemikian rupa disesuaikan antara bentuk keadaannya dengan fungsi posisinya. Undak-undak digunakan batu lonjong yang gepeng, untuk dinding ditempatkan pada kolom atau dinding, untuk daerah’kaki’ supaya terlihat berat dibagian bawah digunakan batu seukuran rantang. Gereja Puh Sarang ini memperlihatkan seni perletakan batu bundar namun tanah liat yang di olah dan dibentuk tidak kalah menariknya. Bata merah dibuat untuk area altar , serta relief- patung dibuat imajiner di tengah-tengah. lantai tegel terrakotta berukuran ;20 cm x 20 cm x tebal 2,5 cm. Relief kisah jalan Salib dibentuk dengan khusus berukuran 30 cm x 40 cm. Genting-genting yang kecil dan tipis, dibentuk dan dipasang dengan cara di ikat pada kawat baja lonjoran. Relief yang diukir secara manual satu-satu dicetak ukuran 20 cm x 20 cm untuk teras ruang utama gereja (muka altar). Genting yang dibuat khusus berukuran kecil, tipis, berukuran 15-20 cm berbentuk penampangnya huruf U, berketebalan lebih kurang 1 cm. Genting tipis ini di pasang memakai ikatan kawat kabel. Bolak balik U, N,U,N dst. Kawat kabel diikatkan ke kawat beton Tu baja lonjoran. Genting yang dibuat berbeda seperti jaman sekarang lebih lebar dan tebal, menggunakan takik untuk mengait pada reng. Genting gereja Puh Sarang berkesan, menggayut atau lendut (serupa tenda terpal komando, milik TNI). Permasalahan Batu-batu yang disusun dijadikan sebuah tempat khusus dan disakralkan. Bangunan itu dibuat utuh, tahan cuaca dan lama usianya. Bangunan batu tersebut menjadi saksi untuk dinikmati, dipelajari atau masih bisa dipergunakan sebagai sarana berdoa atau pemujaan. A 162 | ProsidingSeminar Heritage IPLBI 2017 R.Bambang Gatot Soebroto Candi yang utuh bertahan ratusan tahun memberikan kesan lebih kepada banyak orang. Masyarakat generasi berikutnya, dapat merawat sebaik-baiknya dengan mudah. Bencana alam, gunung berapi, tanah longsor atau gempa bumi dapat menimbun, merobohkan atau membuat tidak utuh lagi. Candi yang terbuat dari tanah liat sesungguhnya tidak berbeda. Bencana alam tertulis diatas tersebut juga dapat merusak keadaan candi. Bata merah yang dibuat seperti perajin sekarang mudah rusak dan hancur tetapi dengan teknik pembuatan yang prima, dapat sekuat batu andesit . Batu andesit diukir, sedangkan batu merah apakah juga dapat diukir? Candi di kawasan Trowulan (candi Ringin Lawang, Bajang Ratu, Tikus, Gentong, Brahu, Kolam Segaran dan masih banyak yang ujud candinya tidak utuh lagi), Sidoarjo (Candi Pari, Dermo dll) , Beji-Pasuruan (Candi Gunung Gangsir), Probolinggo (Candi Jabung), candi bata merahnya penuh berukir yang cukup dalam. Candi bata merah untuk dapat diukir harus memiliki dinding yang cukup padat dan solid. Candi bata merah pembuatannya berbeda dengan candi batu andesit (seperti di daerah pulau Jawa bagian tengah). Candi Borobudur dibuat setelah dinding candi dibentuk dan di susun berbentuk undak-undak memakai balok-balok batu andesit yang belum berelief alias kosong. Dinding batu andesit digambar dan ditatah diatas, setelah candi berdiri. Sedangkan candi bata merah (diwilayah Timur pulau Jawa) dibuat dibawah ketika tanah liat dalam keadaan mentah, atau paduan keduanya; candi dibuat memakai bata merah ‘kosongan’, tetapi diberi rongga-rongga. Rongga tersebut diisi relief yang dibuat dibawah: Tanah liat mentah dibentuk, diukir,dikeringkan lalu dibakar. (contoh yang dilakukan pada candi Gunung Gangsir di Beji-Pasuruan). ‘Kosod” adalah teknik menggosok-gosokan antar sesama dinding batu bata merah dicampur air untuk perekat antar bata yang satu dengan bata merah lainnya. Menurut arkeolog Museum Trowulan (ibu Ninies), selain kosod, perpindahan atau peralihan bahan pembangunan candi dari batu andesit ke bata merah adalah karena peralihan ‘konsep keabadian’. Konsep kepercayaan Jawa (Pangudi); membuat memakai batu merah sama halnya penggambaran sosok manusia berasal dari empat unsur; “ api, angin, air dan tanah (Amarah, Supiah, Mutmainah dan Aluamah) Haryono, 2012, Gitanjali, ITS Press, Surabaya”. Gereja Puh Sarang Kadiri, sebagai penyandingnya tampak keindahan permainan batu kali bulat, maupun lonjong. Komplek bangunan gereja yang dibentuk dan kreasikan sebagai kerangka bebatuan, olahan tanah liat untuk perimbangan kreatifitas tangan bebas terlihat. Bangunan yang dibuat memakai dua tipe bahan memperlihatkan filosofi keabadian disandingkan dengan harmonis. Batu-batu kali yang bulat,
