KIPRAH KH ABDUL DALAM PERUMUSAN PIAGAM TAHUN 1945

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh:

Desi Fitria

NIM: 11140220000088

PRODI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/2018 M

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 13 Agustus 2018

Desi Fitria

KIPRAH KH ABDUL WAHID HASYIM DALAM PERUMUSAN PIAGAM JAKARTA TAHUN 1945

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh:

Desi Fitria NIM:11140220000088

Pembimbing

Imam Subchi, MA NIP: 196708102000031001

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/ 2018 M

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi berjudul Kiprah KH Abdul Wahid Hasyim dalam Perumusan Piagam Jakarta Tahun 1945 telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Agustus 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S. Hum) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam. Ciputat,30 Agustus 2018 Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Nurhasan, MA Solikhatus Sa’diyah, M. Pd NIP: 196907241997031001 NIP: 197504172005012007

Anggota, Penguji I, Penguji II,

Prof. Dr. Budi Sulistiono, M. Hum Dr. Abd. Wahid Hasyim, MA NIP: 195410101988031001 NIP: 195608171986031006

Pembimbing,

Imam Subchi, MA NIP: 196708102000031001

ABSTRAK

Desi Fitria, Kiprah KH Abdul Wahid Hasyim dalam Perumusan Piagam Jakarta Tahun 1945. Tulisan ini mengkaji kiprah KH Abdul Wahid Hasyim dalam perumusan Piagam Jakarta di tahun 1945 dan responsnya terhadap penghapusan tujuh kata kompromi. Kajian penulisan ini sengaja penulis angkat untuk memperkaya khazanah keilmuan, tidak hanya berhenti pada penulisan biografi akan tetapi mengenai tokoh Islam yang berperan dalam perjuangan kemerdekaan dan perumusan Dasar Negara. Metode penulisan ini menggunakan langkah heuristik, interpretasi, historiografi dan metode Library Research. Lalu menggunakan teori Peranan (Role) pendekatan sejarah, dan politik. Temuan yang penulis dapatkan yakni KH Abdul Wahid Hasyim menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, alasannya demi kesatuan dan persatuan bangsa karena jika terus dipaksakan Indonesia bagian Timur akan memisahkan diri dan Indonesia akan terpecah belah. Hal ini dilihat dari buku memoir yang ia tulis, kemudian dilihat dari data terkait kehadiran anggota PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Namun ada juga pendapat yang mengemukakan bahwa Wahid Hasyim tidak hadir dalam lobbying yang dilakukan Hatta. Kata Kunci: Kiprah KH Abdul Wahid Hasyim, Piagam Jakarta, Kontroversi Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Islam, Rancangan Dasar Negara, Penghapusan Tujuh Kata.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa penulis limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta sahabat-sahabatnya. Karya ilmiah dalam bentuk skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana Strata 1 (S-1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan diselesaikan ya penulisan skripsi ini, tentunya tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi, baik yang menyangkut manajemen waktu, pengumpulan sumber, dan lain sebagainya. Akan tetapi, dengan niat dan keteguhan hati, serta kerja keras dan dorongan, bantuan, dan doa yang datang dari berbagai pihak, hambatan-hambatan yang penulis hadapi dapat teratasi sedkit demi sedikit. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis menyadari bahwa semua ini tidaklah semata berhasil dengan tenaga dan upaya sendiri, namun banyak pihak yang telah berpartisipasi dalam penyelesaian skripsi ini, baik yang bersifat moril maupun materil, maka dengan ini sepatutnya penulis menyampaikan banyak terimakasih atas kerjasamanya dan dorongannya. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang terdalam kepada Ibu dan Bapak serta nenek dengan nasehat-nasehat yang dahsyat dan support tiada batas dari mereka telah membakar semangat penulis untuk terus belajar dan berkarya. Satu saudari perempuanku yang selalu menjadi penawar hati dari berbagai masalah, Tuti Laelah.

i

Kepada semua teman-teman Ashabul Masyamah teman- teman Kost We Huizen, teman-teman SPI 2014, Forum Lingkar Pena (FLP) Ciputat, Ikatan Remaja Masjid Fatullah (IRMAFA), teman-teman Aktualitangsel.com. Mereka semua turut serta memberikan semangat kepada penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini. Tak lupa penulis mengucap banyak terimakasih kepada Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Sukron Kamil selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Juga kepada Nurhasan, M.A. selaku Kepala Jurusan dan Ibu Shalikhatus Sa’diyah, M.Pd selaku sekretaris Jurusan yang telah membantu administrasi dalam kelancaran skripsi. Drs. Imam Subchi, M.A. selaku dosen pembimbing yang dengan ikhlas dan tulus memberikan ilmu, arahan, dan waktu di tengah kesibukannya untuk membimbing penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini. Ucapan terimakasih juga saya haturkan kepada dosen pembimbing akademik Drs. Azhar Saleh, M.A. selaku dosen pembimbing akademik yang telah mengizinkan penulis untuk mengajukan lingkup penelitian ini. Dan tidak lupa penulis haturkan terimakasih kepada dosen penguji Prof. Dr. Budi Sulistiono, M. Hum selaku penguji I, dan Drs. Abd. Wahid Hasyim, MA. Semoga Allah SWT memberikan ganjaran yang berlimpah.

Ciputat, Agustus 2018

Desi Fitria

ii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR ...... i

DAFTAR ISI ...... iii

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

A. Latar Belakang ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 8 C. Batasan Masalah ...... 8 D. Rumusan Masalah ...... 9 E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...... 9 F. Sistematika Penulisan ...... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA ...... 13

A. Landasan Teori ...... 13 B. Tinjauan Pustaka ...... 14 C. Metode Penelitian ...... 16 D. Kerangka Berpikir ...... 24

BAB III BIOGRAFI KH ABDUL WAHID HASYIM ...... 29

A. Riwayat Hidup KH Abdul Wahid Hasyim ...... 29 B. Pendidikan KH Abdul Wahid Hasyim ...... 35 C. Karya-karya KH Abdul Wahid Hasyim ...... 43 D. Pemikiran KH Abdul Wahid Hasyim ...... 51

iii

BAB IV POLITIK PEMERINTAHAN JEPANG DI INDONESIA ...... 59

A. Politik Pemerintahan Jepang di Indonesia ...... 59 B. Pembentukan BPUPKI, Panitia Sembilan, dan PPKI .... 67 C. Hubungan KH Abdul Wahid Hasyim dengan Jepang .... 73

BAB V KIPRAH KH ABDUL WAHID HASYIM DALAM PERUMUSAN PIAGAM JAKARTA ...... 79

A. Kiprah KH Abdul Wahid Hasyim dalam Perumusan Piagam Jakarta ...... 79 B. Respons KH Abdul Wahid Hasyim dan Kelompok Islam terhadap Penghapusan Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta ...... 89 C. Berdirinya Kementerian Agama sebagai Pengganti Dihapuskannya Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta ...... 99

BAB VI PENUTUP ...... 107

A. Kesimpulan ...... 107 B. Implikasi ...... 109 C. Saran ...... 109

DAFTAR PUSTAKA ...... 111

GLOSARIUM

LAMPIRAN

iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Begitu panjang masa penjajahan Belanda, berlanjut dengan masa penjajahan oleh bangsa Asia sendiri yakni bangsa Jepang. Tidak kalah hebat penderitaan yang dirasakan masyarakat pribumi saat itu, meskipun Jepang lebih singkat menduduki Indonesia terhitung dari 1942 sampai 1945 sekitar tiga setengah tahun, dibandingkan dengan kedudukan Belanda di Indonesia tiga setengah abad.1 Kedudukan para penjajah di Indonesia membuat luka mendalam pada rakyat, penderitaan, penindasan, kekejaman, dan kesewenang-wenangan menjadi kenangan pahit dan mempengaruhi seluruh penduduk untuk melawan fasisme Jepang.2 Rakyat dipekerjakan tanpa diberikan upah dan makanan, mereka kelaparan dan akhirnya meninggal dalam keadaan haus dan lapar, tubuh mereka kurus kering, sampai hanya terlihat kulit dan tulang saja. Kemudian tumbuhlah rasa nasionalisme setelah sekian lama terpuruk dengan penjajahan, terjadi peningkatan kesadaran politik, keinginan untuk merdeka semakin menggebu mengingat kesewenang-wenangan dan penindasan yang terjadi.3 Disusul

1Mayjen T. B. Simatupang, Pelopor dalam Perang Pelopor dalam Damai, (Jakarta: Sapdodadi NV, 1981), 59. 2D. Rini Yunarti, BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI, (Jakarta: Kompas, 2003), 55. 3Awalnya rakyat memang menyambut kedatangan Jepang, Jepang berhasil mengusir Belanda dalam waktu satu minggu. Wajarlah rakyat senang anmengagung-agungkan Jepang saat itu, namun lambat laun rakyat semakin

1 2

dengan lahir dan hadirnya tokoh-tokoh yang memberi semangat serta pola pikir masyarakat untuk menjunjung kemerdekaan. Terdapat beberapa golongan yang memperjuangkan kemerdekaan, dua di antaranya yakni nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Tidak hanya nasionalis sekuler, nasionalis Islam pun ikut berperan dalam cita-cita kemerdekaan. Sempat terjadi perdebatan dua kelompok mengenai dasar negara, bentuk negara Indonesia, dan kepala negara dalam sidang BPUPKI. Kita mengenalnya dengan dua kelompok terdiri dari nasionalis sekuler yang menginginkan negara berdasarkan kebangsaan dan nasionalis Islam yang mengajukan dasar negara berdasakan Islam,4 kedua kelompok inilah yang membentuk dan mempersiapkan kemerdekaan, bentuk negara, dan pemerintahan. Sehingga lahir sebuah preambule (pembukaan Undang-Undang Dasar) sering disebut-sebut sebagai Piagam Jakarta5 () yang disahkan pada 22 Juni 1945 oleh sembilan panitia atau Panitia Sembilan dan dibacakan dalam sidang BPUPKI pada 10 Juli 1945 oleh Soekarno. Panitia Sembilan terdiri dari Ir. , Moh. Hatta, Abikusno Tjakrasujoso, Abdul Ahmad

sadar bahwa Jepang hanya ingin memanfaatkan tenaga rakyat Indonesia untuk kepentingan perangnya melawan sekutu. Timbul kebencian terhadap Jepang sebagai reaksi dari tindakan-tindakan Jepang terhadap rakyat Indonesia, mulai dari pengurasan tenaga SDM maupun SDA. Lihat Mayjen T. B. Simatupang, Pelopor dalam Perang Pelopor dalam Damai, (Jakarta: Sapdodadi NV, 1981). 4Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, (Bandung: Perpustakaan Salman ITB, 1981), 3. 5Piagam Jakarta ini dianggap sebagai jalan tengah antara nasionalis Islam dan nasionalis sekuler, lihat Herry Mohammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, T.pn, t. th, 36.

3

Subardjo, Kahar Muzakir, Muhammad Yamin, KH Abdul Wahid Hasyim, H. , dan A. A Maramis.6 Terjadi perbedaan pendapat setelah hasil kompromi Panitia Sembilan dibacakan oleh Soekarno di hadapan sidang BPUPKI. Pada pertemuan 11 Juli 1945 mulailah pendapat satu sama lain saling bergesekan. Perdebatan tersebut mengenai dasar negara, bertitik pada usul sila pertama yang terdapat dalam Piagam Jakarta dengan penambahan kata, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (selanjutnya disebut tujuh kata kompromi), dengan alasan kelompok lain akan merasa di anak tirikan. KH Abdul Wahid Hasyim (selanjutnya disebut Wahid Hasyim) dan Kahar Muzakir, serta teman-teman yang lain dari golongan Islam, mengusulkan dasar negara adalah Islam. Pertimbangannya pada waktu itu, karena sebagian besar penduduk bangsa Indonesia (90%) beragama Islam.7 Usulan selanjutnya mengenai presiden dan wakil presiden haruslah beragama Islam di samping harus berkebangsaan Indonesia asli. Soekarno sebagai penengah berusaha mengingatkan dan menegaskan pada anggota sidang yang hadir, keputusan dan rancangan tersebut sudah menjadi kesepakatan bersama antara nasionalis sekuler dan nasionalis Islam yang terdiri dari berbagai

6Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2011), 209. 7Djauharuddin AR, Peranan Ummat Islam dalam Proses Pembentukan dan Pembangunan Negara Republik Indonesia yang Berdasarkan dan UUD 1945, (Bandung: Angkasa, 1985), 33. 4

golongan dan kepercayaan. Akhirnya rapat BPUPKI menghasilkan Piagam Jakarta.8 Piagam Jakarta salah satu tanda bahwa Islam pernah ikut berpolitik, meskipun kemudian gagal karena pendapat Wahid Hasyim dan tokoh Islam lainnya mengenai dasar negara ditolak dan dihilangkan dalam waktu relatif singkat. Padahal Wahid Hasyim telah berusaha keras mengusulkan dan mempertahankan agar unsur-unsur Islam dalam Piagam Jakarta tetap tercantum. Awalnya memang telah disepakati, namun sehari setelah proklamasi kemerdekaan tepatnya 18 Agustus 1945,9 tujuh kata kompromi tersebut dan unsur-unsur Islam lainnya yang terkandung dalam dasar negara dihapuskan, berikut judul “Mukaddimah” pada Piagam Jakarta diganti dengan “Pembukaan”.10 Pergolakan mengenai penghapusan Piagam Jakarta masih saja disebut-sebut hingga saat ini, masih ada golongan yang menginginkan Indonesia berdasarkan Islam, tidak sedikit pula masyarakat terpengaruh dengan adanya aliran tersebut, bahkan parahnya muncul bom-bom teroris di Indonesia. mereka inilah yang mengatasnamakan Tuhan lalu membinasakan umat yang berbeda keyakinan. Salah satu penyebab maraknya fundamentalisme ini akibat dari kegagalan negara dalam

8Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim, (Bandung: Mizan Pustaka, 2011), 208. 9Lihat Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007). Lihat juga Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna, (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 1999), 39. 10Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, 56. Lihat juga Djauharuddin AR, Peranan Ummat Islam dalam Proses Pembentukan dan Pembangunan Negara Republik Indonesia yang Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Vi.

5

mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan sosial yang merata. Padahal dilihat dari proses pembentukan dasar negara sudah disepakati bersama bahwa Indonesia adalah negara kebangsaan.11 Kembali pada pembentukan dasar negara, inilah salah satu peran Islam selain dalam memperjuangkan kemerdekaan pada masa pergerakan nasional juga berperan aktif dalam rancangan Piagam Jakarta. Salah satu tokoh Islam yang berperan dalam pergerakan nasional dan dalam perumusan Piagam Jakarta yakni Wahid Hasyim,12 dialah yang mengusulkan penambahan tujuh kata kompromi, kepala negara, dan bentuk negara haruslah berdasarkan Islam. Sebelumnya, berbagai usaha dan gerakan telah ia lakukan, khususnya pada masa pergerakan. Perjuangan baik oleh tokoh-tokoh pribumi maupun oleh masyarakat sendiri ternyata mampu mengantar pada kemerdekaan. Memang pada masa pendudukan Jepang di Indonesia tokoh-tokoh Islam mulai mendapat ruang dalam pemerintah, sehingga kemudian Wahid Hasyim dapat ikut berkecimpung di dalamnya, berbagai organisasi dan partai politik digunakan untuk mewujudkan kemerdekaan oleh tokoh-tokoh Islam begitupun kedudukan- kedudukan Wahid Hasyim dalam pemerintahan ia gunakan untuk mempersiapkan kemerdekaan.13

11Abdurrahman Wahid, Ed., Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: , 2009), 8-10. 12Wahid Hasyim aktif di berbagai organisasi pada masa pendudukan Jepang seperti MIAI, Masyumi, BPUPKI, PPKI. Kedudukan tersebut ia manfaatkan untuk mencari celah menuju kemerdekaan. 13Ahdi Makmur, Relasi Ulama Umara: Profil Historis Perilaku Politik Ulama NU di Indonesia Era Presiden Soekarno (1959-1963), (Yogyakarta: IAIN Antasari Press), 26. 6

Dia tampil menjadi tokoh nasional yang turut berjasa besar dalam melahirkan negara Indonesia merdeka berdasarkan Pancasila.14 Hal ini tak luput dari kepiawaiannya dalam berorganisasi, salah satu organisasi yang ia geluti yakni Nahdatul Ulama (NU).15 Sekitar tahun 1938 ia memang sudah mulai aktif dalam keorganisasian NU.16 Lalu aktivitas Wahid Hasyim terus berlanjut pada masa pendudukan Jepang. Pada masa itu Wahid Hasyim tercatat pernah menduduki jabatan-jabatan penting dalam Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Shumubu (Kantor Urusan Agama Pusat).17 Jepang membentuk Shumubu untuk menggalang dukungan dari para kiyai.18 MIAI dan Masyumi merupakan lembaga yang didirikan oleh pemerintahan Jepang untuk mengontrol kegiatan politik para ulama Indonesia, namun kemudian lebih ditekankan untuk kepentingan Indonesia oleh tokoh-tokoh bangsa. Dari uraian di atas kita dapat melihat cukup besar sumbangsih Wahid Hasyim, tokoh yang menjunjung tinggi nilai

14Azyumardi Azra, Saiful Umam, Ed., Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik, (Jakarta: PPIM, 1998), 84. 15Alasan Wahid Hasyim memilih NU telah disarikan dalam tulisannya berjudul “Mengapa Saya Memilih Nahdatul Ulama?” di majalah Gema Muslimin eidisi November 1953. Tulisan itu merupakan penjelasan mengapa ia memilih Nahdatul Ulama pada tahun 1938. Ia perlu menulis artikel itu karena pada waktu itu banyak partai dan organisasi yang berlomba mencari pengikut. Lihat seri buku saku Tempo Tokoh Islam di awal kemerdekaan, Wahid Hasyim untuk Repulik dari Tebuireng. 16Mohammad Rifai, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, (Jogjakarta: Garasi, 2009), 60. 17Ali Yahya, Sama tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar K.H. A. Wahid Hasyim, (Jombang: Yayasan K.H.A. Wahid Hasyim, 2007), 20. 18Hal ini karena Jepang mengetahui rakyat Indonesia sangat mempercayai tokoh ulama, sehingga Jepang menggunakan politik mendekati tokoh-tokoh ulama dan menjalin hubungan sampai dengan melibatkan tokoh ulama dalam pemerintahan, agar masyarakat ikut mempercayai Jepang.

7

Islam dan berusaha menuangkan serta menerapkannya dalam dasar negara, meskipun pada akhirnya pemikiran-pemikiran Wahid Hasyim dan tokoh-tokoh Islam19 mengenai dasar negara dihapuskan demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Hal ini merupakan suatu tonggak sejarah konsensus nasional tokoh nasionalis Islam.20 Jauh sebelumnya Wahid Hasyim telah berusaha masuk dalam pemerintahan untuk mengambil celah dengan cara mengusulkan berbagai pendapat pada Jepang tak lain untuk kepentingan Indonesia sendiri, salah satunya permintaan untuk didirikannya Hizbullah21 saat ia masih menjabat sebagai ketua dewan Masyumi. Kiprahnya tidak berhenti hanya pada masa pergerakan, setelah kemerdekaan ia di angkat sebagai Menteri Agama, Kementerian Agama antara lain sebagai pengganti dihapuskannya tujuh kata kompromi. Inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menulis kiprah Wahid Hasyim dalam perumusan Piagam Jakarta, lalu mencoba mengungkapkan respons Wahid Hasyim dan tokoh Islam lainnya terhadap penghapusan tujuh kata kompromi tersebut, meski penulis sadari cukup minim sumber mengenai respons tersebut. Oleh karenanya penulis memutuskan untuk mengkaji dan menjadikan ini sebagai objek kajian skripsi dengan judul “Kiprah KH Abdul Wahid Hasyim dalam Perumusan Piagam Jakarta Tahun 1945.”

19Kahar Muzakir, Agus Salim, KH Mansur, dll. 20Djauharuddin AR, Peranan Ummat Islam dalam Proses Pembentukan dan Pembangunan Negara Republik Indonesia yang Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Vi. 21Semacam pelatihan kemiliteran yang diberikan pada pemuda. 8

B. Idenftifikasi Masalah Dari latar belakang masalah di atas penulis mengidentifikasi tiga permasalahan yang perlu diungkapkan. Pertama, siapakah tokoh Wahid Hasyim sebagai tokoh nasionalis Islam yang ikut menyumbangkan pemikirannya dalam perumusan Piagam Jakarta. Kedua, peta politik menjelang kemerdekaan meliputi politik pemerintahan Jepang dan pembentukan BPUPKI, Panitia Sembilan, dan PPKI. Ketiga, peranan Wahid Hasyim dalam merumuskan Piagam Jakarta dan respons Wahid Hasyim mengenai penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Sehingga perlu mengkaji peristiwa pembentukan Piagam Jakarta, agar dapat melihat sisi di mana Islam juga berperan dalam nasionalisme, dan dasar negara sudah disepakati oleh kedua belah pihak yakni nasionalis Islam dan nasionalis sekuler.

C. Batasan Masalah Dikarenakan pembahasan mengenai Wahid Hasyim sangatlah luas, karena kiprahnya tidak hanya di bidang politik namun juga di bidang pendidikan. Oleh karena itu, penulis berusaha membatasi permasalahan ini pada kiprah Wahid Hasyim pada masa perjuangan kemerdekaan sebagai salah satu anggota BPUPKI, Panitia Sembilan, dan PPKI dalam rancangan Piagam Jakarta dan responsnya terhadap penghapusan tujuh kata kompromi dalam Piagam Jakarta.

9

D. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang penulis paparkan di atas dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Biografi KH Abdul Wahid Hasyim? 2. Bagaimana politik pemerintahan Jepang dan pembentukan BPUPKI, Panitia Sembilan, PPKI? 3. Bagaimana perjuangan KH Abdul Wahid Hasyim dalam merumuskan Piagam Jakarta dan responsnya terhadap penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis ialah: 1. Untuk mengetahui biografi KH Abdul Wahid Hasyim di samping untuk mengambil pelajaran hidupnya yang diakui telah berkontribusi dalam persiapan kemerdekaan dan rancangan pembentukan pembukaan dasar negara (Piagam Jakarta). 2. Untuk mengetahui peta politik pemerintahan Jepang serta pembentukan BPUPKI, Panitia Sembilan, dan PPKI. 3. Untuk mengetahui perjuangan KH Abdul Wahid Hasyim dalam merumuskan Piagam Jakarta dan responsnya terhadap penghapusan tujuh kata kompromi dalam Piagam Jakarta?

Diharapkan karya tulis ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut: pertama, agar dapat memberikan wawasan kepada mahasiswa ataupun masyarakat umum tentang kiprah 10

KH Abdul Wahid Hasyim sebagai salah satu tokoh Islam dalam perumusan Piagam Jakarta. Kedua, dapat dijadikan bahan kajian dan memperkaya khazanah pengetahuan tokoh- tokoh Nasionalis Islam dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan mendirikan negara Indonesia.

F. Sistematika Penulisan Untuk menjaga terfokusnya penelitian ini, diperlukan suatu sistematika agar tidak terjadi kerancuan dalam penguraiannya. Karenanya penulis membaginya menjadi enam bab. Adapun sistematika penulisan adalah sebagai berikut: Bab pertama, pendahuluan, dalam bab ini penulis akan menguraikan latar belakang, permasalahan yang akan dijawab, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan kegunaan penelitian, berikutnya sebagai pedoman dan arahan yang akan menjadi parameter dan sekaligus acuan dalam penelitian ini diperlukan satu tinjauan metodelogis penelitian dan pendekatan, terakhir sistematika penulisan. Bab kedua, dalam bab ini diuraikan landasan teori, kajian pustaka, dan kerangka berpikir. Bab ketiga, diuraikan biografi KH Abdul Wahid Hasyim, mulai dari riwayat hidup karya-karya sampai dengan pemikirannya. Bab keempat, dalam bab ini penulis mendeskripsikan politik pemerintahan Jepang di Indonesia dan pembentukan BPUPKI sampai PPKI.

11

Bab lima, bab ini penulis mendeskripsikan kiprah KH Abdul Wahid Hasyim dalam perancangan pembukaan Undang- Undang Dasar (Piagam Jakarta) serta responsnya terhadap penghapusan tujuh kata kompromi. Bab enam, bab ini merupakan penutup proposal yang mencakup kesimpulan, implikasi dan saran sebagai jawaban eksplisit atas apa yang dipersoalkan dalam rumusan.

