ANALISIS RESEPSI KHALAYAK TERHADAP ISU FEMINISME DALAM FILM CA BAU KAN
OLEH : ZULFITRI ALMAS 11.31.3785
SEKOLAH TINGGI ILMU KOMUNIKASI ALMAMATER WARTAWAN SURABAYA (STIKOSA AWS)
2016 ABSTRAK
Film merupakan salah satu media komunikasi yang popular pada saat ini. Berbagai macam isi dari film bisa mempunyai makna yang berbeda bedabagi khalayak yang menikmatinya. Film Ca Bau Kan ini sendiri merupakan salah satu film yang bercerita tentang penindasan yang dialami oleh perempuan. Penindasan dan pelecehan yang terjadi tidak hanya dilakukan oleh suaminya saja, tetapi juga dilakukan oleh orang lain. Film ini menunjukkan karakter feminisme dari seorang perempuan yang tergolong feminis radikal. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pemaknaan mendalam mengenai isu feminisme dalam film CaBau Kan, dimana untuk mengetahui pemaknaan yang didapat dari para khalayak tentang segala bentuk feminisme radikal terhadap perempuan, maka digunakan metode analisis resepsi. Dengan metode ini, khalayak ditentukan dengan beberapa kriteria, data didapatkan dengan cara wawancara terpusat atau diskusi kelompok terfokus (Focus group Discussion). Hasil diskusi kelompok, disimpulkan bahwa sebagian besar khalayak, berada pada posisi negosiasi atau Negotiated position yang menilai makna yang ada dalam film tersebut dapat diterima, tetapi pada kondisi tertentu. Khalayak tidak setuju dengan segala bentuk penindasan yang dialami perempuan. Menurut khalayak penindasan terhadap perempuan tidak perlu terjadi, meskipun masih dalam sistem patriarki. Beberapa berada pada posisi oposisi, khalayak tidak menerima anggapan bahwa wanita dianggap tidak bisa menjadi ibu jika belum memiliki anak. Sedangkan posisi dominan khalayak sepakat, jika memilih wanita tidak dilihat dari fisik saja.
Kata kunci :analisis resepsi, Ca Bau Kan, feminisme.
DAFTAR ISI
Persetujuan Pembimbing Skripsi ...... ii Pengesahan Tim Penguji Skripsi ...... iii Pernyataan Orisinalitas ……………………………………………………………..iv Motto dan Persembahan ...... v Abstrak ...... vi Kata Pengantar ...... vii Daftar Isi ...... ix Daftar Tabel ...... xii
BAB I: PENDAHULUAN
1.1. LatarBelakang…………………………………………………….1
1.2. RumusanMasalah…………………………………………………8
1.3. TujuandanManfaatPenelitian………………………..…………..9
1.3.1. TujuanPenelitian…………………………………………...9
1.3.2 ManfaatPenelitian………………………………………….9
1.4. TinjauanPustaka…………………………………………….…….9
1.4.1. AnalisisResepsi Khalayak ………………………….……9
1.4.2. Khalayak……………………………………………….….11
1.4.3. Proses Encoding dan Decoding………………………...... 13
1.4.4. Film sebagai Media Komunikasi Massa………….…….....14
1.4.5. Gender dan Feminisme dalam Fenomena Masyarakat…....16
a. Gender ………………………………………………...16
b. Feminisme……………………………………………...18
1.5. Kerangka Berpikir…………………………………...………...... 29
1.6. Metodologi Penelitian……………………………...………….…30
1.6.1. Jenis Penelitian…………………………………….………30
1.6.2. Obyek Penelitian……………………………………….….30
ix
1.6.3. Jenis dan Sumber Data………………………….....…...…31
a. Data primer …………………………………………….31
b. Data Sekunder………………………………………….31
1.7. Unit Analisis………………………………………………….…..32
1.8. Teknik Pengumpulan Data………………...…………………..…32
1.9. Teknik Analisis Data……………………………………….…….33
BAB II: OBYEK PENELITIAN
2.1 Film Ca Bau Kan danFeminisme didalamnya…...…………...…..34
2.1.1 Sinopsis Film Ca Bau Kan……………………….....….….34
2.2 Profil Sutradara dan Rumah Produksi………………….………...35
2.2.1 Kalyana Shira Film………………...………………..…….35
2.2.2. Profil Sutradara……………………………………….…...36
2.2.3. Crew Ca Bau Kan………………………..…….……….....39
2.3. Profil Khalayak …………………………………………………..39
BAB III: ANALISI DATA DAN PEMBAHASAN
3.1. Pemilihan Adegan pada Film Ca Bau Kan………………………42
3.2. Encoding Konstruksi Film Terhadap Feminisme dalam Film Ca
Bau Kan ……………...…………………………………….…….48
3.3. Decoding Analisis Resepsi Khalayak Terhadap Feminisme dalam
Fenomena Masyarakat ……………………....…….…...... …...49
3.3.1. Tabel Pembahasan Kedua …………………………....…...51
3.3.2. Tabel Pembahasan Ketiga ………………..………..……...52
x
3.3.3. Tabel PembahasanKeempat …………………..…..……....55
3.3.4. Tabel Pembahasan Kelima …………………..…..………..58
3.3.5. Tabel Pembahasan Keenam ………………………...... 61
3.3.6. Tabel Pembahasan Ketujuh ……………………………….63
3.3.7. Tabel Pembahasan Kedelepan …………………………….64
3.4. Pembahasan ……………………………………………………...67
BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan ………………………………………………………74
4.2. Saran ……………………………………………………………..77
1. Implikasi Akademik ……………………………..………..77
2. Implikasi Praktis …………………………...……………...77
DaftarPustaka ……………………………………………………………………xii
xi
DAFTAR TABEL
3.4.1. Tabel Pembahasan Kedua
…………………………...... …………...51
3.4.2. Tabel Pembahasan Ketiga
………………..………..………….………....52
3.4.3. Tabel Pembahasan Keempat
…………………..………………..…...…...55
3.4.4. Tabel Pembahasan Kelima …………………
…..…………………...…..58
3.4.5. Tabel Pembahasan Keenam
……………………………………………..61
3.4.6. Tabel Pembahasan Ketujuh
……………………………………….…….63
3.4.7. Tabel Pembahasan Kedelepan
………………………………….……….64
xii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada zaman sekarang, peranan media untuk menciptakan cerita
dengan nilai sosial jauh lebih besar dan ekstensif dibandingkan di masa
lalu. Saat ini media tidak hanya memiliki peran fungsional dan
komunikatif sebagai penyedia informasi, namun juga sebagai ujung
tombak refleksi dan kontruksi norma dan nilai budaya di masyarakat.
Munculnya gairah berkarya dan mengambil keuntungan dari apa yang
telah dikontruksi adalah cerminan bagaimana media mulai bermain-main
untuk mengolah respon masyarakat.
Berkembangnya era komunikasi dewasa ini, banyak media yang
dapat digunakan untuk berekspresi. Masyarakat sebagai khalayak aktif
yang kian pintar menanggapi isu-isu segar, juga turut andil didalamnya.
Media massa konvensional berlomba-lomba merepresentasikan isu yang
sedang terjadi dimasyarakat. Televisi, radio, koran bahkan portal-portal
berita ikut meramaikan proses itu. Salah satu media yang digunakan
dalam berekspresi adalah melalui pembuatan film. Tujuan utama dalam
film adalah agar masyarakat mampu mengambil pesan-pesan tersirat
dalam suatu adegan yang memiliki makna nilai religius, norma, dan
sebagainya.
Selain itu, dalam dunia perfilman, peran film dalam masyarakat
sebagai media komunikasi sangatlah terlihat. Film mempunyai andil
1
yang cukup besar untuk membentuk pola dan budaya masyarakat.
Banyak cerita yang ditawarkan didalamnya. Sebagai hasil seni dan budaya yang mempunyai fungsi dan manfaat yang luas, baik dibidang sosial, ekonomi, maupun budaya, serta dalam rangka menjaga dan mempertahankan keanekaragaman nilai-nilai dalam penyelanggaraan berbangsa dan bernegara. Film berfungsi sebagai sarana media pemberdayaan masyarakat luas, pengekspresian dan pengembangan seni, budaya, pendidikan dan hiburan juga sebagai sumber penerangan dan informasi dan bagian dari komoditas ekonomi saat ini.
Keberadaan film di tengah kehidupan masyarakat memberikan beberapa nilai fungsi tertentu. Film dibuat dengan latar belakang produksi yang sangat rumit. Dari proses prareproduksi sampai kepada posproduksi melibatkan banyak orang dengan fungsi yang berbeda. Film dikonsep sedemikian rupa, dengan pemilihan pemain, lokasi, kostum, musik dan unsur lainnya. Di samping mencapai suatu nilai profit bisnis, film juga berfungsi untuk mentransmisikan suatu pesan dari si pembuat film kepada khalayak luas. Dengan fungsi mentransmisikan pesan, menempatkan film dalam sebuah proses komunikasi.
Salah satu bentuk komunikasi yang menyampaikan pesan kepada khalayak dalam jumlah yang luas pada saat yang bersamaan disebut dengan komunikasi massa, dalam bentuk komunikasi ini tidak ada kontak langsung antara si pengirim dan penerima pesan. Pesan akan disampaikan melalui beberapa media seperti televisi, radio, majalah, surat kabar, dan lainnya termasuk film. Film dalam bentuk komunikasi
2
massa mengacu pada model komunikasi linear. Artinya bahwa film ada dalam proses komunikasi yang sifatnya searah.dalam hal ini adalah si pembuat film, akan mengirimkan pesan melalui channel yaitu film itu sendiri. Pesan berisi tentang ide cerita yang disampaikan dalam film.
Pesan akan ditujukan kepada receiver yaitu penonton film. Noise atau pun gangguan akan mempengaruhi proses transmisi pesan, misalnya kondisi tempat pertunjukan yang kurang nyaman, sikap audience saat menonton film, gangguan teknis saat menonton film dan hal lainnya.
Penyampaian pesan melalui film juga sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan referensi si penonton saat mengintrepretasikan film.Film memiliki kemampuan untuk mengantarkan pesan secara unik. Dapat dilihat begitu banyak jenis film, diantaranya dokumenter, horor, drama, action, petualangan, komedi, kriminal , fantasi, musikal, animasi, dan lainnya.
Tiap konsep film akan sesuai dengan konsep pesan yang akan disampaikan. Untuk itu setiap pembuat film berkewajiban membuat konsep film yang sesuai aturan dan layak dikonsumsi masyarakat.Film seharusnya bisa menjadi media komunikasi yang memberikan fungsi penerangan, pendidikan, pengembangan budaya, ekonomi, selain juga memberikan fungsi hiburan kepada masyarakat.
Kaitannya dengan teknologi, film dengan segala teknologi di dalamnya mempengaruhi masyarakat dalam mengkonsumsi pesan.
Seiring berkembangnya dunia perfilman, semakin banyak film yang diproduksi dengan corak yang berbeda-beda.Secara garis besar, film
3
dapat diklasifikasikan berdasarkan cerita, orientasi pembuatan, dan berdasarkan genre.Melalui klasifikasi tersebut, banyak sekali film yang dibuat untuk menekankan detail pada hal-hal yang tidak biasa orang lihat. Mengesampingkan sudut pandang besar untuk memberi detail pada hal yang tidak diperhatikan banyak orang. Banyak film memunculkan detail-detail untuk mendukung pesan mereka, ada yang menonjolkan bagaimana suatu peristiwa terjadi, mengapa peritiwa itu dapat terjadi, dan ada juga yang memberi sudut pandang lain melalui media-media lain dalam sebuah film. Melalui bahasa verbal ataupun nonverbal, film dapat memberi kita detail terhadap suatu peristiwa. Dengan durasi dan efesiensi tayangan, film mempunyai keleluasaan untuk menggambarkan isu-isu dari dalam masyarakat. Beragam isu terdekat yang tumbuh di masyarakat menjadi peluang ide-ide kreatif yang dibentuk oleh para sineas, seperti penggambaran tema kriminalitas, heroik, seks,kekerasan, percintaan, agama, ras, budaya, gender dan lain sebagainya.
Isu yang sering dipertontonkan dalam media adalah mengenai
Gender yang merupakan salah satu tema yang kini banyak diperbincangkan ditengah masyarakat. Masyarakat mulai jeli melihat gender dari beragam sudut, begitu pula yang disaksikan para penggiat film. Beberapa topik utama mengenai gender telah dibuat untuk merepresentasikan kehidupan manusia-manusia dengan permasalahan gender nya. Beberapa film diantaranya adalah Perempuan Berkalung
Sorban, Perempuan Punya Cerita, 7 Wanita 7 Hati 7 Cinta, Arisan! dan masih banyak lagi.
4
Pembahasan genderpun beragam, seperti kekerasan pada perempuan, diskriminasi kepada laki-laki gay dan bagaimana ketidak adilan itu muncul.Diskriminasi muncul dalam berbagai aspek; seperti pendidikan, kehidupan sosial, budaya, agama, bahkan sampai kepada aspek rumah tangga. Diskriminasi ini juga termasuk perbedaan peran dan hak antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat.
Disinilah peran film sebagai 'reflektor' sangat berpengaruh di dalam masyarakat. Terkadang dalam film, cerita yang digambarkan seolah-olah adalah hal yang wajar atau mereka menganggap hal itu biasa terjadi.
Namun di sisi lain, penonton atau masyarakat juga harus pintar memaknai film yang disajikan oleh para sineas ini. Jika kita bisa menilik lebih dalam, banyak juga film bertema gender yang merupakan penggambarkan keadaan sosial realitas masyarakat saat ini.
Seperti halnya kekerasan dalam rumah tangga, dimana hal itu masih sangat sering kita temui dalam kehidupan masyarakat saat ini.Banyak perempuan yang dalam kesehariannya sering mendapat diskriminasi dalam beragam hal, walau tak sedikit juga dari mereka yang telah mendapatkan haknya atau sedang berjuang untuk mempertahankan haknya dalam kehidupan bermasyarakat.
Salah satu karya anak bangsa, sebuah film yang diangkat dari novel karya Remy Sylado berjudul Ca Bau Kan: Hanya Sebuah Dosa, berlatar belakang seorang perempuan betawi yang hidup sebagai seorang Ca Bau
Kan. Ca Bau Kan sendiri dalam bahasa Hokkian yang berarti
"perempuan", yang pada zaman kolonial di artikan dengan pelacur,
5
gundik, atau perempuan simpanan orang Tionghoa. Pada zaman kolonial
Hindia Belanda, banyak yang sebelumnya bekerja sebagai wanita penghibur sebelum diambil sebagai selir oleh orang Tionghoa.