Recommended publications
  • Pemanfaatan Candi Gunung Gangsir
    PEMANFAATAN CANDI GUNUNG GANGSIR: UPAYA MENUMBUHKAN KESADARAN SEJARAH SISWA SMAN 1 PURWOSARI MELALUI METODE OUTDOOR LEARNING (UTILIZATION OF GANGSIR MOUNTAIN TEMPLE: EFFORTS TO GROW HISTORY AWARENESS OF SMAN 1 PURWOSARI STUDENTS THROUGH OUTDOOR LEARNING METHOD) Akhmad Fajar Ma’rufin STMIK Yadika Bangil Shela Dwi Utari Universitas Negeri Malang [email protected] ABSTRACT Theresearch aims to analyze: (1) the history of Gangsir Mountain Temple, (2) the architectural form of Gangsir Mountain Temple, and (3) efforts to growhistory awareness ofSMAN 1 Purwosari students through outdoor learning method using of cultural preservation of Gangsir Mountain Temple. The method of this research is qualitative. The footage used in this research is purposive sampling with criterion selection. Data collection is done by direct observations, interviews, and recording documents. Data validation is done by triangulation. The used data analysis is an interactive analysis model, namely collection, data reduction, data presentation, and conclusion. The results of the research concluded that (1) Gangsir Mountain Temple is one of the cultural heritage remains of Medang KamulanKingdom, a continuation of the Ancient Mataram. The temple is located in Beji, Pasuruan, (2) the temple architecture can be concluded as a combination of Central and East Javanese styles but the Gangsir Mountain Temple is more inclined to the Ancient Mataram style. Ancient Mataram style can be seen from the reliefs on the temple walls of Gangsir Mountain and supported by the parama
    [Show full text]
  • Bělahan and the Division of Airlangga's Realm
    ROY E. JORDAAN Bělahan and the division of Airlangga’s realm Introduction While investigating the role of the Śailendra dynasty in early eastern Javanese history, I became interested in exploring what relationship King Airlangga had to this famous dynasty. The present excursion to the royal bathing pla- ce at Bělahan is an art-historical supplement to my inquiries, the findings of which have been published elsewhere (Jordaan 2006a). As this is a visit to a little-known archaeological site, I will first provide some background on the historical connection, and the significance of Bělahan for ongoing research on the Śailendras. The central figure in this historical reconstruction is Airlangga (991-circa 1052 CE), the ruler who managed to unite eastern Java after its disintegration into several petty kingdoms following the death of King Dharmawangśa Těguh and the nobility during the destruction of the eastern Javanese capital in 1006 (Krom 1913). From 1021 to 1037, the name of princess Śrī Sanggrāmawijaya Dharmaprasādottunggadewī (henceforth Sanggrāmawijaya) appears in sev- eral of Airlangga’s edicts as the person holding the prominent position of rakryān mahāmantri i hino (‘First Minister’), second only to the king. Based on the findings of the first part of my research, I maintain that Sanggrāmawijaya was the daughter of the similarly named Śailendra king, Śrī Sanggrāma- wijayottunggavarman, who was the ruler of the kingdom of Śrīvijaya at the time. It seems plausible that the Śailendra princess was given in marriage to Airlangga to cement a political entente between the Śailendras and the Javanese. This conclusion supports an early theory of C.C.