12

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori Dalam studi ini peranan sebagai kunci dalam penulisan skripsi ini. Dengan demikian penulis menggunakan teori peran sebagai landasan kerangka teori. Gross, Masson dan McEachern mendefinisikan peranan sebagai harapan-harapan yang dikenakan pada individu-individu yang menempati suatu kedudukan sosial.22 Kadang para sosiolog menggambarkan peranan-peranan dalam arti apa yang diharapakan dan dituntut oleh masyarakat.23 Dalam buku Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi karya David Berry menjelaskan, manusia di dalam masyarakat diungkapkan dalam konsep peranan. Bagi para sosiolog manusia dilihat dari peranan-peranan sosial. Di mana seseorang dapat dikatakan berperan jika ia menjalankan statusnya, sehingga ia memberi manfaat dan bermanfaat untuk orang lain.24 Misalnya peranan seseorang sebagai pemimpin masyarakat, usahawan, suami, ayah, pemain golf, dsb. Petter Burke pun mengungkapkan bahwa teori peranan ialah pola-pola atau norma-norma yang diharapkan pada orang yang menduduki suatu posisi tertentu dalam struktur sosial.25

22David Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, (Jakarta: Rajawali Pers, 1983), 99. Lihat juga Imam Subchi, Pengantar Antropologi, 175-178. 23David Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, 100. 24Status menurut Ralph Linton ialah acollection of right and duties kumpulan suatu hak dan kewajiban. Lihat Imam Subchi, Pengantar Antropologi, 176. 25Petter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, (Jakarta: Obor, 2015), cet. 2, 68. Baca juga Imam Subchi, Pengantar Antropologi, ciri dasar struktur sosial

13 14

B. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka diperlukan untuk menyusun peta konsep dan landasan bagi peneliti. Melalui tinjauan pustaka peneliti dapat mengumpulkan beberapa buku acuan dan teori yang akan digunakan dalam pembahasan nantinya. Karya-karya yang membahas tokoh KH Abdul Wahid Hasyim sudah mulai banyak ditulis dalam bentuk skripsi maupun buku. Tapi karya tulis tentang perjuangan KH Abdul Wahid Hasyim dalam konstitusi Piagam Jakarta, apalagi skripsi mengenai respons KH Abdul Wahid Hasyim terhadap penghapusan tujuh kata dalam Undang-undang Dasar belumlah penulis jumpai. Beberapa hasil penelitian dan buku-buku yang berkaitan dengan studi ini di antaranya: 1. Buku Wahid Hasjim untuk Republik dari Tebuireng, membahas tentang Wahid Hasyim selama menimba ilmu, hubungannya dengan Jepang, dan kiprahnya dalam bidang pendidikan. Sejarah mengenai biografi KH Abdul Wahid Hasyim yang terlengkap ditulis oleh Aboebakar berjudul Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim. Buku ini memberikan gambaran mulai dari masa kecil Wahid Hasyim, keorganisasiannya, kiprah dalam bidang politik, sampai dengan kiprahnya sebagai Menteri Agama RIS. Dengan melihat paparan karya ilmiah di atas, penulis meyakini bahwa titik urgen dari penelitian ini terletak pada peranan Wahid Hasyim dalam konstitusi dasar negara dan ada yang

ialah bahwa suatu status tidak hanya melibatkan satu peranan terkait akan tetapi sejumlah peranan terkait.

15

belum dibahas mengenai respons Wahid Hasyim mengenai penghilangan tujuh kata kompromi dalam Piagam Jakarta.

2. Wahid Hasyim; Biografi Singkat 1914-1953 buku ini ditulis oleh Mohammad Rifai, terbit pada 2009 oleh penerbit GARASI. Buku ini memaparkan perjuangan Wahid Hasyim dan pemikiran-pemikirannya dalam agama, politik, pergerakan, sampai pada pemikirannya dalam pembaharuan pendidikan. Dengan adanya buku ini penulis dapat terbantu dalam pencarian sumber perjuangan Wahid Hasyim dalam konstitusi Piagam Jakarta.

3. KH A. Wahid Hasyim; Peletak Dasar , karya Miftahuddin. Mendeskripsikan jejak perjuangan Wahid Hasyim dari pra kemerdekaan, keterlibatannya dalam keorganisasian dari berbagai oraganisasi seperti NU, MIAI, Masyumi, dll. Jejaknya tak terhenti sampai kemerdekaan, ia juga memberikan perubahan-perubahan mengenai perjalanan haji dan pendidikan selama menjadi Menteri Agama.

4. Tulisan Riky Haryanto (Fakultas Ushuluddin dan Filsafat) yang membahas perjuangan dan pemikiran Wahid Hasyim. Hal yang membedakan antara skripsi karya Riky Haryanto dengan skripsi yang saya tulis antara lain ia lebih membahas mengenai perjuangan dan pemikiran Wahid Hasyim. Kajian tersebut berusaha melihat pemikiran-pemikiran Wahid Hasyim dalam pendidikan, agama, dan politik, serta kiprahya 16

menjelang kemerdekaan. Sementara saya lebih memaparkan kiprahnya dalam perumusan dasar negara pra-kemerdekaan dan responsnya terhadap penghapusan kalimat-kalimat yang mencerminkan Islam dalam Undang-undang Dasar, serta pengaruh Wahid Hasyim dalam Kementerian Agama pasca kemerdekaan. Sehingga adanya skripsi ini sebagai penerus atau pelengkap skripsi yang sebelumnya sudah ada, dengan fokus pada perjuangan Wahid Hasyim dalam konstitusi pembentukan Dasar Negara (perumusan Piagam Jakarta).

5. Pemikiran KH Wahid Hasjim Tentang Pembaharuan Islam Karya Safiq Ahmad Mughni, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Jakarta diterbitkan pada tahun 1434 H / 2013 M. Dalam skripsi ini lebih membahas pada pemikiran Wahid Hasyim dalam pembaharuan pendidikan Islam, sementara yang ingin penulis angkat ialah bagaimana peranan Wahid Hasyim dalam rancangan Piagam Jakarta dan responsnya saat penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, serta kebijakan-kebijakannya dalam Kementerian Agama di mana Kementerian Agama itu sendiri sebagai pengganti yang diberikan pemerintah atas kegagalan politik umat Islam.

C. Metode Penelitian 1. Pendekatan Adapun pendekatan yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah pendekatan sejarah, dan

17

politik. Pendekatan sejarah mempunyai pemaparan (description) dan penjelasan (explanation), pendekatan sejarah juga suatu proses menguji dan menganalisis secara kritis peninggalan yang sudah ada.26 Kemudian ilmu sosial memperhatikan secara mendasar kejadian-kejadian sosial dengan mendasarkan pada data-data seperti sejarah untuk informasinya.27 Sementara itu pendekatan politik selalu berkaitan dengan pemerintahan, kekuasaan, konflik, partai politik, atau upaya-upaya yang ditempuh perseorangan maupun kelompok untuk memperjuangkan kepentingan warga negara. Ada beberapa pandangan mengenai politik, di antaranya politik sebagai usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai kegiatan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka sumber daya ekonomi dan kualitas kehidupan beragama.28 Kajian penelitian ini menekankan kepada sejarah biografi, di mana fokus utama dari penulisan sejarah biografi ini adalah menguraikan jalan hidup seseorang dalam

26Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1985), 39. 27Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 144-145. 28Imam Suprayogo, dan Politik: Membaca Citra Politik Kyai, (Malang: UIN Malang Press, 2009), 44. 18

hubungannya dengan lingkungan sosial-historis yang mengitarinya. Bagaimana seorang tokoh tersebut mengatasi berbagai hambatan, apa yang dicita-citakan, apa yang dilakukan dan bagaimana dia melakukannya serta sampai di mana sukses yang bisa dicapai bagi dirinya dan perjuangannya untuk kepentingan ummat.

2. Metode Pengumpulan Data. Dalam penelitian perlu adanya metode atau jalan. Metodologi berasal dari bahasa Yunani metodos, terdiri atas dua suku kata, yaitu metha berarti melalui atau melewati dan hodos yang berarti jalan atau cara. Jadi metodologi adalah ilmu atau kajian yang membahas kerangka pemikiran (frameworks) tentang konsep-konsep, cara atau prosedur, yang maksudnya untuk menganalisis tentang prinsip atau prosedur yang akan menuntun, mengarahkan dalam penyelidikan serta penyusunan suatu bidang ilmu. Dengan demikian metodologi atau science of methods adalah ilmu yang membicarakan tentang cara.29 Metode penelitian ini menggunakan library research (studi pustaka) dan metode kualitatif dengan mengacu kepada buku panduan penulisan karya ilmiah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, menurut Bogdan dan Taylor metode kualitatif itu sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tulisan atau lisan dari orang-orang

29Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah: Teori, Metode, Contoh Aplikasi, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), 73.

19

dan perilaku yang dapat diamati. Kemudian Kirk dan Miller juga mengatakan bahwa metode kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang- orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.30 Kemudian penelitian ini menggunakan beberapa langkah metode penelitian sejarah yang terdiri dari kegiatan heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.

3. Heuristik Kegiatan menggali sumber untuk mendapatkan data- data atau materi sejarah, atau evidensi sejarah.31 Sumber- sumber sejarah terdiri dari sumber pimer dan sumber sekunder. Sumber primer dalam penulisan ini sendiri penulis menggunakan tulisan-tulisan Wahid Hasyim, naskah Yamin, dan tulisan Hatta yang telah penulis lampirkan dalam lampiran, adapun sumber sekunder penulis temukan baik di Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta maupun di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jl. Merdeka Selatan, Perpustakaan Nasional Salemba, Perpustakaan PBNU, Perpustakaan MPR, Arsip Nasional Republik Indonesia, RRI, buku milik pribadi penulis, buku milik

30Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1993), 3. 31Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah: Teori, Metode, Contoh Aplikasi, 93. 20

koleksi dosen FAH, Imam Subchi, M.A, buku milik pribadi teman SPI, penulis juga mendownload artikel dari internet baik dari J-Store maupun Google Cendikia.

4. Kritik Sumber Kritik Sumber dilakukan setelah sumber sejarah terkumpul. Kritik sumber dalam penelitian sejarah merupakan salah satu tahapan yang terpenting dan pokok.32 Secara teoritis, kritik sumber dibedakan menjadi dua macam: kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal, dimaksudkan untuk menguji dan mengungkap keabsahan tentang otentisitas (keaslian) suatu sumber baik berbentuk fisik maupun non fisik. Sedangkan kritik internal dimaksudkan untuk menguji sekaligus mengungkap keabsahan atau kebenaran suatu sumber.33 Dalam penelitian penulis mengunjungi beberapa tempat untuk memperoleh sumber. Di antaranya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jl. Medan Merdeka Selatan No. 11, Gambir, Senen, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, 10110, penulis menemukan buku-buku dan beberapa sumber primer seperti tulisan-tulisan Wahid Hasyim dalam majalah Mimbar Agama yang berjudul Tidak Mudah Memenuhi Tuntutan Otak yaitu dengan Meninggalkan Hawa Nafsu dan Menjalani Kebenaran, Kebangkitan Dunia Islam, Kedudukan Ulama’

32Basri, Metodologi Penelitian Sejarah (Pendekatan, Teori dan Praktik), (Jakarta: Restu Agung, 2006), 68. 33Basri, Metodologi Penelitian Sejarah (Pendekatan, Teori dan Praktik), 69.

21

dan Masyarakat Islam di Indonesia, Pendidikan Ketuhanan, Sekitar Pembentukan Kementrian Agama RIS, Perbaikan Perjalanan Haji. Di sini penulis terbantu dengan melihat apa yang terjadi dan ditulis Wahid Hasyim pada masanya. Kemudian tulisan , Kementrian Agama Supaya Ditinjau Kembali, di sini penulis mendapatkan tambahan informasi mengenai berdirinya Kementrian Agama yang digubris dan tidak disetujui oleh nonmuslim. Penulis juga menemukan rekaman wawancara Sarman Sulaiman dengan yang menceritakan soal pengetikan naskah proklamasi. Tulisan Mas’uddin Noor, Almarhum K.H.A. Wahid Hasjim” dalam tulisan ini penulis membandingkan informasi di buku tentang kematian Wahid Hasyim, penulis mendapatkan informasi mengenai kronologi kematian Wahid Hasyim. Sementara itu penulis mendapatkan koran sebagai sumber primer tambahan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia lama di Jl. Salemba Raya, No. 28A, Senen, Jakarta Pusat, DKI Jakarta di antaranya ialah koran Tjahaja, “Pembubaran MIAI” penulis mendapatkan informasi pembubaran MIAI sebagai kritik dari buku yang menyatakan pembubaran MIAI, sehingga dengan adanya koran ini penulis mengetahui pasti kapan MIAI dibubarkan. Soerara Asia, “Samboetan Para Terkemuka atas Pembentoekan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia” penulis menemukan informasi terkait semangat tokoh-tokoh 22

Indonesia menyongsong kemerdekaan termasuk di dalamnya pidato Wahid Hasyim. Arsip poto Wahid Hasyim di Arsip Nasional Republik Indonesia di Jl. Ampera Raya No. 7, RT.3/RW.4, Cilandak Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, 12560, penulis jadikan sebagai lampiran foto. Selain itu penulis juga menemukan naskah Yamin yang menggambarkan rapat selama pembentukan tata negara, penulis juga menemukan naskah Piagam Jakarta dalam naskah Yamin. Selain arsip, koran, dan majalah penulis juga menggunakan jurnal sebagai salah satu sumber karya ilmiah ini, Jurnal Review Politik: Kajian Islam dan Politik berjudul “Potret Pastisipasi NU di Indonesia dalam Lintasan Sejarah” penulis mendapat informasi organisasi politik pada masanya dalam perjuangan kemerdekaan, jurnali ini terdapat di Lt. 6 Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beralamat di Ciputat, Tangerang Selatan. Jurnal di Jstore ditulis oleh RE Elson berjudul “Another Look at Jakarta Charter Controvercy of 1945” penulis mendapat informasi mengenai kontroversi golongan Islam dengan golongan sekuler mengenai dasar negara. Penulis juga ke beberapa perpustakaan yang berada di daerah sekitar penulis maupun daerah Jakarta seperti Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Jl. Medan Merdeka Selatan No. 11, Gambir, Senen, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, 10110, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Jl. Ir. H. Djuanda No. 95, Cempaka Putih, Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten, 15412,

23

Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora di Jl. Tarumanegara No. 17B, Pisangan, Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Banten 15419, Perpustakaan Universitas Indonesia di Gedung Crystal of Knowledge Kampus UI, Pondok Cina, Beji, Kota Depok, Jawa Barat 16424, Perpustakaan PBNU di Jl. Kramat Raya No. 164, RT.7/RW.2, Kenari, Senen, Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10430, penulis menemukan majalah Soeara NU dan Berita Nahdatoel Oelama, Perpustakaan MPR di Jl. Gatot Subroto No.6, Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta, untuk lebih lengkap dan jelas buku-buku yang penulis kumpulkan dapat dilihat di daftar pustaka yang telah penulis cantumkan, dan buku pribadi milik teman dan dosen FAH, Drs. Imam Subchi, MA berjudul Ilusi Ngara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, editor KH. , di sini penulis mendapat tambahan pengetahuan semakin pentingnya membahas skripsi mengenai dasar negara ini mengingat banyaknya para teroris yang tak bertanggung jawab. Kemudian buku Aguk Irawan, Penakluk Badai: Novel Biografi KH Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: Qalam Nusantara, 2016, cet. IV dan Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, Jogjakarta: Garasi, 2009. Di sini penulis mendapatkan informasi mengenai keluarga Wahid Hasyim dan karya-karya Wahid Hasyim.

24

5. Interpretasi Interpretasi menguraikan fakta-fakta sejarah dan kepentingan topik sejarah. Tidak ada masa lalu dalam konteks sejarah yang aktual karena yang ada hanyalah interpretasi historis. Interpretasi disebut juga sebagai penafsiran, tidak ada interpretasi yang bersifat final, sehingga setiap generasi berhak menerangkan interpretasinya sendiri.34 Sehingga sejarawan yang jujur akan mencantumkan data yang ia peroleh.35 Tujuan kaum interpretivis sendiri yakni mempelajari dan meneliti proses di mana orang memberi makna kepada dunia dan prilaku di dalamnya.36

6. Historiografi Langkah terakhir yakni historiografi, merupakan fase terakhir dalam metode sejarah yang meliputi cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penilitian sejarah yang telah dilakukan. Pada fase ini aspek kronologi sangat diperlukan karena ini merupakan penulisan sejarah.37

D. Kerangka Berpikir Dalam sebuah penyusunan sebuah Dasar Negara perlu adanya musyawarah dan kemufakatan bersama. Sehingga tidak terjadi pergesekan antar kelompok.

34Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah, 107. 35Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), 78. 36Lihat Imam Subchi, Pengantar Antropologi, 291-293. 37Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, 80-81.

25

Perancangan Dasar Negara ini membawa berbagai kalangan baik nasionalis sekuler maupun nasionalis Islam kepada permasalahan yang meruncing. Panjangnya proses perumusan Dasar Negara, sampai-sampai terjadi beberapa kali konstitusi. Bagaimana membuat suatu Undang-undang yang akan dijadikan Dasar Negara, mencakup kebutuhan beragam suku di Indonesia, dengan tujuan kesetaraan meski berbeda suku dan bahasa, tidak ada kecemburuan sosial. Sempat terjadi perbedaan pendapat antara nasionalis sekuler dan nasionalis Islam mengenai preambule (pembukaan Undang-Undang Dasar 1945), atau sering juga disebut Piagam Jakarta. Terjadi reses “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, kalimat terebut dianggap diskriminasi karena hanya mencakup umat Islam saja, tanpa penganut agama umat lain. Kemudian kalimat tersebut dihapus sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya 18 Agustus 1945. Wahid Hasyim sebagai tokoh Islam yang memberikan usul kalimat tersebut masih dipertanyakan apa benar menyetujui dihapuskannya tujuh kata tersebut ketika Mohammad Hatta mengajak nasionalis Islam untuk merundingkan kembali demi persatuan Indonesia. Pendekatan yang digunakan yakni sejarah, sosiologis, dan politik. Ditulis secara deskriptif berdasarkan periodesasi waktu, menyangkut kepentingan bersama dan lingkungan masyarakat sehingga menggunakan teori sosiologis, serta perlunya pendekatan politik karena membahas perdebatan 26

tujuh kata tetap dipertahankan atau dihapuskan. Teori yang digunakan yakni rule (peran) menempatkan peranan seorang tokoh yang berpengaruh untuk masyarakat sekitar, di mana masyarakat berharap perannya dapat berhasil merealisasikan keperluan yang diharapkan masyarakat.

27

KH Abdul Wahid Hasyim

Teori Peranan

Pendekatan

Sosiologis Sejarah Politik

Peran KH Abdul Wahid Hasy im dalam Perumusan

Hubungan Politik Wahid Hasyim pemerintahan dengan Jepang Jepang

Konstitusi Rancangan Pembukaan Dasar Negara

Respons KH Perdebatan Abdul Wahid Penghapusan 7 Nasionalis Hasyim terhadap Kata dalam Sekuler dan Penghapusan 7 Piagam Jakarta Nasionalis kata Islam

Effect Penghapusan 7 Kata dalam

Piagam Jakarta

28

BAB III BIOGRAFI KH ABDUL WAHID HASYIM

A. Riwayat Hidup KH Abdul Wahid Hasyim Wahid Hasyim ialah putra kelima dari pasangan KH Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah binti kiai Ilyas (selanjutnya disebut Nafiqah), Wahid Hasyim lahir pada Jumat, 1 Juni 1914 M/ 5 Rabi’ul Al-Awwal 1333 H di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Nama aslinya adalah Abdul Wahid, tetapi ketika dewasa ia sering menulis namanya dengan A. Wahid dan ditambah nama ayahnya di belakangnya, sehingga menjadi A. Wahid Hasyim dan kemudian ia lebih dikenal dengan Abdul Wahid Hasyim,38 tapi biasanya Nafiqah selalu memanggil Abdul Wahid kecil dengan sebutan “Mudin.”39 Berikut silsilah keluarga KH Abdul Wahid Hasyim:

KH Hasyim Nyai KH Bisri Nyai Asy’Ari Nafiqah Syamsuri Khadijah

KH Abdul Solichah Wahid Hasyim

Abdurrahman Aisyah Umar Shalahudin Khadijah Hasyim Wahid Al-Ayubbi Wahid

38Azyumardi Azra, Saiful Umam, Ed., Menteri-Menteri Agama RI:Biografi Sosial-Politik, 99. 39Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, (Bandung: Marja, 2017), 25.

29 30

Kembali membahas masa kecil Wahid Hasyim, ketika ia masih berada dalam kandungan, Nafiqah merasa khawatir karena kehamilan kali ini berbeda dengan kondisinya saat hamil anak-anak sebelumnya, saat mengandung Wahid Hasyim ia merasa sangat kelelahan dan lemas. Ia menceritakan hal ini pada suaminya (KH Hasyim Asy’ari), kemudian Hasyim Asy’ari pun menenangkan Nafiqah, bahwasanya anak adalah rahasia Allah.40 Selama hamil ia selalu merasa lemas dan sakit-sakitan, seolah tidak kuat menahan kehamilan. Suatu saat ia berdoa agar diberikan kesehatan untuk dirinya dan anak yang dikandung, lalu ia bernazar. Bila nanti anak ini lahir dalam keadaan sehat wal afiat, ia akan membawanya menghadap guru ayahnya di Bangkalan, Madura, yaitu KH Kholil.41 Kembali pada kehamilan ibu Wahid Hasyim, kondisi kehamilan Nafiqah semakin hari semakin membaik. Kemudian lahirlah Wahid Hasyim.42

40Aguk Irawan, All rights reserved, Sang Mujtahid Islam Nusantara, (Jakarta: Imania, 2016), 28. 41Berdasarkan penelitian Zamakhsyari Dhofier KH Cholil Bangkalan merupakan salah seorang dari enam tokoh ternama yang sangat menentukan warna jaringan intelektual di Indonesia. Enam tokoh yang dimaksud yakni Kiai Cholil (Bangkalan), Syaikh Ahmad Khatib (Minangkabau), Syaikh Nawawi al-Jawi (Banten), Syaikh KH Mahfuz at-Tarmisi (Termas), Syaikh KH Abdul Karim (Banten), Syaikh KH Hasyim Asy’ari (Jombang). Banyak pengasuh pesantren baik dari madura maupun Jawa Timur yang menyebut Kiai Cholil sebagai leluhur intelektual dan spiritual mereka, hampir semua kiai besar di tanah Jawa pernah berguru kepada Kiai Kholil, demikian itu karena guru dari guru-guru mereka pernah nyantri di pesantren yang diasuh olek Kiai Cholil. Begitu pula para tokoh pendiri NU yang terkemuka seperti KH Hasyim asy’ari dan KH Wahab Chasbullah juga pernah nyantri kepada kiai Cholil. Lihat. Mokh. Syaiful Bakhri, Syaichona Cholil Bangkalan: Ulama Legendaris dari Madura, (Sidogiri Kraton Pasuruan: Cipta Pusaka Utama, 2009), 21-22. 42Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim, 158. Mengenai nama Asy’ari ada juga yang berpendapat diambil dari nama kakeknya.

31

Sesuai dengan nazarnya dulu, ketika merasa kesehatannya sudah pulih dan bayi Mudin43 sudah cukup kuat, Nafiqah pergi ke Madura untuk menghadap guru KH Hasyim Asy’Ari yakni Kiai Kholil. Saat itu, usia Wahid Hasyim sekitar tiga bulan. Dari Jombang, Nafiqah tidak sendirian ia ditemani oleh Mbah Abu pergi menuju Surabaya menggunakan kereta api. Setelah Nafiqah sampai di Surabaya,44 Nafiqah dan Mbah Abu meneruskan perjalanan ke pelabuhan untuk naik kapal yang akan menyeberangkan mereka ke Pulau Madura. Sesampainya di Pelabuhan Madura, mereka melanjutkan perjalanan dengan andong menuju Desa Kademangan rumah Kiai Kholil. Turun dari andong45, kedua perempuan itu masih harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Nafiqah sudah kepayahan karena harus terus menggendong bayinya. Ketika sampai di tempat yang dituju, hari sudah malam dan hujan deras turun mengguyur Desa Kademangan. Kiai Kholil yang sangat masyhur ternyata tinggal di pondok yang sangat sederhana dikelilingi pekarangan yang sekaligus menjadi dinding rumah. Pondok itu sepi dan gelap, tidak tampak ada penghuninya. Sudah beberapa kali Nafiqah memanggil dan mengucapkan salam, namun belum ada jawaban dari pemilik rumah. Dalam bahasa Madura, Nafiqah kembali memanggil, “Pangapora,

43Nama panggilan Wahid Hasyim saat masih kecil. 44Untuk lebih detail cerita tentang Nafiqah menuju Bangkalan dapat dilihat dalam buku Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 26. 45Kereta kuda sebagai kendaraan. 32

Non.”46 Dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya, “Permisi, Tuan.” Setelah sekian lama menunggu, akhirnya muncul juga tuan rumah. Kiai Kholil lalu berkata, “Kalian tidak aku izinkan masuk ke rumah, tetapi aku juga tidak mengizinkan kalian untuk pergi dari situ, sampai ada perintah dariku.” 47 Karena patuh pada sang guru, kedua perempuan itu tak berani bergeser ke mana-mana hingga badannya basah kuyup. Saat itu hujan memang turun sangat deras, diiringi petir yang terus menyambar-nyambar. Karena kasihan dengan bayinya, Nafiqah memberanikan diri meletakkan bayinya di beranda rumah Kiai Kholil. Namun tidak lama kemudian, Kiai Kholil keluar dari pondok lagi. Kiai Kholil mengatakan ia tidak mengizinkan bayi itu ditaruh di bawah lindungan atap rumah, dan harus dibawa lagi ke tengah halaman di tengah hujan lebat. Nafiqah tidak membantah sedikit pun. Ia menurut, bersegeralah Nafiqah mengambil bayinya kembali.48 Akhirnya, Kiai Kholil minta kepada Nafiqah agar meninggalkan tempat itu. Maka tidak ada pilihan lain, Nafiqah pun pulang ke Jombang dengan banyak tanda tanya yang tidak terjawab saat itu, mengapa Kiai Kholil berbuat seperti itu. Tidak mengizinkan mereka masuk ke rumah meskipun sedang membawa bayi yang baru berusia tiga bulan dan hujan sedang turun lebat, namun tidak pula mengizinkan mereka untuk pulang. Rupanya, kejadian luar

46Ucapan permisi dalam bahasa Jawa. 47Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 27. 48Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 27-28.