Dengan latar belakang budaya kaum Tionghoa Peranakan di Hindia
Belanda dan Indonesia, film yang menceritakan zaman kolonial Belanda pada tahun 1930-an ini memunculkan karakter bernama Tinung, yang berperan sebagai Ca Bau Kan. Ia mengalami banyak diskriminasi dan kekerasan secara fisik, meski telah bert emu dengan orang yang benar- benar tulus padanya, Tinung tetap mengalami beberapa diskriminasi dibelakangnya. Ia pun berjuang untuk hidup ditengah peperangan kolonial Belanda. Seorang perempuan yang dialih fungsikan sebagai barang, yang bisa diperjual belikan, dipindan kesana kemari sesuai kemauan si pemilik. Film yang sarat unsur 'pelecehan seksual' ini juga tetap mengangkat sisi ketulusan seorang pria didalamnya. Digambarkan seorang Tan Peng Liang, yang akhirnya mengawininya secara tulus.Meski telah menyayangi Tinung dan anak dalam kandungannya, dibalik itu muncullah sisi 'nakal' seorang Tan Peng Liang sebagai seorang lelaki.Ia hanya melihat Tinung dari wajah dan tubuhnya saja.
Film yang diproduksi oleh salah Kalyana Shira Film telah memenangkan beberapa penghargaan di Asia Pacific Film Festival ke-
47, Seoul, Korea Selatan pada tahun 2002, sebagai Penata Artistis
Terbaik dan Best Performing New Director.
Selain memuat isu gender dalam film tersebut aspek lain dalam film tersebut adalah aspek Kebudayaan Tionghoa, aspek Norma dan Nilai
6
sosial, karena film yang bergenre drama ini dibuat lebih klasik atau film lama dengan karakter para pemain yang berperan sebagai orang
Tionghoa atau cina. Film ini mendiskripsikan budaya yang berasal dari bangsa asing telah terasimilasi atau terjadi percampuran kebudayaan dengan bangsa Indonesia akan tetapi masih memegang teguh budaya tionghoa. Para penonton akan terbawa dalam suasana yang berbeda dimana adanya komunikasi dari orang orang dari kultur yang berbeda tentang kepercayaan, nilai, dan tatacara berprilaku dengan cultural yang berbeda yang akan menimbulkan efek dari tindakan tersebut.
Film Ca Bau Kan sebagai objek penelitian, peneliti sendiri menggunakan kajian studi Analisis Resepsi sebagai bahan dan metode penelitian. Analisis resepsi yang digunakan agar para audiens memahami proses pembuatan makna (making meaning process) ketika mengonsumsi tayangan,sinema, atau program film seri di
Televisi,sehingga peneliti bisa mengetahui dan melihat respon, penerimaan, sikap dan makna yang berbeda dari para audiens terhadap isu atau pesan dalam Film Ca Bau Kan. Lebih lanjut peneliti memfokuskan penelitian pada isu dari Film Ca Bau Kan yaitu isu yang diangkat adalah Feminisme atau Gender.
Selain itu dalam film Ca Bau Kan terdapat isu lainnya berupa kekerasan dalam rumah tangga, seksualitas, budak atau selir, dan isu sosial lainnya. Peneliti lebih memfokuskan pada isu Feminisme film, karena itu peneliti menggunakan metode penggalian data secara Diskusi
Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion).Hal ini diperlukan untuk
7
mendapatkan data berkaitan dengan respon dari opini khalayak sehingga
menghasilkan “Communal meaning” atau makna bersama terhadap isi
media (Rahmah Ida, 2004: 167)1. Dinamika pendapat komunal ini akan
memberikan variasi data terhadap studi khalayak media terutama dalam
metode analisis penerimaan media massa.
Diskusi kelompok focus adalah wawancara kelompok yang
dilakukan untuk mengetahui bagaimana khalayak merasakan tentang
suatu produk, jasa, atau isu (Berger,1998:89)2. Kelompok orang
dikumpulkan dan diajak berdiskusi dalam situasi yang bebas atau Free
form discussion yang dipimpin oleh seorang moderator untuk
memperoleh data informasi yang diinginkan, dalam hal ini peneliti
memberikan isu mengenai feminism dalam film Ca Bau Kan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bagaimana penerimaan khalayak menanggapi isu feminisme dalam
film Ca Bau Kan?
1 Rahmah Ida, Studi Media dan Kajian Budaya (Jakarta, Kencana, 2014), hal. 167.
2 Ibid., hal. 169
8
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti berniat mengkaji penerimaan dari
khalayak aktif dalam menanggapi isu feminisme dalam Film Ca
Bau Kan menggunakan teori analisis resepsi.
1.3.2. Manfaat Penelitian
a) Teoritis
Menjadikan sumber referensi untuk dimanfaatkan dan
dipertimbangkan dalam penelitian lebih lanjut.
b) Praktisi
Menambah Pengetahuan dan Ilmu Komunikasi serta, referensi
bagi Mahasiswa Ilmu Komunikasi Stikosa AWS mengenai
silang pendapat dari penggiat film dan masyarakat feminisme
mengenai isu feminism yang diangkat dari sebuah film.
1.4. Tinjauan Pustaka
1.4.1. Analisis Resepsi Khalayak
Definisi dari Analisis Resepsi adalah pemaknaan dan
pemahaman dari suatu peristiwa dalam suatu media yang
kemudian di interpretasikan oleh para individu. Analisis resepsi
juga berarti bahwa teks media mendapatkan makna pada saat
peristiwa penerimaan, dan bahwa khalayak secara aktif
memproduksi makna dari media dengan menerima dan
9
menginterpretasikan teks-teks sesuai posisi-posisi sosial dan
budaya mereka.
Menurut McRobbie (1991 di dalam CCMS:2002)3 analisis
resepsi merupakan sebuah “pendekatan kulturalis” dimana makna
media dinegosiasikan oleh individual berdasarkan pengalaman
hidup mereka. Dengan kata lain pesan-pesan media secara
subjektif dikonstruksikan khalayak secara individual. Analisis
Resepsi dapat berarti sebagai analisis perbandingan tekstual dari
sudut pandang media dengan sudut pandang audiens yang
menghasilkan suatu pengertian tegas pada suatu konteks.
Pembaca atau pemirsa belum tentu melakukan pembacaan sesuai
apa yang diinginkan oleh pembuat teks atau dengan kata lain
khalayak melakukan interpretasi makna yang terdapat di dalam
teks secara aktif.
Analisis resepsi khalayak atau audiens digunakan untuk
memahami proses pembuatan makna (making meaning process),
yang dilakukan oleh audiens ketika mengonsumsi tayangan
sinema atau program film. Analisis resepsi yang digunakan untuk
melihat dan memahami respon, penerimaan, sikap dan makna
yang diproduksi dan dibentuk oleh penonton terhadap karya
literatur dan tulisan dalam majalah.
3 Baran, Stanley Jdan Davis, Dennis K.. Teori Komunikasi Massa: Dasar Pergolakan dan Masa Depan (Jakarta : Salemba Humanik, 2010), hal.176
10
Asumsi dasar dari analisis resepsi adalah konsep khalayak
aktif.Khalayak aktif adalah khalayak yang mempunyai otonomi
untuk memproduksi atau mereproduksi makna yang ada di dalam
tayangan sebuah film yang ditonton. Proses mengonsumsi dan
memproduksi makna dalam proses penerimaan konten media
massa menggunakan teori “Encoding dan Decoding” hal ini
ditulis oleh Stuart Hall (1972)4.
1.4.2. Khalayak
Salah satu unsur yang ada dalam komunikasi massa adalah
khalayak yang merupakan penerima dari pesan yang disampaikan
oleh media. Khalayak juga bisa dikatakan sebagai pihak yang
mengkonsumsi apa yang diproduksi oleh media. Konsep
khalayak menunjukkan adanya sekelompok pendengar atau
penonton yang memiliki perhatian, reseptif, tetapi relatif pasif
yang terkumpul dalam latar belakang yang kurang lebih bersifat
publik. Penerimaan dari media massa sangat beragam dan berasal
dari pengalaman yang beragam pula, karena itu menimbulkan
sedikit konsistensi dalam konsep media massa.
Hal ini berlaku pada saat mobilitas,individualisasi, dan
berlipatgandanya penggunaan media.Kedua, munculnya media
baru telah memperkenalkan sejumlah bentuk baru perilaku,
melibatkan interaktivitas dan pencarian, bukan hanya menonton
4 Rahmah Ida, Studi Media dan Kajian Budaya (Jakarta, Kencana, 2014), hal. 167.
11
atau mendengarkan saja.Ketiga, batasan antara produsen dan khalayak telah menjadi kabur karena alasan-alasan yang telah diberikan sebelumnya.
Khalayak merupakan produk konteks sosial (yang mengarah pada kepentingan budaya, pemahaman, dan kebutuhan informasi yang sama) serta respon kepada pola pasokan media media tertentu. Sering kali keduanya berada pada saat yang bersamaan, ketika sebuah media dirancang untuk menarik anggota kategori sosial tertentu atau penduduk di wilayah tertentu. Penggunaan media juga mencerminkan pola yang lebih luas dari penggunaan waktu, ketersediaan, gaya hidup, dan rutinitas sehari-hari
(McQuail, 2011: 144).
Terdapat cara lain untuk mencirikan jenis-jenis khalayak yang berbeda yang muncul seiring dengan perubahan media dan waktu. Nightingale (2003) mengajukan tipologi baru yang menangkap fitur utama dari keragaman yang baru, menyatakan empat jenis berikut: a. Khalayak sebagai "kumpulan orang-orang". Utamanya,
kumpulan ini diukur ketika menaruh perhatian pada tampilan
media atau produk tertentu pada waktu yang ditentukan. Inilah
yang dikenal sebagai penonton. b. Khalayak sebagai "orang-orang yang ditujukan". Merujuk
pada kelompok orang yang dibayangkan oleh komunikator
12
serta kepada siapa konten dibuat. Hal ini juga diketahui
sebagai khalayak yang terlibat atau terinterpelasi.
c. Khalayak sebagai "yang berlangsung". Pengalaman
penerimaan sendirian atau dengan orang lain sebagai peristiwa
interaktif dalam kehidupan sehari-hari, berlangsung dalam
konteks tempat atau fitur lain.
d. Khalayak sebagai "pendengar" atau "audiens". Utamanya
merujuk pada pengalaman khalayak yang berpartisipasi, ketika
khalayak ditempelkan di dalam sebuah pertunjukkan atau
diperbolehkan untuk berpartisipasi melalui alat yang jauh atau
memberikan respons di saat yang bersamaan (Nightingale
dalam McQuail, 2011: 145).
1.4.3. Proses Encoding dan Decoding
Proses pengemasan pesan dalam media komunikasi disebut
encoding (Hardjana, 2003: 13). Dengan encoding, pengirim atau
penyampai pesan memasukkan atau mengungkapkan pesannya ke
dalam kode atau lambang baik secara verbal atau non
verbal.Setelah pesan sampai pada penerima, selanjutnya terjadi
proses decoding, yaitu menafsirkan pesan tersebut. Setelah itu
terjadilah respon pada penerima pesan.
Menurut Stuart Hall, khalayak melakukan
encoding/decoding terhadap interpretasi-interpretasi beragam
13
selama proses produksi dan penerimaan (resepsi) pesan media
melalui tiga kemungkinan posisi, yaitu:
1. Posisi Hegemoni Dominan (dominant hegemonic position),
yaitu dimana penonton yang menerima program tayangan
televisi secara penuh, menerima begitu saja ideologi
dominan dari program tanpa adanya penolakan. Penonton
juga menjelaskan kehidupan mereka sendiri, perilaku, dan
pengalaman sosial dalam ideologi ini.
2. Posisi Negosiasi (negotiated code), yaitu posisi dimana
penonton mencampurkan interpretasinya dengan
pengalaman sosial tertentu mereka.
3. Posisi Oposisi (oppositional code), yaitu ketika penonton
melawan atau berlawanan dengan representasi yang
ditawarkan dalam tayangan televisi dengan cara yang
berbeda dengan pembacaan yang telah ditawarkan (Hall :
138).
Model Stuart Hall ini menjadi kerangka teori bagi studi-studi
empiris tentang penerimaan (reception) program televisi oleh
penonton yang berbeda.
1.4.4. Film sebagai Media Komunikasi Massa
Sebuah film hidup dari bentukan teknologi rekaman gambar
dan suara, dan termasuk ada di dalamnya berbagai unsur kesenian
seperti sastra, teater, seni rupa, dan juga musik. Film saat ini
menjadi salah satu pilihan hiburan bagi masyarakat di seluruh
14
dunia. Awal penemuan film ditandai dengan adanya eksperimen terhadap konten dan bentuk, inovasi teknologi, termasuk juga mengenai siapa yang akan menggunakan, mengontrol dan memanfaatkan hasil penemuan ini. Selanjutnya, bagaimana cara untuk merekam dan menampilkan gambaran peristiwa dalam gerakan tersebut. Film mempunyai satu unsur penting dalam tampilannya yaitu gambar.
Dalam produksinya, proses pembuatan film dibagi dalam 3 tahap.Preproduction adalah tahap awal di mana ide dibentuk. Ide dapat diterjemahkan ke dalam tulisan seperti plot dalam novel atau pun pertunjukan teater. Selanjutnya, pembuatan skrip, dari mulai skrip naratif, adanya plot, gambaran karakter si pemain serta lokasi, kemudian skrip lebih detail dengan dialog, pengaturan pencahayaan dan gerak, sampai pada penelitian skrip akhir.Keberadaan film di tengah kehidupan masyarakat memberikan beberapa nilai fungsi tertentu.Film dibuat dengan latar belakang produksi yang sangat rumit.
Dari proses preproduction sampai kepada postproduction melibatkan banyak orang dengan fungsi yang berbeda. Film dikonsep sedemikian rupa, dengan pemilihan pemain, lokasi, kostum, musik dan unsur lainnya. Di samping mencapai suatu nilai profit bisnis, film juga berfungsi untuk mentransmisikan suatu pesan dari si pembuat film kepada khalayak luas. Dengan fungsi mentransmisikan pesan, menempatkan film dalam sebuah
15
proses komunikasi. Salah satu bentuk komunikasi yang
mentransmisikan pesan kepada khalayak dalam jumlah yang luas
pada saat yang bersamaan disebut dengan komunikasi massa.