    [Show full text]
  • Sustainable Tourism Approach in Trowulan Heritage Destination – Mojokerto, East Java
    Sustainable Tourism Approach in Trowulan Heritage Destination – Mojokerto, East Java 1st Diena Mutiara Lemy1, 2nd Elang Kusumo2 {[email protected], [email protected]} Universitas Pelita Harapan, School of Hospitality and Tourism, UPH Tower D 3rd floor Lippo Village Karawaci Tangerang Indonesia1,2 Abstract. Trowulan as one of cultural heritage tourism sites in Indonesia has a strategic role in building the national identity, considering that Trowulan is the center of Majapahit, a large kingdom around the 13th century whose territory covered the territory of the present Indonesia to the Malay peninsula. The Trowulan site is currently under the management of the East Java Cultural Heritage Preservation Center (BPCB), Directorate General of Culture, Ministry of Education and Culture. The focus of BPCB in managing this site is Rescue, Secure, Maintenance and Development of cultural heritage. Some problems related to the discovery of cultural heritage objects and interest conflicts of local people in earning a living in the land area become critical issues that should be addressed. Based on the description above, this paper reviews the Sustainable Tourism approach to help overcome the problems in Trowulan. Keywords: sustainable tourism, Trowulan, cultural heritage tourism, Majapahit kingdom 1 Introduction Majapahit Kingdom (Majapahit) is one of powerful kingdoms in Indonesia. Founded by Raden Wijaya in 1293 AD, Majapahit reached its peak in 1350 - 1389 under King Hayam Wuruk [1]. The center of Majapahit, based on the results of research and archaeological remains, is the Trowulan site. Trowulan Site is a very important historical area. The Trowulan site is located 70 km southwest of Surabaya in the Trowulan District area (Mojokerto Regency, East Java).
    [Show full text]
  • No Nama Varietas Jenis Tanaman Nama Pemohon No Terdaftar Tanggal Terdaftar
    DAFTAR PENDAFTARAN VARIETAS HASIL PEMULIAAN TAHUN 2006 - DESEMBER 2020 No Nama Varietas Jenis Tanaman Nama Pemohon No Terdaftar Tanggal terdaftar 1 G 1 Serai Wangi Balitro 001/PVHP/2006 30 Juni 2006 2 G 2 Serai Wangi Balitro 002/PVHP/2006 30 Juni 2006 3 G 3 Serai Wangi Balitro 003/PVHP/2006 30 Juni 2006 4 Galesia 1 Kencur Balitro 004/PVHP/2006 30 Juni 2006 5 Galesia 2 Kencur Balitro 005/PVHP/2006 30 Juni 2006 6 Galesia 3 Kencur Balitro 006/PVHP/2006 30 Juni 2006 7 Sidikalang Nilam Balitro 007/PVHP/2006 02 November 2006 8 Lhokseumawe Nilam Balitro 008/PVHP/2006 02 November 2006 9 Tapak Tuan Nilam Balitro 009/PVHP/2006 02 November 2006 10 Yulikara Mawar Mini Balithi 010/PVHP/2006 27 November 2006 11 Rosanda Mawar Mini Balithi 011/PVHP/2006 27 November 2006 12 Halina 1 Jahe Balitro 01/PVHP/2007 05 Maret 2007 13 Halina 2 Jahe Balitro 02/PVHP/2007 05 Maret 2007 14 Halina 3 Jahe Balitro 03/PVHP/2007 05 Maret 2007 15 Halina 4 Jahe Balitro 04/PVHP/2007 05 Maret 2007 16 Jahira 1 Jahe Balitro 05/PVHP/2007 05 Maret 2007 17 Jahira 2 Jahe Balitro 06/PVHP/2007 05 Maret 2007 18 Ambon Cengkeh Balitro 07/PVHP/2007 05 Maret 2007 19 Siputih Cengkeh Balitro 08/PVHP/2007 05 Maret 2007 20 Zanzibar Cengkeh Balitro 09/PVHP/2007 05 Maret 2007 21 Zanzibar Komposit Cengkeh Balitro 10/PVHP/2007 05 Maret 2007 22 Bima 1 Jagung Balitsereal 11/PVHP/2007 03 April 2007 23 Kelapa Dalam Mapanget (DMT) Kelapa Dalam Balitkabi 12/PVHP/2007 16 April 2007 24 Kelapa Genjah Salak (GSK) Kelapa Genjah Balitkabi 13/PVHP/2007 16 April 2007 25 Srikandi Kuning 1 Jagung Balitsereal 14/PVHP/2007
    [Show full text]
  • Download Article (PDF)
