Struktur Arsitektur Bangsal Ponconiti Kraton Yogyakarta Dan Nilai Budaya Jawa

Total Page:16

File Type:pdf, Size:1020Kb

Struktur Arsitektur Bangsal Ponconiti Kraton Yogyakarta Dan Nilai Budaya Jawa Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 4, 015-020, Februari 2020 https://doi.org/10.32315/sem.4.015 Struktur Arsitektur Bangsal Ponconiti Kraton Yogyakarta dan Nilai Budaya Jawa Alwin Suryono Korespondensi : [email protected] Kelompok Keilmuan ‘Sejarah, Teori dan Falsafah Arsitektur‘ dan ‘Teknologi – Manajemen‘, Program Studi Arsitektur-Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan. Abstrak Arsitektur Bangsal Ponconiti Kraton Yogyakarta berusia 264 tahun masih utuh dan tahan gempa besar menjadi isu utama. Tulisan ini mengungkap arsitektur-struktur bangsal dan nilai budayanya, dengan pendekatan Fenomenologi Arsitektur. Arsitektur-struktur bangsal dideskripsikan, diungkap maksud arsitektural/strukturalnya, lalu nilai2 Budaya Jawanya. Posisi bangsal pada sumbu Filosofis Kraton dapat dimaknai sebagai Sultan/Kraton sejajar Alam Semesta. Esensinya, relasi harmonis mikrokosmos−makrokosmos untuk kemakmuran dan ketenteraman dunia. Bangsal bujur sangkar- terbuka membentuk relasi harmonis Sultan−rakyat−alam sekitar, dan menyatukan pusat kekakuan struktur sekaligus pusat gaya lateral bangunan. Esensinya, relasi harmonis-seimbang Sultan terhadap Tuhan-sesama−alam (nilai Papat Kalima Pancer). Struktur utama (empat tiang utama, ring balok tumpang-sari) digantungi atap sekelilingnya, maka tiang utama memikul porsi terbesar beban atap keseluruhan. Atap sekeliling (pemberat) membantu kestabilan struktur utama terhadap gaya angin/gempa. Esensinya, Sultan (Wakil Tuhan di dunia) berkewajiban menanggung beban hidup rakyatnya (pendukungnya). Rangka kayu jati konstruksi purus-lubang melentur saat menahan beban lateral. Esensinya mengikuti alam–tidak menentangnya, sesuai budaya Nrimo. Kata-kunci: harmonis, alam, struktur, lentur, nrimo. Pendahuluan objek wisata budaya bagi turis lokal dan manca negara. Arsitektur museum kehidupan ini Pada era globalisasi ini khazanah tradisi Budaya berbasis Budaya Jawa. Sumbu Filosofis Kraton Lokal daerah kurang diminati untuk arsitektur (garis lurus penghubung Tugu-Kraton- masa kini, dibandingkan dengan khazanah Panggung Krapyak) menjadi acuan tata ruang arsitektur kontemporer seperti di negara-negara Kraton arah Utara-Selatan, bagian dari sumbu maju. Penyeragaman arsitektur global di atas Imajiner (Gunung Merapi-Kraton-Laut Selatan). tak lain akibat tekanan globalisasi yang tak terhindarkan. Berdasarkan banyak contoh di Bangsal Ponconiti, salah satu bangunan pada kota-kota besar Indonesia, identitas lokal daerah sumbu Filosofis, bergaya arsitektur Tradisional tidak terlihat/terasa, tergantikan oleh identitas Jawa Kraton, terdiri dari Bangunan Utama universal, baik aspek arsitektur maupun aspek (rangka kayu jati, terbuka, atap tajug lawakan strukturnya. Ironisnya banyak bangunan baru lambang gantung) dikelilingi bangunan tersebut yang telah runtuh di usia mudanya. pendukung/tratag (rangka tiang besi, terbuka, atap perisai) pada sisi Utara, Timur dan Barat. Yogyakarta juga mengalami hal sama, Semula berfungsi sebagai pengadilan tertinggi bangunan non-Jawa telah muncul di mana- warga Yogyakarta dan keluarga Kraton (Sultan mana bahkan sampai ke desa-desa, walaupun sebagai hakim), kini bangsal ini masih utuh-asli memiliki Kraton sebagai pusat Budaya Jawa. seperti asalnya, hanya lapisan catnya saja yang Kraton Yogyakarta telah berusia 264 tahun telah diperbarui. Empat kali setahun digunakan masih utuh-berfungsi sampai kini, yaitu untuk untuk upacara Kraton (Sekaten dan Garebeg), tempat tinggal keluarga Kraton, untuk upacara- namun bagian tratag-nya setiap hari digunakan upacara Kraton/budaya, dan sehari-hari sebagai untuk tempat beristirahat pemandu wisata. Kelompok Keahlian Teknologi Bangunan, SAPPK, Institut Teknologi Bandung Prosiding