33

biasa itu menjadi sebuah pertanda bahwa kelak Wahid Hasyim akan menjadi orang besar.49 Sebagaimana lahirnya tokoh-tokoh besar di dunia ini, kelahiran mereka selalu dipenuhi tanda-tanda, entah itu sebuah peristiwa besar yang membarenginya, entah itu hari lahirnya adalah hari sakral dan lain sebagainya. Seperti halnya kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dibarengi dengan peristiwa Pasukan Gajah yang mati karena serangan burung. Begitu pula dengan proses kelahiran Wahid Hasyim. Ini mungkin kebetulan, tetapi bagaimana jika “kebetulan” tersebut selalu menjadi biografi kelahiran orang-orang besar.50 Namun ada pula yang mengaitkan peristiwa tersebut dengan kematian melalui kecelakaan mobil saat ia menuju Bandung. Situasinya memang mirip dengan yang terjadi di rumah Kiai Kholil pada 1914. Di dalam buku Sejarah Hidup K.H. Wahid Hasjim, Abu Bakar menyebutkan dengan agak rinci bagaimana fisik Wahid Hasyim yang dikaitkan pula dengan tanda dan karakter jika mempunyai ciri fisik tersebut. Ini disebut ilmu firasat, semacam tafsir ilmu lokal atau kejawen, seperti dalam kitab primbon Jawa. Bentuk badan Wahid Hasyim agak pendek.51 Ia gemuk, tetapi tegap. Warna kulitnya tidak terlalu kuning dan tidak pula terlalu hitam. Rambutnya hitam berkilat, yang menurut ilmu

49Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 20. 50Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 20. Lihat juga karya Aboebakar, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasjim. 51Kutipan ini juga terdapat dalam tulisan Aboebakar Sejarah Hidup K.H.A. Abdul Wahid Hasjim, dimuat lagi dalam buku Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953. Kutipan di sini merujuk pada sumber terakhir, 22. 34

firasat menandakan banyak teorinya. Matanya bulat agak lebar dan samar-samar tampak bila bangun dari tidur agak tiada sama lebar kedua biji matanya, menunjukkan hati jujur, tetapi mudah jemu jika menghadapi sebuah perkara. Hidungnya mancung, hanya ujungnya agak tumpul sedikit, yang memberi arti kemauannya keras, hingga kadang- kadang sampai menimbulkan pendirian yang sangat keras dan tegas, rambutnya ikal.52 Lehernya pendek, mengisyaratkan seorang pemberani dan konsekuen. Tulang di bawah kedua gerahamnya menonjol, memberi alamat kuat pembelaan terhadap sesama kawan dan sangat setia kawan. Tahi lalatnya antara lain tampak di dada, bahu kiri sebelah atas, dan pada salah satu ujung jarinya. Dadanya bidang, sedangkan anggota sebelah bawah tiada seimbang dengan atas, yakni ukuran bagian kaki lebih pendek dari punggung. Adapun tabiatnya, sebagian banyak berlawanan dengan bentuk keadaan anggota yang ditebak ilmu firasat. Demikian itu mungkin karena Ia memiliki keistimewaan (atau telah mempelajari ilmu firasat) dalam ilmu firasat, hingga oleh karenanya ia dapat mengetahui kekurangan- kekurangannya menurut ilmu tersebut dan kemudian kekurangan-kekurangan itu diisi dengan yang patut.53 Demikianlah kisah kelahiran Wahid Hasyim dan ciri-ciri fisik yang dimilikinya.

52Aguk Irawan, All rights reserved, Sang Mujtahid Islam Nusantara, 45. 53Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 22.

35

Lalu ia menikah pada usia 25 tahun dengan Solichah, dikaruniai enam orang anak54 di antaranya Abdurrahman Al- Dakhil (Gus Dur), Aisyah, Sholahuddin Al-Ayubi, Umar Wahid, Khodijah, dan Hasyim Wahid.55 Sayangnya ia tidak memiliki kesempatan banyak mendidik anak-anaknya, Wahid Hasyim meninggal pada 19 April 1953 di usianya yang ke 39, 56 meninggalkan Wahid Hasyim lantaran kecelakaan mobil yang dialaminya di Cimindi (antara daerah Cimahi dan Bandung), kemudian dimakamkan di kampung halamannya Tebuireng, Jombang. Kabar ini disiarkan melalui radio bahwa mantan ketua Menteri Agama telah meninggal.57

B. Pendidikan KH Abdul Wahid Hasyim Sejak kecil, Wahid Hasyim dikenal sangat cerdas. Ia pendiam, tapi ramah dan pandai mengambil hati orang. Ia gemar menolong kawan, suka bergaul dengan banyak orang tanpa membeda-bedakan agama, pangkat, atau tingkat kekayaan. Selain itu, Ia juga senang berkorban untuk kawan, tetapi gampang tersinggung. Bahkan, sejak kecil hingga remaja, Wahid Hasyim dikenal pemarah. Sifat ini lenyap ketika ia beranjak dewasa. Hilangnya sifat pemarah itu, menurut penuturan Wahid Hasyim

54Lihat silsilah keluarga pada halaman sebelumnya. 55Supriyadi, Ulama Pendiri, Penggerak, Intelektual NU dari Jombang, (Jawa Timur: Pustaka Tebuireng Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng, 2015), 193. 56Mas’uddin Noor, “Almarhum K.H. A. Wahid Hasjim,” Mimbar Agama, No. 4, tahun ke 3, April 1953, 32. Kecelakaan ini terjadi pada Sabtu sekitar pukul 13:00, kemudian Wahid Hasyim langsung dibawa ke rumah sakit dan meninggal pada Minggu, 19 April 1953. Kemudian jasadnya dibawa ke Surabaya pada 20 April untuk dimakamkan di Tebuireng. 57Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim, 326. 36

sendiri setelah ia berpuasa sunah selama bertahun-tahun. Di kalangan kaum , istilah untuk orang yang gemar berpuasa adalah “ahli tirakat”. Menurut KH M. Syatari, pemimpin Pesantren Arjawinangun, , kebiasaan puasa sunah ini memang sudah diajarkan sejak kecil oleh ayahnya, KH Hasyim Asy’ari.58 Wahid Hasyim tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah Pemerintahan Hindia-Belanda. Dia lebih banyak belajar secara autodidak hal ini karena ayahnya tidak memperbolehkannya belajar di sekolah Hindia-Belanda disamping itu Wahid Hasyim memang gemar membaca.59 Ia banyak mempelajari kitab-kitab dan buku bahasa Arab. Wahid Hasyim mendalami syair-syair bahasa Arab hingga hafal di luar kepala, selain itu juga menguasai maknanya dengan baik.60 Sejak usia lima tahun Wahid Hasyim belajar membaca Al-Quran kepada ayahnya dan sudah pandai membaca kitab suci tersebut, ia juga belajar kitab Fathul-Qarib, Minhajul Qawim, Mutammimah pada ayahnya di usia tujuh tahun.61 Pada usia 12 tahun, setelah tamat dari Madrasah, ia membantu ayahnya mengajar adik-adik dan anak-anak sebayanya. Ia mengajari adiknya, A. Karim Hasyim kitab ‘Izi di

58Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 28-29. 59Azyumardi Azra, Saiful Umam, Ed., Menteri-Menteri Agama RI:Biografi Sosial-Politik, 100. 60Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 22. 61Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT), Profil Pahlawan Nasional, (Jakarta: Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan dan Kepahlawanan Sosial Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Sosial RI, 2014), 20. Lihat juga dalam buku Mohammad Rifai, Wahid Hasyim Biografi Singkat 1914-1953, 23.

37

malam hari. Pada masa itu pula, ia giat mempelajari ilmu-ilmu kesastraan Bahasa Arab. Cara belajarnya sebagian besar dengan kekuatan muthala’ah dan membaca sendiri. Ini menunjukkan betapa kuatnya ia membaca dan berpikir yang sejak kecil sudah tertanam dalam dirinya. Zaini memberikan informasi dalam buku karangannya K.H. Abdul Wahid Hasyim Pembaru Pendidikan Islam, bahwa Wahid Hasyim juga tercatat sebagai anggota perpustakaan Surabaya. Tidak seperti anggota lainnya yang membaca berdasar sesuatu yang menjadi keinginan mereka, Wahid Hasyim membaca semua buku yang tersedia di perpustakaan. Sayangnya informasi yang berkaitan dengan hal ini sangat sedikit. Bisa jadi benar bahwa beliau membaca seluruh buku yang ada, karena jumlah buku yang tersedia saat itu masih terbatas, atau beliau meringkas buku tersebut untuk melihat isi buku, kemudian beliau membaca secara selektif sesuai dengan minatnya. Singkat kata, melalui autodidak, pengetahuan yang didapatnya sangat luas, mulai dari tafsir, hadits, fiqih, sampai pengetahuan sejarah politik, dan filsafat. Dia juga sempat mondok di Pondok Siwalan Pandji, Sidoardjo, tapi hanya dalam hitungan hari. Demikian pula yang terjadi ketika ia mencoba menimba ilmu di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.62 Pada usia 13 tahun inilah Wahid Hasyim memulai pengembaraannya dari satu pesantren ke pesantren

62Penulis belum menemukan secara detile ilmu apa saja yang dipelajari KH Abdul Wahid Hasyim di pesantren-pesantren yang pernah ia belajar, bahkan dalam buku Aboebakar, Sejarah Hidup KH. A Wahid Hasjim, padahal buku ini dikenal paling lengkap merangkum sejarah hidup KH Abdul Wahid Hasyim. 38

lainnya.63 Wahid Hasyim mulai nyantri64 namun dari beberapa pondok pesantren yang ia tempati, tidak begitu lama ia nyantri. Dengan berpindah-pindah pondok dan nyantri hanya dalam hitungan hari itu, menurut Wahid Hasyim keberkahan guru lebih penting bukan ilmunya, karena soal ilmu, mungkin dalam pikirannya, bisa dipelajari di mana saja dan dengan apa saja. Akan tetapi soal memperoleh berkah harus berhubungan dengan kiai.65 Semangat belajarnya tidak pernah padam terutama belajar secara autodidak. Pembuktian lain tentang pola belajar Wahid Hasyim yang hasilnya sangat bagus adalah meskipun ia tidak bersekolah di lembaga pendidikan Hindia-Belanda akan tetapi pada usia 15 tahun ia mengenal huruf latin, menguasai bahasa Inggris dan bahasa Belanda.66 Kedua bahasa itu ia pelajari dari hasil membaca majalah yang diperoleh dari dalam negeri maupun kiriman luar negeri. Dalam bukunya Barton menyebutkan bahwa kecerdasan Wahid Hasyim tak terlepas dari peran Nafiqah atas pengetahuan dan keahlian Wahid Hasyim terhadap bahasa asing.67 Nafiqah meminta salah seorang Eropa yang bekerja sebagai manajer di pabrik gula untuk mengajarkan Wahid Hasyim Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda. Sehingga tidak

63Lihat juga buku yang ditulis oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Enslikopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), 978. 64Nyantri adalah menimba ilmu di Pondok Pesantren, orang yang menimba ilmu di Pondok Pesantren disebut santri. 65Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 23. 66Lihat, Herry Mohammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, 35. 67Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 24.

39

hanya ilmu-ilmu agama tetapi juga ilmu dunia ia pelajari.68 Hal tersebut bisa dijadikan modal Wahid Hasyim untuk bisa masuk menjadi elite perkotaan. Dalam belajar autodidaknya ia berlangganan majalah Penyebar Semangat, Daulat Rakyat, dan Panji Pustaka, majalah Indonesia ini diterbitkan oleh kelompok nasionalis. Sedangkan dari luar negeri (Timur Tengah) ia berlangganan Ummul Qura, Shautul Hijaz, Al-Latha’iful Al- Musyawarah, Kllusyai-in-wad-Dunnya dan Alitsnain.69 Sejak itu pula, ia belajar bahasa Belanda dengan jalan berlangganan dari “Sumber Pengetahuan” Bandung yang waktu itu masih bernama tiga bahasa. Ia mengambil dua macam bahasa, yaitu bahasa Belanda dan Arab. Akhirnya setelah selesai dan tamat, barulah ia kemudian mengambil bahasa Inggris. Dalam buku Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim yang disusun oleh Aboebakar, menjelaskan Wahid Hasyim sudah mulai mengajar agama pada teman-temanya sejak usia 12.70 Mulai umur 15 tahun itu pulalah, ia benar-benar menjadi penggemar bacaan yang sesungguhnya. Hal demikian itu mungkin disebabkan ia merasakan kenikmatan membaca atau mungkin mengamalkan nasihat dari pepatah Inggris “Read anything five hours a day you shall soon be learned” yang artinya kurang lebih: baca apa saja lima jam sehari, maka segeralah engkau menjadi terpelajar. Karena saking

68Aguk Irawan, All rights reserved, Sang Mujtahid Islam Nusantara, 97. 69Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), 176. 70Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim, 84. 40

serius dan rajinnya atau gemarnya membaca, hingga ia harus mengenakan kaca mata sejak awal ia memasuki umur remaja.71 Hasil dari gemarnya ia membaca dan proses berpikirnya yang disiplin serta ketat itu dibuktikan dengan munculnya buah tulisan tangannya yang terdapat dalam salah satu buku peringatan milik adik kandungnya. Tulisan tersebut dibuatnya pada 1929 (pada saat usia 15 tahun). Ini adalah awal dari seorang penulis, seorang penulis pastilah juga seorang pembaca yang rajin. Dari sini ia terus belajar apa saja yang bermanfaat bagi kehidupannya dan umat manusia secara keseluruhan. Pada tahun 1931 ia mulai mengajarkan kitab Ad-Durarul Bahiyah dan Kafrawi di muka pelajar-pelajar di malam hari, dan kadang-kadang diminta untuk berpidato jika ada rapat umum. Pendek kata, pengaruhnya sudah mulai tampak sekalipun hanya samar-samar. Ini adalah proses belajar mental menjadi calon pendidik dan pemimpin kelak di masa depan.72 Sementara itu sejak usianya menginjak umur 18 tahun (1932), ia pergi ke Makkah. Kepergiannya di samping menunaikan ibadah haji juga memperdalam ilmu agama. Kepergiannya ke Makkah ditemani oleh saudara sepupunya, Muhammad Ilyas. Selama dua tahun itu ia belajar di Makkah, namun tidak ada banyak data yang menjelaskan aktivitas Wahid Hasyim selama menimba ilmu di kota suci (Makkah). Hanya menjelaskan bagaimana Wahid Hasyim yang banyak bergaul dengan macam-macam orang dari berbagai bangsa. Namun,

71Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 25. 72Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 25.

41

menurut catatan riwayat hidupnya yang diterbitkan oleh Gunseikanbu73 Jepang, ia pernah mengajar di Makkah.74 Hal ini menjadikan Wahid Hasyim berpikir secara luas, terbuka, dan tidak fanatik dalam menghadapi suatu persoalan. Wahid Hasyim juga meyakini jika ajaran Islam dapat mencapai kemajuan dan persatuan. Sepulangnya dari Makkah, Wahid Hasyim merasa perlu mengamalkan ilmunya dengan melakukan pembaharuan di bidang sosial, keagamaan, pendidikan, dan politik.75 Selama belajar dua tahun di Tanah Suci, dengan bekal bahasa Inggris, Arab, dan Belanda ia dapat dengan leluasa mempelajari sendiri pelbagai buku.76 Hasil belajar aoutodidak yang dilakukan Wahid Hasyim ketika masih di Indonesia sangatlah membantu. Ia sama sekali tidak canggung berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai negara di Makkah. Meski tidak membawa satu pun gelar akademik, ilmu pengetahuan yang diperoleh Wahid Hasyim selama di Makkah sangat banyak. Hingga akhirnya dengan kemahirannya dalam membaca, sekitar tahun 1941 Wahid Hasyim sudah mulai aktif dan menghasilkan banyak tulisan di Suluh Nahdatul Ulama, sebelumnya ia aktif menulis di media Berita Nahdatul Ulama dan Suara Nahdatul Ulama. Hal ini menunjukkan bahwa ia benar-benar suka membaca dilihat dari hasil-hasil tulisannya yang banyak di

73Gunseikanbu ialah staf pemerintahan militer pusat, Sejarah Lengkap Indonesia, 286. 74Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim, 84. 75Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 26. 76Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 35. 42

beberapa media.77 Kecintaannya dalam dunia tulis-menulis diungkapkan pula oleh Muchit salah satu murid Wahid Hasyim, suara mesin tulis selalu terdengar setiap malam dari salah satu kamar di ujung kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Para santri yang masih terjaga merasa terganggu. Tapi siapa berani memprotes? Sang pengetik Abdul Wahid Hasyim putra KH Hasyim Asy’ari pengasuh pondok pesantren.78 Sepulangnya dari Makkah pada akhir 1933, saat usia Wahid Hasyim 19 tahun. Tiba di Tebuireng, dari ratusan santri yang ada, Wahid Hasyim hanya memilih empat orang untuk diasuh setiap hari secara intensif. Keempat santri itu adalah A. Wahab Turham dari Surabaya; A. Moghni Rais dari Cirebon, Meidari asal Pekalongan, dan Faqih Hassan dari Sepanjang. Dengan memilih sedikit santri, Wahid Hasyim rupanya hendak membuat proyek rintisan bagi model baru pendidikan pesantren. Selama melakukan perjalanan ke beberapa tempat, termasuk ke Arab Saudi, banyak sekali pengetahuan yang diperoleh Wahid Hasyim. Dia mulai membanding-bandingkan model pendidikan pesantren dan di luar pesantren. Ia kemudian berpikir ingin memperbarui sistem, materi pelajaran, mental, serta cara atau metodologi pembelajaran. Dengan berbagai pembaharuan itu, diharapkan lulusan pesantren tidak kalah unggul dengan lulusan non-pesantren.79

77Nugroho Dewanto, Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng: Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017), 62. 78Nugroho Dewanto, Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng: Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan, 20. 79Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 38.

43

Atas dasar pemikiran itulah, pada 1935 saat berusia 21 tahun, Wahid Hasyim di Tebuireng berhasil mendirikan madrasah modern yang diberi Madrasah Nizamiyah. Materi pembelajaran yang diberikan ialah hasil ramuan Wahid Hasyim sendiri, yang belum pernah dikenal di dunia pesantren. Selain pelajaran agama, di Madrasah Nizamiyah juga diberikan pembelajaran umum seperti Bahasa Inggris, dan Bahasa Belanda. Tentang pelajaran bahasa asing ini, Wahid Hasyim memegang hadits Nabi: “Barang siapa mengetahui bahasa dari suatu golongan, ia akan aman dari ‘perkosaan’ golongan itu.” Juga pepatah mengatakan “Bahasa adalah ilmu pengetahuan.” Dengan madrasah model baru ini, Wahid Hasyim banyak menerima kritik tajam dari berbagai kalangan. Namun ia tetap kukuh dalam pendiriannya. Untuk angkatan pertama, murid berjumlah 29 orang yang dikumpulkan dalam satu kelas. Ternyata dalam waktu singkat Madrasah Nizamiyah menarik perhatian banyak orang, dan kelas semakin bertambah, karena di samping mahir berbahasa Arab, murid- murid juga dapat memperoleh dan mempelajari bahasa Inggris dan bahasa Belanda.

C. Karya-karya KH Abdul Wahid Hasyim Atas jasa dan prestasi beliau bagi bangsa dan masyarakat Indonesia umumnya, pemerintah berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 206 tahun 1964 tertanggal 24 Agustus 1964, Wahid Hasyim ditetapkan sebagai Pahlawan 44

Nasional Kemerdekaan Indonesia.80 Selain prestasi tersebut, Wahid Hasyim juga meninggalkan karya-karya tulis yang patut kita apresiasi. Sayangnya, masih sedikit kaum cendekia yang melakukan hal ini, karya-karya tulis tersebut masih dalam keadaan mentah dan belum ada kajian secara sistematis tentang karya-karya tersebut. Kebanyakan buku-buku yang membahas perjuangan dan pemikiran beliau mungkin sudah tidak bisa ditemukan di pasaran lagi, seperti Sejarah Hidup K.H. Wahid Hasyim. Buku ini memuat semua karya artikelnya dan pidatonya, tapi buku ini sudah lama dan menggunakan ejaan kuno pula. Kemudian, buku K. H. Wahid Hasyim, Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Walaupun relatif belum terlalu lama, tetapi sulit didapatkan di pasaran. Berikut beberapa karya Wahid Hasyim: 1. Karya dengan Tema Agama. a. “Nabi Muhammad dan Persaudaraan Manusia.” Karya ini merupakan pidatonya pada acara pembukaan Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diadakan di Istana Negara, Jakarta, pada 2 Januari 1950, dan merupakan perayaan Maulid pertama sesudah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia. b. “Kebangkitan Dunia Islam.” Karya ini merupakan tulisannya dimuat di media Mimbar Agama edisi No. 1-12, Maret – April 1951. Dalam artikel ini Wahid Hasyim membahas mengenai tumbuh suburnya agama Islam, padahal sebelum Islam

80Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan, Profil Pahlawan Nasional, (Jakarta: Direktorat Kepahlawanan dan Kesetiakawanan Sosial Direktorat Jenderal Pemberdayaan Soial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Sosial RI, 2014), 21.

45

memimpin masyarakat kala itu, keadaan mereka sangat kurus kering, kuatnya Islam antara lain karena wahyu Sang Pencipta. Bahkan Persia dan Romawi pun takut pada Islam, padahal . contoh lain mengenai kegagahan Islam yakni Raja Al-Mansjur penguasa Spanyol, waktu itu orang Barat menjuluki dia sebagai “Martilnya kemurkaan Tuhan”. Dapat dilihat betapa gagahnya Islam waktu itu.81 c. “Tidak Mudah Memenuhi Tuntunan Otak, jaitu dengan Meninggalkan Hawa Nafsu dan Mendjalani Kebenaran” dimuat pada majalah Mimbar Agama edisi Juni-Juli 1951. Tulisan ini menggambarkan tingginya derajat manusia karena adanya otak dan akal pikiran sehingga dapat memakmurkan dunia dan membuatnya lemah menjadi kuat, namun kemudian menjadi lemah karena adanya hawa nafsu yang dimilikinya.82 d. “Beragamalah dengan Sungguh dan Ingatlah Kebesaran Tuhan.” Karya ini merupakan semacam pidato untuk perayaan Hari Raya Idul Fitri yang pada saat itu, Indonesia masih berbentuk serikat atau RIS (Republik Indonesia Serikat). e. “Hari raya sebagai Ukuran Maju –Mundurnya Umat.” Tulisan ini dimuat dalam Berita Nahdatul Ulama, No. 3 Th. ke 7, Desember 5, 1937, hlm 2-5. f. “Arti dan Isi AL-Fatihah” dalam Berita Nahdatul Ulama, No. 14, Th. ke VII, 15 Mei 1938, hlm 1-3.

81Wahid Hasjim, “Kebangkitan Dunia Islam,” Mimbar Agama, No. 1- 12, Maret-April, Th. 1951, 29. 82Wahid Hasjim, “Tidak Mudah Memenuhi Tuntutan Otak, yaitu dengan Meninggalkan Hawa Nafsu dan Menjalani Kebenaran”, Mimbar Agama, No. 1-12, Juni-Juli, Th.1951, 3. 46

g. “Islam Agama Fitrah [Dasar Manusia]” dalam Suara Muslimin Indonesia, No. 7, Th. Ke II, April, 1994, hlm. 2-4. h. “Latihan Lapar Adalah Kebahagiaan Hidup Perdamaian Dunia” dalam Penyiaran kementerian Agama, No. 4, 1309, hlm. 3-4.

2. Karya dengan Tema Politik. a. “Perkembangan Politik Masa Pendudukan Jepang” dari Nota Politik (November 1945). b. “Apakah Meninggalnya Stalin Membawa Pengaruh Pada Umat Islam? Juga Pada Umat Islam Indonesia?” dari Gema Muslimin Tahun I No. 2, 1 April 1953. c. “Di Belakang Layar Perebutan Kekuasaan Jendral Najib Di Mesir,” ceramah (1952) (dari bundel catatan). d. “Umat Islam Indonesia dalam Menghadapi Perimbangan Kekuatan Politik Dari pada Partai-Partai dan Golongan- Golongan,” catatan (disiarkan dalam kalangan terbatas pada 1952).83

3. Karya dengan Tema Pergerakan. a. “Suluh”, dalam Th. I, Berita Nahdatul Ulama, No. I, Th. 1, April 1941, hlm. 1-12. b. “Masyumi Lima Tahun”, Kutipan dari Suara Partai Masyumi, No. 11 tahun ke-5, Desember 1950. c. “Mengapa Saya Memilih Nahdatul Ulama?” dalam Gema Muslimin Tahun ke-1 November 1953.

83Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 44.

