TRANSFORMASI TOKOH DALAM NOVEL MAHABARATA JAWA KARYA N. RIANTIARNO KE DALAM PEMENTASAN DRAMA MAHABARATA: ASMARA RAJA DEWA KARYA N. RIANTIARNO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)

Oleh Putri Aliffia Darmawan 11160130000070

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021

i

ii

iii

ABSTRAK

Putri Aliffia Darmawan NIM: 11160130000070, “Transformasi Tokoh dalam Novel Mahabarata Jawa Karya N. Riantiarno ke dalam Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa Karya N. Riantiarno dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA.” Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Achmad Bachtiar, M. Hum. Penelitian ini berfokus pada analisis mengenai pengembangan dan perubahan yang terjadi akibat transformasi yang dilakukan oleh sutradara N. Riantirano terhadap buku dan pementasan yang digarapnya, serta kekuatan-kekuatan pementasan tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif ditujukan untuk menguraikan unsur-unsur yang membangun dalam novel Mahabarata Jawa dan pementasan drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa. Hasil penelitian menunjukkan terdapat transformasi perubahan melalui ciri fisik, psikologis, dan sosial tokoh. Dalam hal ciri fisik, terdapat perubahan dan pengembangan konsep dari bentuk tubuh, wajah, kostum, properti dan warna suara tokoh. Melalui ciri psikologis, terdapat kesamaan, perubahan, dan pengembangan terkait watak, kegemaran, tempramen, ambisi, dan kompleks psikologis yang dialami tokoh. Melalui ciri sosial, penggubahan yang terjadi juga memperlihatkan adanya kesamaan, pengurangan, perubahan, dan pengembangan seperti status sosial, jabatan, keturunan, dan ras yang ditetapkan pada diri tokoh. Transformasi tokoh yang terjadi di atas panggung pun bukan hanya pada akting pemain, melainkan juga direalisasikan secara visual melalui multimedia layar animasi. Bentuk transformasi ini muncul sebagai akibat dari adanya konsekuensi penyesuaian bentuk karya sastra yang berbeda dari novel ke pementasan drama. Selain itu, dengan menggunakan pendekatan yang diajukan Elam mengenai semiotika teater dan drama, dapat diketahui bahwa ketiga unsur yakni dialog, akting, dan teknologi dapat mentransformasi sesuatu yang kosong menjadi bermakna dan mentransformasi sesuatu yang biasa menjadi luar biasa di atas panggung. Penelitian ini terdapat pula implikasinya terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMA, yaitu sebagai kontribusi dalam pengenalan kebudayaan Indonesia, sebagai sarana mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai pengetahuan, sosial, moral, dan keagamaan agar dapat menghayati dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Selanjutnya, agar peserta didik mendapat informasi dan pemahaman baru mengenai perbandingan unsur intrinsik novel dan drama, transformasi tokoh dalam dua bentuk karya yang berbeda, serta unsur lainnya melalui dua media yang berbeda.

Kata Kunci: Novel Mahabarata Jawa, Pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa, transformasi, teknologi multimedia, pembelajaran sastra

iv

ABSTRACT

Putri Aliffia Darmawan NIM: 11160130000070, " The Transformation of Characters in the Novel Mahabarata Jawa by N. Riantiarno into the Drama Performance Mahabarata: Asmara Raja Dewa by N. Riantiarno and Their Implications for Learning Indonesian Language and Literature in High School" Department of Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta. Supervisor: Ahmad Bahtiar, M. Hum. This study focuses on the analysis of the development and changes that occur as a result of the transformation made by director N. Riantirano on the books and performances he works on, as well as the strengths of these performances. The research method used in this research is a qualitative method. The qualitative method is intended to describe the constructive elements in the Mahabharata Jawa novel and the drama performance Mahabarata: Asmara Raja Dewa. The results showed that there were a transformation of change through the physical, psychological, and social characteristics of the characters. In terms of physical characteristics, there are changes and developments in the concept of body shapes, faces, costumes, properties and voice colors of characters. Through psychological characteristics, there are similarities, changes and developments related to the character, hobbies, temperament, ambition, and psychological complexes. Through social characteristics, the composition that occurs also shows the existence of similarity, reduction, change and development such as social status, position, descent, and race assigned to the character. The character transformation that occurs on stage is not only in the acting of the players, but is also realized visually through a multimedia animated screen. This form of transformation arises as a result of the consequence of adjusting different forms of literary works from novels to drama performances. In addition, by using the approach proposed by Elam regarding the semiotics of theater and drama, it can be seen that the three elements, namely dialogue, acting, and technology, can transform empty things into meaning and transform ordinary things into extraordinary things on stage. This research also has implications for learning Indonesian literature in high school, namely as a contribution to the introduction of Indonesian culture, as a means of developing students' sensitivity to knowledge, social, moral, and religious values so that they can live and apply them in life. Furthermore, students are able to get new information and understanding regarding the comparison of the intrinsic elements of novels and dramas, the transformation of characters in two different forms of work, and other elements through two different media.

Key Words: Javanese Mahabarata Novel, Mahabarata Performance: Asmara Raja Dewa, transformation, multimedia technology, literary learning

v

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Puji syukur peneliti sampaikan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas izin serta kuasa-Nya peneliti akhirnya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Transformasi Tokoh dalam Novel Mahabarata Jawa Karya N. Riantiarno ke dalam Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa Karya N. Riantiarno dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA. Skripsi ini merupakan tugas akhir yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Strata 1 di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Adanya ide penulisan skripsi ini berawal dari mata kuliah “kajian drama 1” saat melaksanakan magang di Teater Koma dan “sastra bandingan” saat pembahasan dan penugasan pada materi alih wahana. Peneliti yang sebelumnya melaksanakan magang di Teater Koma mengetahui bahwa pementasan Mahabarata: Asmara Asmara Raja Dewa yang berlangsung merupakan sebuah karya alih wahana dari novel karya Nano Riantiano, menemukan ide untuk mengkajinya pada mata kuliah sastra bandingan. kemudian, peneliti berusaha mendalami kembali dengan menganalisis transformasi yang terjadi pada novel ke pementasan tersebut. Akhirnya dalam pencarian, peneliti menemukan bahasan yang tepat, yakni mengenai tokoh yang terdapat dalam novel dan pementasan. Hal tersebut dipilih karena dari dua bentuk karya sastra tersebut, tokoh di dalam novel dan pementasan menjadi sesuatu yang penting dan dominan yang mengalami transformasi. Penelitian menggunakan beberapa kajian sebagai alat untuk menganalisis perbedaan intinsik yang ada di dalam novel dan pementasan, serta bagaiamana bentuk transformasi yang dialami para tokohnya dalam dua karya tersebut. Selanjutnya, dengan segala hormat dan kegembiraan peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada para pihak yang turut berjasa dalam penyelesaian

vi skripsi ini. Melalui kesempatan ini, ungkapan terima kasih yang dalam ingin peneliti sampaikan secara khusus kepada:

1. Bapak Darmawan, ayah terbaik yang selalu memotivasi peneliti, orang yang peduli, dan berusaha melakukan segala yang terbaik semasa hidupnya untuk anak gadisnya ini. Kemudian Ibu Rofiah, ibu yang selalu kuat dan berusaha membantu, mendoakan, bekerja, dan menyemangati peneliti di saat sedih maupun bahagia. Terima kasih yang tak terhingga untuk mereka selaku kedua orang tua peneliti yang selalu setia memberikan doa, bantuan, dan semangat baik berupa moril maupun materil; 2. Dr. Sururin, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 4. Ahmad Bahtiar, M. Hum., selaku Dosen Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, semangat, motivasi, dan ilmu yang sangat bermanfaat kepada peneliti. 5. Danendra Dwi Darmawan dan Radithiya Thufail Darmawan, adik-adikku yang ganteng dan tercinta. Terima kasih telah banyak memberikan semangat, canda, tawa, dan dukungan cemilan untuk menghilangkan penat. 6. Nano Riantiarno, Ratna Riantiarno, dan Sari Madjid yang telah banyak memberikan ilmu dan kesempatan kepada peneliti untuk belajar secara langsung dengan menjadi bagian dari Teater Koma pada pementasan Mahabarata; Asmara Raja Dewa, sehingga peneliti bisa mengkaji skripsi ini dengan lebih baik. 7. Mas Zulfi Ramdoni yang telah memberikan dorongan semangat dan nasihat, serta membantu peneliti untuk berhubungan dengan Teater Koma dalam penyelesaian skripsi ini.

vii

8. Para senior dan teman-teman Teater Koma lainnya yang terus mendukung peneliti dan bersedia membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Nuinch Hakari; Husna Ayu Lestari, Incha Oktavia Permatasari, dan Kintan Febriyanti, kesayangan yang selalu ada kapan pun dan di mana pun. Terima kasih atas dukungan dan semangat membara yang tiada putus-putusnya diberikan kepada peneliti untuk menghadapi segala masalah di tengah-tengah proses penulisan di masa pandemi ini. 10. Lisa Fania Aprista, sahabat yang selalu ada dan meluangkan waktu untuk membantu peneliti menghadapi kebigungan hingga terselesaikannya skripsi ini. 11. Para sahabat seperjuangan; Muvarriha Niser, Vina Nur Farihani, Desi Nurjanah, Lailia Mawaddah, dan Aida Noer Asti, teman seperjuangan selama kuliah yang sampai saat ini terus memberikan hal-hal positif dan kebahagiaan. 12. Teman-teman PBSI angkatan 2016 lainnya yang senantiasa berbagi semangat dan membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih kepada semua pihak yang peneliti hormati dan sayangi karena telah membantu proses penyelesaian skripsi ini. Demikianlah semoga Allah membalas segala kebaikan atas bantuan yang telah diberikan kepada peneliti dengan lebih baik. Aamiin Ya Rabbal’alaamiin. Semoga laporan ini dapat berguna bagi peneliti khusunya dan bagi pembaca pada umumnya, serta dapat memberikan sumbangsih bagi kemajuan khazanah ilmu pengetahuan.

Jakarta, 7 Desember 2020

Penulis

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...... i

LEBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...... ii

ABSTRAK ...... iv

ABSTRACT ...... v

KATA PENGANTAR ...... vi

DAFTAR ISI ...... ix

DAFTAR TABEL ...... xi

DAFTAR GAMBAR ...... xii

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

A. Latar Belakang Masalah ...... 1

B. Identifikasi Masalah ...... 6

C. Batasan Masalah ...... 7

D. Rumusan Masalah ...... 7

E. Tujuan Penelitian ...... 7

F. Manfaat Penelitian ...... 8

G. Metodologi Penelitian ...... 8

BAB II LANDASAN TEORI ...... 11

A. Transformasi...... 11

B. Semiotik ...... 14

C. Novel ...... 17

ix

D. Drama dan Teater ...... 22

E. Mahabarata ...... 29

F. Pembelajaran Sastra ...... 33

G. Penelitian Relevan ...... 35

BAB III BIOGRAFI PENGARANG DAN PEMIKIRANNYA ...... 38

A. Biografi Nano Riantiarno ...... 38

B. Penghargaan Nano Riantiarno ...... 40

C. Karier Nano Riantiarno ...... 41

D. Sikap Kepengarangan Nano Riantiarno ...... 43

BAB IV PEMBAHASAN ...... 51

A. Struktur Narasi Novel Mahabarata Jawa dan Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa ...... 51

B. Transformasi Tokoh Novel Mahabarata Jawa Karya N. Riantiarno ke dalam Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa Karya N. Riantiarno ...... 86

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ...... 140

BAB V PENUTUP ...... 148

A. Simpulan ...... 148

B. Saran ...... 151

DAFTAR PUSTAKA ...... 152

LAMPIRAN ...... 158

RIWAYAT PENULIS ...... 187

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Bentuk Transformasi Fisik Tokoh dari Novel Mahabarata Jawa ke dalam Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa ...... 87

Tabel 2 Bentuk Transformasi Psikologis Tokoh dari Novel Mahabarata Jawa ke dalam Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa ...... 109

Tabel 3 Bentuk Transformasi Sosial Tokoh dari Novel Mahabarata Jawa ke dalam Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa ...... 125

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Wujud ketampanan Manikmaya di atas panggung ...... 169

Gambar 2 Wujud Manikmaya setelah bergelar Batara Guru ...... 169

Gambar 3 Batara Guru berleher biru ...... 170

Gambar 4 Batara Guru berubah menjadi Denawa bertaring ...... 170

Gambar 5 Wujud ketampanan Manan di atas panggung ...... 171

Gambar 6 Wujud Manan menjadi Narada ...... 171

Gambar 7 Wujud ketampanan Antaga sebagai dewa ...... 172

Gambar 8 Wujud Antaga sebagai Togog ...... 172

Gambar 9 Wujud ketampanan Ismaya di atas panggung ...... 173

Gambar 10 Wujud Ismaya menjadi Semar ...... 173

Gambar 11 Wujud kecantikan Dewi Umiya di atas panggung ...... 174

Gambar 12 Umiya saat hendak berubah menjadi sosok rakseksi ...... 174

Gambar 13 Wujud Dewi Umiya menjadi rakseksi di atas panggung ...... 175

Gambar 14 Dewi Umiya sebagai Dewi Umarakti ...... 175

Gambar 15 Wujud animasi Gading Permoni berselubung api di atas panggung ... 176

Gambar 16 Wujud kecantikan Gading Permoni, putri berselubung api di atas panggung ...... 176

Gambar 17 Wujud Gading Permoni mengenakan busana Kahyangan...... 177

Gambar 18 Wujud Gading Permoni setelah pertukaran jiwa ...... 177

Gambar 19 Wujud Idajil yang menyeramkan ...... 178

xii

Gambar 20 Kesaktian tokoh Antaga saat beradegan di atas panggung yang didukung oleh layar animasi panggung ...... 178

Gambar 21 Antaga mengeluarkan jurus di balik layar animasi panggung ...... 179

xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Kisah pewayangan bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat Indonesia. Berbagai kisah yang diangkat dalam kisah pewayangan pun tidak membosankan untuk diikuti dan dinikmati. Para penikmat seni pertunjukan atau penikmat cerita wayang, pasti tidaklah asing dengan kisah-kisah yang diambil dari karya sastra kuno, mulai dari Ramayana hingga kisah terkenal Mahabarata. Di Indonesia, khususnya Jawa, mitologi wayang merupakan tradisi dan budaya yang telah mendasari dan berperan besar dalam membentuk karakter dan eksistensi bangsa Indonesia, khususnya yang beretnis Jawa.1 Oleh sebab itu, nilai-nilai tradisional atau mitologi pewayangan turut berpengaruh terhadap penulisan karya sastra Indonesia modern. Hal ini tentunya dapat dilihat dari beberapa pengarang Indonesia yang menciptakan karya-karyanya berdasar kisah pewayangan dan juga ditransformasikan menjadi sebuah cerita bernuansa baru di dalam karyanya. Munculnya unsur cerita wayang dan bentuk-bentuk transformasinya pada karya fiksi Indonesia secara intensif baru terlihat pada pertengahan tahun 70-an, yaitu dengan terbitnya cerpen panjang Sri Sumarah karya Umar Kayam, dan beberapa tahun sebelumnya Danarto menulis cerpen Nostalgia yang bersumber pada cerita Abimanyu gugur.2 Setelah itu, menyusul karya-karya berikutnya yang muncul dengan pengaruh wayangnya, seperti Burung-burung Manyar dan Durga Umayi (Mangunwijaya), Pengakuan Pariyem (Linus

1 Burhan Nurgiyantoro, “Wayang dalam Fiksi Indonesia”, Humaniora, Vol. 15, No. 1, Februari 2003, h. 2. 2 Ibid., h. 1.

1

2

Suryadi), Para Priyayi (Umar Kayam), Anak Bajang Menggiring Angin (Sindhunata), Canting (Arswendo Atmowiloto), Asmaraloka (Danarto), Perang (Putu Wijaya), Wisanggeni Sang Buronan, Kitab Omong Kosong dan Drupadi (Seno Gumira Aji Darma), serta pengarang lainnya. Hal itu menunjukkan bahwa para pengarang dari Jawa dan Bali tersebut, banyak mentransformasikan cerita wayang ke dalam sastra Indonesia. Transisi Mahabarata digubah Vyasa sekitar 500 tahun Masehi. Sezaman dengan kitab Aranyakas dan Puranas. Mahabarata Jawa Kuna, bersumber dari dalam karya Vyasa. Tapi tidak bisa dipungkiri, tokoh-tokoh baru bermunculan. Selain itu, terjadi juga adanya berbagai pengembangan dan perubahan cerita. Bahkan kisah serta jalan pikiran lokal pun masuk, sehingga sosok Mahabarata, akhirnya menjadi “sangat Jawa”. Di zaman Majapahit, terjadi pula upaya penyaduran seperti itu oleh para empu.3 R. Ng Ranggawarsita, menggubah banyak lakon wayang secara mendalam dan indah. Upaya itu pun terus menerus berlanjut. Para penggubah tersohor yang karyanya sering dikutip adalah Pakoe Boewana IV-VII dan Jasadipoera I. Selanjutnya, banyak penggubah lain sesudah mereka, baik yang tercatat namanya maupun yang tidak tercatat. Juga, ada banyak dalang penggubah lakon versi, carangan atau sempalan.4 Mereka ini yang kemudian malah justru memperkaya jagat pewayangan. Mereka mampu melahirkan sastra yang indah, penuh metafora, unik, dan takkan habis digali atau ditafsirkan, malah senantiasa aktual dan banyak digemari. Pengangkatan cerita wayang tidak selalu sama bentuk dan intensinya. Ada karya yang mengambil secara samar, tetapi menyangkut inti dan hakikat, ada pula karya yang secara nyata memfungsikannya dalam jalinan cerita. Hal itu menunjukkan betapa lekatnya budaya pewayangan pada masyarakat Jawa

3 N. Riantiarno, Mahabarata Jawa, (Jakarta: PT Grasindo, 2016), h. viii. 4Ibid., h. viii.

3

sehingga begitu berpengaruh dan menjadi sumber rujukan dalam penulisan sastra Indonesia.5. Karya sastra seperti novel maupun drama banyak yang mengangkat kisah pewayangan, khususnya Mahabarata, sebagai lakon atau isi di dalam cerita. Tak dapat dipungkiri bahwa cerita-cerita yang diangkat mempunyai kekhasan tokoh dan penokohan di dalamnya. Tokoh yang diangkat dari dunia pewayangan ke dalam sebuah karya sastra tentu memiliki transformasi dari beberapa segi. Transformasi unsur pewayangan ke dalam aspek penokohan karya fiksi itu sendiri terlihat dalam dua hal, yaitu penamaan dan perwatakan (karakter) tokoh.6 Dalam novel, tokoh dapat dideskripsikan dengan sangat detail menggunakan pengungkapan fisik maupun wataknya melalui kata-kata. Berbeda dengan pementasan drama yang kebanyakan ditampilkan melalui visual tubuh dan visual tambahan seperti multimedia. Pengungkapan melalui dialog naskahnya pun terbatas karena ada durasi waktu yang tidak mungkin bertele-tele hanya dengan mengungkapkan siapa tokoh itu. Dalam sebuah transformasi karya sastra, ada hal-hal yang memang pasti akan berubah. Apalagi jika transformasi itu terjadi melalui novel ke dalam sebuah pementasan drama. Banyak hal-hal yang pasti berubah dan ciri khas pada penokohannya pun ditampilkan. Salah satu pengarang sekaligus dramawan terkenal yang banyak mengangkat kisah pewayangan sebagai dasar pijakan cerita yang dibuatnya adalah Nano Riantiarno. Nano Riantiarno membuat cerita Mahabarata dengan mengambil dari berbagai sumber, baik dari sumber awal, India, maupun sumber kedua, Jawa. Sumber tersebut di antaranya adalah karya agung Vyasa, KGPA Mangkoe Negara VII, dan R. Ng. Ranggawarsita III. Bahkan, kisah serta jalan

5 Burhan Nurgiyantoro, Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), h. 3. 6 Ibid., h. 80.

4

pikiran lokal pun masuk sehingga isi dan sosok Mahabarata menjadi sangat Jawa.7 Lakon Mahabarata dipentaskan oleh Teater Koma selama sepuluh hari pada 16-25 November 2018, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta. Lakon ini merupakan hasil dari alih wahana dari novelnya yang terbit pada tahun 2016 yang berjudul Mahabarata Jawa. Lakon ini bersumber dari buku tersebut, yaitu, Episode Satu: Kitab Satu: TIGA DUNIA. Episode Satu memuat Empat kisah, antara lain: Dari Yang Kosong, Manikmaya, Semar dan Togog, dan Garis Dewa. Fokus penceritaan yang ditampilkan di dalam lakon adalah tentang tiga dewa, khususnya Batara Guru dari lahir, kemudian menjadi Raja Dewa, hingga menikah dan memiliki anak, yang dibalut dengan berbagai permasalahan dan perselisihan. Diangkat dari salah satu kisah yang ada di dalam novel Mahabarata Jawa, lakon tersebut memberi suguhan yang apik dan menawan. Transformasi yang dilakukan oleh sutradara terhadap novelnya itu, membuat peneliti tertarik untuk mengkaji dan melihat bagaimana perubahan yang terjadi, akhirnya menjadi sebuah karya lain yang cemerlang, apik, dan menghibur. Dalam hal ini, transformasi tokoh novel ke dalam pementasannya menjadi bahan kajian yang peneliti pilih. Nano menjelaskan di dalam booklet pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa bahwa karena kisah ini jarang dipentaskan, maka ia pun mementaskannya bersama Teater Koma. Paling tidak, terutama generasi muda harus tahu, bahwa inilah lakon yang pernah diterjemahkan (dari India) pada Zaman Mpu Sendok (928-947). Terjemahan itu, pada Zaman Majapahit, disadur lagi dan berkembang sedemikian rupa yang berbeda sama sekali. Contohnya pada tokoh Togog dan Semar. Sebenarnya, kedua tokoh ini tidak

7 Muhammad Agung Wibisono dan Widowati, Unsur Pewayangan Cerita Mahabarata Versi Nano Riantiarno dalam Novel Wisanggeni Sang Buronan Karya Seno Gumira Ajidarma: Kajian Intertekstual, Caraka, Vol 4 No. 2, Edisi Juni 2018, h. 54.

5

ada di dalam kisah versi India. Kedua tokoh itu milik Nusantara-Indonesia hasil dari kreativitas penyaduran sebuah karya sastra.8 Penelitian ini ingin menganalisis apa saja pengembangan dan perubahan yang terjadi akibat transformasi yang dilakukan oleh sutradara N. Riantirano dari buku terhadap pementasannya, khususnya pada tokoh di dalam cerita, serta kekuatan-kekuatan pementasan tersebut sehingga berhasil memaku penonton untuk betah duduk dalam waktu kurang lebih empat jam. Bila dilihat dari perspektif pendidikan, permasalahan kurangnya minat siswa untuk memahami seni pertunjukan atau apresiasi drama, juga menjadi tantangan besar bagi guru. Selain itu, masih jarang sekali guru yang memberikan ketertarikannya terhadap pementasan drama sebagai salah satu media pendukung dalam proses pembelajaran drama di sekolah. Padahal, pementasan drama bisa menjadi salah satu alternatif bagi guru untuk mempermudah siswanya agar bisa mengetahui dan memahami drama itu sendiri. Media teater dalam menunjang pembelajaran apresiasi drama sebenarnya sangat membantu guru. Teater telah menjadi sebuah ilmu yang dipelajari, diajarkan, dianalisa, sementara teater itu sendiri terus berkembang, bertumbuh, serta berubah dengan segala bentuk pengekspresian dan konsep- konsepnya sehingga ilmu teater juga terus mengucur.9 Teater sendiri merupakan potensi yang sangat penting dalam kehidupan, khususnya untuk membentuk dan memahami karakter pribadi dan persona lainnya, serta masyarakat sekitar. Teater dapat memberikan pengajaran kepada siswa terkait kepekaan yang lebih kuat dan cinta yang lebih murni untuk memanusiakan manusia lainnya. Selanjutnya, dalam peningkatan keterampilan siswa terkait berakting, teater bisa menjadi solusi untuk memudahkan siswa

8 N. Riantiarno, Booklet Mahabarta: Asmara Raja Dewa, 2018. 9 N. Riantiarno, Menyentuh Teater Tanya Jawab Seputar Teater Kita, (Jakarta:Program Bimbingan Anak Sampoerna, 2003), h. vii.

6

melihat secara langsung bagaimana para aktor itu berperan dengan apik di atas panggung. Tujuan penting dalam pembelajaran drama adalah siswa dapat memahami bagaimana suatu tokoh harus diperankan dengan sebaik-baiknya. Namun, untuk mempelajari pementasan tidaklah mudah, apalagi bagi siswa yang belum mengenal sama sekali sebuah pementasan drama. Oleh karena itu, guru harus bisa memperkenalkan kepada siswa-siswanya untuk mengenal dan memahami seluk beluk sebuah pementasan drama. Hal ini salah satunya adalah dengan menggunakan teater sebagai media pembelajaran untuk mengenal pementasan drama. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk membuat penelitian yang berjudul Transformasi Tokoh dalam Novel Mahabarata Jawa Karya N. Riantiarno ke dalam Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa Karya N. Riantiarno dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA.

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka dapat teridentifikasi beberapa masalah sebagai berikut: 1. Belum adanya penelitian yang membahas tentang pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa karya N. Riantiarno. 2. Belum adanya penelitian yang menganalisis transformasi buku Mahabarata Jawa Karya N. Riantiarno ke dalam pementasan drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa karya N. Riantiarno. 3. Kurangnya penelitian terkait transformasi dari sebuah karya sastra ke dalam pementasan drama. 4. Kurangnya pembahasan sastra bandingan terkait transformasi karya sastra ke dalam pementasan drama yang diimplikasikan terhadap pembelajaran sastra di sekolah. 5. Rendahnya minat siswa dalam mempelajari apresiasi drama di sekolah.

7

C. Batasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka perlu adanya batasan masalah di dalam penelitian ini, agar penelitian yang dilakukan tidak keluar dari konteks permasalahan yang akan dibahas. Oleh karena itu, batasan masalah dalam penenelitian adalah transformasi tokoh dalam novel Mahabarata Jawa Karya N. Riantiarno ke dalam pementasan drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa karya N. Riantiarno dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian ini akan menggunakan teori alih wahana dan pendekatan yang diajukan Elam mengenai semiotika teater dan drama.

D. Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka didapatkan rumusan masalah yang diteliti seperti berikut: 1. Bagaimana transformasi tokoh dalam novel ke panggung yang terjadi dalam novel Mahabarata Jawa ke dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa karya N. Riantiarno? 2. Bagaimana implikasi transformasi tokoh dalam novel Mahabarata Jawa ke dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa karya N. Riantiarno terhadap pembelajaran sastra di sekolah?

E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang akan diteliti, maka tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk transformasi tokoh dalam novel ke panggung yang terjadi dalam buku Mahabarata Jawa ke dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa.

8

2. Mendeskripsikan implikasi dari transformasi tokoh dalam novel Mahabarata Jawa ke dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa karya N. Riantiarno terhadap pembelajaran sastra di sekolah.

F. Manfaat Penelitian Pelitian tentang “Transformasi Tokoh dalam Novel Mahabarata Jawa Karya N. Riantiarno ke dalam Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa Karya N. Riantiarno dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA” diharapkan mampu memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu sastra Indonesia, khususnya terkait sastra bandingan transformasi novel ke dalam panggung pementasan drama. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pembelajaran drama khususnya di SMA, agar siswa bisa mengetahui bagaimana berakting di atas panggung. Selain itu, untuk memberikan pengetahuan sederhana kepada siswa terkait proses transformasi sastra ke dalam seni pertunjukan. Hal ini dapat bermanfaat untuk empat hal penting, yaitu: (1) mendorong pendidikan kreativitas dan rasa cinta siswa terhadap seni pertunjukan; (2) memudahkan pemahaman terhadap hakikat seni pertunjukan kepada siswa; dan (3) untuk menanamkan pendidikan karakter kepada siswa. (4) memberikan wawasan kepada siswa terkait kekuatan teknologi di atas panggung.

G. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode sastra bandingan khususnya alih wahana. Objek penelitian yang dipakai adalah buku Mahabarata Jawa yang ditulis oleh N. Riantiarno dan diterbitkan oleh Gramedia Widiasarana pada tahun 2016, dengan ketebalan halaman sebanyak 528 halaman. Objek penelitian selanjutnya yaitu pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa yang digelar selama sepuluh hari, mulai tanggal 16 November 2018 sampai 25 November 2018, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta.

9

Pementasan ini berdurasi kurang lebih empat jam dengan pembagian dua babak, yakni babak pertama adalah Dari Yang Kosong dan babak kedua Manikmaya. Sapardi Djoko Damono menjelaskan, alih wahana merupakan suatu perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain.10 Alih wahana dapat mencakup kegiatan penerjemahan, penyaduran, dan pemindahan dari satu “kendaraan” ke jenis “kendaraan” lain. Pada penelitian kali ini, alih wahana yang diteliti adalah alih wahana novel menjadi sebuah drama atau dramatisasi. Hampir sama dengan alihwahana pada film (ekranisasi), hanya saja dalam drama, penampilan visual tokoh dan latar, disetting sedemikian rupa dalam dialog panggung secara tatap muka langsung dengan para penonton. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan struktural yang terdapat dalam novel Mahabarata Jawa dan pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa. Kemudian dilanjutkan dengan pendekatan semiotik dengan menganalisis perubahan wujud dan lambang-lambang untuk mengetahui makna yang ada di dalamnya. Melalui pendekatan ini dapat dilihat bagaimana makna dicetuskan melalui elemen-elemen yang terlibat dalam penulisan teks drama, dan sekaligus juga bagaimana makna diciptakan dalam konteks pertunjukannya. Pendekatan semiotika memungkinkan seorang peneliti lebih menyadari akan proses dalam penciptaan drama dan teater.11 Dalam kajian ini, konteksnya mengacu pada proses transformasi dari bentuk tulisan “novel” ke dalam pementasan yang dilihat secara “audiovisual” yang memunculkan berbagai makna menggunakan lambang-lambang selain bahasa, yakni panggung dan elemen-elemen pendukung lainnya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Menurut Moleong, dalam buku Ismail Nurdin dan Sri Hartati, penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami

10 Sapardi Djoko Damono, Sastra Bandingan, (Ciputat: Editum, 2015), h. 145. 11 Nur Sahid, Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang Purwa, dan Film, (Yogyakarta: Gigih Pustaka Mandiri, 2016), h. 15.

10

fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.12 Metode kualitatif ditujukan untuk menguraikan unsur-unsur yang membangun dalam novel Mahabarata Jawa dan pementasan drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa . Sesuai dengan tujuan peneliti, yakni mengungkapkan persamaan, perbedaan, dan perubahan-perubahan dalam tranformasi karya sastra tersebut. Peneliti memberikan batas agar penelitian itu sendiri terfokus pada alih wahana. Langkah kerja yang akan peneliti lakukan mencakup dua cara, yakni; pengumpulan data dan analisis data. Sumber data utama yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yakni; (1) novel Mahabarata Jawa karya N. Riantiarno, episode Kitab Satu Tiga Dunia yaitu bagian satu Dari Yang Kosong mulai halaman 251 dan bagian dua Manikmaya mulai halaman 314 hingga 384. (2) Pertunjukan pementasan drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa yang telah didokumentasikan dalam bentuk video. Penelitian ini juga menggunakan sumber data pendukung, yakni naskah lakon pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa yang ditulis oleh N. Riantarno. Pertunjukan pementasan drama atau teater Mahabarata: Asmara Raja Dewa, digelar selama sepuluh hari, mulai tanggal 16 November 2018 sampai 25 November 2018, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta. Pertunjukan ini digunakan peneliti untuk mengetahui bentuk adegan dan penceritaan setelah diubah ke dalam bentuk lakon visual.

12 Ismail Nurdin dan Sri Hartati, Metodologi Penelitian Sosial, (Surabaya: Media Sahabat Cendikia, 2019), h. 75.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Transformasi Menurut KBBI edisi V, transformasi adalah perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya). Transformasi karya ke karya lainnya identik dengan istilah adaptasi. Adaptasi merupakan wujud transformasi yakni perpindahan ke medium yang berbeda (remediasi).1 Sebagai sebuah produk, karya adaptasi merupakan sebuah perluasan dan pemindahan kode tertentu (transcoding) sehingga proses penciptaan dan penerimaan dari aspek-aspek yang lain perlu diperimbangkan. Sebagai sebuah proses, karya adaptasi merupakan reinterpretasi kreatif dan intertekstualitas.2 Pudentia dalam Pana Pramulia, menjelaskan bahwa transformasi berkaitan dengan perubahan karya sastra yang menyangkut struktur cerita, tokoh, latar, tema, dan lain-lain.3 Transformasi bisa dikenal juga dengan istilah alih wahana. Pembicaraan mengenai alih wahana tidak akan terlepas dari konsep peralihan. Dalam arti tertentu alih wahana akan memberikan keleluasaan pada kita untuk menemukan dan menguraikan masalah yang sebenarnya tidak disadari pentingnya. Seperti halnya kajian-kajian sastra bandingan dan terjemahan, kajian alih wahana menuntut suatu kesediaan untuk berpikir secara multidimensional karena kajian ini beroperasi paling tidak dalam dua ranah yang berbeda, dan bahkan bisa lebih. 4

1 Alfian Rokhmansyah, Studi dan Pengkajian Sastra: Perkenalan Awal Terhadap Ilmu Sastra, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h. 177. 2 Ibid., h. 179. 3 Pana Pramulia, “Transformasi Cerita Wayang Kulit ke dalam Bentuk Cerita Mini Sebagai Media Pengembangan Karakter Anak”, Seminar Nasional Sastra Anak, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, Sabtu, 28 Mei 2016, pukul 13.00—13.10, h. 244. 4 Sapardi Djoko Damono, Alih Wahana, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2018), h. 2.

11

12

Menurut Damono, beberapa istilah yang bisa dikenal dalam kaitannya dengan kegiatan atau hasil transformasi antara lain ekranisasi, musikalisasi, dramatisasi, dan novelisasi. Ekranisasi berasal dari bahasa Prancis, I’ѐcran, yang berarti layar; jadi istilah itu mengacu ke alih wahana dari suatu benda seni (biasanya yang termasuk sastra) ke film. Musikalisasi umumnya mencakup pengalihan puisi menjadi musik; dramatisasi adalah pengubahan dari karya seni ke drama; novelisasi adalah kegiatan mengubah film atau karya sastra lain menjadi novel.5 Transformasi memiliki arti perubahan. Nurgiyantoro menyatakan, makna kunci “transformasi” adalah “perubahan,” yaitu perubahan terhadap suatu hal atau keadaan. Ia menambahkan jika suatu “hal atau keadaan” itu adalah budaya, budaya itulah yang mengalami perubahan. Menurutnya, perubahan itu terjadi jika budaya tersebut—budaya itu sendiri terdiri dari banyak elemen—muncul dalam kondisi dan atau lingkungan yang berbeda, misalnya karena sengaja atau dipindahkan ke dalam kondisi atau lingkungan yang berbeda tersebut.6 Perubahan budaya itu sendiri dapat mencakup satu atau beberapa aspek atau bahkan sebagian besar aspek budaya tersebut. Trasformasi penting berlangsung ketika naskah diwujudkan ke dalam pementasan. Transformasi pada tahap ini berkenaan dengan media ungkap, yaitu dari bahasa tulis menjadi peragaan perilaku manusia dalam ruang, waktu, dan konteks material yang melingkupinya. Ide-ide yang terungkap dalam bahasa tulis dalam pertunjukan ditransfer ke dalam tubuh manusia pemeran tokoh-tokoh yang ditemukan dalam teks.7 Untuk itu, maka segala yang ada di

5 Ibid., h. 12. 6 Burhan Nurgiyantoro, Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1998), h. 15. 7 Damono, Alih Wahana, Op. cit., h. 150.

13

panggung menjadi sebuah bagian dari upaya transformasi itu, yang melingkupi tubuh pemain, peralatan, musik, dan ujaran. Menurut Nurgiyantoro pada kasus transformasi unsur pewayangan dalam fiksi Indonesia, transformasi dapat diartikan sebagai “pemunculan, pengambilan, atau pemindahan unsur-unsur pewayangan ke dalam unsur fiksi dengan perubahan. Jadi, untuk dapat disebut mengalami transformasi, unsur- unsur pewayangan itu harus dimunculkan ke dalam karya fiksi, baik secara eksplisit maupun implisit dengan pemunculan yang berbeda jika dibandingkan dengan unsur aslinya sebagaimana yang terdapat di dalam pakem cerita wayang.8 Damono menjelaskan, dalam kebudayaan Jawa, seni pertunjukan wayang kemudian mengalami transformasi, ditulis seperti halnya drama modern.9 Jadi dalam hal ini peneliti menyimpulkan bahwa transformasi atau bisa disebut juga alih wahana, dapat diartikan sebagai suatu perubahan bentuk, sifat, maupun fungsi terhadap suatu hal atau keadaan (sebuah karya) baik menyangkut struktur cerita, tokoh, latar, tema, dan lain-lain. Pada umumnya perubahan dilakukan dari novel ke film. Relatif jarang perubahan dilakukan dari novel ke pementasan drama atau sebaliknya. Apalagi perubahan tersebut dilakukan oleh penulis yang sama. Hal yang menarik terjadi pada pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa. Karya yang ditulis oleh N. Riantiarno dalam buku Mahabarata Jawa kemudian diubah dalam bentuk naskah drama yang dipentaskan dengan begitu banyak penonton di setiap hari pementasannya.10 Untuk itu, melalu teori-teori tersebut, peneliti akan memfokuskan penelitian pada pertunjukan Mahabarata: Asmara Raja Dewa

8 Nurgiyantoro, Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia, Op. cit., h. 18. 9 Damono, Alih Wahana, Op. cit., h. 155. 10 Dalam sepuluh hari pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa, terdapat kurang lebih 800 penonton yang memenuhi gedung Graha Bhakti Budaya di setiap harinya. Dari ketersediaan jumlah tiket seluruhnya yakni 7.977, telah terjual sebanyak 7.512 tiket untuk pementasan yang digelar selama sepuluh hari, mulai tanggal 16 November 2018 sampai 25 November 2018.