Dalam bentuk komunikasi ini tidak ada kontak langsung
antara si pengirim dan penerima pesan. Pesan akan disampaikan
melalui beberapa media seperti televisi, radio, majalah, surat
kabar, dan lainnya termasuk film. Film dalam bentuk komunikasi
massa mengacu pada model komunikasi linear. Artinya bahwa
film ada dalam proses komunikasi yang sifatnya searah.
1.4.5. Gender dan Feminisme dalam Fenomena masyarakat
a. Gender
Bias gender sering kali ditampilkan dalam media.Banyak
film atau acara yang memberikan sebuah hiburan yang
menyinggung atau merendahkan salah satu gender.Seperti
dengan menampilkan lakilaki dengan dandan wanita beserta
sikap yang menyerupai wanita.Atau yang banyak dialami
wanita, banyak dari mereka hanyamenjadi bahan eksploitasi
oleh media.Media menampilkan seksualitas wanita atau
menampilkan wanita sebagai sosok teraniaya atas pria, tak
jarang wanitaditampilkan sebagai sosok yang lemah.
Konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum
laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi secara sosial
maupun kultural. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender
16
dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikontruksi secara sosial dan kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara (Fakih,
1996: 8-9).
Media mencerminkan tiga tema yang berkaitan dengan gender.Pertama, perempuan dan minoritas kurang terwakili.
Kedua, laki-laki dan perempuan digambarkan terutama dalam cara yang mencerminkan stereotip dan mereproduksi pandangan konvensional gender (Banard, 2011 : 76). Ketiga, hubungan antara pria dan wanita biasanya digambarkan sebagai konsisten dengan peran gender dalam hubungannya kekuasaan (Wood, 2007: 258). Media yang paling sering mewakili anak laki-laki dan laki-laki sebagai aktif, petualang, kuat, agresif secara seksual, dan sebagian besar tidak terlibat dalam hubungan manusia, dan mewakili anak perempuan dan perempuan sebagai muda, tipis, indah, pasif, tergantung, dan sering tidak kompeten (Wood, 2007: 259).
Meskipun media terkadang menghadirkan wanita dalam peran nontradisional atau dengan kualitas nontradisional, sebagian besar media mencerminkan terbentuknya stereotype budaya perempuan dan feminitas.Stereotype yang paling banyak adalahperempuan sebagai objek seks, dan itu terus mendominasi media (Wood, 2007: 262)
17
b. Feminisme
Dalam penelitian tentang feminis, maka peneliti
memberikan beberapa konsep yang dipakai sebagai acuan
untuk meneliti adegan yang dianggap sesuai dengan
penelitian.Dalam buku Encyclopedia of Feminism, yang ditulis
Lisa Tuttle pada tahun 1986, feminisme dalam bahasa
Inggrisnya feminism, yang berasal dari bahasa Latin femina
(woman), secara harfiah artinya “having the qualities of
females”. Istilah ini awalnya digunakan merujuk pada teori
tentang persamaan seksual dan gerakan hak-hak asasi
perempuan, menggantikan womanism pada tahun 1980-an.
Alice Rossi yang menelusuri penggunaan pertama kali
istilah ini tertulis, yaitu dalam buku “The Athenaeum”, pada
27 April 19895. Feminisme yang memiliki artian dari femina
tersebut, memiliki arti sifat keperempuanan, sehingga
feminisme diawali oleh presepsi tentang ketimpangan posisi
perempuan dibanding laki-laki di masyarakat. Akibat presepsi
ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab
ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan
formula penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam
segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia
(human being).
Maggie Humm dalam bukunya “Dictionary of Feminist
Theories” menyebutkan feminisme merupakan ideologi
18
pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan disebabkan jenis kelamin yang dimilikinya.
Sehingga dengan demikian, istilah emansipasi perempuan berarti bebas dari pembatasan yang menindas yang dikenakan oleh seks, penentuan diri dan otonomi.Bebas dari pembatasan yang menindas yang dikenakan oleh seks berarti bebas dari pembatasan biologis dan kemasyarakatan. Penentuan diri berarti seseorang bebas untuk memutuskan nasibnya sendiri, bebas untuk mendefinisikan peran sosial seseorang, memiliki kebebasan untuk membuat keputusan berkenaan dengan tubuh seseorang. Otonomi berarti seseorang mendapatkan statusnya sendiri, tidak dilahirkan ke dalamnya atau menikahinya, sehingga berarti juga kemandirian finansial, bebas untuk memilih gaya hidup, yang semuanya secara tidak langsung berarti sebuah transformasi radikal dari lembaga-lembaga, nilai-nilai dan teori-teori yang ada.
Seiring perjalanan waktu, timbul berbagai macam aliran feminisme (dalam Fajar Apriani, : 11 ) sebagai berikut :
19
1. Feminisme Liberal
Alison Jaggar dalam tulisannya yang berjudul On Sexual
Equality (dalam Arivia, 2003 : 93-109)5 menyatakan bahwa
kaum liberalis mendefinisikan rasionalitas ke dalam berbagai
aspek termasuk moralitas dan kearifan. Apabila penalaran
diterjemahkan sebagai sebuah kemampuan untuk memilih cara
yang terbaik untuk mencapai tujuan yang diinginkan, maka
pemenuhan diri hadir.
Dengan demikian, sebagai konsekuensinya, liberalisme
menekankan bahwa setiap individu dapat mempraktekkan
otonominya. Kaum liberalis dapat dibedakan menjadi dua tipe,
yaitu liberalis klasik dan liberalis egaliterian. Liberalis klasik
mengharapkan perlindungan negara dalam hal kebebasan sipil,
seperti hak kepemilikan, hak untuk memilih, hak untuk
mengemukakan pendapat, hak untuk memeluk suatu agama,
dan hak untuk berorganisasi. Sedangkan mengenai isu pasar
bebas, liberalis klasik menghendaki agar setiap individu diberi
kesempatan yang sama untuk mencari keuntungan. Di pihak
lain, kaum liberalis egaliterian mengusulkan bahwa idealnya
negara seharusnya hanya berfokus pada keadilan ekonomi dan
bukan pada kebebasan sipil. Menurut paham ini, setiap
individu memasuki pasar dengan terlebih dahulu memiliki
5 Fajar Apriani, Berbagai pandangan mengenai gender dan feminisme, (Yogyakarta, 2010), hal. 45
20
modal, misalnya materi ataupun koneksi, talenta dan juga
keberuntungan.
Feminisme liberal melandaskan idealisme fundamentalnya
pada pemikiran bahwa manusia bersifat otonomi dan diarahkan
oleh penalaran yang menjadikan manusia mengerti akan
prinsip-prinsip moralitas dan kebebasan individu. Feminisme
liberal mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan akses pada
pendidikan, kebijakan yang bias gender, hak-hak politis dan
sipil. Rochelle Gatlin (1987:121)6 menerangkan korelasi antara
feminisme liberal dan perubahannya menjadi feminisme
radikal. Ia mendefinisikan feminis liberal adalah kaum liberal
yang potensial. Akan tetapi banyak liberalis yang tidak
menyadari hal ini dan menyangkal bahwa liberalisme yang
mereka dukung adalah sebuah ideologi politis seperti lainnya.
Mereka sering tidak sadar bahwa nilai-nilai liberal dari hak-
hak individual dan kesetaraan kesempatan sesungguhnya
berkontradiksi dengan pengakuan feminis mereka bahwa
perempuan adalah sebuah kelas seks yang kondisi umumnya
ditentukan secara sosial dan bukan secara individual.
2. Feminisme Radikal
Menurut Arivia (2005 : 100-102), inti gerakan feminis
radikal adalah isu mengenai penindasan perempuan. Mereka
mencurigai bahwa penindasan tersebut disebabkan oleh adanya
6 Ibid. Hal. 50 21
pemisahan antara lingkup privat dan lingkup publik, yang berarti bahwa lingkup privat dinilai lebih rendah daripada lingkup publik, dimana kondisi ini memungkinkan tumbuh suburnya patriarki.Dalam konsep feminisme radikal, tubuh dan seksualitas memegang esensi yang sangat penting. Hal ini terkait dengan pemahaman bahwa penindasan diawali melalui dominasi atas seksualitas perempuan dalam lingkup privat.
Kaum feminis radikal meneriakkan slogan bahwa “yang pribadi adalah politis”, yang berarti penindasan dalam lingkup privat adalah merupakan penindasan dalam lingkup publik.
Para feminis radikal juga memberi perhatian khusus pada isu tentang kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Dominasi laki-laki dalam sistem patriarki membuat kekerasan yang menimpa perempuan, seperti pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, pornografi, pelecehan seksual, menjadi tampak alami dan “layak”. Sejalan dengan pemahaman ini, tercipta pula dikotomi mengenai good girls dan bad girls. Apabila seorang perempuan berperilaku baik, terhormat, dan patuh, maka ia tidak akan dicelakai.
Mengingat bahwa dalam sistem patriarkhi laki-lakilah yang memegang kendali kekuasaan dan dominasi, maka adalah juga laki-laki yang berhak memberikan definisi mengenai perilaku yang “dapat diterima” dan “pantas”, atau dengan kata lain, seorang perempuan harus bertindak tanduk dalam suatu pola
22
perilaku untuk memenuhi cita rasa laki-laki dan untuk menyenangkan mereka agar memperoleh posisi yang aman dan nyaman. Dalam hubungan laki-laki dan perempuan yang demikian, terdapat suatu pola superordinat -subordinat, pengampu-diampu, suatu target yang sangat ingin dihapuskan oleh feminis radikal.Selanjutnya, terdapat perpecahan dalam feminis radikal, yaitu radikal libertarian dan radikal kultural.
Feminisme radikal libertarian memberikan perhatian lebih pada konsep isu-isu feminin, pada hak-hak reproduksi dan peran seksual. Menurut kelompok ini, solusi atas masalah ini adalah dengan mengembangkan ide androgini, yaitu sebuah model yang mempromosikan pembentukan manusia seutuhnya dengan karateristik maskulin – feminin.
Di lain pihak, feminis radikal kultural bersikeras pada proposisi yang menyatakan bahwa perempuan seharusnya tidak seperti laki-laki, dan tidak perlu bagi perempuan untuk berperilaku seperti laki-laki. Kaum feminis radikal kultural mencegah penerapan nilai-nilai maskulin yang secara kultural dikenakan pada pria, misalnya kebebasan, otonomi, intelektual, kehendak, kirarki, dominasi, budaya, transendensi, perang dan kematian.
Perbedaan antara feminisme radikal libertarian dengan feminisme radikal kultural mengungkapkan adanya perbedaan sudut pandang yang tajam antara keduanya mengenai
23
reproduksi. Dimana pertentangannya memperdebatkan apakah
reproduksi merupakan sumber “penindasan perempuan atau
“kekuatan perempuan”. Meskipun demikian, terdapat satu hal
yang mengikat ide radikal feminisme, yaitu pada pemahaman
dasar bahwa sistem gender adalah basis dari penindasan
perempuan. Feminis mengangkat isu-isu tentang seksisme,
patriarkhi, hak-hak reproduksi, kekuatan hubungan laki-laki
dan perempuan, dikotomi antara ranah privat dan ranah publik.
3. Feminisme Marxis dan Sosialis
Meskipun terdapat sejumlah persamaan antara feminisme
Marxis dan sosialis,akan tetapi antara keduanya terdapat
perbedaan yang tegas. Feminis sosialis menekankan bahwa
penindasan gender disamping penindasan kelas adalah
merupakan sumber penindasan perempuan. Sebaliknya,
feminis Marxis Feminis Marxis percaya bahwa perempuan
borjuis tidak mengalami penindasan seperti yang dialami
perempuan proletar. Penindasan perempuan juga terlihat
melalui produk-produk politik, struktur sosiologis dan
ekonomis yang secara erat bergandengan tangan dengan sistem
kapitalisme. Seperti halnya Marxisme, feminis Marxis
memperdebatkan bahwa eksistensi sosial menentukan
kesadaran diri. Perempuan tidak dapat mengembangkan
dirinya apabila secara sosial dan ekonomi tergantung pada
laki-laki. Untuk mengerti tentang penindasan perempuan,
24
relasi antara status kerja perempuan dan citra diri mereka
dianalisa. berargumentasi bahwa sistem kelas
bertanggungjawab terhadap diskriminasi fungsi dan status.
Menurut Rosemary Hennesy dan Chrys Ingreaham
(1997:4)7, feminisme Marxis dan sosialis melihat budaya
sebagai suatu arena produksi sosial, arena dimana feminis
berjuang daripada melihat budaya sebagai suatu kehidupan
sosial secara keseluruhan.
4. Feminisme Eksistensialisme
Simone de Beauvoir (Arivia, 2003 : 122-123)8
menyatakan bahwa dalam feminisme eksistensialisme
penindasan perempuan diawali dengan beban reproduksi yang
herus ditanggung oleh tubuh perempuan. Dimana terdapat
berbagai perbedaan antara perempuan dan laki-laki, sehingga
perempuan dituntut untuk menjadi dirinya sendiri dan
kemudian menjadi “yang lain” karena ia adalah makhluk yang
seharusnyadi bawah perlindungan laki-laki, bagian dari laki-
laki karena diciptakan dari laki-laki. Dengan demikian,
perempuan didefinisikan dari sudut pandang laki-laki,
sehingga laki-laki adalah subjek dan perempuan adalah
objeknya atau “yang lain”.
5. Feminisme Psikoanalitis
7 Ibid., hal. 54
8 Ibid., hal. 54
25
Feminisme psikoanalitis mendasarkan teorinya pada
pemahaman bahwa alasan dasar bagi penindasan perempuan
terletak pada kejiwaan perempuan. Phyllis Chesler dalam
tulisannya yang berjudul Women and Madness (1972)
menyatakan bahwa sakit kejiwaan perempuan kemungkinan
adalah hasil dari pengkotak-kotakkan peran gender atau
dampak dari masyarakat yang terkondisi berdasarkan jenis
kelamin, maka sebagai konsekuensinya seorang perempuan
akan dicap tidak waras apabila ia tidak berperilaku sesuai
dengan label yang diberikan masyarakat kepadanya.
Kondisi depresif yang diderita perempuan mengarahkan
pada kekurangwarasan dan sakit jiwa ini kemudian dibakukan
dalam bentuk depresi, upaya bunuh diri, neurotis kecemasan,
paranoia, lesbianisme, dan sebagainya. Dalam situasi ketika
perempuan berlawanan dengan standar yang berlaku, maka ia
akan dilihat sebagai neurotis atau psikotis. Misalnya, seorang
perempuan akan dianggap aneh jika ia berperilaku kritis, tegas,
dan vokal dalam suatu masyarakat yang menuntut seorang
perempuan untuk patuh, pasrah, dan diam.