47

d. “Analisis Kelemahan Penerangan Islam”, salah satu uraian untuk konferensi, mungkin sekitar tahun 1951.

4. Karya dengan Tema Perjuangan Umat Islam. a. “Fanatisme dan Fanitisme” dalam Gempita Muslimin No. 1 tahun ke-1 (15 Maret 1955). b. “Siapakah yang Akan Menang dalam Pemilihan Umum yang Akan Datang?”, dalam Gema Muslimin, tahun ke-1 Maret 1953. c. “Akan Menangkah Umat Islam dalam Pemilihan Umum yang Akan Datang?” kemungkinan dari sumber yang sama dalam waktu sedikit berbeda. d. “Agama dalam Indonesia Merdeka,” dalam koran Asia Raya, 11 Mei 1945.84 e. “Kedudukan Ulama dalam Masjarakat Islam di Indonesia”, dalam Mimbar Agama, September 1950. Dalam tulisan ini wahid Hasjim mengisahkan kedudukan Ulama sangat dihormati dan di anak emaskan oleh Jepang saat konferensi, terutama pada dua tahun awal pendudukan Jepang di Indonesia.85 f. “Umat Islam Indonesia Menunggu Ajalnya, Tetapi Pemimpin- Pemimpinnya Tidak Tahu”. Tulisan ini ditulis dengan menggunakan nama samaran “Makmum Bingung” pada awal 22 Desember 1951.86

84Pitoyo Darmosugito, ed., Menjelang Indonesia Merdeka: Kumpulan Tulisan Tentang Bentuk dan Isi Negara yang Akan Lahir, (Jakarta: Gunung Agung, Anggota IKAPI, 1982), 109. 85Wahid Hasjim, “Kedudukan Ulama’ dan Masjarakat Islam di Indonesia”, Mimbar Agama, September 1950, 37. 86Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 45. 48

5. Karya dengan Tema Pendidikan dan Pengajaran. a. “Abdullah Ubaid Sebagai Pendidik” dalam Suluh Nahdatul Ulama (NU), Agustus 1941, tahun ke-1 No. 5.87 b. “Kemajuan Bahasa, Berarti Kemajuan Bangsa” dalam Suara Ansor, Rajab 1360 Th. IV No. 3, ditulis dengan nama Banu Asy’ari. c. “ Pendidikan Ketuhanan” dalam Mimbar Agama Tahun I No. 5-6, 17 November -17 Desember 1950. Ini disampaikan dalam konferensi Pendidikan Agama di Yogyakarta. Membahas mengenai Indonesia telah bangun sejak 50 tahun yang lalu, dan bangkitnya Indonesia membuat orang yang berkepentingan dengan bangsa Indonesia kaget, karena mereka tidak lagi dapat menyanyikan lagu tidur lagi untuk Indonesia. Kemudian mengenai pendidikan masyarakat Indonesia terbagi menjadi dua. Pertama, golongan maghrur atau arrogant yang menganggap dirinya lebih tau dan lebih baik dari orang lain. Kedua, golongan maqhuur, menganggap dirinya kurang dari pada orang lain.88 d. “ Perguruan Tinggi Islam”, pidato menyambut berdirinya Universitas Islam Sumatera Utara di Medan 21 Juni 1952. e. “Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri”, pidato pada pembukaan dan penyerahan PTAIN di Yogyakarta 26 September 1951.

87Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 32. 88Wahid Hasjim, “Pendidikan Ketuhanan”, Mimbar Agama, No-5-6, November-Desember 1950, 4.

49

f. “Pentingnya Terjemah Hadis Pada Masa Pembangunan”, termuat dalam kata sambutan dalam kitab Terjemah Hadis Bukhari (1953) diterbitkan Fa, Widjaja: Jakarta. g. “Tuntutan Berpikir”, kata pendahuluan agenda Kementerian Agama 1951-1952.

6. Karya dengan Tema Mistik dan Kebatinan. “Islam: Antara Materialisme dan Mistik”, ceramah pada malam purnamasidi Kamis malam, 4 Desember 1952, di Jl. Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Diambil dengan tulisan cepat oleh Abd. Halim.

7. Karya dengan Tema Kementerian Agama. a. “Sekitar Pembentukan Kementerian Agama RIS” dalam Mimbar Agama Tahun 2 No. 3-4, Maret–April 1951. Tulisannya kali ini membahas cikal bakal Kementerian Agama sampai dengan terbentuknya Kementerian Agama. Di mana awalnya kementerian ini tidak disetujui untuk didirikan.89 b. “Penyusunan Kementerian Agama RIS”, termuat hampir di semua surat kabar, di antaranya dalam buku Peringatan Hari- Hari Besar Islam, Maulid Nabi Muhammad saw. c. “Kedudukan Islam di Indonesia”, nota Tentang Penerangan Agama (Ucapan dalam salah satu konferensi sekitar 1949). d. “Tugas Pemerintah Terhadap Agama”, pidato yang diucapkan dalam konferensi antara kementerian agama dan pengurus-

89Wahid Hasjim, “Sekitar Pembentukan Kementerian Agama RIS,” Mimbar Agama, No. 3-4, Tahun ke-2, Maret-April 1951, 2. 50

pengurus besar organisasi Islam non-politik, Jakarta 4-6 November 1951. e. “Membangkitkan Kesadaran Beragama”, pidato diucapkan dalam sidang resepsi konferensi kementerian agama di Bandung 21-22 Januari 1951. f. “Perbaikan Perjalanan Haji”, Mimbar Agama, No. 1-12, Agustus 1950. Menceritakan perbaikan perjalanan ibadah haji sebagai ikhtiar perbaikan dan bertujuan masyarakat lebih cerdas selama dalam perjalanan haji, selain itu ia juga menceritakan keburukan perjalanan ibadah haji saat itu.90 g. “Laporan Perjalanan ke Jepang”, dikemukakan kepada P.H.I. Kementerian Agama dan Pemerintah pada 1952.91

8. Karya dengan Tema Revolusi. a. “Melenyapkan yang Kolot” dalam Majalah Suara Muslimin Indonesia, 1 Juni 1944. b. “Kebangkitan Dunia Islam” dalam Suara Muslimin Indonesia, 15 Agustus 1944, Th. Ke-2, No. 16.

90Wahid Hasjim, “Perbaikan Perjalanan Hadji”, Mimbar Agama, No. 1- 12, Agustus 1950, 8. 91Memang cukup sulit menemukan tulisan-tulisan Wahid Hasyim, karena ia jarang mencantumkan namanya dalam tulisannya yang dimuat di beberapa majalah, seperti Soeara Nahdatoel Oelama, Berita Nahdatoel Oelama, Mimbar Agama, dan lain-lain. Beberapa tulisan kumpulan tulisan Wahid Hasjim penulis temui dalam buku Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 46-47. Sehingga dalam sub-bab ini penulis banyak mengutip buku Mohammad Rifa’i.

51

D. Pemikiran KH Abdul Wahid Hasyim. a. Pemikiran Tentang Agama Soal pemikirannya mengenai agama dilihat berdasarkan pidatonya pada saat pembukaan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, di Istana Negara pada 2 Januari 1950. Bagi Wahid Hasyim agama dihadirkan di muka bumi untuk kebaikan seluruh penghuninya karena di dalam agama diajarkan bagaimana menolong satu sama lain. Jadi, konteks memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah menempatkan bagaimana inti ajaran sebuah agama, terutama agama Islam, tidak lain adalah persaudaraan manusia. Bagi Wahid Hasyim, Islam bukan sekedar menghargai akal dan otak yang sehat, melainkan juga menganjurkan orang supaya menyelidiki, memikirkan, dan mengupas segala ajaran Islam, Islam tahu bahwa ajaran-ajarannya tahan uji. Wahid Hasyim mencontohkan konteks kelahiran Nabi Muhammad Saw itu bukan hanya untuk orang Islam saja, melainkan untuk semua orang. Kelahiran Nabi Muhammad hadir di tengah-tengah masyarakat jahiliah yang selalu mengagung- agungkan materi, dan merendahkan kaum yang lemah, orang miskin, janda, dan anak yatim. Jadi, konteks memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah menempatkan bagaimana inti ajaran sebuah agama, tidak lain adalah persaudaraan manusia. Dari sinilah Wahid Hasyim mengaitkan perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW dengan kondisi bangsa yang saat itu setelah lepas dari penjajahan.92

92Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 94. 52

b. Pemikiran Tentang Politik Kita melihat Wahid Hasyim sebagai kalangan yang sangat intens mencermati perkembangan politik. Hal ini menunjukkan bahwa ia memiliki bakat seorang politisi atau memiliki minat di dunia politik yang cukup kuat, dan ia memang menjadi politisi tangguh. Wahid Hasyim membagi masyarakat dan kalangan pergerakan Indonesia dalam tiga golongan, baik itu semasa penjajahan Jepang sampai Indonesia mencapai kemerdekaan, kemudian Indonesia mengalami masa mempertahankan kemerdekaan dari hasrat menjajah kembali pihak Belanda dan sekutunya. Ketiga golongan masyarakat dan pergerakan tersebut adalah nasionalis sekuler, golongan ini adalah golongan yang tidak begitu banyak memiliki semangat keagamaan. Kedua, nasionalis Islam, golongan yang memiliki semangat tinggi keagamaan, seperti saat pembentukan Kementerian Agama, golongan ini sangat berharap dan mendukung berdirinya Kementerian Agama. Ketiga, komunis/sosialis golongan minoritas agama.93 Ketiga pembagian ini sebenarnya bisa dikerucutkan menjadi dua saja, yaitu golongan lunak dan kelompok radikal. Penggolongan ini merupakan hasil analisis seorang pengamat politik ataupun politisi modernis yang suka mengklasifikasikan. Analisis ini sungguh menarik jika melihat latar belakang Wahid Hasyim yang berasal dari kalangan tradisional, yaitu seorang santri.94

93Azyumardi Azra, Saiful Umam, ed., Menteri-Menteri Agama RI:Biografi Sosial-Politik, 90. 94Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 99.

53

Wahid Hasyim menilai bahwa penjajahan Jepang menciptakan sistem pemerintahan diktator. Dalam pemerintahan tersebut, yang berkuasa adalah militer, dalam hal ini Jepang. Dalam pemerintahan tersebut, Jepang tidak memberikan kebebasan di waktu damai, apalagi perang kepada pemerintah sipil dalam hal ini seluruh warga Indonesia. Selain mengamati kondisi politik nasional, Wahid Hasyim juga mengamati perkembangan politik global (dunia). Perkembangan itu dapat diakses olehnya karena pergaulannya yang luas, ia mudah bergaul sampai di Makkah pun ketika ibadah haji tak sedikit teman yang ia miliki. Hal ini juga karena ia suka membaca dan berlangganan majalah, baik dari Eropa maupun Timur Tengah sehingga inilah modal dasar dalam melihat perkembangan baik dalam negeri maupun luar negeri.

c. Pemikiran Tentang Pergerakan Peran Wahid Hasyim dalam pergerakan memang sudah tidak diragukan lagi. Beliau pernah menjadi ketua MIAI, (cari buku yang menyatakan Wahid Hasyim ketua MIAI, ketua Masyumi,95 dan Ketua PBNU dan beberapa oraganisasi yang ia bentuk seperti LMI (Liga Muslimin Indonesia), yang ia buat setelah NU keluar dari Masyumi. Namun, dalam setiap organisasinya, ia selalu bersikap kritis. Hal ini tertuang dalam artikelnya berjudul “Masyumi Lima Tahun”. Dalam artikel ini

95Berdirinya organisasi-organisasi ini antara lain untuk mengambil hati dan menarik perhatian orang Islam, akhirnya Jepang mendirikan Masyumi. Lihat, Bambang Suprijadi, ed., Pendidikan Pancasila untuk Mahasiswa Berdasarkan SK Dirjen Dikti No. 38/DIKTI/KEP/2002, (Jakarta: Kerjasama antara Assosiasi Guru dan Pendidikan Pancasila Jatim dan FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Asri Press, 2012), 57. 54

Wahid Hasyim mengamati dan mencermati perjalanan pergerakan politik Masyumi selama lima tahun. Ia menilai terkadang berbagai agenda Masyumi tidak terkontrol atau bisa dikatakan morat-marit. Menurutnya, ketidak teraturan ini apabila dibiarkan secara terus menerus, tidak baik untuk kemajuan pergerakan politik Masyumi dan umat Islam Indonesia pada umumnya. Untuk itu, beliau menawarkan pemikiran untuk membangkitkan semangat pergerakan tersebut. Pertama peningkatan efektivitas dan pola kerja sama. Kedua, peningkatan kualitas dari masa atau anggota Masyumi. Secara garis besar, ini semua penting agar sebuah pergerakan politik Masyumi terlihat kedinamisannya dalam pergerakan di Indonesia.96 Selanjutnya Wahid Hasyim aktif di MIAI, organisasi ini merupakan persatuan seluruh organisasi Islam. Terbentuknya MIAI berawal dari ketidak puasan atas pemerintah kolonial Jepang, sehingga terbentuklah front bersama untuk meningkatkan komunikasi dan musyawarah secara teratur. Kemudian hadir tokoh muda seperti Wahid Hasyim dan Mahfud Siddiq, kedua tokoh muda ini mewakili NU di MIAI. MIAI melarang pemuda Indonesia ikut serta dalam pertahanan dan pergerakan yang diorganisir oleh Jepang.97

d. Pemikiran Tentang Pendidikan Sementara itu, untuk mengkaji pemikiran Wahid Hasyim tentang dunia pengajaran dan pendidikan, dapat kita lihat dari

96Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 106. 97Munawir Haris, “Potret Partisipasi NU di Indonesia dalam Lintasan Sejarah,” Jurnal Review Politik: Kajian Islam dan Politik, Volume 02, Nomor 02, Agustus 2012, 100.

55

beberapa artikel yang pernah Ia tulis, di antaranya “Abdullah Ubaid Sebagai Pendidik” (Suluh NU, Agustus 1941, Th. I No.5), dalam artikel ini Wahid Hasyim menunjukan bahwa dirinya adalah seorang pendidik yang humanis. Pendekatan kemerdekaan dan kebebasan bagi yang dididik tidak lagi ditempatkan sebagai objek, tetapi subjek, guru dan murid adalah sama-sama belajar. Hal ini berawal dari kisah bagaimana Abdullah Ubaid mengajarkan anaknya mandiri dan berani melalui secangkir teh panas yang takut tumpah menyiram anaknya saat hendak diminum, namun Ubaid tidak memberikan bantuan secara tindakan, Ia hanya memberikan sokongan agar anaknya berani mencoba dan terus belajar. Bagi Wahid Hasyim, pendidikan sejak dini dengan menanamkan nilai keberanian, kemerdekaan, dan kebebasan berkreasi sangat penting. Pentingnya menanam nilai keberanian, kemerdekaan, dan kebebasan berkreasi bukan hanya menurut ukuran biasa, melainkan jika si anak tidak dididik demikian, maka hidupnya di kemudian hari besar kemungkinannya akan gagal dan menyesal.98 Dari sini kita melihat bahwa Wahid Hasyim tokoh pendidik yang cermat, teliti, dan tangguh. Dalam artikel ini, Ia banyak mencontohkan pendidikan itu dilakukan dalam sebuah keluarga, dengan segala medannya dan perkakasnya, tempat semua menjadi pendidik dan sekaligus dididik satu sama lain. Mengenai soal pendidikan Wahid Hasyim juga mencermati pentingnya kemajuan bahasa, menurutnya

98Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, 119. 56

kemajuan bahasa Indonesia merupakan salah satu hal yang dapat memperkuat karakter bangsa. Kemudian, dalam artikel berjudul “Kemajuan Bahasa Berarti Kemajuan Bangsa” (Suara Anshor, Rajab Th. IV No. 3), Wahid Hasyim mengkhawatirkan gejala banyak anak muda dan beberapa pemimpin yang suka memakai bahasa asing ketimbang bahasanya sendiri. Pemakaian bahasa asing itu menunjukkan si pemakai kurang percaya diri atas bahasa yang dimiliki bangsanya, bahasa Indonesia. Jika ini diteruskan, maka pembentukan karakter kebangsaan dan proses kemajuan bangsa akan terhambat. Untuk itulah Wahid Hasyim menyarankan agar kita semua warga Indonesia, tidak malu memakai bahasa Indonesia. Dari bahasa inilah kita bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan ini, kita harus berani dan memperkuat pemakaian bahasa Indonesia. Dalam hal ini Wahid Hasyim tidaklah menghambat atau menghalangi seseorang untuk belajar dan menyukai berbagai bahasa asing. Penguasaan bahasa asing merupakan hal yang penting, tetapi jangan sampai melupakan bahasa Indonesia. Karena penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari merupakan bentuk penguatan karakter sebuah bangsa yang masih muda seperti Indonesia. Selanjutnya ia juga mengubah sistem pendidikan di Pondok Pesantren Tebuireng, mula-mula tradisional hanya mempelajari ilmu-ilmu agama, hadirnya Wahid Hasyim menambahkan mata pelajaran tidak hanya di bidang ilmu agama, namun juga ilmu pengetahuan umum, seperti bahasa Inggris, dan lain-lain sehingga

57

terbentuklah istilah pesantren modern, demikian juga Madrasah Nizhamiyah yang ia bangun sendiri pada 1935,99 tidak hanya soal keagamaan, bahasa Inggris, bahasa Belanda, organisasi dan pidato pun diajarkan, lalu setahun setelahnya ia membangun Ikatan Pelajar-Pelajar Islam (IPPI).100 Selain itu ia membangun taman baca di lingkungan pesantren, majalah dan buku yang ia miliki diletakkan di perpustakaan hal ini bertujuan agar minat baca para santri atau golongan Islam semakin tinggi, karena tidak hanya ilmu agama pengetahuan umum juga perlu dipelajari dan diketahui mengingat lingkungan semakin berubah. Umat Islam terbelakang pun karena rendahnya minat baca. Wahid Hasyim berpendapat umat Islam terbelakang dan dikuasai umat lain karena kurangnya minat membaca, hal inilah yang membuatnya terus berusaha memajukan pendidikan.101 Selanjutnya, Wahid Hasyim juga pernah mengatakan dalam pidatonya saat pembukaan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, ia mengaku senang dan menyambut berderinya PTAIN tersebut. dengan berdirinya PTAIN, lemahnya tenaga kehidupan umat Islam dapat memiliki kesempatan untuk menjadi lebih memperkuat kehidupan umat Islam dengan langkah ini. Sehingga ilmu pengetahuan umat dapat bertambah. Kedua, ummat islam sebagai golongan terbesar di Indonesia mendapat jembatan

99Azyumardi Azra, Saiful Umam, ed., Menteri-Menteri Agama RI:Biografi Sosial-Politik, 103. 100Kerta Wijaya, Sejarah Perjuangan 130 Pahlawan dan Tokoh Pergerakan Nasional, 14. Lihat juga buku Yanto Bashri, Retno Suffatni, ed., Sejarah Tokoh Bangsa, (Yogyakarta: LKIS, 2004), 413. 101Kerta Wijaya, Sejarah Perjuangan 130 Pahlawan dan Tokoh Pergerakan Nasional, 414. 58

berupa pendidikan untuk membangunkan rakyat dan negara. Ketiga, sebagai penyempurna pendidikan tinggi umat Islam. Dengan pendidikan akan tercegah suatu bahaya yang hingga kini mengancam, meskipun banyak tidak disadari oleh orang-orang, bahaya tersebut yakni terbelahnya generasi muda yang akan datang menjadi dua bagian, golongan mutihan (dari perkataan putih) dan golongan ngabangan (dari perkataan abang=merah) seperti pada masa kolonial, mereka ditekan dan sulit untuk berkembang. Kemungkinan tersebut tidak akan terjai jika para pemikir bangsa menyadari dan menghindari hal-hal yang berbahaya tersebut, oleh karenanya pendidikan sangat penting dan perlu perhatian lebih.102

102Pidato Wahid Hasjim, “Pidato J. M. Menteri Agama Mengenai Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri,” Mimbar Agama, no. 11, Th. 2.

BAB IV POLITIK PEMERINTAHAN JEPANG DI INDONESIA

A. Politik Pemerintahan Jepang di Indonesia Kolonialisme dan imperialisme membuat rasa nasionalisme dan benih-benih kebangkitan nasional rakyat Indonesia tumbuh.103 Tahun 1942 Jepang telah menguasai seluruh pulau Jawa, bala tentara Jepang mendarat pertama kali di Pulau Tarakan, Kalimantan Timur.104 Jepang tidak mendapat banyak perlawanan dari Belanda yang sudah merosot moralnya setelah Hitler menduduki tanah air mereka, Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati, Bandung. Saat itu pula rakyat Indonesia gembira karena Belanda telah pergi dari Indonesia, menurut kepercayaan rakyat hal ini telah diramalkan oleh Jayabaya bahwa Belanda akan segera diusir oleh bangsa berkulit kuning dari utara, kemudian bangsa Indonesia akan merdeka pada gilirannya saat bangsa kulit kuning dari utara tersebut terusir dari Indonesia. Jepang disambut baik oleh rakyat Indonesia karena mereka percaya atas ramalan Jayabaya,105 Jepang juga memberikan janji kemerdekaan pada bangsa Indonesia. Ketika itu krisis ekonomi sedang melanda Jepang, melihat Indonesia kaya bila dilihat dari segi ekonomi dan jumlah penduduk Indonesia yang padat untuk memasarkan produk Jepang. Maka Jepang melakukan supermasi

103Mani, Jejak Revolusi 1945: Sebuah Kesaksian Sejarah, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), 29. 104Sagimun, Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap Fasisme Jepang, (Jakarta: Inti Idayu Press, 1985), 23. 105Lihat Ahmad Safii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), 97.

59 60

ekonominya di Indonesia. Indonesia dibanjiri barang-barang produksi Jepang yang harganya sangat murah sehingga pemerintah Hindia-Belanda merasa adanya tekanan dari Jepang, ekspor dan impor menjadi tidak seimbang untuk itulah Belanda menetapkan peraturan-peraturan yang bersifat proteksi untuk menyehatkan ekonomi menganai ekspor, impor, tenaga kerja, perdagangan, imigrasi, penangkapan ikan, perkapalan, dan lain- lain. Hal ini tentu tidak Jepang sukai, maka dari itu Jepang melakukan strategi mendekati penduduk pribumi untuk mendapatkan hati rakyat Indonesia. Jepang juga mengatakan akan membela Islam yang katanya selalu diperlakukan sewenang- wenang oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Namun disamping itu Jepang masih melakukan perundingan dengan Belanda, Jepang terus menekan Belanda agar peraturan proteksinya terhadap barang-barang Jepang dicabut Jepang semakin berani menekan Belanda lantaran ia tahu bahwa Belanda sudah diduduki Jerman. Baik Jepang maupun Belanda keduanya terus memertahankan diri untuk mendapatkan kekuasaan di Indonesia, sampai pada akhirnya Belanda menyerah tanpa syarat.106 Akan tetapi kekejaman rezim militer Jepang lama kelamaan semakin tampak jelas, rakyat mulai menolak keberadaan Jepang di Indonesia. Secara bertahap Jepang melakukan kebijakan kerja paksa pada rakyat, perampasan bahan makanan atau hasil perkebunan, serta propaganda mengenai mereka sendiri yang tidak ada habis-habisnya. Akibat perbuatan

106Sagimun, Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap Fasisme Jepang, (Jakarta: Anggota IKAPI, 1985), 16-18.