14

yang disutradarai oleh Nano N. Riantiarno, sebagai hasil dari alih wahana buku N. Riantiarno yang berjudul Mahabarata Jawa.

B. Semiotik

Teori semiotik adalah sebuah teori mengenai lambang yang dikomunikasikan. Teori ini lazim dipergunakan dalam berbagai disiplin ilmu termasuk kajian seni pertunjukan, yang difungsikan dalam usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni.11 Semiotik atau semiologi sebagai ilmu tanda menjadi makin populer dan makin luas bidangnya karena melingkupi tidak hanya ilmu bahasa dan sastra tetapi juga aspek atau pendekatan tertentu dalam ilmu seni (estetika), antropologi, budaya, filsafat, dan lainnya.12 Dalam kajian ini, teori semiotik digunakan untuk mengkaji aspek-aspek verbal terutama dialog atau teks nyanyian, dan aspek-aspek nonverbal seperti mimik wajah, gerakan, audiovisual panggung, warna, tata busana, dan lain-lain.

Banyak teori yang disadur, bahkan diadopsi dari linguistik tentang teori umum mengenai tanda. Proses penandaan sama halnya seperti ilmu komunikasi. Ilmu tanda diperkenalkan oleh dua orang pakar terkenal dan pemikir modern abad ini, yaitu Ferdinand de Saussure—seorang linguis dari Swiss—dan Charles Sander Peirce – seorang filosof dari Amerika. Saussure dikenal sebagai bapak ilmu bahasa modern yang mempergunakann istilah semiology, sedangkan Peirce memakai istilah semiotik. Jika semiotik model Saussure bersifat semiotik struktural, maka lain halnya dengan model Peirce yang lebih bersifat semiotik analitis. Adanya ketidaksamaan antara keduanya

11 Abdul Latiff Abu Bakar, Aplikasi Teori Semiotika Dalam Seni Pertunjukan, Etnomusikologi, Vol 2 No. 1, Mei 2006, h. 28. 12 A. Teeuw, Sastera dan Ilmu Sastera, (Pustaka Jaya: Bandung, 2003), h. 40.

15

lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka berasal dari dua disiplin ilmu yang berbeda. Saussure mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum. Kekhasan teorinya ada pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sebuah sistem tanda. Lain hal dengan Peirce yang memusatkan perhatiannya pada berfungsinya tanda pada umumnya dengan menempatkan tanda-tanda linguistik pada tempat yang penting, tetapi bukan hal yang utama.

Menurut Alex Preminger, dkk., ilmu tanda-tanda menganggap fenomena masyarakat dan kebudayaan sebagai tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.13 Menurut Hoed dalam Nurgiyantoro, semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Jadi, yang dapat menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan melingkupi berbagai hal lain dalam kehidupan ini. Walau begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa memang bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap dan sempurna. Tanda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota badan, gerakan mata, mulut, warna, bendera, goresan atau bentuk tulisan, pakaian, asesoris, maupun karya seni: sastra, film, patung, lukis, musik, dan hal lainnya yang berada di sekitar kehidupan kita. Dengan demikian, teori semiotik bersifat multidisiplin sebagaimana diharapkan oleh Peirce agar teorinya bersifat umum dan dapat diterapkan pada segala macam tanda.14 Tanda itu sendiri sebenarnya membentang di sekitar kehidupan kita seperti pada gerak isyarat, lampu lalu lintas, sesaji dalam upacara ritual,

13 Jabrohim, Teori Penelitian Sastra Kumpulan Materi Penataran Penelitian Sastra Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Insitut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Muhammadiyah Yogyakarta Tahap I Angkatan I, II, dan III – Lampiran 1 Semiotik (Semiologi), (Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia), h. 114. 14 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 40.

16

upacara pernikahan dll. Dalam hal ini, struktur yang membangun sebuah karya teater, sastra, film, tari, musik, dll, itupun dapat disebut sebagai tanda.15

Semiotik juga dipergunakan di bidang teater. Teater merupakan wahana komunikasi yang kompleks karena ia melibatkan hubungan antara pelakon/pemain dengan khalayak. Proses menghasilkan makna dalam teater tertakluk (tunduk) kepada sistem tertentu yang melibatkan gabungan lambang lisan dan lambang bukan lisan. Sistem itu penting untuk membolehkan khalayak menginterpretasi fenomena yang dipaparkan.16

Dalam bukunya The Semiotics of Theatre and Drama, Elam membicarakan bahwa ada dua jenis teks, yakni teks pertunjukan (performance text) dan teks drama (dramatic text). “These two potential focuses of semiotic attention will be indicated as the theatrical or performance text and the written or dramatic text respectively”.17 Elam menyebutkan bahwa dua-duanya, yakni drama dan teater sebagai teks. Ia menegaskan bahwa hubungan-hubungan antara teks drama dan teks pertunjukan bukan sekadar masalah mana yang lebih menentukan, tetapi lebih merupakan tarik-menarik yang rumit dan memerlukan pendekatan intertekstualitas. Menurutnya, tiap-tiap teks mengandung jejak- jejak teks lainnya: teks pertunjukan mengasimilasikan aspek-aspek teks dramatik yang ditulis berdasarkan model pertunjukan atau kemungkinan model pertunjukan yang telah menjadi dasar pijakan penulisannya. Bukan hanya teks naskah saja yang menjadi aspek penting di dalam pertunjukan, tapi semua yang berada di atas panggung ketika di dalam sebuah pertunjukan. Semua yang berada di atas panggung pasti memiliki makna sekaligus sebagai media komunikasi bagi penonton. Untuk itu, adanya sebuah dramatisasi atas karya

15 Nur Sahid, Semiotika untuk Teater, Tari, Wayang Purwa, dan Film, (Yogyakarta: Gigih Pustaka Mandiri, 2016), h. 15. 16 Abdul Latif Abu Bakar, Op. cit., h. 30. 17 K. Elam, The Semiotics of Theatre and Drama, (New York: Routledge, 2003), h. 2.

17

sastra, ketika masuk ke dalam sebuah pementasan atau pertunjukan, makna- makna yang diungkapkan oleh sutradara bukan hanya melalui sebuah dialog, melainkan melalui semua unsur yang ada di dalam sebuah pertunjukan.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa teori semiotik adalah ilmu mengenai lambang atau tanda-tanda untuk menerangkan bahwa setiap aspek komunikasi memiliki arti atau makna tertentu. Teori ini meletakkan lambang atau tanda sebagai bagian dari sebuah komunikasi. Hal-hal yang kemudian dapat menjadi tanda pun bukan hanya bahasa saja, melainkan melingkupi berbagai hal lain dalam kehidupan ini, seperti mimik wajah, gerak isyarat tubuh, warna, dan sebagainya.

C. Novel Di Indonesia, sebuah novel modern diperkirakan muncul pada akhir dekade kedua abad ke-20, suatu masa yang dalam sejarah politik disebut sebagai masa Kebangkitan Nasional. Saat itu terbit karya-karya di antaranya adalah karya Merari Siregar (antara lain Azab dan Sengsara, 1920). Novel tersebut merekam suara atau semangat dunia pergerakan. Novel yang diposisikan sebagai tonggak munculnya novel Indonesia modern adalah Belenggu karya Armijn Pane yang terbit 1940. Novel pada awalnya berasal dari bahasa Italia, novella, yang berarti ‘sebuah kisah, sepotong berita.’ Novel merupakan sebuah prosa naratif fiksional yang panjang dan kompleks yang menggambarkan secara imajinatif pengalaman manusia melalui rangkaian peristiwa yang saling berhubungan dengan melibatkan sejumlah orang (karakter) di dalam setting (latar) yang spesifik.18

18 Warsiman, Membumikan Pembelajaran Sastra yang Humanis, (Malang: UB Press, 2016), h. 109.

18

Menurut Nurgiyantoro, novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya, tentu saja, juga bersifat imajinatif.19 Riswandi dan Kusmini menjelaskan bahwa novel dapat diartikan sebagai cerita yang berbentuk prosa yang menyajikan permasalahan-permasalahan secara kompleks, dengan penggarapan unsur-unsurnya secara luas dan rinci.20 Novel menyampaikan cerita, ide, amanat atau maksudnya dengan pertolongan kata-kata. Oleh sebab itu, kata-kata menempati kedudukan penting dalam novel. Seorang novelis hanya bisa menyampaikan cerita atau amanatnya dengan kata-kata. Seorang novelis membangun alur, penokohan, latar, dan suasana dengan bantuan kata-kata.21 Fungsi novel pada dasarnya untuk menghibur para pembaca. Novel pada hakikatnya adalah cerita yang terkandung juga di dalamnya tujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca. Melalui novel, pengarang dapat menceritakan tentang aspek kehidupan manusia secara mendalam termasuk berbagai perilaku manusia.22 Sebagai sebuah cerita naratif, novel memiliki unsur-unsur pembentuknya. Unsur-unsur pembangun sebuah novel yang kemudian secara bersama membantuk sebuah totalitas itu di samping unsur formal bahasa, masih banyak lagi macamnya. Namun, secara garis besar berbagai macam unsur tersebut secara tradisional dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, walau pembagian ini tidak benar-benar terpilah. Pembagian unsur yang dimaksud

19 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 25. 20 Bode Riswandi dan Titin Kusmini, Kamar Prosa, (Tasikmalaya: Langgam Pustaka, 2018), h. 45. 21 Pamusuk Eneste, Novel dan Film, (Jakarta: Nusa Indah, 1991), h. 16. 22 Andri Wicaksono, Pengkajian Prosa Fiksi, (Yogyakarta: Garudhawaca, 2017), h. 72-73.

19

adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik.23 Namun dalam penelitian ini hanya unsur intrinsik novel Mahabarata Jawa yang akan dikaji oleh peneliti. Unsur-unsur yang dikaji yakni hanya tema, tokoh dan penokohan, latar, dan alur. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra.24 Unsur intrinsik ini secara langsung akan turut serta membangun cerita. Unsur-unsur pembentuk tersebut pastinya dijumpai ketika seseorang membaca novel. Unsur-unsur pembentuk yang dimaksud adalah tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa. Namun, dalam penelitian ini, analisis unsur intrinsik dilakukan hanya pada tokoh dan penokohan, latar, alur, dan tema.

Tokoh adalah pelaku cerita. Tokoh ini tidak selalu berwujud manusia, tergantung pada siapa yang diceritakannya itu dalam cerita. Watak/karakter adalah sifat dan sikap para tokoh tersebut. Tokoh sekurang-kurangnya diberi empat pengertian, yaitu (1) rupa (wujud dan keadaaan), macam atau jenis, (2) bentuk badan, perawakan, (3) orang yang terkemuka, kenamaan, dan (4) pemegang peran dalam roman atau drama.25Adapun penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh-tokoh dan watak-wataknya itu dalam cerita.26 Baik unsur tokoh di dalam novel maupun drama, penggambaran watak tokoh dapat dipetakan melalui aspek perwatakan berdasarkan keadaan fisik, psikis, dan sosial. Ciri-ciri fisik dapat dilihat dari bentuk tubuh, wajah, dan warna suara. Ciri-ciri psikis berkaitan dengan watak, kegemaran, standar moral, tempramen, ambisi, cita-cita, dan kompleks psikologis yang dialami tokoh. Ciri

23 Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Op. cit., h. 23. 24 Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Op. cit., h. 23. 25 Samsuddin, Buku Ajar Pembelajaran Kritik Sasta, (Yogyakarta: Deepublish. 2019), h. 24- 25. 26 Riswandi dan Kusmini, Op. cit., h. 72.

20

sosiologis berkaitan dengan keadaan sosiologis tokoh seperti status sosial dan jabatan, kelas sosial, ras, agama, dan ideologi.27

Selain tokoh, unsur intrinsik lainnya adalah latar. Latar dalam novel atau roman merupakan tempat dan waktu terjadinya peristiwa. Latar mempunyai hubungan yang erat dengan perwatakan tokohnya. Hal ini berarti pemilihan latar difungsikan untuk mengungkapkan watak atau sifat tokoh. Latar alam kadang-kadang difungsikan untuk memproyeksikan keadaan jiwa atau suasana kejiwaan tokoh-tokoh yang sedang dimabuk asmara, oleh pengarang ditempatkan pada latar alam yang membangkitkan suasana romantis, pantai indah, danau yang tenang, pepohonan yang rimbun dan sepi, jauh dari kebisingan.28 Antara latar dengan penokohan mempunyai hubungan yang erat dan bersifat timbal balik. Sifat-sifat latar, dalam banyak hal, akan mempengaruhi sifat-sifat tokoh.29

Latar dalam cerita dapat diklasifikasikan menjadi latar tempat, latar waktu, dan latar suasana. Latar tempat, yaitu latar yang merupakan lokasi tempat terjadinya peristiwa cerita, baik itu nama kota, jalan, gedung, rumah, dll.30 Terkadang, penyebutan latar tempat yang tidak ditunjukkan secara jelas namanya, mungkin disebabkan perannya dalam karya yang bersangkutan kurang dominan.31

Latar waktu, yaitu latar yang berhubungan dengan saat terjadinya peistiwa cerita, apakah berupa penanggalan penyebutan peristiwa sejarah, penggambaran situasi malam, pagi, siang, sore, dll.32 Latar waktu berhubungan

27 Suroso, Drama Teori dan Praktik Pementasan, (Yogyakarta: Elmetera Publisher, 2015), h. 13. 28 Riswandi dan Kusmini, Op. cit., h. 75. 29 Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Op. cit., h. 225. 30 Riswandi dan Kusmini, Op. cit., h. 75. 31 Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Op. cit., h. 229. 32 Riswandi dan Kusmini, Op. cit., h. 75-76.

21

dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.33 Latar sosial, yaitu keadaan yang berupa adat istiadat, budaya, nilai-nilai/ norma, dan sejenisnya yang ada di tempat peristiwa cerita.34 Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat serta berhubungan dengan status sosial tokoh yang diceritakan dalam karya fiksi.

Unsur intrinsik selanjutnya yaitu alur. Alur atau istilah lainnya plot adalah pengembangan jalan cerita dalam cerita rekaan atau fiksi. Alur merupakan kronologi cerita dari awal kisah hingga kisah itu selesai.35 Dalam novel Mahabarata Jawa, alur yang digunakan adalah alur episode. Alur episode termasuk dalam kategori multi plot. Alur episode adalah plot cerita yang terdiri dari bagian per bagian secara mandiri, dimana setiap episode memiliki alur cerita sendiri. Setiap episode dalam lakon tersebut tidak ada hubungan sebab akibat dalam rangkaian cerita, tema, maupun tokoh. Namun, pada akhir cerita, alur yang terdiri dari episode-episode ini akan bertemu.36

Unsur intrinsik terakhir yaitu tema. Tema ialah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya sastra.37 Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal bersifat “mengikat” kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa-konflik-situasi tertentu, termasuk berbagai unsur intrinsik yang lain, karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan.38

33 Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi Op. cit., h. 230. 34 Riswandi dan Kusmini, Op. cit., h. 76. 35 Rahma Barokah T. J., Berfikir Cerdas dengan Bahasa Indonesia, (Bogor: Guepedia, 2021), h. 238. 36 Dina Gasong, Apresiasi Sastra Indonesia, (Yogyakarta: Deepublish, 2019), h. 151. 37 Marwoto, Tema dan Amanat dalam Cerita Pendek Indonesia, (Semarang: Alprin, 2020), h. 1. 38 Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi Op. cit., h. 68.

22

Tema dibagi menjadi dua, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema mayor artinya makna pokok yang menjadi pokok cerita yang menjadi pokok dasar atau gagasan dasar umum karya itu.39 Tema minor atau tema tambahan artinya makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita yang dapat diidentifikasi sebagai makna bagian atau makna tambahan sebuah cerita. Makna pokok cerita bersifat merangkum berbagai makna khusus dari makna- makna tambahan yang terdapat pada karya itu. Begitupun sebaliknya, makna- makna tambahan itu bersifat mendukung atau mencerminkan makna utama yang ada dalam keseluruhan cerita.

D. Drama dan Teater

Menurut Ahmadi dalam Suwardi, dari aspek etimologi, istilah drama berasal dari akar tunjang “drama” dari bahasa Greek (Yunani Kuno) drau yang berarti melakukan (action) atau berbuat sesuatu. Berbuat berarti memang layak dilihat. Wijayanto dalam Suwardi sedikit berbeda, katanya drama dari bahasa Yunani, dram, artinya bergerak. Kiranya, gerak dan aksi adalah mirip. Jadi, tindakan dan gerak merupakan ciri utama drama.40 Untuk itu, drama berarti perbuatan dengan gerak dan aksi sebuah lakon.

Ferdinan Brunettiere dan Balthazar Verhagen dalam Nurgiyantoro, menjelaskan bahwa drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dan harus melahirkan kehendak manusia dengan action dan perilaku. Kemudian Krauss dalam bukunya Verstehen und Gestalten, mendeskripsikan “Gesang und Tanz des altgriechiscen Kultus stammende künstelerische Darstellungsform, in der auf der Bühne im Klar gegliederten dramatischen DIALOG EIN Konflikt und seine Lösung dargestellt wird”, artinya drama

39 Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Op. cit., h. 82. 40 Suwardi Endraswara, Metode Pembelajaran Drama (Apresiasi, Ekspresi, dan Pengkajian), (Yogyakarta: CAPS, 2011), h. 11.

23

adalah suatu bentuk gambaran seni yang datang dari nyanyian dan tarian ibadat Yunani kuno, yang di dalamnya dengan jelas terorganisasi dialog dramatis, sebuah konflik dan penyelesaiannya digambarkan di atas panggung.41

Ibnu Wahyudi dalam Melanie Budianta, dkk., juga memaparkan bahwa drama merupakan kehidupan sehari-hari yang dipentaskan dengan sistematis dan menarik. Drama berisi dialog antara beberapa tokoh disertai akting yang sesuai dengan petunjuk pemeranan. Jadi, secara singkat drama dapat diartikan sebagai sebuah seni atau karya sastra yang dipentaskan secara sistematis di atas panggung.42

Edwin Wilson menjelaskan dalam bukunya The Theater Experience bahwa Theater is art, and as such it mirrors or reflects life.43 Menurutnya, adalah seni karena ia adalah cermin atau refleksi kehidupan. Semua istilah drama berasal dari bahasa Yunani (draomai) yang berarti “perbuatan, tindakan, atau aksi”. Istilah teater pun juga berasal dari Yunani Greek, yaitu dari kata theatron yang diturunkan dari kata theomai yang berarti takjub melihat atau memandang. Jadi, kata theatron sudah mewakili sekaligus pengertian gedung pertunjukan dan publik yang melihat, menyaksikan, dengan sendirinya, tercakup pengertian adanya materi kesenian yang terdapat di dalam gedung dan disaksikan oleh para penonton.

Teater bisa juga diartikan mencakup gedung, pekerja (pemain dan kru panggung), sekaligus kegiatannya (isi-pentas/peristiwa). Sementara itu, ada juga yang mengartikan teater sebagai semua jenis dan bentuk tontonan, baik di panggung maupun di arena terbuka. Jika peristiwa tontonan mencakup ‘tiga’ (pekerja-tempat-komunitass penikmat/penonton), atau ada ‘tiga unsur’

41 Tato Nuryanto, Apresiasi Drama, (Depok: Rajawali Press, 2017), h. 4. 42 Emzir, dkk., Tentang Sastra: Orkestra Teori dan Pembelajarannya, (Yogyakarta: Garudhhawacana, 2018), h. 46. 43 Edwin Wilson, The Theater Experience, (New York: McGraw-Hill, 2007), h. 4.

24

(bersama-saat-tempat), maka peristiwa itu adalah teater.44 Dalam hal ini, sesuatu dapat dikatakan teater apabila bentuknya yang merupakan sebuah pertunjukan atau tontonan dengan melibatkan unsur pelaku/pemain dan penonton, serta menambahkan unsur tempat di dalamnya. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa teater sebagai pertunjukan melibatkan unsur pelaku dan penonton.

K. Elam dalam bukunya menyebutkan bahwa:

Theatre’ and ‘drama’: this familiar but invariably troublesome distinction requires a word of explanation in this context, since it has important consequences with regard to the objects and issues at stake. ‘Theatre’ is taken to refer here to the complex of phenomena associated with the performer-audience transaction: that is, with the production and communication of meaning in the performance itself and with the systems underlying it. By ‘drama’, on the other hand, is meant that mode of fiction designed for stage representation and constructed according to particular (‘dramatic’) conventions.45

Elam dalam Sahid menyebut “drama” sebagai karya fiksi yang didesain untuk representasi panggung dan dikonstruksi menurut konvensi-konvensi drama yang spesifik. Dengan kata lain, “teater” terbatas pada apa yang terjadi antara pemeran dan penonton, sedangkan “drama” mengindikasikan jaringan faktor-faktor yang bertalian dengan fiksi yang direprentasikan. Dengan demikian, ruang lingkup kerja semiotikawan teater berhadapan dengan dua materi teks sekaligus, yaitu teks drama (tertulis), dan teks teater (pertunjukan teater).46

Drama sebagai salah satu bagian dari genre sastra tidaklah jauh berbeda dengan genre karya sastra yang lainnya. Di dalam naskah drama terdapat pula

44 Riantiarno, Menyentuh Teater Tanya Jawab Seputar Teater Kita., (Jakarta:Program Bimbingan Anak Sampoerna, 2003), h. 7. 45 Elam, Op. cit., h. 1-2. 46 Sahid, Op. cit., h. 18.

25

unsur-unsur struktural yang membangun. Unsur-unsur struktural yang ada tak jauh berbeda secara umum dengan prosa, yaitu seperti tema, alur, latar dan penokohan yang juga terdapat dalam drama. Kemudian unsur ekstrinsik di dalam drama yaitu meliputi biografi pengarang dan latar belakang sosial budaya. Dalam drama pentas, peran seorang sutradara sangat dominan untuk menghasilkan akting yang berkualitas dari para pemain dan seluruh kru panggung.47

Semakin lama drama semakin berkembang sesuai dengan selera masyarakat dan perkembangan zaman.48 Saat ini drama sudah menjadi tontonan yang menarik, khususnya bagi pecinta teater, karena sudah dilengkapi dengan lakon yang baik, pemain yang terlatih, iringan musik yang bagus, tata panggung yang memadai dan sesuai, tata cahaya yang memukau, dan tata rias juga tata busana yang apik dan sempurna. Grup-grup drama/ teater lalu bermunculan, bahkan masih eksis hingga saat ini, seperti Bengkel Teater Rendra, Teater Mandiri, dan Teater Koma.

Berdasarkan massanya, kita bisa mengenal adanya dua bentuk drama, yakni drama tradisional dan drama modern. Drama tradisional atau drama rakyat adalah drama yang lahir dan diciptakan oleh kaum masyarakat tradisional. Hal ini berbeda dengan drama modern yang lahir pada masyarakat industri. Dalam konteks penelitian ini, drama modernlah yang digunakan sebagai bahan penelitian, yaitu dari pementasan drama karya N. Riantiarno yang berjudul Mahabarata: Asmara Raja Dewa. Pada penyajiannya, drama modern sudah mencoba memasukkan unsur teknologi modern di dalamnya. Dalam seni teater modern, tata busana, tata rias, tata lampu, tata ruang, dan tata

47 Nugraheni Eko Wardani dan Endang Widiyastuti, Jenis-jenis Teater Wayang di Surakarta, (Surakarta: UNS Press, 2013), h. 5. 48 Asul Wijayanto, Terampil Bermain Drama, (Jakarta: PT Grasindo, 2002), h. 6.

26

panggung dikemas secara modern, bahkan sudah ada yang menggunakan teknologi modern semacam film, animasi ataupun komputer.

Pementasan dan Sarana Pendukung:

1) Pentas: Teknik Penempatan dan Komposisi Pementasan drama, terutama drama modern, tidak mungkin dapat terjadi tanpa pentas. Komposisi pentas dapat diartikan sebagai penyusunan yang artistik dan berdaya guna atas properti, perlengkapan, serta para pemain pada pentas pertunjukan.49 Oleh karena itu, komposisi pentas dari segala bentuk atau benda-benda yang ada di panggung harus diperhatikan dengan baik untuk menampilkan suatu seni pertunjukan. Dalam menyusun properti, perlengkapan, serta para pemain di atas pentas, dibutuhkan keterampilan untuk menguasai keadaan pentas yang akan digunakan pada pertunjukan atau pementasan drama. Bentuk pentas atau panggung memengaruhi laku aktor dan posisinya, serta sudut pandang penonton. Dengan mengetahui pengaruh posisi pentas maka pemain dapat melakukan laku drama atau akting dengan maksimal.

2) Kostum

Kostum merupakan segala yang dikenakan pemain pada saat pementasan. Jika kostum dipandang sebagai sebuah pakaian, maka kostum berkaitan dengan perlengkapan yang dikenakan para pemain ketika pentas. Jika kostum dianggap sebagai salah satu sarana pendukung para pemain pementasan, maka kostum memiliki peran dan fungsi untuk: 1) mendukung

49 Hasanuddin, Drama Karya dalam Dua Dimensi, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1996), h. 147.

27

pengembangan watak pemain, 2) membangkitkan daya saran dan suasana, 3) personalisasi pemain.50

Dalam suatu pementasan, tidak tertutup kemungkinan seorang pemain harus tampil beberapa kali dengan dengan kostum yang berbeda. Pertukaran kostum yang dilakukan akan menyebabkan pertukaran atau perubahan watak/karakter yang harus didramatikkan. Hal ini biasanya terjadi jika dalam kelompok teater kekurangan pemain dan hal lainnya. Untuk itu, penting bagi para pemain yang akan melakukan pertukaran kostum untuk mengenal dan mendayagunakan kostumnya dengan baik.

3) Tata Rias Tata rias pada seni pertunjukan diperlukan untuk menggambarkan atau menentukan watak tokoh di atas pentas.51 Menurut Hasanuddin, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk kepentingan pelaksanaan tata rias , yaitu: 1) tata rias dilakukan untuk kepentingan penegasan karakter, sehingga penonton dengan mudah dapat menangkap kesan-kesan tertentu menyangkut karakter tokoh yang sedang mereka saksikan, 2) tata rias dilakukan untuk membantu pemain menghayati peran yang dibebankan kepadanya, di samping untuk menumbuhkan kepercayaan diri pemain dalam melakukan akting (laku dramatik) di pentas, dan 3) tata rias dilakukan untuk membantu lancarnya peristiwa yang harus disaksikan penonton, membangkitkan kesan dan suasana tertentu.52

50 Emila Contessa dan Shofiyatul Huriyah, Perencanaan Pementasan Drama, (Yogyakarta: Deepublish, 2020), h. 138. 51 Iwan Pranoto, Bahan Ajar Tata Rias dan Busana (Seni Drama, Tari, dan Musik), (Ponorogo:Uwais Inspira Indonesia, 2019), h. 4. 52 Hasanuddin, Op. cit., h. 186.

28

4) Pencahayaan Pencahayaan adalah sarana yang harus diperhitungkan di dalam pementasan drama. Sebab, jika pementasan berada di dalam ruangan dan dilakukan pada malam hari, maka pencahayaan tentu sangat penting. Pencahayaan di dalam suatu pementasan drama selain bermaksud untuk memberikan penerangan, juga bertujuan untuk menimbulkan efek dramatilk, estetik, dan artistik.53 Hasanaddin menyebutkan bahwa fungsi pencahayaan di dalam pementasan drama mencakup beberapa hal yakni: 1) menerangi dekor pentas dan properti dengan cara tertentu untuk menimbulkan efek suasana tertentu, misalnya suasana ceria, suasana muram, seram, berkabung, dan lain-lain, 2) menerangi seseorang atau sekelompok pemain dengan tujuan mempertegas efek laku dramatik, dan 3) menerangi dan menyinari wajah (face) seorang pemain atau sekelompok pemain untuk tujuan mempertegas karakter dan ekspresi pemain yang telah dibentuk melalui tata karakter dan ekspresi pemain yang telah dibentuk melalui tata rias.54

5) Tata Suara dan Ilustrasi Musik Tata suara berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut tentang sesuatu yang harus didengar atau diperdengarkan di dalam pementaan drama. Di dalam pementasan drama, aspek yang mendominasi adalah aspek suara. Dialog-dialog di dalam pementasan disampaikan lewat suara para tokoh yang kemudian memengaruhi alur cerita yang akan ditangkap oleh penonton. Untuk kepentingan pementasan, suara pemain haruslah jelas, merdu, dan keras.

53 Contessa dan Huriyah, Op. cit., h. 139. 54 Hasanuddin, Op. cit., h. 159.

29

Musik pengiring untuk kegunaan pentas drama disebut juga dengan ilustrasi musik. Ilustrasi musik dapat meningkatkan kesan menarik di dalam sebuah pementasan drama. Selain itu, musik juga dapat mengukuhkan imajinasi penonton ataupun pemain. Dalam hal ini, gunanya bagi penonton adalah untuk memudahkan penginterpretasiannya. Berbeda halnya dengan pemain, yaitu untuk menunjang akting dan penghayatan terhadap peran.

E. Mahabarata Mahabharata berasal dari kata maha yang berarti ‘besar’ dan kata bharata yang berarti ‘bangsa Bharata’. Pujangga Panini menyebut Mahabharata sebagai “Kisah Pertempuran Besar Bangsa Bharata”.55 Mahabharata adalah epos agung yang lahir di India dan diperkirakan mulai ditulis 300 tahun SM. Selama sekitar 7 abad kisah ini dikembangkan dengan penambahan cerita, syair, dongeng, dan pengayaan karakter sampai akhirnya menjadi naskah yang dianggap asli tulisan Bhagawan Vyasa sepanjang 10.000 seloka dalam 18 Parwa. 56 B. A. van Nooten mengatakan dalam sebuah pengantar buku Mahabharata karya William Buck bahwa Mahabarata adalah epic India yang dalam bahasa Sansekerta aslinya mungkin menjadi yang terbesar yang pernah disusun.

The Mahabharata is an Indian epic, in it’s original Sanskrit probably the largest ever composed. Combined with a second great epic, the Ramayana, it embodies the essence of the Indian cultural heritage.57

Sudah sejak lama orang mengenal kisah Mahabharata. Para pecinta karya sastra mengenalnya dari berbagai sumber tulisan berupa naskah-naskah

55 Nyoman S Pendit, Mahabharata, (Jakarta: PT Graedia Pustaka Utama, 2003), h. xi. 56 Wagiono Sunarto, Transformasi Visual Tokoh Mahabharata dalam Sejarah Komik Indonesia, Jurnal Seni & Budaya Panggung, Vol. 23, No. 1, Maret 2013, h. 2. 57 William Buck, Mahabharata, (Delhi: University of California, 1981), h. xiii.

30

kuno. Dalam perjalanan panjang Mahabharata, semenjak diciptakan sekian ratus tahun yang lalu hingga kini, telah berkembang berbagai versi yang tersaji dalam bahasa yang indah dan sarat dengan ajaran moral.58 Epos Mahabharata sebagian bertutur secara naratif dan sebagian didaktik, serta memasukkan berbagai bentuk legenda, mite, yang mengangkat tema filosofis maupun keagamaan. Semua peristiwa sejarah yang terjadi selama beberapa abad itu dirangkai menjadi cerita genesis manusia, dewa dan setengah dewa, raja serta para satria keturunan wangsa Bharata yang akhirnya habis akibat perang akbar antar saudara yang disaksikan para dewa.59 Pendapat tentang waktu, tempat dan proses penciptaan dari kisah Mahabharata itu sendiri masih kontroversial. Selama berabad-abad, dalam kisah Mahabarata telah terjadi suatu konstruksi mitos besar, yang di dalamnya terkandung filosofi, mitologi, pedoman moral, konsep tata negara, dan interpretasi sejarah India (Punjab bagian timur). Hal yang menarik adalah bahwa mitos besar ini dari waktu ke waktu kemudian juga berkembang jauh ke wilayah Asia lain, sehingga pada berbagai kebudayaan di Timur mitos ini dianggap sebagai cerita setempat. Mahabharata, yang kita ambil dari India, muncul di sini dalam berbagai bentuk. Kita mengenal sejumlah besar kakawin yang kisahnya berdasarkan Mahabharata, di samping itu juga memiliki hikayat yang berasal dari sumber yang sama.60 Pengaruh kesusastraan India terhadap karya sastra Indonesia dapat kita temukan pada karya sastra Hikayat Seri Rama, Ramayana, Mahabarata, Hikayat Panji, Hikayat Cekel Weneng Pati, Barathayudha, dan Kakawin Arjunawiwaha.61 Dalam tradisi pewayangan Jawa, kisah Mahabarata dan Ramayana sudah diadaptasi menjadi karya satra Jawa dan merupakan kisah

58 Pendit, Op. cit., h. ix. 59 Sunarto, Op. cit., h. 2. 60 Sapardi Djoko Damono, Sastra Bandingan, (Jakarta: Editum, 2015), h. 36. 61 Emzir, dkk., Op. cit., h. 71.

31

pewayangan yang sudah dianggap sebagai bagian dari kebudayaan adihulung dan bahkan menjadi bagian dari sistem nilai orang Jawa. Kisah Mahabharata tidak akan pernah usang oleh adanya perkembangan zaman. Kisah itu akan terus hidup bagi kalangan pembaca. Hal itu berkaitan dengan adanya sebuah ajaran spiritual sekaligus ajaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang maha agung, untuk dijadikan salah satu sumber pijakan dalam tata pergaulan sehari-hari dalam bermasyarakat. Bukan hanya itu, kejujuran, kesetiaan, kebenaran, persahabatan, dan cinta pun senantiasa selalu menjadi bagian dari aspek moral yang dibicarakan seiring berkembangnya kisah adaptasi atas karya-karya yang berinterteks dengan epos Mahabarata. Wayang (khususnya dalam cerita Mahabharata) mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat pendukungnya, baik di kalangan kaum pria maupun wanita.62 Kisah yang diceritakan dalam epos Mahabharata yang paling terkenal dan penting adalah konflik antara dua saudara sepupu, Kurawa dan Pandawa, yang berkembang menjadi suatu perang besar dan menyebabkan musnahnya bangsa Bharata yang juga disebut bangsa Kuru. Pertempuran dahsyat antara Pandawa dan Kaurawa berlangsung selama delapan belas hari. Darah para pahlawan bangsa Bharata membasahi bumi padang pertempuran tersebut.

Epos Mahabharata yang masuk ke Indonesia sebagai bentuk wayang kemudian mengalami berbagai berubahan yang menyesuaikan kondisi budaya setempat di mana kisah itu berkembang. Silsilah dewa-dewa dari epos Mahabarata menjadi wayang yang berkembang di Indonesia, khususnya Jawa, memiliki sangkut paut dengan Nabi Adam Alaihissalam. Menurut AR Sri Mulyono HD, hal tersebut untuk menghilangkan kemusrikan atau

62 Made Puma dan Sri Guritno, Arti-Makna Tokoh Pewayangan Mahabharata dalam Pembentukan dan Pembinaan Watak (Seri Ill ), (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Jakarta, 1997) h. 3.

32

penyembahan terhadap para dewa. Maka dalam silsilah, semua dewa berasal dari satu keturunan, yaitu Nabi Adam Alaihissalam.63.

Nabi Adam yang menjadi cikal bakal manusia menikah dengan Hawa. Keturunan mereka adalah Nabi Sis yang kemudian memiliki anak Anwas dan Anwar (Sang Hyang Nurcahya). Sang Hyang Nurcahya menurunkan Sang Hyang Nurasa yang kemudian mempunyai anak Sang Hyang Wening, Sang Hyang Wenang, dan Sang Hyang Pramanawisesa. Sang Hyang Wenang menikah dengan Dewi Saoti kemudian menurunkan Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Ening, dan Dewi Suyati. Sang Hyang Tunggal yang menikah dengan Dewi Rekatawati menurunkan Batara Tejamaya (Antaga), Batara Ismaya, dan Batara Manikmaya, yang pada mulanya berupa sebuah cahaya melingkar dan membulat membentuk telur (cangkang, putih, dan kuning) dan ari-arinya menjelma sebagai Batara Narada.

Sang Hyang Otipati/ Batara Guru (Manikmaya) menikah dengan Dewi Umayi, putri saudagar Merut/Umaran dan mempunyai lima orang putra yakni: Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnumurti. Selain pernikahannya dengan Dewi Uma, Manikmaya juga menikah dengan Dewi Umaranti.