Seminar Struktur Dalam Arsitektur 2020 | 015 Kelompok Kerja Struktur Konstruksi IPLBI ISBN : xxxxx- E-ISBN : xxxxx Struktur Arsitektur Bangsal Ponconiti Kraton Yogyakarta dan Nilai Budaya Jawa Isunya, apakah keistimewaan arsitektur-struktur lokal, mulai bentukan arsitektur sampai detil bangsal Ponconiti, dan apa nilai Budaya konstruksinya. Jawanya, yang membuatnya bertahan hingga kini, mengingat Kraton telah beberapa kali Budaya Jawa diguncang gempa bumi besar. Minimal ada tiga wujud kebudayaan, yaitu Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan arsitektur sistem ide/nilai, sistem sosial dan sistem fisik, dan struktur bangsal Ponconiti Kraton Yogya- yang tidak terpisah satu dengan lainnya karta, lalu mengungkap keistimewaan struktur- (Koentjaraningrat 2015). Sistem ide/nilai akan konstruksinya, dan mengungkap esensi nilai mengarahkan sistem sosial, dan selanjutnya Budaya Jawanya. Hasil dari studi ini diharapkan akan menghasilkan sistem fisik. Dalam kasus ini dapat dimanfaatkan sebagai masukan untuk hanya dibahas wujud nilai Budaya Jawa terkait desain arsitektur masa kini berdasar Budaya struktur arsitektur bangsal Ponconiti Kraton Jawa, baik aspek fisik (arsitektur, struktur) Yogyakarta, sebagai berikut. maupun aspek esensi nilai-nilainya, agar Budaya Sistem Ide/Nilai Budaya Jawa (Priyono, 2015; Jawa tetap lestari untuk arsitektur masa kini Endraswara, 2010) terkait struktur bangsal sekaligus sebagai indentitas arsitekturnya (tidak Ponoconiti sebagai berikut: perlu berkiblat ke negara-negara maju). 1) Hamemayu hayuning bawana atau menjaga kelestarian semesta (Kosmologi Budaya Jawa), Kajian Pustaka melalui kesejajaran dunia manusia Tulisan ini adalah tentang Struktur Bangsal (mikrokosmos) dengan alam semesta Ponconiti Kraton Yogyakarta dan Nilai Budaya (makrokosmos) untuk mencapai kemakmuran Jawa dengan pendekatan Teori Arsitektur dan dan ketentraman dunia. Kesejajaran Budaya Jawa. mikrokosmos-makrokosmos akan dilihat dalam arsitektur bangsal Ponconiti. Teori Arsitektur 2) Papat Kalima Pancer, yaitu sistem yang mencerminkan keunggulan pusat (Sultan), yang Arsitektur adalah ruang tempat hidup manusia tetap ditopang oleh bagian-bagian tepinya pada dengan bahagia, baik ciptaan manusia atau 4 penjuru angin yang saling terkait. Esensi alami (Van Romondt, 1900-an), yang dapat maknanya akan dilihat dalam struktur bangsal dilihat melalui konsep fenomenologi dengan Ponconiti. prinsip "life-world" (arsitektur sebagai "filosofi 3) Sultan adalah Wakil Tuhan di dunia. Esensi yang menyata") (Husserl 1970). Arsitektur maknanya akan dilihat dalam struktur bangsal mengandung tiga lapis eksistensi, yaitu Ponconiti. eksistensi inderawi − tujuan − esensi 4) Nrimo (merasa puas dengan nasib dan (Sudaryono, 2017). Eksistensi inderawi meliputi kewajiban yang ada, tidak melawan, tetapi bentuk, susunan, material, warna, skala, bersyukur). Esensi maknanya akan dilihat dalam perilaku manusia. Eksistensi tujuan meliputi perilaku struktural konstruksi bangsal Ponconiti. konsep “apa” dan “mengapa”, termasuk aspek strukturnya. Aspek esensi adalah inti/hal pokok, Metode Penelitian dapat berupa rujukan tertinggi, nilai, kosmologi, jiwa. Paradigma dari penelitian ini, arsitektur Tinggal bersama alam adalah pikiran dasar dari (struktur) adalah wujud fisik dari suatu budaya manusia Nusantara, bangunan menjadi yang dipengaruhi nilai-nilai budaya tersebut. bentukan yang dihadirkan di dalam dan bersama Digunakan metode penelitian kualitatif dengan alam (Prijotomo, 2018). Arsitektur tradisional pendekatan Arsitektur, Struktur Arsitektur dan umumnya dapat memberikan kenyamanan Budaya Jawa, untuk mengungkap kehandalan untuk penghuninya sesuai bahasa alam dan struktur bangsal Ponconiti dan nilai Budaya manusia, sekaligus menampilkan identitasnya Jawa terkait. Metoda pengambilan data dengan (Antariksa, 2017). Arsitektur tradisional studi literatur/arsip (jurnal, arsip Kraton Nusantara