61

Jepang, rakyat tejangkit berbagai penyakit dan bencana kelaparan. Obat Kina yang diproduksi di Bandung tidak lagi rakyat dapatkan karena perdagangan telah dimonopoli Jepang.107 Agar terus mendapat dukungan dari rakyat, Jepang berusaha menyambung kerjasama baik dengan tokoh-tokoh agama maupun tokoh-tokoh nasionalis. Di antara beberapa lembaga yang Jepang dirikan yakni PETA yang terdiri dari 72.000 pemuda, pasukan lainnya Heiho yang berkekuatan kurang lebih 25.000 anggota lembaga ini diberi pelatihan militer oleh Jepang tak lain hanya untuk kepentingannya sendiri dalam peperangan melawan sekutu. Jepang juga mendirikan Hizbullah sebagai salah satu laskar yang bergerak di bidang militer, terdiri dari para pemuda Islam berumur 18-22 tahun dibentuk dan dilatih untuk kepentingan pertahanan. Kemudian Jepang membentuk BPUPKI sebagai salah satu realisasi Jepang untuk mewujudkan cita-cita merdeka Indonesia, ini pun karena rakyat Indonesia terus menagih janji Jepang, maka segeralah badan ini dibentuk. Dengan sedikit keleluasaan yang diberikan Jepang terhadap tokoh-tokoh Indonesia dalam pemerintahan, mereka memanfaatkan dengan baik kesempatan ini untuk mempersiapkan kemerdekaan.108 Indonesia sangat kaya akan rempah-rempah mulai barang tambang, timah, minyak tanah, dan lain-lain untuk keperluan peperangannya melawan sekutu. Selain minyak bumi, banyak tenaga manusia yang sangat dibutuhkan Jepang dalam

107Mani, Jejak Revolusi 1945: Sebuah Kesaksian Sejarah, 72. 108Mani, Jejak Revolusi 1945: Sebuah Kesaksian Sejarah, 78. 62

peperangan, itulah sebenarnya alasan utama Jepang mendekati Indonesia dengan motif akan memberikan kemerdekaan, dan mendekati para pemimpin pergerakan nasional dan perintis kemerdekaan. Para tokoh pemimpin Indonesia pun menyadari hal ini.109 Kedatangan Jepang memang membawa perubahan signifikan, di bawah Kolonel Horie Choso Jepang melakukan upaya dengan cara mempengaruhi sentimen Muslim agar mendukung tujuan mereka, berusaha merekrut dukungan para tokoh Islam (kiai). Jepang berupaya mengajak para pemimpin Islam untuk bekerja sama dengan mereka. Salah satu usaha Jepang untuk menarik perhatian para kiai yaitu dengan mendirikan kursus jangka pendek untuk para kiai, selain itu ada juga sekolah khusus untuk guru madrasah.110 Kemudian hal yang membuat umat Muslim tidak bisa menafikan untuk membantu Jepang dalam peperangan yakni Jepang ikut serta dalam perayaan maulid Nabi di Ikada Persegi pada tahun 1944. Selanjutnya Jepang juga membentuk Shummubu (1944)111, MIAI, Masyumi, BPUPKI, sampai dengan PPKI demi mengambil perhatian rakyat dan mendapatkan apa yang telah menjadi incarannya. MIAI salah satu lembaga bentukan Jepang, mengasosiasikan dirinya sebagai

109Sagimun, Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap Fasisme Jepang, 27. 110R.E Elson, “Another Look at Jakarta Charter Controvercy of 1945”, Jstore, Southeast Asia Program Publications at (2009), diakses pada 8 Maret 2018 pukul 8:05 WIB, 106. 111Lihat Ahmad Safii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, 98, Shumubu berdiri pada Agustus 1944, kurang lebih seperti Kantor Urusan Pribumi pada masa pendudukan Belanda kemudian berkembang menjadi lembaga yang mengurusi masalah-masalah yang dulunya berada di bawah lembaga Departemen Dalam Negeri, Departemen Kehakiman, dan Departemen Pendidikan dan Upacara Keagamaan Umum.

63

lembaga anti kolonialisme, karena inilah Jepang membubarkan MIAI pada 28 Oktober 1943 di Jakarta bentuk MIAI yang baru akan diumumkan selanjutnya,112 ternyata kemudian Jepang membentuk Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) sebagai pengganti MIAI, Jepang khawatir MIAI malah akan melawan dan menyerang Jepang. Dibentuknya Masyumi dengan harapan mudah dikontrol. Dengan memberikan kebijaksanaan tersebut Jepang sekaligus menjinakkan umat Islam.113 Bagi umat Islam yang diwakili oleh Hasyim Asy’ari dan Wahid Hasyim, ini merupakan langkah awal memasuki jaringan politik dalam bidang pemerintahan, inilah salah satu jasa Jepang terhadap umat Islam. Pada masa pendudukan Jepang inilah para tokoh Islam (kiai/ulama)114 mulai diikut sertakan dalam pemerintahan, sangat berbeda dengan Belanda sedikit sekali memberi kesempatan pada pribumi untuk ikut serta dalam pemerintahan dan politik, menurut Kasman Singodimedjo kebijakan Jepang terhadap pemimpin Islam yang tidak lain dipandang sebagai pemimpin formal, tapi juga sebagai tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh, Jepang menyadari sangat besarnya potensi ulama,115 sehingga inilah awal mulai tokoh Islam berkecimpung dalam pemerintahan, termasuk

112Pemboebaran MIAI, (Tjahaya: Kemis Zyuitigatu 2603). 113Ahmad Safii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1955), cet. Ke-III, 189. 114Istilah ulama mengacu pada mereka yang dikenal ahli dalam khazanah , pemimpin pesantren, dan berafiliasi dengan NU. Dalam perkembangannya ulama tidak hanya memiliki otoritas dalam bidang keagamaan, tapi juga di bidang sosial bahkan politik. Baca, Jajat Burhanuddin dan Ahmad Baedowi, Ed., Transformasi Otoritas Keagamaan: Pengalaman Islam Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Anggota IKAPI, 2003), 1-2. 115Ahmad Safii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, 100. 64

KH Abdul Wahid Hasyim yang menjadi objek penelitian skripsi ini. Tidak hanya itu, untuk keberhasilan pendekatan mereka, Jepang mengizinkan pengibaran bendara Merah-Putih di mana pada masa pendudukan Belanda hal ini sangat dilarang. Selain itu Jepang juga membolehkan agar lagu kebangsaan dilantunkan dan disiarkan melalui pemancar-pemancar radio serta pengibaran bendera Merah Putih boleh dikibarkan.116 Tindakan selanjutnya yang membuat rakyat dan para pemimpin nasional simpatik yakni pelarangan menggunakan bahasa Belanda di seluruh penjuru Indonesia. Sementara menurut Dr. De Graaf, Jepang tidak pernah menyatakan akan memberikan kemerdekaan pada Indonesia. Politik pemerintahan Jepang semuanya tertuju pada kebutuhan tujuan perang. Makin memburuknya militer dan ekonomi Jepang, harga yang harus dibayar dalam kerja sama semakin meningkat. Keadaan inilah yang memaksa Jepang untuk menjanjikan kemerdekaan pada orang-orang Indonesia dalam waktu singkat karena Jepang saat itu sangat membutuhkan tenaga untuk perang.117 Tanggal 8 Agustus 1945 Soekarno, Hatta, dan Radjiman dipanggil oleh Jenderal Terauchi. Jika nantinya tidak ada perubahan jadwal kemerdekaan, pemerintahan Jepang, Terauchi menjanjikan kemerdekaan akan diberikan pada 24 Agustus 1945.118

116Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato tahun 1945-1949, (Jakarta: Yayasan Idayu Press, 1981), 53. 117Mr. Ahmad Soebardjo, Lahirnya Republik Indonesia, (Jakarta: PT Kinta, 1977), 56. 11820 Tahun Indonesia Merdeka, Departemen Penerangan RI, (T. pn: T.pn, t.t,), Jilid II.Jilid II, 130.

65

Untuk dapat menyukseskan usahanya, Jepang berusaha membuat berbagai propaganda. Seperti membuat ungkapan- ungkapan sebagai salah satu usaha memberikan energi pada rakyat Indonesia, hingga melahirkan semboyan gerakan A tiga, Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Cahaya Asia. Namun hal ini belum cukup, karena itu Jepang membentuk Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Namun Putera tidak bertahan lama, karena kurang menggerakkan hati rakyat untuk mendukung Jepang dalam usaha peperangan.119 Propaganda lainnya yakni Jepang mengaku sebagai saudara tua yang akan membantu Indonesia bebas dari penjajah.120 Namun pada kenyataannya rakyat hanya berganti tuan penjajah, Jepang tidak berbeda dengan Belanda. Tujuan utamanya yakni mendapatkan tenaga buruh di Indonesia dengan upah yang relatif rendah, menjadikan Indonesia sebagai tempat penyuplai bahan mentah.121 Berbagai penderitaan dialami rakyat, tindakan pertama kali yang dilakukan pihak Jepang yakni pembekuan segala kegiatan politik. Pemerintahan Jepang menerapkan sistem fasisme dan menerapkan garis politik pemerintah yang benar-benar harus ditaati oleh seluruh rakyat. Rakyat tidak diberikan kebebasan berpendapat sama sekali, semua pergerakan rakyat yang berhaluan politik dilarang. Dapat diakui bahwa kemenangan Jepang memenangkan hati rakyat berikut wilayahnya relatif singkat dan sangat menakjubkan,

119Sagimun, Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap Fasisme Jepang, 32. 120Adi , Sejarah Lengkap Indonesia, (Yogyakarta: DIVA Press, 2014), Cet. I, 281. 121Adi Sudirman, Sejarah Lengkap Indonesia, 284. 66

dengan segala janji manisnya akan memberikan kemerdekaan. Ia pun berhasil mengusir penjajah yang sudah berabad-abad mengakar di Indonesia.122 Di samping itu, para tokoh nasionalis terus berusaha menumbuhkan rasa nasionalisme rakyat. Sekitar awal tahun 1944 rasa simpati terhadap Jepang sudah mulai hilang,123 mulai terjadi pula perlawanan-perlawanan dari rakyat karena Jepang lama kelamaan tidak jauh berbeda dengan Belanda yang ingin mengeksploitasi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia Indonesia, hanya keuntungan yang ingin Jepang dapatkan. Para pemuda maupun tua melakukan perlawanan, ketika itu para pemuda mempersiapkan diri untuk pemberontakan bersenjata, baik pemuda yang memiliki kemampuan militer maupun tidak semangat pemberontakannya semakin meningkat. Seperti yang telah diketahui ada beberapa gerakan yang dilakukan di bawah tanah, guna menghindari musuh (Jepang) agar pergerakan semakin aman.124 Singkat cerita, tanggal 14 Agustus 1945 seluruh dunia mendengar bahwa Jepang telah menyerah tanpa sarat. Radio Tokyo juga menyiarkan, pidato Kaisar Hirohito bahwa Jepang telah mengakhiri perlawanan. Pada tanggal yang sama Sutan Syahrir menemui Soekarno dan Hatta mengabarkan bahwa Jepang telah menyerah tanpa syarat, Syahrir mendesak Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan dan jangan sampai PPKI

122Slamet Muljana, Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan, 7. 123Adi Sudirman, Sejarah Lengkap Indonesia, 290. 124A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1992), Jilid I Proklamasi, Cet. IV, 110.

67

yang melakukannya karena PPKI bentukan Jepang. Kemudian segeralah Soekarno melakukan perundingan untuk mempersiapkan proklamasi.125 Perundingan isi dan pelaksanaan proklamasi dilakukan di rumah Laksamana Maeda, sementara pengetikan teks proklamasi dilakukan oleh Sayuti Melik, namun sebenarnya awal penyusunan teks proklamasi oleh Soekarno Sayuti Melik kemudian mengubah yang perlu diubah lalu mengetiknya.126 Singkat cerita, dalam persiapan kemerdekaan ini tak hanya nasionalis sekuler yang berperan namun tokoh-tokoh nasionalis Islam juga ikut berkecimpung di dalamnya seperti Agus Salim, Wahid Hasyim, dan lain-lain. Tepat pada 17 Agustus 1945 Proklamasi dibacakan oleh Soekarno di rumah Soekarno Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta.127

B. Pembentukan BPUPKI, Panitia Sembilan, dan PPKI. Pengorbanan rakyat Indonesia terhadap Jepang cukup besar. Jepang dengan program Romusha-nya128 yang telah membunuh ribuan jiwa dan program Kumiai yang mendatangkan bencana kelaparan, telah menjadikan kesadaran bersama baik dari

125A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, 203. 126Wawancara Sarman Soelaiman dengan Pengetik Nasah Proklamasi Kemerdekaan RI Sayuti Melik, 14 September 1986. 127Aman, Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan: 1945-1998, (Yogyakarta: Ombak, 2015), 11. 128Romusha rakyat dikerahkan untuk bekerja demi kepentingan militer Jepang tanpa bayaran. Ribuan rakyat dikerahkan untuk kepentingan tersebut, ribuan rakyat banyak yang mati di tengah perjalanan atau di tempat kerja sehingga para pekerja yang diberangkatkan untuk Romusha jarang kembali pulang ke kampung halaman. Jika pun mereka kembali wujudnya sangat menyedihkan, kurus kering seperti tinggal kulit dan tulang, dan pakaiannya compang camping. lihat buku Kesadaran Nasional: dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan karya Slamet Muljana, 11. 68

kalangan tokoh-tokoh di Indonesia hingga golongan rakyat. Inilah yang mendasari desakan rakyat untuk segera ingin merdeka dan menagih janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan. Desakan tersebut membuahkan hasil, dibentuklah Dokuritsu Zyunbi Tyosakai (BPUPKI),129 selain itu Jepang juga mempersiapkan Lembaga Latihan Nasional, yang akan memberi kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk menjadi pemimpin yang nantinya akan bekerja di pemerintahan negara baru, dan memperluas pembicaraan-pembicaraan tentang kemerdekaan Indonesia.130 Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), lembaga ini telah sah dan berdiri pada 1 Maret 1945. Diumumkan oleh Panglima Tentara Jepang, Seiko Shisikan Kumaichi Harada. Pembentukan lembaga ini sebagai salah satu realisasi janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan pada Indonesia. Berlanjut dengan pengumuman pengurus dan anggota BPUPKI pada 29 Maret 1945.131 Anggota BPUPKI awalnya berjumlah 62 orang kemudian bertambah enam hingga berjumlah 68 orang. BPUPKI melakukan sidang selama dua kali, di antaranya pada 29 Mei-1 Juni 1945, dan 10 Juli-17 Juli 1945,132 BPUPKI resmi dibubarkan pada 7 Agustus 1945.

129Zainul Milal Bizawie, Laskar-laskar Ulama Santri dan Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949), (Pustaka Compass: Tangerang, 2014), 157. 130Rokhmani Santoso, Yusmar Basri, dkk, Hari-hari Menjelang Kemerdekaan 17 Agustus 1945, (Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1988), 5. 131D. Rini Yuniarti, BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI, 3. 132Slamet Muljana, Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan, 19.

69

Menurut pengamatan Prawoto Mangkusasmito dari 68 anggota BPUPKI hanya 15 orang yang benar-benar mewakili aspirasi Islam sebagai dasar negara jika dipersentasekan hanya sekitar 20 persen. Wakil-wakil golongan Islam itu antara lain KH. Ahmad Sanusi, Ki Bagus Hadikusumo, KH Mas Masykur, Abdul Kahar Muzakkir, KH. Abdul Wahid Hasyim, KH Masykur, Sukiman Wirdjosandjojo, Abikusno Tjokrosudjoso, Agus Salim, dan KH .133 Kemudian lahir Panitia Sembilan, disebut demikian karena jumlah anggota tim tersebut berjumlah sembilan orang terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A Maramis, , Abdulkahar Muzakkir, Agus Salim, A. Soebardjo, Abdul Wahid Hasyim, dan Mohammad Yamin.134 Panitia Sembilan dibentuk di Gedung Chuo Sang In,135 adanya panitia ini guna menyempurnakan rumusan Pancasila dari pidato Soekarno dalam versi Piagam Jakarta.136 Soekarno sebagai ketua Panitia Sembilan memanfaatkan masa persidangan Chuo Sangi In (berdiri 1943) pada 18-21 Juni di Jakarta untuk membicarakan soal tugas-tugas Panitia Sembilan. Panitia Sembilan bertugas merumuskan rancangan Pembukaan Undang - Undang Dasar (Preambule), membuat Dasar Negara.137 Dibentuknya panitia ini sebagai ikhtiar agar bersatunya pandangan golongan kebangsaan

133Ahmad Safii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, 102. 134Moh. Tolchah Mansoer, Teks Resmi dan Beberapa Soal tentang U.U.D 1945, (Bandung: ALUMNI, 1983), 74. 135Chuo Sangi In adalah Badan Pertimbangan Pusat, lihat Hari-hari Menjelang Proklamasi, 4. 136Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015), Cet. Ke-V, 39. 137Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, 76. 70

dan golongan Islam, akhirnya pada 22 Juni 1945 Panitia Sembilan berhasil membentuk Rancangan Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 yang di dalamnya tercantum tujuan dan dasar negara, naskah pembukaan tersebut kemudian dikenal dengan Istilah Piagam Jakarta.138 Kemudian berdiri Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) oleh Jepang pada 7 Agustus 1945, diresmikan pada tanggal 12 Agustus 1945 rencananya akan mulai bekerja pada tanggal 19 Agustus 1945 untuk menyelesaikan konstitusi,139 dengan jumlah anggota 21 orang, ketua Ir. Soekarno dan wakil ketua Moh. Hatta termasuk di dalamnya Wahid Hasyim sebagai anggota. Jepang telah terdesak menghadapi sendiri musuh- musuhnya sementara Italia dan Jerman telah lebih dulu menyerah,140 kemudian kota Nagasakti dan Hirosima dibom atom oleh sekutu (Amerika) pada 6 Agustus dan 9 Agustus,141 dan penyerahan tanpa sarat dari Jepang. Pada 14 Agustus 1945 para delegasi Indonesia yang datang dari Saigun memberitakan bahwa Kota Nagasakti dan Hirosima sudah dibom, ini merupakan kesempatan bagus untuk Indonesia segera memerdekakan diri,

138Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Piagam Jakarta: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI Press, 1995), 43. 139Penyambutan pembentukan PPKI dilakukan pada tanggal 12 Agustus 1945 di Tidar Undozyo Magelang, hal ini mendapat sambutan dan perhatian besar dari penduduk dan semua golongan. Lihat. “Rapat Besar Menyamboet Pembentoekan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia,” Asia Raya, Agoest 2605 Th. ke IV No. 191. 140Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau (B.P.S.I.M), Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Minangkabau 1945- 1950, 105. 141Slamet Muljana, Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan, 31.

71

soal kemerdekaan sudah berada di tangan Indonesia sebagai hak dan wewenang rakyat. 18 Agustus 1945 merupakan awal pertemuan membicarakan lembaga tersebut untuk membicarakan konstitusi.142 Awalnya PPKI dibentuk sebagai badan yang mengurus persiapan penyerahan pemerintahan dari Jepang ke pihak PPKI. Selain itu PPKI juga bertugas menyelesaikan dan mengesahkan Rancangan UU Dasar dan Falsafah Negara Indonesia yang sudah dipersiapkan oleh BPUPKI,143 memusyawarahkan cara proklamasi kemerdekaan Indonesia, memilih presiden dan wakil presiden,144 serta membicarakan struktur negara menurut Undang - Undang Dasar 1945.145 Pada 18 Agustus 1945 PPKI menetapkan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia, memilih Ir. Soekarno- Moh. Hatta sebagai Presiden dan wakil Presiden,146 dibentuknya Komite Nasional,147 menetapkan bahwa Indonesia bukanlah

142R.E Elson, Another Look at Jakarta Charter Controvercy of 1945, (Jstore: Southeast Asia Program Publications at Cornell University, 2009), diakses pada 8 Maret 2018 pukul 8:05 WIB, 119. 143Hatta mengatakan dalam sambutannya pada saat pemebntukan PPKI, bahwa PPKI ini bertugas dan berkewajiban menyusun kemerdekaan Indonesia dengan selekas-lekasnya. Wahid Hasyim juga mengatakan dalam sambutannya bahwa PPKI sebagai langkah yang paling akhir ke arah Indoneisa merdeka. Lihat, “Samboetan Para Terkemuka atas Pembentoekan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia,” Soeara Asia, Kemis Pon, 9 Agoest 2605, Th ke IV, No. 191. 144D. Rini Yuniarti, BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI, 30. 145Mohammad Hatta, Memoir, (Jakarta: PT Tintamas Indonesia, 1979), cet. I, 461. 14620 Tahun Indonesia Merdeka, (Departemen Penerangan RI), Jilid II, 117. 147Beberapa upaya Komite Nasional yakni menyatakan keamanan rakyat Indonesia untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka, mempersatukan rakyat dari segala lapisan dan jabatan, supaya terpadu pada segala tempat di seluruh Indonesia, membantu keamanan rakyat dan turut menjaga keselamatan umum, membantu pemimpin dalam menyelenggarakan cita-cita Bangsa 72

negara Islam melainkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan lain-lain. Dalam waktu yang panjang tanggal 1 Juni 1945 dapat diartikan sebagai hari lahir Pancasila, pada hari itulah lima prinsip dasar negara dikemukakan. Meskipun begitu lima prinsip dasar tersebut memerlukan persetujuan kolektif dari anggota lainnya melalui perumusan Piagam Jakarta (22 Juni 1945). Kemudian mendapat keputusan akhir melalui proses pengesahan konstitusional pada tanggal 18 Agustus 1945.148 Sejak disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945, sejak itu pula Pancasila dapat dikatakan sebagai falsafah negara, padangan hidup, ideologi negara, dan pemersatu peri kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. PPKI dipandang sebagai salah satu kekuatan dan patokan Indonesia kokoh. Karena PPKI memiliki tanggung jawab mendudukkan Indonesia agar kokoh dan tegap berdasarkan sendi- sendi yang akan mempersatukan seluruh rakyat Indonesia. Wahid Hasyim juga mengatakan PPKI ialah langkah yang paling akhir untuk menuju kemerdekaan, di sinilah letak bangun atau jatuhnya, mulia atau hancurnya bangsa Indonesia. Namun meskipun begitu PPKI bukan berarti sumber yang dapat menghitamkan atau memutihkan Indonesia, atau menegakkan dan meruntuhkannya, akan tetapi kembali kepada dorongan rakyat Indonesia sendiri untuk membangun dan mengokohkan Indonesia

Indonesia, dan di daerah membantu pemerintah daerah untuk kesejahteraan umum. Lihat arsip “Sekretariat Negara RI 1945-1949”, No. Inventaris 155, Thn. 1945, 4. 148Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, 40.

73

melalui sokongannya terhadap PPKI dalam pembentukan dan perumusan dasar negara, dll.149 Pembentukan PPKI ini sangat tidak disangka-sangka oleh beberapa pemimpin dan tokoh Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh Dr. Radjiman bahwasanya pembentukan PPKI di luar dugaannya, terbentuk lebih cepat pada 7 Agustus 1945.

C. Hubungan KH Abdul Wahid Hasyim dengan Jepang Selain aktif dalam bidang politik dan organisasi seperti NU, MIAI,150 Masyumi, Wahid Hasyim aktif juga dalam bidang tulis menulis. Ia mengelola seperti Soeloeh Nahdatoel Ulama, Berita Nahdatoel Oelama151 pada majalah ini ia menjadi seorang redaktur. Wahid Hasyim juga membentuk Badan Propaganda Islam, setiap anggota Badan Propaganda Islam giat berorasi melalui radio-radio dan pada rapat-rapat umum.152 Wahid Hasyim selalu optimis dan meyakini bahwa kemerdekaan sudah semakin dekat, maka dari itu rakyat Indonesia harus lebih memiliki rasa nasionalisme untuk bebas dari kesulitan yang

149Soeara Asia “Samboetan Para Terkemuka atas Pembentoekan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia”, Kemis Pon, 9 Agustus 1945, Tahun ke VI-No. 191. 150MIAI merupakan salah satu organisasi yang mewadahi Wahid Hasyim dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Bisa dilihat dalam majalah “Ma’loemat Dewan M.I.A.I”, Berita Nahdatoel Oelama, November, No. 1, Th. ke.11, 9/9. 151Dapat dilihat di cover majalah Soeloeh Nahdatoel Oelama dan Berita Nahdatoel Oelama Wahid Hasyim tertera sebagai salah satu redaktur, hal ini menunjukkan bahwa ia cukup berpengaruh dalam tulisan, namun sayangnya kebanyak tulisan Wahid Hasyim tidak disertakan nama penulis (anonim). 152Lihat laporan penelitian Choirun Niswah, “Wahid Hasyim dan Pancasila: Studi Pemikiran atas Pemikirannya tentang Dasar Negara (1945- 1953),” (Laporan Penelitian, Pusat Penelitian Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah Palembang (1999/2000). 74

diciptakan para penjajah. Sesekali Wahid Hasyim menyinggung Jepang di mana berwacana akan memerdekakan Indonesia di kemudian hari, baik dalam pidato maupun tulisan.153 Di samping itu, Jepang memang sudah berminat dan sengaja mendekati pemimpin Islam dari pada pemimpin nasionalis sekuler, dengan harapan para pemimpin Islam dapat digunakan sebagai bahan propaganda.154 Sebenarnya awal dari Wahid Hasyim mendekati Jepang bermula saat Pesantren Tebuireng ditutup oleh Jepang, kemudian KH Hasyim Asy’ari155 dipenjarakan oleh Jepang hal ini karena KH Hasyim Asy’ari memiliki banyak pengikut dan dianggap akan mengancam keberadaan Jepang, apalagi saat Hasyim Asy’ari menolak seikeirei156 ia dipenjarakan dengan alasan membuat kerusuhan di pabrik gula Jombang, padahal ini hanya tak tik Jepang untuk menjauhkan Hasyim Asy’ari dengan masyarakat. Namun akhirnya dibebaskan pada 18 Agustus 1942 karena mendapat banyak protes dari pemuka agama, Jepang khawatir simpati masyarakat berkurang karena Jepang telah memenjarakan tokoh yang paling masyarakat segani dan

153Nugroho Dewanto, Wahid Hasjim dari Tebuireng untuk Republik, 92. 154Munawir Haris, “Potret Partisipasi NU di Indonesia dalam Lintasan Sejarah,” Jurnal Review Politik: Kajian Islam dan Politik, Volume 02, Nomor 02, Agustus 2012, 101. 155KH Hasyim Asy’ari merupakan ayah dari KH Abdul Wahid Hasyim. Kh Hasyim Asy’ari merupakan pendiri NU, lihat. Aguk Irawan MN, Penakluk Badai: Novel Biografi KH Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: Qalam Nusantara, 2016), cet. IV, 404-417. 156Seikeirei merupakan acara ritual membungkukkan badan ke arah kaisar Tenno Haika, yang dipercaya oleh Jepang sebagai Dewa Matahari. Namun ritual ini ditolak karena dianggap bertentangan dengan ilmu tauhid ummat Islam. Lihat. Munawir Haris, “Potret Partisipasi Politik NU di Indonesia dalam Lintasan Sejarah,” Junral Review Politik, Vol. 02, No. 02, Agustus 2012, 101.