Cerita Mahabarata dan Ramayana lengkap dengan kisah para dewa tetap dipertahankan dan dikembangkan. Namun pengembangan cerita dari India berbeda sekali dengan penerapannya dalam pergelaran wayang di Indonesia. Dewa dalam epos yang ada itu bertingkat-tingkat sesuai derajatnya dan yang paling tinggi Batara Guru sebagai raja dan jajaran dewa lain di bawahnya. Pada

63 RM Ismunandar K, Wayang Asal-usul dan Jenisnya, (Semarang: Dahara Prize, 1988), h. 29.

33

umumnya para dewa ini baik-baik, namun ada pula yang jahat, seperti Batara Kala.64

F. Pembelajaran Sastra

Praktik pembelajaran sastra di sekolah sampai dewasa ini kurang mengalami perubahan yang signifikan. Di sekolah, pembelajaran sastra tidak diarahkan pada kepekaan apresiasi sastra. Hal tersebut makin mempersulit pesan dan harapan dari pembelajaran sastra karena guru hanya mengajarkan materi-materi tentang sastra dan bukan mengajarkan materi mengenai apresiasi sastra. Padahal, menurut Katararina Apriyanti dalam Houtman dan Arif Ardiansyah, pembelajaran sastra, secara umum akan menjadi sarana pendidikan moral. Kesadaran moral dikembangkan dengan memanfaatkan berbagai sumber. Selain berdialog dengan orang-orang yang sudah teruji kebijaksanaannya, sumber-sumber tertulis seperti biografi, etika, dan karya sastra dapat menjadi bahan pemikiran.65

Ketidakberhasilan dalam pengembangan pembelajaran sastra tersebut disebabkan oleh berbagai hal, antara lain adalah: 1) kurangnya pengetahuan dan kemampuan guru dalam bidang kesusastraan, 2) terbatasnya buku dan bacaan yang tersedia untuk pembelajaran sastra di sekolah, 3) rendahnya minat membaca karya sastra para peserta didik. Persepsi yang muncul bahwa membaca karya sastra tidak akan mendapat faidah apa-apa kecuali hanya menciptakan khayalan manusia. 66

64 Bendung Layung Kuning, Atlas Tokoh-tokoh Wayang dari Riwayat sampai Silsilahnya, (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2011), h. 500. 65 Houtman dan Arif Aardiansyah, Dinamika Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, (Yogyakarta: Deepublish, 2017), h. 157. 66 Warsiman, Pengantar Pembelajaran Sastra, (Malang: UB Press, 2017), h. 7.

34

Berdasarkan kendala tersebut maka diperlukan solusi agar pembelajaran sastra mencapai tujuan, yakni peserta didik mampu menumbuhkan dan meningkatkan kompetensi apresiasi dan ekspresiasi sastra. Hal tersebut bukan hanya sekadar menjadi bahan pengetahun, melainkan dapat sebagai bahan pembelajaran serta pemahaman peserta didik dalam menilai, bersosialisasi dan meningkatkan nilai-nilai moral untuk diri dan lingkungannya. Hendaknya pembelajaran sastra di sekolah tidak terbatas hanya pemberian teks sastra dan genre tertentu utnuk diketahui dan diinterpretasi oleh peserta didik. Lebih dari itu, seharusnya pembelajaran sastra diarahkan pada kemampuan peserta didik untuk menilai serta mengkritik kelebihan dan kekurangan teks, serta perubahan-perubahan yang terjadi. Hal tersebut dimaksudkan agar peserta didik diharapkan mampu membuat sebuah teks yang lebih bermutu dan dapat menghargai atau mengapresiasi karya orang lain dengan lebih baik. Selain itu, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia juga sebagai sarana peningkatan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta menumbuhkan apresiasi terhadap karya kesastraan lainnya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, tentunya peran guru tak dapat diabaikan. Guru harus memiliki kreativitas untuk meningkatkan semangat peserta didik dalam proses pembelajaran sastra di sekolah. Guru harus dapat memilih sumber bahan ajar sastra yang tepat, mampu menyampaikan materi dengan lebih bervariasi agar tidak monoton, memilih strategi pembelajaran yang cocok dengan situasi dan kondisi materi pembelajaran, serta guru harus dapat memilih teks pembelajaran sastra dan media pendukungnya agar peserta didik dapat aktif dan semangat dalam mengikuti proses pembelajaran sastra di sekolah.

35

G. Penelitian Relevan Buku Mahabarata Jawa karya N. Riantiarno pernah dikaji melalui kajian intertekstual terhadap novel Wisanggeni Sang Buronan karya Seno Gumira Ajidarma oleh Muhammad Agung Wibisono dan Widowati yang merupakan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP, Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa Yogyakarta, di dalam jurnalnya yang berjudul “Unsur Pewayangan Cerita Mahabarata Versi Nano Riantiarno Dalam Novel Wisanggeni Sang Buronan Karya Seno Gumira Ajidarma: Kajian Intertekstual”. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat diambil simpulan bahwa struktur cerita Mahabarata versi Riantiarno memiliki alur maju, sedangkan dalam novel Wisanggeni Sang Buronan memiliki alur campuran yaitu alur maju dan alur flashback. Berdasarkan deskripsi struktur aspek alur, karakter/tokoh, dan latar unsur novel Wisanggeni Sang Buronan dan Mahabarata, keduanya memiliki persamaan dalam karakter tokoh, dan latar cerita. Sedangkan perbedaannya yaitu pada alur dan ada penambahan tokoh. Selain itu, teknik hipogram yang menjadi latar terciptanya novel Wisanggeni Sang Buronan dalam cerita Mahabarata adalah teknik ekspansi, konversi, dan ekserp. Penelitian relevan berikutnya ditulis oleh Linda Mayasari, mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Jerman, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, tahun 2013 dalam skripsinya yang berjudul “Transformasi Teks Drama Der Gute Mensch Von Sezuan Karya dalam Teks Drama Tiga Dewa Dan Kupu-Kupu Karya Nano Riantiarno: Kajian Intertekstual”. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat diambil simpulan bahwa : (1) Bentuk transformasi teks drama Der Gute Mensch von Sezuan dalam teks drama Tiga Dewa dan Kupu-Kupu meliputi: (a) Transformasi alur, yakni Der Gute Mensch von Sezuan terdiri dari sepuluh adegan, tujuh zwischenspiel, menggunakan prolog dan epilog, terdapat 6 lied (nyanyian), dan pertemuan tokoh Wang dengan para dewa terjadi tujuh kali.

36

Sementara Tiga Dewa dan Kupu-Kupu terdiri dari dua babak, babak pertama adalah adegan satu sampai dengan dua belas, babak kedua adalah tiga belas sampai dengan delapan belas dan diakhiri dengan epilog, memiliki sepuluh nyanyian dan pertemuan dewa dengan Wang terjadi empat kali. (b) Terjadi transformasi penokohan yakni perubahan nama-nama tokoh yang disesuaikan ke dalam nama-nama Indonesia. (c) Transformasi latar tempat Der Gute Mensch von Sezuan adalah kota Sezuan dan Tiga Dewa dan Kupu-Kupu adalah sebuah kota miskin dan Palestina. (d) Transformasi tema, Nano Riantiarno memilih untuk mengekalkan tema mayor dan tema minor teks drama Der Gute Mensch von Sezuan ke dalam teks drama Tiga Dewa dan Kupu-Kupu.(2) Teks drama Der Gute Mensch von Sezuan karya Bertolt Brecht merupakan teks yang menjadi latar penciptaan teks drama Tiga Dewa dan Kupu-Kupu karya Nano Riantiarno. Persamaan yang ditemukan dalam alur, penokohan, latar dan tema kedua drama tersebut menunjukkan adanya hubungan intertekstual. Perbedaan menunjukkan adanya upaya Riantiarno untuk melakukan perubahan, penyesuaian, dan aktualisasi cerita dengan realita hidupnya. Selanjutnya, penelitian pernah dilakukan oleh Maria Matildis Banda tulisannya pada Prosiding Seminar Nasional Sastra dan Budaya di Denpasar pada 27-28 Mei 2016 yang berjudul “Alih Wahana dari Cerpen ke Drama Panggung: Refleksi dari Lomba Drama Modern Bali”.. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat diambil simpulan bahwa alih wahana tidak dapat dihindari dalam era teknologi sekarang ini. Pesan-pesan dalam cerpen yang dibaca dikemas menjadi pesan drama panggung yang ditonton. Perubahan dan konflik akibat perubahan dalam cerpen Paradoks dibahasakan dalam pesan tentang hutang dan kejujuran untuk mengakuinya dalam drama panggung Paradoks. Naskah drama Paradoks yang dialihkan dari cerpen Paradoks karya Putu Wijaya ini mengalami beberapa perubahan mendasar dari sisi alur, perwatakan, dan latar cerita. Sebelum dipentaskan, cerpen dialihkan ke naskah

37

drama. Proses adaptasi dari naskah drama ke pementasan mudah dilakukan karena naskah drama disiapkan untuk dipentaskan. Terakhir, penelitian yang pernah dilakukan oleh Damar Sasongko, mahasiswa Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia pada tahun 2012, dalam skripsinya yang berjudul “Transformasi Cerita Mahabarata dalam Komik R. A Kosasih: Sebuah Telaah Perbandingan”. Berdasarkan hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa alur di dalam komik mengalami ekspansi, modifikasi, ekserp, dan penghilangan dari hipogram. Tokoh di dalam komik juga mengalami modifikasi dan ekspansi dari hipogram. Latar di dalam komik hanya mengalami ekspansi dan hipogram. Penelitian-penelitian yang telah dipaparkan di atas menjelaskan perbedaan dan persamaan dari skripsi ini. Penelitian tersebut juga digunakan peneliti sebagai bahan acuan dalam mengkaji objek dan teori yang peneliti pakai dalam skripsi ini. Penelitian yang ditemukan peneliti hanya terdapat dari objek novel Mahabarata Jawa dan kajian “Alih Wahana”, sementara untuk perbandingan dengan pementasan drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa belum ditemukan. Terlebih lagi belum ditemukan penelitian yang sama dengan skripsi ini.

BAB III BIOGRAFI PENGARANG DAN PEMIKIRANNYA

A. Biografi Nano Riantiarno

Norbertus Nano Riantiarno yang biasa disapa Nano Riantiarno adalah penulis dan sutradara yang lahir di Cirebon, Jawa Barat, 6 Juni 1949. N. Riantiarno sudah berkecimpung di teater sejak 1965, di Cirebon. Setamat SMA pada tahun 1967, ia melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia, ATNI, Jakarta, kemudian bergabung dengan dan ikut mendirikan Teater Populer pada tahun 1968.1 Kemudian ia masuk Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 1971. Ia juga merupakan alumnus International Writing Program University, USA pada tahun 1978.

Tahun 1968, bersama Teguh Karya, N. Riantiarno ikut mendirikan grup Teater Populer Hotel Indonesia. Ia bekerja sebagai aktor, penulis, dan sutradara. Selanjutnya tahun 1970, N. Riantiarno bersama Teater Populer dan Teguh Karya, terjun ke dunia film. Ia bekerja dan bermain dalam film Wajah Seorang Laki-laki, Cinta Pertama, Ranjang Pengantin, Kawin Lari, dan Percintaan dalam Semusim. Pada 1 Maret 1977, Nano Riantiarno mendirikan grup teater yang diberi nama Teater Koma, salah satu kelompok teater yang paling produktif di Indonesia sampai saat ini. Istrinya, Ratna Madjid, turut menjadi bagian dari pendiri Teater Koma. Pasangan ini bersama-sama sepakat untuk mendirikan sebuah teater, dan mempercayakan Nano Riantiarno sebagai pimpinannya. Ratna berasal dari Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer, sedang suaminya, Nano, adalah teaterawan didikan Teguh Karya lewat kelompok Teater

1 N. Riantiarno, Cermin Cinta, (Jakarta: Grasindo, 2006), h. 369.

38

39

Populer.2 Kekompakan mereka sudah terbukti dalam membesarkan Teater Koma. Nano membesarkan Koma dengan naskah dan penyutradaraannya, sedangkan Ratna bekerja keras dalam promosi dan pencarian sponsor. 3 Nano Riantiarno berkeliling Indonesia pada tahun 1975 untuk mempelajari teater rakyat dan kesenian tradisi serta berkeliling Jepang atas undangan Japan Foundation tahun 1987. Mulai tahun 1977 hingga 2006, N. Riantiarno bersama Teater Koma telah menggelar sekitar 111 produksi panggung dan televisi. Menulis sebagian besar karya panggungnya, antara lain; Rumah Kertas, J.J Atawa Jian Juhro, Maaf.Maaf.Maaf, Kontes 1980, Trilogi OPERA KECOA (Bom Waktu, Opera Kecoa, Opera Julini), Konglomerat Burisrawa, Pialang Segitiga Emas, Suksesi, Opera Primadona, Sampek Engtay, Banci Gugat, Opera Ular Putih, RSJ atau Rumah Sakit Jiwa, Cinta Yang Serakah, , Opera Sembelit, Presiden Burung-Burung, Republik Bagong, Tanda Cinta. N. Riantiarno juga memanggungkan karya-karya penulis kelas dunia, antara lain; Woyzeck/Georg Buchner, The Threepenny Opera dan The Good Person of Shechzwan/Bertolt Brecht, The Comedy of Error dan Romeo Juliet/, Women in Parliament/Aristophanes, Animal Farm/George Orwell, The Crucible/Arthur Miller, Orang Kaya Baru dan Tartuffe atau Republik Togog/Moliere, The Marriage of Figaro/Beaumarchaise.4 N. Riantiarno juga menulis novel Cermin Merah, Cermin Bening dan Cermin Cinta, diterbitkan oleh Grasindo pada 2004, 2005 dan 2006. Ranjang

2 Salim Haji Said, Krisis Aktor, Teater Sutradara, dan Pasar, Sejumlah Tulisan Tentang Teater dan Film, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2018), h. 18. 3 Darmadi Sasongko, “Ratna dan N. Riantiarno Tak Sekedar Berperan Sebagai Pasutri”, https://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/ratna-dan-n-riantiarno-tak-sekedar-berperan-sebagai- pasutri-vnqjwir.html, diakses pada Minggu, 28 Desember 2020, pukul 00.20 WIB. 4 Teater Koma, “N. Riantiarno”, https://www.teaterkoma.org/index.php/profil/angkatan- pendiri/36-profil/angkatan-pendiri/47-n-riantiarno?showall=&start=0, diakses pada 23 Februari 2021, pukul 15.00 WIB.

40

Bayi dan 18 Fiksi, kumpulan cerita pendek, diterbitkan KOMPAS pada 2005. Roman Primadona diterbitkan Gramedia pada 2006.

B. Penghargaan Nano Riantiarno Riantiarno banyak sekali menerima penghargaan baik di kancah nasional maupun international. Pada tahun 1998, ia menerima Penghargaan Sastra 1998 dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Ia juga sekaligus meraih Sea Write Award 1998 dari Raja Thailand, di Bangkok, untuk karyanya Semar Gugat. Sejak 1997, ia menjabat Wakil Presiden PEN Indonesia. Pada tahun 1999, ia menerima Piagam Penghargaan dari Menparsenibud (Menteri Pariwisata Seni & Budaya), sebagai Seniman & Budayawan Berprestasi. Karya pentasnya Sampek Engtay pada 2004, masuk MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai karya pentas yang telah digelar sebanyak 80 kali selama 16 tahun dan dengan 8 pemain serta 4 pemusik yang sama.5 Selain itu, Nano Riantiarno juga menulis banyak skenario film dan televisi. Karya skenarionya, Jakarta Jakarta, meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia di Ujung Pandang, 1978. Karya sinetronnya, Karina meraih Piala Vidia pada Festival Film Indonesia di Jakarta, 1987.6 Ia juga meraih lima hadiah sayembara Penulisan Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta (1972- 1973-1974-1975 dan 1998), juga merebut hadiah Sayembara Naskah Drama Anak-anak dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978, berjudul Jujur Itu. Dua novelnya, Ranjang Bayi dan Percintaan Senja, meraih hadiah Sayembara Novelet Majalah FEMINA dan Sayembara Novel Majalah

5 Ibid. 6 Kemdikbud, “N. Riantiarno”, http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/ N_Riantiarno, diakses pada 23 Februari 2021, pukul 15.00 WIB.

41

KARTINI. Pada 1993, ia dianugerahi Hadiah Seni, Piagam Kesenian dan Kebudayaan dari Departemen P&K, atas nama Pemerintah Republik Indonesia. Film layar lebar perdana karyanya, CEMENG2005 (The Last Primadona) pada 1995, diproduksi oleh Dewan Film Nasional Indonesia. Pada 1999, ia meraih penghargaan dari Forum Film Bandung untuk serial film televisi berjudul Kupu-kupu Ungu sebagai “Penulis Skenario Terpuji” pada 1999. Forum yang sama mematok film televisi karyanya (berkisah tentang pembauran), Cinta Terhalang Tembok, sebagai Film Miniseri Televisi Terbaik, 2002.7

C. Karier Nano Riantiarno Aktif di teater semenjak masa kuliah telah membawa Nano ke berbagai pementasan teater di Jakarta. Tahun 1968, bersama Teguh Karya, N. Riantiarno ikut mendirikan grup Teater Populer Hotel Indonesia. Kemudian mendirikan Teater Koma pada 1 Maret 1977. N. Riantiarno pernah mengikuti International Writing Program di University of Iowa, Iowa City, USA, selama 6 bulan pada tahun 1978. Kemudian menjadi partisipan pada International Word Festival, 1987, dan New Order Seminar, 1988, keduanya di Australia National University, Canberra, Australia. Ia membacakan makalah Teater Modern Indonesia di Cornell University, Ithaca, USA tahun 1990, juga berbicara mengenai Teater Modern Indonesia di kampus-kampus universitas di Sydney, Monash-Melbourne, Adelaide, dan Perth pada 1992. Dan di tahun 1996, ia menjadi partisipan aktif pada Session 340, Salzburg Seminar di Austria.8 Ia pernah menjabat sebagai Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (1985-1990), anggota Komite Artistik Seni Pentas untuk KIAS

7 N. Riantiarno, Potret Riantiarno, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2016), h. 492. 8 Tokoh Indonesia, “Pendiri Teater Koma Nobertus Riantiarno, https://tokoh.id/biografi/2- direktori/pendiri-teater-koma/, diakses pada 23 Februari 2021, pukul 15.00 WIB.

42

(Kesenian Indonesia di Amerika Serikat) pada 1991-1992, dan anggota Board of Artistic Art Summit Indonesia pada 2004. Ia juga konseptor dari Jakarta Performing Art Market/PASTOJAK (Pasar Tontonan Jakarta I), 1997, yang diselenggarakan selama satu bulan penuh di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Ia juga menulis dan menyutradarai empat pentas multimedia kolosal, yaitu: Rama Shinta (1994), Opera Mahabharata (1996), Opera Anoman (1998) dan Bende Ancol (1999).9 Ia berada di majalah ZAMAN selama enam tahun, bekerja sebagai redaktur Cerita Wayang. Ia juga ikut mendirikan majalah MATRA pada tahun 1986, dan bekerja sebagai Pemimpin Redaksi. Pada tahun 2001, pensiun sebagai wartawan dan selanjutnya berkiprah hanya sebagai seniman dan pekerja teater. Beberapa karyanya bersama Teater Koma pernah batal pentas karena masalah perizinan dengan pihak yang berwajib. Karya tersebut antara lain Maaf.Maaf.Maaf. (1978), Sampek Engtay (1989) di Medan, Sumatera Utara, Suksesi, dan Opera Kecoa (1990), keduanya di Jakarta. Akibat pelarangan itu, rencana pementasan Opera Kecoa di empat kota di Jepang (Tokyo, Osaka, Fukuoka, Hiroshima), 1991, urung digelar pula karena alasan yang serupa. Tapi Opera Kecoa, pada Juli-Agustus 1992, dipanggungkan oleh Belvoir Theatre, salah satu grup teater garda depan di Sydney, Australia.10 N. Riantiarno adalah salah satu pendiri Asia Art Net, AAN, tahun 1998, yaitu sebuah organisasi seni pertunjukan yang beranggotakan sutradara- sutradara Asia. Ia juga menjabat sebagai artistic founder dan evaluator dari Lembaga Pendidikan Seni Pertunjukan PPAS, Practise Performing Art School di Singapura, pengajar Pasca- Sarjana pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo. Nano Riantiarno juga pernah menyutradarai Sampek Engtay di

9 Koma, Op. cit. 10 Indonesia, Op. cit.

43

Singapura pada tahun 2001, yang dipentaskan di Victoria Theatre dengan seluruh pemain dan pekerja dari The Practice Theatre, Singapura. Pada tahun 2003, ia menulis sebuah buku berjudul Menyentuh Teater, Tanya Jawab Seputar Teater Kita, sebuah buku panduan teater bagi para pekerja seni pertunjukan.11 Bersama Teater Koma, hingga tahun 2020 sudah memproduksi 155 pementasan, baik di televisi maupun di panggung TIM dan GKJ. Teater Koma banyak menggelar karya N. Riantiarno, antara lain; Rumah Kertas, Maaf.Maaf.Maaf, Kontes1980, J,J, Trilogi Opera Kecoa (Bom Waktu, Kecoa, Julini), Opera Primadona, Semar Gugat, Konglomerat Burisrawa, Suksesi, Kala, Cinta yang Serakah, RSJ, Tetralogi Republik (Bagong, Togog, Petruk, Cangik), Opera Sembelit, Tanda Cinta, Rumah Pasir, Demonstran, Republik Cangik, Warisan, Gemintang, Mahabarata: Asmara Raja Dewa, Goro- Goro,dan J.J. Pergelaran sandiwara yang bersumber dari lakon Cina dan disadur kembali adalah Sampek Engtay, Opera Ular Putih, Siejinkwie, Siejinkwie Kena Fitnah, dan yang mutakhir, Siejinkwie di Negri Sihir.

D. Sikap Kepengarangan Nano Riantiarno 1. Produktif N. Riantiarno menulis sastra drama sejak tahun 1970-an. Sampai saat ini lebih dari 40 naskah sastra drama yang telah dibuatnya. Ia bersama kelompoknya, Teater Koma, juga telah memproduksi 155 pementasan baik di televisi maupun di panggung TIM dan GKJ. N. Riantiarno bersama Teater Koma adalah kelompok kesenian nir-laba yang konsisten dan produktif. Dikenal mempunyai banyak penonton yang setia dan pentas-pentasnya sering digelar lebih dari dua minggu. Nano Rantiarno dan Teater Koma tetap yakin, teater bisa menjadi

11 Koma, Op. cit.

44

salah satu jembatan menuju suatu keseimbangan batin dan jalan bagi terciptanya kebahagiaan yang manusiawi dan jujur. Bercermin lewat teater, diyakini pula sebagai salah satu cara untuk menemukan kembali peran akal sehat dan budi-nurani. Selain itu juga menumbuhkan sikap saling menghargai perbedaan dan saling menghargai sesama.12 Debut pertama Nano Riantiarno dalam penulisan sastra drama ditandai dengan karyanya yang berjudul Rumah-rumah Kertas pada tahun 1972. Satu per satu karyanya lahir melalui Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Dewan Kesenian Jakarta, yaitu pada tahun 1972, 1973, 1974, 1975, dan 1998. N. Riantiarno kemudian memfokuskan pada pengembangan grupnya menjadi sebuah grup teater profesional dengan mementaskan karya-karyanya yang semakin memperlihatkan gaya dan kekhasan Nano Riantiarno. Hal tersebut seperti pada Opera Primadona yang mengisahkan kehidupan anak wayang dalam kelompok sandiwara tahun 1920-an pada masa jayanya Opera Dardanella di Surabaya atau Miss Riboet’s Orion di Jakarta.13 Era tahun 1980-an, N. Riantiarno mulai menulis sastra drama dengan model serial yang menampilkan tokoh sentral Julini dalam karyanya berjudul “Bom Waktu”, “Opera Kecoa” dan “Opera Julini”, dan “Trilogi Republik” (Republik Togog, Republik, Bagong, dan Republik Petruk). Pola seperti itu sebenarnya sudah dilakukan oleh Arifin C. Noer dengan serial Orkes Madun dengan tokoh Waska sebagai perekat antarkarya. Oleh N. Riantiarno, tokoh Julini mewakili tokoh dan golongan

12 Galeri Indonesia Kaya, “Ruang Kreatif: Karakter Make Up dalam Seni Peran Oleh Teater Koma”, https://www.indonesiakaya.com/galeri-indonesia-kaya/berita/detail/ruang-kreatif-apakah-saya- sudah-efektif-dalam-berkomunikasi-oleh-talkinc-becky-tumewu, diakses pada 23 Februari 2021, pukul 15.25 WIB. 13 M.Yoesoef, Nilai-nilai Ideologi dan Sikap Kepengarangan: Sebuah Kajian atas Sastra Drama Karya N. Riantiarno, Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara (Sakat), Departemen Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, h. 3.

45

masyarakat rendahan, orang kelas bawah, yang marjinal dari segi seksual, marjinal dari segi sosial, dan marjinal dari segi kehidupan. Serial Julini inilah yang mengukuhkan N. Riantiarno sebagai penulis sastra drama bergaya opera yang sampai saat ini pun masih dilakukan olehnya dalam setiap pementasannya bersama Teater Koma. Gaya opera yang dimainkannya pun sedikit berbeda dari gaya opera sebagaimana lazimnya; yaitu dengan cakapan-cakapan antartokoh yang sepenuhnya dinyanyikan dengan iringan musik dan gerak. Gaya opera pada karya-karya N. Riantiarno masih mencampurkan antara cakapan, nyanyian, musik, dan gerak yang berpadu menjadi satu- kesatuan apik di atas panggung. Menurutnya, jika mengacu pada terminologi Barat, opera adalah “drama yang seluruh dialognya dinyanyikan dengan musik orkestra”. Akan tetapi, N. Riantiarno menafsirkan pemahaman opera sebagai “lakon”, “kisah” atau “peristiwa”.14 Eksperimen pertunjukan yang dilakukan oleh Nano Riantiarno dalam serial Julini tersebut merupakan hasil studinya dengan karya-karya opera epik model Bertolt Brecht, yang ia wujudkan juga dalam karyanya i yang merupakan saduran dari karya Bertolt Brecht The Three Penny Opera. Sukses dengan saduran itu, ia semakin intens dengan model opera epik itu dan lahirlah karya-karya seperti Sandiwara Para Binatang (George Orwell), Sampek dan Eng Tay (cerita klasik Tiongkok). 15

14 Ganjar Hwia, N. Riantiarno, Teater Koma, dan Refleksi Politik dalam Karya Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Vol. 3 No. 1, Edisi Juli 2014, h. 14. 15 Yoesoef, Op. cit., h. 4.

46

2. Ideologi dan Konsep Pertunjukan Satu hal yang menjadi ciri khas dari karya-karya Nano Riantiarno adalah menampilkan tokoh-tokoh dari kalangan kelas sosial menengah bawah, kendati ada juga karyanya yang menampilkan kelas sosial atas atau penguasa. Tampilnya kalangan kelas sosial menengah bawah tersebut secara dominan pada sejumlah karyanya mengindikasikan keberpihakan pengarang terhadap nasib dan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum marjinal tersebut. Secara politis, teks drama karya N. Riantiarno memunculkan ideologi yang “menentang pembangunan sebagai pembawa ketimpangan”. Praktik pembangunan seperti itu, misalnya digambarkan secara jelas dalam trilogi drama Opera Kecoa, yakni pembangunan yang dipenuhi rekayasa, janji palsu, dan doktrin “kesejahteraan” hingga yang terjadi adalah penyengsaraan lewat pembongkaran dan penggusuran tempat tinggal mereka untuk membangun gedung, flat-flat, dan hotel.16 Dalam drama-dramanya, Nano Riantiarno seringkali melayangkan kritik-kritik tajam bagi pemerintah atas ketidakadilan dan realitas kalangan masyarakat kelas bawah yang hidupnya seringkali tertindas dan melarat. Kritiknya bahkan seringkali mengundang kecaman dari pemerintah atas beberapa karyanya yang salah satunya adalah lakon “Opera Kecoa”. Pentas itu mengisahkan sebuah perjuangan seorang bandit kelas teri bernama Roima, yang sedang berada di persimpangan jalan. Ia tertarik pada perempuan bernama Tuminah, yaitu seorang pekerja seks komersial yang sudah punya pacar seorang waria yang bernama Julini. Ketiga orang tersebut dan tokoh lainnya melakoni perjuangan hidup yang hanya punya dua risiko: ada atau tersingkir. Nasib buruk dan baik tidak seimbang karena nasib baik jarang memihak mereka. Tempat mereka sepertinya

16 Hwia, Op. cit., h. 18.

47

sudah digariskan di tempat yang kotor yaitu di gorong-gorong, di dalam got, kolong jembatan, kawasan kumuh yang jorok, gelap dan berbau. Terlepas dari sikap kritisnya dalam karya-karya yang dibuatnya, Nano Riantiarno tetap mengemas drama pertunjukannya dengan sesuatu yang menarik, menghibur, dan humoris dengan sentuhan komedi. Banyak di antara karya-karyanya yang mengandung konsep opera dan banyak memberikan sentuhan hiburan berupa tarian-tarian dan nyanyian yang mendukung alur cerita dalam drama yang dibuatnya. Kemudian unsur humor juga begitu lekat untuk memperluwes cerita. Unsur humor kadang masuk dalam balutan suasana sendu, tegang, dan mencekam sehingga mampu mencairkan suasana dan memberikan efek yang sangat menarik bagi penontonnya. Walaupun dalam beberapa waktu komedinya mengandung satir terhadap para penguasa maupun pemerintah, tetapi selalu mengundang gelak tawa penonton di setiap pertunjukannya. Sandiwara, komedi, musik, dan tarian-taran dipadukan dalam satu kesatuan yang membuat kisah drama yang ditampilkan di atas panggung menjadi menarik dan memukau. Mencintai wayang sejak kecil, N. Riantiarno mengumpulkan berbagai tulisan wayang sejak tahun 1970-an. Guru yang sering ditimba ilmu wayangnya adalah D. Djajakusuma.17 Drama karyanya yang bersumber dari lakon wayang adalah; Maaf.Maaf.Maaf, Konglomerat Burisrawa, Suksesi, Semar Gugat, Kala, Republik Bagong, Republik Togog, Republik Petruk, Republik Cangik, Mahabarata: Asmara Raja Dewa, dan Goro-goro.

17 Riantiarno, Potret Riantiarno, Op.cit., h. 493.

48

3. Sikap Multidimensional Nano Riantiarno, sebagai penulis sastra drama sekaligus sutradara, menunjukkan pandangan dunia yang dapat dikatakan multidimensional. Dimensi pertama yang terlihat dari sejumlah karya-karyanya adalah dimensi keindonesiaan (lokal), yang sarat dengan kekayaan budaya tradisional, dipakai sebagai media untuk menampilkan gagasan- gagasannya.18 Nano Riantiarno sering kali menggunakan idiom-idiom wayang dalam drama yang dibuatnya sebagai penyalur sikap kritisnya tentang keadaan sosial, ekonomi, politik, budaya, yang kontekstual dengan keadaan yang ada di Indonesia. Tokoh-tokoh pewayangan adalah ladang subur bagi Nano Riantiarno untuk membentuk tokohnya menjadi sebuah lambang yang kritis. Dunia pewayangan sebagai salah satu budaya Indonesia yang kaya dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moral yang tinggi menjadi berdaya kembali melalui karya-karya Nano Riantiarno. Misalnya untuk mengkritik obsesi dan keserakahan para pejabat, di tangan Nano Riantiarno, tokoh Burisrawa sebagai salah satu wayang, digambarkan dalam lakon “Burisrawa Kolongmerat” menjelma sebagai konglomerat yang serakah, terobsesi dengan kekayaan, dan menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan termasuk menyogok para pejabat. Tokoh dan wataknya dibuat sedemikian rupa untuk menjadi sebuah simbol dan lambang untuk menyoroti bisnis kalangan konglomerat yang menguasai segala segi perekonomian, sehingga menimbulkan berbagai masalah politik, sosial dan ekonomi secara luas. Karya Nano Riantiarno yang menampilkan karakter wayang dalam dramanya yaitu Semar Gugat, Tetralogi Republik (Republik Togog, Republik, Bagong, dan Republik Petruk), Mahabarata: Asmara Raja

18 Yoesoef, Op. cit., h. 5.

49

Dewa, dan Goro-goro. Penggunaan kisah dari tokoh-tokoh wayang yang dikembangkannya seperti Semar, Petruk, Bagong, Gareng, Bilung, Cangik, dan Limbuk dalam karya-karyanya, membuat kisah drama yang direkayasanya menjadi dekat dengan budaya masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Selain itu, para kawula muda atau kalangan generasi muda metropolitan yang notabenenya kurang akrab dengan idiom-idiom tradisional semacam wayang, seolah diberikan sebuah gambaran menarik yang diperkenalkan kembali oleh Nano Riantiarno dalam dramanya yang terus mencuri perhatian. Dengan adanya usaha mengenalkan kembali wayang kepada generasi muda lewat drama dan teater ini setidaknya membukakan mata para generasi muda untuk bisa lebih dekat dengan budaya, menghayati keberagaman budaya, dan mengapresiasinya dengan kebanggaan. Dimensi kedua adalah dimensi mendunia (global), yaitu ditunjukkan melalui karya-karya khazanah sastra dunia yang disadurnya ke dalam situasi dan suasana keindonesiaan (lokal).19 Nano Riantiarno merupakan salah satu sastrawan yang sering pula membuat sebuah karya drama saduran dengan mengawinkan dua dimensi budaya menjadi sebuah kisah yang menarik. Hal demikian memang bukan sesuatu yang baru bagi khazanah sastra Indonesia. Adanya transformasi cerita-cerita epos Mahabarata dan Ramayana dari tradisi dan ajaran keagamaan Hindu ke tradisi dan ajaran Islam menjadi salah satu contoh akulturasi melalui kesenian yang justru memperkaya khazanah budaya masyarakat Indonesia. Nano Riantiarno juga membuat akulturasi budaya dalam karyanya, seperti dengan kebudayaan India dalam drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa yang merupakan perpaduan kisah Mahabarata India dengan epos Jawa. Selain itu, akulturasi dengan budaya Tiongkok juga

19 Yoesoef, Op. cit., h. 6.

50

dilakukannya dengan usaha penyaduran pada karya-karyanya, seperti pada lakonnya yang sangat terkenal, yaitu Sampek Engtay dan Sie Jin Kwie. Melalui keterangan-keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa ditemukan sikap kepengarangan Nano Riantiarno yang direpresentasikan dalam setiap karya-karyanya, yaitu: 1) produktif dalam berkarya 2) sikap kemanusiaan dan kepedulian terhadap masyarakat kelas bawah; 3) membuat konsep tontonan yang menarik, menghibur, dan humoris 4) bersikap kritis terhadap keadaan dari gejala sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang berkembang di masyarakat; 5) memadukan dan memanfaatkan budaya global dan lokal menjadi sebuah akulturasi kesenian untuk mengusung gagasannya, menghayati keragaraman budaya, dan memperkaya khazanah sastra Indonesia. Selain itu, sikap dasar Nano sebagai pedoman dalam bekerja di teater adalah menganggap teater sebagai cermin kehidupan dan usaha manusia yang siap untuk mengangkat harkat kemanusiaan.20 Sebagai pegiat seni, ia juga menganggap teater adalah esensi dari kehidupan itu sendiri. Prinsip tersebut ia ambil melalui gurunya yaitu Teguh Karya.

20 Muchtaruddin Ibrahim, dkk. Ensiklopedia Tokoh Kebudayaan IV. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999), h. 98.