6. Feminisme Posmodern
Mirip dengan teori eksistensialisme, dalam feminisme
posmodern perempuan juga dianggap sebagai “yang lain”.
Seorang perempuan teralienisasi karena cara berpikirnya, cara
keberadaannya, dan bahasa perempuan yang menghalangi
26
terciptanya keterbukaan, pluralitas, diversifikasi dan
perbedaan. Dengan memandang pada bahasa sebagai sebuah
sistem, feminis posmodern mencoba untuk menguak
teralienisasinya perempuan dalam seksualitas, psikologi dan
sastra (Arivia, 2003 : 128)9.
7. Ekofeminisme
Mary Daly mengingatkan perempuan untuk waspada
terhadap metode-metode mistifikasi laki-laki. Ia
mengklasifikasikan mistifikasi ini ke dalam empat cara, yaitu
penghapusan (erasure), pembalikan (resersal), polarisasi yang
salah (false polarization) serta memecah belah dan
menaklukkan (divide and conquer). Metode penghapusan
terlihat dari adanya penghapusan fakta pembunuhan jutaan
perempuan yang disangka sebagai tukang sihir dalam
pengetahuan patriarkhi. Metode pembalikan tercermin dalam
mitos-mitos yang patriarkhi,misalnya Adam-Hawa, Zeus-
Athena.
Metode polarisasi yang salah terimplikasi dalam feminisme
menurut definisi laki-laki yang dipertentangkan dengan
seksisme menurut definisi laki-laki dalam media patriarkhi.
Sedangkan metode memecah belah dan menaklukkan
terimplementasi dalam bentuk adanya perempuan rendah yang
dilatih untuk „membunuh” feminis dalam profesi yang
9 Ibid., hal 56
27
patriarkhis. Selanjutnya Daly menegaskan bahwa budaya
maskulin membawa degradasi bagi kemanusiaan, dalam
pemahaman bahwa sistem patriarkhi yang mengagungkan
kekuasaan, eksploratif, destruktif dan menguasai. Apabila
sistem patriarkhi dipertentangkan dengan sistem matriarkhi
yang lembut, kebersamaan dan menyayangi, maka alam akan
terjaga dan lestari dalam sistem matriarkhi.
8. Feminisme Lesbian
Esensi dari lesbianisme adalah politik, karena ideologi ini
mengkritisi supremasi laki-laki melalui lembaga dan ideologi
yang heteroseksual. Charlotte Bunch menyajikan perbedaan
yang jelas antara lesbian dan perempuan murni, lesbianisme
menekankan keterikatan perempuan terhadap perempuan,
sementara heteroseksual menekankan keterikatan perempuan
terhadap laki-laki (Hennessy, 1997 : 55)10.
Dalam heteroseksual, laki-laki menikmati hak-hak
istimewa yang lebih tinggi. Sebaliknya perempuan dianggap
sebagai suatu bentuk properti laki-laki. Tubuhnya,
pelayanannya, dan anak-anaknya menjadi milik laki-laki.
Kenyataan ini memicu sejumlah perempuan untuk mendobrak
sistem patriarkhi - konvensional dan mengembangkan suatu
gaya hidup baru dengan karakter yang sarat budaya feminin,
yaitu lesbianisme yang kontroversial.
10 Ibid., hal. 58 28
1.5. Kerangka Berpikir
ISU FEMINISME TERHADAP PEREMPUAN
SEBAGAI KAUM YANG TERTINDAS OLEH LELAKI
FILM CA BAU KAN
MASYARAKAT/KHALAYAK
FOCUS GRUP DISCUSSION
(FGD)
ANALISA RESEPSI (RECEPTION ANALISYS)
PENERIMAAN PESAN KHALAYAK TERHADAP ISU FEMINISME DALAM FILM CA BAU KAN
29
1.6. Metodologi Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang
menggunakan metode penelitian Analisis Resepsi. Dalam
penelitian ini peneliti akan menggali lebih dalam pemaknaan
khalayak atau informan mengenai Film Ca Bau Kan.
Reception Analysis atau Analisis Resepsia dalah sebuah
metode yang membandingkan antara analisis tekstual wacana
dan media serta wacana khalayak yang hasil interpretasinya
merujuk pada konteks, seperti cultural setting dan konteks atas
isi media lain (Jensen, 1993: 139). Penelitian dengan
menggunakan analisis resepsi dapat melihat bagaimana
khalayak atau informan memaknai isi dari film Ca Bau Kan,
dengan latar belakang mereka yang berbeda-beda.
1.6.2. Obyek Penelitian
Obyek dari penelitian analisis resepsi ini adalah khalayak
yang telah menonton , yakni film Ca Bau Kan. Para Khalayak
ini dipilih tidak secara acak, tetapi dipilih dengan sengaja yang
memenuhi kriteria sesuai dengan kebijaksanaan peneliti.
Kriteria yang ditentukan, yakni :
A. Jenis kelamin : Pria & Wanita
B. Usia : Diatas 21 tahun
C. Yang sudah menonton Film Ca Bau Kan dan mengerti
situasi serupa seperti yang ada didalam film juga 30
memiliki kesensitifan lebih terhadap isu-isu terkait
perempuan.
1.6.3. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 2 jenis sumber
data, yaitu primer dan sekunder.
a. Data primer
Data ini yang berkaitan langsung dengan obyek
penelitian.Data diperoleh dari wawancara kepada
khalayak secara diskusikelompok yang terfokus pada
topik (Focus Group Discussion). Dalam hal ini, peneliti
melakukan wawancara kepada para khalayak yang telah
menonton film Ca Bau Kan juga mengetahui fenomena
didalam konten film,untuk mengetahui penerimaan
khalayak dari film tersebut.
Focus Group Discussion adalah wawancara kelompok
yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana khalayak
merasakan tentang suatu produk, jasa, issu (Berger,1998:
89).11
b. Data Sekunder
Selain data primer, pengumpulan data juga diperoleh
melalui data sekunder yaitu melalui studi kepustakaan.
Studi pustaka digunakan untuk mengumpulkan data dan
teori yang relevan dengan penelitian dan menambah atau
11 Rahmah Ida, Studi Media dan Kajian Budaya (Jakarta, Kencana, 2014), hal. 163.
31
mendukung bukti. Sumber lain yang di ambil adalah
buku-buku, catatan-catatan, rekaman arsip, foto, gambar
atau diagram, dan informasi non manusia lain.
1.7. Unit Analisis
Unit Analisis dalam penelitian ini isu feminisme didalam film
yang bergenre drama yaitu Film Ca Bau Kan.
1.8. Teknik Pengumpulan Data
1. Diskusi Kelompok Fokus (focus group discussion)
Peneliti mengumpulkan data dari khalayak atau informan.Data
diperoleh melalui wawancara atau interview secara kelompok
dengan menyediakan pertanyaan. Kelompok ini akan dikumpulkan
dan diajak untuk berdiskusi dalam situasi yang bebas atau free form
discussionyang dipimpin oleh seorang moderator. Untuk
mengadakan wawancara kelompok moderator akan memberikan
pertanyaan-pertanyaan mengenai topik.Dalam uraian ini lebih
ditekankan perolehan data melalui wawancara kelompok yang
akrab disebut focus group interview. Hasil dari diskusi akan
dikumpulkan dan selanjutnya diperoleh makna bersama atau
Communal meaningatau yang lebih terfokus.
2. Peneliti menulis hasil wawancara tersebut dan menulis hasil
analisis baik secara tekstual maupun rekaman audio.
32
1.9. Teknik Analisis Data
Menurut Bogdan & Biklen, analisis data kualitatif adalah upaya
yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan
data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa
yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat
diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2008: 248).Teknik analisis
data yang akan peneliti lakukan adalah sebagai berikut:
a. Menyeleksi
Peneliti memilih dan melakukan focus group discussion kepada
khalayak yang sesuai dengan kriteria dari peneliti.
b. Mengklasifikasi
Peneliti menetapkan posisi reception khalayak (accepting,
negotiated, oppositional dan aspek perbedaan latar belakang (laki-
laki atau wanita dengan kesensitifan juga berpengalaman dalam
hidupnya terkait feminisme)
c. Menganalisis
Selanjutnya, peneliti akan menganalisis adegan-adegan tersebut
dengan analisis resepsi serta hasil wawancara dan penerimaan para
khalayak yang kemudian ditulis dalam bentuk laporan tertulis. Dari
hasil analisis akan didapatkan para khalayak tersebut termasuk
dalam jenis yang mana dalam memahami isu feminism dalam film
tersebut.
33
BAB II
OBYEK PENELITIAN
2.1 Film Ca Bau Kan dan Feminisme didalamnya
2.1.1 Sinopsis FilmCa Bau Kan
Kisah ini menceritakan tentang seorang perempuan Indonesia yang
diadopsi oleh sebuah keluarga Belanda di jaman kolonial.Perempuan ini
kemudian menetap di Belanda sampai memiliki beberapa orang cucu.
Ketika ia berusia sekitar 60 tahun, lahirlah keingintahuannya mengenai
latar belakang keluarga aslinya. Ia pun memutuskan untuk melakukan
perjalanan kembali ke Indonesia. Lewat penggunaan teknik kilas balik,
terungkaplah bahwa ibunya adalah seorang Ca Bau Kan (perempuan
dalam bahasa Cina Hokkian) dan ayahnya seorang saudagar Cina.
Cerita cinta mereka dengan beberapa lapis alur cerita terangkai menjadi
kisah utama dari film Ca Bau Kan.
Peristiwa-peristiwa dalam film ini terjadi diantara tahun 1930
sampai 1950 di Batavia.Film ini sangat diwarnai dengan sentuhan
budaya Cina dan Betawi serta berbagai peristiwa yang berhubungan
dengan masa pendudukan Belanda dan Jepang. Di penghujung cerita, si
perempuan akhirnya mengetahui bahwa kisah cinta orang tuanya
mampu bertahan melalui ujian perjalanan sang waktu.
34
2.2 Profil Sutradara dan Rumah Produksi
2.2.1 Kalyana Shira Film
Kalyana Shira Foundation adalah sebuah organisasi nirlaba yang
didirikan pada Oktober 2006 atas dasar kepedulian pendiri dan anggota-
anggotanya terhadap isu-isu perempuan, gender, anak-anak, dan kaum
marginal lainnya. Para pendiri Kalyana Shira Foundation adalah pekerja
film yang aktif berkecimpung dan berkarya sejak masa paska reformasi
di Indonesia dan menjadi bagian dari sineas yang telah berkontribusi
dalam menggeliatkan kembali perfilman dalam negeri dan apresiasi
masyarakat Indonesia terhadap film Indonesia. Karya-karyanya antara
lain Ca Bau Kan, Biola Tak Berdawai, Arisan, dan Berbagi Suami yang
selalu menyentuh tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan
perempuan Indonesia.
Film-film ini telah menstimulir diskusi dan usaha-usaha
meningkatkan kesejahteraan perempuan Indonesia yang terus berlanjut
setelah film-film tersebut selesai masa tayangnya di bioskop-
bioskop.Melalui karya layar lebar dan karya audio visual, Kalyana
Shira Foundation ingin berkontribusi dalam memberikan informasi,
menghidupkan media ekspresi bagi kaum perempuan, anak-anak dan
kaum termarjinalkan yang masih belum mendapatkan tempat dalam
film Indonesia secara umum.
35
2.2.2 Profil Sutradara
Nama : Nia Dinata
Nama Asli : Nurkurniati Aisyah Dewi
Lahir : Jakarta, 04 Maret 1970
Pekerjaan : Sutradara, Produser, Penulis Skenario
Kontak : Kalyana Shira Film,
Jl. Kemang Timur.Jakarta Selatan. DKI Jakarta
Email : [email protected]
PENDIDIKAN
a) SD Muhammadiyah V, Jakarta (lulus 1982)
b) SMP Negeri 12 Jakarta (1985)
c) SMA Negeri 34 Jakarta, Jakarta (1988)
d) College, Elizabethtown, Pennsylvania, Amerika Serikat (1992)
e) Sekolah Film Program NYU Tisch School of Art, Amerika Serikat
(1993)
FILMOGRAFI
• Batik Our Love Story (2011) (Sutradara)
• Madame X (2010) (Penulis, Produser)
• Arisan! 2 (2011) (sutradara, penulis)
• Langit Biru (2011) (produser)
• Meraih Mimpi (2009) (penulis)
• Perempuan Punya Cerita (2007; segmen Cerita dari Cibinong) 36
• Quickie Express (2007) (produser)
• Long Road to Heaven (2007) (produser)
• Berbagi Suami (2006) (sutradara, penulis)
• Janji Joni (2005) (produser)
• Ajang ajeng (2004) - serial TV (produser)
• Arisan! (2003) (sutradara, produser eksekutif)
• Joni Be Brave (2003) (produser)
• Biola Tak Berdawai (2003) (ko-produser)
• Ca Bau Kan (2002) (sutradara, produser)
PENGHARGAAN
• 2004 Citra Award - Best Film untuk ARISAN!
• 2004 Indonesian Movie Awards - Best Director
untukARISAN!
• 2006 Hawaii International Film Festival - Best Feature
untuk BERBAGI SUAMI
Nurkurniati Aisyah Dewi atau lebih dikenal sebagai Nia Dinata adalah cucu dari Otto Iskandardinata (Pahlawan Nasional) dan anak dari Dicky Iskandardinata (mantan direktur BNI dan di tuntut 20 tahun penjara karena terbukti korupsi), Ia lahir di Jakarta, 4 Maret 1970.
Lulus SMA, Nia studi komunikasi massa di Universitas Pennsylvania,
Amerika Serikat. Di tahun terakhir ia sempat mengambil mata kuliah kritik film. Setelah lulus dari universitas itu, Nia pindah ke New York. 37
Di sana ia mengikuti kursus film dan membuat film pendek hitam- putih yang diputar di kota dunia itu. Sebelum bergabung dengan
Kalyana Shira Film, Nia pernah magang di acara “Seputar Indonesia” di RCTI, kemudian membuat iklan dan program TV.
Pada awal 2000, Nia kemudian mendirikan perusahaan film independen Kalyana Shira Film.Nia kemudian menjadi sutradara untuk film Ca Bau Kan (2002) yang diangkat dari novel dengan judul sama karya novelis Remy Sylado
Film yang bersetting sejarah 1930-an, menceritakan kisah tokoh pejuang berkebangsaan Tionghoa dengan dibintangi oleh Ferry Salim dan Lola Amria. Berikutnya pada 2004, dia menyutradarai film
ARISAN!denganSurya Saputra, Cut Mini dan Tora Sudiro. Film ini mendapat banyak penghargaan, termasuk dari Festival Film Indonesia dan MTV Movie Awards.