75

percayai.157 Kekejaman Jepang semakin hari semakin nyata, tidak hanya kerugian bidang materiil, tapi juga dari sisi mentalitas dan kehormatan, ketika itu para perempuan Indonesia dijadikan sebagai pemuas seks tentara Jepang, tak hanya itu rakyat juga tidak bebas mengeluarkan berpendapat.158 Akhirnya Wahid Hasyim pergi ke Jakarta mencari dan menjalin hubungan dengan pembesar-pembesar Jepang. Kemudian ia bertemu dengan Hamid Nobuharu Ono orang yang mengerti Islam dari Jepang, dan kebetulan ia tertarik pada Nahdatul Ulama, sehingga sering mengikuti acara peci hitam di majelis KH Hasyim Asy’ari. Lewat Hamid Ono akhirnya KH Hasyim Asy’ari dibebaskan dari penjara pada akhir tahun 1943. Perkenalan melalui Hamid Ono inilah menjadi kesempatan Wahid Hasyim untuk melancong ke Jepang, bukan untuk tunduk pada Jepang tapi untuk kepentingan rakyat Indonesia sendiri seperti untuk memudahkan pergi haji dengan membeli kapal laut sendiri khusus untuk rakyat tidak lagi menggunakan milik penjajah.159 Usahanya mendekati Jepang berjalan sesuai rencana, ia diajak bergabung untuk mengurus pemerintahan, Wahid Hasyim ditunjuk sebagai ketua Masjlis Syuro Muslimin

157Munawir Haris, “Potret Partisipasi NU di Indonesia dalam Lintasan Sejarah,” Jurnal Review Politik: Kajian Islam dan Politik, Volume 02, Nomor 02, (Agustus 2012), 101. 158Nidjo Sandjojo, Abdul Latif Hendraningrat Sang Pengibar Bendera Pusaka 17 Agustus 1945, (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, Anggota IKAPI, 2011), 23. 159Nugroho Dewanto, Wahid Hasjim dari Tebuireng untuk Republik, 94. 76

Indonesia (Masyumi)160 dalam kesempatan ini Wahid Hasyim membentuk sebuah barisan Hizbullah161 yang akan membantu masyarakat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, Hizbullah berdiri pada tahun 1944.162 Awalnya Jepang mencurigai barisan Hizbullah, namun Wahid Hasyim berhasil membuat Jepang percaya bahwa barisan Hizbullah tersebut untuk kemenangan Asia Timur Raya.163 Akhirnya latihan militer Jepang berikan lewat Hizbullah pada para pemuda Islam, sehingga tidak hanya ilmu agama yang dipelajari tapi juga militer. Setelah mendapat pelatihan militer di Hizbullah banyak pemuda yang ikut bergabung dengan PETA.164 Di sini dapat kita lihat bahwa betapa cerdasnya dan begitu baiknya hubungan antara Wahid Hasyim dengan Jepang sehingga Jepang pun memercayai Wahid

160Masyumi ialah sebagai organisasi umat Islam yang bergerak di bidang Politik. Lihat, Titik Triwulan Tutik dan Jonaedi Efendi, Membaca Peta Politik Nahdatul Ulama: Sketsa Politik Kiai dan Perlawanan Kaum Muda NU, (Jakarta: Tim Lintas Pustaka, 2008), 41. 161Barisan Hizbullah semacam barisan ketentaraan yang dibuat untuk mempersiapkan kemerdekaan, dibentuk Wahid Hasyim saat ia menjabat sebagai ketua MIAI. Bandingkan dengan Munawir Haris, “Potret Partisipasi NU di Indonesia dalam Lintasan Sejarah,” 101. Dalam jurnal ini dijelaskan bahwasanya Wahid Hasyim meminta Jepang untuk mengajarkan para santri ilmu atau pelatihan ketentaraan yang dipusatkan Cibarusa ketika ia menjabat sebagai dewan Chuo Sangi In. Kemudian lahirlah Hizbullah dan Sabilillah. Kemudian dapat kita lihat bahwa tak hanya Hizbullah, namun kantor urusan agama dan MIAI pun hadir di tengah masyarakat hasil perjuangan para pemimpin para Islam dan ulama. Memalui organisasi dan lembaga tersebut Islam dapat lebih bebas bergerak, dan kehadirannya nyata dalam pemerintahan, kenegaraan, politik, dan kemasyarakatan. Baca Ahdi Makmur, Relasi Ulama Umara: Profil Historis Prilaku Politik Ulama NU di Indonesia, (Yogyakarta: IAIN Antarsari Press, 2014), 27. 162Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: PT Pusaka Utama Grafiti, 1987), 28. 163Nugroho Dewanto, Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng, 96. 164Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, 28.

77

Hasyim dengan mudah. Kemudian Jepang membentuk MIAI,165 eksistensi MIAI semakin hari semakin baik dengan segala tugas- tugasnya dan diperhitungkan oleh para penguasa. Tercatat bahwa sudah dua kali Jepang mengadakan pertemuan dengan para pemimpin MIAI,166 membicarakan banyak hal, salah satunya mengenai kemaslahatan umat Islam. Jepang pula memberikan penghargaan pada MIAI, dengan diberikannya fasilitas berupa gedung sebagai kantor MIAI di Jakarta. Wahid Hasyim sendiri pernah menjabat sebagai ketua Dewan MIAI, namun kemudian dalam surat maklumat Dewan MIAI disampaikan bahwasanya Wahid Hasyim mengundurkan diri sebagai Ketua Dewan MIAI. Hal ini dikarenakan KH Hasyim Asy’Ari (ayah Wahid Hasyim) sudah lanjut usia untuk itu ia meminta untuk Wahid Hasyim menggantikannya untuk mengurus dan memangku Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang yang berjumlah kurang lebih 1500 murid. Akhirnya Wahid Hasyim diperbolehkan mengundurkan diri sebagai Ketua Dewan MIAI, karena tidak mungkin Wahid Hasyim sekaligus menyandang dan mengurus kedua tanggung jawab besar tersebut.167 Meskipun demikian, dalam surat Dewan MIAI kepada HBNO (Himpunan

165Sekitar pembentukan MIAI sudah dijelaskan pada bab IV, berdiri pada 1937 di Surabaya, berdirinya MIAI atas prakarsa beberapa tokoh Nahdatul Ulama dan di antaranya KH Mas Mansyur, KH , KH , dan KH Hasyim Asy’ari. MIAI berdiri sebagai wadah dari organisasi-organisasi Islam seperti SI, Muhammadiyah, Al-Islam, Al-Irsyad, NU, dan lain-lain. lihat Artawijaya, Belajar dari Partai Masyumi, 52-53. 166MIAI diketuai oleh Wahid Hasyim, lihat. Berita Nahdatoel Oelama, Th. ke 10, 15 Mei 1941, h. 8/310. 167 “Ma’loemat Dewan MIAI,” Berita Nahdatoel Oelama, No.1 Th. ke- 11, November, 10/10. 78

Besar Nahdatoel Oelama), 23 September 1941 No. 788/DM mengatakan sangat menyayangkan Wahid Hasyim mengundurkan diri dari MIAI, padahal buah pikirnya sangat bagus untuk perkembangan MIAI sendiri. Berhentinya Wahid Hasyim tentulah berpengaruh kurang baik untuk MIAI, karena organisasi terebut kehilangan tokoh penting. Meskipun Wahid Hasyim sudah tidak menjabat sebagai Ketua Dewan MIAI, ia tetap saja masih diundang satu minggu sekali untuk berkunjung pada MIAI Surabaya.168 Selain mendirikan MIAI, Jepang pun mengizinkan untuk penerbitan majalah Islam yang bernama Soeara Islam.169 Kemudian Wahid Hasyim juga pernah diangkat sebagai ketua Shumubu, awalnya tugas ini diberikan pada KH Hasyim Asy’ari sebagai simbol yang dapat mempengaruhi masyarakat170, namun KH Hasyim Asy’ari melimpahkan tugas sebagai ketua Shumubu kepada Wahid Hasyim. Selanjutnya pernah menjadi salah satu anggota Chu Shang In171 atau Badan Pertimbangan Pusat, bertugas memberikan usul kepada pemerintah Jepang dan menentukan tindakan yang akan dilakukan bala tentara Jepang.172

168Berita Nahdatoel Oelama, Th. ke-11. 169Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, (Bandung: Marja, 2017), 94. 170Ahmad Safii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), 98. 171Chu Shang In berdiri pada September 1943, lihat Mohammad Hatta, Memoir. 172Rokhmani Santoso, dkk, Hari-hari Menjelang Kemerdekaan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, (Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1988), 3.

79

BAB V KIPRAH KH ABDUL WAHID HASYIM DALAM PERUMUSAN PIAGAM JAKARTA

A. Kiprah KH Abdul Wahid Hasyim dalam Perumusan Piagam Jakarta Seiring dengan terbentuknya Badan Penyelidik Usaha- usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Wahid Hasyim lagi-lagi terpilih menjadi salah satu anggota. BPUPKI dibentuk oleh pemerintah Jepang dengan nama Dokuritsu Junbi Cosakai, sebagai bentuk tindakan untuk kemerdekaan Indonesia, selain itu Jepang juga mempersiapkan Lembaga Latihan Nasional, dan lebih banyak membicarakan soal kemerdekaan Indonesia.173 Sidang-sidang BPUPKI dilakukan di Gedung Chusang In, kini Gedung Pancasila, Jalan Pejambon, Jakarta Pusat.174 Rapat BPUPKI kesulitan mengambil keputusan mengenai dasar negara. Hingga rapat terakhir, belum ada keputusan yang bisa diambil ihwal dasar negara. Maka dibentuklah tim kecil terdiri atas sembilan orang.175 Karena berjumlah sembilan orang, tim kecil tersebut juga sering disebut “Tim Sembilan” atau “Panitia Sembilan” Wahid Hasyim menjadi salah satu anggotanya. Panitia Sembilan terdiri dari Soekarno

173M.Yamin, Sapta Dharma : Patriotisme Indonesia, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), 5. 174Nugroho Dewanto, Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng, 98. 175D. Rini Yuniarti, BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI. 26. Lihat juga Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 50.

79 80

(nasionalis muslimm sekuler), Mohammad Hatta (nasionalis muslim sekuler), A. A Maramis (nasionalis Kristen sekuler), Abikoesno Tjakrasoejoso (nasioalis Islam tokoh Partai Syarikat Islam Indonesia), Abdul Kahar Muzakkir (nasionalis Islam tokoh Muhammadiyah), Haji Agus Salim (nasionalis Islam tokoh Partai Penyadar), (nasionalis muslim sekuler), Muhammad Yamin (nasionalis muslim sekuler), dan Wahid Hasyim (nasionalis Islam tokoh Nahdatul Ulama).176 Tugas utama Panitia Sembilan, sebagaimana dinyatakan oleh ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Widyodiningrat, ada dua. Pertama, memeriksa dan menerima usulan anggota BPUPKI. Kedua, menyusun rancangan pembukaan (preambule) undang-undang dasar negara. Panitia Sembilan inilah yang bertugas membuat rancangan atau draf Preambule (pembukaan) Dasar Negara.177 Panitia ini berusaha menghasilkan suatu rumusan yang menggambarkan tujuan dan asas dari pembentukan negara Indonesia Merdeka.178 Mengenai tugas pertama, Panitia Sembilan mencatat, hingga berlangsungnya sidang hari itu, ada 40 usulan dari anggota. Oleh Tim Sembilan, 40 usulan tersebut dikelompokkan dalam sembilan jenis permasalahan di antaranya: 1) Mengenai permintaan agar Indonesia segera merdeka 2) Mengenai Dasar Negara

176Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah, (Jakarta: Majlis Himpunan Mahasiswa Islam Loyal untuk Bangsa (Mahmilub), 2007), 16. 177Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, (Bandung: Mizan, 2007), 54. 178Kerta Wijaya, Sejarah Perjuangan 130 Pahlawan dan Tokoh Pergerakan Nasional, 15.

81

3) Mengenai bentuk negara apakah negara kesatuan atau federasi 4) Mengenai kepala negara, 5) Mengenai warga negara 6) Mengenai daerah 7) Mengenai soal agama dan negara 8) Mengenai pembelaan negara 9) Mengenai keuangan.179 Soal tugas kedua, Panitia Sembilan dengan kesepakatan bulat mengajukan draf pembukaan Undang-undang yang juga dikenal sebagai Piagam Jakarta.180 Kesepakatan bersama dari sembilan orang yang tergabung dalam tim perumusan pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, disepakati secara resmi pada 22 Juni 1945. Alinea pertama mencantumkan kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” anak kalimat ini merupakan usul Wahid Hasyim. Setelah Pancasila berhasil dirumuskan sebagai dasar negara, para tokoh berdiskusi mencari landasan untuk menyusun sebuah otoritas untuk mengatur ketatanegaraan Republik Indonesia.181 Hasil sidang panitia sembilan mengenai pembukaan Undang - Undang Dasar resmi dibacakan Soekarno di hadapan

179Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang - Undang Dasar 1945, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), Jilid I, 147. 180Piagam Jakarta terlampir dalam lampiran-lampiran penulisan karya ilmiah ini. 181A. Khoirul Anam, dkk, Enslikopedia Nahdatul Ulama: Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren, (Jakarta Pusat: Nata Bangsa dan Nahdatul Ulama bekerja sama dengan PT Bank Mandiri, 2014), 212. 82

sidang BPUPKI pada 10 Juli 1945, dan telah resmi ditandatangani oleh sembilan anggota panitia sembilan di Jakarta pada 22 Juni 1945 oleh karena itulah pembukaan Undang - Undang Dasar disebut Piagam Jakarta. Pada 11 Juli 1945 Latuharhary182 merasa keberatan dengan klausa “...dengan kewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya” dapat menimbulkan kekacauan seperti dalam bidang -istiadat.183 Kemudian Agus Salim berargumen untuk menanggapi pendapat Latuharhary soal hukum agama dan hukum adat sudah selesai, lagi pula agama lain tidak perlu khawatir karena keamanannya tidak tergantung pada kekuasaan negara, karena Islam bersifat melindungi saat berkuasa. Otoritas agama dengan otoritas negara dalam Islam bisa dibedakan.184 Anggota BPUPKI lainnya yang turut mengomentari usulan Wahid Hasyim adalah Prof. Djadjadiningrat, Mr. , dan Oto Iskandar Dinata. Ketiganya cenderung tidak setuju dengan usulan Wahid Hasyim, tujuh kata tersebut akan menimbulkan fanatisme dan seakan-akan memaksa menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.185 Namun kemudian Soekarno kembali mengingatkan rancangan ini sudah berdasarkan kesepakatan dua golongan, nasionalis Islam dan

182Salah satu anggota BPUPKI berasal dari golongan Protestan dan termasuk pada kelompok nasionalis sekuler. 183Menanggapi pendapat Latuharhary mengenai penolakannya terhadap anak kalimat dalam sila pertama, Wahid Hasyim dari kursi nomor 50 dengan lantang mengatakan, “Ada yang menganggap kalimat ini tajam, ada juga yang menganggap kurang tajam.” 184Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasioalitas, dan Aktulitas Pancasila, 73. 185Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 76.

83

nasionalis sekuler. Golongan Islam berpandangan negara tidak dapat dipisahkan dengan agama. Sedangkan golongan kebangsaan menginginkan negara dan agama dipisahkan saja supaya lebih netral. Masing-masing golongan memiliki pandangan tersendiri, begitu pun golongan Islam tidak semua berpandangan bahwa urusan negara dan urusan agama harus digabungkan.186 Sementara itu ada beberapa kalangan Islam sendiri yang menyampaikan tidak setuju, yaitu H. Ahmad Sanoesi dan Ki Bagoes Hadikoesoemo. Ki Bagoes Hasikoesoemo187 mengatakan, “Saya menguatkan pendapat H. Ahmad Sanoesi dalam pembukaan di sini yang mengatakan bahwa perkataan, “dengan kewajiban syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, menurut keterangan H. Ahmad Sanoesi menambah janggal kata-kata. Saya harap klausa “bagi pemeluk-pemeluknya” dihilangkan saja. Saya masih ragu-ragu bahwa di Indonesia banyak perpecahan dan pada praktiknya maksudnya sama saja. Itulah pendapat saya yang menguatkan permintaan H. Ahmad Sanoesi.”188 Sementara itu, , anggota BPUPKI, mengomentari perdebatan itu

186Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, 69. 187Ki Bagus Hadikoesoemo ialah tokoh dari organisasi Muhammadiyah, lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, 31. 188Sependapat dengan Kiai Ahmad Sanusi, Ki Bagus Hadikoesoemo tidak menyetujui rumusan “negara berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” ia mengusulkan agar kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dihilangkan saja, lihat. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, 21. 84

sebagai “polarisasi yang terbentuk sejak awal BPUPKI bersidang Indonesia sebagai negara Islam atau bukan”.189 Kemudian Soekarno menegaskan kembali bahwa hal ini telah disepakati dengan bulat oleh Panitia Sembilan dan hasil jerih payah nasionalis Islam dan nasionalis sekuler. Jika dihapuskan akan menimbulkan kekecewaan golongan Islam. Kemudian pada 13 Juli 1945, dalam persidangan BPUPKI, Wahid Hasyim mengusulkan dua hal untuk dimasukkan dalam rancangan UUD. Pertama, pasal 4 ayat 2 yang mengatur tentang Presiden dan Wakil Presiden. Mula-mula draf pasal 4 ayat 2 berbunyi, “Yang dapat menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli”.190 Wahid Hasyim mengusulkan agar ayat ini ditambahkan dengan kata-kata, “yang beragama Islam.” Jadi, pasal 4 ayat 2 akan berbunyi, “Yang dapat menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam.”191 Usulan kedua, agar pasal 29 mengenai agama diubah. Dalam draf pasal 29 berbunyi, “Negara Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apa pun dan untuk beribadat menurut agamanya masing- masing.” Wahid Hasyim mengusulkan agar pasal 29 ini diganti dengan kalimat, “Agama negara adalah agama Islam, dengan

189Nugroho Dewanto, Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng, 99-100. 190Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 75. 191Menurut Saifuddin Zuhri salah satu sifat Wahid Hasyim yakni mudah bertoleransi namun jika menyangkut negara Ia memang bersifat kaku dan tidak mudah untuk ditawar-tawar. Termasuk saat memberikan pendapat mengenai kepala negara dan agama resmi negara dalam sidang-sidang BPUPKI. Lihat, Ahdi Makmur, Relasi Ulama Umara: Profil Historis Politik Ulama NU di Indonesia, 29.

85

menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain,....” Hal ini, menurut dia, berkaitan erat dengan pembelaan negara.192 Berbeda dengan respons sebelumnya, mendengar dua usulan ini, Haji Agus Salim langsung menolak dan meminta agar masalah ini diserahkan ke Badan Permusyawaratan Rakyat.193 Sebaliknya, Soekiman mendukung usulan Wahid Hasyim dengan mengatakan, “Usulan-usulan Wahid Hasyim akan memuaskan rakyat, dan pada hakikatnya tidak akan ada akibat apa-apa, maka saya setuju dengan usulan Wahid Hasyim. Begitu juga KH Masykur, ia juga berpandangan bahwa kepala negara haruslah beragama Islam mengingat 95% penduduk beragama Islam, karena jika bukan seorang muslim tidak akan menjalankan hukum dengan seksama dan tidak akan diterima oleh orang Islam. Sementara Kahar Muzakkir menginginkan seluruh kalimat berunsur Islam dalam undang-undang untuk dihapus secara keseluruhan. Kahar Muzakkir,194 berbicara dengan keras sambil memukul meja. Ia mengatakan, “Saya mau mengusulkan

192Pendapat Wahid Hasyim mengenai pasal 4 ayat 2 memiliki argumen kuat tersendiri, alasannya untuk masyarakat Islam penting sekali hubungan antara pemerintah dengan masyarakat, jika presiden orang Islam maka perintah-perintah akan berbau Islam. Kemudian usul pada pasal 29 ia berpendapat bahwa kenapa agama negara harus agama Islam? Ini berhubungan dengan pembelaan, karena menurut ajaran agama nyawa hanya boleh diserahkan hanya untuk ideologi agama. Lihat, Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, 30. 193H. Agus Salim menanyakan saat persidangan jika presiden harus beragama Islam, lalu bagaimana dengan wakil presiden, duta-duta, dan pejabat lain. Poin mengenai presiden ini menjadi pembahasan yang berliku dan panjang dalam rapat. 194Abdul Kahar Muzakir adalah salah satu wakil Islam. 86

kompromi, Paduka Tuan Ketua, kami sekalian yang dinamakan wakil-wakil umat Islam mohon dengan hormat, supaya dari permulaan pernyataan Indonesia merdeka sampai kepada pasal di dalam Undang - Undang Dasar itu, yang menyebut-nyebut Allah atau agama Islam atau apa saja, dicoret sama sekali. Hal ini lantaran Kahar Muzakkir merasa kecewa usulan golongan Islam tidak diindahkan oleh Soekarno. Soekarno mengatakkan memahami usul mengenai kepala negara haruslah beragama Islam, namun menurutnya kepala negara Indonesia akan beragama Islam dengan sendirinya tanpa harus dicantumkan dalam dasar negara, karena Indonesia mayoritas Islam. Sehingga kaum nasionalis berkepercayaan penuh orang yang akan dipilih masyarakat ialah kepala negara beragama Islam.195 Usul Kahar Muzakkir ini didukung Ki Bagoes Hadikoesoemo, Islam mengandung ideologi negara sehingga tidak dapat dipisahkan dari negara, sehingga jika ideologi Islam tidak diterima maka negara ini tidak berdiri berdasarkan agama Islam. “kalau ideologi Islam tidak diterima, tidak diterima! Maka jelas Indonesia netral” demikian ungkapan Ki Bagoes Hadikoesomo dalam pesidangan,196 suasana sidang semakin memanas.

195Baca Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, 35-36. 196Lihat juga Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara: Mencari Isi, Bentuk, dan Makna, 38. Tanggal 15 Juli terjadi debat, Kahar Muzakkir dan Ki Bagoes Hadikoesoemo dengan nada keras mengatakan jika Piagam Jakarta tidak disetujui, maka lebih baik semua usul yang beracuan pada agama Islam dihapuskan saja sekalian. Hingga akhirnya Soekarno pada tanggal 16 Juli memnta toleransi pada nasionalis sekuler untuk mengalah.

87

Poin mengenai presiden akhirnya diputuskan dalam sidang 16 Juli. Soekarno meminta pemahaman kepada segenap kelompok sekuler untuk menerima usul dari kelompok Islam. “Baiklah kita terima bahwa di dalam Undang - Undang Dasar dituliskan bahwa Presiden Republik Indonesia haruslah orang Indonesia asli dan beragama Islam.197 “Saya minta, apa yang telah diusulkan mengenai pasal 4, pasal 28 ayat 1 dan 2 dapat diterima dengan bulat-bulat oleh anggota sekalian, walaupun saya mengetahui bahwa ini berarti pengorbanan yang sehebat- hebatnya, terutama sekali dari pihak saudara-saudara kaum patriot Latuharhary dan Maramis, yang tidak beragama Islam. Hal ini supaya kita bisa lekas segera merdeka, bisa lekas damai. “Demikianlah Paduka Tuan Ketua yang mulia penjelasan saya. Saya harap, Paduka Tuan Ketua yang mulia suka mengusahakan supaya sedapat mungkin dengan lekas mendapat kebulatan dan persetujuan yang sebulat-bulatnya dari segenap sidang untuk apa yang saya usulkan tadi itu,” kata Soekarno.198 Ketua sidang Radjiman Widyodiningrat kemudian menanyakan kepada anggota sidang apakah usulan Soekarno bisa diterima. Soepomo menjelaskan pendapatnya. Ia menyatakan sepakat dengan usulan panitia perancang undang-undang. Akhirnya, untuk mengambil keputusan, Radjiman meminta seluruh anggota BPUPKI menyatakan pendapat. Pihak yang setuju dengan Soekarno diminta berdiri. Ternyata hanya tiga

197Nugroho Dewanto, Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng, 102. 198Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 80. 88

anggota dari kalangan Tionghoa yang menyatakan tidak mufakat. Akhirnya, persidangan hari itu ditutup Radjiman dengan mangatakan, “Jadi, rancangan ini sudah diterima semuanya. Saya ulangi lagi, undang-undang dasar ini kita terima dengan sebulat- bulatnya.” Itulah hasil persidangan BPUPKI sebelum akhirnya badan ini dibubarkan pemerintah Jepang.199 Di sini terlihat jelas kaum nasionalis Islam ikut berperan dalam pembentukan Piagam Jakarta, dengan pendapat-pendapatnya yang berusaha memasukkan ruh Islam pada Dasar Negara.200 Rumusan-rumusan yang menggambarkan perjuangan Wahid Hasyim untuk memasukkan ruh Islam ke dalam Negara Indonesia mendapat persetujuan bulat anggota BPUPKI, meskipun dalam prosesnya ada banyak tantangan dan sanggahan. Piagam Jakarta ini merupakan hasil akhir perjuangan Panitia Sembilan dalam perjuangan untuk kemerdekaan, dan dalam waktu yang sama menjadi titik pembangunan dan perkembangan di masa mendatang. hal ini juga diungkapkan oleh Yamin “Adapun isi proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu sesuai yang tertulis dalam Piagam Jakarta”.201 Tetapi setelah BPUPKI pada 7 Agustus 1945 dibubarkan Jepang, dan sebagai gantinya dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), seluruh rumusan dan usulan Wahid Hasyim menyangkut Islam jatuh berguguran.

199Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 81. 200Moh. Mahfud, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 16. 201Lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, 41.

89

B. Respons KH Abdul Wahid Hasyim dan Kelompok Islam terhadap Penghapusan Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta Pengumuman resmi mengenai hilangnya rumusan- rumusan yang berunsur Islam itu dibacakan Mohammad Hatta dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945. Hilangnya frasa “yang beragama Islam” dalam pasal (6 alinea 1), yang mengatur tentang Presiden dan Wakil Presiden; dan tujuh kata dalam pasal 29, yang mengatur soal agama, menurut penjelasan Hatta, merupakan perubahan maha penting yang menyatukan segala bangsa. Berikut lampiran usul perubahan pembukaan dan batang tubuh Undang - Undang Dasar: 1) Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata “Pembukaan”. 2) Dalam Preambule (Piagam Jakarta), anak kalimat: “Berdasarkan kepada Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. 3) Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret. 4) Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka pasal 29 menjadi “Negara berdasarkan atas Ke- Tuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban 90

menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya”.202 Soekarno menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar yang dibuat ini merupakan Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, Revolutiegrondwet. Hal ini telah dibicarakan dengan Dokuritsu Zyunbi Tyosakai, Soekarno meminta agar dalam perundingan ini hanya akan dibahas hal yang penting-penting dan secara umum, hal-hal yang kecil akan dikesampingkan agar Undang - Undang Dasar segera tersusun dalam waktu singkat.203 Ia juga menyampaikan untuk diingatkan perihal Undang - Undang Dasar Kilat ini, agar dikemudian hari dapat disempurnakan kembali.204 Banyak pihak mempertanyakan mengenai hilangnya ketentuan-ketentuan penting tersebut. Asal mula hilangnya “tujuh kata” dalam preambule serta batang tubuh UUD 1945 itu bermula dari informasi yang disampaikan Hatta. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, sore hari, 17 Agustus 1945, Hatta menerima telepon dari Nhisijima, pembantu Laksamana Maeda. Dia bertanya apakah Hatta bersedia bertemu dengan opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang), yang ingin mengemukakan hal penting bagi Indonesia. Nishijima sendiri akan menjadi juru bicaranya. Hatta pun mempersilahkan mereka datang.205

202Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis dan Nasionalis “Sekular” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, 42. 203 Tantang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante, Jilid I, (T. tp: T.pn, t.t, ), 311. 204 Tantang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante, Jilid I, 316. 205Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 82.

91

Hatta diberi tahu bahwa rakyat di Indonesia timur, yang beragama Katolik dan Protestan, akan menolak masuk ke dalam Republik Indonesia, yang baru saja diproklamasikan, jika di dalam undang-undang dasar terdapat rumusan, “ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya.” Mereka merasa ada semacam diskriminasi bila rumusan itu dipertahankan. Berdasarkan informasi perwira Jepang inilah, pada 18 Agustus 1945, sebelum sidang PPKI dimulai, Hatta membujuk (lobbying) empat wakil kalangan Islam untuk mencoret semua rumusan yang berbau Islam dari konstitusi, di antaranya Ki Bagoes Hadikoesomo, Wahid Hasyim, Kasman Siongodimedjo, Teuku Muhammad Hassan.206 Reaksi positif dari Teuku Hassan atas perubahan yang diajukan Hatta dapat kita pahami, karena ia bukanlah golongan kelompok nasionalis Islam. Kasman Singodimedjo baru mendapat undangan pada pagi hari 18 Agustus sebagai tambahan anggota baru,207 ia juga baru pertama kalinya melihat rancangan UUD sehingga belum memahami betul permasalahannya. Sementara itu ada perdebatan mengenai kehadiran Wahid Hasyim dalam lobbying Hatta ada yang mengatakan bahwa Wahid Hasyim tidak hadir dalam perundingan ini208 namun ada pula yang mengatakan hadir

206Muhammad Hatta, Memoir, 459. Lihat juga Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup Itu Berjuang:Kasman Singodimedjo 75 Tahun, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), 130. 207S.U Bajasut, Alam Fikiran dan Djedjak Perdjuangan Prawoto Mangkusaswito, (Surabaja: Documenta, 1972), 312. 208Lihat buku, S.U Bajasut, Alam Fikiran dan Djedjak Perdjuangan Prawoto Mangkusaswito, (Surabaja: Documenta, 1972), 320. Menjelaskan bahwa Wahid Hasyim tidak ada dalam lobbying Hatta, karena masih dalam perjalanan di Jawa Timur. 92

dan ia pun menyetujui dihapuskannya tujuh kata dalam pembukaan dasar negara, mengenai kehadiran Wahid Hasyim dijelaskan dalam memoir Muhammad Hatta. Bahkan menurut Kasman Singodimedjo, Wahid Hasyim yang berusaha meyakinkan Ki Bagoes Hadikoesoemo.209 Tak hanya memoir yang ditulis oleh Mohammad Hatta yang membuktikan bahwasanya Wahid Hasyim hadir dalam rapat 18 Agustus 1945, naskah Yamin pun menjadi penguat. Di mana ia menuliskan secara rinci siapa saja yang hadir dalam persidangan PPKI, pada 18 Agustus persidangan diketuai oleh Ir. Soekarno, wakil Moh. Hatta anggota sebagai berikut: 1. Soepomo 2. Radjiman 3. Suroso 4. Sutardjo 5. Wahid Hasyim 6. Ki Bagus Hadikusumo 7. Oto Iskandardinata 8. Abdul Kadir 9. Surjohamidjojo 10. Purubojo 11. Yap Tjwan Bing 12. Latuharhary 13. Dr. Amir 14. Abd. Abbas

209Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna, 39-40.

93

15. Moh. Hassan 16. Hamdhani 17. Ratulangi 18. Andipangeran 19. I Gusti Ktut Pudja 20. Wiranata Kusuma 21. 22. Mr. Kasman 23. Sajuti 24. Kusuma Sumantri 25. Subardjo Dari data di atas terlihat bahwa Wahid Hasyim ikut serta dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945,210 sehingga memungkinkan ketika itu ia bertemu Hatta dan mengompromikan soal penghapusan tujuh kata bersama tokoh Islam lainnya.211 Nugroho Notosusanto (mengutip Lembaga Sejarah Hankam) menuliskan orang-orang yang hadir dalam upacara Proklamasi kemerdekaan Indonesia, di antaranya Soekarno, Hatta, Abikoesno Tjokrosoedjoso, Soekardjo Wirjopranoto, Soetardjo Karthohadikoesoemo, Wahid Hasyim, Radjiman Wedyodiningrat, dan lain-lain.212 Kehadiran Wahid Hasyim

210Kasman juga menerangkan bahwa Wahid Hasyim ikut serta dalam lobbying Hatta. Baca Hidup Itu Berjuang:Kasman Singodimedjo 75 Tahun,130. 211Untuk lebih lengkap soal persidangan PPKI, seperti siapa saja anggota yang hadir dan apa yang dibicarakan dalam persidangan, dapat dilihat pada buku karya Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang - Undang Dasar 1945, 399. 212Untuk lebih lengkap mengetahui siapa saja yang hadir dalam upacara Proklamasi, lihat. Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah, 34. 94

dalam Proklamasi kemerdekaan mendukung keterangan Hatta bahwa Wahid Hasyim pada tanggal 18 Agustus 1945 hadir dalam persidangan.213 Tersisa Ki Bagoes Hadikoesoemo, ia sangat gigih mempertahankan Piagam Jakarta dengan anak kalimatnya namun akhirnya ia pun terbujuk Kasman dan menyetujui hal-hal yang disampaikan Hatta dengan berat hati. Usaha membujuk Ki Bagoes Hadikoesoemo dilakukan oleh Kasman Singodimedjo dengan berbagai argumentasi.214 Saifuddin Zuhri menceritakan bagaimana Wahid Hasyim menjelaskan kesepakatan tersebut: “Pertama: situasi politik dan keamanan dalam permulaan revolusi memang memerlukan persatuan dan kesatuan bangsa. Kedua: sebagai golongan minoritas mereka memang dapat melakukan politik ofensif bahkan disertai tekanan politik (chantage) seolah-olah ditindaas oleh golongan mayoritas. Sebagai golongan yang paling berkepentingan tergalangnya persatuan dan kesatuan dalam menghadapi Belanda yang masih memiliki kaki tangan di mana-mana, para pemimpin Islam dan nasionalis memenuhi tuntutan mereka. Dengan pengertian: Bahwa kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya akan dapat ditampung dengan melaksanakan fasal 29 ayat 2 UUD 45 secara jujur yaitu ayat yang berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu.”

213Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta:Tinjauan Hukum dan Sejarah, 34-35. 214Untuk lebih lengkapnya dapat membaca buku Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekular” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, 47-50.

95

Akhirnya kelompok Islam menerima hasil pertemuan 18 Agustus 1945 berupa keputusan penghapusan kalimat-kalimat yang berciri Islam. Dengan demikian negara kembali pada gagasan negara persatuan.215 Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, hal ini karena situasi dan kondisi tanah air masih dalam bahaya, di mana tentara sekutu sudah mengelilingi Indonesia akan mengembalikan kolonialisme Belanda untuk menjajah kembali.216 Meskipun begitu, sebenarnya umat Islam merasa sulit dan menyakitkan menerima kenyataan bahwa tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan, terutama tokoh-tokoh yang memberikan usul dan mencurahkan gagasan-gagasan di dalam persidangan, mereka beradu gagasan dan bertukar pikiran bersama kelompok lain untuk merumuskan Undang-undang Dasar dan dasar negara Indonesia.217 Namun karena saat itu situasi darurat dan menjepit, sekali lagi dijelaskan bahwa kaum nasionalis Islam menerima dengan lapang dada, lagi pula Soekarno mengatakan, ini hanya Undang - Undang Sementara yang suatu saat akan dapat diubah dan dirundingkan kembali jika situasi memungkinkan.218 Masa revolusi bukanlah saat yang tepat bagi para nasionalis Islam untuk mendesak terlaksananya cita-cita Islam mereka. Bagi

215Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, 83-85. 216Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis dan Nasionalis “Sekular” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, 59. 217Artawijaya, Belajar dari Partai Masyumi, (Jakarta: Al-Kautsar, 2014), 54-55. 218A. Syafi’i Maarif, Deliar Noer, dkk, Syariat Islam Yes Syariat Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, 6. 96

mereka mempertahankan persatuan dan kemerdekaan Indonesia jauh lebih penting dan harus didahulukan. Pandangan seperti ini antara lain tersimpul dalam pidato Kasman Singodimedjo dalam konstituante yang mengutarakan mengapa kelompok Islam tidak mengajukan protes ketika ketentuan Islami dihilangkan dalam Piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945. Pada saat seperti itu, katanya, mengingat kalahnya Jepang dan mendaratnya tentara sekutu, tidaklah tepat membicarakan materi tersebut dengan mendalam. Itulah sebabnya mengapa kelompok Islami mengesampingkan prinsip-prinsip mereka sendiri tentang filsafat negara dan konstitusi, dengan pengharapan di masa yang akan datang, di mana keadaan mengizinkan akan ada musyawarah kembali terkait dasar negara.219 Tercantumnya tujuh kata dalam pembukaan Undang - Undang Dasar dianggap mengadakan diskriminasi terhadap kaum minoritas. Demikianlah kenapa dihapuskannya anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya”.220 Anak kalimat (tujuh kata kompromi) ini tidak hanya tercantum dalam preambule namun juga tertulis dalam Undang - Undang Dasar pasal 29 ayat 1.221 Sebenarnya Hatta berusaha meyakinkan bahwa adanya kalimat tersebut bukan suatu diskriminasi, penetapan itu hanya untuk yang beragama Islam.

219Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis dan Nasionalis “Sekular” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, 60. 220Mohammad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), Jilid IV, 43. 221Ahmad Safii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, 194.

97

Lagi pula A.A Maramis (non muslim) sebagai salah satu anggota Panitia Sembilan hadir sewaktu perumusan Pembukaan Undang - Undang Dasar dan menandatangani Pembukaan Undang - Undang pada 22 Juni 1945, ia tidak keberatan dengan tujuh kata kompromi tersebut.222 Hilangnya anak kalimat tersebut dirasakan sebagai kerugian besar dan tidak sedikit yang menyayangkan atas dihapuskannya anak kalimat tersebut. Namun dihilangkannya anak kalimat itu dimaksudkan agar kelompok minoritas (golongan Protestan dan Katolik) tidak memisahkan diri dari Indonesia. Beberapa pendapat mengatakan salah satunya Alamsjah Ratu Perwiranegara pada 1987 (Menteri Agama pada saat itu) dihapuskannya tujuh kata kompromi tersebut sebagai salah satu hadiah dari kelompok Islam demi kesatuan Bangsa Indonesia.223lobbying Hatta terhadap nasionalis Islam berhasil, penghapusan tujuh kata kompromi pada 18 Agustus 1945 resmi disetujui kelompok Islam. Namun kemudian sila pertama pada Pancasila berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” hal ini sebagai salah satu peredam kegagalan politik kelompok Islam. Dalam buku Bunga Rampai dari Sejarah karya , dikatakan bahwa Ki Bagus Hadikusumo setuju dengan penghapusan tujuh kata kompromi, namun diganti dengan kalimat “Yang Maha Esa”.224 Menurut Hatta, Wahid Hasyim

222Mohammad Hatta, Memoir, cet. I, 458. 223Ahmad Safii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), 109. 224Mohammad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), Jilid IV, 82. Bandingkan dengan Wahid Hasyim dalam buku Herry Mohammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, 37. 98

dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sama saja dengan tauhid dalam Islam. Sementara Agus Salim mengatakan berusaha untuk menerima dihapuskannya tujuh kata kompromi, karena semakin tidak menerima maka rasa sakit hati semakin terasa. Ia juga berpandangan bahwa sila pertama dalam Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sudah bermakna akidah agama, ruh Piagam Jakarta akan selalu ada meski tanpa teks tertulis.225 Nilai-nilai ketuhanan sebagai sumber etika dan spiritual dianggap sangat penting untuk kehidupan bernegara. Di samping itu, Indonesia bukanlah negara sekuler yang sangat ekstrem memisahkan agama dan negara dengan memojokkan peran agama ke ruang komunitas. Negara diharapkan dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama, sementara agama diharapkan dapat menguatkan etika sosial.226 Oleh karenanya Islam percaya bahwa Indonesia dalam Pancasila dan UUD 1945 terdapat ruh Islam yang mampu mengatur umat Islam dan mewujudkan cita-citanya untuk negara dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal.227 Kesepakatan ini menandakan bahwa para pemimpin tersebut saat itu memang benar-benar mementingkan persatuan bangsa. Meskipun tujuh kata telah di hapuskan dalam Piagam

Bahwa Wahid Hasyim memberikan komentar kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” sesuai dengan Tauhid dalam Islam, dan kalangan Islam akan puas dengan kalimat pengganti ini. 225Mohammad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), Jilid IV, 83. 226Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, 43. 227Bachtiar Effendy, Repolitisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, (Bandung: Mizan, 2000), 49.

99

Jakarta, namun tetap hadir karena ada kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dan Dasar Negara.228 Singkat kata, berkat perundingan dengan tokoh perwakilan umat Islam, Hatta, yang selalu mengingatkan pentingnya menjaga Indonesia dari perpecahan, resmi mencoret semua rumusan yang berunsur Islam dalam konstitusi, termasuk tujuh kata yang menjadi kontroversi utama. Meskipun usulan Wahid Hasyim berguguran, sejarah tetap mencatat namanya sebagai wakil umat Islam yang memperjuangkan iman hingga titik terakhir. Meski pandangan- pandangannya akhirnya ditolak, ia telah memperjuangkan keyakinannya, dan mungkin juga keyakinan mayoritas umat Islam Indonesia. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan kiprahnya sebagai pemimpin.229 Sangat disayangkan Piagam Jakarta yang banyak menerima penghargaan tersebut hanya dapat bertahan selama 56 hari.230

C. Berdirinya Kementerian Agama sebagai Pengganti Dihapuskannya Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta Kementerian Agama terbentuk pada 3 Januari 1946, lembaga ini lahir lima bulan setelah kemerdekaan Indonesia. Tepatnya setelah kabinet Soekarno jatuh, dan dimulailah kabinet

228Mohammad Hatta, Memoir, (Jakarta: PT Tintamas Indonesia, 1979), cet. I, 459. 229Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, 83. 230A. Syafi’i Maarif, Deliar Noer, dkk, Syariat Islam Yes Syariat Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Paramadina, 2001), 6. 100

Syahrir, pada kabinet Syahrirlah Kementerian Agama berdiri.231 Jika dilihat dari sisi historis terbentuknya Kementerian Agama, Indonesia termasuk negara yang religius dilihat pada waktu kemerdekaan Indonesia presentasi umat Islam berjumlah 90%. Agama ialah salah satu dasar yang membuat masyarakat memperjuangkan untuk mengusir penjajah dari tanah air. Gagasan terbentuknya Kementerian Agama digagas oleh anggota BPUPKI, gagasan ini diperjuangkan melalui Badan Komite Nasional Indonesia Pusat (BKNIP). Usaha ini berhasil sampai akhirnya dikeluarkan Penetapan Pemerintah Tahun 1946 Nomor 1/SD tanggal 3 Januari 1946, tentang pendirian Departemen Agama.232 Peranan gerakan-gerakan politik Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan tidak dapat diabaikan, apalagi soal gagalnya susunan Piagam Jakarta dicantumkan dalam Pancasila dan Dasar Negara. Untuk itu dibentuknya Kementerian Agama sebagai pengganti penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, antara lain berfungsi untuk mengatasi urusan-urusan umum pemerintah di bidang keagamaan. Dibentuknya Kementerian Agama dalam susunan pemerintahan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 merupakan pemenuhan dari suatu kebutuhan, dan pemenuhan sebagai realisasi sila pertama dalam Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945.233

231Hamka, “Kementerian Agama Supaja Ditinjau Kembali,” Mimbar Agama, Th. ke-2, No- 6-7, Djuni-Djuli 1951, 13. 232Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Piagamm Jakarta: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI Press, 1995), 153. 233Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Piagamm Jakarta: Jakarta: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, 155.

101

Menurut B.J. Boland Kementerian Agama memiliki dua arti penting, pertama berfungsi memberikan jalan bagi agama- agama khususnya Islam seefektif mungkin dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kedua, di dalam negara yang penduduknya mayoritas Islam, departemen ini sebagai jalan tengah antara negara sekuler dan negara Islam. Hamka juga mengatakan bahwa kalangan Islam merasa puas karena Republik Indonesia yang ikut mereka perjuangkan dengan harta, darah, dan tenaga tidak lagi memandangnya tersisih dengan berdirinya Kementerian Agama, artinya umat Islam tidak lagi tersisih. Umat Kristen dan Katolik pun puas lantaran kementerian tersebut bernama Kementerian Agama bukanlah Kementerian Islam. Namun terkadang masih saja kaum Katolik dan Protestan merasa dianaktirikan, sementara itu umat Islam merasa Katolik dan Protestan terlalu dimanjakan oleh negara. Pandangan seperti ini masih saja sering terjadi, bahkan sampai saat ini.234 Awalnya umat Kristen juga menginginkan agar Kementerian Agama dibubarkan saja, karena hanya dibentuk untuk umat Islam. Tahun 1946 saat Kementerian Agama sudah berdiri, ketika itu Wahid Hasyim yang menyandang sebagai ketua menteri. Hadirnya Kementerian Agama terus saja digubris, berbagai argumen tentang berapa tidak pentingnya departemen ini terus bergulir.

234Hamka, “Kementerian Agama Supaja Ditinjau Kembali,” Mimbar Agama, 16. Lihat juga Andree Feillard, NU Vis a Vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna,43. Dalam buku ini juga dijelaskan terjadi kotroversi atas pembentukan Kementrian Agama lantaran dianggap memberikan otonomi kepada pemuka agama dalam urusan pengajaran agama, pengaturan ibadah dan haji, seolah mengizinkan pembentukan negara dalam negara. Selain anggapan tersebut,, terbentuknya Kementrian Agama dianggap sebagai sentalisasi lembaga-lembaga Islam. 102

Wahid Hasyim terus mempertahankan Kementerian Agama dengan argumennya, dan terus mengembangkan Kementerian Agama.235 Namun kemudian mereka diyakinkan kembali bahwa berdirinya kementerian ini sebagai wadah berbagai agama di Indonesia. Bukan hanya untuk umat Islam, hanya saja perhatian pemerintah terhadap Islam bisa saja dianggap lebih karena jumlahnya memang mayoritas Indonesia, dan ini wajar. Namun pelayanan dalam Kementerian Agama baik Islam maupun non Islam tetaplah sama. Sehingga sampai saat ini masihlah berdiri Kementerian Agama. Dalam Kementerian ini Wahid Hasyim kembali berkiprah, bahkan sampai tiga periode terhitung dari tahun 1949- 1950 pada masa Kabinet Hatta, 1950-1951 Kabinet Natsir, dan di 1951-1952 pada massa Kabinet Sukiman.236 Sebelumnya Wahid Hasyim juga pernah menyandang tugas sebagai Menteri Negara pada tahun 1946 dalam Kabinet Presidentil pertama, dan Menteri Negara pada Kabinet Syahrir pada 1946-1950.237 Menurut Wahid Hasyim Kementerian Agama ada beberapa hal yang perlu

235Herry Mohammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, 38-39. 236Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Teritan (KDT), Profil Pahlawan Nasional, 20. Untuk lebih jelas mengenai kiprah KH Abdul Wahid Hasyim dalam Kementerian Agama dapat dilihat dalam buku Aboebakar, Sejarah Hidup K.H.A Wahid Hasjim, 702. Lihat juga Kerta Wijaya, Sejarah Perjuangan 130 Pahlawan dan Tokoh Pergerakan Nasional, 16. Untuk melihat susunan kabinet lengkap dapat membaca buku Undang -Undang Dasar 1945 (Amandemen), (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2009), cet. IV. Dalam buku ini dijelaskan susunan kabinet-kabinet, sejarah singkat nusantara dari tahun 400 sampai dengan 1945, Teks Proklamasi, Piagam Jakarta, dekrit presiden 5 Juli 1959, Tritura, dan Supersemar. 237Herry Mohammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, 38.

103

diuraikan berkaitan dengan Kementerian Agama di antaranya soal pandangan dan dasar-dasar untuk mengadakannya. Sebelumnya pada masa pendudukan Jepang memang sudah ada Kantor Urusan Agama yang khusus mengurus urusan agama, kantor ini sebagai pengganti Kantor Adviseur voor Inlandsche Zaken pada masa pendudukan Belanda. Di mana kantor ini memiliki beberapa tugas, pertama memberikan pertimbangan- pertimbangan soal keagamaan. Kedua, melakukan penyelidikan dan pengawasan kepada kegiatan politik Islam.238 Lalu setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, orang-orang berpandangan dengan teorinya bahwa urusan negara harus dipisahkan dengan agama, tidak perlu ada departemen atau lembaga tersendiri yang mengurus soal agama dalam susunan pemerintahan. Namun pada praktiknya banyak persoalan agama yang haru diurus seperti pernikahan, perjalanan Haji,239 pendidikan rohani, dan lain-lain. Persoalan- persoalan tersebut diurus oleh beberapa lembaga sebelum berdirinya Kementerian Agama seperti Departemen Dalam Negeri ada juga yang diserahkan pada kepala-kepala daerah. Timbul pertanyaan apakah dasar dibentuknya Kementerian Agama? Tidaklah cukup jika diurus oleh beberapa departemen dalam pemerintahan? Pada kenyataannya masalah-

238K.H.A. Wahid Hasjim, “Sekitar Pembentukan Kementerian Agama R.I.S.,” Mimbar Agama, Th. ke-2, No. 1, Juni- Juli 1950, 5-6. 239Pada saat Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama ia melakukan perbaikan administrasi perjalanan haji menjadi lebih teratur, sehingga terjadi peningkatan jumlah pemberangkatan haji dari Indonesia. Untuk lebih jelas mengenai bagaimana pemikiran dan kebijakan Wahid Hasyim tentang perjalanan haji dapat ditelusuri melalui tulisannya berjudul “Perbaikan Perdjalanan Hadji,” Mimbar Agama, 17 Agustus 1950 No.2, 8. 104

masalah keagamaan cukup banyak baik urusan agama golongan mayoritas di Indonesia maupun minoritas. Karena banyak sekali soal keagamaan yang perlu ditangani dan tidak mungkin dari banyaknya persoalan tersebut tercampur oleh beberapa departemen, maka sangat perlunya didirikan departemen yang khusus mengurus soal keagamaan. Maka dibentuklah Kementerian Agama pada Kabinet Parlementer pertama, ini merupakan jalan tengah antara teori memisahkan agama dengan negara dengan teori menyatukan agama dengan negara.240 Selama menjadi Menteri Agama, Wahid Hasyim berhasil menjalankan beberapa kebijakan seperti memperbaiki administrasi perjalanan haji. Di mana pada masa penjajahan, sangat sulit akses untuk pergi haji. Dipersulitnya para jemaah haji lantaran mereka dianggap seorang “priest” sepulang berhaji, sangat dihormati karena dianggap wali yang memiliki pengetahuan spiritual yang tinggi. Hal inilah yang dianggap berbahaya oleh penjajah, karena orang tersebut dapat menggerakkan pengikutnya sesuai yang ia inginkan. Usaha pemerintah kolonial dalam pengawasan dan pengekangan ibadah haji dilakukan melalui beberapa kebijakan, di antaranya memberlakukan sistem pajak yang begitu tinggi pada para jamaah haji, jika tidak membayar maka akan mendapatkan denda. Penjajah juga menaikkan ongkos paspor dua kali lipat dari sebelumnya. Tidak hanya itu, para haji juga diadakan ujian terlebih dahulu sebelum diperbolehkan memakai gelar dan

240K.H.A. Wahid Hasjim, “Sekitar Pembentukan Kementerian Agama R.I.S.,” Mimbar Agama, 5.