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 552 Proceedings of the 4th International Conference on Arts and Arts Education (ICAAE 2020) Life Values in Gapura Bajangratu Katrin Nur Nafi’ah Ismoyo1,* Hadjar Pamadhi 2 1 Graduate School of Arts Education, Yogyakarta State University, Yogyakarta 55281, Indonesia 2 Faculty of Languages and Arts, Yogyakarta State University, Yogyakarta 55281, Indonesia *Corresponding author. Email: [email protected] ABSTRACT This study employed the qualitative research method with Hans-George Gadamer’s semiotic approach and analysis based on Jean Baudrillard’s hyperreality. According to Gadamer, truth can be obtained not through methods, but dialectics, where more questions may be proposed, which is referred to as practical philosophy. Meanwhile, Jean Baudrillard argues that “We live in a world where there is more and more information, and less and less meaning …”. This paper discusses the life values of Gapura Bajang Ratu in its essence, as well as life values in the age of hyperreality. Keywords: Gapura Bajangratu, life values, hyperreality, semiotics 1. INTRODUCTION death of Bhre Wengker (end 7th century). There is another opinion regarding the history of the Bajangratu Gapura Bajangratu (Bajangratu Temple) is a Gate which believe it to be one of the gates of the heritage site of the Majapahit Kingdom which is located Majapahit Palace, due to the location of the gate which in Dukuh Kraton, Temon Village, Trowulan District, is not far from the center of the Majapahit Kingdom. Mojokerto Regency, East Java. Gapura Bajangratu or This notion provides historical information that the the Bajangratu Gate is estimated to have been built in Gapura gate is an important entrance to a respectable the 13-14th century.
    [Show full text]
  • Potency Exploration of Trowulan Cultural Heritage Area As Educational Facility
    Potency Exploration of Trowulan Cultural Heritage Area as Educational Facility Retno Eka Pramitasari, Nur Muflihah Universitas Hasyim Asy’ari, Jombang, Indonesia Keywords: Exploration, Cultural Heritage, Educational Facility. Abstract: Trowulan is a very popular cultural heritage area in Mojokerto city and designated as a National Tourism Strategic Area which is thick with cultural and historical elements. The purpose of this study to explore the tourism and cultural heritage potency in Trowulan area as education facility. The object of this research is the existing cultural heritage in the Trowulan area including Bajang Ratu Gate, Petirtaan Tikus, Brahu Temple and Majapahit Information Center. This study used descriptive research with a qualitative approach and sampling techniques using purposive sampling techniques. The results of this study indicated that the majority of visitors who are student-certified were 52.5%, the response of visitors related to the perception of the attractiveness of the tourist environment was 62.1% very interesting, and the perception of tourist accessibility to visitors responds 76.4% supported this condition. Visitors expressed satisfaction with the facilities and activities in the tourism object. This proved that the Trowulan cultural heritage area can be used for holidays and educational facility. 1 INTRODUCTION the potency as a tourism place, a media of educating both history and culture. Likewise with people in Indonesia is a country that is rich in history and several large cities, there are among them who do not culture in the past, namely the existence of kingdom know the historical sites and religious tourism in spread among others the Majapahit kingdom, Trowulan.