Setelah sempat tak terdengar namanya, pada tahun 2011 Nia
Dinata muncul lagi ke permukaan lewat judul ARISAN! 2. Dan kini
Nia sedang disibukkan dengan film terbarunya yang berjudul BATIK
OUR LOVE STORY. Ini merupakan sebuah film dokumenter yang menceritakan sejarah panjang kain batik.
38
2.2.3 Crew Ca Bau Kan
Sutradara Nia di Nata
Produser Nia di Nata DOP German G. Mintapradja Penata Artistik Iri Supit Novel:
Remy Sylado Penulis Skenario:
Nia di Nata
Puguh P.S. Admaja
Ferry Salim
Lola Amaria
Niniek L. Karim
Irgi A. Fahrenzi
Irgi A. Fahrenzi Pemeran Robby Tumewu
Tutie Kirana
Henky Solaiman
Alvin Adam
Maria Oentoe
Andi Rianto Musik Sekar Ayu Asmara
Sinematografi German G. Mintapradja
Penyunting Sastha Sunu
Distributor Kalyana Shira Film Tanggal rilis 7 Februari 2002 Durasi 120 menit
2.3 Profil Khalayak
Obyek material pada penelitian ini adalah penonton film Ca Bau Kan.
Khususnya adalah perempuan dan laki-laki dewasa yang berusia 21 tahun
keatas.Lebih dipersempit lagi adalah mereka yang telah menonton film ini
lebih dari tiga kali, agar benar-benar meyakinkan bahwa pesan dari film
telah diterima oleh khalayak ini. Mereka adalah perempuan dan laki-laki
yang telah mendapati situasi-situasi serupa seperti apa yang ada didalam
39
film, sehingga mereka akan memahami benar bagaimana meresepsi pesan- pesan dari film Ca Bau Kan. Diantaranya perlu juga adalah seorang film maker, dengan begitu peneliti mendapati resepsi dari sisi cinematography.
Khalayak yang dipilih peneliti dari beberapa kriteria diatas, namun juga melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu berupa latar belakang pendidikan, tempat tinggal, agama, orientasi seksual dan status pernikahan.
Semua inilah yang pada akhirnya menjadi pengalaman pribadi dan pengetahuan yang dimiliki oleh penonton film Ca Bau Kan. Hal-hal tersebut dipercaya peneliti dapat mempengaruhi jawaban mereka atas isu-isu feminisme dalam film Ca Bau Kan, meski mereka disatukan oleh satu kesamaan yakni penonton dan terpapar pada kejadian serupa dikehidupan sehari-seharinya.
Profil empat khalayak dalam penelitian ini adalah dua orang wanita dan dua orang pria.Khalayak pertama, Khumairah Az-Zukruf adalah pengusaha catering yang juga bekerja dibidang perbankan. Saat ini ia sedang menyelesaikan pendidikan S1-nya Manajemennya di Universitas 45
Surabaya. Ia sedang menjalani hubungan dengan seorang pengusaha muda, meski beberapa kali gagal dalam hubungan ini. Kegagalan ini banyak membuatnya mengalami kerugian materi yang luar biasa, karena ia adalah seorang wanita mandiri yang berpenghasilan lebih dari pada pasangannya saat itu. Catering yang ia dirikan memiliki pegawai yang semuanya adalah perempuan, menurut Ira ia tidak bisa berpijak diatas kaki laki-laki meski nanti jika kelak ia menikah. Dengan demikian Ira, memiliki prinsip tersendiri untuk mengangkat martabatnya didepan pasangan-pasangan
40
sebelumnya bahwa ia adalah wanita mandiri. Khalayak kedua, Mar'atus
Solihah adalah seorang Pimred disalah satu majalah bahasa jawa di Jawa
Timur.Ia telah selesai menyelesaikan pendidikan S1 Bahasa Jawa di
Universitas Surabaya pada tahun 2008. Saat ini dia sedang memulai pendidikan S2 Linguistik dan Sastra di Universitas Surabaya.Pada tahun
2008-2009, Mara pernah memulai penelitian mengenai Tindak Tutur Wanita
Ngabari Basa Jawa (Tutur Wanita dalam Bahasa Jawa).Dengan demikian,
Mara mempunyai pengalaman dalam menganalisis secara sastra bagaimana perilaku perempuan.
Khalayak ke tiga adalah Alviansyah Nur Putra, ia adalah seorang laki- laki yang telah berkecimpung di dunia Cinematography lebih kurang selama
10 tahun sudah. Diantaranya, ia selalu menciptakan beberapa karya (dalam beragam bentuk, seperti ctv dan produk) bertemakan gender. Ia juga aktif dalam kampanye 'Gender dalam Media', yang didalamnya menjelaskan bagaimana media menuliskan pelaku LGBT begitu tersudutkan. Dengan demikian, Vian memiliki pengetahuan yang luas tentang perkembangan isu perempuan termasuk jenis-jenis film yang mengangkat isu gender.
Khalayak ke empat adalah Naradian Utama, saat ini sedang menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Komunikasi di Universitas Widya
Mandala.Pria berusia 25 tahun ini, menjalani profesi sebagai peneliti lepas untuk salah satu Majalah Perempuan di Jakarta.Ia terbiasa menyoroti segala macam kegiatan-kegiatan yang mengangkat 'emansipasi wanita'.
41
BAB III
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
3.1. Pemilihan Adegan Feminisme pada Film Ca Bau Kan
Film Ca Bau Kan sendiri merupakan film yang terbagi dalam dua plot
cerita, yang pertama berkenaan dengan Ca Bau Kan (Tinung sebagai tokoh
didalam film yang menjadi Ca Bau Kan atau pelacur) itu sendiri dan yang
kedua adalah plot politik mengenai perdagangan Tan Peng Liang dan
saudagar-saudagar Tionghoa pada masa itu. Sehingga di sini peneliti
berniat memberikan batasan pada khaklayak untuk hanya mengkaji pada
scene-scene atau adegan-adegan yang berkenaan dengan perempuan atau
yang mengandung isu feminism.
Berikut adalah adegan-adegan di dalam film yang berkenaan dengan
perempuan :
No. Gambar pada Film Keterangan
Tinung menyebar bunga di sungai,
sembari mengelus perutnya. Ia
menangisi kepergian Suaminya 1 yang meninggal begitu cepatr
ditengah kehamilan pertamanya.
42
Tinung terbaring diatas kasurnya,
ia keguguran. Ditengah keputus 2 asaannya, ditemani seorang
kerabat yang menasehatinya untuk
sabar. Ibu Tinung, yang
menyuruhnya untuk mengikuti
jejak Ncingnya (Mpok Saodah)
yang bekerja sebagai Ca Bau Kan. 3 Diikuti bujukan rayu saudarinya
tersebut. Tinung hanya
memandang nanar lemas tak
berdaya.
Tinung dan beberapa pria dipusat
lokalisasi Kalijodo. Banyak pria
keluar masuk dari bilik Tinung dan 4 memberinya segulung uang, yang
dimasukkan disela bajunya.
Tinung akhirnya bertemu Tan
Peng Liang Tamim, seorang
saudagar Cina dari Bandung. Tan 5 Peng Liang Tamim Berniat
membawa Tinung bermalam-
malam
43
Dua bulan berselang, Tinung
menyadari dirinya tidak nyaman
berada dirumah Tan Peng Liang
Tamim. Akhirnya memilih kabur
saat malam datang. Tinung 6 kembali ke rumah Ncing Saodah.
Disana iya dibujuk untuk kembali
ke Kalijodo. Awalnya Tinung
menolak, karena ia sedang hamil.
Pada Cioko Festival yang
diadakan di Batavia pada tahun
1934. Disinilah pertama kali Tan
Peng Liang bertemu dengan
Tinung. Tan Peng Liang 7 menyatakan ketertarikannya
dengan Tinung dan menawar kalau
Tinung bisa menyanyi, ia akan
dibayar 10x lipat.
44
Disisi lain, istri pertama dan anak-
anak Tan Peng Liang sedang
geram karena kebersamaan Tan
Peng Liang dan Tinung. Namun 8 sang istri yang sedang sakit keras
tak mau cari masalah dan coba
meredam emosi anak-anaknya.
Pada tahun 1934, Tinung diboyong
ke Semarang. Disana Tinung, 9 diperkenalkan dengan orang tua
Tan Peng Liang.
Tinung disambut dengan upacara
sembahyang khas Tionghoa, 10 acaranya sederhana dan tidak
megah. Disini terjadilah
percakapan antara Tinung dan
11 Sang Ibu Mertua, mengenai pernikahan di Keluarga Tionghoa.
Setelah upacara tersebut, Tan Peng
Liang bertanya pendapat ibunya
mengenai Tinung. Disinilah 12 nasehat-nasehat dari ibunya
muncul untuk Tan Peng Liang.
45
Beberapa tahun berselang, setelah
usaha-usaha kotor yang dijalani
Tan Peng Liang. Ia ditangkap
karena dugaan praktek penyebaran
uang palsu. Ditengah
keterpurukannya ditinggal Sang
Suami, ia jatuh miskin. Anaknya 13 juga sakit, Tinung tak mampu
membayar biaya pengobatan
anaknya. Beruntungnya ada warga
Belanda, yang membantu
membiayai biaya rumah sakit anak
Tinung.
Tak lama setelah kejadian itu,
pasangan Belanda itu datang
kerumah Tinung. Memberikan
penawaran, untuk membawa anak
Tinung. Tentu saja dengan imbalan
yang menggiurkan. Tanpa pikir 14 panjang, Ibu Tinung mengambil uang
imbalan tersebut. Tinung yang kala
itu tidak punya pilihan lain atas
keterpurukannya, terpaksa
menurut pada pilihan Ibunya.
46
15 Pada tahun 1942 Jepang masuk k
Indonesia. Tak selang lama,
Jepang juga mengusik keberadaan 16 Kalijodo dan menculik Tinung.
Tinung diperkosa oleh banyak
tentara-tentara Jepang secara
17 bergantian. Kini ia sepi, tanpa
anak dan suami. Diperdaya tentara
Jepang.
18
Pada saat ia ditinggal oleh Tan
Peng Liang karena 'kematian
palsunya' Tinung sempat diajak
hidup bersama oleh Tjia Wan Sen. 19 Namun ia menolaknya karena
telah Jatuh Cinta dengan Tang
Peng Liang.
Pada kepergian bisnisnya, Tan
Peng Liang mengenal Jeng Tut. 20 Disini ia menjalin relasi bisnis
47
bahkan berujung asmara.
21
3.2. Encoding Konstruksi Film Terhadap Feminisme Dalam Film Ca Bau
Kan
Dalam Film Ca Bau Kan, peneliti menganalisa bentuk komunikasi
encoding yang digunakan yaitu melalui simbol atau tanda bunyi. Wujud
dari penyampain pesan ini adalah melalui “berbicara” yang terapkan dalam
dialog Film Ca Bau Kan dan juga melalui adegan-adegan yang diterapkan
didalamnya secara visual.
Komunikasi satu arah terjadi ketika pengirim pesan melakukan proses
encoding dengan lambang berupa bunyi atau tulisan dan kemudian
menyampaikan lambang tersebut kepada penerima pesan. Selanjutnya,
penerima pesan melakukan proses decoding untuk menerjemahkan pesan
yang berupa bunyi atau tulisan tersebut sehingga pesan yang diterima
menjadi utuh. Dalam komunikasi ini penerima pesan tidak bisa
memberikan umpan balik kepada pengirim pesan. Lalu dalam hal ini
peneliti melakukan proses FGD (Focus Group Discussion) yang diikuti
oleh empat orang khalayak, dua orang perempuan dan dua orang laki-laki.
Yang telah dipilih peneliti dengan pertimbangan diatas. Dengan seorang
moderator dan seorang pencatat waktu dan dialog. FGD (Focus Group
Discussion) dilakukan di Pohon Kopi, Jl. Manyar Jaya V A27/1 Surabaya.
Diskusi terfokus ini dilaksanakan pada hari Minggu, 24 Juli 2016 yang
48
dimulai pukul 13.00 WIB. Dan berlangsung selama 4 jam dan terbagi atas
tiga sesi.
3.3. Decoding Analisis Resepsi Khalayak Terhadap Feminisme dalam
Fenomena Masyarakat
Proses decoding dalam analisis resepsi khalayak dilakukan dengan
cara “Menyimak” Film Ca Bau Kan. Wujud dari komunikasi ini adalah
dengan menerima pesan berupa tanda bunyi ataupun gambar. Kemudian
setelah proses menyimak film ini, selanjutnya dilakukan Komunikasi
Multiarah yang melibatkan lebih dari dua subyek khalayak mengenai isi
atau pesan Fiminisme dari film Ca Bau Kan.
Disini peneliti telah menyediakan satu lagi peserta diskusi yang
bertindak sebagai moderator untuk mewadahi diskusi film tersebut.
Diskusi yang dilakukan merupakan diskusi kelompok fokus (Focus Group
Discussion), dengan mengumpulkan beberapa khalayak yang sesuai
dengan kriteria obyek penelitian. Hasil dari diskusi ini akan diperoleh
makna bersama atau Communal Meaning atau yang lebih terfokus.
Berikut proses decoding yang dilakukan oleh peneliti terhadap
beberapa khalayak yang telah dipilih.
Proses decoding diajukan kepada dua khalayak Perempuan (P) dan dua
khalayak Laki-laki (L). Moderator memberikan pembahasan pertama
mengenai feminisme kepada beberapa khalayak setelah menyimak film Ca
Bau Kan sebelum dimulai, peneliti memberikan satu pertanyaan mengenai
definisi perempuan secara umum.
49
Khalayak 1 (IRA/P) : “Perempuan harus menjaga dan tidak boleh terlihat lemah. Bagaimanapun perempuan tidak bisa disepelekan begitu saja”.
Khalayak 2 (MARA/P) : “Perempuan diciptakan untuk menemani laki-laki, kodratnya sebagai pelengkap. Perempuan seharusnya lebih banyak bersikap. Semakin kesini perempuan semakin mandiri, karena dia harus bisa bertahan hidup”.
Khalayak 3 (ALVIAN/L) : “Perempuan adalah pedang lengkap dengan sarungnya. Bisa membahayakan jika dipegang orang yang salah dan bisa membantu jika dipegang oleh tangan yang benar. Ketimbang pria, perempuan lebih bisa menunjukkan aktualisasi diri”.