beradaptasi-apresiasi dengan alam Yogyakarta), observasi ke objek studi (bangsal Ponconiti), wawancara dengan pimpinan Kraton 016 | Prosiding Seminar Struktur Dalam Arsitektur IPLBI 2020 Suryono, S. terkait (KGPH. Drs. Yudhaningrat, MM., Ir. H. (konstruksi goyang, terbukti kehandalannya) Yuwono Sri Suwito, M.M.). Metoda analisis berbeda dengan konstruksi Barat (kaku, lebih dengan pendekatan Arsitektur, struktur- populer). arsitektur dan nilai Budaya Jawa. Cara dasar transfer beban dari suatu struktur meliputi: tekan, tarik, lentur, geser dan torsi Pendekatan Arsitektur (Zanos, ...). Suatu struktur/elemen struktur akan ’tertekan/memendek’ atau ’tertarik/ Pendekatan arsitektur, melihat objek studi memanjang’ atau ’melentur/bengkok’ sebagai wadah tempat hidup/aktivitas manusia atau ’tergeser’ atau bahkan ’terpuntir’ sebagai berdasar nilai-nilai Budaya Jawa. Pendekatan mekanisme transfer beban yang diterimanya ke fenomenologi arsitektur melihat objek studi tumpuan. Cara transfer beban tersebut juga dengan 3 lapis eksistensi, yaitu kehadiran dipengaruhi oleh sistem sambungan elemen inderawi-kesadaran tujuan-kesadaran esensi. struktur dan material elemen strukturnya. Kayu Kehadiran Inderawi dari objek studi (bangsal mampu mentransfer beban dengan tekan, tarik, Ponconiti) untuk mengungkap wujud fisik lentur, geser atau torsi. Tidak demikian halnya berupa posisi, tata ruang dan struktur bangsal dengan material pasangan bata/batu yang Ponconiti, lalu mengungkap tujuan wujud fisik hanya dapat dengan tekan saja (gagal jika dan esensi Budaya Jawa terkait. Wujud fisik terkena tarik/lentur) . dideskripsikan dengan cermat sebagaimana ia menampilkan dirinya sendiri, tanpa terkait Pendekatan Budaya Jawa dengan teori-teori atau prinsip-prinsip tertentu. Kesadaran Tujuan (tentang ”apa/mengapa”) Arsitektur Jawa (Nusantara) relatif sederhana, dari objek studi, untuk mengungkap nilai namun kaya dengan nilai (Prijotomo, 2018). Budaya
Recommended publications
  • The Wayangand the Islamic Encounter in Java
    25 THE WAYANG AND THE ISLAMIC ENCOUNTER IN JAVA Roma Ulinnuha A Lecture in Faculty of Ushuluddin, Study of Religion and Islamic Thoughts, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Email: [email protected] Abstrak Penelitian ini membahas hubungan antara wayang dan proses penyebaran Islam. Wayang adalah fenomena budaya Jawa yang digunakan oleh para wali pada sekitar abad ke-15 dan ke-16 sebagai media dakwah Islam. Tulisan ini fokus pada Serat Erang-Erang Nata Pandawa yang mengulas tentang karakter Pandawa dalam hubungannya dengan Islam. ﻣﺴﺘﺨﻠﺺ – (Wayang ) ) . ( . (Serat Erang-Erang Nata Pandawa ) - ( ) . Keywords: Wayang, Serat Erang-Erang, Javanese, Wali A. Introduction It has been an interesting stance to discuss the relationship between religion and community in terms of the variety of possibilities of some unique emergences in the process. While people regards religious realms a total guidance that relates the 26 Millah Vol. X, No. 1, Agustus 2010 weakness of human being to the powerful—the Covenant, Javanese people, views religion providing a set of beliefs, symbols and rituals which have been faced a rigorous encounter along with the development of communities in the past, in the present and in the future. The dawn of Islam in Java shared the experience of this relationship, found in why and how the wali used the wayang in supporting their religious types of activities under the authority of the Court of Demak. The research discusses the relationship between the wayang and the role of wali ‘Saint’ in spreading Islam under the patron of the Court of Demak from the fifteenth to the sixteenth centuries. There have been some research conducted on the same field, but this aims at discussing the wayang as the phenomena of cultural heritage of the Javanese descendents and inhabitants, while the wali ‘Saint’ is framed as the element of religious representation in Java at the time.