    [Show full text]
  • Higher Education for Technology and Innovation Project: Institute
    Initial Environmental Examination August 2020 Indonesia: Higher Education for Technology and Innovation Project Institute Teknologi Sepuluh November, Surabaya Prepared by the Government of Republic of Indonesia’s Ministry of Education and Culture for the Asian Development Bank. CURRENCY EQUIVALENTS (as of 04 August 2020) Currency unit – Rupiah (Rp) KN1.00 = $ 0.00006799 $1.00 = Rp 14,708 ABBREVIATIONS ADB - Asian Development Bank AMDAL - Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Analysis of Environmental Impact) ANDAL - Analisis Dampak Lingkungan (Environmental Impact Assessment) BOD - Biological Oxygen Demand CEMP - Contractor’s Environmental Management (and Monitoring) Plan COD - Chemical Oxygen Demand DELH - Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (Environmental Evaluation Document) DLH - Dinas Lingkungan Hidup [Environmental Agency] DO - Dissolved Oxygen EIA - Environmental Impact Assessment EMC - Environmental Monitoring Checklist (of ADB) EMP - Environmental Management Plan EMMP - Environmental Management and Monitoring Plan GOI - Government of Indonesia GRM - Grievance Redress Mechanism GRC - Grievance Redress Committee HETI - Higher Education for Technology and Innovation HEI - Higher Education Institutions HIV - Human Immunodeficiency Virus HM - Hazardous Material(s) HW - Hazardous Waste(s) IA - Implementing Agency IEE - Initial Environmental Examination IFC EHS International Finance Corporation Environmental Health and Safety KEPMEN - Keputusan Menteri (Ministerial Decree) KEPRES - Keputusan President (Presidential Decree) MENLH(K)/ -
    [Show full text]
  • Bab 3 Kepurbakalaan Padang Lawas: Tinjauan Gaya Seni Bangun, Seni Arca Dan Latar Keaagamaan
    BAB 3 KEPURBAKALAAN PADANG LAWAS: TINJAUAN GAYA SENI BANGUN, SENI ARCA DAN LATAR KEAAGAMAAN Tinjauan seni bangun (arsitektur) kepurbakalaan di Padang Lawas dilakukan terhadap biaro yang masih berdiri dan sudah dipugar, yaitu Biaro Si Pamutung, Biaro Bahal 1, Biaro Bahal 2, dan Biaro Bahal 3. Sedangkan rekonstruksi bentuk dilakukan terhadap unsur-unsur bangunan biaro-biaro di Padang Lawas yang sudah tidak berada dalam konteksnya lagi, atau masih insitu dan berada dengan konteksnya tetapi dalam keadaan fragmentaris. Rekonstruksi tersebut dilakukan berdasarkan tulisan dan foto (gambar) para peneliti yang sudah melakukan penelitian di situs tersebut pada masa lalu. Tinjauan terhadap gaya seni arca dilakukan terhadap arca-arca logam untuk mengetahui bagaimana gaya seni arca tinggalan di Padang Lawas, apakah mempunyai kesamaan dengan gaya seni arca dari tempat lain baik di Indonesia maupun luar Indonesia. Gaya seni arca juga dapat memberikan gambaran periodisasinya secara relatif. Adapun periodisasi situs secara mutlak didapatkan berdasarkan temuan prasasti-prasasti yang menuliskan pertanggalan. Prasasti- prasasti yang ditemukan di Padang Lawas sebagian besar berisi tentang mantra- mantra dalam melakukan suatu upacara keagamaan, oleh karena itu latar keagamaan situs dapat diketahui berdasarkan isi prasasti. Di samping itu latar keagamaan diketahui juga dengan melalui studi ikonografi terhadap arca dan relief. 3.1 Gaya Seni Bangun (Arsitektur) Menurut Walter Grophius arsitektur adalah suatu ilmu bangunan yang juga mencakup masalah-masalah yang berhubungan dengan biologi, sosial, teknik, dan artistik, oleh karena itu arsitektur dapat didefinisikan sebagai: (1) Seni ilmu bangunan, termasuk perencanaan, perancangan, konstruksi dan penyelesaian ornament; (2) Sifat, karakter atau gaya bangunan; (3) Kegiatan atau proses membangun bangunan; (4) Bangunan-bangunan; (5) Sekelompok bangunan Universitas Indonesia 114 Kepurbakalaan Padang..., Sukawati Susetyo, FIB UI, 2010.