Khalayak 4 (DIAN/L) : “Kata-kata yang menggambarkan perempuan “kasih sayang, Ibu, lemah lembut”. Merupakan ciptaan Tuhan paling asik karena ia dapat berperan untuk multitasking dalam kehidupan sehari-hari”.
Pada pembahasan pertama yang diajukan, berkaitan mengenai bagaimana pandangan perempuan dari dua pihak, laki-laki dan perempuan.
Dari keempat jawaban dan diskusi yang diterima, keempat Khalayak memiliki sisi Negoisasi. Karena diantara keempatnya, mereka sepakat bahwa perempuan tetap akan selalu berdampingan dengan laki-laki. Atau laki-laki pada akhirnya akan sangat bergantung pada keberadaan perempuan. Dari hasil decoding diatas, apa yang diartikan oleh para decoder, dapat ditarik pesan bahwa perempuan adalah makhluk ciptaan
50
Tuhan yang merupakan sosok pelengkap dalam hidup ini khususnya sebagai pendamping laki-laki.
Table 3.2.1
POTONGAN ADEGAN
Saat Tang Peng Liang Tamim membeli Tinung. Disini nampak Tinung tidak
bisa berkata apa-apa selain mengikuti kemauan Tan Peng Liang Tamim dan
bujukan si Mpok Saodah.
Saat tentara Jepang menggilir Tinung, terlihat kekerasan seksual jelas nampak di
bagian ini.
Di bawah ini adalah pembahasan dari Gambaran diatas yang dicatat dari diskusi yang dilakukan.
Sebagai pelengkap atau sosok pendamping bagi laki-laki, akan menimbulkan makna yang ambigu bagi pembahasan selanjutnya. Apakah perempuan sama dengan laki-laki, ataukah perempuan lebih tinggi tingkatan sosialnya daripada laki-laki. Oleh sebab itu dalam pembahasan berikut, peneliti memberikan pembahasan lanjutan yaitu mengenai derajat dari kedua mahluk tersebut kepada para khalayak. Pembahasan ini kemudian dikaitkan dalam film yaitu mengenai sosok perempuan yaitu
Tinung. Pembahasan ini ditujukan hanya pada khalayak laki-laki. 51
Khalayak 3 (ALVIAN/L) : “Bukan dari segi derajat, tapi lebih ke perempuan harus tahu kewajiban dan hak. Tidak ada yang di bawah ataupun di atas. Perempuan dan laki-laki tidak jauh berbeda”.
Khalayak 4 (DIAN/L) : “Secara agama, setuju. Secara untuk jadi pemimpin, tidak. Derajatnya sama, tapi lebih spesial perempuan”.
Pada pembahasan kedua, yang ditujukan khusus untuk Khalayak laki- laki, keduanya sepakat menjawab, bahwa meski dalam Agama kebanyakan tertulis derajat laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Pada kehidupan sebenarnya, perempuan punya hak dan kewajiban yang seperti laki-laki.
Mereka harus berjalan berdampingan, tidak ada yang Di bawah atau diatas. Pada jawaban ini keduanya menempati jawaban pada posisi
Negoisasi. Ada kesepahaman menurut agama, namun mereka memiliki sudut pandang tersendiri. Hingga membentuk kesimpulan tersebut.
Table 3.2.2
POTONGAN ADEGAN
Adegan ini menunjukkan ketidak berdayaan Tinung saat ditinggal mati oleh suami
pertamanya. Saat itu Tinung sedang mengandung pula, maka ia serasa tidak punya
pilihan lain untuk menuruti ajakan Mpok Saodah menjadi Ca Bau Kan.
52
Ini adalah gambaran saat Tinung bekerja di Kalijodo, menjajakan dirinya.
Ini adalah pertama kalinya, anak-anak Tinung jatuh sakit dan ditolong oleh
Belanda.
Bagian ini menceritakan saat akhirnya Tinung lagi-lagi tak punya pilihan, ketika
Ibunya mengambil dan menyetujui 'penjualan' anak-anaknya kepada Belanda.
Di bawah ini adalah pembahasan dari gambaran diatas yang dicatat dari diskusi yang dilakukan.
Pada pembahasan ketiga lebih ke gambaran secara luas sosok Tinung dalam film. Disini Tinung digambarkan sebagai sosok perempuan atau istri dari Tang Peng Liang. Selain itu moderator menghubungkan dari kedua pembahasan sebelumnya mengenai derajat dan sosok dari perempuan sebagai pendamping laki-laki.
Khalayak 1 (IRA/P) : “Lebih baik Tinung hidup di jaman sekarang karena dia penurut. Karena banyaknya kasus perceraian jaman
53
sekarang terjadi karena perempuan lebih berani terhadap suami. Biar lebih penurut seperti Tinung”.
Khalayak 2 (MARA/P) : “Tinung adalah perempuan penurut. Kita bisa liat bagaimana ia menuruti semua perintah keluarga (Ibunya saat anaknya akan dibeli oleh Belanda) dan mantan suaminya (Tan Peng Liang
Tamim)”.
“Seharusnya perempuan tidak sepenurut itu sih. Lebih ke bagaimana perempuan dan laki-laki berjalan berdampingan, bukan berat sebelah, dalam artian menjadi penurut pada salah satunya”.
Khalayak 3 (ALVIAN/L) : “Tinung lahir dalam keadaan menyedihkan.
Miskin, ditinggal mati suaminya, lokalisasi, dan terjajah juga pendidikan yang terbelakang. Hal itu lah yang menjadi faktor dia sebagai perempuan penurut. Di lain sisi, dia juga struggle. Tinung tidak memiliki akses untuk masuk dalam dunia pendidikan karena tidak memiliki kekayaan setelah ditinggal meninggal suaminya yang kaya”.
Khalayak 4 (DIAN/L) : “Tinung merupakan produk perempuan yang dibentuk dari faktor lingkungan. Ia tidak punya pilihan lain, maka
Tinung adalah perempuan penurut”.
Pada hasil decoding pembahasan ketiga, Khalayak menyatakan bahwa
Tinung adalah perempuan yang penurut. Namun tiga diantaranya sepakat kondisi tersebut wajar dialami Tinung. Karena kondisi ekonomi dan latarbelakang keluarganya yang kebanyakan adalah seorang Ca Bau Kan juga. Pada keadaan tersebut, keempat Khalayak sepakat Tinung tidak punya solusi lainnya dimasa itu. Ia harus berkelana menjadi Ca Bau Kan,
54
terlepas akhirnya ia menemukan Tan Peng Liang yang mencintainya dengan tulus. Pada pembahasan ini, keempatnya lagi-lagi menempati posisi Negoisasi. Keempatnya membentuk jawaban tersendiri, mengenai kondisi perempuan pada masa itu dan masa sekarang. Dimana perempuan terpaksa bekerja karena tuntutan ekonomi seperti halnya kaum pria saat sekarang.
Table 3.2.3
POTONGAN ADEGAN
Ini adalah gambaran Tinung ketika ditinggal mati oleh suami pertamanya.
Setelah sang suami meninggal, ia mulai dirayu oleh ibu dan Mpoknya untuk
menjajakan diri di Kalijodo
Selama hidupnya, Tinung yang terdengar nggah nggeh atas permintaan keluarga
dan kaum lelaki. Akhirnya menyatakan ketidak sanggupannya membagi hati dengan
Tjia Wan Sen. Ia menolak Tjia Wan Sen karena masih ingin setia dengan Tan Peng
Liang.
55
Di bawah ini adalah pembahasan dari Gambaran diatas yang dicatat dari diskusi yang dilakukan.
Pada pembahasan keempat peneliti mengarahkan para khalayak pada sosok Tinung sebagai seorang Ca Bau Kan. Moderator menggambarkan sosok tinung yang mengalami situasi dalam kesendirian menghadapi masalah.
Khalayak 1 (IRA/P) : “Saya rasa disini Tinung tidak ingin keluar dari zona nyamannya. Ya pokoknya iya ayo, karena posisinya sudah terhimpit. Ia tidak mau lebih terhimpit lagi”.
Khalayak 2 (MARA/P) : “Ia mungkin berfikir atau mempertimbangkan. Tapi tidak ada keinginan untuk mendobrak sesuatu”.
Khalayak 3 (ALVIAN/L) : “Tinung bukan perempuan pemikir, tapi bukan tipe perempuan bertindak pula. Tidak berani untuk mendobrak.
Proses diamnya sebelum bertindak. Tinung diam adalah berpikir bisa kita liat ekspresi didalam Film saat Tinung menuruti Mpok Saedah adalah hasil sikap penurutnya. Ada bagian sepersekian second, ia berhenti dengan mimik muka yang bertanya-tanya. Saya rasa disitulah sisi Tinung berfikir atau ragu akan ajakan Mpoknya”.
Khalayak 4 (DIAN/L) : “Kalau bicara saat Ia belum jadi Ca Bau
Kan, rasanya jelas ia tidak punya solusi lain ya. Mau tidak mau, dia juga sudah miskin. Tinung berubah menjadi perempuan tidak penurut, maksutnya tidak "nggah nggeh aja" setelah menikah dan ditinggal oleh
Tan Peng Liang. Disini Tinung kembali berfikir dan menunjukkan sisi pendobraknya, karena ia menolak cinta Tjia Wan Sen. Ia menerangkan
56
juga dalam dialog kan, “…cinte kagak bisa ditaker bang”. Ini menurut saya, Tinung disini sebenarnya bisa juga menolak permintaan orang lain”.
Pada hasil decoding pembahasan keempat, mengenai Tinung adalah seorang yang memerlukan pertimbangan atau tidak sebelum akhirnya menjadi Ca Bau Kan. Ada diantara para Khalayak juga mengaitkan dengan kisah setelah Tinung menjadi Ca Bau Kan, ada juga yang mengaitkan dari sisi perempuan. Karena kedua Khalayak perempuan yang peneliti hadirkan adalah perempuan dengan latar belakang 'pendobrak', mereka sepakat Tinung bukan pendobrak seperti mereka. Karena Tinung hanya 'nggah nggeh' ditengah keterpurukan perekonomiannya.
Alvian menjelaskan, meski demikian ada ekspresi didalam film yang menunjukkan sebenarnya Tinung memiliki sedikit pertimbangan akan keputusan yang diambilnya. Sedangkan Dian menjelaskan, untuk masalah cinte Tinung tidak bisa dipaksa. Cintanya hanya untuk Tan Peng Liang, disitulah Tinung memiliki sisi penolakan terhadap sesuatu, tidak nggah nggeh lagi.
Meski mulanya keempat Khalayak ini memiliki jawaban berbeda, namun pada mereka berkesimpulan bahwa Tinung adalah seorang yang akhirnya memantabkan hati untuk tidak berpaling kepada orang lain selain
Suaminya Tan Peng Liang. Sehingga ia berkeinginan menyamakan dirinya dengan manusia pada umumnya. Tinung adalah perempuan dengan pertimbangan namun bukan perempuaan yang memiliki keinginan mendobrak sesuatu. Keempatnya menempati posisi Negoisasi pada pembahasan ini.
57
Table 3.2.4
POTONGAN ADEGAN
Ini adalah gambar, dimana Tentara Jepang mendapat hadiah "perempuan".
Tinung juga ada didalamnya.
Disinilah Mpok Odah memberi semangat Tinung. Meski ia hamil, lelaki-lelaki
hidung belang tetap akan menyukainya. Begini kalimat Mpok Odah “Lelaki itu tai
kucing juga doyan Nung, apalagi lu cuman bunting.. masih doyan mereka”
Di bawah ini adalah pembahasan dari Gambaran diatas yang dicatat dari diskusi yang dilakukan.
Pada pembahasan kelima mengenai pandangan yang mengganggu khalayak terhadap perempuan, seperti sosok tinung yang dijadikan hadiah, baik pada zaman dahulu dan saat sekarang pada film Ca Bau Kan.
Khalayak 1 (IRA/P) : “Perempuan bukan hadiah. Didalam film, ditunjukkan nilai tukarnya mempergunakan film. Nah itu, nggak banget.
Satu lagi yang mengganggu adalah dialog Mpok Saedah yang menggambarkan sosok laki-laki saat memubujuk Tinung untuk menjadi
Ca Bau Kan saat baru keguguran. Didalam film ada kan dialog yang
58
menyatakan “Lelaki itu tai kucing juga doyan Nung, apalagi lu cuman bunting. masih doyan mereka”
Khalayak 2 (MARA/P) : “Film ini 60% politik memang maka dari itu part dengan rasa nasionalisme masih terasa banget. Perempuan
Indonesia jelas dimanfaatkan seperti budak oleh Penjajah waktu itu.
Namun yang mengganggu nurani saya adalah Tinung saat depresi, karena
Tinung sudah terlihat tak berdaya. Mengganggu sisi emosi dalam sisi mental perempuan. Ketika ia terjerembab dalam keterpurukannya, mengenai kehilangan dan kekerasan seksual yang ia alami. Namun pada akhirnya ia mendapat pertolongan dari si Rahardjo Soetardjo”.
Khalayak 3 (ALVIAN/L) : “Jaman sekarang perempuan masih menjadi barang yang dihadiahkan, contohnya dalam adat istiadat.
Misalnya pernikahan di daerah Makasar. Perempuan dijadikan hadiah, namun berbingkis dalih pernikahan itu tadi. Namun bagian yang mengganggu menurut saya adalah setting penjajahan dalam film, di mana penjajah mengatasnamakan kekuasaan sehingga melakukan ekspansi ke mana-mana”.
“Film ini masuk feminisme radikal, karena ditunjukkan bahwa Tinung mendapatan kekerasan secara seksual dan tidak mendapat kebebasan secara seksual juga. Yang mengganggu itu, ketika dia harus berhubungan seks dengan berbagai pria, belum lagi digilir oleh tentara Jepang namun diending ia menyatakan dirinya sebagai sosok yang setia disamping Tan
Pengl Liang. Disini ia menjadi perempuan yang sedikit mendobrak”.
59
Khalayak 4 (DIAN/L) : “Yang mengganggu adalah Tinung saat menjadi hadiah, karena tidak manusiawi. Bagaimanapun manusia itu derajatnya lebih tinggi dari apapun dimuka bumi ini, tidak bisa dicompare dengan barang”.
Pada decoding pembahasan kelima, dinyatakan bahwa keempat
Khalayak sepakat tidak semestinya perempuan dijadikan barang jualan.