    [Show full text]
  • Akulturasi Di Kraton Kasepuhan Dan Mesjid Panjunan, Cirebon
    A ULTURASI DI KRATON KA URAN DAN MESJID PANJUNAN, CIREBON . Oleh: (.ucas Partanda Koestoro . I' ... ,.. ': \.. "\.,, ' ) ' • j I I. ' I Pendukung kebiidayaan adalati manusia. Sejak kelahirannya dan dalam proses scis.ialisasi, manusia mendapatkan berbagai pengetahu­ an. Pengetahuan yang didapat dart dipelajari dari lingkungan keluarga pada lingkup. kecil dan m~syarakat pa.da. lingkup besar, mendasari da:µ mendorong tingkah lakunya. .dalam mempertahankan hidup. Sebab m~ri{isjq ti.da.k , bertin~a~ hanya k.a.rena adanya dorongan untuk hid up s~ja, tet~pi i1:1g~ kp.rena ~ua~u desakan baru yang berasal dari ·budi ma.nusia dan menjadi dasar keseluruhan hidupnya, yang din<lmakan - · ~ \. ' . kebudayaan. Sehingga s~atu . masyarakat ketik? berhadapan dan ber- i:riteraksi dengan masyarakat lain dengan kebudayaan yang berlainan, kebudayaan baru tadi tidak langsung diterima apa adanya. Tetapi dinilai dan diseleksi mana yang sesuai dengan kebudayaannya sendiri. Budi manusia yang menilai ben.da dan kejp.dian yang beranek~ ragam di sekitarhya kemudian memllihnya untuk dijadikan tujuan maupun isi kelakuan ·buda\ranva (Su tan Takdir Alisyahbana, tanpa angka tahun: 4 dan 7). · · II. Data sejarah yang sampai pada kita dapat memberikan petunjuk bahwa masa Indonesia-Hindu selanjutnya digantikan oleti masa Islam di Indonesia. Kalau pada masa Indonesia-Hindu pengaruh India men~ jadi faktor yang utama dalam perkembangari budaya masyarakat Iri­ donesia, maka dalam masa Islam di Indonesia, Islam pun inenjadi fak­ tor yang berpengaruh pula. Adapun pola perkembangan kebudayaan Indonesia pada masa masuknya pengaruh Islam~ pada dasarnya 'tidak banyak berbeda dengan apa yang terjadi dalam proses masuknya pe­ ngaruh Hindu. Kita jumpai perubahan-perubahan dalam berbagai bi­ dang .
    [Show full text]
  • R. Tan the Domestic Architecture of South Bali In: Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde 123 (1967), No: 4, Leiden, 442-4
    R. Tan The domestic architecture of South Bali In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 123 (1967), no: 4, Leiden, 442-475 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl Downloaded from Brill.com10/01/2021 05:53:05PM via free access THE DOMESTIC ARCHITECTURE OF SOUTH BALI* outh Bali is the traditional term indicating the region south of of the mountain range which extends East-West across the Sisland. In Balinese this area is called "Bali-tengah", maning centra1 Bali. In a cultural sense, therefore, this area could almost be considered Bali proper. West Lombok, as part of Karangasem, see.ms nearer to this central area than the Eastern section of Jembrana. The narrow strip along the Northern shoreline is called "Den-bukit", over the mountains, similar to what "transmontane" mant tol the Romans. In iwlated pockets in the mwntainous districts dong the borders of North and South Bali live the Bali Aga, indigenous Balinese who are not "wong Majapahit", that is, descendants frcm the great East Javanece empire as a good Balinese claims to be.1 Together with the inhabitants of the island of Nusa Penida, the Bali Aga people constitute an older ethnic group. Aernoudt Lintgensz, rthe first Westemer to write on Bali, made some interesting observations on the dwellings which he visited in 1597. Yet in the abundance of publications that has since followed, domstic achitecture, i.e. the dwellings d Bali, is but slawly gaining the interest of scholars. Perhaps ,this is because domestic architecture is overshadowed by the exquisite ternples.