    [Show full text]
  • Perancangan Branding Candi Palah Penataran Blitar Berbasis Sejarah Sebagai Upaya Meningkatkan Kesadaran Masyarakat
    Perancangan Branding Candi Palah Penataran Blitar Berbasis Sejarah Sebagai Upaya Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Zaenal Fanani1) Muh.Bahruddin2) Dhika Yuan Yurisma3) 1)Program Studi Desain Komunikasi Visual Stikom Surabaya. Email: [email protected], 2)Program Studi Desain Komunikasi Visual Stikom Surabaya. Email: [email protected], 3)Program Studi Desain Komunikasi Visual Stikom Surabaya. Email: [email protected] Abstract Blitar Regency has a lot of tourism sector, one of which is in the historical Palah Penataran Temple. Palah Penataran Temple is the largest temple complex in East Java and one of the main attractions in Blitar. As a main tourist attraction, promotional activities should be the maximum. This research aims to increase public awareness of historical knowledge about the Palah Penataran Temple. So beside visitors who come to enjoy the beauty of Palah Penataran Temple also understand the historical. Data collection technique is doing by observation, interviews and documentation to obtain the Branding that will be applied to the Palah Penataran Temple. It brings the concept of "grandeur" Candi Penataran Palah are implemented in the design of media promotion starting from a color photo, illustrations, text, typography and logo. The results of this research are expected tourists visiting the Palah Penataran Temple to increase they knowledge about the historcal and finally is expected to increase a sense of concern in history of Palah Penataran Temple.. Keywords: Palah Penataran Temple, Branding, Design, History, Historical tourism Kabupaten Blitar memiliki banyak sektor jasa untuk mencapai tujuannya. Menurut Kotler pariwisata yang salah satunya adalah sektor yang dan Keller (2009: 172) Brand atau merk adalah sangat menjanjikan.
    [Show full text]
  • Laporan Hasil Penelitian
    Laporan Hasil Penelitian “Ngapain ke Candi?” Penggunaan Peninggalan-peninggalan Purbakala di Jawa Timur Oleh Christopher Mark Campbell Universitas Muhammadiyah Malang kerjasama dengan Australian Consortium for In-country Indonesian Studies 2002 “Apakah di desa atau di dalam hutan, di tempat yang rendah atau di atas bukit, di mana pun Para Suci berdiam, maka tempat itu sungguh menyenangkan.” - Dharmapada Arahanta Vagga (Arahat) 9 “Selain Allah tidak ada Tuhan, selain aku tidak ada Kamu.” – Pak Makutarama Abstraksi “Apakah di desa atau di dalam hutan, di tempat yang rendah atau di atas bukit, dimana pun Para Suci berdiam, maka tempat itu sungguh menyenangkan.” – Dharmapada Arahanta Vagga 9 “Selain Allah tidak ada Tuhan, selain aku tidak ada Kamu.” – Pak Makutarama “Trowulan…adalah tempat terjadinya kerajaan Jawa yang paling kuat, Majapahit. Didirikan pada akhir abad ke-13, patihnya tang terkenal, Gajah Mada, menuntut kekuasan raja atas daerah yang lebih besar daripada Indonesia modern. Demikian dia sebetulnya ialah pemimpin pertama yang menentukan konsep Indonesia yang bersatu dengan identitas Indonesia.” – John Miksic Pendahuluan Latar Belakang Dari bangunan-bangunan zaman purba di Jatim, yang kini masih tertinggal, hanya yang terbuat dari batu dan bata. Bangunan ini semua memiliki hubungan erat dengan keagamaan. Sebagai pusat bagi tiga kerajaan agung pada masa dahulu (Kediri, Singosari dan Majapahit) Jawa Timur sangat kaya dengan peninggalan purbakala. Walaupun dalam mulut rakyat bangunan-bangunan tersebut biasanya disebut candi, ada berbagai macam candi yang memiliki wujud dan fungsi tersendiri: • Candi adalah bangunan tempat menyimpan abu jenazah seorang raja dan orang- orang terkemuka dan memuliakan rohnya yang telah bersatu dengan Dewata penitisnya. Selain itu candi juga merupakan tempat penghormatan dan pemujaan Dewata atau para arwah nenek moyang.