Dan perlakuan kekerasan seksual tidak bisa dilepaskan begitu saja, itu jelas mengganggu keempat Khalayak ini. Dian menyebutkan bahwa manusia adalah mahluk yang harkat dan martabatnya paling tinggi dimuka bumi ini, tidak bisa disamakan dengan barang. Namun Alvian juga menjelaskan bahwa keadaan negara kita memang sedang hancur- hancurnya karena penjajah yang tidak kunjung pergi, meski menyimpang dari pembahasan Alvian menambahkan bahwa keadaan perjual belian dan kekerasa seksual terhadap wanita pribumi adalah hal yang jahat. Dan pada pembahasan selanjutnya mengenai ucapan Mpok Saodah tentang pria, kedua Khalayak pria ini mewajarkan. Mereka berdua mempertimbangkan latar belakang Mpok Saodah yang adalah seorang PSK, maka wajar jika seorang yang bekerja di prostitusi yang sehari-harinya bertemu pria hidung belang menilai semua laki-laki seperti itu. Pada dua pembahasan terkait ini, keempatnya memiliki posisi Oposisi terhadap semua gambaran didalam film. Dan untuk perkataan Mpok Saodah, kedua Khalayak pria ini memiliki posisi jawaban Negoisasi.
60
Table 3.2.5
POTONGAN ADEGAN
Ini kali pertama Tinung, dibawa bertemu orang tua Tang Peng Liang.
Pada saat Upacara Adat Tionghoa, Tinung diberi nasehat oleh Ibu Mertuanya
“Wanita belum bisa menjadi wanita jika belum melahirkan seorang anak dari
suaminya”.
Di bawah ini adalah pembahasan dari Gambaran diatas yang dicatat dari diskusi yang dilakukan.
Pada pembahasan keenam, peneliti mengambil bagian ssalah satu scene mengenai budaya dari masyarakat Tiong Hoa. Pada scene pembaptisan Tinung ala Tionghoa, ada dialog yang diucapkan oleh Ibu
Tan Peng Liang yaitu “Wanita belum bisa menjadi wanita jika belum melahirkan seorang anak”.
Hasil decoding para khalayak adalah sebagai berikut;
Khalayak 1 (IRA/P) : “Tidak setuju. Ya dia tetap wanita, bagaimanapun tidak bisa ditakar ia bisa melahirkan atau tidak. Namun naluri keibuan itu akan tetap melekat didalam diri wanita, melahirkan atau tidak dirinya”.
61
Khalayak 2 (MARA/P) : “Ya… mungkin ia akan tetap menjadi wanita secara fisik namun, perempuan akan merasa lengkap jika dia melahirkan. Itu akan membuat ia utuh”.
Khalayak 3 (ALVIAN/L) : “Tidak setuju, itu hanya mitos chinesse.
Ada kan yang menyatakan “Banyak anak banyak rejeki”. Nah, kalau perkara tidak punya anak saja dikatakan demikian. Ya tidak setuju, wong kita kan sudah sepakat wanita itu yang secara fisik seperti wanita
(mempunyai payudara dan vagina), secara rasa kepekaannya sangat sensitif seperti seorang ibu. Ya kan? Masa perkara tidak bisa manak saja, bisa diragukan kewanitaannya”.
Khalayak 4 (DIAN/L) : “Meski wanita mandul, ia tetap wanita. Mungkin itu hanya paham Tionghoa saja”.
Pada hasil decoding pembahasan keenam ini, Tinung diberi nasehat oleh ibu mertuanya, agar dapat mempunyai anak dari suaminya (Tan Peng
Liang). Karena menurut adat istiadat Tionghoa, wanita belum bisa menjadi wanita jika tidak memiliki anak. Namun dari pernyataan ibu Tan Peng
Liang ini, keempat Khalayak sepakat bahwa itu tidak benar. Keempatnya menyampaikan bahwa tidak ada yang merubah wanita bahkan ketika ia tidak dapat memiliki anak. Keempatnya sepakat bahwa wanita tetap dapat menjadi ibu meskia anak itu tidak lahir dari rahimnya, sifat keibuan tetap dimilikinya. Itu kodrat wanita. Pada pembahasan ini, keempatnya memiliki posisi Oposisi terhadap pernyataan ibu Tan Peng Liang.
62
Table 3.2.6
POTONGAN ADEGAN
Ini adalah gambar, saat Tan Peng Liang bertanya pendapat ibunya mengenai
'cantik tidaknya' Tinung.
Di bawah ini adalah pembahasan dari Gambaran diatas yang dicatat dari diskusi yang dilakukan.
Pada pembahasan ketujuh mengenai dialog dalam salah satu scene dalam film Ca Bau Kan yaitu “Kucluk kamu Le. Pria yang melihat perempuan dari segi fisik adalah pria yang berjiwa miskin?". Moderator lalu manarik respon pesan dari para khalayak terhadap dialog yang juga mengenai isu dalam film tersebut.
Khalayak 1 (IRA/P) :”Tidak setuju. Boleh lah melihat fisik, jika perempuan bisa merawat diri, kemungkinan bisa merawat keluarganya.
Paling tidak peremuan harus terihat bersih. Tapi jika hanya fisik saja, ya… janganlah. Manusia kan banyak plus minusnya, nggak bisa ditakar dari paras aja”.
Khalayak 2 (MARA/P) :”Setuju, karena apa yang tampak memang menjadi penilaian awal. Namun ya tidak melulu itu yang dijadikan proyeksi utama”.
Khalayak 3 (ALVIAN/L) : “Dari dua dialog, Ibu bukanlah orang yang konsisten. Saat bicara dengan Tinung, masih berbicara mitos (wanita akan
63
menjadi wanita ketika ia melahirkan anak dari suaminya). Saat dengan naknya berbicara tentang kebijaksanaan menilai perempuan. Namun saya setuju dengan perkataan Ibu bahwa laki-laki janganlah menilai perempuan dari segi fisik saja”.
Khalayak 4 (DIAN/L) : “Iya, saya juga setuju. Nggak bagus liat perempuan dari fisik aja, banyak hal yang bisa dijadikan hal menarik kala kita melihat perempuan. Asyik gituloh”.
Selain memberi nasihat kepada Tinung, ibu Tan Peng Liang juga menimpali pembahasan anaknya mengenai bagaimana ia seharusnya menilai perempuan tidak hanya dari fisik saja. Keempat Khalayak disini sepakat dengan pernyataan ini, bahwa tidak seharusnya laki-laki menilai perempuan dari fisik saja. Keempat Khalayak ini menggaris bawahi kata
"saja" pada perbincangan keduanya. Pada pembahasan ini keempatnya memiliki posisi Hegemoni Dominant terhadap pernyataan si Ibu.
Table 3.2.7
POTONGAN ADEGAN
Adegan saat Tan Peng Liang berhubungan dengan Jeng Tut dengan dalih
Hubungan kerja
64
Ini adalah istri pertama Tan Peng Liang, beserta anak-anak mereka yang tidak
setuju dengan kelakuan ayahnya yang berhubungan dengan Ca Bau Kan.
Di bawah ini adalah pembahasan dari Gambaran diatas yang dicatat dari diskusi yang dilakukan.
Pada pembahasan terakhir, peneliti memberikan pembahasan lebih kepada sosok laki-laki dalam film yaitu Tan Peng Liang. Maksud dari pembahasan tersebut agar menggiring para khalayak untuk mengenal sosok Tan Peng Liang sebagai suami Tinung. Tujuannya adalah untuk melihat apakah Tan Peng Liang dikatakan sebagai Suami yang Baik atau hanya sebagai pemuas nafsu belaka, karena Tan Peng Liang sudah memiliki istri lain. Hal ini juga didukung karena Tinung adalah wanita Ca
Bau Kan.
Khalayak 1 (IRA/P) : “Baik. Karena pria memang sepantasnya melewati fase seperti Tan Peng Liang. Nakal-nakalnya pria memang seperti itu saja. Apalagi kan itu untuk sebuah perjalanan bisnis”.
“Iya maklum, tapi sebaiknya perilaku seperti itu hanya bisa ditoleran sebelum menikah. Kalau sesudah menikah si, tidak bisa ditoleran.
Melanggar komitmen”.
Khalayak 2 (MARA/P) : “Tidak. Karena tidak setia. Ada kan, part yang memperlihatkan Tan Peng Liang bersetubuh dengan perempuan lain.
Nah itu, nggak. Jahat banget”.
65
“Iya, harus setia”.
Khalayak 3 (ALVIAN/L) : “Tan Peng Liang baik terhadap perempuan.
Istri pertama menyetujui Tan Peng Liang untuk berpoligami didalam film kan. Ada dialog yang menyatakan bahwa istrinya memang sudah tidak dapat melayaninya, jadi ketika ada persetujuan dari pihak perempuan.
Berarti Tan Peng Liang sudah berlaku semestinya. Tetap baik, karena wanita itu menyetujui juga. Didalam film kan dinyatakan bahwa wanita itu juga yang memulai merayu Tan Peng Liang.
Khalayak 4 (DIAN/L) : Terhadap Tinung baik ia adalah pria yang, terhadap perempuan-perempuan lain didalamnya ia tidak baik. Terutama pada istri pertamanya yang ditinggal begitu saja, karena lumpuh”.
Pada pembahasan hasil decoding pembahasan ketujuh, keempat
Khalayak menemukan perbedaan dalam merespon kejadian demi kejadian dalam film mengenai Tan Peng Liang. Yakni perilakunya dalam menempatkan perempuan dalam hidupnya. Yaitu Istri pertamanya juga
Tinung dan Jeng Tut, relasi kerja yang dicumbuinya saat berada di Siam.
Khalayak perempuan, menyatakan bahwa Tan Peng Liang tidak seharusnya berperilaku seperti itu, karena Tinung sedang kesusahan di
Indonesia. Juga kepada Istri pertamanya, itu tidak adil ketika ia sebenarnya mendapat izin dr Istri pertamaa Tan Peng Liang tidak menyatakan "pamit".
Khalayak perempuan pada pembahasan kali ini menempati posisi Oposisi dalam pernyataan mereka.
Namun pada Khalayak pria, keduanya setuju bahwa yang dilakukan
Tan Peng Liang adalah hal yang wajar. Ada keperluan bisnis yang
66
dijalankan Tan Peng Liang agar Jeng Tut bisa bekerja sama dengannya.
Lagipula Jeng Tut lah yang menggodanya terlebih dahulu. Juga mengenai
istri pertamanya, sang istri sadar bahwa dirinya telah lumpuh ia tidak lagi
bisa melayaninya. Maka wajar jika Tan Peng Liang mencari istri baru.
Pada posisi ini Khalayak pria menempati posisi Negoisasi, karena Dian
menyebutkan bahwa seharusnya Tan Peng Liang juga pamit kepada istri
pertamanya.
3.4. Pembahasan
Isu yang diangkat dalam film Ca Bau Kan adalah mengenai posisi
perempuan dalam hal feminisme. Perempuan dipandang menampilkan
wanita sebagai sosok teraniaya atas pria, tidak jarang wanita ditampilkan
sebagai sosok yang lemah. Sedangkan laki-laki ditampilkan sebagai sosok
yang kuat, petualang aktif. Isu feminisme dalam film ini diawali oleh
presepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibanding laki-laki di
masyarakat. Akibat presepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji
penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan
formula penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang,
sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia (human being).
Setelah menganalisa decoding dan menyimak film Ca Bau Kan,
maka peneliti mengangkat isu feminisme dalam film Ca Bau Kan yaitu
sebagai konsep feminisme radikal (“Berbagai pandangan mengenai
gender dan feminisme” Fajar Apriani, S.Sos., M.Si), peneliti mengambil
konsep feminisme radikal karena adanya penindasan terhadap perempuan.
67
Sosok Tinung dalam film Ca Bau Kan dikisahkan sebagai perempuan lemah yang didominasi oleh karakter dari para lelaki, baik suaminya Tang
Peng Liang maupun para tentara Jepang yang melecehkannya. Dalam konsep feminisme radikal, tubuh dan seksualitas memegang esensi yang sangat penting. Hal ini terkait dengan pemahaman bahwa penindasan diawali melalui dominasi atas seksualitas perempuan. Namun dalam perjalanannya, Tinung sebagai sosok tertindas ini akhirnya bangkit dari
"berdiam dirinya" sehingga ia bangun dan memberlakukan dirinya selayaknya manusia pada umumnya. Ia memutuskan setia pada sang suami
Tan Peng Liang dan memantaskan dirinya sebagai perempuan, seorang istri yang berhak mendapat perilaku yang layak dari sang suami, meski tidak lagi bisa memiliki anak. Namun ia membuktikannya, menjadi istri dan memiliki anak pada akhirnya.
Pada konsep feminisme radikal, perempuan dianggap sebagai feminis dengan menolak adanya sistem masyarakat patriarkhi, dimana laki-laki lebih berkuasa dan mendominasi atas perempuan. Pada kenyataanya sistem patriarki ini menjadi dominan, karena dalam status sosial laki-laki posisinya lebih tinggi daripada perempuan, misalnya seorang Ayah memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda.
Sehingga peneliti dalam melakukan forum diskusi bersama membahas isu film Ca Bau Kan dengan keterkaitannya dengan feminisme terutama feminisme radikal.
Pada pertanyaan kepada khalayak mengenai apakah perempuan derajatnya dibawah laki-laki. Pembahasan yang ditujukan khususnya
68
kepada Khalayak laki-laki (Dian dan Alvian), mereka menyatakan bahwa dalam agama sudah dikatakan bahwa laki-laki lebih tinggi derajatnya daripada perempuan akan tetapi pada kehidupan sebenarnya perempuan adalah pendamping hidup dari laki-laki, dalam artian sama-sama bertindak sesuai hak dan kewajiban bersama.
Sehingga pada pernyataan ini isu feminisme perempuan menurut peneliti terkait hak dan kewajibannya sebagai seorang istri dalam sistem patriarki, yang tidak bisa dipandang lemah terhadap dominasi kaum pria.
Meski dalam agama menyatakan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, akan tetapi jika ditafsirkan lebih jauh maka perempuan posisinya adalah sejajar dengan laki-laki yaitu sebagai pendamping hidup, bukan sebagai kaum yang tertindas oleh laki-laki. Disini sudah dapat terlihat bahwa sistem patriarki terbentuk melalui konsep agama.
Isu feminisme berikutnya adalah Perempuan sebagai feminis, menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif.
Karakter feminis perempuan disini menuntut kesetaraan atau persamaan antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki. Menurut peneliti persamaan yang dimaksudkan dalam konsep feminisme radikal adalah bahwa kaum perempuan memiliki kebebasan dalam bertindak, berkehendak, dan melakukan sesuatu seperti halnya kaum laki-laki.