    [Show full text]
  • Sasana Sewaka: Tinjauan Semantik Arsitektur Jawa Kraton Kasunanan Surakarta
    SASANA SEWAKA: TINJAUAN SEMANTIK ARSITEKTUR JAWA KRATON KASUNANAN SURAKARTA Galuh Puspita Sari Jurusan Kritik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) - Surabaya e-mail: [email protected] ABSTRAK Sasana Sewaka merupakan pendhapa di Kraton Kasunanan Surakarta Solo, yang tumbuh dan berkembang dari nilai- nilai arsitektur Jawa yang dipengaruhi perjumpaan dengan arsitektur Eropa. Perjumpaan Arsitektur Eropa pada Arsitektur Jawa berpotensi memberikan pengaruh pada arsitektur yang telah ada sebelumnya. Suatu wujud arsitektur akan mendeskripsikan (komposisi) bahasa rupa melalui visualitas yang dimengerti sesuai dengan tampilannya, sehingga wujud arsitektur yang terbentuk memberikan makna yang dapat dikomunikasikan. Kata kunci: semantik, arsitektur jawa, sasana sewaka ABSTRACT Sasana Sewaka is a pendhapa (an open pavilion) in Kraton (Palace) Kasunanan Surakarta Solo which grew and developed from Javanese architectural values under the influence of European architectural encounters. The meeting of Javanese and European Architectures has a potential to influence the existing architecture. A form of architecture will describe the visual language (composition) through a comprehendible visualization according to its appearance and thus the forming result of architecture can give a meaning that can be communicated. Keywords: semantik, javanese architecture, sasana sewaka PENDAHULUAN tasnya. Di masa pemerintahan Paku Buwono X banyak melakukan pembangunan di berbagai bidang. Kraton Surakarta merupakan lambang keles- Pada bidang arsitektur, Paku Buwana selain tetap tarian budaya Jawa, sebagai pusat pelestarian adat- mengusung arsitektur Jawa juga terlihat adanya per- istiadat yang diwariskan secara turun temurun dan jumpaan dengan arsitektur Eropa. Perjumpaan yang masih berlangsung hingga saat ini (Harjowirogo Jawa dan yang Eropa menghadirkan kemungkinan 1979:7). Dalam pola pikir masyarakat Jawa, kraton konsep yang berbeda dari arsitektur yang ada sebe- merupakan representasi jagat raya dalam bentuk kecil lumnya.
    [Show full text]
  • Study on the History and Architecture
    DIMENSI − Journal of Architecture and Built Environment, Vol. 46, No. 1, July 2019, 43-50 DOI: 10.9744/dimensi.46.1.43-50 ISSN 0126-219X (print) / ISSN 2338-7858 (online) LINEAR SETTLEMENT AS THE IDENTITY OF KOTAGEDE HERITAGE CITY Ikaputra Department of Architecture & Planning, Faculty of Engineering, Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika no. 2, Kampus UGM, Yogyakarta 55281, Indonesia Email: [email protected] ABSTRACT The Javanese Palace City including the old city of Kotagede is mostly described by using the existence of the four components—Palace (kraton), Mosque (mesjid), Market (pasar) and Square (alun-alun)—as its city great architecture and identity. It is very rarely explored its folk architecture and settlement pattern as a unique identity. The linearity of settlements found in the study challenges us to understand Kotagede old city has specific linear settlements as its identity complemented to the existing Javanese four components. This study is started to question the finding of previous research (1986) titled as ―Kotagede between Gates‖–a linier traditional settlement set in between ―two-gates‖, whether can be found at other clusters of settlement within the city. This study discovered that among 7 clusters observed, they are identified as linear settlements. The six-types of linear patterns associated with road layout that runs East-West where jalan rukunan (‗shared street‖) becomes the single access to connect Javanese traditional houses in its linearity pattern. It is urgent to conserve the Kotagede‘s identity in the future, by considering to preserve the existence and the uniqueness of these linear settlements. Keywords: Architectural Heritage; city identity; linear settlement; morphology; Kotagede-Yogyakarta.
