Read Ebook {PDF EPUB} Cermin Merah by Nano Riantiarno Bank Naskah Teater & Naskah Drama. PANGGUNG MULA-MULA GELAP. GELAP SEKALI. TIBA-TIBA TERDENGAR TERIAKAN KETAKUTAN SEORANG LAKI- LAKI. PANGGUNG MASIH TETAP GELAP. Download naskah di bandarnaskah.blogspot.com Sampai mati……. Su! Su! Sunni! Kenapa jadi begini? Kenapa kau pergi? Kenapa aku ada di sini? Kenapa mesti ada hal-hal yang mendorong kita melakukan hal-hal? Kenapa kamu tidak mau menurut? Kenapa waktu kamu masih ada, rasanya semua terang dan jelas. Tanpa kabut. Tiap kupandangi diriku di kaca, maka kulihat ujud seorang laki-laki yang utuh. Lalu sekarang, kau entah ada di mana? Jarak dan tembok memisahkan kita. Semua yang terlihat jadi samara-samar. Bukan maksudku melakukan itu. Terjadi begitu saja, didorong oleh kekuatan yang ajaib! Seperti alir sungai yang dibendung, makin tinggi bendungannya makin banyak air yang tertampung dan tekanan untuk molos mencari aliran lain makin besar. Lalu suatu saat air tak terbendung lagi sedang tekanan makin besar, makin besar. Dan tiba- tiba bendungan jebol! Kau tanamkan bibit di sini. Tumbuh sedikit demi sedikit hingga berbunga, waktu kelopak bunga itu merekah, dia bersuara seperti terompet. Suaranya memekakkan telinga. Dan Sunniii…gemanya! Gemanya melengking! Tak tahan aku untuk tidak berbuat apa-apa. Dan bisik-bisik itu. Bisik-bisik yang memerintahkan aku supaya melakukan niatku, musnahkan! Musnahkan Hancurkan! Hancurkan biar jadi abu sekalian. Dari abu kembali jadi abu, kata bisik-bisik itu dalam telinga. Su, perempuan biasa. Tidak cantik tetapi punya daya tarik yang luar biasa, kegairahan hidupnya seperti kuda tak terkendali! Salahku memang, mengawini perempuan bekas pelacur. Padahal tadinya sudah kurelakan, dia bekerja, aku juga bekerja. Tapi Su selalu bilang padaku : ah, kamu tidak pernah bisa memberiku apa-apa selain anak. Ya, itu kenyataan. Dan karena itu pula dia berhak menutup mataku, mulutku dan menahan gerak semua anggota tubuhku. Tapi memang semua itu termasuk dalam perjanjian. Dan kami sudah saling menjanjikannya, dulu waktu dia kukawini. Kenyataan ini mampu kutahan sampai beberapa lamanya, 3 anak. Cuma itu katanya yang bisa kuberikan padanya, ya! Tapi lihat muka anak-anak itu satu persatu kalau mereka masih hidup. Lihat dengan teliti. Seperti siapa mereka? Adakah persamaannya denganku? Sama sekali tidak. Yang sulung entah seperti siapa? Yang kedua entah seperti siapa dan yang ketiga kulitnya hitam pekat dengan mata yang bulat dan rambut keriting kecil-kecil. Anakkukah itu? Anak Su! Aku pernah punya pikiran mungkinkah ada dokter-dokter jahil yang senang menukar-nukar bayi di RS bersalin, atau perawat-perawatnya. Tapi hal itu tidak mungkinkan? Mereka pasti menghormati sekali sumpah jabatan. Tapi aku bisa memastikan anak yang ketiga bukan anakku! klik di sini untuk download naskah teater selengkapnya. Naskah Drama Cermin Karya Nano Riantiarno. Tahukah kamu mengapa aku masih tetap bisa menahan diri selama ini? Masih tetap mendampinginya meski jantung perih bukan main? Karena aku mencintai Su! Karena aku sudah bersumpah untuk tetap setia apapun yang sudah dia lakukan. (BERTERIAK) banci! Laki-laki lemah! Tidak punya tangan besi! Pendirian yang rapuh! Ya aku tahu matamu menuduhku begitu. Tidak