BAB IV PEMBAHASAN

A. Struktur Narasi Novel Mahabarata Jawa dan Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa 1. Tema Kisah Mahabarata tentunya menjadi salah satu kisah yang cukup dekat dengan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Banyak hal yang menarik yang menyebabkan kisah ini terus hidup. Mahabharata yang merupakan epos klasik ini memiliki banyak sekali intisari pengajaran akan laku kehidupan dan darma manusia. Setiap pembaca yang membaca mengenai kisah Mahabarata sesungguhnya bebas memaknai setiap lakon sekehendak hati sesuai pengetahuan dan pengalaman masing-masing yang bisa jadi berbeda tafsir dengan pengarang. Begitu pun bagi pembaca buku Mahabarata Jawa karya N. Riantiarno dan penikmat pementasan Mahabarata: Asmara Rajadewa. yang memang harus diketahui lebih awal dari kisah Mahabarata. Tema lakon pertunjukan Mahabarata: Asmara Raja Dewa ini tak jauh berbeda dari yang diangkat dalam bukunya. Nano Riantiarno tetap menggariskan tema mengenai genesis; penciptaan manusia yang diangkat dalam balutan kisah para dewa dan wayang. Mengenai sebuah genesis, kita bisa melihat lakon dari Penciptaan Tiga Dunia sebagai awal mula adanya kehidupan yang dicipta oleh Sang Hyang Wenang. Genesis inilah yang coba dihadirkan sebagai sebuah pengenalan dan pengetahuan baru kepada para milenial mengenai asal mula adanya kisah Mahabarata, sebelum ada wayangnya Pandawa bahkan Baratayuda. Melalui lirik lagu yang dinyanyikan oleh koor sebagai pembuka lakon monolog yang diucapkan oleh dalang, dan animasi yang ditampilkan melalui layar belakang panggung, kita bisa mengetahui bagaimana awal

51

52

mula lakon Mahabarata itu muncul. Kisah mengenai dunia yang dicipta oleh Sang Hyang Wenang. Dunia yang semula kosong kemudian diisi dengan segala penghuninya. Para penghuni tersebut kemudian menempati ketiga dunia dengan perbedaan latar belakang penciptaan, yaitu dua sisi dan unsur yang saling bertolak belakang; baik dan buruk yang selanjutnya membentuk lakon Mahabarata. Lirik Yang Kosong Berisi: Semula hanya ada kosong Kekosongan yang abadi Tapi yang hampa kemudian diisi Tiga Dunia dicipta Juga penghuninya Alam semesta menjadi wadah Bagi dewa, manusia dan setan Lalu lakon dewa dan manusia Menjadi kisah yang sangat unik …. Latar belakang penciptaan yang berbeda kemudian menimbulkan konflik, sebuah problematika baru. Problematika itu menyangkut pada kehidupan yang telah diisi oleh para penghuni Tiga Dunia tersebut; dewa, jin, dan wayang. Ketiga ras itu berkaitan pada tiga hal yang saling berlawanan, yakni kesucian, kejahatan, dan kemanusiaan. Tiga hal tersebut masuk pada problematika moralitas kehidupan manusia yang sampai saat ini terus berjalan. Kekosongan semesta membuat Sang Hyang Wenang membentuk dunia baru yang pada akhirnya membentuk sebuah kehidupan. Ia menciptakan Tiga Dunia. Semula suasana berjalan aman dan terkendali. Garis takdir yang semula lurus kemudian berbelok. Keserakahan dan angkara murka yang tercipta pada jiwa makhluk bernama Idajil

53

menimbulkan sebuah masalah. Tiga Dunia menjadi bergejolak. Keadaan dan penolakan itu mengantarkan penghuninya pada perperangan dasyat karena perebutan kekuasaan; antara Idajil dan Hyang Tunggal. Idajil kalah, kemudian diasingkan. Namun, hawa jahatnya tetap bergerak melalui para pengikutnya. Tokoh-tokoh yang ada merupakan cermin manusia yang hidup pada situasi dan kondisi krisis dan gawat dengan segala problematika kemanusiaan yang tiada henti. Melalui adegan pertengkaran Caturdewa kita bisa melihat bagaimana problematika kehidupan yang semula aman berubah menjadi sebuah ambisi dan keserakahan yang menjadi salah satu sisi buruk jiwa manusia. Perseteruan saling hasut dan saling gesek ini terus terjadi hingga tampuk kekuasaan berpindah kepada Batara Guru. Tema genesis mengenai penciptaan manusia ini pastinya berhubungan dengan kehidupan yang dijalankan oleh manusia itu sendiri. Timbulnya permasalahan dalam kehidupan akan mutlak terjadi dan inilah yang menjadi sebuah pesan di dalam buku Mahabarata Jawa maupun pementasan lakon Mahabarata: Asmara Raja Dewa. Kesombongan, amarah, nafsu dan angkara murka yang merupakan problematika dasar dari konflik yang ada dan secara bersamaan mengandung pesan yang tersirat. Secara tersirat, pesan di dalam lakon Mahabarata: Asmara Raja Dewa disampaikan oleh tokoh Hyang Tunggal di dalam adegan. Saat keempat Caturdewa harus menerima hukuman atas perbuatan buruk yang telah mereka lakukan, memorak-porandakan galaksi, saling beradu sakti, menyombongkan diri sendiri dan lupa bahwa mereka adalah saudara yang pada dasarnya dianugerahi cinta. Hyang Tunggal merasa sedih dengan apa yang telah terjadi dan menjadi takdir keempat anaknya tersebut. Petuahnya kemudian mengingatkan kita bahwa jika kesombongan dan kepongahan menguasai, apalagi menganggap diri lebih hebat dari yang lain maka hanya akan menjadikan diri menjadi manusia yang lemah. Kekuatan malah akan terpecah belah karena diliputi oleh jiwa yang tak ingin mengalah. Dari

54

kesombongan itulah muncul ambisi yang akan memicu terjadinya tindakan- tindakan buruk yang bukan hanya akan merugikan diri sendiri melainkan juga orang lain dan lingkungan sekitar. Manusia sejatinya selalu berada pada pertempuran dalam dirinya sendiri antara nafsu jahat dan kebaikan. Hawa nafsu adalah bagian dari diri setiap manusia. Selama masih ada kehidupan dan selama kehidupan masih berjalan, maka masih pula ada nafsu yang harus diperangi oleh manusia. Di dalam pementasan kita bisa melihat sosok Batara Guru yang merupakan Rajadewa bahkan tak mampu menahan nafsu yang bergelora dalam jiwanya. Nafsu yang tak dapat dibendung malah pada akhirnya menimbulkan amarah dan diliputi kesombongan dalam diri Batara Guru. Hasil dari tindakannya itu akhirnya memunculkan masalah yang akhirnya berdampak buruk bagi tatanan Tribuana yang harus dijaganya. Kala menjadi contoh dari hasil buruk yang didapat atas nafsu, amarah, dan kesombongan yang tak bisa dibendung oleh manusia. Keburukan hanya akan melahirkan keburukan pula. Apa yang terjadi di kemudian hari adalah akibat dari sesuatu yang dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, kita sebagai manusia harus mampu memahami hukum sebab-akibat dan harus lebih berhati-hati dalam mengucap dan bertindak. Lakon berdurasi empat jam ini sesungguhnya bukan hanya bercerita tentang kadewatan yang diliputi kesucian, kesaktian, kehebatan, keindahan, dan kekuasaan, melainkan juga mengenai keserakahan dan hawa nafsu. Setiap manusia yang dicipta akan mengalami hal yang serupa, hingga kemudian dihadapkan pada dua pilihan dalam kehidupan; kebaikan atau kejahatan, kebencian atau cinta kasih, kejujuran atau kebohongan, dsb. Pilihan ada di tangan setiap individu dan pilihan itulah yang harus dipertanggungjawabkan kelak karena segala tindak-tanduk laku manusia akan terus diawasi oleh sang Maha Pencipta.

55

2. Tokoh dan Penokohan Dalam segi penokohan atau perwatakan, novel Mahabarata Jawa masih menjadi dasar pijakan Nano Riantiarno dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa. Dengan kata lain, perwatakan para tokoh dalam pementasan, tidak jauh berbeda dari apa yang digambarkan di dalam novelnya. Nano Riantiarno dapat dikatakan masih setia dalam membangun karakter tokohnya di dalam pementasan. Namun masih terdapat pengembangan-pengembangan yang ia lakukan melalui visualisasi dan pengadeganan para aktor di atas panggung. a. Manikmaya Antaga, Ismaya, Manikmaya, dan Manan, yaitu empat dewa tampan putra Rajadewa yang paling berkuasa di Tiga Dunia hidup rukun dan saling mengasihi. Mereka cepat sekali dewasa dan masing-masing diberikan kesaktian istimewa oleh Hyang Tunggal dan Hyang Wenang. Manikmaya adalah anak bungsu dari keempat Dewa. Ia adalah anak Hyang tunggal yang lahir dari kuning telur. Secara fisik, di dalam novel tidak dijelaskan bagaimana perawakan tokoh Manikmaya. Pada novel hanya disebutkan bahwa Manikmaya adalah dewa yang tampan. “Antaga, Ismaya, Manikmaya, Manan, empat dewa tampan putra Rajadewa paling berkuasa di Tiga Dunia, hidup rukun dan saling mengasihi”1

Namun, di dalam pementasan, keadaan fisik dan pembawaa tokoh Manikmaya bisa dilihat secara jelas melalui peran aktor di atas panggung. Manikmaya terlihat memiliki pembawaan yang berwibawa. Hal ini didukung dengan ukuran tubuh aktor yang tinggi, bahu yang selalu tegap dan tatapan mata yang tajam serta tak banyak berbicara seperti tiga dewa lainnya. Ia juga merupakan dewa yang tampan apalagi

1 N. Riantiarno, Mahabarata Jawa, (Jakarta: PT Grasindo, 2016), h. 279.

56

dibalut dengan busana dewa berwarna kuning emas yang cerah, menambah kesan kharismatik dari tokoh Manikmaya tersebut. Dalam perwatakannya, Manikmaya adalah dewa yang cerdas, tetapi licik. Kecerdasannya pernah ia gunakan untuk sesuatu yang buruk. Ia menangkap peluang atas pertengkaran yang terjadi antara Antaga dan Ismaya dan berharap bisa memetik keuntungan. Itulah akal busuk pertama yang dilakukan oleh Manikmaya yang merupakan sesosok dewa seperti yang diungkap di dalam novel berikut ini: “Manikmaya cerdas. Ia segera menangkap peluang. Lalu, ia hanya diam dan membiarkan pertengkaran kian meruncing. Dia malah berharap pertengkaran berkembang menjadi perkelahian. Kalau tiga saudaranya hancur, dia akan memetik keuntungan. Itulah akal busuk pertama yang dirancang cikal bakal ras wayang...” 2

Namun, saat Manikmaya ditunjuk untuk menjadi Rajadewa Tribuana, karakternya mengalami perubahan. Ia kemudian disebut dengan panggilan sang Batara Guru. Ia memiliki watak pantang menyerah. Sebelumnya, saat terjadi pertengkaran di antara dua saudaranya, ia memilih kabur dari masalah tersebut demi kepentingan pribadinya. Namun, setelah menjadi Rajadewa, Manikmaya akan berusaha menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Seperti saat menghadapi Prabu Nilarudraka, ia bersama para dewa berusaha membentuk pasukan kadewatan. Hingga lahirlah anak Batara Guru yang diberi nama Ganisya. Ia menjadi anak Batara Guru yang keenam sebagai titah Hyang Wenang untuk menjadi lawan yang setimpal bagi Prabu Nilarudraka dalam peperangan. ….Wajah Batara Guru berseri-seri. “Inilah putra ulun yang keenam. Wenang Mahajunjungan kita, hadir merestui kelahirannya. Dan, sesuai perintah Wenang, dia ulun beri nama Ganisya. Dialah lawan setimpal Prabu Nilarudaka. Terima kasih

2 Ibid., h. 292.

57

Kakang Semar, Hindra, Ganisya lahir tepat waktunya. Kini, kita mampu melawan kaum Asura tanpa ragu.”3

Selain berjiwa pelindung, Manikmaya atau Batara Guru juga merupakan sosok yang pemberani. Kecerdasan dan keberaniannya ditunjukkan saat menaklukkan berbagai jin hingga berada di bawah tampuk kekuasaannya. Andini kecewa, marah, dan mengamuk, tapi Batara Guru bisa menaklukkannya dengan Aji Kamayan. Maka, sejak itu Andini jadi tunggangan Batara Guru”4

…. Batara Guru berhasil mengalahkan mereka dengan Aji Kamayan pula. Akhirnya, si kembar raksasa menyerah.5

Selain sabar, cerdas, dan berani, Batara Guru juga bijaksana dalam mengambil keputusannya. Setelah ia mengalahkan Cingkarabala dan Balaupata, oleh Batara Guru keduanya kemudian ditugaskan menjaga pintu gerbang Selamatangkep. Hal tersebut didasarkan pada karakter asli kedua jin tersebut yaitu berhati baik dan jujur, sehingga mereka diberikan kekuasaan tersebut. Namun meski memiliki kedigdayaan serta kemuliaan posisi, Batara Guru juga digambarkan memiliki sisi negatif karena ia begitu mudah lupa diri dan tergoda oleh nafsu. Hal ini terjadi mana kala Batara Guru memaksa Umiya untuk berolah asmara di langit. Ia ingin bercumbu dengan istinya di punggung Lembu Andini, tetapi istrinya menolak. Manikmaya terus memaksa. Dewi Umiya tetap menolak. Manikmaya memeluk kian erat, menciumi leher istrinya. Gairah asmara menyala-nyala. Andini melenguh, pertanda tak menyetujui perbuatan Manikmaya, tapi raja wayang yang lupa diri dan sedang naik gairah itu seakan-akan tak peduli.6

3 Ibid., h. 320. 4 Ibid., h. 323. 5 Ibid., h. 323. 6 Ibid., h. 336.

58

Di dalam pementasan, sifat temperamen kasarnya lebih nampak. Hal ini karena didukung oleh vokalnya yang keras dan tatapannya yang tajam. Kekokohannya untuk terus melawan argumen dan mengutuk Dewi Umiya memperlihatkan bagaimana Rajadewa itu tak bisa mengendalikan emosi dan hawa nafsunya Data di atas menunjukkan bahwa Manikmaya merupakan tokoh bulat karena mengalami perubahan karakter yang terjadi atas dirinya setelah menjadi seorang Rajadewa. Posisinya sebagai raja Tiga Dunia dan konfliknya bersama para dewa membuatnya menjadi dewa dan pemimpin yang lebih bertanggung jawab.

b. Manan Manan adalah anak tertua dari empat dewa Tribuana yang lahir dalam wujud ari-ari. Manan adalah dewa yang gemar tertawa tapi pintar. Hampir setiap ucapannya dibarengi dengan tawaan sehingga tak tahu kapan ia sedang bersungguh-sungguh dan kapan bergurau. “Ah, kau selalu begitu,” kata Antaga kesal. “Tertawa melulu. Tidak tahu kapan bersungguh-sungguh, kapan bergurau. Dan, mukamu itu, selalu kelihatan mengejek.”7

Secara fisik, di dalam pementasan, Manan memiliki karakter fisik tubuh yang kecil dan pendek. Berbeda dengan ketiga dewa yang memiliki tubuh berisi dan gagah perkasa. Kemunculan pertama tokoh Manan ini bisa dilihat bahwa secara fisik, ia memiliki tubuh yang pendek. Hal ini sama dengan penggambaran yang ada di dalam novelnya karena ia jelmaan ari-ari. Saat memasuki panggung, ia

7 Ibid., h. 283.

59

berjalan sambil tertawa. Karakter tersebut persis seperti narasi yang dijelaskan pada novel dan diungkapkan oleh dalang. Manan menggunakan kostum baju dewa berwarna biru dengan celana berwarna krem. Mahkota yang digunakan seperti bentuk stupa dilapisi emas. Tubuhnya paling mungil di antara Caturdewa yang lainnya. Transformasi fisik Manan ini bisa secara jelas kita pahami dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa. Perwujudan ari- ari yang kecil menjelma menjadi sosok dewa yang bertubuh kecil pula. Aktor yang memerankan tokoh Manan ini secara fisik memang pas menggambarkan wujud dewa yang memiliki tubuh kecil di antara dewa lainnya Di dalam novel dan pementasan, sosok Manan dapat dikatakan memiliki karakter yang ceroboh. Manan seringkali melakukan beberapa hal dengan kurang pertimbangan. Hal inilah yang kemudian akan mempengaruhi takdirnya sebagai dewa di Jonggringsalaka. Saat Manan diubah wujudnya menjadi Narada oleh Hyang Tunggal dan ditugaskan sebagai Maha Patih Kahyangan, ia menjadi orang kepercayaan Batara Guru untuk menuntaskan beberapa perkara yang terjadi di Kahyangan Jonggringsalaka. Ia memiliki karakter sifat yang patuh terhadap perintah Batara Guru untuk menuntaskan masalah- masalah tersebut. Seperti ketika samudra diliputi masalah dengan munculnya raksasa rakus yang mengganggu lingkar kehidupan samudra tersebut. Akhirnya, sabda Batara Guru terucap juga. “Kakang Narada, ulun serahkan perkara ini kepada Kakang. Ulun setuju apa pun tindakan Kakang. Tapi intinya, raksasa pemangsa itu harus dihukum seberat-beratnya. Tangkap dia. Setelah itu, nasibnya ulun serahkan kepada kebijaksanaan Kakang.”8

8 Ibid., h. 367.

60

Tidak seperti karakter Manan, saat ia telah diperintah menjadi sosok Narada, sang Maha Patih Kahyangan, karakternya mengalami perubahan. Narada adalah sosok yang bijak. Masukan dan usul-usul yang diberikannya selalu bijak atas keputusan tergesa-gesa yang sering diambil oleh Batara Guru. Salah satunya adalah ketika Batara Guru berniat membunuh Kala. Batara Narada sigap untuk mencegah kejadian tersebut. Ia memberi saran yang lebih baik untuk hukuman yang harus diterima Kala. Walau bagaimanapun Kala adalah keponakannya. Narada mengangguk-angguk, “Eleketek ketekelek, hukumlah dia, Dinda. Saya dan Dinda Umarakti juga setuju. Akibat perbuatannya dia harus dihukum. Tapi bukan dengan hukuman mati. Mari kita pikirkan hukuman berat macam apa yang paling pantas dia terima. Supaya apa yang telah dia lakukan tidak dia ulangi di masa depan. Dan, kita harus didik dia agar tidak lagi bertindak membabi buta.”9

Data di atas menunjukkan bahwa Manan merupakan tokoh bulat karena mengalami perubahan karakter yang terjadi atas dirinya setelah menjadi Maha Patih Kahyangan. Posisinya sebagai penasehat Batara Guru membuatnya menjadi dewa yang lebih bijak.

c. Antaga

Antaga adalah anak kedua Hyang Tunggal yang lahir dari kulit telur. Di dalam novel, Antaga secara fisik hanya digambarkan sebatas memiliki paras tampan seperti Caturdewa lainnya. Namun, di dalam pementasan, dapat terlihat bagaimana ketampanan Antaga memiliki sebuah daya tarik tersendiri. Tubuh Antaga tidak terlalu tinggi seperti Manikmaya, tapi tetap proporsional. Saat ia memasuki panggung, ia berjalan dengan tegap penuh wibawa. Sorot matanya tajam dan serius.

9 Ibid., h. 377.

61

Melalui pembawaannya itu, kesan pertama yang ditimbulkan adalah sebuah keangkuhan. Jati diri yang ditampilkan pemeran tokoh Antaga yang angkuh dapat dilihat dari lirikan dan tatapannya yang begitu tajam, tanpa senyuman. Namun, ia tetap memiliki kharisma seorang dewa. Di dalam pementasan, tokoh Antaga menggunakan kostum berwarna oranye yang memberikan efek penuh energi. Kostum itu juga dilapisi dengan warna dan payetan emas dengan mahkota yang berwarna senada. Rambut Antaga dibuat ikal dan ia memiliki brewok pada wajahnya. Alis dan sifat matanya tebal memanjang membuat ia nampak lebih gagah dan serius. Dalam hal perwatakan, Antaga memiliki watak agak pengecut dan suka iri. Terbukti saat ia bersama dewa lainnya menemui Hyang Jengger Kinanti, ia tak berani untuk membangunkannya. Ia congkak dan selalu banyak bicara, tetapi dia ternyata pengecut. “Antaga berbisik dengan suara bergetar, “Siapa berani membangunkan Kinanti?” “Kaulah”, kata Manikmaya. “Kau kan selalu mengaku lebih tua? Jangan hanya berani bicara. Buktikan dengan tindakan.”10

Kecongkakan Antaga bisa terlihat jika dia mulai tersulut emosi. Di antara dewa lainnya, ia memang dewa yang paling cepat marah dan emosinya mudah meledak-ledak. Emosinya mudah tersulut dan sulit dikendalikan. Ismaya mengingatkan agar Antaga tidak bersikap asaran. Jika Hyang Jengger Kinanti marah, bisa gawat. “Antaga! Jaga mulutmu. Jangan bicara sembarangan. Ejekanmu bisa bikin sakit hati.”

10 Ibid., h. 285.

62

Walau begitu, Antaga adalah dewa dengan kesaktian yang hebat. Kekuatannya begitu besar dan digdaya. Ia memiliki jurus andalan, yaitu Meninju Mega. Antaga juga mampu mengubah dirinya menjadi makhluk rekaan berwujud singa; bersayap empat, bertaring, dan kuku- kukunya tajam. Perkelahian mahadahsyat. Sungguh mengerikan. Berbagai jurus pukulan dan kesaktian diuji keampuhannya. Tapi, semua bisa dipunahkan baik oleh Antaga maupun Ismaya. Langit kacau- balau. Bintang-bintang terlempar ke galaksi lain dan porak- poranda, menyebabkan sistem orbitnya pun jadi lintang pukang….11

Kehebatan tokoh Antaga bisa lebih terlihat dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa. Melalui penyuguhan animasi pada layar belakang panggung, sosok Ismaya muncul sebagai dewa yang lihai dalam mengeluarkan berbagai jurusnya saat melawan Ismaya. Ia juga memiliki sifat tidak mau mengalah dan ingin menang sendiri. Oleh karena sifat buruknya itu, Antaga akhirnya mendapat hukuman dari Hyang Tunggal karena kekuatannya digunakan untuk perbuatan yang tidak baik. Antaga telah ikut andil dalam merusak ketenteraman Margasatwaloka dan memorak-porandakan alam semesta. “Antaga, sebagai kulit telur, kau yang pertama melihat alam semesta. Kau lebh tua dari Ismaya dan Manikmaya. Wujud aslimu adalah wujudmu yang sekarang ini. Sesekali, jika dibutuhkan, kau boleh menjadi Antaga kembali. Tapi, hanya sementara waktu saja. Dan, namamu bukan lagi Antaga, melainkan Togog.”12

Namun, setelah ia berubah menjadi Togog, sosoknya yang kasar dan angkuh mulai tak nampak. Setelah ia menjadi punakawan, karakternya yang kuat dan sakti seperti memudar. Semula, saat ia masih

11 Ibid., h. 295. 12 Ibid., h. 310.

63

menjadi Antaga, ia bahkan mampu mengobrak-abrik galaksi. Akan tetapi, setelah ia berubah menjadi sosok Togog, mengalahkan jin pun ia tak mampu. Ia malah menjadi bahan olokan dan dipermainkan oleh dua anak jin. Dengan kelemahannya itu ia pun tidak memberontak karena semua sudah menjadi kehendak Wenang. “Kurang ajar”, maki Togog sambil balas menyerang. Maka terjadilah perkelahian tak seimbang. Togog dikeroyok dan jadi mainan dua jin bersaudara. Togog betul-betul kewalahan. Kesaktiannya seakan tak mampu digunakan.13

Kelemahan itu diperkuat dalam pengadeganan yang terdapat dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa. Dalam pengadeganan yang dilakukan secara slow motion, Togog nampak tak mampu untuk melawan. Ia digiring dan ditendang secara bergilir oleh dua jin tersebut hingga terjatuh kalah. Data di atas menunjukkan bahwa Antaga merupakan tokoh bulat karena mengalami perubahan karakter yang terjadi atas dirinya setelah diubah menjadi sosok wayang oleh Hyang Tunggal. Setelah perseteruan dan hukuman yang didapatkannya, ia lebih hati-hati dalam bertindak. Tak ada kecongkakan, sebab dia telah menjadi wayang, walaupun sesekali ia diperbolehkan Tunggal untuk menjadi Antaga kembali jika sewaktu-waktu diperlukan.

d. Ismaya Ismaya adalah anak Hyang Tunggal yang lahir dari putih telur. Di dalam novel, Ismaya secara fisik juga hanya digambarkan sebatas memiliki paras tampan seperti Caturdewa lainnya. Namun, di dalam pementasan, kita bisa melihat wujud fisik nyata yang dihadirkan oleh sutradara sebagai bentuk transformasi terhadap tokoh yang ia

13 Ibid., h. 328.

64

interpretasikan. Saat tokoh Ismaya masuk ke dalam panggung, kita bisa melihat fisik tubuhnya yang tidak terlalu tinggi seperti Manikmaya, tetapi setara dengan Antaga. Saat memasuki panggung, tokoh Ismaya cukup santai, dengan wajah yang tenang. Kostum yang digunakan tokoh Ismaya berwarna kuning keemasan dengan mahkota berwarna senada. Warna kostum yang dipilih untuk tokoh Ismaya tersebut mengasosiasikan bahwa dirinya adalah tokoh yang optimistis dan menyenangkan. Rambutnya pun pirang keemasan dengan panjang sebahu. Make up pada wajah Ismaya tidak setebal Antaga yang terkesan angkuh. Ismaya nampak lebih simpel sehingga menimbulkan efek bahwa ia adalah sosok yang sederhana dan bersahaja. Selain itu, Ismaya adalah dewa yang berani. Ia lebih pemberani dibanding dengan dewa yang lain. Ia juga pandai bermuja semadi sebelum melakukan suatu tindakan. Ketika ia dan para dewa pergi ke kawasan Margasatwaloka untuk menemui Hyang Jengger Kinanti, hanya Semar yang mau mengajukan diri dengan keberaniannya untuk membangunkan sang Biang Ayam raksasa itu. Ismaya tersenyum mencemooh. “Ya sudah. Kalau kalian tidak berani, biar aku yang membangunkan.” Lalu dia duduk, memejamkan mata, memuja semadi. Perlahan dia mendendangkan selarik kata yang liris, suaranya merdu. 14

Ismaya sebenarnya memiliki sifat yang rendah hati, hanya saja kadang mudah terhasut. Dengan sifat rendah hatinya, ia rela mengalah kepada dewa lainnya, seperti kepada Antaga untuk menyelesaikan perkara “Siapa yang lebih tua”. “……Kalau kau mengaku paling tua, ya, silakan ambil sebutan itu. Peduli apa. Aku tak keberatan memanggil kau kangmas. Muda atau tua, paling berharga atau paling tidak berharga, tak

14 Ibid., h. 285.

65

akan punya guna kalau hati tidak bersih. Dan, kalau gara-gara urut tua, takhta Raja Tiga Dunia jadi imbalannya, ya silakan juga. Ambil! Duduklah di takhta dengan tenang. Aku rela. Daripada berkelahi sesama saudara, lebih baik aku menjauhi urusan semacam itu. Bagaimana? Kita baikan? Dan Pulang?”15

Ismaya juga memiliki karakter yang tak kalah hebatnya dari Antaga. Ia mempunyai jurus andalan yaitu Membakar Langit dan Akar Jagat yang membuatnya kokoh tak tergoyahkan. Ia mampu mengubah dirinya menjadi makhluk rekaan, seekor burung besar yang seluruh bulunya berupa pisau-pisau yang amat tajam. Namun, Ismaya juga memiliki sifat sombong dan mudah terhasut. Hal itu membutanya ikut andil merusak tatanan alam semesta. Walau hanya mengikuti keinginan Antaga, ia tetap bersalah karena tak berhasil mengendalikan hawa nafsunya. Sebagai dewa, hal itu seharusnya tidak boleh dilakukan. Atas tindakannya yang buruk itu, Ismaya pun dijatuhi hukuman oleh Hyang Tunggal. “Ulun tahu, kau melakukan penghancuran hanya karena ingin mengikuti kemauan Antaga. Tapi, bagaimanapun, kau sudah dikuasai hawa nafsu dan kesombongan. Wujud aslimu, yang sekarang ini. Tapi, jika dibutuhkan, sewaktu-waktu kau bisa berubah menjadi Ismaya kembali. Dan, namamu bukan lagi Ismaya, melainkan Semar.”16

Walaupun telah berubah menjadi Semar, Ismaya tetap memiliki pikiran yang cerdik dan pemberani. Namun, kecerdikan dan kehebatannya ia gunakan untuk hal-hal yang baik. Ia sering kali membantu Manikmaya memecahkan masalah rumit yang harus dihadapi. Saat Kahyangan Jonggringsalaka mendapat goncangan karena harus berperang dengan pasukan Asura, Ismaya mampu menggunakan

15 Ibid., h. 297. 16 Ibid., h. 311.

66

kecerdikannya untuk membantu mencari jalan keluar dalam sidang darurat para dewa. Akan tetapi, dalam sidang darurat para dewa, Semar atau Ismaya mengusulkan jalan keluar. “Kita minta kepada Hyang Welohipuko agar melahirkan gajah dan kuda yang juga bisa terbang, sebagai tandingan pasukan gajah Glugurtinular. Kita tiru wujud jin gajah mereka, tapi dengan tambahan penampilan yang lebih seram. Tubuh lebih besar, gadung lebih panjang dan lebih tajam, kulit berbulu dengan kedua mata menyala-nyala. Kita rekrut Ananda Hindra sebagai panglima perang pasukan Kahyangan. Ananda Wisnu, sebagai pendamping, memimpin pasukan kuda. Dan, Ananda Brama memimpin bala tentara kadewatan yang akan segera ulun cipta dari dari batu-batu karang Kahyangan.”17

Sebagai Semar, karakternya berubah dan terlihat menjadi sosok yang arif. Segala ucapannya dipenuhi petuah. Sosoknya yang telah menjadi panakawan mengubahnya menjadi wayang yang arif, menggantikan sifat congkaknya sebagai dewa. Apalagi ia telah menimba tangungjawab yang diberikan Tunggal untuk membimbing jiwa kaum kanan dan mengabdi pada raja-raja di Marcapada. Sama seperti Antaga, Ismaya yang telah menjadi Semar pun menggunakan kehebatannya untuk kebaikan, membantu Batara Guru dalam menyelesaikan perkara yang melanda Kahyangan Jonggringsalaka. Kearifan Ismaya itu lebih terlihat di dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa. Pembawaan sosok Semar di atas panggung mencerminkan karakter seorang Bapak. Ia cerminan karakter orang tua yang selalu memberikan nasihat kepada anak dan saudaranya, tak terkecuali Batara Guru, sang Rajadewa sekaligus adiknya sendiri. Data di atas menunjukkan bahwa Semar merupakan tokoh bulat karena mengalami perubahan karakter yang terjadi atas dirinya setelah

17 Ibid., h. 315-316.

67

diubah menjadi sosok wayang oleh Hyang Tunggal. Setelah perseteruan dan hukuman yang didapatkannya, ia menjadi lebih bijak. Kecerdikannya tetap ada, tetapi hanya digunakan untuk hal-hal yang baik. e. Dewi Umiya Dewi Umiya adalah penjelmaan ari-ari Dewi Rekatawati istri Hyang Tunggal. Dia adalah sosok yang tekun dalam bertapa. Ia ingin mengubah wujud rakseksinya menjadi bidadari, untuk itu dia tak gentar bertapa memohon kepada alam semesta agar wujudnya berubah menjadi bidadari. Akhirnya Wenang sang Maha Junjungan mengabulkan permohonan itu. Berkat kegigihannya itu, ia pun dapat berubah menjadi bidadari. Dewi Umiya dinikahi oleh Manikmaya sebelum bergelar Batara guru. Pasangan dewa-dewi itu menurunkan tujuh dewa, yaitu Sambu, Brama, Hindra, Bayu, dan Wisnu. Kemudian lahir dua dewa dalam bentuk raksasa yaitu Ganisya dan Kala. Wujud Dewi Umiya di dalam novel digambarkan cantik dengan tubuh yang molek. Ia memiliki kulit putih mulus kemilau, dada padat dan penuh, wajahnya berseri-seri. Ia juga memiliki bibir yang indah dan mata yang bercahaya. Saat ditransformasikan ke dalam pementasan, wujud fisik yang digambarkan di dalam novel melekat pada penampilan aktor yang berperan untuk tokoh Dewi Umiya. Hal ini didukung dengan kostum berupa pakaian kebaya, mahkota berhias permata dan perhiasan yang ia gunakan. Dengan kostum yang ia kenakan, Umiya bukan hanya cantik, melainkan ia juga menimbulkan kesan yang glamour. Senyumnya yang lebar dan hangat juga membuat ia terlihat hangat dan bersahaja.

68

Dewi Umiya dianugerahi watak penyabar dan berperasaan halus. Hanya saja, ia dapat berubah menjadi wanita yang kokoh dan teguh pendirian. Ia adalah wanita yang bermartabat, yang berani mengatakan "tidak" kepada suaminya sang Rajadewa. Ia berani memberontak jika memang ia percaya bahwa itu untuk sesuatu hal yang lebih baik.

“Tidak, Kanda,” jawabnya tegas. “Hubungan suami istri harus dilakukan berdasar kerelaan, suka sama suka. Saling mencinta. Bukan akibat pemaksaan, apalagi dilakukan hanya karena kewajiban. Istri akan patuh, jika suami penuh cinta. Suami harus senantiasa berupaya memiliki tubuh dan jiwa istrinya …. Apabila suami hanya mampu memiliki tubuh istrinya, maka hubungan suami istri berakhir sudah. Sebab, yang dimiliki suami Cuma boneka belaka, bukan tubuh dan jiwa yang hidup. Kanda tak berhak memaksa istri. Kanda wajib menghargai istri, sebab istri adalah perempuan mandiri yang memiliki tubuh, jika, juga kehendak pribadi.”18

Dewi Umiya juga dianugerahi kata-kata yang titis (tajam) dan maladi (ampuh). Segala ucapannya bisa terwujud jika memang dikehendaki oleh Wenang. Pengaruh setan-setan Jagat madyapada terlanjur memasuki kalbu Manikmaya. Ia malah mengancam Umiya. Umiya sedih, dengan penuh rasa prihatin, ia menatap suaminya. Seketika Umiya tak menyadari mengucapkan sebuah kutukan. “Kalau begitu, Kanda tak ubahnya denawa yang tega memaksa. Hanya denawa saja yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsu,” ujar Dewi Umiya sedih.”19

Hanya saja, terdapat sebuah perbedaaan yang cukup terihat di dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa, untuk karakter tokoh Umiya. Di dalam pementasan ketika Umiya berubah menjadi rakseksi. Sosoknya yang halus dapat terlihat berubah menjadi kasar

18 Ibid., h. 337. 19 Ibid., h. 337.

69

layaknya rakseksi. Ia seakan-akan menjadi sosok dengan karakter yang sangat berbeda. Melalui perawakan, gestur, dan suaranya yang berat dan keras, menunjukkan sebuah perbedaan yang mencolok dengan karakter halus Dewi Umiya sebelumnya. Karakter kasar dan kerasnya karena berubah menjadi rakseksi bisa terlihat dalam pengadeganan yang ada di dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa. Hal itu bisa terlihat hingga pada kejadian pertukaran jiwa. Saat Umiya telah manjing dalam tubuh Gading Permoni, sosoknya yang semula nampak garang akhirnya berubah. Dengan tubuh baru, ia menampilkan jiwa Umiya yang berperasaan halus kembali. Dengan mimik wajah dan nada suara yang diucapkannya, menunjukkan bahwa sosok Umiya telah kembali. Hingga berarti dapat diketahui bahwa karakter kasar yang ada pada dirinya memanglah bawaan dari kutukan rakseksi yang jatuh padanya. Data di atas menunjukkan bahwa Dewi Umiya merupakan tokoh bulat karena mengalami perubahan karakter yang terjadi atas dirinya setelah diubah menjadi rakseksi. Perubahan karakter itu akan terjadi jika dirinya kembali menjadi sosok rakseksi. f. Gading Permoni Gading Permoni adalah putri yang sejak lama dihasratkan oleh Ratu Jin Umarantiki. Ratu Jin Umarantiki sendiri adalah penguasa Keraton Maya Merutjagat. Dulu, ia pernah berharap jadi permaisuri Rajadewa Tribuana. Namun, ketika posisi itu diisi oleh Dewi Umiya, kemarahannya meledak. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Di dalam novel, digambarkan bahwa secara fisik, Dewi Gading Permoni memiliki wujud cantik. Kecantikannya itu bahkan melebihi kecantikan seluruh apsari Kahyangan Jonggringsalaka.

70

“Mereka mengagumi kecantikan sang Dewi yang kemudian meraih sebutan ‘Yang Melengkapi 100.000 Apsari’… Dia termolek dibanding seluruh apsari Jonggringsalaka. Kecantikannya sempurna.” 20

Pada pementasannya, Dewi Gading Permoni tersebut diperankan oleh aktris cantik Sekar Dewantari. Seperti di dalam novelnya, ia hadir dalam wujud sesosok putri cantik jelita dalam balutan selubung api. Pada layar animasi itu, tubuh Dewi Gading Permoni benar-benar diwujudkan diselubungi oleh balutan api dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Namun, di atas panggung, balutan api itu hanya disimbolkan melalui mahkota dan kostum dengan balutan warna pink dan merah terang yang menyala-nyala. Kostumnya begitu ketat hingga memperlihatkan lekukan tubuhnya yang indah dan molek. Gading Permoni memiliki sifat yang gigih. Ia akan melakukan segala cara untuk mewujudkan kehendaknya untuk menjadi permaisuri Rajadewa. Berkat kegigihannya dalam bertapa, keinginan Ratu Jin Umarantiki terwujud dengan lahirnya putri cantik jelita yang tercipta dari bunga meranti, ia bernama Gading Permoni. Gadis itulah yang akan menjadi permaisuri sang Rajadewa. Gading Permoni adalah wujud cantik yang melebihi kecantikan tujuh bidadari Kahyangan. Namun, wataknya jauh berbeda dari kecantikan parasnya tersebut. Walau parasnya begitu cantik, jiwanya tetaplah jiwa sang Ratu Jin Umarantiki. Sifatnya sama, karena sang Ratulah yang menggerakkan tubuh dan jiwa tersebut. Gading Permoni memiliki sifat iri, dengki, dan pendendam. Ia sangat murka dan benci kepada Dewi Umiya, sang permaisuri Batara Guru. Kedengkiannya telah lama ia pendam. Akan tetapi rasa iri benci

20 Ibid., h. 359.

71

itu diupayakan sekuatnya agar tidak meledak sebagai ekspresi marah atau kekecewaan di hadapan Batara Guru. Dewi Gading Permoni terpaksa mengangguk. Sesunguhnya, dia tak rela harus meminta izin pesaingnya. Tapi, apa daya. “Tak apa. Sebentar lagi, saya akan menggantikan kedudukannya. Hal- hal lain bisa diatur kemudian. Semua aturan, harus menguntungkan kedudukan saya,” ujarnya dalam hati.21

Dewi Gading Permoni tetaplah memiliki sifat buruk karena diisi jiwa Ratu Jin Umarantiki. Tubuh semolek dan wajah secantik itu tak bisa dimungkiri, ternyata memiliki jiwa jahat. Selain itu, Permoni juga memiliki sifat cemburu yang besar. Jauh di dalam hati Gading Permoni, terdapat kobaran api cemburu terhadap Dewi Umiya. “Bagaimana bisa dia masih mencintai rakseksi jelek itu? Tanya Gading Permoni dalam hati. Sama sekali tak rugi mengabaikan keinginan Tunggal, meninggalkan Umiya dan menikahi saya. Dalam segala hal, saya jauh lebih unggul. Kecemburuan, iri hati, dan dengki makin merajalela dalam kalbu.”22

Karakter jahat tokoh Gading Permoni dapat lebih jelas tergambarkan melalui pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa. Dalam monolognya di atas panggunag, Gading Permoni mengungkapkan segala isi hatinya dengan penuh amarah dan kebencian. Ia berteriak, menggeram dan mengumpat. Wajahnya dipenuhi rasa amarah yang berkecamuk. Apalagi ditambah dengan penggunaan kostum yang memudahkannya untuk menggeliat. Ia begitu beringas, nada bicaranya tinggi dan kasar, sangat berbeda ketika ia berbicara langsung kepada Batara Guru. Posisinya yang semula terduduk berubah menjadi berdiri dengan mengangkat satu kakinya ke kursi singgasananya dan menatap para penonton dengan kebencian.