    [Show full text]
  • Memaknai Bentuk Rupa Lambang Keraton Mangkunegaran
    MEMAKNAI BENTUK RUPA LAMBANG KERATON MANGKUNEGARAN Herliyana Rosalinda1, Umi Kholisya2 Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta. [email protected], [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Makna Simbolis Lambang Keraton Mangkunegaran Surakarta. Pmbahasannya digolongkan sebagai penelitian deskriptif kualitatif menggunakan metode historis, untuk menafsirkan makna simbol yang ada pada lambang keraton Mangunegaran digunakan pendekatan hermeunitika. Objeknya Keraton Mangkunegaran Surakarta sedangkan subjek penelitian ini adalah Makna Simbolis Lambang Keraton. Penelitian juga difokuskan pada hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan kerajaan Mangkunegaran Surakarta, selain itu pemaknaan lambang sebagai identitas legitimasi suatu pemerintahan dalam kerangka budaya juga menjadi kajian yang penting, terutama dari bentuk visual, rupa, maksud atau makna simbolik yang ada pada lambang kerajaan Mangkunegaran Surakarta. Hasil penelitian menunjukkan: pada setiap periodesasi pemerintahan Mangkunegara, lambang Mangkunegaran memiliki bentuk rupa dan makna simbol yang berbeda-beda. Hal ini disesuaikan dengan karakteristik pemikiran, pemerintahan, maupun filosofis dari dalam diri raja Mangkunegaran yang sedang memerintah. Umumnya unsur gambar yang ada pada lambang Mangkunegaran berisi gambar mahkota, padi dan kapas, surya, dan logotype MN. Sedangkan untuk perbedaannya ddilihat dari perbedaan tampilan bentuk ataupun jumlah masing-masing jenis gambar tersebut. Kata Kunci : Bentuk rupa, Simbol, Lambang, Mangkunegaran INTERPRET SHAPE OF EMBLEM ON MANGKUNEGARAN PALACE Abstract This study aimed to describe the Meaning of Mangkunegaran Surakarta Symbol. The explanation of this study classed as a qualitative descriptive using historical methods, and then to interpret the meaning of the symbol on the emblem used Mangunegaran palace hermeunitika approach. The object is Kraton Mangkunegaran while the subject of this study was the Meaning of Symbol palace.
    [Show full text]
  • Kajian Ragam Hias Arsitektural Candi Bumiayu Sumatera Selatan
    Seminar Nasional AVoER XII 2020 Palembang, 18 - 19 November 2020 Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya KAJIAN RAGAM HIAS ARSITEKTURAL CANDI BUMIAYU SUMATERA SELATAN Ardiansyah1, Ria Dwi Putri1, Iwan Muaraman Ibnu1 1Dosen, Program Studi Arsitektur, Universitas Sriwijaya corresponding author: [email protected] ABSTRAK : Kompleks Percandian Bumiayu adalah salah satu situs percandian yang berada di Sumatera Selatan dan satu satunya yang pernah dipugar dan dibuka untuk wisata. Pusat kerjaan Sriwijya berdasarkan temuan prasasti berada di Palembang sehingga hal ini juga sekaligus meliputi wilayah disekitarnya termasuk situs Bumiayu yang berada di sekitar Muara Enim atau sekaran tepatnya di kabupaten Penukal Abab dan Lematang Ilir. Di Palembang sendiri belum ditemukan bangunan candi secara utuh sehingga menimbulkan beberapa keraguan dari beberapa ahli kemungkinan lokasi lainnya sebagai pusat Sriwijaya seperti Muaro Jambi yang memiliki kawasan sebaran candi. Temuan candi di Sumatera pada umumnya memiliki bentuk polos dan sederhana tanpa ornament akan tetapi memiliki bentuk kaki dan badan candi yang telah dipugar sedangkan pada situs percandian Bumiayu kondisi pemugaran hanya sebatas pondasi atau kaki candi yang tidak juga selesai pemugaranya. Akan tetapi pada situs bumiayu terdapat petunjuk sisa reruntuhan berupa ragam hias seperti ornament, antefik dan moulding candid an sangat lengkap dan masih jelas detailnya. Karakter ragam hias Candi Bumiayu umumnya mendapat pengaruh Hindu hal ini bertolak belakang dengan kepercayaan utma kerjanaan Sriwijaya yaitu Budha. Kajian estetika ragam hias ini penting dilakukan agar didapatkan petunjuk pengaruh dan sebaran periode terkait gaya ragam hias yang digunakan pada candi tersebut. Penelitian terkait ragam hias ini adalah penelitian lapangan (fields research) dan metode yang digunakan didalam pembacaan bentuk ragam hias dengan menggunakan pendekatan hermeunetik.
    [Show full text]