    [Show full text]
  • Download Article (PDF)
    Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 552 Proceedings of the 4th International Conference on Arts and Arts Education (ICAAE 2020) Life Values in Gapura Bajangratu Katrin Nur Nafi’ah Ismoyo1,* Hadjar Pamadhi 2 1 Graduate School of Arts Education, Yogyakarta State University, Yogyakarta 55281, Indonesia 2 Faculty of Languages and Arts, Yogyakarta State University, Yogyakarta 55281, Indonesia *Corresponding author. Email: [email protected] ABSTRACT This study employed the qualitative research method with Hans-George Gadamer’s semiotic approach and analysis based on Jean Baudrillard’s hyperreality. According to Gadamer, truth can be obtained not through methods, but dialectics, where more questions may be proposed, which is referred to as practical philosophy. Meanwhile, Jean Baudrillard argues that “We live in a world where there is more and more information, and less and less meaning …”. This paper discusses the life values of Gapura Bajang Ratu in its essence, as well as life values in the age of hyperreality. Keywords: Gapura Bajangratu, life values, hyperreality, semiotics 1. INTRODUCTION death of Bhre Wengker (end 7th century). There is another opinion regarding the history of the Bajangratu Gapura Bajangratu (Bajangratu Temple) is a Gate which believe it to be one of the gates of the heritage site of the Majapahit Kingdom which is located Majapahit Palace, due to the location of the gate which in Dukuh Kraton, Temon Village, Trowulan District, is not far from the center of the Majapahit Kingdom. Mojokerto Regency, East Java. Gapura Bajangratu or This notion provides historical information that the the Bajangratu Gate is estimated to have been built in Gapura gate is an important entrance to a respectable the 13-14th century.
    [Show full text]
  • Analisis Spasial Obyek Wisata Situs Sejarah Dan Budaya Unggulan Untuk Penyusunan Paket Wisata Kabupaten Sleman
    ANALISIS SPASIAL OBYEK WISATA SITUS SEJARAH DAN BUDAYA UNGGULAN UNTUK PENYUSUNAN PAKET WISATA KABUPATEN SLEMAN Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Geografi Fakultas Geografi Oleh: MAHARDIKA AGUNG CITRANINGRAT E100150109 PROGRAM STUDI GEOGRAFI FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2020 PERSETUJUAN ANALISIS SPASIAL OBYEK WISATA SITUS SEJARAH DAN BUDAYA UNGGULAN UNTUK PENYUSUNAN PAKET WISATA KABUPATEN SLEMAN PUBLIKASI ILMIAH oleh: MAHARDIKA AGUNG CITRANINGRAT E100150109 Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji oleh : Dosen Pembimbing (Dr. Kuswaji Dwi Priyono, M.Si.) NIK. 554 i LEMBAR PENGESAHAN PUBLIKASI ILMIAH ANALISIS SPASIAL OBYEK WISATA SITUS SEJARAH DAN BUDAYA UNGGULAN UNTUK PENYUSUNAN PAKET WISATA KABUPATEN SLEMAN Oleh : MAHARDIKA AGUNG CITRANINGRAT E100150109 Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta Pada hari Senin, 16 Desember 2019 dan dinyatakan telah memenuhi syarat Dewan Penguji : 1. Dr. Kuswaji Dwi Priyono, M.Si. (…………………….) Ketua Dewan Pembimbing 2. Drs. Priyono, M.Si. (…………………….) (Anggota I Dewan Penguji) 3. M. Iqbal Taufiqurrahman Sunariya, S.Si., M.Sc., M.URP. (……………………………….) (Anggota II Dewan Penguji) Dekan Fakultas Geografi, Drs. Yuli Priyana, M.Si. ii PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam naskah publikasi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
    [Show full text]
  • Bab Iv Pembahasan
    BAB IV PEMBAHASAN A. Gambaran Obyek Penelitian 1. Sejarah Singkat Menara Kudus Menara Kudus sebenarnya memiliki dua versi jika dilihat berdasarkan siapa pendirinya atau peninggalan dari siapa. Adapun dua versi tersebut yaitu versi pertama bahwa Menara Kudus merupakan peninggalan dari masyarakat terdahulu, sedangkan versi kedua bahwa Menara Kudus merupakan peninggalan dari sunan Kudus. Diantara kedua versi tersebut, masyarakat Kudus lebih mempercayai bahwa Menara Kudus merupakan peninggalan dari Sunan Kudus. Adapun alasan masyarakat Kudus lebih mempercayai hal tersebut yaitu yang pertama dengan melihat dari tata letak bangunan Menara Kudus yang mengahadap ke barat hal ini dikarenakan pintu Menara terletak dibagian barat, sedangkan alasan yang kedua yaitu pada bangunan Menara Kudus tidak ditemukan ukiran atau relief yang menceritakan tentang kehidupan manusia terdahulu dan alasan yang ketiga yaitu tidak ditemukannya arca atau patung. Berdasarkan tiga alasan tersebutlah masyarakat mempercayai bahwa Menara Kudus merupakan peninggalan dari sunan Kudus. Sampai detik ini belum ada yang bisa memastikan kapan bangunan Menara Kudus didirikan, hal itu dikarenakan tidak adanya catatan maupun data- data yang menjelaskan mengenai kapan Menara Kudus didirikan. Menara Kudus dapat diperkirakan kapan didirikan yaitu dengan berlandasan atau berdasarkan fungsi dari Menara Kudus itu sendiri yaitu bangunan yang dijadikan sebagai tempat mengumandangkan adzan. Sehingga dapat ditarik benang merahnya yaitu adanya keterkaitan antara masjid dengan Menara Kudus.