21 Ibid., h. 354. 22 Ibid., h. 357.

72

Hingga pada saat pertukaran jiwa, ketika ia menguasai tubuh Umiya, jiwanya tetaplah penuh tipu muslihat dan kebencian. Ia bersedia melakukan pertukaran jiwa hanya karena ingin mengambil keuntungan dari perjanjiannya dengan sang Batara Guru. Data di atas menunjukkan tokoh Gading Permoni memiliki watak datar (flat atau simple character), yaitu tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi. Mulai awal hingga akhir cerita, wataknya tidak mengalami perubahan. Gading Permoni tetaplah ratu jin yang jahat dan licik.

g. Idajil Idajil dicipta bersamaan dengan penciptaan Hyang Tunggal. Idajil adalah satu panca-apsara. Kelima apsari itu diberi jabatan sebagai penghulu seluruh apsara-apsari Mayapada. Dua apsara pertama dicipta dari cahaya, yaitu Ikrail dan Ibrail. Dua apsara lagi dicipta dari api, yaitu Ibail dan Ijadil. Idajil adalah apsara kelima yang dianggap paling sempurna karena dicipta dari inti cahaya dan saripati api, Idajil memiliki kemampuan istimewa yaitu mampu melahirkan setan dan jin yang kuat dan berkuasa. Akan tetapi, Idajil punya kemampuan istimewa. Dia melahirkan setan dan jin pilihan, yang merajai sebagian kaum Asura. Paling sakti adalah Nilarudraka, berkuasa di Planet Glugurtinular.23

Sosok Idajil yang menyeramkan dan jahat tergambarkan melalui visuaslisasi di atas panggung pementasan Mahabarata: Asmara Rajadewa. Di dalam novel, tidak dijelaskan bagaimana rupa dari sosok Idajil. Namun, pada pementasannya, nampak bagaimana sosok itu memiliki penampilan fisik yang cukup menyeramkan. Ia memiliki

23 Ibid., h. 274.

73

tanduk, tubuhnya berbulu dan bersisik, rambutnya berantakan, giginya tajam, wajahnya menakutkan, kuku-kukunya besar dan tajam, serta memiliki sayap berbulu di punggungnya. Tubuhnya tinggi dan cukup besar. Ia terlihat seram, kuat, dan perkasa dengan balutan kostum yang menampilkan sosok Idajil

Idajil berwatak sombong, dan jahat. Ia merasa dirinya sempurna karena dicipta dari inti cahaya dan saripati api. Untuk itu ia merasa layak untuk menduduk takhta Tiga Dunia. Idajil bersama pengiutnya, yakni kaum Asura kemudian melakukan pemberontakan karena menganggap pengangkatan Hyang Tunggal sebagai pemimpin Tribuana adalah salah besar. Idajil juga memiliki sifat yang licik. Para pengikutnya, yaitu Ibail dan Ijadil mampu dikalahkan oleh Ikrail dan Ibrail dan dijebloskan ke neraka. Idajil pun mampu dikalahkan oleh Hyang Tunggal dalam pertempuran dahsyat tersebut. Disaat ia mengalami kekalahan atas pertempuran dahsyat yang terjadi, Idajil mengajukan perjanjian yang menguntungkan baginya. Itulah akal bulus dan kelicikan yang akan menguntungkan Idajil. Tapi, perjanjian yang kemudian dipatok, jika dilihat sepintas, sangat menguntungkan Idajil. Antara lain, mereka diizinkan menguasai neraka, boleh berkembang biak sebanyak jumlah ras wayang yang dilahirkan, merdeka bertindak apa saja asal di planet buangan, dan bebas pula menggoda ras wayang agar melawan Wenang. 24

Dalam kekalahan itu, tubuh halus Idajil harus dibelenggu dalam pembuangan. Namun, tetap saja para pengikutnya telah menyebar ke segala sudut kawasan Tiga Dunia dan akan melaksanakan tugas dari Idajil berdasarkan perjanjian yang telah disepakati. Idajil masih bisa

24 Ibid., h. 273.

74

mengontrol dan menghasut kejahatan wayang dari para pengikutnya yang telah menyebar tersebut. Sungguh akal bulus Idajil itu amat busuk dan jahat. Data di atas menunjukkan tokoh Idajil memiliki watak datar karena wataknya tidak mengalami perubahan. Ia tetap memiliki karakter yang jahat dan licik. Hingga saat telah dibelenggu pun jiwa jahatnya masih dapat merasuki para pengkutnya yang telah menyebar ke segala penjuru.

3. Latar Latar tempat dalam novel Mahabarata Jawa dan pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa, secara keseluruhan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hanya saja, latar tempat pada pementasan lebih jelas digambarkan karena ditampilkan melalui visualisasi layar panggung. Secara keseluruhan, keduanya menunjukkan latar tempat berada pada Tribuana, yakni Mayapada, Madyapada, dan Marcapada. Latar tempat dalam novel Mahabarata Jawa ini disajikan cukup mendetail untuk beberapa lokasi. Hanya saja, beberapa kali rincian latar tempat hanya disebutkan tanpa perincian karena hanya dicantumkan untuk menunjukkan peristiwa berlokasi di mana. Hal tersebut yang menyulitkan pembaca untuk membangun imajinasinya terkait di mana lokasi peristiwa itu terjadi. Berikut kutipan yang memperlihatkan bahwa beberapa latar tempat pada novel hanya berupa pencantuman nama suatu daerah atau nama kerajaan. Dan, di sebuah kamar bangunan kaputren, putri jelita dalam selubung api tampak duduk, menatap bercermin. Senyum mengembang. Dia membenahi rambut dengan jari-jemari sambil menyanyi. Suaranya merdu.25

25 Ibid., h. 350.

75

“Ismaya terbang lebih jauh lagi, Kecepatannya luar biasa. Dia membikin tubuhnya sebesar bintang bercahaya. Kini dia ada di antariksa gung-liwang-liwung.26

Dari dua kutipan di atas, dapat diketahui bahwa peristiwa yang berlaku berada di “kamar kaputren” dan di “antariksa gung-liwang- liwung”. Dengan menyebutkan nama tempat, pembaca diminta untuk menelaah atau mengira-ngira sendiri bagaimana bentuk, kondisi, dan gambaran tempat yang ada dalam cerita tersebut. Untuk pembaca yang awam tentang kisah Mahabarata seperti ini pasti akan sulit mendapat gambaran tentang latar tempat yang disebutkan tersebut karena tidak ada deskripsi yang membangun sebuah gambaran atau bayangan di benak pembaca. Kemudian, sebagian besar peristiwa yang terjadi di novel pada bagian Tiga Dunia, bertempat di Kahyangan Jonggringsalaka, tetapi penjelasan mengenai keindahan baik dari segi bangunan istana, kamar- kamar, atau pun tempat lain juga dijelaskan secara kurang mendetail. Hanya, dideskripsikan secara sepintas mengenai kenampakan alam yang ada di Kahyangan Jonggringsalaka seperti berikut ini. Kahyangan Jonggringsalaka memiliki taman sari indah bernama Megadewa, yang kini dihiasi serratus patung gajah. Sebuah “api pencucian”, tempat persinggahan sementara roh wayang sebelum masuk surga, disebut Kawah Candradimuka. Lumpur penyiksaan disebut Lendut Blegedapa. Titian menuju surge disebut Wot Ogal- Agil, dan jurang di bawahnya disebut Bukur Pengarib-arib.27

Akan tetapi, terdapat pula beberapa pendeskripsian latar tempat yang cukup detail. Deskripsi latar tempat secara detail menjadi penting dalam novel Mahabarata Jawa. Hal ini karena latar cerita yang ada bukan seperti keadaan yang dekat dengan pengetahuan pembaca.

26 Ibid., h. 293. 27 Ibid., h. 321.

76

Di bangunan yang disebut Aula Relastaretrya itu, hanya ada Dewi Umiya, Gading Permoni, dan Batara Guru. Ruang Aula amat sangat luas. Platfonnya tinggi-tinggi, dindingnya Kristal bercahaya setebal satu langkah kaki wayang, tiang-tiang penyangga terdiri dari batu- batu hitam, atapnya baja tipis yang berkilau , dan lantainya marmer hitam kinclong yang bening. Tak ada pintu, jendela, ataupun ventilasi.28 Akan tetapi, perjalanan kemudian berbelok, menembus jagat Madyapada. Keindahan seketika berubah jadi suasana yang mustahil. Nyala api di mana-mana. Udara sangat panas dan hawanya pun bacin. Lahar meluap dari puncak-puncak gunung maya, meleleh, mengalir, merendam dataran rendah, membakar apa saja yang diterjangnya. Lumpur panas menyembur-nyembur. Bola- bola api terbang melayang-layang di angkasa. Begitu saling membentur, menggelegar bunyinya.29

Kutipan pertama menggambarkan bentuk ruang Aula Relastaretrya. Aula Relastaretrya tersebut digunakan untuk upacara ritual tukar jiwa antara Dewi Umiya dan Gading Permoni. Kutipan kedua mendeskripsikan mengenai kondisi dan situasi yang ada di dalam jagat Madyapada. Jagat Madyapada dideskripsikan dengan cukup detail dengan situasi dan kondisi latar yang ada sehingga membangun unsur peristiwa yang terjadi dan bisa dibayangkan oleh pembaca secara jelas. Terdapat juga peristiwa di dalam novel yang tidak menunjukkan latar tempat. Peristiwa yang ada tidak menunjukkan di mana kejadian sedang berlangsung. Berbagai godaan mampu ditepis, sehingga oleh tapa Andini berhasil membikin goncang Kahyangan Jonggringsalaka. Kawah Candradimuka bergejolak. Maka, Batara Guru segera menggelar rapat para dewa.30

Namun, di dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa, latar-latar yang semula tidak dijelaskan ataupun hanya disebutkan secara

28 Ibid., h. 362. 29 Ibid., h. 334. 30 Ibid., h. 322.

77

samar di dalam novel, kemudian diwujudkan melalui visualisasi animasi pada layar panggung. Semua adegan disertai dengan visualisasi latar yang ditampilkan melalui layar depan maupun belakang panggung. Hal-hal yang tidak digambarkan di dalam novel menjadi jelas, sehingga dapat lebih membangun suasana cerita yang disajikan sutradara. Penonton pada akhirnya memiliki persepsi yang sama dalam hal membangun imajinasi latar karena disertai visualisasi secara jelas mengenai bagaimana rupa dan keadaan di mana adegan demi adegan itu berlangsung. Adanya visualisasi latar pada pementasan menjadi sesuatu yang sangat mendukung dalam membangun suasana cerita, baik itu menarik kesan maupun emosi penonton. Misalnya pada pada babak I, adegan V yang memperlihatkan sebuah tempat berupa kandang ayam raksasa milik Hyang Jengger Kinanti yang menetap di Margasatwaloka. Latar adegan ini merupakan latar yang menunjukkan peristiwa yang memicu konflik awal antara para dewa ketika mereka berdebat mengenai “mana yang lebih dulu ada? Hyang Jengger Kinanti atau telur emas?” Melalui dialog dari Hyang Jengger Kinanti dapat diketahui bahwa kandang tersebut berada di kawasan Margasatwaloka. Melalui layar animasi bagian belakang, kita bisa melihat kandang besar dengan jeruji-jeruji besi yang megah. Namun, dari dalam kandang yang nampak hanya kaki ayam raksasa milik Hyang Jengger Kinanti. Hal tersebut melambangkan bahwa memang kandang tersebut sangat besar karena diisi oleh ayam yang besar pula. Beberapa kali diperlihatkan pula latar berupa angkasa raya. Latar angkasa raya dapat terlihat pada babak I adegan V, latar kemudian berganti dengan mengubah visualisasi animasi dan masuknya sebuah properti panggung yang besar. Melalui layar animasi bagian depan, diperlihatkan gambaran perkelahian di angkasa antara Antaga dan Ismaya. Gugusan planet, bintang, meteor, dan tabrakan antra planet diperlihatkan dengan menakjubkan. Suasana yang diciptakan melalui adegan perkelahian di

78

angakasa tersebut menununjukkan ketegangan, tetapi menghibur karena dibuat lebih filmis dengan bantuan multimedia. Kemudian juga saat Batara Guru dan Dewi Umiya bertamasya menunggangi lembu Andini pada babak II adegan XIII. Melalui layar animasi bagian belakang, diperlihatkan animasi angkasa yang dipenuhi planet dan bintang-bintang nan indah. Adegan ini tidak dilengkapi oleh set properti panggung apapun untuk mendeskripsikan latar. Ruang panggung yang lebar dan layar animasi yang ditampilkan sudah cukup menggambarkan latar keberadaan dewa-dewi itu. Apalagi ditambah lirik lagu yang dinyanyikan oleh kedua sejoli yang menunjukkan bahwa keduanya sedang berada di angkasa raya yang dipenuhi bintang gemintang dan melintasi galaksi yang bercahaya. Melalui pengadeganan, kita dapat merasakan bahwa suasana yang diciptakan begitu syahdu dan mesra. Latar-latar yang menunjukkan efek panas, menyeramkan, dan jauh dari kata indah juga terdapat dalam pementasan ini khususnya di Madyapada. Kita bisa melihat kawasan Madyapada yang dipenuhi oleh api yang menyala-nyala dan lahar panas. Kawasan tempat hunian setan, jin, siluman, dan makhluk halus yang berbuat nista. Latar ini juga diperlihatkan pada babak II adegan XIII. Dengan mengganti visual animasi, sutradara bisa menampilkan latar baru dengan cepat. Adegan ini terjadi saat Batara Guru dan Umiya berpindah tempat wisata dari angkasa raya menuju kawasan Madyapada. Sesampainya di Madyapada yang ditandai dengan berubahnya layar animasi bagian belakang yang semula memperlihatkan keindahahan galaksi berwarna biru nan indah, berubah menjadi api yang menyala-nyala dengan dominasi warna merah dan oranye yang menibulkan efek panas dan gerah. Melalui dialog Batara Guru dan mimik wajah Umiya yang ketakutan, dapat diketahui bahwa kawasan itu adalah tempat kejahatan bersarang dan perbuatan tercela terjadi. Jadi latar tersebut cukup menggambarkan

79

bagaimana tempat yang panas, bacin, dan membakar itu adalah suatu kawasan sebagai tempat hunian yang buruk. Tempat pembuangan Idajil, Negeri jin Mercukilan dan Mercukali serta kerajaan Jin Ratu Umarantiki juga diperlihatkan sebagai latar yang memiliki hawa panas. Tokoh-tokoh berwatak jahat seperti mereka bertempat dikawasan hunian dan kerajaan yang dipenuhi oleh api yang bergejolak dan lahar panas yang ditampilkan melalui layar animasi bagian belakang. Suasana yang ditimbulkan adalah gerah, panas, dan tak nyaman. Bisa dibayangkan tempat penuh api dan lahar seperti itu dijadikan sebagai tempat hunian yang jauh dari kesan indah dan nyaman. Api dalam latar tersebut menjadi suatu lambang hawa nafsu dan keinginan yang membara. Hal tersebut sangat cocok dengan watak Idajil, Jin Ratu Umarantiki, Mercukilan dan Mercukali yang sifatnya penuh nafsu, amarah, kedengkian dan keinginan membara untuk menjadi pemimpin Tribuana. Latar yang ditampilkan bukan hanya mendukung alur yang berjalan, melainkan juga mendukung aspek penokohan dari tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya. Latar yang ditampilkan berikutnya adalah Marcapada ada babak II, adegan XXI, yang memperlihatkan visual lautan tempat raksasa rakus yaitu Kala diserang oleh pasukan dewa karena memangsa begitu banyak makhluk laut sehingga terjadi ketidakseimbangan ekosistem. Melalui layar bagian depan, diperlihatkan animasi laut yang diisi oleh ikan-ikan. Di balik layar tersebut, Kala seolah-olah sibuk memangsa ikan-ikan tersebut. Saat ia sedang sibuk memangsa makanannya, para dewa langsung menyerbunya secara bersama-sama. Adegan menyerang Kala yang dilakukan oleh para dewa pun menandakan bahwa mereka sembari berenang di bawah laut. Jadi, layar animasi dan akting para pemainnya saling mendukung untuk memperlihatkan bahwa latar yang sedang berlangsung adalah berada di bawah laut.

80

Secara keseluruhan, latar yang ditampilkan sutradara di dalam pementasan masih setia pada hipogramnya, yakni latar yang ada di dalam novel Mahabarata Jawa. Hanya saja, di dalam pementasan, latar menjadi lebih jelas karena divisualisasikan dengan bantuan animasi multimedia yang menampakkan potret secara jelas. Selain itu, beberapa latar yang dideskripsikan dalam novel juga tervisualisasi menjadi lebih detail. Penonton memiliki satu gambaran yang sama dengan pikiran sutradara, sehingga penonton lebih mudah memahami situasi latar cerita yang berlangsung di atas panggung.

4. Alur Baik novel Mahabarata Jawa maupun pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa memiliki alur yang sama yaitu berupa episode-episode. Dalam pementasan Mahabarata Asmara Raja Dewa, hanya mengadaptasi bagian kitab satu Tiga Dunia. Pada bagian kitab Tiga Dunia pun hanya dua episode novel yang diambil, yaitu episode satu Dari Yang Kosong dan episode dua Manikmaya yang dimulai dari halaman 251 hingga 382. Dua episode itu dibagi atau dipisahkan dalam dua babak pementasan yang masing-masing berdurasi kurang lebih dua jam. Dalam pementasan, tahapan-tahapan dalam setiap episode ditandai dengan padamnya lampu atau perubahan lampu panggung, diikuti perubahan set latar atau pun tokoh yang beradegan di atas panggung. Episode pertama, yakni Dari Yang Kosong, memiliki sepuluh tahapan peristiwa yang dibagi menjadi: 1) Dari Yang Kosong; 2) Sang Hyang Wenang, Semesta; 3) Peperangan Pertama, Jonggringsalaka; 4) Sebuah Telor, Istana Hyang Tunggal; 5) Jengger Kinanti, Margasatwaloka; 6) Perintah di Istana Hyang Tunggal; 7) Melamar Bidadari, Kurungan Idajil; 8) Kejayaan Jonggringsalaka, Istana Batara

81

Guru; 9) Pasukan Kadewatan, Istana Batara Guru; dan 10) Perang Kedua, Istana Batara Guru. Kemudian, pada episode kedua, yaitu Manikmaya, memiliki lima belas tahapan peristiwa yang dibagi menjadi: 1) Raja Dewa Tribuana; 2) Anak-anak Semar, Istana Batara Guru; 3) Dewi Umiya, Semesta; 4) Petunjuk Hyang Tunggal, Tempat Semedi (Pengampunan); 5) Dewi Umiya Menerima, Kamar Umiya; 6) Senandung; 7) Gading Permoni, Jonggringsalaka; 8) Ratu Jin Umarantiki, Merumaha; 9) Perpindahan Jiwa, Jonggringsalaka; 10) Laporan Batara Baruna; 11) Remaja Raksasa, Lautan dan Pantai, 12) Gerbang Selamatangkep; 13) Kekalahan Narada, Jonggringsalaka; 14) Batara Kala, Jonggringsalaka; dan 15) Pernikahan Kala dan Gading Permoni. Pada episode 1, yaitu sebagai situasi awal, cerita dibuka dengan peristiwa 1 dan 2 yaitu pengenalan situasi asal mula penciptaan Tiga Dunia yang semula kosong oleh nyanyian koor. Kemudian disambung dengan hadirnya dalang yang bermonolog untuk menggambarkan latar belakang hadirnya kehidupan di Tiga Dunia. Peristiwa penggambaran situasi oleh dalang kemudian selesai dan masuk pada peristiwa 3 yakni pertemuan Tunggal dengan Idajil. Pertemuan ini kemudian memunculkan konflik pemberontakan Idajil karena ia tak terima atas pengangkatan Tunggal sebagai Rajadewa Tribuana. Pada saat itu terjadilah perang antara kaum Sura dengan kaum Asura yang ditampilkan melalui layar animasi belakang panggung. Kemudian Idajil ditangkap dan dibawa oleh pasukan Hyang Tunggal. Setelah penangkapan Idajil, peristiwa itu selesai dan masuklah pada peristiwa 4 dengan hadirnya tokoh seorang dewi yang bernama Dewi Rekatawati. Ia adalah istri Hyang Tunggal. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Tunggal telah berkuasa atas Tiga Dunia. Pada peristiwa ini, dikisahkan bahwa yang lahir dari rahim Dewi Rekatawati hanya sebutir

82

telur. Hingga sang Dewi terus melakukan puja-puji kepada Wenang sampai telur itu menetas menjadi empat dewa, yaitu, Antaga, Ismaya, Manikmaya, dan Manan. Pada peristiwa 5, muncul konflik perseteruan empat dewa mengenai “Siapa yang lebih tua dan berhak menduduk takhta Tiga Dunia. Perdebatan pun semakin meruncing hingga terjadi pertarungan antara Antaga dan Ismaya untuk membuktikan siapa yang lebih kuat dan pantas menjadi penguasa Tribuana. Terjadilah pertarungan antarsaudara diangkasa hingga memorak-porandakan galaksi. Konflik para dewa ini cukup panjang hingga menyebabkan keadaan yang lebih kacau, yakni perubahan tokoh Antaga dan Ismaya menjadi panakawan berwajah jelek. Hal itu disebabkan oleh adu kekuatan menelan gunung. Keduanya kemudian mendapat hukuman oleh Wenang dengan diubah wujudnya menjadi sosok dewa berwajah jelek. Peristiwa ini ditutup dengan tangisan penyesalan oleh keempat dewa tersebut. Penyesalan keempat dewa dari peristiwa 5 menjadi penyebab hadirnya peristiwa 6 yaitu pengakuan kesalahan keempat dewa di hadapan Hyang Tunggal dan Dewi Rekatawati. Mereka menghadap Hyang Tunggal untuk memohon ampunan, tetapi hukuman telah dijatuhkan. Ismaya harus berubah menjadi Semar, Antaga harus berubah menjadi togog, dan Manan harus berubah menjadi Narada yang ditugaskan sebagai Maha Patih Kahyangan. Untuk Manikmaya, walaupun dia bersalah, tapi kesalahannya terhitung paling sedikit sehingga ia yang berhak menduduki takhta Rajadewa Tribuana. Penjatuhan hukuman pada peristiwa ini akan melandasi peristiwa yang akan diceritakan berikutnya. Pada peristiwa 7, masuklah pada tokoh baru yaitu Prabu Nilarudraka yang menghadap pada Idajil untuk melaporkan bahwa lamarannya terhadap Bidadari Gagar Mayang ditolak oleh Batara Guru. Pada peristiwa ini, Idajil memerintahkan Prabu Nilarudraka untuk berperang melawan Batara Guru.

83

Kemudian, masuk pada peristiwa 8 yang mulai mengisahkan tentang permasalahaan awal yang harus dihadapi Manikmaya sebagai Rajadewa Tribuana yang baru. Masalah itu berupa seruan perang yang harus dihadapinya terhadap Prabu Nilarudraka. Sementara itu, istrinya, Dewi Umiya tengah hamil besar. Dikisahkan pada peristiwa 9 bahwa pasukan kadewatan disiapkan dengan berbagai bala bantuan untuk menghadapi perang tersebut. Hingga pada akhir episode I, peristiwa 10 menceritakan kelahiran anak Batara Guru yang keenam, bernama Ganisya. Anak itulah yang menjadi kekuatan utama dalam melakukan perang dengan pasukan Glugurtinular. Pada akhir peristiwa ini, perang hanya ditampilkan melalui layar animasi, tetapi dapat diketahui bahwa kemenangan ada pada pihak Batara Guru. Pada episode II Manikmaya, yang dimunculkan di babak II pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa, cerita difokuskan pada permasalahan-permasalahan lain yang harus dihadapi Manikmaya sebagai Rajadewa Tribuana. Pada peristiwa 1 dan 2 di episode II, muncul tokoh baru berwujud jin yaitu Mercukilan dan Mercukali yang berniat untuk menyerang Rajadewa di Jonggringsalaka. Sebelum bertemu Batara Guru, keduanya berhadapan dengan Antaga yang sudah menjadi Togog. Namun, Togog mampu ditaklukkan. Kemudian muncul Semar dan kedua jin tersebut berhasil ditaklukkan oleh Ismaya yang sudah berwujud menjadi Semar. Di episode II ini, tokoh Ismaya telah sepenuhnya berubah menjadi Semar, dengan wujud dan watak yang berbeda. Peristiwa ini diakhiri dengan diangkatnya kedua jin tersebut menjadi anak sekaligus pengikut Semar yang bernama Gareng dan Petruk. Pada peristiwa 3, kembali lagi pada tokoh Manikmaya sebagai Rajadewa Tribuana. Awal mula peristiwa 3 ini adalah kebahagiaan Batara Guru bersama Dewi Umiya yang sedang bertamasya di angkasa dengan

84

lembu Andini. Namun, permasalahan kembali muncul yang diakibatkan oleh hasrat Batara Guru yang tidak bisa dibendung. Di angkasa, ia tak bisa menahan hawa nafsunya terhadap Dewi Umiya, tetapi istrinya terus menolak untuk berolah asmara. Konflik ini cukup intens hingga klimaksnya, Batara Guru mengutuk istrinya sendiri menjadi Rakseksi. Begitupun sebaliknya, Umiya mengucap kutuk pula kepada Batara Guru hingga berubah menjadi Denawa. Peristiwa ini selesai dengan Dewi Umiya yang tak sadarkan diri akibat terkena Aji Kamayan Batara Guru. Peristiwa 3 tersebut memicu terjadinya peristiwa 4 berupa penyesalan Batara Guru dengan meminta ampun dan petunjuk dari Hyang Wenang dan Hyang Tunggal. Kemudian pada peristiwa 5, ia datang menghadap sang istri yang telah berubah wujud menjadi rakseksi. Rajadewa itu mengungkapkan penyesalan dan permohonan maaf kepada istri yang dicintainya. Permasalahan hawa nafsu yang terjadi pada Batara Guru kemudian memunculkan tokoh baru sebagai jalan dalam penyelesaian masalah yang terjadi. Pada peristiwa 6 hingga 9, memuat runtutan penyelesaian kisah dari peristiwa kutukan sebelumnya. Pada peristiwa 6, digambarkan muncul tokoh sosok putri jelita yang melayang di angkasa. Putri itu mengganggu ketentraman Jonggringsalaka. Namun, para dewa gagal menangkapnya. Peristiwa 7 menggambarkan usaha Batara Guru untuk menangkap putri jelita tersebut yang bernama Gading Permon. Kemudian, peristiwa 8 mengungkapkan bagaimana Gading Permoni dapat tertangkap dan menjadi takdir sebagai permaisuri Rajadewa. Peristiwa 9 merupakan puncak ketegangan. Pada peristiwa ini terjadi upacara Relastaretrya, yaitu upacara pertukaran jiwa. Sebab, hanya tubuh Gading Permoni yang dijadikan permaisuri, sedang jiwanya dihuni oleh jiwa Umiya yang manjing dalam tubuh tersebut. Peristiwa ini diakhiri dengan

85

kembalinya Umiya dengan nama Dewi Umarakti. Ia telah menguasai tubuh Gading Permoni dan tetap menjadi permaisuri Rajadewa. Selanjutnya, pada peristiwa 10, muncul tokoh baru yakni Batara Baruna yang melaporkan masalah baru kepada Rajadewa. Masalah itu dipicu oleh sosok raksasa rakus yang banyak memangsa makhluk laut di Samudra Jawa. Kejadian itu ditindak lanjuti pada peristiwa 11, yaitu penyerbuan raksasa oleh pasukan dewa yang dipimpin Narada. Namun, mereka gagal dan kabur kembali ke Kahyangan. Pada peristiwa 12, memperlihatkan bahwa raksasa rakus itu memasuki kawasan Kahyangan, mengikuti para dewa yang kabur. Kemudian, karena kegagalannya menyerang raksasa, pada peristiwa 13, Narada menghadap Batara Guru untuk melaporkan kegagalannya tersebut. Memasuki peristiwa 14 yang merupakan puncak dari permasalahan ini, dapat diketahui raksasa itu ternyata adalah anak dari Batara Guru yang berasal dari kama salahnya. Namun, raksasa itu tak percaya dan menantang kesaktiannya. Namun, raksasa itu mampu dikalahkan Batara Guru menggunakan Aji Kamayan dan tidak bisa berkutik. Ia pun mendapat pengampunan dari Batara Guru dan diberi nama Kala. Episode II dibabak II pementasan ini kemudian diakhiri dengan peristiwa 25 yang mengisahkan pernikahan Batara Kala dengan Gading Permoni.

86

B. Transformasi Tokoh Novel Mahabarata Jawa Karya N. Riantiarno ke dalam Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa Karya N. Riantiarno

Adanya tokoh dalam sebuah cerita, baik dalam novel, film, maupun pementasan drama, merupakan elemen yang sangat penting. Dalam pementasan drama, peran aktor yang memainkan karakter tokoh menjadi sangat penting untuk menghidupkan lakon yang diperankan. Aktor yang bermain di atas panggung harus bisa memproyeksikan dirinya pada tokoh. Artinya, seorang aktor harus memiliki kemampuan untuk masuk ke dalam situasi tokoh seperti halnya situasi itu terjadi pada dirinya sendiri.31Penyesuain karakter tokoh di dalam pementasan, tentunya tak dapat terlepas dari hal teknis lainnya seperti set, properti, make up, kostum, dan lighting.

Dalam pementasan drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa, tokoh yang dimunculkan oleh sutradara sangat banyak. Secara garis besar, tokoh yang dimunculkan dalam pementasan hampir sama dengan yang ada di dalam novel. Hanya saja memang terdapat penambahan dan pengurangan tokoh yang disesuaikan sutradara. Namun, ada beberapa tokoh yang paling menonjol dalam lakon ini, yakni Manikmaya, Antaga Ismaya, Manan, Dewi Umiya, Gading Permoni, dan Idajil. Dalam hal penokohan ini, banyak perubahan dan penyesuaian yang dilakukan sutradara untuk memperkuat lakon yang ditampilkannya di atas panggung. Untuk mempermudah analisis transformasi tokoh yang terjadi pada novel Mahabarata Jawa ke dalam pementasan drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa, peneliti akan menggunakan tabel perbandingan seperti berikut:

31 Eka D. Sitorus, The Art of Acting Seni Peran untuk Teater, Film & TV, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 55.

Tabel 1

Bentuk Transformasi Fisik Tokoh dari Novel Mahabarata Jawa ke dalam Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa

Transformasi Pementasan Drama No Novel Mahabarata Jawa Fisik Tokoh Mahabarata: Asmara Raja Dewa 1. Manikmaya

(Sebagai Paras dan penampilannya Ketampanan tokoh Manikmaya divisualisasikan secara fisik Dewa) digambarkan hanya sebatas memiliki ukuran tubuh yang tinggi, bahu yang selalu tegap, dan tampan. tatapan mata yang tajam. Dengan balutan kostum dewa, baik mahkota hingga pakaiannya yang berwarna kuning emas cerah, menambah kesan kharismatik dari tokoh Manikmaya tersebut. Ia juga menggunakan selendang berwarna biru pada bahunya. Selain itu, digunakan pula properti alis tebal dan kumis berwarna oranye. Makeup yang digunakan cukup sederhana. Hanya saja, pada bagian matanya digunakan eyeliner tebal untuk mempertegas sorot matanya. (gambar 1)

87

88

(Sebagai Tidak ada penjelasan dari Terjadi perubahan penampilan setelah menjadi Rajadewa. Ia Raja Dewa) segi penampilan tokoh mengenakan kostum baju dewa berwarna oranye keemasan dan Manikmaya sebagai sepatu Aladdin berwarna emas senada bernuansa India dan Rajadewa Timur Tengah. Pada mahkotanya ditambah elemen kecil berupa tusuk konde yang diberikan Hyang Tunggal ketika menyerahkan tampuk kekuasaan. Selendangnya diganti dengan selendang tenun besar dan panjang bermotif ulos. (gambar 2)

Lengin, yaitu Batara Guru Tokoh Batara Guru yang memiliki kaki kecil diwujudkan memiliki kaki kecil. melalui akting aktor di atas panggung. Tokoh Batara Guru berjalan dengan menyeret kakinya seakan-akan ia sulit menyeimbangkan tubuh karena kakinya yang kecil. Tokoh Batara Guru memainkan perannya untuk menampilkan karakter fisiknya secara imajinatif.

Caturboja, yaitu Batara Transformasi tangan empat Batara Guru divisualisasikan dengan Guru bertangan empat. menggunakan properti yang dirancang menyerupai tangan aslinya, hanya saja terlihat sedikit lebih besar. Telapak tangannya dibalut sarung tangan berwarna emas. Kedua jari dari

89

kedua tangan tersebut menjepit senjata, sedangkan jari yang lainnya nampak terbuka. Lengan tangan itu juga dibalut dengan pakaian yang sama persis dengan yang digunakan Batara Guru, yaitu baju berwarna oranye dengan payetan emas. (gambar 2)

Nilakanta, yaitu Batara Transformasi fisik leher biru dari Batara Guru di dalam Guru berleher biru. pementasan yaitu dengan menggunakan properti kalung. Kalung yang dikenakannya pun memiliki cahaya biru yang memang didesain secara modern. (gambar 3)

Randuwana, yaitu Batara Transformasi Batara Guru memiliki taring diwujudkan dengan Guru memiliki sepasang menggunakan bantuan properti. Properti taring itu sebelumnya taring (saat menjadi telah disiapkan aktor dan disembunyikan di dalam kostumnya. Denawa) (gambar 4)

2. Manan

(Sebagai Digambarkan memiliki Perwujudan dewa tampan yang wujudnya dari ari-ari menjelma Dewa) paras yang tampan yang menjadi sosok dewa yang bertubuh kecil dan pendek. Ketika

90

wujudnya menjelma dari empat dewa itu berada dalam baris yang sejajar sangat kontras ari-ari. bisa dibedakan tokoh mana yang bernama Manan. Ia menggunakan kostum baju dewa berwarna biru dengan celana berwarna krem. Mahkota yang digunakan seperti bentuk stupa dilapisi emas. (gambar 5)

Tidak ada penjelasan Di dalam pementasan karakter pembawaan tokoh Manan bisa mengenai karakter dilihat melalui peran yang dimainkan aktor di atas panggung. pembawaan tokoh Manan. Walau nampak gemar tertawa, tapi ia tetap terlihat memiliki wibawa sebagai dewa. Cara berjalannya pun layaknya dewa dengan tubuh tegap dan langkah yang jejeg serta cepat merupakan karakter pembawaannya sebagai tokoh dewa.