apa-apa. Aku sama sekali tidak marah. Ini memang termasuk dalam perjanjian. Kataku selalu pada Su : lakukan tapi tanpa perasaan cinta. O, kelemahan. Apa yang kau ciptakan selama ini sebagai akibat? Mesiu apa yang kau padatkan dalam tabung bersumbu?ketidaktentraman? kekacau-balauan pikiran? Kecurigaan? Keganasan? Kegilaan? Pembalasan dendam tanpa ampun? Semua sudah kulakukan. Jadilah laki-laki maka kau harus membunuh. Jadilah laki-laki maka kau berhak merusak apa saja. Jadilah laki-laki maka dirimu akan kau rubah menjadi empat dinding penjara setebal satu kaki tanpa jendela. Jadilah laki-laki maka sebetulnya kau meriam siap ditembakkan! Dan malam itu sudah kunobatkan diriku sendiri jadi laki-laki. Laki-laki dengan naluri hewani yang dibiarkan lepas ikatannya. Dan kesetiaan, di mana dia harus ditempatkan? Adakah perkataan itu masih punya arti untuk semua orang? Su pernah menjanjikan padaku. Aku juga pernah sampai anakku yang ketiga dilahirkan. Anakku? Anak Su! Sekarang apa yang terjadi? Apa yang sudah dilakukan Su? Apa yang sudah dilakukan? Mana tuah dari keselarasan seperti yang selama ini selalu kau bicarakan? Miliki kesetiaan, lalu orang akan jadi seperti dikebiri, Cuma sanggup melihat hal-hal yang baik saja. Satu saat jika kebetulan terlihat keburukan-keburukan yang sebetulnya sudah menjadi mimpi buruknya selama berjam-jam dia tidur, maka dia akan bilang dengan mata merah : ah, itu Cuma baying-bayang bukan kekuatan, padahal terbalik! Waktu kesabaranku habis, aku menyatakan pada Su supaya menghentikan segala kegiatannya. Maksudku baik, demi anak-anak dan masa depan keluarga. Nama baik, kataku padanya. Asuhlah anak-anakmu di rumah, kalau bosan sulamkan baju-baju hangat. Atau kalau mau bekerja juga. Bekerjalah, tapi yang pantas! Tapi kau tahu yang terjadi kemudian. Su lebih gila lagi, dia seperti kuda lepas kendali. Apa yang terjadi, kataku dalam hati. Kalau dulu aku masih tidak peduli, sekarang keadaannya berbeda. Umurku mulai menginjak masa tua. Aku butuh ketenangan. Aku butuh perempuan yang kucintai dan mencintaiku. Aku butuh perhatian dan diperhatikan. Dan semuanya sudah terjadi akibat dari kau, O, kelemahan, Besok aku akan dihukum mati. Pertama kali dalam penjara. Sudah kubunuh 6 orang dan melukai 3 orang. Betulkah itu? Sebegitu besarkah tenagaku waktu itu? O , aku tidak tahu. Nano Riantiarno. Lelaki semampai ini biasa di panggil Nano, mulai berkesenian sejak tahun 1965 di Cirebon, Jawa Barat, ketika ia menjadi anggota TTA (Tunas Tanah Air). Sejak 1 Maret 1977 ia memimpin Teater Koma, grup teater yang telah mementaskan ratusan lakon baik di televisi, Panggung TIM maupun Gedung Kesenian Jakarta. “Drama saya merupakan hiburan”, katanya. Dengan suasana penuh musik dan nyanyi, dramanya yang telah berhasil menyedot banyak penonton antara lain ‘Opera Ikan Asin’ saduran karya , ‘Opera Salah Kaprah’ olahan dari The Comedy of Errors karya Shakespeare, ‘Kenapa Leonardo’ karya Evald Flisar. Kecuali naskah olahan karya asing, ia juga mementaskan cerita buatannya sendiri, misalnya ‘Rumah Kertas’ , ‘Maaf-Maaf-Maaf’ dan ‘Opera Kecoa’ . Di luar panggung, ia menulis skenario film, paling tidak sudah ada 17 judul yang ia buat, misalnya, ‘Dr. Siti Pertiwi’ , ‘Sang Juara’ , ‘Gaun Pengantin’ dan ‘Jakarta-Jakarta’ . Untuk yang disebut terakhir, pada Festival Film Indonesia Ujung Pandang (1978), ia berhasil mendapatkan Piala Citra. Dramawan yang juga pernah menjabat redaktur majalah Zaman ini mulai main drama di sekolah menengah, di Cirebon, kota kelahirannya, 1964. Suatu Kali, untuk pementasan Caligula pemeran utamanya sakit. “Saya disuruh menggantikannya. Selama 10 hari saya dilatih keras. Akhirnya saya berhasil,” katanya. Sejak itu ia terus menekuni dunia panggung dan lupa pada cita-citanya menjadi professor. Lepas SMA, ia masuk Akademi Teater Nasional (ATNI) Jakarta. Kemudian ia bergabung ke dalam grup Teater Populer, pimpinan . Tahun 1975, untuk mengenal kehidupan teater rakyat dan kesenian tradisi di pelbagai tempat, anak kelima (dari tujuh bersaudara) M. Soemardi ini melakukan perjalanan keliling Indonesia. Juga berkeliling Jepang atas undangan Japan Foundation (1987 & 1997). Mendapat undangan dari Goethe Institut untuk mengikuti Berliner Fetspiele, dan Theatre Treffen Funfzig di Berlin. Mengunjungi negara-negara Skandinavia, Inggris, Perancis, Belanda, Italia, Afrika Utara, Turki, Yunani, Jerman, Kamboja, Thailand, Tiongkok, Cekoslowakia dan Slovemia dalam kurun waktu 1986-2013. Partisipan pada International World Festival 1987 dan New Order Seminar 1988, yang keduanya di gelar Australia National University, Canberra, Australia ini, pernah memperbincangkan teater Indonesia di Cornell University, Ithaca, Amerika Serikat (1990), berbicara mengenai teater Indonesia di kampus-kampus universitas di Sydney, Monash-Melbourne, Adelaide dan Perth (1992). Pada 1996, ia menjadi partisipan aktif pada Session 340, Salzburg Seminar di Austria dan beberapa kali menjadi juri Festival Film Indonesia, Festival Sinetron Indonesia dan Festival Teater Jakarta. Kenapa Leonardo (2008) Pernah menjadi anggota Komite Artistik Seni Pentas untuk KIAS (Kesenian Indonesia di Amerika Serikat, 1991-1992), anggota Board of Artistic Art Summit Indonesia (2004 & 2007) dan ketua kelompok kerja film indonesia, Direktorat Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Konseptor dari Jakarta Performing Art Market/PASTOJAK (Pasar Tontonan Jakarta I – 1997), yang diselenggarakan selama sebulan penuh di TIM ini, juga pernah menyutradari Sampek Engtay di Singapura (2001), dengan pekerja dan para pemain dari Singapura. Salah satu pendiri Asia Art Net/AAN (1998), sebuah organisasi seni pertunjukan yang beranggotakan sutradara-sutradara Asia ini, pernah menjabat sebagai artistic founder dan evaluator dari PPAS/Practise Performing Arts School di singapura. Evaluator di akademi Seni Kebangsaan Kuala Lumpur, Malaysia dann pengajar di Akademi Kesenian Melayu Riau. Menikah dengan Ratna Madjid, yang juga seorang aktor teater dan penggiat seni. Dikaruniai tiga orang putra orang putra, Satria Rangga Buana, yang kini menjadi aktor Teater Koma, dan Rasapta Candrika, yang juga ikut membantu dalam setiap pementasan Teater Koma dan Gagah Tridarma Prastya. Bersama Teater Koma, seniman teater yang berdomisili di bilangan Bintaro, Jakarta Selatan ini, yakin teater bisa menjadi salah satu jembatan menuju keseimbangan bathin dan jalan bagi terciptanya kebahagiaan yang manusiawi. Jujur, bercermin lewat teater, diyakini pula sebagai salah satu cara untuk menemukan