    [Show full text]
  • Exploring Sense of Place for the Sustainability of Heritage District in Yogyakarta
    architecture&ENVIRONMENT Vol. 16, No. 2, Oct 2017: 75 - 92 EXPLORING SENSE OF PLACE FOR THE SUSTAINABILITY OF HERITAGE DISTRICT IN YOGYAKARTA Emmelia Tricia Herliana*, Himasari Hanan**, Hanson Endra Kusuma** *) Student at Doctoral Program in Architecture, School of Architecture, Planning and Policy Development, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132, Indonesia **) Lecturer at Doctoral Program in Architecture, School of Architecture, Planning and Policy Development, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132, Indonesia e-mail: [email protected] ABSTRACT Yogyakarta is well-known as a historical city and the centre of Javanese culture that attracts many tourists to come. In recent year, Yogyakarta has been very popular to domestic and international tourists in that many heritage places in the city have been developed to distinctive tourist destinations, yet no reasonable criteria has been developed to guide its development. This study assumed that places with distinctive identity or character or uniqueness are the most interested object of attraction for tourists. Therefore, the study will explore the sense of place as the important success factor in sustaining a heritage place as tourist attraction and identify aspects of a place that might contribute to its sustainability. Two heritage districts: Kotagede and Kotabaru are selected for evaluating aspects of place that are significantly contributing to the historical and cultural image of the city of Yogyakarta. The study identify and analyze the existing condition of physical attributes, performed activities and conception of the place. Indicators being used are developed from the current research undertaken by geographer and environmental psychologist. The study resulted to the conclusion that an interconnection of many aspects rather than identity of the place is the critical factor for the sustainability of a heritage place.
    [Show full text]
  • The Influence of Raden Fatah Towards Spiritual Value on Tombs and Great Mosque of Demak
    INTERNATIONAL JOURNAL OF SCIENTIFIC & TECHNOLOGY RESEARCH VOLUME 8, ISSUE 12, DECEMBER 2019 ISSN 2277-8616 The Influence Of Raden Fatah Towards Spiritual Value On Tombs And Great Mosque Of Demak Marwoto, Sugiono Soetomo , Bambang Setioko, Mussadun Abstract: Raden Fatah was the first Moslem king in Java. Historically, it had huge influences on Javanese civilization and culture. Therefore, Demak becomes the center for pilgrims to visit ancient buildings and tombs as the Sultanate's remains. Even though the Sultanate of Demak had fallen since the 16th century, the spread of Islam and pilgrimage to tombs of Wali (a name given to a wise and religious person teaching Islam) are still famous nowadays. Raden Fatah and other Wali become the icon of Demak. This study is aimed to reveal the fame of Raden Fatah and Wali which make their tombs and mosques are visited by the people as they form of tradition and religion ritual. The method applied are historical descriptive analysis, grounded theory, and phenomenological observation on site. The result revealed that the tombs and the great mosque of Demak have become the symbol of a religious tourism spot. This has happened because the king of Demak had placed the base of Islamic values on a city in Demak. Index Terms: Spiritual Space, Cultural and Tradition Space, Sustainability of Culture. —————————— —————————— 1. INTRODUCTION simple. Islam Jawa is intertwined with nationality, modernity, The founding of Demak was a part of history that is globalization, local culture and wisdom, and every contemporary unseparated from Raden Fatah. The Sultanate of Demak is discourse happening nowadays.