(Sebagai Perubahan fisik Manan Transformasi fisik pada wajah Manan berlangsung saat itu juga Narada) menjadi Narada di atas panggung. Aktor yang memerankan tokoh Manan ini digambarkan bahwa secara fisik memang pas menggambarkan wujud dewa yang tubuhnya akan setinggi tiga memiliki tubuh kecil di antara dewa lainnya. Tubuh kecilnya ari-ari yang disambung menjadi simbol bahwa ia memiliki tubuh setinggi ari-ari. Di atas menjadi satu. panggung, diperlihatkan bahwa paras wajah Manan juga berubah

91

Kegemarannya tertawa juga menjadi jelek. Transformasi ini terjadi secara cepat. Tokoh tak bisa hilang bahkna akan Manan mengubah wajah jeleknya dengan menggunakan topeng menjadi hiasan bibirnya yang memperlihatkan kerutan pada wajah, mata yang membesar sepanjang masa. dan mulut yang terbuka. Selepas itu muncul karakter atau ciri khas baru sosok Narada, yaitu menempatkan tangannya di depan dahi dengan jari telunjuk di angkat dan tangan satunya lagi berada di perutnya yang buncit. Bisa dilihat bahwa selepas Manan berubah menjadi Narada, kostum yang digunakan pun berubah. Kostum Narada membuatnya tampak lebih menggendut dan buncit, sehingga ia nampak lebih kecil dari sebelumnya saat masih menjadi dewa Manan. Ia terlihat lebih kerdil. Tubuhnya seakan cebol bulat karena efek kostum dan perut buncit yang melekat pada fisiknya tersebut. (gambar 6)

Ciri khas karakter tokoh Di dalam adegan, banyak ciri khas Narada yang ditampilkan. Narada hanya digambarkan Narada memiliki pose sikap yang unik. Ia selalu membolak- bahwa ia gemar tertawa. balikkan pose tangan kanan dan kirinya bergantian mengadah ke atas dan ke perutnya. Pose tersebut menjadi ciri khas Narada di atas panggung. Ia menempatkan tangannya di depan dahi dengan

92

jari telunjuk di angkat dan tangan satunya lagi berada di perutnya yang buncit. Mulutnya selalu terbuka setiap ia selesai berbicara. Ketika hendak berbicara pun ia awali dengan tertawa. (gambar 6)

Tidak ada penjelasan terkait Selepas berubah menjadi Narada, ia bukanlah dewa seperti perubahan karakter dahulu. Ketika berjalan, di atas panggung tubuh Narada terlihat pembawaan tokoh Narada. agak condong ke belakang. Ia pun terlihat tak sepenuhnya berjalan karena seakan-akan ia sedang melompat. Kaki kanan dan kirinya diangkat berjingkat-jingkat sehingga cara jalannya seperti melompat dan bergoyang-goyang. Ketika berjalan pun tangannya tidak tegak berada di sisi kanan atau kiri, malainkan selalu pada pose khasnya tersebut. Narada berjalan berjingkat- jingkat dengan pose tangannya yang khas dan bokongnya tampak bergeal-geol.

Tidak ada gambaran suara Nada suara Manan ketika berbicara masih terdengar santai dan tokoh Narada yang unik. berat Suaranya masih terdengar biasa, tidak ada ciri khas khusus Namun, dalam beberapa selain bicaranya yang cukup cepat. Hal ini berbeda dengan sosok

93

dialognya Narada memiliki Narada. Nada suaranya terdengar nyaring ketika berbicara. kata-kata khas yang sering Intonasi dalam pengucapannya lebih nyaring dan terdengar diucapkan, yaitu eleketek- melengking. Di setiap kata terakhir yang ia ucap pasti bernada ketekelek. tinggi melengking. Namun, sosok Narada juga berbicara cepat, sama seperti saat ia menjadi Manan. Sama seperti di novelnya, Narada juga memiliki kata-kata khas sama seperti di dalam novelnya yang sering ia ucapkan, yaitu eleketek-ketekelek. Kata eleketek-ketekelek sering kali diucapkan sebagai pembuka kalimat yang ingin diucapkan Narada. Kata-kata itu terdengar seperti sebuah guyonan. Karakternya yang ceriwis, lincah, dan cara bicaranya yang menggelitik menjadi daya tarik sendiri dikala tokoh Narada masuk panggung dan beradegan bersama pemain yang lainnya. Gaya bahasa yang dia gunakan seperti itu tentunya menarik perhatian penonton dan cukup menghibur.

3. Antaga (Sebagai Paras Antaga disebutkan Namun, di dalam pementasan kita bisa melihat bagaimana Dewa) hanya sebatas tampan. ketampanan Antaga memiliki sebuah daya tarik tersendiri. Tubuh Antaga tidak terlalu tinggi seperti Manikmaya, tapi tetap

94

proporsional. Saat ia memasuki panggung, ia berjalan dengan tegap penuh wibawa. Sorot matanya tajam dan serius. Melalui pembawaannya itu, kesan pertama yang ditimbulkan adalah sebuah keangkuhan. Jati diri yang ditampilkan pemeran tokoh Antaga adalah angkuh yang dapat dilihat dari lirikan dan tatapannya yang tajam, tanpa senyuman. Namun, ia tetap memiliki kharisma seorang dewa. Tokoh Antaga menggunakan kostum berwarna oranye yang memberikan efek penuh energi. Kostum itu juga dilapisi dengan warna dan payetan emas dengan mahkota yang berwarna senada. Rambut Antaga dibuat ikal dan ia memiliki brewok pada wajahnya. Alis dan sipat matanya tebal memanjang membuat ia nampak lebih serius. Antaga juga selalu terlihat gagah dan angkuh saat berjalan. Tubuhnya tegap dan memperlihatkan sorot mata yang tajam. (gambar 7)

(Sebagai Tidak ada gambaran Saat tokoh Antaga sedang berdialog di dalam pementasan, suara Togog) karakter suara tokoh yang dikeluarkannya terdengar keras, berat, dan penuh Antaga. penekanan. Dari awal dialog yang dia ucapkan, nada suaranya

95

selalu tinggi seperti nada suara orang yang sedang marah atau kesal.

Wujud Antaga ketika Sama seperti dalam novelnya, ketika Antaga berubah menjadi menjadi Togog berubah Togog akibat gagal menelan gunung, mulutnya robek dan menjadi sangat jelek. Mulut wajahnya berubah menjadi jelek. Mulutnya seperti bebek pun serupa moncong bebek. berparuh panjang. Ia menjadi dewa berwajah jelek. Dengan Togog digambarkan topeng yang digunakannya, nampak ia memiliki mulut yang mulutnya robek hingga besar berwarna merah dan moncongnya seperti bebek. nyaris ke dekat telinga. Transformasi yang terjadi pada Togog dari segi postur tubuh, tidak tampak berubah karena dimainkan oleh aktor yang sama. Hanya saja, Togog memiliki perut yang buncit. Selain itu, mahkotanya pun sudah tidak ia gunakan lagi karena mulai saat itu ia telah menjadi wayang, meskipun sekali-kali ia boleh berubah wujud menjadi Antaga kembali. Togog dengan topengnya menampakkan bahwa ia memiliki mata juling, hidung pesek dengan lubang yang cukup besar dan bulat, mulutnya lebar dan dower, tak bergigi, kepala botak, rambut hanya sedikit dan bergelombang. (gambar 8)

96

Tidak ada penjelasan terkait Di dalam pementasan, Togog memiliki karakteristik yang unik. perubahan karakter Ia sering melakukan pose bertolak pinggang dan mengelus pembawaan tokoh Togog. perutnya yang buncit. Saat berjalan pun ia meletakkan kedua tangannya di pinggang. Cara berjalannya pun berbeda sekali dari Antaga. Saat berjalan, posisi badan Togog sedikit condong ke belakang karena efek dari perut buncitnya. Kemudian, tangannya berada di sisi samping pinggangnya. Bokongnya yang besar pun terlihat bergeal-geol saat ia berjalan. Terkadang gerakan-gerakan yang dibuat tokoh Antaga di atas panggung terlihat jenaka.

Togog digambarkan Sama seperti pada novelnya, suara Togog menjadi sember, serak, memiliki suara yang sember dan berat. Cara membawakan suara demikian ialah dengan dan menusuk telinga. bersuara besar di leher. Nada suaranya tidak sekeras Antaga. Namun, di dalam pementasan, nada suara Togog saat berbicara terdengar lebih kekanak-kanakan dan jenaka. Saat menangis suaranya melengking dan bertambah sember. Suaranya itu tentunya menjadi sebuah ciri khas yang menarik perhatian penonton dan cukup menghibur.

97

4. Ismaya

(Sebagai Ismaya secara fisik di dalam Namun, di dalam pementasan kita bisa melihat wujud fisik nyata Dewa) novel juga hanya yang dihadirkan oleh sutradara sebagai bentuk transformasi digambarkan sebatas terhadap tokoh yang ia interpretasikan. Saat tokoh Ismaya masuk memiliki paras tampan. ke dalam panggung, kita bisa melihat fisik tubuhnya yang tidak terlalu tinggi seperti Manikmaya, tetapi setara dengan Antaga. Saat memasuki panggung, tokoh Ismaya cukup santai, dengan wajah yang tenang. Kostum yang digunakan berwarna kuning keemasan dengan mahkota berwarna senada. Warna kostum yang dipilih untuk tokoh Ismaya tersebut mengasosiasikan bahwa dirinya adalah tokoh yang optimistis dan menyenangkan. Rambutnya pun pirang keemasan dengan panjang sebahu. Make up pada wajah Ismaya tidak setebal Antaga yang terkesan angkuh. Ismaya nampak lebih simpel sehingga menimbulkan efek bahwa ia adalah sosok yang sederhana dan bersahaja. (gambar 9)

98

(Sebagai Saat Ismaya berubah Di dalam pementasan, ciri perubahan fisik yang terjadi pada Semar) menjadi Semar, sosoknya Ismaya dikala menjadi Semar sama buruknya. Wujud Semar itu berubah menjadi buruk. ditansformasikan melalui perubahan kostum dan topeng yang Perutnya menggembung digunakan aktor. Dari segi postur tubuh, tidak tampak berubah hingga buncit, kepalanya karena dimainkan oleh aktor yang sama. Setelah pergantian berkuncung, rambut putih adegan, tokoh Ismaya telah sepenuhnya berubah menjadi Semar. semua, perut dan pantat Pendeskripsian yang ada di dalam novel ditampilkan dalam sama besar, kedua bola wujud baru di atas panggung. Kostum yang digunakannya pun matanya basah dan dua berubah. Tokoh Ismaya yang berubah menjadi Semar sudah sudut kelopaknya dipenuhi tidak nampak menggunakan mahkotanya. Kepalanya benar- tahi mata. Wajahnya seolah benar berkuncung dan rambutnya berwarna putih semua. tengah menangis. Dapat dilihat pula perubahan bentuk tubuhnya, terutama bagian perut yang buncit. Bokongnya pun terlihat besar, seperti perut buncitnya. Kutukan yang dijatuhkan padanya bukan hanya pada wajahnya yang buruk, tetapi juga pada bentuk tubuhnya. Dari topeng yang digunakannya, memperlihatkan bahwa matanya turun seperti sembab. Mulutnya merah dan melebar akibat robekan yang terjadi ketika ia berusaha mengeluarkan gunung dari perutnya. (gambar 10)

99

Di dalam novel Mahabarata Namun, di dalam pementasan perbedaan karakteristik antara Jawa, karakter pembawaan Ismaya dan Semar itu dapat diketahui. Semar memiliki yang membedakan sosok karakteristik yang unik seperti dua saudaranya yang juga Semar dengan Ismaya tidak berubah menjadi punakawan. Postur tubuh Semar bungkuk, begitu dijelaskan. tidak seperti Ismaya yang terlihat segar dengan badan yang tegap. Ia terlihat lebih tua, seperti kakek-kakek. Saat berdiri atau berjalan pun ia tetap bungkuk dengan meletakkan tangan kirinya di punggung belakang, sedangkan satu tangannya lagi diayun- ayunkan ke depan dan belakang.

Karakter suara Semar tidak Di dalam pementasan, karakter suara Ismaya saat berubah dijelaskan, hanya saja pada menjadi Togog mengalami perubahan. Semula Antaga bersuara dialognya terdapat kosakata nyaring dan tegas. Namun saat ia berubah wujudnya menjadi bahasa Jawa yang Semar, suaranya pun ikut berubah. Suara Semar menjadi menjadi membedakannya dengan unik karena berlogat Jawa. Ia juga seringkali menggunakan sosok Ismaya. Ia nampak dialek-dialek Jawa seperti kata eeelaee dalam setiap ucapannya. lebih “sangat Jawa” dan tua. Saat aktor memerankan tokoh Ismaya gaya bicaranya terkesan biasa saja, tidak ada yang spesial. Namun saat ia menjadi tokoh

100

Semar, ketika mendengar suaranya, kita merasa bahwa benar- benar sedang menonton pertunjukan wayang. Nada suara yang berlogat Jawa itulah yang kemudian menjadi daya tarik tersendiri dari tokoh Semar. Apalagi ditambah karakternya yang bijak. Kita seakan-akan seperti mendengar sesepuh yang berasal dari Jawa memberikan petuah-petuahnya. Karakter yang dimainkan oleh aktor cukup kuat dan pas sehingga melekat di benak penonton.

5. Dewi Umiya

(Sebagai Wujud Dewi Umiya Saat berada di panggung, wujud tokoh Umiya secara fisik Dewi) digambarkan sangatlah nampak sebagai dewi yang sangat cantik dan molek. cantik. Tubuhnya molek. Ia Transformasi kecantikannya diwujudkan dengan aktor yang memiliki kulit putih mulus bertubuh ideal dengan ukuran bahu dan pinggul yang seimbang kemilau, dada padat dan serta ditunjang ukuran pinggang yang ramping. Dengan penuh, wajahnya berseri- mengenakan kostum gaun kebaya panjang berwarna hijau seri. Ia juga memiliki bibir berpadu merah muda, ia tampak terlihat anggun dan cantik. Payetan-payetan berwarna emas pada gaun tersebut, menambah

101

yang indah dan mata kesan gemerlap dan elegan saat gaun itu digunakan oleh Dewi bercahaya. Umiya. Pemeran Dewi Umiya juga mengenakan mahkota berhias permata dan berbagai perhiasan emas yang menimbulkan kesan berkelas. Senyumnya yang lebar dan hangat membuat ia terlihat bersahaja. Kecantikan pada wajahnya pun terpancar. Wajah yang putih dengan pipi kemerah-merahan membuatnya tampak menawan. Bulu matanya lentik dan berbentuk layaknya kupu-kupu. Dengan berbagai kostum dan tata rias yang melekat pada tubuh dan wajahnya, Umiya nampak cocok sebagai dewi cantik yang menawan. Kebangsawanannya terpancar sebagai seorang istri Rajadewa. (gambar 11)

Umiya dijelaskan tengah Penggambaran bahwa tokoh Umiya hamil tidak terlihat di atas mengandung dan sedang panggung. Perutnya tidak besar seperti ibu hamil pada hamil besar. umumnya. Tubuhnya tetap ramping. Jika saja tokoh Batara Guru tidak mengatakan bahwa Umiya sedang hamil, maka tidak dapat diketahui bahwa dewi itu tengah mengandung. Secara fisik, kehamilan Umiya tidak dapat ditebak karena postur tubuhnya ramping dan tidak menampakkan kehamilan sama sekali.

102

Padahal, saat itu pengisahannya adalah kondisi Umiya yang sedang hamil tua.

Secara tersirat, Dewi Umiya Di dalam pementasan, suara Dewi Umiya terdengar halus. Ia menunjukkan nada suara juga memiliki suara yang merdu, apalagi dikala ia sedang yang lembut dan sopan. bernyanyi. Ketika berdialog pun nada suaranya terdengar sopan dan lembut.

(Sebagai Hanya dijelaskan bahwa Di dalam pementasan, perubahan wujud Umiya menjadi rakseksi Rakseksi) Umiya berubah wujudnya diwujudkan dengan penggunaan irah-irahan rambut berwarna menjadi rakseksi kembali merah yang berantakan. Ia juga memiliki taring di mulutnya, seperti dahulu. Hal itu kuku-kukunya panjang dan runcing. Cara berjalannya pun karena Umiya semula berubah layaknya rakseksi. Suaranya menjadi berat, ia tak adalah sosok rakseksi yang selembut sebelumnya. Wujud perubahan itu juga ditampilkan berubah menjadi bidadari. melalui animasi multimedia pada layar panggung. Adanya tampilan pada layar bagian belakang tersebut menimbulkan gambaran yang lebih pas bagi tokoh yang berubah wujud. Di atas panggung, Umiya hanya berubah sebatas rambut, mahkota, dan memiliki gigi yang bertaring, sedangkan di layar sosok Umiya

103

sebagai rakseksi yang menyeramkan lebih tervisualisasi. Efek yang ditampilkan menggambarkan perubahan yang nyata, sehingga penonton dapat lebih mudah mengimajinasikan bagaimana kutukan itu terjadi pada sosok Umiya. (gambar 12 dan 13)

(Sebagai Umiya yang semula Sama seperti di novelnya, pada pementasan, Dewi Umiya yang Dewi berwujud rakseksi berhasil berwujud rakseksi berhasil manuksma ke dalam raga Gading Umarakti) manuksma menggunakan Permoni. Namun, terdapat transformasi fisik yang terjadi di atas tubuh Gading Permoni dan panggung. Perubahan itu berupa pergantian mahkota yang namanya berubah menjadi dilakukan oleh dua bidadari itu kepada raga Gading Permoni. Dewi Umarakti Irah-irahan yang digunakan Gading Permoni diganti dengan simbol mahkota permaisuri Rajadewa. Kepala yang dihiasi rambut merah itu berubah menjadi rambut hitam bersanggul dihiasi mahkota berkilau dengan lampu menyala-nyala. Saat berbicara, suaranya terdengar lembut, seperti nada suara Umiya. Tubuh Gading Permoni telah seutuhnya dimiliki oleh Dewi Umiya sang permaisuri Rajadewa. Ia semakin cantik karena memiliki raga gadis itu. Atas kehendak Tunggal, namanya pun

104

berubah menjadi Dewi Umarakti. Umiya telah berganti wujud, sehingga aktor yang memainkan peranan Umiya pun berubah menjadi Sekar Dewantari. Dialah yang selanjutnya memainkan peranan sebagai Dewi Umarakti, permaisuri Rajadewa. (gambar 14)

6. Gading Permoni (Sebagai Gading Permoni Di dalam pementasan, Gading Permoni hadir dalam wujud Dewi digambarkan merupakan sesosok putri yang cantik jelita dalam balutan selubung api. Pada Berselubung dewi berselubung api, yakni layar animasi itu, tubuh Dewi Gading Permoni benar-benar Api) sesosok putri yang tubuhnya diwujudkan diselubungi oleh balutan api dari ujung kepala ditutupi atau dikelilingi oleh hingga ujung kakinya. Namun kostum yang ia gunakan bukanlah api. balutan baju berwarna putih, melainkan warna pink terang yang menyala-nyala. Kostumnya begitu ketat hingga memperlihatkan lekukan tubuhnya yang indah dan molek. Warna kostum tersebut menjadi simbol bahwa dirinya terselubungi oleh api. Mahkota yang dipakainya pun berbentuk seperti kobaran api yang menyala-nyala. Rambutnya ditusuk dengan konde rumbai

105

berwarna merah seperti Putri Cina. Bagian dadanya ditutup badong dan perhiasan emas yang mencolok. Tangannya dihiasi oleh selendang berwarna-warni, sedangkan jemari hingga kuku- kukunya dibalut dengan perhiasan emas yang mewah dan mencolok. Bulu matanya seperti sayap kupu-kupu, wajahnya cantik dan halus, bibirnya merah merona, tubuhnya gemulai dan molek. (gambar 15 dan 16)

(Sebagai Dalam novelnya, sesaat Di dalam pementasan, tokoh Gading Permoni berusaha Calon setelah ia berkenalan menghangatkan tubuhnya dengan mendekapkan kedua Permaisuri dengan Batara Guru, tangannya untuk membalut badan. Hal tersebut bukan hanya Rajadewa) sebelum menghadap Dewi untuk menghindari rasa dingin, melainkan juga untuk menutup Umiya, busana kabut putih tubuhnya yang seakan-akan kehilangan busana kabut putihnya Gading Permoni dikisahkan agar ia tidak terlihat telanjang. kehilangan tuah, hingga membuatnya menggigil kedinginan.

106

(Sebagai Dijelaskan bahwa sebagai Di dalam novel keistimewaan kostum Permoni itu dijelaskan Rakseksi) calon permaisuri Rajadewa, oleh Batara Guru melalui dialognya dengan mengatakan bahwa Gading Permoni diberikan busana tersebut adalah busana dengan bahan kuat yang mampu pakaian Kahyangan yang menyesuaikan diri dengan segala cuaca, Busana Kahyangan terbuat dari bahan kuat yang yang dapat selalu memperbarui diri dan tak bisa rusak. mampu menyesuaikan diri Transformasi kostum ini diwujudkan dan diubah langsung di atas dengan segala cuaca. panggung. Terdapat tiga kostum yang diganti dan ditambah pada Busana Kahyangan, yang tokoh Gading Permoni di atas panggung. Pertama, adalah selali bisa memperbarui diri mengganti irah-irahan yang digunakan Gading Permoni. Irah- dan tidak dapat rusak. irahan itu berupa rambut merah mengembang disertai mahkota yang terlihat mirip seperti Dewi Umiya. Kedua, memakaikan badong, yatu aksesoris yang dikenakan di leher dengan warna merang terang bermotif akar.1 Ketiga, memasangkan rok belly nuansa Timur Tengah berwarna oranye terang dengan kerincingan emas yang membuatnya terlihat mewah dan glamor. Gading Permoni terlihat menawan dan seksi menggoda. (gambar 17)

1 Badong adalah aksesoris penari perempuan Bali. Penari memakai aksesoris pada bagian dada yang disebut badong. Badong adalah perhiasan yang dikenakan dari leher untuk menutupi bahu. Badong terbuat dari kulit binatang. Dipakai sebagai hiasan dibagian badan atas. (Ucik Kumalasari dan Syakir, “Tarian Tradisional Bali Sebagai Tema dalam Penciptaan Karya Seni Kolase”, Jurnal Pendidikan Seni, Vol. 9 No. 2, Edisi 2020, h. 36.)

107

Gading Permoni Di dalam pementasan, setelah ia bertukar raga dengan Umiya, menggunakan raga Dewi Gading Permoni menunjukkan sifat aslinya. Dengan suara yang Umiya yang berwujud melengking, kasar, dan penuh kegeraman, menunjukkan bahwa raksesksi. tubuh rakseksi Umiya telah diisi oleh Gading Permoni, alias sang Ratu Jin Umarantiki. Mulai saat itu, pemeran kedua tokoh tersebut berganti. Gading Permoni selanjutnya diperankan oleh Tuti Hartati, sedangkan Umiya diperankan oleh Sekar Dewantari. (gambar 18)

Tidak dijelaskan Di dalam pementasan, di akhir lakon babak II, terdapat adegan penampilan Gading pernikahan Gading Permoni dengan Kala. Gading Permoni Permoni saat pernikahannya nampak menggunakan kain veil pengantin berwarna hitam, yang dengan Kala. melambangkan kekuatan jahat.

7 Idajil Di dalam novel, hanya Di dalam pementasan, Idajil tampil dalam wujud yang sama dijelaskan bahwa Idajil sekali tak dijelaskan di dalam novelnya. Di atas panggung, sosok merupakan apsara kelima Idajil memiliki wujud yang menampilkan layaknya monster yangdianggap paling bersayap. Penampilan fisiknya cukup menyeramkan. Ia memiliki

108

sempurna karena dicipta tanduk, tubuhnya berbulu dan bersisik, rambutya berantakan, dari inti cahaya dan saripati giginya besar, putih, dan tajam. Topeng diwajahnya api. menampilkan bahwa ia adalah sosok iblis yang menakutkan. Kuku-kukunya besar dan tajam, dan memiliki sayap berbulu yang besar di punggungnya. Ia juga memegang senjata berupa tongkat berkerincing mirip seperti tongkat malaikat pencabut nyawa. Aktor di atas panggung pun berhasil mengepakkan properti sayap yang melekat ditubuhnya seperti sungguhan. Ia terlihat seram, kuat, dan perkasa dengan balutan kostum dan topeng yang menampilkan sosok iblis yang jahat. Tubuhnya tinggi dan cukup besar. Saat ia berbicara, terdengar suaranya yang berat, kasar, dan keras. Tawa yang ia berikan menunjukkan keangkuhan dan kebencian. (gambar 19)

109

Tabel 2

Bentuk Transformasi Psikologis Tokoh dari Novel Mahabarata Jawa ke dalam Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa

Transformasi Pementasan Drama No Psikologis Novel Mahabarata Jawa Mahabarata: Asmara Raja Dewa Tokoh 1. Manikmaya Di dalam novel, disebutkan Di dalam pementasan, sosok Manikmaya yang cerdas dan licik dari awal tekait watak juga digambarkan. Namun, kecerdasannya sebagai dewa Manikmaya bahwa ia berkonotasi negatif karena digunakan untuk memperolah adalah dewa yang cerdas, kepentingannya sendiri. Sama seperti yang tergambar di tetapi licik. Ambisinya novelnya, saat ia sebagai dewa biasa, hanya kelicikannya yang untuk menduduki takhta nampak untuk memperoleh ambisinya sebagai pemegang takhta Tribuana membuatnya Tribuana. Hal ini diperkuat saat adegan perseteruan empat dewa melakukan hal licik yang berebut sebutan dewa dan pantas menjadi Rajadewa. terhadap para catur dewa Kecerdasan yang sebenarnya baru tergambar ketika ia sudah lainnya. menjadi Rajadewa dengan gelar sang Batara Guru. Kecerdasannya ia gunakan untuk hal-hal baik. Hal itu ia lakukan sebagai rasa tanggung jawabnya sebagai Rajadewa untuk menyelesaikan segala perkara yang menimpa Kahyangan.

110

(Sebagai Batara Guru digambarkan Di dalam pementasan, sifat temperamen kasarnya lebih nampak. Batara Guru) mudah lupa diri. Hal ini karena didukung oleh vokalnya yang keras dan tatapannya yang tajam. Kekokohannya untuk terus melawan dan mengutuk Dewi Umiya memperlihatkan bagaimana Rajadewa itu tak bisa mengendalikan emosi.

Batara Guru digambarkan Sifat buruk Manikmaya mudah tersulut hawa nafsu dan tidak mudah tergoda hawa nafsu dapat mengontrol diri yang digambarkan di dalam novelnya juga karena melihat perbuatan terlihat di dalam pementasannya. Latar belakang tak nista para jin di Madyapada. terbendungnya hawa nafsu itu nampak berbeda. Pada adegan XIII di babak II pementasan, saat lakon bercerita mengenai adegan dua dewa-dewi berwisata, sosok Batara Guru terlihat berubah karena tersulut nafsu akibat suasana mesra dan indah yang mendukung.

Manikmaya adalah Di dalam pementasan, kesaktian Rajadewa banyak ditampilkan Rajadewa yang sakti. melalui dukungan visual multimedia pada layar animasi panggung. Baik dalam hal melakukan pertarungan melawan

111

musuh atau penentangnya maupun kehebatannya dalam mengendalikan aji-ajinya.

2. Manan Manan memiliki karakter Di dalam pementasan, hal ini bisa dilihat dari setiap dialog yang yang mudah tertawa. diucapkannya diselingi dengan tawaan yang 111aka da habisnya bahkan disaat ia menangis pun terlihat seakan-akan tertawa ‘haha hehe’ tak jelas.

Manan memiliki watak Sama dengan di novel, Manan juga memiliki karakter yang tak yang ceroboh dan kurang berpikir panjang dalam melakukan tindakan. Terkadang ia pertimbangan. bertindak dengan kurang pertimbangan walaupun memang itu diluar kuasanya sebagai dewa. Pada akhirnya karena kelalaiannya itu, akibat ide tanpa pertimbangan yang Manan berikan,, memberikan dampak buruk bagi Catur dewa.

(Sebagai Karakternya patuh dan Hampir disetiap adegan Narada selalu mendampingi Batara Narada) hormat pada Batara Guru. Guru. Ia turut andil dalam proses pemecahan masalah di setiap rapat yang diadakan para dewa. Sikapnya tetap menunjukkan rasa hormat, sekalipun Rajadewa itu adalah adiknya sendiri.

112

Penunjukkan rasa hormat yang dilakukan Narada dapat dilihat saat ia membungkukkan badannya ketika ingin pamit meninggalkan rapat dan undur diri dari hadapan Batara Guru. Melalui peran atau akting yang dimanikan tokoh, bisa dilihat bagaimana sosok Narada yang selalu menghormati Batara Guru sebagai Rajadewa.

3 Antaga Antaga memiliki karakter Sama seperti cerita di dalam novel Mahabarata Jawa, karakter yang congkak dan keras Antaga pada pementasan juga angkuh dan eras kepala. Di antara kepala. dewa lainnya, memang ialah dewa yang paling cepat marah dan emosinya mudah meledak-ledak. Hal itu bukan hanya ditandai melalui dialognya, tetapi juga dari mimik wajah dan nada suara keras dan mengejek yang ia tunjukkan.

Ambisinya untuk menjadi Karakter Antaga yang licik diterangkan sama halnya dengan pengganti Tunggal, yang ada di dalam novel. Namun, di dalam pementasan ambisi menduduki takhta Tiga Antaga untuk menduduki takhta Tribuana terlihat jauh lebih Dunia, menjadikannya besar dibandingkan Manikmaya. Kelicikannya dan rasa egoisnya memiliki watak yang licik.

113

terlihat jelas kala ia berlaku curang saat melakukan pertarungan dengan Ismaya.

Di balik karakter buruknya, Kesaktian Antaga di dalam pementasan lebih terlihat hebat. Hal Antaga adalah dewa yang ini karena pengadeganan didukung oleh adanya animasi memiliki kekuatan dan multimedia yang memperlihatkan visual efek jurus-jurus yang kesaktian. Digambarkan di dikeluarkan tokoh Antaga. Tokoh Antaga direalisasikan secara dalam novel, saat visual melalui multimedia mampu terbang dengan kecepatan perkelahiannya dengan kilat. Ia bahkan mampu mengubah tubuhnya menjadi sangat Ismaya, Antaga begitu hebat besar. Saking besarnya, planet-planet bahkan terlihat lebih kecil mengeluarkan banyak dari darinya. Ia mampu berdiri di atas planet-planet tersebut di tenaga dan jurus-jurus antariksa. Bukan hanya itu, saat Ismaya menghancur-leburkan saktinya untuk menahan planet menjadi asteroid dan terlempar ke arah Antaga, ia mampu laju pukulan yang diberikan menghindar dari lemparan itu. Ia tendang semua asteroid yang Ismaya. mengarah padanya dengan tendangan telak. Antaga mampu mengeluarkan berbagai jurus sakti dengan kekuatan tangannya. Kilatan cahaya-cahaya yang ada pada animasi memperlihatkan bagaimana kekuatan Antaga yang mampu menandingi Ismaya. Ia mampu membuat lubang hitam yang besar di antariksa.

114

Di atas panggung, aktor pun tetap melakukan sandiwara. Di balik layar animasi, tokoh Antaga tetap beradegan layaknya sedang bertarung dengan Ismaya. Pada adegan 5 tersebut, layar animasi panggung di bagian depan pun dimanfaatkan layaknya “kelir” pada pertunjukan wayang kulit. Ia pergi ke sana ke mari sambil mempermainkan perannya layaknya sedang melakukan kuda- kuda dan mengeluarkan berbagai jurus-jurus saktinya. Tata cahaya pun mendukung tokoh Antaga yang beradegan di atas panggung itu. Untuk merealisasikan imajinasi bahwa tokoh Antaga sedang mengeluarkan jurus, maka lampu menyorot langsung ke arahnya seakan-akan cahaya itu adalah energi yang dikeluarkan melalui tubuhnya yang berwujud kilatan cahaya berwarna-warni. (gambar 20 dan 21)

(Sebagai Saat perubahannya menjadi Di dalam pementasan, tokoh Togog terlihat lebih lemah. Sebagai Togog) Togog, ia seperti tidak sosok wayang, ia terlihat tidak memiliki kesaktian sama sekali. memiliki kesaktian lagi. Ia Kelemahannya itu ditampilkan lucu, menggelitik, dan tak mampu mengalahkan menghibur di dalam pementasan. Terdapat pengadeganan ketika Togog dengan penampilannya yang jelek dan tubuh seperti

115

dua jin yang berhadapan boneka menjadi target permainan Mercukilan dan Mercukali. Ia dengannya. ditendang ke sana ke mari oleh dua jin tersebut dan tak mampu melawannya. Di dalam pementasan, adegan ini ditampilkan secara lucu dan menggelitik. Apalagi ditambah adegan layaknya slow motion yang dimainkan oleh tokoh-tokoh tersebut, membuat adegan tambah menghibur. Togog menjadi sebuah karakter yang lemah dan jenaka. Berbeda sekali dengan karakter Antaga yang keras, kokoh dan berkobar-kobar.

4. Ismaya Di dalam novel, Ismaya Di dalam pementasan, karakter yang paling terlihat dari sosok dijelaskan memiliki Ismaya ini adalah berani dan rendah hati. Keberaniannya dapat karakter yang jujur, berani, dilihat saat para Caturdewa datang ke Margasatwaloka untuk rendah hati, dan selalu meminta jawaban kepada Hyang Jengger Kinanti. . Pada saat itu, riang. Antaga yang semula angkuh merasa paling berani ternyata mengurungkan niatnya, ia hanya diam menatap Jengger Kinanti yang begitu besasr. Ismayalah yang akhirnya turun tangan untuk menghadapi ayam raksasa itu.

116

Ismaya sebagai salah satu Di dalam pementasan, terlihat bagaimana tokoh Ismaya selalu dewa yang pemberani tentu mengimbangi Antaga dalam berdebat bahkan di antara ketiga memiliki kehebatan dan Caturdewa itu, Ismayalah yang siap meladeni niat Antaga untuk kesaktian yang tak kalah beradu sakti. Transformasi penggambaran kesaktian Antaga dari Caturdewa lainnya. Ia nampak lebih hebat karena didukung oleh animasi multimedia bahkan dapat menandingi yang ditampilkan sutradara. Tokoh Ismaya direalisasikan secara kesaktian Antaga. visual mampu terbang di antariksa. Gerakannya cepat dan tepat. Ismaya juga ditampilkan mampu mengubah tubuhnya menjadi sangat besar hinga planet-planet di antariksa terlihat lebih kecil dari darinya. Sama seperti Antaga, Ismaya juga mampu berdiri di atas planet-planet. Ia dan Antaga masing-masing berdiri di satu planet yang jaraknya terlihat dekat. Mereka saling beradu kesaktian, mengeluarkan berbagai jurus andalan yang terlihat berupa kilatan-kilatan cahaya semacam aliran listrik. Bukan hanya itu, Ismaya juga menghancur-leburkan planet menjadi asteroid dan melemparkannya ke arah Antaga. Kesaktiannya dalam mengeluarkan jurus divisualisasikann dengan adanya efek kilatan cahaya-cahaya yang ada pada animasi memperlihatkan bagaimana energi yang keluar dari tubuh Ismaya mampu

117

menandingi kehebatan Antaga. Melalui layar animasi kita diperlihatkan bagaimana planet-planet meledak dan hancur lebur akibat ulah Ismaya. Tata cahaya pun mendukung kedua tokoh yang sedang beradegan adu sakti di atas panggung tersebut. Antara sandiwara aktor maupun animasi yang disuguhkan, kedua-duanya saling melengkapi dan menyatu, sehingga apa yang ada di atas panggung begitu menawan dan memikat pandangan mata.

(Sebagai Setelah menjadi Semar, Sama seperti pada novelnya, sejak Ismaya berubah menjadi Semar) sosoknya menjadi bijak dan Semar, karakternya pun berubah menjadi lebih bijaksana dan penuh nasihat. Hanya saja, kata-katanya penuh akan nasihat. Karakter bijak dari tokoh di dalam novel, karakter Semar tersebut nampak lebih kuat di dalam pementasan. bijak dari Semar hanya Sosoknya ditampilkan seperti wayang tua yang selalu bijak terlihat melalui dialog dalam nasihat-nasihatnya, seperti sesepuh. Semar masih menjadi karena tidak digambarkan sosok yang memiliki kekuatan hebat. Hanya saja, Semar menjadi dengan detail. lebih bijaksana, baik dalam hal perkataan maupun dalam sikapnya. Nada suara yang berlogat Jawa kemudian menjadi daya tarik tersendiri dari tokoh Semar. Apalagi ditambah

118

karakternya yang bijak. Kita seakan-akan seperti mendengar sesepuh yang berasal dari Jawa memberikan petuah-petuahnya.

5. Dewi Umiya Dewi Umiya berwatak Karakter ini muncul di dalam pementasan melalui pembawaan penyabar dan berperasaan dari pemeran tokoh Umiya di atas panggung. Saat beradegan, halus. tokoh Umiya berbicara dengan suara yang halus, merdu dan menyejukkan hati. Ketika berdialog dengan suaminya pun suara dan sikapnya nampak sopan.

Umiya memiliki pendirian Di dalam pementasan, sutradara seakan-akan menggambarkan yang kuat. Umiya berani tokoh Umiya sebagai perempuan feminis, penuh pendirian dan untuk memberontak jika keberanian untuk menyuarakan apa yang dianggapnya benar. memang merasa dirinya Umiya yang merasa disudutkan terus-menerus karena tak mau benar. melayani hasrat suaminya akhirnya memberontak. Padahal, ia telah dengan sekuat hati meminta Manikmaya untuk tidak lupa diri bahwa ia adalah Raja Tribuana.

119

Ia dijelaskan memiliki Dewi Umiya yang dijelaskan dianugerahi kata-kata yang titis keistimewaan berupa Kata- (tajam) dan maladi (ampuh) dapat dibuktikan melalui kata yang titis dan maladi. pengadeganan di atas panggung. Masih pada adegan yang sama dikala ia menolak berolah asmara dengan Batara Guru di atas langit, tanpa sengaja dengan penuh rasa prihatin, ia malah mengucapkan sebuah kutukan. Maka kemudian terjadilah apa yang diucap Dewi Umiya. Di atas panggung, Batara Guru benar- benar direalisasikan berubah wujud menjadi Denawa secara cepat dengan wujud yang berubah menjadi sosok dewa bertaring.