kembali peran akal sehat dan budi-nurani. Sikap saling menghargai perbedaan, saling menghargai sesama. (Dari Berbagai Sumber) Nama : Norbertus Riantiarno. Lahir : Cirebon, Jawa Barat, 6 Juni 1949 Pendidikan : SD, Cirebon (1960), SMP, Cirebon (1963), SMA, Cirebon (1967), Akademi Teater Nasional Indonesia, Jakarta (1968), Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Jakarta (1971), International Writing Program, Universitas , Amerika Serikat (1978) Aktifitas Berkesenian : Penulis dan asisten sutradara teater/film (1968-1977), Pendiri dan pemimpin Teater Koma (1977 s/d sekarang), Pendiri dan Redaktur majalah Zaman (1979-1985), Anggota Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (1982-1985), Pendiri Asia Art Net – AAN (1998), Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (1985-1990), Pendiri dan Pimpinan Redaklsi majalah Matra (1986-2001) Pengajar Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia/ISI Surakarta, Jawa Tengah (2004 s/d sekarang), Anggota BP2N/Badan Pertimbangan Film Nasional (2007-2009) Pengajar Pasca Sarjana Universitas Dr. Soetomo Surabaya, Jawa Timur (2009 s/d sekarang) Aktifitas Seni : Bergabung dengan Teater Populer pimpinan teguh Karya (1968), Mendirikan Teater Koma (1977), Menyutradarai dan Menulis naskah Teater Koma (1977) Naskah Teater (Panjang) : Rumah Kertas (1977), Maaf, Maaf, Maaf (1978, 2005), J.J – Jian Jdan Juhro (1979 Kontes 1980 (1980), Citra Menguak Takdir (1981), Bom Waktu(1982), Balada Harijadi (1984), Opera Kecoa (1985, 1990), Opera Julini (1986), Balada Komputer (1986), Merah Putih (1986), Pesta Burung-Burung (1987), Sampek Engtay (1988, 1999, 1997, 2002, 2005, 2013), Opera Primadona (1988) Dunia Fantasi (1988), Banci Gugat (1989), Suksesi (1990), Pialang Segitiga (1990), Konglomerat Burisrawa (1990), RSJ – Rumah Sakit Jiwa (1991, 1992), Opera Ular Putih (1994), (1995), Cinta Yang Serakah (1996), Opera Sembelit (1998), Kala (1997), Samson Delilah (2000), Opera Primadona (2000), Republik Bagong (2001), Kala (2001), Presiden Burung-Burung (2001), Trilogi Opera Kecoa (2003), Republik Petruk (2009), Tanda Cinta (2009), Rumah Pasir – Lakon HIV/AIDS (2010), Demonstran (2014) Sinetron : Cermin (1977) Gigi Busuk (1978), Anak Kandung (1979), Potret (1980), Matahari-Matahari (1981), Gelas Retak (1982), Ibu (1982), Benang-Benang Rapuh (1983), Lingkaran Putih (1984), Tiga Merpati (1984), Anak Kandung (1985), Karina (1987), Rembulan Teluka (1989), Jumilah Kembang Kota Paris (1989), Meniti Pelangi (1992), Teh dan Soda (1993), Onah dan Impiannya, Suryakanta Kala (1994), Kupu-Kupu Ungu (1998), Opera Salon (2001), Cinta Terhalang Tembok (2002) , Komedi Nusa Getir (2003), Kabaret, Gado-Gado Politik (2008), Filmografi : Gaun Pengantin (Skenario, 1974), Kawin Lari (Skenario, 1974), Ranjang Pengantin (Skenario, 1974), Jinak-Jinak Merpati (Skenario, 1975), Surat Undangan (Skenario, 1975), Perkawinan Dalam Semusim (Skenario, 1976), Jakarta-Jakarta (Skenario, 1977), Kasus – Kegagalan Cinta (Skenario, 1978), Puber (Skenario, 1978), Dokter Siti Pertiwi Kembali Ke Desa (Skenario, 1979), Acuh-Acuh Sayang (Skenario, 1981), Dalam Kabut dan Badai (Skenario, 1981), Amalia SH (Skenario, 1981), Halimun (Skenario, 1982), Gadis Hitam Putih (Skenario, 1985), Pacar Pertama (Skenario, 1986), Sama Juga Bohong (Skenario, 1986), Dorce Ketemu Jodoh (skenario, 1990), Cemeng 2005 – The Last Primadona (Penulis & Sutradara, 1995) Hilang Identitas Di Metropolitan – Sebuah Animasi Didaktik (Penulis & Sutradara, 2007) Pentas Multimedia Kolosal : Rama – Shinta (1994), Opera Mahabrata (1995), Opera Anoman (1998), Bende Ancol (1999), Rock Opera (2002), Memandang Kandang : Anomali VS Neo Habitus (2005), Ancol Paradis – Fantastique Multimedia Show (2011), Pencapaian : Pemenang Harapan Penulisan Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta untuk naskah Matahari Sore Bersinar Lembayung (1972), Pemenang Harapan Sayembara Penulisan Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta untuk naskah Tali-Tali (1973), Pemenang Harapan Sayembara Penulisan Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta untuk naskah Malam Semakin Malam (1974), Pemenang Harapan Sayembara Penulisan Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta untuk naskah Lingkaran Putih (1975), Piala Citra kategori Penulis Skenario Terbaik untuk film Jakarta-Jakarta pada FFI 1978, Pemenang Naskah Drama Anak-Anak Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk naskah judul Jujur Itu (1978), Pialan Vidia kategori Penulis Skenario Terbaik untuk sinetron Karina (1987), Pemenang Sayembara Novel majalah Kartini untuk Percintaan Senja (1993), Pemenang Sayembara Novelet majalah Femina untuk Ranjang Bayi (1993) Anugerah Seni dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (1993), Hadiah Sastra Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk naskah Konglomerat Burisrawa (1994), Pemenang ke-2 Sayembara Penulisan Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta untuk naskah Opera Sembelit (1998), SEA Write Award dari Raja Thailand untuk naskah Semar Gugat (1998), Hadiah Sastra Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk naskah Semar Gugat (1998), Piagam Penghargaan Menteri Pariwisata dan Budaya sebagai Seniman dan Budayawan Berprestasi (1999), Skenario Film Terpuji untuk Sinetron Kupu-Kupu Ungu dari Forum Film Bandung (1999), Miniseri Terbaik untuk sinetron miniseri Cinta Terhalang Tembok (2002), Khatulistiwa Award kategori Prosa untuk novel Cermin Merah (2004), Piagam penghargaan dari Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat atas jasa dan peranannya mengembangkan teater di Indonesia (2007), Anugerah Federasi Teater Indonesia (2008), Satya Lencana Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dari Presiden Republik Indonesia (2012), Penghargaan Institut Kesenian Jakarta Seni Peran kategori Sutradara Terbaik (2012), Penghargaan Anugerah Universitas Gajah Mada (2013), Habibie Award bidang Ilmu Kebudayaan (2014), Penghargaan Akademi Jakarta (2014) Karya Tulis : Opera Primadona (Pustaka Kartini, 1988), Percintaan Senja (Pustaka Kartini, 1988), Suksesi (Teater Koma, 1990), Naskah Drama Konglomerat Burisrawa (Teater Koma, 1990), ime Bomb & Cockroach Opera (Yayasan Lontar, 1992), Teguh Karya & Teater Populer (Pustaka Sinar Harapan, 1993), Drama Semar Gugat (Bentang Budaya, 1995), Cinta Yang Serakah (Bentang Budaya, 1996), Sampek Engtay (Pustaka Jaya, 1997), Opera Sembelit (Balai Pustaka, 1998), Opera Ikan Asin (Pustaka Jaya, 1999), Republik Bagong (Galang