Pada pernyataan ini peneliti mengambil hasil decoding yaitu pada pembahasan mengenai Tinung adalah seorang yang memerlukan pertimbangan atau sebelum akhirnya menjadi Ca Bau Kan. Pembahasan yang ditujukan untuk keempat khalayak, menyatakan bahwa Tinung
69
bekerja menjadi Ca Bau Kan karena alasan ekonomi dan dipaksa oleh mpok Saodah serta pada saat itu juga Tinung sedang hamil. Namun ia tetap memenuhi pertimbangannya sebagai seorang perempuan, hingga akhirnya memutuskan setia sebagai istri bukan Ca Bau Kan.
Pada diskusi, keempat Khalayak menyatakan bahwa Tinung adalah perempuan yang penurut. Namun tiga diantaranya sepakat kondisi tersebut wajar dialami Tinung, karena kondisi ekonomi dan latar belakang keluarganya yang kebanyakan adalah seorang Ca Bau Kan juga. Dengan keterhimpitan ekonomi tersebut, keempat Khalayak sepakat Tinung tidak punya solusi lainnya dimasa itu.
Para khalayak juga menggambarkan dua keadaan berbeda yaitu pada zaman dulu dan sekarang. Pada saat sekarang suatu hal yang wajar, perempuan bekerja bahkan menjadi pemimpin dari para kaum pria.
Sehingga dari pembahasan ini dapat digambarkan bahwa karakter feminis dari seorang perempuan menuntut adanya kesetaraan dengan kaum laki- laki dalam hal mereka bisa aktif bekerja, bertindak dan bebas melakukan sesuatu, seperti seorang laki-laki.
Isu feminisme berikutnya adalah mengenai, Perempuan sebagai feminis dapat memutuskan menjadi ibu atau menjalankan fungsi ibu. Pada konsep feminisme radikal, perempuan harus menjaga karakternya yang feminis seperti halnya memiliki hak-hak reproduksi, mendidik anak, meskipun masih terikat dalam sistem patriarki.
Pada hasil decoding mengenai scene saat Tinung diberi nasehat oleh ibu mertuanya, agar dapat mempunyai anak dari suaminya (Tan Peng
70
Liang). Karena menurut adat istiadat Tionghoa, wanita belum bisa menjadi wanita jika tidak memiliki anak. Namun dari pernyataan ibu Tan Peng
Liang ini, keempat Khalayak sepakat bahwa itu tidak benar. Keempatnya menyampaikan bahwa tidak ada yang merubah wanita bahkan ketika ia tidak dapat memiliki anak. Keempatnya sepakat bahwa wanita tetap dapat menjadi ibu meski anak itu tidak lahir dari rahimnya, sifat keibuan tetap dimilikinya.
Para khalayak merasa konsep Ibu bukan hanya dalam hal budaya saja, akan tetapi secara umum atau kodratnya perempuan pasti bisa melakoni perannya sebagai seorang ibu dari anak yang dilahirkannya atau tidak juga saat ia sudah berkeluarga. Sehingga isu feminis radikal pada pernyataan dari khalayak diatas merupakan sebuah kesimpulan bahwa perempuan tidak harus lepas dari karakternya sebagai seorang yang feminis. Sebagai contoh menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya kelak.
Dalam konsep feminisme radikal, tubuh dan seksualitas memegang esensi yang sangat penting. Hal ini terkait dengan pemahaman bahwa penindasan diawali melalui dominasi atas seksualitas perempuan dalam lingkup privat. Salah satu adegan dalam film Ca Bau Kan tentang Tinung yang dijadikan obyek hadiah oleh tentara Jepang. Pada pembahasan ini, dinyatakan bahwa keempat khalayak sepakat tidak semestinya perempuan dijadikan barang jualan. Dan perlakuan kekerasan seksual tidak bisa dilepaskan begitu saja, itu jelas mengganggu keempat Khalayak ini. Dian menyatakan bahwa manusia adalah mahluk yang harkat dan martabatnya paling tinggi dimuka bumi ini, tidak bisa disamakan dengan barang.
71
Namun Alvian juga menjelaskan bahwa keadaan negara kita memang sedang hancur-hancurnya karena penjajah yang tidak kunjung pergi, meski menyimpang dari pembahasan Alvian menambahkan bahwa keadaan perjualbelikan dan kekerasan seksual terhadap wanita pribumi adalah hal yang jahat.
Pada adegan tersebut jelas bahwa kaum perempuan pada zaman itu tertindas oleh kekejaman penjajah Jepang. Isu feminis radikal dalam film ini juga memberi perhatian khusus pada isu tentang kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Dominasi laki-laki dalam sistem patriarki membuat kekerasan yang menimpa perempuan, seperti pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, pornografi, pelecehan seksual, menjadi tampak alami dan layak. Namun ada kekuatan dari dalam diri Tinung untuk merubah jalan hidupnya, menjadi istri bukan lagi barang jual beli.
Setelah melakukan analisis encoding decoding, dalam sub bab ini peneliti akan melakukan pembahasan terhadap film Ca Bau Kan. Peneliti melakukan diskusi secara terfokus dan mengumpulkan data dari para khalayak untuk melihat pesan yang terdapat dalam film Ca Bau Kan.
Proses penerimaan pesan dalam film Ca Bau Kan lebih didominasi oleh posisi Negosiasi.
Proses negosiasi dari film Ca Bau Kan, disesuaikan dengan pengalaman hidup dari para khalayak. Khalayak membandingkan perempuan pada masa sekarang dan masa lalu. Terlihat dari beberapa scene film dan diskusi secara terfokus maka posisi Negosiasi memiliki peran yang lebih dibandingkan oposisi dan dominan. Para khalayak
72
menerima apa yang dilakukan Tinung saat itu adalah untuk mempertahankan hidupnya. Sedangkan ada juga ada beberapa khalayak yang tidak menerima dengan apa yang dilakukan oleh Tinung saat itu, karena menurut mereka wanita adalah pendamping pria bukan sebagai pencari nafkah atau pemuas nafsu lelaki. Disinilah peneliti mengambil posisi Negosiasi atau Negotiated code sesuai dengan analisa sebelumnya.
73
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Peneliti mengambil kesimpulan dari hasil penelitian ini yaitu, Pada
film Ca Bau Kan salah satunya mengambil latar sejarah budaya Tionghoa,
dengan karakter seorang wanita sebagai sosok Ca Bau Kan (wanita
penghibur dalam budaya Tionghoa). Sosok perempuan Ca Bau Kan pada
zaman penjajah ini digambarkan sebagai perempuan yang ditindas oleh
para kaum lelaki. Analisis resepsi terhadap film Ca Bau Kan terbagi
menjadi tiga posisi penerimaan yaitu;
a. Posisi Negosiasi (Negotiated position), khalayak menerima makna
yang ditawarkan pada film Ca Bau Kan, tetapi pada kondisi tertentu.
Pada posisi ini peneliti mengambil hasil decoding dari keempat
khalayak, mengenai derajat perempuan dan laki-laki dalam film Ca
Bau Kan. Mereka menganggap perempuan sebagai pendamping hidup
laki-laki dan begitupun sebaliknya, yang tidak boleh ditindas,
meskipun secara patriarki laki-laki lebih mendominasi perempuan.
akan tetapi hak dan kewajiban perempuan harus dilindungi oleh kaum
laki-laki.
b. Posisi Oposisi (Opositional position), pada pernyataan Ibu Tang Peng
Liang bahwa “wanita belum bisa menjadi wanita jika belum
melahirkan anak”. Para khalayak berpendapat jika pernyataan dari
Ibu Tang Peng Liang tidak sesuai dengan karakter dari wanita, karena
74
menurut mereka wanita akan tetap menjadi seorang ibu meski tidak
memiliki anak, tetapi sifat keibuan yang dimiliki wanita
menjadikannya sebagai sosok seorang ibu dalam karakter feminisnya,
sehingga mereka menilai makna yang ada di film tersebut
bertentangan dengan diri mereka dan kondisi sekitar mereka.
c. Posisi Hegomoni Dominan (Dominant position), salah satu scene film
dimana adanya dialog antara Ibu Tang Peng Liang dan Tang Peng
Liang yang menyatakan bahwa “Pria yang melihat perempuan dari
segi fisik, adalah pria yang berjiwa miskin”. Keempat khalayak
sepakat dengan pernyataan tersebut, bahwa laki-laki seharusnya tidak
menilai perempuan dari segi fisiknya saja. Mereka menerima makna
yang ditawarkan pada scene tersebut.
Pada proses diskusi secara terfokus (Focus Group Discussion), peneliti berkesimpulan bahwa, isu feminisme dalam film Ca Bau Kan adalah mengarah kepada feminisme radikal, karena para khalayak merasa sosok
Tinung dalam film merupakan sosok perempuan yang ditindas oleh kaum lelaki, seperti halnya sistem patriarki dalam konsep feminisme radikal.
Namun pada akhirnya merubah jalan hidupnya sebagai seorang istri yang setia dan melakoni peran sebagai seorang ibu dari anak-anak Tan Peng
Liang. Ia merubah konsep dirinya yang dijajah dan ditindas bahkan dibeli pada saat menjadi Ca Bau Kan. Konsep feminisme pada film ini memberi perhatian khusus pada isu tentang kekerasan laki-laki terhadap perempuan seperti pemerkosaan, pornografi, pelecehan seksual, menjadi tampak alami
75
dan layak namun sosok perempuan mampu bertindak untuk kebebasan dirinya sesuai pemahaman feminisme radikal.
Feminisme radikal pada film Ca Bau Kan terlihat dalam beberapa scene. Scene pemerkosaan yang dialami Tinung oleh tentara Jepang. Scene penindasan oleh tentara jepang dimana Tinung dijadikan obyek hadiah.
Scene pornografi pada waktu Tinung menjajakan dirinya di kawasan kalijodo sebagai Ca Bau Kan, dan adegan persetubuhan Tang Peng liang.
Kemudian isu patriarki terlihat dimana Tang Peng Liang yang memperistri
Tinung, yang sebelumnya Tang Peng Liang sudah memiliki Istri. Hingga akhirnya Tinung bersamanya dan menjadi perempuan dengan kesetiaan sebagai istri terlepas dari dunia Ca Bau Kan. Sehingga feminisme radikal merupakan konsep yang tepat bagi film Ca Bau Kan baik pendapat dari khalayak maupun peneliti sendiri.
Proses encoding dilakukan dengan menyimak film Ca Bau Kan secara bersama-sama khalayak, yang telah ditentukan sesuai kriteria film.
Sedangkan proses decoding, dilakukan dengan mengamati setiap scene dalam film Ca Bau Kan. Selanjutnya diadakan diskusi kelompok terfokus
(Focus Group Discussion). hasil diskusi pada proses decoding film Ca
Bau Kan yaitu, keempat khalayak memposisikan pemaknaan isu dalam film Ca Bau Kan sebagai position Negotiated atau posisi negosiasi.
76
4.2. Saran
1. Implikasi akademik
Penelitian ini terkait dengan Analisis resepsi khalayak terhadap film
Ca Bau Kan. Teori analisis resepsi dalam film Ca Bau Kan sudah
memberikan gambaran tentang isu dalam film Ca Bau Kan, dimana
para penonton atau khalayak dapat memberikan pemaknaan terhadap
pandangan-pandangan yang berbeda mengenai isu dalam film Ca Bau
Kan.
2. Implikasi Praktis
Metode penelitian yang digunakan, dapat menjawab permasalahan
dalam penelitian ini. Yaitu dengan menggunakan metode penelitian
kualitatif, yang menerapkan pengumpulan data primer. Data ini yang
berkaitan langsung dengan obyek penelitian. Data diperoleh dari
wawancara kepada khalayak secara diskusi kelompok yang terfokus
pada topik (Focus Group Discussion). Dalam hal ini, peneliti
melakukan wawancara kepada para khalayak yang telah menonton
film Ca Bau Kan.
77
DAFTAR PUSTAKA
BUKU DAN MAJALAH
Baran, Stanley Jdan Davis, Dennis K.. Teori Komunikasi Massa: Dasar
Pergolakan dan Masa Depan, Jakarta : Salemba Humanika. 2010
Barnanrd, Malcom. Fashion sebagai komunikasi : Cara Mengkomunikasikan
Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender. Yogyakarta : Jalasutra, 2011.
Fajar, Aprian. Berbagai pandangan mengenai gender dan feminisme, Yogyakarta,
2010
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial,.Yogyakarta : Sosial
Pustaka Pelajar, 1996
Fiske, John. Cultural and Communication Studies, Yogyakarta : Jalasutra, 2010
Jensen, Komunikasi Antar Pribadi (Interpersonal Communication), Jakarta, PT
Grasindo, 2007
Hardjana, Agus M, Komunikasi Interpersonal dan Intrapersonal, Yogyakarta,
Kanisius, 2003
McQuail, Denis. Teori Komunikasi Massa, Jakarta : Salemba Humanika, 2011.
Moleong Lexi,J, Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung,
2010
Rahmah Ida, Studi Media dan Kajian Budaya, Jakarta, Kencana. 2014
Wood, Julia T. Gendered Lives, Communication, Gender and Culture, USA :
Wadsworth Cengage Learning, 2007
xiii
WEBSITE-WEBSITE INTERNET https://thoughtsofstupidbookworm.wordpress.com/2013/01/05/ca-bau-kan-hanya- sebuah-dosa/, diakses tanggal 24 juni 2015 http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/16/02/17/o2mii2385- kalijodo-dalam-novel-film-hingga-puisi-part1, diakses tanggal 24 juni 2015 https://komunitasaleut.com/2013/04/20/ca-bau-kan/, diakses tanggal 24 juni 2015 https://komunitasaleut.com/2013/03/21/aleut-apresiasi-film-kisah-romansa- tinung-si-ca-bau-kan/, diakses tanggal 24 juni 2015 http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=VgFQV1JVBARU, diakses tanggal
24 juni 2015 http://www.imdb.com/title/tt0312101/, diakses tanggal 24 juni 2015 http://www.lovelytoday.com/entertainment/2011/12/20/6045/ca-bau-kan-kisah- perih-wanita-penghibur-di-jaman-kolonial, diakses tanggal 24 juni 2015 http://movfreak.blogspot.co.id/2015/06/ca-bau-kan-2002.html (INI ARTIKEL
SUDUT PANDANG PEMAIN), diakses tanggal 24 juni 2015 http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-c008-01-595893_ca- baukan/credit#.V2yfEeOx-Cg, diakses tanggal 24 juni 2015 www.kalyanashirafound.org, diakses terakhir 16 April 2016
xiv