Saat menjadi rakseksi, Karakter kasar dan garagnya karena berubah menjadi rakseksi Umiya memiliki karakter bisa terlihat dalam pengadeganan yang ada di dalam pementasan yang kasar dan garang. Mahabarata: Asmara Raja Dewa. Hal ini dapat terlihat melalui peran yang dilakukan aktor. Perubahan karakter ini bukan hanya ditunjukkannya melalui perubahan fisik, melainkan juga gestur, mimik, dan sikap yang ditampilkannya di atas panggung. Di atas panggung ia menampilkan sosok yang semrawut dan barbar. Hal ini sangat berbeda dengan kepribadiannya sebagai sosok dewi sebelumnya.

120

6. Gading Gading Permoni sangat Di atas panggung, tokoh Gading Permoni lebih terlihat memiliki Permoni berambisi menjadi hasrat yang besar kepada Batara Guru. Saat perjumpaannya yang permaisuri Rajadewa. pertama kali, dan ia terbang mempermainkan Rajadewa itu, bisa dilihat bagaimana tatapan asmaranya tumbuh. Saat memasuki panggung, ia membelai seluruh bagian tubuhnya, dari kepala hingga kakinya. Kemudian ia menghadap cermin, bernyanyi sembari tertawa, liriknya mengambarkan rasa cintanya kepada Rajadewa itu. Ia telah terpanah asmara. Saat adegan Gading Permoni berhasil ditangkap Batara Guru, ia menatap Rajadewa itu dengan penuh hasrat dan nafsu. Di hadapan Batara Guru, sikap yang ditunjukkan begitu manis, suaranya berpura-pura untuk lemah lembut.

Di dalam novel dikisahkan Di dalam pementasan, kisah ini pun dilakonkan dalam adegan bahwa terjadi kompleks XIX di babak II. Setelah sebelumnya dia mengetahui bahwa psikologis atau pergulatan masih ada Umiya sebagai penghalang, ia makin merasa amat batin pada diri Gading benci. Dapat terdengar saat ia menyebut nama “Umiya” dengan Permoni atas takdir yang tak suara yang berat, mata melotot yang penuh dengan amarah dan berpihak padanya sebagai rasa geram. Pergulatan batin dan emosi dalam diri Gading

121

calon permaisuri Rajadewa. Permoni ditampilkan melalui paras wajahnya yang berubah Ia sebelumnya tak ubah. Di hadapan Batara Guru ia begitu manis, tetapi di dalam mengetahui bahwa hanya lubuk hatinya cemburu membakar dada, sakit rasanya. raganya sajalah yang Transformasi juga terjadi melalui monolog Gading Permoni. dijadikan permaisuri, Kita bisa mengetahui isi hati dan pikirannya yang begitu sedangkan jiwanya harus berkecamuk, cemburu kecewa, dan marah. Lighting hanya bertukar dengan Umiya. tertuju padanya, menutup pencahayaan tokoh lain sehingga Dirinya dipenuhi dendam, penonton akan terpusat pada ekpresi Gading Permoni ketika kebencian dan tipu bermonolog. Pencahayaan yang khusus itu dilakukan juga untuk muslihat. mempertegas efek laku dramatik dari tokoh Gading Permoni. Sementara tokoh lainnya hanya berlaku mematung (freeze).

Gading Permoni juga Sikap bermuka duanya bisa dilihat melalui peran, gestur, dan merupakan sosok yang intonasi suara yang ditunjukkan oleh tokoh Gading Permoni. bermuka dua. Watak ini Dalam monolognya, Gading Permoni mengungkapkan segala isi dapat diketahui melalui hatinya dengan penuh amarah dan kebencian. Ia berteriak, narasi yang dijelaskan menggeram dan mengumpat. Wajahnya dipenuhi rasa amarah dalam novel kala ia yang berkecamuk. Ia tampil beringas, nada bicaranya tinggi dan

122

mengungkapkan pikiran di kasar, sangat berbeda ketika ia berbicara langsung kepada Batara dalam hatinya. Guru. Posisinya yang semula terduduk berubah menjadi berdiri dengan mengangkat satu kakinya ke kursi singgasananya. Dengan amarahnya dia mengungkapkan segala isi hatinya yang berkecamuk sambil menatap ke arah penonton. Segala yang diungkapkan adalah keadaan diri Gading Permoni yang sebenarnya. Setelah Gading Permoni mengungkapkan isi hatinya, lakon kembali seperti semula. Ia menampilkan wajah semanis mungkin di hadapan Batara Guru. Suara yang semula kasar dan menohok, berubah menjadi halus dan lembut. Ia bermuka dua. Dengan adanya monolog dan akting yang dilakukan pemain pada tokoh Gading Permoni, penonton dapat lebih mudah menangkap isi hati dan pemikiran tokoh Gading Permoni dan memahami karakternya . Di dalam novel, secara Di dalam pementasan, kisah ini tidak dijelaskan. Hanya pada tersirat Gading Permoni, adegan selanjutnya, tokoh Gading Permoni masuk ke dalam tepatnya Ratu Jin panggung diiringi musik yang dinyanyikan oleh koor. Ia Umarantiki memiliki sikap berlakon seperti demit. Lidahnya dijulur-julurkan ke depan,

123

yang mementingkan dirinya matanya tajam melotot, Ia berjalan dengan tangan dan kakinya, sendiri dan licik. Ia akan melihat ke segala arah, seperti sedang mencari sebuah petunjuk tetap mengambil yang mungkin adalah bisikan angin seperti yang dijelaskan di keuntungan dari apa yang dalam novelnya. Kemudian ia pun menyetujui pertukaran jiwa. ingin dia miliki. Pada novelnya dijelaskan bahwa Gading Permoni mendapatkan bisikan dari sang Angin saat ia berada kamar mewah Kahyangan Puspawangi. Sang angin mengatakan bahwa sebaiknya tawaran Batara Guru ia terima demi masa depannya yang dikehendaki oleh Hyang Wenang. Ia pun percaya dan menyetujuinya.

124

7. Idajil Idajil berwatak sombong, Di dalam pementasan, Idajil juga sama persis memiliki watak dan jahat. Ia merasa dirinya yang sombong dan jahat. Hanya saja, Kesombongan atas dirinya sempurna karena dicipta sendiri nampak pada lirik lagu yang dinyanyikannya di atas dari inti cahaya dan saripati panggung. Dalam lirik yang dinyanyikannya, dapat diketahui api. Untuk itu ia merasa bahwa ia sangat menyombongkan penciptaan dirinya. layak untuk menduduk Lirik: takhta Tiga Dunia. Idajil Aku makhluk dari api dan cahaya kemudian melakukan Tunggal itu bentukan makhluk cahaya pemberontakan. Tidak ada unsur api dalam tubuhnya Seharusnya akulah sang Rajadewa Akulah raja berkuasa atas tiga dunia Siapa ikut aku, datanglah padaku Kita lawan Hyang Wenang itu

125

Tabel 3

Bentuk Transformasi Sosial Tokoh dari Novel Mahabarata Jawa ke dalam Pementasan Drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa

Transformasi Pementasan Drama No Novel Mahabarata Jawa Sosial Tokoh Mahabarata: Asmara Raja Dewa 1. Manikmaya Pengangkatan kedudukan Transformasi visual yang bisa kita lihat dari novel adalah saat Manikmaya sebagai penobatan Batara Guru yang terlihat lebih khidmat. Pada adegan Rajadewa Tribuana penobatan itu terlihat ada pengawal yang membawakan beberapa dilakukan dengan upacara barang yang akan disematkan Hyang Tunggal kepada penobatan yang dihadiri Manikmaya sebagai simbol penyerahan tampuk kekuasaan. Wenang dan sekuruh dewa Hyang Tunggal pada saat itu mengalungkan selendang Jonggringsalaka. penobatan bermotif seperti kain ulos pada leher Manikmaya. Selain itu, ia juga menyematkan sebuah tusuk konde sebagai lambang pada mahkota Manikmaya yang didampingi permaisurinya yaitu Dewi Rekatawati dan Narada sang Maha Patih Kahyangan. Mulai saat penyerahan tampuk kekuasaan itu, ketika Manikmaya duduk disinggasana padmasana, saat itulah gelar Rajadewa disandangnya.

126

Manikmaya sebagai Manikmaya adalah Rajadewa yang sakti, berdaya dan adikuasa. Rajadewa yang memiliki Terlihat pada adegan XIX di babak II, ketika ia harus menjalani kuasa atas mesin Maha ritual untuk istrinya dan Gading Permoni di Aula Relastaretrya. Pencipta Relataretrya. Pada adegan inilah bukti kuasanya atas alam semesta dan makhluk yang tunduk padanya. Diperlihatkan efek visual yang menampilkan jiwa Umiya dan Gading Permoni berhasil keluar dari tubuhnya masing-masing. Lalu jiwa itu seakan lenyap dan berubah menjadi seberkas cahaya dengan kecepatan penuh. Muncul cahaya berwarna merah, kuning, dan biru yang terbang memutari tempat tersebut. Cahaya yang menyilaukan itu lalu seketika lenyap sebagai tanda terjadinya manuksma ke tubuh yang ditujunya. Itulah tanda bahwa Batara Guru berhasil menyelesaikan pertukaran jiwa dengan mesin mahapencipta tersebut. Batara Guru sang raja semesta itulah yang mampu dan berhasil menggunakan mesin maha pencipta Relastaretrya.

Pramesti yang berarti Penyandangan nama Pramesti ini bisa dilihat melalui pengisahan seluruh makhluk Tribuana pada babak II pementasan. Sosok Batara Guru sebagai Rajadewa menyembahnya. yang dipuja-puji lebih nampak pada pementasannya. Pada

127

adegan babak II diperlihatkan adegan arak-arakan perayaan Rajadewa baru yang diikuti oleh para dewa, jin, dan wayang. Seluruh makhluk Tribuana turut bahagia, bersorak, dan memeriahkan arak-arakan tersebut. Narada sang Maha Patih Kahyangan menyeru-nyerukan nama Sang Hyang Wenang. Sang Hyang Tunggal, dan Sang Hyang Batara Guru yang diikuti oleh sorak-sorak dari para makhluk lainnya. Mereka berkeliling sambil mengiringi Batara Guru mengelilingi Tiga Dunia menggunakan lembu Andini. Adegan tersebut begitu bergemuruh dengan sorak-sorak yang terjadi di atas panggung, menandakan kebahagiaan yang terjadi atas penyambutan Rajadewa baru yang akan mereka sembah tersebut.

Surapati yang berarti raja Pada pengadeganan saat Manikmaya dipilih Hyang Tunggal para dewa. menjadi Rajadewa, kita bisa melihat perubahan sikap dari Caturdewa terhadap Manikmaya. Ismaya yang berubah menjadi Semar, Antaga yang berubah menjadi Togog, dan Manan yang berubah menjadi Narada sang Maha Patih Kahyangan, memiliki sikap yang sangat hormat pada Manikmaya selepas ia dinobatkan

128

menjadi Rajadewa. Mereka selalu siap mengabdi dan melakukan segala perintah yang diajukan oleh Batara Guru sang Rajadewa Tribuana.

2. Manan Narada diangkat sebagai Di dalam pementasan, Narada juga menduduki jabatan penting (Sebagai Maha Patih Kahyangan oleh di istana, yaitu sebagai Maha Patih Kahyangan atau penasihat Narada) Hyang Tunggal. Ia beberapa dan "tangan kanan" Batara Guru sang Rajadewa. Di dalam kali membantu Batara Guru pementasan, sosok Narada selalu berada di samping Batara dalam menyelesaikan Guru. Saat penobatan maupun kegiatan rapat para dewa, Narada perkara. selalu setia dan siap berada di samping Rajadewa. Tak dapat dipungkiri kepandaian dan kemampuannya selalu dipercaya Batara Guru untuk menangani berbagai perkara yang mengganggu ketentraman Tiga Dunia, khususnya Kahyangan Jonggringsalaka.

Sebagai Maha Patih Di dalam pementasan, tanggung jawabnya dalam melaksanakan Kahyangan, Narada tugasnya nampak lebih nyata dari berbagai tindakan yang dijelaskan mempunyai tugas dilakukannya untuk adik, sekaligus Rajadewa itu. Di dalam untuk mengurus hal-hal pementasan pula, Narada lebih terlihat menjalankan tugasnya

129

yang tak mampu diurus oleh untuk tugas mengerem segala tindakan Batara Guru yang kadang Batara Guru. grasa-grusu, ceroboh, dan tidak sabaran. Hal itu dapat dipersepsikan langsung pada salah satu adegan akhir saat Batara Guru secara tiba-tiba ingin menghukum mati raksasa rakus yang sebenarnya adalah anaknya sendiri. Narada ikut turun tangan dengan mencegah tindakan Rajadewa itu. Kedudukannya sebagai Maha Patih bukan hanya sekadar jabatan sia-sia tanpa bukti.

3. Antaga Antaga yang diubah Di dalam pementasan, tugas dan tanggung jawab Togog itu tidak (sebagai menjadi panakawan digambarkan sama sekali. Tidak ada penjelasan maupun adegan Togog) bernama Togog dijelaskan yang menyebutkan beban apa yang harus dijalankan oleh tokoh bahwa ia diberikan Togog sebagai punakawan. Hal ini dilakukan sutradara untuk tanggung jawab untuk meminimalisir waktu pertunjukkan agar lebih padat. membimbing kaum kiri, yakni raja-raja raksasa yang berkerajaan di Atas Angin. Ia harus mengingatkan, dan menyadarkan raja-raja itu

130

untuk menyembah Wenang sebagai Mahajunjungan.

4. Ismaya Di dalam novel, dikisahkan Namun, di dalam pementasan istri dan anak-anak Ismaya ini sedikit mengenai jalinan tidak dihadirkan. Hanya saja, ada satu anak dari pernikahannya pernikahan Ismaya saat ia itu yang dimunculkan di dalam pementasaan, sedangkan masih menjadi dewa. Ketika sembilan lainnya tidak ada. Anak yang dihadirkan tersebut usia dirasa cukup, Ismaya adalah Tamboro. Tamboro dijelaskan di dalam novel sebagai dinikahkan dengan Dewi juru bicara Kahyangan. Tokoh ini bertransformasi menjadi Trenggani dan tinggal di wujud dewa di dalam pementasan. Setiap rapat para dewa, Kahyangan Tejamaja. Ia terdapat tiga tokoh sampingan yang selalu hadir, yang dua selalu memiliki sepuluh mencatat apa saja yang dikatakan Batara Guru, sedangkan satu keturunan, yakni Sembilan tokoh lagi memberikan pendapat terkait keputusan dari dewa dan satu dewi. Anak- Rajadewa itu. Tokoh yang mencatat semua perkataan Batara anak tersebut diberi nama Guru dapat dipastikan adalah sekretaris kerajaan. Satu tokoh lagi Wungkuan, Swahoya, dapat diketahui adalah Tamboro, anak kandung Semar. Wraspati, Yampati, Surya, Candra Kuwera, Tamboro, Kamajaya, dan Dewi

131

Sarmanawati atau Darmastuti.

Ismaya yang diubah Di dalam pementasan, penjelasan mengenai tugas Semar sebagai menjadi punakawan punakawan dikemas dengan cukup singkat dan kreatif, yakni bernama Semar pun sama dengan menggunakan lirik-lirik yang dinyanyikan tokoh Semar. diberikan kewajiban Pemadatan yang dilakukan sutradara untuk memperjelas status mengemban tugas oleh sosial tokoh Semar ini dilakukan dengan cukup kreatif. Hyang Tunggal. Semar Lirik: ditugaskan untuk …. membimbing, Semar hanya sementara tinggal di Kahyangan mengingatkan, dan Semar wajib bertugas di Marcapada, segera menyadarkan jiwa kaum Turun ke Planet Jawa, menghamba para satria kanan Marcapada untuk Kalian wajib ikut, Semar bukan lagi dewa menyembah Wenang Hanya abdi, pelayan satria, rakyat biasa sebagai Mahajunjungan. Wayang rendahan, bergaji kecil, atau tak punya gaji Semar, Mungkin hanya ajak menerima hinaan

132

Semar ditakdirkan oleh Seperti di dalam novelnya, sosok pengikut yang ditakdirkan oleh Hyang Tunggal memiliki Semar muncul di atas panggung. Mereka menjadi ras dengan pengikut yang mirip seperti kelas sosial yang sama dengan Semar, yakni Gareng, Petruk, dan jelmaan dirinya. Bagong. Wujudnya memang mirip Semar. Dari ketiganya, sosok Bagonglah yang lebih mirip seperti Semar. Ia ditampilkan memiliki tubuh yang bulat, bokong yang besar dan cara berjalannya pun bungkuk. Topeng yang digunakan pemain untuk menunjukkan wujud Bagong memperlihatkan bahwa ia memiliki mata yang lebar, bibirnya tebal dan terkesan memble. Ia memiliki rambut berwarna hijau yang diikat kuda. Dalam setiap adegan rapat, Bagong, Gareng, dan Petruk nampak selalu ikut hadir menemani Semar. Ia selalu berada di belakang Semar sebagai pengikutnya.

Pada novel Mahabarata Di dalam pementasan, kita bisa melihat bahwa tokoh Semar Jawa, dijelaskan bahwa selalu hadir dalam setiap rapat dewa. Kehadirannya selalu diikuti Semar juga diberikan tugas oleh anak-anaknya. Di atas panggung pun ia hadir bukan dengan oleh Tunggal untuk wujud tokoh Ismaya, melainkan tetap dalam wujudnya sebagai

133

mengabdi pada raja-raja Semar. Ia juga selalu membantu Batara Guru dalam Marcapada. Namun, sebagai menyelesaikan perkara yang menimpa Kahyangan, walaupun Ismaya, ia wajib hadir tidak dijelaskan oleh Tunggal terkait tugas yang harus diemban dalam persidangan para Semar seperti di dalam novel. dewa. Semar, Togog, dan Manan harus siap siaga membantu Batara Guru.

5. Dewi Umiya Di dalam novel, dijelaskan Di dalam pementasan, penggambaran ras Dewi Umiya yang bahwa Dewi Umiya berubah dari rakseksi menjadi bidadari hanya dijelaskan melalui dinikahi oleh Manikmaya monolog tokoh dalang. Tidak ada adegan yang spesifik untuk sebelum bergelar Batara memperkenalkan status tokoh ini. Dewi Umiya hadir di atas Guru. Dijelaskan pula panggung langsung setelah Manikmaya menggantikan Hyang bahwa sebelum ia berwujud Tunggal sebagai Rajadewa. Namun sebaliknya, perubahan ke bidadari, ia adalah sesosok wujud semula menjadi rakseksi ditampilkan langsung melalui rakseksi. Hingga tapanya pengadeganan di atas panggung. berhasil dan membuatnya menjadi bidadari cantik dan

134

dinikahi oleh Manikmaya sebagai Dewi.

Sebagai Dewi, istri Batara Di dalam pementasan, sebagai bidadari yang diperistri Guru sang Rajadewa, ia Rajadewa, Umiya pun berperan sebagai istri yang hormat pada digambarkan memiliki suami. Dalam dialognya, ia menggunakan bahasa Jawa yang pekerti yang halus dan menampakkan nilai hormat dan sopan kepada sang suami. hormat pada suami, baik Beberapa istilah seperti hamba dan kakanda ia tuturkan. Istilah dari perkataan maupun kata hamba sangat lekat dalam konteks kebudayaan Jawa, sikap. Penggunaan istilah khususnya keraton, yang mana kata-kata itu dituturkan untuk Jawa seperti hamba dan menghormati lawan bicara yang posisinya lebih tinggi. Istilah kakanda yang menunjukkan kata kakanda pun demikian, menurut KBBI, kata kakanda berarti nilai kesopanan hadir dalam kata sapaan lebih hormat, lebih mesra kepada kakak.2 Kata-kata dialog Umiya. itu pun diucapkan dengan tutur kata yang lembut dan sopan. Sebagai seorang istri dari Rajadewa Tribuana, Dewi Umiya tentu menghormati suaminya dan atas cintanya, panggilan kakanda tentu pas digunakan untuk memperlihatkan chemistry di antara sepasang suami istri tersebut.

2 Kamus Besar Bahasa Indonesia V Daring, Badan Bahasa, Kemendikbud.

135

Di dalam novel dijelaskan Namun, di dalam pementasan tidak ada adegan yang bahwa beberapa waktu mengisahkan kelahiran Sakra, Mahadewa, dan Asmara. Dalang kemudian, setelah Umiya pun tidak menjelaskan dalam monolognya. Hanya tujuh dewa menjadi Dewi Umarakti, ia yakni, Batara Sambu, Batara Brama, Batara Hindra, Batara berturut-turut melahirkan Bayu, Batara Wisnu, Ganisya, dan Batara Kala yang lahir saat ia tiga putranya bersama masih menjadi Dewi Umiya. Tidak ada penambahan tokoh anak Batara Guru. Mereka diberi Dewi Umarakti di dalam pementasan tersebut. Selepas nama Sakra, Mahadewa, pertukaran jiwa, tokoh Dewi Umarakti hanya menemani Batara Asmara Guru dalam rapat para dewa dan menghalanginya untuk membunuh Kala. Tidak ada satu adegan khusus lainnya yang menceritakan kelahiran dewa-dewi baru dari rahim Dewi Umarakti.

6. Gading Sebagai ras dari bangsa jin, Peristiwa datangnya Gading Permoni mengganggu Kahyangan Permoni Ratu Jin Umarantiki Jonggringsalaka tersebut juga memunculkan citra negatifnya di memiliki citra yang negatif. dalam pementasan. Gading Permoni dimunculkan di dalam Saat ia mengisi jiwa Gading pementasan pertama kali melalui layar animasi bagian depan Permoni pun niat jahatnya pada adegan XVI di babak II. Pada adegan tersebut, panggung tetap menguasai. ditutup oleh layar multimedia bagian depan yang menampilkan

136

Kemunculan sosok Gading sosok Gading Permoni yang melayang ke sana kemari. Permoni di dalam novel Kemudian masuklah para dewa dan prajurit yang hilir mudik, dikisahkan membuat geger kalang kabut mengejar sosok gadis berselubung api itu yang Kahyangan mengganggu ketentraman Kahyangan. Ketika tokoh itu Jonggringsalaka. Ia terbang tertangkap oleh Batara Guru pun, digambarkan pula bagaimana melayang-layang mengisi Rajadewa itu telah mengetahui sisi buruk dari Ratu Jin sudut-sudut Umarantiki yang bersarang dalam tubuh Gading Permoni. Jonggringsalaka. Para dewa pontang-panting berusaha menangkap putri berselubung api itu, tetapi gagal.

Di dalam novel dijelaskan Di dalam pementasan, kenaikan posisi Gading Permoni sebagai setelah Gading Permoni penguasa Madyapada tidak digambarkan sama sekali. menikah dengan Kala, ia berkuasa di Setra Gandamayit dan menjadi

137

ratu kejahatan di Madyapada.

7. Idajil Sebagai pemimpin kaum Di dalam pementasan, tokoh Idajil yang pasukannya kalah Asura yang membelot, ia kemudian dikurung di sebuah kawasan kawah berapi seperti dibuang ke planet maya neraka. Namun, dalam kurungan itu, ia masih bisa ditemui oleh tanpa cahaya bernama anaknya, Prabu Nilarudraka. Hal ini bertolak belakang seperti Himbernotaya, letaknya di yang digambarkan pada novelnya. Padahal, di dalam novel ia balik alam semesta. dibuang di balik alam semesta dan terasingkan. Hal ini tergambar Tubuhnya dibelenggu melalui lirik yang dinyanyikannya: dalam pembuangan itu. Ia Lirik: tetap bisa menghasut Anakku sayang, Prabu Nilarudraka perkasa melalui bisikan-bisikan. Raja yang berkuasa tanah Glugur Tinular Jadi Rajadewa sudah menolak lamaranmu? Dia tidak menganggap kamu raja berkuasa Dia menganggap kamu cuma sosok pengemis Kamu pasti bisa bikin bidadari itu bahagia Mungkin dia lebih bahagia di kerajaanmu Gagar Mayang tak layak di istana Rajadewa

138

Kamu punya tentara yang sungguh perkasa Sepuluh ribu tentara hebat gajah terbang Pasukan panah dan tombak yang dahsyat Dengan cepat kamu bisa kalahkann Rajadewa Mungkin kamu malah bisa jadi raja di sana Pergilah berperang, maju dan menanglah Dari tempat buanganku, aku merestui kamu Semangat setan dan jin ada di lubuk hatimu Berperanglah dan menanglah Restu Idajil jadi semangatmu

Melalu tabel yang telah dipaparkan, dapat diketahui bahwa transformasi yang dipetakan melalui ciri fisik, psikologis, dan sosial memperlihatkan gambaran perubahan-perubahan yang terjadi dalam pementasan terhadap novelnya. Melalui ciri fisik, terdapat perubahan dan pengembangan konsep dari bentuk tubuh, wajah, kostum, properti dan warna suara tokoh semua tokoh, yakni Manikmaya, Manan, Antaga, Ismaya, Dewi Umiya, Gading Permoni, dan Idajil . Melalui ciri psikologis, transformasi yang terjadi pada karakter tokoh Gading Permoni dan Idajil dapat dikatakan setia kepada hipogramnya. Karakter negatif yang muncul memiliki kesamaan, sedangkan tokoh yang lainnya mengalami perubahan, dan pengembangan terkait watak, kegemaran, tempramen, ambisi, dan kompleks psikologis yang dialami tokoh. Melalui ciri sosial, penggubahan yang terjadi juga memperlihatkan adanya kesamaan, pengurangan, perubahan, dan pengembangan seperti status sosial, jabatan, keturunan, dan ras yang ditetapkan pada diri seluruh tokoh.

Transformasi tokoh yang terjadi di atas panggung pun bukan hanya pada akting pemain, melainkan juga direalisasikan secara visual melalui multimedia layar animasi. Kita dibuat seolah-olah sedang menonton film di atas panggung, tetapi aktor tetap melakukan sandiwara. Perubahan wujud tokoh menjadi besar, makhluk raksasa, dan kesaktiannya disuguhkan melalui layar panggung. Hal itu menjadi nilai tambah bagi penonton untuk memahami jalan cerita dan penokohan yang coba digarap oleh sutradara dalam lakonnya.

139

140

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah

Karya sastra memiliki peran yang efektif dalam membentuk karakter anak bangsa. Permasalahan kehidupan kita sehari-hari, dapat ditemui dalam karya-karya sastra dan tentunya menjadi salah satu pembelajaran dalam pengimplementasiannya dalam kehidupan. Sastra bukan hanya sebagai bahan pengungkapan perasaan pengarang. Lebih dari itu, sastra memiliki keterikatan tersendiri bagi para pembaca. Hal itu dikarenakan karya sastra dengan segala bentuknya dapat diwujudkan sebagai ruang berpikir untuk membuka mata pembaca dalam memandang suatu realitas sosial, budaya, agama politik, dan nilai-nilai lain yang terkandung. Dari hal-hal tersebut, karya sastra dapat memberikan pencerahan untuk masyarakat, khususnya masyarakat modern masa kini untuk lebih peduli, terbuka, dan peka terhadap segala nilai moral yang terkandung. Nilai moral tersebut yang kemudian menjadi sarana pemahaman dan pengimplementasian peserta didik untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Pembelajaran drama menjadi salah satu materi yang sangat penting dalam pembelajaran sastra di sekolah. Drama adalah satu-satunya seni yang paling objektif, dalam arti bahwa di sana kedua pengalaman hidup manusia antara lahir maupun yang batin diusung lewat kata-kata (dialog, monolog), perbuatan (mimik, pantomimik), dan disaksikan oleh penonton atau publik dan drama adalah seni yang paling kuat, sebab di dalamnya para penonton, publik menjaga suatu peristiwa dan segi kehidupan yang kemudian ditafsirkan antara pengalaman hidup masa silam (kemarin) dengan kehidupan yang sedang dihayati maka pembelajaran drama sangat penting dalam pembelajaran.1

Pembelajaran drama menggunakan tema kisah Mahabarata masih jarang dipilih oleh pengajar sebagai acuan untuk mengapresiasi karya sastra dan

1 Duwi Purwati, Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Berbasis Potensi Lokal (Panduan Menulis Naskah Drama dengan Mudah, (Surabaya: CV. Jakad Media Publishing, 2020), h. 35.

141

sarana pendidikan karakter peserta didik. Bagi sebagian orang, kisah ini mungkin kurang menarik. Kebanyakan orang menganggap bahwa Mahabharata hanyalah sebuah kisah yang menceritakan perseteruan Pandawa dengan Kurawa yang tidak lain adalah sepupu mereka sendiri. Ceritanya yang panjang, alur yang rumit, dan banyaknya karakter tokoh yang terlibat akan membuat sebagian orang merasa bosan dan tidak tertarik untuk membahasnya. Apalagi kisah ini akan sulit dimengerti peserta didik jika penyampaiannya monoton atau hanya sekadar membaca teks naskah yang memang tebal dan panjang.

Media teater dalam menunjang pembelajaran apresiasi drama sebenarnya sangat membantu guru. Untuk itu, sebagai sebuah pembaruan, pementasan drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa dapat menjadi pilihan dan modal bagi guru untuk melakukan pembelajaran secara lebih kreatif dan menyenangkan. Kisah yang digarap pada pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa sangat jarang dilakonkan baik dalam pertunjukan drama tradisonal maupun modern. Hal ini dikarenakan Nano Riantiarno sebagai penulis naskah sekaligus sutradara pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa, membawa kisah yang cukup berbeda dari lakon Mahabarata biasanya.

Di lakon ini, Nano membuat pengenalan kisah awal mula terbentuknya Mahabarata sebelum adanya perseteruan Pandawa dan Kurawa. Kisah yang ditawarkan adalah awal mula penciptaan yang dibuat oleh Hyang Wenang (sebagai Tuhan yang Maha Kuasa) terhadap alam semesta. Kisah Mahabarata sebagai kisah turun temurun yang mengandung banyak nilai budaya bangsa kini sudah jarang sekali diminati kalangan muda untuk dipelajari bahkan sekadar membaca epos ini pun sulit. Untuk itu, adanya pengenalan kisah mula Mahabarata melalui pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa menjadi sangat penting bagi peserta didik untuk mengenalkan apa itu Mahabarata secara lebih mudah dan sebagai sebuah sarana membangun karakter mereka.

142

Sebelum itu, guru dapat memberikan bagian Tiga Dunia dari novel Mahabarata Jawa untuk dibaca siswa. Hal ini diperlukan sebagai pemantik siswa dalam memahami sebuah lakon cerita tanpa melalui naskah. Hal ini akan menjadi peluang bagi guru untuk mengenalkan pula sebuah alih wahana karya sastra selain novel ke film. Kebanyakan peserta didik hanya mengetahui alih wahana yang terjadi melalui novel ke film seperti “Dilan” yang sangat populer di kalangan anak sekolah. Untuk itu, pengenalan konsep ini akan membuat siswa lebih kreatif dan kritis dalam melihat perubahan-perubahan apa saja yang terjadi dan bisa mereka lakukan dalam mengapresiasi karya sastra. Strategi ini bisa menjadi cara baru untuk guru, apalagi pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa memang sebuah alih wahana dari novel Mahabarata Jawa karya Nano Riantiarno. Selain itu, guru juga sebagai fasilitator dalam mengenalkan budaya menonton teater yang masih jarang diminati, bahkan tidak diketahui peserta didik..

Untuk membuat peserta didik tertarik dalam mempelajari drama dan membuat sebuah pementasan drama di sekolah, mengajak mereka untuk menyaksikan langsung pertunjukan drama melalui teater dapat menjadi sebuah alternatif yang bisa dilakukan guru. Alternatif lainnya adalah menayangkan video pementasan teater di layar proyektor kelas untuk ditonton peserta didik bersama-sama. Teater Koma menjadi salah satu kelompok teater produktif yang bisa menjadi pilihan bagi guru dalam mengenalkan siswa tentang dunia pertunjukan.

Mahabarata: Asmara Raja Dewa, adalah sebuah pertunjukan drama yang mengusung konsep modern yang mengikuti perkembangan zaman. Hal itu karena pementasan didukung dengan adanya penggunaan animasi multimedia. Namun, tentunya jika ditonton melalui video di sekolah, akan menguras banyak jam pelajaran dan pasti tidak cukup diputar dalam satu hari. Untuk itu, perlu kreativitas guru untuk memangkasnya menjadi sebuah sinopsis

143

pertunjukan. Guru dapat mengambil hal-hal yang paling penting untuk dikenalkan kepada para peserta didiknya sesuai materi yang akan diajarkannya. Dari novel yang telah dibaca sebelumnya, peserta akan lebih mudah memahami apa saja perbedaan dan kesamaan dari unsur-unsur kedua karya sastra tersebut. Dengan demikian, memudahkan mereka untuk membangun konsep kreatif dalam pembelajaran drama. Guru bisa saja memberikan peluang siswa untuk membuat pementasan berdasarkan buku apapun yang telah mereka baca. Peserta didik diharapkan mampu membuat sebuah teks naskah dan menampilkan karyanya dalam sebuah pementasan sederhana di sekolah. Hal ini tentu akan menambah pemahaman dan pengalaman peserta didik dalam melakukan pembelajaran sastra dengan cara yang sedikit rumit dan menantang tetapi menarik dan menghibur.

Bukan hanya menumbuhkan kreativitas peserta didik, proses analisis sastra dengan menggunakan dua media yang berbeda sekaligus, yakni novel dan drama akan memudahkan guru dalam proses mengembangkan keterampilan berbahasa peserta didik. Tidak hanya dari segi membacanya saja, tetapi dari segi menyimak dan mendengarkan. Kedua hal tersebut masih sulit dikuasai dalam waktu yang bersamaan. Untuk itu, hal tersebut dapat dilakukan sebagai pembiasaan untuk meningkatkan keterampilan berbahasa peserta didik.

Teknik membaca peserta didik juga perlu ditingkatkan. Guru perlu menerapkan cara membaca kritis. Peserta didik diharapkan dapat lebih teliti dan menguasai materi melalui proses membaca kritis. Selain untuk memperdalam pengetahuan siswa, peran guru pada pelajaran Bahasa dan Sastra juga sangat penting dalam memberikan nilai-nilai karakter yang ada di dalam novel dan pementasan. Melihat bagaimana tokoh-tokoh itu mengalami transformasi dari berbagai segi dan memahami bagaimana karakter tersebut bisa menjadi acuan dalam pengembangan diri.

144

Tak bisa dipungkiri tokoh-tokoh yang ada dalam lakon Mahabarata: Asmara Raja Dewa akan menjadi daya tarik tersendiri bagi peserta didik dan itu menjadi hal penting. Sebelum peserta didik membuat pertunjukan di sekolah, menjadi pemeran dalam drama yang akan mereka tampilkan, otomatis mereka harus memahami bagaimana karakter tokoh dan segala pendukungnya, termasuk kostum. Peserta didik dapat belajar melalui pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa yang mereka tonton,. Dari sana, mereka bisa melihat konsep kostum yang mewakili tiap-tiap karakter tokoh. Misalnya di dalam pementasan, kostum raja dan permasuri yang diperlihatkan megah dan menawan, kostum para dewa yang agung dan gemerlap, kostum punakawan yang nyentrik dan nyeleneh, kostum raksasa yang terlihat menyeramkan dan ganas, kostum para bidadari yang anggun dengan warna-warna lembut cerah, tentu memberikan kesan yang menyenangkan bagi peserta didik yang menontonnya dan memberikan kemudahan bagi mereka untuk mengimajinasikan keperluan kostum bagi pementasan yang akan mereka garap nanti.

Dari adanya pembelajaran drama ini, selain siswa mampu membuat teks dan mementaskannnya, diharapkan siswa juga mampu mengilhami dan mengimplementasikan nilai dan norma-norma sosial maupun budaya Indonesia di dalam kehidupan sehari-hari. Melalui lakon pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa yang menjadi sumber belajar, peserta didik akan mempelajari banyak hal. Pertama, sebagai kontribusi dalam pengenalan kebudayaan Indonesia. Epos Mahabarata yang biasanya hanya ditonton dalam layar televisi, sebagai sarana hiburan yang dibuat oleh industri luar negeri (India) dapat disaksikan langsung melalui media yang lain yakni drama hasil karya seniman bangsa. Pengetahuan yang minim hanya sebatas Pandawa dan Kurawa dapat diluruskan melalui tontonan karya Nano Riantiarno ini. Apalagi bagi peserta didik yang sebelumnya tak pernah mengetahui ataupun membaca

145

epos turun temurun ini, mereka tidak akan merasa bingung terhadap pergulatan Pandawa dan Kurawa, karena kisah yang ditawarkan adalah asal mula adanya epos Mahabarata itu sendiri. Tentunya, segalanya telah mengalami penyesuaian budaya yang tentu berbeda dengan kisah Mahabarata India. Peserta didik bukan hanya belajar mengenai drama dan panggung, melainkan juga perpaduan budaya, khususnya Nusantara.