Press, 2001), Menyentuh Teater (MU:3 Books, 2003), Cermin Merah (Grasindo,2004), Trilogi Opera Kecoa (Matahari – Yogyakarta, 2004), 18 Fiksi Di Ranjang Bayi (Penerbit Buku Kompas, 2005), Primadona (Gramedia Pustaka, 2005), Cermin Bening (Grasindo, 2005), Maaf, Maaf, Maaf (Gramedia Pustaka, 2005), Cermin Cinta (Grasindo, 2006), Degung Rindu (Yayasan KoMaadjid, 2008), Cermin Kecoa & Tanda Cinta (Yayasan KoMadjid, 2008), Kitab Teater (Grasindo, 2011) An Act of Not Forgetting: Representation of 1965’s Events in Leila S. Chudori’s “Pulang” and N. Riantiarno’s “Cermin Merah” The events of 1965 are one of unforgettable events in Indonesia history. Many of Indonesian people believed that Partai Komunis Indonesia (PKI) or Indonesia communist party was responsible for kidnapping and murdering seven highly-ranked Indonesia army generals. Later on, this act was considered to be an act of coup d'Etat to the government. Their cruel acts were immortalized by the historical lessons given at Indonesian school since in the elementary school and the movie aired every year by the 'New Order' government under President Soeharto. The propaganda was not only succeed in creating fears among Indonesian people but also triggering hatred towards communism which lead some people to use this opportunity to attack PKI's members and others. Many people at that time have to become a victim because of this false accusation and being murdered. Thousands of Indonesian people were being murdered. In Leila S. Chudori's Pulang (Going Home) and N. Riantiarno's Cermin Merah (Red Mirror), this chaotic situation is highlighted. Both of the novels tell us about the impact of the 1965's events to many Indonesian people at that time and long after that. Although there is a gap of thirty years in making, the two novels depict the same issues. The two novels remind us that there are still historical facts that being forgotten, and we cannot simply forget about them. Save as a Favourite. Author Information Rizki Theodorus Johan, Maranatha Christian University, Indonesia. This paper is part of the LibrAsia2016 Conference Proceedings (View) Full Paper View / Download the full paper in a new tab/window. Cermin Merah by Nano Riantiarno. ERALINGUA has been accredited by Ministry of Research, Technology, and Higher Education, Republic of Indonesia at the second level (Sinta 2). Accreditation Certificate can be downloaded HERE. Analysis of Desires of the Main Character in the Short Story “Ein Tisch ist ein Tisch” by Peter Bichsel: A Study of Deleuze and Guattari’s Schizoanalysis. M. Kharis (1*) , Rosyidah Rosyidah (2) , Sawitri Retnantiti (3) , (1) Universitas Negeri Malang (2) Universitas Negeri Malang (3) Universitas Negeri Malang (*) Corresponding Author. Abstract. Full Text: References. Assapari, M. M. (2014). Eksistensi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional dan Perkembangannya di Era Globalisasi. PRASI, 9(18). https://doi.org/10.23887/prasi.v9i18.8943. Bakir, S., Pandiangan, M. L., Anggita, G., & Alexander, R. (2015). Interpretasi Teori Deleuze dan Guattari dalam Arsitektur. ATRIUM - Jurnal Arsitektur, 1(2). http://library.ukdw.ac.id/atrium/index.php/atrium/article/view/13. Bichsel, P. (1995). Ein Tisch ist ein Tisch: Eine