    [Show full text]
  • Morphological Typology and Origins of the Hindu-Buddhist Candis Which Were Built from 8Th to 17Th Centuries in the Island of Bali
    計画系 642 号 【カテゴリーⅠ】 日本建築学会計画系論文集 第74巻 第642号,1857-1866,2009年 8 月 J. Archit. Plann., AIJ, Vol. 74 No. 642, 1857-1866, Aug., 2009 MORPHOLOGICAL TYPOLOGY AND ORIGINS OF THE MORPHOLOGICALHINDU-BUDDHIST TYPOLOGY CANDI ANDARCHITECTURE ORIGINS OF THE HINDU-BUDDHIST CANDI ARCHITECTURE IN BALI ISLAND IN BALI ISLAND バリ島におけるヒンドゥー・仏教チャンディ建築の起源と類型に関する形態学的研究 �������������������������������������� *1 *2 *3 I WayanI Wayan KASTAWAN KASTAWAN * ,¹, Yasuyuki Yasuyuki NAGAFUCHINAGAFUCHI * ² and and Kazuyoshi Kazuyoshi FUMOTO FUMOTO * ³ イ �ワヤン ��� カスタワン ��������,永 渕 康���� 之,麓 �� 和 善 This paper attempts to investigate and analyze the morphological typology and origins of the Hindu-Buddhist candis which were built from 8th to 17th centuries in the island of Bali. Mainly, the discussion will be focused on its characteristics analysis and morphology in order to determine the candi typology in its successive historical period, and the origin will be decided by tracing and comparative study to the other candis that are located across over the island and country as well. As a result, 2 groups which consist of 6 types of `Classical Period` and 1 type as a transition type to `Later Balinese Period`. Then, the Balinese candis can also be categorized into the `Main Type Group` which consists of 3 types, such as Stupa, Prasada, Meru and the `Complementary Type Group` can be divided into 4 types, like Petirthan, Gua, ������ and Gapura. Each type might be divided into 1, 2 or 3 sub-types within its architectural variations. Finally, it is not only the similarities of their candi characteristics and typology can be found but also there were some influences on the development of candis in the Bali Island that originally came from Central and East Java.
    [Show full text]
  • Candi, Space and Landscape
    Degroot Candi, Space and Landscape A study on the distribution, orientation and spatial Candi, Space and Landscape organization of Central Javanese temple remains Central Javanese temples were not built anywhere and anyhow. On the con- trary: their positions within the landscape and their architectural designs were determined by socio-cultural, religious and economic factors. This book ex- plores the correlations between temple distribution, natural surroundings and architectural design to understand how Central Javanese people structured Candi, Space and Landscape the space around them, and how the religious landscape thus created devel- oped. Besides questions related to territory and landscape, this book analyzes the structure of the built space and its possible relations with conceptualized space, showing the influence of imported Indian concepts, as well as their limits. Going off the beaten track, the present study explores the hundreds of small sites that scatter the landscape of Central Java. It is also one of very few stud- ies to apply the methods of spatial archaeology to Central Javanese temples and the first in almost one century to present a descriptive inventory of the remains of this region. ISBN 978-90-8890-039-6 Sidestone Sidestone Press Véronique Degroot ISBN: 978-90-8890-039-6 Bestelnummer: SSP55960001 69396557 9 789088 900396 Sidestone Press / RMV 3 8 Mededelingen van het Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden CANDI, SPACE AND LANDscAPE Sidestone Press Thesis submitted on the 6th of May 2009 for the degree of Doctor of Philosophy, Leiden University. Supervisors: Prof. dr. B. Arps and Prof. dr. M.J. Klokke Referee: Prof. dr. J. Miksic Mededelingen van het Rijksmuseum voor Volkenkunde No.
    [Show full text]