Dalam novel Mahabarata Jawa, peserta didik akan melihat bagaimana pakem Jawa dapat melekat pada imajinasinya ketika membaca. Namun, ketika diubah dalam bentuk pementasan drama, mereka dapat melihat bagaimana karya sastra bisa berkembang dan berubah sedemikian rupa. Nano Riantiarno sendiri mengatakan bahwa pementasan ini menjadi sesuatu yang berbeda dari cerita Mahabarata yang pernah digarapnya. Ia tidak berkutat pada pakem “Kejawaannya” yang mengacu pada Jogja, Solo, ataupun Cirebon, melainkan ia mengusung sesuatu yang lebih universal. Ia memilih sesuatu yang sifatnya luar biasa dan berbeda, yakni dengan memadukan unsur Batak, Bali, dan Toraja yang sifatnya meluas menjadi Nusantara. Walaupun unsur India tak luput dari konsepnya dalam hal penataan set dekorasi.

Hal inilah yang menjadi nilai lebih bagi peserta didik dalam pembelajaran drama di sekolah. Mereka juga dapat belajar dan menyerap pengetahuan tentang kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia dalam pengaplikasiannya pada sebuah karya sastra. Melalui kostum, musik, panggung, dan properti yang menjadi sarana pendukung transformasi dari novel, peserta didik dapat melihat bagaimana perbedaan unsur budaya itu nampak. Penggunaan kain ulos khas Batak, badong khas Bali, dan alat musik Gondang sebagai salah satu alat musik pengiring, menampilkan bagaimana perpaduan itu dapat menyatu di atas panggung. Peserta didik juga akan dapat mengetahui bahwa Mahabarata bukan hanya sekadar epos yang hanya bisa

146

dinikmati dengan konsep “India” dan “Jawa”, melainkan juga bisa menggunaan sarana tradisi daerah lainnya.

Kemudian pentingnya pengajaran sastra juga sebagai sarana mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai pengetahuan, sosial, moral, dan keagamaan agar dapat menghayati dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Nilai-nilai yang dapat diambil dari novel Mahabarata Jawa dan pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa adalah mengenai hukum sebab- akibat. Segala sesuatu yang berlandaskan keburukan hanya akan melahirkan keburukan pula. Apa yang terjadi di kemudian hari adalah akibat dari sesuatu yang dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, peserta didik diharapkan mampu memahami hukum sebab-akibat tersebut agar lebih berhati-hati dalam mengucap dan bertindak.

Tuhan tidak akan pernah membiarkan kejahatan menang melawan kebaikan. Segala sesuatunya akan mendapat konsekuensi di waktu mendatang. Dari situ peserta didik dapat belajar, bukan hanya dalam menjaga ucapan dan tindakan, tetapi juga bagaimana mengendalikan emosi demi terjaganya kerukunan, baik di dalam ranah keluarga, sekolah, maupun lingkungan masyarakat.

Selain itu, peserta didik juga dapat lebih memahami bahwa cinta adalah hal penting dalam kehidupan. Kesombongan dan kebencian hanya akan melahirkan sesuatu yang buruk, sedangkan cinta akan menjadi kekuatan dahsyat dalam menjalani kehidupan. Sebuah hubungan keluarga pun akan hancur jika tidak dibarengi dengan rasa cinta. Nilai-nilai tersebut diharapkan dapat diaplikasikan oleh peserta didik untuk saling menyayangi, bertoleransi, bekerja sama, dan saling tolong menolong sesama teman maupun orang di sekitarnya.

147

Analisis transformasi tokoh pada sebuah karya sastra ini, dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Menengah Atas, seperti yang telah terlampir pada RPP. Kompetensi dasar yang akan dicapai yaitu mengidentifikasi karakteristik, struktur unsur intrinsik, dan nilai-nilai pada novel dan drama. Pembelajaran akan memfokuskan pada peserta didik untuk dapat menganalisis transformasi tokoh yang terjadi pada dua media yang berbeda, yatu media buku dan juga pementasan drama. Hal ini dapat mengasah kekuatan analisis siswa dan cara siswa dalam berpikir kritis. Selain itu, melalui analisis atas tokoh tersebut, siswa dapat mengetahui nilai- nilai moral yang dapat diaplikasikan dalam kehidupannya.

Siswa juga dapat lebih mudah memahami dalam menganalisis tokoh jika melalui media audiovisual. Siswa dapat memahami lebih dalam mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tokoh, tidak hanya sebatas definisi yang mereka ketahui. Hasil yang didapat nantinya pun akan berdampak jangka panjang bagi siswa. Setelah memahami karakteristik tokoh yang berubah dari tulisan menjadi laku sandiwara, peserta didik dapat lebih mudah mengimajinasikan karakter tokoh yang akan dimainkannya dalam pementasan drama yang akan dibuat. Hal ini penting, mengingat kurikulum 2013 menekankan siswa untuk lebih aktif di dalam kelas, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator. Proses analisis sastra dengan menggunakan dua media yang berbeda sekaligus, dapat mengembangkan keterampilan berbahasa peserta didik. Tidak hanya dari segi membaca, namun dari segi menyimak dan mendengarkan. Diharapkan setelah pembelajaran usai, peserta didik mendapat informasi dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai tokoh dan penokohan, serta unsur lainnya melalui dua media yang berbeda.

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Nano Riantiarno sebagai salah satu sastrawan terkemuka di Indonesia, menjadi salah satu pegiat sastra yang menulis kisah pewayangan Jawa di dalam karyanya, termasuk kisah Mahabarata. Salah satu novelnya berjudul Mahabarata Jawa menjadi sebuah karya yang penting karena mengisahkan berbagai peristiwa dalam cerita Mahabarata versi Jawa dengan pakem Jawa dan berbagai adaptasi budaya Jawa yang telah tersebar di masyarakat. Novel ini kemudian dialihwahanakan atau ditransformasikan dalam bentuk pementasan drama. Riantiarno menggunakan novel Mahabarata Jawa sebagai landasan dalam penggubahan pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa. Dalam pementasannya, Nano Riantiarno berhasil memberikan ide dan persepsi baru bahwa Mahabarata Jawa yang berkembang dan menjadi identitas “Indonesia” berbeda dengan Mahabarata India dengan dewa-dewa tertingginya adalah Wisnu, Indra, Bayu dan Brahma. Hal ini berbeda dengan Mahabarata versi Jawa yang menampilkan Batara Guru sebagai dewa tertinggi dan memiliki identitas tokoh panakawan dalam kisahnya.

Melalui transformasi karya yang dilakukannya, terjadi berbagai perubahan bentuk dari berbagai unsur yang sebelumnya tertulis dalam novel menjadi sebuah tontonan yang bisa dilihat dan didengar. Salah satu unsur dominan yang bertransformasi adalah dari tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel dan pementasan drama tersebut. Transformasi tokoh yang dikaji mengacu pada tujuh tokoh yang dominan di dalam cerita dan lakon yang ada, yakni Manikmaya, Manan, Semar, Antaga, Dewi Umiya, Gading Permoni, dan Idajil.

148

149

Dalam novel Mahabarata Jawa, tokoh-tokoh yang ada, baik secara fisik maupun wataknya, dideskripsikan melalui kata-kata dalam bentuk narasi maupun dialog, berbeda dengan pementasan drama yang kebanyakan ditampilkan melalui visual tubuh dan visual tambahan melalui animasi multimedia pada layar-layar di atas panggung. Bentuk transformasi ini muncul sebagai akibat dari adanya konsekuensi penyesuaian bentuk karya sastra yang berbeda dari novel ke pementasan drama. Di dalam pementasan, perubahan wujud tokoh terjadi langsung secara cepat di atas panggung dengan aktor yang sama. Transformasi fisik dari wajah maupun kostum yang digunakan berlangsung saat itu juga di atas panggung. Namun, bukan hanya perubahan dalam hal fisik, tetapi juga kompleks psikologis berupa watak, kegemaran, temperamen, ambisi tokoh serta transformasi sosialnya berupa status sosial, jabatan, keturunan, dan ras tokoh pun berubah.

Penelitian terhadap transformasi tokoh melalui ciri fisik, psikologis, dan sosial yang dialami tokoh dalam novel Mahabarata Jawa dan pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa, memperlihatkan bahwa N. Riantiarno masih berupaya untuk setia kepada hipogramnya. Namun, dalam pementasannya, Nano Riantiarno tidak berkutat pada pakem “kejawaan” yang mengacu pada Jogja, Solo, ataupun Cirebon, melainkan ia mengusung sesuatu yang lebih universal. Melalui kostum, musik, panggung, dan properti yang menjadi sarana pendukung transformasi dari novel, dapat dilihat bagaimana perbedaan unsur budaya yang coba ditampilkan oleh Riantiarno. Penggunaan kain ulos khas Batak, badong khas Bali, dan alat musik Gondang sebagai salah satu alat musik pengiring, menampilkan bagaimana perpaduan itu dapat menyatu di atas panggung. Ia memilih sesuatu yang sifatnya luar biasa dan berbeda, yakni dengan memadukan unsur budaya Indonesia lainnya, seperti Batak, Bali, dan Toraja yang mewakili Nusantara. Meski demikian, unsur India tak luput dari konsepnya dalam hal penataan set dekorasi. Hal ini menunjukkan bahwa

150

Mahabarata bukan hanya sekadar epos yang hanya bisa dinikmati dengan konsep “India” dan “Jawa”, melainkan juga bisa menggunakan sarana tradisi daerah lainnya.

Implikasi yang dapat diterapkan dari kajian transformasi tokoh di dalam novel Mahabarata Jawa ke dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa yaitu pada pembelajaran tingkat SMA kelas XI materi drama. Kompetensi dasar yang tepat yakni dalam mengidentifikasi karakteristik, struktur unsur intrinsik, dan nilai-nilai pada novel dan drama. Melalui lakon pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa yang menjadi sumber belajar, peserta didik akan mempelajari banyak hal. Pertama, sebagai kontribusi dalam pengenalan kebudayaan Indonesia. Peserta didik bukan hanya belajar mengenai drama dan panggung, melainkan juga perpaduan budaya, khususnya Nusantara. Kedua, mereka juga dapat belajar dan menyerap pengetahuan tentang kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia dalam pengaplikasiannya pada sebuah karya sastra. Ketiga, sebagai sarana mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai- nilai pengetahuan, sosial, moral, dan keagamaan agar dapat menghayati dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Keempat, peserta didik juga dapat lebih mudah memahami dalam menganalisis tokoh jika melalui media audiovisual. Proses analisis sastra dengan menggunakan dua media yang berbeda sekaligus, dapat mengembangkan keterampilan berbahasa peserta didik. Tidak hanya dari segi membaca, namun dari segi menyimak dan mendengarkan. Diharapkan setelah pembelajaran, peserta didik mendapat informasi dan pemahaman baru mengenai tokoh dan penokohan, serta unsur lainnya melalui dua media yang berbeda.

151

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Penelitian yang membahas tentang transformasi-transformasi yang terdapat dalam novel Mahabarata Jawa karya N. Riantiarno ke dalam pementasan drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa karya N. Riantiarno, khususnya pada unsur tokoh-tokohnya masih belum sempurna. Oleh karena itu, penelitian-penelitian yang mengangkat kisah serupa masih perlu dilakukan sebagai penguat dan tambahan pengkajian untuk sumbangsih pendidikan. Pernyataan tersebut tentunya berkaitan dengan esensi penelitian yang sejatinya sebagai penyempurnaan untuk penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Aspek intrinsik dan hierarki transformasi tokoh yang terjadi dalam novel ke pementasan, dapat diteliti serta dipelajari lebih baik sehingga dapat berguna bagi banyak orang di dunia sastra dan pendidikan.

2. Guru diharapkan tuntas menyampaikan teori dan pengaplikasiannya dalam pembelajaran mengenai analisis unsur intrinsik karya sastra dan persiapan- persiapan pementasan drama, sebagai upaya pengembangan metode pembelajaran di kelas dan peningkatan apresiasi drama bagi peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, Abdul Latiff Aplikasi Teori Semiotika Dalam Seni Pertunjukan. Etnomusikologi. Vol. 2. No. 1. Mei 2006.

Buck, William. Mahabharata. Delhi: University of California. 1981.

Contessa, Emila dan Shofiyatul Huriyah. Perencanaan Pementasan Drama. Yogyakarta: Deepublish. 2020.

Damono, Sapardi Djoko. Alih Wahana. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2018.

Damono, Sapardi Djoko. Sastra Bandingan. Ciputat: Editum. 2015.

Elam, K. The Semiotics Of Theatre And Drama. New York: Routledge. 2003.

Emzir, dkk., Tentang Sastra: Orkestra Teori dan Pembelajarannya. Yogyakarta: Garudhhawacana, 2018.

Endraswara, Suwardi. Metode Pembelajaran Drama (Apresiasi, Ekspresi, dan Pengkajian). Yogyakarta: CAPS. 2011.

Eneste, Pamusuk. Novel dan Film. Jakarta: Nusa Indah. 1991.

Gasong, Dina. Apresiasi Sastra Indonesia. Yogyakarta: Deepublish. 2019.

Hasanuddin. Drama Karya dalam Dua Dimensi. Bandung: Penerbit Angkasa. 1996.

Houtman dan Arif Aardiansyah. Dinamika Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: Deepublish. 2017.

152

153

Hwia, Ganjar. “N. Riantiarno, Teater Koma, dan Refleksi Politik dalam Karya Sastra”. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Vol. 3 No. 1. Juli 2014.

Ibrahim, Muchtaruddin, dkk. Ensiklopedia Tokoh Kebudayaan IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1999.

Indonesia, Tokoh. “Pendiri Teater Koma Nobertus Riantiarno, https://tokoh.id/biografi/2-direktori/pendiri-teater-koma/. Diakses pada 23 Februari 2021, pukul 15.00 WIB.

J., Rahma Barokah T.. Berfikir Cerdas dengan Bahasa Indonesia. Bogor: Guepedia. 2021.

Jabrohim. Teori Penelitian Sastra Kumpulan Materi Penataran Penelitian Sastra Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Insitut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Muhammadiyah Yogyakarta Tahap I Angkatan I, II, dan III – Lampiran 1 Semiotik (Semiologi). Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia.

K, RM Ismunandar. Wayang Asal-usul dan Jenisnya. Semarang: Dahara Prize. 1988.

Kaya, Galeri Indonesia. “Ruang Kreatif: Karakter Make Up dalam Seni Peran Oleh Teater Koma”. https://www.indonesiakaya.com/galeri-indonesia kaya/berita/detail/ruang-kreatif-apakah-saya-sudah-efektif-dalam berkomunikasi-oleh-talkinc-becky-tumewu. Diakses pada 23 Februari 2021, pukul 15.25 WIB.

Kamus Besar Bahasa Indonesia V Daring. Badan Bahasa. Kemendikbud.

154

Kemdikbud. “N. Riantiarno”. http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/ artikel/ N_Riantiarno. Diakses pada 23 Februari 2021. pukul 15.00 WIB. Koma, Teater. “N. Riantiarno”. https://www.teaterkoma.org/ index.php/profil/angkatanpendiri/36profil/angkatanpendiri/47nriantiar no? showall=&start=0. Diakses pada 23 Februari 2021, pukul 15.00 WIB. Kumalasari, Ucik dan Syakir. “Tarian Tradisional Bali Sebagai Tema dalam Penciptaan Karya Seni Kolase”. Jurnal Pendidikan Seni. Vol. 9 No. 2. Edisi 2020.

Kuning, Bendung Layung. Atlas Tokoh-tokoh Wayang dari Riwayat sampai Silsilahnya. Yogyakarta: Penerbit Narasi. 2011.

Marwoto. Tema dan Amanat dalam Cerita Pendek Indonesia. Semarang: Alprin. 2020.

Nurdin, Ismail dan Sri Hartati. Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: Media Sahabat Cendikia. 2019.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2012.

Nurgiyantoro, Burhan. Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1998.

Nurgiyantoro, Burhan. Wayang dalam Fiksi Indonesia. Humaniora. Vol. 15. No. 1. Februari 2003.

Nuryanto, Tato. Apresiasi Drama. Depok: Rajawali Press. 2017.

Pendit, Nyoman S. Mahabharata. Jakarta: PT Graedia Pustaka Utama. 2003.

155

Pramulia, Pana. “Transformasi Cerita Wayang Kulit ke dalam Bentuk Cerita Mini Sebagai Media Pengembangan Karakter Anak”. Prosiding Seminar Nasional Sastra Anak. Universitas PGRI Adi Buana Surabaya. Sabtu, 28 Mei 2016.

Pranoto, Iwan. Bahan Ajar Tata Rias dan Busana (Seni Drama, Tari, dan Musik. Ponorogo: Uwais Inspira Indonesia. 2019.

Puma, Made dan Sri Guritno. Arti-Makna Tokoh Pewayangan Mahabharata dalam Pembentukan dan Pembinaan Watak (Seri Ill). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Jakarta. 1997.

Purwati, Duwi. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Berbasis Potensi Lokal (Panduan Menulis Naskah Drama dengan Mudah. Surabaya: CV. Jakad Media Publishing. 2020.

Riantiarno, N. Booklet Mahabarta: Asmara Raja Dewa. 2018.

Riantiarno, N. Cermin Cinta. Jakarta: Grasindo. 2006.

Riantiarno, N. Mahabarata Jawa. Jakarta: PT Grasindo. 2016.

Riantiarno, N. Menyentuh Teater Tanya Jawab Seputar Teater Kita. Jakarta: Program Bimbingan Anak Sampoerna. 2003.

Riantiarno, N. Potret Riantiarno. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. 2016.

Riswandi, Bode dan Titin Kusmini, Kamar Prosa. Tasikmalaya: Langgam Pustaka. 2018.

Rokhmansyah, Alfian. Studi dan Pengkajian Sastra: Perkenalan Awal Terhadap Ilmu Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2014.

156

Sahid, Nur. Semiotika untuk Teater. Tari, Wayang Purwa, dan Film. Yogyakarta: Gigih Pustaka Mandiri. 2016.

Said, Salim Haji. Krisis Aktor, Teater Sutradara, dan Pasar, Sejumlah Tulisan Tentang Teater dan Film. Jakarta: PT Balai Pustaka. 2018.

Samsuddin. Buku Ajar Pembelajaran Kritik Sasta. Yogyakarta: Deepublish. 2019.

Sasongko, Darmadi. “Ratna dan N. Riantiarno Tak Sekedar Berperan Sebagai Pasutri”. https://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/ratna-dan-n riantiarno tak-sekedar-berperan-sebagai-pasutri-vnqjwir.html. Diakses pada Minggu, 28 Desember 2020.

Sitorus, Eka D. The Art of Acting Seni Peran untuk Teater, Film & TV. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2003.

Sunarto, Wagiono. “Transformasi Visual Tokoh Mahabharata dalam Sejarah Komik Indonesia”. Jurnal Seni & Budaya Panggung. Vol. 23. No. 1. Edisi Maret 2013.

Teeuw, A. Sastera dan Ilmu Sastera. Pustaka Jaya: Bandung. 2003.

Wardani, Nugraheni Eko dan Endang Widiyastuti. Jenis-jenis Teater Wayang di Surakarta. Surakarta: UNS Press. 2013.

Warsiman. Membumikan Pembelajaran Sastra yang Humanis. Malang: UB Press. 2016.

Warsiman. Pengantar Pembelajaran Sastra. Malang: UB Press. 2017.

Wibisono, Muhammad Agung dan Widowati. “Unsur Pewayangan Cerita Mahabarata Versi Nano Riantiarno dalam Novel Wisanggeni Sang Buronan Karya Seno Gumira Ajidarma: Kajian Intertekstual”. Caraka. Vol. 4. No. 2. Juni 2018.

157

Wicaksono, Andri. Pengkajian Prosa Fiksi. Yogyakarta: Garudhawaca. 2017.

Wijayanto, Asul. Terampil Bermain Drama. Jakarta: PT Grasindo. 2002.

Wilson, Edwin. The Theater Experience. New York: McGraw-Hill. 2007.

Yoesoef, M. “Nilai-nilai Ideologi dan Sikap Kepengarangan: Sebuah Kajian atas Sastra Drama Karya N. Riantiarno”. Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara (Sakat). Departemen Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

158

LAMPIRAN

159

Sinopsis Novel Mahabarata Jawa

Lakon ini mengisahkan tentang Dewa dan Manusia. Semula hanya ada kosong. Namun, yang hampa kemudian diisi menjadi Tiga Dunia dan dicipta pula penghuninya, serta alam semesta yang menjadi wadahnya. Hyang Wenang mencipta galaksi, bintang, planet,-planet dan Ras Wayang. Dia mencipta Tiga Dunia dan disebut Tribuana. Dunia Satu adalah Mayapada atau Dunia Kekal atau Dunia Atas yang dihuni dewa-dewi, bidadari, dan apsara-apsari. Dunia Dua: Madyapada atau Dunia Gelap atau Dunia Bawah yang dihuni oleh setan, jin, demit, dan makhluk halus. Dunia Tiga: Marcapada atau Dunia Wayang atau Dunia Bawah, yang penghuninya adalah para wayang, raksasa, denawa, dan margasatwa.

Kemudian, untuk mengisi kekosongan Mayapada, dicipta wayang suci atau dewa dari cahaya, yang bernama Hyang Tunggal. Wenang lalu menyerahkan tampuk kekuasaan Tiga Dunia kepada Sang Hyang Tunggal. Hal ini menimbulkan amarah Idajil, yang tercipta dari api dan cahaya. Akibatnya, perang dahsyat terjadi dan Idajil kalah lalu ia pun dibelenggu dan dibuang. Hyang Tunggal yang menikah dengan Rekatawati dikaruniai empat dewa yang keluar dari sebutir telur. Mereka diberi nama Antaga, Ismaya, Manikmaya, dan Manan.

Pada suatu masa, empat dewa tersebut berkelahi untuk berebut sebutan “Paling Tua”. Akibat dari perkelahian itu, Antaga, Ismaya, dan Manan berubah wujud menjadi buruk rupa. Sedangkan Manikmaya akhirnya dinobatkan sebagai ahli waris Hyang Tunggal, menjadi Raja Dewa Tiga Dunia dan diberi gelar Batara Guru. Lakon ini berkisah tentang Batara Guru yang bertugas menjaga Kedamaian di Tiga Dunia yang selalu diusik oleh para penghuni Madyapada. Mereka selalu berhasrat untuk merebut tampuk kekuasaan Tiga Dunia yang dipegang oleh Batara Guru. Apalagi Idajil sang penguasa

160

kegelapan. Ini juga menyangkut kisah asmara tentang dewa-dewi para bidadari. Tentang Batara Guru yang menolak lamaran Nilarudraka sehingga menimbulkan peperangan. Ini juga kisah asmara Batara Guru dengan istrinya Umiya, seorang Rajadewa yang tak mampu menguasai hawa nafsunya sendiri, hingga keluarlah kamasalah yang kelak akan mengubah tatanan Tribuana. Umiya berubah menjadi raksasa kembali, dan menukar jiwanya dengan Gading Permoni. Kamasalah yang lahir kemudian berubah menjadi raksasa yang diberi nama Kala. Akhirnya Kala pun menikah dengan Gading Permoni.

161

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Sekolah : SMAN 6 Jakarta Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas/Semester : XI / Genap Materi Pokok : Drama Alokasi Waktu : 1 Pertemuan (2 x 45 menit)

A. Kompetensi Inti

1. Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya. 2. Menghargaidan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya. 3. Memahami pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata. 4. Mencoba, mengolah, dan menyaji dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang)sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori.

B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi

Kompetensi Dasar Indikator 4.18 Mempertunjukkan salah satu 1. Mendata, alur, konflik, penokohan, tokoh dalam drama yang dan hal yang menarik dalam drama dibaca atau ditonton secara yang dipentaskan. lisan 2. Memerankan salah satu tokoh dalam naskah drama yang dibaca sesuai dengan watak tokoh tersebut. 3. Memberi tanggapan, serta memperbaiki hasil kerja dalam diskusi kelas.

162

C. Tujuan Pembelajaran Setelah mengikuti proses pembelajaran, peserta didik diharapkan dapat: 1. Mendata, alur, konfliks, penokohan, dan hal yang menarik dalam drama yang dipentaskan. 2. Memerankan salah satu tokoh dalam naskah drama yang dibaca sesuai dengan watak tokoh tersebut. 3. Memberi tanggapan, serta memperbaiki hasil kerja dalam diskusi kelas.

D. Materi Pembelajaran 1. Pengertin drama 2. Unsur intrinsik drama 3. Persiapan pementasan drama 4. Pementasan drama

E. Metode Pembelajaran Pendekatan : Inkuiri Model Pembelajaran : Discovery Learning (Pembelajaran Penemuan) dan Jigsaw Metode : Ceramah, diskusi, tanya jawab, pemberian tugas, kerja kelompok

F. Media Pembelajaran 1. Gambar 2. Lembar bagian Novel 3. Laptop dan Proyektor 4. Tayangan video. 5. Speaker

G. Sumber Belajar 1. Buku penunjang kurikulum 2013 mata pelajaran Bahasa Indonesia Kelas XI Kemendikbud, tahun 2013 2. Buku referensi yang relevan. 3. Internet.

163

H. Langkah-Langkah Pembelajaran

Alokasi Tahap Kegiatan Pembelajaran Waktu 1. Guru melakukan pembukaan dengan salam pembuka, memanjatkan syukur kepada Tuhan YME dan berdoa bersama peserta didik untuk memulai pembelajaran. 2. Guru menanyakan keadaan peserta didik. 3. Guru memeriksa kehadiran peserta didik sebagai sikap disiplin. 4. Guru menyiapkan fisik dan psikis peserta didik Kegiatan dalam mengawali kegiatan pembelajaran. 5 menit Awal 5. Menjelaskan mekanisme pelaksanaan pengalaman belajar sesuai dengan langkah- langkah pembelajaran. 6. Peserta didik menyimak kompetensi dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. 7. Peserta didik menerima informasi kompetensi, materi, tujuan, manfaat, dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan

Guru membahas mengenai materi drama: 1. Pemberian materi unsur-unsur drama dan persiapan pementasan drama. 2. Menonton potongan pertunjukan Mahabarata: Asmara Raja Dewa. 3. Peserta didik menganalisis unsur intrinsik pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa. Kegiatan 4. Peserta didik mendemonstrasikan dan Inti (Saat 80 Menit memerankan salah satu tokoh dalam Membaca) pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa. 5. Menginformasikan nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa. Mengamati 1. Menonton tayangan berupa sinopsis pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa

164

yang telah dipangkas dan disesuaikan dengan durasi pembelajaran di kelas. 2. Peserta didik membaca lembar bagian Tiga Dunia dalam novel Mahabarata Jawa .

Menanya 1. Peserta didik bertanya tentang unsur intrinsik novel yang ada dalam lembar Tiga Dunia bagian novel Mahabarata Jawa yang telah diberikan guru 2. Peserta didik bertanya hal-hal yang berkaitan dengan unsur intrinsik pementasan drama, khususnya dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa

Mengumpulkan Informasi 1. Peserta didik bekerja secara kelompok (dibagi menjadi enam kelompok yang heterogen, 5-6 orang) untuk menganalisa unsur pembangun pementasan drama Mahabarata: Asmara Raja Dewa 2. Peserta didik dalam satu kelompok mencari salah satu unsur intrinsik dalam pementasan drama modern Mahabarata: Asmara Raja Dewa yang disajikan dalam bentuk video dan referensi lembar novel Mahabarata Jawa yang telah diberikan guru. 3. Masing-masing kelompok mendiskusikan tokoh dan penokohan yang penting, yang ada di dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa.

Mengasosiasi 1. Peserta didik mencoba menentukan dan mengidentifikasi unsur intrinsik pementasan drama.

165

2. Anggota dari kelompok lain yang telah mempelajari sub bagian yang sama berkumpul dalam kelompok baru yang disebut sebagai kelompok ahli untuk mendiskusikan sub bab mereka. Masing-masing peserta didik aktif menanggapi hasil kerja dari kelompok lainnya sehingga diperoleh sebuah pengetahuan baru yang dapat dijadikan sebagai bahan diskusi kelompok.

Mengomunikasikan 1. Guru bersama peserta didik mencocokkan hasil kerja kelompok dengan jawaban sementara yang diajukan pada awal pembelajaran. 2. Masing-masing kelompok menunjuk satu orang perwakilan untuk mencoba memerankan tokoh dalam pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa dalam satu adegan yang ditentukan guru. 3. Guru memberi apresiasi terhadap peserta didik yang telah berani memerankan tokoh di depan kelas dan penguatan untuk kelompok yang hasil kerjanya telah benar, serta memotivasi kelompok yang masih kurang.

Guru bersama peserta didik: 1. Membuat rangkuman/ simpulan pelajaran yang telah dipelajari. 2. Melakukan refleksi terhadap kegiatan yang Kegiatan sudah dilaksanakan. Penutup 3. Memberikan umpan balik terhadap proses dan 5 Menit (Setelah hasil pembelajaran. Membaca) 4. Bersama-sama menghubungkan hasil pembelajaran terhadap kehidupan sehari-hari.

Guru 1. Melakukan penilaian (HOTS)

166

2. Memberikan penghargaan untuk materi pelajaran pementasan drama kepada kelompok yang memiliki kinerja dan kerjasama yang baik. 3. Mengagendakan pekerjaan rumah untuk mencari referensi novel yang dapat dibuat naskah pementasan drama. 4. Memberikan tugas kepada peserta didik untuk menonton persiapan pertunjukan di balik layar oleh kelompok teater melalui chanel youtube. 5. Menutup kegiatan belajar mengajar dengan berdoa bersama

Peserta Didik 1. Membuat resume dengan bimbingan guru tentang poin-poin penting yang muncul dalam kegiatan pembelajaran unsur-unsur pementasan drama yang baru dilakukan.

I. Penilaian Hasil Pembelajaran 1. Teknik Penilaian a. Penilaian Sikap b. Penilaian Pengetahuan c. Penilaian Keterampilan

2. Instrumen Penilaian a. Penilaian Sikap Penilaian observasi berdasarkan pengamatan sikap dan perilaku peserta didik sehari-hari, baik terkait dalam proses pembelajaran maupun secara umum. Pengamatan langsung dilakukan oleh guru. Berikut contoh instrumen penilaian sikap: Aspek Perilaku yang Jumla Skor Kode No Nama Siswa Dinilai h Skor Sikap Nilai BS JJ TJ DS 1 … 75 75 50 75 275 68,75 C 2 … ......

167

Keterangan : • BS : Bekerja Sama • JJ : Jujur • TJ : Tanggung Jawab • DS : Disiplin

Catatan : 1. Aspek perilaku dinilai dengan kriteria: 100 = Sangat Baik 75 = Baik 50 = Cukup 25 = Kurang 2. Skor maksimal = jumlah sikap yang dinilai dikalikan jumlah kriteria = 100 x 4 = 400 3. Skor sikap = jumlah skor dibagi jumlah sikap yang dinilai = 275 : 4 = 68,75 4. Kode nilai / predikat : 75,01 – 100,00 = Sangat Baik (SB) 50,01 – 75,00 = Baik (B) 25,01 – 50,00 = Cukup (C) 00,00 – 25,00 = Kurang (K) 5. Format di atas dapat diubah sesuai dengan aspek perilaku yang ingin dinilai

b. Instrumen Penilaian Pengetahuan

No Aspek yang Dinilai 100 75 50 25 1 Penguasaan materi diskusi 2 Kemampuan menjawab pertanyaan 3 Kemampuan mengolah kata 4 Kemampuan menyelesaikan masalah Keterangan : 100 = Sangat Baik 50 = Kurang Baik 75 = Baik 25 = Tidak Baik

168

c. Penilaian Kemampuan Peserta Didik

No Aspek Penilaian Bobot Nilai Mampu mengidentifikasi alur, babak, konflik, 1. penokohan, dan hal-hal yang menarik dalam 3 10 naskah dan pementasan drama. Mampu memahami informasi nilai-nilai 2. kehidupan yang terkandung dalam naskah 3 10 drama Mampu memerankan salah satu tokoh drama 3. yang telah dibaca sesuai dengan watak tokoh 4 10 dengan memerhatikan isi dan kebahasaan. Total Nilai : (bobot x nilai) 100

3. Pembelajaran Remedial a) Aktivitas kegiatan pembelajaran remedial dapat berupa: pembelajaran ulang, bimbingan perorangan, belajar kelompok atau tutor sebaya dengan merumuskan kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik, alokasi waktu, sarana dan media pembelajaran.

4. Pembelajaran Pengayaan a. Pengayaan diberikan untuk siswa yang mencapai nilai ketuntasan dengan pedalaman sebagai pengetahuan tambahan. b. Siswa yang mencapai nilai diberikan materi melebihi cakupan KD dengan pedalaman sebagai pengetahuan tambahan.

Jakarta, 28 Desember 2020

Mengetahui,

Kepala SMA, Guru Mata Pelajaran

. . Putri Aliffia Darmawan NIP/NIK. 11160130000070

LAMPIRAN GAMBAR

Gambar 1 Gambar 2 Wujud ketampanan Manikmaya di atas panggung Wujud Manikmaya setelah bergelar Batara Guru

(Sumber: Nicky Tirto, November 2018) (Sumber: Nicky Tirto, November 2018

169

170

Gambar 3 Gambar 4 Batara Guru berleher biru Batara Guru berubah menjadi Denawa bertaring

(Sumber: Nicky Tirto, November 2018) (Sumber: Nicky Tirto, November 2018)

171

Gambar 5 Gambar 6 Wujud ketampanan Manan di atas panggung Wujud Manan menjadi Narada

(Sumber: Nicky Tirto, November 2018) (Sumber: Nicky Tirto, November 2018)

172

Gambar 7 Gambar 8 Wujud ketampanan Antaga sebagai dewa Wujud Antaga menjadi Togog

(Sumber: Nicky Tirto, November 2018) (Sumber: Nicky Tirto, November 2018)

173

Gambar 9 Gambar 10 Wujud ketampanan Ismaya di atas panggung Wujud Ismaya menjadi Semar

(Sumber: Nicky Tirto, November 2018) (Sumber: Nicky Tirto, November 2018)

174

Gambar 11 Gambar 12 Wujud Kecantikan Dewi Umiya di atas panggung Umiya Saat Hendak Berubah Menjadi Sosok Rakseksi

(TribunNews.com - Pementasan Mahabarata: Asmara (Sumber: Instagram @stantheman.official, November Raja Dewa)

2018)

175

Gambar 13 Gambar 14 Dewi Umiya setelah berubah menjadi Rakseksi pada Dewi Umiya sebagai Dewi Umarakti Adegan di Atas Panggung (Bertukar tubuh dengan Gading Permoni)

(Sumber: Nicky Tirto, November 2018)

(Sumber: Instagram @stantheman.official, November 2018 )

176

Gambar 15 Gambar 16 Wujud animasi Gading Permoni berselubung api di layar Wujud kecantikan Gading Permoni, putri berselubung api panggung di atas panggung

(Sumber: Nicky Tirto, November 2018) (Sumber: Nicky Tirto, November 2018)

177

Gambar 17 Gambar 18 Wujud Gading Permoni mengenakan busana Kahyangan Wujud Gading Permoni setelah pertukaran jiwa (Bertukar tubuh dengan Dewi Umiya)

(Sumber: Nicky Tirto, November 2018)

(Sumber: Nicky Tirto, November 2018)

178

Gambar 19 Gambar 20 Wujud Idajil yang menyeramkan Kesaktian tokoh Antaga saat beradegan di atas panggung (Dibelenggu dikawasan berkawah api seperti neraka) yang didukung oleh layar animasi panggung

(Sumber: Instagram @tyaspurb, 1 Desember 2018) (Sumber: Nicky Tirto, November 2018)

179

Gambar 21 Antaga mengeluarkan jurus di balik layar animasi panggung

(Sumber: Nicky Tirto, November 2018)

180

181

182

183

184

185

186

187

RIWAYAT PENULIS

Putri Aliffia Darmawan, anak pertama dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Darmawan dan Rofiah. Putri yang lahir di Purbalingga, 6 September 1998 ini adalah wanita yang penuh dengan impian. Impian untuk melihat dunia secara bebas dengan perasaan syukur dan kebahagiaan. Putri mengawali pendidikannya di SDN Pela Mampang 12 Pagi. Pada tahun 2010, ia melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 13 Jakarta. Setelah itu, pada tahun 2013, ia melanjutkan sekolahnya di SMK Negeri 6 Jakarta dengan jurusan Akuntansi dan lulus pada tahun 2016. Kemudian ia menetapkan pilihannya untuk belajar di Perguruan Tinggi sebagai mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, dengan mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Selama menjadi mahasiswa, Putri pernah mengikuti kegiatan magang di salah satu teater ternama, yakni Teater Koma dan pada tahun berikutnya diberi kesempatan untuk turut tampil di atas panggung Graha Bhakti Budaya dalam pentas J.J Sampah- sampah Kota. Putri juga turut menjadi panitia dalam kegiatan tahunan yang diadakan jurusan PBSI, yaitu PESTARAMA #4 yang mengusung tema Napaktilas Danarto. Selain itu, ia juga pernah menjadi pengajar pribadi untuk siswa SMP dan SMA selama dua tahun yang salah satunya mengajar Bahasa Indonesia. Saat ini putri tinggal bersama orang tua di Jakarta, tepatnya di daerah Jalan Bangka Raya, Gang Nain RT 011/03. Putri dapat dijumpai secara virtual melalui akun instagram yang aktif , yakni @putrialiffia_98.