Geschichte. Suhrkamp. Biddle, E. (2010). Schizoanalysis and collaborative critical research. Aporia, 2(3). https://doi.org/10.18192/aporia.v2i3.2984. Bravo, J. C., Intriago, E. A., Holguín, J. V., Garzon, G. M., & Arcia, L. O. (2017). Motivation and Autonomy in Learning English as Foreign Language: A Case Study of Ecuadorian College Students. English Language Teaching, 10(2), 100–113. Colombat, A. P. (1991). A Thousand Trails to Work with Deleuze on JSTOR. The Johns Hopkins University Press, SubStance. Vol. 20, No. 3, Issue 66: Special Issue: Deleuze & Guattari (1991), pp. 10-23 (14 pages). https://doi.org/DOI: 10.2307/3685176. Conard, R. C. (1981). Teaching Peter Bichsel’s “Ein Tisch ist ein Tisch” in First-Year German Classes. Die Unterrichtspraxis / Teaching German, 14(2), 286. https://doi.org/10.2307/3530567. Davis, L. (2017, March). A Table is a Table—The White Review. http://www.thewhitereview.org/fiction/a-table-is-a-table/ Deleuze, G., & Felix, G. (2000). Anti-Oedipus, Capitalism and Schizoprenia (Translated by Robert Hurley, Mark Seem, and Helen R. Lane). Minnepolis. Generali Deutschland AG. (2017). Alltag und digitale Medien. In Generali Deutschland AG (Ed.), Generali Altersstudie 2017: Wie ältere Menschen in Deutschland denken und leben (pp. 89–122). Springer. https://doi.org/10.1007/978-3-662-50395-9_4. Haryatmoko. (2015). Gilles Deleuze (1): Filsafat Hasrat Menolak Tabu. Jurnalisme Seribu Mata Basis Menembus Fakta, No 1 dan 2(Tahun ke- 64). Henriksen, B. (1999). Three Dimensions of Vocabulary Development. Studies in Second Language Acquisition, 21(2), 303–317. https://doi.org/10.1017/S0272263199002089. Hidayah, S. N. (2020). Pengaruh Bahasa Gaul terhadap Eksistensi Bahasa Indonesia pada Siswa Kelas X MAN 1 Karanganyar [Preprint]. INA- Rxiv. https://doi.org/10.31227/osf.io/s5t7a. Kielian-Gilbert, M. (2016, April 1). Music and the Difference in Becoming. Sounding the Virtual: Gilles Deleuze and the Theory and Philosophy of Music. https://doi.org/10.4324/9781315609966-15. Krause, S. (2012). Literatur mal anders-Peters Bichsels" Ein Tisch ist ein Tisch". Manik, R. A. (2015). Hasrat Nano Riantiarno Dalam Cermin Merah:Kajian Psikoanalisis Lacanian (Nano Riatno’s Desire in “Cermin Merah”: Lacanian Psychoanalysis Study). Jurnal K A N D A I, Volume 11 No. 2, November 2015. Muhsyanur. (2018). Hasrat Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel “Memburu Matahari” Karya Nadjib Kartapati Z. Jurnal Belajar Bahasa, olume 3, No. 2, September, 189 –196. Murti, G. H. (2016, February 7). Gilles Deleuze: Meneropong Karya Minor Kafka. http://www.brikolase.com/2016/02/07/deleuze-meneropong- karya-minor-kafka/ Murti, G. H. (2017). Mesin hasrat dan kreativitas budaya tanpa batas: Perpusda Jember, Sekolah Kritik Budaya Angkatan I, 10. Nugroho, W. B. (2017). Mimi Peri dan Revolusi Hasrat: Tinjauan Skizoanalisis Deleuze dan Guattari. Sanglah Institute. https://www.sanglah- institute.org/2017/12/mimi-peri-dan-revolusi-hasrat-tinjauan.html. Pamungkas, B. B. P. (2010). Masalah komunikasi pada empat karya Peter Bichsel: San Salvador, das Kartenspiel, der Milchmann, dan Ein Tisch ist ein Tisch. Piliang, Y. A. (2009). Retakan-retakan Kebudayaan: Antara Keterbatasan dan Ketakberhinggaan. MELINTAS, 25(1), 75–92.