105

pakaian haji.241 Setelah Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama, sistem perjalanan haji dirapikan dan diperbaiki sehingga lebih administratif dan teratur, jumlah korban jiwa pun menurun selama dalam perjalanan, dan jumlah jamaah haji menjadi meningkat.

241Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, (Yogyakarta: LKIS, 1999), 42. 106

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan Dari hasil uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa KH Abdul Wahid Hasyim merupakan seorang tokoh dan ulama yang mempunyai kontribusi dalam mempersiapkan kemerdekaan dan perumusan Piagam Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian penulis dapat disimpulkan bahwa: KH Abdul Wahid Hasyim merupakan salah satu anak dari KH Hasyim Asy’ari, tidak hanya pandai dalam bidang ilmu agama namun ilmu pengetahuan umum juga ia pelajari, seperti bahasa Inggris, Arab, dan Belanda. Kemudian ia mengikuti beberapa lembaga seperti NU (1938), MIAI pada tahun 1939, dan Masyumi pada 1943. Pengalaman politik dan ilmu pengetahuan yang ia miliki mengantarkannya pada pemerintahan Jepang. Ia direkrut oleh Jepang sebagai salah satu dewan pemerintahan, di antaranya ketua dewan MIAI, dan ketua Masyumi, dan salah satu anggota Shummubu. Penelitian ini juga menunjukkan Wahid Hasyim sebagai salah satu anggota Panitia Sembilan memberikan usul dalam rumusan pembukaan (preambule) Undang - Undang Dasar 1945 atau disebut juga Piagam Jakarta. Ia mengusulkan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya” setelah kata “ke-Tuhanan.” Soekarno membacakan hasil rapat Panitia Sembilan mengenai Piagam Jakarta pada 10 Juli 1945 di depan sidang BPUPKI. Namun kemudian mendapat

107 108

penolakan, karena anak kalimat ini dianggap akan mendapat penolakan bagi warga negara non muslim, selain itu juga dianggap diskriminasi dan terlalu fanatik. Akhirnya terjadi perdebatan antara nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler. Di mana nasionalis Islam menginginkan Indonesia berasaskan Islam karena 90% penduduk beragama Islam, sementara nasionalis sekuler menginginkan Indonesia berasaskan kebangsaan karena Indonesia terdiri dari berbagai agama, suku, budaya, dan adat. Selain itu Wahid Hasyim juga mengusulkan pasal 4 ayat 2 tentang presiden dan wakil presiden haruslah orang Indonesia asli dan beragama Islam, selanjutnya mengusulkan agar pasal 29 ini diganti dengan kalimat, “Agama negara adalah agama Islam, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain. Di samping itu penelitian ini juga menjelaskan mengenai peristiwa sehari setelah kemerdekaan, tepatnya 18 Agustus 1945 Mohammad Hatta melakukan kompromi dengan Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, dan Teuku Mohammad Hassan. Hatta menyampaikan bahwa orang Indonesia dari Timur tidak menyetujui dicantumkannya tujuh kata kompromi tersebut dalam Piagam Jakarta, mereka merasa didiskriminasikan. Kompromi Hatta dan empat tokoh yang mewakili Islam tidak memakan waktu lama, akhirnya Wahid Hasyim dan beberapa tokoh Islam lainnya menerima dihapuskannya tujuh kata kompromi (anak kalimat dari “Ketuhanan”), hal ini demi persatuan bangsa karena keadaan pada saat itu sedang masa pertahanan khawatir kemerdekaan Indonesia direbut penjajah, karena baik Jepang maupun Belanda

masih ingin menguasai Indonesia. Lagi pula Soekarno mengatakan Piagam Jakarta ini hanya UUD sementara, di lain waktu akan dirundingkan kembali sampai benar-benar mendapat kemufakatan. Sebagai pengganti dihapuskannya usul-usul tokoh Islam dalam konstitusi maka didirikanlah Kementerian Agama dan tujuh kata “dengan menjalankan kewajiban syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” digantikan dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

B. Implikasi Pentingnya mengetahui peranan seorang tokoh seperti KH Abdul Wahid Hasyim sebagai salah satu tokoh Islam yang ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan dengan segala organisasi yang mewadahinya. Ia ikut merumuskan Piagam Jakarta sebagai pembukaan Undang - Undang Dasar, banyak unsur Islam yang ia masukkan ke dalamnya meskipun kemudian dihilangkan pada 18 Agustus 1945. Sifat dan sikap Wahid Hasyim patut dipelajari sebagai tokoh cendekia dan aktif memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, serta persatuan bangsa Indonesia. Ini dapat menjadi teladan bagi masyarakat, khususnya para pemuda karena saat itu usia Wahid Hasyim masih tergolong muda.

C. Saran Penulis berharap kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya karena kemerdekaan ini tidak mudah dicapai, banyak sekali pengorbanan 110

baik dari tokoh-tokoh nasionalis Islam dan nasionalis sekuler sampai kepada berdiri Republik Indonesia. Selain itu, penulis juga mengharapkan penulisan mengenai tokoh Islam yang berperan dalam perjuangan kemerdekaan tidak hanya sampai di sini, namun lebih dikembangkan lagi oleh penulis-penulis selanjutnya, karena penulisan biografi bisa dijadikan percontohan dan motivasi bagi pembaca. Kemudian, perlunya pemerintah untuk menjaga arsip-arsip agar terus bertahan, bahkan jangan sampai ada arsip yang hilang guna bahan riset di masa mendatang.

111

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987. Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim, Jakarta: Mizan, 2011. Aman, Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan: 1945-1998, Yogyakarta: Ombak, 2015. Anam, A. Khoirul. dkk. Enslikopedia Nahdatul Ulama: Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren, Jakarta: Nata Bangsa dan Nahdatul Ulama bekerjasama dengan PT Bank Mandiri, 2014. Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis “Sekular” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, Bandung: Perpustakaan Salman ITB, 1981. Azra, Azyumardi dan Umam, Saiful, ed. Menteri-Menteri Agama RI:Biografi Sosial-Politik, Jakarta: PPIM, 1998. AR, Djauharuddin, Peranan Ummat Islam dalam Proses Pembentukan dan Pembangunan Negara Republik Indonesia yang Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Bandung: Angkasa, 1985. Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau (B.P.S.I.M), Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Minangkabau 1945-1950, Jakarta: BPSIM, 1978, Jilid I. Bajusit, S.U., Alam Fikiran dan Djedjak Perdjuangan Prawoto Mangkusasmito, Surabaja: Documenta, 1972. Bakhri, Mokh. Syaiful, Syaichona Cholil Bangkalan: Ulama Legendaris dari Madura, Sidogiri Kraton Pasuruan: Cipta Pusaka Utama, 2009.

111 112

Basri, Metodologi Penelitian Sejarah (Pendekatan, Teori dan Praktik), Jakarta: Restu Agung, 2006. Bashri, Yanto dan Suffatni, Retno, ed., Sejarah Tokoh Bangsa, Yogyakarta: LKIS, 2004 Berry, David, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, Jakarta: Rajawali Pers, 1983. Bizawie, Zainul Milal, Laskar-laskar Ulama Santri dan Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945- 1949), Tangerang: Pustaka Compass, 2014. Burhanuddin, Jajat dan Baedowi, Ahmad, ed., Transformasi Otoritas Keagamaan: Pengalaman Islam Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Anggota IKAPI, 2003. Burke Petter, Sejarah dan Teori Sosial, Jakarta: Obor, 2015. Pitoyo, Darmosugito, ed. Menjelang Indonesia Merdeka: Kumpulan Tulisan Tentang Bentuk dan Isi Negara yang Akan Lahir, Jakarta: Gunung Agung, Anggota IKAPI, 1982. Dewanto, Nugroho, Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017. Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2011. Dirdjosanjoto, Pradjarta, Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kia Langgar di Jawa, Yogyakarta: LKIS, 1999. Effendy, Bachtiar, Repolitisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, (Bandung: Mizan, 2000. Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1985. Hatta, Mohammad, Kumpulan Pidato tahun 1945-1949, Jakarta: Yayasan Idayu Press, 1981. Hatta, Mohammad, Memoir, Jakarta: PT Tintamas Indonesia, 1979, cet. I. Indrayana, Denny, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Bandung: Mizan, 2007.

113

Irawan, Aguk MN, All rights reserved, Sang Mujtahid Islam Nusantara, Jakarta: Imania, 2016. Irawan, Aguk, Penakluk Badai: Novel Biografi KH Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: Qalam Nusantara, 2016, cet. IV. Isya, Marjani Gustiana, Wajah Toleransi NU: Sikap NU terhadap Kebijakan Pemerintah atas Umat Islam, Jakarta: PT Semesta Rakyat Merdeka, 2012. Kartodirdjo, , Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013. Latif, Yudi, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015, Cet. Ke-V. Maarif, Ahmad Syafi’i, Noer Deliar, dkk, Syariat Islam Yes Syariat Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, Jakarta: Paramadina, 2001. Maarif, Ahmad Safi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985. Mahfud, Moh, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Makmur, Ahdi, Relasi Ulama Umara: Potret Historis Politik Ulama NU di Indonesia 1959-1965 Era Sukarno, IAIN Antasari Press, 2014. Mani, Jejak Revolusi 1945: Sebuah Kesaksian Sejarah, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989. Mansoer, Moh. Tolchah, Teks Resmi dan Beberapa Soal tentang U.U.D 1945, Bandung: ALUMNI, 1983. Marjani, Gustiana Isya, Wajah Toleransi NU: Sikap NU terhadap Kebijakan Pemerintah atas Umat Islam, Jakarta: PT Semesta Rakyat Merdeka, 2012. Miftahuddin, KH A. Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara, Bandung: Marja, 2017. Mohammad, Herry, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, T.pn, t. th. 114

Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1993. Muljana, Slamet, Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan, Yogyakarta: LKIS, 2008, Jilid II. Nasution, A.H, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Bandung: Angkasa, 1992, Jilid I Proklamasi, Cet. IV. Niswah, Choirun, “Wahid Hasyim dan Pancasila: Studi Pemikiran atas Pemikirannya tentang Dasar Negara (1945- 1953).” Laporan Penelitian, Pusat Penelitian Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah Palembang 1999/2000. Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: PT Pusaka Utama Grafiti, 1987. Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup Itu Berjuang:Kasman Singodimedjo 75 Tahun, Jakarta: Bulan Bintang, 1970. Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT), Profil Pahlawan Nasional, Jakarta: Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan dan Kepahlawanan Sosial Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementrian Sosial RI, 2014. Ridwan, Nur Khalik, NU dan Bangsa 1914-2010 Pergulatan Politik dan Kekuasaan, Jogjakarta, Ar-ruz Media Group, 2010. Rifa’i, Mohammad, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914- 1953, Jogjakarta: Garasi, 2009. Roem, Mohammad, Bunga Rampai dari Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1988, Jilid IV. Sagimun, Perlawanan Rakyat Indonesia terhadap Fasisme Jepang, Jakarta: Inti Idayu Press, 1985. Saidi, Ridwan, Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah, Jakarta: Majlis Himpunan Mahasiswa Islam Loyal untuk Bangsa (Mahmilub), 2007. Sandjojo, Nidjo, Abdul Latif Hendraningrat Sang Pengibar Bendera Pusaka 17 Agustus 1945, Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, Anggota IKAPI, 2011.

115

Santoso, Rokhmani, Basri Yusmar, dkk, Hari-hari Menjelang Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1988. Soebardjo, Ahmad, Lahirnya Republik Indonesia, Jakarta: PT Kinta, 1977. Subchi, Imam, Pengantar Antropologi, Tangerang Selatan: LP2M UIN Syaif Hidayatullah Jakarta, 2016. Sudirman, Adi, Sejarah Lengkap Indonesia, Yogyakarta: DIVA Press, 2014, Cet. I. Sukardja, Ahmad, Piagam Madinah dan Piagamm Jakarta: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, Jakarta: UI Press, 1995. Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah: Teori, Metode, Contoh Aplikasi, Bandung: Pustaka Setia, 2014. Suprijadi, Bambang, ed., Pendidikan Pancasila untuk Mahasiswa Berdasarkan SK Dirjen Dikti No. 38/DIKTI/KEP/2002, Jakarta: Kerjasama antara Assosiasi Guru dan Pendidikan Pancasila Jatim dan FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Asri Press, 2012. , Ulama Pendiri, Penggerak, Intelektual NU dari Jombang, Jawa Timur: Pustaka Tebuireng Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng, 2015. Suprayogo, Imam, Kyai dan Politik: Membaca Citra Politik Kyai, Malang: UIN Malang Press, 2009. 20 Tahun Indonesia Merdeka, Departemen Penerangan RI, (T. pn: T.pn, t.t,), Jilid II. Tantang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante, (T. pn: T.pn, t.t,), Jilid I. Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Enslikopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992. Tutik, Titik Triwulan, Efendi Jonaedi, Membaca Peta Politik Nahdatul Ulama: Sketsa Politik Kiai dan Perlawanan Kaum Muda NU, Jakarta: Tim Lintas Pustaka, 2008. 116

Tanpa Nama, Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen), Jakarta: Pustaka Yustisia, 2009, cet. IV. Wahid, Abdurrahman, ed., Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute, 2009. Wijaya, Kerta, Sejarah Perjuangan 130 Pahlawan dan Tokoh Pergerakan Nasional, Jakarta: Restu Agung, 2007. Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959, Jilid I. Yahya, Ali, Sama tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar K.H. A. Wahid Hasyim, Jombang: Yayasan K.H.A. Wahid Hasyim, 2007. Yuniarti, D. Rini, BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI, Jakarta: Kompas, 2003.

Jurnal:

Elson R.E, “Another Look at Jakarta Charter Controvercy of 1945” Jstore (2009), diakses pada 8 Maret 2018 pukul 8:05 WIB. Haris Munawir, “Potret Partisipasi NU di Indonesia dalam Lintasan Sejarah,” Jurnal Review Politik: Kajian Islam dan Politik, Volume 02, Nomor 02, Agustus 2012. Sa’adillah Rangga, “Pendidikan Karakter Menurut KH. Wahid Hasyim,” artikel diakses pada Minggu, 19 November 2017, pukul 15:59.

Arsip:

“Sekretariat Negara RI 1945-1949”, No. Inventaris 155, Th. 1945. Foto KH Abdul Wahid Hasyim, Arsip Nasional Republik Indonesia. No. P04/122. “Mohammad Yamin”, No. Inventaris 560. “Mohammad Yamin”, No. Inventaris 553.

117

Koran:

“Pemboebaran MIAI.” Tjahaya, Kemis Zyuitigatu 2603. “Samboetan Para Terkemuka atas Pembentoekan Panitia Persapan Kemerdekaan Indonesia.” Soeara Asia, Kemis Pon, 9 Agustus 1945, Tahun ke VI-No. 191. “Rapat Besar Menyamboet Pembentoekan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.” Asia Raya, Agoest 2605 Th. ke IV No. 191. “Samboetan Para Terkemuka atas Pembentoekan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia,” Soeara Asia, Kemis Pon, 9 Agoest 2605, Th ke IV, No. 191.

Majalah:

Hamka, “Kementrian Agama Supaja Ditinjau Kembali,” Mimbar Agama, Th. ke-2, No- 6-7, Djuni-Djuli 1951 Hasjim, Wahid, “Kebangkitan Dunia Islam,” Mimbar Agama, No. 1-12, Maret-April, Th. 1951 Jilid III/IV. Hasjim, Wahid, “Tidak Mudah Memenuhi Tuntutan Otak, yaitu dengan Meninggalkan Hawa Nafsu dan Menjalani Kebenaran”, Mimbar Agama, No. 1-12, Juni-Juli, Th.1951 Jilid II. Hasjim, Wahid, “Kedudukan Ulama’ dan Masjarakat Islam di Indonesia”, Mimbar Agama, No. 3, 17 September 1950 Jilid I. Hasjim, Wahid, “Pendidikan Ketuhanan”, Mimbar Agama, No-5-6, 17 November- 17 Desember 1950 Jilid I. Hasjim, Wahid, “Sekitar Pemetukan Kementrian Agama RIS,” Mimbar Agama, No. 1, Maret-April 1951 Jilid I. Hasjim, Wahid, “Perbaikan Perjalanan Hadji”, Mimbar Agama, No. 1-12, Agustus 1950 jilid I. Noor, Mas’uddin, “Almarhum K.H. A. Wahid Hasjim,” Mimbar Agama, No. 4, tahun ke 3, April 1953. 118

“Ma’loemat Dewan M.I.A.I.,” Berita Nahdatoel Oelama, November, No. 1, Th. ke.11. “Ma’loemat Dewan MIAI,” Berita Nahdatoel Oelama, November, No.1 Th. ke-11.

Rekaman:

Wawancara Sarman Soelaiman dengan Pengetik Naskah Proklamasi Kemerdekaan RI Sayuti Melik, 14 September 1986.

GLOSARIUM

A3 Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Cahaya Asia

BKNIP Badan Komite Nasional Indonesia Pusat

BPUPKI Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

Chuo Sangi Badan Pertimbangan Pusat

DKI Jakarta Daerah Khusus Ibukota Jakarta

FAH Fakultas Adab dan Humaniora

Gunseikanbu Staf pemerintahan militer pusat

Hizbullah Barisan kemiliteran Islam

IPPI Ikatan Pelajar-Pelajar Islam

Kaigun Angkatan Laut Jepang

KH Kiai Haji

Kumiai Program Jepang yang menimbulkan kelaparan pada masyarakat

LMI Liga Muslimin Indonesia

Masyumi Majelis Syura Muslimin Indonesia

MIAI Majelis Islam A’la Indonesia

NU Nahdatul Ulama

PBNU Pengurus Besar Nahdatul Ulama

PETA Pembela Tanah Air

PHI Panitia Haji Indonesia

PPKI Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

PTAIN Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri

Putera Pusat Tenaga Rakyat

Shummubu Kantor Urusan Agama masa pendudukan Jepang

UIN Universitas Islam Negeri

UUD Undang-Undang Dasar

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran I

Foto KH Abdul Wahid Hasyim (Sumber Foto: Arsip Nasional Republik Indonesia. No. P04/122)

Dari Kiri ke kanan: KH Sjudja, ketua PHI Kapitan kapal Tarakan, JM Menteri Agama KH A. Wahid Hasjim dan R. Moeh. Kafrawi, Sek. Djendral Kem. Agama.

(Sumber Foto: Mimbar Agama, Th ke 2, Agustus 1950, 11)

Ketika J.M Menteri Agama sedang bercakap- cakap dengan kapitan Tarakan.

(Sumber Foto: Mimbar Agama, Th ke 2, Agustus 1950, 11)

Jenazah KH Abdul Wahid Hasyim sedang dinaikkan ke atas pesawat G.I.A untuk mengantarkannya ke tempat pemakaman di Jombang, Jawa Timur. J.M Menteri Agama Faqih Usman, Sekjen Kementrian Agama, dan KH Masykur juga ikut mengantar jenazah.

(Sumber Foto: Mimbar Agama, Th ke 2, April 1953)

Lampiran II

RAPAT PANITIA PERSIAPAN KEMERDEKAAN INDONESIA242

Pada tanggal 18 bulan 8 tahun 2605

Ketua : Ir. Soekarno

Wakit Ketua : Drs. Moh. Hatta

Anggota :

1. Supomo 2. Radjiman 3. Suroso 4. Sutardjo 5. W. Hasjim 6. Ki Bagus Hadikusumo 7. Oto Iskandardinata 8. Abdul Kadir 9. Surjohamidjojo 10. Purubojo 11. Yap Tjwan Bing 12. Latuharhary 13. Dr Amir 14. Abd. Abbas 15. Moh. Hassan

242Dikutip dari Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang- Undang Dasar 1945, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), 399.

16. Hamdhani 17. Ratulangi 18. Andipangeran 19. I Gusti Ktut Pudja 20. Wiranata Kusuma 21. Ki Hajar Dewantara 22. Mr. Kasman 23. Sajuti 24. Kusuma Sumantri 25. Subardjo

Lampiran III

PIAGAM DJAKARTA243

Bahwa sesungguhnya kemedekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka pendjdjahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perdjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakjat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia, jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Atas berkat Rahmat Allah jang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan jang bebas, maka rakjat Indonesia menjatakan dengan ini kemerdekaanja.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia jang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan Bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu

243Dikutip dari naskah “Mohammad Yamin”, No. Inventaris 560.

susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakjat, dengan berdasarkan kepada: ke-Tuhanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja, menurut dasar kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusjawaratan perwakilan, serta dengan mewudjukan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Djakarta, 22-6-2605 Ir. Soekarno Drs Mohammad Hatta Mr. A.A. Maramis Abikusno Tjokrosujoso Abdulkahar Muzakir H.A. Salim Mr Achmad Soebardjo Wachid Hasjim Mr Muhammad Yamin.

Lampiran IV

Rumusan yang disahkan sebagai Pembukaan UUD 1945 berbunyi sebagai berikut:

Pembukaan244

“Bahwa sesungguhnja kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan sebab itu, maka pendjadjahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” “Dan perdjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakjat Indonesia kedepan pintu gerbang Negara Indonesia, jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” “Atas berkat rahmat Allah Jang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaja berkehidupan kebangsaan jang bebas, maka rakjat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.” “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia jang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia dan untuk memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang- undang Dasar Negara Indonesia, jang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia jang berkedaulatan rakjat

244Dikutip dari S.U. Bajasut, Alam Pikiran dan Djedjak Perdjuangan Prawoto Mangkusasmito, (Surabaja: Documenta, 1972), 310-311.

dengan berdasar kepada: Ketuhanan Jang Maha Esa, Kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusjawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia.”

Lampiran V

NYAI KHODIJAH

Solichah Sochib Bisri Muassomah Musyarrofah Ahmad Bishri Abdul Aziz Bizri

SILSILAH NYA SOLICHAH

KH BISRI SANSURI

NYAI NAFIQAH

Karim Hasyim Siti Azzah Nyai Aisyah Yusuf Hasyim Nyai Choiriyah

Abdul Abdul Kholiq Hasyim Abdul Wahid Hasyim SILSILAH ABDUL KH WAHID HASYIM KH HASYIM ASY’ARI

Lampiran VI

Tioria Hasyim +Hasyim Napitupulu A. Azis Karimah

Najamuddin Nurul Fatchiyati Abdul Hakim Maria Advianti Lily Khodijah +

NYAI SOLICHAH

Umar + Endang Fatich Waluyo Sulistinah Sulistinah Fitria Latifah Fitria Sofiah Novita

Farida Farida Saifuddin Irfan Asy’ari Iqbal Humam Arina Saraswati Salahuddin +

A WAHID HASYIM

WAHID HASYIM DAN NYAI SOLICHAH NYAI DAN HASYIM WAHID

Hamid Aisyah + Baidlowi Ummu Atiyah Ummu Abdul Wahid Afifah Afiani Asyriani Arief Rahman

22) -

+

Abdurrahman Shinta Nuriyah Shinta 21 imur, 2016), ILSILAH PUTRA PUTRI KH ABDUL ABDUL KH PUTRI PUTRA ILSILAH S Qotrunnada Alisha Zannuba Arifah N Hayatun Anita Wulandari Inayah (Sumber Silsilah: Sholeh Hayat, Kiai dan Santri dalam Perang Kemerdekaan, (Jawa Timur: PW LTNNU Jawa T

Lampiran VII

Tulisan-tulisan KH Abdul Wahid Hasyim

Sumber: “Kebangkitan Dunia Islam”, Mimbar Agama, Jilid III/IV, Maret-April 1951 No. 3-4, 28-30.

Sumber: “Sekitar Pembentukan Kementrian Agama RIS”, Mimbar Agama, Jilid I, 17 Juni 1950 No.1, 5-6.

Sumber: “Perbaikan Perdjalanan Hadji”, Mimbar Agama, Jilid I, 17 Agustus 1950 No.3, 8-15.

Sumber: “Kedudukan ‘Ulama dalam Masjarakat Islam di Indonesia”, Mimbar Agama, Jilid I, 17 September 1950 No.3, 38- 39.

Sumber: “Pendidikan Ketuhanan”, Mimbar Agama, Jilid I 17 November-17 Desember 1950, 4-5.

Sumber: “Tidak Mudah Memenuhi Tuntutan Otak, Jyaitu dengan Meninggalkan Hawanafsu dan Mendjalani Kebenaran”, Mimbar Agama, Jilid III, Juni-Juli 1951 No.6-7, 3-4.